ANALISIS DAMPAK PERTAMBANGAN TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH DI KABUPATEN LUWU TIMUR PROVINSI SULAWESI SELATAN
WAHYU HIDAYAT
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Dampak Pertambangan terhadap Pengembangan Wilayah di Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2015
Wahyu Hidayat NIM A156120051
RINGKASAN WAHYU HIDAYAT. Analisis Dampak Pertambangan terhadap Pengembangan Wilayah di Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI dan HARIADI KARTODIHARDJO. Kabupaten Luwu Timur berpotensi besar dari segi sumberdaya alam serta tempat beroperasinya sebuah perusahaan lokal dan multinasional yang bergerak di bidang pertambangan. Sektor pertambangan masih diharapkan menjadi penghasil devisa di Kabupaten Luwu Timur pada masa mendatang. Oleh sebab itu, untuk mencapai kondisi tersebut, dibutuhkan informasi terkait perencanaan pengembangan wilayah sehingga diharapkan tercipta suatu pembangunan wilayah yang berkelanjutan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyediakan informasi dasar tentang dampak pertambangan terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Luwu Timur. Adapun tujuan khusus penelitian yaitu: 1. Menganalisis perubahan tutupan/penggunaan lahan di Kabupaten Luwu Timur tahun 2002-2013 dan 2013-2024; 2. Menganalisis lokasi perusahaan tambang sebagai salah satu faktor pendorong perubahan tutupan/penggunaan lahan di Kabupaten Luwu Timur; 3. Mengetahui konsisten dan inkonsistensi antara lokasi perusahaan tambang dengan RTRW Kabupaten Luwu Timur; 4. Mengidentifikasi dampak perusahaan tambang terhadap masyarakat adat dan kehidupan sosial masyarakat Kabupaten Luwu Timur; 5. Menganalisis peran sektor pertambangan terhadap perekonomian wilayah dan keterkaitannya antar sektor-sektor lain di Kabupaten Luwu Timur. Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi klasifikasi citra satelit, Land Change Modeler (LCM), markov, Cellular Automata (CA)-Markov, Estimasi Maksimum (MLE), Ordinary Least Square (OLS), overlay, history konflik, pohon konflik, pemetaan aktor, komparatif, agregasi dan RAS. Pada periode 2002-2013 dan 2013-2024, kawasan hutan telah mengalami laju penurunan tertinggi, sementara lahan terbuka serta pemukiman/bangunan mengalami peningkat. Faktor lokasi tambang memiliki dampak positif pada perubahan penggunaan lahan di semua tipe penggunaan lahan /tutupan di Timur Kabupaten Luwu. Sementara itu, luas lokasi tambang memiliki dampak positif pada perubahan kawasan hutan menjadi lahan terbuka serta kawasan hutan menjadi pemukiman/bangunan. Dari 13 perusahaan tambang, hanya ada dua perusahaan yang konsisten terhadap rencana tata ruang, sementara yang lainnya inkonsisten. Masalah inti dari konflik masyarakat adat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi dengan perusahaan tambang PT. Vale Indonesia, Tbk adalah klaim lahan. Penyebab masalah adalah pergolakan sosial DI/TII, sumberdaya alam (bahan tambang) dan pemberian izin tambang sehingga menimbulkan efek seperti demonstrasi, situs-situs adat hilang. Pemicu kurang harmonisnya interaksi sosial antar individu dan kelompok yaitu meningkatnya biaya hidup yang tidak disertai peningkatan produktifitas secara signifikan, persaingan status sosial, dan tumbuhnya sifat komsumtif masyarakat tengah serta arus modernisasi yang berkembang di masyarakat. Tradisi dan adat istiadat setempat masih sangat kental dan keamanan di Kabupaten Luwu Timur tetap terjaga.
Sektor pertambangan (subsektor pertambangan tanpa migas dan subsektor penggalian) memiliki peranan penting baik dalam penciptaan PDRB maupun output total tetapi sektor ini belum mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi sektor hulu dan hilirnya akibat rendahnya keterkaitan antar sektor serta rendahnya derajat efek ganda yang di timbulkan. Pembangunan sektor pertambangan yang merupakan bagian dari sektor primer akan berkelanjutan dan berdampak besar terhadap ekonomi wilayah apabila memiliki keterkaitan kuat dengan sektor bangunan/ konstruksi dan sektor industri non migas sebagai sektor sekunder yang merupakan penunjang sektor primer. Kata kunci: Kabupaten Luwu Timur, Pengembangan Wilayah, Pertambangan
SUMMARY WAHYU HIDAYAT. Impact Analysis of Mining to Regional Development in Luwu Timur Regency of South Sulawesi Province. Supervised by ERNAN RUSTIADI and HARIADI KARTODIHARDJO . Luwu Timur Regency has great potential in terms of natural resources and where it operates a local and multinational companies engaged in the mining. The mining sector is expected to become a foreign exchange earner Luwu Timur Regency in the future. Therefore, to achieve this condition, in need of information is related to regional development planning The is expected to create a sustainable regional development. This research aimed to provide basic information on the impact of mining to regional development in Luwu Timur Regency. The specific objectives of research was to analyze extents change of the land use/cover in Luwu Timur Regency in 2002-2013 and 2013-2024, to Analyzing the location of the mining company as one of the driving factors in land use/cover change in Luwu Timur Regency, to know of consistent and inconsistently between mining company location with spatial plan in Luwu Timur Regency, to identify the mining impact on indigenous people and social life of society in Luwu Timur Regency, and to analyze the role of the mining sector to the economy regional and the linkages between many sectors in Luwu Timur Regency. The method consisted of satellite imagery classification, the Land Change Modeler (LCM), markov, Cellular Automata(CA)-Markov, Maximum Likelihood Estimation (MLE), Ordinary Least Square (OLS), overlay, conflict history, conflict tree, actor mapping, a comparative, aggregations and RAS. In the period of 2002-2013 and 2013-2024, forest area had experienced the highest decline, both open land and settlement/buildings have been increasing. The factor of areas in the spatial plan, mine sites, and slope classes have a positive impact on land use changes in all classes of land use/cover in the Luwu Timur Regency. Meanwhile, the area of the mine locations have the positive impact on the change of forest areas into open land as well as forest area into settlement/buildings. From the 13 mining companies, there are two only companies were consistent against spatial plan, while the other mining companiess were unconsisten. Primary of issue of conflict indigenous to karonsie tribe dongi village was land claims. The cause of the problem was social upheaval DI / TII, natural resources (minerals) and the granting of mining giving rise to effects, i.e demonstrations, traditional sites disappear. The triggers lack of harmony in social interaction between individuals and groups, the rising cost of living that is not accompanied by a significant increase in productivity, social status competition, and the grow of consumptive nature of the middle as well as the modernization of developing in the community. The local customs and traditions are still very strong and security in Luwu Timur Regency is maintained. The mining sector (the non oil-gas sub sector and mining quarrying sub sector) have an important role both in the creation of GDP and total output but the sector has not been able to boost economic growth upstream and downstream linkages between sectors due to low and low degree of double effect that posed.
Development of the mining sector, which is part of the primary sector will be sustainable and have a major impact on the economy if the region has a strong relation with the building/construction sector and non-oil industrial sector as a secondary sector that is supporting the primary sector. Key words: Luwu Timur Regency, Mining, Regional Development.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
ANALISIS DAMPAK PERTAMBANGAN TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH DI KABUPATEN LUWU TIMUR PROVINSI SULAWESI SELATAN
WAHYU HIDAYAT
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Boedi Tjahjono, MSc
Judul Tesis : Analisis Dampak Pertambangan terhadap Pengembangan Wilayah di Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi Selatan Nama : Wahyu Hidayat NIM : A 156120051
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr. Ketua
Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo, MSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Santun RP Sitorus
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr.
Tanggal Ujian: 12 Januari 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah dampak pertambangan dengan judul Analisis Dampak Pertambangan terhadap Pengembangan Wilayah di Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi Selatan. Dalam penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr dan Prof. Dr Ir Hariadi Kartodihardjo, MSi selaku pembimbing yang telah banyak memberikan motivasi, arahan dan bimbingan sehingga penelitian berhasil diselesaikan dan diwujudkan dalam bentuk karya tulis ilmiah. 2. Dr Boedi Tjahjono, MSc selaku penguji luar komisi yang telah memberikan masukannya yang sangat bermanfaat. 3. Prof Dr Ir Santun R.P Sitorus selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB atas motivasi dan bimbingan dari tahap awal hingga penyelesaian tesis ini. 4. Segenap dosen pengajar, asisten dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB. 5. Kepala Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi beserta jajarannya atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis. 6. Pemerintah Kabupaten Luwu Timur yang telah memberikan izin penelitian dan membantu memberikan data yang berhubungan dengan penelitian kepada penulis. 7. Rekan-rekan PWL kelas Reguler, BAPPENAS angkatan 2012 dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 8. Ayahanda H. Baharuddin, SE, MM dan Ibunda Hj. Hasnah Bahauddin, SSit (Almh), Ibu Hj. Rosniah dan Adekku tersayang Wawan Kurniawan Saputra, A.Md serta keluarga besar penulis yang telah memberikan dukungan selama ini. Penulis menyadari adanya keterbatasan ilmu dan kemampuan, sehingga dalam penelitian ini masih terdapat kekurangan. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Bogor,
Maret 2015
Wahyu Hidayat
38
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 2 3 4 4
2 TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan Wilayah 5 Citra Satelit 5 Tutupan/Penggunaan Lahan 6 Klasifikasi Tutupan/Penggunaan Lahan 6 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya 7 Konflik dan Analisis Konflik 8 Perubahan Kehidupan Sosial dan Faktor-faktor yang Menyebabkan 9 Ekonomi Wilayah 11 Penelitian Terdahulu 13 Kerangka Pemikiran 14 Hipotesis Penelitian 16 3 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Metode Pengumpulan Data Tahap Analisis Data
17 17 20
4 KONDISI UMUM WILAYAH Kondisi Fisik Wilayah Rencana Pola Ruang Kependudukan
31 35 38
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Perubahan Tutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2003-2013 Analisis Prediksi Tutupan/Penggunaan Lahan Analisis Dampak Pertambangan Analisis Kesesuaian Pemanfaatan Ruang Analisis Konflik Analisis Kehidupan Sosial Masyarakat Analisis Pertumbuhan Ekonomi Analisis I-O Sintesis
39 43 46 48 51 60 63 66 84
DAFTAR ISI (lanjutan) 6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
86 87
DAFTAR PUSTAKA
88
LAMPIRAN
93
RIWAYAT HIDUP
128
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.
Penelitian terdahulu Tahapan pengumpulan data, metode analisis data dan analisis data serta output yang diharapkan Variabel-variabel dalam binary logistic regression Varibel dalam regresi linier sederhana Sektor-Sektor Tabel I-O Kabupaten Luwu Timur Struktur Tabel Input-Output Daftar Perusahaan Tambang di Kabupaten Luwu Timur Fungsi kawasan dan luas, persentase pemanfaatan ruang berdasarkan RTRW Kabupaten Luwu Timur tahun 2010-2031 Luas dan persentase tutupan/penggunaan lahan yang terdapat di Kabupaten Luwu Timur tahun 2002 dan 2013 Matriks perubahan tutupan/penggunaan lahan tahun 2002-2013 di Kabupaten Luwu Timur Luas dan persentase tutupan/penggunaan lahan yang terdapat di Kabupaten Luwu Timur tahun 2013 dan 2024 Matriks perubahan tutupan/penggunaan lahan tahun 2013-2024 di Kabupaten Luwu Timur Hasil akhir binary logistic regression Hasil akhir regresi linear sederhana Konsisten (√) dan inkonsistensi (×) antara lokasi perusahaan tambang dengan RTRW Kabupaten Luwu Timur Luas inkonsistensi lokasi perusahaan tambang di Kabupaten Luwu Timur Luas Kesesuaian peruntukan ruang antara kawasan tambang dengan RTRW Kabupaten Luwu Timur Nilai pertumbuhan ekonomi Kabupaten Luwu Timur tahun 2004-2012 Nilai pertumbuhan ekonomi menurut lapangan usaha di Kabupaten Luwu Timur tahun 2004-2012 (%) PDRB Kabupaten Luwu Timur Atas Dasar Harga Berlaku tahun 2012 Struktur Perekonomian Kabupaten Luwu Timur berdasarkan Tabel I-O Tahun 2012 (22 x 22 sektor) Struktur Perekonomian Kabupaten Bandung Barat berdasar Tabel I-O Tahun 2008 (28 x 28 sektor) Output Total berdasarkan Tabel I-O Tahun 2012 Pengelompokan Sektor Perekonomian di Kabupaten Luwu Timur Berdasarkan Nilai IDP dan IDK Kontribusi Sektor Industri non Migas Tahun 2012
14 18 23 24 27 28 33 35 39 42 43 45 46 47 50 50 48 63 64 66 67 68 69 77 78
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.
Kerangka Pemikiran Lokasi Penelitian Bagan Alir Proses Analisis Data Penelitian Bagan Alir Analisis Perubahan Tutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2002-2013 Bagan Alir Analisis Prediksi Perubahan tutupan/Penggunaan Lahan Bagan Alir Kesesuaian Pemanfaatan Ruang Bagan ALir Analisis Input-Output Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Luwu Timur Peta kawasan pertambangan Kabupaten Luwu Timur Peta rencana fungsi kawasan (RTRW) Kabupaten Luwu Timur Peta rencana pemanfaatan ruang (RTRW) Kabupaten Luwu Timur Perkembangan jumlah penduduk Kabupaten Luwu Timur Peta Tutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2002 Kabupaten Luwu Timur Peta Tutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2013 Kabupaten Luwu Timur Peta Hasil Prediksi Tutupan / Penggunaan Lahan Tahun 2024 Kabupaten Luwu Timur Peta kesesuaian pemanfaatan ruang antara lokasi tambang dengan RTRW Kabupaten Luwu Timur Pemetaan konflik antar aktor Pohon Konflik Nilai pertumbuhan ekonomi Kabupaten Luwu Timur tahun 2004-2012 (%) Nilai pertumbuhan ekonomi lapangan usaha pertanian, pertambangan/ penggalian, listrik, gas dan air bersih dan usaha bangunan di Kabupaten Luwu Timur tahun 2004-2012 (%) Nilai pertumbuhan ekonomi lapangan usaha perdagangan, hotel dan restaurant, angkutan dan komunkasi, keuangan dan persewaan dan jasajasa di Kabupaten Luwu Timur tahun 2004-2012 (%) Nilai Keterkaitan Langsung ke Belakang (DBLj) Indeks Keterkaitan Langsung ke Belakang (DBL*j) Nilai Keterkaitan Langsung ke Depan (DFLi) Indeks Keterkaitan Langsung ke Depan (DFL*i) Nilai Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung ke Belakang (DIBL) Nilai Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung ke Depan (DIFL) Indeks Daya Penyebaran (IDP) Indeks Derajat Kepekaan (IDK) Keterkaitan Ke Belakang sektor penggalian Nilai Multiplier Effect Output/OM Nilai Tambah Bruto NTB/VM Nilai Income Multiplier/IM
15 17 20 21 22 24 26 32 34 36 37 36 40 41 44 49 57 59 63 65 65 70 71 72 72 73 74 75 76 78 80 81 82
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
Daftar data path/row aoi wilayah Kabupaten Luwu Timur citra satelit landsat 7 ETM+ Multispektral dan Pankromatik Daftar data path/row aoi wilayah Kabupaten Luwu Timur citra satelit landsat 8OLI-TERS Multispektral dan Pankromatik Klasifikasi tutupan lahan berdasarkan Ditjen Planologi tahun 2006 Kenampakan masing-masing kelas tutupan/penggunaan lahan pada citra landsat, google earth dan keadaan di lapangan Penyumbang atau kontributor terbesar dalam perkembangan tipe tutupan/penggunaan lahan terbuka dan lahan terbangun/ permukiman Periode 2002-2013 Penyumbang atau kontributor terbesar dalam perkembangan tipe tutupan/penggunaan lahan terbuka dan lahan terbangun/ permukiman Periode 2013-2024 Tren perubahan lahan hutan ke lahan terbuka Periode 2002-2013 yaitu ke arah timur tenggara atau di Kecamatan Towuti Tren perubahan lahan hutan ke lahan terbangun/permukiman ke arah selatan tenggara atau di Kecamatan Malili Tahun 2002-2013 Tren perubahan lahan hutan ke lahan terbuka Periode 2013-2024 yaitu ke arah timur tenggara terkonsentrasi di Kecamatan Towuti, Nuha, dan Wasuponda Tren perubahan lahan tegalan ke lahan terbangun/pemukiman periode 2013-2024 yaitu ke arah selatan barat daya yang terkonsentrasi di Kecamatan Wotu, Angkona, dan Tomoni Timur Peta Kesesuaian penggunaan lahan setiap tipe tutupan/penggunaan lahan Pedoman Kesesuaian Lahan di RTRW Kabupaten Luwu Timur Kriteria Kesesuaian Lahan di RTRW Kabupaten Luwu Timur Binary logististik regression Visualisasi di Lapangan Daftar Pertanyaan Penelitian Analisis Dampak Pertambangan Terhadap Pengembangan Wilayah di Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi Selatan Tabel catatan harian penelitian Kriteria informan PDRB Kabupaten Luwu Timur ADHB Menurut Sektor/Lapangan Usaha Tahun 2004-2012 (Juta Rp) Persentase PDRB Kabupaten Luwu Timur ADHB Menurut Sektor/ Lapangan Usaha Tahun 2004-2012 (Juta Rp) PDRB Kabupaten Luwu Timur ADHK (2000) Menurut Sektor/Lapangan Usaha Tahun 2004-2012 Persentase PDRB Kabupaten Luwu Timur ADHK (2000) Menurut Sektor/ Lapangan Usaha Tahun 2004-2012 Keterangan Kode Sektor Ekonomi di Kabupaten Luwu Timur Tabel Input-Output Kabupaten Luwu Timur Tahun 2012 (juta rupiah) Matriks Kebalikan Leontief (I-A)-1 Kelompok sektor yang memiliki keterkaitan dengan sektor lain
93 94 95 96 98 98 99 99 99 99 100 100 101 102 103 113 114 114 115 115 116 116 117 118 123 127
38
39
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 mengamanatkan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Sumberdaya alam tersebut terdiri atas sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources). Sumberdaya alam senantiasa dikaitkan dengan pengembangan wilayah di Indonesia karena sumberdaya alam sangat berperan sebagai tulang punggung perekonomian nasional dan masih akan diandalkan dalam jangka menengah (Salim dalam Djakapermana 2010). Pengembangan wilayah dilaksanakan melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki oleh wilayah secara harmonis, serasi dan terpadu melalui pendekatan yang bersifat komprehensif, diantaranya aspek fisik, ekonomi, sosial (Djakapermana 2010). Keberadaan tambang di suatu wilayah, secara langsung maupun tidak langsung memberikan dampak bagi pengembangan wilayah. Menurut Tuni (2013) bahwa aktivitas pertambangan dapat menimbulkan dampak terjadinya perubahan tutupan/penggunaan lahan. Perubahan tersebut berimplikasi pada peningkatan luas tutupan/penggunaan lahan tertentu atau beberapa kategori tutupan/penggunaan lahan, diikuti penurunan luas kategori lainnya pada suatu periode tertentu. Hal ini banyak terjadi pada wilayah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah (Sihombing 2013), wilayah hasil pemekaran (Tuni 2013) dan wilayah dimana terdapat perusahaan tambang (Gunawan et al. 2010). Pemberian izin wilayah konsesi pertambangan seringkali tidak mempertimbangkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) (Hamzah 2005). Kemunculan perusahaan tambang di suatu wilayah menjadi fenomena baru berkaitan dengan pemanfaatan ruang. Menurut Kusuma (2010) bahwa dalam rangka harmonisasi pemanfaatan ruang, penetapan kawasan tambang harus berdasarkan peraturan perundang-undangan tata ruang. RTRW merupakan produk pemerintah yang memiliki banyak fungsi, diantaranya sebagai landasan untuk pengendali perubahan penggunaan lahan (Pribadi et al. 2006) dan mengatasi masalah lingkungan suatu wilayah (Albrechts 2006). Kehadiran perusahaan tambang di suatu wilayah biasanya diawali dengan konflik lahan seperti lahan tanah adat. Wilayah tanah adat biasanya diklaim sebagai tanah negara atau dinyatakan tidak berpenghuni sehingga perusahaan tambang bisa mendapatkan izin dari negara untuk melakukan penambangan. Menurut Kartodihardjo (2012) bahwa keberadaan hutan adat di dalam semua fungsi hutan (konservasi, lindung, produksi) belum diadministrasikan dan di lapangan keberadaan hutan adat tidak dipastikan batas-batasnya dengan alokasi hutan negara lainnya. Kondisi demikian itu menjadi penyebab terjadinya konflik dengan posisi hutan adat lebih lemah dari posisi para pemegang ijin maupun pengelola hutan. Keberadaan perusahaan tambang di suatu wilayah dapat memicu terjadinya mobilitas penduduk. Keberadaan penduduk pendatang akan berpengaruh terhadap tingkat interaksi antara penduduk lokal dan penduduk pendatang serta terdapatnya
persaingan antara kelompok masyarakat (Pertiwi 2011). Dalam kehidupan bermasyarakat tidak senantiasa dapat ditemukan kondisi harmonis, yang mana setiap orang dan keluarga dapat berperilaku sesuai harapan semua orang atau masyarakat tersebut (Kartodihardjo 2009). Situasi demikian dapat ditemui dalam keberadaan perusahaan tambang di tengah-tengah masyarakat. Kabupaten Luwu Timur merupakan salah satu wilayah kabupaten hasil pemekaran tahun 2003 di Provinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten Luwu Timur memiliki sumber daya alam yang melimpah dan tempat beroperasinya perusahaan lokal dan multinasional yang bergerak di bidang pertambangan (Marakarma 2009). Hal ini terlihat dari data Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan oleh Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) Kabupaten Luwu Timur, Data menunjukkan ada 13 perusahaan yang mendapatkan izin usaha pertambangan jenis bahan galian mineral dan 19 perusahaan jenis bahan galian Pasir Batu (SIRTU). Sektor pertambangan memberikan konstribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDRB) Kabupaten Luwu Timur. Tahun 2011, PDRB Kabupaten Luwu Timur atas dasar harga berlaku mencapai 9.6 triliun rupiah. Konstribusi sektor pertambangan dan galian terhadap PDRB tersebut sebesar 73.56 % (BPS 2012b). Hal ini menjadikan sektor pertambangan dan galian masih diharapkan menjadi sumber utama pendapatan daerah Kabupaten Luwu Timur pada masa mendatang. Oleh sebab itu, dibutuhkan tata kelola informasi dan perencanaan pengembangan wilayah yang baik sehingga tercipta pembangunan wilayah yang berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan pendapat Morrissey dan O’Donoghue dalam Syarief (2014), bahwa analisis ekonomi wilayah penting dilakukan untuk menyediakan akses bagi pemegang kebijakan terkait dampak sektor ekonomi. Perumusan Masalah Kabupaten Luwu Timur merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan yang banyak terdapat perusahaan tambang, baik itu perusahaan berskala besar maupun perusahaan berskala kecil. Kegiatan Pertambangan ini telah berimplikasi terhadap perubahan tutupan/penggunaan lahan. Tutupan/ penggunaan lahan yang semula didominasi oleh hutan telah beralih menjadi lahan terbuka dan lahan terbangun. Oleh karena itu, perlu adanya pemantauan dan pengendalian terhadap aktivitas pertambangan. Pada posisi ini, pelaksanaan RTRW menjadi sangat penting. Pengelolaan tambang di Kabupaten Luwu Timur juga melahirkan konflik lahan. Konflik ini terjadi antara pihak pemegang IUP dengan masyarakat adat. Hal ini dapat dilihat dari kasus masyarakat adat suku To Kanrosi’e Kampung Dongi dengan perusahaan tambang milik PT.Vale Indonesia, Tbk yang telah berlangsung lama. Masyarakat adat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi menggugat PT Vale Indonesia, Tbk sebagai pemegang IUP karena telah menggunakan lahan adat mereka selama berpuluh tahun. Pemerintah daerah telah memediasi namun hingga hari ini belum menemukan solusi yang baik. Untuk itu, diperlukan analisis dan langkah yang lebih tepat dalam menyelesaikan konflik lahan tersebut sehingga tidak menimbulkan efek yang banyak. Walaupun demikian kehadiran perusahaan tambang di Kabupaten Luwu Timur telah memberikan peluang kerja baik masyarakat lokal maupun di luar
Kabupaten Luwu Timur bahkan warga asing. Hal ini tentu memberikan pengaruh dan perubahan terhadap kehidupan sosial masyarakat di Kabupaten Luwu Timur. Perubahan kehidupan sosial yang terjadi pada masyarakat di Kabupaten Luwu Timur diantaranya berupa interaksi sosial yang cenderung individualistik dan persaingan status sosial semakin tinggi. Selain dampak negatif, keberadaan tambang di Kabupaten Luwu Timur juga memberikan dampak positif bagi ekonomi wilayah di Kabupaten Luwu Timur bahkan Provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini dapat dilihat dari persentasi sumbangan sektor pertambangan dan galian terhadap PDRB. Di tingkat Provinsi Sulawesi Selatan, Kabupaten Luwu Timur sebagai wilayah Program Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yang memposisikan Kabupaten Luwu Timur sebagai pusat pertambangan nikel pada koridor ekonomi Sulawesi. Hal tersebut menyebabkan pelaksanaan program-program pembangunan lebih bersifat politis tanpa didasarkan pada suatu kajian yang lebih ilmiah. Hubungan antar sektor ekonomi wilayah seringkali diabaikan dalam pengambilan keputusan yang menyebabkan fokus pembangunan menjadi bias dan tidak menyentuh permasalahan yang ada. Sektor pertambangan dan sektor lainnya memiliki peran penting dalam menopang perekonomian di Kabupaten Luwu Timur pada masa mendatang. Untuk mencapai kondisi tersebut dibutuhkan informasi terkait perencanaan pengembangan wilayah dengan memperhatikan keterkaitan sektor pertambangan dengan sektor-sektor lainnya. Keterkaitan sektor pertambangan harus ditingkatkan agar mampu menarik sektor-sektor di hulunya (sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang) dan menarik sektor-sektor di hilirnya (sektor yang memiliki keterkaitan ke depan). Semakin kuat keterkaitan sektor pertambangan dengan sektor-sektor lain, maka akan makin besar pula pengaruhnya dalam perkembangan wilayah Kabupaten Luwu Timur Oleh karena itu, untuk mengetahui peranan sektor pertambangan dalam perekonomian wilayah serta keterkaitannya dengan sektor lain perlu dilakukan analisis sehingga arahan pembangunan pada masa depan tepat sasaran. Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Seberapa besar perubahan tipe tutupan/penggunaan lahan tahun 2002, 2013 dan 2024 di Kabupaten Luwu Timur? 2. Apakah lokasi perusahaan tambang sebagai salah satu faktor pendorong perubahan tutupan/penggunaan lahan di Kabupaten Luwu Timur? 3. Apakah kawasan tambang sudah konsisten dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Luwu Timur? 4. Bagaimana dampak perusahaan tambang terhadap masyarakat di Kabupaten Luwu Timur? 5. Seberapa besar peran sektor pertambangan terhadap ekonomi wilayah di Kabupaten Luwu Timur? Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menyediakan informasi dasar tentang dampak pertambangan terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Luwu Timur.
1. 2. 3. 4. 5.
Adapun tujuan khusus penelitian yaitu: Menganalisis perubahan tutupan/penggunaan lahan di Kabupaten Luwu Timur tahun 2002-2013 dan 2013-2024. Menganalisis lokasi perusahaan tambang sebagai salah satu faktor pendorong perubahan tutupan/penggunaan lahan di Kabupaten Luwu Timur. Mengetahui konsisten dan inkonsistensi antara kawasan tambang dengan RTRW Kabupaten Luwu Timur. Mengidentifikasi dampak perusahaan tambang terhadap masyarakat adat dan kehidupan sosial masyarakat Kabupaten Luwu Timur. Menganalisis peran sektor pertambangan (pertambangan non migas dan penggalian) terhadap perekonomian wilayah dan keterkaitannya antar sektorsektor lain di Kabupaten Luwu Timur. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pemerintah Indonesia khususnya pemerintah Kabupaten Luwu Timur, tentang dampak apa saja yang dapat diperoleh dan berbagai masalah yang muncul atas keberadaan pertambangan dari sudut pandang akademik khususnya dari dampak keruangan, dampak sosial dan dampak ekonomi, sehingga dapat dijadikan landasan dalam membuat kebijakan-kebijakan yang lebih menguntungkan daerah dan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya mineral di masa yang akan datang serta penelitian ini dapat menjadi rujukan referensi bagi para peneliti, khususnya ilmu perencanaan wilayah serta menjadi bahan pertimbangan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan perekonomian daerah serta mendorong aktivitas pembangunan yang berkelanjutan. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini terdiri dari ruang lingkup secara subtansial dan ruang lingkup wilayah. Ruang lingkup secara subtansial meliputi aspek fisik wilayah (khusus terkait perubahan tutupan/penggunaan lahan hutan dan konsistensi RTRW), aspek sosial (konflik masyarakat adat dan kehidupan sosial masyarakat), dan aspek ekonomi wilayah (peran sektor pertambangan terhadap PDRB dan keterkaitannya dengan sektor-sektor lain). Ruang lingkup secara wilayah meliputi seluruh wilayah administrasi Kabupaten Luwu Timur.
39
39
2 TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan Wilayah Salah satu prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam pengembangan wilayah adalah bahwa setiap wilayah (region) memiliki karakteristik wilayah yang berbeda-beda, sehingga pendekatan yang dilakukan dalam pengembangan wilayah harus di dasarkan pada karakteristik wilayah masing-masing. Menurut Riyadi dalam Hamzah (2005), pengembangan wilayah harus disesuaikan dengan kondisi, potensi, dan permasalahan wilayah bersangkutan karena kondisi sosial ekonomi, budaya dan geografis antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya sangat berbeda. Pengembangan wilayah pada dasarnya mempunyai tujuan agar wilayah itu berkembang menuju tingkat perkembangan yang diinginkan. Pengembangan wilayah dilaksanakan melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya yang dimilikinya secara harmonis, serasi dan terpadu melalui pendekatan yang bersifat komprehensif mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan hidup (Djakapermana 2010). Beberapa pendapat mengenai pengembangan wilayah (regional development). Rustiadi et al. (2011) menyatakan bahwa pengembangan wilayah merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antar wilayah, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah, sedangkan menurut Zen dalam Hamzah (2005) pengembangan wilayah merupakan usaha memberdayakan suatu masyarakat yang berada di suatu daerah itu untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat disekeliling masyarakat dengan menggunakan teknologi yang relevan dengan kebutuhan, dan bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang bersangkutan. Jadi, pengembangan wilayah tidak lain dari usaha mengawinkan secara harmonis sumberdaya alam, manusianya, dan teknologi, dengan memperhitungkan daya tampung lingkungan. Tujuan utama pengembangan pengembangan wilayah menurut Rustiadi dalam Hamzah (2005) adalah menyerasikan berbagai kepentingan pembangunan sektor dan wilayah, sehingga pemanfaatan ruang dan sumberdaya yang ada di dalamnya dapat optimal mendukung kegiatan kehidupan masyarakat sesuai dengan tujuan dan sasaran pembangunan wilayah yang diharapkan. Optimal berarti dapat dicapai tingkat kemakmuran yang sesuai dan selaras dengan aspek sosial-budaya dan lingkungan yang berkelanjutan. Citra Satelit Citra satelit adalah gambaran kenampakan permukaan bumi hasil penginderaan pada spectrum elektromagnetik tertentu yang ditayangkan pada layar atau disimpan pada media rekam/cetak. Ukuran terkecil sebuah obyek di permukaan bumi yang diwakili oleh sebuah piksel disebut resolusi spasial. Resolusi spasial sangat penting dalam penginderaan jauh karena menentukan tingkat kedetailan objek yang dapat diamati dari sebuah citra satelit. Jenis citra satelit resolusi rendah yaitu noaa (1 km) dan modis (1 km). Jenis citra satelit resolusi menengah yaitu landsat (30 m) dan spot (10-20 m). Jenis citra satelit resolusi tinggi yaitu spot-5, alos, ikonos dan quickbird.
