Trikonomika
Volume 9, No. 2, Desember 2010, Hal. 87–95 ISSN 1411-514X
Dampak AFTA Terhadap Daya Saing Industri Petrokimia Olefin Indonesia Iman Sudirman Program Doktor Ilmu Manajemen Pascasarjana Universitas Pasundan Jl.Wartawan IV No. 22 Bandung E-Mail:
[email protected] Horas Djulius Program Doktor Ilmu Manajemen Pascasarjana Universitas Pasundan Jl.Wartawan IV No. 22 Bandung E-Mail:
[email protected]
ABSTRACT AFTA is an agreement among ASEAN countries that has begun to be implemented. Indonesia olefins petrochemical industry is also affected by the implementation of AFTA, which requires domestic and imported inputs. This study aims to describe the competitiveness of Indonesian products in the olefin industry and to estimate the impact of the CEPT-AFTA. The method used is descriptive analysis using Revealed Comparative Advantage (RCA) and Revealed Trade Advantage (RTA) for some sub-sectors olefin petrochemical industries from upstream to downstream. Export-import data used are secondary data from each country that analyzed in some point of time. The result of the calculation and description of existing data indicates that in general, the competitiveness of Indonesia petrochemical products in ASEAN are relatively low. Implementation of the CEPT-AFTA will further reduce the competitiveness of Indonesia petrochemical products. Keywords: AFTA, free trade, industry competitiveness, revealed comparative advantage, revealed trade advantage.
PENDAHULUAN
anggota ASEAN, tetapi Margin of Preference (MOP) diberikan dari tingkat tarif bea masuk yang berbedabeda atas produk yang disepakati, sehingga secara konsepsional belum memberikan keuntungan timbal balik bagi negara-negara anggota. Perkembangan terakhir yang terkait dengan AFTA adalah adanya kesepakatan untuk menghapus kan semua bea masuk impor barang bagi Brunei Darussalam pada tahun 2010, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand, dan bagi Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam pada tahun 2015. AFTA juga diperkirakan menimbulkan perdagangan luar negeri (foreign trade) melalui pengembangan konsumsi suatu bangsa. Perdagangan luar negeri
Ide pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area – AFTA) sebenarnya sudah ada beberapa waktu yang lalu. ASEAN Preferential Trading Arrangement (ASEAN PTA) pada ����������� waktu itu �������������������� merupakan ���������������� skema perdagangan preferensi antar negara anggota ASEAN yang diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1978 dan dianggap kurang berhasil sebagaimana yang diharapkan dalam peningkatan nilai maupun volume perdagangan intra ASEAN, karena dalam skema ASEAN PTA penurunan tarif tidak dilakukan dari tingkat tarif dasar yang sama di antara sesama 87
memungkinkan suatu negara mengkonsumsi lebih banyak barang dibanding yang tersedia menurut garis perbatasan kemungkinan produksi (Production Possibility Curve) pada keadaan swasembada tanpa perdagangan luar negeri. Istilah perdagangan bebas identik dengan adanya hubungan dagang antar negara anggota maupun negara non-anggota. Dalam implementasinya perdagangan bebas harus memperhatikan beberapa aspek yang mempengaruhi yaitu mulai dengan meneliti mekanisme perdagangan, prinsip sentral dari keuntungan komparatif (comparative advantage), pro dan kontra di bidang tarif dan kuota, serta melihat bagaimana berbagai jenis mata uang (atau valuta asing) diperdagangkan berdasarkan kurs tukar valuta asing. ASEAN Free Trade Area (AFTA) adalah kawasan perdagangan bebas ASEAN dimana tidak ada hambatan tarif (bea masuk 0–5%) maupun hambatan non tarif bagi negara-negara anggota ASEAN, melalui skema Common Effective Preferential Tariff-ASEAN Free Trade Area (CEPT-AFTA). Pada saat ini, komposisi tarif CEPT produkproduk petrokimia tahun 2009 untuk monomer sudah seluruhnya 0%, polimer 5%, produk-produk menengah dan hilir 5%, sementara tarif MFN produk hulu 0%, polimer 5-15%, produk-produk hilir 15-20%. Percepatan AFTA telah disepakati oleh para Kepala Pemerintahan negara-negara ASEAN, sehingga tarif 0% akan dilaksanakann per tanggal 1 Januari 2010. Negara-negara ASEAN lainnya mengalami perkembangan pertumbuhan industri hulu yang sangat pesat dengan kapasitas dan teknologi produksi yang lebih baik dibandingkan dengan Indonesia, sehingga Industri Petrokimia mereka memiliki daya saing yang lebih baik bila dibandingkan Indonesia. Sejak 10 tahun terakhir masalah yang dihadapi industri hulu polyethylene (PE) di Indonesia masih seputar terbatasnya bahan baku dasar yaitu nafta. Nafta digunakan untuk memproduksi produk hulu petrokimia yakni ethylene yang selanjutnya digunakan sebagai bahan baku utama dalam industri PE. Masalah ini juga dibahas dalam laporan Joint Forum on Investment Competitiveness/SME WG Petrochemical Indonesia Jepang pada Maret 2007. Kondisi industri hulu petrokimia di Indonesia tertinggal dibanding kan Thailand, Malaysia, dan Singapura. Mitsubishi Chemical Jepang pada 2006 memposisikan Indonesia di peringkat 34 dalam industri petrokimia dunia. Pasar PE resin di regional ASEAN masih cukup potensial terutama setelah diberlakukannya AFTA. Total permintaan mencapai 4 juta ton per tahun sedangkan ekspor sebesar 2,5 juta ton. Pertumbuhan
