VIDEO SEMINAR
Daftar isi Susunan Acara Kata Pengantar Makalah Kebijakan 1. Interoperabilitas Kebijakan dalam Pembangunan Perpustakaan Digital Nasional Indonesia oleh Lilik Soelistyiowati. 2. Dukungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur terhadap Pembangunan TIK Perpustakaan oleh DR. H. Iriyanto Lambrie (Sekda Prov. Kaltim). 3. Peningkatan Efisiensi & Efektivitas Melalui Interoperabilitas Perpustakaan Digital Oleh: Zainal A. Hasibuan, Ph.D 4. Peran Perpustakaan Digital Dalam Pembangunan Masyarakat Berbasis Pengetahuan oleh DR. Putut Irwan Pudjiono, MSc. (PDII-LIPI).
Makalah Undangan (invited) 5. Interoperabilitas Sebagai Kebijakan Teknologi oleh Putu Laxman Pendit, Ph.D 6. Penggunaan Control Vocabularies untuk memastikan Interoperabiliti dengan Perpustakaan Dunia dan Memenuhi Kebutuhan Pengguna di Indonesia oleh Tanya Torres 7. Perpustakaan digital dalam Kurikulum Pendidikan Ilmu Perpustakaan oleh Sulistyo Basuki Ph.D 8. Penerapan IndoMARC Sebagai Format Standar Data Bibliografis Dalam Pembangunan Katalog Induk Nasional oleh Dra. Dina Isyanti, MSi. Call for papers 9. Jaringan Perpustakaan Digital Di Indonesia: Pembelajaran Dari indonesiadln, Inherent, Jogjalib or All, Garuda Dan Jogjalib.Net Oleh Arif Surachman, S.I.P. 10. Layanan Copy Cataloging: Indonesia Ketinggalan 40 Tahun! Oleh B. Mustofa, MLS. 11. Persepsi Stakeholders Terhadap Sistem Interoperabilitas Perpustakaan Digital Oleh Wanda Listiani, M.Ds 12. Interoperabilitas Antarsistem Dan Antarkomunitas: Studi Kasus Perpustakaan Universitas Atma Jaya Yogyakarta Oleh: Tri Susiati 13. Perkembangan Komunikasi Data Pada Aplikasi Gdl 5.0 Oleh : Djembar Lembasono 14. Analisis Semantik Untuk Pengembangan Semantic-Web Dalam Sistem Informasi Perpustakaan Oleh: Retno Asihanti Setiorini, S. Hum.
15. Tantangan Menuju Interoperabilitas Akses Dan Koleksi Perpustakaan Digital Di Indonesia -- Oleh: Alberto Pramukti Narendra, SS. 16. Pemanfaatan Cloud Computing untuk Mendukung Perpustakaan Berbasis Digital -- Oleh Yoki Muchsam. 17. Hasil rapat pleno Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia (KPDI) ke 4. Daftar peserta seminar
Kata Pengantar Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia (KPDI) Ke-4 Samarinda, 8 - 10 November 2011 Perkembangan TIK membuka peluang bagi setiap perpustakaan konvensional untuk mulai membangun koleksi bahan perpustakaan digitalnya untuk dilayankan kepada pemakainya. Teknologi jaringan juga membuka peluang bagi perpustakaan untuk memanfaatkan bersama (sharing) sumber informasi digital yang dimiliki, yaitu dengan menyediakan akses bagi perpustakaan lain ke koleksi digital miliknya dan sebaliknya, mengakses koleksi digital milik perpustakaan lain. Dengan demikian peluang suatu perpustakaan untuk dapat memenuhi kebutuhan informasi pemustaka masing-masing semakin besar. Peralihan dari tahap pengembangan koleksi digital yang berdiri sendiri ke tahap pengembangan jejaring “perpustakaan digital” untuk pemanfaatan bersama sumber informasi yang dimiliki tentunya bukan merupakan proses yang sederhana. Salah satu prasyarat yang harus dipenuhi agar jejaring perpustakaan digital dapat beroperasi sebagaimana yang diharapkan adalah terwjudnya interoperabilitas antar perpustakaan anggotanya. Saat ini di Indonesia telah dikembangkan sejumlah jejaring perpustakaan digital, baik yang dibangun berdasarkan kesamaan komunitas pemakainya, jenis perpustakaan, layanan, maupun koleksinya.
Mengingat pentingnya peran interoperabilitas, maka ditetapkan bahwa tema penyelenggaraan Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia Ke-4 (KPDI-4) yang berlangsung di Samarinda Kalimantan Timur adalah “Interoperabilitas Sistem Perpustakaan Digital”. Saat ini di Indonesia telah terbentuk beberapa jaringan-jaringan perpustakaan digital, baik yang dibangun berdasarkan kesamaan jenis perpustakaan, layanan, maupun koleksinya. Melalui KPDI-4 diharapkan akan semakin terbangun kesadaran para pengelola perpustakaan akan pentingnya mewujudkan interoperabilitas antar anggota jejaring agar Perpustakaan Digital Nasional Indonesia segera dapat terwujud dan berfungsi sebagaimana yang diharapkan.
Penyusun
SUSUNAN ACARA KPDI 4 Selasa, 8 November 2011 WAKTU ACARA 12.00 - 18.00
Registrasi
14.00
Check in
16.00 - 16.30
Pembukaan
17.00 - 17.30
Keynote Speech
17.30 - 19.00
Ishoma
19.00 - 20.00
20.00 - 21.00
Sesi Kebijakan
Sesi Kebijakan
JUDUL
OLEH
1. Laporan panitia 2. Sambutan Kepala Perpusnas 3. Sambutan Gubernur Kaltim
1. Kepala Bapusprov. Kaltim 2. Dra. Hj. Sri Sularsih M. Si 3. H. Awang Faroek Ishak
Recent developments of digitization in Germany and Europe
Christel Mahnke, Goethe Institut
1. Peningkatan Efisiensi dan Efektifitas Melalui Interoperabilitas Perpustakaan Digital 2. Interoperabilitas Kebijakan dalam Pembangunan Perpustakaan Digital Nasional Indonesia
1. Dewan TIK Nasional (Ir. Zainal Hasibuan, PhD) 2. Deputi Bidang Pengembangan Bahan Pustaka
dan Jasa Informasi. (Dra. Lilik Soelistyowati, MM) 1. Dukungan Pemerintah Provinsi 1. H. Iriyanto Lambrie (Sekda Prov. Kalimantan Timur terhadap Kaltim) Pembangunan TIK Perpustakaan 2. Peran Perpustakaan Digital Dalam 2. DR. Putut Irwan Pudjiono, MSc. (PDIIPembangunan Masyarakat Berbasis LIPI) Pengetahuan
Rabu, 9 November 2011 07.30 - 08.00 Breakfast (Untuk yang menginap di Hotel Mesra) 1. Interoperabilitas dalam Pengembangan Perpustakaan Digital: Sisi Pandang Kebijakan Teknologi 2. Penggunaan Controlled Vocabularies untuk memastikan Interoperabilitas dengan Perpustakaan Dunia dan Memenuhi Kebutuhan Pengguna di Indonesia 1. Interoperabilitas dalam konteks pendidikan pustakawan di Indonesia 2. Penerapan IndoMARC Sebagai Format Standar Data Bibliografis dalam Pembangunan katalog Induk Nasional
08.00 - 09.00
09.00 - 10.00
10.00 - 10.30 Rehat Kudapan 10.30 – 12.00 Sponsor 1. 2. 3. 4. 5. 12.30 - 13.30 Ishoma
2. Tanya Torres
1. Sulistyo Basuki, Ph.D 2. Dra. Dina Isyanti, M.Si
Presentasi ProQuest Presentasi Quadra Solution Presentasi 3M Presentasi Ebsco Host Presentasi Ina Publikatama
Parallel 13.30 - 14.30
1. Putu Laxman Pendit, Ph.D
Call For Paper 1. Jaringan
Ruangan II
Ruangan I Perpustakaan
Digital
Di 1. Persepsi
Stakeholders
Terhadap
Indonesia: Pembelajaran Dari Indonesiadln, Inherent, Jogjalib for All, Garuda Dan Jogjalib.Net – Oleh: Arif Surachman, S.I.P.
Sistem Interoperabilitas Perpustakaan Digital – Oleh: Wanda Listiani, M.Ds
2. Interoperabilitas Antarsistem Dan 2. Interoperabilitas Copy Cataloging Antarkomunitas: Studi Kasus Dalam Sistem Union Catalog - Oleh: B. Perpustakaan Universitas Atma Jaya Mustofa, MLS Yogyakarta – Oleh: Tri Susiati 1. Perkembangan Komunikasi Data Pada 1. Tantangan Menuju Interoperabilitas Aplikasi Gdl 5.0 – Oleh : Djembar Akses Dan Koleksi Perpustakaan Lembasono Digital Di Indonesia - Oleh: Alberto Pramukti Narendra, SS
14.30 - 15.00
Call For Paper 2.
15.00 - 15.30 15.30 - 17.00 17.00
Analisis Relasi Makna Pada Kata Kunci 2. Pemanfaatan Cloud Computing untuk Artikel Ilmiah Di Pangkalan Data– Mendukung Perpustakaan Berbasis Oleh: Retno Asihanti Setiorini, S. Hum Digital – Oleh: Yoki Muchsam
Rehat Kudapan Tentang KPDI Penutupan Makan malam Ramah tamah dan hiburan 19.00 - 21.00
Ketua Panitia Pengarah KPDI
Kamis, 10 November 2011 07.00 - 08.00 Breakfast (Untuk yang menginap di Hotel Mesra) Kunjungan ke Badan Perpustakaan Kaltim dan Museum Mulawarman di Tenggarong 08.00 - 12.30 Makan Siang 12.30 14.00
Kembali ke Hotel Check Out
KEBIJAKAN 1. Putut Irwan Pudjiono 2. Lilik Soelistyowati 3. Zainal A. Hasibuan (Modifikasi dari PPT) 4. Iriyanto Lambrie
Peran Perpustakaan Digital dalam Pembangunan Masyarakat Berbasis Pengetahuan Putut Irwan Pudjiono
[email protected];
[email protected], Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Gedung PDII LIPI, Jl. Gatot Subroto Kav 10 Jakarta, 12710, http://www.pdii.lipi.go.id, PO Box 4298 Jakarta, Telp 021 5733465, Fax 0215733467, e-mail:
[email protected] Abstrak Diseminasi informasi yang dilaksanakan oleh perpustakaan merupakan salah satu alur penting dalam pembentukan masyarakat berbasis pengetahuan. Masyarakat yang inovatif, berdaya saing, dan memiliki ketahanan yang kuat dapat terbangun jika informasi yang memiliki nilai positif terhadap kehidupan dapat terus dialirkan ke masyarakat secara efektif. Perubahan paradigma dan tuntutan masyarakat terhadap perpustakaan telah bergeser terutama didorong leh perkembangan teknologi digital. Teknologi ini telah mengubah cara masyarakat mengapresiasi dan mengakses informasi. Perubahan paradigma tersebut harus diantisipasi bahkan dipandang perlu agar perpustakaan melakukan reposisi supaya dapat menjalankan fungsinya sebagai pusat repository informasi secara berkesinambungan.
Pendahuluan Data dan informasi merupakan akar yang akan membangun pengetahuan dan kearifan masyarakat yang dapat bermuara pada pembentukan keunggulan bahkan budaya masyarakat. Informasi atau data yang kita dapatkan akan terekam dalam ingatan dan dapat menjadi pengetahuan setelah kita ingin menggunakannya untuk menjelaskan, menjawab, atau menyelesaikan suatu masalah pada konteks tertentu. Secara umum dipercaya bahwa inovasi dapat terpacu pertumbuhannya dengan dihadapkannya akumulasi pengetahuan yang dimiliki seseorang atau
kelompok dengan tantangan dan ancaman yang harus diatasi, termasuk di dalamnya dorongan kebutuhan untuk membentuk keunggulan dalam arena persaingan. Pengetahuan yang terakumulasi dan telah melekat menjadi bagian dari kehidupan trersebut dapat membentuk kearifan-kearifan yang merupakan bagian dari salah satu pembangun kearifan individu maupun masyarakat. Praktek kearifan dalam kehidupan masyarakat merupakan akar bagi pembentukan budaya yang dapat berkembang menjadi media yang subur bagi pertumbuhan masyarakat erbasis pengetahuan, inovatif dan berdaya saing. Uraian ringkas di atas dapat dijadikan alur pemikiran yang menjelaskan pentingnya posisi data dan informasi pada proses pembentukan masyarakat berbasis pengetahuan yang inovatif dan berdaya saing. Berdasarkan hal itu, pengelolaan data dan informasi, selanjutnya disebut informasi saja, merupakan kegiatan yang perlu diutamakan dan terus dikembangkan serta diperkuat sesuai dengan perkembangan teknologi serta kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Perpustakaan merupakan salah satu pengelola informasi yang telah dan akan terus memberi manfaat yang banyak bagi masyarakat. Adopsi teknologi digital saat ini sudah disadari telah menjadi keniscayaan bagi perpustakaan agar dapat melangsungkan proses layanan informasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pengelolaan informasi pengetahuan
dan
pembentukan
masyarakat
berbasis
Gambar 1 menunjukkan skema pengelolaan informasi ilmiah yang dilaksanakan oleh PDII-LIPI1) sebagai dasar pembicaraan. Pengelolaan tersebut secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga alur atau siklus utama yang terdiri atas siklus riset atau penelitian, pendidikan termasuk pelatihan, dan pengembangan pengetahuan masyarakat. Masing-masing siklus memiliki tujuan yang berbeda-beda sehingga memerlukan format diseminasi informasi yang berbeda-beda pula. Untuk keperluan riset dan pendidikan/pelatihan, informasi ilmiah sebaiknya disajikan serta dapat diakses oleh masyaraket sesegera mungkin, misalnya untuk pembuatan rancangan penelitan oleh para peneliti atau penyusunan silabus dan mata pelajaran pada kegiatan pendidikan. Diseminasi ini menghendaki agar informasi dapat segera diajikan dan diakses dengan mudah dalam bentuk teks penuh1) (full text). Kecepatan dalam mengadopsi informasi ilmiah
terbaru akan menentukan produktifitas, kualitas, dan efektifitas kegiatan riset dan pendidikan yang dikembangkan.
Gambar 1. Siklus utama pengelolaan informasi ilmiah.
Informasi juga memiliki peran penting dalam proses pembangunan, terutama melalui peningkatan pengetahuan masyarakat umum, pengembangan industri, dan pengembangan kebijakan serta peraturan/perundang-undangan. Tujuan utama diseminasi informasi pada siklus ini adalah untuk menyediakan informasi terbaru yang berdampak pada usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat. Informasi ini diharapkan dapat memberi manfaat yang besar terutama pada usaha pembangunan ekonomi dan pengembangan kebijakan dan peraturan/perundangan yang menyuburkan usaha tersebut. Informasi ilmiah untuk keperluan ini akan lebih mudah dipahami masyarakat jika dikemas dalam bentuk yang sesuai dengan kebutuhan daripada disajikan dalam format ilmiah. Pengemaan informasi ilmiah dapat dibuat dengan
menerapkan prinsip-prinsip jurnalisme ilmu pengetahuan (science journalism) agar lebih mudah dipahami. Jurnalisme ilmiah tersebut cenderung lebih menonjolkan teori-teori sensasional dan spekulatif daripada ilmu pengetahuan yang fokus pada pengukuran-pengukuran kenyataan dan empiris2). Produk yang dihasilkan telah banyak beredar diantaranya yang berbentuk berita di koran atau tabloid, majalah ilmiah semi populer, sampai yang berbentuk komik dan film atau media pandang-dengar. Produk-produk tersebut dirancang sebagai media khusus untuk mengalirkan informasi dari dunia riset ke masyarakat yang tidak terbiasa berkomunikasi menggunakan bahasa ilmiah murni. Informasi yang diterima masyarakat dapat mengalami proses menjadi pengetahuan dan berlanjut pada pengembangan kearifan (wisdom) yang melekat pada pola hidup seseorang dan masyarakat. Berdasarkan hal ini, peningkatan produktifitas, kreatifitas, dan nilai-nilai kehidupan dapat dijadikan indikator efektifitas aliran informasinya. Perkembangan teknologi komunikasi perpustakaan
dan implikasinya terhadap
Peran utama perpustakaan adalah repository informasi, menyimpan untuk kepentingan pelestarian dan mendiseminasikan kepada masyarakat agar informasi tersebut termanfaatkan. Peran ini melekat antara satu dengan yang lain. Pada perpustakaan tradisional, yang berkembang sampai beberapa dekade yang lalu, informasi dikoleksi terutama dalam bentuk tercetak (termasuk yang ditulis, direkam, atau dilukis) pada berbagai media fisik. Koleksi yang ada di perpustakaan-perpustakaan di Indonesia umumnya berbentuk dokumen cetak pada media kertas, film seluloid, daun lontar, dan kaca. Mulai sekitar tahun 80an, perpustakaan di Indonesia mulai mengadopsi sistem elektronik, dengan media optic dan magnetik, walaupun koleksi cetak masih dominan. Saat ini perpustakaan-perpustakaan tradisional dihadapkan pada tantangan untuk merubah pengelolaannya menggunakan sistem digital. Perkembangan teknologi komunikasi terus berkembang dan menimbulkan dampak yang besar terhadap cara masyarakat berkomunikasi. Terobosan teknologi terus terjadi, diawali dengan telegraf pada abad ke 9 berlanjut ke digunakannya telepon, radio, televisi, fax, internet, telepon
seluler, sampai ke sistem-sistem komunikasi digital yang kita kenal saat ini. Perkembangan tersebut diikuti oleh semakin populernya jejaring sosial yang telah mengangkat informasi menjadi salah satu kebutuhan utama dalam kehidupan. Tuntutan terhadap penyajian yang cepat untuk informasi baru dengan kualitas penyajian yang prima juga meningkat. Perkembangan ini harus diantisipasi dengan segera oleh para pengelola informasi khususnya perpustakaan agar dapat menjalankan fungsinya dengan efektif. Dalam era digital ini model perpustakaan integrasi terus tumbuh. Pada model ini, koleksi informasi ditawarkan sebagai obyek berbagi dan setiap orang dapat berperan sebagai pemustaka sekaligus kontributor yang dapat menyebarluaskan informasinya melalui kecanggihan teknologi dan jejaring sosialnya. Dalam konteks ini, perpustakaan menghadapi tantangan tersendiri dalam usahanya mendiseminasikan informasi yang dinilai ‘positif’ untuk menangkal atau setidaknya menekan maraknya penyebaran informasi yang dapat mengakibatkan pelunturan dan penurunan nilai-nilai kearifan sosial. Sistem diseminasi informasi inilah yang saat ini dipandang perlu lebih diutamakan dan ditingkatkan oleh perpustakaan. Kemasan-kemasan informasi yang memanfaakan prinsip-prinsip jurnalistik dan sesuai kebutuhan dengan format dan media baru perlu dikembangkan untuk mengimbangi semakin tidak populernya media penyaluran informasi tradisional seperti wayang, opera atau sandiwara rakyat, tarian tradisional, dan lain-lain. Penjelasan ringkas ini menunjukkan adanya kaitan yang kuat antara sistem pengelolaan informasi dengan usaha pembangunan masyarakat berbasis pengetahuan dan membangun ketahanan budaya. Tuntutan untuk terus meningkatkan kualitas dan efektifitas pengelolaan informasi ini terus berkembang sejalan dengan laju perkembangan teknologi digital. Keadaan tersebut dirasakan telah menciptakan paradigma baru dengan tuntutan-tuntutan baru terhadap perpustakaan. Salah satu perubahan yang dituntut oleh masyarakat dan dirasakan oleh perpustakaan adalah agar perpustakaan dapat berperan sebagai pengembang pengetahuan dan mengadopsi teknologi digital melalui penyajian informasi secara cepat, akurat, murah, dan nyaman3). Kelambanan perpustakaan untuk berubah sesuai dengan perkembangan tuntutan masyarakat dapat mengakibatkan semakin lebarnya pemisah antara perpustakaan dengan para pemustaka yang dilayaninya. Aliran informasi dari perpustakaan ke masyarakat menjadi lamban atau bahkan
tidak efektif sehingga usaha pembangunan masyarakat yang berdaya saing dapat terkendala juga. Jarak yang lebar antara layanan perpustakaan dan kebutuhan atau tuntutan masyarakat ini dapat menimbulkan penilaian bahwa perpustakaan tidak memiliki peran penting dalam usaha pembentukan masyarakat berbasis pengetahuan dan tidak diperlukan. Lebih jauh lagi, apresiasi masyarakat terhadap perpustakaan juga menghilang.
Pengelolaan informasi di era digital Perpustakaan digital, jika dibandingkan terhadap perpustakaan tradisional, memiliki beberapa keunggulan. Pengolahan dokumen atau informasi dapat dilaksanakan jauh lebih mudah dan cepat sehingga informasi dapat didiseminasikan segera. Peningkatan kecepatan ini mendorong siklus informasi yang merupakan rangkaian produksi dan diseminasi informasi berjalan jauh lebih cepat dibandingkan terhadap proses pada perpustakaan tradisional3). Kapasitas simpan perpustakaan juga meningkat, ditambah lagi dengan peluang untuk membangun sistem terintegrasi dimana satu perpustakaan dapat berbagi koleksi dengan perpustakaan atau kolektor informasi lainnya4). Kualitas hasil prosesnyapun memiliki kualitas yang lebih komunikatif dan disukai pemustaka baik yang merupakan hasil perekaman digital langsung maupun hasil simulasi atau teknik-teknik lain yang dapat diterapkan untuk menghasilkan produk yang menarik. Banyak sekali contoh hasil kemasan informasi digital yang telah beredar dan terus bertambah baik yang berbentuk cetak dan multimedia atau pandang-dengar. Peran website dan database meningkat di era digital ini. Website saat ini tidak saja berperan sebagai media pengenalan tetapi juga menjadi sarana peningkatan nilai organisasi diantaranya dengan membangun pencitraan. Database yang semula penggunaannya terbatas pada fasilitas penyimpanan, saat ini telah berkembang menjadi sarana pengarsipan aset yang bersifat lestari dan memiliki fungsi perlindungan hak kekayaan intelektual terhadap kontennya. Diseminasi informasi oleh perpustakaan Besar sekali perubahan-perubahan yang harus dilakukan akibat perkembangan teknologi digital ini, baik dipandang dari sisi hulu mulai dari pengembangan koleksi, proses dokumentasi, sistem pengemasan informasi,
sampai diseminasinya ke masyarakat. Secara garis besar, terdapat 3 sasaran kelompok besar masyarakat untuk diseminasi ini yaitu kelompok yang memperbarui infomasi, kelompok pendidikan, dan kelompok lainnya yang memanfaatkan informasi untuk berbagai kepentingan. Pada dunia penelitian,pembaruan informasi tersebut dijalankan melalui penyelenggaraan kegiatan riset. Informasi baru yang dihasilkan dari penelitian merupakan bahan penting bagi penyusunan silabus dan mata ajaran di dunia pendidikan dan merupakan salah satu sumber informasi penting bagi masyarakat. Proses apapun yang berlangsung, teori tentang pengembangan informasi menjadi pengetahuan dan kearifan dipandang tetap berlangsung. Masyarakat dapat mengekpresikan kemuliaan mereka jika mereka terus menerima informasi yang memiliki nilai kebaikan. Oleh sebab itu, penyampaian informasi yang dinilai baik kepada masyarakat merupakan misi yang harus terus dijalankan dan dikembangkan oleh perpustakaan. Perdebatan tentang apa yang sebenarnya yang dimaksud perpustakaan digital masih berkembang terus. Secara sederhana dapat diungkapkan bahwa perpustakaan digital merupakan hasil adopsi teknologi digital oleh perpustakaan. Pada kenyataannya, dan berdasarkan berbagai alasan, tidak semua perpustakaan langsung sepenuhnya berubah menjadi perpustakaan digital. Salah satu kendala yang dihadapi untuk langsung berubah adalah besarnya koleksi cetak yang telah dimiliki perpustakaan-perpustakaan besar, terutama di Eropa, sehingga diperlukan biaya yang besar pula. Kompromi antara perpustakaan digital dan tradisional dengan membentuk perpustakaan kombinasi tradisional-digital banyak ditempuh untuk mengatasi masalah ini. Dengan sumber-sumber yang sangat banyak, informasi yang dapat diakses sangat banyak dengan jenis atau lingkup bidang yang luas. Kenyataan ini akan menyadarkan siswa sebagai pemustaka untuk meningkatkan kemampuannya dalam melakukan pencarian informasi yang akurat dan efisien. Ketersediaan informasi dalam jumlah sangat besar dengan ratusan atau bahkan ribuan sumber dengan format yang berbedabeda dapat mengakibatkan kebingungan pada pemustaka. Dalam hal demikian, bantuan pustakawan sebagai navigator dan penyedia layanan teknis akan memberi manfaat yang besar. Disamping itu, pemustaka memiliki peluang untuk berkontribusi dalam penyediaan informasi dengan mengunggah informasi yang telah dihasilkannya ke sistem-sistem
perpustakaan digital yang ada. Dalam melakukan eksplorasi, pengunduhan, dan pengunggahan informasi ini, pemustaka juga akan mendapatkan pengetahuan dan pengalaman tentang tanggungjawab yang harus diperhatikan dalam menjalankan kegiatan ini, terutama yang berhubungan dengan perlindungan hak kekayaan intelektual. Peningkatan efektifitas diseminasi informasi oleh beberapa perpustakaan sangat terasa dengan mengadopsi teknologi digital. Teknologi ini mampu membuka ruang-ruang baru bagi pemustaka untuk berekplorasi di dunia informasi dan dapat merubah perilaku pemustaka untuk lebih kreatif. Sebagai contoh, perpustakaan digital ternyata memiliki kelebihan peran di dunia pendidikan daripada perpustakaan tradisional5) seperti ang ditunjukkan secara ringkas pada Tabel 1. Kemampuannya untuk menyajikan informasi terbaru dengan cepat telah terbukti dapat meningkatkan kepercayaan dan keandalannya sebagai penyedia bahan penyusunan silabus dan bahan ajar. Akses yang mudah dan tersedianya sarana interaktif dapat memberi pengalaman-pengalaman baru kepada siswa, meningkatkan minat belajar, dan pengembangan rasa tanggungjawab khususnya dalam hal-hal yang berhubungan dengan pemanfaatan sistem informasi. Ketersediaan sumber-sumber informasi yang banyak dan beragam pada sistem perpustakaan yang terintegrasi memberi ruang yang sangat luas pada siswa untuk mendapatkan informasi terbaru an memilih serta menentukan sumber informasi yang mereka utamakan.
Perpustakaan digital dan pendidikan Tabel 1 menunjukkan hubungan antara perpustakaan digital dengan dunia pendidikan. Lingkungan atau suasana belajar bagi siswa di dunia pendidikan juga dapat berubah dengan keberadaan perpustakaan digital yang dapat menyediakan informasi-informasi terbaru. Kedekatan siswa atau pemangku kepentingan lainnya dengan sumber informasi terbaru juga terfasilitasi, misalnya melalui penggunaan blog mereka sebagai perpustakaan pribadi dengan isi (content) terseleksi, sesuai dengan kebutuhan mereka. Proses pencarian informasi dari sumber-sumber tertentu dan mengunduhnya untuk ditempatkan dalam blog dapat menjadi pengalaman tersendiri. Siswa atau pemustaka dalam hal ini akan terdorong untuk terus melakukan eksplorasi melalui penjelajahan sumber-sumber informasi di dunia maya. Siswa dengan koleksi informasi yang dimiliki juga
dapat menjadi sumber informasi bagi siswa atau bloger lainnya. Pada konteks seperti itulah rasa tanggungjawab siswa berpeluang untuk berkembang.
Tabel 1. Manfaat perpustakaan digital bagi dunia pendidikan5)
Perkembangan teknologi digital saat ini juga menyediakan kemudahan bagi siswa atau pemustaka untuk melakukan eksplorasi sendiri terhadap koleksi-koleksi informasi yang ada, melakukan komunikasi secara interaktif dengan pengajar, dan mempublikasikan karyanya secara langsung. Siswa dengan menggunakan peralatan komunikasi terkini lebih mudah untuk segera mendapatkan informasi terbaru dari sumber-sumber yang dipilihnya. Perkembangan teknologi saat ini telah menyediakan fasilitas untuk melakukan dialog interkatif secara langsung. Fasilitas ini dapat dimanfaatkan untuk melakukan kegiatan konsultasi siswa dengan pengajar dengan waktu yang lebih longgar dan nyaman bagi kedua belah pihak. Fasilitas digital juga menyediakan peluang individu untuk mengunggah pendapat tertulis dan berdialog secara langsung dengan pengajar serta mempublikasikan hasil karyanya secara on-line. Dengan demikian, pemustaka bisa mendapatkan informasi-informasi tertentu langsung dari sumber primernya. Penjelasan ringkas ini mengindikasikan bahwa sistem perpustakaan digital dapat
membuka peluang berkembangnya cara-cara pembelajaran baru dalam dunia pendidikan. Secara ringkas, penyelenggara pendidikan mendapat banyak kemudahan untuk mengembangkan sistem yang efektif termasuk kurikulum dan bahan ajarnya serta memiliki peluang untuk menerapkan cara-cara pembelajaran baru. Di beberapa negara, terutama Jepang, pergeseran kearah sistem pendidikan daring (online) terlihat walaupun laporan hasil pengamatan belum dapat memastikan hal itu5).
Perpustakaan digital sebagai sarana komunikasi dengan masyarakat Telah disebutkan bahwa sistem perpustakaan digital memberi peluang pada setiap siswa sebagai pemustaka sekaligus sebagai penyedia informasi. Keadaan ini juga berlaku bagi masyarakat umum. Hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini bahwa sejalan dengan perkembangan jejaring sosial di dunia maya, facebook, twitter, dan sebagainya, dapat menimbulkan kebingungan tentang bagaimana bentuk perpustakaan di masa datang dan terbanjirinya pemustaka dengan informasi. Dari perspektif inilah muncul pendapat bahwa perpustakaan dapat menempatkan diri sebagai navigator dalam lautan pengetahuan4). Pemahaman tentang perpustakaan digital sebagai pusat repositori dan spekulasi tentang bentuk perpustakaan di masa datang ini masih terus bergulir. Reaksi terhadap situasi ini dantaranya dengan munculnya pernyataan bahwa perubahan yang sangat drastis di era digital memberi peluang kepada para pustakawan untuk menemukan kembali jati dirinya6) (reinventing themselves). Terlepas dari ketidakpastian diatas, perpustakaan harus tetap menjalankan fungsinya sebagai pusat atau institusi repositori, mengarsipkan dan mendiseminasikan informasi kepada masarakat, dengan penataan-penataan pengelolaan dan pengemasan informasi dengan format baru.
Apresiasi terhadap perpustakaan Uraian diatas menunjukkan bahwa perpustakaan memiliki posisi strategis dalam diseminasi informasi terutama karena fungsinya sebagai pusat inventori. Namun dalam menjalankan fungsi tersebut kendala yang harus diatasi masih banyak, terutama bagi perpustakaan-perpustakaan di Indonesia. Perpustakaan sampai saat ini masih didominasi dengan pemahaman yang sangat sempit, sebagai pengurus buku. Pemahaman
seperti ini memiliki implikasi yang sangat luas. Perpustakaan di berbagai tempat masih diperlakukan atau dinilia sebagai bagian dapur atau gudang. Hal ini bertolak belakang dengan peran yang seharusnya dapat dijalankan oleh perpustakaan seperti yang telah dibahas diatas dan ditunjukkan secara skematis pada Gambar 1. Perpustakaan merupakan tempat dimana catataan-catatan penting suatu institusi atau bahkan negara dikelola. Catatan penting tersebut diantaranya yang memuat kebijakan yang pernah diterapkan beserta dampaknya, prestasi yang pernah dicapai, hal-hal yang berhubungan dengan aset tak wujud yang dimiliki, dsb. Berdasarkan hal itu, perpustakaan merupakan sarana yang sangat ideal untuk pamer prestasi dan pusat pembelajaran masyarakat. Bahkan di era digital ini, perpustakaan dapat berperan sebagai navigator dalam lautan pengetahuan4).
Gambar 2. Perpustakaan Tradisional ke Digital
Perubahan-perubahan perlu dilaksanakan. Lebarnya jarak antara kondisi saat ini dan tuntutan masyarakat menyebabkan perubahan yang dilakukan sangat besar, mulai dari yang berhubungan dengan pengelolaan secara umum, sarana yang diperlukan, jenis kemasan yang dikembangkan, sampai ke masalah kebijakan. Perpustakaan dengan visi baru harus dibangun. Gambar 2 menunjukkan ringkasan perubahan dari perpustakaan tradisional ke perpustakaan baru7). Fungsi layanan penelusuran pada pepustakaan tradisional berubah menjadi penyediaan akses, kepemilikan
dari koleksi pribadi menjadi aset untuk berbagi koleksi, dari akuisisi dan pengembangan koleksi menjadi capture9), dsb. Pada perubahan tersebut, sistem tradisional tidak harus disingkirkan tetapi dapat dikembangkan dan ditata kembali agar sesuai dengan sistem pengelolaan baru yang merupakan kombinasi pengelolaan perpustakaan tradisional dan digital. Telah disinggung diatas bahwa perpustakaan kombinasi atau yang juga dikenal dengan sistem hibrid banyak diterima dan dikembangkan. Yang utama dalam hal ini adalah mengubah posisi perpustakaan, khususnya di Indonesia, dari bagian ‘belakang’ menjadi beranda depan. Strategi dan langkah-langkah yang efektif perlu ditetapkan agar perubahan ini dapat memberi manfaat besar baik bagi perpustakaan maupun masyarakat luas. Segera mengadopsi sistem digital pada perpustakaan adalah langkah awal yang tepat, terutama penguatan database dan website yang dimiliki serta mengembangkan produk-produk kemasan digital. Masih banyak aset yang belum diarsipkan dan didiseminasikan dengan baik sehingga aspek perlindungan terhadap hak kepemilikan intelektual dan pemanfaatannya tidak optimal. Database yang dibangun perlu dikembangkan menjadi sitem yang memiliki interoperabilitas baik dan siap untuk berbagi pada sitem terintegrasi4). Isinya tidak terbatas pada format teks saja tetapi dapat memuat digital image, video streaming, atau produk-produk digital lainnya yang lebih komunikatif7,9). Hal yang terakhir disebutkan ini merupakan indikasi bahwa masih panjang jalan yang harus ditempuh dan memerlukan komitmen yang kokoh pada seluruh lapisan organisasi perpustakaan.
Pustaka 1. Lukman, 2008, Pengembangan Jurnal Ilmiah Elektronik Indonesia, PDIILIPI, Jakarta 2. http://en.wikipedia.org/wiki/Science_journalism 3. Putut Irwan Pudjiono, ‘Penguatan Sistem Pengelolaan Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Untuk Peningkatan Layanan Informasi Ilmiah: Studi Kasus PDII LIPI’, Makalah dipresentasikan pada Seminar dan Lokakarya Ilmiah Nasional, Information for Society: Scientific Point of View, 20-21 Juli 2011, Gedung seminar PDII-LIPI, Jakarta. 4. JÜrgen Seefeld and Ludger Syré (2007), Portals to the past and to the future- Libraries in Germany, Georg Olms Verlag, New York, 2nd ed.
5. Mendel J M, ‘Education Using Digital Library’, Chapter 3 dalam WTEC Panel Report on Digital Information Organization in Japan, http://wtec.org/loyola/digilibs/toc.htm 6. Walters T O, ‘Reinventing the Library – How Reositories are causing Librarians to Rethink Their Professional Roles’, portal: Libraries and the Academy, Vol. 7, No 2 (2007) 7. Putut Irwan Pudjiono, Lukman, dan Apallidya Sitepu, 2010, Kebijakan Pengelolaan Karya Ilmiah di Indonesia, Makalah dipresentasikan pada Temu kerjasama koordinasi dan komunikasi riset BRKP, Yogyakarta, 2223 Juli 2010 8. Ager T, ‘Architecture and Systens’, Chapter 4 dalam WTEC Panel Report on Digital Information Organization in Japan, http://wtec.org/loyola/digilibs/toc.htm 9. Apallidya Sitepu, 2008, Pengembangan Metadata Karya Ilmiah LIPI, PDIILIPI, Jakart
Video Putut Irwan Pudjiono
Interoperabilitas Kebijakan dalam Pembangunan Perpustakaan Digital Nasional Indonesia 1 oleh: Lilik Soelistyowati2
A. Latar Belakang Pembangunan Perpustakaan Digital Nasional Indonesia
merupakan salah satu program
prioritas yang telah ditetapkan DPR untuk dilaksanakan oleh Perpustakaan Nasional RI. Persiapan yang dilakukan oleh Perpustakaan Nasional RI untuk pembangunan Perpustakaan Digital Nasional Indonesia sudah dimulai sejak tahun 2007, namun secara resmi pembangunan Perpustakaan Digital Nasional Indonesia baru dimulai pada tahun anggaran 2008.
Mengenai perpustakaan digital, Digital Library Federation (1995) mendefinisikannya sebagai berikut: “Organisasi yang menyediakan berbagai sumber daya, termasuk staf yang mampu melakukan
pekerjaan
menyeleksi,
menata,
menyediakan
akses
intelektual,
menginterpretasikan, mendistribusikan, melestarikan keutuhan koleksi karya
digital,
termasuk memastikan ketersediaannya dari waktu kewaktu, agar bisa didapat dengan mudah dan murah oleh komunitas atau sekumpulan komunitas tertentu.”
Beberapa hal yang merupakan ciri perpustakaan digital, yaitu: •
merupakan perpustakaan, yaitu organisasi yang memiliki koleksi sumber informasi dan menyelenggarakan
layanan
berdasarkan
prinsip-prinsip
seleksi,
akuisisi,
akses,
manajemen dan pelestarian, yang dihubungkan dengan masyarakat pemustakanya; • merupakan perpustakaan tradisional yang meningkatkan layanannya melalui penerapan teknologi informasi dan komunikasi, khususnya Internet; • tidak dapat diselenggarakan oleh sebuah perpustakaan saja, melainkan oleh lebih dari satu perpustakaan yang secara bersama (berjejaring) menyediakan akses secara digital ke koleksi masing-masing bagi pemustaka dari mana saja;
1
Makalah disampaikan dalam Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia Ke-4 pada tanggal 8-10 November 2011 di Hotel Mesra, Samarinda. 2 Deputi Bidang Pengembangan Bahan Pustaka dan Jasa Informasi Perpustakaan Nasional RI.
• masing-masing anggota jejaring harus berpartisipasi dalam pengembangan perpustakaan digital
melalui penyediaan koleksi bahan perpustakaan atau sumber informasi yang
bersifat unik atau lokal (local content) untuk dimanfaatkan secara bersama (shared); • harus memiliki portal di web sebagai titik akses layanan digital. B. Perpustakaan Digital Nasional Indonesia
Berdasarkan rangkuman pengertian tentang perpustakaan digital yang dipaparkan di atas dapat disusun pengertian mengenai Perpustakaan Digital Nasional Indonesia merupakan jejaring perpustakaan berskala nasional yang beranggotakan berbagai jenis perpustakaan di Indonesia menyediakan sumber informasi dalam format digital, menyediakan akses digital ke berbagai jenis koleksinya, dan
menyelenggarakan layanan digital untuk dapat dimanfaatkan secara
bersama dalam rangka memenuhi kebutuhan pemustakanya.
Di samping itu, dapat ditarik pula kesimpulan bahwa pembangunan Perpustakaan Digital Nasional Indonesia akan dilaksanakan secara bersama oleh berbagai jenis perpustakaan yang ada di Indonesia dengan difasilitasi oleh Perpustakaan Nasional RI. Dengan kata lain, Perpustakaan Nasional RI sebagai fasilitator perlu bekerja sama dengan berbagai jenis perpustakaan dalam pembangunan Perpustakaan Digital Nasional Indonesia . C. Langkah-langkah Dalam Pembangunan Perpustakaan Digital Nasional Indonesia
Sebagai fasilitator, pada tahun anggaran 2008, secara garis besar Perpustakaan Nasional melaksanakan 3 langkah dalam pembangunan Perpustakaan Digital Nasional Indonesia , yaitu: 1. Mengembangkan Layanan Digital di Perpustakaan Nasional RI; 2. Melaksanakan pembinaan perpustakaan mitra untuk membangun jejaring Perpustakaan Digital Nasional Indonesia ; 3. Membangun layanan Perpustakaan Digital Nasional Indonesia.
Pembinaan perpustakaan mitra diawali dengan perpustakaan daerah di tingkat provinsi, dengan berbagai nama dan tingkat eselonisasi. Sesungguhnya mitra potensial yang harus dikelola partisipasinya oleh
Perpustakaan Nasional RI dalam membangun Perpustakaan Digital
Nasional Indonesia mencakup berbagai jenis perpustakaan dan berbagai forum perpustakaan yang telah membangun jejaring kerja sama secara online, misalnya jejaring perpustakaan
perguruan tinggi juga merupakan mitra potensial Perpustakaan Nasional RI.
Namun
perpustakaan umum mempunyai kelebihan sebagai mitra potensial, karena jenis perpustakaan ini memiliki koleksi bahan pustaka bernilai budaya khas daerah yang bersangkutan sebagai bagian dari koleksi warisan
budaya nasional (national heritage). Walaupun kondisi
perpustakaan daerah di tingkat provinsi juga sangat heterogen, khususnya bila ditinjau dari implementasi TIK-nya, namun pembinaan dapat dilakukan secara hierarkhis. elalui program pembinaan ini diharapkan perpustakaan daerah di semua provinsi segera dapat menyediakan bahan perpustakaan digital sekaligus menyelenggarakan layanan digital sehingga siap untuk bergabung dalam jejaring
Perpustakaan Digital Nasional Indonesia dan, pada gilirannya,
diharapkan dapat menyelenggarakan pembinaan serupa ke perpustakaan-perpustakaan umum kabupaten/kota di wilayahnya.
Pelaksanaan program pembinaan mencakup 31 perpustakaan daerah (dua provinsi belum memiliki perpustakaan daerah, yaitu provinsi Bangka Belitung dan Papua Barat), UPT Perpustakaan Proklamator Bung Karno, dan Perpustakaan Bung Hatta, Perpustakaan Umum Kabupaten Kulonprogo dan Perpustakaan Umum Kota Malang.
D. Kondisi Awal Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa perpustakaan di Indonesia, termasuk juga perpustakaan-perpustakaan daerah di ibu kota provinsi, kondisinya sangat heterogen, khususnya ditinjau dari kesiapannya untuk menjadi mitra dalam pembangunan Perpustakaan Digital Nasional Indonesia. Kendala atau kekurangan yang banyak didapati, di antaranya: 1) Belum tersedianya
sistem komputer, termasuk jejaring
komputer dan perangkat keras
pendukung lainnya; 2) Belum tersedianya perangkat lunak aplikasi perpustakaan; 3) Belum tersedianya tenaga teknis pengolahan bahan perpustakaan berbasis MARC (membuat katalog online); 4) Belum tersedianya saran-parasarana pendukung, seperti ruangan yang memadai, pendingin ruangan, dsb. 5) Belum tersedianya akses internet; 6) Belum tersedianya koleksi dalam format digital; 7) Belum tersedianya kebijakan yang mendukung pembangunan perpustakaan digital.
E. Bantuan yang diberikan Sehubungan dengan kondisi tersebut, sejak tahun anggaran 2008 sampai 2011 kepada 35 perpustakaan mitra di atas secara bertahap diberikan bantuan:
1) Jejaring
komputer lokal (LAN) beserta program aplikasi QALIS, yaitu program aplikasi
perpustakaan berbasis IndoMARC untuk membangun pangkalan data katalog perpustakaan setempat dan Katalog Induk Daerah, berikut instalasi, pelatihan di tempat, dan migrasi data dari sistem yang lama bila diperlukan. 2) Pembangunan/pengembangan situs web/portal perpustakaan digital daerah 3) Server untuk membangun pangkalan data Bibliografi Daerah 4) Pengembangan SDM pengelola perpustakaan, mencakup sosialisasi kepada para pimpinan, pelatihan dan bimbingan teknis tenaga pengkatalog untuk pembuatan katalog terbaca mesin
(format INDOMARC), tenaga untuk mengoperasikan program
aplikasi
perpustakaan ( QALIS), pelatihan tenaga trampil alih media dan membuat bahan perpustakaan dalam format digital. 5) Akses Internet melalui jejaring
intranet (closed network) yang menghubungkan 35
perpustakaan mitra dan Perpustakaan Nasional.
F. Hasil monitoring dan evaluasi pada akhir T.A. 2010 Monitoring dan evaluasi terhadap implementasi TIK dengan memanfaatkan batuan yang telah diberikan dilakukan setiap akhir tahun. Aspek yang dievaluasi mencakup: 1) Pengoperasian program aplikasi perpustakaan 2) Ketersediaan sumber daya manusia 3) Pengoperasian server 4) Pengoperasian workstations ( pc) 5) Pengoperasian peralatan lainnya 6) Ketersediaan daya listrik 7) Ketersediaan ruang server dan lingkungan yang memadai 8) Pemanfaatan jaringan Intranet (closed network)
Berdasarkan hasil evaluasi, perpustakaan mitra dikelompokkan ke dalam 3 peringkat (grade), yaitu 1) Peringkat A - perpustakaan yang mengelola implementasi TIK-nya dengan baik (semua aspek nilainya baik)
2) Peringkat B - perpustakaan yang mengelola implementasi TIK-nya dengan cukup baik ( 75% nilainya baik) 3) Peringkat B - perpustakaan yang mengelola implementasi TIK-nya dengan cukup
baik
(kurang dari 50% nilainya baik)
Hasil monitoring dan evaluasi pada akhir Tahun Anggaran 2010 adalah sebagai berikut. Hanya 16 pperpustakaan yang berperingkat A, 10 perpustakaan yang berperingkat B, dan masih ada 9 perpustakaan yang berperingkat C.
G. Permasalahan Dari hasil monitoring, diketahui bahwa penyebab yang paling signifikan belum dioperasikannya sistem sebagaimana seharusnya, di antaranya:
Masih ada resistensi pimpinan maupun staf terhadap pembangunan Perpustakaan Digital Nasional Indonesia, dengan sebab bervariasi, umumnya non teknis (bentuk resistensi misalnya masih menganggap program ini sebagai beban tambahan sehingga kuarng serius dalam pelaksanaannya)
Belum semua pimpinan perpustakaan mitra memberikan dukungan penuh dengan penyebab bervariasi (dukungan mencakup peraturan, anggaran, sarana dan prasaran, dsb. )
Mobilitas SDM di beberapa daerah, baik pada level pimpinan maupun pelaksana teknis, sangat tinggi.
Permasalahan di atas sangat terkait dengan kebijakan, baik kebijakan pemerintah daerah maupun pimpinan perpustakaan. Perpustakaan Digital Nasional Indonesia akan terwujud bila terjalin kerja sama yang sinergis antara Perpustakaan Nasional dengan perpustakaanperpustakaan mitra. Perlu diwujudkan interoperabilitas kebijakan yang diterapkan pada semua perpustakaan mitra, di antaranya: 1. Keinginan yang kuat/ komitmen pimpinan perpustakaan mitra untuk berpartisipasi dalam pembangunan Perpustakaan Digital Nasional Indonesia; 2. Kesadaran akan pentingnya pemanfaatan bersama (sharing) suber informasi; 3. Kesadaran akan pentingnya pembangunan katalog perpustakaan, KID maupun Bibliografi Daerah; 4. Komitmen untuk menjadi fasilitator pengembangan jejaring
perpustakaan digital di
wilayahnya. G. Penutup
Pembangunan Perpustakaan Digital Nasional Indonesia
merupakan salah satu program
prioritas untuk kemaslahatan masyarakat luas. Pembangunannya menjadi tanggung jawab Perpustakaan Nasional RI. Sebagai perpustakaan pembina, Perpusnas wajib menjadi fasilitator dalam pengembangan jejaring kemitraan dan juga melaksanakan fungsi sebagai pusat jejaring tersebut. Pembangunan Perpustakaan Digital Nasional Indonesia
mencakup sejumlah
kegiatan, seperti pembangunan Katalog Induk Nasional, Bibliografi Nasional, Koleksi Pusaka Digital Nasional, Pengarsipan Web dan sebagainya. Pekerjaan besar ini
tidak mungkin dapat
dilaksanakan oleh Perpusnas sendiri, tanpa bekerja sama dengan seluruh jenis perpustakaan yang ada di Indonesia. Jejaring kemitraan dengan seluruh jenis perpustakaan di Indonesia sangat menentukan keberhasilannya. Salah satu syarat agar jejaring kemitraaan akan dapat bekerja dengan baik bila dapat diwujudkan interoperabilitas kebijakan di antara anggota jejaring.
-ooOOoo--
VIDEO SEMINAR
Peningkatan Efisiensi & Efektivitas Melalui Interoperabilitas Perpustakaan Digital Oleh: Zainal A. Hasibuan, Ph.D Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia Samarinda, 8-10 November, 2011
1. Latar Belakang Volume informasi digital mencapai 281 Exabytes (281 Milyar Gigabytes, IDC 2007). Diprediksi tahun 2011 ini, jumlahnya bertambah 10 kali Setengah dari informasi digital tersebut tidak tersimpan secara permanent Tata kelola (Governance) informasi digital masih lemah Perpustakaan digital menjadi salah satu alternatif untuk menghimpun konten ini Sekitar 70 % dari dunia digital dibuat secara individu Basis dari Industri konten kreatif Entry barier-nya rendah: mudah muncul dan mudah hilang Publikasi Digital di Indonesia Tersebar Penerbit buku, majalah, surat kabar Perpustakaan Perorangan / individu Sekolah Perguruan tinggi Forum online Fasilitas file sharing (Contoh : rapidshare, netupload, ziddu, hotfile, dll) Volumenya “belum diketahui”. Berdasarkan kajian Romi Wahono, diperkirakan kontribusi konten digital Indonesia dibawah 1 persen
2. Tren Teknologi Informasi dan Komunikasi Gartner’s Top 10 Strategic Technologies for 2011: 1. Cloud Computing 2. Mobile Applications and Media Tablets 3. Social Communications and Collaboration 4. Video 5. Next Generation Analytics 6. Social Analytics
Butuh Strategi Pengelolaan Perpustakaan Digital
7. Context-Aware Computing 8. Storage Class Memory 9. Ubiquitous Computing 10. Fabric-Based Infrastructure and Computers
Tren TIK :Konvergensi Komputer, Komunikasi, dan Broadcast Mainframe
Mobile
Dampak Tren TIK ke Perpustakaan Semakin banyak koleksi perpustakaan tersedia dalam bentuk digital.
Semakin dituntut layanan-2 perpustakaan berorientasi ke pengguna untuk: searching, browsing, dan referencing. Sistem perpustakaan semakin heterogen karena dibangun oleh platform dan protocol yang berbeda-beda. Sistem perpustakaan semakin terdistribusi melalui internet, tetapi terintegrasi. Kontributor koleksi perpustakaan digital semakin bervariasi: individu, komunitas, organisasi.
3. Mengapa Perlu Interoperabilitas Sistem Perpustakaan? Kondisi system perpustakaan yang dibangun saat ini menghasilkan pulau-pulau (Silo System). Kondisi
system
perpustakaan
yang
tersedia
sekarang
beraneka
ragam
(Heterogeneous System). Kebutuhan akan fungsionalitas antar system perpustakaan pada prinsipnya sama. Akibatnya, satu sistem perpustakaan dengan sistem perpustakaan yang lain tidak bisa “berkomunikasi” dan tidak bisa “sharing” sumber dayanya
Pengertian Interoperabilitas The Ability of two or more systems or components to exchange information and to use the information that has been exchanged (IEEE). The capability to communicate, execute programs, or transfer data among various functional units in a manner that requires the user to have little or no knowledge of the unique characteristics of those units (ISO/IEC 2382-01). Intinya: Interoperabilitas menyebabkan dua atau lebih sistem bisa sharing sumberdayanya.
Manfaat Interoperabilitas Sistem Perpustakaan Memudahkan proses tukar
menukar data koleksi digital
antar
sistem
perpustakaan. Meningkatkan pelayanan sistem perpustakaan, karena kemampuan searching, browsing, dan referencing semakin luas.
Meningkatkan efesiensi, efektifitas, dan produktivitas kinerja perpustakaan, karena masing-masing perpustakaan bisa fokus dikekuatannya (strength). Lapisan dari Interoperabilitas (Sumber: European Interoperability Framework) Technical Interoperability: Meliputi isu teknis pada keterhubungan sistem dan servis: open interface, interconnection services, data integration and middle ware, data presentation dan exchange, accessibility dan security services. Organizational Interoperability: Pendefinisian tujuan kegiatan, permodelan kegiatan dan membawa ke level administrasi untuk pertukaran informasi. Bermuara kepada pemenuhan kebutuhan pelayanan masyarakat Kebijakan. Symantic Interoperability: Memungkinkan sistem untuk mengkombinasikan informasi yang diterima dari berbagai sumber lain untuk diproses menghasil sesuatu yang berarti.
Prinsip-prinsip
dari
Interoperabilitas (Sumber: European
Interoperability
Framework) Accessibility: Akses yang sama dan kesempatan yang sama. Multilingualism: Menggunakan bahasa yang dimengerti. Security: Pertukaran data menjamin tingkat keamanan. Privacy: Pertukaran informasi mengedepankan kerahasiaan Subsidiary: Menjamin penerapan interoperabilitas dari
para pemangku
kepentingan Use of Open Standards: Menggunakan sistem yang terbuka, agar mudah dikembangkan lebih lanjut Assess the benefits of Open Source Software: memanfaatkan keuntungan dari perangkat lunak open sources. Use of Multilateral Solutions: interoperbilitas harus mendukung solusi dengan multi aktor atau multi solusi.
