KAJIAN DAMPAK KESEPAKATAN PERDAGANGAN BEBAS TERHADAP DAYA SAING PRODUK MANUFAKTUR INDONESIA
JAKARTA – 2011
DITERBITKAN OLEH: PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN
Kementerian Perdagangan Jl. M.I Ridwan Rais No. 5, Jakarta Pusat Telp/Fax. (021) 3860371 www. Kemendag.go.id
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia dan pola hubungan antar negara yang secara umum memperlihatkan jarak antar satu negara dengan negara lain yang menurun, membuat semakin terbukanya perdagangan antar negara
dan
meningkatnya akses pasar produk ke negara lain. Keterbukaan ekonomi dan perdagangan memberikan konsekuensi dua hal secara sekaligus, yaitu tantangan dan peluang. Semakin terbukanya perdagangan antar satu negara dengan negara lainnya dapat memberikan peluang meningkatnya akses pasar produk dalam negeri di pasar internasional sekaligus juga tantangan terhadap daya saing industri dalam negeri terhadap produk luar negeri. Perdagangan bebas antar negara ditunjukkan dengan tarif bea masuk relatif rendah. Indonesia memiliki rata-rata tarif bea masuk Most Favored Nation (MFN) relatif rendah pada tahun 2010, yaitu mencapai 7,69 persen. Rendahnya tarif bea masuk atas barang impor tersebut mendorong peningkatan impor Indonesia, sehingga terjadi juga perubahan pasar asal impor. Peningkatan importasi mengakibatkan adanya persaingan antara barang impor dan barang produksi dalam negeri, sehingga dituntut adanya daya saing produk dalam negeri untuk dapat bersaing di pasar negara tujuan dan pasar domestik. Secara teoritis, perdagangan bebas dapat memberikan keuntungan secara ekonomi karena meningkatnya akses pasar dan surplus ekonomi secara keseluruhan. Sekalipun demikian, pandangan yang menyetujui perdagangan bebas ini dihadapkan oleh pandangan kaum proteksionis, di mana seharusnya industri dalam negeri dilindungi dari persaingan keras perdagangan dunia. Di sini muncullah infant industry argument, yaitu suatu argumen bahwa industri domestik seharusnya dilindungi negara hingga kelak mampu bersaing di pasar internasional. Perdagangan bebas tentunya juga memberikan sejumlah manfaat, seperti terbukanya akses pasar barang dan jasa, terpenuhinya bahan baku, bahan 1
penolong, dan barang modal, peningkatan investasi yang akan mempengaruhi struktur industri, mendorong adanya peningkatan kapasitas (capacity building) untuk peningkatan daya saing industri domestik, dan peningkatan daya beli masyarakat. Namun, perdagangan bebas tidak akan dapat memberikan manfaat yang besar jika daya saing industri dalam negeri jauh lebih rendah dibandingkan dengan industri luar negeri. Hingga saat ini, Indonesia telah menjalin kesepakatan perdagangan bebas dengan beberapa negara mitra dagang, yaitu ASEAN (ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA)), ASEAN–China Free Trade Area (AC-FTA), ASEANKorea FTA (AK-FTA), Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA), ASEAN-India FTA (AI-FTA), dan ASEAN-Australia-New Zealand FTA (AANZ-FTA). Selain itu, Indonesia juga sedang melakukan kerjasama komprehensif dengan beberapa negara, antara lain ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership (AJ-CEP) dan Indonesia-EFTA Comprehensive Economic Partnership Agreement (Indonesia-EFTA CEPA). Kesepakatan tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak terhadap perekonomian Indonesia. Implementasi kesepakatan perdagangan bebas
membawa konsekuensi
terhadap daya saing produk, baik daya saing di pasar internasional maupun daya saing di pasar domestik. Produk manufaktur merupakan produk andalan Indonesia dengan rata-rata pangsa ekspor terhadap ekspor non migas Indonesia sebesar 77,6 persen pada tahun 2008-2010 dengan tren cenderung meningkat sebesar 5,3 persen selama tiga tahun terkahir. Selain itu juga, muncul berbagai permasalahan yang terkait dengan pemanfaatan preferensi dengan negara-negara yang telah menjalin kerja sama dengan Indonesia. Untuk itu perlu dilakukan kajian dampak kesepakatan perdagangan bebas terhadap daya saing produk manufaktur Indonesia.
2
AANZ-FTA
Gambar 1.1 Kesepakatan Perdagangan Bebas Indonesia dengan Negara-negara Mitra Sumber: www.mapsofworld.com
Dari beberapa kesepakatan perdagangan bebas yang disepakati Indonesia, kesepakatan Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA) merupakan kesepakatan bilateral yang disepakati pada tahun 2008 dan dipilih sebagai fokus dalam studi ini. Pemilihan Jepang tentunya tidak terlepas dari signifikansinya negara ini dalam perdagangan internasional Indonesia. Hubungan kerjasama Indonesia–Jepang telah berjalan selama lebih dari 50 tahun. Bagi Indonesia, Jepang merupakan negara mitra dagang utama, baik dalam hal ekspor maupun impor. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik-BPS (Februari 2011), Jepang menempati peringkat pertama dengan pangsa pasar 12,72 persen sebagai negara tujuan ekspor non migas Indonesia pada tahun 2010. Sementara itu, pada tahun yang sama posisi Jepang sebagai negara asal produk impor non migas menempati peringkat kedua setelah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dengan pangsa pasar 15,62 persen (Gambar 1.2).
3
Pangsa Ekspor Non Migas Menurut Negara Tujuan Tahun 2010 JERMAN 2.30% TAIWAN 2.51% THAILAND 3.13%
AUSTRALIA INGGRIS 1.31% 1.82%
KOREA SELATAN 5.29% MALAYSIA 5.98% SINGAPURA 7.36%
PERANCIS 0.87%
Pangsa Impor Non Migas Menurut Negara Asal Tahun 2010
JERMAN 2.76% AUSTRALIA 3.78% MALAYSIA
TAIWAN PERANCIS 2.73% 1.22%
INGGRIS 0.87%
4.18%
NEGARA LAINNYA 35.60%
KOREA SELATAN 5.17%
NEGARA LAINNYA 20.76% THAILAND 6.86% RRT 18.19%
AMERIKA SERIKAT 8.59%
AMERIKA SERIKAT 10.27% RRT 10.85%
JEPANG 12.72%
SINGAPURA 9.29%
JEPANG 15.62%
Gambar 1.2 Posisi Jepang Sebagai Negara Mitra Dagang Utama Indonesia Sumber: BPS (Februari 2011), diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag.
Produk non migas utama yang diekspor Indonesia ke Jepang, antara lain Biji Logam, Kerak dan Abu, Bahan Bakar Mineral/Minyak Mineral, Nikel dan Barang daripadanya, Mesin Perlengkapan Elektris, Karet dan Barang daripadanya, Tembaga dan Barang daripadanya, Kayu dan Barang Dari Kayu, Reaktor Nuklir, Ketel, Mesin dan Perak, Ikan dan Krustasea, Moluska, Kertas dan Kertas Karton. Adapun produk non migas utama yang diimpor Indonesia dari Jepang, meliputi Reaktor Nuklir, Ketel, Mesin dan Perak, Mesin dan Perlengkapan Elektris serta Bagiannya, Kendaraan yang Bergerak di stas Rel Kereta Api atau Trem dan Bagiannya, Bagian-Bagian Otomotif, Besi dan Baja, Barang dari Besi atau Baja, Plastik dan Barang daripadanya, Karet dan Barang daripadanya, Tembaga dan Barang daripadanya, dan Bahan Kimia Organik, sebagaimana tersaji dalam Tabel 1.1 dan Tabel 1.2. Beberapa produk non migas utama tersebut merupakan produkproduk industri manufaktur Indonesia yang diekspor ke Jepang dan diimpor dari Jepang.
4
Tabel 1.1 Komposisi Ekspor Non migas 10 Produk Utama Indonesia ke Jepang Berdasarkan HS 2 Dijit HS2 26 27 75 85 40 74 44 84 03 48
NILAI (JUTA US $) TREND (%) PERUB. (%) PANGSA (%) 2010 06-10 10/09 2010 2006 2007 2008 2009 Total Ekspor 12,198.6 13,092.8 13,795.3 11,979.0 16,496.5 5.3 37.7 100.0 Bijih logam, terak dan abu 2,022.8 1,541.2 1,730.3 2,152.5 2,984.2 11.8 38.6 18.1 Bahan bakar mineral, minyak mineral dan1,360.2 produk sulingannya; 1,331.4 zat 2,085.2 mengandung 2,193.2 bitumen; 2,802.0 malam mineral 21.5 27.8 17.0 Nikel dan barang daripadanya 1,225.0 2,128.8 1,380.2 581.3 1,430.8 -9.4 146.1 8.7 Mesin dan perlengkapan elektris serta bagiannya; 1,009.8 perekam 1,105.0dan 1,212.7 pereproduksi907.9 suara, perekam 1,233.3 dan pereproduksi 2.1 gambar 35.8 dan suara televisi, 7.5 serta Karet dan barang daripadanya 892.5 1,031.9 1,327.4 727.4 1,232.6 3.0 69.5 7.5 Tembaga dan barang daripadanya 244.4 593.9 201.2 563.8 839.4 27.3 48.9 5.1 Kayu dan barang dari kayu; arang kayu 1,009.4 816.2 697.7 572.2 735.3 -9.4 28.5 4.5 Reaktor nuklir, ketel, mesin dan peralatan mekanis; 520.9 bagian 606.6daripadanya 759.8 568.0 588.1 1.8 3.5 3.6 Ikan dan krustasea, moluska serta invertebrata 578.7 air lainnya 519.3 528.6 518.9 570.6 -0.3 10.0 3.5 Kertas dan kertas karton; barang dari pulp kertas,dari 318.2 kertas 280.7 atau dari 347.0 kertas karton 402.8 447.2 11.0 11.0 2.7 Sub total 9,181.8 9,954.9 10,270.2 9,188.1 12,863.6 6.1 40.0 78.0 Lainnya 3,016.7 3,137.9 3,525.1 2,790.9 3,632.9 2.6 30.2 22.0 URAIAN
Sumber: BPS (2011), diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag.
Tabel 1.2 Komposisi Impor Non migas 10 Produk Utama Indonesia dari Jepang Berdasarkan HS 2 Dijit HS2 84 85 87 98 72 73 39 40 74 29
NILAI (JUTA US $) TREND (%) PERUB. (%) PANGSA (%) 2010 06-10 10/09 2010 2006 2007 2008 2009 Total Impor 5,488.0 6,472.7 14,864.7 9,810.5 16,910.7 30.6 72.4 100.0 Reaktor nuklir, ketel, mesin dan peralatan mekanis; bagian daripadanya 1,803.4 2,233.5 4,265.2 2,777.9 5,135.9 26.0 84.9 30.4 Mesin dan perlengkapan elektris serta bagiannya; perekam dan pereproduksi367.1 suara, perekam 458.8 dan1,963.9 pereproduksi 1,265.1 gambar dan 1,952.7 suara televisi, 54.6 serta bagian dan 54.4aksesori dari11.5 barang tersebut Kendaraan selain yang bergerak di atas rel kereta api atau trem, dan bagian serta 875.9aksesorinya 582.3 1,974.4 829.1 1,714.0 18.5 106.7 10.1 Ketentuan Khusus 0.0 406.6 821.7 740.1 1,627.3 119.9 9.6 Besi dan baja 535.6 705.2 1,526.3 941.7 1,574.5 27.7 67.2 9.3 Barang dari besi atau baja 261.5 261.7 694.2 569.5 894.9 38.2 57.1 5.3 Plastik dan barang daripadanya 244.6 285.4 496.8 418.2 633.4 25.7 51.5 3.7 Karet dan barang daripadanya 179.5 228.0 422.7 369.4 483.2 27.9 30.8 2.9 Tembaga dan barang daripadanya 23.3 29.8 255.1 190.7 446.0 117.3 133.8 2.6 Bahan kimia organik 280.7 293.0 376.9 317.9 417.8 9.2 31.5 2.5 Sub total 4,571.5 5,484.3 12,797.1 8,419.7 14,879.8 32.2 76.7 88.0 Lainnya 916.5 988.3 2,067.6 1,390.8 2,030.9 21.3 46.0 12.0 URAIAN
Sumber: BPS (Februari 2011), diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag.
Selain sebagai negara mitra dagang utama Indonesia, Jepang juga merupakan salah satu investor utama di Indonesia. Realisasi investasi Penanaman Modal Asing (PMA) Jepang di Indonesia pada tahun 2010 mencapai US$ 712,6 juta yang meliputi 323 proyek. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa Jepang mempunyai peranan yang cukup dominan dalam perekonomian Indonesia, khususnya terhadap pengembangan investasi di Indonesia. Dalam rangka meningkatkan hubungan kerjasama ekonomi yang lebih komprehensif antara Indonesia dengan Jepang, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pada tanggal 20 Agustus 2007 menyepakati adanya kemitraan ekonomi antara Indonesia dengan Jepang melalui penandatanganan Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJ5
EPA). Kesepakatan ini merupakan perjanjian perdagangan bebas bilateral pertama yang dilakukan oleh Indonesia, yang disahkan melalui Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2008 tentang Pengesahan Agreement Between The Republic of Indonesia and Japan for an Economic Partnership (Persetujuan antara Republik Indonesia dan Jepang mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi) dan mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Juli 2008. Terdapat beberapa alasan yang mendasari Indonesia untuk menjalin kerjasama melalui EPA dengan Jepang, di antaranya adalah: 1. Jepang merupakan mitra dagang dan investor utama buat Indonesia dan Indonesia merupakan penerima bantuan asing (official development assistance - ODA) terbesar dari Jepang sejak tahun 1970 hingga 1999.
2. Jepang merupakan negara tujuan utama ekspor Indonesia hingga tahun 2007 dengan penyerapan sekitar 20 persen dari seluruh produk ekspor Indonesia yang diekspor ke Jepang dan Jepang merupakan negara asal impor terbesar Indonesia hingga tahun 2007 dengan penyerapan sebesar 13 persen dari total impor Indonesia. 3. EPA dikonsepkan sebagai economic partnership agreements yang merupakan perjanjian area bebas plus plus yang meliputi perdagangan produk, jasa, investasi, tenaga kerja dan juga pengadaan kerjasama dibidang keuangan, information
and
communications
technology
(ICT)
serta
promosi
dagang/investasi dan menempatkan Indonesia sejajar dengan negara lain di ASEAN yang telah memiliki perjanjian dengan Jepang seperti Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand, sedangkan Brunei dan Vietnam menyusul. IJ-EPA mencakup tiga pilar utama, yaitu liberalisasi berupa penghapusan/ pengurangan hambatan perdagangan (penyederhanaan pengurusan, bea masuk, pemberian kepastian hukum), fasilitasi perdagangan berupa pengurangan biaya perdagangan dan peningkatan kinerja bea cukai penanganan di pelabuhan dan jasa-jasa yang terkait dengan perdagangan, dan kerjasama di berbagai bidang di luar perdagangan di mana Jepang berkomitmen untuk melakukan kegiatan capacity building bagi Indonesia.
6
Selain itu, IJ-EPA merupakan sebuah free trade agreement new-age yang terdiri dari tiga belas isu komprehensif dan bersifat World Trade Organization (WTO) plus (melebihi kesepakatan-kesepakatan yang sudah diatur WTO) ditambah capacity building sebagai bagian dari partnership agreement. Tiga belas unsur dalam IJ-EPA meliputi 1) Trade in Goods, 2) Trade in Services, 3) Rules of Origin (ROO), 4) Investment, 5) Improvement of Business Confidence, 6) Movement of Natural Persons, 7) Energy and Mineral Resources, 8) Customs Procedures, 9) Intellectual Property Rights, 10) Competition Policy, 11) Technical Cooperation and Capacity Building, 12) General Provisions, dan 13) Government Procurement. Adapun tujuan IJ-EPA adalah untuk meningkatkan perdagangan kedua negara, mendorong peningkatan investasi Jepang di Indonesia yang diharapkan selanjutnya dapat mengembangkan industri dan teknologi serta memperdalam keterlibatan Indonesia dalam jaringan produksi regional dan internasional. Peningkatan investasi dapat membuka sekaligus penyerapan tenaga kerja yang besar di Indonesia. Dalam IJ-EPA, untuk perdagangan barang disepakati moda penurunan tarif bea masuk dilakukan secara bertahap, dimana dalam penurunan tarif tersebut terdapat beberapa kategori produk, salah satunya adalah produk yang masuk dalam skema User Specific Duty Free Scheme (USDFS). USDFS adalah pemberian fasilitasi yang dipercepat untuk produk Jepang yang masuk ke Indonesia terkait dengan industri driven sector (otomotif, elektronik, alat berat, dan pembangkit energi) dengan syarat utama digunakan sebagai bahan baku dan belum diproduksi / tidak ekonomis dibuat di dalam negeri. Sebagai kompensasi terhadap pemberian fasilitas USDFS oleh Indonesia, pihak Jepang akan membantu Indonesia untuk meningkatkan daya saing produknya, sehingga bisa melewati batas toleransi hambatan non tarif di Jepang. Bantuan
Jepang tersebut tertampung dalam elemen cooperation, dan khusus
untuk produk industri difokuskan pada pengembangan industri manufaktur atau disebut Manufacturing Industri Development Center (MIDEC). MIDEC berfungsi sebagai motor penggerak untuk pembangunan kapasitas industri (industrial 7
capacity building) guna meningkatkan daya saing produk industri Indonesia yang meliputi tiga belas sektor, yaitu metal working, welding, mold & dies, energy conservation,
export
&
investment
promotion,
SME’s,
automotives,
electric/electronics, steel/ steel products, textile, petrochemical & oleochemicals, nonferrous, dan food & beverages. Seiring berjalannya waktu, pemanfaatan Surat Keterangan Asal (SKA) Form IJ-EPA relatif lebih rendah dibandingkan dengan kesepakatan perdagangan bebas lainnya
yang
telah
ditandatangani
dan
diimpelementasikan
Indonesia.
Berdasarkan data Direktorat Fasilitasi Ekspor dan Impor Kementerian Perdagangan, pada tahun 2010 pemanfaatan SKA Form IJ-EPA hanya sekitar 16 persen terhadap ekspor nonmigas Indonesia ke Jepang dengan nilai US$ 2,9 juta dan total Form SKA IJ-EPA sebanyak 53.182 lembar. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan mengapa para pelaku usaha di Indonesia tidak memanfaatkan secara maksimal kesepakatan perdagangan bebas Indonesia dengan Jepang tersebut. Selain itu , muncul pertanyaan tentang daya saing produk manufaktur Indonesia di pasar Jepang. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, untuk mengetahui permasalahan dan dampak kesepakatan perdagangan bebas terhadap daya saing produk manufaktur Indonesia,
maka
dilakukan
kajian
mengenai
“Dampak
Kesepakatan
Perdagangan Bebas Terhadap Daya Saing Produk Manufaktur Indonesia.”
1.2 Pertanyaan Penelitian Kajian ini berusaha menjawab beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apa permasalahan yang menyebabkan rendahnya pemanfaaatan SKA Form IJEPA? 2. Bagaimana dampak implementasi kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA terhadap daya saing produk manufaktur Indonesia? 3. Bagaimana strategi peningkatan daya saing produk manufaktur Indonesia?
8
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan kajian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui permasalahan yang menyebabkan rendahnya pemanfaaatan SKA Form IJ-EPA. 2. Menganalisis dampak kesepakatan perdagangan bebas terhadap daya saing produk manufaktur Indonesia di pasar Jepang. 3. Memberikan rekomendasi kebijakan untuk peningkatan daya saing produk manufaktur Indonesia.
1.4 Output dan Manfaat Penelitian Adapun output dari kajian ini berupa laporan tentang bahan rekomendasi dalam rangka merumuskan kebijakan dan strategi peningkatan pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dan peningkatan daya saing produk manufaktur Indonesia dalam kerangka kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA. Kajian ini diharapkan dapat digunakan oleh para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam memperoleh gambaran dan informasi tentang posisi pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dan posisi daya saing produk manufaktur Indonesia di pasar Jepang sebagai bahan referensi. Di samping itu, hasil kajian ini diharapkan akan bermanfaat bagi para pemangku kepentingan dalam merumuskan kebijakan peningkatan pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dan peningkatan daya saing produk manufaktur Indonesia di pasar Jepang.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Adapun ruang lingkup kegiatan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Aspek Produk Manufaktur Indonesia a. Produk-produk manufaktur yang termasuk dalam skema perdagangan bebas IJ-EPA berdasarkan klasifikasi produk HS 2007 (Lampiran I), khususnya terhadap produk Fillet Ikan dan Daging Ikan Lainnya (Ikan), Udang Kecil dan Udang Biasa (Udang), Mentega, Lemak, dan Minyak Kakao (Kakao Olahan), Garmen dari Kain dari pos 56.02 atau 56.03
9
(Garmen), Perabotan Kayu Lainnya (Furnitur), dan Sak dan Kantong (termasuk cone) dari Polimer Etilena (Barang dari Plastik). b. Pemanfaatan SKA Preferensi Form IJ-EPA dan JI-EPA 2. Aspek Ekonomi a. Analisis kinerja perdagangan Indonesia-Jepang untuk produk manufaktur b. Analisis potensi daya saing produk manufaktur Indonesia
1.6 Sistematika Penulisan Sistematika dari penulisan laporan kajian ini disusun sebagai berikut: BAB I Pendahuluan, mencakup latar belakang dilakukannya kegiatan ”Kajian Dampak Kesepakatan Perdagangan Bebas terhadap Daya Saing Produk Manufaktur Indonesia”, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, output dan manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, kerangka pemikiran, dan sistematika penulisan. BAB II Tinjauan Pustaka, mengulas teori perdagangan internasional, teori kebijakan perdaganan, teori integrasi ekonomi, teori daya saing, Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA), dan penelitian-penelitian sebelumnya yang terkait dengan perdagangan bebas dan daya saing. BAB III Metodologi Penelitian, meliputi kerangka pemikiran, metode analisis yang digunakan, dan jenis dan sumber data akan dipaparkan dalam bab ini. BAB IV Gambaran Umum Kinerja Perdagangan Jepang dan Indonesia, mendeskripsikan perkembangan kinerja perdagangan Jepang dan Indonesia di pasar dunia serta kinerja perdagangan bilateral Indonesia dan Jepang (termasuk perubahan pola ekspor dan impor Indonesia-Jepang). BAB V Gambaran Umum Kinerja Industri Manufaktur Indonesia, memaparkan kontribusi sektor industri manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia,
perkembangan
dan
struktur
industri
manufaktur
Indonesia,
perkembangan rasio penyerapan tenaga kerja industri manufaktur Indonesia, perkembangan investasi industri manufaktur Indonesia, dan kinerja beberapa industri manufaktur Indonesia yang menjadi fokus kajian.
10
BAB VI Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dan Kendala Implementasi, menjelaskan tentang pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dan kendala implementasi di berbagai daerah (Surabaya, Denpasar, Semarang, Medan, Bandung, Manado), pemanfaatan SKA Form JI-EPA dan kendala implementasinya, studi kasus pemanfaatan SKA Form JI-EPA dan JI-EPA di Jepang, dan studi kasus kesepakatan perdagangan bebas bilateral Malaysia Jepang serta Thailand Jepang. BAB VII Analisis Dampak Implementasi Kesepakatan Perdagangan Bebas terhadap Daya Saing Produk Manufaktur Indonesia. Dalam bab ini akan diuraikan tentang analisis dampak implementasi kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA terhadap daya saing produk manufaktur Indonesia berdasarkan pangsa pasar dan kinerja industri manufaktur Indonesia, dan strategi peningkatan daya saing produk manufaktur Indonesia. BAB VIII Kesimpulan dan Saran, menyimpulkan keseluruhan hasil kajian dan memberikan rekomendasi kebijakan peningkatan daya saing produk manufaktur Indonesia di pasar Jepang.
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Perdagangan Internasional Krugman dan Obstfeld (2004) menjelaskan bahwa terdapat dua alasan utama setiap negara melakukan perdagangan internasional. Alasan pertama, negaranegara melakukan perdagangan internasional adalah karena mereka berbeda satu sama lain. Bangsa-bangsa di dunia ini, sebagaimana halnya individu-individu, selalu berpeluang memperoleh keuntungan dari perbedaan-perbedaan di antara mereka melalui suatu pengaturan sedemikian rupa sehingga setiap pihak dapat melakukan sesuatu secara relatif lebih baik. Kedua, negara-negara berdagang satusama lain dengan tujuan untuk mencapai apa yang lazim disebut sebagai skala ekonomis (economics of scale) dalam produksi. Seandainya setiap negara dapat membatasi kegiatan produksinya untuk menghasilkan sejumlah barang tertentu saja, maka mereka berpeluang memusatkan perhatian dan segala macam sumber dayanya, sehingga mereka dapat menghasilkan barang-barang tersebut dalam skala yang lebih besar dan lebih efisien dibandingkan dengan jika negara tersebut mencoba untuk memproduksi berbagai jenis barang secara sekaligus. Dalam dunia nyata, pola-pola perdagangan internasional mencerminkan adanya interaksi yang terus-menerus dari kedua motif dasar di atas. Perdagangan internasional, dijelaskan juga oleh Krugman dan Obstfeld (2004), dapat meningkatkan output dunia karena memungkinkan setiap negara memproduksi sesuatu yang mereka kuasai keunggulan komparatifnya. Suatu negara memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) dalam memproduksi suatu barang kalau biaya pengorbanannya dalam memproduksi barang tersebut (dalam satuan barang lain) lebih rendah daripada negara-negara lainnya. Ada keterkaitan yang terpisahkan antara konsep keunggulan komparatif dengan perdagangan internasional, yaitu perdagangan antara dua negara akan menguntungkan kedua belah pihak jika masing-masing negara memproduksi dan mengekspor produk yang keunggulan komparatifnya ia kuasai.
12
Masngudi (2006) menjelaskan bahwa pengertian perdagangan dalam ilmu ekonomi adalah suatu proses tukar menukar yang didasarkan atas kehendak sukarela dari masing-masing pihak. Aspek sukarela ini penting karena memiliki implikasi fundamental, hal ini dilakukan apabila setiap pihak memperoleh manfaat dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Motif pertukaran adalah adanya manfaat dari perdagangan (gains from trade) yang ditunjukkan oleh garis D-E pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Gains from Trade Menurut Sadono Sukirno, manfaat perdagangan internasional adalah sebagai berikut: 1. Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil produksi di setiap negara. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah kondisi geografi, iklim, tingkat penguasaan teknologi dan lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional, setiap negara mampu memenuhi kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri. 2. Memperoleh keuntungan dari spesialisasi. Sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara lain, tapi ada kalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negeri. 13
3. Memperluas pasar dan menambah keuntungan. Terkadang, para pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya) dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang mengakibatkan turunnya harga produk mereka. Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha dapat menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual kelebihan produk tersebut keluar negeri. 4. Transfer teknologi modern. Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih efesien dan cara-cara manajemen yang lebih modern
Teori perdagangan internasional telah mengalami perkembangan. Masngudi (2006) menjelaskan bahwa pada abad ke-16 dan 17 telah berkembang suatu sistem kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh para negarawan di Eropa, yang oleh Adam Smith disebut dengan sistem merkantilisme (merchantilism). Aliran Merkantilis mempunyai tujuan utama untuk mendirikan negara nasional yang kuat dan memupuk kemakmuran nasional. Perdagangan internasional diharapkan harus selalu terjadi surplus neraca perdagangan, sehingga terjadi pengumpulan logam mulia yang diidentikkan dengan kemakmuran. Pemerintah membuat peraturan di bidang perdagangan bagi kepentingan nasionalnya, yakni untuk mendorong ekspor dan mengurangi serta membatasi impor (khususnya impor barang-barang mewah). Di samping itu, pemerintah akan mendorong output dan kesempatan kerja nasional. Dalam hubungan ini, Adam Smith telah melemparkan kritik-kritiknya, baik yang menyangkut pengertian kekayaan, masalah surplus neraca perdagangan, maupun masalah campur tangan pemerintah yang demikian besar di bidang perdagangan. Teori pra-klasik atau merkantilisme dianggap tidak relevan, selanjutnya muncullah teori keunggulan absolut (absolute advantage theory) dari Adam Smith. Adam Smith berpendapat bahwa kemakmuran suatu negara bukan ditentukan oleh banyaknya logam mulia yang dimilikinya, tetapi ditentukan oleh sumber daya ekonomi dan produksi hasil tenaga kerja. Keuntungan perdagangan internasional tergantung pada produktivitas tenaga kerja yang dimiliki oleh 14
masing-masing negara dalam mengelola sumber daya alam yang dimilikinya. Semakin tinggi produktivitas dan efisiensi, maka negara akan dapat lebih menekan ongkos-ongkos produksinya. Negara akan mengekspor barang tertentu karena negara tersebut bisa menghasilkan barang dengan biaya yang secara mutlak lebih murah daripada negara lain. Menurut Adam Smith, peranan pemerintah harus dikurangi guna menciptakan perdagangan bebas. Dengan adanya perdagangan bebas, maka akan menimbulkan persaingan yang semakin ketat. Hal ini akan mendorong masing-masing negara untuk melakukan spesialisasi
dan
pembagian
kerja
internasional
berdasarkan
keunggulan
absolutnya. Melalui perdagangan internasional akan diperoleh barang yang lebih banyak, lebih bervariasi, meningkatkan konsumsi dan demikian pula peningkatan kemakmuran (Masngudi, 2006). David Ricardo menilai bahwa teori keunggulan absolut yang dikemukakan oleh
Adam
Smith
memiliki
kelemahan.
David
Ricardo
berusaha
menyempurnakan kelemahan dalam teori keunggulan absolut dengan teori keunggulan komparatif (comparative advantage theory).
Menurut teori
keunggulan komparatif, nilai penukaran suatu barang didasarkan pada biaya komparatif dan nilai kegunaan/manfaat. Dengan teori keunggulan komparatif, masing-masing negara akan mengambil sesuatu yang relatif efisien. Perdagangan antarnegara akan terjadi jika masing-masing negara memperoleh manfaat dengan spesialisasi yang lebih efisien. Dengan adanya spesialisasi, maka akan terjadilah pembagian kerja internasional yang makin efisien, realokasi faktor-faktor produksi, dan mobilitas faktor-faktor produksi di dalam negeri yang pada akhirnya mendorong terjadinya persaingan di pasar faktor produksi. Walaupun suatu
negara
memiliki
keunggulan
absolut,
perdagangan
akan
tetap
menguntungkan bagi kedua negara. John Stuart Mill berusaha menyempurnakan teori keunggulan komparatif dengan
menyatakan bahwa suatu negara akan menghasilkan dan kemudian
mengekspor suatu barang yang memiliki keunggulan komparatif terbesar dan mengimpor barang yang memiliki ketidakunggulan komparatif (suatu barang yang dapat dihasilkan dengan lebih murah dan mengimpor barang yang kalau 15
dihasilkan sendiri memakan biaya yang lebih besar). Dengan kata lain, dasar tukar perdagangan internasional yang sebenarnya ditentukan oleh permintaan timbal balik. Hal ini akan stabil bilamana nilai ekspor suatu negara cukup untuk membayar nilai impornya. Berdasarkan teori ini, nilai suatu barang ditentukan oleh banyaknya tenaga kerja yang dicurahkan untuk memproduksi barang tersebut sedangkan dasar nilai pertukaran ditentukan dengan batas-batas nilai tukar masing-masing barang di dalam negeri (Masngudi, 2006). Teori
Heckscher-Ohlin
(H-O),
yang
merupakan
teori
perdagangan
internasional modern, mencoba menjawab kelemahan teori klasik keunggulan komparatif dalam menjelaskan mengenai penyebab perbedaan produktivitas. Menurut Heckscher-Ohlin, penyebab perbedaan produktivitas dikarenakan adanya jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki (endowment factors) oleh masing-masing negara, sehingga selanjutnya menyebabkan terjadinya perbedaan harga barang yang dihasilkan. Oleh karena itu, teori modern H-O dikenal dengan The Proportional Factor Theory. Negara-negara yang memiliki faktor produksi relatif banyak atau murah dalam memproduksinya akan melakukan spesialisasi produksi untuk kemudian mengekspor barangnya. Sebaliknya, masing-masing negara akan mengimpor barang tertentu jika negara tersebut memiliki faktor produksi yang realtif langka atau mahal dalam memproduksinya (Darwanto). Di samping itu, penyebab perbedaan produktivitas lainnya adalah faktor intensitas (factor intensity), yaitu teknologi yang digunakan di dalam proses produksi (labor intensity atau capital intensity). Teori H-O menggunakan dua kurva, yaitu kurva isocost (kurva yang menggambarkan total biaya produksi yang sama) dan kurva isoquant (kurva yang menggambarkan total kuantitas produk yang sama). Kelemahan dari teori H-O yaitu jika jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara relatif sama maka harga barang yang sejenis akan sama pula sehingga perdagangan internasional tidak akan terjadi. Studi empiris Wassily Leontief pada tahun 1953 mengemukakan fakta struktur perdagangan luar negeri Amerika Serikat pada tahun 1947 bertentangan dengan teori H-O. Pada tahun tersebut Amerika Serikat cenderung mengekspor produk padat tenaga kerja dan mengimpor produk padat modal padahal secara 16
umum Amerika Serikat diasumsikan sebagai negara yang relatif memiliki banyak modal dan tenaga kerja yang lebih sedikit dibandingkan dengan negara lain. Pertentangan kesimpulan ini kemudian dikenal dengan sebutan Paradoks Leontief. Berdasarkan penelitian lebih lanjut yang dilakukan ahli ekonomi perdagangan ternyata paradox liontief tersebut dapat terjadi karena empat sebab utama, yaitu intensitas faktor produksi yang berkebalikan, tarif dan hambatan non tarif, perbedaan dalam skill dan human capital, dan perbedaan faktor sumber daya alam. Adapun kelebihan dalam teori ini adalah jika suatu negara memiliki banyak tenaga kerja terdidik, maka ekspornya akan lebih banyak. Sebaliknya, jika suatu negara kurang memiliki tenaga kerja terdidik, maka ekspornya akan lebih sedikit. Opportunity cost digambarkan sebagai production possibility curve (PPC) yang menunjukkan kemungkinan kombinasi output yang dihasilkan suatu Negara dengan sejumlah faktor produksi secara full-employment. Dalam hal ini bentuk PPC akan tergantung pada asumsi tentang opportunity cost yang digunakan, yaitu PPC Constant cost dan PPC increasing cost. Offer Curve/Reciprocal Demand (OC/RD) diperkenalkan pertama kali oleh dua ekonom Inggris, yaitu Marshall dan Edgeworth yang menggambarkan sebagai kurva yang menunjukkan kesediaan suatu Negara untuk menawarkan/menukarkan suatu barang dengan barang lainnya pada berbagai kemungkinan harga. Kelebihan dari offer curve yaitu masing-masing negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional yaitu mencapai tingkat kepuasan yang lebih tinggi. Permintaan dan penawaran pada faktor produksi akan menentukan harga faktor produksi tersebut dan dengan pengaruh teknologi akan menentukan harga suatu produk. Pada akhirnya semua itu akan bermuara kepada penentuan keunggulan komparatif dan pola perdagangan suatu negara. Kualitas sumber daya manusia dan teknologi adalah dua faktor yang senantiasa diperlukan untuk dapat bersaing di pasar internasional. Teori perdagangan yang baik untuk diterapkan adalah teori modern yaitu teori offer curve.
17
2.2 Kebijakan Perdagangan Internasional Komposisi, arah dan bentuk perdagangan internasional atau kegiatan perdagangan internasional suatu negara tidak terlepas dari segala tindakan pemerintahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kebijakan perdagangan internasional memiliki implikasi yang sangat luas, tidak hanya dalam volume dan komposisi impor dan ekspor, tetapi juga pola investasi dan arah pengembangan, tetapi juga kondisi persaingan, kondisi biaya, sikap pebisnis dan wirausahawan, pola konsumsi, dsb. Oleh karena itu, kebijakan perdagangan internasional sangat penting dalam keputusan kebijakan ekonomi suatu negara dan kebijakan ini hanya salah satu bagian kebijakan makroekonomi yang harus dikombinasikan dan bersifat mendorong pembangunan perekonomian suatu negara. Kebijakan
perdagangan
internasional
dapat
ditujukan
untuk
melindungi/memproteksi industri dalam negeri yang sedang tumbuh (infant industry) dan persaingan-persaingan barang-barang impor. Adapun tujuan kebijakan
perdagangan
internasional
yang
bersifat
proteksi
adalah
memaksimalkan produksi dalam negeri, memperluas lapangan kerja, memelihara tradisi nasional, menghindari resiko yang mungkin timbul jika hanya menggantungkan diri pada satu komoditi dikhawatirkan akan terganggu jika bergantung pada negara lain. Proteksi dapat dilakukan dengan penerapan berbagai instrumen kebijakan perdagangan internasional berupa hambatan perdagangan tarif maupun non tarif. Kebijakan
perdagangan
internasional
tidak
hanya
bersifat
untuk
memproteksi, tetapi juga mendukung kebijakan perdagangan bebas yang memungkinkan bila setiap negara berspesialisasi dalam memproduksi barang di mana suatu negara memiliki komparatif. Pendukung kebijakan perdagangan bebas menekankan bahwa kebijakan perdagangan bebas akan mengarah pada efisiensi dan akan meningkatkan kesejahteraan nasional. Setelah PD II peranan perdagangan internasional mengarah pada kebijakan perdagangan bebas. Hal ini ditandai dengan terbentuknya the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang melatarbelakangi lahirnya perundingan pengurangan tarif secara 18
multilateral melalui Most Favoured Nation (MFN) kepada seluruh anggota GATT. Tidak hanya dalam kerangka pengurangan tarif, pada Putaran Uruguay (1986-1993), tetapi juga mencakup subsidi, countervailing measures, antidumping, technical barriers to trade, government procurement, dll (Gandolfo, 1998). Kini peranan GATT digantikan oleh World Trade Organization (WTO) yang terakhir telah menggelar Putaran Doha. Dewasa ini, WTO merupakan kerjasama perdagangan bebas dalam tataran multilateral, bersifat non-diskriminasi, dan resiprokal. Tak hanya melalui pengurangan tarif bea masuk secara multilateral, upaya liberalisasi perdagangan dijalin melalui kebijakan kerjasama perdagangan secara regional dan bilateral. WTO tidak hanya mencakup perdagangan barang semata, melainkan meliputi juga perdagangan jasa yang terkait dengan aspek kekayaan intelektual. Beberapa dasawarsa terakhir terjadi perluasan baik dalam pengenaan hambatan perdagangan non tarif dan kebijakan diskriminasi komersial (preferential trading agreement, PTA).
2.2.1
Instrumen Kebijakan Perdagangan Internasional Tim Penulis Bank Indonesia (2008) memaparkan beberapa instrumen kebijakan perdagangan internasional yang umum dipakai di berbagai negara, antara lain: 1. Tarif impor tidak lain merupakan instrumen pajak yang dikenakan pemerintah atas barang-barang impor. Penerapan tarif telah diterapkan oleh berbagai negara selama berabad-abad sejak era merkantilis dan telah menjadi salah satu metode yang paling umum, sederhana dan mudah untuk mengumpulkan pendapatan pemerintah. Hingga Perang Dunia (PD) I tarif dianggap dapat melindungi terhadap perdagangan internasional dan dikenakan tanpa diskriminasi. Perlindungan atau proteksionisme dapat dirasakan dari setiap kenaikan tarif yang dikenakan karena tarif menaikkan biaya produk impor dari luar negeri sehingga perusahaan domestik yang bersaing dengan produk impor menjadi terlindungi. Terdapat dua jenis tarif impor, yakni tarif spesifik 19
dan tarif ad valorem. Meski sangat jarang, pemerintah pada dasarnya dapat mengenakan kedua jenis tarif tersebut untuk barang yang sama secara bersamaan. Hal ini dikenal dengan pengenaan tarif dua komponen (two-part tariff). 2. Kuota impor adalah instrumen pembatasan kuantitas barang yang dapat diimpor dalam kurun waktu tertentu. Pembatasan impor (kuota) bertujuan untuk membatasi barang-barang impor, mencegah barangbarang yang penting berada di tangan negara lain, menjamin tersedianya barang-barang di dalam negeri dalam proporsi yang cukup, dan untuk mengadakan pengawasan produksi serta pengendalian harga guna mencapai stabilitas harga di dalam negeri. Gandolfo (1998) menambahkan bahwa pemerintah biasanya mengeluarkan lisenssi/ izin impor terkait dengan penerapan kuota impor untuk mengatur secara langsung perdagangan internasional. 3. Voluntary exports restraints (VER) merupakan instrument pembatasan yang dikenakan pemerintah negara eksportir terhadap kuantitas barang yang diekspor dalam jangka waktu tertentu. VER muncul sebagai reaksi setelah negara importir, umumnya yang mempunyai pasar yang besar dan strategis, berupaya melindungi diri dari serbuan impor dari negara ekspor tertentu. 4. Pajak (bea keluar) ekspor adalah instrumen pajak yang dikenakan pada barang ekspor. Sepeti halnya tarif impor, pajak ekspor dapat berupa pajak khusus ataupun pajak ad valorem. Pada umumnya pajak ekspor dikenakan untuk melindungi konsumen atau produsen pengguna di dalam negeri. Misalnya, Indonesia mengenakan pajak ekspor terhadap ekspor kakao untuk melindungi produsen dalam negeri. 5. Subsidi merupakan kebijakan pemerintah untuk membantu menutupi sebagian biaya produksi per unit barang produksi dalam negeri, sehingga produsen dalam negeri dapat menjual barangnya lebih murah dan bisa bersaing dengan barang impor. Dewasa ini pengenaan subsidi
20
ekspor dilakukan oleh negara maju untuk produk-produk pertanian, meskipun hal ini melanggar salah satu aturan WTO. 6. Voluntary import expansion (VIE) merupakan instrumen kebijakan perdagangan internasional yang lahir dari kesepakatan antara dua negara mitra dagang untuk meningkatkan kuantitas impor tertentu yang berasal dari salah satu negara tersebut. Kesepakatan ini banyak dilatarbelakangi oleh keinginan untuk lebih menyeimbangkan arus perdagangan bilateral antara kedua negara. 7. Dumping, kebijakan perdagangan internasional bertujuan untuk mengadakan diskriminasi harga, yakni produsen menjual barang di luar negeri lebih murah daripada di dalam negeri. Kekuatan monopoli di dalam negeri yang lebih bersih daripada luar negeri dan terdapatnya hambatan yang cukup kuat menjadi persyaratan yang harus dipenuhi dalam kebijakan dumping.
2.2.2
Manfaat Perdagangan Bebas Banyak studi yang berkesimpulan bahwa perdagangan bebas berimplikasi positif bagi negara-negara yang terlibat. Di samping meningkatkan kesejahteraan, Kindleberger dan Lindert berpendapat bahwa perdagangan bebas juga meningkatkan kuantitas perdagangan dunia dan efisiensi. Urata dan Kiyota menemukan bahwa FTA di Asia Timur memberi pengaruh positif pada ekonomi. Ekspor dengan dengan daya saing tinggi akan meningkat. Studi Saktyanu et al. menunjukkan penurunan subsidi ekspor di negara maju berdampak pada peningkatan produksi pertanian Indonesia. Berbeda dengan hasil studi yang secara umum memberikan dampak positif, Haryadi et.al memperlihatkan bahwa liberalisasi perdagangan dengan cara menghapus semua hambatan perdagangan berdampak pada penurunan Produk Dometik Bruto Indonesia dan Australia-Selandia Baru. Salah satu indikator untuk mengukur dampak kerjasama perdagangan internasional adalah dengan melihat terjadinya trade diversion dan trade creation. Efek positif, yaitu trade creation adalah terjadinya perdagangan 21
akibat beralihnya konsumsi dari Produk Domestik Bruto (PDB) yang bersifat high-cost ke produk impor dari luar negeri yang bersifat low-cost; dengan kata lain terjadi perdagangan yang mengikat intranegara mitra. Namun demikian, perbedaan tarif yang diberlakukan untuk partner dan non
mitra,
merubah
arah
kecenderungan
perdagangan
sehingga
menimbulkan efek negatif yaitu trade diversion, yang merujuk kepada perpindahan dari produk impor yang bersifat low-cost dari negara non anggota dengan produk impor yang bersifat high-cost dari negara mitra; dengan kata lain terjadi perdagangan yang menurun dengan negara non mitra. Trade diversion akan menurunkan efek kesejahteraan sehubungan dengan terjadinya perubahan orientasi suplai ke sumber yang relatif lebih mahal. Manfaat perdagangan bebas sangat ditentukan oleh salah satu efek yang lebih dominan. Efek secara keseluruhan dapat bersifat positif, negatif ataupun netral, tergantung dari besarnya magnitude dari trade creation dan trade diversion. Perdagangan bebas akan sangat menguntungkan apabila dampaknya terhadap trade creation lebih besar dibandingkan dampaknya terhadap trade diversion. Meskipun terjadi trade creation dan trade diversion, secara keseluruhan memberikan dampak perdagangan yang positif.
2.3 Teori Integrasi Ekonomi 2.3.1 Definisi Integrasi Ekonomi Para ekonom telah mengembangkan definisi intregrasi ekonomi dari berbagai sudut pandang yang berbeda, akan tetapi definisi bakunya belum ditemukan hingga saat ini. Machlup menyatakan bahwa istilah integrasi dalam ilmu ekonomi digunakan pertama kali dalam organisasi industri guna menggambarkan kombinasi perusahaan baik secara vertikal maupun horizontal. Integrasi horizontal mengacu pada hubungan para pesaing, sedangkan integrasi vertikal mengacu pada unifikasi para pemasok dan pembeli. 22
Tinbergen (dikutip dari Jovanović, 2006) mendefinisikan integrasi ekonomi sebagai penciptaan struktur perekonomian internasional yang lebih bebas dengan jalan menghapuskan diskriminasi, pembatasan institusi, dan mengenalkan kebebasan transaksi perekonomian (integrasi negatif). Integrasi ekonomi juga dapat dipandang sebagai penyesuaian kebijakan yang ada dan penciptaan kebijakan dan institusi baru yang memiliki kekuatan koersif (integrasi positif). Pinder mendefinisikan bahwa integrasi sebagai suatu proses unifikasi dan integrasi ekonomi sebagai penghapusan diskriminasi di antara negara anggota, penciptaan dan pengimplementasian kebijakan bersama. Kahnert memahami integrasi sebagai suatu proses penghapusan diskriminasi yang terjadi sepanjang batas nasional secara progresif. Mennis dan Sauvant memandang integrasi sebagai suatu proses di mana batas-batas di antara negara menjadi kurang diskontinu, mengarah pada bentuk sistem yang lebih komprehensif, menghubungkan dan menggabungkan perangkat industri, kebijakan administrasi dan ekonomi negara-negara anggota. Integrasi ekonomi didefinisikan oleh Pelkmans sebagai penghapusan batas-batas ekonomi di antara dua atau lebih perekonomian. Batas-batas ekonomi tersebut meliputi semua pembatasan yang menyebabkan mobilitas barang, jasa, faktor produksi, dan juga aliran komunikasi, secara aktual maupun potensial relatif rendah (Jovanović, 2006). Sementara Balassa (1961), integrasi ekonomi dianggap sebagai suatu proses
yang
mencakup
langkah-langkah
yang
dirancang
untuk
menghapuskan diskriminasi dari negara-negara yang berbeda dan suatu urusan negara yang direpresentasikan oleh berbagai bentuk diskriminasi di antara perekonomian nasional. Sementara Holzman (Jovanović, 2006), menyatakan bahwa integrasi ekonomi sebagai situasi di mana dua kawasan menjadi satu atau memiliki satu pasar yang ditandai dengan kesamaan harga barang dan faktor produksi di antara dua kawasan tersebut. Pada akhirnya, Jovanović (2006) menyimpulkan bahwa pengertian integrasi ekonomi internasional tersebut merupakan sebuah gagasan rumit 23
yang harus didefinisikan secara hati-hati. Definisi seringkali samar dan tidak memberikan alat yang cukup untuk memudahkan proses integrasi di antara negara-negara. Integrasi ekonomi internasional didefinisikan sebagai suatu proses sekelompok negara berupaya untuk meningkatkan tingkat kemakmurannya. Dalam upaya meningkatkan tingkat kemakmuran tersebut, integrasi merupakan opsi kebijakan yang lebih efisien dibanding apabila masing-masing negara melakukan upaya secara unilateral. Integrasi juga mensyaratkan paling tidak adanya beberapa pembagian tenaga kerja dan kebebasan mobilitas barang dan jasa dalam suatu kelompok negara. Integrasi pada tingkatan yang lebih tinggi juga mensyaratkan mobilitas yang bebas atas faktor produksi dalam intrakawasan, termasuk hambatan pergerakan faktor produksi antar area yang terintegrasi. Integrasi ekonomi adalah integrasi di sektor riil yang bertujuan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dalam integrasi ekonomi terdapat dua kepentingan yang saling berlawanan, yaitu antara mendorong perdagangan dan membatasi perdagangan pada saat bersamaan. Integrasi ekonomi dilakukan dengan liberalisasi perdagangan antara negara yang berpartisipasi dalam integrasi, namun pasa saat yang sama juga menerapkan berbagai hambatan baik tarif maupun non tarif kepada negara lain di luar anggota. Dengan demikian, integrasi akan menciptakan dua aturan yang berbeda secara bersamaan, yaitu aturan-aturan yang diterapkan kepada negara-negara yang menjadi anggota dan aturan lain yang diterapakan kepada non-anggota. Dua kepentingan yang berlawanan ini dijumpai pada berbagai tingkat integrasi ekonomi, yaitu baik pada integrasi ekonomi tingkat regional, inter-regional, plurilateral ataupun bilateral, namun tidak dijumpai pada kesepakatan integrasi pada tingkat multilateral. Tidak ditemukannya dua kepentingan yang saling berlawanan ini menandai perbedaan fundamental antara integrasi yang bersifat multilateral dengan integrasi pada tingkat non multilateral (Tim Penulis Bank Indonesia, 2008). 24
Kajian Dollar, Sach dan Warner, Edwards, dan Wacziarg menunjukkan bahwa integrasi ekonomi yang menurunkan atau menghilangkan semua hambatan
perdagangan
di
antara
negara-negara
anggota,
dapat
meningkatkan daya saing dan membuka besarnya pasar pada negara anggota, dapat meningkatkan persaingan industri domestik yang dapat memacu
efisiensi
produktif
di
antara
meningkatkan kualitas dan kuantitas
produsen
domestik
dan
input dan barang dalam
perekonomian, produsen domestik dapat meningkatkan profit dengan semakin besarnya pasar ekspor dan meningkatkan kesempatan kerja.