88
Trikonomika
Vol. 9, No. 2, Desember 2010
untuk produk itu setiap tahunnya mencapai 6% sampai 8% per tahun. Meskipun potensi pasar di ASEAN cukup besar, namun belakangan ini kehadiran pemainpemain baru asal Timur Tengah yang masuk ke pasar ASEAN dapat menjadi ancaman. Di sisi lain, industri olefin dan aromatik, yang menjadi basis industri petrokimia di dalam negeri mengalami hambatan untuk berkembang, sebab jumlah pengusaha lokal yang tertarik untuk menanamkan modalnya di industri ini sangat sedikit. Hal ini disebabkan besarnya total investasi yang dibutuhkan, yaitu sekitar US$ 1,5 – US$ 3 miliar, sehingga perlu dukungan modal besar dari investor asing. Di sisi lain, produksi PE di dalam negeri terus meningkat dalam lima tahun terakhir dalam periode 2002–2006. Pada 2002 volume produksi mencapai tercatat 430.000 ton dan terus tumbuh hingga mencapai 470.000 ton pada 2006, atau tumbuh rata-rata 3,0% per tahun. Meningkatnya produksi PE nasional dipicu oleh meningkatnya kebutuhan oleh industri pemakai terutama industri plastik dan kemasan. Produk kemasan plastik cenderung meningkat terus seiring dengan semakin besarnya konsumsi masyarakat. Saat ini industri makanan dan minuman banyak menggunakan kemasan plastik sebagai pembungkus karena praktis dan relatif murah. Potensi pasar plastik Indonesia sangat besar yaitu sekitar 2,6 juta ton pada 2006 dan diperkirakan akan mencapai 4 juta ton pada 2015. Permasalahan yang muncul adalah setidaknya ada 10 sektor industri manufaktur berada dalam titik nadir akibat Indonesia merealisasikan CEPT. Padahal, saat ini saja kondisi industri nasional sulit atau kalah bersaing dengan produk impor. Ke-10 sektor industri yang bakal terpuruk jika CEPT dilaksanakan meliputi industri tekstil dan produk tekstil (TPT), industri makanan dan minuman, industri petrokimia, industri peralatan dan mesin pertanian, industri alas kaki, industri fiber sintetik, elektronik (termasuk kabel dan peralatan listrik), industri permesinan, industri rancang bangun serta industri baja. Dari permasalahan yang timbul diatas maka secara garis besar kajian ini ditujukan untuk: (i) mendapatkan gambaran secara komprehensif tentang daya saing industri petrokimia plastik bahan baku dan barang jadi Indonesia, (ii) menganalisis dampak penghapusan CEPT terhadap industri petrokimia Indonesia, (iii) mengkaji produk petrokimia plastik bahan baku dan bahan jadi, dan kaitannya dengan kemungkinan tercapainya FTA ASEAN-Cina dan ASEAN-Korea Selatan serta kesepakatan bilateral dengan Jepang (IJEBA)
Iman Sudirman Horas Djulius
METODE Pengukuran indeks daya saing industri petrokimia olefin Indonesia dilakukan dengan menggunakan dua indeks, yaitu: Revealed Comparative Advantage (RCA) Rasio antar perbandingan ekspor suatu industri (atau komoditas) di suatu negara terhadap total ekspor negara tersebut dengan perbandingan nilai ekspor dunia industri tersebut terhadap total ekspor dunia. Xi Xi RCA = wa tw Xa Xt
RXAai = X ai X ti
= Nilai ekspor dunia selain negara i untuk produk a = Nilai ekspor dunia selain negara i untuk komoditas k selain produk a RMAai =
M
M ai M ki -a M aw-i M kw--aa
= Import
i a
X ai X ti X ai X ai
X ai X ki -a X aw-i X kw--ai
HASIL
= Nilai ekspor produk a oleh negara i = Nilai ekspor total oleh negara i = Nilai ekspor dunia untuk produk a = Nilai ekspor total dunia
Revealed Trade Advantage (RTA) Selisih rasio ekspor total satu komoditas terhadap total ekspor kelompok komoditas dari satu negara dikurangi rasio import total satu komoditas terhadap total import kelompok komoditas oleh satu negara. RTAai = RXAai - RMAai X ai = Nilai ekspor produk a oleh negara i X ki -a = Nilai ekspor komoditas k selain produk a oleh negara i
Tabel-tabel berikut akan berisi hasil perhitungan RCA dan RTA dari produk Olefin mulai dari hasil perhitungan untuk barang antara (intermediate products) hingga downstream product. Hasil perhitungan ini, seperti yang telah dijelaskan, memperlihatkan keunggulan komparatif dari masing-masing produk olefin tersebut. Berdasarkan Tabel 1. secara total daya saing produk petrokimia Indonesia (Ethylene, Propylene, Polyethylene, Polypropylene, PVC, Polystyrene, ABS/SAN, PET) terendah ketiga di ASEAN, namun lebih baik dari Cina dan India, daya saing ini menunjukkan kecenderungan yang menurun. Posisi teratas ditempati Thailand dan Korea Selatan, kemudian Malaysia.
