Dampak Investasi Pertanian tehadap PDB Pertanian, Kesempatan Kerja dan Pendapatan Petani
DAMPAK INVESTASI PERTANIAN TERHADAP PDB PERTANIAN, KESEMPATAN KERJA DAN PENDAPATAN PETANI Agricultural Investment Impacts on Agriculture Gross Domestic Product, Employment, and Farmers’ Income Prajogo U. Hadi Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRACT To accelerate national economic growth, Indonesian government has been attempting to foster both domestic and foreign investments through setting some policies and regulations. This study aims to: (i) measure development of total and structure of agricultural investment; (ii) analyze factors affecting agricultural investment; and (iii) analyze impacts of agricultural investment on agricultural GDP, labor absorption, and farmers’ income. Results of the study show that: (i) In the 1990-1998 period, the realized domestic investment (PMDN) and foreign investment (PMA) fluctuated, with PMDN was much larger than that of PMA on average annually; (ii) Investment per sample of farmer-household was new plantation opening for oil palm 1.67 ha, or rubber 1.10 ha, or cocoa 0.91 ha, or purchase of 3 heads of beef cow, or 4 heads of dairy cow, or water pump 1 unit, or hand tractor 1 unit; (iii) The prime factors encouraging investment include the promising market of output and land availability; (iv) The major factors hampering investment were the large amount of required fund to commence or expansion of business of both large companies and smallholders, in addition to regional autonomy especially for large companies; (v) Agricultural investment carried out by large company (PMDN and PMA) positively affected agricultural GDP and new labor absorption and at national level PMDN investment contributed more to increasing agricultural GDP, while PMA investment had larger contribution to new labor absorption; and (vi) Investment conducted by farmer-households also positively influenced income and labor absorption with its IRR value of larger than commercial annual interest of 18%. It is recommended that: (i) Agricultural investment activity carried out by large companies (PMDN and PMA) and smallholder needs to be encouraged by creating more conducive climate with focusing more on PMDN investment; and (ii) The government needs to assist smallholders in accessing formal capital sources through providing subsidized credit such as KKP-E, KUR, KUPS, etc., as well as to provide water pumps in rain-fed areas. Key words : agricultural investment, GDP, labor absorption and farmer’s income
ABSTRAK Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk mendorong investasi pengusaha dalam negeri dan asing dengan berbagai kebijakan dan regulasi. Terkait dengan itu, penelitian ini bertujuan untuk: (i) Mengetahui perkembangan jumlah dan struktur investasi pertanian; (ii) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi investasi pertanian; dan (iii) Menganalisis dampak investasi pertanian
149
Prajogo U. Hadi
terhadap PDB pertanian, penyerapan tenaga kerja dan pendapatan petani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (i) Selama 1990-1998, realisasi investasi PMDN dan PMA berfluktuasi, dengan rata-rata realisasi investasi per tahun PMDN jauh lebih besar dibanding PMA; (ii) Investasi per rumah tangga petani responden berupa pembukaan kebun kelapa sawit 1,67 ha, atau karet 1,10 ha, atau kakao 0,91 ha, atau pembelian induk sapi potong 3 ekor, atau induk sapi perah 4 ekor, atau pompa air 1 unit, atau traktor tangan 1 unit; (iii) Faktor pendorong utama investasi adalah prospek pasar output komoditas yang makin baik dan tersedianya lahan; (iv) Faktor penghambat utama investasi adalah kebutuhan modal yang besar untuk memulai atau perluasan usaha, baik perusahaan besar maupun petani, disamping otonomi daerah khususnya untuk perusahaan besar; (v) Investasi pertanian oleh perusahaan besar (PMDN dan PMA) berdampak positif pada PDB pertanian dan penyerapan tenaga kerja baru, dimana secara agregat nasional, investasi PMDN memberikan kontribusi lebih besar dalam peningkatan PDB sektor pertanian, tetapi PMA memberikan kontribusi lebih besar dalam penyerapan tenaga kerja baru; dan (vi) Investasi pertanian oleh rumah tangga petani juga berdampak positif pada pendapatan dan penyerapan tenaga kerja dengan nilai IRR lebih dari suku bunga bank komersial 18%/tahun. Disarankan agar: (i) Kegiatan investasi pertanian oleh perusahaan besar (PMDN dan PMA) dan rakyat perlu ditingkatkan dengan menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif, namun perlu lebih konsentrasi pada investasi PMDN; dan (ii) Pemerintah perlu membantu petani dalam permodalan melalui penyediaan kredit program seperti KKP-E, KUR, KUPS, dan lain-lain, dan memberi bantuan pompa air di wilayah lahan tadah hujan. Kata kunci : investasi pertanian, PDB, kesempatan kerja dan pendapatan petani
PENDAHULUAN
Latar Belakang Investasi adalah bagian sangat penting dalam pembangunan ekonomi nasional, termasuk sektor pertanian. Dalam perspektif jangka panjang ekonomi makro, investasi meningkatkan stok kapital, yang selanjutnya meningkatkan kapasitas produksi masyarakat yang berdampak mempercepat laju pertumbuhan ekonomi nasional (van der Eng, 2009). Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk mendorong investasi pengusaha dalam negeri dan asing dengan berbagai kebijakan dan regulasi. Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, pemerintah akan lebih mengandalkan pertumbuhan investasi. KTT Ketahanan Pangan Dunia bulan November 2009 menghasilkan komitmen untuk meningkatkan investasi di sektor pertanian dan mengeliminasi masalah kelaparan lebih cepat dari yang telah ditargetkan semula. Dua komitmen yang berkaitan dengan investasi pertanian adalah: (1) Mencegah kecenderungan turunnya pendanaan domestik dan asing untuk pertanian, ketahanan pangan dan pembangunan perdesaan di negara sedang berkembang dan meningkatkan bantuan pembangunan publik secara signifikan; dan (2) Meningkatkan investasi baru untuk produksi dan produktivitas pertanian di negara sedang berkembang guna mengurangi kemiskinan dan mencapai ketahanan pangan untuk masyarakat. positif
150
Peningkatan investasi di bidang pertanian diharapkan mempunyai dampak terhadap kinerja sektor pertanian, yang menjadi tanggungjawab
Dampak Investasi Pertanian tehadap PDB Pertanian, Kesempatan Kerja dan Pendapatan Petani
Kementerian Pertanian. Dengan meningkatnya produksi pertanian, maka ketahanan pangan nasional menjadi makin kuat, pendapatan petani akan meningkat, kesempatan kerja perdesaan akan makin luas, jumlah penduduk miskin di perdesaan akan berkurang, devisa negara akan makin besar dan PDB sektor pertanian juga akan meningkat. Ada tiga pertanyaan fundamental yang perlu dijawab dalam kaitannya dengan investasi pertanian di Indonesia, yaitu: (1) Bagaimanakah perkembangan jumlah dan struktur investasi pertanian, baik menurut sumber dana investasi maupun bidang investasi; (2) Faktor-faktor penting apa sajakah yang dapat mempengaruhi investasi pertanian; dan (3) Bagaimanakah dampak investasi pertanian terhadap kinerja sektor pertanian. Dengan diketahuinya perkembangan jumlah dan struktur investasi, baik menurut sumber dana investasi maupun bidang investasi, maka pemerintah dapat mengidentifikasi peranan masing-masing pihak yang melakukan investasi dan bidang-bidang investasi yang diminati. Demikian pula, dengan adanya informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi investasi pertanian, maka pemerintah dapat menetapkan kebijakan yang lebih spesifik untuk mendorong investasi pertanian. Selanjutnya, dengan diketahuinya dampak investasi pertanian, maka pemerintah dapat mempertahankan kebijakannya yang sudah sesuai atau memperbaiki kebijakannya yang kurang kondusif. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia, misalnya BPS (1997) dan van der Eng (2009), tidak secara spesifik menganalisis investasi di sektor pertanian. World Bank (2009) juga menganalisis investasi sektor pertanian, tetapi hanya untuk pengeluaran pemerintah, dan tidak mencakup investasi perusahaan dan rumah tangga.
Tujuan dan Keluaran Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak investasi pertanian terhadap kinerja sektor pertanian. Lebih spesifik, tujuan penelitian ini adalah: (1) Mengetahui perkembangan jumlah dan struktur investasi pertanian; (2) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi investasi pertanian; dan (3) Menganalisis dampak investasi pertanian terhadap PDB pertanian, penyerapan tenaga kerja dan pendapatan petani.
METODE PENELITIAN
Pengertian Investasi Pertanian Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan investasi pertanian adalah investasi bisnis oleh perusahaan yang bergerak di bidang pertanian termasuk pengolahan tingkat primer. Batasan seperti ini perlu dibuat karena investasi oleh perusahaan biasanya mencakup kegiatan produksi komoditas pertanian dan pengolahan primer.
151
Prajogo U. Hadi
Investasi dalam pengertian umum terdiri dari investasi usaha dan investasi publik. Investasi usaha pertanian dilakukan oleh pelaku usaha, baik perusahaan berbadan hukum maupun rumah tangga. Bentuk investasi pertanian adalah pembelian barang modal yang mempunyai masa pakai (umur ekonomi) lebih dari satu tahun (BPS, 1997; Van der Eng, 2009). Sebagai contoh adalah pembelian indukan ternak pembibitan (breeding cattle), pembelian ternak penghasil susu (dairy cattle), pembukaan/pembelian lahan usaha pertanian, pendirian/pembelian bangunan pertanian (bangunan pengairan, kandang ternak) dan pembelian alsintan (baru atau bekas). Nilai neto barang-barang tersebut disebut stok kapital pertanian. Biaya untuk membeli bibit, pupuk, obat-obatan, peralatan, upah tenaga kerja dan lain-lain yang habis dipakai dalam waktu setahun atau kurang tidak termasuk ke dalam investasi.
