DAFTAR PUSTAKA
---. 2004. Branding Design. Graphic-sha Publishing Co. Ltd.: Tokyo. Abriyanto, M.; Sinaulan, Hans; Supit, Ratty & Sutanto, Trisno S. 1994. Garuda Indonesia: A Journey of Dedication. PT. Garuda Indonesia: Jakarta. Bulletin “Rajawali View”. Edisi 25 IXII 2005. Burtenshaw, Ken, Mahon, Nik & Barfoot, Caroline. 2006. The Fundamentals of Creative Advertising. Ava Book: Switzerland. Cullen, Dangel Cherryl; Cyr, Lisa L. & Hickey, Lisa. 2007. The Little Book of Big Promotions. Rockport Publishers, Inc.: Gloucester. Garuda Indonesia Annual Report 2003. Garuda Indonesia Annual Report 2004. Garuda Indonesia Corporate Profile 1997. Hidayat, Wisnu. General Manager Visual Communication and Multimedia, PT. Garuda Indonesia. Wawancara pada hari Selasa, 20 Maret 2007. Kusbiantoro, Henricus. Pakar branding, alumni Desain Komunikasi Visual ITB. Wawancara via email pada hari Sabtu, 3 Maret 2007. Majalah “Cakram Fokus”. Edisi Top Brand, Oktober 2006. Majalah “Garuda”. Edisi Februari 2007. Majalah “Garuda”. Edisi Maret 2007. Peters L., Robert. 2005. Worldwide Identity: Inspired Designs from Forty Countries. PageOne: Singapore. Richter, Anne. 1993. Arts and Crafts of Indonesia. Thames and Hudson, Ltd.: London. Sidik, Fajar. VP Internal Services, PT. Garuda Indonesia. Wawancara pada hari Jumat dan Senin, 2 dan 5 Maret 2007. Tjiptono, Fandy. 2005. Brand Management & Strategy. Penerbit ANDI: Yogyakarta. Visual Identity Program CD-ROM Garuda Indonesia. Situs Internet: http://www.liladesign.com, terakhir diakses 20 Maret 2007. http://www.aerobrand.com, terakhir diakses 24 Februari 2007. http://www.asiamedia.ucla.edu/article.asp?parentid=65371, terakhir diakses 15 Maret 2007. http://www.travelweeklyweb.com/industryLinks.asp?id=2&page=9, terakhir diakses 15
50
Maret 2007. http://news.bbc.co.uk/1/hi/uk/1325127.stm, terakhir diakses 15 Maret 2007. http://en.wikipedia.org/wiki/British_Airways, terakhir diakses 15 Maret 2007. http://en.wikipedia.org/wiki/British_Airways_ethnic_liveries, terakhir diakses 15 Maret 2007. http://www.garuda-indonesia.com, terakhir diakses 24 Februari 2007. http://english.people.com.cn/200601/07/eng20060107_233617.html, terakhir diakses 24 Februari 2007. http://www.dotars.gov.au/transport/security/aviation/factsheet/fact14.aspx, terakhir diakses 15 Maret 2007. http://www.brandchannel.com/features_profile.asp?pr_id=250, terakhir diakses 15 Maret 2007. http://www.baliblog.com/travel-tips/garuda-indonesia-dealing-with-its-corruptionproblems.html, terakhir diakses 15 Maret 2007. http://en.wikipedia.org/wiki/Garuda_Indonesia, terakhir diakses 15 Maret 2007. http://www.airlinequality.com/Forum/garuda.htm, terakhir diakses 15 Maret 2007. http://www.answers.com/topic/garuda-indonesia, terakhir diakses 15 Maret 2007. http://www.iata.org/NR/ContentConnector/CS2000/Siteinterface/sites/legal/file/warsaw. pdf, terakhir diakses 15 Maret 2007. http://www.leecollins.co.uk/batails.htm, terakhir diakses 23 Februari 2007. http://en.wikipedia.org/wiki/Malaysia_airlines, terakhir diakses 15 Maret 2007. http://en.wikipedia.org/wiki/Warsaw_convention, terakhir diakses 1 Maret 2007. http://www.airlinequality.com/news/080306-qatar.htm, terakhir diakses 1 Maret 2007. http://www.findarticles.com/p/articles/mi_qn4158/is_19990608/ai_n14231394, terakhir diakses 10 Maret 2007. http://www.airasia.com, terakhir diakses 10 Maret 2007. http://www.cta-otc.gc.ca/air-aerien/regs/bgrnd_e.html, terakhir diakses 15 Maret 2007. http://www.qantas.com, terakhir diakses 15 Maret 2007. http://www.dephub.go.id, terakhir diakses 10 Juni 2007.