Tabel 1. Indeks RCA untuk Produk Petrokimia Olefin dan turunannya di ASEAN Negara
2004
2005
2006
2007
2008
INA
1.1174
1.1038
1.0411
0.9708
1.0626
THA
2.3731
2.7920
2.5913
2.2930
2.5012
MAS
1.2095
1.3236
1.3918
1.4831
1.6147
PHN
0.3025
0.3148
0.3553
0.3008
0.4712
SIN
1.0137
0.9112
0.9181
0.8646
0.7752
IND
2.1487
1.5480
1.4906
1.1020
0.9769
JPN
0.5410
0.5505
0.5782
0.5607
0.5830
CHN
0.5816
0.6707
0.7102
0.6715
0.7681
KOR
2.5187
2.6186
2.5649
2.5459
Keterangan: INA = Indonesia PHN = Filipina JPN = Jepang KOR = Korea Selatan
THA = Thailand SIN = Singapura CHN = Cina
MAS = Malaysia IND = India
Sumber: Hasil perhitungan
Dampak AFTA Terhadap Daya Saing Industri Petrokimia Olefin Indonesia
89
Tabel 2. Indeks RCA untuk Intermediate Product Ethylene-290121
Negara
Propylene-290122
Polyethylene-90110/390120
2004
2008
2004
2008
2004
2008
INA
0.0655
0.0000
0.0133
0.1041
0.1201
0.3835
THA
2.6031
0.0004
1.0193
0.7840
2.2554
2.9520
MAS
1.6831
0.8836
0.0005
0.3867
1.5203
1.3597
PHN
0.0000
0.0102
0.0000
0.0000
0.0110
0.3780
SIN
2.2569
1.1048
0.0664
0.0664
2.0921
1.3892
IND
0.0019
0.0001
0.0410
0.0410
1.7478
0.4279
JPN
0.9519
0.8915
1.2495
2.2585
0.2814
0.2840
CHN
0.0684
0.0413
0.0000
0.0004
0.0105
0.0249
KOR
2.5433
2.0172
2.3698
Sumber: Hasil perhitungan Tabel 3. Indeks RCA untuk Downstream Product Negara
PVC-390410
Polypropylene -390210
Polystyrene -390311
ABS/SAN390330/390320
PET-390760
2004
2008
2004
2008
2004
2008
2004
2008
2004
2008
INA
0.0698
0.2223
2.5538
2.3008
0.3131
0.4255
0.3917
0.2690
6.2755
4.8509
THA
2.3755
1.9898
3.6083
3.5759
0.4099
0.5017
3.2438
4.1584
4.0616
4.6879
MAS
0.6889
0.9835
0.2992
2.0444
2.2128
2.2797
3.4429
6.0933
1.2772
1.9123
PHN
0.0668
0.1495
0.0351
0.0861
0.0013
0.0087
0.0034
0.0986
0.0208
0.0027
SIN
1.1553
1.3176
0.0778
0.0282
0.7971
0.5329
0.5650
0.5599
0.0163
0.0383
IND
3.5894
1.5474
0.1201
0.0069
0.0855
0.0440
0.0112
0.0031
4.7340
3.6530
JPN
0.3739
0.5326
1.3665
1.2298
0.3290
0.3209
1.5132
2.2888
0.2019
0.2355
CHN
0.0217
0.0469
0.0305
0.6967
0.4333
1.8669
0.0677
0.1919
0.3410
1.5641
KOR
3.2378
1.7035
3.5334
9.6698
4.5706
Sumber: Hasil perhitungan
Tabel 2. menjelaskan bahwa posisi teratas di tempati Thailand hingga tahun 2006 dan setelahnya ditempati Korea Selatan dan kemudian Malaysia. Daya saing Indonesia berada di peringkat terbawah bersama Filipina, jauh di bawah negara lain. Hal ini karena kedua negara ini hanya mengekspor dalam jumlah yang sangat kecil bahkan tidak melakukan ekspor sama sekali dalam beberapa tahun terakhir. Daya saing Indonesia untuk Propylene juga berada di posisi terbawah, jauh di bawah negara-negara ASEAN lainnya. Hal ini karena Indonesia mengimport Propylene dari negara-negara lain. Daya saing tertinggi dimiliki Korea Selatan, Jepang dan Thailand. Dari Tabel 2. juga dapat dilihat bahwa daya saing Polyethylene Indonesia (LLDPE dan HDPE) berada jauh di bawah negara-negara lainnya di ASEAN. Terdapat perbedaan tingkat daya saing yang sangat jelas antar negara-negara ASEAN, di mana Thailand menduduki posisi pertama kemudian diikuti oleh Singapura.
