1i
DAFTAR ISI
Ragam Bahasa Waria dalam Sinetron M. Rafiek (Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin)
4-18
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Daerah Sebagai Wahana Pendidikan Karakter Bangsa A. Syukur Ghazali (Universitas Negeri Malang)
19-33
Kekerasan Simbolik dengan Strategi Pengonotasian dan Pengiasan Roekhan (Universitas Negeri Malang)
35-46
Pemakaian Aksara Dalam Penulisan Bahasa Melayu Hingga Bahasa Indonesia Akhmad Yazidi (Universitas Pakuan)
47-59
Nilai Budaya dalam Dongeng Bakumpai Mahmudi (SMAN 1 Mandastana)
61-77
Tindak Tutur Dokter dan Pasien di Puskesmas Gambut Kabupaten Banjar Mardikayah dan Rusma Noortyani (Universitas Lambung Mangkurat)
79-92
Kesantunan Berbahasa Banjar Dalam Transaksi Jual Beli di Pasar Kelua Kabupaten Tabalong Arta Normiani dan Sabhan (Universitas Lambung Mangkurat)
93-109
Struktur Wacana, Makna, dan Fungsi Mahalabiu Erlita Desriani dan Rustam Effendi (Universitas Lambung Mangkurat)
111-121
Penerapan Prinsip Kerja Sama dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Negeri 1 Banjarmasin Noor Cahaya (Universitas Lambung Mangkurat)
123-140
Tindak Tutur dalam Transaksi Jual-Beli di Pasar Terapung Lok Baintan Martapura Radiansyah dan Jumadi (Universitas Lambung Mangkurat)
141-150
2
Pemerolehan Kosakata Bahasa Indonesia Anak Usia 3-6 Tahun pada Pendidikan Anak Usia Dini Bina Harapan Ana Lestari dan Maria L.A.S (Universitas Lambung Mangkurat) 151-162 Pemerolehan Morfem Anak Usia 2 Tahun Sampai 2 Tahun 6 Bulan Sri Mauliani dan Zulkifli (Universitas Lambung Mangkurat)
163-173
Keberadaan Bahasa dan Dinamika Kehidupan Masyarakat Zulkifli (Universitas Lambung Mangkurat)
175-180
3
RAGAM BAHASA WARIA DALAM SINETRON (SHEMALE LANGUAGE VARIETIES IN SOAP OPERAS) M. Rafiek Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Brigjend. H. Hasan Basry, Kampus Kayu Tangi, Banjarmasin, Kode Pos 70123, e-mail
[email protected] Abstract Shemale Language Varieties in Soap Operas. This study aims to describe and explain the classification, word formation system, and varieties of language functions transvestites in private television soap operas in Indonesia. This study uses definitions of regional variations in sociolinguistics theories and methods of qualitative description. An analysis using the rules of grammar formation transvestite varieties of language used refers to the rules that have been applied by Oetomo (1988) and Oetomo (2003). The results of this study were 24 classifications, 10 word formation systems, and 2 functions in varieties of languages transsexual private television soap operas in Indonesia. Keywords: shemale language, classifications, word formation procedures, and functions
Abstrak Ragam Bahasa Waria dalam Sinetron. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan tentang klasifikasi, tata bentukan kata, dan fungsi ragam bahasa waria dalam sinetron di televisi swasta Indonesia. Penelitian ini menggunakan ancangan teori ragam bahasa dalam sosiolinguistik dan metode deskriptif kualitatif. Teknik analisis data menggunakan kaidah tata bentukan ragam bahasa waria yang digunakan mengacu pada kaidah yang telah diterapkan oleh Oetomo (1988) dan Oetomo (2003). Hasil penelitian ini adalah 24 klasifikasi, 10 tata bentukan kata, dan 2 fungsi ragam bahasa waria dalam sinetron di televisi swasta Indonesia. Kata-kata kunci: bahasa waria, klasifikasi, tata bentukan kata, dan fungsi
PENDAHULUAN Bahasa waria disebut juga bahasa Binan oleh Oetomo (2003: 61-70), bahasa Binaria oleh Emka (2007: 18), dan bahasa Binanto Warsito oleh Natalia (2007: 10) adalah bahasa yang sejak lama berkembang dalam dunia waria dan prokem anak muda di Indonesia. Namun menurut Emka (2007: 3-5) dan Natalia (2007) mengidentifikasi bahasa waria itu sebagai bagian dari bahasa gaul. Hal ini karena bahasa itu sudah menjadi satu dengan bahasa gaul atau tren anak muda sekarang. Fenomena yang unik dan menarik terlihat dalam masyarakat kita, yaitu profesi waria pada umumnya bekerja di sektor swasta (wiraswasta), misalnya mereka berprofesi sebagai pekerja salon, penata rambut, penata rias atau kecantikan, desainer, entertainer termasuk artis, MC, dan lainlain. Semua itu, menurut Merlyn Sopjan sesaat setelah terpilih sebagai ratu waria Indonesia 2006 pada minggu, 25 Juni 2006 adalah sesuai dengan harapannya yang ingin agar para waria Indonesia bisa menunjukkan aktualisasi dan eksistensinya dalam mengangkat harkat dan martabatnya.
4
Bercermin dari pernyataan itu, akhir-akhir ini beberapa stasiun televisi swasta sering menayangkan sinetron-sinetron yang para pemain lelaki berperan sebagai (seperti) waria sungguhan. Mereka banyak juga mengeluarkan atau menggunakan bahasa rahasia atau bahasa khusus waria dalam pembicaraannya. Hal ini jelas menarik minat peneliti untuk menelitinya lebih lanjut. Semaraknya sinetron yang bertema kehidupan waria akhir-akhir ini selain memancing gelak tawa juga memancing simpati para pemirsa yang menyaksikannya. Tak terkecuali dengan penggunaan bahasa rahasianya yang terkesan unik dan lucu disimak. Pemirsa terkadang merenung sejenak untuk memikirkan sebenarnya apa makna dari kosakata rahasia waria itu. Menyitir pandangan Bambang Suryadi, Ph. D., staf pengajar pada Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta yang menyatakan bahwa wajar-wajar saja para waria mempunyai subkultur sendiri dan menciptakan suatu signal sebagai identitas diri. Agar bisa eksis, mereka memiliki nilai dan kode etik yang hanya bisa dipahami mereka sendiri. Karena menjadi kaum minoritas di masyarakat, tentu mereka ingin mempunyai komunitas khas dari hal kecil sampai prinsipil. Mereka misalnya berpenampilan kewanita-wanitaan (Ade, 2006: 14). Lebih lanjut, Retno dan Ade (2006) menegaskan bahwa berdasarkan hasil penelitian Megawati, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta yang menemukan stylist dengan perilaku yang memunculkan sifat swishy, yaitu sebuah sifat waria dengan perangai wanita dan berpenampilan kewanita-wanitaan. Stylist dengan karakteristik ini menunjukkan sifat yang ganjil seperti meninggikan suara mirip wanita sehingga jika kita berkomunikasi dengan karakteristik ini, mereka akan menunjukkan diri sebagai wanita, bukan sebagai pria. Sebagai bahasa komunitas kaum marginal, tentu bahasa rahasia waria ini menjadi sarana interaksi mengaktualisasikan diri untuk menunjukkan identitas kelompok mereka. Kalau benar demikian, boleh jadi, hasil penelitian ini nantinya akan berwujud bahasa keberanian untuk membuka diri sebagai waria. Tentu hal ini perlu diteliti lebih lanjut dalam penelitian ini baik dari segi kosa kata bahasa rahasia waria dalam sinetron maupun fungsinya. Batasan ragam bahasa (variety) menurut Ferguson dan Gumperz adalah sebagai berikut. Keseluruhan pola-pola ujaran manusia yang cukup dan serba sama untuk dianalisis dengan teknik-teknik pemerian sinkronik yang ada dan memiliki perbendaharaan unsurunsur yang cukup besar dan penyatuan-penyatuannya atau proses-proses dengan cakupan semantik yang cukup jembar untuk berfungsi dalam segala konteks komunikasi yang normal (dalam Allen dan Corder (Eds.)., 1973: 92; Alwasilah, 1993: 55). Anwar (1990: 26-27) mengatakan bahwa: Dalam sosiolinguistik, kita berusaha untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai perbedaan-perbedaan bahasa itu. Istilah ragam bahasa baik digunakan oleh karena istilah ini tidak mengandung pengertian bahwa ragam yang satu lebih baik atau lebih buruk dari yang lain. Menurut Kridalaksana (2001: 184), ragam bahasa adalah: Variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, dan orang yang dibicarakan, dan menurut medium pembicaraan. Sumarsono dan Partana (2004: 72-73) menyimpulkan bahwa ragam atau variasi dari satu bahasa, hubungan antara bahasa dan etnik mungkin merupakan hubungan sederhana yang bersifat kebiasaan yang dipertegas oleh rintangan sosial antarkelompok, dengan bahasa sebagai ciri pengenal utama. Ragam bahasa suatu bahasa juga bisa dipakai sebagai identitas etnik. 5
Menurut Hidayat dan Ar (2006: 277), ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut topik yang dibicarakan, hubungan pembicara, kawan bicara, dan orang yang dibicarakan, dan medium pembicaraan. Jauh sebelum itu, Suwito (1983: 148) mendefinisikan ragam bahasa sebagai suatu istilah yang dipergunakan untuk menunjuk salah satu dari sekian variasi yang terdapat dalam pemakaian bahasa. Jadi, ragam bahasa adalah jenis-jenis atau pola-pola ujaran manusia yang bervariasi sesuai dengan konteks pemakaiannya dalam hubungan komunikasi atau interaksi. Menurut Sumarsono dan Partana (2004: 130), waria (singkatan dari wanita pria) atau wadam (wanita Adam atau Hawa Adam) merujuk kepada orang-orang yang secara biologis atau fisik berkelamin laki-laki tetapi berpenampilan (berpakaian atau berdandan) serta berperilaku seperti atau mengidentifikasikan diri sebagai perempuan. Solihin (2005: 4, 8, dan 14) menyatakan bahwa waria adalah mereka yang secara fisik memang lelaki dan menyatakan kami adalah jiwa perempuan yang terperangkap dalam tubuh laki-laki. Mereka itu laki-laki tetapi berlagak perempuan. Dalam bahasa Arab disebut al-khuntsa (banci). Istilah ini diambil dari kata khanatsa yang berarti lunak atau melunak. Misalnya khanatsa wa takhannatsa yang berarti apabila ucapan atau cara jalan seorang laki-laki menyerupai wanita lembut dan melenggak-lenggok. Waria dalam konteks psikologis termasuk sebagai penderita transeksualisme, yaitu seseorang yang secara jasmani jenis kelaminnya jelas dan sempurna. Namun secara psikhis cenderung untuk menampilkan diri sebagai lawan jenis (Heuken, 1989: 148; Koeswinarno, 2004: 12). Menurut salah seorang penceramah dalam sinetron Banci Tobat dijelaskan bahwa terdapat dua kata bahasa Arab, yaitu al khanats, yaitu ada alat kelamin dan kuntsa musykil, yaitu belum ada kejelasan atau tidak ada alat kelamin yang jelas. Penamaan ragam bahasa waria ada bermacam-macam. Sebut saja Koeswinarno (2004: 106107) membaginya menjadi dua, yaitu palindrome yang beraturan dan palindrome yang tidak beraturan. Palindrome atau palindrom adalah ada kata-kata atau pun kalimat yang kalau dibaca dari depan ke belakang, atau pun dari belakang ke depan, bunyi, arti, serta susunan hurufnya sama saja. Palindrom berasal dari bahasa Yunani dan bermakna ’lari kembali lagi’ (Dale, et. al., 1971: 322). Palindrom (palindrome) adalah kata, rangkaian kata, atau bilangan yang terbaca sama dari depan maupun dari belakang, misalnya nama seperti Nobon, Nababan, atau angka 2002 (Kridalaksana, 2001: 153). Jadi, menurut dua pengertian palindrom di atas, penamaan palindrome oleh Koeswinarno kurang tepat, karena tidak didukung literatur, data, dan fakta bahasa yang sesuai. Palindrome ternyata adalah sesuatu kata atau angka yang dibaca dari depan atau belakang sama seperti kasur Nababan rusak. Mulyana (2004: 280) menamakan ragam bahasa waria itu sebagai bahasa subkultur yang disebut bahasa khusus (special language), bahasa gaul atau argot. Meskipun argot sebenarnya merujuk pada bahasa khas yang digunakan setiap komunitas atau subkultur apa saja (termasuk kelompok seniman). Argot lebih sering merujuk pada bahasa rahasia yang digunakan kelompok menyimpang (deviant group), seperti kelompok preman, kelompok penjual narkotik, kaum homoseks dan lesbian, kaum pelacur, dan sebagainya. Pendapat Mulyana di atas mendapat dukungan Ohoiwutun (2002: 21) yang menyatakan sebagai berikut.
6
Dalam kelompok-kelompok orang yang berbicara dialek geografis dan dialek sosial yang sama ini terdapat variasi-variasi bahasa yang tergantung dari situasi-situasi khusus. Orang-orang yang mempunyai kegiatan-kegiatan atau profesi-profesi yang sama ini dapat saja memiliki bahasa khusus yang dinamai argot. Variasi khusus inilah yang membedakan mereka dari orang-orang yang tergolong dalam kelompok sosial di luar mereka. Para remaja, pencuri, dan tunasusila memiliki satu argot yang membedakan mereka dari orang tuanya, polisi, dan pihak berwajib lainnya. Jenis argot khusus demikian disebut slang. Sekalipun Ohoiwutun mengatakannya sebagai argot namun ragam bahasa waria itu menurutnya adalah argot khusus yang disebut slang. Untuk jenis yang satu ini, para linguis kiranya sependapat bahwa slang sebagai ragam bahasa waria. Meskipun Alwasilah (1993: 51) menyatakan sama dengan dua pendapat terdahulu bahwa ragam bahasa waria dapat digolongkan ke dalam argot. Sebagaimana pendapatnya sebagai berikut, mengikuti dan mengutip pendapat Zeigher (Ed.). (1973: 45), yaitu argot adalah bahasa rahasia atau bahasa khas para pencuri. Dipakai juga untuk kosakata teknis atau khusus dalam perdagangan, profesi, atau kegiatan lain. Namun Alwasilah juga memberikan pengertian lain tentang ragam bahasa waria yang termasuk slang. Alwasilah (1993: 48) dengan mengutip pendapat para linguis barat tentang batasan slang sebagai berikut. Suatu bentuk bahasa dalam pemakaian umum, dibuat dengan adaptasi yang populer dan perluasan makna dari kata-kata yang ada dan dengan menyusun kata-kata baru tanpa memperhatikan standar-standar skolastik dan kaidah-kaidah linguistik dalam pembentukan kata-kata; pada umumnya terbatas pada kelompok-kelompok sosial atau kelompok usia tertentu (Pei dan Gaynor, 1954: 199). Satu variasi ujaran yang dicirikan dengan kosa kata yang baru ditemukan dan cepat berubah, dipakai oleh kawula muda atau kelompok-kelompok sosial dan profesional untuk komunikasi ’di dalam’. Jadi, cenderung untuk tidak diketahui oleh pihak lain dalam masyarakat ujaran (Hartman and Stork, 1972: 210). Dalam bagian terbesar, slang adalah hasil daya temu kebahasaan terutama kawula muda dan orang-orang ceria yang menginginkan istilah-istilah segar, asli, tajam, atau apik dengan mana mereka bisa menyebut kembali gagasan-gagasan, tindakan-tindakan, dan objek-objek yang sangat mereka gandrungi. Dengan demikian, slang adalah hasil kombinasi kekurangwajaran bahasa dengan reaksi terhadap kosa kata (diksi) yang serius, kaku, muluk, megah, atau tak menarik (Willis, 1964: 195). Hal senada juga diungkapkan oleh Chaer dan Agustina (2004: 67) yang mengutip pendapat Kawira (1990) sebagai berikut. Yang dimaksud dengan slang adalah variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia. Artinya, variasi ini digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas dan tidak boleh diketahui oleh kalangan di luar kelompok itu. Oleh karena itu, kosa kata yang digunakan dalam slang ini selalu berubah-ubah. Slang memang lebih merupakan bidang kosa kata daripada bidang fonologi maupun gramatika. Slang bersifat temporal dan lebih umum digunakan oleh para kaula muda, meski kaula tua pun ada pula yang menggunakannya. Karena slang ini bersifat kelompok dan rahasia, timbul kesan bahwa 7
slang ini adalah bahasa rahasianya para pencoleng dan penjahat, padahal sebenarnya tidak demikian. Faktor kerahasiaan ini menyebabkan pula kosa kata yang digunakan dalam slang ini seringkali berubah. Dalam hal ini yang biasa disebut sebagai bahasa prokem. Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Kridalaksana (2001: 200) yang menyatakan sebagai berikut. Slang (Ing.) ragam bahasa tak resmi yang dipakai oleh kaum remaja atau kelompokkelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern sebagai usaha supaya orang-orang kelompok lain tidak mengerti; berupa kosakata yang serba baru dan berubah-ubah; misalnya bahasa prokem di kalangan remaja Jakarta dalam tahun 80-an. Lain halnya dengan Pateda (1987: 70) yang mengatakan bahwa ragam bahasa waria sebagai kan (cant), yaitu sejenis slang tetapi sengaja dibuat untuk merahasiakan sesuatu kepada kelompok lain, sedangkan menurut Zeigher (Ed.) (1973: 45), dalam pengertian bahasa rahasia, cant dianggap sebagai sinonim dengan argot. Walau demikian, cant pada umumnya lebih diterapkan pada ujaran yang merengek, dibikin-bikin, atau pura-pura. Pentingnya penelitian ini dilakukan adalah karena ragam bahasa waria dalam sinetron itu merupakan ciri khas kosa kata waria Indonesia yang muncul terbatas dalam tayangan sinetron itu. Oleh karena tayangan sinetron itu terbatas jumlahnya dan tidak setiap saat kita dengar dan saksikan, untuk itu perlu penelitian yang mendalam dan saksama sehingga pada akhirnya dari penelitian ini akan dapat mendokumentasikan dan mengungkapkan kaidah tata bentukan ragam bahasa waria dalam sinetron. Penelitian di Indonesia yang terkait dengan bahasa waria memang sudah ada, yaitu oleh Kodrat dan Dewanto (2009), Siregar (2010), dan Ishmah, Novitasari, Ramadani, dan Jannah (2010). Kodrat dan Dewanto (2009) meneliti A Sociolinguistic Study on Tag Questions used by She-Males in Surabaya. Dalam penelitian itu, mereka menemukan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang menegaskan atau untuk menegaskan terdiri atas Sembilan buah, yaitu Iya? Gitu ya? Lho ya? Ya toh? Kan begitu? Nggak toh? Ya nggak? Kan gitu ya? Toh? Penelitian Kodrat dan Dewanto ini menggunakan teori Lakoff dari bukunya yang berjudul Language and Women’s Place. Penelitian mereka menggunakan 10 responden yang berusia 20 sampai 40 tahun. Pengumpulan data mereka menggunakan teknik wawancara mendalam. Siregar meneliti Bahasa Gaul pada Kalangan Waria di Jalan Gadjah Mada Medan: Tinjauan Sosiolinguistik. Dalam penelitiannya itu, Siregar menemukan bahwa bahasa gaul di kalangan waria diciptakan sebagai alat komunikasi dalam berinteraksi antarkelompok mereka. Bahasa gaul waria di Jalan Gadjah Mada tidak hanya berpedoman pada kamus waria, yang berarti bahasa yang digunakannya adalah bahasa yang diciptakan sendiri. Bahasa waria juga memiliki hubungan makna dengan bahasa Indonesia. Terdapat pembentukan kata-kata baru yang dapat menciptakan perubahan makna. Selanjutnya, penelitian tentang bahasa di kalangan waria, berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh waria di Jalan Gadjah Mada Medan. Berdasarkan hasil analisis data deskripsi semantik bahasa gaul waria diperoleh hasil penelitian bahwa bahasa yang digunakan waria dalam berkomunikasi terdapat kaitan makna sinonim, antonim, dan perubahan makna, sedangkan struktur leksikal memiliki pola tertentu, yaitu gejala bahasa seperti penambahan suku kata, penghilangan suku kata, serta pembentukan kata-kata baru secara teratur dan tidak teratur. Selanjutnya, berdasarkan hasil analisis karakteristik bahasa yang digunakan bersifat arbitrer, dan diperoleh ciri yang unik dan tidak berpedoman pada kamus Debby Sahertian. Bahasa waria hanya memiliki beberapa ratus kata saja dan penggunaan bahasa waria ini meliputi bidang-bidang tertentu. Secara umum, penelitian Siregar tersebut hanya 8
menjawab persoalan seputar deskripsi semantik bahasa gaul waria, struktur leksikal bahasa gaul waria, dan karakteristik bahasa gaul waria di Jalan Gadjah Mada, Medan. Penelitian Ragam Bahasa Waria di Kalimantan Selatan ini sangat berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Siregar. Hal itu dapat diketahui dari masalah penelitian yang akan ditemukan dan dibahas dalam penelitian ini, yaitu jenis, makna, kaidah, dan asosiasi kata bahasa waria. Perbedaan lokasi penelitian dan luasnya lokasi penelitian juga sangat jauh berbeda. Lokasi penelitian ini meliputi provinsi Kalimantan Selatan dan waria yang diteliti pun tentu saja berasal dari kabupaten dan kota di Provinsi Kalimantan Selatan. Ishmah, Novitasari, Ramadani, dan Jannah (2010) meneliti tentang Bahasa Gaul pada Kalangan Waria Salon di Kota Banjarmasin. Hasil penelitian mereka adalah ditemukannya beberapa kosakata bahasa waria seperti maska (uang), lamas (malu), itah (bancir), modang (berbohong), blorong (wanita), dinding (baju), tongkat (celana), mursidah (marah), maharani (mahal), mipung (gila), halap (ganteng), galung (naksir), kodak (lihat), mutiara (gigi), bawang (bau), gilingan (gila), eke (aku), najong (najis), jahara (jahat), akika (aku, saya), peres (bohong), lambreta (lambat atau lama), lekong (laki-laki), homreng (homo), cacamarica (cari), cucok (cocok), cumi (cium), capcus (pergi), manduli (mandi), mataram (mati), minangan (minum), organ (orang), begindang (begitu), ember (memang), endang (enak), kesantro (ke sana), kesindang (ke sini), kencana (kencing), jali-jali (jalan-jalan), himalayang (hilang), hamidah (hamil), belalang (beli), belenjong (belanja), beranak dalam kubur (berak), Diana (dia), jayus (joke-garing), jijay markijay (jijik), kanua (kamu), kawilarang (kimpoi), kemindang (kemana), kepelong (kepala), krejong (kerja), lapangan bola (lapar), Maluku (malu), mandole (mandi), mawar (mau), merekah (merah), metong (mati), Motorola (motor), mukadima (muka), nanda (nanti), naspro (nasi), organ tunggal (orang tua), pere (perempuan), pertiwi (perut), puir (pergi), rambutan (rambut), sastra (satu), sekong (sakit), sepong (siapa), sirkuit (sedikit), Soraya Perucha (sakit perut), tinta (tidak), Titi DJ (hati-hati di jalan), EGPCC (emang gue pikirin cuih-cuih), SDMB (Sori Dori Mori Bow’), akikah lapangan bola (aku lapar bo’), LUPUS (Lupakan Pacar Utamakan Selingkuh), Panasonic (panas), dan pencongan (pacaran). Selain itu, mereka juga menemukan kosakata bahasa waria dari banci menjadi bencong, makan menjadi mekong, laki menjadi lekong, dan lesbi menjadi lesbong. Ada pula dari banci menjadi bences dan laki menjadi lekes. Bedanya dengan penelitian ini, penelitian yang dilakukan oleh Ishmah, Novitasari, Ramadani, dan Jannah tidak menguraikan kaidah tata bentukan bahasa waria yang mereka temukan. Selain itu, mereka juga tidak melakukan pengkajian asal mula pembentukan kata bahasa waria yang dikaitkan dengan nama suku (daerah), merek, atau orang terkenal atau artis, sedangkan penelitian ini berupaya menemukan dan melakukannya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan tentang bahasa identiti dan eksistensi: ragam bahasa waria dalam sinetron di televisi swasta Indonesia. METODE Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kosa kata yang diucapkan para artis yang berperan sebagai waria dalam sinetron. Sementara itu, sumber data diambil dan dikumpulkan serta diklasifikasikan berdasarkan sinetron-sinetron pada bulan Juni dan Juli 2006 di televisi swasta Indonesia. Sinetron-sinetron itu adalah Demi Waktu (Trans 7 (dulu TV 7), Menembus Lorong Waktu (TPI), Orang-Orang Pilihan: Bisikan Jiwa Waria (TPI), Rahmat Ilahi: Banci Taubat (TPI), Waria Juga Manusia (Trans TV), Untung Terus (TPI), Juragan Jengkol (SCTV), dan Memang Lagi Hoki (SCTV), serta Banci Tobat (TPI).
9
a. Sinetron Rahmat Ilahi: Banci Taubat (Jumat, pkl. 22.00 WIB, 2/6/2006) Mama : panggilan untuk waria Hetong-hetong : hati-hati Hamidah : hamil Munawir : munafik Pembantaian : pembantu Satpam : WTS kerja jaga malam dipinggir jalan cari konsumen Hamilton : hamil b. Demi Waktu (TV7) pada tokoh Gilbi Usro : usir Endang : enak UGD : WC, ke belakang E’e’ : kotoran hewan (kotoran burung) Eike : saya Bo’ : penekanan diujung kata pada bahasa waria. Kamkam : kamar c. Menembus Lorong Waktu (TPI, pkl. 19.00 WIB-20.00 WIB) Metal : mati Bo’ : penekanan diakhir kata pada bahasa waria Ne’ : sama dengan atas Eike : saya d. Orang-Orang Pilihan: Bisikan Jiwa Waria Polesong : polisi Rumpi : gosip Ye : kamu Jeti : juta Sebanyong : sebanyak Akika : aku Tintring : sumpah, tentu Capcay : capek atau cepat e. Waria Juga Manusia (TransTV, pkl. 19.00, Rabu, 21/6/2006) Banci : waria Bencong : waria f. Untung Terus (TPI, pkl. 08.30, minggu, 25/6/2006) Dendong : dandan Bo’ : penekanan pada akhir kata dalam bahasa waria Akika : aku Brondong : lelaki muda Cucok : cakep Mawa : mau Nek : penekanan pada akhir kata dalam bahasa waria
10
Tuwiria : tua Dedi/duda brenda : duda berada, duda muda. g. Juragan Jengkol (SCTV, kamis, 6/7/2006) Begindang : begini Eike : saya h. Banci Tobat (TPI, minggu, 16/7/2006) Rumpi : gosip Dendong : dandan Munawir : munafik Banci kaleng : penakut, pengecut Sutra : sudah Gilingan : gila i. Warkop Spesial: Memang Lagi Hoki (minggu, 9/7/2006) Sukria : suka Mokad : mati Bunda : panggilan waria Brondong : lelaki muda Lekong : laki-laki (pacar) Dalam hal ini, teknik analisis data menggunakan kaidah tata bentukan ragam bahasa waria yang digunakan mengacu pada kaidah yang telah diterapkan oleh Oetomo (1988) dan Oetomo (2003). Asosiasi adalah majas perbandingan antara dua hal atau keadaan yang pada hakikatnya berbeda, tetapi dianggap sama (Laelasari dan Nurlailah, 2006: 45). Sementara itu, analogi adalah hubungan yang membentuk kesatuan antara bentuk-bentuk bahasa yang menjadi dasar terjadinya bentuk-bentuk lain; kesamaan bagian ciri antara dua benda atau hal yang dipakai untuk dasar perbandingan (Laelasari dan Nurlailah, 2006: 34). Asosiasi adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan menyebutkan sifat benda yang menggambarkan hal yang dibicarakan (Hidayat dan Ar, 2006: 33). Analogi menurut Kridalaksana (2001: 14) adalah proses atau hasil pembentukan unsur bahasa karena pengaruh pola lain dalam bahasa. Misalnya terbentuknya konstruksi neonisasi karena sudah adanya pola yang ada dalam konstruksi mekanisasi, dan sebagainya. Dengan kata lain, menurut Hidayat dan Ar (2006: 27), analogi adalah persamaan antarbentuk yang menjadi dasar terjadinya bentukbentuk yang lain. HASIL DAN PEMBAHASAN Klasifikasi Ragam Bahasa Waria dalam sinetron a. Berhubungan dengan pria. Misalnya: brondong, lekong, dedi/duda brenda. b. Berhubungan dengan panggilan sayang pada waria. Misalnya: mama, bunda. c. Berhubungan dengan penampilan waria. Misalnya: dendong. d. Berhubungan dengan kondisi tubuh wanita. Misalnya: hamidah, hamilton. 11
e. Berhubungan dengan kejiwaan seseorang. Misalnya: gilingan. f. Berhubungan dengan sebutan waria. Misalnya: banci, bencong, banci kaleng. g. Berhubungan dengan diri waria atau pernyataan diri waria. Misalnya: akika, eike. h. Berhubungan dengan usia manusia. Misalnya: tuwiria. i. Berhubungan dengan kondisi fisik seseorang. Misalnya: cucok. j. Berhubungan dengan sifat seseorang. Misalnya: munawir. k. Berhubungan perilaku negatif wanita. Misalnya: rumpi. l. Berhubungan dengan razia. Misalnya: polesong. m. Berhubungan dengan profesi seseorang. Misalnya: pembantaian, satpam. n. Berhubungan dengan pesan seseorang. Misalnya: hetong-hetong. o. Berhubungan dengan panggilan. Misalnya: ye. p. Berhubungan dengan usia seseorang Misalnya: metal, mokad. q. Berhubungan dengan ruangan. Misalnya: kamkam, UGD. r. Berhubungan dengan perasaan. Misalnya: sukria, mawa, endang. s. Berhubungan dengan kondisi tubuh manusia. Misalnya: capcay. t. Berhubungan dengan pernyataan penegasan. Misalnya: sutra, bo’, nek’, tintring. u. Berhubungan dengan keadaan. Misalnya: begindang. v. Berhubungan dengan kotoran. Misalnya: e’e’. w. Berhubungan dengan perbuatan seseorang. Misalnya: usro. x. Berhubungan dengan jumlah sesuatu. Misalnya: jeti, sebanyong. Tata Bentukan Kata dalam Ragam Bahasa Waria Berdasarkan data di atas diperoleh kaidah tata bentukan kata ragam bahasa waria sebagai berikut. a. Tata bentukan kata berakhiran –ong. Misalnya: Hetong-hetong ’!hati-hati+-ong-ong’!hat-hat-ong-ong’!het-het+-ong-ong 12
Polesong’!polisi+-ong’!polis+-ong’!poles+-ong Sebanyong’!sebanyak+-ong’!sebany+-ong Dendong’!dendang+-ong’!dend+-ong Brondong’!brond+-ong Lekong’!laki+-ong’!lak+-ong’!lek+-ong Bencong’!banci+-ong’!banc+-ong’!benc+-ong Kaidahnya adalah sebagai berikut. (a) ambil tiga sampai enam kata pertama; (b) huruf vokal pertama atau kedua berubah menjadi ’e’; (c) tambahkan akhiran –ong pada kata yang sudah mengikuti aturan a dan b. b. Tata bentukan untuk kata hamil. Misalnya: Hamidah’!hamil+dah’!hami+dah Hamilton’!hamil+ton Kaidahnya adalah sebagai berikut. (a) ambil empat sampai lima huruf pertama; (b) tambahkan suku kata dah atau ton. c. Tata bentukan untuk penambahan unsur selipan atau sisipan. Misalnya: Sukria’!suka+ri’!suk+ri+a Tuwiria’!tua+wiri’!tu+wiri+a Kaidahnya adalah sebagai berikut. (a)ambil dua atau tiga huruf pertama atau pisahkan dua atau tiga huruf pertama dengan huruf a dibelakang; (b)tambahkan atau selipkan ri atau wiri setelah kaidah a atau di antara pemisahan itu. d. Tata bentukan untuk perubahan atau penambahan suku kedua atau ketiga atau belakang. Misalnya: Sutra’!sudah+-tra’!su+-tra Gilingan’!gila+-ingan’!gil+-ingan Munawir’!munafik+-wir’!muna+-wir Mawa’!mau+-wa’!ma+-wa Capcay’!capek+-cay’!cap+-cay Jeti’!juta’!j+-eti Pembantaian’!pembantu+-aian’!pembant+-aian Usro’!usir+-ro’!us+-ro Tintring’!tentu+-intring’!t+-intring Akika’!aku+-ika’!ak+-ika Kaidahnya adalah sebagai berikut. (a)ambil satu huruf sampai tujuh huruf pertama; (b)tambahkan akhiran –tra, -ingan, -wir, -wa, -cay, -eti, -aian, -ro, -intring, dan -ika. Namun ada keraguan dari penulis untuk kata jeti itu huruf vokal langsung berubah menjadi ’e’ dan ’i’ untuk vokal pertama dan kedua bukan mengalami penambahan akhiran. a. Tata bentukan untuk kata berakhiran –dang. Misalnya: Endang’!enak+-dang 13
Begindang’!begini+-dang’!begin+-dang Kaidahnya adalah sebagai berikut. (a)ambil dua sampai lima huruf pertama; (b)tambahkan akhiran –dang setelah kaidah a. b. Tata bentukan dari bahasa Inggris. Misalnya: Ye’!you+-e’!y+-e ’kamu’ Kaidahnya adalah sebagai berikut. (a)ambil satu huruf pertama; (b)tambahkan akhiran –e setelah kaidah a. c. Tata bentukan karena pengulangan suku kata pertama. Misalnya: Kamkam’!kamar’!kamar+kamar’!kam+kam Kaidahnya adalah sebagai berikut. (a)ambil tiga huruf pertama; (b)ulanglah ketiga huruf pertama itu. d. Tidak ada pembentukan kata yang ada adalah penggunaan kata lain sebagai asosiasi. Misalnya: Metal Metal diasosiasikan sebagai badan tubuh orang yang meninggal kaku dan beku. Sehingga untuk menggantikan kata mati digunakanlah kata metal. UGD UGD diasosiasikan sebagai tempat bagi orang yang perlu pertolongan cepat karena kondisi yang gawat. Oleh karena itu UGD diasosiasikan sebagai Water Closet atau ke belakang. Banci kaleng Banci kaleng diasosiasikan sama dengan orang yang lemah dan keropos seperti kaleng. Oleh karena itu banci kaleng mengesankan seseorang yang pengecut. Cucok Cucok diasosiasikan dengan tampang pemuda yang cakep atau ganteng. Oleh karena itu, cucok bermakna cakep. e. Tidak ada pembentukan kata, yang ada hanyalah penggunaan kata karena analogi. Misalnya: Mokad Mokad mungkin berasal dari kata mangkat yang diperpendek. Hal ini dianalogikan sebagai kata mati karena tubuh orang yang meninggal dikatakan sudah mangkat. Bunda Bunda dianalogikan sama dengan ibu dalam bahasa sehari-hari sebagai pernyataan jenis kelamin mereka sebagai wanita. Mama Mama dianalogikan sama dengan ibu dalam bahasa sehari-hari sebagai pernyataan jenis kelamin mereka sebagai wanita.
14
Rumpi Rumpi adalah istilah umum yang biasa digunakan oleh penutur prokem Jakarta dari kata ngerumpi yang berarti gosip atau menggosip. Jadi, rumpi dianalogikan sama dengan gosip. Eike Eike mungkin berasal dari bahasa Belanda masa kompeni yang biasa digunakan dengan eik’. Eike bermakna aku atau saya. Jadi, eike dianalogikan sama dengan eik’. Dedi atau duda brenda Dedi atau duda brenda dianalogikan sebagai seorang duda berada atau berduit. Banci Banci dianalogikan sama dengan bencong atau waria atau wadam, sedangkan dalam bahasa Banjar banci dinamakan bancir. Bo’ Bo’ adalah kata seru penekanan diujung kata seperti halnya nek. Hal ini menganalogikan nek sama dengan bo’ yang terletak diakhir kata atau kalimat. Nek’ Nek’ mungkinkah berasal dari kata nenek? Nek mungkinkah berasal dari kata neng? Nek’ dianalogikan sebagai kata seru panggilan kepada sesama waria agar terasa akrab. f. Tata bentukan karena penghapusan huruf atau awalan di depannya. Misalnya: Rumpi’!ngerumpi’!-+rumpi Kaidahnya adalah sebagai berikut. (a) ambil kata dasarnya; (b) hapus awalannya. Fungsi Ragam Bahasa Waria dalam Sinetron a. Sebagai Alat Komunikasi dalam Komunitas atau Antarkomunitas Waria dalam Sinetron Adanya kosa kata di atas menandakan bahwa komunitas minoritas waria juga mempunyai bahasa rahasia sendiri yang merupakan penanda identitas mereka. Sebagai kaum marginal, para waria berusaha memperjuangkan harkat dan martabat mereka, salah satunya dengan membuat dan mengembangkan bahasa mereka sendiri. Bahasa ini mulai dan semakin terangkat sejak kiprah para waria dalam dunia entertainment di televisi. Namun yang lebih jelas nyata terjadi adalah adanya artis-artis pria yang berperan sebagai waria yang menggunakan kosa kata itu dalam beberapa sinetron cukup memberi andil pengembangan bahasa waria di Indonesia. Perjuangan waria melalui bahasa rahasia mereka mencapai titik puncak emansipasinya dalam berkiprah di dunia hiburan. Adanya sarana berupa sinetron memberikan celah perkembangan dan penyebaran bahasa mereka. Sedikit demi sedikit, bahasa rahasia mereka mampu dan berhasil diingat oleh ratusan juta penduduk Indonesia melalui media televisi. Eksistensi mereka yang turut menyemarakkan dunia entertainment di tanah air ini turut memberi warna tersendiri bahwa mereka mempunyai komunitas dan bahasa sendiri yang merupakan ciri identitasnya. b.
Sebagai Penanda Identitas Waria dalam Sinetron Penggunaan bahasa waria untuk menunjukkan identitas sebagai tokoh waria dalam sinetron. Dengan menggunakan kosakata waria tersebut seorang tokoh dapat dikenali sebagai 15
pemeran waria dalam sinetron. Bahasa yang mereka gunakan menunjukkan identitasnya sebagai waria dalam sinetron. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penelitian ini berisi gambaran umum tentang klasifikasi, makna, dan tata bentukan ragam bahasa waria dalam sinetron. Klasifikasinya terdiri atas 24 kategori, tata bentukannya terdiri atas 10 kategori. Adapun fungsi ragam bahasa waria dalam sinetron adalah sebagai alat komunikasi menyatakan eksistensi diri sebagai waria dan penanda identitas. Ragam bahasa waria sangat unik karena sering terdengar lucu bila langsung diungkapkan oleh mereka. fenomena bahasa waria sempat menjadi semacam tren dalam sinetron. Adanya fenomena menarik seperti ini tentu akan berdampak pada perjuangan mereka dalam menunjukkan eksistensi diri. Bahasa yang mereka gunakan ternyata mengandung semacam ciri khas karena memiliki pola khusus. Pola khusus itu mempunyai banyak makna di dalamnya. Tentu saja makna itu berfungsi sebagai komunikasi antarmereka. Saran Saran bagi para peneliti berikutnya adalah agar melakukan penelitian yang lebih mendalam terhadap ragam bahasa waria dalam sinetron dengan data yang lebih banyak dengan cara menggunakan rekaman, sehingga data yang akan terkumpul lebih lengkap dan tidak hanya kosa kata saja tetapi juga berupa dialog atau wacana. Hal ini perlu dilakukan untuk menyelidiki struktur dialog waria dalam sinetron dan kehidupan mereka sehari-hari di masyarakat.
16
DAFTAR RUJUKAN
Ade. 2006. Wawancara, tidak bisa disamakan. Jawa Pos, Rabu, 21 Juni 2006, hal. 14. Allen, J. P. Dan Corder, S. Pit. (Eds.). 1973. Reading for Applied Linguistics. Oxford: Oxford University Press. Alwasilah, A. Chaedar. 1993. Pengantar Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa. Anwar, Khaidir. 1990. Fungsi dan Peranan Bahasa, Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. 2004. Sosiolinguistik, Perkenalan Awal, Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta. Dale, Edgar, et. al. 1971. Techniques of Teaching Vocabulary. Palo Alto, California: Field Educational Publications, Incorporated. Emka, Moammar. 2007. Kamus Gaul Hare Gene!!! Jakarta: GagasMedia. Hartman, R. R. K. dan Stork, F. C.,. 1972. Dictionary of Language and Linguistics. London: Applied Science Publisher Ltd. Heuken, A. 1989. Ensiklopedia Etika Medis. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. Hidayat, Amir F dan Ar, Elis N. Rahmani. 2006. Ensiklopedi Bahasa-Bahasa Dunia, Peristilahan dalam Bahasa. Jawa Barat: CV Pustaka Grafika. Ishmah, Nur; Novitasari, Putri; Ramadani, Mahmudi; dan Jannah, Mia’ul. 2010. Bahasa Gaul pada Kalangan Waria Salon di Kota Banjarmasin. Laporan penelitian tugas mata kuliah sosiolinguistik. Banjarmasin: PS PBSI, FKIP Universitas Lambung Mangkurat. Kawira, Lita Pamela. 1990. Bahasa Prokem di Jakarta. Dalam Muhadjir dan Suhardi, Basuki (Eds.). Bilingualisme dan Pengajaran Bahasa. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Kodrat, David Sukardi dan Dewanto, Jimmy. 2009. A Sociolinguistic Study on Tag Questions Used by She-Males in Surabaya. Linguistik Indonesia, 27 (1): 69-79. Koeswinarno. 2004. Hidup Sebagai Waria. Yogyakarta: LKiS. Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik, Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Laelasari dan Nurlailah. 2006. Kamus Istilah Sastra. Bandung: Nuansa Aulia. Mulyana, Deddy. 2004. Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Natalia, Livia. 2007. Kamus Istilah Gaul SMS. Jakarta: Gagas Media. Ohoiwutun, Paul. 2002. Sosiolinguistik, Memahami Bahasa dalam Konteks Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta: VISIPRO-Kesaint Blanc. Oetomo, Dede. 1988. Bahasa Rahasia Waria dan Gay di Surabaya. Makalah Seminar Sosiolinguistik II, Jakarta. Oetomo, Dede. 2003. Memberi Suara pada yang Bisu. Yogyakarta: Pustaka Marwa. Pateda, Mansoer. 1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.
17
Pei, Mario dan Gaynor, Frank. 1954. Dictionary of Linguistics. New Jersey: Littlefield, Adam and Co. Retno dan Ade. 2006. Perilaku Homoseksual Penata Rambut (Hair Stylist), Bersama Komunitas Jadi Berani. Jawa Pos, Rabu, 21 Juni 2006, hal. 14. Siregar, Eva Tuti Harja. 2010. Bahasa Gaul pada Kalangan Waria di Jalan Gadjah Mada Medan: Tinjauan Sosiolinguistik. Tesis tidak diterbitkan. Medan: Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara. Solihin, O. 2005. Kepada Para Waria. Bogor: Al Azhar Press. Sumarsono dan Partana, Paina. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik, Teori dan Problema. Surakarta: Henary Offset. Willis, Hullon. 1964. Structure Style Usage A Guide to Expository Writing. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Zeigher, Arthur (Ed.). 1973. Encyclopedia of English. New York: Arco Publishing Company, Inc.
18
PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA DAERAH SEBAGAI WAHANA PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA (LEARNING REGIONAL LANGUAGE AND LITERATURE AS A MEANS OF EDUCATION OF NATIONAL CHARACTER) A. Syukur Ghazali Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang, Jl. Semarang 5 Malang, email
[email protected] Abstract Learning Regional Language and Literature as a Means of Education of National Character. Learning the language and literature to be a vehicle for cultural education and the nation’s character is based on the view that language and literature has the potential to become an institution that gives hope for people to talk about the ultimate reality of life. An imaginative literary works offer a rich selection of possibilities about the structure of complex life. Michael Novak (Lickona, 1991: 50) states that the elements forming the moral attitude can be traced to religious traditions, literature-based stories of local culture (indegeneous), policy advice (sage), and a view of life that flows figures hereditary historically through discourse language and literature. More than that, the might of the local language as the medium of education has been proved empirically by India and Thailand who use writing as writing Hindi and Thai official. Even Singh (2010), an international seminar on retention native language, India explains that the state establish a political idea, not a linguistically formulated Hindi language. This designation aims to make the “mother tongue Becomes a rallying point for groups of people to unite and express their solidarity more as a political entity.” Therefore, the intention of the government to establish policies and conduct conservation programs in the local language of each province, as well as through literature, is key to the implementation of this idea. Keywords:
literature as forming the moral stance, regional literature, government goodwill
Abstrak Pembelajaran Bahasa dan Sastra Daerah sebagai Wahana Pendidikan Karakter Bangsa. Pembelajaran bahasa dan sastra untuk menjadi wahana pendidikan budaya dan karakter bangsa didasarkan pada pandangan bahwa bahasa dan sastra berpotensi untuk menjadi institusi yang memberi harapan bagi manusia untuk berbicara tentang realitas kehidupan yang hakiki. Karya sastra merupakan tawaran imajinatif yang kaya dengan pilihan kemungkinan tentang struktur kehidupan yang kompleks. Michael Novak (Lickona, 1991: 50) menyatakan bahwa unsur pembentuk sikap moral bisa dilacak dari tradisi keagamaan, cerita sastra berbasis kebudayaan lokal (indegeneous), nasihat kebijakan (sage), dan pandangan hidup tokoh yang mengalir secara turun-temurun secara historis melalui wacana bahasa dan sastra. Lebih dari itu, keperkasaan bahasa daerah sebagai medium pendidikan telah dibuktikan secara empirik oleh India dan Thailand yang menggunakan tulisan Hindi dan Thai sebagai tulisan resmi negara. Bahkan Singh (2010), dalam seminar internasional tentang pemertahanan bahasa ibu, menjelaskan bahwa negara India menetapkan gagasan politis, bukan merumuskan bahasa Hindi secara linguistik. Penetapan ini bertujuan untuk menjadikan “mother
19
tongue becomes a rallying point for group of people to unite and express their solidarity more as a political entity”. Oleh karena itu, niat baik pemerintah untuk menetapkan kebijakan dan melakukan program pelestarian bahasa daerah di wilayah propinsi masing-masing, juga melalui sastra, merupakan kunci bagi terlaksananya gagasan ini. Kata-kata kunci:
sastra sebagai pembentuk sikap moral, sastra daerah, niat baik pemerintah
PENDAHULUAN Di pintu masuk sebuah sekolah tertulis sebuah puisi yang ditulis oleh Aron (Reigeluth, 1999: 594) seperti berikut. Hati-hati dengan pikiranmu Karena dari pikiranmu akan meluncur kata-katamu Hati-hati dengan kata-katamu Karena kata-katamu akan menjadi tindakanmu Hati-hati dengan tindakanmu Karena tindakanmu akan menjadi kebiasaanmu Hati-hati dengan kebiasaanmu Karena kebiasaanmu akan membentuk karaktermu Hati-hati dengan karaktermu Karena karaktermu itulah akan mengukir nasibmu Puisi oleh Anon di atas menunjukkan pentingnya kedudukan bahasa bagi pembentukan budi pekerti, tingkah laku, dan cara berpikir subjek didik. Dikatakan demikian, karena bahasa mencerminkan budaya pemiliknya. Dengan demikian, pemilik bahasa, sadar atau tidak, akan memiliki pandangan filosofis, perilaku budaya, dan cara berpikir yang terkandung dalam bahasanya. Menyadari pentingnya pendidikan sebagai upaya sadar membentuk generasi berkarakter dan bermartabat itulah maka pemerintah sebagai penyelenggara dan fasilitator pembangunan sektor pendidikan dalam UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 menyatakan: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Melalui fungsi tujuan pendidikan dalam pasal 3 di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa 5 (lima) dari 8 (delapan) potensi peserta didik yang ingin dikembangkan sangat terkait dengan karakter anak bangsa yang ingin ditumbuhkan melalui pendidikan. Itu berarti bahwa sebenarnya tugas pendidikan yang paling utama adalah membentuk watak atau sikap mental (karakter) yang kuat dan tangguh, sebab sikap mental tersebut merupakan kunci dari kemajuan suatu bangsa. Peneliti Harvard University AS menyatakan bahwa kesuksesan seseorang tidak ditentukan sematamata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill); kesuksesan ditentukan oleh sekitar 20 persen hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Terbukti bahwa orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil karena didukung oleh kemampuan soft skill daripada hard skill. Karena itu, pendidikan kita hendaknya lebih memusatkan perhatian pada peningkatan mutu pendidikan karakter anak didik. 20
BELAJAR DARI STIGMA NEGATIF ORANG MADURA Rifai (2012: 21) menjelaskan bahwa orang Madura adalah suku bangsa pendatang yang terlempar ke pulau gersang yang tidak subur pada 4.000 tahun yang lalu. Untuk survive menghadapi keadaan yang demikian, pendatang itu harus menjadi pekerja keras, rajin, ulet, serta pantang mengatakan sulit. Dari tempat kondisi alam yang demikian, suku Madura menjadi pekerja yang memiliki etos kerja yang tinggi, mau melakukan pekerjaan apa saja asal diperoleh rezeki yang halal yang mendapatkan ridha dari Allah. Sikap demikian sangat mendalam dalam diri orang Madura, sebab suku Madura meyakini secara mendalam bahwa rezeki yang tidak halal itu ta’ ekadhaghing, atau tidak akan menjadi daging. Dengan etos kerja yang demikian, banyak ditemui di seantero negeri orang Madura yang berprofesi sabadana, samangghina, samonemmona (seadanya dan sedapatnya), yaitu profesi yang hanya mengandalkan otot untuk pekerjaan yang di dalam sosiologi dikenal dengan istilah blue collar job. Akan tetapi tidak jarang juga ditemui orang Madura yang bekerja di bidang pekerjaan yang menuntut ketekunan dan presisi tinggi. Sikap yang demikian itu tumbuh akibat keyakinan yang mendalam terhadap agamanya, Islam, yang telah ditanamkan sejak masih bayi dengan ucapan nina bobok bhantal sadât apajung Alla (berbantal syahadatain dan berpayungkan perlindungan Allah). Rifai (2012: 21) juga menjelaskan bahwa suku Madura mempunyai prinsip hidup yang sangat positif, yaitu jhujhur, hemat, cermat, apa adanya, tanggap, mempunyai jiwa enterpreneurship yang tinggi, tulus, setia, sehingga dapat dipercaya kata-katanya. Sikap tersebut tumbuh akibat nilainilai yang juga telah ditanamkan sejak kecil, yaitu bhappa’, bhabhu’, ghuru, rato, yaitu ajaran yang menanamkan sikap tunduk secara hierarkhis kepada bapak, Ibu, guru, dan pemimpin negara. Di samping sikap positif, banyak orang beranggapan bahwa orang Madura mempunyai stigma negatif yang kerapkali kurang disukai oleh suku bangsa lain. Tempaan alam yang keras yang mengakibatkan suku bangsa Madura memiliki rasa percaya diri yang sangat tinggi. Akibat sampingan yang kemudian dialami oleh suku Madura adalah sering kurang peduli kepada orang lain, kurang berperasaan, dan terkesan seenaknya sendiri. Di kalangan orang Madura sangat lazim muncul ungkapan seperti sakarebbhâ dhibi’ (seenaknya sendiri), ta’ bât-ngeblâdi (tidak memperdulikan akibat yang akan diderita oleh orang lain). Sikap ini dapat dilihat secara antropolinguistik, sebagaimana dinyatakan oleh Seelye (1994: 7), bahwa “To draw a behavioral inference legitimately from an analysis of language structure, a language pattern must be associated empirically with a behavioral pattern.” Pernyataan itu mengandung pesan bahwa perilaku struktur bahasa juga menunjukkan perilaku penuturnya. Sebagai misal, kita dapat melihat sistem perulangan bahasa Madura (BM) ta’ bât-ngeblâdi. Kata ulang tersebut berasal dari kata dasar keblât, kemudian kata tersebut mengalami reduplikasi dan prefiksasi. Hal yang menarik adalah cara BM memberikan awalan pada kata keblât di atas. Awalan tersebut terjadi di tengah kata ulang dan berada di belakang kata ulang sebagian –bat, yang berbeda dengan bahasa Indonesia yang meletakkan awalan selalu di depan kata, meskipun kata itu kata ulang. Peristiwa bahasa itu dapat memberikan petunjuk adanya sikap “sesukanya sendiri” tersebut. Contoh menarik lainnya adalah peristiwa BM ditingkat bunyi. Di dalam bahasa Madura ada bunyi a (a jelas) dan â (a alos). Bunyi â (a alos) terjadi apabila bunyi a terdapat di belakang bunyi bersuara (voiced) seperti /b/, /bh/, /d/, /dh/, /g/, /gh/, /j/, dan /jh/. Setakat ini peristiwa tersebut bisa dipahami. Yang menjadi hal yang perlu dipahami secara khusus adalah kondisi apabila bunyi konsonan bersuara /b/, /bh/, /d/, /dh/, /g/, /gh/, /j/, dan /jh/ tersebut tidak memiliki bunyi a, maka bunyi a pada suku kata berikutnya harus “menderita” dengan harus diucapkan â seperti pada kata parbirâ, jhilâ, dan ghumbhirâ. Bunyi /ra/ dan /la/ pada parbirâ, jhilâ, dan ghumbhirâ tidak bisa
21
diucapkan sebagai bunyi ra dan la seperti dalam BI. Ini contoh ro-morowan (membuat orang lain mengalami penderitaan yang sama dengan dirinya) yang ditunjukkan oleh perilaku berbahasa. Peristiwa ro-morowan juga terjadi pada peristiwa bahasa distribusi bunyi. Pada contoh seperti bhâlâ, bârâ, jhâlâ, dan jhârâ, bunyi ra dan la tidak seharusnya diucapkan râ, dan lâ. Akan tetapi pada contoh di atas tampak bahwa kaidah pengucapan bunyi a berubah menjadi â (a alos) apabila bunyi a terdapat di belakang bunyi bersuara (voiced) seperti /b/, /bh/, /d/, /dh/, /g/, /gh/, /j/, dan / jh tidak berlaku untuk distribusi bunyi a pada bunyi lateral dan getar seperti pada contoh di atas. Dengan demikian, contoh di atas menjadi bukti empirik adanya perilaku bahasa yang menunjukkan perilaku pemakainya sebagaimana diasumsikan oleh Seelye di atas. Salah satu kemungkinan yang perlu kita pertimbangkan dalam merangsang pendidikan jangka panjang atau pendidikan karakter bagi anak didik kita adalah terwujudnya “hidden curriculum”, kurikulum tersembunyi, yang terkait dengan pengalaman-pengalaman yang disediakan oleh sekolah, baik secara lahiriah maupun batiniah, yang dalam jangka panjang membuahkan perilaku yang kita harapkan. Yang perlu kita wujudkan bukan hanya tercapainya hasil belajar ranah kognitif yang prima, melainkan juga anak yang secara pribadi, sosial, dan agama tergolong ke dalam qurrota a’yunin, anak yang menyenangkan apabila dipandang secara mata lahiriah, terutama mata batiniah. Pendidikan karakter yang paling sesuai dengan budaya Madura adalah budaya yang islami. Terkait dengan pendidikan karakter yang Islami, junjungan kita, Nabi dan Rasul Muhammad SAW, menyatakan bahwa kita wajib menyiapkan anak didik kita dengan metode dan strategi yang tepat sesuai dengan zamannya, dalam haditsnya: ‘allimu ‘auladakum fainnahum makhlukuuna li zamanin ghaira zamaanikum.” Didiklah anakmu dengan cara yang sesuai dengan zamannya, karena mereka dilahirkan pada zaman yang cara mendidik yang berbeda dengan orang tuanya. Pertanyaannya sekarang, ke mana orientasi pendidikan karakter kita? Dari analisis terhadap pikiran dan hasil renungan di dalam karya sastra, ditemukan ada tiga cara memanfaatkan kearifan lokal. Pertama, local genious secara sentripetal digunakan sebagai landasan untuk mencari model: seperti apakah bentuk dan isi kebudayaan “Indonesia” pada masa yang akan datang. Pada tahap ini, bayangan Indonesia baru belum menemukan bentuknya. Kedua, kearifan lokal digunakan sebagai batu loncatan untuk menghasilkan subject-matter, tokoh, latar, peristiwa yang lebih mendarat di bumi “Indonesia”. Akan tetapi para pelaku budaya masih ragu-ragu terhadap budaya barat sepenuhnya, namun mereka sadar, bahwa budaya timur tidaklah dapat mewadahi pikiran mereka sepenuhnya. Ketiga, ketika berada di buminya sendiri yang merdeka, para pelaku budaya mulai menyadari bahwa di lingkungannya sendiri cukup banyak masalah yang dapat diangkat menjadi ide tulisan kreatif dengan kendaraan muatan lokal/warna lokal /local genious. Dengan kata lain, warna lokal merupakan mutiara yang menunggu penggosok yang terampil agar menjadikannya berkemilau. Bergerak ke dalam secara sentripetal akan membuat para pelaku berjumpa dengan arus kekuatan sejati kearifan lokal yang bermanfaat bagi pendidikan budaya dan karakter bangsa. Sebagai contoh, ketika ingin menyampaikan hasil perenungan dan penghayatannya terhadap budi luhur nilai-nilai kehidupan orang Jawa untuk pendidikan anak, Umar Kayam menulis dalam novelnya “Para Priyayi”, melalui tokoh Sosro Darsono dan Lantip, bahwa anak perlu diajak mengerti tentang siapa dirinya, mempersiapkan masa depannya. Dengan sareh dan sabhar, tokoh masa depan Lantip dibesarkan melalui pendidikan keluarga nilai berupa ngenger, tirakat, sabar, nariman, sregep, ngalah, temen, dan jhujhur. Melalui pendidikan Ing ngarso asung tuladha, ing madya hambangun karso, dan Tut wuri handayani di dalam keluarga, Lantip digulawentah (didik dengan cara keras dan disiplin) dengan nilai-nilai sebagaimana diyakini oleh keluarga Jawa sebagai peranti kehidupan untuk menjadi “orang Jawa”. Melalui pendidikan yang kurikulumnya sudah 22
dihayati, dengan pelaksanaan pendidikan sepanjang hari di sepanjang waktu, dengan kesadaran bahwa Lantiplah penerima tongkat estafet keluarga, Den Mantri Guru Sosro Darsono membesarkan keponakannya di rumahnya sendiri. Lantip tidak dibesarkan dengan gaya hidup keluarga priyayi, melainkan dengan gaya hidup orang biasa dengan cara berpikir priyayi yang berorientasi pada pemikiran modern, dengan gaya yang sangat disiplin, dan siap memberikan hukuman apalagi ‘anak didiknya” berbuat kesalahan. Akan tetapi orientasi ke timur belum tentu disepakati oleh banyak pihak. Untuk kalangan budayawan, seniman, ilmuwan, yang oleh sebab latar-belakang pendidikannya berwarna barat, mereka memilih berorientasi ke barat. Mereka beranggapan bahwa timur itu penuh dengan pikiran yang diwarnai oleh mitos, penuh dengan keanehan, dan selalu mengkhayalkan dunia impian (dream land) atau dunia masa lalu yang damai sentosa. Oleh karena itu, kelompok ini berpendapat bahwa pandangan kaum sentripetal tidak didasarkan pada dunia nyata. Golongan ini secara sentrifugal bergerak keluar, dan mereka menjadi dunia impian yang lebih menjanjikan, yaitu dunia barat. Pandangan yang demikian terdapat dalam The Oxford Companion to American Literature yang menyatakan bahwa: “In local-color literature one finds the dual influence of romanticism and realism, since the author frequently looks away from ordinary life to distant lands, strange customs, or exotic scenes, but retains through minute detail a sense of fidelity and accuracy of description. Its weaknesses may include nostalgia or sentimentality” (p. 439). Kutipan di atas menunjukkan bahwa sastra yang mengangkat warna lokal berorientasi ke dua alam, yaitu romantisisme dan realisme. Menurut definisi di atas, pengarang menjauh dari dunia nyata, dan pengarang berakrab-akrab dengan dunia eksotis, kebiasaan yang asing, dan alam yang berada jauh dari dunia kita sekarang ini. Menurut pembuat definisi ini, dunia yang diciptakan oleh penulis berwarna lokal itu bersifat nostalgia dan sentimental. Dari kutipan tersebut tampak bahwa kubu kedua ini beranggapan bahwa dalam warna lokal tidak ada kearifan karena di dalamnya penuh kelemahan, karena di dalam pandangan kubu ini yang ada hanya nostalgia dan perasaan yang penuh sentimental. Dengan kondisi yang demikian, kubu sentrifugal telah memberikan penghakiman bahwa kubu sentripetal tidak mampu memberikan pikiran dan paparan yang tegas dan rinci, dan uraian yang cermat serta saksama. Sikap yang demikian, dapat kita lihat dari pandangan Kartini (1985: 1), pelopor gerakan pencerdasan kaum wanita, di bawah ini: “... Hati saya menyala-nyala karena semangat yang menggelora akan zaman baru. Ya, bolehlah saya katakan, bahwa dalam hal pikiran dan perasaan saya, saya tidak turut menghayati Zaman Hindia ini, tetapi saya sama sekali hidup sezaman dengan saudara-saudara saya perempuan berkulit putih di barat yang jauh.” Kartini dengan tegas menolak sikap dan pandangan hidup saudara-saudaranya yang samasama berkulit sawo matang yang masih berpendirian terbelakang, terikat oleh masa lampaunya, dininabobokan oleh masa lalunya, dan dikekang oleh mitos dan warna lokal yang menyilaukan pemiliknya. Dalam pandangan Kartini di atas, warna kulit tentunya bukan menjadi sasaran utama. Fokus sasarannya adalah sikap dan pikiran yang telah dicapai oleh kaum kulit putih, yaitu cara berpikir maju, berpandangan jauh ke depan, tidak yang meninggalkan harta karun leluhur yang “tidak tepermanai nilainya”. Dengan demikian, memilih barat merupakan solusi bagi ketertinggalan, cara berpikir lokal, dan tindakan yang tidak rasional, melainkan emosional. Cara pandang yang relatif sama dengan Kartini dianut juga oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Pendidikan dan pengalaman berorganisasi yang dimiliki oleh Tuti membuatnya tidak canggung berada di depan masyarakatnya. Ia begitu mudah bergaul, keluar masuk desa dan kota tanpa 23
ada rasa canggung. Di dalam “Layar Terkembang”, Takdir menggambarkan bahwa pendidikan dan organisasi mampu membuat keterbelakangan menjadi terkuat terbuka lebar bak “Layar Terkembang”. Namun, Takdir dengan berani menghadapkan Tuti, tokoh protagonis dalam roman “Layar Terkembang”, pada pilihan yang tidak populer di kala itu: ia dijauhi oleh laki-laki karena Tuti berperangai tidak seperti wanita pada umumnya di zaman itu. Dengan demikian, Takdir telah sejak awal menyadari bahwa memilih barat pun, dan tentu saja meninggalkan Timur (warna lokal atau kearifan lokal) bukan tanpa konsekuensi. Pelaku-pelakunya harus berani menghadapi konsekuensi apa pun yang bakal dihadapi oleh pelakunya, baik konsekuensi yang bersifat pribadi atau pun yang bersifat sosial. PEMBELAJARAN PENDIDIKAN BUDAYA DAN KARAKTER MELALUI SASTRA INDONESIA BERBASIS KEARIFAN LOKAL Bagi orang tua dan pendidik di Madura terpateri dengan kuat keinginan luhur untuk mendidik anaknya dengan benar, terutama memberikan pendidikan yang mengarahkan agar anaknya mengenal agama dan bisa membaca Al Qur’an. Ajaran ini telah disampaikan dengan bijaksana oleh para leluhur kita melalui lagu permainan anak-anak seperti berikut: Pa’-kopa’ éléng Éléngnga sakoranji Eppa’ entar mamaléng Ana’ tambang tao ngaji Ngaji babana cabbi Ka’-angka’na sarabi settong Mari bertepuk tangan Ingatlah selalu pesan ini Bapak mau pergi (mencuri) Anak semata wayang (tetap) harus bisa mengaji Meskipun di bawah pohon Dengan hidangan serabi. Pesan moral yang terkandung dalam lagu berbasis kearifan lokal ini sungguh sangat tinggi nilainya. Lagu rakyat yang membangun kesadaran kolektif tentang tanggung-jawab moral orang tua agar selalu ingat untuk menanamkan sikap Qur’ani terhadap anak keturunannya Dalam lagu anak-anak yang sering dilantunkan ketika berjalan kaki menuju sekolah terdapat ajaran karakter yang positif. Simaklah lagu berikut: Ollé Ollang paraona alajârâ Ollé Ollang alajârâ ka Madurâ Ollé Ollang paraona alajârâ Ollé Ollang alajâr ka témor dâjâ Olle Ollang perahu itu akan berlayar Olle Ollang akan berlayar menuju Madura Olle Ollang perahu itu akan berlayar Olle Ollang hendak berlayar ke timur laut Teks lagu di atas menunjukkan perilaku dinamis orang Madura yang memberikan gambaran bahwa orang Madura pemberani, energetik, dinamis dan suka bekerja dan berusaha keras. Pertanyaan kita sekarang, “Ke mana lagu yang mampu menajamkan mata batin itu pergi? Mengapa ratna mutu manikam itu tak tentu rimbanya? Kuntowijoyo (2006: 31) memberikan analisis berbeda dengan Faruk terhadap budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dengan tegas, ahli 24
sejarah dari Universitas Gajah Mada ini menyatakan bahwa kebudayaan Indonesia, terutama masyarakat tradisionalnya, diwarnai oleh dualisme kebudayaan. Terdapat dua subsistem kebudayaan yang terpisah dalam masyarakat tersebut, bahkan kedua subsistem itu saling bertentangan dan tantang-menantang. Subsistem yang dimaksud ialah kebudayaan keraton dan kebudayaan desa. Namun, karena sarana dan sarana penyebaran produk dan informasi dikuasai oleh keraton, terciptalah penjajahan budaya keraton terhadap budaya rakyat. Sebagai akibat, budaya rakyat menjadi budaya pinggiran yang diketepikan, dan pada gilirannya bahkan menjadi subkultur yang semakin kehilangan elan vitalnya. Melalui karya sastra yang dihasilkan oleh pujangga keraton, penyebaran nilai-nilai yang dianggap sebagai “tolok ukur perilaku terhormat” bagi seluruh anak negeri dilakukan. Akan tetapi kekuatan kebudayaan keraton, juga sastra sebagai penyebar nilai, tidak bertahan lama. Kuntowijoyo (2006: 16) mengingatkan kita tentang masa-masa meredupnya sastra keraton ditandai oleh berubahnya sastra tembhang yang secara ketat mengatur jumlah kata dan iramanya (mengisyaratkan posisi sosial dan etiket yang ketat), dan berganti dengan prosa yang relatif lebih longgar aturannya. Penyebarannya dilakukan oleh guru-guru sekolah, kelas sosial baru, kelompok priyayi baru. Dengan demikian, kemunculan sastra prosa menjadi pertanda munculnya lapisan baru dalam perkembangan budaya, yaitu lapisan intelektual. PEMBELAJARAN NILAI MORAL LEWAT BAHASA DAN SASTRA DAERAH DI SEKOLAH Hazlitt (2003: 226-7) berpendapat bahwa moral dibangun dengan bahasa. Melalui interaksi sosial menggunakan bahasa dengan orang dewasa, anak-anak tiba-tiba sudah memiliki tradisi dan konvensi sosial, Kita menyerap pertimbangan moral melalui kegiatan berbahasa yang kita lakukan. Kita menyerap makna dari kata-kata yang mengalir dari organ bicara pendahulu kita. Sejak masa kanak-kanak sampai usia sekolah, kita tanpa sadar telah mendapatkan kata-kata bermuatan moral dan nilai-nilai budaya dari orang-orang di sekeliling kita dan kita simpan di dalam ingatan jangka panjang kita. Oleh karena alasan seperti di atas itulah, dalam gelombang perkembangan budaya di era IT ini, masyarakat menaruh kembali harapan besar pada lembaga pendidikan sekolah untuk mengasuh putra-putri mereka. Masyarakat beranggapan bahwa sekolah sebagai sebuah komunitas belajar menyediakan kesempatan kepada putra-putri mereka untuk mengeksplorasi dan mengelola kebudayaan dunia secara lebih produktif melalui kemahir-wacanaan: membaca berbagai bidang pengetahuan, terampil menulis dan berkomunikasi lisan, dan peka terhadap perubahan, termasuk di dalamnya kegiatan mengapresiasi dan mencipta sastra. Orang tua siswa juga berharap agar putra-putrinya memiliki pemahaman tentang kehidupan sosial, ketekunan mengembangkan diri, sopan santun, menjadi lebih bermartabat, dan secara pribadi memberikan sumbangan untuk terbentuknya generasi yang memiliki kualitas yang tinggi (Joyce, Weil, dan Showers, 1992: 1), dan lebih dari itu, masyarakat percaya kepada sekolah sebagai institusi formal pembentuk kebiasaan dan kemampuan berpikir, sehingga pada gilirannya anak siap menghadapi perubahan zaman. Pada saat ini, pertumbuhan dan perkembangan siswa selain diarahkan melalui pendidikan sekolah, juga dipengaruhi oleh produk teknologi komunikasi dan informasi. Tayangan televisi, siaran radio, pemberitaan media cetak, dan internet memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengakses berbagai perkembangan informasi yang berlangsung dengan sangat cepat. Era globalisasi memposisikan siswa sebagai bagian dari arus perkembangan teknologi komunikasi informasi yang cenderung meniadakan batas-batas geografis negara dan identitas budaya. Pada saat ini, yang terjadi bukan hanya akulturasi budaya beserta tata nilai yang menyertainya, tetapi 25
sudah merupakan peleburan budaya. Salah satu konsekuensi sulit yang dihadapi oleh siswa ialah seringnya siswa mengalami dilema moral ketika harus membuat keputusan dengan tepat pada situasi kehidupan yang terus berubah. Di sinilah tugas mulia dari lembaga pendidikan, yaitu memberdayakan siswa agar mampu mengatasi dilema moral, sehingga pada gilirannya, mereka dapat bertahan dengan nilai moral yang terus-menerus mengalami perubahan. Besarnya tanggung-jawab lembaga pendidikan terhadap pembangunan moral anak bangsa diperlihatkan oleh Departemen Pendidikan Nasional RI melalui terbitnya salah satu kebijakan pendidikan nasional. Melalui Proyek Perluasan dan Peningkatan Mutu SLTP, Depdiknas sejak tahun 2001 telah mengimplementasikan Program Pembangunan Karakter Bangsa. Melalui Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, Depdiknas melakukan upaya sadar untuk memperbaiki, meningkatkan seluruh perilaku yang mencakup adat-istiadat, nilai-nilai, potensi, kemampuan, bakat, pikiran, dan cita-cita bangsa Indonesia, nilai-nilai luhur yang dibangun sebagai prioritas karakter bangsa, yakni iman, takwa, jujur, disiplin, demokrasi, adil, bertanggung jawab, cinta tanah air, mandiri, sehat, kreatif, berilmu/berkeahlian, dan berakhlak mulia (Muhammad, 2003: i). Mengapa pendidikan nilai dan akhlak mulia itu perlu dilakukan? Semiawan (2000: 4) menjawab pertanyaan itu dengan pernyataan bahwa kekerasan dan benturan-benturan sosial dapat dicegah sejak dini dengan mengedepankan kebersamaan dan pluralitas, prinsip-prinsip toleransi, dan anti terhadap segala bentuk kekerasan. Berdasarkan gagasan itu, proses pembelajaran dapat diberdayakan untuk mengembangkan kompetensi nilai moral sebagai fondasi tumbuhnya power of culturing. Hal yang terpenting bagi guru adalah melatih kesadaran, sikap berdisiplin, dan etos ilmiah peserta didik. Fungsi pendidikan tidak bisa lepas dari nilai-nilai yang ditanamkan. Fungsi imperatif itu diharapkan mampu memasuki wilayah budaya, pendidikan, dan ideologi. Pengalaman belajar yang diberikan di lembaga pendidikan diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam pembentukan dirinya menjadi makhluk yang mengedepankan nilai moral, dan kelak, bekal itu akan membawanya menjadi manusia Indonesia berakhlakul karimah. Salah satu kebijakan yang dapat dipilih untuk mewujudkan cita-cita manusia Indonesia yang mengedepankan semangat moral sebagai titik tolak berpikir, bersikap, dan bertindak, yakni dengan memberdayakan pembelajaran apresiasi sastra untuk pendidikan nilai moral. Mengapa pendidikan budaya dan karakter bangsa perlu memanfaatkan sastra sebagai wahananya? Jawabnya terletak pada hadirnya upaya tokoh-tokoh novel yang bergelut dengan zamannya, menghadapi tantangan dengan pantang menyerah. Bahkan, dalam karya sastra banyak diciptakan tokoh protagonis yang menunjukkan pribadi yang tangguh ketika berhadapan dengan tokoh antagonis yang menguras tenaga, pikiran, bahkan sampai pada peristiwa yang menguji ketangguhan kepribadian sang tokoh. Sastra dapat dijadikan sumber bahan pelajaran yang kaya nuansa. Oller (1983:12) memberikan pernyataannya sebagai berikut, “Literature (again, referring to those pieces involving plots and character) can provide contexts for language learning in which the language itself (its syntax, semantics, and pragmatic) becomes more memorable.” Menurut Oller, salah satu keunggulan sastra karena jenis wacana ini disusun secara periodik. Dengan menggunakan “Hipotesis Episode”, Oller menyatakan bahwa urutan logis dalam karya sastra menjadi lebih memudahkan siswa untuk memproduksi, memahami, dan menghapalkannya. Penyusunan cerita secara periodik itu dapat membangkitkan kembali ingatan siswa terhadap kebiasaan mendengarkan cerita dari orang tuanya. Selain itu, pada umumnya penyusunan cerita konsisten dengan pengalaman yang didapat oleh anak dalam kehidupannya yang nyata. Sastra juga dapat memajankan budaya setempat kepada anak-anak. Dengan membaca “Umi Kulsum” kumpulan cerpen karya Djamil Suherman, anak dapat mengetahui budaya pesantren dan masyarakat di sekitar pesantren. Dengan membaca roman “Tenggelamnya Kapal van Der 26
Wijck”, anak akan mengetahui sedikit tentang seluk-beluk kehidupan di Sumatera Barat, bagaimana cara orang Minangkabau memilih menantu, dan bagaimana orang laki-laki Minangkabau menjalankan tugasnya sebagai penanggung-jawab kemenakannya. Dengan membaca “Ajam Bekisar” oleh D. Zawawi Imron, kita diajak oleh pengarangnya untuk menghayati kehidupan, cara berpikir dan bersikap orang Madura. Melalui penghayatan terhadap isi cerita pendek “Ojhan sé’-résé’ ta’ enda’ terrang” kita dibawa oleh pengarang untuk ikut merasakan indahnya bertetangga saling menolong, meskipun dengan memberikan garam dan cabai. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penggunaan sastra sebagai sumber bahan pelajaran banyak memberikan keuntungan baik dari segi bahasa maupun dari sudut budaya. Beberapa aspek yang telah disebutkan di muka merupakan faktor yang sangat mendukung upaya menciptakan atmosfer alamiah di dalam kelas. Apresiasi nilai moral dapat menumbuhkan kesadaran bahwa terdapat kewajiban moral (oughtness) pada tiap-tiap keputusan dalam kehidupan, dan pengingkaran terhadap kewajiban tersebut membawa sanksi secara langsung atau tidak langsung. Kesadaran terhadap kewajiban moral ditunjukkan tidak dalam wujud seperangkat pengetahuan tentang hukum atau kaidah moral, melainkan dalam wujud keterampilan berpikir kritis atas setiap keputusan nilai dan sikap moral yang dipilihnya, dan secara konsisten teramati dalam hidup yang nyata. Di sinilah pentingnya pendidikan untuk melakukan hibridasi terhadap kearifan lokal (local wisdom) yang dimiliki masyarakat kita sejak zaman dahulu yang terkandung dalam sastra daerah, sebagai titik tolak untuk mendeskripsikan, mengidentifikasi, menglasifikasi, memilih, dan memutuskan nilai yang perlu dipelajari oleh siswa. Nilai yang dikembangkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional untuk kepentingan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa ada 16 Nilai seperti dipaparkan dalam kolom berikut. NILAI DAN DESKRIPSIPENDIDIKAN BUDAYA DAN KARAKTER BANGSA
Pembelajaran budaya Madura melalui bahasa dan sastra Madura untuk menanamkan kembali budaya Madura harus dianggap sebagai upaya memfasilitasi kegiatan penanaman nilai moral dan etika, sebagai dasar pembangunan karakter individu melalui program pendidikan. Adapun pelaksanaannya tercermin pada program intrakurikuler, ekstrakurikuler, kerjasama dengan masyarakat, dan penciptaan lingkungan sekolah yang kondusif (lihat Muhammad, 2003: 4). Akan halnya pencapaian kompetensi lintas kurikulum, guru mata pelajaran muatan lokal Bahasa Madura dapat bekerja sama dengan guru mata pelajaran lain, khususnya pelajaran Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Ilmu Pengetahuan Sosial dalam membahas topik-topik yang saling berhubungan. Kerja sama dengan guru ketiga mata pelajaran tersebut diarahkan pada 27
pencapaian standar kompetensi misalnya, siswa memiliki keyakinan, menyadari, serta menjalankan hak dan kewajiban, dan saling menghargai dan memberi rasa aman dalam kehidupan bermasyarakat dengan berbagai budaya dan agama; serta siswa berkreasi dan menghargai karya artistik, budaya, dan intelektual; serta siswa menerapkan nilai-nilai luhur untuk meningkatkan kematangan pribadi menuju masyarakat yang beradab. Tema-tema yang dikembangkan oleh pengarang dalam karya sastra daerah, begitu juga amanat yang tercermin dalam sastra daerah tersebut, mencakup berbagai problematika kehidupan manusia seperti kemiskinan, penindasan, kesewenang-wenangan, kelicikan, kerakusan, tanggung jawab, kegigihan menegakkan kebenaran, kejujuran, dan ketulusan cinta. Tokoh-tokoh atau peristiwa dalam sastra daerah menjadi media ekspresi pengarang untuk menggambarkan nilai yang hidup dan berkembang pada suatu kelompok atau gagasan atas sebuah nilai yang ditawarkan pengarang. Pembelajaran apresiasi nilai moral dalam karya sastra daerah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan, dan meningkatkan pengetahuan, maka masalah penting yang harus dipikirkan, yakni tersedianya model pembelajaran yang dapat menyediakan kesempatan bagi siswa untuk mengakomodasi dan mengasimilasikan informasi, mengonstruksi pengetahuan melalui proses interaksi, memecahkan masalah melalui proses inkuiri, menemukan model, melakukan refleksi atas proses belajar yang telah dan akan dilakukannya, dan merancang kegiatan lain untuk melakukan ekspansi dan transformasi pemahaman moral yang telah diperolehnya. Shaver dan Strong (1982: 22-31) memberikan penjelasan panjang-lebar tentang peringkat nilai moral yang semestinya diinternalisasikan pada anak didik kita. Dua orang ahli Amerika itu menyebutkan ada 2 (dua) nilai moral penting yang harus mendapatkan perhatikan, yaitu nilai moral pribadi dan nilai moral sosial. Nilai moral pribadi dan sosial itu tidak boleh dilihat sebagai dua hal terpisah karena keduanya terletak dalam kontinum seperti tampak pada gambar berikut.