Citra satelit sangat lazim digunakan dalam kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam untuk pengembangan wilayah. Hal ini dikarenakan data citra satelit memuat kondisi fisik dari permukaan bumi yang dapat dikuantifikasi/dianalisa sehingga menghasilkan informasi yang factual tentang sumber daya yang ada dalam skala luas. Informasi yang paling umum dihasilkan dari data citra satelit yaitu tutupan/penggunaan lahan. Tutupan/Penggunaan Lahan Lahan adalah bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, tanah, hidrologi, dan bahkan keadaan vegetasi alami (natural vegetation) yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO dalam Yulita 2011). Lahan dalam pengertian yang lebih luas termasuk yang telah dipengaruhi oleh berbagai aktivitas fauna dan manusia baik di masa lalu maupun saat sekarang, seperti tindakan konservasi tanah dan reklamasi pada suatu lahan tertentu. Setiap aktivitas manusia baik langsung maupun tidak langsung selalu terkait dengan lahan, seperti untuk pertanian, pemukiman, transportasi, industri atau untuk rekreasi, sehingga dapat dikatakan bahwa lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Menurut Sitorus dalam Yulita (2011), mendefinisikan sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Definisi mengenai penggunaan lahan (land use) dan penutupan lahan (land cover) pada hakekatnya berbeda walaupun sama-sama menggambarkan keadaan fisik permukaan bumi. Lillesand dan Kiefer (1997) mendefinisikan penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada suatu bidang lahan, sedangkan tutupan lahan lebih merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap obyek-obyek tersebut. Klasifikasi Tutupan/Penggunaan Lahan Klasifikasi citra merupakan suatu kegiatan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi obyek-obyek permukaan bumi yang tampak pada citra, baik potret udara maupun citra satelit, dengan cara mengenalinya atas dasar karakteristik spasial, spektral, dan temporal. Menurut Lillesand dan Kiefer dalam venus (2008) bahwa klasifikasi obyek dari data digital dapat dilakukan dengan dua pendekatan. Pendekatan pertama, yang dikenal dengan istilah klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification) atau dalam istilah statistika dikenal dengan analisis gerombol, mengklasifikasikan piksel ke dalam kelas-kelas secara alami. Klasifikasi tidak terbimbing lebih banyak menggunakan algoritme yang. mengkaji sejumlah besar piksel yang tidak dikenal dan membaginya ke dalam kelas-kelas berdasarkan nilai citra yang ada. Kelas yang dihasilkan dari klasifikasi tidak terbimbing adalah kelas spectral. Pendekatan kedua, yang dikenal dengan istilah klasifikasi terbimbing (supervised classification). Klasifikasi ini dilakukan dengan menetapkan beberapa daerah contoh (training site) yang mewakili kelas penutupan lahan yang ada. Pada klasifikasi terbimbing seorang analis citra menguasai prosedur pengenalan pola spectral dengan memilih kelompok atau
kelas-kelas informasi yang diinginkan dan selanjutnya memilih contoh-contoh kelas (training area) yang mewakili setiap kelompok. Proses klasifikasi ini akan berhasil baik bila kelas-kelas spektral yang dipilih dapat dipisahkan dan contoh kelas yang dipilih benar-benar mewakili seluruh data yang ada. Dalam klasifikasi terbimbing terdapat tiga tahapan, yaitu tahap penentuan kelas contoh (training area), tahap klasifikasi, dan tahap penyajian hasil (output). Kegiatan klasifikasi ini dimulai dengan mengkompositkan citra Landsat dengan spesifikasi RGB 5-4-3 agar mempermudah proses interpretasi tutupan/ penggunaan lahan. Pada tahap selanjutnya, dilakukan interpretasi citra visual dengan memperhatikan unsur-unsur interpretasi seperti: ukuran, pola, rona, tekstur dan warna. Hasil dari interpretasi ini adalah peta tutupan/penggunaan lahan Kabupaten Luwu Timur Tahun 2002 dan 2013. Untuk membantu proses klasifikasi, penelitian ini juga memanfaatkan google earth sebagai sumber data sekunder. Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya Menurut Trisasongko et al. (2009) bahwa perubahan penggunaan lahan dapat ditelaah dari data penginderaan jauh melalui dua pendekatan besar. Pendekatan pertama merupakan pendekatan yang umum digunakan yaitu pembandingan peta tematik. Berbagai teknik klasifikasi dapat dimanfaatkan dalam pendekatan ini, seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Langkah selanjutnya adalah membandingkan dua atau lebih data tematik dalam suatu proses analisis, umumnya dikenal dengan analisis Land Use/Cover Change (LUCC). Pendekatan kedua tidak melibatkan prosedur klasifikasi, sehingga tidak ada data tematik yang dihasilkan sebagai data intermedier (Nielsen dalam Trisasongko et al. 2009). Menurut Dwiprabowo et al. (2012) bahwa isu yang berhubungan dengan perubahan penggunaan lahan dan penutupan lahan (Land Use Land Use Change, LULC) telah menarik perhatian dari berbagai bidang penelitian. Industrialisasi, perpindahan penduduk ke kota dan pertambahan penduduk telah dipertimbangkan sebagai tenaga yang paling berkontribusi dalam perubahan penggunaan lahan dalam skala global (Long dalam Dwiprabowo et al. 2012 ). Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal, pertama adanya industry/perusahaan yang makin meningkat jumlahnya dan kedua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Beberapa kajian dan penelitian telah dilakukan untuk menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan. Nasoetion dalam Haryani (2011) menyatakan beberapa hal yang diduga sebagai penyebab proses perubahan penggunaan lahan antara lain: 1. Besarnya tingkat urbanisasi dan lambatnya proses pembangunan di pedesaan 2. Meningkatnya jumlah kelompok golongan berpendapatan menengah hingga atas di wilayah perkotaan yang berakibat tingginya permintaan terhadap pemukiman (komplek-komplek perumahan) 3. Terjadinya transformasi di dalam struktur perekonomian yang pada gilirannya akan menggeser kegiatan pertanian/ lahan hijau khususnya di perkotaan
4. Terjadinya fragmentasi pemilikan lahan menjadi satuan-satuan usaha dengan ukuran yang secara ekonomi tidak efisien. Faktor fisik yang mempengaruhi penggunaan dan penutupan lahan adalah faktor-faktor yang terkait dengan kesesuaian lahannya. Faktor fisik ini meliputi kondisi iklim, sumberdaya air dan kemungkinan perairan, bentuklahan dan topografi, serta karakteristik tanah, yang secara bersama akan membatasi apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan pada sebidang lahan (Sys dalam Haryani 2011). Dinamika perubahan penggunaan lahan sangat serius dipelajari mengingat dampak yang ditimbulkannya sangat serius (Trisasongko et al. 2009). Perubahan penggunaan lahan mempunyai berbagai pengaruh terhadap kehidupan manusia antara lain terjadinya bencana alam, penurunan produktivitas lahan dan perubahan iklim global. Winoto dalam Yulita (2011) mendefinisikan perubahan tutupan/ penggunaan lahan sebagai suatu proses perubahan dari tutupan/penggunaan lahan sebelumnya ke tutupan/penggunaan lahan lainnya yang dapat bersifat permanen maupun sementara, dan merupakan bentuk konsekuensi logis adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Apabila penggunaan lahan untuk sawah berubah menjadi pemukiman atau industri maka tutupan/penggunaan lahan ini bersifat permanen dan tidak dapat kembali (irreversible) tetapi jika beralih guna menjadi perkebunan biasanya bersifat sementara. Perubahan tutupan/penggunaan lahan pertambangan berkaitan erat dengan perubahan lereng dan fungsi ruang. Perubahan penggunaan lahan hutan ke non hutan untuk pertambangan bukanlah semata-mata fenomena dinamis yang menyangkut pendapatan daerah dan nasional, melainkan merupakan fenomena fisik yang menyangkut fungsi ruang, karena secara agregat berkaitan erat dengan perubahan tutupan/penggunaan lahan dan tata ruang. Konflik dan Analisis Konflik Teori konflik digunakan untuk dasar dalam menganalisa faktor penyebab timbulnya masalah, mekanisme dan pola penyelesaian konflik lahan antara masyarakat adat dengan PT. Vale Indonesia, Tbk di wilayah Kecamatan Nuha, Kabupaten Luwu Timur. Teori yang digunakan dalam menganalisa tentang faktorfaktor penyebab terjadinya konflik lahan antara masyarakat adat dengan PT. Vale Indonesia, Tbk di wilayah Kecamatan Nuha, Kabupaten Luwu Timur adalah teori konflik yang dikemukakan oleh Fisher et al. (2001) mengemukakan enam teori yang mengkaji dan menganalisis penyebab terjadinya konflik. Adapun teori tersebut meliputi teori hubungan masyarakat, teori negosiasi prinsip, teori identitas, teori kesalahpahaman, teori transformasi konflik dan teori kebutuhan manusia. Teori hubungan masyarakat, teori ini berpendapat bahwa penyebab terjadinya konflik oleh polarisasi (kelompok yang berlawanan) yang terus terjadi, ketidak percayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Teori Negosiasi Prinsip, teori ini menganggap bahwa penyebab terjadinya sengketa adalah dikarenakan posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang sengketa oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. Teori Identitas, asumsi dari teori ini adalah terjadinya konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau
penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Teori Kesalahpahaman, sengketa terjadi disebabkan tidak sesuainya cara – cara dalam komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. Teori Transformasi Konflik, berasumsi bahwa konflik terjadi disebabkan masalah-masalah ketidak setaraan dan ketidak adilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi. Teori Kebutuhan Manusia, berasumsi bahwa sengketa disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia, baik fisik, mental dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi sering menjadi inti diskusi. Analisis konflik dapat dilakukan dgn sejumlah alat bantu dan teknik yang sederhana, praktis dan yang sesuai. Analisis konflik bukan merupakan kegiatan satu kali saja, namun berlangsung terus menerus, sehingga dapat menyesuaikan tindakan penanganan dengan berbagai faktor, dinamik dan keadaan. Menurut Fisher et al. (2001) bahwa 9 Alat bantu dapat dipergunakan secara fleksibel dan kombinatif satu sama lain seperti penahapan konflik, urutan kejadian, pemetaan konflik, segitiga spk, analogi bawang bombay, pohon konflik, analisis kekuatan konflik, analogi pilar dan piramida. Perubahan Kehidupan Sosial masyarakat dan Faktor yang menyebabkan Perubahan lahan dari tahun ketahun tentunya akan membawa pengaruh terhadap masyarakat atau penduduk asli tersebut seperti pengaruh terhadap kehidupan sosial yang mengalami perubahan. Menurut Julianti (2012), hadirnya sebuah Industri menjadi salah satu syarat terjadinya sebuah perubahan dalam kehidupan sosial masyarakat pada umumnya. Setiap masyarakat selama hidupnya pasti mengalami perubahan. Perubahan bagi masyarakat yang bersangkutan maupun bagi orang luar yang menelaahnya, dapat berupa perubahan–perubahan yang tidak menarik dalam arti kurang mencolok. Adapula perubahan–perubahan yang pengaruhnya terbatas maupun yang luas, serta ada pula perubahan– perubahan yang lambat sekali, tetapi ada juga yang berjalan cepat. Menurut Setiadi dan Kolip (2011) bahwa perubahan sosial adalah pergeseran nilai-nilai, norma-norma sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, pelapisan sosial, kekuasaaan dan wewenang, interaksi sosial. Pengkajian mengenai perubahan sosial yang relatif sangat luas, dikhawatirkan terjadi suatu kekaburan materi. Oleh karena itu, beberapa ahli berusaha mendefinisikan pengertian perubahan sosial (Setiadi dan Kolip 2011), sebagai berikut: a. Kingsley Davis, perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. b. Samuel Koening, Perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi pada kehidupan masyarakat. c. Mac Iver, perubahan sosial adalah perubahan-perubahan dalam hubungan sosial atau perubahan terhadap keseimbangan sosial. d. William Ogrburn, Perubahan sosial adalah perubahan dalam unsur-unsur kebudayaan yang materiil maupun immaterial. e. Gillin dan gillin, perubahan sosial adalah suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima dan yang disebabkan baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideologi
maupun adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat tersebut. f. Selo Soemardjan, perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya termasuk nilai, sikap-sikap dan pola perilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan sifat perubahan sosial yang berantai dan saling berhubungan antara satu unsur dengan unsur kemasyarakatan yang lainnya Gejala-gejala sosial tidak semua mengakibatkan perubahan dapat dikatakan sebagai perubahan sosial, gejala yang dapat mengakibatkan perubahan sosial memiliki ciri-ciri antara lain: 1. Setiap masyarakat tidak akan berhenti berkembang karena mereka mengalami perubahan baik lambat maupun cepat. 2. Perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan tertentu akan diikuti dengan perubahan pada lembaga-lembaga sosial lainnya. 3. Perubahan sosial yang cepat dapat mengakibatkan terjadinya disorganisasi yang bersifat sementara sebagai proses penyesuaian diri. 4. Perubahan tidak dibatasi oleh bidang kebendaan atau bidang spiritual karena keduanya memiliki hubungan timbal balik yang kuat. Menurut Damsar dalam Kartodihardjo (2009), bahwa alat untuk memahami suatu fakta sosial atau suatu peristiwa sangat diperlukan. Alat yang dimaksud pada dasarnya berupa konsep yaitu cara pandang dengan pengertian di dalamnya dan menunjukkan pada sesuatu, maupun teori yaitu absrak dari kenyataan yang menyatakan hubungan sistematis antar fenomena sosial. Konsep dan teori dapat dianggap sebagai kacamata atau mikroskop, sebagai alat bantu untuk mengetahui sesuatu, sesuai kedetilan atau tingkat kerumitan yang akan dilihat, fakta atau peristiwa itu misteri dan abstrak dan bisa terungkap hanya apabila terdapat alat untuk mengungkapkannya, kecuali apa yang diungkap itu hanya sebatas apa yang dapat ditangkap oleh panca indera (Kartodihardjo 2009). Dalam pembahasan mengenai kehidupan sosial penduduk di Kabupaten Luwu Timur dapat diklasifikasikan kedalam beberapa aspek kehidupan sosial, sebagai berikut : a. Interaksi sosial Menurut Fardani (2012) bahwa interaksi sosial adalah kontak atau hubungan timbal balik atau interstimulasi dan respons antar individu, antar kelompok atau antar individu dan kelompok b. Strata/status sosial Bouman dalam Fardani (2012) menggunakan istilah tingkatan atau dalam bahasa Belanda disebut stand, yaitu golongan manusia yang ditandai dengan suatu cara hidup dalam kesadaran akan beberapa hak istemewa tertentu dan menuntut gengsi kemasyarakatan. c. Eksistensi adat istiadat Adat istiadat merupakan identitas dari suatu daerah. Namun hal yang sering terjadi adalah lunturnya adat istiadat suatu daerah, dikarenakan banyaknya suku dan etnis yang datang ke daerah tersebut (Herimanto dan winarto 2009) d. Keamanan Keamanan merupakan aspek yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Rasa aman adalah sebagai salah satu syarat tercapai kesejahteraan bagi
masyarakat. Kejahatan seringkali menjadi pemicu terjadinya perubahan kehidupan sosial karena tidak terpenuhinya kebutuhan hidup (Herimanto dan Winarto 2009). Ekonomi Wilayah Menurut Panuju et al. (2012), diberlakukannya Undang-Undang tentang Otonomi Daerah akan berimplikasi luas dalam sistem perencanaan pembangunan di daerah. Pemerintahan Daerah akan memiliki kewenangan yang lebih besar di dalam merencanakan arah pembangunannya. Di sisi lain, pemerintah daerah akan semakin dituntut untuk lebih mandiri di dalam memecahkan masalah-masalah pembangunan di daerahnya. Otonomi daerah juga mengisyaratkan semakin pentingnya pendekatan pembangunan dengan basis pengembangan wilayah dibandingkan dengan pembangunan dengan pendekatan sektoral. Pembangunan berbasis pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan intersektoral, interspasial, serta antar pelaku-pelaku pembangunan di dalam dan antar daerah. Keterpaduan lintas sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional dan sinergi antar sektor-sektor pembangunan, sehingga setiap program-program pembangunan di dalam kelembagaan sektoral selalu dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah. Salah satu bentuk dari terjadinya kegagalan pemerintahan (government failure) di masa lalu adalah kegagalan dalam menciptakan keterpaduan intersektoral yang sinergis dalam kerangka pembangunan wilayah. Lembaga-lembaga (instansi) sektoral di tingkat wilayah/daerah sering kali hanya menjadi perpanjangan dari lembaga-lembaga sektoral di tingkat nasional/pusat dengan sasaran pembangunan, pendekatan dan perilaku yang tidak sinergis dengan lembaga yang dibutuhkan lembaga-lembaga sektoral di tingkat daerah. Akibatnya, lembaga pemerintahan daerah gagal menangkap kompleksitas pembangunan yang ada di wilayahnya, dan partisipasi masyarakat lokal tidak mendapat tempat sebagaimana mestinya. Keterpaduan sektoral tidak hanya mencakup hubungan antar lembaga pemerintahan tetapi juga antara pelaku-pelaku ekonomi secara luas dengan latar sektor yang berbeda. Wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antara sektor ekonomi wilayah, dalam arti terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor secara sangat dinamis. Keterpaduan interspasial membutuhkan adanya interaksi spasial yang optimal dalam arti terjadinya struktur keterkaitan antar wilayah secara dinamis. Akibat potensi sumberdaya alam serta aktivitas-aktivitas sosial ekonomi yang tersebar secara tidak merata dan tidak seragam, maka diperlukan adanya mekanisme interaksi dalam dan luar wilayah secara optimal. Menurut Rustiadi et al. (2011) bahwa akibat keterbatasan sumberdaya yang tersedia, dalam suatu perencanaan pembangunan selalu diperlukan adanya skala prioritas pembangunan. Dari sudut dimensi sektor pembangunan, suatu skala prioritas didasarkan atas suatu pemahaman bahwa (1) setiap sektor memiliki sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran-sasaran pembangunan (penyerapan tenaga kerja, pendapatan regional, dan lain-lain), (2) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan karakteristik yang berbeda-beda, dan (3) aktivitas sektoral tersebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran sumberdaya alam, sumberdaya buatan
(infrastruktur) dan sumberdaya sosial yang ada. Atas dasar pemikiran diatas, dapat dipahami bahwa di setiap wilayah/daerah selalu terdapat sektor-sektor yang bersifat strategis akibat besarnya sumbangan yang diberikan dalam perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan spasialnya. Perkembangan sektor strategis tersebut memiliki dampak langsung dan tidak langsung yang signifikan. Dampak tidak langsung terwujud akibat perkembangan sektor tersebut berdampak berkembangnya sektor-sektor lainnya, dan secara spasial berdampak secara luas di seluruh wilayah sasaran. Karakteristik struktur ekonomi wilayah yang ditunjukkan dengan distribusi sumbangan sektoral, serta keterkaitan intersektoral dan interregional dalam perekonomian wilayah, secara teknis dapat dijelaskan dengan menggunakan Analisis Input-Output (Analisis I-O) walaupun dengan keterbatasan keterbatasan tertentu. Analisis I-O merupakan bentuk analisis antar sektor. Sistem Input- Output ini disusun berdasarkan asumsi perilaku ekonomi yang merupakan penyederhanaan kerangka untuk mengukur aliran masukan (input) dan keluaran (output) berbagai faktor kegiatan ekonomi dalam suatu wilayah. Sistem penghitungan ini mengikuti arus barang dan juga jasa dari satu sektor produksi ke sektor produksi lainnya (Nazara dalam Iman 2011). Analisis I-O pertama kali diperkenalkan oleh Wassily Leontief dari Harvard University pada tahun 1930-an (Pressman dalam Gadang 2010). Walaupun gagasan dasar teknik analisis inputoutput pertama kali oleh Leon Walras tahun 1877. Untuk menelaah kegiatan antar sektor dalam struktur perekonomian di Amerika Serikat. Leontief menyusun tabel yang dikenal dengan Gambaran Perekonomian (Tableu Economique) dengan Teori Keseimbangan Umum (General Equibrium Theory). Berdasarkan teori-teori tersebut, Leontief menyusun hubungan antara satu kegiatan ekonomi dengan kegiatan ekonomi lainnya secara kuantitatif. Hubungan tersebut disusun berdasarkan pengamatan langsung terhadap kegiatan-kegiatan ekonomi yang ada di Amerika Serikat. Analisis I-O ini digunakan untuk mengetahui keterkaitan antar sektor dalam upaya memahami kompleksitas perekonomian serta kondisi yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan antar permintaan dan penawaran. Leontief dalam Iman (2011) menjelaskan bahwa Analisis I-O merupakan suatu metode yang secara sistematis mengukur hubungan timbal balik diantara beberapa sektor yang terdapat dalam sistem ekonomi yang kompleks. Analisis ini fokus pada hubungan antar sektor di dalam suatu wilayah dan mendasarkan analisisnya terhadap keseimbangan. Menurut Iman (2011) bahwa tabel I-O sebagai suatu metode kuantitatif yang memberikan gambaran menyeluruh tentang : 1. Struktur perekonomian negara/wilayah yang mencakup output, input, dan nilai tambah masing-masing sektor. 2. Struktur input antara, yaitu transaksi penggunaan barang dan jasa antar sektorsektor produksi. 3. Struktur penyediaan barang dan jasa baik berupa produksi dalam negeri maupun barang impor atau yang berasal dari negara/wilayah lain. 4. Struktur permintaan barang dan jasa, baik permintaan oleh berbagai sektor produksi maupun permintaan untuk konsumsi, investasi, dan ekspor. Model I-O juga dianggap sebagai pengembangan penting dari teori keseimbangan umum. Priyarsono dalam Iman (2011) menyatakan tentang beberapa kegunaan dari analisis I-O adalah sebagai berikut:
1. Untuk memperkirakan dampak permintaan akhir terhadap output, nilai tambah, impor, penerimaan pajak, dan penyerapan tenaga kerja di berbagai sektor. 2. Untuk melihat komposisi penyediaan dan penggunaan barang dan jasa terutama dalam analisis terhadap kebutuhan impor dan kemungkinan substitusinya. 3. Untuk mengetahui sektor-sektor yang pengaruhnya paling dominan terhadap pertumbuhan ekonomi dan sektor-sektor yang peka terhadap pertumbuhan perekonomian. 4. Untuk menggambarkan perekonomian suatu wilayah dan mengidentifikasi karakteristik struktural suatu perekonomian wilayah. Menurut Sumunaringtyas (2011) bahwa Keuntungan yang diperoleh dalam menggunakan model I-O dalam perencanaan pengembangan wilayah yaitu model I-O dapat memberikan deskripsi yang detail mengenai perekonomian nasional ataupun perekonomian regional dengan mengkuantifikasikan ketergantungan antar sektor dan asal (sumber) dari ekspor dan impor, untuk suatu set permintaan akhir dapat ditentukan besarnya output dari setiap sektor, dan kebutuhannya akan faktor produksi dan sumber daya, dampak perubahan permintaan terhadap perekonomian baik yang disebabkan oleh swasta maupun pemerintah dapat ditelusuri dan diramalkan secara terperinci, Perubahan-perubahan teknologi dan harga relatif dapat diintegrasikan ke dalam model melalui perubahan koefisien teknik. Penelitian Terdahulu Penelitian dengan judul Analisis Dampak Pertambangan Terhadap Pengembangan Wilayah di Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi Selatan, merupakan suatu pemikiran yang dilatarbelakangi oleh keberadaan perusahaan tambang dalam memanfaatkan potensi sumber daya alam di Kabupaten Luwu Timur. Penelitian ini tidak hanya mempertimbangkan dampak fisik, tetapi berusaha mengangkat dampak sosial dan ekonomi karena perencanaan pembangunan daerah baik tambang maupun bukan hendaknya melakukan analisis dampak sosial dan dampak ekonomi. Kegunaan sosial dalam pengembangan wilayah yaitu memberi peran dalam mengidentifikasi hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan pengembangan wilayah dalam menyusun perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan dengan tujuan kelak tidak ada pihak yang dirugikan dalam pelaksanaannya. Analisis terhadap berbagai dampak rencana pembangunan maupun kegiatan pembangunan yang sudah berjalan sangat diperlukan agar masyarakat sebagai penerima dampak langsung dapat merasakan manfaat dari keberadaan pembangunan yang dilaksanakan. Penelitian di Kabupaten Luwu Timur telah banyak dilakukan khususnya tentang sosial namun dampak sosial masih hanya terbatas pada wilayah Sorowako sebagai pusat kegiatan pertambangan, tanpa mempertimbangkan wilayah lain yang juga wilayahnya masuk dalam kawasan pertambangan. Kajian ekonomi juga telah dilakukan tetapi dengan pendekatan ekonomi wilayah dengan sektor tertentu tanpa mengkaji keterkaitan antar sektor lain. Keterkaitan antar sektor lain perlu dilakukan identifikasi sehingga arahan pembangunan pada masa depan yang tepat sasaran.
Penelitian ini merupakan hal baru di Kabupaten Luwu Timur karena menganalisis perubahan penutupan lahan dengan menggunakan data penginderaan jauh, menganalisis dampak pertambangan, mengalisis perubahan kehidupan sosial, menganalisis konflik sosial dan menganalisis ekonomi wilayah. Walaupun secara umum penelitian tentang dampak pertambangan terhadap pengembangan wilayah pernah dilakukan di tempat lainnya namun setiap kajian khususnya fisik, sosial dan ekonomi memiliki perbedaan tergantung situasi wilayahnya, berikut penelitian dengan topik yang berkaitan dengan penelitian ini terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 Penelitian terdahulu No
Nama
Tahun
Judul Penelitian
1.
Hasnawati Hamzah
2005
Dampak Kegiatan Pertambangan Terhadap Pengembangan Wilayah. Kasus di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur
2.
Yulita
2011
Perubahan Penggunaan Lahan Dalam Hubungannya dengan Aktivitas Pertambangan di Kabupaten Bangka Tengah
4.
Julianti
2012
Social And Economic Life After The Conversion Of Native Land By PT.INCO.TBK (Case Study Sorowako Luwu East Village South Sulawesi)
5
Muhammad Siraz Tuni
2013
Perencanaan Penggunaan Lahan Pascatambang untuk Mendukung Pengembangan Wilayah di Kabupaten Halmahera Timur
6.
Bagus Dimas
2014
Analisis Konflik Lahan Pertambangan Batubara (Studi Kasus Wilayah Pertambangan Di Kecamatan MarangkayuKabupaten Kutai Kartanegara)
7.
Ade Syarif
2014
Analisis subsektor perikanan dalam pengembangan wilayah Kabupaten indramayu
Kerangka Pemikiran Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis dampak pertambangan terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi Selatan dan keluaran dari hasil penelitian untuk arahan pengembangan wilayah di Kabupaten
Luwu Timur Provinsi Sulawesi Selatan. Pemikiran secara skematis digambarkan sebagai sebuah bagan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1.
Kabupaten Luwu Timur Potensi Sumberdaya Alam
Dampak Pertambangan
Dampak Keruangan
Dampak Sosial
Dampak Ekonomi Wilayah
Perubahan Tutupan /Penggunaan Lahan Kesesuaian Pemanfaatan Ruang
Konflik Masyarakat Adat Kehidupan Sosial Masyarakat
Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Luwu Timur Struktur perekonomian Keterkaitan antar sektor dan multiplier effect
Analisis perubahan tutupan/penggunaan lahan Analisis Prediksi Tutupan/Penggunaan Lahan Analisis Kesesuaian Pemanfaatan Ruang
Analisis Konflik Analisis Kehidupan Sosial Masyarakat
Analisis Pertumbuhan Ekonomi Analisis I-O
Kesimpulan dan Saran
Gambar 1 Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian Berdasarkan penelitian terdahulu dan kerangka pemikiran, maka hipotesis penelitian ini adalah: 1. Aktivitas pertambangan dapat mempengaruhi tutupan/penggunaan lahan hutan. 2. Kawasan tambang banyak yang tidak sesuai dengan rencana pola ruang dalam rencana tata ruang wilayah. 3. Kehadiran perusahaan tambang dapat menimbulkan konflik lahan dengan masyarakat dan membawa pengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat. 4. Aktivitas pertambangan memiliki hubungan dengan pertumbuhan ekonomi wilayah. Namun, memiliki keterkaitan dan efek ganda yang rendah terhadap sektor lainnya.
39
17
3 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi Selatan. Secara administrasi Kabupaten Luwu Timur dibagi menjadi 11 kecamatan yaitu Kecamatan Burau, Wotu, Tomoni, Tomoni Timur, Angkona, Malili, Towuti, Nuha, Wasuponda, Mangkutana, dan Kalaena. Peta lokasi penelitian ditampilkan pada Gambar 2. Kegiatan penelitian mulai dari penyusunan proposal sampai dengan penyusunan dan perbanyakan tesis, dilaksanakan pada bulan November 2013 sampai Februari 2015.
Gambar 2 Lokasi Penelitian Jenis dan Metode Pengumpulan Data Tujuan penelitian, jenis data, sumber data, alat analisis, metode analisis data dan analisis data serta keluaran yang diharapkan untuk masing-masing tujuan penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Tahap Analisis Pada bagian ini, dijelaskan teknik analisis data yang digunakan untuk menjawab tujuan khusus penelitian. Analisis data penelitian terdiri dari 7 jenis analis dan 13 jenis metode analisis. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat Gambar 3.
18
Tabel 2 Tahapan pengumpulan data, metode analisis data dan analisis data serta output yang diharapkan
18
Tahapan pengumpulan data Jenis Data Sumber Data Alat Analisis Data Citra Landsat ETM 7 LAPAN Erdas Image 9.2 tahun 2002 BAPPEDA ArcGIS 9.3 Citra Landsat ETM 8 Idrisi Selva 17.0 tahun 2013 Peta RTRW Kabupaten Luwu Timur
Metode Analisis Data
Output yang Diharapkan Analisis Peta, matriks dan perubahan grafik Perubahan tutupan/ Tutupan/ penggunaan lahan Penggunaan Lahan Tahun 2002, 2013 Analisis prediksi dan 2024 tutupan/pengguna an lahan
No
Tujuan
1.
Menganalisis perubahan tutupan/penggunaan lahan di Kabupaten Luwu Timur tahun 2002-2013 dan 20132024
2.
Menganalisis lokasi perusahaan tambang sebagai salah satu faktor penentu perubahan tutupan/penggunaan lahan di Kabupaten Luwu Timur.
Peta lokasi tambang Peta kelas Lereng Peta pola ruang dalam RTRW Kabupaten Luwu Timur
DESDM BAPPEDA
PASW 18
MLE OLS
Analisis faktor Persamaan model pendorong MLE dan OLS (driving factor)
3.
Mengetahui konsisten dan inkonsistensi antara kawasan tambang dengan RTRW Kabupaten Luwu Timur
Peta lokasi tambang Peta pola ruang dan pemanfaatan ruang dalam RTRW Kabupaten Luwu Timur
DESDM BAPPEDA
ArcGIS 9.3
Overlay
Analisis kesesuaian peruntukan ruang
4
Mengidentifikasi dampak perusahaan tambang terhadap masyarakat adat dan kehidupan sosial masyarakat Kabupaten Luwu Timur
Semua keterangan data fakta-fakta yang tidak dapat diukur dan dihitung hanya berwujud keterangan naratif tentang konflik masyarakat adat dan kehidupan sosial masyarakat (interaksi sosial, strata/status sosial, eksistensi adat istiadat dan keamanan).
Masyarakat
Wawancara
Analisis konflik Informasi tentang konflik masyarakat Identifikasi adat dampak perusahaan Informasi tentang tambang kehidupan sosial terhadap masyarakat tentang kehidupan sosial interaksi sosial, masyarakat strata/status sosial , Kabupaten Luwu eksistensi adat Timur istiadat dan keamanan
Klasifikasi tutupan/ penggunaan lahan Land Change Modeler (LCM) Marcov CA-Marcov Chain
Historis Pohon Konflik Pemetaan Aktor Komparatif
Analisis
Peta dan matriks kesesuain peruntukan ruang
19
Tabel 2 (lanjutan) 5.
Menganalisis peranan sektor pertambangan (pertambangan non migas dan penggalian) terhadap perekonomian wilayah dan keterkaitannya dengan sektor-sektor lain di Kabupaten Kabupaten Luwu Timur.
Tabel I-O Tahun 2009 Provinsi Sulawesi Selatan PDRB Kabupaten Luwu Timur tahun 2004-2012.