90
Trikonomika
Vol. 9, No. 2, Desember 2010
Daya saing Polypropylene Indonesia sangat rendah seperti dijelaskan pada Tabel 3. walaupun di ASEAN masih lebih baik dibandingkan dengan Filipina yang merupakan negara dengan daya saing terendah. Perbedaan tingkat daya saing antar negara juga terlihat jelas untuk produk ini, di mana Korea Selatan, India dan Thailand menduduki posisi teratas walaupun daya saingnya terus menurun sejak tahun 2005. Daya saing produk PVC Indonesia relatif tinggi, bahkan sempat menjadi yang tertinggi di ASEAN pada 2006 namun menjadi peringkat kedua pada 2008. Daya saing Indonesia berkembang terus sejak 2004 hingga 2006, namun menurun lagi hingga 2008 bahkan lebih rendah dibandingkan posisi awal pada 2004. Daya saing Thailand menunjukkan perkembangan sebaliknya, menurun sejak 2004 hingga mencapai titik terendah hingga 2006 dan meningkat lagi hingga 2008 sehingga dapat menduduki posisi pertama pada 2008.
Iman Sudirman Horas Djulius
Pada tabel tersebut dijelaskan pula bahwa daya saing Polystyrene Indonesia relatif rendah di ASEAN, tertinggal dari Malaysia dan Singapura bahkan mulai tertinggal dari Thailand sejak 2007. Perkembangan daya saing Indonesia walaupun agak berfluktuasi tapi cenderung konstan. Namun dua tahun belakangan menunjukkan kenaikan meskipun sangat kecil. Posisi pertama ditempati Korea Selatan, diikuti oleh Malaysia dan kemudian Cina. Daya saing produk ABS dan SAN Indonesia di pasar ASEAN rendah, tertinggal dari Singapura dan tertinggal jauh dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand. Posisi pertama ditempati secara bergantian oleh Malaysia dan Thailand sejak 2004 hingga 2008, namun sejak 2007 Malaysia terus menanjak hingga menempati posisi pertama pada 2008 Daya saing tertinggi dimiliki oleh Korea Selatan. Daya saing PET Indonesia di pasar ASEAN pernah berada di posisi teratas yaitu sejak tahun 2004 hingga 2006, namun kemudian menurun dan berada di posisi kedua setelah Thailand pada 2007. Pada tahun 2008, daya saing PET Indonesia sedikit di atas Thailand. Indeks RCA Untuk Produk Akhir Kinerja ekspor IKM Indonesia juga ditentukan oleh perkembangan atau kondisi dari pasar yang dilayani, apakah IKM memproduksi dan mengekspor barangbarang yang pasar luar negerinya sedang berkembang pesat (permintaan dunia meningkat pesat) atau sedang mengalami stagnasi (permintaan dunia menurun). Atau, produk-produk Indonesia yang IKM juga membuatnya mengalami penurunan daya saingnya atau mempunyai prospek yang bagus.
Sudah ada beberapa studi mengenai perkembangan pasar dunia untuk sejumlah komoditi yang juga merupakan produk-produk ekspor penting dari IKM Indonesia. Salah satunya dari Banerjee (2000, 2002) yang menganalisa perubahan struktur keunggulan komparatif dari ekspor manufaktur dari 7 negara di Asia yakni Indonesia, Cina, Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Singapura dan Thailand. Sebagai pendekatan analisanya, ia menggunakan pangsa ekspor relatif atau dikenal dengan indeks Revealed Comparative Advantage (RCA). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa barangbarang manufaktur buatan Indonesia yang pangsa pasar dunianya meningkat selama periode yang diteliti didominasi oleh produk-produk berteknologi sederhana seperti tekstil, kulit, kayu dan karet; sedangkan Cina, sebagai suatu perbandingan, semakin unggul di produk-produk seperti mesin-mesin elektronik, alatalat komunikasi dan semi-konduktor, atau Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Singapura dan Thailand antara lain dalam komputer. Tekstil dan produk-produk dari kayu dan kulit merupakan produk-produk penting dari UKM Indonesia. Daya saing pipa plastik dari polimer etilena Indonesia menempati posisi terbawah bersama dengan Filipina. Posisi tertinggi ditempati oleh India, namun dalam beberapa tahun terakhir ini, daya saing Thailand mulai mendekati daya saing India yang mulai mengalami penurunan. Dari tabel tersebut terlihat bahwa daya saing Indonesia untuk pipa plastik dari polimer propilena berada pada posisi teratas dan cukup jauh di atas negara-negara lain. Posisi kedua ditempati oleh Korea Selatan, namun masih tertinggal jauh dari Indonesia.
