M E N C I P T A K A N
P E L U A N G
K E A D I L A N EDISI 05 • TAHUN III • MEI 2007
Newsletter
Pengantar Redaksi KEBERPIHAKAN. Persoalan terbesar di dalam pembangunan dalam konteks sejauh mana pelaksanaannya benar-benar memberikan dampak yang positif kepada masyarakat khususnya kelompok masyarakat miskin adalah soal ketidakjelasan keberpihakan. Ketidakberpihakan ini sering diarahkan sebagai kesalahan terbesar dari pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Namun bukan berarti bahwa kesalahan tersebut tidak bisa diarahkan ke stakeholders pembangunan yang lain. Pemerintah, khususnya dalam hal ini adalah pemerintah daerah disinyalir telah banyak membuat kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak. Indikator yang paling sederhana adalah dengan melihat perda-perda yang dikeluarkan khususnya pasca diterapkannya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Dari hasil pemetaan statistik terhadap perda-perda yang dikeluarkan oleh 40 kabupaten/kota di 15 propinsi di Indonesia dengan melihat pengelompokan perda berdasarkan seri A: Anggaran dan Keuangan Daerah; seri B: Pajak Daerah, Seri C: Retribusi Daerah; Seri D: Kelembagaan atau institusi daerah dan seri E: Lain-lain terlihat dengan jelas ketidakberpihakan itu. Perda seri A, B, C adalah yang mendominasi daftar kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah.1 Ini mengandung pengertian bahwa perda lebih berorientasi pada urusan dana pengadaan penyelenggaraan pemerintahan daerah ketimbang menyelenggarakan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Ini akan terlihat lebih jelas lagi ketika perda-perda tersebut dilihat isinya dan dikaji implementasinya. Terlihat dengan lebih jelas lagi bahwa keberpihakan itu belum ada.
Daftar Isi • Opini Pembaca Perlunya Pengawasan Kinerja Penegak Hukum Oleh Fakultas Hukum • Profil Sutrimo, Dari Masalah Tambak Hingga BOS • Opini Mekanisme Penanganan Masalah Dalam Program CDD: Sebuah Perspektif • Info Kegiatan Misi Supervisi ke Nusa Tenggara Barat dan Jawa Barat • Info Program Komisi Pemberdayaan Hukum Bagi Kaum Miskin • Studi Kasus Korupsi APBD 2002-2004 Pemkab Blitar Matriks Rekapitulasi Studi Kasus Korupsi LGCS
02 03 05 16 18 20
Lalu bagaimana dengan soal keberpihakan terkait dengan akses masyarakat terhadap keadilan (access community to justice). Agak sulit juga melihat bahwa pemerintah telah memberikan perhatian yang memadai terhadap isu ini. Contoh yang paling gampang adalah, bahwa dalam setiap anggaran daerah (APBD) selalu ditemui pos bantuan hukum. Hanya saja ketika ditilik lebih jauh seperti apa konsep bantuan hukum dalam pengertian itu dan siapa yang bisa mengakses ternyata dalam prakteknya hanya para pejabat daerah yang terkena persoalan hukum bukan masyarakat miskin. Tentu saja cerita buruk yang demikian selalu diikuti dengan cerita baik yang bisa dikatakan sebagai best practices. Beberapa pemerintah daerah juga telah mencoba membuka ruang publik yang lebih luas sehingga kebijakankebijakan yang dikeluarkannya lebih berpihak. Kebijakan soal one way ticket di Kota Semarang dalam pelayanan kesehatan dan kebijakan one stop service di Kabupaten Sragen dan Kota Surakarta menunjukkan kecenderungan ke arah sana. Perda PSDALH Kabupaten Lampung Barat juga sebagian kecil dari cerita soal keberpihakan tersebut. Kemudian upaya berbagai elemen di Kabupaten Sleman untuk menginisiasi bantuan hukum gratis (probono legal aid) bagi masyarakat miskin yang berkasus melalui penganggaran dalam APBD merupakan bentuk terobosan dari cerita lain tentang keberpihakan. Dan tentu saja di daerah-daerah lain melalui kerjasama dan dorongan berbagai pihak telah membuka peluangpeluang baru untuk menciptakan keberpihakan-keberpihakan baru dan best practices baru. Akhirnya, selamat membaca newsletter ini, semoga artikel-artikel dan analisaanalisa yang dimuat dalam edisi kali juga dapat menjadi katalisator bagi upaya menciptakan keberpihakn baru dan best practices yang lain khususnya dalam konteks akses masyarakat (miskin) terhadap keadilan. Salam keadilan. Tim Redaksi Data Perda ini telah dihimpun di dalam database perda yang sudah tersedia secara online di www.perdaonline.org. 1
Sumber foto: Panitia “CLEP National Consultation”
Sejumlah elemen masyarakat melakukan demonstrasi damai atas penyelenggaran Konsultasi Nasional ”Commission on Legal Empowerment of the Poor” (Komisi Pemberdayaan Hukum bagi Masyarakat Miskin) yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 4 November 2006 yang lalu. Berita dan Informasi selanjutnya mengenai Komisi ini lihat pada halaman 18.
Newsletter ini dapat diakses secara online melalui website Justice for the Poor Project: www.justiceforthepoor.or.id. Newsletter dan website ini mengharapkan tanggapan dan partisipasi serta kontribusi naskah atau tulisan dari para pembaca, terutama yang berkaitan dengan isu akses masyarakat miskin terhadap hukum dan keadilan. EDISI 05 • TH. III • MEI 2007
1
OPINI PEMBACA
Perlunya Pengawasan Kinerja Penegak Hukum Oleh Fakultas Hukum oleh : M. Selamet Jupri Salah satu prinsip dari tata pemerintahan yang baik (good governances) adalah adanya supremasi hukum. Supremasi hukum akan memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan negara. Wujud nyata prinsip ini mencakup upaya pemberdayaan lembaga-lembaga penegak hukum, penuntasan kasus KKN dan pelanggaran HAM, peningkatan kesadaran HAM, peningkatan kesadaran hukum, serta pengembangan budaya hukum. Siapa saja yang melanggar harus diproses dan ditindak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak diterapkannya prinsip supremasi hukum akan menimbulkan ketidakpastian dalam penyelenggaraan pemerintahan. Faktanya dalam pelaksanaan pembangunan sering kali terjadi pelanggaran hukum, seperti yang paling disorot saat ini terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dalam bentuk KKN, serta pelanggaran HAM. Selain itu kinerja penegak hukum pun menjadi masalah penting dalam penyelanggaraan negara. Salah satu indikasinya adalah lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja penegak hukum, baik terhadap lembaganya maupun aparaturnya. Ini tentu saja sangat memprihatinkan, karena masyarakat tidak lagi menemukan jalan keluar atas penyelesaian konflik yang dihadapi. Lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja penegak hukum, baik terhadap lembaganya maupun aparaturnya saat ini terlihat dari putusan-putusan yang telah dihasilkan. Putusan-putusan tersebut tidak mencerminkan keadilan terbukti dengan banyaknya perkara yang naik banding maupun adanya kritikan dari pengamat hukum melalui tulisan ilmiah baik di media cetak maupun di dalam buku-buku. Salah satu contohnya adalah Putusan yang dikeluarkan oleh Majelis Hakim PN Tangerang pada tanggal 29 November 2006 kepada mantan Kepala Dinas Sosial Kabupaten Tangerang Wildanul Firdaus dengan pidana penjara selama setahun dan denda Rp. 50 Juta. Menurut Ketua Majelis Hakim Barmen Sinurat, Wildanul Firdaus terbukti menyalahgunakan jabatannya sebagai Kepala Dinas Sosial Kabupaten Tangerang dan tidak bisa mengontrol penggunaan uang negara Rp. 3,3 Miliar yang merupakan dana pembangunan dan pengembangan keagamaan pada tahun 2004. Dana itu seharusnya disalurkan oleh dinas sosial kabupaten Tangerang, bukan oleh 10 Fraksi yang ada di DPRD setempat (Kompas, 30 Nov 2006), dan masih banyak putusan-putusan lain. Praktek-praktek seperti ini akan semakin meningkat ketika pengawasan yang ada di setiap lembaga atau internal control tidak berfungsi dengan baik. Menurut Laica Marzuki dalam buku berjudul “Berjalan-Jalan Di Ranah Hukum: Pikiran-pikiran Lepas Laica Marzuki”,
2
EDISI 05 MEI 2007 01 • TH. III II ••JUN’07
pengawasan internal baru efektif tatkala diadakan pada suatu institusi yang bersih dan tidak korup. Bahkan upaya pengawasan internal acapkali disusupi corps geest yang kental. Terkesan adanya keengganan memeriksa sesama rekan teman sejawat (Laica Marzuki, 2006;70). Sedangkan pengawasan eksternal yang dilakukan oleh masyarakat umum selama ini belum berjalan secara maksimal. Hal ini disebabkan karena bagi masyarakat, menjalankan fungsi kontrol terhadap lembaga peradilan bukan hal yang mudah terutama dalam mengakses informasi terkait dengan putusan yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan. Berdasarkan hal tersebut diatas perlu kiranya bagi masyarakat umum dalam upaya mendorong good governance melakukan pengawasan terhadap kinerja penegak hukum, baik terhadap lembaganya maupun aparatur penegak hukumnya. Pengawasan ini dilakukan berdasarkan argumentasi bahwa banyak produk-produk peradilan yang menyimpang baik secara materiil maupun formil. Serta putusannya dianggap bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Ada kelompok yang paling strategis yang dapat secara intens melakukan pengawasan terhadap kinerja penegak hukum, baik terhadap lembaga maupun aparatur penegak hukum, khususnya putusan-putusan yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan. Kelompok ini adalah Peguruan Tinggi (kalangan kampus) terutama Fakultas Hukum yang ada di Indonesia. Sebab mereka yang sehari-hari bergelut dengan analisa perkara dan secara intens mempelajari masalah hukum. Namun patut disayangkan saat ini masih sedikit kampus-kampus yang melakukan pengawasan terhadap kinerja penegak hukum, baik terhadap lembaga maupun aparatur penegak hukum tersebut khususnya dalam mengkaji putusan-putusan yang dikeluarkan. Banyak hal yang didapat ketika kalangan kampus mau mengkaji suatu putusan yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan. Misalnya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pimpinan lembaga peradilan untuk memberikan tindakan hukum (punishment) atau guna kepentingan promosi/mutasi (reward) kepada aparat penegak hukum yang bersangkutan. Seperti di Amerika sejak awal 1900-an pemilihan para hakim salah satunya berdasarkan prestasi. Sehingga pada akhirnya juga bisa berkontribusi dalam mendorong pembaharuan dan penegakan hukum di masa mendatang. • Penulis saat ini sebagai staff studi kebijakan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (LKBH FH-UII).