Lokasi Penelitian dan Responden Penelitian ini dilakukan di Jawa Timur, Jawa Barat dan Sumatera Utara. Jawa Timur merupakan salah satu sentra produksi pangan, dimana irigasi sawah menggunakan sistem gravitasi dan pompa air sehingga tingkat kepadatan alsintan (pompa air dan traktor) juga tinggi. Provinsi ini juga merupakan salah satu sentra usaha pembiakan sapi potong dan terdapat perkebunan kakao rakyat yang hasilnya difermentasi. Lokasi penelitian adalah Kabupaten Tuban untuk pembiakan sapi potong, Nganjuk untuk alsintan dan Blitar untuk kakao. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi beras dan susu sapi. Karena itu, tingkat kepadatan alsintan (pompa air dan traktor) dan sapi perah juga tinggi. Lokasi penelitian adalah Kabupaten Subang untuk alsintan dan Kabupaten Bandung Utara untuk sapi perah. Sementara itu, Sumatera Utara merupakan salah satu sentra produksi kelapa sawit dan karet, baik milik perusahaan besar maupun rakyat. Lokasi penelitian adalah Kabupaten Langkat. Komposisi responden pelaku investasi di masing-masing provinsi terpilih dan stratifikasi lokasi berdasarkan bidang investasi diperlihatkan pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah Responden Investasi Pertanian di Lokasi Penelitian Provinsi Jawa Timur Jawa Barat
Kabupaten
Bandung Utara
Komoditas Traktor Pompa air Kakao rakyat fermentasi Pembibitan sapi potong Traktor Pompa air Sapi perah
Langkat
Kelapa sawit
Langkat
Karet
Nganjuk Blitar Tuban Subang
Sumatera Utara
152
Jenis Responden RT petani pemilik traktor RT petani pemilik pompa air RT petani RTpeternak RT petani pemilik traktor RT petani pemilik pompa air RT peternak PBSN PBSA PTPN RT petani PBSN PBSA PTPN RT petani
Jumlah 10 10 10 10 10 10 10 1 1 1 10 1 1 1 10
Dampak Investasi Pertanian tehadap PDB Pertanian, Kesempatan Kerja dan Pendapatan Petani
Data dan Metode Analisis Data yang dikumpulkan terdiri dari data sekunder untuk analisis tingkat makro dan data primer untuk analisis tingkat mikro. Data sekunder mencakup jumlah investasi menurut pelaku dan bidang investasi, PDB Sektor Pertanian dan penyerapan tenaga kerja. Sumber data sekunder adalah BKPM, BPS, Kementerian Pertanian, dan FAO. Sementara itu, data primer terdiri dari investasi menurut jenisnya, biaya dan pendapatan usahatani, dan lain-lain. Sumber data primer adalah pelaku usaha, yaitu perusahaan besar negara (PTPN), perusahaan besar swasta nasional, perusahaan besar swasta asing, dan rumah tangga petani di masing-masing lokasi penelitian. Metode analisis di tingkat makro nasional mengenai jumlah dan struktur investasi perusahaan menggunakan trend dan pangsa berdasarkan nilai investasi dari perusahaan PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) dan PMA (Penanaman Modal Asing) di sektor pertanian. Sementara itu, analisis faktor-faktor yang mempengaruhi investasi dilakukan dengan menginventarisasi jawaban kualitatif masing-masing responden tentang faktor-faktor yang mendukung dan faktor-faktor yang menghambat kegiatan investasi pertanian. Analisis kuantitatif tidak dapat dilakukan karena terbatasnya data pendukung. Selanjutnya, analisis dampak investasi di tingkat makro nasional menggunakan metode kuantitatif (ekonometrik) dengan persamaan (1) untuk dampak investasi pertanian terhadap PDB pertanian, dan persamaan (2) dan (3) untuk dampak investasi pertanian terhadap penyerapan tenaga kerja.
ln PDBt 0 1 ln PMDN t 2 ln PMAt ........................................ (1) ln TK tPMDN 0 1 ln PMDN t ............................................................ (2) ln TK tPMA 0 1 ln PMAt .................................................................. (3) dimana: PDB
= PDB sektor pertanian
PMDN = Investasi PMDN PMA
= Investasi PMA
TK
= Jumlah tenaga kerja
Analisis dampak investasi terhadap PDB Sektor Pertanian dilakukan untuk masing-masing subsektor yaitu Subsektor Tanaman Pangan dan Perkebunan dan Subsektor Peternakan, sesuai dengan pengelompokan data di BKPM. Sesudah itu dilakukan analisis untuk agregat Sektor Pertanian. Untuk analisis dampak investasi terhadap penyerapan tenaga kerja dilakukan untuk masing-masing subsektor, baik PMDN maupun PMA. Untuk analisis di tingkat mikro pelaku investasi, analisis kelayakan finansial investasi hanya dilakukan untuk tingkat rumah tangga petani dengan menggunakan rumus (4) dan pendekatan ex-ante yaitu sebagai berikut:
153
Prajogo U. Hadi
NPV PV ( B ) PV (C ) n
PV ( B ) Bt /(1 r ) t t 1 n
PV (C ) Ct /(1 r ) t
…......................................................... (4)
t 1
BCR PV ( B ) / PV (C ) dimana: NPV
= Net Present Value
PV(B)
= Present value dari total penerimaan kotor
PV(C)
= Present value dari total biaya
Bt
= Total penerimaan pada tahun t (Rp)
Ct
= Total biaya pada tahun t (Rp)
BCR
= Benefit-Cost Ratio
r 1/(1+r)
= Suku bunga bank t
= Deflator
Selain itu juga digunakan criteria IRR (Internal Rate of Return) yang dihitung dengan menggunakan formula analisis finansial yang sudah ada dalam program komputer.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Investasi Pertanian Investasi Perusahaan Besar (1) Persetujuan Investasi Untuk investasi PMDN, perkembangan nilai investasi di sektor pertanian yang disetujui pemerintah selama 1999-2007 diperlihatkan pada Gambar 1. Nilai investasi per tahun selama 1999-2006 tidak pernah melebihi angka Rp 5 triliun, bahkan pada tahun 1999 dan 2001-2004 selalu dibawah Rp 1 triliun. Namun pada tahun 2007, nilai investasi yang disetujui melonjak sangat drastis sekitar 378% dari posisi tahun 2006. Jika dilihat dari struktur investasi PMDN, sektor perindustrian menempati pangsa investasi terbesar dan sektor pertanian menempati posisi kedua yaitu masing-masing 76,6% dan 6,3% pada periode 1999-2003. Pada periode 20032007, pangsa investasi sektor perindustrian turun, sedangkan pangsa sektor
154
Dampak Investasi Pertanian tehadap PDB Pertanian, Kesempatan Kerja dan Pendapatan Petani
pertanian naik, yaitu masing-masing menjadi 73,9% dan 9,8%, dan sektor pertanian tetap menempati posisi kedua. Ini menunjukkan bahwa sektor pertanian tidak kalah menarik bagi investor domestik.
Sumber : Hadi et al., 2010
Gambar 1. Investasi PMDN yang Disetujui, 1999-2007 (Rp’m)
Perkembangan rataan total nilai investasi yang disetujui seluruh sektor per tahun selama 1999-2003 dan 2004-2007 diperlihatkan pada Tabel 2. Beberapa sektor perekonomian mengalami pertumbuhan positif dan lainnya negatif. Sektor pertanian meningkat tercepat kedua setelah sektor listrik, gas dan air. Tabel 2.
Rata-rata Nilai Investasi PMDN Seluruh Sektor yang Disetujui Tahun 1999-2003 dan Tahun 2004-2007
Sektor Ekonomi 1.Pertanian, Kehutanan, Perikanan a. Pertanian b. Kehutanan c. Perikanan 2.Pertambangan dan Penggalian 3.Perindustrian 4.Listrik, Gas dan Air 5.Konstruksi 6.Perdagangan Bsr dan Eceran, Restoran, Hotel 7.Transpor, Pergudangan, Perhubungan 8.Lembaga Keu, Asuransi, Real Estat, Jasa Perush 9.Jasa Masyarakat. Sosial dan Perseorangan Total Sumber: Hadi et al., 2010
1999-2003 Rp’ m/ % tahun 1.594 6,62 1.276 5.30 134 0.55 185 0.77 420 1.74 18.437 76.55 150 0.62 949 3.94
2004-2007 Rp’ m/ % tahun 7.097 9,94 6.979 9,78 108 0,15 11 0,01 950 1,33 52.721 73,85 6.864 9,61 498 0,70
Pertumbuhan (%) 345,2 447,0 -19,6 -94,2 126,2 186,0 4.490,9 -47,5
540 1.075
2.24 4.46
847 1.215
1,19 1,70
56,8 13,1
419
1.74
54
0,08
-87,1
476 24.086
1.98 100.00
1.146 71.391
1,60 100,00
140,7 196,4
155
Prajogo U. Hadi
Untuk investasi PMA. perkembangan nilai investasi sektor pertanian primer yang disetujui pemerintah selama 1999-2007 diperlihatkan pada Gambar 2. Nilai investasi rata-rata per tahun selama 1999-2006 umumnya di bawah USD 200 milyar. kecuali pada tahun 2001 yang mencapai USD 281 milyar. Bahkan selama 2002-2005 kurang dari USD 100 milyar. Namun pada tahun 2007, nilai investasi yang disetujui melonjak sangat drastis sekiar 650% dari posisi tahun 2006. UU Nomor 25/2007 tentang investasi. yang lebih mengutamakan investasi asing. tampaknya telah mendorong minat investasi PMA di bidang pertanian.
