1
Daftar Isi
Foto sampul depan: Lerak salah satu bahan konservan logam.
ISSN : 1978-8584
Pelindung : Prof. Kacung Marijan, Ph.D.
Direktur Jenderal Kebudayaan
Pengarah : Dr. Harry Widianto
Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman
Penanggung Jawab : Drs. Marsis Sutopo, M.Si
Minyak Atsiri sebagai Bahan Aktif Konservasi Benda Cagar Budaya Riyanto
4 - 10
Kajian Efektivitas Teknik dan Bahan Konservasi pada Lontar di Bali Ida Bagus Alit Sancana
11 - 23
Efektivitas Buah Lerak (Sapindus Rarak De Candole) sebagai Bahan Pembersih Logam Perak, Perunggu, dan Besi Ira Fatmawati 24 - 31 Konservasi Berbasis Kearifan Lokal di Situs Benteng Puteri Hijau, Deli Serdang, Sumatera Utara Stanov Purnawibowo
32 - 41
Penerapan NDT (Non-Destructive Testing) untuk Analisis Pelapukan Cagar Budaya Menggunakan Alat XRF; Studi Kasus Candi Mendut Nahar Cahyandaru 42 - 52
Kepala Balai Konservasi Borobudur
Pemimpin Redaksi : Yudi Suhartono, MA Redaksi : Iskandar Mulia Siregar, S.Si Nahar Cahyandaru, S.Si Yenny Supandi, S.Si Hari Setyawan, S.S Mitra Bestari : Prof. Dr. Endang Tri Wahyuni, M.Si Prof. Dr. Inajati Adrisijanti Dr. Anggraeni, M.A Ir. Suprapto Siswosukarto, Ph.D Tata Letak : Bambang Kasatriyanto, S.I.Kom Alamat Redaksi : Balai Konservasi Borobudur Jl. Badrawati Borobudur Magelang 56553 Jawa Tengah Telp. (0293) 788225, 788175 Fax. (0293) 788367 email :
[email protected] [email protected] website : www.konservasiborobudur.org
2
Metode Isolasi dan Identifikasi Struktur Senyawa Organik Bahan Alam Sri Atun
53 - 61
Perbandingan Metode Kalibrasi dan Adisi Standar untuk Penentuan Timbal Terlarut dalam Air Bak Kontrol Candi Borobudur secara Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)-Nyala Ida Sulistyaningrum, Melati Putri Git Utami, Reni Banowati Istiningrum 62 - 67 Pengelolaan Lansekap Budaya dalam Kerangka Warisan Dunia: Studi Kasus Management Plan Lansekap Budaya Provinsi Bali Panggah Ardiyansyah
68 - 73
Redaksi menerima tulisan berupa artikel, saduran, terjemahan, maupun segala macam bentuk tulisan yang ada kaitannya dengan arkeologi, konservasi dan pelestarian sumber daya arkeologi. Terjemahan atau saduran harap menyebutkan sumber referensi yang jelas.
SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Edisi kedua Jurnal Borobudur tahun 2014 hadir di akhir tahun ini. Tidak seperti jurnal edisi pertama yang terbit dengan artikel yang bervariasi, jurnal edisi 2 ini terdiri atas beberapa artikel yang bertema sejenis. Tema yang diangkat pada edisi ini adalah “Konservasi Berbasis Kearifan Tradisional”. Tema ini merupakan bidang kajian konservasi yang sedang manjadi tren dan telah ditetapkan sebagai tema unggulan kajian di Balai Konservasi Borobudur. Konservasi berbasis kearifan tradisional memiliki keunggulan relatif dibanding dengan konservasi “modern” menggunakan bahan-bahan kimia. Sebagai tema kajian unggulan, konservasi berbasis kearifan tradisional akan terus diteliti secara intensif dan berkesinambungan. Tema jurnal mengenai konservasi tradisional tidak hanya pada edisi ini, tema tersebut sangat terbuka untuk digunakan kembali pada jurnal-jurnal edisi mendatang. Artikel bertema konservasi tradisional yang pertama ditulis oleh Riyanto, dengan judul “Minyak Atsiri Sebagai Bahan Aktif Konservasi Benda Cagar Budaya (BCB)”. Bahan tradisional berupa buah lerak yang umum digunakan dalam pencucian kain batik, ternyata juga dapat digunakan untuk konservasi logam. Hal ini ditulis oleh Ira Fatmawati, dengan artikel berjudul “Efektivitas Buah Lerak (Sapindus rarak) sebagai Bahan Pembersih Logam Perak, Perunggu, dan Besi”. Bahan untuk konservasi lontar secara tradisional ditulis oleh Ida Bagus Alit Sancana dengan judul “Kajian Efektivitas Teknik dan Bahan Konservasi pada Lontar di Bali. Bahan tradisional mengandung senyawa bahan alam yang bersifat aktif, sehingga pengujian untuk mengetahui bahan aktif ini penting untuk dilakukan. Artikel dengan judul “Metode Isolasi dan Identifikasi Struktur Senyawa Organik Bahan Alam” ditulis oleh Sri Atun untuk mendasari ekplorasi bahan alam tradisional secara scientific. Konservasi secara tradisional tidak terbatas pada konservasi material, namun juga konservasi lingkungan, situs, atau kawasan. Artikel mengenai konservasi lingkungan situs berupa benteng ditulis oleh Stanov Purnawibowo, dengan judul “Konservasi Berbasis Kearifan Lokal di Situs Benteng Puteri Hijau, Deli Serdang, Sumatera Utara”. Artikel lain yang tidak secara langsung berkaitan dengan tema konservasi berbasis kearifan tradisional merupakan artikel mengenai analisis kimia. Analisis kimia baik yang dilaksanakan di laboratorium dan lapangan, merupakan bagian penting bagi evaluasi dan pelaksanaan konservasi sehingga penting untuk dikembangkan. Ida Sulistyaningrum menulis artikel yang berjudul “Perbandingan Metode Kalibrasi dan Adisi Standar untuk Penentuan Timbal Terlarut dalam Air Bak Kontrol Candi Borobudur Secara Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)-Nyala“. Sementara Nahar Cahyandaru menulis artikel “Penerapan NDT (Non-Destructive Testing) untuk Analisis Pelapukan Cagar Budaya Menggunakan Alat XRF ; Studi Kasus Candi Mendut. Selain itu satu judul untuk pengayaan jurnal Borobudur ini adalah artikel dari Panggah Ardiansyah dengan judul “Pengelolaan Lansekap Budaya dalam Kerangka Warisan Dunia: Studi Kasus Management Plan Lansekap Budaya Provinsi Bali”. Semoga semua sajian yang ada bermanfaat.
3
Minyak Atsiri sebagai Bahan Aktif Konservasi Benda Cagar Budaya Riyanto Prodi Kimia Fakultas MIPA Universitas Islam Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak: Konservasi dengan mencegah kerusakan benda cagar budaya akibat tumbuhnya bakteri, lumut, jamur, dan mikroorganisme sangat perlu untuk dilakukan. Konservasi BCB selama ini menggunakan bahan kimia berbahaya seperti 5-bromo-3-sec-butyl-6-methyluracil (Hyvar-X), xylophene, aldrin, malathion, parathion, DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane) dan CCA (Chromated Copper Arsenat). Bahan kimia berbahaya tersebut dapat dilakukan penggantian dengan menggunakan bahan alam yang berupa minyak atsiri, yang diambil dari tanaman sereh wangi, cengkeh, pala, jahe karena mengandung zat-zat aktif seperti sitronelal, sitronelol, geraniol, eugenol, cineol, dan camphene yang dapat membasmi, membunuh, dan mengusir serangga, bakteri, dan jamur. Penggunaan minyak atsiri sebagai bahan konservasi BCB aman terhadap lingkungan, manusia, dan mampu mencegah kerusakan BCB. Kata Kunci: Minyak atsiri, Zat aktif, Bahan Konservasi Abstrak: Conservation for controlling damages from the growth of bacteria, moss, fungi, and microorganism is needed to be conducted in a cultural heritage. So far the conservation has been focused on the application of dangerous chemical such as 5-bromo-3-sec-butyl-6-methyluracil (Hyvar-X), xylophene, aldrin, malathion, parathion, DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane) and CCA (Chromate Copper Arsenate). The chemical could be substituted by natural compound in the form of essential oil, taken from lemongrass, clove, nutmeg, and ginger, because they have active substances such as citronellal, citronellol, geraniol, eugenol, cineol and camphene that could exterminate, kill, and remove insect, bacteria, and fungi. The application of essential oil as conservation material is safe for the environment and human. Moreover, it could control damages in a cultural heritage. Kata Kunci : Essential oil, Active substance, Conservation material
Pendahuluan Indonesia mempunyai banyak benda cagar budaya warisan dari nenek moyang yang tidak ternilai harganya. Beberapa benda cagar budaya telah masuk dalam warisan dunia UNESCO seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, batik, dan wayang. Benda cagar budaya terbuat dari batu, kayu, kertas, dan kain. Benda cagar budaya harus dilindungi dari kepunahan dan kerusakan akibat proses alam seperti hujan asam, serangan serangga, jamur, cendawan, dan mikroba. Jenis mikroba yang banyak tumbuh di batuan yaitu fungi, jamur, dan alga. Mikroba tersebut mudah berkembang pada batuan, batu pasir, granit, batu kapur, dan gypsum (Burford et al., 2003). Pertumbuhan mikroba pada batuan tergantung pada faktor lingkungan seperti ketersediaan air, pH, iklim, sumber nutrisi, komposisi batuan, porositas, dan permeabilitas batuan. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melindungi bangunan bersejarah dari kerusakan dan
4
pelapukan (Leisen et al. 2004; Triyana dan Soesilo 2013; Singh 2004; Gupta et al. 2012). Selama ini upaya konservasi masih menggunakan pestisida, fungisida, dan insektisida sintetik seperti 5-bromo-3-sec-butyl-6-methyluracil (Hyvar-X), xylophene, aldrin, malathion, parathion, DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane), dan CCA (Chromated Copper Arsenat) (Winkler 1994; Sing 2004; Gupta et al. 2012). Bahan-bahan tersebut merupakan bahan berbahaya dan beracun, yang menyebabkan bahaya bagi manusia yang melakukan konservasi, pengunjung, dan lingkungan sekitar benda cagar budaya. Bahan-bahan tersebut dapat menyebabkan kanker karena bersifat karsinogenik dan mutagenic sehingga dilarang digunakan untuk konservasi BCB. Oleh karena itu, penting untuk mencari bahan konservan alternatif yang aman dan ramah lingkungan. Indonesia mempunyai keanekaragaman hayati tanaman penghasil minyak atsiri seperti sereh dapur minyak cengkeh (Eugenia aromatica), minyak sereh wangi (Andropogon nardus) dan minyak kayu manis (Cinnamomum
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 4-10
spp.), yang mengandung senyawa pestisida berbasis minyak atsiri telah lolos registrasi dari EPA (Environmental Protection Agency) dan dinyatakan aman dari GRAS (Generally Recognized as Safe) (Koul et al., 2008) sehingga ramah terhadap manusia dan lingkungan. Penelitian penggunaan minyak atsiri untuk pestisida, fungisida, dan insektisida telah banyak dilakukan umumnya untuk melindungi tanaman, benzene dan gugus OH, sehingga dapat berperan sebagai pestisida nabati. Sereh dapur dan sereh wangi dapat digunakan sebagai penolak serangga hama dan juga nyamuk (Zanellato et al. 2009). Untuk memperoleh informasi lebih lengkap tentang jenis minyak atsiri sebagai konservan alami maka pada makalah ini dikemukakan jenis-jenis minyak atsiri, cara isolasi, dan analisis serta, aktivitasnya yang didasarkan pada berbagai sumber literatur. Tinjauan Pustaka 1. Proses Pelapukan Batu Candi Borobudur Salah satu sebab kerusakan benda cagar budaya adalah pelapukan oleh bahan-bahan organik. Pelapukan organik yaitu proses penghancuran benda cagar budaya yang diakibatkan oleh aktivitas makhuk hidup, baik hewan maupun tumbuhan. Beberapa organisme penyebab pelapukan yaitu bakteri dan jamur. Bakteri merupakan salah satu jasad renik yang berbentuk seperti batang, peluru, dan sekrup. Bakteri termasuk makhluk hidup yang kasat mata. Untuk dapat mengamati dan mengenal bakteri secara seksama diperlukan mikroskop. Selain bakteri, organisme penyebab kerusakan yang lain adalah jamur. Jamur dapat juga disebut fungi atau cendawan. Jamur merupakan organisme yang tidak mempunyai klorofil atau bersifat heterotrof. Untuk mempertahankan dirinya, jamur hidup sebagai parasit dan saprofit. Jamur tidak mempunyai akar, batang, dan daun, sehingga disebut tumbuhan thalus. Jamur berkembang biak secara kawin dan tidak kawin. Perkembangbiakan secara kawin dilakukan dengan cara konjugasi, askospora, dan basidiospora. Perkembangan dengan cara tidak kawin dilakukan dengan membentuk spora, membelah diri, fragmentasi, dan dengan kondium. Berdasarkan hasil penelitian di Candi Borobudur, bakteri dan jamur dapat mempercepat proses pelapukan. Batuan Candi Borobudur yang kaya mineral penting merupakan tempat yang tepat
bagi tumbuhnya organisme saprofit. Mineral-mineral batuan tersebut bereaksi dengan bahan-bahan organik dan makhluk hidup saprofit sehingga terjadilah pelapukan. Mikroorganisme penyebab kerusakan yang ditemukan di Candi Borobudur di antaranya adalah bakteri, alga, dan jamur. Bakteri yang tumbuh di Candi Borobudur di antaranya adalah bakteri fotoautotrof yang dapat mensintesis senyawa organik dengan menggunakan energi cahaya matahari tidak langsung. Bakteri tersebut menghasilkan berbagai senyawa asam yang dapat bereaksi dengan oksida batuan. Contoh bakteri yang ada pada batuan Candi Borobudur adalah Amonifiri, SP., Aceutobacteur dan Fictobacteur fixing. Alga juga ditemukan di batuan Candi Borobudur. Alga yang dapat hidup di Candi Borobudur atau batuan disebut Perifiton dari kelas Cyanophyceae (alga biru) dan Chlorophyceae (Alga hijau). Alga biru merupakan vegetasi perintis, yaitu merupakan tumbuhan yang mampu menghancurkan batuan sehingga dapat hidup di daerah tersebut. Alga dapat berfotosintesis dan mampu hidup pada lingkungan dengan suhu 80 C, sehingga dapat bertahan lama pada batuan Candi Borobudur. Spesies alga yang ditemukan di Candi Borobudur adalah Nostoceae, Gleocapsa, dan Chlorophyceae bersel satu. Fungi (jamur) merupakan organisme bersifat saprofit pada Candi Borobudur. Jamur memperoleh makanan secara tidak langsung dari makhluk hidup. Celah-celah Candi Borobudur yang lembab, kurang cahaya matahari, dan banyak mengandung zat-zat organik, merupakan daerah yang paling tepat bagi pertumbuhan jamur. Beberapa jamur yang tumbuh pada
Gambar 1. Cagar budaya berbahan batu yang ditumbuhi oleh mikroba jenis jamur dan alga
5
Riyanto, Minyak Atsiri sebagai Bahan Aktif Konservasi Benda Cagar Budaya
batuan Candi Borobudur seperti aspergilus nigeruan tioghom, aspergilus tlavus link, dan rhyzopus orrhyzus ficher. Gambar 1 menunjukkan mikroba yang tumbuh di berbagai benda cagar budaya. 2. Minyak Atsiri Minyak atsiri adalah minyak yang diperoleh dengan cara destilasi, ekstraksi, dan enfluorasi dari bagian tanaman: akar, batang, kulit, daun, bunga, dan buah. Contoh tanaman penghasil minyak atsiri dapat dilihat pada Tabel. 1. Minyak atsiri yang dengan mudah dapat dipisahkan menjadi komponenkomponennya (dapat secara kimia atau fisika) yang dapat merupakan bahan dasar untuk dikonversi menjadi produk-produk lain seperti minyak sereh, minyak daun cengkeh, minyak permen, dan minyak terpentin. Minyak atsiri yang sukar dipisahkan menjadi komponen-komponennya dan digunakan secara langsung seperti minyak nilam, minyak kenanga, dan minyak akar wangi. 2. 1 Teknik Isolasi Minyak Atsiri Minyak atsiri dapat didestilasi dari bagian tanaman seperti daun, batang, akar, buah, kulit batang, dan bunga. Berbagai jenis teknik isolasi minyak atsiri seperti destilasi kukus, destilasi rebus, destilasi uap air, ekstraksi, dan enfluorasi. Berbagai jenis destilasi ditunjukkan pada Gambar 2. Destilasi kukus (Gambar 2A) sangat sesuai untuk isolasi minyak atsiri sereh, kenanga, dan cengkeh. Destilasi rebus sangat sesuai untuk isolasi minyak atsiri empon-empon seperti jahe, kencur, kunyit, temu mangga, dan lain-lain. Teknik dengan destilasi rebus (Gambar 2B), bahan baku harus dihancurkan sampai halus dan
dicampur dengan air menggunakan perbandingan yang sesuai. Teknik ini memerlukan api yang kecil supaya sampel tidak hangus. Teknik yang banyak digunakan untuk isolasi minyak atsiri berbahan baku keras sepeti daun, batang, dan akar yaitu destilasi uap air (Gambar 2C). Keberhasilan teknik ini sangat ditentukan dengan tekanan uap yang dihasilkan oleh boiler. Untuk optimasi hasil biasanya bahan baku perlu dikeringkan untuk mengurangi kandungan air dan dihaluskan untuk mengeluarkan semua minyak atsiri dalam jaringan tanaman.