51
DAFTAR LAMPIRAN
1. Rangkuman sejarah perusahaan PT. Garuda Indonesia (1949 – 2007) 2. Daftar armada PT. Garuda Indonesia 2007 3. Tabel Spesifikasi Karya 4. Tabel Produksi dan Aplikasi Livery
52
FAKTA SINGKAT PERUSAHAAN
Didirikan: 26 Januari 1949
Tipe perusahaan: Badan Usaha Milik Negara (BUMN) / State-owned company
Alamat: PT. Garuda Indonesia Jalan Merdeka Selatan No. 13 Jakarta 10110 Indonesia
Telepon: (62-21) 23111801
Faksimili: (62-21) 2311962
Situs web: http://www.garuda-indonesia.com
Jumlah pegawai: 6.251 (2005)
Kode IATA: GA
Kode ICAO: GIA
Callsign: INDONESIA
Hub/basis: •
Soekarno-Hatta International Airport
•
Ngurah Rai International Airport
•
Juanda International Airport
•
Polonia International Airport
•
Singapore Changi Airport
Jumlah armada: 49 (Maret 2007)
Jumlah rute: 56 (termasuk Citilink, tidak termasuk codeshare)
Anak perusahaan: PT Aerowisata, PT Abacus Distribution System Indonesia (95%), dan PT Gapura Angkasa (60%)
Kompetitor utama: Domestik – Lion Air, Air Asia Internasional – Singapore Airlines, Malaysia Airlines, Thai Airways, Air Asia
53
RANGKUMAN SEJARAH PERUSAHAAN PT. GARUDA INDONESIA (1949 – 2007) 1.
Pendirian Awal pendirian Garuda tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan mempersatukan Republik Indonesia yang ketika itu masih mengalami Agresi Militer Belanda tahun 1948. Indonesia belum memiliki pengakuan kedaulatan dari Belanda. Ketika itu pangkalan angkatan udara Indonesia (AURI) di Yogyakarta disergap oleh Belanda sehingga menyulitkan transportasi udara, terutama untuk Presiden Soekarno bepergian. Hal ini menimbulkan rasa was-was di diri Soekarno sehingga pada suatu saat beliau meminta pada pengusaha Aceh untuk dapat menyumbangkan pesawat bagi Indonesia. Pesawat dari Singapura yang diberi nama “Seulawah” oleh Soekarno itupun diserahkan, senilai 120,000 ringgit. Pemerintah Indonesia ketika itu membelinya dengan cara mengekspor kopra dari Sumatera Utara ke Penang, Malaysia; karena pengusaha Aceh itu memiliki hubungan dengan importir di sana. Mulailah Seulawah (jenis pesawat Dakota) menghubungkan kota-kota Indonesia terutama di Sumatera, karena AURI memiliki pangkalan sementara di pulau ini, yaitu di Pekanbaru, Riau. Setelah beberapa lama beroperasi di dalam negeri, Seulawah mengalami masa overhaul (perawatan) yang dilakukan di fasilitas di Kalkuta, India. Keadaan Agresi Militer makin memuncak dan tidak memungkinkan Seulawah untuk kembali ke nusantara untuk sementara. Karena biaya perawatan di darat sangat mahal, maka diputuskanlah untuk menawarkan jasa penerbangan sipil kepada pemerintah India. Pemerintah India menolak dengan alasan sudah ada jasa penerbangan yang dioperasikan Air India pada masa itu. Pemerintah Indonesia lantas menawarkan jasa yang sama pada pemerintah Burma (sekarang Myanmar), yang ketika itu sedang mengalami masa sulit akibat perang dengan komunis. Penawaran tersebut pun diterima pemerintah Burma. Jasa aviasi kepada pemerintah Burma ini menghasilkan keuntungan yang dapat membiayai biaya operasional, pendidikan/pelatihan pilot di luar negeri dan pembelian pesawat baru. Keuntungan ini juga bahkan dapat mendanai pengeluaran perwakilan pemerintah Indonesia di luar negeri. Babak baru bagi para penerbang dari AURI ini dimulai ketika Belanda akhirnya mengakui kedaulatan RI pada 1949. Pemerintah Indonesia kemudian menandatangani kerjasama dengan Belanda untuk mendirikan perusahaan penerbangan nasional. Penerbangan Indonesia lantas dinamakan Indonesian Airways. Kerjasama dengan KLM