BPS Provinsi Sulawesi Selatan BPS Kabupaten Luwu Timur
GAMS
Agregasi RAS
Analisis Pertumbuhan Ekonomi Analisis I-O
Informasi tentang nilai pertumbuhan ekonomi dari tahun 2004 sampai tahun 2012 di Kabupaten Luwu Timur Informasi tentang niai keterkaitan antar sektor dan multiplier effect sektor pertambangan di Kabupaten Luwu Timur
20
20
Analisis perubahan tutupan/penggunaan lahan Land Change Modeler (LCM)
Peta tutupan/ Penggunaan Lahan Tahun 2002 dan 2013
Klasifikasi Citra
Citra Landsat ETM Tahun 2002 dan 2013
Matriks, grafik dan peta perubahan tutupan/ Penggunaan Lahan Tahun 2002 dan 2013
Analisis prediksi tutupan/penggunaan lahan
Konversi ke Raster
CA-Marcov Chain
Marcov Chain
PetaTahun 2002 dan 2013
Peta Tahun 2024
Analisis Faktor Pendorong (Driving Factor) Perubahan tutupan/penggunaan lahan, peta lokasi Tambang, peta pola ruang dan peta kelas lereng
MLE dan OLS
Persamaan model MLE dan OLS
Analisis Kesesuaian Pemanfaatan Ruang Peta lokasi Tambang Peta RTRW
Overlay
Peta Kesesuaian Pemanfaatan Ruang
Analisis Konflik Masyarakat adat suku to kanrusie dan Perusahaan Tambang PT.Vale Indonesia, Tbk
Historis, Pemetaan antar aktor dan Pohon Konflik Identifikasi Kehidupan Sosial
Masyarakat Kabupaten Luwu Timur
Komparatif Analisis Pertumbuhan Ekonomi
PDRB atas harga berlaku Pertumbuhan ekonomi PDRB atas harga konstanta
Tabel Input Output Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2012
PDRB ADHB Kabupaten Luwu Timur Tahun 2012
Analisis I-O Agregasi
RAS
Agregasi
RAS
Kesimpulan dan Saran
Tabel Input Output Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009
Tabel Input Output Kabupaten Luwu Timur Tahun 2012
Sintesis
Gambar 3 Bagan Alir Proses Analisis Data Penelitian
21 Analisis Perubahan Tutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2002-2013 Pada bagian ini, dijelaskan teknik analisis perubahan tutupan/penggunaan lahan tahun 2002-2013. Analisis ini terdiri dari 2 metode yaitu klasifikasi citra dan Land Change Modeler (LCM). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat Gambar 4 Landsat ETM 8 2013
Landsat ETM 7 2002
Stacking band citra dan Mosaik
Cropping dengan peta administrasi Kabupaten Luwu Timur Klasifikasi citra Pengecekan Lapang
Peta Tutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2002 dan 2013 Land Change Modeler (LCM) Peta, matriks dan grafik Perubahan Tutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2002 dan 2013
Gambar 4 Bagan Alir Analisis Perubahan Tutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2002-2013 1. Klasifikasi Tutupan/Penggunaan Lahan Klasifikasi tutupan/penggunaan lahan adalah interpretasi citra satelit ke dalam tipe tutupan/penggunaan lahan. Pendekatan yang digunakan dalam klasifikasi tutupan/penggunaan lahan yaitu klasifikasi terbimbing. Klasifikasi dilakukan secara visual mengacu pada klasifikasi tutupan lahan Ditjen Planologi tahun 2006 yang membagi tutupan lahan kedalam 23 tipe (KH 2012). Kebutuhan analisis perubahan lahan pada penelitian ini, 23 tipe penutupan lahan (Lampiran 3), digeneralisasi menjadi 10 tipe yaitu : empang/ tambak, hutan, kebun, lahan terbangun/permukiman, lahan terbuka, rawa/ mangrove, sawah, semak/belukar, tegalan/ladang dan tubuh air. Hasil klasifikasi ini kemudian diuji kebenarannya dengan melakukan pengecekan ke lapang secara langsung untuk memperbaiki hasil klasifikasi. 2. Land Change Modeler (LCM) LCM merupakan metode untuk mengetahui perubahan tutupan/ penggunaan lahan dan membuat model pemusatan perubahan tutupan/ penggunaan lahan secara spasial. Menurut Václavík dan Rogan (2009) bahwa metode LCM dapat didefinisikan secara matematik sebagai berikut: Z (U,V) = α00 + α10U+ α01V + α11UV + … + αpqUpVq Keterangan: Z = Variabel tutupan/penggunaan lahan yang didistribusikan α = Koefisien polynomial U dan V = Koordinat lokasi; p dan q = Order polynomial
Analisis Prediksi Tutupan/Penggunaan Lahan Pada bagian ini, dijelaskan teknik analisis prediksi tutupan/penggunaan lahan tahun 2002-2013. Analisis ini terdiri dari 2 metode yaitu Markov dan Cellular Automata (CA)-Markov Chain. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat Gambar 5. Peta tutupan/penggunaan lahan tahun 2002
Peta tutupan/penggunaan lahan tahun 2013
Konversi polygon ke raster
Markov
Matriks transisi area dan probability Peta kesesuaian penggunaan lahan CA- Marcov Chain
Peta tutupan/penggunaan lahan tahun 2024
Gambar 5 Bagan Alir Analisis Prediksi Perubahan tutupan/Penggunaan Lahan 1. Markov Analisis yang bersifat prediksi (prediction) atau peramalan (forecasting) berperan sangat penting untuk perencanaan dan pengembangan wilayah (Rustiadi et al. 2011). Prediksi tutupan/penggunaan lahan dapat diketahui dengan metode Markov Chain dan metode Cellular Automata (CA)-Markov Chain. Metode Markov adalah metode secara statistik dengan menggunakan matriks peluang peralihan berdasarkan berdasarkan efek kawasan pada algoritma yang mempengaruhi ruang (Cole dalam Ilkwon et al. 2011). Markov Chain dibangun dengan menggunakan distribusi penggunaan lahan pada awal dan akhir masa pengamatan (Trisasongko et al. 2009). Metode Markov didefinisikan secara matematis sebagai berikut: . [
= ][
]=[
]
Keterangan: MLC = Matriks peluang Mt = Matriks peluang tahun ke t Mt+1 = Peluang tahun ke t+1 Ut = Peluang setiap titik terklasifikasi sebagai kelas U pada waktu t; LCua = Peluang kelas U menjadi kelas lainnya pada rentang waktu tertentu.
23 2. Cellular Automata (CA)-Markov Chain Metode CA-Markov merupakan metode untuk menambahkan karakter ruang berdasarkan penerapan aturan atau kesesuaian lahan (Lampiran 11, 12 dan 13). Hal ini untuk memastikan bahwasanya perubahan tutupan/ penggunaan lahan tidak sepenuhnya terjadi secara acak tetapi berdasarkan aturan atau kesesuaian lahan (Eastman 2012). Analisis Faktor Pendorong (Driving Factor) Faktor pendorong perubahan tutupan/penggunaan lahan untuk semua tipe tutupan/penggunaan lahan dapat diketahui dengan menggunakan binary logistic regression. Menurut Arkham (2014) bahwa binary logistic regression merupakan pendekatan pemodelan matematik yang dapat digunakan untuk menjelaskan dan mengevaluasi hubungan dari beberapa variabel independent dengan variabel dependent (Tabel 3). Variabel Y, X1, dan X2 merupakan data nominal (tidak bertingkat) sedangkan variabel X3 merupakan data ordinal (bertingkat). Kategori variabel Y, X1, X2, dan X3 adalah kategorik. Metode yang digunakan adalah MLE (Maximum Likelihood Estimation) dan persamaan (model) dari binary logistic regression (Yulianto et al. 2013). Logit(Y) = a + b1X1+ b2X2+ b3X3+…… biXn Keterangan : Y = Variabel dependent; X = Variabel independent;
a = Konstanta bi = Koefisien variabel independent ke i, untuk i=1,2,3….n
Tabel 3 Variabel-variabel dalam binary logistic regression Y X Perubahan tutupan/penggunaan 1. Alokasi RTRW untuk Kawasan (X1) lahan 0= Kawasan budidaya; 1= Kawasan lindung 0= Tidak berubah; 1=Berubah 2. Lokasi Tambang (X2) 0= Bukan perusahaan tambang; 1=Perusahaan tambang 3. Lereng (X3) 0= 0-8% (datar); 1=8-15% (landai); 2= 1525% (miring); 3=25-40% (terjal); 4=40%(sangat terjal).
Dampak pertambangan terhadap perubahan tutupan/penggunaan lahan untuk tipe tutupan/penggunaan lahan yang mengalami perubahan lahan terbesar tahun 2002-2013 dan tahun 2013-2024 dapat diketahui dengan menggunakan pendekatan persamaan regresi linier sederhana. Menurut Ginting et al. (2012) bahwa regresi linier sederhana digunakan untuk mendapatkan hubungan matematik dalam bentuk suatu persamaan antara variabel independent dengan variabel dependent (Tabel 4). Metode yang digunakan adalah metode Ordinary Least Square (OLS) dan persamaan (model) yang akan dihasilkan dari model regresi linier sederhana (Nachrowi dan Usman 2002): W = a + bU Keterangan : W = Variabel dependent; a = Konstanta (intercept);
U = Variabel independent b = Koefisien pada variabel independent
Tabel 4 Varibel dalam regresi linier sederhana W (ha) Perubahan luas lahan hutan-lahan terbuka periode tahun 2002-2013 (W1) Perubahan luas lahan hutan-lahan terbangun/ permukiman periode tahun 2002-2013 (W2) Perubahan luas lahan hutan-lahan terbuka periode tahun 2013-2024 (W3) Perubahan luas lahan hutan-lahan terbangun/ permukiman periode tahun 2013-2024 (W4)
U (ha) Luas lokasi tambang
Binary logistic regression dan regresi linier sederhana dengan menu enter, yang berarti semua variabel independent dimasukkan sebagai indikator categori, sehingga diketahui variabel independent yang berpengaruh terhadap variabel dependent. Analisis Kesesuaian Pemanfaatan Ruang Dalam melakukan analisis kesesuaian pemanfaatan ruang, metode yang digunakan adalah teknik overlay peta (Gambar 6). Overlay peta merupakan proses jumlah peta tematik dengan area yang sama dan menghamparkan satu dengan yang lain untuk membentuk satu layer peta baru. Proses overlay atau tumpang tindih peta dapat dilakukan dengan menggunakan fasilitas dalam ArcGIS 9.3 yang disebut ekstensi geoprocessing. Geoprocessing merupakan salah satu fasilitas dalam ArcGIS untuk membuat data baru (Trisasongko et al. 2009). Peta lokasi pertambangan Overlay Peta pola ruang dan peta pemanfaatn ruang dalam RTRW
Peta Kesesuaian Pemanfaatan Ruang
Gambar 6 Bagan alir analisis kesesuaian pemanfaatan ruang Analisis Konflik Analisis konflik sebagai proses praktis untuk mengkaji dan memahami kenyataan konflik dari berbagai sudut pandang. Metode analisis konflik yang di gunakan dalam penelitian ini adalah historis (urutan kejadian), pemetaan konflik dan pohon konflik. Urutan kejadian adalah kejadian-kejadian yang diceritakan dalam skala waktu (tahun), tujuannya yaitu mengidentifikasi kejadian mana yang paling penting. Pemetaan konflik antar aktor adalah metode visual yang menggambarkan hubungan di antara berbagai pihak yang berkonflik, tujuannya yaitu untuk lebih memahami situasi dengan baik, melihat hubungan di antara berbagai pihak secara lebih jelas, menjelaskan dimana letak kekuasaan, memeriksa keseimbangan masing-masing kegiatan/reaksi, melihat dimana saja letak sekutu potensial, untuk mengidentifikasi mulainya intervensi, untuk mengevaluasi apa yang telah dilakukan. Pohon konflik adalah alat bantu menggunakan gambar pohon untuk mengurutkan isu-isu pokok konflik., tujuannya yaitu untuk merangsang diskusi tentang berbagai sebab dan efek dalam suatu konflik. Menurut Craig (2009) bahwa pohon konflik didasarkan pada
25 'Pohon Masalah', yang secara luas digunakan dalam desain konflik. Diagram skema menggambarkan aspek-aspek utama yang diidentifikasi melalui pengembangan pohon konflik; masalah inti atau 'skenario konflik' (trunk), penyebab yang mendasari (akar), dan dampaknya (cabang), pohon Konflik sangat cocok digunakan dalam ekonomi, politik, keamanan dan sosial yang mengalami konflik. Analisis Kehidupan Sosial Masyarakat Kehidupan sosial masyarakat adalah segala bentuk aktivitas masyarakat yang berhubungan dengan interaksi sosial, status sosial, budaya dan keamanan dalam kehidupan masyarakat (Julianti 2012). Metode yang digunakan dalam analisis kehidupan sosial masyarakat yaitu metode komparatif. Menurut Setiadi dan Kolip (2011) bahwa metode komparatif adalah metode ilmiah yang lebih mementingkan perbandingan antara bermacam-macam masyarakat dan bidang-bidangnya untuk memperoleh perbedaan, persamaan dan sebabnya. Perbedaan dan persamaan tersebut bertujuan untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk tentang perilaku masyarakat, seperti masyarakat masa silam dan masa sekarang, juga untuk mengenali masyarakat yang mempunyai tingkat peradaban yang berbeda atau yang sama. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam analisis ini dengan wawancara mendalam dengan informan yang dipilih sebanyak 17 orang berdasarkan kriteria informan (Lampiran 18) dengan pertimbangan bahwa informan tersebut mengetahui dan dapat memberikan penjelasan tentang permasalahan yang dikaji oleh peneliti. Analisis Pertumbuhan Ekonomi
Analisis pertumbuhan ekonomi dapat menjelaskan pertumbuhan ekonomi wilayah dan pertumbuhan ekonomi setiap sektor. Secara teknis pertumbuhan ekonomi menggunakan data Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) dan Atas Dasar Harga Konstanta (ADHK) tahun 2004-2012 Kabupaten Luwu Timur. Pertumbuhan ekonomi didefinisikan secara matematik sebagai berikut:
Keterangan: g = Tingkat Pertumbuhan Ekonomi PDRB rill ADHB1 = PDRB ADHB pada tahun sekarang. PDRB rill ADHB0 = PDRB ADHB pada Indeks Perkembangannya. Indeks perkembangan didefinisikan secara matematik sebagai berikut:
Keterangan: IP IE tb IE ts PDRB ADHB
= Indeks Perkembangan; = Indeks Ekonomi tahun sebelumnya = Indeks Ekonomi tahun sekarang = PDRB ADHB tahun sebelumnya
Indeks Ekonomi didefinisikan secara matematik sebagai berikut:
Keterangan: IE PDRB ADHB
= Indeks Ekonomi; = Pendapatan Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku = Pendapatan Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstanta 2000
PDRB ADHK
Analisis Input Output (I-O) Pada bagian ini, dijelaskan teknik analisis Input Output (I-O). Analisis ini terdiri dari 2 metode yaitu agregasi dan RAS. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat Gambar 7. Tabel Input Output Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2012 (24x24 Sektor)
RAS
Agregasi PDRB adhb Kabupaten Luwu Timur Tahun 2012
Keterkaitan langsung ke belakang (direct backward linkage/DBLj)
RAS Tabel Input Output Kabupaten Luwu Timur Tahun 2012 (22x22 Sektor)
Keterkaitan ke belakang langsung dan tidak langsung (indirect backward linkage/DIBLj)
Keterkaitan langsung ke depan (direct forward linkage/DFLi)
Tabel Input Output Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009 (112x112 Sektor)
Agregasi
Keterkaitan ke depan langsung dan tidak langsung (indirect forward linkage/DIFLi)
Daya sebar ke belakang atau indeks daya penyebaran/IDP (backward linkages effect ratio)
Multiplier
Indeks derajat kepekaan/IDK atau sering disebut derajat kepekaan saja (forward linkages effect ratio)
Output multiplier/OM Total value added multiplier/VM atau PDRB multiplier Income multiplier/IM
Gambar 7 Bagan Alir Analisis Input Output 1. Agregasi Proses agregasi adalah penggabungan data dalam satu kelompok. Pada tabel I-O Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2009 terdapat 112 sektor perekonomian di agregasi menjadi 24 sektor (Tabel 5 dan Lampiran 23) sehingga memudahkan untuk proses update. Jumlah sektor di PDRB
27 Kabupaten Luwu Timur sebanyak 22 sektor (Tabel 5) sehingga sektor tersebut dijadikan sektor pada tabel I-O Kabupaten Luwu Timur. Tabel 5 Sektor-Sektor Tabel I-O Kabupaten Luwu Timur Kode I-O 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Sektor Tanaman Bahan Makanan Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan Pertambangan Tanpa Migas Penggalian Industri Non Migas Listrik Air Bersih Bangunan/Konstruksi
Kode I-O
Sektor
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Perdagangan Restauran Hotel Pengangkutan Komunikasi Bank Lembaga Keuangan Tanpa Bank Usaha Sewa Bangunan Jasa Perusahaan Pemerintahan Umum Swasta
2. RAS Metode RAS merupakan suatu metode untuk memperkirakan matriks koefisien input yang baru pada tahun t “A(t)” dengan menggunakan informasi koefisien input tahun dasar “A(0)”, total permintaan tahun antara t, dan total input antara tahun t (Toh 1998). Secara matematis metode RAS dapat diuraikan sebagai berikut: Andaikan matriks koefisien input pada tahun dasar proyeksi adalah A(0) = {aij(0)}, i,j = 1,2....n, matriks koefisien input untuk tahun proyeksi t diperkirakan dengan rumus A(t) = R A(0) S, dimana R = matriks diagonal yang elemen-elemennya menunjukkan pengaruh substitusi, dan S = matriks diagonal yang elemen-elemennya menunjukkan pengaruh fabrikasi. Pengaruh substitusi menunjukkan seberapa jauh suatu komoditas dapat digantikan oleh komoditas lain dalam proses produksi. Pengaruh fabrikasi menunjukkan seberapa jauh suatu sektor dapat menyerap input antara dari total input yang tersedia. Andaikan ri dan sj berturut-turut merupakan elemen matriks diagonal R dan S. Misalkan pula Xij(0) adalah input antara sektor j yang berasal dari output sektor i pada tahun dasar. Untuk menjaga konsistensi hasil estimasi ri dan sj, perlu ditambahkan dua persamaan pembatas seperti tertera di bawah ini. ∑ ( ) ( ) dan ∑ Dengan bi = jumlah permintaan antara sektor i pada tahun t dan kj = jumlah input antara sektor j pada tahun t. Hasil data yang diperoleh dari metode RAS adalah input antara masing-masing sektor, nilai tambah bruto, total input atau output, dan jumlah permintaan akhir. Rustiadi et al (2011) mengemukakan bahwa karakteristik struktur ekonomi wilayah yang ditunjukkan dengan distribusi sumbangan sektoral serta keterkaitan sektoral perekonomian wilayah, secara teknis dapat dijelaskan dengan menggunakan analisis I-O. Saat ini Analisis I-O telah berkembang luas menjadi model analisis standard untuk melihat struktur keterkaitan perekonomian nasional, wilayah dan antar wilayah, serta dimanfaatkan untuk berbagai peramalan perkembangan struktur perekonomian. Struktur tabel input-output dapat dilihat pada Tabel 6 dan tabel input-output dapat dilihat pada Lampiran 24.
Tabel 6 Struktur Tabel Input-Output
Sumber : Rustiadi et al. (2011) Keterangan : ij : sektor ekonomi Xij : banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j Xi : total output sektor i Xj : total output sektor j; untuk sektor yang sama (i=j), total output sama dengan total input Ci : permintaan konsumsi rumah tangga terhadap output sektor i Gi : permintaan konsumsi pemerintah terhadap output sektor i Ii : permintaan pembentukan modal tetap netto (investasi) dari output sektor i; output sektor i yang menjadi barang modal Ei : ekspor barang dan jasa sektor i, output sektor i yang diekspor/dijual ke luar wilayah, permintaan wilayah eksternal terhadap output sektor i Yi : total permintaan akhir terhadap output sektor i ( Yi=Ci+Gi+Ii+Ei) Wj : pendapatan (upah dan gaji) rumah tangga dari sektor j, nilai tambah sektor j yang dialokasikan sebagai upah dan gaji anggota rumah tangga yang bekerja di sektor j Tj : pendapatan pemerintah (Pajak Tak Langsung) dari sektor j, nilai tambah sektor j yang menjadi pendapatan asli daerah dari sektor j Sj : surplus usaha sektor j, nilai tambah sektor j yang menjadi surplus usaha Mj : impor sektor j, komponen input produksi sektor j yang diperoleh/dibeli dari luar wilayah Analisis yang dilakukan terhadap tabel I-O adalah analisis keterkaitan dan angka pengganda sektoral. Hasil perhitungan ini menghasilkan koefisien teknis (matriks A) dan invers matriks Leontief (matriks B) yang selanjutnya diolah kembali sehingga diperoleh data mengenai keterkaitan sektoral dan angka pengganda (multiplier).
29 Koefisien teknologi sebagai parameter yang paling utama dalam analisis I-O secara matematis diformulasikan sebagai rumus berikut: Dimana: : rasio antara banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j ( ) atau disebut pula sebagai koefisien input. Beberapa parameter teknis yang dapat diperoleh melalui analisis I-O adalah: 1. Keterkaitan langsung ke belakang (direct backward linkage/DBLj) yang menunjukkan efek permintaan suatu sektor terhadap perubahan tingkat produksi sektor-sektor yang menyediakan input antara bagi sektor tersebut secara langsung. ∑ untuk mengukur secara relatif (perbandingan dengan sektor lainnya) terdapat ukuran normalized yang merupakan rasio antara kaitan langsung ke belakang sektor j dengan rata-rata backward linkage sektor-sektor lainnya. ∑
2.
Nilai > 1 menunjukkan bahwa sektor j memiliki keterkaitan ke belakang yang kuat terhadap pertumbuhan sektor-sektor lain dalam memenuhi turunan permintaan yang ditimbulkan oleh sektor ini. Keterkaitan langsung ke depan (direct forward linkage/DFLi) yang menunjukkan banyaknya output suatu sektor yang dipakai oleh sektor-sektor lain. ∑ ∑ Normalized ∑
3.
4.
5.
∑
atau
dirumuskan sebagai berikut :
∑
Nilai > 1 menunjukkan bahwa sektor i memiliki keterkaitan ke depan yang kuat terhadap pertumbuhan sektor-sektor lain dalam suatu wilayah. Keterkaitan ke belakang langsung dan tidak langsung (indirect backward linkage/DIBLj) yang menunjukkan pengaruh tidak langsung dari kenaikan permintaan akhir satu unit sektor tertentu yang dapat meningkatkan total output seluruh sektor perekonomian. ∑ di mana DIBLj adalah elemen-elemen matriks B atau ( ) yang merupakan matriks Leontief. Keterkaitan ke depan langsung dan tidak langsung (indirect forward linkage/DIFLi), yaitu peranan suatu sektor dalam memenuhi permintaan akhir dari seluruh sektor perekonomian. ∑ Daya sebar ke belakang atau indeks daya penyebaran/IDP (backward linkages effect ratio) yang menunjukkan kekuatan relatif permintaan akhir suatu sektor dalam mendorong pertumbuhan produksi total seluruh sektor perekonomian. ∑ ∑ ∑
∑ ∑ ∑
6.
Besaran nilai dapat mempunyai nilai sama dengan 1; lebih besar dari 1 atau lebih kecil dari 1. Bila =1, hal tersebut berarti bahwa daya penyebaran sektor j sama dengan rata-rata daya penyebaran seluruh sektor ekonomi. Nilai >1 menunjukkan bahwa daya penyebaran sektor j berada di atas rata-rata daya penyebaran seluruh sektor ekonomi; dan sebaliknya <1 menunjukkan daya penyebaran sektor j lebih rendah dari rata-rata daya penyebaran seluruh sektor ekonomi. Indeks derajat kepekaan/IDK atau sering disebut derajat kepekaan saja (forward linkages effect ratio) menjelaskan pembentukan output di suatu sektor yang dipengaruhi oleh permintaan akhir masing-masing sektor perekonomian. Ukuran ini digunakan untuk melihat keterkaitan kedepan (forward linkage). ∑ ∑ ∑
7.
∑ ∑ ∑
Nilai >1 menunjukkan bahwa derajat kepekaan sektor i lebih tinggi dari rata-rata derajat kepekaan seluruh sektor ekonomi, dan sebaliknya <1 menunjukkan derajat kepekaan sektor i lebih rendah dari rata-rata seluruh sektor ekonomi. Multiplier adalah koefisien yang menyatakan kelipatan dampak langsung dan tidak langsung dari meningkatnya permintaan akhir suatu sektor sebesar satu unit terhadap produksi total semua sektor ekonomi suatu wilayah. a. Output multiplier/OM, merupakan dampak meningkatnya permintaan akhir suatu sektor terhadap total output seluruh sektor di suatu wilayah. ( ) b. Total value added multiplier/VM atau PDRB multiplier adalah dampak meningkatnya permintaan akhir suatu sektor terhadap peningkatan PDRB. Diasumsikan Nilai Tambah Bruto (NTB) atau PDRB berhubungan dengan output secara linier. ̂ dimana : matriks NTB, ̂ : matriks diagonal koefisien NTB, : matriks output, X = (I-A)-1.Fd c. Income multiplier/IM, yaitu dampak meningkatnya permintaan akhir suatu sektor terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga di suatu wilayah secara keseluruhan. ̂ dimana : matriks income, ̂ : matriks diagonal koefisien income : matriks output, X = (I-A)-1.Fd
20
4 KONDISI UMUM WILAYAH Kondisi Fisik Wilayah Kondisi Geografis dan Administrasi Secara geografis Kabupaten Luwu Timur terletak pada koordinat 2015’ 00’’ sampai 3000’00’’ Lintang Selatan dan 120030’ 00’’ sampai 121030’00’’ Bujur Timur dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah, sebelah selatan berbatasan dengan Teluk Bone Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan. Peta batas administrasi Kabupaten Luwu Timur disajikan pada Gambar 8. Letak Kabupaten Luwu Timur pada Pulau Sulawesi sangat strategis sehingga dapat menjadi wilayah penghubung bagi wilayah hinterland, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara yang memiliki kekayaan sumberdaya alam. Kabupaten Luwu Timur mempunyai luas wilayah 674 104.53 ha atau meliputi sekitar 11.14 % dari luas wilayah Propinsi Sulawesi Selatan. Secara administrasi Kabupaten Luwu Timur dibagi menjadi 11 kecamatan yaitu Kecamatan Burau (26 624.79 ha), Wotu (14 966.09 ha), Tomoni (27 166.08 ha), Tomoni Timur (5 718.90 ha), Angkona (27 581.76 ha), Malili (71 799.91 ha), Towuti (185 914.64 ha), Nuha (98 483.54 ha), Wasuponda (100 730.04 ha), Mangkutana (104 861.70 ha), dan Kalaena (10 257.07 ha). Kondisi Topografi Kabupaten Luwu Timur yang sebagian besar wilayahnya berada pada kawasan Pegunungan Verbeck merupakan daerah yang bertopografi pegunungan. Namun di beberapa tempat merupakan daerah pedataran hingga rawa-rawa. Wilayah-wilayah yang bergunung adalah bagian utara dan barat sedangkan wilayah pedataran adalah bagian selatan dan barat. Kondisi datar sampai landai terdapat pada semua wilayah kecamatan dengan yang terluas di Kecamatan Angkona, Burau, Wotu, Malili dan Mangkutana. Sedangkan kondisi bergelombang dan bergunung yang terluas di Kecamatan Nuha, Mangkutana dan Towuti. Kabupaten Luwu Timur didominasi oleh wilayah pegunungan. Menandakan bahwa sebagian besar wilayah ini berada pada ketinggian. Potensi Sumberdaya Mineral Jenis-jenis potensi sumberdaya mineral yang terdapat di Kabupaten Luwu Timur, berdasarkan UU No.11 Tahun 1967 dan PP No.27 Tahun 1980, yaitu Bahan galian golongan A, yaitu batubara.Bahan galian golongan B, meliputi: emas (Au), tembaga (Cu), seng (Zn) nikel (Ni), kromit (Cr), dan besi (Fe). Bahan galian golongan C, meliputi: batuan beku basa-ultrabasa (gabro, peridotit, dunit, serpentinit, basal), marmer, fosfat, lempung, rijang (chert) dan serpih, talk, klorit, kuarsa, kuarsit, asbes, mika, batusabak (slate), dan sirtu (pasir-batu).
.
32
Gambar 8 Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Luwu Timur
33
Kabupaten Luwu Timur terdapat 32 perusahaan yang mendapatkan izin operasi tambang di Kabupaten Luwu Timur, 13 perusahaan yang masuk dalam galian golongan b dan 19 perusahaan yang masuk dalam bahan galian golongan c. Peta Sebaran lokasi perusahaan tambang bahan galian b disajikan pada Gambar 9 dan luas wilayah perusahaan tambang b di sajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Daftar Perusahaan Tambang di Kabupaten Luwu Timur1 No Nama Perusahaan/Pengusaha Jenis Bahan Galian Luas Wilayah (ha) 1 PT. Vale, Tbk Nikel 114 646.98 2 PT. Citra Lampia Mandiri Mineral Logam 2 649.09 3 PT. Panca Digital Solution Mineral Logam 317.83 4 PT. Prima Utama Lestari Laterit Nikel 1 600.89 5 PT. Sumber Wahau Jaya Laterit Nikel 7 551.24 6 PT. Billy Indonesia Besi Laterit 3 807.52 7 PT. Anugrah Jaya Buana Nikel 2 827.80 8 PT. Damar Utama Nikel 2 920.19 9 PT. Citra Prawita Abadi Mineral Logam 2 484.21 10 PT. Tiga Samudra Perkasa Mineral Logam 22 923.73 11 PT. Patiwiri Mineral Logam 1 176.33 12 Sari Perma Mineral Logam 398.38 13 Aphasko Mineral Logam 4.94 14 PT. Star Mitra Sulawesi Sirtu dan Batu Kali 15 PT. Latanindo Graha Persada Sirtu dan Batu Kali 16 PT. Milenium Persada Sirtu dan Batu Kali 17 CV, Mutiara Pasir Halus 18 CV. Tiga Selaras Sirtu dan Batu Kali 19 CV. Aksa Jaya Sirtu dan Batu Kali 20 Yayasan Kebun Laimbo Tanah Urung 21 H. Ansar Nadi Pasir Halus 22 H. Badrun Sirtu dan Batu Kali 23 Toha Sirtu 24 Tatok Harianto Sirtu 25 A. Haerul Tanah Urug 26 Arifin Magi Sirtu dan Batu Kali 27 A. Lisna Yusuf Sirtu dan Batu Kali 28 Nengah Jana Pasir Halus 29 Warso Tanah Urug 30 Marten Palirapa Pasir Halus 31 Darwin Sirtu dan Batu Kali 32 PT. Karya Pribumi Sawerigading Sirtu dan Batu Kali 1
Sumber : DESDM, (2012)
Kondisi Klimatologi dan Hidrologi Kabupaten Luwu Timur merupakan wilayah yang memiliki curah hujan yang cukup tinggi. Berdasarkan data badan pusat statistik Kabupaten Luwu Timur bahwa selama tahun 2012, rata-rata hari hujan per bulan sebanyak 16 hari. Bulan Februari dan Maret memiliki jumlah hari hujan tertinggi hingga 20 hari dalam sebulan. Temperatur rata-rata bulanan berkisar pada 24.0-26.1 oC.
