II.
TINJAUAN PUSTAKA Setiap pedagang berusaha untuk memaksimalkan laba usaha dagangnya.
Untuk mencapai hal tersebut maka pedagang perlu menambah modal untuk memperbanyak jenis maupun jumlah dagangannya. Laba (
secara teoritis adalah
(Damanik dan Sasongko. 2003). Untuk memaksimalkan laba (
maka pedagang harus membuat TR > TC,
dimana TR adalah total penerimaan dan C adalah total biaya. TR didapat dari P x Q dimana P adalah harga dan Q adalah quantitas yang dijual. Untuk
memaksimalkan
penerimaan
pedagang
harus
memaksimalkan
penjualan barang dagangan (Q). Sementara itu TC di dapat dari penjumlahan biaya untuk tenaga kerja (w . l) dan perlengkapan seperti gelas, piring, meja dan bahan baku (r . k). Dalam jangka pendek, (w . l) nilainya nol karena untuk memulai usaha dagang ibu rumah tangga pedagang tidak membayar tenaga kerja pembantu (dikerjakan sendiri). Sehingga dalam jangka pendek :
(
(
(
(
(
(
Dimana
(
w = wage
r = rent
l = labor
k = kapital
9
Dalam jangka pendek pula k konstan karena pedagang tidak membeli perlengkapan (barang modal) yang masuk dalam perhitungan TC. Namun modal yang di miliki ibu rumah tangga pedagang sangat minim sehingga mereka tidak dapat menghasilkan Q lebih banyak untuk menghasilkan (profit). Maka pedagang akan berusaha untuk mencari tambahan modal dengan berhutang dari lembagakeuangan yang dapat diakses. Semakin banyaknya lembaga keuangan yang muncul menyebabkan banyak pedagang tidak hanya meminjam pada satu lembaga saja. Namun para pedagang tersebut meminjam dana untuk penambahan modal usahanya yang di sesuaikan dengan kemampuan untuk melengkapi persyaratannya. Lembaga tersebut diantaranya bank, koperasi dan rentenir. Lembaga keuangan formal, perbankan, yakni lembaga yang bergerak dalam perekonomian untuk menyimpan maupun menyalurkan dana dengan memiliki dasar hukum dan aturan yang kuat kepada pelaku usaha untuk mendukung pengembangan usaha dagang mereka untuk meningkatkan kesejahteraan. Dampak yang dirasa oleh pelaku usaha kecil yang meminjam dana dari bank untuk penguatan modal diantaranya adalah semakin meningkatnya pendapatan sehingga laba yang di dapat semakin tinggi pula (Hidayat dan Fadillah). Namun tidak semua pedagang kecil mampu mengakses dana dari lembaga perbankan karena rumitnya persyaratan. Keberadaan rentenir di aktifitas perekonomian dari tahun ke tahun semakin menjamur di tengah-tengah masyarakat terutama masyarakat kecil yang menjalankan
10
usaha mikro kecil menengah (UMKM) (Mahfud. 2013). Rentenir dianggap sebagai peluang bisnis bagi mereka yang memiliki dana berlebih dan mencari keuntungan dari uang yang dipinjamkan (Anonim, 2013). Di satu sisi keberadaan rentenir membantu bahkan menguntungkan bagi nasabah yang meminjamnya. Namun ada juga yang merasakan dampak negatif dari adanya rentenir. Berikut beberapa dampak positif dan negatif atas adanya dana rentenir menurut review literature yang telah ditemukan pada penelitian-penelitian sebelumnya.