PROFIL
Sutrimo Dari Masalah Tambak Hingga BOS Profil Seorang Paralegal oleh : Dewi Damayanti Paralegal sebenarnya hanya sebutan baru bagi Sutrimo, 42 tahun. Sejak dulu ia sudah sering menjadi tempat bertanya bagi masyarakat desa Dipasena Jaya, Kecamatan Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang Bawang. Pria yang pekerjaan sehari-harinya sebagai petambak ini aktif dalam berbagai kegiatan di antaranya dalam Lembaga Manajemen Pelatihan Kampung dan Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW). Oleh karena itulah, saat program Revitalisasi Bantuan Hukum yang diadakan oleh Justice for The Poor dan Kantor Bantuan Hukum (KBH) Lampung sebagai Lembaga Pelaksana di daerah mulai dilaksanakan, Sutrimo menjadi salah satu orang yang diajukan oleh masyarakat sebagai paralegal. Sutrimo mempunyai definisi sendiri tentang paralegal, menurutnya paralegal adalah orang yang dianggap tahu hukum dan dijadikan tempat bertanya oleh masyarakat, ketika ada persoalan di masyarakat dan masyarakat tidak mengetahui apa hukumnya. Mungkin definisi itu dibuatnya karena banyak persoalan yang sering timbul di masyarakat yang diadukan kepadanya, mulai persoalan keluarga hingga persoalan-persoalan yang melibatkan masyarakat banyak, bahkan ada pula yang bukan persoalan hukum. “Kalau di Dipasena ini persoalan yang paling banyak saya tangani adalah persoalan yang berkaitan sumber ekonomi masyarakat, semacam sengketa usaha, sengketa batas tambak, misalnya. Biasanya masalahmasalah seperti itu, asalkan masih merupakan masalah pribadi satu orang dengan satu orang yang lainnya, ya diselesaikan secara damai,” terang Sutrimo yang juga sering dijadikan mediator oleh masyarakat. Selain kasus-kasus yang berhubungan dengan tambak, kasuskasus yang sering diselesaikan lewat jalan damai adalah kasus-kasus yang masih dalam lingkup rumah tangga, seperti masalah sengketa dalam keluarga, KDRT atau perceraian. “Kalau masalah pribadi seperti itu, saya diam saja kalau tidak dilibatkan, tetapi kalau masalahnya sudah melibatkan banyak pihak dan menyangkut kepentingan orang banyak, maka saya akan berusaha membantu untuk menyelesaikannya.” Ada juga beberapa kasus yang biasanya tidak ia tangani sendiri, biasanya persoalannya sudah menyangkut masalah pidana biasanya langsung
dilaporkan ke polisi. “Masyarakat di sini ikatannya masih kuat, jadi mereka tidak bisa mentolerir perbuatan seseorang yang merugikan warga lainnya. Maunya langsung ke polisi saja.” Sutrimo kemudian menceritakan bahwa ia baru saja menangani kasus penggelapan uang di sebuah sekolah dasar di daerahnya. Ayah 2 anak ini ikut aktif terlibat dalam Komite Sekolah Sekolah Dasar dimana anaknya bersekolah. Sebagai anggota Komite ia mencium adanya kejanggalan-kejanggalan dalam pengelolaaan keuangan di sekolah tersebut, baik itu dana tabungan sekolah maupun Bantuan Oprasional Sekolah (BOS). Dalam realisasi BOS misalnya, Sutrimo menemukan ada sekitar 7 juta dari sisa BOS yang tidak jelas penggunaannya. Pegawai Tata Usaha (TU) sekolah yang biasanya mengelola keuangan sekolah tiba-tiba pindah. Sutrimo yang takut kepindahan TU secara tiba-tiba tersebut digunakan sebagai “kambing hitam” oleh pihak-pihak yang terindikasi menyelewengkan dana yang ada di sekolah. Ia kemudian menemui TU di tempat tinggalnya yang baru, di sebuah kota di Jawa Barat, untuk menanyakan bagaimana sebenarnya pengelolaan uang di sekolah tersebut. TU itu kemudian memberikan informasi bahwa uang tabungan siswa sejumlah 34 juta rupiah telah dipakai untuk kepentingan pribadi Kepala Sekolah. Setelah mendapat informasi tersebut, ia kemudian menanyai para Wali Kelas dan ternyata benar uang tabungan yang tersisa hanya yang belum disetorkan pada Kepala Sekolah oleh Wali Kelas.
“Masyarakat di sini ikatannya masih kuat, jadi mereka tidak bisa mentolerir perbuatan seseorang yang merugikan warga lainnya. Maunya langsung ke polisi saja.”
Setelah mendapatkan fakta-fakta itu, ia kemudian mengundang semua pihak, baik dari wali murid, Komite Sekolah, para guru dan tentunya Kepala Sekolah. Dalam pertemuan itu, Kepala Sekolah diminta pertanggung jawaban atas uang tabungan yang telah digunakannya dan sisa uang BOS yang tidak jelas penggunaannya. Kepala Sekolah menyatakan permohonan maafnya dan berjanji akan menyicil pembayaran tabungan tersebut, sedangkan masalah BOS ia tidak bisa memberi penjelasan apapun. Setelah pertemuan tersebut masyarakat rupanya khawatir, karena uang yang digunakan tersebut sudah EDISI 05 • TH. III • MEI 2007
3
habis sama sekali dan tidak ada jaminan berapa lama Kepala Sekolah akan benar-benar menyicil dan apakah uang itu nantinya akan benar-benar dikembalikan. Setelah berembug kembali dengan masyarakat, Sutrimo kemudian memutuskan untuk mengadukan masalah tersebut ke Dinas Pendidikan Kabupaten agar dapat mengusut tersebut, terutama masalah BOS karena yang dapat melakukan pengawasan dan meminta pertanggungjawaban resmi atas penggunaan dana BOS adalah Dinas Pendidikan. Sayangnya, laporan tersebut belum mendapat tanggapan hingga saat ini, bahkan surat kepada Komisi VIII DPRD sudah dilayangkan agar menyelidiki masalah penggunaan dana pendidikan yang diberikan pemerintah. Sutrimo kemudian mengeluh,“Kami sudah bolak-balik menanyakannya, tapi setiap kami datang, mereka selalu bilang sudah tercatat tinggal ditindaklanjuti, tapi sampai sekarang belum ada tindakan apapun”. Sebenarnya sudah ada keinginan untuk melaporkan masalah ini ke polisi, tapi ada kekhawatiran masyarakat kalau si kepala sekolah dipenjara, maka kemungkinan besar uang itu tidak kembali. Sambil menunggu Dinas Pendidikan turun, Sutrimo mengatakan kalau ia mulai menyusun langkah selanjutnya untuk menangani kasus ini. Berangkat dari kasus tersebut, Pak Sutrimo menyampaikan kehawatirannya. Ia sekarang sedang berusaha mengajak masyarakat untuk aktif mengawasi penggunaan BOS, karena melihat begitu rawannya dana-dana yang ada di sekolah diselewengkan. Sutrimo mengatakan kalau dari setiap sekolah ada kebocoran beberapa juta, maka bisa dibayangkan kalau kebocoran itu terjadi di seluruh Indonesia, padahal dana tersebut amat berguna bagi pendidikan. Sutrimo juga mengkritik para birokrat di tingkat atas yang hanya menerima laporan-laporan saja, tanpa mau benar-benar mengecek realisasi penggunaan BOS di sekolah-sekolah. “Mereka masih juga mau terima laporan Asal Bapak Senang”, tambah Sutrimo yang menurutnya hal inilah yang membuat fungsi pengawasan dari Dinas Pendidikan amat lemah. Menjadi seorang paralegal menurut Sutrimo tidaklah begitu berat, asal ia selalu diberi cukup tambahan bekal terutama ilmu dan informasi yang berkaitan dengan hukum. Ia merasa masih belum puas dengan apa yang diperolehnya di pelatihan paralegal yang telah dilewatinya, “terlalu singkat” imbuhnya. Dia juga mengatakan sebaiknya ada pertemuan rutin terutama bagi paralegal-paralegal yang ada sehingga ia dapat bertukar pengalaman dan berbagi informasi sehingga dapat membantu penyelesaian tugas mereka sebagai paralegal. Sedangkan dari masyarakat, selama ini dia tidak merasa mendapat masalah apapun. Masyarakat amat mendukung, walaupun mereka belum terbiasa dengan istilah “paralegal” atau “posko”. “Saya juga tidak memperkenalkan diri sebagai paralegal, takut dikira berlebihan. Yang penting sekarang kalau ditanya masyarakat atau ada yang mengadukan masalahnya, saya sudah tahu hukumnya”. Secara implisit, Sutrimo menyatakan kalau pengetahuan tentang hukum yang 4
EDISI 05 • TH. III • MEI 2007
lebih baik yang dimilikinya dapat membantu masyarakat untuk mendapatkan penyelesaian yang lebih baik pula. Selain, itu dari kasus-kasus yang dia tangani sebagian besar dapat diselesaikan secara damai, hampir tidak pernah, katanya, ia berurusan dengan polisi. Sutrimo akhirnya mengharapkan agar lebih banyak pihak yang mau turun ke daerahnya untuk memberikan penyadaran hukum pada masyarakat. Hal ini selama ini dirasa kurang karena letak Dipasena yang cukup sulit dijangkau. Pendidikan hukum bagi masyarakat memang amat penting, karena seringkali mereka bingung bagaimana harus menyelesaikan kasus-kasus hukum yang mereka miliki. Seperti Sutrimo misalnya, walaupun ia seorang paralegal, ia merasa butuh bantuan banyak pihak untuk menyelesaikan kasus penggelapan tabungan dan BOS yang ditanganinya. Seorang paralegal di salah satu posko di Lampung pernah mengatakan, “Paralegal memang bukan orang yang dapat menyelesaikan semua masalah, tapi membantu menyelesaikan masalah.” Melihat potret seorang Sutrimo, untuk membantu menyelesaikan masalah pun ternyata paralegal masih butuh bantuan bukan?
BIODATA Nama
Sutrimo Tempat/Tanggal Lahir
Metro, 9 Februari 1964 Domisili
Desa Dipasena, Kec. Rawajitu Timur Kab. Tulang Bawang Pendidikan Terakhir
SMEA Negeri Metro Kota Metro, Lampung Pekerjaan
Petani Tambak Jabatan di Masyarakat
Kabid Umum, Lembaga Manajemen Pelatihan Kampung Pengurus Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) di Kec. Rawajati Timur
OPINI
Mekanisme Penanganan Masalah dalam Program CDD Sebuah Perspektif oleh : Pieter Evers1 1. Saatnya menjadikan ‘mekanisme penanganan masalah’ lebih efektif. Program Pengembangan Kecamatan (PPK) sudah meletakkan konsep dasar bagi hampir semua program CDD (Community Driven Development) di masa yang akan datang. Salah satu unsur inovatifnya adalah digunakannya sebuah mekanisme penanganan masalah (Handling Complaint Unit/HCU) ‘internal’. Mekanisme ini merupakan sebuah perangkat yang berguna untuk memantau impelementasi PPK dan kinerja staf lapangan. Kendati demikian, keterbatasannya nyata, utamanya ketika berbagai persoalan non-prosedural seperti penggelapan, kolusi dan kecurangan serupa itu timbul. Isu-isu ini (juga beberapa isu lainnya) boleh jadi bisa ditangani lebih efektif di luar struktur proyek, khususnya di mana staf dan pejabat pemerintah terlibat. Berikut ini disampaikan beberapa alasan mengapa sekarang adalah saat yang tepat untuk membicarakan kelemahan dalam HCU ini. •
HCU menangani ‘kemacetan program’ dengan baik, sejauh hal tersebut berkaitan dengan kesalahpahaman teknis dan keruwetan prosedural. Efisiensi jelas terlihat merosot secara signifikan ketika kasusnya melibatkan (i) kinerja atau ‘korupsi’ (penggelapan) staf, atau (ii) problem-problem pelaksanaan pascapencairan dana (ketika frekuensi dan intensitas konsultasi publik merosot). Sehingga “para pemimpin dan berbagai lembaga di luar proses PPK” menjadi lebih berperan.
•
Proyek seperti PPK memiliki keunggulan berupa langkah-langkah tepat dan cepat untuk mendeteksi dan membenahi berbagai problem yang muncul. Jika kualitas penanganan masalah dan upaya tindak lanjutnya tidak berhasil dipertahankan, dikhawatirkan kemampuan dan kualitas untuk melakukan penanganan masalah dalam PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) yang berskala nasional akan lebih sukar ditangani. Nampaknya sudah ada semacam rasa puas diri yang tidak pada tempatnya sebagaimana ditunjukkan oleh keyakinan bahwa “hanya 1% dana PPK yang digunakan tidak sebagaimana mestinya.”
