PROTOKOL ISTANBUL Pedoman tentang Penyelidikan dan Pendokumentasian Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat
Translated by ICMC Indonesia
1
PROTOKOL ISTANBUL Pedoman tentang Penyelidikan dan Pendokumentasian Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat
2
DAFTAR ISI
Halaman
Penulis-penulis yang menyumbang serta patisipan lainnya…...…………………… vi Pendahuluan………………………………………………………………………… 1 Bab
Paragraf
I. PEDOMAN HUKUM YANG SALING BERKAITAN...........................
1-46
3
2-6
3
7-23
3
10
4
11-23
5
24-45
7
25-31 32-37
7 8
38-42
9
43-45
9
A. Hukum Internasional tentang Kemanusiaan……………………. B. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)….…………………………. 1. Kewajiban hukum untuk mencegah penyiksaan……. 2. Badan-badan PBB dan cara kerjanya………………………... C. Organisasi-organisasi tingkat regional…...................................... 1. Komisi HAM Antar-Amerika dan Pengadilan HAM Antar-Amerika……………… 2. Pengadilan HAM Eropa…………… 3. Komite Eropa untuk Pencegahan Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman yang Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat……….. 4. Komisi Hak Asasi Manusia dan Rakyat Afrika serta Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Rakyat Afrika…………………………………………………… …..
3
D. Pengadilan Kejahatan Internasional…………………………….
46
10
47-72
11
48-49
11
50-55
11
51-52
11
53-54
12
55
12
56-64
13
57-61
13
62-63
13
64
14
65-72
14
66
14
67-72
15
73-117
16
76
16
II. KODE ETIK YANG BERHUBUNGAN…………………………………...
A. Etika dari profesi ahli yang sah...……………………….……… B. Etika Perawatan Kesehatan……………………………………... 1. Pernyataan-pernyataan PBB yang berhubungan dengan ahli di bidang kesehatan………………………………………….. 2. Pernyataan-pernyataan dari badan-badan ahli internasional… 3. Undang-undang nasional mengenai etika kedokteran………. C. Prinsip-prinsip umum untuk seluruh kode etik perawatan kesehatan…………………………………………………… …… 1. Tugas untuk menyediakan perawatan yang berbelaskasihan. 2. Persetujuan tertulis….……………………………………….. 3. Kerahasiaan…………………………………………… …….. D. Ahli-ahli kesehatan dengan kewajiban ganda…………………... 1. Pedoman untuk seluruh dokter dengan kewajiban ganda…… 2. Dilema yang muncul akibat kewajiban-kewajiban ganda…… III. PEMERIKSAAN SAH MENGENAI PENYIKSAAN………………………
A. Tujuan-tujuan penyelidikan tentang penyiksaan……………….
4
B. Prinsip Penyelildikan yang Efektif dan Pendokumentasian Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat ……………..
77-83
16
C. Tatacara Penyelidikan Kasus Penyiksaan………………
84-105
17
84-86
17
87-100
18
101-102
20
103-104
21
105
21
106-118
21
106
21
107
22
108-109
22
110
22
111
22
112
22
113
22
114
23
115
23
116
23
117-118
23
1. Penentuan badan penyelidik yang berwenang……………………. 2. Mewawancarai orang yang diduga menjadi korban serta saksi lainnya………………………………………………..... 3. Mengamankan dan memperoleh bukti fisik…………………. 4. Bukti medis………………………………………………….. 5. Foto……………………………………………………… ….. D. Komisi Penyelidikan……………………………………………. 1. Menentukan cakupan (ruang lingkup) penyelidikan penyelidikan……………………. 2. Kekuasaan dari komisi………………………………………. 3. Kriteria keanggotaan………………………………………… 4. Staf komisi…………………………………………………... 5. Perlindungan saksisaksi...…………………………………... 6. Laporan Proses……………………………………………………. .. 7. Pemberitahuan penyelidikan………………………………… 8. Penerimaan buktibukti……………………………………… 9. Hak-hak para pihak ……………………………………….. 10. Evaluasi buktibukti…………………………………………. 11. Laporan dari komisi………………………………………….
5
IV. PERTIMBANGAN-PERTIMBANGAN UMUM DALAM MELAKUKAN WAWANCARA……
119-159
24
120
24
122-125
24
126-133
25
134
26
135-140
26
135
26
136
26
137
27
138
27
139-140
27
141-142
27
143-144
28
145-148
28
149-152
29
153-154
29
155
30
A. Tujuan dari penyelidikan, pemeriksaan dan pendokumentasian…….. B. Tatacara perlindungan dengan menghormati para tahanan………. C. Kunjungan resmi ke Rumah Tahanan ……………………… D. Teknik-teknik bertanya………………………………………… E. Pendokumentasian latar belakang…………………………… 1. Riwayat psikososial dan data penangkapan sebelumnya…….. 2. Ringkasan dari penahanan dan perlakukan yang tidak semestinya…………….. 3. Situasi pada saat penahanan…………………………………….. 4. Tempat dan kondisi-kondisi dari penahanan………………... 5. Metode-metode penyiksaan dan penganiayaan..……………. F. Penilaian mengenai latar belakang.………………………………….. G. Tinjauan mengenai metode-metode penyiksaan…………………….. H. Resiko trauma berulang dari orang yang diwawancarai………. I.
Kegunaan penerjemah………………………………………….
J.
Isu-isu jender…………………………………………………...
K. Indikasi-indikasi untuk melakukan rujukan……..…………………………
6
L. Menafsirkan temuan dan kesimpulan…………………………..
156-159
30
160-232
31
162-166
31
167-171
32
169
32
170
32
171
32
172-185
32
175
33
176-181 182
33 34
183
34
184 185
34 34
186-321
34
188-201
35
202-204
37
205-207
37
209-210
38
V. BUKTI FISIK PENYIKSAAN……………………………………………………...
A. Struktur wawancara……………………………………………. B. Sejarah medis………………………………………………….. 1. Gejala-gejala akut…………………………………………… 2. Gejala-gejala kronis…………………………………………. 3. Ringkasan sebuah wawancara……………………………….. C. Pemeriksaan fisik…………………………………………….... 1. Kulit…………………………………………………… ……. 2. Muka…………………………………………………… …… 3. Dada dan perut bagian bawah……………………........... 4. Sistem otot dan kerangka……………………………………. 5. Sistem alat kelamin- kandung kemih……………………………… 6. Sistem syaraf ………………………. D. Pemeriksaan dan evaluasi menyusul terjadinya bentukbentuk khusus penyiksaan……………………………………………... 1. Pemukulan dan bentuk-bentuk lain trauma akibat benda tumpul 2. Pemukulan terhadap kaki……………………………………. 3. Dipaksa melakukan posisi tertentu selama jangka waktu tertentu………………………………………………… 4. Bentuk penyiksaan lain dengan menggunakan berbagai posisi …………………...
7
5. Penyiksaan dengan kejutan listrik…………………………… 6. Penyiksaaan terhadap gigi…………………………………… 7. Kekurangan oksigen…………………………………………. 8. Penyiksaan seksual termasuk
211
38
212
39
213
39
214-231
39
232
42
233-314
43
umum…………………………....
233-238
43
1. Peran utama dari evaluasi psikologis………………………... 2. Konteks dari evaluasi
233-236
43
237-238
44
239-258
44
239
44
240-248
44
249-258
45
259-314
47
259-261
47
262-273
48
274-290
50
291-308
52
309-314
54
perkosaan…………………….. E. Tes-tes diagnostik khusus……….……………..………………. VI. BUKTI PSIKOLOGIS DARI PENYIKSAAN……………………………...
A. Pertimbangan-pertimbangan
psikologis…………………………….. B. Konsekwensi psikologis dari penyiksaan……………………… 1. Pernyataan-pernyataan yang harus diperhatikan……………… 2. Respon-respon psikologis yang umum……………………… 3. Klasifikasi-klasifikasi diagnosis……………………………. C. Evaluasi psikologis/psikiatrik………………………………….. 1. Pertimbangan-pertimbangan etis dan klinis…………………. 2. Proses wawancara…………………………………………… 3. Komponen-komponen dari evaluasi psikologis/psikiatrik…... 4. Penilaian neuropsikologis…………………………………… 5. Anak-anak dan penyiksaan…………………………………..
8
TAMBAHAN
I.
II.
Prinsip Penyelidikan yang Efektif dan Pendokumentasian Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat ……….………………………………………………...
57
Tes-tes diagnostik..……………………………………………………...............
59
III.
Gambar-gambar anatomi untuk dokumentasi dari penyiksaan dan penganiayaan……………………………………………………………… …..... 62
IV.
Pedoman-pedoman penganiayaan......
untuk
evaluasi
medis
dari
penyiksaan
dan 70
9
PENULIS-PENULIS YANG MENYUMBANG SERTA PARTISIPAN LAINNYA
Koordinator-koordinator proyek Dr. Vincent Iacopino, Physicians for Human Rights USA, Boston Dr. Önder Özkalipçi, Human Rights Foundation of Turkey, Istanbul Ms. Caroline Schlar, Action for Torture Survivors (HRFT), Geneva Komite editorial Dr. Kathleen Allden, Indochinese Psychiatric Clinic, Boston, dan Department of Psychiatry, Darthmouth Medical School, Lebanon, New Hampshire Dr. Türkcan Baykal, Human Rights Foundation of Turkey, Izmir Dr. Vincent Iacopino, Psysicians for Human Rights USA, Boston Dr. Önder Özkalipçi, Human Rights Foundation of Turkey, Istanbul Dr. Michael Peel, The Medical Foundation for the Care of Victims of Torture, London Dr. Hernan Reyes, Center for the Study of Society and Medicine, Columbia University, New York Mr. James Welsh, Amnesty International, London Pelapor Khusus Dr. Kathleen Allden, Indochinese Psychiatric Clinic, Boston, dan Department of Psychiatry, Darthmouth Medical School, Lebanon, New Hampshire Ms. Barbara Frey, Institute for Global Studies, University of Minnesota, Minneapolis Dr. Robert Kirschner, Physicians for Human Rights USA, Chicago Dr. üebnem Korur, Society of Forensic Medicine Specialists, Istanbul Dr. Hernan Reyes, Center for the Study of Society and Medicine, Columbia University, New York Ms. Ann Sommerville, British Medical Association, London Dr. Numfondo Walaza, The Trauma Centre for Survivors of Violence and Torture, Cape Town Penulis-penulis yang menyumbang Dr. Suat Alptekin, Forensic Medicine Department, Istanbul Dr. Zuhal Amato, Ethics Department, Doküs Eylul Medical Faculty, Izmir Dr. Alp Ayan, Human Rights Foundation for Turkey, Ankara Dr. Semih Aytaçlar, Sonomed, Istanbul
10
Dr. Metin Bakkalci, Human Rights Foundation for Turkey, Ankara Dr. Ümit Biçer, Society of Forensic Medicine Specialists, Istanbul Dr. YeÍim Can, Human Rights Foundation for Turkey, Istanbul Dr. John Chisholm, British Medical Association, London Dr. Lis Danielsen, International Rehabilitation Council for Torture Victims, Copehagen Dr. Hanan Diab, Physicians for Human Rights Palestine, Gaza Mr. Jean-Michel Diez, Association for the Prevention of Torture, Geneva Dr. Yusuf Do»ar, Human Rights Foundation of Turkey, Istanbul Dr. Morten Ekstrom, International Rehabilitation Council for Torture Victims, Copenhagen Professor Ravindra Fernando, Department of Forensic Medicine and Toxicology, University of Colombo, Colombo Dr. John Fitzpatrick, Cook County Hospital, Chicago Ms. Camile Giffard, University of Essex, England Dr. Jill Glick, University of Chicago Children´s Hospital, Chicago Dr. Emel Gökmen, Department of Neurology, Istanbul University, Istanbul Dr. Karin Helweg-Larsen, Danish Medical Association, Copenhagen Dr. Gill Hinshelwood, The Medical Foundation for the Care of Victims of Torture, London Dr. Uwe Jacobs, Survivors International, San Francisco Dr. Jim Jaranson, The Center for Victims of Torture, Minneapolis Dr. Emre Kapkin, Human Rights Foundation of Turkey, Izmir Dr. Cem Kaptano»lu, Department of Psychiatry, Osmangazi University Medical Faculty, EskiÍehir Professor Ioanna Kuçuradi, Center for Research and Application of Philosophy and Human Rights, Hacettepe University, Ankara Mr. Basem Lafi, Gaza Community Mental Health Program, Gaza Dr. Elisa Massimino, Lawyers Committee for Human Rights, New York Ms. Carol Mottet, Legal consultant, Bern Dr. Fikri Öztop, Department of Pathology, Ege University Medical Faculty, Izmir Mr. Alan Parra, Office of the Special Rappoteur on Torture, Geneva Dr. Beatrice Patsalides, Survivors International, San Francisco Dr. Jean Pierre Restellini, Human Rights Awareness Unit, Directorate of Human Rights, Council of Europe, Starsbourg Mr. Nigel Rodley, Special Rapporteur on Torture, Geneva Dr. Füsun Sayek, Turkish Medical Association, Ankara Dr. Françoise Sironi, Centre Georges Devereux, University of Paris VIII, Paris Dr. Bent Sorensen, International Rehabilitation Council for Torture Victims, dan Committee against Torture, Geneva Dr. Nezir Suyugül, Forensic Medicine Department, Istanbul Ms. Asmah Tareen, University of Minnesota Law School, Minneapolis Dr. Henrik Klem Thomsen, Department of Pathology, Bispebjerg Hospital, Copenhagen Dr. Morris Tidball-Binz, Program for the Prevention of Torture, Inter-American Institute of Human Rights, San José, Costa Rica Dr. Nuray Türksoy, Human Rights Foundation of Turkey, Istanbul Ms. Hülya Üçpinar, Human Rights Office, Izmir Bar Association, Izmir
11
Dr. Adriaan van Es, Johannes Wier Foundation, Amsterdam Mr. Ralf Wiedemann, University of Minnesota Law School, Minneapolis Dr. Mark Williams, The Center for Victims of Torture, Minneapolis Partisipan Mr. Alessio Bruni, Committee against Torture, Geneva Dr. Eyad El Sarraj, Gaza Community Mental Health Programme, Gaza Dr. Rosa Garcia-Peltoniemi, The Center for Victims of Torture, Minneapolis Dr. Ole Hartling, Danish Medical Association, Copenhagen Dr. Hans Petter Hougen, Danish Medical Association, Copenhagen Dr. Delon Human, World Medical Association, Ferney-Voltaire Dr. Dario Lagos, Equipo Argentino de Trabajo e Investigación Psicosocial, Buenos Aires Dr. Frank Ulrich Montgomery, German Medical Association, Berlin Mr. Daniel Prémont, United Nations Voluntary Fund for Victims of Torture, Geneva Dr. Jagdish C. Sobti, Indian Medical Association, New Delhi Mr. Trevor Stevens, European Committee for the Prevention of Torture, Strasbourg Mr. Turgut Tarhanli, International Relations and Human Rights Department, Bo»azici University, Istanbul Mr. Wilder Taylor, Human Rights Watch, New York Dr. Joergen Thomson, International Rehabilitation Concil for Torture Victims, Copenhagen
Proyek ini mendapat dana dan dukungan penuh dari the United Nations Voluntary Fund for the Victims of Torture, the Division for Human Rights and Humanitarian Policy of the Federal Department of Foreign Affairs, Swiss, the Office for Democratic Institutions and Human Rights of the Organization for Security and Cooperation in Europe, the Swedish Red Cross, the Human Rights Foundation of Turkey and Physicians for Human Rights. Dukungan tambahan didapat dari The Center for Victims of Torture, the Turkish Medical Association, the International Rehabilitation Council for Torture Victims, Amnesty International Switzerland dan the Christian Association for the Abolition of Torture Switzerland.
12
PENDAHULUAN
Definisi Penyiksaan dalam buku pedoman ini diambil dari Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa anti Penyiksaan, tahun 1984: “Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketika, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atau atas hasutan dari, atau dengan persetujuan, atau dibiarkan oleh pejabat pemerintahan atau orang lain yang berindak dengan kapasitas resmi. Hal tersebut tidak termasuk kesakitan atau penderitaan yang timbul dari, melekat pada, atau berkaitan dengan sanksi-sanksi hukum.”1 Penyiksaan adalah suatu keprihatinan yang mendalam untuk komunitas dunia. Penyiksaan tidak hanya bertujuan untuk dengan sengaja menghancurkan kesehatan fisik dan emosional seseorang tetapi juga dalam beberapa hal menghancurkan harga diri dan semangat komunitas secara keseluruhan. Hal ini berkenaan dengan seluruh umat manusia karena penyiksaan merenggut makna sesungguhnya dari keberadaan kita dan harapan kita untuk masa depan yang lebih cerah.2 Walaupun hukum internasional mengenai hak asasi manusia dan kemanusiaan secara tegas melarang tindak penyiksaan dalam kondisi apa pun (lihat bab I), penyiksaan dan penganiayaan dipraktekkan oleh lebih dari setengah jumlah seluruh negara di dunia. 3'4 Perbedaan yang menonjol antara larangan mutlak mengenai penyiksaan dengan apa yang lazim terjadi di dunia saat ini menunjukkan kebutuhan agar Negara-negara memperkenalkan dan melaksanakan langkah-langkah efektif guna melindungi individu-individu dari penyiksaan dan penganiayaan. Pedoman ini dikembangkan untuk membantu Negara-negara menyikapi salah satu keprihatinan paling mendasar dari usaha melindungi individu dari penyiksaan—yaitu pendokumentasian yang efektif. Dokumentasi semacam itu membawa 1
Komisi Terpercaya dari Dana Sukarela Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Penyiksaan belum lama ini memutuskan, bahwa untuk tujuan-tujuan kerjanya, mereka akan menggunakan Pernyataan tentang Perlindungan pada Seluruh Individu dari Berhadapan dengan Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Lainnya. 2 V. Iacopino, “Treatment of survivors of political torture: commentary”, The Journal of Ambulatory Care Management, 21 (2) 1998:5-13. 3 Amnesti Internasional, Laporan Amnesti Internasional 1999 (London, AIP, 1999). 4 M. Balo»lu, “Prevention of torture and care of survivors: an integrated approach”, The Journal of American Medical Association (JAMA), 270 1993:606-611.
13
bukti ke titik terang sehingga para pelaku dapat dipertanggungjawabkan atas tindakantindakan mereka dan keadilan dapat ditegakkan. Metode-metode dokumentasi dalam buku pedoman ini juga dapat digunakan dalam kondisi-kondisi lainnya, termasuk dalam penyelidikan dan pemantauan hak asasi manusia, evaluasi suaka politik, pembelaan untuk individu yang “mengaku” melakukan kejahatan saat disiksa serta penilaian kebutuhan, salah satunya untuk perawatan para korban penyiksaan. Dalam kasus dimana ahli-ahli di bidang kesehatan dipaksa untuk mengabaikan, memberikan gambaran yang keliru atau memalsukan bukti penyiksaan, pedoman ini juga menyediakan suatu patokan referensi internasional untuk ahli-ahli kesehatan dan pengambil keputusan serupa. Sepanjang dua dekade terakhir, banyak hal telah dipelajari mengenai penyiksaan dan berbagai dampaknya, tapi belum ada pedoman internasional untuk pendokumentasian yang tersedia sebelum buku pedoman ini dikembangkan. Pedoman tentang Penyelidikan dan Pendokumentasian Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat (Protokol Istanbul) ditujukan sebagai pedoman internasional untuk melakukan penilaian terhadap orang-orang yang menyatakan mengalami penyiksaan dan penganiayaan, untuk menyelidiki kasus-kasus penyiksaan yang perlu dibuktikan dan untuk melaporkan temuan-temuan tersebut ke pengadilan atau badan penyelidik lainnya. Pedoman ini berisikan prinsip-prinsip untuk penyelidikan dan pendokumentasian yang efektif tentang penyiksaan, dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat (lihat tambahan 1). Prinsip-prinsip ini menggambarkan standar-standar minimum bagi Negara-negara guna memastikan keefektifan pendokumentasian dari kasus penyiksaan.5 Pedoman-pedoman dalam buku ini tidak dimaksudkan sebagai suatu protokol yang tetap. Sebaliknya, pedoman-pedoman ini mewakili standar minimum berdasarkan prinsip-prinsip tersebut dan sebaiknya digunakan dengan memperhitungkan sumber-sumber lainnya yang tersedia. Pedoman dan prinsip-prinsip ini merupakan hasil dari tiga tahun analisa, penelitian dan perencanaan, yang dilakukan oleh lebih dari 75 ahli di bidang hukum, kesehatan dan hak asasi manusia, mewakili 40 organisasi atau institusi dari 15 negara. Pembentukan konsep dan persiapan untuk buku pedoman ini merupakan usaha kerjasama antara peneliti forensik, dokter, psikolog, pengamat hak asasi manusia dan pengacara yang bekerja di Chili, Costa Rica, Denmark, Perancis, Jerman, India, Israel, Belanda, Afrika Selatan, Sri Lanka, Swiss, Turki, Inggris, Amerika, dan wilayahwilayah Palestina yang diduduki.
5
Prinsip-prinsip mengenai Penyelidikan dan Pendokumentasian yang Efektif tentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Lainnya telah dilampirkan dalam resolusi Majelis Umum 55/89 (4 Desember 2000) dan resolusi Komisi Hak Asasi Manusia 2000/43 (20 April 2000), kedua-duanya disetujui tanpa voting.
14
BAB 1 PEDOMAN HUKUM INTERNASIONAL YANG SALING BERKAITAN
1. Hak terbebas dari penyiksaan secara tegas ditetapkan dalam hukum internasional. Pernyataan Universal tentang Hak Asasi Manusia, Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik serta Konvensi Anti Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat seluruhnya dengan jelas melarang penyiksaan. Demikian pula beberapa perangkat di tingkat regional yang dengan jelas menetapkan hak untuk bebas dari penyiksaan. Perjanjian Amerika tentang Hak Asasi Manusia, Piagam Afrika tentang Hak-hak Manusia dan Rakyat serta Perjanjian untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Mendasar berisi penjelasan tentang larangan tindak penyiksaan. A. Hukum Internasional tentang Kemanusiaan 2. Perjanjian internasional yang menengahi konflik-konflik bersenjata menetapkan hukum internasional tentang kemanusiaan atau hukum perang. Larangan penyiksaan di bawah hukum internasional tentang kemanusiaan memang tidak banyak, tapi merupakan bagian penting yang disediakan oleh perjanjian ini untuk perlindungan yang lebih luas bagi seluruh korban perang. Keempat Konvensi Geneva pada tahun
1949 telah disahkan oleh 188 Negara. Mereka menetapkan peraturan-peraturan pelaksanaan dalam kondisi konflik internasional bersenjata dan, khususnya, perlakuan terhadap orang-orang yang tidak, atau tidak lagi mengambil bagian dalam perang, termasuk yang terluka, menjadi tawanan dan masyarakat sipil. Keempat Konvensi tersebut melarang hukuman berupa penyiksaan dan bentukbentuk penganiayaan lainnya. Pada tahun 1977, dua Protokol dilampirkan pada Perjanjian Geneva untuk memperluas perlindungan dan cakupan perjanjianperjanjian ini. Protokol I (disahkan bersama oleh 153 Negara) meliputi konflik-konflik internasional. Protokol II (disahkan bersama oleh 145 Negara) meliputi konflik-konflik noninternasional. 3. Hal yang lebih penting di sini adalah apa yang dkenal sebagai “Pasal Umum 3”, yang ditemukan dalam keempat perjanjian itu. Pasal Umum 3 dapat digunakan untuk konflik bersenjata “yang tidak bersifat internasional”, tanpa definisi lebih lanjut. Ini menjelaskan kewajiban-kewajiban pokok yang harus dihormati dalam semua konflik bersenjata, tidak hanya perang internasional antar negara. Secara umum ini berarti apa pun sifat suatu perang atau konflik, peraturan-peraturan mendasar tertentu tidak boleh dihapus. 4. Pasal Umum 3 menyatakan: .....perbuatan-perbuatan berikut dilarang dan akan selalu dilarang kapanpun dan dimanapun ... kekerasan yang membahayakan kehidupan dan manusia , khususnya pembunuhan mahluk hidup, pemotongan anggota badan, perlakuan kejam dan penyiksaan; ... hinaan terhadap
15
harga diri seseorang, khususnya mempermalukan dan perlakuan yang merendahkan martabat....
5. Seperti yang dinyatakan Pelapor Khusus tentang Penyiksaan, Nigel Rodley: Larangan penyiksaan atau bentuk penganiayaan lainnya hampir tidak bisa dirumuskan dalam istilah yang lebih mutlak. Meminjam komentar resmi International Committee of the Red Cross (ICRC), tidak ada celah lagi yang tersisa; tidak akan ada alasan, tidak ada pelunakan.6
6. Hubungan lebih lanjut antara hukum internasional tentang kemanusiaan dan hukum tentang hak asasi manusia ditemukan dalam Mukadimah Protokol II, yang dengan sendirinya mengatur konflik bersenjata non-internasional (seperti perang saudara), dan yang menyatakan bahwa: “.... aturan internasional yang berhubungan dengan hak asasi manusia menyediakan perlindungan mendasar untuk manusia”7 B. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 7. Untuk memastikan perlindungan yang memadai bagi semua orang dari penyiksaan atau perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, PBB telah lama ingin mengembangkan standart-standart yang dapat digunakan secara universal. Konvensi, Deklarasi dan Resolusi yang telah disetujui oleh Negaranegara Anggota PBB secara jelas menyatakan bahwa tidak akan ada pengecualian untuk larangan penyiksaan dan menetapkan kewajiban-kewajiban 6
N. Rodley, The Treatment of Prisoners under International Law, 2nd ed. (Oxford, Clarendon Press, 1999:58) 7 Paragraf ke 2 dari Mukadimah Protokol II (1977), lampiran untuk Konvensi Geneva tahun 1949.
lainnya untuk memastikan perlindungan terhadap bentuk-bentuk penyalahgunaan semacam itu. Dari antara aturan-aturan tersebut, yang terpenting adalah Pernyataan Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)8, Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Convenant on Civil and Political Rights)9, Peraturan Standar Minimum tentang Perlakuan terhadap Tahanan (Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners)10, Deklarasi PBB tentang Perlindungan Bagi Semua Orang dari Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat (Deklarasi tentang Perlindungan dari Penyiksaan)11, Pedoman Pelaksanaan Penegakan Hukum (Code of Conduct on Law Enfocement)12, Prinsip-psinsip etika medis yang berhubungan dengan Peran Staf Kesehatan Khususnya Dokter, dalam Melindungi Tahanan dan Tawanan terhadap Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat 8
Resolusi Rapat Umum 217 A (III), dokumen PBB A/810 hal 71 (1948), Pasal 5. 9 Resolusi Rapat Umum 217 A (XXI), 21 PBB GAOR Supp. (No.16) hal 52, dokumen PBB A/6316 (1966), 999 United Nations Treaty Series 171, yang mulai diberlakukan pada 23 Maret 1976, Pasal 7 10 Disetujui pada 30 Agustus 1955 oleh Kongres Pertama PBB mengenai Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan Terhadap Pelanggar Hukum, dokumen PBB A/CONF/611, tambahan I, Resolusi Dewan Ekonomi dan Masyarakat 663C, 24 PBB ESCOR Supp. (No.1) hal 11, dokumen PBB E/3048 (1957), diperbaiki oleh resolusi Dewan Ekonomi dan Masyarakat 2076, 62 PBB ESCOR Supp. (No.1) hal 35, dokumen PBB E/5988 (1977), Pasal 31. 11 Resolusi Rapat Umum 3452 (XXX), tambahan, 30 PBB GAOR Supp. (No.34) hal 91, dokumen PBB A/10034 (1975), Pasal 2 dan 4. 12 Resolusi Rapat Umum 34/169, tambahan, 34 PBB GAOR Supp. (No.46) hal 186, dokumen PBB A/34/46 (1979), Pasal 5.
16
(Prinsip-prinsip etika medis)13, Konvensi Anti Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat (Konvensi Anti Penyiksaan)14, Prinsiprinsip Pokok untuk Perlindungan bagi Semua Orang yang Ditahan dan Dipenjara (Prinsip Pokok tentang Penahanan)15 dan Prinsip-prinsip Dasar Tentang Perlakuan terhadap Tawanan16 8. Konvensi PBB tentang Anti Penyiksaan tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya oleh, yang melekat atau diakibatkan oleh sanksi hukum.17 9. Badan-badan HAM dan mekanisme kerja PBB lainnya telah mengambil langkah dalam mengembangkan standartstandart untuk pencegahan tindak penyiksaan dan standart-standart yang 13 Resolusi Rapat Umum 37/194, tambahan, 37 PBB GAOR Supp. (No.51) hal 211, dokumen PBB A/37/51 (1982), prinsip 2-5. 14 Resolusi Rapat Umum 39/46, tambahan, 39 PBB GAOR Supp. (No.51) hal 197, dokumen PBB A/39/51 (1984), yang mulai diberlakukan pada 26 Juni 1987, Pasal 2. 15 Resolusi Rapat Umum 43/173, tambahan, 43 PBB GAOR Supp. (No.49) hal 298, dokumen PBB A/43/49 (1988), prinsip 6. 16 Resolusi Rapat Umum 45/111, tambahan, 45 PBB GAOR Supp. (No.49A) hal 200, dokumen PBB A/45/49 (1990), Prinsip 1. 17 Untuk pemahaman tentang bagaimana “sanksi hukum” terbentuk, lihat Laporan dari Pelapor Khusus tentang Penyiksaan pada sesi ke 53 dari Komisi HAM (E/CN.4/1997/7, prgf 3-11), dimana Pelapor Khusus memberi pandangan bahwa pelaksanaan hukuman-hukuman seperti hukuman rajam sampai mati, , mencambuk dan amputasi tidak dapat dianggap sah hanya karena hukuman tersebut telah disahkan sesuai prosedur undangundang. Pemahaman yang diajukan Pelapor Khusus, yang konsisten dengan posisi Komite HAM serta cara kerja PBB lainnya, dibenarkan oleh resolusi Komisi HAM 1998/38, yang “mengingatkan Pemerintah bahwa hukuman jasmani bisa dimasukkan dalam perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan atau bahkan penyiksaan”.
melibatkan kewajiban Negara-negara untuk menyelidiki dugaan terjadinya penyiksaan. Badan-badan dan mekanisme kerja ini meliputi Komite Anti Penyiksaan, Komisi HAM, Pelapor Khusus tentang Penyiksaan, Pelapor Khusus tentang Kekerasan Terhadap Perempuan dan Pelapor Khusus untuk negara tertentu yang ditunjuk oleh Komisi HAM PBB. 1. Kewajiban hukum untuk mencegah penyiksaan 10. Ketentuan-ketentuan Internasional yang disebutkan di atas menetapkan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dihormati Negara-negara untuk memastikan perlindungan dari penyiksaan. Ketentuan-ketentuan tersebut meliputi: (a)
(b)
(c)
Mengambil tindakan legislatif, administratif, yudikatif atau lainnya secara efektif untuk mencegah tindakan penyiksaan. Tidak ada pengecualian, termasuk perang, yang dapat menjadi pembenaran tindakan penyiksaan (Pasal 2 dari Konvensi Anti Penyiksaan dan Pasal 3 dari Deklarasi tentang Perlindungan dari Penyiksaan); Tidak mengusir, mengembalikan atau menyerahkan seseorang ke suatu negara jika ada alasan yang cukup untuk percaya bahwa dia akan disiksa (Pasal 3 dari Konvensi Anti Penyiksaan); Menyatakan tindak penyiksaan sebagai tindak pidana termasuk keterlibatan atau partisipasi di dalam melakukan penyiksaan. (Pasal 4 dari Konvensi Anti Penyiksaan, Prinsip ke 7 dari Prinsip-prinsip Pokok tentang
17
(d)
(e)
(f)
Penahanan, Pasal 7 dari Deklarasi tentang Perlindungan dari Penyiksaan dan prgf. 31-33 dari Peraturan Standart Minimum untuk Perlakuan terhadap Tahanan); Bertanggung jawab untuk menjadikan penyiksaan sebagai suatu pelanggaran yang bisa diekstradisi dan membantu Negara-negara pihak dalam memahami cara menindak kejahatan tanpa melakukan penyiksaan (Pasal 8 dan 9 dari Konvensi Anti Penyiksaan); Membatasi penahanan yang memutuskan hubungan dengan dunia luar; memastikan bahwa tahanan ditahan di tempat-tempat penahanan yang resmi; memastikan nama-nama orang yang bertanggung jawab atas penahanan mereka dapat diakses oleh keluarga dan teman; merekam waktu dan tempat seluruh kegiatan interograsi, bersama dengan nama-nama orang yang hadir; serta membolehkan dokter, pengacara dan anggota keluarga bertemu tahanan (Pasal 11 dari Konvensi Anti Penyiksaan; prinsip 11-13, 15-19 dan 23 dari Prinsip-prinsip Pokok tentang Penahanan; prgf. 7, 22 dan 37 dari Peraturan Standart Minimum tentang Perlakuan terhadap Tahanan); Memastikan bahwa pendidikan dan informasi tentang larangan penyiksaan dimasukkan dalam pelatihan untuk para penegak hukum (sipil dan militer), staf medis, pegawai negeri dan pihakpihak terkait lainnya (Pasal 10 dari Konvensi Anti Penyiksaan, Pasal 5 dari Deklarasi tentang
Perlindungan terhadap Penyiksaan, prgf.54 dari Peraturan Standart Minimum tentang Perlakuan terhadap Tahanan); (g) Memastikan bahwa pernyataan apa pun yang dihasilkan dari suatu tindak penyiksaan tidak digunakan sebagai alat bukti dalam proses hukum, kecuali terhadap tersangka pelaku penyiksaan sebagai bukti bahwa pernyataan tersebut telah dibuat (Pasal 15 dari Konvensi Anti Penyiksaan, Pasal 12 dari Deklarasi tentang Perlindungan dari Penyiksaan); (h) Memastikan pihak-pihak yang berwenang melakukan penyelidikan yang cepat dan tanpa memihak, jika ditemukan dasar-dasar yang cukup untuk percaya bahwa tindak penyiksaan telah dilakukan (Pasal 12 dari Konvensi Anti Penyiksaan, prinsip 33 dan 34 dari Badan Prinsip-prinsip tentang Penahanan, Pasal 9 dari Deklarasi tentang Perlindungan dari Penyiksaan); (i) Memastikan bahwa korban penyiksaan memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi yang baik dan memadai (Pasal 13 dan 14 dari Konvensi Anti Penyiksaan, Pasal 11 dari Deklarasi tentang Perlindungan dari Penyiksaan, prgf 35 dan 36 dari Peraturan Standart Minimum tentang Perlakuan terhadap Tahanan); (j)Memastikan bahwa tersangka pelaku penyiksaan diproses secara hukum jika suatu penyelidikan menunjukkan bahwa tidak penyiksaan telah dilakukan. Jika
18
suatu tuduhan tentang penyiksaan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat dianggap cukup bukti, tersangka pelaku harus menjalani proses hukum, pendisiplinan, atau tindakan lain yang sesuai. (Pasal 7 dari Konvensi Anti Penyiksaan, Pasal 10 dari Deklarasi tentang Perlindungan dari Penyiksaan). 2. Badan-Badan PBB dan Cara Kerjanya (a) Komite Anti Penyiksaan 11. Komite Anti Penyiksaan mengawasi pelaksanaan dari Konvensi Anti Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat. Komite ini terdiri dari 10 ahli yang ditunjuk karena memiliki “pendirian moral yang tinggi dan kompetensi yang diakui dalam bidang hak asasi manusia”. Berdasarkan Pasal 19 dari Konvensi Anti Penyiksaan, Negaranegara pihak mengajukan laporan mengenai tindakan-tindakan yang telah mereka ambil sebagai bentuk tanggung jawab terhadap Konvensi tersebut ke Komite melalui Sekretaris-Umum. Komite kemudian memeriksa bagaimana syaratsyarat dari Konvensi tersebut telah dimasukkan ke dalam hukum nasionalnya dan mengawasi bagaimana pelaksanaannya. Setiap laporan dipertimbangkan oleh Komite, yang dapat membuat komentar-komentar umum dan rekomendasi dan memasukkan informasi ini ke dalam laporan tahunan kepada Negara-negara pihak dan kepada Rapat Umum. Prosedur-prosedur ini dilakukan pada rapat-rapat terbuka.
informasi terpercaya yang menunjukkan tanda-tanda penyiksaan dilakukan secara sistematis di suatu wilayah Negara pihak, Komite harus mengundang Negara pihak tersebut untuk bekerja sama dalam menyelidiki kebenaran informasi tersebut dan memasukkan laporan pemantauan yang berkaitan dengan informasi tersebut. Jika dipandang perlu, Komite dapat menunjuk satu atau lebih anggotanya untuk melakukan penyelidikan rahasia dan dengan segera melaporkan temuannya ke Komite. Dengan persetujuan Negara pihak tersebut, penyelidikan itu dapat meliputi kunjungan ke wilayah negaranya. Setelah memeriksa hasil temuan penyelidikan, Komite mengirimkan hasil temuan ini kepada Negara Pihak dengan memasukkan komentar atau saran-saran yang dianggap sesuai dengan situasi yang terjadi. Seluruh laporan proses yang dilakukan Komite berdasarkan Pasal 20 ini bersifat rahasia, dan membutuhkan kerja sama dari Negara Pihak yang bersangkutan pada seluruh tahapannya. Setelah prosedur ini selesai dan setelah berdiskusi dengan Negara yang bersangkutan, Komite dapat memutuskan untuk memasukkan ringkasan hasil penyelidikan ini ke dalam laporan tahunan untuk Negara-negara pihak lainnya dan Rapat Umum.18 13. Berdasarkan Pasal 22 dari Konvensi Anti Penyiksaan, suatu Negara pihak dapat kapan saja mengakui kewenangan Komite untuk menerima dan mempertimbangkan pengaduanpengaduan perorangan dari atau mewakili individu-individu dalam wilayah kekuasaannya, yang mengaku menjadi korban pelanggaran isi Konvensi Anti 18
12. Berdasarkan Pasal 20 dari Konvensi Anti Penyiksaan, jika Komite menerima
Namun harus diperhatikan bahwa ketentuan Pasal 20 dibatasi oleh reservasi/keberatan yang diajukan oleh Negara Pihak,. Dalam kasus ini ketentuan Pasal 20 tidak bisa digunakan.
19
Penyiksaan di wilayah Negara tersebut. Komite kemudian mempertimbangkan pengaduan tersebut secara rahasia dan akan menyampaikan pendapatnya kepada Negara pihak dan individu yang bersangkutan. Hanya 39 dari 112 Negaranegara pihak yang menyetujui Konvensi telah menggunakan Pasal 22 ini. 14. Dari antara hal-hal yang menjadi perhatian Komite dalam laporan tahunannya kepada Rapat Umum adalah pentingnya Negara-negara pihak mematuhi Pasal 12 dan 13 dalam Konvensi Anti Penyiksaan untuk memastikan dilakukannya penyelidikan yang cepat dan tidak memihak untuk semua pengaduan tindak penyiksaan. Sebagai contoh, Komite telah menyatakan bahwa penyelidikan dugaan penyiksaan yang tertunda selama 15 bulan dianggap terlalu lama dan tidak masuk akal serta tidak mematuhi Pasal 12.19 Komite juga mencatat bahwa Pasal 13 tidak mensyaratkan prosedur formal untuk melakukan pengaduan tentang penyiksaan, akan tetapi “pernyataan dari seorang korban bahwa dia mengalami penyiksaan sudah cukup untuk (Negara Pihak) berkewajiban melakukan penyelidikan dengan cepat dan tanpa memihak atas pernyataan tersebut.”.20 (b) Komite Hak Asasi Manusia 15. Komite Hak Asasi Manusia dibentuk sesuai dengan Pasal 28 dari Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Convenant on Civil and Political Rights) dan kebutuhan untuk 19 Lihat Komunikasi 8/1991, paragraph 185, dilaporkan dalam laporan Rapat Umum Komite Anti Penyiksaan (A/49/44) tanggal 12 Juni 1994. 20 Lihat Komunikasi 6/1990, paragraph 10.4, dilaporkan dalam laporan Rapat Umum Komite Anti Penyiksaan (A/50/44) tanggal 26 July 1995.
mengawasi pelaksanaan Kovenan tersebut oleh Negara-negara Pihak. Komite ini terdiri dari 18 ahli independen yang diharapkan memiliki moral tinggi dan kemampuan yang diakui dalam bidang hak asasi manusia. 16.Negara-negara Pihak dalam Konvensi harus memasukkan laporan setiap 5 tahun sekali mengenai tindakantindakan yang telah mereka lakukan untuk menerapkan hak-hak yang diakui dalam Kovenan serta kemajuan yang diperoleh. Komite HAM memeriksa laporan-laporan tersebut melalui dialog dengan perwakilan-perwakilan dari Negara Pihak yang laporannya sedang diperiksa. Kemudian Komite memberikan kesimpulan dari pengamatannya yang meringkas hal-hal yang menjadi perhatian utama serta memberikan saran-saran yang sesuai kepada Negara Pihak. Komite juga memberikan penjelasan umum untuk menafsirkan Pasal-pasal khusus dalam Kovenan guna membantu Negara-negara Pihak dalam pembuatan laporan mereka, termasuk juga pelaksanaan ketentuanketentuan dalam Kovenan.. Dalam salah satu penjelasan umum, Komite memperjelas Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Convenant on Civil and Political Rights), yang menyatakan bahwa tidak seorangpun boleh mendapatkan penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Penjelasan umum tentang Pasal 7 Kovenan dalam laporan Komite secara khusus menjelaskan bahwa melarang penyiksaan atau memasukkannya sebagai tindak kejahatan belum dianggap cukup sebagai bentuk pelaksanaan dari Pasal 7.21 Komite menyatakan: “... Negara-negara harus memastikan perlindungan yang 21
Dokumen PBB A/37/40 (1982).
20
efektif melalui suatu mekanisme kontrol. Pengaduan –pengaduan tentang penganiayaan harus diselidiki secara efektif oleh pihak-pihak berwewenang yang kompeten.” 17. Pada 10 April 1992, Komite menerima Penjelasan umum yang baru tentang Pasal 7, guna mengembangkan penjelasan-penjelasan sebelumnya. Komite menguatkan Pasal 7 dengan menyatakan bahwa “Pengaduanpengaduan harus diselidiki dengan cepat dan tanpa memihak oleh pihak-pihak berwenang yang kompeten untuk memberikan pertolongan yang efektif”. Di suatu Negara yang telah menyetujui Protokol Opsional Pertama dari Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik , seorang individu dapat langsung mengajukan pengaduan pada Komite bahwa hak-haknya yang tercantum dalam Konvensi telah dilanggar. Jika pengaduan tersebut dianggap dapat diterima, maka Komite menuliskan keputusannya dengan pertimbangan demi kebaikan, yang dibuat secara terbuka dalam laporan tahunannya. (c) Komisi Hak Asasi Manusia 18. Komisi Hak Asasi Manusia adalah Badan HAM utama dalam PBB. Komisi ini beranggotakan 53 Negara yang dipilih oleh Dewan Ekonomi dan Sosial untuk jangka waktu 3 tahun. Komisi ini bertemu setiap tahun selama 6 minggu di Geneva untuk menangani isu-isu HAM. Komisi ini dapat mengawali penelitian-penelitian dan misi pencarian-fakta, membuat naskah Konvensi dan Deklarasi untuk kemudian disetujui oleh badan-badan PBB yang lebih tinggi lainnya serta mendiskusikan pelaranggaran-pelanggaran HAM yang bersifat khusus di dalam sesi-sesi terbuka ataupun tertutup. Pada 6 Juni 1967, Dewan Ekonomi dan Sosial dalam
Resolusi Nomor 1235, memberi kuasa pada Komisi HAM untuk memeriksa dugaan pelanggaran-pelanggaran HAM berat dan untuk melakukan “penelitian menyeluruh mengenai situasi-situasi yang menunjukkan pola yang tetap dari pelanggaran-pelanggaran HAM”22 Di bawah mandat ini, Komisi HAM antara lain telah menerima resolusi-resolusi yang mengekspresikan kepedulian terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM dan telah menujuk pelapor-pelapor khusus untuk menangani pelanggaran berdasarkan isuisu tertentu. Komisi juga telah menerima resolusi-resolusi yang berkenaan dengan penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Dalam Resolusi Nomor 38/1998, Komisi menekankan bahwa “semua dugaan tentang penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat harus diselidiki oleh pihak berwenang yang kompeten di suatu negara” (d). Pelapor Khusus tentang Penyiksaan 19. Pada tahun 1985, Komisi memutuskan berdasarkan Resolusi Nomor 33/1998, untuk menunjuk seorang Pelapor Khusus tentang Penyiksaan. Pelapor Khusus dituntut untuk mencari dan menerima informasi terpercaya dan dapat diandalkan tentang pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan penyiksaan dan untuk merespon informasi tersebut secepatnya. Komisi telah membaharui madat Pelapor Khusus secara kontinyu dalam resolusi-resolusi berikutnya. 20. Kekuasaan Pelapor Khusus dalam melakukan pengawasan diperluas hingga mencakup seluruh Negara Anggota PBB dan seluruh Negara dengan statusnya 22
Dokumen PBB E/4393 (1967).
21
sebagai pengamat, tanpa menghiraukan apakah negara tersebut telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan. Pelapor Khusus menjalin hubungan dengan pemerintah, meminta keterangan mengenai tindakan-tindakan legislatif dan administratif yang telah diambil untuk mencegah penyiksaan, meminta mereka untuk memperbaiki dampak-dampak yang mungkin terjadi dan meminta mereka untuk memberi tanggapan terhadap dugaan terjadinya tindak penyiksaan yang sebenarnya. Pelapor Khusus juga menerima permintaan untuk melakukan tindakan mendesak, yang kemudian dibawanya agar menjadi perhatian pemerintah negara yang bersangkutan, guna memastikan perlindungan terhadap hak-hak fisik dan integritas mental seorang individu. Sebagai tambahan, Pelapor Khusus juga menyelenggarakan konsultasi dengan perwakilan-perwakilan pemerintah yang hendak bertemu dengannya, serta berdasarkan mandat dari posisinya tersebut, melakukan kunjungankunjungan in situ ke beberapa bagian dunia lainnya. Pelapor Khusus memasukkan laporan-laporan ke Komisi HAM dan ke Rapat Umum. Laporan ini menggambarkan tindakan-tindakan yang telah diambil Pelapor Khusus berdasarkan mandatnya dan secara terus menerus menekankan pentingnya penyelidikan dugaan adanya tindak penyiksaan secara cepat. Dalam laporan Pelapor Khusus tentang Penyiksaan, 12 Januari 1995, Nigel Rodley, membuat serangkaian rekomendasi. Dalam paragraf 926 (g) dari laporannya, dia menyatakan: Ketika seorang tahanan atau keluarga atau pengacara mengajukan pengaduan penyiksaan, suatu penyelidikan harus selalu dilaksanakan... Pihak-pihak berwenang nasional yang independen , seperti suatu komisi nasional atau ombudsman yang memiliki kekuatan untuk menyelidiki dan atau menuntut, harus dibentuk
untuk menerima dan menyelidiki pengaduanpengaduan tersebut. Pengaduan tentang tindak penyiksaan harus ditangani dengan segera dan harus diselidiki oleh pihak berwenang yang independen dan yang tidak berhubungan dengan pihak yang menyelidiki kasus dan menuntut melawan korban. 23
21. Laporan ini ditekankan Pelapor Khusus pada tanggal 9 Januari 1996.24 Dengan tegas ia menunjuk pada paragraf 136 bahwa “Setiap Negara wajib melakukan penyelidikan terhadap dugaan penyiksaan, baik di bawah hukum internasional yang bersifat umum maupun Konvensi Anti Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat”. (e) Pelapor Khusus tentang Kekerasan terhadap Perempuan 22. Pelapor Khusus tentang Kekerasan terhadap Perempuan dibentuk tahun 1994 berdasarkan keputusan Nomor 44 tahun 1977. Pelapor Khusus mencari klarifikasi dan informasi dari pemerintah tentang dugaan kasus-kasus kekerasan guna mengenali dan menyelidiki dugaan tindakan kekerasan terhadap perempuan di setiap negara. Pembicaraan ini mungkin melibatkan satu atau lebih individu yang dikenal berdasarkan nama atau informasi yang bersifat yang lebih umum berkenaan dengan penanganan kekerasan terhadap perempuan. Definisi kekerasan berbasis jender terhadap perempuan yang digunakan Pelapor Khusus diambil dari Pernyataan PBB tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, diterima Rapat Umum dalam keputusan 48/104 tanggal 20 Desember 1993. Permohonan mendesak dapat dikirimkan oleh Pelapor Khusus dalam kasus-kasus kekerasan 23 24
Dokumen PBB E/CN.4/1995/34 Dokumen PBB E/CN.4/1996/35
22
berbasis jender terhadap perempuan, yang mungkin melibatkan ancaman terhadap hidup seseorang. Pelapor Khusus mendesak pihak berwenang nasional untuk menyediakan informasi menyeluruh tentang kasus dan melakukan penyelidikan yang independen dan tanpa memihak, serta memastikan pelanggaran terhadap hak-hak perempuan tidak terjadi lagi. 23. Komisi HAM mendapatkan laporan tahunan dari Pelapor Khusus mengenai komunikasinya dengan pemerintahpemerintah serta jawaban yang diterimanya. Kemudian Pelapor Khusus memberikan rekomendasirekomendasinya pada pemerintah yang bersangkutan agar mencari solusi-solusi tegas untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan di negara mana pun. Pelapor Khusus juga dapat melakukan komunikasi lanjutan jika belum mendapatkan tanggapan dari pemerintah yang bersangkutan atau ketika informasi yang diterima tidak cukup. Jika kekerasan terhadap perempuan di suatu negara tetap ada dan informasi yang diterima menunjukkan bahwa tidak ada tindakan yang diambil pemerintah untuk memastikan perlindungan terhadap hakhak perempuan, maka Pelapor Khusus dapat meminta izin pada pemerintah negara yang bersangkutan untuk melakukan kunjungan guna mencari fakta. C. Organisasi-organisasi Tingkat Regional 24. Badan-badan regional juga telah memberikan sumbangan dalam pengembangan standart-standart untuk mencegah penyiksaan. Badan-badan ini termasuk Komisi HAM Antar-Amerika, Pengadilan HAM Antar-Amerika,
Pengadilan HAM Eropa, Komite Anti Penyiksaan Eropa, Komisi HAM Afrika . 1. Komisi HAM Antar-Amerika dan Pengadilan HAM Antar-Amerika 25. Tanggal 22 November 1969, Organisasi Negara-negara Bagian Amerika telah menerima Konvensi HAM, yang dimasukan tanggal 18 July 1978.25 Pasal 5 dari Perjanjian tersebut menyatakan: 1. 2.
