i
POTENSI PENGEMBANGAN SAPI POTONG MELALUI SISTEM INTERGRASI SAWIT–TERNAK DI KABUPATEN KUTAI TIMUR PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
YAJIS PAGGASA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
ii
ABSTRACT POTENSI PENGEMBANGAN SAPI POTONG MELALUI SISTEM INTEGRASI SAWIT-TERNAK DI KUTAI TIMUR PROVINSI KALIMANTAN TIMUR. Yajis Paggasa2, Rudy Priyanto3, Eddie Gurnadie4 The potential region for cattle development include Sumatra, Kalimantan, Sulawesi and Papua. The difficulty to get space area for animal rearing, low management of smallholder practice, and the existence of policy to develop 350,000 hectare of palm oil plantation in East Kutai, lead to the potential concept for developing an integrated palm oil plantation and beef cattle practices. The aim of this study were : (1) to evaluate the recent pattern and between farm analyzed the potential development of beef cattle in East Kutai, especially in Muara Wahau; (2) to estimate the productivity and the availability of forages grown between palm oil plantation (3) to analyze the integrated palm and beef cattle practices technically and economically. This research was carried out from February to May 2007 in Muara Wahau, East Kutai, East Kalimantan. The following research prosedure were calculated based on : (a) collecting secondary by literature study from the related institution, (b) collecting primary data through a direct observation of the characteristics and technical coefficient of cattle rearing practice, forages composition in palm plantation area, measure the forage proper use factor, measure the sufficiency of forages in the ground of plantation area, and holding capacity. Furthermore, economic analysis were calculated based on: (1) the number of inhabitants, (2) the number of cultivated paddy-field and palm oil plantation for integrated and non integrated palm oil and beef cattle practices, finaly SWOT analyzed approach wich carry to stabilized strategy of beef cattle development in East Kutai. The results of this study showed that beef cattle practices palm oil plantation had the potential to develop for forages grown between palm oil plantation were Brachiaria humidicola dan Brachiaria brizantha each of them 24%, ferns 24%, tall grass 11%, Andropogon gayanus 9%, Chloris gayana 8% dan Gliricidia sepium 31%, Pueraria phaseloides 25%, Calopogonium muconoides 24%, and Macrophitilium 20%. There was 68.6% from total forages grown in palm oil plantation area could be used for cattle feed. The carrying capacity of forages grown between in palm oil plantation area wich 4.2 unit. Integrated palm oil plantation and beef cattle practices gave the benefit 10.56-16.49% higher than the palm oil plantation without integrated system. Towards regional autonomy in Indonesia, the main challenge for regional government is how to accelerate cattle development through crop livestock system (CLS) in order to improve cattle productivity and farmer welfare. Keywoord : Integrated, palm oil beef cattle, East Kutai
iii
RINGKASAN YAJIS PAGGASA. Potensi pengembangan sapi potong melalui sistem integrasi sawit-ternak di Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur. Dibimbing oleh RUDY PRIYANTO dan H. R. EDDIE GURNADI. Setiap tahunnya sejak 2001-2005 penduduk mengalami pertambahan sekitar 1.45%. Selain itu semakin sulit mendapatkan dan sempitnya lahan yang diperuntukkan khusus untuk peternakan sapi potong, lemahnya manajemen pengelolaan usaha ternak sapi rakyat, dan adanya kebijakan pengembangan perkebunanan sawit yang luas dan memiliki potensi limbah perkebunan sawit sebagai sumberdaya peternakan, yang dapat dimanfaatkan secara optimal melalui usaha tani integrasi sawit-ternak sapi yang saling mendukung, saling memanfaatkan, saling menguntungkan, dan saling bersinergi dalam berproduksi. Penelitian bertujuan untuk : (1) mengetahui kondisi riil dan potensi pengembangan peternakan sapi potong di Kutai Timur, khususnya kecamatan Muara Wahau, (2) mengetahui komposisi botani dan produktivitas hijauan makanan ternak diareal kebun sawit, (3) mengkaji usaha peningkatan produktivitas lahan sawit melalui introduksi ternak sapi. Penelitian dilaksanakan bulan Februari sampai Mei 2007 di kecamatan Muara Wahau Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur, dengan melakukan pengumupulan data sekunder/data pendukung dari instansi terkait, melakukan pengamatan/survei karakteristik pemeliharaan dan koefisien tekhnis pemeliharaan, melakukan pengamatan/survei komposisi botani HMT diareal kebun sawit, mengukur proper use factor HMT dan mengukur daya dukung HMT lahan pertanian (DDLP) bahan segar, mengamati pengelolaan usahatani integrasi dan non integrasi sawit-ternak untuk analisis estimasi ekonomi, analisis kepadatan ekonomi (berdasarkan jumlah penduduk : jumlah ternak, jumlah lahan garapan : populasi ternak), dan melihat aspek sosial ekonomi untuk merumuskan pengembangan sapi potong melalui pendekatan analisis SWOT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1. Umumnya usaha ternak sapi sebagai cabang usaha dengan pemeliharaan sederhana dengan kepemilikan rata-rata 2-3 ekor sapi, dengan koefisien kelahiran anak 61.26 %, dan tingkat kematian anak 0-6 bulan 28.4%, anak 6 bulan-24 bulan 12.9%, muda 12% dan dewasa 6%. 2. Komposisi botani HMT diareal kebun sawit adalah rumput (graminae) berupa Brachiaria humidicola dan Brachiaria brizantha masing-masing 24 %, pakis 24 %, Alang-alang (Imperata cylindrica) 11 %, Andropogon gayanus 9 %, Chloris gayana 8 % dan legum berupa gamal (Gliricida sepium) 31 %, Pueraria phaseloides 25 %, Calopogonium muconoides 24 %, Macrophitilium 20 %. Tingkat produktifitas 68.63 % HMT di areal kebun sawit termanfaatkan oleh ternak, dengan daya dukung produksi HMT bahan segar adalah rata-rata 2.24 ST/hektar selama perkebunan sawit berproduksi, dengan pendapatan petani lebih tinggi pada usaha ternak integrasi sawit-ternak sebanyak 10.56-16.49% dibandingkan tidak integrasi.
iv
3. Di Kutai Timur daya tampung ternak ruminansia lahan perkebunan sawit sebesar 706.520.64 ST (89% dari daya tampung Kutai Timur), dan nilai KPPTR Kutai Timur sebesar 782.276.15 ST dengan kepadatan wilayah berdasarkan lahan garapan termasuk kategori sangat jarang ternak ruminansia (0.03 ST/hektar). Berdasarkan kepala keluarga (44.115 di Kutai Timur) kemampuan KPPTR sebesar = 114.623.8 ST dengan kepadatan ekonomi wilayah (penduduk dengan ternak) termasuk kategori sedang = 95.90 ST/1000 jiwa dan 4. Petani yang memiliki lembaga berupa kelompok tani dan koperasi bahwa : a. Mampu memanfaatkan peluang berupa bantuan pemerintah/swasta. b. Cenderung mendapat perhatian dan pembinaan teknis dari instansi yang cukup intens. c. Mendapat info pasar dan kemajuan tekonologi pertanian. d. Dapat dibina, upaya usahatani secara teknis atau mendekati teknis. e. Mampu menyalurkan aspirasi dan mengkoordinasikan kepentingannya.
v
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Potensi Pengembangan Sapi Potong Melalui Sistem Integrasi Sawit-Ternak di Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur, adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2008 Yajis Paggasa NRP D051050041
vi
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulisan dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
vii
POTENSI PENGEMBANGAN SAPI POTONG MELALUI SISTEM INTERGRASI SAWIT–TERNAK DI KABUPATEN KUTAI TIMUR PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
YAJIS PAGGASA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) pada Program Studi Ilmu Produksi Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
viii
Judul Penelitian :
Nama NIM
: :
Potensi Pengembangan Sapi Potong Melalui Sistem Integrasi Sawit-Ternak di Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur Yajis Paggasa D051050041
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Rudy Priyanto Ketua
Prof. (Emeritus) Dr. H. R. Eddie Gurnadi, M. Sc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Produksi Ternak
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Rarah Ratih A. Maheswari, DEA.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro,M.S.
Tanggal Ujian: 08 - 08 - 2008
Tanggal Lulus:
ix
Penguji Luar Komisi
Dr. Ir. Kartiarso, M.Sc
x
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Paku, Polewali Mandar Sulawesi Barat 18 Maret 1975 dari ayah H. Hermansyah K. dan Ibu Hj. Andaria (Alm.). Penulis anak kedua dari tiga bersaudara (kakak Suriani Herman, SE dan adik St. Sohora, A.Md. Rontgen). Tahun 1993 penulis lulus dari Sekolah Pertanian Pembangunan Daerah Polewali Mamasa (Polmas) sekarang Polewali Mandar (Polman). Tahun 1994 penulis terdaftar menjadi mahasiswa jurusan Peternakan Universitas ”45” Makassar, dan meraih Sarjana tahun 2001. September 2002 menjadi karyawan Stiper Kutai Timur dan menjadi dosen tetap Program Studi Peternakan Stiper Kutai Timur (Dosen Tetap Yayasan Pendidikan Kutai Timur). Pengalaman bekerja sebagai sekretaris Program Studi Peternakan Maret 2003 – Februari 2004. Maret 2004 - Agustus 2005 sebagai Pjs. Ketua Program Studi Peternakan Stiper Kutai Timur. Tahun 2005 penulis diterima menjadi mahasiswa program studi ilmu ternak Sekolah Pascasarjana IPB sponsor biaya BPPS dari Departemen Pendidikan Nasional. Mendapatkan bantuan pendidikan dari pemerintah daerah Kutai Timur, pemerintah daerah provinsi Kalimantan Timur selama tahun 2006 - 2007. Bantuan pendidikan PT. Kaltim Prima Coal tahun 2006. Aktif sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Ternak Hiwacana) 2006, Sekretaris HIWACANA Sulselbar 2006, HIWACANA Kaltim 2006, Sekretaris Departemen keanggotaan dan Urusan internal lembaga Forum Mahasiswa Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (FORUM WACANA IPB) 2007.
xi
Ucapan Terimakasih Puji Syukur Kehadirat Allah SWT., atas Rahmat, Hidayah dan RidhaNYALAH, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “ Potensi pengembangan sapi potong melalui sistem integrasi sawit-ternak di Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur “ . Penulis ucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Rudy Priyanto dan Bapak Prof. (Emeritus) Dr. H. R. Eddie Gurnadie, M.Sc., selaku pembimbing utama dan pembimbing anggota (komisi Pembimbing) yang telah meluangkan waktu, bimbingan, arahan, nasehat dan curahan ilmu untuk kemajuan penulis. 2. Ketua Stiper Kutai Timur Bapak Prof. Dr. Ir. Daddy Ruhiyat, M.Sc, Puket I. Ir. Yos Tunggara Bachman, M.Agr., Puket II. Abbas Husaini K, S.Ag., M.Pd., Puket III. Drs. S. Haryanto, M.Si dan segenap civitas akademika yang telah memberikan dukungan, restunya untuk melanjutkan pendidikan tersebut. 3. Kasubdin Peternakan Kutim (Drh. H. Oesman, M.BAT), Camat dan Kepala UPTD Pertanian Wilayah Muara Wahau (Bapak Ardianysah, SP) dan segenap jajarannya, khususnya saudara Salfari, Darwin, Muhdin Edi, A.Md., Bapak Ahmadi, Rejo, Bambang Hartono SP., Hilmy SP., Beny Susanto SP., Ibu Anis Purwanti, Supriyawati, Bapak Wongso, Muhiddin SE. Ak, Heri Suratman Aras A.Md, Syarifuddin Fatmona, S.Pt. M.Si, Ibnu Khajar, S.Hut, Urif Ashari, S.Hut., Bapak Syamsul Gusri, SE., MP, Yar Johan, S.Pi dan semua pihak yang telah memberikan bantuan dan kerjasamanya. 4. Yang tercinta Ayahbundanda H. Hermansyah Kila - Hj. Anda (alm) KakekNenekda H.P. B. Mahmud (alm) - Hj. P. Sahalang, Pamanda Ir. Muh. Jafar, Ir. Anwar Mahmud, Kak Suriani Herman, SE - P. Dullah, Dinda St. Sohora, A.Md., Abduh Nurdin, A.Md. Komp., Edy Setiawan, dan Herniati, SP (ibu dari anak-anakku) atas kerja keras, bantuan dan doanya selama ini. 5. Khusus anak-anakku Muthia Rizky Dzakillah - Nadia Rizky Dzakillah semoga diberi ketabahan menerima kenyataan dan tumbuh menjadi anak saleh, cerdas, berguna bagi umat, agama dan bangsa kelak, amiin Semoga bimbingan, bantuan, kerjasama, dukungan, dan doa restunya senantiasa mendapat fahala disisiNYA, Amiin. Bogor, 08 Agustus 2008 Penulis
Yajis Paggasa
x
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL
..........................................................................................
DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR ISI
xii
.....................................................................................
xiv
..................................................................................
xv x
...................................................................................................
PENDAHULUAN Latar belakang ................................................................................. Tujuan penelitian .............................................................................. Manfaat penelitian ..............................................................................
1 3 3
TINJAUAN PUSTAKA Asal usul dan karakteristik sapi Bali ................................................ Sistem pemeliharaan ternak sapi beberapa daerah di Indonesia .......... Lingkungan dan sumberdaya peternakan ........................................... Peternakan dalam sistem usahatani ................................................. Sumberdaya Lahan untuk Peternakan Ruminansia ............................ Hijauan makanan ternak .................................................................. Limbah sawit dan kandungan nutrisinya .......................................... Potensi pemodelan integrasi sawit ternak sapi .................................. Analisis perumusan strategi ..............................................................
4 4 6 8 10 11 13 16 18
METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan tempat penelitian. .......................................................... Bahan penelitian ................................................................ Metode pengambilan data dan reponden ........................................... Peubah yang diamati .......................................................................... Prosedur penelitian .......................................................................... Analisa data ............................................................................... Populasi ternak ruminansia ..................................................... Komposisi botani dan produktifitas HMT ................................ Kapasitas penigkatan populasi ternak ..................................... Analisis aspek ekonomi produktifitas lahan ............................ Analisis Pengembangan integrasi sawit-ternak sapi ..................
20 20 20 20 20 21 21 22 22 24 25
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Kabupaten Kutai Timur
................................................................
28
Sejarah dan posisi geografi ............................................................. Tofografi dan iklim ......................................................................... Sosial budaya dan kependudukan ................................................... Konsep pembangunan daerah ...........................................................
28 29 30 31
xi
Pemotongan ternak di Kutai Timur .................................................. Populasi ternak ruminansia di Kutai Timur ...................................... Kapasitas daya tampung ternak di Kutai Timur .......................................
32 33 35
Kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia ...................................
36
Kondisi Umum Kecamatan Muara Wahau ............................................ Kependudukan ................................................................................. Geografis dan sistim usahatani ..................................................... Koefesien tekhnis pemeliharan ternak sapi potong ........................... Sistim Pemeliharaan ternak sapi .......................................................... Komposisi botani hijauan makanan ternak ....................................... Produktivitas hijauan makanan ternak di areal kebun sawit ............... Potensi produksi pelepah dan daun sawit sebagai bahan pakan ternak ........
38 38 38 40 42 45 50 53
Aspek ekonomi sistim integrasi sawit-ternak sapi .............................
55
Strategi pengembangan sapi potong melalui sistem integrasi sawit-ternak .
58
Faktor internal .................................................................................. Faktor eksternal ............................................................................... Evaluasi faktor internal dan eksternal ............................................... Formulasi strategi ...............................................................................
58 59 60 62
KESIMPULAN DAN SARAN
.....................................................................
69
...................................................................................
71
....................................................................................................
78
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR TABEL Halaman 1
Beberapa spesies tanaman introduksi yang telah direkomendasikan untuk ditanam dilahan perkebunan sawit dan karet. .............................................. 13
2
Kandungan nutrisi hasil samping industri kelapa sawit (% bahan kering).......
14
3
Komposisi kimia beberapa hasil perkebunan sawit.
15
4
Kandungan senyawa kimia penyusun serat pada beberapa bahan pakan asal perkebunan sawit. ......................................................................................... 15
5
Kandungan hara limbah kelapa sawit. ...........................................................
15
6
Standar konversi populasi ternak berdasarkan jenis ternak dan umur..............
22
7
Model analisis pendapatan usaha tani integrasi. ...........................................
25
8
Matriks analisis faktor internal pengembangan sapi.
...................................
26
9
Matriks analisis faktor eksternal pengembangan sapi.
.................................
27
....................................
27
11 Keadaan hubungan jenis tanah dan fisiografinya. ........................................
30
12 Jumlah pemotongan Ternak di Kutai Timur 2004.
.....................................
32
13 Jumlah pemotongan ternak di Kutai Timur Tahun 2006. ............................
33
14 Populasi ternak berdasarkan jenis ternak ruminansia di Kutai Timur..............
35
15 Keadaan hujan di daerah penelitian.
............................................................
39
16 Koefisien teknis pemeliharaan ternak sapi potong ..........................................
41
17 Hasil perhitungan produktifitas HMT diareal kebun sawit. ..........................
52
18 Komposisi nutrisi daun dan pelepah sawit. ..................................................
53
10 Matrik analasis SWOT melalui pendekatan TOWS.
.....................................
19 Analisis ekonomi usahatani integrasi sawit-ternak sapi dan non integrasi di lokasi penelitian. ........................................................................................... 57 20 Matriks evaluasi faktor internal (EFI) pengembangan sapi potong melalui sistem integrasi sawit-ternak. ........................................................................ 60 21 Matriks evaluasi faktor eksternal (EFE) pengembangan sapi potong melalui sistem integrasi sawit-ternak. ....................................................................... 61 22 Matriks SWOT formulasi strategi pengembangan sapi potong melalui sistem integrasi sawit-Tternak di Kutai Timur. ........................................................ 63
xiv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Peta wilayah Kutai Timur sebelum pemekaran kecamatan
.................
28
2
Keadaan penduduk Kutai Timur, 2007.
..............................................
30
3
Populasi ternak ruminansia (ekor) di Kutai Timur, 2007 ...... ................
34
4
Populasi ternak ruminansia (ST) di Kutai Timur
................................
34
5
Persentase pemanfaatan lahan di Kutai Timur .......................................
36
6
Sapi yang dipelihara di padang pengembalaan dan areal kebun sawit ....
43
7
Persentase rumput HMT di areal kebun sawit lokasi penelitian. ...........
45
8
Persentase HMT legum di areal kebun sawit lokasi penelitian .............
46
9
Macrophitilium di areal kebun sawit. …………………………………
48
10 Keadaan kebun sawit yang telah disemprot
........................................
49
11 Hirarki konseptual pengembangan sapi potong melalui sistem integrasi sawit-ternak di Kutai Timur.
68
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Selama kurun waktu 2001 – 2005 telah terjadi penurunan populasi sapi sebesar 4.10%, dari 11.9 juta ekor menjadi 7.021 juta ekor. Menurut Tawaf (2006) kemampuan produksi daging dalam negeri adalah sebesar 464.100 ton, sementara kebutuhannya mencapai 597.700 ton.
Oleh karena itu pemerintah
harus mengimpor daging sebesar 133.600 ton. Daerah yang menjadi penghasil sapi potong di Indonesia meliputi provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatra Barat, Bali, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Nangro Aceh Darussalam, Sumatra Selatan, Lampung dan Sulawesi Tenggara (Deptan, 2004). Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur (2006) bahwa kebutuhan daging di Kalimantan Timur hingga saat ini masih cukup tinggi, dengan jumlah konsumsi daging pada tahun 2006 sebesar 34.868 ton, sementara kemampuan produksi daging hanya 33.952 ton. Untuk itu pemerintah Kalimantan Timur memasukkan daging sebanyak 916 ton.
Dalam rangka tujuan peningkatan
populasi (potongan dan budidaya), maka pemerintah melakukan pengadaan beberapa jenis ternak ruminansia diantaranya sapi 39.944 ekor, kambing 10.754 ekor dan domba 22 ekor. Adapun peningkatan populasi sapi mencapai 5% yakni dari tahun 2005 sebanyak 69.024 ekor, dan tahun 2006 menjadi 72.475 ekor. Daerah asal pengadaan sapi adalah Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Kutai Timur merupakan salah satu daerah potensial untuk pengembangan sapi potong. Berdasarkan skala prioritas pembangunan daerah Kalimantan Timur adalah : (1) pembangunan sumberdaya manusia, (2) pembangunan infrastruktur, (3) pembangunan pertanian dalam arti luas (agribisnis). Dalam pengembangan agribisnis di daerah ini, kelapa sawit adalah komoditas unggulan, sementara peternakan merupakan salah satu komponen yang mendukung pengembangan ekonomi rakyat, terutama ternak ruminansia. Dalam pengembangan satu juta hektar perkebunan sawit di Kalimantan Timur, terdapat 350,000 hektar di Kutai Timur lokasi perkebunan kelapa sawit,
2
dan tahun 2007 baru terealisasi 314.511 hektar, termasuk yang dimitrakan sekitar 13.605.70 hektar. Melihat potensi lahan perkebunan sawit yang dapat menyediakan tanaman penutup tanah sebagai sumber pakan ternak, salah satu alternatif untuk mengoptimalkan pemberdayaan lahan tersebut adalah dengan cara integrasi ternak sapi potong dengan perkebunan kelapa sawit. Menurut Sitompul (2004) beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan menerapkan pola integrasi kelapa sawit dengan ternak baik secara teknis maupun ekonomi adalah sebagai berikut : 1. Peningkatan efisiensi dalam pengendalian tanaman penutup tanah (legum dan graminae) melalui sistem penggembalaan ternak di areal kebun sawit atau sistim panen rumput (cut and carrying) untuk ternak. 2. Penggunaan sapi sebagai tenaga kerja di areal kebun sawit, disamping sebagai penghasil pupuk untuk tanaman sawit. 3. Penanaman rumput dan legum sebagai sumber pakan ternak di sela tanaman kelapa sawit yang dapat bernilai ekonomi. 4. Pemanfaatan limbah sawit sebagai bahan pakan ternak dan kompos. Pada dasarnya ketersediaan hijauan pakan merupakan salah satu faktor yang penting dan sangat berpengaruh terhadap produktifitas usaha ternak. Produktifitas hijauan makanan ternak di areal kebun sawit dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah umur tanaman sawit, iklim setempat, jenis hijauan makanan ternak, input teknologi dan tingkat kesuburan tanah. Pada umumnya, petani memelihara ternak sebagai sambilan untuk mendukung ekonomi keluarga. Usahatani sistem integrasi sawit-sapi potong dapat memberikan keuntungan yang tinggi bagi petani, bila sistem ini dilakukan dengan baik melalui : (1) penerapan manajemen pemeliharaan secara teknis, (2) tatalakasana pemberian hijauan pakan, (3) manajemen pengembalaan di areal perkebunan sawit dan kesesuaian sumberdaya lahan dengan kapasitas tampung ternak (ST/hektar/tahun), (4) adanya permodalan yang cukup bagi petani, (5) optimasi pemanfaatan sumberdaya lahan kebun sawit dan peran ternak sapi sebagai tenaga kerja di areal kebun sawit, (6) perhatian pemerintah/instansi teknis secara intens dan keberlanjutannya.
3
Hasil penelitian Johari (2005) menunjukkan bahwa Sapi Brakmas (persilangan Kedah-Kelantang x Brahman) yang dipelihara di areal perkebunan sawit di Malaysia, menghasilkan performans produksi dan reproduksi yang tinggi. Usaha integrasi sawit-ternak sapi yang dilakukan di Lembaga Usahawantani Malaysia (2007) memberikan hasil dan manfaat yang cukup nyata antara lain berupa peningkatan efektifitas dan efesiensi usaha, optimalisasi pemanfaatan sumberdaya, peningkatan produktifitas ternak dan peningkatan pendapatan peternak. Informasi mengenai integrasi sawit-ternak masih sangat terbatas dan memerlukan kajian lebih lanjut secara intensif. Tujuan Penelitian Tujuan penelitan adalah : 1. Mengevaluasi pola yang diterapkan saat ini dan menganalisis potensi pengembangan peternakan sapi potong di Kutai Timur, khususnya kecamatan Muara Wahau. 2. Mengestimasi produktifitas dan daya dukung hijauan makanan ternak (HMT) berdasarkan jenis yang ada di areal kebun sawit. 3. Menganalisis usaha integrasi sawit-ternak sapi dan benefit yang diperoleh.
3. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian berupa : a. Masukan yang bermanfaat bagi pengambil kebijakan untuk merencanakan pengembangan sapi potong. b. Kemitraan yang kondusif antara pemerintah daerah dan perusahaan perkebunan sawit serta masyarakat petani.
4
TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul dan Karakteristik Sapi Bali Sapi Bali merupakan sapi yang termasuk dalam kelompok banteng (bos bibos) yang dijinakkan. Ciri-ciri fisik sapi Bali, yaitu badan berukuran sedang dengan bobot jantan bisa mencapai 450 kg dan betina 350 kg, berdada dalam, warna bulu merah keemasan, sampai coklat tua dikenal juga walaupun tidak umum. Bibir, kaki, dan ekor hitam, kaki dari lutut kebawah berwarna putih, serta terdapat warna putih dibawah paha bentuk oval pada bagian pantatnya. Pada punggung selalu ada garis hitam jelas dari bahu dan berakhir diatas ekor. Jantan mempunyai warna bulu lebih gelap mulai coklat tua sampai hitam saat dewasa, dan betina tetap merah bata. Pada waktu baru lahir semuanya berwarna merah keemasan sampai coklat kemerah-merahan. Sapi Bali mempunyai sifat kemampuan tumbuh yang baik, cukup resisten terhadap kondisi pakan yang terbatas, dinilai lebih baik dari zebu sebagai ternak kerja pada iklim tropik lembab (Payne, 1993). Bangsa sapi Bali merupakan salah satu jenis sapi potong yang memiliki perkembangan pesat di Indonesia.
Sapi Bali memiliki beberapa keunggulan
antara lain : (a) mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan yang buruk, seperti daerah yang bersuhu tinggi, mutu pakan yang rendah, (b) tingkat kesuburan (fertilitas) sangat tinggi yakni 83% dibandingkan dengan jenis sapi lain yang ada di Indonesia, (c) dapat digunakan sebagai ternak kerja yang tangguh, (d) memiliki pertumbuhan badan yang kompak dan persentase karkas yang tinggi (56%), sehingga cocok dikembangkan sebagai sapi pedaging yang digemari oleh konsumen dipasar lokal, maupun luar negeri (Gontoro, 2002). Preston dan Leng (1987) menyatakan bahwa pertumbuhan ternak berbedabeda tergantung pada bangsa, tatalaksana, keadaan makanan, penyakit serta iklim setempat. Sistem Pemeliharaan Ternak Sapi Beberapa Daerah di Indonesia Di daerah pertanian intensif sebagian peternak memelihara sapi dalam kandang permanen atau semi-permanen, namun ada juga yang menggunakan
5
kandang sederhana. Kapasitas kandang bervariasi sesuai dengan jumlah sapi yang dipelihara. Pengandangan dilakukan agar sapi tidak mengganggu tanaman karena lokasi usaha dengan fattening berada di daerah pertanian intensif yang umumnya tidak terdapat tempat penggembalaan.
Pada umumnya, kandang perorangan
berlokasi di dekat tempat tinggal, sedangkan kandang kolektif berada di ladang yang memungkinkan pengangkutan pupuk kandang lebih mudah dan efisien (Hadi dan Ilham 2002). Di daerah pertanian ekstensif rumput alam merupakan satu-satunya sumber pakan ternak yang diperoleh dari renggutan langsung di padang gembalaan/di lapangan karena sapi dilepas sehingga peternak hampir tidak pernah melakukan pengawasan terhadap kesehatan ternaknya. Di daerah pertanian ekstensif, ternak sapi umumnya cukup digembalakan karena lapangan penggembalaan umum tersedia luas (Hadi dan Ilham, 2002). Menurut Bambang (2004) bila dikaji berdasarkan pola dan sistem pemeliharaannya, kalsifikasi usaha ternak sapi potong rakyat dapat dibedakan sebagai berikut : a. Berbasis lahan (land-base) Dalam sistem ini karakteristiknya adalah : (1) ternak dilepas di padang penggembalaan yang tidak digunakan untuk kegiatan pertanian, sumber pakan ternak berasal dari rumput yang tersedia di padang penggembalaan tersebut ; (2) teknik pemeliharaan dilakukan secara tradisional tanpa sentuhan teknologi ; (3) tidak mengutamakan aspek ekonomi lebih bersifat simbol/status sosial. Pola ini umumnya terdapat di wilayah yang tidak subur, sulit air, bertemperatur tinggi, dan jarang penduduk seperti Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, sebagian wilayah Kalimantan dan sebagian Sulawesi. b. Berbasis bukan lahan (non land-base). Karakteristik dari pola ini adalah sebagai berikut: (1) ternak lebih banyak dikandangkan dengan pemberian pakan di dalam kandang, (2) sumber hijauan pakan ternak berasal dari limbah usaha tani (sawah, ladang) ; (3) dalam pemeliharaan, ada campur tangan manusia dan bersifat semi
6
intensif.
Tujuan memelihara adalah sebagai tabungan dan dijual bila
diperlukan. Pola ini umumnya ditemukan di wilayah padat penduduk seperti di Jawa, Sumatera, dan ada pula sebagian di NTB, Kalimantan, Sulawesi. Jumlah kepemilikan ternak pada pola berbasis lahan (landbase) pada umumnya lebih besar dibandingkan dengan pola non landbase. Contohnya 51.6% peternak di Sumbawa-NTB memiliki ternak 5 ekor/keluarga, hanya 12% peternak yang memiliki ternak kurang dari 3 ekor/keluarga.
Sebaliknya peternak di
Lombok-NTB dan di Jawa Timur, rata-rata tiap keluarga memiliki ternak kurang dari 5 ekor, lebih dari 50% peternak memiliki ternak kurang dari 3 ekor/keluarga (Ilham 2001; Bambang, 2004). Mubyarto (1977) karakteristik usaha ternak tradisional adalah : 1. Diusahakan oleh sebagian besar petani dalam skala kecil sebagai usaha keluarga. 2. Rendahnya tingkat keterampilan peternak dan kecilnya modal usaha. 3. Belum memanfaatkan bibit unggul dan kecilnya jumlah ternak yang produktif. 4. Rendahnya efesien pemanfaatan ransum. 5. Kurang memperhatikan usaha pencegahan penyakit. 6. Usahanya belum bersifat komersil.
Lingkungan dan Sumberdaya Peternakan Tujuan pengembangan peternakan untuk ; (a) untuk meningkatkan kesejahteraan peternak, (b) untuk meningkatkan produktifitas ternak, (c) untuk meningkatkan populasi dan pemanfaatan bahan pakan, (d) membangun sistem agribisnis peternakan dan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia secara optimal. Guna mewujudkan tujuan tersebut maka harus diketahui terlebih dahulu potensi wilayah berdasarkan daya dukungnya yang meliputi karakteristik iklim, tofografi, sosial budaya masyarakat, dan ketersediaan bahan pakan dan aspek pasar dan penunjang lainnya (Wiyatna, 2002).
7
Pelaksanaan usaha ternak sapi potong, produktifitas ternak dan tingkat keuntungan dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya : a. Bangsa sapi b. Tatalaksana pemeliharaan (pemberian HMT, pola pemeliharaan, vaksin dan obat-obatan) c. Tingkat pengetahuan dan penggunaan teknologi dalam pengusahaan ternak, d. Iklim Iklim merupakan gabungan beberapa elemen suhu, kelembaban, curah hujan, pergerakan angin, radiasi, tekanan udara dan ionisasi. Faktor-faktor tersebut akan menentukan tujuan usaha dan program-program yang akan dikembangkan (Handoko, 1993 dalam Hoda, 2004). e. Lingkungan Fisik Lokasi peternakan harus memiliki syarat-syarat yang meliputi tersedianya bahan
makanan
ternak,
adanya
sumber
air,
tidak
merusak
ekosistem/lingkungan, aman dan nyaman, cukup jauh dari pemukiman penduduk, dapat diakses transportasi dan komunikasi. f. Lingkungan Sosila Budaya (sumberdaya manusia, pola pemeliharaan Pengusahaan ternak tidak terlepas dari pengaruh akar budaya suatu bangsa atau daerah.
Hal ini dapat dilihat pada pengusahaan ternak di India
sebagai ritual keagamaan. Demikian juga beberapa daerah di Indonesia menggunakan ternak sebagai bahan ritual keagamaannya contohnya kerbau belang dan babi di Tator Sulsel, Kuda di Jeneponto Sulsel yang digunakan sebagai hidangan istimewa dalam resepsi perkawinan. Ternak kambing, domba, sapi sering digunakan sebagai bahan pelengkap ritual keagamaan yakni sebagai kurban di hari raya dan tenaga kerja pada sapi serta kerbau. g. Kebijakan Pemerintah Pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota diberikan wewenang seluas-luasnya untuk merencanakan, merumuskan strategi dan program pembangunan pertanian berdasarkan potensi dan penyesuaian komoditas dengan spesifik lokal.
Penyusunan anggaran
8
pembangunan pertanian secara umum tahun 2007 sebanyak 14.627.83 triliun rupiah, yakni pusat 17.09% (2.5 triliun), provinsi 20.51% (3 triliun) dan kabupaten/kota 62.40% (9.127.83 triliun).
Upaya revitalisasi
pembangunan pertanian, dalam Kebijakan pengembangan peternakan diarahkan pada : 1) upaya pemenuhan kecukupan daging sapi, (2) kecukupan susu nasional, (3) inisiasi ekspor kambing/domba ke Timur Tengah,
(4) peningkatan kapasitas produksi perunggasan.
Dukungan
kebijakan tersebut sasaran yang hendak dicapai dalam pembangunan peternakan khususnya ternak potong adalah peningkatan komsumsi daging dari 6.3 kg menjadi 8.3 kg/kapita/tahun. (Deptan 2007). Visi pembangunan daerah Kutai Timur adalah ” pemanfaatan potensi yang bertumpu pada sumber daya alam yang dapat diperbaharuhi mewujudkan Kutai Timur sebagai pusat Agribisnis dan Agroindustri di Kaltim pada tahun 2010”.
Guna mewujudkan visi tersebut melalui skala prioritas
pembangunan yaitu ; pembangunan infrastuktur, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan pembangunan pertanian dalam arti luas (agribisnis).
Pembangunan pertanian dalam arti luas maka dilakukan
pengwilayahan komoditas yakni Kec. Sandaran, Sangkulirang, Kaliorang, Kombeng, Telen, Muara Wahau, Muara Bengkal, Muara Ancalong merupakan sebagai pusat pengembangan Perkebunan, tanaman pangan, peternakan, serta hutan tanaman industri (Ishak 2004).
Peternakan dalam Sistem Usahatani Istilah integrasi menurut Dirjen Peternakan Malaysia adalah melakukan usaha ternak di dalam kawasan tanaman pokok (tanaman perkebunan karet, kelapa sawit, dan lain-lain), sebagai contoh, usaha ternak sapi atau kambing terintegrasi di dalam perkebunan kelapa sawit yang berumur 4 hingga 20 tahun yang disesuaikan dengan program integrasi sawit-ternak sapi. Ternak dipelihara secara bergilir di areal kebun sawit yang telah dipagar dengan kawat elektrik. Konsep untuk mengoptimumkan penggunaan sumberdaya lahan melalui peternakan ruminansia di areal perkebunan tanaman keras bertujuan untuk meningkatkan
9
produktivitas lahan dan pendapatan petani/pengusaha (Lembaga Usahawantani Malaysia, 2007). Ruang lingkup integrasi ternak sapi dengan perkebunan kelapa sawit meliputi perancangan seluruh komponen kegiatan yang berkaitan dengan perkebunan dan peternakan dalam satu rancangan perencanaan, pembiayaan dan pengelolaan. Pengelolaan usaha dapat dilakukan dengan pola patungan, yakni kepemilikan sahamnya sebagian dimiliki oleh koperasi petani dan sebagian lagi oleh investor/pengusaha besar dan atau pemerintah. Perencanaan dimulai dengan identifikasi dan menetapkan lokasi, pembangunan kebun dan sarana prasarana pengolahan hasil kelapa sawit, serta pengembangan bidang peternakan. Integrasi ternak sapi dengan perkebunan kelapa sawit dalam sistem dan usaha agribisnis dikembangkan dengan pendekatan "Low External Input System Agriculture" (LEISA) yakni terjadi ketergantungan antara kegiatan tanaman dan ternak dan pada dasarnya sistem ini adalah "resource driven" dengan terjadinya daur ulang optimal dari sumberdaya lokal yang tersedia (Deptan, 2004). Dasuki, Atmadja dan Martanegara (1981) menyatakan bahwa personil yang terlibat dalam aktivitas usaha ternak akan mendapat insentif. Kesanggupan peternak untuk mendatangkan keuntungan dari usahatani ternaknya dapat dilakukan dengan beberapa cara : 1. Memanfaatkan lahan yang tidak tergarap. 2. Memanfaatkan hasil limbah pertanian yang tidak bernilai menjadi lebih bernilai (daging/kerja) 3. Membantu kebutuhan potein hewani keluarga. 4. Memanfaatkan ternak sebagai sumber tenaga kerja 5. Meningkatkan dan memperbaiki kesuburan tanah. Integrasi ternak dalam sistem usahatani perlu mendapat pengkajian yang lebih dalam terutama menyangkut analisa kuantitatif potensi dan kontribusi ternak dalam usahatani yang bervariasi antar daerah atau wilayah (Puslitbang, 1980). Siregar et al. (1981) kemampuan ternak beradaptasi terhadap lahan mencakup tiga aspek utama
yakni ; (1) biologis, (2) kemampuan lahan
10
menghasilkan pakan ternak, pola pemeliharaan dan daya tampung areal yang tersedia, (3) sosial budaya yang meliputi : 1. Keserasian ternak dengan komoditas utama tujuan petani dalam usahatani. 2. Kesenangan petani dan keterampilannya memelihara ternak. 3. Kemampuan petani dari segi waktu dan tenaga kerja pemelihara. 4. Keadaan sosial budaya, dan lingkungan setempat. Natasasmita dan Mudikjo (1979) menyatakan bahwa ternak sapi dalam jangka panjang tetap mempunyai peranan penting bagi sektor pertanian di Indonesia antara lain sebagai sumber tenaga kerja, pengubah hasil limbah pertanian dan rumput alam menjadi bernilai, tabungan dan sebagai sumber pupuk organik. Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak, perlu memperhatikan beberapa hal yaitu : jumlah yang tersedia (kuantitas), akses distribusi, infrastruktur yang berhubungan dengan transportasi dan fasilitas penanganan serta penyimpanan, kesinambungan produksi, teknologi yang tersedia dengan mempertimbangkan aspek ekonomi dan efisiensinya (Preston dan Leng, 1986).
Sumberdaya Lahan untuk Peternakan Ruminansia Proper use factor merupakan nilai kewajaran penggunaan potensi HMT atau padang pengembalaan, besarannya tergantung keadaan lapangan, jenis ternak yang digembalakan, jenis tanaman/HMT, tipe iklim dan keadaan musim. Kategori Proper use factor penggunaannya didasarkan pada nilai yang diperoleh yakni : 25-30% ringan, 40-45% sedang, 60-70% berat (Ilroy dan Susetyo, 1976. dalam Reksohadiprodjo, 1994). Hardjowigeno dan Widatmaka (2001) menyarankan agar ternak dapat berproduksi optimum, beberapa persyaratan kualitas yang perlu diperhatikan antara lain : 1. Tersedianya air, unsur hara, oksigen diperakaran, daya memegang unsur hara/jenis tanah, mudah tidaknya diolah, kadar garam, unsur-unsur
11
beracun, kepekaan erosi, hama dan penyakit tanaman, ancaman longsor, banjir, suhu, sinar matahari, iklim, dan kelembaban udara. 2. Iklim ( suhu, kelembaban udara, curah hujan, tekanan udara) 3. Ketersediaan air minum yang cukup berkualitas dan kuantitas. 4. Kandungan nilai nutrisi dari rumput/legum. 5. Sifat-sifat racun dari rumput 6. Penyakit hewan 7. Ketahanan erosi akibat penggembalaan. Sumberdaya lahan yang dapat dimanfaatkan oleh peternak menurut Riady (2004) antara lain : lahan sawah, padang pengembalaan, lahan perkebunan, dan hutan rakyat. Tingkatan kepadatan tergantung pada keragaman dan intensitas tanaman, ketersediaan air, dan jenis ternak ruminansia atau sapi potong yang dipelihara. Luasnya lahan sawah, kebun, dan hutan rakyat memungkinkan untuk pengembangan pola integrasi ternak-tanaman, melalui pemanfaatan sapi sebagai tenaga kerja dan penghasil pupuk kompos. Lahan tanaman pangan, sawah, menghasilkan jerami dan limbah tanaman yang dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Kebun dan hutan rakyat dapat menghasilkan rumput alam atau hijauan makanan ternak sebagai sumber pakan ternak. Pola ini dapat meningkatkan ketersediaan pakan sepanjang tahun, sehingga dapat meningkatkan produksi dan produktifitas ternak. Evaluasi makanan ternak bertujuan untuk mengidentifikasi beberapa jenis hijauan, dengan manajemen tertentu dapat meningkatkan produktifitas ternak melalui sistim usahatani. Berdasarkan tipe penggunaan lahan yang ada, terdapat enam kelompok sistem usahatani di Indonesia, yaitu : (1) lahan sawah, (2) lahan kering/tegalan, (3) lahan perkebunan, (4) padangan, (5) lahan pekarangan, (6) lahan pertanian berpindah. Tipe penggunaan lahan menentukan jenis hijauan ternak yang tersedia dan tingkat kesesuaiannya untuk dikembangkan (Ibrahim, 2003). Hijauan Makanan Ternak Hijauan makanan ternak ialah semua bahan makanan yang berasal dari tanaman dari kelompok bangsa rumput (graminae), leguminose dan hijaunan
12
tumbuh-tumbuhan/tanaman lain baik dalam bentuk segar maupun dalam bentuk kering,
dimana perbedaan mutu hijauan dipengaruhi oleh faktor : (1) faktor
genetis atau pembawaan, (2) faktor lingkungan yang meliputi keadaan tanah, pengaruh iklim, perlakuan manusia (Kanisius, 1983). Dalam pemilihan species rumput atau legominosa untuk padang penggembalaan, sifat utama yang dikehendaki adalah produktifitas, palatabilitas, nilai gizi, daya adaptasi terhadap keadaan tanah dan iklim setempat (Ilroy 1964, dan Susetyo, 1976). Laporan Departemen Pertanian (2004) menjelaskan pada pertanaman kelapa sawit di Indonesia, yakni 120 pohon tiap hektar dengan ukuran 7 x 7 x 7 m, diselingi tanaman rumput. Produksi hijauan yang dapat dihasilkan setelah umur kelapa sawit dua tahun mengalami penurunan 10-15% yang disebabkan berkurangnya penyinaran untuk pertumbuhan hijauan antar tanaman. Pada umur 3-5 tahun, hijauan antar tanaman (HAT) yang dihasilkan terendah antara 20003000 kg/Ha, dan tertinggi 7000-8000 kg/Ha bahan kering. Setelah berumur lebih dari 5 tahun hijauan antar tanaman (HAT) yang dihasilkan berkisar antara 5001000 kg/Ha. Umumnya tanaman penutup tanah terdiri atas jenis kacang-kacangan antara lain Centrocema pubescens, Peuraria phasseiloides dan Desmodium sp., sedangkan tanaman rumput-rumputan yang tumbuh antara lain dari jenis Paspalum plikatulum, Panicum maximum dll. Meningkatkan produksi hijauan antar tanaman (HAT) dapat juga ditempuh melalui pemupukan, dan penjarangan tanaman kelapa sawit tanpa berdampak pada penurunan produksi TBS dan rendemen minyak yang dihasilkan.
Perbaikan ketersediaan hijauan di areal
perkebunan merupakan target yang sejalan dengan upaya pencapaian tingkat produktifitas ternak. Integrasi ternak dengan perkebunan bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah dari produktifitas sumberdaya lahan yang saling mendukung dan saling memanfaatkan. Beberapa spesies tanaman introduksi yang direkomendasikan untuk ditanam dilahan perkebunan kelapa sawit disajikan pada Tabel 1 :
13
Tabel 1 Beberapa spesies tanaman introduksi yang telah direkomendasikan untuk ditanam dilahan perkebunan sawit dan karet. Spesies Rumput
Tahan Tahan Kering Naungan (1) (1)
Sifat Karakteristik Tahan Tahan Per Respon Rendam Asam tumbuh Terhadap an (1) Pupuk (1) an (1) (1)
Braciharia humidicol
4
4
4
5
5
4
Panicum maximum
3
4
2
2
3
4
3
5
4
4
4
3
4
4
3
4
4
3
Paspalum notatum Legume Arachis pinto
Keterangan (2)
Nilai Nutrisi sedang Nilai nutrisi tinggi tapi kurang palatabel Kurang palatabel
Kurang palatable padamusim hujan Stylosanthes 3 4 3 5 2 3 tetapi palatabel guianensis pada musim kemarau Ket : (1) Pada parameter tahan kering. tahan naungan. tahan rendaman. tahan asam nilai 1 menunjukkan kurang tahan dan angka 5 menunjukkan paling tahan. (2) Pada parameter respon terhadap pupuk angka 1 menunjukkan jelek angka 5 menunjukkan bagus. Sumber : 1. Horne et al. 1994; 2. Gohl. 1981.
Rumput liar dan tanaman penganggu yang dominan pada perkebunan kelapa sawit adalah Axonopus compresus, Ottochloa nodosa dan Paspalum conjugatum. Produksi rumput liar tersebut dapat digunakan sebagai pakan ternak dengan produksi sekitar 3-5 ton/ha/tahun dan pengendalian tanaman penganggu dapat dilakukan dengan penggembalaan ternak sapi atau kerbau dengan kapasitas daya tampung yang memberikan pertumbuhan (Umiyasih dan Anggraeny, 2003) Limbah Sawit dan Kandungan Nutrisinya Menurut Wiyono, Affhandy dan Rasyid (2003) hasil ikutan pengelolaan perkebunan kelapa sawit diantaranya adalah : •
Oil Palm Fronds (OPF) adalah pelepah daun sawit berupa bagian dalam pangkal batang daun kelapa sawit
•
Empty Fruits Buncsh (EFB) adalah tandan buah kosong atau tandan yang dikastrasi atau tidak berbiji. Peranan perkebunan sawit dalam pengembangan ternak sapi adalah
menghasilkan pakan ternak dari tanaman yang tersedia dalam areal perkebunan
14
sawit. Hasil pemangkasan (prunning) pelepah sebanyak kurang lebih 22 batang/tahun, dapat diolah menjadi bahan pakan ternak (Sitompul, 2003). Setiap ekor ternak mengeluarkan feces sekitar 20 kg/hari dan sekresi urine, yang kaya akan kandungan bahan organik unsur hara yang dibutuhkan oleh tanah dalam aktivitas daur ulang (Sitompul, 2004). Menurut Idris et al. (1998) dalam Ginting dan Elisabeth (2003) bahwa kandungan nutrisi dari beberapa jenis hasil samping industri kelapa sawit disajikan pada tabel 2 sebagai berikut : Tabel 2 Kandungan nutrisi hasil samping industri kelapa sawit (% bahan kering). Komponen
Pelepah Sawit
Lumpur Sawit
Bungkil Sawit
86.2 5.8 48.6 5.8 36.5 3.3 0.32 0.27 29.8 4.02
91.1 11.1 17.0 12.0 50.4 9.0 0.70 0.50 45.0 6.52
91.8 15.3 15.0 8.9 55.8 5.0 0.20 0.52 65.4 9.10
Bahan Kering Protein Kasar Serat Kasar Ekstrat Eter Ektrat Bebas N Abu Kalsium Fospor TDN Energi Kasar (MJ/kg)
Sumber : Idris et al (1998). Kandungan selulose dan hemiselulose merupakan unsur yang terbesar yaitu (60-80 %) atau setara dengan 44-69 % dari bahan kering. Lignin selain tidak dapat dimanfaatkan oleh ternak, juga merupakan indeks negatif bagi mutu bahan pakan karena ikatannya dengan selulose dan hemiselulosa mempersulit pemanfaatan selulosa dan hemiselulosa sebagai sumber energi bagi ternak. Berikut ini dilaporkan lebih lanjut komposisi kimia beberapa hasil sampingan perkebunan sawit (Tabel 3 dan 4 ).