54
(maskapai penerbangan Belanda) ini memberi sumbangan sumber daya manusia seperti pilot-pilot dan bantuan finansial. Kepemilikan antara kedua perusahaan adalah 50-50. Tak disangka, hubungan ini putus ketika isu Irian Barat memuncak. Pemerintah Indonesia menganggap ini kesempatan bagus untuk menasionalisasi perusahaan, yang kemudian dilanjuti dengan membeli lagi saham 50% yang dipegang KLM. Setelah konversi, karena semua pilot Indonesian Airways berlatarbelakang militer/AURI, maka diadakanlah ujian konversi yang menjadikan mereka pilot sipil walaupun pada tahun-tahun setelah itu masih ditarik menjadi pilot militer dalam rangka operasi militer pemerintah. Ketika Irian Barat kembali pada bumi pertiwi tahun 1963 Indonesian Airways mulai bergeliat lagi, meningkatkan jajaran armada dan rutenya hingga ke Tokyo, meningkatkan layanan dalam penerbangan (in-flight) dan kembali bekerjasama dengan KLM untuk saling mewakili perusahaannya di negara masing-masing. Indonesian Airways mulai membuka rute ke Amsterdam tahun 1965 dengan rute panjang Jakarta-Bangkok-Bombay-Kairo-Roma-Prague-FrankfurtAmsterdam. 2.
Perkembangan Orde Baru Sejak dipimpin Wiweko Supono tahun 1968, Indonesian Airways yang ketika itu sudah berganti nama menjadi Garuda Indonesian Airways (GIA) mengalami babak baru. Fokus utamanya adalah bisnis dengan fokus pada pengembangan/pembaharuan armada dan penambahan rute. Pada 1975 GIA berubah statusnya menjadi Perseroan Terbatas dari Perusahaan Negara, membolehkannya untuk membuat pinjaman di bank-bank internasional. Pada era ini juga GIA ikut membantu pemerintah dan ABRI memfasilitasi perjuangan di Timor Timur. GIA kemudian turut mengakuisisi Merpati Nusantara Airlines, sebuah perusahaan penerbangan swasta yang hampir bangkrut. Dana sejumlah 18 juta dollar Amerika disuntik ke perusahaan tersebut dan Merpati pun mulai berkembang menjadi maskapai perintis di nusantara. Pada tahun 1979, hari pendirian GIA ditentukan pada tanggal 26 Januari 1949. Pada tahun ini GIA genap berusia 30 tahun. Isi pidato Wiweko Supono pada perayaan ulang tahun itu adalah bahwa ia ingin GIA bisa lebih mandiri. Walau menunjukkan perkembangan baik, GIA dikritik masyarakat dan media karena servisnya di bawah standar, namun ditimpali oleh Wiweko bahwa GIA fokus pada jasa inti yaitu mengantarkan penumpang dari satu titik ke titik lainnya, bukan pada hal-hal ekstra yang konsumtif sifatnya. Namun beberapa saat setelah itu beliau mengakui bahwa seiring dengan bertambahnya armada, maka diperlukan servis in-flight yang
55
lebih profesional dan nyaman. Wiweko dikenal sebagai pribadi yang keras dan disiplin dalam memimpin perusahaan, hal ini untuk meraih masa depan yg lebih cerah. Para karyawan pada saat itu menganggap bahwa masa-masa Wiweko adalah masa-masa “mengencangkan ikat pinggang”. Namun hal ini tidak tanpa hasil, Beberapa pesawat baru seperti Boeing 747 dan Airbus A300 dibeli pada masa ini. Pemasukan dari perjalanan luar negeri juga mengambil porsi besar. Serah terima dari Wiweko kepada Lumenta pada tahun 1984 menandakan pergantian yang cukup berarti. GIA pimpinan Wiweko berkembang menjadi salah satu maskapai terbesar di dunia yang cukup sukses. Lumenta, bagaimanapun, bukan calon favorit. Sebagai seorang yang berlatarbelakang teknik, ia dianggap hanya akan fokus pada halhal teknis