4. Interoperabilitas Sistem Perpustakaan Perpustakaan Nasional Memiliki Koleksi Nusantara
Perguruan Tinggi A
Perguruan Tinggi B
Memiliki Koleski Kesehatan
Memiliki Koleksi Sejaran
Perpustakaan Daerah Risau Memiliki Koleksi Budaya Melayu
Perpustakaan Daerah Yogyakarta Memiliki Koleksi Budaya Jawa
Perguruan Tinggi C
Perguruan Tinggi D
Memiliki Jejaring Kerjasama Industri
Memiliki Lisensi Sejumlah Produk/Jasa
KHAZANAH ILMU PENGETAHUAN & ASET INTELEKTUAL
PT X PT X Komunitas
PT Y PT Y Individu
PT X PT X LSM
PT Y PT Y Pusat Informasi Pemerintah
PT X PT X Swasta
PT Y PT Y Dll…
QALIS Quadra Automation Library Information System
Perpustakaan Nasional RI Medan
Global
Bengkulu Riau
Lokal
Papua
Bukit Tinggi Padang
ISP
Aceh
1,5 2 MBPS MBPS 1,5 MBPS
5,5 MBPS 512 KBPS
2 MBPS2 MBPS 2 MBPS
Ambon Maluku 512 Kupang KBPS 512 Mataram KBPS 1 MBPS Manado 1 MBPS 1 MBPS 1 MBPS
Jambi 2 MBPS Palembang Lampung
2 MBPS 2 MBPS
MPLS
1 MBPS 1,5 MBPS 1,5 MBPS 1,5 MBPS 1 MBPS 1 MBPS
2 MBPS 2 MBPS Banten 2 MBPS 1,5 DKI Jakarta 2 MBPS MBPS 2 MBPS 2 MBPS 2 MBPS Bandung 2 MBPS 2 MBPS2 MBPS Semarang Yogyakarta Kulon Progo Blitar Bali Surabaya Malang
Gorontalo Mamuju Kendari Makasar Samarinda
Palangkaraya Pontianak Banjarmasin
Arsitektur Sistem Yang Interoperabel Access Layer
Standard dan Interconnectivity Untuk Interoperability Standard for electronic resources (metadata): Dublin Core Standard Protocol untuk interconnectivity OPEN Archive Initiative (OAI)-PMH Z39.50 Standard data interchange in the Web: XML (eXtensible Markup Language)
Contoh Penerapan Interoperabilitas Perpustakaan Perguruan Tinggi Facilitate National e-journal database subscribtion Facilitate National digitalized publication repository (500,000 titles): collaboration between universities, libraries, and research centers all over Indonesia (garuda.kemendiknas.go.id)
Konteks Motivasi 5. Langkahdan Langkah Menuju Interoperabilitas
Strategic Level Operational Level
Technology Level Menjamin Interoptabilitas pada tingkatan strategic, operational dan technology
Langkah-Langkah…(lanjutan) • Mengharmonisasikan peraturan dan perundang-undangan, sehingga saling mendukung. Serta menyamakan visi misi dan strategi antar tiap para pemangku kepentingan. • Menyelaraskan tata kelola organisasi dalam mengimplementasikan fungsi strategis dan fungsi teknologi.
• Menjamin keberlangsungan pertukaran informasi dibutuhkan. Interoptabilias terjadi pada lingkup: data software, hardware, network.
Produksi Bahan Pustaka Digital Pertama kali di ciptakan sudah dalam bentuk elektronis (e-book, e-journal, e-foto, tesis, disertasi, dll) Alih media dari tercetak ke digital Proses digitalisasi: scanning, editing Konservasi dan preservasi Sudah tersedia dalam bentuk elektronis dari sumber atau situs lain Electronic databases Kelebihan Koleksi Digital Adanya koleksi digital, dapat memperpanjang usia koleksi fisik dan mengurangi resiko rusaknya koleksi fisik. Informasi koleksi digital lebih mudah disimpan di dalam suatu media penyimpanan (repositori budaya). Informasi koleksi digital lebih mudah diakses, disebarluaskan / dipublikasikan, dan dimanfaatkan. Koleksi digital tidak membutuhkan perawatan fisik (konservasi), yang biasanya membutuhkan biaya besar.
6. Kendala Interoperabilitas Kurangnya sosialisasi pemahaman visi interoperabilitas di tingkat pengambil keputusan. Akibatnya, masih banyak kebijakan dan peraturan yang perlu disempurnakan dan dilengkapi Sistem perpustakaan digital yang dikembangkan, belum mengacu ke sistem standar terbuka. Akibatnya, sistem yang terbangun bersifat silo, atau jalan sendiri-seindiri. Incompatible peralatan Teknologi informasi dan Komunikasi.
Konten digital di Indonesia masih sangat kurang.
Landasan Hukum Perpustakaan Digital UU No. 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan Nasional UU No. 4 Tahun 1990 Tentang Deposit Kepres No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen SK Kaperpusnas No. 03 Tahun 2001 Tentang Organisasi Perpusnas Hasil Rakornas di Lembang , akhir tahun 2008 RUU Tentang Cagar Budaya UU ITE UU Perlindungan Hak Cipta 7. Penutup Kemajuan teknologi dari statis ke mobile, menuntut tersedianya informasi yang bisa di akses dari mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Perpustakaan digital harus berorientasi ke pengguna. Interoperabilitas menjamin setiap perpustakaan bersifat “otonom”, tetapi pada saat yang bersamaan sumberdaya yang dimilikinya dapat dimanfaatkan secara bersama (resource sharing). Interoperabilitas akan meningkatkan kinerja perpustakaan digital: efisiensi, efektivitas, dan produktivitas. Informasinya: Available, Accessible, Affordable, High Quality, dan menjangkau seluruh daerah.
VIDEO SEMINAR
DUKUNGAN PEMPROV. KALTIM DALAM PENGEMBANGAN TIK DI PERPUSTAKAAN Oleh Iriyanto Lambrie Sekda Prov. Kalimantan Timur
PENDAHULUAN Perpustakaan memiliki peran sentral dan staretgis dalam mewujudkan masyarakat gemar membaca (reading society) menuju masyarakat yang gemar belajar (learning society). Dalam rnenghadapi era globalisasv pembinaan cten pengembangan perpustakaan tidak terlepas dari pengaruh pesatnya perkembangan ipteks termasuk perkembangan di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Teknologi informasi dan komunikasi <TIK) mengacu pada penggunaan peralatan elektronik (terutama komputer) untuk memproses suatu kegiatan tertentu. TIK mempunyai kontribusi yang potensial untuk berperan dalam mencapai manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan yang signifikan. Di Indonesia, bidang teknologi informasi dan komunikasi merupakan salah satu dari enam bidang fokus utama pengembangan iptek (Ristek 2005), yaitu: (1] Ketahanan pangan. [2\ Sumber energi baru dan terbarukan; [3] Teknologi dan manajemen transportasi. [4] Teknologi informasi dan komunikasi, [5] teknologi pertahanan, dan [6] teknologi kesehatan dan obat-obatan. Dalam menbukung kegiatan pembangunan perpustakaan, TIK memiiiki peranan yang sangat penting untuk mendukung tersedianya sumber informasi yang relevan dan tepat waktu. Core bisnis perpustakaan adalah menyediakan bahan pustaka dalam beragam bentuk untuk didayagunakan oleh masyarakat. Beragam sumber informasi yang disediakan oleh perpustakaan merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam meningkatkan pengetahuan dan wawasan masyarakat. Integrasi yang efektif antara TIK dalam dunia perpustakan akan menuju pada pembangunan SDM yang berkelanjutan melalui penyiapan informal yang tepat waktu relevan, yang dapat memberikan informasi yang tepat kepada pemustaka. TIK dapat memperbaiki aksesibilitas masyarakat terhadap sumber informasi yang diperlukannya yang secara positif berdampak pada peningkatan kecerdasan masyarajat.
2
PERMASALAHAN Membangun sebuah masa depan elektronis (perpustakaan berbsis TtK) memerlukan strategi daa program untuk menyiapkan pustakawan dengan kompetensi TIK. Dengan mengintegrasikan TIK dalam pembangunan perpustakaan melalui peningkatan kapasitas pustakawan, maka akan terwujud layanan perpustakaan berbasis TIK dengan berorientasi pada kepentingan pemakai. Permasalahan yang terkait dengan aplikasi TtK dalam pengembangan perpustakaan yang seringkali muncul adalah: 1) Sejauhmana
manfaat
aplikasi
TIK
untuk
mendukung pengembangan
perpustakaa? 2) Hambatan-hambatan apa saja yang dapat terjadi dalam aplikasi TIK untiik mendukung pengembangan layanan perpustakaan berbasis TIK ? 3) Sejauh mana dukungan Pemerintah Daerah terhadap pengembangan aplikasi TIK di perpustakaan?
TUJUAN Makalah ini secara umum bertujuan untuk menganalisis peranan TIK dalam pengembangan perpustakaan. Adapun tujuan khususnya adalah: 1) Menganalisis manfaat TIK untuk mendukung pengembangan peprusiakaan di Kaltim; 2) Mengidentifikasi hambatan-hambatan yang dapat terjadi dalam aplikasi TIK untuk mendukung pembangunan perpustakaan di Kaltim; 3) Mendeskfipsikan bentuk dukungan Pemerinteh Peov. Kaftim dalam pengembangan TIK di perpustakaan.
APLIKASI TIK DI PEPRUSTAKAAN Apresiasi masyarakat yang tinggi terhadap arti pentingnya perpustakaan sebagai pusat sumber informasi dan juga kesadaran akan pentingnya minat dan budaya baca sangat kita perlukan dalam upaya menciptakan kualitas sumber daya manusia yang berkualitas dan berakhlak karena perpustakaan dan minat baca memiliki andil yang sangat penting untuk mewujudkannya.
2
Peran dan fungsr perpustakaan yang sangat strategis tersebut hanya dapat diwujudkan bila dttopang dengan komitmen dan kreartivitas para pengelota perpustakaan (pustakawan) untuk mewujudkan sosok layanan perpustakaan berbasis teknoiogi informasi. Di era globalisasi dewasa ini, perkembangan teknoiogi dalam memberdayakan peran perpustakaan sudah merupakan kebutuhan. Era perpustakaan digital (e~library) perlu disikapi secara positif Demikian pula kemudahan akses masyarakat ke perpustakaan melalui internet, perlu direspon dan terus dikembangkan. Melalui pelayanan dan kemudahan akses, masyarakat akan lebih tertarik mengunjungi perpustakaan. Minat berkunjung ke perpustakaan, akan mempercepat proses menuju bangsa yang cerdas dan berbudaya ilmiah. Pertimbangan yang paling mendasar yang mendorong perlunya pembangunan perpustakaan digital adalah perlunya ditingkatkan upaya pemenuhan kebutuhan informasi masyarakat dengan menerapkan teknoiogi informasi dan komuniskasi di perpustakaan, seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan pasal 12 ayat 1. pasal \ A ayst 3, pasal 19 ayat 2, pasai 22 ayat 3, pasal 23 ayat 5, pasal 24 ayat 3, pasal 38 ayat 2, pasal 42 ayat 3 serta di penjelasan umum yang intinya menitikberatkan perlunya penerapan Teknoiogi Informasi dan Komunikasi dalam mendukung jasa layanan pada semua jenis perpustakaan. Istilah perpustakaan digital {digital library) atau perpustakaan maya (virtual library) dipakai secara bergantian dengan isitilah perpustakaan elektronik {electronic library atau disingkat e-library). Meskipun terdapat perbedaan penyebutan namun secara umum istilah tersebut mengacu pada pemahaman bahwa perpustakaan digital bukan merupakan sutau entitas tunggal perpustakaan, melainkan merupakan suatu organisasL asosiasi atau jaringan kerjasama yang terdiri dari atas lebih dari satu perpustakaan. Untuk itu, perpustakaan digital memerlukan teknoiogi untuk menghubungkan banyak resource, perpustakaan dan pelayanan informasi yang berorientasi pada kepuasan pengguna. Hubungan antar anggota perpustakaan digital bersifat transparan dengan tujuan untuk menyediakan akses dan pelayanan informasi secara universal.
2
Program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh Pemernitah Provinsi Kalimantan Timur daiam upaya mengembangkan TIK di perpustakaan melafui Badan Perpustakaan Provinsi Kalimantan Timur, diantaranya : 1) Menyelenggarakan jasa layanan perpustakaan on-line. Program ini telah dilaunching oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrast pada bulan Maret 2009. 2) Pembentukan Jaringan kerjasama perpustakaan digital Kaltim pada bulan Agustus 2009.
Kerjasama
tersebut
adalah
jaringan
kerjasama
perpustakaan
yang
beranggotakan berbagai jenis perpustakaan yang ada di wilayah Kaltim yang bekerjasama untuk menyediakan berbagai bahan informasi termasuk katalog digital yang berisi data koleksi dari masing-masing perpustakaan yang dapat diakses publik melalui internet secara terbuka. Tujuan pengembangan perpustakaan digital Kaltim adalah untuk mempromos-ikan pemahaman dan kesadaran antara daerah dan budaya dalam lingkup wilayah Kalimantan Timur, menyediakan sumber belajar, mendorong ketersediaan bahan pustaka dan informasi yang mengandung nilai budaya local mendukung penelitian ilmiah, Dalam pembangunan perpustakaan digital Kaltim ini Badan Perpustakaan provinsi Kalimantan Timur berperan sebagai fasilitator. 3) Pembangunan infrastruktur IT dibawah koordinasi Dinas Komunikasi dan Informatika Prov. Kaltim 4) Memfasilitasi berbagai jenis perpustakaan dengan program aplikasi sistem IT perpustakaan sekaligus memberikan asistensi dalam kerangka membangunan kerjasama perpustakaan digital di KBltim.
Manfaat yang dapat diperoleh melalui penerapan TIK, khususnya dalam mendukung pengembangan perpustakaan di antaranya adalah: 1. Mendorong
terbentuknya jaringan informasi pertanian
di tingkat lokal dan
nasional. 2. Membuka akses masyarakat
terhadap beragam sumber informasi dalam
kerangka menc'iptakan struktur masyarakat yang berwawasan )uas dan cerdas 3. Mendorong tumnuh kembangnya industri kreatif di masyarakat 4. Memfasilitasi dokumentasi informasi terutama budaya local
2
HAMBATAN DALAM APLIKASI TIK Meskipun disadari TIK memiliki peranan yang sangat penting dalam mendukung pernbangunan termasuk dalam hal pengembangan layanan perpustakaan, namun sampai saat aplikasi TIK di perpustakaan masih terkesan lamban. Beberapa hambatan dalam aplikasi TIK untuk mendukung pengembangan perpustakaan dapat diidentifikasi secara ringkas sebagai berikut; 1. Belum adanya komitmen dari manajemen di level stakeholders yang ditunjukkan dengan adanya kebijakan yang belum konsisten. 2. Kemampuan tingkat managerial pimpinan di level stakeholders (khususnya di lingkup pemda dan dinas kabupaten) sebagian besar masih belum memiliki kapasitas di bidang teknologi informasi, sehingga banyak sekali proses pengolahan input yang seharusnya dapat difasilitasi dengan aplikasi teknologi informasi tidak diperhatikan dan bahkan cenderung dihindari penerapannya. 3. Sebagian besar level manajerial belum mengetahui secara persis konsep aplikasi teknologi informasi, sehingga berimplikasi pada rendahnya aplikasi teknologi informasi untuk mendukung operasionalisasi peiaksanaan tugas sehari-hari. 4. Infrastruktur penunjang tidak mendukung operast pengelolaan dan penyebaran informasi berbasis teknologi informasi. seperti misalnya pasokan listrik yang masih kurang memadai, perlengkapan hardware tidak lersedia secara mencukupi baik kualitas maupun kuantitasnya, gedung atau ruangan yang tidak memadai, serta jaringan koneksi internet yang masih sangat terbatas (khususnya untuk wilayah remote area). 5. Biaya untuk operasional aplikasi teknologi informasi untuk akses dan pengelolaan informasi yang disediakan oleh pemerintah daerah khususnya sangat tidak memadai terutama untuk biaya langganan ISP untuk pengelolaan informasi yang berbasis internet. 6. Infrastruktur telekomunikasi yang belum memadai dan mahal. Kalaupun semua fastlitas ada, harganya masih relatif mahal. 7. Tempat akses informasi metalui aplikasi teknologi informasi sangat terbatas. Di beberapa tempat di luar negeri, pemerintah dan masyarakat bergotong-royong untuk
2
menciptakan access point yang terjangkau, misalnya di perpustakaan umum (public library). Di Indonesia hal ini seharusnya dapat dilakukan di kantor pos, kantor pemerintahan dan tempat-tempat umum lainnya. 8. Dunia teknologi informasi terlalu cepat berubah dan berkembang, sementara sebagian besar sumber daya manusia yang ada di lembaga subsistem jaringan informasi cenderung kurang memiliki motivasi untuk terus belajar mengejar kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, sehingga seringkati kapasitas SDM yang ada tidak dapat mengikuti perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan cenderung menjadi lambat dalam menyelesaikan tugas.
DUKUNGAN PEMPROV. KALTIM DALAM PENGEMBANGAN TIK PERPUSTAKAAN Perhatian dan dukungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dalm
upaya
pengembangan TIK di Kalimantan Timur, khususnya dalam hal pengembangan layanan perpustakaan diimplementasikan melalui kebijakan dan langkah-langkah berikut:
1. Penguatan Keiembagaan Pengiuatan keiembagaan dilakukan dengan membentuk SKPD yang mengelola penerapan TIK. -
Pembentukan Dinas Komunikasi dan informatika
-
Pembentukan Badan Perpustakaan yang terpisah secara organisasi dengan Badan Arsip. Pemerintah Prov. Kaltim memandang bahwa pemisahan antara Perpustakaan dan Arsip harus dilakukan dan akan dipertahankan dengan pertimbangan akan lebih efektif dan lebih focus dalam melaksanakan pembinaan dan pengembangan perpustakaan di daerah ini.
2. Mainstreaming dan fokus isu-agenda TIK Isu-agenda TIK dibawa ke tengah pusaran 'isu-agenda-tantangan' pembangunan daerah; isu teknis ke isu kebijakan; isu agenda sektoral ke isu agenda bersama SKPD maupun publik; dan parsial ke integral kebijakan. tata kelola dan SDM.
3. Pengembangan suprastruktur TIK (Kelembagaan, Kebijakan/Reguiasi, SDM, e-Leadership, Tata Kelola/SOP, Dukungan Anggaran.dan Kemitraan)
2
3. Pengembangan infrastruktur TIK Pengembangan infrastruktur TIK berkaitan dengan sarana dan prasarana yang mendukung pengembangan dan pemanfaatan TIK. Infrastruktur TIK meliputi jaringan komunikasi (LAN, WAN, dan akses internet); pusat data (data center); perangkat keras pengguna (desktop, notebook dan lain lain); saluran layanan (service delivery channel) berbasis web, telepon. sms, dan lain lain; fasilitas pendukung seperti ruangan khusus, AC, UPS, Genset, serta sarana pengamanan fasilitas lainnya.
A.Pengembangan intostruktur TIK Pengembangan infostruktur TIK berkaitan dengan ketersediaan dan tingkat pemanfaatan perangkat lunak aplikasi yang mendukung layanan e-Government, baik secara langsung (front office) maupun tidak langsung (back office). Pengembangan dan pemanfaatan aplikasi tersebut didasarkan atas fungsi kepemerintahan yang dikelompokkan dalam blok fungsi dasar umum dan fungsi kedinasan dan kelembagaan.
4. Pemetaan dan Fokus Pemetaan pengembangan e-Government mengacu Grand Design Pengembangan Teknoiogi Informasi dan Komunikasi Provinsi Kalimantan Timur. Disamping itu, pengembangan e-Government sebagai faktor pendorong percepatan, tranformasi, dan inovasi Pembangunan Daerah fokus pada 4 (empat) bidang berikut: 1. TIK untuk mendorong pendidikan berkualitas 2.TIK untuk mendorong Pemberdayaan Masyarakat 3.TIK untuk mendorong Good Governance/Public Service 4.TIK untuk mendorong ekonomi kreatif
6. Penganggaran Dalam hal penganggaran untuk mendukung pengembangan TIK di perpustakaan. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur memberikan perhatian dan komitmen yang cukuptinggi. Hal tersebut diwujudkan dalam bentuk :
2
O Pengalokasian anggaran secara berkesinambungan untuk mendukung program dan kegiatan Badan Perpustakaan Prov. Kaltim. Alokasi anggaran Badan Perpustakaan Prov. Kaltim dalam kiuoin waktu 3 tahun teTakhir rata-rata mencapai 16 Milyar per tahun. O
Pengalokasian anggaran APBD Kaftim untuk mendukung program nasional pembangunan Pusat Unggulan Budaya Lokal Kalimantan (center of excellence) pada tahun anggaran 2012 senilai 8 milyar rupiah.
O
Pengalokasian anggaran untuk mendukung kegiatan peningkatan jam layanan perpustakaan rata-rata senilai Rp. 900.000.000 per tahun. Alokasi anggaran tersebut digunakan untuk mendukung biaya operasional layanan Badan Perpustakaan Prov. Kaltim pada malam hari dan juga layanan perpustakaan untuk hari Sabtu dan Minggu.
Video Iriyanto Lambrie
Makalah Undangan (Invited) 1. Sulistyo Basuki 2. Putu Laxman Pendit 3. Dina Isyanti 4. Tanya Torres
Interoperabilitas dalam konteks pendidikan pustakawan di Indonesia
[1]
Sulistyo-Basuki[2] Pendahuluan Pustakawan sejak awal sudah berhadapan dengan teknologi sesuai dengan perkembangan zamannya.Misalnya tahun 1860 an ,pustakawan Amerika menghadapi teknologi baru yang semula mendapat tentangan karena dianggap melanggar kaidah yang sudah lama berlangsung, padahal teknologi tersebut adalah penggunaan mesin tik! Teknologi baru tersebut mulai digunakan di kalangan pustakawan Indonesia pada tahun 1952 seiiring dengan pembukaan Kursus Pendidikan Pegawai Perpustakaan. Kursus tersebut menggunakan teknologi baru berupa kartu catalog. Kartu catalog menggantikan kartuiu berkas (sheaf catalogue) yang sudah digunakan selama hamper 1 abad. Pada waktu itu pustakawan Indonesia menggunakan teknologi baru ( mesin tik) untuk menggandakan kartu catalog (juga merupakan teknologi). Untuk membuat kartu tambahan, pustakawan harus mengetik kartu satu demi satu. Kemudian penggandaan kartu katalog dipermudah pada tahun 1970 an dengan digunakannya duplikator antara lain model Chiang dan Paisu . Ketika PC (Personal Computers) mulai digunakan di perpustakaan diikuti dengan perangkat lunak Micro CDS-ISIS sejak tahun 1984 mahasiswa ilmu perpustakaan mulai menggunakan komputer untuk menggandakan kartu. Pada masa ini mahasiswa sudah mulai berkenalan dengan konsep interoperabilitas antara komputer dengan mesin cetak Praktik penggunaan komputer untyuk membuat kartu katalog ini mulai ditinggalkan dengan munculnya format MARC (Machine Readable Catalogue). Micro CDSISIS dengan format IndoMARC merupakan fitur dominan dalam pendidikan pustakawan karena kedua-duanya diajarkan di sekolah. Micro CDSISIS bahkan demikian dominan sehingga pada tahun 1980 an dan 1990 an secara de facto merupakan perangkat lunak “resmi” perpustakaan Inonesia. Hal itu nampak dari pengajaran CDS ISIS di semua pendidikan pustakawan serta iklan lowongan yang mensyaratkan kemampuan CDS ISIS. Mahasiswa yang telah menyelesaikan pendidikannya ketika bekerja masih menggunakan CDS SIS. Mereka mengalami kesulitan manakala sistem yang mereka kembangkan berhadapan dengan sistemr lain; dengan kata lain muncul masalah interoperabilitas. Lalu timbul pertanyaan apakah selama kuliah tidak diajarkan konsep interoperabilitas?
Kurikulum pendidikan pustakawan Pendidikan sarjana ilmu perpustakaan dan kemudian ilmu perpustakaan dan informasi (selanjutnya disingkat IP&I) dimulai pada tahun 1969 di Universitas Indonesia disusul IKIP Bandung (kelak pindah ke Universitas Padjadjaran pada tahun 1986) berbasis Sardjana Muda. Pola ini berlangsung sampai dengan tahun 1986, setelah itu pendidikan IP&I berbasis SMA. Pada pendidikan sarjana berbasis Sardjana Muda, kurikulum ditentukan oleh jurusan masing-masing. Maka komponen mata kuliah relatife sedikit yang mengandung komponen teknologi informasi (untuk selanjutnya disingkat TI) karena memang pada waktu itu komputer masih jarang digunakan di perpustakaan. Tahun 1970 an teknologi yang masuk ke perpustakaan adalah duplikator pengganda kartu katalog. Tatkala pendidikan sarjana berbasis SMA dibuka pada tahun 1986 sesuai dengan sistem pendidikan yang ada pada waktu itu[3], maka muncullah kurikulum yang diatur oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Kurikulum yang diatur Menteri praktis mencakup semua mata kuliah termasuk SKSnya sehingga hanya memberikan ruang gerak bagi jurusan/program studi/departemen untuk membuat mata kuliah pilihan. Kurikulum Menteri Pendidikan & Kebudayaan 1994 Kurikulum ini hanya memuat Pengantar Komputer, Automasi Perpustakaan, tidak menjelaskan apa saja yang harus diajarkan. Kuliah berbobor 2 SKAS Kurikulum UNESCO untuk Asia Tenggara UNESCO’s ASTINFO programme menyusun kurikulum yang ditujukan bagi masyarakat informasi [sic] tahun 1997 (UNESOCO, 1998). Kurikulum dibagi menjadi 4 kelompok (Creation, Collection, Communication, Consolidation). Tentang TI dimasukkan sebagai bagian “Information Technology skills”. Dibandingkan dengan kurikulum 1994 mau pun Konssorsium, kurikulum UNESCO lebih rindi dengan uraian tujuan da hasil pembelajaran. Ada pun tujuan dan sasaran ketrampilan teknologi informasi ialah mengembangkan ketrampilan teknologi tingkat tinggi, termasuk kemampuan mendayagunakn sejumlah paket perangkat lunak. Menyangkut hasil akhir pembelajaran dinyatakan bahwa mahasiswa hendaknya : (i) mampu menggunakan dengan mudah sejumlah paket aplikasi, termasuk pemrosesan kata, lembatangsebar (spreadsheet) dan pangkalan data (basis data, databases); (ii) mampu menelusur informasi
dengan menggunakan sejumlah media, termasuk internet dan (iii) mampu mengevaluasi berbagai jenis peralatan dan perangkat lunak. Kurikulum “Nasional ( Konsorsium 2000) Munculnya kurikulum ini dilatarbelakangi era reformasi yang menginginkan universitas (dalam hal ini diartikan termasuk institut, sekolah tinggi, akademi dsb) menyusun kurikulum yang sesuai dengan keperluan masing-masing universitas. Hal serupa juga menghinggapi IP&I. Sebagai tanggapan atas tuntutan tersebut, Konsorsium Sastra dan Filsafat Dikti menyusun semacamkurikulum “nasional” dengan tujuan agar setiap departemen jurusan/program studi memiliki komponen mata kulaih yang sama untyuk selanjutnya dikembangkan oleh masing-masing departemen jurusan/program studi. Dalam kurikulum “nasional tersebut” sudah diperhirungkan mata kuliah wajib nasional Pancasila, Bahasa Indonesia), mata kuliah wajib universitas (berbeda antara universitas dengan institusi, misalnya IAIN memiliki mata kuliah wajib universditas paling banyak), mata kuliah wajib fakultas (mata kuliah ini berbeda , misalnya antara Fakultas Sastra dengan Fakultas Ilmu Komunikasi). Baru sedudah itu dijabarkan mata kuliah wajib. Mata kuliah 2000 dipengaruhi oleh laporan UNESCO yang disusun del Delors, sehingga dikenal sebagai Delors report, yang membagi mata kuliah menjadi 4 pilar pendidikn yaitu Learning to know (keimuan dan kertampilan), Learning to do (keahlian berkarya), Learning to live together learning to live with others (peri kehidupan bersama), dan Learning to be (perilaku berkarya) (Delors, 1998; Konsorsium Sastra dan Filsafat, 2000) Salah satu kelompok adalah mata kuliah Keahlian Berkarya yang i bertujuan: (a) memberikan dasar kompetensi profesional informasi. (b) memberikan landasan penguasaan ilmu perpustakaan dan informasi (c) membekali kompetensi teknologi komunikasi dan informasiuntuk kepentingan lembaga, pemakai dan masyarakat; (d) mengembangkan wawasan profesi dan akademis yang terbuka dan toleran terhadap perkembangan ilmu dan teknologi; (e) memberikan landasan untuk pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang perpustakaan dan informasi Salah satu mata kuliah adalah Mata kuliah yang Teknologi Komunikasi dan Informasi. Maka seperti kurikulum terdahulu, isi mata kuliah diserahkan ke masing-masing departemen /jurusan/ program studi. Maka menyangkut topic interoperabilitas diserahkan ke masing-masing departemen / jurusan/ program studi.
Dengan menyimak kurikulum yang ada tentang TI maka muatannya lebih banyak diserahkan kepada departemen /jurusan/ program studi. Tujuan dan sasaran serta hasil akhir pembelajaran juga tidak dinyatakan pada Urikulum Menteri Pendidikan Nasional 1994 mau pun Kurikum “nasional” versi Konsorsium. Juga dalam kurikulum UNESCO (1998) tidak dijelaskan Maka konsep interoperabilitas dalam pendidikan IP&I merupakan hal baru walau pun pengalaman mahasiswa sudah ada. Misalnya interoperabilitas antara sistem komputer dengan peripheral, antara komputer di sebuah perpustakaan dengan komputer di perpustakaan lain, atau bagaimana sistemr komputer hanya saja hal tersebut tidak diuraikan secara khusus. Interoperabel Interoperability berasal dari kata interoperable; kata terarkhir ini bermakna dapat beroperasi bersama dengan. Seperti dikatakan Miller (2000) … To be interoperable, one should actively engaged in the ongoing process of ensruing that the systems, procedures and culture of an organization are managed in such a way as to maximize opportunities for exchange and re-useof information, whether internally or externally Interoperabilitas Dari kata interoperable berkembang kata interoperability atau interoperabilitas dalam Bahasa Indonesia. Interoperabilitas adalah kemampuan sistem atau produk untuk bekerja dengan sistem atau produk lain tanpa upaya khusus dari pemakai. Interoperabilitas menjadi kualitas pentingnya produk TI sebagai konsep yang mendukung “Jaringan adalah komputer” menjadi kenaytaan. Karena hal tersebut maka istilah interoperabilitas digunakan secara luas dalam deskripsi pemasaran produk (interoperability. (Miller, 2000) Berdasarkan sebuah UKOLN Interoperability Focus, interoperabilitas merupakan kata yang bermakna luas, mencakup berbagai isu bersinggungan dengan efektivitas berbagai sumber daya informasi hidup berdampingan yang saling menguntungkan. Ada pun jenis interoperabilitas adalah interoperabilitas teknik, ~politik/manusia, ~interkomunitas, hukum,dan interoperabilitas internasional. Interoperabilitas teknik Interoperabilitas teknik merupakan aspek paling langsung dari interoperabikilitas. Hal tersebut dibuat untuk mengupayakan agara komponen eprangkat keras dan perangkat lunak jaringan dan system
informasi dapat berkomunikasi dan mentransfer informasi.. Mungkin hal itu sudah dianggap wajar dalam dunia Internet, namun di balik permukaaan ada usaha keras untuk mengupayakan agar interoperabilitas berjalan lancar. Interoperabilitas semantic Interoperabilitas semantic mengacu pada makna informasi bagi pemakai (dalam hal ini manusia) bukan hanya trsnsfer data saja. Upaya ini akan gagal bila pemakai menggunakan istilah yang berlainan untuk konsep yang sama (misalnya sapil, lembu, jawi, cows) atau menggunakan istilah yang sama untuk berbagai hal yang berbeda (misalnya bureaus untuk perabot, bagian organisasi, ). Interoperabilitas politik/manusia Interoperabilitas politik/manusia menyangkut kesediaan berbagai pemangku kepentingan tentang upaya agar sumber daya informasi terbukja lebih lebar dan menjangkau berbagai lapisan masyarakat. Pembukaan sumber daya yang lebih luas bertautan dengan lembaga yang berkaitan (lembaga merasa kehilangan kendali atas sumber daya atau kehilangan kendali atas kepemilikan sumber daya), staf lembaga (Miller, Interoperabilitas memungkinkan akses universal, mendorong berbagai isi dan sumber daya pndidkan, efisieinsi dan bagi mahasiswa mendorong pengembangan proses tim, kerja kolaboratif dan pemebelajaran dari pembimbing dengan pembimbing guna membantu mahasiswa berperan dalam pengembangan kemampuan pembelajarannya Interoperabilitas interkomunitas Interoperabilitas interkomunitas berkaitan dengan semakin kaburntya batas antara lembaga dan disiplin; dengan demikian pemakai semakin menuntut akses informasi ke sejumlah besar sumber daya, baik dalam batas disipklinnya sendiri r mau pun di luarnya Interopwerabilitas antarkomunitas Interoperabilitas budaya menyangkut keteroperasian sebuah sistemr pada budaya yang berbeda. Mungkin ini berkaitan dengan pemakai sistemr informasi yang berbeda, katakanlah dari sistemr yang mengarah ke sistem berbasis komputer dengan sistemr yang berbasis komputer tingkat lanjut. Demikian pula istem yang digunakan dua generasi, generasi yang merupakan imigran digital dengan generasi sepenuhnya lahir digital.
Mengapa interoperabilitas itu penting? Interoperabilitas itu penting karena berbagai penyedia informasi seperti perpustakaan, museum dan data arsip dalam salingberoperasi, bertukar dan berbagi data, memungkinkan sinergi berbagai sumber daya informasi. Interoperabilitas memungkinkan akses universal, meningkatkan akses bagi semua pihak ke jasa terpasang (dalam jarring,online), meningkatkan efisiensi. Keunggulan lain ditunjukkan oleh AICTEC Standards Sub-committee,interoperabilitas menunjang pelatihan dalam jarring atnpa memandang masalah waktu, tempat, kelompok kerja, memanfaatkan interoperabilitas infrastruktur teknik, pengajar dan siswa dapat berpartisipasi dalam pengajaran, pembelajaran dan pengembangan professional. ` Karena kemaknawian tersebut, maka pemahaman interoperabilitas perlu dikenalkan pada pendidikan IP&I, sebagai bagian dari nata kuliah TeknologiInformasi dan Komunikasi. Siapa yang memberikan Untuk pendidikan pustaawan, topic interoperabilitas diberikan oleh dosen pengelola TI. Karena topic interoperabilitas ini relative baru dalam kurikulum, ada baiknya pengajar TI lembaga pendidikan IP&I bertemu dengan tujuan menghasilkan kesepakatan cakupan kurikulum, tingkat pemberian (misalnya komponen, jumlah jam, praktik yang diberikan). Karena interoperabilitas bertautan dengan bidang lain seperti keterbukaan informasi, privasi, perundang-undangan maka ada abiknay dalam topic interoperabilitas juga diberikan berbagai aspek bertautan. Juga dapat diundng sebagai penceramah tamu pustakawan yang berpengalana dalam hal interoperabilitas walau pun hal ini dapat menimbulkan masalah karena praktik yang dihadapi pustakawan praktisi mungkin hanya berlaku bagi perpustakaannya sendiri. Di samping itu relatife pengajar TI juga memiliki banyak pengalaman lapangan. Penutup Interoperabilitas adalah kemampuan sistem atau produk untuk bekerja dengan sistem atau produk lain tanpa upaya khusus dari pemakai. Istilah tersebut memiliki makna luas, berbagai isu menyangkut interoperabilitas teknik, semantic, politik/manusia/interkomuniyas dan internasional. Karena memiliki kemaknawian (signifikansi) bagi berbagai system dan sumber daya informasi seperti museum, perpustakaan, depo arsip maka konsep interoperabilitas perlu diajarkan pada pendidikan IP&I.
Pengajaran dapat dilakukan dosen pengampu matakuliah TI dibantu oleh praktisi dan pakar dari disiplin lain karena interoperabilitas dapat bersifat lintas bidang. Bibliografi AICTEC Standards Sub-committee. http://www.aictec.edu.au/priorities/standards Delors, Jacques (1998).Learning: the treasure within:report to UNESCO of the International Commission on Education for the Twenty-first century. Paris:UNESCO Publishing. Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1994) Keputusan Menteri… Komisi Disiplin Ilmu Sastra dan Filsafat (2001) Kurikulum inti program sarjana (S1). Jakarta Miller, Paul (2002). "Interoperability. What is it and why should I want it?" Ariadne, 24. http://www.ariadne.ac.uk/issue24/interoperability/intro.html Akses 21Sept 2011 ------. (2002)What is interoperability and why is it important? http://webmail.indosat.net.id/cp/ps/Mail/Mgsbody/?=dinosat.net.id&c. .Diunduh 18 Agustus 2001 Sulistyo-Basuki (2006). Political reformation and its impact to library and information science education and practice: a case study of Indonesia during and post-President-Soeharto administration . DalamPproceedings of the Asia Pacific Library and Education Practice. UK Interoperability Focus: About.. http://www.ukoln.ac.uk/interopfocus/about. Diunduh 21 September 2011 UNESCO Principla Regional Office for Asia and The Pacific (1998) A curriculum for an information society: educating and training information professionals in the Asia-Pacific region. Bangkok: UNESCO PROAP
[1]
Makalah, Kongres Perpustakaan Digital Indonesia, ke 4, Samarinda, November 2011 Pengajar tidak tetap, Program Pascasarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi di UI, IPB, dan UIN Sunan Kalijaga [3] Pada saat itu mulai dikenal pendidikan akademik dan profesi; pendidikan akademik dimulai dengan strata 1,2, dan 3 sementara pendidikan profesi dimulai dengandiploma 2 sampai dengan diploma 4. [2]
VIDEO SEMINAR
Interoperabilitas dalam Pengembangan Perpustakaan Digital: Sisi Pandang Kebijakan Teknologi Putu Laxman Pendit, Ph.D. Abstrak Interoperabilitas dalam sistem informasi pada umumnya dan perpustakaan digital pada khususnya mencakup dimensi teknis maupun non-teknis. Makalah ini mencoba menguraikan pengertian interoperabilitas secara menyeluruh, sekaligus mencoba mengajukan rancangan solusi organisasional terhadap isu-isu teknologi. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan teori sosio-teknis sebab sampai saat ini belum cukup terkumpul data empirik tentang kondisi interoperabilitas secara nasional di Indonesia. Melalui pendekatan teoritis diharapkan akan ada gambaran yang lebih komprehensif tentang faktor pendorong maupun penghalang upaya interoperabilitas di Indonesia, khususnya yang menyangkut kebijakan teknologi informasi sebagai panduan dan acuan bagi upaya komputasi yang sekaligus terbuka dan mengakomodasi perbedaan sistem. Kata kunci : interoperabilitas, kebijakan informasi, pendekatan sosio-teknis. Pendahuluan “Interoperability is the capability to communicate, execute programs, or transfer data among various functional units in a manner that requires the user to have little or no knowledge of the unique characteristics of those units.”(ISO/IEC 2382 Information Technology Vocabulary, Information technology -- Vocabulary -- Part 1: Fundamental terms) “… the ability of two or more systems or components to exchange information and to use the information that has been exchanged.” (Institute of Electrical and Electronic Engineers - IEEE) Definisi-definisi formal tentang interoperabilitas sebagaimana dikutip di atas terfokus pada dua hal utama, yaitu kemampuan berkomunikasi antar unit atau sistem informasi yang berbeda, dan kemudahan bagi pengguna yang tak perlu direpotkan oleh perbedaan tersebut. Sesungguhnya, interoperabilitas bermaksud memfasilitasi pemanfaatan sebesar-besarnya
oleh pengguna akhir (end users) dalam sebuah lingkungan informasi yang mengandung berbagai sistem berbeda. Secara naif kita mungkin akan bertanya, mengapa di dunia informasi, khususnya yang berbantuan komputer, harus ada perbedaan antar sistem; mengapa tidak ada satu sistem tunggal saja sehingga tak perlu interoperabilitas? Jawaban sederhananya adalah karena sistem-sistem tersebut memang dibangun untuk tujuan yang berbeda, sehingga memiliki keunikannya masing-masing. Keunikan ini semakin dimungkinkan karena teknologi komputer adalah salah satu teknologi paling lentur (malleable technology) dalam kehidupan manusia. Namun keunikan ini sebenarnya juga bertujuan memproteksi sebuah sistem dari gangguan, sekaligus menjamin bahwa sistem tersebut terkendali/terkontrol oleh pemiliknya saja. Selain itu, penggunaan teknologi mutakhir dalam sebuah sistem pada akhirnya juga mengandung pertimbangan ongkos dan manfaat, sehingga praktis semua sistem informasi dibuat untuk memastikan bahwa manfaatnya sebanding dengan ongkos yang telah dikeluarkan untuk membangun, dan manfaat ini harus terlebih dahulu sebesar-besarnya untuk kepentingan (interest) si pemilik atau pengembang sistem tersebut. Jadi, walaupun definisi interoperabilitas di awal tulisan di atas seolah hanya memperlihat persoalan teknis komunikasi atau pertukaran data, sebenarnya adalah mustahil membicarakan interoperabilitas tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan hakikat dari keragaman/perbedaan, khususnya karena akhirnya kita harus juga mempertimbangkan aspek sosial, budaya, dan organisasional dari setiap sistem yang berbeda tersebut. Aspek-aspek ini akan menentukan seberapa mudah sebuah kepentingan dari sebuah organisasi dapat dijadikan bagian dari kepentingan yang lebih besar dalam sebuah situasi kerjasama (kooperatif). Jelas bahwa interoperabilitas secara teoritis mencoba mengatasi kemungkinan konflik antara kepentingan khusus di satu sisi dengan kebutuhan kerjasama demi kepentingan lebih umum di sisi lain, walaupun secara teknis interoperabilitas dapat diciptakan hanya dengan memastikan bahwa berbagai mesin komputer dapat saling bertukar data di dalam infrastruktur informasi yang sama. Jelas pula bahwa secara teoritis interoperabilitas amatlah berbeda dari penyeragaman atau peleburan sistem, sebab interoperabilitas mengakui dan menjamin keunikan dari masing-masing unit/sistem. Interoperabilitas lebih mirip dengan integrasi berdasarkan keragaman; lebih mirip bhineka tunggal ika daripada kesatuan (unity). Dasar dari interoperabilitas adalah kemauan dari berbagai pihak berbeda untuk berkomunikasi secara terbuka berdasarkan kesepakatan yang mengatasi perbedaan. Itulah sebabnya interoperabilitas segera mensyarakatan adanya standar dan protokol, selain penggunaan landasan yang sama (common platform). Itu pulalah sebabnya
interoperabilitas dekat dengan konsep “sistem yang terbuka” (open system) karena menjamin keunikan serta keamanan masing-masing sistem, sehingga praktis setiap upaya mengembangkan interoperabilitas akan dimulai dengan kepastian tentang standar dan keamanan data (data security). Di dunia teknologi informasi, interoperabilitas dalam pengertian di atas memang semakin diperlukan. Sebagai ilustrasi, sebuah komputer laptop saat ini memerlukan sedikitnya 250 standar interoperabilitas atau bahkan sampai 500 standar, agar dapat digunakan seluas mungkin untuk sebanyak mungkin kepentingan pengguna akhir, tanpa kehilangan ciri-ciri unik dari masing-masingnya (lihat Biddle, White, dan Woods, 2010). Sebagian standar interoperabilitas ini dibuat oleh konsorsium swasta, dan hanya sepertiganya yang dibuat oleh badan-badan formal/publik (atau standard development organizations, SDO). Sisanya bahkan dibuat oleh perusahaanperusahaan tunggal. Keterlibatan pihak swasta yang dominan ini menunjukkan bahwa di sebuah industri informasi yang amat kompetitif pun akhirnya harus ada kesepakatan-kesepakatan antar berbagai “pemain” agar pada akhirnya pihak konsumen dapat leluasa menggunakan produk yang mereka beli. Tentu saja, pada gilirannya keleluasaan ini meningkatkan penjualan dan profit kepada pihak produsen juga. Sementara itu di wilayah publik (public domain) interoperabilitas tentu saja amat bergantung pada inisiatif badan-badan pemerintahan. Motivasinya tentu berbeda dari pihak swasta, walaupun tujuan akhirnya sama: yaitu memudahkan pihak pengguna akhir sebagai pihak yang paling mendapatkan manfaat dari interoperabilitas tersebut. Salah satu inisiatif yang paling banyak mendapat perhatian adalah interoperabilitas dalam lingkup administrasi pemerintahan elektronik (e-government) atau e-government interoperability. Menurut UNDP, konsep ini secara umum adalah “the ability of constituencies to work together”. Sementara secara teknis adalah “the ability of two or more diverse government information and communications technology (ICT) systems or components to meaningfully and seamlessly exchange information and use the information that has been exchanged.” (United Nation Development Programmes, 2007, hal. 1). Untuk mencapai e-Government interoperability perlu diperhatikan dua hal, yaitu “standardisasi” dan “arsitektur”. Untuk arsitektur, UNDP menggunakan konsep IEEE, yaitu “pengorganisasian secara mendasar terhadap sebuah sistem, sebagaimana yang terwujud di komponen-komponen dan kaitannya (baik antar mereka, maupun dengan lingkungan) dan di prinsip-prinsip yang menuntun perancangan maupun kegiatan sistem tersebut (the fundamental organization of a system, embodied by its components and their relationships to each other and to the environment and by the principles
guiding its design and activity)”. Jelaslah di situ bahwa interoperabilitas amat memerlukan pengorganisasian yang akhirnya berkaitan dengan misi/tujuan sebuah sistem, sehingga tak mungkinlah sebuah interoperabilitas tercapai tanpa pengaturan-pengaturan di tingkat organisasi. Interoperabilitas dalam Perpustakaan Digital Dalam konteks perpustakaan digital (digital libraries) konsep interoperabilitas bahkan menjadi salah satu aspek sentral karena dua hal penting. Pertama, perpustakaan digital membawa terus hakikat dasar dari perpustakaan yang sudah berakar sejak lama, yaitu hakikat kerjasama, misalnya dalam aktivitas layanan saling pinjam atau interlibrary loan sebagai aplikasi kongkrit penggunaan sumberdaya secara bersama (resource sharing). Kedua, konsep perpustakaan digital itu sendiri langsung mengandung pengakuan tentang adanya keragaman dan perlunya kerjasama demi memaksimalkan pemanfaatan sumberdaya digital yang berpotensi melimpah-ruah. Tidaklah mengherankan jika pada masa-masa awal pengembangan perpustakaan digital, muncul konsep yang di satu sisi mengakui adanya keragaman namun di lain pihak sekaligus menginginkan keleluasaan akses. Simak misalnya pandangan Drabenstott (1994) yang futuristik di masanya; ia menyatakan perpustakaan digital “is not a single entity” (bukan entitas tunggal) dan membutuhkan teknologi yang mampu mengait-ngaitkan sumberdaya digital yang beragam. Ia juga menekankan perlunya transparansi bagi pengguna berupa kemudahan dan keluasan akses (universal access), selain bahwa objek digital yang dikelola mungkin saja tak memiliki bentuk tercetak sama sekali (born digital). Demikian pula Mukaiyama (1997) dari sisi pandang teknologi telah sejak awal mengingatkan bahwa ada 7 teknologi yang diperlukan untuk mewujudkan perpustakaan digital. Butir 4 sampai 7 berkali-kali menegaskan adanya keragaman dan keluasan sumberdaya digital. Dalam sejarah interoperabilitas di perpustakaan digital, peran perkembangan teknologi komputer yang amat dinamis memang sangat menentukan. Perlu kiranya diingat bahwa konsep dan aplikasi perpustakaan digital muncul tahun 1994 di Amerika Serikat ketika pemerintah menggelontorkan 24,4 juta dollar untuk 6 perguruan tinggi terkemuka di negeri itu. Waktu itu, riset yang dikembangkan melulu adalah riset komputasi, khususnya tentang hakikat dari objek digital, simpan dan temu kembali, serta jaringan berskala besar. Masa itu dikenal sebagai DLI-1 (Digital Library Initiative 1) yang bersifat eksperimental dan belum
sepenuhnya melibatkan kepustakawanan3. Dari segi keterlibatan universitas dan teknolog komputer, maka sejarah pegembangan perpustakaan digital Indonesia juga mirip dengan di Amerika Serikat, walau dari segi eksperimen kita jauh tertinggal. Baru pada DLI-2 (dimulai pada 1998) aspek-aspek kepustakawanan menjadi penentu perkembangan perpustakaan digital dan di saat itulah segera muncul masalah interoperabilitas. Ketika fase DLI-2 dimulai inilah muncul pula pertimbangan yang semakin berorientasi pada kemudahan akses, khususnya karena kepustakawanan di era digital ingin terus melanjutkan prinsip-prinsip dasarnya, yaitu akses yang setara (equal) bagi semua orang dan kebebasan informasi (dalam bentuk keleluasaan dan kemudahan). Dalam perkembangan DLI-2 ini pula Arms (2000) lalu menyatakan bahwa interoperabilitas adalah sebuah upaya mengembangkan jasa yang terpadu bagi pengguna perpustakaan digital sedemikian rupa sehingga mereka dapat memanfaatkan sumberdaya yang disediakan oleh beragam sistem dan beraneka institusi. Penekanan Arms adalah pada keterpaduan layanan dan kemudahan penggunaan. Secara lebih terinci lagi, Miller (2000) menyatakan bahwa interoperabilitas mengandung 6 aspek, mulai dari interoperabilitas teknis, semantik, politik, antar-komunitas, legalitas, sampai interoperabilitas internasional. Selain dari segi teknis, interoperabilitas dalam perkembangan perpustakaan digital juga amat didorong oleh perkembangan pandangan tentang keterbukaan yang diwakili oleh jargon “open”. Misalnya yang terkandung dalam Open Archive Initiative. Asal muasal OAI adalah penampungan e-print (e-print repositories)4. Penampungan inilah yang diartikan sebagai archives dalam kepanjangan OAI. Pada mulanya, berbagai ruang penyimpanan eprint ini memiliki beragam antarmuka, sehingga jika seorang ilmuwan perlu mencari di berbagai tempat penyimpanan berbeda maka dia perlu berkalikali berganti strategi pencarian. Untuk mempermudah pencarian lintas bidang dan lintas e-prints, OAI menyebarluaskan pemakaian protokol atau kesepakatan yang dikenal dengan nama The Open Archives Initiative's Protocol for Metadata Harvesting (OAI-PMH). Pada dasarnya OAI-PMH mengandung sebuah kerangka kerja (framework) sederhana yang ditujukan bagi pengembangan apa yang dikenal dengan metadata harvesting. Jika sebuah tempat penampungan e-print mengikuti standar OAI-PMH, maka 3
Untuk pembahasan yang menarik tentang inisiatif awal perpustakaan digital, lihat Bishop dan Star, 1996; Borgman et al., 1996; Griffin, 1999. 4 Istilah e-prints dapat diterjemahkan secara sederhana sebagai ‘naskah elektronik’, merupakan versi elektronik atau digital dari laporan penelitian ilmiah atau karya sejenis lainnya. Naskah ini dapat merupakan pre-print atau naskah yang belum diperiksa (belum melalui proses peer review), atau juga yang merupakan post-print atau sudah diperiksa. Termasuk pula di sini segala versi digital dari artikel jurnal, bab dari sebuah buku, makalah yang ditampilkan di seminar ilmiah, atau segala bentuk laporan penelitian yang tergolong technical reports.
mesin-mesin pemanen (harvesters) dapat mengumpulkan informasi metadata darinya dan menyelaraskan informasi itu dengan yang didapat dari tempat lain, sedemikian rupa sehingga seolah-olah berbagai tempat penampungan itu memiliki satu himpunan metadata. Lalu, ketika seorang ilmuwan bermaksud mencari secara lintas bidang, dia tidak perlu mengunjungi semua tempat penampungan tadi, melainkan cukup mencarinya di himpunan metadata hasil panen tersebut. OAI-PMH merupakan salah satu contoh upaya interoperabilitas yang cukup berhasil. Dalam hal ini, OAI sebenarnya dapat dikatakan telah mengikuti jejak ‘saudara tua’-nya yaitu Open Archival Information System (OAIS) yang dimotori oleh Consultative Committee for Space Data Systems (CCSDS) pada tahun 1982, sebagai sebuah forum internasional untuk badan-badan ruang angkasa bagi kerjasama dalam pengelolaan data penelitian mereka. Pada tahun 1990, CCSDS mulai bekerjasama dengan International Organization for Standardization (atau ISO) untuk menyusun sebuah standar bagi sistem penyimpanan dan penyediaan data penelitian ruang angkasa. Dari sinilah lahir sebuah model rujukan (reference model) untuk sebuah sistem informasi kearsipan yang terbuka. Inilah cikal bakal OAIS yang akhirnya berlaku di semua bidang yang memerlukan pengarsipan dan preservasi digital, tidak hanya yang berkaitan dengan penelitian ruang angkasa. Setelah melalui diskusi internasional yang terbuka dan pembuatan ragangan (draft) yang bolak-balik, akhirnya tercapailah ragangan ISO pada tahun 2000. Lalu, setelah proses finalisasi, resmilah ragangan itu menjadi standar ISO nomor 14721 tahun 2002 untuk diberlakukan secara internasional. Baik OAI-PMH maupun OAIS sangat memengaruhi perkembangan konsep perpustakaan digital dan interoperabilitas. Boleh dikatakan, kedua inisiatif tersebut mematangkan pondasi bagi perkembangan perpustakaan digital selanjutnya sehingga prinsip-prinsip kepustakawanan yang “tradisional” seperti union catalog, interlibrary loan dan resource sharing dapat dilanjutkan dalam skala yang lebih besar dengan bantuan teknologi digital. Semnentara itu, dari sisi teknis, perkembangan teknologi pertukaran data (data exchange technology), khususnya yang memanfaatkan Internet dalam bentuk Web Service, ikut mendorong pengembangan perpustakaan digital mutakhir dan menghilangkan keraguan tentang interoperabilitas. Penggunaan XML sebagai bahasa yang tergolong “sederhana” dan ketersediaan protokol seperti SOAP, WSDL, dan UDDI, menambah marak upaya pengembangan perpustakaan digital yang berjangkauan luas sekaligus terbuka untuk berinteraksi.
