100
DAFTAR PUSTAKA 1.
---, The American Heritage® Dictionary of the English Language, Fourth Edition, Houghton Mifflin Company, 2004. http://www.answers.com/topic/adaptation, diakses pada tanggal 27 Maret 2007
2.
---, Business System Planning, International Business Machines Corp., 1981
3.
---, Design Research in Information Systems, http://isworld.org/researchdesign/, diakses pada tanggal 5 Februari 2007
4.
---, Extreme Programming: A gentle Introduction, http:/www.extremeprogramming.org diakses pada tanggal 4 Juni 2007
5.
---, Product Overview, DSDM Consortium, http://www.dsdm.org/version4/2/public/product_overview.html diakses pada tanggal 1 Juni 2007
6.
---, Scrum for Team Systems – Process Guidance, http://www.scrumforteamsystem.com/ProcessGuidance/Scrum/Scrum.html diakses pada tanggal 1 Juni 2007
7.
Allan, G. (2003), A critique of using Grounded Theory as a Research Method, Department of Information Systems and Computer Applications, Portsmouth University
8.
Allee, V. (2002), A Value Network Approach for Modelling and Measuring Intangibles, Paper prepared for presentation at Transparent Enterprise, Madrid.
9.
Arsanjani, A., Service-oriented modeling and architecture, http://www-128.ibm.com/developerworks/webservices/library/ws-soadesign1/, diakses pada tanggal 5 Februari 2007
10. Burlton, R. T. (2001), Business Process Management : Profiting from Process, Sams Publishing 11. Creswell, J. W. (1994), Research Design – Qualitative & Quantitative Approaches, Sage Publications
101 12. Cook, M. A. (1996), Building Enterprise Information Architectures: Reengineering Information Systems, Prentice Hall PTR 13. Dick, Bob (2005), Grounded Theory: a thumbnail sketch, http://www.scu.edu.au/schools/gcm/ar/arp/grounded.html, diakses pada tanggal 5 Februari 2007 14. Fernandez, W.D. (2005), The Grounded Theory Method and Case Study Data in IS Research: issues and design, Information Systems Foundations: Constructing and Criticising, Dennis Hart and Shirley Gregor, Editor, ANU E Press, Australian National University, 43-59 15. Hancock, B. (2002), An Introduction to Qualitative Research, Trent Focus Group 16. Hevner, A.R., March, S.T., Jinsoo, P., Ram, S. (2004), Design Science in Information Systems Research 17. Kelle, U. (2005), ’Emergence’ vs ‘Forcing’ of Empirical Data? A Crucial Problem of ‘Grounded Theory’ Reconsidered, Forum: Qualitative Social Research, Volume 6, No.2, Article 27, Forum Qualitative Sozialforschung 18. Klein, H. K., Myers, M. D., A set of Principles for Conducting and Evaluating Interpretive Field Studies in Informatioin Systems, dalam MIS Quarterly Vol. 23 No. 1, pp 67-94, 1999 19. Krasner, G. E., Pope, S. T. (1998), A Description of the Model-ViewController User Interface Paradigm in the Smalltalk-80 System, ParPlace Systems, MountainView, CA 20. Law, M., Stewart, D., Letts, L., Pollock, N., Bosch, J., Westmorland, M., Guidelines for Critical Review Form – Qualitative Studies 21.
Myers, M.D. (1997), Qualitative Research in Information Systems, MIS Quarterly (21:2), Juni 199, 241-242, MISQ Discovery, archival version, http://www.misq.org/discovery/MISQD_isworld, updated version, diakses pada tanggal 5 Februari 2007
22.
Osterwalder, A., Pigneur, Y., Tucci, C.L. (2005), Clarifying Business Models: Origins, Present, and Future of the Concept, dalam Communications of the Association for Information Systems, Volume 16, 1-25
23. Pandit, N. R. (1996), The Creation of Theory: A Recent Application of the Grounded Theory Method, dalam The Qualitative Report, Volume 2, No. 4
102 24.
Pigoski, T.M. (1996), Practical Software Maintenance: Best Practices for Managing Your Software Investment, Wiley Computer Publishing
25. Reilly, J.K., Frey, F.S. (1996), Recommendations for the Evaluation of Digital Images Produced from Photographic, Microphotographics, and Various Paper Formats, Rochester Institute of Technology 26. Schwalbe, K. (2006), Information Technology Project Management, 4th Ed., Thomson Course Technology 27. Spencer, L. (2003), Quality in Qualitative Evaluation: A framework for assessing research evidenve, National Centre for Social Research, UK Government Chief Social Researcher’s Office 28. Spewak. S. H. (1993), Enterprise Architecture Planning: Developing a Blueprint for Data, Applications, and Technology, John Wiley and Sons 29. Trochim, W. M. K., Research Methods Knowledge Base, http://www.socialresearchmethods.net, diakses pada tanggal 5 Februari 2007 30. Turban, E., McLean, E., Wetherbe, J. (2001), Information Technology for Management, 3rd Edition, John Wiley & Sons Inc. 31. Ward, J., Peppard, J. (2002), Strategic Planning for Information System, 3rd, John Wiley and Sons, West Sussex, England 32. Zachman, J., Zachman Framework, http://www.zifa.com/framework.html, diakses pada tanggal 5 Februari 2007
103
Lampiran A Studi Kualitatif A.1 Filosofi Pengetahuan (Epistemologi) Epistemologi berbeda dengan metodologi. Epistemologi adalah filosofi tentang pengetahuan yang berbicara mengenai bagaimana kita bisa mengetahui. Sebagai contoh : espitemologi dari sistem pembelajaran adalah bagaimana kita bisa mengetahui bagaimana seorang pelajar mengetahui apa yang sedang didiskusikan. Epistemologi dari penelitian adalah bagaimana kita bisa mengetahui bagaimana menghasilkan jawaban yang dibutuhkan oleh sebuah problem. Metodologi juga berurusan dengan “bagaimana kita bisa mengetahui”, tetapi berurusan dengan aspek praktek, yaitu metode. Sebuah epistemologi dapat diterapkan ke dalam beberapa
metodologi.
Espitemologi
dan
metodologi
sangat
berkaitan.
Epistemologi berhubungan dengan filosofi, sedangkan metodologi berhubungan dengan praktek, atau implementasi filosofi. Epistemologi dalam penelitian memiliki dua kelompok besar, yaitu Positivism, dan Post-Positivism [29]. Hingga pada saat ini ilmu pengetahuan (baca: penelitian) didominasi oleh filosofi positivsm. Dalam pengertian paling luas, positivsm adalah penolakan terhadap metafisik (cabang filosofi yang membicarakan mengenai keberadaan (existence), kebenaran (truth), dan pengetahuan (knowledge)). Positivism berpegang bahwa tujuan dari pengetahuan hanyalah menjelaskan (describe) fenomena yang dialami oleh manusia. Pengetahuan di luar itu tidak mungkin dipahami. Tujuan dari ilmu pengetahuan (science) adalah “stick to what we can observe and measure”. Sebagai contoh dalam ilmu psikologi yang berlandaskan pada positivism sebuah emosi tidak akan dapat dipahami karena tidak dapat diobservasi secara langsung. Yang dapat diukur adalah respon fisik, dan psikologi yang menemani emosi, bukanlah emosi itu sendiri. Maka emosi bukanlah topik yang sah untuk ilmu pengetahuan psikologi. Hal ini membawa pengaruh bahwa psikologi harus berkonsentrasi pada perilaku-perilaku positif dan negatif untuk memprediksi
104 bagaimana seseorang akan berperilaku – segala sesuatu di antaranya (seperti bagaimana seseorang berpikir dalam menentukan perilaku tersebut) tidak relevan karena tidak dapat diobservasi dan diukur. Positivis berpikir bahwa melalui ilmu pengetahuan kita akan memahami dunia cukup baik sehingga kita bisa memprediksi dan mengontrol dunia. Sebuah dunia yang deterministik, yang beroperasi menurut hukum sebab akibat tertentu yang dapat dipahami. Positivism biasanya menggunakan pemikiran deduktif untuk mengusulkan sebuah teori untuk diuji. Berdasarkan hasil studi tersebut, kita bisa mendapatkan bahwa teori kita tidak sesuai dengan fakta, sehingga kita perlu merevisi teori tersebut agar kita dapat lebih baik dalam memprediksi realita. Positivis percaya pada empiricism – sebuah ide bahwa observation dan measurement adalah inti dari upaya-upaya ilmiah. Pendekatan kuncinya adalah eksperimen – sebuah percobaan untuk memahami hukum alam melalui manipulasi dan observasi.