Dari kedelapan nilai moral yang perlu direalisasikan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa terdapat nilai moral pusat, yaitu jujur/ dapat dipercayai. Nilai moral ini menjadi nilai moral dasar bagi nilai moral pribadi dan juga bagi nilai moral sosial. Selain nilai noral, Shaver dan Strong (1982: 22-31) juga menyebutkan ada 4 (empat) nilai non-moral yang perlu mendapatkan perhatian kita. Nilai non-moral yang dimaksud adalah: 1) nilai estetika, meliputi kemampuan menilai keindahan seperti dalam lukisan, pentas teater, karya sastra, termasuk di dalamnya menilai keindahan/kelezatan dalam seni memasak tradisional atau modern, serta menilai keindahan alam dan lingkungan sekitar; 2) nilai kinerja dan penampilan, yaitu kemampuan seseorang menunjukkan kinerja yang sebaikbaiknya, memuaskan banyak pihak karena kinerjanya memenuhi persyaratan baku seperti 28
layaknya ketepatan jam tangan diukur dari ketepatannya menunjuk waktu, bukan dari merk-nya atau pun dari perhiasan yang menempel pada permukaan jam tersebut; 3) nilai intrinsik, yaitu pemenuhan kebutuhan dasar yang bersifat pribadi, yaitu wisma, wanita, curiga, turangga, dan kukila. Tiga kebutuhan, yaitu wisma, wanita, curiga merupakan kebutuhan primer, sedangkan dua yang terakhir, yaitu turangga (kendaraan), dan kukila (burung, atau bunyi-bunyian sebagai hiburan) merupakan kebutuhan sekunder. Seseorang akan dinilai oleh orang lain dari caranya memenuhi kebutuhan primer dan sekunder tersebut, misalnya, memilih hidup sederhana sebagaimana layaknya orang, sehingga dia digolongkan sebagai orang Madura yang taat kepada peraturan dan hukum, karena dalam hidup dan kehidupannya ia berpedoman kepada nilai moral yang telah diwariskan oleh leluhurnya, seperti: ajja’ mowangan cemmer é katédungan (jangan merusak daerah tempat tinggalnya dengan perbuatan tidak bermoral), atau kennenganna kennengngé lalakonna lakoné (tempati tempat yang sudah disediakan, jangan menempati tempat orang lain; kerjakan pekerjaan yang telah dibebankan ke pundakmu, dan jangan melakukan pekerjaan yang bukan menjadi tanggung-jawabmu). 4) nilai instrumental, yakni ukuran nilai yang sangat pribadi, misalnya warna cat tembok atau perhiasan yang ada di dalam kelas: adakalanya seseorang menyenangi warna cerah, tetapi adakalanya pula orang lain menyukai warna yang kalem atau lembut. Begitu juga dengan musik: ada yang suka irama lembut, tetapi ada pula yang suka irama cepat dan meninggi. Itu semua adalah nilai instrumental, yaitu nilai untuk kepentingan pribadi masing-masing. Perhatikan puisi K.H. Mustofa Bisri dan Taufiq Ismail berikut ini. PILIHAN K.H. Mustofa Bisri Antara kaya dan miskin tentu kau pilih miskin Lihatlah kau seumur hidup tak pernah merasa kaya Antara hidup dan mati tentu kau memilih mati Lihatlah kau seumur hidup mati-matian Antara perang dan damai tentu kau memilih damai Lihatlah kau habiskan umurmu menyembunyikan Kebiadaban dalam peradaban Antara nafsu dan nurani tentu kau memilih nurani Lihatlah kau sampai menyimpannya rapi jauh dari kegalauan dunia Antara dunia dan akhirat tentu kau memilih akhirat Lihatlah kau sampai menamakan amal-duniamu Sebagai amal akhirat Antara ini dan itu Benarkah kau memilih itu?
PELAJARAN TATABAHASA DAN MENGARANG Taufiq Ismail “Murid-murid, pada hari Senin ini Marilah kita belajar Tatabahasa Dan sekaligus juga belajar mengarang 29
Bukalah buku pelajaran kalian Halaman enam puluh sembilan “Ini ada kalimat menarik hati, berbunyi ‘Mengeritik itu boleh, asal membangun’ Nah anak-anak, renungkanlah makna ungkapan itu Kemudian buat kalimat baru dengan kata-katamu sendiri.” Demikianlah kelas itu sepuluh menit dimasuki sunyi Murid-murid itu termenung sendiri-sendiri Ada yang memutar-mutar pensil dan balpoin Ada yang meletakkan ibu jari di dahi Ada yang salah tingkah, duduk gelisah Memikirkan sejumlah kata yang bisa serasi Menjawab pertanyaan Pak Guru ini “Ayo siapa yang sudah siap?” Maka tak ada seorang mengacungkan tangan Kalau tidak menunduk sembunyi dari incaran guru Murid-murid itu berpandangan saja Akhirnya ada seorang disuruh maju ke depan Dan dia pun memberikan jawaban “Mengeritik itu boleh, asal membangun” Membangun itu boleh, asal mengeritik Mengeritik itu tidak boleh, asal tidak membangun Membangun itu tidak asal, mengeritik itu boleh tidak Membangun mengeritik itu boleh asal Mengeritik itu membangun itu asal boleh Mengeritik itu membangun Membangun itu mengeritik Asal boleh mengeritik, boleh itu asal Asal boleh membangun, asal itu boleh Asal boleh itu mengeritik boleh asal Itu boleh asal membangun asal boleh Boleh itu asal Asal itu boleh Boleh boleh Asal asal Itu itu Itu.” ....................... “Anak-anak, bapak bilang tadi Mengarang itu harus dengan kata-kata sendiri Tapi tadi tidak ada kosakata lain sama sekali Kalian Cuma mengulang bolak-balik yang itu-itu juga 30
Itu kelemahan kalian yang pertama Dan kelemahan kalian yang kedua Kalian anemi referensi dan melarat bahan perbandingan Itu karena malas membaca buku apalagi karya sastra.” “wahai Pak guru, jangan kami disalahkan apalagi dicerca Bila kami tidak mampu mengembangkan kosakata Selama ini kami ‘kan diajar menghafal dan menghafal saja Mana ada dididik mengembangkan logika Mana ada diajar berargumentasi dengan pendapat berbeda Dan mengenai masalah membaca buku dan karya sastra Pak guru sudah tahu lama sekali Mata kami rabun novel, rabun cerpen, rabun drama, dan rabun puisi “Tapi mata kami ‘kan nyalang bila menonton televisi.” Setelah membaca kedua puisi di atas, muncullah beberapa pertanyaan yang terkait dengan pendidikan nilai dan pendidikan karakter yang menjadi perhatian kita hari ini. Baca dan pahami pertanyaan-pertanyaan berikut. Setelah membaca “Pilihan” karya Mustofa Bisri, ajaklah anak didik kita untuk merenungkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mempertanyakan kejujuran kita pada saat kita berhadapan dengan pertanyaan hidup tersebut. 1. Jujurkah kita ketika menjawab pertanyaan Mustofa Bisri tentang pilihan kita? 2. Jika kita tidak jujur, berapa kalikah kita tidak jujur? Pantaskah kita disebut sebagai pendusta padahal kita hanya tidak jujur kepada diri sendiri? 3. Tidak bolehkah kita bekerja keras, kemudian lupa pada diri sendiri, lupa kepada orang di sekeliling kita, dan bahkan lupa kepada Tuhan? 4. Apakah ada yang melarang kita untuk menikmati sendiri hasil kerja sendiri tanpa mempedulik kepada pihak lain yang mungkin memerlukan uluran tangan kita? 5. “Di zaman sekarang ini, seseorang harus berpikir untuk dirinya dan keluarganya. Jika kita dalam masalah dan ditimpa kesulitan, seringkali tidak ada orang lain yang mau mengulurkan tangannya untuk menolong kita.” Apa pendapat anak-anak kita terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut? Apa yang harus kita tempuh untuk membawa anak menghayati sikap positif yang kita harapkan? Dari potongan puisi Taufiq Ismail berjudul “Tatabahasa dan Pelajaran Mengarang”, ajaklah peserta didik untuk berdiskusi dan bertukar pendapat untuk menjawab beberapa pertanyaan yang terkait dengan sikap kita terhadap orang lain, kebiasaan kita membenarkan diri sendiri, dan keengganan kita menghargai karya orang lain yang tidak memenuhi standar kita sendiri. Baca, renungkan, dan jawab tersebut, kemudian lakukan penilaian terhadap diri kita sendiri. 1. Meletakkan orang lain (termasuk di dalamnya siswa kita) dalam suasana tertekan karena mereka berada di bawah kekuasaan kita kadang-kadang sangat mengasikkan dan memberikan kesenangan tersendiri. Jawab Ya atau Tidak. Berikan alasan pembenaran atau penolakan terhadap sikap Anda tersebut! 2. Sebaiknya, siswa diberi tugas yang menantang, merangsang mereka bersaing di kelas, dan dikontrol dalam waktu yang sangat ketat. Jawab Ya atau Tidak. Apakah Anda sering melakukan hal itu, atau jarang, atau bahkan tidak pernah. Nilai apa yang Anda pertimbangkan akan dicapai dengan penugasan seperti itu?
31
3. Mendahulukan orang, memberikan kesempatan selagi kita mampu memberi, meringankan beban orang selagi kita mampu mengulurkan tangan. Setujukah Anda dengan pernyataan itu? Maukah Anda melakukannya kepada anak didik Anda? 4. Jika orang tidak hormat kepada kita, kenapa kita harus menghormatinya. Jika anak-anak kurang ajar di kelas, sudah sepatutnya mereka dihukum di hadapan teman-temannya. Dapatkah Anda melakukan itu tanpa ada rasa bersalah di dalam dada Anda? 5. Sekolah telah menyusun garis-garis aturan untuk mendisiplinkan siswa dan membiasakan mereka taat terhadap cara-cara sekolah mencapai kompetensi yang terkait pembentukan karakter. Apakah Anda tergolong kepada orang yang berdaya upaya menegakkan aturan? SIKAP POSITIF DAN KEPEDULIAN (GOOD WILL) PEMERINTAH TERHADAP PEMBERDAYAAN BAHASA DAERAH India dan Thailand adalah contoh dari beberapa negara tetangga yang berhasil menjaga kelestarian bahasa ibu yang hidup di negara mereka. Di India dan Thailand, tulisan Hindi dan Thai diperlakukan sebagai tulisan resmi negara. Singh (2010), dalam seminar internasional tentang pemertahanan bahasa ibu, menjelaskan bahwa negara India melakukan beberapa hal untuk melestarikan bahasa Hindi. Pertama dan utama, menetapkan gagasan politis, bukan merumuskan bahasa Hindi secara linguistik. Penetapan ini bertujuan untuk menjadikan “mother tongue becomes a rallying point for group of people to unite and express their solidarity more as a political entity” (Singh, 2010). Oleh karena itu, pemerintah memberikan wewenang kepada Dinas Pendidikan tingkat Provinsi untuk menetapkan kebijakan dan melakukan program pelestarian bahasa daerah di wilayah provinsi masing-masing. Kedua, pemerintah melakukan penelitian tentang fungsi bahasa daerah di dalam interaksi keluarga dan di luar keluarga. Dari penelitian ini, pemerintah memperoleh informasi bahwa bahasa Madura digunakan oleh ibu untuk berkomunikasi dengan putra-putrinya sejak masa kanak-kanak. Oleh karena itu, bahasa daerah adalah bahasa yang paling siap digunakan sebagai bahasa berpikir. Ketiga, untuk membangun kecintaan terhadap bahasa daerah, pemerintah mempelopori beberapa lomba terkait keterampilan berbahasa Madura, di antaranya kecepatan mengetik dengan komputer, menulis dan membacakan pidato, menulis cerpen dan puisi, menulis surat kepada orang tua atau sahabat. Keempat, pemerintah mewajibkan koran lokal untuk menyediakan kolom khusus untuk berita atau karya dalam bahasa daerah. Kelima, pemerintah hendaknya memberikan penghargaan terhadap putra daerah yang menghasilkan karya dalam bahasa daerah, terutama upaya penggunaan bahasa daerah dalam ilmu Pengetahuan. KESIMPULAN Penawaran pembelajaran bahasa dan sastra untuk menjadi wahana pendidikan nilai moral dalam budaya dan karakter bangsa didasarkan pada pandangan alternatif bahwa bahasa dan sastra Madura berpotensi untuk menjadi institusi yang memberi harapan bagi manusia untuk berbicara tentang realitas kehidupan yang hakiki. Realitas yang tidak berpijak pada gejala yang tampak, tetapi pada makna dari gejala yang tampak. Karya sastra merupakan tawaran imajinatif yang kaya dengan pilihan kemungkinan tentang struktur kehidupan yang kompleks. Dengan mengutip pandangan Michael Novak (Lickona, 1991: 50) dapat kita nyatakan bahwa unsur pembentuk sikap bisa dilacak dari tradisi keagamaan, cerita sastra berbasis kebudayaan lokal (indegeneous), nasihat kebijakan (sage), dan pandangan hidup tokoh yang mengalir secara turuntemurun secara historis melalui wacana bahasa dan sastra.
32
DAFTAR RUJUKAN
Hazlitt, Henry. 2003. Dasar-Dasar Moralitas. Terjemahan oleh Cuk Ananta Wijaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Joyce, B.; Weil, M.; Showers, B. Models of Teaching. Boston: Allyn and Bacon. Kartini. 1985. Surat-Surat Kartini. Terjemahan oleh Sulastin Soetrisno. Jakarta: Penerbit Jambatan. Kayam, Umar. Parta Krama. Harian Kompas, 23 Februari 1997. Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana Yogya. Lickona, T. 1991. Educating for Character: How Our Schools can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books. Muhammad, Hamid. 2003. Petunjuk Pelaksanaan Program Pembangunan Karakter Bangsa. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Pendidikan dasar dan Menengah, Direktoral Pendidikan Lanjutan Pertama. Oller, J. W., Jr. (Ed.), 1983. Issues in Language Testing Research. Rowley, Massachusetts: Newbury House. Reigeluth, C. 1999. The elaboration theory: Guidance for scope and sequence decisions. In C.M. Reigeluth (ed.), Instructional-Design Theories and Models: A New Paradigm of Instructional Theory, Volume ii. (pp. 425-459). Hillsdale, N. Lawrence Erlbaum Associates. Rifa’i, Mien A. 2012. Memadurakan Memuda Madura Menjadi Manusia Idaman Abad XXI. Tidak diterbitkan. Makalah Kongres Kebudayaan madura II. Sumenep: Said Abdullah Institute. Seelye, H. Ned. 1994. Teaching Culture, Strategies for Intercultural Communication. Lincolnwood, Illinois, USA: National Textbook Company. Semiawan, Conny R. 2000. Membuka Masa Depan Anak-anak Kita (Bab dalam Buku). Dalam Relevansi Kurikulum Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Kanisius. Shaver, James P. dan Strong, William. 1982. Facing Value Decisions: rational Building for Teachers. Amsterdam Avenue, New York, NY: Teacher College Express, Columbia University. Singh, Mrityunjay. 2010. Literacy Education through Mother Tongue. Makalah Seminar Internasional Pembelajaran Bahasa Ibu, Bandung: Pusat Bahasa. The Oxford Companion to American Literature. UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003.
33
34
KEKERASAN SIMBOLIK DENGAN STRATEGI PENGONOTASIAN DAN PENGIASAN (SYMBOLIC VIOLENCE WITH CONNOTATIONS AND FIGURE OF SPEECH STRATEGIES) Roekhan Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang, Jl. Semarang 5 Malang, e-mail
[email protected] Abstract Symbolic Violence with Connotations and Figure of Speech Strategies. Symbolic violence is the imposition of vague meaning, logic bias, and the bias that it was accepted by the reader as the meaning is clear, the logic is right, and positive values . Connotation strategy in the form of symbolic violence packaging information with the word, phrase, or statement implies connotations, meaning evaluative or emotive meaning. Connotation strategy used to (a) raise, (b) degrading, (c) strengthening, and (d) weaken information. The figure of speech strategy is to wrap the information with figurative language. The figure of speech strategies used are of two kinds, namely: (a) figure of speech direct (metaphor) and (b) figure of speech indirect. Keywords: symbolic violence,connotation strategy, figure of speech strategy, figuratively direct, indirect allusion
Abstrak Kekerasan Simbolik dengan Strategi Pengonotasian dan Pengiasan. Kekerasan simbolik adalah pemaksaan makna kabur, logika bias, dan nilai bias agar hal itu diterima oleh pembaca sebagai makna yang jelas, logika yang benar, dan nilai yang positif. Strategi pengonotasian dalam kekerasan simbolik berupa pengemasan informasi dengan kata, ungkapan, atau pernyataan yang mengandung makna konotasi, makna evaluatif, atau makna emotif. Strategi pengonotasian digunakan untuk (a) meninggikan, (b) merendahkan, (c) menguatkan, dan (d) melemahkan informasi. Strategi pengiasan adalah membungkus informasi dengan bahasa kias. Strategi pengiasan yang digunakan ada dua macam, yaitu (a) pengiasan langsung (pemetaforaan) dan (b) pengiasan tidak langsung. Kata-kata kunci: kekerasan simbolik, strategi pengonotasian, strategi pengiasan, kiasan langsung, kiasan tidak langsung
PENDAHULUAN Berdasar teori Bourdieu, Roekhan (2009) mendefinisikan pengertian kekerasan simbolik secara lebih jelas dan lebih konkrit. Menurut Roekhan (2009), kekerasan simbolik adalah pemaksaan makna kabur, logika bias, dan nilai bias agar hal itu diterima oleh pembaca sebagai makna yang jelas, logika yang benar, dan nilai yang positif . Makna, logika dan nilai tersebut disampaikan dengan kemasan bahasa yang halus dan samar sehingga informasi yang disampaikan penulis menjadi kabur. Makna kabur ini merupakan salah satu wujud informasi yang tidak lugas (Roekhan, 2009). 35
Uraian di atas menunjukkan bahwa penyamaran atau pengaburan informasi yang bias dalam teks berita dilakukan oleh penulis melalui strategi penghalusan makna (Roekhan, 2009; periksa pula Roekhan, 2007). Melalui strategi penghalusan makna, informasi yang disampaikan dalam teks berita menjadi samar dan bertafsir. Strategi penghalusan informasi yang lazim digunakan penulis dalam teks berita, antara lain penghalusan informasi dengan pelabelan positif dan negatif, dan penghalusan informasi dengan pengiasan dan pengonotasian. Dalam teks berita, penggunaan kiasan dimaksudkan untuk memperhalus atau menyamarkan informasi yang diberitakan. Penggunaan kiasan membuat informasi yang disampaikan menjadi bertafsir. Sementara itu, konotasi membuat informasi yang disampaikan mengandung makna tambahan (bernilai rasa). Baik penggunaan kiasan maupun konotasi, membuat informasi yang disampaikan dalam teks berita menjadi kabur dan bertafsir (periksa Roekhan, 2009 dan 2007). METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Data penelitian ini berupa teks berita di surat kabar. Teks berita berasal dari surat kabar Kompas, Jawa Pos, dan Suara Pembaharuan. Teks berita dianalisis dengan analisis wacana kritis. HASIL DAN PEMBAHASAN Strategi Pengonotasian dalam Kekerasan Simbolik Konotasi berarti (a) makna yang ditambahkan pada makna denotasi, dan (b) tautan pikiran yang menimbulkan nilai rasa pada seseorang ketika berhadapan dengan sebuah kata. Berdasarkan arti istilah konotasi tersebut, istilah pengonotasian berarti (a) menciptakan makna untuk ditambahkan pada makna denotasi, dan (b) membuat tautan pikiran yang dapat menimbulkan nilai rasa pada seseorang ketika berhadapan dengan sebuah kata (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 2009). Berkaitan pengertian di atas, pengonotasian berarti pengemasan informasi yang akan disampaikan kepada khalayak melalui teks berita dengan menggunakan kata, ungkapan, atau pernyataan yang mengandung makna konotasi, makna evaluatif, atau makna emotif (periksa Keraf, 1984). Pengonotasian dalam teks berita dimaksudkan untuk (a) meninggikan, (b) merendahkan, (c) menguatkan, dan (d) melemahkan (Roekhan, 2009). Penggunaan pengiasan dan pengonotasian dalam teks berita sebagaimana disajikan di bawah ini. Strategi Pengonotasian untuk Meninggikan Penggunaan kata atau ungkapan yang bermakna konotatif dapat membuat informasi yang disampaikan menjadi samar, halus (Roekhan, 2009). Penggunaan pengonotasian untuk menghaluskan informasi dalam teks berita sebagaimana tampak pada contoh berikut. (01) Hampir setiap hari dia harus melayani keluhan, pengaduan, dan unjuk rasa warga, terutama yang rumahnya terendam lumpur panas (Kompas, 2007) (02) Tidak tahan menyaksikan lambannya pembayaran hak warga itu, Imam mengaku bahwa dirinya telah menegur manajemen Lapindo secara pribadi dan menekan mereka untuk menyelesaikan 20 persen pembayaran sebelum akhir Mei 2007 ini (Jawa Pos, 2007). (03) Dalam hearing terselip, guber-nur menjelaskan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menaruh perhatian serius terhadap kasus lumpur. SBY, kata gubernur, bahkan bertanya tentang ancaman warga yang akan menggelar aksi demo ke Ja-karta. “Presiden mendapat ba-nyak SMS dari warga Porong,” ujar gubernur (Jawa Pos, 2007). Contoh (01) adalah pernyataan bupati Sidoarjo yang berkaitan dengan pemberian ganti rugi lahan dan bangunan warga yang terendam lumpur panas, yang tidak kunjung terealisasi. 36
Penggunaan kata melayani mengandung pengertian ‘bupati menjadi pelayan warga’. Bupati bertindak aktif untuk mendengarkan, mencerna pengaduan dan keluhan warga dan mencarikan solusinya. Itu berarti bupati mendudukkan warga secara terhormat (orang yang dilayani) dan memperlakukannya secara baik. Makna ini mengandung konotasi ‘meninggikan’ bupati sebagai seorang pemimpin yang baik dan penuh pengabdian. Akan timbul nilai rasa yang berbeda kalau bupati menggunaan kata atau ungkapan menerima atau mendengarkan. Kedua kata tersebut mengandung pengertian ‘bupati bertindak pasif dalam menghadapi pengaduan dan keluhan warga tentang pemberian ganti rugi lahan dan bangunan mereka yang terendam lumpur ’. Bupati hanya menerima pengaduan, tetapi tidak menindaklanjutinya dengan mencarikan jalan penyelesaiannya. Contoh (02) merupakan pernyataan gubernur Jatim (Imam Utomo) ketika menjawab pertanyaan wartawan tentang realisasi pemberian ganti rugi lahan dan bangunan warga yang terendam lumpur. Imam merasa sedih melihat warga yang belum mendapatkan ganti rugi lahan dan bangunan mereka nyang terendam lumpur. Pernyataan tidak tahan pada contoh (02) mengandung pengertian ‘gubernur sangat berempati dan memiliki perhatian yang tinggi kepada warga yang sawah dan rumah mereka terendam lumpur’. Gubernur digambarkan sangat berempati, merasa sakit, dan sedih melihat warga korban lumpur yang belum menerima ganti rugi atas tanah dan rumah mereka yang terendam lumpur. Timbulnya makna konotasi positif ini membuat pembaca menaruh simpati kepada gubernur. Gubernur dipandang sebagai pemimpin yang baik karena memiliki perhatian yang sungguh-sungguh kepada warga, terutama warga yang terkena musibah (periksa Roekhan, 2007 dan Eriyanto, 2006). Contoh (03) juga merupakan pernyataan gubernur ketika melakukan hearing dengan DPRD Jawa Timur tentang penanganan semburan lumpur panas Sidoarjo. Pernyataan presiden menaruh perhatian serius pada contoh (03) mengandung pengertian ‘presiden bersungguh-sungguh dalam berusaha menangani semburan lumpur beserta dampak yang ditimbulkannya’. Pernyataan tersebut juga bermakna bahwa ‘presiden adalah pemimpin yang sangat memperhatikan rakyatnya’. Makna ini mengundang tumbuhnya rasa hormat pembaca kepada presiden. Dengan demikian, konotasi yang timbul pada contoh (03) di atas adalah konotasi yang bersifat meninggikan (Roekhan, 2009; periksa pula Sudibyo, 2006 dan Eriyanto, 2005). Strategi Pengonotasian untuk Merendahkan Selain untuk meninggikan, penggunaan kata atau pernyataan yang mengandung konotasi dalam teks berita juga digunakan untuk merendahkan sesuatu atau seseorang (Roekhan, 2009). Penggunaan pengonotasian dalam teks berita yang dimaksudkan untuk meninggikan sebagaimana tampak pada contoh berikut. (04) Ia menyebutkan, sejumlah fasilitas yang diberikan pemerintah kepada para politisi dan pengurus Partai Golkar melebihi kewajaran (Kompas, 2007). (05) Para pengusaha meminta nota kesepahaman penggantian pabrik yang terendam dibuat secara transparan dan bersama-sama. Selama ini, menurut Ketua GPKLL SH Ritonga, Lapindo membuat nota kesepahaman secara sepihak dan kerap mengingkarinya (Kompas, 2007). (06) Pembelaan atas nasib korban luapan lumpur panas Lapindo di Sidoarjo harus bebas dari segala bentuk politisasi, cari muka, dan makelar proyek bencana (Kompas, 2007). Contoh (04) merupakan pernyataan Akbar Tanjung. Pernyataan tersebut merupakan kritik Akbar terhadap pemerintah yang dinilai memberikan fasilitas berlebihan dan perlakuan khusus kepada para politisi Partai Golkar yang menjadi pengusaha. Pernyataan melebihi kewajaran pada contoh (04) mengandung pengertian bahwa fasilitas dan perlakuan pemerintah kepada para politisi Partai Golkar melampaui batas yang diperkenankan oleh aturan. Hal itu berarti bahwa 37
‘pemerintah berlaku tidak adil’, ‘pemerintah melanggar ketentuan yang telah ditetapkan dan disepakati bersama’. Pengertian ini bersifat merendahkan pemerintah. Contoh (05) merupakan hasil refleksi penulis berdasarkan hasil wawancara penulis dengan ketua Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo (GPKLL) tentang pemberian ganti rugi pabrik mereka yang terendam lumpur. Pernyataan secara transparan mengandung pengertian ‘PT Lapindo Brantas tidak atau kurang transparan dalam hal pemberian ganti rugi pabrik yang terendam lumpur’. Pernyataan bersama-sama berarti ‘PT Lapindo Brantas menentukan nilai pemberian ganti rugi pabrik yang terendam lumpur panas secara sepihak’. Hal itu dipertegas dengan pernyataan secara sepihak pada kalimat berikutnya. Pernyataan kerap mengingkarinya berarti ‘PT Lapindo Brantas tidak menepati janji, tidak bisa dipercaya, serta biasa menebar janjijanji kosong kepada para korban semburan lumpur dan setelah itu mengingkarinya’. Dengan demikian, pernyataan tersebut bersifat merendah-kan PT Lapindo Brantas. Dikatakan merendahkan karena informasi tersebut tidak disertai informasi konfirmatif dari sumber yang didominasi dan direndahkan . Contoh (06) merupakan pernyataan Hasyim Muzadi, ketua PBNU. Pernyataan tersebut merupakan kritik Hasyim atas kinerja DPR dalam menangani semburan lumpur dan dampak yang ditimbulkannya. Oleh Hasyim, DPR dinilai sering menyalahgunakan kedudukan dan kewenangan yang dimilikinya untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Ungkapan politisasi, cari muka, dan makelar proyek bencana mengandung pengertian bahwa ‘DPR cenderung memolitisasi masalah, peristiwa, atau apa pun’, ‘DPR cenderung memanfaatkan setiap kesempatan untuk mencari popularitas diri atau kelompoknya’, ‘DPR cenderung memanfaatkan setiap kegiatan untuk mendapatkan keuntungan finansial’. Dalam pernyataan tersebut Hasyim melihat institusi DPR dari sisi negatif. Sementara itu, di antara anggota DPR terdapat anggota DPR yang menjalankan peran dan fungsinya sebagai wakil rakyat dengan baik. Pernyataan itu bersifat merendahkan DPR karena tidak disertai dengan informasi konfirmatif dari DPR atau sumber lain yang netral. Pernyataan itu juga menafikan keberadaan anggota DPR yang melaksanakan tugas dan kewajiban mereka dengan baik (periksa Roekhan, 2007; Sudibyo, 2006; dan Eriyanto, 2005). Strategi Pengonotasian untuk Menguatkan Penggunaan kata, ungkapan, atau pernyataan bermakna konotatif selain mengandung nilai rasa meninggikan dan merendahkan, juga ada yang mengandung nilai rasa menguatkan atau melemahkan sesuatu atau seseorang. Penggunaan makna konotasi untuk menguatkan informasi yang disam-paikan dalam teks berita sebagaimana tampak pada contoh berikut. (07) Apa akibat bencana lumpur terhadap program pembangunan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo? Hancur berantakan. Terus terang, secara pribadi saya kecewa. Kecewa sekali karena banyak program pembangunan tidak bisa berjalan. Padahal, kami sudah mempersiapkannya. Permasalahan Lapindo ini telah mengakibatkan lingkungan rusak dan tatanan sosial berantakan. Sekali lagi, secara pribadi saya sangat kecewa (Kompas, 2007). (08) Terus terkatung-katungnya proses pembayaran ganti rugi membuat para korban Lumpur kemarin kembali melakukan aksi blokade jalan (Jawa Pos, 2007). (09) Hingga kemarin aksi ratusan warga Perum TAS I masih berlangsung, malah aksi itu makin menjadi-jadi (Jawa Pos, 2007). Contoh (07) adalah pernyataan bupati Sidoarjo. Pernyataan itu berkaitan dengan kekecewaan bupati terhadap semburan lumpur yang merusak program pembangunan kabupaten Sidoarjo. Pernyataan hancur berantakan pada contoh (07) berarti ‘program pembangunan kabupaten
38
Sidoarjo tidak terlaksana sama sekali’. Pernyataan tidak bisa berjalan juga berarti ‘program pembangunan kabupaten Sidoarjo tidak bisa dilaksanakan, gagal’. Sementara itu, pernyataan tatanan sosial berantakan berarti ‘kehidupan sosial di kabupaten Sidoarjo rusak berat’. Pernyataan program pembangunan hancur berantakan, program pembangunan tidak bisa berjalan, dan tatanan sosial berantakan pada contoh (07) di atas lemah. Sebab, daerah kabupaten Sidoarjo yang terkena dampak semburan lumpur kurang dari 1%. Artinya, masih terdapat 99% lebih wilayah kabupaten Sidoarjo yang program pembangunannya masih bisa berjalan baik. Itu juga berarti tatanan sosial masyarakat yang berada di wilayah seluas 99% lebih tersebut masih berjalan baik. Pernyataan hancur berantakan, tidak bisa berjalan, dan berantakan bermakna ‘menguatkan’ kesan kehancuran, kerusakan, dan kendala yang dihadapi pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan daerah. Contoh (08) merupakan hasil refleksi penulis atas keadaan warga yang belum mendapat pembayaran ganti rugi lahan dan bangunan mereka yang terendam lumpur. Refleksi penulis tersebut didasarkan atas hasil pengamatan penulis terhadap warga yang sedang melakukan demonstrasi untuk menuntut ganti rugi kepada PT Lapindo. Ungkapan terus terkatung-katung pada contoh (08) mengandung pengertian bahwa ‘masalah pemberian ganti rugi lahan dan bangunan warga yang terendam lumpur selalu tidak jelas’. Kondisi warga yang demikian seperti layang-layang putus yang tersangkut di dahan pohon dan terayun-ayun di sana. Dalam kenyataannya, masalah pembayaran ganti rugi tersebut masih menunggu penyelesaian persyaratan legalitas yang diminta oleh PT Lapindo Brantas. Persyaratan tersebut diperlukan agar pemberian ganti rugi dalam format jual beli itu tidak bermasalah di kemudian hari. Persyaratan yang diminta adalah sertifikat tanah. Sertifikat tanah tersebut masih dalam proses penyelesaian oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Penggunaan pernyataan terkatung-katung mengandung konotasi ‘menyangatkan’ atau ‘menguatkan’. Pernyataan tersebut mengandung pengertian ‘PT Lapindo Brantas sengaja menelantarkan warga’. Contoh (09) juga merupakan hasil refleksi penulis atas perilaku warga yang terus berdemo untuk menuntut pembayaran ganti rugi lahan dan bangunan mereka yang terendam lumpur. Pernyataan makin menjadi-jadi mengandung pengertian melampaui batas yang diizinkan, berlebihan dan tidak terkendali. Sementara itu, dalam kenyataannya warga yang berdemo tidak melakukan perusakan, tidak melakukan tindakan yang membahayakan, atau menyakiti orang lain. Dengan demikian, pernyataan makin menjadi-jadi itu bersifat menguatkan kesan kepada pembaca bahwa warga tetap gigih berdemo untuk menuntut realisasi pembayaran ganti rugi lahan dan bangunan rumah yang terendam lumpur (Roekhan, 2009; periksa pula Roekhan, 2007). Strategi Pengonotasian untuk Melemahkan Selain untuk menguatkan kesan, pengonotasian dalam teks berita juga digunakan untuk melemahkan kesan pembaca sebagaimana tampak pada contoh berikut. (10) ... jual beli tanah antara korban lumpur panas dengan Lapindo menyimpan potensi masalah (Kompas, 2007) (11) Perusahaan migas yang memicu banjir lumpur sebelas bulan lalu itu hanya menggunakan jasa satu orang notaris untuk menangani klaim ganti rugi ratusan warga korban lumpur (Jawa Pos, 2007). (12) Ke-23 pabrik tersebut mempekerjakan 1.700 karyawan dan nasib mereka tidak jelas (Suara Pembaharuan, 2007). Contoh (10) adalah pernyataan ahli hukum agraria Universitas Airlangga, Agus Sekarmadji. Menurut Agus, berdasarkan UU Pokok Agraria atau UU Nomor 5 Tahun 1960, hanya ada dua
39
subjek hukum yang boleh memiliki tanah dengan status hak milik, yaitu warga negara Indonesia dan badan hukum tertentu. Badan hukum yang boleh memiliki tanah itu diatur dalam PP Nomor 38 Tahun 1963. Badan hukum tersebut, seperti bank, koperasi, dan badan hukum yang bertujuan sosial. Berdasarkan ketentuan tersebut, PT Lapindo Brantas tidak termasuk badan hukum yang dibenarkan untuk memiliki tanah. Pernyataan Agus tersebut dimuat di Kompas tanggal 5 Desember 2006. Pernyataan Agus itu merupakan tanggapan atas pernyataan PT Lapindo Brantas tentang pemberian ganti rugi lahan dan bangunan warga yang terendam lumpur. PT Lapindo menyatakan bahwa perusahaan memenuhi seluruh tuntutan warga korban lumpur tentang nilai ganti rugi tanah dan bangunan. Perusahaan juga menyatakan bahwa pembayaran ganti rugi tersebut akan dilakukan secara bertahap dan penyelesaiannya paling lambat tahun 2008. Pernyataan Agus pada contoh (10) bahwa proses jual beli tanah warga yang terendam lumpur oleh PT Lapindo Brantas menyimpan potensi masalah bersifat ‘melemahkan’ pernyataan PT Lapindo Brantas yang telah dipaparkan di atas. Artinya, proses jual beli tanah dan bangunan warga oleh PT Lapindo Brantas akan banyak menghadapi kendala dan sulit bisa diselesaikan pada tahun 2008. Contoh (11) adalah pernyataan Gubernur Jawa Timur, Imam Utomo. Pernyataan tersebut merupakan kritik gubernur atas lambannya proses pembayaran ganti rugi oleh PT Lapindo Brantas kepada warga yang tanah dan rumahnya terendam lumpur. Kelambanan pembayaran ganti rugi itu salah satunya disebabkan oleh PT Lapindo hanya menunjuk satu orang notaris untuk menangani pembayaran ganti rugi tersebut. Sementara itu, warga yang harus diberi ganti rugi berjumlah ribuan keluarga. Menurut Imam, dengan menggunakan satu orang notaris, maka pembayaran ganti rugi tersebut akan memakan waktu sangat lama. Hal itu merugikan warga yang akan menerima ganti rugi. Pernyataan gubernur hanya satu orang notaris ‘melemahkan kesan’ realisasi pembayaran ganti yang telah dilakukan oleh PT Lapindo. Contoh (11) adalah hasil refleksi penulis berdasarkan hasil wawancara-nya dengan Ketua Gabungan Pengusaha Korban Lumpur (GPKL), Joko Abadi Sapto seusai pertemuan GPKL dengan Wakil Bupati Sidoarjo. Menurut Sapto, ada 23 perusahaan yang terendam lumpur. Sejak terendam lumpur, ke-23 pabrik itu tidak bisa beroperasi. Akibatnya, 1.700 karyawan pabrik tersebut tidak bisa bekerja. Ke-23 perusahaan tersebut mengajukan tuntutan ganti rugi kepada PT Lapindo Brantas sebesar 425 miliar rupiah. Perusahaan-perusahaan tersebut menghendaki penggantian secara cash and carry (kontan). Pertimbangannya, dengan penggantian secara kontan, perusahaan-perusahaan itu segera dapat merelokasi pabrik mereka ke tempat baru dan mempekerjakan kembali karyawan mereka yang saat ini menganggur. Sayang, tuntutan mereka belum mendapatkan tanggapan yang jelas dari PT Lapindo Brantas. Sementara itu, sudah sepuluh bulan perusahaan-perusahaan itu terendam lumpur (sudah sepuluh bulan masalah pabrik mereka tidak mendapat tanggapan dari PT Lapindo Brantas Inc.). Pernyataan penulis nasib mereka tidak jelas pada contoh (12) di atas bersifat ‘melemahkan’ upaya yang telah dilakukan oleh PT Lapindo Brantas untuk memberi ganti rugi kepada perusahaan yang terendam lumpur. PT Lapindo sudah menawarkan untuk merelokasi ke-23 pabrik yang terendam lumpur tersebut ke lokasi lain. Lokasi itu berupa lokasi siap bangun yang dilengkapi dengan prasarana jalan, listrik dan telepon, tetapi tanpa peralatan pabrik. Penggantian dengan cara ini ditolak oleh ke-23 pabrik karena menurut mereka pabrik mereka tenggelam dengan seluruh peralatannya. Untuk itu, mereka menuntut penggantian secara cash and carry. Sementara itu, sampai saat ini belum diketahui secara pasti penyebab semburan lumpur tersebut. Artinya, PT Lapindo Brantas belum bisa ditentukan sebagai pihak yang bersalah. Dengan demikian, tawaran 40
penggantian yang disampaikan oleh PT Lapindo Brantas bisa dipandang sebagai niat baik Lapindo untuk menolong perusahaan yang terendam lumpur. Pernyataan nasib mereka tidak jelas yang dikemukakan penulis pada contoh (12) melemahkan kesan upaya yang telah dilakukan PT Lapindo Brantas untuk memberikan ganti rugi kepada perusahaan yang terendam lumpur. Penggunaan pengonotasian dalam teks berita membuat informasi yang disampaikan samar dan bias. Informasi yang samar dan bias bukanlah informasi yang menggambarkan orang atau peristiwa yang sesungguhnya. Informasi itu telah mengalami proses simulasi sehingga melampaui realitas yang digambarkan (hiperrealitas) (periksa Haryatmoko, 2007 dan Piliang, 2001). Sementara itu, diketahui bahwa aspek media yang memiliki pengaruh paling kuat terhadap khalayak adalah bahasa. Daya pengaruh bahasa media tersebut semakin kuat karena digunakan secara berulangulang dalam waktu yang lama (periksa Thomas dan Wareing, 1999). Berkaitan dengan penjelasan di atas, penggunaan makna konotasi membuat wacana yang mengandung konotasi memiliki daya sentuh dan daya pengaruh yang semakin kuat kepada pembaca. Dengan demikian, wacana yang mengandung konotasi, yang menyamarkan dan memperhalus informasi menjadi wacana yang dominan dan mendominasi wacana yang menyampaikan informasi yang objektif (periksa Eriyanto, 2006). Konotasi bekerja pada tataran subjektif sehingga kehadirannya tidak disadari (Sobur, 2006). Makna konotasi yang ditempelkan pada makna denotasi menyentuh subjektivitas pembaca tanpa disadari oleh pembaca tersebut. Ada kecenderung yang kuat, pembaca akan membaca, memahami dan menerima makna konotasi sebagai makna denotasi. Oleh Nöth (1995), konotasi biasa digunakan untuk membungkus ideologi (kepentingan) yang ada di balik suatu pernyataan. Bahkan, Nöth menegaskan bahwa konotasi bersifat ideologis. Berdasarkan uraian di atas, media massa sering tanpa sengaja melakukan praktik kekuasaan melalui pemberdayaan bahasa untuk memaksimalkan penyampaian informasi kepada pembaca (Thompson, 1984). Praktik kekuasaan melalui bahasa tersebut sulit dikenali karena menyangkut hubungan yang rumit antara bahasa, ideologi, dan kekuasaan yang bersifat rumit (Foucault, 1971dan Eriyanto, 2006). Strategi Pengiasan dalam Kekerasan Simbolik Bahasa kias adalah satuan bahasa dalam teks yang mengandung hubungan persamaan, yang digunakan untuk menyampaikan gagasan secara tidak langsung, menciptakan suasana tertentu, dan menciptakan efek tertentu (periksa Aminuddin, 1989). Strategi pengiasan digunakan ada dua macam, yaitu (a) penghalusan informasi dengan pengiasan langsung (pemetaforaan) dan (b) penghalusan informasi dengan pengiasan tidak langsung. Penggunaan strategi pengiasan dalam teks berita sebagaimana disajikan di bawah ini. Strategi Pengiasan Langsung (Pemetaforaan) Dalam pandangan tradisional, metafora mempunyai pengertian luas dan sempit (Nöth, 1995: 128). Dalam pengertian luas, metafora adalah semua bentuk pengiasan, yang meliputi sinekdok, metonimi, hiperbola, personifikasi, dan lain-lain (periksa pula Aminuddin, 1989). Dalam pengertian sempit, metrafora adalah sebuah bentuk perbandingan yang bersifat langsung tanpa menggunakan kata penunjuk perbandingan (misalnya: seperti, bagai, bak). Dalam pandangan tradisional, ada tiga teori yang lazim digunakan untuk menelaah metafora, yaitu (a) teori substitusi, (b) teori perbandingan, dan (c) teori interaksi. Menurut teori substitusi, metafora adalah kiasan yang menggunakan kata atau frase yang menggambarkan suatu objek atau hal yang menggantikan kata atau frase lain yang memiliki kemiripan. Menurut teori substitusi, metafora dapat diuraikan secara paradigmatis dan sintagmatis. Menurut teori perbandingan, kata 41
atau frase yang digunakan sebagai pengganti memiliki kemiripan ciri dengan kata atau frase yang diganti. Misalnya, dalam pernyataan Bunga desa itu sedang menjadi rebutan para pemuda kampung, kata bunga desa menggantikan kata gadis. Keduanya memiliki kemiripan ciri, yaitu segar, indah, dan menarik. Menurut teori perbandingan, metafora dapat diuraikan dengan cara membandingan kemiripan ciri kata atau frase yang mengganti dengan kata atau frase yang diganti. Menurut teori interaksi, ada hubungan semantis antara makna harfiah dan makna metaforis. Dalam teori ini, pengungkapan makna metaforis lazim dilakukan dengan menggunakan acuan segitiga metaforis (ungkapan metaforis (E), ungkapan harfiah yang mengganti (E1), dan ungkapan harfiah yang diganti (E2) (Nöth, 1995: 128—129). Dalam pandangan modern, metafora ditelaah berdasarkan teori ikon (Nöth, 1995: 133). Teori ikon mempelajari metafora berdasarkan lima tesis berikut. (a) Ikon metafora didasarkan pada fakta pengalaman. (b) Ikon metafora mengisyaratkan persamaan yang penafsirannya bersifat kultural. (c) Ikon metafora bersifat kreatif. (d) Ikon yang diperbandingkan tidak harus menunjukkan persamaan visual. (e) Kesamaan ikon yang diperbandingkan ditekankan pada kesamaan kualitatif. Wahab (1986 dan 1989) mengklasifikasi metafora secara berbeda dengan klasifikasi di atas. Wahab mengklasifikasi metafora berdasarkan acuan dan cakupan maknanya. Berdasarkan acuan dan cakupan maknanya tersebut, metafora dipilah menjadi dua, yaitu (a) metafora universal, dan (b) metafora kultural. Metafora universal adalah metafora yang acuan dan cakupan maknanya bersifat universal, yakni berlaku untuk semua bahasa di dunia. Metafora kultural adalah metafora yang acuan dan cakupan maknanya berlaku untuk bahasa dan budaya tertentu atau bersifat kultural. Hasil analisis contoh menemukan bahwa penghalusan informasi dengan pengiasan langsung (pemetaforaan) dalam teks berita sebagaimana tampak pada contoh berikut. (13) ... penundaan pengambilan keputusan ini bukan sekadar penundaan jadwal semata, tetapi merupakan upaya penggembosan interpelasi Lapindo. “Saya lihat ada agenda tersembunyi untuk terus diulur-ulur” (Kompas, 2007). (14) Dia juga harus meyakinkan para pengusaha agar tak hengkang dari Kabupaten Sidoarjo. Maklum, Kabupaten Sidoarjo, yang merupakan daerah penyangga Surabaya, saat ini menjadi primadona bagi investor yang menanamkan modalnya di Jawa Timur (Kompas, 2007). (15) Sementara itu, menyusul 200 warga empat desa di Porong, Sidoarjo, sekitar 200 guru yang rumahnya terendam lumpur juga akan menyerbu Jakarta. Mereka meminta agar pemerintah pusat menekan PT Lapindo agar ganti rugi segera cair. Para korban lumpur Lapindo ini selama di Jakarta akan menginap di Tugu Proklamasi (Suara Pembaharuan, 2007). Contoh (13) merupakan pernyataan Aria Bima, anggota FPDI-P berkaitan dengan menurunnya dukungan fraksi-fraksi di DPR terhadap pengusulan interpelasi Lapindo. Penurunan dukungan fraksi-fraksi terhadap pengusulan interpelasi Lapindo terjadi setelah sidang pleno DPR menunda keputusan pelaksanaan interpelasi Lapindo. Pernyataan pada contoh (13) merupakan ungkapan kekecewaan Aria Bima atas penurunan dukungan tersebut. Kata gembos berarti ‘kempis’ atau ‘berkurang isinya’. Pada contoh (13) kata penggembosan berarti ‘upaya mengempeskan, mengurangi isinya’ atau ‘upaya membuat gembos’. Penggunaan kata gembos menunjukkan bahwa pendukung interpelasi Lapindo itu disamakan dengan roda, bola, atau balon yang bisa digembosi. Upaya atau kegiatan menggembosi roda menjadikan roda tersebut tidak berfungsi. Kegiatan ini dapat mencelakai pengemudi dan penumpang kendaraan yang digembosi rodanya. Kegiatan menggembosi bola atau balon menjadikan balon atau bola
42
tersebut tidak bisa dimainkan. Dengan demikian, penggembosan mengandung makna ‘melakukan kejahatan’ atau ‘mencelakai seseorang’. Berdasarkan uraian di atas, pengusul interpelasi Lapindo dipandang sebagai pihak yang melakukan kebajikan, yakni membela rakyat yang terkena semburan lumpur. Sementara itu, pihak-pihak yang menolak usulan interpelasi Lapindo dipandang sebagai pihak yang melakukan kejahatan atau berusaha mencelakai para pembela rakyat (pengusul interpelasi). Contoh (14) merupakan pernyataan bupati Sidoarjo berkaitan dengan kondisi kabupaten Sidoarjo sebagai kota satelit bagi Surabaya. Ungkapan daerah penyangga mengandung pengertian kabupaten Sidoarjo disamakan dengan tiang yang bisa menyangga. Surabaya diibaratkan sebagai bangunan yang akan ambruk kalau tidak didukung oleh Sidoarjo. Karena fungsinya yang begitu penting, Sidoarjo disamakan dengan primadona, yakni seorang wanita yang diidolakan, dipuja atau disanjung banyak pria. Penggunaan ungkapan daerah penyangga dan kata primadona pada contoh (14) juga mengandung pengertian bahwa keberadaan Sidoarjo sebagai primadona berfungsi sebagai penyangga menurun atau mengecil karena terjadinya semburan lumpur. Penurunan daya tarik Sidoarjo sebagai primadona membuat para pengusaha mulai tidak tertarik lagi kepada Sidoarjo. Penurunan kekuatan Sidoarjo sebagai penyangga Surabaya membuat Sidoarjo tidak bisa lagi berbuat banyak terhadap Surabaya. Hal itu berarti saat ini Sidoarjo menjadi daerah yang tidak menarik dan lemah. Makna itu tidak tampak dalam teks karena tertutupi oleh penggunaan kiasan langsung (metafora). Contoh (15) menginformasikan rencana presiden untuk berkantor di Sidoarjo. Presiden akan meninjau lapangan untuk mengetahui secara langsung keadaan semburan lumpur dan dampak yang ditimbulkannya. Berdasarkan hasil peninjauan lapangan, pemerintah akan mencari upaya penanganan yang terbaik. Sementara itu, para guru yang rumah mereka terendam lumpur akan pergi ke Jakarta untuk mendesak pemerintah agar menekan PT Lapindo untuk segera membayar ganti rugi tanah dan rumah mereka yang terendam lumpur. Pada contoh (15) para guru yang akan pergi ke Jakarta dikatakan dengan menyerbu. Penggunaan kata menyerbu berarti menyamakan kepergian mereka ke Jakarta dengan peperangan. Pada guru sendiri disamakan dengan tentara. Dengan demikian, oleh penulis pemerintah dipandang sebagai musuh yang akan diserbu oleh para guru. Penggunaan kata menyerbu mengisyaratkan bahwa para guru akan menggunakan kekerasan dan senjata untuk mengalahkan pemerintah sebagai musuh mereka. Dengan demikian, kepergian para guru ke Jakarta dipandang sebagai kegiatan yang tidak baik, kegiatan yang membahayakan pemerintah. Guru dipandang sebagai orang-orang yang menyukai kekerasan dan mengedepankan kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Dalam teks berita, makna kias yang dihasilkan oleh penggunaan kiasan tersebut tidak tampak karena tertutupi oleh penggunaan metafora (pengiasan langsung). Oleh sebab itu, makna metaforis yang samar dan halus ini memiliki daya sentuh kepada pembaca lebih kuat karena pembaca tidak merasakan dan menyadarinya (periksa Wahab, 1986 dan 1989; Roekhan, 1992). Strategi Pengiasan tidak Langsung Selain menggunakan pengiasan langsung, penghalusan informasi dalam teks berita juga dilakukan dengan pengiasan tidak langsung. Kalau pada pengiasan langsung, pembanding dan yang dibandingkan tidak dihubungkan dengan kata penghubung perbandingan (misalnya seperti atau sebagai). Sebaliknya, pada pengiasan secara tidak langsung, pembanding dan yang dibandingkan dihubungkan dengan kata penghubung perbandingan.