Interoperabilitas Metadata: metode dan kompleksitasnya. Jika kita simak lebih rinci, maka terlihat bahwa aspek interoperabilitas yang paling dahulu ditangani di DLI-2 adalah interoperabilitas dalam temukembali informasi, khususnya yang melalui fasilitas akses publik terhadap katalog terpasang (online public access catalogue). Sesungguhnya aspek ini adalah aspek “klasik” dari setiap upaya penerapan teknologi di perpustakaan. Sejak katalog berkembang dari tanah liat ke kertas, lalu ke kartu katalog, kemudian ke pangkalan data digital, selalu muncul masalah interoperabilitas dan solusinya selalu adalah dengan menciptakan kesepakatan, standar, dan protokol pertukaran data. Dalam waktu relatif cepat, perpustakaan digital di negara-negara yang sudah mapan dalam temu-kembali ini berhasil mengatasi masalah interoperabilitas melalui pengaturan metadata dan penggunaan protokol semacam Z39-50. Namun dari upaya interoperabilitas tahap awal ini, segera pula terlihat bahwa solusi teknis (metadata, protokol) harus diikuti pula dengan solusi lain yang tak selamanya berhubungan dengan teknis. Salah satu contoh yang dapat kita periksa adalah pengalaman Australia. Sesuai hasil survei Hider (2004) terhadap 40 institusi yang mengelola koleksi digital, ditemukan bahwa perhatian dan kesadaran terhadap standar format metadata memang tinggi, tetapi juga terlihat penggunaan skema metadata yang amat beragam. Walaupun keterbukaan sudah tersedia, yaitu karena beberapa institusi sudah membuka diri dan mengizinkan orang lain mengimpor data mereka, namun belum tentu peluang ini dimanfaatkan institusi lain. Selain memang diperlukan upaya interoperabilitas di pihak pengimpor atau pemanen (harvester), persoalan lain adalah keraguan tentang kualitas metadata yang tersedia secara terbuka itu. Demikian pula, walaupun hampir semua institusi menganggap penting standardisasi metadata, dan semuanya menginginkan fungsi-fungsi federated search, namun tetap ada perbedaan persepsi tentang perlu-tidaknya pertukaran data. Menurut analisis Hider, walaupun semua pustakawan mengerti konsep interoperabilitas sebagai konsep tentang sistem informasi yang berdasarkan prinsip “gotong royong”, namun tetap ada pandangan berbeda tentang bagaimana dan mengapa sistem-sitem itu harus bekerjasama. Penyebab utama dari perbedaan ini adalah perspektif institusi. Misalnya, sejauhmana interoperabilitas bersifat menghemat ongkos sangat tergantung pada keunikan sumberdaya digital dari masing-masing institusi. Ada koleksi digital yang karena satu lain hal menyebabkan si pustakawan merasa harus mendahulukan “kepentingan domestik”, yaitu dipusatkan pada interoperabilitas di dalam institusi itu dan di antara koleksi mereka sendiri (disebut internal interoperability). Padahal ada institusi lain yang lebih berorientasi publik mungkin memiliki persepsi yang lebih luas, sehingga
sampai memperhatikan integrasi antar-institusi, bahkan antar domain berbeda, dan kalau perlu mencakup seluruh Internet (disebut external interoperability). Juga ada perbedaan persepsi tentang cara mencapai interoperabilitas, karena konteks informasi yang berbeda. Para pengelola perpustakaan digital harus menetapkan prioritas, apakah akan memastikan agar koleksi digital mereka memenuhi standar interoperabilitas (bahkan jika perlu mengkonversi semua data serta sistem temu-kembali mereka agar dapat diakses secara meluas), atau mengembangkan sistem yang dapat menangani koleksi digital yang beragam, atau keduanya. Dari survei memang ada institusi yang memilih untuk menaati standar dan struktur data yang sudah mapan dan dipakai meluas, sementara institusi lain ada yang mementingkan pengembangan teknologi untuk menangani variasi dalam metadata dan formatnya. Dari segi teknologi metadata dan temu-kembali di bidang perpustakaan digital, fleksibilitas memang dimungkinkan, terutama setelah filosofi dan pendekatan-pendekatan satu skema yang dulu mendasari MARC dan AACR2 telah “dikoreksi” oleh kesepakatan dalam bentuk Dublin Core dan Warwick Framework5. Inilah yang mendorong berlakunya apa yang disebut pengaitan antar paket metadata (interlocking containers and packages of metadata) sehingga masing-masing komunitas berbeda dapat mengembangkan serta merawat sendiri skema metadata mereka, tetapi tetap interoperating dengan paket metadata dari komunitas lain. Di sinilah Dublin Core berfungsi sebagai sebuah rangkaian penyatu (unifying set) untuk keperluan temukembali lintas komunitas, lalu setiap komunitas dapat menggunakan apa yang kemudian kita kenal dengan qualifiers sesuai kebutuhan unik mereka. Perkembangan dan dinamika teknologi temu-kembali memang amat memengaruhi pendekatan dan prioritas yang berbeda di masing-masing pengembang perpustakaan digital. Dalam survei yang dilakukan AlipourHafezi et.al. (2010) terlihat bahwa masing-masing perpustakaan biasanya menggunakan teknologi dan alat kerja berbeda, disebabkan perbedaan dalam waktu pengembangan, jumlah dana yang dialokasikan, dan kaidah efisiensi yang dipakai ketika mengembangkannya. Pada umumnya perpustakaan yang ingin menawarkan jasa terintegrasi sebagai bagian dari kerjasama antar perpustakaan tentu saja harus memperhatikan metode yang cocok untuk pengguna mereka terlebih dahulu. Ada kaitan amat erat antara kinerja dan ongkos teknologi di satu sisi dan kualitas isi dan pengguna di sisi lain.
5
Untuk penjelasan lebih lengkap, lihat misalnya http://www.dlib.org/dlib/july96/lagoze/07lagoze.html
Dalam konteks inilah kita dapat melihat tiga model dasar interoperabilitas, yaitu (1) berserikat (federated), memanen (harvesting), dan menghimpun (gathering) yang dapat diuraikan secara ringkas sebagai berikut: 1. Metode berserikat terjadi jika masing-masing perpustakaan digital dapat mengirim perintah pencarian ke berbagai himpunan (repositories) lalu hasilnya dikumpulkan untuk disajikan ke pengguna. Pada tahun 1984, protokol Z39.50 sudah dijadikan standar nasional di Amerika Serikat dan dipakai Library of Congress untuk mengembangkan jasa yang tersebar. Untuk menjalankan metode ini secara efektif, harus ada sistem yang bertindak sebagai klien dan penyedia (server). Penyedia bertugas memperbarui terus kandungan datanya dan memberi respon kepada setiap pencarian, sementara klien menjadi perantara bagi pengguna-akhir untuk berhubungan ke penyedia. Dalam perkembangannya, muncul pula teknologi perangkat perantara (middleware) yang memungkinkan pengguna-akhir mengontak berbagai penyedia secara langsung. Jelaslah bahwa di metode berserikat ini peran protokol yang dapat “menerjemahkan” bahasa pencarian untuk berbagai skema metadata maupun kandungan isi yang berbeda, amatlah penting. Selain itu, jelas pula bahwa teknologi untuk pihak penyedia maupun klien harus cukup tinggi agar sistem informasi dapat berjalan terus secara cepat dan lancar. 2. Metode memanen merupakan jawaban bagi tuntutan teknologi yang terlalu mahal jika menggunakan metode berserikat. Dengan metode memanen, semua peserta jaringan menyediakan semacam jasa bersama yang sederhana, dan masing-masing pihak tak perlu membangun sistem yang sama canggihnya. Penggerak utama dari metode ini adalah model OAI-PMH sebagaimana sudah diterangkan di atas, yaitu setiap perpustakaan menyediakan metadata sederhana untuk “dipanen” (diambil atau diimpor) oleh perpustakaan mitra kerja. Perpustakaan pemanen kemudian dapat menyediakan jasa untuk pengguna akhir mereka berdasarkan hasil panen tersebut. Sama halnya dengan metode berserikat, metode memanen juga mengandalkan protokol, namun untuk menghemat biaya digunakanlah protokol sederhana berbasis HTTP, menggunakan perangkat lunak yang juga sederhana dan tersedia secara gratis/terbuka bagi semua pihak yang berminat 6. 3. Metode menghimpun merupakan metode yang paling sederhana dengan memanfaatkan kemampuan mesin pencari berbasis web dan mengandalkan data yang tersedia secara umum/publik di Internet. Pihak penghimpun maupun pihak penyedia data publik tak perlu terlibat dalam kerjasama formal. Tentu saja, tak ada jaminan tentang 6
Misalnya, interoperabilitas di antara pemakai CDS/ISIS diusulkan Jayakanth et al. (2006), menggunakan model memanen. Untuk middleware-nya mereka mengusulkan CDSOAI yang berbasis OAI. .
kualitas informasi serta keajegan dalam ketersediaan data maupun struktur informasinya. Inisiatif penghimpunan sepenuhnya ada pada pihak yang memiliki kemampuan mengembangkan dan memelihara mesin pencari web. Metode apa yang akan dipilih di antara tiga metode tersebut oleh sebuah perpustakaan atau sekelompok perpustakaan digital amat bergantung pada ketersediaan sumberdaya (baik perangkat keras, lunak, maupun sumberdaya manusia) di masing-masing pihak. Selain itu, sumberdaya di sebuah perpustakaan juga akan menentukan tingkatan interoperabilitas yang akhirnya dipilih. Sebagaimana dikatakan Chan dan Zeng (2006a, 2006b), ada tiga tingkatan interoperabilitas, yaitu tingkatan skema, tingkatan rekod, dan tingkatan repository. Dalam tingkatan skema, fokusnya adalah pada pengembangan elemen-elemen yang terbebas dari persyaratan aplikasi, misalnya dengan mengutamakan pembuatan crosswalks, application profiles, dan registries. Di dalam tingkatan rekod, dilakukan mapping terhadap semua rekod sebelum diintegrasikan. Di dalam tingkatan repository, maka handalannya adalah teknik pengumpulan (aggregation) berdasarkan metadata repository. Pilihan-pilihan metode dan tingkatan interoperabilitas tersebut di satu sisi memungkinkan fleksibilitas, namun di sisi lain menimbulkan kepusingan tersendiri karena menciptakan berbagai sistem dan skema terisolasi, yang pada akhirnya memerlukan lagi interoperabilitas di antara mereka (lihat, misalnya, hasil kajian OCLC/RLG Working Group on Preservation Metadata, 2002). Pernah ada usul untuk mengadopsi uniform metadata framework untuk menciptakan interoperabilitas maksimum. Secara idealnya, jika semua komunitas pemilik data diwajibkan menggunakan standar dan pendekatan interoperabilitas yang sama, maka pastilah akan terjamin konsistensi antar metadata, seperti yang sudah tercapai di kalangan pustakawan selama 40 tahun lebih dalam bentuk MARC. Namun pada akhirnya perkembangan, dinamika teknologi, dan variasi kebutuhan masyarakat dianggap terlalu cepat untuk dihadapi dengan cara pandang dan sistem yang cenderung kaku (rigid) serta memerlukan waktu lama untuk dimodifikasi. Menurut Blanchi and Petrone (2001), [F]or practical, technical, and political reasons, this approach is neither realistic nor necessarily desirable. Indeed, if a single standard were adopted, the resulting metadata would not be appropriate for describing all types of data and in effect, would not be interoperable. A one-size-fits-all standard would either not provide enough information about the described data or the metadata would be overwhelmingly difficult to generate, resulting in imprecise descriptions.7 7
Lihat http://www.dlib.org/dlib/december01/blanchi/12blanchi.html.
Akhirnya yang terjadi adalah kombinasi berbagai pendekatan yang kemudian menimbulkan tantangan baru dalam interoperabilitas antar sistem. Sebagaimana di Australia dan negara-negara yang sudah berkembang lainnya, keadaan di Indonesia juga serupa. Persoalan interoperabilitas yang semula terlihat “teknis” akhirnya meluas menjadi persoalan organisasional dan antar-organisasi. Hal ini sebenarnya sudah diantisipasi oleh teoritisi perpustakaan digital (Miller sudah sejak 11 tahun yang lalu mengingatkan ada 6 persoalan interoperabilitas, dan interoperabilitas teknis hanyalah salah satunya). Kompleksitas interoperabilitas ini terbukti memang merupakan bagian dari fenomena penerapan teknologi informasi, khususnya jika sudah meningkat menjadi komputasi berskala besar (large scale computing). Interoperabilitas Organisasional dan Dimensi Kebijakan Jika Miller (2000) menyatakan bahwa diperlukan interoperabilitas politik, interoperabilitas antar-komunitas, dan interoperabilitas legal, maka Misuraca et. al. (2011) mengutip European Interoperability Framework (EIF) dan UNDP e-Government Interoperability Study Group, menyimpulkan perlunya interoperabilitas organisasional dengan kata-kata, For an effective and far-reaching cooperation between two (or more) organizations, organizational interoperability also needs to be addressed. The latter means that the two (or more) cooperating organizations are able to effectively perform a cooperative task, exchanging information and services. Furthermore, this strand also includes the progressive adoption of best practices, necessary to ease an effective interoperability. Organizational interoperability is generally supported by adopting an appropriate framework, such as ebXML, TOGAF, or e-GIF. Walaupun Misuraca et. al. berbicara dalam konteks e-government dan egovernance, pernyataan mereka amat relevan dikutip di sini karena dua alasan. Pertama, seperti yang dikatakan di atas, upaya interoperabilitas perpustakaan digital cenderung meluas menuju large scale computing karena kemungkinan bertumbuhnya sistem-sistem yang menggunakan skema berbeda dan karena potensi penetrasi Internet ke seluruh negeri. Di Indonesia sudah terlihat ada kelompok perpustakaan digital publik (melibatkan Perpustakaan Nasional dan semua jenis perpustakaan untuk umum lainnya), kelompok perpustakaan digital perguruan tinggi, dan perpustakaan digital “swasta”atau komunitas (sedikit banyaknya terlepas dari inisiatif dua sebelumnya). Di antara ketiganya akan harus ada interoperabilitas. Kedua, berkaitan dengan kenyataan pertama, pengembangan perpustakaan di Indonesia merupakan pengembangan
institusi publik8 yang mengandalkan fasilitas dan dukungan negara. Apalagi untuk penerapan teknologi informasi yang cenderung mahal dan memiliki kompleksitas tinggi, belum pernah ada inisiatif pengembangan perpustakaan di Indonesia yang sepenuhnya terlepas dari campurtangan negara/pemerintah. Dengan dua alasan itu, adalah penting untuk memperhatikan pengaruh dari apa yang disebut Misuraca et al sebagai “value driver” atau nilai penggerak. Artinya, kita tak dapat memahami interoperabilitas hanya sebagai upaya menyelaraskan teknik metadata dan pertukaran data, melainkan juga sebagai bagian dari upaya mewujudkan nilai-nilai tertentu, sebagaimana terlihat dalam tabel berikut: Tabel 1 – Nilai Penggerak Tata Kelola Nilai Penggerak
Kinerja
Keterbukaan
Inklusi
8
Dimensi Kelola
Tata Dimensi Kualitas
Ekonomi Efisiensi Temporal Prosedural Kehandalan penyediaan Efektivitas jasa Temporal Akses ke informasi Kultural Teknologi Interoperabilitas Penggunaan data secara bersama Transparansi Akuntabilitas Partisipasi Jasa untuk pihak yang kurang Aksesibilitas Teknologi yang memadai Kemudahan bagi pihak tak mampu Kesetaraan Kemudahan bagi kelompok pinggiran (diambil dari Misuraca et al, 2011, hal 107)
Menurut asumsi penulis, sebagai institusi yang tak punya orientasi profit maka semua perpustakaan di Indonesia pada dasarnya adalah untuk kepentingan masyarakat umum, terlebih jika kita menyadari bahwa kepustakawanan juga berprinsip equal access for all sebagai bagian dari motivasi untuk menerapkan interoperabilitas.
Jelas terlihat dalam tabel di atas, upaya interoperabilitas adalah bagian dari keterbukaan yang juga tak terlepas dari aspek kinerja institusi publik dan motivasi untuk menciptakan inklusi sosial (social inclusion). Dengan kata lain pula, tak mungkin upaya interoperabilitas dilepaskan dari upaya menciptakan efisiensi, efektivitas, keluasan akses, akuntabilitas, dan kesetaraan. Setiap institusi publik, termasuk perpustakaan, idealnya bergerak mengupayakan interoperabilitas sambil menyempurnakan aspekaspek lainnya. Ketika interoperabilitas dibiarkan “terlepas” dari aspek lain, maka akan muncul persoalan organisasional dan antar-organisasional. Itulah sebabnya, upaya interoperabilitas akhirnya perlu menyentuh dimensi kebijakan (policy) organisasi. Sebagaimana dikatakan Innocenti et. al (2010), kebijakan di sini dapat diartikan sebagai “mekanisme politis, manajemen, finansial, dan administratif yang dibentuk untuk memastikan terciptanya hasil dan perilaku yang konsisten”. Dalam konteks pengembangan perpustakaan digital, sebuah kebijakan dapat dilihat sebagai sebuah gambaran kondisi, pemahaman, atau pengaturan yang mengendalikan kegiatan atau operasional perpustakaan yang bersangkutan. Kebijakan ini mudah terlihat dalam bentuk aturan-aturan, misalnya: Aturan untuk komputerisasi yang dapat diterjemahkan oleh teknolog dalam bentuk program/aplikasi. Aturan untuk pengguna jasa yang seringkali berisi kesepakatan tentang apa yang dapat disediakan dan tidak dapat disediakan oleh perpustakaan serta bagaimana memanfaatkan jasa tersebut. Aturan tentang koleksi yang tak hanya berkaitan dengan pengembangan dan kualitasnya, tetapi juga keamanan dan sistem kepercayaannya (trusted systems). Upaya interoperabilitas tak mungkin dilepaskan dari kebijakan tentang aspek lainnya dalam sebuah organisasi perpustakaan. Selain itu, Innocenti et. al juga menekankan perlunya kebijakan khusus dalam hal interoperabilitas (policy interoperability) antar-organisasi. Kebijakan ini merupakan “business level interoperability”, berupa sebuah kerangka kerja yang memungkinkan perbandingan secara transparan dalam hal nilai dan tujuan organisasiorganisasi yang akan saling bekerjasama. Jika ada pihak ketiga yang diperkirakan akan terlibat dalam upaya interoperabilitas (misalnya pihak pengembang, penyedia infrastruktur cloud computing, dan sebagainya), maka harus ada pernyataan kebijakan tentang hal ini. Jelaslah bahwa kebijakan ini merupakan kebijakan tingkat tinggi (high level policy) yang perlu dibuat dan disepakati oleh semua pihak di awal upaya pengembangan interoperabilitas. Di tingkat kebijakan ini pula perlu ada kejelasan dalam beberapa sub-kebijakan penting, misalnya kebijakan dalam akses, akuisisi, administrasi, kerjasama, preservasi, diseminasi, manajemen jaringan,
pemanfaatan Internet, sumberdaya manusia, keamanan, dan perlindungan pribadi. Jelas kiranya bahwa semakin besar jumlah pihak yang akan dilibatkan dalam interoperabilitas, maka semakin rumit dan peliklah kesepakatan yang harus dicapai. Dari sisi inilah akhirnya kita dapat melihat upaya interoperabilitas dalam skala besar sebagai sebuah sistem sosio-teknis yang tidak hanya berisi permasalahan teknis. Sebagai sistem yang demikian, maka ada berbagai unsur “non-teknis” yang justru seringkali lebih berperan menentukan berhasil-tidaknya sebuah large scale computing yang dilakukan dalam konteks institusi publik. Dengan sangat baik, Soares dan Amaral (2011) menggambarkan unsur-unsur tersebut berdasarkan pengalaman di Portugal, sebagaimana terlihat di tabel berikut: Tabel 2. Pendorong dan Penghalang Interoperabilitas Faktor Pendorong Sudah ada “political will”
Keterlibatan dan komitmen berbagai badan pemerintah
Sudah ada kerangka kerja interoperabilitas
Sudah ada jaminan keamanan informasi Sudah ada electronic signature
Faktor Penghalang Tidak ada tata kelola khusus tentang interoperabilitas Tidak ada standar nasional tentang interoperabilitas Tidak ada leaderships intra maupun antar-badan Tidak ada monitoring antar-badan Tidak ada inisiatif pengendalian antar-badan Tidak ada dana khusus untuk interoperabilitas Kekurangan dalam sumber daya manusia Tidak ada koordinator penanggungjawab antar-badan Belum ada kerangka arsitektur enterprise Domain untuk public administration belum jelas Pengalaman bersama dan salingpercaya belum ada Siklus dana tidak teratur Tidak ada transparansi dalam public administration Masih ada masalah semantik Otoritas terbatas pada masing-
masing badan Keraguan dalam otonomi dan otoritas Portugal adalah anggota EU antar-badan Konflik kepentingan antar-badan Sikap anti-perubahan Pertimbangan untung-rugi antarbadan Ketidakpercayaan antar-badan Kemitraan badan publikKecurigaan tentang privacy dan swasta ada proteksi data Ketimpangan teknologi antar-badan Kekuatiran kehilangan status quo Persoalan prinsip-prinsip konstitusional (diadaptasi dari Soares dan Amaral, 2011, hal. 84) Temuan Soares dan Amaral memang tak sepenuhnya relevan, dan kerumitan yang mereka temukan adalah dalam konteks interoperabilitas antar badan pemerintahan antar negara-negara Eropa, sehingga jelas sangat high level dan meluas. Namun kita dapat menggunakan kerangka di atas sebagai acuan untuk memahami persoalan interoperabilitas perpustakaan digital di Indonesia. Dalam lingkup nasional, semua unsur pendorong dan penghalang di tabel di atas dapat kita periksa. Demikian pula, untuk lingkup sektoral (publik, perguruan tinggi, swasta/inisiatif masyarakat) semua unsur di atas dapat dijadikan rujukan. Sebuah kajian yang mendalam dan menyeluruh terhadap upaya-upaya interoperabilitas di Indonesia kiranya akan dapat mengungkap persoalan apa yang harus kita hadapi dan bagaimana menemukan solusinya. Rangkuman dan Kesimpulan Dari seluruh paparan di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa persoalan interoperabilitas dalam pengembangan perpustakaan digital merupakan persoalan sosio-teknis yang secara khusus memerlukan penanganan teknologi maupun manajemen/organisasional. Berhasil-tidaknya upaya pengembangan interoperabilitas dan perpustakaan digital di Indonesia amat ditentukan oleh kemampuan kepustakawanan Indonesia memahami interoperabilitas sebagai perkembangan teknologi informasi yang perlu diadopsi sesuai keragaman dan variasi kepentingan perpustakaanperpustakaan itu sendiri yang notabene bertanggungjawab kepada komunitas mereka masing-masing. Pilihan pendekatan interoperabilitas harus disesuaikan dengan karakter domain (wilayah) informasi di mana perpustakaan digital akan dikembangkan. Penulis melihat setidaknya ada tiga wilayah yang memerlukan pendekatan berbeda, yaitu wilayah publik
(perpustakaan umum), wilayah akademik (perpustakaan perguruan tinggi), dan wilayah swasta/inisiatif masyarakat. Masing-masing wilayah ini akan menggunakan skema, metode, dan disain teknologi yang berbeda. Di tingkat nasional, maka nanti akan diperlukan interoperabilitas antar wilayah pula yang akan bercirikan large scale computing. Dimensi kebijakan amat penting dikembangkan secara seksama di Indonesia, dan fungsi insiator harus ada di setiap wilayah tersebut di atas, selain juga di tingkat nasional. Kebijakan-kebijakan lokal (di setiap perpustakaan), antar-organisasi (di masing-masing wilayah), dan nasional (antar wilayah) perlu dibuat. Kebijakan yang dimaksud di sini adalah kebijakan informasi (information policy). Menurut Rowland (1997) semua kebijakan informasi diarahkan untuk tujuan politik, dan karena kebijakan ini biasanya datang dari pemerintah, maka pembentukan, pelaksanaan dan evaluasinya perlu terus dilakukan. Perlu juga kiranya diingat bahwa amatlah sulit melepaskan kebijakan informasi dari keseluruhan konteks sosial dan politik suatu masyarakat. Setidaknya ada tiga tingkatan hirarki kebijakan informasi yang juga relevan untuk persoalan interoperabilitas, yaitu: Kebijakan infrastruktural, seperti misalnya kebijakan tentang sarana pendidikan yang berlaku secara meluas di sebuah masyarakat, dan berpengaruh langsung atau tidak langsung terhadap kebijakan informasi. Kebijakan infrasturktural ini membentuk konteks sosial-ekonomi bagi kebijakan dan kegiatan informasi. Kebijakan informasi horisontal, yang mengandung aplikasi khusus dan langsung berpengaruh pada sektor informasi, seperti kebijakan yang mengharuskan penyediaan perpustakaan umum, pajak terhadap buku, atau undang-undang proteksi data. Kebijakan informasi vertikal, yang berlaku untuk sektor informasi tertentu saja, misalnya pengaturan di kalangan komunitas pengelola informasi geografis yang akan berbeda dari pengaturan kalangan pengelola informasi kebudayaan. Perlu kiranya dipahami, selain cenderung kompleks setiap kebijakan informasi pada dasarnya juga memastikan sumberdaya yang harus disediakan dalam pengembangan interoperabilitas. Jika negara/pemerintah serius ingin mengembangkan interoperabilitas sebagai bagian dari strategi nasional di bidang informasi, maka diperlukan alokasi anggaran yang jelas, disertai manajemen pendanaan yang transparan, selain pengorganisasian dan manajemen yang sistematik dengan kepemimpinan (leaderships) yang terbuka. Tanpa ini semua, maka upaya interoperabilitas akan hanya menyentuh tingkatan teknis, sebuah tingkatan yang amat mendasar tetapi tak akan mampu menimbulkan manfaat akhir yang dituju, yaitu kemudahan dan keleluasan bagi masyarakat pengguna.
Daftar Bacaan Alipour-Hafezi, M., Horri, A., Shiri, A., dan Ghaebi, A. (2010), “Interoperability models in digital libraries: an overview” dalam The Electronic Library Vol. 28 No. 3, hal. 438-452. Biddle, B., White, A., dan Woods, S. (2010), “How many standards in a laptop? (And other empirical questions)” makalah konferensi ITU-T Beyond The Internet? – Innovations For Future Networks And Services Pune, India, (http://itu-kaleidoscope.org/2010), diturunkan dari http://ssrn.com/abstract=1619440 pada 11 September 2011. Bishop, A. dan Star, S.L. (1996), “Social informatics for digital library use and infrastructure” dalam Martha Williams (ed.), Annual Review of Information Science and Technology 31, hal. 301–401, Medford : Information Today. Blanchi, C., dan Petrone, J. (2001), “Distributed interoperable metadata registry” dalam D-Lib Magazine, vol 7 no. 12. http://www.dlib.org/dlib/december01/ blanchi/12blanchi.html Borgman, C. (1997), “Now that we have digital collections, why do we need libraries?” dalam Candy Schwartz dan Mark Rorvig (eds.), ASIS '97: Proceedings of the 60th ASIS Annual Meeting, vol. 34. Medford : Information Today. Borgman, C. et al. (1996), Social Aspects of Digital Libraries, Final Report to the National Science Foundation. Digital Libraries Initiative. http://dli.grainger.uiuc.edu/national.htm. Chan, L.M., dan Zeng, M. L. (2006a), “Metadata interoperability and standardization – A study of methodology, Part I: Achieving interoperability at the schema level. Dlib Magazine, vol 12 no 6 http://www.dlib.org/dlib/june06/chan/ 06chan.html. Chan, L.M., dan Zeng, M.L. (2006b), “Metadata interoperability and standardization – A study of methodology, Part II: Achieving interoperability at the record and repository levels. D-Lib Magazine, vol 12 no 6 http://www.dlib.org/dlib/ june06/zeng/06zeng.html Drabenstott, K.M. (1994), Analytical Review of the Library of the Future, Washington, DC: Council Library Resources. Griffin, S.M. (1999), “Digital Libraries Initiative – Phase 2: fiscal year 1999 Awards, D-Lib Magazine (5), 7–8, http://www.dlib.org/dlib/july99/07griffin.html. Hider, P. (2004), “Australian digital collections: metadata standards and interoperability” dalam Australian Academic & Research Libraries, vol. 35 no. 4, http://alia.org.au/publishing/aarl/35.4/full.text/hider.html. diunduh pada 1 Agustus 2011.
Innocenti, P., Vullo, G., dan Ross, S. (2010), “Towards a digital library policy and quality interoperability framework: the DLrg Project” dalam New Review of Information Networking, no 15, hal. 29–53 Jayakanth, F., Maly, K., Zubair, M. dan Aswath, L. (2006), “A dynamic approach to make CDS/ISIS databases interoperable over the Internet using the OAI protocol” dalam Program: electronic library and information systems, Vol. 40 No. 3, hal. 277-285. Miller, P. (2000), “Interoperability: what is it and why should we want it?” dalam Ariadne. 24. tersedia di: http://www.ariadne.ac.uk/issue24/interoperability Misuraca, G., Alfano, G., dan Viscusi, G. (2011), “Interoperability challenges for ICT-enabled governance: towards a Pan-European conceptual framework” dalam Journal of Theoretical and Applied Electronic Commerce Research vol. 6 , no. 1, hal. 95-111. Mukaiyama, Hiroshi (1997). “Technical Aspect of Next Generation Digital Library Project” dalam prosiding International Symposium on Digital Library 1997, Tokyo, http://www.dl.ulis.ac.jp/ISDL97/proceedings/mukaiyama.html. OCLC/RLG Working Group on Preservation Metadata (2002), Preservation metadata and the OAIS information model: A metadata framework to support the preservation of digital objects. (http://www.oclc.org/research/projects/pmwg/ pm_framework.pdf Rowlands, I (1997), “Understanding information policy : concepts, frameworks and research tools” dalam Understanding Information Policy, ed. I. Rowlands, London : Bowker-Saur, hal. 27 – 45. Soares, D. dan Amaral, L. (2011), “Information Systems Interoperability in Public Administration: Identifying the Major Acting Forces through a Delphi Study” dalam Journal of Theoretical and Applied Electronic Commerce Research, vol 6 no. 1, hal. 61-94 United Nations Development Programme (2007), e-Government Interoperability: Overview, Bangkok : UNDP Regional Centre.
VIDEO SEMINAR
Penerapan IndoMARC Sebagai Format Standar Data Bibliografis Dalam Pembangunan Katalog Induk Nasional9 oleh: Dina Isyanti10 A. Latar Belakang Katalog merupakan sarana temu kembali bahan perpustakaan atau informasi yang tersedia dalam suatu koleksi. Katalog Perpusnas misalnya, merupakan sarana temu kembali bahan perpustakaan yang tersedia dalam koleksi Perpusnas, baik yang merupakan koleksi deposit maupun koleksi yang bukan diperoleh melalui penerapan UU No. 4 Tahun 1990. Karena setiap bahan perpustakaan yang ada dalam koleksi terwakili oleh sebuah cantuman, selain sebagai sarana temu kembali informasi, katalog perpustakaan juga memberikan gambaran lengkap mengenai koleksi sebuah perpustakaan. Tanpa katalog, sebuah perpustakaan tidak dapat disebut perpustakaan, melainkan hanya merupakan tempat penyimpanan buku. Katalog induk, secara sederhana, merupakan gabungan cantuman katalog milik dua atau lebih perpustakaan yang tujuan utama pembangunannya adalah untuk mendukung layanan peminjaman antarperpustakan (interlibrary lending) dan berbagai bentuk pemanfaatan sumber daya secara bersama (resource sharing) (Gourman, 2007: 2). Menurut Nadia Caidi, tujuan pembangunan katalog induk adalah untuk menyediakan akses ke koleksi bahan perpustakaan yang dimiliki perpustakaan, dan untuk memastikan bahwa sumber daya yang tersedia tersebut dapat dengan mudah ditemukan dan diketahui lokasinya oleh berbagai jenis pemustaka (peneliti, pelajar, masyarakat umum, orang asing, dsb.) (Caidi, 2004: 123). Dari kedua definisi di atas terlihat bahwa tujuan pembangunan katalog induk adalah untuk mendukung pemanfaatan sumber daya secara bersama antarperpustakaan. Membangun katalog induk, baik secara manual maupun berbasis TIK, tentunya melibatkan jejaring kerja sama antarperpustakaan. Salah satu syarat beroperasinya sebuah jejaring kerja sama adalah adanya 9
Makalah disampaikan dalam Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia Ke-4, tanggal 8-10 November di 2011 di Hotel Mesra Samarinda. 10 Kepala Bidang Kerja Sama Perpustakaan dan Otomasi Perpustakaan Nasional RI.
interoperabilitas antarsistem di masing-masing anggota jejaring. Menurut Paskin, interoperabilitas adalah kemampuan lebih dari satu sistem yang berdiri sendiri untuk saling bertukar informasi yang mempunyai arti dan kemampuan sistem-sistem tersebut untuk mendorong sistem lainnya agar melakukan tindakan dalam rangka pengoperasian sistem secara bersama untuk kemaslahatan bersama (2010). Definisi lainnya, interoperabilitas adalah kempuan untuk berkomunikasi, melaksanakan program, tukarmenukar data di antara berbagai unit fungsional dengan cara sedemikian rupa sehingga pemakai data tidak atau nyaris tidak mengetahui keunikan karakteristik masing-masing unit (ISO/IEC 2382 Information Technology Vocabulary) Khusus mengenai interoperabilitas semantik, dalam Wikipedia didefinisikan sebagai berikut: di luar kemampuan dua atau lebih sistem komputer untuk bertukar informasi, interoperabilitas semantik adalah kemampuan untuk secara otomatis menginterpretasikan pertukaran informasi secara berarti dan akurat agar memberikan hasil yang berguna sebagaimana didefinisikan oleh pemakai (end user) kedua sistem. Agar interoperabilitas semantik dapat tercapai, kedua pihak harus mengacu kepada model pertukaran informasi yang sama. Konten dalam pertukaran informasi harus didefinisikan dengan tegas tanpa ada yang menimbulkan keraguan: yang dikirim harus sama dengan yang dimaksud. Dalam kesempatan ini dipaparkan upaya Perpustakaan Nasional memberlakukan sebuah skema standar data bibliografis atau katalog, IndoMARC untuk memecahkan masalah interoperabilitas antarsistem perpustakaan dengan skema data bibliografis yang bervariasi dalam rangka pembangunan Katalog Induk Nasional. Paparan ini tidak menyajikan data kuantitatif, karena yang ingin disampaikan oleh penulis adalah bahwa upaya untuk mencapai salah satu aspek interoperabilitas harus dibarengi dengan upaya untuk mencapai aspek interoperabilitas lainnya. Hal lain yang ingin digambarkan penulis adalah bahwa skema katalog IndoMARC belum banyak dikenal, apalagi dipahami, di kalangan pengelola perpustakaan, pustakawan maupun tenaga teknis perpustakaan.
B. Katalog Induk Nasional Katalog induk nasional merupakan katalog yang memuat data bibliografis bahan perpustakaan yang dimiliki atau menjadi koleksi seluruh perpustakaan di sebuah negara. Dengan kata lain, katalog induk nasional merupakan gabungan katalog semua perpustakaan yang ada di sebuah negara. Katalog induk nasional dibangun untuk mendukung pemanfaatan sumber daya secara bersama antarperpustakaan di sebuah negara. Pembangunan katalog induk nasional merupakan tanggung jawab perpustakaan nasional di negara yang bersangkutan. Dalam Undang-Undang No. 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan disebutkan bahwa: Perpustakaan Nasional RI adalah lembaga pemerintah non departemen yang melaksanakan tugas pemerintahan dalam bidang perpustakaan yang berfungsi sebagai perpustakaan pembina, perpustakaan rujukan, perpustakaan deposit, perpustakaan penelitian, perpustakaan pelestarian dan pusat jejaring perpustakaan, serta berkedudukan di ibu kota Negara (Pasal 1 Ayat 5). Dalam Pasal 21 Ayat 3 undang-undang yang sama disebutkan bahwa Perpustakaan Nasional RI bertanggung jawab atas pengembangan koleksi nasional yang memfasilitasi terwujudnya masyarakat pembelajar sepanjang hayat; mengembangkan koleksi nasional untuk melestarikan hasil budaya bangsa; melakukan promosi perpustakaan dan gemar membaca dalam rangka mewujudkan masyarakat pembelajar sepanjang hayat; dan mengidentifikasi dan mengupayakan pengembalian naskah kuno di luar negeri.
Berdasarkan kedua ayat dalam Undang-Undang Perpustakaan di atas terlihat bahwa Perpustakaan Nasional RI mempunyai sejumlah tugas yang dapat dikelompokkan ke dalam: 1. Pengembangan koleksi nasional 2. Pengelolaan kendali bibliografis 3. Penyediaan akses ke seluruh koleksi nasional. Salah satu kegiatan yang wajib dilakukan oleh Perpustakaan Nasional RI dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas tersebut adalah membangun
Katalog Induk Nasional (KIN), yaitu katalog yang memuat data bibliografis bahan perpustakaan koleksi seluruh perpustakaan di Indonesia. Tujuannya adalah untuk mendukung pemanfaatan sumber daya secara bersama antarperpustakaan di Indonesia. Dengan adanya KIN:
Tersedia sarana temu kembali informasi agar pemustaka dapat mencari data bahan perpustakaan yang diperlukannya sekaligus mengetahui di perpustakaan mana bahan perpustakaan tersebut berada. Mendapatkan gambaran yang akurat mengenai berbagai aspek koleksi nasional, yaitu seluruh bahan perpustakaan yang tersedia di semua perpustakaan di Indonesia. Membantu identifikasi bahan perpustakaan terbitan Indonesia atau tentang Indonesia yang belum termuat dalam Bibliografi Nasional Indonesia atau Biblioteka Indonesiana. Data tersebut dapat digunakan sebagai acuan dalam mengupayakan kelengkapan koleksi Deposit Nasional. Menyediakan layanan salin katalog (copy cataloging) bagi perpustakaan yang membutuhkan.
Sejak awal berdirinya, jauh sebelum UU No. 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan diterbitkan, Perpustakaan Nasional telah mulai melaksanakan tugas ”membangun” Katalog Induk Nasional untuk Indonesia. Pada mulanya KIN diterbitkan secara berkala dalam bentuk tercetak untuk disebarluaskan ke perpustakaan dan lembaga yang membutuhkan di dalam maupun di luar negeri. Format tercetak mempunyai banyak keterbatasan, di antaranya: sebelum diterbitkan data yang diserahkan oleh perpustakaan-perpustakaan memerlukan pengetikan, penyuntingan, pengaturan tata letak, dan pencetakan. Jumlah entri data yang dimuat dalam setiap nomor juga terbatas karena harus mempertimbangkan ketebalan terbitan, terutama untuk edisi kumulatif. Dalam hal distribusi, perlu waktu yang cukup lama untuk pengiriman ke perpustakaan/lembaga yang memerlukan. Para pemustaka harus membuka-buka beberapa nomor terbitan KIN sebelum menemukan data bahan perpustakaan yang diperlukan. Beberapa tahun terakhir, Katalog Induk Nasional (KIN) dalam bentuk dokumen, bukan pangkalan data, juga diterbitkan dalam media CD.
Karena dikelola secara manual, maka KIN yang diterbitkan dalam bentuk tercetak tersebut sama sekali belum mencerminkan kondisi koleksi nasional. Secara berkala Perpusnas mengumpulkan data tambahan koleksi dari perpustakaan yang menjadi anggota jejaring KIN saja, yang umumnya berlokasi di Jakarta, ditambah data koleksi bahan perpustakaan yang dimuat dalam KID (Katalog Induk Daerah) yang diterbitkan oleh masing-masing perpustakaan provinsi. Selain lingkupnya yang terbatas, penyusutan akibat berbagai hal, seperti hilang atau penyiangan (weeding) tidak tercermin.
C. Dukungan Teknologi Informasi Perkembangan teknologi informasi, khususnya teknologi pangkalan data dan jejaring Internet, memberikan banyak kemudahan dalam pelaksanaan tugas Perpusnas yang diamanatkan dalam undang-undang, baik UU No. 4 Tahun 1990 maupun UU No. 43 Tahun 2007. Teknologi pangkalan data memungkinkan dibangunnya pangkalan data Katalog Induk Nasional yang secara menerus mengalami pemutakhiran data. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembangunan katalog induk, di antaranya:
Pertama, bahwa pengatalogan yang hasilnya akan disumbangkan kepada katalog induk harus memenuhi standar nasional dan internasional. Kedua, bahwa setiap perpustakaan yang berpartisipasi berkomitmen akan melaksanakan pengatalogan sesuai dengan tujuan, yaitu membuat katalog baru (original cataloguing) untuk digunakan bersama dan memanfaatkan cantuman katalog yang sudah dibuat sesuai kebutuhannya. Ketiga, bahwa pengatalogan bukan hanya harus standar tetapi juga harus dilakukan dengan memperhitungkan waktu (bersegera). Tak ada yang dapat mengakses, baik di tempat maupun jarak jauh, sumber daya informasi yang belum dikatalog. Keempat, adanya keinginan yang kuat untuk berbagi pemanfaatan (share) sumber daya lokal dengan pihak lain dan untuk memanfaatkan sumber daya di tempat lain melalui silang layan dan pengiriman dokumen. Intinya, menyumbangkan sekaligus mengambil manfaat dari sitem yang dibangun untuk pemanfaatan sumber daya secara bersama tersebut. Kelima, anggaran yang memadai untuk pengelolaan katalog induk dan sistem pemanfatan sumber daya secara bersama (Gourman, 2007: 5)
Sejalan dengan itu, teknologi Internet memberikan banyak kemudahan dalam pelaksanaan tugas Perpusnas, yaitu: 1. Koordinasi dengan para mitra akan dapat dilakukan secara lebih cepat dengan menggunakan berbagai fasilitas komunikasi yang tersedia di Internet. 2. KIN dapat disediakan dalam bentuk pangkalan data dapat, sehingga penambahan dan pemutakhiran data dapat dilakukan dengan lebih cepat. Internet memungkinkan dilakukannya pengumpulan data secara daring (online). 3. Pangkalan data KIN dapat memberikan gambaran mengenai berbagai aspek koleksi nasional secara lebih mudah dan komprehensif. 4. Data terbitan Indonesia dalam KIN yang belum dimuat dalam pangkalan data Bibliografi Nasional Indonesia dapat lebih mudah diidentifikasi dan disalin. 5. Pemustaka dapat mengakses data dalam pangkalan data KIN dari mana saja sepanjang tersedia akses ke Internet. Pemustaka juga tidak perlu melakukan pencarian berkali-kali karena seluruh data tersimpan dalam satu pangkalan data. Dalam kaitannya dengan masalah yang dibahas dalam tulisan ini, perlu dicermati syarat pertama, yaitu yang menyangkut kualitas cantuman katalog yang harus memenuhi standar nasional maupun internasional. Perpustakaan Nasional RI telah menyusun dan menerapkan skema/format data bibliografis sebagai standar nasional yang memenuhi standar internasional, yaitu IndoMARC. D. IndoMARC Machine Readable Cataloging (MARC) dikembangkan pertama kali oleh Library of Congress, berupa format atau skema LC MARC yang dirancang terutama untuk menentukan spesifikasi yang diperlukan untuk pertukaran informasi bibliografis dan informasi lain yang terkait antara satu sistem dengan sistem lain yang digunakan di perpustakaan di Amerika serikat. LC MARC kemudian dikembangkan menjadi USMARC dan digunakan di seluruh Amerika Serikat. Keberhasilan penerapan USMARC membuat negara lain turut mengembangkan forrmat MARC sejenis bagi kepentingan nasionalnya masing-masing.
IndoMARC merupakan format atau skema yang ditetapkan oleh Perpustakaan Nasional untuk kepentingan pertukaran data bibliografis antarsistem yang digunakan perpustakaan di Indonesia. IndoMARC awalnya diadopsi dari USMARC. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, format MARC terus mengalami perkembangan dan penyempurnaan. Untuk mengikuti perkembangan teknologi informasi, USMARC yang telah mengalami berbagai penyempurnaan diubah menjadi MARC21 yang ditetapkan sebagai standar internasional untuk format katalog terbacakan mesin. Dengan adanya perubahan tersebut, dengan sendirinya diperlukan juga penyempurnaan terhadap IndoMARC yang dikembangkan berdasarkan USMARC. Untuk itu, dilaksanakanlah kegiatan revisi terhadap IndoMARC : Format MARC Indonesia. Ketika MARC disusun teknologi jejaring komputer yang sedemikan canggih, seperti Internet, belum ada. MARC sangat erat kaitannya dengan peraturan pengatalogan yang diterapkan di perpustakaan pada umumnya, AACR2. Oleh karenanya, pembagian kelompok, ruas dan subruas dalam cantuman MARC sangat berkaitan dengan pembagian bidang atau area dalam AACR2. Setiap unsur data katalog dimasukkan ke dalam ruas dan subruas yang telah ditentukan, dengan cara penulisan yang telah ditentukan. Setiap ruas dan subruas diberi identitas berupa kode yang terdiri atas susunan angka atau huruf yang terbacakan oleh mesin. Dengan demikian, semua program aplikasi perpustakaan yang dikembangkan berdasarkan aturan MARC tidak akan kesulitan membaca cantuman yang dihasilkan oleh program aplikasi lain yang juga dikembangkan berdasarkan MARC karena mesin “hanya” memindahkan ruas/subruas dari sistem yang satu ke dalam ruas/subruas dengan identitas yang sama dalam sistem yang lain. Dalam skema IndoMARC, cantuman bibliografis terdiri dari tiga bagian utama, dengan urutan sebagai berikut: Label cantuman, Direktori, dan Ruas tidak tetap. 1. Label cantuman (record label), juga disebut leader atau header, adalah suatu ruas tetap yang terdiri dari 24 karakter numerik atau dalam bentuk kode. Label cantuman terdapat pada awal cantuman dan memberikan informai untuk pengolahan cantuman tersebut. 2. Direktori (directory), berfungsi sebagai “daftar isi” atau gambaran tentang informasi yang dimuat dalam sebuah cantuman. 3. Ruas-ruas (fields), berisi data bibliografis karya yang dikatalog. Setiap ruas akan diberi identitas berupa nomor tengara (tag) dan diakhiri dengan tanda akhir ruas. Setiap ruas dapat terdiri atas satu atau lebih subruas. Masing-masing subruas diberi identitas berupa kode huruf atau
angka. Pada ruas/subruas tertentu diisi dengan kode yang telah ditetapkan, yang dimuat dalam 7 (tujuh) Daftar Kode IndoMARC. Contoh cantuman IndoMARC 001 vtls004213060 003 JKPNPNA 005 20041012192400.0 008 960205s1995 jki b 001 ind p 020 $a9794162426 039 9$a200410121924$bVLOAD$y200407211600$zVLOAD 040 $aJKPNPNA 0411 $aind$heng 043 $aa-io--- 08204$a320.959 8$2[20] 090 $a320.509 598 Fei s 090 $a320.959 8 Fei s 1001 $aFeith, Herbert,$d193024510$aSoekarno - Militer dalam demokrasi terpimpin /$cHerbert Feith ; diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Tim Pustaka Sinar Harapan 250 $aCet. 1 260 $aJakarta :$bPustaka Sinar Harapan,$c1995 300 $a188 hlm. ;$c20 cm. 500 $aIndeks 500 $aJudul asli : Dinamics of guided democracy 504 $aBibliografi : hlm. 175-178 650 7$aDemokrasi 650 7$aIdeologi politik$zIndonesia 651 7$aIndonesia$xPolitik dan pemerintahan$y1962-1965 659 $aDNP 659 $aDNR 7101 $aTim Pustaka Sinar Harapan
7400 $aDinamics of guided democracy 949 $AVIRTUAITEM$a320.509 598 Fei s$D000010000$X0000$F0001$61951006091$z200407211600 949 $AVIRTUAITEM$a320.509 598 Fei s$D000010005$X0000$F0001$61971003355 990 $a1288/PN/96 [2] 990 $a3355/PN/97 [1] 990 $a4062/PN/96 [1] 990 $a6091/PN/95 [1] 999 $aVIRTUA00 900 01707 am a2200469 4500
Kualitas sebuah cantuman bibliografis yang dibuat dalam format IndoMARC sangat dipengaruhi oleh konsistensi dalam penerapan AACR2 serta alat kerja seperti berkas kendali (authority files), berbagai daftar tajuk, dan skema klasifikasi yang digunakan. Penetapan IndoMARC sebagai skema standar untuk data bibliografis atau cantuman katalog bahan perpustakaan juga merupakan upaya untuk mewujudkan interoperabilitas semantik antarsistem dalam rangka pembangunan Katalog Induk Nasional di Indonesia.
E. Pembangunan Katalog Induk Nasional Pembangunan Pangkalan Data Katalog Induk Nasional dilaksanakan Perpusnas sebagai bagian dari pembangunan Perpustakaan Digital Nasional Indonesia, yaitu jejaring kerja sama perpustakaan berskala nasional yang beranggotakan berbagai jenis perpustakaan di Indonesia untuk menyediakan sumber informasi dalam format digital, menyediakan akses digital ke berbagai jenis koleksinya, dan menyelenggarakan layanan digital yang dapat dimanfaatkan secara bersama dalam rangka memenuhi kebutuhan pemustaka. Pembangunan Katalog Induk Nasional tidak mungkin dapat dilaksanakan oleh Perpusnas sendiri, tanpa bekerja sama dengan seluruh jenis perpustakaan yang ada di Indonesia. Katalog Induk Nasional (KIN) yang lengkap dan akurat hanya dapat terwujud bila seluruh perpustakaan bersedia berpartisipasi untuk ‘memberikan’ atau menyediakan akses ke katalog koleksinya. Oleh karenanya, pengembangan jejaring kemitraan dengan seluruh jenis perpustakaan di Indonesia sangat menentukan keberhasilan dalam menghimpun data sangat menunjang kelengkapan
Katalog Induk Nasional. Sebagai perpustakaan pembina, Perpusnas wajib menjadi fasilitator dalam pengembangan jejaring kemitraan dan juga melaksanakan fungsi sebagai pusat jejaring tersebut. Dalam membangun katalog induk, yang perlu dilakukan adalah: – – –
Menentukan model katalog induk yang akan diterapkan Menyatakan standar cantuman dan konten lainnya yang akan digunakan Menetapkan mekanisme untuk memastikan penggunaan standar yang telah ditetapkan (Carlton, 2009)
E.1. Kondisi Awal Tahun 2008 Mitra potensial Perpustakaan Nasional dalam membangun Perpustakaan Digital Nasional Indonesia adalah semua perpustakaan di Indonesia dan berbagai forum dan komunitas perpustakaan yang telah membangun jejaring kerja sama tersendiri secara online, misalnya jejaring perpustakaan perguruan tinggi. Akan tetapi perlu diingat bahwa terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebuah perpustakaan untuk dapat turut serta dalam penyelenggaraan perpustakaan digital, yaitu: a. memiliki bahan perpustakaan digital, b. memiliki akses Internet, c. memiliki situs web untuk menyelenggarakan layanan digital. Ditinjau dari segi implementasi teknologi informasi dan komunikasi, kondisi perpustakaan di Indonesia masih bervariasi.Di samping itu, walaupun semua jenis perpustakaan di Indonesia merupakan mitra potensial dalam pembangunan Perpustakaan Digital Nasional, perpustakaan umum mempunyai kelebihan, karena jenis perpustakaan ini memiliki koleksi bahan pustaka bernilai budaya khas daerah yang bersangkutan sebagai bagian dari koleksi warisan budaya nasional (national heritage). Kondisi perpustakaan umum kabupaten/kota yang jumlahnya ratusan sendiri sangat bervariasi. Bahkan perpustakaan daerah/provinsi, yang mempunyai tugas pembinaan pun kondisinya bervariasi dari yang sama sekali masih beroperasi secara manual, yang sudah terotomasi, sampai dengan yang sudah menyelenggarakan layanan digital.