•
Strategi anti-korupsi mutakhir PPK didasarkan pada (a) menghapus kerumitan prosedur dan mekanisme proyek, (b) memberlakukan transparansi informasi dan proses proyek, (c) mengaudit, dan..... (d) merespons berbagai masalah. Mutu dan waktu penanganan berbagai masalah saat ini perlu banyak dibenahi.
•
Demokrasi hanya bisa berjalan jika ada ekuilibrium tertentu antara ‘pemerintah’ (kabupaten) dan ‘rakyat’ (desa), sebab pada akhirnya adalah ‘rakyat’ yang harus menilai kepemimpinan kabupaten akuntabel atau tidak. Sebuah desakan sedang dilakukan (juga melalui PPK/PNPM) untuk memperkuat otonomi desa dan meningkatkan perannya dalam membangun tata pemerintahan regional yang layak. Sebuah mekanisme penanganan masalah yang lebih luas dan lebih independen akan membantu masyarakat desa dalam memainkan peran pemantauan dan pemberdayaan ini.
•
Tidak adanya kontrol masyarakat menyebabkan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan tidak kunjung bisa diberantas. Dana disedot untuk mendanai birokrasi yang terus membengkak (diperparah dalam hal ini oleh berbagai kecenderungan seperti pemekaran). Pemilihan umum 2009 yang akan datang bisa menjadi peluang bagi partai-partai bonafid untuk memanfaatkan ‘pemberantasan korupsi’ sebagai slogan kampanye. Slogan semacam itu akan terdengar lebih meyakinkan jika publik mempunyai akses ke saluran andal yang akan menerima dan memproses masalah. PNPM bisa dimanfaatkan untuk membangun suran-saluran semacam itu.
•
Memerangi “korupsi” berikut segala variannya menempati urutan tinggi dalam agenda Bank Dunia. Program-program CDD-nya dengan demikian harus menciptakan mekanismemekanisme untuk penerapan efektif strategi ini. Ada yang mengatakan bahwa gerakan anti-korupsi yang berhasil harus dimulai dengan sesuatu yang mudah dan kasat mata, di mana peluang keberhasilannya
Penulis adalah Konsultan Bank Dunia yang sedang mengkaji penguatan struktur mekanisme penanganan masalah (HCU) di dalam proyek-proyek CDD 1
EDISI 05 • TH. III • MEI 2007
5
tinggi, untuk meyakinkan publik bahwa “itu bisa dilakukan” dan merangsang tindakan dari bawah ke atas secara kolektif. Kasus proaktif tunggal yang ditangani PPK di Lampung (Bukit Kemuning), memberikan bukti bahwa hal ini benar adanya. Lebih banyak lagi batu ujian (test case) semacam itu yang harus dilaksanakan. Sebuah mekanisme yang lebih disesuaikan untuk menangani “korupsi” akan menjadi sebuah perangkat ampuh dalam hal ini.
2. Tidak semua masalah harus diperlakukan sama. Masalah tentang prosedur-prosedur proyek (misalnya penggalian gagasan yang tidak memadai, pemilihan anggota tim verifikasi yang sudah diatur terlebih dahulu) harus ditangani secara berbeda dari masalah-masalah berkenaan dengan penggelapan yang dilakukan para fasilitator proyek, pencurian bahan atau intervensi sarat kepentingan para pejabat pemerintah. Akan tetapi dalam kerangka HCU saat ini semuanya ditangani secara pukul rata. Paragraf-paragraf berikut mengemukakan beberapa saran bagi sebuah struktur ganda lebih independen dalam menangani berbagai masalah. a) Harus ada dua mekanisme: 1) sebagai bagian dari struktur proyek CDD (untuk masalah-masalah prosedural/teknis), 2) adalah mekanisme independen untuk isu-isu “legal” lebih luas. Penduduk desa harus mempunyai akses pada pertimbangan dan dukungan hukum yang layak, utamanya ketika berhadapan dengan kejahatan atau kerugian keuangan karena pelanggaran perdata. Staf lapangan dan konsultan PPK tidak bisa diharapkan untuk memberikan layanan ini. Karena penduduk desa pada umumnya tidak mampu “mengakses” hukum secara independen, persoalan ini sering tidak diangkat dan
Jenis Sengketa
6
akhirnya terkubur dan dilupakan, dan itu memperparah rapuhnya kepercayaan pada proses hukum formal saat ini. Salah satu pelajaran yang bisa dipetik selama pelaksanaan PPK dan ‘proyek pilot bantuan hukum’ adalah bahwa ‘korupsi’ dan praktik-praktik curang umumnya tidak ditangani secara efektif oleh staf proyek. Persoalan ‘legal’ lainnya, seperti pelanggaran kontrak oleh pemasok/ kontraktor, pencurian atau perampasan aset desa nyaris tidak diatangani sama sekali. Sebagian alasannya adalah: > FK dan KMKab sepenuhnya menyadari kebijakan untuk terus-menerus mengevaluasi kinerja mereka dan cenderung berpikir bahwa jika ada yang salah, hal itu akan mempengaruhi catatan kinerja mereka. “Menutupi” sering dianggap lebih aman daripada “melaporkan.” > FK dan KMKab ikut merasakan ketidaknyamanan publik jika harus berurusan dengan “hukum”. Mereka tidak terbiasa dengan berbagai prosedur, cemas dengan akibat yang tidak diinginkan dan takut pada benturan potensial dengan para pejabat pemerintah setempat. > FK dan KMKab sendiri mungkin terlibat dalam korupsi dan kecurangan. Akses pada bantuan hukum dengan demikian harus independen dan tidak mengandalkan staf atau mekanisme-mekanisme proyek. Ini juga berarti bahwa akan tetap demikian keadaannya sekalipun PPK, PNPM atau setiap program lainnya berakhir dan staf proyek ditarik. (Meski begitu, pembentukannya memerlukan dana hibah, komponen sementara PNPM. Begitu struktur-struktur itu sudah tumbuh, mereka akan berjalan secara independen). Tabel berikut menunjukkan kemungkinan distribusi tugas bagi penanganan masalah.
Ditangani oleh
Substansi Sengketa
Metode Penyelesaian yang Disarankan
1. Teknis
Staf Lapangan Proyek/HCU
Sengketa / kesalahpahaman terhadap peraturan / prinsip / standar KDP (misalnya suku bunga minimum, daftar negatif, organisasi proyek, prosedur pembayaran, dan lain-lain)
Staf lapangan dan TK mengambil langkah segera untuk memeriksa fakta dan melakukan tindakan korektif (sosialisasi, pengulangan prosedur, mediasi) guna menyelesaikan persoalan sesuai dengan manual HCU / PTO.
2. Sosial
Staf Lapangan Proyek/HCU
Konflik antardesa (atau konflik antara kelompok-kelompok dari desa-desa yang berbeda) dalam konteks pelaksanaan KDP: misalnya kecemburuan, sebuah desa tidak menghormati keputusan MAD atau merasa dirugikan, pilih kasih pemerintah terhadap kelompok atau desa tertentu.
Pada dasarnya, sengketa-sengketa ini harus diatasi oleh para pihak sendiri. Baik melalui musyawarah di tingkat MAD atau melalui mediasi pihak ketiga. Staf proyek bisa memfasilitasi atau memperantarai.
EDISI 05 • TH. III • MEI 2007
Jenis Sengketa
Ditangani oleh
Substansi Sengketa
3. Hukum
Paralegal/Pengacara Bantuan Hukum
Sengketa Perdata. Misalnya pelanggaran kontrak oleh seorang pemasok / kontraktor, atau kerugian yang ditimbulkan perbuatan melawan hukum yang dilakukan pihak-pihak dari luar desa (pembalakan liar, penyerobotan tanah, pencurian sumber daya alam atau aset desa).
Sebaiknya diselesaikan secara informal sejauh ‘kesetaraan’ and ‘kesamaan’ bisa dijamin, misalnya dengan melibatkan seorang mediator atau penasihat paralegal terlatih. Jika penyelesaiannya tidak adil, dimungkinkan memperkarakannya di pengadilan negeri.
Paralegal/Pengacara Bantuan Hukum
Kejahatan. Penggelapan dana atau material, penipuan, pemerasan, penyuapan, kekerasan & vandalisme, pencurian aset desa, dan sebagainya.
Semuanya kecuali ‘kejahatan ringan’ (penggelapan dalam jumlah kecil, tindakan kekerasan ringan) harus dilaporkan kepada polisi dengan bantuan paralegal terlatih atau pengacara. Tindak lanjut aparat penegak hukum harus dipantau.
Proyek pilot tahun 2001 memperlihatkan bahwa persaingan antara staf lapangan proyek dan staf lapangan ‘legal’ mudah terjadi. Situasi ini menyulitkan warga desa dan dengan cepat menghancurkan kepercayaan pada mekanisme masalah dan merusak seluruh rancangan. Banyak yang bergantung pada seberapa bagus staf lapangan ‘legal’ dilatih untuk memahami dan mengikuti ‘aturan main’ bagi bantuan hukum. Misalnya: • Para pengacara tidak perlu berusaha mengawasi atau mengevaluasi prosedur dan prinsip-prinsip proyek. • Mereka harus selalu independen, misalnya tidak membiarkan diri “dipekerjakan” oleh KMKab
Metode Penyelesaian yang Disarankan
sebagai “penasihat hukum” atau menekan debitor UED dan sebagainya (ini terjadi di Jawa Tengah). • Paralegal dan pengacara harus semata-mata bertindak atas nama dan untuk kepentingan warga desa atau kelompok desa yang secara eksplisit (dengan surat kuasa) meminta nasihat dan dukungan mereka. Tabel berikut memperlihatkan bagaimana dua mekanisme masalah (yang pertama independen, berdasarkan sebuah kerangka bantuan hukum, yang lainnya terkait proyek, berdasarkan struktur proyek PPK).
Koordinasi Tingkat Nasional d) Struktur Penanganan Masalah Independen
fl Interaksi ‡
Struktur Penanganan Masalah Proyek/PNPM
Lembaga Primer (LP) Provinsi (Sebuah universitas or NGO bertanggung jawab memantau ‘aturan main’, menyediakan dukungan politis bagi pengacara, melalui TK Provinsi)
Problem tentang perselisihan antara staf proyek / fasilitator / paralegal / pengacara harus ditangani pada tingkat ini melalui konsultasi antara LP dan TK Provinsi.
TK Provinsi Korprov
Organisasi Bantuan Hukum Kabupaten / Pengacara
Sinkronisasi pencarian fakta / fl kerja sama b) ‡
TK Kabupaten KM Kab
Pos Bantuan Hukum Kecamatan c)
Sinkronisasi pencarian fakta / fl kerja sama b) ‡
Fasilitator Kecamatan
Village paralegals / kader hukum
Sinkronisasi pencarian fakta / fl kerja sama b) ‡
Fasilitator Desa
Masalah legal atau ‘umum’ lainnya
fl Masyarakat Desa a) ‡
Masalah teknis tentang prosedur menyangkut PNPM, musrenbang, alokasi ADD dan sebagainya.
