DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH Kasus di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur
HASNAWATI HAMZAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Dampak Kegiatan Pertambangan Terhadap Pengembangan Wilayah : Kasus di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Oktober 2005
Hasnawati Hamzah NRP A253040094
ABSTRAK
HASNAWATI HAMZAH. Dampak Kegiatan Pertambangan terhadap Pengembangan Wilayah: Kasus di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur. Di bimbing oleh BUDI MULYANTO, FREDIAN TONNY NASDIAN, dan MOENTOHA SELARI. Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur merupakan daerah otonom yang terbentuk pada tahun 2001 dengan potensi sumberdaya alam tambang yang besar antara lain batubara, minyak, dan gas. Bahan galian tambang merupakan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui yang dalam pengelolaannya dapat memberikan dampak positif maupun dampak negatif. Oleh karena itu, pengelolaan bahan galian tambang harus dilakukan secara bijaksana agar dapat memberikan manfaat yang optimal bagi pembangunan daerah dan masyarakat yang berada di sekitar lokasi pertambangan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan wilayah antara lain pertumbuhan ekonomi, pengembangan masyarakat, dan kesesuaian pemanfaatan ruang. Hasil analisis menunjukkan bahwa kegiatan pertambangan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pembangunan daerah yang tercermin dalam struktur perekonomian daerah. Sektor industri pengolahan merupakan salah satu sektor basis di Kota Bontang yang memberikan distribusi sebesar 86.46% terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2003. Sedangkan sektor pertambangan dan penggalian merupakan salah satu sektor basis di Kabupaten Kutai Timur dan memberikan distribusi sebesar 64.31% terhadap PDRB tahun 2003. Namun dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan masyarakat khususnya dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar lokasi pertambangan belum menunjukkan hasil yang nyata. Hal ini tercermin dari rendahnya penyerapan tenaga kerja lokal, pertumbuhan usaha-usaha kecil, dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia, serta minimnya pembangunan sarana jalan, pendidikan, dan kesehatan. Salah satu faktor penyebabnya adalah kegiatan community development yang dilaksanakan oleh perusahaan pertambangan umumnya hanya menyentuh masyarakat yang berada pada lapisan atas. Disamping itu, pola perijinan lokasi pertambangan masih lemah dalam koordinasi baik antar sektor maupun antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini ditunjukkan oleh adanya pemanfaatan ruang yang tidak mempertimbangkan RTRW, keberadaan pemegang hak sebelumnya, dan tidak ada sosialisasi terhadap masyarakat sekitar lokasi pertambangan. Kegiatan pertambangan juga menimbulkan konflik baik antar masyarakat dengan perusahaan pertambangan maupun antar sektor yaitu sektor pertambangan dan sektor kehutanan. Penyebab konflik tersebut antara lain tumpang tindih lokasi pertambangan dengan lahan masyarakat, minimnya kontribusi perusahaan pertambangan terhadap penyerapan tenaga kerja lokal dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar lokasi pertambangan, serta tumpang tindih lokasi pertambangan dengan kawasan hutan.
ABSTRACT HASNAWATI HAMZAH. Impacts of Mining Activities to Regional Development: Case Study in Bontang City and East Kutai Regency, East Kalimantan Province. Supervised by: BUDI MULYANTO, FREDIAN TONNY NASDIAN, and MOENTOHA SELARI. Bontang City and East Kutai Regency are situated in East Kalimantan Province based on UU No 22 1999 on Regional Autonomy, these two areas became autonomous government bodies since 2001. According to the natural characteristics, these areas include great mining resources, such as coal, oil and gas. These natural resources are non-renewable resources beneath soil resources, while the soils are one of some important life support system, hence mining of these resources should be carried out in wise and proper manners. Mining activities are aimed to get revenues for people prosperity, however mining activities in some area produce some negative impacts, both in physical and social-economical impacts, especially to the environment and people in surrounding mining area. Related to these background the objectives of this study are to analyze local development impacts, especially on economic growth, community development, and suitability of spatial planning in these two areas. The results of this study indicates that mining activities in both areas have provided great contribution to development programs, as indicated by economical structure of both areas. Furthermore, if be analyzed into detail, processing industry of mining is one of the basic economic sector in Bontang City which contributed 86.46% of the Gross Domestic Regional Product (GDRP) in 2003. Meanwhile mining is the basic sector of the East Kutai Regency, that contributes 64.31% to the GDRP in 2003. However benefits of mining activities to the people communities are still less significant. This is indicated by the community welfare of the people surrounding the mining areas are low. Dealing with this issue some indicators could be seen such as the low absorption of local employment, small businesses growth, low increase of local human resources, lack of road building, lack of education and health facilities. These phenomena due to some causes, one of them is that the community development programs of the mining companies are mostly touched higher-level society. Related to the legal institution, the mining license procedures is still less synchronic in the coordination between sectors, or between central government and local government. Therefore some licenses of the mining location do not considered actual spatial planning (Rencana Tata Ruang Wilayah), existence of land tenure, and lack of socialization to the community of surrounding the mining areas. In addition the mining activities create some conflicts between people and the companies and between forestry sector and mining sector. These conflicts are caused by some reasons, among others: land-use overlapping between people’s land and mining land, low absorption local human resources in mining activities, and low contribution in community welfare development in surrounding the mining areas and misuse forestry area for mining. Keywords: regional development, mining activities, community development
DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH Kasus di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur
HASNAWATI HAMZAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
Judul Tesis
:
Nama NRP
: :
Dampak Kegiatan Pertambangan terhadap Pengembangan Wilayah: Kasus di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur Hasnawati Hamzah A253040094
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Budi Mulyanto, M.Sc Ketua
Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS Anggota
Ir. Moentoha Selari, MS Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr
Tanggal Ujian: 6 Oktober 2005
Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc
Tanggal Lulus: 31 Oktober 2005 Tanggal Lulus
Kupersembahkan untuk: Almarhumah Ibunda Nirwana Kadir yang telah berpulang di saat penulis sedang menyelesaikan pendidikan: doa dan kasih Mama adalah sumber semangat dan kekuatan Suami dan anak-anakku terkasih, Panji Wicaksono dan Gama Pradipta: pengorbanan, inspirasi, dan kehangatan keluarga adalah cahaya panutan langkah
PRAKATA Puji syukur kekhadirat Allah SWT karena atas segala izin dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2005 ini menitikberatkan pada tema Dampak Kegiatan Pertambangan Terhadap Pengembangan Wilayah: Kasus di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur. Penulisan karya ilmiah ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati penulis menghaturkan rasa terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada Bapak Dr.Ir. Budi Mulyanto, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing serta Bapak Ir. Fredian Tonny Nasdian MS dan Bapak Ir. Moentoha Selari, MS sebagai anggota Komisi Pembimbing atas segala motivasi, semangat, arahan, dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hingga penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih yang tulus kami haturkan pula kepada Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku penguji luar komisi atas segala sarannya guna penyempurnaan tesis ini. Kepada teman-teman mahasiswa PWL angkatan 2004, terima kasih atas segala kebersamaan, keceriaan, dan ketulusan persahabatan yang mewarnai derap langkah melintasi 13 bulan masa pendidikan. Terakhir penulis sampaikan terima kasih kepada Bapak dan Adikadik tercinta serta Bapak dan Ibu Mertua atas segala dukungan dan doanya. Akhirnya, penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat dan dapat menjadi setitik bakti bagi kemajuan bangsa dan negara . Amin.
Bogor,
Oktober 2005
Hasnawati Hamzah
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Soppeng, Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 28 Juni 1968 sebagai putri pertama dari empat bersaudara pasangan Muhammad Hamzah Shaleh dan Nirwana Kadir (alm.). Pendidikan SD-SMA diselesaikan di kota kelahiran penulis, sedangkan pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Teknologi Hasil Hutan Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, lulus pada tahun 1991. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2004 dan diterima di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah melalui beasiswa pendidikan dari Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Penulis menikah dengan Suwindo pada tahun 1995 dan dikarunia dua orang putra yaitu Panji Wicaksono (9 tahun) dan Gama Pradipta (7 tahun). Penulis pernah bekerja pada Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT Keang Nama Development Indonesia di Sibolga Provinsi Sumatera Utara pada tahun 1991-1993. Selanjutnya penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Departemen Kehutanan dan bertugas pada: Sub Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Gorontalo tahun 19931995 Sub Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Manado tahun 1995-1997 Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara tahun 19971999 Pusat Pemolaan Areal Hutan dan Kebun, Badan Planologi Kehutanan tahun 1999-2000 Pusat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan, Badan Planologi Kehutanan tahun 2000- 2005 Saat ini penulis bertugas pada Pusat Wilayah Pengelolaan Kawasan Hutan, Badan Planologi Kehutanan.
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL …………………………….…………………..………..
xi
DAFTAR GAMBAR ………………………….………………….………..
xiii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………….
xv
PENDAHULUAN Latar Belakang ………………………………………………………. Perumusan Masalah …………………….…………………………… Tujuan Penelitian ……………………………………………………. Kegunaan Penelitian ………………………………………………
1 4 6 7
TINJAUAN PUSTAKA Teori Pengembangan Wilayah ……..……………………………… Pengembangan Masyarakat ………….………………………………. Perencanaan Pembangunan Daerah ………….………………………. Perencanaan Wilayah ……………………….……….……………… Perencanaan Partisipatif ....................................................................... Kegiatan Pertambangan ……………………………………………. Hutan dan Kehutanan ……………………………………………….. Kerangka Pemikiran …………………………………………………
8 12 16 18 20 21 25 27
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ……………………………………….. Pengumpulan Data …………………………………………………… Penentuan Responden ………..………………………………………. Pengolahan Data ………………………………………………………
33 33 35 38
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Kota Bontang ……………………………………….………………… Letak Geografi dan Administrasi Wilayah ……………………. Kependudukan dan Tenaga Kerja …………………………….. Penggunaan Lahan dan Potensi Ekonomi………………………. Sarana Prasarana Fisik dan Sosial …………………………….. Pertumbuhan Ekonomi …………………………………………
45 45 46 48 49 51
Kabupaten Kutai Timur ……………………………………………… Letak Geografi dan Administrasi Wilayah ……………………. Kependudukan dan Tenaga Kerja …………………………….. Penggunaan Lahan dan Potensi Ekonomi……………………….
52 52 53 55
Sarana Prasarana Fisik dan Sosial …………………………….. Pertumbuhan Ekonomi …………………………………………
56 58
PT Badak Natural Gas Liquefaction …………………………………..
61
PT Indominco Mandiri ………………………………………………
62
Ikhtisar ……………………………………………………………….
64
KONTRIBUSI KEGIATAN PERTAMBANGAN TERHADAP PEMBANGUNAN DAERAH Analisis Pertumbuhan Ekonomi Wilayah ……………………………. Analisis Pemusatan Ekonomi Wilayah ……………………………… Ikhtisar ……………………………………………………………….
66 70 73
DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN TERHADAP PENGEMBANGAN MASYARAKAT Kondisi Fisik dan Sosial Lokasi Studi…………………………………. Program Community Development Perusahaan Pertambangan ……… Dampak Kegiatan Pertambangan terhadap Masyarakat Lokal .………. Konflik ……………………………………………………………….. Ikhtisar ………………………………………………………………
76 80 90 110 112
KESESUAIAN PERUNTUKAN DAN PEMANFAATAN RUANG Kesesuaian Pemanfaatan Ruang antara Wilayah Penelitian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) ……………………………… 115 Kesesuaian Fungsi Peruntukan Kawasan antara Wilayah Penelitian dengan Kawasan Hutan ……………………………………………… 120 Ikhtisar ………………………………………………………………. 123 POLA PERIJINAN KEGIATAN PERTAMBANGAN Kuasa Pertambangan .……………………………………………….. 127 Pinjam Pakai Kawasan Hutan ………………………………………… 129 Ikhtisar ……………………………………..………………………. 131 DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH ................................................................. 133 SIMPULAN ………………………………………………………………… 144 REKOMENDASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH …… 146 DAFTAR PUSTAKA
…………..………………….…….……………… 147
LAMPIRAN ……………………………………………………………….. 152
DAFTAR TABEL Halaman
1
Tiga model community development
………………………………….
16
2
Luas kawasan hutan berdasarkan Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan Peta Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi……………….
26
Jumlah responden menurut kabupaten/kota, kecamatan, dan desa/kelurahan sampel berdasarkan pelapisan sosial ekonomi ….…….
36
Perkembangan jumlah penduduk Kota Bontang menurut kecamatan tahun 1999- 2003 ……………………………………………………….
46
Jumlah dan persentase penduduk umur 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan kerja tahun 2002 …………………………………..
47
Luas dan persentase penggunaan tanah Kota Bontang tahun 2001 menurut jenis penggunaan tanah ……………………………………..
48
7
Jumlah sekolah menurut kecamatan
…………………………………..
50
8
Jumlah fasilitas kesehatan menurut jenis dan kecamatan ……………..
50
9
Laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Kota Bontang dengan/tanpa migas atas dasar harga konstan 1993 (%) tahun 2002 2003 …………………………………………………………………….
51
Distribusi persentase Pendapatan Domestik Regional Bruto Kota Bontang dengan migas atas dasar harga konstan 1993 (%) tahun 20022003 ……………………………………………………………….……
52
11
Banyaknya desa dan luas wilayah menurut kecamatan ………………..
53
12
Luas wilayah, jumlah penduduk, dan kepadatan menurut kecamatan ….
54
13
Perkembangan jumlah penduduk Kabupaten Kutai Timur menurut kecamatan tahun 1999-2003 ………………………………………….
54
Persentase penduduk 10 tahun ke atas menurut kecamatan dan lapangan usaha tahun 2002 (%) ………………..…………………………………
55
15
Jumlah sekolah menurut kecamatan
…………………………………..
57
16
Jumlah fasilitas kesehatan menurut jenis dan kecamatan ……………..
58
17
Laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Kutai Timur dengan/tanpa migas atas dasar harga konstan 1993 (%) tahun 2002-2003 ……………………………………………………………..
59
Distribusi persentase Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Kutai Timur dengan migas atas dasar harga konstan 1993 (%) tahun 20022003 ……..……………………………………………………………...
60
Hasil analisis shift share PDRB Kota Bontang tahun 1993-2003 ……..
67
3 4 5 6
10
14
18
19
20
Hasil analisis shift share PDRB Kabupaten Kutai Timur tahun 1993 – 2003 ……………………………………………………………………
69
Hasil analisis LQ sektoral berdasarkan PDRB tahun 2002-2003 Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur .....................................................
71
Kontribusi kegiatan pertambangan terhadap pembangunan daerah Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur ………………………………….
74
23
Sarana prasarana desa/kelurahan dampak dan desa non-dampak ……..
89
24
Sumber perubahan pendapatan responden berdasarkan pelapisan sosial ekonomi ………………………………………………………………..
97
25
Dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan masyarakat …
113
26
Fungsi pemanfaatan ruang wilayah penelitian sesuai dengan Peta RTRW
116
27
Fungsi kawasan hutan wilayah penelitian berdasarkan TGHK dan Paduserasi TGHK-RTRWP …………………………………………….
121
Kesesuaian peruntukan dan pemanfaatan ruang lokasi pertambangan dan pemukiman ……………………………………………………………
124
29
Persyaratan permohonan izin usaha pertambangan ……………………
127
30
Dampak pola perijinan kegiatan pertambangan ……………………….
132
21 22
28
DAFTAR GAMBAR Halaman
1
Hubungan antara pengembangan wilayah, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan teknologi ..………………………………….
9
2
Bagan alir kerangka penelitian ………………….……….…………….
32
3
Wilayah dampak dan non-dampak kegiatan PT Indominco Mandiri ….
34
4
Wilayah dampak dan non-dampak kegiatan PT Badak NGL …………
34
5
Peta wilayah penelitian
……………………………………………….
37
6
Bagan prosedur tumpang tindih Peta Administrasi, Peta Wilayah Pertambangan, Peta RTRW, Peta TGHK, dan Peta Kawasan Hutan ….
43
Pemukiman kelompok masyarakat Desa Suka Damai Kabupaten Kutai Timur ……………………………………………………………
77
8
Pemukiman masyarakat Kelurahan Kanaan Kota Bontang …..………..
78
9
Pemukiman masyarakat Desa Kandolo Kabupaten Kutai Timur ……..
79
10
Mata pencaharian utama responden pada desa/kelurahan dampak dan desa non-dampak ……………………………………………………..
84
Tingkat pendidikan responden pada desa/kelurahan dampak dan desa non-dampak ……………………………………………………………
86
Tingkat pendapatan responden pada desa/kelurahan dampak dan desa non-dampak …………………………………………………………….
87
Pola asosiasi antara desa/kelurahan dengan persepsi penyerapan tenaga kerja oleh perusahaan pertambangan ……….…………………………..
91
Pola asosiasi antara pelapisan sosial ekonomi masyarakat dengan persepsi penyerapan tenaga kerja oleh perusahaan pertambangan …….
91
Pola asosiasi antara responden yang bekerja, pernah bekerja, dan tidak bekerja pada perusahaan pertambangan dengan desa/kelurahan ……..
93
Pola asosiasi antara responden yang bekerja, pernah bekerja, dan tidak bekerja pada perusahaan pertambangan dengan pelapisan sosial ekonomi ……………………………………………………………….
93
Pola asosiasi antara tingkat pendapatan responden dalam lima tahun terakhir dengan desa/kelurahan …………………………………………
95
Pola asosiasi antara tingkat pendapatan responden dalam lima tahun terakhir dengan pelapisan sosial ekonomi ……………………………
96
Pola asosiasi antara sumber perubahan pendapatan responden dengan pelapisan sosial ekonomi ……………………………………………….
97
7
11 12 13 14 15 16
17 18 19
20 21
Pola asosiasi antara desa/kelurahan dengan persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap kesejahteraan keluarga ……………
99
Pola asosiasi antara pelapisan sosial ekonomi masyarakat dengan persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap kesejahteraan keluarga ………………………………………………………………...
99
22
Pola asosiasi antara responden yang menerima beasiswa, pernah menerima beasiswa, dan tidak menerima beasiswa dari perusahaan pertambangan dengan desa/kelurahan …..……………………………. 101
23
Pola asosiasi antara responden yang menerima beasiswa, pernah menerima beasiswa, dan tidak menerima beasiswa dari perusahaan pertambangan dengan pelapisan sosial ekonomi ……………………… 102
24
Keikutsertaan responden dalam kegiatan community development perusahaan pertambangan berdasarkan pelapisan sosial ekonomi ……. 102
25
Pola asosiasi antara desa/kelurahan dengan persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap kesejahteraan masyarakat …….…. 104
26
Pola asosiasi antara pelapisan sosial ekonomi masyarakat dengan dampak perusahaan pertambangan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat …………………………………………………………….. 105
27
Pola asosiasi antara desa/kelurahan dengan persepsi dampak kehadiran perusahaan pertambangan terhadap usaha-usaha kecil ……………..…. 106
28
Pola asosiasi antara pelapisan sosial ekonomi masyarakat dengan persepsi dampak kehadiran perusahaan pertambangan terhadap usahausaha kecil ……………………………………………………………. 107
29
Rumah masyarakat yang berbatasan langsung dengan lahan milik PT Badak NGL di Dusun Baltim Kelurahan Bontang Lestari ………... 109
30
Pola asosiasi antara pelapisan sosial ekonomi dengan konflik masyarakat dengan PT Indominco Mandiri dan PT Badak NGL ……… 111
31
Perkembangan PDRB Kota Bontang dengan/tanpa migas atas dasar harga konstan 1993 tahun 1993-2003 ..................................................... 136
32
Distribusi PDRB Kota Bontang dengan/tanpa migas atas dasar harga konstan 1993 tahun 1993-2003 ................................................................ 136
33
Perkembangan PDRB Kabupaten Kutai Timur dengan migas/tanpa migas/tanpa migas dan batubara atas dasar harga konstan 1993 tahun 1993-2003 ……………………………………………………………… 138
34
Distribusi PDRB Kabupaten Kutai Timur dengan/tanpa migas atas dasar harga konstan 1993 tahun 1993-2003 …………………………… 148
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1
Kuesioner ………………………………………………………………. 153
2
Daftar desa/kelurahan dalam ruang lingkup community development PT Indominco Mandiri dan PT Badak NGL ………………………….. 159
3
Pengalaman wawancara dengan responden …………………………… 160
4
Kegiatan pengembangan masyarakat PT Badak NGL tahun 2004 …….. 165
5
Kegiatan pengembangan masyarakat PT Indominco Mandiri tahun 2004-2005……………………………………………………………….. 167
6
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Kalimantan Timur atas dasar harga konstan 1993 menurut lapangan usaha tahun 1993-2003 (juta rupiah) ………………………………………………………….. 169
7
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bontang atas dasar harga konstan 1993 menurut lapangan usaha tahun 1993-2003 (juta rupiah) …………………………………………………………………. 170
8
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Kutai Timur atas dasar harga konstan 1993 menurut lapangan usaha tahun 1993-2003 (juta rupiah …………………………………………………………….. 171
9
Mata pencaharian utama responden …………………………………… 172
10
Tingkat pendidikan responden ………………………………………… 173
11
Tingkat pendapatan responden ………………………………………… 174
12
Persepsi pengaruh kehadiran perusahaan pertambangan terhadap penyerapan tenaga kerja ………………………………………………. 175
13
Responden yang bekerja/pernah bekerja pada perusahaan tambang …… 176
14
Tingkat pendapatan responden dalam lima tahun terakhir ……………. 177
15
Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap kesejahteraan keluarga ………………………………………………………………. 178
16
Responden yang mendapatkan beasiswa dari perusahaan pertambangan
17
Responden yang ikutserta dalam program community development perusahaan pertambangan ……………………………………………. 180
18
Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat ……………………………………………… 181
19
Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap pertumbuhan usaha-usaha kecil ……………………………………………………… 182
20
Konflik antara perusahaan pertambangan dengan masyarakat ……….. 183
179
21
Kasus Desa Suka Damai ……………………………………………… 184
22
Data koordinat hasil analisis korenpondensi berganda (correspondence analysis) …………………………………………….. 193
23
Peta kesesuaian pemanfaatan ruang wilayah penelitian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) …………………………………………. 201
24
Peta fungsi kawasan wilayah penelitian berdasarkan Peta TGHK Provinsi Kalimantan Timur ….…………………………………………. 202
25
Peta fungsi kawasan wilayah penelitian berdasarkan Peta Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Timur …………………………………… 203
PENDAHULUAN
Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 mengamanatkan bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Sumberdaya alam tersebut terdiri atas sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (non – renewable resources). Sumberdaya alam yang dapat diperbaharui mempunyai sifat terus menerus ada dan dapat diperbaharui baik oleh alam sendiri maupun dengan bantuan manusia seperti sumberdaya hutan, air, dan lainnya. Sedangkan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui mempunyai sifat fisik yang tersedia tetap dan tidak dapat diperbaharui atau diolah kembali dan terjadinya diperlukan waktu ribuan tahun seperti mineral, batubara, minyak bumi, dan lainnya. Dalam pengelolaan dan penentuan peruntukan sumberdaya alam ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu efesiensi dan efektifitas pemanfaatan yang optimal sesuai daya dukung lingkungan, tidak mengurangi potensi dan kelestarian sumberdaya lain yang berkaitan dengan suatu ekosistem, memberikan kemungkinan alternatif pemanfaatan di masa depan sehingga ekosistem tidak dirombak secara drastis. Hal ini penting, sebab sumberdaya alam memiliki kemampuan untuk dipergunakan sesuai kapasitas daya dukungnya sehingga dalam pemanfaatannya perlu dilakukan secara bijaksana untuk mewujudkan manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi yang seimbang dan berkelanjutan guna memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Minyak bumi dan bahan tambang lainnya sebagai sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui dalam pengelolaan dan pemanfaatannya termasuk dalam sektor pertambangan. Sektor pertambangan sendiri terbagi atas sub sektor minyak bumi dan gas (migas), sub sektor pertambangan umum, dan galian C. Menurut Undang-Undang Pokok Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967 bahan galian atau bahan tambang dibagi atas tiga golongan, yaitu: a) bahan galian strategis; b) bahan galian vital; dan c) bahan galian yang tidak termasuk golongan a dan b. Minyak
2
bumi, gas alam, dan batubara termasuk ke dalam golongan bahan galian a atau strategis (Deptamben 1982). Sejak tahun 1967 terjadi perubahan kebijakan terhadap investasi asing. Pemerintah orde baru melihat bahwa investasi asing sebagai jalan keluar untuk mempercepat
pertumbuhan
ekonomi.
Kebijakan
ini
ditandai
dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing Nomor 1 Tahun 1967 yang diikuti dengan dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967 yang memberikan jalan bagi masuknya investasi asing untuk kegiatan pertambangan. Implikasi dari kebijakan tersebut adalah pemberian wilayah kontrak karya atau kuasa pertambangan dalam skala yang cukup luas tanpa memperhitungkan keberadaan penduduk yang ada di wilayah tersebut atau hak-hak lainnya yang melekat pada lokasi tersebut. Tidak jarang wilayah konsesi pertambangan tumpang tindih dengan wilayah hutan yang kaya akan keanekaragaman hayati dan juga wilayah-wilayah hidup masyarakat adat. Sektor pertambangan dan penggalian merupakan salah satu sektor penting dalam perekonomian Indonesia, terutama dalam perannya sebagai penghasil devisa. Pada tahun 2000, sektor pertambangan dan penggalian yang terdiri atas subsektor minyak dan gas bumi, subsektor pertambangan bukan migas, dan subsektor penggalian, memberikan sumbangan sebesar 38 896.4 milyar rupiah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sumbangan ini mengalami peningkatan sehingga pada tahun 2003 sektor pertambangan dan penggalian memberikan sumbangan sebesar 40 590.8 milyar rupiah (BPS 2004). Salah satu provinsi yang memiliki sumberdaya alam tambang dan minyak bumi terbesar serta memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap pendapatan negara adalah Provinsi Kalimantan Timur. Sedangkan daerah yang menjadi andalan produksi batubara dan migas antara lain Kabupaten Kutai Timur dan Kota Bontang. Kedua daerah tersebut merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Kutai Kertanegara sesuai dengan Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Timur, dan Kota Bontang. Kedua daerah tersebut merupakan pusat pertumbuhan ekonomi baru yang cikal bakal kelahirannya karena keberadaan pengusahaan tambang di wilayah tersebut yaitu PT Kaltim
3
Prima Coal di Sangatta dan PT Badak Natural Gas Liquefaction Co (PT Badak NGL) di Bontang.
Saat ini, sumbangan sektor pertambangan (batubara dan
migas) terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) pada kedua daerah tersebut menempati urutan yang paling atas dari sektor-sektor lain. Keberadaan perusahaan pertambangan di daerah tersebut tidak hanya memberikan dampak yang positif, tetapi juga dampak negatif. Dampak positif antara lain peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), peningkatan penyerapan tenaga kerja, dan pertumbuhan ekonomi daerah. Sedangkan dampak negatif terjadi akibat sifat kegiatan penambangan khususnya pola penambangan terbuka. Pertambangan
dapat
mengubah
bentuk
bentang
alam,
merusak
atau
menghilangkan vegetasi, menghasilkan limbah tailing maupun batuan limbah, serta menguras air tanah dan air permukaan. Jika tidak direhabilitasi, lahan-lahan bekas pertambangan akan membentuk kubangan raksasa dan hamparan tanah gersang yang bersifat masam. Disamping itu, kegiatan pertambangan dapat memberikan perubahan terhadap budaya dan adat istiadat masyarakat lokal. Dampak kegiatan pertambangan terhadap masyarakat terbagi atas dampak langsung dan dampak tidak langsung. Dampak positif langsung umumnya dinikmati oleh masyarakat yang berada di sekitar lokasi pertambangan, namun masyarakat tersebut juga menerima dampak negatif yang akan timbul dari kegiatan pertambangan tersebut. Dampak positif langsung dapat dirasakan oleh masyarakat melalui program community development yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan. Dampak tidak langsung diperoleh melalui penerimaan negara dari sektor pertambangan baik berupa pajak, iuran, maupun pungutan lainnya yang akan digunakan untuk membiayai pembangunan. Melihat besarnya potensi dan cadangan minyak bumi dan gas serta bahan mineral yang belum dieksploitasi, maka sektor pertambangan memiliki prospek untuk berkembang di masa yang akan datang. Menurut Salim (2005), bahan tambang merupakan sumberdaya yang "tidak dapat diperbarui", sehingga keberlanjutan pembangunan akan terhambat oleh susutnya sumberdaya tersebut. Oleh karena itu, hasil pendapatan pertambangan harus digunakan untuk diversifikasi kegiatan ekonomi yang bertumpu pada sumberdaya alam yang diperbarui. Kalau bahan tambang habis tersusut, sudah tersedia "mesin-mesin
4
penggerak pembangunan" lain berbasis "sumberdaya alam yang diperbarui", seperti pertanian, perkebunan, perikanan, pariwisata, dan pengembangan sumber daya manusia. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka pengelolaan bahan galian tambang sebagai sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui harus dilakukan secara terarah, terpadu
dan
terkoordinasi
antara
semua
stakeholder
sehingga
dapat
mengakomodir semua kepentingan baik masyarakat, swasta, dan pemerintah untuk dapat mencapai pengelolaan sumberdaya alam yang berkesinambungan Oleh karena itu, sektor pertambangan seharusnya ditempatkan sejajar dengan sektor-sektor ekonomi lainnya dalam perencanaan tata ruang, agar dicapai keberlanjutan fungsi dan komponen ekosistem. Fungsi hutan lindung, daerah aliran sungai, kondisi morfologi tanah, potensi pemanfaatan lahan, kondisi iklim serta lingkungan sosial budaya masyarakat setempat harus dipertimbangkan dalam pengembangan pertambangan. Untuk itu perlu diketahui bagaimana kebijakan perencanaan dan pemanfaatan ruang untuk kegiatan pertambangan yang ada saat ini sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Kutai Timur dan Kota Bontang.
Perumusan Masalah Pengusahaan pertambangan memiliki peran yang strategis dan kontribusi yang besar terhadap pembangunan di daerah. Sebab dengan pengusahaan pertambangan di daerah, otomatis akan terbentuk komunitas baru dan pengembangan wilayah sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru di wilayah kegiatan pengusahaan pertambangan. Pengembangan wilayah yang demikian akan membawa pengaruh terhadap perekonomian daerah, sebab masyarakat pencari kerja dan pelaku ekonomi akan tertarik ke wilayah pertumbuhan yang baru. Keberadaan perusahaan tambang di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur baik dari subsektor pertambangan umum antara lain PT Kaltim Prima Coal, PT Indominco Mandiri, PT Kitadin maupun subsektor migas antara lain Pertamina OPS Sangatta, PT Virginia Indonesioa Company (VICO), dan PT.Badak NGL, merupakan salah satu faktor berkembangnya daerah tersebut dari sebuah desa kecil hingga menjadi kabupaten/kota dengan nama ibukota yaitu
5
Bontang di Kota Bontang dan Sangatta di Kabupaten Kutai Timur. Pengembangan kedua kota tersebut diikuti dengan pembukaan kawasan hutan untuk memenuhi kebutuhan akan lahan bagi pemukiman dan
pembangunan
infrastruktur sebagai pendukung mobilitas pembangunan kota dan penduduk. Sumbangan sektor pertambangan terhadap PDRB di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur menempati urutan teratas. Namun menurut Pemda dan KKPPSDA Bontang (2003), lapangan pekerjaan utama penduduk Kota Bontang bukan pada sektor pertambangan melainkan pada sektor konstruksi bangunan (23.12 %), kemudian disusul perdagangan besar dan eceran (16.02%) dan industri pengolahan
(14.21%).
Sedangkan
lapangan
pekerjaan
utama
penduduk
Kabupaten Kutai Timur menurut BPS Kutai Timur (2003) terbanyak pada sektor pertanian (69.50%), kemudian disusul sektor pertambangan dan galian (9.54%), dan perdagangan (6.72%). Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertambangan tidak banyak menyerap tenaga kerja khususnya tenaga kerja lokal. Menurut Salim (2004), kegiatan pertambangan acap kali mengabaikan masyarakat adat dan tidak melibatkannya ikut bekerja karena mereka dianggap tidak punya keterampilan, keahlian, dan kemampuan kerja tambang. Kehadiran suatu perusahaan pertambangan diharapkan dapat memberikan manfaat tidak hanya terhadap pembangunan daerah tapi juga terhadap masyarakat yang berada di sekitar lokasi pertambangan. Namun sumberdaya alam yang melimpah tidaklah dengan sendirinya memberikan kemakmuran bagi warga masyarakatnya, jika sumberdaya manusia yang ada tidak mampu memanfaatkan dan mengembangkan teknologi guna memanfaatkan sumber alamnya. Menurut BPS, Bappenas, dan UNDP (2004),
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Provinsi Kalimantan Timur pada tahun 1999 adalah 67.8 (peringkat 3) dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 70.0 (peringkat 4), sedangkan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) masing-masing tahun 1999 20.6 (peringkat 4) dan tahun 2000 19.1 (peringkat 5). Pada tahun 2000, Kota Bontang memiliki IPM 72.6 (peringkat 33), sedangkan Kabupaten Kutai Timur memiliki IPM 66.1 (peringkat 164). IKM Kota Bontang tahun 2001 adalah 17.6 (peringkat 62), sedangkan IKM Kabupaten Kutai Timur adalah 24.1 (peringkat 168). Hal ini menimbulkan ketidakpuasan masyarakat yang dicerminkan dalam bentuk maraknya aksi protes masyarakat
6
setempat terhadap kehadiran kegiatan pertambangan serta munculnya berbagai konflik lahan. Sektor pertambangan memang memberikan kontribusi yang besar terhadap penerimaan negara, namun kegiatan pertambangan tersebut belum berpihak pada masyarakat. Pengerukan hasil tambang dari bumi Kalimantan Timur belum banyak memberikan kontribusi terhadap masyarakat. Akibat kurang berpihak pada masyarakat, sering kali muncul kecemburuan dari masyarakat di sekitar lokasi pertambangan yang ditandai dengan munculnya berbagai konflik antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan. Selain itu, wilayah operasi pertambangan yang seringkali tumpang tindih dengan wilayah hutan dan wilayah hidup masyarakat adat dan lokal telah menimbulkan konflik atas hak kelola dan hak kuasa masyarakat setempat. Pemberian wilayah konsesi oleh pemerintah kepada pengusaha pertambangan dilakukan tanpa sosialisasi ataupun persetujuan
masyarakat. Hal ini
mengakibatkan kelompok masyarakat akan terusir dan kehilangan sumber-sumber kehidupannya baik akibat tanah yang dirampas maupun akibat tercemar oleh rusaknya lingkungan atau limbah operasi penambangan. Melihat dampak yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan, maka dalam penelitian ini terdapat beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam pengusahaan pertambangan, yaitu : 1. Bagaimana kontribusi kegiatan pertambangan terhadap pembangunan daerah? 2. Bagaimana
dampak
kegiatan
pertambangan
terhadap
pengembangan
masyarakat khususnya yang berada disekitar lokasi pertambangan? 3. Bagaimana kesesuaian peruntukan ruang antara areal pertambangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)? 4. Bagaimana dampak pola perijinan kegiatan pertambangan terhadap perubahan penggunaan lahan?
Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kebijakan perencanaan dan pemanfaatan ruang bagi pengusahaan pertambangan serta
7
dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan wilayah di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur. Adapun tujuan khusus penelitian adalah: 1. menganalisis kontribusi kegiatan pertambangan terhadap pembangunan daerah; 2. menganalisis dampak kegiatan pertambangan terhadap
pengembangan
masyarakat khususnya yang berada di sekitar lokasi pertambangan; 3. menganalisis kesesuaian peruntukan ruang antara areal pertambangan dengan RTRW; 4. menganalisis dampak pola perijinan
kegiatan pertambangan terhadap
perubahan penggunaan lahan.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan daerah khususnya dalam penataan ruang dan perencanaan tata guna lahan untuk pengembangan wilayah. Disamping itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan pengambil keputusan dalam penentuan kebijakan pemberian ijin kegiatan pertambangan sehingga benturan kepentingan antar sektor dapat dihindari dan potensi sumberdaya alam dapat dimanfaatkan secara optimal dan lestari.
TINJAUAN PUSTAKA
Teori Pengembangan Wilayah Salah satu prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam pengembangan wilayah adalah bahwa setiap wilayah (region) memiliki karakteristik wilayah yang berbeda-beda, sehingga pendekatan yang dilakukan dalam pengembangan wilayah harus di dasarkan pada karakteristik wilayah masing-masing. Menurut Riyadi (2002),
pengembangan wilayah harus disesuaikan dengan kondisi,
potensi, dan permasalahan wilayah bersangkutan karena kondisi sosial ekonomi, budaya, dan geografis antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya sangat berbeda. Pengembangan suatu wilayah harus disesuaikan dengan potensi yang dimiliki oleh wilayah tersebut. Untuk itu, perlu diketahui penggerak utama (prime mover) yang ada di wilayah tersebut. Prime mover adalah suatu potensi yang dapat dikembangkan menjadi pusat industri besar yang membutuhkan front-end invesment yang besar, dan dapat bertahan untuk waktu puluhan tahun (Freeport, Inco, perkebunan kelapa sawit seluas 50 000 ha, prasarana untuk jasa yang besar seperti pelabuhan, samudra, dan lain-lain). Prime mover dapat berupa (1) Tambang mineral (Freeport); (2) Tambang minyak (Caltex); (3) Tambang gas (Arun, Bontang, Bunyu); (4) Hutan industri; (5) Industri perikanan dengan kegiatan penunjangnya; (6) Industri pertanian (kelapa sawit, tembakau, karet, dan lain-lain); (7) Pusat industri jasa; (8) Pusat pendidikan; (9) Pusat penelitian dan pengembangan (R&D Centers, seperti di Serpong). Bila suatu wilayah telah memiliki prime mover, maka pengembangan wilayah dikaitkan dengan aktivitas yang berputar di sekitar prime mover tersebut (Zen 2001). Dengan demikian perencanaan pengembangan wilayah perlu didukung melalui program-program pengembangan yang relevan dengan karakteristik wilayah. Hal ini berarti bahwa program-program pengembangan wilayah (regional development programming) harus dilaksanakan dengan berorientasi pada kepentingan daerah dan berdasarkan pada kebutuhan dan aspirasi yang berkembang dalam rangka pemerataan serta percepatan pembangunan daerah.
9
Ada beberapa pendapat mengenai pengembangan wilayah (regional development). Riyadi (2002) menyatakan bahwa pengembangan wilayah merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antar wilayah, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah. Sedangkan menurut Zen (2001), pengembangan wilayah merupakan usaha memberdayakan suatu masyarakat yang berada di suatu daerah itu untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat disekeliling mereka dengan menggunakan teknologi yang relevan dengan kebutuhan, dan bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang bersangkutan. Jadi, pengembangan wilayah tidak lain dari usaha mengawinkan secara harmonis sumberdaya alam, manusianya, dan teknologi, dengan memperhitungkan daya tampung lingkungan itu sendiri . Kesemuanya itu disebut memberdayakan masyarakat (Gambar 1). Sumberdaya Manusia
Lingkungan Hidup
Lingkungan Hidup Pengembangan Wilayah
Sumberdaya Alam
Teknologi
Lingkungan Hidup
Gambar 1 Hubungan antara Pengembangan Wilayah, Sumberdaya Alam, Sumberdaya Manusia, dan Teknologi (Zen 2001). Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Suhandoyo (2002) bahwa dalam membangun suatu wilayah, minimal ada tiga pilar yang perlu diperhatikan, yaitu : sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan teknologi. Pilar sumberdaya manusia (SDM) memegang peranan sentral karena mempunyai peran ganda dalam sebuah proses pembangunan. Pertama, sebagai obyek pembangunan SDM merupakan sasaran pembangunan untuk disejahterakan. Kedua, SDM berperan sebagai subyek (pelaku) pembangunan. Dengan demikian, pembangunan suatu
10
wilayah sesungguhnya merupakan pembangunan yang berorientasi kepada manusia (people centre development), dimana SDM dipandang sebagai sasaran sekaligus sebagai pelaku pembangunan. Menurut Triutomo (2001), tujuan pengembangan wilayah mengandung dua sisi yang saling berkaitan. Di sisi sosial ekonomis, pengembangan wilayah adalah upaya
memberikan
kesejahteraan
kualitas
hidup
masyarakat,
misalnya
menciptakan pusat-pusat produksi, memberikan kemudahan prasarana dan pelayanan logistik dan sebagainya. Di sisi lain, secara ekologis pengembangan wilayah juga bertujuan untuk menjaga keseimbangan lingkungan sebagai akibat campur tangan manusia terhadap lingkungan. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam pengembangan wilayah terdapat dua pendekatan yang dilakukan yakni pendekatan sektoral atau fungsional (yang dilaksanakan melalui departemen atau instansi sektoral), dan pendekatan regional atau teritorial yang dilakukan oleh daerah atau masyarakat setempat. Adapun tujuan utama pengembangan pengembangan wilayah menurut Riyadi (2002) adalah menyerasikan berbagai kepentingan pembangunan sektor dan wilayah, sehingga pemanfaatan ruang dan sumberdaya yang ada di dalamnya dapat optimal mendukung kegiatan kehidupan masyarakat sesuai dengan tujuan dan sasaran pembangunan wilayah yang diharapkan. Optimal berarti dapat dicapai tingkat kemakmuran yang sesuai dan selaras dengan aspek sosial-budaya dan dalam alam lingkungan yang berkelanjutan. Ary (2001), mengatakan bahwa tujuan pengembangan wilayah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna sumberdaya yang tersebar di wilayah Indonesia guna mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Untuk itu, arah dan kebijaksanaan pengembangan wilayah adalah: 1. Pembangunan diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap memperkukuh kesatuan dan ketahanan nasional serta mewujudkan Wawasan Nusantara. 2. Pembangunan sektoral dilakukan secara saling memperkuat
untuk
meningkatkan pertumbuhan, pemerataan, dan kesatuan wilayah nasional serta pembangunan yang berkelanjutan. 3. Perkembangan wilayah diupayakan saling terkait dan menguatkan sesuai dengan potensi wilayah.
11
Dengan demikian, arah dan kebijaksanaan pengembangan wilayah pada prinsipnya mendukung dan memperkuat pembangunan daerah yang merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Sedangkan sasaran utama yang banyak dicanangkan oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dalam pengembangan wilayahnya adalah meningkatkan pertumbuhan produktivitas (productivity growth), memeratakan distribusi pendapatan (income distribution), memperluas kesempatan berusaha atau menekan tingkat pengangguran (unemployment rate), serta menjaga pembangunan agar tetap berjalan secara berkesinambungan (sustainable development) (Alkadri dan Djajadinigrat 2002). Konsep pengembangan wilayah berbeda dengan konsep pembangunan sektoral, karena pengembangan wilayah sangat berorientasi pada issue (permasalahan) pokok wilayah secara saling terkait, sementara pembangunan sektoral sesuai dengan tugasnya, bertujuan untuk mengembangkan sektor tertentu tanpa terlalu memperhatikan kaitannya dengan sektor-sektor lain. Namun dalam orientasinya kedua konsep tersebut saling melengkapi, dimana pengembangan wilayah tidak mungkin terwujud tanpa adanya pengembangan sektoral. Sebaliknya, pembangunan sektoral tanpa berorientasi pada pengembangan wilayah akan berujung pada tidak optimalnya sektor itu sendiri. Bahkan hal ini dapat menciptakan konflik kepentingan antarsektor, yang pada gilirannya akan terjadi kontra produktif dengan pengembangan wilayah (Riyadi 2002). Suatu aspek yang tidak boleh dilupakan dalam usaha pengembangan wilayah ialah aspek lingkungan hidup. Masalah-masalah lingkungan hidup sudah muncul pada tahap desa, kecamatan, kabupaten dan terus ke tingkat perkotaan. Selanjutnya Zen (2001) menyatakan bahwa dalam kegiatannya pengembangan wilayah harus disertai oleh community development. Selain memanfaatkan sumberdaya alam melalui teknologi, manusianya harus dikembangkan. Pengembangan wilayah di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut MacAndrews et al. (1982) terdapat empat faktor utama yang berpengaruh kuat terhadap kebijakan pengembangan wilayah di Indonesia, yaitu: 1. Alam kepulauan, sebagai Negara kepulauan Indonesia terdiri atas 13 667 pulau. Pembangunan di Indonesia sebagian besar dipusatkan di Pulau Jawa, diikuti oleh tiga pulau utama lainnya yaitu pulau Sumatera, Sulawesi dan
12
Kalimantan. Konsentrasi pengembangan yang dipusatkan di Jawa dan ke tiga pulau yang utama lain telah mengakibatkan munculnya daerah yang semakin terisolasi dan terabaikan akibat perbedaan jarak, daerah dan komunikasi antar pulau. Sebagai negara kepulauan, terjadinya migrasi antar pulau juga harus dipertimbangkan dalam kebijakan pengembangan wilayah. 2. Keanekaragaman budaya, dimana Indonesia memiliki budaya yang sangat beragam, terdiri atas kultur dan kelompok kesukuan yang berbeda. Keaneka ragaman tersebut juga menjadi suatu sumber kekuatan yang berpengaruh dalam kebijakan dan politik. 3. Sifat alami dari perkembangan politis, yaitu Indonesia beberapa kali mengalami perubahan dimana pengaruh kekuatan wilayah
lebih kuat
dibanding dengan pemerintah pusat. Disamping itu, Indonesia dulunya terdiri dari kerajaan-kerajaan yang kecil yang terbentuk pada waktu yang berbeda dan pengaruh yang berbeda-beda pula. 4. Sifat alami sistem politik. Pemerintah Indonesia
berada dalam tangan
birokrasi militer sipil dengan peranan partai politik yang sangat terbatas. Pada waktu yang sama, kekuasaan politik sangat terpusat yang mencerminkan kekuasaan Pulau Jawa dan kultur Jawa. Pemerintah pusat sangat kuat dalam memegang kendali dan arah sehingga menghasilkan sistem politik yang mempengaruhi pembangunan ekonomi negeri.
Pengembangan Masyarakat Community
development
dapat
didefinisikan
sebagai
kegiatan
pengembangan masyarakat/komuniti yang dilakukan secara sistematis dan terencana dan diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat untuk mencapai kondisi sosial-ekonomi-budaya yang lebih baik apabila dibandingkan dengan sebelum adanya kegiatan pembangunan, sehingga masyarakat di tempat tersebut diharapkan menjadi lebih mandiri dengan kualitas kehidupan dan kesejahteraan yang lebih baik (Budimanta 2005). Menurut
Ife
(2002),
pengembangan
masyarakat
bertujuan
untuk
membangun kembali masyarakat dengan menempatkannya sebagai manusia yang saling
berhubungan
dan
membutuhkan
satu
sama
lain,
bukan
saling
13
ketergantungan kepada yang lebih besar sehingga lebih tidak manusiawi, memiliki keteraturan menyangkut kesejahteraan, perekonomian yang luas, birokrasi, dan kemampuan untuk memilih, dan sebagainya. Selanjutnya dikatakan bahwa ada enam dimensi penting dari community development, yaitu: (1) Pengembangan sosial; (2) Pengembangan ekonomi; (3) Pengembangan
politik;
(4)
Pengembangan
budaya;
(5)
Pengembangan
lingkungan; dan (6) Pengembangan pribadi/keagamaan. Zen (2001) mengatakan bahwa tujuan community development
ialah
memberdayakan keluarga seterusnya rukun tetangga dan rukun keluarga. Dalam community development, pada tahap awal harus disebarkan benih-benih keinginan untuk mengubah nasib mereka; meningkatkan kualitas hidup. Sesudah itu baru langkah-langkah menuju tindakan-tindakan konkrit: 1. Perencanaan keluarga. 2. Kebersihan lingkungan yang dikaitkan dengan masalah hygenik yang menuju kesehatan. 3. Jangan mengotori sumberdaya air (sungai, danau, pantai). Dus pembuatan dan pemanfaatan MCK. 4. Memanfaatkan se-optimum mungkin setiap jengkal tanah/pekarangan dengan tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat (bergizi) seperti kecipir, daun ketela, waluh, dan lain-lain; untuk obat-obatan (temulawak, kumis kucing, dan lainlain). 5. Beternak (ayam, kelinci, kambing, ikan mas, mujair, nila, gurame, lele, lebah madu, dan lain-lain). Tahap 1 sampai dengan 5 merupakan basic essentials yang menyertai usaha pengembangan wilayah. Community development harus merupakan kegiatan paralel yang tidak boleh ditinggalkan. Tujuan community development pada industri pertambangan dan migas menurut Budimanta (2005) adalah sebagai berikut: 1. Mendukung upaya-upaya yang dilakukan oleh PEMDA terutama pada tingkat desa dan masyarakat
untuk meningkatkan kondisi sosial-ekonomi-budaya
yang lebih baik di sekitar wilayah kegiatan perusahaan. 2. Memberikan kesempatan bekerja dan berusaha bagi masyarakat.