Secara garis besar, perpustakaan daerah (dengan berbagai tingkat eselon dan nomenklaturnya), dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) kelompok: a. Belum mempunyai sistem berbasis komputer (belum terotomasi). b. Sudah menggunakan sistem perpustakaan yang tidak berbasis
IndoMARC. Program aplikasi yang digunakan juga bervariasi, yaitu: menggunakan yang ada di pasaran dan mengembangkan sendiri. c. Sudah menggunakan sistem yang tidak berbasis IndoMARC untuk mengelola perpustakaan dan jejaring perpustakaan di provinsi yang bersangkutan. E.2. Strategi Pembangunan Katalog Induk Nasional Berdasarkan kondisi yang ada, ditetapkan bahwa Perpusnas melaksanakan strategi pembinaan secara hierarkis dan bertahap, yaitu dimulai dari perpustakaan daerah di tingkat provinsi, dengan berbagai nama dan tingkat eselonisasi, yang kondisinya juga sangat heterogen. Pembinaan dilaksanakan, di antaranya, melalui pemberian bantuan pinjaman untuk pengembangan infrastruktur dan pelatihan kepada 31 perpustakaan daerah, Perpustakaan Proklamator Bung Karno, Perpustakaan Bung Hatta. Dengan kata lain, Perpusnas membangun federasi dengan 35 mitra yang telah ditetapkan. Program pembinaan ini merupakan salah satu kegiatan yang sudah ditetapkan dalam Grand Design Perpustakaan Digital Nasional Indonesia tahun 2010-2014. Melalui program pembinaan ini diharapkan perpustakaan daerah di semua provinsi segera dapat segera membangun koleksi digital dan sumber informasi digital lainnya serta menyediakan akses untuk berbagai (sharing) dengan perpustakaan lainnya. Perpustakaan daerah di semua provinsi juga diharapkan mampu membangun jejaring perpustakaan di wilayahnya sebagai bagian dari jejaring Perpustakaan Digital Nasional Indonesia. Salah satu sasaran utamanya ialah terbangunnya pangkalan data Katalog Induk Daerah (KID). Secara berkala, mesin di Perpusnas akan memanen (harvesting) cantuman bibliografis dalam pangkalan data Katalog Induk Daerak (KID) dan pangkalan data Katalog Perpusnas dalam rangka pembangunan pangkalan data Katalog Induk Nasional.
Sehubungan dengan strategi tersebut, sejak tahun anggaran 2008 sampai 2011 kepada 35 perpustakaan mitra di atas secara bertahap diberikan bantuan: a. Pembangunan infrastruktur berbasis TIK: 1) Jejaring komputer lokal (LAN), (semua mitra pada tahun 2008). 2) Program aplikasi perpustakaan berbasis IndoMARC untuk mengelola
koleksi perpustakaan setempat dan untuk membangun pangkalan data Katalog Induk Daerah dan Bibliografi Daerah pada server yang telah disediakan (semua mitra pada tahun 2008) 3) Pembangunan/pengembangan situs web/portal perpustakaan digital daerah 4) Akses Internet yang merupakan bagian dari jejaring intranet (closed network) yang menghubungkan 35 perpustakaan mitra dan Perpustakaan Nasional, sejak tahun 2009 dan direncanakan sampai dengan 2014.
b. Pengembangan SDM pengelola perpustakaan 1) Sosialisasi konsep perpustakaan digital
kepada para pengambil keputusan di perpustakaan mitra (kepala dan pejabat struktural lainnya), tahun 2008, 2009, 2010. 2) Melaksanakan diklat-diklat dan bimbingan teknis tentang materi yang diperlukan untuk pengelolaan perpustakaan berbasis TIK, 2009, 2010, 2011.
3) Melaksanakan workshop pengelolaan perpustakaan berbasis TIK bagi
para pengelola implementasi TIK di perpustakaan mitra, tahun 2008, 2009, 2010.
E.3. Kondisi Pada Pertengahan Tahun Anggaran 2011 Perkembangan yang terjadi pada 35 perpustakaan mitra dicapai setelah dilaksanakan pembinaan sejak tahun anggaran 2008 cukup bervariasi.
a. Perkembangan
pada perpustakaan yang semula belum mempunyai sistem komputer dapat dikelompokkan ke dalam 3 jenis. 1) Yang pertama, memulai program otomasi perpustakaannya dengan mengoperasikan bantuan yang diberikan sebagaimana mestinya. Pada kasus ini umumnya dukungan pimpinan kuat, sehingga pengoperasian sistem secara terintegrasi menjadi tanggung jawab seluruh unit kerja yang ada. Keinginan untuk berpartisipasi dalam pembangunan KIN cukup besar. Hambatan pada umumnya pada masalah finansial. Pada kasus ini, kontribusi data bibliografis dari perpustakaan tersebut kepada Katalog Induk Nasional cukup signifikan, sesuai dengan pertumbuhan data di perpustakaan tersebut. 2) Kelompok kedua, perpustakaan yang tidak segera memanfaatkan
bantuan yang diberikan. Pada kasus ini penyebabnya namun pada umumnya sifatnya non teknis, seperti kurangnya perhatian pimpinan terhadap upaya otomasi perpustakaan, konflik internal, kondisi sosial masyarakat di lingkunganya, dsb. Pada kasus ini, tidak didapatkan kontribusi data bibliografis dari perpustakaan tersebut kepada Katalog Induk Nasional. 3) Kelompok
ketiga, perpustakaan memanfaatkan bantuan yang diberikan namun perkembangannya sangat lamban. Pada kasus ini umumnya tanggung jawab keberoperasian sistem dibebankan pada seorang atau sekelompok pengelola (teknis) yang tidak berani punya akses ke unit kerja lain atau tidak punya otoritas untuk meminta staf/unit kerja melakukan tugas berkaitan dengan pengoperasian sistem. Orang atau kelompok tersebut “berjalan sendiri” dalam upaya pengoperasian program. Pada kasus ini, kontribusi data bibliografis dari perpustakaan tersebut kepada Katalog Induk Nasional sangat tidak signifikan, sesuai dengan lambannya pertumbuhan data di perpustakaan tersebut.
b. Perkembangan pada perpustakaan yang semula menggunakan sistem
yang dikembangkan sendiri yang dikelompokkan ke dalam 3 jenis.
tidak
berbasis
IndoMARC
dapat
1) Yang pertama, sebagian besar bersedia beralih ke program aplikasi
berbasis IndoMARC. Pada umumnya karena program aplikasi yang dikembangkan sendiri mengalami masalah. Pengembang tidak memprediksi bahwa perpustakaan mengelola informasi dengan volume yang relatif besar dan tidak sederhana dan melibatkan berbagai transaksi yang tidak sederhana pula. Perlakuan terhadap kasus semacam ini adalah: data yang sudah ada dimigrasikan ke dalam pangkalan data berbasis IndoMARC. Pemasukan data selanjutnya sepenuhnya beralih ke pangkalan data baru. Pada kasus ini, peralihan ke sistem umumnya berjalan agak lambat karena diperlukan berbagai penyesuaian, namun kontribusi data bibliografis dari perpustakaan tersebut kepada Katalog Induk Nasional selanjutnya cukup signifikan, sesuai peryumbuhan data di perpustakaan tersebut. 2) Kedua, perpustakaan yang tidak bersedia beralih ke program aplikasi
berbasis IndoMARC. Beberapa pertimbangan yang disampaikan, di antaranya: perpustakaan sudah terlanjur menanam investasi dalam jumlah yang cukup signifikan, sehingga akan menimbulkan masalah bila beralih ke program aplikasi lain begitu saja; skema data bibliografis pada program aplikasi sangat sederhana, sehingga beralih ke program aplikasi dengan skema data IndoMARC dipandang merepotkan; pengambil keputusan memiliki kepentingan terhadap keterpakaian program aplikasi yang digunakan tersebut. Pada kasus ini Perpusnas akan membuatkan crosswalk untuk mengalihkan (migrasi) data di perpustakaan mitra tersebut ke dalam pangkalan data KID berbasis IndoMARC dalam server yang telah disediakan. Perpustakaan mitra diminta secara berkala “menyetorkan” datanya ke dalam pangkalan data KID agar dapat dipanen secara otomatis ke dalam pangkalan data KIN. Karena skema datanya sederhana dan unsur data yang dideskripsikan kurang memberikan informasi tentang bahan perpustakaan yang dideskripsikan, maka kualitas data yang dikontribusikan kepada KIN sangat tidak memadai dan tidak memenuhi standar, terutama untuk keperluan layanan salin katalog. 3) Yang ketiga, perpustakaan tidak segera mengambil keputusan apakah
akan beralih ke program aplikasi baru yang berbasis IndoMARC. Pada kasus ini umumnya tanggung jawab keberoperasian sistem
dibebankan pada pengelola (teknis) yang tidak berani mengambil risiko untuk memutuskan beralih ke program aplikasi baru, sementara dukungan dalam bentuk kebijakan pimpinan tidak ada. Pada kasus ini, tidak didapatkan kontribusi data bibliografis dari perpustakaan tersebut kepada Katalog Induk Nasional. c. Perkembangan pada perpustakaan yang semula menggunakan sistem
yang ada di pasaran yang tidak atau tidak sepenuhnya berbasis IndoMARC. 1) Yang
pertama, bersedia beralih ke program aplikasi berbasis IndoMARC dengan pertimbangan, di antaranya: setelah membandingkan skema data dan fitur kedua program aplikasi, pengelola tertarik untuk beralih ke program aplikasi berbasis IndoMARC; menyadari pentingnya sharing informasi untuk kepentingan bersama. Pada kasus ini, peralihan ke sistem umumnya berjalan agak lambat karena diperlukan berbagai penyesuain, namun kontribusi data bibliografis dari perpustakaan tersebut kepada Katalog Induk Nasional selanjutnya cukup signifikan, sesuai data di perpustakaan tersebut.
2) Kedua, perpustakaan yang tidak bersedia beralih ke program aplikasi
berbasis IndoMARC. Beberapa pertimbangan yang disampaikan, di antaranya: perpustakaan sudah terlanjur menanam investasi dalam jumlah yang cukup signifikan, sehingga akan menimbulkan masalah bila beralih ke program aplikasi lain begitu saja; perpustakaan sudah memulai pembangunan jejaring kerja sama berbasis TIK antarperpustakaan di provinsi tempatnya berada menggunakan program aplikasi yang sama dengan yang dioperasikan di perpustakaan daerah sebagai fasilitatornya. Pada kasus ini Perpusnas akan membuatkan crosswalk untuk mengalihkan (migrasi) data di perpustakaan mitra tersebut ke dalam pangkalan data KID berbasis IndoMARC dalam server yang telah disediakan. Perpustakaan mitra diminta secara berkala “menyetorkan” datanya ke dalam pangkalan data KID agar dapat dipanen secara otomatis ke dalam pangkalan data KIN. Kualitas data yang dikontribusikan kepada KIN berbeda pada masing-masing kasus, tergantung skema data bibliografis yang digunakan pada program aplikasinya. Cantuman yang aslinya dibuat menggunakan skema data yang sederhana, muatan informasinya tentu tidak selengkap yang memang dibuat berdasarkan IndoMARC,
sehingga ketika dimigrasikan ke pangkalan data KIN akan terlihat banyak ruas/subruas yang tidak terisi. 3) Terdapat kasus khusus menyangkut perpustakaan mitra yang yang
semula menggunakan sistem yang ada di pasaran yang tidak berrbasis IndoMARC. Perpustakaan mitra tersebut sekaligus berperan sebagai fasilitator jejaring kerja sama berbasis TIK antarperpustakaan di provinsi tempatnya berada, namun program aplikasi yang digunakan pada masing-masing perpustakaan bervariasi. Untuk pengoperasian di perpustakaannya sendiri, perpustakaan mitra tersebut beralih ke program aplikasi berbasis IndoMARC, namun perpustakaan lain di provinsi tersebut tetap menggunakan program aplikasi masingmasing. Pada kasus ini, Perpusnas membuatkan crosswalk untuk mengalihkan (migrasi) data di pangkalan data KID setempat ke pangkalan data berbasis IndoMARC pada server yang disediakan Perpusnas. Data katalog perpustakaan mitra sendiri juga di”setor”kan ke pangkalan data tersebut. Dari server inilah Perpusnas memanen data untuk KIN. Kualitas data yang diperoleh sangat bervariasi, sehingga kurang mendukung penyelenggaraan layanan salin katalog. Sistem perpustakaan yang menggunakan program aplikasi dengan skema yang berbeda tentunya tidak dapat dengan mudah memanfaatkan layanan salin katalog karena struktur datanya yang berbeda. F. Penutup Dari paparan di atas dapat dilihat bahwa membangun interoperabilitas antarsistem di perpustakaan tidaklah mudah. Interoperabilitas teknis relatif lebih mudah dicapai selama anggaran yang tersedia memadai. Upaya membangun interoperabilitas semantik dipengaruhi oleh aspek-aspek yang sangat bervariasi, yang umumnya bersifat non-teknis, mulai masalah komitmen, kebijakan dalam bentuk aturan, kondisi sosial budaya, masalah personal, dsb. Sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan interoperbilitas, Perpusnas menetapkan penggunaan skema IndoMARC untuk pengatalogan atau pembuatan data bibliografis. Walaupun skema ini sudah mulai digunakan dan di sosialisasikan sejak tahun 1992, namun di Indonesia belum ada program aplikasi di luar yang dikembangkan Perpusnas yang dikembangkan sepenuhnya berbasis IndoMARC. Salah satu kemungkinan adalah karena pengembang tidak mengetahui tentang adanya format atau skema standar
tersebut, namun terdapat juga kemungkinan bahwa pengembang “malas” untuk bersusah-payah mengikuti aturan IndoMARC yang dianggap rumit. Sebagai “jalan pintas” dalam memecahkan masalah standarisasi data bibliografis ini Perpusnas bahkan memberikan bantuan program aplikasi berbasis IndoMARC yang siap pakai kepada perpustakan mitra yang telah ditetapkan dalam rangka pembangunan Perpustakaan digital Nasional Indonesia, dengan harapan masing-masing perpustakaan provinsi yang merupakan perpustakaan mitra dapat menjadi fasilitator pengembangan jejaring perpustakaan digital di wilayahnya. Namun pemberian bantuan tersebut ternyata tidak selalu dapat dengan mudah memecahkan masalah dalam pembangunan Katalog Induk Nasional. Pemahaman tentang IndoMARC di lingkungan pustakawan dan tenaga teknis perpustakaan juga sangat kurang. Bahkan lulusan pendidikan formal ilmu perpustakaan juga banyak yang tidak mengetahui tentang, apalagi, memahami IndoMARC. Mungkin sosialisasi yang dilakukan oleh Perpustakaan Nasional kurang gencar, namun pengenalan masalah standar metadata melalui pendidikan formal tampaknya juga harus dimulai atau ditingkatkan bila sudah ada.
Daftar Pustaka
Caidi, Nadia. 2004. “Beyond Technology: Power and Culture in the Establishment of National Union Catalogs” in Union Catalogs at the Crossroad, Hamburg : Hamburg University Press. Gorman, Michael. 2007. “Union catalogues: their role in library networking and their continued relevance in a digital age.” Paper presented at the Libraries: Networking for National Development Conference, [Kingston, Jamaica]: November 22 – 23. National Information Standards Organization. 2004. Understanding metadata, Bethesda: NISO Press.
Paskin, Norman. [2010]. DPE Briefing paper "Persistent Identifiers for Cultural Heritage, http://www.digitalpreservationeurope.eu/publications/briefs/persistent _identifiers.pdf Perpustakaan Nasional. 2010. Grand Design Perpustakaan Digital Nasional Indonesia tahun 2010-2014. Perpustakaan Nasional. 2005. INDOMARC - Format Marc Indonesia. Jakarta: Perpustakaan Nasional. Samuels, Carlton. 2009. “The National Union Catalogue: Facilitating Access Through The Use Of Technological Tools National Union Catalogue,” Presented in National Union Catalogue Seminar, [Kingston], April 21. Union Catalogs At The Crossroad, edited By Andrew Lass and Richard E. Quandt. 2004. Hamburg: Hamburg University Press.
Penggunaan Controlled Vocabularies untuk memastikan Interoperabilitas dengan Perpustakaan Seluruh Dunia dan Memenuhi Kebutuhan Pengguna di Indonesia oleh Tanya R. Torres, MLS/MPP Abstrak: Yayasan Lontar sedang membuat sebuah perpustakaan digital yang nantinya akan berbagi informasi dengan perpustakaan-perpustakaan di seluruh dunia. Perpustakaan Digital Lontar telah mengadopsi (yang dalam beberapa hal, disesuaikan) dengan standar internasional untuk berbagai controlled vocabularies, seperti: -
Nama orang, perusahaan, dan nama geografis dari Library of Congress Names Authority File (LCNAF); serta
-
Tajuk utama dari Library of Congress Subject Headings (LCSH)
Menggunakan ontology dan controlled vocabularies akan memungkinkan Perpustakaan Digital Lontar untuk harvest dan menyimpan data dengan situs-situs berbasis internet, seperti Open Library dan Freebase, serta menukar metadata menggunakan OAI-PMH dengan perpustakaan perguruan tinggi seperti anggota Indonesia Digital Library Networks dan Southeast Asian Digital Library (SEDAL) di Northern Illinois University di Amerika. Sebagai bagian dari pekerjaan ini, Lontar telah mengambil sebuah subset dari Library of Congress Subject Headings (LCSH) dan membuat paralel controlled vocabulary dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan subjek dari Perpustakaan Nasional RI (Perpusnas) dan Pusat Bahasa. Sistem ini akan memudahkan pustakawan untuk mengkatalog tajuk utama (subject headings), baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, berdasarkan standar internasional, dan menjaga interoperabilitas dengan perpustakaan di seluruh dunia.
Makalah ini akan menggambarkan beberapa aspek dari Lontar Digital Library (LDL) yang sedang dikembangkan dengan bantuan dari Knowledge Management Resource Group (KMRG) Institut Teknologi Bandung (ITB), yang mengembangkan perangkat lunak open-source Ganesha Digital Library (GDL) dan menjadi dasar dari Indonesia Digital Library Network (IndonesiaDLN). KMRG dan Yayasan Lontar bekerjasama untuk menciptakan versi terbaru GDL (5.0), yang mengutamakan teknologi Linked Data, copy cataloging menggunakan protokol Z39.50, pengaturan controlled vocabularies, dan perangkat tambahan pemutar audio/video dan tampilan gambar.
Teknologi web semantik dan Linked Data memungkinkan perpustakaan kecil seperti LDL untuk harvest dan mencantumkan data menggunakan teknologi Linked Data ke berbagai website dan perpustakaan lainnya di seluruh dunia, sehingga orang dan komputer bisa menemukan dan akses metadata perpustakaan kami. Perkembangan terakhir oleh Library of Congress (McCallum, 2011), telah memungkinkan kita untuk memanfaatkan struktur web semantik dan ontologi dan controlled vocabularies tradisional seperti Library of Congress Subject Headings (LCSH) dan Names Authority Files (LCNAF) untuk terhubung dengan Web Semantik dan memungkinkan mengekspos data kita jauh lebih luas daripada sebelumnya. Menurut World Wide Web Consortium (W3C), Web Semantik (juga dikenal sebagai Web 3.0) adalah sebuah web data yang menggunakan kerangka umum yang memungkinkan berbagi data dan digunakan kembali antara domain dan diproses secara otomatis (oleh komputer) maupun manusia (Herman, 2009). Web Semantik menggunakan Resource Description Framework (RDF) berarti struktur data dalam Web dan RDF memggunakan web identifiers atau Uniform Resource Identifiers (URIs) dan hal-hal sederhana lainnya untuk mengidentifikasikan hal-hal dalam WWW (“RDF Primer,” n.d.) Model data ini berdasarkan gagasan pembuatan pernyataan subjekpredikat-objek tentang sumber-sumber (disebut “triples”). Contoh: Jika menyebut “Sapardi Djoko Damono Menulis Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari”, dalam triple RDF akan menjadi: “Sapardi Djoko Damono” menunjukkan subjek, “ditulis oleh” menunjukkan predikat, dan “Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari” menunjukkan objek. Struktur yang mudah ini memungkinkan komputer atau mesin bisa memahami data dan hubungan antara data seperti tergambar dalam Diagaram 1. Diagram 1: Graphic Representation of an RDF Triple Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari Menulis
Sapardi Djoko Damono
Hubungan yang lebih rumit dapat digambarkan dengan mengunakan tambahan triples, seperti: Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari diterjemahkan oleh John H. McGlynn Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari diterjemahkan menjadi Walking Westward in the Morning Walking Westward in the Morning diterbitkan oleh Yayasan Lontar, dll.
Web semantik menggunakan teknologi penghubung disebut “Linked Data” yang didefinisikan oleh tim peneliti di Freie Unibersitat Berlin sebagai berikut: “Web data dibangun atas dasar dua ide sederhana: Pertama, untuk menggunakan model data RDF untuk mempublikasikan data terstruktur dalam web. Kedua, untuk (menggunakan http URIs) untuk mengatur secara tegas RDF link antara data dalam sumber data yang berbeda.” (Isele, Jentzsch, Bizer, & Volz, 2011) Dengan menggunakan URIs untuk menggambarkan subjek-predikat-objek dalam diagram di bawah, memungkinkan untuk mengacu pada web identifiers untuk masing-masing elemen seperti terlihat dalam Diagram 2. Dengan menggunakan URIs daripada memadukan teks untuk setiap element dalam triple subjek-predikat-objek memungkinkan komputer untuk mencari istilah yang sama dengan lintas bahasa dan negara yang berbeda. Diagram 2: Graphic Representation of an External RDF Triple using URIs Berjalan ke Barat di DBPedia: http://dbpedia.org/page/Berjalan_ke_Barat_di_Waktu_Pagi_Hari Waktu Pagi Hari Dublin Core: http://purl.org/dc/elements/1.1/creator Wrote
Sapardi Djoko LCNAF: http://id.loc.gov/authorities/names/n50055906 Damono
Seperti terlihat dalam Diagram 3, Linked Data bergantung pada berbagi vocabulary dan dapat diambil dan ditautkan dengan vocabulary yang lain (Heath & Bizer, 2011). Dengan menautkan ke URI Sapardi Djoko Damono (“Authorities & Vocabularies (Library of Congress): Damono, Sapardi Djoko, 1940-,” n.d.) dari Library of Congress Names Authority, tautan sudah tersedia bisa ditemukan dalam sumber data yang berbeda: nama penulis dalam variasi yang berbeda, the Library of Congress Classification untuk nama ini; dan, Identifier web (URI) dari Virtual International Authority File (VIAF), yang memungkinkan Anda untuk mengakses catatan dari lebih 16 authority files dari 13 perpustakaan nasional (Hickey, 2009) dan akses data tentang orang tersebut, seperti: o Seleksi penulis tambahan o Negara-negara publikasi o Statistik publikasi o Penerbit terpilih o Eksternal link ke Wikipedia dan Worldcat, dan o Tampilam record dalam MARC-21, UNIMARC and RDF formats.
Diagram 3: Halaman LOC Name Authority File untuk Sapardi Djoko Damono
LDL akan menggunakan LCNAF sebagai controlled vocabulary untuk nama orang dan organisasi dalam upaya untuk menyediakan authority control dan interoperabilitas ketika copy katalog dari database bibliografi, seperti Australian National Bibliographic Database (ANDB). Tahun 2011, Perpustakaan Lontar menjadi perpustakaan pertama di Indonesia yang berpartisipasi dalam Perpustakaan Australia (“About us | Libraries Australia,” 2011), sebuah layanan berlangganan yang menyediakan akses ke Australian National Bibliographic Database (AND) dengan protokol Z39.50. LDL akan memiliki kemampuan untuk akses bebas/terbuka database bibliografy serta langganan database untuk copy katalog. Copy katalog dari database bibliografi perpustakaan nasional akan memungkinkan LDL untuk mengikutiti standar internasional seperti LCNAF untuk nama orang dan organisasi, LCSH untuk tajuk utama, dan LCC dan DDC untuk klasifikasi. Kami juga akan meng-harvest informasi biografi penulis dan pencipta lainnya dari DBpedia, untuk digunakan kembali dalam perpustakaan digital kami. DBpedia mengambil informasi terstruktur dari Wikipedia, dikonvert ke RDF dan bisa digunakan dalam Web ((“wiki.dbpedia.org: About,” 2011). Untuk LDL, kita bisa menggunakan
DBpedia URI Lookup Service untuk membuat urutan harvesting sederhana, sebagai contoh: http://lookup.dbpedia.org/api/search.asmx/KeywordSearch?QueryClass=Thing&QueryS tring=Sapardi_Djoko_Damono Dalam contoh ini, “thing” menunjukkan class dari query, dan string query adalah “Sapardi_Djoko Damono”. Class bisa beberapa class dari Dbpedia ontology (“All pages (OntologyClass namespace) - DBpedia Mappings,” 2011). Hasilnya akan terlihat seperti ini:
Kita bisa menggunakan hasil permintaan untuk ekstrak informasi mengenai penulis untuk LDL. Dalam tambahan untuk DBpedia Lookup Service, kita juga bisa menggunakan SPARQL Protocol dan pengembang query RDF Query Language (SPARQL) dan antarmuka untuk mengambil data dari DBpedia. (“wiki.dbpedia.org: Applications,” 2011). Kami berencana untuk mencantumkan paragraph pertama dari setiap biografi penulis/pencipta dan mencantumkan tautan URL ke biografi lengkap dalam Wikipedia (lihat Diagram 4) baik dalam bahasa Indonesia maupun Inggris dalam LDL (lihat Diagram 5).
Diagram 4: Wikipedia bahasa Indonesia untuk Sapardi Djoko Damono (“Sapardi Djoko Damono - Wikipedia, the free encyclopedia,” 2011) (“Sapardi Djoko Damono - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas,” 2011)
Kami juga bekerjasama dengan Wikipedia/Indonesia untuk memperkaya data yang sudah ada dan membuat data baru untuk penulis, pencipta dan penerbit Indonesia dalam bahasa Indonesia dan Inggris. LDL juga akan menggunakan LCSH dalam usaha meningkatkan dan menjaga interoperabilitas dengan metadata perpustakaan mitra kami. Saat ini, LDL saling bertukar metadata dengan Southeast Asian Digital Library (SEADL) di Northern Illinois University (NIU) di Amerika dengan cara manual, tapi mereka merencanakan awal tahun depan untuk memulai harvesting data LDL lewat OAI-MPH. Dengan menggunakan LCSH untuk LDL, kami memutuskan untuk mengembangkan sebuah controlled voabulary paralel untuk tajuk utama dengan menggunaan LCSH untuk tajuk utama dalam bahasa Inggris dan menggunakan kombinasi tajuk utama dari Perpustakaan Nasional Undonesia dan Pusat Bahasa untuk tajuk utama dalam bahasa Indonesia. Memiliki controlled vocabulary paralel dalam bahasa Inggris dan Indonesia memungkinkan kami untuk melakukan cataloging dan copy-cataloging baik dalam bahasa Indonesia atau Inggris, dan tajuk subjek yang sama tercermin dalam dua bahasa tersebut.
Saat ini, the Library of Congress mengurus lebih dari 330,000 tajuk utama (Library of Congress Subject Headings, 2011). Dalam upaya untuk menciptakan tajuk utama yang spesifik sesuai dengan koleksi kami, digunakan ISBN dari setiap sumber dari koleksi yang ada untuk membuat sebuah daftar. Kemudian kami menggunakan daftar ISBN untuk unduh semua daftar sesuai dengan tajuk utama LCSH dari Australian National Bibliographic Database (ANBD) melalui Libraries Australia (layanan berlanggan) menggunakan protokol Z39.50. Hal ini memungkinkan kami untuk membuat sebuah daftar LCSH sesuai dengan koleksi yang ada di Lontar. Kemudian kami menggunakan daftar LCSH dalam bahasa Inggris untuk mengembangkan daftar paralel dari tajuk utama dalam bahasa Indonesia menggunakan tajuk utama dari Perpustakaan Nasional Indonesia dan Pusat Bahasa. Hasilnya, dalam daftar berisi hampir 300 tajuk utama dalam dua bahasa, dan kami berharap daftar itu akan terus bertambah sesuai dengan pertambahan isi dalam LDL. Kami berencana untuk menawarkan controlled vocabulary tajuk utama paralel dalam bahasa Inggris dan Indonesia ini sebagai open-source sehingga perpustakaan lain bisa menggunakan dan daftarnya bisa bertambah dari waktu ke waktu.
Diagram 5: Halaman Lontar Digital Library (LDL) untuk Sapardi Djoko Damono
LDL menggambarkan sebuah bentuk baru dari sistem perpustakaan digital yang terstruktur dengan mengambil keuntungan dari data yang sudah ada di Web untuk
sumber-sumber koleksi, penulis dan penerbit Lontar. Dengan mengambil keuntungan dari teknologi Linked Data, struktur RDF dan ontology terkait, kita bisa menngunakan kembali data seperti biografi penulis dalam Wikipedia (Diagram 5), serta menyediakan tautan ke situs Linked Data untuk pengguna kami, seperti: Open Library menyediakan tambahan informasi bibligrafi termasuk tautan ke versi online, jika tersedia (Diagram 6). LDL akan harvest/post informasi tentang sumbersumber LDL ke OpenLibrary, termasuk tautan URI dua arah ke LDL untuk sumbersumber dan penulis sebagai upaya peningkatan penemuan. Diagram 6: Open Library page for Suddenly the Night by Sapardi Djoko Damono (“Suddenly the night (Open Library),” 2011)
WorldCat Identities menyediakan informasi lebih luas dari penulis/organisasi berasal dari katalog WorldCat, termasuk LCNAF untuk otoritas nama, works by dan works about (Diagram 7). LDL berencana untuk harvest data dari Worldcat Identities menggunakan sebuah protokol bernama Seacrh/Retrieve menggunakan URL (SRU) (Ya’aqov, LeVan, & Morgan, 2010) sebagai upaya untuk menciptakan link ke otoritas nama dan linked data lainnya.
Diagram 7: WorldCat Identities page for Sapardi Djoko Damono (“Damono, Sapardi Djoko 1940- [WorldCat Identities],” 2011)
GoodReads menyediakan review pembaca dalam Bahasa Inggris dan Indonesia (Diagram 8). LDL akan menggunakan ISBN untuk link ke GoodReads sebagai upaya untuk menyediakan akses untuk review buku, diskusi dan social-networking lainnya yang berkaitan dengan buku/membaca. Diagram 8: Halaman GoodReads untuk “Suddenly the Night” oleh Sapardi Djoko Damono (“Suddenly the Night: The Poetry of Sapardi Djoko Damono by Sapardi Djoko Damono Goodreads: Reviews, Discussion, Bookclubs, Lists,”
2011)
Sebagai hasil dari menggunakan kembali data dari perpustakaan lainnya, database bibliografi dan website/situs web terkait perpustakaan, kami bisa mengikuti standar internasional dan mengunakan controlled vocabularies sebagai upaya meningkatkan interoperabilitas kami dengan mitra dan jaringan perpustakaan kami, promosi penemuan sumber-sumber kami sendiri pada saat yang bersamaan. Potensi dari Web Semantik dan tersedianya akses dengan teknologi Linked Data memungkinkan banyak perpustakaan seluruh dunia untuk menyediakan akses bagi pengguna lokal dan menghubungkan mereka dengan web global yang memiliki kaitan data sesuai dengan informasi yang mereka butuhkan.
References
About us | Libraries Australia. (2011).National Library of Australia. Retrieved September 10, 2011, from http://www.nla.gov.au/librariesaustralia/about/ All pages (OntologyClass namespace) - DBpedia Mappings. (2011). Retrieved September 10, 2011, from http://mappings.dbpedia.org/index.php?title=Special%3AAllPages&from=&to=&n amespace=200 Authorities & Vocabularies (Library of Congress): Damono, Sapardi Djoko, 1940-. (n.d.). Retrieved September 8, 2011, from http://id.loc.gov/authorities/names/n50055906.html
Berners-Lee, T. (2006, July 27). Linked Data - Design Issues. Retrieved September 5, 2011, from http://www.w3.org/DesignIssues/LinkedData.html Bizer, C., Lehmann, J., Kobilarov, G., Auer, S., Becker, C., Cyganiak, R., & Hellmann, S. (2009). DBpedia-A crystallization point for the Web of Data. Web Semantics: Science, Services and Agents on the World Wide Web, 7(3), 154–165. Byrne, G., & Goddard, L. (2010, November). The Strongest Link: Libraries and Linked Data. D-Lib Magazine, Volume 16(Number 11/12). Retrieved from http://dlib.org/dlib/november10/byrne/11byrne.html Coyle, K. (2010a, June 24). Linked Data Libraries. Presented at the Linked Data: Making Library Data Converse with the World. ALCTS Preconference Training, ALA Annual Conference, Washington DC. Retrieved from http://kcoyle.net/presentations/linkedData-ALA.pdf Coyle, K. (2010b). RDA Vocabularies for a Twenty-First-Century Data Environment (ALA/LITA No. v.46, No.2). Library technology reports. ALATechSource. Retrieved from http://www.alatechsource.org/library-technology-reports/rdavocabularies-for-a-twenty-first-century-data-environment Damono, Sapardi Djoko 1940- [WorldCat Identities]. (2011).WorldCat Identities. Retrieved September 10, 2011, from http://www.worldcat.org/identities/lccn-n5055906 Heath, T., & Bizer, C. (2011). Linked Data: Evolving the Web into a Global Data Space. Synthesis Lectures on the Semantic Web: Theory and Technology, 1:1, 1-136. (1st ed.). Morgan & Claypool. Retrieved from http://linkeddatabook.com/editions/1.0/ Herman, I. (2009, November 12). W3C Semantic Web FAQ. Retrieved September 6, 2011, from http://www.w3.org/RDF/FAQ Hickey, T. (2009, September). The Virtual International Authority File:Expanding the concept of universal bibliographic control. Next Space. Newsletter, . Retrieved September 10, 2011, from http://www.oclc.org/us/en/nextspace/013/research.htm Indonesian Digital Library Network. (n.d.). Retrieved September 9, 2011, from http://hub.indonesiadl.net/gdl.php?mod=browse&op=faq Isele, R., Jentzsch, A., Bizer, C., & Volz, J. (2011, June 1). Silk - A Link Discovery Framework for the Web of Data. Retrieved September 6, 2011, from http://www4.wiwiss.fu-berlin.de/bizer/silk/ Library of Congress Subject Headings. (2011). (33rd ed., Vols. 1-Six Volumes). Library of Congress. McCallum, S. H. (2011, August 10). ID Archives -- August 2011 (#1). Retrieved from http://listserv.loc.gov/cgi-bin/wa?A2=ind1108&L=id&T=0&P=53 RDF Primer. (n.d.). Retrieved September 5, 2011, from http://www.w3.org/TR/rdfprimer/ Sapardi Djoko Damono - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. (2011).Wikipedia bahasa Indonesia. Retrieved September 10, 2011, from http://id.wikipedia.org/wiki/Sapardi_Djoko_Damono Sapardi Djoko Damono - Wikipedia, the free encyclopedia. (2011).Wikipedia. Retrieved September 10, 2011, from http://en.wikipedia.org/wiki/Sapardi_Djoko_Damono Suddenly the night (Open Library). (2011).Open Library. Retrieved September 10, 2011, from http://openlibrary.org/works/OL1030314W/Suddenly_the_night
Suddenly the Night: The Poetry of Sapardi Djoko Damono by Sapardi Djoko Damono Goodreads: Reviews, Discussion, Bookclubs, Lists. (2011).Goodreads. Retrieved September 10, 2011, from http://www.goodreads.com/book/show/1337369.Suddenly_the_Night wiki.dbpedia.org: About. (2011, September 1). Retrieved September 7, 2011, from http://wiki.dbpedia.org/About wiki.dbpedia.org: Applications. (2011, June 30). Retrieved September 10, 2011, from http://wiki.dbpedia.org/Applications Ya’aqov, Z., LeVan, R., & Morgan, E. L. (2010). Querying OCLC Web Services for Name, Subject, and ISBN. The Code4Lib Journal, (9). Retrieved from http://journal.code4lib.org/articles/2481
Call for Papers 1. B. Mustofa 2. Arif Surachman, S.I.P. 3. Wanda Listiani, M.Ds 4. Tri Susiati 5. Djembar Lembasono. 6. Retno Asihanti Setiorini, S. Hum 7. Alberto Pramukti Narendra, SS 8. Yoki Muchsam
INTEROPERABILITAS COPY CATALOGING DALAM SISTEM UNION CATALOG
Oleh: B. Mustafa Perpustakaan IPB Bogor
[email protected] dan
[email protected] dan Bayu C. Raharjo PT. beIT Inovasi Tiwikrama
[email protected] dan
[email protected] Abstrak: Copy Cataloging adalah layanan suatu pusat data bibliografi (metadata bibliografi) yang memungkinkan perpustakaan lain melakukan proses penyalinan data bibliografi bahan perpustakaan yang dimiliki, yang kemudian data bibliografi tersebut dengan sedikit modifikasi dapat dimanfaatkan untuk keperluan lokal layanan perpustakaan. Dengan demikian setiap perpustakaan tidak perlu selalu melakukan proses Original cataloging untuk setiap buku yang baru dimilikinya. Proses Original cataloging adalah proses melakukan katalogisasi dan klasifikasi dari awal (from scretch) untuk sebuah bahan perpustakaan yang baru dimiliki. Copy cataloging merupakan layanan yang sejak tahun 70an sudah dikembangkan di luar negeri. Namun sampai saat ini di Indonesia praktek seperti ini belum dikembangkan secara sistematis, melembaga dan meluas. Sesungguhnya layanan seperti ini merupakan salah satu tugas (walau tidak selalu) dari perpustakaan nasional suatu negara. Salah satu masalah teknis dalam membangun sistem untuk memudahkan proses copy cataloging adalah menjamin tingkat interoperabilitas (interoperability) tinggi dari sistem dan data yang dibangun. Mengingat di Indonesia begitu beragam sistem dan format data bibliografi yang digunakan oleh beragam jenis perpustakaan. Dibahas sekilas tentang aspek teknis dan nonteknis dalam membangun sistem untuk memudahkan proses Copy cataloging serta tentang hubungan konsep antara layanan Copy cataloging dan layanan Union catalog dan peluang mengintegrasikan keduanya. Dilain pihak usaha membangun Union catalog (Katalog Induk) sudah gencar dikembangkan selama ini di Indonesia. Dahulu, idealnya dalam sistem aplikasi katalog induk masing-masing entitas perpustakaan diwajibkan memiliki format data yang sama atau bahkan sangat baik jika aplikasi manajemen perpustakaan juga sama. Namun saat ini hal itu tidak diperlukan lagi. Beberapa lembaga internasional telah berinisiatif membentuk standarisasi format pertukaran data. Paling tidak terdapat dua buah standar protokol (aturan) pertukaran data yang banyak diterapkan dalam setiap aplikasi manajemen perpustakaan yaitu Z39.50 dan OAI-PMH (Open Archive Initiative – Protocol for Metadata Harvesting). Dibahas tentang penggunaan salah satu protokol pertukaran data tersebut, yaitu Z39.50, dalam sistem katalog induk, sehingga jenis database, format database, bahkan sistem manajemen database perpustakaan yang akan bergabung dalam jaringan katalog induk, tidak perlu sama untuk dapat menjalin suatu sistem katalog induk secara terintegrasi dalam rangka meningkatkan derajat interoperabilitas tinggi antar komponen sistem. Contoh kasus pemanfaatan standar ini dalam suatu sistem di Indonesia juga disinggung. 1
Kata kunci: Copy cataloging, pusat data bibliografi, kerja sama jaringan perpustakaan, standar pertukaran data, format standar bibliografi, INDOMARC, original cataloging, katalog induk perpustakaan, Union catalog, Z39.50, Interoperability. Pendahuluan
American Library Association (ALA) Glossary mendefinisikan Copy Cataloging adalah “The Cataloging of a bibliographic item by using an existent bibliographic record and altering it as needed to fit the item in hand and to conform to local cataloging practice. (The ALA Glossary of Library and Information Science). Banyak negara, terutama di Eropa dan Amerika Utara, sudah sejak lama mengembangkan dan memanfaatkan konsep layanan copy cataloging. Walau pusat metadata bibliografinya tidak selalu berada atau dilakukan oleh perpustakaan nasional Negara tersebut, melainkan dapat juga dilakukan oleh organisasi atau instansi lain. Seperti halnya BLCMP (Birmingham Library Center Management Project) sampai saat ini masih aktif memberikan layanan Copy Cataloging dan kini mempunyai lebih 15 juta records. Sedangkan OCLC (Online Catalog Library Center) di Ohio sampai sekarang menjaring lebih 5000 perpustakaan untuk mendukung layanan copy catalogingnya. Sementara itu BIBLINK yang merupakan proyek kerja sama perpustakaan nasional dan para penerbit di Eropa bertujuan untuk mengontrol dan menyediakan layanan copy cataloging untuk semua bahan pustaka di Eropa.
Copy cataloging idealnya merupakan salah satu layanan Perpustakaan Nasional RI untuk perpustakaan di seluruh Indonesia, bukan untuk pengguna akhir (end-user) dari perpustakaan nasional.
Perpustakaan Nasional sebagai pembina dan berperan untuk pengembangan
perpustakaan di Indonesia pantas dan sesuai untuk melaksanakan tugas layanan copy cataloging ini.
Dengan layanan Copy cataloging ini, Perpustakaan Nasional RI akan menyediakan metadata (data bibliografi) dalam format standar, misalnya format MARC (Indonesian MAchine Readable Catalog) secara digital untuk semua buku terbitan Indonesia atau buku mengenai Indonesia yang diterbitkan di luar negeri.
Metadata tersebut dapat diakses dan diunduh
(download) melalui internet oleh perpustakaan seluruh Indonesia untuk digunakan pada sistem otomasi perpustakaan mereka. Dengan demikian suatu judul buku tertentu tidak perlu 2
dibuat metadata bibliografinya secara berulang-ulang oleh setiap perpustakaan yang memiliki buku yang sama. Seperti diketahui bahwa jumlah perpustakaan di Indonesia dari berbagai jenis bisa mencapai lebih dari 100 ribu unit perpustakaan. Hal ini dapat diprediksi dari jumlah perguruan tinggi yang mencapai lebih 5000 PTN/PTS, jumlah sekolah (SD, SLTP, SLTA) yang mencapai lebih 300.000 sekolah, jumlah Perpustakaan Umum Kabupaten/Kota yang bisa mencapai lebih 450, Perpustakaan Provinsi yang lebih 30 sesuai jumlah provinsi, belum lagi perpustakaan khusus/instansi dan perpustakaan komunitas serta taman-taman bacaan masyarakat, yang marak dikembangkan dewasa ini oleh berbagai pihak. Semua perpustakaan tersebut tentu memerlukan metadata bibliografi sesuai dengan koleksi bahan perpustakaan mereka. Padahal tidak semua perpustakaan itu mempunyai tenaga yang kompeten dalam membuat deskripsi bibliografis lengkap yang benar dan standar, termasuk deskripsi subjek dan notasi klasifikasinya. Disinilah diperlukan keberadaan sistem layanan Copy cataloging. Layanan Copy cataloging sudah barang tentu akan sangat menghemat biaya secara nasional dan akan mempercepat proses layanan pada semua perpustakaan. Selain itu akan dihasilkan format metadata bibliografi yang standar di perpustakaan seluruh Indonesia. Dalam jangka panjang sistem ini akan menghemat biaya secara nasional. Memang dalam tahap inisiasi diperlukan biaya yang besar, tetapi selanjutnya di masa yang akan datang, akan menghemat biaya, terutama pada sisi ratusan ribu perpustakaan yang memanfaatkan layanan tersebut. Sesungguhnya sistem ini juga akan membantu Perpustakaan Nasional dalam mekanisme pengawasan bibliografi (Bibliographic Control) sebagai salah satu tugas tambahan Perpustakaan Nasional RI, terutama karena adanya metadata yang dikenal dengan nama EMMA (Extra MARC Materials), yaitu metadata yang disumbangkan oleh masingmasing perpustakaan dari seluruh Indonesia ke pusat data.
Ada empat hal mendasar yang perlu diperhatikan dalam layanan copy cataloging, yaitu: pertama, adalah proses katalogisasi atau penyediaan metadata bibliografi;
kedua,
standarisasi metadata dan authority control; dan ketiga, mekanisme atau proses akses layanan copy cataloging; serta yang keempat yang tidak kalah pentingnya, terutama di era pemanfaatan teknologi informasi adalah interoperabilitas (interoperability) sistem (termasuk data dan konten yang akan dilayankan).
3
Union Catalog Union catalog atau Katalog Induk adalah suatu kumpulan terpadu katalog dari beberapa perpustakaan.
Melalui sistem katalog induk, orang dapat menelusur informasi mengenai
keberadaan suatu buku. Jaman dahulu beberapa perpustakaan di Bogor berhasil membangun Katalog Induk Perpustakaan Bogor secara manual.
Namun inisiatif ini tidak berhasil
berkembang dengan baik, karena mekanismenya sangat manual, yaitu mencetak Katalog Induk Perpustakaan Berupa Buku.
Usaha tersebut untuk beberapa tahun sempat
dimanfaatkan dengan baik oleh para pengguna perpustakaan Bogor. Perpustakanaan Nasional RI sampai saat ini belum pernah benar-benar berhasil membangun Katalog Induk Nasional,
walau
sebenarnya
sudah
berbagai
usaha
telah
dilakukan,
antara
lain
mengumpulkan database katalog perpustakaan dari berbagai perpustakaan, terutama perpustakaan provinsi dan kabupaten/kota.
Berbagai usaha lain pernah dicoba berbagai pihak, misalnya mengkompilasi database dari berbagai perpustakaan, tetapi seseungguhnya itu bukan merupakan katalog induk, tetapi hanya kumpulan database perpustakaan, karena benar-benarnya hanya menggabung database, tanpa mengintegrasikan isinya secara utuh.
Sejak beberapa tahun terakhir di Indonesia inisiatif implementasi membangun semacam katalog induk terus dilakukan. Atau lebih tepat mungkin dikatakan membangun suatu portal pintu gerbang untuk memudahkan pemustaka mencari informasi yang tersebar di berbagai sumber melalui suatu pintu masuk utama. Tersebutlah proyek inisiatif Garuda (Garba Rujukan Digital) yang dikembangkan di Kementerian Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (http:/garuda.kemdiknas.go.id). Sampai saat ini inisiatif ini dikembangkan terus.
Garuda adalah salah satu inisiatif yang dapat dikatakan berusaha mencoba membangun semacam katalog induk, walau dikhususkan untuk koleksi tertentu, terutama literatur kelabu (grey literature) yang diusahakan dilengkapi dengan teks lengkap. Umumnya teks lengkapnya hanya dilink ke repository awalnya melalui fitur permalink. Banyak perpustakaan perguruan tinggi, negeri atau swasta dan sejumlah perpustakaan besar seperti PUSTAKA-Litbang 4
Pertanian dan PDII LIPI telah bergabung dalam Garuda.
Berbagai kendala dihadapi dalam membangun katalog induk, mulai dari masalah teknis, menyangkut format standar data dan format standar pertukaran data, sampai masalah nonteknis, misalnya ketidaksiapan atau ‘ketidakrelaan’ sejumlah perpustakaan besar untuk bergabung dalam bekerjasama.
Idealnya sistem Union catalog mewajibkan masing-masing entitas perpustakaan memiliki format data yang sama atau bahkan aplikasi manajemen perpustakaan yang sama. Namun, saat ini beberapa lembaga internasional telah berinisiatif untuk membentuk standarisasi format pertukaran data. Jadi, dengan adanya standarisasi ini, perpustakaan yang ingin tergabung dalam union catalog (sehingga katalognya dapat langsung ditelusur dari sistem perpustakaan lain dengan kata lain searchable from other library systems) harus mengimplementasikan standar yang berlaku umum pada sistem otomasi perpustakaannya.
Copy Cataloging Vs Union Catalog Konsep Copy Cataloging dan Union Catalog sering dikaji secara bersama, namun sesungguhnya per definisi keduanya merupakan suatu konsep yang berbeda, walau memang terdapat kaitan yang sangat erat, karena menyangkut objek substansi yang sama, yaitu entitas metadata bibliografi. Meskipun kalau didekati secara fungsional sangat berbeda jauh. Layanan Union catalog dapat digunakan langsung oleh pengguna akhir yang mencari informasi. Sedangkan layanan Copy cataloging diperuntukkan bagi perpustakaan yang ingin membangun katalog perpustakaan, yang pada akhirnya akan digunakan juga oleh pengguna akhir masing-masing perpustakaan yang bersangkutan. Hal yang dapat menjadi nilai tambah dari kombinasi Layanan Union catalog dan Copy cataloging tentu saja dapat dilakukan.
Pendekatan ini dapat dilakukan jika kedua konsep digabung
menjadi satu layanan terintegrasi, yaitu mengintegrasikan kedua konsep layanan ini menjadi satu dan namun tetap memberikan manfaat fungsional maksimal untuk kedua kepentingan. Ini berarti bahwa perpustakaan yang memerlukan metadata bibliografi dapat mengakses sistem layanan integrasi tersebut, untuk memperoleh metadata bibliografi standar dengan derajat interoperabilitas tinggi, yang digunakan dalam sistem katalog lokal. Selain dari pada itu perpustakaan dapat pula berkontribusi ‘menyumbang’ metadata bibliografi standar ke pusat data sistem integrasi untuk dimanfaatkan perpustakaan lain, jika metadata bibliografi 5
dimaksud belum terapat dalam sistem layanan intergrasi.
Di sisi lain untuk fungsi Union
catalog, perpustakaan dapat memanfaatkan layanan integrasi dalam rangka memberikan layanan penelusuran informasi bagi pengguna akhir mereka. Peranan Perpustakaan Nasional RI Perpustakaan nasional suatu negara seharusnya merupakan perpustakaan utama dan paling komprehensif melayani keperluan informasi dari penduduk suatu negara. Salah satu fungsi perpustakaan nasional ialah menyimpan semua bahan pustaka yang tercetak dan terekam yang diterbitkan di suatu negara. Sulistyo-Basuki (1991) mengatakan bahwa menurut ketentuan perundang-undangan, tugas Perpustakaan Nasional Republik Indonesia adalah: (1) melaksanakan pengumpulan, pengolahan, dan pendayagunaan bahan pustaka yang diterbitkan di Indonesia sebagai koleksi deposit nasional; (2) melaksanakan pengumpulan, pengolahan, pengembangan, serta pendayagunaan bahan pustaka dengan mengutamakan bidang ilmu ilmu sosial dan kemanusiaan terbitan asing; (3)
melaksanakan penyusunan
bibliografi nasional; (4) melaksanakan tugas sebagai pusat kerjasama antar perpustakaan di dalam negeri maupun luar negeri; (5) memberikan jasa referensi studi, jasa bibliografi, dan informasi ilmiah; (6) melaksanakan urusan tata usaha Perpustakaan Nasional. Sesuai dengan ketentuan di atas, sampai saat ini Perpustakaan Nasional RI telah banyak melaksanakan tugas dan fungsinya. Salah satu misi Perpustakaan Nasional RI yaitu melestarikan bahan pustaka baik karya cetak maupun karya rekam sebagai hasil budaya bangsa. Dengan misi ini Perpustakaan Nasional RI memiliki peraturan yang tertuang dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1990, yang bertujuan untuk menghimpun, melestarikan dan mewujudkan koleksi karya cetak dan karya rekam secara nasional dan internasional. Di samping itu telah dirumuskan dan pelaksanaan kebijakan pelestarian pustaka budaya bangsa dalam mewujudkan koleksi deposit nasional dan pemanfaatannya. Kegiatan ini berkaitan dengan tugas Perpustakaan Nasional RI sebagai agen nasional dalam rangka pengawasan bibliografi nasional. KDT (Katalog Dalam Terbitan), ISBN (International Standard Book Number) dan BNI (Bibliografi Nasional Indonesia) merupakan hasil kegiatan Perpustakaan Nasional yang sangat dibutuhkan oleh setiap perpustakaan dalam rangka kerjasama pengatalogan.
KDT
dimanfaatkan oleh pengatalog di perpustakaan untuk membuat katalog dengan menyalin data bibliografi dari KDT tersebut, namun pengatalog masih harus melakukan pengetikan ulang 6
baik untuk pembuatan katatog dalam bentuk kartu maupun OPAC (Online Public Accsess Catalog). Perpustakaan Nasional RI yang seharusnya berperan sebagai pembina seluruh perpustakaan di Indonesia, di era digitalisasi ini bisa mengembangkan kerjasama yang lebih intensif dan efisien dalam rangka pemanfaatan metadata bibliografi format digital baik untuk kebutuhan pengawasan bibliografi nasional maupun untuk kegiatan lainnya seperti copy cataloging dengan format digital yang menjadi topik artikel ini. Walau pun demikian pengelola pusat data untuk layanan Copy Cataloging tidak harus Perpustakaan Nasional.
Lembaga lain yang
kompeten dapat saja menjadi pusat layanan Copy Cataloging.