Teori
Hipotesa
Variabel / Parameter
Manipulasi, observasi, pengukuran
Kesimpulan
Gambar A.1. Pendekatan deduktif Post-positivsm bukanlah revisi dari positivism, atau penyesuaian positivism untuk kondisi tertentu. Post-positivism adalah sebuah filosofi yang menolak seluruh prinsip-prinsip yang diajukan oleh positivsm. Post-positivism berpendapat bahwa bagaimana cara peneliti berpikir, dan bagaimana kita berpikir sehari-hari sebenarnya tidak memiliki perbedaan, sebuah proses yang sama. Hanya perbedaan dalam tingkat saja. Peneliti biasanya mengikuti sebuah prosedur spesifik untuk memastikan bahwa observasi telah diverifikasi, akurat, dan konsisten. Pada kondisi sehari-hari biasanya kita tidak berpikir dengan sangat berhati-hati, tetapi bila resikonya terlalu tinggi, kita juga akan lebih perhatian pada verifikasi dan pengukuran-pengukuran dari variabel-variabel. Sebagai contoh : orang tua akan
105 lebih memperhatikan detail-detail yang sebelumnya tidak diperhatikan bila berkaitan dengan keselamatan anaknya. Ketika seorang positivis percaya bahwa tujuan dari ilmu pengetahuan adalah menemukan kebenaran, post-positivis percaya bahwa tujuan dari ilmu pengetahuan adalah tetap bertahan pada sebuah tujuan untuk memahami kebenaran, walaupun kita tidak akan pernah mencapai tujuan tersebut. Mengapa? Karena seluruh pengukuran (measurement) rentan pada kesalahan (fallible). Postpositivis menekankan pada pentingnya adanya beberapa pengukuran dan observasi, dimana tiap pengukuran menunjukkan kesalahan-kesalahannya sendiri. Dan dibutuhkan triangulation untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai apa yang terjadi pada realita tersebut. Post-positivis percaya bahwa seluruh observasi tidak obyektif, theory-laden, setiap peneliti bias oleh pengalaman, budaya, sudut pandang, dan lain-lain. Walaupun begitu post-positivism bukanlah relativism yang percaya bahwa perspektif yang berbeda tidak dapat diukur menggunakan ukuran yang sama (incommensurability). Post-positivism tetap percaya pada constructivism bahwa kita membangun pandangan kita tentang dunia berdasarkan persepsi kita mengenai dunia. Karena persepsi dan observasi dapat salah (fallible) bangunan yang kita buat pasti tidak sempurna, tetapi tetap dapat dikomunikasikan dan diterjemahkan pada konteks lain untuk membangun sudut pandang yang lebih baik mengenai realita. Lalu apakah yang dimaksud sebagai obyektifitas? Positivis berpendapat bahwa obyektifitas adalah karakteristik yang berada pada setiap peneliti sebagai individu. Peneliti bertanggung jawab mengesampingkan bias-bias, dan kepercayaan mereka, dan melihat dunia ‘sebagaimana adanya’. Post-positivis menolak ide tersebut, yaitu bahwa tiap peneliti dapat melihat dunia sebagaimana adanya. Setiap peneliti selalu bias dan seluruh observasi kita telah terpengaruhi (theoryladen). Harapan terbaik untuk mendapatkan obyektifitas adalah dengan menyatukan beberapa perspektif yang dapat salah (fallible). Jadi obyektifitas bukanlah karakteristik dari individu, melainkan fenomena sosial. Obyektifitas
106 adalah apa yang ingin dicapai oleh beberapa orang ketika mereka saling mengkritik pekerjaan orang yang lain. A.2 Studi Kuantitatif dan Kualitatif Studi kuantitatif dan kualitatif bukanlah studi yang secara resmi berpihak pada salah satu epistemologi tertentu, walaupun studi kuantitatif memang sangat dominan dikuasai oleh filosofi positivism. Studi kualitatif mulai banyak digunakan pada pertengahan tahun 70an. Studi kualitatif pada masa itu banyak didasarkan pada filosofi post-positivism, tetapi sejak pertengahan tahun 90an, filosofi positivism juga mulai mendasari studi-studi kualitatif. Tabel A.1. Perbandingan paradigma studi kuantitatif dan kualitatif Assumption Ontological assumption
Question What is the nature of reality
Quantitative Reality is objective, singular, and apart from researcher
Epistemological assumption
What is the relationship of the researcher to that researched? What is the role of values? What is the language of research?
Researcher is independent from that being researched
Axiological assumption Rhetorical assumption
Methodological assumption
What is the process of research?
Value-free and unbiased • Formal • Based on set definitions • Impersonal voice • Use of accepted quantitative words • Deductive process • Cause and effect • Static design – categories isolated before study • Context-free • Generallizations leading to prediction, explanation, and understanding • Accurate and reliable through validity and realiability.
Qualitative Reality is subjective and multiple as seen by participants in a study Research interacts with that being researched Value-laden and biased • Informal • Evolving decisions • Personal voice
• Inductive process • Mutual simultaneous shaping of factors • Emerging design – categories identified, and elaborated during each research process • Context-bound • Patterns, theories developed for understanding • Accurate and reliable through verification
107 Sumber: Creswell, J. W. (1994), Research Design – Qualitative & Quantitative Approaches, Sage Publications Alasan pemilihan paradigma studi untuk sebuah penelitian biasanya didasarkan pada kemampuan dan pengalaman peneliti, karakter dari peneliti, dan karakteristik dari masalah [11]. Tabel A.2. Alasan pemilihan paradigma Criteria Training and Experience of the Researcher Researcher’s Psychological Attributes
Nature of the problem
Quantitative Paradigm Technical writing skills computer statistical skills, library skills Comfort with rules and guidelines for conducting research, low tolerance of ambiguity, time for study of short duration Previously studied by other researchers so that body of literature exists, known variables, existing theories
Qualitative Paradigm Literary writing skills, computer text-analysis skills, library skills Comfort with lack of specific rules and procedures for conducting research, high tolerance for ambiguity, time for lengthy study Exploratory research, variables unknown, context important, may lack theory base for study
Sumber: Creswell, J. W. (1994), Research Design – Qualitative & Quantitative Approaches, Sage Publications A.2.1 Penggunaan Literatur dalam Studi Kuantitatif dan Kualitatif Studi kuantitatif menggunakan sejumlah literatur untuk memberikan arah pada pertanyaan-pertanyaan dan hipotesa studi. Dalam merencanakan studi kuantitatif, teori yang sudah ada digunakan untuk memperkenalkan problem dalam latar belakang, menjelaskan lebih detail pada bagian “Tinjauan Pustaka”, dan sebagai dasar untuk membandingkan hasil studi dengan teori. Dimanapun tempatnya, teori dalam studi kuantitatif digunakan sebagai framework dalam membentuk pertanyaan dan hipotesa studi. Studi kualitatif menggunakan proses-proses induktif dalam penelitiannya. Proses induktif menggunakan berbagai macam data yang berasal dari observasi lapangan, pemeriksaan dokumen, interview, dan juga kuesioner-kuesioner yang biasanya digunakan dalam studi kuantitatif. Dari data-data tersebut kemudian ditemukan kategori-kategori, sub kategori di dalam kategori yang menunjukkan tema-tema utama dalam data-data tersebut. Dalam hal ini peneliti tidak memiliki a-priori
108 terhadap kategori-kategori apa saja yang akan muncul. Sifat utama dalam proses induktif adalah eksplorasi yang berarti berusaha menampilkan kategori-kategori tersebut apa adanya sesuai dengan data yang didapatkan. Setelah kategori didapatkan, maka sesuai dengan metode studi yang dipakai, peneliti dapat menentukan apakah perlu membuat teori baru berdasarkan kategori-kategori yang muncul tersebut. Studi kualitatif meminta tidak ada teori yang digunakan untuk mengarahkan pertanyaan-pertanyaan dalam observasi lapangan, pemeriksaan dokumen, interview, atau dalam menentukan hasil dari studi. Hal ini sangat bertolak belakang dengan studi kuantitatif dimana justru teori digunakan sejak awal untuk membentuk hipotesa dan pertanyaan. Teori dalam studi kualitatif digunakan untuk memberikan perbandingan terhadap hasil yang didapatkan, apakah terdapat persamaan, atau perbedaan terhadap teoriteori yang sudah ada. Tetapi teori-teori tersebut tidak digunakan untuk memvalidasi hasil studi (baik hasilnya berupa deskripsi kategori, atau hingga adanya teori baru). Dalam studi kualitatif tidak dikenal validasi menggunakan teori yang sudah ada karena adanya prinsip eksplorasi di atas. Apapun hasil studi harus diterima bila memang data-data yang dikumpulkan dalam proses studi telah diverifikasi. Untuk menjamin bahwa hasil studi benar-benar mencerminkan realita atas data yang dikumpulkan tersebut, maka peneliti perlu melakukan verifikasi ulang atas kategori-kategori, atau temuan yang dihasilkan dari analisa data dengan sumber data, misalnya dengan partisipan yang diwawancara. Teori yang telah ada digunakan sebagai pembanding atas hasil studi untuk memberikan pemahaman atas hasil yang lebih baik karena dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian lainnya. Seluruh prinsip di atas diakibatkan bahwa studi kualitatif biasanya context-bound. Dan justru karena kondisi context-bound dan prinsip eksploratif inilah studi kualitatif berusaha memberikan hasil studi yang tidak dibatasi oleh teori-teori tertentu, atau hipotesa seperti yang diajukan oleh studi kuantitatif.
109
Hal ini membawa pada masalah generalization. Studi kualitatif sering dikritik terutama oleh positivis sebagai tidak dapat diaplikasikan secara umum. Hal ini dapat
dimengerti
karena
secara
umum
pandangan
positivism
sangat
mempengaruhi cara pandang peneliti tentang bagaimana mengetahui pengetahuan tersebut (epistemologi dari positivism), yaitu prinsip obyektifitas, dan generalization (bahwa sebuah teori harus berlaku umum). Teori digunakan secara berbeda dalam studi kualitatif, terutama yang menggunakan pendekatan interpretif. Peneliti dalam studi kualitatif tidak tertarik untuk menggunakan teori dalam upaya “falsifying” teori, yaitu sebagai jendela / alat sensitif untuk melihat kesesuaian dunia dengan teori tersebut. Studi kualitatif dalam sistem informasi biasanya tidak mengangkat hasil studi sebagai kategori abstrak yang dapat diaplikasikan di semua konteks, tetapi sebagai teori sosial yang menyangkut aktor, dan sistem, yang biasanya adalah context-bound. Alasan kedua yang biasanya mendasari penggunaan teori di bagian akhir studi adalah peneliti biasanya belum tahu teori apakah yang cocok untuk hasil studi. Dengan sifat eksploratif yang dimiliki studi kualitatif, maka hasil studi baru diketahui pada akhir studi. Hal ini berbeda dengan studi kuantitatif yang biasanya bersifat pengujian terhadap hipotesa, dan variabel-variabel yang diuji dibatasi oleh hipotesa tersebut. Pada studi kuantitatif teori-teori lain yang diperlukan selain teori utama yang membentuk hipotesa telah dapat dibayangkan oleh peneliti.