14
3. Membantu pemerintah daerah dalam rangka pengentasan kemiskinan dan pengembangan ekonomi wilayah. 4. Sebagai salah satu strategi untuk mempersiapkan kehidupan komuniti di sekitar lingkar tambang manakala industri telah berakhir beroperasi (life after mining/oil). Selanjutnya dikatakan bahwa terhadap komuniti yang berada pada lingkar tambang setidaknya program comdev dapat dikategorikan di dalam tiga aspek yaitu yang berkaitan dengan community relation, community empowering, dan community services. Kemudian kategori-kategori tersebut dapat dilihat dari empat aspek yang biasanya dikembangkan, yaitu: 1. Fisik; seperti pembangunan fasilitas umum antara lain pembangunan ataupun peningkatan sarana transportasi/jalan, sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana peribadatan, peningkatan/perbaikan sanitasi lingkungan, dan lain sebagainya. 2. Sosial; merupakan pelayanan perusahaan untuk memenuhi kepentingan masyarakat seperti pengembangan kualitas pendidikan (penyediaan bantuan guru, operasional sekolah), kesehatan (bantuan tenaga paramedis, obat-obatan, penyuluhan
peningkatan
kualitas
sanitasi
lingkungan
permukiman),
keagamaan (penyediaan kiai, pendeta maupun ceramah-ceramah keagamaan), dan lain sebagainya. 3. Ekonomi; yaitu kegiatan-kegiatan yang menyangkut pengembangan usaha masyarakat yang berbasiskan sumberdaya setempat (resources based) seperti pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kemampuan manajemen, teknik kewirausahaan, inkubator bisnis, program kemitraan, bantuan permodalan, pemasaran, dan promosi. 4. Kelembagaan;
pengembangan
ataupun
penguatan
kelompok-kelompok
swadaya masyarakat, organisasi profesi lewat kegiatan-kegiatan lokakarya, seminar, pertukaran pengalaman dengan lembaga sejenis dan lain sebagainya. Budimanta (2005) menyatakan pula bahwa peserta program community development seyogyanya difokuskan kepada masyarakat lingkar tambang dan diutamakan kepada masyarakat yang terkait dampak langsung dari kegiatan perusahaan. Masyarakat yang terkait dampak langsung dari kegiatan perusahaan
15
pada dasarnya merupakan gabungan komuniti-komuniti lokal yang bisa terdiri dari penduduk asli dan juga pendatang yang menetap di lokasi yang bersangkutan. Namun menurut Saleng (2004), program community development yang dilancarkan
oleh
perusahaan
pertambangan
pada
hakekatnya
adalah
tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) terhadap masyarakat sekitar usaha pertambangan dan secara yuridis merupakan pengakuan (recognition) dari perusahaan pertambangan bahwa ia telah mengambil alih hak penguasaan atas sumberdaya milik penduduk setempat. Wujud dari jawab sosial dan recognisi tersebut adalah pemberian sejumlah bantuan, baik berupa uang maupun sarana dan fasilitas-fasilitas umum dari perusahaan pertambangan kepada masyarakat setempat. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa kegiatan community development yang dilakukan oleh setiap perusahaan terhadap masyarakat setempat berbeda-beda, demikian pula penerimaan masyarakat terhadap kegiatan tersebut berbeda-beda. Perbedaan itu dilatarbelakangi oleh sosial budaya dan kelompok etnis dominan dari masyarakat setempat. Menurut Primahendra (2004), berdasarkan aspek peran masyarakat, praktek community development dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk, yaitu: 1. Development
for
community,
dimana
masyarakat
menjadi
obyek
pembangunan karena berbagai inisiatif, perencanaan, dan pelaksanaan kegiatan pembangunan dilaksanakan oleh aktor dari luar. 2. Development with community, dimana terbentuk pola kolaborasi antara aktor luar dan masyarakat setempat sehingga keputusan yang diambil merupakan keputusan bersama dan sumberdaya yang dipakai berasal dari kedua belah pihak. 3. Development of community, dimana proses pembangunan yang baik inisiatif, perencanaan, dan pelaksanaannya dilaksanakan sendiri oleh masyarakat.
16
Tabel 1 Tiga model community development
Development for Community Aktor dari luar
Development with Community Aktor dari luar bersama dengan masyarakat lokal
Development of Community Masyarakat lokal
Bentuk hubungan Pengambil keputusan
Sosialisasi konsultasi Aktor dari luar
Kolaborasi
Self-Mobilization Empowerment Masyarakat lokal
Pelaksana
Aktor dari luar
Aktor dari luar bersama dengan masyarakat lokal
Masyarakat lokal
Proyek dan Program
Pengembangan sistem dan penguatan kelembagaan
Aktor utama
Bentuk kegiatan Proyek
Aktor dari luar bersama dengan masyarakat lokal
Sumber: Primahendra 2004
Perencanaan Pembangunan Daerah Perencanaan Pembangunan Daerah adalah suatu proses penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur di dalamnya, guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber-sumber daya yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan wilayah/daerah dalam jangka waktu tertentu (Riyadi dan Bratakusumah 2004). Selanjutnya dikatakan bahwa dalam perencanaan pembangunan daerah ada beberapa aspek yang perlu mendapatkan perhatian agar perencanaan pembangunan dapat menghasilkan rencana pembangunan yang baik serta dapat diimplementasikan di lapangan, antara lain : lingkungan, potensi dan masalah, institusi perencana, ruang dan waktu, serta legalisasi kebijakan. Perencanaan pembangunan daerah yang dikembangkan harus memiliki prinsip-prinsip ke-Indonesia-an tersebut. antara lain:
dengan tetap memperhatikan perkembangan
Prinsip-prinsip tersebut menurut Riyadi dan Bratakusumah (2004)
17
1. Perencanaan pembangunan daerah harus memiliki landasan filosofis yang kuat dan mengakar dalam kultur/budaya masyarakat yang ada di daerah. 2. Perencanaan pembangunan daerah harus bersifat komprehensif, holistic atau menyeluruh, sehingga mampu membangun aspek-aspek yang ada menjadi satu kesatuan dalam pembangunan. 3. Perencanaan pembangunan daerah harus mengakomodasikan keadaan struktur ruang (spatial) dari wilayah perencanaannya, seperti pusat perkotaan, pedesaan, daerah terisolir (hinterland), pusat-pusat pertumbuhan (growth poles), distribusi air, listrik, dan sebagainya. 4. Perencanaan pembangunan daerah harus bersifat menyokong/memperkuat perencanaan pembangunan nasional. Pembangunan daerah harus dilaksanakan secara harmonis dan mendukung proses pembangunan nasional dengan tetap berlandaskan pada kekuatan, potensi, dan kebutuhan daerah itu sendiri. 5. Perencanaan pembangunan daerah harus menggambarkan arah kebijaksanaan ke mana daerah akan dibawa, apa yang akan dilakukan, dan bagaimana tahapannya. Dengan kata lain, perencanaan pembangunan daerah harus mencerminkan visi, misi, tujuan dan sasaran yang ingin diwujudkan di daerah tersebut. Namun dalam pelaksanaannya sering dihadapkan pada berbagai kendala. Hal-hal yang menjadi kendala dalam dalam proses pembangunan daerah secara umum terbagi atas tiga, yaitu: 1. Kendala politis. Merupakan kendala yang disebabkan oleh adanya kepentingan-kepentingan politik yang mendompleng pada substansi perencanaan pembangunan. Ini merupakan kendala yang cukup sulit dihindari, karena biasanya datang dari adanya tarik menarik kepentingan di antara elite politik dan elit penguasa (birokrasi)
yang
memiliki
kekuatan
(power)
dalam
mempengaruhi
kebijaksanaan pemerintah. 2. Kondisi sosio-ekonomi masyarakat. Kondisi sosio-ekonomi biasanya mencerminkan kemampuan finasial daerah, padahal kemampuan finansial memiliki peran penting untuk merumuskan perencanaan
yang
baik.
Hasil
perencanaan
harus
dilaksanakan/
18
diimplementasikan dan pada tahap pelaksanaan inilah dukungan dana yang memadai sangat dibutuhkan. 3. Budaya/kultur yang dianut oleh masyarakat Apabila kultur tidak diberdayakan dan diarahkan ke arah yang positif secara optimal akan sangat mempengaruhi hasil-hasil perencanaan, bahkan bisa sampai pada tahap implementasinya. Nilai-nilai budaya primordialisme, parokhialisme, etnosentrisme, patron-client yang cenderung masih melekat dalam kehidupan bangsa Indonesia, harus dikendalikan dengan baik dan diarahkan menjadi faktor pendukung pembangunan, sehingga pembangunan dilaksanakan dengan nilai-nilai positif relegius, tenggang rasa, gotong royong, dan sebagainya. Perencanaan tata guna lahan (land use planning) dan
perencanaan
pembangunan daerah memiliki keterkaitan yang erat. Riyadi dan Bratakusumah (2004) menyebutkan keterkaitan tersebut sebagai berikut: 1. Proses Perencanaan Pembangunan Daerah sangat terkait dengan perencanaan Tata Ruang dan Tata Guna Lahan. 2. Perencanaan tata guna lahan merupakan jembatan antara perencanaan daerah dan pengembangan wilayah. 3. Perumusan perencanaan tata guna lahan merupakan kerangka acuan pembangunan dan pengembangan prasarana fisik yang sejalan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, khususnya yang terkait dengan penggunaan lahan. 4. Perencanaan tata guna lahan dapat memberikan informasi untuk menentukan pilihan-pilihan mengenai penggunaan/pemanfaatan lahan yang layak guna dikembangkan atau dipertahankan atau dialih-fungsikan, dengan selalu mempertimbangkan efek-efek yang akan timbul dan mempengaruhi kualitas lingkungan/ekosistem.
Perencanaan Wilayah Tarigan (2004) menyatakan bahwa perencanaan wilayah adalah perencanaan penggunaan ruang wilayah (termasuk perencanaan pergerakan di dalam ruang wilayah) dan perencanaan kegiatan pada ruang wilayah tersebut. Perencanaan
19
penggunaan ruang wilayah biasanya dituangkan dalam bentuk perencanaan tata ruang wilayah, sedangkan perencanaan kegiatan dalam wilayah biasanya tertuang dalam rencana pembangunan wilayah, baik jangka panjang, jangka menengah, maupun jangka pendek. Perencanaan wilayah sebaiknya dimulai dengan penetapan visi dan misi wilayah. Ada lima alasan pentingnya perencanaan wilayah, yaitu: 1. Banyak diantara potensi wilayah selain terbatas juga tidak mungkin lagi diperbanyak atau diperbaharui. 2. Kemampuan teknologi dan cepatnya perubahan dalam kehidupan manusia. 3. Kesalahan perencanaan yang sudah dieksekusi di lapangan sering tidak dapat diubah atau diperbaiki lagi. 4. Lahan dibutuhkan oleh setiap manusia untuk menopang kehidupannya. 5. Tatanan wilayah sekaligus menggambarkan kepribadian dari masyarakat yang berdomisili di wilayah tersebut, dimana kedua hal tersebut saling mempengaruhi. Glasson (1978) menyatakan bahwa perencanaan wilayah umumnya merupakan perencanaan yang melibatkan unsur fisik dan ekonomi. Perencanaan wilayah dipandang sebagai suatu usaha untuk memandu pengembangan dari suatu daerah. Tarigan (2004) menyatakan bahwa perencanaan pembangunan wilayah sebaiknya menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan sektoral dan pendekatan
regional.
Pendekatan
sektoral
biasanya
less-spatial (kurang
memperhatikan aspek ruang secara keseluruhan), sedangkan pendekatan regional lebih bersifat spatial dan merupakan jembatan untuk mengaitkan perencanaan pembangunan dengan rencana tata ruang. Selanjutnya dikatakan bahwa perubahan struktur ruang/penggunaan lahan dapat terjadi karena investasi pemerintah maupun investasi pihak swasta. Investasi pihak
swasta
keberadaannya
perlu
mendapat
maupun
izin
lokasinya,
atau
persetujuan
sehingga
pemerintah
pemerintah
baik dapat
mengendalikan/mengarahkan struktur tata ruang/ penggunaan lahan tersebut ke arah yang dianggap paling menguntungkan/mempercepat tercapainya sasaran pembangunan. Sasaran pembangunan dapat berupa peningkatan pendapatan masyarakat, menambah lapangan kerja, pemerataan pembangunan di dalam
20
wilayah, terciptanya struktur perekonomian yang lebih kokoh, tetap terjaganya kelestarian lingkungan, memperlancar arus pergerakan orang dan barang ke seluruh wilayah termasuk ke wilayah tetangga, dan lain sebagainya.
Perencanaan Partisipatif Pergeseran pembangunan dari pembangunan yang berorientasi produksi menuju pembangunan yang berorientasi publik memerlukan peran serta masyarakat dalam pelaksanaannya. Menurut Conyers (1994), ada tiga alasan utama mengapa partisipasi masyarakat mempunyai sifat yang sangat penting, yaitu: 1. Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal. 2. Masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa ikut dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut. 3. Merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. Selanjutnya Conyers (1994) menyatakan bahwa ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam menumbuhkan partisipasi masyarakat, yaitu: 1. Survey dan konsultasi lokal. Metode ini ditempuh dengan cara langsung mendekati obyek yang menjadi sasaran rencana kegiatan atau proyek melalui bentuk kegiatan survei lapangan, wawancara dengan penduduk, menyelenggarakan pertemuan, dan lainnya. Melalui metode ini dapat diketahui informasi mengenai kondisi lapang yang sebenarnya dari tangan pertama atau masyarakat secara langsung. 2. Penggunaan staf yang terampil. Metode ini dilakukan dengan media petugas lapangan dari instansi tertentu yang berkompeten dalam suatu proyek. Melalui petugas lapangan, informasi mengenasi rencana proyek dan dampaknya bagi masyarakat akan dijelaskan oleh petugas lapangan kepada masyarakat.
21
3. Perencanaan yang bersifat desentralisasi. Metode ini dilakukan dengan membentuk suatu organisasi perencanaan di tingkat lokal dan adanya proses desentralisasi implementasi rencana kegiatan. 4. Pemerintah daerah. Perencanaan dilakukan oleh pemerintah daerah yang jangkauannya lebih luas dari perencanaan desentralisasi. 5. Pembangunan masyarakat (community development). Pembangunan masyarakat merupakan suatu pendekatan terpadu untuk pengembangan masyarakat dalam rangka menaikkan standar hidup serta mengembangkan taraf hidup
masyarakat melalui berbagai kegiatan.
Penekanan dari kegiatan ini adalah penyatuan masyarakat sebagai suatu kesatuan. Menurut Abe (2005), ada dua bentuk perencanaan partisipatif. Pertama, perencanaan yang langsung disusun bersama rakyat. Perencanaan ini bisa merupakan perencanaan lokasi setempat yakni perencanaan yang menyangkut daerah dimana masyarakat berada dan perencanaan wilayah yang disusun dengan melibatkan masyarakat secara perwakilan. Kedua, perencanaan yang disusun melalui mekanisme perwakilan, sesuai dengan institusi yang sah (legal-formal) seperti parlemen.
Kegiatan Pertambangan Usaha
pertambangan
merupakan
kegiatan
untuk
mengoptimalkan
pemanfaatan sumberdaya alam tambang (bahan galian) yang terdapat di dalam bumi Indonesia. Usaha pertambangan meliputi pertambangan umum dan pertambangan minyak dan gas bumi. Kegiatan minyak dan gas bumi sendiri sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dibedakan atas kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir. Kegiatan usaha hulu adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha eksplorasi dan usaha ekploitasi. Kegiatan usaha hilir adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga.
22
Pelaksana kegiatan usaha pertambangan memiliki kewajiban pengembangan masyarakat. Kewajiban pengembangan masyarakat bagi pertambangan minyak dan gas bumi tercantum dalam pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 yaitu kewajiban pengembangan masyarakat sekitar dan jaminan hakhak masyarakat adat. Kewajiban pengembangan masyarakat bagi pelaksana kegiatan usaha pertambangan umum tercantum dalam pasal 6-7 Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1453.K/29/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Pertambangan Umum yang didalamnya antara lain mengatur tentang pengembangan wilayah, pengembangan kemasyarakatan dan kemitrausahaan.
Program pengembangan
masyarakat yang harus dilakukan meliputi sumberdaya manusia, kesehatan, pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah, dan kemitraan. Pengusahaan pertambangan memiliki peran yang strategis dan kontribusi yang besar terhadap pembangunan di daerah. Sebab dengan pengusahaan pertambangan di daerah, otomatis akan terbentuk komunitas baru dan pengembangan wilayah sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru di wilayah kegiatan pengusahaan pertambangan. Pengembangan wilayah yang demikian akan membawa pengaruh terhadap perekonomian daerah, sebab masyarakat pencari kerja dan pelaku ekonomi akan tertarik
ke wilayah pertumbuhan yang baru
(Saleng 2004). Namun setiap kegiatan pembangunan di bidang pertambangan pasti menimbulkan dampak positif maupun negatif. Menurut Muhammad (2000), dampak positif dari kegiatan pembangunan di bidang pertambangan adalah: 1. Memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional; 2. Meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD); 3. Menampung tenaga kerja, terutama masyarakat lingkar tambang; 4. Meningkatkan ekonomi masyarakat lingkar tambang; 5. Meningkatkan usaha mikro masyarakat lingkar tambang; 6. Meningkatkan kualitas SDM masyarakat lingkar tambang; dan 7. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat lingkar tambang.
23
Sedangkan dampak negatif dari pembangunan di bidang pertambangan adalah : 1. Kehancuran lingkungan hidup; 2. Penderitaan masyarakat adat; 3. Menurunnya kualitas hidup masyarakat lokal; 4. Meningkatnya kekerasan terhadap perempuan; 5. Kehancuran ekologi pulau-pulau; dan 6. Terjadi pelanggaran HAM pada kuasa pertambangan. Saleng (2004) menyatakan bahwa pada setiap pengusahaan pertambangan yang lokasinya relatif terpencil atau wilayah/daerah yang baru dibuka, masyarakat pendatang jauh lebih maju dan sejahtera serta mampu/memiliki semangat bersaing (competition spirit) yang tinggi ketimbang masyarakat asli setempat. Contoh kasus: masyarakat Kamoro dan Amungme di sekitar Freeport Indonesia, masyarakat Kutai di sekitar PT Kaltim Prima Coal, dan masyarakat Luwu di sekitar INCO. Hal ini disebabkan oleh kebijakan dan penanganan yang keliru oleh Pemerintah Daerah dan perusahaan pertambangan sendiri dengan memberikan atau memenuhi segala klaim-klaim dari masyarakat asli. Pemenuhan klaim-klaim itu, tidak diikuti dengan pengetahuan dan pemahaman yang memadai akan cara pemanfaatan dan penggunaan dana atau barang yang diberikan, sehingga pemberian itu hanya habis dikomsumsi dalam waktu relatif singkat artinya tidak produktif. Selanjutnya Saleng (2004) menyatakan bahwa kontribusi pengusahaan pertambangan terhadap pembangunan secara nasional melalui penerimaan negara sangat besar, namun terhadap pembangunan daerah atau wilayah dan masyarakat sekitar usaha pertambangan baik melalui program local and community development maupun program pembangunan lainnya belum merupakan jaminan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat sekitar, terutama pasca pertambangan, tetapi masih sebatas untuk menghilangkan konflik antara masyarakat sekitar dengan usaha pertambangan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada lima perusahaan pertambangan (PT Freeport Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Caltex Pasific Indonesia, PT.International Nickel Indonesia, dan PT Aneka Tambang Tbk), Saleng (2004) menyatakan bahwa secara umum terdapat tiga hal yang masih menjadi masalah dalam pengusahaan pertambangan saat ini dan dimasa yang akan datang, yaitu:
24
1. Tumpang tindih hak atas wilayah operasi Kontrak Karya, Kontrak Production Sharing, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara dan Kuasa Pertambangan di satu pihak dengan hak-hak: kehutanan, perkebunan, ulayat masyarakat adat, transmigrasi dan tanah penduuduk setempat di pihak lain. 2. Pengelolaan, perlindungan, dan pemulihan lingkungan hidup dalam usaha pertambangan. 3. Pengembangan wilayah dan masyarakat (local and community development) sekitar wilayah usaha pertambangan. Sedangkan menurut Bappenas (2004), konflik sektor pertambangan dengan sektor lainnya antara lain konflik dalam penataan dan pemanfaatan ruang, pelestarian lingkungan, serta konflik pertambangan dengan sektor kehutanan dalam penggunaan lahan hutan lindung untuk kegiatan pertambangan. Adapun penyebabnya antara lain: 1. Sulitnya mengakomodasi kegiatan pertambangan ke dalam penataan ruang. 2. Sering dituduh sebagai biang keladi kerusakan lingkungan. 3. Tumpang tindih pemanfaatan ruang dengan lahan kehutanan. Pengelolaan usaha pertambangan umum juga tidak luput dari permasalahan keagrarian/pertanahan.
Menurut
Soenarto
(2004),
konflik
masalah
pertanahan/kewilayahan yang sering terjadi di subsektor pertambangan antara lain: 1. Tumpang tindih pemanfaatan lahan dengan sektor lain seperti kehutanan, perkebunan, kelautan, pertanian, dll; 2. Permasalahan ganti rugi lahan dengan pemegang hak atas tanah; dan 3. Hak ulayat. Berkaitan dengan masalah lingkungan yang ditimbulkan akibat kegiatan pertambangan selama ini, pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah harus lebih tegas karena masih banyak kekurangan dalam masalah pengelolaan perbaikan lingkungan (Suryanto 2001). Selanjutnya dikatakan bahwa Kalimantan Timur dengan wilayah pertambangan yang luas sampai saat ini masih dihadapkan pada permasalahan kerusakan (degradasi) lingkungan karena diperkirakan banyak perusahaan yang belum memperbaiki kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari kegiatan pertambangan. Upaya yang dapat ditempuh saat ini adalah mengevaluasi
kemungkinan diperpanjangnya kegiatan pertambangan jika
25
terdapat perusahaan pertambangan yang belum memperbaiki kerusakan lingkungan. Lebih daripada itu pemerintah daerah dapat menyusun peraturan daerah mengenai pengelolaan pertambangan dan lingkungan berdasarkan potensi daerah, yang dapat dijadikan pedoman bagi calon investor dan masyarakat.
Hutan dan Kehutanan Hutan dan kehutanan merupakan salah satu pemanfaatan ruang yang sangat penting karena hampir 70% dari ruang daratan Indonesia ditetapkan sebagai kawasan hutan. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Sesuai dengan pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan bahwa guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat maka luas kawasan hutan dan penutupan lahan untuk setiap daerah aliran sungai dan atau pulau yang harus dipertahankan adalah minimal 30% dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau tersebut (Dephut 2003). Salah satu bentuk penataan ruang dalam bidang kehutanan adalah Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang dilakukan pada setiap provinsi dan merupakan hasil kesepakatan tujuh instansi sektoral di tingkat provinsi pada tahun 1985. TGHK merupakan rencana pengukuhan dan penatagunaan hutan yang dilakukan melalui kesepakatan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat. Luas kawasan hutan berdasarkan TGHK adalah seluas 147.027.680 hektar yang terdiri atas hutan tetap seluas 110.990.858 hektar dan hutan yang dapat dikonversi untuk kegiatan pembangunan lainnya seluas 36 036 822 hektar. Dalam perkembangannya, TGHK mengalami penyesuaian sesuai dengan tuntutan pembangunan dan kebutuhan akan lahan untuk pemukiman penduduk, pembangunan infrastruktur, dan lainnya. Untuk itu, dilakukan penyesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) yang selanjutnya dikenal sebagai Paduserasi TGHK-RTRWP. Melalui paduserasi ini, sebagian kawasan hutan berubah menjadi non kawasan hutan untuk memenuhi kebutuhan setempat akan lahan. Pada tahun 1999, kawasan hutan Indonesia kembali ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukan
26
Kawasan Hutan dan Perairan Propinsi yang
disusun berdasarkan hasil
pemaduserasian antara RTRWP dengan TGHK.
Penunjukan kawasan hutan
provinsi sampai dengan bulan Desember 2003 telah diterbitkan sebanyak 24 provinsi, sedangkan tiga provinsi lain (Sumatera Utara, Riau dan Kalimantan Tengah) masih dalam proses penyelesaian. Tabel 2 Luas kawasan hutan berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi
No.
Fungsi
1
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Hutan Lindung Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Tetap Hutan tetap Hutan Produksi Yang Dapat di Konversi Jumlah
2 3 4 5
Luas (ha) TGHK Penunjukan 19 229 498 23 239 815.57 29 326 072 29 437 587 32 997 701 110 990 858 36 036 822
29 100 016.20 16 212 527.26 27 738 950.20
147 027 680
109 961 844.05
13 670 535.00
Sumber: Dephut 2003
Berdasarkan Peta Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi, kawasan hutan Indonesia adalah seluas 109.961.844.05 hektar (Tabel 2). Sedangkan kawasan hutan Provinsi Riau, Sumatera Utara, dan Kalimantan Tengah berdasarkan pemetaan paduserasi TGHK dan RTRWP tahun 1999 seluas 18.490.626 hektar (Dephut 2004). Dalam pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan, baik untuk kegiatan kehutanan maupun pembangunan di luar kehutanan sering muncul adanya konflik. Menurut Wulan et al. (2004) pada umumnya konflik-konflik yang sering terjadi di sekitar kawasan hutan dikarenakan adanya tumpang tindih sebagian areal konsesi atau kawasan lindung dengan lahan garapan masyarakat dan karena terbatasnya akses masyarakat untuk memperoleh manfaat dari keberadaan hutan, baik hasil hutan maupun sebagai tempat tinggal. Selain konflik-konflik yang terjadi di antara masyarakat lokal dengan pemegang hak pengelola kawasan hutan, konflik terjadi juga di tingkat pembuat kebijakan. Dalam era desentralisasi,
27
kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah seringkali bertentangan dengan kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Kawasan hutan merupakan sumberdaya alam yang terbuka sehingga akses masyarakat untuk masuk memanfaatkannya sangat besar. Kondisi tersebut memacu permasalahan dalam pengelolaan hutan. Menurut Riyanto (2004), permasalahan yang menonjol terkait dengan pengelolaan kawasan hutan antara lain penebangan liar, perambahan hutan, perburuan satwa liar tanpa izin, kebakaran hutan, dan kemiskinan masyarakat sekitar hutan. Perambahan kawasan hutan terjadi di beberapa daerah bahkan terjadi di Taman Nasional antara lain Taman Nasional Kutai, Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional Merubetiri, dan sebagainya. Disamping itu, permasalahan klasik yang dihadapi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, adalah masalah kemiskinan. Kondisi masyarakat sekitar hutan di Indonesia rata-rata miskin yang terkait dengan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat yang berdampak pada tingkat pendapatan yang juga rendah. Disamping itu, kepemilikan lahan yang terbatas menyebabkan mereka memasuki kawasan hutan untuk mencari tambahan penghasilan atau membuka lahan untuk pertanian.
Kerangka Pemikiran Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur memiliki sumberdaya alam yang berlimpah, khususnya bahan tambang. Disamping itu, Kabupaten Kutai Timur memiliki kawasan hutan yang cukup luas yaitu 2.784.024 hektar. Menurut Zen (2001), pengembangan suatu wilayah harus disesuaikan dengan potensi yang dimiliki oleh wilayah tersebut. Oleh karena itu, pengembangan wilayah Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur didasarkan pada potensi sumberdaya alam yang dimiliki sebagai penggerak utama (prime mover) yaitu bahan tambang mineral dan migas. Dalam rangka mengeksploitasi bahan tambang sebagai salah satu upaya dalam pengembangan wilayah, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah telah mengeluarkan berbagai kebijakan sebagai wujud perencanaan pemanfaatan sumberdaya tersebut. Sampai saat ini tidak kurang dari 30% wilayah daratan
28
Indonesia sudah dialokasikan bagi operasi pertambangan, yang meliputi baik pertambangan mineral, batubara, migas maupun pertambangan galian C. Tidak jarang wilayah-wilayah konsesi pertambangan tersebut tumpang tindih dengan wilayah hutan yang kaya akan keanekaragaman hayati dan juga wilayah-wilayah hidup masyarakat adat. Namun di sisi lain, bahan galian tambang juga merupakan salah satu sumber kekayaan alam yang harus dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat. Menurut Saleng (2004), perolehan nasional dari sektor pertambangan dapat dikatakan multidimensional, antara lain mampu menopang program industrialisasi melalui penyediaan bahan baku induistri dalam negeri, menyediakan sumber energi seperi minyak bumi, gas, batubara, meningkatkan penerimaan negara dan devisa, membantu peningkatan dan pemeraan pembangunan ke berbagai wilayah, membuka kesempatan bekerja, serta meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan penduduk sekitar lokasi pertambangan. Keberadaan tambang disuatu daerah, secara langsung maupun tidak langsung memberikan kontribusi bagi pengembangan wilayah pada lokasi tersebut. Dibeberapa daerah, sumbangan sektor pertambangan terhadap PDRB menempati urutan teratas dan jumlah penyerapan tenaga kerja sangat besar. Namun pengembangan wilayah tidak hanya berupa peningkatan status administrasi wilayah, peningkatan PDRB, penyediaan lapangan kerja, atau pembangunan infrastruktur tapi juga berbicara mengenai pemberdayaan rakyat setempat. Dalam kegiatannya, pengembangan wilayah tidak hanya memanfaatkan sumberdaya alam tetapi juga harus membangun manusianya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Misra (1982), bahwa pengembangan wilayah merupakan suatu upaya untuk mendorong terjadinya perkembangan wilayah secara harmonis melalui pendekatan yang bersifat komprehensif mencakup aspek fisik ekonomi, sosial, dan budaya. Disamping
itu,
kehadiran
suatu
pertambangan
diharapkan
dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya yang berada disekitar lokasi pertambangan tersebut. Kesejahteraan disini tidak hanya dilihat dari kebutuhan hidup secara ekonomi, tapi juga pengakuan atas hak-hak, perlindungan dan keamanan,
serta keiikutsertaan dalam setiap pembicaraan yang menyangkut
kepentingannya. Dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat tersebut
29
salah satu kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan adalah program pengembangan masyarakat (community development).
Kesejahteraan
masyarakat dalam penelitian ini lebih menitikberatkan pada peningkatan taraf hidup masyarakat yang parameternya diukur dari tingkat pendapatan, pendidikan dan kesehatan. Menurut Saleng (2004), program community development yang dilancarkan oleh perusahaan pertambangan pada hakekatnya adalah tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) terhadap masyarakat sekitar usaha pertambangan dan secara yuridis merupakan pengakuan (recognition) dari perusahaan pertambangan bahwa ia telah mengambil alih hak penguasaan atas sumberdaya milik penduduk setempat. Wujud dari jawab sosial dan recognisi tersebut adalah pemberian sejumlah bantuan, baik berupa uang maupun sarana dan fasilitras-fasilitas umum dari perusahaan pertambangan kepada masyarakat setempat. Sumberdaya alam telah berperan dalam pembangunan daerah. Sumberdaya alam tidak saja dapat meningkatkan PDRB, menyerap tenaga kerja, melainkan juga telah memberikan berbagai jasa lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, misalnya sebagai daerah pariwisata. Namun dibalik peran yang besar tersebut, akibat faktor alam dan ulah (prilaku) manusia baik secara individu, kelompok maupun kelembagaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam untuk pembangunan telah menimbulkan berbagai masalah lingkungan (Ismail 2001). Seperti halnya yang dinyatakan oleh Zen (2001), bahwa suatu aspek yang tidak boleh dilupakan dalam usaha pengembangan wilayah ialah aspek lingkungan hidup. Masalah-masalah lingkungan hidup sudah muncul pada tahap desa, kecamatan, kabupaten dan terus ke tingkat perkotaan. Dilain pihak, cebakan bahan galian umumnya berada dalam kawasan hutan. Hal ini menyebakan terjadinya pembukaan kawasan hutan yang cukup besar dalam eksploitasi bahan tambang tersebut. Peningkatan aktivitas eksploitasi bahan tambang tersebut diperkirakan akan berbanding lurus dengan pengurangan luas kawasan hutan khususnya bagi pertambangan yang menggunakan metode penambangan terbuka. Menurut Tukiyat (2001), isu pembangunan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah pertumbuhan penduduk yang cepat, kemiskinan, pembangunan sistem pertanian yang tidak berkelanjutan dan kerusakan
30
lingkungan. Selanjutnya dinyatakan bahwa setiap aktivitas pembangunan yang dilakukan oleh penduduk akan mempunyai dampak baik langsung maupun tidak langsung terhadap lingkungan. Dengan demikian, maka perlu adanya suatu upaya yang
dilakukan
agar
pembangunan
ekonomi
dapat
berlangsung
tanpa
mengganggu keseimbangan lingkungan. Pengelolaan bahan galian tambang sebagai sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui seharusnya dapat memberikan nilai tambah bagi daerah penghasil maupun masyarakat setempat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Zen (2001) bahwa pengembangan wilayah merupakan usaha memberdayakan suatu masyarakat yang berada di suatu daerah itu untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat disekeliling mereka dengan menggunakan teknologi yang relevan dengan kebutuhan, dan bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang bersangkutan. Bahan tambang merupakan sumberdaya alam yang banyak memberikan sumbangan bagi devisa negara. Sayangnya, pengelolaan dan pemanfaatannya tidak hanya memberikan dampak yang positif tapi juga memberikan dampak yang negatif. Hal ini dikarenakan perencanaan pengelolaan yang tidak matang dan tidak mempertimbangkan berbagai aspek. Pemberian wilayah kerja atau konsesi pertambangan tanpa memperhatikan
kondisi fisik permukaan bumi, hanya
mempertimbangkan potensi bahan tambang yang terkandung di dalam bumi. Tidak jarang wilayah-wilayah konsesi pertambangan tersebut tumpang tindih dengan wilayah hutan yang kaya akan keanekaragaman hayati dan juga wilayahwilayah hidup masyarakat adat. Hal ini menyebabkan sering terjadinya konflik antara antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan, maupun antar sektor antara lain sektor kehutanan dengan sektor pertambangan. Padahal tujuan utama pengembangan wilayah adalah menyerasikan berbagai kepentingan pembangunan sektor dan wilayah, sehingga pemanfaatan ruang dan sumberdaya yang ada di dalamnya dapat optimal mendukung kegiatan kehidupan masyarakat sesuai dengan tujuan dan sasaran pembangunan wilayah yang diharapkan (Riyadi 2002). Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan perencanaan
maka dalam pengembangan wilayah
sehingga dampak lingkungan dapat diminimalisasi dan
terjadi pemerataan dan keseimbangan pembangunan. Menurut Glasson (1978),
31
perencanaan wilayah umumnya merupakan perencanaan yang melibatkan unsur fisik dan ekonomi. Perencanaan wilayah dipandang sebagai suatu usaha untuk memandu pengembangan dari suatu daerah. Dalam rangka pengembangan suatu wilayah maka harus didahului dengan perencanaan pembangunan daerah guna pemanfaatan dan pengalokasian sumbersumber daya yang ada untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan wilayah/daerah dalam jangka waktu tertentu. Adapun tahapan atau alur kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk diagram (Gambar 2).
32
Gambar 2 Bagan alir kerangka penelitian.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur. Penelitian dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan wilayah dilakukan pada bulan Juli – Agustus 2005.
Pengumpulan Data Metode dan pendekatan studi yang digunakan adalah telaah pustaka dan survei lapangan. Telaah pustaka dilakukan untuk mengumpulkan berbagai informasi yang terkait dengan penelitian. Sumber data sekunder untuk telaah pustaka dalam penelitian ini adalah dari berbagai buku, makalah, dan laporan terkait. Pengumpulan data primer dilakukan melalui
survei lapangan dan
wawancara yang dibantu dengan daftar pertanyaan terstruktur (kuesioner) yang telah dipersiapkan sebelumnya (Lampiran 1). Data sekunder diperoleh dari studi pustaka maupun data-data yang diperoleh dari instansi-instansi terkait antara lain Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Kehutanan, Pemda Kabupaten Kutai Timur , Pemda Kota Bontang serta perusahaan pertambangan. Untuk mengetahui dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan masyarakat maka penentuan perusahaan pertambangan sampel dilakukan dengan pertimbangan perusahaan tersebut telah beroperasi minimal lima tahun dan lokasinya berdekatan dengan pemukiman masyarakat. Perusahaan pertambangan yang dipilih adalah PT Indominco Mandiri sebagai wakil dari pertambangan umum dan PT Badak NGL sebagai wakil dari pertambangan migas. Untuk mengetahui dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan masyarakat, pemilihan desa/kelurahan sampel dilakukan terhadap dua lokasi yang berbeda, yaitu:
34
1. Desa/kelurahan yang berdekatan atau berada di sekitar lokasi pertambangan dan mendapatkan kegiatan community development dari perusahaan pertambangan (desa dampak); 2. Desa/kelurahan yang tidak berdekatan dengan lokasi pertambangan dan tidak mendapatkan kegiatan community development dari perusahaan pertambangan (desa non-dampak).
Without Kab. Kutai Timur
PT Indominco Mandiri
6 desa
4 desa
with
with
Kutai Timur Kutai Kertangera Bontang
Gambar 3 Wilayah dampak dan non-dampak kegiatan PT Indominco Mandiri.
14 kelurahan Without Kab. Kutai Timur
PT Badak NGL
with
Bontang
Gambar 4 Wilayah dampak dan non-dampak kegiatan PT Badak NGL.
35
Penentuan Responden Teknik sampling atau penarikan contoh dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan kombinasi antara metode pengambilan sampel bertahap (multistage proporsional random sampling) dengan metode pengambilan sampel acak terstratifikasi (stratified random sampling). Langkah-langkah penarikan contoh dilakukan dengan cara : 1. Pada kabupaten dan kota dibuat kerangka sampling jumlah desa/kelurahan yang diperkirakan terkena dampak kegiatan pertambangan secara langsung dan mendapatkan program community development dari PT Indominco Mandiri dan PT Badak NGL. Kerangka sampling berupa daftar desa/kelurahan berdasarkan aktivitas PT Indominco Mandiri dan PT Badak NGL (Lampiran 2); 2. Berdasarkan kerangka sampling di atas, dipilih secara random sebanyak empat desa sampel masing-masing dua desa untuk PT Indominco Mandiri yaitu Desa Suka Damai dan Desa Suka Rahmat dan dua kelurahan untuk PT Badak NGL yaitu Kelurahan Bontang Lestari dan Kelurahan Kanaan. Penyebaran desa sampel menurut kabupaten/kota dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4. 3. Dari setiap desa/kelurahan sampel dibuat kerangka sampling rumahtangga menurut pelapisan sosial ekonomi (lapisan atas, menengah, dan bawah). Unsur pelapisan sosial dalam masyarakat cenderung merupakan gabungan dari beberapa unsur yaitu penguasaan lahan, kekayaan yang dimiliki, lamanya menetap, dimensi pendidikan dan pengalaman yang dimiliki, serta dimensi kekuasaan khususnya pada pemimpin formal; 4. Kemudian secara random-proporsional dipilih sampel rumahtangga dari setiap desa/kelurahan sebanyak 20 rumahtangga sampel. Dari proses sampling di lapangan diperoleh total sampel rumahtangga dampak sebanyak
80
rumahtangga. 5. Untuk sampel desa non-dampak, dipilih desa yang tidak mendapatkan kegiatan community development baik dari PT Indominco Mandiri, PT Badak NGL maupun dari perusahaan lainnya, yaitu Desa Kandolo. Kemudian dengan teknik yang sama dipilih secara random-proporsional 20 rumahtangga sampel dari desa sampel non-dampak.
36
6. Selanjutnya setiap kepala rumahtangga ditetapkan sebagai responden sasaran wawancara dengan menggunakan kuesioner (metode survei). Dengan demikian secara keseluruhan jumlah responden dalam studi ini sebanyak 100 responden (Tabel 3).
Tabel 3 Jumlah responden menurut kabupaten/kota, kecamatan, dan desa/ kelurahan sampel berdasarkan pelapisan sosial ekonomi
No 1
2
3
Kabupaten/Kota & Kecamatan
Desa/Kelurahan Sampel
Pelapisan Sosek Responden Atas Mgh Bawah Total
Kota Bontang (dampak) 1. Bontang Selatan 1. Bontang Lestari 2. Bontang Barat 2. Kanaan
2 4
5 5
13 11
20 20
Kabupaten Kutai Timur (dampak) 3. Sangatta 3. Suka Damai 4. Suka Rahmat
5 3
6 8
9 9
20 20
14
24
42
80
5
7
8
20
5 19
7 31
8 50
20 100
Total Dampak Kabupaten Kutai Timur (non-dampak) 4. Sangatta 5. Kandolo Total Non-Dampak Total Sampel
Selain responden, data dan informasi kualitatif diperoleh dari sejumlah informan. Untuk kepentingan studi ini maka informan ditetapkan dari tingkat desa/kelurahan. Dari setiap desa/kelurahan sampel dipilih sejumlah informan, yaitu Kepala Desa/Lurah, aparat desa/kelurahan, atau tokoh masyarakat. Penerimaan responden cukup beragam, ada yang menerima dengan baik, penuh kecurigaan, bahkan menolak untuk diwawancarai.
Hal ini disebabkan
antara lain oleh adanya konflik wilayah pada perbatasan Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur yaitu Desa Suka Damai dan Desa Suka Rahmat. Pengalaman observasi lapangan dan wawancara dengan responden dituangkan dalam catatan harian survei lapang (Lampiran 3). Adapun penyebaran desa dampak, desa non dampak dan lokasi pertambangan di sajikan pada Peta Wilayah Penelitian (Gambar 5)
Gambar 5 Peta Wilayah Penelitian
38
Pengolahan Data
Kontribusi Sektor Pertambangan terhadap Pembangunan Daerah Untuk
mengetahui
kontribusi
kegiatan
pertambangan
terhadap
pembangunan daerah dilihat melalui kontribusi kegiatan pertambangan terhadap PDRB. Data PDRB tersebut digunakan untuk menganalisis pertumbuhan dan pemusatan ekonomi wilayah pada Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur.
Analisis Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Analisis pertumbuhan ekonomi wilayah menggunakan data PDRB atas dasar harga konstan tahun 1993 pada dua titik tahun yaitu tahun 1993 dan 2003. Teknik analisis yang digunakan adalah shift-share analysis. Hasil analisis shift-share menjelaskan kinerja (performance) suatu aktifitas di suatu sub wilayah dan membandingkannya dengan kinerjanya di dalam wilayah total. Analisis shiftshare mampu memberikan gambaran sebab-sebab terjadinya pertumbuhan suatu aktifitas di suatu wilayah. Sebab-sebab yang dimaksud dibagi menjadi tiga bagian yaitu. : sebab yang berasal dari dinamika lokal (sub wilayah), sebab dari dinamika aktifitas/sektor (total wilayah) dan sebab dari dinamika wilayah secara umum (Johnson dan Wichern 1998). Gambaran kinerja ini dapat dijelaskan dari tiga komponen hasil analisis, yaitu: 1. Komponen Laju Pertumbuhan Total (komponen share). Komponen ini menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah. 2. Komponen
Pergeseran
Proporsional
(komponen
proportional
shift).
Komponen ini menyatakan pertumbuhan total aktifitas tertentu secara relatif, dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika sektor/aktifitas total dalam wilayah. 3. Komponen Pergeseran Diferensial (komponen differential shift). Ukuran ini menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktifitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktifitas tersebut dalam
wilayah.
Komponen
ini
menggambarkan
dinamika
39
(keunggulan/ketakunggulan) suatu sektor/aktifitas tertentu di sub wilayah tertentu terhadap aktifitas tersebut di sub wilayah lain. Adapun persamaan analisis shift-share sebagai berikut :
SSA
X.. X..
(t1)
1
(t 0)
X X
a
(t1)
i (t 0)
a dimana :
X.. X..
i (t1)
(t 0)
b
X X
ij(t1) ij(t 0)
X X
i (t1) i (t 0)
c
= komponen share
b = komponen proportional shift c
= komponen differential shift
X.. = Nilai total aktifitas dalam total wilayah X.i = Nilai total aktifitas tertentu dalam total wilayah Xij = Nilai aktifitas tertentu dalam unit wilayah tertentu t1 = titik tahun akhir t0 = titik tahun awal
Analisis Pemusatan Ekonomi Wilayah Untuk melengkapi hasil analisis shift share digunakan metode analisis Location Quotient (LQ) untuk menunjukkan lokasi pemusatan/basis (aktifitas). Data yang digunakan adalah data PDRB atas dasar harga kontasn 1993 pada tahun 2002 dan 2003. Menurut Blakely (1994), analisis LQ merupakan suatu analisis yang digunakan untuk melengkapi analisis lain yaitu shift-share analysis. Secara lebih operasional, LQ didefinisikan sebagai rasio persentase dari total aktifitas pada sub wilayah ke-i terhadap persentase aktifitas total terhadap wilayah yang diamati. Asumsi yang digunakan dalam analisis ini adalah bahwa (1) kondisi geografis relatif seragam, (2) pola-pola aktifitas bersifat seragam, dan (3) setiap aktifitas menghasilkan produk yang sama. Persamaan dari LQ ini adalah:
LQ
IJ
X X
IJ .J
X / X
/
I. ..
40
dimana: Xij
: derajat aktifitas ke-j di wilayah ke-i
Xi.
: total aktifitas di wilayah ke-I
X.j
: total aktifitas ke-j di semua wilayah
X..
: derajat aktifitas total wilayah
Untuk dapat menginterprestasikan hasil analisis LQ, adalah sebagai berikut: Jika nilai LQij > 1, maka hal ini menunjukkan terjadinya konsentrasi suatu aktifitas di sub wilayah ke-i secara relatif dibandingkan dengan total wilayah atau terjadi pemusatan aktifitas di sub wilayah ke-i. Jika nilai LQij = 1, maka sub wilayah ke-I tersebut mempunyai pangsa aktifitas setara dengan pangsa total atau konsentrasai aktifitas di wilayah ke-I sama dengan rata-rata total wilayah. Jika nilai LQij < 1, maka sub wilayah ke-I tersebut mempunyai pangsa relatif lebih kecil dibandingkan dengan aktifitas yang secara umum ditemukan diseluruh wilayah.