2.3.2 Tahapan Integrasi Ekonomi Beberapa bentuk yang dianggap mewakili tahapan integrasi ekonomi dikemukakan oleh Balassa (1961), antara lain: 1. Preferential Trading Area (PTA), yang merupakan blok perdagangan yang memberikan keistimewaan untuk produk tertentu dari negara tertentu
dengan
melakukan
pengurangan
tarif
namun
tidak
menghilangkannya sama sekali. 2. Free Trade Area (FTA) adalah suatu kawasan di mana tarif dan kuota antara negara anggota dihapuskan, namun masing-masing negara tetap mempertahankan tarif mereka terhadap negara-negara bukan anggota. 3. Customs Union (CU) merupakan FTA yang meniadakan hambatan pergerakan komoditi antarnegara anggota dan menerapkan tarif yang sama terhadap negara-negara bukan anggota. Efek kesejahteraan statis dari sebuah persekutuan pabean diukur melalui penciptaan perdagangan (trade creation) dan pengalihan perdagangan (trade diversion). Penciptaan perdagangan terjadi ketika produksi domestik digantikan oleh impor dari produsen dengan biaya yang lebih rendah dan lebih efisien
di
dalam
persekutuan
pabean.
Hal
ini
meningkatkan
kesejahteraan. Pengalihan perdagangan terjadi ketika impor berasal dari pemasok di luar persekutuan pabean digantikan dengan pemasok dari dalam persekutuan pabean dengan biaya yang lebih tinggi. Hal ini 25
mengurangi kesejahteraan. Efek kesejahteraan dinamis lebih penting dan terjadi ketika persaingan dan skala ekonomis yang meningkat dan tingkat investasi yang lebih tinggi menjadi mungkin dalam integrasi ekonomi. 4. Common Market (CM) merupakan suatu CU yang juga meniadakan hambatan pergerakan faktor-faktor produksi (barang, jasa, aliran modal). Kesamaan
harga
dari
faktor-faktor
produksi
diharapkan
dapat
menghasilkan alokasi sumber yang efisien. 5. Economic Union (EU) merupakan suatu CM dengan tingkat harmonisasi kebijakan ekonomi nasional yang signifikan (termasuk kebijakan struktural). 6. Total Economic Integration adalah bentuk penyatuan kebijakan moneter, fiskal, dan sosial yang diikuti dengan pembentukan lembaga supranasional dengan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh negara anggota. Keenam tahapan integrasi ekonomi Balassa tersebut dapat digambarkan dalam Gambar 2.2 yang menunjukkan bahwa semakin tinggi integrasi ekonomi, semakin kompleks persyaratan kebijakan yang diperlukan (Tim Penulis Bank Indonesia, 2008). Dalam perkembangannya tahapan integrasi ekonomi tersebut telah mengalami penyesuaian pada berbagai hal, akan tetapi masih tetap dapat menjadi alat dasar dalam studi mengenai integrasi ekonomi.
26
Gambar 2.2 Tahapan Integrasi Ekonomi Menurut Balassa Sumber: Balassa (1961), diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag.
2.3.3 Manfaat dan Kerugian Integrasi Ekonomi Dengan adanya integrasi ekonomi, maka akan meningkatkan persaingan aktual dan potensial baik bagi pelaku pasar yang berasal dari suatu negara, dalam sekelompok negara, maupun pelaku pasar di luar kedua kelompok tersebut. Persaingan di antara pelaku pasar tersebut diharapkan akan mendorong harga barang dan jasa yang sama lebih rendah, meningkatkan variasi kualitas dan pilihan yang lebih luas bagi kawasan yang terintegrasi. Integrasi ekonomi akan menstimulasi aliran dan perdagangan intraregional yang lebih tinggi serta munculnya perusahaan yang mampu berkompetisi secara global. Selain itu, mendorong pertumbuhan ekonomi yang berujung pada peningkatan kesejahteraan di seluruh kawasan. Di sisi lain, integrasi ekonomi internasional dapat membatasi kewenangan suatu negara untuk menggunakan kebijakan fiskal, keuangan, dan moneter untuk mempengaruhi kinerja ekonomi dalam negeri. Kerugian lain dari adanya inadalah adanya kemungkinan hilangnya pekerjaan dan potensi menjadi pasar bagi negara yang tidak mampu bersaing.
27
2.4 Teori Daya Saing Teori Ricardo dan Ohlin cenderung memandang keunggulan komparatif yang alami. Karena itu, bisa dipahami apabila industri yang memiliki keunggulan komparatif versi Richardo dan Ohlin umumnya industri padat sumber daya dan padat karya yang tidak terampil. Ini berlainan dengan industri yang memiliki keunggulan komperatif versi Krugman dan Porter, yang umumnya pada modal dan padat teknologi. Persaingan global yang hyper competitive memaksa setiap negara / perusahaan untuk menemukan suatu strategi yang tepat. Strategi ini dikenal dengan “Sustainable Competitive Advantage” (SCA). SCA adalah suatu strategi keunggulan daya saing yang berkelanjutan, meskipun menurut Richard D’aveni (1994) pada situasi hyper competitive tidak ada lagi perusahaan/negara yang dapat memiliki keunggulan daya saing berkelanjutan. Situasi hyper competitive, keunggulan daya saing perusahaan/negara tetap didasarkan pada keunggulan kompetitif dinamis meskipun dengan jangka waktu yang pendek. SCA relatif lebih tepat dan menguntungkan untuk dilakukan dalam sektor agroindustri karena resource base-nya dapat diperbaharui (Masngudi, 2006). Dalam konteks lainnya, Tambunan (1996) mengemukakan bahwa daya saing suatu komoditas di pasar internasional juga ditentukan oleh teknologinya. Di masa depan tuntutan teknologi merupakan karakteristik dalam proses pengembangan ekspor dengan mengambil dasar pemikiran dan asumsi-asumsi yang dibangun oleh teori klasik, oleh karena teori-teori klasik tidak melihat pentingnya pengaruh proses teknologi terhadap pola perdagangan dunia. Pada akhirnya dikatakan bahwa keunggulan kompetitif akan lebih menentukan daya suatu negara atau suatu komoditas daripada keunggulan komparatifnya. Paltts dan Gregory (1991) mengungkapkan bahwa faktor pemilihan tergantung pada keunggulan suatu komoditi yang dihasilkan oleh perusahaan atau industri tergantung pada permintaan konsumen terhadap produk cukup signifikan mendorong perusahaan untuk lebih kompetitif. Berkaitan dengan daya saing suatu komoditas, pola perdagangan sekarang ini tidak serta-merta melihat pendekatan pasar sebagai dasar untuk melakukan 28
strategi (market based strategy) di dalam melakukan perdagangan internasional, tetapi juga didasarkan pada pentingnya pendekatan yang disebut dengan resource based strategy dimana faktor sumber daya menjadi lebih penting. Karena itu, Huseini (2000) mengungkapkan perlunya mengkaji ulang strategi pemasaran internasional di Indonesia. Beberapa definisi daya saing yang dikutip dari IMD (diambil dari The US National Competitiveness Council): 1. Daya saing mencakup efisiensi (mencapai sasaran dengan biaya serendah mungkin) dan efektivitas (memiliki sasaran yang tepat). Pilihan tentang inilah yang sangat menentukan dari sasaran industri. Daya saing meliputi baik tujuan akhir dan cara mencapai tujuan akhir tersebut (Buckley, P. J. et al, “Measures of International Competitiveness: A Critical Survey”, Journal of Marketing Management, 1988). 2. Daya saing industri adalah kemampuan perusahaan atau industri dalam menghadapi tantangan persaingan dari para pesaing asingnya (US Department of Energy). 3. Mendukung
kemampuan
perusahaan,
industri,
daerah,
negara
atau
supranational regions untuk menciptakan tingkat pendapatan dan pemanfaatan faktor yang relatif tinggi, sambil tetap mempertahankan keberadaan dalam persaingan
internasional
Competitiveness:Benchmarking
(OECD, Business
1996.
Environments
“Industrial in
the
Global
Economy”). Hal sangat penting tentang daya saing dalam tingkat industri ini adalah pandangan bahwa keunggulan daya saing nasional semestinya dilihat pada tingkat ini. Ini antara lain yang diyakini oleh Porter [Michael E. Porter] yang juga menyampaikan “….. the basic unit of analysis for understanding of national advantage is the industry. Nations suceed not in isolated industries, however, but in clusters of industries connected through vertical and horizontal relationships. A nation’s economy contains a mix of clusters, whose makeup and sources of competitive advantage (or disadvantage) reflect the state of the economy’s development.” 29
2.5 Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA) Pada tanggal 28 November 2006, Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, dan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono bertemu di Tokyo untuk bersama-sama mengumumkan bahwa perjanjian pada prinsipnya telah dicapai antara Indonesia dan Jepang pada elemen utama Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (selanjutnya disebut sebagai IJ-EPA). IJ-EPA menandai sebuah era baru bagi kemitraan Indonesia dan Jepang, dengan menempa hubungan yang lebih erat ekonomi melalui kerja sama untuk peningkatan kapasitas, liberalisasi, promosi dan fasilitasi perdagangan dan investasi antara kedua negara. Perjanjian IJ-EPA juga akan mencakup berbagai kegiatan ekonomi termasuk sumber daya energi dan mineral, pergerakan orang alam, pengadaan pemerintah, kekayaan intelektual, kebijakan persaingan, perbaikan lingkungan bisnis dan promosi kepercayaan bisnis. Selain itu, IJ-EPA mencakup pula capacity building untuk proyek-proyek kerjasama yang komprehensif berfokus pada kegiatan yang akan meningkatkan daya saing industri Indonesia, perikanan, pertanian, dan produk kehutanan termasuk inisiatif bersama untuk lebih meningkatkan daya saing industri manufaktur Indonesia melalui Inisiatif Pusat Pengembangan Industri Manufaktur. Kedua pemimpin negara menyambut baik kesepakatan secara prinsip pada unsurunsur utama dari masalah negosiasi. Keduanya menginstruksikan delegasi masing-masing, membangun perjanjian ini pada prinsipnya, untuk segera menyelesaikan IJ-EPA. Ratifikasi IJ-EPA tersebut berlangsung pada bulan Juli 2008, di mana Jepang bersama
Indonesia
mencoba
menyelaraskan
serangkaian
langkah
implementasinya. Unsur-unsur utama dalam kemitraan ekonomi (economic partnership agreement, EPA) yang disepakati Jepang dan Indonesia, terdiri atas: 1. perdagangan dalam barang: ketentuan tarif, non-tarif, ketentuan asal (trade in goods: tariffs and non-tariff measures, rules of origin trade remedies), 2. perdagangan dalam jasa (trade in services), 3. prosedur bea cukai (customs procedure), 4. penanaman modal (investment), 30
5. fasilitasi bergeraknya sumber daya manusia (movement of natural persons), 6. sumber daya energi dan mineral (energy and mineral resources), 7. hak cipta (intelectual property right), 8. prosedur pembelian oleh pemerintah (government procurement), 9. persaingan (competition), 10. perbaikan dalam lingkungan bisnis dan promosi kepercayaan bisnis (improvement of business environment and promotion of business confidence), 11. kerjasama (cooperation). Diuraikannya gagasan Jepang tentang EPA yang didalamnya FTA (Free Trade Agreement) dengan ASEAN dan juga FTA dengan masing-masing negara anggota ASEAN. Akan tetapi pihak pembuat kebijakan ekonomi dan pelaku bisnis yang banyak berinteraksi dengan Jepang tidak terlalu responsif. Pihak pembuat kebijakan Jepang dan kalangan akademisinya memahami bahwa FTA merupakan kesepakatan bersama untuk menghapus hambatan perdagangan antar-mereka. Negara manapun yang masuk dalam kawasan perdagangan dapat dan memelihara kebijakan perdagangan secara independen terhadap negara ketiga. Salah satu syaratnya adalah suatu sistem sertifikasi asli (system of certificates of origin) diberlakukan untuk menghindari terjadinya peralihan perdagangan (trade diversion) demi perolehan maslahat tarif yang rendah dari negara anggota. Dampak ekonomi dari FTA dapat dibagi dalam dampak statis dan dampak dinamis. Dalam dampak statis tercakup dampak penurunan tarif standar atas efisiensi alokasi sumber daya, dan dampak dinamis, di mana produktivitas yang lebih tinggi dan akumulasi modal berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Belakangan ini argumentasi politik ekonomi yang mencakup perilaku kepentingan kelompok ikut berperan dalam pembentukan FTA. Tujuan FTA adalah membentuk sekaligus memperlancar perdagangan dan investasi dengan mencapai persetujuan dengan mitra dagang dan investasi secara cepat maupun mantap karena serangkaian alasan yang tidak terbatas pada kedekatan secara geografis. Hal-hal yang hendak digarap adalah kesertaan dalam
31
pasar domestik oleh dana dana luar (foreign funds) para manajer dan teknisi, yang pada gilirannya menstimulasi perekonomian domestik kedua belah pihak. Hal yang dimaksud dengan dampak statis adalah penciptaan perdagangan dan mengurangi pembelokan (diversion). Eliminasi hambatan perdagangan antara pihak pihak yang mengadakan persetujuan FTA merubah harga barang barang dan jasa yang diperdagangkan, yang pada gilirannya berpengaruh pada volume perdagngan dan kesejahteraan ekonomi kedua negara. Dalam kasus peniadaan (removal) hambatan perdagangan berarti perluasan perdagangan yang biasanya dilakukan antara para pihak yang bersangkutan, menggerakkan konsumen dalam negara yang mengimpor barang dan jasa secara lebih murah, dan di pihak produsen negara pengekspor memperoleh laba sebagai hasil ekspor yang lebih besar, dan secara teoritis kemakmuran kedua negara penandatangan FTA makin membaik (improving the economic welfare). Sebaliknya, hendaknya pihak Indonesia tidak lupa bahwa peniadaan hambatan sebagai akibat FTA tidak serta merta membawa maslahat bagi negeri ini. Dampak FTA juga pada pertumbuhan ekonomi kedua belah pihak melalui tahapan peningkatan produktivitas yang mencakup perluasan pasar, peningkatan daya saing, alih teknologi disertai inovasi teknologi.
2.6 Penelitian Sebelumnya Studi mengenai dampak kesepakatan perdagangan bebas secara bilateral terhadap daya saing industri manufaktur telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Pemanfaatan Surat Keterangan Asal (SKA) atau Certificate of Origin (COO) oleh berbagai perusahaan di Jepang, khususnya terkait dengan kesepakatan perdagangan bebas secara bilateral yang dilakukan oleh Jepang dengan beberapa negara mitranya (Malaysia, Meksiko, dan Chili) telah dilakukan oleh Takahashi dan Urata pada tahun 2010. Hasil studi Takahashi dan Urata (2010) memperlihatkan bahwa tingkat pemanfaatan berkisar 12,2 persen (Japan-Malaysia FTA) hingga 32,9 persen (Japan-Mexico FTA). Di samping itu, studi tersebut menemukan beberapa kendala utama yang membatasi pemanfaatan SKA dengan negara mitra FTA, yakni kecilnya perdagangan dengan negara mitra FTA, 32
kesulitan mendapatkan SKA yang dibutuhkan, dan kurangnya pengetahuan tentang FTA. Dari segi tarif preferensi, perbedaan tarif MFN dan tarif preferensi sangat kecil. Studi tersebut juga menemukan karakteristik perusahaan yang menggunakan FTA, yaitu perusahaan besar, memiliki keterikatan bisnis dengan negara mitra FTA, dan perusahaan beroperasi dalam industri mesin transportasi. Juswanto dan Mulyanti (2003) memfokuskan studi tentang daya saing industri manufaktur Indonesia yang berorientasi ekspor dengan pendekatan Constant Market Share Analysis (CMSA). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa komposisi komoditi merupakan permasalahan utama dalam pertumbuhan ekspor produk industri Manufaktur Indonesia mengingat dampaknya terhadap pertumbuhan negatif. Ekspor produk manufaktur Indonesia terkonsenterasi pada SITC 6 dan 8 yang memiliki pertumbuhan yang relatif rendah terhadap permintaan dunia, sedangkan produk SITC 7 memiliki pertumbuhan yang relatif tinggi terhadap pertumbuhan permintaan dunia kendatipun secara relatif rendah di Indonesia. Sementara pasar ekspor produk manufaktur Indonesia terkonsentrasi di Jepang, Amerika Serikat, NIE, dan negara-negara ASEAN. Pendekatan Export Product Dynamics (EPD) untuk mengukur daya saing beberapa produk ekspor utama Indonesia dalam kerangka kesepakatan perdagangan bebas regional (ASEAN Free Trade Area (AFTA) dan ASEANChina Free Trade Area (AC-FTA)) telah dilakukan oleh Widyasanti (2010), di mana hasilnya menunjukkan bahwa Indonesia dalam kondisi yang baik dan telah membuka pangsa pasarnya sendiri untuk beberapa produk. Namun beberapa strategi kebijakan diperlukan untuk produk-produk ini, terutama untuk produk sayuran yang telah kehilangan kesempatannya di pasar ASEAN. Di pasar Cina, Indonesia berhasil merebut pasar hanya untuk produk plastik dan karet, produk mineral dan alas kaki. Produk-produk yang berada dalam kondisi lagging opportunity, adalah minyak dan lemak hewani dan nabati, dan produk makanan. Ekspor produk Indonesia di pasar Cina dikategorikan sebagai leading retreat dan lagging retreat. Untuk studi kinerja industri manufaktur di Indonesia berdasarkan keuntungan (price cost margin, PCM) telah dilakukan Oktaviani, Asmara, dan Sahara (2008) 33
yang mengkaji kinerja industri manufaktur Indonesia baik industri berskala sedang maupun besar, menemukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja industri manufaktur pada industri besar secara positif adalah output dan efisiensi sedangkan faktor yang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penurunan tingkat keuntungan perusahaan pada industri manufaktur adalah pengeluaran untuk tenaga kerja. Pada beberapa sektor industri, faktor bahan baku dan penolong serta bahan bakar dan pelumas menjadi faktor yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap penurunan tingkat keuntungan perusahaan pada industri. Pada industri sedang, faktor yang mempunyai pengaruh paling besar dalam meningkatkan PCM pada industri manufaktur adalah output industri, diikuti oleh faktor efisiensi dan jumlah perusahaan, sedangkan faktor yang mempunyai pengaruh paling signifikan terhadap penurunan PCM pada industri manufaktur adalah pengeluaran untuk tenaga kerja. Studi lainnya yang menggunakan pendekatan yang sama dengan fokus yang berbeda telah dilakukan oleh Putra (2009) untuk industri Pulp dan Kertas di Indonesia, Suryawati (2009) untuk industri Tekstil dan Pakaian Jadi di Provinsi DIY, dan Kaesti (2010) untuk industri Tekstil dan Produk Tekstil di Indonesia tahun 2000-2003.
34
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran yang dikembangkan dalam kajian ini tentunya tidak terlepas dari tujuan penelitian itu sendiri. Pada tahapan awal, akan dilakukan analisis data sekunder terkait empat jenis analisis, yaitu: 1. Pemanfaatan Surat Keterangan Asal (SKA) Preferensi Form IJ-EPA dan JIEPA 2. Daya saing produk manufaktur 3. Industri Manufaktur Indonesia 4. Pola ekspor dan impor Indonesia dari Jepang Penggunaan analisis data sekunder ini kemudian diharapkan juga dapat memetakan industri yang menjadi sampel dalam kegiatan survei lapangan dan Focus Group Discussion (FGD). Dari sampel yang dipilih tersebut, lalu dianalisis data temuan studi lapangan yang menyangkut potensi dan permasalahan yang dihadapi oleh industri manufaktur di Indonesia terkait dampak kesepakatan perdagangan bebas Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA) terhadap kinerja dan daya saingnya. Selain itu, Tim Kajian juga akan melakukan analisis studi kasus (benchmarking) pelaksanaan perjanjian perdagangan bebas IJEPA di Jepang dan pelaksanaan perjanjian perdagangan bebas yang dilakukan Jepang dengan negara lain di ASEAN seperti Thailand dan Malaysia. Secara ilustratif, kerangka pemikiran yang dikembangkan dalam kajian ini terlihat pada Gambar 3.1.
35
Implikasi Kebijakan
Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran
3.2 Jenis dan Sumber Data Kajian ini mempergunakan dua jenis data, yakni data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer ini dilakukan melalui teknik wawancara secara langsung dan penyebaran kuesioner ke berbagai instansi terkait, asosiasi, dan para pelaku usaha yang melakukan kegiatan ekspor ke Jepang dan bergerak dalam industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya, Cokelat dan Kembang Gula, Garmen, Furnitur, dan Barang dari Plastik dengan penarikan sampel bertujuan (purposive sampel). Adapun lokasi pengambilan sampel dilakukan di wilayah Jakarta, Medan, Denpasar, Manado, dan Bandung. Di samping itu, pengumpulan data primer dilakukan melalui Focus Group Discussion (FGD) di Surabaya dan Semarang. Yang menjadi dasar pertimbangan dalam pemilihan lokasi survei lapangan dan FGD adalah karena Provinsi Jawa Timur, Provinsi Bali, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Sumatera Utara, dan Provinsi Jawa Barat merupakan penerbit SKA Form IJ-EPA utama selain Provinsi DKI Jakarta dengan pelaksanaan secara otomasi (online). Manado dipilih menjadi daerah survei sebagai pembanding IPSKA yang masih sedang dalam proses otomasi atau manual (offline). Melalui survei lapangan dan FGD ini dapat 36
diketahui tentang potensi dan permasalahan terkait dengan dampak kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA terhadap kinerja dan daya saing industri manufaktur Indonesia, terutama data pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dan kendala dalam pengimpelementasiannya serta kinerja industri di berbagai daerah di Indonesia. Guna mendapatkan gambaran dan benchmarking pelaksanaan kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA secara komprehensif, maka dilaksanakan pula kunjungan kerja ke Jepang, Thailand, dan Malaysia (Thailand dan Malaysia merupakan negara ASEAN lainnya yang melakukan kesepakatan perdagangan bebas dengan Jepang). Sementara itu, data sekunder diperoleh dari berbagai publikasi dan penerbitan yang berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Fasilitasi Ekspor dan Impor Kementerian Perdagangan, World Integrated Trade Solution (WITS), International Monetary Fund (IMF), World Bank, Dinas Perindustrian dan Perdagangan di beberapa daerah, dan sumber-sumber lainnya yang relevan.
3.3 Metode Analisis 3.3.1 Constant Market Share Analysis (CMSA) Analisis pangsa pasar konstan (constant market share analysis, CMSA) merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menganalisis daya saing produk manufaktur Indonesia di pasar Jepang dan pertumbuhan ekspor Indonesia. Asumsi dasar yang digunakan dalam metode ini sesuai dengan yang dikembangkan Leamer dan Stern pada tahun 1970, bahwa terdapat tiga alasan kesuksesan (kegagalan) ekspor suatu negara yang pertumbuhan ekspornya lebih tinggi (rendah) dari pertumbuhan ekspor dunia, yaitu 1) ekspor terkonsentrasi pada komoditas-komoditas yang pertumbuhan permintaannya relatif tinggi (rendah), 2) ekspor lebih ditujukan ke wilayah yang mengalami pertunbuhan relatif tinggi (stagnan), dan 3) kemampuan (ketidakmampuan) bersaing dengan negara-negara pengekspor lainnya. Asumsi dasar lainnya adalah bahwa pangsa pasar ekspor suatu negara di pasar dunia tidak berubah antar waktu, sehingga perbedaan antara pertumbuhan ekspor aktual suatu negara dengan pertumbuhan yang 37
mungkin terjadi apabila suatu negara dapat mempertahankan pangsa pasarnya merupakan efek dari daya saing. Perbedaan pertumbuhan ekspor aktual tersebut disebabkan oleh persaingan, komposisi komoditi dan efek distribusi pasar (Suprihatini, Mei 2005: 1-29). Dalam metode analisis CMSA, pertumbuhan ekspor didekomposisikan menjadi empat yaitu 1) pertumbuhan standar, 2) pengaruh komposisi komoditas, 3) pengaruh ditribusi pasar, dan 4) pengaruh persaingan. Juswanto dan Mulyanto (2003) mengembangkan pendekatan CMSA untuk menganalisis daya saing ekspor manufaktur Indonesia dengan mengikuti Formulasi yang dikembangkan oleh Leamer dan Stern (1970). Sejumlah notasi yang digunakan dalam metode CMSA yang dikembangkan adalah sebagai berikut: Vi
: Nilai ekspor negara A untuk komoditas i pada periode 1
Vi’
: Nilai ekspor negara A untuk komoditas i pada periode 2
V*j
: Nilai ekspor total negara A ke negara j pada periode 1
V’*j : Nilai ekspor total negara A ke negara j pada periode 2 Vij
: Nilai ekspor negara A untuk komoditas i ke negara j pada periode 1
r
: Persentase peningkatan total ekspor dunia dari periode 1 ke periode 2
ri
: Persentase peningkatan ekspor dunia komoditas i dari periode 1 ke periode 2
rij
: Persentase peningkatan ekspor dunia komoditas i ke negara j dari periode 1 ke periode 2
Nilai ekspor negara A pada periode 1 adalah:
V
ij
Vi* Vij V* j
j
(3.1)
i
dan kita juga dapat mendefinisikan ekspor negara A pada periode 1 sebagai berikut:
V
ij
i
j
Vi V* j V** i
(3.2)
j
Pada analisis level pertama, ekspor dapat diasumsikan hanya terjadi pada satu barang ke suatu pasar. Pada level ini, metode CMSA berpendapat 38
bahwa jika negara A mempertahankan pangsa ekspornya di pasar dunia, maka ekspor akan meningkat sebesar rV** , sehingga persamaan identitasnya dapat ditulis sebagai berikut:
V*'* V** rV** V*'* V** rV**
(3.3)
Persamaan (3.3) di atas memperlihatkan level pertama dari analisis yang mengandung arti bahwa pertumbuhan ekspor dari periode 1 ke periode 2 ( V*'* V** ) dibagi menjadi bagian yang terkait dengan peningkatan ekspor dunia secara umum (rV**) dan residu yang tidak dapat dijelaskan, yaitu efek
daya saing (competitiveness effect) sebesar V*'* V** rV** . Pada level analisis berikutnya, analisis level kedua, metode ini memperluas analisis dengan argumen bahwa ekspor secara faktual terdiri dari sekumpulan komoditas dan pasar yang cukup beragam untuk suatu kelompok komoditas tertentu. Sejalan dengan persamaan (3.3), untuk komoditas i kita dapat menuliskan persamaan identitas sebagai berikut:
Vi*' Vi* riVi* Vi*' Vi* riVi*
(3.4)
Persamaan (3.4) dapat diagregasikan dalam bentuk: V*'* V**
riVi* (Vi*' Vi* riVi* ) i
i
(r r ri )Vi* (Vi*' Vi* riVi* ) i
i
(rVi* ) (ri r )Vi* (Vi*' Vi* riVi* ) i
i
i
rV** (ri r )Vi* (Vi*' Vi* riVi* ) i
(1)
(3.5)
i
(2)
(3)
Persamaan (3.5) menunjukkan bahwa analisis level kedua dimana pertumbuhan ekspor negara A dapat dipecah menjadi: 1. peningkatan ekspor dunia secara umum 2. komposisi komoditas negara A pada periode 1
39
3. sisa yang tidak dapat dijelaskan, efek daya saing yang mengindikasikan perbedaan antara ekspor aktual dengan peningkatan secara hipotetis jika negara A menjaga pangsa pasar ekspornya untuk setiap kelompok komoditi. Dari persamaan (3.5), efek komposisi komoditi (commodity-composition effect) dapat didefinisikan sebagai:
(r r )V i
(3.6)
i*
i
Persamaan (3.6) mengandung arti bahwa jika ekspor dunia komoditas i meningkat lebih besar dibandingkan dengan ekspor total dunia, maka (ri – r) bernilai positif. Angka positif ini akan memperoleh bobot yang lebih besar ketika ditambahkan unsur lainnya yaitu Vi*. Hasilnya, persamaan (5) akan menjadi positif jika negara A berkonsentrasi pada ekspor komoditaskomoditas yang pasarnya tumbuh relatif cepat dan akan bernilai negatif jika negara A berkonsentrasi pada pasar yang komoditasnya tumbuh relatif lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ekspor total dunia. Analisis terakhir dalam metode ini adalah analisis level ketiga dimana metode ini akan mengobservasi ekspor yang terdiferensiasi menurut negara tujuan ekspor dan jenis komoditas. Asumsi yang tepat dari kasus ini adalah pangsa pasar yang tetap dari ekspor kelompok komoditas tertentu (i) pada negara tertentu (j). Identik dengan persamaan identitas (3.3) dan (3.4), kita akan memperoleh:
Vij' Vij rijVij Vij' Vij rijVij
(3.7)
dan dapat diagregasikan menjadi: V*'* V** rijVij (Vij' Vij rijVij ) i
j
i
j
(r r ri ri rij )Vij (Vij' Vij rijVij ) i
j
i
j
(rVij rVij riVij riVij rijVij ) (Vij' Vij rijVij ) i
j
i
j
40
(rVij ) (ri r )Vij (rij ri )Vij ) (Vij' Vij rijVij ) i
j
i
j
i
j
i
j
(rVi* ) (ri r )Vi* (rij ri )Vij ) (Vij' Vij rijVij ) i
i
i
j
i
j
rV** (ri r )Vi* (rij ri )Vij ) (Vij' Vij rijVij ) i
(1)
i
(2)
j
i
(3.8)
j
(3)
(4)
Persamaan (3.8) menunjukkan bahwa analisis level ketiga dimana pertumbuhan ekspor negara A dipecah berdasarkan sumbernya, yaitu: 1. peningkatan ekspor dunia secara umum 2. komposisi komoditas negara A pada periode 1 3. distribusi pasar ekspor negara A 4. sisa yang tidak dapat dijelaskan, efek daya saing yang mengindikasikan perbedaan antara peningkatan ekspor aktual dengan peningkatan hipotetis jika negara A mempertahankan pangsa pasar ekspornya untuk setiap kelompok komoditas dan setiap negara. Dari persamaan (3.8), kita mengetahui bahwa efek distribusi pasar adalah sebagai berikut:
i
(rij ri )Vij )
(3.9)
j
Persamaan (3.9) berarti bahwa jika ekspor dunia untuk komoditas i ke negara j meningkat lebih dari ekspor dunia total untuk komoditas i tersebut, maka (rij – ri) akan bernilai positif. Angka positif ini akan memperoleh bobot yang lebih besar ketika ditambahkan dengan Vij. Hasilnya adalah persamaan (3.9) akan positif jika negara A mengkonsentrasikan ekspornya pada pasar yang tumbuh relatif cepat serta bernilai negatif jika negara A memfokuskannya pada negara atau kawasan yang relatif stagnan.
41
Lain halnya dengan metode CMSA yang digunakan oleh Suprihatini (Mei 2005) di mana mengelaborasi tingkat pertumbuhan ekspor seperti yang diFormulasikan oleh Tyers et.all (1985) sebagai berikut: Pertumbuhan standar
E(t ) .. E(t 1) ..
:
E(t 1) ..
(g
i
= g
g ) E(t 1)i .
i
Pengaruh komposisi komoditas : +
(3.10)
E(t 1) ..
(3.11)
( gij gi) E (t 1)ij Pengaruh distribusi pasar : +
i
j
( E
( t ) ij
Pengaruh daya saing
:
(3.12)
E(t 1) ..
+
i
E(t 1)ij gij E(t 1) ij )
j
E(t 1) ..
(3.13)
di mana :
W(t ) .. W(t 1) ..
g =
W(t 1) ..
gi =
gij =
W(t )i W(t 1)i W(t 1)i
W(t )ij W(t 1)ij W(t 1)ij
(3.14)
(3.15)
(3.16)
Keterangan : E(t)..
adalah nilai total ekspor Indonesia untuk seluruh produk i tahun t
E(t-1)..
adalah nilai total ekspor Indonesia untuk seluruh produk i tahun t-1
E(t)i.
adalah nilai total ekspor Indonesia tahun t untuk suatu jenis produk ai (jenis produk i tertentu)
E(t).j
adalah nilai total seluruh ekspor komoditas i Indonesia tahun t ke negara tujuan j.
E(t)ij
adalah nilai total ekspor Indonesia tahun t untuk jenis produk ai ke negara j. 42
W(t)i
adalah nilai total ekspor standar (dunia atau negara-negara pengekspor tertentu) tahun t untuk produk ai.
W(t)j
adalah nilai total ekspor standar (dunia atau negara-negara pengekspor tertentu) seluruh komoditas i tahun t ke negara tujuan j
W(t)ij
adalah nilai total ekspor standar dunia tahun t untuk produk ai ke negara j.
W(t)..
adalah nilai total ekspor standar (dunia atau negara-negara pengekspor tertentu) untuk seluruh komoditas i tahun t
3.3.2 Export Product Dynamics (EPD) Export Product Dynamics (EPD) merupakan salah satu indikator untuk mengidentifikasi daya saing/ keunggulan kompetitif suatu produk dan mengukur posisi produk suatu negara dalam suatu tujuan tertentu serta mengukur kedinamisan performa suatu produk. Terdapat beberapa alasan dalam mengidentifikasi suatu produk yang dinamis (pertumbuhannya cepat) dalam ekspor suatu negara. Jika pertumbuhannya di atas rata-rata secara kontinu selama waktu yang panjang, maka produk ini mungkin menjadi sumber pendapatan ekspor yang penting bagi negara tersebut. Selanjutnya, jika produk dinamis tersebut mempunyai karakteristik produksi yang spesifik, maka hal ini juga menjadi informasi yang penting dalam kesempatan ekspor, dalam hubungannya dengan produk yang serupa. Adapun metode yang paling sering digunakan untuk mengidentifikasi produk-produk dinamis adalah dengan memilih produk-produk berdasarkan tingkat pertumbuhan pangsa pasar dan permintaan selama periode yang ditetapkan. Matriks EPD terbagi menjadi empat kategori, yaitu Rising Star (RS), Lost Opportunity (LO), Falling Star (FS), dan Retreat (R). Rising Star ditandai dengan negara tersebut memperoleh pangsa pasar untuk produk-produk yang berkembang cepat. Lost Opportunity dihubungkan dengan penurunan pangsa pasar pada produk dinamis. Falling Star juga tidak diinginkan, terjadi ketika ada peningkatan, tetapi bukan pada produk-produk dinamis. 43
Sementara itu, Retreat tidak diinginkan lagi di pasar. Retreat bisa diinginkan kembali jika pergerakannya jauh dari produk stagnan dan bergerak mendekati peningkatan pada produk dinamis (Gambar 3.2).
Gambar 3.2 Matriks Export Product Dynamics (EPD) Catatan: sumbu x: pertumbuhan pangsa ekspor suatu negara di pasar dunia sumbu y: pertumbuhan pangsa produk dalam perdagangan dunia Sumber: Directorate of Trade, Investment and International Economic Cooperation, Ministry of States for National Development Planning/ The National Development Planning Agency (Bappenas) (2009).
3.3.3 Koefisien Indeks Konsentrasi Berdasarkan Bera (2008), instabilitas penerimaan ekspor dapat diukur melalui koefisien indeks konsentrasi (Coefficient of Concentration Index, CCI). Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menghitung koefisien indeks konsentrasi adalah koefisien konsentrasi Gini-Hirschman. Salah satu model dari koefisien konsentrasi Gini-Hirschman adalah Indeks Konsentrasi Pasar (IKP), yang memfokuskan perhatian terhadap ekspor komoditas tertentu ke beberapa negara tujuan. Suatu komoditas dianggap rentan jika sangat tergantung atau terkonsentrasi terhadap satu atau beberapa pasar tertentu karena dengan adanya gangguan yang relatif kecil saja akan sangat mempengaruhi volume maupun nilai ekspor. Kisaran nilai IKP ini berada di antara 0-100, di mana semakin besar nilai IKP maka ekspor akan semakin terkonsentrasi terhadap satu negara. IKP dapat dirumuskan sebagai berikut: 44
Xj G jt 100 j 1 X
2
n
(3.17)
dimana: G jt = Indeks konsentrasi pasar
X j = Ekspor ke negara tujuan j X = Total ekspor
3.3.4 Analisis Kuantitatif Guna mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja dan daya saing industri manufaktur Indonesia, maka digunakan analisis kuantitatif dengan pendekatan ekonometrika berupa analisis regresi data panel yang melibatkan data deret waktu dan kerat lintang. Adapun model estimasi yang diterapkan dalam kajian ini merupakan adaptasi model perkiraan kasar dari keuntungan industri Price-Cost Margin (PCM) yang dikembangkan oleh Muhammad Firdaus dkk (2008). Model PCM sendiri menganalisis hubungan kinerja industri dengan efisiensi (XEF), jumlah perusahaan (N), pengeluaran untuk pekerja (W), pengeluaran untuk bahan bakar pelumas (PBBP), pengeluaran untuk bahan baku domestik (PBBD), pengeluaran untuk bahan baku luar negeri (impor) (PBBI), dan output (OUTPUT). Model estimasi PCM tersebut dapat dituliskan dalam bentuk persamaan sebagai berikut:
(3.18) Berdasarkan Agus Widarjono (2005), untuk menentukan model estimasi yang paling tepat dalam analisis regresi data panel di atas maka diperlukan tiga tahapan pengujian. Pertama, pengujian F-restricted untuk memilih antara metode OLS tanpa variabel dummy atau Fixed Effect Model (FEM). Kedua,
pengujian
Langrange
Multiplier
(LM)
untuk
menentukan
penggunaan metode OLS tanpa variabel dummy atau Random Effect Model 45
(ECM). Terakhir adalah uji Hausman yang digunakan untuk memilih antara Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (ECM). Di samping itu, terdapat beberapa ketentuan yang dibuat oleh Judge et.al (Gujarati, 2003) dalam menentukan pemilihan FEM dan ECM, yaitu: 1.
FEM akan menjadi pilihan yang lebih baik jika jumlah observasi (T) > jumlah unit kerat lintang (N).
2.
Ketika N besar dan T kecil, hasil estimasi FEM dan ECM dapat berbeda secara signifikan. Jika secara individu atau kerat lintang, unit sampel penelitian tidak memberikan gambaran random dari sampel yang lebih besar maka FEM akan lebih sesuai. Sebaliknya, jika unit kerat lintang pada sampel dianggap memberikan gambaran random maka ECM akan lebih sesuai di mana asumsi statistik menjadi tidak bersyarat.
3.
Jika komponen error individu dan satu atau lebih variabel independen berhubungan maka estimator ECM menjadi bias di mana FEM tidak akan bias.
4.
Jika N>T dan asumsi data ditelaah secara random, maka estimator ECM lebih efisien dari FEM.
46
BAB IV GAMBARAN UMUM KINERJA PERDAGANGAN JEPANG DAN INDONESIA
4.1. Perkembangan Kinerja Perdagangan Jepang 4.1.1. Kinerja Perdagangan Jepang di Pasar Dunia Selama satu dekade terakhir ini (tahun 2001-2010) kinerja total perdagangan Jepang ke dunia menunjukkan tingkat pertumbuhan yang tinggi, khususnya pada periode tahun 2001 hingga 2008, di mana total perdagangan Jepang dengan dunia terus tumbuh rata-rata 10.8 persen per tahun. Total perdagangan Jepang dengan dunia pada periode tersebut, meningkat dari US$ 751 miliar pada tahun 2001 menjadi US$ 1,54 triliun pada tahun 2008 dengan rincian ekspor meningkat dari sebesar US$ 403 miliar menjadi US$ 781 miliar, sedangkan impor meningkat dari US$ 349 miliar menjadi sebesar US$ 763 miliar. Dengan demikian, selama kurun waktu delapan tahun tersebut total perdagangan Jepang ke dunia telah meningkat dua kali lipat. Dari sisi neraca perdagangan y-o-y (year on year), Jepang terus mengalami surplus yang nilainya bervariasi dengan tren positif. Berdasarkan Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa surplus perdagangan tertinggi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir tercatat pada tahun 2004, mencapai sebesar US$ 111 miliar. Setelah mengalami pertumbuhan ekonomi yang positif sejak terjadinya krisis ekonomi Asia pada tahun 1998, selanjutnya pada pertengahan tahun 2008 dunia mulai mengalami krisis keuangan global yang diawali dengan krisis subprime mortage di Amerika Serikat yang kemudian memicu krisis keuangan secara global sehingga mempengaruhi kinerja perdagangan terhadap semua negara tidak terkecuali Jepang. Dari data yang disajikan pada Gambar 4.1 terlihat pergerakan kinerja perdagangan Jepang sebelum dan sesudah krisis. Krisis keuangan global telah menyebabkan penurunan kinerja perdagangan Jepang di dunia secara keseluruhan. Ekspor Jepang ke dunia turun sebesar 47
US$ 200,6 miliar (25,68 persen) dan impor turun US$ 210,5 miliar (27,61 persen). Kondisi tersebut membaik pada tahun 2010 yang ditunjukkan dengan peningkatan (rebound) ekspor sebesar US$ 189 miliar (32,57 persen), impor sebesar US$ 141 miliar (25,48 persen).
1.800
120
1.600
US$ Miliar
1.200
80
1.000
60
800 600
40
400
20
200 -
US$ Miliar
100
1.400
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Ekspor
403
417
472
566
595
647
714
781
581
770
Impor
349
338
383
455
516
579
622
763
552
693
Total Perdagangan
751
754
855
1.021
1.111
1.226
1.337
1.544
1.133
1.462
Neraca (RHS)
54
79
89
111
79
68
92
19
29
77
-
Gambar 4.1 Perdagangan Jepang – Dunia Tahun 2001-2010 Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
Pada saat terjadinya krisis keuangan global, Indeks saham Nikkei jatuh hingga mencapai 9,38
persen atau turun 952,58 poin yaitu dari ¥
10.155,90 menjadi ¥ 9.203,32. Penurunan angka indeks saham ini adalah yang terendah sejak tahun 2003 dan merupakan penurunan terbesar ketiga sejak Perang Dunia II. Selanjutnya, nilai tukar Yen terapresiasi terhadap Dollar AS: US$ 1 mencapai ¥ 98 sebagai yang tertinggi sejak 6 bulan terakhir (bulan Agustus 2007: 1 US$ setara dengan ¥ 119). Cadangan devisa Jepang per 30 September 2008 mencapai sebesar US$ 995,85 miliar dan mengalami penurunan sebesar US$ 851 juta dibandingkan cadangan devisa per 31 Agustus 2008. Pemerintah Jepang pada tahun 2008 juga melakukan revisi pertumbuhan ekonomi menjadi 0,7 persen; dan untuk tahun 2009 diperkirakan sebesar 0,5 persen. Pada prinsipnya Jepang akan terus melakukan kebijakan moneter yang mendukung pertumbuhan ekonomi. Jumlah pinjaman berbagai lembaga keuangan di 48
Jepang kepada Lehman Brothers diperkirakan mencapai sebesar ¥ 320 miliar (US$ 3,2 miliar), 44 persen diantaranya dianggap merupakan unsecured
loans.
Kebangkrutan
Lehman
Brothers
mengakibatkan
pemerintah Jepang gagal mengeluarkan surat berharga senilai ¥ 250 miliar, yang telah disepakati akan dikeluarkan oleh Lehman Brothers. Berdasarkan Gambar 4.2, ekspor dan pertumbuhan Jepang ke dunia menunjukkan bahwa sejak tahun 2001 sampai tahun 2008 (sebelum krisis keuangan) Jepang mencatatkan peningkatan rata-rata pertumbuhan ekspor sebesar 10,8 persen per tahun. Meskipun krisis keuangan global sudah terasa sejak pertengahan tahun 2008, tetapi kinerja ekspor tahun 2008 masih mencatat kenaikan sebesar US$ 67,1 miliar. Dampak krisis keuangan global berdampak sedemikian terhadap kinerja ekspor tahun 2009, penurunan ekspor Jepang ke dunia turun US$ 200 miliar (25,68 persen) dibandingkan tahun sebelumnya. Meskipun demikian pemulihan kinerja ekspor Jepang terlihat pada tahun 2010, ekspor naik US$ 189 miliar (32,57 persen). Ekspor
% growth (rhs)
800
100
700
80 60
500
40
400
%
US$ Milliar
600
20
300
0
200 100
-20
0
-40 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Gambar 4.2 Ekspor dan Pertumbuhan Ekspor Jepang – Dunia Tahun 2001-2010 Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
49
Demikian juga halnya dengan impor Jepang dari dunia sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 4.3 di mana rata-rata pertumbuhan per tahun sebesar 12,10 persen sejak tahun 2010-2008 (sebelum krisis keuangan global). Jepang mencatat impor sebesar US$ 762,5 miliar pada tahun 2008, naik 22 persen dari tahun sebelumnya. Krisis keuangan global yang mulai terasa sejak pertengahan tahun 2008 berimbas pada melemahnya impor Jepang dari dunia, impor turun US$ 210 miliar (27,6 persen). Sama halnya dengan ekspor Jepang, setelah pelemahan ekspor di tahun 2009, terjadi rebound pada tahun 2010, impor naik menjadi US$ 692,6 miliar (25,48 persen).
Impor
% growth (rhs)
900
35
700
22,55
15
500
5 300
%
US$ Milliar
25
-5 100 -100
-15 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 -27,61
-300
-25 -35
Gambar 4.3 Impor dan Pertumbuhan Impor Jepang – Dunia Tahun 2001-2010 Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
4.1.2. Pangsa Perdagangan Jepang di Dunia Amerika Serikat merupakan mitra perdagangan Jepang terbesar pada tahun 2001, dengan pangsa sebesar 24,8 persen (US$ 186,3 miliar) dari total perdagangan
Jepang.
Peran
yang
besar
dari
Amerika
Serikat
mempengaruhi kondisi perdagangan Jepang. Krisis keuangan global di 50
Amerika Serikat pada pertengahan tahun 2008 telah menggeser posisi Amerika sebagai negara tujuan ekspor terbesar Jepang. Pada tahun 2010, pangsa perdagangan Jepang dengan RRT naik mencapai 20,7 persen (US$ 302 miliar), sedangkan pangsa Amerika Serikat turun menjadi 13 persen (US$ 189,5 miliar).
Pada perkembangannya, tahun 2010 terjadi
peningkatan nilai perdagangan lebih dari 200 persen menjadi US$ 44 miliar. Pada tahun 2001 Indonesia hanya memiliki pangsa yang relatif kecil di pasar Jepang, yaitu sebesar 2,8
persen (US$ 21,3 miliar) dari total
perdagangan Jepang ke dunia. Perkembangan perdagangan Jepang dan Perjanjian IJ-EPA ternyata kurang dimanfaatkan Indonesia. Pangsa perdagangan Jepang dengan Indonesia hanya mengalami sedikit kenaikan menjadi 3 persen. Chinese Taipei 5.1% Republic of Korea 5.6%
Germany Hong Kong, Malaysia 3.7% China 3.2% 3.3% Thailand 3.0%
Australia 2.9% Indonesia 2.8%
China 11.8%
United States of America 24.8%
Republic of Korea 6.2%
Chinese Taipei 5.2% Australia 4.1%
United States of America 13.0%
Indonesia 3.0% Hong Kong, Saudi China Arabia 3.0% 2.9% Malaysia Germany 2.8%
China 20.7% Lain-lain 33.8%
2001
Thailand 3.8%
2.7% Lain-lain 32.7%
2010
Gambar 4.4 Perubahan Pangsa Perdagangan Jepang ke Dunia (2001-2010) Sumber: Trademap (diolah Puska Daglu, BP2KP)
4.2. Perkembangan Kinerja Perdagangan Indonesia di Pasar Dunia 4.2.1. Kinerja Perdagangan Indonesia di Pasar Dunia Pada tahun 2001-2010 kinerja total perdagangan Indonesia ke dunia menunjukkan pertumbuhan yaang positif. Total perdagangan Indonesia ke dunia tumbuh rata-rata sebesar 15,9 persen per tahun. Gambar 4.5 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekspor Indonesia lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan impor, di mana ekspor hanya tumbuh secara rata-rata sebesar 12,96 persen per tahun, sedangkan impor tumbuh 51
sebesar 20,93 persen per tahun. Meskipun sampai saat ini Indonesia masih mengalami surplus perdagangan, tetapi Indonesia perlu mewaspadai kemungkinan defisit perdagangan karena perkembangan impor yang jauh melampaui pertumbuhan ekspor ke dunia. Dalam perkembangan satu dekade ini, total nilai perdagangan Indonesia tahun 2010 telah meningkat hampir dari 2,5 kali dari total nilai perdagangan tahun 2001, yaitu dari US$ 87,3 miliar tahun 2001 menjadi US$ 293,4 miliar pada tahun 2010. Indonesia telah menikmati surplus perdagangan yang bervariasi, di mana surplus perdagangan tertinggi terjadi pada tahun 2006 sebesar US$ 39,6 miliar dan surplus terendah terjadi pada tahun 2008 US$ 7,8 miliar. Pada tahun 2008 surplus perdagangan tergerus akibat terjadinya lonjakan impor Indonesia, di mana impor Indonesia pada saat itu meningkat 73,48 persen yang tidak diimbangi dengan lonjakan ekspor. Negara-negara dengan pangsa perdagangan ekspor relatif besar dari Indonesia mengalami imbas dari krisis ekonomi tahun 2008. Setelah mengalami pertumbuhan yang positif sejak tahun 2001, krisis keuangan global yang terjadi pada pertengahan tahun 2008 menyebabkan kinerja perdagangan Indonesia mengalami perlambatan. Nilai perdagangan Indonesia tahun 2009 turun sebesar 19,9 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
350.0
45.0
300.0
40.0
US$ Milliar
30.0
200.0
25.0
150.0
20.0 15.0
100.0
10.0
50.0 0.0
US$ Milliar
35.0
250.0
5.0 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Ekspor
56.3
57.2
61.1
71.6
85.7
100.8
114.1
137.0
116.5
157.8
Impor
31.0
31.3
32.6
46.5
57.7
61.1
74.5
129.2
96.8
135.7
Total Perdagangan
87.3
88.4
93.6
118.1
143.4
161.9
188.6
266.2
213.3
293.4
Neraca (RHS)
25.4
25.9
28.5
25.1
28.0
39.7
39.6
7.8
19.7
22.1
0.0
Gambar 4.5 Perdagangan Indonesia – Dunia Tahun 2001-2010 Sumber : BPS (diolah oleh Puska Daglu, BPPKP, Kemendag ).