34
Gambar 9 Peta kawasan pertambangan Kabupaten Luwu Timur
35
Rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten Luwu Timur Berdasarkan Permen PU Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayaph (RTRW) Kabupaten, pengertian rencana pola pemanfaatan ruang adalah rencana yang menggambarkan letak, ukuran dan fungsi dari kegiatan-kegiatan lindung dan budidaya. Substansi dari rencana pola pemanfaatan ruang meliputi batas-batas kegiatan sosial, ekonomi, budaya dan kawasan-kawasan lainnya (kawasan lindung dan kawasan budidaya). Pengembangan rencana pola pemanfaatan ruang bertujuan untuk Pemanfaatan ruang harus memperhatikan daya dukung lingkungan, tersedianya lahan yang dapat menampung perkembangan jumlah penduduk dan tenaga kerja, terciptanya sinkronisasi antara rencana pola pemanfaatan ruang dan rencana struktur tata ruang yang dikembangkan, memperhatikan kesesuaian lahan dan kondisi eksisting dan mewujudkan aspirasi masyarakat. Rencana pola ruang wilayah kabupaten merupakan rencana distribusi peruntukan ruang dalam wilayah kabupaten yang meliputi rencana peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan rencana peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Rencana pola ruang wilayah kabupaten berfungsi sebagai alokasi ruang untuk berbagai kegiatan sosial ekonomi masyarakat dan kegiatan pelestarian lingkungan dalam wilayah kabupaten, mengatur keseimbangan dan keserasian peruntukan ruang, sebagai dasar penyusunan indikasi program utama jangka menengah lima tahunan untuk dua puluh tahun dan sebagai dasar dalam pemberian izin pemanfaatan ruang pada wilayah kabupaten. Pada prinsipnya pemanfaatan ruang merupakan perwujudan dari upaya pemanfaatan sumberdaya alam di suatu wilayah melalui pola pemanfaatan yang diyakini dapat memberikan suatu proses pembangunan yang berkesinambungan. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 menyatakan bahwa pola pemanfaatan ruang adalah bentuk pemanfaatan ruang yang menggambarkan ukuran, fungsi, serta karakter kegiatan manusia dan/atau kegiatan alam. Fungsi kawasan dan penetapan peruntukan ruang berdasarkan RTRW Kabupaten Luwu Timur di sajikan pada Gambar 10 dan 11. Luas, persentase pemanfaatan ruang di sajikan pada Tabel 8. Tabel 8
Fungsi kawasan dan luas, persentase pemanfaatan ruang berdasarkan RTRW Kabupaten Luwu Timur tahun 2010-20311
Fungsi Kawasan Kawasan Lindung Kawasan Lindung Kawasan Budidaya Kawasan Budidaya Kawasan Budidaya Kawasan Budidaya Kawasan Budidaya Kawasan Budidaya Kawasan Budidaya Kawasan Lindung 1
Pemanfaatan Ruang Cagar Alam Hutan Lindung Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Tetap Hutan Produksi yang dapat di Konversi Konservasi Perairan Lahan Basah Lahan Kering Lahan Terbangun/Permukiman Tubuh Air Jumlah
Sumber: BAPPEDA Kabupaten Luwu Timur (2010)
Luasan (ha) 105 420.35 300 367.23 96 250.72 8 070.31 21 011.51 389.05 24 816.56 31 785.31 6 782.05 79 211.43 674 104.53
(%) 15.64 44.56 14.28 1.20 3.12 0.06 3.68 4.72 1.01 11.75 100.00
36
Gambar 10 Peta rencana fungsi kawasan (RTRW) Kabupaten Luwu Timur
37
Gambar 11 Peta rencana pemanfaatan ruang (RTRW) Kabupaten Luwu Timur
37
38 Kependudukan Aspek kependudukan dapat dilihat dari perkembangan atau pertumbuhan penduduk. Perkembangan atau pertumbuhan penduduk merupakan indeks perbandingan jumlah penduduk pada suatu tahun wilayah dipengaruhi oleh faktor migrasi penduduk yaitu perpindahan keluar dan masuk. Pada dasarnya tingkat pertumbuhan jumlah penduduk, dapat digunakan untuk mengasumsikan prediksi atau meramalkan perkiraan jumlah penduduk dimasa yang akan datang. Prediksi perkiraan jumlah penduduk dimasa yang akan datang dilakukan dengan pendekatan matematis dengan pertimbangan pertumbuhan jumlah penduduk 5 tahun terakhir. Data jumlah penduduk Kabupaten Luwu Timur 5 tahun terakhir menunjukkan jumlah penduduk pada tahun 2008 sebanyak 230 821 jiwa, sedangkan pada tahun 2012 mencapai 269 734 jiwa. Hal tersebut memperlihatkan adanya pertambahan jumlah penduduk sekitar 42 149 jiwa selama kurun waktu 5 tahun terakhir (Tabel 9 dan Gambar 12), dengan rata-rata pertumbuhan 4.13% pertahun. Tabel 9 Perkembangan jumlah penduduk Kabupaten Luwu Timur1
1
Tahun
Jumlah Penduduk (Jiwa)
Sex Ratio
Pertumbuhan (%)
2008 2009 2010 2011 2012
230 821 237 354 243 069 266 532 269 734
107.26 101.04 106.14 106.55 106.56
2.8 2.8 2.4 9.6 2.8
Sumber: BPS Kabupaten Luwu Timur (2012).
Jumlah Penduduk (Jiwa)
280000 270000 260000 250000 240000 230000 220000 210000 2008
2009
2010
2011
2012
Tahun Gambar 12 Perkembangan jumlah penduduk Kabupaten Luwu Timur
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Perubahan Tutupan/Penggunaan lahan Hasil klasifikasi tutupan/penggunaan lahan pada citra landsat ETM tahun 2002 (Lampiran 1) dan 2013 (Lampiran 2) diperoleh 10 tipe tutupan/penggunaan lahan (Lampiran 4) dan memiliki luas keseluruhan adalah 674 105 ha (Tabel 9). Tutupan/penggunaan lahan tahun 2002 dan 2013 didominasi oleh tipe lahan hutan. Secara spasial, distribusi masing-masing tutupan/penggunaan lahan yang terdapat di Kabupaten Luwu Timur tahun 2002 dan 2013 dapat dilihat pada peta (Gambar 13 dan 14). Tabel 9 Luas dan persentase tipe tutupan/penggunaan lahan Kabupaten Luwu Timur tahun 2002 dan 2013 Tutupan/penggunaan lahan Empang/tambak Hutan Kebun Terbangun/permukiman Terbuka Rawa/mangrove Sawah Semak/Belukar Tegalan/Ladang Tubuh Air Jumlah
2002 Luas (ha) (%) 189 0 531 418 79 7 751 1 6 373 1 1 879 0 389 0 24 628 4 10 826 2 11 438 2 79 214 12 674 105
100
2013 Luas (ha) 15 707 443 646 16 054 16 485 17 255 4 260 13 643 8 166 59 675 79 214 674 105
(%) 2 66 2 2 3 1 2 1 9 12
Perubahan Luas (ha) 15 518 -87 772 8 303 10 112 15 376 3 871 -10 985 -2 660 48 237 0.00
100
Tabel 9 menunjukkan bahwa tipe tutupan/penggunaan yang mengalami penurunan luasan terbesar yaitu hutan sedangkan tipe tutupan/ penggunaan yang mengalami peningkatan luasan cukup tinggi yaitu lahan terbangun/permukiman dan lahan terbuka. Berdasarkan data tutupan/penggunaan lahan dari hasil citra satelit dan data lokasi pertambangan yang di peroleh dari DESM Kabupaten Luwu Timur diketahui bahwa sebahagian besar dari lokasi tambang berada pada lahan hutan. Hal ini dipertegas oleh Sihombing (2013) menyatakan bahwa perubahan tutupan/penggunaan lahan hutan terjadi karena terdapat deposit energi dan mineral yang berlimpah di suatu wilayah sedangkan tipe lahan terbangun/permukiman mengalami peningkatan karena adanya kebutuhan masyarakat untuk bermukim. Peningkatan terbesar dari tipe lahan terbuka dan lahan terbangun/ permukiman berasal dari tipe lahan hutan (Tabel 10, Lampiran 5). Tren perubahan lahan hutan ke lahan terbuka Periode 2002-2013 yaitu ke arah timur tenggara atau di Kecamatan Towuti (Lampiran 7). Pada tahun 2002, Lahan terbuka berada di 4 kecamatan (Gambar 13), yaitu: Kecamatan Angkona, Towuti, Nuha dan Wasuponda. Tahun 2013, lahan terbuka berada di 5 kecamatan (Gambar 14) yaitu Kecamatan Malili, Angkona, Towuti, Nuha, dan Wasuponda. Tren perubahan lahan hutan ke lahan terbangun/ permukiman Periode 2002-2013 yaitu ke arah selatan tenggara atau di Kecamatan Malili (Lampiran 8).
40
Gambar 13 Peta Tutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2002 Kabupaten Luwu Timur
41
41 Gambar 14 Peta Tutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2013 Kabupaten Luwu Timur
40
. Tabel 10 Matriks perubahan tutupan/penggunaan lahan tahun 2002-2013 di Kabupaten Luwu Timur Tutupan/Penggunaan Lahan 1
ET1
HT2
KB3
LP4
Tahun 2002 Penurunan Luasan (ha) LT5 RM6 SW7
SB8
TL9
TA10
Jumlah
15 251 96 92 96 15 535 12 12 878 252 1 702 6 401 928 10 161 1 3 341 748 260 2 152 1 098 2 513 10 112 14 116 164 1 348 15 628 4 226 4 226 14 2 439 1 023 399 1 298 5 173 87 6 591 6 678 2 47 533 12 140 59 675 17 87 784 1 858 252 356 16 158 9 338 11 438 127 201 1 Empang/Tambak (ET); 2Hutan (HT); 3Kebun; 4Lahan Terbangun/Permukiman (LP); 5Lahan Terbuka (LT); 6Rawa/Mangrove (RM); 7 Sawah (SW); 8Semak/Belukar (SB); 9Tegalan/Ladang (TL); 10Tubuh Air (TA) Tahun 2013 Peningkatan Luasan (ha)
ET HT2 KB3 LP4 LT5 RM6 SW7 SB8 TL9 TA10 Jumlah
42
43
Analisis Prediksi Tutupan/Penggunaan Lahan Berdasarkan hasil analisis prediksi perubahan tutupan/penggunaan lahan tahun 2024 (Tabel 11 dan Gambar 15), tipe tutupan/penggunaan lahan yang mengalami peningkatan luasan adalah kelas tutupan/penggunaan lahan terbangun/ pemukiman sebesar 23 173 ha dan lahan lahan terbuka yang bertambah sebesar 19 946 ha. Tabel 11 Luas dan persentase tutupan/penggunaan lahan Kabupaten Luwu Timur tahun 2013 dan 2024 Tutupan/penggunaan lahan Empang/tambak Hutan Kebun Terbangun/permukiman Terbuka Rawa/mangrove Sawah Semak/Belukar Tegalan/Ladang Tubuh Air Jumlah
2013 Luas (ha) (%) 15 707 2 443 646 66 16 054 2 16 485 2 17 256 3 4 260 1 13 643 2 8 166 1 59 675 9 79 214 12 674 105
100
2024 Luas (ha) 15 397 422 900 20 961 39 658 37 202 4 262 20 088 4 445 30 9084 78 282 674 105
(%) 2 63 3 6 6 1 3 1 5 12
Perubahan Luas (ha) -310 -20 746 4 907 23 173 19 948 3 6 445 -3 721 -28 767 -932
100
Hasil prediksi perubahan tutupan/penggunaan lahan tahun 2024, tipe lahan terbuka berada di 10 kecamatan antara lain: Kecamatan Wotu, Tomoni, Tomoni Timur, Mangkutana, Kalaena, Malili, Angkona, Towuti, Nuha, dan Wasuponda. Tren perubahan lahan hutan ke lahan terbuka periode 2013-2024 yaitu ke arah timur tenggara terkonsentrasi di Kecamatan Towuti, Nuha, dan Wasuponda (Lampiran 9). Kontribusi peningkatan luasan terbesar dari tipe lahan terbuka berasal dari tipe lahan hutan sebesar 20 418 ha (Tabel 12 dan Lampiran 6). Sementara kontribusi peningkatan luasan terbesar dari tipe terbangun/pemukiman berasal dari tipe lahan tegalan sebesar 21 668 ha (Tabel 12 dan Lampiran 6). Tren perubahan lahan tegalan ke lahan terbangun/pemukiman periode 2013-2024 yaitu ke arah selatan barat daya yang terkonsentrasi di Kecamatan Wotu, Angkona, dan Tomoni Timur (Lampiran 10). Perubahan tutupan/penggunaan lahan lahan berpengaruh terhadap degradasi lingkungan apabila tidak dikelola secara lestari baik secara ekologi. Sehingga diperlukan pengendalian yang tepat guna dalam pengembangan wilayah. Salah satu fenomena degradasi lingkungan akibat perubahan tutupan/penggunaan lahan adalah peningkatan laju aliran permukaan (runoff) dan proses sedimentasi. Menurut Nurroh (2014) bahwa laju aliran permukaan meningkat akibat meningkatnya lahan terbangun sedangkan sedimentasi terjadi akibat peningkatan runoff diiringi oleh daerah budidaya yang tidak mengindahkan konservasi tanah dan air. Fenomena perubahan tutupan/penggunaan lahan lahan dalam skala besar dapat menyebabkan bencana alam seperti banjir di daerah hilir.
Gambar 15 Peta Hasil Prediksi Tutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2024 Kabupaten Luwu Timur 44
Tabel 12 Matriks perubahan tutupan/penggunaan lahan tahun 2013-2024 di Kabupaten Luwu Timur Tutupan/Penggunaan Lahan
ET1
HT2
KB3
LP4
LT5
Tahun 2013 Penurunan Luasan (ha) RM6 SW7
SB8
TL9
TA10
Jumlah
21 4 56 82 164 41 7 48 154 778 2 2 403 3 470.61 79 35 6 923 3 62 247 1 153 3 14 14.40 21 668 7 23 173 1 20 418 1 61 614.17 51 1 054 22 201 17 7 2 1 3 3 6 38 177 1 691 163 2 7.38 7 185 21 9 247 34 2 71 302 3 982.39 48 6 4 445 10 153 52 40 2 10 60.37 40 367 77 154 20 6 4 4 16.83 37 319 474 20 796 2 015 2 253 35 2 803 8 166.14 29 134 1 252 66 925 1 5 2,802.54(LT); 6Rawa/Mangrove 1,251.55 Empang/Tambak (ET); 2Hutan (HT); 3Kebun; 4Lahan Terbangun/Permukiman (LP); 157.90 Lahan Terbuka (RM); 7 Sawah (SW); 8Semak/Belukar (SB); 8Tegalan/Ladang (TL); 10Tubuh Air (TA) 1
Tahun 2024 Peningkatan Luasan (ha)
ET HT2 KB3 LP4 LT5 RM6 SW7 SB8 TL9 TA10 Jumlah
45
46
Analisis Dampak Pertambangan Berdasarkan hasil akhir binary logististik regression (Lampiran 14 dan Tabel 13), menunjukkan bahwa variabel alokasi RTRW, lokasi tambang dan kelas lereng berpengaruh positif dan signifikan terhadap perubahan semua tipe tutupan/ penggunaan lahan di Kabupaten Luwu Timur. Tabel 13 Hasil akhir binary logistic regression. N=2020 Variabel Koefisien Langkah 1 Alokasi RTRW untuk kawasan Lindung 0.753 Perusahaan Tambang 0.282 Lereng 8-15% 1.575 Lereng 15-25% 1.261 Lereng 25-40% 1.053 Lereng >40% 0.657 Konstanta -1.563
Wald 41.226 7.791 35.064 22.147 15.110 5.271 31.991
p OR (IK 95%) 0.000 2.124 0.005 1.326 0.000 4.829 0.000 3.530 0.000 2.866 0.022 1.929 0.000 0.210
Persamaan yang dihasilkan: Logit (Y) = -1.563 + 0.753 (Kawasan lindung ) + 0.282 (Perusahaan tambang) + 1.575 (Lereng 8-15%) + 1.261 (Lereng 15-25%) + 1.053 (Lereng 15-25%) + 0.657 (Lereng >40%)
Tabel 13 menunjukkan bahwa variabel lereng memiliki kekuatan hubungan yang terbesar sebesar 4.829 terhadap perubahan semua tipe tutupan/penggunaan lahan sementara variabel alokasi ruang untuk kawasan lindung sebesar 2.124 dan perusahaan tambang sebesar 1.326. Hal ini sejalan dengan pendapat dahlan (2009) bahwa kekuatan hubungan dapat dilihat dari nilai OR (Odds Rasio) dengan IK(Indeks Kepercayaan) 90%, kekuatan hubungan dari yang terbesar. Variabel lereng mempunyai lima kelas kemiringan dari kelas datar hingga sangat curam. Berdasarkan hasil akhir binary logistic regression menunjukkan semakin datar lereng, maka semakin besar peluang terjadi perubahan tutupan/penggunaan lahan di Kabupaten Luwu Timur. Keadaan ini sudah sejalan dengan pendapat Bourne dalam Arkham (2014) bahwa salah satu faktor yang memengaruhi perubahan tutupan/penggunaan lahan adalah bentuk lereng dimana semakin datar maka peluang untuk berubah semakin besar. Faktor lokasi tambang berpengaruh positif terhadap perubahan tutupan/penggunaan lahan seharusnya menjadi perhatian penting dalam penataan ruang karena aktivitas pertambangan memberikan dampak terhadap perubahan tutupan/penggunaan lahan seperti lahan hutan menjadi lahan terbuka. Hal ini sejalan dengan pendapat Tuni (2013) bahwa aktivitas pertambangan terbuka dapat menimbulkan dampak secara keruangan yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan tutupan/penggunaan lahan Data yang digunakan dalam melakukan regresi linear sederhana yaitu data tutupan/penggunaan lahan yang mengalami peningkatan cukup tinggi dan penurunan luas terbesar. Berdasarkan hasil akhir regresi linier sederhana (Tabel 14), menunjukkan bahwa luas lokasi tambang berpengaruh positif dan signifikan terhadap perubahan tipe tutupan/penggunaan lahan hutan di Kabupaten Luwu Timur. .
48
Tabel 14 Nilai hasil regresi linear sederhana Variabel dependen (W) r Lahan hutan menjadi lahan terbuka periode 2002-2013 (W1) Lahan hutan menjadi lahan terbangun/permukiman periode 2002-2013 (W2) Lahan hutan menjadi lahan terbuka Periode 2013-2024 (W3) Lahan hutan menjadi lahan terbangun/permukiman periode 2013-2024 (W4)
R2
Variabel independen (U) Luas lokasi tambang Annova Coefficient B F Sig B t (Constant)
0,98 0.95 105.20 0.00 0.94 0.83
16.16 0.05
0.98 0.97 321.65 0.00 0.97 0.93
42.43 0.02
Sig
-521.43 0.09 10.25 0.01 70.03 0.01
4.02 0.05
184.82 0.11 17.93 0.00 1.98 9.95
6.51 0.02
Persamaan yang dihasilkan dari hasil analisis regresi linear sederhana untuk setiap perubahan adalah W1 = -521.43 + 0.09 U; W2 = 70.03 + 0.01 U; W3 = 184.82 + 0.12 U; W4 = 1.98 + 9.95 U; Dari tabel 14, variabel U mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap variabel W artinya perubahan tutupan/penggunaan lahan hutan yang dikonversi menjadi lahan terbuka dan lahan terbangun/permukiman sebagai akibat dari tambang. Lahan terbuka dan lahan terbangun/permukiman untuk dikembalikan ke lahan hutan, kemungkinannya sangat kecil teralisasi karena membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang mahal. Hal ini sejalan dengan pendapat Puspaningsih (2011) bahwa waktu yang diperlukan untuk mencapai hutan stabil dari pertama penanaman sampai terbentuknya hutan stabil dibutuhkan waktu 75 tahun. Salah satu faktor pencemaran udara dan hujan asam adalah aktivitas pertambangan. Menurut Pohan (2002) bahwa aktifitas industri seperti pertambangan dapat menyebabkan pencemaran udara, bahan pencemar yang dihasilkan terutama adalah debu/serbuk dari kegiatan industri. Udara di daerah kegiatan industri, udaranya relatif sudah tidak bersih lagi. Pencemar yang terdapat di udara dapat masuk ke dalam tubuh melalui sistem pernapasan. Dampak kesehatan yang paling umum dijumpai adalah ISNA (infeksi saluran napas atas), termasuk di antaranya, asma, bronkitis, dan gangguan pernapasan lainnya. Selain itu, tanaman yang tumbuh di daerah dengan tingkat pencemaran udara tinggi dapat terganggu pertumbuhannya dan rawan penyakit, antara lain klorosis, nekrosis, dan bintik hitam. Partikulat yang terdeposisi di permukaan tanaman dapat menghambat proses fotosintesis. Pemakaian batu bara sebagai bahan bakar pada kegiatan industri pertambangan nikel di Kabupaten Luwu timur, menyebabkan kadar gas belerang oksida (SOx) diudara meningkat. Reaksi antara gas SOx dengan uap air yang terdapat diudara akan membentuk asam sulfat maupun asam sulfit. Apabila asam sulfat dan asam sulfit turun ke bumi bersama-sama dengan jatuhnya hujan, terjadilah Acid Rain atau hujan asam (Pohan 2002). Hutan yang gundul akibat jatuhnya hujan asam akan mengakibatkan lingkungan semakin parah.
49
Analisis Kesesuaian Pemanfaatan Ruang Kabupaten Luwu Timur sebagai wilayah pemerintah daerah kabupaten yang menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 11 ayat 2, dinyatakan bahwa pemerintah daerah kabupaten berwenang dalam melaksanakan penataan ruang wilayahnya untuk mewujudkan ruang wilayah kabupaten yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan (Anonim 2007). Kewenangan yang diberikan memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah dalam melakukan pengaturan dan perencanaan pengelolaan sumberdaya alam yang dimilikinya. Dalam melaksanakan perencanaan pembangunan daerah khususnya dalam perencanaan pengelolaan sumberdaya alam, pemerintah Kabupaten Luwu Timur telah menyusun Rencana Tata Ruang sebagai dasar dalam pemanfaatan ruang sesuai dengan kepentingan dan potensi yang dimiliki Kabupaten Luwu Timur. Tata Ruang dalam pandangan pemerintah merupakan pengaturan ruang berdasarkan berbagai fungsi dan kepentingan tertentu atau pengaturan tempat bagi berbagai aktivitas manusia. Untuk memenuhi kebutuhan semua pihak dengan adil, menghindari persengketaan serta untuk menjamin kelestarian lingkungan maka dibutuhkan suatu proses yaitu penataan ruang. Dalam penataan ruang, berbagai sumberdaya alam ditata dari segi letak dan luas sebagai suatu kesatuan dengan memperhatikan keseimbangan antara berbagai pemanfaatan seperti kawasan pertambangan dengan pola ruang dan pola pemanfaatan ruang dalam RTRW. Rencana pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten Luwu Timur diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Timur Nomor 7 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Luwu Timur (Anonim, 2011). Pola ruang Kabupaten Luwu Timur terdiri dari kawasan budidaya dan kawasan lindung. Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan sumberdaya manusia. Kawasan lindung ditujukan untuk mewujudkan kelestaian fungsi lingkungan hidup, meningkatkan daya dukung lingkungan dan menjaga keseimbangan ekosistem antar wilayah guna mendukung proses pembangunan berkelanjutan. Wilayah kawasan pertambangan yang seringkali tumpang tindih dengan wilayah kawasan lindung. Berdasarkan hasil overlay diperoleh informasi konsistensi dan inkonsistensi lokasi perusahaan tambang dengan RTRW Kabupaten Luwu Timur (Tabel 15). Inkonsistensi terjadi karena lokasi perusahaan tambang berada pada kawasan lindung. Hal ini tidak sejalan dengan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Luwu Timur Nomor 7 Tahun 2011 pasal 20 ayat 1 tentang RTRW Kabupaten Luwu Timur dan UU RI nomor 26 Tahun 2007 tentang Penaatan Ruang pasal 5 ayat 2 yang mengisyaratkan bahwa kawasan pertambangan masuk ke dalam pengembangan kawasan budidaya.
49 Gambar 16 Peta kesesuaian pemanfaatan ruang antara antara lokasi perusahaan tambang dengan RTRW Kabupaten Luwu Timur
50
Tabel 15 Konsisten (√) dan inkonsistensi (×) antara lokasi perusahaan tambang dengan RTRW Kabupaten Luwu Timur. Arahan pola ruang dan pola pemanfaatan ruang dalam RTRW Kabupaten Luwu Timur
Perusahaaan tambang1 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
A
Kawasan budidaya 1 Hutan produksi terbatas √ √ √ √ √ √ √ √ 2 Hutan produksi tetap √ √ 3 Hutan produksi konversi √ 4 Lahan basah √ √ √ √ √ 5 Lahan kering √ √ √ √ √ √ √ √ √ 6 Permukiman √ √ √ √ √ B Kawasan lindung 1 Hutan lindung × × × × × × × × × × 2 Cagar alam × 3 Konservasi perairan × 2 4 Tubuh Air × × × × × × × × Ket : 1perusahaan tambang = (1) PT. Vale Indonesia, Tbk; (2) PT. Citra Lampia Mandiri; (3) PT. Panca Digital Solution; (4) PT. Prima Utama Lestari; (5) PT. Sumber Wahau Jaya; (6) PT. Billy Indonesia; (7) PT. Anugrah Jaya Buana; (8) PT. Damar Utama; (9) PT. Citra Prawita Abadi; (10) PT. Tiga Samudra Perkasa; (11) PT. Patiwiri; (12) Sari Perma; (13) Aphasko. 2 Tubuh air yang dimaksudkan yaitu sungai.
Tabel 15 menunjukkan bahwa terdapat 2 perusahaan tambang yang konsistensi terhadap RTRW dengan total luas sebesar 48 280 ha atau 29.56% dan 11 perusahaan tambang yang inkonsistensi terhadap tata ruang dengan luasan sebesar 115 043 ha atau 70.44% (Tabel 16). Tabel 16 Luas inkonsistensi lokasi perusahaan tambang di Kabupaten Luwu Timur No
Perusahaan tambang
Luas inkonsistensi lokasi perusahaan tambang di Kabupaten Luwu Timur Hutan Cagar Konservasi Tubuh Lindung Alam Perairan Air (ha) (ha) (ha) (ha) 81 210 2 568 0 1 241
Jumlah (ha)
1
PT. Vale Indonesia, Tbk
2
PT. Citra Lampia Mandiri
298
0
0
0
298
3
PT. Panca Digital Solution
281
0
0
0
281
4
PT. Prima Utama Lestari
1 099
0
4
5
1 108
5
PT. Sumber Wahau Jaya
6 088
0
0
49
6 137
6
PT. Damar Utama
2 453
0
0
33
2,486
7
PT. Citra Prawita Abadi
422
0
0
10
432
8
PT. Tiga Samudra Perkasa
19 267
0
0
2
19 269
9
PT. Patiwiri
3
0
0
0
3
10
Sari Perma
0
0
0
6
6
11
Aphasko
0
0
0
3
3
12
PT. Billy Indonesia
0
0
0
0
0
13
PT. Anugrah Jaya Buana
0
0
0
0
0
111 122
2 568
4
1 295
115 043
Jumlah
85 019
51
Analisis Konflik Kehadiran perusahaan tambang di Kabupaten Luwu Timur seperti perusahaan tambang nikel milik PT. Vale Indonesia, Tbk di Kecamatan Nuha Kabupaten Luwu Timur menimbulkan konflik pada masyarakat adat Suku To Kanrosi’e Kampoeng Dongi yang ada di Kecamatan Nuha. Menurut informasi dan kronologisnya Suku To Kanrosi’e merupakan suku yang paling tua di wilayah Kecamatan Nuha. Tanah dan wilayah asal masyarakat adat Suku To Kanrosi’e adalah Witamorini atau sekitar wilayah rahampuhu yang sekarang di kenal dengan wilayah danau matano. Rahampuhu berasal dari dua suku kata yaitu raham dan puhu. raham adalah rumah dan puhu adalah awal (yang berarti rumah awal). Nenek moyang dari Suku To Kanrosi’e adalah Resarenda. Resarenda merupakan manusia yang langkah dan tidak seperti halnya manusia biasa dan melahirkan 3 orang anak perempuan hasil pernikahan dengan anak raja luwu. Anak dari resarenda terpencar ke 3 wilayah yaitu Lauwolu ke wilayah nusung batu (Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah, Landikka ke wilayah Mekoka (Kabupaten Kendari Sulawesi Sulawesi Tenggara) dan Lebago di Sulawesi selatan (Kecamatan Nuha Kabupaten Luwu Timur). Karonsi`e juga berasal dari dua suku kata, yaitu Karo yang berarti tiang dan Si`e yang berarti Lumbung. Witamorini ditinggalkan secara praktis, pada tahun 1880. Bukti-bukti perpindahan dan kehidupan mereka hingga saat ini masih dapat disaksikan melalui situs-situs perkampungan dan kuburan leluhur mereka yang terdapat di beberapa areal yang dikuasai oleh PT. Vale Indonesia, Tbk. Secara berangsur, warga Suku To Kanrosi’e kemudian kembali ke tanah leluhur mereka. Keberadaan PT. Vale Indonesia, Tbk merupakan bentuk pengambil alihan secara sepihak sumber kehidupan masyarakat adat Suku To Kanrosi’e Kampoeng Dongi. Konflik antara masyarakat adat Suku To Kanrosi’e Kampoeng Dongi dengan PT. Vale Indonesia, Tbk memang sudah berlangsung sejak puluhan tahun silam. Berikut ini urutan kejadian konflik berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan (Lampiran 15, 16, dan 17), yaitu Martius Tomana selaku ketua Suku To Kanrosi’e dan ketua adat Desa Dongi wasuponda, Irene Mananta selaku ketua masyarakat adat Kampung Dongi Sorowako, Yunus Ambeta selaku tokoh adat Kampung Dongi Sorowako, Surhama selaku masyarakat adat Kampung Dongi Sorowako. Urutan Kejadian Konflik Tahun 1901 Bijih nikel mula-mula ditemukan oleh seorang Belanda bernama Kruyt di pegunungan Verbeek, Sulawesi. Pegunungan Verbeek merupakan wilayah Suku To Kanrosi’e. Tahun 1937 Ahli geologi Flat Elves melakukan studi endapan nikel di Kampung Dongi (Sorowako). Kampung Dongi merupakan wilayah Suku To Kanrosi’e. Tahun 1950 Pada masa timbulnya pergolakan sosial di Sulawesi Selatan oleh gerakan DI/TII. Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di pimpin oleh Abdul Kahar Muzakkar maka Masyarakat Kampung Dongi mengungsi meninggalkan tanah leluhur Suku To Kanrosi’e.