Dampak Kegiatan Pertambangan terhadap Pengembangan Masyarakat Untuk mengetahui dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan masyarakat dilakukan melalui penelusuran data community development yang telah dilakukan oleh perusahaan pertambangan. Berdasarkan informasi kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan terhadap masyarakat, dilakukan pengecekan kepada masyarakat sekitar lokasi tambang melalui wawancara atau pengisian kuesioner yang telah diisi dengan pertanyaan terstruktur. Aspek yang dilihat pada responden adalah peningkatan taraf hidup masyarakat melalui pendidikan, kesempatan bekerja, dan kesehatan. Sedangkan untuk tingkat desa akan dilihat keberadaan infrastruktur sebagai sarana aktifitas masyarakat, pertumbuhan usaha-usaha kecil, serta konflik yang timbul sebagai dampak kehadiran perusahaan pertambangan. Untuk mengetahui pola asosiasi antara karakteristik responden berdasarkan desa/kelurahan dan pelapisan sosial ekonomi terhadap tingkat pendidikan, jenis mata pencaharian utama, serta persepsi mengenai kontribusi perusahaan terhadap
41
kesejahteraan keluarga, kesejahteraan masyarakat, penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan usaha-usaha kecil, dan konflik, digunakan analisis koresponden berganda ( multiple correspondence analysis).
Analisis Koresponden Berganda (Multiple Correspondence Analysis) Correspondence analysis merupakan sebuah teknik deskriptif yang didesain untuk menganalisa tabel sederhana dua arah (simple two-way) atau multi arah (multi-way) yang berisi beberapa ukuran korespondensi antara data baris dan kolom. Dalam correspondence analysis, sebuah tabel crosstab dari data frekuensi mula-mula distandarisasi sedemikian rupa sehingga frekuensi relatif dari semua sel apabila dijumlah sama dengan 1.0. Salah satu cara untuk menyatakan hasil dari analisis ini adalah dengan menampilkan tabel frekuensi tersebut dalam bentuk jarak antara individual data berdasarkan data baris dan kolom dalam satu ruang dua dimensi. Perhitungan dalam teknik analisis ini dapat diuraikan seperti yang telah disampaikan dalam Blakely (1994). Perhitungan detail dari teknik ini adalah didasarkan pada matrik berikut : P
:
merupakan matrik dari frekuensi relatif, dimana masing-masing eleman dari P dihitung berdasarkan nilai frekunesi dari tabel input dibagi dengan jumlah total dari semua nilai
r
:
merupakan nilai vektor dari total baris matrik P
c
:
merupakan nilai vektor dari total kolom matrik P
Dr
:
merupakan matrik diagonal, dimana elemen diagonal dari Dr sama dengan total baris dari P
Dc
:
merupakan matrik diagonal, dimana elemn diagonal dari Dc sama dengan total kolom P
Komputasi terhadap koordinat baris dan koordinat kolom didasarkan pada nilai singular dari matrik P, dimana : P = A DuB’ Sehingga : A inverse (Dr) A = B inverse (Dc) = I
42
Dimana : A
:
matrik vektor singular sisi kiri (left side generalized vectors);
B
:
matrik vektor singular sisi kanan (right side generalised vectors);
Du
:
matrik diagonal dengan elemen diagonal sama dengan nilai singular (generalized singular values); dan
I
:
matrik identitas (sebuah matrik diagonal dengan nilai 1 sebagai nilai diagonal).
Kemudian koordinat baris dihitung berdasarkan matrik baris R = inverse(Dr)P, dan koordinat kolom dihitung berdasarkan matrik kolom seperti halnya koordinat baris. Secara spesifik, koordinat baris dihitung sebagai F = inverse(DR)ADu, dan koordinat kolom sebagai G = inverse(Dc)BDu. Pilihan ini sangat sesuai apabila kita ingin menginterpretasi variabel berdasarkan jarak baris dan jarak kolom (jarak antara dua koordinat yaitu dari sisi baris dan kolom adalah jarak chi-square).
Kesesuaian Peruntukan Ruang Untuk mengetahui kesesuaian pemanfaatan ruang lokasi pertambangan dan lokasi desa dampak/non-dampak dilakukan melalui teknik overlay atau tumpang tindih antara Peta Administrasi dan Peta Wilayah Pertambangan dengan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah. Melalui overlay ini diperoleh informasi mengenai kesesuaian
pemanfaatan ruang untuk lokasi pertambangan dan lokasi desa
dampak/non-dampak dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (Gambar 6). Untuk mengetahui perubahan penggunaan lahan (land use) khususnya fungsi kawasan hutan pada lokasi pertambangan dan lokasi desa dampak/nondampak dilakukan melalui teknik overlay antara Peta Administrasi dan Peta Wilayah Pertambangan dengan Peta TGHK dan Peta Paduserasi TGHK-RTRW yang dikenal sebagai Peta Kawasan Hutan Provinsi (Gambar 6). Peta Kawasan Hutan Provinsi menggambarkan kondisi kawasan hutan yang ada pada saat ini, sedangkan peta TGHK menggambarkan kondisi kawasan hutan sebelum adanya kegiatan pertambangan atau awal pembukaan lahan untuk pertambangan di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur.
43
Peta RTRW Kabupaten Kutai Timur Peta RTRW Kota Bontang OVERLAY
Peta Kesesuaian Pemanfaatan Ruang Wilayah Penelitian
OVERLAY
Peta Fungsi Kawasan Wilayah Penelitian
Peta Administrasi Kota Bontang Peta Adminitsrasi Kabupaten Kutai Timur Peta wilayah PT Indominco Mandiri Peta wilayah PT Badak NGL
Peta TGHK Kalimantan Timur
Peta Kawasan Hutan Kalimantan Timur
Gambar 6 Bagan prosedur tumpang tindih Peta Administrasi, Peta Wilayah Pertambangan, Peta RTRW, Peta TGHK, dan Peta Kawasan Hutan.
44
Dampak Pola Perijinan Untuk mengetahui dampak pola perijinan kegiatan pertambangan terhadap perubahan penggunaan lahan dan konflik penggunaan lahan, dilakukan melalui kajian peraturan perundangan terkait dengan perijinan kegiatan pertambangan baik yang ditebitkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Aspek yang dikaji meliputi mekanisme dan prosedur pemberian ijin penggunaan lokasi untuk kegiatan pertambangan serta pola koordinasi antar instansi. Metode yang digunakan untuk hasil pengakajian tersebut adalah deskriptif kualitatif. Peraturan perundangan yang dikaji adalah: 1.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
2.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Undang-Undang Pokok Pertambangan
3.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 55/Kpts-II/1994 tanggal 7 Pebruari 1994 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.
4.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang KetentuanKetentuan Pokok Pertambangan
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Kota Bontang Letak Geografi dan Administrasi Wilayah Kota Bontang terletak antara 117 23’ BT - 117 38’ BT dan 0 01’ LU 0 12’ LU atau berada pada belahan bumi bagian utara khatulistiwa. Kota Bontang memiliki luas wilayah 497.57 km2 yang terdiri atas daratan 147.80 km2 (29.70%) dan lautan 349.77 km2 (70.30%). Secara geografis Kota Bontang di sebelah Barat dan Utara berbatasan dengan Kabupaten Kutai Timur, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Kutai Kertanegara dan di sebelah Timur berbatasan dengan Selat Makassar. Kota Bontang memiliki letak yang cukup strategis yaitu terletak pada jalan trans Kaltim dan berbatasan langsung dengan Selat Makassar sehingga menguntungkan dalam mendukung interaksi wilayah Kota Bontang dengan wilayah lain di luar Kota Bontang. Kota Bontang awalnya merupakan sebuah desa kecil yaitu Desa Bontang Kuala. Kehadiran PT Badak NGL pada tahun 1974 sebagai industri gas alam dan PT Pupuk Kalimantan Timur (PT PKT) tahun 1977 sebagai industri pupuk dan amoniak di Kota Bontang merupakan titik awal terbukanya daerah tersebut sehingga berkembang menjadi Kecamatan Bontang. Seiring dengan semakin berkembangnya kota tersebut maka pada tahun 1989 statusnya meningkat menjadi kota administratif sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1989 dan pada tahun 1999 meningkat menjadi kota otonom sesuai dengan Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pemekaran Provinsi dan Kabupaten bersama-sama dengan Kabupaten Kutai Timur dan Kabupaten Kutai Kertanegara. Desa Bontang Koala sebagai cikal bakal kota tersebut sampai sekarang tetap menjadi perkampungan nelayan. Namun pemukiman tersebut semakin padat dan menjorok ke laut serta bentuk rumah panggung dari kayu relatif tidak berubah banyak. Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bontang Nomor 17 Tahun 2002 tentang Pembentukan Organisasi Kecamatan Bontang Barat pada tanggal 16 Agustus
46
2002, maka Kota Bontang menjadi tiga wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Bontang Selatan, Kecamatan Bontang Utara, dan Kecamatan Bontang Barat serta 14 kelurahan dan satu desa. Kota Bontang dilalui oleh beberapa sungai yang berhulu di bagian Barat (Kabupaten Kutai) dan bermuara di Selat Makassar. Sungai-sungai tersebut adalah Sungai Guntung, Sungai Bontang, Sungai Busuh, Sungai Nyerakat Kanan dan Sungai Nyerakat Kiri yang aliran permukaannya membentuk Daerah Aliran Sungai (DAS) Santan.
Kependudukan dan Tenaga Kerja Penduduk Kota Bontang berdasarkan hasil SUSENAS tahun 2003 sebanyak 117 082 jiwa yang tersebar merata di tiga kecamatan yakni Kecamatan Bontang Selatan 48.378 jiwa, Kecamatan Bontang Utara 47.357 jiwa, dan Kecamatan Bontang Barat 21.347 jiwa. Perkembangan jumlah penduduk di Kota Bontang mengalami peningkatan secara periodik, yakni dari 94.698 jiwa tahun 1999 menjadi 117.082 jiwa pada tahun 2003. Pertumbuhan penduduk Kota Bontang pada tahun 2003 sebesar 5.53%. Perkembangan jumlah penduduk Kota Bontang selengkapnya disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Perkembangan jumlah penduduk Kota Bontang menurut kecamatan tahun 1999-2003
Kecamatan Bontang Selatan Bontang Utara Bontang Barat Jumlah
1999 40 577 54 121 94 698
2000 44 636 54 981 99 617
Tahun 2001 46 084 56 769 102 853
2002 42 685 43 253 19 758 105 696
2003 48 378 47 357 21 347 117 082
Sumber: Bappeda dan BPS Bontang 2004a
Pesatnya pertumbuhan penduduk disebabkan oleh besarnya faktor migrasi disamping faktor kelahiran dan kematian. Penduduk Kota Bontang sebagian besar bekerja pada lapangan usaha konstruksi bangunan (23.12%), perdagangan besar dan eceran (16.02%) dan
47
industri pengolahan (14.21%). Secara rinci persentase jumlah penduduk yang bekerja di Kota Bontang disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah dan persentase penduduk umur 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan kerja tahun 2002
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Lapangan usaha Pertanian, berburuan dan kehutanan Perikanan Pertambangan dan penggalian Industri pengolahan Listrik, gas dan air minum Konstruksi bangunan Perdagangan besar dan eceran Akomodasi Transportasi, pergudangan dan komunikasi Perantara keuangan dan real estate Jasa perusahaan dan usaha persewaan Administrasi pemerintahan, pertanahan dan jaminan sosial wajib Jasa pendidikan Jasa kesehatan dan kegiatan sosial Jasa kemasyarakatan Jasa perorangan yang melayani rumah tangga Jumlah
Jumlah 1 448 610 2 551 5 217 74 8 491 5 882 1 184 2 016 259 2 183 1 572
Persentase (%) 3.94 1.66 6.95 14.21 0.20 23.12 16.02 3.22 5.49 0.71 5.94 4.28
1 904 629 1 998 703 36 721
5.19 1.71 5.44 1.91 100
Sumber: Bappeda dan BPS Bontang 2004a
Masyarakat Kota Bontang sangat heterogen yang terbentuk secara geneakologis (perkawinan) dan teritorial (sama-sama menempati suatu wilayah dalam mencari penghidupan) dari berbagai etnis Nusantara mulai dari Sumatera, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara hingga Maluku dan Papua serta etnis lokal Kalimantan seperti Banjar, Kutai, Melayu, dan Dayak. Di Kota Bontang terdapat berbagai paguyuban etnis, antara lain Sulawesi (Luwu Banggai, Mamuju, Mandar, Barru, Polmas, Sidrap, Mandar-Majene, Makassar, Toraja, Bone, Sulawesi Tengah, Pinrang, Kawanua, dan Sangihe Talaud), Kalimantan (Banjar, asli Bontang, Dayak, Kutai Hulu Hilir, asli Kutai), Jawa (Madiun dan sekitarnya, Malang, Bojonegoro, Kediri, Madura, Banyuwangi, Sunda), Nusa Tenggara dan Bali (Manggarai, NTT, Bali), Sumatera (Batak, Aceh, Padang, Sumatera Selatan), Ambon, dan etnis Cina.
48
Penduduk Kota Bontang mayoritas beragama Islam yaitu sebanyak sebanyak 103.024 orang (88%) sedangkan penganut agama lain sebanyak 12% terdiri Protestan 11.559 orang, Katolik 2.085 orang, Hindu 237 orang, Budha 74 orang, dan lainnya 100 orang.
Penggunaan Lahan dan Potensi Ekonomi Penggunaan lahan Kota Bontang pada tahun 2001 didominasi oleh hutan belukar, hutan mangrove seluas 6.596 hektar atau 44.2% dari luas wilayah Kota Bontang. Umumnya kawasan ini merupakan kawasan lindung dengan luas 3.512 hektar atau 23.76%, lokasi kegiatan dua buah industri yaitu PT Pupuk Kaltim dan PT Badak NGL beserta fasilitas penunjangnya seluas 3.512 hektar atau 23.75%. Luas potensial lahan untuk pembangunan lainnya hanya seluas 4.672 hektar atau 31.6% termasuk di dalamnya areal yang sudah terbangun seluas 922 hektar (Tabel 6). Tabel 6 Luas dan persentase penggunaan tanah Kota Bontang tahun 2001 menurut jenis penggunaan tanah
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jenis penggunaan tanah Perumahan Kebun campuran Tambak Tegalan Land clearing Sarana prasarana PT PKT dan PT Badak NGL Mangrove Semak Hutan belukar Lain-lain (jalan, sungai) Jumlah
Luas (ha) 922 1 301 136 84 48 3 512
Persentase (%) 6.24 8.80 0.92 0.57 0.32 23.76
1 023 2 140 5 523 91 14 780
6.92 14.48 37.37 0.62 100.00
Sumber: Pemda Bontang KKPSDA 2003
Komoditi utama yang menopang perekonomian Kota Bontang adalah gas alam cair dan produksi urea curah. Sedangkan potensi pertanian tanaman pangan dan perkebunan di Kota Bontang tidak terlalu menonjol mengingat Bontang adalah daerah perkotaan. Sebagian besar bahan makanan yang dikomsumsi
49
masyarakat Bontang masih mengandalkan suplai dari daerah lain. Hal ini dikarenakan kurangnya ketersediaan dan kemampuan lahan pertanian. Faktor lain yang mempengaruhi adalah kepadatan penduduk sehingga sebagian besar lahan dijadikan pemukiman. Disamping itu, persentase penduduk yang menekuni sektor pertanian sangat rendah yaitu 3.94%. Potensi lain yang dimiliki oleh Kota Bontang adalah potensi kelautan mengingat wilayah Kota Bontang sebagian besar merupakan perairan. Total produksi hasil laut Kota Bontang pada tahun 2003 adalah 946.07 ton dengan produksi tertinggi yaitu ikan tongkol (294.38 ton). Sedangkan hasil laut yang paling banyak diekspor adalah rumput laut (5.28 ton) dan teripang (5.08 ton). Kota Bontang
memiliki potensi pariwisata yang potensial untuk
dikembangkan maupun sudah dikembangkan namun belum ditangani secara profesional. Menurut Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Kota Bontang terdapat 14 obyek pariwisata antara lain Pulau Beras Basah, Pulau Gusung, Terumbu Karang Gosong Segajah, Teluk Sekangat, pemukiman nelayan Bontang Kualadan Tihik-Tihik,
dan lainnya. Obyek-obyek pariwisata tersebut dapat
ditempuh dengan kendaraan roda dua atau roda empat bila berlokasi di darat dan dapat ditempuh dengan perahu motor atau speedboat untuk obyek pariwisata yang berlokasi di pesisir atau laut.
Sarana Prasarana Fisik dan Sosial Panjang jalan di Kota Bontang adalah 155.791 km
yang berdasarkan
konstruksi jalan terdiri atas aspal 32.923 km atau 21%, beton (rigid) 24.398 km atau 16%, kayu 9.071 km atau 6%, tanah 72.397 km atau 46% dan lapen 17.001 km atau 11%. Berdasarkan kondisi jalan terdiri atas baik 54.986 km atau 35%, sedang 13.987 km atau 9%, rusak 14.969 km atau 10%, dan rusak berat 71.849 km atau 46%. Sarana pendidikan di Kota Bontang cukup lengkap mulai dari tingkatan Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi dan tersebar di semua kecamatan. Jumlah Taman Kanak-Kanak (TK) sebanyak 36 buah, Sekolah Dasar (SD) sebanyak 53 buah, Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMTP) sebanyak 30 buah, Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMTA) sebanyak 16 buah. Sedangkan
50
Perguruan Tinggi yang ada di Kota Bontang adalah Universitas Trunojoyo. Adapun jumlah sarana pendidikan tingkat dasar sampai menengah serta penyebaran menurut kecamatan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Jumlah sekolah menurut kecamatan
Kecamatan
TK
Bontang Selatan Bontang Utara Bontang Barat Jumlah
15 15 6 36
SD SMTP SMTA Negeri Swasta Negeri Swasta Negeri Swasta 14 13 2 9 1 3 10 9 1 11 3 7 3 4 2 5 2 27 26 5 25 4 12
Sumber: Bappeda dan BPS Bontang 2004a
Sarana kesehatan di Kota Bontang terdiri atas rumah sakit milik pemerintah dan swasta, puskesmas, puskesmas pembantu, balai pengobatan, dan dokter praktek. Adapun jumlah dan penyebaran fasilitas kesehatan menurut kecamatan disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Jumlah fasilitas kesehatan menurut jenis dan kecamatan
Kecamatan Bontang Selatan Bontang Utara Bontang Barat Jumlah
Rumah Puskesmas Sakit 1 1 3 2 1 5 3
Puskesmas Balai Dokter pembantu pengobatan praktek 2 22 1 2 6 3 2 28
Sumber: Bappeda dan BPS Bontang 2004a
Fasilitas tempat ibadah
di Kota Bontang tersedia dalam jumlah yang
memadai untuk semua pemeluk agama berupa mesjid sebanyak 60 buah, gereja katolik sebanyak 4 buah, gereja protestan sebanyak 30 buah, dan pura sebanyak 1 buah.
Pertumbuhan Ekonomi Keadaan perekonomian Kota Bontang tahun 2002-2003 dapat dilihat melalui gambaran PDRB dengan harga konstan yang menunjukkan bahwa laju
51
pertumbuhan PDRB tahun 2003 dengan migas naik sebesar 2.08% sedangkan laku pertumbuhan PDRB tanpa migas mengalami pertumbuhan sebesar 8.84%. Sektor-sektor ekonomi yang mengalami pertumbuhan di atas agregat antara lain sektor bangunan/konstruksi sebesar 18.01%, listrik, gas dan air minum sebesar 9.58%, serta pertambangan dan penggalian sebesar 8.01% (Tabel 9). Tabel 9 Laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Kota Bontang dengan/tanpa migas atas dasar harga konstan 1993 (%) tahun 2002-2003
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sektor Ekonomi Pertanian Pertambangan dan penggalian Industri pengolahan Listrik, gas dan air minum Bangunan dan konstruksi Perdagangan, restoran, dan hotel Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan Jasa-jasa PDRB
Dengan Migas 2002 2003 -1.17 5.37 3.59 8.01 -4.58 0.92 9.24 9.58 12.04 18.01 3.08 7.32 2.85 2.76 3.48 0.94 5.61 -3.33
6.52 2.08
Tanpa Migas 2002 2003 -1.17 5.37 3.59 8.01 1.84 7.49 9.24 9.58 12.04 18.01 3.08 7.32 2.85 2.76 3.48 0.94 5.61 4.16
6.52 8.84
Sumber: Bappeda dan BPS Bontang 2004b
Salah satu indikator untuk melihat perkembangan struktur ekonomi daerah adalah melalui komposisi struktur PDRB. Dari komposisi struktur PDRB suatu wilayah dapat diketahui peranan masing-masing sektor, sehingga sektor yang dominan peranannya dapat diperkirakan akan membentuk struktur ekonomi wilayah tersebut. Sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 2003 sektor industri pengolahan merupakan sektor yang paling besar pengaruhnya dan mendominasi dalam struktur perekonomian Kota Bontang dengan sumbangan pada tahun 2003 sebesar 86.45%. Sektor ekonomi lain juga mengalami peningkatan meskipun relatif kecil (Tabel 10). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa struktur perekonomian Kota Bontang relatif bercorak industrialisasi. Indikasi didasarkan karena sektor industri pengolahan mendominasi struktur perekonomian. Apabila unsur migas yaitu sub sektor industri pengolahan gas alam cair /LNG dikeluarkan, maka sektor industri pengolahan tetap memperlihatkan pengaruhnya terhadap PDRB Kota Bontang.
52
Hal ini disebabkan oleh adanya industri pupuk berskala nasional, yaitu PT Pupuk Kalimantan Timur Tbk. Tabel 10 Distribusi persentase Produk Domestik Regional Bruto Kota Bontang dengan migas atas dasar harga konstan 1993 (%) tahun 2000-2003
No. 1 2 3 4 5 6
7 8
9
Sektor Ekonomi Pertanian Pertambangan dan penggalian Industri pengolahan Listrik, gas dan air minum Bangunan dan konstruksi Perdagangan, restoran, dan hotel Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan Jasa-jasa Jumlah
1993
1998
1999
2000
2001
2002
2003
1.83 1.42
0.37 0.51
0.34 0.47
0.34 0.47
0.34 0.48
0.35 0.51
0.36 0.54
59.54
88.43
88.88
88.88
88.58
87.43
86.45
0.26
0.11
0.12
0.12
0.12
0.14
0.15
12.23
3.85
3.7
3.70
4.00
4.63
5.36
12.92
3.37
3.22
3.22
3.22
3.43
3.61
3.97
1.15
1.09
1.09
1.07
1.14
1.15
4.95
1.35
1.27
1.27
1.27
1.36
1.35
2.88 0.86 0.91 0.91 0.92 1.00 1.04 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Sumber : Bappeda dan BPS Bontang 2004a, 2004b
Kabupaten Kutai Timur Letak Geografi dan Administrasi Wilayah Kabupaten Kutai Timur dengan ibukota Sangatta terletak pada posisi 115 56’26” BB - 118 58’19” BT dan 0 02’10” LS - 1 52’39” LU dengan luas wilayah 35 747.50 km2 atau 17% dari total luas Provinsi Kalimantan Timur. Secara geografis Kabupaten Kutai Timur di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bulungan dan Kabupaten Berau, di sebelah Timur berbatasan dengan Selat Makassar, di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Kutai Kertanegara dan kota Bontang, dan di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Kutai Kertanegara.
53
Kabupaten Kutai Timur merupakan kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Kutai berdasarkan Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pemekaran Wilayah Provinsi dan Kabupaten yang diresmikan Menteri Dalam Negeri pada tanggal 28 Oktober 1999. Pada awal terbentuknya, Kabupaten Kutai Timur terdiri atas 11 wilayah kecamatan dan 100 desa, namun dalam perkembangannya terjadi pemekaran beberapa desa sehingga pada tahun 2003 terdiri atas 11 wilayah kecamatan dan 116 desa dan terdapat 6 desa dalam tahap persiapan sehingga pada tahun 2004 menjadi 122 desa (Tabel 11). Tabel 11 Banyaknya desa dan luas wilayah menurut kecamatan
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kecamatan Muara Ancalong Busang Muara Wahau Telen Kombeng Muara Bengkal Sangatta Bengalon Kaliorang Sangkulirang Sandaran Jumlah
Banyaknya desa 2001 2002 2003 2004 12 12 12 12 4 6 6 6 9 9 9 9 5 5 5 7 7 7 7 7 12 13 13 13 12 18 18 18 5 8 8 8 14 15 15 15 14 15 17 17 6 6 6 6 100 114 116 122
Luas wilayah Km2 % 3 241.28 9.07 3 721.62 10.41 5 724.32 16.01 3 129.61 8.75 581.27 1.63 1 562.30 4.37 3 898.26 10.98 3 396.26 9.50 699.01 1.96 6 020.05 16.84 3 773.54 10.56 35 747.50 100.00
Sumber: BPS Kutai Timur 2004a
Kependudukan dan Tenaga Kerja Jumlah penduduk Kabupaten Kutai Timur sebanyak 165.461 jiwa yang tesebar pada sebelas kecamatan dengan kepadatan rata-rata 4.63 /km2. Namun penyebaran penduduk belum merata. Berdasarkan Tabel 12 diketahui bahwa kepadatan penduduk paling tinggi terjadi di Kecamatan Kombeng, Sangatta, dan Kaliorang, sedangkan kecamatan lainnya cenderung jarang.
54
Tabel 12 Luas wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk menurut kecamatan
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Luas wilayah (km2) 3 241.28 3 721.62 5 724.32 3 129.61 581.27 1 562.30 3 898.20 3 396.24 699.01 6 020.05 3 773.54 35 747.50
Kecamatan Muara Ancalong Busang Muara Wahau Telen Kombeng Muara Bengkal Sangatta Bengalon Kaliorang Sangkulirang Sandaran Jumlah
Jumlah penduduk Kepadatan (jiwa) penduduk/km2 13 050 4.03 4 027 1.08 10 476 1.87 4 178 1.33 13 128 22.59 14 041 8.99 61 384 15.75 10 792 3.18 11 809 16.89 16 805 2.79 5 571 1.48 165 461 4.63
Sumber: BPS Kutai Timur 2004a
Pertumbuhan penduduk Kabupaten Kutai Timur selama tiga tahun terakhir rata-rata 4.14% setiap tahun.
Hal ini dapat dilihat pada Tabel 13 yang
menunjukkan bahwa perkembangan jumlah penduduk cukup besar. Pertumbuhan yang cukup tinggi ini disebabkan oleh faktor imigrasi disamping faktor kelahiran. Tabel 13 Perkembangan jumlah penduduk Kabupaten Kutai Timur menurut kecamatan tahun 1999-2003
Kecamatan Muara Ancalong Busang Muara Wahau Telen Kombeng Muara Bengkal Sangatta Bengalon Kaliorang Sangkulirang Sandaran Jumlah
1999 14 057 * 230 196 * * 10 901 21 453 * 28 415 * * 98 022
2000 13 755 3 914 11 523 4 362 11 497 18 230 44 843 6 029 11 210 16 599 4 548 146 510
Sumber: BPS Kutai Timur 2004a Keterangan: * = Termasuk dalam kecamatan induknya
Tahun 2001 15 509 6 689 11 454 4 332 11 975 17 615 46 676 8 667 12 152 17 464 4 630 157 163
2002 15 043 6 481 11 214 4 249 11 802 15 891 54 850 8 860 12 027 17 023 4 506 161 946
2003 13 050 4 027 10 676 4 178 13 128 14 041 61 384 10 792 11 809 16 805 5 571 165 461
55
Penduduk Kabupaten Kutai Timur sebagian besar bekerja pada lapangan usaha pertanian (69%), pertambangan dan galian (9.54%), dan perdagangan (6.72%). Secara rinci persentase jumlah penduduk yang bekerja disajikan pada Tabel 14. Penduduk Kabupaten Kutai Timur menganut berbagai agama yaitu Islam sebanyak 136.421 orang, Protestan 16.810 orang, Katolik 10.169 orang, Hindu 1 913 orang, Budha 40 orang, dan lainnya 108 orang.
Perdagangan
Transport & Komunikasi
Jasa
Lainnya
86.83 80.12 79.00 66.78 88.18 78.80 44.37 51.52 87.81 65.05 88.61 69.50
0.83 1.20 0.00 0.00 0.00 0.00 35.00 0.00 0.00 0.00 0.00 9.54
0.58 5.44 1.73 4.28 3.83 3.16 0.75 36.36 0.74 12.08 0.85 4.41
6.31 7.79 8.24 10.72 2.27 8.19 5.80 6.06 4.48 11.25 6.89 6.72
3086 0.78 2.53 4.22 0.77 3.35 0.37 0.95 0.36 3.84 0.74 1.88
1.33 2.76 6.39 12.72 4.57 6.25 2.54 3.03 6.25 6.13 2.23 4.27
0.28 1.90 2.11 1028 0.39 0.26 11.16 2.08 0.36 1.65 0.69 3.68
Jumlah
Industri
Muara Ancalong Busang Muara Wahau Telen Kombeng Muara Bengkal Sangatta Bengalon Kaliorang Sangkulirang Sandaran Kutai Timur
Pertambangan & penggalain
Kecamatan
Pertanian
Tabel 14 Persentase penduduk 10 tahun ke atas menurut kecamatan dan lapangan usaha tahun 2002 (%)
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Sumber: BPS Kutai Timur 2003
Penggunaan Lahan dan Potensi Ekonomi Pola penggunaan lahan kabupaten Kutai Timur terbagi atas pemukiman 9.534 hektar, industri 262 hektar, sawah 14 526 hektar, perkebunan 11.896 hektar, pertanian lahan kering 23.838 hektar, hutan lebat 1.003.526 hektar, hutan belukar 1.531.169 hektar, hutan sejenis 90.170 hektar, hutan rawa 381.138 hektar, semak/alang-alang 310.854 hektar, kolam/tambak 664 hektar, dan lain-lain 51.693 hektar (Priyatna 2003).
56
Potensi sumberdaya yang dimiliki Kabupaten Kutai Timur sangat besar yang terdiri atas hutan yang luas, cadangan batubara, migas, dan bahan tambang lainnya seperti emas, pasir kuarsa, lempung, dan batu gamping. Investasi didominasi oleh sektor pertambangan migas dan batubara yaitu sebesar 82%, sedangkan sektor lainnya masing-masing pertanian 9.8%, dan bangunan sebesar 3%. Kabupaten Kutai Timur memiliki cadangan batubara sebesar 5.35 milyar ton dengan 26 perusahaan pemegang perizinan yaitu Pemegang Kuasa Pertambangan Batubara (PKP2B), Kuasa Pertambangan (KP) dan Kontrak Karya (KK). Dari jumlah tersebut perusahaan yang telah melakukan eksploitasi adalah PT Kaltim Prima Coal (KPC) , PT Indominco Mandiri, PT Kitadin, sedangkan yang lainnya masih dalam tahap ekplorasi dan penyelidikan umum. Potensi minyak dan gas terdapat di Sangkima Field dengan cadangan sebesar 243.4 juta barrel MMBO dan Sangatta Field dengan cadangan sebesar 459.8 BCFG yang saat ini dikelola Pertamina OPS Sangatta. Potensi di bidang kehutanan meliputi pemanfaatan hasil hutan kayu dan non kayu serta industri pengolahan hasil hutan antara lain industri plywood, moulding, dan kayu olahan. Potensi lain yang dimiliki oleh Kabupaten Kutai Timur adalah pertanian, perkebunan, dan pariwisata. Komoditi utama tanaman pertanian antara lain padi, jagung, kacang-kacangan, pisang, serta tanaman palawijaya, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Sedangkan komoditi utama tanaman perkebunan meliputi karet, kopi, cengkeh, lada, coklat, kelapa sawit, serta tanaman perkebunan lainnya.
Sarana Prasarana Fisik dan Sosial Panjang jalan di Kabupaten Kutai Timur adalah 1 504 km terdiri atas jenis permukaan aspal 341 km atau 23%, kerikil 659.5 km atau 44%, dan tanah 503.50 km atau 33%. Sedangkan berdasarkan kondisi jalan terdiri atas baik 566.31 km atau 38%, sedang 193.96 km atau 13%, rusak 308.83 km atau 21%, rusak berat 295.9 km atau 20%, dan lainnya 139 km atau 9%. Sarana pendidikan di Kabupaten Kutai Timur cukup lengkap mulai dari tingkatan Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi. Namun terdapat tiga
57
kecamatan yang belum memiliki sekolah Taman Kanak-Kanak yaitu Kecamatan Muara Ancalong, Kecamatan Telen, dan Kecamatan Sandaran. Sedangkan kecamatan yang belum memiliki SMA terdiri atas tiga kecamatan
yaitu
Kecamatan Busang, Kecamatan Telen, dan Kecamatan Sandaran. Adapun sarana pendidikan tingkat dasar sampai menengah disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Jumlah sekolah menurut kecamatan
SD SMTP SMTA Negeri Swasta Negeri Swasta Negeri Swasta 3 17 3 2 1 -
Kecamatan
TK
Muara Ancalong Busang Muara Wahau Telen Kombeng Muara Bengkal Sangatta Bengalon Kaliorang Sangkulirang Sandaran Jumlah
3 5 4 16 3 5 4 43
6 11 6 9 16 24 8 16 20 9 142
1 8 1 1 11
1 1 1 3 2 4 1 3 1 2 22
1 1 9 2 15
1 1 1 4
1 2 1 1 1 1 7
Sumber: BPS Kutai Timur 2004a
Sarana kesehatan di Kabupaten Kutai Timur
terdiri atas rumah sakit,
puskesmas, puskesmas pembantu, balai pengobatan, dan dokter praktek. Adapun jumlah dan penyebaran fasilitas kesehatan menurut kecamatan disajikan pada Tabel 16. Sedangkan fasilitas tempat ibadah tersedia dalam jumlah yang memadai untuk semua pemeluk agama berupa mesjid sebanyak 209 buah, gereja katolik sebanyak 44 buah, gereja protestan sebanyak 98 buah, dan pura sebanyak 9 buah.
58
Tabel 16 Jumlah fasilitas kesehatan menurut jenis dan kecamatan
Kecamatan
Rumah Sakit
Muara Ancalong Busang Muara Wahau Telen Kombeng Muara Bengkal Sangatta Bengalon Kaliorang Sangkulirang Sandaran Jumlah
1 1
1 1 2 1 1 1 3 1 1 1 1
11 3 9 4 4 5 11 2 11 5 2
Balai pengobatan / klinik 4 -
14
67
4
Puskesmas
Puskesmas pembantu
Dokter praktek Umum Gigi
-
2 1 -
5
3
2 1 1 1
Sumber: BPS Kutai Timur 2004a
Pertumbuhan Ekonomi Keadaan perekonomian Kabupaten Kutai Timur tahun 2002-2003 dapat dilihat melalui gambaran PDRB dengan harga konstan yang menunjukkan bahwa laju pertumbuhan PDRB tahun 2003 dengan migas mengalami pertumbuhan negatif sebesar -3.45% sedangkan laju pertumbuhan PDRB tanpa migas mengalami pertumbuhan negatif sebesar -2.37% (Tabel 17). Angka pertumbuhan yang negatif menggambarkan bahwa perekonomian Kabupaten Kutai Timur tahun 2003 agak tersendat bila dibandingkan dengan tahun 2002.
Hal ini
disebabkan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kutai Timur sangat dipengaruhi oleh kegiatan dan komoditi pertambangan khususnya batubara. Kabupaten Kutai Timur merupakan salah satu andalan penghasil batubara Provinsi Kalimantan Timur dalam mengekspor komoditi non migas khususnya batubara.
59
Tabel 17 Laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Kutai Timur dengan/tanpa migas atas dasar harga konstan 1993 (%) tahun 2002-2003
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sektor Ekonomi Pertanian Pertambangan dan penggalian Industri pengolahan Listrik, gas dan air minum Bangunan dan konstruksi Perdagangan, restoran, dan hotel Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan Jasa-jasa PDRB
Dengan Migas 2002 2003 91.89 -13.95 12.92 -3.55 -6.60 2.56 26.36 26.30 43.37 -17.42 49.87 29.75 2.13 0.10 38.87 21.48
Tanpa Migas 2002 2003 91.89 -13.95 27.86 20.79 -6.60 2.56 26.36 26.30 43.37 -17.42 49.87 29.75 2.13 0.10 38.87 21.48
58.55 22.93.
58.55 47.26
21.45 -3.45
21.45 -2.37
Sumber: BPS Kutai Timur 2004b
Pada tahun 2003, salah satu dari tiga perusahaan besar pertambangan batubara yang beroperasi di Kabupaten Kutai Timur ( PT Kaltim Prima Coal, PT.Indominco Mandiri, dan PT Kitadin) mengalami penurunan produksi yang cukup signifikan. PT Kaltim Prima Coal mengalami penurunan produksi akibat untjuk rasa buruh dan karyawan sehingga mempengaruhi output dan kinerja perusahaan. Penurunan produksi subsektor ini mencapai -4.44% atau dengan kata lain produksi batubara pada tahun 2003 mengalami penurunan 4.44%. Salah satu indikator untuk melihat perkembangan struktur ekonomi daerah adalah melalui komposisi struktur PDRB. Dari komposisi struktur PDRB suatu wilayah dapat diketahui peranan masing-masing sektor, sehingga sektor yang dominan peranannya dapat diperkirakan akan membentuk struktur ekonomi wilayah tersebut. Sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 2003 sektor yang paling paling besar pengaruhnya dan mendominasi dalam struktur perekonomian Kabupaten Kutai Timur adalah sektor pertambangan dan penggalian. Pada tahun 2003, sektor pertambangan dan penggalian memberikan sumbangan sebesar 64.31%. Sektor ekonomi lain yang memberikan sumbangan relatif cukup besar
60
adalah sektor pertanian sebesar 10.33%, dan sektor bangunan dan kostruksi sebesar 11.29% (Tabel 18). Tabel 18 Distribusi persentase Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Kutai Timur dengan migas atas dasar harga konstan 1993 (%) tahun 2000-2003
No. 1 2 3 4 5 6
7 8
9
Sektor Ekonomi Pertanian Pertambangan dan penggalian Industri pengolahan Listrik, gas, dan air minum Bangunan dan konstruksi Perdagangan, restoran, dan hotel Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan Jasa-jasa Jumlah
1993
1998
1999
2000
2001
2002
2003
16.94 66.74
9.12 75.86
9.54 72.90
9.71 72.10
8.26 71.56
12.89 65.73
11.49 65.66
0.74
1.14
1.24
1.32
1.19
0.91
0.92
0.06
0.15
0.21
0.23
0.29
0.30
0.39
2.79
2.75
2.92
3.71
5.31
6.19
5.29
2.24
3.16
3.17
3.27
3.07
3.74
4.33
5.07
3.43
5.55
4.75
5.30
4.41
4.57
4.54
3.69
3.70
3.88
3.94
4.45
5.60
0.88 0.70 0.77 1.03 1.07 1.38 1.74 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Sumber: BPS Kutai Timur 2004b
Kekayaan sumberdaya alam Kabupaten Kutai Timur terutama batubara, migas, dan bahan tambang lainnya merupakan komoditi yang bersifat tidak dapat diperbahauru (unrenewable). Sumbangan sektor pertambangan dan penggalian sejak tahun 2001 menunjukkan kecenderungan menurun, sedangkan sektor pertanian serta bangunan dan konstruksi cenderung mengalami peningkatan. Meskipun demikian, kenaikan yang terjadi pada komoditi tersebut
memiliki
pengaruh yang besar terhadap sektor-sektor lainnya antara lain pertanian dan bangunan. Apabila unsur migas dan batubara dikeluarkan dari PDRB maka sektor pertanian dan bangunan merupakan sektor yang paling dominan pengaruhnya terhadap struktur perekonomian Kabupaten Kutai Timur.
61
PT Badak Natural Gas Liquefaction Keberadaan PT Badak NGL diawali dengan ditemukannya cadangan gas alam di Muara Badak, Kalimantan Timur pada bulan Pebruari 1972 oleh perusahaan minyak Huffco dari Amerika Serikat. Nama Badak berasal dari sumur gas pertama yang ditemukan. Huffco bekerja sebagai production sharing contracts dengan Perusahaan Tambang Minyak Negara (Pertamina) dengan operator PT Badak NGL yang bertugas mengelola dan mengoperasikan kilang. PT Badak NGL didirikan pada tanggal 26 Nopember 1974 dengan susunan kepemilikan saham adalah Pertamina (55%), Huffco (30%), dan JILCO (15%). Pada tahun 1990, Total Indonesia sebagai salah satu produsen gas menjadi anggota dan terjadi restrukturisasi Huffco menjadi VICO sehingga susunan kepemilikan saham menjadi Pertamina (55%), VICO (20%), Total Indonesia, sekarang menjadi TotalFinaElf (10%), dan JILCO (15%). Produsen gas lain yang ikut mensuplai gas ke kilang PT Badak NGL adalah Unocoal Indonesia. Konstruksi pembangunan kilang dimulai pada pertengahan tahun 1974. Produksi dimulai pada tanggal 5 Juli 1977 dari Train A, sedangkan kilang diresmikan pada tanggal 1 Agustus 1977. Pengiriman LNG pertama diberangkatkan dari Bontang pada tanggal 9 Agustus 1977 ke Semboku Jepang. Produsen gas PT Badak NGL adalah Pertamina, Vico Indonesia, Total E&P Indonesia, dan Unocoal Indonesia. Seluruh produksi yang terdiri atas LNG dan LPG dijual ke luar negeri (ekspor). Ada sebelas perusahaan pembeli LNG yang berasal dari Jepang, China, dan Korea sedangkan pembeli LPG ada tujuh perusahaan dari Jepang dan Amerika Serikat. Kilang LNG Badak yang mulanya didesain untuk dua kilang telah mengalami perluasan menjadi delapan train dan dilengkapi dengan penambahan fasilitas produksi LPG. Hal ini menjadikan kapasitas produksi LNG meningkat dari 3,3 juta ton per tahun pada tahun 1977 menjadi 22 juta ton LNG dan 1.2 juta ton LPG pertahun. Komunitas kilang LNG Badak memiliki 1.232 unit rumah perusahaan yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas antara lain fasilitas olahraga dan rekreasi, wisma tamu, gedung serbaguna, rumah sakit, mesjid, gereja, gedung utama
62
PT.Badak NGL, empat sekolah dari tingkat SD, SMP, sampai SMU. Jumlah pekerja saat ini sekitar 1.800 orang (7.500 anggota keluarga). Program-program pengembangan lingkungan yang telah dilakukan disekitar lokasi perusahaan keagamaam,
meliputi bidang infrastruktur, pendidikan, kesehatan,
kepemudaan,
olahraga,
bantuan
untuk
penyandang
cacat,
pengentasan kemiskinan, pemberdayaan masyarakat dan kesempatan berusaha. Masyarakat sekitar juga dapat menikmati fasilitas infrastruktur
yang telah
dibangun antara lain jalan, pasar, semenisasi gang-gang, serta pembangunan jembatan dan dermaga nelayan. Kegiatan community development yang telah dilaksanakan oleh PT Badak NGL pada tahun 2004 meliputi bidang infrastruktur, pendidikan, keagamaan, kesehatan, pemberdayaan masyarakat, olah raga dan kesenian. Disamping bidang program yang telah direncanakan, PT Badak NGL juga memberikan bantuan kepada pemerintah dan masyarakat yang dikelompokkan dalam bidang lain-lain (Lampiran 4). Total nilai anggaran untuk kegiatan community development tahun 2004 sebesar Rp.6.863.936.090.00. Lokasi wilayah community development PT Badak NGL meliputi seluruh wilayah Kota Bontang. Meskipun demikian PT Badak NGL tetap memberikan dukungan dan bantuan dana kepada instansi pemerintah, organisasi kepemudaan, dan lembaga pendidikan di luar Kota Bontang.
PT Indominco Mandiri PT Indominco Mandiri merupakan salah satu perusahaan pertambangan batubara di bawah manajemen BANPU Public Company Limited. Lokasi pertambangan berada pada tiga wilayah yaitu Kabupaten Kutai Kertanegara, Kabupaten Kutai Timur, dan Kota Bontang Provinsi Kalimantan Timur. Penandatanganan Kontrak Karya pertama kalinya dilakukan pada tanggal 5 Oktober 1990, sedangkan penandatanganan kontrak penambangan dilakukan pada tanggal 30 Mei 1990. Penambangan pertama (pengupasan tanah penutup) dilakukan pada tanggal 15 Juli 1996 dan pengapalan batubara pertama pada tanggal 18 April 1997. Proses penambangan batubara dilakukan dengan tambang terbuka (open pit mining) dengan metode gali-isi kembali (back filling method).
63
Perjanjian Kontrak Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) PT Indominco Mandiri berada pada wilayah KW 01PB0435 yang secara geografis terletak pada koordinat 117º12’50” - 117º23’30’’BT dan 00º02’20” - 00º13’00” LU. Sesuai dengan Keputusan Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral Nomor 015.K/20.01/DJG/2001 tanggal 2 Mei 2001 tentang peningkatan tahap kegiatan operasi produksi dan penetapan wilayah pertambangan (mining area) perjanjian kerjasama PT Indominco Mandiri, lokasi pertambangan PT.Indominco Mandiri seluas ± 25.121 hektar yang terdiri atas Blok I (Blok Barat) seluas ± 18.100 hektar dan Blok II (Blok Timur) seluas ± 7.021 hektar. Lokasi pertambangan PT Indominco Mandiri dapat dicapai melalui jalan darat Balikpapan-Samarinda-Bontang sepanjang 230 km. Dari jalan poros SamarindaBontang menuju lokasi pertambangan sejauh ± 30 km. Kegiatan community development yang telah dilakukan oleh PT Indominco Mandiri tahun 2004 dan 2005 meliputi bidang infrastruktur, kesehatan, keagamaan, pendidikan, ekonomi, sosial budaya dan kesenian, serta lain-lain (Lampiran 5). Adapun ruang lingkup
wilayah community development PT Indominco
Mandiri terbagi atas tiga kategori yaitu the main area of community development meliputi tujuh desa, regional area (opponent area) meliputi tiga kelurahan, dan national area (support area) meliputi tiga kota yaitu Bontang, Sangatta, dan Tenggarong. Secara adminitsrasi pemerintahan, wilayah community development PT Indominco Mandiri terbagi atas : 1. Kabupaten Kutai Timur, merupakan lokasi daerah tambang, meliputi Desa Teluk Pandan, Desa Suka Damai, dan Desa Suka Rahmat. 2. Kota Bontang, merupakan lokasi fasilitas shiploader,
meliputi
Desa
Sekambing, Kelurahan Loktuan, Kelurahan Kanaan, Kelurahan Guntung, dan desa lain di sektiar wilayah Kota Bontang. 3. Kabupaten Kutai Kertanegara, merupakan lokasi fasilitas port stockyard, meliputi Desa Santan Tengah, Desa Santan Ilir, dan Desa Santan Ulu.
64
Ikhtisar Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur merupakan daerah otonom hasil pemekaran Kabupaten Kutai sesuai dengan Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pemekaran Provinsi dan Kabupaten bersama-sama dengan Kabupaten Kutai Timur dan Kabupaten Kutai Kertanegara. Cikal bakal terbentuknya kedua daerah tersebut adalah kehadiran perusahaan pertambangan batubara PT Kaltim Prima Coal di Sangatta dan industri pengolahan gas cair PT.Badak NGL di Bontang. Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur memiliki pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi masing-masing sebesar 5.53% dan
4.14% setiap tahun.