Mekanisme Layanan Copy Cataloging Perpustakaan Nasional atau institusi lain yang dibentuk yang berfungsi sebagai pusat metadata bibliografi di Indonesia, membangun database yang menghimpun metadata bibliografi secara digital seluruh terbitan buku di Indonesia dan terbitan mengenai Indonesia. Format metadata bibliografi perlu menggunakan standar yang akan berlaku secara nasional dan sesuai dengan standar internasional. Setidaknya ada dua standar yang dapat digunakan yaitu standar format INDOMARC yang sudah banyak digunakan di Indonesia atau format standar DUBLIN CORE, yang belakangan banyak digunakan untuk layanan dokumen digital melalui perpustakaan digital. Selain itu, format RDA (Resource Description and Access) yang disebut-sebut akan menggantikan aturan AACR2, yang selama ini digunakan di Indonesia, dapat pula menjadi pertimbangan. Dalam tulisan ini disarankan menggunakan format standar INDOMARC, karena sudah banyak diketahui perpustakaan di Indonesia, selain itu lebih lengkap struktur datanya dibandingkan dengan format standar Dublin Core. Format Dublin Core memang lebih sederhana karena hanya terdiri atas 15 ruas (field), namun format Dublin Core belum banyak dikenal perpustakaan di Indonesia. Lain dari pada itu, karena formatnya sangat sederhana, sesungguhnya banyak ruas yang diperlukan telah dihilangkan. Pusat metadata menyediakan sistem layanan bagi seluruh perpustakaan di Indonesia untuk mengakses dan mencari metadata bibliografi buku-buku tertentu melalui fasilitas internet. Jika suatu perpustakaan memperoleh suatu buku baru, maka langkah pertama yang perlu dilakukan untuk membuat katalog buku tersebut adalah mengakses layanan Copy Cataloging 7
(sebagai pusat metadata bibliografi) yang diharapkan telah meyimpan metadata bibliografi buku itu. Jika memang metadata bibliografi buku sudah ada di pusat metadata bibliografi nasional, maka perpustakaan pemilik buku tersebut hanya perlu mengunduh (dowonload) metadata bibliografi buku tersebut.
Kemudian melakukan penyesuaian seperlunya untuk
dapat digunakan pada sistem otomasi perpustakaan lokal. Jika ternyata metadata bibliografi buku tersebut tidak ditemukan pada pusat metadata bibliografi, dan ini dapat diasumsikan bahwa belum ada metadata bibliografinya di pusat metadata bibliografi.
Karena itu,
perpustakaan yang memiliki buku tersebut, jika mempunyai kemampuan, dapat melakukan proses katalogisasi awal (original cataloging) dengan menggunakan standar format INDOMARC.
Selanjutnya jika metadata bibliografi itu sudah benar, perpustakan dapat
mengunggah (upload) metadata tersebut ke pusat metadata bibliografi untuk dapat digunakan oleh perpustakaan lain.
INDOMARC Sebagai Standar Format Metadata Bibliografi Format INDOMARC untuk standarisasi format metadata bibliografi di Indonesia sudah dibahas dan dirancang tahun 1986 di Perpustakaan Nasional. Saat ini sudah umum digunakan untuk membuat metadata bibliografi sistem otomasi perpustakaan di Indonesia. Sementara Dublin Core (Dublin adalah nama kota di OHIO Amerika Serikat tempat format metadata bibliografi untuk perpustakaan digital distandarkan), yang baru dibuat belakangan (tahun 1995) kini juga sudah mulai banyak digunakan. Terutama untuk membuat metadata dalam membangun perpustakaan digital. Dalam praktek Copy Cataloging di luar negeri, dikenal pula istilah EMMA.
EMMA (Extra
MARC Materials) adalah metadata (data bibliografi) dalam format MARC (INDOMARC) dari buku khas (lokal) yang dibuat oleh perpustakaan pemilik buku khas (lokal) tersebut, biasanya bahan perpustakaan berupa literatur kelabu (grey-literature) dan kemudian diunggah dan digabung ke dalam
metadata di pusat layanan Copy Cataloging
agar kemudian dapat
diunggah (dicopy cataloging) oleh perpustakaan lain untuk digunakan pada sistem otomasi mereka jika sudah memiliki buku itu.
Satu hal yang tidak dapat pula dilupakan adalah
masalah authority control dalam proses katalogisasi, baik yang dilakukan di pusat data maupun oleh perpustakaan penyumbang data bibliografi.
8
Selain itu, manfaat sistem copy cataloging ini akan membuat metadata bibliografi di Indonesia menjadi lebih standar.
Jika semua sepakat menggunakan INDOMARC sebagai standar,
maka perlu sosialisasi INDOMARC lebih intensif. Tentu saja setiap perpustakaan dapat membuat atau menambahkan informasi tertentu sesuai kebutuhan perpustakaan mereka ke dalam ruas (field/TAG) tertentu.
Praktek Copy Cataloging selain berfungsi untuk menyediakan format digital metadata bibliografi bagi seluruh perpustakaan di Indonesia, sesungguhnya bermanfaat pula bagi Perpustakaan Nasional untuk melakukan proses pengawasan bibliografi (bibliographic control) di Indonesia. Proses pengawasan bibliografi adalah suatu usaha untuk mengetahui seluruh terbitan Indonesia dan terbitan mengenai Indonesia, yang dilakukan antara lain melalui mekanisme pembuatan ISBN (International Standard Book Number), dan melalui peraturan Wajib Simpan Karya Tulis dan Karya Rekam ke Perpustakaan Nasional serta dengan cara mengumpulkan bahan rujukan berupa bibliografi atau indeks. Hal ini dapat diketahui karena menurut penelitian yang dilakukan tahun 2004 atas kerja sama Perpustakaan Nasional dengan Perpustakaan IPB Bogor, terungkap bahwa hanya 27 persen buku yang dibuat ISBNnya di Perpustakaan Nasional. Padahal buku yang terbit pertahun rata-rata 6355 judul. Sehingga masih banyak buku terbitan Indonesia yang tidak dibuatkan ISBNnya dan tidak diserahkan ke Perpustakan Nasional sesuai dengan peraturan Wajb Simpan Karya Tulis dan Karya Rekam. Melalui mekanisme Copy Cataloging ini, apalagi jika diintegrasikan dengan layanan Union Catalog, diharapkan akan lebih banyak lagi judul buku terbitan Indonesia yang diketahui keberadaannya, karena dilaporkan sendiri oleh pemilik buku tersebut, melalui layanan ini.
Layanan Copy Cataloging Berbayar atau Gratis Pemanfaatan layanan Copy Cataloging ini sesungguhnya dapat dikenai biaya sebagaimana proses Copy Cataloging di OCLC. Layanan Copy Cataloging di OCLC mengharuskan perpustakaan yang memerlukan metadata bibliografi untuk membayar sejumlah uang tertentu untuk mendapatkan metadata bibliografi secara digital. Namun disarankan untuk Indonesia pada tahap awal lebih baik layanan ini diberikan secara gratis.
9
Jenis dokumen yang dapat ditampung dan dilayanankan metadata bibliografinya di pusat layanan metadata bukan saja yang berbentuk buku, namun diharapkan untuk semua bentuk dokumen, termasuk dokumen yang dikenal dengan istilah dokumen Grey Literature atau Bahan Perpustakaan Kelabu atau abu-abu. Grey Literature adalah bahan perpustakaan yang tidak diterbitkan dalam jumlah banyak dan tidak diperjualbelikan secara umum, sehingga aksesibilitasnya kurang luas secara umum. Misalnya laporan penelitian, orasi guru besar, disertasi, tesis dan skripsi dsb. Bahkan dewasa ini metadata dari konten multimedia sudah banyak dimiliki oleh berbagai perpustakaan, misalnya metadadata untuk bahan perpustakaan berupa gambar diam (still image), rekaman audio, serta rekaman video. Jika dalam sistem Copy cataloging dan Union catalog yang dibangun akan dikaitkan dengan konten lengkapnya, maka factor interoperabilitas makin perlu menjai perhatian. Hal ini karena akan terjadi transaksi data elektronik bukan saja berupa teks, melainkan juga dalam bentuk berkas elektronik multimedia. Implementasi Copy Cataloging sesuai dengan prediksi John Ashford (seorang konsultan pengembangan perpustakaan di Indonesia beberapa tahun lalu) yang menggambar diagram perubahan paradigma kegiatan dalam bidang perpustakaan. Diagram dari John Ashford yang menekankan perubahan fokus pekerjaan pustakawan dari teknis ke layanan langsung kepada pengguna, karena itu pekerjaan mengkatalog dan mengklasir akan berkurang, antara lain karena pustakawan hanya perlu melakukan copy cataloging dan tidak perlu sering melakukan proses orginal cataloging. Perhatikan diagram yang dikutip
Libraries toward 2000s The changing tasks of the librarian Traditional
Automated
Selection/Acquisition
More sources
Cataloging/Circulation Less manual works, more sharing 10
User support
This is what the skills of the librarian are really meant for
Gambar 1. Diagram Perubahan Fokus Pekerjaan Pustakawan Dalam Era Teknologi Informasi
Diagram diatas menggambarkan bahwa di masa depan, kegiatan katalogisasi, yang merupakan kegiatan teknis di perpustakaan akan semakin berkurang dilakukan oleh pustakawan secara sendiri-sendiri, melainkan melalui sistem kerjasama kolaborasi (sharing). Sehingga pustakawan punya waktu banyak berintegrasi dengan pengguna akhir untuk memberikan layanan prima sesuai kebutuhan mereka. Waktu pustakawan tidak habis dalam urusan teknis mekanis. Interoperabilitas Secara sederhana interoperabilitas (interoperability) adalah kemampuan bekerja sama antar komponen sistem.
Sebenarnya ada beberapa level interoperabilitas dari sisi teknologi
informasi, yaitu pada level perangkat keras (hardware), level jaringan (network), level perangkat lunak sistem dan aplikasi (software), serta level data. Untuk bidang perpustakaan dalam level data lebih khusus masih ditambah lagi dengan standarisasi format pertukaran data. Dalam konteks pembahasan makalah ini, interoperabilitas dimaksudkan adalah tingkat kemampuan kerjasama antar sistem katalog perpustakaan berbasis teknologi informasi, sedemikian rupa sehingga implementasi kerja sama saling memanfaatkan metadata bibliografi melalui katalog perpustakaan dalam suatu sistem layanan copy cataloging dan/atau union catalog dapat terjadi dengan derajat interoperabilitas tinggi, dalam arti semua informasi dari semua pihak (repositori) dapat dimanfaatkan secara optimal oleh semua pihak yang bekerjasama, termasuk oleh pengguna akhir (end-user).
Dengan demikian yang diharapkan adalah standar metadata, paket konten informasi, maupun sistem aplikasi yang digunakan dalam seluruh komponen yang terlibat dalam konsep layanan Copy cataloging dan/atau Union catalog sudah dapat saling ‘berbicara’ atau berkomunikasi 11
dengan baik, sehingga tidak meninggalkan beda pengertian atau bahkan kehilangan data/informasi (corrupted) akibat tidak adanya kompatibilitas antar komponen sistem.
Untuk menjamin tingkat interoperabilitastinggi, paling tidak terdapat dua buah standar protokol (aturan) pertukaran data yang idealnya diterapkan dalam setiap software/aplikasi manajemen perpustakaan. Ini bukan berarti hanya ada dua protokol ini. Karena masih ada protokol lain yang dapat menjadi pilihan. Dua protokol itu adalah Z39.50 dan OAI-PMH (Open Archive Initiative – Protocol for Metadata Harvesting).
Berikut adalah beberapa protokol yang tersedia saat ini yang digunakan dalam rangka meingkatkan interoperabilitas kerja sama antar sistem.
Antarmuka/Standar OAI-PMH
RSS
ATOM
SRW/U
Z39.50
OpenURL
SQI
Keterangan Memungkinkan metadata dan bahkan dapat juga konten yang telah dikemas dengan tepat, dapat diambil melalui mekanisme harvesting, agregasi (mengumpulkan) dan disebarkan lagi (deliver) melalui layanan provider. Informasi lengkap dapat diakses di http://www.openarchives.org Memungkinkan kontrol terhadap gabungan metadata oleh sejumlah repository ke pembaca RSS dan layanan/aplilkasi RSS lainnya. Informasi lengkap dapat dilihat di http://en.wikipedia.org/wiki/RSS_file_format Seperti RSS, yang memungkinkan kontrol terhadap gabungan metadata, namun selain itu dapat pula mengontrol konten melalui Base64 encoding ATOM. Informasi lanjut dapat dilihat di http://www.atomenabled.org Memungkinkan penelusuran ke repositori tertentu atau ke kumpulan repositori. SRW berstandar SOAP-full, sedangkan SRU berstandar REST-full. Informasi lebih lengkap dapat dilihat di http://www.loc.gov/standards/sru Pelopor SRW/U dan mendahului Web itu sendiri, Z39.50 juga memungkinkan penelusuran terfokus. Informasi lebih lengkap di http://www.loc.gov/z3950/agency Memungkinkan hubungan kontekstual antara sumber informasi (resources), yang dapat mencakup keluar repository atau ke dalam satu OpenURL. Informasi lebih lengkap dapat dilihat di http://www.niso.org/standards/standard_detail.cfm?std_id=783 SQI (Simple Query Interface) dikembangkan untuk memfasilitasi interoperabiliti antar repositori objek pembelajaran. Informasi 12
lebih lengkap di http://ariadne.cs.kuleuven.ac.be/vqwiki2.5.5/jsp/Wiki?LorInteroperability Selain pilihan protokol yang digunakan, perlu pula diperhatikan model arsitektur dari penyimpanan data pada repositori. Ada beberapa pendekatan arsitektur yang dapat dilakukan untuk mengelola komponen yang berbeda dalam mata rantai repositori dan pengguna akhir. Tabel berikut memerikan ringkasannya. Model Arsitektur
Keterangan
Terpusat (Centralised)
Metadata (database bibliografi) dan konten dikumpulkan dalam suatu pusat data, dan pengguna akhir yang menelusur informasi diarahkan untuk mengakses ke pusat data itu
Terbagi (Distributed)
Metadata dan konten tetap disimpan di repositori masingmasing secara terpisah, dan pengguna akhir yang mencari informasi melalui portal pusat dapat berintegrasi langsung dengan sistem repositori yang terpisah-pisah itu
Dipanen (Harvested)
Metadata dan mungkin juga konten, dikumpulkan ke pusat secara berkala melalui mekanisme ‘ditarik’ (pull mechanism). Jika pengguna akhir yang menelusur informasi masih memerlukan informasi lebih detil penelusuran dapat dilanjutkan ke repositori sumber informasi awal
Didorong (Push)
Metadata dan mungkin juga konten, dikumpulkan ke pusat secara berkala melalui mekanisme ‘didorong’ (push mechanism). Jika pengguna akhir yang menelusur informasi masih memerlukan informasi lebih detil penelusuran dapat dilanjutkan ke repository sumber informasi awal
Peer-to-peer
Semua repositori dapat salaing berintegrasi dan setiap masing-masing repository dapat berintegrasi langsung dengan setiap pengguna akhir yang mencari informasi
Protokol Z39.50 Protokol ini dimotori oleh Library of Congress dan sudah ada sejak tahun 1970an. Z39.50 merupakan protokol yang menganut pola interaksi client-server yang digunakan untuk mengatur proses searching and retrieving informasi dari database komputer lain. Jadi, isinya 13
sebenarnya adalah sekumpulan perintah (berupa url command) yang digunakan untuk melakukan aksi search, retrieve, sort, dan browse pada computer lain (yang lokasinya jauh, tidak dalam satu sistem jaringan lokal, seperti di internet). Library of Congress menggunakan protokol ini sehingga LoC dapat melayani (LoC sebagai server) setiap query (Z39.50 mendefinisikan Common Query Language) dari komputer lain melalui jaringan internet.
Sebagai ilustrasi penerapan sistem ini di Indonesia, PDII LIPI telah dibangun suatu sistem yang mengintegrasikan beberapa sistem database yang berbeda, namun secara otomatis dalam bekerja sama dalam sistem union catalog, saat ini sistem ini disebut OPAC Intergrasi. OPAC Intergrasi PDII LIPI menerapkan protoko Z39.50.
Saat ini ada enam OPAC
perpustakaan dari enam satker (satuan kerja) dibawah PDII LIPI yang diintengrasikan. Padahal ke enam perpustatakaan satker tersebut menggunakan sistem yang berbeda. SAda yang menggunakan LARAS (buatan PDII LIPI), ada yang menggunakan SLiMS (Senayan), ada yang menggunakan ISISONLINE serta juga dihubunkan dengan MySipisisPro. PDII LIPI membangun server elib.pdii.lipi.go.id/union-opac yang bertindaksebagi server (pelayan) bagi setiap request/pertanyaan penelusuran oleh khalayak umum. Namun, segera setelah pertanyaan penelusuran itu diterima oleh server PDII-LIPI, ia berubah dan bertindak sebagai client yang akan bertanya (melakukan query) kepada server-server di perpustakaanperpustakaan satker di bawah PDII-LIPI. Dan setiap perpustakaan di setiap satker akan memasang server Z39.50. Sementara itu, PDII-LIPI sendiri juga menjadi server Z39.50 yang ditanya oleh dirinya sendiri. Berikut adalah diagram konfigurasi instalasi Z39.50 di PDII-LIPI.
14
Z39.50
OPAC
Z39.50
Z39.50
Z39.50
Z39.50
Gambar 2. Diagram Konfigurasi Sistem OPAC Integrasi PDII LIPI dengan Protokol Z39.50
Protocol OAI-PMH OAI-PMH yang diiinisiasi oleh OAI di awal tahun 2001, pada dasarnya sama dengan protokol Z39.50. Kehadirannya bukan untuk menggantikan Z39.50, namun hanya menyediakan cara yang lebih mudah diimplementasikan. Protocol Z39.50 memiliki fasilitas session management, memfilter record yang dihasilkan dan fitur kompleks lainnya, namun OAI-PMH hadir dengan tujuan mengurangi kendala teknis sehingga kendala interoperabilitas menjadi rendah. Salah satu kemudahan OAI adalah OAI-PMH mewajibkan pertukaran data menggunakan metadata Dublin Core (oai-dc xml). Inilah satu kendala teknis yang biasa menghalangi interoperabilitas antar beragam format metadata. Misalnya ada USMARC, INDOMARC, unstructured metadata dan memetakan antar metadata ini akan menjadi berformat Dublin Core yang lebih bersifat general dan multi disipliner ilmu. OAI-PMH menggunakan istilah data provider untuk penyedia data dan service provider untuk penyedia layanan penelusuran ke sejumlah data provider. Beberapa protokol lain tidak dibahas disini, karena tidak banyak digunakan dalam hal pertukaran data bibliografi.
Strategi Implementasi 15
Untuk dapat mengimplementasikan union catalog dengan modul copy cataloging sebenarnya mutlak diperlukan implementasi salah satu dari standar-standar di atas. Dengan adanya standar, maka kendala-kendala teknis menyangkut pemetaan (mapping) metadata masingmasing penyedia data dapat dengan mudah dilakukan. Untuk meminimalisir kendala dalam membangun union catalog perlu dilakukan tahapan evaluasi berikut: 1. Investigasi sistem, konektivitas dan format data setiap calon provider data 2. Pemetaan seluruh format data calon provider data 3. Penjajakan konvergensi format data melalui kemungkinan konsekuensinya sbb: a. Penambahan fasilitas konversi ke format data yang seragam pada sistem manajemen perpustakaan yang ada di setiap calon provider data namun belum mengimplementasikan format standar interoperabilitas. b. Pemilihan alternative penyeragaman sistem manajemen perpustakaan setiap data provider c. Implementasi sistem manajemen perpustakaan yang mendukung protokol pertukaran data kepada data provider yang belum memiliki sistem manajemen perpustakaan (karena hanya memiliki data saja) d. Memasang konektivitas melalui jaringan internet untuk provider data yang sudah menggunakan standar format data yang mendukung interoperabilitas namun belum online (terkoneksike internet) e. Memiliki konektivitas (opac online internet) namun tidak memiliki format data standar interoperabilitas dan tidak mungkin ditambahkan fitur konversi data dinamis. Konsekuensi yang paling besar kendala interoperability-nya karena harus dilakukan crawling, parsing, dan indexing pada dokumen HTML yang dihasilkan dari OPAC internet setiap data provider. Pilihan ini sangat sulit dan seharusnya menjadi pilihan terakhir apabila alternatif di atas sudah tidak memungkinkan. 4. Proses integrasi dengan membangun sistem service provider di server pusat.
Penutup Layanan Copy Cataloging yang diintegrasikan dalam layanan Union Catalog adalah layanan suatu pusat medatata bibliografi yang memungkinkan perpustakaan lain melakukan proses 16
pengcopyan (menyalin) data bibliografi sebuah buku yang dimilikinya, yang kemudian data bibliografi tersebut dapat dimanfaatkan untuk keperluan layanan pembuatan katalog perpustakaan.
Selain itu, pengguna akhir perpustakaan dapat pula mencari infortmasi
mengenai bahan perpustakaan melalui satu pintu gerbang utama pencarian informasi sedemikian rupa sehingga dapat mengetahui dimana saja sebuh bahan perpustakaan dapat ditemukan di perpustakaan yang tergabung dalam jaringan Union Catalog. Pusat layanan Copy Cataloging
merupakan salah satu layanan yang dapat dikembangkan oleh
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, namun institusi lain selain Perpustakaan Nasional dapat saja berinisiatif membangun sistem sepert ini. Banyak manfaat yang dapat diambil dari kegiatan layanan Copy Cataloging dan Union Catalog yaitu : 1
Pengawasan bibliografi terhadap bahan perpustakaan baik yang diterbitkan maupun tidak (grey literature) bisa lebih ditingkatkan sehingga pengawasan bibliografi nasional secara menyeluruh bisa tercapai.
2
Standarisasi dalam bidang pengatalogan akan tercapai, sehingga akan menghindari ketidak-taatazasan dalam pembuatan katalog.
3
Biaya pembuatan katalog perpustakaan akan lebih murah dan lebih efisien, karena prinsip copy cataloging adalah satu untuk semua.
4
Kemungkinan kerjasama internasional untuk menuju pengawasan bibliografi secara universal akan tercapai. Membantu pengguna akhir dalam menelusur informasi seluruh koleksi bahan perpustakaan yang dimiliki oleh banyak perpustakaan dengan hanya melalui satu pintu masuk penelusuran.Keberhasilan layanan copy cataloging dan union catalog
perlu ditunjang oleh adanya pengatalog yang terlatih, yang dengan penuh
kesadaran mau menerima perubahan yang mendasar dalam prinsip pengatalogan 5 Di samping itu perlu adanya kerjasama yang baik antara perpustakaan baik dalam standarisasi format pertukaran data bibliografi maupun kesadaran dalam hal kebutuhan akan perlunya pengawasan bibliografi nasional. Tidak kalah pentingnya adalah membangun sistem berbasis teknologi informasi mutakhir dengan menerapkan protokol yang tepat yang dapat menjamin tingkat interoperabilitas tinggi antar komponen sistem yang akan bergabung dalam sistem pusat, mengingat keragaman sistem yang digunakan di Indonesia.
17
Daftar Pustaka The ALA Glossary of Library and Information Science. Chicago: ALA, 1983 Awre, Chris and Swan, Alma. Linking uk repositories: Technical and organisational models to support user-oriented services acrossinstitutional and other digital repositories. Scoping study report. Day, Michael; Heery, Rachel dan Powel, Andy. National Bibliographic Records in the Digital Information Environmet Metadata, Links and Standards. Journal of Documentation, 55(1), January 1999: pp 16-32. Godby, C.J., Young, J.A. and Childress, E. A repository of metadata crosswalks. D-Lib Magazine, December 2004, 10 (12). Available at: http://www.dlib.org/dlib/december04/godby/12godby.html Lagoze, C. and Van de Sompel, H. The making of the Open Archives Initiative Protocol for Metadata Harvesting. Library Hi Tech, 21 (2): 118-128. Laporan Kajian Penerbitan Buku di Indonesia tahun 2002 dan 2003. Jakarta : Perpustakaan Nasional RI, 2004. Lynch, C.A. Institutional repositories: essential infrastructure for scholarship in the digital age. ARL Bimonthly Report 226, February 2003. Available at http://www.arl.org/newsltr/226/ir.html Lyon, L. eBank UK: building the links between research data, scholarly communication and learning. Ariadne, July 2003, Issue 36. Available at http://www.ariadne.ac.uk/issue36/lyon/ Mason, Mayo K. Copy cataloguing : where is it taking us on our quest for perfect copy?. Http://www.moyak.com/researcher/paper/clog4mkm.html. Diakses tanggal 30 April 2005. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Pusat Pengembangan Perpustakaan. Prosiding pengembangan jabatan pustakawan di Perguruan Tinggi Swasta. 2002. 98 p. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Pusat Pengembangan Perpustakaan. Prosiding rapat koordinasi kerja sama pengembangan jabatan pustakawan dengan pemerintah provinsi, kabupaten/kota. Jakarta 4-6 Oktoer 2004. Sulistyo-Basuki. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1991. Wulandari, Lily, dan Wicaksana, I Wayan Simiri. Semantic-web solusi interoperabilitas informasi sebagai Penunjang jaringan sistem produksi.
18
JARINGAN PERPUSTAKAAN DIGITAL DI INDONESIA: Pembelajaran dari IndonesiaDLN, InherentDL, Jogjalib for All, Garuda dan Jogjalib.Net1 Arif Surachman, S.I.P.2
Abstrak Kesadaran akan pentingnya diseminasi informasi dan ilmu pengetahuan serta perkembangan teknologi informasi telah mendatangkan berbagai upaya dari sebagian atau sekelompok masyarakat untuk mengembangkan jejaring informasi digital. Baik yang awalnya hanya diperuntukkan ‘hanya’ sekedar berbagi informasi bibliografis digital hingga kepada sharing ilmu pengetahuan dan hasil karya yang tersimpan dalam format digital. Mereka mencoba berusaha untuk ‘menggabungkan’ dan menyatukan berbagai content digital yang dimiliki dalam satu buah ‘wadah’ yang diharapkan akan mampu memberikan kontribusi yang positif bagi masyarakat. Di Indonesia, hal ini sebetulnya bukan merupakan hal baru, bahkan sudah sekitar satu dasawarsa lalu (sejak awal millennium) upaya‐ upaya membangun jaringan perpustakaan digital ini dilakukan. Namun hasilnya sampai saat ini belum terlalu menggembirakan. Beberapa upaya itu diantaranya dilakukan melalui IndonesiaDLN, InherentDL, Portal Garuda Dikti, Jogjalib for All, dan Jogjalib.Net. Apa yang sudah dilakukan bukannya gagal sama sekali, hanya mungkin tidak seperti yang diharapkan sebelumnya. Ada berbagai macam kendala dan pengalaman yang dapat menjadi media pembelajaran bagi upaya membangun jaringan perpustakaan digital ke depan di Indonesia. Tulisan ini mencoba ingin mengulas dari berbagai aspek berbagai hal yang menyangkut upaya membangun jaringan perpustakaan digital di Indonesia. Salah satu faktor utama yang menjadi kendala dari keberadaan jaringan itu adalah masalah kebijakan, aspek interoperabilitas, dan akses oleh pengguna. Disamping tentunya adanya masalah lain seperti kesinambungan, sumber daya, pengelolaan, infrastruktur, dan aspek teknis lainnya. i kajian dan analisis ini merupakan satu bentuk ‘lesson learned’ atau pembelajaran bagi pengembangan Perpustakaan Digital di masa yang akan datang. Kata kunci: Perpustakaan Digital, Jaringan Perpustakaan Digital, Informasi Digital, Digital Libraries, Jaringan Perpustakaan Digital Indonesia, Interoperabilitas 1
Makalah disampaikan dalam Konferensi Digital Indonesia, Samarinda 8‐10 November 2011. Pustakawan Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. E‐mail:
[email protected], website: http://arifs.staff.ugm.ac.id
2
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan teknologi digital dan juga kesadaran akan kebebasan informasi publik serta diseminasi informasi telah membawa banyak perubahan terhadap pola penanganan koleksi dan informasi yang ada di perpustakaan. Banyaknya informasi yang ada dan juga terbatasnya akses kepada sumber‐sumber informasi tertentu menjadikan para pengelola perpustakaan berinisiatif untuk membangun jaringan perpustakaan digital yang akan mempermudah dan memperluas akses informasi yang dimilikinya. Pengelola dan pemerhati perpustakaan di Indonesia pun menyadari akan kebutuhan itu. Sebelum dan awal millennium di Indonesia sudah mulai dibentuk embrio dari sebuah jaringan perpustakaan digital yang diharapkan akan mampu memberikan kontribusi positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. Sekitar tahun 1998‐an Universitas Petra bersama dengan 8 institusi membentuk jaringan InCU‐VL dan tahun 2000‐an muncul sebuah ‘proyek’ bersama yang bernama Indonesia Digital Library Network (IDLN). Hermanto (2009) dalam artikelnya menyatakan bahwa IDLN mempunyai misi “Unlock access to Indonesian Knowledge” dimana open content dan content sharing ilmu pengetahuan menjadi fokus agar rakyat Indonesia dengan mudah mengakses kepada ilmu pengetahuan tersebut. Kini setelah 11 tahun lebih berlalu, InCU‐VL dan IDLN tidak lagi ‘berdiri’ sendiri, berbagai kelompok di Indonesia mulai mengembangkan konsep jaringan perpustakaan digital baik yang berasal dari kalangan pemerintah, swasta maupun komunitas masyarakat. Tentu hal ini sangat menggembirakan. Namun disisi lain terdapat pula keprihatinan. Ternyata perkembangan dari waktu ke waktu ‘proyek‐proyek’ beberapa jaringan perpustakaan digital ini mengalami pasang surut bahkan ada yang sampai yang ‘mati suri’. Salah satu faktor yang penting terkait permasalahan tersebut adalah masalah interoperabilitas antara pengguna jaringan, disamping tentunya faktor‐faktor lain seperti ’sustainability, masalah kebijakan, akses oleh pengguna, dan masalah teknis lainnya. Terkait dengan masalah kebijakan, menurut Pendit dalam pernyataannya kepada penulis menyatakan bahwa faktor yang cukup mendasar dan penting dalam membangun sebuah perpustakaan digital adalah faktor kebijakan. Perpustakaan digital hendaknya mulai dibangun dengan
menyiapkan dokumen yang rapi dan jelas terkait dengan desain, kebijakan, perencanaan, tujuan, dan langkah‐langkah pengembangan ke depan, hingga penanganan masalah teknis. Nah, hal ini juga ternyata sering dilupakan oleh para pengembang perpustakaan digital di Indonesia. Tentu hal ini tidak dapat dibiarkan agar ke depan perkembangan jaringan perpustakaan digital ini tetap dapat dipertahankan dan terus berkembang di Indonesia. Menyikapi hal tersebut, maka perlu kiranya melihat kembali perkembangan beberapa jaringan perpustakaan digital yang ada di Indonesia, serta upaya‐upaya yang sudah dan akan dilakukan. Tujuannya adalah agar dapat dipetik pelajaran (lesson learned) bagi pengembangan jaringan perpustakaan digital di Indonesia ke depan. Paling tidak tulisan ini akan menggugah kita untuk berpikir kembali dan mencari solusi yang tepat bagi permasalahan‐permasalahan yang selama ini menghambat proses pengembangan jaringan perpustakaan digital di Indonesia. Selain itu, karena salah satu tujuan keberadaan perpustakaan digital adalah melayani masyarakat atau komunitasnya, maka perlu juga dipelajari bagaimana pandangan masyarakat pengguna terhadap keberadaan perpustakaan digital di Indonesia. Melalui survei online yang dilakukan dan disebarkan melalui berbagai milist yang berisi para pustakawan dan aktifis atau pemerhati di bidang informasi, penulis mencoba untuk mengumpulkan data terkait pandangan masyarakat terkait akses pada perpustakaan digital yang ada di Indonesia, terutama yang menjadi kajian kali ini. 1.2. Definisi dan Pengertian Kata Perpustakaan digital sendiri merupakan terjemahan langsung dari ‘digital libraries’ (Pendit, 2008). Kata libraries (dengan –es) yang berarti jamak sebetulnya sudah menunjukkan bahwa perpustakaan digital tidak ‘berdiri’ sendiri atau bisa dikatakan sebagai sebuah ‘jaringan’ atau ‘network’ . Hal ini didukung oleh pernyataan Pendit (2008) yang mengatakan bahwa perkembangan perpustakaan digital di dunia menunjukkan persamaan menyolok dalam dua hal, yakni: • Pembangunan perpustakaan digital merupakan upaya besar yang melibatkan sekaligus banyak pihak, dengan dukungan formal dari Negara • Perpustakaan digital dikembangkan sebagai sebuah jaringan raksasa yang berupaya menghimpun keragaman sumber daya informasi, dengan mengandalkan interkoneksi telekomunikasi dan internet.
Jadi dalam hal ini jelas bahwa yang dimaksud dengan perpustakaan digital disini adalah merupakan sebuah ‘jaringan’ kerjasama atau bukan entitas yang berdiri sendiri. Digital Library Federation dalam Pendit (2008) menyatakan bahwa definisi perpustakaan digital adalah berbagai organisasi yang menyediakan sumber daya, termasuk pegawai yang terlatih khusus, untuk memilih, mengatur, menawarkan akses, memahami, menyebarkan, menjaga integritas, dan memastikan keutuhan karya digital, sedemikian rupa sehingga koleksi tersedia dan terjangkau secara ekonomis oleh sebuah atau sekumpulan komunitas yang membutuhkannya. Adapun istilah interoperabilitas (interoperability) yang menjadi faktor penting dalam penerapan jaringan perpustakaan digital dapat didefinisikan sebagai sebuah upaya mengembangkan jasa yang terpadu bagi pengguna perpustakaan digital sedemikian rupa sehingga mereka dapat memanfaatkan sumberdaya yang disediakan oleh beragam sistem dan beraneka ragam institusi (Arms, 2000 dalam Pendit, 2008). Interoperabilitas inilah yang akan menyatukan dan menjadi ‘jembatan’ bagi sebuah jaringan perpustakaan digital. Satu perpustakaan digital dengan perpustakaan digital lainnya akan dapat saling ‘berkomunikasi’ dan bertukar ‘informasi’ karena adanya faktor interoperabilitas diantara sistem atau aplikasi yang digunakan. II. MENGENAL JARINGAN PERPUSTAKAAN DIGITAL DI INDONESIA 2.1. Indonesia Digital Library Network (IDLN) Indonesia Digital Library Network merupakan salah satu ‘pioneer’ dalam pengembangan jaringan perpustakaan digital di Indonesia. Adalah Perpustakaan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang menjadi tempat dimulai‐ nya sebuah ‘pilot project’ bagi pembangunan jaringan perpustakaan digital di Indonesia. Hermanto (2009) dalam makalahnya mengatakan bahwa pada awalnya IDLN ini dikembangkan hanya untuk keperluan internal, namun dikemudian hari upaya ini diperluas menjadi sebuah ‘program’ yang diharapkan mampu berkembang secara nasional bahkan internasional yang akan menyatukan berbagai pengetahuan dan informasi digital. Onno W Purbo dan Ismail Fahmi adalah dua nama yang tidak lepas dari proses lahirnya IDLN ini dari sebuah
tim yang bernama “Knowledge Management Research Group” pada tahun 1998. Fahmi dalam makalahnya menyebutkan bahwa gagasan membentuk jaringan perpustakaan Digital dimunculkan dalam seminar Digital Library bulan Oktober 2000 di ITB dimana dihadiri oleh 23 institusi pendidikan dan riset di seluruh Indonesia. Seminar itu menghasilkan kesepakatan untuk membentuk IndonesiaDLN. Namun secara resmi IDLN dibentuk pada bulan Juni 2001 bersamaan dengan peluncuran aplikasi GDL 3.1 sebagai aplikasi resmi yang akan digunakan sebagai sarana tukar menukar akses informasi digital melalui jaringan perpustakaan digital ini. Beberapa institusi yang tergabung dalam IDLN pada saat itu adalah Perpustakaan Pusat ITB, Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Badan penelitian dan pengembangan Kesehatan Jakarta, Magister Management Agribisnis IPB, Universitas Bina Nusantara, Universitas Syah Kuala Banda Aceh, Universitas Sam Ratulangi Manado, Universitas Heluoleo Kendari, dan Universitas Cendrawasih Papua. Ganesha Digital Library atau GDL menjadi aplikasi andalan yang dikembangkan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan institusi yang terlibat di dalam IDLN yakni GDL 4.0 pada tahun 2003 dengan konsep neons (network of network) dan GDL 4.2 pada tahun 2006 (bulan Desember) yang dikembangkan oleh Beni Rio Hermanto dan tim dengan mengaplikasikan konsep web 2.0 standar yaitu RSS dan folksonomy. Versi terakhir ini yang digunakan dalam rangka mendukung program jaringan perpustakaan atau informasi digital yang disebut INHERENT DIKTI. Selain itu juga terdapat aplikasi lain yakni New Spektra yang dikembangkan oleh Universitas Petra Surabaya melalui InCU‐VL yang memungkinkan untuk saling bertukar data dengan GDL dalam jaringan IDLN, dengan menggunakan standar Metadata Indonesia‐DLN. Sebagai jaringan yang cukup ‘tua’ yakni sudah berumur 10 tahun lebih, jaringan ini mencoba untuk tetap eksis dan melakukan berbagai upaya agar tidak mati. Hanya dari pengamatan penulis ternyata terdapat ‘banyak’ situs yang terkait IDLN sehingga terkesan kurang fokus mana yang menjadi situs utama dari IDLN ini. Sampai saat ini IDLN dapat diakses melalui alamat http://gdl.itb.ac.id, http://digilib.itb.ac.id, dan http://hub.IndonesiaDL.net. Bahkan satu situs yang sepertinya menjadi situs resmi saat ini tidak dapat diakses (tidak aktif) yakni http://www.Indonesiadln.org.
Berikut ini statistik data kontributor dari masing‐masing situs web IDLN yang masih aktif: Grafik 1. Statistik IDLN – GDL.ITB.AC.ID
Grafik 2. Statistik IDLN – HUB.INDONESIADL.NET
2.2. Jaringan Inherent dan Portal Garuda 2.2.1. Jaringan Perpustakaan Digital INHERENT INHERENT merupakan kependekan dari Indonesia Higher Education Network atau Jaringan Perguruan Tinggi Indonesia, yaitu jaringan teknologi informasi dan komunikasi yang menghubungkan setiap perguruan tinggi di Indonesia (inherent‐dikti.net). Jaringan ini dibangun oleh DIKTI pada tahun 2006 sebagai bentuk dari implementasi kebijakan strategi jangka panjang
pendidikan tinggi 2003‐2010 dengan tujuan utama kerjasama komunikasi data antar perguruan tinggi di Indonesia. Salah satu program atau kegiatan dari INHERENT ini adalah jaringan Perpustakaan Digital Perguruan Tinggi melalui INHERENT. Dikutip dari presentasi yang disampaikan oleh Luki Wijayanti bahwa tujuan jaringan ini adalah menyediakan one‐stop service, memberikan layanan 24 jam, mengkoleksi dan menyediakan akses ke sumber‐sumber informasi yang tersebar di seluruh dunia, dan meningkatkan kepuasan pengguna. Jaringan perpustakaan digital melalui INHERENT ini dilakukan dengan memanfaatkan simpul‐simpul yang terhubung dalam jaringan INHERENT. Pada awalnya terdapat 32 simpul utama perguruan tinggi yang tersebar di seluruh Indonesia, dimana setiap simpul tersebut dapat mengembangkan jaringannya dalam simpul‐simpul lokal di daerahnya. Contoh, simpul UGM dapat mengembangkan jaringan dengan menghubungkan ke simpul lokal perguruan tinggi lain di Yogyakarta. Adapun akses ke dalam jaringan perpustakaan digital ini dapat dilakukan melalui masing‐masing situs web dari simpul utama yang ada di perguruan tinggi, contoh melalui http://i‐lib.ugm.ac.id/ untuk mengakses ke dalam jaringan perpustakaan digital yang terhubung ke simpul UGM. Namun sayang sekali, sepertinya jaringan perpustakaan digital melalui INHERENT ini tidak berumur panjang, karena koneksi ke simpul‐simpul lain sudah mati atau tidak dapat dilakukan lagi. 2.2.2. Jaringan dalam Portal Garuda Garuda (Garba Rujukan Digital) merupakan portal penelusuran referensi ilmiah yang menjadi pintu akses masyarakat terhadap karya ilmiah yang dihasilkan oleh para akademisi dan peneliti di seluruh Indonesia. Garuda sendiri diluncurkan oleh DIkti Kemendiknas RI bekerjasama dengan PDII‐LIPI pada 15 Desember 2009 yang memuat jurnal elektronik domestik dan karya ilmiah seperti laporan penelitian, tugas akhir mahasiswa, patent, prosiding, standard nasional Indonesia (SNI), dan pidato pengukuhan guru besar. Berdasar file presentasi sosialisasi, Portal Garuda sendiri dikembangkan dengan visi ingin menjadi acuan pertama dan utama untuk akses informasi ilmiah dan umum demi pengembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan peradaban bangsa. Sedangkan misinya adalah menyediakan layanan dan akses global ke sumber informasi bagi ilmuwan, peneliti, dan
masyarakat umum untuk mewujudkan lingkungan yang informative/kaya akan informasi. Sampai saat ini (Agustus 2011) Portal Garuda telah menampung tidak kurang dari 399.861 judul, 393.010 abstrak dan 382.531 permalinks yang berasal dari berbagai kontributor yang terdiri dari 36 perguruan tinggi di Indonesia , PDII‐LIPI, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Warintek‐ Ristek, Jurnal ITB, Swiss Germany University, Proquest, dan E‐Proceeding. Dari semua kontributor yang ada, PDII‐LIPI merupakan lembaga yang memberikan kontribusi data tertinggi yakni 138.021 judul, 137.280 abstrak dan 138.020 permalinks. Berikut ini gambaran prosentase 10 besar kontibutor portal Garuda. Grafik 3. Statistik Kontributor Portal Garuda
Portal garuda ini dapat diakses melalui alamat http://garuda.dikti.go.id atau http://garuda.kemdiknas.go.id. 2.3.
Jogja Library for All
Berbeda dari 2 jaringan perpustakaan digital sebelumnya, Jogja Library for All adalah jaringan yang berskala ‘regional’ atau lokal di satu wilayah provinsi saja, yakni di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jaringan ini dibangun oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah, propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta bersama beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta. Secara resmi, ‘proyek’ ini diluncurkan pada tanggal 30 November 2005 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dan ditandai dengan penandatanganan MOU dengan Rektor dari 4 perguruan tinggi di Yogyakarta yakni Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, dan
Universitas Islam Indonesia dimana sebagai cikal bakal keberadaan Jogja Library for All. Sejak dicanangkan, saat ini terdapat 19 perpustakaan yang tergabung dalam jaringan Jogja Library for All yang terdiri 18 perpustakaan Perguruan tinggi dan 1 Perpustakaan Daerah. Pada awal perkembangannya, Jogjalibrary for all ini didukung oleh PT. Gamatechno dan mempunyai beberapa situs web seperti http://jogjalibraryforall.blogspot.com, http://jogjalibraryforall.wordpress.com, http://jogjalibraryforall.multiply.com dan juga sub domain di http://jogjalib.gamatechno.com. Saat ini jaringan ini dapat diakses melalui alamat http://jogjalib.jogjakarta.go.id. Namun sayang sekali sampai saat ini jaringan ini ‘hanya’ merupakan jaringan yang berisi metadata katalog dari masing‐masing perpustakaan yang tergabung dalam Jogja Library for All. Berikut ini adalah gambaran sebaran rekod metadata yang ada di Jogja Library for All. Grafik 4. Statistik Metadata Jogja Library for All
2.4.
Jogjalib.Net Satu lagi jaringan perpustakaan digital yang dirintis dari daerah yakni Jogjalib.Net. Awalnya Jogjalib.Net adalah merupakan ‘proyek’ ujicoba yang dilakukan oleh komunitas pengguna perangkat lunak SLIMS (Senayan Library Information Management System) yang berada di Yogyakarta. Jaringan ini memang dibentuk sebagai media pembelajaran bersama dalam membangun sebuah jaringan informasi digital berbasis SLIMS.
Saat ini, Jogjalib.Net menghubungkan tidak kurang 40 sumber data dan informasi koleksi perpustakaan di wilayah DIY dan Jateng. Berbeda dengan jaringan‐jaringan yang ada sebelumnya, jogjalib.Net mencoba menghubungkan berbagai jenis perpustakaan, tidak hanya perpustakaan perguruan tinggi, akan tetapi juga ada perpustakaan sekolah, perpustakaan lembaga penelitian, perpustakaan LSM, hingga perpustakaan pribadi. Sampai pada bulan Agustus ini tercatat ada 15 perpustakaan perguruan tinggi/akademi, 14 perpustakaan sekolah, 6 perpustakaan komunitas/lsm, 3 perpustakaan lembaga dan 2 perpustakaan pribadi yang tergabung dalam Jogjalib.Net. Adapun rekod data yang berhasil dihimpun adalah sebanyak 83.880 rekod data. Berikut ini adalah gambaran distribusi statistik rekod metadata yang ada di Jogjalib.Net. Grafik 5. Statistik Rekod Data Jogjalib.Net
Tahap awal ini Jogjalib.Net hanya mencoba menggabungkan berbagai metadata katalog yang ada, tapi ke depan tidak menutup kemungkinan dikembangkan menjadi sebuah jaringan perpustakaan digital yang tidak hanya berisi informasi bibliografis dalam katalog akan tetapi juga content‐ content digital yang dapat diakses secara langsung. Jaringan perpustakaan ini dapat dilihat dalam situs http://www.jogjalib.net III. JARINGAN PERPUSTAKAAN DIGITAL DAN PERMASALAHANNYA Jaringan perpustakaan digital di Indonesia muncul karena adanya semangat untuk berbagi ilmu pengetahuan dan informasi serta sebagai upaya untuk memberikan kemudahan akses bagi masyarakat di Indonesia. Penggagas awal biasanya memang berasal dari kalangan akademisi di lingkungan pendidikan, walaupun ada juga yang berasal dari masyarakat atau komunitas.
Latar belakang penggagas dan organisasi atau lembaga yang terlibat di dalamnya menjadikan jaringan perpustakaan digital dapat berisi beraneka ragam jenis penyedia informasi digital maupun yang hanya berasal dari satu lembaga atau komunitas tertentu yang memiliki kesamaan baik dari segi informasi yang dikelola maupun penggunanya. Demikian pula dengan tata cara pengelolaannya, terdapat berbagai perbedaan yang ke depan dapat menjadi penghambat apabila tidak direncanakan dengan baik. Seperti masalah kebijakan, masalah interoperabilitas, masalah akses pengguna, masalah jaminan keberlangsungan, masalah infrastruktur dan lain sebagainya. Permasalahan di atas juga tidak luput dialami oleh jaringan perpustakaan seperti IndonesiaDLN, InherentDL, Portal Garuda, Jogja Library for All dan Jogjalib.Net. Pembahasan selanjutnya penulis mencoba untuk memberikan sedikit gambaran beberapa permasalahan yang ada dalam jaringan perpustakaan digital di atas. Kajian ini dilakukan dengan melakukan wawancara dengan beberapa pengelola jaringan perpustakaan digital di atas dan survei pengguna yang melibatkan tidak kurang dari 80 responden di seluruh Indonesia yang tergabung dalam milist the‐
[email protected], ics‐
[email protected],
[email protected], pustakawan‐
[email protected],
[email protected],
[email protected],
[email protected], dan
[email protected]. Adapun sebaran responden dilihat dari profesinya adalah berasal dari profesi pustakawan (63), Pekerja Informasi (6), Dosen/Guru (5), Mahasiswa/Pelajar (2), Karyawan Swasta (1), dan profesi lain (3). Sedangkan apabila dilihat dari asal responden, sebarannya adalah DKI Jakarta (21), DIY (21), Jabar (16), Jatim (12), Jateng (4), Banten (2) dan Luar Jawa (4). Untuk mempermudah kajian, maka permasalahan dalam jaringan perpustakaan digital ini akan dibagi menjadi 3 bagian besar yang menurut penulis cukup penting, yakni permasalahan kebijakan, interoperabiltas dan akses oleh pengguna. 3.1. Sisi Kebijakan Masalah kebijakan merupakan masalah penting yang sering ‘diabaikan’ oleh para pengelola jaringan perpustakaan digital. Padahal kebijakan inilah yang akan menjadi dasar utama bagi keberhasilan sebuah perpustakaan digital (dan jaringannya), karena dalam kebijakan inilah semestinya diatur berbagai hal mulai dari desain, perencanaan, tujuan, arah, pendanaan, infrastruktur, aplikasi,
standar data, dan hal teknis lainnya. Kalopun ada ‘kebijakan’ sering kali bersifat kesepakatan yang kurang mengikat dan tidak dilandasi sebuah desain yang menyeluruh. Hal ini menghasilkan jaringan hanya berjalan ketika pada awal ‘projek’ setelah itu ‘mati’, dikarenakan tidak ada lagi yang memayunginya, berhentinya komitmen para kontributor, tidak adanya dana untuk infrastruktur, hingga tidak adanya person in charge yang menangani hal‐hal teknis. Masalah kebijakan ini juga terlihat pada pola pengembangan kelima jaringan perpustakaan digital di Indonesia yang kita kaji. IndonesiaDLN sendiri menyadari ini, Hermanto (2009) dalam makalahnya menyampaikan bahwa sifat organisasi yang independent dimana hanya berdasar pada inisiatif anggota menyebabkan aktivitas content sharing tidak bersifat arahan dalam bentuk top‐ down sehingga perkembangan content menjadi lambat dan tidak jelas. Hal ini jelas akibat tidak adanya suatu kebijakan baku yang mendasari para anggota jaringan dalam beraktifitas dan berkontribusi. Inherent dan Portal Garuda juga demikian, DIKTI lebih memposisikan sebagai sebuah institusi penyedia fasilitas dan infrastruktur tanpa dibarengi dengan sebuah kebijakan yang ‘mengikat’ para anggota atau kontributornya. Hal ini memberikan potensi bahwa ‘jaringan’ ini akan mati begitu DIKTI lepas dari program ini atau projek ini dianggap ‘selesai’ dan tidak ada lagi institusi yang menaunginya. Hal sama terjadi pada Jogjalibrary for All, dukungan kebijakan sangat bergantung pada keadaan birokrasi. Priyanto dalam makalahnya menyatakan bahwa pergantian kepemimpinan di Perpustakaan Daerah (BPAD) sebagai institusi yang ‘menaungi’ program Jogja Library for All memberikan kontribusi bagi lambatnya perkembangan jaringan perpustakaan ini. Dan itu semua muaranya adalah masalah kebijakan dan desain yang kurang matang, sehingga ‘kebijakan’ yang ada tak lebih hanya sekedar sebuah ‘kesepakatan’ yang itu mudah sekali berubah seiring dengan perjalanan waktu. Jogjalib.Net yang berbasis komunitas lebih beresiko lagi apabila komitmen dari para anggota jaringan tidak kuat. Karena dengan pembentukan yang berasal dari rasa ‘solidaritas’ ini harus mampu menjaga ritme semua anggota sehingga tidak bernasib seperti IndonesiaDLN yang karena independensinya justru sulit menjadi berkembang, walaupun sampai saat ini tetap berusaha untuk bertahan. 3.2. Sisi Interoperabilitas Hal penting yang sering menjadi ‘momok’ bagi pembangunan sebuah jaringan atau sistem, apalagi jika berangkat dari desain yang berbeda adalah masalah interoperabilitas. Interoperabilitas sendiri dalam Wikipedia dibedakan
menjadi 3 tingkatan atau level interoperabilitas yakni compatibility, De Facto Standard, dan Interoperability. Compatibility atau kompatibilitas dimana merupakan level terendah dari interoperabilitas menekankan sebuah sistem atau perangkat kompatibel atau dapat disesuaikan dengan perangkat atau sistem yang lain. Jadi intinya bahwa kedua sistem yang berbeda itu dapat ‘disatukan’ dalam satu buah ‘sistem’ walaupun masing‐masing tetap mempunyai fungsi yang berbeda. Sedangkan De Facto Standard berarti bahwa beberapa sistem atau perangkat dapat berhubungan satu buah sistem dengan standar sistem atau aplikasi tertentu. Pada tingkat Interoperabiltas setiap sistem dan atau perangkat yang berbeda akan dapat saling berhubungan, berkomunikasi dan bertukar informasi satu dengan lainnya dengan menggunakan sebuah aplikasi standar sebagai penghubung. Jadi semua sistem yang ada ‘disatukan’ oleh satu buah sistem aplikasi ‘penghubung’ atau ‘pencerna’. Gambaran tentang ketiga tingkatan itu dapat di lihat pada gambar berikut ini.
Compatibility
De Facto Standard
Interoperability
Masalah interoperabilitas sendiri, apabila dikaitkan dengan perpustakaan digital paling tidak menyangkut beberapa aspek. Miller dalam Pendit (2008) mengatakan bahwa interoperabilitas berkaitan langsung dengan penggunaan standar dan mengandung aspek‐aspek seperti: • Technical interoperability, yakni merupakan standar komunikasi, pemindahan, penyimpanan dan penyajian data digital. • Semantic interoperability, yakni merupakan standar penggunaan istilah dalam pengindeksan dan temu kembali. • Political/human interoperability, yakni merupakan keputusan untuk berbagi bersama dan bekerjasama. • Intercommunity interoperability, yakni merupakan kesepakatan untuk berhimpun antar institusi dan beragam disiplin ilmu.
•
Legal interoperability, yakni terkait peraturan dan perundangan tentang akses ke koleksi digital, termasuk soal hak intelektual. • International interoperability, yakni terkait standar yang memungkinkan kerjasama internasional. Sehingga dalam masalah interoperabilitas, pendit (2008) menyatakan bahwa sebenarnya hanya ada 2 dimensi interoperabilitas yakni dimensi teknik dan dimensi sosial. Dimensi teknis memfokuskan bagaimana dari sisi teknologi interoperabilitas dikelola dan dikembangkan, sedangkan dimensi sosial menekankan bagaimana kerjasakam atau kehendak untuk bekerjasama antar pengelola perpustakaan digital dilakukan. Terkait dengan jaringan perpustakaan digital di Indonesia kedua dimensi di atas sepertinya masih menjadi masalah bagi keberlangsungan dan pengembangan jaringan perpustakaan digital Berikut ini gambaran aspek‐aspek interoperabilitas dari masing‐masing jaringan perpustakaan digital di Indonesia: Aspek Inter‐ operabilitas
IDLN
INHERENTDL
GARUDA DIKTI
JLA
Technical
(+) Adanya satu perangkat lunak (GDL) yg berfungsi sebagai server dan client yang menghubungkan data dari masing‐ masing penyedia informasi.