Integritas fisik, mental dan moral setiap orang berhak dihormati. Tidak seorangpun boleh mengalami penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Setiap orang yang kebebasannya diambil akan diperlakukan dengan hormat sesuai dengan martabatnya sebagai manusia.
26. Pasal 33 berbicara tentang Komisi HAM Antar-Amerika dan Pengadilan HAM Antar-Amerika. Fungsi utama Komisi ini adalah untuk mempromosikan pemantauan dan pembelaan hak-hak asasi manusia sekaligus menjadi badan penasehat untuk Organisasi Negara-negara Bagian Amerika.26 Dalam melaksanakan fungsinya, untuk mendapat pemahaman jelas mengenai makna penyiksaan Komisi mengacu pada Pasal 527 dari Konvensi 25 Organisasi Negara-negara Bagian Amerika Seri Perjanjian No. 36, 1144 PBB Seri Perjanjian 123, yang dimasukkan tanggal 18 July 1978, cetak ulang dalam Dokumen-dokumen Dasar Berhubungan dengan HAM dalam Sistem AntarAmerika, OEA/Ser.L.V/II.82, dokumen 6, rev. 1 hal 25 (1992). 26 Peraturan Komisi HAM Antar-Amerika, Organisasi Negara-negara Bagian Amerika. Series L.V/II.92, dokumen 31, revisi 3 tanggal 3 Mei 1996 Pasal 1. 27 Lihat kasus 10.832, No. Laporan 35/96, Laporan Tahunan Komisi HAM Antar-Amerika 1997, prgf 75.
23
Antar-Amerika untuk Mencegah dan Menghukum Penyiksaan. Konvensi AntarAmerika untuk Mencegah dan Menghukum Penyiksaan diterima oleh Organisasi Negara-negara Bagian Amerika pada 9 Desember 1985 dan mulai diberlakukan sejak 28 Febuari 1987.28 Pasal 2 dari Perjanjian tersebut mendefiniskan penyiksaan sebagai: .... segala tindakan yang dengan sengaja menyebabkan penderitaan fisik atau psikologis pada seorang individu untuk tujuan penyelidikan kejahatan, intimidasi, hukuman, sebagai tindakan pencegahan, atau tujuantujuan lainnya. Penyiksaan juga dapat dipahami sebagai penggunaan metode-metode untuk menghancurkan kepribadian si korban atau untuk menghilangkan kemampuan fisik maupun psikologisnya, sekalipun tidak menyebabkan sakit fisik atau penderitaan emosional.
27. Berdasarkan Pasal 1 Konvensi, Negara-negara Pihak bertanggung jawab untuk mencegah dan menghukum penyiksaan serta melakukan penyelidikan yang cepat dan tepat jika terdapat dugaan penyiksaan dalam wilayah kekuasaannya. 28. Berdasarkan Pasal 8 “Negara-negara Pihak- harus menjamin penyelidikan yang adil untuk setiap orang yang menyatakan mendapat penyiksaan dalam wilayah kekuasaannya”. Begitupun jika ada alasan-alasan yang cukup untuk dugaan terjadinya penyiksaan, Negara-negara Pihak harus menjamin bahwa pihak-pihak berwenangnya akan melakukan penyelidikan kasus yang cepat dan tepat. 29. Dalam salah satu laporan negara tahun 1998, Komisi mencatat bahwa salah satu tantangan dalam mengadili tindak penyiksaan adalah kurangnya penyelidikan yang independen. 28
Persetujuan Organisasi Negara-negara Bagian Amerika Seri No.67
Penyelidikan lebih sering dilakukan oleh badan-badan nasional yang cenderung berhubungan dengan pihak yang diduga melakukan penyiksaan.29 Komisi mengutip Pasal 8 untuk mengarisbawahi pentingnya “penyelidikan yang adil dan tanpa memihak” untuk setiap kasus.30 30. Pengadilan HAM Antar-Amerika telah menyebutkan kebutuhan untuk menyelidiki pelanggaran-pelanggaran Konvensi Amerika tentang HAM. Dalam kasus Velasquez Rodriguez, 29 July 1998, pengadilan memutuskan: Negara wajib menyelidiki setiap situasi yang melibatkan pelanggaran hak-hak yang dilindungi isi Konvensi. Jika Negara membiarkan pelanggaran-pelanggaran tersebut tidak dihukum dan korban tidak dapat menikmati hak-haknya, maka Negara telah gagal dalam tugasnya untuk memastikan kebebasan dan pemenuhan hak-hak individu di wilayah kekuasaannya.
31. Pasal 5 dari Perjanjian menjamin hak untuk bebas dari penyiksaan. Walaupun kasus yang ditangani secara khusus adalah tentang penghilangan orang, salah satu hak yang diacu oleh pengadilan adalah hak untuk tidak dihadapkan dengan penyiksaan atau bentuk-bentuk penyiksaan lainnya. 2. Pengadilan HAM Eropa 32. Pada 4 November 1950, Dewan Eropa menerima Konvensi Eropa untuk Perlindungan HAM dan Kebebasan Dasar, yang dimasukkan tanggal 3 September 1953.31 Pasal 3 dari Konvensi Eropa menyatakan bahwa “Tidak seorangpun boleh mengalami penyiksaan atau 29
Laporan Situasi HAM di Meksiko, 1998, prgf 323 Komisi HAM Antar-Amerika. 30 Ibid. prgf 324. 31 213 Kesepakatan PBB Seri 222
24
perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat”. Konvensi Eropa telah menetapkan suatu mekanisme kontrol yang terdiri dari Pengadilan Eropa dan Komisi HAM Eropa. Sejak pembaharuan yang mulai diberlakukan pada 1 November 1998, Pengadilan dan Komisi sebelumnya digantikan pengadilan yang lebih permanen. Kini permohonanpermohonan individual wajib dilayani dan seluruh korban memiliki akses langsung ke Pengadilan. Dalam suatu kesempatan Pengadilan pernah mempertimbangkan perlunya menyelidiki dugaan-dugaan penyiksaan sebagai cara untuk memastikan jaminan atas hak-hak yang tercantum dalam Pasal 3. 33. Keputusan pertama dalam masalah ini adalah dalam kasus Aksoy vs. Turki, pada 18 Desember 199632, Pertimbangan Pengadilan sbb: Ketika seorang individu ditahan polisi dalam kondisi sehat tapi keluar tahanan dalam keadaan terluka, Negara wajib memberi penjelasan masuk akal mengenai penyebab dari luka tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban atas ketentuan Pasal 3 Konvensi.33
34. Pengadilan menemukan bahwa lukaluka tersebut adalah hasil dari penyiksaan dan Pasal 3 telah dilanggar.34 Selanjutnya, Pengadilan menafsirkan ketentuan Pasal 13 Konvensi yang memberikan hak bagi korban untuk mendapatkan pertolongan yang efektif sebelum pihak berwenang nasional melakukan kewajibannya untuk menyelidiki dugaan penyiksaan tersebut 32
Ibid. sebagaimana diubah oleh Protokol No. 3, 5 dan 8, yang mulai diberlakukan pada 21 September 1970, 20 Desember 1971 dan 1 Januari 1990. 33 Ibid. prgf 61 34 Ibid. prgf 64
secara menyeluruh. Dengan mempertimbangkan “kepentingan mendasar dari larangan penyiksaan” dan kerentanan korban penyiksaan, Pengadilan menyatakan bahwa “Pasal 13 menetapkan, tanpa prasangka terhadap semua jenis pertolongan yang tersedia berdasarkan sistem nasional, kewajiban Negara untuk melaksanakan penyelidikan yang menyeluruh dan efektif terhadap kejadian penyiksaan”.35 35. Menurut pemahaman Pengadilan, konsep “pertolongan yang efektif” dalam Pasal 13 membutuhkan penyelidikan yang menyeluruh terhadap setiap tuntutan dalam kasus penyiksaan. Walaupun Konvensi tidak dengan tegas menyatakan syarat-syarat seperti yang tercantum pada Pasal 12 Konvensi Anti Penyiksaan dan Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat, “syarat semacam itu secara implisit diperlukan dalam konsep ‘pertolongan yang efektif’ berdasarkan Pasal 13”.36 Pengadilan kemudian menemukan bahwa Negara telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 13 karena gagal menyelidiki dugaan-dugaan penyiksaan pada pemohon.37 36. Dalam keputusan kasus Assenov, dkk vs. Bulgaria, 28 Oktober 1998 (90/1997/874/1086), Pengadilan semakin mengakui kewajiban Negara untuk menyelidiki dugaan penyiksaan tidak hanya berdasarkan Pasal 13 tapi juga Pasal 3. Dalam kasus ini, seorang pemuda Romania yang ditahan polisi menunjukkan bukti-bukti medis pemukulan, tapi sulit dinilai apakah lukaluka ini disebabkan oleh ayah pemuda tersebut atau pihak polisi. Pengadilan 35
Ibid. prgf 98 Ibid. prgf 98. 37 Ibid. prgf. 100. 36
25
mengetahui bahwa “derajat memar yang ditemukan dokter yang memeriksa Mr. Assenov menunjukkan bahwa luka-luka terbaru, baik yang disebabkan oleh ayahnya atau polisi, cukup serius untuk sebuah tindakan penganiayaan seperti yang dimaksud Pasal 3”.38 Pengadilan tidak berhenti walaupun Komisi menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran terhadap Pasal 3. Pengadilan tetap diteruskan dan mempertimbangkan bahwa fakta-fakta “menunjukkan kecurigaan yang cukup bahwa luka-luka disebabkan oleh polisi.”39 Untuk itu Pengadilan menyatakan:
terjadi pelanggaran Pertimbangan Pengadilan:
Dalam situasi semacam ini, ketika seorang individu menyatakan bahwa dia mendapat penganiayaan serius yang dilakukan oleh polisi atau pegawai pemerintahan lainnya, secara tidak sah dan melanggar Pasal 3, maka persyaratan tersebut bila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1 Konvensi “menjamin hakhak dan kebebasan setiap orang yang berada di dalam wilayah kekuasaannya seperti yang tercantum dalam Konvensi”, maka diperlukan suatu penyelidikan efektif yang resmi. Kewajiban ini dapat dipakai untuk mengetahui dan menghukum pihak-pihak yang harus bertanggung jawab. Jika tidak demikian, maka larangan penyiksaan dan perlakuan atau hukuman kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat, dalam prakteknya tidak efektif dan memungkinkan kasus perlakuan salah oleh Negara terhadap hak-hak seseorang.40
38. Pada 1987, Dewan Eropa menerima Konvensi Eropa untuk Pencegahan Penyiksaan dan Perlakukan atau Hukuman yang Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat, yang mulai diberlakukan pada 1 Febuari 1989.42 Konvensi ini akhirnya disetujui seluruh 40 Negara Anggota Dewan Eropa pada 1 Maret 1999. Konvensi ini melengkapi mekanisme peradilan Konvensi HAM Eropa dengan mekanisme pencegahan. Konvensi sengaja tidak menciptakan norma-norma yang berdiri sendiri. Konvensi menetapkan pembentukan Komite Eropa untuk Pencegahan Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman yang Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat yang beranggotakan satu orang dari setiap Negara. Anggota yang dipilih harus memiliki standart moral tinggi, adil, independen dan juga bersedia melakukan misi-misi di lapangan. 39. Komite melakukan kunjungan ke Negara-negara anggota Dewan Eropa, sebagian merupakan kunjungan rutin berkala dan sebagian lagi merupakan kunjungan dalam misi ad hoc. Delegasi
37. Untuk pertama kalinya, Pengadilan menyimpulkan bahwa pelanggaran terhadap Pasal 3, bukan hanya disebabkan oleh penganiayaan tapi dari diabaikannya penyelidikan resmi yang efektif terhadap dugaan penganiayaan. Pengadilan juga meninjau kembali posisinya dalam kasus Aksoy dan menyimpulkan bahwa telah
Pasal
13.
Ketika seorang individu membuat pernyataan bahwa dia telah dianiaya, dengan demikian terjadi pelanggaran Pasal 3, maka dibutuhkan konsep pertolongan yang efektif, sebagai tambahan dari penyelidikan yang menyeluruh dan efektif, akses yang efektif ke prosedur penyelidikan dan pembayaran kompensasi jika dinilai pantas.41
3. Komite Eropa untuk Pencegahan Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman yang Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat
38
Ibid. prgf 95. Ibid. prgf. 101. 40 Ibid. prgf. 102. 39
41 42
Ibid. prgf 101. Seri Perjanjian Eropa 126.
26
Komite yang berkunjung berisikan anggota-anggota Komite, ahli-ahli di bidang medis, hukum atau lainnya, penerjemah dan anggota Sekretariat. Delegasi-delegasi ini mengunjungi orangorang yang ditahan oleh pihak-pihak berwenang dari negara yang dikunjungi.43 Kekuasaan tiap delegasi yang berkunjung cukup besar: mereka dapat mengunjungi setiap tempat dimana ada orang-orang yang ditahan; melakukan kunjungan mendadak ke tempat-tempat semacam itu; mengunjungi suatu tempat lebih dari sekali; berbicara secara tertutup (sendiri) dengan orang yang ditahan; mengunjungi siapapun yang dipilihnya di tempat tersebut; dan melihat seluruh lokasi (tidak hanya area sel) tanpa ada batasan. Delegasi memiliki akses ke seluruh berkas dan dokumen yang berhubungan dengan orang-orang yang dikunjungi. Seluruh pekerjaan Komite dilakukan berdasarkan kerahasiaan dan kerja sama. 40. Setelah melakukan kunjungan, Komite membuat laporan berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan selama pengamatan, membuat komentar dari kondisi yang ditemui, saran-saran konkrit dan pertanyaan-pertanyaan tentang hal yang perlu penjelasan lebih lanjut. Negara Pihak yang bersangkutan membuat jawaban secara tertulis dan dengan demikian menciptakan dialog dengan Komite. Komunikasi ini berlanjut sampai kunjungan berikutnya. Laporan-laporan Komite dan Negara Pihak adalah dokumen rahasia, tapi Negara Pihak dapat memutuskan untuk menerbitkan laporan maupun jawabannya. Sejauh ini hampir 43
Seseorang yang kebebasannya diambil adalah siapapun yang kebebasannya diambil oleh pejabat pemerintahan, seperti orang-orang yang ditangkap atau ditahan, tahanan yang menunggu diadili, tahanan yang sudah dijatuhi hukuman dan orangorang yang dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa tidak atas kemauannya sendiri.
seluruh Negara Anggota laporan dan jawabannya.
menerbitkan
41. Sejalan dengan aktifitasnya selama lebih dari 10 tahun terakhir, Komite telah mengembangkan suatu rangkaian kriteria mengenai perlakuan terhadap orang-orang dalam tahanan dan membentuk standartstandart umum. Standart-standart ini tidak hanya menangani kondisi-kondisi material tetapi juga prosedur-prosedur perlindungan. Sebagai contoh, 3 perlindungan yang diperjuangkan oleh Komite untuk orang-orang yang ditahan oleh polisi adalah: (a) Seseorang yang kebebasannya diambil berhak memberitahu pihak ketiga (keluarga) secepatnya tentang penahanannya; (b) Seseorang yang kebebasannya diambil berhak mendapat akses ke pengacara secepatnya; (c) Seseorang yang kebebasannya diambil berhak bertemu dengan dokter, termasuk jika menjadi keinginannya, dokter pilihannya sendiri. 42. Komite terus menekankan bahwa salah satu cara yang paling efektif untuk mencegah penganiayaan oleh petugas hukum adalah penyelidikan yang menyeluruh mengenai kasus-kasus semacam ini, dan memberikan hukuman yang sesuai. Ini memiliki dampak yang cukup kuat. 4. Komisi Hak Asasi Manusia dan Rakyat Afrika serta Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Rakyat Afrika 43. Dibandingkan dengan sistem-sistem Eropa dan Antar-Amerika, Afrika tidak memiliki suatu Konvensi mengenai
27
penyiksaan dan pencegahannya. Penyiksaan diselidiki dalam level yang sama dengan isu-isu pelanggaran HAM lainnya. Secara umum Persoalan tentang penyiksaan ditangani berdasarkan oleh Piagam Hak Asasi Manusia dan Rakyat Afrika, yang diterima oleh Organisasi Kesatuan Afrika pada 27 Juni 1981 dan mulai diberlakukan pada 21 Oktober 1986.44 Pasal 5 dari Piagam Afrika menyatakan: Kehormatan setiap individu sebagai manusia berhak dihormati dan diakui status hukumnya. Segala bentuk eksploitasi dan perendahan martabat, khususnya perbudakan, jual-beli budak, penyiksaan, dan perlakuan atau hukuman kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat harus dilarang.
44. Berdasarkan Pasal 30 dari Piagam Afrika kemudian dibentuk Komisi Hak Asasi Manusia dan Rakyat Afrika pada Juni 1987 yang dituntut untuk “mempromosikan hak asasi manusia dan rakyat serta memastikan perlindungan mereka di Afrika”. Dalam pertemuan berkalanya, Komisi telah meluluskan resolusi beberapa negara yang berkaitan dengan hak asasi manusia di Afrika, termasuk di antaranya penyiksaan. Dalam beberapa resolusi negara-negara, Komisi mengangkat isu keprihatinan atas situasi yang merendahkan hak asasi manusia, termasuk praktek penyiksaan. 45. Komisi telah membentuk beberapa mekanisme kerja baru, seperti adanya Pelapor Khusus di Penjara, Pelapor Khusus Pelaksanaan Hukuman yang Sewenang-wenang dan Sumir., dan Pelapor Khusus masalah Perempuan, yang wajib melapor dalam sesi-sesi terbuka pertemuan Komisi. Mekanisme ini 44
Dokumen OAU CAB/LEG/67/3, rev.5 (21 I.L.M. 58(1982)).
memungkinkan korban atau lembaga swadaya masyarakat untuk mengirim informasi secara langsung ke Pelapor Khusus. Pada saat yang bersamaan, korban atau LSM dapat mengajukan pengaduan kepada Komisi mengenai tindakan penyiksaan seperti yang tercantum dalam Pasal 5 Piagam Afrika. Sementara pengaduan-pengaduan individual belum mendapat jawaban dari Komisi, korban atau LSM dapat mengirimkan informasi yang sama kepada Pelapor Khusus yang akan membacakannya dalam Laporan Publik pada pertemuan Komisi.. Pada Juni 1998, Organisasi Kesatuan Afrika menyetujui suatu protokol untuk membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Rakyat Afrika guna memberi keputusan pada pelanggaran hak-hak yang dijamin dalam Piagam Afrika. D. Mahkamah Internasional 46. Kesepakatan Roma, yang diterima pada 17 July 1998, membentuk Mahkamah Internasional yang permanen guna mengadili individu-individu yang bertanggung jawab atas pemusnahan masal (genocide), kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang. Mahkamah Internasional memiliki kekuasaan di atas kasus-kasus dugaan penyiksaan, baik itu menjadi bagian dari pemusnahan masal maupun kejahatan kemanusiaan, jika penyiksaan dilakukan “sebagai bagian dari penyerangan yang luas dan sistematis”, atau bagian dari kejahatan perang berdasarkan Perjanjian Geneva 1949. Kesepakatan Roma mendefinisikan Penyiksaan sebagai “ kesakitan atau penderitaan yang hebat, baik fisik mapun mental yang sengaja dilakukan pada seorang individu yang berada di dalam penahanan atau kekuasan pelaku”. Statuta Mahkamah Internasional, Perjanjian
28
Roma, mulai dilaksanakan.tiga bulan setelah disetujui oleh 60 negara. Pada bulan April 1999, 81 negara telah menyetujui Perjanjian tersebut. Pengadilan yang baru bertempat di The Hague, Belanda. Pengadilan ini hanya memiliki kuasa atas kasus-kasus dimana Negara-negara tidak mampu atau tidak mau menuntut individu-individu yang bertanggung jawab atas kejahatan yang tercantum dalam Perjanjian Roma.
29
BAB II KODE ETIK YANG SALING BERHUBUNGAN
47. Setiap profesi ahli memiliki kode etik masing-masing yang menyatakan kesamaan nilai, mengakui kewajibankewajiban, serta mengatur standartstandart moral yang diharapkan akan dipenuhi. Standart-standart etika umumnya dibentuk dengan 2 cara: melalui perangkat internasional yang dibuat oleh badan-badan seperti PBB dan prinsipprinsip yang dirancang oleh para ahli sendiri, melalui perwakilan nasional maupun internasionalnya. Keyakinan atau dalil utamanya selalu sama dan menekankan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi si ahli kepada klien atau pasien perorangan, masyarakat dan sesama kolega demi mempertahankan kehormatan profesinya. Kewajibankewajiban ini mencerminkan dan menyeimbangkan hak-hak yang dimiliki setiap orang. A. Etika profesi di bidang hukum 48. Hakim memainkan peran yang khusus dalam perlindungan hak-hak warga negara. Standart-standart internasional menetapkan kode etik untuk hakim guna memastikan perlindungan hak-hak individu. Prinsip ke 6 dari Prinsip Dasar PBB tentang Kebebasan Pengadilan menyatakan “prinsip kebebasan pengadilan membolehkan dan mensyaratkan pengadilan untuk memastikan proses-proses hukum dilaksanakan secara adil dan bahwa hak
masing-masing pihak dihormati”.45 Penuntut juga memiliki kode etik dalam menyelidiki dan menuntut suatu kejahatan penyiksaan yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan. Artikel 15 dari Pedoman PBB tentang Peran Penuntut menyatakan: “Penuntut harus memberi perhatian pada pengadilan kasus-kasus kejahatan yang dilakukan pejabat pemerintahan, khususnya korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran HAM berat dan kejahatan lainnya yang diakui dalam hukum internasional dan, jika diberi wewenang secara hukum atau sesuai dengan kebiasaan setempat, dapat melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut”.46 49. Standart-standart internasional juga menetapkan kode etik untuk pengacara dalam melaksanakan fungsinya, yaitu untuk mempromosikan dan melindungi HAM dan kebebasan dasar individu. Prinsip ke 14 dari Prinsip Dasar PBB tentang Peran Pengacara menyatakan: “Pengacara, dalam melindungi hak-hak klien mereka dan dalam mempromosikan keadilan, harus membela HAM dan kebebasan-kebebasan dasar yang diakui oleh hukum nasional dan internasional dan selalu bertindak secara bebas dan giat berdasarkan hukum dan standart-standart yang diakui serta etika profesi di bidang hukum.”47 B. Etika Perawatan Kesehatan 45
Diambil dari Kongres PBB ke 7 tentang Pencegahan Kejahatan dan Penanganan terhadap Pelanggar Hukum, diselenggarakan di Milan dari 26 Agustus s/d 6 September 1985 dan disetujui oleh keputusan Rapat Umum 40/32, 29 November 1985 dan 40/146, 13 Desember 1985. 46 Diambil dari Kongres PBB ke 8 tentang Pencegahan Kejahatan dan Penanganan terhadap Pelanggar Hukum, diselenggarakan di Havana dari 27 Agustus s/d 7 September 1990. 47 Lihat kutipan 46.
30
50. Terdapat hubungan yang sangat jelas antara konsep-konsep tentang HAM dengan etika prinsip perawatan kesehatan. Kewajiban-kewajiban etik dari petugas kesehatan diutarakan dalam 3 tingkatan dan hal tersebut tercermin dalam dokumen-dokumen PBB seperti halnya dengan etika profesi di bidang hukum. Hal ini juga terkandung dalam pernyataan atau deklarasi yang dikeluarkan oleh organisasi-organisasi internasional mewakili ahli-ahli kesehatan, seperti World Medical Association (Asosiasi Medis Dunia), World Psychiatric Association (Asosiasi Psikiatrik Dunia) dan International Council of Nurses (Dewan Perawat Internasional).48 Asosiasi Medis nasional dan organisasi keperawatan juga menetapkan kode etik yang harus dijalani anggota-anggotanya. Dalil pokok dari seluruh etika perawatan kesehatan adalah untuk selalu bertindak sesuai dengan kepentingan pasien, tanpa mementingkan batasan atau tekanan dari luar atau kewajiban kontrak. Di beberapa negara, prinsip etika Medis, contohnya kerahasian dokter-pasien, dimasukkan dalam hukum nasional. Walaupun tidak dimasukkan dalam hukum seperti ini, seluruh petugas kesehatan terikat secara moral oleh standart-standart yang dibuat badan-badan ahlinya. Mereka dianggap bersalah jika menyimpang dari standart profesional tanpa pembenaran yang masuk akal. 1. Pernyataan-pernyataan PBB yang berhubungan dengan petugas kesehatan
48
Ada beberapa kelompok regional lainnya, seperti Commonwealth Medical Association dan International Conference of Islam Medical Association yang mengeluarkan pernyataanpernyataan penting mengenai etika Medis dan HAM bagi anggotanya.
51. Sama halnya dengan orang lain yang bekerja di sistem penjara, petugas kesehatan harus mengacu pada Peraturan Standart Minimum tentang Perlakuan terhadap Tahanan, yang mensyaratkan pelayanan kesehatan dan psikiatrik bagi seluruh tahanan, tanpa diskriminasi dan selalu menemui tahanan yang sakit dan meminta perawatan.49 Persyaratan ini memperkuat kewajiban etik dokter untuk merawat dan bertindak sesuai dengan kepentingan pasien. Sebagai tambahan, PBB telah secara khusus mengemukakan kewajiban etik dokter dan petugas kesehatan lainnya dalam Prinsip Etika Medis yang Berhubungan dengan Peran Petugas Kesehatan, Khususnya Dokter, dalam Melindungi Tahanan terhadap Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat.50 Ketentuanketentuan tersebut semakin memperjelas tugas moral para petugas kesehatan untuk melindungi kesehatan fisik dan psikologis tahanan. Mereka secara khusus dilarang untuk menggunakan pengetahuan dan ketrampilan medisnya untuk segala cara yang bertentangan dengan seluruh deklarasi internasional tentang hak-hak individu.51 Keterlibatan baik secara aktif atau pasif dalam penyiksaan merupakan suatu pelanggaran berat terhadap etika perawatan kesehatan. 52. “Keterlibatan dalam penyiksaan” termasuk menentukan kapasitas ketahanan 49 Peraturan Standart Minimum tentang Perlakuan terhadap Tahanan dan Prosedur Penerapan yang Efektif dari Peraturan Standart Minimum, diterima PBB tahun 1955. 50 Diterima oleh Rapat Umum tahun 1982 51 Khususnya dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia , Konvensi Internasional tentang HAM dan Deklarasi Perlindungan bagi setiap Individu dari Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat.
31
individu menghadapi penganiayaan; menghadiri, mengawasi atau menyebabkan perlakuan salah; menyadarkan kembali individu untuk penganiayaan lebih lanjut dan menyediakan perawatan kesehatan langsung sebelum, selama atau setelah penyiksaan atas instruksi pelaku penyiksaan; menyediakan pengetahuan ahli atau informasi kesehatan individu pada para pelaku penyiksaan; dengan sengaja mengabaikan bukti dan memalsukan laporan, seperti laporan otopsi dan sertifikat kematian.52 Prinsip PBB juga memasukkan salah satu peraturan mendasar etika perawatan kesehatan dengan menekankan bahwa hubungan antara tahanan dan petugas kesehatan hanya dirancang untuk mengevaluasi, melindungi dan memperbaiki kesehatan tahanan. Maka dari itu, penilaian kesehatan tahanan guna mempermudah hukuman atau penyiksaan jelas tidak etis.
larangan bentuk partisipasi medis apa pun dalam tindak penyiksaan atau penganiayaan. Hal ini diperkuat prinsipprinsip PBB yang secara khusus merujuk pada Deklarasi Tokyo. Dokter secara jelas dilarang menyediakan informasi atau alat medik atau zat apa pun yang dapat mempermudah penganiayaan.53 Aturan ini juga berlaku untuk bidang psikiatri dalam Deklarasi Asosiasi Psikiatrik Dunia di Hawaii (Deklarasi Hawaii), yang melarang penyalahgunaan ketrampilan psikiatrik untuk pelanggaran hak asasi individu maupun kelompok.54 Konferensi Medis Islam Internasional (Deklarasi Kuwait) juga melarang dokter menggunakan pengetahuannya untuk “menyakiti, menghancurkan atau menyebabkan kerusakan pada tubuh, pikiran atau jiwa, untuk alasan militer atau politis apapun”.55 Ketentuan serupa juga dibuat untuk perawat dalam instruksi yang tercantum dalam “Peran Perawat dalam Perawatan untuk Tahanan”.56
2. Pernyataan-pernyataan dari badanbadan ahli internasional
54. Petugas kesehatan juga harus mendukung kolega mereka yang menentang pelanggaran HAM. Sikap yang tidak mendukung dapat beresiko tidak hanya dianggap sebagai pelanggaran hak pasien, dan bertentangan dengan deklarasi-deklarasi yang telah disebutkan di atas tetapi juga dapat menodai reputasi profesi petugas kesehatan. Merusak kehormatan profesi dianggap sebagai kesalahan profesional yang serius. Resolusi Asosiasi Medis Dunia tentang HAM meminta seluruh asosiasi Medis nasional untuk meninjau situasi HAM di negaranya masing-masing dan
53. Pernyataan dari badan-badan ahli internasional banyak terfokus pada prinsip-prinsip yang terkait dengan perlindungan HAM dan menggambarkan kesepakatan medis internasional yang jelas tentang masalah-masalah ini. Deklarasi Asosiasi Medis Dunia menetapkan aspek-aspek yang disetujui secara internasional mengenai kewajiban etis yang kini dipegang seluruh dokter. Deklarasi Asosiasi Medis Dunia di Tokyo (Deklarasi Tokyo) menekankan kembali 52
Petugas kesehatan harus selalu mengingat kewajiban menjaga kerahasiaan pasien dan kewajiban untuk meminta persetujuan tertulis untuk memberi informasi, terutama jika dengan dibukanya informasi tersebut bisa membawa kerugian bagi pasien .
53
Diterima Diterima 55 Diterima Islam) 56 Diterima 1975. 54
oleh Asosiasi Medis Dunia pada 1975. oleh Asosiasi Medis Dunia pada 1977. pada 1981 (1401 berdasarkan kalender oleh Dewan Internasional Perawat pada
32
memastikan tidak ada dokter yang menyembunyikan bukti penganiayaan, walaupun karena takut dihukum.57 Resolusi ini mewajibkan badan-badan nasional untuk memberi pedoman yang jelas, terutama bagi dokter yang bekerja di sistem penjara, untuk menyuarakan dugaan-dugaan pelanggaran HAM dan menyediakan sarana yang efektif guna menyelidiki pelanggaran etika yang dilakukan dokter dalam lingkup HAM. Resolusi ini juga mewajibkan diberikannya dukungan bagi dokter-dokter yang menyuarakan adanya pelanggaran HAM. Deklarasi Hamburg menekankan kembali tanggung jawab individu dan kelompok organisasi Medis di seluruh dunia untuk mendukung dokter menolak penyiksaan atau tekanan untuk bertindak menyimpang dari prinsip-prinsip etis.58 Deklarasi ini merupakan panggilan bagi setiap dokter untuk bersuara menentang penganiayaan dan mendesak organisasi Medis nasional dan internasional untuk mendukung para dokter yang menolak tekanan semacam itu. 3. Perundang-undangan Nasional mengenai Etika Medis 55. Tingkatan ke 3 adalah memasukkan prinsip-prinsip etis tersebut ke dalam perundang-undangan nasional. Peraturanperaturan tersebut merefleksikan nilai dasar yang sama seperti yang telah disebutkan di atas karena sesungguhnya etika Medis adalah cerminan dari nilainilai yang lazim berlaku bagi semua dokter. Hampir dalam seluruh budaya dan kode etik, terdapat asumsi dasar yang sama tentang kewajiban-kewajiban untuk tidak merugikan, membantu orang sakit, melindungi yang rapuh dan tidak mendiskriminasi pasien atas dasar apa pun 57 58
Diterima oleh Asosiasi Medis Dunia pada 1990. Diterimaoleh Asosiasi Medis Dunia pada 1997.
kecuali mendesak atau tidaknya kesehatan pasien. Nilai-nilai yang sama juga terdapat dalam kode etik profesi keperawatan. Aspek yang bisa menjadi masalah adalah tidak adanya aturan-aturan yang pasti untuk setiap dilema, tapi butuh penafsiran terhadap prinsip-prinsip etika tersebut. Ketika menimbang suatu dilema yang berhubungan dengan etika, sangat penting agar petugas kesehatan mengingat tanggung jawab moral dasar profesi mereka dan melaksanakannya dalam cara yang tidak merugikan pasien. C. Prinsip-prinsip yang umum untuk seluruh kode etik perawatan kesehatan 56. Prinsip kemerdekaan profesional mensyaratkan petugas kesehatan untuk selalu mengutamakan tujuan pokok dari pengobatan, yaitu meringankan penderitaan dan stres serta menghindari tindakan yang dapat merugikan pasien, walau mendapat tekanan. Beberapa prinsip-prinsip etis bersifat sangat umum sehingga dapat ditemui di hampir seluruh pernyataan dan kode etik. Prinsip yang paling mendasar adalah aturan untuk menyediakan perawatan yang berbelaskasihan, tidak merugikan dan menghormati hak-hak pasien. Ini merupakan syarat-syarat pokok bagi seluruh petugas kesehatan. 1. Tugas untuk menyediakan perawatan yang berbelas-kasihan 57. Tugas untuk memberikan perawatan diutarakan dalam deklarasi serta perundang-undangan nasional dan internasional. Salah satu aspek dari tugas ini adalah kewajiban untuk merespon mereka yang membutuhkan bantuan medis. Hal ini terkandung dalam Aturan Internasional Asosiasi Medis Dunia
33
tentang Etika Medis, yang mengakui kewajiban moral dokter untuk memberikan perawatan darurat sebagai tugas kemanusiaannya.59 Tugas untuk merespon kebutuhan dan penderitaan sesunguhnya terdapat dalam tradisi setiap kebudayaan. 58. Etika Medis moderen didasari oleh prinsip yang dibentuk dari nilai-nilai profesionalisme yang mewajibkan dokter untuk menyediakan perawatan bahkan jika hal tersebut beresiko terhadap diri mereka sendiri. Sebagai contoh, Caraka Samhita, sebuah undang-undang Hindu sejak abad pertama, memerintahkan dokter untuk “berjuang demi keselamatan pasien dengan sepenuh hati dan jiwa; tidak boleh meninggalkan atau melukai pasien demi hidup mereka”. Instruksi serupa juga dapat dilihat dalam undang-undang awal Islam dan Deklarasi Kuwait moderen, yang meminta dokter untuk mengutamakan orang-orang yang butuh bantuan, baik mereka “jauh atau dekat, baik atau berdosa, teman atau musuh”. 59. Nilai-nilai Medis barat telah didominasi oleh sumpah Hipokrates dan janji-janji lainnya seperti Doa Maimonides. Sumpah Hipokrates melambangkan janji solidaritas dan komitmen dengan sesama dokter lainnya untuk memberikan kebaikan dan kepedulian pada pasien, serta menghindari merugikan pasien. Janji kerahasiaan juga terkandung dalam sumpah ini. Keempat konsep ini tercermin dalam berbagai bentuk kode etik perawatan kesehatan yang moderen. Deklarasi Geneva dari Asosiasi Medis Dunia adalah pernyataan ulang terbaru tentang nilai-nilai 60 Hipokrates. Ini merupakan sumpah dokter untuk mengutamakan kesehatan 59 60
Diterima Asosiasi Medis Dunia pada 1949. Diterima Asosiasi Medis Dunia pada 1948.
pasiennya dan berjanji untuk mendedikasikan diri mereka pada pelayanan kemanusiaan dengan hati nurani dan harga diri. 60. Aspek dari tugas untuk melakukan perawatan tercermin dalam berbagai Deklarasi yang dikeluarkan oleh Asosiasi Medis Dunia yang menyatakan dengan jelas bahwa dokter harus selalu melakukan yang terbaik untuk pasien, termasuk tahanan dan tersangka kejahatan. Tugas ini seringkali diutarakan melalui konsep kemerdekaan profesional, yang mensyaratkan dokter untuk mematuhi praktek-praktek Medis yang terbaik meskipun mendapat tekanan. Kode etik Medis internasional menekankan tugas dokter untuk menyediakan perawatan “dalam kemerdekaan profesional dan moral yang penuh, dengan belas kasihan dan respek untuk kehormatan manusia”. Ketentuan ini juga menekankan tugas untuk selalu bertindak sesuai kepentingan pasien dan selalu setia pada pasiennya. Deklarasi Tokyo dari Asosiasi Medis Dunia dan Deklarasi tentang Kemerdekaan Dokter dan Kebebasan Profesional menyatakan bahwa dokter harus menuntut kebebasan untuk bertindak demi kepentingan pasien, tidak perduli pertimbangan lainnya, termasuk instruksi atasan, pejabat sistem penjara atau petugas keamanan.61 Deklarasi yang terakhir mewajibkan dokter untuk memastikan bahwa “mereka memiliki kemerdekaan profesional untuk mewakili dan membela kebutuhan medis pasien terhadap pihak-pihak yang menolak atau membatasi perawatan bagi mereka yang sakit atau terluka”. Prinsip-prinsip serupa juga berlaku untuk perawat. 61. Pengakuan terhadap hak pasien adalah bentuk lain dari cara Asosiasi 61
Diterima Asosiasi Medis Dunia pada 1986.
34
Medis Dunia menekankan tanggung jawab untuk menyediakan perawatan. Deklarasi Lisbon dari Asosiasi Medis Dunia menyatakan bahwa setiap orang berhak, tanpa kecuali, menerima perawatan kesehatan yang pantas dan kembali menyatakan bahwa dokter harus selalu bertindak sesuai kepentingan pasien.62 Menurut deklarasi tersebut, otonomi dan keadilan bagi pasien harus dijamin, dan baik dokter maupun petugas kesehatan lainnya harus mendukung hak tersebut. “Kapan pun jika aturan perundangundangan, tindakan pemerintah atau institusi lainnya menolak untuk memberi hak-hak ini, pada pasien, dokter harus mencari cara-cara yang pantas untuk mengembalikan hak-hak tersebut”. Setiap individu berhak menerima perawatan kesehatan, terlepas dari kelompok etnis, keyakinan politis, kewarganegaraan, jenis kelamin, agama atau nilai pribadinya. Hal ini juga berlaku bagi orang yang menjadi tersangka kejahatan. Satu-satunya kriteria diskriminasi pasien yang dapat diterima adalah masalah mendesak atau tidaknya kesehatan seseorang. 2. Persetujuan tertulis 62. Seluruh deklarasi menekankan kewajiban dokter untuk bertindak sesuai dengan kepentingan pasien yang dirawatnya. Ini memberi asumsi bahwa mereka paham apa itu kepentingan pasiennya. Pandangan dasar etika Medis moderen menyatakan bahwa hanya pasienlah yang paling tahu apa yang menjadi kepentingan terbaik mereka. Sehingga petugas kesehatan wajib mengutamakan keinginan seorang pasien dewasa yang kompeten, dibandingkan pandangan orang lain tentang apa yang 62
Diterima Asosiasi Medis Dunia pada 1981, direvisi pada sesi ke 47 Rapat Umum, September 1995.
terbaik bagi pasien tersebut. Ketika pasien tidak sadarkan diri atau tidak mampu memberi persetujuan yang sah, maka petugas kesehatan harus memutuskan bagaimana kepentingan terbaik pasien tetap dapat dilindungi. Perawat dan dokter diharapkan berperan sebagai pembela pasien mereka, seperti dinyatakan dalam Deklarasi Lisbon dan Deklarasi Dewan Perawat Internasional tentang Peran Perawat dalam Melindungi HAM.63 63. Deklarasi Lisbon dari Asosiasi Medis Dunia menegaskan tugas dokter untuk memperoleh kesediaan dan persetujuan tertulis (informed consent) dari pasien yang cakap secara mental, untuk menjalani prosedur pemeriksaan apa pun. Ini berarti setiap individu perlu mengetahui setiap konsekuensi dari persetujuan maupun penolakannya. Oleh karena itu, sebelum melakukan pemeriksaan, petugas kesehatan harus menjelaskan secara terbuka tujuan dari pemeriksaan dan perawatan tersebut. Persetujuan yang diperoleh akibat tekanan atau sebagai hasil pemberian informasi palsu pada pasien dianggap tidak sah, dan dokter yang bertanggung jawab untuk itu dianggap melanggar etika Medis. Semakin berat implikasi suatu prosedur pada pasien, semakin besar tanggung jawab moral untuk memperoleh persetujuan tertulis yang pantas. Namun bisa dikatakan bahwa jika pemeriksaan dan perawatan secara jelas membawa kesembuhan bagi individu, maka persetujuan tidak langsung pasien dengan kesediaannya menjalani prosedur dianggap cukup. Dalam kasus-kasus pemeriksaan yang tidak bertujuan memberi perawatan medis, harus dipastikan bahwa pasien mengetahui dan menyetujui pemeriksaan tersebut dan tidak bertentangan dengan kepentingan 63
Diterima Asosiasi Medis Dunia pada 1983.
35
terbaiknya. Pemeriksaan untuk mengetahui ketahanan individu menghadapi hukuman, penyiksaan atau tekanan fisik selama interograsi sangat tidak etis dan bertentangan dengan tujuan Medis. Satu-satunya pemeriksaan kesehatan tahanan yang dianggap etis adalah pemeriksaan kesehatan tahanan yang bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatan yang optimal, bukan untuk menghukum. Pemeriksaan fisik yang bertujuan untuk pembuktian suatu penyelidikan harus mendapat persetujuan pasien dalam arti dia memahami hal-hal seperti bagaimana data kesehatan tersebut akan digunakan dan disimpan serta siapa saja yang dapat melihatnya. Jika hal ini ini dan hal-hal lain yang terkait dengan persetujuan pasien tidak dijelaskan dari awal, maka persetujuan untuk dilakukannya pemeriksaan dan pendokumentasian informasi yang didapat dari pemeriksaan tersebut dianggap tidak sah. 3. Kerahasiaan 64. Kerahasiaan adalah prinsip dasar dalam setiap kode etik, yang juga menjadi karakteristik penting dalam deklarasideklarasi Asosiasi Medis Dunia seperti Deklarasi Lisbon. Di beberapa negara, kewajiban menjaga kerahasiaan profesional dipandang sangat penting sehingga dimasukkan ke dalam hukum nasionalnya. Kerahasiaan tidak bersifat mutlak dan secara etis dapat dilanggar dalam kondisi luar biasa dimana hal tersebut dapat membahayakan seseorang atau merupakan pelanggaran hukum yang serius. . Umumnya, kerahasiaan yang menyangkut informasi khusus tentang kesehatan individu hanya dapat dibuka dengan persetujuan pasien.64 Informasi 64
Kecuali untuk syarat-syarat kesehatan masyarakat umum, seperti laporan nama individu dengan
pasien yang tidak bersifat khusus dapat digunakan secara bebas dan sebaiknya digunakan dalam situasi yang tidak membutuhkan identitas pasien yang bersangkutan. Sebagai contoh, pengumpulan data tentang pola dari penyiksaan atau penganiayaan. Dilema muncul ketika petugas kesehatan ditekan atau diwajibkan secara hukum untuk membuka informasi khusus tentang pasien yang dapat membahayakan pasien. Dalam kasus semacam ini sebaiknya merujuk pada kewajiban etis untuk menghormati kebebasan dan kepentingan terbaik pasien serta untuk melakukan yang terbaik dan berusaha untuk tidak menimbulkan kerugian. Dokter harus menjelaskan pada pengadilan atau pihak yang meminta informasi tersebut bahwa mereka terikat oleh kewajiban profesional tentang kerahasiaan. Petugas kesehatan yang melakukan hal ini berhak mendapat dukungan dari asosiasi profesi dan kolegakolega mereka. Sebagai tambahan, selama periode konflik bersenjata, hukum internasional secara khusus memberi perlindungan terhadap kerahasiaan dokterpasien, meminta dokter untuk tidak menyebutkan nama-nama yang sakit atau terluka.65 Petugas kesehatan dilindungi sehingga mereka tidak dapat dipaksa untuk membuka informasi pasien dalam situasi apa pun. D. Kewajiban ganda para petugas kesehatan 65. Petugas kesehatan memiliki kewajiban ganda, dimana prioritasnya adalah mengutamakan kepentingan terbaik pasien dan suatu kewajiban umum untuk penyakit menular, ketergantungan obat, penyimpangan psikologis, dll. 65 Artikel 16 dari Protokol I (1977) dan artikel 10 dari Protokol II (1977), lampiran Konvensi Geneva 1949.
36
masyarakat, yaitu memastikan terlaksananya keadilan dan mencegah pelanggaran HAM. Dilema akibat kewajiban ganda ini secara khusus dapat dirasakan berat oleh petugas kesehatan yang bekerja sama dengan polisi, militer, dinas keamanan lainnya atau pada sistem penjara. Kepentingan pihak atasan atau kolega non-medis mereka mungkin bertentangan dengan kepentingan terbaik pasien yang merupakan tahanan mereka. Apa pun situasi kepegawaiannya, setiap petugas kesehatan mempunyai kewajiban utama untuk melindungi pasien yang mereka periksa atau rawat. Tidak ada perjanjian atau pertimbangan lain yang dapat mengecualikan kebebasan profesional tersebut. Petugas kesehatan harus membuat penilaian kesehatan pasien tanpa bias apa pun dan bertindak sepantasnya. 1. Pedoman untuk seluruh dokter dengan kewajiban ganda 66. Dalam setiap kasus dimana dokter bertindak untuk pihak ketiga, mereka wajib memastikan pasien memahami situasi tersebut.66 Dokter harus memperkenalkan diri pada pasien dan menjelaskan tujuan pemeriksaan atau perawatan. Bahkan ketika dokter ditunjuk dan dibayar oleh pihak ketiga, mereka tetap wajib mempertahankan kepedulian pada pasien. Mereka harus menolak mematuhi prosedur apa pun yang dapat membahayakan pasien atau meninggalkan mereka dalam keadaan rapuh secara fisik atau psikologis terhadap bahaya. Mereka harus memastikan bahwa kontraknya membolehkan kebebasan profesional dalam membuat keputusan-keputusan klinis. Dokter harus memastikan akses 66
Prinsip-prinsip ini diambil dari Para Dokter dengan Kewajiban Ganda diterbitkan oleh British Medical Association, 1995.
untuk pemeriksaan dan perawatan kesehatan bagi setiap orang yang berada dalam tahanan. Dalam hal tahanan adalah orang di bawah umur atau orang dewasa yang rapuh, dokter memiliki tugas tambahan sebagai pembela mereka. Dokter wajib menjaga kerahasiaan sehingga informasi tidak boleh dibuka tanpa persetujuan pasien. Mereka harus memastikan kerahasiaan penyimpanan dokumentasi medis setiap pasien. Dokter harus mengawasi dan mengajukan protes jika mereka melihat layanan yang tidak etis, menggunakan kekerasan, tidak pantas atau menyebabkan ancaman terhadap kesehatan pasien. Dalam kasus seperti ini mereka wajib bertindak dengan segera karena jika ditunda akan lebih sulit untuk mengajukan protes. Mereka harus melaporkan pada pihak berwenang yang tepat atau agensi internasional yang dapat menyelidiki, tanpa membuka identitas pasien, keluarga pasien ataupun dirinya sendiri jika beresiko. 1. Dilema yang muncul akibat kewajibankewajiban ganda 67. Dilema dapat muncul jika etika dan hukum saling bertentangan. Contohnya, ketika kewajiban etis mereka membuat petugas kesehatan tidak mematuhi suatu hukum tertentu, seperti kewajiban untuk membuka informasi kesehatan pasien yang bersifat rahasia. Kesepakatan dalam beberapa deklarasi internasional dan nasional memandang bahwa tidak ada hal yang lebih penting, termasuk hukum, yang dapat membuat petugas kesehatan menyimpang dari etika Medis dan hati nurani mereka. Dalam kasus ini, petugas kesehatan dapat menolak untuk tunduk pada hukum atau aturan yang berlaku daripada melanggar etika Medis atau membahayakan pasien.
37
68. Dalam beberapa kasus, terjadi konflik dari dua kewajiban etis. Kode etik dan prinsip-prinsip internasional meminta laporan informasi penyiksaan atau penganiayaan. Dalam beberapa negara, hal ini menjadi syarat hukum. Namun, dalam beberapa kasus, pasien dapat menolak menyetujui pemeriksaan untuk tujuan tersebut atau untuk memberi hasil pemeriksaan pada pihak lain. Mereka mungkin takut terhadap resiko pembalasan dendam atas dirinya maupun keluarganya. Dalam situasi semacam ini, petugas kesehatan memiliki kewajiban ganda: pada pasien dan pada masyarakat secara umum, guna memastikan keadilan ditegakkan dan pelaku-pelaku kekerasan bertanggungjawab atas tindakan mereka. Petugas kesehatan harus mencari solusi untuk tetap menegakkan keadilan tanpa melanggar hak kerahasiaan individu. Mereka dapat meminta saran dari asosiasi Medis nasional maupun pada lembaga swadaya masyarakat. Di sisi lain, dengan dukungan yang baik, pasien yang sebelumnya menolak mungkin dapat setuju dengan syarat-syarat tertentu. 69. Kewajiban-kewajiban etis seorang dokter dapat bervariasi tergantung bagaimana konteks pertemuan dokterpasien dan kemungkinan pasien menggunakan kebebasannya dalam memutuskan membuka informasi tentang dirinya atau tidak. Sebagai contoh, ketika dokter dan pasien berada dalam situasi ruang perawatan seperti rumah sakit, terdapat kewajiban moral yang kuat di pihak dokter untuk mematuhi aturan kerahasiaan. Melaporkan bukti-bukti penyiksaan yang didapat dari pertemuan seperti ini cukup pantas, selama pasien tidak melarang. Dokter dapat melaporkan bukti-bukti tersebut atas pemintaan pasien atau pasien memberikan persetujuan tertulis untuk itu.