Sumber : Hadi et al., 2010
Gambar 2. Investasi PMA yang Disetujui. 1999-2007 (USD’m)
Perkembangan rata-rata nilai investasi PMA yang disetujui seluruh sektor per tahun selama periode 1999-2003 dan periode 2004-2007 diperlihatkan pada Tabel 3. Dari tabel ini dapat diketahui bahwa hampir semua sektor mengalami pertumbuhan positif dan pada umumnya sangat cepat. Sektor pertanian mengalami pertumbuhan 180 persen, dan menempati peringkat kelima sesudah sektor pertambangan, sektor konstruksi, sektor listrik, gas dan air, dan sektor perikanan. Jika dilihat dari struktur investasi PMA yang disetujui, maka sektor perindustrian menempati pangsa investasi terbesar dan sektor pertanian menempati posisi kelima yaitu masing-masing 62,6 persen dan 2,4 persen pada periode 1999-2003. Pada periode 2003-2007, pangsa investasi kedua sektor tersebut naik. yaitu menjadi 65,9 persen untuk sektor perindustrian dan 2,9 persen untuk sektor ertanian. Investasi di sektor-sektor lain yang mempunyai pangsa lebih besar dari sektor pertanian adalah sektor transpor, pergudangan dan perhubungan, sektor konstruksi, serta sektor perdagangan besar dan eceran, restoran dan hotel.
156
Dampak Investasi Pertanian tehadap PDB Pertanian, Kesempatan Kerja dan Pendapatan Petani
Tabel 3.
Rata-rata Nilai Investasi PMA Seluruh Sektor yang Disetujui, Tahun 1999-2003 dan Tahun 2004-2007
Sektor Ekonomi 1. Pertanian 2. Kehutanan 3. Perikanan 4. Pertambangan dan Penggalian 5. Perindustrian 6. Listrik. Gas dan Air 7. Konstruksi 8. Perdagangan Bsr dan Eceran, Rest, Hotel 9. Transpor, Pergudangan dan Perhubungan 10.Lbg Keu, Asuransi, Real Estat, Jasa Perush 11.Jasa Masyarakat, Sosial dan Perseorangan Total Sumber: Hadi et al., 2010
1999-2003 USD’jt/ % tahun 131,2 2,35 31,0 0,56 23,1 0,41 35,7 0,64 3.488,3 62,57 89,1 1,60 115,7 2,08 488,3 8,76 779,1 13,97 74,4 1,33 319,2 5,72 5.575,0 100
2004-2007 USD’jt/ % tahun 367,2 2,88 36,0 0,28 69,6 0,55 358,4 2,81 8.386,0 65,85 317,4 2,49 819,2 6,43 592,8 4,66 1,409,4 11,07 190,4 1,50 188,0 1,48 1.734,5 100
Pertumbuhan (%) 179,9 16,3 201,5 904,0 140,4 256,1 608,1 21,4 80,9 155,9 -41,1 128,4
(2) Realisasi Investasi Tidak seluruh investasi PMDN dan PMA di sektor pertanian yang telah disetujui tersebut di atas dapat direalisasikan. Sebagai contoh, pada tahun 2005. realisasi mencapai 96,12 persen, dan pada tahun 2006 turun menjadi 85.90 persen (Tabel 4). Pada tahun 2007, realisasi bahkan hanya mencapai 18.56 persen. Kenaikan nilai persetujuan investasi yang sangat drastis pada tahun 2007 sebagian besar tidak dapat direalisasikan. Sebagian besar realisasi investasi PMDN di sektor pertanian lebih banyak terjadi pada subsektor tanaman pangan dan perkebunan yang merupakan sekitar 96 persen, sedangkan sisanya adalah subsektor peternakan. Tabel 4. Realisasi Investasi PMDN dan PMA di Sektor Pertanian, 2005-2007 Sektor PMDN: Pangan & Kebun Peternakan Total PMA: Pangan & Kebun Peternakan Total
2005
Investasi (Rp’ milyar) 2006 2007
Pertumbuhan (%) 2006 2007
3.070,6 108,3 3.178,9 (96,12)
3.442,9 115,6 3,558,5 (85,90)
3.528,8 145,2 3,674,0 (18,56)
12,12 6,74 11,94
2,49 25,61 3,25
171,50 52,80 224,30 (240,4)
351,90 18,80 370.70 (239,5)
219,10 45,70 264.80 (22,8)
105,19 -64,39 65.27
-37,74 143,09 -28.57
Sumber: BKPM. diolah. Keterangan: ( ): Persentase realisasi terhadap persetujuan
Realisasi investasi PMA di sektor pertanian pada tahun 2005 dan 2006 jauh melebihi nilai yang telah disetujui. Pada tahun 2005, realisasi mencapai 240,4 persen dan pada tahun 2006 mencapai 239,5 persen. Namun pada tahun 2007,
157
Prajogo U. Hadi
realisasi hanya mencapai 22,8 persen. Kenaikan nilai persetujuan investasi PMA yang sangat drastis pada tahun 2007 sebagian besar tidak dapat direalisasikan. Seperti halnya pada investasi PMDN, sebagian besar (80%) realisasi investasi PMA di sektor pertanian lebih banyak terjadi pada subsektor tanaman pangan dan perkebunan sedangkan sisanya adalah subsektor peternakan. Pada tahun 2006 realisasi nilai investasi PMA di sektor pertanian meningkat cepat, tetapi pada tahun 2007 menurun cukup cepat karena penurunan yang cukup cepat pada investasi subsektor tanaman pangan dan perkebunan. Realisasi investasi PMDN dan PMA selama 19 tahun terakhir (1990-2008) diperlihatkan pada Tabel 5. Investasi berfluktuasi, baik PMDN maupun PMA. dengan beberapa tahun tidak ada investasi PMA. Secara rata-rata total investasi PMDN jauh lebih lebih besar (90,8%) dibanding PMA (9,2%). dan investasi di subsektor tanaman pangan dan perkebunan lebih besar (91,4%) dibanding subsektor peternakan (8,6%). Investasi subsektor tanaman pangan dan perkebunan sangat dominan baik di PMDN maupun PMA dengan pangsa masingmasing 91,8 dan 87,2 persen. Tabel 5. Realisasi Nilai Investasi PMDN dan PMA 1990-2008 (USD’000) PMDN
PMA
Tahun
Pangan & Kebun 1990 168.393 1991 79.956 1992 29.716 1993 31.527 1994 233.311 1995 79.463 1996 532.011 1997 913.733 1998 755.693 1999 1.843.564 2000 1.176.496 2001 708.285 2002 263.577 2003 77.537 2004 507.406 2005 3.070.613 2006 3.442.975 2007 3.528.762 2008 1.034.294 Rataan/th 972.490 Sumber: Hadi et al., 2010
Ternak 41.705 37.189 77.633 13.564 88.890 75.255 35.229 94.318 136.769 88.591 151.289 210.593 123.664 29.946 19.576 108.280 115.580 145.168 50.430 86.509
Total 210.098 117.145 107.349 45.091 322.201 154.718 567.240 1.008.051 892.462 1.932.155 1.327.785 918.878 387.241 107.483 526.982 3.178.893 3.558.555 3.673.930 1.084.724 1.058.999
Pangan & Kebun 6.806 1.080 27.796 0 56.184 129.673 72.094 2.365 28.604 45.272 68.592 64.071 8.956 219.177 160.964 171.558 351.918 219.080 132.253 92.971
Ternak 17.363 0 0 0 3.482 5.532 3.984 3.490 23.232 35.311 13.486 4.355 8.044 1.090 20.235 52.763 18.753 44.651 4.542 13.701
Total 24.169 1.080 27.796 0 59.666 135.205 76.078 5.855 51.836 80.583 82.078 68.426 17.000 220.267 181.199 224.321 370.671 263.731 136.795 106.671
Total Pertanian (USD’000) 234.267 118.225 135.145 45.091 381.867 289.923 643.318 1.013.906 944.298 2.012.738 1.409.863 987.304 404.241 327.750 708.181 3.403.214 3.929.226 3.937.661 1.221.519 1.165.670
Investasi Rumah Tangga Petani (1) Perkebunan Investasi pada komoditas perkebunan adalah pembukaan kebun. Untuk kelapa sawit, pembukaan kebun kelapa sawit oleh petani contoh di Sumatera Utara dilakukan selama 1980-2008, tetapi tidak dilakukan secara kontinyu setiap
158
Dampak Investasi Pertanian tehadap PDB Pertanian, Kesempatan Kerja dan Pendapatan Petani
tahun. Setelah tahun 1980, baru ada petani yang membuka kebun pada tahun 1997. Pada umumnya. pembukaan kebun dilakukan sejak tahun 1997, kemudian 1999, 2000, 2001, 2005 dan 2008. Mulainya pembukaan kebun lagi 17 tahun kemudian setelah 1980 yang didorong oleh meningkatnya harga minyak sawit secara tajam pada tahun 1997 sebagai akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia yang menyebabkan nilai tukar rupiah jatuh. Rata-rata pembukaan kebun kelapa sawit per petani selama 1980-2008 adalah 1,67 ha dengan jumlah tegakan (tanaman) 210 pohon atau rata-rata 126 pohon/ha. Investasi dilakukan dengan modal sendiri. Untuk karet, pembukaan kebun yang dilakukan petani contoh di Sumatera Utara terjadi selama 1997-2008. Pembukaan kebun dimulai sejak tahun 1997 yang dirangsang oleh tingginya harga karet sebagai akibat krisis ekonomi. Selama 2009-2010 tidak ada pembukaan kebun lagi. Rata-rata luas pembukaan kebun per petani selama 1997-2008 adalah 1,10 ha dengan jumlah tegakan (tanaman) 137 pohon atau rata-rata 125 pohon/ha. Investasi dilakukan dengan modal sendiri. Untuk kakao, pembukaan kebun oleh petani di Jawa Timur berlangsung selama 1997-2010. Pembukaan kebun dimulai sejak tahun 1997 karena tingginya harga kakao sebagai akibat krisis ekonomi. Pada tahun 2009 tidak ada pembukaan kebun, tetapi pada tahun 2010 ada pembukaan lagi. Rata-rata luas pembukaan kebun per petani selama 1997-2010 adalah 0,91 ha dengan jumlah tegakan (tanaman) 1.016 pohon atau rata-rata 1.115 pohon/ha. Investasi dilakukan dengan modal sendiri namun bibit dibantu oleh pemerintah.