43
Seperti halnya penggunaan pengiasan langsung, pengiasan tidak langsung juga berfungsi untuk memperhalus makna, untuk menciptakan dan memberi efek tertentu pada informasi yang disampaikan. Dari hasil analisis contoh ditemukan bahwa penggunaan kiasan tidak langsung untuk memperhalus makna dalam teks berita sebagaimana tampak pada contoh berikut. (16) Namun setelah terjadi semburan lumpur panas, kami ibarat gadis manis yang ditinggalkan (Kompas, 2007). (17) Dulu Sidoarjo dilihat sebagai wanita cantik, tetapi sekarang dijauhi. Ibaratnya habis manis sepah dibuang. Contohnya dari aspek bisnis properti, pasarnya turun sekitar 70 persen. (Kompas, 2007). Contoh (16) dan (17) di atas merupakan pernyataan bupati Sidoarjo berkaitan dengan terjadinya banjir lumpur. Contoh itu merupakan ungkapan kekecewaan bupati terhadap peristiwa semburan lumpur yang membuat Sidoarjo kehilangan daya tariknya. Pernyataan kami “ibarat” gadis manis yang ditinggalkan (contoh 16) mengandung pengertian bahwa dulu (sebelum terjadi semburan lumpur panas), Sidoarjo merupakan daerah yang sangat menarik dan menjadi daerah tujuan pertama penanaman modal di Jawa Timur. Setelah terjadi semburan lumpur, Sidoarjo kehilangan daya tariknya dan ditinggalkan para pengusaha. Pernyataan Dulu Sidoarjo dilihat sebagai wanita cantik (contoh 17) mengandung pengertian bahwa sebelum terjadi semburan lumpur, Sidoarjo menarik minat para pemilik modal untuk menanamkan modalnya di Sidoarjo. Itulah sebabnya Sidoarjo diibaratkan sebagai wanita cantik. Wanita cantik selalu memikat hati para pria. Akan tetapi, setelah terjadi semburan lumpur Sidoarjo diibaratkan sebagai habis manis sepah dibuang. Artinya, Sidoarjo diibaratkan sebagai ampas tebu yang dibuang begitu saja setelah rasa manisnya habis dihisap. Berdasarkan analisis kandungan makna pernyataan yang mengandung kiasan pada contoh (17) di atas, saat ini, Sidoarjo dipandang sebagai daerah yang tidak menarik dan dibuang seperti sampah. Kandungan makna ini terbungkus oleh penggunaan kiasan, sehingga pembaca sulit mengenalinya. Informasi yang diperhalus oleh pengiasan tersebut membuat wacana yang mengandungnya menjadi kuat dan dominan. Wacana ini memiliki daya desak yang kuat kepada pembaca karena pembaca cenderung tidak menyadari keberadaannya (periksa Haryatmoko, 2007). Daya desak informasi yang diperhalus tersebut semakin kuat karena penulis tidak menyertakan informasi konformatif (counter discourse) dari pihak-pihak atau orang-orang yang didominasi atau dipinggirkan (periksa Foucault, 1971). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Kekerasan simbolik adalah pemaksaan makna kabur, logika bias, dan nilai bias agar hal itu diterima oleh pembaca sebagai makna yang jelas, logika yang benar, dan nilai yang positif. Salah satu strategi pembungkusan informasi yang mengandung makna kabur, logika bias, dan nilai bias adalah dengan penggunaan pengiasan dan pengonotasian. Strategi pengonotasian berupa pengemasan informasi kabur dan bias dengan kata, ungkapan, atau pernyataan yang mengandung makna konotasi, makna evaluatif, atau makna emotif. Strategi pengonotasian digunakan untuk (a) meninggikan, (b) merendahkan, (c) menguatkan, dan (d) melemahkan informasi. Strategi pengiasan adalah pembungkusan informasi dengan bahasa kias. Strategi pengiasan yang digunakandalam teks berita ada dua macam, yaitu: (a) pengiasan langsung (pemetaforaan), dan (b) pengiasan tidak langsung. Kekerasan simbolik adalah pemaksaan makna kabur, logika bias, dan nilai bias agar hal itu diterima oleh pembaca sebagai makna 44
yang jelas, logika yang benar, dan nilai yang positif. Strategi pengonotasian dalam kekerasan simbolik berupa pengemasan informasi dengan kata, ungkapan, atau pernyataan yang mengandung makna konotasi, makna evaluatif, atau makna emotif. Strategi pengonotasian digunakan untuk (a) meninggikan, (b) merendahkan, (c) menguatkan, dan (d) melemahkan informasi. Strategi penguasan adalah membungkus informasi dengan bahasa kias. Strategi pengiasan yang digunakan ada dua macam, yaitu (a) pengiasan langsung (pemetaforaan) dan (b) pengiasan tidak langsung. Saran Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peneliti menyarankan kepada para peneliti berikutnya agar melakukan penelitian kekerasan simbolik dengan strategi pengonotasian dan pengiasan pada media elektronik. Peneliti juga menyarankan agar melakukan penelitian kekerasan simbolik dengan strategi pengonotasian dan pengiasan pada buku ajar dan buku bacaan.
45
DAFTAR RUJUKAN
Aminuddin. 1989. Pengantar Apresiasi Sastra. Jakarta: Gramedia. Eriyanto, 2006. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara. Eriyanto, 2005. Analisis Framing: Konstruk, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara. Foucault, Michel. 1971. Kritik Wacana Bahasa. Terjemahan oleh Inyiak Ridwan Muzir. 2003. Yogyakarta: IRCiSoD. Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan dan Pornografi. Yogyakarta: Kanisius. Jawa Pos. 2007. Keraf, Gorys. 1984. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Gramedia. Kompas. 2007. Nöth, Winfried. 1995. Semiotik. Terjemahan oleh Dharmojo, Jumadi, Eti Setiawati, dan Aleda Mawene. 2006. Surabaya: Airlangga University Press. Piliang, Yasraf Amir. 2001. Hiper-Realitas Media dan Kebudayaan: Kebenaran dalam Kegalauan Informasi, (Online), (http://www.forum-rektor.org/ artikel.php?hal=4&no =10, diakses tanggal 07-02-2007). Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2009. Kamus Besar Bahasa Indonesia (online). Edisi keempat. Roekhan. 2007. Pertarungan Simbolik dalam Wacana Penolakan Pemba-ngunan Bandara oleh Warga Sukajati, Jawa Barat. Bahasa dan Sastra Indonesia, X(2):95—112. Roekhan. 2009. Kekerasan Simbolik di Media Massa. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: PPS Universitas Negeri Malang. Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media, Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Suara Pembaharuan. 2007. Sudibyo, Agus. 2006. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LKiS. Thomas, Linda dan Wareing, Shan. 1999. Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan. Terjemahan oleh Sunoto, Gatut Susanto, Imam Suyitno, Suwarna, Sudjalil, Eko Suroso, Siti Halidjah, Darmanto, dan Nuria Reny H. 2007. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Thompson, John B. 1984. Analisis Ideologi: Kritik Wacana Ideologi-Ideologi Dunia. Terjemahan oleh Haqqul Yakin, dkk. 2007. Yogyakarta: IRCiSoD. Wahab, Abdul. 1986. Javanese Metaphore in Discourse Analysus. Dissertation unpublished. Urbana: University of Illinois, Urbana. Wahab, Abdul. 1998. Isu Linguistik: Pengajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya: Airlangga University Press.
46
PEMAKAIAN AKSARA DALAM PENULISAN BAHASA MELAYU HINGGA BAHASA INDONESIA (THE USAGE OF LETTERS ON MALAY TO INDONESIAN LANGUAGE WRITING) Akhmad Yazidi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Pakuan, Jl. Pakuan Bogor, e-mail
[email protected] Abstract The Usage of Letters on Malay to Indonesian Language Writing. This paper discusses the history of the Indonesian language, literacy in the writing of a variety of languages , Malay letter in writing to the Indonesian language, and spelling in Indonesian. Of this section may conclude that in writing the history of written language or alphabet letters contained Paku, the letter Babylonian, Assyrian letters, letters of Ancient Persia; Pallawa, Kawi Letter used in Sanskrit; Arabic, Kanjiin Japanese and Chinese, letters, Jawi Premodern, Modern Java, Bali Modern: literacy Hanacaraka from Lampung, Rencong, Karo Batak, Bugis-Makassar as well;and Latin script. Indonesian language that comes from the Malay language has a long history, There are some developments pase formation of the Indonesian language, namely Old Malay, Malay Market, Higher Malay, and Bahasa Indonesian. Since the 5th century inscription has been found to be Yupa in Kutai in East Kalimantan with a script and inscription Pallawa Tarumanegara, and inscriptions in Old Malay inscriptions in a script that is Pallawa Towu Gutters, Cape Inscription Land, and the inscription Limestone City. In a later development after the Arabs came to trade missions and preaching, use Malay Arabic script known as Jawi letters, and beginning of the 20th century the concept put forward by the Ch. A. Dutch van Ophuysen applied linguists Latin letters into the Malay language. Ever seen on the spelling of force, then in the Indonesian language contained van Ophuysen Spelling, Spelling Republic, and Spelling Enhanced. Keywords: letter of the alphabet, spelling, language
Abstrak Pemakaian Aksara dalam Penulisan Bahasa Melayu hingga Bahasa Indonesia. Tulisan ini membahas tentang sejarah bahasa Indonesia, aksara dalam penulisan berbagai bahasa, aksara dalam penulisan bahasa Melayu hingga bahasa Indonesia, dan ejaan dalam bahasa Indonesia. Dari pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa dalam sejarah tulisan atau aksara bahasa tulis terdapat huruf Paku, yaitu huruf Babylonia, huruf Assyiria, Huruf Persia Kuno; Pallawa, Huruf Kawi yang digunakan dalam bahasa Sanskerta; huruf Arab, huruf Kanji dalam bahasa Jepang dan Cina, huruf, Jawi Pramodern, Jawa Modern, Bali Modern; Aksara Hanacaraka dari Lampung, Rencong, Batak Karo, serta Bugis-Makassar; serta aksara Latin. Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu mempunyai sejarah yang cukup lama, Terdapat beberapa fase perkembangan terbentuknya bahasa Indonesia, yaitu bahasa Melayu Kuno, Melayu Pasar, Melayu Tinggi, dan Bahasa Indonesia. Sejak abad ke-5 sudah ditemukan prasasti berupa Yupa di Kutai Kalimantan Timur dengan aksara Pallawa dan Prasasti Tarumanegara, kemudian prasasti dalam bahasa Melayu Kuno dalam aksara Pallawa, yaitu Prasasti Talang Towu, Prasasti Tanjung Tanah, dan Prasasti Kota Kapur. Dalam perkembangan kemudian setelah bangsa Arab datang dengan misi dagang dan dakwah,
47
digunakan aksara Arab Melayu yang dikenal sebagai huruf Jawi, dan awal abad ke-20 atas konsep yang di kemukakan oleh Ch. A. van Ophuysen ahli bahasa Belanda diterapkan huruf Latin kedalam bahasa Melayu. Dilihat dari ejaan yang pernah berlaku, dalam bahasa Indonesia terdapat Ejaan van Ophuysen, Ejaan Republik atau Ejaan Suwandi, dan Ejaan Yang Disempurnakan. Kata-kata kunci: aksara, ejaan, bahasa
PENDAHULUAN Sumpah Pemuda hasil Kongres Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928 berisi tiga deklarasi tentang nasionalisme Indonesia, yaitu satu bangsa, satu tanah air, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Kebermaknaan Sumpah Pemuda sebagai deklarasi atas kebangsaan, tanah air, dan bahasa, karena kita bangsa Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau (13 ribu lebih), banyak suku bangsa (652), beratus-ratus bahasa daerah (742), serta beragam keyakinan keagamaan. Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, namun bahasa Indonesia sangat berbeda dengan bahasa Melayu. Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia sangat banyak menyerap kosakata, baik bahasa asing maupun bahasa daerah. Hal ini pertanda akan vitalitas sifat bahasa Melayu, yaitu sifat yang sangat mudah menerima perkembangan baru dalam adaptasi untuk menjadi bahasa yang modern. Bahasa asing yang kosakatanya diserap dalam bahasa Indonesia meliputi bahasa Sanskerta, India, Tamil, Portugis, Parsi, China, Jepang, Belanda, Jerman, Arab, dan Inggris, sedangkan dari bahasa daerah meliputi bahasa Jawa, Sunda, Batak, Minang, Palembang, Bugis, Banjar, bahasa dari Papua, bahasa dari Maluku, dan lain-lain. Pada abad ke-19 dan abad ke-20 kita ketahui bahwa mulai dari bahasa Melayu hingga bahasa Indonesia paling tidak digunakan dua macam tulisan, yaitu huruf Arab Melayu yang dikenal dengan huruf Jawi dan abjad Latin. Sementara bahasa Melayu sudah digunakan sejak abad ke-5, maka pada masa-masa tersebut aksara apa yang digunakan? Tulisan ini mencoba membahas masalah tersebut sebagai sebuah kajian pustaka. Berdasarkan tema ini, permasalahan yang dibahas meliputi sejarah bahasa Indonesia, aksara dalam penulisan berbagai bahasa, aksara dalam penulisan bahasa Melayu hingga bahasa Indonesia, dan ejaan dalam bahasa Indonesia. PEMBAHASAN Sejarah Bahasa Indonesia Kongres II bahasa Indonesia tahun 1954 mengakui bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Dalam catatan bahwa bahasa Melayu memiliki sejarah yang cukup panjang. Dari batu bertulis yang ada, seperti Kedukan Bukit, Talang Tuwo, Kota Kapur, Karang Brahi, Gandasuli, Bogor, dan Pagaruyung, yang paling awal bertahun 683 M. Hal ini menunjukkan bahwa sejak abad ke-7 bahasa Melayu Kuno sudah ditemukan dalam tulisan dengan aksara Pallawa (Collins, 2009: 78; Adul, 1981: 1-3). Dari bukti ini dapat diduga bahwa secara lisan beberapa abad sebelumnya bahasa Melayu sudah digunakan masyarakat penuturnya. Ada 4 tahapan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional dan bahasa resmi negara. Pertama, bahasa Melayu adalah salah satu bahasa daerah di nusantara yang digunakan oleh masyarakat yang mendiami wilayah Riau di Sumatera. Ada 5 faktor yang mendorong tersebarnya bahasa Melayu di nusantara. Bahasa Melayu adalah bahasa yang digunakan oleh kerajaan Sriwijaya sebagai salah satu kerajaan maritim di nusantara yang berpusat di Sumatera bagian Selatan dan Riau (Ophuysen, 1983). Kerajaan Sriwijaya pada masanya pernah menguasai wilayah 48
yang cukup luas di nusantara, sehingga bahasa Melayu sebagai bahasa kerajaan menyebar seiring dengan meluasnya wilayah kerajaan Sriwijaya. Faktor kedua, bahwa pusat kerajaan Sriwijaya merupakan wilayah pusat perdagangan internasional. Di wilayah ini merupakan pusat perdagangan, terjadi pertemuan antarpedagang di nusantara dengan pedagang yang datang dari luar. Pada pertemuan tersebut terjadi komunikasi dengan menggunakan bahasa Melayu sehingga secara tidak langsung para pedagang dari pelosok nusantara dan juga pedagang yang datang dari luar berkomunikasi dalam bahasa Melayu. Sebagai faktor ketiga bahwa Palembang sebagai pusat kerajaan Sriwijaya dengan rajanya Jayanasya menjadi pusat pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, serta pusat keagamaan Budha pada sebuah perguruan tinggi dengan guru besar bernama Dharmapala (Adul, 1981: 2). Sebagai pusat pembelajaran agama Budha, membuat wilayah ini didatangi oleh para pembelajar agama Budha dari berbagai wilayah, termasuk yang berasal dari Cina, Champa, dan Kamboja dengan bahasa pengantar bahasa Melayu Kuno. Dalam kaitan ini, terjadilah persentuhan antara penutur bahasa Melayu dengan penutur yang berbahasa asing. Dalam kaitan ini, intensitas hubungan berbahasa sangat kuat sehingga berdampak terhadap penguasaan dan pemakaian bahasa Melayu. Faktor keempat, letak geografis kerajaan Sriwijaya yang dekat dengan selat Melaka menjadi pintu masuk para pedagang dari dan ke nusantara sehingga frekuensi dan intensitas pertemuan dan komunikasi sangat tinggi di jalur tersebut. Faktor kelima adalah bahasa dan sastra Melayu. Bahasa Melayu memiliki sistem bahasa yang sangat sederhana, tidak mengenal tingkat kebahasaan, serta terbuka, sehingga mudah dipelajari, sedangkan dari segi kesusastraan, sastra Melayu sudah demikian tinggi yang berarti bahwa bahasa Melayu sudah mempunyai tradisi kesusastraan yang sudah sangat baik. Kelima faktor di atas yang membuat bahasa Melayu tersebar dan digunakan di Nusantara ini dalam komunikasi antarsuku dan antarbangsa, bagi kepentingan perdagangan, kebudayaan, pendidikan, dan keagamaan. Dalam kondisi ini memposisikan bahasa Melayu tidak hanya sebagai bahasa daerah, tetapi sudah menjadi bahasa perantara ‘lingua franca’ dari berbagai suku dan bangsa yang berbeda bahasa di nusantara ini. Bahkan oleh Ophuysen (1983) disebutnya sebagai bahasa internasional. Pendidikan sebagai bentuk politik etis dari pemerintah Hindia Belanda di nusantara dengan bahasa pengantar adalah bahasa daerah yang bersifat lokal, bahasa Melayu, dan bahasa Belanda. Pelaksanaan pendidikan ini yang dinikmati oleh rakyat di tanah air maupun oleh segelintir rakyat di Belanda menumbuhkan benih-benih nasionalisme di masyarakat. Tumbuh rasa hak azasi sebagai manusia yang harus merdeka dari penjajahan. Rasa nasionalisme ini berpadu dengan rasa anti penjajahan yang dilakukan oleh berbagai gerakan pemberontakan dan peperangan dengan berbagai tokohnya. Kristalisasi dari nasionalisme dan anti penjajahan ini dituangkan dalam satu deklarasi nasionalisme hasil Kongres Pemuda Indonesia, 28 Oktober 1928 berupa Sumpah Pemuda. Ketika pembahasan dalam Kongres Pemuda Indonesia dijelaskan bahwa tidak ada satu pun peserta dari para pemuda yang berasal dari semua daerah di nusantara ini yang keberatan dijadikannya bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan dan sebagai bahasa nasional Indonesia. Sumpah Pemuda dengan 3 deklarasi tersebut oleh A. Teeuw disebut sebagai pentasmiahan nama Indonesia bagi bangsa, tanah air, dan bahasa sehingga dengan peritiwa ini memposisikan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan dan bahasa nasional bangsa Indonesia. Pendirian Komisi Bacaan Rakyat tahun 1908 dan kemudian menjadi Balai Pustaka tahun 1917 sebagai lembaga pemerintah Hindia Belanda yang menerbitkan dan menyediakan bahan 49
bacaan rakyat dalam berbagai sektor kehidupan dalam bahasa Melayu membuat berkembang dan tersebarnya bahasa Melayu di seluruh nusantara. Demikian pula terbitnya majalah Pujangga Baru oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan kawan-kawan yang berwawasan nasionalisme dan kebudayaan modern memberi andil dalam perkembangan dan pertumbuhan bahasa Indonesia. Masa pendudukan Jepang di wilayah ini setelah Jepang mengalahkan Belanda merupakan masa yang amat berarti bagi perkembangan bahasa Indonesia. Jepang sebagai penguasa baru tidak ingin segala hal yang berbau Belanda, termasuk bahasa, Jepang ingin bahasa Jepang yang digunakan. Namun penguasaan bahasa tidak semudah menguasai suatu wilayah, penguasaan dan penggunaan bahasa memerlukan proses yang panjang. Dalam kondisi transisi ini maka pertimbangan yang sangat realistis adalah digunakannya bahasa pribumi, yaitu bahasa Melayu sehingga pada masa pendudukan Jepang ini bahasa Indonesia digunakan secara resmi sebagai bahasa pemerintahan dan pengajaran. Perjuangan pergerakan kemerdekaan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia baik perlawanan fisik berupa peperangan, maupun dalam bentuk politik, ditunjang pula oleh perkembangan dan kondisi wilayah Hindia Belanda di nusantara ini, kekalahan Belanda atas Jepang dan kemudian kekalahan Jepang atas sekutu, yang menyebabkan terjadinya kevakuman kekuasaan di wilayah Hindia Belanda ini. Kondisi ini dimanfaatkan oleh para penjuang untuk memproklamasikan diri menjadi negara dan bangsa yang merdeka dan berdaulat oleh Bapak Soekarno – Hatta atas nama rakyat Indonesia pada tangal 17 Agustus 1945. Sidang PPKI pada tangal 18 Agustus 1945 menetapkan UUD RI 1945 serta mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden dan Drs. Muh. Hatta sebagai wakil presiden RI. Dalam UUD 1945 bab 15 pasal 36 ditetapkan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu sebagai salah satu bahasa daerah di nusantara ini, kemudian berkembang menjadi bahasa perantara ‘lingua franca’ antarmasyarakat. Kongres Pemuda Indonesia, 28 Oktober 1928 menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional bangsa Indonesia. Setelah merdeka, bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa resmi negara. Berkaitan dengan hal tersebut, Slametmulyana (Arifin dan Tasai, 2008: 8) mengemukakan bahwa dipilihnya bahasa Melayu sebagai bahasa nasional Indonesia karena 4 faktor, yaitu (1) bahasa Melayu sudah merupakan lingua franca di nusantara. (2) sistem bahasa Melayu sederhana sehingga mudah dipelajari. (3) suku Jawa, suku Sunda, dan suku lainnya dengan suka rela menerima bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, dan (4) bahasa Melayu mempunyai kesanggupan untuk dipakai sebagai bahasa kebudayaan dalam arti luas. Di samping itu, Moeliono (1981: 44) mengemukakan bahwa bahasa Melayu bukan merupakan bahasa asing di nusantara. Bahasa Melayu merupakan bahasa dengan penutur yang sangat kecil (4,9%) sementara bahasa Jawa digunakan oleh penutur 47% dan bahasa Sunda digunakan oleh penutur 14.5% sehingga tidak ada perasaan kalah dan menang. Dalam hubungan ini, Sutan Takdir Alisjahbana mengatakan sebagai mukjizat dan Sapardi Djoko Damono menganggap sebagai keajaiban. Aksara dalam Penulisan Berbagai Bahasa Adanya aksara yang digunakan dalam menuliskan sebuah bahasa merupakan tanda kemajuan dari masyarakat penutur bahasa tersebut. Hal itu karena tulisan merupakan perwujudan dari kehendak, keinginan, serta pemikiran dari penulisnya. Untuk bisa menulis, di samping memiliki pengetahuan tentang tulisan (aksara) sebagai lambang bahasa bunyi, juga diperlukan khazanah pengetahuan sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat yang memiliki tulisan adalah masyarakat yang berbudaya. 50
Secara umum, ada 3 kategori aksara yang digunakan sebagai lambang tulisan, yaitu dari kiri ke kanan seperti abjad Latin, dari kanan ke kiri seperti huruf Arab, dan dari atas ke bawah seperti huruf kanji dalam bahasa Jepang atau Cina. Untuk bahasa-bahasa di nusantara, dari sejumlah 742 bahasa, hanya beberapa bahasa yang memiliki lambang tulisan sendiri, seperti bahasa Aceh, Bali, Batak, Bugis, Jawa, Lampung, Madura, Makassar, dan Sunda, dan bahasa Indonesia dengan abjad Latin. Gambar 1 ABJAD DARI BERBAGAI BAHASA
Dari gambar 1 di atas bisa diketahui abjad dari berbagai bahasa berupa huruf Paku dari Huruf Babylonia, Huruf Asyyiria, dan Huruf Persia Kuno; Huruf Sanskerta Bahasa India Kuno, Huruf Arab, Huruf Tionghoa, Huruf Jepang berupa Huruf Kata-kana, sedangkan pada Gambar 2 di bawah ini adalah Abjad Latin. 51
Gambar 2 ABJAD LATIN
Gambar 3 AKSARA PALLAWA-KAWI, AKSARA DAERAH DAN AKSARA HANACARAKA
Dari gambar 3 di atas bisa kita ketahui aksara Pallawa-Kawi terdiri atas aksara Pallawa, Huruf Kawi Awal, Kawi Akhir I, Bali Kuno, dan Sunda Kuno, Aksara Daerah terdiri atas Kawi Akhir II, Jawa Pramodern, Jawa Moderen, dan Bali Modern, Aksara Hanacaraka terdiri atas Aksara Lampung, Aksara Rencong, Aksara Batak Karo, dan Aksara Bugis-Makassar. 52
Aksara-aksara Dalam Penulisan Bahasa Melayu Hingga Bahasa Indonesia Gambar 4 Alur Perkembangan Penggunaan Aksara di Nusantara
Dari gambar 4 di atas dapat kita ketahui alur perkembangan aksara dalam penulisan bahasa di nusantara. Pada prasasti pertama bertahun sekitar 400 M berupa Yupa di Kutai Kalimantan Timur dalam bahasa Sanskerta menggunakan aksara Pallawa serta prasasti Tarumanegara di Jawa Barat bertahun 450 M dianggap sebagai Pallawa Awal. Kemudian prasasti batu Talang Tuwo Sumatera bertahun 684 M berbahasa Melayu Kuno dan prasasti Batu Canggal, Jawa Tengah bertahun 730 M yang dianggap sebagai Pallawa Akhir. Pada pertengahan abad ke-8 terdapat prasasti Batu Dinoyo, Jawa Tengah, Lempeng Tembaga Taji, Jawa Tengah bertahun 901 dan Maklumat Mpu Senduk, Jawa Timur sudah masuk dalam aksara Kawi Awal sebagai perubahan dari aksara Pallawa Akhir. Kemudian pada prasasti Kentongan Perunggu, Jawa Timur bertahun 1229 serta Lempeng Tembaga Waringin Pitu, Jawa Timur bertahun 1447 sebagai aksara Kawi Akhir. Pada tahapan berikutnya, mulai abad ke-13, setelah masuknya pedagang dari bangsa Arab dengan misi dagang dan dakwah Islam terdapat pengaruh terhadap penulisan bahasa Melayu dengan menggunakan aksara Arab Melayu yang dikenal dengan huruf Jawi setelah orang Melayu memeluk agama Islam. Penggunaan huruf Jawi dalam bahasa Melayu sangat luas, seiring dengan pesatnya perkembangan sastra Melayu. Kemudian setelah datangnya bangsa Eropa, khususnya bangsa Belanda dengan misi dagang dan kolonialisme serta dengan alasan politis dan pragmatis, atas gagasan Ch. A. van Ophuysen, seorang ahli bahasa Belanda, diterapkan aksara Latin ke dalam bahasa Melayu mulai tahun 1901.
53
Ejaan dalam Bahasa Melayu Hingga Bahasa Indonesia Gambar 5 Naskah dalam Huruf Jawi/Arab Melayu
Transliterasi tulisan Jawi ke dalam huruf Latin: ANJURAN KEPADA RAKYAT Untuk Menambah Bahan-Bahan Pakaian “Bagaimana pentingnya pakaian untuk manusia, rasanya tidak perlu kita terangkan lagi. Masing2 orang mengakuinya dan merasakan sendiri-sendiri. Dalam masa damai, bahan2 pakaian itu tidak sukarlah kita dapat, terutama bahan2 yang datang dari luar tanah Jawa. Tetapi pada masa sekarang yaitu masa yang maha genting ini dengan 54
sendirinya menjadi sukar terdapatnya bahan2 ter- sebut. Ini semua disebabkan tipu muslihat pemerintah Hindia Belanda dahulu. Sekalipun tanah Jawa ini terhitung tanah yang makmur, tetapi bahan2 pakaian itu sengaja didatangkan dari luar negeri supaya ditanah Jawa sendiri rakyat kita tinggal bodoh. Tanah yang tidak bisa menghasilkan apa2 untuk keperluanya sendiri. Oleh karena itu sekarang ini kita masing2 bisa merasakan kesukaran mendatangkan bahan2 pakaian itu. Mengingat hal itu pemerintah Bala Tentara Dai Nipon telah menganjurkan kepada rakyat seluruhnya untuk menambah bahan pakaian itu baik buat keperluan di garis depan maupun di garis belakang. Sambutan Jawa Hookoo Kai tentang meringankan kesukaran pakaian itu sangat menggembirakan kita. Pengumpulan bahan-bahan lama dari orang2 yang mampu buat dibagi-bagikan kepada orang2 miskin kini sedang berjalan dengan giat. Tetapi kita mengerti bahwa hanya dengan pembagian seperti itu rakyat kita seluruhnya belum tertolong sama sekali. Di samping usaha tersebut perlulah seluruh rakyat Asia Timur Raya umumnya dan penduduk tanah Jawa khususnya berdaya upaya membantu usaha pemerintah Bala Tentara Dai Nipon itu. Penduduk tanah Jawa harus berusaha sekuat2nya supaya bisa memenuhi kebutuhan sendiri.” Gambar 10 adalah contoh teks bahasa Melayu/Indonesia dengan menggunakan huruf Arab Melayu yang disebut huruf Jawi. Tulisan ini menggunakan huruf Arab tetapi dilafalkan dalam bahasa Melayu/Indonesia. Permasalahan dalam huruf Jawi, pertama bahwa huruf Arab bersifat sillabi berupa konsonan sedang vokal menggunakan harakat (fathah, kasrah, dan dhommah). Dengan cara ini, vokal hanya terdapat dalam tiga bunyi, yaitu a, i, dan u, sementara vokal dalam bahasa Melayu atau Indonesia adalah a, i, u, o, e, serta diftong ai, au, dan oi. Bunyi p dan f tidak berbeda, untuk bunyi ng, ny, dan c menggunakan lambang tambahan dari huruf Arab. Gambar 11 (di bawah) adalah contoh teks bahasa Melayu/Indonesia dengan abjad Latin yang dirancang oleh Ch. A. van Ophuysen, ahli bahasa Belanda, sebagai awal penerapan abjad Latin yang dikenal dengan Ejaan van Ophuysen, dan mulai berlaku sejak tahun 1901. Ciri ejaan van Ophuysen ini adalah penggunaan oe untuk u, dj untuk j, tj untuk c, nj untuk ny, sj untuk sy, ng, penggunaan dua titik (..) di atas akhiran i, pemberian garis (-) di atas e sebagai pembeda antara dua fonem dalam lambang yang sama (misalnya pada kata mereka), penggunaan (‘) sebagai tanda hamzah dan ‘ain, serta angka 2 untuk pengulangan.
55
Gambar 6 Naskah Aksara Latin dalam Ejaan Ch. A. van Ophuysen
Gambar 6 adalah contoh teks bahasa Indonesia dalam Ejaan Republik sebagai pengganti Ejaan van Ophuysen yang berlaku sejak tahun 1947. Ejaan ini dinamai ejaan Republik dan juga dikenal ejaan Suwandi, Menteri Pendidikan dan Pengajaran waktu itu. Ciri ejaan Republik sebagai perubahan dari van Ophuysen adalah mengganti e dengan u, menghapus penggunaan dua titik (..) di atas akhiran i, menghapus penggunaan garis (-) di atas e sebagai pembeda antara dua fonem dalam lambang yang sama (misalnya pada kata mereka), serta mengganti (‘) untuk hamzah dan ‘ain dengan k, misalnya rakyat dan bapak (Lubis, 1952: 227).
56
Gambar 7 Naskah Aksara Latin dalam Ejaan Republik
57
Gambar 8 Naskah Aksara Latin dalam Ejaan yang Disempurnakan
Gambar 8 adalah contoh teks bahasa Indonesia dalam Ejaan yang Disempurnakan sebagai pengganti Ejaan Republik yang berlaku sejak tanggal 17 Agustus 1972. Salah satu ketentuan dalam ejaan ini adalah penggunaan huruf c untuk tj, j untuk dj, kh untuk ch, ny untuk nj, sy untuk sj, menghapus penggunaan angka 2 untuk pengulangan tetapi ditulis ulang, serta pemisahan penulisan kata depan di dan ke pada kata yang diikuti sebagai pembeda dengan awalan di- dan ke-. KESIMPULAN Sebagai penutup tulisan ini beberapa kesimpulan dapat diambil. Aksara bahasa tulis terdapat huruf Paku, yaitu huruf Babylonia, huruf Assyiria, huruf Persia Kuno; huruf Pallawa, huruf Kawi yang digunakan dalam bahasa Sanskerta; huruf Arab, huruf Kanji dalam bahasa Jepang dan Cina, huruf Jawi Pramodern, Jawa Modern, Bali Modern; Aksara Hanacaraka dari Lampung, Rencong, Batak Karo, dan Bugis-Makassar; serta aksara Latin. Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu mempunyai sejarah yang cukup lama, Terdapat beberapa pase perkembangan terbentuknya bahasa Indonesia, yaitu bahasa Melayu Kuno, Melayu Pasar, Melayu Tinggi, dan Bahasa Indonesia. Sejak abad ke-5, sudah ditemukan prasasti berupa Yupa di Kutai Kalimantan Timur dengan aksara Pallawa dan Prasasti Tarumanegara, kemudian prasasti dalam bahasa Melayu Kuno dalam aksara Pallawa, yaitu Prasasti Talang Towu, Prasasti Tanjung Tanah, dan Prasasti Kota Kapur. Dalam perkembangan kemudian setelah bangsa Arab datang, digunakan aksara Arab Melayu yang dikenal huruf Jawi. Awal abad ke-20, atas konsep yang di kemukakan oleh Ch. A. van Ophuysen, ahli bahasa Belanda, diterapkan huruf Latin ke dalam bahasa Melayu. Dilihat pada ejaan yang pernah berlaku, dalam bahasa Indonesia terdapat Ejaan van Ophuysen, Ejaan Republik atau Ejaan Suwandi, dan Ejaan Yang Disempurnakan.
58
DAFTAR RUJUKAN
Adul, M. Asfandi. 1981. Bahasa Indonesia Baku dan Fungsi Guru dalam Pembinaan Bahasa Indonesia. Surabaya: PT Bina Ilmu. Arifin, E. Zainal dan Tasai, S. Amran. 2008. Cermat Berbahasa Indonesia Untuk PT. Jakarta: Akademika Pressindo. Collins, James T. 2009. Bahasa Sanskerta dan Bahasa Melayu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, serta EcoleFrancaise d’Extreme-Orient. Lubis, Madong. 1952. Paramasastra Lanjut. Amsterdam-Jakarta: NV W.Versluys. Moeliono, Anton M. 1981. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Ancangan Alternatif di dalam Perencanaan Bahasa. Jakarta: Djambatan. Ophuysen, Ch. A. van. 1983. Tata Bahasa Melayu. Jakarta: Djambatan.
59
60
NILAI BUDAYA DALAM DONGENG BAKUMPAI (CULTURAL VALUES IN BAKUMPAI FOLKTALE) Mahmudi SMAN 1 Mandastana, Jl. Tabing Rimbah Mandastana, Kabupaten Barito Kuala, e-mail
[email protected] Abstract Cultural Values in Bakumpai Folktale. Folktale as one of oral literary which contain educative advice for the next generation. Folktale are imaginative or vicarious and fantasy stories in which the events do not really take place. The events which are notified in the story tend to be behavior/moral lessons. This research is aimed at obtaining objective description about three cultural values and Bakumpai folktales: (1) cultural values about human life, (2) cultural values about human’s viewpoints to the nature, (3) cultural values about human relationship one another. The theory used as basic of instrument development is oral literary theory and narratives Aarne and Stith Thomson, James Danandjaja, and the theory about C. Klucklohn cultural values. Data of this research is Bakumpai folktales which consist of 11 (eleven) folktales. The approaches used in this research are qualitative and sociology research, descriptive method and content analysis technique. The primary instrument is the researcher. The secondary instruments are the informants, Bakumpai folktales, tape recorder, cell phones and research notes. The data analysis is done during the collecting of data. The research results shows that there are three cultural values in Bakumpai folktales, those are cultural values of human life (55 items), cultural values about human’s viewpoints to the nature (24 items), cultural values about human relationship one another (31 items). The most dominant values about human relationship one another, especially in making a living to meet daily needs. Keywords: cultural value, bakumpai, folktale
Abstrak Nilai budaya dalam Dongeng Bakumpai. Dongeng sebagai salah satu sastra lisan yang berisi saran edukatif untuk generasi berikutnya. Dongeng adalah cerita imajinatif atau perwakilan dan fantasi di mana peristiwa tidak benar-benar terjadi. Peristiwa yang diberitahukan dalam cerita cenderung perilaku/pelajaran moral. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran obyektif tentang tiga nilai-nilai budaya dalam dongeng Bakumpai: (1) nilai-nilai budaya tentang kehidupan manusia, (2) nilai-nilai budaya tentang sudut pandang manusia terhadap alam, (3) nilai-nilai budaya tentang hubungan manusia satu sama lain. Teori yang digunakan sebagai dasar pengembangan instrumen adalah teori sastra lisan dan narasi Aarne dan Stith Thompson, James Danandjaja, dan teori tentang nilai-nilai C. Kluckholn budaya. Data dari penelitian ini adalah dongeng Bakumpai yang terdiri atas 11 (sebelas) dongeng. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dan penelitian sosiologi, metode deskriptif dan teknik analisis isi. Instrumen utama adalah peneliti. Instrumen sekunder adalah informan, dongeng Bakumpai, tape recorder, ponsel dan catatan penelitian. Analisis data dilakukan selama pengumpulan data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada tiga nilai-nilai budaya dalam dongeng Bakumpai, yaitu nilai-nilai budaya dari
61
kehidupan manusia (55 item), nilai-nilai budaya tentang sudut pandang manusia terhadap alam (24 item), nilai-nilai budaya tentang hubungan daya manusia satu sama lain (31 item). Yang paling dominan nilai-nilai tentang hubungan manusia satu sama lain, terutama dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kata-kata kunci: nilai budaya, bakumpai, dongeng
PENDAHULUAN Sastra telah menjadi bagian dari budaya dan pengalaman hidup manusia sebagai pengalaman batin pendukungnya mengenai kehidupan masyarakat dalam kurun waktu dan situasi budaya tertentu. Dari sastra kita memperoleh pengetahuan yang mendalam tentang manusia, dunia dan kehidupannya (Sumardjo, 1986: 8). Sastra lisan berkembang di masyarakat karena jauh sebelum manusia mengenal karya sastra tertulis manusia bersastra secara lisan, dari mulut ke mulut. Sastra lisan berkembang sesuai dengan perkembangan budaya manusia (Kurnia, 1996: 48). Sastra lisan sebagai bagian dari hasil budaya masyarakat mengandung nilai didaktif dan ajaran moral. Masyarakat sangat menentukan untuk melahirkan karya sastra yang bersumber pada kebudayaannya. Manusia hidup seiring perkembangan budaya di tengah-tengah lingkungan material dan sosial. Kedua lingkungan itu saling berhubungan satu sama lain, terutama lingkungan sosial yang membentuk interaksi antara individu yang satu dengan individu yang lainnya (Koentjaraningrat, 2005: 66). Hal ini sejalan dengan pendapat Herusatoto (2000: 9) yang menyatakan bahwa lingkungan sosial adalah organisasi sosial, stratifikasi, gaya hidup bersastra dan sebagainya yang akan membentuk sosial budaya dalam masyarakat. Kehidupan manusia pada lingkungan sosialnya akan membawa manusia pada proses interaksi sosial antarindividu atau kelompok (Koentjaraningrat, 2005: 132). Kontak sosial ini akan membentuk imajinasi yang ekspresif untuk menerjemahkan makna akan arti hidup yang sebenarnya. Makna yang yang dikaitkan dengan manusia yang berada di sekitarnya sebab manusia adalah makhluk sosial yang selalu memerlukan orang lain ataupun benda lain. Karya sastra sebagai hasil buah tangan manusia memiliki berbagai fungsi dan makna bagi orang banyak sebagai pembelajaran kehidupan. Aktivitas dalam kehidupan bersastra ini akan melahirkan sastra lisan maupun tulisan. Sastra lisan mengawali kreativitas manusia sebagai manusia sosial yang berbudaya. William, dalam Damono (1998: 14) mengemukakan bahwa sosiologi budaya terdiri dari tiga komponen pokok, yaitu (1) lembaga-lembaga budaya, (2) isi budaya, (3) efek budaya). Lembaga budaya akan menghasilkan produk budaya, isi budaya akan menghasilkan karyakarya budaya yang salah satunya sastra lisan dan tulisan, sedangkan efek budaya mengharapkan hasil dari proses budaya baik tertulis maupun secara lisan. Sastra lisan sebagai produk dari sosiologi budaya ini sangat berperan dalam menunjang nilai budaya yang bergerak secara positif. Nilai budaya sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat sebab nilai budaya memberikan sumbangan agar manusia dalam masyarakat dalam keadaan tertib (Samuel, 1997: 134). Dongeng adalah bagian dari sastra lisan dalam masyarakat. Dongeng di Kabupaten Barito Kuala dikenal sebagai sastra lisan Bakumpai dengan bahasa yang digunakan adalah bahasa Bakumpai memberikan corak tersendiri bagi perkembangan sastra di salah satu kabupaten di Kalimantan Selatan ini. Karya sastra lisan ini sebagai pembelajaran hidup dalan lingkungan masyarakat melahirkan apreasiasi yang mendalam oleh banyak kalangan. Pembelajaran hidup pada masyarakat yang salah satunya adanya nilai budaya yang terkandung dalam dongengdongeng yang berada di masyarakat sejak zaman dahulu. Penelitian tentang budaya Bakumpai terutama sastra lisan antara lain (1) Ismail (1995) tentang cerita rakyat Bakumpai berupa legenda, 62
sage, dan dongeng. (2) Durasid (1997) tentang Struktur Cerita Rakyat Bakumpai yang menjelaskan tentang susunan dan struktur cerita rakyat Bakumpai secara umum. (3) Maskuni (2008) tentang sastra daerah Kabupaten Barito Kuala yang mendeskripsikan sastra lisan yang berkembang di Barito Kuala dari zaman dulu sampai sekarang. Sementara yang akan diteliti oleh penulis adalah masalah unsur nilai budaya dalam dongeng Bakumpai berhubungan dengan kehidupan bermasyarakat sehari-hari sebagai tatanan dan aturan yang dipatuhi oleh masyarakat pendukungnya. Masalah ini perlu diteliti mengingat bahwa: Pertama, sebagai salah satu sastra lisan dongeng Bakumpai mencerminkan adanya nilai budaya yang mengatur dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. Kedua, fakta kesadaran kolektif akan nilai budaya dan fakta sosial dari masyarakat yang menghasilkannya. Ketiga, sebagai sastra lisan dongeng umumnya sangat berhubungan dengan hayalan, renungan dan pelajaran moral, serta hiburan (Danandjaja, 2002: 85). Tentunya, karena dongeng lahir di tengah-tengah masyarakat, terutama masyarakat Bakumpai mengandung nilai tertentu dalam konteks norma sosial budaya. Aspek-aspek nilai budaya dipandang sebagai masalah dasar yang amat penting dalam kehidupan masyarakat Bakumpai sehari-hari. Oleh karena itu, penulis merasa perlu untuk meneliti masalah ini. Dengan kata lain, sastra lisan merupakan bagian dari tradisi yang berkembang di tengah rakyat yang menggunakan bahasa sebagai media utamanya, dan boleh dikatakan lebih dahulu lahir daripada sastra tulis. Sastra lisan dalam kehidupan sehari-hari, biasanya dituturkan oleh seorang ibu kepada anaknya, seorang pencerita kepada pendengarnya, seorang guru kepada para muridnya, atau antarsesama masyarakat. Dalam masyarakat berlangsung kebiasaan untuk menjaga sastra lisan ini dengan mewariskan secara turun-temurun kepada generasi selanjutnya. Sastra lisan tidak hanya untuk bersenang-senang tetapi juga untuk memperoleh makna dalam setiap peristiwa, seperti teka-teki dalam mempersubur tumbuhnya padi, untuk setiap peristiwa kelahiran, perkawinan, kematian, dan sebagainya. Selain itu, sastra lisan juga sebagai sarana mengajarkan perilaku kepada orang lain. Setiap sastra lisan, pada hakikatnya adalah ajaran moral, baik dalam hubungannya dengan kebudayaan pendukungnya maupun hubungannnya dengan orang per orang. Sastra lisan bukan saja mengajarkan moral dalam arti yang sempit, yakni yang sesuai dengan kode atau suatu sistem tindak-tanduk, melainkan terlibat dalam kehidupan dan menampilkan tanggapan yang lebih selektif dan evaluatif. Sastra lisan juga sebagai hasil gagasan dan imajinasi yang diwujudkan yang salah satunya adalah dongeng sama penting artinya mengetahui isi dan maknanya. Bahkan dapat dikatakan isi dan maknanya ditentukan oleh adanya pembelajaran hidup. Kita sebagai penikmat sastra, terutama sastra lisan harus dibekali ilmu yang memadahi untuk memaknai sastra lisan itu dalam kehidupan yang berbudaya (Damono, 1998: 4). Kita sebagai anggota masyarakat dapat mendekati sastra lisan dari dua arah: pertama, sebagai suatu kekuatan atau faktor material istimewa. Kedua, sebagai tradisi, yakni kecenderungankecenderungan spiritual maupun kultural yang bersifat kolektif. Bentuk dan isinya dengan sendirinya dapat mencerminkan perkembangan sosiologis, atau menunjukkan perubahanperubahan yang halus dalam watak kultural atau budaya kita. Apabila kita mempunyai tradisi untuk mempelajari sastra, minimal kita dapat mendekatinya secara mendalam dengan pemaknaan yang tinggi. Demikian juga dengan karya lisan yang sudah di kenal sejak dahulu oleh masyarakat pendukungnya memberikan pemaknaan tersendiri bagi masyarakat. Sastra lisan sebagai produk dari sosiologi budaya ini sangat berperan dalam menunjang nilai budaya yang bergerak secara positif. Nilai budaya sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat sebab nilai budaya memberikan sumbangan agar manusia hidup bermasyarakat
63
masyarakat dalam keadaan tertib (Samuel, 1997:134). Dengan demikian, sastra lisan memberikan andil dalam membentuk perilaku masyarakat. Kejadian-kejadian yang diceritakan dalam dongeng cenderung bersifat hayal dan sulit diterima oleh logika (Wiki Media, 2010: 16.15’). Dongeng selalu menyelipkan unsur nasihat dan moral bagi pendengarnya. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran moral, atau bahkan sindiran (Danandjaja, 2002: 83). Dengan demikian, dongeng sebagai salah satu sastra lisan adalah eksprimen ajaran moral bagi kehidupan dan sumber pengetahuan. Menurut Endraswara (2006: 110), dongeng biasanya selalu diceritakan oleh orang tua atau yang dituakan sastra lisan ini dapat ditandai, yakni (1) lahir dari masyarakat yang polos, dan bersifat tradisional; (2) menggambarkan budaya milik kolektif tertentu, yang tidak jelas siapa penciptanya; (3) lebih menekankan aspek hayalan, sindiran, jenaka, dan pesan mendidik kepada anak-anak sebagai pesan kebajikan dan biasanya diceritakan sebelum tidur. Dengan kata lain, dongeng merupakan sebuah kisah atau cerita yang lahir dari hasil imajinasi manusia, dari hayalan manusia, walaupun sebenarnya bertentangan dengan kehidupan sehari-hari. Tujuan dongeng selain untuk menghibur pendengar juga menanamkan pesan, nasihat yang positif terutama kepada anak-anak tentang moral dan keperibadian. Penanaman dengan pesan moral ini biasanya ditampilkan lewat tokoh-tokohnya. Tokoh protagonis selalu ditampilkan dengan penampilan yang serba istimewa sehingga pendengar akan simpati dan mendukung apa yang diperbuatnya. Selain itu, penampilan tokoh antagonis digambarkan selalu berbuat jahat yang akhirnya akan menuai akibatnya. Penyelesaian ini yang diperlukan dalam dongeng sebagai muatan moral yang yang baik selalu menang, dan yang jahat akan mengalami kesengsaraan. Dongeng yang dituturkan secara lisan pada dasarnya memiliki urutan cerita yang biasanya menjadi patokan si pencerita. Pertama, pengenalan tokoh, waktu, dan tempat. Pengenalan ini digambarkan pada awal cerita dengan kata-kata seperti, pada zaman dahulu, pada suatu tempat, pada suatu hari, tersebutlah seorang bijak, ada seorang, dan lain-lain. Kedua, pengembangan konflik yang dikembangkan setahap demi setahap dengan menghadirkan tokoh anatagonis yang menyebabkan konflik dan masalah. Ketiga, penyelesaian konflik atau langkah yang diceritakan untuk merespon masalah sehingga masalah dapat diselesaikan. Keempat, penutup yang berisi ungkapan-ungkapan bahwa cerita itu sudah berakhir. Kelima, adanya koda yang menyatakan perubahan yang terjadi pada tokoh cerita dan pelajaran yang dapat dipetik dari dongeng itu. Pelajaran-pelajaran tentang moral ini banyak ditemukan dalam dongeng-dongeng umumnya, dan dongeng yang ada di masyarakat Bakumpai khususnya. Dongeng di Kabupaten Barito Kuala dikenal sebagai sastra lisan Bakumpai dengan bahasa yang digunakan adalah bahasa Bakumpai memberikan corak tersendiri bagi perkembangan sastra di salah satu kabupaten Kalimantan Selatan ini. Karya sastra dongeng ini sebagai pembelajaran hidup dalan lingkungan masyarakat melahirkan apreasiasi yang mendalam oleh banyak kalangan. Pembelajaran hidup pada masyarakat yang salah satunya adanya nilai budaya yang terkandung dalam dongeng-dongeng yang berada di masyarakat sejak zaman dahulu sampai sekarang. Berdasarkan buku The Types of the Folktale, karangan Aarne dan Stith Thompson (1964) yang dikutip Danandjaja (2002: 87) membagi dongeng menjadi empat golongan: a. Dongeng binatang (animal tales) b. Dongeng biasa (ordinary folktales) c. Lelucon atau anekdote (joke and anecdote) d. Dongeng berumus (formula tales) Dongeng binatang adalah dongeng yang ditokohi binatang peliharaan dan binatang liar, seperti binatang menyusui, burung, binatang melata, ikan dan serangga. Binatang itu dalam cerita dapat 64
berbicara dan berakal budi seperti manusia (Danandjaja, 2002: 86). Dongeng tentang binatang atau fabel mengandung ajaran moral, yakni ajaran baik buruk perbuatan dan kelakukan. Gambaran sifat binatang ini menyimbolkan sifat-sifat manusia, seperti kancil dan buaya. Di Indonesia tokoh kancil merupakan dongeng yang paling popular, banyak dikenal di berbagai daerah. Dongeng biasa adalah dongeng yang ditokohi oleh manusia dan biasanya kisah suka duka seseorang. Sifat dongeng ini universal sebab banyak persamaan dengan daerah lain baik masalah pokok maupun pesan moralnya (Danandjaja, 2002: 98). Cerita tentang watak dan tabiat tokoh yang baik dan buruk dilukiskan dengan saksama. Tokoh cerita pertama-tama menderita dan akhirnya bahagia. Di Indonesia, dongeng jenis ini yang popular adalah tipe Cinderella yang bersifat universal, karena hampir tersebar di seluruh daerah di Indonesia. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur misalnya, terdapat dongeng yang bertipe Cinderella, yaitu Ande-ande Lumut. Dongeng biasa ini keberadaannya hampir merata di pelosok daerah di Indonesia. Dongeng jenis ini banyak menggambarkan tradisi Melayu, seperti anak tiri perempuan, saudara-saudara perempuan. saudara perempuan bungsu, saudara-saudara laki-laki, ikan yang suka menolong, sapi yang suka menolong, makanan, tugas mencuci, binatang yang suka menolong, pembantaian terhadap binatang, menanam tulang-tulang, dari sisa-sisa jasadnya timbul sebatang pohon ajaib, ada yang dapat menyediakan makanan, ada yang dapat menyediakan kekayaan (Danandjaja, 2002: 101). Lelucon dan anekdot adalah dongeng yang dapat menimbulkan rasa menggelikan hati sehingga menimbulkan tawa bagi yang mendengarkan maupun yang menceritakan. Walaupun demikian, bagi tokoh tertentu yang menjadi sasaran dongeng itu, dapat menimbulkan rasa sakit (Danandjaja, 2002: 117). Lelucon ini bersifat fiktif yang lucu pribadi seorang tokoh atau beberapa tokoh yang diceritakan seolah-olah benar pernah terjadi. Lelucon ini menggambarkan sifat dan tabiat seseorang atau beberapa orang baik cerdik, maupun bodoh, sedangkan anekdot merupakan cerita fiktif lucu yang menggambarkan sifat, tabiat secara kolektif, seperti suku bangsa, bangsa, negara, dan ras. Dongeng berumus adalah dongeng yang strukturnya terdiri dari pengulangan, yaitu dongeng bertimbun banyak, dongeng untuk mempermainkan orang, dongeng yang tidak mempunyai akhir (Danandjaja, 2002: 139). Dongeng bertimbun banyak adalah dongeng dengan menambahkan keterangan lebih terperinci pada tiap pengulangan inti cerita. Dongeng untuk mempermainkan orang adalah cerita fiktif yang diceritakan khusus untuk memperdayai orang karena akan mengeluarkan pendapat yang bodoh. Dongeng yang tidak mempunyai akhir adalah dongeng yang bila diceritakan terus tidak akan sampai pada batas akhir. Dongeng bertimbun di Indonesia yang lebih terkenal adalah cerita lelucon yang bersifat menghinaan suku bangsa lain, seperti pada contoh berikut (Danandjaja, 2002: 139): Pada suatu hari di suatu lorong sepi terlihat seorang nyonya lari kebirit-birit ketakutan karena diburu tikus kecil. Si tikus lari terbirit-birit ketakutan karena diburu oleh kucing. Si kucing lari terbirit-birit karena diburu seekor anjing. Si anjing lari kebirit-birit karena ketakutan diburu seorang Batak. Si Batak lari kebirit-birit ketakutan karena diburu seorang polisi. Dan seorang polisi lari kebirit-birit ketakutan karena diburu OPSTIB. Cerita menjadi lucu apabila kita memperhatikan dan mengetahui bahwa semua tokoh dalam cerita lari karena salah sangka. Si anjing takut kepada orang Batak karena takut dimakan. Orang Batak takut kepada polisi karena menurut stereotip penduduk Jakarta banyak tukang copet di Jakarta berasal dari Tapanuli. Dan polisi takut kepada OPSTIB atau operasi tertib,karena rupanya ia ini termasuk yang suka memeras rakyat. 65
Dongeng untuk mempermainkan orang adalah cerita fiktif yang diceritakan khusus untuk memperdayai orang karena akan menyebabkan pendengar mengeluarkan pendapat yang bodoh. Bentuknya pun hampir sama dengan teka-teki untuk memperdayai orang lain. Hanya saja di dalamnya dimulai dengan sebuah cerita dan bukan hanya pertanyaan saja. Dongeng yang tidak mempunyai akhir adalah dongeng yang bila diceritakan terus tidak akan sampai pada batas akhir, selalu dapat dilanjutkan kembali. Dongeng ini tergantung pada kreativitas si pencerita sehingga menjadikan pendengar merasa penasaran. Jenis dongeng lainnya adalah penglipur lara. Penglipur lara adalah cerita yang dipakai sebagai penghibur hati yang gundah atau sedih. Cerita dalam penglipur lara ini biasanya dibawakan pada malam hari ketika bulan purnama, sehabis mereka bekerja berat sehari penuh. Pendengar dibawa ke dunia hayal yang penuh keindahan, ke negeri-negeri jauh dengan tokoh putra-putra raja yang gagah dan cantik, serta kemenangan dalam peperangan melawan makhluk yang jahat dan menyeramkan. Dalam penglipur lara ini digunakan kata-kata yang indah dan menarik, seperti peribahasa dan kata-kata kiasan sehingga membuat pendengar makin asyik mendengarkannya. Berdasarkan bentuknya dongeng terdiri atas (1) dongeng asli daerah tertentu tanpa ada campur tangan daerah lain. Dongeng ini memberikan khas tersendiri bagi daerah itu tanpa dimiliki oleh daerah lain. (2) dongeng yang mendapat pengaruh dari daerah lain atau dari budaya daerah lain sehingga terdapat persamaan-persamaan yang sifatnya universal. (3) dongeng yang sudah berasimilasi dengan budaya atau daerah lain sehingga seperti menyatu dan menjadi milik daerah itu. Dongeng sebagai salah satu sastra lisan di samping untuk menghibur, juga untuk memberi manfaat. Manfaat yang diperoleh dari dongeng adalah keindahan dan ajaran moral (Sugiarto, 2009: 9). Ajaran moral dan keindahan dipandang sebagai nilai karena hal itu berguna bagi kita. Nilai budaya merupakan hal yang dianggap baik, bernilai, berharga dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberikan arah dan orientasi kepada kehidupan warga masyarakat. Nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat. Suatu nilai budaya itu bersifat sangat umum. Karena sifatnya yang umum, luas dan konkret itu, maka nilai budaya dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa para individu yang menjadi warga (Koentjaraningrat, 1990: 190) Nilai budaya demikian kuat meresap dan berakar di dalam jiwa masyarakat sehingga sulit diganti. Sistem nilai budaya di dalam masyarakat menyangkut masalah pokok bagi kehidupan manusia. Nilai budaya dalam dongeng merupakan hasil ekspresi yang ditimba dari kebudayaan masyarakat tertentu. Nilai ini merupakan hal yang dianggap dan dipercaya sebagai pedoman budi yang baik dan berbudaya (Sumardjo, 1999: 2). Manusia adalah makhluk berbudaya, yaitu mendayagunakan segala kemampuan daya dan pikiran untuk bisa mengadakan komunikasi dengan sesamanya. Ada tiga ciri manusia berbudaya yaitu manusia susila, manusia warga negara yang demokratis, dan manusia sebagai warga masyarakat yang bertanggung jawab. Sastra lisan mencerminkan norma yang berlaku di masyarakat, yakni ukuran perilaku. Sastra juga mencerminkan nilai-nilai yang diusahakan oleh warganya dalam masyarakat. Hubungan sastra dengan kebudayaan sangat erat. Sastra adalah bagian kebudayaan. Sastra adalah produk kebudayaan. Sastra juga bisa menjadi sarana atau media untuk mentransformasi nilai-nilai budaya (Pradopo, 2003: 76). Gambaran nilai budaya dalam karya sastra dapat dilakukan dengan melihat sifat, sikap, tingkah laku tokoh cerita ketika berhadapan dengan konflik yaitu bagaimana menghadapi masalah, menyikapi, menyelesaikan, serta menindaklanjuti yang pada akhirnya bermuara pada nilai kehidupan (Saini, 1986: 9).