Dampak positif adanya dana rentenir dalam menunjang usaha dagang ibu rumah tangga Keberadaan rentenir masih di anggap tabu bagi mereka yang tidak pernah berinteraksi dengan lembaga informal ini. Namun lembaga informal ini sudah menjamur di kalangan pedagang, baik di pasar tradisional ataupun pedagang kaki lima di pinggir jalan yang usahanya termasuk dalam skala usaha kecil mikro yang dikelola oleh orang miskin atau mendekati miskin (Hamka dan Danarti. 2010). Bagi sebagian ibu rumah tangga yang memiliki usaha dagang, rentenir membantu dalam penguatan modal dagangnya. Kehadiran rentenir dianggap sebagai perbankan bagi masyarakat miskin karena rentenir mampu menyalurkan dananya kepada orang miskin tersebut (Seibel. 2005). Munculnya persepsi mengenai rentenir sebagai bank bagi orang miskin telah mendorong banyak ibu rumah tangga untuk lebih memilih meminjam kepada 11
rentenir. Dengan dana yang disalurkan tersebut, ibu rumah tangga yang memiliki usaha dagang mampu memperluas usahanya yang tercermin dengan adanya peningkatan konsumsi pedagang dan peningkatan pengadaan input produksi (Seibel. 2005). Peningkatan konsumsi dan peningkatan pengadaan input produksi tersebut hanya berjalan dalam jangka waktu pendek saja karena pedagang hanya menggunakan modal utama sebagai modal kembali usaha dagangnya. Lain halnya jika pedagang menggunakan modal utama dan laba yang ia dapat dari berjualan pada hari sebelumnya dengan menggunakan tambahan modal yang berasal dari rentenir (Hari. 2009). Jumlah pinjaman di rentenir tidak seperti perbankan yang mensyaratkan minimal jumlah kredit tertentu. Rentenir bersedia memberikan pinjaman walaupun dalam jumlah yang sangat kecil. Dengan bertambahnya modal yang dimiliki, ibu rumah tangga pedagang dapat
meningkatkan produksi
usahanya. Dengan
bertambahnya angka produksi tersebut maka para ibu rumah tangga pedagang akan mampu meningkatkan penghasilan lebih banyak dari penghasilan sebelumnya dalam waktu yang lebih singkat (Sipayung. 2011). Dengan kata lain adanya dana rentenir mampu menyelesaikan masalah keuangan ibu rumah tangga pedagang terutama dalam masalah permodalan (Qodarini. 2013). Solusi ini di anggap sebagai cara instan untuk mendapatkan dana karena rentenir menawarkan jasa yang fleksibel dan tidak di batasi oleh aturan ataupun lokasi yang jauh sebagai kendala utamanya (Qodarini. 2013). Hal ini yang menyebabkan ibu rumah tangga yang berdagang lebih memilih rentenir karena akan 12
ada karyawan dari rentenir yang akan mendatangi rumah ataupun kios dagangannya untuk mengambil uang angsuran ataupun mengantar uang pinjaman (Mahfud. 2013).
Dampak negatif adanya dana rentenir dalam menunjang usaha dagang ibu rumah tangga Banyak ibu rumah tangga yang bekerja pada sektor informal, seperti halnya bekerja sebagai pedagang kecil yang membuka warung gorengan ataupun warung kopi yang minim akan modal (Williams dan Gurtoo. 2011). Sebagai pengusaha kecil seperti ini, menyebabkan mereka susah dalam mendapatkan pinjaman dana untuk penguatan modal usahanya. Pengusaha kecil hanya akan mendapatkan kepercayaan dalam mengakses kredit apabila mereka tergabung ke dalam sebuah paguyuban yang dapat melindungi hak mereka sebagai pedagang jika terdapat masalah lingkungan dagang mereka (Williams dan Gurtoo. 2011). Umumnya usaha yang digeluti para ibu rumah tangga tersebut merupakan usaha kecil berskala mikro dengan kualitas rendah dan berada pada kondisi miskin yaitu kondisi ketidakmampuan dalam penguatan modal usaha (Williams dan Gurtoo. 2011). Dengan usaha yang berskala kecil tersebut, mereka hanya mendapatkan pendapatan rendah dan tidak dapat digunakan untuk menutupi kebutuhan finansial seperti kebutuhan sekolah, kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan dalam rangka menambah modal usahanya. Dengan kondisi ini memungkinkan ibu rumah tangga akan terperangkap dalam utang piutang dengan rentenir karena ketidakmampuan dalam menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi untuk membayar bunga dan 13