(+) Inherent menyediakan jaringan dan bandwidth tersendiri.
(+) Dukungan teknis dari DIKTI terkait infrastruktur Server Induk.
(‐) Masih belum adanya aplikasi yang tetap bagi pengembanga n JLA ke depan.
(‐) Hanya tergantung pada satu jenis perangkat lunak yakni GDL; Tergantung kemampuan masing2 perpustakaan untuk tetap ‘online’
Semantic
(‐) Ketergantungan terhadap ketersediaan jaringan, ketika jaringan ‘mati’ maka seluruh jaringan perpustakaan digital juga ‘mati’ atau berhenti.
(‐) Ketergantungan terhadap DIKTI membuat aspek teknis ini mempunyai potensi untuk menjadi penghambat apabila dukungan DIKTI (‐) berhenti berhenti. sebelum jaringan sempat berkembang
(+) Adanya standar N.A. metadata yang
N.A.
JLN
(+) Menggunakan satu perangkat lunak yakni SLIMS yang memungkinka n untuk terhubung ke (‐) Pertukaran luar aplikasi baru sekedar lain. metadata (catalog induk) (‐) Potensi pendanaan (‐) tergantung untuk hosting pada support hanya ‘produsen’ disediakan dalam oleh pengelola memberikan komunitas. datanya.
(‐) perbedaan (+) Standar metadata metadata menjadikan
disepakati bersama
banyak data di server induk yang tidak lengkap atau belum dapat diakomodir.
(‐) Tidak ada kesepakatan mengenai penggunaan istilah, terbukti ada duplikasi penggunaan istilah.
Political Human
Inter‐ community
Legal
(‐) untuk penggunaan istilah belum ada kesepakatan
(‐) belum ada kesepakatan penggunaan istilah
/ (+) ada kesepakatan (+) kesepakatan (+) Kesepakatan (+) sudah untuk berbagi untuk berbagi yang di’galang’ adanya DIKTI dan LIPI kesepakatan (‐) Tidak adanya (‐) Kurangnya mampu untuk berbagi ‘kewajiban’ komitmen para menjadi berkomitmen anggota masalah kekuatan dari (‐) menyebabkan data pengembang birokrasi aspek ini. tidak berkembang menjadi (‐) kendala ketergantungan terhadap penyokong utama (DIKTI) shg komitmen jaringan tidak bertahan lama (+) Mampu (+) Mampu menghu‐bungkan menghubungkan berbagai komunitas antar simpul jaringan di (‐) komunitas beberapa daerah. kurang berkembang (‐) Hanya pada komunitas perguruan tinggi saja yg tergabung dalam jaringan INHERENT
(+) Mampu menggabungka n berhagai sumber dari komunitas perguruan tinggi dan lembaga penelitian.
(‐) seputar perpustakaan perguruan tinggi
(+) Open Source
N.A.
N.A.
(‐) tidak ada kesepakatan masalah hak akses
sudah sama
N.A.
(+) Timbul dari kesadaran untuk berbagi dan belajar bersama (‐) tidak ada kesepakatan yang mengikat
(+) Mencoba menghubungk an beberapa perpustakaan PT
(+) sangat terbuka, mampu menghubungk an berbagai perpustakaan Masih digital (‐) baru sebatas pengguna SLIMS (+) Open Source (‐) tidak ada kesepakatan
dan isi
International
(+) Dengan dasar N.A. protocol OAI‐MPH dan Dublin Core memungkinkan untuk pengembangan standar internasional (‐) tidak ada kesepakatan dengan tukar menukar data dengan institusi internasional
masalah hak akses dan isi (+) Mencoba N.A. memasukkan database e‐ journal (EBSCO + PROQUEST)
(+) Punya kemampuan untuk berbagi data dengan standar internasional seperti dengan Library of Congress, dll (‐) tidak ada kesepakatan untuk tukar menukar data dengan institusi internasional
Keterangan: IDLN (Indonesia Digital Library Network), InherentDL (Indonesia Higher Education Network Digital Library), Garuda (Garba Rujukan Digital) , JLA (Jogja Library for All), JLN (Jogjalib.NET). Hasil pengamatan dan wawancara dengan beberapa pengelola memperlihatkan bahwa hampir semua jaringan perpustakaan digital yang ada menggunakan model Open Archives Initiatives (OAI) sebagai model pengembangan perpustakaan digital sebagai solusi interoperabilitas. Dengan menggunakan protocol OAI‐MPH antara pengelola (manajemen) ‘mengambil’ data dari produsen untuk disebarluaskan kepada konsumen. Metode pengambilan data oleh server dilakukan baik dengan harvesting secara langsung dari server lokal maupun secara manual mengirimkan data dalam bentuk Excel atau CSV. IndonesiaDLN, InherentDL, Portal Garuda dan Jogja Library for All menggunakan standar metadata Dublin Core dan metode di atas dalam pengembangan databasenya. Sedangkan untuk JLN menggunakan standar Marc21 dan teknologi XML dalam melakukan tukar menukar data antara server lokal dan server induknya. Secara prinsip keduanya hampir sama, artinya server induk melakukan harvesting secara langsung kepada server lokal atau dengan mengirimkan data yang berupa file excel atau CSV untuk dimasukan dalam database induk.
Kedua metode yang digunakan dalam jaringan perpustakaan digital di Indonesia mengandung resiko ‘kemacetan’ data ketika server lokal ‘mati’ atau produsen tidak lagi mengirimkan datanya kepada server induknya. Hal ini banyak ditemui dihampir seluruh jaringan perpustakaan digital yang ada. 3.3. Sisi Akses oleh Pengguna Masalah akses juga menjadi hal yang diperhatikan oleh para pengguna. Hasil survei yang dilakukan juga menemukan data menarik mengenai akses oleh pengguna. Dari 80 responden yang ada ternyata ada 9 responden yang tidak mengetahui keberadaan jaringan perpustakaan digital di Indonesia. Fakta lain menunjukkan bahwa untuk saat ini Portal Garuda DIKTI menjadi jaringan yang paling populer dan sering diakses oleh responden. Berikut ini gambaran popularitas jaringan perpustakaan digital dan akses oleh responden: NAMA JARINGAN POPULARITAS SERINGNYA FREKUENSI AKSES PORTAL GARUDA 57 Responden 39 Responden INDONESIA DLN 37 Responden 11 Responden JOGJALIB.NET (JLN) 23 Responden 14 Responden JOGJALIB FOR ALL (JLA) 16 Responden 4 Responden INHERENT DL 16 Responden 1 Responden 5 Responden LAINNYA: INCUVL, APTIK, JPLH, 7 Responden PRIMURLIB, KATALOGBERSAMA.NET, dan jaringan perpustakaan digital lokal. Data di atas juga menunjukkan bahwa walaupun pengetahuan masyarakat terhadap keberadaan perpustakaan digital di Indonesia cukup baik, namun akses terhadap perpustakaan digital itu sendiri masih rendah. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan lebih lanjut, kenapa hal itu dapat terjadi? Penulis melihat bahwa permasalahan akses dan isi dari perpustakaan digital sendiri yang berpengaruh pada keterpakaian atau akses oleh pengguna. Berdasar survei yang dilakukan pada 80 responden dan pengamatan langsung ke situs jaringan perpustakaan digital, ada beberapa permasalahan terkait dengan akses oleh pengguna yakni: • Lambatnya akses ke dalam server perpustakaan digital (termasuk dalam penelusurannya). • Masih banyaknya missing link atau informasi yang ada tidak dapat diakses lebih lanjut.
• • • • •
Masih banyak informasi yang kurang lengkap bahkan kosong. Lambatnya perkembangan isi database yang ada, kurang up‐to‐date. Sistem folder yang tidak tersusun secara rapi dan kadang terjadi duplikasi. Pergantian alamat situs web untuk akses Masih banyak yang sekedar menampilkan metadata atau data bibliografi, belum sampai kepada akses fulltext. • Jaringan (server) yang sering down atau offline. Untuk itu menjadi ’pekerjaan rumah’ bagi kita bersama agar ke depan permasalahan akses di atas juga harus menjadi pertimbangan bagi para pengelola jaringan perpustakaan digital. Karena salah satu kunci ’kesuksesan’ jaringan perpustakaan digital adalah keterpakaian dan akses oleh pengguna atau masyarakat, semakin banyak masyarakat yang menggunakan dan merasa terbantu dengan keberadaan jaringan perpustakaan digital tersebut maka nilai keberhasilan jaringan perpustakaan digital semakin nyata. IV. UPAYA DAN REKOMENDASI BAGI PENGEMBANGAN PERPUSTAKAAN DIGITAL DI INDONESIA Para pengembang dan pengelola jaringan perpustakaan digital di Indonesia bukannya tidak melakukan upaya‐upaya pembenahan terhadap beberapa permasalahan yang ada. Jaringan Perpustakaan Digital IDLN misalnya telah menyiapkan aplikasi dan standar metadata yang menjadi solusi masalah interoperabilitas teknis, semantic dan legal. Sedangkan untuk mempertahankan sustainabilitas, IDLN mengadakan pertemuan secara rutin serta membuat milist untuk para pengelola atau kontributor di IDLN. Kemudian portal Garuda melalui DIKTI juga cukup progressif untuk melakukan upaya ‘pengayaan’ bagi database portal dengan ‘meminta’ kontribusi dari para dosen dan lembaga pendidikan tinggi serta berupaya memasukkan akses ke dalam database yang dilanggan oleh DIKTI. Sedangkan Jogja Library for All juga melakukan berbagai upaya untuk tetap bertahan dengan ‘mengajak’ lebih banyak lagi perpustakaan untuk bergabung, dan melakukan pertemuan‐pertemuan untuk melakukan perbaikan teknis dan juga mematangkan konsep yang ada. Jogjalib.Net sampai saat ini melakukan upaya mengkoneksikan berbagai data dari berbagai perpustakaan yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya, dengan membebaskan siapapun dan lembaga apapun bergabung didalamnya. Bahkan untuk saat ini pendanaan server induk masih didukung sepenuhnya oleh komunitas SLIMS Yogyakarta sebagai pengelola. Untuk InherentDL saat ini sudah tidak lagi diadakan perbaikan dikarenakan memang ‘selesai’ begitu proyek INHERENT berhenti, walaupun salah satu situs atau servernya masih dapat diakses hingga sekarang.
Belajar dari permasalahan dan kajian di atas, maka ada beberapa rekomendasi terkait dengan pengembangan jaringan perpustakaan digital di Indonesia yang mungkin bisa diupayakan ke depan, yakni: •
Perlu adanya kebijakan secara Nasional yang memberikan payung bagi penyelenggaraan jaringan perpustakaan digital di Indonesia baik di tingkat pusat maupun daerah.
•
Perlu adanya kesepakatan standar yang memungkinkan untuk kemudahan dalam interoperabilitas tidak saja sebatas politic/human interoperability yang menghasilkan kesepakatan untuk berbagi saja, akan tetapi juga terkait interoperabilitas teknis, interoperabilitas semantic, interoperabilitas antar komunitas, dan interoperabilitas legal. Hal ini dapat dilakukan dengan mengumpulkan para pengembang jaringan perpustakaan digital dalam sebuah forum resmi secara Nasional khusus untuk membahas ini.
•
Perlu adanya dokumen dan desain jaringan perpustakaan digital yang dapat dijadikan panduan bagi para pengelola dan pengembang jaringan perpustakaan digital, mulai dari dokumen yang berisi perencanaan, tujuan, arah kebijakan, pendanaan, kesepakatan hingga terkait hal‐hal teknis operasionalnya.
•
Perlu disiapkan sumber daya yang lebih baik, baik sumber daya manusianya maupun sumber daya informasinya, sehingga jaminan kualitas dan keberlangsungan jaringan perpustakaan digital tidak terkendala masalah teknis dan selalu up‐to‐date.
•
Perlu adanya jaminan pada keberlangsungan infrastruktur jaringan perpustakaan digital seperti ketersediaan server yang handal (baik server lokal maupun induk), ketersediaan hosting dan domain yang pasti, hingga ketersediaan bandwidth yang cukup dari jaringan internet (akses internet) bagi para kontributornya.
V. PENUTUP Jaringan perpustakaan digital di Indonesia sebetulnya cukup berkembang dan mendapat sambutan yang baik dari masyarakat. Bahkan tidak hanya yang disebut di atas, sebetulnya masih ada jaringan perpustakaan digital lainnya seperti INCUVL, APTIK, Jaringan Perpustakaan Lingkungan Hidup dan lain sebagainya. Kiranya apabila masalah dimensi teknis dan dimensi sosial dalam
masalah interoperabilitas itu dapat ditangani secara serius dalam kerangka Nasional, maka bukan tidak mungkin bahwa jaringan perpustakaan digital di Indonesia akan dapat ‘sustain’ dan berkembang sesuai harapan. Kendala dan masalah yang selama ini ada mestinya dapat menjadi bagian dari upaya perbaikan ke depan. Sehingga ke depan bukan hanya antar perpustakaan digital yang dapat disatukan, tapi mungkin antar jaringan perpustakaan digital sendiri itupun dapat ‘disatukan’ menjadi satu Jaringan Perpustakaan Digital Nasional. Tulisan ini merupakan kajian awal dan masih jauh dari sempurna dikarenakan keterbatasan data dan informasi yang dihimpun. Ke depan diharapkan ada penelitian dan kajian yang lebih lengkap sehingga permasalahan jaringan perpustakaan digital di Indonesia ini dapat segera terselesaikan dengan baik. ”Pengalaman’ adalah ’Guru’ yang terbaik, ungkapan ini juga berlaku bagi proses pengembangan jaringan perpustakaan digital. Keberhasilan dan kegagalan mengembangkan jaringan perpustakaan digital di masa lalu dan sekarang adalah sebuah pengalaman yang menjadi pelajaran penting bagi kita untuk perbaikan ke depan. Semoga jaringan perpustakaan digital di Indonesia akan tetap eksis dan mampu memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA & BAHAN BACAAN Fahmi, Ismail. 2000. Pendayagunaan Digital Library Network untuk Mendukung Riset Nasional. Bandung: KMRG, ITB. Diakses dari http://www.batan.go.id/ppin/lokakarya/LKSTN_12/Ismail.pdf pada tanggal 1 Agustus 2011. ___________. nodate. The Indonesian Digital Library Network: menuju masyarakat berbasis ilmu pengetahuan. Bandung: KMRG ITB. [slide presentasi]. Diakses dari http://belajar.internetsehat.org/pustaka/library‐sw‐hw/digital‐ library/gdl40/ppt/poster‐idln.ppt pada tanggal 1 Agustus 2011. Hermanto, Beni Rio. 2009. Indonesia Digital Library Network dalam Program Pembangunan Perpustakaan Digital Nasional. Makalah dalam Prosiding Kongres Perpustakaan Digital Indonesia Kedua, Jakarta, 10‐12 Desember 2009. Diakses dari http://kpdi2.pnri.go.id pada tanggal 1 Agustus 2011. Pendit, Putu Laxman. 2008. Perpustakaan Digital dari A sampai Z. Jakarta: Cita Karyakarsa Mandiri. Priyanto, Ida F. 2009. Jogja Library for All: tantangan, peluang dan hambatan. Makalah dalam Prosiding Kongres Perpustakaan Digital Indonesia Kedua, Jakarta, 10‐12 Desember 2009. Diakses dari http://kpdi2.pnri.go.id pada tanggal 1 Agustus 2011.
Purwoko. 2011. Garuda (Garba Rujukan Digital). Makalah disampaikan pada sosialisasi Garuda untuk pustakawan UII, Yogyakarta 22 Januari 2011. Diakses dari http://purwoko.staff.ugm.ac.id/dl/garuda.pdf pada tanggal 1 Agustus 2011. Suprabowo, Arif. No date. Pemanfaatan Jaringan INHERENT dengan Membangun Perpustakaan Digital menggunakan Aplikasi GDL 4.2. Bandung: KMRG ITB. Diakses dari library.iai‐tribakti.ac.id pada tanggal 1 Agustus 2011. Tim Pengembang GARUDA. nodate. Garuda: Referensi Ilmiah dan Umum (http://garuda.kemendiknas.go.id). [slide presentasi]. Diakses dari http://lppm.ut.ac.id/pdffiles/Portal_Garuda.ppt pada tanggal 1 Agustus 2011. Wijayanti, Luki. 2006. Merintis Perpustakaan Digital Perguruan Tinggi di Indonesia. Makalah dalam Seminar Sosialisasi Inherent di UNAIR Surabaya 6 Desember 2006. [slide presentasi]. Diakses dari http://staff.ui.ac.id/internal/131779843/publikasi/Merintis_Perpustakaa n_Digital_PT_di_Indonesia.ppt pada tanggal 1 Agustus 2011. http://en.wikipedia.org/interoperability/ DAFTAR WEBSITE JARINGAN PERPUSTAKAAN DIGITAL http://hub.indonesiadl.net – INDONESIA DLN http://gdl.itb.ac.id – INDONESIA DLN http://garuda.dikti.go.id – PORTAL GARUDA http://garuda.kemdiknas.go.id – PORTAL GARUDA http://www.jogjalib.net ‐ JOGJALIB http://jogjalib.jogjakarta.go.id – JOGJALIB FOR ALL http://svl.petra.ac.id/ ‐ INCUVL http://adl.aptik.or.id/Default.aspx ‐ APTIK DLN http://i‐lib.ugm.ac.id/ ‐ INHERENTDL KREDIT: Aditya Nugraha (PETRA‐INCUVL), Beni Rio Hermanto (IDLN), Ida Fajar Priyanto (JLA), Ismail Fahmi (IDLN), Klarensia Naibaho (GARUDA), Purwoko (JLN), Putu Laxman Pendit (Melbourne), Rizal Fathoni Aji (GARUDA), Umi Proboyekti (JLA)
PERSEPSI STAKEHOLDERS TERHADAP SISTEM INTEROPERABILITAS PERPUSTAKAAN DIGITAL
Oleh : Wanda Listiani, M.Ds
Abstrak Beragamnya perangkat lunak yang digunakan dalam perpustakaan digital, menghasilkan berbagai kendala dalam pertukaran informasi. Kendala-kendala yang menimbulkan biaya yang tidak sedikit. Interoperabilitas mampu mengurangi biaya dan waktu yang diperlukan untuk pertukaran informasi antar perpustakaan. Interoperabilitas antar perangkat lunak juga mampu mempermudah proses upgrade ataupun migrasi perangkat lunak yang dilakukan oleh sebuah perpustakaan. Namun kurangnya kemauan berbagi data dan informasi (resource sharing) antar stakeholders mengakibatkan munculnya kesulitan dalam pengembangan interoperabilitas aplikasi perpustakaan digital untuk mempersatukan berbagai sistem informasi. Setiap stakeholder mempunyai persepsi masing-masing mengenai interoperabilitas perpustakaan digital. Penelitian ini bertujuan memaparkan persepsi stakeholders akan interoperabilitas perpustakaan digital pada 115 pustaka yang ditemukan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian pustaka. Kajian ini menganalisis pustaka yang membahas tentang interoperabilitas baik yang ditulis oleh akademisi, peneliti, penerbit, pengelola perpustakaan, mahasiswa perpustakaan maupun berbagai stakeholders dalam bisnis multimedia lainnya di berbagai negara dalam bentuk artikel, karya ilmiah maupun laporan di media massa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi stakeholders tentang interoperabilitas berbeda. Sebagian besar aplikasi sistem informasi perpustakaan digital belum saling terhubung, sering ditemukan ketidaksesuaian data antara sistem di satu perpustakaan dengan perpustakaan lainnya. Banyaknya pembangunan berbagai aplikasi sistem interoperabilitas namun kemauan untuk berbagi maupun mengkomunikasikan data dan informasi yang dimiliki masih kurang. Kata kunci : stakeholders, perpustakaan digital
interoperabilitas,
1
resource
sharing,
Pendahuluan Perpustakaan digital menggambarkan berbagai kegiatan yaitu manajemen data, temu kembali informasi, ilmu perpustakaan, manajemen dokumen ke layanan web, sistem informasi, proses visualisasi koleksi dan jaringan, kecerdasan artifisial, interaksi komputer dengan pengguna dan sebagainya. Perpustakaan digital merupakan aplikasi yang multidimensi dimana dimensi berbagai kepentingan berkaitan dengan konten, sistem dan kebijakan organisasi. Kata sistem sebagai kata kunci dalam perpustakaan digital. Sistem perpustakaan digital dan sistem manajemen perpustakaan
digital
dengan
fitur
pengguna,
operasional
dan
pengembangan perpustakaan digital. Pengelola perpustakaan digital yaitu desainer,
admin
sistem
dan
pengembang
aplikasi.
Kerangka
pengembangan yang dimulai dari konsep abstrak mengenai perpustakaan digital menuju implementasi sistem melalui prototipe yang berbeda memberikan bentuk spesifik ke dalam bentuk baru dari sebelumnya. Dengan demikian karakteristik perpustakaan digital dapat dipahami sebagai sebuah infrastruktur, kebijakan dan prosedur, organisasi, pentingnya mekanisme ekonomi politik untuk mengakses dan memelihara konten digital dalam sebuah organisasi. Pada kenyataannya, implementasi perpustakaan digital mempunyai beragam karakter dan jenis konten. Beberapa koleksi sejenis dengan berbagai topik atau media lain dengan beragam karakter sehingga sering dijumpai perpustakaan digital mempunyai sistem informasi dan sistem perangkat lunak instan dalam berbagai arsitektur informasi. Desain perpustakaan digital sendiri menjelaskan fungsi dan arsitektur sebuah sistem informasi organisasi tertentu. Model referensi perpustakaan digital merupakan konsep abstrak tentang wilayah kebutuhan relasi dengan berbagai karakteristik perpustakaan yang berstandar khusus.
2
Interoperabilitas merupakan sistem yang dibangun untuk koleksi yang dikelola dan digunakan oleh pengguna atau organisasi yang lain untuk pekerjaan yang lebih besar. Kolaborasi perpustakaan digital, pertama, berupa pertukaran sumber mempunyai proses dan struktur internal yang berbeda. Kedua pemahaman berbagai sistem perpustakaan digital yang dikembangkan. Kemampuan sistem untuk menerima sumber dengan proses dan sistem yang lain. Ketiga, keterhubungan sistem komputer dan layanan yang diimplementasikan oleh perpustakaan digital dan organisasi. Kehadiran
sistem
interoperabilitas
memungkinkan
berbagai
organisasi dapat bekerja sama. Kondisi saat ini, organisasi masih bekerja sendiri. Padahal dengan perkembangan teknologi dan jaringan, organisasi harus bergerak dari arsip digital yang terisolasi menuju perpustakaan digital yang mempunyai ruang informasi umum yang dapat digunakan oleh pengguna untuk penelusuran dengan berbagai sumber yang berbeda dengan satu sistem yang terintegrasi. Makalah ini memberikan gambaran persepsi stakeholders tentang sistem
interoperabilitas
perpustakaan
digital
di
berbagai
negara.
Pengalaman dan pemahaman stakeholders dicerminkan dari pendapat mereka mengenai sistem interoperabilitas perpustakaan digital
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research). Metode riset kepustakaan (Zed, 2004: 3) ialah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian. Data berupa sumber sekunder yaitu artikel, hasil penelitian dan laporan. Beikut tahapan pengumpulan data : 1. Data
dikumpulkan
kepentingan
berdasarkan
interoperabilitas 3
6
kata
perpustakaan
kunci
“pemangku
digital”,
“sistem
interoperabilitas”,
“system
interoperability”, “digital
interoperability”,
library interoperability”
“stakeholders serta
“sistem
interoperabilitas perpustakan digital”. 2. Data yang terkumpul kemudian dicatat secara simultan dengan kegiatan membaca. Tidak mudah untuk membuat catatan yang sistematik dan lengkap. Untuk tujuan itulah maka peneliti mulai dengan cara mengorganisasikan pencatatan ke dalam suatu sistem yang praktis, bentuk-bentuk isi catatan penelitian kepustakaan dan teknik membuat catatan itu sendiri. 3. Pada tahapan ini peneliti melakukan analisis terhadap data. Data penelitian (Zed, 2004: 70) yang terkumpulkan diolah pada tahap selanjutnya yaitu tahap analisis dan sintesis. Analisis (harfiah uraian, pemilahan) ialah upaya sistematik untuk mempelajari pokok persoalan penelitian dengan memilah-milahkan atau menguraikan komponen informasi yang telah dikumpulkan ke dalam bagianbagian atau unit analisis. Sintesis ialah upaya menggabunggabungkan kembali hasil analisis ke dalam struktur konstruksi yang dimengerti secara utuh, keseluruhan dengan mempertimbangkan tiga unsur yaitu teks, konteks dan wacana (discourse). Teks bukan hanya sekedar kata-kata yang tercetak atau tertulis pada artikel, laporan dan hasil penelitian namun juga gambar, bagan, dan sebagainya. Konteks ialah relasi antarteks yang memasukkan semua situasi yang terkait pula dengan hal-hal yang berada di luar teks, tetapi mempengaruhi penggunaan sistem interoperabilitas perpustakaan digital. Dalam hal ini misalnya siapa pembuat teks, situasi dimana teks itu dibuat, fungsi teks dalam kerangka tujuan tertentu dan sebagainya. Sintesis (Zed, 2004: 76-77) adalah kelanjutan dari proses analisis dalam upaya rekonstruksi teks dan konteks dalam wacana keseluruhan. Proses sintesis memerlukan perbandingan, penyandingan (kombinasi) dan penyusunan isu-isu dan bukti dalam rangka menerangkan secara rinci dan cermat
4
tentang
persepsi
pemangku
kepentingan
tentang
sistem
interoperabilitas perpustakaan digital. 4. Dari 115 pustaka yang ditemukan tentang sistem interoperabilitas perpustakaan digital kemudian dilakukan reduksi data. Reduksi data berarti
merangkum, memilih hal – hal yang pokok,
memfokuskan hal – hal yang penting, dicari tema dan polanya. Data yang telah direduksi diharapkan memberikan gambaran yang lebih jelas tentang persepsi pemangku kepentingan tentang sistem interoperabilitas perpustakaan digital. Penyajian data
dilakukan
dalam bentuk uraian singkat dengan teks yang bersifat naratif. Pada bagian penutup, peneliti membuat kesimpulan awal yang masih bersifat sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan pada tahap pengumpulan data pada penelitian selanjutnya. Hasil Analisa dan Pembahasan Pengertian persepsi menurut Gibson (Robbins, 2000: 10-11) merupakan
suatu proses pengenalan maupun proses pemberian arti
terhadap lingkungan atau objek pengamatan oleh individu. Persepsi stakeholders terlihat pada tulisan maupun pengertian tentang sistem interoperabilitas perpustakaan digital yang diperoleh dari pemahaman pengalaman dalam berbagai bentuk. Berdasarkan hasil analisa data, persepsi stakeholders tentang sistem interoperabilitas perpustakaan digital dibagi menjadi 2 yaitu : 1. Pengertian kemampuan
interoperabilitas
yang
dititikberatkan
perangkat
lunaknya.
Persepsi
pada sistem
interoperabilitas pada penekanan kemampuan perangkat lunak ini berdampak pada keinginan mereka untuk membangun sistem saja bukan untuk berbagi (sharing) informasi. Salah satu contoh definisi interoperabilitas sebagai berikut : “Interoperability as the ability of two or more software components to cooperate despite differences in language, interface, and execution platform. It is a scalable form of reusability, being concerned with the reuse of server resources 5
by clients whose accessing mechanisms may be plugin compatible with sockets of the server”. (Wegner, 1996) 2. Pengertian interoperabilitas sebagai layanan data bersama. Definisi ini membawa stakeholders pada keinginan untuk berbagi
sehingga
interoperabilitas dimanapun
mereka
yang
dan
membangun
dapat
kapanpun.
standar
digunakan
oleh
Berikut
contoh
sistem
siapapun, definisi
interoperabilitas: “Interoperability is the ability of disparate and diverse organisations to interact towards mutually beneficial and agreed common goals, involving the sharing of information and knowledge between the organizations via the business processes they support, by means of the exchange of data between their respective information and communication technology(ICT) systems.” (European Commission adopts the European Interoperability Framework (EIF), h.11)
Guna pelayanan dan penggunaan data bersama, perlu kesepakatan bersama mengenai protokol, prosedur dan kode menjadi persyaratan yang harus dipahami oleh penyedia maupun pengguna sistem interoperabilitas, berikut salah satu contoh : “Interoperability are services and data with one another. It is based on agreements between requesters and providers on, for example, message passing protocols, procedure names, error codes, and argument types”. (Heiler, 1995)
Penutup Penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi stakeholders tentang interoperabilitas berbeda. Sebagian besar aplikasi sistem informasi perpustakaan
digital
belum
saling
terhubung,
sering
ditemukan
ketidaksesuaian data antara sistem di satu perpustakaan dengan perpustakaan lainnya. Banyaknya pembangunan berbagai aplikasi sistem
6
interoperabilitas
namun
kemauan
untuk
berbagi
maupun
mengkomunikasikan data dan informasi yang dimiliki masih kurang. Ketepatan
dan
kemudahan
akses
informasi
pada
sistem
interoperabilitas ditentukan oleh kata kunci yang dimiliki setiap pengguna dan sistem yang ternavigasi dengan baik. Berikut salah satu contoh : “The informational content and semantic structure of the entire field have to be made accessible to an exploratory approach supported by a controlled and focused navigation”. (Boteram, 2010: 413) Sistem interoperabilitas memungkinkan semua sistem informasi dapat saling berinteraksi dengan penentuan tingkat akses, peraturan serta kesepakatan tertentu, tidak ada kekhawatiran data akan disalahgunakan karena sumber data diakses langsung oleh pihak yang memerlukan. [\
Daftar Pustaka
Borgman, Christine L., 2003. Personal Digital Libraries: Creating individual spaces for innovation, NSF Workshop Boteram, Felix, 2010. Content Architecture : Semantic Interoperability in an International Comprehensive Knowledge Organisation System, Aslib Proceedings : New Informan Perspectives Vol 62 No. 4/5, Emerald Robbins, Stephen E., 2000, Bergson, Perception and Gibson, Milwaukee : Center for Advanced Product Engineering Varatharajan, N dan M. Chandrasekhara, 2006. Digital Library And Interoperability : A General Perspective, Gulbarga : Inflibnet Centre Zed, Mestika, 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
7
INTEROPERABILITAS ANTARSISTEM DAN ANTARKOMUNITAS: STUDI KASUS PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA A.Tri Susiati Perpustakaan Universitas Atma Jaya Yogyakarta Jl. Babarsari No.6- Yogyakarta 55581
[email protected] Abstrak Sistem otomasi perpustakaan perguruan tinggi relatif telah berjalan dengan menggunakan sistem informasinya sendiri-sendiri. Perpustakaan Universitas Atma Jaya Yogyakarta menggunakan NCI Bookman (edisi revisi) sebagai perangkat lunak dalam pengelolaan perpustakaan digitalnya, sementara berbagai perpustakaan perguruan tinggi di Yogyakarta maupun luar Yogyakarta menggunakan sistem informasi yang berbeda. Sistem informasi yang berbeda tersebut menimbulkan masalah karena kendala berbagai keragaman dalam pengelolaan datanya, sehingga tidak tercipta standar yang sama untuk database yang digunakan, untuk itu diperlukan suatu interoperabilitas agar berbagai sistem informasi pada masing-masing perguruan tinggi dapat berjalan tanpa menganggu sistem perpustakan namun tetap dapat membantu perpustakaan untuk berbagi sumber daya koleksi demi kepentingan pemakai. Perpustakaan Universitas Atma Jaya Yogyakarta melakukan berbagai kerjasama dalam rangka layanan informasi bagi pemustakanya. Kerjasama yang dilakukan menggunakan berbagai model seperti format tunggal dan interoperabilitas. Model interoperabilitas yang dilakukan dalam rangka kerjasama menggunakan model web services untuk memudahkan pemustaka mendapatkan informasi dari perpustakaan yang tergabung dalam komintas yang sudah melakukan kerjasama dan dapat lebih cepat dikembangkan jika kerjasama juga dilakukan antar komunitas. Kata kunci Interoperabilitas, Academic libraries, Yogyakarta, Resource sharing, Library co-operation
Pendahuluan Perpustakaan digital di Indonesia semakin berkembang seiring kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Masing-masing perpustakaan menggunakan sistem informasi yang berbeda karena berbagai pertimbangan kepentingan institusi. Perpustakaan Universitas Atma Jaya Yogyakarta yang merupakan perpustakaan perguruan tinggi juga menggunakan sistem informasi dalam rangka memenuhi kebutuhan civitas akademika untuk memperoleh 1
informasi yang lengkap dalam proses pembelajaran. Hoo dalam Solichin (2011) menyebutkan prioritas utama penyediaan sumber-sumber informasi digital, di lingkungan perpustakaan perguruan tinggi diarahkan pada pengembangan strategi dan sistem dimana para mahasiswa dan dosen dapat memperoleh akses yang maksimal terhadap sejumlah layanan dan sumber-sumber informasi perpustakaan baik lokal maupun jarak jauh. Memahami akan pentingnya kebutuhan informasi bagi anggota, perpustakaan tinggi hampir sebagian besar sudah menggunakan sistem informasi. Semakin banyak perguruan tinggi yang mengembangkan sistem informasi, maka semakin banyak ragam data yang digunakan. Keinginan untuk mewujudkan sistem informasi di perpustakaan merupakan hal positif yang perlu di cermati karena data-data yang merupakan bagian dari sebuah sistem informasi akan mudah untuk diakses minimal bagi pengguna secara terbatas di lingkungannya. Seiring dengan perkembangan model digitalisasi dalam sistem informasi masing-masing perguruan tinggi , maka akan semakin banyak ragam data yang berbeda satu sama lain. Sistem informasi biasanya dibuat sesuai kemampuan masing-masing misalnya anggaran yang terbatas dan sumber daya manusia yang kurang memadai. Sistem informasi yang dibangun tanpa melakukan komunikasi dengan perpustakaan lain sering menghambat perpustakaan untuk saling berkomunikasi mengenai koleksi masing-masing. Informasi yang tidak bisa diakses secara bersama menyebabkan ketidakefisienan dalam mencari sumber-sumber informasi. Di sisi lain pemustaka harus di buat nyaman dalam menelusur informasi yang dikehendaki. Pemustaka tidak harus mengetahui model dan cara yang dipakai untuk menghasilkan informasi, yang terpenting adalah kelengkapan informasi didapatkan. Model tertentu harus diupayakan untuk membantu menjembatani informasi yang masih berada dalam pulau pulau informasi (istilah depkominfo untuk informasi yang tidak saling terkait) menjadi suatu informasi yang terintegrasi yang disebut interoperabilitas. Interoperabilitas akan menjadi sangat penting dilakukan agar pencari informasi dapat menemukan informasi yang diperlukan secara efisien dan lengkap
2
Pengertian Interoperabilitas
Berikut ini adalah beberapa definisi dari interoperabilitas :
IEEE (1990) The ability of two or more systems or components to exchange information and to use the information that has been exchanged..
Taylor (2004 the compatibility of two or more system such that they can exchange information and can use the exchanged information and data without any special manipulation
NISO(2004) the ability of multiple systems, using difference hardware and software platforms, data structures, and interfaces, to exchange and share data.
Definisi-definisi ini menunjukkan bahwa secara teknis interoperabilitas menggabungkan dua atau lebih sistem atau komponen dalam pertukaran informasi dan dapat menggunakan sistem secara bersama-sama. Beberapa perpustakaan meragukan pertukaran informasi dapat berjalan dengan lancar karena masih beranggapan bahwa penyatuan sistem informasi ini akan menyebabkan perubahan pada sistem informasi yang dibangunnya, padahal sebenarnya fungsi interoperabilitas adalah untuk menyatukan standarisasi format pertukaran data sebagai acuan bersama, jadi interoperabilitas tidak mengganti sistem operasi, database maupun bahasa pemrograman yang sudah ada. Secara teknis saat ini format pertukaran data banyak yang menggunakan basis Extensible Markup Language (XML). XML yang dikembangkan tahun 1996 merupakan format dokumen yang mampu menjelaskan struktur dan semantik (makna) dari data yang dikandung oleh dokumen tersebut dan lebih berfokus pada substansi data sehingga lebih cocok digunakan sebagai pertukaran data. Spesifikasi format XML telah menjadi standar di dalam tiap aplikasi yang memerlukannya. XML tidak mengubah struktur data, sehingga data yang ditransfer pada sistem informasi tetap berada ditempatnya dan tidak dihilangkan, dengan demikian XML dapat menjadi standar bagi pertukaran data antar aplikasi computer dan dapat mempersatukan persepsi terhadap suatu informasi yang digunakan dalam pertukaran informasi. (Kerangka Acuan dan pedoman interoperabilitas, 2008).
3
Interoperabilitas selayaknya juga perlu memperhatikan faktor teknologi, prosedur dan konten berikut ini : 1. Accesibility: Sarana pengaksesan data atau informasi yang termasuk elektronik kepada public dengan menghindari diskriminasi, seperti penerapan interface yang juga dapat dimanfaatkan oleh orang cacat, juga bahasa yang digunakan mudah dipahami oleh masyarakat luas, 2. Security: secara umum pertukaran informasi perlu menerapkan kebijakan yang memadai dalam pelayanan dengan menghitung tingkat keamanannya. Dari sudut pandang pemakai, fungsi yang terkait keamanan seperti identifikasi, otentifikasi, non repudiation, kerahasiaan harus memiliki tingkat ketransparanan yang maksimum dengan memberikan tingkat keamanan yang memadai 3. Privacy: perlu diberikan keyakinan akan kerahasiaan data individu atau masyarakat yang digunakan sesuai dengan kepentingan ketika data diberikan oleh masyarakat 4. Open standard: untuk mencapai interoperabilitas maka pemanfaatan open standar perlu dipertimbangkan dengan optimal. 5. Open source: memanfaatkan keuntungan yang diberikan oleh open source selain keterbukaan system dan dokumen, open source software juga mendukung open standard 6. Multi solution: dalam interoperabilitas harus mendukung solusi dengan multi faktor dan multi sosial
Kerjasama Perpustakaan Universitas Atma Jaya Yogyakarta Kerjasama Perpustakaan dilakukan oleh perpustakaan Universitas Atma Jaya Yogyakarta dalam rangka pengembangan fasilitas layanan dan jejaring, karena perpustakaan tidak akan lengkap tanpa melakukan kerjasama. Kerjasama yang pertama dan secara intensif dilakukan salah satunya adalah kerjasama sharing data dengan perpustakaan perpustakaan perguruan katolik Indonesia yang tergabung dalam Jaringan Perpustakaan Aptik (JPA) sejak tahun 1989. Model yang dilakukan adalah menggunakan data bersama dengan sistem yang sama yaitu menggunakan CDS-ISIS. Anggota komunitas yang belum menggunakan sistem yang sama menggunakan database seperti DBMS, atau MS office seperti excell. Model yang dilakukan ini disebut sebagai model format tunggal yang merupakan pengembangan dalam satu sistem informasi, satu database server, satu bahasan pemrograman dan satu interkoneksi. Model ini 4
dilakukan untuk menjembatani beberapa kesulitan anggota komunitas yang belum memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk membuat sistem perpustakaan yang kompatibel untuk dapat berbagi data secara langsung disamping kesiapan sumber daya manusia yang tidak merata antar anggota komunitas. Model ini mudah dilakukan oleh anggota komunitas, meskipun ketergantungan terhadap pengembang sangat besar. Anggota komunitas juga melakukan pekerjaan dua kali karena proses pertukaran informasi menggunakan data yang harus melalui proses transfer setiap kali akan melakukan penambahan data untuk keperluan kerjasama. Model kerjasama menggunakan format tunggal dengan APTIK ini juga menunjukkan bahwa komunitasnya sangat dekat dan intens dalam berkomunikasi sehingga sistem informasi yang besar dan satu sistem dapat menunjukkan kesatuan komunitas melalui satu sitem informasi. Kerjasama dengan APTIK ini melalui beberapa uji coba sistem informasi, walaupun semua kerjasama yang dilakukan menggunakan format tunggal, tetapi perkembangan kerjasamanya melalui beberapa tahapan. Tahap pertama : menggunakan data CDS/ISIS yang dikirim melalui disket atau CD, kemudian disatukan dalam katalog induk menggunakan sistem informasi CDS/ISIS, kegiatan ini dilakukan sampai dengan tahun 2000 Tahap kedua : masih menggunakan
data CDS/ISIS tetapi sebenarnya ASKO di Jaringan
Perpustakaan Aptik menggunakan situs JPA melalui jpa.aptik.or.id untuk mengganti katalog induk yang digunakan Tahap ketiga : menggunakan APTIK Digital Library (ADL) yang menyatukan semua data dalam sistem informasi berbasis web. Perkembangan ADL adalah bahwa semua dilakukan secara terstruktur oleh admin yang ditunjuk oleh masing-masing perguruan tinggi anggota. Model interoperabilitas yang digunakan adalah tetap menggunakan format tunggal. Kerjasama yang lain dilakukan dengan model interoperabilitas antarsistem. Model ini dikembangkan oleh Jogja Library for All (JLA) yang memberikan informasi katalog pada setiap anggota komunitas yang ikut di dalamnya. Berbeda dengan kerjasama yang dilakukan dengan menggunakan format tunggal, kerjasama yang dilakukan ini sistemnya menerapkan interoperabilitas yang sebenarnya. Perpustakaan UAJY dibantu oleh tim Teknologi Informasi Universitas UAJY (Kantor Sistem Informasi) bekerjasama dengan tim pengembang JLA (waktu itu GAMATECHNO) melakukan pemetaan data informasi yang dimiliki oleh UAJY agar dapat digunakan dalam pengembangan kerjasama dengan JLA. Standar yang telah disepakati akan 5
menjadi acuan tim untuk pertukaran data.
Secara teknis proses pertukaran data kemudian
dilakukan oleh tim TI dengan mempersiapkan program berbasis web service sebagai penghubung kerjasama. Proses-proses yang dilakukan dalam rangka kerjasama diatas menunjukkan bahwa perpustakaan perlu memiliki sumber daya manusia yang dapat memahami bahwa kerjasama sangat diperlukan dalam berbagi data dan informasi antar perpustakaan sekaligus dapat melakukan kerjasama dengan tenaga teknologi informasi di institusi jika perpustakaan memang belum memiliki sumber daya yang menguasai teknologi informasi. Berikut ini kami sampaikan contoh kerjasama yang dilakukan dengan Jogja Library for All.
Gambar 1 . Model interoperabilitas komunitas perpustakaan
Model interoperabilitas yang terlihat pada gambar menunjukkan bahwa interoperabilitas berjalan pada sistem informasi komunitas JLA setelah melalui proses interoperabilitas pada masingmasing perguruan tinggi yang tergabung didalamnya. Standar acuan interoperabilitas untuk pertukaran data yang digunakan akan membuat perpustakaan digital komunitas berjalan standar, meskipun setiap anggotanya menggunakan sistem informasi yang berbeda. Keuntungan menggunakan
interoperabilitas
adalah
mudah
dilaksanakan
dan
mengurangi
faktor
ketergantungan terhadap pengembang. Beberapa referensi yang ada menunjukkan bahwa saat ini model yang ideal digunakan adalah interoperabilitas antar sistem yang pelaksanaannya dilakukan pada awal kerjasama, dan kegiatan berikutnya sudah berjalan dengan sendirinya dengan standar yang telah disepakati, sehingga perpustakaan perguruan tinggi yang tergabung dalam Jogja 6
Library for all (JLA) yang menggunakan sistem informasi beragam seperti SHINTA, SENAYAN, WINISIS,NCI BOOKMAN dan sistem informasi lain dapat disatukan dalam katalog Jogja Library for All. Kunci yang memudahkan proses interoperabilitas di JLA bukan saja dari sisi kerjasama yang dilakukan, tetapi pemodelan standar perpustakaan seperti format Dublin core sangat membantu proses pembuatan program yang menghubungkan antar sistem.
Pengembangan kerjasama antar komunitas. Pengembangan interoperabilitas, saat ini dilakukan pada pada kelompok-kelompok tertentu, misalnya konsorsium perguruan tinggi berbasis agama, atau kelompok perguruan tinggi negeri. Sistem yang dilakukan komunitas yang tergabung dalam Jogja Library for All dapat dikembangkan untuk Perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia. Interoperabilitas akan lebih mudah dilakukan karena hampir sebagian besar sudah mempunyai sistem informasi di instansinya masing-masing, tetapi kerjasama ini akan lebih berdaya guna jika model kerjasamanya dilakukan antar komunitas yang membawahi banyak perpustakaan sejenis. Standar yang dilakukan untuk keperluan interoperabilitas akan lebih dapat dimaksimalkan karena satu kerjasama komunitas sebenarnya sudah merupakan kerjasama dari banyak perpustakaan perguruan tinggi di dalamnya. Pemekaran kerjasama akan dapat terjalin dengan cepat apabila komunitas besar di Indonesia sudah dilakukan. Perkembangan berikutnya mengarah tanpa lintas batas kerjasama antar negara. Permasalahan yang ada adalah kunci pengembangan yang terpadu ini terletak pada penentu kebijakan. Berbagai kendala yang menghalangi kelompok kerjasama yang besar ini dapat diminimalisir apabila dilakukan sosialisasi yang merata, baik terhadap perpustakaan yang telah menggunakan sistem informasi menggunakan teknologi atau yang sedang mengarah kepada pembuatan sistem informasi. Penulis mengusulkan bahwa untuk kerjasama perpustakaan perguruan tinggi, program INHERENT yang telah dikembangkan sebelumnya dapat digunakan sebagai wadah dari seluruh perpustakaan di Indonesia dan dapat mengakomodasi keperluan ini .
7
Penutup Interoperabilitas antar komunitas memerlukan kebijakan secara teknis seperti penyeragaman format dan teknis bagaimana data dipertukarkan. Kerjasama yang dilakukan dengan model interoperabilitas menjadikan perpustakaan menyadari pentingnya standar metadata bagi perpustakaannya. Standar seperti MARC, DUBLIN CORE yang memang dimiliki oleh ranah perpustakaan dapat menjembatani dan memudahkan hal-hal teknis yang harus dilakukan dalam berbagi informasi. Pengetahuan ini seharusnya sudah harus disosialisasikan kepada pustakawan terutama yang akan melakukan kerjasama. Keamanan informasi juga penting untuk dipikirkan bersama, jika komunitas antar perpustakaan perguruan tinggi sudah saling bekerjasama, maka kewenangan baik antar komunitas atau kesepakatan di dalam komunitas perlu diperjelas secara tegas agar jalannya kerjasama dapat dilaksanakan dengan baik. Gagasan untuk menggabungkan komunitas menjadi komunitas yang lebih besar yang perkembangannya dapat signifikan berjalan akan meminimalkan kesenjangan yang terjadi diantara anggota komunitas. Fasilitas bersama yang dilayankan juga akan lebih memuaskan pemustaka dalam mencari sumber-sumber informasi. Penentu kebijakan yang menjadi wadah bagi komunitas yang besar ini menentukan jalannya pertukaran data antar komunitas. Pengalaman melakukan berbagai kerjasama ini merupakan pelajaran yang berharga bagi perpustakaan Universitas Atma Jaya Yogyakarta untuk dapat melakukan kerjasama lain dengan persiapan yang matang baik dari sisi sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan yang cukup mengenai teknologi informasi, sekaligus
paham
akan
kepustakawanannya
dalam
kapasitas
perpustakaan
sebagai
PUSDOKINFO.
8
Daftar pustaka
Arianto, M.Solihin. 2011. Perpustakaan Digital: Strategi Peningkatan Akses Sumber-Sumber Informasi dan Pengelolaan Local Content. Rakor Pengembangan Perpustakaan Daerah, Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Yogyakarta tanggal 22 Maret 2011 Chan, Lois May. N.a. Metadata Interoperability : a Study of Methodology. University of Kentucky : USA. Terarsip dalam http://www.white-clouds.com/iclc/cliej/cl19chan.htm. diakses tanggal 29 Agustus 2011 Direktorat Sistem Informasi, Perangkat Lunak dan Konten.2008. Kerangka Acuan dan Pedoman Interoperabilitas Sistem Informasi Instansi Pemerintah. Departemen Komunikasi dan Informatika. Institute of Electrical and Electronics Engineers. 1990. IEEE Standard Computer Dictionary: A Compilation of IEEE Standard Computer Glossaries. New York. Iswara, Vincentius Widya.2010. Katalog Induk jaringan Perpustakaan APTIK (JPA). Terarsip dalam http://kpdi3.pnri.go.id/makalah_kpdi3/index.html diakses tanggal 3 September 2011 National Information Standards Organization. 2004. Understanding Metadata. Terarsip dalam http://www.niso.org/publications/press/UnderstandingMetadata.pdf. Diakses tanggal 2 september 2011 Taylor, Arlene, 2004. The Organization of Information. 2nd ed. Wesport, CN : Libraries Unlimited.
9
Perkembangan Komunikasi Data pada Aplikasi GDL 5.0 Djembar Lembasono, S.Sos. (
[email protected]) Abstrak: OAI-‐PMH (Open Archive Initiative – Protocol Metadata Harvester) masih menjadi unggulan sebagai middle ware pada berbagai aplikasi Digital Library, walaupun masih ada cara lainnya data ini berkomunikasi menggunakan media Middle Ware lainnya. Middle ware atau lebih dikenal sebagai web service merupakan penghubung komunikasi data pada aplikasi yang berbeda dan umumnya menggunakan aplikasi berbasis WEB. Dalam tujuannya menyebarluaskan informasi, kepada jejaring yang lebih besar seperti WIKIPEDIA, Freebase, Open Library dan yang lainnya, GDL membuka metode komunikasa data lainnya selain menggunakan OAI. Kita dapat melihat pada WIKIPEDIA sudah terdapat banyak informasi yang dapat kita “HARVEST” kedalam sistem digital library untuk memperkaya “CONTENT”, dan juga beberapa metode “POSTING” atau memberikan data kepada jejaring informasi yang lebih besar. GDL (Ganesha Digital Library) telah dikembangan selama 1 dekade, GDL sendiri telah menggunakan metode komunikasi data melalui OAI (Open Archive Initiative), protokol OAI digunakan untuk “Harvesting” oleh server sentral dalam jejaring IndonesiaDLN (Indonesian Digital Library Network), pada jejaring perpustakaan digital ini sebagian besar anggotanya menggunakan aplikasi GDL. Protokol yang digunakan pada jejaring IndonesiaDLN, adalah OAI-‐PMH (Open Archive Initiative – Protocol Metadata Harvester) dimana ada satu server mengambil atau memanen (HARVESTING) data dari server-‐server anggota secara satu arah melalui URI yang menyediakan akses kepada pangkalan data, untuk contohnya seperti yang tertera dibawah ini: http://lib.fikom.unpad.ac.id/digilib/OAI-‐v2-‐ script.php?verb=GetRecord&metadataPrefix=oai_dc&identifier=jbptunpadfikom
respon dari URI tersebut akan menampilkan dari pangkalan data sebagai berikut:
Gambar 1: Respon OAI-‐PMH
Metadata kemudian dapat diambil oleh anggota jaringan lainnya dengan menggunakan protokol OAI-‐PMH, sehingga terjadi hubungan acak diantara anggota jaringan IndonesiaDLN. Gambar 2: Pola Hubungan Acak
Pada jejaring IndonesiaDLN masing-‐masing anggota dapat mengambil sumber data dari server pusat atau langsung pada anggota lainnya dengan syarat mengetahui “PINTU” mana yang digunakan untuk berhubungan.
Gambar 3. Pola pengambilan dan menyimpan
GDL v. 4.2 memberikan kemudahan dalam komunikasi data, yaitu modifikasi protokol OAI itu sendiri, pada umumnya protokol yang disediakan hanya “HARVESTING” (OAI-‐PMH) tetapi pada GDL 4.2 dimodifikasi sehingga dapat “POSTING” (OAI-‐PMP) metadata pada server tujuan. Pada jaman WEB 3.0 ini GDL harus dapat mengadopsi teknologi ini, dengan menyesuaikan fungsi-‐fungsi yang telah ada. Bagaimana GDL dapat menyesuaikan dengan teknologi terkini?, mengamati dari beberapa layanan penyedia informasi seperti WIKIPEDIA yang menjadi bahan acuan untuk beberapa sumber informasi lainnya.