66
Nilai budaya menurut C. Kluckhohn, dalam Samuel (1997: 34) terdiri atas lima jenis, yaitu: 1. Nilai budaya tentang hidup manusia 2. Nilai budaya tentang karya manusia 3. Nilai budaya persepsi manusia tentang waktu 4. Nilai budaya pandangan manusia terhadap alam 5. Nilai budaya hubungan manusia dengan sesama. (1) Nilai budaya tentang hidup manusia merupakan anggapan dari masyarakat terhadap hidup itu baik atau buruk. Selanjutnya, masyarakat menganggap bahwa hidup itu buruk. Oleh karena itu, manusia wajib berusaha agar kehidupan lebih baik dan bermanfaat, baik untuk diri sendiri maupun bermanfaat bagi masyarakat. Gambaran tentang hidup merupakan hal utama di dalam pembentukan sikap dan tingkah laku manusia. Setiap manusia mempunyai pandangan tentang hidup, meskipun tingkatannya berbeda-beda. Ada yang memandang hidup adalah sesuatu hal yang buruk dan manusia harus dapat mengusahakan untuk menjadi sesuatu yang baik. Ada pula yang memandang hidup itu baik ataupun ideal (Koentjaraningrat, 2005: 192). (2) Nilai budaya tentang karya manusia memandang bahwa karya manusia untuk membekali dan memungkinkannya untuk hidup. Masyarakat menganggap karya manusia untuk memberikan kedudukan yang penuh kehormatan. Untuk meningkatkan harkat dan derajat yang lebih tinggi manusia harus berkarya. Karya yang baik akan memberikan rangsangan agar manusia selalu berkarya lagi agar kehidupannya lebih baik dari sebelumnya. (3) Nilai budaya persepsi manusia tentang waktu memandang bahwa waktu yang telah kita lewati tidak dapat kita tinggalkan begitu saja. Selanjutnya, masyarakat memandang waktu sekarang juga harus dipandang sebagai sesutu yang penting dan harus digunakan sebaik mungkin. Demikian juga waktu yang akan datang juga harus dipersiapkan secara matang sehingga menghasilkan sesuatu yang bermakna. (4) Nilai budaya pandangan manusia terhadap alam merupakan pandangan masyarakat tentang alam yang menyimpan sesutu yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia karena alam banyak menyimpan sumber daya alam yang bisa menghidupi manusia. Oleh karena itu, alam harus tetap dijaga keselarasannya oleh manusia. Masyarakat menganggap alam jangan saja dimanfaatkan untuk kepentingan manusia, tetapi juga harus dilestarikan. (5) Nilai budaya hubungan manusia dengan sesama adalah pandangan terhadap hubungan manusia dengan sesama itu sangat penting sebagai makhluk sosial. Manusia dalam masyarakat bergantung kepada sesamanya dan harus berusaha menjaga hubungan baik. Kebersamaan merupakan suatu yang akan membawa kesejahteraan bersama. Akan tetapi, tidak semuanya harus bergantung kepada orang lain. Manusia sebagai anggota masyarakat juga harus bisa mandiri untuk mencapai tujuannya, tanpa memandang sebelah mata kepada orang lain. Manusia baru merasa berarti dan lengkap hidupnya setelah melakukan interaksi dengan orang lain. Manusia menyadari bahwa di samping dirinya masih ada orang lain. Hal itu berarti bahwa kehidupan tidak dapat lepas dari orang lain, sehingga artinya manusia pada hakikatnya dibentuk dan ditentukan oleh masyarakat lingkungan (Sedyawati, 2006: 44). Nilai budaya Bakumpai merupakan sesuatu hal yang dianggap baik, bernilai, berharga, dan penting dalam kehidupan masyarakat Bakumpai sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberikan arah dan orientasi kepada kehidupan warga masyarakat Bakumpai. Masyarakat Bakumpai yang dikenal sederhana, ramah, dan penuh toleransi telah dikenal sejak dulu. Hal ini terbukti banyaknya pedagang yang datang ke Bakumpai atau Marabahan untuk melakukan kerja sama, berdagang, dan transaksi lain (Maskuni, 2008: 4). Nilai budaya Bakumpai merupakan perwujudan yang ditimba dari kebudayaan masyarakat Bakumpai. Nilai ini merupakan hal yang dianggap dan dipercaya sebagai pedoman budi pekerti 67
yang baik dan mulia. Pengaktualisasian nilai budaya ini dapat dilihat dari cara dan berperilaku masyarakat Bakumpai sehari-hari. Masyarakat Bakumpai sebagai petani misalnya, selalu memperhatikan dan menjaga kesuburan tanahnya dengan tidak memusnahkan kumpai tetapi malah dibuat untuk humus yang menyuburkan tanah. Nilai-nilai luhur masyarakat Bakumpai ini diwariskan oleh leluhurnya dari dulu sampai sekarang. Nilai budaya dalam bergotong royong misalnya, selalu dijaga oleh masyarakat sebagai rasa kebersamaan antarwarga masyarakat. Pandangan terhadap hubungan manusia dengan sesama itu sangat penting bagi masyarakat Bakumpai. Manusia dalam masyarakat bergantung kepada sesamanya dan harus berusaha menjaga hubungan baik antarsesama. Kebersamaan merupakan sesuatu yang akan membawa kesejahteraan bersama. Tetapi, bagi masyarakat Bakumpai tidak semuanya harus bergantung kepada orang lain. Manusia sebagai anggota masyarakat juga harus bisa mandiri untuk mencapai tujuannya, tanpa memandang sebelah mata kepada orang lain sehingga rasa kebersamaan tetap terjaga. Nilai-nilai budaya Bakumpai sebagai pedoman dan norma hidup tergambar dalam kandungan dongeng yang berkembang di masyarakat. Dongeng ini selalu menyelipkan unsur nasihat dan moral kepada masyarakat Bakumpai yang dipercayai sebagai sarana pembelajaran kepada generasi berikutnya (Kasmudin, 2003: 24). Cerita-cerita dalam dongeng Bakumpai mengandung arti dan isi tentang ajaran peri kehidupan, masalah alam, hubungan antarsesama manusia dalam masyarakat. METODE Data dari penelitian ini adalah dongeng Bakumpai yang terdiri atas 11 (sebelas) dongeng. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dan penelitian sosiologi, metode deskriptif, dan teknik analisis isi. Instrumen utama adalah peneliti. Instrumen sekunder adalah informan, dongeng Bakumpai, tape recorder, ponsel dan catatan penelitian. Analisis data dilakukan selama pengumpulan data. HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai Budaya tentang Hidup Manusia dalam Dongeng Burung Pipit dan Petani Dongeng tentang Burung Pipit dan Petani ini menceritakan kehidupan sebuah keluarga yang sederhana, yang dalam mencari nafkah dengan cara bertani dan berkebun. Mereka hidup penuh kesabaran dalam bekerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Seperti pada kutipan berikut. Pancaharian awen te manggilau lauk dengan batana. Awen melai si sungei Barito dengan mawi huma. Beken pada jite, awen melai batana dengan bakabun. Artinya: Pancaharian mereka adalah berburu dengan bertani. Mereka tinggal di rumah yang sederhana. Selain itu, mereka hidup dengan berkebun dalam mencukupi kebutuhannya. (Hm/1 Burung Pipit dan Petani). Bertani merupakan pekerjaan sebagian besar masyarakat Bakumpai. Hal ini disebabkan kebiasaan yang diwariskan dari leluhurnya adalah bertani. Tersedianya lahan pertanian yang luas mendorong mereka untuk mengelola lahan itu sebagai penyambung hidup. Mereka hidup penuh kesabaran dalam bekerja dari pagi sampai sore untuk mencukupi kebutuhan hidup seharihari. Hidup dengan kesabaran dan tidak mengeluh merupakan prinsip mereka dalam menjalani hari-harinya agar hidup terasa damai dan tenang.
68
Tenang dan damai di rumah yang sederhana. Seperti dalam kutipan tersebut, pada kalimat kedua. Tempat tinggal mereka sebuah rumah yang beratap rumbia yang diambit sendiri. Rumah yang lazimnya pada masyarakat Bakumpai dibangun dalam bentuk panggung dengan tongkat dari kayu Ulin. Ini mengingat tanahnya rawa dan biasanya berair, apalagi musim penghujan. Pada lapak bawah tongkat ulun diberi kayu galam. Masyarakat Bakumpai dalam bertani diawali dengan penyemaian atau manugal. Manugal biasanya dijalankan secara serentak dalam suatu lahan yang telah disepakati. Mereka bergotong royong dalam membersihakan tempat tugalan. Seperti pada kutipan berikut. Dalam mereka bertanam, sebelum padi ditanam ditugal lebih dahulu baru dilacak, kemudian ditanam. Artinya: Dalam mereka bertani, sebelum padi ditanam ditugal lebih dahulu baru dilacak, kemudian ditanam. (Hm/2/ Burung Pipit dan Petani). Pada saat manugal, biasanya tugas dibagi dalam dua kelompok. Satu orang atau lebih membuat lubang dengan menggunakan kayu yang disebut halu. Caranya pun tidak sulit, hanya dengan cara menghentakkan halu ke tanah yang sudah dibersihkan. Sementara yang lain memasukkan benih ke dalam lubang. Setelah itu, lubang yang sudah berisi benih itu ditutup dengan tanah atau abu. Lahan untuk manugal ini bisa di sawah sebelum ada airnya, bisa juga di pamatang. Sebab biasanya manugal dipilih harinya ketika musim hujan baru tiba, di antara bulan September dan Oktober. Setelah rumpun tugal sudah besar, kira-kira berumur satu setengah bulan dipindah atau dilacak. Tempat lacak dibuat membujur lurus dengan sawah. Hal ini dilakukan agar ketika bertanam mudah menyediakan bibitnya, tidak jauh mengangkut. Sekitar bulan Februari sampai April masyarakat Bakumpai dikenal dengan musim tanam. Kebiasaan dalam bertanam padi ini dilakukan secara gotong royong. Baik secara bergantian atau bahandepan maupun secara upahan sehingga sawah yang luas akan dapat diselesaikan dalam waktu yang tidak lama. Menanam padi secara bergotong royong ini dikerjakan dari pagi, sekitar pukul delapan sampai pukul dua belas atau tengah hari. Nilai Budaya tentang Hidup Manusia dalam Dongeng Raja Badandan dan Pembantunya Dongeng tentang Raja Badandan dan Pembantunya ini menceritakan kehidupan sebuah keluarga raja yang mempunyai kerajaan yang kaya dan makmur. Raja memimpin dengan adil dan bijaksana, serta peduli dengan lingkungan seperti taman dan kebun. Raja mempunyai seorang pembantu yang mencari nafkah dengan cara merawat kebun. Ia hidup penuh kesabaran dalam bekerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan selalu menjaga kepercayaan raja. Seperti pada kutipan berikut. Ada ji kungan panjaga kabun ji rajin, saing dengan iklas bagawian araei Sisung. Iye rajin bagawi mulai hayakjen sampai tukep sampalemei. Mandukuh babuaan dengan maharague sampai babuawa muna gawia ji inggawi tapi dada marasa uyuh. Raja te marasa suka bila mananjung si kabun babuaan, rasa sadengen dengan damai. Bila pas puhun babuaan jituh kana hamaSisung maharague dengan macam-macam cara sampai hamae te nihau. Auh kesah uluh te Sisung te lenge sadengenan bila badukuhan naraei be ji indukuh tumbu susbur dengan labat buwae.
69
Artinya: Terdapatlah seorang penjaga kebun yang rajin dan ulet, serta tulus dalam bekerja yang bernama Sisung. Ia rajin bekerja sejak pagi sampai menjelang petang. Menanam buahbuahan dan merawatnya hingga berbuah adalah pekerjaan yang ditekuni tanpa merasa lelah. Sang raja merasa senang bila berjalan di kebun buah-buahan, terasa sejuk dan damai. Setiap kali pohon buah-buahan ini terkena hama Sisung merawatnya dengan berbagai cara hingga hama itu hilang. Konon ceritanya, Sisung bertangan dingin, setiap tumbuhan yang ditanam tumbuh subur dan berbuah lebat. (Hm/1/ Raja Badandan dan Pembantunya). Menjaga kebun merupakan pekerjaan dan pengabdian kepada raja dan negara. Kesetiaan kepada pekerjaan bagi masyarakat Bakumpai harus dijaga secara amanah. Hal ini disebabkan adanya sebuah anggapan bahwa segala peraturan dan anjuran raja sebagai pemerintah harus ditaati dan dicintai secara tulus. Ini menjadi simbol masyarakat kecil yang hidup penuh kesabaran dalam bekerja dan menjaga amanah dari pagi hari sampai sore hari. Bukan saja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari tetapi karena cinta kepada junjungannya. Hidup dengan kesabaran dan tidak mengeluh merupakan prinsip bagi masyarakat dalam menjalani hari-harinya agar hidup terasa damai dan tenang. Sang raja sebagai simbol seorang pemimpin juga merasa senang dan bangga melihat orang yang dipercaya menjalankan pekerjaan dengan tekun dan penuh rasa cinta. Setiap pekerjaan hendaklah dikerjakan dengan keteguhan hati, bukan sekadarnya saja. Hal ini telah dilakukan oleh Sisung, penjaga kebun, untuk selalu bekerja dengan baik sehingga kebun akan selalu menghasilkan buah yang segar. Seperti pada kutipan: Raja te bila atei e pusang tulak kan taman dengan kabun akan mahibur atei ye. Maka bila jadi si kabun atei raja te rasa damai.Mun malang dadukuhan ji mahijau babuwa kawa mani atei dengan pikiran sanang. Artinya: Sang raja bila hatinya gundah pergi ke taman dan kebun untuk menghibur hatinya. Ternyata, setelah di kebun, hati Sang raja terasa damai. Sebab melihat tanaman yang hijau dengan buah yang lebat dapat menyenang hati dan jiwa. (Hm/2/ Raja Badandan dan Pembantunya). Nilai Budaya tentang Pandangan Manusia terhadap Alam dalam Dongeng Burung Pipit dan Petani Dalam kehidupan masyarakat Bakumpai terdapat hubungan timbal balik antara manusia dengan alam lingkungan sekitarnya. Hubungan ini dipengaruhi oleh kepribadian masyarakat yang melatarbelakangi watak khas, sistem nilai, dan norma masyarakat yang bersangkutan (Mulyadi, 1999: 52). Kepribadian yang selaras, yaitu apabila kepribadian masyarakat yang mampu beradaptasi dengan lingkungan alam tempat mereka hidup, dan bertempat tinggal. Kemampuan ini adalah adanya hubungan timbal balik yang sama-sama tidak merugikan satu sama lain. Di satu pihak, masyarakat mampu mengoptimalkan eksploitasi kebutuhan hidupnya dari kekayaan alam di sekitarnya. Di lain pihak, lingkungan alam harus tetap asri dan lestari yang ditunjang oleh perilaku masyarakat yang ramah lingkungan. Seperti pada kutipan dongeng berikut. Andaw baganti andaw pambelume tatap kakate, mandukuh parei dengan sayuran, manggaduh, imbah te mamutike dengan sataruse. Huang mambuka lahan hanyar harus bahati-hati, harus tatap manjaga kalastarian alam. Awen bagantung dengan alam batana ukan awen melai. 70
Artinya: Hari berganti hari, hidupnya tetap demikian, menanam padi dan sayuran, merawat, kemudian memetiknya, dan seterusnya. Dalam membuka lahan baru harus hati-hati, harus tetap menjaga kelestarian alam. Sebab mereka sangat tergantung dengan alam pertanian tempat mereka tinggal. (Ma/1 /Burung Pipit dan Petani). Kutipan tersebut menggambarkan masyarakat Bakumpai dalam membuka sawah baru, tidak menebang semua pohon-pohon yang ada, terutama pohon galam. Mereka menyisakan di pinggir areal persawahan. Hal ini dilakukan selain untuk tempat naungan, juga sewaktu-waktu memerlukan untuk membangun pondok tidak susah mencari kayu galam. Dewasa ini, eksploitasi kayu galam secara besar-besaran banyak dilakukan oleh oknum masyarakat yang hanya mementingkan materi sejenak tanpa memperhatikan lingkungan. Kayu galam yang sering kita jumpai telah ditebang habis dan diangkut ke kota-kota besar untuk bahan bangunan. Kabupaten Barito Kuala yang didiami oleh berbagai suku bangsa yang salah satunya masyarakat Bakumpai merupakan penghasil kayu galam. Kayu galam inilah yang dijadikan pondasi bangunan rumah, gedung, dan bangunan lainnya yang ada ke kota Banjarmasin dan sekitarnya. Hal ini berakibat pada penebangan kayu galam secara membabi buta. Bahkan yang masih berumur satu tahun juga ditebang. Keseimbangan tidak hanya milik flora saja tetapi juga fauna yang harus mendapatkan perhatian dari manusia. Manusia di sini memegang peranan yang penting dalam menjaga dan melestarikan hewan agar tidak punah. Kutipan berikut menggambarkan tentang petani yang menghargai burung Pipit. “Ui burung pipit kawalku, munketu balau nginan be pareiku saadane, tapi lihi akan akih sakaluarga kuman sabab ikih mandukuh lapar banar”, auh Pak tani dengan kawanan burung pipit. Kawanan burung pipit te umbet kuman parei jite, awen benyem mahiningan Pak tani jite tulus. Artinya: “Wahai burung Pipit sahabatku, kalau kalian lapar makanlah padiku secukupnya, tapi tinggali kami sekeluarga untuk makan kami sebab kami menanam penuh jerih payah”, ujar Pak tani kepada kawanan burung Pipit. Kawanan burung Pipit pun berhenti memakan padi itu, mereka diam memperhatikan kata-kata Pak tani yang penuh ketulusan. (Ma/2 /Burung Pipit dan Petani).. Kutipan itu memesankan bahwa kita harus menghormati dan memberi makanan kepada hewan sekali pun. Bila kita memberi dengan tulus dan ikhlas, akan dibalas dengan kebaikan di dunia atau nanti di akhirat. Ketulusan ini sering kita jumpai pada masyarakat petani di pedesaan. Mereka, bila menolong dengan hati tulus tanpa mengharapkan imbalan. Seperti pada kutipan di bawah ini. “O, ada burung pipit ji bahimang ampie, mamparamas,” garunum Pak tani lalu inue burung pipit jite hambalahun. Imbahte imbite buli kan huma maubat himunge. Artinya: “Oh, ada burung Pipit terluka rupanya, kasihan”, gumam Pak tani. Kemudian dipungutlah burung Pipit itu dengan mesra. Lalu dibawa pulang ke rumah untuk diobati luka-lukanya. (Ma/3 /Burung Pipit dan Petani).
71
Ketulusan dan kasih sayang akan memberikan rasa nyaman dan damai bagi orang-orang di sekitar kita. Demikian juga, walaupun itu burung Pipit, ia pun akan merasa terharu atas pertolongan Pak tani yang penuh kasih sayang. Kasih sayang Pak tani membuktikan bahwa ia berhati mulia, seperti pada kutipan: “Untung ikau inyupa Pak tani jite. Iye muna baus atei makai itah harus mambalas dengan kabaikan,” auh kapala rumbungan pipit jite dengan bijak. Ji beken mahiningan dada basuara dengan mandam. Artinya: “Untung kau ditemukan Pak tani itu. Dia memang berhati baik dan mulia sehingga kita pun harus membalasnya dengan kebaikan”, kata kepala rombongan pipit itu dengan bijak. Sementara yang lain mendengarkan dengan diam dan takjub. (Ma/4 /Burung Pipit dan Petani). Sudah sepantasnya kita sebagai makhluk sosial memberikan balasan kepada orang yang telah menolong kita. Kebaikan harus dibalas dengan kebaikan, tanpa melihat siapa yang berbuat baik kepada kita. Begitulah penjelasan dari kutipan tersebut yang memberikan pencerahan agar setiap manusia membantu menjaga dan melestarikan alam sekitar kita, termasuk makhluk hidup lainnya. Nilai Budaya tentang Pandangan Manusia terhadap Alam dalam Dongeng Raja Badandan dan Pembantunya Masyarakat Bakumpai memandang hubungan antara manusia dengan alam lingkungan sekitarnya harus dijaga. Hubungan ini menggambarkan kepribadian masyarakat tentang norma masyarakat terhadap alam (Mulyadi, 1999: 62). Kepribadian yang selaras, yaitu apabila kepribadian masyarakat yang mampu beradaptasi dengan lingkungan alam tempat mereka hidup, dan bertempat tinggal. Kemampuan ini adalah adanya hubungan timbal balik yang sama-sama tidak merugikan satu sama lain. Alam termasuk tumbuh-tumbuhan harus dijaga agar tetap asri dan lestari yang ditunjang oleh perilaku masyarakat yang memperdulikan tanaman. Seperti pada kutipan dongeng berikut. Sining pas puhun babuaan jituh takana hama Sisung maharagu dengan macam-macam cara sampai hama jitu Nihau. Auh kesah uluh Sisung lengee dinginan,sining daduhuhan ji indukuhe tumbu subur dengan labat babuwa. Artinya: Setiap kali pohon buah-buahan ini terkena hama, Sisung merawatnya dengan berbagai cara hingga hama itu hilang. Konon ceritanya, Sisung bertangan dingin, setiap tumbuhan yang ditanam tumbuh subur dan berbuah lebat. (Ma/1/ Raja Badandan dan Pembantunya). Kutipan tersebut menggambarkan dan memesankan agar kita memperhatikan tanaman dari hama yang menyerangnya. Apabila kita rajin dan tekun merawat, hasil buahnya akan banyak. Tanaman yang menghasilkan buah yang baik tentunya harus diimbangi dengan pemupukan, penyiangan dari rumput dan gulma, serta penyemprotan terhadap hama. Masyarakat bakumpai yang mayoritas petani banyak menanam buah-buahan secara tumpang sari di sawah atau kebun. Tananam buah-buahan yang lazim ditanam seperti mangga, sawo, jeruk, ketapi, pisang, dan nenas. Dewasa ini, pembukaan lahan gambut besar-besaran banyak dilakukan oleh oknum masyarakat yang hanya mementingkan materi sejenak tanpa memperhatikan lingkungan. 72
Namun, bagi yang mempunyai pandangan ekonomis, lahan yang ditebang itu dibuat gundukan atau tokongan yang kemudian ditanami jeruk atau mangga. Jeruk bagi masyarakat Bakumpai sekarang dikembangkan dengan sistem pertanian yang lebih maju sehingga hasilnya dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Keseimbangan alam terutama buah-buahan harus mendapatkan perhatian dari manusia. Sebab buah-buahan dapat menghasil serat yang sangat berguna bagi kesehatan manusia. Manusia di sini, memegang peranan yang penting dalam menjaga dan melestarikan buah-buahan agar tetap segar dan bergizi. Kutipan berikut menggambarkan tentang manfaat buah bagi kesehatan. Babuaan ji are mulai pakulih kabun te are banar makae sining ada karasmin si kerajaan pasti be ada mahias ruangan. Uluh ji rapat kilau wajir dengan panglima suka banar kuman babuaan ji sigar. Cucuk ai bila awen belom sehat. Sisung jadi pamandean uluh tarus iye pang harat manjaga dengan maharagu babuaan. Artinya: Buah-buahan yang banyak dari hasil kebun itu melimpah hingga setiap ada acara di kerajaan selalu menghiasi ruangan. Peserta rapat seperti wajir dan panglima senang sekali makan buah-buahan yang segar. Pantas kalau mereka hidup sehat. Sisung selalu dibicarakan orang karena kemahirannya menjaga dan merawat buah-buahan. (Ma/2/ Raja Badandan dan Pembantunya). Kutipan itu memesankan bahwa, kita harus menjaga dan mengkonsumsi buah-buahan agar tetap hidup dalam keadaan sehat. Buah-buahan yang diambil langsung dari alam akan lebih baik dan lebih sehat. Alam telah menyediakan agar manusia dapat mengelolanya dengan baik sehingga akan menghasilkan manfaat bagi orang banyak. Seperti pada kutipan tersebut para peserta rapat dan wajir dapat menikmati buah-buahan yang ditanam oleh Sisung. Alam ternyata dapat menghasilkan bukan saja buah-buahan tetapi juga obat-obatan, seperti pada kutipan: Imbahte tapahining ada habar mun si padalaman ada jikungan hatue ji harat maubati uluh habau dengan ramuan ubat bi ulat kayu dengan dadawenan bi saputar padang kayu. Lalu raja manyuhu prajurite manggau hatue jite. Artinya: Kemudian terdengar sebuah kabar kalau di daerah terpencil terdapat seorang pemuda yang pandai mengobati orang sakit dengan ramuan obat dari akar-akaran dan dedaunan dari hutan sekitarnya. Maka raja menyuruh prajuritnya mencari pemuda itu. (Ma/3/ Raja Badandan dan Pembantunya). Akar-akaran, seperti pasak bumi banyak kita jumpai di daerah tepian Barito. Akar ini dapat digunakan sebagai obat-obatan dan herbal. Ketulusan dan kasih sayang Sisung untuk menolong orang lain dengan menggunakan akar-akaran dan dedauanan. Hal ini, memberikan pesan bahwa alam juga menghasilkan tanaman obat yang bisa dimanfaatkan untuk kesehatan dan kebaikan bagi orang banyak. Selain itu, hutan juga menghasilkan kayu bakar yang dapat digunakan untuk memasak dan dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Seperti pada kutipan berikut. Si huma panggung halus ji barasih hituhlah hatue jite melai kabuate. Sining andaw iye aur dengan tulak kan padang kayu manggau kayu akan barapi dengan bahan-bahan ramuan ubat ji ahapa uluh jisaputare. Iye mambantu uluh dada babalasan dengan dada baupah narainarai.
73
Artinya: Di sebuah rumah panggung kecil yang bersih inilah pemuda itu bertempat tinggal seorang diri. Hari-harinya disibukan dengan pergi ke hutan mencari kayu bakar dan bahan-bahan ramuan obat yang diperlukan warga di sekitarnya. Ia menolong orang tanpa pamrih dan imbalan apapun. (Ma/4/ Raja Badandan dan Pembantunya). Gambaran tentang hutan yang asri harus tetap dilestarikan agar hutan tetap sebagai jati dirinya yang menghasilkan berbagai macam keperluan hidup masyarakat. Masyarakat yang bijak akan memandang hutan adalah sebagai penyeimbang ekosistem. Ekosistem yang dihuni oleh berbagai makhluk hidup dan makhluk tak hidup, yang kesemuanya itu makhluk tuhan alam semesta. Nilai Budaya tentang Hubungan Manusia dengan Sesamanya dalam Dongeng Burung Pipit dan Petani Manusia sebagai makhluk sosial akan selalu memerlukan orang lain dalam hidupnya. Pada masyarakat Bakumpai seperti masyarakat lainya, hubungan ini ditandai dengan adanya perkawinan dalam membentuk rumah tangga. Setiap individu memegang peranan dalam rumah tangga, termasuk dalam bermusyawarah, seperti pada kutipan: Huang awen batana, hindai parei indukuh inugal halu hanyar ilacak, imbahte indukuh. Pak tani induhup sawae dengan anke manngani e dengan badaduhupan. Lagi hinadi mulai, awen barunding mangau anadaw ji bagus akan manugal. Artinya: Dalam mereka bertani, sebelum padi ditanam ditugal lebih dahulu baru dilacak, kemudian ditanam. Pak tani dibantu istri dan anaknya melakukan ini dengan gotong royong. Sebelumnya, mereka berunding mencari hari yang baik untuk menugal. (Mm/ 1 /Burung Pipit dan Petani). Kutipan tersebut menggambarkan jiwa gotong royong selalu ada pada masyarakat Bakumpai di pedesaan sebab masyarakat desa pada dasarnya memiliki kepedulian yang tinggi dalam hubungannya dengan orang lain. Jiwa gotong royong dan menghargai pendapat orang lain ini tentunya patut dihargai sebagai tonggak demokrasi yang tulus, tanpa iming-iming. Hubungan dalam rumah tangga, seperti pada hubungan antara ayah dengan anak ditandai dengan pewarisan nilai-nilai luhur melalui contoh yang baik. Memberi pelajaran moral dengan contoh akan lebih efektif pada seorang anak. Sebab anak dipandang sebagai pewaris masa depan negara harus mempunyai karakter yang handal dan mantap. Termasuk di dalamnya harus memiliki raya kasih sayang. Seperti pada kutipan: Kaluarga patani te dengan ji kungan anak hatue. Awen belom si huma ji sadarhana banar. Humae basarubung dawen rumbia dengan dindinge papan kayu. Sining andaw ilepahan si kabun dengan tana sambil mandukuh parei dengan papuhunan akan pambelum awen,pambelum awensaadae tapi tatap basyukur lalu dada parasaan marista dengan nasibe. Artinya: Keluarga petani ini dengan seorang anak laki-laki. Mereka hidup dalam sebuah rumah yang sangat sederhana. Rumah yang beratap Rumbia dan berdinding papan kayu. Hariharinya dihabiskan di ladang dan di sawah untuk menanam padi dan sayur-sayuran
74
untuk keperluan hidup mereka. Hidupnya sederhana dengan penuh rasa syukur sehingga tidak ada rasa mengeluh akan nasibnya. (Mm/2 /Burung Pipit dan Petani). Kutipan tersebut menasihatkan tentang ketegaran dan rasa syukur dalam menjalani kehidupan di dunia. Hidup dalam rumah tangga yang sederhana akan menempa seorang anak agar tidak manja, dan akan membentuk jiwa yang tegar, tidak mudah rapuh menghadapi cobaan hidup. Hidup harus dihadapi dengan keyakinan akan lebih baik bila kita mau berusaha memperbaiki. Nilai Budaya tentang Hubungan Manusia dengan Sesamanya dalam Dongeng Raja Badandan dan Pembantunya Manusia sebagai makhluk sosial akan selalu memerlukan orang lain dalam hidupnya. Pada masyarakat Bakumpai seperti masyarakat lainnya, hubungan ini ditandai dengan adanya perkawinan dalam membentuk rumah tangga. Orang tua mempunyai peranan yang penting dalam mengawinkan anak-anaknya, seperti pada kutipan: Wajir menanga caruman akan maadaan sayembara. Lalu iyadaan sayembara yaweh ji supamangelehan raja akan ijadian binantue oleh raja baisi due anak hatue dengan bawi. Artinya: Wajir memberikan saran agar diadakan sayembara. Maka diadakan sayembara siapa yang dapat menyembuhkan raja akan menjadi menantunya sebab raja mempunyai dua anak laki-laki dan perempuan. (Mm/1/ Raja Badandan dan Pembantunya). Kutipan tersebut menggambarkan peranan orang tua dalam membentuk rumah tangga baru bagi anak mereka. Jiwa seorang raja tentunya akan memilih menantu yang mempunyai kelebihan. Pada masyarakat Bakumpai memilih menantu cenderung memilih yang mempunyai akhlak dan ilmu agama. Sebab masyarakat Bakumpai memiliki kepedulian yang tinggi terhadap moral yang sesuai dengan ajaran agama. Dalam hubungannya dengan orang lain, jiwa tolong-menolong dan menghargai orang lain ini masih menjadi kebiasaan. Hal ini tentunya patut dihargai sebagai rasa kebersamaan yang tulus tanpa pamrih, seperti pada kutipan: Limbah raja sigar, Sisung harawey handak buli kan humae da mamarlu upah bi raa ji handak mangawinan iye dengan anake. Ye manduhup dengan rida dada baharap upah. Iye mamilih melai si kampunge ji kejau dengan kuta akan manduhup uluh ji mamalu iye. Artinya: Setelah raja sehat, Sisung pamitan untuk pulang ke rumahnya tanpa menghiraukan imbalan dari Raja yang akan mengawinkan ia dengan anaknya. Ia membantu dengan iklas tanpa mengharapkan imbalan. Ia memilih tinggal di kampungnya yang jauh dari kota untuk menolong orang-orang yang membutuhkannya. (Mm/2/ Raja Badandan dan Pembantunya). Pada kutipan tersebut memberi pelajaran moral tentang jiwa sosial, menolong sesama manusia yang membutuhkannya. Apabila masyarakat membutuhkan pertolongan, kita tidak boleh menolaknya. Ajaran moral seperti ini akan lebih efektif diajarkan kepada anak agar nantinya dapat bermanfaat bagi orang lain. Seperti pada kutipan:
75
“Jida be Yang Mulia, jite ela imander hindai. Ji panting Paduka jadi sigar”, tambah Sisung. Imbah te Sisngmaharagu Sang Raja dengan kalau katabiban iyawe macam-macam ransum panginan bi sari babuaan oleh Sisung. Raja mulai baisut umbet haban dengan batambah sigar kungaye limbah mihup sari babuaan jite, dengan tatarusan badua dengan Yang Maha Kuasa. Artinya: “Sudahlah Yang Mulia, itu jangan dibicarakan lagi. Yang penting Paduka sudah sehat”, jawab Sisung. Setelah itu, Sisung merawat Sang raja dengan kemampuan tabibnya. Dibuatlah berbagai macam ransum makanan dari sari buah-buahan oleh Sisung. Raja pun lambat laun sembuh dan tambah segar badannya setelah minum sari buah-buahan itu. (Mm/3/ Raja Badandan dan Pembantunya). Kutipan tersebut menasihatkan tentang ketulusan dan rasa peduli terhadap orang lain. Hidup harus diisi dengan kebaikan dan keyakinan akan adanya balasan atas perbuatan baik itu di kemudian hari. Sudah sepantasnya kita sebagai makhluk sosial memberikan bantuan kepada orang dengan cara menolong sesuai dengan kemampuan kita. Demikian penjelasan dari kutipan tersebut, yang memberikan pencerahan agar setiap manusia membantu orang lain yang sedang membutuhkannya. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dongeng di Kabupaten Barito Kuala dikenal sebagai sastra lisan Bakumpai dengan bahasa yang digunakan adalah bahasa Bakumpai. Dongeng Bakumpai memberikan corak tersendiri bagi perkembangan sastra di salah satu kabupaten di Kalimantan Selatan ini. Karya sastra lisan ini sebagai pembelajaran hidup dalam lingkungan masyarakat melahirkan apresiasi yang mendalam oleh banyak kalangan. Dongeng bagi masyarakat Bakumpai selain untuk menghibur anak-anak sebagai pendengar juga untuk menanamkan pesan, nasihat yang positif terutama kepada anak-anak tentang moral dan kepribadian. Penanaman dengan pesan moral ini biasanya ditampilkan lewat tokoh-tokohnya. Tokoh protagonis selalu ditampilkan dengan penampilan yang serba istimewa sehingga pendengar akan simpati dan mendukung apa yang diperbuatnya. Selain itu, penampilan tokoh antagonis digambarkan selalu berbuat jahat yang akhirnya akan menuai akibatnya. Penyelesaian ini yang diperlukan dalam dongeng sebagai muatan moral yang baik selalu menang dan yang jahat akan mengalami kesengsaraan. Saran Kepada para peneliti berikutnya, disarankan agar melakukan penelitian nilai-nilai kearifan lokal dalam dongeng Bakumpai. Selain itu, disarankan pula kepada peneliti berikutnya untuk meneliti nilai-nilai pendidikan dalam dongeng Bakumpai. Di samping itu, disarankan juga kepada peneliti berikutnya untuk melakukan penelitian nilai-nilai moral dalam dongeng Bakumpai.
76
DAFTAR RUJUKAN
Damono, Sapardi Djoko. 1998. Sosiologi Sastra. Jakarta: Proyek Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia- Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti. Durasid, Durdje. 1997. Struktur Cerita Rakyat Bakumpai. Banjarmasin: FKIP Unlam. Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media Presindo. Herusatoto. 2000. Sosiologi. Bandung: Ganesa. Ismail, Abdurachman. 1995. Cerita Rakyat Bakumpai. Banjarmasin: FKIP Unlam. Jassin, H.B. 1985. Kesusastraan Modern dalam Kritik Esai. Jakarta: Gramedia Pustaka. Kasmudin. 2003. Gambaran Identitas Etnik dalam Cerita Rakyat Bakumpai. Banjarmasin: STKIP. Koentjaraningrat. 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: Gramedia. Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi. Jakarta: Gramedia. Kurnia. 1996. Dongeng- Salah Satu Sastra Lisan. Jakarta: Grafindo. Maskuni. 2008. Sastra Daerah Kabupaten Barito Kuala. Marabahan: Dinas LHPB. Mulyadi, Yad. 1999. Pengantar Antropologi. Jakarta: Depdikbud. Pradopo, Rahmad Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Samuel, 1997. Sosiologi. Jakarta: Depdikbud. Saini, KM. 1986. Protes Sosial dalam Sastra. Bandung: Angkasa. Sedyawati, Edi. 2006. Budaya Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sugiarto, Eko. 2009. Mengenal Dongeng dan Prosa Lama. Jakarta: Pustaka Widyatama. Sumardjo, Jakob. 1986. Ikhtisar Sejarah Teater Barat. Bandung: Angkasa. Sumardjo, Jakob. 1999. Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977. Bandung: Yayasan Adikarya Ikapi. Wiki Media. http//Search creative Commons, org/#. 19 Juni 2010:16.15.
77
78
TINDAK TUTUR DOKTER DAN PASIEN DI PUSKESMAS GAMBUT KABUPATEN BANJAR (SPEECH ACT OF DOCTOR AND PATIENT IN PUSKESMAS GAMBUT OF BANJAR DISTRICT) Mardikayah dan Rusma Noortyani Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Brigjend H. Hasan Basry, Kampus Kayu Tangi, Banjarmasin, Kode Pos 70123, e-mail
[email protected] Abstract Speech Act of Doctor and Patient in Puskesmas Gambut of Banjar District. Speech act is an act of speech when the speaker issued. In the process of physician services to patients are speech acts. This study discusses the speech act clinicians and patients at the health center Peat Banjar district by gender and age. This study aims to determine what kind of speech act that doctors use when serving patients. The approach used in this study is a qualitative approach, with descriptive methods. The data in this study in the form of speech that diujarkan by physicians and patients in the health center. Source data obtained from physicians and patients in the form of speech recordings and interviews. Research instruments such as observation sheets, questionnaires, and field notes, with tools tape recorder, cassette recorders, mobile phones, and other stationery. Data was collected using observation techniques (see) and interviews (competent). Data analysis was performed from data collection, the analysis activities include: 1) data reduction, 2) data presentation, and 3) the verification / inference. The results of this study indicate an action can be delivered using a variety of forms of speech. The forms of speech that exist in substitutions at the health center between doctor and patient representative form of speech, commissive, directive, and expressive. Doctors use more representative speech, commissive, and directive, while patients use more representative and expressive speech. Representative speech acts used by doctors in the form of provision of information, shows, and asserted, while the representative speech spoken by patients of different sex and age in the form of acts of grumbling along with an explanation to elicit responses from physicians. Directive speech spoken male doctor is different from speech female doctors to patients of different gender and age. Male doctor at a different rule for patient sex and age, using direct speech and short, while the speech of women doctors to patients of different sex and age at the time of direct speech and the rule using the term. Commissive speech spoken male physicians and women to different patient sex and age in the form of follow-promise and make suggestions to the patient. Expressive speech spoken form of patient follow-up thank-you to the doctor. Keywords: speech acts, physicians, patients
Abstrak Tindak Tutur Dokter dan Pasien di Puskesmas Gambut Kabupaten Banjar. Tindak tutur merupakan suatu tindakan ketika penutur mengeluarkan ujaran. Dalam proses pelayanan dokter terhadap pasien terdapat tindak tutur. Penelitian ini membahas tentang tindak tutur dokter dan pasien di Puskesmas Gambut Kabupaten Banjar berdasarkan perbedaan jenis kelamin dan usia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tindak
79
tutur seperti apa yang digunakan dokter ketika melayani pasien. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, dengan metode deskriptif. Data dalam penelitian ini berupa tuturan yang diujarkan oleh dokter dan pasien di Puskesmas. Sumber data diperoleh dari tuturan dokter dan pasien berupa rekaman dan hasil wawancara. Instrumen peneliti berupa lembar observasi, daftar pertanyaan, dan catatan lapangan, dengan alat bantu tape recorder, kaset perekam, handphone, dan alat-alat tulis lainnya. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik observasi (simak) dan wawancara (cakap). Analisis data dilakukan sejak pengumpulan data, dengan aktivitas analisis meliputi reduksi data, penyajian data, dan verifikasi/ penyimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan suatu tindakan dapat disampaikan dengan menggunakan berbagai bentuk tuturan. Bentuk-bentuk tuturan yang ada pada pertuturan di Puskesmas antara dokter dan pasien berupa tuturan representatif, komisif, direktif, dan ekspresif. Dokter lebih banyak menggunakan tuturan representatif, komisif, dan direktif, sedangkan pasien lebih banyak menggunakan tuturan representatif dan ekspresif. Tuturan representatif yang digunakan dokter berupa tindak pemberian informasi, menunjukkan, dan menegaskan, sedangkan tuturan representatif yang dituturkan oleh pasien yang berbeda jenis kelamin dan usia berupa tindak pengeluhan beserta penjelasan untuk memperoleh respon dari dokter. Tuturan direktif yang dituturkan dokter laki-laki berbeda dengan tuturan dokter perempuan terhadap pasien yang berbeda jenis kelamin dan usia. Dokter laki-laki pada saat memerintah terhadap pasien yang berbeda jenis kelamin dan usia, menggunakan tuturan langsung dan pendek, sedangkan tuturan dokter perempuan terhadap pasien yang berbeda jenis kelamin dan usia pada saat memerintah menggunakan tuturan langsung dan panjang. Tuturan komisif yang dituturkan dokter laki-laki dan perempuan terhadap pasien yang berbeda jenis kelamin dan usia berupa tindak berjanji dan memberikan usulan terhadap pasien. Tuturan ekspresif yang dituturkan pasien berupa tindak ucapan terima kasih terhadap dokter. Kata-kata kunci: tindak tutur, dokter, pasien
PENDAHULUAN Richard (dalam Jumadi, 2005: 41) memberikan beberapa hal tentang tujuan percakapan, yakni sebagai pertukaran informasi, memelihara tali persahabatan sosial dan kekerabatan, negosiasi status dan pengambilan keputusan, serta pelaksanaan tindak bersama. Tujuan-tujuan itu diwujudkan memalui tindak tutur. Masalah yang diteliti adalah bagaimana tindak tutur dokter dan pasien di Puskesmas Gambut Kabupaten Banjar? Tindak tutur yang diamati berdasarkan jenis kelamin, usia dokter dan pasien yang dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana tindak tutur dokter laki-laki dan perempuan terhadap pasien laki-laki-laki dan perempuan (anak-anak, orang dewasa, dan lansia)? 2. Bagaimana tindak tutur pasien laki-laki dan perempuan (anak-anak, orang dewasa, dan lansia) terhadap dokter laki-laki dan perempuan? Tujuan dari penelitian ini mendeskripsikan sebagai berikut: 1. Tindak tutur dokter laki-laki dan perempuan terhadap pasien laki-laki-laki dan perempuan (anak-anak, orang dewasa, dan lansia). 2. Tindak tutur pasien laki-laki dan perempuan (anak-anak, orang dewasa, dan lansia) terhadap dokter laki-laki dan perempuan. Manfaat penelitian ini terdiri atas manfaat teoretis dan praktis. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan teori pragmatik, khususnya tindak tutur. Sementara, manfaat 80
praktisnya sebagai gambaran tentang tindak tutur dokter dan pasien di Puskesmas Gambut Kabupaten Banjar. Pragmatik berkaitan erat dengan tindak ujar atau speech act. Konsep pragmatik, yaitu menelaah hubungan lambang dengan penafsirannya. Maksudnya menelaah makna menurut tafsiran pendengar. Levinson (dalam Rahardi, 2005: 48) mendefinisikan pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Biasanya penutur mengharapkan bahwa maksud komunikasinya akan diketahui oleh pendengar. Baik penutur maupun pendengar biasanya terbantu oleh keadaan-keadaan yang mengelilingi ujaran tersebut. Keadaan-keadaan ini termasuk ujaran-ujaran yang lain disebut peristiwa tutur. Peristiwa tutur itulah yang menentukan interpretasi ujaran sebagai ujaran yang melakukan suatu tindak tutur tertentu. Dalam mengeluarkan tuturan, seseorang tidak hanya semata-mata mengatakan sesuatu dengan pengucapan kalimat, tetapi juga menindakkan sesuatu. Aspek tutur meliputi penutur dan lawan tutur, tujuan tutur, tuturan sebagai kegiatan tindak tutur (Leech, dalam Nadar, 2009: 7). Terkait dengan aspek tutur penutur dan lawan tutur ditegaskan bahwa lawan tutur atau penutur adalah orang yang menjadi sasaran tuturan dari penutur. Tujuan tuturan tidak lain adalah maksud penutur mengucapkan sesuatu. Tindak tutur adalah suatu perbuatan tutur yang lebih mengacu terhadap makna dan arti dari ucapan yang dimaksudkan oleh si penutur. Selain itu, tindak tutur juga merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Austin (dalam Rani, dkk, 2000: 136) menyatakan bahwa secara analitis dapat dipisahkan tiga macam tindak tutur yang terjadi secara serentak, yaitu (1) tindak lokusi, (2) tindak ilokusi, (3) tindak perlokusi. 1)
Tindak lokusi Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk mengatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami. Dalam tindak lokusi seorang penutur mengatakan sesuatu secara pasti. Gaya bahasa si penutur langsung dihubungkan dengan sesuatu yang diutamakan dalam isi ujarannya. Dengan demikian, sesuatu yang diutamakan dalam tindak lokusi adalah isi ujaran yang diungkapkan oleh penutur. Dalam tindak lokusi tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan oleh si penutur, misalnya, tanganku gatal. Jadi, tuturan di atas, semata-mata hanya dimaksudkan untuk memberitahu si mitra tutur bahwa pada saat dimunculkannya tuturan itu tangan penutur sedang dalam keadaan gatal. 2) Tindak ilokusi Tindak ilokusi adalah suatu tindak yang dilakukan dalam mengatakan sesuatu seperti membuat janji, membuat pernyataan, mengeluarkan perintah atau permintaan, pemberian izin, mengucapkan terima kasih, dan menawarkan. Tindak dalam mengatakan sesuatu itu disebut ilokusi. Dalam tindak ilokusi didapatkan suatu daya atau kekuatan yang mewajibkan si penutur untuk melaksanakan suatu tindakan tertentu. Tuturan tanganku gatal yang diucapkan penutur bukan semata-mata dimaksudkan untuk memberitahu si mitra tutur bahwa pada saat dituturkannya tuturan itu rasa gatal sedang bersarang pada tangan penutur, namun lebih dari itu bahwa penutur menginginkan mitra tutur melakukan tindakan tertentu berkaitan dengan rasa sakit gatal pada tangannya itu.
81
3) Tindak perlokusi Tindak perlokusi adalah tindak tutur yang dilakukan dengan mengatakan sesuatu untuk mempengaruhi orang lain, menjadikan orang marah, menghibur seseorang, dan membuat orang bereaksi. Tindak tutur ini berkenaan dengan adanya ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan perilaku nonlinguistik dari orang lain. Tuturan tanganku gatal dapat digunakan untuk menumbuhkan pengaruh (effect) rasa takut kepada mitra tutur. Rasa takut itu muncul misalnya, orang yang menuturkan tuturan itu berprofesi sebagai tukang pukul yang pada kesehariannya sangat erat dengan kegiatan memukul dan melukai orang lain. Contoh lain, ucapan dokter (kepada pasiennya), “Mungkin ibu menderita penyakit jantung koroner”, si pasien akan panik atau sedih. Ucapan si dokter adalah tindak tutur perlokusi. Searle (dalam Rani dkk, 2000: 139) mendeskripsikan ilokusi ke dalam lima jenis tindak tutur, yaitu: 1. Asertif atau representatif ialah tindak tutur yang menjelaskan apa dan bagaimana sesuatu itu adanya, misalnya pemberian pernyataan, pemberian saran, pelaporan, pengeluhan, dan sebagainya. Contoh dialog yang menyatakan atau menjelaskan. Edi : Buku itu bukan milik saya. Budi : Lalu milik siapa? Edi : Saya tidak tahu. Contoh dialog singkat tersebut menunjukkan penjelasan Edi bahwa pensil itu bukan miliknya, dan Edi mengemukakan pula bahwa ia tidak tahu siapa yang memiliki pensil tersebut. 2. Komisif ialah tindak tutur yang mendorong penutur melakukan sesuatu, misalnya bersumpah, berjanji, mengusulkan. Tindak tutur komisif sebagai salah satu jenis tindak tutur yang digunakan oleh penutur untuk membuat dirinya sendiri berkomitmen dalam melakukan tindakan tertentu di masa yang akan datang. Contoh tindak tutur yang menyatakan janji. Siswa: Saya berjanji tidak akan terlambat lagi datang ke sekolah. Guru : Baik, kalau begitu saya akan pegang janji kamu. Contoh kutipan percakapan tersebut berisikan pernyataan janji oleh seorang siswa kepada guru. Siswa melakukan tindak berjanji untuk tidak terlambat. 3. Direktif ialah tindak tutur yang berfungsi mendorong pendengar melakukan sesuatu, misalnya menyuruh, meminta menasehati. Contoh tindak tutur menyuruh. Andi : Saya lapar, tolong ambilkan makanan di atas meja! Dedy : Apa, kamu kira saya ini pembantumu? (Walaupun begitu, Dedy tetap beranjak mengambil air juga). Contoh di atas terlihat A melakukan tindak tutur yang menyebabkan Dedy melakukan sesuatu ‘mengambilkan makanan’. 4. Ekpresif ialah tindak tutur yang menyangkut perasaan dan sikap, misalnya berupa tindakan meminta maaf, berterima kasih, menyampaikan ucapan selamat, memuji, menyatakan belasungkawa, mengkritik. Tindakan ini berfungsi untuk mengekspresikan dan mengungkapkan sikap psikologis penutur terhadap mitra tutur. 82
Contoh tindak tutur meminta maaf. Guru : Mengapa kamu belum menyerahkan PR? Siswa: Maaf Pak, tugas itu belum selesai saya kerjakan. Guru : Kapan akan diserahkan? Siswa: Besok Pak. Contoh penggalan percakapan tersebut berisikan tindak tutur ekspresif yang menyatakan permintaan maaf. Tindak tutur meminta maaf dilakukan oleh siswa yang tidak menyerahkan tugas rumah kepada guru. Siswa mengekspresikan tindak tutur meminta maaf dengan menggunakan kata maaf. 5. Deklarasi ialah tindak tutur yang menghubungkan isi proposisi dengan realitas yang sebenarnya, misalnya menghukum, menetapkan, memecat, memberi nama, dan sebagainya. Tindak deklaratif atau deklarasi dinyatakan sebagai tindak tutur yang berfungsi untuk memantapkan atau membenarkan sesuatu tindak tutur sebelumnya. Tindak tutur ini dinyatakan dengan setuju, tidak setuju, benar, dan lain-lain. Contoh tindak tutur deklaratif. Siswa: Menurut saya, salah satu faktor yang mempengaruhi kecenderungan siswa dalam menjawab ujian adalah ketidaksiapan belajar untuk menghadapi ujian itu sendiri. Bagaimana Pak? Guru : Ya, saya setuju dengan pendapat kamu. Contoh dialog yang telah dikemukakan merupakan tindak tutur deklaratif. Guru menggunakan tindak tutur deklaratif dalam bentuk persetujuan terhadap pendapat yang dikemukakan oleh siswa. Pernyataan persetujuan yang diberikan guru ditandai dengan penggunaan kata setuju. Peristiwa tutur adalah proses terjadinya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat dan situasi tertentu. Jadi, interaksi yang berlangsung antara seorang dokter dengan pasien di Puskesmas pada waktu tertentu dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur. Tindak tutur, P (dokter/pasien) dan T (dokter/pasien) membangun komunikasi dalam percakapan. Pada percakapan tersebut, adanya perilaku dalam bertutur, baik menyangkut proses kerja sama maupun penggunaan aspek-aspek kesantunan tertentu. Kesantunan berbahasa dapat dilakukan oleh seseorang karena terdorong oleh sikap hormat kepada orang yang disapa seperti sering dijumpai hampir semua bahasa manusia. Kesantunan adalah bagaimana bahasa menunjukkan jarak sosial di antara penutur dan hubungan peran mereka di dalam suatu masyarakat. Para pakar memasukkan kesantunan sebagai parameter pragmatik. Dalam perspektif pragmatik, aspek kerja cenderung dilihat dari upaya P dan T dalam mencapai efektivitas penyampaian pesan, sedangkan kesantunan dilihat dari upaya memelihara hubungan-hubungan sosial dan personal dalam proses komunikasi. Sekurang-kurangnya terdapat tiga macam skala pengukur peringkat kesantunan. Ketiga macam skala itu adalah (1) skala kesantunan menurut Leech, (2) skala kesantunan Brown and Levinson, dan (3) skala kesantunan menurut Robin Lakoff. Skala pengukur kesantunan Leech (dalam Rahardi, 2005: 66) dijelaskan sebagai berikut.
83
1. Cost-benefit scala atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dinggap tidak santunlah tuturan itu. 2. Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur dan si mitra tutur, tuturan tersebut akan dianggap tidak santun. 3. Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, samakin tidak langsung, maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. 4. Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial (rank rating) antara penutur dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di antara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalan bertutur. 5. Social distance scale atau skala jarak sosial menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan. Dengan kata lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur. Berbeda dengan yang disampaikan Leech di atas, di dalam model kesantunan Brown and Levinson (dalam Rahardi, 2005: 68) terdapat tiga skala penentu tinggi rendahnya peringkat kesantunan sebuah tuturan, yang mencakup skala-skala berikut: (1) social distance between speaker and hearer, (2) the speaker and hearer relative power, (3) the degree of imposition associated with the required expenditure of goods or services. 1. Skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur (social distance between speaker and hearer) banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural. Berkenaan dengan perbedaan umur antara penutur dan mitra tutur, lazimnya didapatkan bahwa semakin tua umur seseorang, peringkat kesantunan dalam bertuturnya akan menjadi semakin tinggi. Sebaliknya, orang yang masih berusia muda lazimnya memiliki peringkat kesantunan yang rendah di dalam kegiatan bertutur. Orang yang berjenis kelamin wanita, lazimnya memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang berjenis kelamin pria. Hal demikian disebabkan oleh kenyataan bahwa kaum wanita cenderung lebih banyak berkenaan dengan sesuatu yang bernilai estetika dalam keseharian hidupnya. Sebaliknya, pria cenderung jauh dari hal-hal itu, lazimnya banyak berkenaan dengan kerja dan pemakaian logika dalam kegiatan keseharian hidupnya. Latar belakang sosiokultural seseorang memiliki peran sangat besar dalam menentukan peringkat kesantunan bertutur yang dimilikinya. Orang yang memiliki jabatan tertentu di dalam masyarakat, cenderung memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi 84
dibandingkan dengan kebanyakan orang, misalnya petani, pedagang, kuli perusahaan, buruh bangunan, dan pembantu rumah tangga. 2. Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur (the speaker and hearer relative power) atau seringkali disebut dengan peringkat kekuasaan (power rating) didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur dan mitra tutur. Sebagai contoh, di dalam ruang periksa sebuah rumah sakit, seorang dokter memiliki peringkat kekuasaan lebih tinggi dibandingkan dengan seorang pasien. 3. Skala peringkat tindak tutur (rank rating) atau lengkapnya adalah didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur lainnya. Sebagai contoh, dalam situasi yang sangat khusus, bertamu di rumah seorang wanita dengan melewati batas waktu bertamu yang wajar akan dikatakan sebagai tidak tahu sopan santun dan bahkan melanggar norma kesantunan yang berlaku pada masyarakat tutur itu. Robin Lakoff menyatakan tiga ketentuan di dalam kegiatan bertutur. Ketiga ketentuan tersebut, yakni (1) skala formalitas (formality scale), (2) skala ketidaktegasan (hesitancy scale), dan (3) skala kesamaan atau kesekawanan (equality scale). 1. Skala formalitas (formality scale), dinyatakan bahwa agar para peserta tutur dapat merasa nyaman dan kerasan dalam kegiatan bertutur, tuturan yang digunakan tidak boleh bernada memaksa dan berkesan angkuh. Di dalam kegiatan bertutur, masing-masing peserta tutur harus dapat menjaga keformalitasan dan menjaga jarak yang sewajarnya dan senaturalnaturalnya antara yang satu dengan yang lainnya. 2. Skala ketidaktegasan ((hesitancy scale) atau disebut (optionality scale) menunjukkan bahwa agar penutur dan mitra tutur dapat saling merasa nyaman dan kerasan dalam bertutur, pilihan-pilihan dalam bertutur harus diberikan oleh kedua belah pihak. Orang tidak diperbolehkan bersikap terlalu tegang dan terlalu kaku di dalam kegiatan bertutur karena akan dianggap tidak santun. 3. Skala kesekawanan atau kesamaan (equality scal) menunjukkan bahwa agar dapat bersifat santun, orang haruslah bersikap ramah dan selalu mempertahankan persahabatan antara pihak yang satu dengan pihak lain. Agar tercapai maksud yang demikian, penutur haruslah dapat menganggap mitra tutur sebagai sahabat. Dengan menganggap pihak yang satu sebagai sahabat bagi pihak lainnya, rasa kesekawanan dan kesejajaran sebagai salah satu prasyarat kesantunan akan dapat tercapai. METODE a. Tahap Penyediaan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan observasi (simak), dan wawancara (cakap). Penggunaan teknik obeservasi mendominasi kegiatan pengumpulan data dalam kajian ini. Peneliti melakukan observasi terhadap berbagai kegiatan pelayanan yang dilakukan di dalam kamar periksa. Untuk mendapatkan data tuturan tersebut, peneliti melakukan perekaman. Dalam konteks itu, peneliti berusaha mendapatkan rekaman tuturan sebanyak mungkin dari proses komunikasi dalam pertuturan di kamar periksa. Sebelum dilakukan analisis, data yang telah disediakan kemudian dikelompokkan terlebih dahulu. Klasifikasi data termaksud dilakukan untuk mendapatkan tipe-tipe data yang tepat dan cermat, yang selanjutnya mempermudah proses analisis pada tahapan-tahapan selanjutnya. Klasifikasi tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut. 1. Pengumpulan data. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang berupa rekaman percakapan antara dokter dan pasien di Puskesmas Gambut Kabupaten Banjar. 2. Pentranskripsian data rekaman ke dalam bentuk tulisan. 85
3. Pengidentifikasian tindak tutur (representatif, komisif, direktif, dan ekspresif). 4. Pengklasifikasian tindak tutur (representatif, komisif, direktif, dan ekspresif). b. Teknik Analisis Data Analisis data penelitian meliputi (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) verifikasi/ penyimpulan. Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi dari kata ‘kasar’ yang muncul dari catatancatatan tertulis di lapangan. Penyajian data diartikan sebagai proses penyusunan informasi yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan, dan pengambilan tindakan, sedangkan penyimpulan diartikan sebagai proses pengambilan kesimpulan dengan cara mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi yang penting, dan alur sebab akibat. Reduksi data dilakukan dengan mendeskripsikan dan mengidentifikasi tindak tutur pada tuturan yang telah dikumpulkan. Kemudian, data yang telah dideskripsikan dan diidentifikasi diklasifikasikan berdasarkan kelompoknya. Pada tahap penyajian data dilakukan pengkodean seperti tindak tutur a) Rep (representatif), b) Kom (komisif), c) Dir (direktif), dan d) Eks (ekspresif). Pengkodean dilakukan untuk mengidentifikasi fokus yang telah ditentukan. Tahap terakhir analisis data adalah proses penyimpulan atau verifikasi. Proses ini merupakan proses interpretasi sebelum dihasilkan temuan kajian. Dalam kajian ini, penafsiran data dilakukan melalui proses heuristik. Dengan proses ini, data ditafsirkan dengan menggunakan hipotesis-hipotesis yang ada dibenak peneliti dan didukung oleh catatan lapangan dan data dari hasil wawancara. Hipotesis-hipotesis itu lebih mengarah kepada kerangka analisis data, bukan hipotesis kajian sebagaimana dipahami dalam jenis kajian kuantitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Tindak Tutur Representatif Berdasarkan hasil penelitian, seorang dokter maupun pasien lebih banyak menggunakan bentuk tuturan representatif (Rep) berupa tindak yang menjelaskan apa adanya, seperti tindakan memberikan informasi, mengemukakan, menjelaskan, menyatakan, memberikan saran, pelaporan, dan pengeluhan. Tindak tutur representatif mempunyai fungsi untuk memberi tahu orang mengenai sesuatu. Pertuturan dokter perempuan dengan pasien anak laki-laki Orang tua pasien : Inya gatalan Bu ai, nah Bu malatik-latik, di katiak jua (memperlihatkan ke dokter). Han, bagaruk Bu ai. (Rep) (‘Dia gatal-gatal Bu, ini Bu menyebar-nyebar, di ketiak juga (memperlihatkan ke dokter). Nih, menggaruk Bu’) Dokter : Mandi air apa? (‘Mandi air apa?’) Orang tua pasien : Mandi kami kada bisa banyu sumur, banyu ledeng jua ai. (‘Kami mandi tidak pernah air sumur, air ledeng juga’) Dokter : Mulai kapan seperti itu? (‘Kapan sudah seperti itu?’) Orang tua pasien : Nah, Bu, Bu, di awaknya tu. Inya kagatalan, sampai ka kapala bagaruk. Makan karupuk pang bisa. (Rep) (‘Nih, Bu, Bu di badannya itu. Dia merasa gatal, sampai ke kepala bergaruk. Pernah makan kerupuk’) Dokter : Jangan dikasih makanan ringan dulu lah. Mandikan dengan banyu sirih, ke obat dulu lah. (memberi resep) 86
Orang tua pasien Dokter
(‘Jangan diberi makanan ringan dulu ya. Mandikan dengan air sirih, ke obat dulu ya (memberi resep)’) : Makasih Bu. (‘Terima kasih Bu’) : (Mengangguk)
Pertuturan di atas terdapat dua tindak pelaporan. Tindak representatif dengan bentuk pelaporan banyak digunakan dalam pertuturan antara dokter dan pasien. Daya ilokusi bentuk ini membuat T memahami atau mengetahui sesuatu sebagaimana ditunjukkan oleh tuturan P. Tindak pelaporan digunakan pasien untuk memberitahukan tentang sakit yang dialami pasien yaitu gatal-gatal. Tindak tutur representatif berupa pelaporan dia gatal-gatal Bu, ini Bu menyebarnyebar, di ketiak juga (memperlihatkan ke dokter). Nih, menggaruk Bu. Tuturan tersebut digunakan pasien untuk melaporkan kepada dokter bahwa gatal-gatal pada anaknya menyebar keseluruh badan anak tersebut. Tindak tutur representatif yang dituturkan oleh pasien berupa tindak pelaporan selanjutnya yang dituturkan oleh pasien, nih, Bu, Bu di badannya itu. Dia merasa gatal, sampai ke kepala bergaruk. Pernah makan kerupuk. Sama halnya dengan penjelasan di atas, tindak tutur yang digunakan pasien untuk memberitahukan kepada dokter gatal-gatal pada anak pasien menyebar sampai ke kepala. Pertuturan dokter perempuan dengan pasien laki-laki dewasa Pasien : Kaya ini kah Bu? (‘Seperti ini ya Bu?’) Dokter : Satu saja (sambil memeriksa tensi darah) (‘Satu saja (sambil memeriksa tensi darah)’) Dokter : Tambah tua biasanya keluar semua Pak ai penyakitnya. Normal aja Pak ai 110. Mungkin dari maag itu Pak ai. Coba saya kasih obat maag (sambil menulis resep obat). (‘Semakin tua biasanya keluar semua Pak penyakitnya. Normal saja Pak 110. Mungkin dari maag itu Pak. Saya beri obat maag (sambil menulis resep obat)’) (Rep) Pasien : Makasih Bu’ lah. Pasien : Terima kasih Bu Kutipan pada pertuturan di atas, dokter perempuan menggunakan tindak tutur representatif berupa tindak menjelaskan. Tuturan yang digunakan dokter semakin tua biasanya keluar semua Pak penyakitnya. Normal saja Pak 110. Mungkin dari maag itu Pak. Saya beri obat maag. Dokter menjelaskan bahwa semakin bertambah usia seseorang, akan keluar penyakitpenyakit yang ada dalam diri pasien. Dokter juga memberikan informasi bahwa tensi darah pasien normal, penyakit yang ada pada pasien kemungkinan maag. Penjelasan-penjelasan yang diberikan dokter perempuan kepada pasien laki-laki dewasa merupakan tindak tutur representatif. Dengan tindak tutur ini, para peserta tutur di dalam suatu percakapan dapat saling memberi akses informasi, berfungsi untuk memberi tahu orang mengenai sesuatu. Dapat disimpulkan bahwa tindak tutur representaif merupakan tindakan memberikan informasi yang disampaikan dan dimaksudkan untuk memperoleh respons. Dalam pertuturan penggunaan bentuk tindak tutur representatif terkait dengan upaya pasien dalam menjelaskan penyakitnya sedangkan dokter memberikan respon berupa tuturan beserta tindakan pelayanan terhadap pasien.