(2) Peternakan Pembiakan Sapi Potong Di lokasi penelitian Jawa Timur, usaha peternakan sapi potong dilakukan secara berkelompok. Salah satu kelompok yang bergerak di bidang peternakan sapi potong adalah Kelompok Bumi Peternakan Waluyo Utomo (KBPWU), yang pernah mendapatkan penghargaan sebagai Kelompok Peternak Terbaik oleh Menteri Pertanian pada tahun 2009. Kelompok ini beranggotakan 33 orang dan membina sekitar 800 peternak lain di kabupaten-kabupaten sekitarnya. Kegiatan investasi pada usaha pembiakan sapi potong di tingkat rumah tangga umumnya dibiayai dengan modal sendiri karena mereka menemui kesulitan dalam mendapatkan modal dari pihak perbankan. Modal awal untuk membeli induk sapi umumnya diperoleh dari tabungan keluarga sendiri, dan setelah setahun kemudian bisa menjual anak sapi jantan. Hasil penjualan anak sapi tersebut kemudian dibelikan induk sapi betina. Menurut peternak anggota kelompok, keberadaan Kelompok Peternak sangat membantu mereka, dimana inspirasi atau dorongan utama untuk berusaha di usaha pembiakan sapi potong berawal dari mengikuti pelatihan di KBPWU. Pelatihan dengan materi pembuatan pakan, tehnik IB dan pengetahuan memilih induk sapi yang baik, sangat mempengaruhi usaha pembiakan sapi yang telah dijalankannya. Disamping itu hingga saat ini seluruh limbah yang dihasilkan dapat
159
Prajogo U. Hadi
dimanfaatkan secara maksimal berdasarkan pengetahuan mengenai cara membuat pupuk organik. Limbah kotoran sapi tersebut banyak digunakan untuk memupuk tanaman di kebun. Kegiatan pelatihan memberikan pengetahuan mengenai cara menghemat biaya operasional, yaitu yang sebelumnya peternak harus membeli konsentrat, saat ini mereka mampu menyediakan pakan sendiri dengan biaya pakan yang lebih murah. Sebagai peternak yang baru memulai usahanya, investasi yang dilakukan adalah pembelian induk sapi betina dan pembuatan kandang. Dari peternak contoh yang diwawancara, investasi dimulai pada tahun 2007. Rata-rata jumlah sapi induk per peternak adalah 3 ekor dengan nilai Rp 21,2 juta dan nilai kandang Rp 9,9 juta atau Rp 31,1 juta seluruhnya. Sapi Perah Usaha peternakan sapi perah di lokasi penelitian Jawa Barat dilakukan secara berkelompok, namun pengelolaan usaha tetap dilakukan oleh masing-masing rumah tangga peternak. Peternak sapi perah dibina oleh Koperasi Susu Bandung Utara (KSBU), dimana para peternak menjadi anggotanya. Kegiatan investasi pada usaha peternakan sapi perah di tingkat rumah tangga umumnya dibiayai dengan modal sendiri karena mereka kurang akses terhadap modal perbankan. Modal awal untuk membeli induk sapi umumnya diperoleh dari tabungan keluarga sendiri, dan setelah setahun kemudian bisa menjual anak sapi. Hasil penjualan susu dan anak sapi tersebut kemudian dibelikan induk sapi betina lagi. Sebagian petani memelihara anak sapi betina yang lahir sebagai calon induk sapi perah. Sebagai peternak yang baru memulai usahanya, investasi yang dilakukan adalah pembelian induk sapi betina dan pembuatan kandang. Dari peternak contoh yang diwawancara, sapi induk yang masih ada hingga penelitian ini dilakukan pada tahun 2010 dibeli mulai tahun 2000. Disamping itu, peternak juga membangun kebun rumput yang sebagian besar memanfaatkan lahan kehutanan yang tanaman pokoknya masih muda dengan cara menyewa dengan harga Rp 250.000 per hektare per tahun. Pembangunan kebun rumput gajah di lahan tersebut dilakukan oleh peternak sendiri. Rata-rata jumlah sapi induk per peternak adalah 3,7 ekor dengan nilai Rp 22,7 juta. Nilai kandang dan kebun rumput masing-masing adalah Rp 3,9 juta dan Rp 3,1 juta, sehingga total nilai investasi seluruhnya adalah Rp 29,7 juta.
(3) Alat dan Mesin Pertanian Jenis alat dan mesin pertanian yang diteliti adalah pompa air dan traktor tangan. Pompa air di Jawa Timur dibedakan atas pompa sumur dalam (PSD) dan pompa sumur pantek (PSP). PSD mempunyai kedalaman lebih dari 200 meter dan mampu mengairi 25 hektare sawah dan dikelola oleh kelompok tani. Jumlah pompa jenis ini tidak banyak. Sementara PSP berukuran kecil-kecil, jumlahnya sangat banyak dan dimiliki oleh petani secara individual. Pompa air lebih banyak ditemui di daerah-daerah yang lahan sawahnya adalah tadah hujan.
160
Dampak Investasi Pertanian tehadap PDB Pertanian, Kesempatan Kerja dan Pendapatan Petani
Tujuan utama investasi pada pompa air adalah untuk mencukupi kebutuhan air bagi tanaman padi di lahan sendiri, sehingga musim tanam bisa tepat waktu dan hasilnya terjamin. Pompa sangat diperlukan terutama pada saat penyebaran benih sampai dengan tanam karena kebutuhan akan air yang sangat tinggi, yaitu pada bulan November – Desember di musim hujan. Pada musim kemarau, pompa air mutlak diperlukan karena ketersediaan air berkurang. Namun jika sudah selesai untuk mengairi lahan sendiri, pompa tersebut disewakan kepada petani lain yang tidak memiliki pompa air dengan biaya sebesar Rp 10.000 per jam (tidak termasuk bahan bakar minyak). Namun kegiatan menyewakan pompa air akhir-akhir ini cenderung menurun karena makin banyak petani yang sudah memiliki pompa air sendiri. Petani pemilik pompa air pada umumnya menjadi anggota HIPPA (Himpunan Petani Pemakai Air). Untuk pembelian pompa air pada umumnya petani menggunakan modal sendiri. Karena modal petani yang terbatas, merk dagang pompa air yang banyak dipakai petani adalah Dongfeng (buatan China) yang harganya jauh lebih murah dibanding merk lain (Yanmar), namun mutunya kurang baik disamping kebutuhan bahan bakar minyaknya lebih boros yaitu 1 liter per jam. Sementara itu, pompa air yang bermerk Yanmar harganya lebih mahal (3 kali harga pompa Dongfeng) tetapi pemakaian bahan bakar lebih hemat yaitu 0,5 liter per jam. Untuk traktor tangan, tipe alsin ini di lokasi penelitian Jawa Timur dan Jawa Barat dibedakan menjadi “rotary” dan “singkal”. Traktor rotary banyak digunakan di lahan padi, sedangkan traktor singkal banyak digunakan pada tanaman padi – palawija – bawang merah. Traktor yang digunakan sebagian besar bertipe singkal dan merk dagang yang banyak dipilih petani adalah Yanmar (buatan Jepang). Hampir seluruh petani menggunakan modalnya sendiri untuk membeli traktor. Tujuan utama investasi pada traktor tangan sebenarnya adalah untuk mengolah lahan sendiri, agar jadual tanam tepat waktu dan tidak tergantung pada traktor orang lain, dimana pemilik traktor pada umumnya adalah petani luas. Namun apabila pengolahan lahan sendiri sudah selesai, maka traktor tersebut kemudian disewakan kepada petani lain yang tidak memiliki traktor dengan biaya sewa Rp 750.000 per ha. Untuk pengoperasian traktor diperlukan tenaga operator dengan sistim upah bagi hasil yaitu 60 persen untuk pemilik traktor dan 40 persen untuk operator (bahan bakar ditanggung pemilik traktor). Pembelian pompa air dan traktor tangan oleh petani contoh terjadi selama 1990-2010. Untuk pompa air, jumlah pembelian jenis alsin ini berfluktuasi dari tahun ketahun. Bahkan selama 1992-1995, 1999, 2006, 2008 dan 2010 terjadi kekosongan investasi. Rata-rata jumlah pemilikan pompa air per petani yang masih ada pada tahun 2010 adalah 1 unit per petani dengan nilai Rp 3,3 juta, sedangkan untuk traktor adalah 0,8 unit dengan harga Rp 7,1 juta, atau Rp 10,4 juta secara keseluruhan. Semua pemilik traktor memiliki pompa air, tetapi tidak semua pemilik pompa air memiliki traktor.