52
Tahun 1966 PT. Tailor melakukan penambangan di wilayah bekas Kampung Dongi Suku To Kanrosi’e dengan penambangan manual. PT. Tailor memiliki 4 CV konraktor yaitu Betel, Bravo, Indemering dan CBA . Tahun 1968 PT. Tailor berganti nama menjadi PT. Inco, Tbk. Tertanggal 25 Juli 1968, PT Inco didirikan berdasarkan ketentuan Hukum Indonesia dalam bidang Penanaman Modal Asing, No.1, tahun 1967. Tahun 1969 Tertanggal 27 Juli 1969, Penandatanganan Kontrak Karya untuk jangka waktu 30 tahun sejak dimulainya produksi komersial tanggal 1 April 1978 hingga 31 Maret 2008. Tahun 1973 Tanggal 24 September 1973 PT Inco Tbk mengajukan Surat permohonan No.: RML. 33/ 973 ke pemerintah RI, intinya adalah permintaan penggunakan lahan di Sorowako Provinsi Sulawesi Selatan guna pembangunan pembangunan prasarana pertambangan dan pengolahan nikel. Pembangunan infrastruktur termasuk lahan yang akan dijadikan sebagai lapangan golf yang merupakan bekas Kampung Dongi Sorowako, atas surat permohonan tersebut, Gubernur Sulawesi Selatan kemudian memerintahkan Bupati Kabupaten Luwu untuk membentuk panitia ganti rugi lahan Tahun 1975 Bupati Luwu membentuk tim infentarisasi dan pendataan lahan yang akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur, dari hasil infentarisasi lahan tersebut Bupati Luwu menetapkan biaya ganti rugi, dengan Total Rp 42.413.739,50,Dalam SK Bupati tersebut tercantum sebanyak 230 nama pemilik tanah, rumah dan tanaman yang menerima ganti rugi, namun sebagian besar pemilik menolak penetapan harga tersebut dengan alasan nilainya terlalu kecil, disamping itu ada dugaan manipulasi dalam infentarisasi nama pemilik serta hasil pengukuran luas tanah. Penolakan ini berujung pada pemberian kuasa oleh 137 pemilik tanah kepada pengacara Mustamin dg. Matutu. SH dan atas nama masyarakat meminta agar PT Inco memberikan tambahan nilai kompensasi. Tahun 1976 Masyarakat adat Suku To Kanrosi’e kembali ke Kampung Dongi dan mendapati tanah mereka sudah menjadi lapangan golf dan kantor perusahaan, sebahagian lagi jadi area tambang, Situs kuburan tua leluhur Suku To Kanrosi’e sebahagian hilang karna aktifitas tambang. Saat mereka mau mengelola dan membangun kembali diatas lahan tersebut mereka di intimidasi oleh pemerintahan orde baru melalui polisi, selain mendapat tekanan dari pemerintah dan polisi, masyarakat Suku To Kanrosi’e juga mendapat tekanan dari masyarakat Sorowako itu sendiri dan mengklaim bahwa itu lahan mereka yang sudah diganti rugi. Tahun 1977 Pada 31 Maret 1977 Presiden Soeharto berkunjung ke Sorowako dan meresmikan fasilitas penambangan dan pengolahan nikel. Pasca peresmian PT Inco memenuhi permintaan penambahan ganti rugi sebesar Rp. 33.363.000,00,-
53
persetujuan penambahan tersebut ditandatangani oleh Drs. A.B. Nusali Snr. Suvervisor Government Ralation PT Inco Tbk dan Drs. M. Daud Nompo Pj. Sekretaris Wilayah Daerah Tk I Sulawesi Selatan yang mengakomodir 201 namanama penerima sumbangan penambahan ganti rugi. Tahun 1978 Dengan dipenuhinya permintaan masyarakat untuk penambahan ganti rugi, maka pasda tanggal 12 September 1978, Bupati Luwu Drs.A.Samad Suhaeb membuat Surat pernyataan yang intinya apabila ganti rugi dan kompensasi rakyat sorowako telah selesai di bayar sesuai jumlah yang disepakati maka kami menjamin bahwa tidak akan mendapat tuntutan atau gugatan apapun dari orang atau pihak lain mengenai tanah tersebut sehingga PT Inco memulai produksi komersial. Tahun 1979 Menteri pertambangan dan Energi, up. Ispektur Jenderal Departemen Pertambangan tertanggal 9 Agustus 1979 membuat surat pernyataan yang intinya, pasca tuntasnya proses pembebasan lahan untuk pertambangan PT Inco sebagaimana Surat persetujuan Pemerintah Sul-Sel dan Pt Inco Tanggal 29 November 1977 dan berita acara pelepasan hak atas tanah No. AGR 16/7/50 1978 maka PT Inco sudah tidak lagi mempunyai kewajiban untuk menerima dan melayani setiap gugatan Tahun 1999 Kerukunan Pertewawo Asli Karonsi’e Dongi (KRAPASKAD) Melayangkan surat permohonan kepada PT Inco yang intinya berkaitan dengan permohonan konvensasi atas masyarakat Suku To Kanrosi’e sebagai masyarakat asli Sorowako sebagaimana masyarakat asli Sorowako lainnya yang telah diberi konvensasi dan ganti rugi oleh PT Inco, Tbk. Tahun 2000 Masyarakat Suku To Kanrosi’e kembali menetap di Kampung Dongi dengan jumlah 10 KK awalnya mereka membangun pemukiman/rumah diatas gunung dan membentuk kerukunan masyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi diketuai oleh Naomi Mananta. Tahun 2001 Masyarakat Suku To Kanrosi’e yang membangun pemukiman di atas gunung kuretelawa (dahulu area persawahan suku kanrusi’e) lalu perlahan turun ke wilayah Ruruwano PT Inco. Wilayah Ruruwano merupakan wilayah Kampung Dongi dan dikenal sekarang wilayah Bumper (Bumi Perkemahan). Di wilayah Ruruwano, masyarakat Suku To Kanrosi’e membangun rumah dengan jumlah 4 Rumah yang terdiri atas 7 KK dan 15 jiwa hingga akhirnya berkembang menjadi 47 KK, 30 Rumah, 310 jiwa. Tahun 2002 Pada Tgl 28 Juni 2002 masyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi mengadakan pertemuan dengan Pemkab Luwu Utara di gedung pertemuan Tiando Lowo Wasuponda, dalam petemuan tersebut masyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi menyampaikan permintaan agar lokasi pemukimannya tetap
54
berada didaerah ruruwano sebagai kampong nenek moyang Suku To Kanrosi’e dan juga meminta pembangunan dalam bentuk rumah adat seluas 9X12 M. Tahun 2003 Maasyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi mengalami pergantian ketua, Ibu Naomi digantikan oleh Ibu Werima Mananta. Ibu Werima selaku ketua baru tetap melanjutkan perjuangan dan masyarakatat adat melanjutkan aktifitas diatas lahan tersebut. Tanggal 6 Mei 2003 PT Inco mengirim surat permintaan penghentian kegiatan masyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi di Daerah tambang aktif ke Pemerintah Wilayah Kecamatan Nuha (Camat). Pasca pengiriman surat tersebut masyarakat semakin meningkatkan aktifitasnya, maka diatas lahan tersebut, atasnama Polres dipasang papan larangan beraktifitas, namun masyarakat tetap bertahan dan menyatakan sikap bahwa apa pun yang terjadi tidak akan pernah beranjak dari lokasi tersebut. Pihak perusahaan PT. Inco bersama Polisi Daerah setempat mendatangi rumah-rumah masyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi dan mencoba mengusir mereka. Alasannya tetap sama. Mereka berada di atas tanah milik Inco. Beberapa tokoh Masyarakat Adat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi ditangkap dan ditahan tanpa sidang selama 3 bulan, polisi lalu melakukan intimidasi, dan ancaman penembakan, dan pembakaran rumah. Tahun 2004 Pada tahun 2004 masyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi didampingi oleh BEM Fakultas Bahasa Seni UNM melakukan aksi Demonstrasi di Gedung DPRD TK I dan kantor Inco di Makassar. aksi tersebut dinilai oleh pihak DPRD TK I mengambang karena tidak disertai fakta dan alasan yang jelas sehingga mereka tidak mendapatkan solusi. Juni 2004 Bupati Luwu Timur mengeluarkan surat keputusan tentang pembentukan Tim terpadu penyelesaian permasalahan masyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi dengan PT Inco. Agustus 2004 Bupati Luwu Timur mengundang Tim terpadu untuk membahas usulan program masyarkat suku kanrusi’e kampung dongi dan hasilnya dikeluarkan SK Bupati sebagai payung hukum untuk menunjuk warga masyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi yang akan dipertimbangkan untuk mendapatkan kompensasi dari PT inco. Tahun 2005 16 Juni 2005 perwakilan masyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi yaitu Tim 5 mengirimkan surat pernyataan sikap masyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi kepada PT.Inco yang intinya adalah masyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi tidak akan keluar dari lokasi tanah adat. 12 September 2005 sekitar seribuan massa dari elemen mahasiswa dan LSM yang tergabung dalam forum solidaritas masyarakat tambang (FSMT) PT.Inco, demo mendatangi kantor DPRD sulawesi selatan dan mendesak anggota DPRD provinsi Sulwesi Selatan untuk segera mempertemukan semua pihak terkait namun anggota DPRD provinsi tidak berhasil memanggil manager PT. Inco. Ratusan massa FSMT yang kecewa dengan DPRD 15 September 2005 terjadi aksi pendudukan paksa yaitu 40 orang suku kanrusi’e kampung dongi, mahasiswa dan Organisasi Non Pemerintah (Ornop)
55
yang tergabung dalam Forum Solidaritas Masyarakat Korban Tambang (FSMT), selama empat hari menduduki Kantor Regional PT. Inco di JL. Penghibur, Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Dalam aksi yang di dilakukan pula mogok makan oleh dua orang dari massa FSMT, yakni Yuliana (70 Tahun) perempuan korban penggusuran dan Yusran mahasiswa UNM, hari kelima massa aksi dibubarkan dengan evakuasi paksa oleh aparat kepolisian. FSMT menuntut PT. Inco mengakui hak milik wilayah adat masyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi yang sekarang sedang diduduki dan dikelola oleh PT. Inco. 16 September 2005 Pihak PT Inco yang diwakili oleh Edi Suhardi (Direktur Regional External Relation PT Inco Tbk), Koordinator Government Relation (Idham Kurniawan), dan H. Latief. Serta hadir pula Kapolresta Makassar Barat, melakukan pertemuan bersama wakil FSMT di Rumah Makan Caesar Kota Makassar. Pertemuan berlangsung tanpa hasil karena Pihak PT Inco tidak mampu memenuhi permintaan masyarakat. PT Inco berpendapat lahan masyarakat suku kanrusi’e kampung dongi akan dievaluasi oleh pihak PT Inco serta akan dibicarakan secara internal di PT Inco Tbk. 26 September 2005 FSMT PT.Inco berunjuk rasa dikantor konsulat jendral jepang di makassar. Mereka mendesak agar saham investor jepang di PT.Inco segera dicabut. 28 September 2005 ratusan massa berkumpul dilapangan Wasuponda menuntut PT.Inco menyelesaikan kasus penyerobotan tanah adat, maka diadakanlah pertemuan yang dihadiri oleh kapolres luwu timur, DPRD lutim, Manajement PT.Inco dan perwakilan masyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi, dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa masalah masyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi akan diselesaikan secara kekeluargaan dan konprehensif bersama tim terpadu. Pemda kabupaten luwu timur membuatkan perumahan di desa ledu-ledu Kecamatan Wasuponda dan di lengkapi prasarana seperti air bersih, listrik, jalan serta sarana penunjang seperti sekolah, masjid, gereja, kebun dan hewan ternak berupa sepasang ekor sapi setiap kepala keluarga.. Tahun 2006 11 April 2006 PT.Inco menanggapi surat dari Pemda Kabupaten Luwu Timur mengenai informasi kelayakan desa ledu-ledu Kecamatan Wasuponda sebagai lahan pengganti pemukiman Kampung Dongi. 10 Mei 2006 terkait dengan Kampung Dongi, dengan tegas masyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi yang sekarang ini bermukim diwilayah Ruruwano/Bumper tidak akan meninggalkan lokasi tersebut. Tahun 2007 22 Juni 2007 Camat Wasuponda dan Kades Ledu – Ledu dan anggota Tim terpadu penyelesaian Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi Tim tersebut dibentuk berdasarkan SK bupati di Kecamatan Wasuponda, terdiri dari unsur pemerintah dinas terkait dan perwakilan masyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi. Tim tersebut kemudian bekerja berdasarkan tahapan-tahapan yang telah direncanakan dan mencari tahu jumlah kepala keluarga yang ada di Kampung Dongi sebelum terjadi DI/TII. Setelah dilakukan pencatatan sejarah, tim memutuskan bahwa dari 57 KK berdasarkan SK Bupati intinya relokasi tersebut bukan sekedar memberikan lahan pengganti namun akan dilengkapi dengan sarana infrastruktur dan sarana penunjang kegiatan ekonomi. Masyarakat Suku To Kanrosi’e
56
Kampung Dongi membuat proposal permohonan aliran listrik untuk di Kampung Dongi. Tahun 2008 Masyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi terpecah menjadi 2 kubu. Kubu pertama setuju dengan diadakan relokasi dan kubu kedua tidak setuju diadakan relokasi dengan alasan bahwa perumahan yang disediakan Pemda Kabupaten Luwu Timur tidak sesuai dengan hasil kesepakatan. Hasil kesepakatan bahwa lahan rumah yang seharusnya berukuran 40 x 50 m2 tapi kenyataan di lapangan, lahan rumah hanya berukuran 5 x 7 m2, fasilitas seperti listrik, air, sekolah, tempat ibadah, kebun, hewan ternak dan jalan tidak ada, maka dari itu kubu kedua suku kanrusi’e kampung dongi tetap bertahan di kampung dongi. Masyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi membuat proposal permohonan aliran listrik untuk di Kampung Dongi Tahun 2009 Masyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi membuat forum siaga 1 untuk kekuatan dan kesepakatan bersama masyarakat adat untuk mencuri listrik perusahaan dalam skala kecil di karenakan proposal yang di buat oleh masyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi tidak di respon oleh perusahaan. Tahun 2010 Masyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi menggelar aksi demonstrasi dalam memperingati hari adat sedunia yang di pimpin oleh Werima Mananta. Dalam demonstrasi itu, ibu werima selalu mengatakan bahwa bagaimana pun beratnya hidup di Kampung Dongi ini adalah rumah kami. Setiap lekuk gunung, setiap helai rumput, setiap tetes air Danau Matano, begitu dekat di hati. Tak ada tempat lain di dunia yang bisa menggantikan tanah kami. Ibu Werima menggalang kekuatan dan dukungan hingga ke tingkat Internasional melalui AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), Jatam dan Walhi. Sebuah pengakuan atas kepemimpinan ibu Werima memimpin Kampong Dongi. Pihak perusahaan merasa terancam dengan keberadaannya, sampai perusahaan melakukan intimidasi, teror dan bujuk rayu dengan iming-iming materi pada ibu Werima supaya tidak menentang perusahaan lagi. Ibu Werima bersama masyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi melakukan pemetaan wilayah adat Kampung Dongi dengan hasil sebuah masterplan-tata ruang dan tata produksi Kampoug Dongi. Tahun 2011 Masyarakat Suku To Kanrosi’e membuat pertemuan besar, sehingga semua keturunan Suku To Kanrosi’e di dunia di undang untuk memperkuat silaturahmi Suku To Kanrosi’e. pihak perusahaan tambang dan pemerintah tidak hadir pada acara tersebut. Tahun 2012 Masyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi melakukan kembali mencuri listrik perusahaan dalam skala besar. Sehingga masyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi di panggil oleh staff perusahaan untuk membicarakan masalah pencurian listrik. Pada tanggal 25 Oktober 2012 melakukan rapat pertama antara Pemda Kabupaten Luwu Timur, masyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi dan
57
Kapolres Kabupaten Luwu Timur. Hasil rapat tersebut, Kapolres menjamin tidak ada pemutusan listrik sebelum menyelesaika masalah antara masyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi dengan perusahaan. Pada tanggal 02 November 2012, melakukan rapat kedua antara masyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi dengan Lutfi M. Lutfi (staf khusus kepresiden). Lutfi M. Lutfi menegaskan bahwa masyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi memang ada sejak ada sebelum ada perusahaan. Tahun 2013 Masyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi mengalami pergantian ketua, Ibu Werima Mananta digantikan oleh ibu Irene Mananta sebagai ketua baru tetap melanjutkan perjuangan dan masyarakatat melanjutkan aktifitas diatas lahan tersebut. AMAN tanah luwu melakukan konsultasi dan sosialisai mendorong perutusan politik masyarakat adat ke Legislatif. Pemetaan Konflik Antar Aktor Pemetaan konflik merupakan teknik visual yang menggambarkan hubungan di antara berbagai pihak yang berkonflik. Tujuan pemetaan konflik yaitu untuk lebih memahami situasi dengan baik, melihat hubungan di antara berbagai pihak secara lebih jelas, menjelaskan dimana letak kekuasaan dan untuk mengevaluasi apa yang telah dilakukan. Adapun pemetaan konflik yang terjadi di Kabupaten Luwu Timur dapat dilihat pada Gambar 17. Kelompok Utama B2
Kelompok Sekunder 4 Kelompok Sekunder 3
Kelompok Sekunder 2
Kelompok Utama B1
Kelompok Utama A Klaim Lahan
Kelompok Luar
Kelompok Sekunder 1
Gambar 17 Pemetaan konflik antar aktor Keterangan
: : Kotak segiempat menandakan isu konflik : Garis panah menunjukkan arah utama suatu konflik : Garis turun naik menunjukkan ketidakharmonisan
58
: Garis putus menandakan hubungan sementara berkonflik : Garis Lurus menunjukkan hubungan yang dekat : Garis ganda menunjukkan suatu aliansi : Garis ganda menyilang menandakan putusnya hubungan : Linkaran menunjukkan para pihak yang terlibat dalam konflik : Segitiga yang menunjukkan pihak-pihak luar yang berpengaruh atau tidak terlibat langsung Kelompok Utama A : PT.Vale Indonesia, Tbk Kelompok Utama B1 : Masyarakat adat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi Kelompok Utama B2 : Masyarakat adat Suku To Kanrosi’e Desa Dongi Kelompok Sekunder 1: Aliansi masyarakat adat (Aman, Jatim, Walhi, LSM) Kelompok Sekunder 2: DPRD dan DPRP Kelompok Sekunder 3: Polisi Kelompok Sekunder 4: Pemerintah Kabupaten Luwu Timur Kelompok Luar : Mustamin Dg. Muttu. SH dan M.Lutfi Gambar 17 Pemetaan konflik antar aktor (Lanjutan) Pada model pemetaan aktor, masing-masing pihak utama yang berkonflik menggunakan dalil masing-masing untuk bersikeras mempertahankan lahan yang dipersengketakan. Pemerintah disini menunjukkan hubungan yang dekat dengan perusahaan tambang PT. Vale Indonesia, Tbk. Dalam hal ini kepentingan dari pemerintah sendiri tetap ingin menggunakan lahan untuk kepentingan ekonomi. Bahkan pada posisi masyarakat adat, terlihat bahwa masyarakat adat terbagi atas 2 kubu, kubu masyarakat adat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi Kecamatan Nuha dan kubu masyarakat adat Suku To Kanrosi’e Desa Dongi Kecamatan Wasuponda. Masyarakat adat Suku To Kanrosi’e Desa Dongi Kecamatan Wasuponda sudah menunjukkan hubungan yang dekat dengan perusahaan tambang PT. Vale Indonesia, Tbk karena telah menemapati lahan relokasi yang di sediakan oleh pemerintah dan perusahaan tambang. Akhir-akhir ini juga mencuat kepentingan lain yang ditunjukkan oleh pemerintah pusat, dalam hal untuk memperpanjang kontrak karya PT. Vale Indonesia, Tbk. Pohon Konflik Pohon konflik merupakan alat bantu menggunakan gambar pohon untuk mengetahui masalah inti konflik, akar masalah dan efek konflik (Gambar 17). Salah satu tujuan pohon konflik yaitu untuk membantu kelompok dalam mengambil keputusan tentang prioritas untuk mengatasi berbagai isu konflik.
59
Pencurian Listrik Situs-Situs Adat Hilang Ancaman Pembakaran Rumah Ancaman Penembakan
Polisi Larangan Aktifitas
Perlawanan intimidasi EFEK
Demonstrasi Mogok Makan
Marah Kecewa Ganti Rugi
Lahan kosong Teror
MASALAH INTI
PENYEBAB
Klaim Lahan
Pergolakan sosial DI/TII
Pemberian Izin Tambang
Pembohongan
Gambar 18 Pohon Konflik Ketidakadilan memang dialami oleh salah satu pihak utama yang berkonflik yakni masyarakat adat yang ingin menempati kembali harta warisan leluhurnya karena lahan tersebut dahulu merupakan lahan yang paling subur di tanah luwu. Adapun perusahaan tambang bersikeras untuk mempertahankan lahan tersebut karena merupakan lahan yang masuk dalam kontrak karya PT. Vale Indonesia, Tbk. Terlihat bahwa sebenarnya konflik ini timpang, karena masyarakat adat yang tidak mempunyai power, dibandingkan dengan PT. Vale Indonesia, Tbk mempunyai power sebagai penghasil devisa daerah dan negara. Masyarakat adat sangat erat kaitannya dengan kearifan lokal karena kearifan lokal berfungsi untuk pelestarian sumberdaya alam atau lingkungan, selain itu kearifan lokal sebagai pengembangan kebudayaan yang sudah lama ditinggalkan. Oleh karena itu, sangat strategis apabila dijadikan suatu terobosan terbaru dalam pengembangan wilayah di Kabupaten Luwu Timur karena masyarakat adat mengetahui apa yang dibutuhkan dan baik untuk mereka maupun untuk Kabupaten Luwu Timur. Kearifan lokal yang dikelola dengan sinergitas dapat menjadi motivasi yang kuat untuk mendapatkan insentif yang paling bernilai untuk pembangunan jangka panjang di Kabupaten Luwu Timur.
60
Identifikasi Dampak Perusahaan Tambang terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat Kabupaten Luwu Timur Interaksi sosial antar individu dan kelompok Datangnya para imigran yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia maupun luar negeri telah membawa berbagai perubahan terhadap kehidupan sosial masyarakat di Kabupaten Luwu Timur. Dari hasil wawancara (Lampiran 16 dan 17) yang dilakukan dapat dideskripsikan bahwa interaksi sosial antar individu dan kelompok mengalami perubahan. Seperti yang diutarakan oleh Informan Abd. Kadir umur 55 tahun di Kecamatan Malili: “Interaksi masyarakat saat ini di wilayah ini, sudah berbeda dengan masyarakat yang dulu. Apalagi adanya jalan yang baru di bangun pemerintah di wilayah ini sehingga membuka peluang para masyarakat pendatang untuk melakukan penambangan sirtu. Dulu kita itu saling memperhatikan dan silahturahmi sangat terjaga karena sering diadakan pertemuan di balai desa maupun di mesjid. Tapi sekarang orang-orang sudah sibuk dengan kegiatan menambang pasir dan bekerja di perusahaan tambang. Kita tidak lagi saling mengenal dengan masyarakat pendatang karena masyarakat disini khususnya masyarakat pendatang tidak ada waktu lagi untuk kumpul-kumpul karena sibuk kerja. ” (wawancara 28 Maret 2014) Selanjutnya, dari hasil penelusuran peneliti, fenomena perubahan prilaku sosial dalam masyarakat di wilayah PT. Vale, Tbk. yang menjadi pemicu kurang harmonisnya interaksi sosial antar individu dan kelompok.. Tingginya biaya hidup, persaingan status sosial, dan sifat komsumtif yang semakin modern pada masyarakat menjadi alasan untuk berutang. Seperti yang diungkapkan oleh Informan Ishak Nur umur 25 Tahun di Kecamatan Towuti: “Sejak pergantian nama perusahaan dari PT. Inco, Tbk menjadi PT. Vale Indonesia, Tbk. Untuk bekerja di Perusahaan sangat sulit, hanya orangorang tertentu saja yang bisa masuk kerja, istilah anak muda di wilayah ini yaitu lebih mudah masuk surga dari pada masuk PT. Vale, Tbk. Selain itu, Segala sesuatunya di wilayah ini diukur dengan uang, tidak ada lagi istilah saling memberi. Tidak punya uang silahkan berutang atau meminjam karena wilayah ini serba mahal dan dibayar. Tidak berani punya utang atau meminjam tidak punya apa-apa dan tidak dianggap di masyarakat.” (Wawancara 31 Maret 2014). Hasil pemaparan informan pertama, dapat dijelaskan bahwa telah terjadi perubahan kehidupan sosial di masyarakat, dimana dulu interaksi sosial penduduk sangat erat kini mulai berubah dikarenakan sibuk kerja. Sehingga menggabaikan interaksi sosial. Informan kedua, tingginya biaya hidup dan sifat komsumtif yang semakin modern pada masyarakat menjadi alasan untuk berutang. Dimana dulu masyarakat saling memberi dan melengkapi satu sama lain kini telah berubah. Kedua hal tersebut dipertegas oleh teori Dhurheim dalam Ritzer dan Goodman (2011) bahwa masyarakat yang ditandai oleh solidaritas mekanis menjadi satu sehingga masyarakat hidup bersama dan berinteraksi sosial yang sama. Sebaliknya masyarakat yang di tandai dengan solidaritas organis menjadi terpisah sehingga masyarakat hidup bersama tetapi berinteraksi sosial yang berbeda karena pekerjaan orang menjadi lebih terspesialisasi dan tidak sama lagi, masyarakat seperti ini (modern) merasa dirinya semakin berbeda dalam kepercayaan, pendapat, dan gaya hidup.
61
Strata/status sosial Setiap manusia dihadapan Tuhan adalah sama. Pernyataan tersebut merupakan hal yang secara umum diakui oleh manusia. Namun dalam masyarakat, dipandang ada yang berbeda karena status yang dimiliki. Dalam lingkungan masyarakat dapat dilihat bahwa ada perbedaan yang berlaku dan diterima secara luas oleh masyarakat. Perbedaan itu tidak hanya muncul dari sisi jabatan tanggung jawab sosial saja, namun juga terjadi akibat perbedaan ciri fisik seperti rumah dan kendaraan juga membedakan manusia yang satu dengan yang lain. Seperti yang diutarakan oleh Informan Ardianto Umur 35 tahun di Kecamatan Towuti yang mengungkapkan bahwa: “Wilayah ini sangat mudah dilihat perbedaaan status sosial masyarakat, apalagi masyarakat yang bekerja di perusahaan tambang. Kita dapat membedakan masyarakat yang bekerja di perusahaan tambang dengan melihat fisik rumah, masyarakat yang tidak bekerja di perusahaan tambang memliki rumah sangat sederhana jika di bandingkan dengan rumah masyarakat yang bekerja di perusahaan, fisik rumahnya bertingkat minimal 2 tingkat. Selain fisik rumah, jenis/jumlah kendaraanpun dapat di bedakan karena masyarakat yang bekerja di perusahaan memiliki logo/kode dari perusahaan dan memiliki minimal 2 jenis kendaraan jika di bandingkan dengan masyarakat biasa, tidak memiliki logo/kode perusahaan dan memiliki jumlah kendaraan hanya 1” (Wawancara 16 Maret 2014) Selanjutnya, dari hasil penelusuran peneliti di perumahan karyawan PT. Vale, Tbk yang tertata rapi dan bersih. Seperti yang diungkapkan oleh Informan ibu rumah tangga di kompleks perumahan karyawan PT. Vale, Tbk yaitu Ibu Muliawati umur 33 Tahun di Kecamatan Nuha yang mengungkapkan bahwa : “Sebelum saya menikah, kehidupan saya semuanya serba dibayar masalah rumah seperti listrik dan air. Ketika saya sudah menikah dengan karyawan perusahaan, suami saya mendapatkan fasilitas dari perusahaan seperti rumah. Walaupun hanya tinggal di tipe rumah karyawan biasa tapi saya bersyukur karena rumah ini sangat berbeda dengan rumah saya yang dulu. Rumah-rumah karyawan perusahaan disini, listrik dan air gratis, rumah ini juga di lengkapi sebuah ac di semua kamar. Selain itu, saya sekeluarga mendapatkan jaminan kesehatan dan jaminan anak untuk sekolah di yayasan sekolah miliki perusahaan mulai dari TK,SD,SMP,SMA dan Perguruan Tinggi. Jika di bandingkan rumah yang sebelumnya itu, listrik dan air di bayar, tidak memiliki ac, dan tidak ada jaminan kesehatan.” (Wawancara 17 Maret 2014) Berdasarkan pendapat dari berbagai nara sumber, penulis berkesimpulan bahwa status sosial sebagai gejala yang umum dalam kehidupan masyarakat dan membedakan masyarakat secara horizontal, tentu akan membawa dampak dan pengaruh pada kehidupan bersama. Perbedaan status sosial mempunyai dampak tersendiri bagi masyarakat. Adanya perbedaan status sosial dalam hal ini menyangkut perbedaan kehidupan, dapat menimbulkan adanya kecemburuan sosial, kesejahteraan yang tidak merata, bahkan bisa menyebabkan perbuatan yang melanggar hukum. Perbedaan status sosial kehidupan secara tidak langsung dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat terutama yang berada pada lapisan bawah.
62
Eksistensi adat istiadat Kecamatan Malili merupakan ibukota Kabupaten Luwu Timur yang banyak terdapat masyarakat pendatang tapi tidak membuat tradisi dan adat istiadat daerah Malili luntur ataupun menghilang. Seperti yang diutarakan oleh Informan Syarifuddin Umur 29 tahun di Kecamatan Wotu yang mengungkapkan bahwa: “Tradisi adat kami disini, baik anak muda maupun orang tua, sampai sekarang masih tetap ada karena tradisi itu telah dilakukan oleh orang tua kami terdahulu. Jadi sangat pantang bagi kami untuk tidak melakukan berbagai kegiatan itu seperti dero itu sudah sangat mendarah daging ditubuh kami walupun dero itu bukan asli di daerah ini tapi dero di laksanakan ketika ada acara pernikahan. Di acara dero, tidak mengenal usia, umur, jenis kelamin dan agama. (Wawancara 17 Maret 2012). Hasil lapangan yang dilakukan selama kurang lebih 3 (tiga) bulan, terlihat nuansa tradisi dan adat istiadat setempat masih sangat terjaga/kental. Contohnya saja pada saat acara ulang tahun Kabupaten Luwu Timur yang diadakan pada tanggal 3 mei 2014 oleh pemerintah Kabupaten Luwu Timur dan pihak perusahaan ditampilkan berbagai adat istiadat seperti Tari adat Pangadereng atau biasa disebut juga tari penjemputan suku adat Pasitabe mengiringi langkah para tamu undangan khususnya tamu-tamu kehormatan seperti datu luwu, gubernur Provinsi Sulawesi Selatan dan para pejabat pemerintahan sedangkan dero dilaksanakan pada saat ada acara pernikahan, dero dilaksanakan pada malam hari. Dero adalah tarian yang dilakukan sekelompok orang yang melingkar dengan gerakan sederhana namun serempak yang berputar-putar tanpa henti sampai lingkaran yang dibuat menjadi sebuah lingkaran besar dimana seluruh warga berbaur bergenggaman tangan sambil menari. Hal ini tidak sesuai dengan yang dikemukakan oleh Wulansari (2009), bahwa perubahan kebudayaan terjadi akibat banyaknya suku dan etnis yang datang ke daerah tersebut. Keamanan Rasa aman yang dirasakan oleh masyarakat Kabupaten Luwu Timur, merupakan salah satu bukti tingginya tingkat keamanan yang dilakukan oleh pihak yang berwajib. Serta tingginya kesadaran dan kepedulian masyarakat atas pentingnya keamanan dalam kehidupan sosial. Kabupaten Luwu Timur merupakan kabupaten yang berbatasan langsung dengan provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, pemeriksaan kendaraan dan senjata tajam sangat ketat ketika masuk di wilayah Kabupaten Luwu Timur. Seperti yang diutarakan oleh Informan Wandi Umur 32 tahun di Kecamatan Burau yang mengungkapkan bahwa: “Kalau masalah keamanan disini aman sekali, karena selama terbentuk Kabupaten Luwu Timur tidak pernah ada tindak kejahatan seperti pembunuhan dan perampokan. Karena pendatang juga beretikat baik untuk mengikuti aturan yang ada di kabupaten ini, buktinya saja kendaraan di parkir di halaman rumah bahkan kunci kendaraan kadang-kandang di lupa cabut. Kalau kita melihat keamanan di wilayah perusahaaan tambang, keamananpun sangat ketat bahkan pihak perusahaan memiliki sendiri penjaga keamanan atau security perusahaan” (Wawancara 18 Maret 2012).
63
Analisis Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu indikator untuk mengukur tingkat pertumbuhan keluaran dalam suatu perekonomian wilayah. Indikator pertumbuhan ekonomi memberi indikasi tentang aktivitas perekonomian selama periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi dihitung berdasarkan nilai PDRB atas harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan. Pertumbuhan yang positif menunjukkan adanya peningkatan perekonomian, sebaliknya apabila negatif menunjukkan terjadinya penurunan. Nilai pertumbuhan ekonomi Kabupaten Luwu Timur tahun 2004-2012 disajikan pada Tabel 18, Gambar 19 dan Lampiran 19,20,21,22. Tabel 18 Nilai pertumbuhan ekonomi Kabupaten Luwu Timur tahun 2004-2012 No.
PDRB ADHB (Juta Rp) 4 321 411.65 5 156 759.75 5 777 758.44 6 508 181.45 6 959 793.50 6 416 034.41 8 294 255.58 9 670 210.66 10 289 176.72
Tahun
1 2 3 4 5 6 7 8 9
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Keterangan
PDRB ADHK (Juta Rp) 3 806 153.77 4 018 283.21 4 293 867.85 4 540 568.37 4 429 716.92 4 250 551.32 4 904 888.14 4 625 230.22 4 761 376.51
: ADHB ADHK
INDEKS PERTUMBUHAN 113.54 128.33 134.56 143.33 157.12 150.95 169.10 209.08 216.10
PERTUMBUHAN (%) 5.57 6.86 5.75 (2.44) (4.04) 15.39 (5.70) 2.94
= Atas Dasar Harga Berlaku = Atas Dasar Harga Konstan 2000
20.00 15.39
15.00 10.00 6.86 5.00
5.57
5.75 2.94
2005 (5.00)
2006
2007
2008
(2.44) 2009
2010 (4.04)
2011
2012 (5.70)
(10.00)
Gambar 19 Nilai pertumbuhan ekonomi Kabupaten Luwu Timur tahun 2004-2012 (%)
64
Berdasarkan Tabel 18 dan Gambar 19, pertumbuhan ekonomi Kabupaten Luwu Timur meningkat signifikan pada tahun 2010. Setelah dua tahun berturutturut mengalami pertumbuhan negatif (2.44 % dan 4.04 %), tahun 2010 Luwu Timur mempercepat laju pertumbuhan hingga mencapai pertumbuhan tertinggi di Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu 15.39 %. Pertumbuhan hingga lebih dari 10 % tercapai karena adanya perusahaan tambang. Tahun 2011, karena adanya gangguan pada proses produksi perusahaan tambang yang disebabkan bencana alam (gempa bumi), produksi tambang berkurang. Hal tersebut berdampak pada pertumbuhan ekonomi Luwu Timur turun hingga negatif 5.70 %. Kontribusi lapangan usaha pertambangan/penggalian yang masih sangat dominan terhadap pembentukan PDRB Kabupaten Luwu Timur (75,83 persen dari total PDRB adhk tahun 2012), menjadikan pertumbuhan ekonomi wilayah ini sangat dipengaruhi oleh perusahaan tambang. Nilai pertumbuhan ekonomi menurut lapangan usaha Kabupaten Luwu Timur tahun 2004-2012 disajikan pada Tabel 19 dan Gambar 20, 21. Tabel 19 Nilai pertumbuhan ekonomi menurut lapangan usaha di Kabupaten Luwu Timur tahun 2004-2012 (%) Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Total
6.25 5.08 3.56 3.86 6.40 3.94 8.83 7.10
4.96 7.07 5.86 (4.12) (6.89) 18.16 (9.22) 1.45
2.50 2.03 3.00 8.28 5.03 4.57 6.40 5.54
13.89 7.79 7.77 10.13 11.25 10.57 10.98 20.03
12.00 10.82 11.76 12.19 18.67 11.43 3.46 17.53
14.17 7.90 11.34 7.78 15.55 7.43 6.07 10.66
12.66 5.30 7.26 8.53 12.40 11.06 9.73 9.02
8.77 10.67 8.06 7.17 10.31 12.22 14.83 15.30
8.20 15.51 15.01 5.50 8.44 8.94 4.05 4.51
83.40 72.17 73.62 59.32 81.16 88.32 55.13 91.14
Keterangan
:1 2 3 4 5 6 7 8 9
= Pertanian = Pertambangan/penggalian = Industri pengelolaan = Listrik, gas dan air bersih = Bangunan = Perdagangan, hotel dan restaurant = Angkutan dan komunkasi = Keuangan dan persewaan = Jasa-jasa
65
25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 (5.00)
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
(10.00) (15.00) pertanian Industri Pengolahan
Pertambangan/Penggalian Listrik, Gas & Air Bersih
Gambar 20 Nilai pertumbuhan ekonomi lapangan usaha pertanian, pertambangan/ penggalian, listrik, gas dan air bersih dan usaha bangunan di Kabupaten Luwu Timur tahun 2004-2012 (%) 45.00 40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 1
2
3
4
5
6
Perdagangan, Hotel & Rest.