Tabel 4. Indeks RCA untuk Produk Akhir (1/3) Negara
Polimer Etilena391721000
Polimer Propilena391722000
Vinil Klorida391723000
BOPP CPP392020001
Plastik-392390000
2004
2008
2004
2008
2004
2008
2004
2008
2004
2008
INA
0.0126
0.0292
3.7865
2.1419
0.0758
0.0072
1.4361
1.3582
0.3263
0.6542
THA
0.2327
0.9387
0.0038
0.0297
0.5477
0.6011
1.2064
1.5425
0.6360
0.8650
MAS
0.2390
0.0907
0.0404
0.0246
0.4403
0.9348
0.4081
0.6387
1.8474
2.3038
PHN
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0001
0.0011
1.7042
1.6315
1.6518
1.1742
SIN
0.0635
0.2272
0.2874
0.1081
0.2180
0.1607
0.5531
0.4617
0.7650
0.6418
IND
0.9175
1.2177
0.0332
0.0855
0.3825
1.0091
0.2722
0.5894
0.9317
0.9009
JPN
0.1038
0.0993
0.1011
0.0601
0.2639
0.1602
0.7481
0.7365
0.6322
0.5711
CHN
0.1933
0.4989
0.3439
0.5371
0.4172
0.6830
0.3552
0.6244
0.4268
0.5544
KOR
0.1765
1.3197
0.2392
0.7419
0.5836
Sumber: Hasil perhitungan
Dampak AFTA Terhadap Daya Saing Industri Petrokimia Olefin Indonesia
91
Tabel 5. Indeks RCA untuk Produk Akhir (2/3) PP Roll Bag-392329000
PE Roll Bag-392321900
PP Woven Bag -630533100
Negara
PP Jumbo Bag -630532200
2004
2008
2004
2008
2004
2008
2004
2008
INA
1.6064
3.5290
2.9038
1.4652
6.3143
4.5705
3.5712
2.0287
THA
1.9419
1.7801
5.3330
4.8121
3.6656
4.4955
0.1377
0.0386
MAS
4.7663
5.0323
1.6154
3.8046
0.2595
0.0672
0.7750
0.4081
PHN
1.4184
2.6841
0.4361
0.8572
1.1952
2.2507
0.0000
0.2237
SIN
0.6456
0.6837
0.6239
0.4248
0.2064
0.0401
0.0341
0.0190
IND
3.0126
3.4916
0.5080
0.3589
0.1625
0.9735
0.0415
3.9135
JPN
0.4746
0.4810
0.1539
0.1447
0.0028
0.0027
0.0412
0.0212
CHN
1.7968
1.2254
3.2930
2.7110
6.2631
5.6488
0.9956
2.5573
KOR
0.9902
0.3123
0.5778
0.1383
Sumber: Hasil perhitungan
Daya saing Indonesia untuk pipa plastik dari polimer vinil klorida berada pada posisi terbawah bersama dengan Filipina. Terlihat juga bahwa daya saing Indonesia terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Posisi teratas ditempati oleh India. Namun, dalam beberapa tahun kebelakang, Malaysia mulai mengejar. India dan Malaysia yang menempati posisi teratas dan mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Sedangkan uintuk daya saing Indonesia untuk PP Film BOPP CPP cukup baik yaitu berada di posisi ketiga di bawah Filipina dan Thailand. Pada tahun 2007, daya saing Filipina berada di bawah Indonesia. Namun, setahun kemudian Filipina telah mampu menempati posisi teratas. Daya saing produk PP wadah plastik yang tertinggi dimiliki oleh Malaysia yang menunjukkan perkembangan nilai yang konsisten menanjak dan jauh di atas negara lainnya. Filipina pada tahun 2004 memiliki nilai daya saing yang mendekati Malaysia, namun menurun terus walaupun masih menduduki posisi kedua. Indonesia sempat berada di posisi terbawah walaupun menunjuk kan peningkatan daya saing sejak tahun 2007. Dari tabel indeks produk akhir tersebut, terlihat bahwa nilai daya saing tertinggi dimiliki oleh negara Malaysia. Daya saing produk Indonesia menunjukkan kenaikan yang signifikan sejak tahun 2004 hingga dapat menduduki posisi kedua pada tahun 2008. Pada tahun 2008 daya saing tertinggi dimiliki oleh Thailand, diikuti Malaysia yang menunjukkan perkembangan signifikan sejak 2004. Indonesia berada di peringkat keempat setelah Cina dan menunjukkan
92
Trikonomika
Vol. 9, No. 2, Desember 2010
perkembangan daya saing yang terus menurun dari tahun ke tahun. Indonesia sempat memiliki daya saing tertinggi untuk jenis produk ini, namun kemudian menurun sehingga menempati peringkat kedua. Tabel 6. Indeks RCA untuk Produk Akhir (3/3) Negara
PP Terpaulin -630619900
PP Geotextile -630790900
2004
2008
2004
2008
INA
1.6064
0.2656
0.1573
0.2365
THA
0.0833
0.5624
0.6550
0.6442
MAS
0.0978
0.2625
0.0937
0.1238
PHN
0.0030
0.3507
0.4611
0.1388
SIN
0.0243
0.0626
0.0770
0.0591
IND
0.9272
0.7308
12.7745
3.1475
JPN
0.0000
0.2448
0.2367
0.2483
CHN
9.3728
6.7801
3.4475
3.4305
KOR
0.0630
0.4823
Sumber: Hasil perhitungan
Posisi tertinggi ditempati oleh Cina. Thailand memiliki daya saing yang menunjukkan peningkatan dan hampir menyusul Indonesia. Daya saing Indonesia untuk produk ini awalnya tinggi, menduduki posisi pertama pada tahun 2004, namun terjadi penurunan secara konsisten sehingga pada tahun 2008 hanya menempati posisi ketiga. Posisi pertama dan kedua ditempati India dan Jepang yang menunjukkan kenaikan nilai daya saing yang konsisten sejak tahun 2004.