15
Tabel 3 Komposisi kimia beberapa hasil perkebunan sawit Bahan Komposisi Kimia
Bungkil inti sawit
Solid decenter
Pelepah
Bahan Kering (%) 88 - 93 84 - 92 85 - 90 Protein Kasar (%) 16 - 18 12 - 15 4.0 - 5.0 Serat Kasar (%) 13 - 17 12 - 17 38 - 40 Lemak Kasar (%) 2.0 – 3.5 12 - 14 2.0 - 3.0 BETN (%) 52 - 58 40 - 46 Abu (%) 3.0 - 4.4 19 - 23 3.2 - 3.6 GE (Mkal/kg) 4.1 - 4.3 3.8 - 4.1 ME (Mkal/kg) 2.8 - 3.0 2.9 - 3.1 2.5 - 2.7 Sumber : Handayani 1987; Sutardi et al. 1997; Hanafi. 1999.
Daun 85 - 87 13 - 15 3.0 - 3.4 3.8 -4.2 5.0 – 5.5 -
Serat Perasan buah 86 - 92 4.0 – 5.8 42 - 48 3.0 - 5.8 29 - 40 6.0 - 9.0 4.0 - 4.6 1.8 - 2.2
Bacang
85 - 92 1.6 - 3.2 36 - 39 0.6 - 1.0 51 - 54 2.8 - 3.2 4.3 - 4.6 2.0 - 2.5
Tabel 4 Kandungan senyawa kimia penyusun serat pada beberapa bahan pakan asal perkebunan sawit. Unsur Kimia Daun Selulosa (%) 16.6 Hemiselulosa (%) 27.6 Lignin (%) 27.6 Silika (%) 3.8 Total 75.6 Sumber : Shibata. 1988; Aliman. 1995.
Fraksi Kelapa Sawit Pelepah Serat Perasan Buah 31.7 18.3 33.9 44.9 17.4 21.3 0.6 83.6 84.5
Batang 34 35.8 12.6 1.4 83.8
Limbah pengolahan sawit dan sisa panen di areal kebun sawit dapat pula digunakan sebagai bahan pembuatan kompos, dimana berfungsi sebagai salah satu sumber bahan organik, hal ini sesuai dengan pendapat (Suryahadi, 2006) bahwa memanfaatkan ternak sebagai mesin pengolah limbah pertanian atau pabrik penghasil organik baik digunakan sebagai bahan makanan ataupun sebagai bahan kompos. Tabel 5 Kandungan hara limbah kelapa sawit. Limbah 1. Batang pohon 2. Pelepah Daun - Daun - Pelepah 3. Tandan kosong 4. Sabut Buah 5. Cangkang
N 0.488
Kandungan atas dasar % bobot kering P K Mg Ca 0.047 0.699 0.117 0.194
0.373 2.38 0.350 0.320 0.330
0.066 0.157 0.028 0.080 0.010
Sumber : Suryahadi, 2006
0.873 1.116 2.285 0.470 0.090
0.161 0.287 0.175 0.020 0.020
0.295 0.568 0.149 0.110 0.020
16
Potensi Integrasi Sawit Ternak Sapi Gurnadi (1998) mengatakan bahwa untuk mencapai tujuan pengembangan ternak tersebut dapat dilakukan dengan tiga pendekatan. yaitu (1) pendekatan teknis dengan meningkatkan kelahiran, menurunkan kematian, mengontrol pemtongan ternak dan perbaikan genetik ternak, (2) Pendekatan terpadu yang menerapkan teknologi produksi, manajemen ekonomi, pertimbangan sosial budaya yang tercakup dalam “sapta usaha peternakan” serta pembentukan kelompok peternak yang bekerja sama dengan instansi-instansi terkait, (3) Pendekatan Agribisnis dengan tujuan mempercepat pengembangan peternakan melalui integrasi dari keempat aspek yaitu input produksi (lahan, pakan, plasma nutfah dan sumberdaya manusia), proses produksi,
pengolahan hasil dan
pemasaran. Sistem
integrasi
sawit-ternak
sapi
merupakan
perpaduan
antara
manajemen perkebunan kelapa sawit dengan ternak sapi. Perkebunan kelapa sawit dikelola agar hasil samping tanaman terutama pelepah dapat tersedia sepanjang hari untuk pakan sapi yang dimanfaatkan sebagai pengendali rumput/gulma di areal kebun, pengangkut buah sawit dan penghasil kotoran sebagai sumber pupuk organik dan biogas (BPPT Bengkulu, 2006). Sistem produksi ternak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pertanian secara umum. Menurut Preston dan Leng (1986) tujuan utama yang harus diperhatikan dalam pengembangan sapi potong dengan sistem usaha tani lain adalah : 1. Untuk mengoptimalkan produktivitas pertanian dan peternakan dengan menggunakan input yang tersedia. 2. Untuk memadukan antara beberapa jenis tanaman dengan ternak, limbah peternakan dan pertanian, sehingga semua bagian saling memanfaatkan. Bahwa sistem pertanian terpadu adalah suatu usaha dalam bidang pertanian dimana terjadi keterkaitan input-output antar komoditas pertanian, keterkaitan antar kegiatan produksi dengan pra-pasca produksi, serta antara kegiatan pertanian dengan kegiatan manufaktur dan jasa.
Pengembangan usaha tani terpadu
merupakan salah satu pendekatan dalam memanfaatkan keragaman sumberdaya
17
alam, dan apabila dikembangkan dengan tepat maka sistem usaha tani terpadu dapat menjadi pilar pembangunan pertanian modern dan berkelanjutan. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam sistem usahatani berbeda (integrasi) adalah (1) sifat usaha tani, (2) sumberdaya manusia, (3) skala usaha, (4) sarana dan prasarana, (5) kemitraan dan hubungan antar subsistem agribisnis (orientasi usaha), (6) kelestarian sumberdaya dan lingkungan (Rusono, 1999; Sutanto, 2004) Sutanto (2004) menyatakan bahwa ciri-ciri pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan adalah : 1. Mampu meningkatkan produksi pertanian dan menjamin keamanan pangan dalam negeri. 2. Mampu menghasilkan yang terbeli dengan kualitas gizi yang tinggi serta mampu menekan atau meminimalkan kandungan bahan-bahan pencemar kimia maupun bakteri yang membahayakan. 3. Tidak mengurangi dan merusak kesuburan tanah, tidak meningkatkan erosi dan menekan ketergantungan pada masyarakat sumber daya alam yang tidak terbarukan. 4. Mampu mendukung dan menopang kehidupan masyarakat pedesaan dengan meningkatkan kesempatan kerja, menyediakan penghidupan yang layak dan mantap bagi para petani. 5. Tidak membahayakan bagi kesehatan masyarakat yang bekerja atau hidup di lingkungan pertanian dan bagi yang mengkomsumsi hasil-hasil pertanian . 6. Melestarikan dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup di lahan pertanian dan pedesaan serta melestarikan sumber daya alam dan keragaman hayati. Reijntjes, Haverkort dan Bayer (2004) menyatakan bahwa selain prinsipprinsip sosio-ekonomi dan politik, prinsip ekologi dasar dalam pengembangan sistem pertanian Low external input sustainable agriculture (LEISA) adalah : 1. Menjamin kondisi tanah yang mendukung bagi pertumbuhan tanaman. khususnya dengan bahan-bahan organik dan meningkatkan kehidupan dalam tanah, dalam hal ini yang dimaksudkan adalah ; ketersediaan air,
18
udara dan unsur hara tepat waktu dalam jumlah seimbang dan mencukupi; struktur tanah yang meningkatkan pertumbuhan akar, pertukaran unsurunsur gas, ketersediaan air, dan kapasitas penyimapanan ; suhu tanah yang meningkatkan kehidupan tanah dan pertumbuhan tanaman; tidak adanya unsur-unsur toksit 2. Mengoptimalkan ketersediaan unsur hara dan menyeimbangkan arus unsur hara, khususnya melalui pengikatan nitrogen, pemompaan unsur hara, daur ulang dan pemanfaatan pupuk luar sebagai pelengkap. 3. Meminimalkan kerugian sebagai akibat radiasi matahari, udara, dan air dengan cara pengelolaan iklim mikro, pengelolaan air, dan pengendalian erosi. 4. Meminimalkan serangan hama dan penyakit terhadap tanaman dan hewan melalui pencegahan dan perlakuan yang aman. 5. Saling melengkapi dan sinergi dalam penggunaan sumber daya genetik yang mencakup penggabungan dalam sistem pertanian terpadu dengan tingkat keanekaragaman fungsional yang tinggi.
Analisis Perumusan Strategi Perumusan strategi adalah mengenali peluang dan ancaman eksternal, menetapkan kekuatan dan kelemahan internal dan memilih strategi tertentu untuk dilaksanakan. Implementasi strategi sering disebut tahap tindakan manajemen strategi dengan mengubah strategi yang telah dirumuskan menjadi suatu tindakan. Evaluasi strategi adalah tahap akhir dari manajemen strategi dengan melakukan tiga macam aktivitas mendasar untuk mengevaluasi strategi yaitu meninjau faktorfaktor eksternal dan internal yang menjadi dasar strategi, mengukur prestasi dan mengambil tindakan korektif (David 2002). Dalam melakukan perumusan strategi dapat digunakan alat formulasi yaitu analisis SWOT (Strengths-Weaknesses-Opportunities-Threats). Analisis SWOT adalah analisis identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi yang didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman (Hax dan Majluf 1991). Dilain pihak Syamsu (2006) menyatakan bahwa proses
19
penggunaan analisis SWOT menghendaki adanya suatu survei internal tentang strengths (kekuatan) dan weaknesses (kelemahan), serta survei eksternal atas opportunities (peluang/kesempatan) dan threats (ancaman). Analisis SWOT secara sederhana dipahami sebagai pengujian terhadap kekuatan dan kelemahan internal, serta kesempatan/peluang dan ancaman lingkungan eksternal. SWOT adalah perangkat umum yang didesain dan digunakan sebagai langkah awal dalam proses pembuatan keputusan dan sebagai perencanaan strategis dalam berbagai terapan (Johnson et al. 1989). Dilain pihak, Marimin (2004) menyatakan bahwa analisis SWOT adalah suatu cara untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis dalam rangka merumuskan suatu strategi yang didasarkan pada logika.
20
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Pebruari-Mei 2007 di areal perkebunan sawit Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Kecamatan Muara Wahau menjadi lokasi penelitian tersebut karena wilayah ini merupakan kecamatan pertama yang penduduknya lebih awal menanam sawit (3 – 6 tahun umur sawit), milik rakyat yang dapat dijadikan model pemeliharaan sapi secara terintegrasi dengan sawit di Kutai Timur. Bahan Penelitian Penelitian ini menggunakan sapi Bali yang dipelihara di areal perkebunan sawit milik rakyat, dan hijauan makanan ternak yang tumbuh di areal perkebunan tersebut. Metode Pengambilan Data dan Responden Untuk pengambilan data primer dilakukan langsung kepetani untuk memperoleh data kualitatitf/informasi integrasi sawit-ternak sapi, dari hasil pengukuran yang dilakukan berdasarkan masing-masing peubah dalam penelitian tersebut, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi dalam lingkup pemerintah Kabupaten Kutai Timur dan provinsi Kalimantan Timur. Peubah yang diamati Dalam penelitian ini, peubah yang diamati adalah : (1) komposisi dan populasi ternak ruminansia khususnya sapi, (2) komposisi botani dan produktifitas HMT di areal kebun sawit, (3) kapasitas daya tampung dan peningkatan populasi ternak ruminansia serta tingkat kepadatan ternak. Prosedur Penelitian Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan prosedur sebagai berikut : 1. Data-data populasi ternak, pemanfaatan lahan, pemotongan ternak, iklim dan kependudukan di peroleh melalui kunjungan kekantor dinas dalam
21
lingkup pemerintah kabupaten Kutai Timur dan provinsi Kalimantan Timur. 2. Identifikasi jenis HMT yang ada di areal kebun sawit dilakukan dengan pengamatan dibeberapa areal kebun sawit secara langsung dengan teknis 2
dalam areal dibuat cluster ± 10 x 10 m
kemudian diamati HMT yang
terdapat didalam cluster tersebut hal ini dilakukan dengan 16 lokasi secara acak dengan tempat yang berbeda-beda dilokasi penelitian 3. Untuk menghitung produktivitas hijauan makanan ternak (HMT) di areal kebun sawit dengan membuat Cluster (M2), dimulai dengan mengukur tinggi HMT yang terdapat didalam cluster tersebut, kemudian mengukur seberapa tinggi yang direnggut ternak, dan mengukur sisa renggutan ternak dengan memotong rata dengan tanah dan menimbangnya yang dilakukan secara acak dengan lokasi yang berbeda-beda. Kemudian pada Cluster yang lain dilakukan juga pengukuran tinggi, pemotongan HMT kemudian ditimbang beratnya, guna mengetahui berapa banyak (kg) produksi HMT di areal perkebunan sawit, demikian juga dilakukan secara acak pada lokasi lahan yang berbeda-beda. 4. Melakukan pengamatan sosial melalui pendekatan wawancara/qusioner untuk memperoleh informasi/data penerapan koefiesien tekhnis yang riil meliputi tatalaksana pemeliharaan, kelahiran anak, kematian anak, kematian pedet, kematian jantan, induk, luas lahan, dan pemanfaatan sumberdaya ternak serta lahan dalam usaha tani. Analisa Data Populasi Ternak Ruminansia Untuk perhitungan persentase jumlah populasi ternak ruminansia berdasarkan umur dan jenis ternak sapi, kerbau, kambing dan domba digunakan nilai konversi (persentase) masing-masing ternak anak, muda dan dewasa. Nilai persentase yang digunakan terlihat pada Tabel 6. Untuk jumlah satuan ternak (ST) ruminansia untuk setiap jenis ternak, maka dihitung berdasarkan persentase struktur populasi (ekor) dikalikan dengan nilai standar satuan ternak.
22
Tabel 6 Standar konversi populasi ternak berdasarkan jenis ternak dan umur. Prosentase (%)
Jenis Ternak Sapi Kerbau Sapi Perah Domba Kambing
Standar Satuan Ternak (ST)
Anak
Muda
Dewasa
Anak
Muda
Dewasa
16.99 11.14 14.12 3.19 10.92
26.68 25.15 26.92 14.28 14.23
56.33 63.71 58.96 82.53 74.85
0.25 0.29 0,25 0.04 0.04
0.60 0.69 0.60 0.07 0.08
1.00 1.15 1.00 0.14 0.16
Sumber : Dinas Peternakan Sulawesi Selatan (2004). Komposisi Botani dan Produktivitas Hijauan Makanan Ternak Hasil pengamatan komposisi botani yang diperoleh di areal kebun sawit, diolah melalui pendekatan Sofware exel. Kalsifikasi produktivitas HMT kategori 25-30% adalah ringan, 40-50% sedang, 60-70%, maka dihitung berdasarkan pendekatan rumus Proper use Ilroy dan Susetyo (1976) sebagai berikut :
a1 – b1 PUF
= ------------- 100%
a1 Dimana : PUF = Profer Use Factor 2
a1 = a/m adalah hijauan sebelum direnggut 2
b1 = b/m adalah sisa hijauan setelah direnggut Daya dukung hijauan makanan ternak bahan segar (DDHMT-BS) digunakan rumus sebagai berikut : DDHMT Bahan Segar =
Produksisegar (ton/hektar) Kebutuhan1 ST (ton/tahun)
Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Perhitungan kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia, dilakukan dengan menggunakan bentuk persamaan (Fakultas Peternakan, 1985) :
23
1. PMSL = PMSL
a LG + b PR + c R + d KS ..........................................(1) =
Potensi maksimum(ST)berdasarkan sumberdaya lahan yaitu :
a
=
Daya tampung ternak ruminansia (ST) lahan garapan.
LG
=
Lahan garapan
b
=
Daya tampung ternak ruminansia (ST) lahan padang rumput. b = 0.5 ST/hektar rumput alam, 1 ST/hektar alang-alang
PR
=
Padang rumput/tegalan
c
=
Daya tampung ternak ruminansia (ST) lahan rawa c = rawa air tawar 2 ST/hektar rawa pasang surut 1.2 ST/hektar
R
=
Luas lahan rawa
d
=
Daya tampung ternak ruminansia (ST) di areal kebun sawit.
KS
=
Luas kebun sawit.
2. KPPTR (SL) = PMSL - POPRIL KPPTR (SL) =
......................................................(2)
Kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia (ST) berdasarkan sumberdaya lahan.
PMSL POPRIL
=
Persamaan 1. Populasi riil ternak ruminansia
3. PMKK = a KK .................................................................................... (3) PMKK = Potensi maksimum usaha ternak (ST) berdasarkan kepala keluarga KK
= Kepala keluarga
a
= Kemampuan rumah tangga untuk usaha ternak ruminansia tanpa kerja dari luar rumah tangga a = 3 ST/KK
Kepadatan ternak dibedakan dalam tiga tipe kepadatan yaitu kepadatan ekonomi dan kepadatan usaha tani (Ditjen Peternakan dan Balitnak, 1995) : 1. Kepadatan ekonomi ternak sapi potong di Kutai Timur, diukur dari jumlah populasi/1000 penduduk.
24
Populasi ternak ruminansia (ST) Kepadatan Ekonomi : −−−−−−−−−−−−−−−−−−−−− x Penduduk
1000.
Kriteria yaitu sangat padat >300, padat >100-300, sedang 50-100 dan jarang <50. 2. Kepadatan usaha tani diukur dari jumlah populasi ternak ruminansia per hektar Populasi ternak ruminansia (ST) Kepadatan Usaha Tani = −−−−−−−−−−−−−−−−−−−−−− Luas lahan garapan (ha) Luas lahan yang dimaksud adalah luas sawah dan luas kebun, kriteria yang
digunakan yaitu kategori sangat padat >2, padat >1-2, sedang 0.25-1.0 dan jarang <0.25.
Analisis Ekonomi Produktifitas Lahan Produktifitas lahan sawit dengan introduksi sapi potong, maka variabel yang diamati adalah sebagai berikut : a. Lahan sawit/hektar tanpa introduksi sapi potong meliputi : • Biaya produksi (pupuk, tenaga kerja babat, dan obat-obatan) • Hasil produksi ; hasil penjualan buah sawit yang dipanen. b. Lahan sawit dengan introduksi sapi potong di areal kebun sawit : •
Biaya produksi (bibit, penanaman, pupuk, tenaga kerja babat, pembelian sapi bakalan dan angkutan buah sawit).
• Hasil produksi dan nilai ekonomi lainnya ; 1. Hasil penjualan buah kelapa sawit. 2. Penjualan sapi. Pendapatan petani peternak dari usaha tani yang dilakukan, maka dihitung dengan analisis pada tabel sebagai berikut :
25
Tabel 7 Model analisis pendapatan usaha tani integrasi. Usaha Ternak Sapi Potong
Usaha Tani Tanaman
1. PENERIMAAN (GROSS OUTPUT) Penjualan Sapi = A 2. BIAYA PRODUKSI Bakalan = Hijauan = Peralatan/obat = B 3.PENDAPATAN BERSIH USAHA TERNAK POTONG (NET FARM INCOME) = A – B
1. PENERIMAAN (GROSS OUTPUT) - Perkebunan = A 2. BIAYA VARIABEL - Bibit = - Pupuk = - Pestisida = - Tk. Luar = B 3. BIAYA TETAP - Penyusutan modal = - Penyusutan bangunan = C 4. PENDAPATAN BERSIH USAHA TANI TANAMAN = A - (B + C )
Sumber : Brown (1979). Analisis Pengembangan Integrasi Sawit Ternak Sapi Penetapan strategi pengembangan maka dilakukan analisis berdasarkan pendekatan SWOT berdasarkan prosedur pemaparan David (2002) yang meliputi faktor internal dengan menggunakan matrik Internal Factor Evaluation sebagai berikut : 1. Menentukan faktor kekuatan (Strengths) dan kelemahan (Weakness) dengan responden terbatas. 2. Menentukan derajat kepentingan relatif setiap faktor internal (bobot). Penentuan bobot faktor internal dilakukan dengan memeberikan penilaian atau pembobotan angka pada masing-masing faktor. 3. Memberikan skala rating 1-4 untuk setiap faktor untuk menunjukkan apakah faktor tersebut mewakili kelemahan utama (peringkat = 1), kelemahan kecil (peringkat = 2), kekuatan kecil (peringkat = 3), dan kekuatan utama (peringkat = 4). Pemberian peringkat didasarkan atas kondisi atau keadaan pengembangan agribisnis di Kabupaten Kutai Timur. 4. Mengalikan bobot dengan rating untuk mendapatkan skor tertimbang 5. Menjumlahkan semua skor untuk mendapatkan skor total.
Nilai 1
menunjukkan bahwa kondisi internal yang sangat baik rata-rata nilai yang dibobotkan adalah 2.5. Nilai lebih kecil dari 2.5 menunjukkan bahwa
26
kondisi internal selama ini masih lemah. Sedangkan nilai lebih besar dari pada 2.5 menunjukkan kondisi internal kuat. Analisis faktor tersebut diatas dapat menggunakan matriks berikut : Tabel 8 Matriks analisis faktor internal pengembangan sapi No
Faktor Internal
Bobot
1 2 3
Kekuatan (Strenghts) .......................................... .......................................... ..........................................
1 2 3
Kelemahan (Weaknes) .......................................... .......................................... ........................................... Total
Rating
Bobot x Rating
1
Exsternal factor Evaluation untuk mengevaluasi masalah eksternal yang meliputi politik, ekonomi, sosial budaya dan teknologi, hal ini menggunakan Matriks EFE (External Factor Evaluation) dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Menentukan faktor utama yang berpengaruh penting pada kesuksesan dan kegagalan usaha yang mencakup peluang (opportunities) dan ancaman (threats) dengan melibatkan beberapa responden. 2. Menentukan derajat kepentingan relatif setiap faktor eksternal (bobot). Penentuan
bobot
dilakukan
dengan
memberikan
penilaian
atau
pembobotan angka pada masing-masing faktor. Penilaian angka pembobotan adalah 2 jika faktor vertikal lebih penting dari faktor horizontal; 1 jika faktor vertikal sama dengan faktor horizontal ; dan 0 jika faktor vertikal kurang penting dari faktor horizontal. 3. Memberi peringkat (rating) 1-4 pada peluang dan ancaman untuk menunjukkan seberapa efektif strategi mampu merespon faktor-faktor eksternal yang berpengaruh tersebut. Nilai peringkat berkisar antara 1-4 jika jawaban rata-rata dari responden sangat baik dan 1 jika jawaban menyatakan buruk.