pinjamannya. Singkatnya, waktu yang diberikan rentenir kepada nasabahnya menyebabkan nasabahnya terbebani, sehingga menyebabkan kesulitan pada pedagang untuk melanjutkan usahanya di kemudian hari karena modal dan pendapatan semakin berkurang. Sebagian ibu rumah tangga pedagang yang menjadi nasabah rentenir tidak menyadari dengan benar kelemahan dari meminjam dana ke rentenir yaitu tingginya bunga yang diterapkan dan juga jangka waktu yang diterapkan sangat sedikit sehingga ibu rumah tangga pedagang yang menjadi nasabah tersebut merasa di kejarkejar oleh tanggungan hutang (Qodarini. 2013). Kurangnya ketelitian dan pemahaman akan peraturan pinjaman dari rentenirlah yang akan menjerumuskan nasabahnya. Hal ini disebabkan karena besarnya ketergantungan mereka pada dana dari rentenir yang langsung dapat cair dengan waktu singkat untuk mengatasi masalah keuangan mereka. Selain itu, tingginya bunga pinjaman yang di bebankan kepada pedagang yang menjadi nasabahnya tidak sebanding dengan pendapatan yang di terima oleh pedagang (Hari. 2009). Sehingga, dalam jangka panjang dana dari rentenir akan mengurangi konsumsi dan juga produksi pedagang di masa mendatang. Hal ini tidak di sadari oleh pedagang tersebut karena mereka tidak berekspektasi sebelum mengambil keputusan. Proses berkurangnya konsumsi tersebut di sebabkan karena adanya tanggungan angsuran dan juga bunga yang terkadang di tanggung mereka. Sehingga penghasilan dari hari kehari yang tidak tentu jumlahnya harus digunakan untuk menutupi angsuran tersebut. Selain itu para pedagang juga merasa mendapat beban baru karena adanya aktifitas hutang piutang tersebut (Hari. 2009). 14
Kelemahan ini semakin lama akan mengakibatkan kemerosotan pendapatan dan modal pedagang yang selalu bergantung dari dana rentenir (Qodarini. 2013). Sehingga pedagang kurang produktif dan menyebabkan gulung tikar pada usaha dagangnya (Marcellina. 2012).
Upaya Mengurangi Ketergantungan pada Rentenir Sistem yang di jalankan rentenir mampu membuat ibu rumah tangga pedagang tertarik untuk meminjam dananya. Sifatnya yang fleksibel mendorong niat ibu rumah tangga yang sedang mengalami kesulitan dalam memperoleh dana dapat menjadikan rentenir sebagai alternatif utama yang menggiurkan. Walaupun dana tersebut mudah didapatkan, ibu rumah tangga pedagang harus mencoba untuk tidak selalu bergantung pada dana rentenir. Karena semakin lama ibu rumah tangga pedagang akan merugi dengan sistem yang dijalankan rentenir. Penetapan bunga pinjaman yang tinggi dan jatuh tempo pelunasan yang singkat yakni 24 – 30 hari. Sedangkan pendapatan mereka setiap harinya tidak sama jumlahnya. Sehingga pendapatannya yang tidak menentu setiap harinya harus selalu disisihkan untuk membayar angsuran tersebut. Semakin lama pendapatannya akan merosot karena adanya tanggungan hutang tersebut. Alternatif lain yang dapat dilakukan oleh ibu rumah tangga pedagang untuk mendapatkan dana selain pada rentenir, namun mungkin alternatif lain memiliki syarat yang dirasa membebani dan memperlama proses pencairan dana. Alternatif lain yang dapat diakses oleh ibu rumah tangga pedagang untuk mendapatkan dana 15