Iman Sudirman Horas Djulius
Indeks RTA Produk Petrokimia Olefin dan Turunannya Dari indeks RTA tampak bahwa daya saing industri petrokimia nasional masih rendah. Posisi Indonesia hanya sedikit lebih baik dibanding Filipina, Vietnam, dan Myanmar. Hasil kajian Lembaga Teknik dan Manajemen Industri (LETMI) Institut Teknologi Bandung (ITB) mencatat industri etilen, polietilen, dan polipropilen Indonesia belum kompetitif bersaing di ASEAN. Indeks Revealed Trade Advantage (RTA) ketiganya bernilai negatif, daya saing rendah disebabkan harga bahan baku nafta yang tinggi dan harus diimpor. 10,000000
Nilai RTA
8,000000 6,000000 4,000000 2,000000 0,000000 –2,000000
9,000000 8,000000 7,000000 6,000000 5,000000
Nilai RTA
Daya saing Indonesia untuk PP Terpaulin berada di posisi menengah. Posisi teratas ditempati oleh Cina yang jauh berada di atas negara-negara lain. Namun daya saing ini menunjukkan kecenderungan yang menurun dalam tahun terakhir. Daya saing Indonesia untuk PP Geotextile berada di posisi terbawah bersama dengan Malaysia, Singapura, dan Jepang. Daya saing Indonesia tidak mengalami kenaikan yang signifikan dari tahun ke tahun. Posisi teratas ditempati oleh Cina. Awalnya, posisi ini ditempati oleh India, namun, India mengalami penurunan drastis dalam 4 tahun terakhir.
4,000000 3,000000 2,000000 1,000000 0,000000 –1,000000
2004
2005
2006
2007
2008
Keterangan Pipa Plastik dari Polimer Etilena Pipa Plastik dari Polimer Propilena Pipa Plastik dari Polimer Vinil Klorida PP Film BOPP CPP PP Gelas Plastik PP Roll Bag PE Roll Bag PP Woven Bag PP Jumbo Bag PP Terpaulin PP Geotextile
Gambar 2. Indeks RTA Untuk Produk Hilir 2004
2005
2006
2007
2008
Gambar 1. Indeks RTA Untuk Produk Antara (Intermediate Product)
Produk Indonesia yang memiliki keunggulan ekspor hanya terbatas pada PET, PVC, dan Polystyrene (indeks RTA > 1). Produk lainnya tidak memiliki keunggulan ekspor bahkan Indonesia merupakan importir untuk produk-produk tersebut. Produk Indonesia yang masih diimpor ialah pipa plastik dari polimer vinil klorida dan pipa plastik dari polimer etilena. Produk lainnya sudah memiliki keunggulan sehingga dapat diekspor ke pasar dunia.
PEMBAHASAN Di Indonesia, konsumsi bahan baku plastik masih relatif rendah yaitu baru mencapai sekitar 10 kg per kapita per tahun. Sementara di negara ASEAN lainnya, seperti Singapura (80 kg), Malaysia (60 kg) dan Thailand (31 kg). Sedangkan di negara maju, konsumsi plastik per kapita sudah mencapai di atas 100 kg. Dengan jumlah penduduk 220 juta jiwa (ke empat setelah Cina, India dan Amerika Serikat), prospek industri plastik masih terbuka luas. Meskipun saat ini akibat krisis ekonomi global, banyak proyek-proyek baru, perluasan tidak bisa direalisasikan sesuai dengan jadwal.