Angkutan & Komunikasi
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
Jasa – Jasa
7
8
Gambar 21 Nilai pertumbuhan ekonomi lapangan usaha perdagangan, hotel dan restaurant, angkutan dan komunkasi, keuangan dan persewaan dan jasa-jasa di Kabupaten Luwu Timur tahun 2004-2012 (%)
66
Analisis I-O Konstribusi Sektor Kontribusi sektor pada PDRB Kabupaten Luwu Timur atas harga berlaku tahun 2012 dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 PDRB Kabupaten Luwu Timur Atas Dasar Harga Berlaku tahun 2012 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Lapangan Usaha / Sektor Perekonomian Pertambangan Tanpa Migas Perkebunan Tanaman Bahan Makanan Pemerintahan Umum Industri Non Migas Perikanan Perdagangan Pengangkutan Usaha Sewa Bangunan Bank Kehutanan Peternakan Listrik Bangunan/Konstruksi
15 16 17 18 19 20 21 22
Restauran Lembaga Keuangan Tanpa Bank Penggalian Swasta Komunikasi Hotel Jasa Perusahaan Air Bersih
Jumlah Sumber: BPS Kabupaten Luwu Timur (2012b)
Nilai (Juta Rupiah) 7 360 823.48 1 018 244.72 373 551.63 469 821.97 203 066.14 197 954.56 170 641.04 125 134.84 97 366.78 64 764.12 42 950.75 38 890.55 25 688.18 56 335.10
(%) 71.54 9.90 3.63 4.57 1.97 1.92 1.66 1.22 0.95 0.63 0.42 0.38 0.25 0.55
12 805.57 11 975.84 8 870.92 4 789.42 3 881.95 1 254.29 225.88 139.00 10 289 176.73
0.12 0.12 0.09 0.05 0.04 0.01 0.00 0.00 100
Tabel I-O Kabupaten Luwu Timur 2012 terdiri atas 22 sektor yaitu: tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan, kehutanan, perikanan, pertambangan tanpa migas, penggalian, industri non migas, listrik, air bersih, bangunan/ konstruksi, perdagangan, restauran, hotel, pengangkutan, komunikasi, bank, lembaga keuangan tanpa bank, usaha sewa bangunan, jasa perusahaan, pemerintahan umum; dan swasta. Sebagai suatu model kuantitatif, Tabel I-O mampu memberikan gambaran menyeluruh mengenai: (1) struktur perekonomian regional yang mencakup struktur output dan Nilai Tambah Bruto (NTB) masing-masing sektor, (2) struktur input antara, (3) struktur penyediaan barang dan jasa baik berupa produksi dalam daerah maupun impor, dan (4) struktur permintaan barang dan jasa, baik permintaan antara maupun permintaan akhir untuk konsumsi, investasi dan ekspor. Berdasarkan analisis input output, struktur perekonomian Kabupaten Luwu Timur dapat dilihat pada Tabel 21.
67
Tabel 21 Struktur Perekonomian Kabupaten Luwu Timur berdasarkan Tabel I-O Tahun 2012 (22 x 22 sektor) No 1 2 3
1 2
Uraian Struktur Input Jumlah Input Antara Jumlah Impor Jumlah Input Primer/NTB - Upah dan Gaji - Surplus Usaha - Penyusutan - Pajak Tak Langsung Struktur Output Jumlah Permintaan Antara Jumlah Permintaan Akhir
Jumlah (juta rupiah) 10 937 852.25 587 656.55 61 026.82 10 289 168.88 3 010 426.50 5 963 714.74 986 748.58 364 529.54 10 937 852.25 587 656.55 10 289 168.88
(%) 0.56 100.00 29.26 57.96 9.24 3.54 100.00 5.37 94.07
Dari Tabel 21 Jumlah Input Primer merupakan merupakan selisih antara total input dan input antara. Jumlah input primer sering juga disebut Nilai Tambah Bruto (NTB). NTB adalah balas jasa pemakaian faktor-faktor produksi yang terdiri atas komponen upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan dan pajak tak langsung. Komponen surplus usaha yang besar menunjukkan besarnya surplus atau keuntungan yang diperoleh dari investasi di wilayah tersebut. Kondisi ideal bagi pengembangan wilayah berdasarkan struktur Nilai Tambah Bruto (NTB), seharusnya menempatkan proporsi komponen upah dan gaji lebih besar dari komponen-komponen lain, karena dapat dinikmati oleh masyarakat secara langsung. Namun demikian, proporsi komponen surplus usaha yang lebih besar dibandingkan komponen upah gaji masih tetap baik apabila keuntungan tersebut diinvestasikan lagi di daerah dimana keuntungan atau surplus usaha tersebut diperoleh. Hal ini dimungkinkan terutama apabila pemilik modal atau investor merupakan pengusaha lokal dibandingkan investor dari luar wilayah. Oleh karena itu investasi yang baik selain dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya lokal yang ada, juga memberikan pengaruh positif bagi wilayah secara keseluruhan, serta mampu mengurangi kemungkinan terjadinya kebocoran wilayah. Sebagai pembanding struktur perekonomian Kabupaten Luwu Timur tahun 2012 di atas, pada Tabel 22 ditampilkan struktur perekonomian Kabupaten Bandung Barat tahun 2008, permintaan akhir sebesar Rp. 7 100 955.64 juta (53.20%), lebih besar daripada permintaan antara sebesar Rp. 6 245 876,23 juta (46.80%). Hal ini berarti output yang terbentuk di Kabupaten Bandung Barat lebih banyak digunakan untuk memenuhi permintaan akhir (konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, investasi, dan ekspor), dari pada ditransaksikan antar sektor ekonomi dalam proses produksi (Sumunaringtyas 2010). Berdasarkan komposisi struktur output kedua daerah ini, dapat dikatakan Kabupaten Luwu Timur mengalami potensi kebocoran wilayahnya yang relatif lebih besar dibandingkan Kabupaten Bandung Barat tahun 2008.
68
Tabel 22 Struktur Perekonomian Kabupaten Bandung Barat berdasar Tabel I-O Tahun 2008 (28 x 28 sektor) No Uraian Jumlah (juta rupiah) (%) Struktur Input 6 245 876,23 21 Jumlah Input Primer/NTB 7 100 955.64 100.00 Antara - Upah dan Gaji 2 005 665.12 28.25 - Surplus Usaha 4 230 744,20 59.58 - Penyusutan 568 220.29 8.00 - Pajak Tak Langsung 296 326.03 4.17 Struktur Output 3 Jumlah Permintaan Antara 6 245 876.23 46.80 4 Jumlah Permintaan Akhir 7 100 955.64 53.20 5 Total Output 13 346 831.87 100.00 Sumber: Sumunaringtyas (2010) Berdasarkan komposisi struktur output, Kabupaten Luwu Timur mengalami potensi kebocoran wilayah karena besaran persentase surplus usaha jauh melebihi upah dan gaji (selisih 34.61%). Manfaat yang dirasakan langsung oleh masyarakat sangat rendah dibandingkan yang dinikmati oleh pengusaha atau pemilik modal. Dari Tabel 28 diketahui bahwa dari output total sebesar Rp. 10 937 852.25 juta, sebanyak Rp. 587 656.55 juta merupakan komponen permintaan antara (5.37%), sedangkan sebesar Rp. 10 289 168.88 juta untuk memenuhi permintaan akhir (94.07%). Semakin kecil permintaan antara dibandingkan permintaan akhir menunjukkan semakin kecil pula keterkaitan antar sektor perekonomian domestik dalam melakukan proses produksi. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Luwu Timur pada tahun 2012 mencapai 73.56 dengan peringkat ke 8 di Provinsi Sulawesi Selatan (BPS 2012c). Hal tersebut semakin memperkuat adanya kebocoran wilayah di Kabupaten Luwu Timur yaitu meskipun PDRB/kapita tertinggi ke 2 di Provinsi Sulawesi Selatan namun tidak berdampak terhadap indeks pembangunan manusia Kabupaten Luwu Timur. Struktur NTB Kabupaten Bandung Barat mirip dengan Kabupaten Luwu Timur, dimana surplus usaha merupakan komponen yang proporsinya paling besar (59.58%), diikuti oleh upah dan gaji (28.25%), penyusutan (8.00%), dan komponen terkecil berupa pajak tak langsung (4.17%). Di Kabupaten Luwu Timur, persentase surplus usaha jauh melebihi upah dan gaji (selisih 28.70%) dibandingkan di Kabupaten Bandung Barat (selisih 31.33%). Oleh karena itu, manfaat yang dirasakan langsung oleh masyarakat juga sangat rendah dibandingkan yang dinikmati oleh pengusaha atau pemilik modal. Kecilnya permintaan antara dibandingkan permintaan akhir menggambarkan rendahnya permintaan yang terjadi antar sektor ekonomi. Semakin kecil persentase permintaan antara suatu wilayah, maka semakin kecil keterkaitan ekonomi domestik, dengan demikian semakin besar kemungkinan kebocoran wilayah yang terjadi. Struktur tabel I-O dengan nilai output total yang ada lebih banyak dialokasikan sebagai permintaan akhir dari pada permintaan antara menunjukkan bahwa output yang ada cenderung digunakan untuk konsumsi secara langsung (baik konsumsi masyarakat maupun belanja pemerintah) dari pada ditransaksikan antar sektor dalam proses produksi. Output total berdasarkan tabel I-O tahun 2012 disajikan pada Tabel 23.
69
Tabel 23 Output Total berdasarkan Tabel I-O Tahun 2012 Output Total No. Sektor Perekonomian (Juta rupiah) 1 Pertambangan Tanpa Migas 7 427 655.01 2 Perkebunan 1 133 919.58 3 Pemerintahan Umum 469 820.00 4 Tanaman Bahan Makanan 404 662.58 5 Bangunan/Konstruksi 305 985.06 6 Industri Non Migas 225 744.07 7 Perikanan 209 872.44 8 Perdagangan 194 130.54 9 Pengangkutan 135 574.75 10 Kehutanan 133 546.81 11 Usaha Sewa Bangunan 97 535.98 12 Bank 68 759.01 13 Peternakan 59 689.18 14 Listrik 26 718.41 15 Restauran 12 805.89 16 Lembaga Keuangan Tanpa Bank 12 117.42 17 Penggalian 8 981.08 18 Swasta 4 789.42 19 Komunikasi 3 923.34 20 Hotel 1 255.00 21 Jasa Perusahaan 227.67 22 Air Bersih 139.01 Jumlah 10 937 852.25
Persentase (%) 67.91 10.37 4.30 3.70 2.80 2.06 1.92 1.77 1.24 1.22 0.89 0.63 0.55 0.24 0.12 0.11 0.08 0.04 0.04 0.01 0.00 0.00 100.00
Berdasarkan Tabel 23, sektor pertambangan tanpa migas dan perkebunan memiliki output total di atas 1 milyar. Tingginya nilai output total mengindikasikan tingginya tingkat transaksi dalam daerah, yang berarti tingkat permintaan domestik maupun ekspor juga tinggi. Besarnya sumbangan terhadap PDRB ditentukan oleh besarnya output total. Sektor-sektor dengan peranan yang besar baik dalam PDRB maupun output total dapat dikelompokkan sebagai sektor kunci. Sektor pertambangan tanpa migas menempati urutan 1 dalam kontribusi terhadap PDRB dan kontribusi terhadap output total, oleh karena itu sektor pertambangan tanpa migas termasuk sebagai sektor utama dalam perekonomian di Kabupaten Luwu Timur. Sedangkan sektor penggalian menempati urutan 17 dalam kontribusi terhadap PDRB dan kontribusi terhadap output total. Sektor pertambangan tanpa migas berada pada peringkat pertama karena di Kabupaten Luwu Timur terdapat 13 perusahaan tambang bahan mineral. Sektor tanaman perkebunan menduduki peringkat 2 dikarenakan Kabupaten Luwu Timur ditunjang dengan kondisi alamnya yang subur dan salah satu daerah penghasil komoditi perkebunan, khususnya kelapa sawit dan cokelat. Kabupaten ini terdapat PTPN XIV. Pada tahun 2012, produksi perkebunan rakyat terbanyak adalah kelapa sawit, yaitu sebesar 66 698.74 ton dan produksi terbanyak yang kedua adalah cokelat, yakni sebesar 17 433.28 ton (BPS 2012a).
70
Keterkaitan Sektor 1. Keterkaitan langsung ke belakang (Direct Backward Linkage/DBLj) Pada Gambar 22 ditampilkan nilai keterkaitan langsung ke belakang atau Direct Backward Linkage (DBLj) sektor-sektor perekonomian. Nilai DBLj tertinggi adalah sektor bangunan/konstruksi sebesar 0.82 dan sektor penggalian menempati urutan 13 dengan nilai DBLj sebesar 0.01 sedangkan sektor pertambangan tanpa migas menempati urutan 16 dengan nilai DBLj sebesar 0.01. Bangunan/Konstruksi Peternakan Kehutanan Perdagangan Perkebunan Industri Non Migas Pengangkutan Tanaman Bahan Makanan Bank Perikanan Listrik Usaha Sewa Bangunan Penggalian Lembaga Keuangan Tanpa Bank Komunikasi Pertambangan Tanpa Migas Jasa Perusahaan Hotel Air Bersih Restauran Swasta Pemerintahan Umum
0.82 0.30 0.24 0.12 0.10 0.10 0.08 0.08 0.06 0.06 0.04 0.02 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
Gambar 22 Nilai keterkaitan langsung ke belakang (DBLj) Berdasarkan hasil Indeks DBL*j (Gambar 23), nilai DBL*j di atas ratarata adalah nilai yang memiliki indeks > 1. Sektor yang memiliki nilai DBL*j > 1 adalah sektor industri non migas, perkebunan, perdagangan, kehutanan, peternakan dan sektor bangunan/konstruksi. Sektor penggalian memiliki nilai DBL*j sebesar 0.13 menempati urutan 13 dan sektor pertambangan tanpa migas memiliki nilai DBL*j sebesar 0.97 menempati urutan 16 dari seluruh sektor perekonomian.
71
Bangunan/Konstruksi Peternakan Kehutanan Perdagangan Perkebunan Industri Non Migas Pengangkutan Tanaman Bahan Makanan Usaha Sewa Bangunan Bank Perikanan Listrik Penggalian Lembaga Keuangan Tanpa Bank Komunikasi Pertambangan Tanpa Migas Jasa Perusahaan Hotel Air Bersih Restauran Swasta Pemerintahan Umum
8.78 3.22 2.62 1.30 1.10 1.08 0.83 0.83 0.81 0.63 0.61 0.42 0.13 0.13 0.11 0.10 0.08 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0
2
4
6
8
10
Gambar 23 Indeks keterkaitan langsung ke belakang (DBL*j) 2. Keterkaitan langsung ke depan (Direct Forwad Linkage/DFLi). Pada hasil DFLi (Gambar 24), nilai DFLi tertinggi adalah sektor industri non migas sebesar 0.54, sektor penggalian menempati urutan 11 sebesar 0.03 sedangkan sektor pertambangan tanpa migas menempati urutan 12 sebesar 0.03. Indeks Keterkaitan Langsung ke Depan (DFL*i) di sajikan pada gambar 25 Berdasarkan Gambar 25, nilai 〖DFL〗_i^* di atas rata-rata adalah yang memiliki nilai indeks > 1. Sektor yang memiliki nilai 〖DFL〗_i^* > 1 adalah sektor perikanan, tanaman bahan makanan, perdagangan, pengangkutan, pemerintahan umum dan sektor industry tanpa migas.
72
Industri Non Migas Pemerintahan Umum Pengangkutan Perdagangan Tanaman Bahan Makanan Perikanan Peternakan Bank Usaha Sewa Bangunan Perkebunan Penggalian Pertambangan Tanpa Migas Restauran Bangunan/Konstruksi Kehutanan Komunikasi Lembaga Keuangan Tanpa Bank Hotel Listrik Jasa Perusahaan Swasta Air Bersih
0.54 0.40 0.25 0.21 0.19 0.11 0.07 0.05 0.04 0.04 0.03 0.03 0.03 0.02 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
Gambar 24 Nilai Keterkaitan Langsung ke depan (DFLi) .
Industri Tanpa Migas Pemerintahan Umum Pengangkutan Perdagangan Tanaman Bahan Makanan Perikanan Peternakan Bank Usaha Sewa Bangunan Perkebunan Penggalian Pertambangan Tanpa Migas Restauran Bangunan/Konstruksi Kehutanan Komunikasi Lembaga Keuangan Tanpa Bank Hotel Listrik Jasa Perusahaan Swasta Air Bersih
5.85 4.28 2.69 2.30 2.09 1.20 0.74 0.55 0.47 0.46 0.32 0.30 0.30 0.17 0.09 0.07 0.04 0.04 0.02 0.02 0.02 0.00 0
1
2
3
4
5
6 *
Gambar 25 Indeks keterkaitan langsung ke depan (DFL i)
7
73
Sektor penggalian memiliki nilai sebesar 0.13 dan nilai sebesar 0.32 dan sektor pertambangan tanpa migas memiliki nilai sebesar 0.97 dan nilai sebesar 0.30. Hal ini menunjukkan bahwa sektor penggalian dan sektor pertambangan tanpa migas memiliki nilai dan nilai < 1 atau dibawah rata-rata. Sektor yang memiliki nilai dan nilai > 1 atau diatas rata-rata adalah sektor industri tanpa migas dan sektor perdagangan. Sektor pertambangan tanpa migas memiliki nilai DBLj sebesar 0.01 yang lebih kecil dibandingkan nilai DFLi sebesar 0.03 dan sektor penggalian memiliki nilai DBLj sebesar 0.01 yang lebih kecil dibandingkan nilai DFLi sebesar 0.03. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertambangan tanpa migas dan sektor penggalian lebih sedikit menggunakan output dari sektor lain untuk digunakan sebagai input sektornya sendiri dibandingkan menghasilkan output yang dapat digunakan oleh sektor lain sebagai input secara langsung. Dengan kata lain bahwa sektor pertambangan tanpa migas dan sektor penggalian merupakan sektor yang menggunakan input antara lebih kecil, dibandingkan total output antara untuk memenuhi seluruh permintaan. 3. Keterkaitan ke belakang langsung dan tidak langsung (Indirect Backward Linkage/DIBLj) Pada Gambar 26, sebaran nilai DIBL seluruh sektor perekonomian memiliki nilai ≥ 1. Sektor yang memiliki nilai tertinggi adalah sektor bangunan/konstruksi dengan nilai DIBL sebesar 1.89. Sektor penggalian menempati urutan 12 sebesar 1.01 dan sektor pertambangan tanpa migas menempati urutan 15 dari seluruh sektor perekonomian dengan nilai 1.01 Bangunan/Konstruksi Peternakan Kehutanan Perdagangan Perkebunan Industri Non Migas Tanaman Bahan Makanan Pengangkutan Bank Perikanan Listrik Penggalian Lembaga Keuangan Tanpa Bank Komunikasi Pertambangan Tanpa Migas Jasa Perusahaan Usaha Sewa Bangunan Hotel Air Bersih Restauran Swasta Pemerintahan Umum
1.89 1.34 1.27 1.13 1.11 1.10 1.08 1.08 1.06 1.06 1.04 1.01 1.01 1.01 1.01 1.01 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
Gambar 26 Nilai keterkaitan ke belakang langsung dan tidak langsung (DIBLj)
74
4. Keterkaitan ke depan langsung dan tidak langsung (Indirect Forward Linkage/DIFLi) Pada Gambar 27, sebaran nilai DIFLi menunjukkan akibat dari suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor yang menggunakan output sektor tersebut secara langsung dan tidak langsung per unit kenaikan permintaan akhir. Angka DIFLi tertinggi ditempati sektor industri non migas dengan nilai 1.56. Sektor penggalian memiliki nilai DIFLi sebesar 1.03 urutan 11 dan sektor pertambangan tanpa migas memiliki nilai DIFLi sebesar 1.028 urutan 12 dari seluruh sektor perekonomian. Industri Non Migas Pemerintahan Umum Pengangkutan Perdagangan Tanaman Bahan Makanan Perikanan Peternakan Usaha Sewa Bangunan Bank Perkebunan Penggalian Pertambangan Tanpa Migas Restauran Bangunan/Konstruksi Kehutanan Komunikasi Lembaga Keuangan Tanpa Bank Hotel Listrik Jasa Perusahaan Swasta Air Bersih 0.00
1.56 1.49 1.27 1.22 1.21 1.12 1.07 1.05 1.05 1.04 1.03 1.03 1.03 1.02 1.01 1.01 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 0.50
1.00
1.50
2.00
Gambar 27 Nilai Keterkaitan ke depan Langsung dan Tidak Langsung (DIFLi) 5. Daya sebar ke belakang atau Indeks Daya Penyebaran/IDP (Backward Linkages Effect Ratio) Pada Gambar 27, nilai IDP yang kurang dari satu dikelompokkan sebagai sektor yang kurang mampu menarik sektor-sektor hulunya. Sektor penggalian memiliki nilai IDP sebesar 0.92 urutan 12 dan sektor pertambangan tanpa migas memiliki nilai IDP sebesar 0.92 urutan 15, artinya setiap kenaikan 1 unit output sektor penggalian dan sektor pertambangan tanpa migas hanya mengakibatkan penggunaan sektor-sektor lain sebagai input sebesar 0.92 unit untuk sektor penggalian dan 0.97 unit untuk sektor pertambangan tanpa migas.
75
Bangunan/Konstruksi Peternakan Kehutanan Perdagangan Perkebunan Industri Non Migas Tanaman Bahan Makanan Pengangkutan Bank Perikanan Listrik Komunikasi Penggalian Lembaga Keuangan Tanpa Bank Pertambangan Tanpa Migas Jasa Perusahaan Usaha Sewa Bangunan Hotel Air Bersih Restauran Swasta Pemerintahan Umum
1.72 1.22 1.15 1.02 1.01 1.00 0.98 0.98 0.96 0.96 0.94 0.92 0.92 0.92 0.92 0.92 0.91 0.91 0.91 0.91 0.91 0.91 0.0
1.0
2.0
Gambar 28 Indeks Daya Penyebaran (IDP) 6. Indeks derajat kepekaan/IDK (forward linkages effect ratio) Pada Gambar 29, sektor penggalian dan sektor pertambangan tanpa migas memiliki Indeks Derajat Kepekaan (IDK) kurang dari satu (0.94 dan 0.94). Hal ini berarti kenaikan 1 unit permintaan akhir sektor penggalian dan sektor pertambangan tanpa migas akan menyebabkan naiknya output sektor-sektor lain termasuk sektornya sendiri secara keseluruhan sebesar 0.94 untuk sektor penggalian dan 0.94 unit untuk sektor pertambangan tanpa migas . Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sektor penggalian dan sektor pertambangan tanpa migas kurang memiliki kemampuan untuk mendorong sektor-sektor hilir yang menggunakan outputnya sebagai input produksi. Oleh karena itu, sektor penggalian dan sektor pertambangan tanpa migas tidak akan mudah terpengaruh bila terjadi perubahan pada sektor-sektor yang menggunakan output sektor penggalian dan sektor pertambangan tanpa migas sebagai input produksinya. Nilai DIFL sektor penggalian dan sektor pertambangan tanpa migas lebih tinggi dari nilai DIBL-nya, hal ini berarti bahwa output sektor penggalian dan sektor pertambangan tanpa migas lebih sedikit menggunakan output dari sektor lain dibandingkan digunakan sebagai input langsung maupun tidak langsung pada sektor lain. Nilai DBL dan DIBL sektor penggalian dan sektor pertambangan tanpa migas yang rendah menunjukkan bahwa sektor tersebut menggunakan input dari sektor-sektor lain dengan jumlah yang rendah.
76
Industri Non Migas Pemerintahan Umum Pengangkutan Perdagangan Tanaman Bahan Makanan Perikanan Peternakan Usaha Sewa Bangunan Bank Perkebunan Penggalian Pertambangan Tanpa Migas Restauran Bangunan/Konstruksi Komunikasi Hotel Kehutanan Lembaga Keuangan Tanpa Bank Listrik Air Bersih Jasa Perusahaan Swasta
1.41 1.35 1.15 1.11 1.10 1.01 0.98 0.96 0.96 0.95 0.94 0.93 0.93 0.92 0.91 0.91 0.92 0.91 0.91 0.91 0.91 0.91 0.0
0.5
1.0
1.5
Gambar 29 Indeks Derajat Kepekaan (IDK) .Berdasarkan hasil analisis, kelompok IDP dan IDK sektor-sektor perekonomian dibagi menjadi: Kelompok I adalah sektor-sektor yang mempunyai IDP dan IDK di atas ratarata (>1). Kelompok II adalah sektor-sektor yang mempunyai IDP di atas rata-rata (>1) dan IDK di bawah rata-rata (<1). Kelompok III adalah sektor-sektor yang mempunyai IDP di bawah rata-rata (<1) dan IDK di atas rata-rata (>1). Kelompok IV adalah sektor-sektor yang mempunyai IDP dan IDK di bawah rata-rata (<1). Dari hasil analisis, sektor penggalian dan sektor pertambangan tanpa migas menempati kuadran ke-4 dalam pengelompokan tersebut, karena memiliki nilai IDP dan IDK kurang dari satu. Pengelompokan sektor-sektor perekonomian Kabupaten Luwu Timur berdasarkan nilai IDP dan IDK dapat dilihat pada Tabel 24.
77
Tabel 24 Pengelompokan Sektor Perekonomian di Kabupaten Luwu Timur Berdasarkan Nilai IDP dan IDK IDP>1 I 12. Perdagangan IDK>1 8. Industri Non Migas II 2. Perkebunan 3. Peternakan 4. Kehutanan 11. Bangunan/Konstruksi IDK<1
IDP<1 III 1. Tanaman Bahan Makanan 5. Perikanan 15. Pengangkutan 21. Pemerintahan Umum IV 6. Pertambangan Tanpa Migas 9. Listrik 7. Penggalian 10. Air Bersih 13. Restauran 14. Hotel 16. Komunikasi 17. Bank 18. Lembaga Keuangan Tanpa Bank 19. Usaha Sewa Bangunan 20. Jasa Perusahaan 22. Swasta
Sektor-sektor yang memiliki keterkaitan dengan sektor penggalian dan sektor pertambangan tanpa migas. Sektor penggalian memiliki keterkaitan ke depan dengan sektor bangunan/konstruksi (0.03) sedangkan sektor pertambangan tanpa migas memiliki keterkaitan ke depan dengan sektor listrik (0.03). Sektor pertambangan tanpa migas memiliki keterkaitan ke belakang dengan sektor pemerintahan umum (0.01), sedangkan sektor penggalian memiliki keterkaitan ke belakang dengan sektor-sektor lain (Gambar 30) yaitu sektor kehutanan (0.00), sektor penggalian (0.00), sektor industri non migas (0.00), sektor listrik (0.00), sektor Bangunan/Konstruksi (0.00), sektor restauran (0.00), sektor perdagangan (0.00), sektor hotel (0.00), sektor pengangkutan (0.00), sektor komunikasi (0.00), sektor bank (0.00), sektor usaha sewa bangunan (0.00) dan sektor pemerintahan umum (0.00). Dari keseluruhan nilai DBLj, DFLi, IDP dan IDK yang memiliki nilai tertinggi adalah sektor bangunan/konstruksi (nilai DBLj, DIBLj, IDP) dan sektor industry non migas (nilai DFLi, DIFLi IDK). Kontribusi sektor bangunan/konstruksi sebesar 0.55 % dari PDRB, sedangkan kontribusi sektor industri non migas sebesar 1.97 % dari nilai jumlah PDRB dan subsektor makanan, minuman dan tembakau sebesar 59.03% dari keseluruhan output sektor industri non migas sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 25.
78
Pengangkutan
0.00411
Pemerintahan Umum
0.00233
Usaha Sewa Bangunan
0.00170
Perdagangan
0.00108
Restauran
0.00092
Bank
0.00065
Bangunan/Konstruksi
0.00057
Industri Non Migas
0.00052
Penggalian
0.00028
Hotel
0.00004
Komunikasi
0.00003
Listrik
0.00002
Kehutanan
0.00001 0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
Gambar 30 Keterkaitan Ke Belakang sektor penggalian Tabel 25 Kontribusi sektor industri non migas tahun 2012 No Klasifikasi Nilai (juta Rupiah) % 1 Makanan, minuman dan tembakau 59 578.74 59.03 2 Tekstil, pakaian jadi dan kulit 153.59 0.15 3 Kayu, barang dari kayu dan hasil hutan 28 559.61 28.30 lainnya 4 Kertas dan barang dari kertas percetakan 778.63 0.77 dan penerbitan 5 Pupuk, kimia dan barang dari karet 4 431.24 4.39 6 Semen dan barang galian bukan logam 3 785.49 3.75 7 Logam dasar besi dan baja 0 0.00 8 Alat angkut, mesin dan peralatannya 3 524.13 3.49 9 Barang lainnya 114.84 0.11 Jumlah 100 926.27 100.00 Sumber : BPS Kabupaten Luwu Timur (2013c)
Sektor yang mempunyai IDP tinggi memberikan indikasi bahwa sektor tersebut mempunyai pengaruh terhadap sektor lain, sebaliknya sektor yang mempunyai IDK yang tinggi berarti sektor tersebut akan cepat terpengaruh bila terjadi perubahan pada sektor lainnya sektor pertambangan tanpa migas dan sektor penggalian karena memiliki nilai IDP dan IDK kurang dari satu maka dapat diartikan bahwa sektor pertambangan tanpa migas dan sektor penggalian tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap sektor lain dan tidak cepat terpengaruh jika terjadi perubahan pada sektor lainnya.
79
Sektor-sektor yang memiliki koefisien keterkaitan ke belakang dan ke depan paling tinggi dapat dikatakan sebagai sektor-sektor yang memiliki basis domestik baik dari sisi input maupun output. Artinya sektor tersebut memiliki kemampuan untuk menggerakkan perekonomian regional domestik. Dari hasil pengelompokan sektor perekonomian berdasarkan nilai IDP dan IDK pada Tabel 31 dapat dilihat bahwa sektor yang memiliki kekuatan menggerakkan perekonomian Kabupaten Luwu Timur baik dari sisi hulu dan hilir adalah sektor industri non migas dan sektor perdagangan. Sektor industri non migas dan sektor perdagangan mempunyai IDP dan IDK tinggi. Sektor industri non migas yang merupakan sektor sekunder adalah sektor lanjutan dari penunjang sektor primer (manufacture) yang cenderung berkaitan pada sumber daya manusia, modal, teknologi dan bahan baku yang berasal dari sektor primer. Sektor ini meliputi lapangan usaha yang terdiri dari (a) makanan, minuman dan tembakau, (b) tekstil, pakaian jadi dan kulit, (c) kayu, barang dari kayu dan hasil hutan lainnya, (d) kertas dan barang dari kertas percetakan dan penerbitan, (e) pupuk, kimia dan barang dari karet, (f) semen dan barang galian bukan logam, (g) logam dasar besi dan baja, (h) alat angkut, mesin dan peralatannya, dan (i) barang lainnya. Dari keseluruhan lapangan usaha tersebut, yang paling besar adalah makanan, minuman dan tembakau sebesar 59.03%. Multiplier Effect Dalam model ekonomi makro dikenal suatu terminologi yang disebut sebagai pengganda (multiplier) yang menjelaskan dampak yang terjadi terhadap variabel endogen (endogenous variable) (BPS 2000a). Multiplier terbagi menjadi multiplier tipe I dan multiplier tipe II. Multiplier tipe I dihitung berdasarkan inverse matriks leontief (I-A)-1, dimana sektor rumah tangga diperlakukan secara exogenous, sedangkan multiplier tipe II tidak hanya menghitung dampak langsung dan tidak langsung, tetapi termasuk pula dampak induksi, yaitu dampak dari perubahan pola konsumsi rumah tangga akibat peningkatan terhadap kinerja sistem perekonomian wilayah. Analisis multiplier effect dari sektor-sektor perekonomian wilayah Kabupaten Luwu Timur berdasarkan Tabel I-O tahun 2011 terdiri atas multiplier output, nilai tambah bruto (NTB), dan pendapatan (income). 1.