161
Prajogo U. Hadi
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Investasi Pertanian Investasi Perusahaan Besar Dari jawaban responden perusahaan besar dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi investasi perusahaan besar di sektor pertanian, baik yang mendorong maupun yang menghambat investasi. Faktor-faktor yang mendorong antara lain adalah ketersediaan lahan, peluang pasar, dukungan lembaga penelitian, dan dukungan asosiasi bisnis. Ketersediaan lahan pada umumnya tidak menjadi masalah karena perusahaan dapat memperolehnya dengan status Hak Guna Usaha (HGU) selama 30 tahun dan dapat diperpanjang jika masa berlakunya sudah habis. Untuk PTPN, lahan HGU-nya bahkan telah diperoleh sejak jaman penjajahan Belanda. Peluang pasar untuk komoditas kelapa sawit, karet dan kakao masih cukup terbuka, baik pasar ekspor maupun domestik. Daya tarik industri dan daya saing komoditas-komoditas tersebut masih tinggi. Dukungan Pusat Penelitian Komoditas seperti Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), Pusat Penelitian Perkebunan (Puslitbun) Karet dan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslit Koka) juga sangat positif dalam membantu mengatasi berbagai kendala kultur teknis dan lain-lain. Undang-undang Perkebunan yang ada juga memberi dukungan positif terhadap eksistensi investasi di bidang perkebunan. Peranan asosiasi bisnis juga positif dalam mendukung perkembangan bisnis perusahaan baik untuk kelapa sawit, karet maupun kakao. Organisasi ini sangat besar peranannya dalam memperjuangkan eksistensi bisnis ketiga komoditas perkebunan utama tersebut di Indonesia, yang terkait dengan teknis budidaya, teknologi pengolahan, ekonomi, bisnis, ekspor/impor, perbankan dan sebagainya. Secara rutin ada agenda pertemuan internal organisasi, seminar dan lokakarya nasional dan internasional. Relasi perusahaan dengan masyarakat sekitar dan CSR (Corporate Social Responsibility) yang dilakukan oleh perusahaan, antara lain PTPN XII di Jawa Timur cukup baik. Bentuk relasi tersebut adalah menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat sekitar, baik secara formal (dengan pejabat pemerintah) maupun informal (dengan tokoh masyarakat/ulama/kiai) dalam rangka mendukung eksistensi perusahaan serta peranan perusahaan dalam penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar. Dalam program CSR, PTPN XII secara rutin menyalurkan dana PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan) berupa hibah untuk pembangunan fasilitas umum serta dana bergulir bagi karyawan dan masyarakat di sekitar lokasi kebun perusahaan. Selain faktor-faktor yang mendorong kemajuan tersebut, terdapat juga faktor-faktor yang menghambat, antara lain sebagai berikut. Modal yang diperlukan untuk pembangunan kebun dengan luasan ribuan hektare sangat besar. Hama/penyakit masih merupakan sumber risiko besar, utamanya pada`kakao yaitu penggerek buah kakao (PBK) dan akhir-akhir ini muncul penyakit busuk buah kakao (Phytophthora) dan penyakit VSD yang sampai saat ini belum diketemukan tehnologi pengendalian yang efektif dan efisien. Tekanan finansial menjadi lebih berat dengan makin mahalnya harga insektisida, tingginya UMK (Upah Minimum Kabupaten) dan rendahnya produktifitas tenaga kerja. Produktifitas tanaman juga belum optimal, kesuburan tanah menurun, mikroklimat sekitar kebun tidak
162
Dampak Investasi Pertanian tehadap PDB Pertanian, Kesempatan Kerja dan Pendapatan Petani
mendukung, dan potensi sumber daya air berkurang terutama pada musim kemarau. Otonomi Daerah menimbulkan hambatan birokrasi dan tingginya biaya retribusi untuk operasional bisnis. Masih adanya gangguan keamanan hasil dan penyerobotan lahan oleh penduduk sekitar juga merupakan hambatan. Fasilitas pemerintah untuk mendorong investasi spesifik komoditas masih sangat terbatas atau bahkan belum ada. Di Indonesia, kondisi iklim investasi mempengaruhi kegiatan investasi. Menurut Tambunan (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi iklim investasi adalah: (1) Stabilitas politik, sosial dan ekonomi; (2) Kondisi infrastruktur dasar (listrik, telekomunikasi dan prasarana jalan dan pelabuhan); (3) Efektifitas fungsi sektor pembiayaan dan pasar tenaga kerja (termasuk sistem perburuhan); (4) Regulasi dan perpajakan; (5) Birokrasi (menyangkut waktu dan biaya); (6) Masalah good governance termasuk korupsi, konsistensi dan kepastian dalam kebijakan pemerintah yang langsung dan tidak langsung mempengaruhi keuntungan neto jangka panjang dari kegiatan investasi; dan (7) Hak milik mulai dari tanah sampai dengan kontrak. Menurut World Bank (2005), empat faktor di antaranya yang paling berpengaruh adalah stabilitas ekonomi makro, tingkat korupsi, birokrasi dan kepastian kebijakan ekonomi. WEF (2005) mengkonfirmasi bahwa birokrasi yang tidak efisien, infrastruktur yang buruk dan regulasi perpajakan yang kurang kondusif merupakan faktor penghambat utama bisnis di Indonesia. Menurut Jetro (dikutip Kompas 2006), masalah utama dalam investasi di Indonesia adalah: (1) Upah yang makin mahal; (2) Sistem perpajakan yang sulit dan rumit; (3) Kebijakan yang tidak jelas dan tidak pasti; (4) Sulit dan rumitnya prosedur perdagangan; (5) Kondisi infrastruktur yang buruk; dan (6) Isu tenaga kerja/buruh (misalnya demonstrasi, dll) Kurang terjaminnya keamanan, tidak adanya kepastian hukum, kondisi infrastruktur yang buruk dan sistem perburuhan yang makin kurang kondusif merupakan faktor penghambat kegiatan investasi terutama investasi PMA. Selama pemerintahan Orde Baru, PMA merupakan faktor pendorong sangat krusial untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Selama periode pemerintahan tersebut, sumber perkembangan teknologi. perubahan struktural, diversifikasi produk dan pertumbuhan ekspor Indonesia sebagian besar adalah karena kehadiran PMA. Masuknya PMA didukung oleh iklim usaha yang kondusif, yaitu kondisi yang menyebabkan biaya dan risiko investasi serendah-rendahnya tetapi menghasilkan keuntungan jangka panjang yang setinggi-tingginya (Stern, 2002). Di negara-negara lain, hasil studi di India antara lain Aghion et al. (2003), Ahluwalia (2002), Rodrik and Subramanian (2004) dan World Bank (2005) dan di China antara lain Chen and Wang (2001), Qian (2003), Young (2000) dan World Bank (2005) menunjukkan bahwa perbaikan iklim investasi pada dekade 1980an dan 1990an yang menurunkan biaya dan risiko investasi secara signifikan telah dapat meningkatkan investasi swasta sekitar 200 persen. Sebaliknya, di Indonesia, otonomi daerah dan lemahnya koordinasi antar institusi pemerintah juga merupakan kendala besar. Para pengusaha Australia misalnya, menganggap
163
Prajogo U. Hadi
bahwa pemerintah Indonesia tidak konsisten dalam menarik investor (Tempo Interaktif 9 Agustus 2006). Pada tahun 2007, pemerintah Indonesia menerbitkan UU Nomor 25 tentang Penanaman Modal, yang intinya memberikan insentif untuk investasi. Menurut UU tersebut pemerintah memberikan fasilitas dan insentif kepada perusahaan besar, utamanya PMA, dan memberikan perangsang pajak berupa pajak pendapatan, pajak untuk modal, mesin atau peralatan, bebas pajak untuk bahan mentah, pajak pertambahan nilai, percepatan amortisasi dan pajak properti. Ijin penggunaan lahan (HGU) bagi investor asing sangat mudah dan masa HGU dapat diperpanjang dari 30 tahun menjadi 95 tahun. Negara-negara donor multilateral seperti Word Bank, Asian Development Bank dan negara-negara maju seperti Jepang dan AS memberikan dukungan terhadap UU tersebut. Sebelum UU tersebut diberlakukan, pihak World Bank menyatakan bahwa pemerintah Indonesia perlu memberikan paket kebijakan iklim investasi yang mencakup lima aspek, yaitu: kebijakan investasi, tarif, pajak, regulasi ketenagakerjaan, dan UKM (Usaha Kecil dan Menengah). Bagian penting yang juga perlu dicatat dari UU tersebut adalah pembatalan Perda-Perda yang menghambat kegiatan bisnis, dan telah diterapkannya pedoman pengembangan satu pintu (one-stop shop) oleh Pemda sesuai dengan paket reformasi iklim investasi.
Investasi Rumah Tangga Petani (1) Perkebunan Faktor utama yang mempengaruhi investasi berupa pembukaan kebun untuk kelapa sawit dan karet di Kabupaten Langkat (Sumatera Utara) dan kakao di Kabupaten Blitar (Jawa Timur) adalah pemilikan lahan dan harga komoditas yang bersangkutan. Di Sumatera Utara, petani pada umumnya mempunyai lahan warisan orang tua yang belum diusahakan, sedangkan di Jawa Timur adalah milik petani sendiri. Faktor harga sangat berpengaruh, dimana harga ketiga komoditas perkebunan tersebut sangat atraktif bagi petani, utamanya setelah tahun 1997. Posisi ketiga ditempati biaya pembuatan lahan. Ketersediaan kredit perbankan tidak berpengaruh karena petani tidak pernah berhubungan dengan perbankan. Demikian pula, ketersediaan kredit informal berikut bunganya tidak banyak berpengaruh karena petani mempunyai sumber pembiayaan dari hasil usaha sendiri.
(2) Peternakan Dalam melakukan investasi pada usaha pembiakan sapi potong di Kabupaten Tuban (Jawa Timur), ada beberapa faktor yang mempengaruhi. Faktor utama yang berpengaruh menurut pengakuan peternak adalah harga sapi induk, biaya pemeliharaan sapi dan ketersediaan pakan hijauan. Posisi kedua ditempati oleh biaya pembuatan kandang dan harga anak sapi. Ketersediaan kredit perbankan termasuk grace period pembayaran bunganya menempati urutan
164
Dampak Investasi Pertanian tehadap PDB Pertanian, Kesempatan Kerja dan Pendapatan Petani
ketiga. Sementara itu, ketersediaan kredit informal berikut bunganya tidak banyak berpengaruh karena untuk usaha peternakan sapi potong membutuhkan biaya cukup besar sehingga jika dengan bunga sangat tinggi sebagaimana yang dikenakan oleh pemberi pinjaman maka petani tidak tertarik untuk memanfaatkannya. Untuk investasi peternakan sapi perah di Kabupaten Bandung Utara (Jawa Barat), faktor utama yang berpengaruh adalah harga sapi induk, biaya pembangunan kandang, harga susu segar, dan biaya pemeliharaan sapi. Sementara itu, ketersediaan kredit informal berikut bunganya, serta grace period bunga dan cicilan pokok pinjaman bank tidak berpengaruh terhadap investasi peternakan sapi perah dengan alasan yang sama seperti pada usaha pembiakan sapi potong.