Dampak AFTA Terhadap Daya Saing Industri Petrokimia Olefin Indonesia
93
Sektor petrokimia nasional membutuhkan dana US$7,35 miliar untuk membiayai revitalisasi secara besar-besaran di industri ini. Program revitalisasi ini diperlukan karena tren pertumbuhan industri ini sangat lambat sejak krisis tahun 1997. Ketergantungan yang masih tinggi terhadap bahan baku impor dan efisiensi yang rendah menyebabkan terjadinya defisit pasokan terhadap kebutuhan domestik yang selalu meningkat setiap tahun. Berdasarkan roadmap industri yang disusun Kadin Indonesia, sektor petrokimia nasional membutuhkan tambahan sedikitnya empat pabrik petrokimia di sisi hulu yang memproduksi metanol berkapasitas 5.000 ton per hari dengan kebutuhan investasi sekitar US$400 juta, pabrik amoniak berkapasitas 2.000 ton per hari dengan total investasi US$250 juta. Juga, pabrik aromatik berkapasitas 500.000 ton per tahun dengan total investasi US$1 miliar, dan sektor olefin berkapasitas 700.000 ton etilena per tahun dan 400.000 ton propilena per tahun dengan perkiraan investasi US$700 juta. Keempat pabrik tambahan tersebut diperlukan untuk mendukung peningkatan produksi biodiesel, asam asetat, pupuk, polietilena, polipropile, dan PVC. Berdasarkan data INAplas, pada 2006 Indonesia mengimpor 996.000 ton etilena (bahan baku industri plastik). Sementara itu, kapasitas produksi etilena nasional tercatat 600.000 ton dengan produksi riil 585.000 ton. Indonesia juga mengimpor 374.000 ton propilena per tahun sebagai bahan baku industri tekstil, plastik, serta komponen otomotif. Di tengah krisis ekonomi yang melanda dunia saat ini, iklim bisnis di sektor industri bahan baku plastik dan industri plastik menghadapi tantangan yang cukup serius. Industri bahan baku plastik juga sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga minyak mentah dunia Akibatnya, harga naptha sebagai bahan baku industri olefin (ethylene dan propylene) tidak stabil. Benang merah lain adalah ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan, sehingga mendorong naiknya harga bahan baku plastik, seperti PE resin dan PP resin. Ketika harga minyak mentah dunia melonjak hingga US$141 per barel pada pertengahan 2008, harga kedua komoditas ini melonjak hingga US$2.000 per ton. September 2008, harga minyak mentah dunia turun ke level US$109,73 per barel, harga bahan baku plastik PE dan PP merosot menjadi US$1600–US$1.650 per ton. Januari 2009, harga minyak mentah dunia anjlok ke tingkat terendah sekitar US$41,96 per barel, harga PE dan PP di pasar dunia masih tetap di kisaran
94
Trikonomika
Vol. 9, No. 2, Desember 2010
antara US$790–US$850 per ton. Akibat pergerakan harga bahan baku plastik semakin anomali (situasi menyimpang dari keadaan normal), industri petrokimia hulu di dalam negeri menjadi lesu. Sejumlah produsen kesulitan meningkatkan produksi. Permintaan produk plastik meliputi plastic film, plastic woven bag, plastic pipe, plastic sheet, plastic housewares, plastic electronic consumer, household appliances, motorcycle, dan automotive plastic parts dan plastic bottle atau container dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan. Kondisi ini men dorong meningkatnya permintaan bahan baku plastik. Tercatat konsumsi enam jenis bahan baku plastik di Indonesia dalam lima tahun terakhir (2003–2007) meningkat, dari 1,7 juta ton naik menjadi sekitar 2,1 juta ton. Pada 2007, konsumsi bahan baku plastik terbesar adalah PP resin yang mencapai 817,0 ribu ton. Tingginya konsumsi PP resin, didorong oleh pesatnya pertumbuhan industri pemakainya seperti industri komponen otomotif yang banyak menggunakan PP resin copolymer, diikuti oleh konsumsi PE resin sebesar 697,6 ribu ton. Tingkat permintaan (demand) produk petrokimia olefin dan turunannya di Indonesia menunjukkan pertumbuhan sekitar 8% per tahun. Pertumbuhan impor dibagi menjadi impor yang berasal dari negaranegara ASEAN dan yang berasal dari negara-negara non-ASEAN. Impor dari negara ASEAN pada tahun 2010 akan dipengaruhi oleh penurunan tarif CEPT. Data historis menunjukkan setiap terjadi penurunan tarif CEPT terjadi lonjakan impor. Lonjakan ini berkisar antara 33% hingga 94%. Berdasarkan data lonjakan di masa lalu, diperkiraan impor dari ASEAN akan mengalami pertumbuhan sekitar 50%, sedangkan impor dari negara non-ASEAN hanya mengalami pertumbuhan secara natural sebesar 4% per tahun (estimasi dari CMAI). Tingkat permintaan total produk industri kimia olefin dan turunannya hingga tahun 2013 berkisar 3.0 juta ton. Impor produk industri kimia cenderung meningkat, terutama dipicu oleh kebijakan penurunan tarif CEPT, sehingga diperkirakan tahun 2013 total impor produk tersebut sebesar 1,6 juta ton (dari ASEAN 1.3 juta dan non ASEAN 0.3 juta ton). Dengan demikian, pada tahun 2013 diperkirakan hanya tersisa 1.3 juta ton permintaan sebagai peluang bagi industri petrokimia (bahan baku plastik) domestik. Di pihak lain, ekspor industri petrokimia olefin dan turunannya Indonesia cenderung menurun sangat tajam. Perkiraan dampak penurunan CEPT 0% terhadap
Iman Sudirman Horas Djulius
tenaga kerja diantaranya (a) jumlah tenaga kerja industri pengolahan Polyethylene (PE) berkisar 132.000 dengan jumlah perusahaan sekitar 649. Jumlah tenaga kerja industri pengolahan Polypropylene (PP) berkisar 104.000 dengan jumlah perusahaan sekitar 710. Pada tahun 2009 industri pengolahan PE memiliki kapasitas produksi sebesar 89,2%. Dengan penurunan CEPT 0% diperkirakan kapasitas produksi PE akan menjadi sebesar 66,7% pada tahun 2013 atau terjadi penurunan sebesar 22,6%. Penurunan kapasitas ini akan berdampak langsung terhadap pengurangan tenaga kerja industri pengolahan PE menjadi 102.181 atau turun sebanyak 29.819 tenaga kerja. Pada tahun yang sama industri pengolahan PP memiliki kapasitas produksi sebesar 86,2%. Dengan penurunan CEPT 0% diperkirakan kapasitas produksi PE akan menjadi sebesar 30,7% pada tahun 2013 atau terjadi penurunan sebesar 55,5%. Penurunan kapasitas ini akan berdampak langsung terhadap pengurangan tenaga kerja industri pengolahan PP menjadi 46.313 atau turun sebanyak 57.687 tenaga kerja.