87
b.
Tindak Tutur Direktif Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang mendorong T melakukan sesuatu. Dengan demikian, tindak tutur ini bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang dilakukan oleh T. Dalam pertuturan di kamar periksa, tindak tutur direktif banyak digunakan. Pertuturan dokter perempuan dengan pasien anak laki-laki Dokter : Jangan dikasih makanan ringan dulu lah. Mandikan dengan banyu sirih, ke obat dulu lah. (memberi resep) (Dir) (‘Jangan diberi makanan ringan dulu ya. Mandikan dengan air sirih, ke obat dulu ya (memberi resep)’) Orang tua pasien : Makasih Bu. (‘Terima kasih Bu’) Dokter : (Mengangguk) Pertuturan berisi sejumlah perintah langsung yang digunakan oleh dokter untuk memberikan penjelasan mengenai solusi/saran agar kesehatan pasien segera membaik. Sesuai dengan perannya, dokter mempunyai wewenang untuk memberikan penjelasan kepada pasien. Dalam menyampaikan penjelasan-penjelasan, dokter menggunakan perintah langsung. Penggunaan kata jangan pada perintah jangan diberi makanan ringan dulu ya. Mandikan dengan air sirih, ke obat dulu ya. Pemilihan perintah langsung tersebut tidak terlepas dari tujuan tutur yang hendak dicapai dokter dari penjelasan itu. Dokter berpendapat bahwa dalam memberikan penjelasan, terutama mengenai saran mengenai penyakit pasien, penggunaan perintah langsung dianggap lebih efektif. Penggunaan perintah langsung diharapkan dapat mempercepat pemahaman informasi dan mencegah terjadinya kesalahan informasi. Pertuturan dokter laki-laki dengan pasien anak perempuan Dokter : Masih sariyawan? ‘Masih sariyawan?’) Orang tua pasien : Hi-ih. (‘Iya’) Dokter : Jangan dikulubuni lah! (sambil menulis resep). (‘Jangan ditutupi ya!’ (sambil menulis resep)) (Dir) Kutipan pertuturan [6] terlihat dokter memberikan perintah berupa larangan kepada orang tua pasien untuk tidak melakukan tindakan yang membuat kondisi pasien semakin tidak membaik. Kutipan jangan ditutupi ya!, tuturan yang dituturkan dokter untuk melarang orang tua pasien menutupi wajah anak tersebut dengan jaket. Tuturan yang dituturkan dokter tergolong direktif dengan bentuk larangan langsung dengan kata jangan. Daya ilokusi larangan memiliki kekuasaan sangat tinggi. Larangan itu hanya dituturkan oleh dokter yang memiliki kekuasaan untuk melarang pasien. Dalam konteks itu, dokter menggunakan larangan langsung dengan menggunakan kata jangan. c.
Tindak Tutur Komisif Tindak tutur komisif memiliki fungsi untuk mendorong penutur melakukan sesuatu, seperti berjanji dan mengajukan usulan. Dalam tuturan komisif, dokter lebih sering menggunakan bentuk tuturan komisif berupa tindak pemberian usulan dan pemberian janji. Pertuturan dokter perempuan dengan pasien remaja perempuan Dokter : Begini aja, kamu harus bisa mengatur waktu. Siang usahakan jangan tidur, buat kegiatan apa saja. Malamnya kamu pasti bisa tidur. (kom) 88
Dokter Pasien Dokter
(‘Begini saja, kamu harus bisa mengatur waktu. Usahakan siang hari jangan tidur, buat kegiatan apa saja. Malam harinya kamu pasti bisa tidur’) : Kami nggak mau memberi obat dulu. (‘Kami tidak mau memberikan obat dulu’) : Tadinya memang mau minta obat! (‘Kesini memang mau minta obat!’) : Nggak! Kamu coba aja atur waktu. Kalau tiga hari masih saja, kesini lagi. (kom) (‘Tidak! Kamu coba atur waktu saja. Kalau tiga hari masih saja, kesini lagi’)
Kutipan yang berisi tindak komisif pada percakapan di atas berupa janji serta usulan oleh dokter kepada pasien begini saja, kamu harus bisa mengatur waktu. Usahakan siang hari jangan tidur, buat kegiatan apa saja. Malam harinya kamu pasti bisa tidur. Kutipan tersebut berupa tindak tutur yang mendorong penutur/dokter untuk melakukan tindak usulan kepada pasien agar bisa mengatur waktu tidurnya. Kutipan selanjutnya yang mengandung tuturan komisif tidak! Kamu coba atur waktu saja. Kalau tiga hari masih saja, kesini lagi. Kutipan tersebut terlihat dokter melakukan tindak berjanji kepada pasien untuk datang lagi ke Puskesmas kalau masih belum sembuh. d.
Tindak Tutur Ekspresif Tindak tutur ekspresif merupakan bentuk tindak tutur yang menyatakan apa yang dirasakan oleh P. Dengan tindak tutur ini, P mengekspresikan keadaan-keadaan psikologis tentang pernyataan-pernyataan rasa senang, rasa tidak senang, perasaan pedih, perasaan luka, perasaan gembira, perasaan duka, ucapan terima kasih, ucapan selamat, dan ucapan belasungkawa. Pada penelitian ini menemukan bahwa tindak tutur ekspresif berkaitan dengan kesantunan dalam bertutur. Tindak tutur ekspresif lebih sering digunakan oleh pasien. Tindakan itu dilakukan berupa tindak ucapan terima kasih pasien kepada dokter yang telah membantu dalam proses pengobatan dan pelayanan yang diberikan. Pasien parempuan sangat santun dalam bertutur kepada dokter, baik dokter laki-laki maupun perempuan dibandingkan pasien laki-laki. Hal demikian selaras dengan kesantunan Brown dan levinson (dalam Rahardi, 2005: 68), orang yang berjenis kelamin wanita, lazimnya memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang berjenis kelamin pria. Hal demikian disebabkan bahwa kaum wanita cenderung lebih banyak berkenaan dengan sesuatu yang bernilai estetika dalam kesehariannya. Sebaliknya, pria cenderung jauh dari hal-hal itu, lazimnya banyak berkenaan dengan kerja dan pemakaian logika dalam kegiatan keseharian hidupnya. Tindak tutur eskpresif lebih banyak dituturkan oleh pasien perempuan dibandingkan pasien laki-laki. Pasien perempuan dalam bertutur memandang dari status sosial yang dimiliki dokter, sedangkan pasien laki-laki terlihat dekat jarak peringkat sosial antara dokter dan pasien. Selaras dengan kesantunan Brown dan levinson, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan. Dengan kata lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur. Pertuturan dokter perempuan dengan pasien laki-laki lansia
89
Dokter Pasien Dokter
Pasien Dokter
Anak pasien Dokter
Pasien Dokter Pasien
: Apa Kai? (‘Ada apa Kek?’) : Batis sakit, kada tapi kawa digarak-garakkan. (‘Sakit kaki, tidak bisa digerak-gerakkan’) : (Memeriksa kaki sebelah kanan pasien) Pian ke rumah sakit Kai lah? ((Memeriksa kaki sebelah kanan pasien) Ke rumah sakit ya Kek?’) : (Menganggukkan kepala) : Kalau sudah tua, memang sering encok, kram, takutnya penyakit pian kada itu aja. Jadi, diperiksa di rumah sakit, lah, Kai lah? (‘kalau sudah tua, memang sering encok, kram, takutnya tidak itu saja penyakitnya. Jadi, periksa di Rumah Sakit Kek ya?’) : Hari ini kah ka rumah sakit? (‘Hari ini ya ke rumah sakit?’) : Esok, besok ke Rumah Sakit Ulin. (Dokter sambil memberikan surat rujukan dari Puskesmas). Nah, esok bawa surat ini ke Rumah Sakit, minta capnya dulu di atas. Di ruang tata usaha. (‘Besok ke Rumah Sakit Ulin. (Dokter sanbil memberikan surat rujukan dari Puskesmas). Nah, besok bawa surat ini ke Rumah Sakit, minta capnya dulu di atas. Di ruang tata usaha’) : Makasih dulu. (Eks) (‘Terima kasih’) : Mudah-mudahan sehat aja Kai lah! (Eks) (‘Mudah-mudahan sehat saja Kek ya!’) : Alhamdulillah. (Eks) (‘Alhamdulillah’)
Pertuturan di atas, terdapat tindak tutur ekspresif berupa ucapan terima kasih dan ucapan mendoakan. Tuturan ekspresif yang digunakan pasien kepada dokter yaitu tindak ucapan terima kasih terima kasih. Tuturan itu digunakan pasien karena dokter telah memberikan pelayanan yang baik serta saran kepada pasien untuk kesembuhannya. Pasien yang dilayani dokter pada pertuturan di atas pasien yang berumur 87 tahun. Dokter dokter perempuan dalam melayani pasien laki-laki sangat santun. Dokter perempuan lebih banyak berbicara kepada pasien dengan banyak bertanya. Dalam pertuturan tersebut, dokter menjelaskan kalau sudah tua, penyakit-penyakit yang ada dalam tubuh akan keluar semua. Dalam pertuturan dokter mendo’akan pasien semoga kondisi kesehatan pasien membaik mudahmudahan sehat saja Kek ya. Tuturan tersebut berupa tindak ekspresif yang dilakukan dokter perempuan sebagai sebuah perhatian serta do’a untuk kesembuhan pasien. Terakhir pasien membalas tuturan dokter dengan tuturan alhamdulillah. Tuturan tersebut juga tuturan ekspresif berupa ucapan pujian dan harapan pasien terhadap kesembuhan penyakitnya. Pada pertuturan-pertuturan di atas, pasien lebih sering menggunakan bentuk tuturan ekspresif kepada dokter. Tindak ekpresif berupa tindak tutur yang berkaitan dengan sikap seorang pasien kepada dokter yang telah melayani pemeriksaan di kamar periksa. Sikap seorang dokter juga mengekspresikan sikap psikologis terhadap pasien dengan keadaan tertentu untuk kesembuhan sakit yang dirasakan pasien.
90
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penelitian ini menemukan bahwa bentuk tuturan yang digunakan dokter laki-laki dan dokter perempuan dengan pasien laki-laki dan perempuan (anak-anak, remaja, dewasa, dan lansia) dilihat dari langsung dan tidak langsungnya tuturan tersebut dilakukan, juga terkait dengan latar belakang, usia, dan jenis kelamin. Bentuk tuturan yang sering digunakan dokter adalah tuturan representatif, komisif, dan direktif, sedangkan tuturan yang sering digunakan pasien adalah tuturan representatif dan ekspresif. Saran 1. Dokter dapat memberikan pelayanan yang baik, serta memberikan motivasi kepada pasien agar pasien segera sembuh. 2. Mengingat keterbatasan dalam penelitian ini, kiranya perlu dilakukan penelitian sejenis dengan tempat dan karakteristik yang berbeda dengan cakupan bahasan yang lebih luas mengenai representasi kekuasaan.
91
DAFTAR RUJUKAN
Jumadi. 2005. Representasi Power dalam Wacana Kelas. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan. Nadar, F.X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Rahardi, R. Kunjana. 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Rani, Abdul, dkk. 2000. Prinsip-prinsip Analisis Wacana. Malang: Bayumedia Publishing.
92
KESANTUNAN BERBAHASA BANJAR DALAM TRANSAKSI JUAL BELI DI PASAR KELUA KABUPATEN TABALONG (POLITENESS OF SPEAKING BANJARESE ON TRADING TRANSACTION AT KELUA MARKET OF TABALONG DISTRICT) Arta Normiani dan Sabhan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Brigjend. H. Hasan Basry, Kampus Kayu Tangi, Banjarmasin, Kode Pos 70123, e-mail
[email protected] Abstract Politeness of Speaking Banjarese on Trading Transaction at Kelua Market of Tabalong District. Politeness of speaking is our ethics in have socialization in society with good word election and use and also pay attention to whereabout, when, to whom, with an eye to what we converse decently. Research focused Brown politeness theory and Levinson. Pursuant to the theory a acting to say can represent threat to face. Face relate at emotional and social meaning of it self which each and everyone own and expect others to know it. This research aim to obtain get deskription objectively about (1) existing the negative and positive politeness, (2) strategy of negative and positive politeness, (3) function of negative and positive politeness in transaction of sales in market Kelua. Type of this Research is descriptive research qualitative. Source of data is tuturan of containing buyer and seller of suavity in sales transaction. Data obtained by through recording. Analyse data conducted by after data gathered continually in each research step. Result of research in sales transaction indicate that to exist positive suavity seen from acting to say direct, word use change personal ‘ I am’ as subjek, and the next name to what the partner say and also the same view between both orienting at approach. Exist negative suavity seen from name use of behind and the opdon gift to partner say and also tuturan orienting at evasion weared in negotiation at work. Politeness strategy used by is positive suavity strategy, and off-record negativity. Politeness function there is six, that is function ask, expressing and governing conducted by penutur, function reply conducted by partner say, inclusive of function reply at one blow refuse and accept. Pursuant to result of this research, is suggested that to be conducted by a research which is more amount of about politeness of along with developing of method and base of other theory. Keywords: politeness, language banjar, sales transaction
Abstrak Kesantunan Berbahasa Banjar dalam Transaksi Jual Beli di Pasar Kelua Kabupaten Tabalong. Kesantunan berbahasa adalah etika dalam bersosialisasi di masyarakat dengan pemilihan kata yang baik dan penggunaan dan juga memperhatikan ke mana, kapan, kepada siapa, dengan apa yang kita berbicara santun. Penelitian menggunakan teori kesantunan Brown dan Levinson. Berdasarkan teori yang bertindak untuk mengatakan dapat mewakili ancaman terhadap wajah. Wajah mengacu pada makna emosional dan sosial itu sendiri yang setiap orang memiliki dan mengharapkan orang lain mengetahuinya. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi objektif tentang (1) keberadaan kesantunan negatif dan positif (2) strategi kesantunan negatif
93
dan positif (3) fungsi kesantunan negatif dan positif dalam transaksi jual beli di pasar Kelua. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data adalah tuturan dari pembeli dan penjual dalam transaksi penjualan yang mengandung kesantunan. Data diperoleh melalui rekaman. Analisis data dilakukan setelah data dikumpulkan terus-menerus dalam setiap langkah penelitian. Hasil penelitian dalam transaksi penjualan menunjukkan bahwa untuk eksis kesopanan positif dilihat dari bertindak untuk mengatakan langsung, kata perubahan penggunaan pribadi ‘saya’ sebagai subjek, dan nama di samping apa yang pasangan mengatakan dan juga pandangan yang sama antara berorientasi baik pada pendekatan. Keberadaan kesantunan negatif terlihat dari penggunaan nama di belakang dan karunia opdon untuk bermitra katakan dan juga tuturan berorientasi pada penghindaran dipakai dalam negosiasi di tempat kerja. Strategi kesantunan yang digunakan adalah strategi kesopanan positif, dan off-record negatif. Fungsi kesantunan ada enam, yaitu fungsi bertanya, mengekspresikan dan mengatur dilakukan oleh penutur, fungsi yang dilakukan oleh mitra mengatakan, termasuk jawaban fungsi sekaligus menolak dan menerima. Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan agar dapat dilakukan penelitian yang lebih banyak lagi tentang kesantunan dari seiring dengan pengembangan metode dan basis teori lainnya. Kata-kata kunci: kesantunan, bahasa banjar, transaksi jual beli
PENDAHULUAN Levinson (Rahardi, 2003: 13) mendefinisikan sosok pragmatik sebagai suatu perihal ilmu yang mempelajari relasi-relasi antara bahasa dengan konteks tuturnya. Bahasa itu sendiri sebagai media merupakan unsur budaya yang sangat akrab dengan kehidupan manusia. Bahasa Banjar merupakan bahasa asli daerah Kalimantan Selatan yang masih sangat kental digunakan sebagai bahasa komunikasi dalam transaksi jual beli di pasar. Pasar Kelua adalah pasar tradisional yang sangat terkenal di Kabupaten Tabalong. Bahasa yang digunakan penjual dan pembeli di Pasar Kelua adalah bahasa Banjar dan bahasa Indonesia ragam tidak baku, yang saling mempengaruhi untuk mendapatkan keuntungan masing-masing. Hingga saat ini, peneliti belum menemukan penelitian dengan judul Kesantunan Berbahasa Banjar dalam Transaksi Jual Beli di Pasar Kelua Kabupaten Tabalong. Sebagai bahan perbandingan, ada penelitian oleh Syaipullah pada tahun 2007 tentang Kesantunan Berbahasa Indonesia dalam Interaksi antara Guru dan Siswa. Berikutnya, Herliana pada tahun 2010 yang membahas Realisasi Kesantunan Berbahasa Debat Pemilukada. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah wujud, strategi, dan fungsi kesantunan berbahasa Banjar dalam transaksi jual beli di Pasar Kelua Kabupaten Tabalong? Tujuan penelitian ini terdiri atas tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui kesantunan berbahasa Banjar dalam transaksi jual beli di Pasar Kelua Kabupaten Tabalong. Sementara itu, tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan wujud, strategi, dan fungsi kesantunan berbahasa Banjar dalam transaksi jual beli di Pasar Kelua Kabupaten Tabalong. Manfaat penelitian ini terdiri atas manfaat teoretis dan manfaat praktis. Secara teoretis, hasil penelitian ini dapat menunjang terhadap pengembangan teori kesantunan berbahasa Banjar dalam transaksi jual beli di Pasar Kelua Kabupaten Tabalong. Secara praktis, hasil penelitian ini bagi peneliti dapat digunakan untuk menambah ilmu, pengalaman, dan pengetahuan dalam mengkaji permasalahan tentang kesantunan berbahasa Banjar dalam transaksi jual beli di Pasar Kelua Kabupaten Tabalong. Selain itu, dapat menjadi masukan bagi ilmu bahasa dan sebagai referensi kepustakaan untuk penelitian selanjutnya. 94
Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial yang menghubungkan bahasa dengan pelbagai aspek dalam struktur sosial sebagaimana halnya dengan aturan perilaku dan etika. Wujud Kesantunan Muka Positif dan Muka Negatif Ciri-ciri kesantunan positif adalah: 1) dipakainya tindak tutur langsung, 2) asumsi bahwa atasan dan bawahan, dosen dan mahasiswa adalah teman, 3) dipakainya nama depan untuk menyapa mitra tutur, 4) dipakainya kata ganti personal ‘aku’, ‘kamu’, ‘kau’, dan ‘dia’, 5) pemberian pujian, 6) dipakainya bahasa yang intim, 7) berorientasi pada pendekatan, bukan pada penghindaran, 8) diusahakan agar terdapat pandangan yang sama antara penutur dengan petutur, 9) kesantunan positif sering dipakai sebagai suplemen terhadap kesantunan negatif, Ciri-ciri kesantunan negatif adalah: 1) dipakainya tindak tutur tidak langsung, 2) asumsi bahwa atasan dan bawah, dosen dan mahasiswa berbeda derajat sosialnya, 3) dipakainya sapaan ‘Bapak’, ‘Ibu’, ‘Prof’, ‘Dr’ dan nama belakang, 4) dipakainya kata ganti personal ‘saya’, ‘anda’, dan ‘beliau’, 5) pemberian opsi kepada mitra tutur, 6) dipakainya bahasa yang apologetik, 7) berorientasi pada penghindaran, bukan pada pendekatan, 8) dipakainya piranti pragmatik yang disebut ‘pagar’, 9) sering dipakai dalam negosiasi di tempat kerja agar negosiasi tersebut sukses. Dalam bahasa Indonesia, wujud formalnya berupa kalimat imperatif, deklaratif, dan interogatif (Chaer, 2004: 50). Strategi Kesantunan a) Strategi-strategi kesantunan negatif (strategi penghormatan), yaitu langsung berbicara pada inti persoalan, tidak mengira-ngira, jangan memaksa, komunikasikan keinginan untuk tidak menekan pendengar, dan penuhi keinginan lain pendengar. Selanjutnya, 5 mekanisme tersebut dibagi menjadi 10 strategi kesantunan negatif sebagai berikut. (1) gunakan tuturan tidak langsung, (2) gunakan pagar atau kalimat tanya, (3) tunjukkan sikap pesimis, (4) minimalkan paksaan, (5) berikan penghormatan, (6) mintalah maaf, (7) pakailah bentuk impersonal, (8) ujaran tindak tutur itu sebagai kesantunan yang bersifat umum, (9) nominalisasi (mengubah kata tertentu menjadi kata benda), dan (10) menyatakan diri berhutang budi. b) Strategi-strategi kesantunan positif (strategi kesetiakawanan) a. Memperhatikan kesukaan, keinginan, dan kebutuhan mitra tutur. b. Menggunakan penanda identitas kelompok (bentuk sapaan, dialek, atau jargon). c. Menumbuhkan sikap optimis. d. Melibatkan mitra tutur ke dalam aktivitas penutur. e. Membesar-besarkan perhatian, persetujuan dan simpati kepada pendengar serta memberikan pujian.
95
f. Menghindari sedemikian rupa ketidakcocokan dengan berpura- pura setuju, persetujuan yang semu,berbohong untuk kebaikan, kata berpagar. g. Melucu. h. Mengintensifkan perhatian pendengar dengan pendramatisiran peristiwa. i. Mencari persetujuan dengan topik yang umum atau mengulang sebagian/ seluruh ujaran. j. Menunjukkan hal- hal yang dianggap mempunyai kesamaan melalui basa basi dan presuposisi. k. Menyatakan paham akan keinginan pendengar. l. Memberikan tawaran atau janji. m.memberikan pertanyaan atau meminta alasan. n. menyatakan hubungan secara timbal balik. o. Memberikan hadiah pada pendengar: simpati, pengertian, kerjasama c) Strategi-strategi kesantunan off-record, yaitu dengan menghindari gangguan utama, misalnya mengisyaratkan, bukan membuat perintah langsung. Fungsi Kesantunan a. Fungsi tuturan dari pihak tutur antara lain: fungsi menyatakan (deklaratif) dan fungsi menanyakan (interogatif) dan fungsi memerintah (imperatif). b. Fungsi tuturan dilihat dari mitra tutur adalah fungsi komentar, fungsi menjawab, fungsi menyetujui termasuk fungsi menolak, fungsi menerima atau menolak maaf dan fungsi menerima atau menolak kritik. Hapip (2008: 9) membedakan bahasa Banjar menjadi bahasa Banjar dialek kuala dan bahasa Banjar dialek hulu. Dialek Banjar Kuala dipakai oleh penduduk “asli” sekitar kota Banjarmasin, Martapura, dan Pelaihari. Dialek Banjar Hulu dipakai oleh penduduk di daerah Hulu Sungai, yaitu Kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, dan Tabalong. Bahasa Banjar hulu termasuk subdialek Kalua di dasarkan atas tiga hal pokok, yaitu: a. Hanya terdapat tiga fonem vokal, yaitu /i/, /u/, dan /a/. b. Ada sejumlah kosa kata yang hanya terdapat atau dipakai oleh penutur Banjar hulu. c. Pada aksen bahasa Banjar hulu ucapannya lebih alon, dan kalau ada suku kata yang akhirnya terbuka, fonem vokal pada suku akhir itu cenderung dipanjangkan. METODE Penelitian yang berjudul Kesantunan Berbahasa Banjar dalam Transaksi Jual Beli di Pasar Kelua Kabupaten Tabalong ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan Kualitatif. Menurut Sudaryanto (1993), data adalah objek penelitian dan sebagai bahan penelitian data merupakan bahan jadi penelitian. Sumber data adalah subjek dari mana data diperoleh (Arikunto, 2002: 107). Subjek pada penelitian ini adalah pedagang dan pembeli yang melakukan transaksi ketika peneliti melakukan penelitian di Pasar Kelua. Pedagang yang menjadi subjek berjumlah 6 orang, dimana laki-laki dan perempuan masing-masing berjumlah 3 orang. Pembeli yang menjadi subjek berjumlah 29 orang. Dengan jumlah laki-laki sebanyak 3 orang dan perempuan berjumlah 26 orang. Menurut Arikunto (2002: 136), instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data. Dalam penelitian ini, instrumen yang digunakan adalah formulir observasi dengan bantuan alat rekam dan formulir-formulir lain yang berkaitan dengan pencatatan data. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengamatan. Alat bantu yang digunakan untuk memperoleh data adalah alat perekam. Dengan demikian, data yang diambil lebih representatif. Kedudukan peneliti sebagai observer nonpartisipant. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model interaktif. 96
a. b. c. d. e.
Pengumpulan data. Penelaahan dan penyeleksian data. Mengidentifikasi data dengan mencatat hasil rekaman yang terdapat kesantunan berbahasa. Penggolongan data dengan menyusun hasil data sesuai klasifikasi. Penyimpulan data (verifikasi) merupakan tahap akhir dari analisis data.
HASIL DAN PEMBAHASAN Wujud Kesantunan Positif dan Kesantunan Negatif 1) Wujud kesantunan positif menggunakan tindak tutur langsung dan pandangan yang sama antara penutur dengan petutur. [1 ]Pembeli : Barapa bawang separapat anu? (1) (‘Berapa bawang seperempat kilogram?’) Nia : Ampat ribu. (2) (‘Empat ribu’). Pembeli : Kada tiga lih? tiga rajin. (3) (‘Mau kah tiga ribu? Biasanya tiga ribu’). Nia : Iyalih. (4) (‘Iyakah’). * lih, pank, lah dan kah ialah partikel dalam bahasa Banjar. Tuturan (1) merupakan wujud kalimat interogatif yang menggunakan tindak tutur langsung yang diperlihatkan penutur kepada mitra tutur. Tuturan (3) merupakan wujud kalimat deklaratif yang diperlihatkan oleh penutur supaya terdapat pandangan yang sama dengan mitra tutur. 2) Wujud kesantunan positif yang berorientasi pada pendekatan bukan pada penghindaran. [2]Pembeli : Kutak nasi adakah?(1) (‘Kotak nasi, ada?’) Nia : Kadada. Ada di subarang warung iwak. (2) (‘Tidak ada. Adanya di seberang toko ikan’). Tuturan (2) termasuk kalimat deklaratif yang berorientasi pada pendekatan bukan penghindaran. Walaupun menyatakan “tidak ada” tetapi tetap menjelaskan di mana tempat yang dimaksud oleh pembeli. 3) Wujud kesantunan positif menggunakan kata ganti personal ‘aku’ sebagai subjek. [3]Pembeli : Ngini barapa sakilu? (manunjuk kerupuk)(1) (‘Berapa satu kilogramnya?’) Yunus : Saapa Cil?(2) (‘Berapa Cil?’) Pembeli : Sakilu!(3) (‘Satu kilogram!’) Yunus : Dua blas.(4) (‘Dua belas’). Pembeli : Bungkusakan aku pang sakilu ja!.(5) (‘Bungkuskan aku satu kilogram saja!’). * Acil/Cil sebutan perempuan dewasa Banjar. Tuturan (5) termasuk kalimat imperatif yang menggunakan kata ganti personal ‘aku’.
97
4) Wujud kesantunan positif yang menggunakan nama depan untuk menyapa mitra tutur. [4]Pembeli : Barapa nih, Zik?(1) (‘Berapa ini, Zik?’) Zikri : Tiga blas ribu.(2) (‘Tiga belas ribu’) Pembeli : Kada kurang lagi kah?(3) (‘Tidak bisa kurang lagi?’) Zikri : Salitar tu Cil ai.(4) (‘Itu satu liter Cil’) Pembeli : Barapa ngini?(5) (‘Berapa ini?’) Zikri : Sapuluh ribu.(6) (‘Sepuluh ribu’) Dalam wacana [4] tuturan (1) adalah kalimat interogatif, dimana mitra tutur disapa dengan nama depan. Hal ini mengambarkan kedekatan yang erat antara penutur dan mitra tutur. 5) Wujud kesantunan negatif yang menggunakan nama belakang untuk menyapa mitra tutur. [5]Pembeli : (sambil mengambil pewarna makanan) Barapa Tuy? (1) (‘Berapa Tuy?’) Firman/ Utuy : Dua ribu.(2) Pembeli : Minta kantongan pang yang halus jangan yang ganal.(3) (‘Minta kantong plastik yang kecil, jangan yang besar’). Dalam wacana [5] tuturan (1) adalah kalimat interogatif dimana mitra tutur disapa dengan nama belakang. Pada tuturan (3) juga terlihat wujud kesantunan negatif berupa kalimat imperatif. Konteks dalam tuturan (3) penutur meminta sesuatu kepada mitra tuturnya. Permintaan yang dilakukan disertai dengan persyaratan sehingga mitra tutur tidak diberikan pilihan untuk memilih. 6) Wujud kesantunan negatif yang sering dipakai dalam negosiasi di tempat kerja agar negosiasi tersebut sukses. [6]Pembeli : Saapa karupuk saparapat?(1) (‘Berapa kerupuk seperempat kilogram?’) Yunus : Lima ribu.(2) Pembeli : Milih karupuknya kawalah? Nungkar sakilu.(3) (‘Kerupuknya dipilih, bisa tidak?Beli satu kilogram’). Yunus : Hi ih. (‘Iya’). Dalam wacana [6] tuturan (3) terlihat negosiasi yang dilakukan penutur kepada mitra tutur agar mitra tutur sepakat dengan syarat yang diajukan penutur sehingga transaksi berjalan dengan baik. Wujud tuturan (3) berupa kalimat imperatif, yang lazimnya didukung dengan kata kerja dasar dan berpartikel pengeras –ginlah atau –lah. 7) Wujud kesantunan negatif yang memberikan opsi kepada mitra tutur. [7]Pembeli : Ngini barapa?(1) (‘Berapa ini?’) 98
Yunus
Pembeli Yunus
: Lima ribu, satangah. Sakilu sapuluh ribu di higanya tu.(2) (‘Lima ribu, setengah kilogram. Satu kilogram sepuluh ribu yang di sampingnya itu’) : Kawa kah kurang, sambilan kah?(3) (‘Bisa tidak kurang, sembilan ribu saja?’) : Ih, ayuha.(4) (‘Iya’).
Pada tuturan (3) wacana [7] adalah wujud kesantunan negatif dalam kalimat interogatif. Dalam konteks ini, penutur memberikan opsi kepada mitra tutur. Bila mitra tutur setuju dengan opsi yang diberikan penutur, maka transaksi akan berlangsung. Pada tuturan (2) mitra tutur yang memberikan opsi kepada penutur. 8) Wujud kesantunan negatif yang berorientasi pada penghindaran bukan pada pendekatan. [8]Pembeli : Ubat nyamuk “Baygun” barapa? (‘Berapa harga obat nyamuk “Baygon”?’) Zikri : Dua ribu. “Vapi” haja ada lagi. Dua ribu jua. (‘Dua ribu. Sisa ‘Vape’. Harganya sama dua ribu’). Pembeli : Yang ada ja gin. Anukan sabuting. Tukarlah. (‘Yang ada saja. Bungkuskan satu’). (‘Aku Beli’). Zikri : Juallah. (‘Aku jual’). Wacana [8] adalah wujud kesantunan negatif yang lebih berorientasi pada penghindaran bukan pendekatan. Penutur menghindari pembebanan yang berlebihan terhadap mitra tutur. Jadi, penutur membeli obat nyamuk apa yang ada di sana. Tanpa harus mencari obat nyamuk yang pada awalnya dia inginkan. Strategi Kesantunan Positif, Kesantunan Negatif dan Kesantunan Off-record 1) Strategi kesantunan negatif menggunakan ujaran tidak langsung. [9]Pembeli : Tulung pang, tih baculup nang kuning. (‘Tolong, teh celup yang berwarna kuning’). Firman/ Utuy : Iya Pembeli : Dua lah (meminta kepada pedagang yang lain) (‘Dua’). Zikri : Ada ai. (‘Ada’). Dalam wacana [9] merupakan strategi kesantunan negatif yang secara tidak langsung meminta kepada mitra tutur untuk melakukan sesuatu yang diinginkan oleh penutur. Hal ini dapat dilihat dari kata “tolong” yang menunjukkan adanya keinginan penutur untuk memberikan ruang pilihan bagi penutur. [10]Pembeli : Bagus bagus lah bawangnya, barapaan? (‘Baik baik bawangnya, berapa harganya?’) Janah : Bawang tiga ribu. Pembeli : Bawang putih? 99
Janah
: Sama ah. (‘Sama saja’).
Dalam wacana [10] merupakan strategi kesantunan negatif yang menggunakan tuturan tidak langsung. Penutur melakukan basa-basi terlebih dahulu dengan menyatakan keadaan barang yang akan dibeli sebelum menanyakan harga barang tersebut. 2) Strategi kesantunan negatif menggunakan pertanyaan, pagar atau kalimat tanya. [11]Pembeli : Adakah bajual galapung tapiuka?(1) (‘Ada menjual tepung tapioka?’) Janah : Mudil kanjikah?(2) (‘Seperti kanji?) Pembeli : Hi ih, mudil kanji.(3) (‘Iya, Seperti Kanji’). Janah : Ada ai.(4) (‘Ada’). Pembeli : Handak maulah pintul.(5) (‘Mau membuat bakso’). Janah : Nah, maulah pintul masin disitu. Urang manjulungi.(6) (‘Membuat bakso asin di sana. Orang menyediakan’). Pembeli : Kada saurang nungkar lih?(7) (‘Tidak beli sendiri?’) Janah : Hi ih, hintadi, mana urang tadi. Jaku napa kam mambawa daging ka situ? Urang sabarataan, Cil ai. Kita tahu mambawa dagingnya haja, bumbunya sudah urang julungi. Hintadi anak Haji Sanah.(8) (‘Iya, seperti orang tadi. Saya bertanya ‘kenapa kamu membawa daging ke sana’? Orang semuanya yang menyediakan, cil. Kita membawa dagingnya saja, bumbunya orang yang menyediakan. Seperti anak Haji Sanah’). Dalam wacana [11] merupakan strategi kesantunan negatif yang menggunakan pertanyaan berupa frasa. Strategi ini secara eksplisit dapat memperbaiki terancamnya muka dengan mengungkapkan keraguan mengenai apakah tindakan yang dimaksudkan penutur dapat dipenuhi pendengar (Brown dan Levinson, 1987: 173). Dalam konteks ini, apakah pertanyaan yang diberikan penutur, dijawab oleh mitra tutur. 3) Strategi kesantunan negatif meminta maaf. [12]Pembeli : (sambil mengambil pewarna makanan) Barapa Tuy? (1) (‘Berapa Tuy?’) Firman/ Utuy : Dua ribu.(2) Pembeli : Minta kantungan pang yang halus jangan yang ganal.(3) (‘Minta kantong plastik yang kecil, jangan yang besar’). Firman/ Utuy : Maaf Cil,barapa duit pian tadi?(4) (‘Maaf Cil, berapa uangnya tadi?’) Pembeli : Harga dua puluhan tadi!(5) (‘Dua puluh ribuan!’)
100
Sambilan blas maangsul, ih lapan blas maangsulnya.(6) (‘Sembilan belas ribu kembaliannya, eh delapan belas ribu kembaliannya’). Dalam wacana [12] strategi ini mengkomunikasikan keinginan penutur untuk tidak menekan pendengar dengan menggunakan kata ‘maaf’. Dalam konteks ini, Penjual agak lupa berapa uang yang telah diserahkan kepadanya oleh pembeli. Sehingga, penjual menanyakannya dan agar penjual tetap terjaga ‘mukanya’ serta pembeli tidak merasa ditekan, maka digunakanlah kata ’maaf’. 4) Strategi kesantunan negatif memakai bentuk impersonal. [13]Pembeli : Ni 50 kah? (‘Ini isi 50?’) Nia : 50 kah isinya ngintu? (‘Itu isi 50 ?’) Janah : 30 Nia : Ih, 30. Pembeli : Dua. anam ribu, lih? (‘Dua, enam ribu, mau?’) Nia : Kada dapat. (‘Tidak bisa’). Janah : Kada kawa lagi kami mengurangiakan. (‘Tidak bisa lagi kami mengurangi’). Pembeli : Nang ngini haja dua (sambil memberikan 2 kantong plastik merah). Tukar. (‘Ini saja dua’) Dalam wacana [13] adalah strategi kesantunan negatif dalam bentuk impersonal. Strategi yang ditempuh menghindari penggunaan kata ‘saya’ dan ‘kamu’ menggandakan kata ganti ‘saya’ menjadi ‘kami’. Strategi ini dilakukan seolah-olah diri penutur adalah orang lain atau bukan hanya penutur sendiri. 5) Strategi kesantunan negatif meminimalkan paksaan atau tekanan. [14]Pembeli : Adakah patis? (‘Ada petis?’) Janah : (mengangguk) Pembeli : Barapa sa anu? (‘Berapa?’) Janah : Sa apa handak? Saparapat tiga ribu. Itungan dua ribukah? (‘Berapa mau beli?’) (‘Seperempat tiga ribu. Mau, dihitungkan dua ribu?’) Pembeli : Bulihai kalu nungkar saribu. Juali akan saribu haja nah (‘Beli seribu saja, boleh kan? Juali seribu saja’) Janah : Jual Dalam wacana [14] adalah strategi kesantunan negatif yang meminimalkan paksaan. Dalam konteks ini, penutur meminta izin terlebih dahulu secara halus kepada mitra tutur untuk membeli petis seharga seribu rupiah saja. 101
6) Strategi kesantunan berupa strategi kesantunan positif menggunakan penanda identitas kelompok seperti bentuk sapaan, dialek, jargon, atau slang. [15]Pembeli : Barapa, Man! ( mengangkat minyak isi ulang) ‘Berapa, Man!’) Firman/ Utuy : 13 (membungkusakan) Juallah. (‘13 (membungkuskan’) (‘Aku jual’). Pembeli : Tukar. (‘Aku beli’) Dalam konteks ini, penutur menyapa mitra tutur dengan kata sapa ‘paman’ yang merupakan penanda identitas kelompok. 7) Strategi kesantunan berupa strategi kesantunan positif dengan memperhatikan kesukaan, keinginan, dan kebutuhan mitra tutur. [16] Zikri : Manungkar minyak kah Cil? (‘ Mau membeli minyak, Cil?’) Pembeli : Hi ih. Barapa minyak saini? (membawa botol) (‘Iya. Berapa minyak se ini?’) Zikri : Tiga blas. (‘Tiga belas’). Iyakah? (bertanya kepada Firman) Firman/ Utuy : Hi ih. (‘Iya’). Dalam wacana [16] adalah strategi kesantunan positif dimana penutur memperhatikan dan mengetahui apa yang diinginkan oleh mitra tutur. Dalam konteks wacana di atas, penjual mengetahui keinginan pembeli yang membawa botol untuk membeli minyak. 8) Strategi kesantunan positif dengan mencari persetujuan melalui pengulangan sebagian/ seluruh ujaran. [17]Pembeli : Minyak satangah litar, barapa? (‘Minyak setengah liter, berapa?’) Zikri : Pun. Satangah litar kah? (‘Iya. Setengah liter kah?’) Pembeli : Iya. Satangah litar. (‘Iya. Setengah liter’). Zikri : Lima ribu. Di muka Cil ai. (sambil mengambilkan minyak yang letaknya di depan) (‘Di depan Cil’). Pembeli : Tukarlah. (‘Aku beli’). Zikri : Ih, Jual. (‘Iya, Jual’).
102
Dalam wacana [17] adalah strategi kesantunan positif dimana penutur menyatakan sesuatu hal dan diulangi kembali oleh mitra tutur. Dalam konteks ini, pengulangan tuturan dimaksudkan untuk menegaskan ‘apakah betul, penutur membeli minyak setengah liter’. 9) Strategi kesantunan positif dengan memberikan tawaran atau janji. [18]Pembeli : Ui, kayapa jar sabun arum yang bawadah?(1) (‘Seperti apa sabun harum yang ada tempatnya?’) Zikri : Inikah?(2) Pembeli : Lain, sabun arum kayapa ngintu.(3) (‘Lain, sabun harum seperti?’) Firman/ Utuy : Ih, kadada. Ini ja lagi.(4) Ini gin harum jua daripada ngintu.(5) (‘Tidak ada, yang ada cuma ini’). (‘Ini juga lebih harum bila dibandingkan dengan yang itu’). Pembeli : Mun kda harum bulikakan lah? (6) (sambil tersenyum) (‘Bila tidak harum saya kembalikan, bisa?’) Barapa ngini?(7) (‘Berapa ini?’) Firman/ Utuy : Ih, Sambilan.(8) (‘Iya. Sembilan ribu’). Pembeli : Tukar (sambil memberikan uang). (‘Beli’). Dalam wacana [18] tuturan (6) strategi kesantunan positif yang dilakukan penutur untuk meminta persetujuan terhadap janji yang diucapkan. Dalam konteks ini, penutur meminta kepada mitra tutur, apabila sabun yang dia beli tidak harum, maka dia dapat mengembalikannya. 10) Strategi kesantunan positif dengan memberikan pertanyaan atau meminta alasan. [19]Pembeli : Nungkar wadai karing. Barapa sapakkan tu?(1) Sapakkan yang ganal tu, tu yang cuklat pang.(2) Barapa harganya?(3) (‘Beli kue kering. Berapa satu paknya?’) (‘Satu pak yang besar warna coklat’). (‘Berapa harganya?’) Dewi : Tiga satangah (menyebutkan harga kue perbungkus)(4) (‘Tiga ribu lima ratus’) Pembeli : Barapa harganya?(5) (‘Berapa harganya?’) Dewi : Tiga satangah. (6) Kanapa pian rancak manungkar yang cuklat haja?(7) (‘Tiga ribu lima ratus’). (‘Mengapa anda sering membeli yang warna cokelat saja?’) Pembeli : Pina nyaman daripada yang lain jar ku. Makasih.(8) (‘Menurut saya, lebih enak bila dibandingkan dengan yang lain’. ‘Terima kasih’).
103
Dalam wacana [19] tuturan (7) penutur meminta alasan tentang apa yang ingin dia ketahui dengan menyertakan mitra tutur. Dalam konteks wacana di atas penjual ingin mengetahui, mengapa pembeli lebih sering membeli kue kering yang berwarna coklat bila dibandingkan dengan warna lain. Jadi, selain memberikan pertanyaan juga meminta alasan mengapa hal tersebut terjadi. 11) Strategi kesantunan positif dengan menyatakan paham akan keinginan pendengar. [20]Pembeli : Barapa? (mengambil kue kering)(1) (‘Berapa?’) Dewi : Anam ribu.(2) (‘Enam ribu’). Pembeli : Pipsudint sabuting.(3) (‘Pepsodent satu’). Dewi : Yang mintul kah?(4) Nia : Lain, Julak tu yang biasa ja. Sidin kada katuju yang mintul.(5) (‘Bukan, Paman itu yang biasa saja. Beliau tidak suka dengan yang menthol’) Pembeli : Eeh, yang biasa haja. Mintul tu padas.(6) (sambil memberikan sejumlah uang) (‘Iya, yang biasa saja. Menthol itu pedas’). Dalam wacana [20] merupakan strategi kesantunan positif dimana penutur mengetahui dan paham akan keinginan mitra tutur. Dalam konteks wacana di atas penjual mengetahui bahwa pembeli tidak suka ‘pepsodent’ yang rasa menthol. Pembeli lebih menyukai ‘pepsodent’ yang biasa saja. 12) Strategi kesantunan off-record yaitu dengan menghindari gangguan utama misalnya mengisyaratkan. [21]Pembeli : Adakah kasumba kuning? (‘Ada pewarna yang berwarna kuning?’) Janah : Ada ah, ninya nih! (menunjukkan letaknya) (‘Ada, ini!’) Pembeli : Barapa sabuting? (‘Berapa satu?’) Janah : (mengacungkan jari satu yang artinya seribu rupiah) Jual lah. (‘Aku jual’). Pada wacana ini pembeli menanyakan berapa harga pewarna yang berwarna kuning kepada penjual. Untuk menghindari gangguan seperti kesalahpahaman pengertian yang diakibatkan suara yang bising, maka penjual menggunakan bahasa isyarat dengan mengacungkan jari satu yang artinya seribu rupiah. [22]Firman/ Utuy : Sari murninya, Cil. Barapa? (‘Berapa, Sari murninya, Cil?’) Pembeli : (mengacungkan jari satu) Barapa? (‘Berapa?’) Firman/ Utuy : Tiga ribu 104
Wacana [22] merupakan tuturan yang dilakukan antara penjual dan pembeli. Penjual menanyakan berapa jumlah “sari murni” yang akan dibeli, tapi pembeli hanya menunjukkan isyarat saja dengan mengacungkan satu jari tangan. Hal ini dilakukan sebagai isyarat untuk menghindari gangguan utama yang mungkin terjadi. Fungsi Kesantunan Berbahasa Banjar 1) Fungsi menanyakan yang dilakukan oleh penutur [23]Pembeli : Galapung ngini barapa?(1) (‘Tepung terigu ini berapa?’) Nia : Ngintu tiga satangah (sambil menimbangakan bawang) (2) (‘Itu tiga setengah’ (‘sambil menimbangkan bawang’) Tuturan (1) dalam penggalan wacana [23] dituturkan oleh seorang pembeli yang bertindak sebagai penutur kepada penjual sebagai mitra tutur. Penutur secara langsung menanyakan berapa harga tepung terigu dan dijawab secara lisan oleh mitra tutur. [24] Pembeli : Mi burung adakah?(1) (‘Mie burung ada?’) Janah : Mi burung ada ah?(2) (‘Mie burung ada?’) Pembeli : Mi kriting ja gin dua bungkus.(3) (‘Mie keriting saja dua bungkus’). Nia : Mi kriting lih?(4) (‘Mie keriting?’) Pembeli : Ngini kadada yang halus lih? (5)(mengangkat S) (‘Ini tidak ada yang kecil?’) Janah : Hi ih, ganal barataan.(6) (‘Iya, besar semuanya’). Nia : Ni dua, dua satangahkah, Nah? (7) (menunjukkan mie kriting) (‘Ini dua, dua ribu lima ratus, Nah?’) Janah : Napanya? Dua satangah.(8) (‘Apa yang dua ribu lima ratus?’). Pembeli : Barapa?(9) (‘Berapa?’) Nia : Lima satangah.(10) (‘Lima ribu lima ratus’). Dalam wacana [24] tuturan (1), (2), (4), (5), (7), (8), dan (9) merupakan fungsi menanyakan yang dilakukan oleh penutur kepada mitra tutur. Semua tuturan tersebut menghendaki jawaban, baik jawaban lisan maupun jawaban dalam bentuk tindakan. 2) Fungsi menjawab yang dilakukan oleh mitra tutur [25]Pembeli : Ruyku sapi adakah? Barapa salusin? (1) (‘Royco sapi ada? Berapa selusin?’) Janah : Tiga satangah.(2) (‘Tiga ribu lima ratus’). Pembeli : Nungkar salusin. Ladaku jua.(3) (‘Beli selusin. Ladaku juga’). 105
Tuturan (2) dalam penggalan wacana [25] merupakan fungsi menjawab. Dalam konteks ini, penutur menanyakan apakah mitra tutur menjual royco sapi dan berapa harga satu lusinnya. Pertanyaan itu, langsung dijawab oleh mitra tutur yaitu bahwa harga royco sapi satu lusinnya adalah Rp.3.500,-. [26] Pembeli : Adakah mi sakura?(1) (‘Ada mie sakura?’) Yunus : Ada ai.(2) (‘Ada’). Pembeli : Barapa sapuluh?(3) (‘Berapa sepuluh?’) Yunus : Sapuluh ribu.(4) (‘Sepuluh ribu rupiah’). Pembeli : Mi sutu banjar 5 jua.(5) (‘Mie soto banjarnya 5 buah’). Yunus : Tujuh blas tangah.(6) (‘Tujuh belas ribu lima ratus rupiah’). Pembeli : Tukar.(7) (‘Aku beli’). Yunus : Jual.(8) (‘Aku jual’). Tuturan (2) dan (4) dalam penggalan wacana [26] merupakan fungsi menjawab. Dalam konteks ini, penutur menanyakan apakah mitra tutur menjual mie sakura dan berapa harganya. Mitra tutur mengatakan ada, dan harganya adalah sepuluh ribu rupiah. 3) Fungsi menjawab sekaligus fungsi menolak yang dilakukan oleh mitra tutur [27]Pembeli : Gula 5, suun 2, tih sari murni, kecap lawan tumat sabuting sabuting (sambil menyusun barang sendiri). (1) (‘Gula 5, suun 2, teh sari murni, kecap dan tomat satu- satu’). Zikri : Tih apa? (2) (‘Teh apa?’) Pembeli : Ganal (3) (‘Besar’). Gulpara adakah? Sabuting. (4) (‘Golpara ada? Satu’). Zikri : Gulpara ganal. (5) (‘Golpara besar’). Firman/ Utuy : Sari murninya, Cil. Barapa? (6) (‘Berapa, Sari murninya, Cil?’) (7) Pembeli : (mengacungkan jari satu) Barapa? (8) (‘Berapa?’) Firman/ Utuy : Tiga ribu Pembeli : Dua, lima ribu lih? (9) (‘Dua, lima ribu ya?’) Firman/ Utuy : Kada dapat. (10) (‘Tidak bisa’). Pembeli : Maraha sabuting. (11) (‘Biar satu saja’). 106
Tuturan (10) dalam penggalan wacana [27] merupakan fungsi menjawab sekaligus menolak. Mitra tutur secara langsung menolak keinginan penutur dengan kalimat kada dapat (tidak bisa). [28] Pembeli : Saapa tuh? Hah? (1)(menunjuk bawang merah) (‘Berapa? Apa?’) Yunus : Tiga ribu saparapat, sakilu 12.(2) (‘Tiga ribu seperempat kilogram, 1 kg dua belas ribu’) Pembeli : Jar ku sablas haja, nukar itungan tangah dua kilu. (3) (‘Kalau mau sebelas ribu saja, saya beli hitungkan 1,5 kg’). Yunus : Kada kawa kurang Cil ai, kada dapat.(4) (‘Tidak bisa kurang lagi Cil’). Dalam wacana [28] tuturan (4) merupakan fungsi menjawab sekaligus menolak. Mitra tutur secara langsung menolak keinginan penutur dengan kalimat kada kawa kurang Cil ai, kada dapat (Tidak bisa kurang Cil, tidak bisa). 4) Fungsi menjawab sekaligus fungsi menerima yang dilakukan oleh mitra tutur [29]Pembeli : Barapa patis? (1) (‘Berapa petis?’) Yunus : Sakilu tiga blas. (2) (‘Sekilo tiga belas ribu’). Pembeli : Kada dua blas kah?(3) (‘Dua belas ribu,mau?’) Yunus : Ih. ayuha.(4) (‘Iya. bisa’). Pembeli : Tukarlah.(5) (‘Aku beli’). Yunus : Juallah.(6) (‘Aku jual’). Tuturan (4) dalam penggalan wacana [29] merupakan fungsi menjawab sekaligus menerima. Penutur menawar harga yang disebutkan oleh mitra tutur, dari harga Rp.13.000,- menjadi Rp.12.000,-. Mitra tutur secara langsung menerima dan menyetujui keinginan penutur dengan kalimat ih, ayuha (iya, bisa). 5) Fungsi menyatakan (deklaratif) yang dilakukan oleh penutur [30]Pembeli : Ngini barapa?(1) (‘Berapa ini?’) Yunus : Lima ribu, satangah. (2) Sakilu sapuluh ribu di higanya tu.(3) (‘Lima ribu, setengah kilogram. Satu kilogram sepuluh ribu yang di sampingnya itu’) Tuturan (3) dalam penggalan wacana [30] merupakan fungsi menyatakan. Dalam konteks ini, penutur menyampaikan informasi tentang harga barang. Penutur menanyakan harga barang dan dijawab oleh mitra tutur. Mitra tutur juga sekaligus menginformasikan harga barang yang ada di sebelah barang yang ditanyakan oleh penutur. [31] Pembeli : Kecap ABC nya adakah yang ganal, babungkus?(1) (‘Apakah ada menjual kecap ABC isi ulang yang besar?’) 107
Dewi Pembeli
: Kadada, BANGU ja lagi.(2) (‘Tidak ada, cuma ada BANGO’). : Itu ja gin. (3) (‘Itu saja’).
Tuturan (2) dalam penggalan wacana [31] merupakan fungsi deklaratif yaitu menyampaikan informasi. Tuturan ini menyampaikan informasi kepada mitra tutur bahwa kecap ABC tidak ada, yang ada cuma kecap BANGO. 6) Fungsi memerintah yang dilakukan oleh penutur [32]Pembeli : Adakah gula habang nang halus-halus?(1) (‘Ada gula merah yang kecil?’) Yunus : Ada.(2) Pembeli : Anukan satangah.(3) (‘Timbang dan bungkuskan setengah kilogram’) Yunus : Ambilakan yang di sabalah baras tu, Zik!(4) (‘Ambilkan yang di sebelah beras itu, Zik!’) Zikri : Inikah?(5) (‘Ini?’) Yunus : Ih, julungakan dengan Acil baju habang. (‘Iya, serahkan dengan Acil berbaju merah’). Tuturan (4) dan (5) dalam penggalan wacana [32] penutur memerintahkan agar mitra tutur mengambil gula merah yang ada di sebelah beras dan menyerahkannya kepada pembeli. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari hasil dan pembahasan di atas adalah sebagai berikut. 1) Wujud kesantunan berbahasa Banjar dalam transaksi jual beli di Pasar Kelua ialah dalam kalimat deklaratif, imperatif, dan interogatif. Wujud kesantunan positif, yaitu menggunakan tindak tutur langsung, kata ganti personal ‘aku’ sebagai subjek dan nama depan untuk menyapa mitra tutur. Adanya pandangan yang sama antara dua belah pihak yang berorientasi pada pendekatan. Wujud kesantunan negatif dilihat dari penggunaan nama belakang dan pemberian opsi kepada mitra tutur. Karena tuturan berorientasi pada penghindaran bukan pada pendekatan. Hal itu juga sering dipakai dalam negosiasi di tempat kerja agar negosiasi tersebut sukses. 2) Strategi kesantunan berbahasa Banjar dalam transaksi jual beli di Pasar Kelua, yaitu strategi kesantunan positif, negatif dan off-record. 3) Fungsi kesantunan berbahasa Banjar dalam transaksi jual beli di Pasar Kelua, yaitu fungsi menanyakan, menyatakan, dan memerintah yang dilakukan oleh penutur. Fungsi menjawab, fungsi menjawab sekaligus menolak, dan fungsi menjawab sekaligus menerima yang dilakukan oleh mitra tutur. Saran Penelitian kesantunan berbahasa Banjar dalam transaksi jual beli di pasar ini masih belum seluruhnya mengungkap wujud, strategi, dan fungsi kesantunan berbahasanya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian yang lebih banyak lagi penelitian kesantunan berbahasa Banjar dalam transaksi jual beli di pasar dan ranah-ranah sosiolinguistik lainnya. 108
DAFTAR RUJUKAN
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Brown, P dan Levinson, S. 1987. Politeness. Cambridge: Cambridge University Press. Chaer, Abdul. 2004. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta. Hapip, Abdul Djebar. 2008. Tata Bahasa: Bahasa Banjar. Banjarmasin: CV. Rahmat Hafiz Al Mubaraq. Herliana. 2010. Realisasi Kesantunan Berbahasa Debat Pemilukada. Skripsi tidak diterbitkan. Banjarmasin: PBSI FKIP Unlam. Rahardi, R. Kunjana. 2003. Berkenalan dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Malang: Dioma. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa, Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Syaipullah. 2007. Kesantunan Berbahasa Indonesia dalam Interaksi antara Guru dan Siswa. Skripsi tidak diterbitkan. Banjarmasin: PBSI FKIP Unlam.