70. Dokter forensik memiliki hubungan yang berbeda dengan individu yang diperiksanya dan umumnya wajib melaporkan hasil pengamatan mereka secara faktual. Pasien tidak memiliki kekuatan dan pilihan yang cukup dalam situasi-situasi seperti itu dan mungkin tidak dapat bicara secara terbuka tentang apa yang telah terjadi. Sebelum memulai pemeriksaan, dokter forensik harus menjelaskan peran mereka dan menjelaskan bahwa menjaga kerahasiaan medis bukan merupakan tugas mereka, seperti halnya dalam konteks perawatan. Peraturan mungkin tidak membolehkan pasien untuk menolak pemeriksaan, tapi pasien memiliki pilihan untuk mengungkapkan penyebab luka-luka atau tidak. Dokter forensik tidak boleh memalsukan laporan mereka, sebaliknya mereka harus menyediakan bukti yang tidak memihak termasuk menyatakan dengan jelas dalam laporannya jika terdapat bukti penganiayaan.67 71. Tugas utama dokter-dokter penjara adalah untuk menyediakan perawatan dan memeriksa para tahanan yang baru tiba dari tahanan polisi. Berkaitan dengan tugas ini, mereka mungkin menemukan bukti-bukti kekerasan yang tidak dapat diterima, yang sulit diadukan oleh tahanan karena posisinya. Dalam situasi seperti ini, dokter harus selalu mengingat kepentingan terbaik pasien dan kewajiban mereka untuk menjaga kerahasiaan pasien. Tetapi perdebatan moral untuk melaporkan bukti penganiayaan sangat kuat, terutama karena tahanan seringkali tidak dapat melaporkannya secara efektif. Jika tahanan setuju untuk melaporkan 67
Lihat V. Iacopino et.al., “Physician complicity in misrepresentation and omission of evidence in postdetention medical examination in Turkey”, JAMA, 276 1996:396-402.
38
penganiayaan tersebut, maka tidak ada konflik yang muncul dan kewajiban moral menjadi jelas. Namun jika tahanan tidak bersedia melaporkan, dokter harus menimbang antara resiko dan bahaya yang dapat mungkin dialami pasien yang bersangkutan dengan keuntungan bagi seluruh populasi penjara dan kepentingan masyarakat dalam mencegah kekerasan. 72. Petugas kesehatan sebaiknya ingat bahwa melaporkan dugaan perlakuan salah yang terjadi dalam sebuah wilayah hukum pada pihak berwenang yang bersangkutan dapat memberi resiko pada pasien atau orang lain, termasuk dirinya sendiri. Dokter tidak boleh secara sadar menempatkan seseorang pada resiko mendapat hukuman. Mereka harus bertindak secara hati-hati dan sebaiknya melaporkan informasi pada suatu badan yang berwenang di luar lingkup wilayah hukum tersebut, atau melaporkannya tanpa menyebutkan identitas sehingga tidak menimbulkan resiko bagi pasien maupun petugas kesehatan yang bersangkutan. Jika solusi terakhir yang diambil, petugas kesehatan harus memperhitungkan kemungkinan akan ada tekanan untuk memberi informasi lebih lengkap atau bahkan menahan secara paksa dokumentasi medis mereka. Selama tidak ada solusi yang mudah, petugas kesehatan sebaiknya mematuhi aturan untuk menghindari hal-hal yang dapat merugikan pasien, dan mencari saran dari badan-badan kesehatan nasional maupun internasional.
39
BAB III PENYELIDIKAN HUKUM TINDAK PENYIKSAAN
73. Hukum internasional mewajibkan setiap Negara untuk menyelidiki laporan tindak penyiksaan secara cepat dan tanpa memihak. Jika dijamin oleh bukti, Negara dapat menyerahkan tersangka pelaku penyiksaan ke Negara lain yang memiliki otoritas kompeten, atau mengadilinya sendiri berdasarkan hukum pidana nasionalnya. Prinsip-prinsip dasar penyelidikan tindak penyiksaan adalah kompetensi, sikap tidak memihak, independen, cepat dan menyeluruh. Elemen-elemen ini dapat dimasukkan dalam sistem hukum mana pun dan dapat menjadi pedoman untuk setiap penyelidikan kasus dugaan penyiksaan. 74. Jika penyelidikan dirasa tidak berjalan baik karena kurangnya sumber atau tenaga ahli, adanya prasangka, pola kekerasan yang tampak jelas atau alasan penting lainnya, Negara dapat melakukan penyelidikan melalui sebuah Komisi Penyelidik yang independen atau prosedur yang serupa. Anggota komisi tersebut dipilih berdasarkan reputasinya dalam hal kompetensi, sikap adil dan kemandirian sebagai individu. Secara khusus, mereka harus bekerja terlepas dari institusi, agensi atau orang yang mungkin menjadi subyek penyelidikan. 75. Bagian A menggambarkan garis besar tujuan penyelidikan kasus penyiksaan. Bagian B memaparkan prinsip-prinsip dasar penyelidikan yang efektif dan pendokumentasian penyiksaan
dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Bagian C menyarankan prosedur untuk melakukan penyelidikan dugaan tindak penyiksaan, dimulai dengan penentuan penyelidik berwenang yang tepat, lalu memberikan pedoman mengenai pengumpulan kesaksian lisan dari korban dan saksi lainnya serta pengumpulan bukti fisik. Bagian D menyediakan pedoman untuk membentuk suatu komisi khusus yang independen.. Pedoman ini disertai pengalaman berbagai negara yang telah membentuk komisi serupa untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM, termasuk pembunuhan di luar wilayah hukum suatu negara, penyiksaan dan penghilangan orang. A. Tujuan-tujuan penyelidikan tindak penyiksaan 76. Garis besar tujuan dari penyelidikan adalah untuk menemukan fakta-fakta yang terkait dugaan terjadinya tindak penyiksaan untuk menemukan dan mengadili para pelaku yang bertanggung jawab. Penyelidikan juga bertujuan untuk memperoleh perbaikan bagi korban. Untuk memenuhi tujuan ini, penyelidik minimal harus memperoleh pernyataanpernyataan dari korban dugaan penyiksaan; mendapatkan dan melindungi barang bukti, termasuk bukti medis penyiksaan yang dapat membantu tuntutan hukum; menemukan saksi-saksi dan memperoleh kesaksian dari mereka terkait dugaan penyiksaan; dan untuk menentukan bagaimana, kapan dan dimana dugaan tindak penyiksaan terjadi serta setiap pola atau praktek yang menyebabkan penyiksaan. B. Prinsip Penyelidikan yang Efektif dan Pendokumentasian Tindak Penyiksaan dan Perlakuan atau
40
Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat 77. Prinsip-prinsip berikut menggambarkan suatu kesepakatan bulat antara individu-individu dan organisasi yang memiliki keahlian dalam penyelidikan tidak penyiksaan. Tujuan dari penyelidikan yang efektif dan pendokumentasian tindak penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat (selanjutnya disebut sebagai penyiksaan atau penganiayaan) termasuk hal-hal sebagai berikut: (a) Menjelaskan fakta-fakta, menegaskan serta mengakui tanggung jawab individu dan Negara pada korban dan keluarganya; (b) Menentukan langkah-langkah yang dibutuhkan untuk mencegah berulangnya tindak penyiksaan; (c) Mengadili atau, apabila dibutuhkan memberi sanksi-sanksi pendisiplinan bagi mereka yang berdasarkan hasil penyelidikan dinyatakan bertanggung jawab, dan menunjukkan kebutuhan perbaikan penuh dari Negara, termasuk kompensasi finansial yang adil dan sesuai serta perawatan medis dan rehabilitasi. 78. Negara harus memastikan bahwa pengaduan dan laporan tentang penyiksaan atau penganiayaan diselidiki dengan cepat dan efektif. Bahkan jika tidak ada pengaduan, penyelidikan tetap harus dilakukan bila terdapat petunjuk adanya tindak penyiksaan. Para penyelidik harus kompeten dan tidak memihak, serta bekerja terlepas dari tersangka pelaku dan agensi tempat pelaku bekerja. Mereka harus diberikan akses dan wewenang untuk meminta dokter atau ahli lainnya untuk melakukan pemeriksaan yang adil.
Metode-metode yang digunakan untuk melakukan penyelidikan harus sesuai dengan standart profesional tertinggi, dan temuan harus dipublikasikan. 79. Pihak penyelidik berhak dan wajib memperoleh seluruh informasi yang diperlukan dalam penyelidikan.68 Segala sumber teknis dan anggaran yang diperlukan harus tersedia bagi penyelidik guna melakukan penyelidikan yang efektif. Mereka juga harus memiliki otoritas untuk memaksa mereka yang bekerja dalam pemerintahan, yang diduga terlibat dalam penyiksaan atau penganiayaan, untuk tampil dan bersaksi. Hal yang sama berlaku untuk seluruh saksi. Terakhir, pihak penyelidik juga berhak memanggil saksi, termasuk pejabat pemerintahan yang diduga terlibat, dan menuntut pengeluaran barang bukti. Korban dugaan tindak penyiksaan atau penganiayaan, saksi-saksi, penyelidik dan keluarganya harus dilindungi dari kekerasan, ancaman kekerasan atau bentuk intimidasi lainnya yang mungkin muncul selama penyelidikan. Mereka yang berpotensi terlibat dalam penyiksaan atau penganiayaan harus dihapuskan kendali atau kuasanya atas korban, saksisaksi dan keluarganya, termasuk penyelidik sendiri. 80. Korban dugaan tindak penyiksaan atau penganiayaan dan kuasa hukumnya harus mendapat akses ke setiap pemeriksaan dan informasi yang terkait dengan penyelidikan dan berhak menghadirkan bukti lainnya. 81. Dalam kasus dimana penyelidikan dirasa tidak berjalan baik karena kurangnya tenaga ahli, adanya prasangka, 68
Beberapa etika profesi dapat meminta agar informasi dirahasiakan. Permintaan seperti ini akan dihormati.
41
pola kekerasan yang tampak jelas (sistematik) atau alasan penting lainnya, Negara dapat melakukan pemeriksaan melalui sebuah komisi penyelidikan yang independen atau prosedur yang serupa. Anggota komisi tersebut dipilih berdasarkan reputasinya dalam hal kompetensi, sikap adil dan kemandirian sebagai individu. Secara khusus, mereka harus bekerja terlepas dari institusi, agensi atau orang yang mungkin menjadi subyek penyelidikan. Komisi harus memiliki kewenangan untuk memperoleh seluruh informasi yang dibutuhkan penyelidikan dan akan melaksanakannya berdasarkan prinsip-prinsip ini.69 Laporan tertulis yang dibuat harus memasukkan ruang lingkup penyelidikan, prosedur dan metode yang digunakan untuk menimbang bukti, dan juga kesimpulan serta saran berdasarkan temuan-temuan dan hukum yang berlaku. Dalam penyelesaiannya, laporan ini harus dipublikasikan. Laporan ini juga harus merincikan kejadian-kejadian khusus yang muncul, bukti yang menjadi dasar temuan dan daftar nama-nama saksi, kecuali mereka yang identitasnya dirahasiakan untuk alasan keamanan. Negara harus merespon terhadap laporan penyelidikan, dalam batas waktu tertentu, dan menunjukkan langkah-langkah yang harus diambil sebagai bentuk tanggung jawab. 82. Petugas kesehatan yang ikut serta dalam penyelidikan dugaan penyiksaan atau penganiayaan harus selalu mematuhi standart etika tertinggi. Secara khusus, mereka harus memperoleh persetujuan tertulis sebelum melakukan pemeriksaan apa pun. Pemeriksaan juga harus mengikuti standart-standart praktek kedokteran yang diakui. Pemeriksaan harus dilakukan secara pribadi di bawah kendali dokter dan tidak dihadiri petugas keamanan atau pejabat pemerintahan 69
lainnya. Dokter harus segera menuliskan laporan yang akurat, berisikan: (a) Keadaan berlangsungnya wawancara. Nama subyek serta nama dan hubungan mereka yang hadir pada saat pemeriksaan; tanggal dan waktu, lokasi, sifat dan alamat institusi (termasuk, jika perlu, ruangan) dimana pemeriksaan dilakukan (contohnya: pusat tahanan, klinik, rumah, dll); situasi-situasi khusus yang muncul selama pemeriksaan (contohnya sikap enggan pada saat datang atau selama pemeriksaan, kehadiran petugas keamanan selama pemeriksaan, hinaan dari orang-orang yang menemani si tahanan, ancaman pada pemeriksa, dll); dan berbagai faktor lainnya; (b) Latar belakang. Dokumentasi rinci dari cerita subyek hasil wawancara, termasuk metode yang diduga dipakai dalam penyiksaan atau penganiayaan, kapan penyiksaan atau penganiayaan diduga terjadi dan seluruh keluhan gejala fisik dan psikologis; (c) Pemeriksaan fisik dan psikologis. Dokumentasi seluruh temuan fisik dan psikologis hasil pemeriksaan klinis termasuk beberapa tes diagnostik yang sesuai dan, jika memungkinkan, foto-foto berwarna dari seluruh luka; (d) Sebuah opini atau masukan. Penafsiran tentang hubungan antara temuan-temuan fisik dan psikologis dengan dugaan penyiksaan atau penganiayaan. Saran untuk perawatan medis dan psikologis atau pemeriksaan lanjutan sebaiknya juga disertakan; (e) Dokumentasi nama penulis. Laporan harus secara jelas menyebutkan siapasiapa saja yang melakukan penyelidikan dan harus ditandatangani.
Lihat kutipan 68.
42
83. Laporan harus bersifat rahasia dan diberitahukan pada subyek atau perwakilan yang dipilihnya. Pandangan subyek atau perwakilannya tentang proses pemeriksaan harus diminta dan dimasukkan dalam laporan. Laporan harus dibuat secara tertulis untuk pihak yang bertanggung jawab menyelidiki dugaan penyiksaan atau penganiayaan. Negara bertanggung jawab atas kepastian sampainya laporan ini ke penyelidik dengan aman. Orang atau pihak lain tidak boleh membaca laporan ini, kecuali jika mendapat persetujuan subyek atau diperintahkan pengadilan. Untuk pembahasan umum mengenai laporan tertulis menyusul dugaan penyiksaan, lihat bab IV. Bab V dan VI secara rinci menggambarkan penilaian fisik dan psikologis. C. Tatacara Penyelidikan Kasus Penyiksaan 1. Menentukan badan penyelidik yang berwenang 84. Penyelidikan yang obyektif dan tidak memihak sulit dilakukan jika kasus penyiksaan melibatkan tersangka dari pejabat pemerintahan, termasuk perintah menggunakan penyiksaan dari menteri, asisten kementerian, pejabat yang bertindak atas sepengetahuan menteri, pejabat senior dalam kementerian Negara, pimpinan militer senior atau dugaan bahwa orang-orang tersebut membiarkan tindak penyiksaan terjadi. Untuk itu suatu komisi penyelidikan yang khusus perlu dibentuk. Komisi ini juga dibutuhkan jika keahlian atau sikap netral dari pihak penyelidik dipertanyakan. 85. Faktor-faktor yang mendukung keyakinan bahwa Negara turut terlibat
dalam penyiksaan atau situasi-situasi tertentu yang dapat memicu pembentukan badan penyelidikan khusus meliputi: (a) Ketika keadaan korban terakhir kali dilihat masih belum terluka dalam penjagaan polisi atau tahanan; (b) Ketika modus-operandi-nya dikenal sebagai karakteristik penyiksaan yang didukung Negara; (c) Ketika orang-orang dalam Negara atau yang memiliki hubungan dengan Negara mencoba menunda dan mengganggu jalannya penyelidikan; (d) Ketika kepentingan masyarakat umum dapat dipenuhi dengan adanya penyelidikan mandiri; (e) Ketika penyelidikan oleh agensi biasa dipertanyakan karena kurangnya keahlian atau sikap netral atau alasan lainnya, termasuk bukti adanya pola kekerasan. 86. Beberapa hal harus diperhatikan ketika Negara memutuskan untuk membentuk sebuah komisi penyelidikan yang independen. Pertama, subyek penyelidikan harus dijamin mendapat prosedur perlindungan yang standart untuk seluruh tahapan penyelidikan sesuai hukum internasional. Kedua, penyelidik sebaiknya memiliki dukungan yang cukup dari staf teknis dan staf pelaksana, juga akses untuk saran hukum yang obyektif dan tidak memihak, guna mendapatkan bukti yang dapat diterima proses hukum pidana. Ketiga, penyelidik harus mendapat sumber-sumber dan kuasa penuh dari Negara. Terakhir, penyelidik berwenang meminta bantuan dari komunitas ahli hukum dan kesehatan internasional.
43
2. Mewawancarai orang yang diduga menjadi korban serta saksi lainnya 87. Karena sifat kasus-kasus penyiksaan serta trauma dan rasa tidak berdaya yang muncul setelahnya, sangatlah penting untuk menunjukkan kepekaan terhadap korban dugaan tindak penyiksaan dan saksi lainnya. Negara harus melindungi korban dugaan penyiksaan, saksi dan keluarga mereka dari kekerasan, ancaman kekerasan atau bentuk intimidasi lainnya yang dapat muncul akibat proses penyelidikan. Penyelidik harus memberitahukan konsekwensi keterlibatan saksi dalam penyelidikan dan perkembangan lanjutan kasus yang dapat berdampak pada mereka. (a) Persetujuan tertulis dan perlindungan lain untuk korban 88. Korban perlu mendapat informasi sejak awal tentang sifat penyelidikan, kenapa bukti dicari, kapan dan bagaimana bukti dari korban dapat digunakan. Penyelidik harus menjelaskan bagian mana dari penyelidikan yang akan menjadi informasi untuk umum dan bagian mana yang akan dirahasiakan. Individu berhak menolak mengikuti seluruh atau beberapa bagian dari penyelidikan. Setiap usaha sebaiknya dibuat sesuai dengan jadwal dan harapan individu. Korban dugaan tindak penyiksaan harus secara rutin diberitahu perkembangan penyelidikan. Korban juga harus mendapat akses ke seluruh pemeriksaan penting dalam penyelidikan dan tuntutan kasus. Penyelidik harus memberitahu korban perihal penangkapan tersangka pelaku. Korban dugaan tindak penyiksaan perlu diberi informasi untuk menghubungi pembela dan kelompokkelompok perawatan yang dapat membantu mereka. Penyelidik perlu
bekerja sama dengan kelompok-kelompok advokasi dalam wilayah mereka untuk memastikan adanya pertukaran informasi dan pelatihan tentang masalah penyiksaan. (b) Memilih penyelidik 89. Pihak berwenang yang menyelidiki kasus harus menemukan seseorang untuk bertanggung jawab mewawancarai korban yang diduga mengalami penyiksaan. Walaupun korban harus membicarakan kasusnya dengan ahli hukum dan kedokteran, tim penyelidik harus berusaha meminimalkan pengulangan cerita yang tidak perlu. Dalam menyeleksi penyelidik utama, beberapa pertimbangan khusus harus disesuaikan dengan kemauan korban seperti kesamaan jender, latar belakang atau kemampuan untuk bicara dalam bahasa ibu yang sama. Penyelidik utama harus terlatih dalam pendokumentasian penyiksaan dan memiliki pengalaman bekerja dengan korban trauma, termasuk penyiksaan. Jika orang dengan kriteria ini tidak ada, maka penyelidik utama harus berusaha mendapat informasi sebanyakbanyaknya tentang penyiksaan dan dampak fisik serta psikologisnya sebelum mewawancarai individu. Informasi tentang penyiksaan tersedia dari berbagai sumber termasuk pedoman ini, beberapa ahli dan publikasi pelatihan, kursus pelatihan dan konferensi profesional. Penyelidik juga harus mendapat akses untuk saran dan bantuan dari ahli internasional selama penyelidikan. (c) Konteks dari penyelidikan 90. Penyelidik harus berhati-hati dalam mempertimbangkan konteks tempat mereka bekerja, mengambil langkahlangkah pencegahan yang penuh pertimbangan. Dalam mewawancarai seseorang yang masih berada dalam
44
tahanan atau situasi serupa, penyelidik harus berhati-hati jangan sampai menempatkan individu dalam resiko mendapat hukuman. Dalam situasi dimana wawancara individual dapat membahayakan seseorang, maka “wawancara kelompok” menjadi pilihan yang lebih baik. Atau pewawancara harus memilih tempat yang nyaman untuk melakukan wawancara pribadi dan individu dapat bicara dengan bebas. 91. Evaluasi atau penilaian sebaiknya dilakukan dengan cara-cara yang berbeda tergantung konteks politiknya. Konteks politik dapat berpengaruh terhadap standart-standart hukum yang berlaku. Sebagai contoh, suatu pengadilan untuk tersangka pelaku penyiksaan membutuhkan bukti dalam tingkat yang paling tinggi, dimana permohonan untuk suaka politik di sebuah negara ketiga hanya membutuhkan bukti penyiksaan dengan tingkat relatif rendah. Penyelidik harus menyesuaikan pedoman-pedoman berikut dengan situasi tertentu dan tujuan evaluasi. Contoh variasi konteks termasuk: (i) Dalam penjara atau pusat tahanan di negara asal individu. (ii) Dalam penjara atau pusat tahanan di negara lain. (iii) Tidak dalam tahanan di negara asal tapi dalam suasana yang bermusuhan dan kejam. (iv) Tidak dalam tahanan di negara asal pada waktu damai dan aman. (v) Di negara lain yang mungkin ramah atau keras/bermusuhan. (vi) Dalam kamp pengungsi.
(vii) Dalam pengadilan kejahatan perang atau perintah untuk jujur. 92. Konteks politik dapat bersikap negatif pada korban dan pemeriksa, sebagai contoh, ketika tahanan diwawancara dalam penjara pemerintah sendiri atau ditahan oleh pemerintah asing untuk dideportasi. Dalam negara-negara dimana pencari suaka diperiksa untuk menemukan bukti penyiksaan, keenganan pemerintah untuk mengakui adanya trauma akibat penyiksaan dapat didorong oleh situasi politik. Pilihan sikap dan bahasa yang digunakan penyelidik dapat berpengaruh besar terhadap kemampuan dan kemauan korban untuk diwawancara. Lokasi wawancara harus senyaman dan seaman mungkin, termasuk akses untuk fasilitas toilet, makan dan minuman. Penyelidik dapat membuat kesepakatan tentang lama sesi wawancara, jangan berharap mendapat seluruh cerita dalam sekali wawancara. Pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya pribadi bisa dirasakan traumatis oleh korban. Maka penyelidik harus peka dalam intonasi, pemilihan kata dan urutan pertanyaannya. Saksi harus diberitahu hak mereka untuk menghentikan pertanyaan kapan saja, minta istirahat jika butuh atau memilih untuk tidak menjawab. 93. Layanan psikologis atau konseling yang terlatih bekerja dengan korban penyiksaan sebaiknya tersedia untuk korban, saksi dan keluarga mereka. Menceritakan kembali fakta-fakta penyiksaan dapat membuat mereka mengalami kembali pengalamannya atau mengalami gejala lainnya yang berhubungan dengan trauma (lihat bab IV.H.). Mendengarkan cerita penyiksaan secara rinci juga dapat menyebabkan trauma sekunder bagi pewawancara,
45
sehingga mereka didorong untuk membicarakannya dengan seorang fasilitator berpengalaman, dengan tetap menghormati etika kerahasiaan. Dua resiko yang harus diwaspadai: pertama, ada bahaya si pewawancara terlalu terserap dalam dugaan penyiksaan dan tidak mampu memandang cerita dengan obyektif; kedua, pewawancara bisa sangat terbiasa mendengar cerita penyiksaan dan tidak terlalu menghargai pengalaman orang yang diwawancarai. (d) Keamanan para saksi 94. Negara harus melindungi korban dugaan penyiksaan, saksi dan keluarga mereka dari kekerasan, ancaman kekerasan atau bentuk intimidasi lainnya yang dapat muncul akibat proses penyelidikan. Mereka yang berpotensi terlibat dalam penyiksaan atau penganiayaan harus dihapuskan kendali atau kuasanya atas korban, saksi-saksi atau keluarganya, dan penyelidik sendiri. Penyelidik harus memberi pertimbangan matang mengenai dampak penyelidikan terhadap keamanan korban dan saksi. 95. Salah satu teknik yang disarankan untuk mengamankan orang yang diwawancarai, termasuk tahanan dalam negara berkonflik, adalah untuk menuliskan dan mengamankan identitasidentitas orang yang ditemui sehingga penyelidik dapat terus memantau keamanan individu-individu tersebut dalam kunjungan berikutnya. Penyelidik harus dibolehkan bicara dengan siapa pun, secara bebas maupun tertutup, dan mengunjungi kembali orang-orang yang sama. Tidak semua negara menyetujui kondisi-kondisi ini, dan penyelidik dapat menemui kesulitan untuk itu. Dalam kasus dimana saksi dapat beresiko karena
kesaksiannya, penyelidik harus mencari bentuk-bentuk bukti lain. 96. Tahanan berada dalam resiko yang lebih besar daripada orang yang tidak ditahan, karena mereka dapat bereaksi berbeda terhadap situasi yang berbeda. Dalam satu situasi, tahanan dapat membahayakan diri sendiri dengan bicara tanpa dipikir masak-masak. Mereka berpikir bahwa mereka terlindung dengan hadirnya “penyelidik luar”, padahal tidak selalu seperti itu. Dalam situasi lain, penyelidik dapat kesulitan dengan tahanan yang terlalu takut untuk mempercayai siapa pun sehingga memilih diam. Jika ini terjadi maka wawancara dapat dimulai secara berkelompok. Dengan begitu, penyelidik dapat menjelaskan cakupan dan tujuan penyelidikan dan kemudian menawarkan wawancara individual dengan mereka yang bersedia. Jika ketakutan dihukum terlalu besar, ada baiknya mewawancarai setiap orang dalam tahanan tersebut sehingga tidak menunjuk pada individu tertentu. Jika penyelidikan berlanjut ke pengadilan, penyelidik harus menyarankan aturanaturan untuk mencegah bahaya pada korban dugaan penyiksaan, seperti menghapus nama-nama atau informasi lain yang dapat membuka identitas seseorang dari data umum. Bisa juga dengan menawarkan kesaksian melalui alat-alat yang bisa menyamarkan suara atau muka. Aturan-aturan ini harus konsisten dengan hak-hak tersangka. (e) Kegunaan penerjemah 97. Menggunakan jasa penerjemah untuk penyelidikan kasus penyiksaan tidaklah mudah. Tidak selalu mungkin mendapatkan penerjemah untuk berbagai bahasa dan dialek yang berbeda, dan kadang lebih baik menggunakan
46
penerjemah dari keluarga atau kelompok kultur si individu. Namun ini tidak ideal, karena seseorang bisa saja tidak nyaman membicarakan pengalamannya disiksa melalui orang yang dia kenal. Idealnya penerjemah harus menjadi bagian dari tim penyelidik dan memiliki pengetahuan tentang penyiksaan (lihat bab IV.I. dan VI.C.2.). (f) Informasi yang harus diperoleh dari orang yang diduga mengalami penyiksaan 98. Penyelidik harus berusaha mendapat sebanyak mungkin dari informasi berikut melalui kesaksian korban dugaan penyiksaan (lihat bab IV.E.): (i) Situasi-situasi yang mengarah pada terjadinya penyiksaan, termasuk penangkapan atau penculikan dan penahanan; (ii)
Perkiraan tanggal dan waktu terjadinya penyiksaan. Informasi ini tidak mudah ditemukan, karena tempat dan pelaku yang terlibat bisa lebih dari satu. Beberapa cerita mungkin harus diambil berdasarkan tempat-tempat yang berbeda. Sehingga rangkaian (kronologis) cerita mungkin tidak tepat dan kadang membingungkan; memikirkan soal waktu kejadian mungkin sulit bagi orang yang telah disiksa. Cerita terpisah tentang tempat-tempat yang berbeda dapat berguna untuk mendapat gambaran menyeluruh tentang masalah. Survivor mungkin kesulitan menyebutkan tempat mereka dibawa, karena mungkin matanya ditutup atau dibawa dalam keadaan tidak sadar. Dengan menyatukan kesaksian-kesaksian yang berhubungan mungkin dapat
“memetakan” tempat-tempat khusus, metode dan bahkan pelaku; (iii) Gambaran rinci tentang orang-orang yang terlibat dalam penangkapan, penahanan dan penyiksaan, termasuk apakah dia mengenali siapapun sebelum dugaan penyiksaan terjadi, baju, luka, tanda lahir, tato, tinggi dan berat badan (individu mungkin dapat menggambarkan pelaku yang mirip dengan ukurannya sendiri), apa pun yang tidak biasa dari anatomi pelaku, bahasa dan aksen dan apakah pelaku sedang dalam keadaan mabuk; (iv) Isi dari apa yang dikatakan atau diminta dari individu. Ini dapat menyediakan informasi penting ketika berusaha mengenali tempat penahanan rahasia atau tidak dikenal; (v) Gambaran tentang rutinitas dalam tempat penahanan dan pola dari penganiayaan; (vi) Gambaran tentang fakta-fakta dari penyiksaan, termasuk metode penyiksaan yang digunakan. Ini seringkali sulit didapat, dan penyelidik sebaiknya tidak berharap dapat cerita lengkap dengan sekali wawancara. Informasi yang tepat sangat penting, tapi pertanyaanpertanyaan yang berhubungan dengan penghinaan dan penyerangan pribadi dapat bersifat traumatik; (vii) Tentang apakah individu diserang secara seksual. Kebanyakan orang cenderung memaknai penyerangan seksual sebagai pemerkosaan atau sodomi. Penyelidik harus peka
47
terhadap fakta bahwa serangan verbal, menelanjangi, meraba-raba, tindakan vulgar atau menghina atau kejutan listrik pada alat kelamin seringkali tidak dipahami korban sebagai penyerangan seksual. Tindakan-tindakan ini melanggar keintiman individu dan harus dipertimbangkan sebagai bagian dan paket penyerangan seksual. Seringkali korban yang diserang secara seksual tidak mengatakan apa pun atau bahkan menyangkal mendapat perlakuan tersebut. Seringkali dalam kunjungan kedua atau ketiga, jika hubungan telah dibangun secara empatik dan sensitif terhadap kepribadian dan kultur individu, dia mau bercerita lebih banyak. (viii) Luka-luka fisik yang diderita akibat penyiksaan; (ix) Gambaran dari senjata-senjata atau obyek fisik lain yang digunakan; (x)
Identitas saksi-saksi kejadian penyiksaan. Penyelidik harus berhati-hati dalam melindungi saksi dan harus mempertimbangkan penyamaran identitas saksi atau memisahkan nama-nama mereka dari catatan wawancara yang penting.
(g) Pernyataan dari orang yang diduga mengalami penyiksaan 99. Penyelidik harus merekam pernyataan rinci dari individu dan kemudian harus mengetiknya. Pernyataan harus berdasarkan jawaban atas pertanyaan yang tidak mengarah. Pertanyaan seperti ini tidak membuat asumsi-asumsi atau kesimpulan dan
membolehkan individu memberikan kesaksian yang lengkap dan bebas prasangka (bias). Contoh pertanyaan tidak mengarah adalah “Apa yang terjadi pada anda dan dimana?” bukannya “Apakah anda disiksa di penjara?”. Pertanyaan kedua memberi asumsi bahwa apa yang dialami oleh saksi merupakan penyiksaan dan membatasi tempat kejadian pada penjara saja. Hindari menggunakan daftar pertanyaan, ini dapat memaksa individu memberi jawaban yang tidak tepat jika apa yang sebenarnya terjadi tidak sesuai dengan pilihan jawaban daftar tersebut. Biarkan individu memberikan ceritanya sendiri, tapi bantulah dengan pertanyaanpertanyaan yang bisa semakin merinci cerita. Dorong individu untuk menggunakan seluruh alat indera-nya. Tanya apa yang dia lihat, cium, dengar dan rasakan. Ini penting, terutama dalam situasi dimana korban ditutup matanya atau diserang dalam kegelapan. (h) Pernyataan tersangka pelaku 100. Jika memungkinkan, penyelidik sebaiknya mewawancarai tersangka pelaku. Penyelidik harus memberikan perlindungan hukum bagi mereka seperti yang dijamin hukum internasional dan nasional. 3. Mengamankan dan memperoleh bukti fisik 101. Penyelidik harus mengumpulkan bukti fisik sebanyak mungkin untuk pendokumentasian kejadian atau pola dari penyiksaan. Salah satu aspek terpenting dari penyelidikan yang menyeluruh dan tidak memihak adalah pengumpulan dan analisis bukti fisik. Penyelidik harus membuat dokumentasi tentang rantai penyimpanan yang terlibat dalam pemulihan dan perlindungan bukti fisik
48
guna menggunakan bukti tersebut untuk proses hukum di kemudian hari. Tindak penyiksaan kebanyakan terjadi di tempat dimana individu berada dibawah suatu bentuk penahanan, dimana perlindungan bukti fisik atau akses tanpa batas sulit bahkan tidak mungkin didapat. Penyelidik harus diberi wewenang oleh Negara untuk memperoleh akses tanpa batas untuk berbagai tempat atau lokasi dan dibolehkan mengamankan tempat diduga terjadinya penyiksaan. Usaha-usaha staf penyelidik dan pemeriksa-pemeriksa lainnya dalam melakukan pemeriksaan menyeluruh dari tempat yang diduga terjadinya penyiksaan, harus saling terkoordinasi. Akses mereka harus meliputi (dan tidak terbatas pada) area terbuka atau tertutup, termasuk gedung, kendaraan, kantor, sel penjara atau lokasi lainnya dimana penyiksaan diduga terjadi. 102. Setiap gedung atau area yang sedang dalam pemeriksaan harus ditutup supaya tidak kehilangan bukti apa pun. Hanya penyelidik dan stafnya yang boleh masuk ke area pemeriksaan. Pemeriksaan untuk mencari barang bukti harus dilakukan. Seluruh bukti harus dikumpulkan, ditangani, dibungkus, dinamai dan ditempatkan secara tepat dan aman untuk mencegah kontaminasi, dicampuri atau dihilangkan. Jika penyiksaan diduga baru terjadi, maka bukti yang didapat dari cairan tubuh (seperti darah atau semen), rambut, serat dan benang harus dikumpulkan, dinamai dan disimpan baik-baik. Segala peralatan yang dapat dipakai untuk menyiksa, baik yang sengaja dipakai atau digunakan secara tidak langsung, harus diambil dan disimpan. Jika masih relevan, setiap sidik jari yang ditemukan harus diangkat dan disimpan. Sketsa dari lokasi harus dibuat dalam skala, memperlihatkan seluruh detail yang penting, seperti lokasi lantai
dalam gedung, ruangan-ruangan, pintupintu masuk, jendela, perabotan dan tanah lapang yang mengelilinginya. Foto berwarna juga harus diambil untuk pendokumentasian yang sama. Dokumentasi indentitas seluruh orang yang berada di tempat dugaan penyiksaan harus dibuat, meliputi nama-nama lengkap, alamat dan nomor telpon atau nomor lain yang bisa dihubungi. Jika masih relevan, baju orang yang diduga mengalami penyiksaan harus diambil untuk diperiksa laboratorium, untuk cairan-cairan tubuh atau bukti fisik lainnya. Informasi harus diperoleh dari siapapun yang hadir di lokasi atau area dalam pemeriksaan, untuk menentukan apakah mereka saksi dari dugaan penyiksaan. Berkas, dokumentasi atau dokumen apa pun yang berhubungan harus disimpan untuk kegunaan bukti dan analisis tulisan tangan. 4. Bukti medis 103. Penyelidik harus mengatur pemeriksaan medis bagi korban yang diduga mengalami penyiksaan. Pemeriksaan medis yang tepat dan pantas sangatlah penting. Suatu pemeriksaan medis harus dilakukan tidak perduli berapa lama sejak penyiksaan diduga terjadi, tapi jika terjadi dalam 6 minggu terakhir, pemeriksaan tersebut harus dilakukan secepat mungkin sebelum tanda-tanda akut memudar. Pemeriksaan harus memasukkan penilaian kebutuhan untuk perawatan dari luka, penyakit, bantuan psikologis, saran dan pemeriksaan lanjutan (lihat bab V untuk pemeriksaan fisik dan evaluasi forensik). Suatu evaluasi dan penilaian psikologis tentang korban dugaan tindak penyiksaan selalu diperlukan dan bisa menjadi bagian pemeriksaan fisik, atau jika tidak disertai tanda-tanda fisik dapat dilakukan sendiri
49
(lihat bab VI untuk gambaran evaluasi psikologis). 104. Dalam merumuskan kesan klinis untuk melaporkan bukti fisik dan psikologis sebagai hasil penyiksaan, ada enam pertanyaan penting: (a) Apakah temuan fisik dan psikologis sesuai dengan laporan dugaan penyiksaan? (b) Kondisi fisik apa yang menambah gambaran klinis? (c) Apakah temuan-temuan psikologisnya merupakan reaksi yang wajar terhadap stres luar biasa dalam konteks kultur dan sosial individu? (d) Mengetahui jalannya penyimpangan psikologis akibat trauma dapat berfluktuasi (naik turun) sepanjang waktu, apa kerangka waktu yang terkait dengan kejadian-kejadian penyiksaan? Individu sedang berada dalam tahap pemulihan manakah? (e) Apakah faktor-faktor stres lain yang mempengaruhi individu (seperti hukuman yang berlanjut, migrasi paksa, deportasi, kehilangan anggota keluarga dan peran sosial, dll)? Apa dampak masalah-masalah ini pada individu? (f) Apakah gambaran klinis menunjukkan pernyataan palsu tentang penyiksaan? 5. Foto 105. Foto-foto berwarna dari luka-luka orang yang menyatakan mengalami penyiksaan, dari lokasi tempat penyiksaan diduga terjadi (interior dan eksterior) dan bukti fisik lain yang ditemukan harus diambil. Sebuah tali pengukur atau alat
lain yang dapat menunjukkan ukuran dalam foto sangatlah penting. Foto-foto harus diambil sesegera mungkin, bahkan dengan kamera standart, karena beberapa bukti fisik dapat memudar dengan cepat dan lokasi dapat diganggu. Foto yang dapat dicetak instan bisa rusak berjalannya waktu. Sehingga lebih diharapkan fotofoto profesional yang diambil segera setelah peralatannya tersedia. Jika memungkinkan, foto-foto dapat diambil menggunakan kamera 35-milimeter dengan fitur tanggal yang otomatis. Rantai penyimpanan dari film, klise dan cetakan harus didokumentasi secara penuh. D. Komisi Penyelidikan 1. Menentukan cakupan (ruang lingkup) penyelidikan penyelidikan 106. Negara dan organisasi-organisasi yang membentuk komisi penyelidikan harus menjelaskan cakupan dari penyelidikan dengan memasukkan terms of reference atas persetujuan mereka. Dengan begitu keberhasilan komisi dapat semakin tinggi dengan membuat prosedur penyelidikan menjadi sah, membantu anggota komisi mencapai kesepakatan tentang cakupan penyelidikan dan menyediakan suatu pengukuran yang dapat digunakan untuk menilai laporan akhir komisi. Saran-saran untuk menjelaskan terms of reference adalah sebagai berikut: (a) Harus dirancang secara netral sehingga tidak menyarankan suatu hasil akhir yang telah diprediksi. Supaya netral, terms of reference tidak boleh membatasi penyelidikan-penyelidikan yang dapat membuka keterlibatan Negara atas penyiksaan;
50
(b) Harus menyatakan secara jelas kejadian-kejadian mana dan masalahmasalah yang akan diselidiki dan ditangani dalam laporan akhir komisi; (c) Harus fleksibel dalam cakupan penyelidikan untuk memastikan penyelidikan yang menyeluruh tidak terganggu oleh terms of reference yang terlalu kaku dan membatasi.
2. Kekuasaan dari komisi 107. Prinsip-prinsip dipaparkan dalam cara yang umum tentang kekuasaan komisi. Secara khusus, komisi perlu: (a) Wewenang untuk memperoleh seluruh informasi yang dibutuhkan untuk penyelidikan termasuk wewenang untuk memaksa kesaksian dengan sanksi hukum, untuk meminta produksi dokumentasi termasuk dokumen Negara dan medis, dan untuk melindungi saksi-saksi, keluarga korban dan sumber lainnya; (b) Wewenang untuk mengeluarkan suatu laporan untuk umum; (c) Wewenang untuk melakukan kunjungan langsung ke lokasi, termasuk lokasi dimana penyiksaan diduga terjadi; (d) Wewenang untuk menerima buktibukti dari saksi atau organisasi di luar wilayah negara. 3. Kriteria keanggotaan 108. Anggota komisi harus dipilih berdasarkan reputasinya dalam hal kompetensi, sikap tidak memihak dan kemandirian sebagai individu seperti penjelasan berikut:
(a) Sikap tidak memihak. Anggota komisi sebaiknya tidak berhubungan dekat dengan individu mana pun, badan Negara, partai politik atau organisasi lain yang berpotensi terlibat dalam penyiksaan. Mereka sebaiknya tidak berhubungan dekat dengan organisasi atau kelompok dimana korban menjadi seorang anggota, karena dapat merusak kredibilitas komisi. Bagaimanapun, ini tidak boleh menjadi alasan terselubung dari komisi untuk menyingkirkan orang. Contohnya, anggota dari organisasi besar dimana korban juga menjadi anggota, atau orang yang berhubungan dengan organisasi yang mengabdi pada perawatan dan rehabilitasi korban penyiksaan; (b) Kompetensi. Anggota komisi harus mampu mengevaluasi dan menimbang bukti-bukti dan mengeluarkan keputusan. Jika mungkin, komisi penyelidikan sebaiknya berisi individu-individu dengan keahlian di bidang hukum, kedokteran dan bidang khusus lainnya yang berhubungan; (c) Kemandirian (Independen). Anggota komisi harus memiliki reputasi atas kejujuran dan keadilan dalam komunitasnya. 109. Obyektifitas dari penyelidikan dan temuan-temuan komisi dapat bergantung pada apakah terdapat tiga atau lebih anggota, dibandingkan satu atau dua. Komisaris secara umum sebaiknya tidak melakukan penyelidikan tentang penyiksaan. Alasannya adalah terbatasnya kedalaman penyelidikan pada kemampuannya yang seorang diri. Sebagai tambahan, komisaris tunggal harus membuat keputusan-keputusan kontroversial dan penting tanpa argumen dan secara khusus bisa lemah terhadap tekanan luar atau Negara.
51
4. Staf komisi 110. Komisi penyelidikan sebaiknya mendapat bimbingan / saran ahli dan netral. Ketika komisi sedang menyelidiki dugaan perlakuan salah dari Negara, maka disarankan untuk menunjuk konsultan di luar Kementerian Hukum. Kepala konsultan komisi harus dilindungi dari pengaruh politik, melalui status pegawai sipil atau sebagai anggota yang sama sekali berdiri sendiri. Keahlian teknis harus tersedia bagi komisi dalam bidangbidang seperti patologi, ilmu forensik, psikiatri, psikologi, ginekologi dan kedokteran anak. Untuk melakukan penyelidikan yang adil dan menyeluruh, komisi hampir selalu membutuhkan tim penyelidiknya sendiri untuk mencari petunjuk dan mengembangkan bukti. Kredibilitas dari suatu penyelidikan akan meningkat signifikan jika komisi dapat mengandalkan tim penyelidiknya sendiri.
112. Sesuai prinsip umum proses hukum kejahatan bahwa pengadilan harus dilakukan secara terbuka, kecuali butuh laporan proses melalui kamera untuk melindungi keamanan seorang saksi. Laporan proses yang menggunakan kamera harus direkam dan disimpan, data yang tidak diterbitkan dan disimpan di suatu tempat yang diketahui. Dalam beberapa kesempatan, kerahasian total dibutuhkan untuk mendukung kesaksian, dan komisi mungkin ingin mendengar kesaksian secara pribadi, tidak resmi atau tanpa direkam. 7. Pemberitahuan penyelidikan 113. Pemberitahuan luas tentang pembentukan suatu komisi dan subyek penyelidikan harus diberikan. Pemberitahuan harus termasuk undangan untuk mengajukan informasi dan pernyataan tertulis yang relevan kepada komisi dan instruksi untuk orang-orang yang bersedia bersaksi. Pemberitahuan bisa diedarkan melalui koran, majalah, radio, televisi, selebaran dan poster.
5. Perlindungan saksi-saksi 8. Penerimaan bukti-bukti 111. Negara harus melindungi pendakwa, saksi-saksi, tim penyelidik dan keluarganya dari kekerasan, ancaman kekerasan atau bentuk intimidasi lainnya (lihat bagian C.2.d. di atas). Jika komisi menyimpulkan adanya ketakutan yang masuk akal tentang hukuman, pelecehan atau bahaya pada saksi atau calon saksi, komisi dapat menyarankan kesaksian dari kamera, merahasiakan identitas dari informan atau saksi, hanya menggunakan bukti yang tidak beresiko membongkar identitas saksi dan mengambil cara-cara lainnya yang tepat. 6. Laporan Proses
114. Komisi penyelidikan harus memiliki wewenang untuk mewajibkan kesaksian dan mengeluarkan bukti, ditambah wewenang untuk mewajibkan kesaksian dari pejabat pemerintahan yang diduga terlibat dalam penyiksaan. Dalam prakteknya, wewenang ini bisa termasuk kuasa untuk memberikan denda atau hukuman jika pejabat pemerintah atau individu menolak untuk patuh. Komisi penyelidikan harus mengundang orangorang untuk bersaksi atau memasukkan pernyataan tertulis sebagai langkah pertama pengumpulan bukti. Pernyataan tertulis menjadi penting jika penulisnya takut untuk bersaksi, tidak dapat
52
melakukan perjalanan untuk menghadiri pengadilan atau tidak tersedia. Komisi harus mencari proses hukum lainnya yang dapat menghasilkan informasi relevan. 9. Hak-hak para pihak 115. Mereka yang menyatakan mendapat penyiksan dan perwakilannya harus mendapat informasi dan memiliki akses ke setiap pemeriksaan dan berhak menghadirkan bukti. Penekanan khusus terhadap peran survivor sebagai suatu pihak dalam proses pemeriksaan mencerminkan pentingnya peran mereka dalam pelaksanaan penyelidikan. Namun, pihak-pihak lain yang tertarik harus diberi kesempatan untuk didengarkan. Badan penyelidik harus diberi wewenang untuk memanggil saksi, termasuk pejabat pemerintahan yang diduga terlibat, dan menuntut pengeluaran barang bukti. Setiap saksi berhak mendapat saran hukum jika mereka beresiko mendapat bahaya oleh karena penyelidikan, contohnya jika kesaksian mereka dapat membawa tuntutan kejahatan pada mereka. Saksi tidak dapat dipaksa memberikan kesaksian terhadap dirinya sendiri. Harus ada kesempatan untuk wawancara yang efektif dengan saksisaksi oleh komisi. Pihak-pihak dalam penyelidikan boleh mengajukan pertanyaan-pertanyaan tertulis pada komisi. 10. Evaluasi bukti-bukti 116. Komisi harus mengolah seluruh informasi dan bukti untuk menentukan tingkat kepercayaan dan kebenarannya. Komisi harus mengevaluasi kesaksian oral, mempertimbangkan perilaku dan kredibilitas menyeluruh dari saksi. Komisi harus peka terhadap masalah-masalah sosial, kultural dan jender yang
mempengaruhi perilaku saksi. Pembenaran bukti dari beberapa sumber dapat meningkatkan nilai kebenaran bukti dan tingkat kepercayaan bukti dari desasdesus. Tingkat kepercayaan dari bukti desas-desus harus dipertimbangkan secara hati-hati sebelum komisi menerimanya sebagai suatu fakta. Kesaksian tanpa melakukan pemeriksaan-silang juga harus diwaspadai. Kesaksian melalui kamera yang disimpan secara tertutup atau tidak direkam seringkali tidak dilakukan pemeriksaan-silang, sehingga harus diberi bobot yang lebih ringan. 11. Laporan dari komisi 117. Komisi harus mengeluarkan laporan untuk umum dalam periode waktu yang wajar. Lebih lanjut, jika komisi tidak sepaham dengan temuannya, komisaris minoritas sebaiknya memasukan pendapat yang menentang. Laporan komisi penyelidikan minimal harus berisikan informasi berikut: (a) Cakupan penyelidikan dan terms of reference; (b) Prosedur dan mengevaluasi bukti;
metode
dalam
(c) Daftar seluruh saksi yang memberi kesaksian, termasuk umur dan jender, kecuali mereka yang identitasnya dirahasiakan untuk keamanan atau mereka yang bersaksi melalui kamera; (d) Tempat dan waktu setiap pemeriksaan (ini mungkin akan menjadi lampiran); (e) Latar belakang dari penyelidikan, seperti kondisi sosial, politik dan ekonomi yang relevan;
53
(f) Kejadian-kejadian khusus yang muncul dan bukti-bukti yang mendasari temuan; (g) Hukum yang mendasari komisi; (h) Kesimpulan-kesimpulan komisi berdasarkan hukum yang berlaku dan temuan fakta; (i) Saran-saran yang didasari temuan komisi. 118. Negara harus memberikan laporan untuk umum sebagai respon terhadap laporan komisi, dan jika pantas, menunjukkan langkah-langkah yang harus diambil sebagai bentuk tanggung jawab.
54
BAB IV
perawatan bagi survivor dan sebagai kesaksian dalam penyelidikan HAM.