KESIMPULAN Industri petrokimia dan turunannya merupakan industri prioritas di Indonesia. Industri Petrokimia Olefin menengah (intermediate) sedang pada tahap penguatan melalui peningkatan kapasitas (ekspansi) agar dapat memenuhi permintaan yang semakin meningkat dan juga dalam menghadapi persaingan dengan negaranegara lain. Secara umum, daya saing produk-produk Indonesia masuk dalam kategori rendah di ASEAN. Dengan menggunakan Indeks RTA, beberapa produk downstream yang memiliki daya saing cukup baik adalah: (i) PVC (Steady high performer), (ii) PET (Declining high performer). Sedangkan untuk produk akhir adalah: (i) PP Roll Bag (Winner), (ii) PP Woven Bag, Pipa. Plastik dari polimer propylene, PP Jumbo Bag, PE Roll Bag (Declining High Performer). Produk Petrokimia Hulu dan Intermediate belum memiliki daya saing (Indeks RTA < +1). Penurunan CEPT menjadi 0% pada tahun 2010 akan semakin menurunkan daya saing produk Indonesia dan pasar Indonesia akan semakin dipenuhi oleh produk-produk impor. Untuk meningkatkan daya saing juga perlu di bangun sebuah refinery yang khusus menjadi feeder
bagi Industri Petrokima di Indonesia. Dengan demikian terdapat suatu integrasi industri petro kima dari hulu ke hilir. Beberapa produk petrokimia olefin dan turunannya sudah mengalami kelebihan pasokan akibat adanya penetrasi impor, namun pemerintah dirasakan masih belum memberikan perlindungan yang cukup bagi para pelaku usaha di bidang ini. Diperlukan berbagai masukkan untuk perbaikan teknologi pada industri petrokimia, terutama pada industri plastik di Indonesia secara berkesinambungan untuk menghadapi pasar perdagangan bebas.
DAFTAR PUSTAKA Belay, Seyoum. 2007. Revealed comparative advantage and competitiveness in services: A study with special emphasis on developing countries. Journal of Economic Studies, 34 (5): 376 – 388. Cabalu, Helen and Cristina, Alfonsoy. 2007. Does AFTA Create or Divert Trade?. Global Economy Journal, 7(4 ): Article 6. Chase, Aquilano, J. 2005. Operation Management for Competitive Advantage. Mc.Graw-Hill. Hadi, Soesastro. 2005. Accelerating ASEAN Economic Integration: Moving Beyond AFTA. CSIS WORKING PAPER SERIES Hapsari, Indira ���������������������������������������� M. and Carlos, Mangunsong. 2006. Determinants of AFTA Members’ Trade Flows and Potential for Trade Diversion. Asia-Pacific Research and Training Network on Trade Working Paper Series, 21. J., David, R., and Chi, Zhang. 1999. Revealing Comparative Advantage: Chaotic or Coherent Patterns Across Time and Sector and U.S. Trading Partner?. National Bureau of Economic Research Working Paper, 7212. Jacob, Jojo and Christoph, Meister. 2005. Productivity Gains, Technology Spillover, and Trade : Indonesian Manufactirung, 1980-1996. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 41.(1). 2005 Grether, Jean-Marie �������������������������������������� and de ����������������������� Melo, Jaime. �������������� 2003. Globalization and Dirty Industries: Do Pollution Havens Matter?. National Bureau of Economic Research Working Paper, 9776 Shujiro, Urata, and Kozo, Kiyota. 2003. The Impacts of an East Asia FTA on Foreign Trade in East Asia. National Bureau of Economic Research Working Paper, 10173.
Dampak AFTA Terhadap Daya Saing Industri Petrokimia Olefin Indonesia
95