(A)
(B)
Tabel 1. Tanaman penghasil minyak atsiri yang sudah umum dibudidayakan No.
6
Tanaman
Bagian tanaman
Minyak atsiri
Komponen utama
1.
Pohon cengkeh
Bunga/daun
Cengkeh
Eugenol
2.
Pohon lawang
Kulit
Lawang
Eugenol dan safrol
3.
Pohon pinus
Kulit/batang/getah
Terpentin
Alfa-pinen
4.
Pohon cendana
Kulit batang/akar
Cendana
Santanol
5.
Pohon kayu putih
Daun
Kayu putih
Sineol
6.
Pohon kenanga
Bunga
Kenanga
Ester
7.
Pohon kayu manis
Kulit/batang
Kayu manis
Sinamil aldehida
8.
Sereh
Daun
Sereh
Sitronelal, sitronelol
9.
Nilam
Daun
Nilam
Patchouli alkohol
10.
Menthaarvensis
Daun
Permen
Mentol
11.
Akar wangi
Akar
Akar wangi
Vetiverol
12.
Adas
Biji
Adas
Anetol, estragol, fenson
13.
Gondopuro
Daun
Gondopuro
Metil salisilat
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 4-10
(C)
Gambar 3. Kromatogram minyak atsiri jahe hasil destilasi rebus
Tabel 2. Komponen senyawa aktif dalam minyak atsiri jahe No. Gambar 2. Jenis-jenis destilasi untuk isolasi minyak atsiri dimana (A) destilasi kukus, (B) destilasi rebus dan (C) destilasi uap air
2.2 Analisis Komponen Senyawa Aktif dalam Minyak Atsiri Analisis komponen senyawa aktif dalam minyak atsiri dapat dilakukan dengan menggunakan alat kromatografi gas spektrometri masa atau GC-MS. Salah satu contoh hasil analisis minyak atsiri jahe yang dihasilkan dari destilasi rebus dengan perbandingan air dan jahe (1:1). Kromatogram minyak atsiri jahe dapat dilihat pada Gambar 3. Komponen senyawa aktif dalam minyak atsiri jahe mengandung lebih dari 25 senyawa. Nama-nama senyawa aktif hasil analisis dengan kromatografi dapat diketahui dengan menggunakan spektrometri masa ditunjukkan pada Tabel 2. Pada Gambar 4 terlihat bahwa minyak atsiri daun cengkeh mengandung lima senyawa aktif yaitu eugenol 76,86%, beta carryophylllene 18,90%, alpha humulene 2,53%, alpha copaene 1,03% dan delta cadinene 0,67%. 3. Aktivitas Minyak Atsiri sebagai Antibakteri dan Antijamur Aktivitas biologi minyak atsiri terhadap mikroba telah banyak diteliti terutama terhadap bakteri patogen pada manusia dan hewan. Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa sejumlah minyak atsiri mempunyai aktivitas terhadap bakteri patogen baik yang bersifat gram negatif maupun positif dengan nilai MIC (Minimum Inhibitory Concentration) yang bervariasi. Sejumlah minyak atsiri juga dilaporkan mempunyai aktivitas terhadap bakteri pathogen pada tanaman (Hartati et al., 1994; Supriadi et al., 2008; Pradhanang et al., 2003; Vasinauskiene et al.,2006; Kotan et al., 2007).
Nama Senyawa Kimia
Kadar (%)
1.
a-pinene
3,57
2.
Camphene
12,47
3.
b-pinene
0,23
4.
1,8-cineole
17,89
5.
Linalool
0,23
6.
Borneol
3,10
7.
a-terpineol
1,15
8.
Nerol
0,23
9.
Neral
0,21
10.
Bisabolene
1,63
11.
Zingiberene
0,32
Gambar 4. Kromatogram minyak atsiri daun cengkeh hasil destilasi uap air
Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa sejumlah minyak atsiri juga mempunyai aktivitas terhadap jamur. Aktivitas antijamur yang dimiliki oleh minyak atsiri juga berhubungan dengan senyawa monoterpenik fenol khususnya timol, karvakrol, dan eugenol (Isman, 2000). 4. Aktivitas Minyak Atsiri sebagai Antivirus, Antinematoda, dan Antigulma Sejumlah minyak atsiri juga dilaporkan dapat menghambat infeksi dari virus (Koul et al., 2008; Reichling, 2009). Hasil penelitian menunjukkan bahwa minyak atsiri juga efektif terhadap virus
7
Riyanto, Minyak Atsiri sebagai Bahan Aktif Konservasi Benda Cagar Budaya
pathogen pada tanaman seperti TMV, CPMV, BCMV, MBMV, SBMV, CaVMV (Bishop, 1995; Reitz et al., 2008). Menurut Mustika et al. (1994), Sangwan et al. (1990), dan Tariq (2010), sejumlah minyak atsiri dan komponennya seperti eugenol mempunyai aktivitas terhadap nematoda parasit tanaman. Selain aktivitasnya terhadap mikroba sejumlah minyak atsiri juga berpotensi untuk digunakan sebagai herbisida (Batish et al., 2008; Isman, 2000, Zanellato et al., 2009). Menurut Batish et al. (2008), minyak Eucalyptus dapat mengendalikan gulma yang sifatnya species spesifik. Minyak cinamon dan pepermin dilaporkan dapat menghambat perkecambahan biji beberapa jenis gulma di daerah Mediterania. Sementara minyak lavender juga berpotensi sebagai antigulma karena dapat menghambat pertumbuhan gulma Vicia faba dan mikroba pengganggu tanaman (Zanellato et. al., 2009). 5. Aktivitas Minyak Atsiri sebagai Antivirus, Antinematoda, dan Antigulma Menurut Dubey et al. (2008), Dubey et al. (2010), Isman (2000), dan Koul et al. (2008), aktivitas biologi minyak atsiri terhadap serangga dapat bersifat menolak (repellent), menarik (attractant), racun kontak (toxic), racun pernafasan (fumigant), mengurangi nafsu makan (antifeedant), menghambat peletakan telur (oviposition deterrent), menghambat petumbuhan, menurunkan fertilitas, serta sebagai antiserangga vektor. Hasil dari beberapa penelitian yang telah dilakukan tersebut di atas menunjukkan bahwa sejumlah minyak atsiri mempunyai aktivitas biologi yang berspektrum sangat luas baik terhadap mikroba (bakteri, jamur, virus, nematoda) maupun terhadap serangga hama dan vektor patogen yang hidup di sekitar rumah serta serangga hama tanaman. PEMBAHASAN Minyak Atsiri Cengkeh dan Sereh untuk Bahan Konservasi Bangunan Cagar Budaya Potensi minyak atsiri sebagai pestisida nabati juga sangat besar ditinjau dari aktivitas biologi, efikasi, kompatibilitas, organisme sasaran, serta keamanannya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Sebagai contoh komponen kimia minyak sereh wangi adalah sitronellal dan garaniol. Kedua komponen tersebut
8
menentukan intensitas bau, harum, serta nilai harga minyak sereh wangi. Kadar komponen kimia penyusun utama minyak sereh wangi tidak tetap dan tergantung pada beberapa faktor. Komposisi minyak sereh wangi dapat terdiri dari beberapa komponen, ada yang mempunyai 30-40 komponen, yang isinya antara lain alkohol, hidrokarbon, ester, alaehid, keton, oxida, lactone, terpene, dan sebagainya. Beberapa jenis minyak atsiri mengandung senyawa monoterpen yang mempunyai sifat anti mikroba seperti cymene, sabinen, alpha pinen, betapinen, sitronellol, geraniol, carvacrol, thymol, farnesol, dan caryophyllene. Struktur dan gugus fungsi yang berperan sebagai antibakteri ditunjukkan pada Gambar 5 dan 6. Penelitian yang telah dilakukan oleh Zanellato et al. (2009) komposisi kimia minyak atsiri bunga cengkeh dari Turki melalui proses penyulingan uap mendapatkan komponen terbesar adalah 87% eugenol,
Gambar 5. Contoh senyawa monoterpen dan sesqueterpen dalam minyak atsiri yang mempunyai peran sebagai antibakteri (Oyen and Dung, 1999).
Gambar 6. Contoh senyawa aromatic dan terpenoid dalam minyak atsiri yang mempunyai peran sebagai antibakteri (Oyen and Dung, 1999).
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 4-10
8,01% eugenyl asetat dan 3,56% β-caryophyllene. Sangwan et al. (1990) menganalisa komposisi kimia dalam minyak daun cengkeh menggunakan GC-MS didapat 23 komposisi kimia dengan kadar komponen terbesar adalah eugenol (76,8%), β-caryophyllene (17,4%), R-humulene (2,1%), dan eugenylacetate (1,2 %). Beberapa jenis pestisida berbasis minyak atsiri telah diproduksi dan sering digunakan untuk mengendalikan patogen, serangga hama, dan vector patogen di lingkungan rumah, rumah kaca, dan peternakan. Pestisida berbasis minyak atsiri juga mempunyai nilai MIC (Minimum Inhibitory Concentration) dan LD (Lethal Dose) yang rendah, kompatibel, dan menghasilkan produk pertanian yang bebas residu (Hartati, 2012). Berdasarkan beberapa penelitian di atas menunjukkan bahwa minyak atsiri mengandung senyawa
kimia yang berpotensi untuk membunuh bakteri, lumut, jamur, dan mikroorganisme, sehingga dapat digunakan sebagai bahan konservan BCB berbahan batu, kayu, atau kertas. Oleh karena itu disarankan untuk dilakukan penelitian pada BCB secara langsung. Kesimpulan Minyak atsiri dapat diperoleh dari tanaman cengkeh, sereh, jahe, nilam dan lain-lain. Pada umumnya mengandung zat aktif yaitu eugenol, sitronelal, sitronelol, geraniol, sineol, kamphen dan pachuoli alcohol. Zat-zat tersebut berpotensi untuk membunuh bakteri, lumut, jamur dan mikroorganisme, sehingga berpotensi sebagai bahan koservan batu, kayu, atau kertas, yang disarankan untuk diuji di lapangan pada BCB.
Daftar Pustaka Batish, D. R., H. P. Singh, and R. K. Kohli. 2008. Eucalyptus essential oil as a natural pesticide. Forest Ecology and Management 256: 2166-2174. Burford, P.E., Kierans, M., Gadd, M.G. 2003, Geomycology: fungi in mineral substrata, Mycologyst 17: 98-107. Dubey, N. K. , B. Srivastava, and A. Kumar. 2008. Current status of plant products as botanical pesticides in storage pest management. J. of Biopesticides 1 (2):182-186. Dubey, N. K., R. Shukla, A. Kumar, P. Singh, and B. Prakash. 2010. Prospects of botanical pesticides in sustainable agriculure. Current Science, 4 (25): 479480. Gupta, S.P., Sharma, K., and Chhabra, B.S., 2012, Biodeterioration and Chemical Conservation, Journal of Conservation Science in Cultural Heritage, Vol. 12: 135-147. Hartati, S. Y., E. M. Adhi, A. Asman, dan Nuri Karyani. 1994. Efikasi minyak cengkeh terhadap bakteri Pseudomonas solanacearum. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati, Bogor. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balittro. Bogor. Hlm. 37-42. Hartati, S.R., 2012, Prospek Pengembangan Minyak Atsiri Sebagai Pestisida Nabati (Prospect Of Essential Oils
Developed As Botanical Pesticides), Perspektif, 11 (1): 45 – 58. Isman, M. B. 2000. Plant essential oils for pest and disease management. Crop Protection. 19: 603-608. Koul, O., S. Walia, and G. S. Dhaliwal. 2008. Essential oils as green pesticides: Potential and constrains. Biopesticides. Int. 4 (1): 63-84. Kotan, R., F. Dadasoglu, S. Kordali, A. Cakir, N. Dikbas, and R. Cakmakci. 2007. Antibacterial activity of essential oils extracted from some medicinal plants, carvacrol, and thymol on Xanthomonas axonopodis pv. vesicatoria (Doidge) dye causes bacterial spot disease on pepper and tomato. J. of Agricultural Technology 3 (2): 299-306. Koul, O., S. Walia, and G. S. Dhaliwal. 2008. Essential oils as green pesticides: Potential and constrains. Biopesticides. Int. 4 (1): 63-84. Leisen, H., Plehwe, L.E., and Warrack, S., 2004, Success and limits for stone repair mortars based on tetra ethyl silicate-conservation of the reliefs at Angkor Wat Temple, Cambodia. In Proc. of the 10th internet. Congr. On Deterioration and Conservation of Stone, Stockholm 7 June-2 July, Stockholm. Mustika, I. , dan A. Rahmat. 1994. Efikasi beberapa macam produk cengkeh terhadap nematoda lada. Prosiding
9
Riyanto, Minyak Atsiri sebagai Bahan Aktif Konservasi Benda Cagar Budaya
Seminar Hasil Penelitian dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati, Bogor. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balittro. Hlm. 49-55. Oyen, L.P.A and Dung, N.X., 1999, PROSEA (Plant Resource of South-East Asia) No. 19 Essential-Oil Plants. Backhuys Publisher, Leiden Netherlands. Pradhanang, P. M., M. T. Momol, S. M. Olson, and J. B. Jones. 2003. Effects of plant essential oils on Ralstonia solanacearum population density and bacterial wilt incidence in tomato. Plant Disease 87:423-427. Reichling, J., P. Schnitzler, U. Suschke, and R. Saller. 2009. Essential oils of aromatic plants with antibacterial, antifungal, antiviral, and citotoxic properties-an overview. Forsch Komplementmed. 16: 79-90. Reitz, S. R. G. Maiorino, S. Olson, R. Sprenkel, A. Crescenzi, and M. T. Momol. 2008. Interesting plant essential oils and kaolin for the sustainable management of thrips and tomato spotted wilt on tomato. Plant Disease. 92: 878-886. Sangwan, N. K., B. S. Verma, K. K. Verma, and K. S. Dhindsa. 1990. Nematicidal activity of some essential plant oils. Pestic. Sci. 28: 331-335. Singh, G.M., 2004, Chemical Conservation of Monuments, Abhilekha, Vol 15: 132-139. Supriadi, S. H. Hartati, Makmun, N. Karyani. 2008. Aktivitas biologi minyak atsiri cengkeh-kayumanis terhadap Ralstonia solanacearum pada jahe. Prosiding Seminar Nasional engendalian Terpadu Organisme Pengganggu Tanaman Jahe dan Nilam. Bogor. Hlm: 55-60
10
Tariq, R.M., Naqvi, S.N.H. Choudhary, M. I. and A. Abbas. 2010. Importance and Implementation of essential oil of Pakistanian Acorus calamus Linn., as a biopesticide. Pakistanian J. Bot. 42 (3): 2043-2050. Triyono, K., dan Soesilo, H., 2012, Metode Konservasi Benda Cagar Budaya Berbasis Elektro-osmosis, Balai Konservasi Borobudur, Jawa Tengah, Indonesia. Vasinauskiene, M., J. Radusiene, I. Zitikaite, and E. Surviliene. 2006. Atibacterial activities of essential oils from aromatic and medicinal plants against growth of phytopathogenic bacteria. Agronomy Research 4 (Special issue): 437-440. Winkler, E.M., 1994, Stone in Architecture: Properties, Durability with 63 Tables, Springer Science & Business Media, New York, USA. Zanellato, M., E. Masciarelli, L. Cassori, P. Boccia, E. Sturcio, M. Pezzella, A. Cavalieri, and F. Caporali. 2009. The essential oils in agriculture as an alternative strategy to herbicides: a case study. International J. of Environ. and Health. 3: 198-212.
Kajian Efektivitas Teknik dan Bahan Konservasi pada Lontar di Bali Ida Bagus Alit Sancana Email:
[email protected] Abstrak: Naskah lontar adalah warisan budaya yang sangat rentan mengalami kerusakan. Oleh karena itu, diperlukan suatu tindakan konservasi yang benar untuk tetap menjaga keawetan naskah lontar tersebut dari pengaruh lingkungan sekitarnya. Berbagai cara konservasi dilakukan untuk melindungi naskah lontar dari kerusakan seperti menggunakan minyak cengkeh, minyak sereh, minyak kemiri, minyak wijen, campuran griserin, dan etanol, dan campuran aseton dan minyak sereh. Tulisan ini akan menguji keefektifan bahan-bahan konservasi tersebut dengan cara melakukan eksperimen pengujian. Kata kunci: lontar, kerusakan, bahan konservasi, eksperimen, dan efektivitas Abstract: Palm leaf manuscript is cultural heritage which can easily deteriorate. Various ways of conservation have been carried out in museums and people in Bali, such as by spreading the palm leaf manuscripts with clove oil, citronella oil, candle nut oil, sesame oil, mixture of glycerin and ethanol, and mixture of aceton and citronella oil. This research will do the test to conservation substance with experimental method. Key word: palm leaf, deterioration, conservation substance, experiment, and effectiveness
Sebelum manusia mengenal kertas, banyak media yang digunakan untuk menulis, salah satunya seperti masyarakat Bali yang menggunakan daun dari pohon siwalan (borasus flabelliformis). Media tulis ini disebut dengan nama lontar. Naskah lontar merupakan benda budaya yang memiliki nilai penting, seperti: a. Nilai penting sejarah. Banyak manuskripmanuskrip lontar yang dibuat oleh tokoh-tokoh terkemuka di Bali. b. Nilai penting pengetahuan. Isi yang terkandung dalam naskah lontar tersebut sarat dengan berbagai pengetahuan yang berguna bagi kehidupan, seperti arsitektur berupa tata cara pembuatan rumah di Bali (asta kosala kosali), hukum berupa peraturanperaturan adat (awig-awig) yang harus ditaati oleh masyarakat Bali, dan astrologi (ilmu perbintangan) yang banyak dipakai sebagai pedoman oleh petani di Bali untuk memulai pekerjaannya di sawah. Jika dilihat dari daya tahannya, naskah lontar merupakan benda budaya yang tidak memiliki daya tahan kuat terhadap pengaruh lingkungan sekitar dibandingkan dengan benda budaya yang berasal dari jenis material anorganik. Maka dari itu, diperlukan
suatu tindakan konservasi yang benar untuk tetap menjaga keawetan naskah lontar tersebut dari pengaruh lingkungan sekitar. Berbagai cara konservasi dilakukan untuk menjaga keawetan naskah-naskah lontar yang disimpan oleh masyarakat atau di museum, salah satunya yaitu dengan cara melapisi naskah lontar menggunakan minyak kemiri (candle nut oil), minyak wijen (sesame oil), minyak cengkeh (clove oil), minyak sereh (citronella oil), campuran antara gliserin dan etanol, dan campuran antara aseton dengan minyak sereh (citronella oil). Penelitian ini akan menguji bahan-bahan konservasi di atas, tujuannya adalah untuk mendapatkan teknik dan bahan konservasi yang efektif untuk melindungi lontar dari kerusakan. Untuk itu perlu dijelaskan bagaimana kondisi lontar yang telah mengalami proses pengujian teknik dan bahan konservasi apakah yang efektif digunakan untuk melindungi lontar di Bali. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik eksperimental. Penelitian eksperimental adalah metode penelitian yang dilakukan untuk
11
Bagus, Kajian Efektivitas Teknik dan Bahan Konservasi pada Lontar di Bali
mengetahui akibat yang ditimbulkan dari suatu perlakuan yang diberikan secara sengaja oleh peneliti terhadap objek yang akan diteliti (Hadi, 1985: 12). Adapun tahapan eksperimen, sebagai berikut: a. Penentuan objek eksperimen Jumlah lontar yang akan dieksperimen yaitu 352 lembar, dengan ukuran panjang 5 cm dan lebar 3,5 cm.