Pertumbuhan pertumbuhan yang tinggi disebabkan oleh faktor migrasi disamping faktor kelahiran. Sebagian besar penduduk Kota Bontang bekerja pada lapangan usaha konstruksi bangunan (23.12%), perdagangan besar dan eceran (16.02%), dan industri pengolahan (14.21%). Sedangkan penduduk Kabupaten Kutai Timur sebagian besar bekerja pada lapangan usaha pertanian (69%), pertambangan dan galian (9.54%), dan perdagangan (6.72%). Pertumbuhan perekonomian Kota Bontang dipengaruhi oleh sektor industri pengolahan khususnya industri pengolahan gas cair. Pertumbuhan perekonomian Kabupaten Kutai Timur dipengaruhi oleh kegiatan dan komoditi pertambangan khususnya batubara. Kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDRB Kota Bontang tahun 2003 sebesar 86.45%, sedangkan kontribusi sektor pertambangan dan penggalian terhadap PDRB Kabupaten Kutai Timur tahun 2003 sebesar 64.31%. Hal ini dukung oleh keberadaan industri pengolahan gas cair PT Badak NGL di Kota Bontang dan perusahaan batubara PT Kaltim Prima Coal, PT.Indominco Mandiri, dan PT Kitadin di Kabupaten Kutai Timur. PT Indominco Mandiri merupakan perusahaan pertambangan batubara yang wilayah pertambangannya meliputi tiga kabupaten yaitu Kabupaten Kutai Kertanegara, Kabupaten Kutai Timur, dan Kota Bontang. PT Indominco Mandiri mulai melakukan penambangan pada tahun
1996 dengan menggunakan
penambangan terbuka (open pit mining). Sedangkan PT Badak NGL merupakan perusahaan pertambangan migas yang bergerak pada kegiatan usaha hilir yaitu
65
usaha pengolahan. Industri pengolahan gas cair PT Badak NGL mulai beroperasi pada tahun 1977. PT Badak NGL dan PT Indominco Mandiri memiliki program community development yang terbagi atas beberapa bidang yaitu infrastruktur, kesehatan, keagamaan, pendidikan, ekonomi, sosial budaya dan kesenian, serta lain-lain. Program community development yang dilaksanakan oleh PT Indominco Mandiri dan PT Badak NGL tersebut terdiri atas dua bentuk yaitu fisik dan non fisik.
KONTRIBUSI KEGIATAN PERTAMBANGAN TERHADAP PEMBANGUNAN DAERAH Salah satu sektor pembangunan yang memberikan sumbangan devisa bagi negara adalah sektor pertambangan dan penggalian. Keberadaan sektor pertambangan dan penggalian memberikan andil yang cukup besar terhadap struktur ekonomi beberapa daerah khususnya yang memiliki kekayaan sumberdaya alam tambang. Hal ini memicu munculnya daerah otonom baru sebagai hasil pemekaran dari wilayah induk. Keinginan melepaskan diri dari wilayah induk umumnya didasarkan pada keinginan untuk lebih memajukan daerahnya dengan modal potensi sumberdaya alam yang ada. Hal ini dapat dilihat pada Kabupaten Kutai Timur dengan potensi batubara dan minyak, Kota Bontang dengan potensi gas cair, dan beberapa daerah lainnya. Pengusahaan pertambangan memiliki peran yang strategis dan kontribusi yang besar terhadap pembangunan di daerah (Saleng 2004). Salah cara yang dilakukan untuk mengetahui kontribusi kegiatan pertambangan terhadap pembangunan daerah adalah mengetahui faktor-faktor yang berperan dalam pertumbuhan ekonomi daerah dan sektor basis yang ada di daerah tersebut.
Analisis Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Hasil analisis pertumbuhan ekonomi wilayah dengan menggunakan metode SSA menunjukkan bahwa laju pertumbuhan berbagai ekonomi di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur adalah positif yaitu sebesar 0.6059. Hal ini berarti bahwa laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Kalimantan Timur dari tahun 1993 sampai tahun 2003 mengalami peningkatan. Hasil analisis SSA PDRB Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur selengkapnya disajikan pada Tabel 19 dan 20. Tabel 19 menunjukkan bahwa sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan, sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, serta sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan mempunyai laju pertumbuhan lebih rendah dibandingkan dengan laju pertumbuhan total di Provinsi Kalimantan Timur.
Laju pertumbuhan sektor pertanian, peternakan,
67
kehutanan, dan perikanan lebih rendah 0.1102 dibandingkan dengan laju pertumbuhan total pertumbuhan Provinsi Kalimantan Timur. Laju pertumbuhan sektor industri pengolahan lebih rendah 0.18525, sektor perdagangan, hotel, dan restoran lebih rendah 0.0528 dan sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan lebih rendah 0.2837 dari laju pertumbuhan total Provinsi Kalimantan Timur. Sektor pertambangan dan penggalian, sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi dan sektor jasa-jasa mempunyai laju pertumbuhan lebih besar dibandingkan dengan laju pertumbuhan total Provinsi Kalimantan Timur. Laju pertumbuhan sektor pertambangan dan penggalian lebih besar 0.1266, sektor listrik, gas, dan air bersih lebih besar 0.8749, sektor bangunan lebih besar 0.2360, sektor pengangkutan dan komunikasi lebih besar 0.3988 dan sektor jasa-jasa lebih besar 0.2129 dari total pertumbuhan Provinsi Kalimantan Timur. Tabel 19 Hasil analisis shift share PDRB Kota Bontang tahun 1993-2003
No 1
2 3 4 5 6
7 8
9
Sektor Pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan Pertambangan dan penggalian Industri pengolahan Listrik, gas. dan air bersih Bangunan Perdagangan, hotel , dan restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan Jasa-jasa
Pertumbuhan Ekonomi 0.6059
Pergeseran Proporsional -0.1102
Pergeseran Differensial -0.1387
0.3570
0.6059
0.1266
0.9214
1.6539
0.6059
-0.1825
0.2037
0.6271
0.6059
0.8749
1.4047
2.8855
0.6059
0.2360
1.2059
2.0478
0.6059
-0.0528
0.3925
0.9456
0.6059
0.3988
0.0101
1.0148
0.6059
-0.2837
0.5747
0.8969
0.6059
0.2129
0.7037
1.5224
Total
68
Hasil analisis SSA Kota Bontang menunjukkan bahwa laju pertumbuhan sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan mempunyai tingkat competitiveness lebih rendah dibandingkan dengan sektor-sektor lain.
Oleh
karena itu pengembangan sektor tersebut di Kota Bontang akan tidak menguntungkan. Dalam hal ini tingkat pertumbuhan sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan 0.1387 lebih kecil dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan secara umum di Provinsi Kalimantan Timur. Sedangkan sektor-sektor lainnya mempunyai tingkat keunggulan kompetitif yang relatif lebih besar sehingga dapat dikembangkan menjadi sektor penggerak perekonomian di Kota Bontang. Sektor pertambangan dan penggalian memiliki tingkat pertumbuhan 0.9214 lebih tinggi dari sektor lainnya, sedangkan tingkat pertumbuhan sektor-sektor lainnya masing-masing sektor industri pengolahan lebih tinggi 0.2037, sektor listrik, gas, dan air bersih lebih tinggi 1.4047, sektor bangunan lebih tinggi 1.2059, sektor
perdagangan, hotel, dan restoran lebih tinggi 0.3925, sektor
pengangkutan dan komunikasi lebih tinggi 0.0101, sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan lebih tinggi 0.5747, dan sektor jasa-jasa lebih tinggi 0.7037. Tabel 20 menunjukkan bahwa sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan, sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran serta sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan mempunyai laju pertumbuhan lebih rendah dibandingkan dengan laju pertumbuhan total di Provinsi Kalimantan Timur.
Laju pertumbuhan sektor pertanian, peternakan,
kehutanan, dan perikanan lebih rendah 0.1102 dibandingkan dengan laju pertumbuhan total pertumbuhan Provinsi Kalimantan Timur. Laju pertumbuhan sektor industri pengolahan lebih rendah 0.1825, sektor perdagangan, hotel, dan restoran lebih rendah 0.0528 dan sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan lebih rendah 0.2837 dari laju pertumbuhan total Provinsi Kalimantan Timur. Sektor pertambangan dan penggalian, sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi, dan sektor jasa-jasa mempunyai laju pertumbuhan lebih besar dibandingkan dengan laju pertumbuhan total Provinsi Kalimantan Timur. Laju pertumbuhan sektor pertambangan dan penggalian lebih besar 0.1266, sektor listrik, gas, dan air bersih lebih besar
69
0.8749, sektor bangunan lebih besar 0.2360, sektor pengangkutan dan komunikasi lebih besar 0.3988, dan sektor jasa-jasa lebih besar 0.2129 dari total pertumbuhan Provinsi Kalimantan Timur. Tabel 20 Hasil analisis shift share PDRB Kabupaten Kutai Timur tahun 19932003
No 1
2
3 4 5 6
7
8
9
Sektor Pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan Pertambangan dan penggalian Industri pengolahan Listrik, gas, dan air bersih Bangunan Perdagangan, hotel, dan restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan Jasa-jasa
Pertumbuhan Ekonomi 0.6059
Pergeseran Proporsional -0.1102
Pergeseran Differensial 0.6477
1.1434
0.6059
0.1266
1.3768
2.1093
0.6059
-0.1825
2.4733
2.8967
0.6059
0.8749
17.8217
19.3025
0.6059
0.2360
4.1613
5.0032
0.6059
-0.0528
4.5557
5.1088
0.6059
0.3988
0.8426
1.8473
0.6059
-0.2837
2.5768
2.8990
0.6059
0.2129
4.4654
5.2842
Total
Hasil analisis SSA Kabupaten Kutai Timur menunjukkan bahwa laju pertumbuhan semua sektor pembangunan di Kabupaten Kutai Timur memiliki nilai yang lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan secara umum sektor-sektor pembangunan di Provinsi Kalimantan Timur.
Tingkat pertumbuhan sektor
pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan lebih tinggi 1.1434, sektor pertambangan dan penggalian lebih tinggi 2.1093, sektor industri pengolahan lebih tinggi 2.8967, sektor listrik, gas ,dan air bersih lebih tinggi 19.3025, sektor
70
bangunan lebih tinggi 5.0032, sektor perdagangan, hotel, dan restoran lebih tinggi 5.1088, sektor pengangkutan dan komunikasi lebih tinggi 1.8473, sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan lebih tinggi 2.8990, dan sektor jasajasa lebih tinggi 5.2842. Hal ini berarti sektor pembangunan yang ada di Kabupaten Kutai Timur mempunyai tingkat keunggulan kompetitif yang relatif lebih besar sehingga dapat dikembangkan menjadi sektor penggerak perekonomian di Kabupaten Kutai Timur.
Analisis Pemusatan Ekonomi Wilayah Dalam lingkup daerah pada suatu negara, suatu komoditi dikatakan mempunyai daya saing apabila komoditi tersebut tidak hanya laku dijual di pasar lokal di daerahnya sendiri, melainkan juga dapat bersaing di luar daerahnya. Suatu sektor atau subsektor dari suatu daerah dapat dikatakan mempunyai daya saing apabila sektor atau subsektor tersebut mampu memenuhi kebutuhan di daerahnya dan juga di luar daerahnya. Sektor atau subsektor dengan karakteristik tersebut dikatakan sebagai sektor atau subsektor basis. Menurut Glasson (1978), bertambah banyaknya basis di dalam suatu daerah akan menambah arus pendapatan ke dalam daerah yang bersangkutan, menambah permintaan terhadap barang-barang dan jasa-jasa di dalamnya dan menimbulkan kenaikan volume kegiatan bukan basis. Sebaliknya, semakin berkurangnya kegiatan non basis akan mengakibatkan berkurangnya pendapatan yang mengalir masuk ke dalam daerah yang bersangkutan, dan turunnya permintaan terhadap produk dari kegiatan bukan basis. Untuk menentukan sektor atau subsektor basis maka dapat ditentukan melalui nilai koefisen LQ. Analisis LQ dimaksudkan
untuk mengetahui
gambaran umum mengenai kemampuan sektor-sektor pembangunan dalam suatu wilayah untuk mendukung proses pembangunan di daerah tersebut. merupakan
metode
yang
menggambarkan
kemampuan
LQ
sektor-sektor
pembangunan dalam suatu daerah dengan kondisi sektor-sektor pembangunan yang ada di daerah yang lebih luas. Misalnya membandingkan sektor-sektor
71
pembangunan yang ada di tingkat kota/kabupaten
dengan sektor-sektor
pembangunan yang ada ditingkat provinsi. Hasil analisis pemusatan ekonomi dengan menggunakan metode LQ dalam dua periode waktu di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur disajikan pada Tabel 21. Berdasarkan Tabel 21 tersebut, dapat diketahui sektor yang memberikan sumbangan keunggulan komparatif terhadap masing-masing daerah. Sektor yang memberikan keunggulan komparatif terhadap suatu daerah adalah sektor yang mempunyai koefiesn LQ > 1. Tabel 21 Hasil analisis LQ sektoral berdasarkan PDRB tahun 2002-2003 Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur
No. 1
2 3 4 5 6 7 8 9
Sektor Pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan Pertambangan dan penggalian Industri pengolahan Listrik, gas, dan air bersih Bangunan Perdagangan, hotel, dan restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan Jasa-jasa
Kota Bontang 2002 2003 0.0425 0.0442
Kab. Kutai Timur 2002 2003 1.5809 1.4200
0.0157
0.0164
2.0142
1.9921
2.7747 0.3226
2.8372 0.3266
0.0288 0.7167
0.0300 0.8841
1.5684 0.4005
1.6947 0.1067
2.0937 0.4362
1.6738 0.4920
0.1074
0.1067
0.4148
0.4243
0.5004
0.4812
1.6351
2.0002
0.4162
0.4190
0.5759
0.6988
Sektor yang memiliki keunggulan komparatif atau menjadi basis di wilayah Kota Bontang adalah sektor industri pengolahan dan sektor bangunan, sedangkan di wilayah
Kabupaten Kutai Timur adalah sektor pertanian, peternakan,
kehutanan, dan perikanan, sektor pertambangan dan penggalian, sektor bangunan, dan sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan. Pemusatan sektor industri pengolahan di Kota Bontang dimungkinkan dengan adanya industri pengolahan gas cair PT Badak NGL dan industri pupuk PT PKT yang memberikan sumbangan cukup besar dalam pembentukan PDRB
72
Kota Bontang. pesatnya
Sedangkan pemusatan sektor bangunan dimungkinkan karena
pembangunan
yang
mengiringi
perkembangan
Kota
Bontang.
Disamping itu, pekerjaan utama penduduk Kota Bontang sebagian besar pada sektor lapangan usaha konstruksi bangunan (23.12%) dan industri pengolahan (14.21%). Sebagai sektor basis di Kota Bontang, sektor industri pengolahan memberikan distribusi yang besar dalam struktur perekonomian Kota Bontang. Pada tahun 2003 sektor industri pengolahan memberikan kontribusi sebesar 86.46%
dengan laju pertumbuhan 7.49%, sedangkan sektor bangunan
memberikan kontribusi sebesar 5.36% dengan laju pertumbuhan 18.01%. Sektor pertambangan dan penggalian tidak memusat di Kota Bontang, karena sumberdaya alam berupa gas cair diekspor setelah diolah sehingga masuk dalam sektor industri pengolahan. Sedangkan hasil pertambangan umum yaitu batubara dan bahan mineral lainnya tidak memberikan sumbangan yang berarti dalam PDRB Kota Bontang. Distribusi sektor pertambangan dan penggalian terhadap PDRB Kota Bontang tahun 2003 hanya sebesar 0.54%, namun memiliki laju pertumbuhan sebesar 8.01%. Pemusatan sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan di Kabupaten Kutai Timur sangat dimungkinkan karena Kabupaten Kutai Timur memiliki lahan pertanian yang cukup luas dan mata pencaharian utama penduduk saat ini pada lapangan usaha pertanian (69.50%). Pemusatan sektor pertambangan dan penggalian dimungkinkan dengan kehadiran perusahaan pertambangan batubara terbesar di Indonesia yaitu PT Kaltim Prima Coal serta perusahaan batubara lainnya yang sudah dalam tahap produksi yaitu PT Indominco Mandiri dan PT Kitadin serta perusahaan migas yaitu Pertamina OPS Sangatta dan PT.Virginia Indonesioa Company (VICO). Pemusatan
sektor
bangunan
dimungkinkan
dengan
perkembangan
Kabupaten Kutai Timur sebagai daerah otonom baru yang sedang giat membangun. Sedangkan pemusatan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dimungkinkan dengan banyaknya jumlah perusahaan
yang
beroperasional dari berbagai sektor antara lain pertambangan, kehutanan, perkebunan, dan lainnya. Hal disebabkan Kabupaten Kutai Timur memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup melimpah.
73
Sebagai salah satu sektor basis di Kabupaten Kutai Timur, sektor pertambangan dan penggalian memberikan sumbangan yang cukup besar dalam struktur perekonomian Kabupaten Kutai Timur. Pada tahun 2003, sektor pertambangan dan penggalian memberikan distribusi sebesar 64.31% terhadap PDRB Kabupaten Kutai Timur dengan laju pertumbuhan 20.79%. Penyerapan tenaga kerja oleh sektor pertambangan dan penggalian pada tahun 2003 menempati urutan kedua yaitu sebesar 9.54%
Ikhtisar Hasil analisis SSA menunjukkan bahwa sektor pertambangan dan penggalian memiliki kontribusi yang cukup besar dalam pembangunan daerah Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur. Sektor pertambangan dan penggalian dan sektor industri pengolahan khususnya pengolahan gas alam cair merupakan sektor yang menunjang pertumbuhan perekonomian di wilayah tersebut. Hal ini didukung oleh hasil analisis LQ yang menunjukkan bahwa kedua sektor tersebut menjadi sektor basis di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur. Peranan
sektor pertambangan dan penggalian serta sektor industri
pengolahan terhadap pembangunan daerah dapat dilihat dari kontribusi yang disumbangkan pada PDRB. Sektor industri pengolahan memberikan kontribusi sebesar 86.46%
dengan laju pertumbuhan 7.49%
sedangkan sektor
pertambangan dan penggalian memberikan kontribusi sebesar 5.36% dengan laju pertumbuhan 18.01% terhadap PDRB Kota Bontang tahun 2003. Di Kabupaten Kutai Timur, sektor pertambangan dan penggalian memberikan distribusi sebesar 64.31% dengan laju pertumbuhan 20.79%. Dengan demikian, kegiatan pertambangan memberikan dampak yang positif terhadap pembangunan daerah Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur khususnya terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan asli daerah yang tercermin dalam PDRB. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Muhammad
(2000) bahwa dampak positif kegiatan pembangunan di bidang
pertambangan antara lain adalah memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan meningkatkan pendapatan asli daerah. Pertumbuhan perekonomian Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur sebagian
74
besar didukung oleh sektor pertambangan dan memberikan sumbangan yang besar terhadap PDRB.
Kontribusi kegiatan pertambangan terhadap pembangunan
daerah Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Kontribusi kegiatan pertambangan terhadap pembangunan daerah Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur
No.
Kontribusi terhadap pembangunan daerah
Kota Bontang
Kabupaten Kutai Timur
1
Pertumbuhan ekonomi wilayah
Keunggulan kompetitif
Keunggulan kompetitif
2
Pemusatan ekonomi wilayah
Sektor basis
Sektor basis
3
Kontribusi terhadap PDRB tahun 2003
86.46%
64.31%
4
Penyerapan tenaga kerja tahun 2003
14.21%
9.54%
DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN TERHADAP PENGEMBANGAN MASYARAKAT Program pengembangan masyarakat pada sektor pertambangan dapat diartikan sebagai wujud dari internalisasi dari biaya eksternal yang timbul sebagai akibat dari pemanfaatan sumberdaya yang tidak terbarukan (unrenewable resources). Bahan tambang merupakan sumberdaya yang tidak terbarukan sehingga perlu dipikirkan dampak-dampak yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya tersebut. Oleh sebab itu harus dicari beberapa alternatif agar masyarakat yang terkena dampak tersebut dapat berusaha secara berkelanjutan, dan mampu terus mandiri tanpa bertopang lagi pada sumberdaya tersebut. Sejalan dengan otonomi daerah, operasionalisasi tambang tidak bisa dipisahkan dari lingkungan dan masyarakat di sekitar lokasi tambang. Kegiatan pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan dimaksudkan agar masyarakat setempat atau sekitarnya merasakan memperoleh manfaat dari adanya suatu kegiatan pertambangan baik migas maupun umum antara lain batubara, emas, dan lainnya. Kegiatan
pengembangan
masyarakat
yang
telah
dilakukan
oleh
PT.Indominco Mandiri dan PT Badak NGL dapat dikelompokkan dalam bentuk kegiatan fisik dan non fisik.
Bentuk kegiatan fisik berupa pembangunan
infrastruktur, sarana pendidikan dan sarana ibadah, sedangkan kegiatan non fisik berupa bantuan dana dalam bentuk pemberian beasiswa, dukungan pelaksanaan kegiatan sosial, kepemudaan, olah raga, kesehatan , dan bantuan kegiatan lainnya yang bersifat insedentil. Kegiatan pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh PT Indominco Mandiri dan PT Badak NGL tidak hanya ditujukan pada masyarakat, tapi juga instansi pemerintah. Ruang lingkup wilayah kegiatan pengembangan masyarakat PT Indominco Mandiri meliputi sepuluh desa/kelurahan pada tiga kabupaten yaitu Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Kutai Kertangera, dan Kota Bontang, sedangkan PT Badak NGL meliputi seluruh wilayah Kota Bontang.
76
Kondisi Fisik dan Sosial Lokasi Studi Desa Suka Damai terletak pada jalan poros Samarinda – Bontang dengan jarak ± 15 km dari Kota Bontang dan ± 75 km dari Sangatta, ibukota Kabupaten Kutai Timur. Desa Suka Damai terdiri dari dua dusun yaitu Dusun Damai Bersatu dan Dusun Danau Redan. Desa Suka Rahmat terletak pada jalan poros Sangatta – Bontang dengan jarak ± 10 km dari Kota Bontang dan ± 60 km dari Sangatta. Desa Suka Rahmat terdiri atas dua dusun yaitu Dusun Gunung Bina Ria dan Dusun Sungai Api-Api. Desa Sekambing telah berubah status menjadi kelurahan dengan nama Bontang Lestari sejak bulan Juni 2005. Kelurahan Bontang Lestari terdiri dari sebelas RT dengan wilayah yang cukup luas terdiri atas daratan dan pulau-pulau kecil. Kelurahan Bontang Lestari sedang dipersiapkan sebagai lokasi
pusat
pemerintahan Kota Bontang yang ditandai dengan pembangunan perumahan pegawai pemerintah daerah dan gedung perkantoran lainnya. Untuk mencapai Kelurahan Bontang Lestari, dapat ditempuh dengan jalan tanah yang diperkeras sejauh ± 15 km dari jalan poros Bontang-Samarinda. Namun belum ada kendaraan umum yang masuk ke desa tersebut. Transportasi yang umum dipakai adalah ojek atau melalui jalur laut dengan menggunakan perahu. Masyarakat pada ketiga lokasi tersebut memiliki karakteristik yang relatif sama karena umumnya berasal dari daerah yang sama dengan latar belakang adat istiadat dan budaya yang sama. Masyarakat yang mendiami ketiga lokasi tersebut umumnya merupakan pendatang dari Provinsi Sulawesi Selatan dan sebagian kecil dari Pulau Jawa. Umumnya mereka merantau dan bertempat tinggal di daerah tersebut dengan alasan mencari pekerjaan karena terbatasnya lahan pertanian di daerah asal dan pendapatan yang relatif rendah. Mereka umumnya tinggal berkelompok sesuai dengan daerah asal masingmasing misalnya Bone, Barru, Jeneponto, dan lainnya. Jenis rumah msyarakat adalah rumah panggung yang terbuat dari papan (Gambar 7). Jarak antar kelompok maupun rumah saling berjauhan. Jarak antar kelompok umumnya 0.51.km sedangkan jarak antar rumah 100-300 m.
Jumlah rumah dalam satu
kelompok berkisar antara 10-20 rumah, kecuali di pusat kegiatan desa relatif jumlah rumah lebih banyak dengan daerah asal yang heterogen.
77
Gambar 7 Pemukiman kelompok masyarakat Desa Suka Damai Kabupaten Kutai Timur. Sumber air bersih untuk minum dan masak umumnya dari air hujan dan sumur, sedangkan untuk keperluan lain seperti mandi dan mencuci bersumber dari sumur atau sungai. Namun ada beberapa lokasi yang air sumurnya tidak layak untuk dikomsumsi karena rasanya masam terutama di Desa Suka Damai. Bahkan masyarakat di Desa Suka Rahmat banyak yang harus membeli air tangki yang didatangkan dari Kota Bontang khususnya untuk minum dan masak. Penerangan yang digunakan umumnya petromak. Beberapa rumah menggunakan listrik yang berasal dari genset bantuan Pemda Kutai Timur dan ada yang milik sendiri untuk digunakan oleh beberapa keluarga. Namun saat ini genset bantuan pemda ada yang tidak berfungsi
karena rusak. Fasilitas kesehatan yang tersedia adalah
puskesmas pembantu, sehingga untuk penyakit yang lebih serius masyarakat cenderung memilih berobat ke rumah sakit Kota Bontang. Kelurahan Kanaan merupakan salah satu kelurahan yang letaknya berbatasan dengan perumahan PT Badak NGL. Masyarakat umumnya pendatang, khususnya dari Toraja Provinsi Sulawesi Selatan dan Pulau Jawa. Kepindahan mereka ke lokasi tersebut umumnya karena mencari pekerjaan, tidak memiliki lahan pertanian, dan pendapatan yang relatif rendah di daerah asal.
78
Pemukiman di Kelurahan Kanaan sudah tertata rapi dengan kondisi jalan umumnya cor beton dan aspal (Gambar 8). Sumber air bersih untuk keperluan sehari-hari umumnya bersumber dari sumur dan PAM. Penerangan yang digunakan umumnya listrik dari PLN. Fasilitas kesehatan yang tersedia adalah puskesmas pembantu, namun untuk penyakit yang lebih serius responden umumnya berobat ke Rumah Sakit yang ada di Kota Bontang.
Gambar 8 Pemukiman masyarakat Kelurahan Kanaan Kota Bontang.
Desa Kandolo secara administrasi termasuk dalam Kecamatan Sangatta Kabupaten Kutai Timur dan merupakan hasil pemekaran dari Desa Teluk Pandan pada tahun 2001. Desa Kandolo terletak ± 50 km dari Kota Bontang dan ± 30 km dari Sangatta dan berada pada jalan poros Bontang-Sangatta.
Desa Kandolo
dipilih sebagai desa pembanding atau desa yang tidak mendapatkan kegiatan community development dari perusahaan pertambangan. Desa Kandolo terdiri atas tiga dusun yaitu Dusun Kandolo, Dusun Salimpus, dan Dusun Kandukung. Dusun Salimpus dan Dusun Kandukung berada pada jalan poros Bontang-Sangatta, sedangkan Dusun Kandolo terletak ± 5 km dari jalan poros ke arah Timur melewati jalan tanah yang belum diperkeras sehingga pada musim hujan sulit dilalui kendaraan.
79
Masyarakat Desa Kandolo mayoritas pendatang dari Provinsi Sulawesi Selatan dan sebagian kecil dari Pulau Jawa. Ada beberapa alasan yang menyebabkan mereka bermukim dilokasi tersebut antara lain mencari pekerjaan, tidak mempunyai lahan pertanian, dan pendapatan yang relatif rendah di daerah asal. Pemukiman cenderung berkelompok dan jarak antar kelompok cukup berjauhan. Jenis rumah umumnya adalah rumah panggung yang terbuat dari papan (Gambar 9). Mata pencaharian utama masyarakat umumnya adalah petani dengan jenis komoditas utama pisang dan coklat, sedangkan masyarakat yang bertempat tinggal di dekat pantai umumnya memiliki mata pencaharian utama
sebagai
nelayan. Sumber air bersih untuk keperluan sehari-hari umumnya dari sumur, air hujan, dan sungai. Penerangan yang digunakan umumnya petromak dan listrik dari genset bantuan Pemda Kutai Timur. Desa Kandolo tidak memiliki fasilitas kesehatan, hanya ada puskesmas keliling dari Pemda Kutai Timur yang datang sekali dalam sebulan. Hal ini menyebabkan masyarakat lebih cenderung memilih berobat ke Kota Bontang.
Gambar 9 Pemukiman masyarakat Desa Kandolo Kabupaten Kutai Timur.
Pelapisan sosial ekonomi dalam masyarakat pada wilayah penelitian tidak tidak terlalu mencolok, karena pada umumnya taraf kehidupan masyarakat hampir
80
merata. Unsur utama yang menentukan pelapisan sosial pada masyarakat bukan luas tanah, etnis, dan pekerjaan. Hal ini karena pemilikan dan penguasaan lahan antar penduduk tidak terlalu mencolok, demikian juga dengan pekerjaan karena hampir semua masyarakat bekerja sebagai petani disamping pekerjaan sampingan lainnya. Kepemilikan dan penguasaan lahan pada lokasi studi, kecuali Kelurahan Kanaan, belum memiliki dokumen legal dari pemerintah. Untuk dapat menguasai lahan, dilakukan dengan cara membuka kawasan hutan dan menanani tanaman pisang sebagai komoditas utama dan sebagai tanaman penciri atau batas lahan, maka dengan sendirinya lahan tersebut sudah dalam penguasaan yang bersangkutan.
Program Community Development Perusahaan Pertambangan Dampak positif dari pembangunan di bidang pertambangan yang dapat langsung dinikmati oleh masyarakat antara lain menampung tenaga kerja terutama masyarakat lingkar tambang, meningkatkan ekonomi masyarakat lingkar tambang, meningkatkan usaha mikro masyarakat lingkar tambang, meningkatkan kualitas SDM masyarakat lingkar tambang, meningkatkan derajat kesehatan masyarakat lingkar tambang, dan sebagainya (Salim 2005).
Dampak positif
tersebut dapat dinikmati oleh masyarakat khususnya yang berada disekitar lokasi pertambangan PT Indominco Mandiri dan PT Badak NGL melalui berbagai program community development yang telah dilaksanakan oleh perusahaan. Program community development PT Indominco Mandiri secara garis besar terbagi atas tujuh bidang, yaitu infrastruktur, kesehatan, keagamaan, pendidikan, ekonomi, sosial budaya, dan kesenian, serta bidang lain-lain untuk menampung pemberian bantuan kepada masyarakat yang sifatnya insidentil.
Sedangkan
program community development PT Badak NGL secara garis besar terbagi atas tujuh bidang, yaitu bidang infrastruktur, pendidikan, keagamaan, kesehatan, pemberdayaan masyarakat, olah raga dan kesenian, dan lain-lain. Bidang lain-lain yang memiliki proporsi dana paling besar menampung kegiatan dalam bentuk bantuan akomodasi dan transportasi khususnya bagi instansi pemerintah. Jenis dan bentuk program community development ditentukan oleh perusahaan sehingga masyarakat bersifat sebagai subyek dari pembangunan.
81
Bentuk kegiatan community development seperti itu dikenal dengan nama development for community karena berbagai
inisiatif, perencanaan, dan
pelaksanaan kegiatan pembangunannya dilaksanakan oleh aktor dari luar (Primahendra 2004). Meskipun PT Indominco Mandiri telah membentuk suatu organisasi yang diharapkan dapat menjembatani perusahaan dan masyarakat yang disebut sebagai Community Consultative Committee (CCC) namun organisasi tersebut berjalan dengan baik. Keanggotaan CCC terdiri dari unsur pemerintahan (camat, lurah atau kepala desa), perusahaan, LSM, wartawan, dan wakil dari masyarakat. Melalui CCC diharapkan program community develoment akan bersifat bottom up atau berasal dari masyarakat bawah. Disamping itu, perusahaan memberikan bantuan kepada masyarakat, organisasi, dan instansi pemerintah yang sifatnya insidentil setelah pemohon mengajukan proposal kepada perusahaan. Namun banyaknya permohonan bantuan yang bersifat insindentil mengakibatkan perusahaan merasa kesulitan dalam menjalankan program community development yang telah diprogramkan. Secara umum, program community development PT Indominco Mandiri dan PT Badak NGL sebagai wujud dari upaya pengembangan masyarakat di sekitar lokasi pertambangan terbagi dalam dua bentuk yaitu bentuk fisik dan non fisik.
Fisik Bentuk kegiatan fisik yang telah dilaksanakan oleh PT Indominco Mandiri dan PT Badak NGL meliputi pembangunan fasilitas umum antara lain pembangunan ataupun peningkatan sarana transportasi/jalan, sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana peribadatan, dan lain sebagainya. Namun kegiatan tersebut belum tepat sasaran karena umumnya fasilitas umum yang dibangun lebih banyak berada di ibukota kota/kabupaten, bukan pada desa yang berada paling dekat dengan lokasi pertambangan. Pembangunan jalan yang telah dilakukan oleh PT Indominco Mandiri di desa dampak antara lain pembangunan jalan dan jembatan di Desa Suka Damai dalam bentuk jalan tanah dan jembatan kayu, sedangkan pembangunan jalan yang telah dilakukan oleh PT Badak NGL berupa bantuan seminisasi jalan-jalan di beberapa kelurahan di Kota Bontang.
82
Pembangunan fisik untuk sarana pendidikan umumnya diberikan dalam bentuk renovasi beberapa gedung SD. Sedangkan bantuan pembangunan gedung sekolah yang secara murni dilakukan oleh perusahaan belum ada. Sedangkan pembangunan fisik berupa sarana kesehatan belum dilakukan oleh PT Indominco Mandiri dan PT Badak NGL. Sarana kesehatan yang ada di desa/kelurahan dampak berupa puskesmas pembantu, belum ditemukan adanya klinik kesehatan atau pengobatan yang dibangun oleh perusahaan untuk kepentingan masyarakat. Meskipun demikian, PT Badak NGL memiliki rumah sakit sendiri yang memberikan pengobatan gratis kepada masyarakat tidak mampu. Bantuan
fisik
terhadap
pembangunan
memperlihatkan hasil dibandingkan dengan
tempat
peribadatan
lebih
pembangunan jalan, sarana
pendidikan, ataupun sarana kesehatan. Namun salah satu desa/kelurahan dampak, yaitu Kelurahan Bontang Lestari, belum menerima bantuan pembangunan sarana ibadah meskipun letaknya berbatasan langsung dengan lokasi industri PT Badak NGL. Sebagai salah satu contoh adalah pembangunan mesjid yang sedang berjalan di Dusun Baltim Kelurahan Bontang Lestari yang merupakan mesjid pertama di lokasi tersebut. Sumber dana pembangunan mesjid tersebut berasal dari Pemerintah Daerah Kota Bontang dan swadaya masyarakat. Pembangunan fisik lainnya antara lain berupa bantuan pembangunan kantor desa dan renovasi beberapa gedung instansi pemerintah lainnya. Data community development PT Badak NGL menunjukkan bahwa bantuan pembangunan fisik lebih banyak ditujukan kepada sarana prasarana milik instansi pemerintah dibandingkan dengan masyarakat.
Non fisik Program community development non fisik terbagi atas kegiatan sosial, ekonomi dan kelembagaan. Bentuk kegiatan sosial antara lain pengembangan kualitas pendidikan (pemberian dana pendidikan/beasiswa, operasional sekolah), kesehatan (bantuan pengobatan, penyuluhan kesehatan), serta berbagai kegiatan keagamaan, olahraga, kesenian, dan kepemudaan. Program sosial yang cukup menonjol dari PT Indominco Mandiri dan PT.Badak NGL adalah dukungan dana terhadap pelaksanaan kegiatan penyuluhan
83
kesehatan, khitanan massal, bhakti sosial, maupun kegiatan keagamaan, olah raga, kesenian, dan kepemudaan.
Namun untuk bantuan pengobatan kepada
masyarakat tidak mampu, PT Badak NGL lebih dominan dibandingkan dengan PT Indominco Mandiri. Bentuk kegiatan dalam bidang ekonomi yang telah dilakukan oleh PT.Indominco Mandiri dan PT Badak NGL menyangkut pengembangan usaha masyarakat yang berbasiskan sumberdaya setempat (resources based) seperti pelatihan budidaya pertanian secara umum (kebun percontohan sayurmayur, jagung, kedele, budidaya ikan air tawar, budidaya rumput laut) dan pemberdayaan masyarakat nelayan. Program community development yang menyangkut kelembagaan dari PT.Indominco Mandiri dan PT.Badak NGL umumnya berupa dukungan dana dan akomodasi terhadap berbagai bentuk kegiatan lokakarya, seminar, perlombaan, dan sebagainya, yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, organisasi profesi, LSM, maupun organisasi pelajar. Disamping itu, PT.Indominco Mandiri menyelenggarakan studi banding ke lokasi-lokasi pertanian yang telah maju di Pulau Jawa. Namun peserta studi banding tersebut umumnya adalah kepala desa atau tokoh masyarakat tertentu.
Dampak Kegiatan Pertambangan terhadap Desa Sekitar Lokasi Pertambangan Untuk mengetahui adanya dampak kegiatan pertambangan terhadap masyarakat khususnya dampak dari program community development, maka dilakukan perbandingan antara responden yang berada pada desa dampak dan desa/kelurahan
non-dampak.
Adapun
parameter
yang
digunakan
dalam
melakukan perbandingan tersebut yaitu jenis mata pencaharian utama, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan sarana prasarana desa/kelurahan.
Mata Pencaharian Utama Mata pencaharian utama responden pada desa/kelurahan dampak adalah petani (50%) yang meliputi petani dengan lahan sendiri, petani yang menggarap lahan orang lain dengan sistem bagi hasil, dan nelayan. Mata pencaharian utama
84
lainnya adalah karyawan swasta (3.75%) meliputi karyawan perusahaan swasta, sopir, buruh bangunan, dan buruh pabrik, wiraswasta (30%) meliputi pedagang, tukang meubel, dan usaha milik sendiri, guru/PNS/ABRI (12.5%) termasuk yang masih honorer pada instansi pemerintah, dan lainnya (3.75%) meliputi pemulung dan responden yang sedang tidak bekerja karena kontrak kerja pada perusahaan telah habis dan dapat melamar bekerja kembali setelah enam bulan sejak masa kontrak berakhir. Mata pencaharian utama responden pada desa non-dampak sebagian besar adalah petani (90%), guru/PNS/ABRI (5%), dan wiraswasta (5%). Berdasarkan pelapisan sosial ekonomi, responden yang berada pada strata atas dan menengah sebagian besar memiliki mata pencaharian utama sebagai petani dan karyawan swasta, sedangkan responden pada strata bawah sebagian besar memiliki mata pencaharian utama sebagai petani (Lampiran 9). Mata pencaharian utama responden pada desa dampak lebih variatif dibandingkan dengan mata pencaharian utama responden pada desa non-dampak. Hal ini mencerminkan bahwa lapangan pekerjaan yang ada pada desa non-dampak masih terbatas pada sektor pertanian dan wiraswasta, sedangkan masyarakat desa non-dampak yang bekerja pada perusahaan swasta atau di luar sektor pertanian sangat jarang (Gambar 10).
Mata pencaharian utama responden desa/kelurahan dampak dan desa non-dampak 100 90 80 J um lah (% )
70 60 50 40 30 20 Dampak
10
Non dampak
0 Petani
Guru/PNS/ ABRI
Karyawan W iraswasta Swasta
Lainnya
Gambar 10 Mata pencaharian utama responden desa/kelurahan dampak dan desa non-dampak.
pada
85
Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan responden pada desa/kelurahan dampak adalah SD sebanyak 25%, SLTA sebanyak 25%, tidak tamat SD sebanyak 18.75%, SLTP sebanyak 16.25%, tidak pernah sekolah sebanyak 12.5%, Diploma sebanyak 1.25%, dan Sarjana sebanyak 1.25%. Sedangkan tingkat pendidikan responden pada desa non-dampak adalah SD sebanyak 55%, SLTP sebanyak 15%, tidak pernah sekolah sebanyak 10%, tidak tamat SD sebanyak 10%, dan SLTA sebanyak 10%. Berdasarkan pelapisan sosial ekonomi, responden yang yang berada pada strata atas umumnya memiliki tingkat pendidikan SLTA (42%), responden yang berada pada strata menengah umumnya memiliki tingkat pendidikan SLTA (35%), sedangkan responden yang berada pada strata bawah umumnya memiliki tingkat pendidikan SD (44%). Responden yang memiliki tingkat pendidikan Diploma atau Sarjana jarang ditemui dan hanya terdapat pada responden strata atas (Lampiran 10). Tingkat pendidikan responden menunjukkan bahwa responden yang memiliki tingkat pendidikan SLTP ke atas lebih banyak terdapat pada desa/kelurahan dampak dibandingkan dengan responden pada desa non-dampak. Namun persentase responden yang memiliki pendidikan setingkat SD lebih banyak terdapat pada desa non-dampak, sedangkan responden yang tidak pernah sekolah dan tidak tamat SD lebih banyak terdapat pada desa/kelurahan dampak (Gambar 11). Tingkat pendidikan responden pada desa/kelurahan dampak dan desa nondampak menunjukkan perbedaan yang cukup berarti.
Responden pada
desa/kelurahan dampak umumnya memiliki tingkat pendidikan yang lebih beragam yaitu dari tidak tamat SD sampai dengan setingkat SLTA. Sedangkan responden pada desa non-dampak umumnya berpendidikan setingkat SD. Hal ini disebabkan oleh tidak tersedianya sarana pendidikan yang lebih tinggi dan minimnya trasnportasi ke kota terdekat karena lokasinya yang relatif lebih jauh dibandingkan dengan desa/kelurahan dampak.
86
Tingkat pendidikan responden desa/kelurahan dampak dan desa non-dampak 60
J um lah (% )
50 40 30 20 10
Desa dampak Desa non-dampak
0
Tdk Tidak pernah tamat sekolah SD
SD
SLTP
SLTA Diploma
S1
Gambar 11 Tingkat pendidikan responden pada desa/kelurahan dampak dan desa non-dampak.
Tingkat Pendapatan Responden desa/kelurahan dampak yang memiliki tingkat pendapatan antara 500 ribu rupiah sampai dengan satu juta rupiah memiliki persentase yang paling besar yaitu 35%. Tingkat pendapatan responden lainnya pada desa/kelurahan dampak masing-masing 28.75% memiliki pendapatan kurang dari 500 ribu rupiah, di atas 2.5 juta rupiah sebanyak 11.5%, 1.5 juta rupiah sampai dengan 2 juta rupiah sebanyak 10%, satu juta rupiah sampai dengan 1.5 juta rupiah sebanyak 7.5%, dan 2 juta rupiah sampai dengan 2.5 juta rupiah sebanyak 7.5%. Sedangkan tingkat pendapatan responden pada desa non-dampak umumnya di bawah 500 ribu rupiah yaitu sebanyak 60%, sedangkan tingkat pendapatan antara 500 ribu rupiah sampai dengan satu juta rupiah sebanyak 30% . Responden yang memiliki pendapatan di bawah 500 ribu rupiah umumnya dari strata bawah, sedangkan responden yang memiliki pendapatan di atas dua juta rupiah umumnya dari strata atas (Lampiran 11). Tingkat pendapatan responden pada desa/kelurahan dampak dan desa non dampak menunjukkan perbedaan yang cukup menyolok. Responden yang memiliki pendapatan di bawah 500 ribu rupiah lebih banyak berada pada desa
87
non-dampak, sedangkan responden yang memiliki pendapatan di atas dua juta rupiah hanya terdapat pada desa/kelurahan dampak. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendapatan responden yang berada pada desa/kelurahan dampak relatif lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang berada pada desa non-dampak. Hal ini berarti bahwa tingkat pendapatan responden
desa/kelurahan dampak
relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pendapatan responden desa nondampak (Gambar 12).
Tingkat pendapatan responden desa/kelurahan dampak dan desa non-dampak 70 60
Jum lah (%)
50 40 30 20 10
Desa dampak Desa non-dampak
0 = 500.000
500.000 - 1.000.000 - 1.500.000 - 2.000.000 = 1.000.000 1.500.000 2.000.000 2.500.000 2.500.000
Gambar 12 Tingkat pendapatan responden pada desa/kelurahan dampak dan desa non-dampak.
Sarana Prasarana Sarana prasarana yang dijadikan perbandingan antara desa/kelurahan dampak dan desa non-dampak meliputi jalan, transportasi, ekonomi, pendidikan, kesehatan, ibadah, sumber penerangan, dan sumber air bersih. Sarana prasarana yang dimiliki oleh desa/kelurahan dampak tidak jauh berbeda dengan desa non-dampak. Kondisi jalan yang dimiliki oleh ketiga desa/kelurahan dampak yaitu Desa Suka Rahmat, Desa Suka Damai, dan Kelurahan Bontang Lestari umumnya adalah jalan tanah yang sulit dilewati pada waktu hujan. Jalan aspal hanya terdapat pada jalan provinsi yaitu jalan poros
88
Samarinda-Bontang dan Bontang-Sangatta. Namun jalan poros Bontang-Sangatta saat ini dalam keadaan rusak parah. Sumber penerangan responden umumnya menggunakan petromak atau genset baik dari bantuan pemerintah daerah Kutai Timur ataupun milik sendiri yang digunakan bersama untuk beberapa keluarga. Namun genset bantuan pemerintah daerah Kutai Timur hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat saja, bahkan sebagian genset tersebut dalam keadaan rusak sehingga tidak dapat digunakan lagi. Sedangkan sumber air bersih umumnya berasal dari sumur dan air hujan, bahkan sebagian besar responden di Desa Suka Rahmat harus membeli air dari Kota Bontang. Hal ini disebabkan sulitnya memperoleh air bersih khususnya untuk minum/makan. Bahkan beberapa sumur airnya tidak dapat dikomsumsi karena rasanya masam khususnya di Desa Suka Damai. Sarana pendidikan yang ada pada desa/kelurahan dampak masing-masing Desa Suka Damai dan Kelurahan Bontang Lestari hanya sampai tingkat SD, sedangkan Desa Suka Rahmat dan Kelurahan Kanaan masing-masing memiliki satu buah gedung SMP. Sedangkan sarana pendidikan yang terdapat pada desa non-dampak hanya setingkat SD. Untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, masyarakat harus ke Kota Bontang atau Sangatta. Namun hal ini memiliki kendala sendiri sebab sarana transportasi umum sangat kurang khususnya yang menuju ke Sangatta. Sarana kesehatan yang ada pada desa/kelurahan dampak masih minim, masing-masing hanya memiliki puskesmas pembantu tanpa tenaga dokter. Untuk memperoleh pengobatan yang memadai, masyarakat lebih banyak berobat ke rumah sakit yang berada di Kota Bontang. Meskipun PT Badak NGL memiliki rumah sakit sendiri dan memberikan pengobatan gratis kepada masyarakat tidak mampu, namun tidak semua lapisan masyarakat desa/kelurahan dampak dapat mengakses fasilitas tersebut. Hal ini disebabkan oleh kurangnya sosialisasi baik dari perusahaan sendiri maupun dari pemerintah daerah. Demikian pula dengan masyarakat yang berada di Desa Suka Damai dan Desa Suka Rahmat yang berdekatan langsung dengan lokasi pertambangan PT.Indominco Mandiri, umumnya mereka lebih cenderung berobat ke Kota Bontang dan tidak pernah mendapatkan pelayanan kesehatan dari perusahaan pertambangan.
89
Sarana kesehatan yang ada pada desa non-dampak yaitu Desa Kandolo hanya puskesmas keliling yang mengunjungi desa tersebut sekali dalam sebulan. Untuk mendapatkan pengobatan yang lebih memadai masyarakat lebih cenderung berobah ke rumah sakit yang berada di Kota Bontang dengan pertimbangan safilitas lebih lengkai dan sarana transportasi lebih mudah. Kelurahan dampak yang memiliki sarana prasarana yang cukup memadai hanya satu yaitu Kelurahan Kanaan. Hal ini didukung oleh letak dan posisi Kelurahan Kanaan yang berada di tengah Kota Bontang. Sarana prasarana yang dimiliki oleh desa/kelurahan dampak dan desa non-dampak disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Sarana prasarama desa/kelurahan dampak dan desa non-dampak
Desa nondampak
Desa/kelurahan dampak Jenis sarana prasarana
Suka Damai
Suka Rahmat
Bontang Lestari
Kanaan
Kandolo
Jalan
Tanah
Tanah
Tanah
Cor beton
Tanah
Transportasi umum
Kurang
Kurang
Kurang
Cukup
Kurang
Pasar
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Pendidikan
SD
SD, SMP
SD
SD, SMP
SD
Kesehatan
Puskesmas pembantu
Puskesmas pembantu
Puskesmas pembantu
Puskesmas pembantu
Puskesmas keliling
Ibadah
Cukup
Cukup
Cukup
Cukup
Cukup
Sumber penerangan
Petromak, listrik non PLN
Petromak, listrik non PLN
Petromak, listrik non PLN
Listrik PLN
Petromak, listrik non PLN
Sumber air bersih
Sumur/ air hujan
Sumur/ air hujan
Sumur/ air hujan
PAM/ sumur
Sumur/ air hujan
90
Dampak Kegiatan Pertambangan terhadap Masyarakat Lokal Dampak kegiatan pertambangan terhadap masyarakat lokal khususnya masyarakat yang berada di sekitar lokasi pertambangan dikelompokan menjadi dua yaitu dampak langsung dan dampak tidak langsung. Dampak langsung yang dapat dirasakan oleh masyarakat di sekitar tambang antara lain berupa kesempatan kerja, pemberian beasiswa, pelatihan dan penyuluhan, bantuan keuangan untuk kegiatan sosial, keagamaan, kepemudaan, dan kesehatan, pemberian sumbangan kepada masyarakat yang bersifat insidentil, serta bantuan sarana prasarana desa antara lain kantor desa dan sarana ibadah. Dampak tidak langsung yang dapat dirasakan oleh masyarakat adalah pembangunan infrastruktur antara lain jalan dan jembatan.