PERTIMBANGAN-PERTIMBANGAN UMUM dalam MELAKUKAN WAWANCARA
119. Dalam mewawancarai seseorang yang diduga telah mengalami penyiksaan, ada beberapa hal dan faktor praktis yang harus diperhatikan. Ini berlaku bagi siapa pun yang melakukan wawancara baik pengacara, dokter, psikolog, psikiater, pembela HAM dan lainnya. Bagian berikut akan menjelaskan dasar-dasar pertimbangan dan berusaha menyesuaikannya dengan konteks yang akan ditemui ketika menyelidiki kasus penyiksaan atau mewawancarai korban penyiksaan. A. Tujuan dari penyelidikan, pemeriksaan dan pendokumentasian 120. Pada dasarnya, tujuan dari penyelidikan adalah untuk menemukan fakta-fakta yang berhubungan dengan dugaan terjadinya penyiksaan (lihat bab III.D.). Evaluasi medis tentang penyiksaan dapat menjadi bukti yang berguna dalam konteks hukum seperti: (a) Menemukan pelaku-pelaku yang bertanggung jawab dan membawa mereka ke pengadilan; (b) Mendukung politik;
permintaan
121. Tujuan dari kesaksian dokter, baik tertulis maupun lisan, adalah untuk memberi pendapat ahli tentang sejauh mana temuan-temuan medis memiliki hubungan dengan dugaan penyiksaan pada pasien dan menyatakan temuan serta tafsiran mereka pada pengadilan atau pihak berwenang lainnya secara efektif. Sebagai tambahan, kesaksian dokter juga dapat memberi pelajaran pada pengadilan, pejabat pemerintah lainnya dan komunitas lokal atau internasional mengenai dampakdampak fisik dan psikologis dari penyiksaan. Pemeriksa harus siap melakukan: (a) Pemeriksaan luka dan kemungkinan tindak kekerasan, walaupun tidak ada tuntutan khusus dari individu, lembaga hukum maupun pengadilan; (b) Pendokumentasian bukti fisik dan psikologis dari luka dan tindak kekerasan; (c) Mencari hubungan antara temuantemuan dalam pemeriksaan dan tuntutantuntutan khusus pasien tentang kekerasan; (d) Mencari hubungan antara temuantemuan pemeriksaan dengan metodemetode penyiksaan yang diketahui dipakai dalam wilayah tertentu dan dampak umumnya;
suaka
(c) Menemukan kondisi atau situasi dimana ada kemungkinan pejabat pemerintah mendapatkan kesaksian palsu; (d) Mengenal praktek praktek penyiksaan dalam suatu wilayah. Evaluasi medis juga dapat digunakan untuk mengenali kebutuhan-kebutuhan
(e) Memberi tafsiran ahli tentang temuan evaluasi medis yang sah dan memberikan pendapat ahli berkaitan dengan kemungkinan penyebab dari kekerasan dalam dengar pendapat permohonan suaka, pengadilan kejahatan dan lainnya;
55
(f) Menggunakan informasi yang diperoleh dalam cara yang tepat guna meningkatkan temuan fakta dan pendokumentasian penyiksaan lebih lanjut. B. Tatacara perlindungan dengan menghormati para tahanan 122. Evaluasi forensik terhadap tahanan harus dilakukan atas permintaan tertulis dari jaksa penuntut umum atau pejabat lainnya yang berhak untuk itu, tetapi tidak bisa diminta oleh petugas penegak hukum. Seorang tahanan, pengacara atau keluarganya berhak meminta pemeriksaan untuk mencari bukti-bukti penyiksaan dan penganiayaan. Tahanan harus diantar untuk pemeriksaan forensik oleh petugas selain tentara atau polisi, karena penyiksaan bisa saja terjadi dalam penahananan mereka. Hal ini dapat memberi tekanan pada si tahanan dan dokter yang memeriksa, sehingga pendokumentasian kasus penyiksaan atau penganiayaan menjadi tidak efektif. Petugas yang mengawasi pemindahan tahanan harus bertanggung jawab pada para penuntut umum, bukan pada lembaga penegak hukum lainnya. Pengacara si tahanan harus hadir pada saat permintaan pemeriksaan dan saat pemindahan setelah pemeriksaan. Tahanan berhak memperoleh pemeriksaan medis kedua atau alternatif lain dari seorang dokter yang memenuhi syarat selama dan setelah periode penahanan. 123. Setiap tahanan harus diperiksa secara pribadi. Polisi atau petugas penegak hukum lainnya tidak boleh hadir dalam ruang pemeriksaan. Tatacara perlindungan ini boleh dilanggar hanya jika, menurut dokter pemeriksa, ada bukti kuat bahwa si tahanan dapat membahayakan keamanan staf kesehatan.
Dalam situasi semacam itu, petugas keamanan dari fasilitas kesehatan tersebut yang sebaiknya hadir atas permintaan pemeriksa medis, bukan polisi atau petugas penegak hukum lainnya. Petugas keamanan juga tidak boleh berada dalam jarak pendengaran (hanya kontak visual) dari pasien. Pemeriksaan medis terhadap tahanan sebaiknya dilakukan di tempat yang dirasa paling sesuai oleh dokter pemeriksa. Dalam beberapa kasus, lebih baik bersikeras untuk melakukan pemeriksaan di fasilitas kesehatan resmi dan bukan di penjara. Dalam kasus lain, tahanan mungkin memilih untuk diperiksa dalam kondisi aman di sel mereka sendiri, contohnya jika mereka merasa lokasi pemeriksaan berada di bawah pengawasan. Tempat pemeriksaan yang paling baik ditentukan oleh berbagai faktor, tapi dalam seluruh kasus, penyelidik harus memastikan bahwa tahanan tidak dipaksa untuk menyetujui suatu tempat yang dirasanya tidak nyaman. 124. Kehadiran petugas kepolisian, tentara, petugas penjara atau petugas penegak hukum lainnya dalam ruang pemeriksaan, apa pun tujuannya, harus dicatat dalam laporan medis resmi dokter. Kehadiran mereka dapat menjadi dasar untuk mengabaikan laporan medis yang negatif. Identitas dan gelar orang-orang lain yang hadir dalam pemeriksaan harus dinyatakan dalam laporan. Evaluasi medis yang sah terhadap tahanan sebaiknya menggunakan struktur laporan yang sesuai standart (lihat tambahan IV untuk pedoman dalam mengembangkan struktur laporan medis sesuai standart). 125. Evaluasi yang lengkap dan asli harus diserahkan secara langsung ke pihak yang meminta pemeriksaan, biasanya penuntut umum. Laporan juga harus diberikan pada tahanan atau pengacara
56
yang mewakili, jika mereka meminta. Suatu asosiasi kedokteran nasional atau komisi penyelidikan dapat melakukan audit terhadap laporan medis untuk memastikan bahwa tatacara perlindungan yang memadai dan standar-standar pendokumentasian telah dipatuhi, khususnya oleh dokter yang dipekerjakan Negara. Laporan sebaiknya dikirim ke organisasi yang mandiri dan menjunjung kerahasiaan. Dalam situasi apa pun, salinan laporan medis tidak boleh diberikan pada petugas penegak hukum. Tahanan harus menjalani pemeriksaan medis pada saat penahanan dan menjalani pemeriksaan dan evaluasi pada saat akan dilepaskan.70 Bantuan pengacara harus dapat diperoleh pada saat pemeriksaan. Pada umumnya situasi penjara tidak memungkinkan hadirnya orang luar. Dalam kasus semacam itu, menjadi syarat bagi dokter penjara untuk menghormati etika kedokteran dan mereka harus mampu menjalankan tugas profesionalnya secara mandiri terlepas dari pengaruh pihak ketiga. Jika pemeriksaan forensik mendukung dugaan terjadinya penyiksaan, maka si tahanan sebaiknya tidak dikembalikan ke pusat tahanan tersebut. Tahanan harus bertemu dengan penuntut umum atau hakim untuk menentukan penempatan yang sah bagi tahanan.71 C. Kunjungan resmi ke rumah tahanan 126. Kunjungan ke rumah tahanan tidak boleh dianggap ringan. Dalam beberapa kasus kunjungan semacam itu terkenal sulit dijalankan secara obyektif dan profesional, khususnya dalam negara dimana penyiksaan masih dilakukan. Satu
kali kunjungan, tanpa kelanjutan untuk memastikan keamanan orang yang diwawancara setelah kunjungan, bisa berbahaya. Dalam beberapa kasus, satu kali kunjungan tanpa kunjungan ulang bisa lebih buruk dibandingkan tanpa kunjungan sama sekali. Penyelidik yang beritikad baik dapat masuk dalam perangkap mengunjungi suatu rumah tahanan atau kantor polisi, tanpa mengetahui secara jelas apa yang mereka lakukan. Mereka bisa saja memperoleh gambaran fakta yang tidak lengkap atau palsu. Mereka bisa dengan tanpa sengaja menempatkan tahanan dalam bahaya. Fakta bahwa orang luar mengunjungi rumah tahanan mereka dan tidak menemukan apa-apa, dapat dijadikan alibi oleh pelaku penyiksaan. 127. Kunjungan sebaiknya dilakukan oleh penyelidik yang mampu melaksanakan kunjungan dan meninjau kembali dalam cara yang profesional dan memiliki tatacara perlindungan yang ketat dalam pekerjaan mereka. Ide bahwa beberapa bukti lebih baik daripada tidak ada bukti sama sekali, tidak berlaku jika tahanan beresiko mendapat bahaya akibat kesaksian mereka. Kunjungan oleh individu yang mewakili institusi resmi atau LSM dapat sulit dilakukan, bahkan bisa tidak produktif. Intinya harus dibedakan antara kunjungan yang dapat dipercaya dan berguna bagi penyelidikan dengan kunjungan non-ahli yang tidak perlu, karena berbahaya dalam negara yang mempraktekkan penyiksaan. Komisi independen yang berisikan ahli hukum dan dokter harus diberi jalan masuk secara berkala untuk mengunjungi tempat-tempat tahanan.
70
Lihat Peraturan Sesuai Standart Minimum PBB untuk Perawatan Tahanan 71 Anonymous, “Health care for prisoners: implications of Kalk’s refusal”, Lancet, 1991 (337:647-648).
128. Wawancara dengan orang yang masih berada dalam pengawasan, bahkan mungkin masih di tangan pelaku
57
penyiksaan jelas akan sangat berbeda dengan wawancara pribadi di fasilitas kesehatan yang aman. Sehingga sangat penting untuk memperoleh kepercayaan dari individu dalam situasi semacam itu. Namun hal yang lebih penting adalah untuk tidak mengkhianati rasa percaya tersebut. Segala tindakan pencegahan harus harus diambil supaya tahanan tidak menempatkan diri mereka dalam bahaya. Tahanan yang mendapat penyiksaan harus ditanya apakah informasi yang diperoleh dapat digunakan dan dalam cara apa. Mungkin mereka takut mengijinkan pencantuman nama, karena takut dihukum. Penyelidik, pemeriksa dan penerjemah terikat untuk menghormati apa yang telah dijanjikan pada si tahanan. 129. Suatu dilema jelas dapat muncul jika ditemukan banyak tahanan mendapat penyiksaan dari tempat yang sama, tapi semua menolak untuk mengijinkan cerita mereka digunakan penyelidik karena takut dihukum. Dihadapkan oleh pilihan antara mengkhianati kepercayaan tahanan dalam upaya untuk menghentikan penyiksaan, atau menghormati kepercayaan tersebut dan pergi tanpa mengatakan apa-apa, maka penyelidik harus mencari jalan keluar terbaik. Jika para tahanan memiliki tanda-tanda jelas seperti cambukan, pukulan, goresan dan lainnya, maka penyelidik dapat mengorganisasikan suatu ”pemeriksaan kesehatan” di lapangan terbuka sehingga dapat dilihat. Dengan begitu, penyelidik medis yang berkunjung dapat mengamati secara langsung tandatanda penyiksaan pada tahanan dan membuat laporan tentang apa yang dilihatnya dan tidak harus mengatakan bahwa tahanan membuat keluhan penyiksaan. Langkah awal ini memastikan rasa percaya tahanan untuk kunjungan lanjutan berikut.
130. Bentuk penyiksaan lain, seperti penyiksaan psikologis dan seksual, jelas tidak dapat ditangani dengan cara yang sama. Dalam kasus seperti ini, sebaiknya penyelidik tidak memberi komentar selama satu kunjungan atau lebih sampai situasi mengijinkan atau membantu tahanan untuk mengurangi rasa takutnya dan mengijinkan penyelidik menggunakan cerita mereka. Dokter pemeriksa dan penerjemah harus memberikan nama mereka dan menjelaskan perannya dalam melakukan evaluasi. Pendokumentasian bukti medis penyiksaan membutuhkan pengetahuan khusus dari ahli kesehatan yang sudah mempunyai ijin praktek. Pengetahuan tentang penyiksaan serta dampak fisik dan psikologisnya dapat diperoleh melalui buku, kursus pelatihan, konferensi ahli dan pengalaman. Sebagai tambahan, pengetahuan tentang praktekpraktek penyiksaan dan penganiayaan dalam wilayah tertentu juga penting karena informasi tersebut dapat mendukung cerita individu tentang penyiksaan atau penganiayaan yang dialami. Pengalaman dalam mewawancarai dan memeriksa individu untuk mencari bukti fisik dan psikologis dari penyiksaan serta pendokumentasian temuan harus didapatkan di bawah pengawasan ahli-ahli yang berpengalaman. 131. Kadangkala, mereka yang masih berada dalam tahanan bisa terlalu mempercayai pewawancara yang tidak bisa dengan mudah menjamin keamanan. Contohnya jika belum ada persetujuan tentang kunjungan ulang oleh yang berwenang atau jika identitas individu belum disimpan untuk memastikan peninjauan kembali. Segala tindakan pencegahan harus diambil untuk memastikan tahanan tidak menempatkan diri mereka dalam resiko yang tidak perlu,
58
dengan mudah percaya pada orang luar untuk melindungi mereka. 132. Dalam mengunjungi orang yang masih dalam tahanan, idealnya jasa penerjemah yang digunakan adalah orang luar dan tidak didapatkan secara lokal. Tujuan utamanya adalah untuk menghindari tekanan pada penerjemah maupun keluarganya dari pihak berwenang yang ingin mengetahui informasi apa yang diberikan pada penyelidik. Masalahnya bisa lebih kompleks jika tahanan berbeda suku bangsa dengan pihak yang menahan mereka. Apakah penerjemah lokal harus dari suku bangsa yang sama dengan tahanan, untuk memperoleh rasa percaya mereka, tapi tidak dari pihak berwenang yang mungkin dapat mengintimidasi mereka? Atau penerjemah dari suku bangsa yang sama dengan pihak yang menahan, dan kehilangan kepercayaan tahanan dan masih beresiko diintimidasi pihak berwenang? Jelas jawaban idealnya adalah tidak kedua-duanya. Penerjemah sebaiknya dari luar wilayah dan mandiri seperti penyelidik. 133. Seorang individu yang diwawancara pukul 8 malam berhak mendapat perhatian penuh yang sama seperti individu yang diwawancara pukul 8 pagi. Penyelidik harus mengatur waktu dan tidak berkerja melampaui batasnya. Tidak adil bagi yang diwawancara pukul 8 malam (yang telah menunggu seharian untuk bercerita) dipotong ceritanya karena kekurangan waktu. Demikian juga, cerita ke 19 tentang suatu hal harus mendapat perhatian yang sama seperti cerita yang pertama. Tahanan yang tidak sering bertemu dengan orang luar mungkin tidak pernah mendapat kesempatan untuk membicarakan penyiksaan yang mereka alami. Merupakan asumsi yang salah jika
berpikir bahwa tahanan saling membicarakan penyiksaan yang dialami. Tahanan yang tidak menawarkan hal baru untuk penyelidikan berhak mendapat waktu yang sama dengan yang lainnya.
D. Teknik-teknik bertanya 134. Beberapa aturan dasar harus dihormati (lihat bab III.C.(G)). Informasi yang didapat jelas penting namun tidak lebih penting daripada orang yang diwawancara, dan mendengarkan lebih penting darpada bertanya. Bagi tahanan, bicara tentang keluarga mungkin lebih penting dibanding cerita tentang penyiksaan. Ini harus dipertimbangkan secara tepat, dan waktu khusus harus diberikan untuk membicarakan masalah pribadi. Penyiksaan, khususnya seksual, adalah subyek yang sangat intim dan mungkin tidak dibicarakan dalam kunjungan lanjutan atau bahkan setelah itu. Individu tidak boleh dipaksa membicarakan penyiksaan dalam bentuk apa pun jika mereka tidak merasa nyaman. E. Pendokumentasian tentang latar belakang 1. Sejarah psikososial dan data penangkapan sebelumnya 135. Jika korban dugaan penyiksaan tidak lagi ditahan, maka pemeriksa sebaiknya menyelidiki kehidupan seharihari individu, hubungan dengan teman dan keluarga, pekerjaan atau sekolah, minat, rencana ke depan dan penggunaan alkohol dan obat-obatan. Informasi juga sebaiknya diperoleh berkaitan dengan sejarah psikososial individu setelah penahanan. Jika individu masih ditahan, sejarah psikososial berkaitan dengan pekerjaan dan kemampuan baca-tulis juga sudah
59
cukup. Bertanyalah tentang obat resep dokter yang harus dikonsumsi, ini penting karena obat semacam itu tidak diberikan pada tahanan dan dapat menyebabkan masalah kesehatan serius. Penyelidikan terhadap aktivitas politik, keyakinan dan pendapat individu juga masih relevan selama dapat menjelaskan kenapa seorang individu ditahan atau disiksa. Penyelidikan lebih baik dilakukan secara tidak langsung dengan bertanya tuduhantuduhan apa yang dibuat atau kenapa mereka pikir mereka ditahan atau disiksa. 2. Ringkasan dari penahanan dan perlakukan yang tidak semestinya 136. Sebelum memperoleh laporan kejadian yang rinci, termasuk tanggal, tempat, lama penahanan, frekuensi dan lama sesi penyiksaan. Suatu ringkasan akan membantu penggunaan waktu yang efektif. Dalam beberapa kasus dimana survivor tersebut telah disiksa lebih dari sekali kesempatan, mereka mungkin ingat apa yang terjadi, tapi seringkali tidak dapat ingat secara tepat dimana dan kapan setiap kejadian muncul. Dalam situasi seperti itu, penjelasan sejarahnya lebih baik diambil dari metode-metode kekerasan yang dipakai dibanding rangkaian kejadian selama penangkapan tertentu. Dalam membuat penjelasan sejarah, pertanyaan “apa yang terjadi dan kapan” sebaiknya didokumentasikan sebanyak mungkin. Tempat-tempat penahanan dijalankan oleh pengamanan yang berbeda, bisa polisi atau tentara bersenjata, dan apa yang terjadi di tempattempat yang berbeda dapat berguna untuk mendapat gambaran menyeluruh tentang sistem penyiksaan. Memperoleh peta tempat dimana penyiksaan terjadi dapat berguna untuk menyatukan sejarah orangorang yang berbeda. Ini seringkali berguna untuk keseluruhan penyelidikan.
3. Situasi pada saat penahanan 137. Pikirkanlah pertanyaan-pertanyaan berikut: jam berapa waktu itu? Dimana kamu saat itu? Apa yang kamu lakukan? Siapa yang ada di sana? Gambarkan penampilan mereka yang menahan kamu. Apakah mereka dari militer atau sipil, dalam seragam atau baju biasa? Senjata jenis apa yang mereka bawa? Apa yang dikatakan? Ada saksi? Apakah ini penangkapan resmi, penahanan administratif atau penghilangan? Apakah menggunakan kekerasan, menggunakan ancaman? Apakah ada interaksi dengan anggota keluarga? Catat penggunaan alat pengekang atau penutup mata, jenis transportasi, tujuan dan nama-nama petugas, jika diketahui. 4. Tempat dan kondisi-kondisi dari penahanan 138. Meliputi akses untuk dan gambaran dari makanan dan minuman, fasilitas toilet, penerangan, suhu dan ventilasi. Kontak dengan keluarga, pengacara atau ahli kesehatan, kondisi penahanan yang terlalu ramai atau pengasingan (isolasi), ukuran dari tempat penahanan dan apakah ada orang lain yang bisa membenarkan penahanan tersebut. Pikirkan pertanyaanpertanyaan berikut: apa yang pertama kali terjadi? Dimana kamu dibawa? Apakah ada proses identifikasi (pencatatan informasi pribadi, sidik jari, foto)? Apakah kamu diminta menandatangani sesuatu? Gambarkan kondisi sel atau ruangan (catat ukuran, orang lain yang hadir, penerangan, ventilasi, suhu, adanya serangga, binatang pengerat, tempat tidur dan akses untuk makanan, minuman dan toilet). Apa yang kamu dengar, lihat dan cium? Apakah kamu dapat menghubungi orang luar atau akses untuk perawatan
60
kesehatan? Bagaimana susunan fisik dari tempat kamu ditahan? 5. Metode-metode penyiksaan dan penganiayaan 139. Dalam memperoleh informasi latar belakang penyiksaan dan penganiayaan, harus berhati-hati jangan sampai mempengaruhi individu tentang bentukbentuk kekerasan apa yang dialaminya. Ini dapat membantu memisahkan cerita yang mungkin berlebihan dengan pengalaman sebenarnya. Namun, jawaban negatif atas pertanyaan-pertanyaan tentang berbagai bentuk penyiksaan dapat membantu menentukan kredibilitas (tingkat kepercayaan) seseorang. Pertanyaan harus dirancang untuk menarik suatu cerita naratif yang masuk akal. Pikirkanlah beberapa pertanyaan berikut. Dimana kekerasan terjadi, kapan dan untuk berapa lama? Apakah menggunakan penutup mata? Sebelum membicarakan bentukbentuk kekerasan, catat siapa saja yang hadir (cantumkan nama, posisi). Gambarkan ruangan atau tempatnya. Obyek-obyek apa yang kamu amati? Jika mungkin, gambarkan masing-masing alat dengan rinci. Tanyalah tentang pakaian, pelepasan pakaian dan pergantian pakaian. Rekam kutipan-kutipan tentang apa yang dikatakan selama interogasi, hinaan pada identitas seseorang, dll. Apa yang dibicarakan di antara para pelaku? 140. Untuk setiap bentuk kekerasan, catat: posisi tubuh, pengekangan, sifat kontak, jangka waktu, frekuensi, lokasi anatomi dan area tubuh yang dikenai. Apakah ada pendarahan, luka kepala atau hilang kesadaran? Apakah hilangnya kesadaran sebagai akibat dari luka kepala, kekurangan oksigen atau sakit. Bagaimana keadaan individu setelah “sesi” berakhir. Apakah dia bisa berjalan? Apakah dia
harus dibantu atau digendong kembali ke sel? Apakah dia bisa bangun keesokan harinya? Berapa lama kakinya bengkak? Seluruh pertanyaan ini memberikan gambaran yang lengkap. Laporan harus meliputi tanggal penyiksaan dipaksa melakukan posisi tertentu, berapa kali dan untuk berapa hari penyiksaan berlangsung, lama setiap episode, cara penghukuman (badan dibalik, ditutupi kain atau selimut tebal atau diikat langsung dengan tali, meletakan beban berat pada kaki atau menarik kaki ke bawah) atau posisi. Dalam kasus penyiksaan dengan menggantung tubuh, tanyalah jenis bahan yang digunakan (tali, kawat dan kain bisa meninggalkan bekas yang berbeda pada kulit setelah digantung). Pemeriksa harus ingat bahwa pernyataan survivor penyiksaan tentang lamanya jangka waktu penyiksaan bersifat subyektif dan bisa tidak benar. Ini dikarenakan sering ditemukan kebingungan tentang waktu dan tempat selama penyiksaan. Apakah individu mendapat serangan seksual dalam cara apa pun? Catat apa yang dikatakan selama penyiksaan terjadi. Sebagai contoh, saat penyiksaan menggunakan alat listrik ke alat kelamin, pelaku seringkali mengatakan pada korban bahwa mereka tidak dapat berfungsi seksual secara normal lagi atau hal serupa. Untuk pembahasan lebih rinci mengenai dugaan penyiksaan seksual, termasuk i perkosaan lihat bab V.D.8. F. Penilaian mengenai latar belakang 141. Survivor penyiksaan mungkin kesulitan menjelaskan penyiksaan yang dialami secara rinci. Alasannya meliputi: (a) Faktor-faktor penyiksaan itu sendiri, seperti penutup mata, pembiusan, hilang kesadaran, dll;
61
(b) Takut menempatkan diri sendiri atau orang lain dalam bahaya; (c) Kurangnya rasa percaya pada dokter pemeriksa atau penerjemah; (d) Dampak psikologis dari penyiksaan dan trauma, seperti guncangan emosi yang tinggi dan ingatan yang terganggu sebagai dampak penyimpangan psikologis terkait dengan trauma, seperti depresi dan posttraumatic stress disorder (PTSD); (e) Gangguan ingatan yang bersifat neurologis (syaraf) akibat pukulan pada kepala, dicekik sehingga kekurangan oksigen, hampir tenggelam atau kelaparan; (f) Mekanisme perlindungan diri, seperti menyangkal dan menghindar; (g) Budaya membolehkan pengalamanpengalaman traumatik dibuka hanya dalam suasana yang sangat menjaga kerahasiaan.72 142. Cerita individu yang tidak stabil bisa muncul sebagai akibat dari satu atau seluruh faktor di atas. Jika memungkinkan, penyelidik sebaiknya menanyakan penjelasan lebih lanjut. Jika tidak mungkin, penyelidik sebaiknya mencari bukti lain yang mendukung atau membantah cerita tersebut. Rincian cerita yang stabil dapat mendukung dan memperjelas cerita individu. Walaupun individu mungkin tidak mampu memberi rincian cerita, seperti tanggal, waktu, seberapa sering dan identitas pasti dari 72
R.F. Mollica dan Y. Caspi-Yavin, “Overview: the assessment and diagnosis of torture events and symptoms”, Torture and Its Consequences, Current Treatment Approaches,, M. BaÍo», ed. (Cambridge, Cambridge University Press, 1992:38-55)
pelaku, namun tema keseluruhan dari kejadian traumatik dan penyiksaan akan didapatkan seiring waktu. G. Tinjauan mengenai metode-metode penyiksaan 143. Setelah mendapatkan penjelasan naratif yang rinci mengenai kejadian, disarankan untuk meninjau metodemetode penyiksaaan lain yang mungkin digunakan. Praktek-praktek penyiksaan dalam wilayah tertentu penting dipelajari lalu dengan itu memodifikasi pedoman lokal. Bertanya tentang bentuk-bentuk penyiksaan tertentu akan berguna ketika: (a) Gejala gejala memburamkan ingatan;
psikologis
(b) Traumanya berhubungan dengan gangguan kemampuan panca indera; (c) Dalam kasus dimana mungkin terjadi kerusakan organik pada otak; (d) Ketika mereka memperkecil faktorfaktor pendidikan dan budaya; 144. Perbedaan antara metode-metode fisik dan psikologis adalah sifat buatannya. Sebagai contoh, penyiksaan seksual umumnya menyebabkan gejalagejala fisik dan psikologis, bahkan jika tidak ada serangan fisik. Daftar metode penyiksaan berikut menunjukkan beberapa kategori kemungkinan kekerasan. Daftar ini tidak dmaksudkan sebagai checklist atau contoh untuk menuliskan metodemetode penyiksaan dalam suatu laporan. Pendekatan yang menggunakan daftar metode tidak produktif, karena keseluruhan gambaran klinis dari penyiksaan tidak sesederhana daftar luka yang dihasilkan metode penyiksaan. Pengalaman menunjukkan bahwa jika
62
menggunakan pendekatan tersebut, pelaku seringkali fokus pada salah satu metode dan berdebat bahwa itu bukan penyiksaan. Metode-metode penyiksaan yang layak dipertimbangkan meliputi, tapi tidak terbatas pada:
(j) Luka akibat tekanan pemindahan traumatik dari tangan/kaki dan anggota tubuh;
(a) Trauma akibat benda tumpul, seperti pukulan, tendangan, tamparan, pecutan, pukulan dengan kawat atau tongkat atau jatuh;
(l) Penyiksaan farmasi menggunakan dosis racun dari penenang, neuroleptics, paralytics, dll;
(b) Penyiksaan dengan menggunakan berbagai posisi, dipaksa melakukan posisi tertentu selama jangka waktu tertentu, merenggangkan anggota badan sampai terpisah, membatasi gerakan dalam jangka waktu yang lama; (c) Luka bakar dengan rokok, alat yang dipanaskan, cairan mendidih, zat yang dapat membakar kulit; (d) Kejutan listrik; (e) Kekurangan oksigen, dengan metode basah dan kering, seperti menenggelamkan, membuat sesak, mencekik atau penggunaan bahan kimia; (f) Luka akibat tekanan, seperti menghancurkan tangan atau menggunakan alat penggiling berat untuk paha atau punggung; (g) Luka tembus, seperti luka tusuk dan tembakan, kawat di bawah kuku; (h) Pembubuhan bahan kimia seperti garam, cabai, bensin, dll. (pada luka tubuh yang terbuka); (i) Kekerasan seksual ada alat kelamin, pelecehan, penggunaan alat, perkosaan;
atau jari
(k) Amputasi medis jari tangan/kaki pemindahan organ tubuh melalui operasi;
(m) Kondisi-kondisi penahanan, seperti sel yang terlalu kecil atau terlalu ramai, hukuman isolasi, kondisi yang tidak sehat, tidak ada fasilitas WC, makanan dan minuman yang tidak rutin atau kotor, suhu yang bisa sangat ekstrim, menyangkal kebebasan pribadi dan dipaksa telanjang; (n) Kurangnya rangsangan sensoris yang normal, seperti suara, penerangan, sadar akan waktu, isolasi, manipulasi terhadap penerangan sel, menyalahgunakan kebutuhan-kebutuhan psikologis, membasi jam tidur, makanan, minuman, fasilitas WC, perawatan kesehatan, hubungan sosial, pengasingan dalam penjara, kehilangan kontak dengan dunia luar (korban seringkali diasingkan (isolasi) guna mencegah kedekatan dan perasaan kebersamaan dan untuk memperkuat hubungan traumatik dengan pelaku penyiksaan); (o) Penghinaan, seperti verbal, tindakan atau memalukan;
kekerasan perbuatan
(p) Ancaman kematian, melukai keluarga, penyiksaan lebih lanjut, pemenjaraan, ejekan. (r) Teknik-teknik psikologis untuk menghancurkan individu, termasuk paksaan untuk mengkhianati, ketidakberdayaan yang dipelajari,
63
dihadapkan dengan situasi yang tak tentu atau pesan yang saling bertentangan; (s) Pelanggaran terhadap yang berlaku;
tabu-tabu
(t) Pemaksaan perilaku, seperti memaksa melakukan sesuatu yang bertentangan dengan agama seseorang (contohnya, memaksa seorang Muslim untuk makan babi), pemaksaan melukai orang lain melalui penyiksaan atau kekerasan lainnya, dipaksa untuk menghancurkan hak milik, dipaksa mengkhianati seseorang dan menempatkan mereka dalam bahaya; (u) Dipaksa untuk menyaksikan penyiksaan atau pembunuhan orang lain. H. Resiko trauma berulang dari orang yang diwawancarai 145. Berbagai jenis luka dan tingkatannya dapat muncul tergantung pada metode penyiksaan yang dipraktekkan, maka data lengkap yang didapat dari pemeriksaan fisik dan sejarah kesehatan harus dinilai bersama dengan pemeriksaan laboratorium dan radiologi yang sesuai. Memberi informasi dan membuat penjelasan untuk setiap proses dalam pemeriksaan medis serta memastikan pengetahuan akan metode laboratorium memainkan peran yang sangat penting (lihat bab VI.B.2(a)). 146. Adanya dampak psikologis yang dirasakan survivor penyiksaan, khususnya berbagai dampak dari post-traumatic stress disorder (gangguan stress pasca trauma), dapat membuat survivor menjadi takut menjalani kembali pengalamannya disiksa saat wawancara, pemeriksaan fisik atau laboratorium. Maka sangat penting untuk menjelaskan pada survivor tersebut
mengenai apa yang bisa terjadi sebelum pemeriksaan. Mereka yang telah selamat dari penyiksaan dan tetap bertahan di negaranya dapat mengalami ketakutan dan rasa curiga yang hebat tentang penangkapan kembali, dan seringkali mereka terpaksa harus menjalani hidup secara rahasia supaya tidak ditangkap lagi. Mereka yang dibuang atau menjadi pengungsi dapat meninggalkan bahasa aslinya, budaya, keluarga, teman, pekerjaan dan segalanya yang telah sangat dikenal mereka. 147. Reaksi pribadi survivor terhadap pewawancara (dan penerjemah, kalau ada) dapat berpengaruh terhadap proses wawancara dan kemudian pada hasil dari penyelidikan. Reaksi pribadi pewawancara terhadap survivor pun memiliki pengaruh yang sama. Sehingga penting untuk memeriksa setiap rintangan dalam komunikasi yang efektif dan paham bahwa reaksi-reaksi pribadi ini dapat menentukan jalannya penyelidikan. Penyelidik harus terus mengawasi jalannya proses wawancara dan penyelidikan melalui konsultasi dan diskusi dengan sesama kolega yang akrab dengan bidang penilaian psikologis dan survivor penyiksaan. Jenis supervisi ini dapat menjadi cara yang efektif untuk mengawasi proses wawancara dan penyelidikan dari penyimpangan dan rintangan dalam komunikasi yang efektif serta memperoleh informasi yang tepat (lihat bab VI.C.2.). 148. Sifat dari pemeriksaan fisik dan psikologis dapat menyebabkan pasien mengalami trauma berulang karena memicu atau memperburuk gejala-gejala post-traumatic stress (gangguan stress pasca trauma), dengan menimbulkan efek yang menyakitkan dan ingatan (lihat bab VI.B.2.). Pertanyaan tentang masalah
64
psikologis dan, terutama masalah seksual dianggap tabu oleh masyarakat tradisional, dan mengajukan pertanyaan semacam itu dianggap menghina. Jika mengalami penyiksaan seksual, seseorang bisa merasa integritas moral, agama, sosial atau psikologisnya mendapat stigma dan dicemari. Jika pewawancara dapat menghormati kondisi-kondisi ini, sekaligus menjelaskan prinsip kerahasiaan dan batasannya, maka wawancara dapat dilakukan dengan baik. Penilaian yang subyektif harus dibuat tentang sejauh mana tekanan untuk mendapat rincian cerita dibutuhkan dalam laporan, terutama jika individu secara jelas menunjukkan tanda-tanda distres dalam wawancara. I. Kegunaan penerjemah 149. Untuk berbagai tujuan, penerjemah dibutuhkan untuk membantu pewawancara memahami apa yang sedang dikatakan. Walaupun pewawancara dan orang yang diwawancarai memiliki sedikit kesamaan bahasa, namun karena pentingnya informasi yang dicari maka lebih baik tidak mengambil resiko kesalahpahaman. Penerjemah harus diingatkan bahwa apa pun yang dia dengar dan terjemahkan bersifat rahasia. Penerjemahlah yang mendapat informasi pertama kali dan tanpa disensor. Individu harus mendapat kepastian bahwa baik pewawancara maupun penerjemah tidak akan menyalahgunakan informasi yang diberikan (lihat bab VI.C.2.). 150. Jika penerjemah yang digunakan tidak ahli, selalu ada resiko pewawancara kehilangan kendali atas wawancaranya. Individu mungkin akan terbawa berbicara dengan orang yang berbahasa sama, dan topik yang sedang dibahas bisa berubah. Penerjemah yang memiliki bias juga beresiko mengarahkan orang yang
diwawancarai atau mengubah jawaban individu. Kehilangan informasi, yang kadang penting dan kadang tidak, adalah satu hal yang tidak bisa dihindari jika menggunakan penerjemah. Dalam kasuskasus yang ekstrim, penyelidik bahkan perlu menahan diri untuk mencatat selama wawancara dan melakukan wawancara dalam beberapa sesi pendek sehingga punya waktu untuk menuliskan pokokpokok pembicaraan di antara sesi. 151. Penyelidik harus ingat untuk bicara dengan orang yang diwawancarainya dan mempertahankan kontak mata, bukan pada penerjemah. Lebih baik bertanya “apa yang kamu lakukan setelah itu” daripada bertanya “tanya dia apa yang dilakukannya setelah itu”. Seringkali pewawancara mencatat ketika penerjemah sedang menerjemahkan pertanyaan atau ketika orang yang diwawancara sedang menjawab. Beberapa pewawancara tampak seperti tidak mendengarkan, karena wawancara berlangsung dalam bahasa yang tidak mereka pahami. Ini seharusnya tidak terjadi karena pewawancara juga sebaiknya mengamati bahasa tubuh, ekspresi muka, intonasi suara dan gerak tubuh orang yang diwawancarai untuk mendapat gambaran menyeluruh. Penyelidik harus mengenali beberapa kata yang berhubungan dengan penyiksaan dalam bahasa orang yang diwawancarai, untuk menunjukkan bahwa mereka memahami apa dibicarakannya. Memberi reaksi, daripada tanpa ekspresi, ketika mendengar kata yang berhubungan dengan penyiksaan seperti submarino atau darmashakra dapat meningkatkan kredibilitas penyelidik. 152. Ketika mengunjungi tahanan, lebih baik tidak menggunakan penerjemah lokal jika ada kemungkinan tidak dipercaya oleh mereka yang diwawancarai. Tidak
65
adil juga bagi penerjemah lokal, yang mungkin mendapat debriefing (penjelasan) oleh pihak berwenang lokal setelah kunjungan, atau mendapat tekanan, untuk melibatkan mereka dengan tahanan politik. Sehingga yang paling baik adalah menggunakan penerjemah mandiri. Hal terbaik berikutnya adalah untuk bekerja sama dengan penerjemah yang terlatih dan pandai, yang peka terhadap masalah penyiksaan dan pada budaya setempat. Sesama tahanan tidak boleh digunakan sebagai penerjemah, kecuali jika orang yang diwawancara telah memilih siapa yang ia percayai. Aturanaturan ini juga berlaku dalam mewawancarai orang yangtidak ditahan. Akan lebih mudah jika membawa seseorang (lokal) dari luar, yang jarang sekali bisa dilakukan dalam situasi penjara. J. Isu-isu jender 153. Idealnya, tim penyelidik harus berisi ahli dari kedua jenis kelamin. Ini memperbolehkan individu yang mengatakan dirinya mengalami penyiksaan untuk memilih jenis kelamin penyelidik, dan jika perlu, penerjemahnya. Ini penting terutama jika seorang wanita telah ditahan dalam situasi yang memungkinkan perkosaan terjadi, walaupun dia belum mengakuinya sendiri. Biarpun tidak ada serangan seksual, kebanyakan penyiksaan memiliki aspekaspek seksual (lihat bab V.D.8). Ini dapat memicu trauma berulang jika dia harus mengambarkan apa yang terjadi pada orang yang secara fisik mirip dengan pelakunya, yang seringkali adalah lakilaki. Dalam beberapa budaya, seorang penyelidik laki-laki tidak mungkin mewawancarai korban perempuan, dan ini harus dihormati. Bagaimanapun, jika yang tersedia hanya dokter laki-laki, lebih
banyak perempuan yang memilih bicara dengan dia untuk mendapatkan informasi medis dan nasehat yang dia inginkan. Dalam kasus seperti itu, maka jika menggunakan penerjemah lebih baik penerjemah perempuan. Beberapa orang yang diwawancara lebih memilih penerjemah dari luar dan bukan orang setempat. Ini karena masalah diingatkan kembali pada pelaku dan berpikir akan mengancam kerahasiaannya (lihat bab IV.I.). Jika tidak membutuhkan penerjemah, maka seorang anggota tim yang berjenis kelamin perempuan harus hadir sebagai pendamping selama pemeriksaan medis. Jika pasien menginginkannya, maka selama wawancara keseluruhan. 154. Jika yang menjadi korban adalah laki-laki dan juga menerima kekerasan seksual, maka situasi menjadi rumit karena pelaku juga kebanyakan laki-laki. Beberapa dari mereka lebih memilih untuk bicara dengan seorang wanita, karena begitu takut dengan laki-laki. Sedangkan beberapa lainnya memilih untuk tidak membicarakan masalah ini di depan seorang wanita. K. Indikasi-indikasi untuk melakukan rujukan 155. Jika mungkin, setiap pemeriksaan medis yang sah untuk pendokumentasian penyiksaan harus digabungkan dengan penilaian kebutuhan-kebutuhan lainnya. Baik itu rujukan ke dokter spesialis, psikolog, fisioterapis atau orang yang dapat menyediakan dukungan sosial dan nasehat. Penyelidik harus mengetahui adanya pelayanan rehabilitasi dan dukungan setempat. Dokter tidak boleh ragu-ragu bersikeras untuk melakukan konsultasi dan pemeriksaan yang dia rasa perlu dalam evaluasi medis. Dalam
66
pendokumentasian bukti medis tentang penyiksaan dan penganiayaan, dokter tidak boleh terlepas dari kewajiban etika kedokteran. Mereka yang tampaknya butuh perawatan medis atau psikologis lanjutan sebaiknya dirujuk ke layanan yang tepat. L. Menafsirkan temuan dan kesimpulan 156. Dampak fisik penyiksaan dapat bervariasi tergantung pada intensitas, seberapa sering dan lamanya kekerasan, kemampuan survivor untuk melindungi dirinya sendiri dan kondisi fisik tahanan sebelum penyiksaan. Bentuk-bentuk penyiksaan lain mungkin tidak menghasilkan temuan fisik, tapi dapat dilihat dengan kondisi lainnya. Sebagai contoh, pemukulan pada kepala sampai hilang kesadaran dapat menyebabkan epilepsi post-trauma atau disfungsi otak yang bersifat organik. Selain itu, kurangnya makan dan kebersihan dalam tahanan juga dapat menyebabkan sindrom kekurangan vitamin.
penyiksaan yang menghasilkan sakit maksimal dan bukti yang minimal. Untuk alasan yang sama, handuk basah juga dapat digunakan dengan kejutan listrik. 159. Laporan harus mencantumkan kualifikasi dan pengalaman dari penyelidik. Jika mungkin, nama saksi atau pasien juga ikut dicantumkan. Namun apabila ini membahayakan orang tersebut, identitasnya dalam data dapat disamarkan dengan suatu tanda pengenal. Identitas dari suatu tanda pengenal hanya boleh diketahui tim penyelidik saja dan bukan orang lain. Laporan harus menunjukkan siapa saja yang berada dalam ruangan pada saat berlangsungnya wawancara. Laporan juga harus merincikan sejarah yang berhubungan, menghindari kabar angin dan, jika pantas, memasukkan temuan-temuannya. Terakhir, laporan harus ditandatangani, diberi tanggal dan memasukkan pernyataan apa pun sebagai syarat dari hukum setempat dimana laporan ditulis.
157. Bentuk penyiksaan tertentu memiliki hubungan kuat dengan dampak tertentu. Sebagai contoh, pemukulan pada kepala sampai hilang kesadaran sangat penting dalam membuat diagnosis klinis disfungsi otak yang bersifat organik. Trauma pada alat kelamin seringkali dihubungkan dengan disfungsi seksual. 158. Penting untuk disadari bahwa pelaku akan berusaha menutupi perbuatan mereka. Untuk menghindari bukti fisik pemukulan, penyiksaan sering dilakukan dengan obyek tumpul dan besar, dan korban kadangkala ditutupi selimut atau sepatu. Perenggangan, luka tekanan/tabrakan dan kekurangan oksigen juga merupakan bentuk-bentuk
67
BAB V BUKTI FISIK ATAS PENYIKSAAN
160. Saksi dan kesaksian survivor adalah komponen penting dalam dokumentasi suatu tindak penyiksaan. Untuk membuktikan terjadinya tindak penyiksaan, kesaksian memberikan bukti dukungan yang penting. Namun, ketiadaan bukti fisik tidak berarti penyiksaan tidak terjadi, karena seringkali tindak kekerasan macam itu tidak meninggalkan jejak atau jaringan parut yang menetap. 161. Pemeriksaan medis untuk tujuan hukum harus dilakukan secara obyektif dan tanpa memihak. Pemeriksaan ini harus didasarkan pada pengalaman profesional dan keahlian klinis seorang dokter. Demi kewajiban etika terhadap korban, pemeriksaan ini harus akurat dan tanpa memihak untuk menjaga kredibilitas secara profesional. Jika dimungkinkan, dokter yang melakukan pemeriksaan pada korban harus mengikuti pelatihan mengenai pendokumentasian korban penyiksaan dan bentuk penyiksaan lain baik secara fisik maupun psikologis. Mereka harus memiliki pengetahuan mengenai kondisi tempat penyekapan dan metode-metode penyiksaan yang biasanya digunakan didaerah-daerah tertentu dimana korban disekap, sekaligus dampak lanjutan dari penyiksaan yang biasa terjadi. Laporan medis harus bersifat faktual dan lengkap. Hindari penggunaan jargon. Seluruh terminologi medis harus dijelaskan terlebih dahulu agar bisa dimengerti oleh orang awam. Dokter tidak boleh berasumsi bahwa petugas yang meminta pemeriksaan medis untuk tujuan hukum telah memberikan seluruh faktafakta temuan. Sebaliknya, dokter yang bertanggungjawab untuk menemukan dan melaporkan segala temuan yang dirasa
relevan, walaupun dianggap tidak relevan atau bertentangan dengan kepentingan pihak yang meminta diadakannya pemeriksaan tersebut. Temuan yang konsisten dengan tindak penyiksaan atau bentuk penganiayaan lainnya, harus dimasukkan dalam laporan medis resmi untuk tujuan hukum. A. Struktur Wawancara 162. Keterangan dibawah ini secara khusus berlaku untuk wawancara pada orang yang tidak lagi berada dalam pengawasan. Lokasi wawancara dan pemeriksaan harus diusahakan seaman dan senyaman mungkin. Waktu yang diberikan juga harus cukup untuk melakukan wawancara dan pemeriksaan yang rinci. Wawancara sepanjang dua hingga empat jam dianggap tidak mencukupi untuk suatu pemeriksaan fisik maupun psikologis tindak penyiksaan. Kapanpun dalam suatu pemeriksaan, varibel-variabel situasional khusus, seperti dinamika wawancara, perasaan tidak berdaya pasien ketika menyadari penyingkapan dirinya, ketakutan akan kemungkinan adanya hukuman, perasaan malu atas kejadian, dan rasa bersalah survivor dapat merangsang terulangnya kembali pengalaman penyiksaan. Ini bisa meningkatkan kecemasan dan perlawanan pasien untuk mengungkapkan informasi yang relevan. Wawancara kedua atau mungkin ketiga, bisa dijadwalkan untuk melengkapi pemeriksaan ini. 163. Kepercayaan adalah komponen inti dalam menyingkap kebenaran suatu pengaduan tindak kekerasan. Mendapatkan kepercayaan orang yang pernah mengalami penyiksaan atau bentuk penganiayaan lainnnya butuh ketrampilan mendengarkan aktif, komunikasi yang cermat, keramahan dan perasaan empati
68
serta ketulusan yang tidak dibuat-buat. Dokter harus memiliki kemampuan untuk menciptakan atmosfer rasa percaya dimana suatu penyingkapan dibutuhkan, meskipun fakta yang muncul bisa jadi sangat menyakitkan dan memalukan. Penting untuk disadari bahwa fakta-fakta tersebut kadang merupakan rahasia pribadi yang baru diungkapkan pertama kali pada saat itu. Sebagai tambahan dalam menciptakan suasana yang nyaman, sediakan juga waktu yang cukup untuk wawancara, makanan kecil serta akses ke toilet, dokter harus menjelaskan apa yang bisa diharapkan oleh pasien dari pemeriksaan tersebut. Dokter harus jelas dalam bicara, baik dalam nada bicara, mengemukakan kalimat dan urutan pertanyaan (pertanyaan yang sensitif hanya bisa dikeluarkan bila hubungan yang dijalin sudah cukup baik), dan ia juga harus peka terhadap kebutuhan pasien untuk istirahat atau memilih tidak menjawab pertanyaan apapun. 164. Dokter dan penerjemah memiliki kewajiban untuk menjaga kerahasiaan informasi dan hanya membuka informasi tersebut atas persetujuan terlebih dahulu dari pasien (lihat bab III,sesi C). Tiap orang harus diperiksa secara pribadi dan terjaga privasinya. Dia juga harus diingatkan atas keterbatasan kerahasiaan pemeriksaan yang bisa dilanggar oleh negara atau pihak yang berwenang. Tujuan wawancara juga harus dijelaskan dengan baik. Dokter harus memastikan bahwa persetujuan pasien dilandaskan atas pengungkapan dan pemahaman yang adekuat tentang manfaat serta segala konsekuensi suatu pemeriksaan medis. Persetujuan tersebut diberikan secara sukarela tanpa adanya paksaan pihak lain, terutama petugas hukum atau pengadilan. Orang tersebut memiliki hak untuk menolak pemeriksaan. Pada situasi
seperti itu, dokter harus mendokumentasikan seluruh alasan dibalik penolakan tersebut. Jika orang tersebut adalah tahanan, laporan tersebut harus ditandatangani oleh pengacaranya atau petugas kesehatan resmi lainnya. 165. Pasien dapat takut informasi yang mereka ungkap bisa jadi tidak aman dari tangan badan-badan pemerintah pelaku penyiksaan. Rasa takut dan hilangnya kepercayaan merupakan hal yang paling sering muncul dalam kasus ketika dokter atau petugas kesehatan lain yang memeriksa sebenarnya ikut terlibat dalam tindak penyiksaan. Pada banyak kejadian, pemeriksa bisa jadi merupakan anggota kelompok budaya atau etnis yang dominan, sedangkan pasien pada situasi dan tempat diadakannya wawancara adalah anggota kelomopok minoritas. Dinamika ketidaksetaraan ini bisa memperkuat ketidakseimbangan kekuasaan dan malah bisa meningkatkan rasa tidak percaya dan kepatuhan yang terpaksa dari pasien. 166. Empati dan kontak dengan manusia lain mungkin adalah hal paling penting yang diterima tahanan dari si pemeriksa. Pemeriksaan itu sendiri mungkin tidak memberikan keuntungan apapun bagi orang yang sedang diwawancara, dan dalam beberapa kasus, tidak menghentikan penyiksaan yang mereka alami. Bisa menjadi kepuasan pribadi jika orang paham bahwa informasi yang mereka berikan bisa mencegah kejadian serupa dimasa yang akan datang, terutama jika pemeriksa menunjukkan empati yang sesuai. Seringkali karena pemeriksa yang sedang mengunjungi penjara sangat ingin mendapat informasi terterntu, mereka gagal menunjukkan empati pada tahanan yang sedang diwawancara.