Gambar 1. Pengujian lontar terhadap kondisi suhu tinggi dengan menyimpan lontar di kaleng yang dipanasi lampu pijar
b. Penentuan bahan konservasi Bahan yang digunakan untuk mengonservasi lontar berjumlah 44 jenis bahan. Takaran yang digunakan untuk mencampur dua atau lebih bahan konservasi yaitu 1:1 (sama banyaknya). c. Cara eksperimen Sebelum dilakukan pengujian, lontar dilapisi bahan konservasi. Pelapisan dilakukan dengan menggunakan kapas yang telah dibasahi bahan konservasi, kemudian dioleskan ke permukaan (pada sisi depan dan belakang) lontar. Setelah itu, lontar didiamkan selama 1 hari agar bahan konservasi meresap ke permukaan lontar. Tahap pengujian yang akan dilakukan di antaranya: 1. Menguji ketahanan lontar terhadap kondisi suhu tinggi Pengujian ini dilakukan dengan cara menyimpan lontar di kaleng yang tertutup, kemudian kaleng tersebut disinari dengan lampu pijar yang memiliki daya 150 watt dengan suhu yang dihasilkan sebesar 0 31 C (berdasarkan pengukuran dengan menggunakan thermometer). Pemilihan lampu pijar ini karena suhu yang dihasilkan di atas suhu ideal untuk penyimpanan koleksi bahan pustaka. Menurut Jyotshna Sahoo (2004: 15) idealnya suhu tempat penyimpanan koleksi naskah berkisar antara 200C - 250C, sedangkan menurut IFLA (International Federation of Library Associations and Institution) idealnya berkisar antara 160C – 210C (Dureau and Clements, 1986: 20). Pengujian ini dilakukan selama 18 hari. 2. Menguji ketahanan lontar terhadap kondisi udara yang lembab
12
Gambar 2. Pengujian ketahanan lontar terhadap kondisi udara lembab dengan menyimpan lontar di kotak plastik
Pengujian ini dilakukan dengan cara menyimpan lontar di kotak plastik yang kedap udara, kemudian diletakan di ruangan tertutup tanpa ventilasi dan jauh dari sumber cahaya. Tujuannya adalah untuk mempercepat proses kerusakan pada lontar. Berdasarkan pengukuran dengan menggunakan hygrometer, RH (Relative Humidity) di ruang penyimpanan lontar mencapai 75%. Kelembaban tersebut sangat mendukung dalam mempercepat proses pertumbuhan jamur pada lontar, karena jamur dapat tumbuh pesat dalam suasana yang lembab sekitar 70% ke atas (Agrawal, 1977: 42). Pengujian ini dilakukan selama 34 hari. 3. Menguji ketahanan lontar terhadap pengaruh fluktuasi suhu Pengujian ini dilakukan dengan cara menyimpan lontar di ruangan ber-AC. AC tersebut diaktifkan selama 8 jam (dari pukul 08.00 – 16.00) dan dinonaktifkan selama 16 jam (dari pukul 16.00 – 08.00). Suhu minimum ruangan yaitu 200C, suhu maksimum ruangan 290C, dan fluktuasi suhu yang terjadi di ruangan yaitu 90C. Pengamatan suhu ruangan dilakukan dengan menggunakan thermometer. Pengujian ini dilakukan selama 42 hari. 4. Menguji ketahanan lontar terhadap pengaruh radiasi cahaya
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 11-23
Gambar 3. Pengujian ketahanan lontar terhadap fluktuasi suhu dengan meletakkan lontar di ruangan ber-AC yang diaktifkan selama 8 jam
Pengujian ini dilakukan dengan cara menyinari lontar menggunakan lampu pijar. Lampu pijar yang digunakan untuk menyinari lontar memiliki daya sebesar 150 watt dengan intensitas cahaya yang dihasilkan sebesar 180 lux (berdasarkan pengukuran dengan menggunakan lux meter) dan suhu yang dihasilkan sebesar 310C (berdasarkan pengukuran dengan menggunakan thermometer). Proses penyinaran lontar ini dilakukan secara terus menerus (24 jam). Pemilihan lampu pijar ini karena intensitas cahaya yang dihasilkan oleh lampu ini di atas standar intensitas cahaya untuk koleksi berbahan organik yaitu 50 lux (Jessica, 2006: 35). Pengujian ini dilakukan selama 18 hari. 5. Menguji ketahanan lontar terhadap serangan serangga perusak
Pengujian ini dilakukan dengan cara meletakkan lontar di kaleng, kemudian dimasukkan rayap ke kaleng yang telah berisi lontar tersebut. Pengujian lontar ini dilakukan selama 20 hari. 6. Menguji ketahanan lontar dalam kondisi nyata Pengujian ini dilakukan dengan cara (1) menyimpan lontar di kotak kayu, kemudian kotak kayu tersebut disimpan di ruangan yang memiliki ventilasi udara dan (2) menyimpan lontar di kotak kayu dan lemari kaca, kemudian kotak kayu dan lemari kaca tersebut disimpan di ruangan ber-AC. AC ini akan diaktifkan selama 8 jam (dari pukul 08.00-16.00) dan dinonaktifkan selama 16 jam (dari pukul 16.0008.00). Penggunaan AC ini dilakukan selama 5 hari dalam seminggu, sesuai dengan kebiasaan di museum-museum yang menjadi lokasi dalam penelitian ini. Suhu minimum ruangan pada pecobaan pertama yaitu 270C, suhu maximum ruangan 290C, dan Fluktuasi suhu yang terjadi
Gambar 4. Pengujian ketahanan lontar terhadap pengaruh radiasi cahaya dengan menyinari lontar menggunakan lampu pijar
Gambar 5. Pengujian ketahanan lontar terhadap serangan serangga dengan menyimpan di kaleng yang berisi rayap
diruangan yaitu 20C. Suhu minimum ruangan pada percobaan kedua dan ketiga yaitu 200C, suhu maximum ruangan 290C, dan fluktuasi suhu yang terjadi diruangan yaitu 90C. Pengujian ini dilakukan selama 42 hari.
d. Penentuan kode eksperimen Kode-kode eksperimen yang diberikan pada lontar, terdiri dari dua kode yaitu kode huruf dan kode angka (lihat lampiran 1). Kode huruf merupakan kode pengujian yang akan dilakukan terhadap lontar, contohnya A adalah kode untuk lontar yang diuji ketahanannya terhadap kondisi
13
Bagus, Kajian Efektivitas Teknik dan Bahan Konservasi pada Lontar di Bali
1. Kelenturan lontar Kelenturan lontar dapat diamati dengan cara membengkokkan lontar 1800. Kualitas kelenturan lontar baik apabila lontar dibengkokan 1800 tidak patah. Kualitas kelenturan lontar kurang apabila lontar dibengkokan 1800 mudah patah.
Gambar 6. Penyimpanan lontar di keropak (kotak kayu) dan diletakan di ruangan ventilasi
ber-
2. Warna lontar Warna lontar dapat diamati dengan cara melihat warna lontar setelah mengalami proses pengujian. Pengamatan warna lontar ini dilakukan dengan bantuan color soil charts. Warna awal lontar sebelum diuji berdasarkan color soil charts adalah coklat sedang (5YR 3/4). 3. Ukuran lontar Ukuran lontar dapat diamati dengan cara mengukur panjang dan lebar lontar setelah proses pengujian. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan penggaris. Ukuran awal lontar yang diuji yaitu panjang 5 cm dan lebar 3,5 cm.
Gambar 7. Penyimpanan lontar di keropak (kotak kayu) dan diletakan di ruangan ber-AC yang diaktifkan selama 8 jam
Gambar 8. Penyimpanan lontar di lemari kaca
suhu tinggi. Kode angka merupakan kode bahan konservasi yang akan dioleskan pada lontar, contohnya 1 adalah kode bahan konservasi untuk minyak kemiri. Jadi kode A1 adalah kode lontar yang dikonservasi dengan minyak kemiri dan diuji pada suhu tinggi. e. Tolok ukur pengamatan Tolok ukur atau parameter yang digunakan untuk mengamati kualitas lontar yang telah diuji yaitu:
14
4. Jamur pada lontar Untuk mengetahui lontar ditumbuhi jamur, dapat diamati dengan cara melihat pertumbuhan spora pada permukaan lontar. Pengamatan spora yang menempel pada lontar dapat dilihat secara kasat mata. Spora yang tumbuh pada lontar awalnya berupa bintik-bintik berwarna putih dan jika disentuh terasa seperti kapas. 5. Bentuk lontar Bentuk lontar dapat diamati dengan cara membandingkan bentuk awal lontar sebelum diuji dan setelah mengalami proses pengujian. Bentuk awal lontar yaitu persegi panjang dengan permukaan yang rata.
Hasil Eksperimen A. Hasil pengujian ketahanan lontar Sebelum dilakukan pengujian sudah terjadi perubahan warna pada lontar. Perubahan warna tersebut terjadi setelah lontar didiamkan selama 1 hari. Hasil pengamatan terhadap warna lontar dapat dilihat pada Tabel 1.
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 11-23
Perubahan warna lontar menjadi coklat kehitaman (5YR 2/2) karena pengaruh warna hitam yang berasal dari minyak kemiri. Perubahan warna lontar menjadi coklat sedang (5YR 3/4) ditambah dengan warna merah sangat kehitaman (10R 2/2) berbentuk bulatan-bulatan menyerupai noda karena minyak kemiri tidak dapat larut (tercampur) dengan gliserin sehingga menimbulkan bulatanbulatan berwarna merah sangat gelap tersebut. Ini menunjukan bahwa bahan-bahan konservasi tersebut kurang efektif untuk mempertahankan warna awal lontar. Pengujian lontar pada suhu tinggi menunjukkan hasil; terjadi penurunan kualitas kelenturan lontar. Data penurunan kualitas kelenturan lontar selama dipanaskan pada suhu 310C, dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 di atas, bahan-bahan konservasi mampu melindungi lontar dari pengaruh suhu yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan lontar yang tidak diolesi bahan konservasi (A0) lebih mudah mengalami penurunan kualitas kelenturan dibandingkan dengan lontar yang telah diolesi bahan konservasi. Jika dilihat dari ke-44 jenis bahan konservasi tersebut, 21 jenis bahan konservasi lebih ampuh melindungi lontar dari pengaruh suhu tinggi (310C). Hal ini karena bahan-bahan konservasi tersebut tidak cepat menguap ketika dipanaskan, sehingga membuat lontar tidak mudah kering. Kelenturan lontar
mulai berkurang setelah dipanaskan selama 18 hari. Hasil pengujian lontar pada kondisi lembab (75%) yaitu lontar ditumbuhi spora. Data untuk pengamatan pertumbuhan spora pada lontar dapat dilihat pada tabel 3. Berdasarkan Tabel 3, diketahui bahwa tidak selamanya bahan-bahan konservasi yang digunakan efektif untuk menghambat pertumbuhan jamur pada lontar. Hal ini dilihat dari perbandingan antara lontar yang diberikan bahan konservasi lebih cepat ditumbuhi spora dibandingkan dengan lontar yang tidak diberikan
Gambar 7. (a) Lontar berwarna coklat kehitaman (5YR 2/2), (b) lontar berwarna dasar coklat sedang (5YR 3/4) ditambah dengan warna merah sangat kehitaman (10R 2/2) berbentuk bulatan-bulatan menyerupai noda, dan (c) lontar berwarna coklat sedang (skala 5YR3/4)
Tabel 1. Pengamatan Warna Lontar Kondisi Perubahan Warna Lontar
No. Bahan Konservasi
Warna tidak berubah (coklat sedang (5YR 3/4))
2, 3, 4, 5, 6, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 36, 37, 39, dan 41
Berubah menjadi coklat kehitaman (5YR 2/2)
1, 7, 8, 9, 11, 14, 17, 20, 35, 38, 40, dan 44
Berubah menjadi coklat sedang (5YR 3/4) ditambah dengan warna merah sangat kehitaman (10R 2/2) berbentuk bulatan-bulatan menyerupai noda
10, 12, 13, 15, 16, 18, 19, 21, 42, dan 43
Tabel 2. Data Penurunan Kualitas Kelenturan Lontar Selama Dipanaskan pada Suhu 310C Lama Paparan
Lontar yang Mengalami Penurunan Kualitas Kelenturan
8 hari
A0*
10 hari
A1, A6, A11
12 hari
A3, A4, A7, A8, A17, A24, A30, A33, A35, dan A38
13 hari
A2, A9, A14, A20, A22, A27, A34, A37, A40, dan A44
18 hari
A5, A10, A12, A13, A15, A16, A18, A19, A21, A23, A25, A26, A28, A29, A31, A32, A36, A39, A41, A42, dan A43
* Keterangan: lontar yang tidak diolesi bahan konservasi
15
Bagus, Kajian Efektivitas Teknik dan Bahan Konservasi pada Lontar di Bali
bahan konservasi (B0). Jenis-jenis jamur yang tumbuh pada lontar
terdiri dari fusarium, penicillium, dan aspergillus. Untuk mengetahui jenis jamur yang tumbuh pada
Tabel 3 Data Pertumbuhan Spora pada Lontar Lama penyimpanan
7 hari
10 hari
10 hari
12 hari
15 hari 17 hari
19 hari
25 hari
27 hari
30 hari
32 hari
34 hari
16
Lontar yang diuji
Jenis jamur yang tumbuh pada lontar
B10
Fusarium, penicillium, dan aspergillus
B12
Penicillium, dan aspergillus
B16
Fusarium, penicillium, dan aspergillus
B18
Penicillium dan aspergillus
B19
Penicillium, dan aspergillus
B21
Fusarium, penicillium, dan aspergillus
B28
Fusarium, penicillium, dan aspergillus
B29
Fusarium, penicillium, dan aspergillus
B31
Fusarium dan penicillium
B32
Fusarium dan penicillium
B36
Fusarium dan aspergillus
B39
Fusarium, penicillium, dan aspergillus
B1
Fusarium, penicillium, dan aspergillus
B8
Penicillium dan aspergillus
B35
Fusarium, penicillium, dan aspergillus
B41
Fusarium dan aspergillus
B42
Penicillium dan aspergillus
B43
Fusarium, penicillium, dan aspergillus
B44
Fusarium, penicillium, dan aspergillus
B0*
Penicillium, dan aspergillus
B37
Penicillium, dan aspergillus
B38
Fusarium dan aspergillus
B11
Fusarium, penicillium, dan aspergillus
B13
Fusarium, penicillium, dan aspergillus
B15
Fusarium dan aspergillus
B33
Fusarium, penicillium, dan aspergillus
B3
Fusarium dan penicillium
B34
Fusarium dan penicillium
B40
Fusarium, penicillium, dan aspergillus
B9
Fusarium, penicillium, dan aspergillus
B25
Fusarium dan aspergillus
B27
Penicillium, dan aspergillus
B6
Fusarium, penicillium, dan aspergillus
B17
Fusarium, penicillium, dan aspergillus
B30
Fusarium, penicillium, dan aspergillus
B20
Penicillium, dan aspergillus
B26
Penicillium, dan aspergillus
B7
Fusarium dan aspergillus
B14
Fusarium dan penicillium
B22
Fusarium, penicillium, dan aspergillus
B2
penicillium, dan aspergillus
B4
Fusarium dan penicillium
B5
Aspergillus dan Fusarium
B23
Fusarium, penicillium, dan aspergillus
B24
Penicillium, dan aspergillus
* Keterangan: lontar yang tidak diolesi bahan konservasi
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 11-23
Gambar 8. Spora yang tumbuh pada Lontar
lontar-lontar tersebut, dilakukan metode inkubasi pada setiap lontar yang ditumbuhi spora. Sporaspora yang tumbuh pada lontar merupakan hasil kontaminasi dari berbagai jenis jamur. Tahapan inkubasi lontar yaitu (Samson et al., 1995: 45): a. Lontar dipotong kecil dengan ukuran 1 cm x 1 cm b. Lontar dicelupkan ke beaker glass yang berisi alkohol 70% selama 2 menit untuk menghilangkan kontaminasi pada bagian luarnya c. Lontar tersebut kemudian dibilas dengan cara mencelupkan ke akuades steril sebanyak 3 kali dan diletakkan pada permukaan media PDA (Potato Dextrose Agar) yang telah diisi dengan cloramfenikol (100 mg/L)
d. Tahapan akhir, lontar diinkubasi di kotak inkubator pada suhu 27-280C selama 5 hari. Miselium yang tumbuh pada lontar selanjutnya direisolasi pada media PDA (Potato Dextrose Agar) sampai ditemukan jamur pada lontar. Masingmasing jamur kemudian diamati secara morfologi (berdasarkan warna koloni dan teksturnya) dengan menggunakan mikroskop. Hasil pengujian lontar pada pengaruh fluktuasi suhu yaitu terjadi perubahan bentuk pada lontar. Data perubahan bentuk lontar selama disimpan di ruangan ber-AC dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4 di atas, perubahan bentuk yang terjadi pada lontar yaitu berbentuk gelombang, berbentuk cekung, melengkung pada bagian ujung dan berbentuk cembung. Hasil pengujian lontar pada pengaruh radiasi cahaya yaitu terjadi perubahan warna pada lontar dan kualitas kelenturan lontar berkurang. Data hasil pengamatan terhadap warna lontar ketika disinari lampu pijar dengan intensitas cahaya 180 lux, dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 4. Data Perubahan Bentuk Lontar Selama Penyimpanan di Ruangan Ber-AC yang Diaktifkan Selama 8 jam Lama Penyimpanan
37 hari
37 hari
Lontar yang diuji
Perubahan bentuk lontar
C10
Melengkung pada bagian ujung
C12
Melengkung pada bagian ujung
C13
Melengkung pada bagian ujung
C15
Melengkung pada bagian ujung
C16
Berbentuk cembung
C18
Menyerupai bentuk gelombang
C19
Berbentuk cekung
C20
Melengkung pada bagian ujung
C21
Menyerupai bentuk gelombang
C25
berbentuk cembung
C26
Melengkung pada bagian ujung
C27
Berbentuk cekung
C28
Berbentuk cembung
C29
Melengkung pada bagian ujung
C31
Berbentuk cekung
C32
Berbentuk cekung
C36
Menyerupai bentuk gelombang
C37
Berbentuk cekung
C38
Melengkung pada bagian ujung
C39
berbentuk cembung
C40
Berbentuk cekung
C41
Berbentuk cembung
17
Bagus, Kajian Efektivitas Teknik dan Bahan Konservasi pada Lontar di Bali
37 hari
38 hari
42 hari
C42
Berbentuk cekung
C43
Menyerupai bentuk gelombang
C44
Berbentuk cekung
C0*
Berbentuk cembung
C5
Berbentuk cembung
C9
Melengkung pada bagian ujung
C11
Berbentuk cembung
C14
Berbentuk cekung
C17
Melengkung pada bagian ujung
C22
Melengkung pada bagian ujung
C23
Berbentuk cembung
C24
Berbentuk cembung
C30
Berbentuk cekung
C1
Berbentuk cembung
C2
Melengkung pada bagian ujung
C3
Melengkung pada bagian ujung
C4
Melengkung pada bagian ujung
C6
Berbentuk cembung
C7
Berbentuk cekung
C8
Berbentuk cembung
C33
Melengkung pada bagian ujung
C34
Berbentuk cekung
C35
Melengkung pada bagian ujung
* Keterangan: lontar yang tidak diolesi bahan konservasi
Berdasarkan Tabel 5, lontar yang berwarna coklat kehitaman (5YR 2/2) akan berubah warnanya menjadi coklat pucat (5YR 5/2). Lontar yang
berwarna coklat sedang (5YR 3/4) ditambah dengan warna merah sangat kehitaman (10R 2/2) berbentuk bulatan-bulatan menyerupai noda akan berubah
Gambar 9. (a) Lontar yang berbentuk cembung, (b) lontar yang berbentuk cekung, (c) lontar yang melengkung pada bagian ujung, dan (d) lontar yang bentuk gelombang
Tabel 5. Data Pengamatan Warna Lontar Selama Disinari Lampu Pijar dengan Intensitas Cahaya 180 Lux Lama penyinaran
0 hari#
18
Perubahan warna pada lontar
Lontar yang diuji
Berubah menjadi coklat kehitaman (5YR 2/2)
C1, C7, C8, C9, C11, C14, C17, C20, C35, C38, C40, dan C44
Berubah menjadi coklat sedang (5YR 3/4) ditambah dengan warna merah sangat kehitaman (10R 2/2) berbentuk bulatanbulatan menyerupai noda
C10, C12, C13, C15, C16, C18, C19, C21, C42, dan C43
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 11-23
Berubah menjadi jingga keabu-abuan (10YR 7/4).