EDISI 05 • TH. III • MEI 2007
7
Klarifikasi : a) Warga desa mempunyai dua saluran untuk menyampaikan masalah. Pertama, ‘struktur masalah proyek’ bagi masalah yang berkaitan dengan masalah-masalah prosedural dan kinerja staf lapangan atau pejabat pemerintah. Kedua, ‘struktur masalah independen’ untuk masalah/laporan tentang perbuatan kejahatan atau gugatan perdata, entah itu terkait langsung dengan proyek atau tidak. b) Di tingkat kecamatan dan kabupaten harus dijalin kerja sama erat dalam mencari fakta-fakta di balik sebuah masalah. Proyek pilot 2001 (Sumatera Utara dan Jawa Tengah) menunjukkan bahwa warga desa tidak selalu bisa diandalkan dalam hal ini dan kadang-kadang malah berusaha mempertentangkan FK dengan paralegal dan sebaliknya. Paralegal dan pengacara juga harus menyelaraskan aktivitas mereka masing-masing dengan FK/KMKab, misalnya pelatihan dan sesi sosialisasi. c) Walaupun Pos Bantuan Hukum pada mulanya hanya berfungsi sebagai sumber bagi nasihat dan bantuan hukum saja, dalam jangka panjang bisa menjadi sebuah sumber bagi informasi yang jauh lebih luas; harga pasar, layanan kesehatan, kredit asuransi, dan lain sebagainya, dan lebih menjadi Pos Bantuan Masyarakat. d) Saya belum yakin akan seperti apa ‘koordinasi tingkat nasional’ itu atau bahkan apakah memang perlu ada koordinasi tingkat nasional, berangkali tingkat nasional sudah memadai untuk sebuah struktur bantuan hukum independent (atau sesuatu seperti kerangka terdesentralisasi YLBHI saat ini).
b) Desa Harus Mempunyai Sebuah Jaringan Pendukung ‘Akses pada Peradilan’ Bahkan setelah dilaksanakannya pelatihan tingkat desa mengenai pengetahuan paralegal, mediasi dan keterampilan audit, akan selalu ada kasus yang terlalu rumit (secara teknis, sosial atau politis) untuk ditangani rata-rata warga desa dan fasilitator kecamatan. Walaupun pendekatan legal formal tidak populer, kadang-kadang itu adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan dana atau aset komunal. Meskipun enggan, warga desa harus selalu terbuka pada opsi ini dan diberi akses mudah pada pertimbangan dan dukungan hukum profesional untuk memanfaatkan sistem peradilan formal. Struktur bantuan hukum (independen) semacam itu harus cukup kokoh untuk menghadapi tekanan dan gangguan dari pihak-pihak berkuasa yang mungkin merasa kepentingannya terancam. Dengan demikian struktur itu harus mencakupi (setidak-tidaknya) sebuah jaringan tingkat provinsi dengan dukungan timbal balik antar komponen bantuan hukum tingkat kabupaten. Jaringan provinsi mencakupi media massa dan LSM-LSM pengawas serta mempunyai akses pasti pada lembagalembaga pemerintah provinsi (langsung atau melalui PNPM yang ada tim koordinasi; lihat paragraph [c] di bawah untuk memahami lebih jauh gagasan tentang hal ini). i.
Paralegal desa/kecamatan ‘Pertolongan pertama hukum’ yang mudah diakses harus tersedia bagi warga desa untuk (a) mengetahui opsi-opsi legal mereka dan berbagai kemungkinan risiko, dan (b) menempuh proses legal formal jika metode-metode yang lebih informal gagal. Ketika persoalan menjadi terlalu ruwet bagi paralegal, mereka harus punya bantuan teknis dan dukungan dari para pengacara bantuan hukum di tingkat kabupaten.
Keterbukan, salah satu cara menghindari adanya penyimpangan.
8
EDISI 05 • TH. III • MEI 2007
ii. Akses pada bantuan hukum independen Struktur bantuan hukum ini bermaksud memberi warga desa opsi untuk memilih sebuah pendekatan yang lebih formal dalam rangka menyelesaikan konflik (sekiranya pendekatan informal tidak membuahkan hasil), baik dengan meminta jasa mediasi pihak luar atau maju ke pengadilan. Program bantuan hukum juga harus menyediakan dukungan dan ‘kekuatan negosiasi’ bagi paralegal desa/kecamatan saat dibutuhkan; paralegal harus merasa yakin bahwa mereka adalah bagian dari sebuah jaringan besar. iii. Akses pada pengawasan tingkat provinsi dan/ atau nasional. Para pengacara bantuan hukum kabupaten sudah biasa berurusan dengan kepolisian resor, kejaksaan dan pengadilan negeri dalam membantu warga desa. Kendati demikian, dalam beberapa kasus bisa saja mereka menemui gangguan serius dari para pejabat tingkat kabupaten jika masalahmasalah yang diajukan melibatkan pejabat pemerintah daerah atau aparat penegak hukum setempat. Dalam situasi demikian para pengacara harus mampu menerobos rintangan dan mengakses pejabat-pejabat provinsi atau nasional (misalnya melalui saluran-saluran structural yang bertanggung jawab mengawasi pemerintahan kabupaten atau melalui ‘tim-tim koordinasi’ yang bertanggung jawab mengawasi pelaksanaan program-program pembangunan nasional). Pada tingkat ini, kerja sama antara lembaga-lembaga bantuan hukum dan media massa, kelompok-kelompok advokasi (lembaga donor) menjadi penting. iv. Akses pada keahlian audit Selain audit acak, warga desa juga harus bisa memperoleh sebuah audit khusus apabila mereka meragukan kemampuan mereka dalam bidang ini. Struktur bantuan hukum bisa pula menyediakan akses pada layanan audit semacam itu. c) … dan sebuah Jaringan Pendukung Sosial dan Politik Di masa lalu, selama pelaksanaan PPK, Bank Dunia terpaksa mengandalkan langkah-langkah tegas untuk mengatasi ”tangkapan kabupaten” dan penolakan para pejabat kabupaten untuk menindak korupsi terangterangan, penggelapan dan kolusi dalam mengeruk dana PPK. Pada kasus-kasus paling serius, ini berarti penangguhan pencairan dana atau mencoret suatu wilayah dari program PPK. Inilah sebuah langkah ‘darurat’ yang boleh jadi menyodorkan beban paling berat bagi pihak yang ingin Anda bantu, yakni desa-desa miskin dan terpencil. Tidak bisa disalahkan jika mereka mungkin saja berpikir, “pergi sana dengan program antikorupsi kalian kalau itu cuma menghilangkan jatah kami yang kecil itu setelah disunat para pejabat.” Di bawah PNPM barangkali akan semakin sulit mengambil langkah-langkah demikian dan banyak wilayah yang
akan berada di luar jangkauan Bank Dunia. Maka dari itu, jika pihak desa ingin menggugat sendiri secara realistis kebijakan, praktik dan keputusan kabupaten, mereka memerlukan akses pada jaringan masyarakat sipil dan pemerintahan yang lebih luas, selain nasihat dan dukungan hukum tentunya. Tujuan jaringan semacam itu adalah memberi pihak desa nilai tambah politis yang dibutuhkan untuk menjaga agar arena tetap ‘imbang’ dalam sengketa antara ‘kabupaten’ dan ‘desa’. Yang paling utama, jaringan ini akan menyediakan publisitas, sebuah sarana bagi pengawasan publik dan pemerintah (provinsi). Mendorong pembentukan jaringan-jaringan lokal seirama PPK yang terdiri atas LSM, media massa, pejabat pemerintah reformis (atau kabupaten-kabupaten ‘reformis’ dalam suatu provinsi, dibentuk, dirangsang lewat program semacam ILGR) yang bisa menyediakan ‘jaring pengaman’ bagi masyarakat dan perorangan yang disiapkan untuk melawan tingginya angka penggelapan, korupsi dan sebagainya. Dalam kasus-kasus gamblang dengan pelaku di luar desa, staf proyek PPK atau PNPM harus menggalang jaringan-jaringan semacam itu dan mendesak pihak desa untuk segera melaporkan kasus-kasus demikian kepada kepolisian jika upaya-upaya yang dirundingkan untuk mengembalikan uang tidak lekas membuahkan hasil. Lebih banyak ‘batu ujian’ seperti yang di Lampung itu, beberapa tahun lalu, akan memotivasi dan memberikan contoh serta pengalaman untuk meredakan kesinisan publik ketika ada orang yang berusaha menyeret para pejabat pemerintah berkuasa berikut kroni mereka ke meja hijau.
3. Membawa ‘masalah’ ke ranah publik Berbagai rekomendasi tentang cara memerangi korupsi lazimnya mencakupi “peningkatan resiko korupsi”, yang pada hakikatnya berarti “meningkatkan risiko tertangkap dan dihukum” dengan menjadikan prosedur-prosedur proyek lebih transparan, meningkatkan ancaman audit, meningkatkan kesadaran publik mengenai harga dan bayaran. Meski demikian, menjadikan prosedur lebih transparan tidak akan terlalu menciutkan nyali pelaku penggelapan jika tidak ada orang yang melaporkan segala macam kesalahan. Kekebalan hukum sudah sedemikian berurat mengakar, begitu pula di benak ‘korban’, hingga sekalipun sebuah kasus penggelapan begitu terang dan diketahui orang ramai sama sekali tidak bisa dipastikan bahwa kasus itu akan dilaporkan. Apa maslahat nyata bagi pelapor? Meyakinkan orang bahwa menyampaikan masalah dan melaporkan adalah hal yang layak dilakukan barangkali akan menghasilkan peningkatan lebih besar dalam “ongkos korupsi” ketimbang perubahan-perubahan prosedural. a) Menciptakan insentif lebih besar untuk menyampaikan masalah EDISI 05 • TH. III • MEI 2007
9
Jika kita menghendaki ada lebih banyak orang yang melaporkan penggelapan/korupsi, maslahatnya secara umum harus lebih menarik. Berikut adalah beberapa contohnya. i. Meningkatkan peluang masyarakat untuk benarbenar mendapatkan kembali uang yang dicuri Salah satu insentif utama untuk melaporkan penggelapan/pencurian adalah jaminan bahwa dana yang diselamatkan akan dikembalikan kepada masyarakat. Saat ini satu-satunya cara mencapai jaminan itu adalah meneriman ‘alasan utang’ pelaku penggelapan dan merundingkan pelunasan uang yang ‘dipinjam’. Jika dakwaan formal sudah dibacakan dan vonis menyusul, uangnya dikembalikan kepada jaksa penuntut umum dan diserahkan ke Kas Negara. Ada dua prakarsa yang harus ditempuh guna menghadang praktik ini: • Pemerintah harus menyepakati bahwa dana yang diterima warga desa sebagai bantuan hibah sudah bukan lagi uang Negara. Ini berarti penggelapan dana semacam itu sudah tidak bisa lagi serta merta dikategorikan sebagai ‘korupsi’ melainkan penggelapan kriminal. Dengan begitu uangnya akan dipulangkan kepada korban. • Bank Dunia harus menggunakan persetujuan utang masa depan untuk mencapai efek serupa di atas, yakni menyatakan bahwa semua dana proyek CDD yang diperoleh kembali menyusul putusan (pengadilan) resmi atas ‘korupsi’ atau penggelapan, harus dikembalikan kepada masyarakat/kelompok yang berkepentingan dan tidak diserahkan ke Kas Negara, di mana mungkin saja uang itu dipakai untuk tujuan-tujuan selain yang dinyatakan tegas dalam persetujuan utang. ii. Kompensasi bagi material cacat atau pekerjaan yang tidak layak Material cacat yang dikirim pemasok atau pekerjaan tidak layak garapan para kontraktor menimbulkan kerugian finansial bagi desa/masyarakat. Praktik standar yang umum berlaku sekarang adalah pihakpihak semacam itu hanya bertanggung jawab dalam tempo yang amat singkat. Bahkan jika warga desa mengerti prosedur dan cukup tergerak untuk menyampaikan masalah, masalah itu biasanya dianggap sepi, bahkan dalam kasus-kasus kealpaan mencolok mata. Laporan yang disiapkan dengan baik dan argumen-argumen kokoh di pengadilan akan memperbesar peluang untuk benar-benar memperoleh kompensasi lewat prosedur perdata. Pengalaman demikian akan membuat warga desa lebih giat dalam mengawasi material dan kerja kontraktor dan, dalam jangka panjang, berdampak positif bagi kualitas infrastruktur desa.