69
B. Riwayat Medis 167. Temukan riwayat medis yang terlengkap, termasuk informasi mengenai pengobatan yang pernah dilakukan, pembedahan atau masalah psikiatrik. Pastikan untuk mendokumentasikan seluruh riwayat luka sebelum masa-masa penahanan dan efek yang didapat setelahnya. Hindari pertanyaan yang bersifat mengarahkan. Buatlah struktur pertanyaan terbuka, kronologi kejadian yang dialami selama penahanan. 168. Informasi riwayat tertentu bisa digunakan untuk menghubungkan praktek-praktek penyiksaan lokal dengan pengaduan tindak kekerasan seseorang. Contoh-contoh informasi yang berguna adalah seperti gambaran alat-alat penyiksaan, penyiksaan dengan posisi tubuh tertentu, metode penahanan, gambaran luka akut atau kronis dan cacat tubuh, serta menemukan informasi tentang orang yang bertanggung jawab serta tempat-tempat penyekapan dilakukan. Walaupun informasi akurat tentang pengalaman korban penyiksaan penting diperoleh, metode wawancara terbuka mengharuskan pasien mengungkapkan pengalamannya melalui kata-kata mereka sendiri atas keinginan sendiri. Survivor penyiksaan bisa mengalami kesulitan dalam mengekspresikan kata-kata. Dalam beberapa kasus, penggunaan daftar pertanyaan (checklist) atau kuesioner tentang trauma dan gejala-gejala dapat membantu. Jika pewawancara yakin halhal tersebut bisa digunakan, ada banyak daftar pertanyaan yang bisa dipakai; namun, tidak ada yang secara khusus membahas penyiksaan. Seluruh keluhan yang diajukan oleh seorang korban penyiksaan itu penting. Meski mungkin dianggap tidak relevan dengan bukti fisik,
seluruh keluhan ini tetap harus dilaporkan. Gejala akut dan kronis serta kecacatan dihubungkan dengan bentuk penyiksaan tertentu dan proses penyembuhan yang terjadi setelahnya harus didokumentasikan. 1. Gejala-gejala akut 169. Individu harus diminta untuk menggambarkan segala luka yang mungkin disebabkan metode penyiksaan tertentu. Ini bisa termasuk pendarahan, memar, pembengkakan, luka terbuka, laserasi, fraktur/patah tulang, dislokasi, (stress) haemoptysis, pneumothorax jaringan, kerusakan pada gendang telinga (pecforasi membrana timpani), luka saluran genital dan urinasi, luka bakar (warna, bula atau nekrosis tergantung derajat luka bakar), luka akibat sengatan listrik (ukuran dan jumlah luka, warna dan karakteristik permukaan kulit), luka akibat bahan kimia (warna, tanda-tanda nekrosis), rasa sakit, baal, sembelit, atau muntah. Intensitas, frekuensi dan durasi dari tiap gejala harus dicatat. Perkembangan dari tiap lesi kulit harus digambarkan untuk menunjukkan apakah lesi tersebut meninggalkan jaringan parut. Tanyakan keadaan kesehatan saat dilepaskan; apakah korban sanggup berjalan, ia diikat di tempat tidur? Jika diikat, untuk berapa lama? Berapa lama sampai lukanya sembuh? Apakah luka tersebut mengalami infeksi? Perawatan apa yang diterima? Apakah ia mendapat pengobatan dokter atau tradisional? Harus disadari bahwa kemampuan tahanan untuk melakukan pengamatan semacam itu bisa jadi terhambat oleh penyiksaan itu sendiri atau oleh dampak lanjutan dari penyiksaan, hal ini pun harus didokumentasikan. 2. Gejala kronis
70
170. Dapatkan informasi tentang sakit fisik yang diyakini korban memiliki hubungan dengan penyiksaan atau penganiayaan tertentu. Catat keparahan, frekuensi dan durasi dari tiap gejala dan segala kecacatan atau kebutuhan medis atau perawatan psikologis yang dibutuhkan. Bahkan jika efek lanjutan dari luka akut tidak terdeteksi dalam hitungan bulan atau tahun, beberapa luka fisik dapat bertahan, seperti luka sengatan listrik atau jaringan parut luka bakar, deformitas skeleton, penyembuhan yang tidak benar pada patah tulang, hilangnya rambut dan miofibrosis. Keluhan yang biasanya bersifat somatis meliputi sakit kepala, nyeri punggung, keluhan gastrointestinal, disfungsi seksual dan nyeri otot. Gejala psikologi yang biasa ditunjukkan adalah depresi, kecemasan yang berlebihan, insomnia (kesulitan tidur), mimpi buruk, kesulitan mengingat dan flashback (kilas balik) (lihat bab VI, sesi B.2) 3. Ringkasan wawancara 171. Korban penyiksaan biasanya memiliki luka yang pada dasarnya berbeda dengan bentuk trauma lainnya. Meski luka akut adalah bentuk yang paling umum, kebanyakan luka akan sembuh dalam jangka waktu 6 minggu setelah penyiksaan, tidak meninggalkan jaringan parut atau paling buruk, jaringan parut yang tidak khas. Ini sering terjadi pada kasus dimana penyiksa menggunakan teknik yang mencegah atau membatasi tanda-tanda penyiksaan dapat terlihat. Di bawah kondisi seperti ini, pemeriksaan fisik mungkin dilakukan dalam batasan wajar, namun tidak meniadakan dugaan terjadinya penyiksaan. Observasi luka akut pasien secara terperinci dan proses penyembuhan setelahnya seringkali
menjadi bukti penting untuk menunjukkan adanya tindak penyiksaan. C. Pemeriksaan fisik 172. Setelah memperoleh informasi tentang latar belakang pasien dan mendapat persetujuannya, maka pemeriksaan fisik lengkap dapat dilakukan oleh dokter yang memenuhi syarat. Jika memungkinkan, pasien boleh memilih apa jenis kelamin dari dokter dan penerjemah. Jika dokter berbeda jenis kelamin, maka dapat digunakan pendamping yang berjenis kelamin sama dengan pasien jika memang ada permintaan. Pasien harus paham bahwa dia memiliki kendali penuh dan berhak membatasi serta menghentikan proses pemeriksaan kapan saja (lihat Bab IV.J.). 173. Dalam bagian ini, terdapat banyak acuan tentang rujukan ahli dan pemeriksaan lanjutan. Dokter harus mendapat akses sarana perawatan fisik dan psikologis untuk memberi tindak lanjut pada kebutuhan-kebutuhan pasien yang ditemui, khususnya jika pasien tidak sedang ditahan. Dalam banyak situasi, teknik-teknik tes diagnostik tertentu tidak tersedia. Namun jangan sampai hal tersebut membuat isi laporan menjadi tidak valid (lihat tambahan II untuk rincian lebih lanjut mengenai tes-tes diagnostik). 174. Jika penyiksaan baru terjadi dan baju yang digunakan saat penyiksaan masih dipakai, maka baju tersebut harus segera diperiksa tanpa dicuci terlebih dahulu dan baju bersih harus disediakan untuk korban. Jika memungkinkan, ruang pemeriksaan harus cukup terang dan memiliki peralatan medis yang cukup. Setiap sarana yang kurang harus dilaporkan. Pemeriksa harus mencatat
71
segala temuan positif maupun negatif yang relevan, menggunakan diagram tubuh untuk menunjukkan lokasi dan sifat dari setiap luka (lihat tambahan III). Beberapa bentuk penyiksaan seperti kejutan listrik atau pukulan benda tumpul pada awalnya sulit dikenali, tapi dapat ditemukan dengan pemeriksaan lanjutan. Walaupun pemotretan luka-luka tahanan jarang dapat dilakukan, sebaiknya pemotretan tetap menjadi bagian pemeriksaan yang rutin. Jika memang ada kamera, maka lebih baik mendapat gambar dengan kualitas rendah daripada tidak sama sekali. Namun ini harus dilanjutkan dengan pemotretan profesional secepat mungkin (lihat bab III.C.5). 1. Kulit
2. Muka/Wajah 176. Contoh jaringan kulit muka harus diraba untuk bukti terjadinya fraktur/ fraktur, krepitasi, pembengkakan atau rasa sakit. Komponen-komponen motorik dan sensorik, termasuk penciuman dan pengecap (lidah), nervus kranialis harus diperiksa. Computerized Tomography (CT) adalah cara terbaik untuk membuat diagnosa dan mengenali fraktur pada muka. Cara ini dapat menentukan luka pada jaringan-jaringan lunak serta komplikasinya. Luka intrakranial dan servikal sering terkait dengan trauma fasial. (a) Mata
175. Pemeriksaan harus meliputi seluruh permukaan tubuh untuk menemukan tanda-tanda penyakit kulit umum seperti kekurangan vitamin A, B dan C, luka-luka yang telah ada sebelum penyiksaan atau luka akibat penyiksaan, seperti luka lecet, memar/kontusio, laserasi, luka tusuk, luka bakar akibat sundutan rokok atau alat yang dipanaskan, luka kejutan listrik, alopesia dan pencabutan kuku. Luka-luka penyiksaan harus digambarkan berdasarkan lokasinya, simetri, bentuk, ukuran, warna dan permukaannya (bersisik, keras atau bernanah) sekaligus bagaimana tingkat dan batasannya dengan kulit sekitar. Foto sangat penting jika memang mungkin diambil. Pada akhirnya, pemeriksa harus memberi pendapat tentang asal asul luka tersebut, apakah ditimbulkan orang lain atau diri sendiri, kecelakaan atau sebagai hasil proses penyakit 73 74.
73
O.V Rasmussen, “Medical aspects of torture”, Danish Medical Bulletin(1990,37 Supp. 1:1-88) 74 R. Bunting “Clinical examinations in the police context”, Clinical Forensic Medicine,W.D.S
177. Ada banyak bentuk trauma pada mata, termasuk pendarahan konjunctival, dislokasi lensa mata, pendarahan subhieloid, pendarahan retrobulbar, pendarahan retinal dan hilangnya lapang pandang. Melihat dampak yang serius dari kurangnya atau tidak memadainya peawatan, maka konsultasi opthalmologic harus dilakukan. CT adalah cara terbaik untuk diagnosis fraktur orbita dan luka jaringan lunak pada bulbar dan isi dari retrobulbar. Nuclear Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat menjadi alat tambahan untuk menemukan luka pada jaringan halus. Ultra sound resolusi tinggi juga adalah metode alternatif untuk memeriksa trauma pada bola mata. (b) Telinga 178. Trauma pada telinga, khususnya pecahnya membran timpani, seringkali diakibatkan oleh pukulan-pukulan keras. Kanal dan membran timpani harus McLay, ed (London, Greenwich Medical Media, 1996:59-73
72
diperiksa berdasarkan luka-luka yang dijelaskan dan dengan menggunakan otoskop. Telefono, suatu bentuk penyiksaan umum dalam istilah Amerika Latin, adalah tamparan keras telapak tangan pada satu atau kedua telinga yang dengan cepat meningkatkan tekanan dalam kanal telinga, sehingga memecahkan gendang telinga. Perlu dilakukan pemeriksaan yang cepat untuk menemukan membran timpani yang pecah dengan diameter kurang dari 2 mm, karena luka ini dapat sembuh dalam 10 hari. Cairan dapat diamati pada bagian telinga atau luar telinga. Jika pemeriksaan laboratorium menemukan adanya otorhe, maka harus dilakukan MRI dan CT untuk menemukan bagian fraktur. Hilangnya pendengaran harus diselidiki, ini bisa dengan menggunakan metode penyaringan (screening) sederhana. Jika perlu, juga bisa menggunakan tes audiometri dengan teknisi pelaksana yang kompeten. Pemeriksaan radiografi untuk fraktur tulang temporal dan retak atau gangguan pada rantai ossicular paling baik ditentukan oleh CT. (c) Hidung 179. Hidung harus diperiksa untuk melihat apakah ada alignment, krepitasi dan deviasi septum nasalis. Untuk fraktur nasal yang sederhana, maka pemeriksaan radiografi hidung yang standard sudah cukup. Untuk fraktur nasalis yang kompleks dan jika septum kartilago mengalami perpindahan tempat, maka CT sebaiknya dilakukan. Jika ada rhinore, maka disarankan melakukan CT atau MRI. (d) Rahang, oropharing dan leher 180. Fraktur atau dislokasi mandibular dapat terjadi akibat pemukulan.
Temporomandibular joint syndrome seringkali adalah dampak pemukulan pada muka bagian bawah dan rahang. Pasien harus diperiksa untuk mendapat bukti krepitasi tulang hioid atau kartilago laringeal akibat pukulan-pukulan pada leher. Temuan-temuan terkait dengan orofaring harus dicatat secara rinci, termasuk luka-luka yang konsisten dengan luka bakar akibat kejutan listrik atau bentuk trauma lainnya. Pendarahan pada rongga mulut dan kondisi gusi juga harus dicatat. (e) Rongga mulut dan gigi 181. Pemeriksaan oleh dokter gigi harus menjadi bagian rutin pemeriksaan tahanan. Ini seringkali terlupakan, tapi sebenarnya adalah komponen penting dari pemeriksaan fisik. Tidak adanya perawatan gigi mungkin disengaja untuk memperburuk karies gigi, gingivitis atau abses dan bengkak. Maka dari itu, riwayat perawatan gigi harus dibuat dengan teliti, atau meminta riwayat jika telah ada. Avulsi gigi, fraktur, dislokasi pada gigi, tambalan yang patah dan prostetis yang rusak dapat diakibatkan oleh trauma langsung atau siksaan seperti arus listrik. Karies gigi dan gingivitis harus dicatat. Kualitas pertumbuhan gigi (dentition) yang buruk bisa diakibatkan kondisi tempat tahanan atau terjadi sebelum individu ditahan. Rongga mulut harus diperiksa secara hati-hati. Luka gigitan pada lidah, gusi atau bibir dapat terjadi ketika mulut diaruskan listrik. Selain itu, luka juga dapat diakibatkan oleh pemaksaan obyek-obyek ke dalam mulut. Sinar X dan MRI dapat dipakai untuk menentukan sejauh mana trauma pada gigi, jaringan lunak dan mandibular. 3. Dada dan perut / abdomen
73
182. Selain untuk mencatat luka-luka pada kulit, pemeriksaan pada tubuh harus diarahkan untuk menemukan daerahdaerah yang sakit, lembek atau tidak nyaman. Ini dapat terjadi akibat luka pada otot, iga atau organ perut. Pemeriksa harus memikirkan kemungkinan adanya hematom intramuskular, retroperitoneal dan intra-abdominal, begitu juga dengan laserasi atau ruptur/pecahnya organ dalam. Ultrasonography (USG), CT dan skintigrafi harus digunakan untuk mempertegas kemungkinan tersebut. Pemeriksaan rutin pada sistem kardiovaskuler, paru-paru dan abdomen harus dilakukan dalam cara yang biasa. Gangguan pernapasan yang telah ada sebelumnya cenderung semakin buruk dalam tahanan, dan gangguan pernapasan baru seringkali muncul.
gerakan, kontraktur, tenaga, bukti adanya sindroma kompartemen, fraktur dengan atau tanpa deformitas atau dislokasi harus selalu dicatat. Dugaan terjadinya dislokasi, fraktur dan osteomielitis harus diperiksa dengan radiografi secara rutin dan lanjut dengan 3 fase skintigrafi tulang. Luka pada tendon, ligamen dan otot paling baik diperiksa dengan MRI, tapi bisa juga dengan arthrografi. Pendarahan dan kemungkinan otot yang robek dapat terdeteksi pada fase akut. Otot biasanya dapat sembuh total tanpa bekas luka; sehingga hasilnya bisa negatif jika dilihat dari imaging yang terlambat. Dengan MRI dan CT, gambar otot-otot robek dan sindroma kompartemen kronis akan terlihat seperti fibrosis otot. Memar pada tulang dapat dilihat dengan MRI atau skintigrafi, dan biasanya sembuh tanpa bekas.
4. Sistem muskuloskeletal 5. Sistem genito urinari 183. Keluhan rasa sakit pada muskuloskeletal sangat umum dijumpai pada survivor penyiksaan.75 Keluhan tersebut bisa diakibatkan pemukulan yang berulang, penggantungan anggota tubuh (suspension), penyiksaan dengan menggunakan berbagai posisi atau akibat lingkungan fisik umum dari tahanan 76. Selain itu, keluhan juga dapat bersifat somatik (lihat bab VI.B.2.). Jika keluhan tidak khusus, tetap harus didokumentasikan dan dapat menunjukkan respon baik dengan fisioterapi simpatik77. Pemeriksaan fisik pada kerangka sebaiknya mencakup tes untuk melihat pergerakan sendi, tulang belakang dan ekstremitas. Rasa sakit yang disertai 75
O.V Rasmussen, “Medical Aspects of Torture”, Danish Medical Bulletin(1990,37 Supp. 1:1-88) 76 D. Forrest, “Examination for the late physical after effects of torture”, Journal of Clinical Forensic Medicine (6 1999:4-13). 77 Lihat catatan kaki 75 di atas.
184. Pemeriksaan genital hanya boleh dilakukan atas persetujuan tambahan dari pasien, dan jika bisa ditunda untuk pemeriksaan lanjutan. Seorang pendamping harus hadir jika dokter pemeriksa berbeda jenis kelamin dengan pasien. Untuk informasi lebih lanjut terkait pemeriksaan korban penyerangan seksual lihat bab IV.J. bagian D.8. USG dan skintigrafi yang dinamis dapat digunakan untuk menemukan trauma pada genibourinari. 6. Sistem syaraf pusat dan tepi 185. Pemeriksaan neurologis harus meliputi pemeriksaan syaraf-syaraf kranialis, organ-organ sensoris dan sistem syaraf sekitar. Tujuannya adalah untuk memeriksa apakah ada kerusakan syaraf motorik dan sensoris akibat trauma, kekurangan vitamin atau penyakit lainnya.
74
Kemampuan kognitif dan status mental individu juga harus dievaluasi (lihat bab VI.C.). Pasien yang melaporkan tindak suspension (penggantungan anggota tubuh) harus mendapat perhatian khusus untuk memeriksa pleksopati rbakhiolis (pada tubuh yang digantung terbalik, pemeriksaan dilakukan dari pergelangan tangan, kelemahan lengan dengan berbagai refleks sensoris dan tendon). radikulopati, neuropati, defisit syaraf kranialis, hiperalgesia, parestesia, hiperestesia, perubahan dalam posisi, sensasi terhadap suhu, fungsi motorik, gaya jalan dan koordinasi dapat diakibatkan oleh trauma terkait dengan penyiksaan. Pada pasien dengan riwayat pusing dan muntah harus dilakukan pemeriksaan vestibular dan harus dicatat jika ada bukti nistagmus. Pemeriksaan radiologi harus melibatkan pemeriksaan MRI dan CT. Untuk pemeriksaan radiologi otak dan fosa posterior, MRI cenderung lebih baik daripada CT. D. Pemeriksaan dan evaluasi menyusul terjadinya bentuk-bentuk khusus penyiksaan 186. Pembahasan berikut bertujuan untuk menggambarkan aspek-aspek medis berbagai bentuk penyiksaan yang umum. Dokter harus menentukan derajat konsistensi antara setiap luka atau pola luka dengan pernyataan pasien. Istilahistilah berikut umum dipakai: a) Tidak konsisten: luka tidak mungkin disebabkan oleh trauma yang digambarkan pasien; b) Konsisten dengan: luka bisa saja disebabkan trauma seperti yang digambarkan pasien, namun tidak khusus dan bisa disebabkan oleh banyak sebab lainnya;
c) Sangat konsisten: luka bisa disebabkan oleh trauma, dan hanya ada sedikit kemungkinan penyebab lain; d) Luka khas akibat: tampak seperti hasil jenis trauma tertentu, tapi masih ada kemungkinan penyebab lain; e) Diagnosa dari: Tampilan luka tidak mungkin disebabkan oleh penyebab lain selain apa yang digambarkan pasien. 187. Pada akhirnya, yang paling penting dalam penilaian laporan tindak penyiksaan adalah pemeriksaan yang menyeluruh pada setiap luka. Bukan pada konsisten atau tidaknya luka dengan bentuk penyiksaan tertentu.
1. Pemukulan dan bentuk-bentuk trauma dengan benda tumpul lainnya (a) Kerusakan kulit 188. Lesi akut seringkali menjadi ciri tindak penyiksaan, karena menunjukkan suatu pola yang disengaja dan berbeda dari luka yang tidak disengaja. Ini terlihat dari bentuk lukanya, pengulangan dan bagaimana luka tersebut tersebar di tubuh, Kebanyakan luka dapat sembuh dalam 6 minggu setelah tindak penyiksaan, tanpa bekas ataupun bekas luka yang tidak khas. Maka dari itu riwayat khusus tentang luka-luka akut dan perkembangannya sampai sembuh menjadi satu-satunya hal yang dapat mendukung dugaan terjadinya penyiksaan. Pukulan benda tumpul jarang menyebabkan perubahan yang permanen atau menetap pada kulit, atau bekas tersebut biasanya tidak khusus dan tanpa
75
arti diagnostik. Trauma akibat benda tumpul, seperti ikatan kencang pada pergelangan tangan atau kaki dapat meninggalkan bekas garis yang melingkar di lengan atau kaki. Daerah bekas luka ini biasanya menyimpan beberapa rambut atau folikel rambut, suatu bentuk alopesia sikatrik. Bekas luka seperti ini tidak dapat disebabkan oleh penyebab lain kecuali trauma. 189. Lecet akibat goresan pada permukaan kulit dapat tampak seperti luka garuk, luka bakar khusus atau luka gores yang lebih besar. Beberapa luka gores dapat menunjukkan pola yang mencerminkan permukaan dari alat yang digunakan untuk membuat luka. Luka gores yang dalam atau berulang dapat menyebabkan hipo atau hiperpigmentasi pada daerah-daerah tertentu namun tergantung pada jenis kulitnya. Ini muncul pada bagian dalam pergelangan tangan ketika kedua tangan diikat kencang. 190. Kontusia atau luka memar adalah pendarahan pada jaringan lunak akibat pecahnya pembuluh darah. Tingkat keparahan luka memar tidak hanya bergantung pada kuat tidaknya pukulan dengan benda tumpul, struktur dan pembuluh jaringan yang memar juga menentukan. Luka memar paling sering muncul pada daerah kulit tipis yang menutupi tulang atau daerah berlemak. Kondisi kesehatan, seperti kekurangan vitamin dan gizi juga dapat memudahkan terjadinya memar atau purpura. Luka memar atau gores menunjukkan terjadinya pemukulan paksa pada suatu daerah tubuh tertentu. Namun, absennya memar atau goresan tidak meniadakan dugaan terjadi pemukulan. Pola luka memar dapat mencerminkan permukaan alat yang digunakan. Sebagai contoh, luka yang berbentuk seperti rel dapat diakibatkan
oleh alat seperti tongkat atau truncheon. Bentuk dari obyek atau alat yang digunakan dapat disimpulkan dari bentuk lukanya. Pada masa pemulihan memar, terjadi rangkaian perubahan warna. Kebanyakan luka memar pada awalnya berwarna biru tua, ungu atau merah tua. Ketika hemoglobin dalam luka pecah, warnanya secara bertahap berubah menjadi violet, hijau, kuning tua atau kuning pucat sampai akhirnya menghilang. Namun, sulit sekali untuk menentukan secara pasti kapan luka memar muncul. Pada beberapa jenis kulit, hal ini dapat berlanjut ke hiperpigmentasi yang dapat bertahan selama bertahuntahun. Luka memar pada goresan jaringan yang lebih dalam mungkin tidak tampak sampai beberapa hari setelah terluka. Ini terjadi ketika darah yang extravasated telah mencapai permukaan. Dalam kasus dugaan penyiksaan yang tidak disertai luka, korban harus diperiksa ulang setelah beberapa hari. Posisi akhir dari luka serta bentuknya tidak memiliki hubungan dengan trauma aslinya. Kemudian perlu dipertimbangkan juga bahwa beberapa luka dapat pudar pada saat pemeriksaan ulang.78 191. Laserasi (luka goresan), yaitu pencabikan atau penghancuran kulit dan jaringan lunak dibawahnya akibat tekanan dari pemukulan paksa, mudah muncul pada bagian tubuh yang menonjol. Hal ini disebabkan karena kulit tertekan di antara benda tumpul dengan permukaan tulang di bawah jaringan-jaringan subdermal. Namun, dengan kekuatan yang cukup, kulit dapat robek pada bagian tubuh 78
S. Gürpinar and S. Korur Fincanci, “Insan Haklari Ihlalleri ve Hekim Sorumlulugu” (Pelanggaran HAM dan pertanggung jawaban dokter), Birinci Basamak Için Adli Tip El Kitabi (Buku Pegangan Obat Forensik untuk Praktek Umum) (Ankara, Turkish Medical Association Medical, 1999)
76
manapun. Bekas luka asimetris, bekas luka pada lokasi yang tidak biasa, dan bekas luka yang menyebar menunjukkan luka tersebut disengaja.79 192. Bekas luka hasil cambukan menggambarkan laserasi yang telah sembuh. Bekas luka seperti ini mengalami depigmentasi dan seringkali menjadi hipertrofi, dikelilingi oleh garis-garis hiperpigmentasi yang tipis. Satu-satunya diagnosis yang membedakan adalah plant dermatitis, tapi hal ini didominasi oleh hiperpigmentasi dan bekas luka yang lebih pendek. Sebaliknya, perubahan-perubahan garis simetris, atrofi, garis depigmentasi pada bagian perut, akasila dan kaki, menggambarkan striae distensae dan biasanya tidak berhubungan dengan tindak penyiksaan. 80 193. Luka bakar adalah bentuk penyiksaan yang paling sering meninggalkan bekas menetap di kulit. Kadangkala, perubahan seperti ini dapat memiliki nilai diagnostik tertentu. Sundutan rokok dapat meninggalkan bekas luka sepanjang 5-10 milimeter, dengan bentuk melingkar atau oval yang bagian tengahnya mengalami hiper atau hipopigmentasi dan bagian sekitarnya mengalami hiperpigmentasi. Sundutan rokok untuk menghilangkan tato juga pernah dilaporkan sebagai bentuk penyiksaan. Bentuk luka yang khusus dan tato yang masih tersisa dapat membantu membuat diagnosa.81 Luka bakar akibat alat yang dipanaskan menghasilkan jaringan parut yang atrofi dan mencerminkan bentuk dari alat yang digunakan. Luka ini secara tajam dibatasi 79
O.V Rasmussen, “Medical aspects of torture”, Danish Medical Bulletin(1990,37 Supp. 1:1-88) 80 L. Danielsen “Skin changes after torture”, Torture (Supp. 1, 1992:27-28) 81 Lihat catatan kaki 80
oleh hipertrofi sempit atau hiperpigmentasi pada zona marjinal sesuai dengan daerah luka bakar awal. Ini dapat terlihat contohnya pada luka bakar akibat logam yang dipanaskan dengan listrik atau pemantik gas. Akan sulit untuk membuat perbedaan diagnosa jika terdapat banyak luka. Proses peradangan yang spontan kurang memiliki zona marjinal khusus dan jarang menunjukkan hilangnya jaringan secara nyata. Pembakaran dapat menghasilkan jaringan parut yang hipertrofi atau keloid seperti luka akibat karet yang dibakar. 194. Jika kandungan kuku terbakar, maka selanjutnya kuku akan tumbuh bergaris, tipis dan berubah bentuk, kadang pecah dalam bagian-bagian yang membujur. Jika kuku dicabut, maka dapat terjadi pertumbuhan jaringan yang berlebih dari lipatan proksimal kuku, sehingga berbentuk seperti pterigium. Perbedaan diagnosis yang relevan hanya dapat dibuat jika perubahan pada kuku disebabkan oleh linchen planus, tapi ini biasanya disertai oleh luka kulit yang tersebar luas. Di sisi lain, infeksi jamur memiliki ciri kuku yang tebal, kekuningkuningan dan rapuh. 195. Bentuk luka trauma yang tajam dihasilkan ketika kulit dilukai oleh benda tajam, seperti pisau, bayonet atau pecahan gelas. Hal ini termasuk luka tusuk, iris atau luka potong dan luka tembus. Tampilan yang akut biasanya mudah dibedakan dari tampilan laserasi tidak biasa dan terkoyak yang dapat ditemukan pada pemeriksaan lanjutan. Pola-pola yang biasa dari luka iris kecil dapat bisa jadi oleh pengobat/penyembuh tradisional.82 Jika merica atau zat 82
D. Forrest, “Examination for the late after effects of torture”, Journal of Clinical Forensic Medicine (6 1999:4-13).
77
berbahaya lain ditaburi pada luka yang terbuka, bekas lukanya dapat menjadi hipertrofi. Pola yang asimetris dan ukuran bekas luka yang berbeda dapat saja signifikan dalam diagnosa penyiksaan.
pada kulit kepala seringkali tidak terlihat dari luar, kecuali terjadi pembengkakan. Luka memar lebih sulit terlihat pada orang yang berkulit gelap, tapi akan teraba lembek.
(b) Fraktur
198. Akibat pemukulan pada kepala, seorang survivor penyiksaan dapat mengeluh sakit kepala yang terus menerus. Ini dapat bersifat somatik atau berhubungan dengan leher (lihat bagian C di atas). Korban dapat menyatakan rasa sakit setiap kali disentuh pada bagian tersebut, peningkatan dan penyebaran rasa sakit dapat diamati dengan meraba kulit kepala. Bekas luka dapat diamati pada kasus dimana terjadi laserasi pada kulit kepala. Sakit kepala dapat menjadi gejala awal dari haematom subdural yang meluas. Sakit kepala bisa juga dihubungkan dengan berubahnya status mental yang akut, sehingga segera harus melakukan CT scan. Pembengkakan jaringan lunak atau pendarahan umumnya dapat dideteksi dengan CT scan atau MRI. Penilaian-penilaian psikologis dan neuropsikologis juga dapat digunakan (lihat bab VI. C.4.).
196. Fraktur menyebabkan hilangnya integritas tulang akibat pemukulan paksa pada berbagai vector planes. Fraktur langsung terjadi pada lokasi pemukulan atau paksaan. Kadangkala ada kemungkinan untuk membedakan fraktur akibat kecelakaan dengan melihat tampilan radiologis dari fraktur tersebut. Radiografi fraktur tulang yang baru harus dilakukan oleh radiolog yang berpengalaman di bidang trauma. Keputusan-keputusan spekulatif mengenai sifat dan umur luka akibat benda tumpul harus dihindari. Hal ini dikarenakan variasi luka tergantung usia, jenis kelamin, karakteristik jaringan, kondisi dan kesehatan pasien dan tingkat keparahan trauma. Sebagai contoh, individu yang lebih muda, dengan kondisi baik dan fit lebih sulit mengalami memar daripada individu yang lebih tua dan rapuh.
(c) Trauma kepala 197. Trauma kepala merupakan bentuk penyiksaan yang paling umum. Dalam kasus trauma kepala berulang, walaupun tidak selalu dengan dimensi yang serius, artrofi kortikal dan kerusakan aksonal yang luas dapat diperkirakan. Dalam kasus trauma kepala akibat jatuh, luka countercoup (lokasi yang berlawanan dengan trauma) pada otak dapat diamati. Sebaliknya, pada kasus trauma langsung, kontusio otak dapat diamati secara langsung pada daerah trauma. Memar
199. Bentuk penyiksaan berupa goncangan kasar dapat menyebabkan luka di otak yang tidak meninggalkan tandatanda eksternal. Namun luka dapat timbul di bagian atas dada atau bahu dimana korban/bajunya telah ditarik. Dalam kasus paling ekstrim, goncangan dapat menghasilkan luka yang sama persis dengan sindroma menggoncang bayi; usemcerebrum, hematoma subdural dan pendarahan retina. Pada umumya, keluhan korban adalah sakit kepala berulang, disorientasi atau perubahan status mental. Goncangan biasanya tidak lama, hanya beberapa menit atau kurang, tapi sering diulang dalam suatu rentang waktu tertentu.
78
(d) Trauma pada dada dan abdominal 200. Fraktu tulang iga adalah dampak yang paling sering diakibatkan pukulan pada dada. Jika ada perpindahan tempat, maka dapat berhubungan dengan laseerasi di paru-paru dan kemungkinan pneumothoraks. Fraktur pada pedikel vetebra dapat diakibatkan pukulan langsung. 201. Dalam kasus trauma abdominal akut, pemeriksaan fisik harus mencari bukti adanya luka pada organ abdomen dantraktus urinarius. Namun, hasilnya seringkali negatif. Gross haematuri adalah indikasi/petunjuk paling signifikan terjadinya luka di ginjal. Lavase peritoneum dapat mendeteksi terjadinya pendarahan perut yang tidak terlihat. Carian abdominal yang bergerak bebas dideteksi CT setelah melakukan lavase peritoneum dapat berasal dari lavage atau pendarahan; sehingga membuat temuan menjadi tidak valid. Dalam CT, pendarahan akut bagian perut biasanya iso-intens atau menunjukkan berat kepadatan air, tidak seperti pendarahan CNS akut, yang hiperintens. Luka pada organ dapat muncul seperti udara bebas, cairan ekstraluminal atau daerah-daerah yang melemah, yang dapat bisa mewakili udem, kontusio, pendarahan atau suatu laserasi. Udem peripankreatiik adalah salah satu tanda trauma akut maupun nontraumatik pada pankreas. USG secara khusus berguna untuk menemukan hematoma subkapsular pada limpa. Gagal ginjal akibat crush syndrome dapat menjadi setelah pemukulan yang parah. Hipertensi ginjal dapat menjadi komplikasi lanjutan dari luka pada ginjal. 2. Pukulan Pada Kaki
202. Falanga adalah istilah yang paling umum dipakai untuk trauma yang diakibatkan pukulan berulang pada kaki dengan benda tumpul (atau lebih jarang lagi pada tangan atau pinggang). Biasanya alat yang digunakan adalah tongkat, pipa panjang atau senjata yang serupa. Komplikasi terberat yang diakibatkan falanga adalah sindroma kompartemen tertutup, yang dapat menyebabkan nekrosis (matinya otot), obstruksi (penyumbatan pembuluh darah), atau ganggren di bagian distal (ujung) kaki atau ibu jari. Deformitas (kelainan) menetap pada kaki bisa terjadi tapi jarang, seperti fraktur pada karpal, metakarpal, dan falang. Karena luka biasanya terbatas pada jaringan lunak, CT scan atau MRI (Magnetic Resonance Imaging) menjadi metode yang dipilih untuk membuat dokumentasi radiologi, tetapi pemeriksaan fisik pada fase akut harus bersifat diagnostik. Falanga dapat mengakibatkan kecacatan kronis. Berjalan pun bisa jadi menyakitkan dan sulit. Tulang-tulang tarsal menjadi kaku (spastis) atau terjadi peningkatan pergerakan. Meremas plantar (telapak kaki) dan dorsofleksi dari ibu jari dapat mengakibatkan nyeri. Pada palpasi, sepanjang permukaan aponeurosis plantar dapat menjadi lembek dan ikatan distal dari aponeurosis dapat robek sebagian pada dasar falang proksimal, dan sebagian pada kulit. Aponeurosis tersebut tidak akan merekat secara normal, membuat jalan sulit dan diikuti kelelahan otot. Perpanjangan (extension) pasif dari ibu jari kaki dapat menunjukkan apakah terjadi robekan pada aponeurosis. Jika masih utuh/lengkap, individu seharusnya mulai merasakan ketegangan dalam aponeurosis pada palpasi ketika dilakukan dorsofleksi pada ibu jari sampai 20 derajat; extension maksimal adalah sekitar 70 derajat. Angka yang lebih tinggi menunjukkan kemungkinan trauma pada
79
ikatan aponeurosis.83 84 85 86 Di sisi lain dorsofleksi yang dibatasi serta nyeri akibat extension berlebih (hyperextension) pada ibu jari adalah temuan dari hallux rigidus, yang merupakan akibat dari osteofit pada kepala atau dasar metatarsal pertama dari falang proksimal. 203. Sejumlah komplikasi dan sindroma yang dapat terjadi: a) Sindroma kompartemen tertutup. Ini adalah komplikasi terberat. Suatu odema pada kompartemen tertutup akibat obstruksi (penyumbatan pembuluh darah) dan nekrosis otot, dapat menjadi fibrosis, kontraktur atau ganggren pada distal (ujung) kaki atau ibu jari. Biasanya didiagnosa dengan mengukur tekanan pada kompartemen. b) Hancurnya tumit dan bantalan kaki bagian depan. Bagian elastis bantalan dibawah kalaneus dan falang proksimal hancur selama proses falanga, baik secara langsung maupun akibat dari odema karena trauma. Kumpulan jaringan ikat yang meluas melalui jaringan lemak, yang mana menyatukan tulang pada kulit, juga robek. Jaringan lemak 83
G. Skylyv, “Physical sequelae of torture”, Torture and its consequences, current treatment approaches, M. BaÍo»lu ed. (Cambridge, Cambridge University Press, 1992: 38-55). 84 D. Forrest, “Examination for the late physical after effects of torture”. Journal of Clinical Forensic Medicine (6 1999:4-13). 85 K. Prip, L. Tived, N. Holten, Physiotherapy for Torture Survivors: A Basic Introduction (Copenhagen, IRCT, 1995). 86
F. Bojsen-Moller dan K.E. Flagstad, “Plantar aponeurosis and plantar architecture of the ball of the foot”, Journal of Anatomy (121 1976: 599-611).
mengalami kekurangan persediaan darah dan atrofi. Efek bantalan menjadi hilang dan kaki tidak dapat lagi menyerap tekanantekanan yang disebabkan karena aktivitas berjalan. c) Falanga dapat menimbulkan bekas luka kaku dan tidak beraturan pada permukaan kulit dan jaringan di bawah kulit pada kaki. Pada kaki normal, jaringan dermis atau sub dermis dihubungkan dengan apeneurosis plantar melalui jaringan ikat yang erat. Bagaimanapun juga, ikatan ini dapat rusak sebagian atau seluruhnya akibat dari odema yang memecahkan ikatan tersebut akibat falanga. d) Ruptur (pecahnya) aponeurosis plantar dan tendon pada kaki. Suatu odema pada masa pasca falanga dapat menghancurkan struktur-struktur ini. Ketika fungsi-fungsi penyokong yang diperlukan arkus (lengkung kaki) menghilang, gaya berjalan menjadi lebih sulit dan otot-otot kaki, khususnya kuadratus plantaris longus, mengalami paksaan berlebih. e) Infeksi fascia plantar. Dapat terjadi akibat komplikasi yang lebih jauh dari luka ini. Pada kasus-kasus falanga, iritasi sering terjadi secara menyeluruh pada aponeurosis, menyebabkan infeksi aponeurositis kronis. Beberapa penelitian tentang subyek ini menemukan bahwa tahanantahanan yang dibebaskan setelah 15 tahun kurungan, dan yang mengaku pernah mendapat
80
perlakuan falanga ketika pertama kali ditangkap, secara positif scan tulangnya menunjukkan titik-titik hiperaktif pada kalkaneus atau tulang-tulang metatarsal.87 204. Metode Radiologi seperti MRI, CT scan dan ultrasound seringkali dapat memberi konfirmasi terhadap kasus-kasus trauma yang terjadi akibat falanga. Temuan radiologi yang positif bisa jadi merupakan akibat sekunder dari penyakit atau trauma lainnya. Rontgen atau radiologi rutin direkomendasikan sebagai periksaan awal. MRI adalah pemeriksaan radiologi yang dipilih untuk mendeteksi jaringan lunak. MRI atau skintigrafi dapat mendeteksi trauma tulang dalam bentuk luka memar, yang tidak bisa dideteksi oleh pemeriksaan radiologi rutin atau CT scan.88 3. Suspension 205. Suspension adalah suatu bentuk penyiksaan umum yang dapat menghasilkan kesakitan luar biasa, tapi hanya meninggalkan sedikit (jika ada) bukti trauma yang terlihat. Seseorang yang masih dalam tahanan mungkin tidak ingin mengaku bahwa dirinya disiksa, namun temuan adanya gangguan syaraf perifer (tepi), diagnosa pleksopati brakhialis, membuktikan diagnosa penyiksaan dengan menggunakan suspension. Suspension dapat diterapkan dalam beberapa bentuk:
87
V. Lök, M.Tunca, K.Kumanlioglu et al., ”Bone scintigraphy as clue to previous torture”, Lancet (337(8745) 1991:846-847). Lihat juga M. Tunca dan V. Lök, “Bone scintigraphy in screening of torture survivors”, Lancet (352(9143) 1998:1859). 88 Lihat acuan 82 dan 83 dan V. Lök et al., ”Bone scintigraphy as an evidence of previous torture, Treatment and Rehabilitation Center Report of HRFT (Ankara, 1994: 91-96).
a) Suspension silang, diterapkan dengan meregangkan kedua tangan dan mengikatnya pada batang horizontal. b) Suspension penjagalan, diterapkan dengan mengikat tangan keatas, baik kedua tangan sekaligus ataupun satu per satu. c) Suspension pejagalan terbalik, diterapkan dengan mengikat kaki keatas dan kepala ke bawah. d) Suspension “Palestinian”, diterapkan dengan menahan korban dengan mengikat kedua lengan kebelakang, siku ditekuk 90 derajat dan lengan diikat pada batang horizontal. Cara lainnya, menahan korban dengan mengikat siku atau pergelangan tangan dengan lengan di belakang punggung. e) Suspension “Parrot Perch”, diterapkan dengan menahan korban dengan lutut tertekuk dengan sebuah batang yang melewati bagian bawah daerah poplitea, biasanya dengan pergelangan tangan yang terikat pada pergelangan kaki 206. Suspension dapat berlangsung dari 15-20 menit sampai beberapa jam. Suspension “palestinian” dapat menyebabkan trauma plexus brakhialis yang menetap pada waktu yang singkat. “Parrot perch” dapat mengakibatkan robekan ligamentum krusiatum pada lutut. Selama diikat, korban seringkali dipukuli atau disiksa. Pada fase kronis, rasa nyeri dan lembek di sekitar tulang sendi bahu menjadi menetap, seperti saat mengangkat beban atau rotasi, terutama rotasi internal,
81
yang akan menyebabkan nyeri hebat selama beberapa tahun kemudian. Komplikasi periode akut setelah suspension termasuk lemah di lengan atau tangan, nyeri dan parestesia, baal (mati rasa), tidak peka terhadap sentuhan, nyeri pada bagian permukaan dan kehilangan refleks tendon. Nyeri dalam yang hebat dapat menutupi kelemahan di otot. Pada fase kronis, kelemahan dapat berlanjut dan berkembang menjadi pengecilan otot. Rasa baal dan, yang lebih sering, terjai paresthesia. Mengangkat lengan atau beban mengakibatkan nyeri, baal, atau kelemahan. Disamping trauma neukrosis, dapat terjadi robekan dari ligament sendi bahu, dislokasi skapula dan trauma otot pada daerah bahu. Pada pemeriksaan visual pada bagian belakang tubuh, winged skapula (penonjolan batas skapula sisi vertebral) dapat ditemukan bersamaan dengan trauma pada syaraf thoracicus longus atau dislokasi skapula. 207. Trauma neurologi biasanya asimetris pada lengan. Trauma plexus brakhialis terlihat oleh adanya disfungsi motorik, sensorik dan refleks. a) Pemeriksaan motorik. Kelemahan otot asimetris, lebih jelas pada bagian distal, adalah yang paling sering ditemui. Nyeri akut dapat menyulitkan tafsiran hasil pemeriksaan kekuatan otot. Jika lukanya parah, atrofi otot dapat terlihat pada fase kronis. b) Pemeriksaan sensoris. Kehilangan seluruh sensasi atau parestesia sepanjang jalur syaraf sensoris sangat umum terjadi. Persepsi posisi, diskriminasi dua titik, evaluasi tusuk jarum dan persepsi panas dingin harus dites seluruhnya, jika sekurang-
kurangnya tiga minggu kemudian terjadi kekurangan atau kehilangan refleks, perlu dilakukan pemeriksaan elektrofisiologi oleh ahli syaraf pada pemakaian dan interpretasi metode-metode ini. c) Pemeriksaan refleks. Kehilangan, penurunan atau perbedaan refleks pada kedua extrimitas dapat terjadi. Pada suspension “Palestinian”, meski kedua plexus brakhialis mengalami trauma, pleksopati asimetris dapat terjadi dan tergantung pada perlakuan yang diterima korban, lengan mana yang ditempatkan pada posisi superior atau metode pengikatan digunakan. Meski penelitian menunjukkan pleksopati brakhialis sering terjadi secara unilateral, namun berdasarkan pengalaman kami luka bilateral lebih umum. 208. Diantara jaringan daerah bahu, plexus brakhialis adalah struktur yang paling peka terhadap luka tarikan. Suspension “Palestinian” menyebabkan kerusakan plexus brakhialis akibat paksaan extension posterior dari lengan. Pada tipe klasik suspension “Palestinian” dapat diamati ketika tubuh ditahan/diikat dengan lengan dalam posisi hiperekstensi posterior, biasanya mengenai plexus bagian bawah dahulu, kemudian tengah dan atas, jika trauma pada plexus cukup berat. Jika suspension berupa bentuk penyaliban (crucifixion) tanpa hiperekstensi, maka serat-serat plexus medianus cenderung mengalami kerusakan pertama akibat hiperabduksi. Trauma plexus brakhialis dapat dikategorikan sebagai berikut :
82
a) Kerusakan pada plexus bagian bawah. Terjadi kekurangan (deficiency) pada daerah lengan dan otot-otot tangan. Kekurangan sensoris dapat diamati pada lengan serta jari keempat dan kelima sisi medial tangan pada daerah distribusi nervus ulnar. b) Kerusakan pada plexus bagian tengah. Lengan, siku dan otot-otot ekstensor jari terkena pengaruh. Pronasi lengan dan flexi radial tangan menjadi lemah. Defisit sensoris ditemukan pada lengan dan bagian dorsal jari pertama, kedua, ketiga pada distribusi nerve radialis, refleks triceps juga menghilang c) Kerusakan pada plexus bagian atas. Otot-otot bahu yang paling terpengaruh. Abduksi bahu, rotasi axial dan pronasi-supinasi lengan berkurang. Kekurangan sensoris terjadi pada daerah delfoid dan meluas ke tangan dan bagian luar lengan. 4. Bentuk penyiksaan lain dengan menggunakan berbagai posisi 209. Ada banyak bentuk penyiksaan lain dengan menggunakan berbagai posisi atau disebut penyiksaan potitional. Semuanya mengikat atau menahan korban dengan merubah posisi tubuh, meregangkan dengan berlebihan atau posisi tidak wajar lainnya. Hal ini menyebabkan nyeri hebat dan mengakibatkan trauma pada ligamen, tendon, syaraf dan pembuluh darah. Bentuk-bentuk penyiksaan ini meninggalkan sedikit, atau jika ada, tandatanda luar atau temuan radiologi, walaupun sering diikuti dengan kecacatan kronis yang berat.