Dampak Langsung Penyerapan Tenaga Kerja Lokal Penyerapan tenaga kerja lokal oleh perusahaan pertambangan dirasakan masih sangat minim. Responden yang memiliki persepsi bahwa dampak kehadiran perusahaan pertambangan menyebabkan penyerapan tenaga kerja menjadi membaik hanya sebesar 5%, sedangkan responden yang menyatakan penyerapan tenaga kerja menjadi agak membaik sebesar 22.5%. Sebagian besar responden yang berasal dari ketiga strata yaitu sebesar 72.5% menyatakan bahwa kehadiran perusahaan pertambangan tidak memberikan perubahan terhadap penyerapan tenaga lokal (Lampiran 12). Pola asosiasi persepsi responden terhadap penyerapan tenaga kerja lokal oleh perusahaan pertambangan menunjukkan
pola yang menarik. Responden
yang berada pada Desa Suka Damai, Desa Suka Rahmat, dan Kelurahan Bontang Lestari memiliki persepsi bahwa kehadiran perusahaan tidak memberikan perubahan terhadap penyerapan tenaga kerja lokal. Responden yang berada pada Kelurahaan Kanaan memiliki persepsi bahwa kehadiran perusahaan pertambangan menyebabkan penyerapan tenaga kerja agak membaik (Gambar 13).
Hal ini
disebabkan oleh mata pencaharian utama responden di Kelurahan Kanaan adalah karyawan swasta dan Guru/PNS/ABRI yang didukung oleh tingkat pendidikan responden yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya.
91
2D Plot of Row and Column Coordinates; Dimension: 1 x 2 Input Table (Rows x Columns): 4 x 3 Standardization: Row and column profiles Dimension 2; Eigenvalue: .03204 (8.294% of Inertia)
0.4 BontangLestari
0.3
Agak membaik
0.2 0.1
SukaDamai Tidak berubah
0.0
Kanaan
-0.1 SukaRahmat
-0.2 -0.3 -0.4 -0.5 -0.6
Membaik
-0.7 -0.8 -0.9 -0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
Row.Coords Col.Coords
Dimension 1; Eigenvalue: .35426 (91.71% of Inertia)
Gambar 13
Pola asosiasi antara desa/kelurahan dengan persepsi penyerapan tenaga kerja oleh perusahaan pertambangan.
2D Plot of Row and Column Coordinates; Dimension: 1 x 2
Dimension 2; Eigenvalue: .00336 (7.836% of Inertia)
Input Table (Rows x Columns): 3 x 3 Standardization: Row and column profiles 0.20 Membaik 0.15
0.10
Bawah
Agak membaik
0.05
0.00
Menengah Tidak berubah
-0.05
Atas
-0.10 -0.8 -0.7 -0.6 -0.5 -0.4 -0.3 -0.2 -0.1
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
Row.Coords Col.Coords
Dimension 1; Eigenvalue: .03953 (92.16% of Inertia)
Gambar 14
Pola asosiasi antara pelapisan sosial ekonomi masyarakat dengan persepsi penyerapan tenaga kerja oleh perusahaan pertambangan.
92
Persepsi responden berdasarkan pelapisan sosial ekonomi memberikan beberapa pola asosiasi. Responden yang berada pada strata bawah berasosiasi dengan persepsi bahwa penyerapan tenaga kerja agak membaik, sedangkan responden yang berada pada strata atas dan menengah berasosiasi dengan persepsi bahwa kegiatan pertambangan tidak memberikan perubahan terhadap penyerapan tenaga kerja lokal (Gambar 14). Persepsi
responden
yang
umumnya
menyatakan
bahwa
kehadiran
perusahaan pertambangan tidak memberikan perubahan terhadap penyerapan tenaga kerja lokal didukung oleh minimnya responden yang bekerja pada perusahaan pertambangan tersebut. Responden yang bekerja pada perusahaan pertambangan sebanyak 8.75%, sedangkan yang pernah bekerja pada perusahaan sebanyak 8.75%. Responden yang tidak bekerja atau tidak pernah bekerja pada perusahaan pertambangan sebanyak 82.5%. Responden yang bekerja atau pernah bekerja pada perusahaan pertambangan umumnya berasal dari responden yang berada pada strata menengah yaitu masing-masing sebesar 17%. (Lampiran 13). Hasil analisis menunjukkan bahwa responden yang bekerja pada perusahaan pertambangan berasosiasi dengan Kelurahan Bontang Lestari, sedangkan responden yang pernah bekerja pada perusahaan pertambangan berasosiasi dengan Kelurahan Kanaan. Responden yang tidak pernah bekerja pada perusahaan pertambangan berasosiasi dengan Desa Suka Damai dan Desa Suka Rahmat (Gambar 15). Berdasarkan pelapisan sosial ekonomi, responden yang bekerja dan pernah bekerja pada perusahaan pertambangan berasosiasi dengan responden yang berada pada strata menengah, sedangkan responden yang tidak bekerja pada perusahaan pertambangan berasosiasi dengan responden yang berada pada strata atas dan bawah (Gambar 16). Hal ini menujukkan bahwa responden yang bekerja sebagai karyawan swasta adalah responden yang berada pada strata menengah sedangkan responden yang berada pada strata atas umumnya bekerja sebagai petani, wiraswasta, guru/PNS/ABRI dan responden yang berada pada strata bawah umumnya bekerja sebagai petani.
93
2D Plot of Row and Column Coordinates; Dimension: 1 x 2
Dimension 2; Eigenvalue: .02025 (22.76% of Inertia)
Input Table (Rows x Columns): 4 x 3 Standardization: Row and column profiles 0.3 SukaDamai
0.2 Kanaan
0.1 0.0 Pernah bekerja
Tidak bekerja SukaRahmat
-0.1 BontangLestari
-0.2 -0.3 -0.4
Bekerja
-0.5 -0.6 -1.0
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0.0
0.2
0.4
0.6
Row.Coords Col.Coords
Dimension 1; Eigenvalue: .06871 (77.24% of Inertia)
Gambar 15 Pola asosiasi antara responden yang bekerja, pernah bekerja dan tidak bekerja pada perusahaan pertambangan dengan desa/kelurahan.
2D Plot of Row and Column Coordinates; Dimension: 1 x 2
Dimension 2; Eigenvalue: .00725 (7.093% of Inertia)
Input Table (Rows x Columns): 3 x 3 Standardization: Row and column profiles 0.3
0.2
Pernah bekerja Bawah
0.1 Tidak bekerja 0.0
Menengah Atas
-0.1
-0.2
-0.3 -0.6
Bekerja
-0.4
-0.2
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Row.Coords Col.Coords
Dimension 1; Eigenvalue: .09498 (92.91% of Inertia)
Gambar 16 Pola asosiasi antara responden yang bekerja, pernah bekerja dan tidak bekerja pada perusahaan pertambangan dengan pelapisan sosial ekonomi.
94
Minimnya penyerapan tenaga kerja lokal oleh perusahaan tambang disebabkan oleh tingkat pendidikan masyarakat yang tidak memenuhi kriteria yang dipersyaratkan oleh perusahaan. Salah satu persyaratan untuk bekerja pada perusahaan pertambangan adalah tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan minimum yang dibutuhkan oleh perusahaan adalah SLTA, sedangkan responden umumnya memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah. Responden yang berpendidikan setingkat SLTA hanya sebesar 22% dan sebagian besar berada di Kelurahan Kanaan.
Kesejahteraan Keluarga Tingkat kesejahteraan keluarga dipengaruhi oleh tingkat pendapatan keluarga tersebut.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari baik untuk
sandang, pangan, pendidikan, dan kesehatan diperlukan pendapatan yang cukup. Perubahan tingkat pendapatan responden dalam lima tahun terakhir cukup beragam. Responden yang menyatakan mengalami perubahan tingkat pendapatan menjadi membaik sebanyak 25%, sedangkan yang tidak mengalami perubahan pendapatan sebanyak 33%. Sebagian besar responden, yaitu 42% mengalami penurunan pendapatan atau kondisi yang memburuk. Tingkat pendapatan yang membaik umumnya dirasakan oleh responden yang berada pada strata atas sebesar 47%, sedangkan tingkat pendapatan yang tidak mengalami perubahan atau memburuk umumnya terjadi pada responden yang berada pada strata bawah sebesar 46% (Lampiran 14). Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat pendapatan responden dalam lima tahun terakhir menunjukkan pola asosiasi yang menarik. Responden yang berada pada Desa Suka Damai dan Kelurahaan Kanaan berasosiasi dengan pendapatan yang agak membaik, sedangkan responden yang berada pada Desa Suka Rahmat dan Kelurahan Bontang Lestari berasosiasi dengan tidak ada perubahan terhadap pendapatan. Sebaliknya responden yang berada pada Desa Kandolo sebagai desa-non dampak berasosiasi dengan pendapatan yang memburuk (Gambar 17). Hasil wawancara dan observasi lapangan menunjukkan bahwa penurunan pendapatan dari responden pada umumnya disebabkan oleh tanaman yang rusak
95
atau gagal panen. Jenis komoditas yang ditanam oleh petani umumnya adalah pisang. Dua tahun belakangan ini, tanaman pisang diserang oleh sejenis virus sehingga daun dan pohon pisang kering, kalaupun dapat berbuah isi buahnya berwarna hitam. Serangan penyakit ini sangat besar pengaruhnya terhadap kondisi perekonomian beberapa desa yang menjadi pemasok tanaman pisang antara lain Desa Suka Rahmat, Desa Suka Damai, Desa Martadinata, Desa Teluk Pandan, dan Desa Kandolo.
2D Plot of Row and Column Coordinates; Dimension: 1 x 2
Dimension 2; Eigenvalue: .02367 (14.24% of Inertia)
Input Table (Rows x Columns): 5 x 3 Standardization: Row and column profiles 0.3
0.2
MembaikKanaan SukaDamai
0.1
Memburuk
Kandolo
0.0
-0.1 BontangLestari Tidak berubahSukaRahmat
-0.2
-0.3 -0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
Row.Coords Col.Coords
Dimension 1; Eigenvalue: .14260 (85.76% of Inertia)
Gambar 17 Pola asosiasi antara tingkat pendapatan responden dalam lima tahun terakhir dengan desa/kelurahan. Disamping gagal panen atau tanaman rusak, pendapatan responden Desa Kandolo yang memburuk juga disebabkan oleh tidak tersedianya lapangan kerja selain sebagai petani. Sebaliknya perubahan pendapatan responden kearah yang membaik yang terjadi di Desa Suka Damai dan Kelurahan Kanaan tidak disebabkan oleh kehadiran perusahaan pertambangan. Hal ini dukung oleh pendapatan responden di Desa Suka Rahmat dan Bontang Lestari yang tidak
96
mengalami perubahan walaupun
termasuk desa binaan dari perusahaan
pertambangan. Berdasarkan pelapisan sosial ekonomi masyarakat, pendapatan yang mengalami kondisi memburuk berasosiasi dengan responden yang berada pada strata menengah, sedangkan pendapatan yang membaik berasosiasi dengan responden pada strata atas. Sebaliknya responden yang berada pada strata bawah berasosiasi dengan pendapatan yang tidak berubah (Gambar 18).
2D Plot of Row and Column Coordinates; Dimension: 1 x 2
Dimension 2; Eigenvalue: .00199 (1.920% of Inertia)
Input Table (Rows x Columns): 3 x 3 Standardization: Row and column profiles 0.08 Menengah 0.06
Memburuk
0.04 0.02 0.00 Membaik Bawah
-0.02 Atas -0.04
Tidak berubah -0.06 -0.08 -0.6 -0.5 -0.4 -0.3 -0.2 -0.1
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
Row.Coords Col.Coords
Dimension 1; Eigenvalue: .10149 (98.08% of Inertia)
Gambar 18 Pola assosiasi tingkat pendapatan responden dalam lima tahun terakhir dengan pelapisan sosial ekonomi. Adapun sumber perubahan tingkat pendapatan responden kearah yang lebih baik khususnya responden yang berada pada strata atas dan menengah sebagian besar berasal dari usaha sendiri, sedangkan sumber perubahan pendapatan pada strata bawah umumnya berasal dari program pemerintah dan usaha sendiri (Tabel 24). Peningkatan pendapatan dari usaha sendiri dimungkinkan karena responden yang berada pada strata atas memiliki modal untuk melakukan usaha sendiri antara lain membuka warung, rumah makan, menambah jenis komoditas, dan melakukan pemupukan pada komoditas yang ditanam.
97
Tabel 24 Sumber perubahan pendapatan responden berdasarkan pelapisan sosial ekonomi
Pelapisan sosial ekonomi
Jumlah responden (%) Program Perusahaan Pemerintah lain 14 14 38 0 40 0
Perusahaan
Atas Menengah Bawah
14 13 20
Usaha sendiri 57 50 40
Hasil analisis menunjukkan bahwa responden yang berada pada strata bawah berasosiasi dengan sumber perubahan pendapatan yang berasal dari perusahaan pertambangan dan program pemerintah, sedangkan responden yang berada pada strata menengah berasosiasi dengan sumber perubahan pendapatan yang berasal dari program pemerintah dan usaha sendiri. Responden yang berada strata atas berasosiasi dengan sumber perubahan pendapatan yang berasal dari usaha sendiri (Gambar 19).
2D Plot of Row and Column Coordinates; Dimension: 1 x 2 Input Table (Rows x Columns): 3 x 4 Standardization: Row and column profiles Dimension 2; Eigenvalue: .00804 (5.170% of Inertia)
0.25 0.20
Perusahaan
0.15 Perusahaan Lain
Bawah 0.10 0.05 Atas
Program Pemerintah 0.00 -0.05 -0.10
Usaha Sendiri Menengah
-0.15 -0.6 -0.4 -0.2
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.4
1.6
1.8
Row.Coords Col.Coords
Dimension 1; Eigenvalue: .14752 (94.83% of Inertia)
Gambar 19 Pola asosiasi antara sumber perubahan pendapatan responden dengan pelapisan sosial ekonomi.
98
Persepsi masyarakat terhadap dampak kegiatan pertambangan terhadap kesejahteraan keluarga sangat beragam. Sebanyak 50% responden memiliki persepsi bahwa perusahaan pertambangan tidak memberikan dampak terhadap kesejahteraan keluarga. Responden yang memiliki persepsi bahwa perusahaan pertambangan memberikan dampak terhadap kesejahteraan keluarga sebanyak 35%, sedang 8.75%, dan besar 6.25%. Responden yang menyatakan bahwa perusahaan pertambangan memberikan dampak terhadap kesejahteraan keluarga umumnya berasal dari strata atas, sedangkan 50% dari responden yang berasal dari strata menengah dan bawah menyatakan bahwa perusahaan pertambangan tidak memberikan dampak terhadap kesejahteraan keluarga (Lampiran 15). Hasil analisis menunjukkan bahwa responden yang berada pada Desa Suka Damai dan Desa Suka Rahmat berasosiasi dengan persepsi bahwa perusahaan pertambangan tidak memberikan dampak terhadap kesejahteraan keluarga. Responden yang berada pada Kelurahan Bontang Lestari berasosiasi dengan persepsi bahwa dampak perusahaan pertambangan terhadap kesejahteraan keluarga adalah sedang, sedangkan responden yang berada pada Kelurahan Kanaan berasosiasi dengan dua macam persepsi yaitu persepsi yang menyatakan bahwa perusahaan pertambangan memberikan dampak
yang besar terhadap
kesejahteraan keluarga dan persepsi yang menyatakan bahwa dampak perusahaan pertambangan terhadap kesejahteraan keluarga adalah kecil (Gambar 20). Adanya dua macam persepsi yang berbeda pada Kelurahan Kanaan disebabkan oleh adanya pelapisan sosial pada masyarakat. Responden yang memiliki persepsi bahwa perusahaan memberikan dampak yang besar terhadap kesejahteraan keluaraga adalah responden yang berada pada strata atas. Sebaliknya responden yang berada pada strata bawah memiliki persepsi bahwa dampak perusahaan pertambangan terhadap kesejahteraan keluarga adalah kecil dan tidak ada. Hal ini mencerminkan bahwa program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan sebagian besar hanya menyentuh masyarakat pada strata atas. Persepsi responden yang berada pada strata menengah mengenai dampak perusahaan pertambangan terhadap kesejahteraan keluarga berasosiasi dengan sedang (Gambar 21).
99 2D Plot of Row and Column Coordinates; Dimension: 1 x 2 Input Table (Rows x Columns): 4 x 4 Standardization: Row and column profiles Dimension 2; Eigenvalue: .07188 (16.81% of Inertia)
1.0 Sedang 0.8 0.6 BontangLestari
0.4 0.2 SukaRahmat 0.0
Kecil
Tidak Ada
Kanaan -0.2
SukaDamai
Besar
-0.4 -0.6 -0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
Row.Coords Col.Coords
Dimension 1; Eigenvalue: .35558 (83.18% of Inertia)
Gambar 20 Pola asosiasi antara desa/kelurahan dengan persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap kesejahteraan keluarga
2D Plot of Row and Column Coordinates; Dimension: 1 x 2
Dimension 2; Eigenvalue: .08121 (47.53% of Inertia)
Input Table (Rows x Columns): 3 x 4 Standardization: Row and column profiles 0.6 Bawah
0.4
Kecil 0.2 Tidak ada 0.0 -0.2
Atas Besar
Menengah
-0.4 -0.6
Sedang
-0.8 -1.0 -0.6
-0.4
-0.2
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
Row.Coords Col.Coords
Dimension 1; Eigenvalue: .08963 (52.47% of Inertia)
Gambar 21 Pola asosiasi antara pelapisan sosial ekonomi masyarakat dengan persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap kesejahteraan keluarga
100
Salah satu hal yang dianggap berperan dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga adalah kesempatan mendapatkan pendidikan yang layak bagi anak-anak melalui pemberian dana pendidikan berupa beasiswa dan keikutsertaan dalam program community development yang dilaksanakan oleh perusahaan. Salah satu faktor yang menunjang kelangsungan pendidikan anak-anak untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dipengaruhi adalah penerimaan beasiswa baik yang berasal dari pemerintah maupun dari pihak swasta yaitu perusahaan pertambangan yang beroperasional di daerah tersebut. Berdasarkan hasil survei lapang, responden yang anak-anaknya memperoleh beasiswa dari perusahaan pertambangan sebanyak 6%, yang pernah memperoleh beasiswa 9%, dan yang tidak mendapatkan beasiswa 85% (Lampiran 16). Berhentinya penerimaan beasiswa oleh anak-anak responden disebabkan oleh jangka waktu yang telah habis dan tidak diperpanjang lagi oleh perusahaan atau harus melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Beasiswa umumnya diberikan kepada jenjang pendidikan tertentu, sehingga pada saat melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi beasiswa dihentikan. Hasil analisis menunjukkan bahwa responden yang anak-anaknya menerima beasiswa dari perusahaan pertambangan berasosiasi dengan Desa Suka Damai. Responden yang pernah menerima beasiswa dari perusahaan pertambangan berasosiasi dengan Desa Suka Damai, sedangkan responden yang tidak menerima beasiswa dari perusahaan pertambangan berasosiasi dengan Desa Suka Rahmat, Kelurahan Bontang Lestari, dan Kelurahan Kanaan (Gambar 22). Berdasarkan pelapisan sosial ekonomi, responden yang menerima beasiswa dari perusahaan pertambangan berasosiasi dengan responden yang berada pada strata atas,
sedangkan responden yang tidak mendapatkan beasiswa dari
perusahaan pertambangan berasosiasi dengan responden yang berada pada strata menengah dan bawah. Responden yang pernah dapat beasiswa jumlahnya jarang sehingga tidak memiliki asosiasi dengan salah satu strata (Gambar 23). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian beasiswa dari perusahaan pertambangan belum merata dan hanya menyentuh pada masyarakat yang berada pada strata atas. Disamping itu, pemberian beasiswa diberikan hanya untuk jangka waktu dan jenjang pendidikan tertentu saja sehingga beberapa anak yang biaya
101
pendidikannya tergantung dari pemberian besiswa tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. 2D Plot of Row and Column Coordinates; Dimension: 1 x 2
Dimension 2; Eigenvalue: .00139 (4.415% of Inertia)
Input Table (Rows x Columns): 4 x 3 Standardization: Row and column profiles 0.16 0.14
Menerima
0.12 0.10 0.08 0.06 0.04
SukaDamai
BontangLestari SukaRahmat
0.02
Tidak menerima
0.00 -0.02 -0.04 -0.06
Kanaan
Pernah menerima
-0.08 -0.10 -0.6
-0.5
-0.4
-0.3
-0.2
-0.1
0.0
0.1
0.2
0.3
Row.Coords Col.Coords
Dimension 1; Eigenvalue: .03016 (95.59% of Inertia)
Gambar 22 Pola asosiasi antara responden yang menerima beasiswa, pernah menerima beasiswa, dan tidak menerima beasiswa dari perusahaan pertambangan dengan desa/kelurahan.
Kegiatan community development yang dilaksanakan oleh perusahaan pertambangan diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan keluarga khususnya bagi masyarakat yang berada di sekitar lokasi tambang. Hal ini dapat ditempuh melalui keikutsertaan responden dalam program community development yang dilaksanakan oleh perusahaan khususnya dalam bentuk pemberdayaan masyarakat dan pertumbuhan usaha-usaha kecil. Namun responden yang pernah terlibat dalam kegiatan community development perusahaan hanya sebanyak 15%, sedangkan sebanyak 85% responden tidak pernah ikutserta dalam program community develolpment perusahaan pertambangan (Lampiran 17). Disamping itu, responden yang ikutserta dalam program
community
develolpment perusahaan pertambangan lebih banyak yang berasal dari strata atas (Gambar 24).
102
2D Plot of Row and Column Coordinates; Dimension: 1 x 2
Dimension 2; Eigenvalue: .00787 (18.20% of Inertia)
Input Table (Rows x Columns): 3 x 3 Standardization: Row and column profiles 0.4
0.3
Pernah menerima
0.2 Menerima Atas
0.1
Bawah 0.0
Tidak menerima Menengah
-0.1
-0.2 -0.7 -0.6 -0.5 -0.4 -0.3 -0.2 -0.1
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
Row.Coords Col.Coords
Dimension 1; Eigenvalue: .03538 (81.80% of Inertia)
Gambar 23 Pola asosiasi antara responden yang menerima beasiswa, pernah menerima beasiswa, dan tidak menerima beasiswa dari perusahaan pertambangan dengan pelapisan sosial ekonomi.
Keikutsertaan responden dalam program community development perusahaan pertambangan 100 90 80
Jum lah (%)
70 60 Ya
50
Tidak
40 30 20 10 0 Atas
Menengah
Bawah
Gambar 24 Keikutsertaan responden dalam kegiatan community development perusahaan pertambangan berdasarkan pelapisan sosial ekonomi.
103
Keterlibatan masyarakat pada program community development yang dilaksanakan PT Indominco Mandiri dan PT Badak NGL sangatlah rendah. Hal ini disebabkan
oleh
sifat program kegiatan community development yang
dilaksanakan oleh perusahaan masih merupakan proyek dan masyarakat sebagai obyek. Hal ini tercermin dari program kegiatan yang belum sesuai dengan keinginan masyarakat dan kebutuhan masyarakat, serta tidak menyentuh semua lapisan masyarakat. Program yang dilaksanakan oleh perusahaan sebagian besar hanya dinikmati oleh masyarakat pada lapisan atas.
Kesejahteraan Masyarakat Selain memberikan dampak terhadap kesejahteraan keluarga, kehadiran perusahaan tambang diharapkan pula dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya khususnya masyarakat yang berada pada desa-desa di sekitar lokasi tambang. Namun sebagian besar responden (62.75%) memiliki persespi bahwa kehadiran perusahaan pertambangan tidak memberikan perubahan terhadap kesejahteraan masyarakat. Jumlah responden yang memiliki persepsi kesejahteraan masyarakat agak membaik sebanyak 26.25%, sedangkan yang menyatakan membaik sebanyak 8.75%. Namun responden yang memiliki persepsi bahwa kehadiran perusahaan pertambangan memberikan dampak terhadap kesejahteraan masyarakat umumnya berasal dari strata atas dan menengah (Lampiran 18). Hasil analisis menunjukkan bahwa persepsi responden terhadap dampak perusahaan
pertambangan
dalam
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
menghasilkan pola asosiasi yang menarik (Gambar 25). Responden yang berada pada Desa Suka Damai dan Desa Suka Rahmat berasosiasi dengan persepsi bahwa kehadiran perusahaan pertambangan tidak memberikan perubahan terhadap kesejahteraan masyarakat. Hal ini didukung oleh kondisi lapangan yang menunjukkan bahwa kondisi kesejahteraan masyarakat yang berada pada Desa Suka Damai dan Desa Suka Rahmat tidak jauh berbeda dengan masyarakat yang berada pada desa non-dampak yaitu Desa Kandolo. Responden yang berada Kelurahan Kanaan berasosiasi dengan persepsi yang menyatakan bahwa kehadiran perusahaan memberikan perubahan yang agak
104
membaik terhadap kesejahteraan masyarakat pada kelurahan tersebut. Responden yang berada pada Kelurahan Bontang Lestari berasosiasi dengan persepsi yang menyatakan bahwa kesejahteraan masyarakat membaik setelah adanya perusahaan pertambangan. Hal ini dimungkinkan dengan adanya sentuhan program community development pada Kelurahan Kanaan dan meningkatnya jumlah responden yang bekerja pada sub kontraktor perusahaan pertambangan di Kelurahan Bontang Lestari.
2D Plot of Row and Column Coordinates; Dimension: 1 x 2
Dimension 2; Eigenvalue: .04469 (6.635% of Inertia)
Input Table (Rows x Columns): 4 x 3 Standardization: Row and column profiles 0.3 0.2 0.1
Agak membaik Kanaan SukaDamai SukaRahmat Tidak berubah
0.0 -0.1 -0.2 -0.3
BontangLestari
-0.4 -0.5 -0.6
Membaik
-0.7 -0.8 -1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
1.5
Row.Coords Col.Coords
Dimension 1; Eigenvalue: .62882 (93.36% of Inertia)
Gambar 25 Pola assosiasi antara desa/kelurahan dengan persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap kesejahteraan masyarakat.
Namun peningkatan kesejahteraan sebagai dampak dari kehadiran perusahaan pertambangan yang agak membaik atau membaik belum dinikmati oleh semua lapisan masyarakat. Berdasarkan pelapisan sosial ekonomi, masyarakat yang memiliki persepsi bahwa kesejahteraan masyarakat menjadi membaik setelah adanya perusahaan pertambangan adalah responden yang berada pada strata atas. Sebaliknya responden pada strata menengah memiliki persepsi bahwa kehadiran perusahaan pertambangan tidak memberikan perubahan terhadap kesejahteraan masyarakat. Namun responden pada strata bawah
105
berasosiasi dengan persepsi bahwa kesejahteraan masyarakat agak membaik setelah adanya perusahaan pertambangan (Gambar 26). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kesejahteraan belum dirasakan secara merata oleh semua lapisan masyarakat. 2D Plot of Row and Column Coordinates; Dimension: 1 x 2
Dimension 2; Eigenvalue: .00028 (1.530% of Inertia)
Input Table (Rows x Columns): 3 x 3 Standardization: Row and column profiles 0.04 Membaik 0.03 Atas
0.02
Agak membaik
0.01 Bawah 0.00 Tidak berubah
-0.01
Menengah
-0.02 -0.03 -0.4
-0.3
-0.2
-0.1
0.0
0.1
0.2
0.3
Row.Coords Col.Coords
Dimension 1; Eigenvalue: .01789 (98.47% of Inertia)
Gambar 26 Pola assosiasi antara pelapisan sosial ekonomi dengan persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Salah satu aspek yang dilihat dari peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah tumbuhnya usaha kecil (warung, koperasi, dan lainya) sebagai salah satu indikasi pertumbuhan perekonomian di desa tersebut. Persepsi responden yang menyatakan bahwa kehadiran perusahaan pertambangan memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan usaha-usaha kecil sehingga kondisinya menjadi lebih membaik hanya 3.75%. Responden yang memiliki persepsi bahwa usahausaha kecil agak membaik sebanyak 55%, sedangkan responden yang memiliki persepsi tidak ada perubahan sebanyak 41.25% (Lampiran 19). Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat pola asosiasi yang menarik antara persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap usaha kecil dengan desa/kelurahan (Gambar 27).
106
Responden yang berada pada Desa Suka Damai dan Kelurahan Kanaan berasosiasi dengan persepsi bahwa kehadiran perusahaan menyebabkan pertumbuhan dan kondisi usaha-usaha kecil agak membaik. Hal ini didukung oleh kenyataan di lapangan bahwa usaha-usaha kecil pada kedua lokasi tersebut cukup berkembang. Sepanjang jalan poros Samarinda-Bontang yang merupakan wilayah Desa Suka Damai bermunculan warung makan baik yang dibuka oleh masyarakat setempat maupun pendatang yang tujuan utamanya datang ke lokasi tersebut adalah untuk membuka usaha warung.
2D Plot of Row and Column Coordinates; Dimension: 1 x 2 Input Table (Rows x Columns): 4 x 3 Standardization: Row and column profiles Dimension 2; Eigenvalue: .08734 (11.54% of Inertia)
0.6 SukaDamai
0.4 0.2 0.0
Agak membaik
BontangLestari Tidak berubah SukaRahmat
-0.2 Kanaan
-0.4 -0.6 -0.8 -1.0 -1.2
Membaik
-1.4 -1.6 -1.8 -1.5
-1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
1.5
Row.Coords Col.Coords
Dimension 1; Eigenvalue: .66948 (88.46% of Inertia)
Gambar 27 Pola asosiasi antara desa/kelurahan dengan persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap usaha –usaha kecil.
Usaha warung yang bermunculan di sepanjang jalan poros SamarindaBontang lebih disebabkan oleh semakin ramainya jalur tersebut dilalui oleh kendaraan. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pemilik warung, diketahui bahwa kepindahan mereka ke lokasi tersebut bukan karena adanya perusahaan
pertambangan. Mereka pindah ke lokasi tersebut karena belum
107
memiliki mata pencaharian yang tetap atau pendapatan mereka tidak mencukupi di tempat yang lama. Namun responden Desa Suka Rahmat dan Kelurahan Bontang Lestari berasosiasi dengan persepsi bahwa kehadiran perusahaan pertambangan tidak memberikan perubahan terhadap usaha kecil pada desa/kelurahan tersebut. Perubahan kondisi usaha kecil sebagai dampak dari kehadiran perusahaan pertambangan berdasarkan pelapisan sosial ekonomi masyarakat memberikan pola asosiasi yang menarik. Responden yang memiliki persepsi bahwa kehadiran perusahaan pertambangan memberikan kontribusi terhadap usaha kecil sehingga menjadi membaik berasosiasi dengan strata bawah. Namun responden pada strata menengah dan atas memiliki persepsi bahwa kehadiran perusahaan tidak memberikan perubahan terhadap usaha kecil (Gambar 28).
2D Plot of Row and Column Coordinates; Dimension: 1 x 2 Input Table (Rows x Columns): 3 x 3 Standardization: Row and column profiles Dimension 2; Eigenvalue: .00252 (7.683% of Inertia)
0.16 0.14
Membaik
0.12 0.10 0.08
Bawah Agak membaik
0.06 0.04 0.02 0.00 -0.02
Atas Tidak berubah Menengah
-0.04 -0.06 -0.9
-0.7 -0.8
-0.5 -0.6
-0.3 -0.4
-0.1 -0.2
0.1 0.0
0.3 0.2
0.4
Row.Coords Col.Coords
Dimension 1; Eigenvalue: .03027 (92.32% of Inertia)
Gambar 28 Pola asosiasi antara pelapisan sosial ekonomi masyarakat dengan persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap usaha-usaha kecil.
108
Pemberian Bantuan yang Bersifat Insidentil Pemberian bantuan yang bersifat insidentil diberikan kepada anggota masyarakat, organisasi kepemudaan, LSM, maupun instansi pemerintah setelah mengajukan proposal kepada perusahaan. Proposal tersebut biasanya berisi permohonan bantuan untuk biaya pengobatan, kegiatan dalam rangka peringatan hari-hari besar agama dan nasional, berbagai kegiatan seminar, kegiatan bidang pendidikan, olahraga dan seni, maupun akomodasi dan transportasi khususnya dari instansi pemerintah. Namun banyaknya permintaan bantuan insidentil tersebut mengakibatkan perusahaan mengalami kesulitan dalam menjalankan program kegiatan yang telah dibuat terutama dalam pengalokasian dana.
Dampak Tidak Langsung Dampak tidak langsung yang diberikan oleh perusahaan terhadap masyarakat di sekitar lokasi pertambangan umumnya dalam bentuk pembangunan infrastruktur atau bentuk fisik. Bantuan pembangunan infrastruktur desa
yang telah diberikan oleh
PT.Indominco Mandiri antara lain pembangunan kantor desa, jalan, dan jembatan. Namun persentase jumlah jalan yang dibangun oleh perusahaan sangat kecil. Berdasarkan hasil observasi lapang dan wawancara dengan tokoh masyarakat dan anggota masyarakat, jalan dan jembatan yang telah dibangun oleh PT Indominco Mandiri berupa jalan tanah dan jembatan kayu menuju Dusun Danau Redan. Namun pada musim hujan jalan tersebut tidak dapat dilalui oleh kendaraan karena kondisi tanahnya yang liat. Kondisi jalan pada kedua desa binaan PT Indominco Mandiri, yaitu Desa Suka Damai dan Desa Suka Rahmat, lebih dominan jalan tanah. Jalan aspal hanya ditemui pada pemukiman yang berada pada jalan poros Samarinda-Bontang, selebihnya merupakan jalan tanah. Untuk mencapai dusun atau pemukiman penduduk yang berada di pedalaman, harus menggunakan jalan tanah yang tidak dapat dilalui kendaraan pada waktu hujan. Kondisi jalan pada Kelurahan Bontang Lestari tidak jauh berbeda dengan kedua desa tersebut di atas. Untuk mencapai kelurahan tersebut melewati jalan
109
tanah yang diperkeras sepanjang ± 15 km, namun pada musim hujan sulit untuk dilewati kendaraan. Keberadaan jalan inipun dalam rangka menunjang persiapan pemindahan pemerintahan Kota Bontang ke Kelurahan Bontang Lestari dan merupakan program dari pemerintah daerah setempat. Menurut hasil wawancara dengan tokoh masyarakat setempat maupun warga masyarakat, PT Badak NGL belum pernah memberikan bantuan dalam bentuk pembangunan infrastruktur di kelurahan tersebut. Padahal salah satu dusun di kelurahan tersebut, yaitu Dusun Baltim yang termasuk dalam RT 01 dan 02, berbatasan langsung dengan tanah milik PT Badak NGL (Gambar 29).
Gambar 29 Rumah masyarakat yang berbatasan langsung dengan lahan milik PT Badak NGL di Dusun Baltim Kelurahan Bontang Lestari
Bantuan pembangunan fisik yang umumnya diberikan oleh PT Badak NGL antara lain dalam bentuk renovasi atau perbaikan gedung instansi pemerintah dan semenisasi jalan-jalan pada beberapa kelurahan.
110
Konflik Kehadiran perusahaan pertambangan pada suatu lokasi tidak terlepas dari konflik, baik antar masyarakat dengan masyarakat lain khususnya pendatang maupun antara masyarakat dengan perusahaan. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, tokoh masyarakat, dan aparat desa, tidak ada konflik antara masyarakat dengan pendatang. Hal ini disebabkan pendatang yang ada umumnya merupakan anggota keluarga dari masyarakat sendiri atau berasal dari daerah asal yang sama. Hasil wawancara dengan responden dan tokoh masyarakat menunjukkan bahwa terdapat konflik antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan, baik PT Indominco Mandiri maupun PT Badak NGL. Responden yang menyatakan adanya konflik antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan sebanyak 17.5%, sedangkan yang menyatakan tidak ada konflik dengan perusahaan pertambangan sebanyak 82.5% (Lampiran 20). Konflik yang terjadi antara masyarakat yang berada pada Desa Suka Damai dan Desa Suka Rahmat dengan PT Indominco Mandiri menyangkut ganti rugi akibat tumpang tindih lahan garapan masyarakat dengan wilayah kerja pertambangan dan penyerapan tenaga kerja yang dianggap sangat minim oleh masyarakat. Sedangkan konflik antara masyarakat Kelurahan Bontang Lestari dan Kelurahaan Kanaan dengan PT Badak NGL menyangkut kurangnya kontribusi dan perhatian perusahaan terhadap masyarakat baik dalam bentuk fisik maupun non fisik. Konflik yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan berdasarkan pelapisan sosial ekonomi memberikan pola asosiasi tertentu. Responden yang berada pada strata atas dan strata bawah berasosiasi dengan tidak ada konflik. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat pada strata atas dan bawah cenderung tidak bermasalah dengan kehadiran perusahaan pertambangan. Responden yang berada pada strata atas cenderung memiliki usaha sendiri dan tidak terpengaruh dengan kehadiran perusahaan pertambangan. Sebaliknya responden yang berada pada strata bawah lebih memilih sikap diam dan cenderung tidak peduli dengan kehadiran perusahaan pertambangan. Hasil wawancara dengan responden yang berada pada strata bawah mengungkapkan
111
bahwa kehadiran perusahaan pertambangan di daerah mereka tidak akan memberikan perubahan yang berarti bagi kesejahteraan hidup mereka. Oleh karena itu, mereka lebih memilih sikap diam dan menekuni pekerjaan mereka. Namun responden yang berada pada strata menengah berasosiasi dengan adanya konflik terhadap PT Indominco Mandiri (Gambar 30).
2D Plot of Row and Column Coordinates; Dimension: 1 x 2 Input Table (Rows x Columns): 3 x 3 Standardization: Row and column profiles Dimension 2; Eigenvalue: .00027 (.6236% of Inertia)
0.04 0.03
Atas
0.02 0.01
Tidak ada konflik
0.00 -0.01
PTIM
Menengah Bawah
-0.02 -0.03 -0.04 -0.05 -0.06
PTB
-0.07 -0.08 -0.4
-0.3
-0.2
-0.1
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
Row.Coords Col.Coords
Dimension 1; Eigenvalue: .04283 (99.38% of Inertia)
Keterangan : PTIM : PTB :
Gambar 30
PT Indominco Mandiri PT Badak NGL
Pola asosiasi antara pelapisan sosial ekonomi dengan konflik masyarakat dengan PT Indominco Mandiri dan PT Badak NGL
Disamping konflik dengan perusahaan,
permasalahan lain yang sedang
dihadapi oleh masyarakat adalah konflik wilayah sebagai dampak dari pemekaran wilayah. Konflik yang terjadi sebagai dampak dari pemekaran wilayah tersebut ditemui pada wilayah perbatasan Kabupaten Kutai Timur dan Kota Bontang yaitu Desa Suka Damai dan Desa Suka Rahmat. Desa Suka Damai dan Desa Suka Rahmat secara administrasi termasuk dalam wilayah Kabupaten Kutai Timur. Namun sebelum kedua daerah tersebut menjadi daerah otonom, masyarakat yang
112
menempati kedua desa tersebut lebih banyak berinteraksi dengan Kota Bontang, mulai dari kartu identitas, pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok lainnya. Hal ini dikarenakan kedekatan jarak dan kemudahan sarana transportasi. Masyarakat Desa Suka Damai yang memilih bergabung dengan Kota Bontang membentuk desa baru yaitu Desa Persiapan Kali Gowa sebagai bentuk protes dan ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah daerah (Lampiran 21), sedangkan masyarakat desa Suka Rahmat yang memilih bergabung dengan Kota Bontang membentuk desa baru dengan nama Desa Persiapan Sungai Bontang.
Ikhtisar Program community development yang dilaksanakan oleh PT Indominco Mandiri dan PT Badak NGL tidak memberikan dampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar lokasi pertambangan. Program kegiatan community development yang dilaksanakan oleh perusahaan sifatnya merupakan proyek dan masyarakat sebagai obyek. Hal ini tercermin dari program kegiatan yang belum sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat, serta belum menyentuh semua lapisan masyarakat. Program yang dilaksanakan oleh perusahaan sebagian besar hanya dinikmati oleh masyarakat pada lapisan atas. Sarana prasarana fisik atau infrastruktur pada desa dampak dan desa nondampak tidak banyak menunjukkan perbedaan. Sumber penerangan, sumber air bersih, sarana jalan, sarana pendidikan, sarana ibadah, dan sarana transportasi adalah seragam pada ketiga desa dampak yaitu Desa Suka Damai, Desa Suka Rahmat, dan Kelurahan Bontang Lestari dengan desa non-dampak yaitu Desa Kandolo. Desa dampak yang memiliki fasilitas yang lebih baik adalah Kelurahan Kanaan karena didukung oleh posisi kelurahan tersebut yang berada di tengah Kota Bontang sehingga terjangkau oleh fasilitas listrik (PLN) dan air bersih (PAM). Dengan demikian, program community development PT Indominco Mandiri dan PT Badak NGL belum sepenuhnya dapat dinikmati oleh masyarakat di sekitar lokasi pertambangan antara lain dalam bentuk kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi mikro antara lain usaha-usaha kecil, peningkatan kualitas SDM melalui peningkatan tingkat pendidikan, dan lainnya.
113
Adapun
dampak
kegiatan
pertambangan
terhadap
pengembangan
masyarakat khususnya yang berada di sekitar lokasi pertambangan disajikan pada Tabel 25.
Tabel 25 Dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan masyarakat
No.
Dampak terhadap pengembangan masyarakat
1
Penyerapan tenaga kerja lokal
2
Tingkat kesejahteraan keluarga Sedang
Kurang
3
Tingkat pendidikan
Kurang
Sedang
4
Tingkat pendapatan
Tidak berubah
Tidak berubah
5
Tingkat kesejahteraan masyarakat
Agak membaik
Tidak berubah
6
Pertumbuhan usaha-usaha kecil
Tidak berubah
Tidak berubah
7
Konflik
Tidak ada
Ada
Kota Bontang Agak membaik
Kabupaten Kutai Timur Tidak berubah
KESESUAIAN PERUNTUKAN DAN PEMANFAATAN RUANG Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang memberikan sebuah nuansa baru dalam kegiatan penataan ruang di daerah. Undang-undang tersebut telah memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk mengelola penataan ruang wilayahnya sehingga produk penataan ruang diharapkan lebih luwes dan fleksibel untuk mengantisipasi perkembangan dan dinamika masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian di ganti dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, daerah diberi kewenangan dalam mengatur, membagi dan memanfaatkan sumberdaya alam maupun sumberdaya lainnya yang dimiliki oleh daerah tersebut.
Kewenangan yang diberikan memberikan
keleluasaan kepada pemerintah daerah dalam melakukan pengaturan dan perencanaan pengelolaan sumberdaya alam yang dimilikinya. Tata Ruang dalam pandangan pemerintah merupakan pengaturan ruang berdasarkan berbagai fungsi dan kepentingan tertentu atau pengaturan tempat bagi berbagai aktivitas manusia. Untuk memenuhi kebutuhan semua pihak dengan adil, menghindari persengketaan serta untuk menjamin kelestarian lingkungan maka dibutuhkan suatu proses yaitu penataan ruang. Dalam penataan ruang, berbagai sumberdaya alam ditata dari segi letak dan luas sebagai suatu kesatuan dengan memperhatikan keseimbangan antara berbagai pemanfaatan antara lain kawasan pertambangan dengan kawasan hutan lindung. Hasil dari penataan ruang ini kemudian disebut sebagai Rencana Tata Ruang. Dalam melaksanakan perencanaan pembangunan daerah khususnya dalam perencanaan pengelolaan sumberdaya alam, pemerintah Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur masing-masing telah menyusun Rencana Tata Ruang sebagai dasar dalam pemanfaatan ruang sesuai dengan kepentingan dan potensi yang dimiliki.
115
Kesesuaian Pemanfaatan Ruang antara Wilayah Penelitian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Rencana pemanfaatan ruang wilayah Kota Bontang diatur dalam Peraturan Daerah Kota Bontang Nomor 3 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bontang. Pola pemanfaatan ruang Kota Bontang tahun 2001-2010 terdiri dari kawasan budidaya dan kawasan lindung. Pola pemanfaatan ruang kawasan budidaya meliputi kawasan perumahan, kawasan perdagangan dan jasa, kawasan pemerintahan dan bangunan umum, kawasan industri, kawasan militer, kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) serta jaringan jalan dan sarana transportasi. Pola pemanfaatan ruang kawasan lindung meliputi Taman Nasional Kutai, kawasan hutan lindung dan resapan air, kawasan sempadan pantai, sungai, dan kawasan/ruang terbuka hijau kota, serta kawasan pantai berhutan bakau, laut, dan perairan. Rencana pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten Kutai Timur diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kutai Timur. Pola pemanfaatan ruang Kabupaten Kutai Timur tahun 2001-2005 terdiri atas kawasan hutan lindung/Cagar Alam/Hutan Wisata/Taman Nasional, kawasan
kehutanan, kawasan budidaya perkebunan/pertambangan/
pemukiman, dan areal yang diperuntukkan untuk pencadangan tanah/lokasi transmigrasi. Hasil overlay lokasi pertambangan dengan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) menunjukkan bahwa lokasi pertambangan PT Indominco Mandiri memiliki fungsi pemanfaatan ruang sebagai kawasan kehutanan dan kawasan hutan lindung/Cagar Alam/Hutan Wisata/Taman Nasional, sedangkan lokasi industri PT Badak NGL memiliki fungsi pemanfaatan ruang sebagai kawasan industri. Desa Suka Damai dan Desa Suka Rahmat serta desa non-dampak yaitu Desa Kandolo berdasarkan Peta RTRW Kabupaten Kutai Timur memiliki fungsi pemanfaatan ruang sebagai
kawasan hutan lindung/Cagar Alam/Hutan
Wisata/Taman Nasional. Sedangkan berdasarkan Peta RTRW Kota Bontang, Kelurahan Bontang Lestari memiliki fungsi pemanfaatan ruang sebagai Hutan Lindung, RTH,
kawasan pemerintahan dan bangunan umum, hutan bakau,
116
kawasan perikanan, pemukiman dan kawasan militer, sedangkan Kelurahan Kanaan memiliki fungsi pemanfaatan ruang sebagai hutan lindung, pemukiman, dan RTH. Adapun kesesuaian pemanfaatan ruang wilayah penelitian dengan Peta RTRW Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur disajikan selengkapnya pada Tabel 26 dan digambarkan dalam Peta Kesesuaian Pemanfaatan Ruang Wilayah Penelitian dengan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (Lampiran 23). Tabel 26 Fungsi pemanfaatan ruang wilayah penelitian sesuai dengan Peta RTRW
1
PT Indominco Mandiri
Pemanfaatan sekarang Kawasan pertambangan
2
PT Badak NGL
Kawasan industri
Kawasan Industri
3
Desa Suka Damai
Pemukiman, Hutan Lindung
Kawasan hutan lindung/Cagar Alam/Hutan Wisata/Taman Nasional
4
Desa Suka Rahmat
Pemukiman, Hutan Lindung
Kawasan hutan lindung/Cagar Alam/Hutan Wisata/Taman Nasional
5
Kelurahan Bontang Lestari
Pemukiman, Hutan Lindung
Hutan Lindung Ruang Terbuka Hijau Kawasan pemerintahan dan bangunan umum Hutan bakau Kawasan perikanan Pemukiman Kawasan militer
6
Kelurahan Kanaan
Pemukiman
Hutan lindung Pemukiman Ruang Terbuka Hijau
7
Desa Kandolo
Pemukiman, Taman Nasional
No.