27
4. Menentukan skor tertimbang dengan cara mengalikan bobot dengan rating. 5. Menjumlahkan semua skor untuk mendapatkan skor total. Nilai 1 menunjukkan bahwa respon terhadap faktor eksternal sangat buruk dan nilai 4 menunjukkan sangat baik. Rata-ratya nilai yang dibobot adalah 2.5. Nilai lebih kecil dari pada 2.5 menunjukkan respon setempat terhadap eksternal masih lemah. Sedangkan nilai lebih besar dari pada 2.5 menunjukkan respon yang baik. Analisis faktor eksternal diatas dapat menggunakan matriks 2 berikut : Tabel 9 Matriks analisis faktor eksternal pngembangan sapi No 1 2 3 1 2 3
Faktor Internal Peluang (Opportunities) .......................................... .......................................... ........................................... Ancaman(Threats) .......................................... .......................................... ........................................... Total
Bobot
Rating
Bobot x Rating
1
Rangkuti (2006) untuk merumuskan strategi perlu dilakukan formulasi faktor eksternal dan internal (Eksternal Factory Analysis Summary dan Internal Factory Analysis Summary) dengan melalui pendekatan model analisis TOWS matrik, yakni SO strategi, ST strategi, WO strategi, dan WT strategi. Analisi tersebut matriknya sebagai berikut : Tabel 10 Matrik analasis SWOT melalui pendekatan TOWS. IFAS EFAS
STRENGTHS (S)
WEAKNES (W)
OPPORTUNITIES (O)
STRATEGI SO
STRATEGI WO
THREATS (T)
STRATEGI ST
STRATEGI WT
Sumber : Rangkuti, 2006.
28
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Peternakan Kabupaten Kutai Timur Sejarah dan Posisi Geografi Kabupaten Kutai Timur merupakan salah satu wilayah hasil pemekaran dari Kabupaten Kutai, yang dibentuk berdasarkan UU No. 47 1999, dari 5 kecamatan menjadi 18 wilayah kecamatan masing-masing kecamatan Sangatta (ibukota Kabupaten), kecamatan Sangkulirang, Muara Bengkal, Muara Ancalong, Muara Wahau, Telen, Sandaran, Busang, Kaliorang, Kongbeng, dan Bengalon.
*
Gambar 1 Peta Kabupaten Kutai Timur Sebelum Pemekaran Kecamatan. Wilayah Kutai Timur terdiri dari daratan dan perairan yang terbentuk dari gugusan gunung/pegunungan yang jumlahnya 8 (delapan) dan yang tertinggi yaitu gunung menyapa dengan ketinggian mencapai 2000 meter. Wilayah perairan berupa laut/pantai, danau, dan sungai. Sungai terpanjang Sungai Kedang Kepala terletak di Kecamatan Muara Wahau 319 Km. Kutai Timur secara geografis terletak di katulistiwa pada posisi 115o56’26 BT–118o58’19 dan 1o17’1’’LS dengan luas wilayah 47.653 km persegi atau 17% dari luas propinsi Kalimantan Timur. Beberapa wilayah yang berbatasan dengan kabupaten ini adalah : ■ Bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Bulungan
29
■ Bagian Selatan berbatasan dengan Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Kartanegara ■ Bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Kutai Kartanegara ■ Bagian Timur berbatasan dengan Selat Makassar. Posisi Kutai Timur sangat strategis dalam pengembangan ekonomi regional karena berada pada : a. Berbatasan
langsung
dengan
negara
tetangga
Malaysia,
Brunai
Darussalam, Philipina, dan interaksi sosial ekonomi Malindo. b. Poros pertumbuhan Kapet Sasamba (Kawasan pengembangan ekonomi terpadu Samarinda-Samboja-Balikpapan) c. Poros lintas Kalimantan (Tanjung Selor-Tanjung Redeb-ke SamarindaBalikpapan-Pasir-Kalsel-Kalteng-Kalbar). d. Menghadap ke selat Makassar yang merupakan jalur pelayaran regionalnasional dan internasional sehingga hal ini potensi yang besar dimasa yang akan datang. Tofografi dan Iklim Tofografi bervariasi, lereng bergelombang hingga bergunung, kemiringan dibawah 8 derajat sekitar 0.41% (14.514 hektar) dari luas daerah Kutai Timur, yang terdapat di kecamatan Sangkulirang, Bengalon, Sandaran, Kaliorang dan Sangatta, selebihnya (99.59%) di kecamatan tersebut berlereng dengan kemiringan 8-15 derajat. Kecamatan Kongbeng, Muara Wahau, Telen, Muara Ancalong, dan Busang lebih banyak didominasi oleh lereng kemiringan 15-30 derajat maupun yang lebih dan sedikit dibawah 8 derajat kemiringan (Ishak 2002). Hampir sepanjang tahun turun hujan yang mengakibatkan keadaan iklim di wilayah ini menjadi basah, sesuai agroklimat daerah Kutai Timur memiliki iklim basah dengan curah hujan yang umumnya terjadi pada bulan oktober hingga bulan april dengan jumlah curah hujan 2000 – 3000 mm pertahun. Kisaran suhu dinihari bisa mencapai 19 oC dan siang hari mencapai 35 oC, keadaan ini cukup ekstrim perbedaanya, untuk masing-masing kecamatan dapat dilihat Lampiran 1. Sesuai karakter wilayah sebagian besar tanah yang terdapat dikawasan tersebut adalah tanah podsolik merah kuning, komplek podsolik merah kuning, latosol dan alluvial, keadaan tersebut pada Tabel 11.
30
Tabel 11 Keadaan hubungan jenis tanah dan fisiografinya. Lereng (derajat) <3 3–8 8 - 15 15 – 30 > 30
Fisiografi Dataran Berombak Bergelombang Berbukit Bergunung
Jenis Tanah Alluvial Posdolik merah kuning Podsolik merah kuning Komplek podsolik merah. kuning. latosol. loithosol. Komplek podsolik merah kuning. latosol. lithosol
Sumber : Ishak, 2002. Sosial Budaya dan Kependudukan Jumlah penduduk Kutai Timur pada tahun 2006 sebanyak 184.771 jiwa dengan kepadatan sebesar rata-rata 4 jiwa/km2 dan pertumbuhan penduduk selama 4 tahun terakhir rata-rata 4.08% setiap tahun dengan etnis yang ada Kutai, Jawa, Bugis, Dayak, Banjar, Timor dan lain sebagainya. Tingkat pendidikan bervariasi mulai putus sekolah, tamat SD hingga pendidikan sarjana. Keadaan Kependudukan Kutai Timur 2006 SANGKULIRANG ; 15.698; 8%
MUARA WAHAU; 12.540; 7%
SANGATTA; 65.356; 36%
MUARA ANCALONG; 16.086; 9%
KONGBENG; 10.176; 6%
TELEN; 6.137; 3%
MUARA BENGKAL; 19.153; 10%
BENGALON; 11.833; 6%
BUSANG; 7.752; 4%
SANDARAN; 5.170; 3%
KALIORANG; 14.870; 8%
Gambar 2 Keadaan jumlah penduduk di Kutai Timur tahun 2006. Berdasarkan data yang diperoleh dari Bappemas Kutai Timur, jumlah penduduk tertinggi terdapat di kecamatan Sangatta (ibu kota kabupaten) 36% (65.356 jiwa), disusul Muara Bengkal 10% (19.153 jiwa), Muara Ancalong 9% (16.086 jiwa), Sangkulirang 8% (15.698 jiwa), Kaliorang 8% (14.870 jiwa), Muara Wahau 7% (12.540 jiwa), Bengalon 6% (11.833 jiwa), Kongbeng 6% (10.176 jiwa), Busang 4% (7.752 jiwa), Telen 3% (6.137 jiwa) dan Sandaran 3% (5.170 jiwa).
31
Konsep Pembangunan Peternakan di Kutai Timur Berdasarkan rumusan beberapa strategi pembangunan peternakan di Kalimantan Timur, yaitu sebagai berikut : 1. Pengembangan wilayah dan kawasan sentra produksi berdasarkan komoditas unggulan. 2. Identifikasi dan pemetaan lahan peternakan yang berpotensi untuk dikembangkan. 3. Memaduserasikan rencana pengembangan peternakan ke daerah baru dengan berbagai sektor terkait seperti transmigrasi, industri dan perdagangan. 4. Pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia peternak. 5. Peningkatan usaha dan industri peternakan yang efesien dan berdaya saing tinggi 6. Optimalisasi pemanfaatan, pengamanan dan perlindungan sumber daya alam lokal. 7. Pengembangan kemitraan yang lebih luas dan saling menguntungkan. 8. Pengembangan teknologi tepat guna yang ramah lingkungan. 9. Pengembangan peluang investasi dan kepastian berusaha bagi investor. Berdasarkan strategi pembangunan peternakan tersebut, maka di Kutai Timur telah dijabarkan melalui beberapa program diantaranya adalah : 1. Pengembangan kawasan komoditas ternak berdasarkan potensi dan daya dukungnya
misalnya
kecamatan
Muara
Wahau
sebagai
sentra
pengembangan ternak babi dan sapi, sedangkan Sangsaka sebagai daerah pengembangan khusus ternak sapi. 2. Pengembangan ternak sapi melalui proyek pengadaan sapi pembibit. 3. Penyuluhan, pendampingan, dan pelayanan kepada masyarakat peternak yang tersebar di wilayah Kutai Timur. Berdasarkan konsepsi pembangunan perkebunan dan peternakan di Kutai Timur, secara konseptual tidak terjadi kontradiksi, sehingga pengembangan sapi potong melalui sistim integrasi sawit-ternak, potensial untuk dikembangkan melalui struktural pemerintahan dan kultural, sehingga diharapkan lebih nyata dampaknya terhadap petani peternak.
32
Pemotongan Ternak di Kutai Timur. Pemotongan ternak ruminansia yang dilakukan di Kutai Timur umumnya dilaksanakan di rumah pemotongan hewan milik pedagang yang masih bersifat pribadi. Pemotongan ternak ada juga yang dilaksanakan oleh rumah tangga atau komunitas karena hajatan (pesta, ritual keagamaan dan kegiatan adat). Di Kutai Timur hingga saat ini belum ada rumah potong hewan (RPH) milik pemerintah, sehingga kontrol terhadap kualitas pemotongan ternak dan keamanan konsumen belum terlaksana dengan baik, hal ini memungkinkan terjadinya pemotongan ternak khususnya sapi, kerbau dan kambing yang masih berumur produktif, tidak layak potong karena kesehatan ternak/penyakit, dan perlakuan tatalaksana pemotongan ternak yang tidak sesuai standar teknis. Jumlah pemotongan ternak yang dilakukan pada tahun 2004 disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Jumlah pemotongan ternak di Kutai Timur tahun 2004. No.
Jenis Ternak
1 Sapi 2 Kerbau 3 Kambing 4 Domba 5 Babi 6 Ayam Buras 7 Ayam Ras Pedaging 8 Ayam Ras Petelur 9 Itik Sumber : Data olahan.
Pemotongan Ternak (ekor) 1.928 0 1.590 0 847 60.006 83.600 1.127.500 9.781
Pemotongan Ternak (ST) 1.928 0 254.4 0 0
Pemotongan ternak sapi dan kambing di Kutai Timur sebanyak 3518 ekor sedangkan kerbau dan domba tidak ada pemotongan, khusus untuk sapi rincian pemotongan jantan 91% (1.746 ekor) dan betina 9% (182 ekor), dengan rataan pemotongan perbulannya adalah 161 ekor (jantan berkisar 145-146 ekor dan betina 15-16 ekor). Data pada Tabel 13 menunjukkan jumlah pemotongan ternak tahun 2006, data tahun 2005 tidak tersedia.
33
Tabel 13 Pemotongan ternak di Kutai Timur tahun 2006. No. Jenis Ternak 1 Sapi 2 Kerbau 3 Kambing 4 Domba 5 Babi 6 Ayam Buras 7 Ayam Ras Petelur 8 Ayam Ras Pedaging 9 Itik Sumber : Data olahan
Pemotongan Ternak (ekor) 2.951 35 3.295 0 1.014 552.200 14.400 139.600 4.000
Pemotongan Ternak (ST) 2.951 40.25 527.2 0 0
Tahun 2006 jumlah pemotongan sapi 2951 ekor, jantan 88.61% (2.615 ekor) sedangkan betina 11.39% (336 ekor), rata-rata pemotongan 246 ekor/bulan jantan 218 ekor dan betina 28 ekor setiap bulan. Jumlah pemotongan ternak tertinggi di kecamatan Sangatta (ibu kota kabupaten) sebanyak 1962 ekor, dengan rincian jantan 90% (1765 ekor) dan betina 10% (197 ekor). Setiap bulan sapi yang dipotong di Sangatta sekitar 164 ekor, dengan komposisi jantan 148 ekor dan betina 16 ekor. Pada umumnya pemotongan tersebut adalah komsumsi keseharian warga Sangatta yang dijual di pasar tradisional, selain itu juga ada pemotongan untuk hajatan, pesta, dan ritual keagamaan misalnya idul adha. Berdasarkan data pemotongan ternak ruminansia selama 2 tahun di Kutai Timur, ternak sapi terbanyak dipotong yakni sebesar 85.6%, ini menggambarkan bahwa dari segi permintaan dan kesukaan daging sapi masih dominan, sehingga usaha peternakan sapi harus digalakkan. Populasi Ternak Ruminansia di Kutai Timur Ternak ruminansia yang ada di Kutai Timur saat ini umumnya milik perorangan petani peternak, yang paling banyak adalah ternak sapi 75% (20744 ekor), diikuti ternak kambing 23% (6500 ekor), kerbau 2% (697 ekor) dan domba 0.02% (60 ekor) terlihat pada Gambar 3.
34
Populasi ternak ruminansia (ekor) di Kutai Timur, 2007
Kerbau, 697 (2%)
Kambing, 6500 (23%)
Domba, 60 (0.02%)
Sapi, 20744, (75%)
Total Populasi 28.056 ekor Gambar 3 Persentase populasi ternak ruminansia (ekor) di Kutai Timur, 2007. Populasi ternak ruminansia di Kutai Timur tahun 2007 berdasarkan data dari dinas pertanian Kutai Timur 2007 sebanyak 28.056 ekor. Populasi ternak ruminansia (ST) di Kutai Timur, 2007 Sapi, 16178.27, (91%)
Kerbau, 654.14 (4%)
Total Populasi (ST) 17.721,2 ST
Domba, 7.99, (0.04%)
Kambing 880.82 (5%)
Gambar 4 Persentase populasi ternak ruminansia (ST) di Kutai Timur, 2007. Hasil analisis data populasi berdasarkan ekor dan jenis ternak ruminansia di Kutai Timur, menunjukkan populasi ternak ruminansia sebanyak 17.721.2 ST dengan rincian sapi potong 91% (16.178.27 ST), diikuti kambing 5% (880.82 ST), kemudian kerbau 4% (654.14 ST) dan domba 0.04% (7.99 ST). Rincian populasi ternak sapi di masing-masing kecamatan disajikan pada Tabel 14.
35
Tabel 14 Populasi berdasarkan jenis ternak ruminansia(ST) di Kutai Timur, 2007. Kecamatan
Sapi
Jumlah populasi sapi (%)
Jumlah populasi sapi (ST)
Anak Muda Dewasa Anak Muda Sangatta Utara 1228 208,64 327,63 691,73 307 196,58 Sangatta 1070 18,79 285,48 602,73 52,16 171,29 Teluk Pandan 957 162,59 255,33 539,10 45,45 153,20 Rantau Pulung 464 78,83 123,79 261,37 40,65 74,28 Bengalon 974 165,48 259,86 548,65 19,71 155,92 Kaliorang 730 124,03 194,76 411,20 41,37 116,86 Kaubun 588 99,90 156,89 331,22 31,00 94,13 Sangkulirang 2715 461,28 724,36 1529,36 24,97 434,62 Karangan 411 69,83 109,65 231,52 115,32 65,79 Sandaran 963 163,61 256,93 542,46 17,46 154,16 Muara Wahau 3026 514,12 807,34 1704,55 40,90 484,40 Kongbeng 4862 826,05 1297,18 2738,76 128,53 778,31 Telen 717 121,82 191,30 403,89 206,51 114,78 Muara Bengkal 385 65,41 102,71 216,87 30,45 61,63 Muara Ancalong 855 145,26 228,11 481,62 16,35 136,87 Batu Ampar 190 32,28 50,69 107,03 36,32 30,41 Long Masangat 241 40,95 64,30 135,75 8,07 38,60 Busang 368 62,52 98,18 207,29 10,24 58,91 Jumlah 20744 3524,41 5534,50 11685,10 1172,47 3320,70 Total populasi sapi berdasarkan satuan ternak = 16.178,27 ST (20.744 ekor). Sumber : Data olahan
Dewasa 691,73 602,73 539,10 261,37 548,65 411,21 331,22 1529,36 231,52 542,46 1704,55 2738,76 403,90 216,87 481,62 107,02 135,75 207,29 11685,10
Menurut Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur (2003), di Kutai Timur memiliki kemampuan menampung ternak ruminansia sebanyak 37.601,78 ST. Berdasarkan populasi ternak ruminansia di Kutai Timur tahun 2007 sebanyak 17.721,2 ST sehingga kemampuan penambahan populasi sebanyak 19.880,58 ST., hal ini berdasarkan kapasitas daya dukung padang pengembalaan dengan pola pemeliharaan sederhana. Saat ini usaha peternakan masih didominasi oleh ternak rakyat yang dipelihara secara sederhana, belum ada perusahaan maupun investor yang melaksanakan usaha ternak ruminansia kategori industri. Pemerintah daerah akhir tahun 2006 telah melakukan sosialisasi program integrasi sawit-ternak dengan pengadaan sapi bibit 86 ekor khusus untuk tujuan pemodelan, yang diberikan kepada petani peternak sebagai penerima bantuan di kecamatan Muara Wahau. Kapasitas Tampung Ternak Ruminansia di Kutai Timur Kabupaten Kutai Timur memiliki luas wilayah 47.653 km persegi atau 17% dari luas provinsi Kalimantan Timur, berdasarkan pemanfaatannya dalam
36
kegiatan usaha pertanian seluas 622.292.34 hektar, dengan rincian pada Gambar 5 berikut.
Persentase Pemanfaatan Lahan di Kutai Timur (hektar) Perkebunan sawit, 50% (314.511 ha)
Perkebunan umum 20% (125.557.23 ha)
Tanaman Pangan 2% (10.791.31 ha)
Rawa Pasang Surut 0.4%(2.999 ha) Rawa 6% (34.521 ha)
Tegalan 22% (133.912.8 ha)
Gambar 5 Persentase pemanfaatan lahan di Kutai Timur. Berdasarkan luas daerah Kutai Timur berupa lahan garapan tanaman pangan (2%) setara 10.791.31 hektar, luas padang rumput/tegalan (22%) setara 133.912.8 hektar, rawa air tawar (6%) setara 34.521 hektar dan rawa pasang surut (0.4%) setara 2999 hektar sedangkan lahan perkebunan umum (20%) setara 125.557 hektar, dan perkebunan khusus sawit (50%) hasil setara dengan 314.511 hektar dengan pemanfaatan hijauan rumput yang tumbuh di areal kebun sawit (tanpa pemanfaatan pelepah dan daun sawit) di peroleh hasil analisis menunjukkan kapasitas daya tampung ternak ruminansia sebanyak 1.453.944,77 ST diluar dari daya tampung perkebunan umum. Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) Perhitungan potensi wilayah pengembangan ternak ruminansia di Kutai Timur, didasarkan pada : a. Pemanfaatan lahan di Kutai Timur. Berdasarkan data pemanfaatan lahan di Kutai Timur, hasil analisis menunjukkan kapasitas daya tampung daerah sebesar 799.997.35 ST, rincianya sebagai berikut : 1. Kapasitas lahan garapan sebesar 1% (10.791.31 ST).
37
2. Kapasitas luas tegalan rumput alam sebesar 1% (10.044.6 ST). 3. Kapasitas luas rawa air tawar sebesar 9% (69.042 ST). 4. Kapasitas luas rawa pasang surut sebesar 0.4% (3.598.8 ST). 5. Kapasitas luas perkebunan sawit sebesar 89% (706.520.64 ST). Berdasarkan pemanfaatan lahan tersebut, 89% adalah daya tampung perkebunan sawit, disusul 9% rawa air tawar, 1% lahan garapan, 1% tegalan rumput alam, 0.4% rawa pasang surut, ini menunjukkan bahwa Kutai Timur sangat berpotensi untuk mengembangkan populasi ternak sapi melalui sistem integrasi perkebunan sawit-sapi potong. Hanya saja saat ini di Kutai Timur bila integrasi sawit-ternak sapi digalakkan maka diperlukan sosialisasi dan komitmen para pihak (stake holders), penyuluhan teknis sistem integrasi sawit-sapi, dan kebijakan khusus mengingat Kutai Timur didominasi oleh perkebunan sawit berbadan hukum yakni dari 315.411 hektar perkebunan sawit (2007) hanya 13.605.70 hektar yang dimitrakan dengan rakyat setempat. Kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia berdasarkan daya dukung lahan sebesar 782.276.15 ST, (799.997.35 ST - 17.721,2 ST = 782.276.15 ST), kemampuan penambahan tersebut adalah KPPTR berbasis pemanfaatan lahan yang ada di Kutai Timur. Pada pemanfaatan lahan rawa yang ada di Kutai Timur, ternak kerbau ideal untuk dipelihara, dengan kemampuan wilayah sebesar 72.640.8 ST atau setara dengan 63.165.91 ekor kerbau dewasa, sehingga dari total KPPTR untuk sapi dan kambing sebesar 709.635.35 ST
atau setara
dengan 4.435.221 ekor kambing dewasa. Berdasarkan kepala keluarga di Kutai Timur (2005) sebanyak 44.115 KK sehingga KKPTR sebesar =114.623.8 ST (132.345 ST-17.721.2 ST). b. Kepadatan Wilayah Hasil analisis kepadatan wilayah di Kutai Timur, merupakan tolok ukur tingkat kepadatan populasi ternak dengan jumlah penduduk kategori sedang = 95.90 ST/1000 jiwa. Kepadatan berdasarkan lahan garapan (sawah dan kebun) menunjukkan populasi ternak 0,03 ST/hektar, hal ini berarti populasi ternak sangat jarang.
38
Berdasarkan hasil analisis nilai KPPTR, dan estimasi tingkat kepadatan wilayah, maka di Kutai Timur masih sangat tinggi nilai penambahan populasi, daerah tersebut dapat menjadi salah satu daerah sentra produksi sapi potong dimasa yang akan datang, mengingat daya dukungnya yakni luas lahan, iklim yang sesuai, lingkungan usahatani, luas perkebunan sawit dan sosial ekonomi. Berdasarkan populasi sapi integrasi sawit-ternak saat ini, maka pencapaian terget kapasitas tampung di daerah tersebut perlu pengembangan populasi melalui : (1) pengadaan sapi bibit, (2) upaya perbaikan koefisien teknis secara bertahap meliputi kelahiran anak dari 61% ditingkatkan menjadi 80%, kematian anak 28.4% diturunkan menjadi 10%, kematian sapi muda dari 12.9% diturunkan menjadi 4%, kematian dewsasa dari 6% diturunkan menjadi 3%, dan rasio pejantan 1 ekor : 15 ekor betina atau pejantan 1 ekor : 25 ekor betina. Kondisi Umum Kecamatan Muara Wahau Kependudukan Di Kecamatan Muara Wahau terdiri 3.161 kepala keluarga, jumlah penduduk 12.540 jiwa, 1.182 jiwa buta huruf, pengagguran 414 jiwa, berpendidikan SD 1904 jiwa, SMP 2079 jiwa, SMA 2.593 jiwa dan perguruan tinggi 632 jiwa. Suku yang mendiami wilayah ini adalah etnik Dayak Bahau dan Kutai sebagai penduduk asli, sementara etnis Jawa, Madura, Sasak, Timur, Sunda adalah transmigrasi, etnis Banjar dan Bugis adalah pendatang perantau yang pindah ke kecamatan Muara Wahau untuk berdagang, karyawan perusahaan kayu/logging, dan berladang. Jumlah penduduk yang menganut agama Islam 80% (2.444 KK), Kristen Protestan 2% (25 KK), Katolik 18% (568 KK). Berdasarkan mata pencaharian petani peternak 1.525 jiwa, nelayan 523 jiwa dan profesi lainnya 3.094 jiwa (Bappemas, 2005). Geografis dan Sistim Usahatani Berdasakan data potensi sumberdaya alam (PH tanah, suhu, ketinggian diatas permukaan laut, kemiringan dan curah hujan) di kecamatan Muara Wahau dan sekitarnya, sesuai untuk budidaya tanaman perkebunan sawit dan budidaya sapi sebagai salah satu basis perekonomian masyarakat setempat.