C0*, C2, C3, C4, C5, C6, C22, C23, C24, C25, C26, C27, C28, C29, C30, C31, C32, C33, C34, C36, C37, C39, dan C41
Berubah menjadi coklat pucat (5YR 5/2)
C1, C7, C8, C9, C11, C14, C17, C20, C35, C38, C40, dan C44
Berubah menjadi coklat kemerahan sedang (10R 4/6) ditambah dengan warna coklat kemerahan gelap (10R 4/3) berbentuk bulatan-bulatan menyerupai noda
C10, C12, C13, C15, C16, C18, C19, C21, C42, dan C43
15 hari
* Keterangan: lontar yang tidak diolesi bahan konservasi # Keterangan: hari sebelum dilakukan pengujian lontar
Gambar 10. (a) Lontar berwarna coklat pucat (5YR 5/2), (b) lontar berwarna dasar coklat kemerahan sedang (10R 4/6) ditambah dengan warna coklat kemerahan gelap (10R 4/3) berbentuk bulatanbulatan yang menyerupai noda, dan (c) lontar yang berwarna jingga keabu-abuan (10YR 7/4)
warnanya menjadi coklat kemerahan sedang (10R 4/6) ditambah dengan warna coklat kemerahan gelap (10R 4/3) berbentuk bulatan-bulatan menyerupai noda. Lontar yang berwarna coklat sedang (5YR 3/4) akan berubah warnanya menjadi jingga keabu-abuan (10YR 7/4). Perubahan warna terjadi ketika disinari selama 15 hari. Berdasarkan pengujian ini dapat disimpulkan bahwa cara yang paling ampuh untuk melindungi lontar dari pengaruh radiasi cahaya bukan menggunakan bahan konservasi, tetapi dengan menyimpan lontar jauh dari paparan cahaya. Data
Gambar 11. Bagian tepi lontar yang rusak karena dimakan rayap
penurunan kualitas kelenturan lontar ketika disinari dengan lampu pijar yang menghasilkan suhu 310C dapat dilihat pada Tabel 6. Hasil pengujian lontar terhadap serangan rayap yaitu terjadi perubahan pada bentuk lontar. Bentuk lontar setelah mengalami proses pengujian tidak lagi berbentuk persegi panjang. Hal ini karena bagian tepi lontar mengalami kerusakan akibat dimakan oleh rayap. Data hasil pengamatan terhadap kondisi lontar pada pengujian ini dapat dilihat pada Tabel 7. Berdasarkan Tabel 7 di atas, bahan-bahan konservasi yang digunakan mampu melindungi lontar dari serangan rayap. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan
Tabel 6. Data Penurunan Kualitas Kelenturan Lontar Selama Disinari dengan Lampu Pijar yang Menghasilkan Suhu 310C Lama Paparan
Kode Lontar yang Mengalami Penurunan Kualitas Kelenturan
8 hari
D0*
10 hari
D1, D6, D11
12 hari
D3, D4, D7, D8, D17, D24, D30, D33, D35, dan D38
13 hari
D2, D9, D14, D20, D22, D27, D34, D37, D40, dan D44
18 hari
D5, D10, D12, D13, D15, D16, D18, D19, D21, D23, D25, D26, D28, D29, D31, D32, D36, D39, D41, D42, dan D43
* Ket: lontar yang tidak diolesi bahan konservasi
19
Bagus, Kajian Efektivitas Teknik dan Bahan Konservasi pada Lontar di Bali
Tabel 7. Hasil Pengamatan Kondisi Lontar Terhadap Serangan Rayap Lama Penyimpanan
Kode Lontar yang Dimakan Rayap
1 hari
E0*
13 hari
E3, E15, E32, E22, dan E37
14 hari
E12, E6, E8, E7, E10, dan E30
15 hari
E4, E11, E21, E24, dan E28
16 hari
E9, E13, E14, E19, E31, dan E36
17 hari
E16, E17, E18, dan E29
18 hari
E20, E26, E33, E40, dan E44
19 hari
E2, E5, E23, E27, E35, dan E39
20 hari
E25, E34, E38, E41, E42, dan E43
* Keterangan: lontar yang tidak diolesi bahan konservasi
antara lontar yang tidak diolesi bahan konservasi (E0) lebih cepat dimakan rayap dibandingkan dengan lontar yang telah diolesi bahan konservasi. Kemungkinan besar ini terjadi karena zat aktif yang terdapat pada bahan-bahan konservasi tersebut tidak disukai oleh rayap. Contohnya geraniol yang terdapat pada minyak sereh (Feriyanto, dkk, 2013: 10). Hasil pengujian lontar pada kondisi nyata yaitu kelenturan lontar berkurang. Lontar yang telah diuji apabila dibengkokan 1800 mudah patah. Hasil pengamatan terhadap kualitas kelenturan lontar saat pengujian lontar pada kondisi nyata dapat dilihat pada Tabel 8. B. Hasil Penilaian Kualitas Bahan Konservasi Penilaian bahan konservasi dilakukan untuk mendapatkan bahan yang paling efektif dari 44 jenis bahan konservasi yang digunakan. Cara penilaian yaitu dengan menghitung poin pada setiap pengujian yang dilakukan (pengujian kondisi ekstrim dan
pengujian kondisi nyata). Poin nilai yang diberikan untuk bahan-bahan konservasi dibagi menjadi tiga kategori yaitu A (sangat ampuh), B (ampuh), dan C (kurang ampuh). 1. Pengujian terhadap pengaruh suhu tinggi a. Kategori A (Sangat ampuh) Mampu mempertahankan kelenturan lontar selama 17 hari dan mampu mempertahankan warna awal lontar b. Kategori B (Ampuh) Mampu mempertahankan kelenturan lontar selama 12 hari dan mampu mempertahankan warna awal lontar c. Kategori C (Kurang ampuh) • Mampu mempertahankan kelenturan lontar ≥ 12 hari namun tidak mampu mempertahankan warna awal lontar • Tidak mampu mempertahankan kelenturan lontar selama 12 hari namun mampu atau
Tabel 8. Data Pengamatan Kualitas Kelenturan Lontar pada Pengujian Kondisi Nyata Kondisi Kelenturan Lontar Menurun
Tetap/Baik
Lontar yang diuji F0*, G0*, H0*
39 hari
F1, F6, F11, G1, G6, G11, H1, H6, dan H11
41 hari
F3, F4, FA7, F8, F17, F24, F30, F33, F35, F38, G3, G4, G7, G8, G17, G24, G30, G33, G35, G38, H3, H4, H7, H8, H17, H24, H30, H33, H35, dan H38
42 hari
F2, F5, F9, F10, F12, F13, F14, F15, F16, F18, F19, F20, F21, F22, F23, F25, F26, F27, F28, F29, F31, F32, F34, F36, F37, F39, F40, F41, F42, F43, F44, G2, G5, G9, G10, G12, G13, G14, G15, G16, G18, G19, G20, G21, G22, G23, G25, G26, G27, G28, G29, G31, G32, G34, G36, G37, G39, G40, G41, G42, G43, G44, H2, H5, H9, H10, H12, H13, H14, H15, H16, H18, H19, H20, H21, H22, H23, H25, H26, H27, H28, H29, H31, H32, H34, H36, H37, H39, H40, H41, H42, H43, dan H44
* Keterangan: lontar yang tidak diolesi bahan konservasi
20
Lama Penyimpanan
42 hari
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 11-23
tidak mampu mempertahankan warna awal lontar. 2. Pengujian lontar terhadap pengaruh udara lembab a. Kategori A (Sangat ampuh) Mampu menghambat pertumbuhan jamur selama 33 hari dan mampu mempertahankan warna awal lontar b. Kategori B (Ampuh) Mampu menghambat pertumbuhan jamur selama 31 hari dan mempertahankan warna awal lontar c. Kategori C (Kurang ampuh) Mampu menghambat pertumbuhan jamur ≥ 31 hari namun tidak mampu mempertahankan warna awal lontar • Tidak mampu menghambat pertumbuhan jamur selama 31 hari namun mampu atau tidak mampu mempertahankan warna awal lontar 3. Pengujian lontar terhadap pengaruh fluktuasi suhu a. Kategori A (Sangat ampuh) Mampu mempertahankan bentuk awal lontar selama 41 hari dan mampu mempertahankan warna awal lontar b. Kategori B (Ampuh) Mampu mempertahankan bentuk awal lontar selama 37 hari dan mampu mempertahankan warna awal lontar c. Kategori C (Kurang ampuh) • Mampu mempertahankan bentuk awal lontar ≥ 37 hari namun tidak mampu mempertahankan warna awal lontar • Tidak mampu mempertahankan bentuk awal lontar selama 37 hari namun mampu atau tidak mampu mempertahankan warna awal lontar 4. Pengujian lontar terhadap pengaruh radiasi cahaya a. Kategori A (Sangat ampuh) Mampu mempertahankan warna awal lontar > 15 hari b. Kategori B (Ampuh) Mampu mempertahankan warna awal lontar selama 15 hari c. Kategori C (Kurang ampuh) Tidak mampu mempertahankan warna awal
lontar selama 15 hari 5. Pengujian lontar terhadap serangan serangga a. Kategori A (Sangat ampuh) Mampu mempertahankan bentuk awal lontar selama 19 hari dan mampu mempertahankan warna awal lontar b. Kategori B (Ampuh) Mampu mempertahankan bentuk awal lontar selama 18 hari dan mampu mempertahankan warna awal lontar c. Kategori C (Kurang ampuh) • Mampu mempertahankan bentuk awal lontar ≥ 18 hari namun tidak mampu mempertahankan warna awal lontar 6. Tidak mampu mempertahankan bentuk awal lontar selama 18 hari namun mampu atau tidak mampu mempertahankan warna awal lontarPengujian lontar pada kondisi nyata a. Kategori A (Sangat ampuh) Mampu mempertahankan kelenturan lontar > 41 hari dan mampu mempertahankan warna awal lontar b. Kategori B (Ampuh) Mampu mempertahankan kelenturan lontar selama 41 hari dan mampu mempertahankan warna awal lontar c. Kategori C (Kurang ampuh) • Mampu mempertahankan kelenturan lontar ≥ 41 hari namun tidak mampu mempertahankan warna awal lontar • Tidak mampu mempertahankan kelenturan lontar selama 41 hari namun mampu atau tidak mampu mempertahankan warna awal lontar. Berdasarkan model penilaian bahan konservasi, didapatkan total poin A (sangat ampuh) terbanyak yaitu 5 poin. Bahan-bahan konservasi yang mendapatkan poin A (sangat ampuh) sebesar 5 poin, dapat dilihat pada Tabel 9. Berdasarkan model penilaian bahan konservasi (lampiran 2), dapat disimpulkan bahwa: 1. Bahan konservasi yang sangat ampuh untuk melindungi lontar dari pengaruh suhu panas yaitu: a. Bahan konservasi No. 5: campuran gliserin dan etanol.
21
Bagus, Kajian Efektivitas Teknik dan Bahan Konservasi pada Lontar di Bali
Tabel 9. Bahan Konservasi dengan Poin A (Sangat Ampuh) Terbanyak No Bahan
Jenis bahan Konservasi
2
Minyak cengkeh
5
Campuran gliserin dan etanol
23
Campuran minyak cengkeh, gliserin, dan etanol
25
Campuran minyak cengkeh, gliserin, etanol, aseton, dan minyak sereh
41
Campuran minyak sereh, minyak cengkeh, gliserin, dan etanol
Tabel 10. Bahan Konservasi yang Paling Efektif Berdasarkan Penghitungan Poin (A+B) Terbanyak No Bahan
Jenis Bahan Konservasi
2
Minyak cengkeh
5
Campuran gliserin dan etanol
23
Campuran minyak cengkeh, gliserin, dan etanol
b. Bahan konservasi No. 23: campuran minyak cengkeh, gliserin, dan etanol. c. Bahan konservasi No. 25: campuran minyak cengkeh, gliserin, etanol, aseton, dan minyak sereh. d. Bahan konservasi No. 41: campuran minyak sereh, minyak cengkeh, gliserin, dan etanol. 2. Bahan konservasi yang sangat ampuh untuk menghambat pertumbuhan jamur pada lontar yaitu: a. Bahan konservasi No. 2: minyak cengkeh. b. Bahan konservasi No. 5: campuran gliserin dan etanol. c. Bahan konservasi No. 23: campuran minyak cengkeh, gliserin, dan etanol. 3. Bahan konservasi yang sangat ampuh untuk melindungi lontar dari pengaruh fluktuasi suhu yaitu bahan konservasi No. 2: minyak cengkeh. 4. Bahan konservasi yang sangat ampuh untuk melindungi lontar dari serangan serangga yaitu: a. Bahan konservasi No. 25: campuran minyak cengkeh, gliserin, etanol, aseton, dan minyak sereh. b. Bahan konservasi No. 41: campuran minyak sereh, minyak cengkeh, gliserin, dan etanol. Untuk mendapatkan bahan konservasi yang efektif dari ke-5 bahan konservasi di atas, dilakukan penjumlahkan poin A (sangat ampuh) dan B (ampuh).