52
Krisis keuangan global berdampak terhadap melemahnya kinerja baik ekspor maupun impor Indonesia dan dunia secara keseluruhan. Krisis keuangan global menyebabkan nilai ekspor Indonesia pada tahun 2009 turun sebesar US$ 20,5 miliar (14,97 persen) dan impor turun sebesar US$ 32,4 miliar (25,5 persen). Pemulihan kinerja perdagangan Indonesia telah terlihat pada akhir tahun 2009 di mana ekspor Indonesia telah menunjukan peningkatan. Ekspor non-migas triwulan ke IV tahun 2009 meningkat 1,3 persen atau US$ 331 juta lebih tinggi dibandingkan kinerja triwulan ke IV tahun 2008. Peningkatan tersebut membuat kontraksi ekspor non migas selama tahun 2009 lebih baik dari perkiraan saat keadaan ekonomi dunia mengalami krisis. Ekspor non migas Indonesia di tahun 2009 mencapai US$. 97,5 miliar, atau 9.7 persen lebih rendah dari ekspor non migas tahun 2008 (Gambar 4.6). 180.0
40
160.0
30
120.0
20
100.0
10
80.0
60.0
0
40.0
Ekspor %
US$ Milliar
140.0
% growth (rhs)
-10
20.0 0.0
-20
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Gambar 4.6 Ekspor dan Pertumbuhan Ekspor Indonesia–Dunia Tahun 2001-2010 Sumber : BPS (diolah oleh Puska Daglu, BPPKP, Kemendag ).
Data statistik 2010 menunjukkan bahwa telah terjadi pemulihan kondisi ekonomi di dunia sebagai dampak dari kebijakan moneter dan stimulus fiskal yang dilakukan negara maju dan berkembang mendorong pemulihan 53
perekonomian dunia lebih awal dari yang diperkirakan dan program diversifikasi pasar ekspor Indonesia ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan India yang telah berjalan membantu mempercepat pemulihan ekspor. Pada kenyataannya pemulihan perekonomian RRT dan India sangat kuat sehingga
meningkatkan
permintaan
terhadap
ekspor
Indonesia,
ditunjukkan dengan terjadinya rebound baik ekspor dan impor Indonesia ke dunia pada tahun 2010, ekspor Indonesia tumbuh 35,42 persen dan impor tumbuh sebesar 40,11 persen. Meskipun
nilai
total ekspor tahun 2009 mengalami
penurunan
dibandingkan nilai tahun 2008, tetapi total surplus perdagangan Indonesia mengalami peningkatan. Nilai total ekspor pada tahun 2009 sebesar US$ 116,5 miliar atau turun 15 persen dibandingkan dengan nilai total ekspor tahun 2008. Sementara nilai total impor pada tahun 2009 sebesar US$ 96,8 miliar atau turun 25 persen dari tahun sebelumnya. Sebagian penurunan impor tersebut disebabkan karena penurunan permintaan bahan baku dan bahan penolong untuk produk ekspor. Dengan demikian terjadi surplus neraca perdagangan yang cukup signifikan yaitu sebesar US$ 19,7 miliar. Surplus tersebut meningkat 151 persen dibandingkan dengan surplus neraca perdagangan tahun 2008 (Gambar 4.5 dan 4.7). 160.0
80
140.0
60 40
100.0 80.0
20
60.0
Impor
%
US$ Milliar
120.0
0
40.0
% growth (rhs)
-20
20.0 0.0
-40 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Gambar 4.7 Impor dan Pertumbuhan Impor Indonesia–Dunia Tahun 2001-2010 Sumber : BPS (Diolah oleh Pusdatin Perdagangan, Kementerian Perdagangan)
54
4.2.2. Pangsa Perdagangan Indonesia di Dunia Gambar 4.8 memperlihatkan bahwa Jepang adalah partner perdagangan terbesar Indonesia pada tahun 2001, di mana pangsa total perdagangan Indonesia dilakukan dengan Jepang sebesar 20,3 persen (US$ 17,7 miliar). Dalam perkembangannya dalam satu dekade terakhir (2001-2010) pangsa perdagangan dengan Jepang telah menurun menjadi 14,6 persen (US$ 42,7 miliar) di tahun 2010. Meskipun demikian, Jepang masih merupakan mitra perdagangan terbesar Indonesia. Posisi Amerika Serikat yang pada tahun 2001 berada diurutan kedua telah bergeser ke posisi keempat, di mana pangsa perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat turun dari 12,6 persen (US$ 10,9 miliar) di tahun 2001 menjadi 8,1 persen (US$ 23,7 miliar) pada tahun 2010. Posisi Amerika Serikat telah digeser oleh RRT yang pangsanya naik dari 4,6 persen (US$ 4,0 miliar) pada tahun 2001 menjadi 12,3 persen (US$ 36,1 miliar) pada tahun 2010. Hal ini sejalan dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi RRT yang secara otomatis meningkatkan penawaran dan permintaan barang di pasar internasional dan efektifitas implementasi perjanjian kerjasama perdagangan regional ASEAN dengan RRT dalam AC-FTA. Selain pertumbuhan perdagangan dengan RRT, Indonesia juga mengalami pertumbuhan yang tinggi dengan India. Gambar 4.8 menunjukkan bahwa India yang pada tahun 2001 belum masuk ke dalam 10 negara dengan pangsa perdagangan terbesar, pangsa India pada tahun 2010
telah
meningkat dari 1,8 persen (US$ 1,54 miliar) menjadi 4,5 persen dengan total nilai US$ 13,2 miliar dan berada pada urutan ketujuh. Nilai total perdagangan tersebut telah meningkat hampir 10 kali lipat dalam satu dekade ini.
55
Lain-lain 27.1%
United Kingdom 2.3%
Japan 20.3%
2001 United States of America 12.6%
Thailand 2.3% Germany 3.0%
Australia 4.2%
lain-lain 24.2%
Republic of China Korea 4.6% 6.9%
Australia 2.8% Thailand 4.1% India 4.5%
Japan 14.6%
2010 China 12.3%
Chinese Taipei 2.8%
Singapore 9.8%
Malaysia 3.2%
Chinese Taipei 3.7%
Germany 2.0%
Singapore 11.6%
Malaysia 6.1%
United States of America 8.1%
Republic of Korea 6.9%
Gambar 4.8 Perubahan Pangsa Perdagangan Indonesia di Dunia Tahun 2001 dan 2010 Sumber: Trademap (diolah Puska Daglu, BP2KP)
4.3. Kinerja Perdagangan Bilateral Indonesia-Jepang Pada periode 2001-2010, kinerja perdagangan Indonesia dan Jepang menunjukan kecenderungan (tren) peningkatan dalam nilai perdagangannya. Dari Gambar 4.9 terlihat bahwa total perdagangan pada tahun 2001 yang hanya sebesar US$ 17,7 miliar telah meningkat menjadi US$ 42,75 miliar dengan rata-rata pertumbuhan mencapai 12,99 persen per tahun. Persentase pertumbuhan perdagangan Indonesia-Jepang ini dua persen lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan perdagangan Jepang ke dunia. Pada sisi neraca perdagangan, Indonesia selalu menikmati surplus perdagangan dengan Jepang yang nilainya bervariasi, meskipun Jepang selalu mencatatkan surplus perdagangannya ke dunia. Pada periode 2001-2010, surplus perdagangan Indonesia dengan Jepang tertinggi dicatat pada tahun 2007 mencapai US$ 17,11 miliar meskipun tren neraca perdagangan cenderung landai. Pada tahun 2006 terjadi lonjakan surplus perdagangan meningkat sebesar 45 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, naik dari US$ 11,14 miliar pada tahun 2005 menjadi US$16,22 miliar pada tahun 2006.
56
50.00
18.00
45.00
16.00
40.00
14.00 12.00
30.00
10.00
25.00 8.00
20.00
6.00
15.00 10.00
4.00
5.00
2.00
-
US$ Miliar
US$ Miliar
35.00
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Neraca (RHS)
9.02
8.32
7.64
9.38
9.88
11.14 16.22 17.11 12.61
8.73
8.82
Ekspor
14.42 13.01 12.05 13.60 15.96 18.05 21.73 23.63 27.74 18.57 25.78
Impor
5.40
Total Perdagangan
19.81 17.70 16.45 17.83 22.04 24.96 27.25 30.16 42.87 28.42 42.75
4.69
4.41
4.23
6.08
6.91
5.52
6.53
15.13
9.84
-
16.97
Gambar 4.9 Perdagangan Indonesia-Jepang Tahun 2001-2010 Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
Berdasarkan pengelompokkan golongan barang, neraca perdagangan migas Indonesia-Jepang cenderung menunjukkan peningkatan surplus selama kurun waktu 2004-2010 sebagaimana yang ditunjukkan dalam Gambar 4.10. Surplus perdagangan migas tertinggi terjadi pada tahun 2008 dengan nilai sebesar US$ 13,7 milliar. Sementara itu, neraca perdagangan non-migas Indonesia-Jepang tahun 2004-2010 cenderung fluktuatif, mengalami kenaikan dari tahun 2004 hingga mencapai puncaknya pada tahun 2006. Kemudian terjadi penurunan hingga pada tahun 2008 mengalami defisit perdagangan sebesar US$ 1,1 miliar dan kembali mengalami surplus perdagangan pada tahun 2009 yang selanjutnya defisit pada tahun 2010 (Gambar 4.10).
57
20.0 18.0
17.1
16.2
16.0 13.7 12.6
14.0 11.1
US$ Miliar
12.0
10.5
9.9
10.0
9.5
8.7
8.5 7.6
8.0
6.7
6.6
9.2
8.8
Total Migas
6.6
Non Migas
6.0 4.0
2.7
2.3
2.2
2.0 0.0 -2.0
-0.4
-1.1 2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Gambar 4.10 Neraca Perdagangan Migas dan Non-migas Indonesia-Jepang Tahun 2004-2010 Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag)
Ditinjau dari perkembangan perdagangan produk migas Indonesia dengan Jepang, ekspor Indonesia mendominasi hampir 100 persen dari total perdagangan migas dengan Jepang. Surplus perdagangan Indonesia untuk migas tertinggi selama periode 2004-2010 terjadi pada tahun 2008 dengan nilai sebesar US$ 13,7 miliar seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.11. Ekspor
Impor
Neraca
16.0 13.9
13.7
US$ Miliar
14.0 12.0
10.5 9.5
10.0 8.0
8.5 7.6
10.5
9.5
9.3
8.5
9.2
7.6 6.6
6.6
6.0 4.0 2.0 0.0
0.0
0.0
0.1
0.3
0.0
0.1
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
0.0
Gambar 4.11 Perkembangan Perdagangan Migas Indonesia dengan Jepang Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
58
Meskipun ekspor non-migas Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun selama tahun 2004-2010, pada tahun 2008 dan 2010 nilainya tidak dapat mengimbangi impor non-migas Indonesia dari Jepang. Impor non migas Indonesia dari Jepang pada tahun 2008 meningkat lebih dari dua kali lipat dari tahun sebelumnya sedangkan ekspornya hanya mampu tumbuh 5 persen. Hal ini sebagaimana digambarkan dalam Gambar 4.12. Ekspor
Impor
Neraca
18.0
16.5
US$ Miliar
16.0
16.9
14.9
14.0
13.8
13.1
12.2
12.0
12.0 9.8
9.6
10.0
8.4
8.0
6.9
6.1
6.7
4.0
6.5 6.6
5.5
6.0
2.7
2.3
2.2
2.0 0.0 -2.0
2004
2005
2006
2007
2008
-1.1
2009
2010 -0.4
Gambar 4.12 Perkembangan Perdagangan Non-migas Indonesia dengan Jepang Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
4.3.1. Perkembangan Ekspor Indonesia ke Jepang Rata-rata pertumbuhan ekspor Indonesia ke Jepang pada tahun 2001-2010 sebesar 7,85 persen per tahun. Meskipun imbas krisis keuangan global pada pertengahan tahun 2008 menurunkan ekspor secara dramastis di tahun 2009 dengan nilai sebesar US$ 9,17 Miliar (33 persen). Pada tahun 2010 ekspor Indonesia mengalami pemulihan meskipun tidak sebesar nilai ekspor sebelum krisis global terjadi, di mana ekspor Indonesia ke Jepang naik sebesar 38 persen (US$ 7,21 Miliar) seperti dapat dilihat dalam Gambar 4.13. Selama periode 2001-2010 pertumbuhan ekspor tertinggi terjadi pada tahun 2010 sebesar 38 persen yang menunjukkan pemulihan akibat krisis keuangan global. 59
Growth Ekspor (RHS)
40.0
40
30.0
30
20.0
20
10.0
10
0.0
0
-10.0
-10
-20.0
-20
-30.0
-30
-40.0
Growth (%)
US$ Miliar
Ekspor (LHS)
-40 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Gambar 4.13 Nilai dan Pertumbuhan Ekspor Indonesia ke Jepang Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
Gambar 4.14 menunjukkan komposisi ekspor produk migas dan nonmigas Indonesia ke Jepang yang memiliki komposisi yang hampir berimbang sepanjang tahun 2004-2010. Rata-rata ekspor Indonesia ke Jepang pada periode 2005-2010, terdiri dari 56 persen produk non-migas (US$ 12,2 miliar) dan 44 persen produk migas (US$ 9,4 miliar). Rata-rata pertumbuhan ekspor non-migas selama tahun 2005-2010 cukup bervariasi, dengan nilai sebesar 13,15 persen per tahunnya. Pertumbuhan ekspor nonmigas Indonesia tertinggi terjadi pada tahun 2006, di mana Indonesia mampu mencatatkan pertumbuhan sebesar 27 persen (US$ 2,6 miliar). Sementara, rata-rata pertumbuhan ekspor migas Indonesia ke Jepang periode 2005-2010 sebesar 9,21 persen per tahun. Pertumbuhan ekspor migas Indonesia tertinggi terjadi pada tahun 2010, di mana ekspor tumbuh sebesar 40,78 persen (US$ 2,69 miliar) dibandingkan tahun sebelumnya. Krisis keuangan global pada pertengahan tahun 2008 menyebabkan penurunan ekspor baik migas dan non migas Indonesia, ekspor migas turun 52,71 persen sedangkan non-migas turun 13,17 persen. Krisis keuangan global yang terjadi berdampak lebih mendalam terhadap kinerja ekspor migas Indonesia dibandingkan dengan ekspor non-migas. Ekspor 60
non-migas Indonesia dinilai lebih mampu menahan dampak dari krisis tersebut. 40.0
40 27,7
30.0 18,0
25,8
23,6 18,6
20
16
US$ Milliar
Non Migas
10
10.0
0
0.0 -10.0
30
2004
2005
2006
2007
2008
-20.0
2009
2010
-10 -20 -30
-30.0
-40
-40.0
-50
-50.0
-60
Migas Growth (%)
20.0
21,7
growth MigasRHS
growth Non Migas-RHS
Gambar 4.14 Ekspor Migas dan Non-Migas Indonesia ke Jepang Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
4.3.1.1. Perkembangan Ekspor Migas Indonesia ke Jepang Kenaikan ekspor migas Indonesia ke Jepang lebih disebabkan oleh kenaikan harga migas di pasar dunia, di mana volume ekspor Indonesia memiliki tren menurun. Dampak krisis keuangan global pertengahan tahun 2008 berakibat pada terkoreksinya ekspor migas Indonesia ke Jepang, di mana ekspor migas pada tahun 2009 turun dari US$ 13,9 miliar di tahun 2008 menjadi US$ 6,6 miliar pada tahun 2009. Dilihat lebih jauh lagi pada saat awal krisis global, permintaan energi dunia menurun yang kemudian menyebabkan harga produk migas dunia anjlok pada awal tahun 2009, tetapi tren harga minyak sepanjang tahun 2009 menunjukkan tren peningkatan sejalan dengan paket stimulus pemulihan ekonomi dunia yang dikeluarkan pemerintah diseluruh dunia. Sepanjang tahun 2009 harga minyak tertinggi terjadi pada bulan Oktober 2009, yaitu US$ 80,50. Harga tersebut masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga minyak dunia yang pernah mencapai US$ 146 sebelum
61
krisis global terjadi. Jadi, penurunan ekspor migas ke Jepang lebih disebabkan oleh harga migas yang turun (Gambar 4.14). Berdasarkan komposisi produk migas dalam Gambar 4.15, ekspor produk migas Indonesia didominasi oleh ekspor gas terutama (hampir 100 persen adalah Liquid Natural Gas (LNG)) dengan rata-rata pangsa ekspor gas Indonesia ke Jepang mencapai 60 persen dari total ekspor produk migas Indonesia ke Jepang. Indonesia mencatatkan ekspor gas ke Jepang sebesar US$ 8 miliar pada tahun 2008, terjadi peningkatan yang drastis. Pertumbuhan ekspor gas ke Jepang pada tahun 2008 mencapai lebih dari 300 persen, di mana peningkatan harga gas yang diekspor menjadi salah satu faktor yang berkontribusi terhadap kenaikan nilai ekspor, selain juga adanya peningkatan volume ekspor gas ke Jepang. Ekspor hasil minyak yang merupakan produk hilir menempati pangsa terkecil jika dibandingkan dengan Gas (60,09 persen), Minyak Mentah (27,4 persen), dan Hasil Minyak hanya sebesar 11,06 persen pada lima tahun terakhir. Hal ini menunjukan bahwa ekspor Indonesia ke Jepang masih mengandalkan ekspor barang hasil alam (upstream product) yang added value didalam negeri masih belum optimal.
Gambar 4.15 Komposisi Ekspor Migas Indonesia ke Jepang Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
62
4.3.1.2. Perkembangan Ekspor Non-migas Indonesia ke Jepang Berdasarkan sektor, ekspor produk non-migas Indonesia ke Jepang didominasi oleh ekspor produk industri. Pada tahun 2005-2010 rata-rata pangsa ekspor produk industri sebesar 68,38 persen dari total ekspor non migas, tetapi secara umum pangsa produk industri cenderung menurun diikuti dengan pertumbuhan ekspor dari sektor tambang (Gambar 4.16). 18.0
16.5
16.0 13.1
14.0
13.8
12.2
12.0
US$ Milliar
12.0 10.0
Pertanian
9.6
Hasil Tambang
8.0
Industri
6.0 4.0 2.0 2005
2006
2007
2008
2009
2010
Gambar 4.16 Ekspor Non-migas Indonesia ke Jepang Menurut Sektor Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP, Kemendag).
Menurut HS 10 dijit, produk industri Indonesia yang paling banyak diekspor ke Jepang pada tahun 2010, antara lain Mate Nikel, TSNR 20, produk Tembaga yang sudah dimurnikan, Plywood, produk Alumunium, Printer-copier, Wiring Harness untuk Kendaraan Bermotor, Kertas tanpa Serat, Ban untuk Kendaraan Bermotor, Pelek dan Penutup untuk Otomotif. Produk Perabotan Kayu Lainnya (Furnitur) dan Sak dan Kantong (termasuk cone) dari Polimer Etilena (Barang dari Plastik) yang merupakan fokus produk dalam kajian ini termasuk ke dalam 20 besar komoditi utama produk industri yang diekspor ke Jepang. Sebagaimana yang tertera dalam Tabel 4.1, tren kedua produk tersebut selama tahun 2006-2010
cenderung
positif.
Pasca
implementasi
kesepakatan
perdagangan bebas IJ-EPA sejak tanggal 1 Juli 2008, ekspor produk Perabotan Kayu Lainnya (Furnitur) Indonesia ke Jepang meningkat setiap tahunnya. Sementara ekspor produk Sak dan Kantong (termasuk 63
cone) dari Polimer Etilena (Barang dari Plastik) meningkat secara tajam pada tahun 2009 hingga mencapai US$ 81,9 juta, namun mengalami penurunan sebesar 8,7 persen pada tahun 2010. Tabel 4.1 Ekspor Komoditi Utama Produk Industri Indonesia ke Jepang Berdasarkan HS 10 Dijit Tahun 2006-2010 NILAI (US$) NO
HS10
URAIAN TOTAL EKSPOR NON MIGAS INDUSTRI
2006
2008
2009
2010
8,202,542,701
9,655,870,228
9,352,503,433
7,034,537,989
10,020,127,349
42.44
0.84
67.24
73.75
67.79
58.72
60.74
3.43
-4.22 -9.42
PANGSA EKSPOR NON MIGAS INDUSTRI TERHADAP EKSPOR NON MIGAS 1 7501100000 Nickel mattes
2007
PERUB. TREND 2010/2009 '06-10 (%) (%)
1,224,747,226
2,128,512,575
1,380,069,327
580,783,509
1,429,608,366
146.15
2 4001222000 Tsnr, oth standard indonesian rubber
523,893,701
658,261,143
972,582,032
443,175,607
954,198,645
115.31
8.37
3 7403190000 Other refined copper, unwrought
231,410,742
414,604,931
181,829,783
513,117,929
807,111,589
57.30
31.15
4 4412310000 Oth plywood,each thick.<6mm with at least one outer ply of tropical wood
561,650,325
433,426,734
397,560,459
298,738,528
406,632,162
36.12
-9.68
5 7601100000 Aluminium, not alloyed
390,621,544
396,346,529
391,512,631
233,957,892
322,280,969
37.75
-8.71
6 8443311010 Printer-copier,ink-jet,color,capable of connecting to a data machine/network 100,773,616
150,249,388
293,522,885
291,900,683
288,914,322
-1.02
31.92
7 8544301000 Wiring harnesses for motor vehicles
154,219,287
209,154,575
273,688,321
198,270,173
278,618,884
40.52
11.96
8 4802559000 Paper,no fibres, for other purpose 40< weight <150 g/m,roll
142,957,715
141,282,609
174,241,597
221,829,343
238,247,987
7.40
15.87
9 4011100000 New pneumatic tyres,of rubber of a kind used on motor cars
167,425,027
171,896,171
208,413,341
224,443,649
191,060,404
-14.87
5.45
71,697,615
112,481,254
126,019,850
109,090,907
147,850,704
35.53
15.22
10 8708701300 Wheel centre disc & cap for oth vehicle of heading 87.03 11 4802570000 Other paper & paperboard, weight>40g/m2 and =< 150g/m2
131,637,513
105,136,008
129,157,126
135,417,093
142,702,645
5.38
4.23
12 8539319090 Other fluorescent, hot cathode
36,816,530
51,566,603
65,608,406
67,585,899
121,204,467
79.33
30.39
13 9403600000 Other wooden furniture
91,097,680
89,435,179
102,547,331
102,258,762
115,604,406
13.05
6.29
14 8001100000 Tin, not alloyed
44,418,187
35,020,739
48,503,304
23,599,196
113,071,398
379.13
15.88
15 3907609000 Poly(ethylene terephthalate) in oth form
117,977,392
95,402,351
110,758,929
85,810,209
112,523,575
31.13
-1.99
16 4412940000 Oth plywood of blockboard,laminboard and battenboard
31,850,494
76,130,529
87,766,420
85,087,132
102,830,275
20.85
27.83
17 8525802019 Other digital camera
71,144,894
92,721,490
87,379,846
96,802,025
96,616,903
-0.19
6.77
59,193
403,479
97,832,545
72,692,984
95,801,837
31.79
636.86
19 4703290000 Chemical wood pulp, soda, oth than dis solving grades,bleached,non coniferous71,747,329
65,826,033
101,652,353
53,875,107
91,405,666
69.66
2.88
20 3923219000 Oth sacks & bags, of polymers of ethylene
44,930,032
49,274,469
81,867,609
74,742,017
-8.70
20.27
18 8703229000 Other vehicles, 1,000-1500 cc, not ckd internal combust recipro piston engine
40,098,299
Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP, Kemendag).
Dengan pendekatan HS 6 dijit, produk Perabotan Kayu Lainnya (Furnitur) dan Garmen dari Kain dari pos 56.02 atau 56.03 (Garmen) termasuk ke dalam 50 besar komoditi utama produk industri yang diekspor Indonesia ke Jepang pada tahun 2010. Selain itu, untuk produk Mentega, Lemak, dan Minyak Kakao (Kakao Olahan) menduduki peringkat ke-166 dalam ekspor produk industri Indonesia ke Jepang (Tabel 4.2). Sama halnya dengan pendekatan yang menggunakan HS 10 dijit, ekspor produk industri Indonesia ke Jepand didominasi oleh produk Mate Nikel, Technically Specified Natural Rubber (TSNR), Tembaga yang sudah dimurnikan, Plywood, Alumunium bukan paduan, dan Mesin Cetak Offset. 64
Tabel 4.2 Ekspor Komoditi Utama Produk Industri Indonesia ke Jepang Berdasarkan HS 6 Dijit Tahun 2006-2010 HS 6 DGT 750110 400122 740319 441231 760110 844331 854430 480255 401110 870870 480257 853931 940360 800110 390760 441294 852580 870322 470329 854449 392321 621010 180400
NILAI (US$) URAIAN
2006
2007
2008
2009
2010
PERUB. 2010/2009 (%)
TREND '06-10 Peringkat (%)
Nickel mattes 1,224,747,226 2,128,512,575 1,380,069,327 580,783,509 1,429,608,366 146.15 -9.42 1 Natural rubber in other forms :-- Technically specified natural rubber 524,571,948 (TSNR) 661,541,733 978,178,077 444,512,974 957,632,859 115.43 8.40 2 Refined copper products, unwrought, nes 231,410,742 414,604,931 181,829,783 513,117,929 807,111,589 57.30 31.15 3 Plywood, consisting solely of sheets of wood (other than bamboo), 561,650,325 each ply not>433,426,734 6 mm thkns, with397,560,459 at least one outer 298,738,528 ply of tropical wood 406,632,162 specified in Subheading 36.12 Note-9.68 1 to this Ch. 4 Aluminium unwrought, not alloyed 390,621,544 396,346,529 391,512,631 233,957,892 322,280,969 37.75 -8.71 5 Machines which perform two/more of the functions of printing,115,263,412 copying/facsimile150,649,577 transmission, capable 293,886,934 of connecting 292,591,148 to an automatic 289,003,818 data processing machine/to -1.23 a28.43 network 6 Ignition wiring sets and other wiring sets of a kind used in vehicles, 190,983,618 aircraft or ships 209,777,138 274,195,492 198,340,243 278,750,782 40.54 7.25 7 Paper&paperboard, not containing fibres obtained by a mechanical/chemi-mechanical 142,957,715 143,931,727 process/of179,444,076 which not > 10%222,154,763 by weight of the238,247,987 total fibre content consists 7.24of such 15.67 fibres, weighing 8 >40 g/m¦ but not >150 g/m¦, in r New pneumatic tyres, of rubber, of a kind used on motor cars (incl. 167,425,027 station wagons 171,896,171 & racing cars) 208,413,341 224,443,649 191,060,404 -14.87 5.45 9 Wheels including parts and accessories for motor vehicles 112,975,266 130,456,677 140,962,584 114,213,786 159,210,269 39.40 5.69 10 Paper&paperboard, not containing fibres obtained by a mechanical/chemi-mechanical 131,637,513 105,136,008 process/of129,157,126 which not > 10%135,417,093 by weight of the142,702,645 total fibre content consists 5.38of such4.23 fibres, weighing 11 > 40 g/m¦ but not > 150 g/m¦(exc Fluorescent lamps, hot cathode 56,623,758 75,858,448 89,516,527 90,120,847 133,768,943 48.43 20.82 12 Wooden furniture (excl. of 94.01 & 9403.30-9403.50) 91,097,680 89,435,179 102,547,331 102,258,762 115,604,406 13.05 6.29 13 Tin not alloyed unwrought 44,418,187 35,020,739 48,503,304 23,599,196 113,071,398 379.13 15.88 14 Poly(ethylene terephthalate), in primary forms 117,977,392 95,402,351 110,758,929 85,810,209 112,523,575 31.13 -1.99 15 Plywood, veneered panels&similar laminated wood, of blockboard, 31,850,494 laminboard&battenboard 76,130,529 87,766,420 85,087,132 102,830,275 20.85 27.83 16 Television cameras, digital cameras & video camera recorders 81,290,018 95,332,323 91,120,029 96,910,384 96,742,634 -0.17 3.71 17 Automobiles w reciprocatg piston engine displacg > 1000 cc to 1500572,426 cc 729,494 98,013,041 73,022,912 95,897,677 31.33 341.43 18 Chemical wood pulp,soda/sulphate,non-coniferous,semi-bl/bleachd,nes 71,747,329 65,826,033 101,652,353 53,875,107 91,405,666 69.66 2.88 19 Electric conductors, for a voltage not exceeding 80 V, nes 125,510,703 103,046,901 104,199,077 50,952,230 74,808,517 46.82 -15.96 20 Sacks and bags (including cones) of polymers of ethylene 46,987,655 45,008,962 49,610,597 81,878,690 74,742,017 -8.72 16.49 21 Garments made up of textile felts and of nonwoven textile fabrics28,439,864 29,273,201 33,400,685 36,025,494 34,660,919 -3.79 6.22 34 Cocoa butter, fat and oil. 3,997,000 2,563,000 2,899,002 8,185,475 7,551,637 -7.74 27.55 166
Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP, Kemendag).
Berdasarkan catatan BPS, ekspor produk hasil pertanian tertinggi ke Jepang tertinggi pada tahun 2010 berasal dari produk Udang Kecil dan Udang Biasa, yaitu sebesar US$ 303 juta. Ekspor tersebut merupakan 68 persen dari total ekspor hasil pertanian Indonesia. Selain itu, ekspor hasil laut seperti Ikan Tuna, Skip Jack, Sardines, Teripang, Mutiara Alam, Rumput Laut, juga merupakan porsi yang penting dalam menyusun ekspor produk pertanian ke Jepang. Untuk ekspor produk pertambangan menunjukkan tren peningkatan, akibat dari peningkatan harga komoditas tambang di dunia dan peningkatan volume ekspor. Ekspor hasil tambang Indonesia ke Jepang antara lain adalah Bijih Tembaga dan Konsentratnya (49 persen), Batubara untuk bahan bakar (24 persen), Batubara lainnya (23 persen), Bijih Nikel (1,7 persen) dan Batubara Antrasit (0.14). Ekspor produk tambang ke Jepang sangat terkonsentrasi pada Mineral Tembaga, Nikel dan Batubara, di mana
65
produk-produk tersebut merupakan bahan baku untuk industri Metalurgi di Jepang. 4.3.2. Perkembangan Impor Indonesia dari Jepang Pada periode 2001-2010 rata-rata impor Indonesia naik sebesar 20,1 persen per tahun, meskipun pada tahun 2000-2003 impor Indonesia dari Jepang menunjukan penurunan nilai impor. Pertumbuhan impor Indonesia dalam satu dekade tersebut cenderung fluktuatif dapat dilihat pada Gambar 4.17. Pada tahun 2008 Indonesia mencatat lonjakan impor dari Jepang, di mana impor Indonesia tumbuh sebesar 131 persen (US$ 8,6 Miliar) dibandingkan dengan tahun 2007. Krisis keuangan global yang terjadi pada pertengahan 2008 juga berdampak pada penurunan impor Indonesia dari Jepang. Sama halnya dengan ekspor, impor Indonesia juga turun pada tahun 2009 sebesar US$ 5,29 miliar (34 persen) dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Impor Indonesia mengalami peningkatan kembali (rebound) secara dramatis pada tahun 2010 sebagai manifestasi dari pemulihan ekonomi dunia, terutama Jepang. Impor (LHS)
Growth Impor (RHS)
22.00
160
140 17.00
120
US$ Miliar
80 60
7.00
40 20
2.00
Growth (%)
100 12.00
0 (3.00)
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
-20 -40
(8.00)
-60
Gambar 4.17 Nilai dan Pertumbuhan Impor Indonesia dari Jepang Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
Lebih dari 99 persen impor Indonesia dari Jepang merupakan produk nonmigas. Pada tahun 2004-2010 impor non-migas Indonesia dari Jepang 66
tumbuh secara fluktuatif dengan rata-rata pertumbuhan 30 persen per tahunnya. Lonjakan impor non-migas Indonesia dari Jepang terjadi pada tahun 2008, di mana impor tumbuh sebesar 129 persen menjadi US$ 14,9 miliar. Krisis keuangan global berdampak pada penurunan pertumbuhan impor non migas Indonesia dari Jepang. Untuk impor migas dari Jepang, lonjakan ekspor tumbuh hingga mendekati 400 persen pada tahun 2008 dan anjlok hingga mendekati 100 persen di tahun 2009. Meskipun pada tahun 2008 terjadi peningkatan pertumbuhan nilai impor migas mendekati 400 persen dari Jepang dengan nilai US$ 203 juta, tetapi kenaikan impor migas tersebut hanya 1,7 persen dari total impor Indonesia (Gambar 4.18). 18.0
17
16.0
400
15,1 300
14.0 200 Non Migas
9.8 10.0 100 8.0 6.1
6.9
Migas
6.5 5.5
6.0
(%)
US$(Miliar)
12.0
0
growth MigasRHS
-100
growth Non Migas-RHS
4.0 2.0 0.0
-200 2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Gambar 4.18 Impor Migas dan Non-migas Indonesia dari Jepang Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
4.3.2.1. Perkembangan Impor Migas Indonesia dari Jepang Mayoritas impor migas Indonesia dari Jepang sepanjang periode 20062010 adalah hasil minyak dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 9,23 persen. Impor hasil migas Indonesia dari Jepang pada tahun 2008 naik empat kali lipat menjadi US$ 263,3 juta dari tahun 2007 yang hanya berkisar US$ 54,0 juta. Kenaikan impor migas tersebut didorong oleh meroketnya impor hasil minyak yang menjadi US$ 263,2 juta pada
67
tahun 2008. Untuk impor gas Indonesia dari Jepang periode 2006-2010 cenderung meningkat dengan rata-rata sebesar 11,42 persen (Tabel 4.3). Tabel 4.3 Impor Migas Indonesia dari Jepang Berdasarkan Komposisi Produk Tahun 2006-2010 NILAI (US$) Kelompok
2006
Minyak Mentah Hasil Minyak
2008
2009
2010
Tren '06-10 (%)
-
18,670
2,650
-
171
27,787,978
53,913,646
263,248,084
33,195,305
55,060,469
65.87
9.23
Gas Total Ekspor Migas
2007
Perub. 2010/2009 (%)
-
11,513
81,011
49,980
19,743
40,046
102.84
11.42
27,799,491
54,013,327
263,300,714
33,215,048
55,100,686
65.89
9.22
Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
4.3.2.2. Perkembangan Impor Non-migas Indonesia dari Jepang Gambar 4.19 menunjukkan impor non-migas Indonesia dari Jepang hampir 100 persen didominasi oleh produk industri dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 30,6 persen selama periode 2006-2010 dan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2008 sebesar 128,8 persen. Peningkatan impor produk industri pada tahun tersebut disumbang oleh kenaikan impor produk Tali Sepatu Boot, Pipa Bor Belum Jadi (green pipe) dengan yield strength < 75.000 Psi dan Ujungnya Belum Dikerjakan, Bagian dari Motor > 1,5 kW tapi tidak lebih dari 75 kW, Bagian Dari Decoder, dan Display Panel Datar (termasuk Luminescence, Plasma, dan Teknologi Lainnya (HS 10 dijit). 18,000 16,000 14,000 12,000
Juta US$
-
10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 0 Pertanian Industri Hasil Tambang
2006
2007
2008
2009
15.5
8.1
38.4
16.8
2010 24.4
5,455.3
6,447.4
14,754.2
9,759.8
16,842.5
17.2
17.0
72.1
33.9
43.3
Gambar 4.19 Impor Non-migas Indonesia dari Jepang Berdasarkan Sektor Tahun 2006-2010 Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
68
Pada tahun 2010 sebagian impor produk industri Indonesia dari Jepang merupakan produk Kendaraan Bermotor dalam Keadaan Terbongkar Tidak Lengkap (incompletely knocked down, IKD) dari pos 8704 dengan 5 ton < Massa Total <=24 ton, Damper dirancang untuk penggunaan bukan di jalan raya dengan massa total > 24 ton: Lain-lain, Sekop mekanik, eksavator dan shovel loader: Mesin yang berputar 360º diatas bangunan, Kendaraan Bermotor Selain Sedan dengan Sistem Gardan Tunggal (4 x 2) IKD, dan Keadaan Terbongkar Tidak Lengkap (incompletely knocked down, IKD) dengan Massa Total > 24 ton (HS 10 Dijit). Tabel 4.4 Impor Komoditi Utama Produk Industri Indonesia dari Jepang Berdasarkan HS 10 Dijit Tahun 2006-2010 NO
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
HS
URAIAN
NILAI (US$) 2006
2007
9801202000 Vhcls of head 8704 with 5 ton < gross weight <= 24 ton, incmpltly knocked0 down 180,223,743 8704102200 Damper designed for off highway, > 24 t not ckd 0 78,027,613 8429520000 Mach with a 360,revolving super struct, mech shovels,excavators 78,600,945 and shove108,744,529 loader 9801102000 Oth vhcl of head 8703 with (4x2) system incompletely knocked down, for0person 88,362,868 9801203000 Vhcls of head 8704 with gross weight >24 ton,incmpltly knocked down,for0 good 67,887,871 7403110000 Refined copper for cathodes and sections of cathodes 1,832,920 10,075,235 8431499000 Oth parts of machinery of heading 84.26, 84.29/84.30 0 146,395,146 8406900000 Parts of steam turbines and parts 5,128,575 5,721,798 7304190000 Oth.tube,pipe&hollow profile,seamless, line pipe of a kind use for oil/gas 0 pipe 5,798,761 8483102400 Transmission shafts for engines of oth vehicles of chapter 87 44,293,517 62,353,277 8703235391 Oth motor car,2000-2500cc, (4x2) system ,not ckd,int combust recipro 36,211,093 pist engine 59,324,689 8443910000 Part & accessori of print machinery used for print by component1,099,673 of head 84.421,071,198 8529904000 Parts of digital cameras/video camera recorders with app of hd 85.25 to 85.28 0 49,381 8429110000 Track laying, bulldozers and angledozers 47,327,631 40,133,575 8404909000 Other parts of auxiliary machinery for use with boilers 198,597 31,049 8708999900 Other parts,acces for other vehicles of heading 87.02, 8704, 8705 350,210,271 60,721,284 7208270000 Flat-rolled iron/nas,HRC,pickled,width> 600mm, of a thickness 36,428,270 of less than 358,829,404 mm 8542390000 Other electronic integrated circuits 13,536,596 15,359,923 9801201000 Vhcls of head 8704 with gross weight <=5 ton, incompletely knocked down 0 0 8409994900 Oth parts suitable for vehicles for oth vehicles 87, comp-ignition 0 23,372,134
2008
2009
2010
336,629,462 217,914,634 277,772,646 164,798,239 196,207,170 182,194,134 213,615,521 7,850,869 52,483,720 91,522,539 73,219,530 5,368,989 3,269,752 73,230,708 142,719 834,859,143 134,559,472 99,665,965 2,275,236 46,008,743
273,192,781 183,885,051 150,111,927 237,523,722 115,681,818 151,167,706 72,745,557 64,460,799 58,678,544 83,927,163 78,576,017 135,951,045 177,280,961 56,584,328 24,711,553 88,611,109 63,407,358 75,383,032 47,702,155 47,061,497
617,393,216 476,102,140 417,479,197 414,395,378 386,303,046 341,212,227 242,655,831 179,078,478 171,548,901 165,499,137 164,539,206 160,917,690 134,402,824 117,587,949 117,041,605 116,528,306 116,442,238 112,926,812 100,579,257 100,241,074
Perub. Trend '06-10 2010/2009 (%) (%)
125.99 158.91 178.11 74.46 233.94 125.72 233.57 177.81 192.35 97.19 109.40 18.36 -24.19 107.81 373.63 31.51 83.64 49.80 110.85 113.00
Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
Berdasarkan HS 6 dijit dalam Tabel 4.5, mayoritas impor produk industri Indonesia dari Jepang pada tahun 2010 berupa produk Kendaraan Bermotor dalam Keadaan Terbongkar Tidak Lengkap (IKD), Damper dirancang untuk penggunaan bukan di jalan raya dengan massa total > 24 ton, Sekop mekanik, eksavator dan shovel loader: Mesin yang 69
44.23 272.90 159.29 34.09 39.22 339.97 24.16 598.49 -16.66 27.11 79.20 -
berputar 360º diatas bangunan, Tembaga Dimurnikan: Katoda dan Bagian dari Katoda, Cylinder block, liner, head dan head cover. Tabel 4.5 Impor Komoditi Utama Produk Industri Indonesia dari Jepang Berdasarkan HS 6 Dijit Tahun 2006-2010 Perub. Tren '06-10 Peringkat '10/09 (%) (%) 2010 1 Total Ekspor Non Migas 5,455,282,918 6,447,447,201 14,754,153,355 9,759,801,103 16,842,531,731 72.57 30.59 980120 Motor vehicles for the transport of goods of heading 87.04 - 248,111,614 535,111,868 436,576,754 1,104,275,519 152.94 - 2 870410 Dump trucks designed for off-highway use 98,006,157 79,326,760 223,775,454 186,132,576 487,190,264 161.74 50.08 3 980110 Motor vehicles for the transport of persons of heading 87.30 : 88,986,280 175,725,839 244,066,254 419,749,193 71.98 - 4 842952 Shovels and excavators with a 360 revolving superstructure 78,600,945 108,744,529 277,772,646 150,111,927 417,479,197 178.11 44.23 5 740311 Copper cathodes and sections of cathodes unwrought 1,832,920 10,075,235 182,194,134 151,167,706 341,212,227 125.72 272.90 6 840991 Parts suit. for use solely/principally with spark-ignition internal combustion 162,799,782piston188,660,904 engines 291,629,967 201,435,136 291,227,179 44.58 13.07 7 840999 Parts for diesel and semi-diesel engines 115,401,538 92,623,771 169,435,349 131,833,692 279,478,518 111.99 23.64 8 843149 Parts of cranes,work-trucks,shovels,and other construction machinery 81,392,883 182,575,628 254,012,099 82,874,685 268,883,234 224.45 17.35 9 848310 Transmission shafts (including cam shafts and crank shafts) and cranks 44,293,517 84,639,909 168,164,843 132,738,119 253,536,997 91.01 48.28 10 870323 Automobiles w reciprocatg piston engine displacg > 1500 cc to 300036,211,093 cc 79,168,776 90,938,064 125,550,161 241,674,402 92.49 53.07 11 870899 Motor vehicle parts nes 350,210,842 82,018,337 886,355,520 121,086,439 230,000,844 89.95 -4.41 12 853690 Electrical app for switchg/protec elec circuits,not exced 1,000 V,nes20,707,426 20,166,530 129,466,466 90,134,418 184,758,317 104.98 79.94 13 840690 Parts of steam and vapour turbines 5,128,575 5,721,798 7,850,869 64,460,799 179,078,478 177.81 159.29 14 730419 Line pipe of a kind used for oil/gas pipelines, other than of stainless steel. 5,798,761 52,483,720 58,678,544 171,548,901 192.35 - 15 720917 Flat-rolled products of iron/non-alloy steel, of a width of 600mm/more, 56,397,180 in coils, not86,152,449 further worked171,472,441 than cold-rolled94,978,559 (cold-reduced), 171,397,362 not clad/plated/coated, 80.46 of a thickness 26.12 of 16 0.5mm/more but not >1mm 848340 Gears and gearing, other than toothed wheels, chain sprockets and77,138,919 other transmission 85,219,321 elements presented 148,397,480 separately; 90,091,200 ball or roller screws; 167,189,506 gear boxes 85.58 and other speed 17.38changers, 17 including torque converters 844391 Parts & accessories of printing machinery used for printing by means1,099,673 of plates, cylinders 1,071,198 & other printing 5,368,989 components 135,951,045 of heading 84.42 160,917,690 18.36 339.97 18 852990 Parts suitable f use solely/princ w the app of headings 85.25 to 85.28 347,465 348,462 60,540,045 196,022,929 153,867,555 -21.51 537.18 19 870850 Drive-axles with differential, whether/not provided with other transmission 24,533,557 components, 25,825,558 & non-driving 98,464,819 axles; parts53,603,417 thereof of the motor 148,315,001 vehicles of headings 176.69 87.0154.17 to 87.05.20 HS 6
Nilai (US$)
URAIAN
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
Dari Tabel 4.4 dan 4.5 dapat disimpulkan bahwa impor produk industri Indonesia dari Jepang merupakan produk-produk yang memiliki keterkaitan dengan industri di Jepang, seperti industri kendaraan bermotor dan alat berat.
4.3.2.3. Impor Indonesia Menurut Kelompok Barang Ekonomi Menurut kelompok barang ekonomi, impor Indonesia dari Jepang didominasi oleh bahan baku/penolong. Nilai dan pangsa impor bahan baku/penolong melonjak tajam lebih dari dua kali lipat pasca diimplementasikannya kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA pada tahun 2008. Meskipun mengalami penurunan pada tahun 2009, impor bahan baku/penolong meningkat hingga mencapai US$ 11,3 miliar. Gambar 4.21 memperlihatkan bahwa sebagian besar impor bahan 70
baku/penolong Indonesia dari Jepang berupa Bahan Baku (Olahan) untuk Industri, Suku Cadang dan Perlengkapan Barang Modal, dan Suku Cadang dan Perlengkapan Alat Angkutan. Dominasi industri otomotif dan alat berat dari Jepang terlihat dari data impor bahan baku suku cadang dan perlengkapan alat angkut dan suku cadang barang modal. Industri otomotif Jepang di Indonesia masih sangat konservatif dalam mengembangkan industri di Indonesia, di mana hanya sebagian kecil dari rantai industri otomotif yang dikembangkan di Indonesia dengan kontribusi penambahan nilai di dalamnya yang masih sangat terbatas. 18.0
17,0
16.0
15,1
14.0
US$ Miliar
12.0 9,8
10.0
Barang Modal
8.0
Bahan Baku/Penolong 6,9
Barang Konsumsi
6,5 5,5
6.0
4.0
2.0
0.0 2005
2006
2007
2008
2009
2010
Gambar 4.20 Impor Indonesia dari Jepang Menurut Kelompok Barang Ekonomi Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
71
Gambar 4.21 Impor Bahan Baku/Penolong Indonesia dari Jepang Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
Berdasarkan pengklasifikasian barang konsumsi, impor barang konsumsi Indonesia dari Jepang didominasi oleh mobil penumpang sebesar 57,69 persen (US$ 351 juta) pada tahun 2010. Hal ini menunjukan bahwa perdagangan Indonesia dan Jepang untuk barang konsumsi masih belum terdiversifikasi dalam hal produknya. Jika dibandingkan dengan barang konsumsi lainnya seperti barang konsumsi tahan lama dan barang konsumsi setengah tahan lama pertumbuhan impor mobil penumpang jauh lebih cepat. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 4.22.
72
700 609 600
Makanan dan Minuman (Belum Diolah) Untuk Rumah Tangga Makanan dan Minuman (Olahan) Untuk Rumah Tangga Barang Konsumsi Tahan Lama
500
US$ Juta
408 400
Barang Yang Tidak Diklasifikasikan
380
Bahan Bakar dan Pelumas (Olahan)
300 250
Alat Angkutan bukan untuk Industri
200 150
133
Barang Konsumsi Setengah Tahan Lama
147
100
Barang Konsumsi Tidak Tahan Lama Mobil Penumpang
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Gambar 4.22 Impor Barang Konsumsi Indonesia dari Jepang Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
Barang modal kecuali alat angkutan mendominasi impor barang modal Indonesia dari Jepang. Nilai impornya pada tahun 2010 mencapai US$ 2,93 miliar dengan pangsa sebesar 58 persen dari total impor barang modal. Impor tersebut mencakup produk-produk Mesin-mesin Elektrik ataupun Mesin-mesin Non-elektrik (HS 84). Dari tinjauan HS 10 dijit, impor bahan baku untuk industri Perakitan Alat-alat Berat mendominasi impor barang modal bukan alat angkut. Hal ini sejalan dengan tingginya permintaan pasar alat-alat berat di dalam negeri akibat berkembangnya industri pertambangan di dalam negeri. Selain industri alat berat, impor produk Mobil Penumpang dalam kelompok barang modal juga mengalami peningkatan pangsa yang sangat signifikan. Dari US$ 5,05 miliar impor barang modal tahun 2010, 35 persen (US$ 1,77 miliar) merupakan impor mobil penumpang (Gambar 4.23).
73
6.00 5.05 5.00 Alat Angkutan Untuk Industri
3.93 US$ Milliar
4.00
Mobil Penumpang 3.00
2.00
2.69
1.51
1.74
2004
2005
1.80
Barang Modal Kecuali Alat Angkutan
1.36
1.00
0.00 2006
2007
2008
2009
2010
Gambar 4.23 Impor Barang Modal Indonesia dari Jepang Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
4.3.3. Pola Ekspor dan Impor Indonesia-Jepang Pasca Implementasi Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA Dari sisi Jepang, penerapan kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA menyebabkan perubahan pola ekspor Jepang ke Indonesia (impor Indonesia dari Jepang). Sebelum implementasi kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA, ekspor utama Jepang ke Indonesia berupa Bagian dan Aksesoris Kendaraan Bermotor pos tarif 87.01 hingga 87.05, Bagian yang Cocok untuk Penggunaan Terpisah atau dengan Mesin pos tarif 84.07 atau 84.08, Sirkuit Terpadu Elektronik dan Microassemblies: Digital, dan Mobil dan Kendaraan Bermotor Lainnya terutama Dirancang untuk Pengangkutan Orang (selain yang dimaksud pos 87.02) termasuk Station Wagon dan Mobil Balap dengan Kapasitas Silinder > 1.500 cc. Pasca implementasi IJ-EPA beberapa produk Jepang mengalami peningkatan ekspor ke Indonesia. Adapun produk-produk yang melonjak dalam ekspor Jepang ke Indonesia, yakni Produk-produk yang Tidak Terspesifikasi, Kendaraan Bermotor untuk Pengangkutan Barang di luar pos tarf 8704.10 dengan CI Mesin Piston Pembakaran Internal (Diesel/Semi Diesel) Massa Total > 20 ton, Gear Box dan Bagiannya dari Kendaraan Bermotor dari 74
pos
tarif
87.01-87.05,
Bagian
yang
Cocok
untuk
Digunakan
Tersendiri/Terutama dengan Mesin dari pos tarif 84.26/84.29/84.30 (di luar pos tarif 8431.41-8431.43), dan Sirkuit Terpadu Elektronik Lainnya selain Pengeras Suara/Memori/Prosesor dan Kontroler.