WIKIPEDIA Gambar 4. Linked Data
Pada diagram diatas dapat diliha DBpedia (pangkalan data WIKIPEDIA) menjadi pusat dari jejaring-‐jejaring, itu berarti sumber informasi pada WIKIPEDIA menjadi acuan untuk digunakan kembali pada jejaring. GDL pada pengembangannya mencoba untuk mengadopsi teknologi WEB 3.0 dengan menjadikan WIKIPEDIA sumber yang dapat dipanen, untuk kemudian disimpan pada basis data GDL. Wikipedia banyak memberikan akses untuk kita dapat mendapatkan data. DBpedia Lookup Service merupakan salah satu layanan yang diberikan untuk mengakses data pada Wikipedia, walaupun banyak API disediakan oleh WIKIPEDIA, namun pada proses panen data pada GDL v. 5.0 akan menggunakan layanan DBpedia Lookup Service. Salah satu contoh yang dapat dilihat adalah seperti dibawah ini: “Pencarian orang dengan kata kunci Susilo Bambang Yudhoyono”
Wikipedia memberikan identifier pada orang atau sumber informasi lainnya, untuk contoh “Susilo Bambang Yudhoyono” maka identifier akan menjadi http://en.wikipedia.org/wiki/Susilo_Bambang_Yudhoyono, pemberian identifier ini sangat membantu dalam menentukan “QUERY” pada DBpedia Lookup Services, harus selalu diingat bahwa setiap spasi pada kata kunci akan menjadi “_” (underscore/garis bawah). http:// en.wikipedia.org/wiki/Susilo_Bambang_Yudhoyono
http://lookup.dbpedia.org/api/search.asmx/KeywordSearch?Qu eryClass=person&QueryString=Susilo_Bambang_Yudhoyono
Untuk mendapatkan halaman yang akan digunakan sebagai sumber data, tautan http://dbpedia.org/resource/Susilo_Bambang_Yudhoyono akan memberikan informasi yang lebih lengkap untuk dapat di”EXTRACT” kedalam pangkalan data GDL. Tetapi apabila tidak menginginkan informasi yang lebih lengkap, dari hasil pencarian sudah cukup memberikan informasi yang dibutuhkan.
Selain informasi yang dapat dipanen dari Wikipedia, ada beberapa
sumber infomasi lainnya, salah satunya adalah Worldcat. Worldcat merupakan salah satu penyedia informasi baik dalam bentuk e-‐journal, e-‐book, dsb. Pada layanan worldcat, untuk dapat memanen data disediakan layanan web service melalui tautan http://xisbn.worldcat.org/xisbnadmin/doc/api.htm.
Dalam mendapatkan informasi melalui web service WorldCat ada
beberapa layanan yang disediakan •
getEditions: list all relevant ISBN numbers and edition information
•
getMetadata: get metadata
•
to13: convert an ISBN number to 13 digits
•
to10:convert an ISBN number to 10 digits
•
fixChecksum: re-‐calculate ISBN checksum digit
•
hyphen:add hyphen to ISBN number, and guess publisher/area from ISBN-‐ structure
untuk medapatkan sebuah sumber informasi, pada GDL akan melakukan “QUERY” menggunakan getMetadata, dengan url: http://xisbn.worldcat.org/webservices/xid/isbn/0596002815?method=getMetadata&format=xml&fl=*
query ini menggunakan ISBN sebagai kata kunci yang akan menghasilkan sebuah metadata, sedangkan format yang dihasilkan akan tergantung dari yang kita inginkan. Untuk URI yang dimaksudkan akan menghasilkan respon
Gambar 5. Respon WorldCat Web Service getMetadata
respon ini yang digunakan sebagai sumber data bagi GDL. Pada akhirnya GDL dapat digunakan sebagai jembatan dengan berbagai sumber informasi dunia. Referensi The Open Archives Initiative Protocol for Metadata Harvesting
http://www.openarchives.org/OAI/openarchivesprotocol.html
The DBpedia Ontology http://wiki.dbpedia.org/Ontology?v=181z Ismail Fahmi (Mei 2002), The Indonesian Digital Library Network Is Born to Struggle with the Digital Divide Susilo Bambang Yudhoyono http://en.wikipedia.org/wiki/Susilo_Bambang_Yudhoyono WorldCat Web Service, xISBN API
http://xisbn.worldcat.org/xisbnadmin/doc/api.htm
SPARQL Protocol for RDF http://www.w3.org/TR/rdf-‐primer/
VIDEO SEMINAR
Analisis Relasi Makna pada Kata Kunci Artikel Ilmiah di Pangkalan Data PDIILIPI Retno Asihanti Setiorini dan Hendro Subagyo Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jln. Gatot Subroto 10, Jakarta Email:
[email protected]
Abstrak: Kajian ini merupakan pengamatan awal (prapenelitian) untuk penelitian semantik terhadap kata kunci yang digunakan di artikel ilmiah pada Indonesian Scientific Journal Databases (ISJD). Analisis semantik dilakukan untuk melihat hubungan relasi makna antar-kata kunci dalam tiap artikel ilmiah. Tujuan penulisan ini adalah menemukan kedekatan topik dalam satu artikel maupun berbagai artikel ilmiah dengan menggunakan kata kunci sebagai perlambang topik. Penggunaan analisis semantik dalam penyusunan data dalam database (pangkalan data) merupakan upaya membuat mesin menyusun data berdasarkan topik. Penyusunan data sedemikian rupa dapat mempermudah dan mempertinggi ketepatan pencarian. Telah dilakukan analisis semantik terhadap kata kunci pada artikel “Analysing Syntactic Modifications of Foreigner Talk and Teacher Talk”. Mengingat kata knci yang digunakan di ISJD menggunakan kata kunci terkontrol (controlled vocabulary), analisis penelitian ini dilakukan dengan melihat definisi dan relasi makna setiap kata kunci pada data di tesaurus. Namun, penyusunan peta relasi makna tidak sepenuhnya sama dengan penggambaran dalam tesaurus. Pemilihan relasi makna dan kata kunci yang dipetakan dilakukan untuk mendapatkan keterkaitan antar-kata kunci. Selain itu, pemilihan tersebut juga disebabkan deskripsi relasi makna dalam tesaurus ada yang terlalu luas dan sebaliknya, ada pula yang memiliki rumpang. Selain itu, tidak semua kata kunci dalam tesaurus mendapat penggambaran relasi makna dengan lengkap. Melalui analisis semantik, diperoleh bagan hubungan relasi makna antar-tiga kata kunci pada artikel tersebut. Keyword: Semantics, Information retrieval systems, Index, Semantic web I. Pendahuluan A. Latar Belakang Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah (PDII) merupakan satuan kerja di bawah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang melaksanakan pemberian jasa, penelitian, serta pengembangan bidang dokumentasi dan informasi ilmiah. Salah satu cara pendokumentasian informasi ilmiah dilakukan dengan mengembangkan database (pangkalan data) ilmiah bibliografi, abstrak, dan full texts. PDII-LIPI telah membangun pangkalan data ilmiah sejak tahun
1984. Dalam pangkalan data PDII-LIPI, tersedia stok data ilmiah berupa artikel dari jurnal ilmiah, makalah (prosiding), laporan penelitian, paten, dan karya ilmiah LIPI. Pada tahun 2009, PDII-LIPI telah meluncurkan situs jurnal ilmiah Indonesia, Indonesian Scientific Journal Database (ISJD). Sampai dengan Mei 2011, PDIILIPI melalui situs ISJD telah mengelola 67.000 artikel ilmiah yang 38.000 di antaranya dapat diakses secara penuh (full text). Sementara itu, total artikel ilmiah dalam pangkalan data PDII-LIPI adalah lebih dari 225.000 artikel. Belum semua artikel dapat dikelola melalui ISJD karena adanya perbedaan jenis file data yang menuntut proses teknis lebih lanjut. Menurut Google Analytics, antara 1 Juli hingga 29 September 2011, pengguna/pengakses situs ISJD berjumlah 32.668 yang berasal dari 73 negara. Dengan menggunakan internet, para pengguna mengakses pangkalan data PDII untuk menemukan data dan informasi ilmiah yang mereka butuhkan. Dengan banyaknya jumlah koleksi yang dimiliki, PDII-LIPI membutuhkan satu sistem pengelolaan data yang dapat membantu serta memudahkan penggunanya menemukan data dan informasi yang mereka butuhkan. Pencarian informasi dalam jaringan internet atau sebuah pangkalan data berkaitan dengan temu kembali informasi (information retrieval). Dalam buku Text Information Retrieval Systems (2000: 1-2) disebutkan bahwa temu kembali infromasi berkaitan dengan tiga hal, yaitu: (1) bagaimana cara merepresentasikan informasi; (2) bagaimana cara menginterpretasikan struktur dari simbol yang ada di dalam informasi; (3) bagaimana cara memberitahukan ketika satu set simbol memiliki makna yang sama atau menyerupai dengan simbol lain. Temu kembali berkaitan dengan cara penyedia informasi mengelola informasi yang dimilikinya untuk membantu pengguna informasi menemukan informasi yang dibutuhkannya. Penerapan linguistik pada sistem temu kembali sudah pernah diteliti sebelumnya. Dalam makalah berjudul “Linguistic Approaches in Information Retrieval of Medical Texts”, Anne-Marie Currie, Jocelyn Cohan, dan Larisa Zlatic (2002) membahas penerapan unsur linguistik pada sistem temu kembali informasi medis. Pendekatan linguistik yang diterapkan dalam makalah ini adalah sintaksis, semantik, dan pragmatik. Pembahasan pendekatan semantik dalam makalah ini mencakup sinonim, polisemi, dan ambiguitas. Kesimpulan dalam makalah ini
menyatakan bahwa penerapan metode linguistik pada sistem temu kembali informasi medis dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan administrasi pasien. Alasannya, penerapan linguistik dalam sistem temu kembali mempermudah penyedia layanan medis untuk menemukan informasi pasien. Dengan demikian, penyedia layanan medis dapat segera memberikan layanan jasa medis yang dibutuhkan pasien. Penelitian ini menunjukkan perlunya penerapan linguistik pada sistem temu kembali informasi. Salah satu masalah dalam sistem temu kembali saat ini adalah mesin tidak dapat memahami bahasa (manusia/alami) dalam data. Mesin dapat memilih dan memilah data, tetapi tidak dapat menginterpretasikan teks. Karena mesin tidak dapat memahami struktur makna bahasa alami,
manusialah yang mengatur
penyimpanan data sesuai dengan struktur makna. Penyusunan data yang sesuai dengan struktur makna dapat mempermudah dan mempertinggi ketepatan pencarian. Untuk membangun sistem pengelolaan data berdasarkan struktur makna, dibutuhkan peta struktur makna data. Dalam penelitian ini, struktur makna data merujuk pada relasi makna kata kunci artikel ilmiah. Relasi makna tersebut diperoleh melalui analisis semantik. Dengan demikian, dapat diketahui hubungan dan kedekatan antara satu artikel dan artikel lain. Kata kunci dipilih sebagai komponen yang dianalisis karena kata kunci menggambarkan topik-topik dalam artikel. Penentuan kata kunci dilakukan dengan melihat topik yang terdapat dalam satu artikel. Hal ini sesuai dengan pernyataan Zainal A. Hasibuan (diakses 14 Februari 2010) dalam situs BATAN yang mengatakan kandungan informasi dokumen biasanya direpresentasikan dalam bentuk istilah indeks atau kata kunci yang merupakan pintu gerbang menuju subjek dokumen. Indeks atau kata kunci dapat berupa kata atau istilah dalam bahasa alamiah (natural language) yaitu bahasa yang digunakan dalam dokumen, atau istilah dalam bentuk kosakata terkontrol (controlled vocabulary) seperti istilah dalam tesaurus. Di PDII-LIPI, pemberian kata kunci dilakukan dengan kosakata terkontrol.
B. Rumusan Masalah Pada latar belakang penelitian telah diuraikan kaitan serta peran relasi makna
kata
kunci
dan
sistem
temu
kembali.
Makalah
ini
merupakan
penelitian/observasi awal. Dalam makalah ini, akan dicoba lakukan analisis terhadap satu data artikel ilmiah dari pangkalan data PDII-LIPI. Nantinya, penelitian ini akan dilanjutkan pada data yang lebih luas dengan rumusan masalah bagaimana pemetaan relasi makna pada kata kunci artikel ilmiah di pangkalan data PDII-LIPI? Pertanyaan tersebut akan dijawab dengan menerapkan analisis semantik leksikal pada data.
C. Sasaran dan Kemaknawian Penelitian Sasaran yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah peta relasi makna pada kata kunci artikel ilmiah di pangkalan data PDII-LIPI. Melalui peta tersebut, dapat dilihat kedekatan makna kata kunci dalam satu artikel maupun antar-artikel ilmiah yang terdapat dalam pangkalan data PDII-LIPI. Peta relasi makna tersebut nantinya akan menjadi input data (masukan data) untuk pengembangan sistem temu kembali di pangkalan data jurnal ilmiah PDII-LIPI. Kemaknawian dari hasil analisis ini beragam. Sesuai dengan latar belakang penulisan makalah, hasil analisis ini adalah sebagai analisis awal untuk pembangunan sistem pengelolaan data berbasis semantik pada pangkalan data PDII-LIPI. Namun, selain itu, hasil analisis tersebut juga dapat memperlihatkan (1) korelasi antar-bidang penelitian (interdisipliner); (2) hubungan relasi makna antarkata kunci bidang keilmuan (antartesaurus); (3) interoperabilitas bila dipergunakan dalam sistem temu kembali di pangkalan data yang berbeda. Dari pemetaan terhadap kata kunci, dapat diketahui, penelitian antarbidang apa saja yang telah dilaksanakan. Dari sisi lain, melalui peta relasi makna, dapat pula diketahui, rumpang/celah penelitian apa saja yang belum dilakukan. Hal ini bermanfaat bagi peneliti yang hendak melakukan penelitian interdisipliner untuk menghindari penelitian yang berulang. Tesaurus pada umumnya dibangun dalam satu bidang. Melalui peta relasi makna, dapat diketahui pula relasi makna pada istilah dari bidang yang berbeda. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk menemukan celah/gagasan penelitian interdisipliner.
Interoperabilitas berkaitan dengan kemampuan informasi/data dari satu sistem (pangkalan data) untuk digunakan pada sistem lain. Dalam kaitannya dengan interoperabilitas, peta relasi makna dapat digunakan untuk memudahkan perpindahan sistem klasifikasi. Peta relasi makna dapat menunjukkan istilah yang lebih umum/khusus dari satu istilah sehingga dapat memudahkan perpindahan sistem klasifikasi. Tiap lembaga penelitian memilih dan menggunakan metode klasifikasi data yang berbeda-beda. Sistem klasifikasi data di pangkalan data PDII-LIPI berbasis pada sistem klasifikasi yang umum digunakan oleh komunitas perpustakaan, yaitu sistem klasifikasi Dewey atau sistem subyek dari Library of Conggress. Kondisi ini berbeda dengan di Ristek misalnya, yang menggunakan tujuh acuan riset nasional sebagai sistem klasifikasi data mereka. Karena sistem klasifikasi di PDII-LIPI lebih rinci, jika data dari pangkalan data PDII-LIPI hendak dikonversikan ke pangkalan data Ristek, perlu dilakukan penyesuaian terlebih dahulu. “Integrasi metadata dan database akhirnya memerlukan konsolidasi dan integrasi taksonomi atau ontologi yang berbeda-beda dari semua database lembaga penelitian tersebut” (Subagyo, 2011) Dengan kata lain, adanya peta relasi makna kata kunci secara menyeluruh akan menunjukkan posisi kata kunci dalam jaringan makna. Jadi, ketika sistem klasifikasi yang tersedia lebih sempit dibandingkan yang awalnya dibuat (misalnya, dari 46 bidang di PDII-LIPI ke tujuh bidang di Ristek), analis informasi cukup melihat bidang yang lebih umum (secara peta terletak lebih atas daripada kata kunci yang digunakan) untuk menentukan “kelas” yang baru.
D. Metodologi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode studi kasus. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah artikel ilmiah dari pangkalan data ISJD. Karena jumlah keseluruhan artikel yang mencapai 225.000 dan adanya keterbatasan waktu dalam melaksanakan penelitian ini, data yang diteliti dibatasi. Tesis ini nantinya akan melakukan analisis relasi makna terhadap kata kunci artikel ilmiah bidang bahasa di pangkalan data PDII-LIPI. Namun, pada makalah ini hanya akan dibahas analisis terhadap satu data sebagai model. Pemilihan bidang bahasa didasari pertimbangan latar belakang pendidikan peneliti. Karena
semantik berada di ranah konsep, peneliti memilih melakukan analisis pada bidang yang ia pelajari. Kata kunci pada data diperoleh dari tesaurus atau kamus bidang. Dengan demikian, kata kunci yang digunakan merupakan istilah (term) ilmiah. Menurut Kamus Linguistik (Kridalaksana, 2009: 97) istilah adalah kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam bidang tertentu. Istilah digunakan pada bidang atau ranah tertentu dan pemaknaannya pada umumnya dibatasi. Pemaknaan pada istilah tidaklah sebebas pada kata yang maknanya dapat berubah jika konteks berubah. “Sistem peristilahan apapun, yang dibentuk dari pelbagai tanda yang berfungsi denotatif, referensial, dan yang lazim berfungsi sebagai penggolong harus disusun berdasarkan keseluruhan kriteria yang menjadi landasan penggolongan berbagai objek pengetahuan” (Rey, 2000: 23). Hal ini berarti, tanda yang digunakan dalam peristilahan sudah dikonversi agar memiliki batasan makna yang jelas. Oleh karena itu, konteks tidak menjadi pertimbangan dalam analisis relasi makna ini. Untuk
melakukan
analisis
terhadap
kata
kunci,
diperhatikan
pula
bagaimana penentuan kata kunci tersebut. Dalam menentukan kata kunci, seorang analis dokumen pertama-tama akan mencari kata kunci yang tepat pada tesaurus sesuai bidangnya. Jika pada tesaurus bidang tersebut tidak ditemukan, analis dokumen akan mencari pada tesaurus bidang yang berhubungan (dekat). Jika kata kunci tersebut tidak juga ditemukan, analis dokumen dapat mencarinya pada Library of Congress Subject Headings (LCSH/ ‘Tajuk Subjek Library of Congress’). Pada prinsipnya, LCSH digunakan dalam mengolah buku dan laporan ilmiah, sementara untuk artikel ilmiah digunakan tesaurus. Namun, berdasarkan kesepakatan kerja di PDII-LIPI, LCSH dapat digunakan jika kata kunci tidak dapat ditemukan dalam tesaurus. Jika istilah dengan konsep yang dicari tetap tidak ditemukan, analis
dokumen
mengonsultasikannya
dengan
dapat mencarinya orang
yang
ahli
pada di
kamus
bidang
istilah
lalu
tersebut
dan
mengeluarkan kata kunci baru dengan kesepakatan tim (kesepakatan bersama analis dokumen PDII-LIPI). Penentuan kata kunci dalam artikel ilmiah ISJD, dilakukan dengan metode vocabulary controlled. Metode ini membatasi penggunaan kata kunci hanya pada
kata/istilah tertentu dari sumber tertentu. Di PDII-LIPI, penggunaan kata kunci ini sesuai dengan tesaurus bidang. Ada delapan tesaurus yang digunakan, yaitu: 1. Agrovoc: Multilingual Agricultural Thesaurus (AGROVOC) Food and Agriculture Organization of the United Nation, 1999 2. Thesaurus of Psychological Index Terms (TPI) The American Psychological Association, 1994 3. Engineering Information Thesaurus (EIT) Engineering Information Inc., 1995 4. JISCT Thesaurus English Version (JISCT) The Japan Information Center of Science and Technology, 1993 5. Macro Organization (Macro) UN Organization, 1998 6. UNESCO Thesaurus (UNESCO) United Nations Educational Scientific and Cultural Organization, 1995 7. Women in Development Thesaurus (WID) Center for Scientific Documentation and Information-Indonesian Institute of Science in corporation with UNICEF, 1991 8. ILO Thesaurus ( ILO) International Labour Office, 1985
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, selain tesaurus, tajuk subjek dan kamus digunakan pula dalam proses penentuan kata kunci. Oleh karena itu, ketiga alat ini pun digunakan sebagai rujukan dalam melakukan analisis penelitian ini. Menurut Aitchitson (2000:49) Standar penyusunan tesaurus mencakup tiga relasi, yaitu relasi ekuivalensi, hierarki, dan asosiasi. Ketiga relasi ini merujuk pada relasi makna, tetapi disusun kembali sesuai kebutuhan perpustakaan. Dalam penelitian ini, relasi makna dalam kata kunci dianalisis melalui konsep semantik sinonim, antonim, polisemi, homonim, dan meronim. Dari analisis terhadap kata kunci tersebutlah dibangun peta relasi makna. Penggambaran peta relasi makna dilakukan dengan memperhatikan penerapan relasi makna dalam tesaurus.
II. Kerangka Teori Dalam Kamus Linguistik (Kridalaksana, 2008: 242) disebutkan bahwa tesaurus adalah buku referensi berupa informasi tentang pelbagai perangkat konsep atau istilah dalam pelbagai bidang kehidupan atau pengetahuan, disusun mulai dengan medan makna sebagai lema pokok, lalu diperinci atas submedan makna hingga ke sinonim dan antonim pelbagai konsep yang dijadikan sublema menurut tingkatnya. Data yang dianalisis dalam makalah ini bersumber dari tesaurus ilmiah bidang (ilmu). Tiap tesaurus mencakup istilah-istilah dalam satu ranah (ilmu). Di PDII-LIPI digunakan sembilan tesaurus yang berada pada tujuh bidang, yaitu AGROVOC untuk pertanian, perhutanan, dan perikanan; TPI untuk psikologi; EIT dan JISCT untuk teknik; Macro untuk sosial-ekonomi; UNESCO untuk pendidikan-budaya; WID untuk wanita; MESH untuk kesehatan, dan ILO untuk tenaga kerja. Dalam petunjuk penggunaan tesaurus terdapat penjelasan mengenai relasi makna antar-kata kunci yang ditandai/digambarkan melalui istilah-istilah khusus berikut. 1. Relasi ekuivalensi: relasi antara istilah yang digunakan (deskriptor) dan tidak digunakan (nondeskriptor) yang dalam fungsi indeks, dua istilah atau lebih tersebut mengacu pada konsep yang sama (Aitchison, 2000: 50). Pada tesaurus, relasi ekuivalensi ditunjukkan dengan istilah: USE merujuk pada istilah (kata kunci) yang digunakan (deskriptor) Used For merujuk pada istilah (kata kunci) yang memiliki kesamaan konsep dengan USE, tetapi tidak digunakan (merujuk pada USE). 2. Relasi hierarki: relasi ini menunjukkan level superordinasi dan subordinasi. Istilah superordinasi merujuk pada kelas atau satu kesatuan, sedangkan istilah subordinasi merujuk pada angota atau bagian dari (Aitchison, 2000:54) Narrower Term menunjukkan istilah-istilah yang memiliki makna lebih sempit atau lebih spesifik dibandingkan dengan kata kunci yang digunakan (anggota atau bagian dari) Broader Term menunjukkan istilah-istilah yang memiliki makna lebih luas dibandingkan dengan kata kunci yang digunakan
3. Relasi asosiasi: relasi asosiasi ditemukan pada istilah-istilah yang memiliki kaitan erat secara konsep, tetapi relasi tersebut tidak bersifat hierarki dan bukan anggota dari kelompok ekuivalensi (Aitchison, 2000: 60) Related Term menunjukkan istilah-istilah yang memiliki kaitan makna dengan kata kunci yang digunakan 4. Selain relasi makna di atas, terdapat pula pemaparan makna kata kunci (Scope Note atau SN). Namun, relasi makna yang dibangun dalam tesaurus dibuat untuk setiap kata kunci, sementara penelitian ini berusaha melihat relasi makna antar-kata kunci, baik kata-kata kunci dari satu tesaurus maupun antartesaurus. Dalam kaitannya dengan makna, Cruse (2004: 262) memperkenalkan dynamic construal approach yang menyatakan bahwa kata-kata sebenarnya tidak memiliki makna permanen yang melekat pada dirinya. Makna kata muncul ketika kata tersebut digunakan dalam konteks tertentu atau language use. Namun, hal ini tidak sepenuhnya berlaku pada istilah (term). Menurut Kamus Linguistik (Kridalaksana, 2009: 97) istilah adalah kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam bidang tertentu. Istilah digunakan pada bidang atau ranah tertentu dan pemaknaannya pada umumnya dibatasi. Kata kunci yang dijadikan data dalam makalah ini merupakan istilah ilmiah. Konteks kata kunci tersebut adalah artikel terkait. Menurut Cruse (2004: 176) relasi dalam hierarki terbagi menjadi relasi dominasi (relation of dominance) dan konstrastif (relation of differentiation). Dalam diagram pohon, penggambaran relasi makna dominasi ditandai dengan hubungan bersifat horizontal (atas-bawah), sementara hubungan konstrastif ditandai dengan hubungan bersifat linear (kanan-kiri). Secara struktural, relasi yang terbentuk secara linear disebut sintagmatik, sedangkan relasi yang terbentuk secara horizontal disebut paradigmatik. Dalam hierarki leksikal, terdapat dua kelompok hierarki, yaitu taksonomi dan meronimi. Taksonomi dan meronimi dalam hierarki ini menggambarkan pola relasi
dominansi
dan
konstrastif.
Hierarki
taksonomi
merupakan
sistem
pengklasifikasi dan menggambarkan cara penutur satu bahasa mengategorikan pengalamannya (Cruse, 2004: 176). Menurut Kamus Linguistik (Kridalaksana,
2008: 234) taksonomi adalah klasifikasi unsur-unsur bahasa berdasarkan hierarki. Sementara itu, meronimi adalah klasifikasi unsur-unsur bahasa berdasarkan hubungan bagian dari (Kridalaksana, 2008: 152). Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa hubungan taksonomi merupakan kaitan antara unsur-unsur dalam satu kelompok/jenis, sementara hubungan meronimi merupakan kaitan antara unsur-unsur dalam satu entitas. Dalam makalah ini, analisis semantik yang dilakukan adalah mencari hungan relasi makna di antara kata-kata kunci dalam artikel ilmiah. Hubungan dalam tesaurus pada umumnya merupakan hubungan taksonomi. Namun, dalam upaya mencari kaitan antara makna satu kata kunci dan kata kunci lainnya, dapat pula terbentuk hubungan meronimi. Dalam situs American Society for Indexing, disebutkan ada dua metode yang dapat digunakan dalam membangun thesaurus, yaitu top-down dan bottomup. Metode top-down adalah metode penyusunan tesaurus dengan cara menyusun relasi makna istilah yang diambil dari kamus dan tesaurus yang sudah ada berdasarkan ruang lingkup tertentu. Sementara itu, metode bottom-up adalah metode penyusunan tesaurus berdasarkan data dokumen (dalam penelitian ini adalah artikel ilmiah dalam pangkalan data PDII-LIPI). Analisis dalam makalah ini dilakukan dengan metode bottom up.
III. Analisis Data Analisis pada data dilakukan per artikel. Barulah nantinya dari analisis per artikel tersebut digabungkan untuk membentuk satu rangkaian analisis pemetaan data keseluruhan. Pada makalah ini, dilakukan analisis terhadap satu artikel dari data sebagai model analisis. Artikel yang dipilih berjudul “Analysing Syntactic Modifications of Foreigner Talk and Teacher Talk”. Pada artikel tersebut, terdapat tiga buah kata kunci. Ketiga kata kunci tersebut adalah Language instruction, Syntax, dan Verbal communication. Kata kunci Language instruction dapat ditemukan di UNESCO Thesaurus (UNESCO). Sementara itu, kata kunci Syntax dapat ditemukan di UNESCO dan Thesaurus of Psychological Index Terms (TPI). Untuk kata kunci Verbal communication dapat ditemukan di TPI. Untuk membuat pemetaan relasi makna ketiga kata kunci di atas, dilakukan langkah-langkah berikut ini.
1. Langkah pertama, dilihat/dicari sumber (tesaurus/ kamus) kunci tersebut. Setelah itu, dilihat pada tesaurus terkait, pembatasan makna (SN) dan relasi makna (BT, NT, RT, UF) setiap kata kunci. a. Pada UNESCO, Syntax, disebutkan memiliki BT Grammar dan RT Morphology (Linguistics). Kata kunci Grammar memiliki BT Linguistics. Sementara itu, pada TPI di sebutkan bahwa RT dari Syntax adalah Phonetics dan Semantics. Namun, pada TPI, Syntax tidak disebutkan memiliki BT Grammar. b. Dalam TPI, disebutkan bahwa BT dari Verbal communication adalah Communication. Sementara itu, NT –nya disebutkan Articulation (speech), Conversation, Language profiency, Pragmatics dan Story telling. c. Pada tesaurus UNESCO, tidak disebutkan SN Language instruction. Namun, dari UF Language educatin, Language learning, dan Language teaching dapat dipetakan konstituen makna kata kunci tersebut. NT untuk Language instruction disebutkan Second language instruction dan Creative writing sebagai NT2 (makna bawah) dari Second language instruction. Sementara itu, terdapat beberapa RT untuk Language instruction, yaitu Foreign languages, Humanities education, Language laboratory, Linguistics, Literature education, Mother tongue instruction, Multilingualism, Suggestopedia, dan Uncommonly taught languages. Namun, dalam bagan, tidak semua RT ditampilkan, dipilih dua aspek yang dianggap berhubungan dengan topik artikel. Tidak disebutkan BT dalam kata kunci ini. 2. Kemudian, dari definisi dan relasi makna tersebut, setiap kata kunci dipilih dan dipilah sesuai kedekatan maknanya dengan kata kunci lain pada data. Melalui data yang ada, dicari penghubung antar-kata kunci. Pada data di atas, terdapat rumpang dalam kata kunci Communication (BT dari Verbal communication) dan Language instruction. Setelah memeriksa pada UNESCO thesaurus, diketahui bahwa di UNESCO thesaurus, kata kunci Verbal communication disebut sebagai Speech communication dan terletak di bawah Language. Oleh karena itu, pada pemetaan, Communication diletakkan di bawah Language. Hal yang sama dilakukan pada kata kunci
Language instruction dengan alasan, secara makna, kata kunci Language lebih luas dibandingkan Language instruction yang mengacu pada ‘belajar bahasa’. 3. Ketika terdapat rumpang, keterkaitan relasi makna antara satu kata kunci dengan kata kunci lainnya tidak ditemukan, ditambahkan istilah linguistik yang tepat sebagai penghubung. Pada data di atas, telah diperoleh dua kelompok besar pemetaan, yaitu Language dan Linguistics. Kemudian, untuk menghubungkan kata kunci yang berada di bawah Language dan Linguistics, ditambahkan kata kunci Pragmatics untuk menghubungkan Pragmatics dan Communication. 4. Penambahan kata kunci ini dilakukan dengan melihat pada kemungkinan istilah dan makna yang tepat. Pemilihan kata kunci baru dilakukan berdasarkan: a. membaca artikel (data) b. membaca literatur yang berkaitan dengan artikel c. melihat kamus bidang (Kamus Linguistik) d. Bertanya pada ahli bidang (bahasa dan linguistik) 5. Menggambarkan hubungan relasi makna dalam diagram (pemetaan). Berikut ini contoh pemetaan hasil analisis kata kunci pada satu judul artikel ilmiah di pangkalan data ISJD.
Pemetaan relasi makna di atas juga tidak sepenuhnya sama dengan relasi makna yang disebutkan dalam tesaurus. Hal ini disebabkan luasnya pembahasan yang diberikan sehinggga perlu disesuaikan dengan data. Namun di sisi lain, dalam penggambaran relasi makna ditemukan pula adanya rumpang yang membutuhkan penambahan kata kunci. Rumpang tersebut terjadi karena tidak semua relasi makna dalam satu kata kunci digambarkan lengkap. Oleh karena itulah, dalam menyusun pemetaan, dilakukan pemilihan dan pemilahan atas kata kunci dan relasi maknanya dalam tesaurus.
IV. Kesimpulan Pemetaan relasi makna pada (satu) data telah dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa analisis relasi makna pada kata kunci dapat dilakukan. Untuk melakukan pemetaan, pembatasan dan relasi makna setiap kata kunci pada data diperiksa di tesaurus. Namun, penyusunan peta relasi makna tidak dibuat sepenuhnya sama dengan penggambaran dalam tesaurus. Pemilihan relasi makna dan kata kunci yang dipetakan dilakukan untuk mendapatkan keterkaitan antar-kata kunci. Pemilihan tersebut juga disebabkan deskripsi relasi makna dalam tesaurus ada yang terlalu luas dan sebaliknya, ada pula yang memiliki rumpang. Selain itu, tidak semua kata kunci dalam tesaurus mendapat penggambaran relasi makna dengan lengkap. Pada proses pemetaan, ditemui kesulitan karena adanya kata kunci yang ditemukan di lebih dari satu tesaurus, sementara makna yang digambarkan dalam dua tesaurus tersebut memiliki perbedaan. Dalam kondisi seperti itu, pemilihan makna dikembalikan ke konteks kata kunci, yaitu artikel yang bersangkutan.
Daftar Pustaka
Aitchinson, Jean, Alan Gilrichrist, dan David Bawden. 2000. Thesaurus Construction and Use: a Practical Manual. Cornwall: TJI Digital.
American Society of Indexing. “How Do I Build a Thesaurus?” Diakses dari http://www.asindexing.org/i4a/pages/index.cfm?pageid=3623 pada 3 April 2011.
Currie, Anne-Marie, Jocelyn Cohan, dan Larisa Zlatic. 2002. “Linguistic Approaches in Information Retrieval of Medical Texts”. Dalam Round Table on Languages and Linguistics 2000. James E. Alatis, dkk. (Ed.). Washington: Georgetown University Press. Cruse, Alan D. 2004. Meaning in Language: An Introduction to Semantics and Pragmatics. Oxford: Oxford University Press Cruse, Alan D. 2006. A Glossary of Semantics and Pragmatics. Edinburgh: Edinburgh University Press. Google Analytics. https://www.google.com/analytics/reporting/?reset=1&id=22981369&pdr=20 110829-20110928 diakses 29 September 2011. Hasibuan, Zainal A. dan Mustangimah. “Analisis Hubungan Antara Deskriptor, Referensi, dan Sitasi untuk Membangun Struktur Koleksi Dokumen yang Inheren.” diakses dari http://www.batan.go.id/ppin/lokakarya/LKSTN_12/Zainal.pdf, pada 14 Februari 2010. Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Meadow, Charles T., Bert R. Boyce, dan Donald H. Kraft. 2000. Text Information Retrieval Systems Second Edition. San Diego: Academic Press. Rey, Alan. 2000. Pengantar Terminologi Terjemahan Rahayu S. Hidayat. Depok: Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Subagyo, Hendro, Sjaeful Affandi, dan Lukman. 2011. “Integrasi Database Dokumen Ilmiah dari Lembaga-Lembaga Penelitian Indonesia Berbasis Ontologi” Prosiding e-Indonesia Initiatives (EII) forum ke VII, Bandung. The American Psychological Association. 1994. Thesaurus of Psychological Index Terms. UN Organization. 1998. Macro Thesaurus.
UNESCO Organization. 1995. UNESCO Thesaurus
LAMPIRAN
Data:
Judul : Analysing syntactic modifications of foreigner talk and teacher talk Pengarang : M. Sukirlan Sumber : Jurnal pendidikan dan pembelajaran Penerbit : Universitas Lampung. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Tahun Terbit Artikel: 2007 Volume : 5 No : 2 Halaman : 159-166 Kata Kunci : Language instruction; Syntax; Verbal communication Sari : NULL Abstrak : NULL Telah dilihat sebanyak : 5 kali Kode Panggil : 370.5 Jur p
Language instruction UF: Language education UF: Language learning UF: Language teaching NT: Second language instruction NT2: Creative writing RT: Foreign languages RT: Humanities education RT: Language laboratories RT: Linguistics RT: Literature education RT: Mother tongue instruction RT: Multilingualism RT: Suggestopaedia RT: Uncommonly taught languages SO: UNESCO
Syntax SN: Study and rules of the relation of morphemes to one another as expressions of ideas and as structural components of sentences; the study and science of
sentence construction; the actual grouping and specific combination and relationship of words in a sentence. UF: Syntactic analysis BT: Grammar BT2: Linguistics RT: Morphology (linguistics) RT: Semantics SO: UNESCO; TPI
Verbal communication SN: Communication through spoken or written language BT: Communication NT: Articulation NT: Conversation NT: Language proficiency NT: Story telling SO: TPI
Tantangan Menuju Interoperabilitas Akses dan Koleksi Perpustakaan Digital di Indonesia Alberto Pramukti Narendra, SS (Pustakawan Unika Soegijapranata Semarang) Sekretaris Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Jawa Tengah (FPPTI Jateng Abstrak Tantangan Menuju Interoperabilitas Akses dan Koleksi Perpustakaan Digital di Indonesia
Perpustakaan dewasa ini mengembangkan perpustakaan digital dengan berbagai tipikal sehingga muncul berbagai karakter perpustakaan digital yang tampil di masyarakat virtual. Kebutuhan untuk saling membangun jaringan muncul untuk menjawab kebutuhan pemustaka terhadap kemudahan akses dari berbagai pengakalan data digital. Interoperabilitas menurut IEEE (1990) dimaknai sebagai sebuah kemampuan dua atau lebih dari sistem atau komponen yang mampu untuk saling bertukar informasi dan bisa saling mempergunakan data atau informasi yang dipertukarkan tersebut. Interoperabilitas perpustakaan digital berkaitan dengan peranan membangun layanan bagi pemustaka secara terpadu yang menyatukan berbagai sistem yang secara teknis dan organisatoris berbeda. ( Arms 2000) Interoperabilitas merupakan tantangan yang masih dihadapi oleh perpustakaan digital di Indonesia. Tantangan berkaitan dengan dimensi teknis dan dimensi sosial. Bagi pemustaka, kebutuhan dasarnya adalah kemudahan akses ketersediaan koleksi yang mampu menjawab kebutuhan informasi di dalam sebuah jejaring perpustakaan digital. Portal Garuda menjadi sebuah contoh pengembangan jaringan antar perpustakaan digital khususnya koleksi dan akses perpustakaan digital yang disediakan sebagai media untuk sharing ilmu pengetahuan khusus Indonesia. Melalui bantuan sebuah portal memungkinkan adanya sebuah integrasi konten digital dari kontributor portal sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat luas dalam sharing pengetahuan dan informasi. Kata kunci : Interoperabilitas, koleksi, akses, perpustakaan digital, Indonesia
portal
Garuda,
teknologi
informasi,
1
Tantangan Menuju Interoperabilitas Akses dan Koleksi Perpustakaan Digital di Indonesia Pendahuluan Perkembangan perpustakaan di Indonesia dewasa ini semakin mengarah pada suatu fenomena yang menarik dengan dimanfaatkannya fasilitas internet dalam kegiatan di perpustakaan. Hadirnya internet juga mewujudkan suatu trend baru yang kini hadir di perpustakaan yaitu perpustakaan digital atau digital library yang
munculnya
menambah semakin
beragamnya fasilitas dalamn jasa pelayanan yang disediakan di sebuah perpustakaan. Amanat Undang Undang Perpustakaan Nomor 34 tahun 2007 pasal 14 ayat 3 berbunyi
“Setiap perpustakaan mengembangkan layanan perpustakaan
sesuai dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.” Hal tersebut memberikan penegasan bahwa perpustakaan di Indonesia didorong untuk melakukan transformasi dan melakukan adaptasi terhadap perkembangan
teknologi
informasi
dan
komunikasi
dalam
rangka
memberikan jasa pelayanan yang semakin prima bagi para pemustaka dewasa ini tututannya juga semakin beragam dan kompleks. Jasa perpustakaan dewasa ini tidak lagi terbatas pada penyediaan sumber belajar berupa buku teks secara fisik, tetapi berkembang dengan layanan perpustakaan digital yang semakin beragam, variatif dan memberikan suasana baru dalam cara melayani bagi para pemustaka secara virtual melalui bantuan teknologi internet.
Perpustakaan Digital Perguruan Tinggi Lesk (dalam Pendit, 2007:29) memandang perpustakaan digital secara sangat umum sebagai semata-mata kumpulan informasi digital yang tertata. Arms (dalam Pendit, 2007:29) memperluas sedikitnya dengan menambahkan bahwa koleksi tersebut disediakan sebagai jasa dengan memanfaatkan jaringan informasi. Salah satu yang menarik dari sebuah perpustakaan digital adalah bahwa kehadirannya tidak dapat berdiri sendiri, keberadaannya terkait dengan sumber sumber informasi lain dan pelayanan informasinya terbuka bagi
2
semua pengguna dimanapun. Koleksi perpustakaan digital juga meluas mulai dari sekedar dokumen elektronik pengganti bentuk cetak, tetapi kini meluas hingga artefak, film,lagu dll. Perpustakaan ini melayani mesin, manajer informasi,
dan
pemakai
informasi.
Semuanya
ini
demi
mendukung
manajemen koleksi, menyimpan, pelayanan bantuan penelusuran informasi. Perpustakaan digital perguruan tinggi dapat dikatakan sebagai kumpulan informasi ilmiah yang tersaji dalam bentuk digital yang menjadi koleksi di berbagai perguruan tinggi dalam rangka memberikan variasi layanan bagi pemustakanya. Perpustakaan digital pada dasarnya ingin memberikan keleluasaan bagi para pemustakanya dalam hal temu balik informasi yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu, bisa diakses dimana saja dan dalam waktu kapan saja. Koleksi perpustakaan, perpustakaan digital bisa dinikmati pengguna dimana saja sehingga pemustaka lebih leluasa dalam menemukan berbagai
sumber
informasi. Di sisi yang lain perpustakaan digital
yang sekarang ini berkembang di
Indonesia saat ini dengan berbagai tipikalnya memunculkan sebuah pemikiran baru tentang sebuah kemungkinan kerjasama untuk saling berbagi di dalam wadah perpustakaan digital, yang selama ini kita ketahui bahwa masing-masing perpustakaan digital berjalan diatas rel nya masing masing dan sebagian besar masih terpisah pisah. Inilah yang menjadi tantangan perpustakaan digital di masa datang, yaitu adanya suatu kemampuan bagi berbagai sumber daya perpustakaan digital untuk bisa dimanfaatkan secara bersama-sama oleh pemustaka tanpa harus berpindah ke dalam berbagai aplikasi basis data masing masing perpustakaan atau dalam bahasa yang lebih “keren” disebut dengan terwujudnya interoperabilitas perpustakaan digital Indonesia.
Resource Sharing Jauh sebelum perpustakaan digital berkembang pesat dewasa ini, praktek perpustakaan konvensional telah mengembangkan berbagai macam cara yang tujuannya adalah pemenuhan kebutuan informasi pemustakanya. Perpustakaan
konvensional
mengembangkan
berbagai
sarana
untuk
melengkapi pelayanan informasi dengan membangun jaringan dengan 3
berbagai perpustakaan secara fisik. Membangun jaringan dan komunitas ini dimaksudkan untuk semakin memperkaya berbagai macam koleksi dan fasilitas yang ada di perpustakaan. munculah kemudian apa yang dinamakan dengan katalog induk atau union catalog, inter library loan atau jasa pinjam antar perpustakaan, layanan fotocopy, kartu perpustakaan jaringan dan berbagai macam fasilitas dalam rangka memperluas layanan. Kerjasama antarperpustakaan merupakan syarat mutlak untuk memenuhi kebutuhan informasi pemakainya. (Sulistyo Basuki, 1991: 54) Komunitas komunitas perpustakaan mengembangkan perpustakaan digital mengikuti perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang Fenomena inilah yang kemudian memunculkan berbagai macam desain dalam pengembangan perpustakaan digital dengan segala tipikalnya. Alasan inilah yang kemudian mendorong para pengelola perpustakaan secara arif meninjau kembali tentang maksud dan tujuan dikembangkannya perpustakaan digital yang hadir di internet, tidak lain adalah membagikan informasi sebanyak mungkin bagi pemustaka agar dapat bermanfaat bagi yang menggunakannya. Kegiatan mengoleksi dan mengatur sumberdaya digital yang dikembangkan bersama-sama
komunitas pemakai jasa untuk memenuhi kebutuhan
informasi dari komunitas tersebut merupakan salah satu bentuk semangat untuk mewujudkan koleksi yang saling dipakai bersama /resource sharing dalam konsep perpustakaan digital. Upaya ini merupakan salah satu jalan untuk memberikan keluasan bagi pemustaka dalam menelusur dan menemukan berbagai informasi yang lebih luas dan beragam di dalam wadah komunitas. Menurut Putu Laxman Pendit (2007: 32), Dalam konteks pewujudan resource sharing ini ada dua unsur yang memberikan pengaruh bagi keberhasilannya, yaitu : 1. Sisi pandang teknologi ; dari sudut pandang teknologi, kata kunci dalam definisi perpustakaan digital yang kita kutip diatas adalah “integrasi” dan keterkaitan
antar berbagai jenis format data dalam
jumlah yang sangat besar, disimpan dan disebarkan melalui sebuah jaringan telematika raksasa yang bersifat global.
4
2. Komunitas pemakai : komunitas pemakai merupakan pihak yang menentukan keberhasilan perpustakaan digital itu sendiri. Tanpa teknologi dan pengaturan sosial yang memadai, maka perpustakaan digital akan tidak ada gunanya manakala para pemakai tidak memiliki kemampuan dan fasilitas untuk menggunakan koleksi perpustakaan.
Mengapa Penting Interoperabilitas Akses dan Koleksi Interoperabilitas
menurut IEEE (1990) dalam Lucy Tedd (2005, 83-84)
dimaknai sebagai sebuah kemampuan dua atau lebih dari sistem atau komponen yang mampu untuk saling bertukar informasi dan bisa saling mempergunakan data atau informasi yang dipertukarkan tersebut Di
dalam
konteks
perpustakaan
digital,
secara
sederhana
bahwa
interoperabilitas yang bisa dirasakan langsung oleh pemustaka ketika kebutuhan pemustaka terhadap informasi terjawab dengan fasilitas jaringan informasi digital yang dikembangkan sehingga pemustaka merasakan kemudahan penemuan informasi yang dibutuhkannya. Perpustakaan perguruan tinggi sebagai salah satu perpustakaan yang cukup cepat melakukan adaptasi dengan teknologi, ingin memfasilitasi pemanfaatan berbagi macam sumber daya digital untuk dipakai secara bersama-sama (resource sharing) dalam satu wadah jaringan kerjasama yang terbuka, mendukung keterbukaan dan ketersediaan informasi yang semakin luas melalui internet dengan tetap menghargai kepentingan instusi induknya. Untuk mewujudkan niat tersebut, masing masing perpustakaan perguruan tinggi
mempunyai agenda
dua hal yang bisa dikembangkan dengan
bantuan internet dalam rangka resource sharing
(Putu Laxman Pendit,
2007:280) yaitu , : 1. Katalog koleksi buku : merupakan titik akses tunggal bagi semuga katalog digital perpustakaan yang berpartisipasi. Katalog ini juga bisa dsebut sebagai katalog induk yang menyediakan fasilitas pencarian dan pemberian informasi berupa data bibliografi, lokasi perpustakaan dan ketersediaan koleksi 2. Katalog koleksi tesis dan disertasi : katalog ini sebagai titik akses tunggal bagi semua katalog digital perpustakaan yang berpartisipasi.
5
Katalog ini menyediakan fasilitas pencarian dan pemberian informasi berupa data bibliografi, lokasi dan ketersediaan.
Merupakan sebuah realita di lapngan bahwa pepustakaan perguruan tinggi di Indonesia mempunyai rambu rambu
yang berkaitan dengan kepentingan
masing masing lembaga yang berkaitan dengan pengamanan, perlindungan dan upaya untuk
mempertahankan nilai tambah dari koleksi nya dan
sekaligus perlindungan bagi hak kekayaan intelektual dari hasil karya yang tercipta dari masing masing civitas akademikanya. Terlebih untuk koleksi grey literatur misalnya laporan penelitian,
tesis dan disertasi, setiap
perguruan tinggi memiliki kebijakan sendiri terhadap akses koleksi yang ada dimasing masing institusi.
Tetapi sudut pandang pemikiran yang lain, adanya prewujudan suatu integrasi berkaitan dengan jaringan ketersediaan informasi yang meluas juga ada di dalam benak pengelola perpustakaan. dari situ diharapkan terbangunnya suatu interaksi dan komunikasi ilmiah yang makin luas, hangat dan intensif serta dalam wadah komunitas kerjasama yang saling memberikan nilai tambah positif. Wujud nyata dari langkah itu adalah ketersediaan abstrak dari berbagai karya ilmiah koleksi perpustakaan anggota komunitas untuk digunakan seluas mungkin kepentingan pemustaka.
Dalam rangka menekan adanya resiko plagiasi terhadap berbagai karya ilmiah tersebut, tanpa harus menutup seluruh akses terhadap koleksi perpustakaan digital maka berbagai perpustakaan digital perguruan tinggi dapat
membuat
kesepakatan
dalam
hal
pertanggungjawaban
pemustaka/pengguna, hak mengunduh (download) koleksi digital dan tata cara pengirimannya (document delivery) dalam hal memanfaatkan berbagai macam koleksi perpustakaan digital. (Putu Laxman Pendit, 2007:281)
Tantangan Interoperabilitas akses dan koleksi jaringan perpustakaan digital salah satu unsurnya adalah terwujudnya harapan akan adanya komunikasi yang mampu menyatukan berbagai format perpustakaan digital sehingga
6
terwujud suatu integrasi dan keterkaitan di dalam wadah jaringan komunitas yaitu perpustakaan digital.
Untuk mewujudkan harapan -harapan tersebut, maka perpustakaan akan menghadapi beberapa implikasi yaitu : (Putu Laxman Pendit, 2007: 281) 1. Masing-masing perpustakaan digital perguruan tinggi menekankan pentingnya fasilitas pertukaran dan pemindahan (transfer) data yang tidak menghilangkan kualitas kandungan informasinya
dari segi
telekomunikasi setiap pengembangan perpustakaan digital perguruan tinggi memakai standar dan protokol yang memungkinkan pertukaran data secara mudahm terutama untuk hal-hal yang sudah disepakati diatas. 2. Strategi harvesting : dapat menjadi pilihan solusi untuk membentuk katalog induk sebagaimana dimaksud diatas. 3. Masing masing perpustakaan digital perguruan tinggi menyiapkan format pertanggungjawaban dalam penggunaan koleksi digital dan membuat kesepakatan internal, bilateral maupun multirateral tentang hal ini.
Interoperabilitas akses dan koleksi perpustakaan digital akan memberikan suatu cara pandang baru pemustaka dalam berinformasi dan berkomunitas ilmiah. Perwujudan itu akan memberikan pengaruh
persepsi pemustaka
terhadap pelayanan perpustakaan.
Universitas sebagai lembaga induk mempunyai peran yang penting bagi pengembangan
perpustakaan
digital.
Misi
universitas
dalam
rangka
peningkatan dan kinerja yang semakin efektif dan efisien sangat berpengaruh pada perkembangan perpustakaan. Terlebih
dewasa ini universitas juga
berlomba untuk mengejar peringkat perguruan tinggi menuju kelas dunia, dan perpustakaan mempunyai peran yang strategis untuk ikut mengangkat pemeringkatan universitas. Berikut adalah gambar nilai tambah perpustakaan digital perpustakaan perguruan tinggi Indonesia bagi peningkatan kualitas dan perikat (Putu Laxman Pendit, 2007: 288) 7
Portal Garuda : teknologi dalam komunitas Portal garuda merupakan satu contoh hadirnya interoperabilitas akses dan koleksi
di dalam jaringan perpustakaan digital di Indonsia. Portal garuda
menyatukan sistem teknologi
dalam komunitas sosial
di masing-masing
perpustakaan digital. Portal Garuda (Garba Rujukan Digital) adalah portal referensi ilmiah dan umum karya bangsa Indonesia, yang memungkinkan akses e-journal dan ebook domestik, tugas akhir mahasiswa, laporan penelitian, serta karya umum. Portal ini dikembangkan oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Dikti - Kemdiknas RI. (Panduan Kontributor Garuda) Kehadiran portal ini dilatarbelakangi pula oleh melimpah ruahnya informasi ilmiah berbentuk digital yang ada di berbagai perpustakaan perguruan tinggi dan perpustakaan yang lain. Kelimpah ruahan informasi tersebut masih bersifat parsial berada di masing masing server perpustakaan digital dan belum terkoordinasi menjadi satu layanan yang terpadu dan menyeluruh. Portal ini juga diharapkan mampu memberikan jawaban yang
lebih
memuaskan terhadap kebutuhan informasi pemustaka. Melalui bantuan
8
sebuah
portal,
temu
kembali
informasi
yang
tersebar
di
berbagai
perpustakaan lebih cepat didapat dalam waktu yang singkat dan pemustaka tidak perlu berpindah pangkalan data perpustakaan digital.
Teknologi Ada dua sudut pandang
dalam menyikapi interoperabilitas perpustakaan
digital. Interoperabilitas dari sudut pandang teknologi dirumuskan sebagai kondisi teknis yang bercirikan “suitable for and capable of being implemented in a neutral manner on multiple operating systems and multiple programming languages” (Putu Laxman Pendit, 2007 : 285) dan dimensi kerjasama yang merupakan dimensi sosial dari sebuah pembentukan jaringan kerjasama. Portal Garuda mengembangkan
interkoneksi di dalam internet
yang
menghubungkan tiga pihak di dalam sistem yaitu : 1. Kontributor antara lain berbagai perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia, PDII LIPI dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. 2. Pengguna/Pemustaka 3. Pelaksana Sistem Garuda
Menurut Sony Pawoko (dalam materi Sosialisasi Portal Garuda di Salatiga Jawa Tengah 14 September 2011), interkoneksi, fungsionalitas sistem dan arsitektur aplikasi Portal Garuda digambarkan sbb : INTERKONEKSI
9
Fungsionalitas Sistem Portal Garuda
10
Arsitektur Aplikasi Portal Garuda
Dari gambar tersebut penulis dapat sampaikan bahwa dari sisi teknologi, Portal Garuda berupaya untuk melakukan integrasi dengan berbagai perpustakaan digital dengan teknologi baik secara on line melalui protokol
11
OAI PMH maupun secara off line dengan mengirim data kepada administrator garuda. Tujuannya adalah sama untuk menambahkan informasi atau memperluas informasi di dalam portal.