110
Data dari Observasi lapangan Data dari Wawancara
Kategori, Sub kategori, dan relasi antaranya
Data dari Kuesioner
Perbandingan dengan teori lain
Kesimpulan
Data dari Wawancara Gambar A.2. Pendekatan induktif dalam studi kualitatif A.2.2 Pertanyaan, dan Hipotesa Studi Dalam studi kualitatif, biasanya yang ditemukan adalah pertanyaan-pertanyaan, bukan hipotesa. Hal ini disebabkan studi kualitatif tidak bermaksud untuk menguji sebuah teori menggunakan sebuah hipotesa, melainkan melakukan eksplorasi sebuah obyek studi, dan pada metode–metode studi kualitatif tertentu untuk membentuk teori. Pertanyaan dalam studi kualitatif biasanya memiliki dua bentuk: grand tour question, dan sub questions. Grand tour question adalah pertanyaan mengenai masalah dalam studi dalam bentuk yang paling umum (most general form). Secara sederhana grand tour question adalah “apa pertanyaan paling luas yang dapat ditanyakan dalam studi”. Hal ini biasanya sulit diterima oleh peneliti yang dididik dalam paradigma kuantitatif, yang biasanya justru dilatih untuk mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan atau hipotesa tertentu [11]. Pertanyaan dalam studi kualitatif sebaiknya memenuhi panduan di bawah: 1. Pertanyaan bersifat mengharapkan deskripsi, bukan pertanyaan yang memberikan arah (misalnya dengan menyebutkan variabel tertentu, atau perbandingan antar variabel-variabel tertentu).
111 2. Pertanyaan akan berkembang dan berubah selama studi. 3. Gunakan pertanyaan terbuka tanpa referensi pada sebuah literatur atau teori tertentu (sekali lagi karena studi kualitatif bukanlah melihat apakah sebuah teori terjadi pada konteks tersebut, atau menguji sebuah teori tertentu, tetapi melihat apakah yang terjadi pada konteks tersebut dan kemudian membuatnya menjadi teori). 4. Gunakan fokus tunggal, dan tentukan situs penelitian yang menjadi konteks penelitian. A.2.3 Verifikasi, Validasi dan Reliabilitas Studi Dalam studi kualitatif istilah yang sering digunakan adalah verifikasi, walaupun di dalam istilah tersebut terkandung makna validasi. Demikian juga studi kuantitatif sering menggunakan istilah validasi, walaupun dalam istilah tersebut sebenarnya juga mengandung makna verifikasi. Studi kualitatif lebih suka menggunakan istilah verifikasi karena data-data yang diperoleh dalam operasionalisasi studi biasanya didapatkan dari orang, sedangkan studi kuantitatif memperoleh data-data studi dari eksperimen, penyebaran kuesioner (dimana konteks yang berbeda dari setiap orang tidak terlalu diperhatikan dalam data-data tersebut). Dalam studi kualitatif dikenal dua jenis validasi, yaitu validasi internal, dan eksternal. A.2.3.1 Validasi Internal Validasi internal adalah upaya untuk memastikan keakuratan dari informasi yang didapatkan dalam studi, dan apakah informasi tersebut sesuai dengan realita sesungguhnya. Sesuai pengertian di atas, peneliti harus memastikan bahwa persepsinya tidak mengganggu interpretasi dari data-data yang dikumpulkan. Seluruh kategori-kategori yang diangkat dari data-data yang terkumpul harus sesuai dengan persepsi orang yang diwawancara, bukan persepsi dari peneliti itu sendiri.
112
Biasanya peneliti akan melakukan verifikasi pada setiap orang yang terlibat sebagai partisipan dengan mengkonfirmasi apakah kategori-kategori tersebut dapat diterima oleh partisipan, dan apakah makna (meaning) dari setiap kategori sesuai dengan persepsi partisipan. Prinsip validasi internal sesuai dengan prinsip Construct Validity. Construct dalam bahasa Inggris berarti “make by fitting parts together; build, form”. Validasi atas construct berarti berusaha memastikan upaya pembangunan ide / teori dapat divalidasi [29].
Gambar A.3. Construct validity Sumber: Trochim, W. M. K., Research http://www.socialresearchmethods.net
Methods
Knowledge
Base,
Konsep construct validity menggunakan dua dunia: “land of theory”, dan “land of observation”. Land of theory adalah apa yang ada dalam pikiran peneliti tentang bagaimana
operasionalisasi
studi
harus
dijalankan
(bagaimana
proses
pengumpulan data yang benar), dan bagaimana hasil dari operasionalisasi studi tersebut (outcome dari studi). Teori mengenai “hasil dari operasionalisasi” tidak menentukan bentuk / isi hasil studi, tetapi kualitas yang harus dipenuhi oleh hasil studi. Land of observation adalah apa yang peneliti lakukan dalam operasionalisasi studi, dan hasil observasi yang dikumpulkan selama studi.
113 Construct Validity meminta peneliti untuk menentukan terlebih dahulu “land of theory” (gambaran ideal dari proses construct : kualifikasi proses, dan kualifikasi hasil proses). Setelah gambaran ideal didapatkan, maka peneliti membandingkan operasionalisasi studi dengan gambaran ideal tersebut. Proses membandingkan land of theory dan land of observation biasanya dilakukan menggunakan dua pendekatan, yaitu: "definitionalist", dan "relationalist”. Definitionalist menekankan pada pemenuhan seluruh kriteria dari land of theory. Hal ini seperti “yes” or “no”, “true” or “false”. Definitionalist lebih cocok diterapkan pada studi-studi kuantitatif. Relationalist tidak ingin terjebak bahwa sebuah construct berada pada dua kondisi, dan bahwa selalu terdapat kondisikondisi antara. Relationalist lebih menekankan makna dari construct (baik operasional, maupun outcome). Artinya pada sebuah kondisi, atau konteks tertentu, maka sebuah studi memerlukan construct tertentu, tetapi pada kondisi lain gambaran ideal construct yang sama tidak bisa dipaksakan. Mungkin ada gambaran ideal construct lain yang lebih cocok diterapkan pada kondisi tersebut. Relationalist menolak gagasan bahwa peneliti dapat menyandarkan diri pada definisi-definisi operasional sebagai basis definisi construct. Relationalist lebih suka melihat makna dari sebuah construct dan menyesuaikan definisi construct sesuai kondisi dimana construct tersebut dijalankan. A.2.3.2 Validasi Eksternal Validasi eksternal berarti generalization. Validasi adalah tingkat pencapaian kebenaran (approximate of truth) dari sebuah kesimpulan (propositions, inferences, atau conclusions). Validasi eksternal berarti upaya memastikan bahwa kesimpulan-kesimpulan tersebut tetap dapat memenuhi tingkat kebenaran bila diaplikasikan pada konteks di luar konteks penelitian (tempat, waktu, orang, dan situasi). Karena itu validasi eksternal berarti Generalization. Validasi eksternal selalu berurusan dengan sampel. Peneliti harus memastikan sampel yang benar-benar dapat mewakili populasi yang sesuai tujuan studi. Peneliti dapat menggunakan Sampling Model, atau Proximal Similarity Model
114 untuk membantu mengenali populasi, dan sample yang diharapkan bisa mewakili populasi. Studi kualitatif terutama yang menggunakan metode case study, dan ethnography biasanya tidak memusingkan masalah generalization karena justru tujuan studistudi tersebut adalah mengungkap sebuah konteks tertentu, bukan untuk diaplikasikan secara umum, atau luas. Grounded theory dan phenomenology masih membicarakan masalah validasi eksternal dengan membicarakan ancaman terhadap validasi eksternal (threat of external validity). Grounded theory dan phenomenology bagaimanapun juga adalah studi kualitatif yang biasanya diaplikasikan untuk konteks tertentu, sehingga upaya validasi juga harus membicarakan kondisi-kondisi apa saja yang membuat hasil studi tidak dapat diaplikasikan (threat of external validity). A.3 Metode-metode Studi Kualitatif Studi kualitatif memiliki bentuk-bentuk metode penelitian yang sangat luas [21]. Metode studi kualitatif yang banyak digunakan adalah: 1. Phenomonology Phenomonology adalah sebuah metode studi yang berusaha mendeskripsikan sebuah fenomena. Fenomena dapat berupa kejadian, situasi, pengalaman, atau konsep. Studi phenomology tidak harus memberikan penjelasan definitif terhadap fenomena tersebut, tetapi dapat saja meningkatkan kesadaran terhadap fenomena tersebut. Phenomenology biasanya digunakan untuk mendeskripsikan pengalaman melalui pengembangan pola (pattern), dan hubungan antara makna dari pola. Misalnya dalam studi pengujian sebuah desain user interface, peneliti akan memperhatikan pola-pola respon yang dihasilkan oleh obyek studi, kemudian mendeskripsikan pola-pola tersebut sebagai hasil studi. 2. Ethnography Ethnography adalah sebuah studi kualitatif yang bertujuan mendapatkan pemahaman sebuah budaya melalui studi jangka panjang terhadap sekumpulan obyek studi dalam sebuah kelompok budaya tertentu, dalam kondisi alami dan asli. Studi ini mendapatkan data-datanya sebagian besar menggunakan
115 observasi lapangan, dimana peneliti masuk dalam kelompok tersebut melakukan observasi dan wawancara. Hasil dari studi biasanya berupa sebuah pemahaman (understanding) sebuah budaya, sehingga hasil dari studi ini lebih dalam dari phenomenology yang biasanya bersifat mendeskripsikan. Karena berupa pemahaman, maka subyektifitas peneliti dalam studi ini sangat berpengaruh terhadap hasil studi. Misalnya seorang peneliti mengamati sebuah budaya dari kelompok sosial tertentu, yang melibatkan upacara dan ritual. Hasil dari studi adalah pemahaman peneliti mengenai upacara tertentu. Peneliti yang berasal dari budaya dengan konsep berpikir yang berbeda akan memaknai secara berbeda pula dibandingkan dengan peneliti yang familier dengan upacara dan ritual tersebut. Ethnography tidak selalu dihubungkan dengan etnis tertentu, tetapi dengan sebuah konsep budaya tertentu misalnya budaya demokrasi di Indonesia. 3. Action Research Action research adalah sebuah studi yang berawal dari sebuah masalah, dan kemudian berusaha menjawab masalah tersebut melalui hasil studi. Actioan research berorientasi pada dua hal, yaitu menghasilkan teori yang memberi sumbangsih pada diskursus pengetahuan, tetapi juga menjawab kebutuhan praktis yang diperlukan untuk menjawab masalah tersebut. Misalnya pada kasus masalah minat membaca yang rendah dari siswa dan mahasiswa di Indonesia. Action research tidak hanya berusaha memberikan faktor-faktor yang mempengaruhi minat baca, tetapi juga usulan-usulan untuk meningkatkan minat baca siswa dan mahasiswa. 4. Grounded Theory Bila dalam studi-studi lainnya tidak menekankan perlunya ada teori yang dihasilkan, maka grounded theory berusaha menghasilkan teori tertentu. Teori ini dihasilkan dari proses note-taking, coding, memoing, sorting. dan writing. Grounded theory biasanya menggunakan beberapa iterasi penggalian kategori melalui pengumpulan data, dan analisa data sekaligus tanpa adanya keharusan batasan yang jelas antara iterasi. Pertanyaan-pertanyaan dari sebuah iterasi dapat berbeda topik selama berhubungan dengan pertanyaan utama. Grounded
116 theory mulai membentuk teori setelah didapatkan kondisi saturasi, yaitu tidak adanya kategori baru yang muncul dari iterasi penggalian data dengan konteks yang berbeda-beda. 5. Case Study Dalam banyak hal peneliti berbeda pendapat mengenai case study. Ada pendapat yang menyatakan bahwa case study adalah sebuah konsep penelitian yang menggunakan satu kasus sempit, atau satu konteks tertentu sebagai obyek studi. Metode penelitian yang diterapkan pada kasus tersebut dapat berupa studi-studi kualitatif, studi kuantitatif, atau
gabungan keduanya.