Hal ini
sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 4.6 mengenai perbandingan ekspor utama Jepang ke Indonesia sebelum dan pasca implementasi kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA. Tabel 4.6 Perbandingan Komposisi Ekspor Utama Jepang ke Indonesia Sebelum dan Pasca Implementasi Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA HS 870899 840991 854221 870323 842952 870410 840820 854229 847330 720917
Ekspor Utama Jepang ke Indonesia Sebelum Implementasi Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA 2005 2006 2007 Descriptions HS Descriptions HS Descriptions Other 870899 Other 870899 Other Suitable for use solely or principally with 854221 Digital 854221 Digital sparkignition internal combustion piston 840991 Suitable for use solely or Digital 840991 Suitable for use solely or principally with sparkignition principally with sparkignition Of a cylinder capacity exceeding 1,500 cc 730429 Other 730429 Other Machinery with a 360° revolving 870323 Of a cylinder capacity exceeding 870323 Of a cylinder capacity exceeding Dumpers designed for offhighway use 740311 Cathodes and sections of 740311 Cathodes and sections of Engines of a kind used for the propulsion 847989 Other 847989 Other Other 852990 Other 852990 Other Parts and accessories of the machines of 870410 Dumpers designed for 870410 Dumpers designed for Of a thickness of 0.5 mm or more but not 842952 Machinery with a 360° revolving 842952 Machinery with a 360° revolving
Ekspor Utama Jepang ke Indonesia Pasca Implementasi Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA 2008 2009 2010 HS Descriptions HS Descriptions HS Descriptions 999999 Commodities not specified 999999 Commodities not specified 870423 Motor vehicles for the 842952 Self-propelled mechanical 870899 Other parts & accessories for the 870410 Dumpers designed for off870899 Other parts & accessories for the 870323 Vehicles (excl. of 87.02 & 842952 Self-propelled mechanical 840991 Parts suit. for use 840991 Parts suit. for use 870840 Gear boxes & parts thereof, of 870423 Motor vehicles for the 740311 Cathodes & sections of cathodes, 870899 Other parts & accessories for the goods (excl.&of refineddesigned copper, unwrought vehicles of 87.02 87.01-87.05, 870323 transportof Vehicles (excl. of 87.02 870410 of Dumpers for off870323 motor Vehicles (excl. of & 870840 843149 840820 854239
Gear boxes & parts thereof, of Parts suit. for use Compression-ignition internal Other Electronic integrated
Keterangan:
870840 842952 854239 870423
Gear boxes & parts thereof, of Self-propelled mechanical Other Electronic integrated Motor vehicles for the
740311 999999 843149 840290
Cathodes & sections of cathodes, Commodities not specified Parts suit. for use Parts of the boilers of 8402.11-
Perubahan pola ekspor
Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Khusus produk yang tergolong ke dalam kategori industri manufaktur berdasarkan ISIC Revision 3 dengan HS 6 dijit, pada tahun 2007 ekspor Jepang ke Indonesia didominasi oleh produk Kendaraan Bermotor untuk Pengangkutan Barang di luar pos tarf 8704.10 dengan CI Mesin Piston Pembakaran Internal (Diesel/Semi Diesel) Massa Total > 20 ton, Dumpers yang dirancang untuk Penggunaan Jalan Tol, Mesin dengan Suprastrukur 75
Bergulir 360°, Gear Box dan Bagiannya dari Kendaraan Bermotor dari pos tarif 87.01-87.05, dan Bagian dan Aksesoris Kendaraan Bermotor pos tarif 87.01 hingga 87.05. Produk-produk tersebut merupakan kebutuhan industri kendaraan bermotor (otomotif) dan industri mesin untuk pertambangan, penggalian dan konstruksi dalam negeri. Setelah IJ-EPA diterapkan, ekspor produk industri manufaktur Jepang ke Indonesia tidak menunjukkan perubahan pola. Produk-produk industri manufaktur yang mendominasi ekspor Jepang ke Indonesia masih tetap sama. Tabel 4.7 Perbandingan Komposisi Ekspor Produk Industri Manufaktur Jepang ke Indonesia Sebelum dan Pasca Implementasi Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA Ekspor Utama Produk Industri Manufaktur Jepang ke Indonesia Sebelum Implementasi IJ-EPA HS 842952 870899 840991 854229 870423 870323 870840 843149 840820 870410
2005 Descriptions Machinery with a 360° Other Suitable for use solely or principally with sparkignition Other g.v.w. exceeding 20 tonnes Of a cylinder capacity Gear boxes Other Engines of a kind used for the Dumpers designed for offhighway use
HS 870899 854229 870323 840991 740311 870410 870840 842952 870423 840820
2006 Descriptions Other Other Of a cylinder capacity exceeding cc but or not Suitable for1,500 use solely Cathodes and sections of Dumpers designed for Gear boxes Machinery with a 360° revolving superstructure g.v.w. exceeding 20 tonnes Engines of a kind used for the propulsion of vehicles of
HS 870423 870410 842952 870840 870899 870323 740311 854229 843149 840290
2007 Descriptions g.v.w. exceeding 20 tonnes Dumpers designed for Machinery with a 360° revolving superstructure Gear boxes Other Of a cylinder capacity Cathodes and sections of Other Other Parts
Ekspor Utama Produk Industri Manufaktur Jepang ke Indonesia Pasca Implementasi IJ-EPA
HS 842952 870899 840991 870423 870323 870840
2008 Descriptions
HS
2009 Descriptions
Self-propelled mechanical shovels 870899 Other parts & accessories for the Other parts & accessories for the 870323 Vehicles (excl. of 87.02 & 8703.10) Parts suit. for use 840991 Parts suit. for use Motor vehicles for the transportof 740311 Cathodes & sections of cathodes, Vehicles (excl. of 87.02 & 8703.10) 870410 Dumpers designed for off-highway principally for theof the 870840 Gear use boxes & parts thereof, of the Gear boxes designed & parts thereof, motor vehicles of headings 87.01 vehiclesmechanical of headingsshovels 87.01 843149 Parts suit. for use 842952 motor Self-propelled withinternal the excavators withintegrated a 360? revolving 840820 solely/principally Compression-ignition 854239 &Other Electronic 854239 Other Electronic integrated 870423 Motor vehicles for the transportof 870410 Dumpers designed for off-highway 840820 Compression-ignition internal useWITS (diolah Puska Daglu, BPPKP, combustion piston engines Sumber: Kemendag).
HS 843930 290121 761410 291411 290122 842620
2010 Descriptions Machinery for finishing Ethylene Stranded wire, cables, plaited Acetone Propene (propylene) Tower cranes
843820 Machinery for the manufacture of 280130 confectionery/cocoa/chocolate Fluorine; bromine 890520 Floating/submersible 844316 Flexographic printing machinery
76
Produk-produk yang dihasilkan oleh industri besi dan baja; industri kendaraan bermotor; industri bagian dan aksesoris kendaraan bermotor dan mesinnya; industri untuk mesin pertambangan, penggalian, dan konstruksi; dan industri logam dasar bukan besi adalah mayoritas ekspor Jepang ke Indonesia setelah diterapkannya IJ-EPA. Berdasarkan komposisi dalam Tabel 4.8, impor Jepang dari Indonesia (ekspor Indonesia ke Jepang) baik sebelum maupun sesudah diterapkannya IJ-EPA tidak menunjukkan perubahan pola. Impor Jepang dari Indonesia masih tetap didominasi oleh produk Natural Gas, Liquefied (HS 2711.11), Copper Ores & Concentrates (HS 2603.00), dan Bituminous Coal, Whether /Not Pulverised (HS 2701.12). Tabel 4.8 Perbandingan Komposisi Impor Utama Jepang dari Indonesia Sebelum dan Pasca Implementasi Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA HS 271111 270900 270112 271019 260300 750110 441213 262099 030613 400122
Impor Utama Jepang dari Indonesia Sebelum Implementasi Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA 2005 2006 2007 Descriptions HS Descriptions HS Descriptions Natural gas 271111 Natural gas 271111 Natural gas Petroleum oils and oils obtained 270900 Petroleum oils and oils obtained 270900 Petroleum oils and oils obtained Bituminous coal 260300 Copper ores and concentrates. 750110 Nickel mattes Other 270112 Bituminous coal 270112 Bituminous coal Copper ores and concentrates. 750110 Nickel mattes 260300 Copper ores and concentrates. Nickel mattes 271019 Other 271019 Other With at least one outer ply of 441213 With at least one outer ply of 400122 Technically specified natural Other 400122 Technically specified natural 262099 Other Shrimps and prawns 271011 Light oils and preparations 441213 With at least one outer ply of specified in Technically specified natural 760110 Aluminium, not alloyed 271011 tropical Light oilswood and preparations
rubber (TSNR) Impor Utama Jepang dari Indonesia Pasca Implementasi Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA 2008 2009 2010 HS Descriptions HS Descriptions HS Descriptions 271111 Natural gas, liquefied 271111 Natural gas, liquefied 271111 Natural gas, liquefied 270900 Petroleum oils & oils obt. from 270112 Bituminous coal, whether/not 260300 Copper ores & concentrates crude not 270112 bituminous Bituminous mins., coal, whether/not 260300 pulverised Copper oresbut & concentrates 270112 Bituminous coal, whether/not pulverised 271019 Petroleum oils & oils obtained from 270900 Petroleum oils & oils obt. from 270900 Petroleum oils & oils obt. from (other than mins., crude mins., crude 260300 bituminous Copper oresminerals & concentrates 271019 bituminous Petroleum oils & oils obtained 750110 bituminous Nickel mattes
750110 from Nickelbituminous mattes minerals 400122 Technically spec. natural rubber (TSNR) 262099 Ash & residues (excl. from the 262099 Ash & residues (excl. from the manufacturespec. of iron/steel), n.e.s. in Ch.26 270119 400122 Technically natural rubber 271019 manufacture Petroleum oilsof&iron/steel), oils obtained from 441231 Plywood, consisting solely of sheets 270119 Coal other than anthracite & 270119 Coal other than anthracite & bituminous, 760110 Aluminium, not alloyed, unwrought 480256 Paper&paperboard, not 441231 Plywood, consisting solely of sheets of containingKemendag). fibres obtained by a wood (other than bamboo), each ply not> Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BPPKP, 750110 400122
Nickel mattes Technically spec. natural rubber (TSNR) Coal other than anthracite &
Komposisi impor produk industri manufaktur Jepang dari Indonesia tidak menunjukkan suatu pola perubahan, di mana hal ini sama halnya yang 77
terjadi pada impor utama Jepang dari Indonesia secara umum. Produkproduk industri manufaktur yang diimpor Jepang dari Indonesia berasal dari industri logam dasar bukan besi; industri pengolahan minyak bumi; industri lembaran veneer, produsen kayu lapis, laminboard, partikel papan dan panel lainnya; dan industri pengolahan dan pengawetan ikan dan biota perairan lainnya. Tabel 4.9 Perbandingan Komposisi Impor Produk Industri Manufaktur Jepang dari Indonesia Sebelum dan Pasca Implementasi Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA Impor Utama Produk Industri Manufaktur Jepang dari Indonesia Sebelum Implementasi IJ-EPA 2005 2006 2007 HS Descriptions HS Descriptions HS Descriptions 271019 Other
750110 Nickel mattes
750110 Nickel mattes
750110 Nickel mattes
271019 Other
271019 Other
441213 With at least one outer ply of 030613 Shrimps and prawns
441213 With at least one outer ply of 271011 Light oils and preparations
441213 With at least one outer ply of 271011 Light oils and preparations
271011 Light oils and preparations
760110 Aluminium, not alloyed
760110 Aluminium, not alloyed
760110 Aluminium, not alloyed
030613 Shrimps and prawns
030613 Shrimps and prawns
480256 Weighing 40 g/m² or more but more than 150 g/m², in 271112 not Propane
480256 Weighing 40 g/m² or more but morewiring than 150 in 854430 not Ignition setsg/m², and other
854430 Ignition wiring sets and other sets40ofg/m² a kind 480256 wiring Weighing or used morein but
854430 Ignition wiring sets and other 271113 wiring Butanessets of a kind used in
of a kind used in 800110 wiring Tin, notsets alloyed
than 150 g/m², in 800110 not Tin, more not alloyed
401110 Of a kind used on motor cars
844359 Other
Impor Utama Produk Industri Manufaktur Jepang dari Indonesia Pasca Implementasi IJ-EPA 2008 HS
Descriptions
2009 HS
Descriptions
2010 HS
Descriptions
271019 Petroleum oils & oils obtained from 271019 bituminous Petroleum minerals oils &(other oils obtained than crude) from 750110 & bituminous preparations Nickel minerals mattes not elsewhere (other than specified/incld., crude) & preparations containing
750110 Nickel mattes 750110 Nickel mattes 271019 Petroleum oils & oils obtained 441231 Plywood, consisting solely of sheets 480256 of wood Paper&paperboard, (other than bamboo), not containing each ply441231 not> fibres 6 mm Plywood, obtained thkns, by with consisting a mechanical/chemi-mechanical at least solely one outer of ply of tropicalproc wo sheets of wood (othernot than 760110 Aluminium, not alloyed, unwrought 441231 Plywood, consisting solely of sheets 480256 of wood Paper&paperboard, (other than bamboo), each ply not> 6 mm thkns 271011 030613 480256 854430
Light petroleum oils & preparations 030613 Shrimps & prawns, whether/not in 030613 shell, frozen Shrimps & prawns, Shrimps & prawns, whether/not in 760110 shell, frozen Aluminium, not alloyed, unwrought 760110 Aluminium, not alloyed, unwrought Paper&paperboard, not containing 854430 fibres Ignition obtainedwiring by a mechanical/chemi-mechanical sets & other wiring 271011 sets of Light a kind process/of petroleum used in vehicles/aircraft/ships which oils ¬ > 10% by weight of the to Ignition wiring sets & other wiring 844331 sets of Machines a kind usedwhich in vehicles/aircraft/ships perform two/more 800110 of the Tin, functions not alloyed, of printing, unwrought copying/facsimile transmiss
800110 Tin, not alloyed, unwrought 271011 Light petroleum oils & preparations 854430 Ignition wiring sets & other wiring setswhich ofcapable a kind used in 844331 Machines which perform two/more 800110 of the Tin, functions not alloyed, of printing, unwrought copying/facsimile 844331transmission, Machines perform of connecting to an automati two/more of the functions of Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Dari sisi Indonesia, sebagaimana telah dibahas sebelumnya dalam subbab 4.3.1.2 dan diperlihatkan dalam Tabel 4.1 dan 4.2 bahwa ekspor produk industri manufaktur Indonesia ke Jepang tidak menunjukkan perubahan pola ekspor baik sebelum maupun sesudah IJ-EPA diterapkan. Sebagian besar ekspor produk industri manufaktur Indonesia ke Jepang berupa Mate 78
Nikel, Technically Specified Natural Rubber (TSNR), Tembaga yang sudah dimurnikan, Plywood, Alumunium bukan paduan, dan Mesin Cetak Offset yang diproduksi oleh industri logam dasar bukan besi; industri pengolahan minyak bumi; industri lembaran veneer, produsen kayu lapis, laminboard, partikel papan dan panel lainnya; dan industri pengolahan dan pengawetan ikan dan biota perairan lainnya. Pangsa terbesar impor produk industri manufaktur Indonesia dari Jepang merupakan produk-produk industri kendaraan bermotor dan alat berat. Beberapa produk yang dihasilkan oleh industri komponen kendaraan bermotor dan industri besibaja Jepang mengalami peningkatan yang cukup tajam dalam impor Indonesia dari Jepang (Tabel 4.5).
79
BAB V GAMBARAN UMUM KINERJA INDUSTRI MANUFAKTUR INDONESIA
Bab ini akan memfokuskan terhadap pembahasan tentang kinerja industri manufaktur dan peranannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), struktur industri manufaktur, penyerapan tenaga kerja dan investasi industri manufaktur serta kinerja beberapa industri manufaktur yang menjadi fokus kajian.
5.1 Kontribusi Sektor Industri Manufaktur Terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia Beberapa tahun terakhir sektor industri manufaktur telah menjadi penopang utama perekonomian Indonesia. Dalam dua puluh tahun terakhir, kontribusi sektor industri manufaktur mengalami peningkatan yang cukup signifikan atas keseluruhan PDB Indonesia. Pada tahun 1990, sektor industri manufaktur hanya menyumbang sekitar 20,6 persen, sedangkan pada tahun 2000 kontribusinya terhadap
PDB
meningkat
menjadi
27,75
persen
(Gambar
5.1).
Pada
perkembangan selanjutnya, kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB periode 2000-2010 cenderung fluktuatif, bahkan dalam dua tahun terakhir sejak tahun 2008 hingga 2010 kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB Indonesia menurun dari 27,81 persen pada tahun 2008 menjadi 24,82 persen pada tahun 2010 (Gambar 5.2). 1990
2000
Sektor Manufaktur 20,66%
Sektor Lainnya 79,34%
Sektor Manufaktur 27,75% Sektor Lainnya 72,25%
Gambar 5.1 Kontribusi Sektor Industri Manufaktur terhadap PDB Indonesia Tahun 1990 dan 2000 Sumber: Badan Pusat Statistik/BPS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
80
30,00 29,05
29,00
28,72 28,07
28,00
%
27,00
27,81
27,54
28,25
27,75
27,41
27,05
26,00
26,37
25,00 24,82 24,00 23,00 22,00 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Gambar 5.2 Perkembangan Kontribusi Sektor Industri Manufaktur terhadap PDB Indonesia Tahun 2000-2010 Sumber: Badan Pusat Statistik/BPS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Meskipun cenderung fluktuatif dalam kontribusinya terhadap PDB, sektor industri manufaktur diyakini sebagai sektor yang dapat mendorong sektor lain dalam sebuah perekonomian menuju kemajuan. Dalam buku yang ditulis oleh Dumairy (1996) produk-produk sektor industri manufaktur selalu memiliki term of trade yang tinggi atau lebih menguntungkan serta menciptakan nilai tambah yang besar dibanding produk-produk sektor lain. Sejalan dengan hal tersebut, maka peran sektor industri manufaktur semakin penting, sehingga sektor industri manufaktur mempunyai peranan sebagai sektor pemimpin (leading sector) dalam sektor industri secara umum. Kontribusi sektor industri manufaktur yang besar terhadap perekonomian menyebabkan siklus perekonomian tidak terlepas dari dinamika sektor industri manufaktur. Siklus guncangan/sentimen positif dan negatif dalam ekonomi sering dikaitkan dengan jumlah perusahaan yang masuk dan keluar dari suatu industri. Selain terhadap perekonomian, dinamika perusahaan juga mempengaruhi penurunan output dan kesempatan kerja sektor industri manufaktur. Beberapa penelitian memberikan bukti empiris pengaruh siklus bisnis terhadap dinamika industri manufaktur. McQueen dan Thorley (1993) menyatakan kapasitas 81
produksi industri manufaktur di AS akan menurun dan melambat selama masa resesi.
5.2 Perkembangan dan Struktur Industri Manufaktur Indonesia Sektor industri manufaktur dianggap mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pada akhir tahun 1997 krisis ekonomi yang terjadi masih menyisakan sedikit permasalahan yang membuat pertumbuhan sektor ini bergerak lambat. Permasalahan tersebut dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal dipengaruhi oleh iklim usaha yang belum kondusif, penguasaan teknologi yang masih lemah, dan kualitas sumber daya manusia masih belum memadai; sedangkan faktor eksternal muncul dari para pesaing di pasar internasional yang menawarkan produk sejenis. Pada era globalisasi saat ini, persaingan bisnis semakin ketat yang ditandai dengan semakin banyaknya perusahaan manufaktur baru yang memproduksi produk sejenis. Setiap perusahaan selalu berusaha merebut pasar global untuk memaksimalkan profit dan nilai perusahaan. Pada era globalisasi ini, perusahaan yang mampu memanfaatkan seluruh sumber dayanya secara efisien dan efektif akan memenangkan persaingan. Sebaliknya, perusahaan yang tidak mampu memanfatkan seluruh sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif, tidak mampu bersaing di pasar global. Menurut Wie (2006) dalam Arifin (2008:91), salah satu langkah untuk menyelesaikan permasalahan tadi adalah dengan menjaga kebijakan yang mendukung persaingan usaha yang sehat guna terciptanya alokasi sumber daya yang efektif dan efisien.
5.3 Perkembangan Rasio Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri Manufaktur Indonesia Perluasan kesempatan kerja merupakan usaha untuk mengembangkan sektorsektor yang mampu menyerap tenaga kerja. Usaha penyerapan tenaga kerja tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, seperti perkembangan jumlah penduduk dan angkatan kerja, pertumbuhan ekonomi, tingkat produktivitas tenaga 82
kerja dan kebijaksanaan mengenai penyerapan tenaga kerja itu sendiri. Di samping itu, perluasan penyerapan tenaga kerja juga tidak mengabaikan usahausaha lain yang mampu memberikan produktivitas yang lebih tinggi melalui berbagai program. Salah satu cara untuk memperluas penyerapan tenaga kerja adalah melalui pengembangan industri terutama industri yang bersifat padat karya. Perkembangan dapat terwujud melalui investasi swasta maupun pemerintah. Pengembangan industri tersebut akan menyebabkan kapasitas produksi meningkat sehingga dapat menciptakan kesempatan kerja. Selain besarnya pangsa industri manufaktur terhadap PDB, penyerapan tenaga kerja pada industri manufaktur non migas juga menempati urutan atas sehingga membaik tidaknya kinerja sektor industri manufaktur mempunyai dampak nyata baik terhadap ekspor, penyerapan tenaga kerja maupun ekonomi secara keseluruhan. Tenaga Kerja Industri Pengolahan Rasio Tenaga Kerja Sektor Industri Terhadap Jumlah Angkatan Kerja
14.000 13.500
13.824 12,78 12,72
12,90 12,80 12,70
13.000
12.840
12,60
Ribu Orang
12.549 12,46
12.500 12.000
11.953
12,50
12.369
12,40
12,38 11.890 12,24
12,30 12,24
12,20
11.500
12,10 11.000 12,00 10.500
11,90
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Gambar 5.3 Perkembangan Tenaga Kerja Sektor Industri Pengolahan, 20052010 Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Berdasarkan data BPS, jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor industri manufaktur pada tahun 2010 sebesar 13,82 juta orang, atau meningkat 7,67 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 12,84 juta orang. Secara umum, 83
jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor industri manufaktur sejak tahun 2006 hingga 2010 mengalami peningkatan dengan rata-rata peningkatan sebesar 3,45 persen per tahun. Sementara itu, rasio jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor industri manufaktur terhadap seluruh jumlah angkatan kerja nasional pada tahun 2010 sebesar 12,78 persen atau meningkat bila dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 12,24 persen. Peningkatan ini mengindikasikan adanya perkembangan investasi pada sektor manufaktur yang cukup signifikan.
5.4 Perkembangan Investasi pada Sektor Industri Manufaktur Indonesia Indonesia saat ini sangat membutuhkan investasi baik domestik maupun asing untuk tetap mempertahankan pertumbuhan ekonomi. Investasi merupakan langkah awal kegiatan produksi. Dengan posisi tersebut, investasi pada hakekatnya juga merupakan langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi. Dinamika penanaman modal mempengaruhi tinggi rendahnya pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi.
Oleh
karena
itu,
dalam
upaya
menumbuhkan
perekonomian, setiap negara senantiasa berusaha menciptakan iklim yang dapat menggairahkan investasi. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa iklim investasi mencerminkan sejumlah faktor yang berkaitan dengan lokasi tertentu yang membentuk kesempatan dan insentif bagi pemilik modal untuk melakukan usaha atau investasi secara produktif dan berkembang. Lebih konkritnya lagi, iklim usaha atau investasi yang kondusif adalah iklim yang mendorong seseorang melakukan investasi dengan biaya dan resiko serendah mungkin di satu sisi, dan bisa menghasilkan keuntungan jangka panjang setinggi mungkin, di sisi lain (Stern, 2002). Sebagai contoh, beberapa studi menunjukkan bahwa di China dan India, sebagai hasil dari perbaikan-perbaikan iklim investasi pada dekade 1980-an dan 1990-an yang menurunkan biaya dan risiko investasi sangat drastis, maka investasi swasta sebagai bagian dari produk domestik bruto (PDB) meningkat hampir 200 persen.
84
Ada sejumlah faktor yang sangat berpengaruh pada baik-tidaknya iklim berinvestasi di Indonesia. Faktor-faktor tersebut tidak hanya menyangkut stabilitas politik dan sosial, tetapi juga stabilitas ekonomi, kondisi infrastruktur dasar (listrik, telekomunikasi dan prasarana jalan dan pelabuhan), berfungsinya sektor pembiayaan dan pasar tenaga kerja (termasuk isu-isu perburuhan), regulasi dan perpajakan, birokrasi (dalam waktu dan biaya yang diciptakan), masalah good governance termasuk korupsi, konsistensi dan kepastian dalam kebijakan pemerintah yang langsung maupun tidak langsung mempengaruhi keuntungan neto atas biaya resiko jangka panjang dari kegiatan investasi, dan hak milik mulai dari tanah sampai kontrak. Industri manufaktur bukan lagi menjadi penyumbang investasi Penanaman Modal Asing (PMA) terbesar di Indonesia. Hal ini dapat diketahui dari porsi nilai realisasi investasi Penanaman Modal Asing (PMA) di sektor industri manufaktur (sektor sekunder) yang secara terus-menerus mengalami penurunan selama tahun 2006-2010 dengan tren sebesar 21,3 persen. Porsi nilai realisasi investasi PMA pada tahun 2010 anjlok menjadi 20,7 persen dibandingkan dengan porsi pada tahun 2006 (60,4 persen). Dari sisi jumlah proyek, tren porsi investasi PMA industri manufaktur terhadap total investasi PMA cenderung menurun sebesar 3,4 persen setiap tahunnya selama periode 2006-2010. Porsi jumlah proyek investasi PMA industri manufaktur yang terealisasi pada tahun 2010 sebesar 35,6 persen adalah yang terendah sepanjang tahun 2006-2010 (Tabel 5.1). Kontributor utama investasi PMA di Indonesia berganti menjadi sektor tersier sejak tahun 2007 dengan kontribusi sebesar 48,8 persen. Terjadinya pergeseran struktur PMA dari industri manufaktur ke sektor tersier karena para investor asing mulai melakukan peneterasi dan ekspansi di sektor tersier sejak tahun 2005, khususnya di subsektor pengangkutan, gudang dan komunikasi, subsektor perdagangan dan reparasi, dan subsektor jasa lainnya. Semakin rendahnya tingkat daya saing industri manufaktur Indonesia menjadi penyebab lain dari peralihan investasi PMA dari industri manufaktur ke sektor tersier. Industri manufaktur di Indonesia yang pada umumnya masih bersifat padat karya kalah bersaing dengan
85
industri manufaktur di negara lain yang memiliki upah buruh yang jauh lebih murah, seperti China, India, dan Vietnam (Soekarni, Hidayat, Suryanto (2010)).
Tabel 5.1 Perkembangan Porsi Realisasi Investasi PMA Menurut Sektor, Tahun 2006 -2010 (dalam persen)
Sektor Sektor Primer Sektor Sekunder Sektor Tersier Total
2006 P 4.5 41.8 53.7 100.0
2007 I 8.9 60.4 30.7 100.0
P 6.3 39.7 54.0 100.0
2008 I 5.8 45.4 48.8 100.0
P 4.8 43.5 51.7 100.0
2009 I 2.3 30.4 67.4 100.0
P 4.0 38.8 57.2 100.0
2010 I 4.3 35.4 60.3 100.0
P 13.6 35.6 50.8 100.0
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Ditinjau dari perkembangan nilai realisasi investasi PMA, nilai realisasi investasi PMA industri manufaktur memiliki tren negatif sebesar 3,5 persen selama periode 2006-2010. Setelah sempat mengalami kenaikan pada tahun 2007, nilai realisasi investasi PMA industri manufaktur terus melorot hingga mencapai US$ 3,4 miliar pada tahun 2010. Kendatipun nilai realisasi investasi PMA di industri manufaktur menurun sepanjang tahun 2006-2010, jumlah proyek investasi PMA yang terealisasi justru naik setiap tahunnya sebesar 27,2 persen. Pada tahun 2009 jumlah proyek investasi PMA yang terealisasi sempat mengalami penurunan sebesar 4,2 persen dibandingkan dengan tahun 2008, menjadi sebanyak 474 unit. Sementara itu, tahun 2010 tercatat sebagai tahun dengan jumlah proyek investasi PMA tertinggi dibandingkan dengan tahun-tahun lainnya. Jumlah proyek investasi PMA industri manufaktur yang terealisasi pada tahun 2010 mencapai 1.096 unit. Perkembangan realisasi nilai investasi PMA dengan jumlah proyek yang tidak sejalan dalam industri manufaktur menunjukkan bahwa nilai investasi PMA dalam setiap proyek di industri manufaktur semakin rendah (Tabel 5.2).
86
I 18.8 20.7 60.5 100.0
Tabel 5.2 Perkembangan Realisasi Investasi PMA Menurut Sektor, 2006-2010 (dalam juta US$)
Sektor
2006 P
Sektor Primer Sektor Sekunder Sektor Tersier Total Realisasi Investasi PMA
39 363 467 869
I 532.4 3,619.7 1,839.5 5,991.6
2007 P 62 390 530 982
I 599.3 4,697.0 5,045.1 10,341.4
2008 P 55 495 588 1,138
I 335.6 4,515.2 10,020.5 14,871.3
2009 P 49 474 698 1,221
I 462.6 3,831.1 6,521.2 10,814.9
2010 P 420 1,096 1,565 3,081
I 3,042.3 3,357.1 9,815.3 16,214.7
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), lima industri manufaktur di Indonesia yang menjadi primadona bagi para investor asing pada tahun 2006 adalah industri logam, mesin, dan elektronik (US$ 955,7 juta, 86 proyek), industri kertas dan percetakan (US$ 747 juta, 16 proyek), industri kendaraan bermotor dan alat transportasi lain (US$ 438,5 juta, 28 proyek), industri tekstil (US$ 424 juta, 61 proyek), dan industri makanan (US$ 354,4 juta, 45 proyek). Selanjutnya, lima industri manufaktur utama berdasarkan realisasi investasi PMA pada tahun 2010 adalah industri makanan (Rp 1,0 miliar, 194 proyek), industri kimia dan farmasi (Rp 798,4 juta, 159 proyek), industri logam, mesin, dan elektronik (Rp 589,6 juta, 274 proyek), industri kendaraan bermotor dan alat transportasi lain (Rp 393,8 juta, 98 proyek), dan industri tekstil (Rp 154,8 juta, 112 proyek). Industri kertas dan percetakan tidak lagi menjadi pilihan utama para investor asing di tahun 2010. Untuk realisasi investasi PMA berdasarkan lokasi, pada tahun 2006 tersebar ke Jawa Barat (US$ 1,6 miliar, 200 proyek), DKI Jakarta (US$ 1,5 miliar, 330 proyek), Riau (US$ 585,2 juta, 8 proyek), Banten (US$ 508,2 juta, 84 proyek), dan Kalimantan Timur (US$ 402,5 juta, 8 proyek). Tidak jauh beda dengan kondisi pada tahun 2006, realisasi investasi PMA di Indonesia menurut lokasi pada tahun 2010 masih terkonsentrasi di pulau Jawa. Akan tetapi terdapat perkembangan pesat kegiatan investasi di luar pulau Jawa yang didukung oleh perbaikan pelayanan investasi di daerah dan koordinasi antara pusat dan daerah yang semakin baik. Realisasi investasi PMA terbesar masuk ke DKI Jakarta (US$ 6,4 miliar, 886 proyek), Jawa Timur (US$ 1,8 miliar, 110 proyek), Jawa Barat 87
(US$ 1,7 miliar, 597 proyek), Banten (US$ 1,5 miliar, 280 proyek), dan Kalimantan Timur (US$ 1,1 miliar, 98 proyek). Riau yang pada tahun 2006 menduduki peringkat ke-3 dalam realisasi investasi PMA, pada tahun 2010 telah digantikan posisinya. Berdasarkan negara asal, lima negara yang menjadi investor utama dalam realisasi investasi PMA pada tahun 2006 adalah Jepang 15,1 persen (US$ 902,8 juta, 113 proyek), Inggris 11 persen (US$ 660,5 juta, 49 proyek), Singapura (US$ 508,3 juta, 81 proyek), Korea Selatan (US$ 475,7 juta, 140 proyek), dan Malaysia (US$ 407,6 juta, 36 proyek), sedangkan lima negara yang menjadi investor utama dalam realisasi investasi PMA pada tahun 2010 adalah Singapura dengan pangsa sebesar 30,9 persen (US$ 5 miliar, 414 proyek), Inggris sebesar 11,7 persen (US$ 1,9 miliar, 133 proyek), Amerika Serikat sebesar 5,7 persen (US$ 930,8 juta, 100 proyek), Jepang sebesar 4,4 persen (US$ 712,6 juta, 323 proyek), dan Belanda sebesar 3,8 persen (US$ 608,3 juta, 107 proyek). Dari perbandingan negara asal investasi PMA pada tahun 2006 dan 2010 dapat diketahui terdapat pergeseran posisi negara asal. Jepang yang semula menduduki peringkat pertama sebagai negara investor dalam PMA di Indonesia pada tahun 2006, terhempas ke peringkat empat pada tahun 2010. Ditinjau dari perkembangan realisasi investasi PMA Indonesia dari Jepang selama tahun 2006-2010 yang diperlihatkan dalam Gambar 4.25, rata-rata pertumbuhan investasi menurun sebesar 3,7 persen. Pada tahun 2007, realisasi investasi PMA yang berasal dari Jepang sebesar US$ 618,2 juta, menurun sebesar 31,5 persen dari tahun 2006. Pasca implementasi IJ-EPA sejak 1 Juli 2008, tren investasi PMA dari Jepang justru menunjukkan kecenderungan menurun sebesar 27,8 persen. Realisasi investasi PMA Indonesia dari Jepang pada tahun 2008 sebesar US$ 1,4 miliar (130 proyek) merupakan pencapaian terbesar pasca pemberlakuan IJ-EPA. Selanjutnya, nilai realisasi investasi PMA dari Jepang pada tahun 2009 mengalami penurunan sebesar 50,3 persen dibanding dengan tahun sebelumnya, hingga menjadi US$ 678,9 juta (124 proyek). Sedangkan pada tahun 2010 realisasi investasi PMA dari Jepang naik dari US$ 678,9 juta menjadi US$ 712,6 juta dengan diiringi peningkatan dalam jumlah proyek menjadi sebanyak 88
323 unit. Kondisi realisasi investasi PMA dari Jepang yang menurun pasca implementasi IJ-EPA mengindikasikan bahwa kesepakatan IJ-EPA tidak berdampak signifikan terhadap peningkatan investasi.
Investasi
juta US$ 1600
Proyek
unit 350
323
1365.4
1400
300
1200 1000
250 902.8
200
800
618.2
600
113
712.6
678.9 130
113
150 124
100
400
50
200 0
0
2006
2007
2008
2009
2010
Gambar 5.4 Perkembangan Realisasi Investasi PMA dari Jepang Tahun 20062010 Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Industri manufaktur adalah sektor pilihan utama bagi para investor Jepang di Indonesia. Rata-rata kontribusi industri manufaktur terhadap investasi PMA dari Jepang selama tahun 2006-2010 sebesar US$ 754,3 juta (86,2 persen). Investasi PMA di industri manufaktur tertinggi selama tahun 2006-2010 terjadi pada tahun 2008 dengan nilai realisasi sebesar US$ 1,4 miliar dan jumlah proyek sebanyak 95 unit. Sementara yang terendah terjadi pada tahun 2010 dengan nilai realisasi sebesar US$ 509,3 juta dan jumlah proyek sebesar 212 unit (Tabel 5.3).
89
Tabel 5.3 Perkembangan Realisasi Investasi PMA dari Jepang Menurut Sektor Tahun 2006-2010 (dalam juta US$)
Sektor Sektor Primer Industri Manufaktur (Sektor Sekunder) Sektor Tersier Total
2006
2007
P I P I 2 1.2 0.0 66 747.5 77 531.7 45 154.1 36 86.4 113 902.8 113 618.2
2008
2009
P I P I 2 1.7 2 3.8 95 1354.8 79 628.2 34 20.9 43 46.9 131 1377.4 124 678.9
2010 P I 12 5.7 212 509.3 99 197.6 323 712.6
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Berdasarkan penggolongan dalam industri manufaktur dalam Tabel 4.5., realisasi investasi PMA dari Jepang terkonsentrasi pada industri logam dasar, barang logam, mesin dan elektronika; industri alat angkutan dan transport lainnya; dan industri barang karet dan barang plastik, baik pada periode sebelum maupun sesudah diberlakukannya kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA. Keterkaitan antara perusahaan Indonesia dengan perusahaan Jepang terhadap industri-industri tersebut menjadi alasan mengapa realisasi investasi PMA pada ketiga industri tersebut dominan dibandingkan dengan industri lainnya di Indonesia. Setelah diberlakukannya kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA, industri makanan dan industri tekstil menjadi industri pilihan utama bagi para investor Jepang. Hal ini dapat diketahui dari kenaikan realisasi investasi PMA di kedua industri tersebut sejak tahun 2008.
90
Tabel 5.4 Perkembangan Realisasi Investasi PMA dari Jepang dalam Industri Manufaktur Tahun 2006-2010 (dalam juta US$) 2006 2007 2008 P I P I P I IND. ALAT ANGKUTAN & TRANSPORT LAINNYA 17 324,874 16 242,381 32 640,643 IND. ALAT KEDOKTERAN, OPTIK, ALAT UKUR & JAM 1 10,850 1 8,740 IND. BARANG KARET & BARANG PLASTIK 9 37,639 7 16,216 15 95,429 IND. KAYU/Wood Industry 4 7,365 4 14,450 2 38,645 IND. KERTAS, BARANG DARI KERTAS & PERCETAKAN 1 52,052 1 1,398 2 52,200 IND. KIMIA DASAR, BARANG KIMIA & FARMASI/Chemical & Pharmaceutical Ind. 4 26,195 4 11,583 2 5,082 IND. KULIT & BARANG DARI KULIT & SEPATU IND. LAINNYA/Other Industry 3 5,700 4 11,130 IND. LOGAM DASAR, BRG LOGAM, MESIN & ELEKTRONIKA 23 269,419 32 161,345 29 485,531 IND. MAKANAN/Food Industry 3 11,097 4 49,287 3 2,462 IND. TEKSTIL/Textile Industry 3 15,367 5 18,501 5 14,911 IND.MIN.NON LOGAM/Non Metal Min. Ind. 2 3,494 Total 66 747,501 77 531,711 95 1,354,774 Sektor
2009 2010 P I P I 25 381,948 49 133,120 1 3 8,376 18 44,692 2 5,025 1 2 9 38,320 18 5,023 1 15,700 1 1 230 8 2,785 27 106,068 79 160,121 4 49,391 12 89,360 7 23,157 22 73,840 1 353 79 628,215 212 509,294
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Menurut lokasi, realisasi investasi PMA dari Jepang sepanjang tahun 20062010 terkonsentrasi di pulau Jawa. Pada tahun 2010, realisasi investasi PMA tersebar di provinsi Jawa Barat (US$ 444,5 juta, 164 proyek), DKI Jakarta (US$ 135,2 juta, 69 proyek), dan Jawa Timur (US$ 91,6 juta, 15 proyek).
Tabel 5.5 Perkembangan Realisasi Investasi PMA dari Jepang dalam Industri Manufaktur Tahun 2006-2010 2006 2007 2008 2009 2010 Proyek Investasi (US$ Ribu) Proyek Investasi (US$ Ribu) Proyek Investasi (US$ Ribu) Proyek Investasi (US$ Ribu) Proyek Investasi (US$ Ribu) 1 BALI 12 3,445 11 3,215 10 7,455 7 1,623 31 7,819 2 BANTEN 4 69,762 2 585 4 7,627 8 44,109 21 8,420 3 DI YOGYAKARTA 1 1,000 1 100 3 1,747 4 DKI JAKARTA 30 197,679 17 177,969 23 311,598 25 49,215 69 135,194 5 JAMBI 1 34,071 1 8 JAWA BARAT 55 603,979 67 388,863 74 901,790 67 520,704 164 444,499 6 JAWA TENGAH 2 12,201 1 3,100 2 3,136 5 7,573 7 JAWA TIMUR 10 26,511 11 30,296 10 75,583 11 54,990 15 91,551 8 KALIMANTAN SELATAN 2 2,100 9 KALIMANTAN TIMUR 1 22 10 KEPULAUAN RIAU 1 3,932 2 21,750 1 410 1 10 11 LAMPUNG 2 63 12 NUSA TENGGARA BARAT 1 1,000 3 120 13 NUSA TENGGARA TIMUR 2 1,850 2 3,785 1 14 SULAWESI SELATAN 2 2,256 1 15 SULAWESI TENGGARA 1 400 16 SULAWESI UTARA 1 972 17 SUMATERA SELATAN 1 6,949 1 18 SUMATERA UTARA 1 3,350 2 13,480 Total 113 902,775 113 618,160 131 1,377,379 124 678,945 323 712,599
No
Provinsi
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
91
5.5 Kinerja Beberapa Industri Manufaktur Tertentu di Indonesia Cakupan industri manufaktur di Indonesia sangat luas, akan tetapi kajian ini hanya memfokuskan pada beberapa industri tertentu, antara lain: 5.5.1
Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya Indonesia merupakan salah satu penghasil ikan yang cukup besar karena memiliki wilayah kelautan yang cukup luas, dengan bentangan luas laut mencapai kurang lebih 5,8 Juta km2 yang terdiri dari perairan kepulauan/ laut Nusantara 2,3 juta km2, perairan territorial 0,8 juta km dan ZEEI 2,7 km dan mempunyai garis pantai sepanjang 81.000 km yang terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Terdapat perairan umum di wilayah daratan seluas 0,54 juta km2. Produksi perikanan Indonesia didominasi oleh perikanan tangkap dengan potensi lestari sumber daya ikan laut sekitar 6,40 juta ton/tahun, sedangkan pemanfaatan ikan laut baru mencapai 4,1 juta ton pada tahun 2006 sedangkan produksi perikanan budidaya mencapai 2,6 juta ton/tahun pada tahun 2006. Sumbangan industri pengolahan dan pengawetan ikan dan biota perairan lainnya terhadap PDB baru mencapai 3,14 persen. Industri pengolahan dan pengawetan ikan dan biota perairan lainnya, khususnya ikan merupakan industri yang sangat potensial untuk dikembangkan di masa yang akan datang. Dalam Kebijakan Pembangunan Industri Nasional, industri pengolahan dan pengawetan ikan dan biota perairan lainnya telah ditetapkan
pengembangannya
melalui
pendekatan
membangun daya saing yang berkelanjutan.
klaster
dalam
Pengembangan industri
pengolahan hasil laut dengan pendekatan klaster diperlukan jaringan yang saling mendukung dan menguntungkan antara industri pengguna dengan industri pendukung serta industri terkait lainnya melalui kerjasama dan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, maupun lembaga lainya (termasuk perguruan tinggi dan lembaga penelitian dan pengembangan). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah perusahaan dalam industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Indonesia sepanjang tahun 2006-2009 cenderung mengalami penurunan setiap 92
tahunnya sebesar 4,5 persen. Jumlah perusahaan dalam industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Indonesia pada tahun 2006 sebanyak 863 perusahaan, sedangkan pada tahun 2009 jumlah perusahaan yang terdaftar sebanyak 742 perusahaan (Gambar 5.5). Jumlah perusahaan tersebut mengalami penurunan sebesar 9,4 persen dibandingkan dengan tahun 2008. Nilai penurunannya jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan tahun 2006, yakni sebesar 14 persen. Kekurangan pasokan bahan baku sebagai akibat tingginya ekspor ikan utuh Indonesia menjadi penyebab utama banyaknya perusahaan dalam industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya Indonesia yang menghentikan produksinya. 1,000 900
863
823
819
800
742
700 600 500 400 300 200 100 0
2006
2007
2008
2009
Gambar 5.5 Perkembangan Jumlah Perusahaan Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Indonesia Tahun 2006-2009 Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag)
Dari 742 perusahaan yang terdaftar pada tahun 2009 sebanyak 48 perusahaan tergolong ke dalam pengalengan Ikan dan Biota Perairan Lainnya, 141 perusahaan penggaraman/pengasinan Ikan dan Biota Perairan Lainnya, 31 perusahaan pengasapan Ikan dan Biota Perairan Lainnya, 299 perusahaan pembekuan Ikan dan Biota Perairan Lainnya, 109 perusahaan pemindangan Ikan dan Biota Perairan Lainnya, dan 114 93
perusahaan pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan lainnya (Gambar 5.6). 1,000 15129-Pengolahan dan pengawetan ikan dan biota perairan lainnya
900 61
800 700
Jumlah Perusahaan
68
72
122
123
15125-Pemindangan ikan dan biota perairan lainnya
137
600
114 109
500
398 419
400
15123-Pengasapan ikan dan biota perairan lainnya
379
299
300 36 11
200 185
100 0
157
22 168
15124-Pembekuan ikan dan biota perairan lainnya
31
15122-Penggaraman/pengasinan ikan dan biota perairan lainnya 15121-Pengalengan ikan dan biota perairan lainnya
141
46
46
55
48
2006
2007
2008
2009
Gambar 5.6 Perkembangan Jumlah Perusahaan Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Indonesia Berdasarkan Kelompok Industri Tahun 2006-2009 Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 20062009, BPS (diolah Puska Daglu Kemendag)
Berdasarkan
Laporan
Kementerian
Perindustrian
(2009),
industri
pengalengan ikan yang masih melakukan kegiatan produksi sekitar 41 perusahaan. Di antaranya 31 perusahaan lokal dan sepuluh perusahaan pemegang merk impor. Selain kekurangan bahan baku ikan, industriindustri tersebut mengimpor kemasan kaleng (tin plate). Sedangkan data yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali mencatat bahwa sampai dengan tahun 2009 jumlah perusahaan dalam industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya sebanyak 50 perusahaan. Sebagian besar perusahaan tersebut berlokasi di kota Denpasar. Sementara itu, Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Utara (2010)
mencatat bahwa jumlah perusahaan industri pengolahan dan
pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya pada tahun 2009 sebanyak 21 perusahaan, di mana terdapat empat perusahaan pengalengan Ikan dan Biota Perairan Lainnya, empat perusahaan penggaraman/pengasinan Ikan dan Biota Perairan Lainnya, satu perusahaan pengasapan Ikan dan Biota 94
Perairan Lainnya, sepuluh perusahaan pembekuan Ikan dan Biota Perairan Lainnya, dan dua perusahaan pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya. Jumlah perusahaan tersebut berkurang pada tahun 2010 sebagaimana yang disampaikan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Utara. Pada tahun 2010 jumlah perusahaan dalam industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya yang berada di Provinsi Sulawesi Utara menjadi sebanyak 12 perusahaan, di mana empat perusahaan merupakan perusahaan pengalengan Ikan dan Biota Perairan Lainnya, tiga perusahaan pengasapan Ikan dan Biota Perairan Lainnya, dan lima perusahaan pembekuan Ikan dan Biota Perairan Lainnya. Industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Provinsi Sulawesi Utara tersebut terkonsentrasi di kota Bitung dan Manado. Dalam perkembangannya hanya terdapat beberapa perusahaan yang masih aktif melakukan produksi hingga pertengahan tahun 2011. Hal ini terjadi karena adanya penurunan bahan baku produksi akibat gangguan iklim. Ditinjau dari bentuk status permodalan, pada tahun 2009 industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Provinsi Sulawesi Utara sebanyak lima perusahaan dengan status Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), sembilan perusahaan Penanaman Modal Asing, dan tujuh perusahaan lainnya.
95
12 10 15121-Pengalengan Ikan dan Biota Perairan Lainnya
Jumlah Perusahaan
10
15122-Penggaraman/ pengasinan Ikan dan Biota Perairan Lainnya
8
6 5 4
4
4
4 3 2
15123-Pengasapan Ikan dan Biota Perairan Lainnya 15124-Pembekuan Ikan dan Biota Perairan Lainnya 15129-Pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya
2 1 0 2009
2010
Gambar 5.7 Perkembangan Jumlah Perusahaan Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2009-2010 Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 20062009, BPS (diolah Puska Daglu Kemendag)
Tenaga kerja industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya
Indonesia sepanjang tahun 2006-2009 memiliki tren yang
cenderung menurun sebesar 5persen dengan rata-rata jumlah tenaga kerja per tahun sebesar 105.949 orang. Pada tahun 2009 jumlah tenaga kerja industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya mencapai 95.361 orang, terendah sepanjang tahun 2006-2009 sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 4.29. Jumlah tersebut juga menunjukkan minimnya penyerapan tenaga kerja industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya karena rata-rata perusahaan hanya mampu menyerap sebanyak 129 orang per perusahaan pada tahun 2009.
96
115,449
109,757
103,227
95,361
2006
2007
2008
2009
Gambar 5.8 Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Indonesia Tahun 20062009 Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 20062009, BPS (diolah Puska Daglu Kemendag)
Ditinjau dari kelompok industri berdasarkan data Statistik Industri Besar dan Sedang 2009, penyerapan tenaga kerja industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Indonesia pada tahun 2009 tersebar di industri pembekuan Ikan dan Biota Perairan Lainnya sekitar 55,7 persen, kemudian di pengalengan Ikan dan Biota Perairan Lainnya (25,1 persen), pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya (6,8 persen), penggaraman/pengasinan Ikan dan Biota Perairan Lainnya (6,8 persen), pemindangan Ikan dan Biota Perairan (3,8 persen), dan pengasapan Ikan dan Biota Perairan Lainnya (1,8 persen). Komposisi penyerapan tenaga kerja tersebut mengalami pergeseran dibandingkan dengan tahun 2006. Terjadi penurunan dalam pangsa penyerapan tenaga kerja
industri
pembekuan
Ikan
dan
Biota
Perairan
Lainnya,
penggaraman/pengasinan Ikan dan Biota Perairan Lainnya, pemindangan Ikan dan Biota Perairan. Sebaliknya, terjadi kenaikan dalam penyerapan tenaga kerja di kelompok industri lainnya (Gambar 5.9).
97
2006
2009
4.0%
15121Pengalengan ikan dan biota perairan lainnya
5.5% 17.1%
6.8%
15122Penggaraman/pengasinan ikan dan biota perairan lainnya
25.1%
15123Pengasapan ikan dan biota perairan lainnya
9.3% 1.0%
63.2%
3.8%
15124Pembekuan ikan dan biota perairan lainnya 15125Pemindangan ikan dan biota perairan lainnya
6.8%
55.7%
1.8%
15129Pengolahan dan pengawetan ikan dan biota perairan lainnya
Gambar 5.9 Perbandingan Komposisi Tenaga Kerja Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya Indonesia Tahun 2006 dan 2009 Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 20062009, BPS (diolah Puska Daglu Kemendag)
Tenaga kerja pada industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 2009 mencapai 4.843 orang atau sekitar 39,6 persen dari total tenaga kerja industri besar dan sedang Provinsi Sulawesi Utara. Sebagian besar (3.254 orang atau 67,2 persen dari total tenaga kerja industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya) bekerja pada industri pengalengan Ikan dan Biota Perairan Lainnya, kemudian diikuti oleh industri pembekuan Ikan dan Biota Perairan Lainnya sejumlah 598 orang (12,3
persen),
industri penggaraman/pengasinan Ikan dan Biota Perairan Lainnya 571 orang (11,8 persen), pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya 259 orang (5,3 persen), dan pengasapan Ikan dan Biota Perairan Lainnya 161 orang (3,3 persen) (BPS Provinsi Sulawesi Utara, 2010). Salah satu perusahaan pengalengan Ikan dan Biota Perairan Lainnya, Sinar Pure Food International, mampu menyerap tenaga kerja sejumlah 1.285 orang pada tahun 2010. Berdasarkan hasil survei lapangan, PT Samudera Sentosa dan PT Deho Canning Co. yang bergerak dalam industri pengalengan Ikan dan Biota Perairan Lainnya mampu menyerap tenaga 98
kerja masing-masing sejumlah 362 orang dan 459 orang hingga pertengahan tahun 2011. Untuk industri pengasapan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Provinsi Sulawesi Utara, PT Manadomina Citra Taruna mampu menyerap tenaga kerja sejumlah 200 orang, sedangkan PT Celebes Mina Pratama mampu menyerap 130 orang pada tahun yang sama. Pada tahun 2009 besaran total pengeluaran bahan baku dan bahan penolong dalam industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya mencapai Rp. 12,4 triliun, didominasi oleh bahan baku dan bahan penolong lokal sebesar Rp. 12 triliun (96,4 persen) sedangkan sisanya sebesar Rp. 442,6 miliar (3,6 persen) berasal dari luar negeri. Jika dilihat dari perkembangannya sepanjang tahun 2006-2009, terjadi kecenderungan penurunan dalam total pengeluaran bahan baku dan bahan penolong tetapi terdapat peningkatan dalam komposisi pengeluaran bahan baku dan bahan penolong impor. Menurunnya komposisi bahan baku dan bahan penolong lokal terjadi karena berkurangnya pasokan bahan baku lokal akibat dari diekspornya sebagian besar bahan baku ke luar negeri. Kebijakan pemerintah melonggarkan ekspor ikan beku dan segar dalam bentuk utuh menjadi 22 jenis pada tahun 2008 diakui oleh Martani, Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan (2008) menjadi salah satu pemicu berkurangnya pasokan bahan baku. Harga ekspor bahan baku lebih tinggi daripada dalam negeri. Terjadinya kekurangan pasokan bahan baku lokal inilah yang mendorong industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya menaikkan impor bahan baku dan bahan penolong. Di samping itu, industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Indonesia pun masih memiliki ketergantungan terhadap impor bahan penolong berupa bahan kemasan, kaleng. minyak kedelai, dsb.