(3) Alat dan Mesin Pertanian Dalam melakukan investasi pada usaha alat/mesin pertanian (traktor dan pompa air) di Kabupaten Nganjuk (Jawa Timur) dan Kabupaten Subang (Jawa Barat), ada beberapa faktor yang mempengaruhi. Menurut pengakuan pemilik alsintan, faktor utama yang berpengaruh adalah harga alsintan itu sendiri, harga bahan bakar minyak, pasokan dan kebutuhan air pada lahan sawah (khususnya pompa air), serta jumlah traktor yang sudah ada dan kebutuhan traktor pada lahan sawah. Posisi kedua ditempati oleh ketersediaan kredit perbankan.
Dampak Investasi Pertanian Investasi Perusahaan Besar Investasi oleh perusahaan besar dilakukan oleh perusahaan dalam negeri (PMDN) dan asing (PMA). Data yang ada di BKM membagi sektor pertanian hanya menjadi dua kelompok yaitu: (1) Tanaman pangan dan perkebunan; dan (2) Peternakan. Dalam penelitian ini, dampak penanaman modal tersebut dilihat dari segi pembentukan PDB sektor pertanian dan penyerapan tenaga kerja pertanian.
(1) Dampak terhadap PDB Sektor Pertanian Investasi oleh perusahaan besar PMDN dan PMA mempunyai dampak positif terhadap PDB Sektor Pertanian. Dalam analisis ini pertama-tama dipisahkan lebih dahulu untuk masing-masing subsektor yaitu subsektor tanaman pangan dan perkebunan dan subsektor peternakan, kemudian digabung untuk sektor pertanian. Hasil analisis ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel tersebut memperlihatkan bahwa PDB subsektor tanaman dan perkebunan lebih dipengaruhi oleh Investasi PMDN, sedangkan investasi PMA berdampak positif tetapi secara statistik tidak siginifikan. PDB subsektor peternakan secara positif dan signifikan dipengaruhi oleh investasi PMA dan PMDN, tetapi pengaruh investasi PMA lebih besar dibanding PMDN. Untuk total
165
Prajogo U. Hadi
sektor pertanian, investasi PMDN dan PMA sama-sama berpengaruh positif, tetapi investasi PMDN mempunyai pengaruh siginifkan, sedangkan investasi PMA tidak signifikan secara statistik. Tabel 6. Dampak Investasi PMDN dan PMA terhadap PDB Sektor Pertanian Subsektor Pangan & Kebun Ternak Total Pertanian
Intersep 7,29757 (29,09) 5,61561 (30,94) 6,92178 (22,13)
Parameter PMDN PMA 0,61911 0,09161 (8,35) (1,31) 0,18126 0,74488 (2,78) (10,73) 0,72410 0,16333 (5,62) (1,21)
Adj. R
2
0,96 0,99 0,96
Sumber: Hadi et al., 2010 dan BPS. diolah; Keterangan: ( ) = t-ratio
(2) Dampak terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Pertanian Investasi perusahaan besar di sektor pertanian. baik PMDN maupun PMA. mempunyai dampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja. Untuk PMDN, setiap kenaikan USD 1 milyar investasi di subsektor tanaman pangan dan perkebunan menyerap tenaga kerja baru sebanyak 14 orang, sedangkan di subsektor peternakan hanya menyerap kurang dari 1 orang, atau 14 orang di seluruh sektor pertanian (Tabel 7). Untuk PMA, setiap kenaikan USD 1 milyar investasi di subsektor tanaman pangan dan perkebunan dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja baru yaitu 94 orang, sedangkan di subsektor peternakan menyerap 47 orang tenaga kerja baru atau 89 orang di seluruh sektor pertanian. Tabel 7. Dampak Investasi PMDN dan PMA pada Penyerapan Tenaga Kerja – Model Linier Subsektor
Intersep Pangan & Kebun 61,293 (7,41) Ternak 2,379 (3,46) Total Pertanian 62,738 (7,35) Sumber: Hadi et al., 2010
PMDN Parameter 14,47 (13,97) 0,053 (12,89) 14,06 (14,63)
Adj R 0,92 0,90 0,92
2
Intersep 20,894 (4,13) -229 (-0,57) 19,739 (4,14)
PMA Parameter 94,38 (14,46) 46,74 (14,54) 88,75 (16,74)
Adj R 0,92
2
0,92 0,94
Jika dilihat elastisitasnya, setiap kenaikan investasi PMDN sebesar 10 persen pada subsektor tanaman pangan dan perkebunan, jumlah tenaga kerja baru yang terserap di subsektor tersebut naik 5,1 persen (Tabel 8). Untuk subsektor peternakan, setiap kenaikan investasi PMDN di subsektor tersebut sebesar 10 persen, jumlah tenaga kerja baru yang terserap naik 7,3 persen, dan setiap kenaikan investasi PMDN sebesar 10 persen di sektor prtanian. jumlah tenaga kerja baru yang terserap di sektor tersebut naik 5,5 persen.
166
Dampak Investasi Pertanian tehadap PDB Pertanian, Kesempatan Kerja dan Pendapatan Petani
Untuk PMA, setiap kenaikan investasi sebesar 10 persen pada subsektor tanaman pangan dan perkebunan. jumlah tenaga kerja baru yang terserap di subsektor tersebut naik 8,8 persen. Sementara itu, setiap kenaikan investasi PMA sebesar 10 persen pada subsektor peternakan, jumlah tenaga kerja baru yang terserap di subsektor tersebut naik 8,6 persen, dan setiap kenaikan investasi PMA sebesar 10 persen pada sektor pertanian, jumlah tenaga kerja baru yang terserap di sektor tersebut naik 9,7 persen. Tabel 8.
Dampak Investasi PMDN dan PMA pada Penyerapan Tenaga Kerja – Model Logaritma Ganda
Subsektor
Intersep Pangan & Kebun 7,59548 (39,11) Ternak 4,39944 (17,95) Total Pertanian 7,28904 (37,57) Sumber: Hadi et al., 2010
PMDN Parameter 0,51451 (21,07) 0,73446 (19,01) 0,54778 (23,01)
Adj R 0,96 0,95 0,97
2
Intersep 5,74919 (38,22) 4,44441 (21,96) 5,09500 (20,56)
PMA Parameter 0,88009 (33,75) 0,85603 (18,03) 0,96505 (23,32)
Adj R 0,98
2
0,95 0,97
Investasi Rumah Tangga Petani (1) Perkebunan Komoditas perkebunan rakyat yang diteliti adalah kelapa sawit, karet dan kakao. Hasil analisis menunjukkan bahwa investasi pada tiga jenis komoditas tersebut secara finansial dapat dijustifikasikan (Tabel 9). Nilai IRR lebih tinggi dibanding suku bunga bank komersial 18 persen per tahun, yang berarti investasi tersebut sangat atraktif bagi petani, apalagi jika suku bunga bank disubsidi pemerintah hingga menjadi 14 persen per tahun. Jika suku bunga bank turun dari 18 persen menjadi 14 persen, maka NPV yang diperoleh dari investasi per hektare naik dari Rp 16,8 juta menjadi Rp 43,7 juta untuk kelapa sawit, dari Rp 6,9 juta menjadi Rp 24,0 juta untuk karet dan dari Rp 2,4 juta menjadi Rp 15,7 juta untuk kakao. Tabel 9.
Kelayakan Finansial Investasi Usahatani Kelapa Sawit, Karet dan Kakao per Hektare di Lokasi Penelitian (25 tahun)
Komoditas & Bunga (%/th) PV(B) Kelapa Sawit: 14 112.639 18 75.359 Karet: 14 84.434 18 58.835 Kakao: 14 96.870 18 66.967 Sumber: Data primer diolah.
Nilai (Rp’000) PV(C)
NPV
BCR
IRR (%)
68.910 58.584
43.730 16.775
1,63 1,29
22,22
60.391 51.901
24.043 6.935
1,40 1,13
20,41
81.195 64.599
15.675 2.368
1,19 1,04
19,02
167
Prajogo U. Hadi
Di antara investasi tiga komoditas perkebunan tersebut, investasi pada kelapa sawit mempunyai kelayakan tertinggi, baik dari NPV, BCR maupun IRR. Sementara itu, investasi pada tanaman karet menempati urutan kedua, dan kakao urutan ketiga. Tingkat kelayakan yang paling tinggi pada investasi kelapa sawit tersebut membuat petani di wilayah Sumatera Utara mengganti sebagian tanaman karet atau kakaonya dengan kelapa sawit. Penggantian sebagian tanaman karet dan kakao dengan kelapa sawit juga terjadi pada perusahaan perkebunan negara (PTPN) dan perusahaan perkebunan swasta. Namun penggantian tidak terjadi seluruhnya dengan tujuan untuk diversifikasi usaha guna mengurangi risiko finansial sehingga jika salah satu komoditas harganya jatuh, komoditas lainnya bisa mengkompensasi. Selain memberikan keuntungan usahatani yang cukup baik kepada petani, usahatani kelapa sawit, karet dan kakao juga memberikan lapangan kerja yang cukup banyak, yaitu sekitar 3.700 HOK untuk kelapa sawit, 3.900 HOK untuk karet dan 3.200 HOK untuk kakao per hectare selama 25 tahun umur tanaman perkebunan tersebut.