Pertimbangan utama dalam case study adalah penelitian terhadap obyek tunggal (yang bisa berupa gabungan beberapa obyek) dengan menggunakan metode yang sesuai untuk obyek tersebut. Dalam pemahaman ini generalization memang bukan tujuan utama hasil studi. Pemahaman yang lain menyatakan bahwa case study adalah salah satu metode studi kualitatif yang melakukan eksplorasi terhadap sebuah kasus terbatas, atau satu konteks tertentu. Upaya eksplorasi berharap menemukan sebanyakbanyaknya variabel yang bisa digali dari konteks tersebut. 6. Critical Study Critical study adalah sebuah metode studi kualitatif yang biasanya diterapkan pada metode studi kualitatif lainnya sehingga membentuk criticalphenomenology, atau critical-ethnography. Critical study biasanya bertujuan membandingkan obyek studi dengan teori tertentu. Misalnya criticalethnography akan membandingkan budaya demokrasi rakyat Indonesia terhadap konsep demokrasi yang diinginkan. Pada critical study ini, berbeda dengan studi kualitatif lainnya, teori biasanya disebutkan di awal studi sebagai teori yang digunakan sebagai pembanding hasil studi. Walaupun menyebutkan teori di awal studi, tetapi teori tetap tidak digunakan sebagai penentu variabel, atau hipotesa seperti pada studi kuantitatif. Tidak ada hipotesa yang dibuat, atau diuji. Hasil dari studi tetap adalah hasil eksplorasi dari obyek studi melalui observasi lapangan, wawancara, kuesioner, dan metode lainnya.
117 Penulisan hasil penelitian dalam setiap metode memiliki perbedaan sesuai aturan penulisan kualitatif sesuai dengan jenis studi. Misalnya metode case study dapat menggunakan single case atau multiple case comparison, holistic atau embedded analysis, illustrative structure – linear analytic, comparative, chronological, theory bulding, suspense, atau tidak berurutan. Untuk ethnography dapat dilakukan dengan membentuk dimensi perspektif, cross-cultural descriptions, dan lain-lain. Untuk phenomenology dapat digunakan descriptive narrative, sintesa dari pengetahuan yang muncul dari studi, exhaustive description, dan lain-lain. Grounded theory dapat menggunakan penjabaran informasi menggunakan open coding, axial coding, atau menunjukkan gambar visual yang menjelaskan kaitan teori, atau juga menunjukkan bagian dari coding yang dikembangkan lebih lanjut dalam studi (selective coding).
118
Lampiran B Grounded Theory Grounded theory muncul sebagai tantangan terhadap adanya kondisi bahwa tidak ada inovasi berarti yang muncul dari penelitian yang dilakukan selama ini. Hal ini disebabkan kecenderungan peneliti hanya menguji teori-teori yang sudah ada menggunakan prinsip hypothetico-deductive. Grounded theory muncul sebagai kritik terhadap kecenderungan para peneliti menjadi proletariat testers, dan departemen keilmuan menjadi repositories of ‘great-man’ theories [17]. Grounded theory pada dasarnya bukan penelitian yang menggunakan prinsip hypothetico-deductive. Prinsip hypothetico-deductive membuat sebuah hipotesa pada awal penelitian dan menggunakan pendekatan deduktif untuk menguji hipotesa tersebut melalui serangkaian observasi, pengukuran, atau manipulasi terhadap realita. Dari serangkaian pengujian tersebut maka peneliti membuat kesimpulan. Grounded theory juga bukan penelitian yang bersifat falsifying theory [18]. Prinsip falsifying theory menyatakan bahwa peneliti menggunakan sebuah teori sebagai jendela untuk melihat realita (dunia). Bila kemudian disadari terjadi ketidakcocokan antara teori dengan realita yang berkembang, maka peneliti akan memperbarui teori sesuai dengan realita yang baru tersebut. Grounded theory didasarkan pada prinsip post-positivism, yaitu dunia tidak selalu sama dan tidak selalu berulang. Grounded theory akan berusaha melakukan eksplorasi pada sebuah fenomena dan membuat teori yang dapat menjelaskan fenomena tersebut. Bila terjadi ketidakcocokan pada sebuah realita, maka perlu dilakukan penelitian baru untuk menjelaskan realita tersebut, tetapi hasil penelitian tersebut tidak digunakan untuk merevisi teori yang dihasilkan pada penelitian sebelumnya, tetapi hanya digunakan sebagai perbandingan. Pada intinya grounded theory adalah sebuah metode analisis perbandingan yang berusaha membuat teori yang didasarkan dari data-data empiris (“general method
119 of comparative analysis which would allow for the emergence of categories from data”). Grounded theory selalu dimulai dari sebuah konteks atau situasi penelitian tertentu. Tugas peneliti adalah memahami apa yang terjadi pada konteks tersebut. Untuk mengungkap apa yang terjadi peneliti menggunakan beberapa fase seperti yang ditunjukkan pada gambar B.1 [14].
Gambar B.1. Tahapan grounded theory Sumber: Fernandez, W.D. (2005), The Grounded Theory Method and Case Study Data in IS Research: issues and design, Information Systems Foundations: Constructing and Criticising, Dennis Hart and Shirley Gregor, Editor, ANU E Press, Australian National University, 49 Proses penelitian terdiri atas beberapa iterasi pengumpulan data dan analisa data hingga terjadi theoretical saturation. Theoretical saturation adalah sebuah kondisi dimana proses pengumpulan data dan analisa data tidak menghasilkan konsep, atau kategori baru sehingga dianggap sudah dapat dilaksanakan pembentukan substantive theory. Substantive theory adalah teori yang dibangun dengan memanfaatkan data-data empiris, konsep, dan kategori yang dikumpulkan pada setiap iterasi.