99
US$ miliar
20,000 18,000 16,000 14,000 12,000 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 0
Lokal
100%
Impor
2.4
2.3
2.0
3.6
97.6
97.7
98.0
96.4
2006
2007
2008
2009
90% 80% 70%
60% 50% 40% 30% 2006
2007
2008
2009
20%
Lokal
18,184.5
13,265.4
10,583.6
11,991.6
10%
Impor
454.7
306.4
221.2
442.6
0%
Total
18,639.2
13,571.8
10,804.8
12,434.2
Gambar 5.10 Perkembangan Pengeluaran Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya Indonesia Tahun 2006-2009 Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 20062009, BPS (diolah Puska Daglu Kemendag)
Data Statistik Industri Besar dan Sedang Provinsi Sulawesi Utara 2009 menunjukkan bahwa sekitar 90,5persen bahan baku dan bahan penolong industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya berasal dari dalam negeri (lokal), sedangkan sisanya sebesar 9,5 persen diimpor dari luar negeri. Industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Produk Ikan Lainnya di Provinsi Sulawesi Utara masih bergantung terhadap impor bahan penolong berupa kaleng, minyak kedelai, dan bahan kemasan. Pemakaian bahan bakar minyak (BBM) dan bahan bakar tenaga listrik dan gas pada industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya memiliki tren menurun sebesar 23,5 persen sepanjang tahun 2006-2009. Pemakaian BBM dalam industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Indonesia mengalami penurunan yang signifikan dari sebesar Rp. 1,2 triliun pada tahun 2006 menjadi sebesar Rp. 338,5 miliar pada tahun 2009. Penurunan pemakaian BBM dalam industri 100
pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Indonesia serta kenaikan TDL tersebut membuat industri semakin terbebani dan mengurangi insentif berproduksi.
1,600 1,400
BBM
Listrik
212.3
US$ miliar
1,200
1,000 800 600
1,216.8
272.2
205.4
224.7
431.6
410.2
388.5
2007
2008
2009
400
200 0 2006
Gambar 5.11 Perkembangan Pemakaian Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Bahan Bakar Tenaga Listrik dan Gas dalam Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya Tahun 2006-2009 Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 20062009, BPS (diolah Puska Daglu Kemendag)
BPS Provinsi Sulawesi Utara mencatat bahwa pemakaian bahan bakar minyak (BBM) untuk industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya mencapai US$ 53,2 miliar, sedangkan pemakaian bahan bakar tenaga listrik dan gas (BBL) sebesar US$ 36,6 miliar. Besaran pemakaian BBM dan BBL tersebut sekitar 13,8persen dari biaya input dalam industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 2009. Ditinjau dari perkembangannya, nilai output industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya Indonesia selama kurun waktu 2006-2009 mengalami tren menurun sebesar 10 persen. Nilai output industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Indonesia pada tahun 2009 mencapai Rp. 20 triliun, menurun dibandingkan dengan tahun 2006 yang mencapai Rp. 27,2 triliun. Penurunan nilai output tersebut terjadi karena belum optimalnya 101
pemanfaatan kapasitas produksi industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya yang hanya mampu memanfaatkan 50 persen60 persen. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Martani Husaini, Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Departemen Kelautan dan Perikanan (2007). Kendatipun setiap tahunnya kapasitas, realisasi dan utilisasi produksi dari industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya mengalami peningkatan selama kurun waktu 2006-2009 sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 5.11, akan tetapi tidak dapat diimbangi dengan kenaikan output industri. Kurangnya pasokan bahan baku menjadi kendala dalam peningkatan output industri.
Gambar 5.12 Perkembangan Output dan Nilai Tambah Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Indonesia Tahun 2006-2009 Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 20062009, BPS (diolah Puska Daglu Kemendag)
102
Tabel 5.6 Perkembangan Kapasitas, Realisasi,dan Utilisasi Produksi Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Indonesia Tahun 2006-2009 Ikan/ Udang Beku
Kapasitas Produksi
Ikan dan Udang dalam Kaleng
2006
2007
2008*)
2009**)
2006
2007
2008*)
2009**)
1.51
1.54
1.59
1.64
0.41
0.42
0.43
0.44
0.76
0.79
0.89
0.92
0.22
0.22
0.24
0.24
50.3
51.4
55.7
56.1
52.5
53
55
55.5
(Juta Ton) Realisasi Produksi (Juta Ton) Utilisasi Produksi (persen)
Sumber: Statistik 2009 Agrokim, Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian.
Berdasarkan perkembangan nilai tambah selama kurun waktu 2006-2009, industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya memiliki tren meningkat sebesar 5 persen. Nilai tambah tertinggi pada industri pengolahan Ikan dan Biota Perairan Lainnya terjadi pada tahun 2009 yang mencapai Rp. 6,3 triliun, sedangkan yang terendah terjadi pada tahun 2007 dengan nilai tambah sebesar Rp. 3,8 triliun. Nilai tambah industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya pada tahun 2009 meliputi 68,5 persen dari nilai outputnya. Biaya input pada tahun 2009 mencapai 31,5
persen dari nilai output. Sementara itu,
persentase nilai tambah pada tahun 2007 hanya berkisar 19,9persen dari nilai output sedangkan biaya inputnya meliputi mencapai 81,1 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa makin rendahnya komposisi biaya input menghasilkan semakin tingginya nilai tambah. Nilai tambah industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya Provinsi Sulawesi Utara mencapai Rp 674,1 miliar atau sekitar 50,8 persen dari output. 5.5.2
Industri Cokelat dan Kembang Gula Indonesia merupakan negara penghasil kakao terbesar ketiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Ditinjau dari segi produktivitas, 103
Indonesia masih berada di bawah produktivitas rata-rata negara lain penghasil kakao. Selama ini kakao lebih banyak diekspor dalam bentuk biji kering kakao dibandingkan hasil olahannya, sehingga nilai tambahnya terhadap perekonomian sedikit. Tiga besar negara penghasil kakao meliputi Pantai Gading (1.276.000 ton), Ghana (586.000 ton), Indonesia (456.000 ton). Luas lahan tanaman kakao Indonesia lebih kurang 992.448 Ha dengan produktivitas rata-rata 900 kg per ha. Berdasarkan data Kementerian Pertanian (2010), daerah penghasil kakao Indonesia adalah Sulawesi Selatan 184.000 ton (28,26 persen), Sulawesi Tengah 137.000 ton (21,04 persen), Sulawesi Tenggara 111.000 ton (17,05 persen), Sumatera Utara 51.000 ton (7,85 persen), Kalimantan Timur 25.000 ton (3,84 persen), Lampung 21.000 ton (3,23 persen) dan daerah lainnya 122.000 ton (18,74 persen). Meskipun sebagian besar hasil perkebunan kakao Indonesia diekspor dalam bentuk bahan mentah, di dalam negeri juga terdapat industri pengolahan kakao. Industri pengolahan kakao banyak berada di pulau Jawa. Sebaran pelaku usaha yang bergerak dalam bidang pengolahan kakao dapat dilihat pada Gambar 5.12
Gambar 5.13 Sebaran Industri Pengolahan Kakao di Indonesia Sumber: Kementerian Perindustrian
104
Selama kurun waktu 2006-2009 jumlah perusahaan dalam industri Cokelat dan Kembang gula Indonesia mengalami penurunan setiap tahunnya. Jumlah perusahaan dalam industri Cokelat dan Kembang Gula Indonesia pada tahun 2009 sebanyak 89 perusahaan, dari sebelumnya pada tahun 2006 sebanyak 103 perusahaan. Dari 89 perusahaan yang termasuk ke dalam subindustri Bubuk Cokelat pada tahun 2009 sebanyak 8 perusahaan sedangkan perusahaan subindustri Makanan dari Cokelat dan Kembang Gula sebanyak 81 perusahaan. Penurunan jumlah perusahaan tersebut terjadi karena banyaknya perusahaan subindustri Bubuk Cokelat dan subindustri Makanan dari Cokelat dan Kembang Gula yang berhenti beroperasi.
15431 Industri Bubuk Coklat 15432 Industri Makanan dari Coklat dan Kembang Gula
Jumlah Perusahaan
120 100
80 60
94
101
94
81
40 20
0
9
1
6
8
2006
2007
2008
2009
Gambar 5.14. Perkembangan Jumlah Perusahaan Industri Cokelat dan Kembang Gula Indonesia Tahun 2006-2009 Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Ditinjau dari penyerapan tenaga kerja, industri Cokelat dan Kembang Gula hanya mampu menyerap 0,4 persen dari total tenaga kerja industri manufaktur skala besar dan sedang Indonesia (19.070 orang) selama kurun waktu 2006-2009. Dalam perkembangannya, jumlah tenaga kerja yang mampu diserap oleh industri Cokelat dan Kembang Gula pada tahun 2009 sebanyak 18.889 orang, mengalami penurunan sebesar 3,5 persen dibandingkan dengan tahun 2008 atau mengalami kenaikan sebesar 3,1 105
persen dari tahun 2006. Secara rata-rata jumlah tenaga kerja yang dapat diserap oleh setiap perusahaan dalam industri Cokelat dan Kembang Gula di Indonesia pada tahun 2009 sebanyak 212 orang. Berdasarkan pengelompokkan industri, penyerapan tenaga kerja pada subindustri Makanan dari Cokelat dan Kembang Gula lebih dominan dibandingkan dengan penyerapan tenaga kerja pada subindustri Bubuk Cokelat pada tahun 2009. Subindustri Makanan dari Cokelat dan Kembang Gula menyerap 16.739 tenaga kerja pada tahun 2009, sedangkan subindustri Bubuk Cokelat menyerap 2.150 tenaga kerja. Kontribusi penyerapan tenaga kerja tersebut sejalan dengan banyaknya jumlah perusahaan yang ada di dalam kelompok subindustri tersebut. 15431 Industri Bubuk Coklat
15432 Industri Makanan dari Cokelat dan Kembang Gula
Jumlah Tenaga Kerja (Orang)
25,000 20,000 15,000 10,000
18,155
16,739
50
1,414
2,150
2007
2008
2009
16,276
19,445
2,050
2006
5,000 0
Gambar 5.15. Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja dalam Industri Cokelat dan Kembang Gula Indonesia Berdasarkan Pengelompokkan Industri Tahun 2006-2009 Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Kendatipun industri Cokelat dan Kembang Gula di Indonesia pernah terhambat oleh rendahnya pasokan bahan baku biji kakao dari dalam negeri akibat penetapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen atas penjualan dalam negeri melalui Undang-Undang No. 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak atas Penjualan Barang Mewah, penggunaan bahan baku lokal memiliki porsi yang lebih besar dibandingkan dengan bahan baku impor sebagaimana 106
ditunjukkan dalam Gambar 4.36. Dalam rangka menumbuhkan kembali industri Cokelat dan Kembang Gula di Indonesia, maka pada tahun 2007 pemerintah mencabut kebijakan pengenaan PPN melalui Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2001 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Namun kebijakan ini tidak serta merta menghidupkan kembali industri yang sudah terlanjur tidak beroperasi. Pemerintah melakukan upaya peningkatan produksi biji kakao melalui Program Gerakan Nasional Kakao sejak tahun 2009. Hasil dari upaya pemerintah tersebut dapat tercermin dari dominannya komposisi penggunaan bahan baku dan penolong yang berasal dari dalam negeri pada tahun 2009 (93,1 persen).
Lokal
100% 90%
Impor
10.7
15.5
13.8
89.3
84.5
86.2
2006
2007
2008
6.9
80%
70% 60% 50%
40%
93.1
30% 20%
10% 0% 2009
Gambar 5.16. Perkembangan Komposisi Pengunaan Bahan Baku Lokal dan Impor dalam Industri Cokelat dan Kembang Gula di Indonesia Tahun 2006 dan 2009 Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Dalam perkembangan pengeluaran pemakaian listrik dalam industri Cokelat dan Kembang Gula di Indonesia mengalami peningkatan pada tahun 2007 menjadi Rp. 193,1 miliar, yang kemudian menurun hingga tahun 2009 menjadi Rp. 112,6 miliar sebagaimana dapat dilihat pada 107
Gambar 4.37. Kenaikan TDL menjadi hambatan dalam proses produksi. Pengeluaran pemakaian BBM dalam industri Cokelat dan Kembang Gula cenderung fluktuatif sepanjang tahun 2006-2009. Pengeluaran pemakaian BBM pada tahun 2009 merupakan pengeluaran terendah dibandingkan dengan tahun lainnya, yakni sebesar Rp. 73,5 miliar.
Biaya Listrik
BBM
193.1 165.2
154.1
126.6
140.8
112.6
108.7
73.5
2006
2007
2008
2009
Gambar 5.17. Perkembangan Pengeluaran Pemakaian Bahan Bakar Minyak dan Listrik dalam Industri Cokelat dan Kembang Gula di Indonesia Tahun 2006 dan 2009 Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Gambar 5.18. Perkembangan Output dan Nilai Tambah Industri Cokelat dan Kembang Gula di Indonesia Tahun 2006 dan 2009 Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
108
Nilai tambah dalam industri Cokelat dan Kembang Gula mengalami tren positif. Pada tahun 2009 nilai tambah industri Cokelat dan Kembang Gula mencapai Rp 1,89 triliun sedangkan pada tahun 2006 mencapai Rp. 1,19 triliun. Hal ini tidak sejalan dengan output industri Cokelat dan Kembang Gula yang cenderung menurun. Nilai output industri Cokelat dan Kembang Gula pada tahun 2009 lebih rendah daripada tahun 2006 sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 4.38. Menurut Djoni Tarigan selaku Kepala Biro Perencanaan Kementerian Perindustrian (2011), terdapat beberapa permasalahan utama dalam industri pengolahan kakao yaitu kurang berminatnya perusahaan untuk memanfaatkan instentif research and development (R&D), utilisasi kapasitas produksi industri olahan kakao masih rendah (40 persen), belum berkembangnya industri hilir yang mengolah biji kakao khususnya non pangan, terbatasnya R&D untuk diversifikasi produk olahan kakao, dan rendahnya konsumsi cokelat di dalam negeri.Dalam persaingan global mengenai persaingan manufaktur atau produsen kakao, industri manufaktur Indonesia masih sangat tertinggal, bahkan di belakang Malaysia, yang notabene produksi biji kakao nasionalnya jauh di bawah produksi biji kakao Indonesia. 5.5.3
Industri Barang dari Plastik Berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2005 yang disusun menurut International Standard Industrial Classification of All Economic Activities (ISIC) revisi 3 tahun 1990, industri Barang dari Plastik di Indonesia diklasifikasikan menjadi subindustri sebagai berikut:
a. Industri Pipa dan Selang dari Plastik (25201) b. Industri Barang Plastik Lembaran (25202) c. Industri Media Rekam dari Plastik (25203) d. Industri Perlengkapan dan Peralatan Rumah Tangga (25204) e. Industri Kemasan dari Plastik (25205) f. Industri Barang-barang dan Peralatan Teknik/Industri dari Plastik (25206) g. Industri Barang-barang Plastik Lainnya (25209) 109
Adapun jumlah perusahaan dalam industri Barang dari Plastik selama periode 2006-2009 memiliki tren negatif sebesar 4,4 persen. Pada tahun 2006 jumlah perusahaan industri Barang dari Plastik di Indonesia sebanyak 1.337 perusahaan, namun pada tahun 2009 hanya tinggal sebanyak 1.167 perusahaan. Penurunan jumlah perusahaan dalam industri Barang dari Plastik ini hampir terjadi dalam keseluruhan subindustri (Gambar 4.39). BPS Provinsi Sulawesi Utara (2010) mencatat bahwa Provinsi Sulawesi Utara memiliki dua perusahaan industri Barang dari Plastik dengan bentuk status permodalan lainnya pada tahun 2009.
1,350
1,337
1,300
1,273
1,250
1,223
1,200
1,167
1,150
1,100 1,050 2006
2007
2008
2009
Gambar 5.19 Perkembangan Jumlah Perusahaan dalam Industri Barang dari Plastik Indonesia Tahun 2006-2009 Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Sejalan dengan penurunan jumlah perusahaan, tenaga kerja yang terserap dalam industri Barang dari Plastik Indonesia hanya mencapai 177.542 orang pada tahun 2009. Jumlah tenaga kerja industri Barang dari Plastik di Provinsi Sulawesi Utara, baik tenaga kerja produksi maupun tenaga kerja lainnya, sebanyak 209 orang. Padahal pada tahun 2006 industri Barang dari Plastik di Indonesia mampu menyerap 197.220 orang tenaga kerja. Hal ini sebagaimana tercermin dalam Gambar 4.40.
110
200,000
197,220
190,000
181,942
179,741
177,542
2007
2008
2009
180,000 170,000 160,000 2006
Gambar 5.20. Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja dalam Industri Barang dari Plastik Indonesia Tahun 2006-2009 Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Gambar 5.21. menunjukkan bahwa penggunaan bahan baku impor dalam industri Barang dari Plastik mengalami peningkatan dari semula 25,6 persen pada tahun 2006 menjadi 27,4 persen pada tahun 2009. Adanya kenaikan bahan baku impor tersebut disebabkan oleh keterbatasan bahan baku dari dalam negeri. Produsen bahan baku plastik dalam negeri memiliki kecenderungan mengekspor produknya dibandingkan dengan mencukupi kebutuhan industri Barang dari Plastik di dalam negeri.
Bahan Baku Impor 25.6%
Bahan Baku Impor 27.4% Bahan Baku Lokal 74.4%
2006
Bahan Baku Lokal 72.6%
2009
Gambar 5.21. Komposisi Pengunaan Bahan Baku Lokal dan Impor dalam Industri Barang dari Plastik di Indonesia Tahun 2006 dan 2009 Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
111
Ditinjau dari perkembangan pemakaian BBM dan listrik sebagai komponen biaya input produksi, pemakaian BBM dan Listrik dalam industri Barang dari Plastik mengalami kenaikan setiap tahunnya selama periode 2006-2009. Pada tahun 2009 pemakaian BBM dan listrik tercatat hampir sebanyak Rp. 4,1 triliun, meningkat secara drastis dibandingkan dengan tahun 2006 yang hanya mencapai Rp. 1,5 triliun. Komposisi pemakaian listrik lebih dominan dibandingkan dengan pemakaian BBM sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 5.22. BBM
Bahan Bakar Listrik
4,500 4,000
3,500
miliar Rp.
3,000
3,005
2,500 2,540
2,000
1,500 1,000
500 0
1,714 1,157 611
835
1,076
466 2006
2007
2008
2009
Gambar 5.22. Perkembangan Pemakaian Bahan Bakar Minyak, Gas, dan Listrik Industri Barang dari Plastik Indonesia Tahun 2006-2009 Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Makin tingginya biaya input produksi dalam industri Barang dari Plastik di Indonesia sejalan dengan semakin tingginya nilai output. Pada tahun 2006 output industri Barang dari Plastik di Indonesia sebesar Rp. 35,7 triliun, meningkat menjadi sebesar Rp. 50,5 triliun. Kenaikan tersebut disebabkan oleh adanya peningkatan dalam kapasitas dan utilisasi produksi industri Barang dari Plastik di Indonesia. Hal ini diperkuat oleh data dari Ditjen Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian (2009) yang menunjukkan bahwa kapasitas produksi industri Barang dari Plastik mengalami peningkatan dari 5,1 juta pada tahun 2006 menjadi 5,3 juta pada tahun 2009. Utilisasi produksi meningkat dari 77,7 persen pada 112
tahun 2006 menjadi 86,3 persen pada tahun 2009. Dari segi nilai tambah, industri Barang dari Plastik mengalami hal yang sama dengan biaya input dan output meskipun kenaikannya tidak sebesar keduanya. Nilai tambah industri Barang dari Plastik mencapai Rp. 15,6 triliun pada tahun 2009, sedangkan pada tahun 2006 mencapai Rp. 13,8 triliun. Output
Nilai Tambah
60,000
miliar Rp.
50,000 40,000 30,000 20,000 10,000 0
2006
2007
2008
2009
Output
35,763
42,179
45,877
50,520
Nilai Tambah
13,772
15,686
14,747
15,638
Gambar 5.23. Perkembangan Output dan Nilai Tambah Industri Barang dari Plastik Indonesia Tahun 2006- 2009 Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
5.5.4
Industri Furnitur Industri Furnitur merupakan salah satu industri berbasis kayu/ rotan yang memberikan kontribusi yang cukup penting terhadap perekonomian Indonesia, baik dalam bentuk kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) maupun ekspor. Data Distribusi Persentase Produk Domestik Bruto atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha yang dipublikasikan oleh BPS menunjukkan bahwa rata-rata kontribusi industri Barang Kayu dan Hasil Hutan Lainnya terhadap PDB Indonesia berkisar 1,4 persen selama tahun 2006-2009. Di sisi ekspor, industri Furnitur yang meliputi industri pengolahan Kayu dan pengolahan Rotan Olahan memiliki rata-rata kontribusi sebesar 6,2 persen terhadap total ekspor industri pengolahan nonmigas pada periode yang sama. 113
Adapun penggolongan industri Furnitur di Indonesia berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2005 yang disusun menurut International Standard Industrial Classification of All Economic Activities (ISIC) revisi 3 tahun 1990 adalah sebagai berikut:
a.
Industri Furnitur dari Kayu (36101), yaitu industri yang menghasilkan perabotan rumah tangga dari kayu.
b.
Industri Furnitur dari Rotan, dan atau Bambu (36102), yaitu industri yang menghasilkan perabotan rumah tangga dari rotan dan atau bambu, antara lain sofa, meja, kursi, lemari, buffet, dan sejenisnya.
c.
Industri Furnitur dari Plastik (36103)
d.
Industri Furnitur dari Logam (36104)
e.
Industri Furnitur yang belum tercakup dalam kelompok 36101 hingga 36104 (36109)
Secara umum jumlah perusahaan dalam industri Furnitur di Indonesia menurun sejak tahun 2007 sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 4.8. Penurunan jumlah perusahaan tersebut terjadi karena adanya penurunan jumlah perusahaan secara signifikan dalam subindustri Furnitur dari Kayu. Jumlah perusahaan dalam sub industri Furnitur dari Kayu yang semula sebanyak 1.737 perusahaan pada tahun 2006 menjadi 1.180 perusahaan pada tahun 2009. Meskipun secara keseluruhan mengalami penurunan, jumlah perusahaan dalam sub industri Furnitur dari Plastik, Furnitur dari Logam, dan Furnitur yang belum tercakup dalam kelompok 36101 s/d 36104 mengalami kenaikan pada periode yang sama. Namun, kenaikan tersebut tidak mampu mengimbangi penurunan jumlah perusahaan dalam sub industri Furnitur dari Kayu. Industri Furnitur yang tercatat dalam Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang tahun 2006-2009 tersebar hampir di seluruh provinsi Indonesia dengan sentra-sentra cukup besar yang terletak di Jepara, Cirebon, Sukoharjo, Surakarta, Klaten, Pasuruan, Gresik, Sidoarjo, Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan lain-lain.
114
Tabel 5.7 Perkembangan Jumlah Perusahaan dalam Industri Furnitur Indonesia Tahun 2006-2009 Kelompok Subindustri Industri Furnitur dari Kayu Industri Furnitur dari Rotan Industri Furnitur dari Plastik Industri Furnitur dari Logam Industri Furnitur yang Belum Tercakup dalam Kelompok Total
2006 1,737 300 15 106 85
2007 1,526 305 17 148 86
2008*) 1,304 287 17 117 89
2009**) 1,180 281 17 124 88
2,243
2,082
1,814
1,690
Keterangan: *) Angka sementara **) Angka sangat sementara Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Di samping memiliki kontribusi yang cukup signifikan terhadap PDB dan ekspor, industri Furnitur dikenal sebagai salah satu industri padat karya yang mampu menyerap banyak tenaga kerja. Rata-rata kontribusi penyerapan tenaga kerja industri Furnitur terhadap total tenaga kerja industri manufaktur Indonesia selama kurun waktu 2006-2009 adalah sebesar 4,4 persen. Sejalan dengan menurunnya jumlah perusahaan dalam industri Furnitur di Indonesia, penyerapan tenaga kerja juga mengalami penurunan pada periode yang sama. Jumlah tenaga kerja yang diserap oleh industri Furnitur pada tahun 2006 mencapai 207.125 orang, sedangkan penyerapan tenaga kerja dalam industri Furnitur pada tahun 2007 sebanyak 204.589 orang, 194.433 orang (2008), dan 191.466 orang (2009).
Dari
tahun
2006-2009
tenaga
kerja
industri
Furnitur
terkonsentrasi pada sub industri Furnitur dari Kayu dan sub industri Furnitur dari Rotan dan atau Bambu. Penyerapan tenaga kerja dalam kedua sub industri tersebut pada tahun 2006 mencapai 92,6 persen, sedangkan pada tahun 2009 mencapai 82,5 persen. Jumlah tenaga kerja yang diserap sub industri Furnitur dari Kayu dan sub industri Furnitur dari Rotan dan atau Bambu pada tahun 2009 masing-masing sebanyak 127.624 orang dan 30.279 orang. Perkembangan tenaga kerja dalam 115
masing-masing sub industri Furnitur Indonesia selama kurun waktu 20062009 dapat dilihat dalam Gambar 4.44. Penurunan tenaga kerja dalam industri Furnitur Indonesia berpengaruh terhadap ketersediaan tenaga terampil. Hal ini ditunjukkan dari hasil temuan lapangan yang mencatat bahwa 37,5 persen dari total responden industri Furnitur di beberapa sentra industri Furnitur seperti Sidoarjo, Surabaya, Semarang, Denpasar, dan Medan mengalami hambatan dalam ketersediaan tenaga terampil. Makin tingginya biaya tenaga kerja yang dikeluarkan menjadi hambatan lain dalam proses produksi industri Furnitur Indonesia.
2006
1,428 8,702 5,222
2007
1,800
2008 *) 2009 **)
153,103
38,670
148,476
36,885
13,371 4,057 14,732 12,014 6,385 15,116 12,913 5,534
126,056
35,246
127,624
30,279
Industri Furnitur dari Kayu Industri Furnitur dari Rotan dan atau Bambu Industri Furnitur dari Plastik Industri Furnitur dari Logam Industri Furnitur yang Belum Tercakup dalam Kelompok 36101 s/d 36104
Gambar 5.24. Perkembangan Tenaga Kerja dalam Industri Furnitur Indonesia Tahun 2006-2009 Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Data Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang tahun 20062009 menunjukkan bahwa pengeluaran bahan baku dan bahan penolong industri Furnitur Indonesia mengalami peningkatan, hingga puncaknya pada tahun 2008 sebesar Rp. 11,6 triliun, di mana komposisi pengeluaran bahan baku dan bahan penolong lokal mendominasi hampir mencapai Rp. 10,4 triliun (90
persen). Pengeluaran bahan baku dan bahan
penolong industri Furnitur mengalami penurunan pada tahun 2009 menjadi Rp. 9,3 triliun dengan peningkatan komposisi pengeluaran bahan 116
baku dan bahan penolong impor sebesar 11,4 persen menjadi Rp. 1,1 triliun (Gambar 5.25). Besarnya dominasi penggunaan bahan baku lokal ditunjukkan juga dari hasil temuan lapangan di mana hampir keseluruhan responden industri Furnitur di Indonesia menggunakan bahan baku yang berasal dari dalam negeri. 14
Impor
Lokal
12 1.2
triliun Rp
10
0.8 1.1
8
0.5
6 10.4
4
9.1
8.2
7.1
2 0
2006
2007
2008
2009
Gambar 5.25. Perkembangan Pengeluaran Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri Furnitur Indonesia Tahun 2006-2009 Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag)
Ketergantungan industri Furnitur Indonesia yang tinggi terhadap bahan baku yang berasal dari dalam negeri tidak ditunjang dari ketersediaannya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Roadmap Industri Furniture (2009), industri Furnitur Indonesia menghadapi kesenjangan antara pasokan dan kebutuhan bahan baku (Kayu dan Rotan) yang semakin melebar. Kebutuhan kayu untuk industri Furniture pada saat kini diperkirakan sekitar 1,7 juta m3 per tahun, pada umumnya selain berasal dari sawn-timber, kayu rakyat sebagai solid-wood juga berasal dari engineered-wood atau panel kayu (kayu lapis, block-board, papan partikel, MDF dan sejenisnya) sekitar 3 juta ton. Kesenjangan ini akibat dari masih maraknya praktek illegal logging pada hutan alam dan illegal trade. Di samping itu, masih belum optimalnya dukungan pasokan bahan baku dari Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hutan Rakyat (HR). Bersamaan dengan sulitnya mendapatkan bahan baku kayu untuk industri 117
juga masih belum banyak industri yang memanfaatkan bahan baku alternatif non hutan alam sebagaimana kayu kelapa, kayu kelapa sawit dan kayu karet (tua). Ketidaktersediaan bahan baku lokal dan mahalnya harga bahan baku lokal dianggap menjadi hambatan bagi 87,5 persen responden industri Furnitur Indonesia dalam bersaing dengan produk sejenis dari negara lain seperti Republik Rakyat Tiongkok (Gambar 5.26).
Sangat Menghambat 25.0% Menghambat 25.0%
Tidak menghambat 12.5%
Tidak menghambat 12.5% Agak menghambat 37.5%
Ketidaktersediaan Bahan Baku Lokal
Sangat Menghambat 62.5%
Menghambat 25.0%
Mahalnya Biaya Bahan Baku Lokal
Gambar 5.26. Persepsi terhadap Ketidaktersediaan Bahan Baku Lokal dan Mahalnya Biaya Bahan Baku Lokal Sumber: data primer (diolah oleh Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Melambungnya harga minyak mentah dunia dan melemahnya nilai tukar rupiah serta krisis ekonomi global turut mempengaruhi pengeluaran pemakaian BBM industri Furnitur Indonesia. Hal ini dapat terlihat dalam Gambar 4.47, di mana terdapatnya peningkatan dalam pengeluaran BBM industri Furnitur Indonesia sejak tahun 2006 hingga tahun 2008 dengan tren sebesar 18,5 persen. Pengeluaran pemakaian BBM industri Furnitur Indonesia terbesar terjadi pada tahun 2008 mencapai Rp. 248,1 miliar karena pada tahun tersebut harga minyak mentah dunia sempat menyentuh harga US$ 147 per barrel (11 Juli 2008) dan hancurnya pasar modal sesudah kebangkrutan Lehman Brothers (15 September 2008). Pada tahun 2009 pengeluaran pemakaian BBM industri Furnitur menurun hingga mencapai Rp 178,3 miliar akibat kembali stabilnya harga minyak mentah dunia dan menguatnya nilai tukar rupiah. Pengeluaran untuk pemakaian bahan bakar listrik industri Furnitur Indonesia cenderung mengalami tren meningkat sebesar 12,7 persen sepanjang tahun 2006118
2009. Kebutuhan listrik yang meningkat dalam industri Furnitur Indonesia dan kenaikan harga tarif dasar listrik (TDL) untuk industri menjadi penyebab dari besarnya pengeluaran dalam pemakaian BBM industri Furnitur. Pengeluaran dalam pemakaian bahan bakar listrik mencapai puncaknya pada tahun 2008 sebesar Rp 425,3 miliar. Pada tahun 2009 beban bahan bakar listrik yang ditanggung oleh industri Furnitur sedikit berkurang dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Bahan Bakar Minyak
Bahan Bakar Listrik 425.3
379.0 325.0
238.2
227.0
248.1 178.3
176.8
2006
2007
2008
2009
Gambar 5.27. Perkembangan Pemakaian Bahan Bakar Minyak, Gas, dan Listrik Industri Furnitur Indonesia Tahun 2006-2009 Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah Puska Daglu Kemendag).
Berdasarkan hasil temuan lapangan, makin mahalnya biaya BBM dianggap oleh 37,5 persen dari responden dalam industri Furnitur sangat menghambat,
25
persen
responden
dalam
industri
Furnitur
menganggapnya menghambat, dan sisanya tidak menghambat pada tahun 2011. Sementara itu, hanya sekitar 25 persen dari responden industri Furnitur berpersepsi bahwa makin tingginya biaya listrik tidak menghambat pada tahun 2011. Sebagian besar (75 persen) menganggap bahwa makin mahalnya biaya listrik agak menghambat hingga sangat menghambat seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 5.28.
119
Sangat Menghambat 37.5%
Tidak menghambat 25.0%
Sangat Menghambat 37.5%
Agak menghambat Menghambat 25.0% 12.5%
Makin Mahalnya Biaya Listrik
Tidak menghambat 37.5%
Agak menghambat 25.0%
Makin Mahalnya Biaya BBM
Gambar 5.28. Persepsi terhadap Makin Mahalnya Biaya Listrik dan Biaya BBM Sumber: data primer (diolah oleh Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Beberapa tahun terakhir industri Furnitur Indonesia dinilai mengalami penurunan kinerja. Hal ini terlihat dari pertumbuhan negatif industri Barang Kayu dan Hasil Hutan Lainnya pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2009, yaitu pada tahun 2006 (-0,66 persen), tahun 2007 (1,74 persen), dan pada tahun 2008 tumbuh cukup signifikan yaitu 3,45 persen, namun pada tahun 2009 mengalami penurunan kembali menjadi -1,46 persen (Tabel 4.9). Menurunnya pertumbuhan tersebut disebabkan oleh naiknya nilai tukar Rupiah dan menurunnya permintaan pasar dunia karena belum pulihnya perekonomian di beberapa negara tujuan ekspor seperti Amerika Serikat dan Eropa akibat krisis ekonomi global. Hambatan non tarif, terutama di Jepang sebagai salah satu negara pengimpor terbesar produk-produk Furnitur di dunia, menjadi penyebab lain
dari
menurunnya
pertumbuhan
industri
Furnitur
Indonesia
sebagaimana disampaikan oleh 50 persen responden industri Furnitur Indonesia. Penerapan standar kualitas, desain, spesifikasi bahan, dan SPS yang tinggi oleh Jepang menjadi hambatan.
120
Tabel 5.8. Perkembangan PDB Sektor Industri Pengolahan atas Dasar Harga Konstan 2000 dan Realisasi Pertumbuhan Tahun 2005-2009
Penurunan kinerja industri Furnitur terlihat juga dari menurunnya realisasi dan utilisasi produksi seperti yang dicatat oleh Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian (2009). Nilai realisasi dan utilitasi produksi pada sub industri Furnitur Kayu dan Rotan Olahan pada tahun 2009 lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2006 seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 4.10. Penurunan terbesar dalam kapasitas, realisasi, dan utilisasi produksi industri Furnitur terjadi pada tahun 2008 diakibatkan oleh adanya krisis ekonomi global. Realisasi produksi subindustri Kayu pada tahun 2008 sebesar 1.226.742 ton, hanya mencapai 42,3 persen dari kapasitas produksi yang ada. Sementara itu, realisasi produksi sub industri Rotan Olahan pada tahun yang sama sebesar 304.114 ton, pemanfaatannya hanya mencapai 70,7 persen dari kapasitas terpasang. Pada tahun 2009 kinerja sub industri Furnitur dari 121
Kayu kembali meningkat dalam realisasi dan utilisasi produksi. Berbeda halnya dengan peningkatan kinerja dalam sub industri Furnitur dari Kayu, sub industri Rotan Olahan justru terpuruk dalam kinerja produksinya. Realisasi produksi sub industri Rotan Olahan pada tahun 2009 hanya mencapai 269.871 ton (60,4 persen dari kapasitas produksi).
Tabel 5.9. Perkembangan Kapasitas, Realisasi, dan Utilisasi Produksi Industri Furnitur Indonesia Tahun 2006-2009 Jenis Industri/ Komoditi Furniture Kayu
Rotan Olahan
Kapasitas Produksi (ton) Realisasi Produksi (ton) Utilisasi (%) Kapasitas Produksi (ton) Realisasi Produksi (ton) Utilisasi (%)
2006 2007 3,401,350 3,411,554 2,258,882 2,265,660 66.4 66.4 551,635 551,685 372,761 373,880 67.6 67.8
2008*) 2,899,821 1,226,742 42.3 430,236 304,114 70.7
2009**) 3,411,554 1,990,319 58.3 446,784 269,871 60.4
Keterangan: *) Angka sementara **) Angka sangat sementara Sumber: Statistik 2009 Agrokim, Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian (2009).
Dari sisi nilai, output industri Furnitur Indonesia cenderung mengalami peningkatan sepanjang tahun 2006-2009. Nilai output industri Furnitur mencapai Rp. 15,8 triliun pada tahun 2006, sedangkan pada tahun 2009 mencapai Rp. 19,1 triliun. Pada tahun 2008 nilai output industri mencapai level tertinggi sepanjang tahun 2006-2009, yaitu sebesar Rp. 20,9 triliun, meskipun utilisasi produksi pada tahun tersebut rendah sebesar 42,3 persen. Nilai tambah industri Furnitur cenderung fluktuatif sepanjang tahun 2006-2009, meskipun demikian memiliki tren positif sebesar 3,6 persen. Nilai tambah pada tahun 2006 sebesar Rp. 7 triliun, meningkat menjadi Rp. 8,7 triliun pada tahun 2007. Pada tahun 2008 nilai tambah industri Furnitur mengalami penurunan hingga menjadi Rp 7,1 triliun. Penurunan tersebut tidak sejalan dengan peningkatan nilai output industri Furnitur pada tahun yang sama. Hal ini mengindikasikan bahwa komposisi biaya input besar. Nilai output industri Furnitur pada tahun 122
2009 kembali meningkat hingga mencapai Rp. 8,4 triliun (Gambar 4.49).
Output
Nilai tambah
25 20.9
20.4
19.1
20
triliun Rp
15.8
15
10
8.7 7.1
7.0
8.4
5 0 2006
2007
2008*)
2009**)
Gambar 5.29. Perkembangan Output dan Nilai Tambah Industri Furnitur Indonesia Tahun 2006-2009 Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah Puska Daglu Kemendag).
Produk Furnitur Indonesia sebenarnya mempunyai ciri dan sifat khas yang jarang dimiliki oleh negara-negara produsen Furnitur lainnya, di antaranya memiliki sumber bahan baku yang beraneka jenis kayu (tropical hard-wood), baik solid maupun engineered-wood, juga berbagai jenis bahan baku rotan (natural dan hasil budidaya), di samping desain yang bermuatan kearifan lokal (ciri khas ukir-ukiran). Mengingat di negara-negara tersebut sudah tidak bisa mengembangkan lagi potensi bahan bakunya secara signifikan dan biaya produksi yang relatif mahal, sedangkan Indonesia terus mengembangkan hutan yang berwawasan lingkungan melalui pembangunan Timber Estate sebagai HTI dan HTR. Oleh karena itu, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang cukup besar untuk meningkatkan perannya pada industri furnitur di dunia.
123
BAB VI PEMANFAATAN SKA FORM IJ-EPA DAN KENDALA IMPLEMENTASI
6.1 Pemanfaatan Surat Keterangan Asal (SKA) Form IJ-EPA dan Kendala Implementasi Sebagai salah satu prasyarat kelengkapan dokumen dalam memperoleh tarif preferensi pada barang ekspor maupun impor dalam kesepakatan IJ-EPA, pemahaman tentang persyaratan dan prosedur penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA) atau biasa dikenal dengan Certificate of Origin (COO) menjadi suatu hal yang perlu diketahui dan dipahami oleh para eksportir maupun importir. Berdasarkan informasi dari Direktorat Fasilitasi Ekspor dan Impor Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Indonesia memiliki 85 instansi penerbit SKA (IPSKA) yang berwenang untuk menerbitkan SKA di mana sebanyak 28 IPSKA telah otomasi (online), dan 57 IPSKA masih dalam proses otomasi (manual/offline). Dalam proses penerbitan SKA terdapat beberapa persyaratan dokumen yang harus dilengkapi, yakni aplikasi SKA Form IJ-EPA dan dokumen-dokumen pendukung berupa fotokopi Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), bill of lading (B/L) atau air way bill (AWB) atau tanda terima kargo, fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), invoice, packing list, dan dokumen lain (struktur biaya dari barang yang diekspor yang mengandung bahan baku dan/atau bahan penolong yang diimpor, purchase order (untuk beberapa barang ekspor tertentu), dan/atau Kartu Tanda Pengenal (KTP) atau paspor. Untuk proses penerbitan SKA secara otomasi, para eksportir wajib melakukan
registrasi
eksportir
terlebih
dahulu
melalui
situs
ska.kemendag.go.id/ dengan melengkapi data nama perusahaan,
http://eNPWP
perusahaan, No Reg AEKI diisi apabila ekspor di bidang Kopi, Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP), nama penandatangan SKA(eksportir), alamat perusahaan, alamat pabrik atau tempat produksi, lokasi perusahaan, IPSKA yang dipilih (terdekat), user name, user ID, email perusahaan, dan password. SOP registrasi eksportir dapat dilihat pada Gambar 6.1. 124
Gambar 6.1 Bagan SOP Registrasi Eksportir Sumber: http://e-ska.kemendag.go.id/portal/web/guest/pendaftaran-eksportir
Adapun proses penerbitan SKA secara online dapat dilakukan dengan langkah-langkah seperti yang tergambar dalam Gambar 6.2. Dalam penerbitan SKA secara online eksportir dapat langsung melakukan permohonan melalui website http://e-ska.kemendag.go.id/.
125
Gambar 6.2 SOP Penerbitan SKA secara Online Sumber: http://e-ska.kemendag.go.id/portal/web/guest/penerbitan-ska-online
Sementara prosedur penerbitan SKA Form IJ-EPA secara manual (offline) dapat dilihat dari Gambar 6.3. Perbedaan mendasar dari prosedur penerbitan SKA Form IJ-EPA secara online dengan manual adalah pihak eksportir diharuskan datang ke IPSKA.
126
Gambar 6.3. Bagan SOP Penerbitan SKA secara Manual (Offline) Sumber: http://e-ska.kemendag.go.id/portal/web/guest/penerbitan-ska-offline-softcopy
Berdasarkan catatan Direktorat Fasilitasi Ekspor dan Impor Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, pangsa nilai SKA Form IJ-EPA terhadap ekspor non migas Indonesia ke Jepang sepanjang tahun 2008-2010 dan Januari-September 2010/2011 cenderung fluktuatif. Pangsa nilai SKA Form IJ-EPA terhadap ekspor non migas Indonesia ke Jepang tahun 2008 sebesar 12,4 persen, terendah dibandingkan dengan pangsa nilai SKA preferensi free trade area (FTA) lain terhadap ekspor non migasnya (misalnya, SKA Form AK (AK-FTA) sebesar 63,1 persen, SKA Form D/ATIGA (AFTA) sebesar 40,5 persen, dan SKA Form E (AC-FTA) sebesar 23,2 persen) pada tahun yang sama. Rendahnya
pangsa
SKA
tersebut
disebabkan
oleh
jangka
waktu 127
pengimplementasian kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA yang baru berjalan selama enam bulan. Pada tahun 2009 pangsa nilai SKA Form IJ-EPA terhadap ekspor non migas Indonesia ke Jepang naik menjadi 20,7 persen, kemudian turun menjadi 16 persen pada tahun 2010. Selama periode Januari-September 2011 pangsa nilai SKA Form IJ-EPA terhadap ekspor non migas Indonesia ke Jepang sebesar 28,6 persen, sedangkan pangsanya selama periode Januari-September 2011 mencapai 15,4 persen. Meskipun pangsa nilai SKA Form IJ-EPA terhadap ekspor non migas Indonesia ke Jepang periode Januari-September 2011 lebih tinggi dibandingkan dengan periode lainnya, pangsanya tetap lebih rendah dibandingkan dengan pangsa nilai SKA tarif preferensi FTA lainnya (Gambar 6.4). Perkembangan pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dalam kegiatan ekspor Indonesia ke Jepang sebagaimana digambarkan dalam Gambar 6.4 menunjukkan pertumbuhan yang relatif tinggi. Pada tahun pertama IJ-EPA diimplementasikan, yakni tahun 2008, Indonesia telah mengeluarkan 16.226 lembar SKA Form IJEPA. Kemudian terjadi peningkatan penerbitan SKA Form IJ-EPA pada tahun 2009 dan 2010 masing-masing sebesar 185,2 persen dan 5 persen menjadi sebanyak 46.272 lembar dan 53.182 lembar. Penerbitan SKA Form IJ-EPA periode Januari-September 2011 mencapai 43.580 lembar, melebihi jumlah penerbitan SKA Form IJ-EPA periode Januari-September 2010 sebanyak 39.119 lembar. Dengan kata lain, penerbitan SKA Form IJ-EPA periode JanuariSeptember 2011 naik sebesar 11,4 persen dibandingkan dengan periode JanuariSeptember 2010.