210. Seluruh penyiksaan potitional ini ditujukan pada tendon, jaringan dan otot. Ada bermacam-macam metode: “suspension parrot”, “banana stand” atau yang klasik,“banana tie”, yang dilakukan diatas bangku atau di tanah, sepeda motor, atau dipaksa berdiri pada satu kaki, berdiri lama dengan tangan terentang tinggi ke dinding, dipaksa jongkok yang lama, dan terpaksa tak bergerak dalam kandang kecil. Sesuai dengan karakteristik posisiposisi ini, keluhan ditandai dengan nyeri di daerah tubuh tertentu, gerak tulang sendi yang terbatas, nyeri punggung, nyeri tangan atau bagian leher dan pembengkakan pada tungkai bawah. Prinsip-prinsip pemeriksaan neurologis dan muskuloskeletal untuk suspension juga dapat diterapkan untuk penyiksaan potitional. MRI adalah alat radiologi yang dipilih untuk mengevaluasi trauma yang berhubungan dengan semua bentuk penyiksaan potitional. 5. Penyiksaan dengan kejutan listrik 211. Arus listrik disalurkan melalui elektroda yang ditempelkan pada bagian tubuh mana saja. Bagian tubuh yang umumnya dipakai antara lain adalah tangan, kaki, jari, ibu jari, telinga, putting susu, mulut, bibir dan daerah genital. Sumber listrik dapat berasal dari mesin yang digerakkan tangan atau generator pembakaran, sumber dari dinding, alat penyengat, cattel prod (penusuk sapi) atau alat-alat listrik lainnya. Arus listrik mengikuti rute terpendek di antara dua elektroda. Karakteristik ini dimiliki oleh gejala-gejala yang muncul ketika arus listrik disalurkan. Contohnya jika elektroda ditempatkan pada ibu jari kaki kanan dan pada daerah genitalia, maka akan menyebabkan nyeri, kontraksi otot dan kram pada paha kanan dan otot-otot betis. Nyeri yang hebat akan dirasakan
83
pada daerah genital. Karena semua otot di sepanjang rute yang dialiri listrik berkontraksi secara tetanik, maka dengan pemberian arus listrik tinggi dapat menyebabkan dislokasi bahu, radikulopati dan lumbar sevikal. Namun, jenis, waktu pemberian, arus dan tegangan listrik yang digunakan tidak dapat ditentukan secara pasti dari pemeriksaan fisik pada korban. Penyiksa sering menggunakan air atau gel untuk meningkatkan efisiensi penyiksaan, memperluas titik masuk arus listrik pada tubuh dan mencegah luka bakar listrik yang dapat dideteksi. Jejak luka bakar listrik biasanya berbentuk melingkar, merah kecoklatan, berdiameter 1-3 mm, biasanya tanpa peradangan yang akan mengakibatkan bekas luka berwarna lebih gelap (hiperpigmentasi). Permukaan kulit harus diperiksa secara teliti karena lesi tersebut sulit dibedakan. Keputusan untuk melakukan biopsi lesi baru untuk membuktikan asal-usulnya masih kontroversial. Luka bakar listrik memberikan perubahan histologi khusus, walau tidak selalu ada, dan jika tidak ditemukan, tidak meniadakan kemungkinan adanya luka bakar listrik. Keputusan harus dibuat berdasarkan kasus per kasus, apakah kemungkinan hasil-hasil dari prosedur tersebut dapat menjadi pembenaran atas nyeri dan rasa tidak nyaman yang dapat ditimbulkan oleh biopsi kulit (lihat tambahan II.2.).. 6. Penyiksaan terhadap gigi 212. Penyiksaan terhadap gigi dapat berupa pemecahan, pencabutan gigi atau pemberian arus listrik ke gigi. Hal tersebut dapat mengakibatkan copotnya atau rusaknya gigi, pembengkakan gusi, pendarahan, nyeri, gingivitis, stomatitis, fraktur mandibula atau mati rasa pada gigi. Sindroma sendi temporomandibular akan menghasilkan nyeri pada sendi
mandibular, gerak rahang yang terbatas, dan pada beberapa kasus, subluksasi pada jaringan temporomandibular dapat mengakibatkan kejang otot yang terjadi karena aliran listrik atau pukulan pada wajah. 7. Asfiksia 213. Metode penyiksaan yang semakin umum dipakai adalah dengan cara membuat korban kehabisan nafas. Biasanya ini tidak meninggalkan bekas dan mudah dilakukan. Metode penyiksaan ini banyak digunakan di Amarika Latin, dengan istilah Spanyol “submarino” yang menambah kosa kata kamus hak asasi manusia. Pernafasan normal dapat dihalangi dengan cara seperti menutup kepala dengan kantong plastik, menutup mulut dan hidung, menekan atau mengikat leher atau penghirupan paksa semen atau lada pada hidung korban dan lain sebagainya. Cara-cara tersebut disebut sebagai “dry submarino”. Macam-macam komplikasi dapat timbul antara lain petekie (alergi) pada kulit, mimisan, pendarahan dari telinga, kongesti pada wajah, infeksi pada mulut dan masalah pernafasan akut atau kronis. Membenamkan kepala dengan paksa dalam air yang seringkali terkontaminasi dengan urin, faeces, muntah, atau kotorankotoran lainnya, dapat menyebabkan korban hampir tenggelam atau bahkan tenggelam. Masuknya air ke dalam paruparu saat bernafas dapat mengakibatkan pneumonia, penyiksaan ini disebut “wet submarino”. Asfiksia dengan menggantung atau asfiksia ligatur lainnya, dapat menunjukkan luka memar atau lecet di daerah leher. Tulang hioid dan kartilago laringeal dapat patah karena tercekik atau karena pukulan pada leher.
84
8. Penyiksaan seksual, termasuk pemerkosaan 214. Penyiksaan seksual biasanya dimulai dengan dipaksanya seseorang untuk telanjang, yang di beberapa negara selalu ada dalam situasi penyiksaan. Seseorang akan merasa rapuh dan tidak berdaya jika ia dalam keadaan telanjang. Ketelanjangan akan meningkatkan teror psikologis pada setiap aspek penyiksaan, sebagaimana selalu ada penyebab potensial untuk kekerasan, pemerkosaan dan sodomi. Selain itu perlakuan seksual secara verbal, antara lain makian dan hinaan, termasuk dalam bagian penyiksaan seksual, karena mempermalukan dan menurunkan martabat seseorang. Sebagian besar perempuan korban penyiksaan akan menderita trauma, yang diakibatkan penyiksaan tersebut. 215. Ada perbedaan antara penyiksaan seksual pada perempuan atau pada pria, tapi ada beberapa masalah yang samasama dapat muncul. Pemerkosaan selalu dihubungkan dengan resiko penularan penyakit seksual, khususnya HIV (Human Immunodeficiency Virus).89 Saat ini, satusatunya cara efektif untuk mencegah HIV yaitu dengan melakukan tindakan pencegahan dalam waktu beberapa jam setelah kejadian, tetapi umumnya alat pencegahan ini tidak tersedia di sebagian besar negara yang menerapkan penyiksaan. Dalam banyak kasus, akan terdapat komponen pencabulan, dan dalam kasus penyiksaan lainnya targetnya adalah bagian genital korban. Listrik dan pukulan adalah alat yang digunakan untuk menyiksa bagian genital pria, dengan atau 89
D. Lunde dan J. Ortmann, “Sexual torture and the treatment of its consequences, current treatment approaches, M. BaÍo»lu ed. (Cambridge, Cambridge University Press, 1992:310-331).
tanpa penyiksaan di bagian anal. Hasil trauma fisik dipertinggi juga oleh penyiksaan secara verbal. Perlakuan yang sering dilakukan adalah dengan berusaha menghilangkan sifat maskulin pria dan menghilangkan kehormatan di lingkungan sosialnya. Korban ditempatkan di sel tahanan dalam keadaan telanjang beserta anggota keluarga, teman dan orang asing, hal tersebut sangat tabu dalam suatu masyarakat. Hal tersebut diperburuk karena tidak adanya privasi saat menggunakan toilet. Dan biasanya para korban dipaksa untuk melakukan penyiksaan seksual satu sama lain, hal ini sulit diatasi secara emosional. Ketakutan akan diperkosa dialami sebagian perempuan, karena menjadi korban pemerkosaan memberikan status yang buruk dalam masyarakat, dan ditambah lagi dengan trauma yang akan timbul pada dirinya. Tidak dapat diabaikan juga adanya ketakutan akan kehamilan, ketakutan pada pria, rasa takut karena kehilangan keperawanannya, dan takut tidak dapat memiliki anak (hal tersebut dapat timbul, walaupun kejadian pemerkosaan sudah disembunyikan dari suami dan masyarakat sekitarnya). 216. Jika dalam kasus penyiksaan seksual, korban berharap agar kejadian tersebut tidak diketahui, karena adanya tekanan budaya sosial atau alasan pribadi, maka pemeriksa yang melakukan pemeriksaan medis, agensi yang melakukan penyelidikan, dan pengadilan memiliki tanggung jawab untuk bekerjasama dalam menjaga privasi korban. Dalam membina hubungan (rapport) dengan survivor yang baru mengalami kekerasan seksual, butuh pemahaman psikologis khusus dan dukungan psikologis yang sesuai. Setiap perawatan yang dapat meningkatkan trauma psikologis survivor penyiksaan
85
harus dihindari. Maka sebelum memulai pemeriksaan, ijin harus didapatkan dari survivor untuk setiap jenis pemeriksaan, serta harus dikonfirmasikan dengan korban sebelum ada pemeriksaan yang lebih intim. Individu harus diberitahukan pentingnya alasan pemeriksaan dan hasil yang mungkin ditemukan dalam cara yang jelas dan mudah dipahami.
memberikan semangat, saran dan jika mungkin, penentraman hati. Ini dapat mencakup masalah-masalah seperti penularan penyakit seksual, HIV, kehamilan (jika korban perempuan) dan kecacatan seumur hidup. Hal ini karena penyiksa kerap mengatakan pada korban bahwa dia tidak lagi bisa berfungsi secara normal, sehingga korban menganggap hal tersebut benar.
(a). Meninjau gejala-gejala 217. Riwayat menyeluruh mengenai dugaan kasus penyerangan harus direkam sebagaimana dijelaskan sebelumnya (lihat bagian B diatas). Ada beberapa pertanyaan yang hanya khusus berhubungan dengan dugaan kekerasan seksual. Pertanyaan tersebut bertujuan untuk menemukan gejala-gejala terbaru akibat kekerasan, seperti pendarahan, cairan dari vagina atau kotoran anus serta lokasi dari nyeri, memar dan sakit. Dalam kasus penyerangan yang sudah lampau, pertanyaan yang diajukan harus menunjuk pada gejala yang masih dirasakan sampai sekarang, seperti frekuensi kencing, inkontinensi (tidak bisa menahan kencing) atau disuria (nyeri saat kencing), tidak teraturnya menstruasi, riwayat kehamilan, aborsi atau pendarahan dari vagina, masalah aktivitas seksual; meliputi senggama dan sakit pada anus, pendarahan, konstipasi, inkontinensi.. 218. Idealnya, harus ada fasilitas fisik dan teknik yang adekuat untuk mengadakan pemeriksaan yang baik bagi survivor kekerasan seksual. Pemeriksaan harus dilakukan oleh tim yang terdiri dari psikiater, psikolog, ahli kandungan dan perawat berpengalaman dan yang sudah dilatih untuk melakukan perawatan bagi survivor penyiksaan seksual. Tujuan tambahan dilakukannya konsultasi setelah penyerangan seksual adalah untuk
(b). Pemeriksaan setelah penyerangan yang baru terjadi 219. Selama tanda-tanda akut terjadinya penyerangan masih terlihat, seorang korban pemerkosaan jarang dilepaskan. Dalam kasus seperti ini, ada banyak masalah yang harus diwaspadai karena dapat menghalangi pemeriksaan medis. Biasanya korban yang baru mengalami penyerangan mengalami masalah dan kebingungan dalam mencari bantuan medis atau hukum karena takut, masalah sosial budaya atau kerusakan yang diakibatkan penyerangan. Dalam kasus semacam itu, dokter harus menjelaskan pada korban segala kemungkinan pilihan yang berhubungan dengan medis dan hukum. Dokter tersebut harus bertindak sesuai dengan keinginan korban. Tugastugas dokter pemeriksa termasuk memperoleh persetujuan sukarela korban untuk diadakannya pemeriksaan, pendokumentasian seluruh temuan medis akibat kekerasan, dan memperoleh sampel untuk pemeriksaan forensik. Jika memungkinkan, pemeriksaan harus dilakukan oleh seseorang yang ahli dalam mendokumentasikan penyerangan seksual. Jika tidak, dokter pemeriksa harus berkonsultasi pada seorang ahli mengenai pemeriksaan standar forensik secara klinis. Jika pemeriksa berlawanan jenis dengan korban, maka pemeriksa dapat menyarankan hadirnya seorang
86
pendamping yang berjenis kelamin sama dengan korban. Jika menggunakan penerjemah, maka ia juga dapat berperan sebagai pendamping korban. Karena sifat pemeriksaan yang sensitif, maka anggota keluarga atau saudara tidak disarankan menjadi pendamping korban (lihat bab IV. I). Korban harus merasa santai dan nyaman sebelum dilakukan pemeriksaan. Pemeriksaan fisik menyeluruh harus dilakukan, meliputi pendokumentasian yang teliti tentang seluruh temuan fisik, seperti ukuran, lokasi dan warna, jika memungkinkan harus difoto dan bukti yang ada dikumpulkan secara khusus. 220. Pemeriksaan fisik sebaiknya tidak langsung dilakukan pada daerah genital atau kelamin. Setiap bentuk kelainan harus dicatat. Perhatian khusus harus diberikan untuk memastikan pemeriksaan menyeluruh pada kulit, untuk mencari luka pada kulit yang bisa diakibatkan penyerangan. Ini meliputi memar, laserasi, ekimosis dan petekie akibat hisapan atau gigitan. Ketika luka pada bagian genital hanya sedikit, maka luka pada bagian tubuh lainnya dapat menjadi bukti penyerangan yang signifikan. Bahkan selama pemeriksaan pada bagian kelamin perempuan segera setelah mengalami pemerkosaan, terlihat kerusakan hampir 50% dari semua kasus yang pernah ada. Pemeriksaan anus pada pria dan perempuan setelah pemerkosaan menunjukkan luka kurang dari 30% dari kasus yang ada. Pemasukan paksa benda yang besar ke dalam vagina atau anus, meningkatkan kemungkinan untuk melihat kerusakan. 221. Jika laboratorium forensik tersedia, maka tempat tersebut harus dihubungi sebelum pemeriksaan untuk mendiskusikan jenis-jenis spesimen apa yang bisa diuji, serta sampel apa yang
harus diambil dan bagaimana caranya. Banyak laboratorium yang menyediakan peralatan untuk mengambil semua jenis sampel yang diperlukan dari korban dugaan penyerangan seksual. Jika laboratorium tidak tersedia, mungkin masih ada manfaat menggunakan penyeka basah dan mengeringkannya kemudian di udara terbuka. Sampel-sampel ini nantinya dapat digunakan untuk tes DNA. Sperma bisa diidentifikasi sampai lima hari jika diambil dengan alat penyeka dalam vagina dan setelahnya sampai tiga hari menggunakan sampel dari dubur. Tindakan pencegahan ketat harus diambil untuk menghindari dugaan terjadinya kontaminasi silang ketika mengambil sampel dari beberapa korban yang berbeda, terutama jika sampel tersebut diambil dari tersangka pelaku penyiksaan. Harus ada perlindungan serta dokumentasi yang lengkap atas rantai penjagaan seluruh sampel forensik. (c). Pemeriksaan fase awal 222. Ketika penyerangan terjadi lebih dari 1 minggu yang lalu dan tidak ada tanda memar atau laserasi, maka pemeriksaan pelvis atau panggul bukan lagi menjadi hal mendesak. Sebaliknya waktu dapat digunakan untuk mencari orang yang paling memenuhi syarat untuk mendokumentasikan temuan-temuan, serta mencari lingkungan yang paling baik untuk mewawancarai individu. Bagaimanapun, mungkin masih ada manfaat dalam mengambil foto sisa-sisa luka jika mungkin dilakukan. 223. Latar belakang kejadian harus didokumentasi sesuai penjelasan diatas, kemudian pemeriksaan dan dokumentasi temuan-temuan fisik umum. Pada perempuan yang sudah pernah melahirkan sebelum kejadian, dan khususnya
87
melahirkan setelah kejadian, maka jarang didapatkan temuan yang berarti. Namun seorang dokter perempuan yang sudah berpengalaman dapat mengetahuinya dari bagaimana sikap korban dalam menceritakan kejadiannya.90 Akan memakan waktu sebelum korban mau menceritakan bagian-bagian penyiksaan yang dirasakannya paling memalukan. Maka korban dapat menunda pemeriksaan bagian yang lebih intim pada konsultasi berikutnya, jika waktu dan situasi memungkinkan.
bisa fisik atau psikologis, bisa juga salah satu atau kombinasi keduanya, meliputi : i.
Keengananan terhadap jenis atau penurunan aktivitas seksual.
ii.
Takut terhadap aktivitas seksual, atau takut pasangannya akan mengetahui bahwa korban pernah mengalami penyiksaan seksual atau takut telah rusak secara seksual. Pelaku penyiksaan mungkin telah memberi ancaman dan menanamkan ketakutan homoseksualitas pada pria yang pernah disiksa secara anal. Beberapa pria heteroseksual ada yang mengalami ereksi, kadang sampai ejakulasi ketika diperkosa secara anal. Mereka harus diyakinkan bahwa hal tersebut reaksi fisik yang wajar.
iii.
Tidak mampu untuk mempercayai pasangan seksualnya.
iv.
Gangguan pada daerah dan disfungsi ereksi.
v.
Dispareunia (nyeri pada perempuan saat melakukan hubungan seksual) atau kemandulan akibat tertular penyakit seksual, trauma langsung pada organ reproduksi atau melakukan aborsi yang kurang baik akibat pemerkosaan.
(d). Tindak lanjut 224. Penyerangan seksual dapat menyebabkan penyakit menular seksual seperti Gonore, Klamidia, Sifilis, HIV, Hepatitis B dan C, Herpes Simpleks, dan Condyloma Acuminatum (Venereal Warts), Vulvovaginitis (infeksi pada vulva dan vagina) yang berhubungan dengan kekerasan seksual, seperti Trichomonas, Moniliasis Vaginitis, Gardenarella Vaginitis dan Enterobius Vermicularis (Pinworms), seperti infeksi traktus urinarius (saluran kemih). 225. Pemeriksaan laboratorium dan perawatan yang baik harus dilakukan pada semua kasus penyerangan seksual. Seperti dalam kasus Gonore dan Klamidia serta kasus infeksi pada anus atau Orofaring setidaknya harus dipertimbangkan untuk tujuan-tujuan pemeriksaan. Tes mengenai kultur dan serologis awal harus diperoleh dalam kasus penyerangan seksual, serta terapi yang akan dilakukan. Disfungsi seksual menjadi hal yang umum dialami oleh survivor penyiksaan, terutama jika mereka mengalami penyiksaan seksual atau pemerkosaan. Gejala yang timbul 90
G. Hinshelwood, Gender-based persecution (Toronto, United Nations Expert Group Meeting on Gender-based Persecution, 1997).
lawan hasrat
seksual
(e). Pemeriksaan genital perempuan 226. Dalam banyak budaya, memasukkan sesuatu ke dalam vagina perempuan yang masih perawan adalah hal yang tidak bisa diterima, termasuk menggunakan spekulum, jari atau alat
88
penyeka. Jika seorang perempuan menunjukkan bukti fisik adanya pemerkosaan, maka pemeriksaan internal dalam pelvis tidak perlu dilakukan. Temuan-temuan pemeriksaan genital meliputi: i.
Laserisasi kecil atau cairan pada vulva. Luka-luka ini kemungkinan akut dan disebabkan oleh perenggangan yang sangat kuat. Secara normal dapat sembuh tetapi jika trauma tersebut terulang maka akan menimbulkan bekas luka atau jaringan parut.
ii.
Abrasi pada alat kelamin perempuan yang bisa disebabkan adanya kontak dengan obyek yang kasar, seperti kuku jari atau cincin.
iii.
Laserasi pada vagina. Hal ini jarang terjadi, tapi jika ada dapat dihubungkan dengan atrofi pada jaringan atau karena operasi yang pernah dilakukan sebelumnya. Luka-luka ini tidak dapat dibedakan dengan goresan yang disebabkan benda tajam.
227. Pemeriksaan pada bagian genital perempuan yang dilakukan lebih dari satu minggu setelah kejadian, jarang menemukan adanya bukti fisik penyerangan. Dikemudian hari ketika perempuan tersebut melakukan hubungan seksual berikutnya, baik dengan paksaan atau tidak, atau setelah melahirkan, hampir tidak mungkin untuk menemukan bukti spesifik adanya dugaan kekerasan. Maka dari itu, komponen paling signifikan dari suatu evaluasi medis adalah penilaian si pemeriksa tentang latar belakang informasi (contohnya hubungan antara dugaan terjadinya kekerasan dengan luka-
luka akut yang ditemukan pada seseorang), dan perilaku orang tersebut, dengan memperhitungkan konteks budaya dari pengalaman perempuan tersebut. (f). Pemeriksaan genital pria 228. Pria yang pernah mengalami penyiksaan pada daerah genitalia, seperti peremasan, penyayatan, dan penarikan skrotum, atau mengalami trauma langsung pada daerah tersebut, biasanya akan mengeluhkan rasa sakit dan kepekaan yang berlebihan pada periode akut. Hiperemi (kemerahan), yang ditandai dengan pembengkakan dan ekimosis dapat diamati. Pada urin akan terdapat kandungan eritrosit (sel darah merah) dan leukosit (sel darah putih) dalam massa yang besar. Jika dideteksi, maka harus dibedakan apakah itu hidrokel atau hematokel atau hernia inguinalis. Pada kasus hernia inguinalis pemeriksa tidak dapat meraba spermatic cord di atas massa yang ada. Dengan adanya hidrokel dan hematokel maka struktur normal spermatic cord dapat diraba di atas massa. Suatu hidrokel dihasilkan dari akumulasi cairan di dalam tunika vaginalis yang berlebihan mengarah pada peradangan pada testis, atau penurunan drainase limfatik sekunder atau destruksi (sumbatan) vena di dalam cord atau ruang retroperitoneum. Hematokel adalah akumulasi darah di dalam tunika vaginalis, akibat trauma. Tidak seperti hidrokel, hematokel tidak menunjukkan transiluminasi. 229. Torsi (puntiran) pada testikular juga diakibatkan oleh trauma pada skrotum. Dengan luka seperti ini, testis akan terpuntir pada pangkalnya dan akan menghambat aliran darah ke testis. Ini dapat mengakibatkan nyeri hebat dan pembengkakan, dan disarankan untuk
89
dilakukan operasi secepatnya. Kegagalan untuk mengurangi torsi (puntiran) tersebut akan mengakibatkan infark pada testis tersebut. Dalam kondisi penahanan, dimana tidak ada perawatan medis, dampak-dampak lanjutan dari luka ini dapat terlihat. 230. Seseorang yang pernah mengalami penyiksaan pada skrotum dapat menderita infeksi saluran kemih yang kronis, disfungsi ereksi, atau atrofi pada testis. Gejala pada post-traumatic stress disorder (PTSD) adalah hal yang umum. Pada fase kronis, tidak dapat dibedakan antara pathologi skrotum yang disebabkan karena penyiksaan dan yang disebabkan oleh proses penyakit lainnya. Tidak ditemukannya abnormalitas fisik apapun pada pemeriksaan urologis yang menyeluruh dapat berarti gejala-gejala penyakit saluran kencing, impotensi, atau masalah seksual lainnya, disebabkan oleh masalah psikologis. Bekas luka pada permukaan kulit skrotum dan penis dapat sangat sulit untuk dilihat. Oleh karena itu, tidak ditemukannya bekas luka pada lokasi tertentu dapat meniadakan dugaan terjadinya penyiksaan. Di sisi lain, adanya bekas luka biasanya menunjukkan adanya trauma yang berulang.
membutuhkan pembiusan lokal atau total. Prosedur ini harus dilakukan oleh seorang spesialis di bidang tersebut. Pada fase kronis, beberapa gejala akan menetap dan harus diperiksa. Kemungkinan akan terdapat bekas luka dengan bentuk dan posisi yang tidak biasa pada anus, dan itu harus didokumentasikan. Fisura anal akan menetap untuk beberapa tahun, tetapi penyebabnya hampir tidak mungkin dibedakan antara yang disebabkan oleh penyiksaan atau yang oleh cara-cara lainnya. Pada pemeriksaan anus, temuantemuan berikut harus dicari dan didokumentasikan: i.
Fisura cenderung menjadi temuan yang tidak spesifik, karena dapat muncul dalam situasi-situasi “normal” (seperti konstipasi atau keadaan tidak higenis). Namun, jika dilihat pada saat fase akut (dalam kurun waktu 72 jam), fisura menjadi temuan yang spesifik dan dapat diperhitungkan sebagai bukti adanya penetrasi.
ii.
Robekan pada rektum dengan atau tanpa pendarahan harus dicatat.
iii.
Gangguan pada bentuk rugal bisa terlihat seperti bekas luka halus bentuk kipas. Ketika luka-luka ini terlihat berada diluar garis tengah (diluar perputaran antara jam 6 atau jam 12), maka dapat menjadi petunjuk adanya trauma penetrasi.
iv.
Serpihan kulit, yang bisa dihasilkan oleh proses pemulihan trauma.
v.
Cairan purulen dari anus. Diambil untuk pemeriksaan gonore dan klamidia dalam semua kasus luka rektum akibat penetrasi, dan
(g). Pemeriksaan pada daerah anal 231. Setelah mengalami pemerkosaan pada bagian anal atau pemasukan benda ke anus, baik pada kedua jenis kelamin, rasa nyeri dan pendarahan dapat berlangsung untuk beberapa hari atau minggu. Hal tersebut dapat mengakibatkan konstipasi, yang juga diperburuk oleh nutrisi yang kurang baik di banyak tempat penahanan. Gejala gastrointestinal dan saluran kemih juga dapat terjadi. Dalam fase akut, jenis pemeriksaan selain pemeriksaan visual
90
semuanya harus dicatat secara detil. E. Tes diagnostik khusus 232. Tes diagnostik bukanlah bagian inti dari pemeriksaan klinis terhadap seseorang yang mengaku mendapat tindak penyiksaan. Dalam banyak kasus, riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik sudah cukup. Namun, ada keadaan-keadaan dimana tes diagnostik dapat menjadi bukti dukungan yang penting. Sebagai contoh, kasus hukum yang melawan anggotaanggota pihak berwenang atau untuk klaim mendapatkan kompensasi. Dalam kasus semacam itu, tes yang positif dapat membuat perbedaan berkenaan dengan keberhasilan atau kegagalan kasus. Sebagai tambahan, jika tes diagnostik dilakukan untuk alasan terapetik, hasil yang didapat harus ditambahkan dalam laporan klinis. Namun, tidak adanya hasil tes diagnostik yang positif, seperti halnya temuan fisik, tidak meniadakan dugaan terjadinya penyiksaan. Terdapat banyak situasi dimana tes diagnostik tidak tersedia untuk alasan-alasan teknis, namun ketiadaan ini tidak boleh menghilangkan validasi suatu laporan tertulis yang baik. Tidak dianggap pantas menggunakan sarana diagnostik untuk pendokumentasian luka hanya untuk alasan hukum, ketika ada kebutuhan klinis yang lebih penting (untuk secara khusus, lihat annex II).
91
BAB VI BUKTI PSIKOLOGIS DARI PENYIKSAAN
A. Pertimbangan-pertimbangan umum
1. Peran psikologis
utama
dari
pemeriksaan
233. Penyiksaan secara umum dipandang sebagai suatu pengalaman hidup yang luar biasa dan mampu menyebabkan berbagai macam penderitaan fisik dan psikologis. Para ahli kesehatan dan peneliti setuju bahwa sifat dari penyiksaan sendiri sudah cukup untuk mengakibatkan berbagai dampak emosional dan mental, terlepas dari kondisi psikologis individu sebelum penyiksaan terjadi. Bagaimanapun, dampak psikologis penyiksaan tergantung pada konteks dimana individu memberi makna, perkembangan kepribadian serta faktor-faktor sosial, politik dan budaya. Oleh karena itu, kita tidak bisa menganggap bahwa semua bentuk penyiksaan memiliki dampak yang sama. Sebagai contoh, dampak psikologis dari penghinaan tidak sama dengan dampak yang dihasilkan oleh penyerangan seksual, kurungan isolasi tidak menghasilkan dampak psikologis yang sama dengan penyiksaan fisik secara langsung. Begitupun juga, dampak penahanan dan penyiksaan pada orang dewasa tidak bisa dianggap sama seperti pada anak kecil. Namun, telah diamati dan didokumentasi beberapa kesamaan dari kumpulan gejalagejala serta reaksi psikologis dari survivor penyiksaan. 234. Para pelaku seringkali berusaha membenarkan tindakan penyiksaan dan
penganiayaan yang dilakukannya, dengan dalih untuk mencari informasi. Konsepkonsep seperti itu membuat tujuan serta dampak-dampak yang diinginkan dari penyiksaan menjadi rancu. Salah satu tujuan utama dari penyiksaan adalah untuk membuat posisi individu menjadi sangat tidak berdaya dan menimbulkan tekanan (stres) yang dapat mengarah pada penurunan fungsi kognitif, emosional dan perilaku.91 Maka, penyiksaan adalah suatu alat untuk menyerang cara-cara dasar individu berfungsi secara sosial dan psikologis. Pada kondisi itu, pelaku penyiksaan berusaha tidak hanya untuk merugikan individu secara fisik, namun juga untuk menghancurkan kepribadiannya. Pelaku penyiksaan berusaha membuat individu kehilangan perasaan berada dalam keluarga dan masyarakat sebagai seorang mahluk hidup yang mempunyai mimpi, harapan dan keinginan untuk masa depan. Dengan menghancurkan kemauan individu dan memperlakukan mereka secara tidak manusiawi, pelaku penyiksaan memberi contoh yang mengerikan bagi mereka yang kemudian berhubungan dengan korban. Dengan begitu, penyiksa dapat mematahkan atau menghancurkan hasrat dan pertalian komunitas secara menyeluruh. Sebagai tambahan, penyiksaan dapat sangat merusak hubungan yang intim antar pasangan, orang tua, anak, anggota keluarga lain dan hubungan antar korban dengan komunitas mereka. 235. Penting untuk dipahami bahwa tidak semua korban penyiksaan 91
G. Fischer dan N.F. Gurris, “Grenzverletzungen: Folter und sexuelle Traumatisierung”, Praxis der PsychotherapieEin integratives Lehrbuch fur Psychoanalyse und Verhaltenstherapie, W. Senf dan W. Broda (Stuttgart, Thieme, 1996).
92
mengembangkan suatu gangguan psikologis yang bisa didiagnosa. Namun, banyak korban mengalami reaksi emosional berat dan gejala-gejala psikologis. Gangguan psikologis yang paling sering dikaitkan dengan penyiksaan adalah post-traumatic stress disorder (PTSD) dan major depression (depresi mayor). Walaupun gangguan ini muncul dalam populasi umum, tapi kemunculannya lebih tinggi dalam populasi yang mengalami trauma. Implikasi penyiksaan secara budaya, sosial dan politik yang bersifat unik untuk masing-masing individu mempengaruhi kemampuannya menggambarkan dan membicarakan masalah penyiksaan yang dialami. Ini adalah faktor-faktor penting yang berperan dalam dampak psikologis dan sosial dari penyiksaan dan harus jadi pertimbangan ketika melakukan pemeriksaan terhadap orang dengan latar belakang budaya yang berbeda. Penelitian lintas budaya menunjukkan bahwa metode deskriptif dan fenomenologis merupakan pendekatan yang paling masuk akal dalam melakukan pemeriksaan gangguan psikologis atau psikiatrik. Apa yang dianggap sebagai gangguan perilaku atau penyakit dalam satu budaya mungkin tidak dipandang patologis dalam budaya lain.92´93´94 Sejak Perang Dunia II, telah banyak kemajuan dalam usaha memahami dampak psikologis dari kekerasan. GejalaA. Kleinman, “Anthropology and psychiatry: the role of culture in cross-cultural researchon illness and care”, dibacakan dalam simposium regional WPA tentang psikiatri dan ilmu lainnya yang berhubungan, 1986. 93 H.T Engelhardt, “The concepts of health and disease”, PemeriksaanEvaluation and Explanation in the Biomedical Sciences, H.T Engelhardt dan S.F.Spicker, eds. (Dordrecht: D. Reidel Publishing Co., 1975:125-141). 94 J. Westermeyer, “Psychiatric diagnosis across cultural boundaries” American Journal of Psychiatry (142(7) 1985:798-805). 92
gejala psikologis tertentu dan kumpulan gejala telah diamati dan didokumentasi di antara survivor penyiksaan dan jenis kekerasan lainnya. 236. Beberapa tahun terakhir ini, diagnosa PTSD telah diterapkan pada sejumlah individu yang menderita dari dampak berbagai macam jenis kekerasan. Hal ini menunjukkan kecenderungan peningkatan yang terus menerus. Namun, kegunaan dari diagnosa ini dalam budaya non-barat belum ditemukan. Sekalipun demikian, bukti menunjukkan bahwa terdapat angka yang tinggi PTSD dan depresi di antara populasi pengungsi yang mengalami trauma dari berbagai latar belakang budaya berbeda.95´96´97 Penelitian lintas-budaya World Health Organization (WHO) tentang depresi menyediakan informasi yang dapat membantu.98 Walaupun ada beberapa gejala yang sama dalam budaya yang berbeda, gejala-gejala tersebut mungkin bukan yang paling dimasalahkan individu. 2. Konteks dari pemeriksaan psikologis R.F. Mollica, K.Donelan, S. Tor et.al., “The effects of trauma and confinement on the functional health and mental health status of Cambodians living inThailand-Cambodia border camps”, Journal of the American Medical Association (JAMA) (270 1993:581586). 96 J.D. Kinzie et al., “The prevalence of posttraumatic stress disorder and its clinical significance amosng Southeast Asian refugees”, American Journal of Psychiatry (147(7) 1990:913-917). 97 K. Allden et al., “Burmanese political dissidents in Thailand: trauma, and survival among young adults in exile ”, American Journal of Public Health (86 1996:15611569). 98 N. Sartotius, “Cross-cultural research on depression”, Psychopathology (19(2) 1987:611). 95
93
237. Pemeriksaan dilakukan dalam berbagai konteks politik. Ini menghasilkan berbagai perbedaan penting dalam cara melaksanakan pemeriksaan. Dokter atau psikolog harus menyesuaikan pedomanpedoman berikut ke dalam situasi tertentu dan tujuan dari pemeriksaan (lihat bab III. C.2.).
pemerintah dan pihak berwenang yang terlibat sebisa mungkin ikut menegakkan standar-standar ini. B. Konsekwensi psikologis dari penyiksaan 1. Pernyataan-pernyataan yang harus diperhatikan
238. Apakah suatu pertanyaan tertentu dapat aman ditanya atau tidak dapat bervariasi dan bergantung pada derajat kepastian keamanan dan kerahasiaan. Sebagai contoh, suatu pemeriksaan dalam penjara oleh dokter kunjungan yang terbatas untuk 15 menit, tidak dapat berjalan seperti pemeriksaan forensik dalam kantor pribadi yang dapat berlangsung beberapa jam. Masalahmasalah lainnya dapat timbul adalah ketika mencoba menilai apakah gejala psikologis atau perilaku bersifat patologis atau masalah adaptasi. Ketika seseorang diperiksa dalam tahanan atau hidup di bawah ancaman atau tekanan, beberapa gejala bersifat adaptasi. Sebagai contoh, hilangnya minat dalam aktivitas atau perasaan memisahkan diri atau kerenggangan dapat dimengerti jika orang tersebut mendapat kurungan isolasi. Begitupun sikap waspada berlebih dan perilaku menghindar dibutuhkan oleh individu yang tinggal dalam masyarakat yang menekan (represif).99 Namun, batasan-batasan dari kondisi wawancara tertentu tidak menutupi aspirasi pedoman yang diajukan dalam manual ini. Sangat penting dalam situasi yang sulit,
239. Sebelum memasuki gambaran teknis dari gejala-gejala dan klasifikasi psikiatrik, harus dicatat bahwa klasifikasi psikiatrik secara umum dipandang sebagai konsep kedokteran Barat dan penerapannya ke populasi non-Barat dapat menimbulkan kesulitan tertentu, baik langsung maupun tidak langsug. Budaya Barat dirugikan oleh penanganan medis berlebih terhadap proses-proses psikologis. Gagasan/konsep bahwa penderitaan mental/jiwa mencerminkan adanya gangguan dalam diri seseorang dengan ciri-ciri kumpulan gejala yang tipikal mungkin tidak dapat diterima oleh banyak anggota masyarakat non-Barat. Namun, terdapat bukti yang cukup menunjukkan perubahan biologis yang muncul dalam PTSD dan, dari perspektif itu, PTSD merupakan sindroma yang dapat didiagnosa dan dirawat secara biologis dan psikologis.100 Sebisa mungkin, dokter atau psikolog harus berusaha menghubungkan penderitaan psikologis dalam konteks keyakinan dan norma-norma budaya individu. Termasuk di dalamnya adalah menghormati konteks politik sekaligus keyakinan agama dan budaya. Dengan mempertimbangkan
M.A. Simpson, “what went wrong?: diagnostic and ethical problems in dealing with the effects of torture and repression in South Africa”, Beyond Trauma-Cultural and Societal Dynamics, R.J. Kleber, C.R. Figley, B.P.R. Gersons, eds. (New York, Plenum Press, 1995:188-210).
100
99
M. Friedman dan J. Jaranson, “The applicability of the post-traumatic concept to refugees”, Admist Peril and Pain: The Mental Health and Well-being of the Worlds Refugees, T. Marsella et al., eds. (Washington, D.C., American Psychologist Association Press, 1994:207-227).
94
tingkat keparahan penyiksaan serta dampak-dampaknya, ketika melakukan pemeriksaan psikologis, pemeriksa harus mengambil sikap mempelajari informasi yang didapat dan bukan cepat-cepat memberi diagnosa dan klasifikasi. Idealnya, sikap ini dapat membuat korban merasa bahwa keluhan dan penderitaan mereka diakui nyata dan memang lazim terjadi dalam situasi-situasi demikian. Maka, sikap peka yang empatik dapat memberi sedikit kelegaan pada korban dari perasaan terasing. 2. Respon-respon psikologis yang umum (a) Mengalami kembali trauma tersebut 240. Seorang korban mungkin mendapat kilas balik (flashback) atau ingataningatan mengganggu, dimana kejadian traumatik seakan terulang kembali, bahkan ketika individu sedang bangun dan sadar, atau mimpi buruk terus menerus, yang meliputi elemen-elemen kejadian traumatik sesungguhnya atau dalam bentuk simbol. Stres saat berhadapan dengan tanda-tanda yang melambangkan atau mirip dengan trauma seringkali terwujud dengan kurangnya rasa percaya dan ketakutan pada pihak otoritas, termasuk dokter dan psikolog. Dalam negara atau situasi dimana pihak otoritas ikut terlibat dalam pelanggaran HAM, kurangnya rasa percaya dan rasa takut terhadap figur otoritas jangan dianggap patologis. (b) Penghindaran dan kebebalan emosi (emotional numbing) (i) Menghindari segala pikiran, percakapan, kegiatan, tempat atau orang yang dapat memicu ingatan tentang trauma;
(iii) Penarikan diri secara sosial dan pengisolasian diri yang parah (iv) Ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari trauma yang dialami (c) Hyperarousal (i) Masalah tidur (kesulitan untuk mengantuk atau mempertahankan keadaan tidur) (ii) Iritabilitas (mudah terusik) atau kemarahan yang meluapluap/meledak-ledak (iii) Sulit konsentrasi; (iv) Sikap waspada yang berlebih, reaksi kaget berlebihan; (v) Kecemasan yang digeneralisasi; (vi) Napas pendek, berkeringat, mulut kering atau kepala pusing dan gangguan pencernaan. (d) Gejala-gejala depresi 241. Gejala-gejala depresi berikut mungkin muncul: suasana hati depresi, anhedonia (ditandai hilangnya minat atau ketertarikan dalam aktivitas), gangguan nafsu makan atau penurunan berat badan, sulit tidur atau tidur berlebih, gangguan psikomotorik atau lamban dalam gerakan, kelelahan dan hilangnya energi, perasaan tidak berharga dan rasa bersalah yang berlebihan, sulit memperhatikan, konsentrasi atau mengingat, pikiranpikiran tentang kematian dan mati, pikiran bunuh diri atau percobaan bunuh diri.
(ii) Sangat membatasi emosi;
95
(c) Konsep diri yang rusak dan berpikir tidak ada masa depan 242. Korban memiliki perasaan subyektif bahwa dirinya telah mendapat kerusakan permanen dan mengalami perubahan kepribadian yang permanen.101 Dia juga merasa tidak ada masa depan tanpa harapan untuk karir, perkawinan, anak atau kehidupan normal. (f) Disosiasi, depersonalisasi perilaku tidak wajar
dan
terjadi akibat dampak fisik langsung dari penyiksaan atau bersifat psikologis. Sebagai contoh, segala macam rasa sakit bisa jadi sebagai akibat fisik penyiksaan atau psikologis. Keluhan somatik umumnya meliputi sakit punggung, nyeri otot dan sakit kepala, seringkali akibat luka kepala. Sakit kepala paling umum dialami korban penyiksaan dan seringkali mengarah pada sakit kepala kronis posttrauma. Sakit kepala juga bisa disebabkan atau diperburuk stres dan ketegangan. (h) Disfungsi seksual
243. Disosiasi adalah gangguan dalam integritas (kesatuan) kesadaran, persepsi diri, ingatan dan tindakan. Seorang individu dapat terputus dari atau tidak menyadari tindakan-tindakan tertentu atau dapat merasa terbagi dua seakan mengamati dirinya sendiri dari suatu jarak. Depersonalisasi adalah perasaan terpisah dari diri atau tubuhnya sendiri. Masalah mengendalikan dorongan terwujud dalam perilaku-perilaku yang dianggap sangat tidak wajar oleh survivor dibandingkan dengan kepribadiannya sebelum mengalami trauma. Individu yang sebelumnya sangat berhati-hati bisa terlibat dalam perilaku beresiko tinggi. (g) Keluhan-keluhan somatik 244. Gejala-gejala somatik seperti sakit, sakit kepala atau keluhan fisik lainnya, dengan atau tanpa alasan medis, merupakan masalah yang umum pada korban penyiksaan. Rasa sakit bisa jadi adalah satu-satunya wujud keluhan dan dapat berpindah lokasi dengan intensitas yang berbeda. Gejala-gejala somatik dapat N.R. Holtan, “How medical assessment of victims of torture relates to psychiatric care”, Caring for Victims of Torture J.M. Jaranson dan M.K. Popkin, eds. (Washington, D.C., American Psychiatric Press, 1998:107-113) 101
245. Disfungsi seksual adalah hal yang wajar dialami korban penyiksaan, terutama di antara mereka yang mengalami penyiksaan seksual atau perkosaan (lihat bab V.D.8.). (i) Psikosis 246. Perbedaan-perbedaan budaya dan bahasa dapat dibingungkan dengan gejalagejala psikosis. Sebelum memberi label psikosis pada seseorang, gejala-gejala tersebut harus dikaji berdasarkan konteks budaya individu yang unik. Reaksi-reaksi psikosis dapat berlangsung sebentar atau lama, dan dapat muncul ketika individu sedang ditahan dan disiksa atau setelahnya. Kemungkinan temuan: (i) Waham (delusi); (ii) Halusinasi pendengaran, fisik dan penciuman;
visual,
(iii) Pikiran dan perilaku yang aneh; (iv) Ilusi atau distorsi persepsi yang dapat mengambil bentuk halusinasi semu dan berada pada perbatasan keadaan psikotik yang sejati. Persepsi yang salah dan halusinasi
96
yang muncul ketika hampir tertidur atau bangun tidur merupakan hal wajar dalam populasi umum dan tidak dikatakan psikosis. Adalah hal yang umum jika korban penyiksaan melaporkan beberapa kali mendengar teriakan, namanya dipanggil atau melihat bayangan, tapi tidak memiliki tanda-tanda atau gejala yang mengarah pada psikosis; (v) Paranoia dan waham akan dibunuh; (vi) Kemunculan berulang dari gangguan psikosis atau gangguan suasana hati dengan tanda-tanda psikosis dapat berkembang di antara mereka yang memiliki riwayat gangguan mental sebelumnya. Individu dengan riwayat gangguan bipolar (kepribadian terpecah), berulangnya episode depresi mayor dengan tanda-tanda psikosis, schizophrenia dan gangguan schizoafektif mungkin dapat mengalami satu episode dari gangguan tersebut. (j) Penyalahgunaan zat 247. Penyalahgunaan alkohol dan obatobatan sering kali berkembang secara sekunder di antara korban penyiksaan, sebagai cara untuk menghapus ingataningatan taumatik, mengatur emosi dan menangani kecemasan. (k) Kerusakan neuropsikologis 248. Penyiksaan dapat menyebabkan trauma fisik yang mengarah pada bermacam tingkatan kerusakan otak. Pukulan pada kepala, pencekikan dan kekurangan gizi yang diperlama dapat memiliki dampak neurologis dan neuropsikologis jangka panjang, yang
mungkin tidak terdeteksi pada saat pemeriksaan fisik. Sama halnya dengan kasus-kasus kerusakan otak yang tidak dapat didokumentasi melalui imaging kepala atau prosedur medis lainnya, maka penggunaan tes neuropsikologis bisa jadi satu-satunya alat yang dapat diandalkan untuk pendokumentasian dampak kerusakan di otak. Seringkali, gejalagejala yang diharapkan muncul melalui tes tersebut secara signifikan memiliki kesamaan dengan gejala-gejala PTSD dan depresi mayor. Naik-turunnya atau berkurangnya tingkat kesadaran, orientasi, perhatian, konsentrasi, ingatan dan fungsifungsi eksekutif dapat dihasilkan oleh gangguan dalam berfungsi atau juga oleh penyebab organik. Maka dari itu, keahlian khusus tentang tes neuropsikologis dan kesadaran akan masalah-masalah keabsahan lintas-budaya alat tes tersebut diperlukan ketika harus membuat perbedaan semacam itu. 3. Klasifikasi Diagnostik 249. Keluhan-keluhan utama dan temuan inti di antara survivor penyiksaan dapat bermacam-macam dan terkait dengan pengalaman hidup individu yang unik serta konteks budaya, sosial dan politiknya. Namun, akan bijak jika pemeriksa juga mengenal gangguangangguan yang paling umum didiagnosa di antara survivor trauma dan penyiksaan. Selain itu, wajar jika muncul lebih dari satu gangguan mental, karena terdapat angka tinggi co-morbidity di antara gangguan mental yang berhubungan dengan trauma. Berbagai macam wujud kecemasan dan depresi merupakan gejala yang paling umum disebabkan penyiksaan. Tidak jarang, kumpulan gejala yang disebutkan di atas akan diklasifikasi dalam kategori kecemasan dan gangguan suasana hati. Dua sistem
97
klasifikasi utama adalah International Clasification of Disease (ICD-10) klasifikasi gangguan mental dan perilaku, serta keluaran dari American Psychiatric Association yaitu Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV).102 103 Untuk penjelasan lebih lengkap mengenai kategori-kategori diagnostik, pembaca sebaiknya mengacu pada ICD-10 dan DSM-IV. Kajian ini akan fokus pada diagnosa yang paling umum berhubungan dengan trauma: PTSD, depresi mayor dan perubahan kepribadian menetap. (a) Gangguan-gangguan depresi 250. Keadaan depresi sering kali ditemukan pada survivor penyiksaan. Dalam konteks menilai dampak-dampak penyiksaan, akan timbul masalah jika menganggap PTSD dan gangguan depresi mayor sebagai dua gangguan yang berbeda dengan penyebab yang beda. Gangguan depresi termasuk gangguan depresi mayor dengan episode tunggal atau depresi mayor dengan episode berulang (lebih dari satu). Gangguan depresi dapat muncul dengan atau tanpa ciri psikotik, katatonik dan melankolis yang tidak wajar. Berdasarkan DSM-IV, diagnosa untuk episode depresi mayor harus muncul minimal 5 kali atau lebih dari gejala berikut dalam rentang waktu 2 minggu dan mengakibatkan perubahan dari fungsi sebelumnya (setidaknya salah satu dari gejala yang muncul adalah suasana hati depresi atau kehilangan minat atau kesenangan): (1) suasana hati depresi; 102
World Health Organization, The ICD-10 Clasification of Mental and Behavioural Disorders and Diagnostic Guidelines (Geneva, 1994). 103 American Psychiatric Association, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th ed. (Washington, D.C., 1994).