120
Proses dimulai dengan pembuatan hipotesa mengenai kategori, atau konsep apa yang dibutuhkan dalam pembuatan teori yang menjawab tujuan penelitian. Hipotesa awal tidak boleh bersifat spesifik dan harus bersifat cukup luas untuk tidak memberikan arah pada hasil tertentu, dan tetap memberikan peluang bagi partisipan memberi jawaban yang disukainya. Hipotesa untuk iterasi berikutnya boleh bersifat lebih spesifik yang biasanya digunakan untuk memperjelas konsep, atau kategori tertentu yang muncul dari iterasi sebelumnya. Setelah hipotesa, atau pertanyaan dibuat peneliti kemudian menentukan partisipan yang dilibatkan dalam proses pengumpulan data. Penentuan partisipan yang dilibatkan ini disebut dengan theoretical sampling, atau selective sampling. Berbeda dengan studi kuantitatif yang biasanya melibatkan sebanyak mungkin partisipan, grounded theory (dan studi kualitatif pada umumnya) tidak ingin melibatkan orang-orang yang tidak dapat memberikan data yang sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan yang telah dibuat sebelumnya. Dalam proses pengumpulan data bisa dilakukan wawancara, observasi lapangan secara mendalam, atau penelitian terhadap dokumen-dokumen yang relevan. Untuk proses wawancara, peneliti harus menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang selebar mungkin yang memungkinkan partisipan menjawab menurut apa yang ia ketahui, atau menurut persepsinya. Dari jawaban-jawaban tersebut peneliti dapat mengembangkannya untuk memperoleh gambaran seluas dan selengkap mungkin dari fenomena yang diteliti. Pertanyaan sebisa mungkin tidak menyebutkan variabel-variabel tertentu, atau arah tertentu. Peneliti tidak boleh mengarahkan jawaban partisipan pada variabel yang disebutkan pada pertanyaan misalnya nama organisasi atau divisi, atau nama proses; atau mengarah pada jawaban tertentu misalnya puas, atau tidak puas, dan sebagainya. Pertanyaan harus bersifat terbuka dan mengijinkan jawaban apa adanya dari partisipan. Dari data-data empiris yang ditemukan peneliti berusaha menentukan indikatorindikator yang menunjukkan pengaruh indikator tersebut pada fenomena yang
121 menjadi obyek penelitian. Dari setiap indikator peneliti menentukan label yang dapat mewakili isi indikator. Dari setiap indikator peneliti dapat memberikan sebanyak mungkin label. Peneliti dapat menggunakan skrip wawancara (setelah data rekaman wawancara melalui proses transcribing), memberi warna terang pada bagian skrip yang menjadi indikator, dan memberikan catatan label di sebelah indikator tersebut. Dari label yang ditemukan peneliti menentukan konsep-konsep apa yang muncul dari sekumpulan label tersebut dengan melihat persamaan, perbedaan, dan konsistensi dari label yang muncul dari indikator. Kemudian pada proses selanjutnya peneliti mencari kesamaan pada tingkat yang lebih tinggi untuk mencari kategori dari konsep-konsep yang ditemukan. Proses ini disebut sebagai coding. Ada dua proses utama pada coding, yaitu open coding dan theoretical coding. Open coding adalah upaya mengenali konsep dan kategori tanpa melibatkan teoriteori yang sudah ada (extant theory). Sedangkan theoretical coding mengijinkan teori-teori yang sudah ada membantu peneliti untuk mengenali konsep baru, kategori baru, atau merevisi hirarki dari konsep dan kategori sesuai dengan teori yang sudah ada. Permasalahan yang muncul pada theoretical coding adalah pada dasarnya grounded theory dibuat justru agar peneliti tidak terpengaruh pada teoriteori yang sudah ada. Tetapi disadari bahwa setiap peneliti pasti memiliki bias terhadap teori-teori tertentu (theory laden). Pembahasan mengenai sejauh mana bias peneliti diijinkan dalam grounded theory dijelaskan pada lampiran C (“Metodologi Analisis Data”). Hasil dari proses coding adalah adanya konsep-konsep, dan kategori-kategori yang diharapkan mampu menjelaskan fenomena yang menjadi obyek studi. Peneliti kemudian menentukan bagian manakah yang perlu diperjelas pada iterasi penelitian selanjutnya, atau adakah suatu hal baru yang muncul dari data-data empiris yang perlu diteliti. Peneliti membuat hipotesa yang menjadi dasar penelitian iterasi selanjutnya dan memulai iterasi dari awal.
122 Proses pembandingan antara data empiris, konsep, dan kategori yang sudah ditemukan dilakukan terus menerus ketika peneliti masuk pada iterasi-iterasi berikutnya. Prinsip ini disebut sebagai perbandingan yang konstan (constant comparison). Bila melalui serangkaian iterasi peneliti tidak menemukan konsep atau kategori yang baru, maka kondisi theoretical saturation tercapai. Pada kondisi ini peneliti dapat menyusun teori akhir yang dapat menjelaskan fenomena dengan menggunakan konsep dan kategori yang telah ditemukan pada seluruh iterasi sebelumnya. Yang perlu diperjelas adalah peranan teori-teori yang sudah ada (extant theory) pada grounded theory. Pada grounded theory seperti halnya studi kualitatif secara umum, teori yang sudah ada tidak digunakan sebagai dasar penelitian (silakan lihat lampiran A.2.1 “Penggunaan literatur dalam studi kuantitatif dan kualitatif”). Teori digunakan dalam dua peran, yaitu: 1. Memberi masukan bagi peneliti dalam proses theoretical coding agar tidak terjadi perbedaan istilah, dan makna dari istilah dengan teori-teori lain yang sudah ada. Juga agar hirarki dari konsep dan strategi juga masih memiliki kesinambungan dengan teori-teori yang sudah ada sebelumnya. 2. Menjadi perbandingan bagi peneliti terhadap hasil penelitian. Tujuan perbandingan teori-teori yang sudah ada tidak digunakan sebagai validasi teori (teori dalam grounded theory tidak bersifat falsifying theory), tetapi untuk memahami konteks penelitian yang berbeda, dan adanya perbedaan yang memperkaya diskursus pengetahuan pada domain pengetahuan tersebut.
123 Lampiran C Metodologi Analisis Data Emergence berbicara mengenai bagaimana sebuah teori muncul dari data-data empiris yang telah dikumpulkan dalam proses pengumpulan data. Grounded theory digunakan untuk mendapatkan teori baru dari data empiris tanpa menggunakan teori-teori yang sudah ada (peneliti tidak ingin bertindak sebagai theory tester) seperti banyak dipakai dalam penelitian berprinsip positivisme (hypothetico-deductive). Peneliti harus menghindarkan diri dari pengaruh teoriteori yang sudah ada (empty head instead of open mind). Pendekatan dalam memunculkan teori dari data empiris pada grounded theory ditunjukkan pada gambar C.1. Data Empiris Æ Indikator Æ Label (Kode) Æ Konsep Æ Kategori Æ Kategori & Sub Kategori & Relation Æ Teori Gambar C.1 Pendekatan untuk menghasilkan teori Masalah yang muncul dari pendekatan ini adalah pada realitanya seorang peneliti sulit mengeluarkan teori (mengenali indikator, menentukan label, konsep, dan kategori baru dari data empiris) tanpa menggunakan atau terpengaruh teori yang sudah ada (theory laden). Resiko lainnya yang muncul adalah teori baru yang dihasilkan, dan istilah-istilah yang digunakan dalam teori tersebut dapat berbeda dengan istilah dalam teori-teori yang sudah ada sebelumnya (tidak ada kesinambungan istilah dan makna dari istilah). Untuk mengatasi masalah ini Glaser, dan Strauss mengusulkan pendekatan yang berbeda. Pendekatan ini ditunjukkan pada gambar C.2 [17]. Subjective Coding (Glaser) Open Coding
Ö Ö Ö
Theoretical Coding Family Coding
Axial Coding, Selective Coding & Coding Paradigm Gambar C.2. Pendekatan untuk mengatasi masalah bias peneliti
(Strauss) Open Coding
124 Proses coding pada grounded theory pada dasarnya terbagi dalam dua fase, yaitu substantive coding, dan theoretical coding. Substantive coding berusaha menggali label, konsep, dan kategori dari data-data empiris apa adanya. Peneliti tidak diperkenankan menggunakan teori apapun (extant theory) sebagai alat bantu mengenali konsep. Substantive coding juga disebut sebagai Open Coding. Dalam theoretical coding peneliti menggunakan pengetahuan yang sudah ada pada dirinya dalam upayanya membentuk konsep dan kategori lebih lanjut. Untuk mengenali teori-teori apa yang dapat digunakan untuk membantu membentuk konsep dan kategori peneliti menggunakan kepekaannya terhadap teori (theoretical sensitivity). Theoretical coding juga disebut dengan Axial Coding. Fase theoretical coding inilah yang menjadi sumber perdebatan mengenai seberapa besar teori diijinkan mempengaruhi proses munculnya konsep dan kategori dari data empiris. Selain pendekatan Glaser, dan Strauss, terdapat juga usulan untuk menggunakan prinsip hypothetical reasoning sebagai alternatif terhadap pendekatan Glaser dan Strauss. C.1 Pendekatan Glaser Glaser sangat menekankan prinsip induksi dalam grounded theory. Glaser sangat menentang penggunaan teori-teori yang sudah ada sebelumnya (extant theory) sebagai alat bantu dalam proses memunculkan kategori dari data empiris. Penggunaan teori yang sudah ada sebelumnya akan mempengaruhi munculnya kategori secara alami dari data-data empiris yang dikumpulkan. Untuk ini Glaser menyarankan penggunaan coding family yang terdiri dari 18 kumpulan istilah yang dapat digunakan sebagai penuntun pencarian kategori. Coding family hanya digunakan sebagai penuntun bukan penentu label akhir. Coding family lebih bersifat sebagai pemberi insight bagi peneliti. Peneliti yang lebih senior dapat mengabaikan sama sekali Coding Family dan menggunakan wawasannya sendiri untuk menemukan label, kategori, dan teori yang sesuai data empiris. Konsekuensinya membutuhkan kemampuan peneliti yang lebih baik,
125 lebih banyak memiliki wawasan, dan pengalaman untuk dapat mengenali kategori-kategori yang berasal dari data empiris dengan lebih tepat dan cepat. C.2 Pendekatan Strauss Strauss menggunakan pendekatan yang mengijinkan penggunaan terbatas dari teori-teori yang sudah ada untuk membantu proses axial coding dan selective coding. Strauss juga mengusulkan coding paradigm yang dapat digunakan peneliti ketika melakukan axial coding dan selective coding. Coding paradigm ditunjukkan pada gambar C.3. Coding paradigm bertujuan membantu peneliti dalam berpikir sistematis mengenai data, dan dapat mengenali hubunganhubungan yang lebih kompleks dari data-data empiris. Causal conditions adalah kondisi-kondisi yang menyebabkan fenomena. Fenomena adalah apa yang menjadi obyek penelitian. Context adalah kondisikondisi yang menjadi atribut kondisi yang melingkupi fenomena. Intervene conditions adalah kondisi-kondisi yang bila terjadi memiliki akibat yang mempengaruhi fenomena. Action atau interaction strategies adalah respon dari aktor-aktor yang berada dalam konteks fenomena, baik berupa tindakan atau interaksi yang terjadi. Biasanya action dan interaction bertujuan untuk memperbaiki akibat dari fenomena. Consequences adalah apa yang terjadi sebagai akibat dari adanya action dan interaction tersebut. Dengan menggunakan coding paradigm ini peneliti berusaha mengklasifikasi konsep-konsep, atau kategori-kategori yang ditemukan dalam tiap iterasi dan membantu peneliti memahami apa yang terjadi, dan dalam membentuk teori yang menjelaskan fenomena tersebut. Berbeda dengan pendekatan Glaser yang tidak memperbolehkan adanya campur tangan teori sama sekali, Strauss memperbolehkan peranan teori dalam menemukan kategori-kategori baru. Teori berperan memberikan ide dalam sebuah proses terus-menerus antar iterasi untuk mengenali intervene conditions, context, dan action strategies yang mempengaruhi fenomena. Tetapi teori itu tidak
126 digunakan untuk menjelaskan kategori yang ditemukan, tetapi digunakan sebagai masukan atau perbandingan bagi peneliti.