Multiplier Effect Output (OM)
Dalam model I-O, output memiliki hubungan timbal balik dengan permintaan akhir, artinya jumlah output yang dapat diproduksi tergantung jumlah permintaan akhirnya. Namun demikian, dalam keadaan tertentu, output justru yang menentukan besarnya permintaan akhir (BPS 2000a). Berdasarkan hasil analisis (Gambar 31), sektor bangunan/konstruksi memiliki nilai multiplier effect output yang paling tinggi, diikuti oleh sektor peternakan serta sektor kehutanan pada urutan kedua dan ketiga. Sektor penggalian hanya menempati urutan 12 dengan nilai 1.01 dan sektor pertambangan tanpa migas menempati urutan 16 dari keseluruhan dengan nilai 1.00. Hal ini berarti apabila permintaan akhir sektor penggalian dan sektor pertambangan tanpa migas meningkat 1 milyar rupiah, maka dampak terhadap
80
perekonomian wilayah (output) meningkat 1.01 dan 1.01 milyar rupiah. Nilai multiplier effect output per sektor ditampilkan pada Gambar 31. 1.89 Peternakan 1.34 1.27 Perdagangan 1.13 1.11 Industri Non Migas 1.10 1.08 Pengangkutan 1.08 1.06 Perikanan 1.06 1.04 Penggalian 1.01 1.01 Komunikasi 1.01 1.01 Pertambangan Tanpa Migas 1.01 1.00 Hotel 1.00 1.00 Restauran 1.00 1.00 Pemerintahan Umum 1.00 0.0
1.0
2.0
Gambar 31 Nilai Multiplier Effect Output/OM 2.
Total value added multiplier/VM atau PDRB multiplier
Nilai Tambah Bruto (NTB) adalah input primer yang merupakan bagian dari input secara keseluruhan. Input atau biaya yang timbul karena pemakaian faktor produksi dan terdiri dari upah gaji, surplus usaha, penyusutan dan pajak tak langsung neto (BPS 2000b). Sesuai dengan asumsi dasar yang digunakan dalam penyusunan tabel I-O, maka hubungan antara NTB dengan output bersifat linier. Artinya peningkatan atau penurunan output akan diikuti secara proporsional oleh kenaikan dan penurunan NTB. Berdasarkan hasil analisis (Gambar 32), sektor penggalian memiliki NTB sebesar 1.012 dan sektor pertambangan tanpa migas memiliki nilai dampak terhadap NTB sebesar 1.01 yang berarti bahwa apabila permintaan akhir sektor penggalian dan sektor pertambangan tanpa migas meningkat 1 milyar rupiah, maka dampak terhadap NTB akan meningkat 1.01 milyar rupiah untuk sektor penggalian dan 1.01 milyar rupiah untuk sektor pertambangan tanpa migas. Sektor-sektor yang memiliki NTB paling tinggi adalah sektor bangunan/ konstruksi (5.43) dan sektor kehutanan (1.78).
81
Bangunan/Konstruksi Kehutanan Peternakan Perdagangan Perkebunan Industri Non Migas Pengangkutan Tanaman Bahan Makanan Bank Perikanan Penggalian Lembaga Keuangan Tanpa Bank Komunikasi Listrik Jasa Perusahaan Pertambangan Tanpa Migas Hotel Usaha Sewa Bangunan Air Bersih Restauran Swasta Pemerintahan Umum
5.43 1.75 1.45 1.14 1.11 1.11 1.08 1.08 1.06 1.06 1.01 1.01 1.01 1.04 1.01 1.01 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
0.0 2.0 4.0 Gambar 32 Nilai Tambah Bruto (NTB)/VM 3.
6.0
Income multiplier/IM Berdasarkan analisis multiplier effect terhadap pendapatan tipe I sektorsektor perekonomian, diperoleh lima sektor yang memiliki nilai tertinggi, yaitu; bangunan/konstruksi, kehutanan, peternakan, industri non migas dan pengangkutan. Berdasarkan Gambar 33, sektor penggalian memiliki nilai IM sebesar 1,013 menempati urutan 17 dan sektor pertambangan tanpa migas memiliki nilai IM sebesar 1.03 menempati urutan 14. Hal ini berarti bahwa apabila permintaan akhir sektor penggalian dan subsektor pertambangan tanpa migas meningkat 1 milyar rupiah, maka dampak terhadap pendapatan wilayah akan meningkat 1.01 milyar rupiah untuk sektor penggalian dan 1.03 milyar rupiah untuk sektor pertambangan tanpa migas.
82
Bangunan/Konstruksi Kehutanan Peternakan Industri Non Migas Pengangkutan Perdagangan Bank Perkebunan Perikanan Tanaman Bahan Makanan Komunikasi Usaha Sewa Bangunan Listrik Pertambangan Tanpa Migas Jasa Perusahaan Lembaga Keuangan Tanpa Bank Penggalian Hotel Restauran Air Bersih Swasta Pemerintahan Umum
5.41 2.01 1.51 1.36 1.29 1.29 1.15 1.13 1.13 1.11 1.04 1.04 1.04 1.03 1.02 1.03 1.01 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 0.0
2.0
4.0
6.0
Gambar 33 Nilai Income multiplier/IM Berdasarkan seluruh indikator keterkaitan dan multiplier effect melalui analisis I-O diketahui bahwa sektor penggalian dan sektor pertambangan tanpa migas belum termasuk sektor strategis karena menurut Rustiadi et al. (2011) sektor strategis adalah sektor yang memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang yang besar serta mampu menciptakan angka pengganda (multiplier) yang besar dalam perekonomian. Indikator tersebut kontradiktif dengan besarnya potensi dan sumbangan sektor penggalian dan sektor pertambangan tanpa migas yang dimiliki terhadap PDRB. Keterkaitan sektor penggalian dan sektor pertambangan tanpa migas dengan sektor-sektor lain relatif rendah terutama dikarenakan output sektor penggalian dan sektor pertambangan tanpa migas lebih banyak digunakan untuk memenuhi permintaan akhir dibandingkan transaksi antar sektor perekonomian dalam proses produksi. Dari output total sektor penggalian sebesar Rp. 8 981.08 juta dan sektor pertambangan tanpa migas sebesar Rp. 7 427 655.01 juta, permintaan antara sektor penggalian sebesar 100% (Rp. 8 981.08 juta) dan sektor pertambangan tanpa migas hanya sebesar 0.01% (Rp. 752.75 juta), sedangkan permintaan akhir (final demand) mencapai 99.99% (Rp. 7 426 902.26 juta) untuk sektor pertambangan tanpa migas dan 100% (Rp. 8 981.08 juta) untuk sektor penggalian. Dilihat dari komposisi permintaan akhir (final demand) sektor penggalian dan sektor pertambangan tanpa migas. Pengeluaran konsumsi rumah tangga, pengeluaran konsumsi pemerintah, investasi (pembentukan modal tetap bruto) tidak memiliki permintaan akhir dari sektor penggalian dan sektor
83
pertambangan tanpa migas. Perubahan stok memiliki permintaan akhir dari sektor pertambangan tanpa migas mencapai 27.24% (Rp. 2 023 203.79 juta) sisanya adalah ekspor barang dan jasa 72.76% (Rp. 5 403 698.47 juta) sedangkan sektor penggalian tidak memiliki perubahan stok dan ekspor barang dan jasa. Dari sisi keterkaitan ke depan (Lampiran 26), sektor pertambangan tanpa migas hanya terkait dengan 1 sektor, yaitu: sektor listrik, sektor penggalian hanya terkait dengan 2 sektor, yaitu: sektor penggalian dan bangunan/konstruksi. Dari sisi keterkaitan ke belakang (Lampiran 26), sektor pertambangan tanpa migas hanya terkait dengan 1 sektor, yaitu: sektor pemerintahan umum. Sektor penggalian terkait dengan 13 sektor, yaitu: kehutanan, penggalian, industri non migas, listrik, bangunan/konstruksi, perdagangan, pengangkutan, hotel, restauran, konsumsi, bank, usaha sewa bangunan dan pemerintahan umum. Berdasarkan analisis I-O secara umum sektor industri non migas dan sektor bangunan/konstruksi termasuk ke dalam sektor yang strategis karena memiliki nilai DBL*j, DFL*i, DIBL, DIFL, IDP, IDK, IM, VM dan OM yang tinggi dari sektor lainnya, sementara sektor penggalian dan sektor pertambangan tanpa migas belum termasuk kedalam sektor strategis. Sektor pertambangan tanpa migas dan sektor penggalian yang merupakan bagian dari sektor primer (yang berbasis sumberdaya alam) akan berkelanjutan dan berdampak besar terhadap ekonomi wilayah apabila memiliki keterkaitan yang kuat dengan sektor industri non migas. Hal ini sejalan dengan pendapat Rustiadi et al. (2011), roda perekonomian dapat bersinergi dengan baik dengan adanya keterkaitan. Makin kuat keterkaitan antar sektor, makin kecil ketergantungan sektor tersebut pada impor, sekaligus memperkecil kebocoran wilayah yang mengalir ke wilayah lainnya, sehingga nilai tambah yang dihasilkan dapat dinikmati oleh masyarakat di wilayahnya sendiri. Analisis keterkaitan antar sektor pada dasarnya melihat dampak output dan kenyataan bahwa sektor-sektor dalam perekonomian tersebut saling mempengaruhi. Upaya yang dapat dilakukan dalam mewujudkan sektor pertambangan tanpa migas dan sektor penggalian sebagai salah satu sektor strategis di Kabupaten Luwu Timur adalah meningkatkan keterkaitan dengan sektor lain pada sektor hilirnya. Sektor industri non migas yang merupakan sektor sekunder yang cenderung berkaitan pada sumber daya manusia, modal, teknologi dan bahan baku yang berasal dari sektor primer. Dengan memiliki keterkaitan kedepan yang kuat terhadap sektor industri tanpa migas diharapkan sektor pertambangan tanpa migas dan sektor penggalian akan menjadi sektor strategis yang bisa meningkatkan perekonomian wilayah Kabupaten Luwu Timur.
84
Sintesis Kabupaten Luwu Timur memiliki sumber daya alam yang melimpah khususnnya deposit berbagai jenis bahan tambang yang harus dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan perekonomian daerah maupun nasional. Kegiatan penambangan dapat menimbulkan kerusakan lingkungan dan sering menimbulkan konflik, baik diakibatkan tumpang tindih kepentingan penggunaan lahan maupun konflik dengan masyarakat. Hal itu dapat terjadi apabila kegiatan penambangan tidak dikelola dengan baik dan benar. Aktivitas penambangan di Kabupaten Luwu Timur menggunakan sistem tambang terbuka (open-pit mining atau side-hill quarry) yang berakibat pada perubahan tutupan/penggunaan lahan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada periode 2002-2013 Luas tutupan lahan hutan mengalami penurunan seluas 87 772 ha, sedangkan luas lahan terbuka mengalami peningkatan sebesar 15 375 ha dan luas lahan terbangun/permukiman bertambah sebesar 10 112 ha. Pada tahun 2002, lahan terbuka di Kabupaten Luwu Timur berada diempat kecamatan yaitu Kecamatan Angkona, Towuti, Nuha, dan Wasuponda. Pada tahun 2013, lahan terbuka Kabupaten Luwu Timur berada dilima kecamatan yaitu Kecamatan Malili, Angkona, Towuti, Nuha, dan Wasuponda. Kawasan tambang di Kabupaten Luwu Timur banyak yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Dimana dari 13 perusahaan tambang, hanya 2 perusahaan yang konsisten dan 11 perusahaan tambang yang inkonsistensi terhadap tata ruang. Luas lahan terbuka dan lahan terbangun pada area-area tambang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang berpotensi besar pada timbulnya berbagai bentuk kerusakan lingkungan seperti hilangnya daerah resapan air, mengganggu kondisi air tanah, meningkatkan intensitas erosi, dan pencemaran udara. Di samping persoalan konflik tata ruang (inkonsistensi tata ruang) dan kerusakan lingkungan, kehadiran perusahaan tambang di Kabupaten Luwu Timur juga telah menimbulkan konflik dengan masyarakat adat dan membawa pengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat. Kehadiran perusahaan tambang nikel milik PT. Vale Indonesia, Tbk di Kecamatan Nuha Kabupaten Luwu Timur menimbulkan konflik terhadap masyarakat adat Suku To Kanrusi’e Kampung Dongi yang ada di Kecamatan Nuha. Sehingga menimbulkan efek seperti gerakan penolakan yang terus menerus terjadi yang dilakukan oleh masyarakat adat bersama lembaga aliansi masyarakat adat. Gerakan penolakan berakar dari rasa ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat adat yang ingin merebut kembali akses masyarakat adat terhadap harta warisan leluhurnya karena lahan tersebut dahulu merupakan lahan yang paling subur di Kecamatan Nuha. Adapun perusahaan tambang bersikeras untuk mempertahankan lahan tersebut karena merupakan lahan yang masuk dalam kontrak karya PT. Vale Indonesia, Tbk. Konflik yang berlangsung secara asimetrik (tidak impang), karena masyarakat adat memiliki posisi tawar (bergaining power) yang lebih lemah, dibandingkan dengan PT. Vale Indonesia, Tbk mempunyai posisi tawar yang lebih tinggikarena di mata pemerintah dipandang sebagai penghasil devisa daerah dan negara. Atas dasar pertimbangan ini, pemerintah pusat dan pemerintah Kabupaten Luwu Timur cenderung mendukung menggunakan lahan untuk kepentingan kegiatan penambangan. Kehadiran para imigran yang berasal dari berbagai daerah di
85
Indonesia maupun luar negeri telah membawa berbagai perubahan terhadap kehidupan sosial masyarakat di Kabupaten Luwu Timur. Perubahan pola perilaku nisasi sosial masyarakat di Kabupaten Luwu Timur yang menjadi pemicu kurang harmonisnya interaksi sosial antar individu dan kelompok yaitu meningkatnya biaya hidup yang tidak disertai peningkatan produktifitas secara signifikan, persaingan status sosial, dan tumbuhnya sifat komsumtif masyarakat tengah serta arus modernisasi yang berkembang di masyarakat. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa kehadiran dan kegiatan penambangan di Kabupaten Luwu Timur telah menimbulkan berbagai dampak negatif. Namun hal ini tidak berarti bahwa kegiatan pertambangan dilarang karena kehadiran perusahaan tambang memiliki dampak positif terhadap penghasilan Kabupaten Luwu Timur maupun negara dalam bentuk pajak, retribusi ataupun royalty sebagaimana tercermin dari besarnya konstribusi sektor terhadap perekonomian (PDRB) Kabupaten Luwu Timur. Sektor pertambangan tanpa migas dalam PDRB memiliki output total di atas 1 milyar. Tingginya nilai output total mengindikasikan tingginya tingkat transaksi dalam daerah, yang berarti tingkat permintaan domestik maupun ekspor juga tinggi. Akan tetapi, komposisi struktur output ekonomi wilayah Kabupaten Luwu Timur mengindikasikan tingginya kebocoran wilayah karena besaran persentase surplus usaha jauh melebihi upah dan gaji (selisih 34.61%). Manfaat yang dirasakan langsung oleh masyarakat sangat rendah dibandingkan yang dinikmati oleh pengusaha atau pemilik modal. Sektor pertambangan tidak terlalu banyak menyerap tenaga kerja dan memberi nafkah langsung pada kebanyakan masyarakat di Kabupaten Luwu Timur. Akibat sifatnya yang kurang terkait dengan sektor-sektor ekonomi wilayah yang lain. Sektor ini tidak banyak berdampak langsung maupun tidak langsung pada ekonomi sebagian besar masyarakat, sehingga tidak berdampak besar pada peningkatan pendapatan sebagian besar masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Upaya yang dapat dilakukan dalam mewujudkan sektor ini sebagai salah satu sektor strategis di Kabupaten Luwu Timur adalah meningkatkan keterkaitan dengan sektor industri tanpa migas. Sektor industri tanpa migas yang merupakan sektor sekunder yang cenderung berkaitan pada sumber daya manusia, modal, teknologi dan bahan baku yang berasal dari sektor primer. Sektor pertambangan diharapkan memiliki keterkaitan yang kuat terhadap sektor industri tanpa migas sehingga sektor pertambangan menjadi sektor strategis yang bisa meningkatkan ekonomi wilayah dan ekonomi masyarakat Kabupaten Luwu Timur. Perencanaan pengembangan wilayah Kabupaten Luwu Timur perlu didukung melalui program-program pengembangan yang relevan dengan karakteristik wilayah. Hal ini berarti bahwa program-program pengembangan wilayah (regional development programming) harus dilaksanakan dengan berorientasi pada kepentingan daerah dan berdasarkan pada kebutuhan dan aspirasi yang berkembang dalam rangka pemerataan serta percepatan pembangunan wilayah Kabupaten Luwu Timur.
86
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pada periode 2002-2013, tipe tutupan/penggunaan yang mengalami penurunan luasan terbesar yaitu hutan, sedangkan kelas tutupan/penggunaan yang mengalami laju peningkatan yaitu lahan terbuka dan lahan terbangun/permukiman. Pada tahun 2002, lahan terbuka Kabupaten Luwu Timur berada di empat kecamatan yaitu Kecamatan Angkona, Towuti, Nuha, dan Wasuponda. Pada tahun 2013, lahan terbuka Kabupaten Luwu Timur berada di lima kecamatan yaitu Kecamatan Malili, Angkona, Towuti, Nuha, dan Wasuponda. Faktor keberadaan lokasi perusahaan tambang berpengaruh positif dan signifikan dalam perubahan semua tipe tutupan/penggunaan lahan di Kabupaten Luwu Timur. Luas lokasi Tambang berpengaruh positif dan signifikasn dalam perubahan tutupan/ penggunaan lahan hutan menjadi lahan terbuka dan lahan hutan menjadi lahan terbangun di Kabupaten Luwu Timur. Dari 13 perusahaan tambang, hanya 2 perusahaan yang konsisten dan 11 perusahaan tambang yang inkonsistensi terhadap peruntukan tata ruang Kabupaten Luwu Timur. Masalah inti dari konflik masyarakat adat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi dengan perusahaan tambang PT. Vale Indonesia, Tbk adalah klaim lahan. Penyebab masalah adalah pergolakan sosial DI/TII, sumberdaya alam (bahan tambang) dan pemberian izin tambang sehingga menimbulkan efek seperti demonstrasi, situs-situs adat hilang. Pemicu kurang harmonisnya interaksi sosial antar individu dan kelompok yaitu meningkatnya biaya hidup yang tidak disertai peningkatan produktifitas secara signifikan, persaingan status sosial, dan tumbuhnya sifat komsumtif masyarakat tengah serta arus modernisasi yang berkembang di masyarakat. Tradisi dan adat istiadat setempat masih sangat kental dan keamanan di Kabupaten Luwu Timur tetap terjaga. Sektor pertambangan memiliki peranan penting baik dalam penciptaan PDRB maupun output total tetapi sektor pertambangan (subsektor pertambangan tanpa migas dan subsektor penggalian) belum mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi sektor hulu dan hilirnya. Pembangunan sektor pertambangan yang merupakan bagian dari sektor primer akan berkelanjutan dan berdampak besar terhadap ekonomi wilayah apabila memiliki keterkaitan kuat dengan sektor bangunan/konstruksi dan sektor industri non migas sebagai sektor sekunder yang merupakan penunjang sektor primer. Saran Perlu dilakukan monitoring yang lebih intensif, baik secara langsung turun ke lapangan maupun dengan penggunaan teknologi seperti melalui pemanfaatan citra satelit resolusi tinggi (citra satelit quickbird) sehingga dapat segera dilakukan tindakan pengendalian yang lebih efektif. Perlu dilakukan penelitian lanjutan terkait dengan prediksi tutupan/penggunaan lahan yang mempertimbangkan program reklamasi tambang dari perusahaan tambang serta penelitian dampak pertambangan terhadap lingkungan hidup.
87
Pemerintah Kabupaten Luwu Timur sebaiknya memperhatikan faktor alokasi RTRW untuk kawasan lindung, lokasi tambang, dan kelas lereng karena faktor tersebut merupakan faktor berpengaruh positif terhadap perubahan semua tipe tutupan/penggunaan lahan di Kabupaten Luwu Timur. Wilayah kontrak karya pertambangan memerlukan pengawasan yang lebih intensif oleh pemerintah Kabupaten Luwu Timur dan aparat, karena di wilayah kontrak karya pertambangan terjadi inkonsistensi pemanfaatan ruang dalam RTRW Kabupaten Luwu Timur. Perlu ada penyelesaian konflik dari pemerintah dengan mempertimbangkan undang-undang yang berlaku. Pemerintah Kabupaten Luwu Timur sebaiknya memperhatikan kearifan lokal seperti masyakat adat karena masyarakat adat dapat dijadikan suatu terobosan terbaru dalam pengembangan wilayah di Kabupaten Luwu Timur. Pemerintah Kabupaten Luwu Timur sebaiknya lebih memperhatikan sektor industri non migas dan sektor bangunan/konstruksi karena kedua sektor ini termasuk ke dalam sektor yang strategis dalam pengembangan wilayah Kabupaten Luwu Timur ke depannya.
88
DAFTAR PUSTAKA [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2010. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Luwu Timur tahun 2010-2031. Malili (ID): BAPPEDA. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. 2011a. Perhitungan Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi Selatan. Makassar (ID): BAPPEDA. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2011b. Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Timur Nomor 7 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Luwu Timur. Malili (ID): BAPPEDA. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2000a. Kerangka Teori dan Analisis Tabel InputOutput. Jakarta (ID): BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2000b. Teknik Penyusunan Tabel Input-Output. Jakarta (ID): BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Analisis Input Output Antar Sektor di Sulawesi Selatan Tahun 2009. Makassar (ID): BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/ Kota Tahun 2012 se-Provinsi Sulawesi Selatan. Makassar (ID): BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012a. Kabupaten Luwu Timur Dalam Angka Tahun 2012. Malili (ID): BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012b. Produk Domestik Regional Bruto Per Kecamatan di Kabupaten Luwu Timur 2011. Malili (ID): BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012c. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Kabupaten Luwu Timur 2012. Malili (ID): BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012d. Produk Domestik Regional Bruto Sulawesi Selatan Tahun 2012. Makassar (ID): BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012e. Produk Domestik Regional Bruto menurut penggunaan Sulawesi Selatan Tahun 2012. Makassar (ID): BPS. [DESDM] Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral. 2012. Izin Usaha Pertambangan Kabupaten Luwu Timur. Malili (ID): DESDM. [KKBP] Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Jakarta (ID): KKBP. [KH] Kementerian Kehutanan. 2012. Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2011. Jakarta (ID): KH. Albrechts L. 2006. Shifts in strategic spatial planning? Some evidence from Europe and Australia. Environment and planning, 38(6):1149-1170. DOI:10.1068/a37304. Pemerintah Republik Indonesia. 1945. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Jakarta (ID): Sekretariat Negara. Pemerintah Republik Indonesia. 1967. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Jakarta (ID): Sekretariat Negara. Pemerintah Republik Indonesia. 1980. Peraturan Pemerintah Pemerintah No.27 Tahun 1980 tentang tentang Penggolongan Bahan-Bahan Galian. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.
89
Pemerintah Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta (ID): Sekretariat Negara. Pemerintah Republik Indonesia. 2008. Peraturan Pemerintah No.26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Negara. Jakarta (ID): Sekretariat Negara. Arkham HS. 2014. Manajemen lanskep ruang terbuka biru di Daerah Aliran Sungai Ciliwung [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. As-Syakur AR, Suarna IW, Adnyana IWS, Rusna IW, Laksmiwati IAA, Diara IW. 2009. Studi Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Bandung. Bumi Lestari. 10(2): 200-208. Craig Rob 2009. Conflict-sensitive Conservation [Field report from Queen Elizabeth National Park]. Kampala (UG): IISD. Dahlan MS. 2009. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta (ID): Salemba Medika. Dimas 2009. Analisis konflik lahan pertambangan batubara; Studi Kasus Wilayah Pertambangan di Kecamatan Marangkayu Kabupaten Kutai Kartanegara. Administrative Reform. 2(2): 1292-1303. Djakapermana RD. 2010. Pengembangan wilayah melalui pendekatan Kesisteman. Bogor (ID): IPB Pr. Dwiprabowo H, Gintings AN, Sakuntaladewi N, Mariyani R, Alviya I, Wicaksono D, Arifanti VB, Djaenudin D, Sentosa TD, Kurniasih N, Rahman S. 2012. Development of a Time Series Analysis of the Primary Economic and Policy Aspects of Land Use Change. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan – Kementerian Kehutanan. Eastman J R. 2012. Idrisi selva manual and tutorial manual version 17. Worcester (GB): Clark University. Fardani A. 2012. Dampak Sosial Keberadaan PT Vale Indonesia Tbk Terhadap Kehidupan Masyarakat (Studi Kasus Sorowako Kecamatan Nuha Kabupaten Luwu Timur) [Skripsi]. Makassar (ID): Universitas Hasanuddin. Fisher S, Ludin J, Williams S, Abdi DI, Smith R, Williams S. 2001. Working with conflict; Skills and Strategis for Action. London (GB): Zed Book. Gadang DTS 2010. Analisis Peranan Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Jawa Tengah (Pendekatan Analisis Input-Output). [Skripsi]. Semarang (ID): Universitas Dipenegoro Ginting AY, Latifah S, Rahmawaty. 2012. “Analisis Perubahan Tutupan Lahan Kabupaten Karo”. Peronema Forestry Science Journal. 1(1). Gunawan A, Jaya INS, Saleh MB. 2010. Quick Tecniques in Indentifying Open Area by the Use of Multi Spatial and Multidate Imageries. Manajemen Hutan Tropika. 16(2):63-72. Hamzah H. 2005. Dampak Kegiatan Pertambangan Terhadap Pengembangan Wilayah Kasus Di Kota Bontang Dan Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Haryani P. 2011. Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan dan Perubahan Garis Pantai di Das Cipunagara dan Sekitarnya, Jawa Barat [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
90
Herimanto, Winarno. 2009. Ilmu Sosial dan Budaya dasar. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Hu DG, Yang Q. Wu H. Li X. Liu X. Niu Z, Wang Q. 2008. Analyzing Land Use Changes in the Metropolitan Jilin City of Northeastern China Using Remote Sensing and GIS. Sensors, 8:5449-5465. Ilkwon K, Yong JG, Jin PS, John T. 2011. Predicted land use change in the Soyang River Basin, South Korea. Terreco Science.1:17-24. Iman P N. 2011. Analisis Peranan Sektor Agroindustri Dan Dampak Investasinya Terhadap Perekonomian Kabupaten Ciamis (Analisis Input-Output) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Julianti. 2012. Social And Economic Life After The Conversion Of Native Land By PT.INCO.TBK (Case Study Sorowako Luwu East Village South Sulawesi) [skripsi]. Makassar (ID): Universitas Hasanuddin. Kartodihardjo H. 2009. Kebijakan Publik Pengelolaan Sumber Daya Alam. Bogor (ID): IPB Pr. Kartodihardjo H. 2012. Hutan Negara di dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat [internet].Bogor. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [diunduh 2014 Juni 18]. tersedia pada http://kartodihardjo.files.wordpress.com/2012/06/ujimateri-uu41-hk.pdf. Kusuma AP. 2010. Menambang tanpa merusak lingkungan [Internet]. Bogor. Jakarta (ID): Kementerian pekerjaan umum dan perumahan rakyat. [diunduh 2013 November 20]. Tersedia pada: http://penataanruang.pu.go.id/bulletin/ upload/data_artikel/Menambang%20Tanpa%20Merusak%20LngkunganAdang%20P.Kusuma.pdf Lillesand, T.M, Kiefer R.W. 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Marakarma AH. 2009. Pengelolaan danau Kaskade Matano – Mahalona – Towuti, Kompleks Danau Malili [Internet]. Bogor. Jakarta (ID): Kementerian Lingkungan Hidup. [diunduh 2013 November 20]. Tersedia pada: http://menyelamatkandanaulimboto.wordpress.com/kndi-i/bupati-luwutimur/ Muiz A. 2009. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan di Kabupaten Sukabumi [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Munibah K. 2008. Model spasial perubahan penggunaan lahan dan arahan penggunaan lahan berwawasan lingkungan (Studi kasus DAS Cidanau, Provinsi Banten [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nachrowi ND, Usman H. 2002. Penggunaan teknik ekonometrik. Jakarta (ID): Rajawali Pers. Nurroh S. 2014. Analisis Identifikasi Degradasi Lingkungan (Studi kasus Pengaruh Perubahan Tutupan Lahan (Landuse Change) Terhadap Siklus Hidrologi (Neraca Air) dan Laju Sedimentasi [Final Assignment Paper of Environmental Health and Degradation]. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjahmada. Panuju DR, Rustiadi E. 2012. Teknik Analisis Perencanaan Pengembangan Wilayah. Bogor (ID): IPB.
91
Pertiwi HD. 2011. Dampak Keberadaan Perusahaan Pertambangan Terhadap Ekologi, Sosial Ekonomi Masyarakat di Era Otonomi Daerah (Kasus Kelurahan Sempaja Utara, Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda) [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Pohan N. 2002. Pencemaran Udara Dan Hujan Asam. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara Pribadi DO, Shiddiq D, Ermyanila M. 2006. Model perubahan tutupan lahan dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Teknologi Lingkungan P3TL-BPPT. 7(1):35-51. Puspaningsih N. 2011. Pemodelan spasial dalam monitoring reforestasi kawasan pertambangan PT. INCO di Sorowako Sulawesi Selatan [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ritzer G dan Goodman DJ. 2011. Teori Sosiologi. Bantul (ID): Kreasi Wacana Offset. Rustiadi E, Panuju DR, Saifulhakim S. 2011. Perencanaan dan pengembangan wilayah. Jakarta (ID): Crestpent press yayasan pustaka obor Indonesia. Sandin L. 2009. “The relationship between land-use, hydromorphology and river biota at different spatial and temporal scales: a synthesis of seven case studies”. Fundamental and Applied Limnology, 174(1):1–5. Setiadi EM, Kolip U. 2011. Pengantar Sosiologi (Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial” Teori, Aplikasi dan Pemecahaannya). Jakarta (ID): Kencana. Sihombing BH. 2013. Analisis perubahan tutupan lahan areal konsessi tambang PT.Kaltim Prima Coal. Ilmu Pertanian dan Kehutanan. 11(2):83-89. Sumunaringtyas SI. 2011. Kajian Peran Agribisnis Holtikultura Dalam Perkonomian Wilayah Studi Kasus Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Syarief H. 2014. Analisis Subsektor Perikanan dalam Pengembangan Wilayah Kabupaten Indramayu. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sztompka P. 2007. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta (ID): Prenada. Toh MH. 1998. The RAS Approach in Updating Input–Output Matrices: An Instrumental Variable Interpretation and Analysis of Structural Change. Economic Systems Research. 10(1). Tuni MZ. 2013. Perencanaan penggunaan lahan pascatambang nikel untuk mendukung pengembangan wilayah di Kabupaten Halmahera Timur [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Trisasongko BH, Panuju DR, Iman, Harimurti, Ramly AF, Anjani V, Subroto H.2009. Analisis Dinamika Konversi Lahan di Sekitar Jalur Tol Cikampek. Jakarta (ID): Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Václavík T, Rogan J. 2009. Identifying trends in land use/land cover changes in the context of post-socialist transformation incentral Curope: a case study of the greater olomouc region Czech Republic. Journal GIScience & Remote Sensing. 46(1):54-76. Venus. 2008. Klasifikasi Penutupan Lahan Menggunakan Citra Satelit Quickbird di Kecamatan Rumpin Kabupaten Bogor [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Wulansari D. 2009. Sosiologi; Konsep dan Teori. Bandung (ID): PT. Refika Aditama
92
Yulianto IK, Fathurahman M dan Nohe DA. 2013. Ordinal Logistic Regression Modeling of Statistics Graduates in University of Mulawarman). Science East Borneo. 1(1):7-12. Yulita. 2011. Perubahan penggunaan lahan dalam hubungannya dengan aktivitas pertambangan di Kabupaten Bangka Tengah [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN Lampiran 1 Daftar data path/row aoi wilayah Kabupaten Luwu Timur citra satelit landsat 7 ETM+ Multispektral dan Pankromatik1 Lokasi yang di petakan
1
NO 1
Path/Row 114/61
Multispektral LE71140612002255SGS00
2
114/62
LE71140622002271DKI00
3
113/62
LE71130622002296DKI00
Sumber: Balai Penginderaan Jauh LAPAN Parepare (2014)
94
Lampiran 2 Daftar data path/row aoi wilayah Kabupaten Luwu Timur citra satelit landsat 8OLI-TERS Multispektral dan Pankromatik1 Lokasi yang di petakan
1
NO 1
Path/Row 114/61
Multispektral LC81140612013293LGN00
2
114/62
LC81140622013293LGN00
3
113/62
LC81130622013110LGN01
Sumber: Balai Penginderaan Jauh LAPAN Parepare (2014)
95
Lampiran 3 Klasifikasi tutupan lahan berdasarkan Ditjen Planologi tahun 2006 a. Hutan; 1. Hutan lahan kering primer 2. Hutan lahan kering sekunder 3. Hutan rawa primer 4. Hutan rawa sekunder 5. Hutan mangrove primer 6. Hutan mangrove sekunder 7. Hutan tanaman * b. Non Hutan; 8. Semak/Belukar 9. Belukar rawa 10. Padang rumput 11. Perkebunan 12. Pertanian lahan kering 13. Pertanian lahan kering dan Semak 14. Transmigrasi 15. Sawah 16. Tambak 17. Tanah Terbuka 18. Pertambangan 19. Pemukiman 20. Rawa 21. Pelabuhan Udara/Laut c. Tidak Ada Data; 22. Awan 23. Tidak Ada Data Ket. * : Hutan tanaman berdasarkan penafsiran citra adalah kelas penutupan lahan yang merupakan hasil budidaya manusia meliputi seluruh hutan tanaman baik Hutan Tanaman Industri/IUPHHK-HT maupun Hutan tanaman yang merupakan hasil reboisasi/penghijauan yang berada di dalam maupun di luar kawasan hutan; terlihat dari citra mempunyai pola tanam yang teratur pada area datar, sedangkan untuk daerah bergelombang terlihat warna citra yang berbeda dengan lingkungan sekitarnya.