(2) hilangnya minat atau kesenangan dalam seluruh atau hampir seluruh aktivitas; (3) berat badan menurun atau perubahan selera makan; (4) tidak bisa tidur (insomnia) atau kelebihan tidur (hypersomnia); (5) gangguan psikomotorik atau lamban dalam gerakan; (6) kelelahan atau hilangnya tenaga; (7) merasa tidak berdaya atau perasaan bersalah yang berlebihan; (8) tidak mampu berpikir atau konsentrasi; dan (9) pikiran berulang tentang kematian atau bunuh diri. Untuk membuat diagnosis ini maka gejala-gejalanya harus menyebabkan distres yang signifikan atau gangguan dalam fungsi sosial dan pekerjaan, bukan hasil dari gangguan fisiologis dan tidak tumpang tindih dengan diagnosis DSM-IV lainnya. (b) Post-traumatic stress disorder 251. Diagnosa yang paling sering dikaitkan dengan dampak psikologis dari penyiksaan adalah post-traumatic stress disorder (PTSD). Namun petugas kesehatan, pengadilan imigrasi dan masyarakat awam terlalu mengaitkan diagnosa ini dengan penyiksaan. Ini menciptakan kesan yang salah dan menyederhanakan bahwa PTSD adalah satu-satunya dampak psikologis penyiksaan. 252. Definisi PTSD berdasarkan DSMIV sangat bergantung pada hadirnya gangguan ingatan berhubungan dengan trauma, seperti ingatan yang menganggu, mimpi buruk dan tidak mampu mengingat hal-hal penting dari kejadian trauma. Individu mungkin tidak mampu mengingat dengan pasti detil-detil kejadian penyiksaan tetapi mampu mengingat tema-tema utamanya. Sebagai contoh, korban mungkin mampu mengingat kejadian dia diperkosa namun tidak ingat tanggal, tempat dan pelaku
98
secara pasti. Dalam situasi semacam itu, ketidakmampuan korban untuk mengingat detil cerita, mendukung kebenaran cerita survivor. Tema-tema utama dari cerita akan konsisten jika dilakukan wawancara ulang. Diagnosis PTSD dalam ICD-10 sangat mirip dengan DSM-IV. Menurut DSM-IV, PTSD bisa akut, kronis maupun tertunda. Gejala-gejala harus muncul selama lebih dari satu bulan dan gangguannya harus menyebabkan distres yang signifikan atau gangguan dalam berfungsi. Syarat diagnosa PTSD, individu harus pernah mengalami kejadian traumatik melibatkan pengalaman yang mengancam jiwa si korban atau lainnya dan menyebabkan ketakutan luar biasa, perasaan tidak berdaya atau horor (kengerian). Individu mengalami kembali kejadian secara terus menerus melalui: ingatan-ingatan mengganggu tentang kejadian, mimpi buruk yang berulang tentang kejadian, berperilaku atau merasa bahwa kejadian seakan terjadi lagi termasuk halusinasi, kilas balik (flashback) dan ilusi, tekanan psikologis yang kuat dan reaksi fisik ketika menghadapi hal-hal yang dapat memicu ingatan tentang kejadian. 253. Individu harus secara terus menerus menunjukkan sikap menghindari stimulus (rangsangan) yang dihubungkan ke pengalaman traumatik. Atau individu menunjukkan bahwa ada mati rasa dalam memberi respon, indikasi yang muncul paling sedikit 3 dari hal berikut: (1) usahausaha menghindari pikiran, perasaan atau percakapan yang berhubungan dengan pengalaman traumatiknya; (2) usaha menghindari kegiatan, tempat atau orangorang yang dapat mengingatkan korban tentang pengalaman traumatiknya; (3) tidak mampu mengingat aspek penting tentang kejadian; (4) hilangnya minat terhadap kegiatan-kegiatan yang berarti;
(5) berusaha melepaskan atau memisahkan diri dari orang lain; (6) membatasi emosinya sendiri, dan (7) tidak dapat melihat masa depan cerah. Alasan lain untuk membuat diagnosis PTSD berdasarkan DSM-IV adalah menetapnya gejala keterkejutan yang meningkat, yang tidak ada sebelum trauma. Indikasinya harus paling sedikit 2 dari hal berikut: kesulitan untuk tertidur atau mempertahankan tidur, lekas marah atau luapan kemarahan, sulit konsentrasi, waspada dan reaksi kaget yang berlebihan. 254. Gejala-gejala PTSD dapat berlangsung kronis (menahun) atau turun naik dalam jangka waktu yang panjang. Dalam beberapa waktu jeda, gejala-gejala hyperarousal (peka berlebihan) dan lekas marah mendominasi gambaran klinisnya. Pada saat seperti ini, survivor biasanya melaporkan peningkatan ingatan-ingatan yang mengganggu, mimpi buruk dan kilas balik (flashback). Di waktu lain, survivor dapat tampil tanpa gejala apa pun atau membatasi emosinya dan menarik diri. Harus diketahui bahwa walaupun tidak masuk kriteria diagnosa PTSD, tidak berarti penyiksaan tidak terjadi. Menurut ICD-10, sejumlah kasus PTSD berlangsung kronis selama bertahun-tahun yang nantinya beralih menjadi perubahan kepribadian menetap. (c) Perubahan kepribadian menetap 255. Setelah bencana besar atau tekanan hebat berkepanjangan, individu dapat mengembangkan suatu gangguan kepribadian. Ini dapat terjadi bahkan jika individu tidak memiliki gangguan kepribadian sebelumnya. Jenis tekanan hebat yang dapat merubah kepribadian antara lain meliputi pengalaman tinggal di kamp konsentrasi, bencana, pengurungan yang lama dengan kemungkinan dibunuh,
99
menghadapi situasi-situasi yang mengancam nyawa, seperti menjadi korban terorisme, dan penyiksaan. Menurut ICD-10, diagnosa perubahan kepribadian menetap hanya boleh dibuat jika ada bukti perubahan yang nyata, signifikan dan menetap dalam pola persepsi, hubungan atau berpikir individu tentang lingkungan dan dirinya sendiri, berkaitan dengan perilaku menyimpang dan keras yang tidak ada sebelum pengalaman traumatik. Diagnosis ini tidak termasuk perubahan yang merupakan manisfestasi (wujud) gangguan mental lainnya atau gejala kambuhan dari gangguan mental sebelumnya. Selain itu, juga tidak termasuk perubahan kepribadian dan perilaku akibat penyakit, disfungsi atau kerusakan otak. 256. Berdasarkan ICD-10, untuk membuat diagnosis perubahan kepribadian menetap, maka perubahan-perubahan tersebut harus berlangsung paling tidak 2 tahun setelah bencana. Secara khusus, ICD-10 menekankan bahwa stres yang dialami harus sangat ekstrim sampai “tidak perlu mempertimbangkan kerentanan / kerapuhan individu untuk menjelaskan dampak yang hebat pada kepribadian”. Ciri perubahan kepribadian ini adalah sikap tidak percaya atau memusuhi dunia, menarik diri secara sosial, merasa kosong atau tanpa harapan, perasaan “berada di ujung tanduk” yang kronis, seakan selalu berada di bawah ancaman dan mengasingkan diri.
menyenangkan dan mengatur kecemasan. Walaupun PTSD dapat dibarengi diagnosis lainnya (co-morbidity), jarang ada penelitian sistematis tentang penyalahgunaan zat pada survivor penyiksaan. Kepustakaan tentang populasi yang menderita PTSD dapat meliputi survivor penyiksaan, seperti pengungsi, tahanan perang dan veteran konflik bersenjata. Kepustakaan ini dapat menyediakan beberapa titik cerah terhadap masalah ini. Beberapa penelitian terhadap kelompok-kelompok ini menunjukkan bahwa munculnya penyalahgunaan zat bervariasi tergantung pada kelompok etnik dan budaya. Mantan tahanan perang yang menderita PTSD memiliki resiko tinggi untuk mengalami co-morbidity dengan menyalahgunakan zat, begitupun veteran perang.104 105 106 107 108 109 110 111 104
P.J. Farias, “Emotional distress and its sociopolitical correlates in Salvadoran refugees: analysis of a clinical sample”, Culture, Medicine and Pscychiatry (15 1991:167-192). 105
A. Dadfar “The Afghans: bearing the scars of a forgotten war”, Admist peril and pain, A. Marsella et al. (Washington D.C., American Psychological Association, 1994). 106
G.W. Beebe, “Follow-up studies of Worl War II and Korean war prisoners, II: morbidity, dissability and maladjustments”, American Journal of Epidemiology (101 1975:400-422). 107
B.E. Engdahl et al. “The comorbidity and course of psychiatric disorders in a community sample of formers prisoners of war”, in review. 108
(d) Penyalahgunaan zat 257. Para psikolog klinis mengamati bahwa penyalahgunaan alkohol dan obat seringkali berkembang secara sekunder pada survivor penyiksaan. Ini sebagai cara untuk menekan ingatan-ingatan traumatik, mengatur perasaan-perasaan tidak
Translated by ICMC Indonesia
T.M. Keane and J. Wolfe, “Comorbidity in posttraumatic stress disorder: an analysis of community and ethical studies” Journal of Applied and Social Psychology (20(21, 1) 1990:1776-1778). 109
R.A. Kulka et al., Trauma and the vietnam war generation: Report of Findings from the National Vietnam Veterans Readjustment Study (New York, Brunner/Mazel, 1990). 110
K. Jordan et al., “Lifetime and current prevalence of specific psychiatric disorders among
100
Kesimpulannya, ada bukti yang cukup bahwa penyalahgunaan zat merupakan diagnosa yang mungkin dapat dialami survivor penyiksaan. (e) Diagnosis-diagnosis lainnya 258. Di bawah ini ada beberapa diagnosis yang harus diperhitungkan selain PTSD, seperti gangguan depresi mayor dan perubahan kepribadian menetap. Diagnosis-diagnosis ini antara lain: (i) Gangguan kecemasan umum, dengan ciri rasa cemas dan khawatir berlebih terhadap berbagai kejadian atau kegiatan, ketegangan motorik dan meningkatnya aktivitas syaraf otonom. (ii) Wujud dari gangguan panik adalah serangan-serangan rasa takut yang hebat dan tidak nyaman. Serangan tersebut muncul secara tak terduga dan berulang, termasuk gejala-gejala seperti berkeringat, merasa tercekik, gemetar, jantung berdegup kencang, pusing, mual dan panas dingin. (iii) Gangguan stres akut pada dasarnya memiliki gejala-gejala yang sama dengan PTSD tapi diagnosisnya dibuat dalam satu bulan setelah kejadian traumatik. (iv) Gangguan somatoform dengan ciri gejala-gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan secara medis. (v) Gangguan bipolar, dengan ciri mengalami episode-episode manic dan Vietnam veterans and controls”, Archives General Psychiatry (48(3) 1991:207-215). 111
of
A.Y. Shalev, A. Bleich, R.J. Ursano, “Posttraumatic stress disorder: somatic comorbidity and effort tolerance”, Psychosomatics (31(2) 1990:197203).
Translated by ICMC Indonesia
hypomanic dengan suasana hati meluapluap dan cepat marah, waham kebesaran (grandiosity), kebutuhan tidur yang menurun, pikiran yang meloncat-loncat, kegelisahan psikomotorik dan gejala psikotik terkait dengan hal itu. (vi) Gangguan yang disebabkan kondisi medis umum, seringkali dalam bentuk kerusakan otak yang mengakibatkan naik turunnya atau berkurangnya tingkat kesadaran, orientasi, perhatian, konsentrasi, ingatan dan fungsi-fungsi utama. (vii) Fobia seperti fobia sosial dan fobia ketinggian.
C. Pemeriksaan psikologis / psikiatrik 1. Pertimbangan-pertimbangan etis dan klinis 259. Pemeriksaan psikologis dapat memberi bukti penting tentang kekerasan yang dialami korban penyiksaan karena beberapa alasan: tindak penyiksaan seringkali menyebabkan gejala-gejala psikologis berat, beberapa metode penyiksaan seringkali dirancang supaya tidak meninggalkan bekas luka fisik atau menghasilkan bekas luka fisik yang dapat hilang atau kurang jelas. 260. Pemeriksaan/evaluasi psikologis dapat menyediakan bukti yang berguna dalam pemeriksaan medis untuk tujuan hukum, permohonan suaka politik, membuktikan kemungkinan kesaksian palsu, memahami praktek-praktek penyiksaan suatu daerah, mengenali kebutuhan terapetik (pemulihan) korban dan sebagai alat kesaksian dalam
101
pemeriksaan HAM. Tujuan utama suatu pemeriksaan psikologis adalah untuk menilai derajat konsistensi/kebenaran antara tuntutan individu tentang penyiksaan dengan temuan-temuan psikologis yang diamati selama proses pemeriksaan. Pada akhirnya, pemeriksaan harus menggambarkan secara rinci tentang riwayat individu, status pemeriksaan psikologis, penilaian tentang fungsi sosial dan perumusan gambaran klinis (lihat bab III.C. dan IV.E). Jika sesuai, suatu diagnosa psikiatrik harus dibuat. Karena gejala-gejala psikologis seringkali muncul pada survivor, maka sangat disarankan untuk melakukan penilaian psikologis dalam setiap pemeriksaan tentang penyiksaan. 261. Penilaian status psikologis dan perumusan diagnosis klinis harus selalu dibuat sesuai konteks budaya individu. Sadar akan sindroma budaya tertentu serta bahasa lokal yang digunakan untuk mengungkapkan distres, sangat penting dalam pelaksanaan wawancara dan perumusan gambaran klinis serta kesimpulan. Ketika pewawancara memiliki sedikit pengetahuan, atau tidak sama sekali, tentang budaya si korban maka dampingan bagi pewawancara sangatlah penting. Idealnya, sebelum pemeriksaan harus diperhitungkan mengambil penerjemah dari negara korban karena mengetahui bahasa, kebiasaan, keyakinan dan tradisi-tradisi agama si korban.Wawancara mungkin dapat memicu rasa takut dan curiga korban dan mungkin dapat mengingatkannya pada interograsiinterograsi sebelumnya. Maka untuk mengurangi dampak trauma berulang, dokter pemeriksa harus memberi suatu kesan bahwa dia memahami pengalaman dan latar belakang budaya individu. Bukan hal yang tepat untuk menggunakan
Translated by ICMC Indonesia
“netralitas klinis” yang ketat dalam beberapa bentuk psikoterapi, dimana si psikolog klinis atau psikiater bersikap pasif dan sedikit bicara. Psikolog klinisnya harus bisa menyampaikan kesan bahwa dia adalah “teman” si individu dan mengambil pendekatan yang mendukung dan tidak menghakimi. 2. Proses Wawancara 262. Psikolog atau psikiater harus memperkenalkan proses wawancara dalam suatu penjelasan rinci tentang prosedurprosedur yang akan diikuti (pertanyaanpertanyaan tentang riwayat psikososial, termasuk riwayat penyiksaan dan fungsi psikologis saat ini). Penjelasan tersebut juga harus dapat menyiapkan individu untuk menghadapi reaksi-reaksi emosional yang mungkin dapat terpicu oleh beberapa pertanyaan tertentu. Individu harus diberi kesempatan untuk minta istirahat, menyela percakapan dan boleh pergi jika tidak dapat menahan tekanan, dengan pilihan melanjutkan wawancara lain waktu. Psikolog/psikiater harus peka dan empatik dalam bertanya. Bersamaan dengan itu, pewawancara harus harus sadar akan reaksi pribadi yang dapat muncul terhadap survivor dan terhadap cerita penyiksaan yang mungkin mempengaruhi persepsi dan keputusan pewawancara. 263. Proses wawancara mungkin kembali mengingatkan survivor pada pengalaman diinterograsi sebelumnya. Maka survivor dapat mengembangkan perasaan-perasaan negatif yang kuat terhadap pemeriksa, seperti rasa takut, marah, reaksi yang tak terduga, perasaan tidak berdaya, bingung, panik atau benci. Psikolog/psikiater harus mendukung pengutaraan perasaan-perasaan semacam itu berikut penjelasannya dan menyampaikan pemahamannya terhadap
102
situasi sulit individu. Sebagai tambahan, harus diingat bahwa ada kemungkinan individu masih dalam hukuman atau tekanan. Jika perlu, hindari pertanyaanpertanyaan tentang aktivitas yang dilarang. Alasan-alasan melakukan pemeriksaan psikologis penting untuk dipikirkan karena akan menentukan tingkat kerahasiaan. Jika pemeriksaan tentang kebenaran laporan penyiksaan individu untuk tujuan pengadilan dan diminta oleh pihak berwenang suatu negara, maka orang yang akan diperiksa harus diberitahukan bahwa kerahasiaan medis laporan secara tidak langsung dapat terungkap. Namun jika permintaan pemeriksaan psikologis datang dari korban penyiksaan, psikolog/psikiater harus menghormati kerahasiaan medis. 264. Pemeriksa yang melakukan pemeriksaan fisik atau psikologis harus menyadari reaksi-reaksi emosional yang dapat muncul dari pihak pewawancara dan orang yang diwawancarai dalam wawancara tentang trauma. Reaksi-reaksi emosional seperti ini dikenal dengan transference dan counter-transference. Rasa curiga, takut, malu, marah dan bersalah adalah reaksi-reaksi khas yang muncul, khususnya ketika diminta mengingat kembali rincian trauma mereka. Transference mengacu pada perasaan-perasaan yang dimiliki survivor pada pemeriksa terkait dengan pengalaman masa lampaunya yang secara langsung ditujukan pada kepribadian pemeriksa akibat pemahaman yang salah. Sedangkan counter-transference adalah respon emosional pemeriksa terhadap survivor penyiksaan. Ini juga dapat mempengaruhi pemeriksaan psikologis. Transference dan counter-transference saling bergantung dan berinteraksi satu sama lainnya.
Translated by ICMC Indonesia
265. Potensi dampak reaksi-reaksi transference terhadap proses wawancara menjadi jelas ketika wawancara atau pemeriksaan dirasa dapat memicu ingatan, pikiran dan perasaan-perasaan yang tidak diinginkan. Jadi walaupun seorang korban penyiksaan menyetujui dilakukannya pemeriksaan dengan harapan mendapat manfaat, penyingkapan semacam itu dapat mengulang pengalaman traumatik kembali. Ini dapat meliputi fenomena berikut. 266. Pertanyaan-pertanyaan dari orang yang melakukan pemeriksaan (pemeriksa) bisa dialami sebagai suatu penyingkapan paksa seperti interograsi. Pemeriksa bisa dicurigai memiliki motivasi sadis atau tidak senonoh. Orang yang diwawancarai dapat bertanya pada dirinya sendiri “Kenapa dia membuka setiap rincian pengalaman burukku? Dia pasti punya motivasi aneh.” Mungkin ada prasangkaprasangka terhadap pemeriksa karena mereka belum pernah ditangkap dan disiksa. Ini dapat mengarahkan subyek untuk berpikir bahwa pemeriksa ada di pihak musuh. 267. Seringkali pemeriksa dipersepsi sebagai pihak yang berkuasa sehingga tidak dapat dipercaya dengan bagianbagian tertentu dari cerita trauma subyek. Kemungkinan lain, khususnya pada kasus subyek yang masih dalam tahanan, subyek dapat terlalu mempercayai pewawancara padahal dia tidak bisa menjamin subyek tidak mendapat hukuman. Maka segala tindak pencegahan harus diambil untuk memastikan bahwa tahanan tidak menempatkan diri mereka dalam bahaya yang tidak perlu, seperti dengan lugu percaya pada “orang luar” untuk melindungi mereka. Korban penyiksaan mungkin takut bahwa informasi yang diberikan dalam pemeriksaan tidak dapat
103
disimpan dengan aman. Rasa takut dan curiga khususnya bisa lebih kuat jika dokter pemeriksa atau petugas kesehatan ikut terlibat dalam tindak penyiksaan. 268. Dalam banyak situasi wawancara, pemeriksa termasuk kelompok mayoritas dalam hal budaya dan etnik, dimana subyek termasuk kelompok minoritas budaya dan etnik. Dinamika ketidaksetaraan ini dapat memperkuat tidak imbangnya kekuasaan, baik yang dipersepsikan maupun kenyataan. Selain itu juga dapat meningkatkan kemungkinan timbulnya rasa takut, curiga dan kepatuhan yang terpaksa dari subyek. Dalam beberapa kasus, khususnya jika subyek masih dalam tahanan, dinamika ini mungkin lebih dirasakan pada penerjemah daripada pemeriksa. Maka idealnya, penerjemah juga adalah orang luar yang tidak dipekerjakan secara lokal dan independen seperti pemeriksa. 269. Jika pemeriksa dan pelaku berjenis kelamin sama, maka mungkin wawancara dapat dirasa mirip dengan situasi penyiksaan. Sebagai contoh, seorang perempuan yang diperkosa atau disiksa dalam penjara oleh penjaga berjenis kelamin pria cenderung mengalami distres, curiga dan takut jika dihadapkan dengan pemeriksa pria, beda jika ia dihadapkan dengan pemeriksa perempuan. Sebaliknya juga sama untuk pria yang mengalami penyerangan seksual. Mereka mungkin malu untuk menceritakan rincian penyiksaan ke pemeriksa perempuan. Berdasarkan pengalaman, khususnya dalam kasus dimana korban masih ditahan, pewawancara sebaiknya adalah seorang dokter sehingga korban lebih leluasa bertanya hal-hal yang khusus. Ini bisa dilakukan dalam di hampir seluruh masyarakat, kecuali yang benar-benar tradisional dimana seorang pria bahkan
Translated by ICMC Indonesia
tidak boleh mewawancarai apalagi perempuan. Korban-korban perkosaan diketahui jarang mengatakan apa pun pada pemeriksa perempuan non-medis. Mereka lebih baik bicara dengan dokter, walaupun pria, supaya dapat bertanya hal-hal medis. Pertanyaan umumnya berkisar pada kemungkinan mereka hamil, apakah nantinya bisa hamil dan tentang hubungan seksual dengan pasangan di masa depan. Jika pemeriksaan dilakukan untuk tujuan hukum, perhatian khusus pada cara bertanya yang rinci dengan mudah dapat dianggap sebagai sebagai tanda kecurigaan atau ragu dari pihak pemeriksa. 271. Reaksi-reaksi counter-transference seringkali tidak disadari dan karenanya bisa menjadi masalah. Mempunyai perasaan-perasaan tertentu ketika mendengar cerita penyiksaan seorang individu memang wajar, namun dapat mempengaruhi efektivitas si dokter pemeriksa. Namun jika reksi countertransference disadari dan dipahami, perasaan-perasaan tersebut dapat membimbing dokter pemeriksa. Kesadaran dan pemahaman reaksi counter-transference sangat penting karena dapat membatasi kemampuan dokter dan psikolog dalam melakukan pemeriksaan dan dokumentasi dampak fisik dan psikologis penyiksaan. Pendokumentasian yang efektif tentang penyiksaan dan bentuk-bentuk penganiayaan lainnya memerlukan adanya pemahaman tentang motivasi-motivasi pribadi bekerja dalam bidang ini. Ada kesepakatan bahwa para ahli yang melakukan pemeriksaan semacam ini secara kontinyu mendapat supervisi dan dukungan ahli dari kolega yang ahli di bidang ini. Reaksi-reaksi countertransference umum meliputi:
104
(i) Menghindar, menarik diri dan membela diri sebagai reaksi dihadapkan dengan cerita atau materi yang mengganggu. Ini dapat membuat mereka lupa beberapa rincian cerita dan meremehkan parahnya dampak fisik atau psikologisnya; (ii) Kecewa, merasa tidak berdaya, tanpa harapan dan terlalu melekatkan dirinya dengan cerita individu dapat mengarah pada gejala-gejala depresi atau trauma seolah dialami sendiri, seperti mengalami mimpi buruk, cemas dan takut; (iii) Merasa sangat berkuasa dan hebat, seakan menjadi “penyelamat”, paling ahli di bidang trauma atau merasa dirinya adalah harapan terakhir untuk pemulihan dan kesejahteraan survivor; (iv) Gelisah terhadap ketrampilan ahlinya sendiri ketika menghadapi laporan yang berat tentang penderitaan seseorang. Ini bisa berwujud kurangnya rasa percaya diri dan keterpakuan yang tidak realistis pada norma-norma kedokteran; (v) Merasa bersalah karena tidak mengalami sendiri penderitaan survivor atau karena sadar bahwa ada hal yang tidak dilakukan dalam tingkat politik sehingga mengarah pada pendekatan-pendekatan yang terlalu sentimentil atau tidak realistis; (vi) Rasa marah terhadap pelaku penyiksaan dan hukuman memang wajar, tapi dapat mengurangi
Translated by ICMC Indonesia
kemampuannya untuk obyektif akibat didorong oleh pengalamanpengalaman pribadi yang tidak disadarinya; (vii) Rasa marah dan jijik terhadap korban dapat muncul akibat tingkat kecemasan yang tidak biasa. Ini juga bisa dihasilkan oleh perasaan dimanfaatkan oleh korban ketika dokter pemeriksa meragukan kebenaran cerita korban yang dapat menguntungkan korban; (viii) Perbedaan-perbedaan yang berarti tentang sistem nilai budaya antara pemeriksa dengan korban penyiksaan dapat termasuk keyakinan individu terhadap mitosmitos budaya tertentu, sikap merendahkan atau meremehkan kemampuan individu untuk memperoleh pencerahan masalahnya sendiri. Sebaliknya, pemeriksa yang berasal dari kelompok budaya yang sama dengan korban dapat membentuk semacam “persekutuan” tak terucap dengan korban yang juga dapat mempengaruhi obyektifitas pemeriksaan; 272. Kebanyakan peneliti setuju bahwa reaksi-reaksi counter-transference bukan sekedar contoh distorsi, melainkan sumber informasi penting tentang keadaan psikologis korban. Efektivitas pemeriksa dapat berbahaya jika dia bertindak atas counter-transference dan bukan atas refleksi. Maka dari itu, pemeriksa disarankan untuk apa dia mengalami counter-transference dan mendapat supervisi serta konsultasi dengan kolega, jika memungkinkan.
105
273. Beberapa keadaan dapat membuat wawancara dilakukan oleh seorang pemeriksa dari kelompok budaya atau bahasa yang berbeda dengan survivor. Dalam kasus seperti itu ada dua pendekatan yang dapat dilakukan, masingmasing dengan kerugian dan keuntungannya masing-masing. Pewawancara dapat menggunakan penerjemah per kata (lihat bab IV.I.). Selain itu, pewawancara dapat menggunakan pendekatan bicultural untuk wawancara. Pendekatan ini menggunakan tim wawancara yang beranggotakan pemeriksa dan seorang penerjemah, yang bertugas menafsirkan bahasa serta memudahkan pemahaman tentang makna budaya yang terkait dengan kejadian, pengalaman, gejala-gejala dan idiom. Seorang penerjemah ahli dapat menjelaskan dan menunjukkan masalahmasalah yang berhubungan dengan faktorfaktor budaya, sosial dan agama. Jika pewawancara hanya mengandalkan terjemahan per kata, maka akan sulit mendapat pemahaman mendalam tentang informasi. Namun sangat penting supaya penerjemah tidak mempengaruhi jawabanjawaban korban penyiksaan pada pewawancara. Jika tidak menggunakan terjemahan per kata, maka pemeriksa harus yakin bahwa jawaban orang yang diwawancara adalah yang sebenarnya, tanpa penambahan dan pengurangan dari penerjemah. Apapun pendekatan yang digunakan, identitas penerjemah berikut dengan afiliasi budaya, etnik serta politiknya menjadi bahan pertimbangan dalam memilih penerjemah. Korban harus percaya bahwa penerjemah benar-benar memahami apa yang dibicarakannya dan menyampaikannya secara tepat pada pemeriksa sebagai penyelidik. Penerjemah sama sekali tidak boleh dari kalangan penegak hukum atau pegawai pemerintah. Anggota keluarga juga sebaiknya tidak
Translated by ICMC Indonesia
digunakan sebagai penerjemah guna menghormati rahasia pribadi korban. Tim pemeriksa harus memilih seorang penerjemah yang independen. 3. Komponen-komponen pemeriksaan psikologis / psikiatrik 274. Bagian pendahuluan harus menyebutkan sumber-sumber referensi (acuan), sumber-sumber yang mendukung (seperti catatan riwayat medis, hukum dan psikiatrik) serta gambaran metode-metode yang digunakan (wawancara, inventaris gejala, daftar pertanyaan dan tes neuropsikologis). (a) Riwayat penyiksaan dan penganiayaan 275. Segala upaya harus dikerahkan untuk pendokumentasian riwayat penyiksaan, hukuman dan pengalaman traumatik relevan lainnya (lihat bab IV.E.). Bagian dari pemeriksaan ini seringkali membuat lelah orang yang sedang diperiksa. Maka, wawancara sebaiknya dilakukan dalam beberapa sesi. Wawancara sebaiknya dimulai dengan ringkasan umum mengenai kejadian sebelum memperoleh rincian dari pengalaman tindak penyiksaan. Pewawancara perlu mengetahui persoalan hukum yang dihadapinya karena dapat menentukan sifat dasar serta jumlah informasi yang dibutuhkan untuk pendokumentasian fakta-fakta. (b) Keluhan-keluhan ini
psikologis saat
276. Penilaian tentang fungsi-fungsi psikologis yang dirasakan terkini merupakan inti dari seluruh pemeriksaan. Sebagaimana korban perkosaan dan tahanan perang menunjukkan 80 – 90% kemungkinan muncul diagnosa PTSD
106
sepanjang hidupnya, maka pertanyaan tentang 3 kategori DSM-IV tentang PTSD (mengalami kembali kejadian traumatik, mati rasa atau menghindari pemberian respon, termasuk lupa ingatan dan mudah terkejut)112 113, kognitif (pikiran) dan perilaku serta frekuensi (seberapa sering) harus digambarkan secara rinci, sebagai contoh: mimpi buruk, halusinasi dan respon kaget. Ketiadaan gejala dapat disebabkan oleh masa interval atau sifat tunda PTSD atau penyangkalan gejalagejala karena malu. (c) Riwayat pasca penyiksaan 277. Komponen pemeriksaan psikologis ini mencari informasi tentang kondisi hidup individu saat ini. Penting untuk bertanya tentang sumber-sumber stres saat ini, seperti perpisahan atau kehilangan orang yang dicintai, pelarian dari negara asal dan hidup dalam pembuangan. Pewawancara juga sebaiknya bertanya tentang kemampuan individu untuk produktif, bekerja, merawat keluarganya dan ketersediaan dukungan sosial. (d) Riwayat pra-penyiksaan 278. Jika relevan, gambarkan keadaan masa kecil, remaja, dewasa awal, latar belakang keluarga, riwayat penyakit keluarga dan komposisi keluarga. Sebaiknya juga digambarkan tentang latar belakang pendidikan dan pekerjaan korban. Gambarkan riwayat trauma B.O. Rothbaum et al. “A prospective examination of post-traumatic stress disorder rape victims”, Journal of Traumatic Stress (5 1992:455-457). 113 P.B. Sutker, D.K. Winstead, Z.H. Galina, “Cognitive deficits and psycho-pathology among former prisoners of war and combat veterans of the Korean conflict”, American Journal of Psychiatry (148 1991:62-72). 112
Translated by ICMC Indonesia
lampau, seperti perlakuan sewenangwenang saat masih kecil, trauma perang atau kekerasan dalam rumah tangga, dan juga latar belakang budaya dan agama korban. 279. Gambaran riwayat sebelum trauma penting untuk menilai status kesehatan mental dan tingkat fungsi psikososial korban penyiksaan sebelum kejadian traumatik. Dengan begitu ada perbandingan status kesehatan mental korban saat ini dengan sebelum penyiksaan terjadi. Dalam informasi latar belakang korban, pewawancara harus selalu ingat bahwa lamanya dan parahnya reaksi trauma dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktornya antara lain; kondisikondisi dari penyiksaan, bagaimana korban memahami dan menafsirkan tindak penyiksaan, konteks sosial sebelum, selama dan setelah penyiksaan, sumbersumber komunitas dan teman sebaya serta nilai dan sikapnya tentang pengalaman traumatik, kerentanan genetis dan biologis, fase perkembangan dan usia korban, riwayat trauma sebelumnya dan kepribadian korban saat ini. Dalam kebanyakan situasi wawancara, mungkin sulit untuk mendapat seluruh informasi ini karena keterbatasan waktu atau masalah lainnya. Meski demikian, informasi atau data yang cukup mengenai kesehatan mental dan fungsi psikologis individu sebelum tindak penyiksaan harus diperoleh guna mendapat gambaran tentang bagaimana tindak penyiksaan telah menyumbang terhadap masalahmasalah psikologis. (e) Riwayat medis 280. Riwayat medis merangkum kondisi kesehatan sebelum trauma, kondisi kesehatan saat ini, sakit pada tubuh, keluhan-keluhan somatik, penggunaan
107
obat dan efek sampingnya, riwayat seksual yang relevan, prosedur operasi yang pernah dijalani serta data medis lainnya (lihat bab V.B.). (f) Riwayat psikiatrik 281. Suatu penyelidikan harus dibuat tentang riwayat gangguan-gangguan mental atau psikologis, sifat dasar masalahnya dan apakah pernah mendapat perawatan atau dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Penyelidikan juga harus mencakup penggunaan obat psikotropika untuk tujuan penyembuhan. (g) Riwayat penggunaan penyalahgunaan zat
dan
282. Pemeriksa harus menyelidiki penggunaan zat sebelum dan sesudah tindak penyiksaan, perubahan dalam pola penggunaan dan apakah zat digunakan untuk menghadapi sulit tidur atau masalah-masalah psikologis / psikiatrik. Zat-zat ini tidak terbatas pada alkohol, ganja dan opium tapi juga zat-zat lokal yang dapat disalahgunakan seperti buah pinang, dll. (h) Pemeriksaan status mental 283. Pemeriksaan status mental dimulai sejak pemeriksa bertemu subyek pertama kalinya. Pewawancara harus mencatat tentang penampilan subyek, seperti tandatanda kekurangan gizi, kurangnya kebersihan, berubahnya aktivitas motorik selama wawancara, penggunaan bahasa, ada tidaknya kontak mata, hubungan dengan pewawancara dan cara-cara yang digunakan individu untuk menciptakan komunikasi. Komponen-komponen berikut harus tercakup, dan seluruh aspek dari pemeriksaan status mental harus dimasukkan dalam laporan pemeriksaan
Translated by ICMC Indonesia
psikologis; seperti aspek penampilan umum, isi pikiran, proses berpikir, pikiran-pikiran bunuh diri atau membunuh dan suatu pemeriksaan kognitif (orientasi, ingatan jangka panjang, menengah dan pendek). (i) Penilaian tentang fungsi sosial 284. Trauma dan penyiksaan dapat mempengaruhi kemampuan berfungsi seseorang secara langsung maupun tidak langsung. Penyiksaan juga dapat secara tidak langsung menyebabkan hilangnya fungsi serta menyebabkan kecacatan, jika dampak psikologisnya merusak kemampuan individu untuk merawat dirinya sendiri, mencari pekerjaan, menghidupi keluarga dan kemampuan belajar. Pemeriksa harus menyelidiki tingkat berfungsi individu saat ini dengan bertanya tentang kegiatan sehari-hari, peran sosial (seperti ibu rumah tangga, pelajar, karyawan), aktivitas sosial dan rekreasional serta persepsi tentang keadaan kesehatannya. Pewawancara harus minta individu untuk menilai kondisi kesehatannya sendiri, untuk menyatakan ada atau tidaknya kelelahan kronis dan untuk melaporkan perubahanperubahan yang mungkin terjadi dalam keberfungsian secara menyeluruh. (j) Tes psikologis dan pengunaan daftar pertanyaan. 285. Hanya sedikit data yang telah diterbitkan mengenai penggunaan tes psikologis (tes proyektif dan tes kepribadian yang efektif) dalam penilaian survivor penyiksaan. Selain itu, tes-tes psikologis tentang kepribadian kurang memiliki validitas (keabsahan) lintas budaya. Kombinasi faktor-faktor ini kemudian sangat membatasi kegunaan tes psikologis dalam melakukan pemeriksaan
108
korban penyiksaan. Meski demikian, tes neuropsikologis dapat membantu menilai kasus-kasus kerusakan otak akibat penyiksaan (lihat bagian C.4. dibawah ini). Seorang survivor penyiksaan mungkin sulit mengungkapkan pengalaman serta gejala-gejala yang dialaminya dengan kata-kata. Dalam beberapa kasus, penggunaan daftar penyiksaan atau checklist gejala-gejala dan kejadian trauma mungkin dapat membantu. Jika pewawancara yakin teknik tersebut dapat membantu, ada banyak daftar pertanyaan yang tersedia, walaupun tidak ada yang khusus mengenai korban penyiksaan.
pengasingan, hilangnya anggota keluarga dan peran sosial)? Bagaimana dampak masalahmasalah ini pada individu? (v) Kondisi-kondisi mana yang dapat menyumbang pada gambaran klinis individu? Perhatikan secara khusus luka kepala akibat penyiksaan atau hukuman; (vi) Apakah gambaran klinis menunjukkan terjadi tuntutan palsu tentang penyiksaan?
(iii) Karena gangguan mental yang berhubungan dengan trauma cenderung naik turun sepanjang waktu, apa kerangka waktu yang terkait dengan kejadian-kejadian tindak penyiksaan? Dalam tahap pemulihan manakah individu saat ini?
287. Pemeriksa harus berkomentar tentang temuan-temuan psikologis yang konsisten dan sejauh mana temuantemuan ini berkorelasi dengan dugaan kekerasan. Keadaan emosional dan ekspresi individu selama wawancara, gejala-gejala yang dialami, riwayat hukuman dan penyiksaan serta riwayat pribadi sebelum penyiksaan terjadi harus digambarkan. Faktor-faktor yang harus dicatat adalah seperti awal mula gejalagejala tertentu yang terkait dengan trauma, temuan psikologis khusus dan pola-pola fungsi psikologis. Faktor-faktor tambahan yang harus dipertimbangkan adalah seperti migrasi paksa, transmigrasi, kesulitan menyesuaikan diri, masalah bahasa, pengangguran, kehilangan rumah, keluarga dan stastus sosial. Hubungan dan konsistensi antara kejadian-kejadian dan gejala-gejala harus diperiksa dan digambarkan. Kondisi-kondisi fisik, seperti trauma pada kepala atau luka otak, mungkin butuh pemeriksaan lebih lanjut. Selain itu dapat disarankan pemeriksaan neurologis atau neuropsikologis lanjutan.
(iv) Apakah ada penyebab-penyebab stres lain yang masih membebani individu (seperti hukuman yang masih berlangsun, migrasi paksa,
288. Jika tingkatan gejala-gejala yang dialami survivor konsisten atau sesuai dengan diagnosis psikiatrik DSM-IV atau ICD-10, maka diagnosis harus dibuat.
(k) Gambaran klinis 286. Dalam menyusun gambaran klinis untuk tujuan laporan bukti psikologis penyiksaan, hal-hal berikut penting untuk ditanyakan: (i) Apakah temuan-temuan psikologis konsisten dengan laporan dugaan penyiksaan? (ii) Apakah temuan-temuan psikologis merupakan reaksi wajar terhadap tekanan yang ekstrim dalam konteks sosial budaya individu?
Translated by ICMC Indonesia
109
Namun, harus ditekankan lagi bahwa walaupun suatu diagnosis gangguan mental terkait dengan trauma mendukung dugaan tindak penyiksaan tapi tidak masuk kriteria diagnosis psikiatrik, bukan berarti tindak penyiksaan tidak terjadi. Seorang survivor penyiksaan mungkin tidak memiliki seluruh tingkatan gejala sesuai kriteria DSM-IV atau ICD-10. Dalam kasus-kasus seperti ini, gejalagejala dan cerita penyiksaan yang dinyatakan individu tetap harus dilihat sebagai suatu kesatuan. Derajat konsistensi antara cerita penyiksaan dan gejala-gejala yang dilaporkan individu harus diperiksa dan digambarkan dalam laporan. 289. Perlu diketahui bahwa beberapa orang membuat pernyataan palsu tentang penyiksaan untuk berbagai alasan. Beberapa orang lainnya dapat melebihlebihkan pengalaman yang cenderung kecil untuk alasan pribadi maupun politik. Pemeriksa harus selalu sadar akan kemungkinan tersebut dan mencoba mengenali alasan untuk melebih-lebihkan atau memalsukan cerita. Pemeriksa harus ingat bahwa pemalsuan semacam itu membutuhkan pengetahuan yang dalam tentang gejala-gejala yang berhubungan dengan trauma, yang jarang dimiliki individu. Kesaksian yang tidak konsisten dapat muncul untuk beberapa alasan valid, seperti kerusakan ingatan akibat luka otak, bingung, disosiasi, perbedaan budaya dalam persepsi tentang waktu atau pemisahan dan penekanan terhadap ingatan-ingatan traumatik. Pendokumentasian yang efektif tentang bukti psikologis tindak penyiksaan butuh pemeriksa yang mampu memeriksa halhal yang konsisten dan tidak konsisten dalam laporan. Jika pewawancara curiga terjadi pemalsuan, maka harus dijadwalkan wawancara tambahan. Jika
Translated by ICMC Indonesia
tetap ada kecurigaan pemalsuan, maka pemeriksa harus merujuk individu ke pemeriksa lain untuk meminta pendapat kedua. Kecurigaan tentang pemalsuan harus didokumentasikan dengan dua pendapat ahli. (l) Saran-saran 290. Saran-saran yang dihasilkan dari pemeriksaan psikologis tergantung pada pertanyaan yang diberikan saat pemeriksaan. Hal-hal yang dapat dipersoalkan meliputi masalah hukum dan pengadilan, suaka, transmigrasi atau kebutuhan mendapat perawatan. Saransaran dapat diberikan untuk merujuk ke pengkajian lanjutan, seperti tes neuropsikolog, perawatan medis atau psikiatrik, atau kebutuhan rasa aman atau suaka. 4. Penilaian neuropsikologis 291. Neuropsikologi klinis adalah ilmu terapan yang mempelajari tingkah laku akibat terjadi disfungsi otak. Secara khusus, penilaian neuropsikologi berkenaan dengan perhitungan dan klasifikasi gangguan perilaku akibat kerusakan otak secara organik. Ilmu ini sudah sejak lama dikenal berguna untuk membedakan kondisi-kondisi neurologis dengan kondisi psikologis seseorang, dan memberi pedoman dalam perawatan serta rehabilitasi pasien yang menderita dampak-dampak berbagai tingkatan kerusakan otak. Pemeriksaan neuropsikologis jarang dilakukan pada survivor penyiksaan, dan hingga kini belum ada penelitian neuropsikologis khusus tentang survivor penyiksaan. Maka dari itu, beberapa catatan di bawah ini terbatas pada diskusi mengenai prinsipprinsip umum yang dapat membantu ahli kesehatan dalam memahami kegunaan
110
dari, dan indikasi untuk, penilaian neuropsikologis pada korban yang diduga mengalami penyiksaan. Sebelum membahas masalah tentang kegunaan dan indikasi, adalah penting untuk mengenali batasan-batasan penilaian neuropsikologis dalam suatu populasi. a. Batasan-batasan dalam penilaian neuropsikologis 292. Ada sejumlah faktor umum yang menyulitkan penilaian (assessment) pada korban penyiksaan, dan telah dijelaskan pada bagian lain dalam manual ini. Faktor-faktor ini juga berlaku untuk penilaian neuropsikologis, sama halnya pada pemeriksaan medis dan psikologis. Keterbatasan penilaian neuropsikologis dapat disebabkan karena beberapa faktor tambahan, meliputi kurangnya penelitian terhadap survivor penyiksaan, adanya kepercayaan pada norma populasi (population-based norms), perbedaan budaya dan bahasa, serta kemungkinan trauma berulang pada mereka yang pernah mengalami penyiksaan. 293. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, hanya sedikit informasi yang tersedia tentang penilaian neuropsikologis pada korban penyiksaan. Kepustakaan yang ada lebih mengacu pada berbagai jenis trauma kepala dan penilaian neuropsikologis pada post-traumatic stress disorder secara umum. Maka dari itu, diskusi serta penafsiran lebih lanjut dari penilaian neuropsikologis di bawah ini hanya berupa penerapan prinsipprinsip umum yang digunakan pada subyek populasi lainnya.
aktuarial (penaksiran). Ciri khas pendekatan ini meliputi perbandingan antara hasil-hasil perangkat tes yang terstandardisasi berdasarkan norma populasi. Walaupun penafsiran penilaian neuropsikologis berdasarkan norma, pendekatan lain seperti Lurian (analisis kualitatif) juga dapat digunakan sebagai tambahan terutama jika ada tuntutan dari situasi klinis.114 115 Lebih lanjut lagi, derajat kepercayaan yang paling baik terhadap nilai tes adalah ketika tingkat gangguan otak berada pada ringan ke sedang, dibandingkan dengan yang berat, atau ketika kekurangan (defisit) neuropsikologis dianggap sekunder sebagai hasil gangguan psikiatrik. 295. Perbedaan budaya dan bahasa dapat secara signifikan membatasi kegunaan serta pemakaian penilaian neuropsikologis pada korban dugaan tindak penyiksaan. Validitas (keabsahan) penilaian neuropsikologis akan dipertanyakan, ketika tidak ada terjemahan standar dari tes tersebut dan pemeriksa klinis tidak memahami bahasa subyek. Tanpa adanya terjemahan tes yang terstandardisasi dan kefasihan pemeriksa menggunakan bahasa subyek, tes verbal tidak bisa dilakukan dan tidak akan memiliki penafsiran yang berarti. Ini berarti hanya tes non-verbal yang bisa digunakan dan tidak termasuk perbandingan antara kemampuan verbal dan non-verbal. Sebagai tambahan, analisis mengenai lokasi terjadinya kekurangan (defisit) menjadi lebih sulit. Analisis ini seringkali berguna, namun karena organisasi otak yang asimetris, A.R. Luria and L.V. Majovski, “Basic approaches used in American and Soviet clinical neuropsychology”, American Psychologist (32(11) 1977:959-968). 115 R.J. Ivnik, “Overstatement of differences”, American Psychologists (33(8) 1978:766-767). 114
294. Penilaian neuropsikologis sebagaimana berkembang dan dipraktekkan di negara-negara barat sangat mengandalkan pendekatan
Translated by ICMC Indonesia
111
dengan otak kiri yang umumnya dominan untuk fungsi bicara. Jika norma populasi tidak tersedia untuk kelompok budaya dan bahasa si subyek, maka validitas penilaian neuropsikologis patut dipertanyakan. Perkiraan IQ adalah batasan utama yang memperbolehkan pemeriksa menempatkan nilai tes neuropsikologis pada sudut pandang yang tepat. Contohnya pada masyarakat Amerika, perkiraan-perkiraan ini seringkali didapat dari sub-bagian verbal menggunakan skala Weschler, terutama sub-skala informasi. Ini karena walaupun terdapat kerusakan organik otak, pengetahuan faktual yang diperoleh cenderung tidak mengalami kerusakan dibanding menggunakan tes lainnya, dan akan lebih mencerminkan kemampuan belajar masa lampau. Pengukuran juga bisa berdasarkan pada riwayat pendidikan dan pengalaman kerja serta data demografis. Sehingga jelas, dua pertimbangan ini tidak dapat diterapkan untuk subyek yang belum dibuat norma populasinya. Maka dari itu, yang dapat dibuat hanyalah perkiraan kasar mengenai fungsi intelektual sebelum mengalami trauma. Hasilnya, kerusakan syaraf dalam tingkatan selain berat atau sedang akan sulit untuk ditafsirkan. 296. Penilaian neuropsikologis dapat mengakibatkan trauma berulang pada individu yang pernah mengalami penyiksaan. Segala tindak pencegahan harus diambil untuk memperkecil kemungkinan berulangnya trauma selama prosedur pemeriksaan (lihat bab IV). Satu contoh khusus penggunaan tes neuropsikologis, dapat berpotensi sangat buruk jika dimulai dengan administrasi standar dari tes Halstead-Reitan Battery, yang secara khusus menggunakan Tactual Performance Test (TPT), dimana subyek dipakaikan penutup mata. Bagi kebanyakan korban penyiksaan yang
Translated by ICMC Indonesia
pernah punya pengalaman ditutup matanya selama ditahan atau pun mereka yang bahkan tidak ditutup matanya, akan menjadi pengalaman yang sangat traumatik untuk merasakan keadaan tidak berdaya seperti ini. Bahkan semua bentuk tes neuropsikologis dapat bermasalah, terlepas dari alat yang digunakan. Keadaan diamati, pengukuran waktu menggunakan stopwatch dan, diminta untuk mengerahkan usaha maksimal terhadap tugas yang tidak familier, dan diminta untuk ”tampil” dan bukannya berdialog, dapat sangat menekan atau mengingatkan pada pengalaman penyiksaan. b. Indikasi dari pengukuran neuropsikologis 297. Dalam menaksir kekurangan (defisit) perilaku korban dugaan tindak penyiksaan, terdapat dua indikasi utama penilaian neuropsikologis: kerusakan otak dan post-traumatic stress disorder ditambah dengan diagnosa lain yang terkait. Walaupun beberapa aspek dari kedua kondisi di atas sering terjadi berbarengan, hanya kerusakan otak yang merupakan penerapan tradisional dan umum dari neuropsikologi klinis. Sedangkan tentang PTSD, belum ada penelitian yang memadai dan sedikit bermasalah. 298. Beberapa jenis trauma kepala dan gangguan metabolisme yang ditimbulkan selama masa hukuman, tahanan dan penyiksaan dapat mengakibatkan luka pada otak dan kerusakan otak. Ini meliputi luka tembakan, efek kerracunan, malnutrisi akibat dibiarkan kelaparan atau dipaksa makan/minum zat berbahaya, efek hypoxia atau anoxia akibat asphyxiation (kekurangan oksigen) atau hampir tenggelam, dan yang paling sering terjadi
112
adalah akibat pukulan di kepala. Pukulan di kepala seringkali didapatkan selama masa tahanan dan penyiksaan. Sebagai contoh, dalam satu sampel survivor penyiksaan, pukulan di kepala menempati urutan kedua dari bentuk penyiksaan fisik yang dilaporkan (45%) setelah pukulan pada tubuh (58%).116 Korban penyiksaan memiliki kemungkinan yang tinggi untuk mengalami kerusakan otak. 299. Luka kepala tertutup yang mengakibatkan kerusakan jangka panjang dalam tingkat ringan sampai sedang mungkin adalah penyebab paling umum dari abnormalitas neuropsikologis. Meskipun tanda-tanda luka bisa termasuk bekas luka pada kepala, luka di otak biasanya tidak bisa dideteksi dengan diagnostik imaging pada otak. Kerusakan otak pada tingkat ringan dan sedang sering diabaikan atau diremehkan oleh ahli kesehatan mental karena gejala-gejala depresi dan PTSD cenderung lebih menonjol pada gambaran klinisnya. sehingga tidak banyak perhatian diberikan untuk melihat potensi terjadinya kerusakan otak. Masalah ynag sering dikeluhkan survivor meliputi kesulitan dengan perhatian, konsentrasi dan ingatan jangka pendek, yang bisa menjadi akibat kerusakan otak ataupun PTSD. Karena keluhan-keluhan ini umum terjadi pada survivor yang menderita PTSD, pertanyaan tentang apakah ini diakibatkan luka pada kepala pun mungkin tidak ditanya.. 300. Pada awal pemeriksaan, pembuat diagnosa harus mengandalkan laporan riwayat trauma kepala dan rangkaian 116
H.C. Traue, G. Schwarz, N.F. Gurris, “Extremtraumatisierung durch Folter. Die psychotheraeutische Arbeit der Behandlungszentren für Folteropfer”, Verhaltenstherapie und Verhaltensmedizin (1 1997:41-62).