Lokasi
Rencana pemanfaatan sesuai RTRW Kawasan kehutanan Kawasan hutan lindung/Cagar Alam/Hutan Wisata/Taman Nasional
Kawasan hutan lindung/Cagar Alam/Hutan Wisata/Taman Nasional
117
Lokasi pertambangan PT Indominco Mandiri belum diakomodir dalam RTRW Kabupaten Kutai Timur sebagai kawasan pertambangan meskipun keberadaan PT Indominco Mandiri di lokasi tersebut jauh sebelum penetapan RTRW Kabupaten Kutai Timur.
PT Indominco Mandiri mulai melakukan
penambangan pada tahun 1996, sedangkan RTRW Kabupaten Kutai Timur ditetapkan melalui Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kutai Timur. Lokasi pertambangan lain yang belum terakomodir dalam RTRW namun telah operasional dan berproduksi di wilayah Kabupaten Kutai Timur adalah PT Kitadin. Dilain pihak,
lokasi
pertambangan PT Kaltim Prima Coal yang lebih dulu eksis dalam pertambangan telah terakomodir dalam RTRW.
Bahkan atas usulan pemerintah daerah
setempat, lokasi pertambangan PT Kaltim Prima Coal yang tadinya memiliki fungsi sebagai kawasan hutan telah berubah fungsi menjadi APL. Kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Kutai Timur untuk tidak memasukkan wilayah kerja pertambangan PT Indominco Mandiri sebagai kawasan pertambangan dapat dipandang dari berbagai sisi. Apabila dipandang dari sisi lingkungan, hal ini akan sangat berarti dalam upaya mempertahankan fungsi ekologis dan hidroologis dari areal tersebut sebagai kawasan hutan khususnya areal yang berada pada Hutan Lindung dan Taman Nasional Kutai. Proses penambangan batubara yang dilakukan oleh PT Indominco Mandiri adalah tambang terbuka (open pit mining) dengan metode gali-isi kembali (back filling method). Hal ini menyebabkan terjadinya pembukaan kawasan hutan secara luas dan pengupasan permukaan tanah yang menyebabkan terjadinya kubangankubangan raksasa. Sesuai dengan pasal 45 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pembangunan di luar kehutanan yang mengakibatkan kerusakan hutan wajib melakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan Pemerintah. Oleh karena itu, reklamasi pada kawasan hutan bekas areal pertambangan wajib dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan. Dengan demikian, setelah kegiatan penambangan selesai maka kawasan tersebut dapat dikembalikan kepada peruntukannya semula. Namun hal ini memerlukan pengawasan yang intensif dan koordinasi antar instansi terkait agar perusahaan
118
pertambangan melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya.
Lemahnya
pengawasan dan koordinasi antar instansi terkait akan menyebabkan kerusakan hutan melalui pengurasan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui. Dipandang
dari sisi lain, ketidaksesuaian pemanfaatan ruang lokasi
pertambangan PT Indominco Mandiri merupakan suatu pelanggaran terhadap produk hukum yang telah dibuat oleh Pemerintah.
Sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang bahwa pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang diberikan pengenaan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun belum ada peraturan yang secara tegas dan jelas merumuskan bentuk pengenaan sanksi tersebut. Ketidaksesuaian pemanfaatan ruang untuk lokasi pertambangan juga dapat menimbulkan konflik antar sektor. Salah satu bentuk konflik sektor pertambangan dengan sektor lainnya antara lain adalah konflik dalam penataan dan pemanfaatan ruang dan penggunaan hutan lindung untuk kegiatan pertambangan. Menurut Bappenas (2004)
penyebab konflik
tersebut antara lain adalah sulitnya
mengakomodasi kegiatan pertambangan ke dalam penataan ruang serta tumpang tindih pemanfaatan ruang dengan lahan kehutanan. Namun hal tersebut sebenarnya dapat diselesaikan apabila ada koordinasi antar instansi terkait khususnya dalam pemberian ijin lokasi untuk kegiatan pertambangan. Kuasa pertambangan eksploitasi umumnya memiliki izin operasional selama tiga puluh tahun. Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalam penyusunan RTRW seharusnya
pemerintah
daerah
mempertimbangkan
keberadaan
kegiatan
pertambangan di wilayahnya khususnya yang sudah dalam tahap eksploitasi atau produksi. Pada tahap eksploitasi, kegiatan pertambangan melakukan pembukaan lahan yang cukup besar baik untuk penambangan bahan galian maupun untuk pembangunan sarana
pendukung yang sifatnnya permanen antara lain
perkantoran, perumahan, jalan, unit pengolahan, dan lainnya. Apabila
kegiatan
pertambangan
telah
berakhir
dan
perusahaan
pertambangan telah menyelesaikan kewajibannya termasuk reklamasi dan rehabilitasi lahan, maka lokasi tersebut dapat dimasukkan kembali ke dalam rencana pemanfaatan ruang sesuai dengan peruntukan semula atau peruntukan yang baru sesuai dengan rencana pemanfaatan yang baru. Sesuai dengan Undang-
119
Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, jangka waktu RTRW Kabupaten adalah sepuluh tahun sehingga setelah jangka waktu berakhir maka dapat dilakukan review RTRW. Salah satu contoh penetapan pemanfaatan lokasi pertambangan dalam RTRW sebagai kawasan pertambangan meskipun memiliki fungsi sebagai kawasan hutan adalah lokasi pertambangan PT Semen Cibinong di Propinsi Jawa Barat. Hal ini ditempuh sebagai salah satu kebijakan pemerintah daerah untuk menghindari pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRW. Desa Suka Damai, Desa Suka Rahmat, dan Desa Kandolo merupakan desa definitif, namun dalam RTRW Kabupaten Kutai Timur merupakan kawasan hutan lindung/Cagar Alam/Hutan Wisata/Taman Nasional. Ketidaksesuaian rencana pemanfaatan ruang dengan kondisi riil di lapangan menunjukkan bahwa penyusunan RTRW belum mempertimbangkan keadaan eksisting di lapangan. Ketiga desa tersebut merupakan hasil pemekaran dari Desa Teluk Pandan yang keberadaannya jauh sebelum terbentuknya Kabupaten Kutai Timur. Bahkan ketiga desa tersebut lepas dari desa induknya setelah Kabupaten Kutai Timur menjadi daerah otonom. Sebagai dampak belum terakomodirnya pemukiman dalam RTRW, masyarakat pada ketiga desa tersebut belum bisa memiliki dokumen legal sebagai bukti kepemilikan lahan secara sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemanfaatan ruang untuk lokasi industri PT Badak NGL telah sesuai dengan rencana pemanfaatan ruang dalam RTRW Kota Bontang sebagai kawasan industri. Demikian pula dengan pemukiman masyarakat yang berada pada Kelurahan Bontang Lestari dan Kelurahan Kanaan telah sesuai dengan pemanfaatan ruang dalam RTRW Kota Bontang. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Kota Bontang telah mengakomodir penggunaan ruang riil di lapangan ke dalam RTRW dan pemanfaatan ruang telah dilakukan sesuai dengan RTRW.
120
Kesesuaian Fungsi Peruntukan Kawasan antara Wilayah Penelitian dengan Kawasan Hutan
Pemberian
wilayah
konsesi
pertambangan
seringkali
tidak
mempertimbangkan status tanah maupun kepemilikan tanah tersebut. Hal ini menyebabkan timbulnya tumpang tindih antara lokasi pertambangan dengan kawasan hutan dan lahan milik masyarakat. Tumpang tindih penggunaan lahan merupakan salah satu pemicu timbulnya konflik baik antara perusahaan pertambangan dengan masyarakat, perusahaan pertambangan dengan pemegang ijin pemanfaatan kawasan hutan, maupun antar instansi sektoral terkait. Hasil overlay antara lokasi pertambangan, desa/kelurahan dampak dan desa non-dampak dengan Peta TGHK Provinsi Kalimantan Timur menunjukkan bahwa seluruh wilayah tersebut pada awalnya merupakan kawasan hutan (Lampiran 24). Seiring
dengan
terjadinya
pengembangan
wilayah
dan
perkembangan
pembangunan daerah maka kebutuhan akan lahanpun semakin meningkat sehingga terjadi perubahan penggunaan lahan. Hal ini tercermin dalam Peta Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Timur yang merupakan hasil paduserasi TGHK dan RTRWP yang menunjukkan bahwa terjadi pengurangan luas kawasan hutan. Pengurangan luas kawasan hutan ini terjadi dalam rangka mengakomodir kebutuhan akan lahan baik untuk pemukiman, kawasan industri, pembangunan infrastruktur, dan lainnya sebagai bagian dari upaya pengembangan wilayah. Hasil overlay lokasi pertambangan, desa/kelurahan dampak dan desa nondampak dengan Peta Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Timur menunjukkan bahwa kawasan industri PT Badak NGL yang semula memiliki fungsi sebagai HP telah berubah fungsi menjadi APL. Sebagian wilayah Kelurahan Bontang Lestari dan Kelurahan Kanaan berubah fungsi mejadi APL khususnya yang menjadi pemukiman masyarakat. Sebaliknya sebagian lokasi pertambangan PT Indominco Mandiri, Desa Suka Damai, Desa Suka Rahmat, Kelurahan Bontang Lestari, dan Kelurahan Kanaan yang wilayahnya merupakan kawasan HP, HPK, dan APL berubah fungsi menjadi HL, sedangkan wilayah Desa Kandolo sebagai desa nondampak fungsinya tetap merupakan TN baik pada TGHK maupun Paduserasi TGHK-RTRW (Lampiran 25).
121
Hasil overlay antara wilayah penelitian dengan Peta TGHK Kalimantan Timur dan Peta Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Timur menunjukkan bahwa terjadi perubahan fungsi kawasan hutan pada sebagian besar wilayah penelitian baik pada lokasi pertambangan maupun desa/kelurahan sebagai lokasi pemukiman masyarakat (Tabel 27). Tabel 27 Fungsi kawasan hutan wilayah penelitian berdasarkan TGHK dan Paduserasi TGHK-RTRWP
Fungsi No.
Lokasi
TGHK
Paduserasi TGHK-RTRW
1
PT Indominco Mandiri
TN, HP, HPK
HL, HP, TN
2
PT Badak NGL
HP
APL
3
Desa Suka Damai
HP, HPK
HL
4
Desa Suka Rahmat
TN, HP, HPK, APL
HL, TN
5
Kelurahan Bontang Lestari
HP, HPK
HL, APL
6
Kelurahan Kanaan
HPK
HL, APL
7
Desa Kandolo
TN
TN
Keterangan : TN : Taman Nasional HL : Hutan Lindung HP : Hutan Produksi tetap HPK : Hutan produksi yang dapat dikonversi APL : Areal Penggunaan lain
Keberadaan lokasi pertambangan di dalam kawasan hutan dimungkinkan melalui pasal 38 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. Namun di dalam kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. Jadi, apabila PT Indominco Mandiri melakukan penambangan di dalam hutan lindung berarti melakukan suatu pelanggaran hukum. Untuk mengantisipasi hal tersebut, perusahaan pertambangan melalui Departemen Energi dan sumber Daya Mineral telah melakukan berbagai upaya
122
sehingga
pemerintah
memberikan
kesempatan
kepada
tigabelas
lokasi
pertambangan untuk melakukan penambangan terbuka di dalam hutan lindung dengan cara melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Meskipun mendapat protes dari berbagai pihak, namun Dewan Perwakilan Rakyat telah memberikan persetujuan sehingga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 ditetapkan menjadi Undang-Undang
Nomor
19
Tahun
2004
tanggal
13
Agustus
2004.
Menindaklanjuti undang-undang tersebut Menteri Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.12/Menhut-II/2004 tanggal 29 September 2004
tentang
Penggunaan
Kawasan
Hutan
Lindung
Untuk
Kegiatan
Pertambangan. PT Indominco Mandiri merupakan salah satu dari ketiga belas lokasi pertambangan yang mendapatkan peluang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka dalam kawasan hutan lindung. Keberadaan pemukiman dalam kawasan konservasi merupakan salah satu permasalahan yang dialami oleh hampir semua kawasan TN di Indonesia. Ada beberapa faktor yang menyebabkan adanya pemukiman dalam TN antara lain pemukiman tersebut telah ada sebelum areal tersebut ditetapkan sebagai TN dan muncul akibat perambahan hutan. Taman Nasional Kutai (TNK) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 736/Mentan/X/82 tanggal 14 Oktober 1982 dan dideklarasikan sebagai Taman Nasional pada Kongres Taman Nasional Sedunia di Bali. TNK awalnya merupakan hutan persediaan sesuai dengan Keputusan Pemerintah Hindia Belanda (GB) Nomor 3843/AZ tanggal 7 Mei 1934. Pada tahun 1936, Kerajaan Kutai kemudian menetapkan kawasan hutan tersebut sebagai Suaka Margasatwa Kutai melalui Keputusan Pemerintah Kerajaan Kutai (ZB) Nomor 80/22.ZB/1936. Sebelum berubah fungsi menjadi TN, didalamnya sudah terdapat pemukiman masyarakat berupa kampung-kampung yang letaknya terpisah yang saat ini telah menjadi desa definitif antara lain Desa Sangatta Selatan, Desa Singah Geweh, Desa Sangkima, dan Desa Teluk Pandan. Dalam era otonomi daerah, Kabupaten Kutai Timur memisahkan diri dari kabupaten induknya menjadi daerah otonom. Hal ini diikuti dengan pemekaran Desa Teluk Pandan menjadi beberapa desa antara lain Desa Suka Damai, Desa Suka Rahmat, dan Desa Kandolo. Namun pemerintah Kabupaten Kutai Timur
123
telah mengajukan permohonan enclave terhadap desa-desa yang berada dalam TNK. Perubahan fungsi kawasan hutan dari hutan produksi menjadi hutan lindung seperti yang terjadi pada lokasi pertambangan PT Indominco Mandiri, Desa Suka Damai, Desa Suka Rahmat, Kelurahan Bontang Lestari, dan Kelurahan Kanaan merupakan usulan dari pemerintah daerah setempat. Penunjukkan areal tersebut menjadi hutan lindung merupakan penunjukan parsial kawasan hutan Bontang sebagai Hutan Lindung berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 230/KPTS-VII/1987 tanggal 27 Juli 1987.
Namun sampai sekarang status
kawasan Hutan Lindung Bontang masih sebagai penunjukan kawasan hutan lindung meskipun telah dilakukan penataan batas pada tahun 1992. Penetapan kawasan Hutan Lindung Bontang baru dapat dilakukan apabila segala permasalahan yang ada di lapangan baik menyangkut batas maupun hak-hak masyarakat telah diselesaikan. Perubahan fungsi kawasan hutan menjadi non kawasan hutan atau APL pada kawasan industri PT Badak NGL, Kelurahan Bontang Lestari, dan Kelurahan Kanaan merupakan usulan pemerintah daerah yang tertuang dalam RTRWP. Perubahan fungsi tersebut dilakukan dengan pertimbangan untuk mengakomodir kepentingan masyarakat dan pembangunan daerah. Seiring dengan perkembangan kota dan pertambahan jumlah penduduk, maka kebutuhan akan lahanpun semakin meningkat untuk pembangunan infrastruktur dan pemukiman penduduk.
Ikhtisar Pemanfaatan ruang untuk lokasi pertambangan PT Indominco Mandiri dan pemukiman masyarakat Desa Suka Damai,
Desa Suka Rahmat, dan Desa
Kandolo belum sesuai dengan rencana peruntukan ruang yang tertuang dalam RTRW Kabupaten Kutai Timur. Pemanfaatan ruang untuk lokasi industri PT Badak NGL dan pemukiman masyarakat Kelurahan Bontang Lestari dan Kelurahan Kanaan telah sesuai dengan rencana peruntukan yang tertuang dalam RTRW Kota Bontang. Berdasarkan Peta TGHK Provinsi Kalimantan Timur, pada awalnya seluruh wilayah
penelitian
merupakan
kawasan
hutan.
Namun
seiring
dengan
124
perkembangan pembangunan daerah, kebutuhan meningkat
untuk
kebutuhan
pemukiman
akan lahan pun semakin
masyarakat
dan
pembangunan
infrastruktur. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan fungsi kawasan hutan dan pengurangan luas kawasan hutan yang tercermin dalam Peta Kawasan Hutan Provinsi Kalimanatan Timur. Adapun kesesuaian peruntukan dan pemanfaatan ruang lokasi pertambangan dan pemukiman masyarakat disajikan pada Tabel 28. Tabel 28 Kesesuaian peruntukan dan pemanfaatan ruang lokasi pertambangan dan pemukiman
No
1
2
3
Kesesuaian peruntukan dan pemanfaatan ruang
Peruntukan/pemanfaatan ruang
Kota Bontang
Kabupaten Kutai Timur
Lokasi pertambangan
Sesuai
Tidak sesuai
Pemukiman
Sesuai
Tidak sesuai
Lokasi pertambangan
Hutan
Hutan
Pemukiman
Hutan
Hutan
Lokasi pertambangan
Non hutan
Hutan
Pemukiman
Non hutan
Hutan
Peta RTRW
Peta TGHK
Peta Kawasan Hutan
POLA PERIJINAN KEGIATAN PERTAMBANGAN
Kekayaan bahan galian tambang Indonesia meliputi emas, perak, batubara, minyak dan gas bumi, dan lain-lainnya harus dikelola dan dimanfaatkan sebesarnesarnya
untuk
kemakmuran
rakyat.
Kegiatan
yang
dilakukan
untuk
mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam tambang yang berada dalam bumi Indonesia disebut usaha pertambangan. Usaha pertambangan dibedakan atas penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, dan penjualan. Pengusahaan bahan galian tambang dapat dilaksanakan sendiri oleh pemerintah dan/atau menunjuk kontraktor apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan sendiri oleh pemerintah. Apabila dikerjakan oleh kontraktor, maka kedudukan pemerintah adalah pihak yang memberikan izin kepada kontraktor. Izin yang diberikan oleh pemerintah kepada kontraktor untuk melakukan pengusahaan bahan galian tambang dapat berupa kuasa pertambangan (KP), kontrak karya (KK), perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B), dan kontrak production sharing (KPS). Kuasa pertambangan merupakan wewenang yang diberikan kepada badan/perorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan. Tanpa adanya kuasa pertambangan, perusahaan pertambangan belum dapat melaksanakan kegiatannya. Berdasarkan aspek usahanya kuasa pertambangan dibedakan atas kuasa pertambangan penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan. Sedangkan KK, PKP2B, dan KPS merupakan suatu bentuk perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan kontraktor asing atau patungan antara badan hukum hukum asing dengan badan hukum domestik masing-masing dalam pengusahaan pertambangan umum, batubara, serta minyak dan gas bumi. Pejabat yang berwenang mengeluarkan izin pengusahaan bahan galian tambang tersebut sebelum otonomi daerah adalah pemerintah pusat yang diwakili oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Sampai dengan tahun 1999, pemerintah Indonesia telah memberikan 908 izin pertambangan yang terdiri dari
126
KK, KKB dan KP dengan total luas konsesi 84 152 875.92 hektar atau hampir separuh dari luas total daratan Indonesia (Salim 2005). Jumlah tersebut belum termasuk bahan galian C yang perizinannya dikeluarkan oleh pemerintah daerah berupa surat izin penambangan daerah (SIPD). Namun sejak berlakunya otonomi daerah, kewenangan tersebut tidak hanya menjadi kewenangan pemerintah pusat tapi juga juga menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang pelaksanaan UndangUndang
Nomor
11
Tahun
1967
tentang
Pertambangan, pejabat yang berwenang
Ketentuan-Ketentuan
Pokok
menerbitkan surat keputusan kuasa
pertambangan yaitu bupati/walikota, gubernur, dan menteri sesuai dengan wilayah kekuasaan pertambangannya. Bupati/walikota
berwenang
menerbitkan
surat
keputusan
kuasa
pertambangan apabila wilayah kuasa pertambangan terletak dalam wilayah kabupaten/kota. Gubernur berwenang menerbitkan kuasa pertambangan apabila kuasa pertambangannya terletak dalam beberapa wilayah kabupaten/kota dan tidak dilakukan kerjasama antar kabupaten/kota maupun antar kabupaten/kota dengan provinsi. Untuk wilayah kuasa pertambangan yang terletak dalam beberapa wilayah provinsi dan tidak dilakukan kerjasama antar provinsi maka kewenangan penerbitan kuasa pertambangan berada pada menteri berwenang. Namun izin pengusahaan bahan galian tambang yang telah dimiliki oleh kontraktor tersebut bukan berarti telah membebaskan kontraktor untuk langsung melakukan kegiatan. Usaha pertambangan merupakan usaha yang berkaitan dengan tanah, baik tanah yang berstatus tanah hak maupun tanah negara. Pemberian
izin
pengusahaan
bahan
galian
tambang
umumnya
tidak
mempertimbangkan keberadaan hak dan status tanah sehingga seringkali terjadi tumpang tindih dengan tanah/lahan garapan masyarakat dan kawasan hutan. Untuk melakukan kegiatan di dalam kawasan hutan atau menggunakan kawasan hutan setiap orang harus memiliki izin. Sesuai dengan pasal 50 ayat 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dinyatakan setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi bahan tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri. Untuk itu, sebelum memulai
127
kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan, kontraktor tersebut harus memiliki izin dari Menteri Kehutanan. Izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan khususnya dalam tahap eksploitasi diberikan dalam bentuk pinjam pakai kawasan hutan.
Kuasa Pertambangan Untuk melakukan kegiatan pertambangan, setiap perusahaan pertambangan harus memiliki kuasa pertambangan. Adapun persyaratan untuk memperoleh izin pengusahaan pertambangan tersebut disajikan pada Tabel 29.
Tabel 29 Persyaratan permohonan izin usaha pertambangan
Kuasa Pertambangan (KP)*
Kontrak Karya (KK)
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)
Surat permohonan
Surat permohonan
Surat permohonan
Peta wilayah
Peta lampiran dari Unit Pelayanan Wilayah pertambangan (UPIWP)
Peta pencadangan wilayah dari Unit Pelayanan Wilayah pertambangan (UPIWP)
Laporan lengkap eksplorasi
Tanda bukti penyetoran jaminan kesungguhan dari bank yang ditunjuk
Tanda bukti penyetoran jaminan kesungguhan dari bank yang ditunjuk
Laporan studi kelayakan
Tanda terima SPT tahun terakhir
Tanda terima SPT tahun terakhir
Dokumen AMDAL atau UKL-UPL
Laporan keuangan tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik
Laporan keuangan PMA dan PMDN tiga tahun terakhir yang telah diaudit
Tanda bukti pembayaran iuran tetap
Kesepakatan pemohon (bila pemohon lebih dari dari satu orang)
Kesepakatan bersama (MOU) antara PMA dan PMDN
Akta pendirian perusahaan
Laporan tahunan perusahaan
Laporan tahunan perusahaan PMA dan PMDN
Sumber: Salim, Hukum Pertambangan di Indonesia Keterangan: * tahap eksploitasi
128
Tabel 29 menunjukkan bahwa dalam proses pemberian izin usaha pertambangan tidak ada koordinasi dengan instansi terkait. Salah satu persyaratan yang mengandung koordinasi antar beberapa instansi adalah dokumen AMDAL atau UKL-UPL. Namun dokumen tersebut tidak memberikan informasi mengenai keberadaan pihak lain pada lokasi yang dimohon. Hal ini menyebabkan seringnya muncul permasalahan antara perusahaan pertambangan dengan pemegang hak lain yang telah terlebih dahulu mengelola atau memanfaatkan lokasi tersebut. Selain itu, pemberian lokasi pertambangan diberikan tanpa mempertimbangkan fungsi dan peruntukan kawasan serta status tanah di atasnya. Hal ini menyebabkan timbulnya tumpang tindih penggunaan lahan kawasan hutan dengan lokasi pertambangan atau tanah milik masyarakat dengan lokasi pertambangan. Sebelum melaksanakan kegiatan pertambangan,
tidak ada sosialisasi
terhadap masyarakat mengenai rencana pembukaan lahan untuk pertambangan khususnya masyarakat yang berada di sekitar lokasi pertambangan baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun perusahaan pertambangan. Hal ini memicu timbulnya konflik antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan yang disebabkan antara lain oleh tumpang tindih lahan garapan masyarakat dengan lokasi pertambangan. Disamping itu, muncul persepsi dari masyarakat yang menyatakan bahwa sumberdaya alam merupakan kekuasaan atau milik perusahaan dan pemerintah. Setiap pemegang izin kuasa pertambangan memiliki kewajiban. Adapun kewajiban pemegang izin kuasa pertambangan sesuai dengan pasal 27 dan pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 75 tahun 2001 meliputi : 1. Membayar iuran tetap dan iuran eksploitasi; 2. Melaporkan rencana usaha penggalian serta target produksinya kepada menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai kewenangannya; 3. Menyampaikan laporan triwulan dan tahunan mengenai perkembangan kegiatan yang telah dilakukan kepada menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai kewenangannya. Jangka waktu kuasa pertambangan eksploitasi diberikan paling lama tiga puluh tahun dan dapat diperpanjang sebanyak dua kali yang untuk setiap kalinya sebanyak sepuluh tahun. Total jangka waktu pemberian izin kuasa pertambangan eksploitasi selama lima puluh tahun.
129
Salah
satu
tanggungjawab
sosial
perusahaan
(corporate
social
responsibility) terhadap masyarakat yang berada di sekitar lokasi pertambangan adalah menyusun dan melaksanakan program community development. Namun kewajiban tersebut belum tercantum secara jelas sebagai kewajiban perusahaan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 75 tahun 2001. Hal ini menyebabkan perusahaan belum sepenuh hati dalam melaksanakan program community development sehingga sasaran dan hasil yang dicapai belum merupakan prioritas utama bagi perusahaan pertambangan.
Pinjam Pakai Kawasan Hutan Penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pembangunan di luar kehutanan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan. Sesuai dengan pasal 38 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pejabat yang berwenang untuk meberikan izin pinjam pakai kawasan hutan adalah menteri terkait. Adapun tata cara perizinan pinjam pakai kawasan hutan diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 55/Kpts-II/1994 tanggal 7 Pebruari 1994 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Sebelum era otonomi daerah, permohonan pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan diajukan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk bahan galian A dan B, sedangkan bahan galian C diajukan oleh Gubernur kepada Menteri Kehutanan. Namun sejak otonomi daerah, permohonan pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dapat diajukan langsung oleh bupati/walikota atau oleh perusahaan dengan rekomendasi bupati. Pinjam pakai kawasan hutan terdiri atas pinjam pakai tanpa kompensasi dan pinjam pakai dengan kompensasi. Pinjam pakai dengan kompensasi berlaku bagi provinsi yang luas kawasan hutannya kurang dari 30% luas daratan provinsi tersebut. Adapun persyaratan permohonan pinjam pakai kawasan hutan, yaitu: 1. Peta lokasi dan luas kawasan hutan yang dimohon; 2. Rencana penggunaan dan rencana kerja; 3. Rekomendasi Gubernur/Bupati; dan 4. Pernyataan kesanggupan untuk menanggung seluruh biaya sehubungan dengan permohonan tersebut.
130
Dalam proses pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan, lokasi yang dimohon akan ditelaah khususnya untuk melihat keberadaan pemegang hak atau izin pemanfaatan kawasan hutan pada lokasi yang sama. Apabila di dalam areal yang dimohon terdapat pemegang hak lain seperti Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), atau hak ulayat/adat masyarakat lokal, maka pemegang izin berkewajiban menyelesaikan sendiri permasalahan tersebut dengan pihak pemegang hak. Pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan dibebani kewajiban sesuai dengan Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan sebagai berikut: 1. Membayar ganti rugi nilai tegakan atas hutan tanaman atau pungutan berupa IHH dan DR atas tegakan hutan alam; 2. Menanggung biaya pengukuran, pemetaan dan pemancangan tanda batas atas kawasan hutan yang dipinjam; 3. Menanggung biaya reboisasi dan reklamasi atas kawasan hutan yang dipinjam; 4. Membuat dan menandatangani perjanjian pinjam pakai; 5. Membantu menjaga keamanan di dalam dan di sekitar kawasan hutan yang dipinjam; dan 6. Memberikan kemudahan bagi aparat kehutanan baik pusat maupun daerah sewaktu melakukan pengawasan di lapangan. Untuk pinjam pakai dengan kompensasi ditambahkan kewajiban menyediakan dan menyerahkan tanah lain kepada Departemen Kehutanan yang ”clear and clean” sebagai kompensasi atas kawasan hutan yang dipinjam serta menanggung biaya penataan batas dan biaya reboisasi atas lahan kompensasi. Dalam proses pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan, apabila dianggap perlu maka Departemen Kehutanan akan melakukan penelitian terpadu pada lokasi yang dimohon dengan melibatkan instansi terkait lain. Tim terpadu terdiri dari unsur Departemen Kehutanan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Lingkungan Hidup, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Perguruan Tinggi, dan Pemerintah Daerah yang dalam hal ini diwakili oleh Dinas Kehutanan
atau
instansi
lainnya
yang
menangani
bidang
Kehutanan.
Pembentukan tim terpadu tersebut umumnya dilakukan apabila pada lokasi yang
131
dimohon terdapat permasalahan atau berada dalam kawasan hutan lindung dalam areal yang cukup luas. Jangka waktu pinjam pakai kawasan hutan diberikan selama lima tahun dan dapat diperpanjang setelah diadakan evaluasi atas penerapan kewajiban yang telah dipersyaratkan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, terlihat bahwa dalam pemberian ijin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pembangunan di luar kehutanan khususnya untuk kegiatan pertambangan
belum dilakukan koordinasi antar
instansi terkait baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Koordinasi yang dilakukan terbatas untuk kasus tertentu yang memerlukan penanganan lebih serius atau berada dalam kawasan hutan lindung. Seharusnya prosedur yang sama dilakukan untuk semua permohonan pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan mengingat dampak kegiatan pertambangan terhadap kawasan hutan secara umum adalah sama. Salah satu unsur yang harus dipertimbangkan oleh Departemen Kehutanan dalam memberikan ijin pinjam pakai kawasan hutan adalah persyaratan kesesuaian rencana pemanfaatan ruang areal yang dimohon dengan Persyaratan ini lebih khusus lagi bagi areal
RTRW.
yang akan dijadikan lokasi
pembangunan sarana penunjang seperti perkantoran, perumahan, dan industri pengolahan. Disamping itu, pemegang ijin pinjam pakai belum diberikan kewajiban untuk melakukan pembinaan terhadap desa-desa yang berada di sekitar lokasi pertambangan.
Ikhtisar Pola perijinan lokasi pertambangan yaitu kuasa pertambangan dan ijin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan mencerminkan lemahnya koordinasi antar sektor maupun antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini menyebabkan terjadinya tumpang tindih penggunaan lahan dan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Disamping itu, penggunaan lahan untuk kegiatan pertambangan menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan dari kawasan hutan menjadi non kawasan hutan. Pemberian ijin lokasi pertambangan tidak melalui kegiatan sosialisasi terhadap
132
masyarakat khususnya yang berada di sekitar lokasi pertambangan sehingga menimbulkan konflik antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan. Adapun dampak pola perijinan kegiatan pertambangan terhadap perubahan penggunaan lahan disajikan pada Tabel 30. Tabel 30 Dampak pola perijinan kegiatan pertambangan
No
Dampak pola perijinan
Kota Bontang
Kabupaten Kutai Timur
1
Tumpang tindih lahan masyarakat dengan lokasi pertambangan
Tidak ada
Ada
2
Tumpang tindih kawasan hutan dengan lokasi pertambangan
Tidak ada
Ada
3
Perubahan kawasan hutan menjadi non hutan
Ada
Tidak ada
4
Konflik antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan
Tidak ada
Ada
DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH Kegiatan pertambangan merupakan salah satu sektor pembangunan yang mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources). Namun untuk mengelola dan memanfaatkan bahan tambang diperlukan penanaman modal yang cukup besar baik yang bersumber dari investor asing maupun investor dalam negeri. Penanaman modal merupakan salah satu upaya yang harus dilakukan dalam pengembangan wilayah. Disamping itu, penanaman modal harus ditempatkan pada wilayah-wilayah yang strategis dan memiliki sumberdaya alam yang cukup potensial untuk dikembangkan serta harus dilakukan melalui jalinan kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan swasta. Daerah yang memiliki bahan tambang yang potensial dan telah mendapatkan penanaman modal dalam rangka eksploitasi bahan tambang tersebut antara lain Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur. Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur merupakan daerah yang memiliki prime mover pada sektor pertambangan yaitu pengolahan gas cair di Kota Bontang dan tambang batubara di Kabupaten Kutai Timur. Menurut Priyatna (2003), Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur termasuk dalam Sistem Kesatuan Wilayah (SKW) Bontang yang pemanfaatan ruangnya di dominasi oleh hutan lebat, hutan belukar, hutan lindung, pertambangan, kawasan industri, perkebunan, sawah, dan pertanian lahan kering. Salah
satu
karakteristik
dari
sumberdaya
alam
tambang
adalah
penyebarannya yang tidak merata untuk semua daerah dan keberadaannya yang selalu tumpang tindih dengan kawasan hutan dan
pemukiman/lahan garapan
masyarakat. Hal ini mengakibatkan kegiatan pertambangan memberikan dua dampak sekaligus yaitu dampak positif dan dampak negatif yang dapat dirasakan oleh masyarakat yang mendiami wilayah tersebut. Untuk mengetahui dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan wilayah tidak hanya dipandang dari satu aspek. Dampak kegiatan pertambangan dapat dilihat dari berbagai aspek antara lain pembangunan daerah, pembangunan manusia, serta kebijakan-kebijakan yang mendukung pelaksanaan kegiatan pertambangan itu sendiri. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Suhandoyo (2002) bahwa dalam membangun suatu wilayah, minimal ada tiga
134
pilar yang perlu diperhatikan, yaitu : sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan teknologi. Pilar sumberdaya manusia (SDM) memegang peranan sentral karena mempunyai peran ganda dalam sebuah proses pembangunan. Pertama, sebagai obyek
pembangunan
SDM
merupakan
sasaran
pembangunan
untuk
disejahterakan. Kedua, SDM berperan sebagai subyek (pelaku) pembangunan. Dengan demikian, pembangunan suatu wilayah sesungguhnya merupakan pembangunan yang berorientasi kepada manusia (people centre development), dimana SDM dipandang sebagai sasaran sekaligus sebagai pelaku pembangunan. Dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan wilayah dapat dikaji dari berbagai aspek antara lain pertumbuhan perekonomian daerah, peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan masyarakat, dan kebijakan yang mendukung pengelolaan sumberdaya alam tambang tersebut. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Nelson (1993) bahwa pengembangan wilayah akan selalu mengarah pada langkah atau tindakan yang dapat merubah produktivitas daerah melalui penduduk, tenaga kerja, tingkat pendapatan dan nilai tambah yang diperoleh dari industri. Perubahan tersebut juga terjadi pada pengembangan dari aspek sosial, seperti peningkatan kualitas prasarana sarana dan prasarana publik, kesejahteraan, dan kualitas lingkungan. Salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu daerah adalah pertumbuhan perekonomian di daerah tersebut. Pertumbuhan perekonomian Kota Bontang dipengaruhi oleh sektor industri pengolahan khususnya pengolahan gas alam cair, sedangkan
pertumbuhan perekonomian Kabupaten Kutai Timur
dipengaruhi oleh sektor pertambangan dan penggalian. Hal ini dukung oleh hasil analisis yang menunjukkan bahwa sektor industri pengolahan merupakan salah satu sektor basis di Kota Bontang, sedangkan sektor pertambangan dan penggalian merupakan salah satu sektor basis di Kabupaten Kutai Timur. Sebagai sektor basis, sektor industri pengolahan dan sektor pertambangan dan penggalian memiliki keunggulan komparatif yang menjadikan sektor tersebut dapat memenuhi kebutuhan di dalam daerahnya sekaligus kebutuhan di luar daerahnya. Hal ini tercermin dari sumbangan yang diberikan oleh sektor industri pengolahan dan sektor pertambangan dan penggalian terhadap PDRB dan penyerapan tenaga kerja. Hasil analisis LQ PDRB Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur tahun 2002-2003 mendukung hasil penelitian terdahulu yang
135
dilakukan oleh Priyatna (2003) yang menyatakan bahwa struktur perekonomian kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Timur yang memiliki PDRB total dan pendapatan per kapita paling tinggi ternyata merupakan sumbangan dari hasil pengolahan sumberdaya alam seperti kehutanan, migas, dan pertambangan sehingga pembangunan ekonominya sangat dominan jika dibandingkan dengan kabupaten/kota yang hanya mengandalkan sektor pertanian, seperti tanaman pangan, perkebunan dan perikanan. Kota Bontang merupakan satu-satunya daerah yang mampu masuk wilayah satu (W1) baik dengan migas maupun tanpa migas dan bahan galian. Kota Bontang merupakan kabupaten/kota yang memiliki tingkat pertumbuhan PDRB dengan/tanpa migas yang relatif lebih besar dari pertumbuhan PDRB provinsi dan memiliki nilai rata-rata PDRB perkapita dengan/tanpa migas yang juga lebih besar dibandingkan dengan provinsi (Priyatna 2003). Hal ini mencerminkan bahwa Kota Bontang tidak tergantung hanya dari satu sektor ekonomi saja. PDRB Kota Bontang menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Namun PDRB dengan migas menunjukkan peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan PDRB tanpa migas
yang cenderung tidak mengalami
banyak peningkatan. PDRB Kota Bontang dengan atau tanpa migas menunjukkan perbedaan nilai yang cukup jauh dimana nilai PDRB migas jauh lebih besar dibandingkan nilai PDRB tanpa migas. Hal ini menunjukkan bahwa sektor perekonomian Kota Bontang sangat dipengaruhi oleh keberadaan migas di daerah tersebut (Gambar 33). Peranan sub sektor migas yang terdapat dalam sektor industri pengolahan terhadap pembangunan daerah Kota Bontang terlihat dari kontribusi yang disumbangkan pada PDRB. Sektor industri pengolahan, termasuk di dalamnya industri pengolahan gas cair, sejak tahun 1993 memberikan kontribusi yang paling besar terhadap PDRB Kota Bontang dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Pada tahun 1993 sektor industri pengolahan memberikan sumbangan sebesar 59.54% terhadap PDRB Kota Bontang. Sumbangan sektor pengolahan tersebut mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sehingga pada tahun 2003 sektor industri pengolahan memberikan sumbangan sebesar 86.46% terhadap PDRB Kota Bontang.
136
Perkembangan PDRB Kota Bontang atas dasar harga konstan 1993 tahun 1993-2003 6,000,000.00
Jumlah (juta rupiah)
5,000,000.00
4,000,000.00
3,000,000.00
2,000,000.00
1,000,000.00 Dengan Migas Tanpa Migas
1993
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Tahun
Gambar 33 Perkembangan PDRB Kota Bontang dengan/tanpa migas atas dasar harga konstan 1993 tahun 1993-2003
Distribusi persentase PDRB Kota Bontang dengan migas atas dasar harga konstan 1993 (% ) tahun 1993-2003 100 90 80
Jumlah (%)
70 60 50 40 30 20 10 0 1993
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Tahun Pertanian Industri pengolahan Bangunan dan konstruksi Pengangkutan dan komunikasi Jasa-jasa
Pertambangan dan penggalian Listrik, gas dan air minum Perdagangan, restoran, dan hotel Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
Gambar 34 Distribusi PDRB Kota Bontang dengan migas atas dasar harga konstan 1993 tahun 1993-2003
137
Gambar 34 menunjukkan bahwa sektor industri pengolahan memiliki peranan yang sangat dominan dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya dalam pembentukan struktur perekonomian Kota Bontang sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 2003. Sedangkan Kabupaten Kutai Timur merupakan
kabupaten/kota yang
memiliki tingkat pertumbuhan PDRB dengan/tanpa migas yang relatif lebih besar dari pertumbuhan PDRB provinsi namun memiliki nilai rata-rata PDRB perkapita dengan migas yang lebih rendah dari provinsi dan nilai rata-rata PDRB perkapita tanpa migas yang lebih tinggi dari provinsi (Priyatna 2003). Hal ini mencerminkan bahwa Kabupaten Kutai Timur tidak bergantung dari migas, tetapi dari bahan galian. Pertambangan batubara yang dimiliki daerah ini memegang peranan yang sangat penting terhadap pembentukan PDRB-nya. PDRB Kabupaten Kutai Timur mulai mengalami peningkatan yang cukup tinggi pada tahun 2001, sedangkan peningkatan PDRB Kabupaten Kutai Timur tahun 1993-2000 tidak terlalu mencolok. Pertumbuhan PDRB dengan migas dan tanpa migas tidak menunjukkan perbedaan yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian Kabupaten Kutai Timur tidak tergantung pada subsektor migas. Namun PDRB dengan/tanpa migas dan PDRB tanpa migas dan batubara menunjukkan perbedaan jarak yang cukup jauh. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian Kabupaten Kutai Timur dipengaruhi oleh bahan galian batubara (Gambar 35). Peranan bahan galian batubara yang termasuk dalam sektor pertambangan dan penggalian dalam PDRB Kabupaten Kutai Timur Bontang terlihat dari kontribusi yang disumbangkan pada PDRB. Sektor pertambangan dan penggalian sejak tahun 1993 memberikan kontribusi yang paling besar terhadap PDRB Kota Bontang dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Pada tahun 1993 sektor pertambangan dan penggalian memberikan sumbangan sebesar 66.74% terhadap PDRB Kabupaten Kutai Timur. Sumbangan sektor pertambangan dan penggalian tersebut mengalami peningkatan pada tahun 1998 dengan sumbangan sebesar 75.86% terhadap PDRB Kabupaten Kutai Timur. Namun pada tahun-tahun berikutnya kontribusi sektor pertambangan dan penggalian mengalami penurunan hingga pada tahun 2003 hanya dapat memberikan sumbangan sebesar 65.66% terhadap PDRB Kabupaten Kutai Timur.
138
Perkembangan PDRB Kabupaten Kutai Timur atas dasar dasar harga konstan 1993 tahun 1993-2003 1,800,000.00 1,600,000.00
Jumlah ( juta rupiah)
1,400,000.00 1,200,000.00 1,000,000.00 800,000.00 600,000.00
Dengan Migas
400,000.00
Tanpa Migas
200,000.00
Tanpa migas dan batubara
1993 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Tahun
Gambar 35 Perkembangan PDRB Kabupaten Kutai Timur dengan migas/tanpa migas/tanpa migas dan batubara atas dasar harga konstan 1993 tahun 1993-2003
Distribusi persentase PDRB Kabupaten Kutai Timur dengan migas atas dasar harga konstan 1993(% ) tahun 1993-2003 80.00 70.00
Jumlah (%)
60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 1993
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Tahun Pertanian Industri pengolahan Bangunan dan konstruksi Pengangkutan dan komunikasi Jasa-jasa
Pertambangan dan penggalian Listrik, gas dan air minum Perdagangan, restoran, dan hotel Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
Gambar 36 Distribusi PDRB Kabupaten Kutai Timur dengan migas atas dasar harga konstan 1993 tahun 1993-2003
139
Gambar 36 menunjukkan bahwa sektor pertambangan dan penggalian memiliki peranan yang sangat dominan dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya dalam pembentukan struktur perekonomian Kota Bontang sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 2003. Namun sejak tahun 2002, terdapat kecenderungan penurunan sumbangan sektor pertambangan dan penggalian terhadap PDRB Kabuoaten Kutai Timur. Hal ini mencerminkan bahwa produksi eksploitasi bahan tambang tambang sebagai sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources) akan suatu saat akan mengalami penurunan karena cadangan semakin berkurang hingga akhirnya terkuras habis. Oleh karena itu, perlu adanya perencanaan pengelolaan dan pemanfaatan bahan tambang agar keberlangsungan pembangunan pasca tambang tetap berjalan. Meskipun sektor industri pengolahan dan sektor pertambangan dan penggalian memberikan konstribusi yang besar terhadap PDRB, namun penyerapan tenaga kerja relatif lebih kecil. Sektor industri pengolahan di Kota Bontang hanya menyerap tenaga kerja sebesar 14.21%, sedangkan sektor pertambangan dan penggalian di Kabupaten Kutai Timur sebesar 9.54%. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kehadiran perusahaan pertambangan di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur memberikan kesempatan kerja kepada masyarakat setempat namun masih dalam jumlah yang relatif kecil. Hal disebabkan sebagian besar karyawan perusahaan pertambangan berasal dari luar Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur. Disamping itu, kehadiran perusahaan pertambangan di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur tidak banyak memberikan perubahan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat yang berada di lingkar tambang. Hal ini disebabkan hasil pengelolaan sumberdaya alam lebih banyak ditujukan kepada pembangunan fisik dan perekonomian secara makro, sedangkan sumberdaya manusia sebagai bagian penting dari kegiatan pembangunan belum mendapatkan porsi yang memadai. Hal ini dipengaruhi oleh kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang tidak memperhatikan aspek pembangunan manusia dan lebih menitikberatkan kepada pembangunan fisik daerah. Meskipun perusahaan pertambangan telah menjalankan berbagai bentuk program community development sebagai wujud tanggungjawab sosial perusahaan
140
(corporate social responsibility), namun tidak memberikan perubahan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat khususnya yang berada di sekitar lokasi pertambangan. Hal ini mendukung hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saleng (2004) yang menyatakan bahwa kontribusi pengusahaan pertambangan terhadap masyarakat sekitar usaha pertambangan baik melalui program local and community development
maupun program pembangunan lainnya belum
merupakan jaminan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat sekitar, terutama pasca pertambangan, tetapi masih sebatas untuk menghilangkan konflik antara masyarakat sekitar dengan usaha pertambangan. Adapun penyebab rendahnya pengaruh kehadiran perusahaan pertambangan terhadap kesejahteraan masyarakat yang berada di sekitar lokasi pertambangan antara lain adalah program community development yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan masih bersifat top-down. Hal ini tercermin dari bentuk program community development yang umumnya bersifat proyek dan masyarakat sebagai obyek atau penerima. Disamping itu, program community development yang dilaksanakan oleh perusahaan pertambangan belum sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan hanya menyentuh sebagian masyarakat saja, yaitu masyarakat yang berada pada lapisan atas. Hal ini disebabkan perencanaan program tidak melibatkan masyarakat sehingga aspirasi masyarakat tidak tertampung dalam program-program tersebut. Padahal menurut Conyers (1994), partisipasi masyarakat merupakan suatu alat untuk memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dampak kegiatan pertambangan terhadap penyerapan tenaga kerja setempat dan pengembangan masyarakat masih rendah.