128
Pangsa Nilai SKA terhadap Ekspor Non Migas TOTAL
AFTA
AKFTA
ACFTA
IJEPA
AIFTA
63.1
59.2
48.1 46.1 40.5
41.5
37.8 31.0
39.1
%
31.1
28.6
22.1
20.7 16.0
12.4 9.2 6.9 3.1
4.6
2007
2008
2009
2010
Jan-Sep2010
Jan-Sep 2011
Nilai SKA berdasarkan Tipe Preferensi FTA
Total Jumlah SKA berdasarkan Tipe Preferensi FTA
35,000
250,000
30,000 200,000
25,000
US$ juta
Total Jumlah SKA
150,000
100,000 50,000
20,000 15,000 10,000
-
5,000
(50,000)
-
2007
2008
2009
2010
Jan-Sep2010
Jan-Sep 2011
Perub. Jan-Sep 2011/2010 (%)
2007
2008
2009
2010
Jan-Sep2010
Jan-Sep 2011
Perub. Jan-Sep 2011/2010 (%)
Total
26,085
139,864
187,884
205,775
164,235
189,248
15.2
Total
1,907
15,884
13,106
19,867
13,138
28,790
119.1
AFTA
2,332
11,604
16,606
103,334
84033
83,524
-0.6
AFTA
1,360
9,434
6,417
8,710
6,094
9,680
58.8
AKFTA
4,262
22,937
27,210
28,622
23170
26,144
12.8
AKFTA
343
2,942
1,603
2,776
1,712
3,393
ACFTA
19,491
89,095
97,793
24,235
17913
26,580
48.4
ACFTA
204
1,804
2,607
5,287
3,520
6,875
95.3
IJEPA
-
16,228
46,275
48,571
39119
43,580
11.4
IJEPA
0
1,705
2,479
2,642
1,811
3,909
115.8
AIFTA
-
-
-
1,013
0
9,420
0.0
AIFTA
0
-
0.0
452
-
4,934
98.2
Gambar 6.4 Perkembangan Pemanfaatan Preferensi FTA Sumber: Dit. Fasilitasi Ekspor dan Impor, Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Kemendag (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Dari sisi nilai, terjadi juga peningkatan nilai ekspor dengan menggunakan SKA Form IJ-EPA. Nilai ekspor dengan penggunaan SKA Form IJ-EPA meningkat dari US$ 1,7 miliar pada tahun 2008 menjadi US$ 2,5 milliar pada tahun 2009 dan US$ 2,9 milliar pada tahun 2010. Sementara itu nilai SKA Form IJ-EPA periode Januari-September 2011 melonjak tajam sebesar 115,8 persen dari periode sebelumnya. Nilai ekspor dengan penggunaan SKA Form IJ-EPA periode Januari-September 2010 yang hanya mencapai US$ 1,8 miliar menjadi sebesar US$ 3,9 miliar. Hal ini mengindikasikan semakin banyaknya para eksportir Indonesia yang memanfaatkan SKA Form IJ-EPA dan tarif preferensi IJ-EPA dalam melakukan ekspornya ke Jepang (Gambar 6.4). Bertolak dari Gambar 6.4 dapat diperoleh rata-rata nilai ekspor SKA Form IJEPA kurun waktu 2008-2010. Pada tahun pertama kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA diimplementasikan, rata-rata nilai ekspor ke Jepang per dokumen SKA sekitar US$ 105,1 ribu. Kemudian pada implementasi tahun berikutnya turun hampir mencapai 50 persen, menjadi sebesar US$ 53,6 ribu per dokumen
129
SKA Form IJ-EPA. Pada tahun 2010 rata-rata nilai ekspor per dokumen SKA Form IJ-EPA menjadi US$ 54,1 ribu. Ditinjau dari jenis produk, pemanfaatan SKA Form IJ-EPA selama tahun 2008-2010 didominasi oleh produk Plastik dan Barang Plastik, Bahan Bakar Mineral, Ikan dan Udang, Kayu dan Barang dari Kayu, Serat Staple Buatan, Peralatan Elektrik dan Elektronik, Kimia Organik, Katun, Furnitur, dan Aneka Produk Kimia. Peralatan Elektrik dan Elektronik tercatat memiliki pertumbuhan tertinggi dalam nilai ekspor Indonesia ke Jepang berdasarkan pemanfaatan SKA preferensi pada tahun 2009 dibanding dengan tahun 2008 dengan nilai sebesar 216,1 persen, sedangkan Aneka Produk Kimia memiliki pertumbuhan tertinggi pada tahun 2010 dengan nilai sebesar 104,1 persen (Gambar 6.5). 2008
2009
2010
Pertumbuhan (%)
juta US$ Plastik dan Barang dari Plastik 90.9
Bahan bakar mineral
302.1 235.3 72.2 21.3
67.4
Kimia Organik
Furnitur Aneka produk kimia
29.3
66.1
112.1
-9.5
333.8 -27.5
324.7
55.3
2009/2008
25.7
141.0
216.1 -2.1 3.4 125.4
91.4
86.9 84.6
2010/2009
68.2
113.4 105.0 102.7 106.3
58.5 31.4 41.4
84.6 58.6
204.8
Serat Stapel Buatan
Katun
335.7
180.8
Kayu, Barang dari Kayu
82.4
102.5
165.8
Ikan dan Udang
Peralatan Elektrik dan Elektronik
9.5 7.7
294.0 321.9 346.6
38.3 180.6
209.0 -51.9 32.1 104.1
Gambar 6.5 Perkembangan Nilai Ekspor Komoditi Berdasarkan Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA Sumber: Dit. Fasilitasi Ekspor dan Impor, Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Kemendag (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Gambar 6.6 memperlihatkan bahwa selain instansi penerbit SKA yang berlokasi di wilayah Jakarta, penerbitan SKA Form IJ-EPA tertinggi sepanjang tahun 2008-2010 terjadi pada IPSKA Provinsi Jawa Timur, Provinsi Bali, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Sumatera Utara, dan Provinsi Jawa Barat. Tingginya penerbitan SKA Form IJ-EPA di kelima IPSKA tersebut disebabkan kelimanya berlokasi di daerah yang menjadi sumber penggerak perekonomian Indonesia. 130
Selain itu, kelima IPSKA tersebut merupakan IPSKA yang telah otomasi (online) dalam menerbitkan SKA, khususnya SKA Form IJ-EPA. Merujuk dari penjelasan tersebut, maka tim kajian menentukan daerah survei di Surabaya, Semarang, Denpasar, Medan, dan Bandung. Selanjutnya Manado dipilih menjadi daerah survei sebagai pembanding IPSKA yang masih sedang dalam proses otomasi atau manual (offline). 2009
2008 PROP. JABAR 3.5%
Lain-lain 13.6% PROP. JATIM OTORITA BATAM 23.3% 3.8% JAKPUS 4.9% PROP. SUMUT PROP. DKI 5.7% JAKARTA 15.6% JAKBAR PROP. BALI PROP. JATENG 7.0% JAKTIM 8.6% 6.9% 7.1%
OTORITA BATAM 3.0%
Lain-lain 15.4%
PROP. JABAR 4.3% JAKPUS 5.8% PROP. SUMUT 6.0% JAKTIM 6.2% JAKBAR 6.4%
2010
PROP. JATIM 20.2% PROP. DKI JAKARTA 15.1% PROP. BALI 10.2%
PROP. JATENG 7.3%
KAB. BEKASI 2.9%
Lain-lain 16.6%
PROP. JATIM 19.5%
PROP. JABAR 4.8% JAKPUS 5.8% JAKBAR 5.8%
PROP. SUMUT 6.8%
PROP. DKI JAKARTA 15.1% PROP. BALI 8.6%
JAKTIM 7.2%
PROP. JATENG 7.0%
Gambar 6.6 Perkembangan Penerbitan SKA Form IJ-EPA Berdasarkan Sepuluh IPSKA Utama di Indonesia Sumber: Dit. Fasilitasi Ekspor dan Impor, Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Kemendag (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Selain mempelajari data sekunder, tim kajian juga melakukan diskusi, wawancara, dan Focus Group Discussion (FGD) bersama pelaku usaha yang bergerak pada industri yang menjadi fokus kajian. Berdasarkan hasil temuan lapangan di daerah sampel, hampir tiga perempat pelaku yang tim wawancarai yang bergerak dalam industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya, industri Cokelat dan Kembang Gula, industri Barang dari Plastik, industri Furnitur, dan industri Tekstil dan Produk Tekstil telah melakukan kegiatan ekspor ke Jepang selama lebih dari tiga tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa para responden tersebut telah melakukan ekspor ke Jepang jauh sebelum disepakatinya kesepakatan perdagangan bebas antara Indonesia dengan Jepang melalui IJ-EPA yang mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Juli 2008. Sisanya adalah pelaku usaha
yang melakukan kegiatan
ekspor ke Jepang pasca diberlakukannya IJ-EPA. Lebih dari setengah pelaku 131
usaha yang tim wawancarai telah mengetahui hingga sangat memahami tentang kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA, sedangkan sisanya hanya pernah mendengar dan tidak mengetahui tentang IJ-EPA. Dari segi pemahaman akan tarif preferensi IJ-EPA sebagaimana tergambar dalam Gambar 6.7, sebanyak 25,6 persen pelaku usaha tidak mengetahui tentang adanya tarif preferensi IJ-EPA dan pemanfaatannya. Ketidaktahuan tersebut disebabkan oleh ketidakpedulian para pelaku usaha sebagai eksportir akan manfaat tarif preferensi IJ-EPA. Manfaat keringanan tarif bea masuk preferensi IJ-EPA dinikmati oleh pihak pembeli atau importir dari Jepang. 2.6
2.6
2.6 7.7
2.6 7.7
46.2
43.6
10.3 5.1 12.8
Tidak Menjawab 43.6
17.9
17.9
23.1
25.6
Pemahaman tentang Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA
Pemahaman tentang Tarif Preferensi IJ-EPA
Sangat Paham Paham
15.4 12.8
Pemahaman tentang Persyaratan dan Prosedur Penerbitan SKA Form IJ-EPA
Tahu Pernah Mendengar Tidak Tahu
Gambar 6.7 Pemahaman tentang Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA, Tarif Preferensi IJ-EPA, dan Persyaratan dan Prosedur Penerbitan SKA Form IJ-EPA Sumber: data primer (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Dari pelaku usaha yang tim wawancarai sebanyak 23,1 persen tidak mengetahui tentang persyaratan dan prosedur penerbitan SKA Form IJ-EPA. Ketidaktahuan responden tersebut karena mereka menggunakan jasa perusahaan Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL) dalam penerbitan SKA Form IJ-EPA. Alasan lainnya adalah masih adanya importir dari Jepang yang menginginkan penggunaan SKA Form A dan tarif bea masuk untuk produk tertentu telah nol persen sebelum diimplementasikannya IJ-EPA. Penerbitan SKA Form IJ-EPA membutuhkan waktu satu hari kerja dari penerimaan berkas aplikasi penerbitan SKA Form IJ-EPA yang lengkap dengan biaya penggantian aplikasi SKA Form IJ-EPA sebesar Rp. 5.000,-. Namun dalam prakteknya, biaya penerbitan SKA Form IJ-EPA beragam di berbagai daerah 132
survei. Gambar 6.8 menunjukkan bahwa hanya sebesar 25,6 persen dari total responden yang mengeluarkan biaya penerbitan SKA Form IJ-EPA sesuai dengan ketentuan resmi sebesar Rp. 5.000,-. Sementara sekitar 23,1 persen dikenakan biaya penerbitan SKA Form IJ-EPA sebesar Rp. 5.001 – Rp. 50.000, Rp. 50.001Rp. 70.000 (2,6 persen), dan biaya sesuai dengan ketentuan perusahaan EMKL (5,1 persen). Sekitar 43,6 persen dari total responden enggan menjawab mengenai pengenaan biaya penerbitan SKA Form IJ-EPA.
Tidak menjawab 43.6%
Rp. 5.000 (sesuai dengan ketentuan resmi) 25.6%
Rp. 5.001- Rp. 50.000 23.1% Biaya sesuai dengan ketentuan perusahaan EMKL 5.1%
Rp. 50.001Rp.70.000 2.6%
Gambar 6.8 Biaya Penerbitan SKA Form IJ-EPA di Berbagai Daerah Survei di Indonesia Sumber: Data primer (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Secara keseluruhan, dalam proses penerbitan SKA Form IJ-EPA sekitar 64,1 persen dari pelaku usaha yang tim wawancari menghadapi berbagai kendala. Beberapa kendala utama yang dianggap menghambat dalam proses penerbitan SKA Form IJ-EPA sebagaimana terlihat dalam Gambar 5.6, antara lain keterbatasan sumber daya manusia (SDM) yang terdapat di berbagai IPSKA (28,2 persen), keenganan pencantuman struktur biaya dalam SKA Form IJ-EPA (25,6 persen), dan pemilihan kode HS yang sesuai (23,1 persen), dan kurangnya sosialisasi mengenai fasilitas IJ-EPA (20,5 persen). Keterbatasan SDM yang memiliki pemahaman tentang persyaratan dan prosedur penerbitan SKA Form IJ-EPA dan kompeten dalam bidangnya menjadi suatu permasalahan tersendiri, baik bagi IPSKA yang telah melakukan otomasi secara online maupun IPSKA yang masih melakukan penerbitan SKA Form IJEPA secara manual (Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Provinsi Sulawesi
Utara, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bitung, Dinas Perindustrian dan 133
Perdagangan Kabupaten Gianyar). Sementara pencantuman struktur biaya dalam SKA Form IJ-EPA menjadi hambatan bagi sebagian pelaku usaha karena dengan pencantuman struktur biaya akan berpengaruh terhadap pajak yang harus dibayarkan. Pemilihan kode HS yang sesuai untuk dicantumkan dalam aplikasi SKA Form IJ-EPA menjadi suatu permasalahan yang membingungkan bagi para pelaku usaha yang tim wawancarai. Kadangkala importir Jepang meminta para pelaku usaha untuk mencantumkan kode HS nasional Jepang dalam aplikasi SKA Form IJ-EPA guna kepentingan tarif preferensi IJ-EPA. Adanya perbedaan dalam kode HS nasional Indonesia (10 digit) dengan kode HS nasional Jepang (9 digit) dan perbedaan dalam uraian barang tidak dapat secara langsung dapat dikonversikan ke dalam HS nasional Jepang. Di samping itu, keterbatasan pengetahuan para responden dan petugas IPSKA menjadi penyebab lain dalam penentuan kode HS yang tepat. Untuk mengatasi permasalahan perbedaan kode HS dan pemilihan kode HS yang tepat, maka selama ini digunakan kode HS nasional Indonesia dalam aplikasi SKA Form IJ-EPA. Minimnya sosialisasi mengenai fasilitas IJ-EPA dirasakan oleh 20,5 persen menjadi suatu kendala dalam proses penerbitan SKA Form IJ-EPA di berbagai daerah. Hal ini terkait dengan masih terdapatnya pelaku usaha yang tidak mengetahui mengenai kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA, tarif preferensi IJEPA, dan persyaratan serta prosedur penerbitan SKA.
134
Ada Kendala
Tidak Ada Kendala
Kurang sosialisasi mengenai fasilitas IJ-EPA
20.5
Biaya penerbitan SKA
79.5
12.8
Fasilitas pendukung dalam penerbitan SKA
87.2
17.9
SDM di IPSKA yang terbatas
82.1
28.2
71.8
Pergantian pejabat yang berwenang
17.9
82.1
Perubahan spesimen tanda tangan
15.4
74.4
Pemilihan kode HS yang sesuai
23.1
Keengganan mencantumkan struktur biaya
76.9
25.6
Kurang beragamnya produk ekspor ke Jepang
74.4
12.8
Masih terdapatnya penggunaan SKA Form A untuk …
87.2
15.4
0%
84.6
10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%
Gambar 6.9 Persepsi Responden tentang Ada/Tidaknya Kendala dalam Pemanfaatan dan Proses Penerbitan SKA Form IJ-EPA Sumber: Data primer (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Kendala dalam pengimplementasian kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA yang didapatkan dari hasil survei, wawancara, dan FGD bersama para pelaku usaha di beberapa daerah dapat diperlihatkan dalam Tabel 6.1. Tabel 6.1 Matriks Kendala dalam Pengimplementasian Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA Kendala dalam Pengimplementasian IJ-EPA Penentuan pemilihan kode HS yang sesuai Perubahan spesimen tanda tangan Mutasi pejabat berwenang dalam verifikasi penerbitan SKA Form IJ-EPA Keterbatasan fasilitas pendukung dalam penerbitan SKA Form IJ-EPA Kurangnya sosialisasi mengenai fasilitas IJ-EPA Biaya penerbitan SKA Form IJEPA Keterbatasan sumber daya manusia di IPSKA Keengganan mencantumkan struktur biaya Kurang beragamnya produk ekspor ke Jepang Masih terdapatnya penggunaan SKA Form A untuk ekspor ke Jepang Proses Penerbitan SKA Form IJ-EPA masih dilakukan secara manual
Medan
Denpasar
1 2
Manado
Bandung
Surabaya
Semarang
2
6
3
4
8
8
3
7
4
5
3
10
5
1
5
3
6
9
9
8
4
2
1 3
7
6 (Disperindag Kab. Gianyar)
1
1
1
2
5
10
4
7
2 (Disperindag Provinsi Sulut dan Kota Bitung)
Sumber: Data primer (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
135
Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dan Kendala Implementasi di Surabaya Berdasarkan data Dit. Fasilitasi Ekspor dan Impor Kementerian Perdagangan, penerbitan SKA Form IJ-EPA oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Timur sepanjang tahun 2008-2010 cenderung meningkat. Pada tahun 2010, jumlah SKA Form IJ-EPA yang diterbitkan naik 10,7 persen dibanding dengan tahun 2009. Peningkatan jumlah penerbitan SKA Form IJ-EPA tersebut tidak dibarengi oleh kenaikan nilai ekspor ke Jepang yang memanfaatkan SKA Form IJ-EPA. Nilai SKA Form IJ-EPA Provinsi Jawa Timur pada tahun 2010 hanya mencapai US$ 625,6 juta, turun satu persen dari tahun sebelumnya (Gambar 6.10). Nilai SKA Form IJ-EPA
Jumlah
700
12,000 10,354
600
10,000
9,357 500
8,000
400 6,000 300 4,000
3,780
200
lembar
juta US$
6.1.1
2,000
100 0
0 2008
2009
2010
Gambar 6.10 Perkembangan Penerbitan SKA Form IJ-EPA Provinsi Jawa Timur Tahun 2008-2010 Sumber: Dit. Fasilitasi Ekspor dan Impor, Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Kemendag (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Produk Krustasea (Udang), Tekstil dan Produk Tekstil, Furnitur, Barang dari Plastik, dan Ikan merupakan komoditi utama ekspor Provinsi Jawa Timur ke Jepang yang memanfaatkan fasilitas SKA Form IJ-EPA. Dari Gambar 5.8 dapat dilihat bahwa produk Ikan mengalami pertumbuhan yang tinggi pada tahun 2010 sebesar 120,2 persen. Dari catatan Dit. Fasilitasi Ekspor dan Impor Kementerian Perdagangan, produk Kakao dan Kakao Olahan bukan komoditi utama ekspor Provinsi Jawa Timur ke Jepang. Meskipun ekspor produk Kakao dan Kakao Olahan Provinsi Jawa Timur ke Jepang mengalami pertumbuhan sebesar 179,5 persen pada 136
tahun 2010, nilai ekspor produk Kakao dan Kakao Olahan hanya mencapai US$ 1 juta. Pertumbuhan (%)
juta US$ 0
20
40
60
KAYU OLAHAN
60.5
FURNITURE 8.8
25.4
10.1 18.3 5.0 4.0
131.7
50
100
-13.9
150
200
250
300
350
132.8 0.7 47.3
79.1 339.9 327.5
-7.3 2010
34.1
2009 2008 48.5
11.1
400
75.8
-20.8
92.1
36.0 35.5
31.0
BARANG PLASTIK
0
22.1
40.1 43.2
27.4
MAKANAN OLAHAN
-50
49.4
11.2
2.6
-100
51.2
34.7
19.4
140 129.8
73.9
79.8 79.3
TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT)
IKAN
120
56.6
BAHAN KIMIA ORGANIK
KACA
100
104.4
KRUSTASEA
ANEKA PRODUK KIMIA
80
57.7 1.4
301.9 34.0
152.2
-36.2
165.3 26.7
2010/2009 2009/2008
120.2
Gambar 6.11 Komoditi Utama Ekspor Provinsi Jawa Timur ke Jepang Berdasarkan Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA Tahun 2008-2010 Sumber: Dit. Fasilitasi Ekspor dan Impor, Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Kemendag (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Dari hasil wawancara dan FGD dengan pelaku usaha di Surabaya, Provinsi Jawa Timur, sebagian besar pelaku usaha di berbagai jenis industri belum memahami kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA, baik tarif preferensi IJ-EPA dan persyaratan serta prosedur penerbitan SKA Form IJ-EPA sehingga dari sebagian besar pelaku usaha tersebut belum memanfaatkan keberadaan SKA Form IJ-EPA secara maksimal. Diketahui pula bahwa selama ini sebagian besar pelaku usaha di Surabaya melakukan pengurusan penerbitan SKA Form IJ-EPA melalui pihak ketiga, yakni perusahaan EMKL. Adapun beberapa kendala utama yang dihadapi dalam proses penerbitan SKA Form IJ-EPA oleh sebagian besar pelaku usaha di Surabaya adalah keenganan mencantumkan struktur biaya dalam persyaratan penerbitan SKA Form IJ-EPA, kurangnya sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kapasitas dan kemampuan dalam menangani proses penerbitan 137
SKA Form IJ-EPA di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Timur, dan kurangnya sosialisasi mengenai fasilitas IJ-EPA.
6.1.2
Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dan Kendala Implementasi di Denpasar Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali mencatat bahwa jumlah SKA Form IJ-EPA yang diterbitkan pada tahun 2010 sebanyak 4.574 lembar, tiga kali lipat dari tahun 2008 atau sekitar 96,8 persen dari jumlah penerbitan SKA Form IJ-EPA pada tahun 2009. Sementara periode Januari-April 2011 jumlah SKA Form IJ-EPA yang diterbitkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan sebanyak 1.605 lembar (Gambar 6.12). Menurut pemanfaatan SKA Form IJ-EPA, nilai realisasi ekspor Provinsi Bali ke Jepang pada tahun 2010 mencapai US$ 26,9 juta, turun sebesar 77,2 persen dari tahun 2009. Nilai realisasi ekspor tersebut juga lebih rendah daripada tahun 2008 sebesar US$ 31,6 juta. Penurunan realisasi ekspor tersebut disebabkan oleh anomali cuaca yang mengganggu proses ekspor dan adanya penurunan ekspor beberapa komoditi akibat kesulitan dalam memperoleh bahan baku, terutama untuk produk Furnitur, Anyaman, Perhiasan Logam Mulia, dan Tekstil dan Produk Tekstil (Gambar 6.12). Dibandingkan dengan SKA preferensi FTA lainnya, penerbitan SKA Form IJ-EPA di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali pada tahun 2010 menempati peringkat pertama dengan pangsa sebesar 65,5 persen sebagaimana tergambar dalam Gambar 6.12. Hal ini terjadi karena Jepang merupakan negara tujuan utama ekspor Provinsi Bali. Kendatipun demikian pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dinilai belum optimal karena masih terdapatnya sejumlah pelaku usaha produk Furnitur yang masih menggunakan SKA Form A. Selain itu, sejumlah pelaku usaha di Provinsi Bali masih belum mengetahui kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA.
138
Nilai
140
Jumlah
5,000
4,725
4,574
4,500 4,000
100
3,500
80
3,000
2,500 60
2,000
40
1,605
1,403
Form ATIGA/D 22.8%
lembar
jutaUS$
120
Form E 6.9%
Form IJ-EPA 65.5%
1,500
Form AK 4.6%
1,000
20
500
0 2008
2009
2010
Form AI 0.2%
2010
0 Jan-Apr 2011
Gambar 6.12 Perkembangan Penerbitan SKA Form IJ-EPA dan Pangsa Penerbitan SKA Preferensi Provinsi Bali Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Produk Ikan, Tekstil dan Produk Tekstil, Furnitur, dan Barang dari Plastik termasuk ke dalam komoditi utama ekspor Provinsi Bali ke Jepang. Dari Gambar 6.13 ditunjukkan bahwa produk Barang dari Plastik dan produk Ikan mengalami pertumbuhan sebesar 188,4 persen dan 69,2 persen. Meskipun Provinsi Bali mengekspor produk Udang (Krustasea) dan Kakao dan Kakao Olahan ke Jepang, kedua komoditi tersebut bukanlah komoditi utama karena nilainya kecil. ribu US$ 0 IKAN TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) BARANG DARI KULIT SAMAK
KAYU OLAHAN
10,000
20,000
30,000
40,000
50,000
Pertumbuhan (%) 60,000
70,000
80,000
90,000
100,000
-5,000
0
1,234.8 4,330.4 7,329.0
348.8
11,455.7 6,144.2
15,000
20,000
25,000
30,000
35,000
3,184.4
-46.4
182.0 77.5 18,483.0
3,373.3 2,468.3
-81.7 -26.8
314.5 FURNITURE 2,345.7
92,018.0
91.7 ANYAMAN 2,805.5 1,163.9
29,158.0
-97.5 2,960.0
-58.5
20.7 ALAS KAKI 335.6 631.5
1,521.5 88.2
37.7 BARANG DARI BATU 186.3 565.5
96.7 PERHIASAN LOGAM MULIA 793.9 347.9
10,000
250.7 69.2
673.6 1,899.6 3,372.0
PERHIASAN IMITASI 195.7 435.1
5,000
394.3 203.6 10,035.5
2008 2009 2010
-98.0
-56.2
122.3
2009/2008 2010/2009
721.0
Gambar 6.13 Komoditi Utama Ekspor Provinsi Bali ke Jepang Berdasarkan Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA Tahun 2008-2010 Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
139
Beberapa kendala yang ditemukan dalam kaitannya dengan pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dan kinerja ekspor di Provinsi Bali, antara lain adanya keterbatasan referensi yang dimiliki oleh IPSKA dalam kegiatan pemilihan kode HS yang akan digunakan dalam penentuan klasifikasi barang yang akan diekspor, terjadinya mutasi yang relatif sering pada pejabat yang berwenang yang bertugas untuk memverifikasi SKA Form IJ-EPA. Untuk IPSKA yang belum otomasi, khususnya Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kab. Gianyar, kendala yang dihadapi adalah masih belum terkapitulasinya data mengenai penerbitan SKA Form IJ-EPA dengan baik.
6.1.3
Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dan Kendala Implementasi di Semarang Penerbitan SKA Form IJ-EPA oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah sepanjang tahun 2008-2010 cenderung meningkat. Pada tahun 2008 jumlah SKA Form IJ-EPA yang diterbitkan sebanyak 1.116 lembar dengan nilai sebesar US$ 35,3 juta. Kemudian pada tahun 2009 naik sekitar dua kali lipat menjadi sebanyak 3.376 lembar dengan nilai sebesar US$ 96 juta. Peningkatan penerbitan SKA Form IJ-EPA terjadi pula pada tahun 2010 hingga menjadi sebanyak 3.709 lembar dengan nilai US$ 121,3 juta. Meskipun mengalami peningkatan dalam penerbitan SKA Form IJ-EPA, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah masih menemukan penggunaan SKA Form A dalam ekspor ke Jepang. Yang menjadi dasar pertimbangan pemanfaatan SKA Form A adalah permintaan importir Jepang. Hal ini mengakibatkan belum optimalnya pemanfaatan SKA Form IJ-EPA.
140
Nilai
Jumlah
140
4,000 3,709
120
3,376
3,000
100
2,500
80
2,000 60
lembar
juta US$
3,500
1,500
40
1,116
1,000
20
500
0
0 2008
2009
2010
Gambar 6.14 Perkembangan Penerbitan SKA Form IJ-EPA Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008-2010 Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Produk Tekstil dan Produk Tekstil, Barang dari Plastik, Udang (Krustasea), Furnitur, dan Ikan merupakan komoditi utama ekspor Provinsi Jawa Tengah ke Jepang. Nilai ekspor produk Tekstil dan Produk Tekstil pada tahun 2009 sebesar US$ 17,2 juta sedangkan tahun 2010 sebesar US$ 26,2 juta. Untuk produk Barang dari Plastik, nilai ekspor pada tahun 2009 dan 2010 berturut-turut sebesar US$ 10,2 juta dan US$ 13,3 juta. Meskipun nilai ekspor produk Tekstil dan Produk Tekstil dan Barang dari Plastik Provinsi Jawa Tengah ke Jepang naik pada tahun 2009-2010, pangsa ekspor kedua komoditi tersebut menurun pada periode yang sama (Gambar 6.15). Hal ini terjadi karena ada lonjakan nilai ekspor beberapa komoditi utama lainnya.
141
MESIN DAN PERALATAN ELEKTRIS 3.2%
GULA DAN KEMBANG GULA 1.4% BARANG DARI LOGAM TIDAK MULIA 0.8%
REMPAH-REMPAH 2.2% FURNITURE 3.5% KRUSTASEA 5.2%
MAKANAN OLAHAN 6.0%
KAYU OLAHAN 36.8%
BARANG PLASTIK 16.6% TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) 20.9%
2008
IKAN 0.8% GULA DAN KEMBANG GULA 2.3% LAINNYA MAKANAN OLAHAN 2.6% 2.5% REMPAH-REMPAH 2.6%
MESIN DAN PERALATAN ELEKTRIS FURNITURE 3.4% 4.8% KRUSTASEA 8.0%
2010
IKAN 1.1%
SAYURAN 2.1%
LAINNYA 4.5%
KAYU OLAHAN 40.0%
BARANG PLASTIK 10.6% TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) 17.9%
2009
LAINNYA 50.0%
KAYU OLAHAN 18.0% TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) 11.5%
KRUSTASEA 2.9%
MAKANAN OLAHAN 2.5% FURNITURE 2.2% GULA DAN KEMBANG GULA IKAN MESIN DAN PERALATAN 2.1% 0.9% SAYURAN REMPAH-REMPAH ELEKTRIS 1.0% 1.0% 1.9% BARANG PLASTIK 5.8%
Gambar 6.15 Pangsa Ekspor Komoditi Utama Provinsi Jawa Tengah Menurut Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Dari hasil wawancara, diskusi, dan FGD dengan para pelaku usaha di Semarang maupun pihak Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah, tim kajian menemukan bahwa lebih dari 40 persen pelaku usaha telah melakukan kegiatan ekspor ke Jepang sebelum disepakatinya kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA sedangkan sisanya melakukan kegiatan ekspor ke Jepang pasca implementasi IJ-EPA. Sekitar 75 persen dari pelaku usaha telah mengetahui tentang kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA, sedangkan sisanya tidak mengetahui. Sama halnya dengan hasil temuan di Surabaya, ketidaktahuan dari para pelaku usaha tersebut karena mereka menunjuk perusahaan EMKL dalam melakukan proses penerbitan SKA Form IJ-EPA. Dua pertiga pelaku usaha telah mengetahui pemanfaatan tarif preferensi IJ-EPA dan prosedur penerbitan SKA Form IJ-EPA. Kendala utama yang ditemui oleh para pelaku usaha di Semarang yang menjadi responden adalah keterbatasan SDM dalam IPSKA dan keenganan mencantumkan struktur biaya. Secara umum, sebagian besar pelaku usaha tidak menemui kendala dalam penerbitan SKA Form IJ-EPA sebagaimana yang ditunjukkan oleh Gambar 6.16.
142
Tidak Kendala
Ada Kendala
Kurang sosialisasi mengenai fasilitas IJ-EPA
75.0
Biaya penerbitan SKA
25.0
83.3
Fasilitas pendukung dalam penerbitan SKA SDM di IPSKA yang terbatas
16.7
75.0
25.0
50.0
Pergantian pejabat yang berwenang
50.0 75.0
Perubahan spesimen tanda tangan
25.0
83.3
Pemilihan kode HS yang sesuai
16.7
75.0
Keengganan mencantumkan struktur biaya
25.0
66.7
Kurang beragamnya produk ekspor ke Jepang
33.3 91.7
Masih terdapatnya penggunaan SKA Form A…
0%
8.3
83.3
20%
40%
16.7
60%
80%
100%
Gambar 6.16 Persepsi Responden tentang Ada/Tidaknya Kendala dalam Pemanfaatan dan Proses Penerbitan SKA Form IJ-EPA di Provinsi Jawa Tengah Sumber: data primer (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
6.1.4
Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dan Kendala Implementasi di Medan Sebagai salah satu IPSKA yang telah otomasi (online) dalam proses penerbitan SKA Form IJ-EPA di Indonesia, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera Utara telah menerbitkan SKA Form IJEPA sebanyak 3.708 lembar pada tahun 2010, turun 7,3 persen dari tahun 2009. Dibandingkan dengan jumlah SKA Form IJ-EPA yang diterbitkan di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2008 sebanyak 2.364 lembar, tentu saja pada tahun 2010 mengalami lonjakan yang tinggi. Pada periode Januari-Februari 2011 jumlah SKA Form IJ-EPA yang diterbitkan sebanyak 592 lembar. Nilai SKA Form IJ-EPA yang diterbitkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2010 mencapai US$ 231,5 juta sedangkan pada periode Januari-Februari 2011 sebesar US$ 44,7 juta. Perlu diketahui bahwa terdapat perbedaan dalam pencatatan data yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera Utara dengan Dit. Fasilitasi Ekspor dan Impor Kementerian Perdagangan. 143
Dari SKA preferensi yang diterbitkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera Utara, pada tahun 2010 jumlah penerbitan SKA Form IJ-EPA menduduki posisi ke-3 setelah penerbitan SKA Form ATIGA dan Form E. Akan tetapi jika dibandingkan dengan total SKA yang diterbitkan baik preferensi maupun bukan preferensi, penerbitan SKA Form IJ-EPA ada di peringkat ke-4 setelah jumlah penerbitan SKA Form A, Form B, dan Form D/ATIGA (Gambar 6.17). Form D/ATIGA (AFTA)
100% 90% 80%
10.2 21.7
Form E (AC-FTA)
Form IJ-EPA
Form AK (AK-FTA)
6.1
21.2
2.1 10.7
24.2
26.2
70% 60%
Form AI (AI-FTA)
24.2 19.5
50% 40% 30% 20%
47.0
45.5
41.5
2008
2009
2010
10% 0%
Gambar 6.17 Pangsa Pemanfaatan SKA Preferensi Provinsi Sumatera Utara Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera Utara (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Hasil rekapitulasi data yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Utara menunjukkan bahwa produk Barang dari Plastik, Ikan dan Udang, Furnitur termasuk ke dalam komoditi utama ekspor Provinsi Sumatera Utara ke Jepang dengan pemanfaatan SKA Form IJ-EPA pada tahun 2010 dengan pangsa masing-masing sebesar 16,8 persen (US$ 38,8 juta), 14,2 persen (US$ 32,9 juta), dan 1,3 persen (US$ 3,1 juta). Pada periode Januari-Februari 2011 pangsa ketiga komoditi tersebut secara berturut-turut sekitar 11,2 persen (US$ 5 juta), 0,7 persen (US$ 301,6 ribu), dan 1,4 persen (US$ 616,6 ribu). Dari catatan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera Utara masih ditemui penggunaan SKA Form A dalam kegiatan ekspor ke Jepang pada tahun 2010, meskipun jumlahnya lebih rendah daripada 144
penggunaan SKA Form IJ-EPA. Penggunaan SKA Form A ke Jepang dikarenakan adanya permintaan importir dari Jepang, khususnya untuk produk Lemak dan Minyak Hewan/Nabati; Kopi, Teh dan Rempahrempah; Bahan Kimia Organik; Ikan dan Udang (khususnya Kerang); Berbagai Makanan Olahan; Kayu dan Barang dari Kayu; Daging dan Ikan Olahan; dan Sayuran (Umbi-umbian). Dengan pertimbangan bahwa dengan menggunakan SKA Form A tarif bea masuk MFN di Jepang lebih rendah dibandingkan dengan tarif preferensi IJ-EPA. Berdasarkan hasil temuan lapang di Medan, Provinsi Sumatera Utara diketahui bahwa sebagian besar pelaku usaha telah mengetahui tentang kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA, tarif preferensi IJ-EPA, dan prosedur penerbitan SKA Form IJ-EPA. Beberapa pelaku usaha yang tim kajian temui dan wawancarai menyatakan bahwa pemilihan kode HS yang sesuai dan spesimen tanda tangan menjadi kendala utama dalam proses penerbitan SKA Form IJ-EPA.
6.1.5
Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dan Kendala Implementasi di Bandung Perkembangan pemanfaatan SKA Form IJ-EPA di Provinsi Jawa Barat dianggap cukup menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dari Gambar 5.15 di mana jumlah dan nilai SKA Form IJ-EPA yang diterbitkan oleh Dinas Provinsi Jawa Barat setiap tahunnya meningkat selama periode 20082010. Produk TPT mendominasi penerbitan SKA Form IJ-EPA di Provinsi Jawa Barat. Kemudian diikuti oleh produk Barang dari Plastik yang menjadi produk utama (Gambar 6.18).
145
Nilai
Jumlah
120
3,000
2,527
100
2,011
2,000
60
1,500
40
1,000
573
20
lembar
juta US$
80
2,500
500
0
0 2008
2009
2010
Gambar 6.18 Perkembangan Penerbitan SKA Form IJ-EPA di Provinsi Jawa Barat Sumber: Dit. Fasilitasi Ekspor dan Impor, Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
120,000
100,000
ribu US$
80,000
60,000
40,000
20,000
0 TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT)
2008
2009
2010
27,665.1
61,093.2
98,727.4
BARANG PLASTIK
492.6
2,703.0
3,385.7
ALAS KAKI
585.6
2,346.5
1,980.9
BARANG DARI KULIT SAMAK
317.2
1,459.9
1,407.6
KARET DAN BARANG DARI KARET
122.0
427.2
1,395.8
TEH
536.1
3,647.7
990.8
TEMBAGA DAN PRODUKNYA
152.9
467.3
459.8
ALUMINIUM DAN PRODUKNYA
90.3
578.9
447.9
PULP
67.8
91.6
104.7
Gambar 6.19 Komoditi Utama Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA Sumber: Dit. Fasilitasi Ekspor dan Impor, Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Bertolak dari hasil survei, wawancara, dan diskusi dengan pelaku usaha produk TPT di Bandung, tim kajian menyimpulkan bahwa pada umumnya sebagian pelaku usaha yang bergerak di bidang industri TPT telah 146
memahami tentang keberadaan SKA Form IJ-EPA guna mendapatkan preferensi tarif dalam kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA. Diketahui pula bahwa sebagian pelaku usaha telah memanfaatkan preferensi tarif tersebut dan menggunakan SKA Form IJ-EPA dalam melakukan ekspor dan impornya ke/dari Jepang. Namun demikian, masih terdapatnya juga pelaku usaha yang tidak memanfaatkan SKA Form IJ-EPA karena selama ini telah memanfaatkan adanya fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor (KITE), yaitu apabila suatu perusahaan melakukan impor suatu produk dengan tujuan untuk diekspor kembali maka akan mendapatkan pengembalian bea masuk.
6.1.6
Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dan Kendala Implementasi di Manado Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Utara dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bitung merupakan dua IPSKA yang masih dalam proses otomasi. Dari hasil rekapitulasi data yang dilakukan oleh kedua IPSKA tersebut, jumlah penerbitan SKA Form IJ-EPA pada tahun 2010 sebanyak sembilan lembar dengan nilai ekspor US$ 1,7 juta. Jumlah penerbitan SKA tersebut turun jika dibandingkan dengan tahun 2009 yang mencapai 13 lembar dengan nilai ekspor mencapai ¥ 132,8 juta. Pangsa penerbitan SKA Form IJ-EPA yang diterbitkan lebih sedikit jika dibandingkan SKA preferensi FTA lainnya. Hal ini terkait dengan relatif terbatasnya komoditi di Provinsi Sulawesi Utara yang diekspor ke Jepang. Adapun komoditi utama Provinsi Sulawesi Utara yang diekspor ke Jepang hanya terbatas pada komoditi Ikan dan produk Ikan, di mana Manado dan Kota Bitung merupakan sentra untuk industri tersebut. Keterbatasan jaringan internet dan kompetensi yang dimiliki oleh SDM di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Utara dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bitung menjadi kendala tersendiri dalam proses penerbitan SKA, khususnya SKA Form IJ-EPA. Sistem
147
otomasi masih belum berjalan dengan lancar sehingga verifikasi SKA dilakukan secara manual. 6.2 Pemanfaatan SKA JI-EPA dan Kendala dalam Implementasi Sejak diimplementasikannya kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA pada pertengahan tahun 2008, pemanfaatan SKA Form JI-EPA yang digunakan untuk kegiatan importasi dari Jepang menunjukan peningkatan yang sangat drastis. Gambar 6.20 memperlihatkan bahwa pada tahun 2008 SKA Form JI-EPA yang diterbitkan oleh pihak Jepang hanya sebanyak 3.490 lembar, kemudian dalam perkembangannya pada tahun 2009 dan 2010 penerbitan SKA Form JI-EPA meningkat masing-masing menjadi 26.599 unit dan 48.564 unit. Nilai Impor
Jumlah Dokumen
3,500
60,000
3,000
50,000
48,564
40,000
2,000 30,000
26,599
1,500
lembar
juta US$
2,500
20,000
1,000 14,078
500
10,000
3,490
0
0 2008
2009
2010
Jan-Mar 2011
Gambar 6.20 Perkembangan Pemanfaatan SKA Form JI-EPA Tahun 2008-2010 dan Jan-Mar 2011 Sumber: Dit. Informasi Kepabeanan dan Cukai, Ditjen Bea dan Cukai, Kemendag (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Selain dari peningkatan jumlah SKA, nilai importasinya juga dapat dilihat mengalami lonjakan yang cukup tinggi. Nilai importasi pada awal implementasi kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA hanya sebesar US$ 382,9 juta, kemudian nilai tersebut telah meningkat menjadi US$ 1,28 milliar di tahun 2009 dan US$ 2,9 miliar tahun 2010. Periode Januari-Maret 2011 nilai importasi dari Jepang mencapai US$ 907,3 juta. 148
Gambar 6.21 menunjukkan bahwa lebih dari 90 persen impor barang dari Jepang yang menggunakan SKA Form JI-EPA masuk melalui Pelabuhan Tanjung Priok (Provinsi DKI Jakarta), sedangkan sisanya tersebar di berbagai pelabuhan bongkar lainnya. Impor barang dari Jepang melalui Pelabuhan Tanjung Priok mengalami peningkatan setiap tahunnya sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 5.18. Pada tahun 2008 arus barang impor melalui Pelabuhan Tanjung Priok mencapai 82,8 ribu ton, naik lebih dua kali lipat pada tahun 2009. Kemudian pada tahun 2010 impornya sebanyak 579,5 ribu ton. Periode Januari-Maret 2011 volume impor barang dari Jepang melalui Pelabuhan Tanjung Priok telah mencapai 84,3 persen dari volume impor pada tahun 2009 (Tabel 6.2).
Nilai impor (ribu US$)
3,000,000
2,500,000 2,000,000 1,500,000 1,000,000 500,000
0
2008
2009
2010
Jan-Mar 2011
Tanjung Priok
358,040.8
1,160,447.2
2,656,175.1
798,705.8
Tanjung Perak
8,193.3
53,475.5
136,879.0
51,290.4
Merak
16,091.7
48,279.5
98,587.0
32,030.9
506.2
6,691.0
14,046.4
5,867.2
0.0
3,615.3
7,090.6
3,995.3
112.6
2,665.2
3,536.4
2,243.6
Gresik
0.0
0.0
1,957.1
1,631.9
Surabaya /Juanda (u)
0.0
87.9
1,817.7
34.5
Balikpapan
0.0
1,448.2
1,795.6
847.1
Cengkareng / Sukarno Hatta Tanjung Emas
Belawan
Jambi
0.0
130.0
401.7
0.0
Perawang, Sumatra
0.0
0.0
285.3
14.4
Semarang (ptt)
0.0
0.0
47.7
52.6
Cigading
0.0
2,083.7
0.0
4,919.7
Tanjung Leneng
0.0
0.0
0.0
5,656.1
Gambar 6.21 Perkembangan Nilai Impor dari Jepang dengan Penggunaan SKA Form JI-EPA Berdasarkan Pelabuhan Bongkar Sumber: Dit. Informasi Kepabeanan dan Cukai, Ditjen Bea dan Cukai, Kemendag (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
149
Tabel 6.2 Perkembangan Volume Impor dari Jepang dengan Penggunaan SKA Form JI-EPA Menurut Pelabuhan Bongkar Pelabuhan Bongkar Tanjung Priok Merak Tanjung Perak Tanjung Emas Gresik Belawan Cengkareng / Sukarno Hatta Balikpapan Jambi Semarang (ptt) Surabaya /juanda (u) Cigading Perawang, Sumatra Tanjung Leneng
2008 82,843.2 17,660.6 1,006.1 0.0 0.0 17.2 17.5 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
2009 261,126.7 56,890.2 20,481.8 2,606.6 0.0 993.0 58.0 203.9 100.0 0.0 0.9 1,922.3 0.0 0.0
2010 Jan-Mar 2011 579,518.5 220,005.3 86,421.7 26,700.4 58,717.5 21,705.4 2,593.1 1,756.6 2,104.4 959.9 1,013.4 531.0 336.1 27.3 214.0 94.4 209.2 0.0 20.6 103.0 1.4 1.8 0.0 2,900.6 0.0 0.0 0.0 573.8
Sumber: Dit. Informasi Kepabeanan dan Cukai, Ditjen Bea dan Cukai, Kemendag diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Dominasi impor Indonesia yang menggunakan SKA Form JI-EPA berasal dari impor produk dalam HS 84 Mesin-Mesin/Pesawat Mekanik, HS 87Kendaraan dan Bagiannya, HS 85 Mesin/Peralatan Listrik, HS 72 Besi dan Baja, HS 40 Karet dan Barang dari Karet, dan HS 39 Plastik dan Barang dari Plastik (Tabel 6.3). Tingginya impor produk-produk tersebut karena adanya keterikatan perusahaan Indonesia dengan perusahaan Jepang.
Tabel 6.3 Sepuluh Komoditi Utama Produk Impor Indonesia dari Jepang Berdasarkan Pemanfaatan SKA Form JI-EPA HS
Deskripsi Barang
84 Mesin-mesin/Pesawat Mekanik 87 Kendaraan dan Bagiannya
2008
2009
2010
Jan-Mar 2011
133.2
261.3
822.2
265.4
24.2
331.8
617.3
161.6
152.1
241.2
537.6
149.6
13.0
89.3
217.6
68.2
5.7
71.3
137.5
42.8
85 Mesin/peralatan listrik
11.8
65.5
128.4
35.4
29 Bahan kimia organik
18.2
70.6
124.5
66.6
55 Serat Stapel Buatan
5.5
28.5
45.8
10.9
78 Timah hitam
3.8
5.9
36.0
15.5
72 Besi dan Baja 40 Karet dan Barang dari Karet 39 Plastik dan Barang dari Plastik
73 Benda-benda dari Besi dan Baja 3.0 14.4 34.8 Sumber: Dit. Informasi Kepabeanan dan Cukai, Ditjen Bea dan Cukai, Kemendag (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
11.0
150
6.3 Studi Kasus Pemanfaatan SKA Form JI-EPA dan IJ-EPA di Jepang IJ-EPA bagi Jepang merupakan salah satu dari dua belas perjanjian kemitraan ekonomi (Economic Partnership Agreement, EPA) yang bersifat bilateral dan telah diimplementasikan. Kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA berimplikasi terhadap meningkatnya kinerja perdagangan antara Jepang dengan Indonesia. Ministry of Economy, Trade, and Industry (METI) Jepang mencatat bahwa ekspor Jepang ke Indonesia pada tahun 2007 (sebelum diimplementasikannya IJEPA) mencapai ¥ 766,9 miliar, sedangkan pada tahun 2010 sebesar ¥ 1,4 triliun. Tren ekspor Jepang ke Indonesia selama tahun 2008-2010 mengalami penurunan sebesar 2,6 persen. Beberapa komoditi ekspor utama Jepang ke Indonesia yang mengalami kenaikan secara signifikan pasca diimplementasikannya IJEPA adalah produk Mesin (HS 84) dari senilai ¥ 262,2 miliar pada tahun 2007 menjadi ¥ 449,3 miliar pada tahun 2010, Elektronik (HS 85) senilai 574 juta menjadi ¥ 170, 1 miliar, dan Otomotif (HS 87) dari senilai ¥ 111,6 miliar menjadi ¥ 150,4 miliar. Produk Otomotif menjadi salah satu komoditi ekspor utama Jepang ke Indonesia karena perusahaan Otomotif Indonesia memiliki keterkaitan dengan perusahaan Jepang (Tokyo Customs). Dalam Gambar 8. Ekspor Jepang ke Indonesia pada tahun 2010 didominasi oleh produk Mesin (33,5 persen), Besi dan Baja (16,1 persen), Barang-barang Industri Kimia (13,3 persen), Mesin Elektrik (12,7 persen), dan Mobil (11,2 persen). Produk-produk Tekstil 1.6%
Lainnya 3.7%
Instrumen Presisi 2.4%
Produk Kayu 2.1% Produk Perikanan 2.3% Produk Tekstil 2.3%
Mobil 1.3%
Barang-barang beraneka macam 1.0% Lainnya 2.6%
Mesin 2.4%
Logam 5.6%
Produk Pertanian 4.0% Mesin 33.5%
Mobil 11.2%
Mesin Elektrik 5.5%
Minyak bumi dan Bahan Bakar 46.8%
Logam 7.1%
Mesin Elektrik 12.7%
Besi dan Baja 16.1% Barang-barang Industri Kimia 13.3%
Ekspor Jepang ke Indonesia (2010) 1.3 triliun Yen
Barang-barang Industri Kimia 8.3% Produk Mineral 14.3%
Impor Jepang dari Indonesia (2010) 2.5 triliun Yen
Gambar 6.22 Kinerja Perdagangan Jepang-Indonesia Tahun 2010 Sumber: METI Japan
151
(ratus juta Yen)
Ekspor Jepang ke Indonesia
Mobil (HS 87)
18,000
3,500 15,625
16,000
14,824
2,860
3,000
14,000
2,500
12,000 9,183
10,000
8,000
2,000
7,669
7,583
1,500
6,423
1,504
1,381 1,019
6,000
1,116
1,000
771
4,000 500
2,000 0
0
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Mesin (HS 84)
(ratus juta Yen)
5,000
2006
2007
2008
2009
2,500
2,053
4,000
2,000
1,701
3,500 3,000
2,660
2,500
2,622
2010
Elektronik (HS 85)
(ratus juta Yen)
4,493
4,374
4,500
2005
1,500
2,591
1,180
2,088
2,000
1,000
1,500
534
1,000
500
430
574
500 0
0 2005
2006
2007
2008
2009
2010
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Gambar 6.23 Perkembangan Ekspor Jepang ke Indonesia Tahun 2005-2010 Sumber: METI Japan.
Sementara itu, beberapa komoditi yang diimpor Jepang dari Indonesia setelah diimplementasikannya
IJ-EPA
pada
umumnya
mengalami
penurunan
dibandingkan dengan sebelum IJEPA berlaku. Penurunan impor Jepang dari Indonesia tersebut terjadi pada produk Furnitur (HS 94), Barang dari Plastik (HS 39), Tekstil (HS 50-63), Ikan dan Krustasea (HS 3), Udang (HS 030613). Sebaliknya, impor Kakao (HS 18) Jepang dari Indonesia justru mengalami kenaikan setelah diberlakukannya IJEPA. Impor Jepang dari Indonesia pada tahun 2010 mencapai ¥ 2,5 triliun dengan didominasi produk Minyak Bumi dan Bahan Bakar (46,8 persen), produk Mineral (14,3 persen), Barang-barang Industri Kimia (8,3 persen), Logam (7,1 persen), dan Mesin Elektrik (5,5 persen) dalam Gambar 6.24.
152
700 600 ratus juta Yen
500 400 300 200 100 0
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Furnitur (HS 94)
230
238
248
236
215
220
Plastik (HS 39)
411
442
467
456
317
383
Kakao (HS 18)
13
8
6
6
11
10
Tekstil (HS 50-63)
536
597
606
592
465
560
Ikan dan Krustasea (HS 3)
640
647
640
609
547
558
Udang (HS 030613)
437
460
409
366
307
304
Gambar 6.24. Perkembangan Impor Beberapa Produk Tertentu Jepang dari Indonesia Tahun 2005-2010 Sumber: METI Japan.
Gempa bumi dan tsunami yang melanda Jepang pada Triwulan I 2011 dinilai oleh METI Jepang berdampak terhadap perkembangan perdagangan JepangIndonesia. Ekspor Jepang ke Indonesia mengalami penurunan, terutama ekspor produk Otomotif, Elektronik, dan Makanan. Hal ini disebabkan oleh rusaknya sentra
industri
produk-produk
tersebut
akibat
bencana
yang
melanda.
Kekhawatiran masyarakat terhadap tercemarnya produk-produk yang diproduksi di daerah bencana karena penyebaran radiasi nuklir menjadi penyebab menurunnya ekspor Makanan. Dari segi impor, sejalan dengan naiknya kebutuhan produk Makanan akibat bencana yang melanda Jepang impor produk Makanan dari Indonesia mengalami peningkatan. Berdasarkan keterangan perwakilan Tokyo Customs, pada tahun 2011 pemerintah Jepang sedang melakukan penyeragaman format dalam persyaratan dan prosedur penerbitan COO untuk berbagai FTA/EPA yang dijalin dengan mitra dagangnya guna meminimalisir perbedaan yang ada. Instansi yang berwenang menerbitkan SKA di Jepang adalah Japan Chamber of Commerce and Industry (JCCI) yang memiliki 21 kantor cabang yang tersebar di Sapporo, Sendai, 153
Kurobe, Chiba, Tokyo, Yokohama, Hamamatsu, Shimizu, Fuji, Nagoya, Gamagori, Toyokawa, Yokkaichi, Fukui, Kyoto, Osaka, Kobe, Hiroshima, Fukuyama, Takamatsu, Fukuoka. Adapun persyaratan untuk memperoleh baik COO Form JI-EPA maupun COO preferensi serta non-preferensi lainnya adalah para eksportir harus melakukan registrasi terlebih dahulu melalui situs JCCI dengan melampirkan fotokopi pendaftaran yang disertifikasi oleh kantor pendaftaran pemerintah, notifikasi pendaftaran spesimen tanda tangan, dan notifikasi informasi dalam bahasa Inggris yang akan dicetak dalam COO. Kemudian para eksportir melakukan aplikasi penentuan originalitas melalui situs website JCCI dan mengirimkan data yang dibutuhkan. Pada tahap akhir, para eksportir mengirimkan aplikasi penerbitan COO Form JI-EPA melalui situs JCCI dengan melampirkan informasi tambahan berupa invoice atau dokumen termasuk B/L dan melakukan pemeriksaan langsung di tempat eksportir. Jangka waktu penerbitan COO Form JI-EPA adalah 1-2 hari kerja, sedangkan biaya penerbitan COO Form JI-EPA sebesar ¥ 2.000 dan biaya tambahan sebesar ¥ 500 untuk setiap produk setelah produk yang tercantum dalam COO melebihi 21 produk. Ditinjau dari segi pemanfaatan, jumlah COO Form JI-EPA yang telah diterbitkan oleh Jepang mengalami peningkatan setiap tahunnya. Jumlah COO Form JI-EPA yang diterbitkan sebanyak 6.579 lembar pada tahun 2008, 16.013 lembar (2009), dan 23.672 lembar (2010). Sementara itu, berdasarkan data Kobe Chamber of Commerce and Industry (KCCI) sebagai perwakilan regional JCCI di Kobe menunjukkan bahwa penerbit COO Form JI-EPA terbanyak pada tahun 2010 ditempati oleh Tokyo (65,6 persen), Osaka (15,7 persen), Nagoya (8,4 persen),
Yokohama
(6,8
persen),
dan
Kobe
(3,5
persen).