10
EDISI 05 • TH. III • MEI 2007
Keterbukan, salah satu cara menghindari adanya penyimpangan.
iii. Keyakinan bahwa akan ada tanggapan efektif dan segera bagu sebuah masalah Apabila terlalu banyak masalah yang tidak ditindaklanjuti, berakhir di tangan tersangka pelaku, atau dihambat oleh pertikaian di antara staf proyek sendiri, masalah langsung dari khalayak akan berhenti dan bebrabagi persoalan tidak kunjung akan dilaporkan. Sebuah struktur yang secara spesifik dirancang untuk menangani laporan tentang penggelapan datau kejahatan-kejahatan lainnya, akan menemui lebih sedikit ‘konflik kepentingan’ ketimbang, misalnya, staf lapangan atau pejabat daerah. b) Meningkatkan mutu masalah Penyidikan penggelapan sering kali jalan di tempat karena ‘pencarian fakta’ diserahkan kepada polisi/jaksa yang lalu bisa memanfaatkan kedudukan ini demi kepentingan mereka sendiri. Pelatihan lebih baik dalam pemantauan dan evaluasi dipadu dengan keterampilan melapor yang lebih baik bisa menjadikan kasus-kasus yang dilaporkan lebih gampang diproses dan menyisakan ruang lebih sempit bagi pemetiesan karena ‘tidak ada bukti’. i.
Menciptakan kapasitas ‘mon-ev’ lebih besar di tingkat desa untuk soal-soal teknis Misalnya saja pemeriksaan material yang dikirim pemasok harus menjadi prosedur standar (ada banyak bukti anekdot bahwa inspeksi jenis ini sangat ampuh membongkar praktik akal-akalan pada tahap dini). Perlu dilakukan pelatihan lebih efektif bagi warga desa mengenai penyusunan proposal, anggaran dan tetek bengek manual prosedural serta pengurangan ketergantungan pada staf proyek. Pemantauan mutu pekerjaan: jenis uji acak yang dilakukan dalam studi Ben Olken,
umpamanya, tidak rumit; mutu mortar, semen, dan garapan tukang batu juga gampang diuji. ‘Panduan Mudah Memahami Infrastruktur Desa Sederhana’ rancangan CSM beberapa tahun lalu harus menjadi manual lapangan standar bagi warga desa untuk memantau konstruksi dan mengevaluasi mutu sebelum upacara serah terima. ii. Memperbesar kemampuan audit di tingkat desa Walaupun banyak warga desa yang tidak punya pendidikan dan keterampilan berurusan dengan ‘angka’, banyak juga yang punya. Terutama para anggota BPD, pedagang, guru dan anak-anak muda desa bisa diajari dan dilatih dalam kemahiran membandingkan anggaran dengan laporan pengeluaran, memeriksa daftar upah, mencermati administrasi simpan pinjam. Tentu jangan diharap orang-orang ini akan langsung bertindak layaknya detektif fiskal atau menuntut mereka tahu semua soal pembukuan desa, tetapi keterampilan mereka siap dipakai jika ada yang memerlukan ‘pendapat lain’ atau memeriksa berbagai catatan, dan lain sebagainya. Ketersediaan lebih banyak keterampilan audit dalam sebuah desa saja barangkali sudah menjadi faktor penangkal.
Jenis pelatihan ini mensyaratkan persiapan matang dan waktu yang panjang, termasuk latihan ulangan (sekurang-kurangnya satu sesi sebulan dalam, katakanlah, empat bulan). NMC barangkali sudah bukan lagi lembaga yang pas untuk urusan ini. Mungkin Anda bisa melibatkan orang-orang dari, misalnya, RACA (eks-YLBHI, para pelatih paralegal) atau para ahli pelatihan akar rumput serupa itu. Mintalah mereka meninjau presentasi mutakhir bahan-bahan, modul dan keterampilan pelatih. iii. Pelatihan kesadaran hukum Dengan pertolongan paralegal dan bantuan hukum formal, warga desa harus tahu hak-hak mereka sebagai saksi, pelapor dan tahu lebih banyak tentang opsi-opsi menggugat kelambanan kepolisian dan kejaksaan. Jaringan-jaringan yang disebut dalam paragraf-paragraf sebelumnya akan memberi mereka jangkauan lebih jauh untuk menguji pernyataan-pernyataan dan dalih penundaan kepolisian maupun kejaksaan.
Alur program sudah tersusun, jika tetap terjadi penyimpangan, apa yang bisa dilakukan?
EDISI 05 • TH. III • MEI 2007
15
INFO KEGIATAN
Women’s Legal Empowerment (WLE) dan Revitalization of Legal Aid (RLA) Misi Supervisi ke Nusa Tenggara Barat dan Jawa Barat A. Temuan Pokok
Masyarakat dan paralegal dari program WLE di Desa Jelantik, NTB
Pada bulan September 2006, program Justice for the Poor mengadakan misi supervisi untuk memonitor pelaksanaan dua program pilot, WLE dan RLA, di Nusa Tenggara Barat dan Jawa Barat. Peserta misi adalah pejabat pemerintah, perwakilan LSM dan donor serta staf Bank Dunia. Tujuan pilot WLE dan RLA adalah peningkatan taraf kehidupan masyarakat miskin dengan kegiatan peningkatan kesadaran hukum, mediasi dan advokasi supaya masyarakat bisa menuntut pelayanan pemerintah yang lebih efektif termasuk pelayanan hukum. Pilotpilot ini memberikan pelayanan bantuan hukum di tingkat masyarakat sambil menguatkan lembaga hukum dan pemerintah lokal. Juga ada inisiatif untuk menghubungkan masyarakat miskin dengan dukungan dari LSM dan pemerintah. Pilot-pilot ini menangani masalah sehari-hari yang dialami oleh masyarakat miskin termasuk hak harta, buruh, warisan dan perceraian. Kelompok sasaran WLE adalah anggota PEKKA (Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga) dan sasasran RLA adalah masyarakat petani dan buruh pabrik. Informasi lebih lanjut tentang kedua pilot ini bisa diakses dari www.justiceforthepoor.or.id. Pilot-pilot ini juga merupakan suatu uji coba untuk membangun jaringan paralegal, perumusan strategi pemerintah nasional mengenai Akses terhadap Keadilan, dan komponen Mediasi dan Pemberdayaan Hukum Masyarakat dalam program baru milik Pemerintah yang didanai Bank Dunia, Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (SPADA). 16
EDISI 05 • TH. III • MEI 2007
Dalam pelaksanaan satu setengah tahun, hasil yang sudah tercapai termasuk: • 195 paralegal dan 265 mediator desa untuk RLA di 18 kabupaten, dan 26 paralegal di 4 kabupaten untuk WLE sudah dilatih dan sedang didukung oleh pendamping lapangan LSM. Pelaku Pilot ini sangat bersemangat dan sudah menyediakan pendidikan hukum kepada 6.000 anggota masyarakat. • Pelatihan, pendidikan dan dukungan yang disediakan kedua pilot ini sesuai dengan masalah yang dihadapi oleh masyarakat sehari-hari misalnya isu buruh, tanah, kekerasan dalam rumah tangga, perkawinan dan perceraian. Pelaku pilot sudah membantu lebih daripada 400 anggota masyarakat dengan masalah hukum. • Jaringan paralegal sedang dibangun tetapi diperlukan perhatian lebih fokus untuk memperkuat ketrampilan paralegal dan mendukung transfer kesadaran dan ketrampilan paralegal ini kepada masyarakat. • Dukungan dari aparat pemerintah lokal sangat membantu usaha penanganan kasus dan advokasi. Sampai sekarang dukungan ini tergantung pada hubungan pribadi saja, dan kurang sistematis. • Forum Multi-Stakeholder dalam WLE (MSF, termasuk dari Pengadilan Negeri dan Agama, Polsek, Kejaksaan, Pemda dan LSM) merupakan mekanisme berkuasa untuk menjembatani masyarakat dan pemerintah. MSF ini lebih efektik di Jawa Barat dengan Bupati yang sangat mendukung. Jembatan institusi yang mirip ini mungkin berguna untuk RLA juga. • Kedua pilot ini menggambarkan kekuatan dan kelemahan pendekatan pemberdayaan hukum masyarakat, yang bisa disharing antara kedua program: > Kekurangan hubungan institusi antara WLE dan pengacara bantuan hukum menghambatkan penanganan kasus. Kalau di RLA, kunjungan secara regular dari pengacara ke posko bantuan hukum sangat membantu penanganan kasus dan dukungan untuk paralegal. > Karena kelompok sasaran tidak terbatas dalam RLA, agak susah menjangkau masyarakat petani secara umum. Kalau buruh pabrik atau anggota PEKKA kelompok sasaran sudah terbatas dan sosialisasi dan pendidikan hukum masyarakat lebih gampang.
B. Rekomendasi
2. Perlatihan bersama untuk paralegal WLE dan RLA.
WLE 1. Kerjasama secara langsung dengan LBHAPIK atau lembaga bantuan hukum lain di tingkat propinsi untuk memudahkan penanganan kasus.
3. Kunjungan silang dari WLE dan RLA ke program masing-masing dan sesi pendidikan hukum masyarakat bersama untuk mendorong sharing dan pembangunan jaringan antara paralegal WLE dan RLA.
2. Strategi lebih konkret untuk menjangkau laki-laki, polsek, dan tokoh lain. 3. MSF lebih baik ditempatkan di tingkat kabupaten daripada tingkat propinsi. Pendamping lapangan perlu usaha keras untuk mengurus kunjungan MSF ke desa. 4. Materi pendidikan hukum yang mudah dimengerti masyarakat dan paralegal diperlukan.
4. Kerjasama lebih konkrit antara RLA, WLE dan lembaga bantuan hukum perempuan (misalnya LBH-APIK di Lombok) untuk menguatkan penanganan kasus dalam WLE dan memberpaiki jangkauan isu perempuan dalam RLA. Rekomendasi ini sedang ditindaklanjuti oleh semua lembaga pelaksana untuk tahap II kedua program pilot ini.
5. Diseminasi dan dokumentasi kasus perlu diperbaiki dengan pengawasan lebih kuat dari pendamping lapangan. Kegiatan ini seharusnya dihargai sebagai bagian penting dari strategi advokasi. RLA 1. Strategi khusus diperlukan untuk memperkuat ketrampilan paralegal, misalnya: a. Pelatihan paralegal secara regular dengan keterlibatan lembaga pelatihan untuk membantu lembaga pelaksana dengan metode pelatihan yang efektif. b. Tim fasilitator perlu mengujungi posko-posko dalam RLA lebih sering dan fokus tidak hanya pada kasus tetapi pada pendidikan hukum masyarakat, sosialisasi pelayanan posko dan pembangunan jaringan dengan aparat desa dan lembaga lokal. c. Lebih banyak paralegal perempuan perlu dilibatkan, perlu pertimbangan keperluan khusus perempuan dan pembangunan dukungan dari perempuan utama untuk kegiatan posko. d. Materi pendidikan hukum yang mudah dimengerti masyarakat dan paralegal diperlukan. 2. Pelaksanaan paralegal. 3.
sistem
penilaian
sendiri
untuk
Diseminasi dan dokumentasi kasus perlu diperbaiki dengan pengawasan lebih kuat dari tim fasilitator. Kegiatan ini seharusnya dihargai sebagai bagian penting dari strategi advokasi.
Membangun Sinergi antara WLE dan RLA 1. Memperluas mandat MSF untuk memasukkan isu RLA dan/atau membentuk asosiasi paralegal untuk fokus terhadap pembangunan hubungan dengan aparat lokal dan pihak yang terkait lain, misalnya polsek.