selain pada rentenir antara lain melalui arisan, koperasi, pegadaian dan bank (Harykhan. 2012). Arisan dapat menjadi alternatif ibu rumah tangga pedagang yang sedang butuh dana. Arisan tersebut dapat ia ikuti di dalam lingkungan tempat tinggalnya ataupun arisan dengan sesama pedagang di lingkungan usahanya. Dengan pembentukan arisan tersebut, anggotanya dapat menjadikan dana arisan tersebut sebagai sumber pembiayaan/modal pada usaha yang mereka jalankan (Hidayat. 2014). Dengan sistem yang dijalankan di arisan, ibu rumah tangga pedagang dapat menyisihkan sebagian pendapatannya untuk membayar iuran arisan sehingga saat ia mendapatkan jatah arisan, ibu rumah tangga pedagang dapat menggunakan uang tersebut untuk tambahan modal usaha dagangnya. Dengan ini, maka ibu rumah tangga pedagang dapat menghindari ataupun mengurangi ketergantungan pada dana rentenir. Alternative kedua yang dapat di pilih ibu rumah tangga pedagang untuk mengurangi ketergantungan pada rentenir yakni melalui koperasi. Koperasi ini dapat dijalankan oleh warga setempat yang bertujuan untuk menjalankan simpan pinjam dana yang dananya berasal dari warga setempat (Anonim. 2013). Sehingga akan ada orang yang mengolah/mengatur dana tersebut. Di saat ibu rumah tangga pedagang butuh dana, koperasi tersebut dapat membantunya dengan dana yang terkumpul tersebut. Namun kegiatan seperti itu sudah jarang dilakukan di lingkungan perkotaan. Ibu rumah tangga pedagang di lingkungan perkotaan dapat mengakses dana melalui koperasi yang kini banyak didirikan oleh lembaga yang memiliki ijin usaha, namun 16
untuk mengakses dana tersebut ibu rumah tangga pedagang harus melalu prosedur yang berlaku. Seperti, adanya pengisian formulir sebagai data diri peminjam. Pegadaian dapat menjadi alternatif berikutnya bagi ibu rumah tangga pedagang. Pegadaian menawarkan produk layanan berupa pemberian kredit (pinjaman) pada masyarakat kelas bawah. Namun saat ini pelayanannya semakin meluas ke masyarakat menengah atas dan juga produk yang di tawarkan juga semakin berkembang. Pegadaian juga tidak hanya menawarkan kredit namun juga melayani gadai barang, yang sering di gadai oleh masyarakat adalah emas (Abubakar. 2011). Pegadaian dapat menjadi sumber pembiayaan pedagang kecil agar para pelaku usaha kecil tidak terjerat rentenir. Namun mungkin alternative pegadaian masih kurang di minati oleh masyarakat kalangan bawah khususnya pelaku usaha kecil karena syarat yang diajukan oleh pegadaian untuk mendapat kredit adalah dengan meminta jaminan pada objek usaha tersebut, objek bergerak (kendaraan) ataupun barang berupa emas. Dengan jaminan tersebut, ibu rumah tangga pedagang akan mendapatkan kredit sesuai harga barang yang dijaminkan dan juga diberikan jangka waktu pengembalian yang telah ditetapkan oleh pihak pegadaian (Abubakar. 2011). Objek yang dapat dijadikan alternative sumber pembiayaan bagi ibu rumah tangga pedagang adalah perbankan. Program perbankan yang sekarang telah ada ialah KUR. Yakni kredit usaha yang dapat diakses oleh pelaku usaha yang merupakan program dari pemerintah untuk mengurangi tingkat kemiskinan (Wardhani. 2010). Namun dalam pemberian KUR tersebut ada tahap yang harus dilalui oleh nasabah agar dananya cair. Dengan adanya beberapa tahap salah satunya adalah permohonan 17
dan pemeriksaan berkas yang akan memakan waktu cukup, sehingga nasabah tidak dapat langsung menggunakan alternatif ini.
18