39
Kecamatan Muara Wahau merupakan daerah yang bertetangga langsung dengan kecamatan Kongbeng dan Telen, memiliki ketinggian 60 meter diatas permukaan laut, dengan suhu rata-rata 26 oC dengan selisih pada siang dan malam hari/dinihari ± 15 oC yakni suhu pada malam/dinihari bisa mencapai 19 oC dan siang hari dapat mencapai 36 oC, lahan kemiringan 40%, dengan kisaran PH 4-5 (asam) dan curah hujan selama 5 tahun terakhir 2017-3021 mm/tahun dengan hari hujan 76-155 hari/tahun, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Keadaan hujan di daerah penelitian. Tahun Curah Hujan 2002 2.196 2003 3.021 2004 2.017 2005 2.607 2006 2.068 Sumber : Data olahan.
Jumlah Hari Hujan 76 99 101 133 155
Rata-rata hari hujan/bulan 6.9 8.25 9.18 11.0 12.91
Keadaan pertanian secara kelembagaan Unit Pelaksana Tekhnis Dinas (UPTD) Pertanian Kutai Timur dipimpin oleh seorang kepala (Bapak Ardiansyah, SP.) yang membawahi kecamatan Muara Wahau, Kongbeng, Telen. Sedangkan untuk Balai Penyuluhan Pertanian masing-masing kecamatan dipimpin oleh seorang kepala. Data keadaan pertanian di lokasi penelitian kecamatan Muara Wahau memiliki luas perkebunan sawit rakyat 2352 hektar, berumur 4-6.5 tahun sedangkan milik perusahaan/badan hukum tidak tersedia, tegalan 10.666 hektar, rawa 10.283 hektar, sawah 287 hektar. Pertanian rakyat di wilayah kecamatan tersebut adalah merupakan kategori pertanian yang dikelola secara sederhana tanpa penggunaan teknologi tepat guna, dan orientasi keuntungan ekonomi yang maksimal, petani umumnya memiliki beberapa komoditas tanaman dan ternak sebagai usaha sambilan keluarga. Di kecamatan Muara Wahau merupakan wilayah pertama tempat pencanangan penaman sawit milik rakyat seluas 2352 hektar, yang telah dilakukan sejak ± 7 tahun yang lalu (2001) telah berproduksi saat ini, dan ada beberapa petani peternak yang telah melakukan pemeliharaan ternak secara integrasi dengan : (1) melepas ternak sapi di areal kebun sawit separuh dan
40
sepanjang hari (pagi-sore), (2) pengembalaan serta mengandangkannya di areal kebun sawit, (3) melakukan pemotongan HMT di areal kebun sawit kemudian diberikan kepada ternak sapi. Perkebunan sawit banyak dilakukan oleh badan hukum di Kutai Timur, tetapi secara rinci data tidak tersedia (aktif sekarang di Kutai Timur seluas 314.511 hektar), sedangkan perusahaan sebagai inti yang bermitra dengan masyarakat Kutai Timur seluas 13.605.70 hektar, sawit milik rakyat tersebar dibeberapa kecamatan lainnya yang akan diusahakan kemitraannya sebagai perkebunan rakyat atau dalam bentuk plasma dengan pihak-pihak investor lokal maupun dari luar. Ternak sapi yang ada umumnya bangsa sapi Bali dengan populasi tertinggi, kemudian kambing sebagai ternak yang erat kaitannya dengan ritual keagamaan yakni aqiqah dan kurban buat umat islam, dan ternak kerbau yang sering digunakan sebagai tenaga kerja untuk menarik kayu dari hutan. Ternak perah dan kuda tidak didapatkan di daerah ini, yang erat hubungannya dengan kondisi lokasi dan budaya masyarakat setempat. Koefesien Teknis Pemeliharan Ternak Sapi Potong Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di lokasi penelitian, pada umumnya usaha ternak sebagai usaha sampingan dengan pola pemeliharaan yang sederhana. Berdasarkan data populasi riil di lokasi penelitian terdiri dari 47.85% sapi jantan (1448 ekor) dan betina 52.14% (1578 ekor) atau 0.9 ekor pejantan : 1.08 ekor betina, sehingga keadaan ini sangat dominan sapi pejantan, dimana hasil responden rincian sebagai berikut : 1. Petani 44% memiliki 2-3 ekor sapi dan 35% memiliki 4-5 ekor sapi, 5% memiliki 7 – 9%, dan 15% memiliki > 10 ekor. 2. Petani 53% memiliki sebanyak 2-3 ekor sapi betina, 17% memiliki 4-5 ekor, 6% memiliki 6-7 ekor, dan 24% memiliki > 8 ekor. 3. Petani 38% petani memiliki >4 ekor pejantan, 37% memiliki 1 ekor, 16% memiliki 2 ekor, dan 7% memiliki 3 ekor sapi jantan, hal ini disebabkan karena sapi jantan memiliki nilai jual lebih tinggi dari pada betina.
41
Berdasarkan hasil qusioner, koefisien teknis pemeliharaan ternak sapi diperoleh hasil pada Tabel 16. Tabel 16 Koefisien teknis pemeliharaan sapi di wilayah penelitian. Uraian Kelahiran anak sapi Kasus kematian sapi Umur kasus kematian sapi (bulan) Sumber : Data olahan
1 (61%) 4 (30%) 6 bulan (6%)
Banyaknya kasus (jumlah ekor dan persentase) 2 3 >4 (14%) (5%) (20%) 3 2 1 (13%) (9%) (8%) 7-12 bulan 13-24 bulan > 25 bulan (9%) (9%) (31%)
Kelahiran anak sapi 61% menyatakan bahwa tingkat kelahiran anak sapi 1 ekor/tahun artinya jika diestimasi dari kepemilikan sapi betina (2-3 ekor) tingkat kelahiran anak cukup rendah dari betina dewasa sebanyak 1438 ekor. Populasi anak 129 ST atau setara dengan 514.1 ekor menunjukkan tingkat kelahiran anak sapi sangat rendah sebesar 36% dari total populasi sapi, hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah : (1) manajemen pemeliharaan yang rendah, (2) pemberian hijauan pakan yang seadanya, (3) terbatasnya sarana produksi dan pelayanan kesehatan ternak, (4) umur sapi betina yang sudah tidak produktif lagi karena > 8 tahun masih dipertahankan sebagai indukan, (5) tingkat pengetahuan dan informasi kepetani masih rendah. Tingkat kematian sapi berdasarkan umur 0-6 bulan sebanyak 28.4%, sapi anak umur 7-12 bulan sebanyak 12.9%, sapi umur 13-24 bulan sebanyak 12%, kematian sapi dewasa 6%, kasus ini berhubungan dengan sistem pemeliharaan ternak yang masih ekstensif, kondisi padang pengembalaan umum yang dominan ditumbuhi alang-alang dan hijauan makanan ternak yang bernilai gizi rendah, serta penyakit dan tingkat pengetahuan peternak. Berdasarkan kasus kematian ternak dikalangan petani sangat merugikan secara ekonomi untuk itu perlu diantisipasi, upaya yang dapat dilakukan dengan melalui : (1) perbaikan koefisien teknis (tingkat kelahiran anak, kematian sapi anak-muda-dewasa, rasio pejantan/betina,
afkir
pejantan/indukan
untuk
perbaikan
mutu
sapi
pejantan/indukan, (2) melakukan IB, , (3) perbaikan sarana produksi ternak, (4) perbaikan manajemen pemeliharaan (formulasi hijauan pakan yang berkualitas
42
dan cukup kuantitas), (5) perbaikan pelayanan kesehatan ternak (tenaga teknis dan sarana pelayanan), (6) penyuluhan. Sistim Pemeliharaan Ternak Sapi Peternak di wilayah kecamatan Muara Wahau memiliki karakteristik umumnya beternak sebagai cabang usaha. Asal perolehan ternak sapi bersumber dari swadaya sekitar 19.83% dan 57.86% mendapatkan bantuan sapi sebanyak 1-2 ekor dari pemerintah dengan kisaran umur ± 1 tahun dengan aturan dikembalikan sebanyak yang diberi dan akan digulir kepetani lain, dan 21% memperoleh sapi dari warisan orang tua dan bantuan pemerintah. Tahun 2006 pemerintah kabupaten telah mengadakan sapi umur 1 – 2 tahun, bantuan kepada petani peternak sebanyak 88 ekor khusus tujuan pemodelan sistim integrasi sawit-ternak sapi di Kutai Timur, tetapi hingga bulan Mei 2007, ternak tersebut mati sebanyak 37% (33 ekor) mungkin disebabkan beberapa faktor diantaranya : a. Gagalnya sapi tersebut beraklimatisasi setelah tiba di habitat yang baru (di lokasi). b. Sapi-sapi tersebut mengalami kelelahan setelah diangkut dari luar kabupaten dan provinsi Kalimantan Timur, saat tiba di lokasi tidak dilakukan rekondisi, kemudian diserahkan kepada petani, lalu dipelihara secara sederhana dengan cekaman panas/lingkungan ekstrim, kemudian kualitas dan kuantitas makanan yang diberikan tidak terjamin secara kontinyu sehingga dapat menyebabkan rentan terhadap penyakit/gangguan kesehatan kemudian mengalami kematian. c. Rendahnya pengetahuan penanganan sapi rekondisi, pemeliharaan secara sederhana dan sebagai kegiatan sampingan. d. Rendah daya adaptasi sapi dari daerah asal (Sulselbar, Jawa Timur, Sulteng, Gorontalo, NTB), terhadap kondisi lokal yang berbeda dengan daerah asal ternak tersebut. Peternakan
sapi
di
wilayah
penelitian
umumnya
adalah
usaha
sampingan/cabang usaha keluarga, yang dilakukan dengan pola pemeliharaan sederhana. Pola pemeliharaan yang dilakukan secara bervariasi yakni :
43
•
Melepas di padang gembalaan dan ladang pertanian/perkebunan sawit sejak pagi sampai menjelang sore hari, kemudian pada sore sampai pagi hari sapi dikandangkan disekitar rumah penduduk untuk menjaga keamanan ternaknya.
•
Memberikan rumput pada ternaknya secara cut and carry dengan mengambil dari ladang, tetapi sapi dilepas di padang pengembalaan pada separuh waktu, yakni menjelang siang hari kemudian dibawah kepadang pengembalaan umum yang didominasi alang-alang, lalu sore hari dibawah kekandang dan diberikan HMT.
•
Pengembalaan sapi sejak pagi sampai sore hari kemudian dimasukkan kekandang.
•
Menggembalakan ternak sapi sejak pagi hari di areal perkebunan sawit secara bergilir/semi terencana pada beberapa lokasi areal perkebunan sawit, kemudian pada sore hingga pagi kemudian dibawah ke areal kebun sawit yang telah diberi pembatas (semi kandang). Pemeliharaan sapi di padang gembalaan setiap harinya, di lapangan
terlihat sapi-sapi tersebut, memiliki bulu agak kusam, pucat, agak kurus, rentang terhadap penyakit mata, hal ini mungkin disebabkan karena : (1) cekaman panas berlebihan karena jauhnya pepohonan untuk teduhan, sehingga mempengaruhi komsumsi makanan dan air, menyebabkan dehidrasi dan efesiensi penggunaan makanan yang tidak efektif, (2) ketersediaan kuantitas dan kualitas makanan yang dikomsumsi, karena didominasi oleh alang-alang, rumput alam dan semak-semak, serta sumber air yang jauh sehingga kebutuhan sapi tidak cukup terpenuhi.
Gambar 6 Sapi yang dipelihara di padang pengembalaan dan di areal kebun sawit.
44
Berdasarkan teknis pemeliharaan sapi tersebut, memberikan gambaran bahwa manajemen pemeliharaan sistem ekstensif perlu diperbaiki menjadi intensif atau semi-intensif yaitu melalui : (a) tatalaksana pemberian HMT dan formulasinya ; (b) tatalaksana perkandangan dan pengembalaan ; (c) perbaikan mutu sapi bakalan/pengadaan bibit sapi ; (d) peningkatan pelayanan kesehatan ternak ; (e) penyuluhan. Secara visual ternak sapi yang dipelihara di areal kebun sawit memperlihatkan warna bulu cerah, mengkilap, mata cerah dan lebih lincah, serta nampak lebih baik dari pada yang di lepas dipadang gembalaan, hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya : (1) hijauan makanan ternak yang lebih bervariasi di areal kebun sawit (legum, graminae), dan terdapat daun sawit, serta pakis yang tumbuh di pohon sawit yang dikomsumsi oleh ternak ; (2) terhindar dari cekaman panas yang berlebihan, karena menjelang jam 11 siang sapi berlindung didalam kanopi pohon sawit hingga menjelang jam 3 sore hari. Di areal sawit selain HMT, terdapat daun sawit yang dikomsumsi oleh ternak. Pelepah sawit cukup banyak dan tersedia sepanjang waktu karena pemangkasan pelepah sawit (prunning) merupakan kegiatan rutin tetapi belum dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak,
menurut Sitompul, et al., (2004)
produksi bahan kering (BK) daun sawit tanpa lidi dan daging pelepah sawit bahan keringnya masing-masing 658 kg dan 1640 kg/ha/tahun. Penggunaan 30% daun dan pelepah sawit dalam ransum memiliki daya dukung ± 22 ekor/ha pada ternak kambing dengan bobot badan ± 30 kg, pemberian 3% dari bobot badan. Pakis/paku yang tumbuh di areal kebun dan batang sawit yang direnggut oleh ternak seluruh daun dan batangnya, serta jenis legum yang dikomsumsi oleh ternak. Berdasarkan uji laboratorium pakis yang diambil dari pohon sawit mengandung komposisi sebagai berikut : protein kasar 6.06%, lemak kasar 3.71% serat kasar 28.44%, BETN 48.30%, abu 13.49%, calsium 0.55%, phospor 0.21%, cellulosa 20.61%
dan lignin 21.34%.
Menurut
Sitompul. et al., (2004)
rendahnya daya dukung hijauan pada lahan perkebunan dapat diatasi atau disubtitusi dengan pemanfaatan limbah pada panen di lapangan yakni daun sawit dan daging pelepah sawit, tetapi oleh peternak setempat belum memanfaatkan sebagai bahan makanan ternak hal ini karena memerlukan perlakuan terlebih dahulu dalam pemberiannya yakni pengupasan misalnya.
45
Komposisi Botani Hijauan Makanan Ternak Berdasarkan hasil pengamatan identifikasi yang dilakukan di 16 lokasi penelitian, ditemukan beberapa jenis hijauan makanan ternak yang tumbuh di areal kebun sawit (Gambar 7). Persentase Rumput HM T di Areal Kebun Sawit Lokasi Pene litian
Pakis (Asplenium tenerum forst 24% (16)
Brachiaria humidicola 24% (16)
Alang-alang (Imperata cylindrica) 11% (7) Chloris gayana 8% (5)
Brachiaria brizantha 24% (16) Andropogon gayanus 9% (6)
Gambar 7 Keadaan rumput HMT di areal sawit pada lokasi penelitian. Rumput Brachiaria humidicola merupakan rumput agresif yang tumbuh rendah, menyebar dengan stolon (batang yang menjalar diatas tanah, dari bukubukunya tumbuh akar dan tunas baru), tumbuh pada berbagai jenis tanah, tahan naungan. Horne dan Stur (1999) mengemukakan bahwa Brachiaria humidicola adalah merupakan rumput gembala berat, merambat yang kuat, baik untuk pencegahan erosi, dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur, tahan terhadap genangan air, tetapi memiliki kualitasnya lebih rendah dibandingkan Brachiaria lainnya. Rumput Brachiaria brizantha adalah merupakan rumput yang berasal dari Afrika, termasuk kategori rumput gembala, berumur panjang, tumbuh membentuk hamparan vertikal dan horizontal, tinggi bisa mencapai 60-150 cm, batang dan daunnya kaku serta kasar, tahan injak dan renggut serta tahan kekeringan dan responsif terhadap pemupukan, dapat tumbuh pada tanah ringan sampai berat dan ketinggian 0-1200 meter diatas permukaan laut dengan curah hujan diatas 1500 mm/tahun (Kanisius. 1983).
46
Rumput Andropogon gayanus adalah merupakan salah satu rumput potongan yang terdapat di areal kebun sawit tetapi populasinya tidak sebanyak Rumput Brachiaria sp karena rumput tersebut memiliki sifat yang tumbuh secara rumpun dan agak tinggi sehingga oleh petani dianggap sebagai gulma dan harus diberantas, Horne dan Stur (1999) mengemukakan bahwa rumput Andropogon gayanus merupakan rumput potong yang tumbuh tinggi dapat mencapai 4 meter, tumbuh baik pada tanah asam dan tidak subur, daerah bercuaca panas, berumur panjang, sangat disukai ternak pada saat masih muda, daunnya lembut, berbulu halus, dengan tangkai biji yang sangat panjang. Chloris gayana merupakan hijauan rumput makanan ternak yang terdapat di areal kebun sawit tetapi populasi dan frewensinya tidak banyak dijumpai dan hidup secara rumpun tinggi kisaran 40-60 cm, dimana rumput dengan ciri-ciri membentuk rumpun yang lebat, berumur panjang, menjalar dan berkembang dengan stolon yang tumbuh akar serta batang baru, ketinggian bisa mencapai 60150 cm, tahan terhadap pengembalaan berat, palatable, tahan kekeringan, tidak tahan tempat teduh dan genangan air (Kanisius. 1983). Alang-alang (Imperata cylindrica) merupakan gulma disela tanaman sawit, sebelum dan awal penanaman sawit dilakukan, tumbuhan tersebut banyak tumbuh
di
areal
kebun,
kemudian
berkurang
secara
bertahap
akibat
pemberantasan kimiawi/penyemprotan pestisida yang dilakukan oleh petani. HMT yang tergolong legum di areal kebun sawit dapat dilihat pada Gambar 8 : Persentase Legum HMT di areal Kebun Saw it Lokasi Penelitian
Macrophitilium 20% (10)
Calopogonium muconoides 24% (12)
Gamal (Gliricidia sepium) 31% (16)
Pueraria phaseloides 25% (13)
Gambar 8 Keadaan legum HMT di areal kebun sawit pada lokasi penelitian.
47
Karakteristik masing-masing legum adalah sebagai berikut : 1. Gamal (Gliricidia sepium) memiliki sifat pohon yang berukuran sedang dan dapat berfungsi sebagai pagar, mudah ditanam dengan stek, dapat tumbuh pada tanah asam, tumbuh baik di daerah tropis, jenis legum yang berkualitas tinggi, memiliki bunga berwarna merah keungu-unguan dan ada juga yang putih kekuningan. 2. Kacang Ruji (Pueraria phaseloides) adalah legum tumbuh secara merambat/membelit/memanjat di areal kebun sawit, termasuk legum yang berumur panjang yang berasal dari daerah subtropis tetapi tumbuh di daerah tropis dengan kelembaban tinggi, stolon dapat tumbuh akar cabang baru. memiliki daun agak lebar, agak bulat dan meruncing bagian ujungnya, serta lebat. Daun-daunnya yang masih mudah ditumbuhi bulubulu yang berwarna coklat dan tahan ditanam di tempat yang teduh sehingga baik untuk digunakan sebagai tanaman penutup tanah. 3. Kacang asu (Calopogonium mucunoides) Merupakan tumbuhan yang berumur pendek, tumbuh menjalar/memanjat, bisa mencapai 30 – 50 cm, batang dan daun yang masih muda berbulu, berwarna coklat keemasan, bentuk daun agak bulat, pada tiap tangkai terdapat 3 buah daun, bunganya kecil berwarna ungu, bisa hidup pada tanah sedang sampai berat, curah hujan 1.270 mm/tahun (AAK. 1983). 4. Macrophitilum Merupakan legum membelit berumur pendek (1-2 tahun)yang sangat kuat setelah beberapa bulan pertama setelah ditanam, penutup tanah jangka pendek dan dapat digunakan untuk padang pengembalaan campuran rerumputan, dapat ditanam disemua jenis tanah baik yang tidak subur maupun yang berpasir, daerah asalnya adalah Venezuela (Horne dan Stur. 1999). Gambar 9 ini adalah contoh Macrophitilum di areal kebun sawit.
48
Gambar 9 Macrophitilium di areal kebun sawit. Legum yang terdapat di areal kebun sawit sangat terbatas jenisnya dan populasinya dibandingkan dengan rumput, karena belum pernah dilakukan introduksi legum secara langsung oleh petani peternak, kecuali gamal yang digunakan sebagai pagar/pembatas, menurut Umiyasih dan Anggraeny (2003) pada umur 3 tahun pertama pada areal tanaman sawit, jenis leguminosa akan mendominasi sampai 55%, mulai tahun ke-4 tanaman leguminosa makin berkurang dan akhirnya areal kebun sawit akan di dominasi oleh rumput hingga mencapai
60%,
oleh
karena
itu
diperlukan
teknologi
terapan
untuk
mengintegrasikan jenis beberapa legum yang bermanfaat bagi ternak, serta melakukan pengembalaan rotasi atau bergilir. Petani dilokasi penelitian sebagian besar menganggap hijauan yang terdapat di areal kebun sawit (rumput/legum) sebagai gulma, sehingga untuk pengendaliannya dilakukan dengan penyemprotan menggunakan herbisida secara reguler dengan frekwensi gambar 10 .
2-4 kali dalam setahun, seperti yang terlihat pada
49
Gambar 10 Keadaan kebun sawit yang telah disemprot pestisida. Petani yang bercocok tanam sawit, sebagian menganggap rumput/legum yang tumbuh di areal kebun sawit adalah makanan ternak, sehingga jenis HMT tersebut dikumpulkan dengan cara mengarit atau melepas ternak sapi di areal kebun sawit. Sapi yang dilepas di areal kebun sawit bebas memilih hijauan sesuai selera, dan pada saat siang hari sapi-sapi tersebut berlindung dalam kanopi tanaman sawit, serta sore hari sekitar pukul 15 kembali merumput. Lembaga Usahawantani Malaysia (2007) melaporkan melepas ternak diantara pohon sawit dapat : (1) mengurangi ternak dari cekaman panas “heat stress”, (2) mengurangi penggunaan racun rumput, (3) menurunkan biaya pengendalian penutup tanah sekitar 20-50% integrasi sapi-sawit.