Causal Conditions
Phenomenon
Context
Intervening Conditions
Action / Interaction Strategies
Consequences Gambar C.3. Coding paradigm Sumber: Pandit, N. R. (1996), The Creation of Theory: A Recent Application of the Grounded Theory Method, dalam The Qualitative Report, Volume 2, No. 4 C.3 Hypothetical Reasoning / Retroductive Inference Hypothetical reasoning adalah sebuah konsep yang berusaha membentuk sebuah hipotesa dari data-data empiris. Konsep ini berbeda dengan konsep hypothetico-deductive. Hypothetico-deductive membentuk hipotesa di awal proses penelitian dari teori, dan diakhiri dengan pengujian hipotesa tersebut untuk menghasilkan kesimpulan. Hipotesa yang dibuat di awal seringkali disebut sebagai spekulasi peneliti, atau 'happy guesses'. Konsep ini juga memiliki perbedaan dari pendekatan Glaser dan Strauss. Pendekatan Glaser dan Strauss membentuk sebuah teori dari data-data empiris. Hipotesa memang pada dasarnya adalah sebuah teori, tetapi hipotesa memiliki tingkat dugaan yang lebih tinggi daripada teori yang dihasilkan pendekatan Glaser dan Strauss.
127 Hypothetical reasoning menghasilkan hipotesa dengan menggunakan data-data empiris (premis yang digunakan adalah fenomena-fenomena empiris, dan hasilnya adalah explanatory hypothesis). Terdapat beberapa aturan dalam hypothetical reasoning, yaitu: •
Hipotesa yang dikembangkan dibatasi oleh data-data empiris yang dapat dijelaskan.
•
Penjelasan dari fakta harus dihubungkan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peneliti (previous knowledge of researcher). Pengetahuan peneliti yang sudah ada disebut sebagai heuristic framework of concept. Peneliti menggunakan wawasannya untuk menentukan pengetahuanpengetahuan apa saja yang dapat digunakan untuk menjelaskan data-data empiris yang ditemukan. Hypothetical reasoning bergantung pada kepekaan peneliti pada teori apa yang dapat digunakan untuk menjelaskan data tersebut.
Hypothetical reasoning bukan upaya untuk membuat teori baru dari kosong (ex nihilo) tetapi usaha menggabungkan teori yang sudah ada dengan sesuatu yang belum diketahui (data empiris) dan berusaha mengembangkan hipotesa yang dapat menjelaskan kumpulan data-data empiris tersebut.
128
Lampiran D Indikator, Konsep, dan Kategori Lengkap D.1 Indikator dan Kode Tabel D.1. Indikator dan kode No P1
P2
P3
P3a
P3b P4
Indikator (Poin kunci) Belum dihasilkan data yang akurat dan dapat diandalkan (reliable) pada proses pembuatan laporan akibat data yang tersimpan selalu berubah. Perubahan data yang tersimpan dalam database disebabkan adanya upaya perbaikan data–data lama. Programmer belum memahami keseluruhan teknologi, dan konsekuensi dari teknologi web ketika menentukan bahwa sistem informasi yang baru memanfaatkan teknologi berbasis web.
Kode / Label • Keandalan data sistem informasi baru rendah
Keterangan tambahan: konsekuensi yang muncul adalah bahwa tidak tersedia komponen-komponen yang bisa digunakan berulang-ulang terutama yang berhubungan dengan antar muka dari perangkat lunak. Programmer juga dituntut untuk memahami daerah kemampuan yang lebih luas sekaligus: html, protokol http, interface berbasis web yang baik, keamanan untuk internet, koneksi database, dan sekaligus web scripting seperti javascript.
•
Adanya kebijakan “zero-growth” dari Yayasan sehingga terjadi penurunan jumlah staf perpustakaan secara keseluruhan termasuk jumlah programmer akibat tidak ada pengganti untuk staf-staf yang mengundurkan diri. Jumlah programmer yang tersedia untuk setiap sistem informasi (iSPEKTRA, dan New SPEKTRA) sangat kecil bila dibandingkan jumlah modul di dalam setiap sistem informasi, dan kompleksitas dalam setiap modul tersebut. Sedikitnya jumlah staf yang dapat diberi tugas melakukan pengujian sistem informasi baru akibat jumlah staf perpustakaan yang menurun. Tidak ada komponen yang bisa langsung digunakan (setiap komponen harus dibuat sendiri), dan digunakan secara berulang-ulang dalam pengembangan perangkat lunak yang berbasis web.
•
•
•
• •
Keterbatasan wawasan programmer dan system analyst. tentang teknologi yang diperlukan. Lihat juga P31 yang menghubungkan pemilihan teknologi berbasis web dengan strategi perpustakaan. Lihat juga P4 yang menunjukkan akibat keterbatasan wawasan programmer dan system analyst pada kakas pengembangan. Penurunan jumlah staf perpustakaan, termasuk programmer. Tidak ada dukungan dari top management. Jumlah programmer tidak memadai.
•
Jumlah staf tidak memadai.
•
Keterbatasan dalam kakas yang digunakan dalam pengembangan. {Karakteristik pengembangan untuk jumlah programmer
•
129
No
Indikator (Poin kunci)
P5
Desain database sistem lama tidak memperhatikan constraints dan relation antar tabel. Hal ini mengakibatkan adanya kesalahan data yang semakin bertumpuk dari pengoperasian . Desain software sistem lama yang tidak memperhatikan constraint. Seharusnya bila database tidak dilengkapi dengan constraint, maka software harus dilengkapi dengan fasilitas pemeriksaan data ini (walaupun tidak seefisien pemeriksaan melalui constraint di database). Hal ini tidak dipenuhi sehingga data-data salah dapat masuk ke dalam database. Adanya kesalahan-kesalahan pengisian data, misalnya nama-nama penerbit, subyek yang memiliki perbedaan antar record karena kesalahan manusia (human error). Sistem informasi yang baru menuntut seluruh data yang dipindahkan dari sistem lama sudah dalam kondisi benar. Hal ini menjadi tuntutan karena sistem baru telah menerapkan constraints yang ketat sehingga tidak ada data salah yang diijinkan masuk. Hal ini membuat kerja divisi Pengolahan bertambah berat karena harus memperbaiki ribuan record data yang mengalami kesalahan data tersebut sebelum dapat dimigrasi ke sistem baru. Sivitas pengguna sistem baru harus menyadari bahwa data yang tertampil pada Online Catalog bukanlah data yang lengkap karena sebagian data masih belum dapat ditambahkan pada database sistem yang baru. Dokumentasi atas kode-kode dalam setiap modul yang tidak memadai telah mempersulit programmer menangani modul yang dibuat oleh programmer lain akibat programmer tersebut keluar. Hal ini membuat proses pengembangan, dan perawatan modul lebih lambat karena programmer yang baru harus mempelajari struktur program langsung dengan membaca kode program yang jumlahnya puluhan ribu baris untuk memahami bagaimana modul tersebut bekerja. Pada saat sistem informasi masuk pada masa perawatan (maintenance), programmer yang tersedia hanya satu orang untuk menangani 6 modul yang telah diselesaikan, dan programmer tersebut bersifat part-time. Terjadi revisi berulang-ulang antar modul karena proses pemrograman yang bersamaan sehingga saling mempengaruhi. Yang dimaksud dengan revisi antar modul adalah adanya pengubahan bagian modul yang sudah jadi akibat
P6
P7
P8
P9
P10
P11
P12
Kode / Label yang kecil.} • Kesalahan desain database. • Kekurangan sistem informasi lama. • Kesalahan desain software • Kekurangan sistem informasi lama.
•
Kesalahan manusia dalam pengoperasian sistem informasi lama.
•
Pekerjaan ekstra dalam masa transisi sistem informasi {Standar kualitas sistem informasi.}
•
•
Sistem informasi baru tidak memiliki seluruh data yang seharusnya.
•
Masalah dalam dokumentasi program. Masalah dalam pengembangan sistem informasi baru. Masalah dalam perawatan sistem informasi baru.
• •
• • • •
Masalah perawatan sistem informasi baru. Kurang sumber daya manusia. Masalah dalam pengembangan sistem informasi baru. {Masalah kebutuhan
130
No
Indikator (Poin kunci) pengembangan modul lainnya.
P13
Programmer cenderung untuk bekerja mandiri, sehingga komunikasi dengan staf sering kurang terjadi kalau tidak didesak. Ada gap antara programmer dengan staf. Staf minder melakukan komunikasi dengan programmer bila terdapat kekurangan dalam sistem yang dibangun.
P14
Terjadinya pembuatan berulang terhadap kodekode fungsi dan prosedur yang berfungsi sama, sehingga ada beberapa fungsi dan prosedur yang tumpang tindih.
P15
Sejauh ini di perpustakaan semua permintaan data yang tidak dapat ditangani divisi Pengolahan diberikan pada sub divisi iSpektra. Dengan terpusatnya dan tidak adanya urutan prioritas yang jelas maka membuat programmer bingung harus mengerjakan tugas mengatasi bug di beberapa modul iSpektra, atau harus menyiapkan permintaan data dari divisi lain di perpustakaan untuk memenuhi permintaan dari jurusan. Proses pengujian (bug hunting) tidak bekerja dengan baik, karena dirasakan oleh programmer cukup merepotkan bila harus menuliskan semua bug yang ada ke sebuah sistem pencatatan bug padahal lebih cepat bila langsung dikomunikasikan dengan programmer. Pada saat programmer mengalami kesulitan dalam proses coding biasanya programmer melakukan upaya untuk mencari jalan keluar melalui pencarian di internet, buku-buku pemrograman, dan programmer senior. Kecepatan koneksi internet masih dirasa cukup membantu dalam mencari jalan keluar. Sedangkan keterbatasan yang dialami adalah jumlah buku yang dapat digunakan sedikit karena harus berbagi dengan buku yang boleh dipinjam anggota perpustakaan. Demikian pula programmer senior yang bisa diajak berdiskusi berada dalam kondisi sulit dihubungi secara langsung (keluar, dan cuti studi). Programmer kebingungan menentukan urutan perbaikan kesalahan (bug fixing) karena semua bug diminta untuk diperlakukan segera dan penting (urgent).