(2) Peternakan Investasi pada usaha peternakan pembibitan sapi potong rakyat di Kabupaten Tuban (Jawa Timur) dan sapi perah di Kabupaten Bandung Utara (Jawa Barat), secara finansial sangat layak dengan IRR masing-masing 22,82 persen dan 27,37 persen (Tabel 10). Nilai IRR tersebut jauh diatas suku bunga komersial 18 persen per tahun. Tingkat kelayakan tersebut akan lebih tinggi jika suku bunga bank mendapat subsidi sehingga menjadi 14 persen per tahun, dimana NPV akan meningkat dari Rp 2,4 juta menjadi Rp 5,1 juta untuk usaha pembiakan sapi potong dan dari Rp 26,7 juta menjadi Rp 45,3 juta untuk usaha sapi perah. Lebih rendahnya kelayakan usaha pembiakan sapi potong dibanding sapi perah karena pendapatan yang diperoleh dari pembiakan sapi potong hanya berupa anak sapi, kotoran sapi dan induk sapi afkir, dimana harga sapi hidup belum tinggi. Sementara itu, sapi perah disamping menghasilkan anak, kotoran dan induk afkir seperti pada pembiakan sapi potong, juga menghasilkan susu setiap hari selama periode laktasi, dan harga susu segar cukup tinggi. Selain memberikan keuntungan usahatani yang cukup baik kepada peternak, investasi pembiakan sapi potong dan sapi perah juga menyerap cukup banyak tenaga kerja untuk perawatan ternak, pemberian pakan, pembersihan kandang dan pemerahan susu (khusus sapi perah). Jumlah tenaga kerja yang terserap untuk pembiakan sapi potong adalah 2.430 HOK, sedangkan untuk sapi perah adalah 3.855 HOK per peternak selama 10 tahun siklus hidup kedua jenis ternak tersebut.
168
Dampak Investasi Pertanian tehadap PDB Pertanian, Kesempatan Kerja dan Pendapatan Petani
Tabel 10. Kelayakan Finansial Investasi Usaha Pembiakan Sapi Potong dan Usaha Sapi Perah per Peternak di Lokasi Penelitian (10 tahun)
Komoditas & Bunga (%/th)
Nilai (Rp’000) NPV
BCR
PV(B)
PV(C)
14
118.096
113.041
5.055
1,04
18
102.193
99.775
2.418
1,02
175.537
130.190
45.347
1,35
18 140.986 Sumber: Data primer diolah
114.271
26.715
1,23
IRR (%)
Sapi Potong: 22,82
Sapi Perah: 14
27,37
(3) Alat dan Mesin Pertanian Alat dan mesin pertanian yang dikaji adalah pompa air dan traktor tangan. Di lokasi penelitian Kabupaten Nganjuk (Jawa Timur) dan Kabupaten Subang (Jawa Barat), kehadiran pompa air dapat merubah sawah yang semula airnya sangat tergantung pada hujan (tadah hujan) menjadi sawah berpengairan. Dampak positif dari kehadiran pompa air di daerah sawah tadah hujan adalah sebagai berikut. Pertama, meningkatnya intensitas pertanaman (IP) yang semula hanya 100 persen yaitu “Padi – Bera” menjadi 200 persen yaitu “Padi – Padi – Bera”. Di beberapa desa di Kabupaten Nganjuk, IP bahkan bisa mencapi 400 persen dengan pola tanam “Padi – Kedelai – Bawang Merah – Bawang Merah”. IP yang tinggi ini dimungkinkan karena penggunaan jenis tanaman non-padi pada musim kemarau yang umurnya pendek. Sementara di lokasi penelitian Kabupaten Subang, dalam kondisi normal, kehadiran pompa air juga meningkatkan IP dari 100 persen (Padi – Bera) menjadi 200 persen (Padi – Padi) atau bahkan menjadi 300 persen (Padi – Padi – Palawija), namun pada umumnya adalah 200 persen. Kedua, meningkatnya produktivitas tanaman padi (varietas Ciherang) yaitu dari sekitar 2 ton menjadi sekitar 9-10 ton GKP per hektare untuk musim hujan di Kabupaten Nganjuk. Untuk musim kemarau, yang semula tidak ada produksi karena bera menjadi 10-11 ton GKP per hektare, dan bahkan ada petani di kabupaten tersebut yang mendapatkan hasil kedelai dan bawang merah. Di lokasi penelitian Kabupaten Subang, kehadiran pompa air juga meningkatkan produktivitas padi dari 2 ton menjadi 4-5 ton GKP/ha/musim. Dengan meningkatnya IP, maka penyerapan tenaga kerja menjadi lebih banyak. Meningkatnya IP dan produktivitas berarti juga meningkatkan produksi beras dan pendapatan petani per tahun. Petani responden telah merasakan bahwa tingkat kesejahteraannya sekarang lebih baik dibanding sebelum ada pompa air. Kehadiran pompa air di lokasi penelitian Kabupaten Nganjuk yang mampu meningkatkan IP dari 100 persen menjadi 200-400 persen dan di Kabupaten
169
Prajogo U. Hadi
Subang 100 persen menjadi 200 persen, telah meningkatkan kebutuhan traktor untuk mengolah tanah. Untuk tanaman padi saja, kebutuhan akan traktor meningkat 100 persen. Dengan demikian, maka kehadiran traktor juga sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan pengolahan tanah sehingga jadual tanam masing-masing jenis tanaman pada masing-masing musim tanam selama setahun menjadi tepat waktu. Investasi pada usaha pompa air dan traktor tangan secara finansial dapat dijustifikasikan. Investasi pompa air stationer dengan merk Domfeng berkapasitas 12 PK yang umur ekonominya 15 tahun di Kabupaten Nganjuk dan Kabupaten Subang mempunyai IRR sedikit diatas 18 persen. Sementara itu, investasi pada traktor tangan merk Yanmar berkapasitas 8,5 PK dengan umur ekonomi yang sama di kedua kabupaten tersebut mempunyai IRR lebih tinggi yaitu diatas 30 persen, sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 11. Tabel 11.
Lokasi Jawa Timur
Kelayakan Finansial Investasi Usaha Pompa Air per Unit (12 PK) dan Traktor Tangan per Unit di Lokasi Penelitian (15 tahun) Jenis Alsin & Bunga (%/th)
Nilai (Rp’000)
BCR
PV(B)
PV(C)
NPV
14
60.710
58.781
1.930
1,03
18
50.277
50.269
8
1,00
14
53.924
43.028
10.895
1,25
18
44.488
37.667
6.821
1,18
14
65.532
63.450
2.082
1,03
18
54.274
54.200
75
1,00
58.195
47.142
11.052
1,23
48.013
41.135
6.878
1,17
IRR (%)
Pompa Air: 18,02
Traktor:
Jawa Barat
31,31
Pompa Air 18,18
Traktor: 14 18 Sumber: Data primer. diolah.
31,00
Jika suku bunga disubsidi pemerintah sehingga turun dari 18 persen menjadi 14 persen per tahun, maka NPV investasi pompa air di Kabupaten Nganjuk akan meningkat dari Rp 8.000 menjadi Rp 1.9 juta, sedangkan di Kabupaten Subang akan naik dari Rp 75 ribu menjadi Rp 2,1 juta. Untuk traktor tangan, NPV akan naik dari Rp 6,8 juta menjadi Rp 10,9 juta di Kabupaten Nganjuk dan dari Rp 6,9 juta menjadi Rp 11,1 juta di Kabupaten Subang. Nilai IRR yang hanya 18,02 persen di Kabupaten Nganjuk dan 18,18 persen di Kabupaten Subang pada investasi pompa air menunjukkan bahwa investasi tersebut mempunyai tingkat kelayakan yang terbatas, utamanya jika suku bunga bank mencapai 18 persen per tahun atau lebih.
170
Dampak Investasi Pertanian tehadap PDB Pertanian, Kesempatan Kerja dan Pendapatan Petani
Selain memberikan keuntungan usahatani yang cukup baik kepada operator, kehadiran pompa air dan traktor tangan juga meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja yang terserap untuk menjalankan pompa air adalah 1.231 HOK per unit di Kabupaten Nganjuk dan 1.329 HOK di Kabuputen Subang, sedangkan untuk traktor tangan adalah 1.080 HOK per unit di Kabupaten Nganjuk dan 1.164 HOK di Kabupapen Subang selama 15 tahun siklus ekonomi kedua jenis alsintan tersebut.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Kesimpulan Perkembangan Jumlah dan Struktur Investasi Pertanian (1)
Investasi di Sektor Pertanian dilakukan oleh perusahaan besar (PMDN dan PMA) dan rumah tangga petani. Investasi PMDN dan PMA di sektor pertanian menempati urutan kedua setelah sektor manufaktur. Ini berarti investasi di sektor pertanian cukup menarik bagi investor. Selama 1990-1998, realisasi investasi PMDN dan PMA berfluktuasi. Rata-rata realisasi investasi per tahun PMDN jauh lebih besar dibanding PMA. Pada subsektor tanaman pangan dan perkebunan, investasi PMDN lebih besar dibanding PMA, sedangkan pada subsektor peternakan adalah sebaliknya yaitu investasi PMA lebih besar daripada PMDN.