Menurut Payne (1993), iklim memiliki
pengaruh tidak langsung dan langsung terhadap ternak meliputi ;(a) prilaku merumput, pengambilan dan penggunaan makanan; (b) pertumbuhan yakni bila stres suhu panas dapat menekan nafsu makan; (c) kualitas makanan; (d) lamanya merumput ; (e) produksi susu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa suhu lingkungan yang tinggi atau fluktuasi suhu yang besar di daerah tropis, dapat langsung mempengaruhi performans reproduksi sapi, yakni terhadap pubertas, lamanya birahi, aktifitas organ reproduksi primer, tingkat kematian faetus, lamanya kebuntingan, besarnya anak., sehingga dengan beberapa faktor tersebut yang mungkin terjadi di daerah penelitian, dimana suhu lingkungan yang mencekam
50
menyebabkan sapi stress dan rentan penyakit, serta produktivitas yang rendah (kasus kematian sapi yang tinggi, rendahnya tingkat kelahiran anak). Produktivitas Hijauan Makanan Ternak di Areal Kebun Sawit. Secara ideal, dalam luasan 1 hektar perkebunan sawit terdapat sekitar 128130 pohon (Lubis 1992). Berdasarkan laporan tersebut diasumsikan bahwa dalam luasan 1 hektar kebun sawit, ditumbuhi oleh tanaman sawit rata-rata 130 pohon, setiap pohon menempati ruang ± 1 m2, selebihnya ditumbuhi oleh HMT (rumput dan legum), apa bila satu hektar perkebunan sawit luas berkisar 8000m ditumbuhi HMT secara baik, maka kemampuan produksi HMT dalam perkebunan kelapa sawit umur 4-6.5 tahun di lokasi penelitian adalah sekitar 920 kg/panen (4.6 ton/hektar/tahun). Menurut hasil penelitian sebelumnya yang dikutip oleh Deptan (2004) produksi HMT di areal kebun sawit umur 3-5 tahun 2000-8000 kg/ha/tahun bahan kering (1.87-7.4ST), dan setelah 5-10 tahun produksi HMT berkisar 500-1000 kg/ha/tahun bahan kering (0.46-1.08 ST), upaya meningkatkan produksi HMT dapat ditempuh melalui penanaman HMT, pemupukan, dan penjarangan tanaman kelapa sawit tanpa berdampak pada penurunan produksi TBS dan rendemen minyak yang dihasilkan, hal ini menurut Lubis (1992) saat umur tanaman sawit 7-10 tahun atau lebih awal, gejala yang dapat terjadi antara lain : (1) intensitas cahaya matahari yang masuk kedalam antar tanaman sangat kurang, (2) vegetasi yang tumbuh di sela tanaman sawit sangat sedikit dan bahkan banyak yang gundul, (3) pelepah daun yang bertetangga saling menutupi atau tumpang tindih, (4) pertumbuhan pelepah karena persaingan menegak (ke atas), batang tumbuh meninggi dan diameternya mengecil. Pada kondisi tersebut tanaman akan menderita dan mengalami penurunan produksi (tandan yang terbentuk kecil, lebih sedikit, banyak aborsi) karena kekurangan tepung sari dan rentan mendapat serangan cendawan Marasimus sp, oleh sebab itu lebih dari 10 tahun umur tanaman sawit perlu penjarangan yakni dari 143 menjadi 123 pohon/hektar, dilakukan secara bertahap hingga berkurang sampai 13.9% dari awal penanaman. Kemampuan kapasitas tampung untuk areal kebun sawit umur 1-3 tahun/hektar adalah 1-3 ekor sapi dewasa, dan tanaman sawit sampai umur ± 10 tahun mempunyai kemampuan 0.6 ekor/hektar, dan selanjutnya 0.4 ekor/hektar
51
(Wijono, Affanddhy dan Rasyid, 2003). Berdasarkan hal tersebut daya tampung areal kebun sawit menyediakan HMT (legum dan rumput) hingga masa tidak produktif (umur 25 tahun) adalah 2.24 ST/hektar, hal ini seiring dengan pendapat Yulistiani dan Puastuti (2008) bahwa kapasitas tampung ternak di areal kebun sawit adalah sebesar 2.7 ST/hektar. Berdasarkan produksi bahan segar daya dukung lahan merupakan produktivitas atau kemampuan sumber daya HMT bahan segar yang terdapat dilokasi penelitian dihitung berdasarkan luas areal dan satuan waktu satu tahun. Pada lokasi penelitian terdapat 2352 hektar sawit rakyat berumur 4-6.5 tahun dengan kemampuan produksi HMT 10.819.2 ton/tahun dengan kapasitas daya tampung ternak sebesar 9.878.4.ST (4.2 ST/hektar), dan perkebunan sawit di Kutai Timur 315.411 hektar dengan kemampuan produksi HMT sebanyak 1.446.750.6 ton/tahun atau setara dengan kapasitas tampung 1.320.946,2 ST. Berdasarkan perkembangan umur tanaman sawit, maka produksi HMT (tanaman penutup tanah) mengalami perubahan komposisi botani dan kuantitas produksi secara berlahan, sehingga kapasitas tampung rata-rata selama tanaman sawit berproduksi (1-25 tahun) adalah sebesar 2.24 ST/hektar artinya di kecamatan Muara Wahau memiliki kapasitas tampung 5.268.48 ST sedangkan kapasitas tampung Kutai Timur sebesar 706.520.64 ST. Laporan Sitompul (2003) menyatakan setiap hektar kebun sawit dapat mendukung pakan untuk ternak sapi bali 4 ekor, sehingga tiap ancak (15 hektar) dapat mendukung 60 ekor sapi. Sumber pakan yang tersedia dapat berupa :(1) daun kelapa sawit, (2) pelepah kelapa sawit, (3) rumput alam, (4) rumput king grass. Menurut Hasnudi (2005), daya dukung limbah kebun sawit dan hasil sampingnya (pelepah, daun, bungkil inti sawit, lumpur sawit, dan serat buah sawit) memiliki daya tampung 8,32 ST/hektar, daya dukung tersebut dapat ditingkatkan menjadi ± 10 ST/hektar. Beberapa areal kebun sawit rakyat masih ditumbuhi oleh alang-alang, untuk pengendaliannya dapat dilakukan dengan memasukkan ternak di areal kebun sawit, menyemprot dengan pestisida dan penanaman HMT. Peningkatan produksi HMT dan kapasitas daya dukung lahan dapat dilakukan dengan beberapa cara :
52
1. Penerapan sistem (manajemen) pengembalaan bergilir/rotasi untuk menjaga pertumbuhan HMT. 2. Memilih jenis HMT yang memiliki produksi tinggi, resisten terhadap injakan, tahan naungan, mudah beradaptasi terhadap lingkungan lokal, disukai ternak dan cocok dengan iklim setempat. 3. Introduksi legum di areal kebun sawit dan penanaman gamal pada batas kebun sawit (pagar/pembatas). 4. Input teknologi pemanfaatan pelepah, daun sawit, bungkil inti sawit, serat buah sawit, dan lumpur sawit sebagai bahan pakan ternak. Menurut Deptan (2004) pemilihan jenis HMT untuk perkebunan sawit : (1) disukai ternak, (2) cepat menutup tanah, (3) mempunyai toleransi terhadap naungan, (4) dapat tumbuh bersama-sama dengan tanaman HAT jenis lainnya, (5) daya tumbuh dengan biji yang cukup tinggi. Umumnya tanaman penutup tanah dari jenis kacang-kacangan antara lain Centrocema pubescens, Peuraria phasseiloides dan Desmodium sp. Jenis rumput-rumputan antara lain dari jenis Paspalum plikatulum, Panicum maximum, dan lain-lain. Produktivitas HMT tersebut telah diperoleh hasil pengukuran dengan metode pendekatan proper use faktor sebagai berikut : Tabel 17 Hasil perhitungan produktivitas HMT di areal kebun sawit. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Uraian Rumput Brachiaria sp., campuran rumput alam Rumput Brachiaria sp., campuran rumput alam Rumput Brachiaria sp., campuran rumput alam Rumput Brachiaria sp., campuran rumput alam Rumput Brachiaria sp., campuran rumput alam Rumput Brachiaria sp., campuran rumput alam Rumput Brachiaria sp., campuran rumput alam Rumput Brachiaria sp., campuran rumput alam Rumput Brachiaria sp., campuran rumput alam Rumput Brachiaria sp., campuran rumput alam Rumput Brachiaria sp., campuran rumput alam Rumput Brachiaria sp., campuran rumput alam Rumput Brachiaria sp., campuran rumput alam Rata-rata
Hasil (%) 64.70 62.50 63.63 66.66 67.50 73.63 78.72 61.76 65.71 68.29 73.33 67.56 78.33 68.63
Sumber : Data olahan
Berdasarkan hasil analisis produktivitas HMT di areal kebun sawit nilai proper use factor 68.6%, menunjukkan kategori tingkat pemanfaatan hijauan (HMT) yang tinggi oleh ternak sapi di areal kebun sawit, sehingga cukup
53
potensial untuk mendukung kegiatan integrasi usaha ternak sapi di areal kebun sawit. Beberapa faktor penentu daya dukung lahan untuk usaha ternak, yang perlu diperhatikan adalah : (1) curah hujan, (2) topografi, (3) persentase hijauan dan pertumbuhannya, ( 4) jenis dan kualitas HMT, (5) distribusi air, (6) supplementary feeding, (7) pengaturan jumlah ternak yang digembalakan, (8) sistem penggembalaan dan luas padang rumput, (9) suhu lingkungan sekitar.
Potensi Produksi Pelepah dan Daun Sawit Sebagai Bahan Pakan Ternak Bagian dari pohon sawit yang dapat digunakan sebagai salah satu sumber HMT adalah daun dan pelepah sawit yang cukup bernilai gizi, namun belum dimanfaatkan oleh petani di Kutai Timur.
Berdasarkan uji labratorium yang
dilakukan telah didapatkan hasil sebagai berikut : Tabel 18 Komposisi Nutrisi Daun dan Pelepah sawit. No. Kandungan Nutrisi 1 Bahan Kering 2 Protein kasar 3 Lemak kasar 4 Serat kasar 5 BETN 6 Abu 7 Calsium 8 Phosfor 9 Hemisellulosa 10 Lignin 11 Cellulose Sumber : Data olahan.
Daun (%) 21.98 10.34 6.17 27.60 46.92 8.97 0.29 0.18 18.37 41.02 9.65
Pelepah (%) 25.63 1.56 2.05 52.48 38.76 5.15 0.95 0.29 17.71 24.55 35.46
Kandungan lignin yang cukup tinggi pada daun yakni 41.02% dan pelepah 24.55% yang tidak dapat dimanfaatkan oleh ternak, juga merupakan indeks negatif bagi mutu bahan pakan karena ikatannya dengan selulose dan hemiselulosa mempersulit pemanfaatan selulosa dan hemiselulosa. Untuk itu diperlukan input teknologi aplikasi misalnya silase atau melakukan perlakuan terhadap daun dan pelepah sawit untuk dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan ternak sapi. Menurut Elisabeth dan Ginting (2003), unsur kimia yang terkandung dalam beberapa hasil kebun sawit, memiliki kandungan selulose dan hemiselulose terbesar (60-80%) atau 44-69% dari bahan kering. Hasil sampingan
54
pohon sawit cukup memungkinkan untuk digunakan sebagai bahan makanan ternak.
Petani peternak setempat belum banyak memanfaatkan potensi hasil
sampingan kebun sawit (daun/pelepah) sebagai hijauan makanan ternak, disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya : 1. Tingkat pengetahuan dan pengalaman petani dalam memanfaatkan daun dan pelepah sawit sebagai sumber pakan ternak. 2. Jarak antara kandang/rumah petani dengan kebun sawitnya cukup jauh 1-5 km. 3. Memerlukan waktu dan input teknologi khusus dalam prosesnya. 4. Daya adaptasi sapi terhadap sumber pakan tersebut perlu diupayakan. Produk sampingan dari pohon sawit berupa daun dan pelepah sangat berpotensi untuk pakan ternak. Menurut Sitompul (2003), setiap pohon sawit menghasilkan 22 pelepah/tahun dengan rataan bobot pelepah 2.2 kg (setelah dikupas siap disajikan). Jumlah tersebut setara dengan 6.292 kg (22 pelepah x 130 pohon/hektar/tahun x 2.2 kg = 6.292 kg).
Daun yang dihasilkan setiap
pelepah adalah 0.5 kg, jadi setiap pohon sawit mampu menghasilkan 11 kg/tahun/pohon, setiap 1 hektar sawit akan menghasilkan hijauan sebanyak 1.430 kg/tahun/hektar. Berdasarkan hal tersebut, maka di Kutai Timur terdapat 314.511 hektar perkebunan sawit (tahun 2007), yang memiliki kemampuan produksi bahan pakan berupa : a.
Produksi pelepah sebanyak 1.978.274.19 ton/tahun atau setara dengan kemampuan = 1.761.261.6 ST, termasuk didalamnya : •
Kapasitas tampung kebun sawit rakyat (13.605.70 hektar) di Kutai Timur sebesar 76.191.92 ST
•
Kapasitas tampung kebun sawit rakyat (2.352 hektar) di Kecamatan Muara Wahau sebesar 13.500.34 ST
b.
Produksi daun sebanyak 440.315.4 ton/tahun atau setara dengan kapasitas tampung ternak 408.864.3 ST, termasuk didalamnya : •
Kapasitas tampung kebun sawit rakyat (13.605.70 hektar) di Kutai Timur sebanyak 17.687.41 ST .
55
•
Kapasitas tampung kebun sawit rakyat umur 4-6.5 tahun (2.352 hektar) di Kecamatan Muara Wahau sebesar 3.057.6 ST.
Perhitungan ini berdasarkan pada asumsi 1 ST = 300 kg bobot badan dengan komsumsi 10% dari bobot badan ternak. Jadi berdasarkan hal tersebut, produksi HMT/bahan pakan berupa rumput/legum, daun dan pelepah sawit di areal kebun sawit umur 4-6.5 tahun di wilayah penelitian adalah 12.322 kg/tahun/hektar (12.32 ton/hektar/tahun) atau setara dengan daya tampung 11.30 ST/hektar/tahun, hal ini jika semua potensi termanfaatkan secara optimal, maka kapasitas tampung keseluruhan luas areal kebun sawit (umur 4-6.5 tahun) di Kutai Timur adalah 3.528.813.42 ST (11.22 ST x 314511 hektar) termasuk didalamnya : •
Kebun sawit rakyat di Kutai Timur dengan kapasitas tampung sebesar 152.655.95 ST
•
Kecamatan Muara Wahau dengan kapasitas tampung 26.389.44 ST.
Aspek Ekonomi Sistim Integrasi Sawit Ternak Sapi Berdasarkan hasil pengamatan, banyak petani belum melakukan kegiatan integrasi sawit-ternak sapi, karena jarak kebun dengan rumah petani umumnya jauh, faktor keamanan ternak dari pencurian, rendahnya tingkat pengetahuan petani untuk beternak secara integrasi sawit-sapi yang lebih menguntungkan. Estimasi pendapatan petani sawit tidak integrasi dengan integrasi sawit-ternak sapi, lebih tinggi pada usaha tani integrasi sawit-ternak sapi sekitar 10.56-16.49 %., yang diperoleh dari : (1) adanya penghematan biaya pengendalian gulma, (2) adanya keuntungan dari hasil penjualan sapi, hal tersebut lebih rendah dibanding dengan hasil petani integrasi sawit-ternak sapi di Malaysia seperti yang dipaparkan oleh Lembaga Usahawantani Malaysia (2007) melaporkan : (a) program integrasi sawit-ternak sapi, mengoptimalkan sumberdaya lahan yang meningkatkan pendapatan
setiap
hektar
areal
kebun
sawit
berkisar
RP.
5.000.000-
6.000.000/hektar/tahun (RM 1.422-1.512 hektar/tahun), (b) hemat 20-50% biaya produksi (pengendalian tanaman penutup tanah/gulma) pada integrasi sawit-sapi. Umumnya petani mengelolah usaha taninya secara sederhana berdasarkan pengalaman, pengetahuan dan kebiasaan tanpa memperhitungkan nilai ekonomi. Biaya
yang
dikeluarkan
oleh
petani
sawit
(sawit 4-6.5 tahun)
tidak
56
menerapkan integrasi adalah biaya kegiatan pemupukan, penyemprotan gulma, tenaga kerja dan penyemprot. Petani integrasi sawit-sapi mengeluarkan biaya untuk pembelian bakalan, obat-obatan, pemupukan.
Komponen biaya untuk
pakan tidak dihitung karena petani memanfaatkan hijauan yang diperoleh di areal kebun sawit, tidak ada peternak yang membeli hijauan pakan ataupun konsentrat untuk ternaknya.
Tenaga kerja yang terlibat dalam usaha taninya umumnya
tenaga kerja keluarga sehingga komponen tersebut juga tidak dimasukkan sebagai biaya produksi, menurut Sarwono (1995) usaha peternakan sapi rakyat merupakan usaha tanpa biaya eksploitasi (Zero input) karena pakan tidak dibeli dan tenaga kerja yang digunakan seluruhnya berasal dari keluarga. Usahatani sistem integrasi terdapat potensi nilai ekonomi feces dan urine yang dapat menjadi salah satu sumber keuntungan, yakni menjadi pupuk kompos tetapi di lokasi wilayah penelitian feces belum dimanfaatkan menjadi bahan pembuatan kompos. Usahatani integrasi sawit-ternak tersebut sekresi feces dan urine oleh ternak yang kebetulan berada di areal kebun sawit akan berfungsi sebagai pupuk organik secara alami, dimana setiap ekor sapi dewasa dapat mengeluarkan feces sebanyak ± 20 kg/hari setara dengan 600 kg/bulan (Sitompul. 2003). Untuk membantu pemupukan di areal kebun sawit dimanfaatkan pupuk organik (kompos) yang dihasilkan oleh ternak sapi Bali. Tisdale et al. (1985) mengemukakan bahwa komposisi pupuk kandang bervariasi tergantung dari : (1) jenis dan umur hewan ; (2) makanan yang dikomsumsi dan penanganan limbahnya,
hal
ini
seiring
dengan
pemaparan
Setyamidjaya
(1986)
mengemukakan bahwa kandungan unsur hara kotoran padat ternak sapi mengandung 0.40% nitrogen, 0.20% phosfor, 0.10% kalium dan 85% air. Berdasarkan data yang tersedia, dilakukan analisis ekonomi sistem usahatani tidak integrasi dengan usahatani integrasi sawit-ternak sapi di wilayah kecamatan Muara Wahau, hasil estimasi pendapatan menunjukkan bahwa jumlah ternak yang dipelihara (modal) mempengaruhi pendapatan/keuntungan yang diperoleh petani, pendapatan petani lebih tinggi pada sistim integrasi sawit-ternak sapi berkisar 10.56-16.49 %(Tabel 19) :
58
Tabel 19 Analisis ekonomi usahatani integrasi sawit-ternak sapi dan non integrasi di lokasi penelitian. Sumber : Data olahan. * Berdasarkan analisis aspek ekonomi : Penerimaan – Biaya produksi = Keuntungan petani. Group A B
Uraian Usaha Tani Sawit Non Integrasi Penerimaan : • Panen buah sawit rata-rata/bulan/2 hektar selama 1 tahun Biaya Produksi : • Biaya penyemprotan 3 kali/tahun/hektar • Pemupukan (2-3 kali) pertahun/hektar • Upah penyemprotan 4 hari 1 orang/2 hektar
C
A- B = C (keuntungan)
Group A
Uraian Usaha Tani Integrasi Sawit-Ternak sapi Penerimaan : • Panen buah sawit rata-rata/bulan/2 hektar selama 1 tahun • Penjualan sapi 2 ekor Biaya Produksi : • Pemupukan (2-3 kali) pertahun/hektar • Pembelian bakalan 2 ekor • Biaya obat-obatan A- B = C (keuntungan)
B
C
Harga Satuan (RP)
Jumlah (RP)
1.500.000
18.000.000,-
390.000,800.000,32.600,1.222.600,-
780.000,1.600.000,130.000,2.510.000,18.000.000 2.510.000 – 15.490.000
Harga Satuan (RP)
Jumlah (RP)
1.500.000 4.000.000
18.000.000,8.000.000,-
800.000,2.900.000,100.000,-
1.600.000,5.800.000,60.000,26.000.000,7.450.000,18.550.000,-
* Berdasarkan pemetaan tersebut terlihat selisih keuntungan usaha tani sawit tanpa integrasi Vs. Usaha tani Integrasi sawitternak sapi (1-2 ekor) di kecamatan Muara Wahau adalah = Rp. 1.960.000-3.060.000, atau setara dengan 10.56 – 16.49 %.
Strategi Pengembangan Sapi Potong Melalui Sistem Integrasi Sawit-Ternak Penyusunan strategi pengembangan sapi potong, dilakukan dengan analisis SWOT terhadap berbagai faktor internal dan eksternal dari usaha integrasi sawitternak di Kutai Timur.
Indentifikasi faktor internal dan eksternal yang meliputi
lingkungan internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap pengembangan sapi potong dalam perkebunan sawit di lokasi penelitian. Deskripsi detail tentang faktorfaktor tersebut dijelaskan sebagai berikut : Faktor Internal Faktor internal yang diidentifikasi sebagai kekuatan dan kelemahan dalam pengembangan sapi potong sistem integrasi dengan sawit di Kutai Timur meliputi : Kekuatan (Strengths) : 1. Peternak umumnya berdomisili tetap di kecamatan Muara Wahau, dan memiliki pengalaman beternak. 2. Usaha ternak sapi sesuai dengan nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat (agama, Budaya). 3. Sebagian petani adalah anggota kelompok tani yang telah mendapatkan bantuan sapi dan pembinaan. 4. Sapi bantuan pemerintah yang digulirkan pada petani peternak dapat digulirkan kembali secara optimal. 5. Ternak sapi memiliki nilai jual yang tinggi. 6. Ketersediaan HMT di areal kebun sawit cukup memadai. 7. Kepemilikan lahan sawit sebagai warga minimal 2 hektar/KK. 8. Sapi Bali sebagai penghasil daging, tenaga kerja, dan penghasil kompos dan pengendali pertumbuhan tanaman penutup tanah. Kelemahan (Weakneesses) : 1. Terbatasnya tenaga teknis dan perhatian pemerintah yang terkadang tidak berkesinambungan (sesuai proyek). 2. Pola
pemeliharaan sapi secara ekstensif, dengan sistem pemberian pakan
seadaanya.
3. Rendahnya produktivitas HMT. 4. Rendahnya kemampuan mengadopsi teknologi. 5. Sistem pemasaran ternak sapi yang belum memadai hanya berbasis kebutuhan. 6. Jarak kebun sawit dengan rumah petani cukup jauh Faktor Eksternal Faktor-faktor eksternal yang diidentifikasi sebagai peluang dan ancaman dalam pengembangan sapi potong sistem integrasi dengan sawit di Kutai Timur sebagai berikut : Peluang (Opportunities) : 1. Usaha tani sawit-ternak sapi tidak merusak lingkungan dan dapat bersinergi. 2. Adanya visi pemerintah kabupaten dan kebijakan pendukung (penataan ruang pemanfaatan wilayah dan kawasan budidaya komoditas unggulan-pendukung). 3. Adanya sapi bantuan bergulir
yang diberikan dengan aturan yang tidak
memberatkan petani peternak. 4. Adanya permintaan yang tinggi dan akses pemasaran yang mudah. 5. Pemanfaatan potensi limbah kebun sawit sebagai bahan pakan ternak yang tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Ancaman (Threats) : 1. Tingkat kematian sapi yang masih tinggi disebabkan oleh tatalaksana pemeliharaan seadanya. 2. Keamanan sapi (pencurian sapi yang sering terjadi) 3. Dasar harga penjualan sapi berdasarkan oleh keadaan (tidak adanya standar harga penjualan sapi). 4. Wabah penyakit (penyakit mata, penyakit lumpuh, cacingan). Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal Berdasarkan hasil identifikasi faktor internal dan eksternal, dilakukan evaluasi menggunakan matriks evaluasi faktor internal (EFI) dan matriks evaluasi faktor
eksternal (EFE).
Dalam proses evaluasi dilakukan pembobotan dan penentuan
peringkat (rating) untuk memperoleh skor dari masing-masing faktor yang telah diidentifikasi. Untuk merumuskan strategi pengembangan sapi potong sistem integrasi sawit-ternak sapi di Kutai Timur.