Sejak
diimplementasikannya IJ-EPA, jumlah COO yang diterbitkan oleh KCCI mengalami peningkatan setiap tahunnya. Jumlah penerbitan COO Form JI-EPA pada tahun 2010 naik sebesar 72,9 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni dari 602 lembar menjadi 1.041 lembar. Produk-produk utama yang diekspor dari wilayah Kobe ke Indonesia berupa produk industri Sabuk (23 persen), Bagian-bagian Mesin (21 persen), Paper diapers (19 persen), dan Suku Cadang Otomotif (16 persen). 154
Keterlambatan notifikasi perubahan spesimen tanda tangan dan stempel, perbedaan uraian barang, dan klasifikasi kode HS dianggap oleh pihak Tokyo Customs sebagai faktor-faktor penyebab penolakan SKA Form IJ-EPA. Sementara penolakan COO Form JI-EPA oleh petugas Kepabeanan Indonesia lebih disebabkan oleh lebih cepatnya tanggal penerbitan COO dibandingkan dengan tanggal pengiriman barang. Permasalahan lain yang menghambat dalam pemanfaatan COO Form JI-EPA adalah belum adanya pertukaran data antara Indonesia dengan Jepang. Dari segi tarif preferensi JI-EPA, rata-rata perbedaan tarif preferensi JI-EPA cenderung rendah. Perbedaan tarif antara sebelum dan sesudah diberlakukannya IJ-EPA untuk produk Furnitur, Barang dari Plastik, dan Udang masing-masing sebesar 4,8persen, 6,5persen, dan 1persen. Rendahnya perbedaan tersebut terjadi karena pada dasarnya tarif MFN Jepang sebelum kesepakatan IJ-EPA sudah rendah atau bahkan nol persen. Perbedaan tarif preferensi JI-EPA yang cukup tinggi terjadi untuk produk Kakao (29,8persen), Ikan dan Krustasea (15persen), dan Tekstil dan Produk Tekstil (14,2persen). Dalam
memasyarakatkan
kesepakatan
perdagangan
bebas
IJ-EPA,
pemerintah Jepang menyediakan informasi melalui link khusus EPA/FTA dalam situs METI, menyebarluaskan brosur dan pamflet, mengadakan seminar tentang EPA setiap tahunnya, mendirikan poin kontak, bekerjasama dengan Japan External Trade Organization (JETRO) dan JCCI.
6.4 Studi Kasus Kesepakatan Perdagangan Bebas Bilateral Malaysia-Jepang Malaysia merupakan salah satu negara yang melakukan kesepakatan perdagangan bebas secara bilateral dengan Jepang melalui Malaysia-Japan Economic Partnership Agreement (MJ-EPA) yang mulai berlaku efektif sejak 13 Juli 2006. Sama halnya dengan IJ-EPA, MJ-EPA adalah strategi kemitraan yang bertujuan mempererat hubungan ekonomi melalui kerjasama, liberalisasi, fasilitasi perdagangan, dan investasi di antara kedua negara. Adapun unsur-unsur utama dalam kesepakatan perdagangan bebas MJ-EPA meliputi beberapa sektor, yakni Industrial Goods, Agricultural, Forestry and 155
Fishery Products, Customs Procedures, Trade in Services, Investment, Cooperation, Intellectual Property, Controlling Anti-competitive Activities, Technical Regulations, Standards and Conformity Assessment Procedures, Sanitary and Phytosanitary Measures, Enhancement of Business Environment. Yang membedakan unsur utama yang terdapat dalam MJEPA dengan IJ-EPA adalah adanya Technical Regulations, Standards and Conformity Assessment Procedures, dan Sanitary and Phytosanitary Measures di mana ketiga unsur tersebut tidak tercakup di dalam kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA. Dibandingkan dengan IJ-EPA, jangka waktu implementasi konsesi tarif yang disepakati dalam MJ-EPA lebih panjang (lebih dari sepuluh tahun) dengan fleksibilitas produk sensitif yang dipilih. Jangka waktu implementasi konsensi tarif dalam IJ-EPA hanya selama lima tahun (2008-2012). Skema kesepakatan perdagangan bebas MJ-EPA yang mulai diberlakukan pada 13 Juli 2006 memunculkan peningkatan kinerja perdagangan MalaysiaJepang mengalami secara signifikan. Neraca perdagangan Malaysia-Jepang yang semula mengalami defisit perdagangan yang cukup tinggi sebelum disepakatinya MJ-EPA, pada tahun 2008 dan Januari-Agustus 2011 mengalami surplus perdagangan dengan nilai sebesar RM 6,5 miliar dan 7,3 miliar. Ekspor Malaysia ke Jepang cenderung mengalami kenaikan pasca implementasi MJ-EPA dengan tren sebesar 4,8 persen, kecuali pada tahun 2009 dan Januari-Agustus 2011. Pada tahun 2008 ekspor Malaysia ke Jepang mencapai level tertinggi pasca MJ-EPA sebesar RM 71,7 miliar. Gempa bumi dan tsunami yang melanda Jepang pada 11 Maret 2011 sangat berpengaruh terhadap ekspor Malaysia ke Jepang. Penyebab utamanya adalah keterkaitan antara bahan baku impor dan produk Listrik dan Elektronik yang diekspor Malaysia ke Jepang. Kondisi tersebut tercermin dari turunnya nilai ekspor Malaysia ke Jepang pada periode Januari-Agustus 2011 sebesar RM 50 miliar di mana nilai tersebut lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2010 sebesar RM 66,5 miliar. Adapun komoditi ekspor utama Malaysia ke Jepang berupa produk Listrik dan Elektronik, Minyak Kelapa Sawit (CPO), Bahan Kimia dan Produk Kimia, dan Gas Alam Cair (LNG). Sebaliknya, impor Malaysia dari Jepang cenderung menurun pasca MJ-EPA (2006-2010) dengan tren sebesar 156
0,9 persen. Pada Januari-Agustus 2011 impor Malaysia dari Jepang sebesar RM 42,8 miliar. Nilai tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan impor Malaysia dari Jepang pada tahun 2003, yakni sebesar RM 54 miliar (Gambar 6.25).
miliar RM
Ekspor 80 70 54.0 60 50 42.5 40 30 20 10 0 -10 -11.5 -20 2003
63.7
63.0
65.6
Neraca 71.7
66.5 66.7
65.2
55.1
52.2
49.9
48.6
63.6
Impor
54.2
54.4
50.0 42.8
7.3
6.5 -0.1 -15.2
2004
-13.1
2005
-11.4
2006
-0.2
-10.5
2007
2008
2009
2010
Jan-Ags 2011
Gambar 6.25 Perkembangan Kinerja Perdagangan Malaysia-Jepang Tahun 2003-2011 (Januari-Agustus) Sumber: MITI Malaysia
Ditinjau dari perkembangan pangsa, setelah diimplementasikannya MJ-EPA pangsa ekspor Jepang mengalami kenaikan dari semula 9,35 persen pada tahun 2005 menjadi 11 persen pada periode Januari-Agustus 2011. Makin tingginya pangsa ekspor Malaysia ke Jepang menunjukkan semakin banyaknya produkproduk Malaysia yang dapat terserap di pasar Jepang. Pada periode JanuariAgustus 2011 Jepang menduduki peringkat ke-3 dalam negara tujuan ekspor Malaysia. Posisi Jepang tersebut masih tetap sama dengan tahun 2005 (sebelum diterapkannya MJ-EPA). Sebaliknya, pangsa impor Jepang mengalami penurunan dari 13,1 persen pada tahun 2005 menjadi 11,4 persen pada periode JanuariAgustus 2011.
157
16
14.65
14 Persentase
12
11.40
13.10
10
8
11.00 10.80
9.35
6
4 2 0 2005
2006
2007 Pangsa Ekspor
2008
2009
2010
Jan-Ags 2011
Pangsa Impor
Gambar 6.26 Perkembangan Pangsa Ekspor dan Impor Malaysia –Jepang Tahun 2005-2011 (Januari-Agustus) Sumber: MITI Malaysia
Terkait dengan prosedur dan proses penerbitan Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin, COO) dalam skema MJ-EPA, penerbitan COO Form MJEPA dilakukan oleh Ministry of Trade and Industry (MITI) Malaysia dan tujuh cabangnya yang tersebar di negara bagian Penang, Perak, Kelantan, Sabah, Sarawak, Johor, dan Pahang. Dalam penerbitan COO Form MJ-EPA, terdapat beberapa dokumen yang dipersyaratkan yaitu surat pengesahan cost analysis dari MITI Malaysia, formulir pendaftaran COO yang telah dilengkapi, kuitansi penjualan, bill of lading, formulir deklarasi kepabeanan (K2), dan formulir BAK 1 (a) – 1(c). Untuk mendapatkan formulir pendaftaran COO Form MJ-EPA, para eksportir dapat melakukan pendaftaran di Federation Malaysian Manufacture (FMM) dengan melampirkan keseluruhan dokumen yang dipersyaratkan secara online dengan biaya RM 10 dan kemudian akan diterbitkan oleh MITI. Proses penerbitan COO Form MJ-EPA membutuhkan waktu dua hari kerja dari penerimaan berkas aplikasi yang lengkap.
158
Gambar 6.27. Bagan Alur Kerja Proses Penerbitan COO Form MJ-EPA Sumber: MITI Malaysia.
Untuk pengesahan cost analysis diperlukan beberapa dokumen, yakni formulir pendaftaran cost analysis, Form BAK 1(a)-1(c), rincian informasi mengenai perusahaan yang memproduksi/eksportir dan informasi produk, sertifikat pendaftaran perusahaan, invoice, katalog produk/foto/sampel, analisis biaya dari produk, kuitansi pembelian bahan baku, dan diagram alur proses produksi. Surat notifikasi akan dikeluarkan dalam waktu tujuh hari kerja. Gambar 6.28 memperlihatkan alur proses pengesahan cost analysis.
Gambar 6.28 Bagan Alur Proses Pengesahan Cost Analysis Sumber: MITI Malaysia.
159
Dari segi pemanfaatan COO dalam skema MJ-EPA, MITI Malaysia mencatat bahwa pemanfaatan COO Form MJ-EPA tertinggi dibandingkan dengan pemanfatan COO preferensi untuk kesepakatan perdagangan bebas bilateral Malaysia dengan negara lainnya (Malaysia-Pakistan Comprehensive Economic Partnership Agreement (MPCEPA), Malaysia-New Zealand Free Trade Agreement (MNZFTA), Malaysia-Chile Free Trade Agreement. Tingginya pemanfaatan tersebut dikarenakan selalu dilakukannya sosialisasi kepada para eksportir Malaysia baik yang berada di Kuala Lumpur maupun negara-negara bagian lainnya dan tersedianya situs khusus untuk mengedukasi para eksportir. Royal Malaysian Custom Department mencatat bahwa komoditi ekspor utama Malaysia ke Jepang yang memanfaatkan Form MJ-EPA adalah produk Listrik dan Elektronik dan Oleo Kimia, sedangkan komoditi impor utama Malaysia dari Jepang yang memanfaatkan Form JM-EPA adalah produk Elektronik. 6.5 Studi Kasus Kesepakatan Perdagangan Bebas Bilateral Thailand-Jepang Thailand telah menyepakati empat kesepakatan perdagangan bebas bersifat bilateral, yang salah satunya di antaranya adalah Japan-Thailand Economic Partnership Agreement (JT-EPA) yang mulai diberlakukan pada 1 November 2007. Kesepakatan perdagangan bebas tersebut meliputi Trade in Goods, Rules of Origin of Products, Trade in Services, Investment and the Movement of Natural Persons, Cooperation. Bidang kerjasama (cooperation) mencakup sembilan area (Agriculture, Forestry and Fisheries, Education and Human Resource Development, Enhancement of the Business Environment, Financial Services, Information and Communication Technology, Science, Technology, Energy and the Environment, Small and Medium Enterprises, Tourism, dan Trade and Investment Promotion dan tujuh proyek kerjasama (Kitchen of the World Project, Japan-Thailand Steel Industry Cooperation Programme, Automotive Human Resources Development Institute Project, Energy Conservation Project, Value-creation Economy Project, Public-private Partnership, dan Cooperative Project in the Textile and Garment Industry). 160
Trade in Goods. Tarif mencakup 99,51 persen barang yang diimpor dari Jepang pada tahun 2006, dengan jumlah sebesar 99,49 persen dari nilai total perdagangan impor barang dari Jepang, telah diturunkan atau dihilangkan, atau menerima sejumlah kuota khusus dari Jepang. Pada saat yang sama, tarif yang meliputi 92,95 persen dari ekspor Thailand ke Jepang dikurangi atau dihilangkan atau diberikan kuota khusus, terdiri dari 98,06 persen dari semua pos tarif untuk ekspor Thailand ke Jepang pada tahun 2006. Adapun barang-barang Thailand yang telah sepenuhnya dihilangkan tarifnya meliputi Batu Permata dan Perhiasan, Tekstil dan Pakaian Jadi, Barang Petrokimia, Produk Plastik, dan Bahan Makanan (termasuk Udang dan Udang yang diolah, diawetkan dan dibekukan, atau Udang rebus dan Udang, Kacang-kacangan, Sayuran (Okra, Buah Zaitun, Kentang, Asparagus), Buah-buahan Segar Dingin dan Beku (Durian, Pepaya, Mangga, Manggis, Kelapa), Pati Singkong, dan Kentang baik diiris ataupun dalam bentuk pelet. Sementara itu, barang-barang Thailand yang dikenakan kuota oleh Jepang terdiri dari Pisang dan Nanas Segar, Daging Babi Olahan, Sirup, dan Tepung Singkong. Untuk barang-barang Jepang yang telah dieliminasi tarifnya mencakup Bahan Pangan (termasuk beberapa Ikan segar dingin atau beku, Kepiting, Udang segar dan Udang diolah, diawetkan, dan dibekukan, atau Udang rebus dan Udang, Buah-buahan Iklim seperti Apel, Persik, Pir, Plum dan berbagai buah berry), Permata dan Perhiasan, Tekstil dan Pakaian Jadi, Baja dan Produk Baja, sedangkan barang-barang Jepang yang diberlakukan kuota oleh Thailand meliputi Kentang, Bawang besar dan biji, Bawang Putih, Kopra, Lada, Biji Kedelai, Minyak Kedelai, Kelapa, Kopi, Teh, Beras, Minyak Kelapa Sawit, Minyak Kelapa, Kopi Instan, Lengkeng, Gula, Susu Bubuk Bebas Lemak,
Susu
Dilarutkan, dan Besi dan Produk Besi. Services. Thailand telah berkomitmen mengizinkan Jepang untuk mendirikan perusahaan dan menyediakan jasa dalam 14 subkategori wajib dalam perjanjian WTO, sedangkan Jepang telah berkomitmen untuk mengizinkan pemerintah Thailand mendirikan perusahaan dan menyediakan jasa, dan/atau untuk bekerja menyedikan jasa di Jepang di bawah 65 subkategori terikat di bawah perjanjian WTO dan telah menyesuaikan lebih dari 70 subkategori tambahan. 161
Investment. Thailand telah berkomitmen untuk mengizinkan Jepang dan warga negara Jepang untuk memegang saham hingga 50 persen dalam perusahaan produksi Otomotif (di mana sisa kepemilikan sahamnya dimiliki oleh orang Thailand), dan perusahaan yang didirikan tidak diharuskan untuk meminta perizinan operasional perusahaan. Pemerintah Jepang telah berkomitmen untuk meliberalisasi keseluruhan wilayah investasi bagi investor Thailand, dengan pengecualian industri yang terlibat dalam produksi Farmasi, Ruang Angkasa dan Aeronautika, Minyak Bumi, Energi, Penyiaran, Pertambangan, Perikanan, Pertanian, Kehutanan, dan Industri Dasar yang terkait. Movement of Natural Persons. Thailand dan Jepang telah sepakat untuk melonggarkan pembatasan dan memfasilitasi masuk dan tinggal sementara bagi warga negara kedua negara untuk melakukan pekerjaan dalam kondisi tertentu. Berdasarkan Department of Foreign Trade Ministry of Commerce Thailand, perkembangan realisasi ekspor Thailand ke Jepang dengan penggunaan Form JTEPA selama periode tahun 2008–2010 menunjukkan peningkatan. Hal ini sebagai akibat dari turunnya tarif bea masuk dalam rangka JT-EPA. Dengan adanya peningkatan ekspor tersebut, maka pada giliranya akan dapat mendorong peningkatan kesejahteraan sosial bagi negara mitra FTA. Ekspor Thailand yang menggunakan Form JT-EPA pada tahun 2008 tercatat senilai US$ 4,5 miliar (sekitar 22,4 persen dari total ekspor Thailand ke Jepang), sedangkan pada tahun 2010 ekspornya naik menjadi US$ 4,8 miliar (sekitar 23,4 persen dari total ekspor Thailand ke Jepang). Sepuluh produk utama yang mendominasi ekspor Thailand ke Jepang meliputi Daging Ayam yang diawetkan, Udang yang diawetkan, Polyethylene Teraphalate, Udang Beku, Dextrin (produk dari Tapioka), Tepungtepungan, Fillet Ikan, Leaf Spring (bagian kendaraan bermotor), Karung Semen, Polimer etilen, Struktur dan Bagian dari Aluminium. Dari segi impor, sejak diimplementasikanya kerjasama JT-EPA, impor Thailand dari Jepang yang menggunakan Form JT-EPA selama tahun 2008-2010 terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2008 impor Thailand yang menggunakan Form JT-EPA tercatat senilai US$ 2,1 miliar (sekitar 6,2 persen dari total impor Thailand dari Jepang, sedangkan pada tahun 2010 impornya naik menjadi US$ 3,9 miliar 162
(sekitar 10,2 persen dari total impor Thailand dari Jepang). Sepuluh komoditi utama yang diimpor Thailand dari Jepang dengan menggunakan Form JT-EPA terdiri dari Besi/Alloy Gulung Canai Panas, Besi/Alloy Gulung Canai Panas dengan ketebalan < 0,5 mm, Gear Box, Kendaraan Bermotor Berpenumpang ≥ 10, Plat Baja Alloy dengan ketebalan < 3 mm, Plat Baja Non Alloy dengan ketebalan < 3 mm, Plat Baja/Alloy dengan ketebalan < 3 mm, Plat Baja Non Alloy dengan ketebalan 3 mm-4,75 mm, Kendaraan Bermotor Berpenumpang 30 orang atau lebih yang didesain untuk keperluan di Bandara Udara, Kawat/Batang Baja, Peralatan Instrumentasi untuk Kontrol. The Custom Department of Thailand menyampaikan bahwa tidak pernah terjadi penolakan barang impor dari Jepang yang masuk ke Thailand, demikian juga barang ekspor Thailand ke Jepang. Gempa bumi dan tsunami yang melanda Jepang pada tanggal 11 Maret 2011 tidak berpengaruh terhadap kegiatan ekspor dan impor Thailand. Department of Foreign Trade Ministry of Commerce Thailand merupakan instansi yang berwenang untuk mengeluarkan COO Preferensi, khususnya JTEPA. Proses penerbitan COO Form JT-EPA di Thailand hanya memerlukan waktu selama 30 menit dengan biaya THB 3.400 per COO dengan catatan keseluruhan persyaratan telah dilengkapi. Sebelum COO diterbitkan oleh Department of Foreign Trade Ministry of Commerce Thailand, dilakukan verifikasi aplikasi COO. Penggunaan Form JT-EPA dalam kegiatan ekspor Thailand ke Jepang mencapai 9,2 persen atau menempati peringkat ke-6 dari total penggunaan preferensi sebanyak 15 preferensi. Pada Januari-Agustus 2011 penggunaan Form JT-EPA menduduki peringkat ke-5 dari total preferensi (20) dengan pangsa 10,3 persen. Dalam rangka mendorong penggunaan COO Form JT-EPA, The Custom Department of Thailand bekerjasama dengan Ministry of Commerce of Thailand telah melakukan sosialisasi, seminar dan publikasi melalui internet guna menyebarluaskan informasi tentang JT-EPA.
163
BAB VII ANALISIS DAMPAK KESEPAKATAN PERDAGANGAN BEBAS TERHADAP DAYA SAING PRODUK MANUFAKTUR INDONESIA
Analisis dampak implementasi kesepakatan perdagangan bebas Indonesia Jepang terhadap daya saing produk manufaktur Indonesia menggunakan data produk berdasarkan HS 2007 yang terdapat dalam Lampiran I kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA, namun diagregasikan dalam HS 6 digit sehingga diperoleh produk sebanyak 4.471 pos tarif. Selanjutnya dipilih produk yang merupakan hasil industri manufaktur. Kemudian, sebagai fokus kajian dipilih produk-produk berdasarkan hasil kombinasi nilai ekspor industri manufaktur non migas, analisis daya saing (Constant Market Share Analysis, CMSA), dan dinamisasi
kinerja
ekspor
(Export
Product
Dynamics,
EPD)
serta
mempertimbangkan pemanfaatan fasilitas Surat Keterangan Asal (SKA). Adapun produk-produk tersebut adalah sebagai berikut: 1. Fillet Ikan dan Daging Ikan Lainnya (Ikan) - HS 0304.29 dan HS. 0304.99 2. Udang Kecil dan Udang Biasa (Udang) - HS 0306.13 3. Mentega, Lemak, dan Minyak Kakao (Kakao Olahan) - HS 1804.00 4. Garmen dari Kain dari pos 56.02 atau 56.03 (Garmen) - HS 6210.10 5. Perabotan Kayu Lainnya (Furnitur) - HS 9403.60 6. Sak dan Kantong (termasuk cone) dari Polimer Etilena (Barang dari Plastik) HS 3923.21 Keenam produk tersebut adalah produk yang memiliki penurunan daya saing setelah implementasi kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA di pasar Jepang. Beberapa produk di antaranya seperti produk Furnitur, Udang, Ikan, dan Kakao Olahan merupakan produk yang berbahan baku dari alam.
164
7.1 Analisis Dampak Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA terhadap Daya Saing Produk Industri Manufaktur Indonesia Berdasarkan Pangsa Pasar Berdasarkan hasil analisis export product dynamics (EPD), untuk Tekstil dan Produk Tekstil, khususnya garmen, daya saing produk tersebut masuk dalam kategori falling sebelum IJ-EPA diimplementasikan, yaitu permintaan pasar Jepang akan produk ini menurun tetapi ekspor Indonesia meningkat. Setelah IJEPA diimplementasikan, kategori daya saingnya adalah retreat, yaitu permintaan akan produk tersebut di pasar Jepang menurun dan ekspor Indonesia ke Jepang juga menurun. Untuk produk Furnitur dengan HS 9403.60, baik sebelum maupun sesudah implementasi IJ-EPA, posisi daya saingnya adalah retreat yang berarti baik permintaan akan produk tersebut maupun ekspor Indonesia untuk produk tersebut ke Jepang menurun. Sebelum IJEPA diimplementasikan, kategori daya saing untuk produk Plastik dan Barang dari Plastik berada pada posisi retreat, sedangkan setelah IJ-EPA diimplementasikan posisinya tetap pada kategori retreat. Hal ini mengindikasikan bahwa permintaan produk Plastik dan Barang dari Plastik tersebut menurun dan ekspor kita juga menurun ke pasar Jepang. Adapun untuk produk Udang dengan HS 0306.13, sebelum dan sesudah implementasi IJ-EPA, daya saingnya berdasarkan EPD berada pada posisi retreat, yaitu permintaan turun dan ekspor Indonesia ke Jepang juga menurun. Produk Ikan yang dikaji dalam kajian ini terdiri dari 2 pos tarif, yaitu HS 0304.29 dan HS 0304.99. Untuk HS 0304.29, daya saingnya sebelum dan sesudah IJ-EPA adalah falling yaitu permintaan pasar Jepang akan produk tersebut turun tetapi ekspor Indonesia meningkat ke pasar Jepang. Sedangkan untuk HS 0304.99 posisi daya saingnya adalah berada pada kategori rising sebelum IJ-EPA diimplementasikan yaitu permintaan pasar Jepang akan produk tersebut meningkat dan ekspor Indonesia ke Jepang juga meningkat. Tetapi setelah implementasi IJ-EPA, posisi daya saingnya menjadi falling yaitu ekspor tetap meningkat walaupun permintaan pasar Jepang untuk produk tersebut turun. 165
Untuk produk Kakao Olahan dengan HS 1804.00, posisi daya saingnya sebelum IJ-EPA diimplementasikan adalah lost opportunities yaitu permintaan akan produk tersebut meningkat tetapi ekspor Indonesia ke Jepang justru menurun sehingga kita tidak memanfaatkan peluang yang ada. Setelah implementasi IJEPA, posisi daya saingnya menjadi retreat yaitu permintaan menjadi turun akan produk tersebut dipasar Jepang dan ekspor Indonesia juga menurun.
Gambar 7.1 Matriks EPD Sebelum Implementasi Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag)
Gambar 7.2 Matriks EPD Setelah Implementasi Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag)
166
Di samping menggunakan EPD sebagai alat analisis untuk mengukur daya saing produk manufaktur Indonesia, dilakukan juga perhitungan indeks analisis CMSA. Secara umum hasil analisis CMSA memperlihatkan bahwa produkproduk unggulan ekspor Indonesia di pasar Jepang dinilai berdasarkan positif dan negatifnya. Hasil perhitungan tersebut dapat ditunjukkan pada Tabel 7.1.
Tabel 7.1 Nilai Indeks Hasil Analisis CMSA Beberapa HS Terpilih HS
DESCRIPTION
NILAI CMSA
KATEGORI
0304.29
Fish fillets&other fish meat (excl.
0.000015
Berdaya Saing
0304.99
Fish fillets&other fish meat (excl.
0.000010
Berdaya Saing
1804.00
Cocoa butter, fat & oil
0.000007
Berdaya Saing
0306.13
Shrimps & prawns, whether/not fini sh
6210.10
Garments made up of fabrics of 56.0
0.000001
Berdaya Saing
9403.60
Furniture
0.000038
Berdaya Saing
3923.21
Sacks & bags (incl. cones), of poly
(0.000058)
(0.000006)
Penurunan Daya Saing
Penurunan Daya Saing
Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag)
Tabel 7.1 di atas belum mampu memperlihatkan besarnya apa saja faktor yang mempengaruhi perubahan nilai ekspor Indonesia ke pasar Jepang (atau nilai Impor Jepang dari Indonesia). Dengan kata lain, belum adanya analisis dekomposisi dari CMSA. Secara teoritis, perubahan nilai Impor Jepang dari Indonesia memiliki tiga komponen utama, yaitu: 1. Peningkatan impor Jepang secara keseluruhan atau peningkatan ekspor dunia ke Jepang secara keseluruhan 2. Kompoisisi komoditas impor Jepang dari seluruh negara. 3. Sisanya yang tidak dapat dijelaskan merupakan efek daya saing yang mengindikasikan perbedaan antara ekspor dunia aktual dengan peningkatan secara hipotetis jika ekspor dunia dari masing-masing negara ke pasar Jepang tersebut menjaga pangsa pasar ekspornya untuk setiap kelompok komoditi.
167
Secara total, impor Jepang dari Indonesia mencapai US$ 28,1 miliar pada tahun 2010, meningkat dibandingkan dengan tahun 2007 yang mencapai US$ 26,5 miliar. Beberapa produk kita, seperti produk udang (HS 0306.13) mengalami penurunan pada tahun 2010 dibandingkan dengan tahun 2007. Perubahan nilai ekspor Indonesia ke pasar Jepang atau dalam hal ini ditunjukkan dengan data impor Jepang dari Indonesia tersebut dapat dilakukan analisis dekomposisi CMSAnya yang hasilnya dapat ditunjukkan pada Tabel 7.2. Tabel 7.2 Perubahan Nilai Impor Jepang dari Indonesia: Analisis Dekomposisi CMSA (dalam ribu US$) Kode HS
0304.29 0304.99 1804.00 0306.13 6210.10 9403.60 3923.21
Description
Fish fillets&other fish meat (excl. Fish fillets&other fish meat (excl. Cocoa butter, fat & oil Shrimps & prawns, whether/not in sh Garments made up of fabrics of 56.0 Furniture Sacks & bags (incl. cones), of poly
Besarnya Perubahan Impor Jepang dari Indonesia Peningkatan Impor Jepang dari Dunia
Komposisi Komoditas
Peningkatan Daya Saing
Total Perubahan
2,589.27
844.68
10,446.69
13,880.64
770.84
600.61
7,467.74
8,839.19
362.85
(457.84)
4,467.40
4,372.41
39,370.99
284.54
(40,256.21)
(600.68)
1,144.91
2,822.86
681.52
4,649.29
10,554.32
1,521.44
27,003.01
39,078.77
12,809.58
(948.74)
(4,187.22)
7,673.63
Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag)
Berdasarkan Tabel 7.2 dapat diilustrasikan analisis dekomposisi produk Ikan (HS 0304.29). Peningkatan nilai impor produk ikan (HS 0304.29) Jepang dari Indonesia pada tahun 2010 dibandingkan dengan tahun 2007 sebesar US$ 13,88 juta. Hasil peningkatan ini dapat didekomposisi menjadi sebesar US$ 2,6 juta disebabkan oleh faktor peningkatan impor Jepang secara umum dari pasar dunia dan faktor komposisi komoditas produk Ikan itu sendiri sebesar US$ 0,8 juta, yaitu produk ini memiliki tingkat pertumbuhan impor Jepang yang lebih tinggi dibandingkan tingkat pertumbuhan impor Jepang secara keseluruhan. Dengan kata lain, pertumbuhan impor produk ini lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan rata-rata impor Jepang dari pasar dunia. Di samping itu, disebabkan 168
juga oleh faktor daya saing produk Indonesia di pasar Jepang sebesar US$ 10,4 juta. Selain itu, penurunan impor Jepang dari Indonesia pada tahun 2010 dibandingkan dengan tahun 2007 sebesar US$ 600,68 ribu untuk produk Udang Indonesia
(HS 03061.3). Hasil penurunan ekspor ini dapat didekomposisi
menjadi sebagai berikut: 1. Seharusnya impor Jepang dari Indonesia meningkat sebesar US$ 39,4 juta jika produk ini tumbuh sebesar angka peningkatan impor Jepang secara umum dari pasar dunia. 2. Seharusnya terjadi peningkatan impor Jepang dari Indonesia karena produk ini sendiri di pasar Jepang mengalami pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan tingkat rata-rata impor Jepang dari pasar dunia sebesar US$ 0,28 juta. 3. Penurunan ini juga bagian terbesarnya disebabkan oleh menurunnya daya saing produk Indonesia di pasar Jepang sebesar US$ 40,26 juta.
Gambaran analisis perubahan impor Jepang dari Indonesia tersebut juga dapat ditunjukkan dengan %tase kontribusi daya saing terhadap perubahan impor Jepang dari pasar dunia sebagaimana yang diperlihatkan dalam Tabel 7.3.
Tabel 7.3. Persentase Kontribusi Setiap Faktor terhadap Perubahan Nilai Impor Jepang dari Indonesia: Analisis Dekomposisi CMSA (dalam %) Kode HS
0304.29 0304.99 1804.00 0306.13 6210.10 9403.60 3923.21
Description
Fish fillets&other fish meat (excl. Fish fillets&other fish meat (excl. Cocoa butter, fat & oil Shrimps & prawns, whether/not in sh Garments made up of fabrics of 56.0 Furniture Sacks & bags (incl. cones), of poly
Besarnya Perubahan Impor Jepang dari Indonesia (%) Peningkatan Komposisi Impor Komoditas Jepang dari Dunia 18.65 6.09 % % 8.72 6.79 % % 8.30 -10.47 % % 6554. 47.37 44 % % 24.63 60.72 % % 27.01 3.89 % % 166.9 -12.36 3% %
Peningkatan Daya Saing
75.26 % 84.48 % 102.17 % -6701.81 % 14.66 % 69.10 % -54.57 %
Total Perubahan
100.0 0% 100.0 0% 100.0 0% 100.00 % 100.0 0% 100.0 0% 100.0 0%
Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag)
169
Tingkat persaingan produk Indonesia di pasar Jepang dan negara lainnya belum mampu diperlihatkan dari perhitungan dekomposisi CMSA. Dengan dasar pertimbangan tersebut, maka dilakukan perhitungan nilai indeks konsentrasi pasar produk Indonesia di pasar Jepang. Berdasarkan perhitungan nilai Indeks Konsentrasi Pasar Produk Impor di Pasar Jepang dapat diperoleh ilustrasi tentang tingkat persaingan yang dihadapi Indonesia terhadap produk yang sama dan berasal dari negara lainnya. Peningkatan dan penurunan pangsa produk Indonesia di pasar Jepang tersebut dapat memberikan indikasi awal tentang posisi Indonesia. Hasil perhitungan IKP dan pangsa pasar produk Indonesia tersebut dapat ditunjukkan pada Tabel 7.4. Tabel 7.4 Nilai Indeks Konsentrasi Pasar Produk Impor di Pasar Jepang dan Pangsa Pasar Produk Indonesia di Pasar Jepang Tahun 2007 dan 2010 NILAI IKP HS
SHARE INDONESIA
DESCRIPTION 2007
2010
2007
2010
0304.29
Fish fillets&other fish meat (excl.
0.300
0.337
0.03 %
0.06 %
0304.99
Fish fillets&other fish meat (excl.
0.443
0.412
0.01 %
0.03 %
1804.00
Cocoa butter, fat & oil
0.517
0.587
0.07 %
0.41 %
0306.13
Shrimps & prawns, whether/not in sh
0.353
0.359
3.99 %
3.21 %
6210.10
Garments made up of fabrics of 56.0
0.771
0.772
3.01 %
3.31 %
9403.60
Furniture
0.532
0.513
8.37 %
10.51 %
3923.21
Sacks & bags (incl. cones), of poly
0.597
0.596
1.46 %
1.36 %
Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag)
Semakin tinggi nilai IKP, maka semakin besar konsentrasi negara tertentu di pasar Jepang serta sebaliknya. Produk Ikan Indonesia (HS 0304.29), sebagai ilustrasi memperlihatkan nilai IKP produk impor di pasar Jepang semakin besar sehingga semakin terkonsentrasi impor Jepang untuk produk ini pada negara tertentu. Konsentrasi semakin tinggi ini relatif dimanfaatkan oleh Indonesia karena adanya peningkatan pangsa pasar produk Indonesia untuk komoditas ini di pasar Jepang dari 0,03 % menjadi 0,06 %.
170
7.2 Kinerja Industri Manufaktur Indonesia Berdasarkan Analisis Regresi Profit Cost Margin (PCM) Tujuan dari subbab ini adalah menganalisis kinerja industri Manufaktur di Indonesia selama periode 2006-2009 baik secara keseluruhan dan sepuluh industri Manufaktur dengan nilai impor terbesar pada tahun 2010. Pembahasan akan memfokuskan pada lima industri Manufaktur yang menjadi fokus studi, yakni 1512-industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya; 1543-industri Cokelat dan Kembang Gula; 2520-industri Barang dari Plastik; 3610-industri Furnitur; dan 1810-industri Pakaian Jadi dan Perlengkapannya, kecuali Pakaian Jadi Berbulu. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pendekatan ekonometrika yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi data panel dengan software Eviews 5.1. Kinerja industri Manufaktur sendiri dicerminkan oleh variabel nilai tambah (XEF) sebagai variabel endogen dengan variabel eksogennya adalah jumlah perusahaan (N), jumlah tenaga kerja (L), pengeluaran untuk bahan baku dan penolong lokal (PBBL), pengeluaran untuk bahan baku penolong impor (PBBI), pengeluaran untuk pemakaian bahan bakar minyak (BBM), pengeluaran untuk pemakaian listrik (BBL), dan nilai output (O).
7.2.1
Analisis Kinerja Industri Manufaktur Indonesia Berdasarkan hasil pengujian Chow yang digunakan untuk menentukan metode regresi data panel yang paling tepat di antara metode regresi data panel dengan Fixed Effect Model (FEM) dan Common Pooled Least Square (OLS) terhadap keseluruhan industri manufaktur Indonesia (126 industri) selama periode 2006-2009, ternyata didapatkan bahwa nilai Fhitung (65,8) lebih besar dibandingkan dengan nilai F-tabel
(2,44)
sehingga metode yang paling tepat untuk mengukur kinerja industri Manufaktur Indonesia secara keseluruhan adalah Fixed Effect Model dengan intersep tidak sama dan slope koefisien tetap.
F hitung
RSS R RSSUR / m (47.29527 17.46555) / 9 65.8 RSSUR /( n k ) (17.46555) /( 481 126 8)
F-tabel (α = 1 %) = 2,44; F-tabel (α = 5 %) = 1,90 (df: N1 = 9; N2 = 347) 171
Sementara itu, hasil pengujian Hausman yang digunakan untuk menentukan metode yang lebih tepat antara FEM dengan Random Effect menemukan bahwa FEM dianggap lebih cocok untuk mengestimasi data panel kinerja industri Manufaktur di mana probabilita pengujiannya mendekati nol dengan nilai Chi-Squares Statistik sebesar 61,3 (Tabel 5.8). Oleh karena itu, metode regresi data panel dengan FEM dianggap paling tepat menurut hasil pengujian Chow dan Hausman. Tabel 7.5 Hasil Pengujian Hausman terhadap Model Kinerja Industri Manufaktur Indonesia Correlated Random Effects - Hausman Test Pool: POOL1 Test cross-section random effects
Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
61.314257
7
0.0000
Random
Var(Diff.)
Prob.
Cross-section random effects test comparisons: Variable
Fixed
LOG(N?)
-0.241144
0.000866
0.007442
0.0050
LOG(L?)
0.231968
0.085837
0.002516
0.0036
LOG(PBBL?)
-0.236608
-0.226536
0.000316
0.5711
LOG(PBBI?)
-0.105336
-0.044212
0.000106
0.0000
LOG(BBM?)
-0.057380
-0.040556
0.000251
0.2881
LOG(BBL?)
-0.082219
-0.062308
0.000205
0.1642
LOG(O?)
1.311020
1.297471
0.000778
0.6272
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: LOG(XEF?) Method: Panel Least Squares Date: 11/02/11 Time: 12:04 Sample: 2006 2009 Included observations: 4 Cross-sections included: 126 Total pool (unbalanced) observations: 481
Variable C
0.505002
0.589082
0.857270
0.3919
LOG(N?)
-0.241144
0.091446
-2.637024
0.0087
LOG(L?)
0.231968
0.061349
3.781118
0.0002
172
LOG(PBBL?)
-0.236608
0.029428
-8.040238
0.0000
LOG(PBBI?)
-0.105336
0.014384
-7.322981
0.0000
LOG(BBM?)
-0.057380
0.023967
-2.394088
0.0172
LOG(BBL?)
-0.082219
0.023502
-3.498355
0.0005
LOG(O?)
1.311020
0.044175
29.67770
0.0000
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared
0.988886
Mean dependent var
21.14924
Adjusted R-squared
0.984670
S.D. dependent var
1.809385
S.E. of regression
0.224028
Akaike info criterion
0.075255
Sum squared resid
17.46555
Schwarz criterion
1.229913
Log likelihood
114.9012
F-statistic
234.5699
Durbin-Watson stat
2.416417
Prob(F-statistic)
0.000000
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006 - 2009, BPS (diolah oleh Puska Daglu Kemendag dengan Eviews 5.1)
Guna memenuhi asumsi model regresi linear klasik (OLS), maka terhadap hasil
estimasi
data
dengan
metode
FEM
dilakukan
pengujian
heteroskedastisitas dan otokorelasi. Untuk pengujian masalah otokorelasi dilakukan dengan uji Durbin-Watson. Dengan membandingkan nilai Durbin-Watson statistik yang diperoleh dari hasil regresi (2,416417) dengan nilai Durbin-Watson tabel (dL = 1,82488 ; dU= 1,87548; k = 7; dan n = 481 ) pada tingkat signifikansi 5 % didapat kesimpulan bahwa terdapat
masalah
otokorelasi
negatif.
Upaya
mengatasi
masalah
otokorelasi negatif telah dilakukan dengan mengupayakan baik crosssection weights maupun period-section weights akan tetapi tidak dapat mengatasi masalah yang ada. Tabel 7.6. Kriteria Pengujian Durbin-Watson Keputusan
Hipotesis Jika Nol Ada otokorelasi positif Tolak 0
173
H0 ditolak otokorelasi (+)
H0 tidak ditolak
Raguragu
1. (tidak ada otokorelasi)
Raguragu
H0 ditolak otokorelasi (-)
2. 0
1,82488
1,87548
2.12452
2.17512
4
Gambar 7.3 Hasil Pengujian Masalah Otokorelasi dengan Metode Durbin Watson terhadap Fixed Effect Model Sumber: Hasil pengolahan data
Berdasarkan hasil estimasi terhadap kinerja industri Manufaktur Indonesia periode 2006-2009 dengan metode FEM yang tercantum dalam Tabel 5.9 dapat diketahui bahwa variabel intersep tidak berpengaruh secara nyata, sementara variabel jumlah perusahaan (N), jumlah tenaga kerja (L), pengeluaran untuk bahan baku lokal (PBBL), pengeluaran untuk bahan baku impor (PBBI), pengeluaran untuk pemakaian bahan bakar minyak (BBM), pengeluaran untuk pemakaian listrik (BBL), dan nilai output (O) berpengaruh nyata. Perbedaan intersep dalam industri Manufaktur Indonesia sejalan dengan asumsi fixed FEM yang menyatakan akan adanya perbedaan intersep antar cross-section unit. Intersep tersebut berarti, tanpa dipengaruhi oleh variabel-variabel independen dalam model regresi nilai tambah setiap industri senilai masing-masing intersep tersebut. Intersep tersebut menunjukkan bahwa industri manufaktur Indonesia ini memiliki perbedaan dalam pola dan struktur. Nilai tambah untuk industri Pakaian Jadi dan Perlengkapannya, kecuali Pakaian Jadi Berbulu (1810) merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan industri manufaktur lainnya dengan nilai 1,241651 % Industri Barang dari Plastik (2520) dan industri Furnitur (3610) memiliki nilai tambah yang tergolong tinggi juga dengan nilai masing-masing sebesar 1,101009 % dan 1,030155 %. Sementara nilai tambah industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya (1512) dan industri Cokelat dan Kembang Gula (1543) tergolong rendah dengan nilai kurang dari satu %, yakni 0,461358 174
% dan 0,129368 %.Rendahnya nilai tambah berarti industri manufaktur tersebut masih menghasilkan nilai tambah yang rendah. Jumlah perusahaan dalam industri Manufaktur Indonesia (N) berpengaruh negatif terhadap nilai tambah industri Manufaktur Indonesia (XEF). Ini mengindikasikan bahwa peningkatan jumlah perusahaan belum tentu meningkatkan nilai tambah industri Manufaktur Indonesia, malah justru menurunkan nilai tambah. Hal ini karena adanya kemungkinan industriindustri yang diteliti belum efisien dalam operasionalnya. Industri cokelat dan kembang gula, khususnya industri pengolahan kakao dapat dinilai sebagai salah satu contoh industri yang masih belum efisien karena harus menghadapi persaingan dengan industri sejenis yang berasal dari luar negeri. Jumlah tenaga kerja (L) berpengaruh positif terhadap nilai tambah, di mana ketika jumlah tenaga kerja mengalami peningkatan maka semakin meningkat nilai tambah industri Manufaktur. Hal ini mengindikasikan bahwa industri Manufaktur Indonesia merupakan industri padat karya yang lebih mengandalkan tenaga kerja dibandingkan dengan modal dan penguasaan teknologi. Pengaruh yang kuat dari tenaga kerja sektor industri manufaktur terhadap nilai tambah industri manufaktur di Indonesia menunjukkan bahwa produktivitas rata-rata (APL) dan produk marjinal tenaga kerja (marginal product of labor, MPL) dalam sektor industri Manufaktur di Indonesia cukup tinggi. Pengeluaran untuk bahan baku lokal (PBBL) dan impor (PBBI) berpengaruh negatif terhadap nilai tambah industri Manufaktur. Ketika pengeluaran untuk bahan baku lokal mengalami peningkatan, maka nilai tambah industri Manufaktur Indonesia menurun. Hal ini sangatlah wajar makin tinggi pengeluaran untuk bahan baku lokal (PBBL) akan memperbesar komposisi biaya input dan menurunkan nilai tambah. Meskipun demikian, ketersediaan bahan baku lokal berperan penting dalam menjaga stabilitas harga bahan baku dan keuntungan industri.
175
Pengaruh negatif bahan baku impor terhadap nilai tambah industri Manufaktur di Indonesia berarti makin tingginya penggunaan bahan baku impor semakin mendorong penurunan nilai tambah industri Manufaktur. Peningkatan nilai input bahan lokal dan impor akan menurunkan PCM dan nilai tambah. Implikasinya adalah dengan turunnya harga barang impor jika barang tersebut diimpor dari Jepang maka akan menguntungkan industri tersebut karena menerima penurunan tarif bea masuk IJ-EPA. Pengeluaran untuk pemakaian bahan bakar minyak (BBM) dan listrik (BBL) berpengaruh negatif terhadap nilai tambah industri Manufaktur Indonesia. Dengan makin besarnya pengeluaran untuk pemakaian BBM dan listrik, semakin besar pula komposisi biaya input dan pada akhirnya semakin rendah nilai tambah. Nilai output berpengaruh positif terhadap nilai tambah industri Manufaktur Indonesia. Semakin besar kenaikan output, maka ada kecenderungan nilai tambah meningkat. Dengan kata lain, peningkatan produksi tanpa peningkatan biaya tetap masih menguntungkan mengingat penambahan ternaga kerja masih memiliki dampak positif terhadap industri manufaktur Indonesia. Tabel 7.7 Hasil Estimasi Kinerja Industri Manufaktur Indonesia Periode 2006-2009 Metode Fixed Effect Model Dependent Variable: LOG(XEF?) Method: Pooled Least Squares Date: 11/02/11 Time: 11:20 Sample: 2006 2009 Included observations: 4 Cross-sections included: 126 Total pool (unbalanced) observations: 481 Cross sections without valid observations dropped
Variable
C LOG(N?) LOG(L?) LOG(PBBL?)
Coeffi cient 0.5050 02 0.241144 0.2319 68 0.236608
Std. Error
t-Statistic
Prob.
0.589082
0.857270
0.3919
0.091446
-2.637024
0.0087
0.061349
3.781118
0.0002
0.029428
-8.040238
0.0000
176
LOG(PBBI?) LOG(BBM?) LOG(BBL?) LOG(O?)
0.105336 0.057380 0.082219 1.3110 20
0.014384
-7.322981
0.0000
0.023967
-2.394088
0.0172
0.023502
-3.498355
0.0005
0.044175
29.67770
0.0000
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared
0.988886
Mean dependent var
21.14924
Adjusted R-squared S.E. of regression
0.984670 0.224028
S.D. dependent var
1.809385
Akaike info criterion
0.075255
Sum squared resid Log likelihood
17.46555 114.9012
Schwarz criterion
1.229913
F-statistic
234.5699
Durbin-Watson stat
2.416417
Prob(F-statistic)
0.000000
Industri
Fixed Effect Cross
1810 - Pakaian Jadi dan Perlengkapannya, kecuali Pakaian Jadi Berbulu
0.736649
2520 - Barang dari Plastik
0.596007
3610 - Furnitur
0.525153
1512 -Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya
-0.043644
1543 -Cokelat dan Kembang Gula
-0.375634
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah oleh Puska Daglu Kemendag dengan Eviews 5.1)
7.2.2
Analisis Kinerja Sepuluh Industri Manufaktur dengan Nilai Impor Terbesar di Indonesia Berdasarkan hasil estimasi terhadap kinerja sepuluh industri Manufaktur Indonesia dengan nilai impor terbesar periode 2006-2009 dengan metode FEM yang tercantum dalam Tabel 5.10 dapat diketahui bahwa variabel intersep, jumlah perusahaan (N), pengeluaran untuk pemakaian bahan bakar minyak (BBM), dan pengeluaran untuk pemakaian listrik (BBL) tidak berpengaruh secara signifikan. Sementara variabel jumlah tenaga kerja (L), pengeluaran untuk bahan baku lokal (PBBL), pengeluaran untuk 177
bahan baku impor (PBBI), dan nilai output (O) berpengaruh secara signifikan. Kelima industri manufaktur yang menjadi fokus kajian tidak tergolong ke dalam sepuluh industri manufaktur dengan nilai impor terbesar pada tahun 2010. Perbedaan intersep dalam industri Manufaktur Indonesia sejalan dengan asumsi fixed FEM yang menyatakan akan adanya perbedaan intersep antar cross-section unit. Intersep tersebut berarti, tanpa dipengaruhi oleh variabel-variabel independen dalam model regresi nilai tambah setiap industri senilai masing-masing intersep tersebut. Intersep tersebut menunjukkan bahwa ke-10 industri ini memiliki perbedaan dalam pola dan struktur. Industri Kimia Dasar, kecuali Pupuk (2411), industri Perlengkapan dan Komponen Kendaraan Bermotor Roda Empat atau Lebih (3430), industri Logam Dasar Besi dan Baja (2710), dan industri Logam Dasar Bukan Besi (2720) tergolong ke dalam industri manufaktur yang berpengaruh positif terhadap nilai tambah. Sementara industri Plastik dan Karet Buatan (2413), industri Transmisi Mekanik selain Kendaraan Bermotor (2913), industri Pompa dan Kompresor (2912), industri Kendaraan Bermotor Roda Empat atau Lebih (3410), industri Mesinmesin Khusus Lainnya (2929), dan industri Mesin-mesin untuk Pertambangan, Penggalian, dan Konstruksi (2924) berpengaruh negative terhadap nilai tambah.