22
Berdasarkan model penilaian bahan konservasi (lampiran 2), didapatkan bahan konservasi dengan total poin (A + B) terbanyak yaitu 7 poin. Bahan-bahan konservasi tersebut dapat dilihat pada tabel berikut. Penutup Berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan terhadap lontar yang telah dilapisi bahan-bahan konservasi, terdapat tiga jenis bahan konservasi yang efektif untuk melindungi lontar dari pengaruh suhu panas, pengaruh fluktuasi suhu, serangan serangga, dan menghambat pertumbuhan jamur pada lontar, yaitu: a. Minyak cengkeh b. Campuran gliserin dan etanol c. Campuran minyak cengkeh, gliserin, dan etanol Rekomendasi Bahan konservasi ini efektif melindungi lontar apabila digunakan selama sebulan. Setelah satu bulan proses konservasi dilakukan lagi. Sebaiknya bahan konservasi seperti minyak kemiri dan campuran minyak kemiri dengan gliserin tidak digunakan karena dapat mengubah warna lontar. Cara penyimpanan lontar dapat menggunakan kotak kayu atau lemari kaca, namun setiap satu hari sekali kotak kayu atau lemari kaca tersebut harus dibuka agar terjadi sirkulasi udara dalam tempat penyimpanan tersebut.
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 11-23
Daftar Pustaka Agrawal, O.P., 1977, Care and Preservation of Museum Objects. New Delhi : The Manager Government Of India Press, Faridabad Dureau, J.M. dan Clements D.W.G., 1986, Principles for the Preservation and Conservation of Library Materials, The Hague, IFLA. Feriyanto, Eko Y., Sipahutar PJ., Mahfud, dan Prihatini P., 2013, “Pengambilan Minyak Atsiri dari Daun dan Batang Serai Wangi (Cymbopogon winterianus) Menggunakan Metode Distilasi Uap dan Air dengan Pemanasan Microwave” dalam Jurusan Teknik Kimia Volume II. No.2: 10-16, Surabaya: Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Hadi, Sutrisno, 1985, Metodology Research, Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM.
Johnson S Jessica, 2006, “Museum Collections Environment-Chapter 4” dalam Museum Handbook-Part 1, National Park Service. Sahoo, Jyotshna, 2004, “Preservation of Library Materials : Some Preventive Measures”, OHRJ, Vol. XLVII, No. 1. orissa.gov. in/e-magaz ine/Jour nal/jounalvol1/pdf/ orhj-14.pdf. Samson, R.A., E.S. Hoekstra, J.C. Frisvad and O. Filtenborg, 1995, Introduction to Food Borne Fungi. 4th ed. Netherlands: Ponsen & Looyen.
23
Efektivitas Buah Lerak (Sapindus Rarak De Candole) sebagai Bahan Pembersih Logam Perak, Perunggu, dan Besi Ira Fatmawati
Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur Email:
[email protected] Abstrak: Kearifan tradisional dengan memanfaatkan bahan-bahan yang berasal dari alam perlu dikembangkan dan dilestarikan guna mengurangi dampak negatif dari bahan kimia sintetis. Salah satu bentuk kearifan tradisional itu adalah penggunaan buah lerak sebagai bahan pembersih logam. Adanya kandungan saponin menjadikan buah lerak dapat digunakan sebagai bahan baku sabun yang aman, ekonomis, reversibel, dan ramah lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan larutan lerak serta metode yang tepat untuk membersihkan logam perak, perunggu, dan besi menggunakan larutan tersebut. Sampel yang digunakan adalah mata uang Ma berbahan perak, mata uang Cina berbahan perunggu, dan sabit berbahan besi. Larutan lerak dibuat dengan mencampur 60 gram buah lerak ke dalam 250 ml air panas. Selanjutnya buah ditumbuk dan didiamkan dalam air tersebut selama 24 jam kemudian disaring. Sampel dibersihkan dengan larutan lerak menggunakan dua metode, yaitu : disikat dan direndam. Metode perendaman dilakukan selama 30 menit, 1 jam, 3 jam, 6 jam, dan 24 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa larutan lerak efektif sebagai bahan pembersih logam perak dan perunggu dengan metode perendaman selama 24 jam kemudian disikat. Namun untuk logam besi, perendaman dalam larutan lerak selama 24 jam kurang efektif karena belum mampu menghilangkan seluruh korosi yang ada di permukaannya. Kata kunci : lerak, perak, perunggu, dan besi Abstract: Traditional wisdom by utilizing ingredients derived from nature need to be developed and preserved in order to reduce the negative impact of synthetic chemicals. One of traditional wisdom is the use of lerak fruit as metal cleaning agents. The presence of saponins make lerak fruit can be used as raw material for soap that is safe, economical, reversible, and eco friendly. This research was conducted to determine the effectiveness lerak solution and the proper method for cleaning metal silver, bronze, and iron using the solution. The sample used was the Ma coin made from silver, the Chinese coin made from bronze, and sickle made from iron. Lerak solution were made by mixing 60 grams of lerak fruit into 250 ml of hot water. Furthermore, fruit is crushed and allowed to stand in the water for 24 hours and then filtered. Samples were cleaned with a lerak solution using two methods : brushed and soaked. Soaking method carried out for 30 minutes, 1 hour, 3 hours, 6 hours, and 24 hours. The results showed that the lerak solution is effective as a cleansing agent for metallic silver and bronze by the method of soaking for 24 hours then brushed. But for ferrous metals, soaking in the lerak solution for 24 hours less effective because not been able to eliminate all the existing corrosion on the surface. Keywords : lerak, silver, bronze, and iron PENDAHULUAN A. Latar Belakang Alam menyimpan sejuta potensi yang dapat dimanfaatkan untuk kelangsungan hidup manusia. Dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang berkembang saat ini, tidak menutup kemungkinan potensi alam tersebut dapat dieksploitasi dengan lebih baik, meskipun tidak menampik fakta bahwa tradisi leluhur terkadang masih bersifat tepat guna dan secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan keefektifannya. Artinya, tradisi tersebut masih relevan dengan perkembangan zaman sehingga keberadaannya tetap dipertahankan hingga kini. Menurut Keraf (2002), semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan, serta adat kebiasaan atau etika yang
24
menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologi disebut kearifan tradisional yang harus terus digali dan dikembangkan agar kelestariannya tetap terjaga. Adapun menurut Moendardjito dalam Satyananda (2013), tradisi dapat berkembang menjadi kearifan tradisional apabila mampu bertahan terhadap budaya luar, memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli, mempunyai kemampuan mengendalikan, dan mampu memberi arah pada perkembangan budaya. Salah satu bentuk kearifan tradisional yang cukup dikenal oleh masyarakat adalah penggunaan lerak sebagai sabun tradisional. Namun, beredarnya
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 24-31
bahan-bahan kimia sintetis yang lebih praktis menjadikan lerak kurang banyak diminati sehingga ketersediaannya pun kini semakin langka. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh mahasiswa dan para peneliti menunjukkan bahwa lerak memiliki berbagai manfaat mulai dari sabun wajah, sabun pencuci batik, pembersih logam, pembersih kamar mandi, pembasmi serangga, hingga pembasmi jamur. Selain memiliki keefektifan yang tinggi sebagai bahan pembersih, lerak juga bersifat aman, ekonomis, reversibel, dan ramah lingkungan. Dengan melihat banyaknya manfaat dan kelebihan sifat yang dimiliki lerak, maka penggunaannya perlu dikembangkan terutama sebagai bahan pembersih logam. Museum Majapahit yang terletak di Kabupaten Mojokerto tepatnya di daerah Trowulan merupakan museum arkeologi yang menyimpan berbagai artefak tinggalan Kerajaan Majapahit. Koleksi logam yang dimiliki museum tersebut antara lain berbahan perak, perunggu, dan besi yang dalam pembersihannya seringkali menggunakan bahan kimia sintetis. Untuk mengurangi dampak negatif penggunaan bahan kimia sintetis sebagai pembersih logam, maka bahan-bahan alami yang memiliki keefektifan sama perlu dikembangkan yang berarti juga melestarikan kearifan tradisional. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan pengujian pembersihan logam perak, perunggu, dan besi menggunakan larutan lerak dengan dua metode, yaitu : disikat dan direndam. Dengan mengetahui keefektifan larutan lerak sebagai bahan pembersih, maka bahan alami ini dapat diaplikasikan pada benda cagar budaya berbahan logam. B. Rumusan Masalah 1. Seberapa efektifkah larutan lerak sebagai bahan pembersih logam? 2. Adakah perbedaan hasil yang dicapai pada sampel yang berbeda dengan perlakuan yang sama? 3. Apakah metode penyikatan dan perendaman mempengaruhi tingkat kebersihan logam? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui keefektifan larutan lerak sebagai bahan pembersih logam dan memastikan
jenis logam apakah yang menunjukkan kenaikan tingkat kebersihannya dengan larutan tersebut. 2. Untuk mengetahui metode pembersihan logam yang paling sesuai dengan menggunakan larutan lerak. D. Manfaat Penelitian 1. Hasil pengujian diharapkan dapat dijadikan sebagai metode alternatif pembersihan logam yang aman, ekonomis, reversibel, dan ramah lingkungan. 2. Mengurangi penggunaan bahan kimia sintetis yang terkadang menimbulkan dampak negatif terhadap cagar budaya. TINJAUAN PUSTAKA A. Logam Menurut Achmad (2001), logam adalah unsur yang jumlah elektron di kulit terluar atomnya lebih kecil atau sama dengan nomor periode. Hampir empat per lima dari unsur-unsur adalah logam yang gaya ikatnya disebabkan adanya elektron-elektron yang terdelokalisasi. Derajat kohesi besar sebagai akibat dari elektron-elektron yang terdelokalisasi menyebabkan logam memiliki titik leleh, titik didih, dan kerapatan yang tinggi. Dan terjadinya mobilitas elektron valensi menyebabkan logam mempunyai daya hantar listrik serta panas yang baik. Selain sifat-sifat tersebut, logam juga memiliki sifat yang tidak dimiliki oleh unsur nonlogam, antara lain berwujud padat, keras, dan kuat pada suhu kamar, kecuali raksa (Hg); permukaannya licin dan mengkilap; mudah ditempa dan diregangkan; dan memiliki energi ionisasi yang kecil sehingga cenderung melepaskan elektron. Permukaan logam umumnya mengalami oksidasi ketika berada di udara pada temperatur ruang dan membentuk lapisan oksida sangat tipis (lapisan kusam). Korosi “kering” ini sangat terbatas dan hanya merusak sebagian kecil permukaan logam. Namun pada temperatur tinggi, hampir semua logam dan paduan bereaksi dengan lingkungan sekitarnya dengan laju yang cukup tinggi dan membentuk lapisan oksida tebal (kerak) yang tidak bersifat melindungi. Pada korosi “basah” atau korosi berair terjadi serangan elektrokimia karena adanya air dan dapat merusak permukaan logam serta menjadi penyebab
25
Fatmawati, Efektivitas Buah Lerak (Sapindus Rarak De Candole) sebagai Bahan Pembersih Logam Perak, Perunggu, dan Besi
berbagai permasalahan di semua cabang industri (Pinem, 2005 : 303). Menurut Vlack (1991) dalam Bayuseno (2009), NACE (National Association of Corrosion Engineer) mendefinisikan korosi sebagai penurunan mutu suatu material (biasanya baja) atau sifat-sifatnya yang diakibatkan oleh reaksi dengan lingkungannya. Dan menurut Cahyandaru (2012), peristiwa korosi paling banyak terjadi pada logam besi karena hasil oksidasi besi menghasilkan besi oksida yang porous dan menyebabkan reaksi korosi lebih lanjut. Hal ini berbeda dengan logam seng, timah, maupun timbal yang walaupun lebih mudah mengalami korosi, hasil oksida korosinya akan menutupi permukaan sehingga korosi lebih lanjut tidak terjadi. Lain pula dengan tembaga, perunggu, dan paduannya yang berbahan dasar tembaga. Korosi yang terjadi menyebabkan terbentuknya dua lapisan oksida. B. Lerak Sapindus rarak De Candole merupakan nama binomial dari lerak yang dikenal di Jawa sebagai klerek, di Sunda sebagai rerek, di Palembang sebagai lamuran, di Kerinci sebagai kalikea, dan di Minang sebagai kanikia. Lerak termasuk dalam divisi Spermatophyta yang tumbuh di daerah Jawa dan Sumatera dengan ketinggian 450 – 1500 m di atas permukaan air laut. Tinggi tanaman dapat mencapai 15 – 42 m dan batang kayu yang berwarna putih
Foto 1: Bagian luar buah lerak
kusam berbentuk bulat dan keras itu dapat berukuran 1 m. Biji tanaman berbentuk bulat, keras, dan berwarna hitam. Buahnya berbentuk bulat, keras, diameter ± 1,5 cm, dan berwarna kuning kecoklatan. Di dalam buah terdapat daging buah yang aromanya wangi. Tanaman lerak mulai berbuah pada umur 5 – 15 tahun. Pada umumnya musim berbuah pada awal musim hujan dan menghasilkan biji sebanyak 1.000 – 1.500 biji. Berdasarkan hasil penelitian yang dimuat di beberapa jurnal menyebutkan bahwa buah, kulit batang, biji, dan daun tanaman lerak mengandung saponin, alkaloid, steroid, antikuinon, flavonoid, polifenol, dan tanin. Menurut Widowati (2003) dalam Syahroni (2013), saponin terdapat pada semua bagian tanaman Sapindus dengan kandungan tertinggi terdapat pada bagian buah. Saponin berasal dari bahasa latin Sapo yang berarti sabun karena sifatnya yang menyerupai sabun. Saponin merupakan senyawa kimia yang berasal dari metabolit sekunder yang banyak diperoleh dari tumbuh-tumbuhan. Struktur kimia saponin yang terdiri dari senyawa polar dan non-polar menjadikan buah lerak dikenal sebagai soapberry atau soapnut. Saponin memiliki sifat berasa pahit, berbentuk busa stabil dalam air, bersifat racun bagi hewan berdarah dingin (seperti : ikan, siput, dan serangga), dapat menstabilkan emulsi, dan menyebabkan hemolisis (rusaknya sel darah merah). Menurut Sukmasari (2006), saponin temasuk glikosida yang apabila dihidrolisis akan menghasilkan
Gambar 1 Struktur Steroid
Gambar 2 Struktur Triterpenoid Foto 2: Bagian dalam buah lerak
26
Sumber : Hanafi (2014)
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 24-31
sakarida (bersifat hidrofilik) dan sapogenin (bersifat lipofilik). Sapogenin terdiri dari dua golongan, yaitu: saponin steroid dan saponin triterpenoid. Adanya kandungan saponin yang bersifat hidrofilik dan lipofilik tersebut menjadikan buah lerak bersifat surfaktan sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku sabun. Di Jawa, khasiat buah lerak ternyata telah lama dikenal oleh masyarakat sebagai sabun pencuci batik. Menurut Heyne (1987) dalam Fitrawati (2007) menyebutkan bahwa buah lerak juga dapat digunakan untuk mencuci logam, sebagai obat jerawat, obat eksim, obat kudis, serta pembunuh serangga. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan sampel dari tiga jenis logam yang unsur penyusunnya berbeda, antara lain : mata uang Ma berbahan perak, mata uang Cina berbahan perunggu, dan sabit berbahan besi. Bahan, alat, serta prosedur penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut : Bahan : 1. Buah lerak 2. Air Alat : 1. Timbangan digital 2. Gelas kimia 3. Cawan petri 4. Lumpang dan alu porselin 5. pH indicator paper 6. Pembakar spiritus 7. Spatula 8. Scalpel 9. Sikat 10. Alat penyaring Prosedur pembuatan larutan lerak : 1. Menyiapkan bahan dan alat yang diperlukan. 2. Menimbang buah lerak hingga mencapai massa ± 60 gram atau setara dengan ± 15 biji buah lerak. 3. Memasukkan buah lerak ke dalam gelas kimia yang berisi 250 ml air panas. 4. Didiamkan beberapa saat sampai buah menjadi lunak kemudian tumbuk daging buahnya menggunakan lumpang dan alu porselin. 5. Membiarkan buah lerak di dalam air tersebut selama ± 24 jam kemudian saring.