96
Lampiran 4 Kenampakan masing-masing kelas tutupan/penggunaan lahan pada citra landsat (RGB 5-4-3), google earth dan keadaan di lapangan NO 1
Penggunaan /penutupan lahan Empang/Tambak (ET)
Kenampakan pada citra landsat
Kenampakan google Earth
Keadaan di Lapangan
Keterangan : Empang/Tambak, lahan ini meliputi aktivitas perikanan darat (ikan/udang) yang kenampakan pada citra landsat dicirikan oleh warna hijau kehitaman, pola teratur, tekstur halus, asosiasi di sekitar pantai dan sungai serta dicirikan dengan pola pematang atau membentuk petak-petak tergenang air 2
Hutan (HT)
Keterangan : Hutan, lahan ini meliputi hutan rakyat, hutan produksi, hutan produksi terbatas, hutan yang dapat di konversi dan hutan lindung. Kenampakkan hutan pada citra landsat dicirikan oleh warna hijau tua, cenderung gelap dan bertekstur kasar dengan tajuk-tajuk pohon yang kelihatan bergerombol. Pada citra, warna yang cenderung gelap karena posisi obyek yang berada pada daerah pegunungan sehingga cahaya matahari kurang. 3
Kebun (KB)
Keterangan : Kebun, lahan ini meliputi perkebunan rakyat dan perkebunanan industri. Kenampakkan kebun pada citra landsat dicirikan oleh hijau sangat muda dengan bercak coklat muda kekuningan dan cenderung terang. Tekstur yang relatif halus. Batas-batas yang jelas dan teratur menunjukkan bahwa obyek adalah kebun. 4 Lahan
Terbangun / Permukiman (LP) Keterangan : Terbangun/Permukiman, lahan ini meliputi lahan terbangun untuk perumahan baik di kawasan perkotaan maupun pedesaan, bangunan industri, sarana perekonomian, sosial dan pendidikan. Kenampakkan pada citra landsat dicirikan oleh warna merah muda, hingga keungu-unguan, tekstur yang relatif kasar dan bergerombol/mengelompok. Terbangun/Permukiman menyebar di seluruh wilayah Kabupaten Luwu Timur.
97 Lampiran 4 (lanjutan) 5
Lahan Terbuka (LT)
Keterangan : Lahan terbuka, lahan ini meliputi aktivitas pertambangan terbuka. Kenampakkan pada citra landsat dicirikan oleh berwarna warna ungu tua kemerah-merahan yang berasosiasi dengan hutan, dengan tekstur yang relatif kasar dan bergerombol/mengelompok. 6 Rawa /
Mangrove (RM)
Keterangan : Rawa/mangrove, lahan ini meliputi konservasi perairan. Kenampakkan pada citra landsat dicirikan oleh berwarna warna hijau tua yang berasosiasi di sekitar pantai dan sungai serta dicirikan dengan adanya genangan air. 7 Sawah
(SW)
Keterangan : Sawah, lahan ini meliputi aktivitas pertanian lahan basah. Kenampakkan pada citra landsat dicirikan oleh warna hijau muda, hjau kekuning-kuningan, merah muda dan biru tergantung fase penanamannya. Polanya berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang, serta memiliki luasan yang cukup besar dan umumnya berdekatan dengan jalan dan permukiman. 8 Semak /
Belukar (SB)
Keterangan : Semak Belukar, lahan ini meliputi sekelompok pohon yang memiliki ketinggian di bawah 2 m. Kenampakkan pada citra landsat dicirikan oleh warna hijau muda, hjau kekuning-kuningan, Polanya kasar, umumnya berdekatan dengan jalan dan permukiman. 9 Tegalan /
Ladang (TL)
Keterangan : Tegalan/Ladang, lahan ini meliputi aktivitas pertanian lahan kering. Kenampakkan pada citra landsat dicirikan oleh warna maerah tua. Polanya kasar, serta memiliki luasan yang cukup besar dan umumnya berdekatan dengan jalan dan permukiman.
98 Lampiran 4 (lanjutan) 10
Tubuh Air (TA)
Keterangan : Tubuh air, lahan ini meliputi sungai dan danau. Kenampakkan pada citra landsat dicirikan oleh berwarna biru muda, biru keputihan dan biru kehitaman & gelap. Polanya teratur dan tekstur halus
Lampiran 5 Penyumbang atau kontributor terbesar dalam perkembangan tipe tutupan/penggunaan lahan terbuka dan lahan terbangun/ permukiman Periode 2002-2013.
Lampiran 6 Penyumbang atau kontributor terbesar dalam perkembangan tipe tutupan/penggunaan lahan terbuka dan lahan terbangun/ permukiman Periode 2013-2024.
99
Lampiran 7 Tren perubahan lahan hutan ke lahan terbuka Periode 2002-2013 yaitu ke arah timur tenggara atau di Kecamatan Towuti.
31.50
3
6
9
12 15 18 21 24
Kilometers
Lampiran 8 Tren perubahan lahan hutan ke lahan terbangun/permukiman ke arah selatan tenggara atau di Kecamatan Malili Tahun 2002-2013
31.50
3
6
9
12 15 18 21 24
Kilometers
Lampiran 9 Tren perubahan lahan hutan ke lahan terbuka Periode 2013-2024 yaitu ke arah timur tenggara terkonsentrasi di Kecamatan Towuti, Nuha, dan Wasuponda.
31.50
3
6
9
12 15 18 21 24
Kilometers
Lampiran 10 Tren perubahan lahan tegalan ke lahan terbangun/pemukiman periode 2013-2024 yaitu ke arah selatan barat daya yang terkonsentrasi di Kecamatan Wotu, Angkona, dan Tomoni Timur
31.50
3
6
9
12 15 18 21 24
Kilometers
100
Lampiran 11 Peta Kesesuaian penggunaan lahan setiap tipe tutupan/penggunaan lahan
Lampiran 12 Pedoman Kesesuaian Lahan di RTRW Kabupaten Luwu Timur a. Kawasan Lindung (Hutan Lindung, Cagar Alam, Konservasi Perairan, Tubuh Air) Peraturan Keppres No. 32 Tahun 1990 Keputusan Menteri Pertanian No.837/KPTS/UM/11/1980 Inmendagri 8/1985 SK Mentan nomor 837/KPTS/Um/11/1980 SK Mentan nomor 887/KPTS/Um/1980 b. Kawasan Budidaya (Hutan Produksi Terbatas, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Konservasi, Lahan Basah, Lahan Kering, Permukiman) c. Peraturan Keppres No. 57 Tahun 1989 d. SK Mentan No. 683/Kpts/Um/8/1981 e. SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980
101
Lampiran 13 Kriteria Kesesuaian Lahan di RTRW Kabupaten Luwu Timur Kelas Tutupan /Penggunaan Lahan Empang/Tambak
Hutan
Kebun Semak Belukar Tegalan/Ladang Terbangun/ Permukiman
Terbuka
Dokumen RTRW Kawasan Budidaya Lahan Basah Kawasan Perikanan
Kemiringan lerang < 8% Persediaan air permukaan cukup
Kawasan Lindung Lereng, jenis tanah, dan kawasan hutan lindung curah hujan yang melebihi Kawasan perlindungan nilai skor 175 setempat (pantai, Ketinggian diatas permukaan sungai, danau) laut 2.000 mdpl Kawasan suaka alam (cagar alam) Kawasan Budidaya Ketinggian < 1000 mdpl Lahan Kering Kemiringan lerang < 40% Kedalaman efektif tanah > 30 cm Kawasan Budidaya Kemiringan lerang < 15% Permukiman Ketersediaan air terjamin Aksesibilitas yang baik Tidak berada pada daerah rawan bencana Berada dekat dengan pusat kegiatan Lokasi Kontrak Karya Pertambangan (13 Perusahaan Tambang)
Rawa/Mangrove
Kawasan Lindung Konservasi Perairan
Sawah
Kawasan Budidaya Lahan Basah
Tubuh Air
Keterangan
130 kali perbedaan pasang dan surut tertinggi
Ketinggian < 1000 meter dpl Kemiringan lerang < 40% Kedalaman efektif tanah > 30 cm Terdapat sistem irigasi (teknis, semi teknis dan sederhana) Kawasan Lindung Sungai Kawasan Perlindungan Danau
102
Lampiran 14 Binary logististik regression
103
Lampiran 15 Visualisai dilapangan
Lahan Terbuka (Lokasi Pertambangan milik PT. Vale, Indonesia, Tbk Kecamatan Nuha) Titik Koordinat 2°35'51.24"S 121°21'42.13"E
Lahan Terbuka (Lokasi Pertambangan milik PT. Panca Digital Solution Kecamatan Malili) Titik Koordinat 2°35'23.85"S 121° 5'57.88"E
Lahan Terbuka (Lokasi Pertambangan milik PT. Sumber Wahau Jaya Kecamatan Malili) Titik Koordinat 2°34'06.96 "S 121°03'96.35"E
104 Lampiran 15 (lanjutan)
Perbatasan Kabupaten Luwu Timur dengan Kabupaten Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan (Kecamatan Burau) Titik Koordinat 2°37'49.38 "S 120°38’18.40"E
Perbatasan Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi Selatan dengan Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah Selatan (Kecamatan Burau) Titik Koordinat 2°14’20.26"S 120°47’26.64"E
Perbatasan Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi Selatan dengan Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara (Kecamatan Malili) Titik Koordinat 2°47'36.70"S 121° 3'9.28"E
105 Lampiran 15 (lanjutan)
Lahan Terbangun/Permukiman Masyarakat adat To Kanrusi’e Kampung Dongi (Kecamatan Nuha) Titik Koordinat 2°31'30.80"S 121°20'27.66"E
Lahan Terbangun/Permukiman Masyarakat adat To Kanrusi’e Kampung Dongi (Kecamatan Nuha) Titik Koordinat 2°31'30.80"S 121°20'27.66"E
Wawancara Mendalam dengan Masyarakat adat To Kanrusi’e Kampung Dongi (Kecamatan Nuha) Titik Koordinat 2°31'30.80"S 121°20'27.66"E
106 Lampiran 15 (lanjutan) Lahan Terbangun/Permukiman “Raha Terisoa” (Balai Pertemuan) Masyarakat adat To Kanrusi’e Kampung Dongi (Kecamatan Nuha) Titik Koordinat 2°31'30.80"S 121°20'27.66"E
Wawancara mendalam dengan Masyarakat adat To Kanrusi’e Kampung Dongi (Kecamatan Nuha) Titik Koordinat 2°31'30.80"S 121°20'27.66"E
Wawancara mendalam dengan Masyarakat adat To Kanrusi’e Kampung Dongi (Kecamatan Nuha) Titik Koordinat 2°31'12.63"S 121°20'40.71"E
107 Lampiran 15 (lanjutan)
Situs Kuburan Masyarakat adat To Kanrusi’e Kampung Dongi (Kecamatan Nuha) Titik Koordinat 2°31'12.63"S 121°20'40.71"E
Wawancara mendalam dengan Masyarakat adat To Kanrusi’e desa Dongi (Kecamatan Wasuponda) Titik Koordinat 2°33'23.35"S 121°15'48.88"E
Lahan Terbangun/Permukiman Masyarakat adat To Kanrusi’e desa Dongi (Kecamatan Wasuponda) Titik Koordinat 2°33'23.35"S 121°15'48.88"E
108 Lampiran 15 (lanjutan)
Lahan Terbangun/Permukiman Perumahan Karyawan PT. Vale Indonesia, Tbk (Kecamatan Nuha) Titik Koordinat 2°31'5.44"S 121°20'15.32"E
Lahan Terbangun/Permukiman PT. Vale Indonesia, Tbk (Kecamatan Nuha) Titik Koordinat 2°31'12.03"S 121°20'32.02"E
Lahan Terbangun/Permukiman (Kecamatan Towuti) Titik Koordinat 2°38'15.92"S 121°21'56.24"E
109 Lampiran 15 (lanjutan)
Wawancara mendalam dengan masyarakat (Kecamatan Burau) Titik Koordinat 2°36'35.80"S 120°41'18.15"E
Wawancara mendalam dengan staf instansi pemerintah Kabupaten Luwu timur (Kecamatan Burau) Titik Koordinat 2°36'47.71"S 120°40'56.72"E
Wawancara mendalam dengan masyarakat (Kecamatan Towuti) Titik Koordinat 2°39'35.74"S 121°25'24.65"E
110 Lampiran 15 (lanjutan)
Kawasan hutan (Kecamatan Mangkutana) Titik Koordinat 2°18'54.02"S 120°44'10.31"E
Sawah (Kecamatan Kalaena) Titik Koordinat 2°27'42.69"S 120°49'19.16"E
Tubuh Air di Danau Matano (Kecamatan Nuha) Titik Koordinat 2°30'13.36"S 121°23'12.93"E
111 Lampiran 15 (lanjutan)
Kebun (Kecamatan Wotu) Titik Koordinat 2°34'9.73"S 120°48'42.73"E
Tegalan/Ladang (Kecamatan Angkona) Titik Koordinat 2°32'41.09"S 120°58'2.82"E
Mangrove (Kecamatan Burau) Titik Koordinat 2°38'26.62"S 120°42'4.34"E
112 Lampiran 15 (lanjutan)
2 Semak/Belukar (Kecamatan Tomoni) Titik Koordinat 2°29'53.88"S 120°49'0.21"E
Lahan Terbuka (Kecamatan Malili) Titik Koordinat 2°44'45.05"S 121° 5'1.70"E
Empang/Tambak (Kecamatan Burau) Titik Koordinat 2°38'20.17"S 120°40'54.89"E
113
Lampiran 16
: Daftar Pertanyaan Penelitian Analisis Dampak Pertambangan
Pendekatan
Terhadap Pengembangan Wilayah di Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi Selatan.. : Wawancara Mendalam
Nama Lengkap Jenis Kelamin Umur Alamat/kampung asal Status perkawinan
: : : : : sudah kawin/belum kawin
A. Status dan Profil Informan 1. Apa jabatan anda di wilayah ini? 2. Apa status suadara dalam adat? 3. Apa pendidikan terakhir anda? 4. Apa pekerjaan utama anda? 5. Berapa jumlah anggota keluarga anda? B. Kehidupan Sosial 1. Apakah datangnya para imigran yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia maupun luar negeri telah membawa berbagai perubahan terhadap kehidupan sosial penduduk asli? 2. Bagaimana interaksi sosial di wilayah ini? 3. Apakah ada perbedaan strata/status di wilayah ini? 4. Apa saja traidisi dan adat istiadat yang sering dilakukan oleh penduduk diwilayah ini? 5. Apakah ada traidisi dan adat istiadat yang hilang diwilayah ini? 6. Berbagai suku dan etnis yang berasal dari penjuru dunia dating di wilayah ini. Menurut anda, bagaimana keamanan diwilayah ini? C. Umum 1. Bagaimana Tanggapan tentang perkembangan Kabupaten Luwu Timur saat ini? 2. Apakah yang anda rasakan tentang perubahan penggunaan lahan di wilayah ini? 3. Apakah dokument atau informasi tentang RTRW Kabupaten Luwu Timur sudah sampai di anda? Bagaimana pendapat anda tentang penataan ruang di wilayah ini?
114
Lampiran 17
Topik Metode Objek/informan Hari/tangga/tahun Durasi Lokasi (desa) Situasi
: Tabel catatan harian penelitian
: Tabel catatan harian penelitian sosial : Pengamatan/wawancara/diskusi : : : : :
DESKRIPSI
Lampiran 18 Kriteria informan a. Informan merupakan penduduk yang berdomisili di Kabupaten Luwu Timur b. Informan merupakan tokoh masyarakat, anak muda, ibu rumah tangga, pegawai negeri sipil, wiraswasta, karyawan perusahaan tambang, dan petani. c. Informan berusia rata-rata di atas 20 tahun, dengan alasan umur di atas 20 tahun telah berpengalaman mengenai kehidupan selama di Kabupaten Luwu Timur.
Lampiran 19 PDRB Kabupaten Luwu Timur ADHB Menurut Sektor/Lapangan Usaha Tahun 2004-2012 (Juta Rp)
Lampiran 20 Persentase PDRB Kabupaten Luwu Timur ADHB Menurut Sektor/Lapangan Usaha Tahun 2004-2012
115
116
Lampiran 21 PDRB Kabupaten Luwu Timur ADHK (2000) Menurut Sektor/Lapangan Usaha Tahun 2004-2012 (Juta Rp)
Lampiran 22 Persentase PDRB Kabupaten Luwu Timur ADHK (2000) Menurut Sektor/Lapangan Usaha Tahun 2004-2012
116
117 Lampiran 23 Keterangan Kode Sektor Ekonomi di Kabupaten Luwu Timur Kode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 190 200 201 202 203 204 209 210 301 302 303 304 305 309 310
Sektor Tanaman Bahan Makanan Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan Pertambangan Gas Bumi Pertambangan Tanpa Migas Penggalian Industri Non Migas Listrik Air Bersih Bangunan/Konstruksi Perdagangan Restauran Hotel Pengangkutan Komunikasi Bank Lembaga Keuangan Tanpa Bank Jasa Penunjang Keuangan Usaha Sewa Bangunan Jasa Perusahaan Total Pengeluaran Input Antara Impor Upah dan Gaji Surplus Usaha Penyusutan Pajak Tidak Langsung Total Nilai Tambah Bruto (NTB) Tanpa Impor/PDRB Total Input Permintaan Pengeluaran Rumah Tangga Pengeluaran Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto Perubahan Stok Modal Ekspor Barang dan Jasa Total Permintaan Akhir (Final Demand) Total Permintaan (Output Total)
118
Lampiran 24 Tabel Input-Output Kabupaten Luwu Timur Tahun 2012 (juta rupiah) Kode Sektor
1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 190 200 201 202 203 204 209 210
18 813.61 4.09 253.82 1.77 1 620.75 158.63 6 236.01 45.83 3 840.73 1.76 133.96 31 110.95 57 351.44 307 984.62 4 325.79 3 889.77 373 551.63 404 662.58
2 47 097.67 293.55 26.87 2 476.69 2 566.08 17.88 54.05 34 253.14 241.41 17.88 24 842.88 26.82 2 297.85 1 287.51 165.65 8.94 115 674.86 213 859.24 777 269.00 19 600.06 7 516.42 1 018 244.72 1 133 919.58
3 8 655.70 59.81 4 023.68 0.53 37.40 3 027.40 3.68 752.25 19.45 0.53 968.53 1.05 16.30 30.56 275.78 17 872.63 2 926.00 7 860.99 29 799.29 787.33 442.94 38 890.55 59 689.18
4 940.73 11 172.66 4 488.13 225.48 1 018.23 4 838.45 3 017.14 359.70 2 731.55 417.41 2 622.55 220.80 227.67 214.74 32 495.24 58 100.82 8 536.13 30 932.24 2 777.37 705.01 42 950.75 133 546.81
5 371.40 12.28 8.72 4 322.18 373.64 3.20 1 360.25 166.72 3.20 1 194.43 14.62 537.62 514.32 20.15 3 014.26 0.91 11 917.88 38 049.02 149 797.86 7 848.72 2 258.96 197 954.56 209 872.44
6 66 831.53 66 831.53 2 045 591.97 4 062 432.87 914 388.00 338 410.63 7 360 823.48 7 427 655.01
119
Lampiran 24 (Lanjutan) Kode Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 190 200 201 202 203 204 209 210
7 0.13 2.52 4.69 0.19 5.11 9.69 8.30 0.38 36.88 0.25 5.83 15.25 20.95 110.16 3 272.35 4 632.27 742.55 223.75 8 870.92 8 981.08
8 22,677.93 22 677.93 59 929.82 115 563.19 16 510.36 11 062.77 203 066.14 225 744.07
9 752.75 277.48 1 030.23 12 261.91 (6 361.39) 19 768.39 19.28 25 688.18 26 718.41
10 0.01 0.01 53.79 76.71 139.00 139.01
11 234.32 8 978.56 137 789.60 17.85 513.99 33 446.78 291.00 80.34 39 981.28 198.16 2 469.01 606.43 25 033.70 8.93 249 649.96 21 968.93 145 029.37 56 335.10 305 985.06
12 115.85 0.63 705.47 37.34 9.94 542.76 377.37 223.60 37.56 4 361.44 347.32 78.66 7 004.67 9 647.70 0.22 23 490.54 38 602.25 126 181.84 170 640.00 194 130.54
120
Lampiran 24 (Lanjutan) Kode Sektor
13
14
15
16
17
18
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 190
0.32 0.32
0.71 0.71
2 328.25 147.96 7 968.53 10 444.75
41.39 41.39
23.81 27.22 0.31 193.87 13.30 27.83 17.01 108.00 23.20 1 156.98 55.24 2 347.20 0.93 3 994.89
141.58 141.58
200 201 202 203 204 209 210
4 271.63 6 671.41 12 805.57 12 805.89
310.53 756.86 1 254.29 1 255.00
27 677.18 70 685.58 125 130.00 135 574.75
926.83 1 952.72 3 882 3 923.34
18 337.92 46 829.04 64,764 68 759.01
4 085.35 7 413.20 11 975.84 12 117.42
121
Lampiran 24 (Lanjutan) Kode Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 190 200 201 202 203 204 209 210
19
20
21
22
180
11.78 0.94 156.49 169.20
1.79 1.79
-
-
27 956.56 47 162.20 4 583.32 1 213.05 19 629.68 752.75 8 981.08 149 137.44 290.23 52.86 2 328.01 81 287.24 4 041.27 516.59 80 405.76 1 030.60 9 318.74 1 801.83 8 266.71 228.61 138 437.37 234.67 587 656.55
3 742.72 79 979.65 97 366.78 97 535.98
71.33 124.58 225.88 227.67
441 758.87 3 747.63 469 820.00 469 820.00
1 906.29 2 216.21 4 789.42 4 789.42
61 026.82 3 010 426.50 5 963 714.74 986 748.58 364 529.54 10 289 168.88 10 937 852.25
301 281 606.11 61 575.53 38 783.71 85 183.01 108 336.98 29 153.32 25 674.96 86.14 70 326.59 8 635.94 521.40 35 632.47 2 389.21 58 322.91 10 201.60 89 268.34 8 679.40 4 089.20 918 466.84
122
Lampiran 24 (Lanjutan) Kode Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 190
302
322 695.72 322 695.72
303
8 391.21 3 213.92 1 863.89 303 657.05 10 255.39 2 020.83 329 402.29
304
27 905.83 42 013.03 6 738.64 (1 635.62) 2 468.74 2 023 203.79 134.64 753.23 2 101 582.29
305
67 194.08 974 777.61 6 369.58 48 786.36 79 437.04 5 403 698.47 45 454.77 32 262.36 6 867.33 6 664 847.60
309
310
376 706.03 1 086 757.38 55 105.86 132 333.75 190 242.76 7 426 902.26 76 606.62 26 428.19 86.14 303 657.05 112 844.34 8 764.63 738.42 55 173.82 2 892.75 59 440.28 10 315.60 89 268.34 331 384.60 4 554.75 10 350 203.55
404 662.58 1 133 919.58 59 689.18 133 546.80 209 872.44 7 427 655.01 8 981.08 225 744.07 26 718.41 139.01 305 985.06 194 131.58 12 805.89 1 255.00 135 579.59 3 923.34 68 759.01 12 117.42 97 535.98 227.67 469 821.97 4 789.42 10 937 860.10
123
Lampiran 25 Matriks Kebalikan Leontief (I-A)-1 Kode Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Jumlah
1 0.95351 -0.00001 -0.00063 0.00000 -0.00401 0.00000 0.00000 -0.00039 0.00000 0.00000 0.00000 -0.01541 -0.00011 0.00000 -0.00949 0.00000 -0.00033 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.92312
2 0.00000 0.95846 -0.00026 -0.00002 -0.00218 0.00000 0.00000 -0.00226 0.00000 -0.00002 -0.00005 -0.03021 -0.00021 -0.00002 -0.02191 -0.00002 -0.00203 -0.00114 -0.00015 0.00000 0.00000 -0.00001 0.89799
3 -0.14501 -0.00100 0.93259 -0.00001 -0.00063 0.00000 0.00000 -0.05072 0.00000 -0.00006 0.00000 -0.01260 -0.00033 -0.00001 -0.01623 -0.00002 -0.00027 0.00000 -0.00051 0.00000 -0.00462 0.00000 0.70057
4 0.00000 0.00000 0.00000 0.99296 -0.08366 0.00000 0.00000 -0.03361 -0.00169 0.00000 -0.00762 -0.03623 -0.02259 -0.00269 -0.02045 -0.00313 -0.01964 0.00000 -0.00165 -0.00170 0.00000 -0.00161 0.75668
5 -0.00177 0.00000 -0.00006 -0.00004 0.97941 0.00000 0.00000 -0.00178 0.00000 -0.00002 0.00000 -0.00648 -0.00079 -0.00002 -0.00569 -0.00007 -0.00256 -0.00245 -0.00010 0.00000 -0.01436 0.00000 0.94321
6 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 1.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 -0.00900 0.00000 0.99100
124
Lampiran 25 (Lanjutan) Kode Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Jumlah
7 0.00000 0.00000 0.00000 -0.00001 0.00000 0.00000 0.99972 -0.00052 -0.00002 0.00000 -0.00057 -0.00108 -0.00092 -0.00004 -0.00411 -0.00003 -0.00065 0.00000 -0.00170 0.00000 -0.00233 0.00000 0.98773
8 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 1.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 -0.10046 0.00000 0.89954
9 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 -0.02817 0.00000 0.00000 1.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 -0.01039 0.00000 0.96144
10 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 1.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 -0.00004 0.00000 0.99996
11 0.00000 0.00000 0.00000 -0.00077 0.00000 0.00000 -0.02934 -0.45031 0.00000 -0.00006 0.99832 -0.10931 -0.00095 -0.00026 -0.13066 -0.00065 -0.00807 0.00000 -0.00198 0.00000 -0.08181 -0.00003 0.18411
12 -0.00060 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 -0.00363 -0.00019 -0.00005 -0.00280 0.99806 -0.00115 -0.00019 -0.02247 -0.00179 -0.00041 0.00000 -0.03608 0.00000 -0.04970 0.00000 0.87900
125
Lampiran 25 (Lanjutan) Kode Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Jumlah
13 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 1.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 -0.00003 0.00000 0.99997
14 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 1.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 -0.00057 0.00000 0.99943
15 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.98283 0.00000 0.00000 0.00000 -0.00109 0.00000 -0.05878 0.00000 0.92296
16 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 1.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 -0.01055 0.00000 0.98945
17 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 -0.00035 -0.00040 0.00000 -0.00282 -0.00019 -0.00040 -0.00025 -0.00157 -0.00034 0.98317 0.00000 -0.00080 0.00000 -0.03414 -0.00001 0.94190
18 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 1.00000 0.00000 0.00000 -0.01168 0.00000 0.98832
126
Lampiran 25 (Lanjutan) Kode Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Jumlah
19
20
0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 -0.00012 0.00000 0.00000 0.00000 1.00000 -0.00001 -0.00160 0.00000 0.99827
0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 1.00000 -0.00787 0.00000 0.99213
.
21 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 1.00000 0.00000 1.00000
22 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 1.00000 1.00000
Lampiran 26. Kelompok sektor yang memiliki keterkaitan dengan sektor lain DFLi Sektor
Kode
Jumlah
Sektor
DBLj Jumlah
Sektor
Tanaman Bahan Makanan Perkebunan Peternakan
1 2 3
4 4 4
1,3,5,12 1,2,3,12 1,2,3,5
11 16 15
1,2,3,4,5,8,12,13,15,16,17 2,3,4,5,8,10,11,12,13,14,15,16,17,18,19,22 1,2,3,4,5,8,10,12,13,14,15,16,17,19,21
Kehutanan
4
7
1,2,3,4,5,7,11
14
4,5,8,9,11,12,13,14,15,16,17,19,20,22
Perikanan
5
5
1,2,3,4,5
16
1,3,4,5,8,10,12,13,14,15,16,17,18,19,21,22
Pertambangan Tanpa Migas
6
1
9
1
21
Penggalian
7
2
7,11
13
4,7,8,9,11,12,13,14,15,16,17,19,21
Industri Non Migas
8
9
1,2,3,4,5,7,11,12,17
1
21
Listrik
9
4
4,7,12,17
2
6,21
Air Bersih
10
6
2,3,5,11,12,17
1
21
Bangunan/Konstruksi
11
2,4,7,11,12,17
14
4,7,8,10,11,12,13,14,15,16,17,19,21,22
Perdagangan
12
6 9
1,2,3,4,5,7,11,12,17
15
1,2,8,9,10,11,12,13,14,15,16,17,19,21,22
Restauran
13
9
1,2,3,4,5,7,11,12,18
1
21
Hotel Pengangkutan Komunikasi Bank Lembaga Keuangan Tanpa Bank
14 15 16 17 18
8' 11 9 8 2
2,3,4,5,7,11,12,17 1,2,3,4,5,7,11,12,15, 17,19 1,2,3,4,5,7,11,12,17 2,3,4,5,7,11,12,17 2,5
1 2 1 13 1
21 15,21 21 8,9,10,11,12,13,14,15,16,17,19,21,22 21
Usaha Sewa Bangunan
19
9
2,3,4,5,7,11,12,15,17
2
15,21
Jasa Perusahaan
20
1
4
1
21
Pemerintahan Umum
21
17
3,5,6,7,8,9,10,11,12,13,14,15,16,17,18,19,20
-
-
Swasta
22
6
2,4,5,11,12,17
-
-
127
RIWAYAT HIDUP WAHYU HIDAYAT, dilahirkan di Rumah Sakit Labuang Baji Keurahan Mamajang Dalam Kecamatan Mamajang Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia pada tanggal 07 September 1989 oleh pasangan suami istri H.Baharuddin SE., MM dan (Alm) Hj. Hasnah Bahauddin S.Sit. Lulus Sekolah Dasar di SD Negeri No. 444 Kota palopo Tahun 2000, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Kota Palopo Tahun 2004 dan Sekolah Menengah Atas pada SMA Negeri 2 Kota Palopo Tahun 2004. Berhasil menyelesaikan pendidikan Strata Satu (S1) dan berhak atas gelar Sarjana Teknik pada Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar Tahun 2011. Menjadi asisten dosen terhitung tahun 2009 sampai mei 2012. Mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan Strata Dua (S2) melalui Beasiswa Unggulan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian dengan konsentrasi Magister Sains dan Teknologi. Kegiatan di luar akademik yang menunjang pendidikan yaitu sekolah di Komunitas Peduli Kampung Halaman (KALAM) dan pengurus Forum Wacana Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.