109
110
STRUKTUR WACANA, MAKNA, DAN FUNGSI MAHALABIU (DISCOURSE STRUCTURES, MEANINGS, AND FUNCTIONS OF MAHALABIU) Erlita Desriani dan Rustam Effendi Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Brigjend. H. Hasan Basry, Kampus Kayu Tangi, Banjarmasin, Kode Pos 70123, e-mail
[email protected] Abstract Discourse Structures, Meanings, and Functions of Mahalabiu. Mahalabiu is a discourse that implies multiple (ambiguous), meaning the spoken utterances, usually the listener to interpret the meaning or intent behind the words is another. Behavior mahalabiu Banjar is a common language behavior of the use meaningful phrases in order to outwit new speaker. The purpose of this study was to describe the Discourse Structure, Meaning and Function mahalabiu. This type of research used in this study Discourse Structure, Meaning and Function mahalabiu is descriptive research that intends to provide an overview of data characteristics in accordance with nature itself. The method used is descriptive method with qualitative approach to the data source in this study is a collection mahalabiu from an internet site and a thesis of Noorbaity (2004). Data collection techniques in this study is to use observation techniques of text, data collection obtained by collecting, reading and classify mahalabiu the structure, meaning and function. From the research, it can be concluded Discourse Structure is divided into two parts, namely the introduction and description mahalabiu. Then there are four types in the distribution of meaning, namely (1) homonym, (2) homophones, (3) reduction of the phrase, and (4) comments do not match with the topic. Function mahalabiu five functions, namely (1) functions as a joke / joke material, (2) a function that tests a person’s intelligence, (3) the function of a satirical one, (4) functions as a tool to tell a state or occupation, and (5 ) function is a tool to educate children. Keywords: discourse structure, meaning, function, mahalabiu
Abstrak Struktur Wacana, Makna, dan Fungsi Mahalabiu. Mahalabiu adalah wacana yang mengandung pengertian ganda (mendua), memiliki makna ujaran yang diucapkannya, biasanya si pendengar menafsirkan makna atau maksud lain dibalik ucapan tersebut. Perilaku mahalabiu adalah perilaku berbahasa Banjar yang umum karena adanya penggunaan ungkapan-ungkapan yang bermakna baru dengan tujuan mengecoh lawan bicara. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan Struktur Wacana, Makna dan Fungsi mahalabiu. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian Struktur Wacana, Makna, dan Fungsi mahalabiu ialah jenis penelitian deskriptif yang bermaksud memberikan gambaran ciri-ciri data sesuai dengan sifat alamiah itu sendiri. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif Sumber data dalam penelitian ini adalah kumpulan mahalabiu dari sebuah situs internet dan sebuah tesis dari Noorbaity (2004). Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik observasi teks, pengumpulan data diperoleh dengan mengumpulkan, membaca dan mengklasifikasikan mahalabiu dengan struktur, makna dan fungsinya. Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan Struktur Wacana dibagi atas dua bagian, yaitu Pengantar dan deskripsi mahalabiu. Kemudian ada empat jenis dalam
111
pembagian Makna, yakni (1) homonim, (2) homofon, (3) pengurangan frasa, dan (4) komen tidak serasi dengan topik. Fungsi mahalabiu ada lima fungsi, yakni (1) fungsi sebagai gurauan/bahan bercanda, (2) fungsi yang menguji kepandaian seseorang, (3) fungsi yang menyindir seseorang, (4) fungsi sebagai alat untuk memberitahu suatu keadaan atau pekerjaan, dan (5) fungsi alat untuk mendidik anak. Kata-kata kunci: struktur wacana, makna, fungsi, mahalabiu
PENDAHULUAN Perbuatan berbahasa adalah perbuatan manusia yang ingin mengemukakan pendapat, pikiran dan keinginan kepada orang lain atau lawan bicara dengan media, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Untuk berbahasa orang tidak perlu mempelajari dan menghafal berbagai aspek pemakaian bahasa, dan berbagai teori yang berhubungan dengan struktur bahasa. Dengan kata lain, dalam berbahasa terkandung pengertian siapa berbicara, terhadap siapa, menggunakan bahasa atau kode apa, membicarakan topik apa, di mana dan kapan dilakukan, dan bagaimana situasinya. Ada banyak ragam pembentukan kata dalam bahasa indonesia. Sebagian besar kata dibentuk dengan cara menggabungkan beberapa komponen yang berbeda. Kata-kata mahalabiu ini merupakan salah satu cerita humor yang ada di masyarakat Banjar, tetapi diperkirakan mahalabiu berasal dari orang-orang Halabiu, orang Halabiu dikenal sebagai subetnik Banjar yang gemar berteka-teki dan membuat cerita-cerita lucu. Mahalabiu dituturkan secara lisan dan berkembang dalam satu lingkungan yang memungkinkan mahalabiu itu hidup dan berkembang serta diterima oleh masyarakat. Tidak sembarang mahalabiu dituturkan seseorang di suatu tempat, dengan kata lain mahalabiu yang dituturkan oleh seseorang kepada orang lain harus mempertimbangkan faktor lingkungan sosial dan budaya. Di Banjarmasin, mahalabiu ini sudah dikenal sejak lama, Di balik kata-kata mahalabiu ini tersirat sebuah makna di dalamnya melalui percakapan atau dialog. Kalimat mahalabiu memiliki makna atas ujaran yang diucapkannya, biasanya si pendengar menafsirkan makna atau maksud lain dibalik ucapan tersebut. Oleh karena itu, mahalabiu tersebut dapat dianalisis dari segi penggunaan bahasanya, dan struktur kata yang terdapat dalam teka-teki mahalabiu tersebut. Meskipun kata-kata di dalamnya menggunakan bahasa tidak baku. Bahasa yang digunakan dalam mahalabiu tersebut adalah bahasa Banjar. Bahasa Banjar merupakan bahasa yang sudah sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Banjar. Mahalabiu merupakan salah satu khas Banjar yang memuat cerita-cerita yang bermakna ganda, yang pada zaman sekarang ini sudah mulai tidak digunakan, atau tidak dketahui oleh banyak anak-anak zaman sekarang terutama anak-anak masyarakat Banjar. Hal itulah yang melatarbelakangi peneliti untuk meneliti struktur wacana, makna, dan fungsi mahalabiu. Sastra lisan banjar pada umumnya bersifat lisan atau diturun-temurunkan secara lisan, dari mulut ke mulut. Berbicara tentang siapa yang memegang peranan dalam penyampaian sastra lisan berarti membicarakan tokoh-tokoh yang dalam kehidupannya sehari-hari mempunyai keahlian khusus dalam menyajikan sastra turun-temurun. Secara umum, orang-orang tua merupakan penutur sastra lisan banjar, dalam berbagai kesempatan mereka menyampaikan kisah, hikayat, dongeng dan sejenisnya, muda-mudi pun merupakan penutur cerita yang biasanya seputar humor dan kadang-kadang berbau porno (Sunarti, 1977: 8) Sastra lisan Banjar disampaikan dengan bahasa Banjar dalam berbagai dialek. Kalau diperhatikan dengan teliti maka sesuai dengan keadaan zaman dan tingkat kemajuan hubungan, pengaruh bahasa daerah lisan dan masuknya bahasa Indonesia ke pedesaan sering terselip dalam
112
tuturan (Sunarti, 1977: 15). Menurut Sunarti (1977: 21-24), dari segala macam bentuk sastra Banjar yang hidup dalam masyarakat yang telah dikumpulkan hingga kini dapatlah diklasifikasikan menurut pembagaian sastra yang umum, yaitu prosa, puisi, dan prosa liris. Namun ada pula yang tidak bisa sepenuhnya dimasukkan ke dalam salah satu bentuk tersebut. Bentuk semacam ini dimasukkan ke dalam bentuk-bentuk khusus. Menurut Danandjaya (1991: 21-22), tradisi lisan adalah yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk-bentuk (genre) yang termasuk ke dalam kelompok besar ini antara lain (a) bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan; (b) ungkapan tradisional seperti peribahasa, pepatah; (c) pertanyaan tradisional, seperti teka-teki; (d) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; (e) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng, dan (f) nyanyian rakyat. Kiranya tidak ada masyarakat Kalimantan selatan khususnya, kecuali anak kecil, yang tidak tahu dengan istilah “mahalabiu”, karena istilah ini sudah sangat popular di tengah-tengah masyarakat bila ada seseorang berbicara yang mengandung pengertian ganda (mendua). Karena itu jika orang tidak berpikir dua kali, biasa salah arti atau tidak mengerti maksud yang sebenarnya, orang bisa terkecoh dengannya. Mahalabiu ini sendiri merupakan salah satu cerita humor yang ada di masyarakat Banjar. Di Banjarmasin, mahalabiu sudah dikenal sejak lama, di balik kata-kata mahalabiu ini tersirat sebuah makna didalamnya melalui percakapan atau dialog. Kalimat mahalabiu memiliki makna ujaran yang diucapkannya, biasanya si pendengar menafsirkan makna atau maksud lain dibalik ucapan tersebut. Tetapi berbeda dengan teka-teki, teka-teki merupakan sebuah pertanyaan yang memerlukan jawaban, orang yang berteka-teki sengaja menanyakan apa jawaban dari teka-teki tersebut, sedangkan mahalabiu tidak, walaupun hampir sama, orang yang menuturkan mahalabiu tidak perlu dengan sengaja meminta jawaban dari lawan tutur, karena mahalabiu itu sendiri dengan tidak sengaja memancing orang yang mendengar akan berpikir dengan sendirinya apa yang dituturkan orang yang mahalabiu. Perilaku mahalabiu adalah perilaku berbahasa Banjar yang umum karena adanya penggunaan ungkapan-ungkapan yang bermakna baru dengan tujuan mengecoh lawan bicara (Hapip, 2001: 52). Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Pateda (2001: 152-153) bahwa akhirakhir ini dalam penggunaan bahasa Indonesia (situasi tidak resmi) terdapat bentuk-bentuk yang dipelesetkan, yaitu tidak kesewenang-wenangan pemakai bahasa untuk menggunakan lambang tertentu yang ingin memaknai sesuatu. Heryanto (Pateda, 2001: 153) mengatakan bahwa plesetan sebagai kegiatan berbahasa yang mengutamakan secara maksimal berbagai pernyataan dan aneka makna secara sewenang-wenang pada kaitan pertanda, makna dan realitas empirik. Struktur Wacana Dalam praktek berbahasa ternyata kalimat bukanlah satuan sintaksis terbesar seperti banyak diduga atau diperhitungkan orang selama ini. Kalimat atau kalimat-kalimat ternyata hanyalah unsur pembentuk satuan bahasa yang lebih besar yang disebut wacana (Chaer, 2007: 265-266). Wacana sebagai satuan bahasa di atas kalimat dan penggunaan bahasa bersifat dikotomis (Jumadi, 2010: 47). Wacana juga diartikan sebagai kesatuan makna antarbagian di dalam suatu bahasa. Dengan kesatuan makna, wacana dapat dilihat sebagai bangun bahasa yang utuh karena setiap bagian dalam wacana itu berhubungan secara padu. Di samping itu, wacana terikat pada konteks. Kata wacana dalam bahasa Indonesia digunakan untuk mengacu pada bahan bacaan, percakapan, tuturan (Rani, 2004). Kita memakai bahasa dalam wujud kalimat yang saling berkaitan. Kalimat pertama menyebabkan timbulnya kalimat kedua, kalimat kedua menjadi acuan kalimat ketiga, kalimat 113
ketiga mengacu kembali ke kalimat pertama dan seterusnya. Rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain itu membentuk kesatuan yang dinamakan wacana (Alwi, dkk., 2003: 419) Makna Pengertian makna menurut Palmer (Djajasudarma, 1993: 5) adalah pertautan yang ada diantara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata). Pengertian makna menurut Kosasih (2004: 167) berarti suatu kata atau isi pembicaraan atau pikiran. Jadi, kalau kita ingin mencari makna suatu kata, kita harus mencari maksud dan mengenal ciri-ciri atau karakter yang terkandung pada kata tersebut. Menurut teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinand de Saussure (Chaer, 2007: 287) bahwa makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap kata atau leksem. Di dalam buku The Meaning oleh Ogden dan Richards (dalam Pateda, 2001: 81) telah dikumpulkan tidak kurang dari 22 batasan mengenai makna. Bagi orang awam, untuk memahami makna kata tertentu ia dapat mencari kamus sebab di dalam kamus terdapat makna yang disebut makna leksikal. Dalam kehidupan sehari-hari orang sulit menerapkan makna yang terdapat di dalam kamus, sebab makna sebuah kata sering bergeser jika berada dalam satuan kalimat. Dengan kata lain setiap kata kadang-kadang mempunyai makna luas. Itu sebabnya kadang-kadang orang tidak puas dengan makna kata yang tertera di dalam kamus. Hal-hal ini muncul jika orang bertemu atau berhadapan dengan idiom, gaya bahasa, metafora, peribahasa, dan ungkapan. Menurut Waridah (2009: 314-318) hubungan antarmakna dibagi menjadi empat, yaitu homonim, homofon, komen tidak serasi dengan topik, dan penghilangan unsur penting dalam kelompok kata. Homonim berasal dari kata ‘homas’, berarti sejenis atau sama, dan ‘onuma’ berarti nama. Jadi, homonim diartikan sebagai kata-kata yang bentuk dan cara pelafalannya sama, tetapi maknanya berbeda. Homofon adalah kata yang cara pelafalannya sama, tetapi penulisan dan maknanya berbeda. Berikut ini contoh kata-kata berhomofon. Topik merupakan kata/frasa/klausa yang mengandung informasi yang sudah diketahui oleh lawan bicara (mitra bicara), sedangkan komen mengandung informasi yang baru dan belum diketahui oleh mitra bicara. Dalam konvensi tuturan biasa atau tuturan normal, orang berupaya membuat kalimat dengan baik dan benar, agar komunikasi berjalan lancar. Untuk itu, penutur berupaya memenuhi syarat-syarat pembentukan kalimat agar sebuah interaksi komunikasi berjalan dalam suasana yang menyenangkan. Tetapi konvensi komunikasi di atas diabaikan, bagian kalimat yang menjadi topik dibuat sedemikian rupa sehingga memancing perasaan ingin tahu kalimat setersunya. Kelanjutan kalimat yang diharapkan oleh mitra bicara ternyata tidak memiliki hubungan langsung dengan topik yang telah dikemukakan sebelumnya. Kalimat yang dibentuk dengan cara mengurangi atau menghilangkan sebuah unsur penting dalam kelompok kata yang berfungsi sebagai subjek, predikat, objek, atau keterangan. Fungsi dapat dipandang sebagai padanan kata penggunaan dengan pemikiran fungsi bahasa dapat diartikan cara orang menggunakan bahasa mereka, atau bahasa-bahasa mereka bila mereka berbahasa lebih dari satu (Ramlan, 1992: 20) Fungsi atau guna bahasa dalam teka-teki menurut Alan Dundes (Danandjaya, 1991: 45) juga mempunyai beberapa fungsi yang dibagi menjadi lima bagian, yaitu (1) sebagai gurauan/bahan bercandaan, (2) sebagai alat menguji kepandaian, (3) sebagai alat menyindir seseorang, (4) sebagai alat untuk memberi tahu suatu keadaan atau pekerjaan, dan (5) sebagai alat untuk mendidik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana struktur wacana, makna, dan fungsi mahalabiu.
114
METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Berkaitan dengan objek yang akan dibahas, metode ini bertujuan untuk mengumpulkan, mengklasifikasikan, dan menganalisis data sehingga diperoleh gambaran menyeluruh tentang struktur wacana, makna, dan fungsi mahalabiu. Data dalam penelitian ini berwujud teks. Data tersebut terdapat pada kumpulan mahalabiu berupa wacana terhadap “struktur wacana, makna, dan fungsi mahalabiu”. Sumber data dalam penelitian ini adalah kumpulan mahalabiu dari sebuah situs internet. Dalam pengumpulan data ini, peneliti menggunakan teknik observasi teks, pengumpulan data diperoleh dengan mengumpulkan, membaca, dan mengklasifikasikan mahalabiu dengan struktur, makna dan fungsinya. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif, yakni dengan menganalisis satu per satu mahalabiu tersebut. HASIL Struktur Wacana Mahalabiu Struktur mahalabiu di sini dianalisis berdasarkan pengantar (acuan mahalabiu), deskripsi (penggambaran dari mahalabiu/petunjuk) atau lebih jelasnya menggunakan pembukaan dan isi. 1) Malam Jumat tadi di wadahku urang mangatuk lawang kada pakai kapala (malam Jum’at tadi di tempatku orang mengetuk pintu tidak pakai kepala) Struktur mahalabiu ini adalah: a. Pengantar Mahalabiu : malam Jum’at tadi di wadahku b. Deskripsi Mahalabiu : urang mangatuk lawang kada pakai kapala Struktur Mahalabiu (1) terdiri atas dua bagian, pertama (a) sebagai pengantar mahalabiu yang memberi acuan “malam Jumat tadi di wadahku (malam Jumat tadi di tempatku)”. Kedua (b) sebagai Deskripsi Mahalabiu yang lebih menggambarkan acuan dari mahalabiu tersebut “urang mangatuk lawang kada pakai kapala (orang mengetuk pintu tidak pakai kepala)”, orang yang mendengar kalimat tersebut pasti berpikiran kalau yang mengetuk pintu tersebut adalah hantu karena tidak mempunyai kepala “kada pakai kepala”, makna pertama inilah yang mengandung mahalabiu, yang membuat orang berpikir bahwa yang mengetuk pintu itu hantu, padahal sudah sewajarnya orang mengetuk pintu itu tidak pakai kepala tapi pakai tangan atau menggunakan tangan untuk mengetuk pintu. 2) Suah marasai rambutan masak habanglah ?(pernah mencicipi rambutan masak merah tidak?) Struktur mahalabiu ini adalah: a. Pengantar Mahalabiu : suah marasai b. Deskripsi Mahalabiu : rambutan masak habang Struktur Mahalabiu (2) terdiri atas dua bagian, pertama (a) “Suah marasai (pernah mencicipi)” sebagai pengantar mahalabiu yang memberi acuan dengan kata “suah marasai”. Kedua (b) “rambutan masak habang (rambutan masak merah) sebagai deskripsi mahalabiu atau penggambaran mahalabiunya. Kalimat “suah marasai rambutan masak habanglah ?” makna pertama, tentu orang yang pertama kali mendengarnya kebingungan, dalam pikiran orang yang baru mendengarnya pasti dalam pikirannya rambutan itu dimasak habang atau pakai bumbu habang (merah), makna pertama ini yang mengandung mahalabiu karena mengecoh pikiran lawan bicara/pendengarnya, sedangkan makna kedua, tentu rambutan yang sudah masak/matang berwarna merah “habang”, inilah makna yang sebenarnya.
115
Makna Mahalabiu Dalam makna mahalabiu digunakan analisis hubungan antarmakna yang dibagi menjadi empat bagian, yakni homonim, homofon, pengurangan frasa, dan komen tidak serasi dengan topik (Waridah, 2009: 314-318). Makna Mahalabiu yang mencakup Homonim Homonim berasal dari kata ‘homas’, berarti sejenis atau sama, dan ‘onoma’, berarti nama. Jadi, homonim diartikan sebagai kata-kata yang bentuk dan cara pelafalannya sama, tetapi maknanya berbeda. Beberapa contoh mahalabiu yang mencakup homonim sebagai berikut. Contoh: 1) Sidin kada suah kasulitan duit (beliau tidak pernah bermasalah dalam hal keuangan). Kata “kasulitan” dalam bahasa Banjar bermakna ganda, yakni ada sesuatu yang terselip di gigi (makanan) dan bermasalah atau sedang mengalami kesusahan. “sidin kada suah kasulitan duit (beliau tidak pernah bermasalah dengan keuangan)”. Makna pertama, orang yang mendengar ini akan berpikiran kalau orang ini kaya/mampu karena tidak pernah mengalami kesulitan dalam keuangan, sedangkan makna kedua, yang dimaksudkan sebenarnya adalah bermakna kalau beliau itu tidak pernah terselip uang di giginya. Kata “kesulitan” bermakna “bermasalah/sedang mengalami kesulitan tapi bagi makna mahalabiu, kata “kasulitan” sama dengan “ada sesuatu yang terselip di sela gigi”
X = Sidin kada suah kasulitan duit M1 = sesuatu yang terselip di gigi M2 = Mengalami kesusahan Makna Mahalabiu yang mencakup Homofon Homofon adalah kata yang cara pelafalannya sama, tetapi penulisan dan maknanya berbeda. Beberapa contoh mahalabiu yang Mencakup homofon sebagai berikut. Contoh: 1) Urang manukar itik di halabiu dua ikung samaliar (orang membeli itik di halabiu semeliar) Pada kata “samaliar” yang dalam bahasa Banjar mempunyai dua kemungkinan, yakni semiliar atau uang yang berjumlah semiliar (1 miliar) dan sama liar atau sama tidak jinak. Makna pertama, mungkin ada yang berpikir kalau orang itu membeli dua ekor itik dengan harga 1 miliar, harga 1 miliar buat membeli itik dua ekor, itu adalah sesuatu hal yang sangat luar biasa, dan tidak masuk akal terkecuali orang itu membeli itik ajaib (yang mempunyai kemampuan lebih). Makna kedua, yang dimaksudkan di sini adalah “itik yang sama liar (liar = tidak jinak). Karena kata yang tidak sesuai membuat mahalabiu ini menjadi menarik dan sukar ditebak. 116
X = Urang manukar itik di halabiu dua ikung samaliar M1 = Samaliar M2 = Sama liar Makna Mahalabiu yang mencakup Pengurangan Frasa Mahalabiu yang di bentuk dengan cara mengurangi atau menghilangkan unsur kata yang berfungsi sebagai subjek, predikat, objek, keterangan. Beberapa contoh mahalabiu yang mencakup pengurangan frasa ini sebagai berikut. Contoh: 1) Paman pentol maulah pentol bajajak (paman pentol membuat pentol berinjak) Pada kalimat di atas terdapat pengurangan frasa yang berfungsi keterengan, ‘maulah pentol bajajak’ pendengar akan memaknai kalau membuat pentol itu berinjak atau di injakinjak menggunakan kaki padahal seharusnya kata tersebut ditambahkan keterangan “paman pentol maulah pentol bajajak di lantai”. Jadi, yang dimaksudkan paman pentol membuat pentolnya “berinjak” artian berinjak di sini adalah berinjak di lantai atau berpijak di lantai bukan membuat pentol yang diinjak-injak.
X = Paman pentol maulah pentol bajajak M1 = Diinjak-injak menggunakan kaki M2 = berinjak atau berpijak di lantai Makna Mahalabiu mencakup komen tidak serasi dengan topik Mahalabiu di sini dibagi menjadi dua bagian yang berkedudukan sebagai topik dan bagian yang lain berkedudukan sebagai komen. Dalam bahasa Banjar, topik selalu terdapat pada bagian awal kalimat. Topik itu, berupa kata/frasa/klausa mengandung informasi yang sudah diketahui oleh lawan bicara, sedangkan komen mengandung informasi yang baru dan belum diketahui oleh lawan bicara. Beberapa contoh mahalabiu yang mencakup Komen tidak serasi dengan topik.
117
Contoh: 1) Balawasanai ngini jalan rusak inya pambakalnya kada mau diaspal (selamanya ini jalan rusak karena lurahnya tidak mau diaspal) Pada kalimat di atas Topik mahalabiu adalah “balawasanai ngini jalan rusak” topik ini sudah diketahui/dimengerti oleh lawan bicara. Komen terdapat pada kalimat “inya pambakalnya kada mau diaspal”, komen ini tidak berhubungan dengan topik karena pambakalnya tidak mau diaspal jalan menjadi rusak. Komen ini sengaja dibuat agar orang yang mendengar menjadi bingung, lurah atau orang mana saja pasti tidak mau kalau dirinya diaspal. Padahal maksud yang sebenarnya adalah lurahnya tidak mau mengaspal jalan.
X = Balawasanai ingini jalan rusak inya pambakalnya kada mau diaspal M1 = kada mau diaspal M2 = kada mau mengaspal Fungsi Mahalabiu Fungsi bahasa terutama adalah sebagai alat untuk bekerja sama atau berkomunikasi di dalam kehidupan manusia bermasyarakat. Selain untuk berkomunikasi, sebenarnya dapat juga digunakan cara lain, misalnya dengan isyarat lambang-lambang atau kode-kode tertentu lainnya (Chaer, 2006: 2). Fungsi bahasa dapat dianggap berguna sebagai penunjang pikiran. Kedua, manusia sering kali menggunakan bahasa untuk mengungkapkan diri, artinya untuk mengkaji apa yang dirasakannya tanpa memperhatikan sama sekali reaksi pendengarnya yang mungkin muncul. Dalam fungsi mahalabiu digunakan analisis Alan Dundes (Danandjaya, 1991: 45) yang dibagi menjadi lima bagian, yaitu (1) sebagai gurauan/bahan bercandaan, (2) sebagai alat menguji kepandaian, (3) sebagai alat menyindir seseorang, (4) sebagai alat untuk memberi tahu suatu keadaan atau pekerjaan, dan (5) sebagai alat untuk mendidik. Fungsi untuk gurauan atau bahan bercandaan. Mahalabiu di sini gunakan hanya untuk bahan gurauan, bercandaan di sela-sela waktu luang, misalnya pada saat santai berkumpul dengan teman-teman, yang menimbulkan mahalabiu ini muncul. Contoh: “Suah marasai rambutan masak habanglah ?(pernah mencicipi rambutan masak merah tidak?)” Orang yang mendengar tentu akan tertawa karena rambutan dijadikan masakan masak habang, memakai bumbu habang (merah).
118
Fungsi Mahalabiu yang menguji kepandaian seseorang Mahalabiu sering juga dijadikan sebagai alat untuk menguji kepandaian seseorang, sampai mana orang itu mampu menjawab atau berpikir bila ada orang yang mengucapkan mahalabiu. Orang yang menuturkan mahalabiu akan merasa senang apabila orang yang mendengar tidak bisa menjawab. Contoh: “ kanapanah ayam mati ? (kenapa ya ayam mati?)” Pada kalimat tersebut seolah-olah menanyakan kenapa ayam itu bisa mati? Orang yang mendengar tentu akan bingung menjawabnya, bisa saja mati karena keracunan, ditabrak mobil dan sebagainya. Padahal orang yang menuturkan kalimat tersebut tidak bertanya, dia memberitahu kalau “kana panah ayam mati” ayam mati karena terkena busur panah. Fungsi sebagai alat untuk menyindir seseorang Mahalabiu ini juga difungsikan sebagai alat untuk menyindir seseorang secara tidak langsung. Contoh: “jangan talalu badadai kalau pina karing (jangan terlalu berjemur kalau badanmu kering)” Pada kalimat di atas seseorang mengatakan hal itu kepada lawan bicaranya sebenarnya memberikan semacam sindiran, karena maksud sebenarnya bukan berjemur tetapi sikap yang terlalu terbuka, terlalu menampakkan diri terutama bagi gadis-gadis. Kalimat tersebut merupakan kalimat perintah yang isinya melarang seseorang melakukan sesuatu, artinya ‘jangan terlalu berpenampilan berlebihan’. Fungsi Mahalabiu sebagai alat memberi tahu keadaan atau pekerjaan Mahalabiu juga digunakan sebagai alat memberi tahu secara tidak langsung tentang pekerjaan atau suatu keadaan seseorang. Contoh: “Maunjun mulai jam 10.00 sampai jam 11.00 ia itu kada kasiangan (memancing dari jam 10.00 sampai jam 11.00 tidak kesiangan)”. Kalimat mahalabiu di atas memberi tahu keadaan/pekerjaan yang sedang ia lakukan, kalimat tersebut diarahkan pada makna ‘membersihkan ikan begitu repot’ karena dalam bahasa Banjar kata ‘siang’ selain bermakna hari yang sudah siang (lawan malam) juga bermakna membersihkan ikan. Jadi, makna yang selengkapnya adalah memancing dari jam10.00 sampai jam 11.00 begitu repot membersihkan ikan hasil tangkapan karena begitu banyaknya ikan yang didapat. Fungsi Mahalabiu sebagai alat untuk mendidik Mahalabiu juga berfungsi sebagai alat untuk mendidik anak, memberitahu hak-hal dan sifat yang dianggap baik atau tidak baik dilakukan. Contoh: “urang sumbahyang di langgar badosa (orang shalat di surau berdosa)” Pada kalimat di atas, mahalabiu berfungsi sebagai alat untuk memberitahu hal yang dianggap tidak baik. Dalam bahasa Banjar, kata ‘langgar’ bermakna ganda, yakni ‘langgar’ bermakna
119
menabrak dan bermakna surau tempat orang melakukan shalat. Yang dimaksudkan mahalabiu di atas adalah ‘orang yang sedang shalat ditabrak berdosa’. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil identifikasi struktur wacana, makna, dan fungsi mahalabiu dapat disimpulkan berikut ini. (1)struktur wacana yang dibagi berdasarkan pengantar (acuan mahalabiu), deskripsi (penggambaran dari mahalabiu/petunjuk) atau lebih jelasnya menggunakan pembukaan dan isi. (2)ada empat jenis makna mahalabiu yang digunakan, yakni (a) homonim, (b) homofon, (c) pengurangan frasa, dan (d) komen tidak serasi dengan topik. (3)ada lima jenis fungsi mahalabiu yang digunakan, yakni (a) fungsi untuk gurauan atau bahan bercandaan, (b) fungsi untuk menguji kepandaian, (c) fungsi sebagai alat untuk menyindir seseorang, (d) fungsi sebagai alat untuk memberi tahu keadaan atau pekerjaan, dan (e) fungsi sebagai alat untuk mendidik. Saran Dari hasil penelitian Struktur wacana, makna, dan fungsi mahalabiu, ada beberapa hal yang disarankan kepada peneliti lain yang ingin meneliti tentang mahalabiu disarankan melakukan penelitian yang lebih mendalam lagi dan diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan perbandingan untuk penelitian mahalabiu yang selanjutnya.
120
DAFTAR RUJUKAN
Alwi, Hasan, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta. Djajasudarma, Fatimah.1993. Semantik 1 Pengantar Kearah Ilmu Makna. Bandung: PT Eresco Bandung. Danandjaya, James. 1991. Foklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain. Jakarta: PT Temprint. Hapip, Abdul Djebar. 2001. Kamus Banjar-Indonesia. Banjarmasin: PT Grafika Wangi Kalimantan. Jumadi. 2010. Wacana: Kajian Kekuasaan Berdasarkan Ancangan Etnografi Komunikasi dan Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Prisma. Kosasih, E. 2004. Intisari Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: Pustaka Setia. Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: PT Rineka Cipta. Ramlan, M. 1992. Bahasa Konteks Dari Teks. Yogyakarta: Fakultas Universitas Gajah Mada. Rani, Abdul. 2004. Analisis Wacana Sebuah: Kajian Bahasa dalam Pemakaian. Malang: Bayumedia Publishing. Sunarti. 1977. Sastra Lisan Banjar. Banjarmasin: Proyek Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Banjarmasin. Tarigan, Henry Guntur. 1988. Wacana. Bandung: PT Angkasa. Tarigan, Henry Guntur. 1989. Pengajaran Kompetensi Bahasa. Bandung: PT Angkasa. Waridah, Ernawati. 2009. EYD dan Seputar Kebahasaan. Jakarta: Kawan Pustaka.
121
122
PENERAPAN PRINSIP KERJA SAMA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA NEGERI 1 BANJARMASIN (THE APPLICATIONS OF COOPERATIVE PRINCIPLES ON THE TEACHING AND LEARNING OF INDONESIAN LANGUAGE AND LITERATURE AT SMA NEGERI 1 BANJARMASIN) Noor Cahaya Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Brigjend. H. Hasan Basry, Kampus Kayu Tangi, Banjarmasin, Kode Pos 70123, email
[email protected] Abstract The Applications of Cooperative Principles on the Teaching and Learning of Indonesian Language and Literature at SMA Negeri 1 Banjarmasin. A teaching and learning process needs a speech act. Speech act represents a psychological individual symptom, and the continuity of a speech act is determined by the speaker’s language ability in facing a language situation. Therefore, both the teacher and students need to pay attention on the aspects of cooperative in holding a speech act. The aspects of cooperative tend to give details about the attainment of effectiveness in a communication process. This research is aimed to find out objectively the description about the application of the cooperative maxim and the contribution of the cooperative toward the effectiveness of the teaching and learning process. The framework of this research was based on the theories which consist of cooperative maxim theory by Grice. This research was conducted at SMA Negeri 1 Banjarmasin by collecting the data in form of the language usage in teaching and learning interaction in the classroom. This research uses qualitative approach, descriptive method, and observation technique. The data analysis was conducted after collecting the data. Even though there were any failures in the performance, the research result showed that the optimum cooperative maxim application was done effectively. The cooperative maxim was able to streamline the teaching and learning process. Keywords: speech acts, cooperative maxim, effectiveness of learning
Abstrak Penerapan prinsip Kerja Sama dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Negeri 1 Banjarmasin. Sebuah proses pengajaran dan pembelajaran membutuhkan tindak tutur. Tindak tutur merupakan gejala individual psikologis, dan kelangsungan suatu tindak tutur ditentukan oleh kemampuan bahasa pembicara dalam menghadapi situasi bahasa. Oleh karena itu, baik guru dan siswa perlu memperhatikan aspek kerja sama dalam memegang tindak tutur. Aspek kerja sama cenderung memberikan rincian tentang pencapaian efektivitas dalam proses komunikasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran objektif tentang penerapan maksim kerja sama dan kontribusi kerja sama terhadap efektivitas proses pengajaran dan pembelajaran. Kerangka penelitian ini didasarkan pada teori-teori yang terdiri dari teori maksim kerja sama oleh Grice. Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 1 Banjarmasin dengan mengumpulkan data dalam bentuk penggunaan bahasa dalam proses belajar-mengajar interaksi di dalam kelas. Penelitian ini menggunakan
123
pendekatan kualitatif, metode deskriptif, dan teknik observasi. Analisis data dilakukan setelah mengumpulkan data. Meskipun ada kegagalan dalam kinerja, hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi maksim kerja sama optimal dilakukan secara efektif. Maksim kerja sama mampu merampingkan proses pengajaran dan pembelajaran. Kata-kata kunci: tindak tutur, maksim kerja sama, efektivitas pembelajaran.
PENDAHULUAN Percakapan merupakan salah satu bentuk wacana lisan. Salah satu faktor yang mempengaruhi bentuk dan makna wacana lisan adalah peristiwa tutur. Peristiwa tutur yang dimaksud adalah peristiwa tutur tertentu yang mewadahi kegiatan bertutur, misalnya pidato, percakapan, seminar, sidang pengadilan, konferensi, acara kenduri, dan lain-lain. Wacana yang dipersiapkan untuk pidato akan berbeda bentuk dan isinya dengan wacana untuk seminar. Demikian pula dengan wacana untuk acara kenduri akan berbeda bentuk dan isinya dengan wacana saat konferensi. Hymes (dalam Ismari, 1995: 2) menggunakan istilah peristiwa tutur untuk aktivitas yang secara langsung diatur oleh norma-norma dalam penggunaan percakapan. Hymes (dalam Arifin dan Rani, 2000:173) mengungkapkan bahwa peristiwa tutur itu memiliki hubungan yang erat dengan latar peristiwa. Peristiwa tutur tertentu akan terjadi dalam konteks situasi tertentu pula. Sesuai dengan konteks situasinya, suatu peristiwa tutur mungkin akan lebih tepat diantarkan dengan bahasa yang satu, sedangkan peristiwa tutur yang lain lebih cocok diantarkan dengan bahasa yang lain. Salah satu peristiwa tutur yang dapat diamati adalah saat interaksi dalam proses belajarmengajar berlangsung di kelas. Interaksi dalam proses belajar-mengajar di kelas melibatkan peran aktif guru dan siswa. Seorang guru diharapkan dapat menyampaikan idenya secara singkat, jelas, lengkap, benar, dan tertata. Siswa diharapkan juga dapat berkomunikasi sebagai respons terhadap guru. Jika antara guru dan siswa kurang memperhatikan hal tersebut, kualitas, kuantitas, relevansi, dan kejelasan pesan akan terganggu. Akibatnya, komunikasi yang terjadi tidak dapat berlangsung secara maksimal. Efektivitas interaksi merupakan hal yang penting bagi guru maupun siswa agar proses belajarmengajar berjalan lancar. Oleh karena itu, guru dan siswa dapat mengembangkan pola komunikasi dalam mencapai efektivitas proses belajar-mengajar dengan memperhatikan aspekaspek kerja sama dalam bertutur. Aspek kerja sama cenderung mengarah pada efektivitas penyampaian pesan. Artikel ini akan membahas permasalahan yang berkaitan dengan pengoptimalan dan kegagalan penerapan prinsip kerja sama dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang meliputi maksim kuantitatif, maksim kualitatif, maksim hubungan, dan maksim cara. Hal ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan pembelajaran ilmu pengetahuan agar lebih komunikatif. Percakapan merupakan interaksi verbal antara dua partisipan atau lebih. Percakapan dalam hal ini lebih dari sekadar pertukaran informasi. Di dalam berkomunikasi, seorang penutur mengomunikasikan sesuatu kepada petutur dengan harapan agar petutur itu dapat memahami hal yang dikomunikasikannya. Tidaklah mungkin akan terjadi komunikasi antara penutur dan petutur apabila antara keduanya tidak terjadi komunikasi. Oleh karena itu, seorang penutur harus selalu berusaha agar pembicaraannya itu relevan dengan konteks, jelas, mudah dipahami, padat dan ringkas, serta terfokus pada persoalan, sehingga tidak menghabiskan waktu. Dengan kata lain, antara penutur dan petutur terdapat prinsip kerja sama yang harus mereka lakukan agar proses komunikasi dapat berjalan dengan lancar. 124
Prinsip kerja sama dapat diartikan sebagai keterlibatan dalam membentuk suatu percakapan lengkap dengan unsur-unsur yang diperlukan. Prinsip ini berbunyi: Make your contribution such as is required at the stage at which it accours, by the accepted purpose or direction of the talk exchange in wich you are engaged. “Berikanlah sumbangan Anda pada percakapan sebagaimana diperlukan, pada tahap terjadinya, oleh tujuan yang diterima atau arah pertukaran pembicaraan yang Anda terlibat di dalamnya.” Maksim tutur yang dikemukakan oleh Grice ini meliputi maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim hubungan, dan maksim cara. Keempat maksim ini secara optimal sudah diterapkan oleh guru dan siswa dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Meskipun demikian, dalam penerapannya di kelas ternyata tidak selalu mengarah kepada pengoptimalan maksim tutur yang sesuai dengan teori Grice. Adanya kegagalan dalam penerapan maksim kerja sama bukan berarti berpengaruh besar terhadap terhambatnya komunikasi saat proses belajarmengajar berlangsung. Hal ini bahkan dimaksudkan agar komunikasi dapat diterima dan dipahami secara baik dan tidak kaku. Perilaku berkomunikasi, baik transaksional maupun interaksional, merupakan tindakan sosial. Dengan kata lain, tindakan yang diwujudkan dalam tindak tutur itu terkait dengan fungsi-fungsi sosialnya. Peran guru dalam proses belajar-mengajar di sekolah relatif tinggi. Peran guru tersebut terkait dengan peran siswa dalam belajar. Belajar merujuk pada perubahan perilaku individu sebagai akibat dan proses pengalaman, baik yang alami maupun yang sengaja dirancang. Belajar merupakan hal yang kompleks. Kompleksitas belajar dapat dipandang dari guru dan siswa. Dari segi siswa, belajar dialami sebagai suatu proses. Siswa mengalami proses mental dalam menghadapi bahan ajar. Bahan ajar dapat berupa keadaan alam, hewan, tumbuh-tumbuhan, manusia, dan bahan ajar yang telah terhimpun dalam buku-buku teks pelajaran. Sementara itu, dari segi guru, proses belajar tampak sebagai perilaku belajar mengenai suatu hal. Proses belajar ini dapat diamati secara tidak langsung. Artinya, proses belajar merupakan proses internal pada siswa yang tidak dapat diamati, namun dapat dipahami oleh guru. Proses belajar ‘tampak’ melalui perilaku siswa dalam mempelajari bahan ajar. Perilaku tersebut merupakan respons siswa terhadap tindak mengajar dari guru. Pada saat interaksi belajar-mengajar berlangsung di kelas, seorang guru diharapkan dapat menyampaikan idenya secara singkat, jelas, lengkap, benar, dan tertata. Demikian juga sebaliknya, guru mengharapkan siswanya dapat berkomunikasi sebagai respons terhadap pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Ini dikarenakan, tidak jarang ditemukannya gejala yang menyebabkan kualitas, kuantitas, relevansi, dan kejelasan pesan menjadi berkurang sehingga komunikasi yang diharapkan tidak dapat maksimal. Akibatnya, kegagalan proses belajar-mengajar di kelas tidak dapat dihindari. Tindak tutur pada penutur dan mitra tutur dapat mengembangkan pola komunikasi dalam mencapai efektivitas pembelajaran. Oleh karena itu, penutur dan mitra tutur perlu memperhatikan perilaku bertuturnya, khususnya yang berkaitan dengan aspek-aspek kerja sama yang cenderung mengarah pada pencapaian efektivitas penyampaian pesan. METODE Penelitian ini termasuk jenis analisis wacana. Stubbs (dalam Arifin dan Rani, 2000: 8) mengungkapkan bahwa analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan. Proses belajarmengajar di kelas mempunyai penggunaan bahasa secara alamiah. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Penelitian ini berupaya untuk mendeskripsikan fenomena dalam proses belajar-mengajar di sekolah secara alamiah, tidak dibuat-
125
buat, melainkan akan dideskripsikan sebagaimana adanya. Fenomena itu sendiri dapat dilihat dari penggunaan bahasa guru dan siswa saat interaksi dalam proses belajar-mengajar berlangsung. Data yang dicari berwujud tuturan. Data tuturan itu meliputi data dalam bentuk interaksi antara guru dengan siswa yang menggambarkan penerapan prinsip melalui maksim-maksim tutur saat proses belajar-mengajar berlangsung. Dalam hal ini, penerapan prinsip kerja sama terdiri atas maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim hubungan (relevansi), dan maksim cara. Sumber data diperoleh dari guru dan siswa melalui interaksi bahasa yang menerapkan prinsip dalam tuturan selama proses belajar-mengajar berlangsung. Pemilihan sumber data didasarkan pada tujuan yang akan dicari (purposive). Guru yang dijadikan sumber data hanya satu orang. Siswa yang diteliti adalah siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1 Banjarmasin. Pemilihan guru dan kelas didasarkan pada tujuan penelitian dan kewenangan sekolah. Pada penelitian ini, peneliti merupakan instrumen utama. Peneliti memegang kendali sebagai penentu fokus penelitian, penentu sumber data, pengumpul data, penilai kualitas data, dan penafsir atau penganalisis data, serta penarik simpulan dari hasil penelitian. Instrumen pendukung penelitian ini adalah tape recorder merk Sony WM-GX 100, pedoman observasi, dan pedoman wawancara. Tape recorder digunakan untuk merekam interaksi verbal antara guru dengan siswa, serta perekaman wawancara. Pedoman observasi digunakan pada saat observasi dilakukan di sekolah. Sementara itu, pedoman wawancara digunakan untuk memperoleh data tambahan dalam memberikan tafsiran hasil temuan. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui teknik observasi dan wawancara. Kedudukan peneliti hanya sebagai observer non-partisipant. Dengan observasi, peneliti melakukan perekaman dan pencatatan terhadap gejala yang ditemukan selama penelitian berlangsung. Penggunaan teknik observasi ini mendominasi dalam telaah penelitian. Sementara itu, teknik wawancara dilakukan untuk triangulasi keabsahan data dan tafsiran hasil penelitian. Analisis data dilakukan selama pengumpulan data, pentranskripsian (dari pita rekaman ke dalam bentuk tulisan), dan penyesuaian dengan catatan peneliti selama observasi berlangsung. Jika terdapat penyimpangan, pada observasi berikutnya akan dilakukan perekaman dan pencatatan yang lebih cermat sehingga tidak terjadi kesalahan yang sama. Sementara itu, untuk mengetahui kontribusi penerapan prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan terhadap efektivitas proses belajar-mengajar di kelas digunakan penilaian efektif dan tidak efektif. Penilaian ini dilihat dari terciptanya situasi yang memungkinkan terjadinya peristiwa komunikatif antara guru dan siswa. Analisis data penelitian menggunakan model interaktif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (dalam Wahyu, 2006: 60). Aktivitas dalam analisis data ini meliputi (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) verifikasi/penyimpulan. Ketiga tahap tersebut saling berkaitan meskipun dalam pelaksanaannya dibedakan agar kegiatan menjadi sistematis. Data yang diperoleh diuji keabsahannya. Pengujian kredibilitas data dilakukan dengan cara memperpanjang waktu pengamatan dan triangulasi. Perpanjangan pengamatan berarti peneliti kembali ke lapangan untuk melakukan pengecekan terhadap data yang diperoleh melalui pengamatan dan wawancara kembali. Perpanjangan pengamatan ini berakhir apabila tidak terjadi perubahan yang signifikan terhadap data. Sementara itu, triangulasi penelitian dilakukan melalui triangulasi sumber, triangulasi teknik, dan triangulasi waktu. HASIL DAN PEMBAHASAN Penerapan Prinsip Kerja Sama Pada umumnya kerja sama dalam percakapan ditopang oleh unsur-unsurnya. Unsurunsur penopang kerja sama dalam percakapan disebut sebagai maksim. Maksim merupakan
126
tuntunan dalam bertutur. Grice (dalam Syamsuddin, et. al., 1998: 195) membagi prinsip kerja sama dalam suatu percakapan menjadi empat. Maksim tersebut diuraikan sebagai berikut. Maksim Kuantitas Sebagai salah satu bagian dari maksim kerja sama, maksim kuantitas dimaksudkan agar guru dan siswa dapat memberikan sejumlah keterangan seinformatif mungkin, tetapi jangan pula memberikan keterangan lebih daripada yang diperlukan. Dengan kata lain, informasi yang diberikan hendaknya secukupnya, tidak lebih dan tidak kurang. Penerapan maksim kuantitas pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bersifat langsung atau menggunakan tuturan langsung. Bentuk pertanyaan yang digunakan pada umumnya meminta jawaban pendek dan singkat. Jawaban yang pendek berasal dari bentuk pertanyaan yang menyatakan pilihan. Penerapan ini dapat dilihat pada kutipan berikut. (1)Guru : Benar ya. Ceritanya berpusat pada kehidupan istana atau istana sentris. Berikutnya Ayu! Bagaimana soal nomor dua, apakah ya atau tidak? Siswa : Tidak. (2)Guru Siswa
: Kapan acaranya dimulai? Pagi atau siang? : Siang.
Sesuai dengan prinsipnya, maksim kuantitas mengharapkan keterangan yang diberikan adalah informatif, sesuai tujuan, dan tidak melebihi dari yang diperlukan. Kutipan (1) merupakan bentuk pertanyaan yang menyatakan pilihan ya atau tidak. Guru memberikan alternatif untuk bisa dipilih siswa sehingga jawaban yang dikehendaki sudah dalam bentuk format dari guru. Akan tetapi, bentuk jawaban pendek pada pilihan yang telah ditentukan tidak selalu dapat dikatakan informatif. Keterangan yang diberikan tidak dapat mewakili pemberian informasi yang lengkap apabila tidak adanya implikatur. Implikatur yang terdapat pada tuturan itu adalah siswa mengetahui bahwa ada sesuatu yang dijadikan bahan pilihan. Dengan demikian, kutipan (1) sudah memberikan informasi sesuai dengan yang diperlukan, tidak lebih dan tidak kurang. Kutipan (2) juga sama dengan kutipan (1), yakni berupa pilihan, namun dalam bentuk waktu. Guru menggunakan bentuk pertanyaan kapan untuk menanyakan pilihan terhadap pagi atau siang. Bentuk pertanyaan yang meminta jawaban pendek juga ditemukan pada bentuk pertanyaan yang menanyakan persona. Bentuk pertanyaan ini biasanya ditandai dengan penggunaan kata siapa. (3)Guru : Ya, Ceriwis salah satu program TV swasta yang di dalamnya terdapat wawancara dengan artis biasanya. Ada yang tahu siapa pembawa acaranya? Siswa : Indi Barentz dan Indra Bekti. Kutipan (3) berisikan bentuk pertanyaan siapa untuk pengacuan terhadap persona. Guru menanyakan mengenai siapa yang membawakan acara Ceriwis di salah satu TV swasta yang kemudian direspons oleh siswa dengan menyebutkan nama pembawa acaranya, yaitu Indi Barentz dan Indra Bekti. Jawaban yang diberikan siswa tersebut telah memenuhi maksim kuantitas, yakni pertanyaan siapa, jawaban yang diberikan menunjuk pada persona yang ditanyakan. Sama halnya dengan pertanyaan yang menanyakan tempat. Penanda yang digunakan untuk menanyakan tempat adalah di mana. Apabila penutur menggunakan bentuk tanya di 127
mana, petutur harus berusaha untuk memberikan kontribusi yang tidak berbelit-belit. Petutur dapat menjawab pertanyaan dengan mengarah kepada penunjukan tempat. (4)Siswa : Dr. Galdikas, ilmuwan orang utan, sedangkan Emily Sue adalah seorang peneliti komunikasi pada hewan primata. Guru : Di mana dikatakan seperti itu? Siswa : Di bagian pendahuluannya Bu. Kutipan (4) berisikan bentuk pertanyaan terhadap tempat yang ditandai dengan penggunaan kata di mana. Guru menanyakan letak informasi yang telah dikemukakan siswa sebelumnya. Kemudian, hal ini direspons siswa dengan memberikan kontribusi sesuai dengan yang diinginkan oleh guru. Bentuk pertanyaan di mana dijawab dengan penyebutan tempat atau letak. Selain penggunaan bentuk pertanyaan untuk meminta jawaban yang singkat juga ditemukan penggunaan bentuk pertanyaan untuk meminta jawaban yang panjang. Biasanya permintaan jawaban yang panjang ditandai dengan penggunaan kata bagaimana dan mengapa. Akan tetapi, dalam hal ini tidak semua penanda bentuk pertanyaan yang meminta jawaban panjang harus dijawab panjang juga. Penggunaan bentuk tanya bagaimana dapat dijawab dengan singkat. (5)Guru : Bagaimana mereka membawakannya? Siswa : Lucu. Pada kutipan (5) ditandai dengan penggunaan bagaimana yang mengharapkan respon dalam bentuk informasi yang menyatakan keadaan sesuatu yang menjadi fokus pembicaraan. Jawaban yang diberikan seharusnya panjang karena bentuk pertanyaan ini meminta jawaban yang lebih mendalam. Akan tetapi, konteks pertanyaan yang diberikan tidak terlalu menuntut pemberian kontribusi yang panjang, melainkan cukup dalam pernyataan pendek apabila mampu mewakili informasi yang diperlukan. Oleh karena itu, kutipan (5) dapat dimasukan ke dalam pengoptimalan terhadap maksim kuantitas karena jawaban yang diminta tidak berlebihan. Penggunaan bentuk tanya mengapa digunakan untuk meminta jawaban dalam bentuk penjelasan. (6)Guru : Iya. Karena landak tidak datang, baginda Sulaiman mengutus kuda untuk menjemputnya, tapi landak tidak segera datang. Mengapa? Mira! Siswa : Karena, landak yakin bahwa kuda akan memintakan izin sebentar dulu karena ada yang dikerjakannya Bu. Kutipan (6) ditandai dengan penggunaan bentuk tanya mengapa. Bentuk seperti itu mengharapkan adanya alasan yang diminta oleh guru terhadap siswa. Pada umumnya pemberian alasan mencakup kalimat yang panjang. Dan, siswa telah memberikan kontribusi jawaban yang informatif, tidak berlebih-lebihan. Selain adanya pengoptimalan terhadap maksim kuantitas, adapula kegagalan yang ditemukan dalam penerapannya saat proses belajar-mengajar berlangsung. Kegagalan penerapan maksim yang dilakukan itu didasarkan pada alasan-alasan, seperti mempertegas pertanyaan maupun mengulang pernyataan yang telah dikemukakan sebelumnya. (7)Guru : Nah kemudian peneliti di kutub ya. Menemukan 2 pulau baru yang muncul. Nah ini juga menandakan adanya pencairan es sehingga menyebabkan pecahnya es di kutub itu. Jadi, lima
128
Siswa
puluh tahun yang akan datang diramalkan bahwa apa? Kutub itu semakin banyak apa? : mencair.
Kutipan (7) merupakan contoh kegagalan penerapan maksim kuantitas. Dalam hal ini, penggunaan tuturan guru yang sifatnya berlebih-lebihan dimaksudkan untuk mempertegas dan memperjelas pertanyaan yang diajukannya kepada siswa. Adanya pertanyaan yang lebih dari satu untuk tujuan pemberian kontribusi jawaban yang sama dapat menyebabkan pertanyaan yang diberikan menjadi tidak fokus, bahkan dapat membingungkan. Siswa dihadapkan pada dua pilihan yang belum tentu kontribusi yang diberikan sudah terpenuhi. Jika tidak dipenuhi, penerapan maksim kuantitas yang dilakukan oleh siswa menjadi gagal. Akan tetapi, dalam hal ini siswa telah memberikan kontribusi yang cukup kepada guru, meskipun tuturan yang digunakan oleh guru telah melanggar maksim kuantitas. Kegagalan penerapan maksim kuantitas juga ditemukan pada tuturan guru yang berlebihan dalam penyebutan sesuatu. Meskipun hal ini dimaksudkan untuk melengkapi kontribusi agar dapat diterima dalam aplikasi secara langsung pada siswa. (8)Guru : Ya. Buka buku kalian halaman 15. Waktu kelas 1 kalian mengenal imbuhan apa saja? Siswa : me-, di-, per-. Guru : me-, meng-, menata, penata, apa lagi! Siswa : berKutipan (8) memperlihatkan tuturan guru yang meminta siswa menyebutkan contoh imbuhan. Siswa dalam hal ini telah memenuhi kontribusi yang diharapkan guru, yaitu menyebutkan imbuhan yang diketahui oleh mereka. Akan tetapi, pemberian kontribusi tambahan dari guru terlalu berlebihan. Guru tidak hanya menyebutkan imbuhan, melainkan juga imbuhan yang telah melekat pada kata. Pada satu sisi yang dilakukan oleh guru dapat membingungkan bagi siswa yang tidak dapat membedakan imbuhan dengan kata berimbuhan. Pada sisi yang lain siswa yang dapat membedakan antara imbuhan dengan kata imbuhan dapat membantu mempermudah dalam memahami contoh-contoh imbuhan dan aplikasinya pada kata. Seharusnya, guru dapat membedakan antara contoh imbuhan dengan contoh kata yang berimbuhan. Selain itu, pada kutipan (8) juga terdapat sebagian pernyataan siswa yang diulang oleh guru, yaitu saat penyebutan imbuhan me- yang kemudian digunakan kembali dalam tuturan guru untuk memulai penyebutan imbuhan yang lainnya. Pengulangan ini tentu saja tidak diperlukan karena melanggar maksim kuantitas. (9)Guru : Minggu kemarin kita sudah membaca karya tulis. Apa yang dibaca? Siswa : Hikayat. Guru : Hikayat. Tanda-tanda atau ciri-ciri hikayat juga ya. Apa saja? Siswa : Basa-basi. Guru : Basa-basi. Apa lagi? Kutipan (9) merupakan contoh kegagalan penerapan maksim kuantitas dalam bentuk pengulangan pernyataan yang tidak perlu karena dapat berpengaruh terhadap fokusnya perhatian siswa. Dalam hal ini guru dihadapkan pada dua pilihan, yaitu tidak melebih-lebihkan tuturan atau sesuai dengan penerapan maksim kuantitas, dan memperhatikan kejelasan tuturan agar dapat diterima secara menyeluruh oleh siswa. Oleh karena itu, guru mengabaikan hadirnya
129
maksim kuantitas dengan lebih memegang pada kejelasan tuturan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai dan siswa mampu memahami materi. Maksim Kualitas Maksim kualitas menetapkan bahwa setiap peserta pembicaraan harus mengatakan hal yang sebenarnya. Kontribusi pembicaraan harus didasarkan pada bukti atau fakta yang memadai. Daripada memberikan informasi atau keterangan yang membingungkan, lebih baik diam. Maksim kualitas ini terdiri atas dua submaksim, yaitu a) jangan mengatakan sesuatu yang Anda yakini tidak benar dan b) jangan mengatakan sesuatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan. Penerapan maksim kualitas dapat ditemukan pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. (10)Guru : Baiklah. Menurut kalian ini apa? Tanda apa ini? Siswa : Panas. Guru : Pemanasan.... Siswa : Global. Kutipan (10) berisi penerapan maksim kualitas. Guru menanyakan kepada siswa mengenai gambar yang menjadi rujukannya. Kontribusi yang diberikan siswa terhadap yang diinginkan oleh guru telah sesuai, meskipun pada awal tuturan mendapat koreksi dari guru (panas→ pemanasan). Penerapan maksim kualitas ini dipenuhi oleh siswa dengan acuan terhadap bukti berupa gambar yang menjadi media untuk mengawali proses belajar-mengajar. Selain itu, penerapan maksim kualitas juga dapat ditemukan pada tuturan di bawah ini. (11)Guru : Minggu kemarin kita sudah membaca karya tulis. Apa yang dibaca? Siswa : Hikayat. Guru : Hikayat. Tanda-tanda atau ciri-ciri hikayat juga ya. Apa saja? Siswa : Basa-basi. Guru : Basa-basi. Apa lagi? Kutipan (11) dapat digolongkan ke dalam pengoptimalan maksim kualitas. Kontribusi yang diberikan oleh siswa adalah hal yang sebenarnya. Siswa dapat menjawab pertanyaan guru karena apa yang ditanyakan telah dibahas pada waktu sebelumnya. Kebenaran informasi yang diberikan oleh siswa disikapi guru dengan pertanyaan berikutnya yang terkait pula dengan pertanyaan sebelumnya. Dengan demikian, pernyataan yang diberikan siswa telah memenuhi nilai-nilai kebenaran melalui bukti kemampuannya menjawab pertanyaan sehingga direspon oleh guru dengan baik. Penerapan maksim kualitas tidak selalu berjalan dengan baik. Adanya kegagalan dalam menerapkan maksim kualitas banyak ditemukan dalam tuturan guru dan siswa selama proses belajar-mengajar berlangsung. (12)Guru : Kalau misalnya Mustafa memperkenalkan seorang gadis kepada Dian. Imbuhan di situ menyatakan apa? Artinya apa? Siswa : Poligami. (13)Guru Siswa Siswa Guru 130
: : : :
Ada yang sudah selesai? Sedikit lagi Bu. Mencari ilham dulu Bu ai. Ilham tidak usah dicari. Ada saja ia di rumah.
Kutipan (12) merupakan respon yang diberikan siswa terhadap pertanyaan yang diajukan oleh guru. Kontribusi yang diberikan oleh siswa terhadap pertanyaan guru adalah tidak benar dan tidak seperti yang diharapkan. Siswa menggagalkan maksim kualitas dengan alasan untuk memperoleh efek lucu (comic effect). Pernyataan yang dibuat oleh siswa tidak benar. Sama halnya dengan kutipan (13) yang berisikan efek lucu dari tuturan yang digunakan oleh siswa maupun guru. Selain kegagalan dalam menerapkan maksim kualitas untuk memperoleh efek lucu, juga ditemukan kegagalan akibat ketidakkonsistenan pernyataan. Dengan kata lain, menghadirkan pernyataan baru yang dianggap telah dinyatakan sebelumnya, meskipun tidak pernah. (14)Guru : Ya. Buka buku kalian halaman 15. Waktu kelas 1 kalian mengenal imbuhan apa saja? Siswa : me-, di-, per-. Guru : me-, meng-, menata, penata, apa lagi! Siswa : berGuru : Yang mana biasanya yang lebih aktif digunakan? Siswa : meGuru : Ya. Siswa : di*** (15)Guru
: Mengenal, tidak kenal sebelumnya. Ya. Dalam bahasa Indonesia itu bermacam-macam imbuhan yang tergolong imbuhan produktif. Seperti yang kalian sebutkan tadi. Diantaranya imbuhan memper-kan, memper-i. Fungsi imbuhan itu membentuk kata kerja. Coba lagi, ada contoh yang lain.
Kutipan (15) dapat dikatakan tidak konsisten terhadap pernyataan yang dibuat baik oleh guru maupun siswa pada kutipan (14). Pada kutipan (15) guru menyatakan bahwa ia mengungkapkan adanya imbuhan memper-kan dan memper-i seperti yang telah dinyatakannya sebelumnya “Seperti yang kalian sebutkan tadi. Diantaranya imbuhan memper-kan, memperi.”. Pernyataan yang dibuat oleh guru dalam tuturan (15) tidak memiliki bukti yang kuat dan nilai kebenaran karena imbuhan memper-kan dan memper-i tidak dinyatakan sebelumnya. Dengan demikian, kutipan (15) merupakan kegagalan penerapan maksim kualitas. Kegagalan penerapan maksim kualitas lainnya adalah diakibatkan oleh adanya keraguan dalam memberi keputusan terhadap sesuatu. Padahal, keputusan yang diambil untuk memberikan kontribusi belum tentu benar. (16)Guru : Yang pertama Atlanta ya. Ya, Atlanta, melarang, kemudian celana melorot,.... Siswa : Melorot. (siswa tertawa) Siswa : Bu, kalo jawabannya pang Bu, celana? Guru : Celana melorot, boleh. Siswa : Kalo celana? Guru : Celana saja? Ibu menerangkan gimana? Siswa : Ibu, kalau bukan melorot salah lo Bu?
131
Guru
Siswa Siswa Guru
: Yang pasti harus ada kota Atlanta, kemudian ada larangan gitu, kemudian ada celana melorot. Itu ada tiga, oke. Jadi, kalau celana saja, kurang ya! : Dah, celana melorot. : Salah lo. : Ya udah, oke dibenarkan saja.
Kutipan (16) berisikan tuturan yang di dalamnya memberikan gambaran terjadinya kegagalan penerapan maksim kualitas. Tuturan guru tidak cukup memberikan kontribusi yang bersifat tegas terhadap siswa. Akibatnya, guru mulai meragukan kontribusinya sendiri. Pada awal tuturan ia memberikan ketegasan kontribusi, namun adanya respons siswa yang kesulitan dalam memahami tuturan guru mengakibatkan guru menjadi tidak tegas dalam penggunaan tuturannya. Ketidaktegasan ini dapat membuat siswa semakin bingung, apalagi jika dikaitkan dengan bukti berupa materi soal ujian yang telah diujikan. Akhirnya, pernyataan guru tidak diiringi dengan adanya bukti. Maksim Hubungan (Relevan) Maksim Hubungan berbunyi: “Usahakan perkataan Anda ada relevansinya”. Maksim hubungan ini menuntut agar guru dan siswa menggunakan tuturan yang relevan dalam menyatakan sesuatu. Dengan kata lain, dalam percakapan harus diketahui fokus persoalan yang sedang dibicarakan dan perubahan yang terjadi pada fokus tersebut. Pada umumnya bentuk pertanyaan yang digunakan dalam penerapan maksim hubungan adalah 5W+1H (what, where, who, when, why, dan how). Pertanyaan dengan menggunakan rumus tersebut diharapkan mendapat jawaban yang relevan. Bentuk pertanyaan yang menggunakan what (apa) akan relevan jika dijawab dengan penyebutan yang sesuai dengan yang diinginkan penutur. Penggunaan bentuk what merupakan bentuk pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban yang panjang, dapat berupa pilihan ya atau tidak. Bentuk pertanyaan where (di mana) akan relevan jika dijawab berdasarkan pada acuan tempat atau letak sesuatu yang ditanyakan. Bentuk pertanyaan who (siapa) akan relevan jika dijawab berdasarkan acuan terhadap orang. Dan when (kapan) merupakan bentuk pertanyaan yang relevan jika dijawab berdasarkan acuan waktu yang ditanyakan. Berikut contoh penerapan maksim hubungan dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra yang menerapkan bentuk what (apakah). (17)Guru : Kata yang berimbuhan pada tiap kalimat apakah sudah benar maknanya? Atau ada yang berpendapat lain? Siswa : Benar. Pada kutipan (17) berisikan bentuk pertanyaan apakah yang meminta jawaban berupa pilihan benar atau salah. Jawaban yang diberikan oleh siswa sudah relevan dengan bentuk pertanyaan yang disajikan oleh guru. Pertanyaan yang menanyakan hal dalam bentuk pilihan telah dijawab dengan penyebutan salah satu pilihan yang diajukan oleh guru. Percakapan antara guru dan siswa yang memperlihatkan pengoptimalan maksim hubungan dapat pula dilihat pada tuturan yang menanyakan tempat (where). Bentuk tanya yang digunakan dalam percakapan ini adalah di mana. Berikut data yang mengemukakan hal tersebut. (18)Guru : Mendirikan suaka margasatwa untuk orang utan. Nah itu tadi contoh wawancara yang membicarakan mengenai orang utan. Wawancaranya itu terkesan formal ya. 132
Siswa Guru Siswa
Ada tidak kalian pernah menemui contoh wawancara yang tidak terlalu formal? Santai. : Pernah. : Di mana? : TV, Bu.
Kutipan (18) berisikan pertanyaan yang menyatakan tempat atau letak. Kutipan (18) telah relevan karena pertanyaan yang menanyakan tempat atau letak direspon dengan penyebutan tempat atau letak seperti yang dimaksud. Dengan demikian, tuturan pada kutipan (18) dapat dikatakan relevan. Selain itu, tuturan yang memperlihatkan penerapan maksim hubungan juga ditandai oleh bentuk pertanyaan siapa (who) dan kapan (when). Siapa mengacu pada persona, sementara itu kapan menunjuk pada waktu. Berikut disajikan data yang memperlihatkan gejala tersebut. (19)Guru : Hari ini siapa yang tidak hadir? Siswa : Heni, Sari, Fajar. (20)Guru Siswa
: Kapan acaranya dimulai? Pagi atau siang? : Siang.
Bentuk pertanyaan pada kutipan (19) dan (20) masing-masing mengacu pada penyebutan terhadap orang (siapa) dan waktu (kapan). Kedua kutipan tersebut direspons secara baik oleh petutur sehingga kontribusi yang diberikan relevan dengan yang diinginkan penutur. Bentuk tanya siapa menjadi relevan ketika jawaban yang diberikan berupa penunjukan terhadap seseorang atau beberapa orang. Demikian pula dengan bentuk tanya kapan menjadi relevan ketika jawaban yang diberikan berupa penunjukan terhadap waktu. Bentuk rumusan why (mengapa) yang dimaksudkan untuk menanyakan alasan, dan bentuk rumusan how (bagaimana) yang menanyakan keadaan biasanya digunakan untuk meminta jawaban dalam bentuk pernyataan yang panjang. (21)Guru : Landak yakin bahwa kuda adalah binatang mulia yang tidak akan memfitnahnya dan akan menyampaikan pesannya kepada baginda Sulaiman ya, bahwa ia akan menyusul lagi sebentar. Berbeda dengan anjing. Mengapa landak segera datang ketika dijemput oleh anjing? Berikutnya Nugroho! Siswa : Anjing kan binatang hina, jadi kemungkinan inya memfitnah landak Bu. Jadi, landak langsung menghadap baginda Sulaiman jadi biar tidak difitnah anjing. (22)Guru Siswa
: Kita periksa bersama ya! Bagaimana kalimatnya? : Bu, itu kedida tanda titiknya Bu! (siswa menunjuk pada kalimat yang telah ditulis temannya).