6. Larutan lerak siap digunakan. Prosedur penelitian : Dalam penelitian ini, sampel dibersihkan dengan larutan lerak menggunakan dua metode, yaitu : disikat dan direndam. Prosedur penelitian untuk ketiga logam tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : Metode pertama : 1. Sampel logam perak dapat langsung disikat dengan larutan lerak, sedangkan untuk logam perunggu dan besi yang di permukaannya tidak hanya berupa korosi melainkan juga tanah yang telah mengering, maka sebaiknya dilakukan pembersihan terlebih dahulu menggunakan sikat dan scalpel. 2. Kemudian sampel dibilas air mengalir dan dikeringkan. Metode kedua : 1. Sampel logam perunggu dan besi yang telah dibersihkan menggunakan scalpel selanjutnya direndam dalam larutan lerak sedangkan logam perak langsung direndam dalam larutan lerak. Perendaman dilakukan dengan variasi waktu : 30 menit, 1 jam, 3 jam, 6 jam, dan 24 jam. 2. Selanjutnya, sampel disikat dengan larutan lerak dan dibilas air mengalir kemudian dikeringkan. HASIL DAN ANALISIS Pembuatan larutan lerak menggunakan air panas untuk merendam buah lerak. Hal ini bertujuan agar daging buah menjadi lunak sehingga mudah dihancurkan karena umumnya buah lerak yang dijumpai di pasar dalam keadaan kering. Buah lerak yang daging buahnya berwarna coklat kehitaman tersebut apabila ditumbuk akan mengeluarkan busa yang berwarna putih kecoklatan dan beraroma wangi. Selanjutnya, buah lerak yang telah hancur tersebut dimasukkan lagi dalam air sehingga warna air berubah dari kuning kecoklatan menjadi coklat kehitaman dan berbusa. Setelah direndam selama ± 24 jam, buah dapat dipisahkan dari larutannya. Apabila diuji dengan pH indicator paper, larutan lerak tersebut menunjukkan angka yang berkisar antara 4 – 6, artinya larutan bersifat asam. Larutan lerak yang berwarna coklat kehitaman dan beraroma wangi
27
Fatmawati, Efektivitas Buah Lerak (Sapindus Rarak De Candole) sebagai Bahan Pembersih Logam Perak, Perunggu, dan Besi
Foto 3 Pembuatan larutan lerak
Foto 4 Larutan lerak yang siap digunakan
inilah yang digunakan untuk membersihkan logam. Dalam penelitian ini, larutan lerak yang dibuat langsung diaplikasikan pada logam dan setelah dua hari dari proses pembuatannya larutan tersebut tidak lagi digunakan karena apabila lebih dari tiga hari, larutan akan mengeluarkan bau yang kurang sedap. Oleh karena itu, pembuatan larutan lerak dilakukan sehari sebelum pembersihan logam. Pembersihan logam perak, perunggu, dan besi menggunakan larutan lerak diperoleh hasil sebagai berikut : A. Logam Perak Dalam penelitian ini dilakukan dua metode pembersihan, yaitu penyikatan dan perendaman yang dilanjutkan dengan penyikatan. Berdasarkan hasil pembersihan logam perak menggunakan larutan lerak dengan metode penyikatan menunjukkan bahwa sebagian besar noda kehitaman pada logam masih melekat dan warna tetap kusam. Ini menandakan bahwa metode penyikatan saja kurang efektif dalam pembersihan logam perak. Pada metode kedua,
yaitu metode perendaman yang dilanjutkan dengan penyikatan dilakukan variasi waktu perendaman selama 30 menit, 1 jam, 3 jam, 6 jam, dan 24 jam. Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa pada perendaman selama 30 menit, logam mulai terlihat bersih sehingga tampak perbedaan yang signifikan antara logam yang hanya disikat dibanding logam yang direndam kemudian disikat. Logam yang direndam selama 1 jam terlihat lebih bersih dan mengkilap. Tingkat kebersihan dan kecemerlangan logam semakin meningkat seiring dengan lamanya waktu perendaman dan mencapai hasil optimal setelah dilakukan perendaman selama 24 jam. Pembersihan logam perak menggunakan larutan lerak dengan metode perendaman, tingkat kebersihan yang ditandai dengan berkurangnya noda kehitaman pada permukaan logam serta meningkatnya kecemerlangan logam dapat dicapai ketika waktu perendaman semakin lama. Pembersihan akan memberikan hasil yang maksimal setelah logam yang direndam tersebut disikat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa logam perak dapat dibersihkan dengan larutan lerak menggunakan metode perendaman selama 24 jam dan dilanjutkan penyikatan. Hasil perlakuan kedua metode pada logam perak dapat ditunjukkan pada Tabel 1. B. Logam Perunggu Seperti halnya logam perak, pembersihan logam perunggu juga menggunakan dua metode. Namun sebelum dilakukan perlakuan, kotoran yang menempel pada permukaan logam perunggu terlebih dahulu dibersihkan menggunakan scalpel. Berdasarkan hasil
Tabel 1 Hasil perlakuan larutan lerak pada logam perak No.
28
Metode Penelitian
1
Disikat
2
Direndam 30 menit
3
Direndam 1 jam
4
Direndam 3 jam
5
Direndam 6 jam
6
Direndam 24 jam
Sebelum Perlakuan
Setelah Perlakuan
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 24-31
Tabel 2 : Hasil perlakuan larutan lerak pada logam perunggu No.
Metode Penelitian
1
Disikat
2
Direndam 30 menit
3
Direndam 1 jam
4
Direndam 3 jam
5
Direndam 6 jam
6
Direndam 24 jam
Sebelum Perlakuan
pembersihan logam perunggu menggunakan larutan lerak diketahui bahwa logam yang hanya dibersihkan dengan penyikatan, hasilnya kurang maksimal, ditandai dengan masih melekatnya kotoran pada permukaan logam. Ini menunjukkan bahwa metode penyikatan saja tidak mampu membersihkan logam. Pada metode perendaman yang dilanjutkan penyikatan, tingkat kebersihan logam mulai terlihat setelah logam direndam selama 30 menit dan hampir tidak ada perbedaan yang signifikan pada logam yang direndam selama 1 jam, 3 jam, dan 6 jam. Namun, ketika logam direndam dalam larutan lerak selama 24 jam, sebagian besar kotoran yang menempel dapat terangkat sehingga logam terlihat lebih bersih. Hasil pembersihan pada logam perunggu ternyata berbeda dengan logam perak yang tingkat kebersihannya terlihat jelas di tiap perlakuannya. Selain lamanya waktu perendaman, keberhasilan dalam pembersihan logam perunggu menggunakan larutan lerak juga dipengaruhi oleh penyikatan, yang mana tingkat kebersihan logam dicapai secara maksimal setelah logam yang direndam tersebut disikat. Selain itu, teknik pembersihan menggunakan scalpel sebelum dilakukan perlakuan dengan larutan lerak juga turut mendukung tercapainya kebersihan pada logam perunggu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa logam perunggu dapat dibersihkan dengan larutan lerak menggunakan metode perendaman selama 24 jam dan dilanjutkan dengan penyikatan. Namun sebelum dilakukan perlakuan, kotoran pada permukaan logam
Setelah Perlakuan
perlu dibersihkan agar hasil yang dicapai lebih optimal. Hasil perlakuan logam perunggu dengan larutan lerak tersaji pada Tabel 2. C. Logam Besi Permukaan logam terlebih dahulu dibersihkan menggunakan sikat dan selanjutnya direaksikan dengan larutan lerak. Metode yang digunakan masih sama seperti sebelumnya, yaitu: disikat dan direndam kemudian disikat. Hasil pengujian menunjukkan bahwa logam yang hanya disikat, sebagian besar korosi masih melekat di permukaannya. Jadi, metode ini kurang efektif dalam membersihkan logam besi. Pada metode perendaman yang dilanjutkan dengan penyikatan dilakukan variasi waktu perendaman, yaitu: 30 menit; 1 jam; 3 jam; 6 jam; dan 24 jam. Logam yang telah direndam selama 30 menit kemudian disikat terlihat sedikit lebih bersih dibanding sebelum perlakuan. Ini terjadi karena kotoran berupa tanah yang menempel di permukaan logam menghilang, tetapi korosi berwarna merah kecoklatan masih melekat. Sedangkan logam yang direndam selama 1 jam ternyata tidak jauh berbeda dengan logam yang direndam selama 30 menit yang mana korosi masih melekat di permukaannya. Dalam waktu 2 jam, larutan lerak yang berisi logam besi berubah warna menjadi hitam kecoklatan pada bagian atas dan bagian bawah berwarna coklat muda. Setelah direndam selama 3 jam kemudian disikat, kotoran pada logam terlihat menghilang dan korosi berkurang. Warna putih keperakan dari logam besi mulai terlihat meskipun hanya di sebagian kecil
29
Fatmawati, Efektivitas Buah Lerak (Sapindus Rarak De Candole) sebagai Bahan Pembersih Logam Perak, Perunggu, dan Besi
Tabel 3 Hasil perlakuan larutan lerak pada logam besi No.
Metode Penelitian
1
Disikat
2
Direndam 30 menit
3
Direndam 1 jam
4
Direndam 3 jam
5
Direndam 6 jam
6
Direndam 24 jam
permukaan logam. Logam yang direndam selama 6 jam terlihat lebih bersih karena korosi di permukaannya berkurang sehingga tampak perbedaan yang signifikan dengan logam yang direndam selama 3 jam. Dan ketika waktu rendaman ditingkatkan menjadi 24 jam, maka hampir seluruh korosi yang ada di permukaan logam terangkat sehingga warna putih keperakan tampak lebih dominan. Meski logam terlihat lebih bersih dibanding perlakuan sebelumnya, namun perlakuan ini masih belum mampu menghilangkan seluruh korosi yang ada di permukaan logam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa larutan lerak kurang efektif sebagai bahan pembersih logam besi dengan metode perendaman selama 24 jam dan dilanjutkan dengan penyikatan. Perbedaan hasil pembersihan logam besi dengan larutan lerak dapat terlihat pada Tabel 3. PENUTUP Berdasarkan hasil pembersihan logam perak, perunggu, dan besi menggunakan larutan lerak, maka
30
Sebelum Perlakuan
Setelah Perlakuan
dapat disimpulkan bahwa : a. Larutan lerak merupakan bahan pembersih yang efektif untuk logam perak yang mana tingkat kebersihan dan kecemerlangan logam semakin meningkat seiring dengan lamanya waktu perendaman. Seperti halnya logam perak, logam perunggu juga dapat dibersihkan dengan larutan lerak dengan waktu perendaman selama 24 jam. Sedangkan penggunaan larutan lerak untuk logam besi kurang efektif apabila dilakukan perendaman selama 24 jam. b. Metode pembersihan logam menggunakan larutan lerak dengan variasi waktu perendaman menunjukkan hasil yang hampir sama antara logam perak dan perunggu sedangkan logam besi berbeda. Untuk logam perak dan perunggu tingkat kebersihan dan kecemerlangannya mencapai hasil optimal setelah direndam selama 24 jam. Sedangkan untuk logam besi, meskipun warna putih keperakan mulai terlihat setelah direndam selama 3 jam, namun perendaman selama 24 jam belum memberikan hasil yang
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 24-31
optimal. c. Metode penyikatan saja tidak efektif dalam membersihkan logam perak, perunggu, dan besi. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, maka metode pembersihan yang digunakan adalah perendaman dan dilanjutkan dengan penyikatan.
mengetahui lamanya waktu perendaman yang paling efektif dalam membersihkan logam besi. Dengan mengetahui keefektifan dari larutan lerak, maka diharapkan bahan alami ini dapat menjadi metode alternatif dalam pembersihan cagar budaya berbahan logam.
Demikian hasil pengujian efektivitas larutan lerak sebagai bahan pembersih logam perak, perunggu, dan besi. Penelitian lanjutan perlu dikembangkan untuk
DAFTAR PUSTAKA Achmad, Hiskia. 2001. Kimia Unsur dan Radiokimia. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Anonim. 2009. Lerak (Sapindus rarak) Tanaman Industri Pengganti Sabun. Jurnal Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri Volume 15 Nomor 22 Agustus 2009. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bayuseno, Athanasius P. 2009. Analisa Laju Korosi pada Baja Untuk Material Kapal Dengan dan Tanpa Perlindungan Cat. Jurnal Rotasi Volume 11 Nomor 3 Juli 2009. Cahyandaru, Nahar. 2012. Konservasi Logam Secara Umum. Balai Konservasi Peninggalan Borobudur. Disampaikan dalam Bimbingan Teknis Konservasi Benda-benda Logam tanggal 13 – 17 Juli 2012. Fitrawati, Juni. 2007. Skripsi Efek Antifungal Berbagai Sediaan dari Buah Lerak Terhadap Candida albicans (Penelitian In Vitro). Medan : Fakultas Kedokteran Gigi. Universitas Sumatera Utara. Hanafi, Moh. Makalah Saponin. http://www.mhanafi123. wordpress.com diakses tanggal 7 April 2014. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jakarta : Badan Litbang Kehutanan. Keraf, S. A. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta : Buku Kompas. Pinem, Muhamad Daud. 2005. Korosi dan Rekayasa Permukaan. Jurnal Teknik Simetrika Volume 4 Nomor 1 April 2005 : 301 – 306.
Piputri, Debrita Ayu dan Dewi Lutfiati. 2014. Pengaruh Frekuensi Pencucian Dengan Menggunakan Lerak (Sapindus rarak De Candole) pada Ketajaman Warna Batik Dulit Gresik. e-Journal Volume 03 Nomor 01 Tahun 2014 Edisi Yudisium Periode Februari 2014. Universitas Negeri Surabaya. Sukmasari, May dan Tjitjah Fatimah. 2006. Analisis Kadar Saponin dalam Daun Kumis Kucing Dengan Menggunakan Metode TLC-Scanner. Jurnal Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Syahroni, Yan Yanuar dan Djoko Prijono. 2013. Aktivitas Insektisida Ekstrak Buah Piper aduncum L. (Piperaceae) dan Sapindus rarak DC. (Sapindaceae) serta Campurannya Terhadap Larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera : Crambidae). Jurnal Entomologi Indonesia Volume 10 Nomor 1 : 39 – 50 April 2013. Departemen Proteksi Tanaman. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Vlack, Van dan H. Lawrence. 1994. Ilmu dan Teknologi Bahan (Ilmu Baja dan Bukan Baja) 5th ed. Erlangga. Widowati L. 2003. Sapindus rarak DC. In : Lemmens RHMJ. Bunyapraphastsara N (Eds). Plant Resources of South-East Asia Vol 12 (3). Medicinal and Poisonous Plants. pp. 358-359. Bogor : Prosea Foundation.