Metadata tersebut selanjutnya
mengalami proses integrasi di dalam manajemen portal. Data secara lengkap tetap tersimpan di server masing masing anggota jaringan.
Fungsionalitas sistem portal Garuda melibatkan beberapa pihak. Dari sisi pemustaka/pengguna, diberi fasilitas untuk mampu melihat detail metadata dan melakukan penelusuran dengan memasukkan kata kunci. Pemanfaatan portal terbuka oleh semua lapisan masyarakat yang ingin mendapatkan referensi ilmiah. Dari sisi perpustakaan anggota jaringan mempunyai kewajiban untuk menyerahkan metadata yang telah diatur oleh manajemen portal. Format metadata
berbasis file excel dan
bisa dikirimkan kepada administrator
Garuda.
Anggota Jaringan Perpustakaan yang tergabung dalam Portal Garuda memiliki dua cara untuk berkontribusi di dalam portal ini. Yaitu : 1. Menggunakan protokol OAI-PMH (Open Archive Initiative Protocol for Matedata Harvesting). Cara pertama ini dilakukan dengan cara membuat provider OAI PMH pada sistem aplikasi masing-masing. Provider tersebut akan diakses oleh portal secara otomatis untuk mendapatkan data dari sistem yang bersangkutan. Protokol OAI PMH adalah metode untuk melakukan metadata harvesting yang tidak bergantung pada jenis platform yang digunakan. Ada dua bagian yang penting dari OAI PMH yaitu : a. Data provider atau disebut juga repository : merupakan server pada suatu jaringan yang bisa diakses dan memproses 6 macam OAI PMH request, kemudian memberikan response berupa metadata yang sesuai dengan request yang diterima. b. Service provider : atau disebut juga harvester merupakan bagian yang akan mengirim request lalu menerima response
metadata dari
repository. Kemudian metadata yang diterima akan diolah untuk memberikan layanan tambahan kepada pengguna harvester. 12
Lihat digilib.petra.ac.id/.../jiunkpe-ns-s1-2007-26404023-9119respositori... 2. Dengan membuat file Excel yang berisi data-data perpustakaan yang bersangkutan. Kolom-kolom yang ada pada file tersebut disesuaikan dengan metadata yang ada. File excel yang telah dibuat diletakan di website masing-masing dan diinformasikan ke pengembang sistem atau dikirim
langsung
melalui
mailing
list
di
alamat
jurnal-
[email protected] atau email:
[email protected]
Perpustakaan kontributor portal Garuda menggunakan format metadata Dublin Core. Format metadata dublin core yang dipakai oleh Portal Garuda adalah sbb : Title
Judul karya
Creator
Penulis
subject
Subjek dari karya
description
Abstrak/deskripsi singkat
publisher
Penerbit
contributor
Pihak yang berkontribusi terhadap suatu karya
date
Tanggal/tahun penciptaan
type
Tipe karya
permalink
URL menuju konten di server asal
right
copyright
Dublin core adalah sekumpulan elemen metadata yang telah disusun dengan suatu standarisasi dan bisa digunakan untuk mendeskripsikan informasi tentang suatu resource. Standar yang terdapat di dalam Dublin core hanya terdapat pada elemen-elemen metadatanya saja. Suatu sistem atau komunitas yang menerapkan standar Dublin core
diperbolehkan untuk
menggunakan dan menyesuaikan elemen metadata tersebut sesuai dengan kebutuhan.
Elemen dublin core dinamai dengan nama yang unik dan
dianggap bisa mewakili maksud dan penggunaan dari suatu elemen. Selain
13
itu elemen dublin core dinamai dengan menggunakan satu kata saja, hal itu dimaksudkan untuk aplikasi. Lihat digilib.petra.ac.id/.../jiunkpe-ns-s1-200726404023-9119-respositori...
Dalam hal pengembangan portal dari sisi teknologi,. Manajemen portal Garuda mengupayakan beberapa hal yaitu : 1. Integrasi pada level basis-data pada semua kontributor domestik 2. Merubah tampilan 3. Integrasi dengan jurnal internasional 4. Pengembangan Sistem pakar (menghubungkan nama pengarang dengan subjek) 5. Kategorisasi metadata: semua, domestik, internasional 6. Laporan Statistik kontribusi dan pemanfaatan 7. Investasi server dan bandwidth
Komunitas Sosial Dimensi ini menjadi sarana yang mendorong kemajuan bersama ketika teknologi sudah memungkinkan terjadinya pertukaran, komunikasi dan pemakaian informasi secara bersama-sama oleh anggota komunitas. Teknologi perpustakaan digital dalam komunitas jaringan dengan dilandasi oleh semangat untuk saling berbagi pada akhirnya mampu untuk mewujudkan suatu
integrasi didalam wadah portal. Didalam portal garuda konteks
interoperabilitas dalam hal akses dan koleksi sudah mulai dapat dirasakan oleh pemustaka maupun kontributor jaringan. Para kontributor jaringan antara lain yaitu perpustakaan-perpustakaan perguruan tinggi, Perpustakaan Nasional RI, PDII LIPI dan terhubung dengan e-journal domestik. Manajemen portal secara berkala melakukan berbagai langkah dalam hal pengembangan isi portal. Beberapa langkah tersebut antara lain : y Memanen metadata kontributor baru yang telah mengirimkan formulir kesediaan menjadi kontributor y Memutakhirkan metadata kontributor lama y Menyelaraskan tampilan
14
Dalam konteks ini peran kesediaan setiap anggota untuk berbagi menjadi modal utama untuk terwujudnya interoperabilitas. Di dalam sebuah wadah kerjasama
yang
melibatkan
dimensi
sosio-teknis,
sebuah
proses
berlangsungnya pekerjaaan melibatkan dua unsur yang saling mendukung. Dua unsur itu adalah sistem teknis dan sistem sosial. Mumford (1999) dalam (Putu Laxman Pendit 2007: 288)
mengatakan
pandangan sosio teknis dalam sistem informasi tidak dapat dilepaskan dari kondisi tentang situasi di tempat kerja yang sudah berkembang sebelum ada penggunaan komputer dalam organisasi. Adanya sistem teknis dan sistem sosial merupakan dua hal yang tidak terpisah, keduanya merupakan kesatuan.
Teori
merupakan
sistem
sosio-teknis
(socio-technical
system
theory)
cara memandang organisasi yang menekankan keterkaitan
dimensi teknis dan dimensi sosial. Bila dikaitkan dengan kehadiran portal Garuda, dimensi sosial yang sangat dirasakan adalah kemudahan para pemustaka dalam melakukan akses terhadap koleksi dari berbagai kontributor portal. Portal Garuda juga mengimplementasikan One stop place to find information. Makna dari motto ini adalah keinginan manajemen portal Garuda agar pemustaka ketika berkunjung ke perpustakaan selain menemukan dokumen secara fisik tetapi juga mendapatkan lebih banyak lagi sumber referensi ilmiah secara digital di tempat yang sama dan dalam waktu yang cepat. Integrasi dari berbagai sistem teknologi yang dipadukan dengan kebutuhan komunitas khususnya perpustakaan, pada akhirnya akan membawa dampak positif bagi para pemangku kepentingan. Manfaat interoperabilitas itu secara akan membawa perubahan tehadap berbagai perilaku manusia sebagai mahluk sosial yang menyesuaikan dengan perkembangan teknologi. Adapun beberapa manfaat yang bisa diperoleh melalui kehadiran portal Garuda bagi para pemangku kepentingan yaitu : a. Memperkaya
informasi
yang
dapat
diakses
oleh
pengguna/pemustaka b. Meningkatkan jumlah perpustakaan yang dapat diakses oleh pemustaka c. Mengurangi duplikasi penelitian
15
d. Pada akhirnya Garuda mengimplementasikan One stop place to find information sehingga pemustaka tidak perlu berpindah-pindah lokasi/alamat dari perpustakaan digital dikunjunginya.
Sekian dan terima kasih.
16
Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia 4 (KPDI-4) Samarinda, 8 – 10 November 2011
PEMANFAATAN CLOUD COMPUTING UNTUK MENDUKUNG PERPUSTAKAAN BERBASIS DIGITAL 1
Yoki Muchsam1, Bytech Consult Bandung
[email protected]
ABSTRAKS Cloud Computing atau komputasi awan ialah gabungan pemanfaatan teknologi komputer ('komputasi') dan pengembangan berbasis Internet ('awan'). Cloud sebagaimana awan yang sering digambarkan di diagram jaringan komputer. Sebagaimana awan dalam diagram jaringan komputer tersebut, awan (cloud) dalam Cloud Computing juga merupakan abstraksi dari infrastruktur kompleks yang disembunyikannya. Ia adalah suatu metoda komputasi di mana kapabilitas terkait teknologi informasi disajikan sebagai suatu layanan (as a service), sehingga pengguna dapat mengaksesnya lewat Internet tanpa mengetahui apa yang ada didalamnya, ahli dengannya, atau memiliki kendali terhadap infrastruktur teknologi yang membantunya. Hal ini karena komputasi awan melalui konsep virtualisasi, standarisasi dan fitur mendasar lainnya dapat mengurangi biaya Teknologi Informasi (TI). Menyederhanakan pengelolaan layanan TI, dan mempercepat penghantaran layanan. Secara umum arsitektur komputasi awan terdiri dari (1) Infrastructure as a service (IaaS), (2) Platform as a Service (PaaS), (3) Software as a Service (SaaS). Perpustakaan memiliki potensi yang cukup besar dalam penerapan teknologi cloud compiting dimasa yang akan datang. Sumberdaya informasi, infrastruktur dan SDM menjadi bagian dalam mendukung implementasi Cloud computing perpustakaan berbasis digital. Diharapkan tulisan ini memberikan gambaran konsep penerapan cloud computing di perpustakaan. Khususnya pustakawan bisa mengambil manfaat dengan mengadopsi sebagai layanan perpustakaan dengan menggunakan cara yang lebih sederhana/konservatif Kata Kunci: cloud computing, IaaS, PaaS, SaaS, perpustakaan digital
1. PENDAHULUAN Sebuah perpustakaan sering dikatakan sebagai jantung informasi dalam setiap institusi, bahkan konon dengan melihat perpustakaannya kita sudah dapat melihat kualitas pendidikan yang diberikan oleh institusi tersebut. Dalam perkembangannya perpustakaan tidak lepas dari teknologi. Teknologi informasi dan internet telah mengakibatkan banyaknya koleksi (resource) yang tersedia dalam bentuk digital sehingga muncul gagasan untuk membentuk perpustakaan digital. Istilah perpustakaan maya, perpustakaan elektronik, perpustakaan digital dll
selalu menjadi sajian sehari-hari perpustakaan. Bagi sebagian besar perpustakaan di Indonesia, aplikasi TI seperti di negara-negara yang sudah maju merupakan suatu tantangan harus dilaksanakan untuk mendukung tuntutan sebagian pengguna jasa perpustakaan yang memerlukan informasi agar dapat menemukan informasi yang diperlukan dengan mudah dan cepat. Dengan demikian muncul pertanyaan Bagaimana perpustakaan ideal yang mampu memenuhi kebutuhan pengguna? Perpustakaan ideal yang mampu memenuhi keinginan
Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia 4 (KPDI-4) Samarinda, 8 – 10 November 2011
pengguna adalah perpustakaan yang menyediakan informasi lengkap, dapat diakses kapan saja, dimana saja dan dipandu oleh pustakawan yang profesional Beberapa tahun belakangan ini, sering tersebut kata Cloud computing dalam beberapa tulisan/artikel di media massa khususnya mengenai trend teknologi komputer dan sistem telekomunikasi. Istilah perpustakaan maya, perpustakaan elektronik, perpustakaan digital dll selalu menjadi sajian seharihari perpustakaan. Bagi sebagian besar perpustakaan di Indonesia, aplikasi TI seperti di negara-negara yang sudah maju merupakan suatu tantangan harus dilaksanakan untuk mendukung tuntutan sebagian pengguna jasa perpustakaan yang memerlukan informasi agar dapat menemukan informasi yang diperlukan dengan mudah dan cepat. Dengan demikian muncul pertanyaan Bagaimana perpustakaan ideal yang mampu memenuhi kebutuhan pengguna? Perpustakaan ideal yang mampu memenuhi keinginan pengguna adalah perpustakaan yang menyediakan informasi lengkap, dapat diakses kapan saja, dimana saja dan dipandu oleh pustakawan yang profesional.
2. CLOUD COMPUTING 2.1. Karakteristik Cloud computing sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam dunia teknologi informasi. Web Service, Internet Service Provider (ISP), Programmable web, dan virtualisasi merupakan konsep-konsep yang telah berkembang dan memberi kontribusi pada evolusi teknologi ini. Beberepa definisi mengenai konsep cloud computing telah sering dikemukakan di berbagai literatur. Pada tulisan ini standar definisi yang digunakan dikemukan oleh The National Institute of standards and Technology (NIST).
NIST mendefinisikan cloud computinng sebagai sebuah model bayar-sesuaipenggunaan (pay-per-use) dalam menggunakan sumber daya komputasi (jaringan, server, penyimpanan, aplikasi, layanan) yang selalu tersedia, mudah diakses, dan bergantung pada jaringan (on-demand) yang dapat diakses oleh banyak pengguna; yang dapat secara cepat dapat dipakai dan dilepaskan dengan usaha manajemen atau interaksi penyedia layanan yang minimal. Cloud computing memiliki 5 karakteristik beikut : 1. On-demand self-service Pengguna dapat menerapkan sendiri kualitas dan kuantitas layanan yang dibutuhkan tanpa perlu bertatap muka landugn dengan pihak penyedia layanan. Semua dilakukan sesuai kehendak pengguna melalui jaringan internet 2. Ubiquitous network access Layanan dapat diakses kapan saja dan dimana saja lewat jaringan internet yang memadai dan melalui berbagai jenis perangkat client seperti PC, laptop, PDA, maupun smartphone. 3. Location-independent resource pooling Sumber daya komputasi yang disediakan oleh penyedia layanan bersifat multitenant, dimana mereka secara fisik dapat tersebar di berbagai temapta dan digunakan untuk melayani banyak tempat yang tersebar. 4. Rapid elasticity Kapabilitas sumber daya yang digunakan oleh kunsumen seperti performansi server dan besar penyimpanan data dapat dengan mudah diatur besaranya sesuai dengan kebutuhan konsumen 5. Pay per use Layanan yang digunakan dibayarkan oleh konsumen sesuai dengan banyaknya sumber daya yan digunakan. Perhitungan tagihan
Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia 4 (KPDI-4) Samarinda, 8 – 10 November 2011
didasarkan pada beberapa parameter seperti besar pemakaian storage, bandwith, atau jumlah akun aktif ynag mengakses layanan perbulan. Parameter ini telah disepakati di awal saat konsumen memutuskan menggunakan layanan dari pihak penyedia layanan. 2.2. Layanan Konsep cloud computing tidak dapat dilepaskan dari lapisan layanan yang menyusunnya. Sedangkan tiga jenis model layanan dijelaskan oleh NIST (Mell dan Grance, 2009) sebagai berikut : 1. Cloud Software as a Service (SaaS). Kemampuan yang diberikan kepada konsumen untuk menggunakan aplikasi penyedia dapat beroperasi pada infrastruktur awan. Aplikasi dapat diakses dari berbagai perangkat klien melalui antarmuka seperti web browser(misalnya, email berbasis web). Konsumen tidak mengelola atau mengendalikan infrastruktur awan yang mendasari termasuk jaringan, server,sistem operasi, penyimpanan, atau bahkan kemampuan aplikasi individu, dengan kemungkinan pengecualian terbatas terhadap pengaturan konfigurasi aplikasi pengguna tertentu. 2. Cloud Platform as a Service (PaaS). Kemampuan yang diberikan kepada konsumen untuk menyebarkan aplikasi yang dibuat konsumen atau diperoleh ke infrastruktur komputasi awan menggunakan bahasa pemrograman dan peralatan yang didukung oleh provider. Konsumen tidak mengelola atau mengendalikan infrastruktur awan yang mendasari termasuk jaringan, server, sistem operasi, atau penyimpanan, namun memiliki kontrol atas aplikasi disebarkan dan memungkinkan aplikasi melakukan hosting konfigurasi. 3. Cloud Infrastructure as a Service (IaaS).
Kemampuan yang diberikan kepada konsumen untuk memproses, menyimpan,berjaringan, dan komputasi sumberdaya lain yang penting, dimana konsumen dapat menyebarkan danmenjalankan perangkat lunak secarabebas , dapat mencakup sistem operasi dan aplikasi. Konsumen tidak mengelola atau mengendalikan infrastruktur awan yang mendasari tetapi memiliki kontrol atas sistem operasi, penyimpanan, aplikasi yang disebarkan, dan mungkin kontrol terbatas komponen jaringan yang pilih (misalnya, firewall host). Model penyebaran komputasi awan menurut NIST terdiri dari empat model (Mell dan Grance, 2009), yaitu: 1. Private cloud. Swasta awan. Infrastruktur awan yang semata-mata dioperasikan bagi suatu organisasi. Ini mungkin dikelola oleh organisasi atau pihak ketiga dan mungkin ada pada on premisatau off premis. 2. Community cloud. Masyarakat awan. Infrastruktur awan digunakan secara bersama oleh beberapa organisasi dan mendukung komunitas tertentu yang telah berbagi concerns (misalnya, misi, persyaratan keamanan, kebijakan, dan pertimbangan kepatuhan). Ini mungkin dikelola oleh organisasi atau pihak ketiga dan mungkin ada pada on premis atau off premis. 3. Public cloud. Infrastruktur awan yang dibuat tersedia untuk umum atau kelompok industri besar dan dimiliki oleh sebuah organisasi yang menjual layanan awan. 4. Hybrid cloud. Hybrid awan. Infrastruktur awan merupakan komposisi dari dua atau lebih awan (swasta, komunitas, atau publik) yang masih entitas unik namun terikat bersama oleh standar atau kepemilikan teknologi yang menggunakan data dan portabilitas aplikasi (e.g., cloud bursting for loadbalancingbetween clouds). Secara garis besar definisi komputasi
Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia 4 (KPDI-4) Samarinda, 8 – 10 November 2011
awan menurut NIST dapat digambarkan (Mell dan Grance, 2009) sebagai berikut :
2.3 Komponen Cloud Computing Ada tiga komponen dasar komputasi awan dalam topologi yang sederhana menurut Velte (2010) yaitu clients, datacenter, and distributed servers. Ketiga komponen dasar tersebut memiliki tujuan dan peranan yang spesifik dalam menjalankan operasi komputasi awan. Konsep ketiga komponen tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Clients pada arsitektur cloud computing dikatakan the exact same things that they are in a plain, old, everyday local area network (LAN). They are, typically, the computers that just sit on your desk. But they might also be laptops, tablet computers, mobile phones, or PDAs—all big drivers for cloud computing because of their mobility. Clients are the devices that the end users interact with to manage their information on the cloud.
Datacenter is the collection of servers where the application to which you subscribe is housed. It could be a large room in the basement of your building or a room full of servers on the other side of the world that you access via the Internet. A growing trend in the IT world is virtualizing servers. That is, software can be installed allowing multiple instances of virtual servers to be used. In this way, you can have half a dozen virtual servers running on one physical server. Sedangkan Distributed Servers merupakan penempatan server pada lokasi yang berbeda. But the servers don’t all have to be housed in the same location. Often, servers are in geographically disparate locations. But to you, the cloud subscriber, these servers act as if they’re humming away right next to each other. Komponen lain dari cloud computing adalah Cloud Applications memanfaatkan cloud computing dalam hal arsitektur software. Sehingga user tidak perlu menginstal dan menjalankan aplikasi dengan menggunakan komputer Cloud Platform merupakan layanan berupa platform komputasi yang berisi infrastruktur hardware dan software. Biasanya mempunyai aplikasi bisnis tertentu dan menggunakan layanan PaaS sebagai infrastruktur aplikasi bisnisnya. Cloud Storage melibatkan proses penyampaian penyimpanan data sebagai sebuah layanan. Cloud Infrastructure merupakan penyampaian infrastruktur komputasi sebagai sebuah layanan.
3. PERKEMBANGAN KOLEKSI DIGITAL . Dunia perpustakaan semakin hari semakin berkembang dan bergerak ke depan. Perkembangan dunia perpustakaan ini didukung oleh perkembangan teknologi informasi dan
Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia 4 (KPDI-4) Samarinda, 8 – 10 November 2011
pemanfaatannya yang telah merambah ke berbagai bidang. Hingga saat ini tercatat beberapa masalah di dunia perpustakaan yang dicoba didekati dengan menggunakan teknologi informasi. Dari segi data dan dokumen yang disimpan di perpustakaan, dimulai dari perpustakaan tradisional yang hanya terdiri dari kumpulan koleksi buku tanpa katalog, kemudian muncul perpustakaan semi modern yang menggunakan katalog (index). Katalog mengalami metamorfosa menjadi katalog elektronik yang lebih mudah dan cepat dalam pencarian kembali koleksi yang disimpan di perpustakaan. Koleksi perpustakaan juga mulai dialihmediakan ke bentuk elektronik yang lebih tidak memakan tempat dan mudah ditemukan kembali. Ini adalah perkembangan mutakhir dari perpustakaan, yaitu dengan munculnya perpustakaan digital (digital library) yang memiliki keunggulan dalam kecepatan pengaksesan karena berorientasi ke data digital dan media jaringan komputer (internet) Di sisi lain, dari segi manajemen (teknik pengelolaan), dengan semakin kompleksnya koleksi perpustakaan, data peminjam, transaksi dan sirkulasi koleksi perpustakaan, saat ini muncul kebutuhan akan penggunaan teknologi informasi untuk otomatisasi business process di perpustakaan. Sistem yang dikembangkan dengan pemikiran dasar bagaimana kita melakukan otomatisasi terhadap berbagai business process di perpustakaan, kemudian terkenal dengan sebutan sistem otomasi perpustakaan (library automation system). 3.1 Process di Perpustakaan Sistem otomasi perpustakaan yang kita kembangkan harus berdasarkan kepada proses bisnis (business process) sebenarnya yang ada di perpustakaan kita. Prosentase
kegagalan implementasi suatu sistem dikarenakan sistem dikembangkan bukan berdasarkan kebutuhan dan proses bisnis yang ada di organisasi yang akan menggunakan sistem tersebut. Sistem otomasi perpustakaan yang baik adalah yang terintegrasi, mulai dari sistem pengadaan bahan pustaka, pengolahan bahan pustaka, sistem pencarian kembali bahan pustaka, sistem sirkulasi, membership, pengaturan denda keterlambatan pengembalian, dan sistem reporting aktifitas perpustakaan dengan berbagai parameter pilihan. Lebih sempurna lagi apabila sistem otomasi perpustakaan dilengkapi dengan barcoding, dan mekanisme pengaksesan data berbasis web dan internet. Berikut adalah salah satu contoh sistem otomasi perpustakaan dengan fitur-fitur yang mengakomodasi kebutuhan perpustakaan secara lengkap, dari pengadaan, pengolahan, penelusuran, serta manajemen anggota dan sirkulasi. Diharapkan contoh sistem yang ditampilkan dapat dijadikan studi kasus dalam pengembangan sistem otomasi perpustakaan lebih lanjut. 3.2 Otentikasi Sistem Sistem akan melakukan pengecekan apakah username dan password yang dimasukkan adalah sesuai dengan yang ada di database. Kemudian juga mengatur tampilan berdasarkan previlege pemilik account, apakah dia sebagai pengguna atau admin dari sistem. 3.3 Menu Utama Menampilkan berbagai menu pengadaan, pengolahan, penelusuran, anggota dan sirkulasi, katalog peraturan, administrasi dan security. Menu ini dapat di setting untuk menampilkan menu sesuai dengan hak akses user (previlege), misal kita bisa
Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia 4 (KPDI-4) Samarinda, 8 – 10 November 2011
hanya mengaktifkan menu penelusuran untuk pengguna umum, dsb.
buku, dan pemesanan peminjaman buku.
3.4 Administrasi, Security dan Pembatasan Akses Fitur ini mengakomodasi fungsi untuk menangani pembatasan dan wewenang user, mengelompokkan user, dan memberi user id serta password. Juga mengelola dan mengembangkan serta mengatur sendiri akses menu yang diinginkan.
3.9 Pelaporan (Reporting) Sistem reporting yang memudahkan pengelola perpustakaan untuk bekerja lebih cepat, dimana laporan dan rekap dapat dibuat secara otomatis, sesuai dengan parameter-parameter yang dapat kita atur. Sangat membantu dalam proses analisa aktifitas perpustakaan, misalnya kita tidak perlu lagi membuka ribuan transaksi secara manual untuk melihat transaksi peminjaman koleksi dalam satu kategori, atau mengecek aktifitas seorang pengguna perpustakaan dalam 1 tahun konsep-kosenp social networkingnya, openess, share, colaborations, mobile, easy maintenance, one click, terdistribusi / tersebar, scalability, Concurency dan Transparan, Saat ini terdapat trend teknologi yang masih terus digali dalam penelitian-penelitian para pakar IT di dunia, yaitu Cloud Computing. Akses data dari mana saja dan menggunakan perangkat fixed atau mobile device menggunakan internet cloud sebagai tempat menyimpan data, applications dan lainnya yang dapat dengan mudah mengambil data, download applikasi dan berpindah ke cloud lainnya, hal ini memungkinkan kita dapat memberikan layanan aplikasi secara mobile di masa depan. Trend ini akan memberikan banyak keuntungan baik dari sisi pemberi layanan (provider) atau dari sisi user.Trend saat ini adalah dapat memberikan berbagai macam layanan secara teristribusi dan pararel secara remote dan dapat berjalan di berbagai device, dan teknologinya dapat dilihat dari berbagai macam teknologi yang digunakan dari proses informasu yang dilakukan secara otsourching sampai dengan penggunaan eksternal data center [3]. Cloud Computing merupakan model yang memungkinkan dapat mendukung layanan yang
3.5 Pengadaan Bahan Pustaka Fitur ini mengakomodasi fungsi untuk pencatatan permintaan, pemesanan dan pembayaran bahan pustaka, serta penerimaan dan laporan (reporting) proses pengadaan. 3.6 Pengolahan Bahan Pustaka Fitur ini mengakomodasi proses pemasukkan data buku/majalah ke database, penelusuran status buku yang diproses, pemasukkan cover buku/nomer barcode, pencetakan kartu katalog, label barcode, dan nomor punggung buku (call number). 3.7 Penelusuran Bahan Pustaka Penelusuran atau pencarian kembali koleksi yang telah disimpan adalah suatu hal yang penting dalam dunia perpustakaan. Fitur ini harus mengakomidasi penelusuran melalui pengarang, judul, penerbit, subyek, tahun terbit, dsb. 3.8 Manajemen Anggota dan Sirkulasi Ini termasuk jantungnya sistem otomasi perpustakaan, karena sesungguhnya disinilah banyak kegiatan manual yang digantikan oleh komputer dengan jalan mengotomasinya. Didalamnya terdapat berbagai fitur diantaranya: pemasukkan dan pencarian data anggota perpustakaan, pencatatan peminjaman dan pengembalian buku (dengan teknologi barcoding), penghitungan denda keterlambatan pengembalian
Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia 4 (KPDI-4) Samarinda, 8 – 10 November 2011
disebut ”Everything-as-a-service” (XaaS) [6]. Dengan demikian dapat mengintegrasikan virtualized physical sources, virtualized infrastructure, seperti juga sebaik virtualized middleware platform dan aplikasi bisnis yang dibuat untuk pelanggan didalam cloud tersebut. Ada beberapa keuntungan yang dapat dilihat dari perkembangan Cloud Computing ini, seperti : 1. Lebih efisien karena menggunakan anggaran yang rendah untuk sumber daya 2. Membuat lebih eglity, dengan mudah dapat berorientasi pada profit dan perkembangan yang cepat 3. Membuat operasional dan manajemen lebih mudah, dimungkinkan karena system pribadi atau perusahaan yang terkoneksi dalam satu cloud dapat dimonitor dan diatur dengan mudah 4. Menjadikan koloborasi yang terpecaya dan lebih ramping 5. Membantu dalam menekan biaya operasi biaya modal pada saat kita meningkatkan reliability dan kritikal sistem informasi yang kita bangun.
kemudahan dan keamanan, dimungkinkan dapat dengan mudah para user untuk pindah dari satu aplikasi ke aplikasi lain dimana saja. Software as a services (SaaS): perkembangan dari web 2.0, perpaduan dengan online application SAAS, Dapat memungkinkan kolaborasi dan integrasi manajemen tools semua devices. Interkoneksi Sel Grid computing muncul untuk menyatukan banyak CPU yang bekerja secara pararel untuk menyelesaikan suatu pekerjaan tertentu. Integrasi CPU ini bias saja dilakukan dalam sebuah network lokal atau internetworking yang tersebar di seluruh dunia. Interkoneksi ini membentuk cel-cel yang saling terintegrasi secara private atau public atau kedua-duanya.
Infrastructure as a Service (IaaS), Platform as a Service (PaaS), Software as a Service (SaaS),Human as a Service (HaaS) [6]. Struktur Cloud Computing Terdapat tiga komponen platform = computer desktop, mobile devices dan cloud, dengan memperhatikan masalah
CONTOH IMPLEMENTASI APLIKASI MENGGUNAKAN CLOUD COMPUTING Salesforce.com
Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia 4 (KPDI-4) Samarinda, 8 – 10 November 2011
Contoh aplikasi berbasis cloud computing adalah salesforce.com, Google Docs. salesforce.com adalah aplikasi Customer Relationship Management (CRM) berbasis software as services, dimana kita bisa mengakses aplikasi bisnis: kontak, produk, sales tracking, dashboard, dll. Google Docs adalah aplikasi word processor, spreadsheet, presentasi semacam Microsoft Office, yang berbasis di server. Terintegrasi dengan Google Mail, file tersimpan dan dapat di proses dari internet.
komunitas sistem informasi dalam hal penerimaan pengguna terhadap teknologi (Chuttur, 2009). Model yang dibangun oleh Fred Davis ini telah mengalami beberapa revisi hingga mencapai bentuk finalnya pada Gambar 2. Menurut model ini, ada 2 faktor yang mempengaruhi keputusan pengguna untuk menggunakan suatu teknologi baru yang ditawarkan, yaitu Perceived of Usefulness (POU) dan Perceived Ease of Use (PEOU). POU diartikan sebagai derajat dimana seseorang percaya bahwa dengan menggunakan suatu sistem dapat meningkatkan performa pekerjaannya, sedangkan PEOU adalah derajat dimana seseorang percaya bahwa penggunaan suatu sistem tidak akan memerlukan usaha yang besar.
4. FRAMEWORK PENDUKUNG 4.1 Technology Acceptance Model Technology Acceptance Model (TAM) merupakan satu-satunya model yang paling banyak menarik perhatian dari
Gambar 2 Technology Acceptance Model
Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia 4 (KPDI-4) Samarinda, 8 – 10 November 2011
TAM
terbilang
cukup
sederhana,
sehingga dapat diekstensi dengan menambahkan variable-variabel yang menjelaskan motif di balik POU dan PEOU. Ekstensi dari TAM yaitu TAM 2 (Venkatesh dan Davis, 2000) dan model ekstensi TAM untuk mengetahui motif di balik PEOU (Venkatesh, 2000). Sebuah riset yang dikemukakan oleh Faith Simba dalam disertasinya mencoba membangun sebuat roadmap yang disebut dengan ROCCA (Roadmap for Cloud Computing Adoption). ROCCA ditujukan untuk menyediakan panduan kepada organisasi dalam mengadopsi teknologi cloud computing. Selain itu, penelitian ini juga mengajukan sebuah framework yang berkaitan, disebut RAF (ROCCA Achievment Framework) uang ditujukan untuk mengukur tingkat keberhasilan roadmap. Pembangunan roadmap yang tepat guna memerlukan berbagai informasi dari berbagai literatur disebabkan karena dibutuhkannya pengetahuan yang luas dari berbagai aspek (teknologi, perilaku organisasi, model bisnis) untuk dapat memahami proses adopsi cloud computing di organisasi
secara
menyeluruh.
Faith
Simba
menemukan tantangan-tantangan dalam proses adopsi teknologi cloud computing diorganisasi. Tantangan tersebut menurutnya adalah security, legal, compliance, dan tantangan organisasi. Namun menurutnya, faktor kepercayaan (trust) antara klien dan vendor merupakan ujung dari semua tantangan tersebut. Beberapa standar yang digunakan untuk memastikan terbangunnya kepercayaan ini yaitu ISO 27001, ISO 27002, Control Framework for Information and Related Technology (COBIT), dan The Information Technology Infrastructure Library (ITIL). Menurutnya, dengan menggunakan roadmap yang terbangun dengan baik, para CIO dan CTO akan memiliki pemahaman yang lebih baik atas faktorfaktor yang terlibat dalam adopsi cloud computing dan mereka akan memiliki panduan selama berlangsungnya proses adopsi tersebut Adapun hasil rumusan ROCCA adalah berupa 5 langkah strategi adopsi cloud computing yang terangkum pada Gambar 3.
Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia 4 (KPDI-4) Samarinda, 8 – 10 November 2011
5. STRATEGI ADOPSI TI DI PERPUSTAKAAN Peningkatan kemampuan adopsi TI dapat menjadi salah satu solusi peningkatan kinerja perpustakaan digital, adapun tahapan strategi adopsi cloud computing untuk pepustakaan di indonesia. 5.1 Tahap Early Learning Pada kondisi ini perpustakaan dalam proses memperoleh pengetahuan mengenai cloud computing, manfaat dan pengaruhnya terhadap organisasi dan bisnis 5.2 Tahap Analisis Tahap ini dibagi menjadi subtahapan spesifik yang menganalisis mengenal implementasi cloud computing pada perpustakaan a. Analisis kebutuhan Pada tahap ini kebutuhan dari perpustakaan b. Analisis Kesiapan Organisasi c. Analisis Dampak 5.3 Tahap Evaluasi Solusi Tahap ini meliputi benchmarking ke beberapa vendor cloud computing untuk memilih layanan yang tepat. Alat bantu seperti Magic Quadrant oleh Gartner dapat digunakan untuk memandu perpustakaan dalam memilih vendor cloud computing yang paling sesuai dengan kebutuhan dan kondisi perpustakaan. Untuk memudahkan perpustakaan dalam memilih, vendor dapat menggunakan konsep ServiceOriented Architecture (SOA) sehingga porduk yang ditawarkan lebih mudah dimengerti karena sudah berupa service. Selain itu, pada tahap ini juga dievalusi kesiapan lingkungan pendukung, seperti isu keamanan, isu low bandwidth, dan isu legal.
5.4 Tahap Adopsi Pada tahap ini dibuat keputusan mengenai vendor yang dipilih untuk penerapan cloud computing beserta layanan yang dipilih. Setelah diputuskan, disusun roll-out plan untuk merencanakan proses migrasi data dan konfigurasi lainnya. Selanjutnya rencana tersebut dieksekusi dengan melakukan integrasi sistem cloud (aplikasi, platform, infrastruktur), outsourcing, perancangan Service Level Agreement, dan pembuatan kontrak dengan vendor penyedia layanan. 5.5 Tahap Manajemen Pada tahap ini, kontrak yang sudah disepakati antara pengguna dengan penyedia layanan dipastikan telah memuaskan semua pihak sehingga proyek dapat dinyatakan selesai. Best practices dan pengalaman yang didapatkan didokumentasikan Tahap ini juga meliputi proses setelah implementasi, seperti masalah dukungan teknis, evaluasi kinerja, dan pemeliharaan selama penerapan cloud computing. 6. KESIMPULAN Perpustakaan memiliki potensi yang cukup besar dalam menerapkan teknologi cloud computing di masa yang akan datang. Dengan tersedianyan potensi-potensi yang dimiliki perpustakaan mulai dari tupoksi, jaringan antar kabupaten kota atau lembaga terkait, sumberdaya informasi, infrastruktur tentunya dapat menjadi kekuatan dalam penerapnnya. Namun tetap perlu rencana yang cermat dan menyeluruh mengenai infrastruktur, keamanan data dan sumber daya manusia. Serta tidak kalah pentingnya adalah dukungan internal dari penentu kebijakan sehingga mempermudah dalam proses terciptanya layanan komputasi awan perpustakaan Berikut
Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia 4 (KPDI-4) Samarinda, 8 – 10 November 2011
ini kira-kira dimanfaatkan cloud :
layanan dengan
yang bisa mengadopsi
1. layanan referens : anggota perpustakaan dapat bertanya melalui widget yahoo messenger atau form request yang disediakan oleh library portal. 2. layanan peminjaman : anggota dapat memperpanjang dan memesan koleksi serta mengetahui status peminjaman. 3. layanan webinar: perpustakaan dapat melakukan user education melalui webinar (seminar berbasiskan web) dengan para anggota 4. layanan membaca : perpustakaan dapat menyediakan layanan ebooks yang bisa dibaca oleh anggota setelah login. 5. layanan online storage : memberikan akses kepada anggota untuk menyimpan, mengelola dan sharing file secara online 5. REFERENSI [1] Adiska Fardani, Kridanto Surendro, “Strategi Adopsi Teknologi Informasi Berbasis Cloud Computing untuk Usada Kecil dan Menengah di Indonesia, Prosiding SNATI 2010, Universitas Islam Indonesia. [2] Gatot Subrata Skom, “Perpustakaan Digital”, Pustakawan Perpustakaan UM 2009 [3] Akhmad Syaikhu., ”Komputasi Awan (Cloud Computing) Perpustakaan Pertanian”, Jurnal Perpustakaan Indonesia Volume 10 no.1
[4] “CRM & Cloud Computing”, (diakses dari alamat: http://www.salesforce.com [5] ”Cloud Computing Advantages (diakses dari alamat : http://cloudcomputingadvantages .org)
Catatan Hasil Rapat Pleno Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia Ke-5 Samarinda, 9 November 2011 1. Panitia Pengarah (Steering Committee) Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia telah mengadakan rapat pada tanggal 9 November 2012 di Hotel Mesra Samarinda untuk mengevaluasi penyelenggaran KPDI sebelumnya dan membahas perencanaan penyelenggaraan KPDI yang akan datang. 2. Dengan mempertimbangkan masukan dari para peserta maupun pihak-pihak lain serta berbagai aspek lainnya, Panitia Pengarah Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia menetapkan : a. Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia tetap akan diselenggarakan setiap tahun; b. Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia ke-5 direncanakan akan dilaksanakan pada 6-8 November 2012. c. Tema Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia ke-5 adalah “Standarisasi Metadata.” d. Bersama dengan penyelenggaraan Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia akan diselenggarakan pula lokakarya (workshop) untuk topik-topik yang relevan dengan perkembangan perpustakaan digital di Indonesia. e. Topik dan penyelenggaraan lokakarya akan dibahas dalam rapat-rapat Panitia Pengarah selanjutnya. 3. Ada 2 (dua) lembaga yang mengajukan permintaan untuk menjadi tuan rumah Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia ke-5, yaitu Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Sulawesi Selatan dan Badan Perpustakaan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Berdasarkan hasil perhitungan pilihan peserta Rapat Pleno, suara terbanyak didapat oleh Badan Perpustakaan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dengan demikian, ditetapkan bahwa Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia ke-5 akan diselenggarakan di Nusa Tenggara Timur. Samarinda, 9 November 2011 Panitia Pengarah Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia, Ketua ttd. Dr. Zainal Arifin Hasibuan
DAFTAR PESERTA KPDI 4 2011
NO
NAMA LENGKAP
JENIS KELAMIN
1
Drs. Agung Kartika Pura
L
2
Drs. Djoko Purwanto, MP
L
7
Hj. Enny Heryani Ratnasari Soebari, SH,CN Hj. Ida Wahida Hidayati, SE, SH, M.Si Dra. Hj. Dinny Resmiati. M.Si Dra. Dindin Herdiningsih, M.M Dra. R. Hildawati, M.M
8
Dra. Tety Rusmaharani
P
9 10 11 12
Asep Muslih, SH Dra. Titiek Kismiyati, M.Hum Drs. Mulyono, M.Si Lamang Ahmad Yunita Riris Widawaty, M.Hum Sintha Ratnawati, M.Hum I Made Suatmaja Yulita Kuntari Bambang Setiawan
L P L L
Dra. Prita Wulandari, M.Lib Kokom Komariah Lilik Suwarni Dra. Fathmi, SS Dra. Ratu Atibah Mulyani, M. Si Serilanjunita, SE Hanita Sulistia Sahat Marulitua Tri Listiowati Fahrullah Ari Suseno Dra.Hj.Wahidah Arsyad Daud, SIP,M.Si Abdurrakhman Prasetyadi, S.Sos Achmad Rudy Hartono
3 4 5 6
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
INSTANSI Biro Hukum dan Informasi Publik, Sekretariat Jenderal, Kementerian Pertanian Biro Hukum dan Informasi Publik, Sekretariat Jenderal, Kementerian Pertanian
P
Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Provinsi Jawa Barat.
P
Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Provinsi Jawa Barat
P
Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Provinsi Jawa Barat
P
Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Provinsi Jawa Barat
P
Kantor Arsip danPerpustakaan Daerah Kota Bogor Badan Perpustakaan Arsip dan Pengembangan Sistem Informasi Kab. Bandung Perpusnas RI Perpusnas RI Kantor Perpustakaan Umum dan Arsip Daerah Kota Malang
P
Universitas Multimedia Nusantara
P L P L
Pusat Informasi Kompas Perpustakaan Hukum Bank Indonesia Perpustakaan Hukum Bank Indonesia Perpustakaan Hukum Bank Indonesia
P P P P
Perpusnas RI Bapussipda Jabar (Perpusnas RI) Perpusnas RI Perpusnas RI
P
Perpusnas RI
P P P P L L
Perpusnas RI Perpusnas RI Perpusnas RI Perpusnas RI Akper Yarsi Yayasan Pengembangan Perpustakaan Indonesia
P
Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Prov. Sulawesi Tenggara
L
UPT BIT - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bandung
L
UPT BIT - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bandung
32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
Suherman Kamaludin, S.Sos Drs. Teguh Purwanto Ana Soraya Muhammad Qodir Muhamdin Razak Nontje Gahung Sheliani Jeng Ayu Ning Tyas Murgono Sutrisno Drs. Joko Harianto Iin Syahfitri
L L L P L L P P P L L L P
UPT BIT - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bandung UPT BIT - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bandung Perpusnas RI Perpusnas RI Perpusnas RI Perpusnas RI Universitas Klabat Manado PT. Grafindo Media Pratama PT. Grafindo Media Pratama UNNES Semarang UNNES Semarang MAN Tarakan Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Samarinda
45 46 47
Jaya S Ratna Yuli Wulandari Indah Hairunnisa
L P P
48
Lumer
L
49
Dominggus
L
50
Setia Jaya
L
51 52
Rusma Yuliarti, S. Pd. Any Sri Fauzianie, MBIS Ida Bagus Gede Purwa, A. Md Sri Hartono Julinta Melyani
P P
Perpustakaan UKI Jakarta Perpustakaan Biblika Lembaga Alkitab Indonesia Perpustakaan Pertamina Jakarta Kantor Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Kab. Gunung Mas Kalteng Kantor Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Kab. Gunung Mas Kalteng Kantor Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Kab. Gunung Mas Kalteng Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kab. Tapin, Kalsel Bandung International School
L
Universitas Pendidikan Ganesha
L P
Badan Perpustakaan dan Kearsipan Prov. Jawa timur Pusdiklat BPK RI
Santosa Budi Prihatiningtyas Dra. Siswi Wresniati, M. Si Susi Annisa Uswatun Hasanah, S. Sos Rahmawati, M. Pkim Thiara Isnastiti A, SE Aisyah, S. Sos
L P
Pusdiklat BPK RI Badan Litbang Kesehatan- Menteri Kesehatan RI
P
Badan Litbang Kesehatan- Menteri Kesehatan RI
P P P
MAN 1 / KEMENAG Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Kab. Bekasi Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Kab. Bekasi
L
Perpustakaan CRCS-ICRS SPs UGM
P
Dinas Perindustrian,Kop,dan UMKM
64 65 66 67
Widiarsa Dra. Hj. Siti Rusmalia Idrus, M.Si Dra. Hj. Sri Hadiyati Drs. Mulyono, M. Pd. Dra. Tri lestari Handayani R. Sutrisno Budiarsih, S. Sos
P P P L
68
Sunar, S, IP
L
69
Doddi Sartono
L
Dinas Perindustrian,Kop,dan UMKM Badan Arsip dan Perpustakaan Prov. Jawa Tengah Badan Arsip dan Perpustakaan Prov. Jawa Tengah Badan Arsip dan Perpustakaan Prov. Jawa Tengah Instalasi Perpustakaan dan Peningkatan Kemampuan SDM RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Bank Indonesia / Unit Khusus Museum Bank Indonesia
53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63
70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80
Herliansjah Himrie Dananjaya Wicaksono Nanda Suci Rahimah, S. Si Salbiah, S. Pd.I Ratnawati Dora Chaidir Amir M. Rasyid Ridho Ooi Hai Lee Agus Sutikno, SP., M. Si. Yasin Setiawan, S. Kom. J Catur Prasetiawan
L L P P P L L L L L L
81
Ella Komaladewi
P
82
Try Utomo Payung
L
83 84 85 86 87
Drs. Achmad Amin Sutoyo Tejo Sukmanto Adhari Kadarusman BA Mimin Sumiarsih
L L L L P
Bank Indonesia / Unit Khusus Museum Bank Indonesia Bank Indonesia / Unit Khusus Museum Bank Indonesia RA Perwanida Al Ikhlas Samarinda RA Perwanida Al Ikhlas Samarinda Perpustakaan Universitas Negeri Medan Perpustakaan Kementrian Pendidikan Nasional Perpustakaan Kementrian Pendidikan Nasional Ex Libris (Asia) Perpustakaan Univ. Riau Perpustakaan Univ. Riau Perpustakaan STT Telkom Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAMLK) Kementrian Kuangan Indonesia Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAMLK) Kementrian Kuangan Indonesia Kantor Perpustakaan, Kearsipan dan Dokumentasi Kab. Tuban Perpustakaan Universitas Indonesia Perpustakaan Universitas Indonesia Pusat Sumber Daya Air tanah dan geologi Lingkungan Pusat Sumber Daya Air tanah dan geologi Lingkungan
88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101
Drs. Syaifuddin, H. Hum Agung Suprapto, M. A Drs. Darmono, M. Si. Hadi Supriyanto Edy Sudaryanto Iin solihin Langgeng Wibowo Widya Indarti, S.Sos Drs. H. Amat, M. Si Enjat Sudarjat Susanto Rasiman Asdar Ibrahim, M. Si Safran Agus
L L L L L L L P L L L L L L
Perpustakaan Universitas Brawijaya Jawa Timur Perpustakaan Universitas Brawijaya Jawa Timur Perpustakaan Universitas Negeri Malang PT. Pupuk Kaltim PT. Pupuk Kaltim PT. Jurnalindo Aksara Grafika PT. Jurnalindo Aksara Grafika Badan Pengambangan SDM KP/Kementerian Kelautan & Perikanan Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Tangerang Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Tangerang Kantor Perpustakaan Kab. Wonosobo Perpustakaan Universitas Sumatra Utara KPAD Bontang KPAD Bontang
102 103 104 105 106 107
Rachmat Yulinar, SKM, M. Si. Ridwan Sudiro, S. IP Drs. Agus rawi Siregar Helena Padaya, SE Th. Evilianingsih, S. IP Septya Dewi Mayasari, S. Kom. Nina Kristiana, SS Muh. Najib,DR. , M.Ed., M.
L P L L P P
KPAD Bontang Badan POM RI Badan POM RI PTK AKAMIGAS-STEM UPT. Perpustakaan Univ. Cendrawasih UPT. Perpustakaan Univ. Cendrawasih
P
UPT. Perpustakaan Proklamator Bung Karno
P L
UPT. Perpustakaan Proklamator Bung Karno UPT. Perpustakaan Unhas
108 109 110
Lib 111 112 113 114 115 116
L L L P P P
UPT. Perpustakaan Unhas Perpustakaan umum Kutim Perpustakaan umum Kutim Perpustakaan umum Kutim Untirta Pusdiklat Minerba, Bandung
P
Pusdiklat Minerba, Bandung
L L P P
Deputi II Perpusnas Kepala Pusdiklat Perpusnas Perpustakaan Sekretariat Wakil Presiden Perpustakaan Sekretariat Wakil Presiden
L
Universitas Negeri Gorontalo
123 124 125 126 127
Rasman, S. Sos Budi Kasful Mulyati Hj. Andjar Astuti Uun Bisri, SS Tri Handayani, S. Sos., M. Hum. Drs. Bambang S. Utomo Dr. Garjito, M. Sc Dra. Fajar Meilani Dra. Etin C. Sumiyati Drs. Revoltje O. W. kaunang, M. Pd. Dede Yulistian, A. Md. Femi Sahami, S. Pi. M. Si. Hans Ruchban, S. Pd Drs. Susanto Dra. Zunaimar
P P L L P
Universitas Negeri Gorontalo Universitas Negeri Gorontalo Universitas Negeri Gorontalo Perpustakaan Wonosobo Perpustakaan Univ. Syiah Kuala
128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141
Titin Gantini Tetty R Hildawati Endang Hidayat Andy Erviana H. Muslech, Dip. Lip., M. Si Riah Wiratningsih, S. S., M.Si. Mutarsa lamamma, SE Herliany, S. IP Drs. Sugianta Mus Mulyadi Ibrahim Supadi S. Sos. M. Si Asrani
P P P P P L P L P L L L L P
Bapusipda Jabar Bapapsi Kab. Bandung Kantor Perpustakaan Kota Bogor Kantor Perpustakaan Kota Cimahi Mts Model Samarinda Perpustakaan universitas Brawijaya Malang Jatim UPT Perpustakaan UNS Kantor Perpustakaan, Arsip dan PDE Kab. Enrekang Kantor Perpustakaan, Arsip dan PDE Kab. Enrekang Universitas Lampung Perpustakaan Umum Berau Perpustakaan Umum Berau Perpustakaan Unmul Perpustakaan Unmul
142 143 144 145 146 147 148 149
Muhammad jarnih, S. Sos Semuel Mehue, SE Yuliana Mendila, S. Sos Nelwan Ronsumbre, S. Sos Nurmala Sidik, SH. M. Si Linda Siswanti Chairil Ansari, S. Sos. Dra. Rohani
L L P L P P L P
Perpustakaan Unmul Sekretariat DPR papua Sekretariat DPR papua Sekretariat DPR papua Badan perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Kabupaten Malang Universitas balikpapan perpustakaan Kota Medan perpustakaan Kota Medan
150 151
Ir. Setyo Edy Susanto, S. Th. I Ning Wahyuni
L P
Perpustakaan IPB Perpusnas RI
117 118 119 120 121 122
152 153 154 155 156 157 158 159
P P P P L L L L
Perpusnas RI Badan Perpustakaan dan Kearsipan Prov. Jawa timur Perpustakaan Pusat Universitas negeri Gorontalo Mahkamah Konstitusi SMP N 5 Penajam Paser Dinas Kesehatan Prov. Kaltim Badan Perpustakaan, Kearsipan dan Dokumentasi Kalbar Badan Perpustakaan dan Arsip Prov. Kalsel
P
Badan Litbang Perhubungan Jakarta
161 162 163
Dra. Rahmawati Sri Purwanti, S. Sos., M. Si Rahmawaty Tulle, S. Hum Lina Herlina, S. Sos., M. Si Sumardiana, M.Pd Jumbran Drs. Sahroni H. Syamsuddin, M.Si Feronika Sekar Puriningsih, SS.M.Tr Rachmawati Rahmawati Tati Suryati
P P P
yayasan Bunga Bangsa Samarinda Universitas Negeri Gorontalo Sekretariat Negara Jakarta
164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177
Sumiati Hasanul kabri Bambang Sutadji Wiranto Utomo Evin Aditama Parna, S. Ipi Kusnowibowo Puji Hardati Yohan A. B. Loban Teguh Warsito Mispani Suparmiyati Sobari M. Jaenudin
P L L L L L L L L L L P L L
Sekretariat Negara Jakarta Perpustakaan DPRD RI Perpustakaan DPRD RI Perpustakaan DPRD RI Perpustakaan DPRD RI Kemenkes Perpustakaan Departemen Luar Negeri Perpustakaan Departemen Luar Negeri Badan Perpustakaan Daerah Prov. NTT Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan PDII LIPI PDII LIPI
178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189
Ekawati Marlina Slamet Wijoko Sutrisno Yudho Kuswardono Hairil Anwar Harry Surya Afriyanto Syahrul Samadhan Fitri Susanti Joko Purbono Ike Iswary lawanda, MS Ratih Surtikanti, M. Hum FathahNoor
P L L L L L L P L P P L
PDII LIPI Ktr. Perpus. Arsip dan Dok. Kab. Jember Ktr. Perpus. Arsip dan Dok. Kab. Jember Ktr. Perpus. Arsip dan Dok. Kab. Banyuwangi Kasubag Perpustakaan Setda Prov. Kaltim
190
Rudi Sumadi
L
191
Drs. Koko Srimulyo, M. Si.
L
192 193
Nur Hasan Thereseta Evilianingsih
160
Sekjen Kementrian Keuangan Sekjen Kementrian Keuangan Sekjen Kementrian Keuangan MID Program Vokasi UI MID Program Vokasi UI Badan Perpustakaan dan Arsip Prov. Kalsel Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolah Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Kepala Perpustakaan Univeristal Airlangga Surabaya
194 195 196 197 198 199 200 201 202 203 204
Dorthy Buing Farida Justus D.T. Sanger Evlin Haditama Sri Lestari Handayani Deden Himawan Abd. Latif Kustiati I Putu Suhartika Nur Akhiyar Gunawan