Hal ini disebabkan oleh program community
develolopment perusahaan pertambangan yang belum sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan belum menyentuh masyarakat secara menyeluruh. Oleh karena itu, perencanaan pembangunan daerah khususnya dalam pengelolaan sumberdaya alam harus mempertimbangkan kepentingan pembangunan sumberdaya manusia sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan fisik dan perekonomian daerah. Kebijakan pengelolaan sumberdaya alam merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan suatu daerah. Pengelolaan sumberdaya alam yang tidak tepat akan memberikan dampak negatif yang jauh lebih besar
141
dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh dan hanya dapat dinikmati secara sesaat. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya alam harus dilakukan secara tepat dan bijaksana untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Salah satu media perencanaan pengelolaan sumberdaya alam adalah melalui perencanaan tata guna lahan (land use planning). Perencanaan tata guna lahan dapat memberikan informasi untuk menentukan pilihan-pilihan mengenai penggunaan/pemanfaatan
lahan
yang
layak
guna
dikembangkan
atau
dipertahankan atau dialih-fungsikan, dengan selalu mempertimbangkan efek-efek yang akan timbul dan mempengaruhi kualitas lingkungan/ekosistem (Riyadi dan Bratakusumah 2004). Hal ini disebabkan struktur ruang atau penggunaan lahan dapat
mengalami
perubahan
seiring
perkembangan
pembangunan
dan
meningkatnya kebutuhan akan lahan. Pengaturan pengelolaan sumberdaya alam seyogyanya telah diatur dalam Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota sebagai bentuk tata ruang yang detil. Pembagian pemanfaatan ruang didasarkan atas potensi dan masalah yang dimiliki masing-masing kawasan sehingga sesuai dengan kebutuhan dan penyelesaian permasalahannya. Misalnya, lokasi-lokasi yang memiliki potensi atau cadangan mineral dan gas bumi jenis pemanfaatan ruangnya sudah ditetapkan sedemikian rupa dalam RTRW sehingga memudahkan dalam pengembangan wilayah. Namun kenyataan yang ada sekarang menunjukkan bahwa masih banyak lokasi pertambangan dan pemukiman masyarakat yang belum terakomodir di dalam RTRW antara lain lokasi pertambangan PT Indominco Mandiri dan pemukiman masyarakat Desa Suka Damai, Desa Suka Rahmat, dan Desa Kandolo di Kabupaten Kutai Timur. Pada dasarnya, penataan ruang dilakukan untuk mengelola konflik dalam alokasi dan/atau distribusi pemanfaatan berbagai sumberdaya secara efesien, adil dan berkelanjutan. Konflik yang dimaksud baik konflik terpendam maupun yang terbuka karena salah satu pihak telah bertindak untuk melaksanakan tujuannya yang berbenturan dengan tujuan dan kepentingan pihak lainnya. Untuk menghindari ataupun mengatasi konflik demikian diperlukan peran serta semua pihak. Namun dalam pemberian ijin lokasi pertambangan baik dalam bentuk kuasa pertambangan maupun pinjam pakai kawasan hutan belum melibatkan
142
peranserta masyarakat baik secara langsung masupun dalam bentuk perwakilan. Hal ini menyebabkan terjadinya tumpang tindih lahan masyarakat sehingga menimbulkan konflik antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan. Oleh karena itu, dalam perencanaan pembangunan daerah dan pemanfaatan ruang kepentingan semua pihak termasuk kepentingan masyarakat harus dapat diakomodir untuk menghindari terjadinya konflik dan benturan kepentingan. Untuk dapat mengakomodir kebutuhan dan kepentingan masyarakat tersebut maka masyarakat harus diikutsertakan dalam penyusunan rencana tata ruang termasuk di dalamnya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Saat ini sudah saatnya meninggalkan cara pandang bahwa pengelolaan sumberdaya alam merupakan wewenang ekslusif dari pemerintah. Pengelolaan sumberdaya alam harus dipandang sebagai pengelolaan sumberdaya alam yang berprinsip pembangunan
berkelanjutan
dan
berwasasan
lingkungan
serta
berbasis
kerakyatan. Partisipasi masyarakat dan transparansi perencanaan pembangunan daerah diharapkan mulai mewarnai kehidupan bernegara khususnya dalam pengelolaan sumberdaya alam. Oleh karena itu, sudah saatnya masyarakat
diikutsertakan
dalam perumusan kebijakan dan penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya alam sehingga pembangunan yang dilakukan benar-benar merupakan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Ada kalanya pembangunan yang dilaksanakan pada suatu wilayah, lebih berpihak dan mengakomodir kepentingan suatu kelompok tertentu sehingga masyarakat yang berada di sekitar lokasi tersebut tidak menikmati hasilnya. Misalnya, pembukaan tambang disuatu wilayah biasanya bersifat enclave sehingga masyarakat yang berada disekitar lokasi tambang tidak mengalami perubahan berarti dalam peningkatan kesejahteraan. Namun setelah kegiatan tambang tutup, maka yang harus menerima dampak yang ditimbulkan pasca tambang tersebut adalah masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, nampak bahwa dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan wilayah relatif masih rendah. Menurut
Zen (2001),
pengembangan wilayah merupakan usaha memberdayakan suatu masyarakat yang berada di suatu daerah itu untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat disekeliling mereka dengan menggunakan teknologi yang relevan dengan kebutuhan dan bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang
143
bersangkutan. Namun pengelolaan sumberdaya alam berupa bahan tambang di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur belum memberikan dampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya yang berada di sekitar lokasi pertambangan. Hal ini tercermin dari rendahnya penyerapan tenaga kerja lokal, program community development yang belum menyentuh semua lapisan masyarakat,
serta ketidaksesuaian pemanfaatan ruang sehingga menimbulkan
konflik antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan.
SIMPULAN Simpulan Umum Kebijakan
perencanaan
dan
pemanfaatan
ruang
untuk
kegiatan
pertambangan di Kota Bontang telah berjalan dengan baik yang tercermin dari kesesuaian rencana pemanfaatan ruang dengan pemanfaatan ruang eksisting. Namun kebijakan
perencanaan dan pemanfaatan ruang untuk kegiatan
pertambangan di Kabupaten Kutai Timur belum berjalan dengan baik yang tercermin dari ketidaksesuaian rencana pemanfaatan ruang dengan pemanfaatan ruang eksisting yang menyebabkan terjadinya penyimpangan terhadap RTRW. Hal ini disebabkan oleh pendekatan perencanaan pembangunan wilayah lebih bersifat sektoral sehingga terjadi tumpang tindih pemanfaatan lahan. Dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan wilayah relatif masih rendah khususnya dalam pengembangan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja. Namun kegiatan pertambangan memberikan kontribusi yang besar terhadap pembangunan daerah khususnya dalam struktur perekonomian daerah.
Simpulan Khusus Sesuai dengan tujuan penelitian, maka simpulan khusus dalam penelitian ini adalah : 1. Kegiatan pertambangan memiliki kontribusi yang cukup besar dalam pembangunan
daerah
Kota
Bontang
dan
Kabupaten
Kutai
Timur.
Pertumbuhan ekonomi wilayah Kota Bontang didukung oleh sektor industri pengolahan yang memberikan kontribusi sebesar 86.46%
dengan laju
pertumbuhan 7.49% pada PDRB tahun 2003. Pertumbuhan ekonomi wilayah Kabupaten Kutai Timur didukung oleh sektor pertambangan dan penggalian yang memberikan kontribusi sebesar 64.31% dengan laju pertumbuhan 20.79% pada PDRB tahun 2003.
Sektor industri pengolahan dan sektor
pertambangan dan penggalian memiliki keunggukan kompetitif serta merupakan salah satu sektor basis di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur.
145
2. Kegiatan pertambangan relatif belum memberikan kontribusi terhadap pengembangan masyarakat
khususnya yang berada disekitar lokasi
pertambangan. Kontribusi langsung perusahaan terhadap masyarakat antara lain kesempatan kerja, pertumbuhan usaha kecil, pelayanan pendidikan dan kesehatan, umumnya hanya menyentuh masyarakat lapisan atas, sedangkan kontribusi terhadap masyarakat lapisan menengah dan bawah relatif masih kurang. Hal ini disebabkan kegiatan community development yang dilaksanakan oleh perusahaan bersifat top-down sehingga tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kontribusi tidak langsung berupa pembangunan infrastruktur lebih banyak dilakukan di pusat pemerintahan daripada desa/kelurahan yang berada di sekitar lokasi tambang. 3. Pemanfaatan ruang pada wilayah Kabupaten Kutai Timur belum sesuai dengan peruntukan ruang dalam RTRW. Lokasi pertambangan PT Indominco Mandiri dan pemukiman masyarakat berdasarkan pola pemanfaatan ruang berada
pada
kawasan
kawasan
hutan
lindung/Cagar
Alam/Hutan
Wisata/Taman Nasional. Berdasarkan pola pemanfaatan ruang pada RTRW Kota Bontang, lokasi industri PT Badak NGL dan pemukiman masyarakat pemanfaatan ruangnya sudah sesuai dengan RTRW. Industri PT Badak NGL berada pada kawasan industri sedangkan pemukiman masyarakat berada pada kawasan budidaya untuk pemukiman. 4. Pola perijinan kegiatan pertambangan dan penggunaan kawasan hutan mencerminkan lemahnya koordinasi antar instansi maupun antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini menyebabkan terjadinya tumpang tindih penggunaan lahan dan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Tumpang tindih penggunaan kawasan hutan dengan kegiatan pertambangan menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan dari kawasan hutan menjadi non kawasan hutan.
REKOMENDASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dalam perencanaan pembangunan daerah khususnya perencanaan pembangunan Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Sumberdaya alam tambang merupakan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources) sehingga pengelolaannya harus dilakukan
melalui
prinsip
pembangunan
berkelanjutan
(sustainable
development). Oleh karena itu, hasil sumberdaya alam tambang harus dapat digunakan untuk diversifikasi kegiatan ekonomi lainnya yang tidak bertumpu pada sumberdaya alam tambang antara lain sektor pertanian, sektor perikanan, dan lainnya, sehingga pada saat pasca tambang pembangunan daerah dapat terus berjalan tanpa ketergantungan pada bahan galian tambang. 2. Pemberian ijin lokasi pertambangan dan ijin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan harus mempertimbangkan tata guna lahan, Rencana Tata Ruang Wilayah, dan tata guna hutan untuk menghindari timbulnya konflik dan benturan kepentingan antar sektor. 3. Setiap pemegang ijin kuasa pertambangan dan ijin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan diberikan kewajiban pengembangan masyarakat (community development). Penyusunan program dan implementasi kegiatan community development dilakukan secara sinergi antara instansi terkait, perusahaan pertambangan, dan masyarakat agar program yang dibuat sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat. 4. Evaluasi dan monitoring terhadap pelaksanaan kewajiban pemegang ijin kuasa pertambangan dan ijin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dilakukan secara berkala disertai pengenaan sanksi terhadap penyimpangan-penyimpangan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA Abe A. 2005. Perencanaan Daerah Partisipatif. Yogyakarya : Pembaruan. Alkadri, Djayadinigrat HM. 2002. Bagaimana Menganalisis Potensi Daerah? Konsep dan Contoh Aplikasi. Di dalam : Ambardi UM, Prihawantoro S, penyunting. Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah. Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah BPPT. Hlm 96120. Ary S. 2001. Peranan Sumberdaya Manusia dalam Pengembangan Wilayah di Indonesia. Di dalam : Alkadri, Muchdie, Suhandoyo, penyunting. Tiga Pilar Pengembangan Wilayah. Ed rev. Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah BPPT. Hlm 171-183. BANPU. 2005. Karya dan Perhatian Kepada Masyarakat 2004. BANPU COMDEV, Edisi 01 Mei 2005. [Bappeda, BPS] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Badan Pusat Statistik Kota Bontang. 2004a. Bontang Dalam Angka 2003. Bontang: Bappeda, BPS Kota Bontang. [Bappeda, BPS] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Badan Pusat Statistik Kota Bontang. 2004b. PDRB Menurut Lapangan Usaha Kota Bontang 1993-2003. Bontang: Bappeda, BPS Kota Bontang. [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Direktrorat Sumber Daya Mineral dan Pertambangan. 2004. Mengatasi Tumpang Tindih antara Lahan Pertambangan dan Kehutanan. Info Kajian Bappenas, Vo. 1 No. 2: 43-52. BIKAL. 2001. Potret Taman Nasional Kutai. Draft#0. Samarinda: Yayasan BIKAL. Blakely EJ. 1994. Planning Local Economic Development. Ed ke-2. London: Sage Publications. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2004. Pendapatan Nasional Indonesia 2000-2003. Jakarta: BPS Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik Kutai Timur. 2003. Statistik Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Kutai Timur Tahun 2002. Sangatta: BPS Kabupaten Kutai Timur [BPS] Badan Pusat Statistik Kutai Timur. 2004a. Kabupaten Kutai Timur dalam Angka 2003. Sangatta: BPS Kabupaten Kutai Timur. [BPS] Badan Pusat Statistik Kutai Timur. 2004b. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Kutai Timur Menurut Lapangan Usaha 1993, 1997-2003. Sangatta: BPS Kabupaten Kutai Timur. [BPS, Bappenas, UNDP] Badan Pusat Statistik, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, United Nations Development Programme. 2004. Indonesia: Laporan Pembangunan Manusia 2004, Ekonomi dan Demokrasi: Membiayai Pembangunan Manusia Indonesia. Jakarta: BPS, Bappenas, UNDP.
148
Budimanta A. 2005. Evolusi Community Development di Industri Energi dan Sumber Daya Mineral. Di dalam : Kusairi dkk. Editor. Sustainable Future, Menggagas Warisan Peradaban Anak Cucu Seputar Wacana Pemikiran Surna Tjahja Djajadininghrat. Jakarta: ICSD. Hlm 191 – 197. [Dephut] Departemen Kehutanan 2003. Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Planologi Kehutanan. Jakarta: Badan Planologi Kehutanan Departemen Kehutanan. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2004. Statistik Kehutanan Indonesia 2003. Jakarta: Departemen Kehutanan. [Deptamben] Departemen Pertambangan dan Energi. 1982. Kumpulan PeraturanPeraturan tentang Pertambangan dan Energi. Jakarta: Proyek Pembinaan Hukum Bidang Pertambangan dan Energi, Departemen Pertambangan dan Energi. Conyers D. 1994. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada Press. Glasson J. 1978. An Introduction to Regional Planning. London: Hutchinson. Ife J. 2002. Community Development: Community-Based Alternatives in an Age of Globalisation. Ed-2. Malaysia: Cath Godfrey. Ismail Z. 2001. Pembangunan Daerah dan Masalah Lingkungan. Di dalam: Ismail Z, penyunting. Pembangunan Daerah dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Berwawasan Lingkungan. Jakarta: P2E – LIPI. Johnson RA, Wichern DW. 1998. Applied Multivariate Statistical Analysis. Ed ke-4. New Jersey: Prentice-Hall International Inc. MacAndrews C, Sibero A, Fisher HB. 1982. Regional Development Planning and Implementation in Indonesia: The Evolution of a National Policy. Di dalam: Misra RP, editor. Regional Development. Singapore: Maruzen Asia. Hlm. 43-74. Misra RP. 1982. Regional Development Planning: Search for Bearings. Di dalam: Misra RP, editor. Regional Development. Singapore: Maruzen Asia. Hlm. 1-27. Muhammad C. 2000. Studi Agenda Tersembunyi di Balik Kontrak Karya dan Operasi Tambang INCO. Disampaikan Temu Profesi Tahunan (TPT) IX dan Kongres IV Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI), 14 September 2000. Nelson AC. 1993. Theories of Regional Development, Theories of Local Economic Development : Perpectives Across the Disciplines. London: Sage Publications. [Pemda Bontang, KKPSDA] Pemerintah Kota Bontang dan Kelompok Kerja Program Pengelolaan Sumberdaya Alam. 2003. Potret Lingkungan Hidup Kota Bontang. Ed. Ke-1. Bontang: Pemda Bontang, KKPSDA Primahendra R. 2004. Menggagas Ulang Community Development. Buletin Bina Swadaya No. 47/Tahun X/Mei-Juni 2004. Hal 2-3.
149
Priyatna BI. 2003. Tinjau Faktor-Faktor Disparitas Ekonomi Antar Kabupaten/Kota di Kalimantan Timur [Tesis]. Bandung: Program Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, Program Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung. [PT Badak NGL] PT Badak Natural Gas Liquefaction. 2005. Laporan Community Development PT Badak NGL 2004. Bontang: PT Badak NGL. Riyadi DS. 2002. Pengembangan Wilayah, Teori dan Konsep Dasar. Di dalam: Ambardi UM, Priwantoro S, penyunting. Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah. Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah BPPT. Hlm 48-65. Riyadi BDS. 2004. Perencanaan Pembangunan Daerah, Strategi Menggali Potensi dalam Mewujudkan Otonomi Daerah. Ed. Ke-2. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Riyanto B. 2004. Selayang Pandang Pengelolaan Kawasan Hutan di Indonesia. Jakarta: LPHKL. Saleng A. 2004. Hukum Pertambangan. Yogyakarta: UII Press. Salim E. 4 Maret 2005. Pertambangan dalam Keberlanjutan Pembangunan. Kompas. Http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0503/04/opini/ 1565605. htm [4 Maret 2005]. Salim HS. 2005. Hukum Pertambangan di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Sugiarto, Siagiaan D, Sunaryanto LT, Oetomo, SS. 2003. Teknik Sampling. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Suhandoyo. 2002. Pengembangan Sumberdaya Manusia dalam rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah. Di dalam: Ambardi UM, Prihawantoro S, penyunting. Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah. Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah BPPT. Hlm 96120. Suryanto J. 2001. Sistem Pungutan Sumberdaya Pertambangan Daerah, Kasus Pertambangan Batubara di Kalimantan Timur. Di dalam: Ismail Z, penyunting. Pembangunan Daerah dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Berwawasan Lingkungan. Jakarta: P2E – LIPI. Soenarto. 2004. Peluang Bagi Penyelesaian Konflik Agraria di Sub Sektor Pertambangan Umum. Jurnal Analisis Sosial. Vol 9 No.1 April 2004: 29-35. Tarigan R. 2004. Perencanan Pembangunan Wilayah. Jakarta: PT Bumi Aksara. Triutomo S. 2001. Pengembangan Wilayah melalui Pembentukan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu. Di dalam: Alkadri, Muchdie, Suhandoyo, penyunting. Tiga Pilar Pengembangan Wilayah. Ed rev. Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah BPPT. Hlm 4961.
150
Tukiyat. 2001. Ekonomi dan Lingkungan dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia . Vol 3 No. 4: 1-7. Wulan YC, Yasmi Y, Purba C, Wollenberg E. 2004. Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 – 2003. Bogor: CIFOR Zen MT. 2001. Falsafah Dasar Pengembangan Wilayah: Memberdayakan Manusia. Di dalam: Alkadri, Muchdie, Suhandoyo, editor. Tiga Pilar Pengembangan Wilayah. Ed rev. Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah BPPT. Hlm 3-20.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian di ganti dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1453.K/29/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Pertambangan Umum. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang KetentuanKetentuan Pokok Pertambangan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Peraturan Daerah Kota Bontang Nomor 3 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bontang Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kutai Timur Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 55/Kpts-II/1994 tanggal 7 Pebruari 1994 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1453.K/29/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Pertambangan Umum.
151
Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 12/Menhut-II/2004 tanggal 29 September 2004 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk Kegiatan Pertambangan PETA Peta Kawasan Hutan Propinsi Kalimantan Timur Skala 1 : 250.000 Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan Propinsi Kalimantan Timur skala 1 : 500.000 Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kutai Timur skala 1 : 500..000 Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bontang Sakal 1 : 78.000 Peta Admnitsrasi Kota Bontang Skala 1 : 25.000 Peta Admnistrasi Kabupaten Kutai Timur skala 1 : 500.000 Peta Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Untuk kegiatan Eksploitasi Bahan Galian Batubara PT Indominco Mandiri Skala 1 : 50.000
LAMPIRAN
153
Lampiran 1 Kuesioner
A. KETERANGAN TEMPAT 1. Kota / Kabupaten
:
2. Kecamatan
:
3. Kelurahan / Desa
:
4. RW / RT
:
5. Kampung / Dusun
:
6. Nama responden
:
7. Nomor urut rumah tangga sampel
:
8. Hari / tanggal wawancara
:
B. IDENTITAS RESPONDEN 1. Status perkawinan :
1. Belum Kawin
2. Umur :
………………… tahun
3. Agama : 1. Islam
2. Protestan
2. Kawin
3. Katolik
3. Cerai Hidup
4. Hindu
4. Cerai Mati
5. Budha
6. Lainnya : ……………………………… 4. Pendidikan tertinggi yang ditamatkan : 1. Tidak/belum pernah sekolah
5. SLTA/sederajat
2. Tidak/belum tamat SD
6. Diploma I/II
3. SD/Sederajat
7. Diploma III/akademi
4. SLTP/sederajat
8. Sarjana/S1 ke atas
5. Jika tidak sekolah/tidak tamat SD apakah dapat membaca dan menulis : 1. Huruf latin
2. Huruf Lainnya
3. Tidak dapat membaca dan menulis
6. Pekerjaan utama saat ini : 1. Petani
2. Buruh tani
3. Buruh pabrik
4. Buruh bangunan
5. Pedagang
6. Makelar
7. Sopir
8. Ibu Rumah Tangga
9. Pensiunan PNS
10. Penjahit
11. Pedagang
12. Guru/PNS/ABRI
13. Karyawan swasta
14. Lainnya ………………………………………
7. Pendapatan bersih dalam sebulan : 1. ? 500.000
2. 500.000 - 1.000.000
4. 1.500.000 - 2.000.000
3. 1.000.000 - 1.500.000
3. 2.000.000 - 2.500.000
4. ? 2.500.000
154
IDENTITAS RESPONDEN (Lanjutan) 8.Jika jawaban pertanyaan 6 "petani", berapa luas lahan yang anda miliki : Sawah
: ………………… ha
Lainnya
: ………………… ha
Kebun
: ………………… ha
9. Pekerjaan utama sebelumnya: 1. Petani
2. Buruh tani
3. Buruh pabrik
4. Buruh bangunan
5. Pedagang
6. Makelar
7. Sopir
8. Ibu Rumah Tangga
9. Pensiunan PNS
10. Penjahit
11. Pedagang
12. Guru/PNS/ABRI
13. Karyawan swasta
14. Lainnya ………………………………………
10.Jika jawaban pertanyaan 9 "petani", berapa luas lahan yang anda miliki : Sawah Lainnya
: ………………… ha : ………………… ha
Kebun
: ………………… ha
11. Pendapatan bersih dalam sebulan : 1. ? 500.000 4. 1.500.000 - 2.000.000
2. 500.000 - 1.000.000 3. 2.000.000 - 2.500.000
12. Apakah anda penduduk asli desa ini : 1. Ya
3. 1.000.000 - 1.500.000 4. ? 2.500.000
2. Tidak
13. Jika jawaban pertanyaan 12 Tidak, sejak kapan anda pindah ke desa ini: Tahun : ……………………………………… Daerah Asal : …………………………….. 14. Alasan utama pindah ke desa ini : 1. Pekerjaan 3. Ikut suami/isteri/keluarga
2. Mencari pekerjaan 4. Lainnya (…………………………………………..)
15. Jika alasannya karena pekerjaan atau mencari pekerjaan, apa alasannya tidak bekerja/mencari kerja di daerah asal ? 1. Sulit mendapatkan pekerjaan 2. Pendapatan rendah 3. Tidak mempunyai lahan pertanian 16. Apakah pekerjaan sekarang ini mencukupi kebutuhan saudara? Ya 1
Tidak
2
17. Siapa yang mengajak pindah ke desa ini? 1. Inisiatif sendiri 2. Keluarga 3. Teman
4. Kantor/perusahaan tempat kerja 5. Lainnya
C. KETERANGAN ANGGOTA RUMAH TANGGA No.
Nama Anggota Rumah tangga
Hubungan dengan KRT (kode)
Jenis Kelamin
Umur (tahun)
Pendidikan
(1) 1
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
2 3 4 5 Kode kolom (3) Hubungan dengan Kepala Rumahtangga : 1. Kepala Ruamh Tangga (KRT) 2. Isteri/Suami 3. Anak 4. Menantu
5. Cucu 6. Orang tua/Mertua 7. Saudara/Famili 8. Lainnya
Pekerjaan
(7)
155
KETERANGAN ANGGOTA RUMAH TANGGA (Lanjutan) Adakah anggota rumah tangga yang : 1. Bekerja pada perusahaan tambang PT ……………………………………………………….. 1. Ada 2. Tidak ada 2. Mantan bekerja pada perusahaan tambang PT …………………………………………………… 1. Ada 2. Tidak ada 3. Bila pernah bekerja pada PT …………………………………………………. mengapa berhenti ? 1. Habis kontrak 2. Diberhentikan 3. Mengundurkan diri 4. Memperoleh beasiswa pendidikan dari PT …………………………………… 1. Ada 2. Tidak ada 5. Pernah memperoleh beasiswa pendidikan dari PT …………………………………… 1. Ada 2. Tidak ada 6. Bila pernah mendapat beasiswa dari PT …………………………………….. mengapa tidak diteruskan? 1. Habis jangka waktunya 2. Berhenti sekolah 3. Program dari perusahaan berakhir
D. KESEJAHTERAAN KELUARGA 1. Bagaimana tingkat pendapatan dalam 5 (lima) tahun terakhir? 1. Meningkat 2. Membaik 4. Tidak berubah 5. Memburuk
3. Agak membaik 6. Sangat memburuk
2. Dalam 5 (lima) tahun terakhir adakah perubahan sumber pendapatan keluarga? 1. Ada 2. Tidak ada 3. Jika ada perubahan, apakah sumber perubahannya? 1. PT ………………………….. 3. Proses alami 4. Perusahaan lain 5. Peran LSM
3. Program Pemerintah 6. Usaha sendiri
4. Bagaimanakah kontribusi penghasilan dari PT ………………………………………. terhadap kesejahteraan keluarga? 1. Sangat besar 2. Besar 3. Sedang 4. Kecil 5. Sangat kecil 6. Tidak ada 5. Bagaimanakah tingkat kesejahteraan masyarakat disini setelah adanya PT ………………………………? 1. Meningkat 2. Membaik 3. Agak membaik 4. Tidak berubah 5. Memburuk 6. Sangat memburuk 6. Dibandingkan dengan desa lainnya yang tidak termasuk wilayah kerja PT ……………………………….. bagaimana kondisi usaha-usaha kecil (mis : warung) di desa Saudara ? 1. Meningkat 2. Membaik 3. Agak membaik 4. Tidak berubah 5. Memburuk 6. Sangat memburuk 7. Dibandingkan dengan desa lainnya yang tidak termasuk wilayah kerja PT ……………………………….. bagaimana kondisi penyerapan tenaga kerja di desa Saudara ? 1. Meningkat 2. Membaik 3. Agak membaik 4. Tidak berubah 5. Memburuk 6. Sangat memburuk E. KUALITAS HIDUP RUMAH TANGGA E.1. PEMILIKAN DAN KUALITAS BANGUNAN RUMAH 1. Status penguasaan bangunan tempat tinggal yang ditempati : 1. Milik Sendiri
2. Sewa/kontrak
3. Rumah Keluarga
4. Bebas sewa
5. Lainnya
3. Tanah Negara
4. Milik orang/badan
2. Status penguasaan tanah tempat tinggal : 1. Hak Milik
2. HGB
5. Lainnya
3. Luas lantai tempat tinggal : ………………..………… m2 4. Luas pekarangan
: ………………..…………m2
5. Jenis lantai terluas : 1. Keramik/ubin
2. Semen
3. Papan
4. Teraso
5. Tanah/lainnya
156
KUALITAS HIDUP RUMAH TANGGA (Lanjutan) 6. Jenis dinding terluas : 1. Tembok
2. Setengah tembok
3. Papan/triplek
4. Bilik/lainnya
7. Sumber air bersih untuk minum : 1. Ledeng (PDAM)
2. Air pompa
3. Mata air
4. Air sungai/hujan
3. Mata air
4. Air sungai/hujan
8. Sumber air bersih untuk mandi/cuci dll : 1. Ledeng (PDAM)
2. Air pompa
9. Penggunaan jamban/WC : 10. Sumber penerangan :
1. Sendiri
2. Bersama
1. Listrik PLN
3. Umum
2. Listrik non PLN/Swasta
4. Lainnya/tidak ada 3. Petromak
4. Lainnya
11. Bahan bakar untuk masak : 1. Gas/listrik
2. Minyak tanah
3. Kayu bakar
KUALITAS HIDUP RUMAH TANGGA (Lanjutan) E.2. PEMILIKAN BARANG BERHARGA No.
Jenis Barang
Jumlah (bh)
Harga Taksiran (Rp.)
1 2
Mobil Sepeda motor
……………………. …………………….
……………………………….. ………………………………..
3
Sepeda
…………………….
………………………………..
4 5 6 7
Traktor tangan Televisi berwarna Televisi B/W Parabola
……………………. ……………………. ……………………. …………………….
……………………………….. ……………………………….. ……………………………….. ………………………………..
8 9 10 11 12
Video cecorder/VCD/DVD Tape recorder/Radio Lemari es Sofa Kamera
……………………. ……………………. ……………………. ……………………. …………………….
……………………………….. ……………………………….. ……………………………….. ……………………………….. ………………………………..
13
……………………………..
…………………….
………………………………..
14
……………………………..
…………………….
………………………………..
F. KESEHATAN 1. Apakah dalam 1 tahun terakhir ini ada anggota keluarga anda yang sakit ? 1. Ya
2. Tidak ada
2. Jika ada, jenis penyakit apa yang diderita? 1. Typus
2. Malaria
5. Infeksi saluran pernapasan
3. Cacar
4. TBC
6. Lainnya (sebutkan) ………………………………………….
3. Jika ada anggota keluarga yang sakit, berobat kemana? 1. Puskesmas
2. Dokter
3. Rumah sakit
4. Klinik
5. Lainnya (sebutkan) ………………………………………………….. G. KERJASAMA DAN KONFLIK G.1. KERJA SAMA 1. Kerjasama untuk kepentingan pribadi (arisan, dll) 1. Ada, berjalan dengan baik
2. Ada, tidak berjalan
3. Tidak ada
2. Kerjabakti / gotong royong untuk kepentingan umum 1. Ada, berjalan dengan baik
2. Ada, tidak berjalan
3. Tidak ada
157
KERJASAMA DAN KONFLIK (Lanjutan) 3. Kerjasama penyelenggaraan upacara adat / keagamaan 1. Ada, berjalan dengan baik
2. Ada, tidak berjalan
3. Tidak ada
4. Bagaimana kesediaan anggota masyarakat, secara umum, dalam menyediakan waktu dan tenaga untuk bergotong royong dalam rangka kegiatan kemasyarakatan? 1. Sangat baik
2. Baik
3. sedang
4. Buruk
5. Sangat buruk
5. Bagaimana bentuk sanksi terhadap anggota masyarakat yang enggan melakukan kerjasama? 1. Dikenkan denda
2. Ditegur
3. Dikucilkan
4. Tidak ada sanksi
6. Apakah kelembagaan desa membangun kerjasama dengan kelembagaan lain? 1. Ada, berjalan dengan baik
2. Ada, tidak berjalan
3. Tidak ada
7. Adakah kerjasama kelembagaan antara desa Saudara dengan PT ………………………………….? 1. Ada, berjalan dengan baik
2. Ada, tidak berjalan
3. Tidak ada
G.2. KONFLIK SOSIAL 1. Menurut pendapat Saudara apakah pengaruh PT ………………………………………. terhadap konflik di masyarakat? 1. Meningkatkan konflik antar anggota masyarakat 2. Meningkatkan konflik antara masyarakat dengan pendatang 3. Meningkatkan konflik antara masyarakat dengan perusahaan 4. Tidak ada konflik dengan PT ………………………………… 5. Lainnya ……………………………………………………………………………………………… 2. Adakah sengketa antara warga desa dengan PT …………………………………………………… 1. Ada
2. Tidak ada
3. Jika ada, apakah yang menjadi sumber konflik? 1. Kehilangan kesempatan bekerja
2. Kehilangan kesempatan berusaha
3. Perbedaan adat istiadat pembangunan desa
4. Berkuranganya akses ke PT …………………….
5. Lainnya …………………………………………………………… 4. Adakah sengketa dengan kaum pendatang? 1. Ada
2. Tidak ada
5. Jika sengketa dengan kaum pendatang, apakah penyebab utamanya? 1. Kehilangan kesempatan bekerja
2. Kehilangan kesempatan berusaha
3. Perbedaan adat istiadat pembangunan desa
4. Berkuranganya akses ke PT …………………….
5. Lainnya …………………………………………………………… 6. Jika terjadi konflik dan sengketa, bagaimana mekanisme penyelesaiannya? 1. Diselesaikan secara pribadi
2. Diselesaikan oleh Pemerintah Desa
3. Diselesaikan dengan musyawarah desa
4. Penyelesaian dengan melibatkan aparat hukum
7. Fungsli lembaga adat dalam membantu penyelesaian konflik? 1. Ada dan berfungsi dengan baik
2. Ada tetapi tidak berfungsi
3. Tidak ada
H. NORMA DI MASYARAKAT 1. Setelah adanya PT …………………………………. Apakah harga jual tanah menjadi lebih tinggi? 1. Ya 2. Tidak 3. Tidak tahu/ragu-ragu 2. Apakah luas tanah mencerminkan jumlah kekayaan yang dimiliki seseorang? 1. Ya
2. Tidak
3. Tidak tahu/ragu-ragu
3. Apakah orang yang memiliki tanah lebih dihormati? 1. Ya
2. Tidak
3. Tidak tahu/ragu-ragu
4. Apakah rela menjual tanah untuk membeli barang-barang mewah? 1. Ya 2. Tidak 5. apakah rela menjual tanah untuk biaya pendidikan? 1. Ya
2. Tidak
3. Tidak tahu/ragu-ragu 3. Tidak tahu/ragu-ragu
6. Apakah bekerja dipertanian masih merupakah pilihan utama? 1. Ya
2. Tidak
3. Tidak tahu/ragu-ragu
158
NORMA DI MASYARAKAT (lanjutan) 7. Apakah ada alternatif bekerja di sektor lain? (Jika ya sebutkan) ……………………………………………….. 1. Ya 2. Tidak 8. Apakah bekerja diindustri lebih bergengsi? 1. Ya 2. Tidak 9. Apakah semua pekerjaan di pertanian di upah dengan uang? 1. Ya 2. Tidak 10. Apakah bersekolah sampai pendidikan tinggi penting? 1. Ya 2. Tidak
3. Tidak tahu/ragu-ragu 3. Tidak tahu/ragu-ragu 3. Tidak tahu/ragu-ragu 3. Tidak tahu/ragu-ragu
11. Apakah pengetahuan dan ketrampilan tentang budidaya pertanian penting? (Jika ya, sebutkan jenis komoditasnya) ……………………………………………………. 1. Ya
2. Tidak
3. Tidak tahu/ragu-ragu
12. Apakah pengetahuan dan ketrampilan dibidang pengolahan hasil pertanian penting? (Jika ya, sebutkan jenis pengolahan apa) ……………………………………………………… 1. Ya
2. Tidak
3. Tidak tahu/ragu-ragu
13. Apakah ada pengetahuan dan ketrampilan lain yang dianggap penting? (Jika ya, sebutkan) ………………………………………………………… 1. Ya
2. Tidak
3. Tidak tahu/ragu-ragu
I. PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PT …………………………………………………. 1. Apakah Anda setuju dengan adanya kegiatan pertambangan di desa Anda? 1. Ya
2. Tidak
2. Apakah kehadiran PT …………………………... membawa dampak positif terhadap kehidupan sehari-hari Saudara, keluarga dan masyarakat? 1. Ya 2. Tidak 3. Apakah Saudara ikut dalam kegiatan yang diprogramkan PT ………………………………………… 1. Ya 2. Tidak 4. Jika "ya" apa kesan saudara ? 1. Bermanfaat 2. Cukup bermanfaat 3. Kurang bermanfaat 4. Tidak bermanfaat 5. Apakah ada kemajuan dalam bidang di bawah ini, setelah ikut terlibat dalam kegiatan yang yang diselenggarakan oleh PT ………………………………………………. I.
Bidang usaha yang digeluti
II. Kualitas perumahan
1. Ya
2. Tidak
1. Ya
2. Tidak
III. Kemampuan dalam membayar biaya pendidikan dan kesehatan 1. Ya 2. Tidak 6. Apakah jumlah anggota masyarakat yang terlibat dengan aktifitas bisnis PT……………………………….. meningkat dari tahun ke tahun? 1. Ya
2. Tidak
7. Adakah kader pemuda yang mendapatkan posisi-posisi baru pada salah satu atau lebih sektor kegiatan dalam komunitas setelah terlibat kegiatan PT ………………………………………….? 1. Ya
2. Tidak J. CATATAN
…………………., …………..Juli 2005 Mengetahui, Kepala Kampung/Dusun
159
Lampiran 2
Perusahaan PT Indominco Mandiri
Daftar desa/kelurahan dalam ruang lingkup community development PT Indominco Mandiri dan PT Badak NGL
Kabupaten/Kota, & Kecamatan Kutai Timur Sangatta
Kutai Kertanegera Kecamatan Marangkayu Bontang Bontang Selatan Bontang Barat Bontang Utara
PT Badak Natural Gas Liquefaction
Bontang
Desa/Kelurahan 1. Desa Suka Damai 2. Desa Suka Rahmat 3. Desa Teluk Pandan 4. Desa Santan Ulu 5. Desa Santan Tengah 6. Desa Santan Hilir 7. Kelurahan Bontang Lestari 8. Kelurahan Kanaan 9. Kelurahan Guntung 10. Kelurahan Loktuan Seluruh Kelurahan di Kota Bontang
160
Lampiran 3
Pengalaman Wawancara dengan Responden
Sebelum berangkat ke lapangan, penulis sudah mengumpulkan berbagai informasi
mengenai
desa-desa
yang
akan
dikunjungi.
Informasi
yang
dikumpulkan menyangkut mata pencaharian utama masyarakat, kebiasaankebiasaan atau adat istiadat, daerah asal, serta sarana prasarana desa. Hal ini akan sangat membantu kelancaran kegiatan di lapangan. Informasi tersebut diperoleh dari berbagai sumber termasuk laporan-laporan, koran dan buku. Pengumpulan data primer khususnya wawancara dengan responden membutuhkan teknik wawancara dan kesabaran tersendiri. Untuk mendapatkan informasi yang detil dan akurat dari seorang responden, penulis harus menempatkan diri dalam berbagai posisi. Pada waktu tertentu penulis memposisikan diri sebagai seorang mahasiswa, pada kesempatan lain sebagai seorang PNS, dan di tempat tertentu memposisikan diir sebagai salah satu suku bangsa. Selama melakukan survei lapang penulis menggunakan dua jenis suku yaitu Bugis dan Jawa. Penempatan diri pada posisi yang berbeda-beda tersebut sangat bermanfaat untuk mendekatkan diri pada kehidupan dan emosi responden. Penerimaan seseorang terhadap kehadiran orang asing pada umumnya akan memberikan kesan curiga dan menjaga jarak. Demikian pula dengan sambutan awal Bapak Syamsuddin, Kepala Desa Suka Damai. Namun satelah mendengar maksud kedatangan ke desa tersebut dan tujuan dari penelitian yang akan dilakukan, beliau sangat bersemangat dan antusias. Cerita kehidupan masyarakat sehari-hari, terbentuknya desa baru yang pro Kota Bontang, wacana pemekaran desa,
dan informasi seputar kegiatan community development perusahaan
batubara PT Indominco Mandiri mengalir dengan lancar. Dari hasil pembicaraan selama kurang lebih tiga jam, terkesan bahwa beliau menyimpan harapan yang besar terhadap bantuan PT Indominco Mandiri untuk kemajuan desa dan masyarakat Desa Suka Damai. Pada kesempatan tersebut penulis menempatkan diri sebagai seorang mahasiswa. Suatu pemahaman umum yang masih berlaku
161
pada masyarakat pedesaan adalah anggapan bahwa seorang yang memiliki pendidikan tinggi akan mendapatkan tempat yang lebih tinggi juga. Sambutan masyarakat Desa Suka Damai sendiri tidak jauh berbeda. Sifat suku Bugis yang ramah dan terbuka tetap tercermin dalam sikap mereka meskipun pada awal pertemuan agak menjaga jarak. Untuk mengatasi hal tersebut, setelah berbasa-basi menanyakan daerah asal, penulis mengakui berasal dari suku yang sama. Selanjutnya penulis menggunakan dua macam bahasa dalam wawancara yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Bugis. Hal ini disebabkan bahasa pengantar sehari-hari yang digunakan dikalangan orangtua adalah Bahasa Bugis, bahkan masyarakat yang berumur di atas 60 tahun jarang yang bisa berbahasa Indonesia. Namun di kalangan anak-anak umumnya menggunakan Bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa setempat dan asal suku yang sama memberikan kemudahan dalam melakukan pendekatan dengan responden. Hal ini dibuktikan pula sewaktu melakukan wawancara dengan salah seorang tokoh yang pro Kota Bontang yaitu Ibu Yuliana yang dikenal dengan sebutan Bude. Pada awalnya Bude yang berasal dari Banyuwangi Jawa Timur tersebut sedikit galak dan tidak bersahabat.
Namun satelah penulis mencoba menyapa dengan Bahasa Jawa,
sikapnya langsung berubah jadi hangat dan bersahabat. Bahkan cerita seputar unjuk rasa, pembakaran kantor desa, dan penolakan sebagian masyarakat menjadi warga Kabupaten Kutai Timur menjadi lebih komplit melengkapi informasi dari kepala desa. Hal yang sama juga ditemui pada beberapa responden yang berasal dari Pulau Jawa yang berdomisili di Desa Suka Rahmat. Setelah disapa menggunakan bahasa Jawa, sambutan mereka menjadi lebih ramah dan lebih terbuka dalam mencerirakan sesuatu. Meskipun penguasaan Bahasa Bugis dan Bahasa Jawa Jawa penulis tidak begitu baik, namun pengetahuan akan bahasa setempat ternyata sangat membantu dalam berinteraksi dengan masyarakat. Namun saat melapor dan melakukan pembicaraan dengan Kepala Desa Suka Rahmat, penulis mengaku memposisikan diri sebagai seorang PNS yang sedang tugas belajar untuk mengimbangi ketidakyakinan beliau terhadap mahasiswa. Disamping itu, di desa tersebut sedang
berjalan
proses penyelesaian
sengketa/konflik antara PT Indominco Mandiri dengan masyarakat menyangkut
162
tumpang tindih lahan. Mengetahui status penuslis sebagai PNS Departemen Kehutanan, beliau lebih terbuka menceritakan permasalahan tersebut karena lokasi yang dipersengketakan berada dalam kawasan Hutan Lindung. Bahkan beberapa keluhan dan protes terhadap kebijakan Departemen Kehutanan juga diangkat dalam pembicaraan selama lebih dari 2 jam tersebut. Namun respon masyarakat terhadap kehadiran penulis tidaklah semuanya baik. Memasuki pemukiman masyarakat pendatang dari Madura di Desa Suka Rahmat penolakan untuk diajak berbincang diterima dari sebagian besar pemilik rumah. Penolakan tersebut disertai berbagai alasan. Mulai dari alasan hanya sebagai pekerja, bukan pemilik rumah, sedang istirahat, atau yang langsung menutup pintu rumah tanpa sepatah katapun sebagai jawaban atas salam yang diberikan. Hal ini justru menjadi menarik untuk mengetahui latar belakang kehidupan mereka yang umumnya bekeja sebagai pembuat batu bata. Masyarakat asal Madura tersebut sebagian besar bekerja sebagai pembuat batu bata dalam bentuk usaha keluarga. Setiap tempat dikerjakan oleh beberapa orang yang masih ada hubungan kekeluargaan. Informasi yang diperoleh dari penduduk lain disekitarnya menyatakan bahwa mereka cenderung tertutup terhadap orang luar. Oleh karena itu, untuk melakukan wawancara dengan salah seorang pembuat batubata penulis mencoba mendekati anak-anak yang sedang bermain. Awalnya anak-anak tersebut sedikit ketakutan, namun ketika penulis memberikan obat merah terhadap luka seorang anak yang terjatuh, mereka berbalik berkerumun dengan sikap malu-malu. Kesempatan tersebut penulis manfaatkan dengan menyodorkan makanan kecil dan permen yang sudah disiapkan dalam tas ransel. Anak-anak dengan gembira dan berebutan menerima makanan kecil dan permen tersebut. Akhirnya orang tua anak yang terjatuh tersebut ikut bergabung dan secara tidak sadar membuka diri menjawab semua pertanyaan yang disodorkan. Nuansa adat istiadat Bugis paling menonjol di Desa Kandolo. Penghormatan terhadap orang yang memiliki darah bangsawan masih berlangsung. Hal ini terlihat dari kepala desa terpilih dan tokoh-tokoh masyarakat ataupun tokoh pemuda yang disegani masih menggunakan gelar bangsawan Bugis. Hal ini disebabkan sebagian besar penduduk masih memiliki kekerabatan karena
163
kedatangan di lokasi tersebut dengan sistim eksodus puluhan keluarga dari Bone menuju desa tersebut. Cara yang paling aman untuk menempatkan diri adalah status sebagai mahasiswa dan daerah asal yang sama yaitu Bugis. Status sebagai PNS penulis tutup rapat-rapat karena sebelumnya mendapatkan informasi bahwa di desa tersebut sering terjadi bentrok antara masyarakat dengan petugas lapangan TN Kutai. Pengalaman wawancara di Kelurahan Bontang Lestari tidak jauh berbeda dengan ketiga desa lainnya karena latar belakang kebiasaan dan daerah asal yang sama.
Yang sedikit berbeda adalah pengalaman wawancara responden di
Kelurahan Kanaan. Hal ini disebabkan kebiasaan adat istiadat responden yang umumnya berasal dari Toraja. Meskipun penulis sudah mengetahui kebiasaan suku Toraja memelihara anjing dan babi, namun hal yang ditemui sangat diluar dugaan. Ketakutan akan sambutan berupa gonggongan anjing yang ramai dan galak serta adanya babi sebagai peliharaan responden membuat penulis harus meminta bantuan pendamping selama melakukan wawancara di kelurahan tersebut. Meskipun sedikit ragu dan was-was penulis tetap melakukan wawancara dan menikmati suguhan minum yang ditawarkan pemilik rumah. Di luar itu semua, penerimaan responden cukup terbuka dan bersahabat. Dalam melakukan wawancara dengan responden, informasi yang paling sulit didapatkan adalah tingkat pendapatan. Ada kecenderungan responden tidak ingin diketahui pendapatannya yang real. Disamping itu, responden belum memiliki sistim pencatatan mengenai penghasilan yang didapatkan. Umumnya mereka hanya menghitung penghasilan yang diperoleh dari hasil penjualan panen dalam jumlah besar, sedangkan penghasilan yang diterima yang jumlahnya kecil dan sewaktu-waktu tidak ikut diperhitungkan. Hal lain yang yang dapat penulis catat dalam melakukan pengumpulan data primer adalah sebelum mengajuklan pertanyaan sesuai dengan tujuan penelitian harus dilakukan pendekatan dengan responden. Pendekatan tersebut penulis lakukan dengan cara melakukan pembicaraan awal tentang kehidupan sehari-hari responden antara lain pekerjaan, kesulitan-kesulitan yang dihadapi, sampai pada cerita kepindahan mereka ke desa tersebut. Sebab responden ternyata lebih terbuka menceritakan kehidupan sehari-hari mereka. Untuk itu, penulis berusaha
164
menempatkan diri sebagai bagian dari mereka dan harus bisa menanggapi cerita yang disampaikan baik berupa saran, informasi, atapun hanya sekedar membenarkan. Setelah suasana menjadi pertanyaan menyangkut tujuan penelitian.
lebih
rileks, barulah menyelipkan
165
Lampiran 4 No.