31
Konservasi Berbasis Kearifan Lokal di Situs Benteng Puteri Hijau, Deli Serdang, Sumatera Utara Stanov Purnawibowo
Balai Arkeologi Medan Email:
[email protected] Abstrak: Penanaman pohon pisang barangan (Musa paradisiaca sapientum L) pada benteng tanah yang dinyatakan sebagai tinggalan arkeologis di situs Benteng Puteri Hijau merupakan suatu wujud kearifan lokal dalam aktivitas konservasi material. Penelitian ini mencoba mencari formulasi bentuk kearifan lokal pada konservasi benteng tanah di situs Benteng Puteri Hijau. Penelitian tersebut dilakukan dengan pengamatan lapangan keberadaan tanaman pisang di gundukan tanah serta mewawancarai pemiliknya, kemudian mengelaborasinya dengan kepustakaan yang berkaitan dengan konservasi tanah. Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari bentuk konservasi berbasis kearifan lokal yang bertujuan untuk menambah ragam jenis bentuk konservasi material terhadap tinggalan arkeologi di Indonesia secara umum. Kata kunci: benteng tanah, konservasi, pohon pisang barangan, erosi, kearifan lokal Abstracts: Using trees of ‘barangan’ banana (Musa paradisiaca sapientum L) on earth fort – it is considered as archaeological remains – found at Puteri Hijau Fort Site is a form of local wisdom in conservation activities. This study attempts to formulate the pattern of local wisdom on conservation of earth fort in Puteri Hijau Fort Site. The study was conducted by field observations where the barangan was planted on earth fort and interviewing its owner, then elaborating with literatures related to earth conservation. This study is intended to find the pattern of conservation based on local wisdom that aims to increase the range of types of material to the pattern of the conservation of archaeological remains as general in Indonesia. Key words: earth fort, conservation, barangan’s tree, erotion, local wisdom Pendahuluan 1. Latar belakang Konservasi merupakan salah satu upaya dalam pelestarian suatu cagar budaya ataupun tinggalan arkeologis yang belum ditetapkan sebagai cagar budaya. Salah satunya adalah konservasi material tinggalan arkeologis dengan memanfaatkan kearifan lokal masyarakat yang berada di sekitar tinggalan arkeologis. Konservasi material dilakukan agar tinggalan arkeologis tersebut dapat dilestarikan dan terhindar dari kerusakan, atau meminimalisir kerusakan tinggalan tersebut. Upaya konservasi material dapat dikatakan sebagai salah satu tindakan pelindungan. Berdasarkan uraian tersebut, konservasi material merupakan upaya pelindungan terhadap objek material dari masa lalu yang dilakukan agar benda-benda tersebut dapat dilestarikan. Secara umum pada acara Workshop Konservasi Cagar Budaya Berbasis Kearifan Tradisional yang diadakan oleh Balai Koneservasi Borobudur pada tanggal 11 hingga 15 Agustus 2014 di Yogyakarta, konservasi material cagar budaya dilakukan terhadap tinggalan arkeologis berbahan kayu, logam, batu, tanah liat, keramik, bata, bambu, manik-manik, lontar, dan lain sebaginya. Adapun
32
upaya konservasi material terhadap tinggalan arkeologis berbentuk benteng tanah yang merupakan satu kesatuan utuh dengan bentanglahannya (landscape), serta memiliki cakupan luas belum dikemukakan. Salah satu bentuk tinggalan arkeologis berbentuk benteng tanah adalah situs Benteng Puteri Hijau. Situs Benteng Puteri Hijau merupakan tinggalan masa lalu hasil modifikasi bentang lahan yang dijadikan sebagai lokasi permukiman. Modifikasi tersebut tampak pada sentuhan artifisial di beberapa bagian dinding sungai yang mengelilingi situs ini. Sentuhan artifisial tersebut berupa pembentukan benteng tanah yang dilakukan dengan cara meninggikan bagian tebing sungai menggunakan tanah di bagian luarnya, sehingga tanah di bagian luarnya membentuk cekungan. Cekungan tersebut selanjutnya difungsikan sebagai jagang/parit benteng. Situs ini berada di bagian hulu daerah aliran Sungai Deli yang pada bagian hilirnya mengalir di Kota Medan. Gundukan tanah di lokasi tersebut sekilas akan tampak seperti tebing sungai yang memiliki teras. Gundukan tanah yang tampak di beberapa lokasi (lihat Gambar 2) berbatasan langsung dengan teras dan dataran banjir
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 32-41
jalan (Sumarno, 2013: 3). Adapun konsep konservasi berbasis kearifan lokal secara umum dapat dimaknai sebagai suatu sistem yang mengintegrasikan antara pengetahuan, kelembagaan, serta praktik pengelolaan sumber daya yang ada pada masyarakat dalam menyusun dan menata materi sebagai suatu respon terhadap kondisi lingkungan dan daya antisipatif terhadap perubahan kondisi lingkungan. Konteks lingkungan tersebut berupa lingkungan fisik, lingkungan budaya, ataupun lingkungan sosialnya (Koestoro, 2010). Gambar 1. Salah bagian dinding sungai yang mengalami pengerjaan artifisial dibentuk menjadi benteng tanah dan parit (sumber: Tim Penelitian, 2009)
Sungai Deli. Pada benteng tanah tampak rimbunan pohon pisang barangan (Musa paradisiaca sapientum L) dan jenis tanaman lainnya yang sengaja ditanam oleh penduduk di sepanjang benteng tanah tersebut. Adapun status situs tersebut, saat ini sedang dalam proses akhir untuk ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemerintah Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Berkenaan dengan konservasi material berbasis kearifan lokal di situs tersebut, tampak adanya indikasi keterkaitan antara upaya penanaman pohon pisang barangan dengan sistem tumpang sari oleh masyarakat di sekitar situs Benteng Puteri Hijau dengan upaya konservasi terhadap struktur benteng tanah tersebut. Penanaman pisang barangan dengan cara dicampur tanaman lain, serta pembiaran struktur benteng tanah tertutup oleh tanaman rerumputan dan ilalang sengaja dilakukan masyarakat agar benteng tanah tidak tererosi. Erosi secara umum adalah peristiwa pengikisan padatan (sedimen, tanah, batuan, dan partikel lainnya) akibat transportasi angin, air atau es, karakteristik hujan, gerakan pada tanah dan material lain di bawah pengaruh gravitasi, atau oleh makhluk hidup semisal hewan yang membuat lubang, dalam hal ini disebut bio-erosi. Erosi sebenarnya merupakan proses alami yang mudah dikenali, namun di kebanyakan tempat kejadian ini diperparah oleh aktivitas manusia dalam tata guna lahan yang buruk, penggundulan hutan, kegiatan pertambangan, teknik perkebunan dan perladangan yang tidak sesuai dengan kondisi tanahnya, kegiatan konstruksi atau pembangunan yang tidak tertata dengan baik dan pembangunan
2. Permasalahan Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang akan ditetapkan adalah “Bagaimana relasi antara penanaman pisang barangan dan tanaman lainnya pada benteng tanah dengan upaya konservasi material struktur benteng tanah di situs Benteng Puteri Hijau?”. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, pembahasan yang dilakukan dalam penelitian ini akan dibatasi pada relasi antara aktivitas penanaman pisang barangan (Musa paradisiaca sapientum L) oleh warga di lokasi situs benteng tanah dengan upaya konservasi benteng tanahnya. 3. Maksud dan tujuan Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui adanya salah satu bentuk kearifan lokal di sekitar situs Benteng Puteri Hijau berupa relasi antara penanaman pohon pisang barangan di struktur benteng tanah dengan upaya konservasi benteng tanahnya. Adapun tujuannya adalah untuk mengetahui jenis konservasi material terhadap benteng tanah yang berbasis kearifan lokal di situs Benteng Puteri Hijau. 4. Kerangka berpikir Biornstad (1990:72) mengatakan bahwa perlindungan suatu tinggalan masa lalu berkaitan erat dengan lingkungan dan hubungannya dengan sejarah dan masyarakat kontemporer. Secara implisit konsep tersebut dapat dimaknai sebagai suatu tinggalan masa lalu yang bukan lagi milik masyarakat masa lalu dan sudah tidak ada lagi yang melanjutkan, mengubah penggunaan dan pemaknaannya. Tinggalan masa lalu adalah milik masyarakat masa sekarang, dan seiring waktu berjalan
33
Purnawibowo, Konservasi Berbasis Kearifan Lokal di Situs Benteng Puteri Hijau, Deli Serdang, Sumatera Utara
masyarakat tersebut menjelma menjadi masyarakat masa lalu di masa mendatang, dan kemudian akan meninggalkan jejak fisik dan makna pada tinggalan tersebut, selanjutnya tinggalan tersebut oleh generasi penerus mereka dianggap sebagai warisan budayanya, dan begitu seterusnya. Hal inilah yang selanjutnya dapat diterjemahkan: segala aspek berkenaan dengan keberlangsungan tinggalan arkeologi tersebut diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat sekarang yang berinteraksi langsung dengan tinggalan arkeologi tersebut, salah satunya adalah aspek konservasi materialnya. Berdasarkan hasil pemaknaan dan pengembangan konsep Biornstad tersebut, penelitian sederhana ini akan mencoba untuk mendapatkan formulasi bentuk dari peran masyarakat sekarang dalam menjaga dan melindungi tinggalan masa lalu yang ada di sekitarnya melalui konsep dan pengetahuan masyarakat tersebut. 5. Tinjauan pustaka Penelitian berkenaan dengan keberadaan Benteng Puteri Hijau (BPH) telah dilakukan oleh BPCB Aceh Besar bersama Balai Arkeologi Medan tahun 2008 yang dilakukan di dalam kawasan BPH dan menghasilkan beberapa data arkeologi dari masa prasejarah hingga kolonial. Pada tahun 2009 dilakukan penelitian interdisiplin ilmu yang melibatkan disiplin ilmu arkeologi, geologi, antropologi dan sosiologi, sejarah, dan menejemen konflik sebagai bentuk penelitian CRM (Cultural Resources Management) dan penyelamatan BPH dari perluasan permukiman yang akan dilakukan di lokasi tersebut. Pada tahun 2011, Taufiqurrahman melakukan penelitian dengan observasi lansekap dan pengumpulan deposit arkeologis yang meliputi daerah BPH dan di sekitarnya. Kajiannya menghasilkan aspek pemanfaatan lingkungan untuk benteng tanah sebagai permukiman dan aktivitas pengaturan lalu lintas untuk permukiman di lokasi benteng (Setiawan, 2011: 77). Kajian konservasi tanah dan jenis-jenis konservasi tanah secara umum telah dilakukan oleh Sumarno (2013) dari Universitas Brawijaya. Adapun untuk pengetahuan mengenai kondisi tanah dan jenis konservasi tanah yang cocok di sekitar daerah Kabupaten Deli Serdang dilakukan oleh Ai Dariah, Enggis Tuherkih, Achmad Rachman (2007) dari Balai Penelitian Tanah Bogor. Kajian ilmiah mengenai tata cara penanaman dan tanaman pisang
34
barangan dilakukan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara (2008) dan Fransiska Natalina tahun 2009. 6. Cara penelitian Perolehan data dilakukan dengan dua cara. Pertama adalah melakukan pengamatan di lapangan dengan mencermati keberadaan kebun pisang barangan milik warga yang ditanam di lokasi benteng tanah, kemudian mengadakan wawancara terhadap pemilik kebun pisang. Aktivitas ini menghasilkan data primer yang dilakukan pada tahun 2008 dan 2009. Kedua adalah dengan menelusuri data kepustakaan yang berkaitan dengan situs Benteng Puteri Hijau, pisang barangan, dan konservasi tanah. Aktivitas ini menghasilkan data sekunder. Selanjutnya fakta-fakta yang didapat di lapangan dielaborasikan dengan hasil kajian pustaka, untuk kemudian dipakai dalam menjawab permasalahan yang ditetapkan dalam penelitian ini. Hasil kajiannya berupa generalisasi berkenaan dengan relasi antara aktivitas penanaman pisang barangan pada struktur benteng tanah dengan konservasi struktur benteng tanah di situs Benteng Puteri Hijau. II. Benteng Puteri Hijau 1. Tinggalan arkeologis Benteng Putri Hijau (BPH) terletak di sebuah kawasan dengan morfologi bentanglahan yang relatif datar berada di bagian atas lembah Sungai Deli. Secara astronomis situs ini terletak pada batas selatan di N 3° 28.630’ E 98˚ 40.338’ hingga paling utara di N 3° 29.693’ E 98°40.443’, memanjang utara-selatan di tebing barat Sungai Deli, yang mengalir ke arah selatan. Adapun batas bagian barat berada di N 3˚ 28.830’ E 98˚ 40.521’ dan paling timur berada N 3˚ 28.913’ E 98˚ 40.521’. Secara administrasi situs ini terletak di Desa Deli Tua Kampung, Kecamatan Namorambe, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara (Tim Penelitian, 2009). Berdasarkan hasil penelitian tahun 2009, di lokasi situs tersebut terdapat sisa artifisial manusia masa lalu berupa benteng tanah, parit benteng, fragmen keramik, fragmen gerabah, koin deureuham, sisa alat pertanian. Adapun sisa struktur benteng tanah yang masih tersisa berada di sisi bagian utara situs ini, sedangkan di bagian tengah dan selatan situs
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 32-41
ini struktur benteng tanah dan parit benteng hanya tersisa sedikit saja, yaitu struktur yang berada di tebing sungai. Survei dan ekskavasi di situs Benteng Puteri Hijau tahun 2009 dilakukan pada 5 (lima) lokasi yang dianggap mewakili situs tersebut. Adapun perkiraan sementara luasan situs tersebut sekitar 50 Ha. Pada kelima lokasi tersebut, total dibuka 23 buah kotak ekskavasi (lihat Gambar 2). Benteng Puteri Hijau dapat dikatakan sebagai sebuah situs yang di dalamnya terdapat sisa benteng tanah. Masa hunian di situs Benteng Puteri Hijau diindikasikan pada kurun waktu abad ke-13 hingga abad ke-17 Masehi. Sisa tembok atau dinding tanah yang mengelilingi areal masih tampak, begitu pula keberadaan parit keliling di bagian tenggara. Berkaitan dengan pertapakan yang dikelilingi bagian lahan yang masih rendah, pemanfaatan tebing sebagai bagian perbentengan itu sendiri masih tampak dan sebagian berkenaan dengan bantaran Sungai Deli. Penelitian yang dilakukan tahun 2009 menyimpulkan bahwa Benteng Puteri Hijau bukan merupakan bentukan alam, tetapi dibuat oleh manusia. Benteng di Sektor II tanahnya diambil dari sebelah tenggara (di sekitar kotak-1) yang digali memanjang timur laut -- barat daya. Benteng di Sektor III tanahnya diambil dari sebelah timur (di sekitar kotak-3) yang digali memanjang utara-selatan. Benteng di Sektor IV tanahnya diambil dari sebelah selatan (di sekitar kotak-2) yang digali memanjang timur-barat. Berdasarkan atas pengamatan lapangan dan analisis strata tanah pada beberapa kotak ekskavasi di Situs Benteng Puteri Hijau membuktikan bahwa benteng tersebut dibuat oleh manusia dengan memanfaatkan lahan yang tersedia. Hal ini juga terbukti bahwa dataran-dataran di dalam benteng lebih tinggi dari dataran-dataran yang berada di luar benteng (Tim Penelitian, 2009: 83 -- 85). Data artefaktual yang berhasil didapat dari situs ini terdiri dari berbagai macam ragam dan jenis. Ditinjau dari aspek formal/bentuk, jenis artefak lepas yang dijumpai berupa tembikar, keramik, logam, serta alat batu. Jenis artefak berbahan tanah yang dibakar seperti tembikar dan keramik ditemukan dalam kondisi fragmentaris, baik yang berasal dari permukaan tanah maupun hasil ekskavasi. Jenis artefak ini sebagian besar merupakan wadah yang umum dipakai dalam aktivitas sehari-hari, seperti: mangkok, kendi, guci, tempayan, pasu, piring, serta
Gambar 2. Situs Benteng Puteri Hijau (sumber: Tim Penelitian, 2009 dimodifikasi seperlunya oleh penulis)
teko. Adapun artefak berbahan logam yang ditemukan di sekitar situs berupa uang logam berbahan emas, selongsong peluru, peluru bulat, alat berbahan logam yang diidentifikasi sebagai grathul (Jawa, alat pertanian untuk membersihkan tanaman dari gulma), serta kerak besi seberat 7 gram yang ditemukan di kebun coklat atau kakao (Theobroma cacao L.) milik warga pada penelitian tahun 2008. Adapun artefak alat batu sumatralith berbahan batuan beku juga ditemukan berjumlah 3 buah pada penelitian tahun 2008. Ditinjau dari aspek temporal, data artefaktual yang ditemukan berasal dari berbagai rentang masa. Jenis artefak sumatralith berasal dari masa pengaruh budaya prasejarah yang diidentifikasi pernah ada di situs tersebut. Adapun jenis artefak fragmen tembikar dan keramik diidentifikasi berasal dari rentang masa abad ke-13 -- ke-18 Masehi. Artefak logam berupa: mata uang emas diduga berasal dari Aceh abad ke17 Masehi; selongsong peluru berasal dari masa abad ke-20 Masehi yang digunakan untuk senapan serbu laras panjang jenis CIPS FNC, Kaliber (KL) 5,56 mm buatan Belgia; proyektil bulat berbahan logam timah hitam berasal dari masa abad ke-15 -- ke-20 Masehi;
35
Purnawibowo, Konservasi Berbasis Kearifan Lokal di Situs Benteng Puteri Hijau, Deli Serdang, Sumatera Utara
serta grathul (sejenis alat pertanian seperti cangkul kecil) dari masa saat daerah tersebut dijadikan sebagai lokasi perkebunan tembakau pada akhir abad ke19 hingga awal abad ke-20 Masehi (BP3, 2008; Tim Peneliti, 2009). Berkenaan dengan aspek spasial temuan artefaknya, diidentifikasi berasal dari luar daerah situs. Hal tersebut diketahui dari hasil identifikasi dan analisa penelitian di lokasi situs belum ditemukan jejak fakta dari masa lalu yang mengindikasikan sebagai tempat produksi berbagai artefak tersebut. Adapun temuan fragmen keramik berasal dari Cina dan Thailand. Mata uang emas berasal dari Aceh, serta selongsong peluru buatan Belgia. Sedangkan alat batu, pelor timah hitam, kerak besi dan grathul belum dapat diketahui secara pasti (BP3, 2008). Masyarakat masa lalu di situs Benteng Puteri Hijau memanfaatkan lereng sungai yang relatif terjal sebagai benteng tanah untuk melindungi permukiman mereka dari berbagai ancaman, baik itu ancaman bencana alam maupun serangan lawan. Pemanfaatan topografi di sekitar situs tersebut berupa penambahan tanah sehigga struktur tanah di bagian yang dekat dengan lereng sungai menjadi tinggi hingga membentuk struktur benteng tanah. Peninggian lahan tersebut dilakukan dengan mengambil tanah dari lokasi dalam areal benteng. Hal itu dibuktikan dengan keberadaan lapisan stratigrafi pada benteng tanah yang serupa jenisnya dengan lapisan tanah yang ada di dalam areal situs benteng tanah (Tim Penelitian, 2009). 2. Pohon pisang barangan di situs Benteng Puteri Hijau Pisang barangan (Musa paradisiaca sapientum L) merupakan tanaman pisang spesifik berasal dari Provinsi Sumatera Utara. Tanaman pisang ini memiliki beberapa keunggulan dibandingkan jenis pisang lainnya. Beberapa keunggulan tersebut terletak pada ketebalan dan kekuatan daun, bidang penampang daun yang lebih luas, serta rasa daging buahnya lebih manis. Selain dimanfaatkan buahnya, bagian bunga dan bonggolnya biasanya dimanfaatkan sebagai sayur, manisan, acar, dan lalapan oleh masyarakat di Sumatera Utara. Adapun daunnya hingga saat ini masih dimanfaatkan sebagai alat pembungkus. Pisang barangan termasuk varietas unggulan dari Sumatera Utara yang telah ditetapkan oleh SK Menteri Pertanian No. 38/ Kpts/TP.204/1/97 tanggal 21 Januari 1997 (Natalina S.,
36
Gambar 3. Kebun pisang barangan milik warga di salah satu gundukan tanah pada bagian benteng tanah (atas) dan tebing teras Sungai Deli bagian dari benteng tanah di sektor II situs Benteng Puteri Hijau (bawah) (sumber: dok. Balar Medan, 2009; Setiawan, 2011)
2009; BPPT Sumut 2008). Kebun pisang barangan yang terdapat di sekitar lokasi situs, sebagian besar berada di sektor II (lihat Gambar 2) status kepemilikan lahannya dimiliki oleh warga sekitarnya. Salah seorang warga pemilik kebun pisang, Surya Ginting, 45 tahun mengatakan: “Kebun yang kami tanami dengan pohon pisang barangan dan tanaman lainnya merupakan warisan dari orang tua kami. Tanaman jenis pisang barangan sengaja dipilih karena daun dan buahnya bernilai ekonomi tinggi. Selain itu, tanaman pisang dan tanaman lainnya yang kami tanam di tanah yang menggunduk dapat mencegah runtuhan tanah pada bagian tanah yang miring ketika turun hujan. Karena bila tanah gundukan runtuh, maka luasan kebun kami akan semakin berkurang. Luasan kebun pisang keluarga kami sekitar dua rante (satu rante = 20 m x 20 m). Akan tetapi, ada juga warga yang hanya memiliki kebun pisang barangan yang luasnya tidak sebesar milik kami, karena tanahnya telah tergerus oleh air hujan.” Tanaman pisang barangan dan tanaman lainnya
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 32-41
yang ditanam pada struktur benteng tanah dilakukan untuk mencegah longsornya gundukan tanah benteng akibat hujan (Gambar 3) yang dapat mengurangi luasan kebun milik keluarganya. Di samping itu, pada gundukan benteng tanah tersebut juga dibiarkan tumbuh tanaman ilalang, rerumputan, dan tanaman keras tahunan seperti durian, kelapa, cokelat, duku, mangga, jambe, beringin, dan jenis pohon keras lainnya. Berdasarkan penuturan kepala dusun dan kepala desa setempat, keberadaan tanaman di lokasi struktur benteng tanah merupakan media dan metode untuk menjaga agar tanah yang miring tidak tererosi ketika turun hujan. Selain itu, keberadaan tanaman-tanaman tersebut juga untuk menjaga kejernihan mata air yang terdapat di beberapa bagian di luar struktur benteng tanah, salah satunya terletak di lokasi pancuran gading dekat sektor III (lihat Gambar 2) yang dianggap keramat oleh masyarakat sekitar lokasi situs. Adapun keberadaan pohon pisang barangan dan tanaman keras lain yang ditanam berdampingan berfungsi sebagai perindang, penahan longsor tanah, dan penahan air hujan yang jatuh agar tidak langsung mengikis tanah benteng. Adapun alasan utama mencampurkan jenis tanaman keras dengan tanaman pisang barangan menurut keduanya adalah upaya pemberdayaan lahan kebun secara efektif. Menurut Balas Munthe, 60 tahun, pancuran gading sebagai mata air yang keluar dari bagian bawah struktur benteng tanah di sisi luarnya, belum pernah kering dan kejernihan airnya lebih baik daripada kualitas air mineral kemasan botol. Beberapa pohon pisang barangan ditanam di bagian atas pancuran gading, sedangkan beberapa lainnya ditanam di bagian bawah pancuran yang berbatasan dengan kolam warga. Pancuran gading merupakan lokasi
Gambar 4. Kebun pisang barangan warga di bagian lereng tanah di situs Benteng Puteri Hijau (sumber: dok. Tim penelitian 2009)
Gambar 5. Bagian penampang benteng tanah yang telah mengalami erosi (sumber: dok. BPCB Aceh Besar)
mata air yang dikaitkan dengan mitos keberadaan situs BPH ini dianggap sebagai bagian yang paling sakral oleh penduduk setempat maupun peziarah yang datang ke lokasi situs BPH. Tanaman pisang barangan tidak hanya ditanam di sekitar gundukan benteng tanah saja, tetapi di bagian dalam areal benteng tanah.