seperti perawatan dan teknologi. Namun ternyata banyak orang salah menilainya. Visinya lebih luas dari itu, yaitu memperbaiki manajemen internal dan etika kerja. Beliau sangat sadar akan citra. Pada masa kepemimpinan Lumenta jugalah, identitas korporat GIA diperbaharui dari logo berbasis tipografi dengan warna korporat merah menjadi logo yang sekarang. Identitas baru ini memakan biaya USD1,1 juta oleh Walter Landor Associates di Amerika Serikat dan memakan waktu riset dua tahun, dan nama perusahaan menjadi lebih singkat yakni Garuda Indonesia (GI). Lumenta ingin agar GI dapat bersaing dengan semakin modernnya armada-armada pesaing. Seluruh operasi GI juga dipindah dari Kemayoran dan Halim Perdanakusuma ke bandara baru di Cengkareng. Masa kepemimpinan Lumenta ditandai dengan hubungan antar karyawan yang makin melekat dengan diadakannya pertemuan akbar tahunan antar karyawan, fokus pada peningkatan pelayanan, teknologi dan armada dan orientasi pada pasar-pasar baru terutama internasional. Garuda Maintenance Facility (GMF) dan Garuda Indonesia Training Center (GITC) juga didirikan untuk memfasilitasi prosedur perawatan dan pendidikan calon-calon karyawan. Lumenta digantikan oleh M. Soeparno pada tahun 1988. Pada masa M. Soeparno GI meneruskan program-program sebelumnya, terutama pada peningkatan manajemen dan pelayanan intra-perusahaan maupun antar perusahaan dengan konsumen/mitra. Program pariwisata pemerintah "Visit Indonesia Year 1991" dicanangkan dan GI memegang peran dengan memasang logo kampanye tersebut di badan armadaarmadanya. Pada tahun 1991 ada polemik yang berbicara mengenai kemungkinan GI diprivatisasi, yang menimbulkan pro dan kontra di banyak kalangan, walau pada akhirnya tidak jadi karena GI dianggap sebagai aset vital negara.
56
Tahun-tahun ini juga ditandai dengan mulai masuknya pemain-pemain baru di bidang transportasi udara, dengan masuknya Sempati Air, Mandala dan Bouraq. GI juga mulai memperbanyak rute, terutama di Australia, Selandia Baru, Jepang dan Vietnam. Armadanya juga dimodernisasi dengan membeli/mengganti pesawat lama dengan pesawat baru seperti MD-11. 3. Di Ambang Krisis dan Masa Reformasi Garuda baru saja hendak mengembangkan bisnisnya secara agresif pada tahun 1996 dengan menambah armada baru dari Boeing, sebelum diterpa oleh krisis ekonomi Asia. Dengan nilai mata uang Rupiah yang jatuh dan menukiknya biaya operasional, Garuda terpaksa membatalkan pesanan, bahkan menjual 20 pesawat dan beberapa aset lainnya. Wacana privatisasi mencuat pada tahun 1997 yang kemudian tidak diteruskan pada tahun 1998. Penghentian hubungan kerja (PHK) dilakukan terhadap 3.000 karyawan dari total 13.000 karyawan pada masa itu. Tarif penerbangan juga terpaksa dinaikkan. Setelah semua usaha itu, Garuda masih mengalami utang sebesar USD1,8 milyar. Bagaimana pun, Garuda berhasil meraih keuntungan pertamanya sejak krisis ekonomi pada tahun 1999 dan banyak pihak memuji usaha perbaikan tersebut. Beberapa isu menjadi pertimbangan bagi pertumbuhan Garuda setelah itu. Pada kurun waktu 2000 hingga 2001 pemerintah Indonesia menerbitkan regulasi yang mendorong masuknya/didirikannya perusahaan penerbangan baru. Sekitar selusin maskapai baru muncul di Indonesia. Serangan 11 September 2001 di World Trade Center, New York, Amerika Serikat membuat negara adidaya tersebut mengeluarkan Travel Warning. Lalu pada tahun 2003, endemi SARS, bom Bali, perang Irak