Bentuk jawaban yang terdapat pada kutipan (21) dan (22) masing-masing menanyakan mengenai alasan (mengapa) dan keadaan sesuatu (bagaimana). Bentuk jawaban yang diberikan panjang sesuai dengan kecukupan kontribusi yang diperlukan. Penggunaan maksim pada kedua kutipan itu sudah optimal. Dengan kata lain, jawaban yang diberikan telah sesuai dan memiliki hubungan dengan pertanyaan yang ditanyakan. Selain penerapan maksim hubungan yang menggunakan tuturan langsung juga terdapat penerapan maksim hubungan melalui tuturan tidak langsung. Contoh tuturan tidak langsung terdapat pada kutipan berikut. 133
(23)Guru
Siswa Guru
: Di Hongkong kan ada WC paling bersih sedunia. WC-nya terbuat dari emas, harum, wangi. Terus, seluruh dunia menobatkan WC yang ada di Hongkong itu sebagai WC terbersih di dunia. Bersih, wangi, walaupun seluruh dunia setiap hari datang ke sana, tapi selalu dibersihkan, wangi. Bahkan, bisa untuk tidur, WC-nya luas sekali. : Bisa tidur? : Seperti kamar.
Kutipan (23) merupakan contoh tuturan tidak langsung. Pernyataan yang diberikan oleh guru atas pertanyaan siswa dijawab secara tidak langsung. Pertanyaan siswa seharusnya dijawab dengan alternatif bisa atau tidak. Akan tetapi, guru menggunakan tuturan tidak langsung yang memaksudkan jawaban bisa (dapat). Jadi, kutipan (23) merupakan contoh tuturan relevan meskipun hubungannya tidak secara langsung. Sama halnya dengan maksim-maksim lainnya yang telah disebutkan, maksim hubungan tidak diterapkan secara menyeluruh dalam proses belajar-mengajar. (24)Guru : Iya. Keterangannya itu ada pada bagian pendahuluan ya. Sebelum teks wawancara itu kan. Tadi dikatakan orang utan ada di Kalimantan. Tepatnya di mana? Siswa : Pulau kembang. Hahaha. (a) Guru : Pulau kembang? Siswa : Tanjung Puting. (b) Kutipan (24) berisikan bentuk pertanyaan yang menyatakan tempat (di mana) yang secara relevan memang direspons dengan penyebutan nama tempat. Akan tetapi, penyebutan nama tempat pada bagian (a) kurang tepat karena tempat yang dimaksud bukan tempat itu (Pulau Kembang), melainkan tempat yang disebutkan pada bagian (b) Tanjung Puting. Tuturan ini dilihat dari segi jawaban terhadap rumusan bentuk jawaban telah relevan, namun dari segi isi dan kecocokan ternyata tidak. Oleh karena itu, tuturan ini dapat dikelompokkan sebagai kegagalan dalam penerapan maksim hubungan. Kesalahan bentuk pertanyaan juga dapat menyebabkan kegagalan dalam menerapkan maksim hubungan. Kontribusi yang diharapkan tidak sesuai dengan yang diinginkan. Berikut data yang menyajikan hal tersebut. (25)Guru : Pemanasan global ya. Di mana terjadi pemanasan global? Siswa : Rumah kaca. Guru : Rumah kaca, ya. Di mana lagi selain itu? Efek rumah kaca. Siswa : Karbondioksida. Kutipan (25) merupakan contoh kegagalan terhadap maksim hubungan. Adanya kesalahan dalam tuturan dalam bentuk tanya menyebabkan kesalahan dalam memberikan kontribusi yang relevan dengan hal yang diharapkan. Bentuk pertanyaan di mana memang tepat dijawab dengan acuan terhadap tempat. Akan tetapi, dalam tuturan tersebut bentuk pertanyaan sesuai adalah “Apa yang menyebabkan terjadinya pemanasan global?” sehingga jawaban yang diberikan menjadi relevan, yaitu efek rumah kaca bukan rumah kaca. Perbaikan jawaban menjadi efek rumah kaca dilakukan guru setelah pertanyaannya mendapat respons yang kurang sesuai dari siswa. Dengan adanya perbaikan terhadap bentuk tuturan pertanyaan, jawaban yang diberikan siswa pun menjadi relevan.
134
Maksim Cara Penerapan maksim cara lebih menitikberatkan kepada pengungkapan ide, gagasan, pendapat, dan saran kepada orang lain. Pengungkapannya itu dilakukan dengan jelas, baik dari segi fonologi maupun sintaksisnya. Untuk mencapai kejelasan ini maksim cara memiliki empat submaksim, yaitu a) hindari pernyataan-pernyataan yang samar, b) hindari ketakasaan, c) usahakan agar ringkas, dan d) usahakan agar berbicara dengan teratur. Penerapan maksim cara pada pembelajaran dimaksudkan agar tuturan menjadi teratur, jelas, mudah dipahami, dan tidak menimbulkan keraguan. (26)Guru : Kalian buat dulu garis-garis besarnya lalu ceritakan. Ayo, siapa yang mau jadi relawan? Siswa : Bu. Guru : Ya. Silakan! Siswa : Nabi Sulaiman diberi raja jin air kehidupan yang dapat membuatnya abadi. Akan tetapi, raja jin ragu untuk meminumnya. Ia kemudian memanggil binatang-binatang untuk berembuk, airnya itu diminum atau tidak? Semua binatang menyuruh meminumnya. Tapi, ada seekor binatang yang dianggap bijaksana yang tidak datang sehingga tidak dapat dimintai pendapatnya. Jadi Nabi sulaiman memerintahkan kudanya menjemput. Tapi, landak tidak segera pergi bersama kuda. Karena itu, Nabi Sulaiman marah dan meminta anjing untuk menjemput landak. Karena landak takut anjing akan memfitnahnya maka ia pun segera pergi menghadap Nabi Sulaiman dan minta maaf. Nabi Sulaiman pun memaafkan kemudian Nabi Sulaiman meminta pendapat landak terhadap air kehidupan. Menurut landak, air kehidupan akan membuatnya kekal abadi, tetapi di sisi lain Nabi Sulaiman akan kehilangan orang-orang yang disayanginya. Mendengar seperti itu akhirnya air kehidupan itu pun tidak jadi diminum Nabi Sulaiman. Karena kehidupan seperti itu tidaklah ada gunanya. Tamat. Penerapan maksim cara telah dilakukan secara baik oleh siswa. Siswa secara teratur bercerita mengenai ringkasan hikayat berdasarkan permintaan dari guru. Siswa bercerita dari awal sampai akhir dengan menggunakan bahasanya sendiri. Keteraturan berbahasa yang digunakan siswa membantu pemahaman terhadap isi hikayat bagi siswa lainnya yang mendengarkan karena bahasa yang digunakannya mudah dimengerti. Selain penerapan maksim cara yang telah dilakukan oleh siswa, guru pun ikut menerapkan maksim cara dalam proses belajar-mengajar. Dengan demikian, proses belajar-mengajar dapat berjalan efektif. (27)Guru : Ya, bahasa Indonesia standar, tapi tidak kaku. Mengenai apa? Siswa : Budi Hardjono. Guru : Ya, ayahnya dibunuh kemudian ibunya dipukul sampai harus dioperasi, dan dia diperiksa dan ditangkap polisi. Tapi, ternyata pelakunya adalah pembantunya sendiri yang dipecat saat bulan puasa. Dia tidak diberi uang. Akhirnya pembantu itu membunuh majikannya dan memukul istri majikannya sampai babak belur, banyak tulang-tulang yang patah, dan 135
syaraf matanya rusak. Ini adalah bukti bahwa polisi pun terkadang salah dalam bertindak. Guru pun demikian ya. Kutipan (27) merupakan contoh penerapan maksim cara pada tuturan guru. Tuturan tersebut berisikan urutan kejadian peristiwa. Guru menceritakan urutan peristiwa secara teratur dan jelas sehingga siswa mudah dalam mengikuti dan memahami tuturan yang digunakannya. Apabila maksim cara ini digunakan secara benar, perannya dalam membantu pemahaman siswa dalam belajar sangat besar. Akan tetapi, selain adanya penerapan terhadap maksim cara ternyata ditemukan pula kegagalan dalam menerapkan maksim tersebut. Guru menggunakan tuturan yang berbelitbelit sehingga menimbulkan kesulitan bagi siswa dalam memperoleh pemahaman terhadap tuturan yang digunakan oleh guru. (28)Guru : Apalagi WC di rumah ya. Jadi, hati-hati kalau kalian di rumah karena WC itu cermin kepribadian pemiliknya. Kadangkadang pengawas dari Jakarta, pengawas pendidikan, perangkat sekolah, datang ke sekolah yang pertama kali dilihat adalah WC. Karena, WC bersih itu indikator bahwa semua yang terjadi di sekolah itu juga bersih. Jadi, kamu di rumah bersihkan setiap hari ya. Kutipan (28) merupakan contoh kegagalan penerapan maksim cara. Tuturan yang digunakan oleh guru terkesan tidak teratur dan tidak memiliki kesatuan makna (tidak koheren) sehingga sulit untuk dipahami. Tuturan yang digunakan membahas mengenai WC akan tetapi penceritaannya tidak konsisten. Pertama diceritakan mengenai WC di rumah, kemudian dikaitkan dengan kehadiran pihak pengawas yang menilai WC di sekolah, selanjutnya pembahasan kembali lagi pada WC di rumah. Kontribusi Prinsip Kerja Sama dalam Efektivitas Pembelajaran Penerapan prinsip kerja sama secara umum telah dilakukan secara optimal oleh guru maupun siswa. Guru telah mampu menyampaikan materi secara singkat, jelas, lengkap, dan tertata. Sama halnya juga dengan siswa yang dapat berkomunikasi dengan baik dan memberikan kontribusi sesuai dengan yang diinginkan guru. Proses belajar-mengajar pun berjalan dengan lancar. Tanpa mengalami hambatan. Berikut kutipan yang menunjukkan pengoptimalan terhadap prinsip kerja sama. (29)Guru : Alkisah, konon. Sekarang kita akan membahas soal yang ada di buku ya. Coba buka buku halaman 18. Coba yang nomor satu. Kamu saja. Siswa : Ya. Guru : Benar ya. Ceritanya berpusat pada kehidupan istana atau istana sentris. Berikutnya Ayu! Bagaimana soal nomor dua, ya atau tidak? Siswa : Tidak. Guru : Baik. Tidak ada masalah kan? Berikutnya Diat! Kutipan (29) berisikan pengoptimalan terhadap prinsip kerja sama. Pengoptimalan terhadap prinsip kerja sama menyebabkan tuturan yang diberikan menjadi jelas, mudah dipahami, dan diikuti oleh siswa karena penggunaan bahasanya teratur.
136
Meskipun terdapat pengoptimalan terhadap prinsip kerja sama, juga ditemukan kegagalan dalam pengoptimalan prinsip kerja sama, proses belajar-mengajar sebagian besar tetap dapat berjalan dengan lancar. Hal ini disebabkan oleh kegagalan penerapan prinsip kerja sama yang bukan tergolong ke dalam pelanggaran, melainkan pengalihan. Pengalihan maksim pada prinsip kerja sama dilakukan karena guru dihadapkan pada pilihan untuk memilih salah satu maksim dan mengabaikan maksim yang lain. Pengalihan maksim yang paling banyak dilakukan guru adalah pengalihan terhadap maksim kuantitas yang menuntut agar guru menggunakan kontribusi dalam percakapan secukupnya saja, tidak lebih dan tidak kurang. Apabila guru memenuhi maksim kuantitas, kejelasan pesan yang diterima siswa kemungkinan terhambat karena guru hanya memberikan kontribusi yang secukupnya saja tanpa pengulangan. Selain itu, pertanyaan yang diajukan pada penerapan maksim kuantitas adalah pertanyaan yang sudah diketahui siswa pada umumnya. Oleh karena itu, guru dalam menerapkan prinsip kerja sama lebih banyak melakukan pertimbangan. Guru lebih memilih melakukan pengulangan terhadap informasi hingga siswa mencapai kejelasan terhadap pesan yang diterima. Kejelasan informasi ini berkaitan dengan maksim cara. Berikut kutipan yang berisikan pengulangan informasi yang diberikan oleh guru kepada siswa. (30) Guru : Baik. Tidak ada masalah kan? Berikutnya Diat! Siswa : Tidak. Guru : Tidak. Penggunaan bahasanya tidak langsung, melainkan basa-basi dulu. Coba Galuh berikutnya! Siswa : Ya. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu kuno. Guru : Benar sudah ya. Hikayat menggunakan bahasa Melayu kuno. Di Malaysia juga menggunakan bahasa Melayu. Mirip dengan di Indonesia, tapi ada yang berbeda. Ada yang tahu? Kutipan (30) berisikan pengulangan informasi yang dimaksudkan untuk memperjelas tuturan siswa kepada siswa lainnya. Dengan demikian, siswa menjadi terfokus pada tuturan guru. Hal ini tentu saja akan mempermudah siswa lain yang sebelumnya tidak memperhatikan tuturan guru. Akan tetapi, pengulangan informasi yang diberikan oleh guru tidak dapat efektif apabila tidak didukung oleh situasi kelas. Apabila situasi kelas dalam keadaan yang riuh, pengulangan yang diberikan guru sebagian besar tidak dapat diterima oleh siswa. Siswa mengalami kesulitan dalam memfokuskan perhatian terhadap tuturan guru karena terganggu oleh tuturan lainnya. Dengan demikian, siswa lebih banyak meminta pengulangan dan ketegasan informasi yang diberikan oleh guru. Berikut kutipan yang menggambarkan gejala tersebut. (31)Guru : Ya, sekarang tolong yang keenam, Aini coba! Siswa : ee.. penjara, narapidana.. ehm itu haja nomor enam. Guru : Mode ya, ikat pinggang, penjara, narapidana, tanda, bisa dipakai. Siswa : Tidak dipakai bu? Guru : Ya boleh, kalau dipakai. Siswa : Kalau kada bisa bu? Guru : Ibu ulang, mode, ikat pinggang, narapidana, penjara. Penjara dulu baru pidana. Lalu, tanda, dipakai, atau bisa dipakai, paham ya. Siswa : Paham. Tidak dipakai, Bu? Guru : Tidak bisa ya, tidak dipakai kan tidak masuk.
137
Siswa Guru
: Tidak dipakai. : Ya ya selanjutnya Andra.
Kutipan (31) berisikan pengulangan yang dilakukan oleh guru secara terus-menerus karena siswa tidak dapat memfokuskan perhatiannya terhadap informasi tersebut. Hal ini tidak akan terjadi apabila suasana yang melingkupi tuturan tersebut dapat dikendalikan. Akibatnya, guru memutuskan tuturan siswa yang belum memperoleh kejelasan pesan. Bukan hanya itu saja, kegagalan prinsip kerja sama juga terjadi pada penerapan maksim kualitas. Padahal, maksim kualitas memiliki peran penting dibandingkan maksim yang lainnya. Green (dalam Yule, 2006: 50) mengemukakan bahwa pelanggaran terhadap maksim kualitas akan banyak melanggar moral, tetapi pelanggaran terhadap maksim yang lain paling buruk akan menimbulkan kurang perhatian atau tidak sopan. Akan tetapi, pada penelitian terdapat pelanggaran terhadap maksim kualitas, siswa tidak memberikan kontribusi yang benar terhadap guru. Pelanggaran terhadap maksim kualitas ini dilakukan oleh siswa untuk memperoleh efek lucu. Efek lucu yang menjadi alasan pelanggaran terhadap maksim kualitas bukan berarti melanggar moral. Hal ini pun dilakukan atas pertimbangan kedekatan emosional antara guru dan siswa. Guru tidak merasa hal tersebut sebagai sesuatu yang mengganggu. Bahkan, guru juga melakukan pelanggaran terhadap maksim kualitas untuk memperoleh efek lucu dari siswa. Baik guru maupun siswa melakukan pelanggaran terhadap maksim kualitas disebabkan untuk menciptakan hubungan yang harmonis dalam lingkup kegiatan belajarmengajar agar tidak terjadi kejenuhan terhadap materi. Dengan demikian, pelanggaran maksim kualitas untuk meningkatkan motivasi siswa dalam belajar ikut berperan dalam mengefektifkan proses belajar-mengajar di kelas. Pelanggaran terhadap maksim kualitas tidak selamanya dapat ikut berperan dalam mengefektifkan proses belajar-mengajar. Pelanggaran maksim kualitas dapat pula menghambat efektifnya pembelajaran. Misalnya, guru memberikan kontribusi yang meragukan kepada siswa (tidak konsisten). Akibatnya, siswa menjadi sulit menerima pembelajaran. Gejala ini dapat diperhatikan pada kutipan 32. (32)Guru : Yang pertama Atlanta ya. Ya, Atlanta, melarang, kemudian celana melorot,.... Siswa : Melorot. (siswa tertawa) Siswa : Bu, kalo jawabannya pang Bu, celana? Guru : Celana melorot, boleh. Siswa : Kalo celana? Guru : Celana saja? Ibu menerangkan gimana? Siswa : Ibu, kalau bukan melorot salah lo Bu? Guru : Yang pasti harus ada kota Atlanta, kemudian ada larangan gitu, kemudian ada celana melorot. Itu ada tiga, oke. Jadi, kalau celana saja, kurang ya! Siswa : Dah, celana melorot. Siswa : Salah lo. Guru : Ya udah, oke dibenarkan saja. Kutipan (32) berisikan tuturan yang membingungkan bagi siswa yang meminta kontribusi terhadap guru. Guru mengulang kata kunci di dalam tuturannya untuk menjawab pertanyaan siswa. Akan tetapi, pengulangan yang dimaksudkan untuk memberikan ketegasan itu ternyata membuat guru itu sendiri menjadi tidak konsisten dengan tuturannya. Akibatnya, siswa akan semakin banyak yang mempertanyakan hal tersebut. 138
Kegagalan pada maksim hubungan dilatarbelakangi oleh kekurangtepatan dalam merumuskan tujuan yang sebenarnya ingin dicapai. Akibatnya, kontribusi yang diharapkan menjadi tidak sesuai dengan yang diperoleh. Meskipun kemudian terdapat perbaikan dalam penerapan maksim hubungan tersebut sehingga kegagalan dalam penerapan maksim hubungan tidak terus-menerus. Apabila kegagalan dalam menerapkan maksim hubungan dibiarkan seperti itu dapat berakibat pada proses belajar-mengajar yang menjadi tidak terarah, siswa menjadi kurang paham terhadap materi, dan akibat lainnya dapat menyebabkan siswa menjadi kurang perhatian. Hal yang sama juga dapat terjadi dalam pelanggaran terhadap maksim cara. Penerapan maksim cara lebih menitikberatkan kepada pengungkapan ide, gagasan, pendapat, dan saran kepada orang lain. Pengungkapannya itu dilakukan dengan jelas dan dengan bahasa yang teratur dan mudah dipahami. Kegagalan dalam menerapkan maksim cara dapat menyebabkan informasi yang diberikan kepada siswa menjadi tidak jelas, tidak sistematis, dan terkesan berlebihan. Akibatnya, siswa kurang mampu memahami materi yang diajarkan dan perhatiannya pun menjadi berkurang. Kerja sama yang terjalin dalam interaksi kebahasaan selama proses belajar-mengajar itu sangat penting untuk menumbuhkan dan mendorong motivasi, baik siswa maupun guru agar tercapai tujuan pembelajaran. Pengoptimalan terhadap penerapan prinsip kerja sama dapat membantu kegiatan belajar-mengajar menjadi terarah, efektif dan efesien, sistematis, dan penyajian materi mudah dipahami oleh siswa. Dengan demikian, guru dapat mencapai tujuannya karena kontribusi yang diperolehnya dari siswa telah terpenuhi. Adanya kegagalan dalam penerapan prinsip kerja sama bukan menjadi penghalang besar dalam mengefektifkan proses belajar-mengajar. Kegagalan yang terjadi dalam penerapan prinsip kerja sama lebih dilatarbelakangi oleh adanya pengalihan terhadap salah satu maksim tuturnya maupun untuk menciptakan efek lucu. Dengan demikian, kegagalan penerapan prinsip kerja sama masih dalam lingkup yang dapat diperbaiki. KESIMPULAN Penerapan maksim kerja sama secara umum telah dilakukan secara optimal oleh guru maupun siswa. Guru telah mampu menyampaikan materi secara singkat, jelas, lengkap, dan tertata. Sama halnya juga dengan siswa yang dapat berkomunikasi dengan baik dan memberikan kontribusi sesuai dengan yang diinginkan guru. Meskipun demikian, masih terdapat tuturan yang gagal dalam menerapkan maksim kerja sama. Kegagalan dalam menerapkan maksim kerja sama bukan tergolong ke dalam pelanggaran, melainkan pengalihan. Pengalihan maksim kerja sama dilakukan secara sadar karena guru dihadapkan pada pilihan untuk memilih salah satu maksim dan mengabaikan maksim yang lain. Selain itu, kegagalan dalam menerapkan maksim kerja sama lainnya juga dilatarbelakangi oleh usaha untuk menghadirkan efek lucu. Hal ini pun didasarkan pada pertimbangan untuk menghidupkan suasana agar tidak terkesan membosankan. Kegagalan pada kekurangtepatan dalam merumuskan tujuan yang ingin dicapai dapat berakibat pada kontribusi yang tidak sesuai dengan yang diinginkan. Apabila kegagalan seperti itu dibiarkan, akibatnya proses belajar-mengajar menjadi tidak terarah, siswa menjadi kurang paham terhadap materi, dan siswa menjadi kurang perhatian.
139
DAFTAR RUJUKAN
Arifin, Bustanul dan Rani, Abdul. 2000. Prinsip-Prinsip Analisis Wacana. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Ismari. 1995. Tentang Percakapan. Surabaya: Airlangga University Press. Syamsuddin; Sulistyaningsih, Lilis St; dan Cahyani, Isah. 1998. Studi Wacana Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Wahyu. 2006. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Banjarmasin: FKIP Universitas Lambung Mangkurat Yule, George. 2006. Pragmatik. Terjemahan oleh Jumadi. Banjarmasin. PBS FKIP Universitas Lambung Mangkurat.
140
TINDAK TUTUR DALAM TRANSAKSI JUAL-BELI DI PASAR TERAPUNG LOK BAINTAN MARTAPURA (SPEECH ACTS ON TRADING TRANSACTION AT FLOATING MARKET OF LOK BAINTAN MARTAPURA) Radiansyah dan Jumadi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Brigjend. H. Hasan Basry, Kampus Kayu Tangi, Banjarmasin, Kode Pos 70123 Abstract Speech Acts on Trading Transaction at Floating Market of Lok Baintan Martapura. Speech act is an act of speech when the speaker issued. In the process of buying and selling at the Floating Market Lok Baintan Martapura are speech acts. This study discusses the use of speech acts in the Floating Market Lok Baintan Martapura. This study aims to determine what kind of speech act use in the process of buying and selling at the Floating Market Lok Baintan Martapura. the use of speech acts that speak by merchants and shoppers are representative speech act, directive speech acts, and expressive speech acts. Representative speech acts used by traders and shoppers in the form of follow-inform, explain, inform, suggest, insist, besumpah, asserted, complaining and giving advice. Directive speech acts used by traders and shoppers in the form of permit, question, ask, force and advise. Meanwhile, the expressive speech acts used by the traders and buyers in the form of joy, resentment, joy, anger, pronunciation thank you, an apology, and praise. Speech acts of the most dominant traders are representative speech acts. Keywords: representative speech act, directive speech acts, expressive speech acts
Abstrak Tindak Tutur dalam Transaksi Jual-Beli di Pasar Terapung Lok Baintan Martapura. Tindak tutur adalah suatu tindak berbicara saat penutur. Dalam proses jual beli di Pasar Terapung Lok Baintan Martapura adalah tindak tutur. Penelitian ini membahas penggunaan tindak tutur di Pasar Terapung Lok Baintan Martapura. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan jenis tindak tutur yang digunakan dalam proses jual beli di Pasar Terapung Lok Baintan Martapura. penggunaan tindak tutur yang diujarkan oleh pedagang dan pembeli sebagai representasi tindak tutur, tindak tutur direktif, dan tindak tutur ekspresif. Representasi tindak tutur digunakan oleh pedagang dan pembeli dalam bentuk tindak menginformasikan, jelaskan, menginformasikan, menyarankan, bersikeras, bersumpah, menegaskan, mengeluh dan memberikan nasihat. Tindak tutur direktif yang digunakan oleh pedagang dan pembeli dalam bentuk izin, pertanyaan, bertanya, memaksa dan memberikan saran. Sementara itu, tindak tutur ekspresif yang digunakan oleh para pedagang dan pembeli dalam bentuk sukacita, dendam, sukacita, kemarahan, pengucapan terima kasih, permintaan maaf, dan pujian. Tindak tutur satu pedagang yang paling dominan adalah tindak tutur representatif. Kata-kata kunci: tindak tutur representatif, tindak tutur direktif, tindak tutur ekspresif
141
PENDAHULUAN Tindak tutur merupakan suatu tindakan ketika penutur mengeluarkan ujaran. Dalam proses transaksi jual-beli di Pasar Terapung Lok Baintan Martapura terdapat tindak tutur. Penelitian ini membahas tentang penggunaan tindak tutur di Pasar Terapung Lok Baintan Martapura. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seperti apa penggunaan tindak tutur dalam proses transaksi jualbeli di Pasar Terapung Lok Baintan Martapura. Manusia tidak dapat dipisahkan dari bahasa dalam menyampaikan informasi. Manusia dalam berkomunikasi menggunakan bahasa, baik dalam komunikasi lisan atau tertulis. Dalam berkomunikasi manusia dapat menyapa, bertanya, dan mengutarakan pendapat. Proses manusia dalam menyapa, bertanya, dan mengutarakan pandapat pasti berbeda pada setiap individuindividunya, sehingga setiap individu menggunakan bahasa atau kalimat-kalimat yang mudah untuk menyapa, bertanya, dan mengutarakan pendapat agar dapat dipahami. Sosiologi telah lama mencatat kelompok-kelompok manusia bukan hanya dibedakan dari bahasa yang digunakan melainkan juga dari tempat tinggal, kondisi sosial, pekerjaan, dan status ekonomi. Dari beberapa perbedaan itu, masyarakat mempunyai ciri atau dialek serta variasi bahasa sendiri. Dari perbedaan itu, Searle (dalam Arifin dan Rani, 2000: 136) mengemukakan dalam berkomunikasi yang menggunakan bahasa selalu terdapat tindak tutur. Searle berpendapat bahwa komunikasi bahasa bukan sekadar lambang, kata, atau kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil dari lambang, kata, atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tutur. Austin (1962) menyatakan bahwa secara analitis dapat dipisahkan tiga macam tindak tutur yang terjadi secara serentak: (1) tindak lokusi, (2) tindak ilokusi, (3) tindak perlokusi. Dari pembagian ciri di atas, tindak lokusi menurut Lyons (dalam Arifin dan Rani, 2000: 138) adalah suatu tindak berkata, yaitu menghasilkan ujaran dengan makna tertentu referensi tertentu. Austin (dalam Arifin dan Rani, 2000: 139), mengemukakan tindak ilokusi menekankan pada pentingnya pelaksanaan isi ujaran bagi penuturnya. Secara khusus, Searle (dalam Arifin dan Rani, 2000) mendeskripsikan tindak ilokusi ke dalam lima jenis tindak tutur, yaitu (1) asertif adalah tindak tutur yang menjelaskan apa dan bagaimana sesuatu itu adanya, (2) komisif adalah tindak tutur yang mendorong penutur melakukan sesuatu, (3) direktif adalah tindak tutur yang berfungsi mendorong pendengar melakukan sesuatu, (4) ekspresif adalah tindak tutur yang menyangkut perasaan dan sikap, tindakan ini berfungsi untuk mengekspresikan dan mengungkapkan sikap psikologis penutur terhadap mitra tutur, (5) deklarasif/deklaratif adalah tindak tutur yang menghubungkan isi proposisi dengan realitas yang sebenarnya, dan yang terakhir tindak perlokusi adalah tindak tutur yang dilakukan untuk mempengaruhi orang lain atau membuat orang bereaksi. Penelitian tentang tindak tutur memang sudah pernah dilakukan oleh Norhana (2007). Akan tetapi Norhana meneliti Tindak Tutur dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban yang menekankan pada tuturan dalam mengungkapkan gugatan terhadap dominasi kekuasaan laki-laki. Dari penelitian yang sudah dilakukan, jelas berbeda karena penelitian yang dilakukan penulis lebih menekankan pada apa saja jenis penggunaan tindak tutur dalam transaksi jual beli di pasar Terapung Lok Baintan Martapura. METODE Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Penulis menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif di dalam penelitian ini, dengan cara membuat deskripsi yang sistematis dan akurat mengenai data yang diteliti. Metode deskriptif ini dipilih karena penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menggambarkan tentang objek yang diteliti. Di dalam mengamati interaksi sosial yang terjadi, penulis melaksanakan metode ini dengan cara mengamati, ikut berperan serta melakukan wawancara dan merekam tuturan-tuturan 142
yang diujarkan oleh si penjual dan pembeli yang sedang melakukan transaksi jual-beli di pasar Terapung Lok Baintan Martapura. Data yang diperoleh dalam penelitian ini bersumber dari bahasa lisan yang dituturkan oleh pedagang dengan pedagang dan pedagang dengan pembeli yang sedang melakukan transaksi jual-beli dan sumber data berasal dari para pedagang dan pembeli di pasar Terapung Lok Baintan Martapura. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah percakapan atau tindak tutur yang dituturkan para pedagang dan pembeli di Pasar Terapung Lok Baintan Martapura. Sumber data diperoleh dari tuturan yang diujarkan para pedagang dan pembeli berupa rekaman dan hasil wawancara. Untuk pengambilan data, penelitian ini dilakukan di lapangan, tepatnya di pasar Terapung Lok Baintan Martapura. Adapun pelaku di dalam penelitian ini adalah para pedagang dengan pedagang dan pedagang dengan pembeli. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan observasi (simak), dan wawancara (cakap). Penggunaan teknik observasi mendominasi kegiatan pengumpulan data dalam kajian ini. Peneliti melakukan observasi terhadap berbagai kegiatan yang dilakukan oleh para pedagang dan pembeli. Untuk mendapatkan data tuturan tersebut, peneliti melakukan perekaman. Dalam konteks itu, peneliti berusaha mendapatkan rekaman tuturan sebanyak mungkin dari proses komunikasi di pasar terapung Martapura. Dalam melakukan perekaman, peneliti menggunakan alat perekam berupa HP (handphone) untuk mendapatkan hasil rekaman yang lebih baik serta dapat didengar. Sumber data, pedagang di pasar Terapung Lok Baintan Martapura tidak mengetahui bahwa tuturannya direkam sehingga proses perekaman tidak berdampak kepada menurunnya derajat kealamiahan data dan tanpa direkayasa. Peneliti juga mengajukan beberapa pertanyaan diantaranya menanyakan data pribadi para pedagang dan status sosialnya. Dari hasil perekaman itu, kemudian dilakukan transkripsi. Selain melakukan perekaman, peneliti juga membuat catatan lapangan di mana terjadi percakapan antara pedagang dengan pedagang dan pedagang dengan pembeli. Sebelum dilakukan analisis, data yang telah dikumpulkan dikelompokkan terlebih dahulu. Klasifikasi data itu dilakukan untuk mendapatkan tipe-tipe data yang tepat dan cermat, selanjutnya untuk mempermudah proses analisis. Klasifikasi tersebut dilakukan dengan cara berikut. 1. Pengumpulan data, data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang berupa rekaman percakapan antara pedagang dengan pedagang dan pedagang dengan pembeli di Pasar Terapung Lok Baintan Martapura. 2. Pentranskripsian data rekaman ke dalam bentuk tulisan. 3. Pengidentifikasian tindak tutur (asertif, direktif, dan ekspresif). 4. Pengklasifikasian tindak tutur (asertif, direktif, dan ekspresif). Mahsun (2007: 225) mendefinisikan analisis data sebagai upaya yang dilakukan untuk mengklasifikasikan atau mengelompokkan data. Teknik analisis data pada penelitian ini dilakukan mengelompokkan data-data yang diperoleh hasil dari simak, rekam, dan wawancara. Mencatat data hasil rekaman, kemudian menganalisis seluruh data sesuai yang diperoleh, setelah itu mengidentifikasikan data sesuai dengan tindak tutur para pedagang dan pembeli berdasarkan penggunaan tindak tutur asertif, direktif, dan ekspresif. Data yang diperoleh dilakukan pengecekan keabsahan data, dan terakhir menyimpulkan hasil penelitian tentang tindak tutur para pedagang dan pembeli. Analisis data penelitian meliputi (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) verifikasi/ penyimpulan. Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi dari kata ‘kasar’ yang muncul dari catatancatatan tertulis di lapangan. Penyajian data diartikan sebagai proses penyusunan informasi yang 143
memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan, dan pengambilan tindakan, sedangkan penyimpulan diartikan sebagai proses pengambilan kesimpulan dengan cara mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi yang penting, dan alur sebab akibat. Reduksi data dilakukan dengan mendeskripsikan dan mengindentifikasi tindak tutur pada tuturan yang telah dikumpulkan. Kemudian, data yang telah dideskripsikan dan diidentifikasi berdasarkan kelompoknya. Pada tahap penyajian data dilakukan pengkodean seperti tindak tutur a) Rep (representatif), b) Dir (direktif) dan c) Eks (ekspresif). Pengkodean dilakukan untuk mengidentifikasi fokus yang telah ditentukan. Tahap terakhir analisis data adalah proses penyimpulan atau verifikasi. Proses ini merupakan proses interpretasi sebelum dihasilkan temuan kajian. Dalam kajian ini, penafsiran data dilakukan melalui proses heuristik. Dengan proses ini, data ditafsirkan menggunakan hipotesis-hipotesis yang ada di benak peneliti dan didukung oleh catatan lapangan dan data dari hasil wawancara. Hipotesishipotesis itu lebih mengarah kepada kerangka analisis data, bukan hipotesis kajian sebagaimana dipahami dalam jenis kajian kuantitatif. Dalam penelitian ini, untuk menguji keabsahan data yang digunakan pada penelitian, digunakan metode triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatau yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data sebelumnya. Sebelum dilakukan analisis, data yang terkumpul diadakan pengecekan keabsahannya. Dalam kajian kualitatif dikenal empat jenis triangulasi yakni triangulasi sumber, metode, peneliti, dan teori. Triangulasi sumber dilakukan dengan cara mengumpulkan data sejenis dari sumber data yang berbeda. Triangulasi metode dilakukan dengan cara lebih dari satu teknik pengumpulan data, yakni dengan perekaman untuk mendapatkan data tuturan, observasi untuk mendapatkan catatan lapangan, dan wawancara untuk mendapatkan pandangan P dan T terhadap data yang ditriangulasikan. Penulis membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara dengan narasumber yang dapat dipercaya. Selain itu, penulis juga akan membandingkan apa yang dikatakan narasumber di depan umum dengan dikatakan secara pribadi. Dengan triangulasi dalam pengumpulan data tersebut, dapat diketahui apakah narasumber memberi data yang berbeda. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Tindak Tutur Representatif Berdasarkan hasil penelitian, seorang pedagang maupun pembeli lebih banyak menggunakan tindakk tutur representatif (Rep) berupa tindak menjelaskan apa adanya, seperti tindakan memberikan informasi, menjelaskan, memberitahukan, bersikeras, menyarankan, menegaskan, bersumpah, mengeluh, dan memberi saran. Tindak tutur representatif mempunyai fungsi untuk memberi tahu orang mengenai sesuatu. Contoh penggunaan tindak tutur representatif yang diujarkan oleh para pedagang dan pembeli di Pasar Terapung Lok Baintan Martapura bisa dilihat pada beberapa contoh kutipan dan percakapan berikut ini. Kutipan antara pedagang dan pembeli Atul : Manjualakan ampun urang jua aku ni? (‘menjualkan dagangan orang saya ini’) Radiansyah : Itu haja gin amun pian hakun (‘itu saja kalau anda mau’) (Konteks : dituturkan ketika pembeli menawar dengan harga yang murah)
144
Penggalan wacana di atas terdapat penggunaan tindak tutur representatif memberitahukan. Penutur menggunakan tindak tutur representatif berupa memberitahukan kepada mitra tuturnya. Tuturan yang digunakan pedagang (Atul) berupa menjualkan ampun urang jua aku ni. Pedagang (Atul) memberitahu bahwa dia sesungguhnya menjualkan dagangan orang berharap dari lebihnya harga yang ditawarkan itulah dia mengambil untung dari dagangan yang ditawarkannya. Pada kutipan di bawah ini terdapat penggunaan tindak tutur representatif mengeluh dan memberi saran. Radiansyah : Kalarangan, kaya ini haja nah cil, lima blas ribu biar haja buati nang halus-halusnya lawan jua pian haja nang mamilihkan, urang ulun asal marasai ja? (‘bagaimana bi kalu seperti ini saja, harganya lima belas ribu yang kecil-kecilnya dibuatkan juga dan yang memilih buahnya bibi juga, kami asalkan merasakan buah jeruk itu saja’) Maimunah : Nang kayapa lah, kada meambil untung aku sadikit-sadikit tu pang aku maambil untung? (‘bagaimana ya, tidak dapat untung saya, sedikit-sedikit itu saja saya mengambil untungnya’) (konteks: ketika pembeli mengeluh harga terlalu mahal) Kutipan di atas terdapat penggunaan tindak tutur representatif mengeluh dan memberi saran. Pada tuturan di atas pembeli (Radiansyah) merasa harga yang akan dibelinya terlalu mahal, ini ditandai dengan adanya tuturan pembeli kalarangan, sebenarnya maksud pembeli (Radiansyah) hanya ingin membeli beberapa saja kerena sudah jelas tuturan pembeli (Radiansyah) yang menyatakan hanya ingin mencicipi (merasai), pembeli (Radiansyah) tahu kalau harga barang yang akan dibelinya sebenarnya memang mahal karena sekarang bukan musimnya, tetapi dengan memberikan alasan yang kuat sehingga pedagang (Maimunah) mau menurunkan harga jeruknya. Tuturan di atas juga terdapat tindak tutur representatif yang berupa memberi saran. Tuturan itu ditandai dengan nang kaya ini haja nah cil, lima blas ribu biar haja buati nang halus-halusnya lawan jua pian haja nang mamilihkan, urang ulun asal marasai ja? Pembeli (Radiansyah) memberikan saran kepada pedagang agar harga diturunkan dengan syarat pedagang (Maimunah) yang memilihkan dan menyuruh pedagang (Maimunah) mencampur yang kecil dengan yang besar, teknik ini dianggap pembeli (Radiansyah) agar pedagang (Maimunah) mau menjual dengan harga yang murah. Penggunaan Tindak Tutur Direktif Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang mendorong T melakukan sesuatu. Dengan demikian, tindak tutur ini bertujuan menghasilkan efek berupa tindakan yang dilakukan oleh T. Dalam pertuturan di pasar Terapung Lok Baitan Martapura juga banyak digunakan. Tindak tutur direktif juga termasuk tindak tutur yang mempunyai banyak jenis. Keragaman penggunaan jenis tindak tutur direktif terkait dengan usaha-usaha yang dilakukan P agar T melakukan sesuatu. Usaha-usaha itu, seperti P meminta, bertanya, membolehkan, memaksa, dan menyarankan T melakukan sesuatu. Pada kutipan di bawah ini juga terdapat penggunaan tindak tutur direktif berupa pertanyaan.
145
Siti
: Berapa bungkus? (‘Berapa bungkus’) Erlita : Dua bungkus (‘Dua bungkus’) Siti : Beacar kah? (‘Acarnya dibuat juga’) Erlita : Kada usah cil ai? (‘Tidak usah Bi’) (konteks: dituturkan ketika sedang terjadi transaksi jual beli) Pada kutipan di atas terdapat penggunaan tindak tutur direktif berupa pertanyaan, pertanyaan pedagang (Siti) kepada pembeli (Erlita) dilakukan sebanyak dua kali ini ditandai dengan Berapa bungkus? dan Beacar kah? Pedagang (Siti) bertanya kepada pembeli (Erlita) sebanyak dua kali dan pertanyaannya berbeda. Pada kutipan terdapat penggunaan tindak tutur pertanyaan. Aminah : Mulai mana bubuhan ikam ni (‘Dari mana kalian ini’) Radiansyah : Mulai banjar cil ai? (Dari banjar Bi’) Aminah : Naik apa bubuhan ikam, rusak kalu jalan muka tu (‘Naik apa kalian, jalan didepan itu rusak ya’) Radiansyah : Inggih, bekendraan tadi cil, kendaraan ulun tinggal di muka sakulahan (‘Iya, pakai sepeda motor Bi, sepeda motornya saya titipkan didepan sekolah’) Aminah : Iya kah, bararti shubuh banar bubuhan ikam bajalan batis tadi lah? (‘Begitu ya, berarti masih shubuh sekali kalian berjalan ya’) Radiansyah : Inggih cil ae, maka jauh banar bajalan? (‘Iya Bi, jauh sekali berjalan’) (konteks: dituturkan ketika pedagang dan pembeli sedang bercengkrama) Pada kutipan di atas terdapat penggunaan tindak tutur direktif pertanyaan, pedagang (Aminah) melakukan beberapa kali pertanyaan kepada pembeli (Radiansyah) karena pedagang (Aminah) ingin mengetahui darimana pembeli (Radiansyah) ini berasal karena di Pasar Terapung Lok Baintan pengunjungnya dari berbagai daerah dan bukan dari KALSEL saja tetapi juga dari luar pulau bisa saja pengunjung datang. Bahkan dari luar negeri banyak turisturis asing berkunjung ke Pasar Terapung Lok Baintan Martapura. Pada kutipan di bawah ini terdapat penggunaan tindak tutur direktif berupa pertanyaan. Erlita : Sapa cil ngaran pian? (‘Siapa nama Bibi’) Masirah : Ngaran acil kah, Masirah? (‘Nama Bibi Masirah’) Erlita : Rumah pian parak mana cil, (‘Rumah Bibi dekat mana’) Masirah : Parak langgar yang bagian ikam meandak kandraan tadi? (‘Dekat mushula, tempat kalian meletakkan sepeda motor’)
146
Erlita
: Inggih cil lah, apa nama desa pian cil? (‘Iya Bi, apa nama desa temapt Bibi tinggal’) Masirah : Desa Baitan luar (‘Desa Baitan Luar’) Erlita : Laki pian bagawi apa cil? (‘Suami ibu bekerja apa’) Masirah : Laki aku mancari iwak? (Suami saya bekerja sebagai nelayan’) Erlita : Inggih makasih cil lah? (‘Iya terimakasih Bi ya’) (konteks: dituturkan ketika pedagang meminta pembeli untuk menunggu) Pada penggalan wacana di atas terdapat penggunaan tindak tutur direktif berupa pertanyaan yang menginterogasi untuk mengetahui seluk-beluk pedagang (Masirah), tetapi interogasi yang dilakukan berupa hal-hal sederhana dan bersifat terbuka, pedagang (Masirah) tidak menyadari bahwa pembeli (Erlita) mengajukan beberapa pertanyaan dan sifatnya interogasi untuk memperoleh data dari pedagang (Masirah). Penggunaan Tindak Tutur Ekspresif Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang menyatakan apa yang dirasakan penutur. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan terdapat beberapa penggunaan tindak tutur ekspresif yang diujarkan oleh para pedagang dan pembeli di Pasar Terapung Lok Baintan Martapura. Tindak tutur ekspresif yang dituturkan para pedagang dan pembeli tersebut berupa bentuk rasa senang, rasa tidak suka, rasa gembira, memuji, marah, pengucapan terima kasih, dan permintaan maaf. Contoh tindak tutur ekspresif yang dituturkan para pedagang dan pembeli dapat dilihat pada contoh-contoh tuturan berikut ini. Kutipan antara pedagang dan pembeli Aminah : Iya kah, minta maaf acil lah kadada kantongannya? (‘Iya, Bibi minta maaf karena tidak mempunyai kantong kresek’) Erlita : Inggah kada papa cil? (‘Iya tidak apa-apa Bi’) (konteks: ketika sudah terjadi transaksi jual beli) Pada penggalan wacana di atas terdapat penggunaan tindak tutur ekspresif berupa permintaan maaf, pedagang (Aminah) meminta maaf kepada pembeli (Erlita) karena dia tidak punya kantong kresek, kata-kata itu ditandai dengan Iya kah, minta maaf acil lah kadada kantongannya? Kebiasaan di Pasar Terapung Lok Baintan Martapura, para pedagangnya sering tidak mempunyai kantong kresek. Hal ini terjadi karena sesama pedagang masih menggunakan cara barter. Oleh karena itu, mereka menganggap kantong kresek tidak terlalu perlu digunakan dalam transaksi jual-beli karena mereka menganggap perahu (jukung) sebagai tempat atau wadah meletakkan barang yang akan didagangkan atau barang dagangan yang akan dibarterkan. Pada penggalan wacana di bawah ini terdapat penggunaan tindak tutur ekspresif berupa rasa gembira. Aminah : Ngaranku Aminah, iih, nah pisangnya? (‘Nama saya Aminah, iya ini kue pisangnya’) 147
Radiansyah
: Tukar cil lah? (Saya tukar Bi ya’) Aminah : Iih jual? (‘Iya jual’) (konteks: ketika pedagang menyerahkan barang dagangan yang akan dibeli pembeli) Pada penggalan wacana di atas terdapat penggunaan tindak tutur ekspresif berupa rasa gembira, hal ini ditandai dengan Iih, nah pisangnya?dan Iih jual? Pedagang (Aminah) merasa gembira karena barang dagangannya dibeli oleh pembeli (Radiansyah) dan sesuai dengan harga yang ditawarkan. Pada penggalan wacana di bawah ini juga terdapat penggunaan tindak tutur ekspresif rasa gembira. Masirah : Iih ini nah gado-gadonya (‘Iya ini gado-gadonya’) Erlita : Inggih cil tukar lah? (‘Iya Bi tukar ya’) Masirah : Iih jual seadanya, berelaaan kita lah? (‘Iya saya jual seadanya dan kita berelaan ya’) (konteks: dituturkan ketika transaksi sudah berakhir) Pada penggalan wacana di atas terdapat penggunaan tindak tutur ekspresif rasa gembira. Hal ini ditandai dengan Iih jual seadanya, berelaaan kita lah? Ekspresif rasa gembira di atas ditandai dengan kata-kata Iih jual seadanya dan diikuti dengan kata-kata berelaaan kita lah? Pada zaman sekarang sulit menemukan yang menuturkan kata-kata berelaan pada akhir transaksi jual-beli, karena kata-kata seperti itu banyak digunakan oleh nenek-kakek kita pada zaman dulu. Pada kutipan di bawah ini terdapat penggunaan tindak tutur ekspresif berupa memuji. Irus : Lontongnya, bungasnya ikam ding? (‘ Lontongnya, cantik sekali kamu De’) Erlita : Bungas kenapa cil? (‘Cantik kenapa Bi’) Irus : Kaya arab muha ikam? (‘ Seperti orang arab wajahmu’) Erlita : Bisa banar acil neh? (‘Bibi bisa saja’) Irus : Bujuran, (‘iya benar’) (konteks: pedagang menawarkan kepada pembeli) Pada kutipan di atas terdapat penggunaan tindak tutur ekspresif berupa memuji. Hal ini ditandai dengan Lontongnya, bungasnya ikam ding?dan Kaya arab muha ikam? Pedagang (Irus) di sini menawarkan barang dagangannya sekaligus memuji calon pembeli (Erlita) berharap barang dagangannya akan dibeli, sering dijumpai apabila seseorang yang ada maunya kebiasaan dia akan memuji seseorang yang dia anggap mau menolongnya, contohnya katakata yang sering digunakan cantik, ganteng, manis, dan lain-lain. Hal itu dilakukan agar orang dipuji mau menuruti apa yang dia mau. Pada penggalan wacana di bawah ini terdapat penggunaan tindak tutur ekspresif berupa rasa tidak suka. Pedagang : Aku terserah bagian ikam ja (‘Saya terserah kalian saja’)
148
Radiansyah
: Kena ai dulu cil ai? (‘Nanti dulu Bi lah’) (konteks: dituturkan ketika tidak adanya kecocokkan harga) Pada penggalan wacana di atas terdapat penggunaan tindak tutur ekspresif rasa tidak suka, pedagang merasa tidak suka karena harga yang ditawarkan tidak sesuai dengan tawaran pembeli (Radiansyah). Hal ini ditandai dengan Aku terserah bagian ikam ja, di sini ekspresi yang dikeluarkan pedagang merasa tidak suka terhadap tawaran dari pembeli. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Tindak tutur yang dituturkan oleh para pedagang dan pembeli di Pasar Terapung Lok Baintan Martapura adalah tindak tutur representatif (asertif), tindak tutur direktif, dan tindak tutur ekspresif. Penggunaan Tindak tutur representatif yang dituturkan oleh pedagang dan pembeli di Pasar Terapung Lok Baintan Martapura adalah berupa tindakan memberikan informasi, menegaskan, menjelaskan, memberitahukan, bersikeras, menyarankan, bersumpah, mengeluh, dan memberi saran. Penggunaan Tindak tutur direktif yang dituturkan oleh para pedagang dan pembeli di Pasar Terapung Lok Baintan Martapura adalah berupa meminta, bertanya, membolehkan, memaksa, dan menyarankan T melakukan sesuatu. Penggunaan Tindak tutur ekspresif yang dituturkan oleh para pedagang dan pembeli di Pasar Terapung Lok Baintan Martapura adalah berupa bentuk rasa senang, rasa tidak suka, rasa gembira, memuji, marah, pengucapan terima kasih, dan permintaan maaf. Saran Saran yang ingin disampaikan dalam penelitian ini kiranya perlu dilakukan penelitian sejenis dengan tempat dan karakteristik berbeda dan mengharapkan agar peneliti berikutnya meneliti mengenai tindak tutur secara lebih mendalam dan lebih luas. Peneliti mengharapkan agar penelitian ini menjadi acuan untuk penelitian kebahasaan mengenai tindak tutur dalam transaksi jual-beli dengan tempat dan pokok bahasan yang lebih luas.
149
DAFTAR RUJUKAN
Arifin, Bustanul, dan Rani, Abdul. 2000. Prinsip-Prinsip Analisis Wacana. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Austin, J. L. 1962. How to Do Things with Words. Cambridge, Mass.: Harvard U. P. Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa: Tahap Strategi, Metode, dan tekniknya. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Norhana. 2007. Tindak Tutur dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban. Skripsi Banjarmasin: PS. PBSI FKIP Unlam.
150
PEMEROLEHAN KOSAKATA BAHASA INDONESIA ANAK USIA 3-6 TAHUN PADA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI BINA HARAPAN (INDONESIAN VOCABULARY ACQUISITION OF CHILDREN AGED 3-6 YEARS AT PAUD BINA HARAPAN) Ana Lestari dan Maria L.A.S. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Brigjend. H. Hasan Basry, Kampus Kayu Tangi, Banjarmasin, Kode Pos 70123, e-mail
[email protected] Abstract Indonesian Vocabulary Acquisition of Children Aged 3-6 Years at PAUD Bina Harapan.The aim of this study is describe (1) vocabulary acquired any children aged 3-6 years in early childhood education Bina Harapan, (2) obtained any children aged 3-6 years in early childhood education Bina Harapan, and (3) it compares to the acquisition of Indonesian vocabulary of children aged 3-6 years in early childhood education Bina Harapan. The approach used in this study is a qualitative approach, namely, research that generate and process data that are descriptive, such as field notes, drawings, photographs and video recordings, etc. The method used is descriptive qualitative method. This analysis method is a method of research that seeks to create a description, picture or painting in a systematic, factual and accurate as to facts, properties and relationships between phenomena are investigated in this study. In accordance with the method used the technique of data collection in this study is observation and observation techniques. Data analysis technique used is descriptive interpretive techniques, the researchers describe as a whole. The results and discussion of Indonesian vocabulary acquisition of children aged 3-6 years in early childhood Hope Community Development are: (1) children aged 3-6 years have acquired basic vocabulary of nouns, verbs, adjectives, numbers, pronouns, word kinship, and the vocabulary again. (2) Children aged 3-6 years acquire affixes prefixes (his, her, her, and air), affixes suffixes (-it), and affixes infix (-el-). (3) Comparison of Indonesian vocabulary in children aged 3-6 years seen from the acquisition of vocabulary in a concrete noun (the board and books), verb (to write), adjectives (red and yellow), pronouns (we and us) , and affix the prefix (write). Comparative vocabulary of children aged 3-6 years contained in the abstract vocabulary, the verb (reading and learning), adjectives (good and bad), said the numbers (1-10), said the family (brother and sister), affix the prefix (read and drawing), affix the suffix (all), uo infix (learning), and repeated vocabulary (one-one and two-two). Keywords: vocabulary, affixes, early childhood education
Abstrak Pemerolehan Kosakata Bahasa Indonesia Anak Usia 3-6 Tahun pada Pendidikan Anak Usia Dini Bina Harapan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan (1) kosakata apa saja yang diperoleh anak usia 3-6 tahun pada pendidikan anak usia dini Bina Harapan, (2) imbuhan apa saja yang diperoleh anak usia 3-6 tahun pada pendidikan anak usia dini Bina Harapan, dan (3) perbandingan pemerolehan kosakata bahasa Indonesia anak usia 3-6 tahun pada pendidikan anak usia dini Bina Harapan?
151
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, yaitu penelitian yang menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti catatan lapangan, gambar, foto rekaman video dan lain-lain. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Metode analisis ini adalah metode penelitian yang berusaha untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki dalam penelitian ini. Sesuai dengan metode yang digunakan maka teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah teknik observasi dan pengamatan. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik deskriptif interpretatif, yaitu peneliti memaparkan secara keseluruhan. Hasil penelitian dan pembahasan pemerolehan kosakata bahasa Indonesia anak usia 3-6 tahun pada PAUD Bina Harapan adalah: (1) anak usia 3-6 tahun telah memperoleh kosakata dasar pada kata benda, kata kerja, kata sifat, kata bilangan, kata ganti, kata kekerabatan, dan kosakata ulang. (2) Anak usia 3-6 tahun memperoleh imbuhan prefiks (me-, mem-, meng-, dan ber-), imbuhan sufiks (–nya), dan imbuhan infiks (-el-). (3) Perbandingan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 3-6 tahun terlihat dari pemerolehan kosakata konkret pada kata benda (papan tulis dan buku), kata kerja (menulis), kata sifat (merah dan kuning), kata ganti (kita dan kami), dan imbuhan prefiks (menulis). Perbandingan kosakata anak usia 36 tahun terdapat pada kosakata abstrak, yaitu kata kerja (membaca dan belajar), kata sifat (baik dan nakal), kata bilangan (1-10), kata kekerabatan (adik dan kakak), imbuhan prefiks (membaca dan menggambar), imbuhan sufiks (semuanya), imbuhan infiks (belajar), dan kosakata ulang (satu-satu dan dua-dua). Kata-kata kunci: kosakata, imbuhan, pendidikan anak usia dini
PENDAHULUAN Anak usia dini dikatakan cukup untuk memperoleh kosakata. Anak memperoleh kosakata dengan cara menyimak, meniru, dan dari benda-benda yang berada di sekitarnya. Dengan perlahan, anak memperoleh kata-kata sedikit demi sedikit. Kosakata adalah himpunan kata-kata yang diketahui oleh seseorang dari suatu bahasa tertentu yang dimengerti oleh orang dan katakata tersebut akan digunakan untuk menyusun kalimat yang baru. Pada pendidikan anak usia dini, khususnya usia 4-5 tahun dapat mengembangkan kosakata secara mengagumkan. Owens (dalam Dhieni, dkk., 2008) mengemukakan bahwa anak usia tersebut memperkaya kosakatanya melalui pengulangan. Mereka sering mengulangi kosakata yang baru dan unik sekalipun mereka mungkin belum memahami artinya. Dalam mengembangkan kosakata tersebut, anak mengggunakan fast mapping, yaitu suatu proses di mana anak menyerap arti kata baru setelah mendengarnya sekali atau dua kali dalam percakapan. Pada masa kanak-kanak awal inilah anak mulai mengkombinasikan suku kata menjadi kata dan kata menjadi kalimat. Alasan mengapa peneliti memilih pendidikan anak usia dini (PAUD) Bina Harapan kecamatan Tamban Kabupaten Barito Kuala, sebagai objek yang diteliti karena pendidikan anak usia dini sangat penting bagi perkembangan bahasa anak, PAUD tersebut belum pernah diteliti, dan pada PAUD tersebut terdapat anak usia 3-6 tahun sebagaimana apa yang diteliti oleh peneliti. Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan kosakata yang ditemukan, yaitu Sofyan Hamid tahun 2000 di SMUN 5 Banjarmasin, Rahmi tahun 2002 di SDN Pangeran 2 Banjarmasin, dan Rusdiana tahun 2003 di SLTP Kartika Jaya VI-3 Banjarmasin. Akan tetapi, pada penelitian ini berbeda pembahasannya dengan penelitian sebelumnya, sedangkan penelitian ini terfokus pada pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 3-6 tahun di PAUD. 152
Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah “cara belajar anak dalam memperoleh kosakata”. Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan masalah adalah: 1) kosakata apa saja yang diperoleh anak usia 3-6 tahun pada PAUD Bina Harapan? 2) imbuhan apa saja yang diperoleh oleh anak usia 3-6 tahun pada PAUD Bina Harapan? 3) bagaimana perbandingan kosakata yang diperoleh oleh anak antara usia 3-6 tahun pada PAUD Bina Harapan? Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui kosakata yang diperoleh anak usia 3–6 tahun di PAUD Bina Harapan. 2) mengetahui imbuhan yang anak peroleh. 3) mengetahui perbandingan kosakata antara anak usia 3–6 tahun. Secara teoretis manfaat yang bisa didapatkan pembaca dari hasil penelitian ini adalah pemahaman yang menyeluruh tentang mendidik anak dan makna belajar dari permainan anak. Manfaat praktis yang bisa diambil pembaca ialah hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan penelitian yang sejenis. Selain itu, hasil penelitian juga bermanfaat untuk memperkaya referensi tentang pemerolehan bahasa, khususnya bahasa anak. METODE Metode yang diterapkan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode analisis ini adalah metode yang berusaha menganalisis sebuah informasi dari pemerolehan kosakata anak dalam bentuk dokumen. Metode ini bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki dalam penelitian ini. Dengan metode ini, peneliti bisa menjelaskan dan menggambarkan secara holistik (utuh/ menyeluruh) dan kompleks tentang bagaimana fenomena yang terjadi berkenaan dengan judul yang diangkat, yaitu “Pemerolehan Kosakata Bahasa Indonesia Anak Usia 3-6 Tahun pada Pendidikan Anak Usia Dini”. Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti catatan lapangan, gambar, foto rekaman video dan lain-lain. Penelitian kualitatif menekankan betapa pentingnya kedekatan dengan orang-orang dan situasi penelitian, agar peneliti memperoleh pemahaman jelas tentang realitas dan kondisi kehidupan nyata. Jadi, penelitian kualitatif adalah proses pencarian data untuk memahami masalah sosial yang didasari pada penelitian yang menyeluruh (holistic), dibentuk oleh kata-kata, dan diperoleh dari situasi yang alamiah. Lokasi atau tempat penelitian ini di PAUD “BINA HARAPAN” Desa Tamban Kecil Kecamatan Tamban Kabupaten Barito Kuala. PAUD tersebut berada di desa yang letaknya dekat dengan rumah warga sehingga banyak anak yang bersekolah di tempat PAUD tersebut. Untuk mendapatkan data pada penelitian ini, teknik yang digunakan, yaitu observasi dan dokumentasi. Observasi, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan langsung terhadap objek penelitian dari awal hingga akhir proses belajar-mengajar pada PAUD “BINA HARAPAN”. Adapun yang menjadi sasaran observasi, yaitu bagaimana pemerolehan kosakata bahasa Indonesia anak usia 3–6 tahun pada PAUD. Imbuhan apa saja yang anak peroleh dan perbandingan anak usia 3–6 tahun terhadap kosakata yang diperoleh. Pengumpulan data akan dilakukan dengan teknik dokumentasi berupa hasil observasi terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia anak dari PAUD “BINA HARAPAN” dan rekaman terhadap proses belajar-mengajar serta foto-foto hasil penelitian yang berguna sebagai bukti dan bahan penguat dari hasil penelitian yang dilakukan. 153
Setelah data terkumpul, tahap berikutnya adalah analisis data. Teknik yang digunakan dalam analisis ini adalah teknik deskriptif interpretatif, yaitu peneliti memaparkan data secara keseluruhan terlebih dahulu, setelah data terkumpul dan terjaring, peneliti menginterpretasikan untuk menganalisis dan melalui tahapan berikut: 1) Pengorganisasian data, yaitu menuju pada proses pengurutan dan pemilihan data yang sesuai dengan kajian yang dilakukan. 2) Pemaknaan dengan ciri signifikasi, selanjutnya dihubungkan dengan idealisasi menyangkut deskripsi yang dihasilkan disesuaikan dengan teori. 3) Mendeskripsikan data atau laporan penulisan hasil analisis dalam bentuk laporan. 4) Membuat simpulan tentang hasil analisis. 5) verifikasi atau memeriksa kembali. HASIL PENELITIAN Penelitian terhadap Pendidikan Anak Usia Dini usia 3-6 tahun telah memperoleh kosakata bahasa Indonesia sebagaimana yang dilakukan oleh peneliti. Anak usia 3-6 tahun telah memperoleh kosakata, yaitu kosakata dasar (kata benda, kata kerja, kata sifat, kata bilangan, kata ganti, kata yang berhubungan dengan kekerabatan, dan kata depan), kosakata turunan (imbuhan prefiks, imbuhan sufiks, imbuhan infiks, dan imbuhan konfiks), dan kosakata ulang. Pemerolehan Kosakata Bahasa Indonesia Anak Usia 3 Tahun Pemerolehan Kosakata Dasar Pemerolehan Kata Benda Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 3 tahun telah memperoleh kata benda, yaitu kata meja, kursi, bangku, papan tulis, kapur, pensil, krayon, dan buku. Pemerolehan Kata Kerja Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 3 tahun telah memperoleh kata kerja, yaitu kata berhitung, menulis, membaca, belajar, dan menggambar. Pemerolehan Kata Sifat Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 3 tahun telah memperoleh kata sifat, yaitu kata kuning, baik, merah, sayang, dan nakal. Pemerolehan Kata Bilangan Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 3 tahun telah memperoleh kata bilangan, yaitu kata semua dan bilangan dari 1-8. Pemerolehan Kata Ganti Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 3 tahun telah memperoleh kata ganti, yaitu kata aku, kamu, kami, kita, dan dia. Pemerolehan Kata yang Berhubungan dengan Kekerabatan Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 3 tahun telah memperoleh kata yang berhubungan dengan kekerabatan, yaitu kata ibu, ayah, adik, dan kakak. Pemerolehan Kosakata Turunan Pemerolehan Imbuhan Prefiks Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 3 tahun telah memperoleh imbuhan prefiks, yaitu menulis, membaca, menggambar, dan berhitung. 154
Pemerolehan Imbuhan Sufiks Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 3 tahun telah memperoleh imbuhan sufiks, yaitu kata semuanya. Pemerolehan Imbuhan Infiks Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 3 tahun telah memperoleh imbuhan infiks, yaitu kata belajar. Pemerolehan Kosakata Ulang Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 3 tahun telah memperoleh kosakata ulang, yaitu kata satu-satu, dua-dua, dan tiga-tiga. Pemerolehan Kosakata Bahasa Indonesia Anak Usia 4 Tahun Pemerolehan Kosakata Dasar Pemerolehan Kata Benda Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 4 tahun telah memperoleh kata benda, yaitu kata ayunan, tali, buku, pensil, krayon, penggaris, kelereng, meja, dan kursi. Pemerolehan Kata Kerja Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 4 tahun telah memperoleh kata kerja, yaitu main, angkat, membaca, belajar, dijauhi, menggambar, menulis, dan berhitung. Pemerolehan Kata Sifat Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 4 tahun telah memperoleh kata sifat, yaitu kata malas, jahat, baik, kuning, nakal, putih, dan hitam. Pemerolehan Kata Bilangan Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 4 tahun telah memperoleh kata bilangan, yaitu kata banyak dan bilangan 1-10. Pemerolehan Kata Ganti Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 4 tahun telah memperoleh kata ganti, yaitu kata aku, kamu, kami, kita, dan dia. Pemerolehan Kata yang Berhubungan dengan Kekerabatan Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 4 tahun telah memperoleh kata yang berhubungan dengan kekerabatan, yaitu kata ibu, ayah, adik, dan kakak. Pemerolehan Kosakata Turunan Pemerolehan Imbuhan Prefiks Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 4 tahun telah memperoleh imbuhan prefiks, yaitu menulis, membaca, menggambar, berhitung, dan dijauhi. Pemerolehan Imbuhan Sufiks Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 4 tahun telah memperoleh imbuhan sufiks, yaitu ayunan, keduanya, jarinya. Pemerolehan Imbuhan Infiks Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 4 tahun telah memperoleh imbuhan infiks, yaitu belajar dan kelereng. 155
Pemerolehan Imbuhan Konfiks Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 4 tahun telah memperoleh imbuhan konfiks, yaitu keduanya dan dijauhi. Pemerolehan Kosakata Ulang Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 4 tahun telah memperoleh kosakata ulang, yaitu kata satu-satu, dua-dua, tiga-tiga, dan lima-lima. Pemerolehan Kosakata Bahasa Indonesia Anak Usia 5 Tahun Pemerolehan Kosakata Dasar Pemerolehan Kata Benda Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 5 tahun telah memperoleh kata benda, yaitu kata meja, kursi, papan tulis, kapur, pen, pensil, tas, topi, sepatu, dan kelereng. Pemerolehan Kata Kerja Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 5 tahun telah memperoleh kata kerja, yaitu kata menggambar, menabung, menanami, menyirami, belajar, menulis, berhitung, membaca, dan main. Pemerolehan Kata Sifat Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 5 tahun telah memperoleh kata sifat, yaitu kata biru, merah, kuning, hijau, nakal, cantik, dan besar. Pemerolehan Kata Bilangan Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 5 tahun telah memperoleh kata bilangan, yaitu bilangan 500 dan 1-20. Pemerolehan Kata Ganti Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 5 tahun telah memperoleh kata ganti, yaitu kata aku, kami, kamu, kita, dan dia. Pemerolehan Kata yang Berhubungan dengan Kekerabatan Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 5 tahun telah memperoleh kata yang berhubungan dengan kekerabatan, yaitu kata ibu, bapak, kakek, nenek, dan paman. Pemerolehan Kosakata Turunan Pemerolehan Imbuhan Prefiks Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 5 tahun telah memperoleh imbuhan prefiks, yaitu menulis, menanam, menabung, membaca, menggambar, berhitung, dan menyiram. Pemerolehan Imbuhan Sufiks Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 5 tahun telah memperoleh imbuhan sufiks, yaitu bunganya, menanami, dan menyirami. Pemerolehan Imbuhan Infiks Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 5 tahun telah memperoleh imbuhan infiks, yaitu belajar dan kelereng.