178
Tabel 7.8 Hasil Estimasi Kinerja 10 Industri Manufaktur Indonesia dengan Nilai Impor Terbesar Periode 2006-2009 Metode Fixed Effect Model Dependent Variable: LOG(XEF?) Method: Pooled Least Squares Date: 10/07/11 Time: 12:36 Sample: 2006 2009 Included observations: 4 Cross-sections included: 10 Total pool (balanced) observations: 40 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(N?) LOG(L?) LOG(PBBL?) LOG(PBBI?) LOG(BBM?) LOG(BBL?) LOG(O?) Fixed Effects (Cross) 2411_--C 2413_--C 2710_--C 2720_--C 2912_--C 2913_--C 2924_--C 2929_--C 3410_--C 3430_--C
-0.087107 -0.381470 0.370020 -0.275606 -0.288138 -0.026176 -0.157124 1.550411
2.826384 0.349716 0.215807 0.104581 0.105236 0.095268 0.094382 0.252194
-0.030819 -1.090799 1.714587 -2.635341 -2.738013 -0.274760 -1.664770 6.147685
0.9757 0.2867 0.0999 0.0148 0.0117 0.7860 0.1095 0.0000
0.696105 -0.031298 0.179862 0.125058 -0.118440 -0.078723 -0.542604 -0.434376 -0.315682 0.520098 Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.992991 0.988116 0.210965 1.023646 16.55264 2.158449
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
21.85146 1.935203 0.022368 0.740142 203.6673 0.000000
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah oleh Puska Daglu Kemendag dengan Eviews 5.1)
179
Jumlah perusahaan dalam industri Manufaktur Indonesia (N) berpengaruh negatif terhadap nilai tambah industri Manufaktur Indonesia (XEF). Tambahan nilai tambah yang dihasilkan dari setiap penambahan unit tenaga kerja lebih besar daripada tambahan nilai tambah yang dihasilkan dari setiap penambahan unit input (faktor produksi) lainnya. Pengeluaran untuk bahan baku lokal (PBBL) dan impor (PBBI) berpengaruh negatif terhadap nilai tambah industri Manufaktur. Ketika pengeluaran untuk bahan baku lokal mengalami peningkatan, maka nilai tambah industri Manufaktur Indonesia menurun. Hal ini sangatlah wajar makin tinggi pengeluaran untuk bahan baku lokal (PBBL) dan penggunaan bahan baku impor (PBBI) akan memperbesar komposisi biaya input dan menurunkan nilai tambah. Pengeluaran untuk pemakaian bahan bakar minyak (BBM) dan listrik (BBL) berpengaruh negatif juga terhadap nilai tambah industri Manufaktur Indonesia. Sementara itu, milai output berpengaruh positif terhadap nilai tambah industri Manufaktur Indonesia.
7.3 Strategi Peningkatan Daya Saing Produk Manufaktur Indonesia Merujuk pada hasil analisis EPD, indeks CMSA, IKP, dan analisis regresi PCM, maka beberapa strategi yang mungkin dapat dilakukan guna meningkatkan daya saing produk manufaktur Indonesia khususnya di pasar Jepang adalah untuk produk ikan Indonesia (HS030429 dan HS 030499) di pasar Jepang yang memperlihatkan kecenderungan peningkatan daya saing yang positif
dan
mempunyai kecenderungan peningkatan permintaan Jepang terhadap produk perikanan Indonesia seiring dengan peningkatan impor Jepang untuk produk ini, maka strategi yang dapat dikembangkan adalah mempertahankan posisi pasar Indonesia untuk produk ini di pasar Jepang (terutama HS 030429) bahkan meningkatkan nilai ekspor kita ke Jepang (HS 030499). Kondisi ini dapat tercapai dengan peningkatan standar mutu produk ekspor perikanan agar sesuai dengan standard internasional yang berlaku. Untuk produk Kakao Indonesia (HS 180400) di pasar Jepang yang mempunyai kecenderungan terjadinya penurunan permintaan Jepang terhadap produk kakao dari pasar dunia dimana secara relatif tingkat pertumbuhan impor 180
kakao Jepang dari pasar dunia jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan total impornya, strategi yang dapat dilakukan adalah melakukan diversifikasi negara tujuan ekspor karena adanya kecenderungan kejenuhan permintaan Jepang terhadap kakao. Untuk produk Udang (HS 030613), strategi yang harus kita kembangkan untuk produk ini adalah peningkatan produktivitas pada sektor hulu budidaya dan penangkapan udang serta memperketat kepatuhan pada standar ekspor udang yang sangat rigid seperti diatur dalam GAP Standard. Adapun untuk produk Garmen (HS 621010), Indonesia harus mempertahankan trend peningkatan daya saing, peningkatan nilai ekspor, peningkatan konsentrasi pasar produk Indonesia di pasar Jepang sekaligus peningkatan market share untuk produk ini. Strategi yang dapat dilakukan untuk produk furnitur (HS 940360) adalah dengan perbaikan kualitas serta peningkatan intensitas ekspor Indonesia ke pasar Jepang untuk mempertahankan konsentrasi pasar yang telah baik pada produk ini. Untuk produk plastik (HS 392321), strategi untuk komoditas ini dilakukan dua hal secara sekaligus yaitu peningkatan kualitas dan daya saing produk Indonesia serta melakukan diversifikasi pasar untuk produk ini. Untuk lebih detil dapat dilihat pada tabel 7.9 berikut ini.
181
Tabel 7.9 Matriks Strategi Peningkatan Daya Saing Produk Manufaktur Indonesia Produk
EPD
CMSA
IKP 2010
Anali sis PCM
Sebelum IJEPA Retreat
Setelah IJ-EPA Retreat
Berdaya saing
0.532
0.513
8.37 %
10.51 %
1.030155
Produk Pakaian Jadi
Falling
Retreat
Berdaya saing
0.771
0.772
3.01 %
3.31 %
1.241651
Produk Barang dari Plastik
Retreat
Retreat
Penurunan daya saing
0.597
0.596
1.46 %
1.36 %
Produk Furnitur
2007
Pangsa Pasar Indonesia di Jepang 2007 2010
1.101009
Produk Ikan (HS 0304.29)
Falling
Falling
Berdaya saing
0.337
0.300
0.03 %
0.06 %
0.461358
Strategi
Perbaikan kualitas dan peningkatan intensitas ekspor Indonesia ke pasar Jepang untuk mempertahankan konsentrasi pasar yang telah baik pada produk ini. Mempertahankan trend seperti ini akan memberikan dampak yang positif bagi perkembangan ekspor produk ini di pasar Jepang.
1. Peningkatan kualitas dan daya saing produk Barang dari Plastik Indonesia 2. Diversifikasi pasar untuk produk Barang dari Plastik 1. Perlunya mempertahankan ekspor produk Ikan (HS. 0304.29) Indonesia di pasar Jepang. 2. Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya yang memproduksi produk Ikan (HS. 0304.29) perlu meningkatkan standar mutu produk ekspor sesuai dengan standar internasional yang berlaku, khususnya di pasar Jepang. 3. Perlunya mengembangkan industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan
182
Biota Perairan Lainnya yang memiliki nilai tambah yang lebih tinggi. Produk Ikan (HS 0304.99)
Produk Olahan
Kakao
Produk Udang
Rising
Falling
Berdaya saing
0.412
0.443
0.01 %
0.03 %
0.461358
Lost opportunities
Retreat
Berdaya saing
0.517
0.587
0.07 %
0.41 %
0.129368
Retreat
Retreat
Penurunan daya saing
0.461358 0.353
0.359
3.99 %
3.21 %
1. Meningkatkan ekspor produk Ikan (HS. 0304.99) Indonesia di pasar Jepang, dengan diiringi peningkatan standar mutu produk ekspor sesuai dengan standar internasional yang berlaku, khususnya di pasar Jepang. 2. Peningkatan fasilitas/infrastruktur dan teknologi penangkapan ikan. 3. Perlunya mengembangkan industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya yang memiliki nilai tambah yang lebih tinggi. 1. Perlunya pengembangan Industri pengolahan kakao di dalam negeri yang memiliki nilai tambah tinggi. 2. Perlunya diversifikasi pasar tujuan ekspor produk kakao olahan selain Jepang. 1. Peningkatan produktivitas pada sektor hulu budidaya dan penangkapan udang 2. Memperketat kepatuhan pada standar ekspor udang di pasar Jepang.
183
116
BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
8.1 Kesimpulan Berdasarkan pemaparan dan pembahasan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pemanfaatan Surat Keterangan Asal (SKA) Form IJ-EPA dan JI-EPA a. Pemanfaatan Surat Keterangan Asal (SKA) Form IJ-EPA sebagai salah satu kelengkapan dokumen dalam mengalami peningkatan setiap tahunnya selama periode 2008-2010. Produk plastik dan barang plastik, ikan dan udang, dan kayu adalah beberapa produk yang dominan dalam pemanfaatan SKA Form IJ-EPA. Seiring dengan makin tingginya pemanfaatan SKA Form IJ-EPA, semakin tinggi pula ekspor Indonesia ke Jepang. Ditinjau dari sisi impor, pemanfaatan Certificate of Origin (COO) Form JI-EPA dan nilai impor dari Jepang pasca diberlakukannya kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA sejak 1 Juli 2008 mengalami peningkatan yang sangat drastis. Impor Indonesia dari Jepang yang menggunakan Form JI-EPA didominasi oleh produk mesin-mesin/pesawat mekanik, kendaraan dan bagiannya, mesin/ peralatan listrik, besi dan baja, karet dan barang dari karet, dan benda-benda dari besi baja. Gempa bumi dan tsunami yang melanda Jepang pada 11 Maret 2011 tidak berdampak signifikan pada ekspor Indonesia ke Jepang b. Dari hasil temuan lapangan dan Focus Group Discussion (FGD) di berbagai daerah, pemanfaatan SKA Form IJ-EPA di beberapa daerah telah menunjukkan kinerja yang optimal. Ketidakoptimalan yang terjadi di beberapa daerah lainnya dikarenakan masih adanya penggunaan Form A dalam ekspor ke Jepang. Prosedur dan jangka waktu penerbitan SKA Form IJ-EPA, baik di Instansi Penerbit SKA (IPSKA) yang telah otomasi maupun sedang dalam proses otomasi, telah seragam. Namun, tidak demikian halnya dalam biaya penerbitan SKA Form IJ-EPA yang masih beragam di beberapa daerah. Selain itu, terdapat beberapa permasalahan 184
utama yang dihadapi oleh para eksportir dalam proses penerbitan SKA Form IJ-EPA, antara lain keterbatasan sumber daya manusia (SDM) yang terdapat di berbagai IPSKA, keenganan pencantuman struktur biaya dalam SKA Form IJ-EPA, pemilihan kode HS yang sesuai, dan kurangnya sosialisasi mengenai fasilitas IJ-EPA. c. Berdasarkan hasil studi banding dengan Jepang sebagai negara mitra kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA, kinerja ekspor dan impor JepangIndonesia mengalami perkembangan Meskipun terdapat kecenderungan penurunan dalam ekspor Jepang ke Indonesia pasca IJ-EPA, ekspor Jepang ke Indonesia mengalami kenaikan yang signifikan untuk beberapa produk tertentu seperti produk mesin, elektronik, dan otomotif. Di sisi impor, beberapa komoditi beberapa komoditi yang diimpor Jepang dari Indonesia setelah diimplementasikannya
IJ-EPA pada umumnya mengalami
penurunan dibandingkan dengan sebelum IJEPA berlaku. Penurunan impor Jepang dari Indonesia tersebut terjadi pada produk Furnitur, Barang dari Plastik, Tekstil, Ikan dan Krustasea, Udang. Impor Kakao Jepang dari Indonesia justru mengalami kenaikan setelah diberlakukannya IJEPA. Gempa bumi dan tsunami yang melanda Jepang pada 11 Maret 2011 berdampak terhadap ekspor Jepang ke Indonesia yang menurun, terutama ekspor produk Otomotif, Elektronik, dan Makanan. Sementara dari sisi impor, sejalan dengan naiknya kebutuhan produk Makanan akibat bencana yang melanda Jepang impor produk Makanan dari Indonesia mengalami peningkatan. Dalam halnya pemanfaatan tarif preferensi IJ-EPA, rata-rata perbedaan tarif preferensi JI-EPA cenderung rendah, khususnya produk Furnitur, Barang dari Plastik, dan Udang. Sedangkan perbedaan tarif preferensi JI-EPA yang cukup tinggi terjadi untuk produk Kakao, Ikan dan Krustasea, dan Tekstil dan Produk Tekstil. Adapun permasalahan yang dihadapi oleh pihak Jepang dalam memverifikasi SKA Form IJ-EPA yang berasal dari Indonesia adalah keterlambatan notifikasi perubahan spesimen tanda tangan dan stempel dan perbedaan uraian barang serta kode klasifikasi HS. 185
d. Sama halnya dengan Indonesia, Malaysia dan Thailand adalah negaranegara yang memiliki kesepakatan perdagangan bebas secara bilateral dengan Jepang. Berdasarkan perbandingan
antara Malaysia-Japan
Economic Partnership Agreement (MJEPA) dan Japan-Thailand Economic Partnership Agreement (JTEPA) dengan kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA, terdapat beberapa hal yang membedakan kedua kesepakatan perdagangan tersebut dengan IJ-EPA, yakni cakupan unsur dalam kesepakatan perdagangan bebas, jangka waktu impelementasi konsensi tarif, kuota, dan fleksibilitas produk sensitif. Dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand, Indonesia memiliki kesamaan dalam beberapa ekspor produk ke Jepang, yakni produk Ikan dan Udang. Dari sisi impor, Thailand dan Malaysia sebagai basis produksi otomotif di pasar ASEAN seperti halnya Indonesia mengimpor bagian-bagian kendaraan otomotif dan produk otomotif dari Jepang. e. Sosialisasi, seminar, penyebaran brosur dan pamflet, dan publikasi melalui link tertentu dalam situs website instansi-instansi yang terkait dengan pengimplementasian kesepakatan perdagangan bebas secara bilateral merupakan metode penyebarluasan informasi yang dilaksanakan, baik oleh pemerintah Jepang, Malaysia maupun Thailand, guna meningkatkan efektivitas pemanfaatan SKA dan tarif preferensi. 2. Analisis Dampak Implementasi Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA terhadap Daya Saing Produk Manufaktur a. Berdasarkan hasil perhitungan Constant Market Share Analysis (CMSA) terhadap produk manufaktur Indonesia dapat disimpulkan bahwa produk ikan, kakao olahan, garmen, dan furnitur adalah produk yang berdaya saing
di
pasar
Jepang
pasca
diimplementasikannya
kesepakatan
perdagangan bebas IJ-EPA. Besarnya perubahan ekspor produk ikan, kakao olahan, dan furnitur Indonesia ke Jepang lebih didorong oleh peningkatan daya saing, sedangkan komposisi komoditas dominan mendorong perubahan impor Jepang dari Indonesia untuk produk garmen. Sementara produk udang dan barang dari plastik tergolong ke dalam 186
produk yang tidak berdaya saing pasca diimplementasikannya IJ-EPA. Turunnya daya saing produk udang lebih disebabkan oleh anjloknya daya saing, sedangkan besaran perubahan impor Jepang dari Indonesia untuk produk barang dari plastik diakibatkan oleh adanya peningkatan impor Jepang dari dunia. b. Hasil analisis Export Product Dynamics (EPD) yang disandingkan dengan hasil perhitungan EPD menunjukkan bahwa daya saing produk ikan (HS 030429) sebelum dan sesudah IJ-EPA dapat dikategorikan ke dalam falling-rising, sedangkan untuk (HS 030499) rising-falling. Untuk produk kakao olahan (HS 180400), daya saing sebelum adanya kesepakatan IJEPA menunjukkan lost-opportunities, sedangkan pasca IJEPA menjadi retreat. Untuk produk furnitur (HS 940360), baik sebelum maupun sesudah IJEPA, posisi daya saingnya adalah retreat. Terhadap produk yang tidak berdaya saing berdasarkan hasil perhitungan CMSA, produk garmen memiliki kategori falling-retreat untuk daya saing sebelum dan setelah IJ-EPA dan kategori retreat-retreat untuk produk barang dari plastik. c. Pasca diberlakukannya kesepakatan IJ-EPA, produk ikan (HS 030429), kakao olahan (HS 180400), udang (HS 030613), dan garmen (HS 621010) semakin terkonsentrasi di pasar Jepang. Hal ini dapat terlihat dari semakin tingginya nilai indeks konsentrasi Indeks Konsentrasi Pasar (IKP) dan pangsa pasar ekspor produk Indonesia di pasar Jepang dari keempat produk tersebut. Untuk produk barang dari plastik, nilai IKP dan pangsa pasarnya di pasar Jepang semakin rendah pasca pemberlakuan IJ-EPA. Hal tersebut mengindikasikan bahwa semakin tersebarnya impor Jepang untuk kedua produk tersebut. Meskipun pangsa pasar produk ikan (HS 030499) dan furnitur (HS 940360) mengalami kenaikan setelah adanya kesepakatan IJ-EPA, namun nilai IKP menunjukkan penurunan dibandingkan dengan sebelum adanya IJ-EPA. d. Berdasarkan hasil estimasi kinerja industri manufaktur di Indonesia selama periode 2006-2009, baik secara keseluruhan maupun terhadap sepuluh 187
industri manufaktur dengan nilai impor terbesar pada tahun 2010, menunjukkan bahwa variabel jumlah tenaga kerja, pengeluaran untuk bahan baku lokal, pengeluaran untuk bahan baku impor, dan nilai output berpengaruh signifikan terhadap nilai tambah industri manufaktur, sedangkan variabel intersep tidak berpengaruh secara signifikan. Sementara variabel jumlah perusahaan, pengeluaran untuk pemakaian bahan bakar minyak, dan pengeluaran untuk pemakaian listrik berpengaruh secara signifikan terhadao kinerja industri manufaktur Indonesia (126 industri), sedangkan dalam hasil estimasi kinerja 10 industri manufaktur dengan nilai impor terbesar di Indonesia variabelvariabel tersebut tidak berpengaruh secara signifikan. Baik berdasarkan hasil estimasi kinerja industri manufaktur di Indonesia selama periode 2006-2009 secara keseluruhan maupun terhadap sepuluh industri manufaktur dengan nilai impor terbesar pada tahun 2010, variabel-variabel yang berpengaruh negatif terhadap kinerja industri manufaktur antara lain jumlah perusahaan, pengeluaran untuk bahan baku lokal, pengeluaran untuk bahan baku impor, pengeluaran untuk pemakaian bahan bakar minyak, pengeluaran untuk pemakaian listrik, Sementara variabel jumlah tenaga kerja dan nilai output berpengaruh positif terhadap nilai tambah industri manufaktur.
8.2 Rekomendasi Terkait dengan pemanfaatan SKA IJ-EPA yang menemui kendala dalam pengimplementasiannya di beberapa daerah di Indonesia, maka sosialisasi dan seminar kepada stakeholders dibutuhkan, khususnya dalam pengimplementasian kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA, prosedur penerbitan SKA Form IJ-EPA dan JI-EPA dan tarif preferensi IJ-EPA. Penyediaan link atau situs khusus untuk mengedukasi
dan
menyebarluaskan
informasi
yang
terintegrasi
tentang
pengimplementasian kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA, prosedur penerbitan SKA Form IJ-EPA dan JI-EPA dan tarif preferensi IJ-EPA sebagaimana yang dilakukan oleh Jepang, Malaysia, dan Thailand. Di samping itu, peningkatan 188
kompetensi sumber daya manusia dan kapasitas fasilitas infrastruktur yang memadai di berbagai instansi penerbit SKA guna mendukung proses penerbitan SKA diperlukan. Sementara itu, untuk daya saing beberapa produk industri manufaktur dapat direkomendasikan sebagai berikut: 1. Untuk produk ikan (HS030429 dan HS 030499) Indonesia di pasar Jepang memperlihatkan kecenderungan peningkatan daya saing yang positif . Selain itu, terdapat pula kecenderungan peningkatan permintaan Jepang terhadap produk perikanan Indonesia seiring dengan peningkatan impor Jepang untuk produk ini. Strategi yang dikembangkan terhadap produk ini adalah mempertahankan posisi pasar Indonesia untuk produk ini di pasar Jepang (terutama HS 030429) bahkan meningkatkan nilai ekspor kita ke Jepang (HS 030499). Kondisi ini dapat tercapai dengan peningkatan standar mutu produk ekspor perikanan agar sesuai dengan standard internasional yang berlaku. 2. Untuk produk kakao (HS 180400) Indonesia di pasar Jepang, Indonesia relatif tidak memiliki masalah terhadap daya saing untuk produk ini. Bahkan, nilai ekspor kakao Indonesia meningkat ke pasar Jepang seiring adanya peningkatan konsentrasi pasar produk kakao Indonesia ini di pasar Jepang. Namun, terdapat kecenderungan penurunan permintaan Jepang terhadap produk kakao dari pasar dunia dimana secara relatif tingkat pertumbuhan impor kakao Jepang dari pasar dunia jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan total impornya. Fakta ini menunjukkan pentingnya bagi Indonesia untuk melakukan diversifikasi negara tujuan ekspor karena adanya kecenderungan kejenuhan permintaan Jepang terhadap kakao. 3. Untuk produk udang (HS 030613) Indonesia di pasar Jepang, Indonesia merupakan salah satu negara utama pengekspor udang ke pasar Jepang. Namun dalam periode 2007-2010, telah terjadi penurunan impor Jepang untuk udang Indonesia seiring penurunan daya saing produk udang kita di pasar Jepang. Permintaan Jepang untuk produk ini relatif tinggi, lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan impor Jepang untuk keseluruhan produk. 189
Pentingnya Indonesia sebagai pengekspor utama produk ini relatif terlihat pada peningkatan konsentrasi pasar produk kita di pasar Jepang sekalipun terjadi penurunan market share. Fakta ini menunjukan bahwa tingkat persaingan produk udang di pasar Jepang semakin meningkat. Strategi yang harus kita kembangkan untuk produk ini adalah peningkatan produktivitas pada sektor hulu budidaya dan penangkapan udang serta memperketat kepatuhan pada standar ekspor udang yang sangat rigid seperti diatur dalam GAP Standard. 4. Produk garmen (HS 621010) Indonesia di pasar Jepang relatif memiliki kecenderungan yang positif. Terdapat peningkatan daya saing, nilai ekspor, peningkatan konsentrasi pasar produk Indonesia di pasar Jepang sekaligus peningkatan market share untuk produk ini. Mempertahankan trend seperti ini akan memberikan dampak yang positif bagi perkembangan ekspor produk ini di pasar Jepang. 5. Produk furniture (HS 940360) memberikan kecenderungan yang positif baik dari sisi nilai ekspor, peningkatan market share, peningkatan permintaan Jepang, serta daya saing produk ekspor Indonesia ini di pasar Jepang. Namun, hasil perhitungan IKP memperlihatkan adanya kecenderungan penurunan konsentrasi pasar produk furniture Indonesia di pasar Jepang. Hal ini mengindikasikan bahwa pemain furniture di pasar Jepang mengalami peningkatan sehingga iklim pasar furniture semakin kompetitif. Strategi perbaikan kualitas serta peningkatan intensitas ekspor Indonesia ke pasar Jepang untuk produk ini perlu dilakukan untuk mempertahankan konsentrasi pasar yang telah baik pada produk ini. 6. Untuk produk plastik (HS 392321) Indonesia di pasar Jepang sekalipun mengalami peningkatan ekspor pada periode 2007 – 2010, terdapat penurunan daya saing produk Indonesia di pasar Jepang. Selain itu, permintaan Jepang terhadap produk ini sendiri memiliki kecenderungan yang menurun ditunjukkan dengan rendahnya pertumbuhan impor produk ini relatif dibandingkan dengan pertumbuhan impor rata-rata Jepang untuk keseluruhan 190
produk. Penurunan daya saing produk Indonesia juga direfleksikan pada penurunan market share dan tingkat konsentrasi pasar produk Indonesia di pasar Jepang. Strategi untuk komoditas ini dilakukan dua hal secara sekaligus yaitu peningkatan kualitas dan daya saing produk Indonesia serta melakukan diversifikasi pasar untuk produk ini.
191
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Sjamsul. 2008. Bangkitnya Perekonomian Asia Timur Satu Dekade Setelah Krisis. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kompas Gramedia. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Utara. 2010. Statistik Industri Besar dan Sedang Provinsi Sulawesi Utara 2009. Manado: Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Utara. Balassa, Bela. 1961. The Theory of Economic Integration. Homewood: Richard D. Irwin, Inc. Bera, Soumitra Kumar. 7 Juni 2008. International Trade Modeling Indices & Measurement Issues. Munich Personal RePEc Archive (MPRA) Paper No. 27890. Muenchen: MPRA. (diakses secara online melalui situs http: //mpra.ub.uni-muenchen.de/27890/) Dermoredjo, Saktyanu K., Wahida, dan Hutabarat, Budiman. 2007. Analisis Dampak Penurunan Subsidi Ekspor Negara Maju terhadap Produksi Pertanian Indonesia. Prosiding Seminar Nasional “Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat” 2007. Penyunting: Kedi Suradisastra, Yusmichad Yusdja, Budiman Hutabarat. Bogor: Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Utara, 2009, Komoditas Potensial Ekspor Sulawesi Utara,Proyek Pengembangan Ekspor (P2E), Manado: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Utara. Directorate of Trade, Investment and International Economic Cooperation, Ministry of States for National Development Planning/ The National Development Planning Agency (Bappenas). 2009. Trade and Investment in Indonesia: a Note on Competitiveness and Future Challenge. Jakarta: Directorate of Trade, Investment and International Economic Cooperation Bappenas with Kemitraan/ Partnership. Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian. 2009. Roadmap Pengembangan Industri Pengolahan Hasil Laut. Jakarta: Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian. Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian. 2009. Roadmap Pengembangan Industri Kakao. Jakarta: Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian.
Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian. 2009. Roadmap Industri Furniture. Jakarta: Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian. Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga. Firdaus, Muhammad., et.al. 2008. Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Manufaktur Indonesia. Working Paper Series No. 04/A/III/2008. Bogor: Department of Economics, Faculty of Economics and Management, Bogor Agricultural University (IPB). Gandolfo, Giancarlo. 1998. International Trade Theory and Policy. Berlin: Springer-Verlag. Gujarati, Damodar N. 2002. Basic Econometrics 4th Edition. New York: McGrawHill. Haryadi, Oktaviani, Rina., Tambunan, Mangara., dan Achsani, Noer Azam. 2008. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan Sektor Pertanian terhadap Kinerja Ekonomi Negara Maju dan Berkembang. Makalah disampaikan dalam Seminar Sekolah Pascasarjana IPB. (diakses secara online melalui situs: http://haryadikamal.wordpress.com/2010/07/23/dampak-penghapusanhambatan-perdagangan-sektor-pertanian-terhadap-kinerja-ekonomi-negaramaju-dan-berkembang/) Indag Sulut 2010 dan Departemen Perdagangan Republik Indonesia. 2010. List Exporter of North Sulawesi. Manado: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Utara (Indag Sulut). Jovanović, Miroslaw N. 2006. The Economics of International Integration. Northampton: Edward Elgar Publishing, Inc. Juswanto, Wawan, dan Mulyanti, Puji. 2003. Indonesia’s Manufactured Exports: A Constant Market Shares Analysis. Jurnal Keuangan dan Moneter Volume 6 Nomor 2. Kaesti, Atika Dwi. 2010. Analisis Kinerja Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Indonesia Tahun 2000-2003 (Pendekatan Structure-ConductPerformance). Skripsi. Semarang: Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro. Krugman, Paul R. dan Obstfeld, Maurice. 2004. Ekonomi Internasional, Teori dan Kebijakan, Edisi Kelima, Jilid 1. Jakarta: PT Indeks Kelompok Gramedia. Lindert, Peter H and Kindleberger, Charles P. 1986. International Economics, 8th Edition. Homewood, IL: RD Irwin.
Masngudi. 2006. Diktat kuliah Ekonomi Internasional Lanjutan. Jakarta: Universitas Borobudur. Putra, Elby Julian. 2009. Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pulp dan Kertas di Indonesia. Skripsi. Bogor: Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Soekarni, Hidayat, dan Suryanto. 2010. Peta Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol.18 Tahun 2010, Hal. 1-20. Jakarta: Pusat Penelitian Ekonomi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Sukirno, Sadono. Perdagangan Internasional. Wikipedia. Diakses secara online melalui situs http://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_internasional Suprihatini, Rohayati. Mei 2005. Daya Saing Ekspor Teh Indonesia di Pasar Teh Dunia. Jurnal Agro Ekonomi Volume 23 No. 1: 1-29. Bogor: Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP), Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Suryawati. 2009. Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Tekstil dan Pakaian Jadi di Provinsi DIY. Jurnal Akuntansi dan Manajemen, Vol. 20 No. 1, April 2009, hal 35-46. Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STIE YKPN. Tambunan, Tulus., Hakim, Lukman., dan Santosa, Budi. 1996. Daya Saing Perekonomian Indonesia Menyongsong Era Pasar Bebas. Jakarta: Panitia Dies Natalis ke-31 Usakti, Pusat Pengkajian Ekonomi Nasional dan Perkotaan Usakti. Tim Penulis Bank Indonesia. 2008. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015: Memperkuat Sinergi ASEAN di Tengah Kompetisi Global. Editor: Arifin, Sjamsul; Djaafara, Rizal A; Budiman, Aida S. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Urata, Shujiro and Kiyota, Kozo. August 2005. The Impacts of an East Asia FTA on Foreign Trade in East Asia. International Trade in East Asia, NBER-East Asia Seminar on Economics (Conference September 5-7), 2003, Volume 14. Editors: Ito, Takatoshi., and Rose, Andrew K. Chicago: University of Chicago Press. (diakses secara online melalui http://www.nber.org/chapters/c0195) Urata, Katsuhide and Urata, Shujiro. 2010. On the Use of FTAs by Japanese Firms: Further Evidence. Business and Politics: Vol. 12 (1), Article 2. Berkeley: Berkeley Electronic Press. (diakses secara online melalui situs: http://www.bepress.com/bap/vol12/iss1/art2)
Widarjono, Agus. 2005. Ekonometrika: Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan Bisnis. Yogyakarta: Ekonisia, Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Indonesia. Widyasanti, Amalia Adininggar. 2010. Perdagangan Bebas Regional dan Daya Saing Ekspor: Kasus Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perdagangan (BEMP) Volume 13 Nomor 1, Juli 2010. Jakarta: Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia. Senin, 22 September 2008, Ekspor Ikan Utuh Dilonggarkan, Kompas. (http://megapolitan.kompas.com/read/2008/09/22/00443495/Ekspor.Ikan.Utu h.Dilonggarkan diakses pada 14 Oktober 2011) Rabu, 19 Desember 2007, Nilai Ekspor Produk Perikanan Naik (http:// http://m.inilah.com/read/detail/4958/nilai-ekspor-produk-perikanan-naik/ diakses pada tanggal 13 Oktober 2011).
Lampiran 1. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal Asing (PMA) Menurut Sektor, Tahun 2006-2010 (Juta US$)
Sumber: Statistik Perekonomian Volume 1 Nomor 5 – Triwulan I – 2011, Kedeputian Ekonomi Makro dan Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Lampiran 2. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal Asing (PMA) Menurut Lokasi, Tahun 2006-2010 (Juta US$)
Sumber: Statistik Perekonomian Volume 1 Nomor 5 – Triwulan I – 2011, Kedeputian Ekonomi Makro dan Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Lampiran 3. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal Asing (PMA) Menurut Negara Asal, Tahun 2006-2010 (Juta US$)
Sumber: Statistik Perekonomian Volume 1 Nomor 5 – Triwulan I – 2011, Kedeputian Ekonomi Makro dan Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Lampiran 4. Perbandingan Hasil Perhitungan antara Constant Market Share Analysis (CMSA) dengan Export Product Dynamics (EPD) X1 X2 X3
Nilai Impor Jepang dari Indonesia - WITS Share Impor Komoditas terhadap Total Impor Jepang dari Indonesia Share Impor Komoditas terhadap Total Impor Jepang dari Indonesia (194 Komoditas) CMSA HS
030429 030499 030613 180400
DESCRIPTION Fish fil ets&other fish meat (excl. Fish fil ets&other fish meat (excl. Shrimps & prawns, whether/not in sh Cocoa butter, fat & oil
NILAI CMSA
KATEGORI
0.00001646 Berdaya Saing 0.00001127 Berdaya Saing (0.00006549) Tidak Berdaya Saing 0.00000834 Berdaya Saing
X4 X5 X6
Nilai Impor Jepang dari Dunia - WITS Share Impor Komoditas terhadap Total Impor Jepang dari dunia Share Impor Komoditas terhadap Total Impor Jepang dari dunia (194 Komoditas)
EPD Impor Jepang dr Indonesia SEBELUM SESUDAH X1 X2 X3 fal ing rising retreat lost
fal ing fal ing retreat retreat
36,773.76 15,654.58 347,499.64 7,580.57
0.14% 0.06% 1.28% 0.03%
0.90% 0.38% 8.53% 0.19%
Impor Jepang dr Dunia X4 X5 X6 1,510,973.28 846,332.26 1,940,218.06 118,568.68
0.24% 0.14% 0.31% 0.02%
3.75% 2.10% 4.82% 0.29%
X7 X8 X9
Ekspor Indonesia ke Dunia X7 X8 X9 197,011,890 40,860,465 790,572,834 236,808,094
Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan).
0.12% 0.03% 0.50% 0.15%
0.87% 0.18% 3.50% 1.05%
Nilai Ekspor Indonesia ke Dunia Share Ekspor Komoditas terhadap Total Ekspor Indonesia ke Dunia Share Ekspor Komoditas terhadap Total Ekspor Indonesia ke Dunia (194 Komoditas) Impor Dunia dari Dunia X10 X11 X12 ISIC Rev.3Descriptions 7,503,270.39 1,399,775.38 8,065,367.60 2,268,039.63
0.11% 0.02% 0.12% 0.03%
3.31% 1512 0.62% 1512 3.56% 1512 1.00% 1543
Processing and preserving of fish and fish products Processing and preserving of fish and fish products Processing and preserving of fish and fish products Manufacture of cocoa, chocolate and sugar confectionery
Lampiran 5. Hasil Estimasi Regresi Fixed Effect Model terhadap Model Kinerja Industri Manufaktur Indonesia Dependent Variable: LOG(XEF?) Method: Pooled Least Squares Date: 11/02/11 Time: 11:20 Sample: 2006 2009 Included observations: 4 Cross-sections included: 126 Total pool (unbalanced) observations: 481 Cross sections without valid observations dropped Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(N?) LOG(L?) LOG(PBBL?) LOG(PBBI?) LOG(BBM?) LOG(BBL?) LOG(O?)
0.505002 -0.241144 0.231968 -0.236608 -0.105336 -0.057380 -0.082219 1.311020
0.589082 0.091446 0.061349 0.029428 0.014384 0.023967 0.023502 0.044175
0.857270 -2.637024 3.781118 -8.040238 -7.322981 -2.394088 -3.498355 29.67770
0.3919 0.0087 0.0002 0.0000 0.0000 0.0172 0.0005 0.0000
Fixed Effects (Cross) 1511_--C 1512_--C 1513_--C 1514_--C 1521_--C 1531_--C 1532_--C 1533_--C 1541_--C 1542_--C 1543_--C 1544_--C 1549_--C 1551_--C 1552_--C 1553_--C 1554_--C 1600_--C 1711_--C 1712_--C 1721_--C 2914_--C 2915_--C 2919_--C 2921_--C
-0.121923 -0.043644 -0.344984 -0.042291 -0.297565 -0.601677 -0.459229 0.044903 0.326151 0.194195 -0.375634 -0.401873 0.612015 0.064570 -0.134205 -0.077555 0.500237 0.629322 0.549248 0.451070 0.201383 -0.466905 -0.344199 0.044269 -0.461217
1722_--C 1723_--C 1729_--C 1730_--C 1740_--C 1810_--C 1820_--C 1911_--C 1912_--C 1920_--C 2010_--C 2021_--C 2022_--C 2023_--C 2029_--C 2101_--C 2102_--C 2109_--C 2211_--C 2212_--C 2219_--C 2930_--C 3000_--C 3110_--C 3120_--C
-0.328038 -0.051958 0.286680 0.143589 -1.263897 0.736649 -1.118884 -0.178367 0.391618 -0.055894 0.252323 0.097696 0.295404 -0.411272 0.292434 0.553131 0.121094 0.070268 0.139714 0.030850 0.204290 0.071863 -1.116154 -0.230828 -0.003397
2221_--C 2222_--C 2230_--C 2310_--C 2320_--C 2411_--C 2412_--C 2413_--C 2421_--C 2422_--C 2423_--C 2424_--C 2429_--C 2430_--C 2511_--C 2512_--C 2519_--C 2520_--C 2526_--C 2611_--C 2612_--C 3230_--C 3311_--C 3312_--C 3320_--C
0.342242 -0.101304 -0.350802 -0.760511 0.372853 0.623800 0.332253 0.017890 0.078443 0.192628 0.295877 0.475251 0.367073 0.101491 -0.257447 -0.268148 0.056613 0.596007 -2.057706 -0.208661 -0.176054 -0.232395 -0.276663 -0.245984 -0.555235
2620_--C 2631_--C 2632_--C 2641_--C 2642_--C 2650_--C 2660_--C 2690_--C 2710_--C 2720_--C 2731_--C 2732_--C 2811_--C 2812_--C 2891_--C 2892_--C 2893_--C 2899_--C 2911_--C 2912_--C 2913_--C 3520_--C 3530_--C 3591_--C 3592_--C
-0.039299 -0.036231 0.443319 0.674465 0.203391 0.526248 -0.416740 -0.049255 0.127659 0.190688 0.293389 -0.039559 0.453679 0.091252 0.092113 0.187603 0.344003 0.432420 0.272618 -0.057007 8.72E-05 -1.055082 -2.270410 0.636851 -0.176149
2922_--C 2924_--C 2925_--C 2926_--C 2927_--C 2929_--C
0.230366 -0.315575 -0.235991 -0.368865 -0.682375 -0.187901
3130_--C 3140_--C 3150_--C 3190_--C 3210_--C 3220_--C
-0.045945 0.051608 0.057270 0.159107 0.155899 -0.541960
3330_--C 3410_--C 3420_--C 3430_--C 3511_--C 3512_--C
-0.346556 0.166747 0.166124 0.499609 0.403157 -1.196687
3610_--C 3691_--C 3692_--C 3693_--C 3694_--C 3699_--C 3710_--C 3720_--C
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.988886 0.984670 0.224028 17.46555 114.9012 2.416417
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
21.14924 1.809385 0.075255 1.229913 234.5699 0.000000
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah oleh Puska Daglu Kemendag dengan Eviews 5.1)
0.525153 -0.209731 -0.353589 -0.015410 0.230457 0.234889 -0.443548 -0.336496
Lampiran 6. Hasil Estimasi Regresi Common Pooled Least Square (OLS) terhadap Model Kinerja Industri Manufaktur Indonesia Dependent Variable: LOG(XEF?) Method: Pooled Least Squares Date: 11/02/11 Time: 11:21 Sample: 2006 2009 Included observations: 4 Cross-sections included: 126 Total pool (unbalanced) observations: 481 Cross sections without valid observations dropped Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LOG(N?) LOG(L?) LOG(PBBL?) LOG(PBBI?) LOG(BBM?) LOG(BBL?) LOG(O?) C
0.016088 0.042183 -0.233098 -0.021969 -0.034826 -0.026829 1.268563 -0.976418
0.023761 0.029153 0.022972 0.009017 0.016530 0.018547 0.032383 0.225042
0.677085 1.446966 -10.14700 -2.436232 -2.106856 -1.446520 39.17377 -4.338831
0.4987 0.1486 0.0000 0.0152 0.0357 0.1487 0.0000 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.969904 0.969458 0.316212 47.29527 -124.6801 1.037560
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
21.14924 1.809385 0.551684 0.621137 2177.595 0.000000
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah oleh Puska Daglu Kemendag dengan Eviews 5.1)
Lampiran 7. Hasil Estimasi Regresi Random Effect Model terhadap Model Kinerja Industri Manufaktur Indonesia Dependent Variable: LOG(XEF?) Method: Pooled EGLS (Cross-section random effects) Date: 11/02/11 Time: 12:03 Sample: 2006 2009 Included observations: 4 Cross-sections included: 126 Total pool (unbalanced) observations: 481 Swamy and Arora estimator of component variances Cross sections without valid observations dropped Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LOG(N?) LOG(L?) LOG(PBBL?) LOG(PBBI?) LOG(BBM?) LOG(BBL?) LOG(O?) C Random Effects (Cross) 1511_--C 1512_--C 1513_--C 1514_--C 1521_--C 1531_--C 1532_--C 1533_--C 1541_--C 1542_--C 1543_--C 1544_--C 1549_--C 1551_--C 1552_--C 1553_--C 1554_--C 1600_--C 1711_--C 1712_--C 1721_--C 1722_--C 1723_--C 1729_--C 1730_--C
0.000866 0.085837 -0.226536 -0.044212 -0.040556 -0.062308 1.297471 -0.931379
0.030333 0.035325 0.023449 0.010039 0.017988 0.018641 0.034250 0.267656
0.028545 2.429919 -9.660768 -4.403816 -2.254587 -3.342491 37.88264 -3.479761
0.9772 0.0155 0.0000 0.0000 0.0246 0.0009 0.0000 0.0005
0.005597 -0.289747 -0.174193 -0.210568 -0.306374 -0.575575 -0.743277 -0.196916 0.006533 0.118679 -0.333475 -0.376877 -0.009457 0.180812 0.159345 0.261720 0.189606 0.183975 0.040421 0.035094 -0.028909 -0.057474 0.035411 0.048036 -0.140562
1740_--C 1810_--C 1820_--C 1911_--C 1912_--C 1920_--C 2010_--C 2021_--C 2022_--C 2023_--C 2029_--C 2101_--C 2102_--C 2109_--C 2211_--C 2212_--C 2219_--C 2221_--C 2222_--C 2230_--C 2310_--C 2320_--C 2411_--C 2412_--C 2413_--C 2421_--C 2422_--C 2423_--C 2424_--C 2429_--C 2430_--C 2511_--C 2512_--C 2519_--C 2520_--C 2526_--C 2611_--C 2612_--C 2620_--C 2631_--C 2632_--C 2641_--C 2642_--C 2650_--C 2660_--C 2690_--C 2710_--C 2720_--C 2731_--C 2732_--C
-0.497676 0.101750 -0.154309 -0.151166 0.089910 -0.041305 0.043212 0.054470 0.069553 -0.161078 0.071845 0.224288 -0.092122 0.094977 0.081243 0.097885 0.097916 0.132514 0.224980 0.083157 -0.142978 0.193119 0.104492 0.229176 -0.067172 0.079778 0.038175 -0.021376 0.267059 0.060888 0.173488 -0.157191 -0.259887 -0.022233 0.018358 -0.339489 0.036131 -0.060801 0.008831 0.238598 0.029342 0.377368 0.001625 0.250787 -0.117205 0.017585 -0.139425 -0.037921 0.273767 0.130062
2811_--C 2812_--C 2891_--C 2892_--C 2893_--C 2899_--C 2911_--C 2912_--C 2913_--C 2914_--C 2915_--C 2919_--C 2921_--C 2922_--C 2924_--C 2925_--C 2926_--C 2927_--C 2929_--C 2930_--C 3000_--C 3110_--C 3120_--C 3130_--C 3140_--C 3150_--C 3190_--C 3210_--C 3220_--C 3230_--C 3311_--C 3312_--C 3320_--C 3330_--C 3410_--C 3420_--C 3430_--C 3511_--C 3512_--C 3520_--C 3530_--C 3591_--C 3592_--C 3610_--C 3691_--C 3692_--C 3693_--C 3694_--C 3699_--C 3710_--C
0.131583 0.102119 0.015139 0.034065 0.142002 0.040416 0.187022 0.051182 0.130029 0.040137 -0.116354 0.055722 -0.203239 0.265791 -0.089163 0.217618 -0.088894 0.080962 0.093232 0.033364 -0.303047 -0.085383 -0.007614 -0.086878 0.102849 0.187352 0.274744 0.031080 -0.108346 -0.147321 0.012465 0.035887 -0.113368 0.086184 0.346763 0.201713 0.153666 0.198788 -0.125933 -0.308448 -0.619588 0.281363 -0.032027 0.026716 -0.255208 -0.186349 0.035333 0.199899 0.027490 -0.055451
3720_--C
-0.244886 Effects Specification S.D.
Cross-section random Idiosyncratic random
0.208733 0.224028
Rho 0.4647 0.5353
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.933764 0.932784 0.236714 952.5978 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
10.08864 0.913038 26.50390 1.714160
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.968635 49.28816
Mean dependent var Durbin-Watson stat
21.14924 0.921761
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah oleh Puska Daglu Kemendag dengan Eviews 5.1)
Lampiran 8. Hasil Estimasi Regresi Fixed Effect Model terhadap Kinerja Sepuluh Industri Manufaktur dengan Nilai Impor Terbesar di Indonesia Dependent Variable: LOG(XEF?) Method: Pooled Least Squares Date: 10/07/11 Time: 12:36 Sample: 2006 2009 Included observations: 4 Cross-sections included: 10 Total pool (balanced) observations: 40 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(N?) LOG(L?) LOG(PBBL?) LOG(PBBI?) LOG(BBM?) LOG(BBL?) LOG(O?) Fixed Effects (Cross) 2411_--C 2413_--C 2710_--C 2720_--C 2912_--C 2913_--C 2924_--C 2929_--C 3410_--C 3430_--C
-0.087107 -0.381470 0.370020 -0.275606 -0.288138 -0.026176 -0.157124 1.550411
2.826384 0.349716 0.215807 0.104581 0.105236 0.095268 0.094382 0.252194
-0.030819 -1.090799 1.714587 -2.635341 -2.738013 -0.274760 -1.664770 6.147685
0.9757 0.2867 0.0999 0.0148 0.0117 0.7860 0.1095 0.0000
0.696105 -0.031298 0.179862 0.125058 -0.118440 -0.078723 -0.542604 -0.434376 -0.315682 0.520098 Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.992991 0.988116 0.210965 1.023646 16.55264 2.158449
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
21.85146 1.935203 0.022368 0.740142 203.6673 0.000000
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah oleh Puska Daglu Kemendag dengan Eviews 5.1)
Lampiran 9. Hasil Estimasi Regresi Common Pooled Least Square (OLS) terhadap Kinerja Sepuluh Industri Manufaktur dengan Nilai Impor Terbesar di Indonesia Dependent Variable: LOG(XEF?) Method: Pooled Least Squares Date: 10/07/11 Time: 12:36 Sample: 2006 2009 Included observations: 4 Cross-sections included: 10 Total pool (balanced) observations: 40 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(N?) LOG(L?) LOG(PBBL?) LOG(PBBI?) LOG(BBM?) LOG(BBL?) LOG(O?)
-2.282794 0.002249 0.318829 -0.331807 -0.291250 -0.105460 -0.113496 1.686263
0.625510 0.095841 0.114364 0.077840 0.064777 0.083110 0.052171 0.132973
-3.649493 0.023462 2.787848 -4.262661 -4.496232 -1.268928 -2.175473 12.68129
0.0009 0.9814 0.0089 0.0002 0.0001 0.2136 0.0371 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.990497 0.988418 0.208269 1.388025 10.46241 1.826485
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
21.85146 1.935203 -0.123120 0.214655 476.4587 0.000000
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah oleh Puska Daglu Kemendag dengan Eviews 5.1)
Lampiran 10. Hasil Estimasi Regresi Random Effect Model terhadap Kinerja Sepuluh Industri Manufaktur dengan Nilai Impor Terbesar di Indonesia Dependent Variable: LOG(XEF?) Method: Pooled EGLS (Cross-section weights) Date: 10/07/11 Time: 12:37 Sample: 2006 2009 Included observations: 4 Cross-sections included: 10 Total pool (balanced) observations: 40 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(N?) LOG(L?) LOG(PBBL?) LOG(PBBI?) LOG(BBM?) LOG(BBL?) LOG(O?) Fixed Effects (Cross) 2411_--C 2413_--C 2710_--C 2720_--C 2912_--C 2913_--C 2924_--C 2929_--C 3410_--C 3430_--C
-0.631383 -0.645081 0.310094 -0.379343 -0.341729 0.043356 -0.175522 1.749103
1.929966 0.230715 0.146623 0.078589 0.078168 0.057970 0.045567 0.156664
-0.327147 -2.796013 2.114910 -4.826939 -4.371737 0.747912 -3.851928 11.16470
0.7465 0.0103 0.0455 0.0001 0.0002 0.4621 0.0008 0.0000
1.002062 -0.062654 0.314934 0.206133 -0.052747 -0.178918 -0.841890 -0.436597 -0.820749 0.870425 Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.997720 0.996134 0.183440 629.0850 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
35.95023 20.01983 0.773957 2.209380
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.996700 1.120158
Mean dependent var Durbin-Watson stat
21.85146 2.101990
Dependent Variable: LOG(XEF?) Method: Pooled EGLS (Cross-section random effects) Date: 10/07/11 Time: 12:37 Sample: 2006 2009 Included observations: 4 Cross-sections included: 10 Total pool (balanced) observations: 40 Swamy and Arora estimator of component variances Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(N?) LOG(L?) LOG(PBBL?) LOG(PBBI?) LOG(BBM?) LOG(BBL?) LOG(O?) Random Effects (Cross) 2411_--C 2413_--C 2710_--C 2720_--C 2912_--C 2913_--C 2924_--C 2929_--C 3410_--C 3430_--C
-2.282794 0.002249 0.318829 -0.331807 -0.291250 -0.105460 -0.113496 1.686263
0.633609 0.097082 0.115845 0.078848 0.065615 0.084186 0.052846 0.134694
-3.602842 0.023162 2.752212 -4.208172 -4.438758 -1.252707 -2.147664 12.51919
0.0011 0.9817 0.0097 0.0002 0.0001 0.2194 0.0394 0.0000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 Effects Specification S.D.
Cross-section random Idiosyncratic random
0.000000 0.210965
Rho 0.0000 1.0000
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.990497 0.988418 0.208269 476.4587 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
21.85146 1.935203 1.388025 1.826485
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.990497 1.388025
Mean dependent var Durbin-Watson stat
21.85146 1.826485
Dependent Variable: LOG(XEF?) Method: Pooled EGLS (Cross-section weights) Date: 10/07/11 Time: 12:37 Sample: 2006 2009 Included observations: 4 Cross-sections included: 10 Total pool (balanced) observations: 40 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(N?) LOG(L?) LOG(PBBL?) LOG(PBBI?) LOG(BBM?) LOG(BBL?) LOG(O?) Fixed Effects (Cross) 2411_--C 2413_--C 2710_--C 2720_--C 2912_--C 2913_--C 2924_--C 2929_--C 3410_--C 3430_--C
-0.631383 -0.645081 0.310094 -0.379343 -0.341729 0.043356 -0.175522 1.749103
1.929966 0.230715 0.146623 0.078589 0.078168 0.057970 0.045567 0.156664
-0.327147 -2.796013 2.114910 -4.826939 -4.371737 0.747912 -3.851928 11.16470
0.7465 0.0103 0.0455 0.0001 0.0002 0.4621 0.0008 0.0000
1.002062 -0.062654 0.314934 0.206133 -0.052747 -0.178918 -0.841890 -0.436597 -0.820749 0.870425 Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.997720 0.996134 0.183440 629.0850 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
35.95023 20.01983 0.773957 2.209380
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.996700 1.120158
Mean dependent var Durbin-Watson stat
21.85146 2.101990