Pilot-pilot ini juga merupakan suatu uji coba untuk membangun jaringan paralegal, perumusan strategi pemerintah nasional mengenai Akses terhadap Keadilan, dan komponen Mediasi dan Pemberdayaan Hukum Masyarakat dalam program baru milik Pemerintah yang didanai Bank Dunia, Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (SPADA). EDISI 05 • TH. III • MEI 2007
17
INFO PROGRAM
Komisi Pemberdayaan Hukum Bagi Kaum Miskin (Commission on Legal Empowerment of the Poor) oleh : Restu Mahyuni-Reinhardt, YLBHI dan Matthew Zurstrassen, Justice for the Poor
Commission on Legal Empowerment of the Poor (Komisi Pemberdayan Hukum Bagi Kaum Miskin, selanjutnya disebut dengan “Komisi”) bertujuan untuk menciptakan perlindungan hukum dan kesempatan ekonomi tidak hanya hak bagi segelintir orang saja, tetapi juga hak yang dimiliki oleh semua orang. Komisi menyadari bahwa perlindungan hukum bagi masyarakat miskin adalah hal yang sangat penting untuk mengurangi kemiskinan. Hal tersebut akan mengeksplorasi kesempatan bagi masyarakat miskin untuk menjamin akses yang lebih luas terhadap hak atas kepemilikan atas asset yang mereka miliki dan akses terhadap sistem hukum dan struktur formal.
Di Indonesia, Konsultasi Nasional telah diselenggarakan pada tanggal 24-25 November 2006 di Jakarta. Dengan dihadiri oleh lebih dari 100 peserta yang berasal dari Lembaga Swadaya Masyarakat, jaringan akar rumput, pemerintah, akademisi, pelaku bisnis terutama usaha kecil dan menegah dan serikat pekerja. Peserta yang hadir merupakan perwakilan dari dua puluh daerah yang berbeda di Indonesia. Konsultasi Nasional dibuka oleh Ibu Erna Witoelar, Anggota Komisi, dan Bapak Adnan Buyung Nasution, Ketua Dewan Pembina YLBHI.
Hari pertama Konsultasi menyajikan presentasi yang dibagi atas empat sesi sesuai dengan tema Kelompok Kerja Komisi. Presentasi tersebut disajikan oleh perwakilan Diluncurkan tahun 2006, Komisi dipimpin oleh mantan dari pemerintahan pusat dan daerah, akademisi dan Sekretaris Negara Amerika Serikat, Madeleine Albright perwakilan LSM baik tingkat lokal maupun nasional. dan ekonom asal Peru Hernando Presentasi pada hari pertama de Soto. Anggota komisi terdiri tersebut dimaksudkan untuk Commission on Legal dari para pembuat kebijakan memberikan kesempatan kepada para pembuat kebijakan yang terkenal dari seluruh Empowerment of the Poor dan pihak yang terlibat dalam dunia. Komisi ini, didukung (Komisi Pemberdayan Hukum kegiatan pemberdayaan oleh beberapa lembaga donor dan terletak di UNDP, akan hukum masyarakat untuk Bagi Kaum Miskin, selanjutnya terus berlangsung hingga tahun dapat menyajikan dan disebut dengan “Komisi”) bertujuan 2008, dan pada tahun tersebut mengetengahkan kenyataan untuk menciptakan perlindungan Komisi akan menyampaikan yang ada dan memaparkan hasil-hasil temuannya kepada beberapa keberhasilan juga hukum dan kesempatan ekonomi lembaga-lembaga donor. kendala yang dihadapi.
tidak hanya hak bagi segelintir orang saja, tetapi juga hak yang dimiliki oleh semua orang.
Kelompok Kerja Komisi meliputi tema-tema sebagai berikut: Akses terhadap Keadilan dan Aturan-aturan Hukum; Hak Buruh; Hak atas Kepemilikan; dan Kewirausahaan. Hasilhasil temuan dari keempat kelompok kerja tersebut akan dikembangkan menjadi sebuah alat bantu (toolkit) yang akan menggambarkan petunjuk dan contoh-contoh dari pengalaman terbaik yang telah ada. Alat Bantu tersebut akan mendukung para pembuat kebijakan dalam hal mengajukan pembaruan yang dibutuhkan, dan sekaligus akan diimplementasikan untuk mengukur tingkat keberhasilan telah dicapai.
Tugas Kelompok Kerja diikuti serangkaian konsultasi regional dan nasional. Kegiatan konsultasi ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan dapat menarik perhatian Komisi atas contoh-contoh pengalaman terbaik dan hal-hal mana saja yang memerlukan pembaruan di tingkat daerah, nasional, dan regional. 18
EDISI 05 • TH. III • MEI 2007
Pada hari berikutnya, Konsultasi Nasional difokuskan pada diskusi yang terarah. Terdapat empat kelompok diskusi berdasarkan empat tema Kelompok Kerja Komisi. Diskusi ini dimaksudkan utuk mengidentifikasi hal-hal apa saja yang dapat dijadikan contoh-contoh terbaik dan kemudian menyusun rekomendasi praktis untuk pembaruan di Indonesia. Berapa contoh-contoh yang disampaikan dalam diskusi di hari kedua ini antara lain: • Di Provinsi Lampung, pemerintah daerah, LSM hukum, dalam hal ini Kantor LBH Lampung, akademisi, dan media massa telah bekerjasama membentuk sebuah Badan Mediasi Pertanahan untuk mengatasi perselisihan yang berhubungan sengketa pertanahan. • Di Yogyakarta, Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) telah menyusun sebuah kontrak standar untuk pekerja rumah tangga. Pada tataran
pelaksanaan, kontrak ini telah dipergunakan, dan kini SPRT tengah berupaya mendorong pemerintah daerah untuk mengesahkan kontrak ini di dalam peraturan daerah. • Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) telah memprakarsa sebuah kegiatan yang disebut dengan Bantuan Hukum Berjalan (BHB). Kegiatan BHB ini berupa turun langsungnya para pekerja bantuan hukum YLBHI dengan “mobil BHB” ke wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) untuk memberikan konsultasi hukum langsung gratis di tempat bagi masyarakat miskin. • Pemerintah daerah di beberapa kabupaten, termasuk di dalamnya Bogor dan Brebes telah memprakarsa sebuah program bagi masyarakat untuk mendapatkan kartu tanda penduduk dan akte lahir secara gratis. • Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK) telah menyediakan bantuan bagi usaha kecil yang didirikan oleh perempuan di beberapa kabupaten di seluruh Indonesia. • Beberapa organisasi, seperti kantor-kantor LBH yang berada di bawah naungan YLBHI, LBH Apik, dan PEKKA (program Perempuan Kepala Keluarga) telah melakukan beberapa kegiatan pemberdayaan hukum untuk masyarakat miskin di seluruh Indonesia. Komisi akan menggunakan pengalaman terbaik di atas untuk mengidentifikasi hal-hal mana saja yang dapat dijadikan acuan dalam agenda perubahan pada tingkat lokal maupun nasional, dan bahkan selanjutnya hal tersebut dapat dijadikan sebagai contoh terbaik bagi negara lain. Dalam kaitannya dengan Konsultasi Nasional, YLBHI, selaku Sekretariat dari proses kegiatan Konsultasi Nasional telah melakukan serangkaian kegiatan untuk mensosialisasikan kerja Komisi dan melakukan persiapan kegiatan Konsultasi Nasional. Kegiatan tersebut antara lain adalah kunjungan Naresh Singh, Direktur Eksekutif Komisi ke Jakarta pada tanggal 18-19
Oktober 2006. Kunjungan ini dimaksudkan untuk dapat bertemu dengan para pejabat pemerintahan, termasuk perwakilan Steering Committee kegiatan Konsultasi Nasional di Indonesia, LSM lokal, lembaga donor, dan media. Dalam kunjungannya Singh, juga bertemu dengan Ketua Mahkamah Agung, Kepala Bappenas, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional. Pada tanggal 03 November 2006, Anggota Komisi dan mantan Menteri Keuangan Afghanistan, Ashraf Ghani, berkunjung ke Indonesia. Dalam kunjungan singkatnya beliau bertemu dan berdiskusi dengan perwakilan dari Lembaga Swadaya Masyarakat membahas kerja-kerja Komisi. Pada tanggal 4 November 2006, YLBHI mengorganisir serangkaian diskusi kelompok terfokus (FGD) untuk memantau perkembangan proses kertas kerja yang telah dipersiapkan pada tiap kelompok kerja. Diskusi kelompok terfokus didahului dengan kegiatan diskusi dengan salah satu ketua (Co-Chair) Komisi, Hernando de Soto. Selama bulan Desember 2006 dan Januari 2007, hasil Konsultasi Nasional akan disampaikan kepada pejabat pemerintahan dan perwakilan pengusaha. Dengan mempertimbangkan pendapat dari mereka, kertas kerja yang meliputi tema di setiap kelompok kerja akan dipresentasikan di Konsultasi Regional yang meliputi wilayah Asia Timur, yang dijadwalkan akan diselenggarakan awal tahun 2007. Anggota Komisi, Erna Witoelar, juga akan mempresentasikan temuan-temuan Konsultasi Nasional dalam sebuah pertemuan dengan anggota Komisi di New York pada awal tahun 2007. Para pembaca newsletter Justice for the poor juga diharapkan untuk dapat memberikan masukan yang berharga atas contoh-contoh ataupun pengalaman terbaik yang meliputi empat tema Kelompok kerja Komisi (Akses terhadap Keadilan dan Aturan-aturan Hukum; Hak Buruh; Hak atas Kepemilikan; dan Kewirausahaan). Masukan dan saran anda dapat dikirimkan melalui e-mail kepada Restu Mahyuni Reinhardt di
[email protected] atau Matthew Zurstrassen di
[email protected]. Untuk informasi lebih lanjut, para pembaca juga dapat mengakses www.undp.org/legalempowerment.
Sumber Foto: Panitia CLEP National Consultation Foto-foto di atas menunjukkan serangkaian kegiatan Konsultasi Nasional Komisi Pemberdayaan Hukum bagi Masyarakat Miskin yang menghadirkan Hernando de Soto (salah seorang Ketua Komisi) sebagai salah satu pembicara kunci. Tampak juga Erna Witoelar sebagai salah seorang Anggota Komisi menemui pendemo.
EDISI 05 • TH. III • MEI 2007
19
STUDI KASUS
Korupsi
APBD 2002-2004 Pemkab Blitar
Tulisan ini menggambarkan sebuah ”success story” penanganan kasus korupsi yang melibatkan peran masyarakat sipil, aparat hukum dan media massa secara sinergis. Pengungkapan kasus korupsi APBD 2002-2004 Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Blitar terbilang fenomenal. Lima pejabat, termasuk bupati divonis bersalah oleh pengadilan negeri Kabupaten Biltar. Dalam kasus korupsi tersebut, total kerugian negara mencapai Rp 73 miliar. Keberhasilan pengungkapan kasus ini tidak lepas dari sinergitas aparat penegak hukum, masyarakat, LSM (lembaga swadaya masyarakat), dan media massa. Meski harus melalui proses berliku, proses pengungkapan kasus megakorupsi di Kabupaten Blitar menjadi bukti buruknya pengelolaan keuangan daerah.
Bagaimana kasus terungkap? Berawal dari keresahan warga akibat buruknya sejumlah fasilitas umum seperti jalan, jembatan dan tempat pelelangan ikan (TPI). Selanjutnya muncul issu bahwa kas daerah telah kosong dipertengahan tahun. Padahal, dilain kesempatan setiap hari Jumat, Bupati Blitar Imam Muhadi selalu membagi-bagikan uang dan karpet ke masjid-masjid, juga memberangkatkan umrah 7 orang ulama NU dan mengadakan tur wali lima bagi ulama muda NU menjelang pilpres 2004. Masyarakat lalu bertanya-tanya dan mulai menggunjing. Salah satu saluran tempat aspirasi masyarakat menyampikan keluhan adalah melalui program Langlang Kota di Radio Mayangkara. Sejumlah pejabat yang kecewa dengan kebijakan Bupati disebut-sebut sebagai aktor dibalik tersebarnya rahasia manipulasi keuangan Pemkab Blitar dengan issu utama kasda kosong. Mereka kemudian dikenal dengan sebutan tim 11. Bersamaan dengan itu, tujuh kepala desa dari Kabupaten Blitar menemui Kejagung untuk menyampaikan adanya mark up pengadaan seragam linmas dan penilepan dana perimbangan sektor migas dalam APBD 2003. Di situ disebutkan, sedikitnya Rp 4,7 miliar dana APBD 2003 patut dicurigai mengalir ke sejumlah pejabat Pemkab Blitar. Dari laporan inilah, proses pengusutan kasus dugaan mega korupsi Rp 97 miliar bermula.