Kegiatan pengembangan masyarakat PT Badak NGL tahun 2004
Bidang/Program
Jenis Kegiatan Fisik/Sarana prasarana Non Fisik
1
Infrastruktur
Renovasi gedung instansi pemerintah Pembangunan mesjid
2
Pendidikan
Bantuan sarana belajar (buku, komputer, bahan laboratorium) untuk sekolah dan yayasan pendidikan
Bantuan biaya pelaksanaan perayaan hari-hari besar nasional dan organisasi Bantuan dana pendidikan dan SPP tingkat SD, SLTP, SMA, S1 dan S2 Bantuan biaya perjalanan mengikuti studi banding, pelaksanaan seminar, dll. Bantuan komsumsi untuk berbagai kegiatan di bidang pendidikan
3
Keagamaan
Bantuan komputer untuk mesjid, gereja, dan lembaga agama lainnya
Bantuan komsumsi dan dana untuk kegiatan keagamaan Bantuan akomodasi dan transportasi untuk peserta acara keagamaan
4
Kesehatan
Bantuan satu unit mobil ambulance untuk Polres Bontang
Bantuan keringanan biaya pengobatan di RS PTB untuk pihak ke III/masyarakat tidak mampu dan staf instansi pemerintah dan anggota ABRI
166
Kegiatan pengembangan masyarakat PT Badak NGL tahun 2004 (lanjutan) No.
Bidang/Program
Jenis Kegiatan Fisik/Sarana prasarana Non Fisik Bantuan 1 unit Blood Khitanan massal Bank Refrigerator dan 1 unit Bench-Top Refrigerator Centrifuge untuk PMI Kota Bontang Bantuan dana dan komsumsi untuk kegiatan seminar, penyuluhan, dan kegiatan lainnya dibidang kesehatan
5
Pemberdayaan Masyarakat
Bantuan komsumsi, seragam, spanduk, dll untuk berbagai kegiatan pelatihan, seminar, dll Bantuan dana kepada kelompok nelayan
6
Olah Raga dan kesenian
Bantuan dana, peralatan olah raga, akomodasi dan komsumsi untuk pelaksanaan berbagai kegiatan olahraga Bantuan dana, akomodasi dan komsumsi untuk pelaksanaan berbagai kegiatan kesenian
7
Lain-lain
Bantuan komputer untuk berbagai kegiatan instansi Pemerintah/ ABRI
Sumber: Laporan Community Development PT Badak NGL 2004
Bantuan komsumsi, dan akomodasi untuk berbagai kegiatan instansi pemerintah/ABRI Bantuan transportasi kepada instansi pemerintah dan ABRI
167
Lampiran 5 Kegiatan pengembangan masyarakat PT Indominco Mandiri tahun 2004-2005 No.
Bidang/Program
1
Infrastruktur
2 3
Kesehatan Keagamaan
4
Pendidikan
5
Ekonomi
Jenis Kegiatan Fisik/Sarana prasarana Non Fisik Pembangunan jalan dan jembatan desa Pusat Pelatihan Pos Polisi Pembangunan Sekolah Taman Kanak-Kanak Pembangunan Kantor Desa Pembangunan kanal Semenisasi SDN 020 Pembangunan mesjid Khitanan massal Perayaan hari-hari besar agama Pelatihan Dai Peralatan sekolah
GNOTA dan beasiswa Tranportasi/Bis sekolah Pelatihan untuk masyarakat dan plot percontohan budidaya kedelai, jagung, dan rumput laut Pelatihan menjahit tingkat mahir dan bordir Demplot sistem insemninasi buatan untuk pembenihan ikan mas Dana bergulir kelompok Tani Pemuda Santan Tengah Budaya Holtikultura
168
Kegiatan pengembangan masyarakat PT Indominco Mandiri Tahun 2004-2005 (lanjutan) No.
Bidang/Program
6
Sosial, Budaya, dan Kesenian
7
Lain-Lain
Sumber:
Jenis Kegiatan Fisik/Sarana Prasarana Non Fisik Bantuan dana untuk berbagai kegiatan seni dan budaya Bantuan dana untuk kegiatan pendidikan, sosial , olag raga dan kepemudaan yang sifatnya insidentil Studi Banding ke pertanian kedelai di Berau
Laporan Kegiatan Community Development PT Indominco Mandiri Tahun 2004 dan Tahun 2005 periode Januari – Juni 2005
169
Lampiran 6 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Kalimantan Timur atas dasar harga konstan 1993 menurut lapangan usaha tahun 1993-2003 (juta rupiah) Sektor Pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan Pertambangan dan penggalian Industri pengolahan Listrik, gas & air bersih Bangunan Perdagangan, hotel & restaurant Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, persewaan, & jasa perusahaan Jasa-jasa TOTAL PDRB tanpa migas
1993 1 364 606.00
1998 1 533 919.00
1999 1 745 202.00
TAHUN 2000 1 789 307.00
2001 1 886 857.00
2002 2 005 397.00
2003 2 041 083.00
4 799 550.00
6 413 052.00
6 776 631.00
6 964 590.00
7 351 810.00
8 025 055.00
8 314 944.00
5 399 868.00 45 184.00
6 683 649.00 68 980.00
7 031 143.00 75 642.00
7 467 478.00 84 247.00
7 821 633.00 97 991.00
7 749 345.00 103 046.00
7 685 916.00 112 094.00
433 008.00 1 430 950.00
558 811.00 1 901 068.00
567 193.00 1 960 528.00
594 929.00 1 989 468.00
667 498.00 2 031 563.00
726 742.00 2 109 079.00
797 551.00 2 222 429.00
1 355 092.00
2 181 588.00
2 257 788.00
2 348 509.00
2 455 700.00
2 612 788.00
2 716 576.00
534 480.00
669 998.00
578 835.00
599 743.00
635 978.00
669 847.00
706 695.00
345 681.00 15 708 419.00 7 939 660.00
503 558.00 20 514 623.00 11 090 269.00
526 657.00 21 519 619.00 11 548 182.00
545 698.00 22 383 969.00 11 966 068.00
564 516.00 23 513 546.00 12 857 127.00
591 238.00 24 592 537.00 13 793 840.00
628 711.00 25 225 999.00 14 447 511.00
Sumber : BPS, PDRB Kalimantan Timur Menurut Lapangan Usaha 1993-2003
170
Lampiran 7 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bontang atas dasar harga konstan 1993 menurut lapangan usaha tahun 19932003 (juta rupiah) Sektor Pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan Pertambangan dan penggalian Industri pengolahan Listrik, gas & air bersih Bangunan Perdagangan, hotel & restauran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, persewaan, & jasa perusahaan Jasa-jasa TOTAL PDRB tanpa migas Sumber
1993 12 492.68
1998 14 011.45
1999 15 209.08
TAHUN 2000 15 512.31
9 686.00
19 230.45
20 876.08
21 834.29
22 973.20
23 798.70
25 705.33
2 520 672.75 1 772.00
3 346 911.84 4 039.13
3 701 535.95 4 374.92
4 103 566.36 5 626.57
4 258 925.30 5 751.84
4 063 762.89 6 283.35
4 101 307.17 6 885.09
83 409.00 88 059.00
145 550.68 127 644.07
158 398.39 139 084.36
170 927.70 148 591.38
192 263.82 154 873.02
215 419.26 159 638.09
254 210.91 171 325.31
27 050.61
43 646.56
47 476.13
50 155.38
51 570.14
53 039.92
54 501.86
33 715.00
51 207.39
54 561.87
58 529.26
61 224.99
63 354.82
63 952.87
19 641.00 2 796 498.04 681 740.29
32 563.62 3 784 805.19 878 959.91
35 524.19 4 177 040.97 959 539.48
41 997.42 4 616 740.67 1 028 002.32
44 041.09 4 807 902.69 1 082 156.54
46 512.37 4 647 898.84 1 127 130.57
49 542.77 4 744 384.32 1 226 728.43
: 1. Bappeda dan BPS, PDRB Menurut Lapangan Usaha Kota Bontang 1993-2003 2. Bappeda dan BPS, Bontang Dalam Angka 2001
2001 16 279.29
2002 16 089.44
2003 16 953.01
171
Lampiran 8 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Kutai Timur atas dasar harga konstan 1993 menurut lapangan usaha tahun 1993-2003 (juta rupiah) Sektor Pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan Pertambangan dan penggalian Industri pengolahan Listrik, gas & air bersih Bangunan Perdagangan, hotel & restauran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, persewaan, & jasa perusahaan Jasa-jasa TOTAL PDRB tanpa migas PDRB Tanpa migas dan batubara
1993 87 562.42
1998 101 424.73
1999 93 655.69
TAHUN 2000 102 664.59
344 967.16
622 677.51
779 094.71
784 678.19
818 954.28
984 858.59
1 112 067.06
3 836.38 316.09
10 544.91 1 395.16
11 697.25 1 565.66
13 333.37 2 249.35
14 946.80 2 602.56
16 427.09 4 021.34
15 342.57 5 081.28
14 399.54 11 590.02
26 959.20 36 541.02
28 205.47 32 425.12
31 434.16 34 082.13
42 121.77 37 164.37
73 015.98 42 277.15
104 680.25 63 287.92
26 214.34
34 185.64
35 219.53
59 716.16
53 971.37
73 006.59
74 562.21
23 476.78
34 107.33
37 850.60
39 872.34
44 112.46
54 262.49
75 352.91
4 527.54 516 890.27 460 714.49 176 566.14
6 797.84 874 633.34 805 479.72 260 972.29
7 239.93 1 026 953.96 961 364.15 259 349.29
8 281.36 1 076 311.65 1 008 767.91 305 478.91
11 690.30 1 135 890.29 1 053 931.53 332 183.35
14 776.03 1 376 309.74 1 296 195.06 408 964.22
23 426.87 1 691 914.04 1 608 175.64 602 239.56
Sumber : BPS, PDRB Kutai Timur Menurut Lapangan Usaha 1993-2003
2001 110 326.38
2002 113 664.48
2003 218 112.97
172
Lampiran 9 Mata pencaharian utama responden Jumlah responden (org) Desa/Kelurahan Petani Suka Damai Suka Rahmat
Guru/PNS/ ABRI
Karyawan Swasta
Wiraswasta
Lainnya
18 9
0 0
2 4
0 7
0 0
9 4
1 2
7 11
2 1
1 2
Jumlah desa dampak
40
3
24
10
3
Persentase (%)
50
3.75
30
12.5
3.75
Kandolo Jumlah desa non-dampak
18
1
0
1
0
18
1
0
1
0
Persentase (%)
90
5
0
5
0
Bontang Lestari Kanaan
Mata pencaharian utama responden berdasarkan pelapisan sosial ekonomi Pelapisan sosial ekonomi
Jumlah responden (%) Petani 53
Guru/PNS/ ABRI 11
Karyawan Swasta 21
Wiraswasta 16
Lainnya 0
Menengah
48
6
35
6
3
Bawah
66
0
18
12
4
Atas
Keterangan : Petani Guru/PNS/ABRI Karyawan swasta Wiraswasta Lainnya
: Petani dengan lahan sendiri, petani bukan lahan sendiri dengan sistem bagi hasil , nelayan : Guru, pegawai negeri, ABRI, honorer pada instansi pemerintah : Karyawan perusahaan swasta, sopir, buruh bangunan, buruh pabrik : Pedagang, usaha meubel, warung/rumah makan, usaha sendiri : Pemulung, karyawan swasta yang habis masa kontrak dan menunggu masa 6 bulan untuk dapat melamar bekerja kembali pada perusahaan yang sama
173
Lampiran 10 Tingkat pendidikan responden Jumlah responden (org) Desa/Kelurahan
Suka Damai Suka Rahmat Bontang Lestari Kanaan Jumlah desa dampak Persentase (%) Kandolo Jumlah desa non-dampak Persentase (%)
Tidak pernah sekolah 2 3 3 2
Tidak tamat SD 6 4 5 0
10 12.5 2
15 18.75 2
2 10
2 10
SD SLTP 5 6 4 5
SLTA Diploma
S1
5 1 3 4
2 6 5 7
0 0 0 1
0 0 0 1
20 13 25 16.25 11 3
20 25 2
1 1.25 0
1 1.25 0
11 55
2 10
0 0
0 0
SLTA Diploma
S1
3 15
Tingkat pendidikan responden berdasarkan pelapisan sosial ekonomi Jumlah responden (%) Pelapisan sosial ekonomi Atas Menengah Bawah
Tidak pernah sekolah 5 10 16
Tidak tamat SD 5 16 22
SD SLTP 16 19 44
21 19 12
42 35 6
5 0 0
5 0 0
174
Lampiran 11 Tingkat pendapatan responden
Desa/Kelurahan Suka Damai Suka Rahmat Bontang Lestari Kanaan Jumlah desa dampak Persentase (%) Desa Kandolo Jumlah desa non-dampak Persentase (%)
= 500.000
500.000 1.000.000
5 6 3 9 23 28.75 12 12 60
7 6 10 5 28 35 6 6 30
Jumlah pendapatan per bulan (Rp.) 1.000.000 1.500.000 1.500.000 2.000.000 0 3 2 2 2 2 2 1 6 8 7.5 10 1 1 1 1 5 5
2.000.000 2.500.000
= 2.500.000
3 2 1 0 6 7.5 0 0 0
2 2 2 3 9 11.25 0 0 0
Tingkat pendapatan responden berdasarkan pelapisan sosial ekonomi
Pelapisan sosial ekonomi Atas Menengah Bawah
= 500.000
500.000 1.000.000 3 8 24
2 8 24
Jumlah pendapatan per bulan (Rp.) 1.000.000 1.500.000 1.500.000 2.000.000 2 0 4 8 1 1
2.000.000 2.500.000
= 2.500.000 4 2 0
8 1 0
175
Lampiran 12 Persepsi pengaruh kehadiran perusahaan pertambangan terhadap penyerapan tenaga kerja Persepsi pengaruh kehadiran perusahaan tambang terhadap penyerapan tenaga kerja berdasarkan desa/kelurahan Jumlah responden (org) Desa/Kelurahan Suka Damai Suka Rahmat Bontang Lestari Kanaan Jumlah Persentase (%)
Membaik 0 1 0 3 4 5
Agak membaik 1 0 6 11 18 22.5
Tidak berubah 19 19 14 6 58 72.5
Persepsi pengaruh kehadiran perusahaan tambang terhadap penyerapan tenaga kerja berdasarkan pelapisan sosial ekonomi Jumlah responden (%) Pelapisan sosial ekonomi Atas Menengah Bawah
Membaik 7 0 7
Agak membaik 14 29 21
Tidak berubah 79 71 71
176
Lampiran 13 Responden yang bekerja/pernah bekerja pada perusahaan pertambangan Responden yang bekerja/pernah bekerja pada perusahaan pertambangan berdasarkan desa/kelurahan Desa/Kelurahan Suka Damai Suka Rahmat Bontang Lestari Kanaan Jumlah Persentase (%)
Jumlah responden (org) Bekerja Pernah bekerja Tidak bekerja 1 0 19 2 2 16 3 1 16 1 4 15 7 7 66 8.75 8.75 82.5
Responden yang bekerja/pernah bekerja pada perusahaan pertambangan berdasarkan pelapisan sosial ekonomi Pelapisan sosial ekonomi Atas Menengah Bawah
Jumlah responden (%) Bekerja 7 17 5
Pernah bekerja 0 17 7
Tidak bekerja 93 67 88
177
Lampiran 14 Tingkat pendapatan responden dalam lima tahun terakhir Tingkat pendapatan responden dalam lima tahun terakhir berdasarkan desa/kelurahan Desa/Kelurahan Suka Damai Suka Rahmat Bontang Lestari Kanaan Kandolo Jumlah
Jumlah responden (org) Membaik 7 3 6 8 1 25
Tidak berubah 6 8 9 6 4 33
Memburuk 7 9 5 6 15 42
Tingkat pendapatan responden dalam lima tahun terakhir berdasarkan pelapisan sosial ekonomi Pelapisan sosial ekonomi Atas Menengah Bawah
Jumlah responden (%) Membaik 47 32 12
Tidak berubah 21 26 42
Memburuk 32 42 46
178
Lampiran 15 Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap kesejahteraan keluarga Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap kesejahteraan keluarga berdasarkan desa/kelurahan Desa/Kelurahan Suka Damai Suka Rahmat Bontang Lestari Kanaan Jumlah Persentase
Jumlah responden (org) Besar 1 0 1 3 5 6.25
Sedang 0 2 4 1 7 8.75
Kecil 4 2 8 14 28 35
Tidak ada 15 16 7 2 40 50
Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap kesejahteraan keluarga berdasarkan pelapisan sosial ekonomi Pelapisan sosial ekonomi Atas Menengah Bawah
Besar 21 4 2
Jumlah responden (%) Sedang Kecil 7 29 21 25 2 45
Tidak ada 43 50 50
179
Lampiran 16 Responden yang mendapatkan beasiswa dari perusahaan pertambangan Responden yang mendapatkan beasiswa dari perusahaan tambang berdasarkan desa/kelurahan Desa/Kelurahan Suka Damai Suka Rahmat Bontang Lestari Kanaan Jumlah Persentase (%)
Jumlah responden (org) Dapat 2 1 1 1 5 6
Pernah dapat 3 1 1 2 7 9
Tidak dapat 15 18 18 17 68 85
Responden yang mendapatkan beasiswa dari perusahaan tambang berdasarkan pelapisan sosial ekonomi Pelapisan sosial ekonomi Atas Menengah Bawah
Dapat 14 8 2
Jumlah responden (%) Pernah dapat 7 4 12
Tidak dapat 79 88 86
180
Lampiran 17 Responden yang ikutserta dalam program community development perusahaan pertambangan Responden yang ikutserta dalam program kegiatan perusahaan berdasarkan desa/kelurahan Desa/Kelurahan Suka Damai Suka Rahmat Bontang Lestari Kanaan Jumlah Persentase (%)
Jumlah responden (org) Ya Tidak 5 15 1 19 0 20 6 14 12 68 15 85
Responden yang ikutserta dalam program kegiatan perusahaan berdasarkan pelapisan sosial ekonomi Pelapisan sosial ekonomi Atas Menengah Bawah
Jumlah responden (%) Ya Tidak 21 79 8 92 17 83
181
Lampiran 18 Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat berdasarkan desa/kelurahan
Desa/Kelurahan Suka Damai Suka Rahmat Bontang Lestari Kanaan Jumlah Persentase (%)
Membaik 0 0 4 3 7 8.75
Jumlah responden (org) Agak membaik Tidak berubah 1 19 0 20 5 11 15 1 21 51 26.25 63.75
Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat berdasarkan pelapisan sosial ekonomi
Pelapisan sosial ekonomi Atas Menengah Bawah
Membaik 14 13 7
Jumlah responden (%) Agak membaik Tidak berubah 21 64 21 67 31 62
182
Lampiran 19 Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap pertumbuhan usaha-usaha kecil Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap pertumbuhan usaha-usaha kecil berdasarkan desa/kelurahan
Desa/Kelurahan Suka Damai Suka Rahmat Bontang Lestari Kanaan Jumlah Persentase (%)
Membaik 0 0 0 3 3 3.75
Jumlah responden (org) Agak membaik Tidak berubah 20 0 1 19 7 13 16 1 44 33 55 41.25
Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap usaha-usaha kecil berdasarkan pelapisan sosial ekonomi Pelapisan sosial ekonomi Atas Menengah Bawah
Membaik 7 0 5
Jumlah responden (%) Agak membaik Tidak berubah 21 71 33 67 31 64
183
Lampiran 20 Konflik antara perusahaan pertambangan dengan masyarakat
Konflik antara perusahaan pertambangan dengan masyarakat berdasarkan desa/kelurahan Desa/Kelurahan Suka Damai Suka Rahmat Bontang Lestari Kanaan Jumlah Persentase (%)
Jumlah responden (org) Ada konflik Tidak ada konflik 4 16 5 15 3 17 2 18 14 66 17.5 82.5
Konflik antara perusahaan pertambangan dengan masyarakat berdasarkan pelapisan sosial ekonomi Pelapisan sosek Atas Menengah Bawah
Jumlah responden (%) Ada konflik Tidak ada konflik 16 84 25 75 12 88
184
Lampiran 21
Kasus Desa Suka Damai
Salah satu desa yang letaknya relatif dekat dengan lokasi pertambangan adalah Desa Suka Damai. Di sebelah Barat Desa Suka Damai terdapat konsesi pertambangan batubara milik PT Indominco Mandiri yang beroperasi sejak tahun 1995. Secara administratif, Desa Suka Damai termasuk dalam wilayah Kecamatan Sangatta Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur. Desa Suka Damai terletak pada jalan poros Samarinda-Bontang dengan jarak ± 15 km dari Kota Bontang dan ± 75 km dari Sangatta ibukota Kabupaten Kutai Timur. Mata pencaharian utama masyarakat Desa Suka Damai umumnya adalah petani dengan komoditas utama pisang dan coklat. Umumnya masyarakat memiliki lahan yang cukup luas yaitu berkisar antara 2–10 hektar, bahkan ada yang memiliki lahan garapan lebih dari 10 hektar. Pemilikan lahan garapan yang cukup luas tersebut disebabkan penguasaan lahan dilakukan dengan cara membuka kawasan hutan dan ditanami dengan tanaman pisang sebagai tanda kepemilikan lahan. Oleh karena itu, penguasaan lahan belum memiliki dokumen kepemilikan yang legal dari pemerintah. Masyarakat yang bekerja pada sektor swasta sangat sedikit. Hal ini disebabkan oleh tingkat pendidikan yang tidak memadai. Persyaratan tingkatan pendidikan yang diminta oleh perusahaan tidak sesuai dengan tingkat pendidikan yang dimiliki masyarakat.
Penduduk yang bekerja pada perusahaan swasta
umumnya pendatang dengan sistim kontrak sehingga apabila kontrak kerja habis maka mereka akan meninggalkan desa tersebut. Desa Suka Damai terdiri atas dua dusun yaitu Dusun Damai Bersatu dan Dusun Danau Redan. Dusun Damai Bersatu merupakan salah satu dusun yang sebagian warganya bertempat tinggal di dekat jalan tambang PT Indominco Mandiri. Untuk mencapai pemukiman masyarakat yang berada dekat jalan tambang, dapat ditempuh dengan jalan kaki atau kendaraan roda dua melewati jalan kecil yang dikenal dengan nama Jalan Marante dari jalan poros SamarindaBontang. Jalan Marante merupakan jalan tanah selebar ± 1,3 meter yang hanya
185
dapat dilewati oleh kendaraan roda dua. Namun pada musim hujan, jalan tersebut tidak dapat dilewati karena kondisi jalan yang licin dan liat. Sepanjang jalan menuju Dusun Damai Bersatu merupakan kebun pisang milik masyarakat. Penduduk Dusun Damai Bersatu umumnya berasal dari Tana Toraja Provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini terlihat dari suasana perkampungan dengan ciri khas Toraja baik dari bentuk rumah maupun gereja.
Salah satu rumah dalam kelompok pemukiman penduduk asal Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan di Dusun Danau Redan Desa Suka Damai
Namun bentuk rumah tinggal sebagian besar masyarakat Desa Suka Damai tidak jauh berbeda dengan bentuk rumah adat Bugis/Makassar yaitu rumah panggung dengan bahan dasar kayu. Hal ini disebabkan penduduk Desa Suka Damai sebagian besar merupakan pendatang dari beberapa kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan yaitu Jeneponto, Bone, Barru, Bantaeng, Bulukumba, Maros, dan lainnya. Umumnya mereka tinggal berkelompok sesuai dengan daerah asal. Hal ini menyebabkan pemukiman penduduk mengelompok dengan jarak antar kelompok sekitar 0.5- 1 km. Dusun Danau Redan berbatasan dengan Desa Santan Tengah Kabupaten Kutai Kertanegara. Kedua kabupaten tersebut dibatasi oleh aliran air Sungai Santan.
Belakangan ini, sungai tersebut sering mengalami banjir sehingga
merusak rumah dan tanah pertanian masyarakat. Saat ini Dusun Danau Redan sedang dalam persiapan menjadi desa otonom dengan nama Desa Danau Redan.
186
Bahkan di depan salah satu rumah penduduk telah dipasang nama Desa Persiapan Danau Redan.
Papan nama Desa Persiapan Danau Redan Pemekaran desa merupakan salah satu implikasi dari otonomi daerah, dimana Desa Suka Damai sendiri merupakan salah satu desa dari hasil pemekaran Desa Teluk Pandan. Meskipun Desa Suka Damai memiliki wilayah yang cukup luas, namun belum didukung oleh sarana prasarana dan sumberdaya manusia yang memadai. Hal ini ditandai dengan minimnya sarana transportasi, pendidikan, dan kesehatan. Salah satu dampak dari pemekaran wilayah di Desa Suka Damai adalah terpecahnya masyarakat ke dalam dua kelompok yaitu kelompok yang menjadi penduduk Kabupaten Kutai Timur dan kelompok yang ingin bergabung dengan Kota Bontang. Hal ini ditandai dengan adanya sejumlah masyarakat yang masih memiliki KTP Bontang. Mereka merasa keberatan apabila harus bergabung dengan Kabupaten Kutai Timur dengan pertimbangan akses ke Kota Bontang lebih mudah dibandingkan dengan akses ke Sangatta. Sebelum terbentuknya
187
Kabupaten Kutai Timur, masyarakat Desa Suka Damai lebih banyak berinteraksi dengan Kota Bontang karena kemudahan transportasi dan kedekatan jarak. Salah satu bentuk dari penolakan tersebut adalah munculnya aksi unjuk rasa dan pembakaran kantor desa oleh kelompok yang berkeinginan menjadi penduduk Kota Bontang. Disamping itu, kelompok tersebut telah membentuk desa baru dengan nama Desa Kali Gowa. Salah satu tokoh terbentuknya desa tersebut mengakui bahwa pembentukan desa baru tersebut merupakan salah satu bentuk protes masyarakat akan ketidakpedulian Pemerintah Daerah Kutai Timur terhadap warga Desa Suka Damai. Meskipun telah menjadi penduduk Kabupaten Kutai Timur, namun perhatian dan bantuan pemda belum banyak dirasakan oleh masyarakat tersebut. Permasalahan lain yang sedang dihadapi oleh masyarakat Desa Suka Damai khususnya yang memiliki mata pencaharian utama sebagai petani adalah gagal panen atau tanaman rusak. Pisang sebagai komoditas utama telah mengalami gagal panen dan kerusakan tanaman sejak dua tahun lalu yang diperkirakan akibat serangan virus. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan pendapatan secara drastis. Namun sampai saat ini belum ada tindak lanjut dari pemerintah dalam penagangan masalah tersebut sehingga kehidupan para petani semakin terpuruk. Sebagai salah satu desa binaan dari PT Indominco Mandiri, Desa Suka Damai sudah mendapatkan berbagai macam bantuan baik dalam bentuk fisik maupun non fisik. Program community development yang telah dilaksanakan oleh PT Indominco Mandiri di Desa Suka Damai secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok kegiatan yaitu:
1. Fisik Dalam rangka pembangunan kantor desa yang telah dibakar oleh massa pada saat berunjuk rasa, PT Indominco Mandiri memberikan bantuan senilai 100 juta rupiah disamping biaya dari APBD Kutai Timur. Pembangunan kantor desa tersebut dilakasanakan secara swadaya oleh masyarakat. Bantuan fisik lainnya adalah pembangunan jalan dan jembatan kayu di Dusun Danau Redan. Pelaksanaan pembangunan jalan dan jembatan tersebut dilakukan sendiri oleh pihak perusahaan. Di sisi lain masyarakat menginginkan
188
pembangunan jalan tersebut dilaksanakan secara swadaya sehingga kelebihan dana dapat digunakan untuk meningkatkan kondisi jalan dari jalan tanah menjadi jalan aspal. Namun sampai saat ini, jalan tersebut masih merupakan jalan tanah sehingga sulit pada musim hujan.
Kantor Desa Suka Damai
2. Sosial Kegiatan community development PT Indominco Mandiri dalam bidang sosial antara lain pemberian bantuan biaya pendidikan dalam bentuk Anak Asuh. Namun biaya pendidikan tersebut hanya diberikan pada tingkat pendidikan Sekolah Dasar, sehingga banyak anak yang tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Selain itu, biaya pendidikan hanya diberikan dalam jangka waktu tertentu (setahun). Pemberian biaya pendidikan inipun terbatas pada kelompok masyarakat tertentu dan umumnya hanya menyentuh masyarakat yang berada pada lapisan atas. Hal ini menyebabkan tingkat pendidikan dan kualitas SDM di desa tersebut tidak mengalami peningkatan. Apabila perusahaan memiliki kesungguhan untuk meningkatkan kualitas SDM di desa tersebut, anak-anak yang berprestasi diberikan biaya pendidikan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi
189
sehingga dapat ditampung bekerja di perusahaan sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Rendahnya tingkat pendidikan dan kualitas SDM menyebabkan penyerapan tenaga kerja penduduk setempat sangat rendah. Meskipun demikian, seharusnya perusahaan pertambangan dapat memberikan peluang kerja untuk jenis pekerjaan yang tidak memerlukan skill dan pendidikan yang tinggi. Hal ini dapat ditempuh dengan memberikan pelatihan keterampilan tertentu sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Kegiatan sosial lainnya adalah bantuan perayaan hari-hari besar nasional dan keagamaan. Namun pelayanan sosial di bidang kesehatan belum ada. Penduduk yang memerlukan pengobatan yang lebih serius harus menuju Kota Bontang untuk mendapatkan pelayanan dokter.
3. Ekonomi Salah satu bentuk kegiatan community development PT Indominco Mandiri dalam bidang ekonomi di Desa Suka Damai adalah pelatihan menjahit dan pembentukan kelompok tani binaan. Namun
pelajaran yang diterima sulit
dimanfaatkan karena tidak ada modal. Disamping itu, kelompok tani dengan komoditas jagung dan kedelai tidak dapat berjalan karena tanaman yang sudah hampir panen selalu rusak akibat banjir. Sejak tahun 1998 musibah banjir mulai sering terjadi. Hal ini disebabkan semakin
dangkalnya
sungai
yang
melewati
desa
tersebut.
Masyarakat
memperkirakan penyebab mendangkalnya sungai tersebut akibat erosi atau sedimen yang terbawa dari hulu dimana PT Indominco Mandiri melakukan penambangan. Pemerintah desa telah mengajukan permohonan bantuan alat berat kepada PT Indominco Mandiri untuk melakukan pengerukan sungai namun sampai saat ini pihak perusahaan belum memberikan tanggapan. Salah satu kelompok tani yang dibentuk dan dibina oleh PT Indominco Mandiri adalah kelompok Tani Mekar Indah. Namun kegiatan kelompok tani tersebut tidak banyak membantu peningkatan taraf hidup anggotanya. Hal ini disebabkan pihak perusahaan kurang membantu pemasaran hasil pertanian kelompok tani tersebut. Disamping itu, kendala utama yang di hadapi oleh
190
anggota kelompok tani maupun petani secara umum di Desa Suka Damai adalah modal. Meskipun diberikan pengetahuan budidaya tanaman namun tidak dapat diterapkan karena kekurangan modal.
Lokasi budidaya tanaman sayur Kelompok Tani Mekar Indah binaan PT Indominco Mandiri yang nampak tidak terawat.
Satu hal yang dapat disimpulkan disini adalah PT Indominco Mandiri hanya sebatas membentuk kelompok tani dan memberikan pelatihan dalam waktu yang singkat namun tidak memantau perkembangan selanjutnya. Hal ini menyebabkan pembentukan kelompok tani tersebut tidak memberikan manfaat yang berarti bagi anggotanya. Hal ini terlihat di lapangan dimana lokasi budidaya tanaman sayur tersebut dalam kondisi tidak terawat. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan community development yang dilaksanakan oleh PT Indominco Mandiri belum disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini tercermin dari masih banyaknya kebutuhan dasar masyarakat yang belum terpenuhi antara lain sumber penerangan dan air bersih. Penerangan yang digunakan umumnya adalah petromak. Beberapa rumah menggunakan listrik yang berasal dari genset bantuan Pemda Kutai Timur dan ada yang milik sendiri dan digunakan oleh beberapa keluarga. Namun saat ini genset bantuan pemda
191
tidak berfungsi lagi karena rusak. Sumber air bersih untuk minum dan masak umumnya dari air hujan dan sumur, sedangkan untuk keperluan lain seperti mandi dan mencuci dari sungai. Namun ada beberapa lokasi yang air sumurnya tidak layak untuk dikomsumsi karena rasanya masam. Beberapa responden bahkan mengakui bahwa air hujan pun terkadang tidak dapat dikomsumsi karena warnanya hitam. Kegiatan community development yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan hanya menyentuh kelompok masyarakat pada lapisan atas disebabkan oleh tidak dilibatkannya masyarakat dalam perencanaan dan implementasi program. Untuk itu, dalam upaya menjaling komunikasi dengan masyarakat khususnya desa-desa yang menjadi binaan PT Indominco Mandiri telah dibentuk Community Consultative Committee (CCC) yang beranggotakan kepala desa, aparat desa, tokoh masyarakat serta pihak perusahaan. Organisasi tersebut dibentuk dengan tujuan untuk menampung aspirasi masyarakat sehingga program yang dijalankan sesuai dengan potensi dan kebutuhan masyarakat. Namun organisasi yang dibentuk dua tahun lalu tersebut belum ada tindak lanjutnya.
Papan sekretariat Community Consultative Committee (CCC) yang dipasang pada bagian depan rumah Kepala Desa Suka Damai
Minimnya peranan PT Indominco Mandiri dalam pembangunan desa menyebabkan masyarakat memiliki persepsi bahwa kehadiran perusahaan pertambangan tersebut tidak memberikan dampak terhadap kesejahteraan
192
masyarakat. Disamping itu, sebagian besar masyarakat cenderung tidak peduli terhadap keberadaan perusahaan pertambangan sepanjang tidak mengganggu aktivitas mereka sebagai petani. Hal ini didukung oleh masih banyaknya masyarakat yang tidak mengetahui keberadaan perusahaan pertambangan tersebut. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan community development PT Indominco Mandiri belum sesuai dengan kebutuhan masyarakat karena program yang dilaksanakan masih merupakan proyek dari perusahaan sehingga masyarakat tidak dilibatkan dalam perencanaan maupun implementasi program. Disamping itu, sosialisasi dan pendekatan PT Indominco Mandiri hanya dilakukan pada masyarakat lapisan atas, sedangkan pendekatan dan sosialisasi terhadap masyarakat lapisan menengah dan bawah masih sangat rendah.
193
Lampiran 22 Data koordinat hasil analisis korespondensi berganda (correspondence analysis ) Persepsi penyerapan tenaga kerja oleh perusahaan pertambangan berdasarkan desa/kelurahan
Colum Name Membaik Agak membaik Tidak berubah
Column Coordinates and Contributions to Inertia Input Table (Rows x Columns): 4 x 3 Standardization: Row and column profiles Column Coordin. Coordin. Mass Number Dim.1 Dim.2 1 0.989879 -0.721207 0.050000 2 0.961149 0.163736 0.225000 3 -0.366555 -0.001076 0.725000
Quality 1.000000 1.000000 1.000000
Relative Inertia 0.194148 0.553682 0.252170
Inertia Dim.1 0.138296 0.586731 0.274974
Cosine² Dim.1 0.653240 0.971798 0.999991
Inertia Dim.2 0.811704 0.188269 0.000026
Cosine² Dim.2 0.346760 0.028202 0.000009
Cosine² Dim.1 0.944140 0.928778 0.551873
Inertia Dim.2 0.391133 0.372721 0.236145
Cosine² Dim.2 0.055860 0.071222 0.448127
Persepsi penyerapan tenaga kerja oleh perusahaan pertambangan berdasarkan pelapisan sosial ekonomi
Colum Name Membaik Agak membaik Tidak berubah
Column Coordinates and Contributions to Inertia Input Table (Rows x Columns): 3 x 3 Standardization: Row and column profiles Column Coordin. Coordin. Mass Number Dim.1 Dim.2 1 -0.688824 0.167548 0.046823 2 0.276245 0.076497 0.214047 3 -0.036363 -0.032767 0.739130
Quality 1.000000 1.000000 1.000000
Relative Inertia 0.548652 0.410057 0.041291
Inertia Dim.1 0.562044 0.413232 0.024724
194
Responden yang bekerja, pernah bekerja, dan tidak bekerja pada perusahaan pertambangan berdasarkan desa/kelurahan
Colum Name Bekerja Pernah bekerja Tidak bekerja
Column Coordinates and Contributions to Inertia Input Table (Rows x Columns): 4 x 3 Standardization: Row and column profiles Column Coordin. Coordin. Mass Number Dim.1 Dim.2 1 0.137309 -0.453471 0.087500 2 -0.844596 -0.030718 0.087500 3 0.075015 0.051353 0.825000
Quality 1.000000 1.000000 1.000000
Relative Inertia 0.220803 0.702555 0.076642
Inertia Dim.1 0.024010 0.908423 0.067567
Cosine² Dim.1 0.083985 0.998679 0.680903
Inertia Dim.2 0.888490 0.004077 0.107433
Cosine² Dim.2 0.916015 0.001321 0.319097
Responden yang bekerja, pernah bekerja, dan tidak bekerja pada perusahaan pertambangan berdasarkan pelapisan sosial ekonomi
Colum Name Bekerja Pernah bekerja Tidak bekerja
Column Coordinates and Contributions to Inertia Input Table (Rows x Columns): 3 x 3 Standardization: Row and column profiles Column Coordin. Coordin. Mass Number Dim.1 Dim.2 1 0.491114 -0.224664 0.095238 2 0.842674 0.172919 0.079365 3 -0.137693 0.009296 0.825397
Quality 1.000000 1.000000 1.000000
Relative Inertia 0.271723 0.574500 0.153777
Inertia Dim.1 0.241856 0.593377 0.164767
Cosine² Dim.1 0.826947 0.959593 0.995463
Inertia Dim.2 0.662906 0.327258 0.009836
Cosine² Dim.2 0.173053 0.040407 0.004537
195
Tingkat pendapatan responden dalam lima tahun terakhir berdasarkan desa/kelurahan
Colum Name Membaik Tidak berubah Memburuk
Column Coordinates and Contributions to Inertia Input Table (Rows x Columns): 5 x 3 Standardization: Row and column profiles Column Coordin. Coordin. Mass Number Dim.1 Dim.2 1 -0.490911 0.176086 0.250000 2 -0.161428 -0.209117 0.330000 3 0.419045 0.059493 0.420000
Quality 1.000000 1.000000 1.000000
Relative Inertia 0.408977 0.138513 0.452510
Inertia Dim.1 0.422501 0.060305 0.517194
Cosine² Dim.1 0.886007 0.373397 0.980242
Inertia Dim.2 0.327499 0.609695 0.062806
Cosine² Dim.2 0.113993 0.626603 0.019758
Cosine² Dim.1 0.999135 0.967254 0.879651
Inertia Dim.2 0.029513 0.445607 0.524880
Cosine² Dim.2 0.000865 0.032746 0.120349
Tingkat pendapatan responden dalam lima tahun terakhir berdasarkan pelapisan sosial ekonomi
Colum Name Membaik Tidak berubah Memburuk
Column Coordinates and Contributions to Inertia Input Table (Rows x Columns): 3 x 3 Standardization: Row and column profiles Column Coordin. Coordin. Mass Number Dim.1 Dim.2 1 -0.472451 -0.013905 0.303333 2 0.296926 -0.054634 0.296667 3 0.138055 0.051064 0.400000
Quality 1.000000 1.000000 1.000000
Relative Inertia 0.654908 0.261335 0.083757
Inertia Dim.1 0.667154 0.257727 0.075120
196
Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga berdasarkan desa/kelurahan
Colum Name Besar Sedang Kecil Tidak Ada
Column Coordinates and Contributions to Inertia Input Table (Rows x Columns): 4 x 4 Standardization: Row and column profiles Column Coordin. Coordin. Mass Number Dim.1 Dim.2 1 0.807412 -0.328054 0.062500 2 0.093443 0.839959 0.087500 3 0.652850 -0.048302 0.350000 4 -0.574274 -0.072174 0.500000
Quality 0.999387 0.999967 0.999942 1.000000
Relative Inertia 0.111111 0.146199 0.350877 0.391813
Inertia Dim.1 0.114587 0.002149 0.419526 0.463738
Cosine² Dim.1 0.857782 0.012224 0.994498 0.984450
Inertia Dim.2 0.093574 0.858831 0.011360 0.036234
Cosine² Dim.2 0.141605 0.987743 0.005444 0.015550
Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga berdasarkan pelapisan sosial ekonomi
Colum Name Besar Sedang Kecil Tidak ada
Column Coordinates and Contributions to Inertia Input Table (Rows x Columns): 3 x 5 Standardization: Row and column profiles Column Coordin. Coordin. Mass Number Dim.1 Dim.2 1 0.907466 -0.259744 0.090301 2 -0.351797 -0.719410 0.100334 3 -0.040440 0.263832 0.331104 4 -0.069539 0.017315 0.478261
Quality 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000
Relative Inertia 0.470922 0.376632 0.138071 0.014376
Inertia Dim.1 0.829622 0.138536 0.006041 0.025802
Cosine² Dim.1 0.924276 0.192981 0.022956 0.941620
Inertia Dim.2 0.075018 0.639422 0.283794 0.001766
Cosine² Dim.2 0.075724 0.807019 0.977044 0.058380
197
Responden yang menerima beasiswa, pernah menerima beasiswa, dan tidak menerima beasiswa dari perusahaan pertambangan berdasarkan desa/kelurahan
Colum Name Menerima Pernah menerima Tidak menerima
Column Coordinates and Contributions to Inertia Input Table (Rows x Columns): 4 x 3 Standardization: Row and column profiles Column Coordin. Coordin. Mass Number Dim.1 Dim.2 1 -0.322340 0.126874 0.062500 2 -0.469179 -0.066035 0.087500 3 0.071999 -0.002531 0.850000
Quality 1.000000 1.000000 1.000000
Relative Inertia 0.237683 0.622503 0.139814
Inertia Dim.1 0.215305 0.638604 0.146091
Cosine² Dim.1 0.865859 0.980576 0.998766
Inertia Dim.2 0.722195 0.273896 0.003909
Cosine² Dim.2 0.134141 0.019424 0.001234
Responden yang menerima beasiswa, pernah menerima beasiswa, dan tidak menerima beasiswa dari perusahaan pertambangan berdasarkan pelapisan sosial ekonomi
Colum Name Dapat Pernah dapat Tidak dapat
Column Coordinates and Contributions to Inertia Input Table (Rows x Columns): 3 x 3 Standardization: Row and column profiles Column Coordin. Coordin. Mass Number Dim.1 Dim.2 1 -0.571071 0.118380 0.083333 2 0.312244 0.268569 0.077381 3 0.027914 -0.036516 0.839286
Quality 1.000000 1.000000 1.000000
Relative Inertia 0.655467 0.303532 0.041002
Inertia Dim.1 0.768247 0.213267 0.018486
Cosine² Dim.1 0.958800 0.574773 0.368828
Inertia Dim.2 0.148419 0.709352 0.142228
Cosine² Dim.2 0.041200 0.425227 0.631172
198
Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat berdasarkan desa/kelurahan
Colum Name Membaik Agak membaik Tidak berubah
Column Coordinates and Contributions to Inertia Input Table (Rows x Columns): 4 x 3 Standardization: Row and column profiles Column Coordin. Coordin. Mass Number Dim.1 Dim.2 1 0.799539 -0.643606 0.088608 2 1.151083 0.171061 0.265823 3 -0.583716 0.017901 0.645570
Quality 1.000000 1.000000 1.000000
Relative Inertia 0.138599 0.534503 0.326898
Inertia Dim.1 0.090079 0.560119 0.349801
Cosine² Dim.1 0.606804 0.978393 0.999060
Inertia Dim.2 0.821313 0.174058 0.004629
Cosine² Dim.2 0.393196 0.021607 0.000940
Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat berdasarkan pelapisan sosial ekonomi
Colum Name Membaik Agak membaik Tidak berubah
Column Coordinates and Contributions to Inertia Input Table (Rows x Columns): 3 x 3 Standardization: Row and column profiles Column Coordin. Coordin. Mass Number Dim.1 Dim.2 1 -0.272338 0.031966 0.113333 2 0.193120 0.016873 0.243333 3 -0.025069 -0.012013 0.643333
Quality 1.000000 1.000000 1.000000
Relative Inertia 0.469165 0.503464 0.027371
Inertia Dim.1 0.469981 0.507414 0.022605
Cosine² Dim.1 0.986410 0.992425 0.813248
Inertia Dim.2 0.416686 0.249253 0.334061
Cosine² Dim.2 0.013590 0.007575 0.186752
199
Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap usaha-usaha kecil berdasarkan desa/kelurahan
Colum Name Membaik Agak membaik Tidak berubah
Column Coordinates and Contributions to Inertia Input Table (Rows x Columns): 4 x 3 Standardization: Row and column profiles Column Coordin. Coordin. Mass Number Dim.1 Dim.2 1 0.933860 -1.45873 0.037500 2 0.667318 0.11560 0.550000 3 -0.974654 -0.02153 0.412500
Quality 1.000000 1.000000 1.000000
Relative Inertia 0.148649 0.333333 0.518018
Inertia Dim.1 0.048849 0.365840 0.585311
Cosine² Dim.1 0.290698 0.970863 0.999512
Inertia Dim.2 0.913651 0.084160 0.002189
Cosine² Dim.2 0.709302 0.029137 0.000488
Inertia Dim.2 0.246704 0.445465 0.307830
Cosine² Dim.2 0.027967 0.121196 0.593229
Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap usaha-usaha kecil berdasarkan pelapisan sosial ekonomi
Colum Name Membaik Agak membaik Tidak berubah
Column Coordinates and Contributions to Inertia Input Table (Rows x Columns): 3 x 3 Standardization: Row and column profiles Column Coordin. Coordin. Mass Number Dim.1 Dim.2 1 -0.737793 0.125145 0.039683 2 0.168760 0.062671 0.285714 3 -0.028075 -0.033904 0.674603
Quality 1.000000 1.000000 1.000000
Relative Inertia 0.677741 0.282392 0.039867
Inertia Dim.1 0.713613 0.268821 0.017566
Cosine² Dim.1 0.972033 0.878804 0.406771
200
Konflik antara masyarakat dengan PT Indominco Mandiri dan PT Badak NGL berdasarkan pelapisan sosial ekonomi
Colum Name PT IM PTB Tidak ada konflik
Column Coordinates and Contributions to Inertia Input Table (Rows x Columns): 3 x 7 Standardization: Row and column profiles Column Coordin. Coordin. Mass Number Dim.1 Dim.2 1 0.552083 -0.007120 0.120405 2 -0.212556 -0.065669 0.055242 3 -0.066393 0.005441 0.824353
Quality 1.000000 1.000000 1.000000
Relative Inertia 0.851678 0.063439 0.084883
Inertia Dim.1 0.856879 0.058275 0.084846
Cosine² Dim.1 0.999834 0.912867 0.993330
Inertia Dim.2 0.022715 0.886483 0.090802
Cosine² Dim.2 0.000166 0.087133 0.006670
Relative Inertia 0.039628 0.283930 0.609069 0.067373
Inertia Dim.1 0.007163 0.299388 0.638649 0.054800
Cosine² Dim.1 0.171402 0.999928 0.994355 0.771332
Inertia Dim.2 0.635117 0.000393 0.066498 0.297992
Cosine² Dim.2 0.828598 0.000072 0.005645 0.228668
Keterangan : PT IM : PT Indominco Mandiri PTB
: PT Badak NGL
Sumber perubahan pendapatan responden berdasarkan pelapisan sosial ekonomi Column Coordinates and Contributions to Inertia Input Table (Rows x Columns): 3 x 4 Standardization: Row and column profiles Colum Column Coordin. Coordin. Mass Name Number Dim.1 Dim.2 Perusahaan 1 -0.082124 0.180565 0.156667 Program Pemerintah 2 -0.379496 0.003210 0.306667 Perusahaan Lain 3 1.420860 0.107052 0.046667 Usaha Sendiri 4 0.128445 -0.069936 0.490000
Quality 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000
201
Lampiran 23 Peta kesesuaian pemanfaatan ruang wilayah penelitian dengan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
202
Lampiran 24 Peta fungsi kawasan wilayah penelitian berdasarkan Peta TGHK Provinsi Kalimantan Timur
203 Lampiran 25 Peta fungsi kawasan wilayah penelitian berdasarkan Peta Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Timur