Dalam tabel 20, disajikan matriks yang
menunjukkan nilai bobot dan rating dari komponen utama dan pendukung sistem integrasi sapi-sawit di Kutai Timur. Tabel 20
No 1 2 3 4 5 6 7 8
1
2 3 4 5 6
Matriks evaluasi faktor internal (EFI) pengembangan sapi potong melalui sistem integrasi sawit-ternak. Faktor Internal
Kekuatan (Strength) Peternak umumnya berdomisili tetap di kecamatan Muara Wahau, dan memiliki pengalaman beternak Usaha ternak sapi sesuai nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat (agama, Budaya). Sebagian petani adalah anggota kelompok tani yang telah mendapatkan bantuan sapi dan pembinaan. Sapi bantuan pemerintah pada petani peternak digulirkan kembali secara optimal. Ternak sapi memiliki nilai jual yang tinggi. Ketersediaan HMT/bahan pakan di areal kebun sawit. Kepemilikan lahan sawit sebagai warga minimal 2 hektar/KK Sapi Bali sebagai penghasil daging, tenaga kerja, dan penghasil kompos dan pengendali pertumbuhan tanaman penutup tanah. Jumlah Kelemahan (Weaknes) Rendahnya pendidikan, pengetahuan peternak, terbatasnya teknis dan perhatian pemerintah yang terkadang berkesinambungan (sesuai proyek). Pola pemeliharaan sapi secara ekstensif, dengan pemberian pakan seadaanya Rendahnya produktivitas HMT Rendahnya kemampuan mengadopsi teknologi. Sistem pemasaran ternak sapi yang belum memadai berbasis kebutuhan. Jarak kebun sawit dengan rumah petani cukup jauh Jumlah Total
tenaga tidak sistem
hanya
Bobot
Bobot x Rating
Jumlah
0.03
2
0.06
0.03
2
0.06
0.09
3
0.27
0.06
3
0.18
0.04 0.1 0.15
3 4 4
0.12 0.4 0.6
0.05
4
0.2
0.55
29
1.89
0.1
2
0.2
0.1
3
0.3
0.1 0.05
3 2
0.3 0.1
0.05
4
0.2
0.05 0.45 1
4 18 47
0.2 1.3 3.19
Matrik evaluasi faktor eksternal sebagai alat analisis untuk merumuskan strategi pengembangan sapi potong melalui sistem integrasi sawit-ternak di Kutai Timur. Adapun matrik evaluasi faktor eksternal adalah sebagai berikut :
Tabel 21 Matriks evaluasi faktor eksternal (EFE) pengembangan sapi potong melalui sistem integrasi sawit-ternak. Bobot Faktor Eksternal
No 1 2 3 4 5
1 2 3 4
Peluang (opportunity) Usaha tani sawit-ternak sapi tidak merusak lingkungan dan dapat bersinergi. Adanya visi pemerintah kabupaten dan kebijakan pendukung (penataan ruang pemanfaatan wilayah dan kawasan budidaya komoditas unggulan-pendukung). Adanya sapi bantuan bergulir yang diberikan dengan aturan tidak memberatkan petani peternak. Adanya permintaan yang tinggi dan akses pemasaran yang mudah. Pemanfaatan potensi limbah kebun sawit sebagai bahan pakan ternak yang tidak bersaing dengan kebutuhan manusia Sub total Ancaman (threats) Tingkat kematian sapi yang masih tinggi disebabkan oleh tatalaksana pemeliharaan seadanya. Keamanan sapi (pencurian sapi yang sering terjadi) Dasar harga penjualan sapi berdasarkan oleh keadaan (tidak adanya standar harga penjualan sapi). Wabah penyakit (penyakit mata, penyakit lumpuh, cacingan, demam, dll). Jumlah Total
0.15
Bobot x Rating
Jumlah
3 0.45
0.1 0.1
2 4
0.05
4
0.15
3
0.55
16
1.7
0.1 0.15
4 4
0.4 0.6
0.1
3
0.3
0.1 0.45 1
2 13 29
0.2 1.5 3.2
0.2 0.4 0.2
Formulasi Strategi Kombinasi faktor-faktor eksternal dan internal yang telah dianalisis sebagaimana ditampilkan dalam Tabel 20 dan 21 digunakan untuk merumuskan strategi pengembangan sapi potong sistem integrasi dengan sawit. Hasil matriks bobot faktor eksternal (3.2) lebih tinggi dibandingkan dengan internal (3.19), ini menggambarkan bahwa pengaruh eksternal dalam pengembangan sistem integrasi sawit-ternak sapi potong lebih berpengaruh, hal ini kemungkinan disebabkan oleh pengetahuan petani yang rendah sehingga berpengaruh pada adopsi teknologi, manajemen pengelolaan usahatani, permodalan yang sangat terbatas. Pada kekuatan dan peluang sangat besar bobotnya (3.59) sedangkan kelemahan dan ancaman lebih kecil bobotnya (2.8) hal ini menggambarkan bahwa sistem integrasi sawit-ternak sapi sangat besar potensinya untuk dilaksanakan mengingat dalam usaha ini lebih dominan.
Tabel 22 Matriks SWOT formulasi strategi pengembangan sapi potong melalui sistem integrasi sawit-ternak di Kutai Timur Kekuatan (Strength)
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Peluang (Opportunities)
1. Usaha tani sawit-ternak sapi tidak merusak lingkungan dan dapat bersinergi. 2. Adanya visi pemerintah kabupaten dan kebijakan pendukung (penataan ruang pemanfaatan wilayah dan kawasan budidaya komoditas unggulan-pendukung). 3. Adanya sapi bantuan bergulir yang diberikan dengan aturan yang tidak memberatkan petani peternak. 4. Adanya permintaan yang tinggi dan akses pemasaran yang mudah. 5. Pemanfaatan potensi limbah kebun sawit sebagai bahan pakan ternak yang tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Ancaman (Threats)
1. Tingkat kematian sapi yang masih tinggi disebabkan oleh tatalaksana pemeliharaan seadanya. 2. Keamanan sapi (pencurian sapi yang sering terjadi) 3. Dasar harga penjualan sapi berdasarkan oleh keadaan (tidak adanya standar harga penjualan sapi). 4. Wabah penyakit (penyakit mata, penyakit lumpuh, cacingan).
Kelemahan (Weakneses)
9. Peternak umumnya berdomisili tetap di kecamatan Muara 1. Rendahnya pendidikan, pengetahuan peternak, terbatasnya tenaga teknis dan perhatian pemerintah Wahau, dan memiliki pengalaman beternak. yang terkadang tidak berkesinambungan (sesuai 10. Usaha ternak sapi sesuai nilai-nilai sosial budaya proyek). masyarakat setempat (agama, Budaya). 11. Sebagian petani adalah anggota kelompok tani yang telah 2. Pola pemeliharaan sapi secara ekstensif, dengan sistem pemberian pakan seadaanya. mendapatkan bantuan sapi dan pembinaan. 3. Rendahnya produktivitas HMT. 12. Sapi bantuan pemerintah yang digulirkan pada petani 4. Rendahnya kemampuan mengadopsi teknologi. peternak dapat digulirkan kembali secara optimal. 5. Sistem pemasaran ternak sapi yang belum 13. Ternak sapi memiliki nilai jual yang tinggi. memadai hanya berbasis kebutuhan. 14. Ketersediaan HMT di areal kebun sawit. 15. Kepemilikan lahan sawit sebagai warga minimal 2 6. Jarak kebun sawit dengan rumah petani cukup jauh hektar/KK. 16. Sapi Bali sebagai penghasil daging, tenaga kerja, dan penghasil kompos dan pengendali pertumbuhan tanaman penutup tanah. Strategi W-O Strategi S-O 1. Pengembangan pola tatalaksana integrasi sawit-ternak sapi 2. Peningkatan sarana produksi ternak, pola integrasi sawit.
1. Peningkatan produktivitas HMT di areal kebun sawit dan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ternak dan limbah perkebunan sawit (teknologi pemanfaatannya). 2. Pembentukan kelembagaan petani dan kelengkapan adminstrasinya.
Strategi S-T
Strategi W-T
1. Peningkatan pelayanan kesehatan ternak
1. Jaminan keamanan beternak di areal perkebunan sawit. 2. Penguatan kelembagaan teknis dan penyuluhan .
67
Berdasarkan hasil pemetaan SWOT selanjutnya dirumuskan beberapa strategi yaitu : Strategi SO (Strengths-Opportunities) : 1. Pengembangan pola tatalaksana integrasi sawit-ternak sapi dengan melalui program : •
Pola tatalaksana pemberian dan formulasi hijauan pakan ternak.
•
Pengelolaan pengembalaan di areal perkebunan
•
Keseuaian areal perkebunan (produktivitas lahan) dengan ternak yang dipelihara dalam (carrying capacity).
•
Pengadaan bibit sapi khusus untuk integrasi sawit.
•
Pengadaan gerobak angkut untuk memanfaatkan ternak sebagai alat angkut di areal kebun sawit.
2. Peningkatan sarana produksi ternak pola integrasi sawit dengan program : •
Pembangunan kandang kelompok di areal perkebunan sawit
•
Pengadaan alat dan mesin potong rumput, pelepah dan daun sawit.
Strategi W-O (Weaknees-Opprtunities) : 1. Peningkatan produktivitas HMT di areal kebun sawit dan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ternak dan limbah perkebunan sawit (teknologi pemanfaatannya), dengan melalui program : 1. Penanaman
berbagai
jenis
HMT
(rumput
dan
legum)
yang
telah
direkomendasikan Deptan RI. di areal kebun sawit baik sebagai penutup tanah maupun sebagai pembatas/pagar. 2. Penerapan teknologi pemanfaatan pelepah, daun dan limbah sawit lainnya sebagai bahan pakan ternak. 3. Pemanfaatan ternak sapi sebagai alat transfortasi/alat penarik gerobak, penghasil gasbio dan kompos. 2. Pembinaan dan pembentukan kelembagaan petani serta kelengkapan administrasinya, melalui progam : • Pembentukan kelompok tani dan koperasi.
67
Kelembagaan adalah institusi sosial pada komunitas petani yang diharapkan menjadi pranata, dibangun dari kebersamaan dan persatuan, merupakan salah satu unsur strategis dalam komunitas petani untuk efektifnya koordinasi, transformasi IPTEKS, pembinaan SDM anggota, pemanfaatan peluang, dan mengeleminir hambatan serta ancaman pada kelompok tani/koperasi petani. Berdasarkan hasil observasi dilapangan, umumnya petani yang memiliki lembaga (kelompok tani dan koperasi), kenyataannya bahwa : (1) mampu memanfaatkan peluang berupa bantuan pemerintah/swasta, (2) cenderung mendapat perhatian dan pembinaan teknis dari instansi yang cukup intens, (3) mendapat info pasar dan kemajuan tekonologi pertanian, (4) dapat dibina, upaya usahatani secara teknis atau mendekati teknis, (5) mampu menyalurkan aspirasi dan mengkoordinasikan kepentingannya. Kelembagaan petani perlu dilakukan oleh instansi pemerintah, karena SDM petani umumnya rendah sehingga perlu diprakarsai, diayomi, diberikan arahan, petunjuk, dan bimbingan teknis. Menurut Said dan Intan (2001) peran pemerintah dalam membangun agribisnis yang tangguh adalah menjadi penuntun, pendorong, pengawas dan pengendali sistem. Kelembagaan perlu digalakkan karena organisasi tersebut sifatnya semi struktural (mitra pemerintah dalam membangun pertanian) yakni berisi struktur, peran, hubungan antar peran/kewenangan, kegiatan untuk mencapai tujuan, keanggotaan, peluang dan hambatan dalam usahatani. Eksistensi kelembagaan petani dapat meningkatkan solidaritas petani, rasa kekeluargaan, kebersamaan, dan partisipasi petani bersinergi dengan program pemerintah dalam membangun pertanian yang berdaya saing. Kelembagaan petani (kelompok/koperasi) dapat menjadi sarana promosi pemasaran hasil pertanian khususnya sawit-ternak (penentuan standar harga, peluang pasar, dan aspek lainya). •
Evaluasi dan monitoring kelengkapan kelembagaan serta kegiatan kelompok atau koperasi petani secara berkesinambungan. Evaluasi dan monitoring bertujuan untuk melakukan penilaian terhadap sistem pengelolaan kelembagaan tersebut, sehingga diharapkan dengan program
67
tersebut dapat memberikan efektifitas lembaga (kelompok dan koperasi) dan anggota secara berkelanjutan.
Kelengkapan administrasi kelembagaan petani
dapat menjadi katalisator adopsi IPTEKS, jaringan pasar, wahana koordinasi, wahana promosi mendapatkan bantuan/kerjasama dan perekat sosial dalam usahatani sistem integrasi sawit-ternak. •
Program membangun komitmen sinergitas Sinergitas proses pada lingkup instansi terkait perlu dilakukan (Dinas perkebunan, Dinas Pertaniantan, Dinas Koperasi, LSM, dan pihak swasta).
Komitmen
sinergitas proses yang dimaksud merupakan penyatuan persepsi, sikap dan sinergitas proses masing-masing instansi terkait dan para pihak, berdasarkan proporsi kewenengan kelembagaan dalam memciptakan pertanian yang tangguh dan berdaya saing, khususnya petani integrasi sawit-ternak Strategi S-T (Strength-Threats) 1. Peningkatan sarana kesehatan Pengingkatan sarana kesehatan dan penyuluhan dilakukan melalui : •
Peningkatan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan hewan (suplemen. vitamin dan obat-obatan, serta peralatan kesehatan). Sarana dan prasarana pelayanan dapat mempengaruhi tingkat keuntungan petani dan perkembangan populasi ternak sapi, dimana diwilayah penelitian belum ada pos kesehatan hewan, ketersediaan obat-obatan dan vaksin serta perlengkapan IB, sehingga para penyuluh/staf UPTD pertanian bertindak selaku petugas pelayanan kesehatan hewan, dengan pengetahuan dan sarana terbatas.
Strategi W-T (Weaknees-Treaths) 1. Optimalisasi tataniaga dan keamanan beternak di areal perkebunan sawit, melalui program : •
Penerapan standar harga penjualan ternak dan standar kelengkapan administrasi resmi, serta pengawasan keluar masuknya ternak di Kutai Timur.
67
Dalam hal ini standar harga ternak dan standar kelengkapan adminstrasi bertujuan untuk memberikan kelancaran dan kenyamanan bagi peternak baik dalam hal harga, maupun persaingan ternak dari luar. Sehingga peternak dan pemerintah daerah tidak dirugikan (pajak, data, dan kompetitor peternak lokal). •
Pembuatan jadwal piket bergulir di areal perkebunan sawit dalam kelompok, untuk menjaga keamanan ternak dari pencurian.
2. Penguatan kelembagaan instansi teknis dan penyuluhan Penguatan kelembagaan instansi teknis melalui beberapa program : •
Peningkatan kuantitas dan kualitas tenaga teknis (tenaga medis kehewanan, penyuluh, dan inseminator).
•
Penyuluhan khusus untuk integrasi sawit-ternak sapi.
67
Gambar 11 Hirarki konseptual pengembangan sapi potong melalui sistem integrasi sawit-ternak di Kutai Timur.
PROGRAM PEMBANGUNAN NASIONAL
RISET DAN TEKNOLOGI
SKALA PRIORITAS PEMBANGUNAN PROPINSI
PELAKU USAHA : PERKEBUNAN SAWIT, PETERNAKAN SAPI
GRAND STRATEGY PEMKAB KUTAI TIMUR
Disbun
Distan/subdinnak
Pengawasan, pembinaan, & BantuanTekhnis
PERKEBUNAN POLA INTEGRASI SAWIT-TERNAK
Dinas LH, Bappeda dan PU (Tata Ruang) Pengawasan, pembinaan & bantuan tekhnis
Perkembangan Populasi ternak
69
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Populasi ternak ruminansia (ST) di Kutai Timur didominasi ternak sapi potong yakni sekitar 91% (20.799 ekor = 16.178.27 ST), disusul kambing = 5% (6500 ekor = 880.82 ST), kemudian kerbau 4% (697 ekor = 654.17 ST) dan domba 0% (60 ekor = 7.99 ST), ternak perah tidak ada populasi. Umumnya beternaka sapi sebagai usaha sampingan atau cabang usaha dengan pola pemliharaan sederhana, koefisien teknis riil adalah 61% tingkat kelahiran anak, 28.4% kematian anak umur 0-6 bulan, 12.9% kematian anak umu 6 bulan-1 tahun, 12% kematian muda dan 6% kematian sapi dewasa. 2. Komposisi botani HMT yang ada di areal kebun sawit (4 – 6.5) berupa rumput Brachiaria humidicola dan Brachiaria brizantha, tumbuhan pakis
masing-
masing sebanyak 24%, Alang-alang (Imperata cylindrica) 11%, Chloris gayana 8%, Andropogon gayanus 6.9% dan jenis legume berupa Pueraria phaseloides 25%, Calopogonium muconoides 24%, gamal (Gliricidia sepium) 31%, Macrophitilium 20% dengan nilai produktivitas hijauan makanan ternak (proper use factor) 68.6% dengan kapasitas tampung sebanyak 4.2 ST/hektar/tahun dan untuk areal kebun sawit umur 3-25 tahun rata-rata memiliki kemampuan daya tampung 2.24 ST/hektar/tahun. 3. Di Kutai Timur daya tampung ternak ruminansia lahan perkebunan sawit sebesar 706.520.64 ST dan 89%, dan nilai KPPTR Kutai Timur sebesar 782.276.15 ST dengan kepadatan wilayah berdasarkan lahan garapan termasuk kategori sangat jarang ternak ruminansia (0.03 ST/hektar). 4. Berdasarkan kepala keluarga (44.115 di Kutai Timur) kemampuan KPPTR sebesar = 114.623.8 ST dengan kepadatan ekonomi wilayah (penduduk dengan ternak) termasuk kategori sedang = 95.90 ST/1000 jiwa 5. Keuntungan petani 10.56-16.49 % lebih tinggi diperoleh pada usahatani sistem integrasi sawit-ternak sapi potong dibandingkan usahatani tidak integrasi sawitternak sapi.
70
6. Petani yang memiliki kelompok tani dan koperasi, menunjukkan bahwa : a. Mampu memanfaatkan peluang berupa bantuan pemerintah/swasta. b. Cenderung mendapat perhatian dan pembinaan teknis dari instansi yang cukup intens. c.
Mendapat info pasar dan kemajuan tekonologi pertanian.
d. Dapat dibina.untuk penerapan usahatani secara teknis atau mendekati teknis. a.
Mampu menyalurkan aspirasi dan mengkoordinasikan kepentingannya
Saran Usaha mewujudkan swasembada daging di Kutai Timur, salah satu upaya pengembangan populasi ternak sapi adalah melalui sistem integrasi sawit -ternak mengingat potensi daerah tersebut sangat besar, untuk itu langka-langka teknis yang perlu dilakukan adalah : (1) perbaikan manajemen pemeliharaan, (2) peningkatan sarana produksi ternak (introduksi HMT, bibit ternak dan kesehatan ternak), (3) optmalisasi sumberdaya lahan kebun sawit dan ternak, (4) peningkatan kualitas SDM petani, (5) adanya kebijakan khusus pengembangan sapi melalui sistem integrasi sawit-ternak. (6) kepemilikan lahan perkebunan sawit/kemitraan idealnya berimbang antara badan hukum (investor) dengan milik warga Kutai Timur (60 % : 40 %), tatapi kenyataannya sekarang didominasi oleh badan hukum, sehingga akan berdampak pada ekonomi rakyat pada jangka panjang, yakni hanya mendapat jatah sebagai tenaga kerja (secara tidak langsung merancang kemiskinan di pedesaan secara sistematis) dan
71
DAFTAR PUSTAKA Bappeda Kutai Timur. 2001. Siklus Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah. Bappeda Kutai Timur. Sangatta. Balai Penelitian Pertanian Bengkulu. 2006. Paket Teknologi Sistem Integrasi Sapi Kelapa Sawit. {
[email protected]}. Bengkulu. [23 januari 2007]. Badan Pusat Statistik Kutai Timur. 2005. Kutai Timur Dalam Angka 2004 – 2005. Bappeda dan BPS Statistik Kutai Timur. Sangatta. Bambang dan Nazaruddin. 1994. Ternak Komersial. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta. Bambang R. 2004. Analisa Usaha Peternakan Sapi Potong Rakyat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Berg RT, Butterfield RM. 1976. New Concepts of Cattle Growth.. Jhon Willey & Son. New York-Toronto. Blakely dan Bade J. 1993. Yogyakarta.
Ilmu Ternak.
Gadjamada University Press.
Brown, W. E., 1979. Beef Breeding Production and Marketing. Land Books. Bupati Kutai Timur. 2003. Selayang Pandang Daerah Kabupaten Kutai Timur. Humas Kutai Timur. Sangatta: 2003. Campbel JR, Lawrie RA. 1975. Beef Production Guide Veterinary Adveses to the Graziers Asosociation of New South Wales. New York. David FR. 2002. Manajemen Strategis Konsep. Edisi Ketujuh. Education Asia Pte. Ltd. Dan PT Prenhallindo. Jakarta.
Pearson
Dasuki, M. A, J. M. Atmaja., dan B. D. Martanegara. 1981. Peranan Usaha ternak Perah Rakyat Bagi Keluarga Tani di Daerah Pengalengan dan Lembang ditinjau dari Pencurahan Biaya, Tenaga Kerja dan Pendapatan yang dihasilkan. Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran. Bandung. Didi BW, Lukman A, Rasyid A. 2003. Integrasi Ternak Dengan Perkebunan Kelapa Sawit. Di dalam : Sistem Integrasi Kelapa Sawit – Ternak. Prosiding Lokakarya Nasional; Bengkulu, 9 – 10 Sep 2003. hlm 147. [Deptan] Departemen Pertanian. 2001. Pembangunan Produksi Peternakan Tahun 2001-2004. Rencana Strategi dan Program. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. [Deptan] Departemen Pertanian. 2004. Pedoman Pengembangan Integrasi Sawit Ternak. Dirjen Bina Produksi Ternak. Jakarta. [Deptan] Departemen Pertanian. 2003. Pedoman Pengembangan Kawasan Agribisnis Dirjen Bina Produksi Ternak. Jakarta.
72
[Deptan] Departemen Pertanian. 1993. Buku Pintar Penyuluh. Dirjen Peternakan. Jakarta. [Deptan] Departemen Pertanian. 2001. Pembangunan Produksi Peternakan Tahun 2001-2004. Rencana Strategi dan Program. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. [Deptan] Departemen Pertanian. 2004. Pedoman Kerjasama Tekhnis Evaluasi Program/Proyek Pembangunan Peternakan. Ditjen Produksi Ternak. Jakarta. [Deptan] Departemen Pertanian. 2007. Analisis Kebijakan Makro Pembangunan Pertanian. (www.deptan.go.id.) .Jakarta. [20 juli 2008]. Dinas Peternakan Jambi 2001. Integrasi Usaha Peternakan dan Perkebunan Kelapa sawit. Makalah Kepala Dinas Peternakan Provinsi Jambi pada pertemuan persiapan Working Group on Agriculture and Fisheries. Kerjasama Ekonomi Sub Regional IMT-GT. Jambi. Nopember 2001. Dinas Peternakan Sulawesi Selatan. 2004. Statistik Peternakan Tahun 2003. Makassar. Dinas Peternakan Provinsi Sulawesi Selatan. Dinas Peternakan Kaltim. 2004. Pemberdayaan Masyarakat Agribisnis Peternakan Kaltim Melalui Penguatan Modal Usaha Kelompok. Dinas Peternakan Propinsi. Samarinda. Dinas Peternakan Kaltim. 2004. Program Pembangunan Peternakan Kaltim 2003 – 2008. Dinas Propinsi Kaltim. Samarinda. Dinas Perkebunan Kaltim. 2003. Program Pembangunan Perkebunan Kaltim. Dinas Perkebunan Propinsi Kaltim. Samarinda. Direktorat Jenderal Peternakan dan Balai Penelitian Ternak. 1995. Pedoman Analisis Potensi Wilayah Penyebaran dan Pengembangan Peternakan. Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan dan Balai Penelitian Ternak. Direktorat
Jenderal Peternakan. 2006. Statistik Peternakan (www.ditjennak.go.id) Jakarta. [14 Nopember 2006].