mengguncang industri penerbangan, tidak luput pada Garuda. Garuda mencoba melihat ulang opsi privatisasi dan memandirikan bisnis maintenancenya. Persaingan maskapai dalam negeri masih terjadi hingga saat ini dan bertambah sengit. Walaupun Garuda menguasai sekitar 50% pasar domestik, marjin operasionalnya hanya setengah porsi dari sebelumnya. Garuda masih berusaha meraih pasar domestik seperti halnya sebelum 1996. Pada September 2003, Garuda menandatangani kesepakatan dengan Malaysia Airlines untuk menggunakan Kuala Lumpur International Airport sebagai basis kedua, serta menggunakan fasilitas pengelolaan di sana. Selain itu, Garuda juga sepakat untuk joint flight route dengan Malaysia Airlines ke rute-rute Eropa. Tahun 2005, perusahaan mencanangkan program pemulihan bisnis yang berorientasi pada revitalisasi positioning menjadi customer-centric company, yaitu perusahaan yang
57
selain membawa citra bangsa, juga handal dalam bisnis dan pelayanan. Hal ini diwujudkan melalui program yang dinamakan “New Direction 2005 – 2010” yang dapat dirinci menjadi tiga tahap:
Tahap Survival (2005 – 2006), diarahkan untuk menata ulang kegiatan operasi dengan tujuan utama menjadikan Garuda tepat waktu dan layanan prima
Tahap Turnaround (2007 – 2008), diarahkan untuk memperbaiki organisasi dan manajemen internal untuk menyejajarkan dengan maskapai internasional lain
Tahap Growth (2009 – 2010), diarahkan untuk meningkatkan operasi dan bisnis agar dapat melayani beragam tujuan penerbangan di dunia.
Saat ini, Garuda Indonesia menjadi maskapai nasional dengan rute internasional terbanyak di antara maskapai-maskapai nasional lainnya. Ia juga memiliki armada terbesar di antara maskapai domestik, dan unggul (posisi pertama untuk kategori perusahaan angkutan udara berpenumpang 30 ke atas) dalam audit Departemen Perhubungan Republik Indonesia mengenai Penilaian Kinerja Operasional Perusahaan Angkutan Udara Niaga dalam Pengoperasian Pesawat Udara yang diterbitkan di situs web resminya tanggal 23 Maret 2007.
58
DAFTAR ARMADA GARUDA INDONESIA 2007 Jumlah armada (fleet plan) Garuda Indonesia berubah dari waktu ke waktu, terbesar dan termodern pada dekade 90-an awal. Pada tahun 2007, seperti dilansir majalah in-flight Garuda, armada Garuda terdiri dari: Boeing 747-400 Jumlah beroperasi: 3 unit Range: 14,180km Kapasitas penumpang: 42 Executive, 386 Economy Kru: Kokpit 2 orang, kabin 16 Airbus A330-300 Jumlah beroperasi: 6 unit Range: 4,500 mil Kapasitas penumpang: 42 Executive, 251 Economy Kru: Kokpit 2 orang, kabin 12 orang Boeing 737-800NG Jumlah beroperasi: 2 unit Range: 5,425km Kapasitas penumpang: 12 Executive, 144 Economy Kru: Kokpit 2 orang, kabin 6 orang Boeing 737-400 Jumlah beroperasi: 19 unit Range: 14 atau 16 Executive, 120 Economy Kru: Kokpit 2 orang, kabin 5 orang Boeing 737-300 Jumlah beroperasi: 12 unit Range: 3,515km Kapasitas penumpang: 16 Executive, 94 Economy Kru: Kokpit 2 orang, kabin 5 orang Boeing 737-500 Jumlah beroperasi: 5 unit Range: 3,515km Kapasitas penumpang: 12 Executive, 84 Economy
59
Kru: Kokpit 2 orang, kabin 5 orang Boeing 737-300 (digunakan untuk Citilink) Jumlah beroperasi: 2 unit Kapasitas penumpang: 148 penumpang (Economy) Kru: Kokpit 2 orang, kabin 3 orang Garuda akan menambah armada Boeing 737-800NG sebanyak 2 (dua) unit lagi pada Agustus dan Oktober 2007. Mulai tahun 2012 Garuda Indonesia akan menerima 10 unit Boeing 737-8 Dreamliner.