156
Pemerolehan Imbuhan Konfiks Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 5 tahun telah memperoleh imbuhan konfiks, yaitu menanami dan menyirami. Pemerolehan Kosakata Ulang Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 5 tahun telah memperoleh kosakata ulang, yaitu bunga-bunga, sepatu-sepatu, main-main, dan kupukupu. Pemerolehan Kosakata Bahasa Indonesia Anak Usia 6 Tahun Pemerolehan Kosakata Dasar Pemerolehan Kata Benda Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 6 tahun telah memperoleh kata benda, yaitu kata meja, pen, sampah, balok, karet, kelereng, buku, krayon, kapur, papan tulis, dan bola. Pemerolehan Kata Kerja Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 6 tahun telah memperoleh kata kerja, yaitu kata main, membuang, membawa, duduk, mengerjakan, menulis, membaca, berhitung, mencoreti, bermain, belajar, dan memetik. Pemerolehan Kata Sifat Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 6 tahun telah memperoleh kata sifat, yaitu kata pintar, rajin, malas, bulat, kecil, kotor, putih, biru, hijau, dan hitam. Pemerolehan Kata Bilangan Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 6 tahun telah memperoleh kata bilangan, yaitu kata banyak, bilangan 1-30, dan bilangan 1000. Pemerolehan Kata Ganti Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 6 tahun telah memperoleh kata ganti, yaitu kata aku, kamu, kami, kita, dia, dan mereka. Pemerolehan Kata yang Berhubungan dengan Kekerabatan Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 6 tahun telah memperoleh kata yang berhubungan dengan kekerabatan, yaitu kata ibu, bapak, adik, kakak, kakek, dan nenek. Pemerolehan Kata Depan Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 6 tahun telah memperoleh kata depan, yaitu di sana, di sini, dan di situ. Pemerolehan Kosakata Turunan Pemerolehan Imbuhan Prefiks Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 6 tahun telah memperoleh imbuhan prefiks, yaitu menulis, memetik, membaca, membuang, membawa, mencoret, menggambar, bekerja, berhitung, dan bermain. Pemerolehan Imbuhan Sufiks Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 6 tahun telah memperoleh imbuhan sufiks, yaitu tugasnya, mencoreti, dan kerjakan. 157
Pemerolehan Imbuhan Infiks Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 6 tahun telah memperoleh imbuhan infiks, yaitu belajar, kelereng, pintar, dan kerja. Pemerolehan Imbuhan Konfiks Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 6 tahun telah memperoleh imbuhan konfiks, yaitu mengerjakan dan mencoreti. Pemerolehan Kosakata Ulang Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 6 tahun telah memperoleh kosakata ulang, yaitu balok-balok, main-main, bunga-bunga, dan buku-buku. Perbandingan Kosakata Bahasa Indonesia Usia 3-6 Tahun Hasil penelitian terhadap pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 3-6 tahun dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
158
159
160
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa anak usia 3-6 tahun pada PAUD Bina Harapan memperoleh kosakata dasar pada kata benda, kata kerja, kata sifat, kata bilangan, kata ganti, kata yang berhubungan dengan kekerabatan, dan kata depan. Anak usia 3-6 tahun telah memperoleh kosakata turunan pada imbuhan prefiks, imbuhan sufiks, imbuhan infiks, dan imbuhan konfiks dan anak usia 3-6 tahun juga telah memperoleh kosakata ulang. Saran Hasil penelitian ini diharapkan dapat dilanjutkan dengan meneliti kosakata majemuk, kosakata baku, dan kosakata nonbaku dalam hubungannya dengan pemerolehan kosakata bahasa Indonesia pada anak usia 3-6 tahun pada PAUD untuk lebih dikenal oleh semua lapisan masyarakat terutama terhadap perkembangan bahasa anak. Peneliti juga mengharapkan agar para guru PAUD dan orang tua anak, dapat mengenalkan dan mengajarkan bahasa Indonesia dengan baik dan benar kepada anak.
161
DAFTAR RUJUKAN Dhieni, Nurbiana, dkk. 2008. Metode Pengembangan Bahasa. Jakarta: Universitas Terbuka.
162
PEMEROLEHAN MORFEM ANAK USIA 2 TAHUN SAMPAI 2 TAHUN 6 BULAN (THE MORPHEME ACQUISITION OF 2 UP TO 2 YEARS OLD AND A HALF KIDS) Sri Mauliani dan Zulkifli Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Brigjend. H. Hasan Basry, Kampus Kayu Tangi, Banjarmasin, Kode Pos 70123, e-mail
[email protected] Abstract The Morpheme Acquisition of 2 Up to 2 Years Old and a Half Kids. The study was limited in the scope of his language skills, especially in the morpheme children at age 2 years to 2 years 6 months. In addition, some parents are still many do not keep up with her well-spoken language development in behavior and development. This study used a qualitative descriptive method. The study was done in order to determine the form of morphemes the child, the child form of words that are strung together in a sentence one word to two word sentences at age 2 years to 2 years 6 months. The research data is a morpheme; free and bound. Techniques used in data collection is provocation, tapping, see the good involved, records and technical notes. The data generated is 150 children and 15 free morpheme bound morpheme. Obtained free morphemes more children than the bound morpheme. (1) being acquired morpheme children at age 2 years to 2 years 6 months, a free morpheme and bound morpheme, (2) form morpheme obtained free of children at age 2 years to 2 years 6 months, (3) form bound morpheme obtained by children at age 2 years to 2 years 6 months, and (4) morpheme form obtained from the speech one word or two-word utterances. Children’s ability to obtain the child’s morpheme to be assembled into one-word utterances and the utterances of two words, even capable of using morpheme as child speech in everyday language. Keywords: free morphemes, bound morphemes, speech.
Abstrak Pemerolehan Morfem Anak Usia 2 Tahun sampai 2 Tahun 6 Bulan. Penelitian ini dibatasi pada ruang lingkup keterampilan berbahasa anaknya khususnya pada morfem anak yang pada usia 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan. Selain itu, masih banyak sebagian orang tua tidak mengikuti perkembangan anaknya baik perkembangan bahasanya dalam bertutur dan perkembangan tingkah lakunya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui wujud morfem anak, wujud kata yang dirangkai anak pada kalimat satu kata menjadi kalimat dua kata pada usia 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan. Data penelitian ini berupa morfem; bebas dan terikat. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah pancingan, sadap, simak libat cakap, rekam dan teknik catat. Data yang dihasilkan anak adalah 150 morfem bebas dan 15 morfem terikat. Morfem bebas lebih banyak diperoleh anak daripada morfem terikat. (1) wujud morfem yang diperoleh anak pada usia 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan, berupa morfem bebas dan morfem terikat; (2) wujud morfem bebas yang diperoleh anak pada usia 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan; (3) wujud morfem terikat yang diperoleh anak pada usia 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan; dan (4) wujud morfem yang diperoleh dari ujaran satu kata atau ujaran dua kata. Kemampuan anak dalam memperoleh morfem bebas dan morfem terikat dari ujaran
163
satu kata dan ujaran dua kata, bahkan mampu menggunakan morfem sebagai ujaran anak dalam bahasanya sehari-hari. Kata-kata kunci: morfem bebas, morfem terikat
PENDAHULUAN Bahasa tidak hanya dimiliki oleh anak remaja, anak dewasa, orang tua, maupun orang yang lanjut usia, tetapi dapat dimilki juga oleh anak-anak yang di bawah umur; anak balita. Bahasa yang diperoleh anak di bawah umur biasanya pertama kali muncul dari orang-orang yang ada di sekitarnya atau yang sangat dekat dengannya, misalnya orang tuanya atau kakaknya. Morfologi merupakan bagian dari linguistik yang dimana di dalamnya ada yang membahas tentang morfem. Morfem sama halnya dengan morfologi yang bagian dari linguistik, sedangkan morfem merupakan bagian dari morfologi yang berupa satuan terkecil yang mempunyai makna atau melambangkan bunyi dari suatu kata dasar atau kosakata. Dalam setiap bahasanya, morfem mempunyai klasifikasi yang berdasarkan kriterianya, yaitu berdasarkan kebahasaannya, keutuhannya, dan kebermaknaannya. Dari kriterianya, morfem dapat dibedakan, yaitu morfem bebas dan morfem terikat. Morfem bebas dan morfem terikat sama halnya dengan morfem utuh dan morfem terbagi. Morfem bebas bagian dari morfem utuh, dimana makna dalam satu kata dapat berdiri sendiri, sedangkan morfem terikat bagian dari morfem terbagi, dimana makna dalam satu kata tidak dapat berdiri sendiri harus ada yang mendampinginya dalam satu kata terdiri dua bagian yang terpisah. Penelitian ini dibatasi pada ruang lingkup keterampilan berbahasa anaknya khususnya pada morfem anak yang pada usia 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan. Dari keterampilan itu peneliti dapat melihat kemampuan bahasa anak dari morfemnya beserta paparan yang telah anak ucapkan atau ungkapkan dari kata atau kosakatanya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui wujud morfem yang diperoleh anak pada usia 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan, baik morfem bebas maupun morfem terikat. Selain itu, penulis juga ingin mengetahui wujud anak dalam memperoleh morfem dari ujaran satu kata dan ujaran dua kata itu yang digunakan anak pada usia 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan. Penulis melakukan penelitian ini melalui pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui wujud morfem yang diperoleh anak, wujud morfem yang diperoleh anak dari ujaran satu kata atau ujaran dua kata pada anak usia 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan. Penulis melakukan penelitian ini dengan cara mengobservasi langsung, wawancara singkat (pancingan) dan simak catat kepada anak usia 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan. Penelitian ini juga diteliti dengan menggunakan bantuan media. Alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah Tape Recorder yang lebih kita kenal dengan media rekaman. Media rekaman digunakan peneliti untuk merekam data-data yang ada pada anak sebagai objek yang diteliti. Selain Tape Recorder peneliti juga menggunakan Handphone sebagai alat bantu perekam yang lain tetapi peneliti juga menyediakan kertas dan pulpen untuk menyimak sambil mencatat data yang diperoleh anak tersebut. Penelitian ini tidak semata-mata dilakukan dengan cara merekam semua ucapan atau tuturan dari anak agar mendapatkan datanya, tetapi peneliti juga bisa melakukan observasi dengan pancingan (wawancara) langsung kepada anak yang diteliti dan melakukan teknik sadap, simak libat cakap, rekam dan catat terhadap anak, tetapi bagi anak yang tidak mau bicara langsung atau tidak mau dipancing bicara atau diajak bicara. Anak bisa saja tidak mau berbicara langsung dengan orang yang mengajaknya bicara dikarenakan anak tidak akrab atau kurang akrab dengan orang yang mengajak bicara, dalam artian anak belum terbiasa terhadap orang yang baru anak kenal. Anak bisa juga malu terhadap orang yang 164
mengajaknya bicara, dan anak bisa juga mengetahui apa yang dibawa orang yang mengajak dia bicara (alat medianya) sehingga anak itu hanya terfokus melihat ke arah alat orang yang bicara tadi, dengan cara simak catat salah satu alat alternatif lainnya untuk mencari data-datanya yaitu berupa morfem, wujud morfem yang diperoleh dari ujaran satu kata dan ujaran dua kata yang digunakan anak pada usia 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan. Selain itu, penulis dapat melihat morfem apa yang diucapkan anak. Morfem yang diucapkan anak termasuk morfem bebas atau morfem terikat. Psikolinguistik terbentuk dari kata psikologi dan kata linguistik, yakni dua bidang ilmu yang berbeda, yang masing-masing berdiri sendiri, dengan prosedur dan metode yang berlainan. Namun, keduanya sama-sama meneliti bahasa sebagai objek formalnya. Hanya objek materinya yang berbeda, linguistik mengkaji struktur bahasa, sedangkan psikologi mengkaji perilaku berbahasa atau proses berbahasa. Dengan demikian, cara dan tujuannya juga berbeda (Chaer, 2009: 5). Bahasa mempunyai peran penting dalam kehidupan manusia sehari-hari. Dalam penguasaan dan pengembangan bahasa harus memerlukan proses, yaitu secara bertahap atau berjenjang. Bahasa bisa juga disebut sebagai alat komunikasi yang digunakan manusia. Bahasa digunakan sebagai alat berinteraksi, bekerjasama, dan mengidentifikasi diri antara yang satu dengan yang lainnya. Morfologi adalah suatu cabang ilmu linguistik yang membicarakan tentang morfem dan kombinasinya serta proses suatu morfem itu dibentuk menjadi sebuah kata. Morfem adalah bentuk linguistik yang paling kecil. Morfem merupakan satuan terkecil dari linguistik yang tidak bisa dibagi-bagi maknanya atau bagian dari morfologi yang berupa satuan terkecil yang mempunyai makna. Morfem bebas, yaitu suatu bagian dari morfologi yang di dalamnya mengkaji salah satu morfem yang mampu berdiri sendiri dalam suatu ujaran yang tanpa terikat dengan satuan yang lainnya, sedangkan morfem terikat, yaitu termasuk bagian morfologi juga yang di dalamnya menkaji salah satu morfem lagi tetapi tidak mampu berdiri sendiri tanpa satuan yang lainnya. Perbedaan antara morfem bebas dengan morfem terikat sangat terlihat dari maknanya salah satunya ada yang mampu berdiri sendiri tanpa satuan lain dan ada yang tidak mampu berdiri sendiri tanpa satuan yang lainnya. Verhaar (1984: 52-53) menjabarkan dalam bukunya bahwa morfem bebas dapat “berdiri sendiri”, yaitu bisa terdapat sebagai suatu “kata”, sedangkan morfem terikat tidak terdapat sebagai kata tetapi selalu dirangkaikan dengan satu atau lebih morfem yang lain menjadi satu kata.
165
Tabel morfem bebas yang diperoleh anak dalam Bahasa Banjar:
Morfem terikat merupakan morfem yang tidak bisa berdiri sendiri dan yang selalu terikat dengan satuan lain untuk membentuk ujaran.
166
Tabel morfem terikat yang diperoleh anak dalam Bahasa Banjar:
Masa Ucap Dua Kata atau Ujaran Dua Kata Masa ucapan dua kata atau Ujaran dua kata ini berpengaruh dari usia anak. Sebelum terjadinya ucapan dua kata ada ucapan satu kata, dimana seorang anak hanya mengucapkan satu kata saja, walau dalam satu kata mempunyai pengertian atau makna yang luas bagi anak, tergantung kita sebagai orang dewasa memahami atau merespon kata/kosakata anak tersebut. [1] Contoh ujaran satu kata (BA) (MBBB) (MBBI)
Haadiy: “emma” (sambil menjulurkan kedua tangannya). Haadiy: “Mama” (sambil menjulurkan kedua tangannya). Haadiy: “Ibu” (sambil mengulurkan kedua tangannya).
Ujaran satu kata biasanya terjadi pada usia 1 tahun 6 bulan sampai 2 tahun, sedangkan ujaran dua kata terjadipada usia anak memasuki 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan. Ujaran dua kata ini ditandai dengan pembendaharaan kata anak sampai dengan rentang 50-100 kata. Menurut Mar’at (2009) pada ujaran dua kata, biasanya anak-anak sudah mulai membuat kalimat yang terdiri dari dua kata dan kata yang dipergunakannya itu pada umumnya masih berupa dua kata dasar yang dihubungkan. Jadi, terlihat belum adanya imbuhan-imbuhan pada kata dasar yang dapat menimbulkan perbedaan arti kata. [2] Contoh ucapan dua kata atau ujaran dua kata (BA) (BB) (BI)
Haadiy: “da dingnya” (sambil maingkuti parut acilnya). Haadiy: “ada adingnya” (sambil maingkut parut acilnya). Haadiy: “Ada adiknya” (sambil memegang perut bibinya/ bu’denya).
[3] Contoh ujaran yang lebih dari dua kata (BA) Haadiy: “aci na a, likan!” (sambil menarik tangan aanya). (BB) Haadiy: “kasi nah a, bulikan!” (sambil menarik tangan aanya). (BI) Haadiy: “cepatan kak, pulang!” (sambil menarik tangan kakaknya). Dari contoh di atas morfem yang lebih dua kata, anak sudah pandai memainkan kata atau kosakata yang anak peroleh sebelumnya walaupun kosakata atau ujaran yang anak ucapkan tidak penuh tetapi hanya setengahnya saja (akhir kata yang diambil). Tetapi, anak sudah 167
membuktikan potensinya dan kemampuanya dalam bertutur, dan semua itu tidak sesuai dengan tahapan linguistik, kembali ke potensi anak masing-masing. Tahapan Linguistik Pada tahapan pralinguistik pemerolehan bahasa anak menyerupai bahasa orang dewasa. Maka, pada tahap ini anak mulai mengucapkan bahasa yang menyerupai ujaran orang dewasa. Para ahli psikolinguistik membagi tahap ini ke dalam lima tahapan, yaitu: Tahap Linguistik I Pada tahap ini usia anak 1 sampai 2 tahun termasuk tahap ujaran satu kata (tahap holofrastik). Tahap Linguistik II Pada tahap ini usia anak 2 sampai 3 tahun termasuk tahap ujaran dua kata. Tahap Linguistik III Pada tahap ini usia anak 3 sampai 4 tahun termasuk tahap pengembangan tata bahasa. Tahap Linguistik IV Pada tahap ini usia anak 4 sampai 5 tahun termasuk tahap tata bahasa menjelang dewasa/ prabahasa. Tahap Linguistik V Pada tahap ini usia anak 5 tahun termasuk tahap kompetensi penuh. METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif atau memaparkan pemerolehan morfem pada anak usia 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan. Pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, karena dengan pendekatan kualitatif menghasilkan suatu data deskriptif, yaitu data-data yang dihasilkan berupa kata-kata yang tertulis maupun lisan dari seseorang atau orang-orang dari suatu perilaku yang diamati penulis atau peneliti. Metode kualitatif adalah: “sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati” (Moleong, 1991: 3). Pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif ini digunakan penulis dalam penelitian ini untuk mendeskripsikan suatu wujud morfem yang diperoleh anak pada usia 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan. Selain itu, untuk mendeskripsikan suatu wujud morfem bebas (morfem utuh) dan morfem terikat (morfem terbagi) yang diperoleh anak pada usia 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan. Penelitian ini dilaksanakan di lingkungan permukiman yang diteliti penulis, yaitu di jalan Teluk Tiram Darat Komplek Cempaka Sari IV Jalur 1 No. 2 RT 18 RW 06 Kelurahan Basirih Kecamatan Banjarmasin Barat Kalimantan Selatan. Tempat tersebut merupakan rumah tempat tinggal Haadiy. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan awal Juni 2011 sampai bulan awal Desember 2011. Pengumpulan data ini dilakukan selama 6 bulan. Dalam penelitian ini data utamanya adalah berupa kata-kata; morfem; kosakata yang diucapkan atau dituturkan atau diperoleh anak yang bernama Haadiy. Data tersebut berisi morfem bagian dari kosakata; morfem bebas bagian dari morfem utuh, morfem terikat bagian dari morfem terbagi, dan wujud morfem yang diperoleh dari ujaran satu kata dan ujaran dua kata yang digunakan anak pada usia 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan. Seorang anak yang bernama Muhammad Rahmat Haadiy yang berusia 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan ini merupakan objek dalam penelitian ini. Objek penelitian ini merupakan anak, 168
yaitu adik penulis. Muhammad Rahmat Haadiy merupakan anak dari Miskal dan Salmah, Haadiy anak ke tiga dari tiga bersaudara, yaitu Sri Mauliani dan Masriah, sedangkan, yang menjadi data yang diteliti adalah morfem yang diperoleh anak pada usia 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan. Dalam penelitian ini, penulis bertindak sebagai instrumen sekaligus sebagai pengumpul data dan kedudukannya sebagai pengamat penuh atas segala hal atau sesuatu yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Seorang peneliti juga mempunyai peran penting atau memegang peran kunci dalam proses pengumpulan data, penganalisisan data, maupun dalam penyimpulan temuan penelitian. Selain itu, peneliti juga dilengkapi dengan lembar observasi, akta kelahiran anak, kartu keluarga, dan daftar pertanyaan pancingan. Dalam teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan beberapa teknik, yaitu teknik pancingan (wawancara), teknik sadap, teknik simak libat cakap, dan teknik simak catat. Dalam teknik pengumpulan saat ini, penggunaan teknik simak libat cakap, rekam dan catat lebih mendominasi kegiatan pengumpulan data dalam kajian ini. Penulis melakukan simak libat cakap, rekam, dan catat terhadap anak berbagai kegiatan anak dalam melakukan aktivitasnya di dalam rumah maupun di luar rumah. Untuk mendapatkan data tersebut, penulis melakukan perekaman. Dalam konteks itu, penulis berusaha mendapatkan rekaman tersebut sebanyak mungkin dari hasil proses komunikasi sendiri maupun komunikasi dengan penulis saat tidak disadari anak saat bercakap. Dalam melakukan perekaman, penulis menggunakan alat perekam berupa tape recorder. Di samping itu, penulis melengkapi dengan rekaman lain, yaitu berupa handphone untuk mendapatkan hasil rekaman yang dapat didengar. Selain dengan alat perekam, penulis juga menyediakan kertas dan pulpen untuk alat catat sampingannya. Sumber data, anak yang menjadi target cenderung tidak mengetahuinya bahwa tuturannya direkam sehingga proses perekaman tidak berdampak kepada kealamiahan data. Perekaman data dilakukan selama 6 bulan, yaitu mulai awal bulan Juni 2011 sampai awal Desember 2011. Dari hasil perekaman itu, kemudian dilakukan transkripsi. Selain melakukan perekaman, peneliti juga membuat catatan lapangan. Teknik rekam dan simak dilakukan peneliti ketika anak berbicara sendiri saat anak sedang bermain di dalam rumah, sedangkan teknik catat digunakan saat anak mulai bertanya kapada peneliti tentang apa yang baru dilihat anak dan didengar anak. Teknik catat ini menggunakan gabungan pancingan (wawancara) tanya jawab dari ingatan penulis dan alat perekam, walaupun secara singkat tanya jawab itu. HASIL Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak pada uia 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan, mampu memperoleh morfem. Morfem yang diperoleh anak berupa morfem bebas yang merupakan bagian dari morfem utuh dan morfem terikat merupakan bagian dari morfem terbagi. Pada usia 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan, berdasarkan penelitian bahwa anak lebih banyak memperoleh morfem bebas dari pada morfem terikat. Lebih banyaknya morfem bebas yang diperoleh dikarenakan mudahnya morfem yang direkam anak di otaknya dan mudah untuk diucapkannya. PEMBAHASAN Wujud Morfem Bebas yang diperoleh Anak pada Usia 2 Tahun sampai 2 Tahun 6 Bulan Pada umumnya morfem bebas adalah morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul dalam pertuturan, seperti yang diperoleh anak yang bernama Haadiy ini pada usia 2 tahun samapi 2 tahun 6 bulan. Berdasarkan hasil penelitian, seorang anak pada usia 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan banyak memperoleh morfem bebas dari pada morfem terikat. Morfem 169
bebas itu diperoleh anak pada usia 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan, dikarenakan mudahnya seorang anak dalam berujar morfem bebas hingga mampu atau dapat diambil kata akhirnya saja. Wujud Morfem Terikat yang diperoleh Anak pada Usia 2 Tahun sampai 2 Tahun 6 Bulan Morfem terikat adalah morfem yang tanpa digabung dulu dengan morfem lain tidak dapat muncul dalam pertuturan. Semua imbuhan dalam bahasa Indonesia adalah morfem terikat. Berdasarkan dengan penelitian yang diperoleh, bahwa morfem terikat lebih sedikit dihasilkan anak daripada morfem bebas. Anak lebih mampu melafalkan morfem bebas daripada morfem terikat. Jadi, morfem terikat merupakan morfem yang tidak bisa berdiri sendiri tanpa satuan yang lainnya, morfem terikat ini harus bergandeng antar morfem yang satu dengan satuan yang lainnya dan hasil yang diperoleh anak sedikit daripada morfem bebas. Wujud Morfem (Kata) yang diperoleh Anak dalam Ujaran Satu Kata dan Ujaran Dua Kata Kata pertama yang dihasilkan anak akan diucapkan anak lagi untuk disusul oleh kata kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Keistimewaan kata-kata yang diucapkan anak biasanya dapat ditafsirkan sebagai sebuah ujaran yang bermakna. Walaupun ujaran yang dihasilkan anak pada usia 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan singkat tetapi mempunyai makna. Bicara atau tuturan anak yang pertama kalinya muncul mengandung suatu makna tersendiri bagi anak karena kata yang mengandung makna itu terdiri atas ujaran satu kata. Tetapi bukan anak saja yang mempunyai makna tersendiri atas kata atau tuturan yang diucapkan anak, orang tua juga mempunyai makna tersendiri untuk memahami anaknya agar tuturan atau ujaran yang disampaikan anaknya tercapai dan mudah untuk dipahami orang-orang yang ada di sekitarnya khususnya orang tuanya. Kata yang pertama kali muncul oleh anak adalah ujaran yang diambil anak dari ucapan orang dewasa. Ujaran yang diambil anak tersebut biasanya ujaran yang sering diucapkan oleh orang dewasa dan yang sering didengarnya atau yang sudah diakrabi yang tidak asing didengar oleh anak tersebut. Ujaran tersebut seperti orangnya maupun nama orangnya, mainan, binatang piaraan atau binatang yang ada di sekitarnya, makanan, minuman, pakaian, dan sebagainya. Misalnya: Ujaran satu kata yang diperoleh anak. [4] (BA) “cu” (BB) “susu” (BI) “susu” Ujaran dua kata yang diperoleh anak. [5] (BA) (BB) (BI)
“ku.am” “aku makan” “aku makan”
Ujaran yang lebih dua kata yang diperoleh anak. [6] (UK. BABB) “Awat.ku.enjok.tan” (UK. BB) “Pesawat aku beronjokkan” (UK. BI) “Pesawat aku tabrakkan”
170
Ujaran yang berupa pertuturan singkat anak dengan kakaknya disaat baru selesai mandi. [7]Anak : “yang ekar tu?” (‘yang beli itu?’) Kakak : “nukar apa?” (‘beli apa?’) Anak : “yang ekar tu?” (‘yang beli itu?’) Kakak : “apa?” (‘apa?’) Anak : “awat eter” (‘pesawat holikopter’) Kakak : “yang mana?” (‘yang mana?’) Anak : “yang ekar” (‘yang beli’) Kakak : “pabila Haadiy nukar?” (‘kapan Haadiy beli?’) Anak : “tadi tu, ma yang awi tu na” (‘baru tadi, mama yang kerja itu’) Kakak : “kena ja”, (bahinip satumat kakanaknya sambil malihati bupet muka) “ada lah?” (‘nanti saja’), (‘diam sebentar anaknya sambil melihat lemaridepan‘) (‘ada tidak?’) Anak : “ada ai tu nah, tu nah” (sambil manunjukakan tangan ka arah bupet muka) (‘ada kok itu, itu’) (‘sambil menunjukkan telunjuk tangannya ke arah lemari depan’) Kakak : “oh ini kah” (sambil maambil wan menampaikan mainannya) (‘Ooh ini ya’) (‘sambil mengambilkan memperlihatkan mainannya’) Dapat disimpulkan bahwa bentuk penyataan maupun pertanyaan mampu anak kuasai dengan respon yang baik juga. Ini suatu pertanda bahwa semakin bertambah usia anak semakin banyak kata-kata yang anak kembangkan semakin bagus juga hasil yang didapatkan. Berdasarkan dengan penelitian yang diperoleh, dari kedua morfem itu yang sering dikeluarkan anak atau yang dihasilkan anak adalah lebih banyak morfem bebas daripada morfem terikat. Selain itu juga anak mampu memperoleh pengulangan kata dasar (reduplikasi) walaupun tidak banyak hanya sebagian kecil saja anak peroleh. Karena seringnya mengucapkan kata secara berulang anak akan mampu menguasai bahasa ke tahap berikutnya yang lebih bagus. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas, sesuai penelitian ini dapat ditarik simpulan, yakni menemukan bahwa bentuk wujud morfem (kata) yang diperoleh anak dan ujaran singkat atau pendek yang diperoleh anak pada usia 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan dilihat secara langsung dan tidak langsung dilakukan, juga terkait dengan latar belakang dan usia. Bentuk 171
morfem yang dikeluarkan atau yang dihasilkan anak yang bernama Haadiy adalah morfem bebas, morfem terikat, dan ujaran singkat yang diperoleh anak pada usia 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan. Dari hasil penelitian menghasilkan sebuah data yang berupa morfem, morfem bebas, morfem terikat, ujaran satu kata, dan ujaran dua kata sebagai berikut. 1. Wujud morfem yang diperoleh anak pada usia 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan, berupa morfem bebas dan morfem terikat. 2. Wujud morfem bebas yang diperoleh anak pada usia 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan lebih banyak dihasilkan, diantaranya morfem emma ‘mama’, eppa ‘bapak’, aa ‘kakak’, aman ‘nyaman’, atah ‘patah’, etor ‘motor’. 3. Wujud morfem terikat yang diperoleh anak pada usia 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan lebih sedikit, diantaranya morfem yingan ‘tiduran, likan ‘pulangan’, enanan ‘mainan’, waknya ‘ikannya’, bilkan ‘ambilkan’. 4. Wujud morfem yang mampu diperoleh anak dari ujaran satu kata dan ujaran dua kata pada usia 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan, diantaranya ujaran satu kata adalah morfem ku ‘aku’, num ‘minum’, cu ‘susu’, dan ujaran dua kata yang diperoleh anak, diantaranya “ta uit’, yang artinya “minta duit” atau “minta uang”, morfem yang diperoleh adalah ta ‘minta’, uit ‘duit(uang)’ sedangkan ujaran lebih dua kata, diantaranya “ku num cu”, yang artinya “aku minum susu”, morfem yang diperoleh adalah ku ‘aku’, num ‘minum’, cu ‘susu’. Saran Mengacu pada temuan penelitian di atas, peneliti menyarankan kepada orang tua atau orang-orang yang ada di sekitar anak (kakak dan pihak keluarga yang dekat dengan anak) memberikan perhatian khusus atau lebih dan memberikan pengajaran benar buat anakanaknya yang berusia 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan, serta memberikan motivasi kepada anak agar anak mampu menempuh tahap-tahap berikutnya seperti tahap tata bahasa menjelang dewasa/prabahasa dan tahap kompetensi penuh. Masih banyak sebagian orang tua tidak mengikuti perkembangan anaknya baik perkembangan bahasanya dalam bertutur dan perkembangan tingkah lakunya agar anak memperoleh bahasanya sesuai dengan tahapan usianya. Mengingat akan keterbatasan penulis dalam penelitian ini, kiranya perlu dilakukan penelitian sejenis dengan tempat dan karakteristik yang berbeda dengan cakupan bahasan yang lebih luas mengenai morfem anak atau kiranya tentang kemampuan anak dalam merangkai kata menjadi kalimat dua kata yang lebih baik.
172
DAFTAR RUJUKAN
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoritik. Jakarta: Rineka Cipta. Mar’at, Samsunuwiyati. 2009. Psikolinguistik Suatu Pengantar. Bandung: PT Refika Aditama. Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Verhaar, J. W. M. 1999. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press.
173
174
KEBERADAAN BAHASA DAN DINAMIKA KEHIDUPAN MASYARAKAT (LANGUAGE EXISTENCE AND SOCIAL LIFE DYNAMIC) Zulkifli Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Lambung Mangkurat Jl. Bregjen H Hasan Basry, Kampus Kayu Tangi, Banjarmasin, Kode Pos 70123, e-mail
[email protected] Abstract Language Existence and Social Life Dynamic. Language is, as a part of culture, always developing and changing in line with the social life dynamic. The social life, which develops changes, is influencing towards their language. The society with all its activities needs the language as its media. Language is a tool to express various ideas and cultural agents. Referring to that, culture development contributes to the language existence as well. Keywords: language, dynamic, social life
Abstrak Keberadaan Bahasa dan Dinamika Kehidupan Masyarakat. Bahasa sebagai bagian dari kebudayaan selalu berkembang dan berubah sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat. Kehidupan masyarakat yang berkembang dan berubah memberikan pengaruh terhadap bahasa masyarakat tersebut. Masyarakat dengan segala aktivitasnya membutuhkan bahasa sebagai sarananya. Bahasa merupakan sarana untuk mengekspresikan berbagai gagasan dan sebagai pengungkap budaya. Karena itu, perkembangan budaya memberikan kontribusi terhadap keberadaan bahasa itu sendiri. Kata-kata kunci: bahasa, dinamika, kehidupan masyarakat
PENDAHULUAN Bahasa merupakan karya budaya yang amat penting untuk kehidupan manusia, baik untuk kehidupan manusia secara individu maupun untuk kehidupan manusia secara berkelompok. Manusia melakukan komunikasi antarsesama dengan menggunakan bahasa. Bahasa bisa berwujud lisan (sebagai cikal bakal wujud bahasa) dan bisa pula berwujud tulisan (karena manusia mengenal aksara atau tulisan. Kedua wujud bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan. Lebih jauh, manusia juga mengenal bahasa isyarat. Karena itu pula, manusia tidak akan pernah melepaskan dirinya dari kepentingannya untuk menggunakan bahasa. Apa yang dikemukakan ini secara langsung memberikan bukti nyata betapa eratnya hubungan bahasa dalam kehidupan manusia, bahasa dalam konteksnya dengan kehidupan masyarakat. Memang bahasa dan masyarakat memiliki hubungan yang erat. Bahkan untuk memahami bahasa tidak mungkin bisa berhasil tanpa memahami masyarakat itu sendiri (Chaika, 1982: 1). Kajian bahasa yang dikaitkan dengan masyarakat termasuk ke dalam bidang Sosiolinguistik atau sebaliknya yang termasuk ke dalam bidang Sosiologi Bahasa.
175
Setiap pengkajian bahasa banyak-sedikitnya melibatkan pengkajian masyarakat. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa suatu bahasa hidup dan berkembang sesuai dengan keadaan masyarakat bahasa itu sendiri. Di sisi lain, ada pula yang disebut sebagai masyarakat bahasa. Masyarakat bahasa dimaksudkan sebagai sekelompok orang, biasanya dalam jumlah yang relatif besar mereka mendukung, sekaligus menggunakan suatu bahasa serta merasa memiliki bahasa yang digunakannya itu. Karena itu, pengkajian dan pembahasan suatu bahasa akan lebih bermakna jika disertakan dengan pengkajian dan pembahasan masyarakat pendukung bahasa itu sendiri. PEMBAHASAN Bahasa sebagai Alat Komunikasi antaranggota Masyarakat Fungsi mendasar bahasa bagi manusia adalah sebagai alat komunikasi. Manusia memerlukan bahasa untuk berkomunikasi antarsesama dalam arti luas. Bahasa digunakan manusia bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri (Chaer, 1998: 1). Komunikasi yang dilakukan antaranggota masyarakat dilatarbelakangi oleh banyak kepentingan atau tujuan. Ada komunikasi yang ditujukan untuk kepentingan perkenalan dan hubungan persaudaraan, kepentingan bisnis, kepentingan politik, kepentingan pembangunan pertahanan dan keamanan, kepentingan dakwah keagamaan, kepentingan hiburan, kepentingan pembelajaran (proses pendidikan), kepentingan pengembangan budaya, dan sebagainya. Bahasa sebagai alat komunikasi merupakan bukti bahwa manusia membutuhkan bahasa dalam segala aktivitas manusia. Manusia dalam bergaul membutuhkan bahasa untuk saling berperan dalam pergaulan tersebut. Tentu saja dalam pergaulan itu, mereka yang terlibat harus memahami bahasa yang digunakan oleh masing-masing (biasanya berbicara dalam bahasa yang sama). Mereka yang berlatar belakang bahasa yang berbeda, kemudian bisa secara dengan sendirinya memilih bahasa tertentu untuk digunakan bersama. Bahasa juga digunakan untuk surat-menyurat dan penunjang pelayanan publik. Di sisi lain, bahasa merupakan sarana untuk mengekspresikan budaya (Artanti, 1998). Memang, bahasa itu sendiri merupakan bagian dari kebudayaan. Karena itu pula, bahasa sebagai bagian dari kebudayaan, maka tentu mengalami perkembangan, mengalami perubahan, bahkan pada kasus tertentu, bisa saja suatu bahasa menjadi semakin terdesak dan tidak menunjukkan eksistensinya. Semakin maju masyarakat, maka akan memberi kekuatan tersendiri bagi bahasa yang ada di masyarakat tersebut. Kemajuan masyarakat dimaksud baik berupa kemajuan pembangunan fisik, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun kemajuan di bidang penegakan mental spiritual. Di sisi lain, bisa saja terjadi bahwa suatu bahasa memiliki daya sebar yang sangat kuat, memiliki daya bertahan yang tinggi karena bahasa itu sendiri sudah menjadi bahasa pilihan utama dalam kehidupan global atau mungkin dalam kaitan dengan keunggulan bahasa tertentu dalam kedudukannya sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Artinya, bahasa dimaksud sudah menjadi bagian budaya dunia, yang menjadi sarana bagi komunikasi internasional di forum-forum besar yang beragam. Dari sini muncul adanya beberapa bahasa resmi di PBB. Tentu hal ini juga terkait dengan adanya kekuatan dan kepentingan politik serta faktor kesejarahan antarnegara-bangsa yang ada di dunia. Di sisi lain, dalam kehidupan internasional juga terjadi persaingan antarbahasa (walaupun tidak disadari oleh banyak orang). Hal ini amat wajar karena tiap masyarakat bahasa berkeinginan untuk mempertahankan dan memperkuat keberadaan bahasanya, sehingga berbagai usaha dilakukan, antara lain dengan membuka sekolah bahasa dan berbagai bentuk pendidikan bahasa untuk banyak kalangan dan dilakukan di banyak tempat (sebagiannya melewati batas-batas wilayah negara).
176
Bahasa sebagai sarana pengungkap budaya dari waktu ke waktu selalu memberi kontribusi bagi kemajuan suatu budaya yang ada di masyarakat bahasa itu sendiri. karya budaya memerlukan jabaran atau pendeskripsian agar penikmat budaya atau pengguna budaya dapat memahaminya secara lebih mudah dan lebih mengena. Melalui bahasa juga akan dapat merekam karya budaya untuk bisa diabadikan dalam kurun waktu lama, sehingga pewarisan budaya dapat berlangsung dengan baik. Bagaimana adat-istiadat suatu masyarakat yang berlaku zaman dulu akan terekam dengan bantuan bahasa sebagai sarana untuk mengabadikan atau merekam adat-istiadat dimaksud yang dapat dijadikan bahan kajian masa dulu maupun masa-masa akan datang. Keberadaan Bahasa dan Dinamika Kehidupan Masyarakat Bahasa sebagai bagian dari kebudayaan sekaligus menggambarkan begitu dekatnya hubungan antara bahasa dengan masyarakat. Masyarakat sebagai pengemban budaya, sekaligus pencipta budaya, maka keberadaan bahasa menjadi sangat penting untuk menopang budaya itu sendiri. ada bahasa dan ada pula masyarakat bahasa. Masyarakat bahasa merupakan sekelompok manusia yang merasa memiliki bahasa tertentu dan menjandikan bahasa itu sebagai sarana mengekspresikan diri dan budaya mereka. Lebih dari itu, seluruh institusi sosial membutuhkan bahasa, misalnya hukum, keluarga, pendidiikan, ekonomi, dan lain-lain (Chaika, 1982:2). Keberadaan bahasa dengan segala perkembangannya tentu dipengaruhi oleh dinamika kehidupan masyarakat. Dalam konteks bahasa Indonesia saja, tampak bahwa wujud bahasa Indonesia sekarang (tahun 2000-an) berbeda jika dibandingkan dengan wujud bahasa Indonesia di awal-awal dicetuskannya Sumpah Pemuda tahun 1928. Perbendaharaan katanya semakin beragam, di samping ada kosa kata yang sudah tidak lazim lagi saat ini. Ungkapan dan peribahasa yang dulu banyak digunakan masyarakat, sekarang, mungkin sebagian saja yang masih dikenal di kalangan masyarakat. Adanya perbedaan, sekaligus perubahan ini bisa juga dibuktikan dengan menelaah buku-buku terbitan (yang ditulis) tahun-tahun 1950-an ke bawah. Keadaan seperti ini disebabkan karena rentang waktu, pengaruh antarbahasa, pergantian generasi dengan segala kekhasannya, serta terjadinya persentuhan antarbudaya. Artinya, bahasa Indonesia telah mengalami perkembangan, telah berubah, juga telah mendapat pengaruh dari banyak bahasa. Hal ini juga mengisyaratkan bahwa bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu telah mengalami perubahan karena terjadinya interaksi dengan bahasa-bahasa daerah dan bahasa-bahasa dunia (Musaba, 2011). Kehidupan masyarakat dengan segala dinamikanya secara langsung berpengaruh dan memberi warna bagi perkembangan dan keberadaan suatu bahasa. Suatu bahasa tumbuh dan berkembang fase demi fase sesuai dengan irama dan gelora jiwa kesetiaan pemakainya (Adul, 1981:2). Secara sederhana, ketika suatu masyarakat menerima produk teknologi dari luar, maka penamaan produk itu belum tentu sudah tersedia di dalam bahasa masyarakat itu, sehingga akan ada kosa kata baru dalam bahasa mereka. Artinya, aspek pengayaan kosakata ternyata diperoleh karena adanya karya teknologi baru yang masuk ke dalam kehidupan masyarakat tersebut. Jadi, mungkin ratusan kosa kata baru menjadi bagian suatu bahasa, jika dikaitkan dengan adanya pemanfaatan karya teknologi yang berasal dari luar masyarakat itu. Hal ini menggambarkan bahwa dalam kondisi kehidupan mendunia, maka suatu masyarakat bersifat terbuka dan selalu berusaha menyesuaikan dengan kemajuan zaman yang telah membuka sekat-sekat atau batas-batas kewilayahan suatu masyarakat bangsa dan negara. Suatu masyarakat tidak bisa terkungkung atau menutup diri dari dunia luar.
177
Secara perorangan maupun berkelompok setiap masyarakat berinteraksi dengan lingkungan yang semakin meluas. Hal ini akan terasa sekali jika dihubungkan dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang terjadi puluhan terakhir ini. Suatu masyarakat setiap hari dapat menerima sajian informasi melalui banyak bahasa (misalnya melalui tayangan di televisi, juga internet). Jika suatu masyarakat tidak memanfaatkan kemajuan media komunikasi dan informasi, maka akan tertinggal, bahkan akan dapat menghambat percepatan pembangunan. Kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua anggota masyarakat menikmati media komunikasi dan informasi secara memadai. Hal ini tentu terkait dengan latar belakang pendidikan dan kurang mampunya mereka dalam menyesuaikan diri dengan media komunikasi dan informasi tersebut. Karena itu, sudah menjadi kewajiban agar setiap anggota masyarakat berupaya mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, paling tidak sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Dari sinilah akan terlihat adanya gerak dan dinamika kehidupan masyarakat yang kemudian memberi masukan atau pengaruh terhadap keberadaan bahasanya. Bagaimana wujud dan perkembangan suatu bahasa tidak bisa berjalan sendiri, tetapi mesti terkait dengan apa yang ada di sekitarnya, bahkan dengan dunia yang lebih luas. Di sisi lain bahwa bahasa juga amat bergantung dengan konteksnya (Pringgawidagda, 2007). Konteks dimaksud bisa berkaitan dengan tempat, berkaitan dengan mereka yang terlibat di dalam aktivitas berbahasa, berkaitan dengan waktu, dan konteks lainnya. Karena itu, setiap pemakai bahasa hendaknya memahami dan dapat menyesuaikan diri dengan beragam konteks dalam rangka mewujudkan komunikasi yang efektif, terutama untuk komunikasi lisan, tanpa mengabaikan komunikasi atau pengungkapan secara tertulis. Hal ini juga memberi bukti betapa pentingnya fungsi bahasa dalam kehidupan masyarakat. Tanpa bahasa, komunikasi tidak akan berlangsung secara profesional (Rahardi, 2007: 25). Masyarakat sebagai pendukung suatu bahasa (bahkan bisa saja suatu masyarakat mendukung dalam arti terikat untuk menggunakan lebih dari satu bahasa) merasakan manfaat langsung dengan bahasa yang diakrabinya atau sebagai masyarakat bahasa yang bersangkutan. Jika suatu masyarakat bahasa semakin kuat rasa kecintaannya terhadap bahasanya, maka menimbulkan atau mendorong mereka untuk mempertahankan bahasa tersebut. Pemertahanan bahasa bisa diupayakan dengan menggunakan bahasa dengan baik dan benar, merasakan adanya kebersamaan dalam menggunakan bahasa, bahkan walaupun berada di luar wilayah tempat tinggal asal, mereka tetap merasa perlu menggunakan bahasanya. Hal ini bukan berarti tidak menghargai komunitas lain dengan bahasa yang berbeda, tetapi lebih mencerminkan kebanggaan dalam berbahasa sendiri. Namun, dalam kegiatan berbahasa dimaksud tetap memegang nilai-nilai penghormatan terhadap bahasa orang lain. Memang, dalam suatu percakapan, orang dipandang kurang sopan, jika dua orang atau lebih berbahasa daerahnya sendiri, sementara orang lain yang berada di sampingnya bukan penutur bahasa yang bersangkutan. Hal ini sifatnya relatif, tetapi secara umum dapat dikatakan bahwa berdasar asas kepatutan, penggunaan bahasa yang berbeda dengan sejawat yang ada di sekitar tempat terjadinya percakapan dianggap kurang patut, kecuali mereka yang berbicara mungkin terlebih dahulu memohon maaf atau meminta izin untuk menggunakan bahasa yang berbeda tersebut. Betapa kuatnya dinamika kehidupan masyarakat antara lain ditandai dengan terjadinya perkembangan bahasa yang di masyarakat tersebut. Masyarakat desa yang semula menampakkan karakteristik kedesaannya, termasuk wujud bahasa yang digunakannya, lamakelamaan terjadi perubahan karena masuknya pengaruh pola kehidupan kota. Hal ini bisa berupa penambahan kosakata, juga penurunan kelaziman suatu kata. Keadaan seperti ini baru akan terasa dalam kurun waktu yang cukup lama, mungkin sekitar 20 tahunan. Adanya rentang 178
waktu ini juga berkaitan dengan gerak pembangunan suatu masyarakat yang terus mengalami perubahan. Perubahan suatu masyarakat bermacam-macam. Ada perubahan masyarakat karena terjadinya peristiwa politik dan sosial yang besar, misalnya ketika terjadinya pergantian pemerintahan secara mendadak (mungkin karena kudeta atau perebutan kekuasaan), terjadinya pendudukan atau penjajahan dari luar negeri kepada suatu masyarakat, terjadinya penempatan warga baru ke suatu masyarakat, perubahan karena terjadi bencana alam yang besar, dan sebagainya. Bisa pula suatu masyarakat berubah karena pemerintah setempat memberlakukan undang-undang baru atau membuat kebijakan mendasar yang menyangkut kepentingan negara dan kepentingan masyarakat itu sendiri. Setiap perubahan itu, banyak-sedikitnya juga akan berpengaruh (memberi masukan tertentu) terhadap perkembangan dan keberadaan suatu bahasa yang dipakai di masyarakat tersebut. Memang, pengaruh dimaksud bisa saja luput dari perhatian banyak orang, tetapi bagi para pemerhati bahasa (dan ahli bahasa) dan budayawan biasanya tetap teramati dan menjadi bahan kajian. Hasil kajian mereka bisa berwujud buku-buku atau artikel ilmiah kebahasaan dan kebudayaan. Selain itu, kalangan perguruan tinggi, khususnya para dosen dan mahasiswa yang menekuni bidang bahasa dan budaya juga melakukan penelitian, termasuk apa yang dilakukan oleh mahasiswa dalam rangka menyusun skripsi, tesis, dan disertasi yang juga memberi manfaat bagi perkembangan suatu bahasa. Memang, bahasa dalam karya ilmiah memiliki ciri tersendiri. Bahasa dalam karya ilmiah harus logis, tidak emosional, bahasanya harus efektif (pilihan katanya tepat, kalimatnya efektif, dan paragrafnya harus memiliki kesatuan dan kepaduan. Jadi, bahasa dalam karya ilmiah berbeda dengan bahasa dalam karya sastra dan karya lainnya. Karya-karya ilmiah ini tampak belum banyak dimanfaatkan oleh luar perguruan tinggi, masih terbatas untuk kepentingan ilmiah. Karya ilmiah dimaksud sebagian besar tersimpan di perpustakaan, hanya dimanfaatkan oleh kalangan terbatas (untuk bahan kajian para mahasiswa dan para dosen). Sebaiknya, segala bentuk karya ilmiah ini diolah kembali, sehingga dapat disebarkan untuk kalangan yang lebih luas. Pengolahan kembali karya ilmiah ini memang cukup sulit, memerlukan kecermatan dan kreativitas, juga memerlukan upaya penyederhanaan. Dengan cara demikian diharapkan apa-apa yang dihasilkan oleh perguruan tinggi dapat lebih tersebar dan dapat dimanfaatkan oleh banyak kalangan. Upaya ini tentu membutuhkan biaya. Namun, bagaimana pun masalah ini perlu mendapat perhatian khusus dari pihak terkait, terutama bagi perguruan tinggi. Kesimpulan Bahasa sebagai bagian penting dari kebudayaan sangat erat keberadaannya dengan masyarakat. Dinamika atau gerak serta perubahan kehidupan masyarakat berpengaruh terhadap suatu bahasa. Hal ini merupakan pertanda bahwa hubungan antara bahasa dengan masyarakat sangat erat. Masyarakat dengan segala aktivitasnya membutuhkan bahasa. Kebutuhan akan bahasa ini baik bersifat langsung, maupun tidak langsung, bergantung pada wujud aktivitas itu sendiri.
179
DAFTAR RUJUKAN Adul, Asfandi. 1981. Bahasa Indonesia Baku dan Fungsi Guru dalam Pembinaan Bahasa Indonesia. Surabaya: PT Bina Ilmu. Artanti. 1998. Bahasa Indonesia sebagai Sarana Ekspresi dan Media Komunikasi Budaya. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional VIII Bahasa dan Sastra Indonesia. Himpunan Pembina Bahasa Indonesia (HPBI), Semarang, 21-23 Juli. Chaer, Abdul. 1998. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta. Chaika, Elaine. 1982. Language The Social Mirror. New York: Newburry House Publisher. Musaba, Zulkifli. 2011. Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa. Yogyakarta: CV Aswaja Pressindo. Pringgawidagda, Suwarna. 2007. Bahasa dan Gaya Wicara Pranata Adicara.Yogyakarta: Pelangi. Rahardi, R. Kunjana. 2007. Seni Memilih Kata. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.
180
Petunjuk bagi (Calon) Penulis Jurnal Bahasa dan Sastra (JBS)
1. Artikel yang ditulis untuk JBS adalah hasil penelitian di bidang bahasa, sastra, dan pembelajarannya. Naskah diketik dengan huruf Times New Roman, ukuran 12 pts, dengan jarak 1 spasi, dicetak pada kertas A4 sepanjang maksimum 20 halaman, dan diserahkan dalam bentuk print out sebanyak 3 eksemplar beserta filenya ke sekretariat pengelola JBS. Berkas (file) dibuat dengan Microsoft Word. Artikel dalam bentuk file dapat juga dikirim langsung melalui e-mail ke
[email protected]. 2. Nama penulis artikel dicantumkan tanpa gelar akademik dan ditempatkan di bawah judul artikel. Jika naskah ditulis oleh tim, penyunting hanya berhubungan dengan penulis utama atau penulis yang namanya tercantum pada urutan pertama. Penulis perlu mencantumkan alamat e-mail dan/atau alamat korespondensi. 3. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris disertai judul pada masing-masing bagian artikel. Judul artikel dicetak dengan huruf besar di tengah-tengah, dengan huruf sebesar 14 poin. Peringkat judul bagian dinyatakan dengan jenis huruf yang berbeda (semua judul bagian dan sub bagian dicetak tebal atau tebal dan miring). 4. Sistematika artikel hasil penelitian adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik), abstrak (maksimum 100 kata) yang berisi tujuan, metode, dan hasil penelitian; kata kunci; pendahuluan yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian, metode; hasil; pembahasan; kesimpulan dan saran; daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk). 5. Sistematika artikel hasil pemikiran adalah judul, nama penulis (tanpa gelar akademik), abstrak (maksimum 100 kata), kata kunci, pendahuluan yang berisi latar belakang dan tujuan atau ruang lingkup tulisan, bahasan utama(dapat dibagi ke dalam beberapa subbagian), penutup atau kesimpulan, daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk). 6. Judul, abstrak, dan kata kunci ditulis dalam dua bahasa (bahasa Inggris dan bahasa Indonesia). Panjang masing-masing abstrak 75-100 kata, sedangkan jumlah kata kunci 3-5 kata. Abstrak minimal berisi judul, tujuan, metode, dan hasil penelitian. 7. Sumber rujukan sedapat mungkin merupakan pustaka-pustaka terbitan 10 tahun terakhir. Rujukan yang diutamakan adalah sumber-sumber primer berupa laporan penelitian (termasuk skripsi, tesis, disertasi) atau artikel-artikel penelitian dalam jurnal dan/atau majalah ilmiah. 8. Perujukan dan pengutipan menggunakan teknik rujukan berkurung (nama, tahun). Pencantuman sumber pada kutipan langsung hendaknya disertai keterangan tentang nomor halaman tempat asal kutipan. Contohnya: (Rafiek, 2011: 2). 9. Daftar Rujukan disusun dengan tata cara seperti contoh berikut ini dan diurutkan secara alfabetis dan kronologis. Buku: Rafiek, Muhammad. 2010. Psikolinguistik: Kajian Bahasa Anak dan Gangguan Berbahasa. Malang: Universitas Negeri Malang Press. Buku kumpulan artikel: Saukah, Ali & Waseso, Mulyadi Guntur (Eds.). 2002. Menulis Artikel untuk Jurnal Ilmiah. Malang: Universitas Negeri Malang Press. 181
Buku terjemahan: Bucaille, Maurice. 1995. Firaun dalam Bibel dan Al-Quran: Menafsirkan Kisah Historis Firaun dalam Kitab Suci Berdasarkan Temuan Arkeologi. Terjemahan oleh Muslikh Madiyant. 2007. Bandung: Mizania. Artikel dalam buku kumpulan artikel: Bottoms, J. C. 1965. Some Malay Historical Sources: A Bibliographical Note. Dalam Soedjatmoko, Mohammad Ali, G. J. Resink, & G. MCT. Kahin (Eds.), An Introduction to Indonesian Historiography (hlm. 156-193). New York: Cornell University Press. Artikel dalam jurnal: Bertens, K. 1989. Etika dan Etiket Pentingnya Sebuah Perbedaan. Basis, XXXVIII (7): 266273. Artikel dalam Koran: Antemas, Anggraini. 6 Desember 2006. Adat Istiadat Perkawinan Urang Banjar (III), Bapingit-Badudus Sebelum Akad Nikah. Banjarmasin Post, tanpa halaman. Dokumen resmi berupa kamus atau pedoman atau undang-undang: Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 1990. Jakarta: PT Armas Duta Jaya. Skripsi, Tesis, Disertasi, Laporan Penelitian: Rafiek, Muhammad. 2010. Mitos Raja dalam Hikayat Raja Banjar. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Makalah seminar, lokakarya, penataran: Indriyanto. 2001. Peranan dan Posisi Ilmu Sejarah dalam Menjawab Tantangan Zaman. Makalah disajikan dalam Diskusi Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah di Semarang, Fakultas Sastra UNDIP, Semarang, 30 Mei. Rujukan dari internet: Ahmad, Syarwan. 2009. Filologi Hikayat Prang Sabi (Online), (http://blog.harian-aceh.com/ filologi-hikayat-prang-sabi.jsp, diakses 18 Desember 2009). Manuaba, Putera. 2001. Hermeneutika dan Interpretasi Sastra, (Online), (http:// www.angelfire.com/journal/fsulimelight/hermen.html, diakses 10 November 2009). 10.Tata cara penyajian kutipan, rujukan, tabel, dan gambar mengikuti ketentuan dalam Pedoman Penulisan Karya Ilmiah atau mencontoh langsung dari artikel yang sudah terbit dalam JBS. 11.Semua naskah ditelaah oleh penelaah ahli yang ditunjuk oleh penyunting menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk memperbaiki artikelnya atas saran perbaikan dari penelaah ahli. Kepastian pemuatan artikel ilmiah akan diberitahukan kepada penulis. 12.Segala sesuatu yang menyangkut izin pengutipan atau penggunaan software komputer untuk pembuatan naskah artikel atau hal ikhwal lain yang terkait dengan HAKI yang dilakukan oleh 182
penulis artikel termasuk konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi tanggung jawab penuh penulis artikel tersebut. 13.Sebagai prasyarat bagi pemrosesan artikel, para penyumbang artikel wajib menjadi pelanggan minimal selama satu tahun. Penulis yang artikelnya dimuat wajib membayar kontribusi biaya cetak sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) per judul. Sebagai imbalannya, penulis menerima nomor bukti pemuatan sebanyak 5 (lima) eksemplar.
183
FORMULIR BERLANGGANAN
Mohon dicatat sebagai pelanggan JBS Nama
: ……………………………………………………………………….....................
Alamat
: ……………………………………………………………………………………. ………………………………..(Kode Pos …………………………………….....)
Harga langganan mulai 1 Oktober 2012 (2 nomor) Untuk satu tahun · Rp. 100.000,- untuk wilayah Kalimantan Selatan · Rp. 150.000,- untuk wilayah Kalimantan Barat, Tengah dan Timur · Rp. 200.000,- untuk wilayah luar Kalimantan
Formulir ini boleh diperbanyak
(…………………………)
———————————gunting di sini dan kirimkan ke alamat Jurnal BSP———————— ————————-
BERITA PENGIRIMAN UANG LANGGANAN
Dengan ini saya kirimkan uang sebesar: a. Rp. 100.000,- untuk langganan 1 tahun (2 nomor) mulai Nomor ………… Tahun ……... b. Rp. 150.000,- untuk langganan 1 tahun (2 nomor) mulai Nomor ………… Tahun …….. c. Rp. 200.000,- untuk langganan 1 tahun (2 nomor) mulai Nomor ………… Tahun …….. (Lingkari salah satu) Uang tersebut telah saya kirim melalui: BNI Capem Universitas Lambung Mangkurat, rekening nomor 0103958218 a.n. Program Studi Pascasarjana Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia
184