Translated by ICMC Indonesia
gejala. Sama halnya dengan kasus subyek dengan luka otak, informasi pihak ketiga, khususnya keluarga dekat, terbukti dapat membantu. Perlu diingat bahwa subyek dengan luka otak sangat sulit mengucapkan atau bahkan mengakui batasan-batasannya, karena bisa dikatakan mereka berada “di dalam” masalahnya. Dalam mengumpulkan kesan-kesan awal untuk melihat perbedaan antara kerusakan otak organik dan PTSD, maka penilaian mengenai kronis tidaknya gejala menjadi langkah awal yang sangat membantu. Jika gejala kurang perhatian, konsentrasi dan ingatan bersifat tidak stabil seiring waktu serta bervariasi dengan tingkat kecemasan dan depresi, ini cenderung diakibatkan PTSD. Di sisi lain, jika kerusakan bersifat kronis dan stabil serta dikonfirmasi oleh anggota keluarga, maka bisa jadi akibat kerusakan otak, bahkan jika pada awalnya riwayat trauma kepala yang jelas belum ada. 301. Ketika sudah ada dugaan kerusakan otak organik, langkah pertama yang bisa dilakukan oleh ahli kesehatan mental adalah merujuk pada dokter untuk pemeriksaan neurologis (syaraf) lanjutan. Tergantung pada temuan awalnya, dokter dapat berkonsultasi pada ahli syaraf (neurolog) atau melakukan tes diagnostik. Pemeriksaan medis yang menyeluruh, konsultasi neurologis khusus dan pemeriksaan neuropsikologis bisa menjadi kemungkinan-kemungkinan yang patut dipertimbangkan. Indikasi menggunakan prosedur pemeriksaan neuropsikologis adalah jika kurang terdapat gangguan neurologis kotor, gejala-gejala yang dilaporkan bersifat kognitif atau ketika harus dibuat perbedaan diagnosis antara kerusakan otak dan PTSD. 302. Pemilihan tes-tes neuropsikologis dan prosedurnya harus mengacu pada
113
batasan-batasan yang telah disebutkan diatas, sehingga tidak bisa mengikuti format battery yang standar, sebaliknya harus lebih spesifik sesuai kasus dan peka terhadap karakteristik individual. Fleksibilitas yang diperlukan dalam pemilihan tes dan prosedur tertentu menuntut adanya pengalaman, pengetahuan dan sifat berhati-hati dari pemeriksa. Seperti yang telah disebutkan diatas, cakupan alat yang dipakai seringkali terbatas pada tes-tes non-verbal dan karakteristik psikometri dari seluruh tes terstandardisasi akan cenderung mengalami kesulitan jika norma populasi tidak bisa diterapkan pada subyek. Tidak adanya pengukuran verbal mencerminkan keterbatasan yang sangat serius. Banyak area dari fungsi kognitif dimediasi oleh bahasa, dan perbandingan sistematis antara beragam pengukuran verbal dan non-verbal, yang biasanya digunakan untuk menyimpulkan penyebab dari defisit.
hampir seluruh pengukuran non-verbal. Hasil ini menunjukkan perlunya kewaspadaan ketika menggunakan pengukuran verbal dan non-verbal untuk menilai individu yang tidak bisa berbahasa Inggris dengan menggunakan alat tes yang disiapkan untuk subyek yang berbahasa Inggris. 304. Pemilihan alat tes dan prosedur dalam penilaian neuropsikologis pada korban dugaan tindak penyiksaan harus dilakukan oleh dokter yang memeriksa, yang harus memilih sesuai dengan tuntutan serta kemungkinan dari situasi tersebut. Tes neuropsikologis tidak dapat digunakan secara benar tanpa adanya pelatihan yang intensif serta pengetahuan akan hubungan perilaku dan otak. Daftar tes dan prosedur neuropsikologis yang lengkap serta penggunaannya yang tepat dapat ditemukan dalam referensi standar.118 (c). Post-traumatic stress disorder
303. Yang menjadi masalah lebih lanjut adalah adanya bukti perbedaan signifikan antar kelompok yang ditemukan dalam performa tes non-verbal antar budaya yang berhubungan dekat. Sebagai contoh, sebuah penelitian membandingkan performa dari sampel yang dipilih secara acak dan berbasis komunitas terdiri dari, 118 orang tua berbahasa Inggris dan 118 orang tua berbahasa Spanyol.117 Sampel dipilih secara acak dan dicocokan secara demografi. Meskipun skor pada pengukuran verbal serupa, subyek yang berbahasa Spanyol mendapat skor yang secara signifikan lebih rendah pada 117
D.M. Jacobs and others, “Cross-cultural neuropsychological assessment: a comparison of randomly selected, demographically matched cohorts of English and Spanish-speaking older adults”, Journal of Clinical and Experimental Neuropsychology (19(3) 1997:331-339).
Translated by ICMC Indonesia
305. Pertimbangan-pertimbangan diatas seharusnya memperjelas bahwa kita harus sangat berhati-hati dalam menggunakan penilaian neuropsikologis kerusakan otak pada korban dugaan tindak kekerasan. Lebih lagi jika kita ingin menggunakan penilaian neuropsikologis dalam pendokumentasian PTSD pada korban dugaan tindak penyiksaan. Bahkan jika subyek PTSD tersebut sudah berdasarkan norma populasi, masih terdapat beberapa kesulitan yang harus dipertimbangkan. PTSD adalah gangguan psikiatri dan pada awalnya bukan menjadi fokus penilaian neuropsikologis. Lebih lanjut lagi, PTSD tidak bisa mengikuti paradigma klasik dari analisis luka-luka pada otak yang bisa 118
O. Spreen and E. Strauss, A Compendium of Neuropsychological Tests (New York, Oxford University Press).
114
dikenali dan dikonfirmasi dengan teknik medis. Dengan meningkatnya penekanan serta pemahaman pada hubungan mekanisme biologis umum dengan gangguan psikiatri, maka paradigma neuropsikologi lebih sering disebut. Namun, seperti yang telah disebut sebelumnya “...hingga kini masih terhitung sedikit tulisan mengenai PTSD dari sudut pandang neuropsikologi” 119 306. Sampel yang digunakan untuk studi pengukuran neuropsikologis pada posttraumatic stres sangat bervariasi. Hal ini dapat menjelaskan mengapa ada variasi masalah-masalah kognitif yang dilaporkan dari studi tersebut. Ditunjukkan bahwa “hasil pengamatan klinis menyebutkan bahwa gejala-gejala PTSD paling menunjukkan terjadinya keluhan domain neurokognisi secara bersamaan dari perhatian, ingatan dan fungsi-fungsi eksekutif.” Ini sesuai dengan keluhan yang sering didengar dari survivor penyiksaan. Keluhan mereka meliputi kesulitan dalam konsentrasi dan merasa tidak bisa menyimpan informasi serta untuk terlibat dalam aktivitas yang terencana dan untuk mencapai suatu gol tertentu.
kontrol gangguan psikiatrik serupa.120 121 Dengan kata lain, defisit neurokognisi pada tes-tes performa cenderung terlihat pada kasus PTSD, tetapi tidak cukup untuk membuat diagnosa PTSD. Sama halnya dengan penilaian (assessment) lainnya, tafsiran dari hasil-hasil tes harus dilihat sebagai suatu kesatuan dengan konteks yang lebih luas dari informasi wawancara dan kemungkinan tes kepribadian. Jika dilihat seperti itu, maka metode-metode penilaian neuropsikologis tertentu dapat memberi kontribusi dalam pendokumentasian PTSD, sebagaimana nantinya untuk gangguan-gangguan psikiatrik lain yang berhubungan dengan defisit neurokognisi. 308. Terlepas dari batasan-batasan yang signifikan, penilaian neuropsikologis dapat berguna untuk memeriksa individu yang diduga memiliki kerusakan otak dan dalam membedakan kerusakan otak dengan PTSD. Penilaian neuropsikologis juga dapat digunakan untuk mengevaluasi gejala-gejala tertentu, seperti masalah dengan ingatan yang terjadi dalam PTSD dan gangguan terkait lainnya. 5. Anak dan penyiksaan
307. Metode penilaian neuropsikologis nampaknya dapat mengidentifikasi adanya kekurangan (defisit) neurokognisi dalam PTSD, namun kekhususan dari defisit tersebut lebih sulit ditemukan. Beberapa penelitian telah mendokumentasikan adanya defisit pada subyek PTSD ketika dibandingkan dengan kelompok kontrol normal, tetapi gagal dalam membedakan subyek-subyek ini dengan kelompok
309. Penyiksaan bisa memiliki dampak pada seorang anak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dampak tersebut bisa terjadi akibat pengalaman anak tersebut disiksa atau ditahan, penyiksaan yang dialami orang tua atau anggota keluarga dekat atau menyaksikan tindak penyiksaan dan kekerasan. Ketika seorang 120
119
J.A. Knight, “Neuropsychological assessment in post-traumatic stress disorder”, Assesing Psychological Trauma and PTSD, J.P. Wilson and T.M. Keane, eds. (New York, Guilford, 1997).
Translated by ICMC Indonesia
J.E. Dalton, S.L. Pederson, J.J. Ryan, “Effects of post-traumatic stress disorder on neuropsychological test performance”, International Journal of Clinical Neuropsychology (11(3) 1989:121-124). 121 T. Gil et al., “Cognitive functioning in posttraumatic stress disorder”, Journal of Traumatic Stress (3(1) 1990:29-45).
115
individu dalam lingkungan si anak mengalami penyiksaan, maka anakpun tidak terhindar dari dampaknya. Sekalipun secara tidak langsung, tindak penyiksaan mempengaruhi seluruh anggota keluarga dan masyarakat korban tersebut. Pembahasan yang lengkap dan menyeluruh tentang dampak psikologis penyiksaan terhadap anak serta pedoman lengkap untuk melakukan pemeriksaan pada anak yang mengalami penyiksaan melampaui cakupan manual ini. Walaupun begitu beberapa informasi penting dapat diringkas. 310. Pertama, ketika melakukan pemeriksaan/evaluasi pada anak yang diduga mengalami atau menyaksikan tindak penyiksaan, pemeriksa harus memastikan bahwa si anak tersebut mendapat dukungan dari individu-individu yang perduli, serta memastikan si anak merasa aman selama pemeriksaan. Ini bisa berarti kehadiran orang tua atau wali yang terpercaya diperlukan selama pemeriksaan. Kedua, pemeriksa harus ingat bahwa anak-anak sering tidak bisa mengungkapkan pikiran dan emosi yang terkait dengan traumanya secara verbal, melainkan melalui perilakunya.122 Tingkatan dimana anak mampu berekspresi secara verbal mengenai pikiran dan perasaannya tergantung pada umur anak tersebut, tingkat perkembangan dan faktor lain, seperti dinamika keluarga, karakter kepribadian dan norma budaya.
anak cenderung dirasakan traumatik, sehingga harus dilakukan oleh dokter yang berpengalaman menafsirkan temuantemuannya. Penggunaan alat rekam video dapat dianggap pantas guna mendapat pendapat ahli lainnya mengenai temuan fisik, tanpa perlu mengulang pemeriksaan pada anak. Pemeriksaan genital dan anal yang menyeluruh tidak disarankan tanpa dilakukan pembiusan. Selanjutnya, dokter harus waspada bahwa prosedur pemeriksaan dapat mengingatkan anak terhadap penyerangan tersebut, sehingga anak bisa secara spontan berteriak atau mengalami ketidakseimbangan psikologis selama pemeriksaan. (a) Pertimbangan tingkat perkembangan 312. Reaksi anak terhadap penyiksaan tergantung pada usia, tingkat perkembangan, dan kemampuan kognitif. Semakin muda usia si anak, semakian banyak pula pengalaman dan pemahamannya terhadap kejadian traumatik dipengaruhi oleh reaksi langsung serta bagaimana sikap orangtua/ wali setelah kejadian.123 Untuk anak di bawah usia tiga tahun yang pernah mengalami atau menyaksikan penyiksaan, peran dari orangtua/wali dalam memberi perlindungan dan ketenangan hati 124 sangatlah penting. Reaksi-reaksi terhadap pengalaman traumatik yang biasa ditampilkan oleh anak yang berusia sangat 123
311. Jika seorang anak mengalami penyerangan fisik atau seksual, sangat penting jika dia bisa diperiksa oleh ahli dalam bidang kekerasan terhadap anak (child abuse). Pemeriksaan genital pada
Ottino S. Von Overbeck, “Families victimes de violences collectives et en exil: quelle urgence, quel modèle de soins? Le point de vue d’une pédopsychiatre”, La Revue Française de Psychiatrie et de Psychologie Médicale (14 1998:3539). 124
122
C. Schlar, “Evaluation and documentation of psychological evidence of torture”, unpublished paper, 1999.
Translated by ICMC Indonesia
M. Grappe, “La guerre en ex-Yougoslavie: un regard sur les enfants réfugiés”, Psychiatrie humanitaire en ex-Yougoslavie et en Arménie. Face au traumatisme, M.R. Moro and S. Lebovici, eds. (Paris, puf, 1995).
116
muda adalah hyperarousal, seperti keresahan/kegelisahan, gangguan tidur, lekas marah/terusik, keterkejutan yang meningkat dan penghindaran. Anak-anak diatas usia tiga tahun lebih cenderung menarik diri dan menolak untuk berbicara secara langsung tentang pengalaman traumatiknya. Kemampuan ekspresi verbal akan meningkat selama perkembangannya. Peningkatan yang jelas tampak pada tahap operasional konkrit (89 tahun), yaitu ketika anak mengembangkan kemampuan untuk menceritakan rentetan kejadian Pada tingkat ini pula akan berkembang tingkah laku operasional konkrit, ketrampilan temporal dan spasial (ruang).125 Ketrampilan ini masih lemah, dan biasanya baru pada permulaan tahap operasional formal (12 tahun) anak-anak dapat secara konsisten menyusun cerita yang terstruktur dan koheren. Masa remaja adalah periode perkembangan yang penuh pergolakan. Dampak penyiksaan dapat bervariasi, dan mengakibatkan perubahan yang sangat besar terhadap kepribadian seperti perilaku antisosial.126 Selain itu dampak penyiksaan pada masa remaja mirip seperti yang terjadi pada masa kanak-kanak. (b) Pertimbangan-pertimbangan klinis 313. Gejala PTSD dapat muncul pada masa kanak-kanak. Gejala tersebut dapat serupa seperti yang muncul pada masa dewasa, tetapi pemeriksa harus mengandalkan pada pengamatan perilaku anak daripada ekspresi verbalnya.127 128 129 125
J.Piaget, La naissance de l’intellegence chez l’enfant (Neuchâtel, Delachaux et Niestlé 126
Lihat catatan kaki 125
127
L.C. Terr, “Childhood traumas: an outline and overview”, American Journal of Psychiatry (148 1991:10-20).
Translated by ICMC Indonesia
130
Contohnya, anak dapat menunjukkan gejala mengalami kembali kejadian traumatik dengan permainan yang repetitif dan monoton dan mencerminkan aspekaspek kejadian traumatik, ingatan visual akan kejadian, pertanyaan atau pernyataan repetitif tentang pengalaman traumatik, dan mimpi buruk. Anak mungkin mengompol, kurang mampu mengendalikan buang air besar, menarik diri secara sosial, membatasi emosinya, perubahan sikap terhadap diri sendiri dan orang lain atau merasa bahwa ia tidak memiliki masa depan. Setelah kejadian traumatik, anak mungkin mengalami hyperarousal dan mengalami teror malam hari, masalah tidur, gangguan tidur, respon keterkejutan yang meningkat, lekas marah/terusik dan gangguan-gangguan yang signifikan terhadap konsentrasi dan perhatiannya.. Ketakutan dan tingkah laku agresif yang sebelumnya tidak ada mungkin dapat tampak seperti perilaku agresif terhadap teman sebaya, orang dewasa atau binatang, takut kegelapan, takut ke toilet seorang diri, dan fobia (ketakutan irasional). Anak mungkin menunjukkan perilaku seksual yang tidak sesuai untuk umurnya dan reaksi somatis. Gejala kecemasan, seperti ketakutan yang berlebihan pada orang asing, kecemasan akan perpisahan, panik, kegelisahan, mengamuk dan tangisan yang tidak terkendali dan gangguan makan juga bisa muncul.
128
National Center for Infants, Toddlers and Families, Zero to Three (1994). 129
F. Sironi, “On torture un enfant, ou les avatars de l’ethnocentrisme psychologique”, Enfances (4 1995:205-215).. 130
L. Bailly, Les catastrophes et leurs consequences psychotraumatiques chez l’enfant (Paris, ESF, 1996).
117
(c). Peran dari keluarga 314. Keluarga memegang peranan penting dalam keberlangsungan gejala-gejala si anak. Guna melindungi kesatuan keluarga, perilaku disfungsional serta delegasi peran mungkin terjadi. Anggota keluarga, seringkali anak, mendapatkan peran pasien dan ini bisa mengembangkan gangguan-gangguan yang berat. Seorang anak mungkin terlalu dilindungi dan faktafakta penting mengenai trauma disembunyikan. Atau sebaliknya, anak mendapat peran orang tua dan diharapkan dapat merawat orang tuanya. Ketika anak bukan korban langsung penyiksaan tapi mengalami dampak tidak langsung, orang dewasa seringkali meremehkan dampak terhadap psikologis dan perkembangan anak tersebut. Ketika orang-orang tercinta si anak mengalami hukuman, diperkosa dan disiksa, atau ketika seorang anak menyaksikan pengalaman traumatik atau penyiksaan berat, maka anak dapat mengembangkan keyakinan bahwa ia yang bertanggung jawab atas kejadian tersebut, atau ia harus menanggung beban orang tuanya. Keyakinan seperti ini dapat mengarah pada masalah-masalah jangka panjang berhubungan dengan rasa bersalah, konflik kesetiaan, perkembangan pribadinya serta proses pendewasaanya menjadi seorang dewasa yang mandiri.
LAMPIRAN I Prinsip Penyelidikan yang Efektif dan Pendokumentasian Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat131
Tujuan dari penyelidikan yang efektif dan pendokumentasian penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat (yang selanjutnya akan disebut sebagai penyiksaan dan penganiayaan lainnya) meliputi hal berikut: penjelasan fakta-fakta dan penegasan serta pengakuan dari tanggung jawab individu dan Negara atas korban dan keluarganya, menentukan langkah-langkah yang dibutuhkan untuk mencegah berulangnya tindak penyiksaan, dan mengadili atau, apabila dibutuhkan memberi sanksi-sanksi pendisiplinan bagi mereka yang berdasarkan hasil 131
Komisi Hak Asasi Manusia, dalam resolusi 2000/43, dan resolusi Rapat Umum no. 55/89, menarik perhatian Pemerintah-pemerintah pada Prinsip-prinsip dan secara tegas mendorong Pemerintah-pemerintah untuk melihat Prinsip-prinsip ini sebagai alat yang berguna untuk melawan penyiksaan.
Translated by ICMC Indonesia
118
penyelidikan dinyatakan bertanggung jawab, dan menunjukkan kebutuhan perbaikan penuh dari Negara, termasuk kompensasi finansial yang adil dan sesuai serta perawatan medis dan rehabilitasi. Negara harus memastikan bahwa pengaduan dan laporan tentang penyiksaan atau penganiayaan diselidiki dengan cepat dan efektif. Bahkan jika tidak ada pengaduan, penyelidikan tetap harus dilakukan bila terdapat petunjuk adanya tindak penyiksaan. Para penyelidik harus kompeten dan tidak memihak, serta bekerja terlepas dari tersangka pelaku dan agensi tempat pelaku bekerja. Mereka harus diberikan akses dan wewenang untuk meminta dokter atau ahli lainnya untuk melakukan pemeriksaan yang adil. Metode-metode yang digunakan untuk melakukan penyelidikan harus sesuai dengan standart profesional tertinggi, dan temuan harus dipublikasikan. Pihak penyelidik berhak dan wajib memperoleh seluruh informasi yang diperlukan dalam penyelidikan.132 Segala sumber teknis dan anggaran yang diperlukan harus tersedia bagi penyelidik guna melakukan penyelidikan yang efektif. Mereka juga harus memiliki otoritas untuk memaksa mereka yang bekerja dalam pemerintahan, yang diduga terlibat dalam penyiksaan atau penganiayaan, untuk tampil dan bersaksi. Hal yang sama berlaku untuk seluruh saksi. Terakhir, pihak penyelidik juga berhak memanggil saksi, termasuk pejabat pemerintahan yang diduga terlibat, dan menuntut pengeluaran barang bukti. Korban dugaan tindak penyiksaan atau penganiayaan, saksi-saksi, penyelidik dan keluarganya harus dilindungi dari
kekerasan, ancaman kekerasan atau bentuk intimidasi lainnya yang mungkin muncul selama penyelidikan. Mereka yang berpotensi terlibat dalam penyiksaan atau penganiayaan harus dihapuskan kendali atau kuasanya atas korban, saksisaksi dan keluarganya, termasuk penyelidik sendiri. Korban dugaan tindak penyiksaan atau penganiayaan dan kuasa hukumnya harus mendapat akses ke setiap pemeriksaan dan informasi yang terkait dengan penyelidikan dan berhak menghadirkan bukti lainnya. Dalam kasus dimana penyelidikan dirasa tidak berjalan baik karena kurangnya tenaga ahli, adanya prasangka, pola kekerasan yang tampak jelas (sistematik) atau alasan penting lainnya, Negara dapat melakukan pemeriksaan melalui sebuah komisi penyelidikan yang independen atau prosedur yang serupa. Anggota komisi tersebut dipilih berdasarkan reputasinya dalam hal kompetensi, sikap adil dan kemandirian sebagai individu. Secara khusus, mereka harus bekerja terlepas dari institusi, agensi atau orang yang mungkin menjadi subyek penyelidikan. Komisi harus memiliki kewenangan untuk memperoleh seluruh informasi yang dibutuhkan penyelidikan dan akan melaksanakannya berdasarkan prinsip-prinsip ini.133 Laporan tertulis yang dibuat harus memasukkan ruang lingkup penyelidikan, prosedur dan metode yang digunakan untuk menimbang bukti, dan juga kesimpulan serta saran berdasarkan temuan-temuan dan hukum yang berlaku. Dalam penyelesaiannya, laporan ini harus dipublikasikan. Laporan ini juga harus
132
Beberapa etika profesi dapat meminta agar informasi dirahasiakan. Permintaan seperti ini akan dihormati.
Translated by ICMC Indonesia
133
Lihat kutipan di atas.
119
merincikan kejadian-kejadian khusus yang muncul, bukti yang menjadi dasar temuan dan daftar nama-nama saksi, kecuali mereka yang identitasnya dirahasiakan untuk alasan keamanan. Negara harus merespon terhadap laporan penyelidikan, dalam batas waktu tertentu, dan menunjukkan langkah-langkah yang harus diambil sebagai bentuk tanggung jawab. Petugas kesehatan yang ikut serta dalam penyelidikan dugaan penyiksaan atau penganiayaan harus selalu mematuhi standart etika tertinggi. Secara khusus, mereka harus memperoleh persetujuan tertulis sebelum melakukan pemeriksaan apa pun. Pemeriksaan juga harus mengikuti standart-standart praktek kedokteran yang diakui. Pemeriksaan harus dilakukan secara pribadi di bawah kendali dokter dan tidak dihadiri petugas keamanan atau pejabat pemerintahan lainnya. Dokter harus segera menuliskan laporan yang akurat, berisikan: (a) Keadaan berlangsungnya wawancara. Nama subyek serta nama dan hubungan mereka yang hadir pada saat pemeriksaan; tanggal dan waktu, lokasi, sifat dan alamat institusi (termasuk, jika perlu, ruangan) dimana pemeriksaan dilakukan (contohnya: pusat tahanan, klinik, rumah, dll); situasi-situasi khusus yang muncul selama pemeriksaan (contohnya sikap enggan pada saat datang atau selama pemeriksaan, kehadiran petugas keamanan selama pemeriksaan, hinaan dari orang-orang yang menemani si tahanan, ancaman pada pemeriksa, dll); dan berbagai faktor lainnya;
dalam penyiksaan atau penganiayaan, kapan penyiksaan atau penganiayaan diduga terjadi dan seluruh keluhan gejala fisik dan psikologis; (c) Pemeriksaan fisik dan psikologis. Dokumentasi seluruh temuan fisik dan psikologis hasil pemeriksaan klinis termasuk beberapa tes diagnostik yang sesuai dan, jika memungkinkan, foto-foto berwarna dari seluruh luka; (d) Sebuah opini atau masukan. Penafsiran tentang hubungan antara temuan-temuan fisik dan psikologis dengan dugaan penyiksaan atau penganiayaan. Saran untuk perawatan medis dan psikologis atau pemeriksaan lanjutan sebaiknya juga disertakan; (e) Dokumentasi nama penulis. Laporan harus secara jelas menyebutkan siapasiapa saja yang melakukan penyelidikan dan harus ditandatangani. Laporan harus bersifat rahasia dan diberitahukan pada subyek atau perwakilan yang dipilihnya. Pandangan subyek atau perwakilannya tentang proses pemeriksaan harus diminta dan dimasukkan dalam laporan. Laporan harus dibuat secara tertulis untuk pihak yang bertanggung jawab menyelidiki dugaan penyiksaan atau penganiayaan. Negara bertanggung jawab atas kepastian sampainya laporan ini ke penyelidik dengan aman. Orang atau pihak lain tidak boleh membaca laporan ini, kecuali jika mendapat persetujuan subyek atau diperintahkan pengadilan.
(b) Latar belakang. Dokumentasi rinci dari cerita subyek hasil wawancara, termasuk metode yang diduga dipakai
Translated by ICMC Indonesia
120
luka pada skeletal (rangka) dan jaringan halus. Namun begitu luka-luka fisik telah sembuh, dampak-dampak yang tersisa pada umumnya tidak dapat lagi dideteksi menggunakan metode imaging yang sama. Seringkali ini benar terjadi, bahkan ketika survivor masih terus menderita sakit atau kecacatan yang signifikan dari lukalukanya. Telah dibuat acuan ke berbagai studi radiologist dalam pembahasan tentang pemeriksaan pada pasien atau dalam konteks berbagai bentuk tindak penyiksaan. Berikut ini adalah suatu ringkasan mengenai penggunaan metodemetode ini. Namun, teknologi yang lebih canggih dan mahal belum tersedia secara global atau setidaknya bukan untuk seseorang yang sedang ditahan.
LAMPIRAN II Tes-tes diagnostik Tes-tes diagnostik hampir selalu dikembangkan dan dievaluasi. Tes-tes berikut dinilai berharga pada saat manual ini ditulis. Walaupun begitu, ketika tambahan bukti dukungan lain diperlukan, penyelidik harus berusaha menemukan sumber-sumber informasi terbaru, contohnya dengan mendekati salah satu pusat pendokumentasian tindak penyiksaan (lihat bab V.E.). 1. Radiological imaging Dalam fase akut suatu luka, beragam sarana imaging cukup berguna dalam menyediakan dokumentasi tambahan dari
Translated by ICMC Indonesia
Pemeriksaan imaging radiologis dan diagnostik meliputi prosedur radiograf rutin (Sinar-X), skintigrafi radioisotopik, computerized tomography (CT), nuclear magnetic resonance imaging (MRI) dan ultrasonografi (USG). Masing-masing prosedur memiliki kelebihan dan kekurangannya. Sinar-X, skintigrafi dan CT menggunakan radiasi ion, ini dapat bermasalah untuk kasus ibu hamil dan anak-anak. MRI menggunakan suatu lapangan magnet (magnetic field). Pada teorinya, kemungkin efek biologis pada fetus dan anak memang ada tapi diperkirakan kecil. Radiografi rutin dapat memperlihatkan fraktur-fraktur pada muka. Namun, pemeriksaan CT menjadi lebih superior karena dapat memperlihatkan lebih banyak fraktur, fraktur yang menyebabkan perpindahan tempat (displacement), serta jaringan halus dan komplikasinya. Ketika terdapat dugaan terjadi kerusakan periosteal atau fraktur ringan, maka Sinar-X harus ditambah dengan prosedur skintigrafi tulang. Akan ada persentase hasil Sinar-X yang negatif, bahkan jika terdapat fraktur
121
yang akut atau osteomilitis dini. Ada kemungkinan suatu fraktur dapat sembuh tanpa meninggalkan bukti radiografi dari luka sebelumnya. Ini terutama benar untuk kasus anak-anak. Maka, radiografi rutin tidak menjadi pemeriksaan ideal untuk evaluasi jaringan halus. Skintigrafi adalah suatu prosedur pemeriksaan dengan kepekaan tinggi, tapi kekhususan yang rendah. Pemeriksaan ini tidak mahal dan efektif untuk menyaring atau mengamati seluruh rangka untuk mencari proses-proses penyakit seperti oesteomilitis atau trauma. Puntiran atau pilinan testikular juga dapat diperiksa, tapi penggunaan ultrasound akan lebih tepat untuk ini. Skintigrafi dapat mendeteksi fraktur akut yang terjadi dalam 24 jam, tapi umumnya membutuhkan 2 sampai 3 hari dan kadang memakan waktu 1 minggu atau lebih, terutama untuk kasus manula. Hasil pengamatan biasanya kembali normal setelah 2 tahun. Namun, hasilnya bisa tetap positif dalam kasuskasus fraktur dan osteomilitis yang telah sembuh bertahun-bertahun. Penggunaan skintigrafi tulang untuk mendeteksi fraktur pada epifisis atau metadiafisis (ujung dari tulang panjang) pada anakanak akan sangat sulit dilakukan. Hal ini dikarenakan ketajaman radiofarmasital hanya pada tingkat normal pada epifisis. Skintigrafi seringkali dapat mendeteksi fraktur tulang iga yang tidak terlihat pada film Sinar-X rutin. (a) Penggunaan skintigrafi tulang untuk diagnosis Falanga Pengamatan tulang (bone scan) dapat dilakukan baik dengan image yang tertunda 3 jam atau dengan 3 fase pemeriksaan. Tiga fase tersebut meliputi radionucleide angiogram (fase arterial), blood pool images (fase vena, yang adalah
Translated by ICMC Indonesia
jaringan halus) dan fase tertunda (fase tulang). Pasien yang diperiksa segera setelah falanga harus dapat 2 kali bone scan yang dilakukan dalam interval 1 minggu. Hasil negatif pada scan tertunda pertama dan hasil positif pada scan kedua menunjukkan terjadinya falanga dalam hitungan hari sebelum scan yang pertama. Dalam kasus yang akut, 2 hasil negatif bone scan dengan interval 1 minggu tidak semata-mata berarti falanga tidak terjadi, tapi tingkat keparahannya berada di bawah tingkat kepekaan prosedur skintigrafi (sehingga tidak terdeteksi). Jika pengamatan dengan 3 fase telah selesai, ketajaman pada fase radionucleide angiogram dan blood pool akan meningkat dan tidak ada peningkatan ketajaman dalam fase tulang dapat menunjukkan hiperamia yang sesuai dengan luka jaringan halus. Trauma dalam tulang kaki dan jaringan halus juga dapat dideteksi dengan menggunakan MRI.134
(b) Ultrasound Prosedur ultrasound tidak mahal dan tanpa resiko efek biologis. Kualitas dari suatu pemeriksaan tergantung pada ketrampilan operator (pemeriksa). Ketika CT tidak tersedia, ultrasound dapat digunakan untuk memeriksa trauma bagian abdominal (perut) yang akut. Tendonopathy juga dapat diperiksa dengan menggunakan ultrasound, dan merupakan metode pilihan untuk melihat abnormalitas testikular. Ultrasound bahu dilakukan pada periode akut dan kronis menyusul terjadinya penyiksaan suspensi. Dalam periode akut, oedema, kumpulan cairan di sekitar persendian bahu, laserasi dan haematomas dari rotator cuffs dapat 134
Lihat catatan kaki 82-84; juga lihat tulisan tentang radiology standard an pengobatan nuklir untuk informasi lebih lanjut.
122
diamati dengan menggunakan ultrasound. Jika pemeriksaan ulang dengan ultrasound menemukan bahwa bukti dalam periode akut menghilang seiring waktu, maka hal tersebut semakin menguatkan diagnosa. Dalam kasus semacam itu, penggunaan MRI, skintigrafi dan pemeriksaan radiologis lainnya harus dilakukan bersamaan, dan korelasi (hubungannya) harus diperiksa. Temuan dari ultrasound sendiri sudah cukup memadai untuk membuktikan terjadinya suspensi, walaupun hasil yang positif dari pemeriksaan lain kurang didapat. (c) Computerized tomography (CT) CT sangat baik digunakan untuk melihat jaringan halus dan tulang. Namun, prosedur MRI lebih baik untuk memeriksa jaringan halus daripada untuk tulang. MRI dapat mendeteksi fraktur yang tidak terlihat lebih cepat daripada radiografi rutin dan skintigrafi. Penggunaan tempat scan yang terbuka dan pemberian obat penenang dapat mengurangi kecemasan claustrophobia (fobia ruangan tertutup), yang mucul pada survivor penyiksaan. CT juga sangat baik untuk mendiagnosa dan memeriksa fraktur-fraktur, terutama pada tulang temporal dan muka. Kelebihan lainnya termasuk alignment (penjajaran) dan perpindahan tempat dari fragmen, khususnya spinal, panggul, bahu dan fraktur asetabular. Namun CT tidak bisa mengindentifikasi memar pada tulang. CT dengan atau tanpa infusi intravena dengan agen kontras harus dijadikan pemeriksaan awal untuk lesi akut, sub-akut dan kronis pada sistem syaraf pusat (SSP). Jika hasil pemeriksaan negative, samar/ambigu atau tidak menjelaskan keluhan SSP survivor, maka lanjutkan ke prosedur MRI. Pemeriksaan untuk fraktur tulang temporal harus diawali dengan pemeriksaan CT pada jendela tulang (bone
Translated by ICMC Indonesia
windows) serta suatu pemeriksaan prapost-kontras. Pemeriksaan pra-kontras dapat memperlihatkan cairan dan cholesteatoma. Pencarian kontras disarankan karena anomali vaskular yang biasa muncul di daerah ini.Untuk rinorhea, suntikan agen kontras ke dalam spinal (tulang belakang) harus mengikuti tulang temporal. MRI juga dapat memperlihatkan robekan yang bertanggung jawab atas kebocoran cairan. Ketika ada dugaan terjadi rinorhea, suatu CT pada muka dengan jaringan halus dan jendela tulang harus dilakukan. Setelah agen kontras disuntikkan ke dalam tulang belakang, maka CT harus diperoleh. (d) Magnetic resonance imaging (MRI) MRI lebih peka dalam mendeteksi abnormalitas pada SSP dibandingkan CT. Jalannya waktu pendarahan SSP dibagi menjadi fase immediate, hiper-akut, akut, sub-akut dan kronis. Pendarahan SSP juga memiliki jangkauan yang berkorelasi dengan karakteristik-karakteristik imaging dari pendarahan. Jadi temuan-temuan imaging memungkinkan perkiraan dari kapan terjadinya luka kepala dan hubungannya dengan dugaan penyiksaan. Pendarahan SSP dapat sembuh total atau menghasilkan deposit hemosiderin yang cukup dan akan tetap positif jika diperiksa CT bertahun-tahun kemudian. Pendarahan dalam jaringan halus, terutama otot, biasanya sembuh total tanpa bekas, tapi dapat mengeras (walaupun jarang). Hal ini disebut pembentukkan tulang heterotrofi atau myositis ossficans dan bisa dideteksi CT. 1. Biopsi luka kejutan listrik Kejutan listrik dapat memperlihatkan perubahan yang sangat kecil tapi bisa didiagnosa dan memang spesifik untuk
123
trauma aliran listrik. Absennya perubahanperubahan spesifik ini dalam hasil biopsi tidak berarti meniadakan diagnosa penyiksaan menggunakan kejutan listrik. Pihak pengadilan pun tidak boleh membuat asumsi tersebut. Sayangnya, jika pengadilan meminta pemohon (korban dugaan tindak penyiksaan) untuk menjalani biopsi guna memastikan tuntutannya, penolakan atau hasil yang negatif dapat memberi dampak yang merugikan di pengadilan. Lebih lanjut lagi, pengalaman klinis dengan diagnosa biopsi atas luka listrik yang berhubungan dengan penyiksaan masing terbatas, dan diagnosa biasanya dapat dibuat hanya mengandalkan riwayat serta pemeriksaan fisik saja. Maka dari itu, prosedur ini sebaiknya dilakukan dalam suatu penelitian klinis dan bukan suatu standar diagnostik. Dalam memberikan informed consent untuk melakukan biopsi, individu harus diberitahu segala kemungkinan dan ketidakpastian hasil, serta diperbolehkan untuk menimbang manfaat dan dampaknya pada jiwa yang sudah mengalami trauma. (a) Penjelasan untuk biopsi Telah banyak penelitian laboratorium yang mengukur dampak dari kejutan listrik pada kulit babi yang dibius. 135 136 137 138 139 140 Penelitian-penelitian tersebut 135
Thomsen et al., “Early epidermal changes in heat and electrically injured pig skin: a light microscopic study”, Forensic Science International (17 1981:133-43). 136 Thomsen et al., “The effects of direct current, sodium hydroxide, and hydrocholric acid on pig epidermis: a light microscopic and electron microscopic study”, Acta path microbiol. Immunol. Scand (sect. A 91 1983:307-16). 137 H.K. Thomsen, “Electrically induced epidermal changes: a morphological study of
Translated by ICMC Indonesia
menunjukkan adanya temuan histologis yang memang khusus diakibatkan luka aliran listrik dan yang bisa ditemukan dengan pemeriksaan mikroskopik biopsi dari luka. Namun, pembahasan yang lebih lanjut mengenai penelitian ini melampaui cakupan publikasi ini. Untuk informasi lebih lanjut, pembaca disarankan untuk mengacu pada referensi di atas. Hanya sedikit penelitian histologis tentang kasus penyiksaan dengan kejutan listrik dilakukan pada manusia.141 142 143 144 (b) Metode Setelah mendapat lembar persetujuan (informed consent) dari pasien, dan sebelum biopsi, lesi harus difoto menggunakan metode forensik yang dapat diterima. Di bawah pengaruh bius lokal, pukulan biopsi antara 3-4 milimeter porcine skin after transfer of low-moderate amounts of electrical energy”, dissertation (University of Copenhagen, F.A.D.L. 1984:1-78). 138 T. Karlsmark et al., “Tracing the use of torture: electrically induced calcification of collagen in pig skin”, Nature (301 1983:75-78). 139 T. Karlsmark et al., “Electrically-induced collagen calcification in pig skin. A histopathologic and histochemical study”, Forensic Science International (39 1988:163-74). 140 T. Karlsmark, “Electrically-induced dermal changes: a morphological study of porcine skin after transfer of low to moderate amounts of electrical energy”, dissertation, University of Copenhagen, Danish Medical Bulletin (37 1990:507-520). 141 L. Danielsen et al., “Diagnosis of electrical skin injuries: a review and a description of a case”, American Journal of Forensic Medical Pathology (12 1991:222-226). 142 F. Öztop et al., “Signs of electrical torture on the skin”, Treatment and Rehabilitation Centers Report 1994 (Human Rights Foundation of Turkey, HRFT Publication, 11 1994:97-104). 143 L. Danielsen, T. Karlsmark, H.K. Thomsen, “Diagnosis of skin lesions following electrical torture”, Rom J. Leg. Med (5 1997:15-20). 144 H. Jacobsen “Electrically induced deposition of metal on the human skin”, Forensic Science International (90 1997:85-92).
124
diperoleh, dan dimasukkan ke dalam formalin atau pengawet lainnya. Biopsi kulit harus dilakukan sesegera mungkin setelah timbulnya luka. Karena luka aliran listrik biasanya terbatas pada kulit dan permukaan kulit, lesi dapat cepat menghilang. Biopsi dapat diambil lebih dari satu lesi, tapi kemungkinan tingkat distres pasien harus diperhitungkan.145 Materi biopsi harus diperiksa oleh seorang ahli patologi yang berpengalaman dalam dermapatologi. (c) Temuan diagnostik untuk luka aliran listrik Tipikal, namun tidak diagnostik, temuan-temuan diagnostik untuk luka listrik adalah lesi yang tampak dalam segmen konikel, seringkali dengan lebar antara 1-2 milimeter, deposit dari ion atau tembaga pada kulit, kelenjar keringat dan dinding pembuluh. Mungkin juga ada deposit dari garam kalsium pada struktur selular dalam lesi segmental atau pengamatan histologis yang tidak abnormal.
145
S. Gürpinar, “Korur Fincanci ü, Insan Haklari Ihlallari ve Hekim Sorumlulu»u” (Human Rights Violations and Responsibility of the Physician), Birinci Basamak Icin Adli Tip El Kitabi (Handbook of Forensic Medicine for General Practitioners) (Ankara, Turkish Medical Association, 1999).
Translated by ICMC Indonesia
125
126 GAMBARAN SELURUH TUBUH, PEREMPUAN – LATERAL
LENGAN KIRI
LENGAN KANAN
Translated by ICMC Indonesia
Gambaran Anatomi untuk pendokumentasian penyiksaan dan pennganiayaan
LAMPIRAN III
GAMBARAN SELURUH TUBUH, PEREMPUAN – ANTERIOR DAN POSTERIOR
127
GAMBARAN THORACO ABDOMINAL, PEREMPUAN – ANTERIOR DAN POSTERIOR
Translated by ICMC Indonesia
PEREMPUAN - PERINEUM
LENGAN KIRI
128
GAMBARAN SELURUH TUBUH, LAKI-LAKI – LATERAL
LENGAN KANAN
Translated by ICMC Indonesia
GAMBARAN SELURUH TUBUH, LAKI-LAKI – ANTERIOR DAN POSTERIOR (VENTRAL DAN DORSAL)
129
KAKI – PERMUKAAN PLANTAR KIRI DAN KANAN
Translated by ICMC Indonesia
GAMBARAN THORACO ABDOMINAL, LAKI-LAKI – ANTERIOR DAN POSTERIOR
130 TANGAN KIRI – PALMAR DAN DORSAL
Translated by ICMC Indonesia
TANGAN KANAN – PALMAR DAN DORSAL
131 KEPALA
– ANATOMI PERMUKAAN DAN SKELETON, GAMBARAN LATERAL
Translated by ICMC Indonesia
KEPALA – GAMBARAN SUPERIOR, ANATOMI PERMUKAAN DAN SKELETON – GAMBARAM INFERIOR LEHER
SKELETON (RANGKA) – GAMBARAN ANTERIOR DAN POSTERIOR
Translated by ICMC Indonesia
132
BERI TANDA PADA SELURUH RESTORASI (PERBAIKAN) GIGI SERTA GIGI YANG HILANG PADA BAGAN BERIKUT
Translated by ICMC Indonesia
133
LAMPIRAN IV Pedoman-pedoman untuk evaluasi medis dari penyiksaan dan penganiayaan
Pedoman-pedoman berikut berdasarkan Protokol Istanbul: Pedoman dalam Penyelidikan yang Efektif dan Pendokumentasian Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat. Pedoman-pedoman ini tidak baku, tapi sebaiknya dilaksanakan mengingat tujuan dari evaluasi dan setelah pemeriksaan sumber-sumber yang tersedia. Evaluasi bukti fisik dan psikologis dari penyiksaan dan penganiayaan dapat dilakukan oleh satu atau lebih dokter pemeriksa, tergantung pada kecakapannya. I. Informasi Kasus Tanggal pemeriksaan: ……………… Pemeriksaan diminta oleh (nama/posisi): ........................... Nomor kasus atau laporan: ........................................ Waktu pemeriksaan: ......... jam, .......... menit Nama subyek: ......................................... Tanggal lahir: ................... Tempat lahir: ........................ Nama keluarga (marga) subyek: ............................................... Jenis kelamin: laki-laki/perempuan Alasan untuk pemeriksaan: .......................................................... Nomor ID subyek: ...................... Nama dokter pemeriksa: ....................................... Penerjemah (ya/tidak), nama: ............................ Persetujuan subyek: ya/tidak Jika tidak ada persetujuan subyek, kenapa? ................................... Subyek didampingi oleh (nama/posisi): ............................................................................................ Orang-orang yang hadir selama pemeriksaan (nama/posisi): ............................................................ Subyek ditahan selama pemeriksaan: ya/tidak, Kalau ”ya”, bagaimana/kenapa? ......................... Laporan medis dipindahkan pada (Nama/posisi/No. ID): ................................................................. Tanggal pemindahan: .......................................... Waktu pemindahan: ............................... Evaluasi/penyelidikan medis dilakukan tanpa dibatasi (untuk subyek dalam tahanan): ya/tidak Berikan penjelasan rinci tentang pembatasan apapun: .........................................................
Translated by ICMC Indonesia
134
II. Kecakapan dokter pemeriksa (untuk
Sejarah medis sebelumnya
kesaksian di pengadilan
Tinjauan
Pendidikan
medis/kedokteran
dan
evaluasi
medis
sebelumnya
tentang penyiksaan dan penganiayaan
pelatihan klinis
Sejarah psikososial sebelum penahanan.
Pelatihan psikologis/psikiatrik
V. Dugaan-dugaan
Pengalaman
penganiayaan
dalam pendokumentasian
bukti-bukti penyiksaan dan penganiayaan Keahlian dalam hal Hak Asasi Manusia yang
relevan
dengan
penyelidikan
dan
1. Ringkasan tentang penahanan dan penganiayaan 2.
regional
penyiksaan
Keadaan
penangkapan
dan
penahanan 3. Tempat penahanan awal dan
Publikasi, presentasi dan kursus pelatihan
lanjutan (kronologi, transportasi dan kondisi penahanan)
yang relevan
4. Catatan naratif dari penganiayaan
Curriculum Vitae (daftar riwayat hidup) III.
Pernyataan yang berhubungan dengan kejujuran/kebenaran dari kesaksian (untuk kesaksian di pengadilan)
Sebagai contoh: “Saya pribadi mengetahui fakta-fakta yang dinyatakan di bawah, kecuali yang dinyatakan dalam informasi dan keyakinan, yang saya percaya sebagai benar. Saya akan siap bersaksi untuk pernyataan-pernyataan di atas berdasarkan pengetahuan dan keyakinan saya.”
atau penyiksaan (di setiap tempat penahanan) 5. Tinjauan tentang metode-metode penyiksaan VI. Gejala-gejala fisik dan kecacatan Jelaskan perkembangan dari gejalagejala akut dan kronis serta kecacatan dan proses-proses penyembuhan berikutnya. 1. Gejala-gejala akut dan kecacatan 2.
IV. Informasi latar belakang Informasi
umum
(umur,
Gejala-gejala
kronis
dan
kecacatan pekerjaan, VII. Pemeriksaan fisik
pendidikan, komposisi keluarga, dll.) 1. Penampilan umum
Translated by ICMC Indonesia
135
2. Kulit
IX. Foto-foto
3. Muka dan kepala 4.
Mata,
telinga,
X. Hasil tes diagnostik (lihat lampiran II hidung
dan untuk indikasi dan batasan)
tenggorokan 5. Lubang mulut dan gigi
XI. Konsultasi-konsultasi
6. Dada dan perut (termasuk tanda-
1. Bukti fisik
tanda vital)
7. Sistem alat kelamin dan kandung kemih 8. Sistem otot dan kerangka 9. Sistem syaraf VIII. Pemeriksaan/sejarah psikologis 1. Metode pemeriksaan 2. Keluhan psikologis saat ini 3. Sejarah setelah tindak penyiksaan 4.
Sejarah
sebelum
tindak
penyiksaan 5.
Sejarah
XII. Penafsiran temuan-temuan
psikologis/psikiatrik
A. Hubungkan derajat konsistensi antara sejarah gejala-gejala fisik akut dan kronis dan kecacatan dengan dugaan kekerasan. B. Hubungkan derajat konsistensi antara temuan pemeriksaan fisik dan dugaan tindak penyiksaan. (Catatan: Tidak adanya temuan fisik tidak berarti kemungkinan penyiksaan atau penganiayaan tidak terjadi.) C. Hubungkan derajat konsistensi antara temuan pemeriksaan si individu dengan pengetahuan tentang metode-metode penyiksaan dan dampak lanjutan umum yang digunakan di suatu wilayah.
masa lalu 6. Penggunaan zat dan sejarah penyalahgunaan 7. Pemeriksaan status mental 8. Penilaian fungsi sosial 9. Tes psikologis (lihat bab VI.C.1. untuk indikasi dan batasan) 10. Tes Neuropsikologis (lihat bab VI.C.4. untuk indikasi dan batasan).
Translated by ICMC Indonesia
2. Bukti psikologis A. Hubungkan derajat konsistensi antara temuan psikologis dan laporan dugaan penyiksaan B. Memberikan penilaian tentang apakah temuan psikologis memang diharapkan atau merupakan reaksi khusus terhadap stres ekstrim di dalam konteks budaya dan sosial individu.
136
C. Tunjukkan status individu dalam rangkaian gangguan mental berhubungan dengan trauma yang naik turun sepanjang waktu, contohnya apa kerangka waktu dalam hubungannya dengan kejadian penyiksaan dan di tahap pemulihan manakah individu berada? D. Temukan pemicu stres lainnya yang dialami individu (contoh: penahanan yang masih berlangsung, migrasi paksa, pengasingan, kehilangan keluarga dan peran sosial, dll.) dan dampak-dampaknya pada individu. E. Sebutkan kondisi-kondisi fisik yang dapat menyumbang pada gambaran klinis, khususnya berkaitan dengan kemungkinan bukti trauma kepala yang didapatkan selama penyiksaan atau penahanan.
XIII. Kesimpulan dan rekomendasi 1. Pernyataan tentang pendapat mengenai konsistensi antara seluruh sumber bukti yang dinyatakan di atas (temuan fisik dan psikologis, informasi sejarah, temuan foto, hasil tes diagnostik, pengetahuan tentang praktek-praktek penyiksaan setempat, laporan konsultasi, dll.) dan dugaan-dugaan tindak penyiksaan dan penganiayaan.
3. Memberikan rekomendasi untuk pemeriksaan lanjutan dan perawatan untuk individu.
XIV. Pernyataan tentang kejujuran )untuk kesaksian pengadilan) Sebagai contoh: ”Saya menyatakan di bawah sanksi kesaksian palsu, menurut hukum dari ................... (negara), bahwa yang terlebih dahulu adalah benar dan tepat dan bahwa surat sumpah ini dibuat pada ................... (tanggal) bertempat di .......................... (kota), ........................ (negara bagian/provinsi).”
XV. Pernyataan tentang batasanbatasan dalam evaluasi/penyelidikan medis (untuk subyek yang ditahan) Sebagai contoh: ”Para dokter pemeriksa yang bertandatangan di bawah ini secara pribadi menerangkan bahwa mereka diizinkan untuk bekerja secara bebas dan independen dan diizinkan untuk berbicara dengan dan memeriksa (si subyek) secara pribadi, tanpa batasan dan syarat apa pun, dan tanpa bentuk paksaan apa pun yang digunakan pihak penahan”; atau ”Dokter pemeriksa yang bertandatangan di bawah ini harus melaksanakan pemeriksaan dia/mereka dengan batasan sebagai berikut: ...............”
2. Menyatakan kembali gejala-gejala dan kecacatan yang masih diderita individu sebagai hasil dari dugaan penganiayaan.
Translated by ICMC Indonesia
137
XVI. Tanda tangan dokter pemeriksa, tanggal, tempat XVII. Lampiran-lampiran yang relevan Riwayat hidup (curriculum vitae) dokter pemeriksa, gambar-gambar anatomi untuk menemukan tindak penyiksaan dan penganiayaan, foto-foto, konsultasi dan hasil tes diagnostik, di antara yang lainnya.
Translated by ICMC Indonesia
138