2006.
Dwiyanto K, Dapot S, Ishak M, I-Wayan M, Soentoro. 2003. Pengkajian Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Di dalam Di dalam : Sistem Integrasi Kelapa Sawit – Ternak. Prosiding Lokakarya Nasional; Bengkulu, 9 – 10 Sep 2003. hlm 11. Elisabeth J. dan Ginting S. P. 2003. Pemanfaatan Hasil Samping Industri Kelapa Sawit Sebagai Bahan Pakan Ternak Sapi Potong. Prosiding Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Bengkulu 9 – 10 September 2003. Elizabeth J. dan Simon PG 2003. Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Teknologi Pakan Bahan Dasar Hasil Sampingan Perkebunan Kelapa Sawit. [Materi Loakarya]. Bengkulu.
73
Fakultas Peternakan. 1985. Peta Potensi Wilayah Penyebaran dan Pengembangan Peternakan Ruminansia Sapi dan Kerbau Potong. Gurnadi E.
1998. Livestock Development In Indonesia. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Peternakan di Indonesia. Jakarta.
Guntoro S. 2002. Membudidayakan Sapi Bali. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan Direktur Jenderal Peternakan. 1985. Laporan Akhir Peta Potensi Wilayah Penyebaran dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Hadi P.U., Ilham N. 2000. Peluang pengembangan usaha pembibitan ternak sapi potong di Indonesia dalam rangka swasembada daging 2005. Makalah dipresentasikan dalam Pertemuan Teknis Penyediaan Bibit Nasional dan Revitalisasi UPT T.A. 2000. Direktorat Perbibitan. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Jakarta. Hammond J. 1979. Farm Animal. Third Ed. Edward Arnold Publisher Ltd. London. Hasnudi. 2005. Peranan Limbah Sawit dan Hasil Samping Industri Kelapa Sawit Terhadap Pengembangan Ternak Ruminansia di Sumatra Utara. Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Sumatra Utara. Medan. Hardojowigeno S., Widiatmaka. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Tanah. Jurusan Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hax AC, Majluf NS. 1991. The Strategy : Concepts and Process. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Hoda A. 2002. Potensi Pengembangan Sapi Potong Pola Usaha Tani Terpadu di Wilayah Maluku Utara. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Horne M.P dan Stur W. 1999. Mengembangkan Teknologi Hijauan Makanan Ternak Bersama Petani Kecil-Cara Memilih Varietas Terbaik Untuk Ditawarkan Kepada Petani di Asia Tenggara. (Terjemahan). Australian Center For International Agricultural Research (ACIAR). Canberra. Australia. Ibrahim T. M. 2003. Strategi Penelitian Hijauan Mendukung Pengembangan Ternak Kambing Potong di Indonesia. Wartazoa Buletin Peternakan Indonesia. Ishak A. F. 2002. Membangun Wilayah Baru. Penerbit Pemerintah Kabupaten Kutai Timur. Sangatta. Ilroy Mc R.J dan Susteyo 1976. Pengantar Budidaya Padang Rumput Tropika. Pradnya Paramita. Jakarta. Ilroy Mc. R. J. 1964. Pengantar Budidaya Padang Rumput Tropika. Volume ke2. Susetyo B. Soedarmadi, Kismono I., Harini IS. Penerjemah. Fakultas Peternakan IPB. Pradnya Paramita; 1977. Terjemahan dari An Introduction to Tropical Grassland Husbandry.
74
Jalaluddin S. 2001. Integrated Animal Production in the Oil Palm Plantation. Universiti Pertanian Malaysia. Serdang- Selongor. Malaysia. Johari et al. 2005. Ternakan. Penerbit Teknologi Institut Penyelidikan dan Kemajuan Pertanian Malaysia (MARDI). Kuala Lumpur. Johnson G, Scholes K, Sexty RM. 1989. Exploring Strategic Management. Ontario: Prentice-Hall, Inc. Kanisius A. 1983. Hijauan Makanan Ternak. Penerbit Kanisius Yogyakarta. Lembaga Usahawantani Malaysia, 2007. Integrasi Ternakan Ruminan. http://iklancentre.com/usahawantani. [14 Januari 2008] Lubis U. Adlin, 1992. Kelapa Sawit di Indonesia. Pusat Penelitian Perkebunan Marihat-Bandar Kuala. Pematang Siantar Sumatra Utara. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: Grasindo. Mohamed HA. Halim, Ahmad TM. 1986. Availability and potensial of oil palm atrunks and fronds up to the year 2000. Palm Oil Research Institut Of Malaysia. Mubyarto. 1977. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta Natasasmita, A dan Mudikjo K. 1979. Beternak Sapi Daging. Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Fakultas
Nickols F. 2000. Strategy Is A Lot of Things. http://home.att.net/Nickols/strategy_is.htm [28 Januari 2003]. Nurdin M. H. 2006. Identifikasi Potensi Sumberdaya Lahan untuk Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Lombok Tengah. Tesis Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Payne WJA. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gandja Mada University Press. Yogyakarta. Preston TR, dan Leng RA. 1986. Matching Ruminant Production System With Avalilable Resourcesa in the Tropics and sub-tropics. New South Wales. Australia. Pusat Penelitan dan Pengembangan Peternakan. 1980. Kesimpulan sosial ekonomi. Seminar Ruminansia II. Proceeding Seminar Ruminansia II. Puslitabang Bogor. Querke D et al. 2003. Effects of Globalosation and economic development on the Asian Livestock Sector. Australian Center for International Agricultural Research (ACIAR). Canberra. Australia. Rangkuti F. 2006. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Reijntjes C., Haverkort B. dan Bayer A.W. 2004. Penerbit Kanisus. Jakarta.
Pertanian Masa Depan.
75
Riady M. 2001. Tantangan dan Peluang Peningkatan Produksi Sapi Potong Menuju tahun 2020. Prosiding Lokakarya Nasional Sapi Potong. Yogyakarta 8-9 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Reksohadiprodjo S. 1994. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. Universitas Gadja Mada. Penerbit BPFE Yogyakarta. Rusono N. 1999. Sinergis Antar Sub-sektor Dalam Pengembangan Pertanian Terpadu. Seminar Nasional Dalam Rangka Lustrum Fapet UGM. Yogyakrta. Robert GD, Steel, Torrie JH. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Penerbit PT. Gramedia Jakarta. Said E.G.,
Intan H. 2003. Jakarta.
Manajemen Agribisnis.
Penerbit PT. Gramedia
Saragih B. 1998. Agribisnis Berbasis Peternakan. Pusat Studi Pengembangan. Lembaga Penelitian. Institut Pertanian Bogor. Satya
T.P.N.H. 2001. Pengembangan Kawasan Peternakan. Direktur Pengembangan Peternakan. [Lokakarya]. Jakarta. Nopember 2001.
Sarwono, 1995. Peternakan sapi rakyat pada ekosistem sawah beririgasi di Pulau Lombok NTB. Laporan Penelitian Universitas Mataram. Mataram. Siregar, A. R., S. Soedirman, T. Manurung dan A. P. Siregar. 1981. Budidaya ternak dalam usahatani terpadu di daerah transmigrasi. Prosiding seminar penelitian peternakan. Puslitbang, Bogor. Sitompul, D. M., B. P. Manurung, I. W. Mathius dan Azmi, 2004. Integrasi sapisawit; Daya dukung produk samping dalam pengembangan ternak sapi. Makalah presentasi pada Seminar dan Ekspose Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak, Denpasar, 20-22 Juli 2004. Sitompul, D. 2003. Desain Pembangunan Kebun Dengan Sistem Usaha Terpadu Ternak Sapi Balesia. Di dalam : Sistem Integrasi Kelapa Sawit – Ternak. Prosiding Lokakarya Nasional; Bengkulu, 9 – 10 Sep 2003. hlm 120. Setyamidjaja, D. 1986. Pupuk dan Pemupukan. Simplex. Jakarta. Syamsu J.A. 2006. Analisis Potensi Limbah Tanaman Pangan Sebagai Sumber Pakan Ternak Ruminansia di Sulawesi Selatan. [Disertasi] Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Subroto G. 2003. Analisis SWOT Tinjauan Awal Pendekatan Manajemen. Sugeng. YB. 1992. Sapi Potong. Penebar Sawadaya. Jakarata. Sutanto R.
2004. Pertanian Organik Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Penerbit Kanisius Jakarta.
Suryahadi. 2006. Manajemen Lingkungan dan Sumber daya Peternakan. [materi kuliah]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
76
Susanto et al. 2001. Peta Pengembangan Kawasan Ternak Ruminansia di Indonesia. Balai Penelitian Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Jakarta. Soeparno. 1993. Ilmu dan Teknologi Daging. Penerbit Gadja Mada University Press. Yogyakarta. Soepardi. 1983. Ciri dan Sifat Tanah. [buku ajar]. Lembaga Penerbitan Kampus Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Solihin D. 2002. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Penerbit PT. GramediaPustaka Utama. Jakarta. Tisdale, S. L., W. L. Nelson and J. O. Beaton. 1985. Soil Fertilizers. 4th . edition. Mac Millan Publishing Company, New York. Tawaf R. 2006. Persfektif Kecukupan Daging 2010. Materi Seminar Sehari Menyoal Swasembada Daging 2010. Hiwacana Peternakan IPB. Bogor. Tjiptono Fandy. 1997. Strategi Pemasaran. Penerbit ANDI Yogyakarta. Umiyasih U, Anggraeny Y. 2003. Keterpaduan Sistem Usaha Perkebunan Dengan Ternak ; Tinjauan Ketersediaan Hijauan Pakan untuk Sapi Potong di Kawasan Perkebunan Sawit. [Materi Lokakrya]. Bengkulu. Wahyudi AS. 1996. Manajemen Strategik : Pengantar Proses Berpikir Strategik. Jakarta Binarupa Aksara. Jakarta. Wijaya E, Utomo BN. 2006. Pemanfaatan Limbah Pengolahan Minyak Kelapa Sawit Yang Berupa Solid Untuk Pakan Ternak (Sapi, Domba, Ayam). BPTP Kalteng. Kalteng. Wiyono D. B., Affhandy L. dan Rasyid A. 2003. Integrasi Ternak dengan Perkebunan Kelapa Sawit. Prosiding Sistem Integrasi Sapi – Sawit. Bengkulu 9 – 10 September 2003. Wiyatna M. F. 2002. Potensi dan Strategi Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat. (Tesis). Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Yulistiawati D. Dan Puastuti W. 2008. Eksplorasi Hutan untuk Perkebunan Kelapa Sawit dan Integrasinya dengan Ternak. Makalah Seminar Nasional Bioetika. Bogor 29 Mei 2008. Bogor.
Lampiran 1 Gambaran keadaan letak geografis dan demografi masing-masing kecamatan di Kutai Timur. No
Kecamatan
1
Sangkulirang
2
Sandaran
3
Kaliorang
4
Bengalon
Letak geografis batas dan demografi
Karakteristik
Utara : Utara :Berau Selatan : Kec. Kaliorang & Kec Bengalon Timur : Kec. Sandaran Barat : Kec. Ma. Wahau & Kec. Bengalon Luas wilayah adalah : 5.6137,88 km2 Jumlah Penduduknya : 15.698
- Kelerengan : 2-5 % - Suhu Udara : 26 Celcius - Curah hujan rata-rata : 0 - 3000 mm/tahun - Jumlah hari hujan : 129 hari/tahun
Utara : Kab. Berau Selatan : Selat Makassar Timur : Selat Makassar Barat : Kec. Sangkulirang Luas wilayah adalah : 380.354 Ha Jumlah Penduduknya adalah : 5.170
- Kemiringan : 15-40 % - Suhu Udara : 26 Celcius - Curah hujan rata-rata : 0 - 2500 mm/tahun - Jumlah hari hujan : 129 hari/tahun
Utara : Kec. Sangkulirang Selatan : Selat Makassar Timur : Selat Makassar Barat : Kec. Bengalon Luas wilayah adalah : 53.796 Ha Jumlah Penduduknya : 14.870
- Kemiringan : 15-40 % - Suhu Udara : 5 - 7 Celcius - Curah hujan rata-rata : 0 - 2000 mm/tahun - Jumlah hari hujan : 98 hari/tahun
Utara : Kec. Sangkulirang Selatan : Kec. Sangatta Timur : Kec. Kombeng & Kec. Ma. Wahau Barat : Selat Makassar Luas wilayah adalah : 339.624 Ha Jumlah Penduduknya : 11.833
- Kemiringan : 0 - 2 % - Suhu Udara : 26 Celcius - Curah hujan rata-rata : 2000-2500 mm/tahun
77
5
Muara Wahau
6 Kombeng
7 Telen
8 Ma. Ancalong
9 Busang
Utara : Kab. Berau Selatan : Kec. Telen & Kec Kombeng Timur : Kec. Bangalon & Kec.Sangkulirang Kab. Berau Barat : Kec. Telen dan Kab. Berau Luas wilayah adalah : 339.624 Ha Jumlah Penduduknya : 9.027 Utara : Kec. Ma. Wahau Selatan : Kec. Sangatta Timur : Kec. Telen Barat : Kec. Bengalon Luas wilayah adalah : 57.087 Ha Jumlah Penduduknya : 10.176 Utara : Kec. Ma. Wahau Selatan : Kec. Ma.Ancalong & Ma.Bengkal Timur : Kec. Busang Barat : Kec. Sangatta Luas wilayah adalah : 312.961 Ha Jumlah Penduduknya : 6.137 Utara : Kec Busang & Kec. Telen Selatan : Kec. Tabang & Kembang Jangut Timur : Kec. Ma. Bengkal Barat : Kec. Ma. Kaman Luas wilayah adalah : 312.961 Ha Jumlah Penduduknya : 16.086 Utara : Kec. Telen Selatan : Kec. Ma. Ancalong Timur : Kec. Telen Barat : Kec. Bulungan Luas wilayah adalah : 372.162 Ha Jumlah Penduduknya : 7.752
- Kemiringan : 40 % - Suhu Udara : 26 Celcius - Curah hujan rata-rata : 2500-3000 mm/tahun
- Kemiringan : 2-40 % - Suhu Udara : 26 Celcius - Curah hujan rata-rata : 2500-3000 mm/tahun
- Kemiringan : 40 % - Suhu Udara : 26 Celcius - Curah hujan rata-rata : 2500-4000 mm/tahun
- Kemiringan : 0,2 % - Suhu Udara : 26 Celcius - Curah hujan rata-rata : 2000-4000 mm/tahun - Jumlah hari hujan : 98 hari/tahun - Kemiringan : 40 % - Suhu Udara : 26 Celcius - Curah hujan rata-rata : 2500-4000 mm/tahun - Jumlah hari hujan rata-rata 130-150 hari/tahun
78
10 Ma. Bengkal
11
Sangatta
Utara : Ma. Wahau Selatan : Kec. Ma. Kaman Timur : Kec. Sangatta & Kt. Bontang Barat : Kec. Ma. Ancalong Luas wilayah adalah : 153.830 Ha Jumlah Penduduknya adalah : 19.153 Sangatta dan sekaligus Ibukota Kabupaten Kutai Timur Luas Wilayah: 3861,26 Km2, meliputi 10,8% wilayah Kabupaten Kutai Timur Demografi (Statistik Tahun 2004): Jumlah penduduk 65.356 jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata 13 jiwa/km2
Kondisinya masih idominasi oleh hutan dan rawa industri, sedang areal lainnya masih semak, danau, rawa, alang-alang & tegalan
Curah Hujan : 1700-2000 mm/tahun Klasifikasi Lereng : > 15% Rata-rata kedalaman muka air tanah: 80 cm Ketinggian tanah 5-100 meter diatas muka air laut
79
80
Lampiran
2
Komposisi penduduk kecamatan Muara Wahau berdasarkan tingkat pendidikan, keadaan KK dan pengangguran.
Desa
KK
Pen duduk
Buta Huruf
Peng angguran SD
Pendidikan SMP SLTA
PT
Juk Luay
72
276
39
-
151
20
1
10
Nehes Liah Bing
403
1,779
234
-
242
233
232
435
Muara Wahau
1,457
5,627
345
-
343
953
1,943
59
Dabeq
41
136
43
23
32
11
34
Diaq Lay
53
205
43
-
34
38
43
45
Benhes
149
497
45
-
57
25
18
-
Wana Sari
274
1,241
232
-
453
56
90
-
Wahau Baru
260
1,107
171
54
103
151
196
28
Karya Bakti Jumlah
452
1,672
30
355
498
571
59
21
1,904
2,079
3,161
12,540
1,182
5
414
2,593
632
Lampiran 4 Perhitungan produktivitas hijauan makanan mernak di areal kebun sawit. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
HMT Brachiaria + Rumput Alam Brachiaria + Rumput Alam Brachiaria + Rumput Alam Brachiaria + Rumput Alam Brachiaria + Rumput Alam Brachiaria + Rumput Alam Brachiaria + Rumput Alam Brachiaria + Rumput Alam Brachiaria + Rumput Alam Brachiaria + Rumput Alam Brachiaria + Rumput Alam Brachiaria + Rumput Alam Brachiaria + Rumput Alam Brachiaria + Rumput Alam Jumlah
a1 = a/m2 (cm) 34 32 33 33 40 55 47 34 35 41 45 37 60 58 584 41
b1= b/m2 (cm) 12 12 12 11 13 14,5 10 13 12 13 12 12 13 13
C = a1 – b1
Hasil Perhitungan (%)
22 20 21 22 27 40,5 37 21 23 28 33 25 47 45
64.70 62.50 63.63 66.66 67.50 73.63 78.72 61.76 65.71 68.29 73.33 67.56 78.33 77.58
83
81
Lampiran 3 Daya dukung hijauan makanan ternak bahan segar, bersumber dari areal kebun sawit di lokasi Penelitian. 1. Daya dukung hijauan makanan ternaka bahan segar berupa rumput/legume Pengolahan data : a. Produksi HMT setiap m2 bahwa : • Berat segar HMT rata-rata = 115 gram/meter2 • Setiap 1 hektar diasumsikan 8000 meter yang ditumbuhi HMT karena ditanami pohon sawit Jadi = 115 x 8000 = 920.000 gram (920 kg/panen) b. Asumsi bahwa • 920 kg/panen/hektar • 5 kali panen/tahun Jadi 920 x 5 = 4.600 kg/tahun/hektar kebun sawit c. Luas areal sawit rakyat di Kecamatan Muara Wahau 2352 hektar Jadi : 4600 x 2352 = 10.819.2 ton/tahun. Diketahui • Luas Kebun Sawit Rakyat = 2352 hektar • Produksi 10.819.2 ton/tahun • Kebutuhan HMT setiap 1 ST = 10.950 kg/tahun Maka :
DDHMT bahan segar
=
Produksi segar HMT (ton/hektar) = Kebutuhan 1 ST (ton/tahun)
4.60 ton/tahun 1.09 ton/tahun
= 4.2 ST. Maka kemampuan produksi HMT adalah : 1. Kemampuan lahan sawit rakyat kecamatan Muara Wahau adalah = 2352 x 4.2 ST = 9.878.4 ST . 2. Sawit rakyat (bermitra dengan inti) = 13.605.70 hektar dengan kemampuan produksi adalah 4.6 ton x 13.605.70 = 62.586.22 ton/tahun ( 4.2 ST x 13605.70 hektar = 57.143.94 ST) 3. Produksi HMT kebun sawit seluas 314.511 hektar di Kutai Timur adalah 4.6 ton x 314.511 hektar = 1.446.750.6 ton/tahun atau setara dengan 1.320.946.2 ST. 2. Daya dukung produksi HMT pelepah dan daun sawit bahan segar sumber kebun sawit. Diketahui : 1. Pelepah 22/tahun dengan berat 2,2 kg = 48, 4 kg (6.292 kg/hektar/tahun) 2. Produksi daun 0,5 kg/pelepah = 11 kg/pohon/tahun ( 1.430 kg/hektar/tahun) 3. Pohon sawit 130/hektar 4. Luas Kebun Sawit Rakyat = 2352 hektar 5. Komsumsi 1 ST = 30 kg/hari atau 10.950 kg/tahun (1.095. ton/tahun/ST)
82
Maka : Produksi segar pelepah sawit (ton/hektar) a. DDHMT bahan segar = Kebutuhan 1 ST (ton/tahun) 6.2 ton/hektar =
= 5.6 ST.
1.095 ton/tahun Sehingga : • Kemampuan Lahan sawit Muara Wahau = 2352 x 5.6 ST = 13.171.2 ST. • Kemampuan lahan sawit rakyat = 76191.92 ST (13.605.70 hektar x 5.6 ST) • Kemampuan lahan sawit Kutai Timur = 1.761.261.6 ST (514.511 x 5.6 ST) Produksi segar daun sawit (ton/hektar) b. DDHMT bahan segar = Kebutuhan 1 ST (ton/tahun) 1.4 ton/hektar =
= 1.30 ST. 1.095 ton/tahun
Sehingga : • Kemampuan Lahan sawit Muara Wahau = 2352/1.30 = 3057.6 ST • Kemampuan lahan sawit rakyat = 17.687.41 ST (13.605.70 hektar x 1.3 ST) • Kemampuan lahan sawit Kutai Timur = 408.864.3 ST (314.511 hektar x 1.3 ST) 3. Daya dukung total HMT (Rumput/legume, pelepah, daun sawit)sumber areal sawit : Produksi segar rumput/legume, daun, pelepah (ton/hektar) DDHMT bahan segar = Kebutuhan 1 ST (ton/tahun) 12.3 ton/hektar =
= 11, 22 ST. 1.095 ton/tahun
Sehingga kemampuan kapasitas tampung ternak sapi di perkebunan sawit : • Kecamatan Muara Wahau adalah = 26.389.44 ST (11.22 ST x 2352 hektar) • Kebun sawit rakyat adalah = 152.655.95 ST (11.22 ST x 13.605.70 hektar) • Kabupaten Kutai Timur adalah = 3.528.813.42 ST (`11.22 ST x 314511 hektar).
84 Lampiran 5 Perhitungan Kepadatan Ternak Kepadatan ternak dibedakan dalam tiga tipe kepadatan yaitu kepadatan ekonomi, kepadatan usaha tani dan kepadatan wilayah : 1. Kepadatan ekonomi ternak sapi potong di Kutai Timur, diukur dari jumlah populasi/1000 penduduk Populasi ternak ruminansia (ST) Kepadatan Ekonomi : −−−−−−−−−−−−−−−−−−−−− x Penduduk
1000.
Kriteria yang digunakan yaitu sangat padat >300, padat >100-300, sedang 50-100 dan jarang <50. 17.721,22 ST Kepadatan Ekonomi = −−−−−−−−−−− x 1000 = 95,90 ST/1000 jiwa 184.771 jiwa 2. Kepadatan usaha tani diukur dari jumlah populasi ternak ruminansia per hektar Populasi ternak ruminansia (ST) Kepadatan Usaha Tani = −−−−−−−−−−−−−−−−−− Luas lahan garapan (ha) Luas lahan yang dimaksud adalah luas sawah dan luas kebun di Kutai Timur,
= 17.721,2 ST (314.511 + 125.557 + 10.791,31) = 17.721,2 ST / 450.859,31 ha = 0,03 ST/hektar.
84
3. Kepadatan ekonomi ternak sapi potong di Kutai Timur, diukur dari jumlah populasi/1000 penduduk Populasi ternak ruminansia (ST) Kepadatan Ekonomi : −−−−−−−−−−−−−−−−−−−−− x Penduduk
1000.
Kriteria yang digunakan yaitu sangat padat >300, padat >100-300, sedang 50-100 dan jarang <50. 17.721,2 ST Kepadatan Ekonomi = −−−−−−−−−−− x 1000 = 95,90 ST/1000 jiwa. 184.771 jiwa 4. Kepadatan usaha tani diukur dari jumlah populasi ternak ruminansia per hektar Populasi sapi potong (ST ) Kepadatan Usaha Tani = −−−−−−−−−−−−−−−−−− Luas lahan garapan (ha)