Modus Operandi Bermula dari dugaan mark up pengadaan seragam linmas dan dana perimbangan migas, yang ditemukan Kejari justru dugaan korupsi dana APBD Pemkab Blitar tahun 2002-2004. Tidak tanggung-tanggung, dugaan korupsi 20
EDISI 05 • TH. III • MEI 2007
Tidak tanggung-tanggung, dugaan korupsi yang ditemukan Kejari mencapai Rp 68 milyar. Bahkan dalam audit BPK dugaan korupsi tersebut membengkak mencapai Rp 97 milyar. yang ditemukan Kejari mencapai Rp 68 milyar. Bahkan dalam audit BPK dugaan korupsi tersebut membengkak mencapai Rp 97 milyar. Kasus ini melibatkan empat orang sebagai tersangka, yaitu Bupati; Kabag Keuangan; dan Kepala Kas Daerah. Modus operandi kasus korupsi ini tergolong konvensional, sederhana, dan vulgar. Ada tiga cara yang dilakukan para tersangka untuk mengambil kas daerah secara illegal. Cara pertama dilakukan dengan mengeluarkan dana dari kas daerah dengan penerbitan SPMG (Surat Perintah Membayar Giro) kode D. Total uang yang disedot dengan praktek ini mencapai Rp 68 milyar. Penerbitan SPMG kode D dilakukan dari tahun 2002-2004 atas permintaan bupati dengan dalih keperluan kegiatan bupati. Bupati sering menyampaikan permintaan dana kepada Kabag Keuangan untuk kegiatan-kegiatannya. Karena permintaan ini tidak ada dalam pos anggaran APBD, memaksa Kabag Keuangan mencari cara agar permintaan Bupati bisa dipenuhi, yang akhirnya ikut menjeratnya sebagai tersangka korupsi. Secara administrasi penerbitan SPMG kode D ini menyalahi Kepmendagri No 29 tahun 2002 dimana setiap pengeluaran kas daerah baik untuk beban tetap maupun sementara harus ditempuh melalui prosedur tertentu. Cara kedua adalah dengan memindahbukukan dana dari kas Daerah langsung ke rekening pribadi. Total dana yang berhasil dipindahbukukan sebesar Rp 5 miliar. Praktek transfer dana kas daerah ke rekening pribadi dilakukan beberapa kali. Cara ketiga adalah pengeluaran dana dari kas daerah yang disimpan dalam bentuk deposito dan giro. Caranya,
masyarakat untuk memantau dan mengikuti jalannya persidangan di pengadilan. Namun cerita sukses aparat penegak hukum masih diwarnai sejumlah kontroversi. Kejaksaan dinilai masih tebang pilih dalam menangani kasus. Sebab tidak semua pejabat yang disebut-sebut ikut menikmati uang hasil korupsi sesuai dengan hasil audit BPK malah tidak tersentuh. Selain itu, keterangan salah satu saksi di persidangan tentang keterlibatan pejabat tertentu tidak ditindaklanjuti dengan penyelidikan oleh kejaksaan. Sejumlah pihak bahkan menduga beberapa oknum jaksa penyidik juga menikmati uang suap dari para tersangka. para tersangka memanipulasi sisa APBD tahun 2002 sebesar Rp 24 miliar. Untuk manipulasi sisa anggaran, pada Nopember 2002 tersangka Bupati memerintahkan Kabag Keuangan agar mengatur sisa lebih perhitungan APBD hanya sekitar Rp 4 miliar saja. Perintah itu segera ditindaklanjuti Kabag Keuangan dengan meminta staf bagian keuangan mengatur/menyesuaikan dengan cara menghilangkan/menghapus dana sebesar Rp 27 miliar dari sisa APBD 2002. Lalu, dana sebesar Rp 27 miliar dipindahbukukan ke rekening Kabag Keuangan sebesar Rp 24 miliar. Sisanya, sebesar Rp 3 miliar dimasukkan ke Kasda DAU. Dalam laporan keuangan dana Rp 27 miliar ini disiasati dengan cara membebankan pada pos belanja pegawai, pos belanja barang, pos pemeliharaan, pos perjalanan dinas dan pos belanja lain-lain pada masing-masing unit kerja Pemkab Blitar. Modus pensiasatan ini dilakukan untuk akhir tahun anggaran 2002-2004.
Proses Hukum Pengungkapan kasus ini tidak lepas dari pengawasan langsung lembaga di tingkat nasional. Secara kebetulan, salah satu pejabat teras di Kejagung adalah putra Blitar yang sedikit banyak mempengaruhi proses hukum yang terjadi. Apalagi, saat itu adanya target 100 hari kepemimpinan nasional yang salah satu agendanya pemberantasan korupsi. Praktis, kasus korupsi di Kabupaten Blitar juga ikut diawasi pusat untuk segera dituntaskan. Hal ini dikuatkan dengan faktor politik bahwa blitar adalah satu-satunya daerah yang dimenangkan pasangan capres-cawapres Mega-Hasyim dalam Pilpres pemilu 2004 lalu. Kinerja PN Kabupaten Blitar dalam persidangan kasus korupsi APBD juga relatif cepat. Ini terlihat dari agenda persidangan yang dapat dituntaskan dalam waktu 5 bulan di PN dan 6 bulan di PT. PN Kabupaten Blitar juga membuat terobosan menarik dalam persidangan kasus ini. Menyadari akan besarnya perhatian masyarakat Blitar, PN mengizinkan proses persidangan disiarkan secara langsung oleh Radio Mayangkara FM dan untuk memudahkan masyarakat mengingat, hari sidangnya dibuat Senin dan Kamis. Ini menunjukkan keterbukaan PN dalam menangani kasus dan memberikan ruang bagi i
Selain itu, vonis yang dijatuhkan kepada para koruptor juga dirasa masih jauh dari rasa keadilan masyarakat. Banyak kata-kata bergandai dipakai dalam keputusan. Bila terpidana tidak dapat memenuhi jumlah denda yang dijatuhkan dapat diganti dengan pidana kurungan paling lama dua tahun. Waktu dua tahun tidak sebanding dengan kekayaan yang telah dikumpulkan selama tiga tahun, jadi meskipun hukuman kurungannya ditambah pada saat keluar nanti mereka masih menjadi milyuner. Sehingga tidak ada efek jera bagi koruptor.
Bagaimana sinergitas dalam penanganan kasus? Terbongkarnya kasus korupsi APBD Kabupaten Blitar tahun 2002-2004 dipengaruhi oleh sejumlah faktor penting. Integrasi yang baik antara aparat penegak hukum, aktor pendorong dan media massa adalah kunci utama. Aparat penegak hukum serius dalam memproses secara hukum, memiliki konsistensi sikap dan komitmen terhadap tugasnya. Walau diakui Kepala PN Blitar bahwa hal ini tidak lepas karena kuatnya kontrol dari publik. ”Mereka (aktor pendorong) sangat berarti buat kami, kami merasa dikontrol, diawasi. Jadi kalau kami macammacam ada yang langsung mengingatkan. Kami tidak berani...” (Heri Sukemi, PN Blitar). Aktor pendorong banyak membantu proses hukum berjalan sesuai koridor yang berlaku. Mereka membantu menyediakan data-data kepada Kejaksaan, memberikan informasi-informasi yang penting dan menunjukkan dukungan dengan aksi massa dan kampanye akademik melalui diskusi atau seminar. Mereka juga melakukan capacity building bagi mereka sendiri dengan mengadakan diskusi reguler mengenai politik anggaran. Yang tak kalah penting adalah, peran sejumlah pejabat teras Pemkab Blitar yang memberikan data-data penting terkait carut-marutnya pengelolaan anggaran Pemkab. Para pejabat ini bisa disebut sebagai kunci pengungkapan kasus karena data-data penting pemkab, pertama kali diperoleh aparat penegak hukum dari tim 11 ini. Termasuk isu kasda kosong disebut-sebut juga berasal dari tim 11.
Misalnya penggunaan dan atau dalam vonis. Membayar ganti rugi sekian dan atau pidana kurungan satu tahun. EDISI 05 • TH. III • MEI 2007
21
Komitmen, konsistensi, kerjasama, jaringan, dan SDM yang memadai adalah faktor penguat gerakan aktor pendorong. Visi untuk membongkar penggondol uang rakyat cukup kuat tertanam dalam setiap aksi mereka. Pola strategi yang memetakan aparat penegak hukum sebagai ujung tombak dalam penanganan kasus korupsi adalah langkah jitu yang berhasil menyeret para koruptor ke balik jeruji besi. Kerjasama dengan aparat penegak hukum tidak membuat mereka membeo mengikuti ritme aparat. Mereka memposisikan diri kapan saatnya bekerjasama, kapan harus menekan, kapan waktunya mendorong, kapan menurunkan massa, kapan melakukan kampanye akademik dan kapan menggertak. Sehingga aparat penegak hukum benar-benar merasa dikontrol secara ketat oleh aktor pendorong. Menyangkut peran media yang paling istimewa adalah disiarkannya proses persidangan secara on air oleh stasiun Radio Mayangkara FM. Ide ini dilakukan untuk mengantisipasi membludaknya pengunjung persidangan kasus korupsi terbesar di Blitar mengingat perhatian sangat besar dari masyarakat. Sebelumnya, Mayangkara juga intens memberitakan perkembangan kasus ini setiap hari dan melalui program Langlang Kota menampung aspirasi masyarakat, komentar masyarakat
sejak masih kegelisahan menjelang pertengahan tahun, isu Kasda Kosong sampai selama proses hukum kasus ini berlangsung.
Impact Penanganan Kasus Keberhasilan menyeret pelaku korupsi ke lembaga pemasyarakatan membuat masyarakat semakin waspada. Masyarakat semakin berani mengungkapkan dugaan korupsi yang dilakukan para pejabat mulai dari tingkat desa sampai DPRD. Saat ini, paling tidak tercatat ada 5 kasus korupsi sedang diproses di kejaksaan dan kepolisian, yakni kasus korupsi Rp 1,125 miliar dengan tersangka utama mantan Ketua DPRD 1999-2004 Samirin Darwoto dan mantan Sekda Soebiantoro. Juga ada dugaan korupsi 45 anggota DPRD Kabupaten Blitar periode 1999-2004, korupsi dana P3DK, korupsi pembelian tanah di Desa Jambewangi, dan dugaan korupsi dana sertifikasi tanah. Legislatif-pun merasa lebih berhati-hati dalam menggunakan anggaran. Sedangkan eksekutif merasa ketakutan untuk berinisiatif dalam program pembangunan. Selain itu, bupati menerbitkan Surat Keputusan Bupati nomor 1 tahun 2005 tanggal 1 April 2005 yang mengatur proyek di Kabupaten Blitar.