P16
P17
P18
Kode / Label (requirement) yang belum bisa ditetapkan secara definitif pada saat desain sistem yang baru.} • Komunikasi antara pengguna sistem dengan programmer tidak terjadi maksimal. • Kecenderungan programmer untuk sulit berkomunikasi. • Tidak ada dokumentasi terhadap seluruh fungsi dan prosedur • Upaya pemrograman yang berulang (redundant) • Interupsi terhadap proses pengembangan • Prioritas kerja tidak jelas.
•
Kakas identifikasi bug tidak digunakan secara maksimal.
•
Infrastruktur pengembangan (knowledge): o Internet : memadai o Buku : kurang memadai o Orang : kurang memadai
Tidak ada penentuan klasifikasi dan prioritas bug
131
No P19
P20
P21
P22
P23
P24
Indikator (Poin kunci) Karena bentuk software adalah terbagi menjadi beberapa modul independen yang mengakses kode-kode fungsi yang sama, dan database yang sama, maka perubahan desain sebuah modul dapat mempengaruhi kinerja modul lainnya. Dirasa perlu adanya semacam proses pemeriksaan silang (cross check) untuk mengetahui bagian modulmodul lain yang ikut terpengaruh akibat perubahan pada sebuah modul tertentu. Sering terjadi silang pendapat antara permintaan staf perpustakaan dengan perintah kerja yang didapatkan dari divisi System Development. Staf kadang menghubungi langsung programmernya sehingga terjadi kebingungan pada programmer mengenai apa yang seharusnya dikerjakan / diperbaiki. Sejak awal tidak ditetapkan adanya batas waktu penyelesaian sistem informasi baru. Tidak ada tekanan untuk menyelesaikan proses pengembangan pada waktu tertentu sehingga tidak terasa adanya masalah untuk mengundurkan jadwal penyelesaian sebuah modul. Sudah ada proses identifikasi apa saja yang harus dibuat (requirement list) untuk tiap modul di tiap sistem informasi, dan juga ada pembagian tugas untuk tiap bagian dari daftar tersebut, tetapi prediksi waktu untuk proses pengembangan setiap bagian seringkali salah karena selalu ada hal yang baru yang belum diketahui yang membuat pengembangan bagian itu menjadi lebih lama dari yang ditentukan. Hal baru tersebut misalnya adalah belum diketahui secara pasti seluruh kebutuhan komponen yang diperlukan, Beberapa kali terjadi pengembangan modul baru yang tidak direncanakan sebelumnya (biasanya baru dirasakan dibutuhkan karena adanya perubahan kebutuhan perpustakaan), tetapi harus pengadaannya harus diutamakan pada waktu itu. Pengembangan modul baru ini harus ditangani oleh programmer yang ada karena keterbatasan personil. Hal ini mengakibatkan pengembangan modul yang sudah ada tertunda. Proses evaluasi dilakukan tiap bulan melalui laporan dari tiap programmer, dan kemudian dicocokkan dengan daftar bagian-bagian modul yang harus dikerjakan. Dari hasil pencocokan tersebut kemudian ditentukan perkiraan persentase penyelesaian pekerjaan untuk modul tersebut. Masalahnya adalah tidak ada jadwal waktu detail untuk penyelesaian tiap bagian modul, yang ada
Kode / Label • Pengaruh perubahan modul pada modul lainnya. • Pemeriksaan silang antar modul dibutuhkan. • {Alat yang terintegrasi untuk desain, pemrograman, dan pengujian modul.} • Miskomunikasi antara pengguna dengan system analyst, dan programmer. • Ketidakjelasan jalur komunikasi antara user, system analyst, dan programmer. • Tidak ada batas waktu yang ditetapkan untuk penyelesaian seluruh sistem informasi baru. •
Tidak ada detail prediksi waktu pengembangan yang memadai.
•
Interupsi pada pengembangan modul. Keterbatasan jumlah programmer.
•
• •
Proses evaluasi kinerja programmer yang tidak memadai. Tidak diketahui secara pasti kapan sebuah modul akan diselesaikan.
132
No
P25
P26
P27
Indikator (Poin kunci) hanyalah jadwal penyelesaian keseluruhan modul sehingga tetap tidak dapat diketahui kapan penyelesaian seluruhnya akan tercapai. Proses pengembangan sistem informasi baru memakan waktu cukup lama, yaitu empat tahun, dan tidak seluruh fungsi yang diinginkan dari sistem informasi baru dapat dipenuhi.
Kode / Label
Tidak ada prediksi ulang terhadap jadwal waktu pengembangan bila terjadi interupsi pada proses pengembangan baik akibat adanya permintaan data, atau pengembangan modul baru. Proses prediksi hanya dilakukan sekali, yaitu pada saat membuat detail pekerjaan pengembangan di awal proses pengembangan. Tidak ada perubahan besar pada fungsi perpustakaan. Yang terjadi adalah perubahan teknologi yang mempengaruhi lingkungan kerja pustakawan, dan lingkungan informasi dari pengguna perpustakaan. Perubahan teknologi yang dialami adalah: • Adanya perangkat keras yang lebih cepat yang memungkinkan diadopsinya operating system baru, dan teknologi seperti internet dibandingkan perangkat keras yang lama.
•
• Penggunaan internet (terutama http, dan email) yang lebih luas baik di lingkungan internal Universitas Kristen Petra, maupun dunia. Adanya search engine dan situs-situs penyedia informasi membuat sivitas tidak hanya menyandarkan diri pada perpustakaan sebagai sumber informasi. Sivitas lebih menyukai mengakses informasi di internet karena tidak harus datang ke perpustakaan, dan karena biasanya informasi tersebut sudah dalam bentuk ‘siap baca’, biasanya sudah berupa intisari dari informasi, tidak seperti buku yang cukup tebal dan harus dibaca lebih lama. • Dalam kondisi dimana hampir semua informasi bisa didapatkan di di internet, dan turunnya kecenderungan sivitas menggunakan perpustakaan sebagai sumber informasi, maka perpustakaan juga harus dapat membuat informasinya sendiri dalam bentuk institutional repository yang bisa diakses melalui internet. Dengan demikian perpustakaan tetap menyediakan sumber informasi berupa koleksi tercetak seperti
•
• •
Proses pengembangan tidak efisien dan efektif untuk menghasilkan sistem informasi yang sesuai daftar kebutuhan awal. Tidak ada prediksi ulang atas proses pengembangan
Tidak terjadi perubahan besar pada fungsi perpustakaan. Perubahan fungsi perpustakaan lebih mengarah pada pengadopsian teknologi baru karena tuntutan perubahan lingkungan informasi pengguna perpustakaan.
133
No
Indikator (Poin kunci) biasanya, tetapi juga tetap relevan dalam era informasi saat ini sebagai penyedia informasi yang bisa diakses di internet, tidak hanya sebagai pengguna saja.
Kode / Label
P28
Programmer dan system analyst tidak memahami project network, critical path, dan bagaimana membuat prediksi terhadap sumber daya yang dibutuhkan dalam tiap satuan kerja. Programmer dan system analyst juga tidak memahami bagaimana memprediksi, dan mengelola resiko yang muncul dari proyek pengembangan modul. Programmer dan system analyst memahami secara terbatas mengenai work breakdown structure (WBS), tapi tidak mampu mengubah WBS menjadi project network diagram dan mengukur critical path dari proyek. Programmer tidak mampu membedakan perbedaan jenis perawatan perangkat lunak.
•
Selama ini proses perawatan dilakukan dengan menerima masukan dari staf perpustakaan tentang kekurangan, atau kesalahan sebuah modul. Informasi ini dapat diserahkan pada divisi System Development, atau langsung pada programmer. Bila informasi diserahkan melalui divisi System Development, maka programmer terkadang kebingungan karena informasi yang diterima langsung dari staf pada programmer memiliki perbedaan. Informasi tidak diserahkan melalui mekanisme tertentu, programmer juga tidak menggunakan kakas pencatat kesalahan (Bugzilla) yang merekam seluruh permintaan yang masuk. Juga tidak ada proses penentuan prioritas bug, dan perencanaan kapan bug seharusnya diselesaikan. Tidak ada kebijakan mengenai bagaimana proses perawatan dilaksanakan. Produk dari perpustakaan adalah informasi. Hal ini tercermin pada visi perpustakaan. Dalam kurun waktu 1996 – 2007 terjadi perubahan produk, selain terjadi penambahan bentuk produk, yaitu bentuk elektronik (jurnal elektronik), juga ada produk yang dihasilkan oleh perpustakaan sendiri, yaitu intitutional repository. Terjadi perubahan strategi dalam metode diseminasi informasi. Sesuai dengan adanya teknologi baru, dan bentuk informasi baru, maka
•
P29
P30
P31
•
•
•
•
Manajemen proyek tidak memadai Ketidakmampuan programmer dan system analyst untuk mengelola proyek
Programmer tidak memahami dasar manajemen perawatan Tidak ada proses perawatan yang jelas, Programmer tidak memahami bagaimana proses perawatan yang seharusnya.