(2)
Investasi oleh rumah tangga petani di bidang perkebunan adalah berupa pembukaan kebun baru dengan rata-rata 1,67 ha untuk kelapa sawit, 1,10 ha untuk karet dan 0,91 ha untuk kakao per petani, yang umumnya dilakukan pada tahun 1997, yang didorong oleh harga komoditas yang tinggi sebagai akibat krisis ekonomi yang menyebabkan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah melonjak tajam. Investasi untuk peternakan berupa pembelian sapi induk, pembangunan kandang dan kebun rumput, dengan rata-rata 3 ekor untuk usaha pembiakan sapi potong dan 4 ekor untuk usaha sapi perah per petani. Sementara itu, investasi untuk pompa air dan traktor tangan masing-masing adalah 1 unit.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Investasi Pertanian (3)
Faktor pendorong utama investasi adalah prospek pasar komoditas yang makin baik (harga cukup tinggi) dan tersedianya lahan untuk kelapa sawit, karet dan kakao, baik oleh perusahaan besar maupun petani. Untuk pembiakan sapi potong adalah adanya bimbingan Kelompok Tani dan tersedianya pakan, sedangkan untuk sapi perah adalah harga susu yang cukup baik dan bimbingan Koperasi Susu Bandung Utara (KPSBU). Untuk pompa air. faktor pendorong utama adalah kebutuhan akan air untuk mengairi sawah tadah hujan yang dapat meningkatkan intensitas panen dan produktivitas padi sawah dan harga yang cukup murah pompa (buatan
171
Prajogo U. Hadi
China). Untuk traktor adalah meningkatnya permintaan akan jasa pengolahan tanah dan perolehan pendapatan yang cukup memadai. (4)
Faktor penghambat utama investasi adalah kebutuhan modal yang besar untuk memulai atau perluasan usaha, baik perusahaan besar maupun petani. Meningkatnya harga input, upah tenaga kerja serta kondisi lingkungan dan iklim yang kurang kondusif, menghambat perkembangan usaha. Bagi perusahaan besar, otonomi daerah cukup menambah beban finansial dalam bentuk pembayaran retribusi yang terlalu besar. Untuk investasi pembiakan sapi potong, faktor penghambat utama adalah rendahnya harga jual sapi hidup (termasuk anak sapi) pada saat penelitian ini dilakukan.
Dampak Investasi Pertanian (5)
Investasi pertanian oleh perusahaan besar (PMDN dan PMA) berdampak positif pada PDB pertanian dan penyerapan tenaga kerja baru. PMDN lebih banyak kontribusinya dalam peningkatan PDB dan penyerapan tenaga kerja subsektor tanaman pangan dan perkebunan, sedangkan PMA lebih banyak kontribusinya dalam peningkatan PDB dan penyerapan tenaga kerja subsektor peternakan. Secara agregat nasional, investasi PMDN memberikan kontribusi lebih besar dalam peningkatan PDB sektor pertanian, tetapi PMA memberikan kontribusi lebih besar dalam penyerapan tenaga kerja baru.
(6)
Investasi pertanian oleh rumah tangga petani juga berdampak positif pada pendapatan dan penyerapan tenaga kerja. Nilai IRR investasi perkebunan kelapa sawit, karet dan kakao, usaha peternakan pembiakan sapi potong dan usaha peternakan sapi perah, serta pompa air dan traktor tangan, cukup tinggi yaitu diatas 18 persen, yang berarti lebih besar dari suku bunga komersial 18 persen per tahun. Pendapatan petani akan lebih besar lagi jika suku bunga disubsidi pemerintah, misalnya turun menjadi 14 persen per tahun.
(7)
Investasi oleh rumah tangga petani juga dapat meningkatkan populasi sapi potong pada usaha pembiakan, meningkatkan produksi susu segar lokal pada usaha peternakan sapi perah yang berarti mengurangi impor susu segar, meningkatkan luas panen dan produktivitas pertanian (padi, kedelai dan sayuran) pada pompa air di sawah tadah hujan sehingga produksi pertanian dan kesempatan kerja juga meningkat, serta menurunkan biaya sekaligus mempercepat waktu pengolahan lahan pada traktor.
Implikasi Kebijakan (8)
172
Kegiatan investasi pertanian, baik oleh perusahaan besar (PMDN dan PMA) maupun rakyat, perlu ditingkatkan dalam upaya meningkatkan PDB sektor pertanian, penyediaan kesempatan kerja, dan peningkatan produksi. Namun dalam melaksanakan UU Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, pemerintah jangan lebih mengutamakan investasi PMA tanpa diimbangi dengan investasi PMDN dan rakyat yang memadai, khususnya investasi yang
Dampak Investasi Pertanian tehadap PDB Pertanian, Kesempatan Kerja dan Pendapatan Petani
bersifat land base seperti perkebunan. Hal ini perlu ditekankan jangan sampai lebih banyak sumberdaya alam (lahan) yang dikuasai oleh pengusaha asing sehingga pengusaha nasional dan rakyat/petani kehilangan kesempatan untuk berusaha di negeri sendiri. (9)
Pemerintah perlu membantu petani dalam pemecahaan berbagai masalah. Untuk perkebunan kakao rakyat, masalah hama dan penyakit perlu segera dicarikan cara pengendaliannya. Pada pembiakan sapi potong, harga jual sapi hidup perlu ditingkatkan. Dalam jangka pendek. kelebihan stok sapi potong asal impor perlu diatasi melalui pengurangan impor sapi bakalan dari Australia sampai harga sapi hidup menjadi normal kembali seiring dengan perkembangan harga daging sapi. Selain itu, penyediaan modal KKP-E (Kredit Ketahanan Pangan dan Energi) dan KUPS (Kredit Usaha Pembibitan Sapi Potong) perlu ditingkatkan lagi sehingga makin banyak peternak yang mendapatkan kesempatan untuk berusaha dalam pembibitan sapi potong. Untuk peternakan sapi perah, subsidi harga susu impor sebaiknya dihapus sehingga harga susu di tingkat peternak dapat dinaikkan dalam upaya untuk meningkatkan kesejahteraan peternak sapi perah di dalam negeri.
(10) Di wilayah-wilayah sawah tadah hujan, pemerintah perlu lebih banyak memberikan bantuan berupa pompa air berikut perlengkapannya, baik yang berukuran besar yang dikelola oleh kelompok tani maupun yang berukuran kecil yang dimiliki dan dikelola oleh petani secara individual. Kehadiran pompa air telah berhasil meningkatkan produksi tanaman (melalui peningkatan intensitas tanam dan produktivitas), pendapatan petani dan kesempatan kerja perdesaan. (11) Pemerintah harus menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif melalui berbagai kebijakan dan regulasi karena peluang investasi di sektor pertanian ke depan masih cukup besar yang ditandai oleh: (a) Ketersediaan sumberdaya alam (lahan, air dan iklim) dan sumberdaya manusia yang masih besar; (b) Permintaan domestik terhadap produk pertanian yang akan terus meningkat karena meningkatnya penduduk yang jumlahnya sudah besar, dan meningkatnya pendapatan masyarakat; (c) Permintaan dunia terhadap produksi pertanian Indonesia juga akan terus meningkat karena negara ini merupakan produsen utama beberapa komoditas pertanian yang dibutuhkan dunia, utamanya minyak sawit, karet dan kakao (termauk juga kopi, lada, pala, panili dan kayu manis); dan (d) Naiknya harga pangan dan komoditas pertanian lainnya di pasar dunia akhir-akhir ini memberikan kesempatan lebih besar kepada pelaku usaha untuk memperoleh keuntungan yang lebih tinggi dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA Aghion. P.. R. Burgess. S. Redding dan F. Zilibotti. 2003. The Unequal Effects of Liberalization: Theory and Evidence from India. Research Paper. Center for Economic Policy Research. London.
173
Prajogo U. Hadi
Ahluwalia. M. 2002. Economic Reforms in India Since 1991: Has Gradualism Worked? Journal of Economic Perspective 16(3): 67-88. BPN. 1957. Model Pembangunan Ekonomi dalam Indonesia. Ekonomi dan Keuangan Indonesia 10:483-526. BPS. 1997. Estimation of Capital Stock and Investment Matrix in Indonesia. Background Paper. Capital Stock Conference. Jakarta. March, 1997. Chen. S.. and Y. Wang. 2001. China’s Growth and Poverty Reduction: Trends between 1990 and 1999. World Bank Policy Research Working Paper Series 2651. World Bank. Washington DC. USA. Hadi, P.U., P. Simatupang, H.J. Purba, J. Situmorang, T.S. Wahyudi, Wahida dan S. Nuryanti. 2010. Analisis Dampak Investasi Pertanian terhadap Kinerja Sektor Pertanian. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Bogor. Qian. Y. 2003. How Reform Worked in China in D. Rodrik (ed): “In Search of Prosperity: Analytic Narratives on Economic Growth”. Princeton University Press. Princeton. New Jersey. Rodrik. D., A. Subramanian. and F. Trebbi. 2002. Institutions Rule: The Peimacy of Institutions over Geography and Integration in Economic Development. Harvard University Press. Cambridge. Masachusset. Stern, N.H. 2002. A Strategy for Development. World Bank. Washington DC. USA. Tambunan. T. 2006. Iklim Investasi di Indonesia: Masalah. Tantangan dan Potensi. Kamar Dagang Indonesia – Jetro. Jakarta. Van der Eng. P. 2009. Capital Formation and Capital Stock in Indonesia, 1950-2008. BIES 45(3): 345-371. WFF. 2005. The Global Competitiveness Report 2005-2006. World Economic Forum. Geneva. World Bank. 2005. Iklim Investasi yang Lebih Baik Bagi Setiap Orang. Laporan Pembangunan Dunia 2005. The World Bank. Penerbit Salemba Empat. Jakarta. World Bank. 2009. Agriculture Public Spending and Growth in Indonesia. Policy Notes. Indonesia Agriculture Public Expenditure Review. September 2009. World Bank. Young, A. 2000. Gold Into Base Metals: Productivity Growth in the People’s Republic of China During the Reform Period. Journal of Political Economy 111(6):45-61.
174