LOCAL GOVERNMENT CORRUPTION STUDY (LGCS) Local Government Corruption Study (LGCS) adalah sebuah penelitian yang dilakukan oleh Program Justice for The Poor. Penelitian inia pada dasarnya bertujuan untuk mengidentifikasi faktor penguat dan faktor pelemah upaya local stake-holder (NGO, akademisi, media, tokoh masyarakat dll.) dalam mendorong penyelesaian kasus dugaan korupsi oleh aparat pemerintah daerah maupun DPRD. Ada 10 (sepuluh) kasus di 5 propinsi yang dipilih dalam penelitian ini. Enam diantaranya adalah kasus korupsi anggota DPRD, yaitu DPRD Sumatera Barat; Madiun; NTB; Pontianak; Donggala dan Toli-Toli; dan Empat lainnya adalah kasus korupsi di lembaga eksekutif, yaitu di Pemkab Mentawai; Blitar;
22
EDISI 05 • TH. III • MEI 2007
Lombok Tengah, dan Kapuas Hulu. Pemilihan lokasi dilakukan secara terarah dengan mempertimbangkan sebaran geografis, tingginya jumlah kasus dugaan korupsi yang dilaporkan, jalannya proses hukum serta dinamika actor pendorong di tingkat lokal dalam penanganan kasus yang ada di lokasi tersebut. Penelitian lapangan studi ini dilakukan pada bulan Juni - Oktober 2006, dengan mengikutsertakan satu peneliti lokal, untuk setiap kasus. Informasi selanjutnya mengenai LGCS bisa diakses di www.justiceforthepoor. or.id atau menghubungi Taufik Rinaldi (
[email protected]) atau Marini Purnomo (
[email protected]).
EDISI 05 • TH. III • MEI 2007
23
PN memberikan putusan bebas murni, dan JPU langsung mengajukan kasasi (sampai saat ini hasil putusan kasasu belum keluar).
Masih belum di P-21-kan (berkas belum lengkap).
Kejaksaan banding kepada PT atas putusan hakim yang mengatakan bahwa tuntutan dianggap prematur. Bersamaan dengan itu penasehat hukum terdakwa mengajukan memori kasasi kepada MA (sampai saat ini belum ada tindak lanjut).
Kejaksaan mengajukan kasasi (sampai saat ini belum ada putusan).
Telah terbit petikan putusan kasasi MA yang menguatkan keputusan PT, sejak bulan Desember 2005. Namun eksekusi belum dilakukan, menunggu putusan Kasasi secara resmi.
Inisiator: Organisasi Masyarakat dan Ormas (tergabung dalam Forum Komunikasi Masyarakat Kabupaten Pontianak) Dalam perjalanannya kasus ini didukung luas LSM dan mahasiswa.
Inisiator: Berbagai LSM, Mahasiswa dan Media Massa.
Inisiator: BEM UNRAM, Jaringan GERAK (SOMASI NTB), Media Massa, Politisi, Akademisi dan Masyarakat. Inisiator: Jurnalis, Mendapat dukungan dari Politisi yang juga adalah tokoh masyarakat dan mantan Jaksa; juga LSM.
Inisiator: Koalisi Rakyat Menggugat.
Inisiator: Dopalak (Toli-Toli), berkoordinasi dengan LSM ditingkat propinsi: Koalisi Rakyat Menggugat, HIPMI, Corruption Watch Commission.
Korupsi APBD Kab. Pontianak TA 2002-2003 oleh DPRD Kab. Pontianak periode 1999-2004. Modusnya mendirikan Yayasan Bestari (YB) yang menampung dana pos anggaran kesejahteraan masyarakat dalam APBD untuk kemudian langsung dibagi-bagikan kepada seluruh anggota dewan dengan besaran yang berbeda-beda sesuai dengan jabatan/ kedudukan. YB sama sekali tidak memiliki kegiatan, laporan keuangan, maupun pertanggungjawaban lainnya. Terdakwa 2 orang pengurus (yang juga anggota dewan) dan 3 jajaran pimpinan anggota dewan sebagai terdakwa. Total kerugian negara sebesar Rp 4.7 Milyar.
Korupsi APBD Kab. Kapuas Hulu oleh Pemkab Kapuas Hulu; (dugaan dana yang dikorupsi belum teridentifikasi). Modusnya Bupati memerintahkan agar penyetoran dana PSDH DR dipindahkan dari Rekening P.43 di Bank Kalbar Cab. Putussibau (Kas Daerah) ke rekening BRI No 035-01-000109-30-9 (Rekening Pemerintah Kab. Kapuas Hulu). Dana-dana yang seharusnya masuk dalam kas negara inipun sama sekali tidak pernah disetorkan.
Korupsi APBD Propinsi NTB oleh DPRD Propinsi periode 1999-2004 sebesar Rp 17.5 Milyar. Modusnya penyusunan dan pengalokasian anggaran yang tidak sesuai dengan asas kepatutan dan kelayakan. Tersangka 12 orang sebagai tersangka, namun dalam perjalanannya 2 orang diantaranya meninggal dunia, sehingga yang diproses hanya 10 orang. Di tingkat PN kasus ini kemudian dinyatakan penuntutan jaksa tidak dapat diterima karena dianggap prematur.
Korupsi APBD Kab. Lombok Tengah TA 2001-2002 oleh Pemda Lombok Tengah sebesar Rp 400 Juta. Modusnya melakukan transaksi dan pembayaran sendiri atas tanah yang dibeli tanpa melibatkan panitia pengadaan lainnya dan mark up dengan meminta pemilik tanah untuk menandatangani kwitansi kosong. Terdakwa 4 orang yaitu penanggungjawab proyek, pimpro dan bendahara. Sedangkan terdakwa Kepala Dinas Kesehatan kabupaten Loteng, modusnya adalah pengadaan tanah di luar prosedur, yaitu melakukan negosiasi harga sendiri dan menyerahkan dana selisih harga tanah kapada pihak lain di luar prosedur yang seharusnya.
Korupsi APBD Kab. Donggala TA 2002-2004 oleh DPRD Kab. Donggala Periode 1999-2004 sebesar Rp 14 Milyar. Modus korupsi dalam pos anggaran DPRD Donggala ini masih seputar penggandaan anggaran dan pelanggaran terhadap PP No 110/2000. Terdakwa yang ditetapkan sebanyak 9 orang, yang kemudian dibagi dalam 4 berkas terpisah.
Korupsi APBD Kab. Toli-Toli TA 2003 oleh DPRD Kab. Toli-Toli Periode 1999-2004 sebesar Rp 11 Milyar. Modusnya negosiasi anggaran untuk kepentingan pribadi anggota dewan dengan pihak eksekutif. Negosiasi yang terjadi tersebut banyak yang dilakukan dalam rapat “setengah kamar”, yang kemudian dijadikan sebagai keputusan formal. Dari kasus ini, yang dijadikan tersangka adalah panitia anggaran legislatif sebanyak 16 orang, sedangkan 2 diantaranya yang berasal dari TNI/POLRI tidak diproses.
5
6
7
8
9
10
Kejaksaan mengajukan memori kasasi atas putusan PT (belum ada putusan dari MA hingga saat ini).
Majelis Hakim MA menjatuhkan vonis 4 tahun penjara, denda 200 juta terhadap Kasasi Lilik Indarto Gunawan, SH (dan telah dieksekusi).
Inisiator: MCW (Madiun Corruption Watch).
4
Dari 5 terdakwa hanya 1 yang mengajukan kasasi, selebihnya menerima putusan PT.
Korupsi APBD Kab. Madiun TA 2001-2003 oleh DPRR Kab. Madiun periode 1999-2004. Modusnya penggandaan anggaran dalam tunjangan untuk anggota dewan, sehingga anggota dewan mendapat tunjangan yang tidak semestinya diterima yaitu tunjangan perumahan, tunjangan kesehatan dalam bentuk tunai dan tunjangan-tunjangan lainnya yang sifatnya menambah penghasilan anggota dewan. Dari total penyimpangan Rp 3.9 Milyar oleh tim MCW, dugaan penyimpangan dari hasil hitungannya BPKP berkembang menjadi Rp 14.5 Milyar. Terdakwa ketua DPRD dan 3 orang wakil dalam berkas yang berbeda.
Vonis bebas murni, dan lebih dari 2 tahun ini belum ada putusan kasasi dari MA.
Inisiator: AMM (Aliansi Masyarakat Mentawai) yang terdiri dari 12 LSM. Dalam perjalanannya kasus ini juga didorong oleh IMM (Ikatan Masyarakat Siberut). Inisiator: 7 Aliansi Kepala Desa, dengan dukungan kuat dari SOMASI. Dalam perjalanannya kasus ini juga didorong kuat oleh KRPK
Dari 5 berkas, masih 1 berkas yang belum diputuskan oleh MA. Hasil kasasi memperkuat putusan PT (Pimpinan DPRD Sumbar dihukum 5 tahun penjara dan denda Rp. 250 juta subsider 5 bulan dan mengembalikan kerugian negara, sementara 40 anggota divonis empat tahun dan denda Rp. 200 juta subsider 4 bulan dan mengembalikan kerugian negara).
Proses Hukum Terakhir
Inisiator: berbagai elemen masyarakat yang tergabung dalam FPSB (Forum Peduli Sumbar) dan berbagai elemen masyarakat.
Aktor Pendorong
Korupsi APBD Pemkab Blitar TA 2003 oleh Pemkab Blitar (Bupati dan Staf Pemda). Modusnya penerbitan Surat Perintah Membayar Giro Kode D (kode yang tidak lazim dalam pengelolaan keuangan daerah). Dugaan korupsi berkembang dari Rp 32 M dan akhirnya berkembang lagi menjadi Rp 73.8 M. Terdakwa dalam kasus ini 5 orang: Bupati, Kabag. Keuangan, Mantan Kepala kasda, Kasubag. Pembukuan, dan Mantan Kabag. Keuangan.
Korupsi APBD TA 2002 Pemkab Kep. Mentawai, Sumatera Barat oleh Sekda &Kabag Keuangan sebesar Rp 7.6 Milyar, untuk pos mata anggaran biaya rutin Sekda. Modusnya pelanggaran PP No 105 tahun 2000, dimana terdapat sisa dana yang tidak dipertanggungjawabkan oleh Sekda kepada Bupati, sekitar Rp 16 M, namun 8.4 M lainnya dikembalikan selama proses hukum, sehingga yang diproses secara hukum hanya Rp 7.6 Milyar. Tersangka 1 orang Sekretaris daerah
Korupsi APBD TA 2002 Propinsi Sumbar oleh DPRD Propinsi Sumbar periode 1999-2004 sebesar Rp 5.9 Milyar, untuk pos mata anggaran DPRD. Modusnya duplikasi mata anggaran dan pelanggaran atas PP 110 tahun 2000. Terdakwa 43 anggota DPRD yang dibagi dalam 5 berkas.
Ringkasan Kasus
3
2
1
No
MATRIKS REKAPITULASI RINGKASAN KASUS KORUPSI LGCS
Telah Terbit!!! Buku Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Implementasi Perda yang berjudul “Menggagas Penyusunan dan Implementasi Perda yang Partisipatif, Transparan dan Akuntabel.” Dapatkan buku tersebut secara gratis dengan cara mengirimkan email kepada Ibu Ekanti Pulosari (
[email protected]) atau telepon ke: 021-3148175
Kontak Redaksi:
Justice for the Poor Program, the World Bank Social Development Office Jl. Cik Di Tiro 68A, Menteng, Jakarta Pusat 10310 Tel. +62 21 391 1908, 310 7158. Fax. +61 21 392 4640 www.justiceforthepoor.or.id Pemimpin Redaksi: Bambang Soetono. Redaksi: Alpian, Dewi Novirianti, Matt Stephens, Matt Zurstrassen, Samuel Clark, Taufik Rinaldi. Editor Bahasa: Dewi Damayanti. Lay Out: Visi Aksara Dinamika. Distribusi/Sirkulasi: Ekanti Pulosari. Redaksi menerima segala bentuk tulisan pembaca berupa apapun (surat pembaca, cerita kasus, artikel hukum, dsb), sepanjang berkaitan dengan isu dan ide penguatan akses masyarakat (miskin/marjinal) terhadap keadilan, baik melalui jalur hukum formal maupun informal. Naskah harap dikirim via pos/faksimil dengan alamat atau nomor di atas, atau dikirim lewat e-mail ke: Bambang Soetono (
[email protected]) 24
EDISI 05 • TH. III • MEI 2007