Perubahan strategi perpustakaan meminta sistem informasi bisa menyediakan kakas yang digunakan untuk: o Membuat institutional repository o Mendistribusikan informasi melalui
134
No
Indikator (Poin kunci) metode diseminasi menggunakan internet sebagai sarananya. Juga terjadi perubahan strategi dalam proses menghasilkan value, yaitu kakas otomasi menggunakan teknologi berbasis internet, dibandingkan sebelumnya yang menggunakan protokol telnet. Sehubungan dengan adanya strategi diseminasi menggunakan internet, dan produk baru berupa institutional repository, maka perpustakaan menambah jenis pengguna perpustakaan, yaitu orang-orang yang menggunakan internet (new target customer).
Kode / Label internet o Menghasilkan value (value creation) yang memanfaatkan teknologi berbasis internet (kakas otomasi berbasis internet). • Lihat juga P27 untuk melihat latar belakang munculnya perubahan strategi ini. • Lihat juga P2 yang melatar belakangi pemilihan teknologi web sebagai basis pengembangan sistem informasi baru.
D.2 Konsep yang Ditemukan dari Indikator Tabel D.2. Konsep yang ditemukan dari indikator No. Konsep 1 Tidak ada kejelasan batas waktu penyelesaian baik untuk tiap bagian modul, setiap modul, maupun seluruh sistem informasi.
2 3
Evaluasi kinerja proses pengembangan tidak memadai. Upaya prediksi yang tidak memadai untuk detail unit pekerjaan pengembangan.
4
Interupsi dari luar tim pengembangan yang mengganggu proses pengembangan.
5
Proses pengembangan yang tidak efisien (berulang). Proses transfer pekerjaan antar programmer menjadi lambat.
6
Kode / Label P21 Tidak ada batas waktu yang ditetapkan untuk penyelesaian seluruh sistem informasi baru. P22 Tidak ada detail prediksi waktu pengembangan yang memadai. P24 Tidak diketahui secara pasti kapan sebuah modul akan diselesaikan. P24 Evaluasi kinerja programmer yang tidak memadai. P22 Tidak ada prediksi yang memadai untuk detail waktu pengembangan. P26 Tidak ada prediksi ulang atas proses pengembangan. P23 Interupsi pada pengembangan modul. P15 Interupsi terhadap proses pengembangan P14 Upaya pemrograman yang berulang (redundant) P10 : • Masalah dalam dokumentasi program.
135
No. Konsep
7 8 9
10 11 12
13 14
Tidak ada penentuan prioritas kerja. Kurangnya jumlah programmer pada masa perawatan. Pengembangan sebuah modul dapat mengganggu pengembangan modul lainnya. Kakas identifikasi bug tidak digunakan secara maksimal. Kakas yang digunakan dalam pengembangan memiliki keterbatasan. Kekurangan sistem informasi lama.
Keterbatasan wawasan programmer dan system analyst tentang teknologi yang diperlukan. Kecenderungan programmer sulit berkomunikasi.
15
Ketidakjelasan jalur komunikasi pada masa pengembangan dan perawatan sistem.
16
Infrastruktur pengembangan untuk aspek pengetahuan kurang menunjang.
17
Pengoperasian sistem informasi baru tidak maksimal.
Kode / Label • Masalah dalam pengembangan sistem informasi baru. • Masalah dalam perawatan sistem informasi baru. P14 Tidak ada dokumentasi terhadap seluruh fungsi dan prosedur P15 Prioritas kerja tidak jelas. P11 Kurang sumber daya manusia. P12 Masalah dalam pengembangan sistem informasi baru. P19 Pengaruh perubahan modul pada modul lainnya. P16 Kakas identifikasi bug tidak digunakan secara maksimal. P4 Keterbatasan dalam kakas yang digunakan dalam pengembangan. P5 Kesalahan desain database P6 Kesalahan desain software P7 Kesalahan manusia dalam pengoperasian sistem informasi lama. P2 Keterbatasan wawasan programmer dan system analyst. tentang teknologi yang diperlukan. P13 : • Komunikasi antara pengguna sistem dengan programmer tidak terjadi maksimal. • Kecenderungan programmer untuk sulit berkomunikasi. P20 : • Miskomunikasi antara pengguna dengan system analyst, dan programmer. • Ketidakjelasan jalur komunikasi antara user, system analyst, dan programmer. P17 Infrastruktur pengembangan (knowledge): o Internet : memadai o Buku : kurang memadai o Orang : kurang memadai P1 Keandalan data sistem informasi baru rendah
136
No. Konsep
18
Tidak ada dukungan dari top management.
19
Kurangnya jumlah staf yang terlibat dalam proses pengembangan baik pustakawan, maupun programmer.
20
Proses pengembangan tidak efisien dan efektif untuk menghasilkan sistem informasi yang sesuai daftar kebutuhan awal.
21
Ketidakmampuan programmer dan system analyst mengelola proyek pengembangan.
22
Ketidakmampuan programmer dan system analyst mengelola perawatan perangkat lunak.
23
Adanya lingkungan informasi baru (search engine, situs-situs informasi), dan jurnal elektronik yang didorong oleh teknologi baru, yaitu internet.
24
Adanya tuntutan untuk menghasilkan institutional repository sendiri oleh perpustakaan, dan melakukan diseminasi melalui internet (world wide web).
25
Adanya kesalahan pemilihan teknologi
Kode / Label P8 Pekerjaan ekstra pada masa transisi sistem informasi P9 Sistem informasi baru tidak memiliki seluruh data yang seharusnya P3 Tidak ada dukungan dari top management. P3a Jumlah programmer tidak memadai P3b Jumlah staf tidak memadai P23 Keterbatasan jumlah programmer. P25 Proses pengembangan tidak efisien dan efektif untuk menghasilkan sistem informasi yang sesuai daftar kebutuhan awal. P22 Tidak ada detail prediksi waktu pengembangan yang memadai. P28 : • Manajemen proyek tidak memadai • Ketidakmampuan programmer dan system analyst untuk mengelola proyek P18 Tidak ada penentuan klasifikasi dan prioritas bug P29 Programmer tidak memahami dasar manajemen perawatan P30: • Tidak ada proses perawatan yang jelas, • Programmer tidak memahami bagaimana proses perawatan yang seharusnya. P27 Perubahan fungsi perpustakaan lebih mengarah pada pengadopsian teknologi baru karena tuntutan perubahan lingkungan informasi pengguna perpustakaan. P27 Agar tetap relevan dalam era informasi, maka perpustakaan harus menyediakan institutional repository sendiri. P31 Strategi perpustakaan dalam menanggapi perubahan lingkungan P2 Keterbatasan wawasan
137
No. Konsep yang mendasari pengembangan sistem informasi baru (untuk bagian kakas otomasi).
Kode / Label programmer dan system analyst. tentang teknologi yang diperlukan. P31 Adanya permintaan terhadap sistem informasi untuk menyediakan kakas yang diperlukan untuk membuat institutional repository, diseminasi melalui internet, dan kakas otomasi berbasis web.
D.3 Kategori dari Konsep Tabel D.3. Kategori dari konsep No. Kategori
Konsep
1
Interupsi dari luar tim pengembangan yang mengganggu proses pengembangan. Pengembangan sebuah modul dapat mengganggu pengembangan modul lainnya. Tidak ada penentuan prioritas kerja. Proses pengembangan yang tidak efisien (berulang). Proses transfer pekerjaan antar programmer menjadi lambat Tidak ada kejelasan batas waktu penyelesaian baik untuk tiap bagian modul, setiap modul, maupun seluruh sistem informasi. Evaluasi kinerja proses pengembangan tidak memadai. Prediksi yang tidak memadai untuk detail unit pekerjaan pengembangan. Ketidakjelasan jalur komunikasi pada masa pengembangan dan perawatan sistem. Kakas yang digunakan dalam pengembangan memiliki keterbatasan. Infrastruktur pengembangan untuk aspek pengetahuan kurang menunjang. Tidak ada dukungan dari top management. Kurangnya jumlah programmer pada masa perawatan.
2
3
4
5.
Interupsi pada proses pengembangan.
Dokumentasi pengembangan tidak lengkap.
Masalah pada manajemen proyek pengembangan perangkat lunak
Keterbatasan infrastruktur pengembangan.
Keterbatasan jumlah staf.
Kode / Label P23, P15 P12, P19 P15 P14 P10, P14 P21, P22, P24 P24 P22, P26 P20 P4 P17 P3 P11
138
No. Kategori
6
Keterbatasan kemampuan staf teknologi informasi.
7
Efek ketidaksempurnaan sistem informasi lama.
8
Proses pengembangan tidak efisien dan efektif untuk menghasilkan sistem informasi yang sesuai daftar kebutuhan awal. Masalah yang muncul pada proses penanganan bug.
9
10
Kesalahan strategi perpustakaan
Konsep Kurangnya jumlah staf yang terlibat dalam proses pengembangan baik pustakawan, maupun programmer. Keterbatasan wawasan programmer dan system analyst tentang teknologi yang diperlukan. Ketidakmampuan programmer dan system analyst mengelola perawatan perangkat lunak. Kecenderungan programmer sulit berkomunikasi. Ketidakmampuan programmer dan system analyst mengelola proyek pengembangan. Kekurangan sistem informasi lama. Pengoperasian sistem informasi baru tidak maksimal. Proses pengembangan tidak efisien dan efektif untuk menghasilkan sistem informasi yang sesuai daftar kebutuhan awal. Kakas identifikasi bug tidak digunakan secara maksimal. Tidak ada penentuan klasifikasi dan prioritas bug Proses transfer pekerjaan antar programmer menjadi lambat Ketidakjelasan jalur komunikasi pada masa pengembangan dan perawatan sistem. Adanya lingkungan informasi baru (search engine, situs-situs informasi), dan jurnal elektronik yang didorong oleh teknologi baru, yaitu internet. Adanya kesalahan pemilihan teknologi yang mendasari pengembangan sistem informasi baru (untuk bagian kakas otomasi).
Kode / Label P3a, P3b, P23 P2 P18, P29, P30 P13 P28 P5, P6, P7 P1, P8, P9 P25
P16 P18 P10, P14 P20 P27
P2, P27, P31