60
Tabel Spesifikasi Karya No.
Karya
Bahan/Materi
Teknik Produksi
Contoh Biaya Produksi
Cat*
Pengelupasan,
Pengelupasan:
2 unit
Pengecatan
Rp 90.000.000,-
/Alat 3.
Livery
Pengecatan: Rp 500.000.000,Grounding fee: Rp 500.000.000,- x 7 = Rp 3.500.000.000,Total: Rp 4.090.000.000,untuk satu pesawat. 4.
Situs Web
-
Adobe Flash dan
Produksi:
xHTML, situs
Rp 70.000.000,-
bernaung di bawah
Pengelolaan:
situs Garuda
Rp 2.000.000 per bulan
Indonesia resmi, berbentuk popup window (fixed size). 5.
Pameran Portabel
Popup Display 3
– Besar
unit (3,365m x
3 x Rp13.000.000,- = Rp
2,220m), FlexyFace
39.000.000,-
Frontlit
Cetak:
Komputer LCD
3 x 7,47m2 x Rp
layar sentuh atau
210.000,- =
trackball 1 unit
Rp 4.706.289,-
Digital Super Hires
Popup Display:
Komputer: Rp7.000.000,6.
Pameran Portabel
Popup Display 3
– Kecil
unit (3,365m x
1 x Rp13.000.000,- = Rp
2,220m),
13.000.000,-
FlexyFace Frontlit
Cetak:
Komputer LCD
1 x 7,47m2 x
layar sentuh atau
Rp 210.000,- =
trackball 1 unit.
Rp 1.568.763,-
Digital Super Hires
Popup Display:
Komputer (dua unit): Rp 14.000.000,-
61
7.
Banner Gantung
4 unit, FlexyFace
Digital Super Hires
Cetak:
Frontlit (3,365m x
4 x 1,62m2 x Rp
2,220m),
210.000,- =
digantung dengan
Rp 1.360.800,-
pemberat pasir, tali nilon. 8.
Poster @
Art paper 220 gsm
Separasi
54cm x 35cm
Film: Rp 160 x 54cm x 35cm= Rp 302.400,Proof print: Rp 100 x 54cm x 35cm= Rp 189.200,Plat: 4 x Rp160.000,- = Rp 640.000,Kertas: Rp 150.000/rim x 6 = Rp 800.000,-
11. 12.
Ticket Holder dan
Art paper/Matte
Boarding Pass
paper 100 gsm
Kaos
Katun/combat
Separasi Cetak
Rp 60.000, - x 100 = Rp 6.000.000,-
13.
Kalender Meja
Art paper 220 gram
Separasi, Jilid ring
14.
Payung & Tote
Bahan payung
Sablon
Rp 10.000.000,-
Bag
standar, katun Cetak
Rp 20.000.000,-
atau denim 15.
Mousepad,
Standar
Pulpen, Pin dan Lencana *) Dapat juga menggunakan teknik stiker 3M di bawah program Paintless Aircraft Program jika daya tahannya sudah teruji (butuh riset lebih lanjut). Catatan: Spesifikasi di atas hanyalah gambaran, berdasarkan data yang didapat dari berbagai sumber. Khusus untuk livery, data tentang teknis dan biaya produksi tidak dapat dipenuhi secara lengkap karena keterbatasan waktu, tempat dan biaya. Untuk lebih jelasnya lagi mengenai livery, silakan rujuk lembar Tabel Produksi dan Aplikasi Livery di lampiran.
62
63