III. Konservasi Tanah Berkenaan dengan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini, terlebih dahulu akan diuraikan mengenai metode konservasi bahan material pembentuk struktur bentengnya, yaitu tanah. Konservasi material terhadap struktur benteng yang berbahan baku tanah dengan cakupan areal yang sangat luas menggunakan metode umum konservasi tanah. Upaya konservasi material benteng tanah yang memiliki kemiringan curam adalah dengan cara mengkonservasi tanah pada bagian gundukan untuk mencegah terjadinya erosi. Secara umum struktur tanah di benteng tanah situs BPH bertopografi miring dengan rata-rata kemiringan di atas 45º (lihat Gambar 6). Hal tersebut memungkinkan rawannya erosi tanah pada struktur benteng tanah tersebut. Menurut Sumarno, erosi tanah adalah peristiwa terangkutnya tanah dari satu tempat ke tempat lain oleh air atau angin. Pada dasarnya ada
37
Purnawibowo, Konservasi Berbasis Kearifan Lokal di Situs Benteng Puteri Hijau, Deli Serdang, Sumatera Utara
tanah secara mekanis maupun kimia. Hal tersebut antara lain karena penerapannya relatif mudah, biaya yang dibutuhkan relatif murah, mampu menyediakan tambahan hara bagi tanaman, menghasilkan hijauan pakan ternak, kayu, buah maupun hasil tanaman lainnya. Konservasi tanah secara vegetatif sejatinya merupakan segala bentuk pemanfaatan tanaman ataupun sisa-sisa tanaman untuk mengurangi erosi. Tanaman ataupun sisasisa tanaman berfungsi sebagai pelindung tanah terhadap daya pukulan butir air hujan maupun terhadap daya angkut air aliran permukaan (runoff), serta meningkatkan peresapan air ke dalam tanah. Tanah dengan penutup tanah yang baik berupa vegetasi akan memperkecil erosi dan limpasan permukaan (Sumarno, 2013: 6). Gambar 6. Ilustrasi kondisi tanah pada kontur curam yang dapat menimbulkan erosi bila tidak ada vegetasi yang menutup tanahnya (sumber: Sumarno, 2013)
tiga proses penyebab erosi yaitu pelepasan partikel tanah, pengangkutan, dan pengendapan. Erosi menyebabkan hilangnya tanah lapisan atas dan unsur hara yang sangat penting bagi pertumbuhan tanaman. Tanah-tanah di daerah dengan kemiringan tanah di atas 45º mempunyai risiko tererosi yang lebih besar daripada tanah di daerah datar. Selain tidak stabil akibat pengaruh kemiringan, air hujan yang jatuh akan terus menerus memukul permukaan tanah sehingga memperbesar risiko erosi (Sumarno, 2013: 1 dan 3). Menurut Sumarno (2013: 5) Konservasi tanah adalah penempatan tiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Secara umum, tujuan konservasi tanah adalah meningkatkan produktivitas lahan secara maksimal, memperbaiki lahan yang rusak/kritis, dan melakukan upaya pencegahan kerusakan tanah akibat erosi. Sasaran konservasi tanah meliputi keseluruhan sumber daya lahan, yang mencakup kelestarian produktivitas tanah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mendukung keseimbangan ekosistem. Pada dasarnya teknik konservasi tanah dibedakan menjadi tiga yaitu: vegetatif, mekanik, dan kimia. Teknik konservasi tanah secara vegetatif memiliki beberapa keunggulan bila dibandingkan dengan teknik konservasi
38
IV. Penanaman Pisang Barangan dan Konservasi Struktur Benteng Tanah Kebun campuran (sistem tumpang sari) yang dikelola dengan baik dapat menciptakan sistem multistrata yang dapat menurunkan kecepatan luncuran air hujan yang jatuh ke tanah. Oleh karena itu, penanaman pohon pelindung perlu dipertahankan karena dapat berfungsi sebagai tanaman konservasi tanah (Dariah, Tuherkih, dan Rachman, 2007). Tanaman pisang barangan yang ditanam oleh masyarakat setempat dengan sistem kebun campuran pada struktur benteng tanah di situs BPH dapat dikatakan sebagai bentuk konservasi tanah dalam upaya pencegahan erosi. Penanaman pisang barangan dengan cara tumpang sari dengan tanaman lainnya pada struktur benteng tanah di situs BPH memiliki relevansi terhadap upaya konservasi tanah sebagai bahan dasar pembuatan struktur benteng tanah di situs Benteng Puteri Hijau. Hal tersebut tercermin pada pemilihan masyarakat setempat terhadap jenis tanaman yang ditanam. Pohon pisang barangan memiliki karakteristik yang lebih unggul dalam hal konservasi tanah bila dibandingkan dengan jenis tanaman pisang lainnya, yaitu ketebalan dan kekuatan daun, serta bidang penampang daun yang lebih luas. Ketebalan dan kekuatan daun pisang barangan berpengaruh terhadap kekuatan daun pisang tersebut dalam menahan laju kecepatan air hujan yang akan mengenai permukaan bidang tanah di struktur benteng tanah yang miring, sehingga kecepatan laju air hujan yang akan mengenai permukaan struktur benteng tanah
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 32-41
akan jauh berkurang. Adapun fungsi tumbuhan lainnya yang melingkupi seluruh permukaan struktur benteng tanah berfungsi sebagai penahan laju air hujan yang telah mengenai daun pisang, sebelum jatuh hingga permukaan tanah. Di samping itu, daun pisang memiliki bentuk morfologi daun yang ditunjang oleh keberadaan tulang daunnya yang berbentuk seperti saluran air yang dapat berfungsi sebagai jalan air yang memasukkan air ke dalam bilik tunas daun di bagian atas pohon pisang, sebelum air hujan jatuh ke tanah. Hal-hal tersebut menjadikan tanaman pisang, khususnya jenis pisang barangan dipilih oleh masyarakat di sekitar situs BPH sebagai jenis tanaman yang mampu menahan dan menjaga struktur benteng tanah tidak tererosi. Adapun bidang penampang daun yang lebih luas bila dibandingkan dengan jenis tanaman pisang lainnya berpengaruh terhadap cakupan luas bidang tanah yang akan dilindungi dari benturan air hujan yang akan mengenai permukaan tanah pada struktur benteng tanahnya. Selain memiliki akar serabut yang mampu menahan material struktur tanah, daun pada pohon pisang bila dilihat dari atas akan seperti lingkaran pelindung tanah dengan ruasruas tulang daun sebagai saluran airnya. Pohon pisang juga termasuk tanaman yang sangat banyak mengandung air dalam tubuhnya, sehingga kemampuan menyimpan air dalam tubuh tanaman cukup baik. Berdasarkan uraian tersebut, dapat diketahui relasi antara penanaman pisang barangan dengan cara tumpang sari dengan tanaman lainnya, khususnya kelompok tanaman ilalang dan rumputan yang berada di bawah pohon pisang barangan pada permukaan struktur benteng tanah di situs Benteng Puteri Hijau yang turut melindungi struktur benteng tanah dari erosi. Aktivitas masyarakat di sekitar situs Benteng Puteri Hijau yang melakukan penanaman pohon pisang barangan dan tanaman lainnya, serta membiarkan bagian permukaan benteng tanah tertutup rimbunan tanaman menjalar lainnya merupakan suatu wujud upaya konservasi terhadap struktur benteng berbahan tanah. Secara teknis, aktivitas mereka tersebut termasuk dalam upaya konservasi vegetatif seperti yang diungkapkan oleh Sumarno (2013). Konservasi benteng tanah tersebut sebenarnya merupakan aktivitas perlindungan terhadap keawetan
Gambar 7. Sistem tumpang sari di lahan situs Benteng Puteri Hijau (sumber: dok. BPCB Aceh Besar)
bentuk struktur benteng tanah agar tetap seperti sediakala pada saat awal mereka miliki dan manfaatkan. Adapun upaya tersebut sebenarnya dilandasi oleh rasa hormat mereka terhadap tokoh Puteri Hijau, yang dianggap sebagai leluhur mereka. Masyarakat yang berdomisili di dalam areal situs, tidak ingin merubah bentuk lahan yang telah lama mereka tinggali, sebagai bentuk penghormatan terhadap Tokoh Puteri Hijau yang sering mereka panggil dengan sebutan “Nenek”. Sebagai upaya mempertahankan bentuk lahan warisan Nenek Puteri Hijau tersebut adalah dengan menanam pohon pisang barangan dengan cara tumpang sari. Upaya masyarakat tersebut merupakan bagian dari melindungi tanah kebun mereka dari erosi dan menjaga ketersediaan air jernih, di samping sebagai penopang ekonominya. Penggunaan dan permintaan terhadap daun pisang barangan sebagai bahan pembungkus barang dagangan dalam transaksi jual-beli di pasar tradisional menjadi magnet utama menanam pohon pisang tersebut. Kondisi tersebut didukung oleh permintaan akan pisang barangan yang menjadi komoditas unggulan dari sekitaran Kota Medan, khususnya daerah Deli Serdang dan Sumatera Utara pada umumnya. Kondisi umum penggunaan daun pisang sebagai bahan pembungkus, serta nilai jual tinggi pisang barangan disikapi oleh masyarakat yang memiliki kebun di sekitar benteng tanah di situs Benteng Puteri Hijau dengan menanami struktur benteng tanah dengan tanaman pisang barangan. Menilik apa yang telah diungkapkan oleh Koestoro (2010) di atas, bentuk kearifan lokal yang terdapat di situs Benteng Puteri Hijau, selain benteng tanahnya sendiri, adalah bentuk upaya konservasi material struktur benteng
39
Purnawibowo, Konservasi Berbasis Kearifan Lokal di Situs Benteng Puteri Hijau, Deli Serdang, Sumatera Utara
tanahnya. Caranya adalah dengan menanam pohon pisang barangan yang ditumpangsarikan dengan tanaman lain. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk upaya konservasi vegetatif berbasis kearifan lokal untuk melindungi benteng tanah dari erosi. Penutup 1. Kesimpulan Bentuk konservasi material dengan menggunakan pohon pisang barangan yang ditanam secara tumpang sari dengan ilalang dan rumputan pada struktur benteng tanah di situs BPH dapat dikatakan sebagai aktivitas konservasi material berbasis kearifan lokal. Penanaman pohon pisang barangan yang dipilih oleh masyarakat di sekitar situs dalam upaya konservasi tanah pada struktur benteng tanahnya dilakukan karena pohon pisang barangan dianggap memiliki keunggulan pada kekuatan dan ketebalan daun serta luasan penampang daun yang lebih unggul dibandingkan dengan jenis tanaman pisang lainnya. Adapun inti dari keseluruhan aktivitas tersebut bertujuan untuk melindungi tanah dari erosi, menjaga ketersediaan air jernih, serta bentuk penghormatan kepada tokoh Puteri Hijau. Aktivitas tersebut dapat dikategorikan dalam konservasi vegetatif dalam ranah kajian ilmu tanah dan ilmu pertanian. Upaya tersebut, selain secara teknis mengkonservasi benteng tanahnya, juga dapat memberikan dampak pada usaha peningkatan pendapatan ekonomi warga di sekitar tinggalan masa
lalu tersebut. Konservasi berbasis kearifan lokal yang dilakukan masyarakat di sekitar situs Benteng Puteri Hijau dapat dikatakan sebagai bentuk pemanfaatan tinggalan masa lalu yang berbasis perlindungan terhadap tinggalan tersebut. 2. Rekomendasi Bentuk praktik konservasi berbasis kearifan lokal dalam bentuk pembudidayaan tanaman bernilai ekonomi tinggi dapat dikembangkan potensinya. Selain ikut menjaga dan melindungi objek budaya material tinggalan masa lalu, juga memberikan potensi pengembangan ekonomi bagi masyarakatnya. Hal ini memungkinkan kelak akan lebih menyentuh kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang hidup di sekitar tinggalan masa lalu untuk menjaga, melindungi, sekaligus terhidupi oleh tinggalan masa lalu yang ada disekitarnya. Konsep ini memungkinkan adanya pemberdayaan masyarakat secara simultan dan berkelanjutan dalam kerangka pemanfaatan cagar budaya, tanpa melupakan aspek pelestariannya sebagai komponen utamanya. Satu hal yang perlu diingat, bahwa konservasi berbasis kearifan lokal tidak dapat berjalan sendiri dalam kerangka besar pelestarian situs tersebut. Konservasi berbasis kearifan lokal tidak akan ada artinya bila tidak didukung oleh upaya konservasi teknis perlindungan situs, misalnya: pembuatan batas yang tegas dan jelas terhadap zonasi situs (inti, penyangga, pengembangan), serta penetapan dan pengangkatan juru pelihara situs.
Daftar Pustaka BP3 Banda Aceh, 2008. Laporan Penggalian Penyelamatan Situs Benteng Putri Hijau Desa Deli Tua, Kecamatan Namorambe, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata: Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala. BPTP, Sumatera Utara. 2008. Teknologi Penanaman Pisang Barangan Sistem Dua Jalur (Doble Raw). Dalam http://pustaka.litbang.deptan.go.id/agritek/ smut0908.pdf. Diunduh 21 Juli 2014, Pukul 22.30 WIB.
40
Biornstad, Margareta. 1990. “The ICOMOS Internastional Committee on Archaelogical Management (ICAHM)”. dalam Henry F. Cleere (Ed.). Archaeological Heritage Management in The Modern World. UnwimHyman. London. Hlm. 70-78. Dariah, Ai., Enggis Tuherkih, Achmad Rachman. 2007. “Teknologi Pemupukan Spesifik Lokasi dan Konservasi Tanah, Desa Talun Kenas, Kecamatan STM Hilir, Kab. Deliserdang”. Bogor: Balai Penelitian Tanah. Dalam http://
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 32-41
pustaka.litbang.deptan.go.id/agritek/smut0908.pdf. Diunduh 21 Juli 2014, Pukul 21.30 WIB. Koestoro, Lucas P. 2010. “Benteng dan Kearifan Lokal”, dalam Seri warisan Sumatera Bagian Utara No.0510. Medan: Balai Arkeologi Medan. hlm 96 -- 133. Natalina S., Fransiska. 2009. “Analisis Komparasi Usahatani Pisang Barangan Antara Sistem Konvensional dengan Sistem Dobel Raw”. Skripsi. Medan: Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Dalam http://repository. usu.ac.id/bitstr eam/123456789/7497/1/0 9E01511.pdf. Diunduh 21 Juli 2014, Pukul 20.45 WIB. Setiawan, Taufiqurrahman, dkk. 2011. Penelitian Situs Dunia Di Sumatera Utara Benteng Puteri Hijau. Medan: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara.
Sumarno, 2013. “Vegetasi Untuk Konservasi Tanah dan Air”. Dalam http://marno.lecture.ub.ac. id/files/2013/11/VEGETASI-untukKONSERVASI-TANAH-DAN-AIR.docx. Diunduh 21 Juli 2014, Pukul 20.30 WIB. Tim Peneliti, 2009. Laporan Penelitian Komprehensif Pada Situs Yang Diduga Sebagai Benteng Putri Hijau di Desa Delitua, Kecamatan Namorambe, Kabupaten Deli Serdang. Laporan Penelitian. Lubukpakam: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Deli Serdang.
41
Penerapan NDT (Non-Destructive Testing) untuk Analisis Pelapukan Cagar Budaya Menggunakan Alat XRF; Studi Kasus Candi Mendut Nahar Cahyandaru
Balai Konservasi Borobudur
[email protected] Abstrak: Cagar budaya merupakan tinggalan budaya yang bernilai tinggi sehingga sangat penting untuk dilestarikan. Cagar budaya umumnya dijumpai dalam jumlah yang sangat terbatas dan telah mengalami pelapukan. Usaha konservasi material diperlukan untuk mempertahankan kelestariannya. Konservasi yang dilakukan memerlukan analisis sebagai dasar tindakan. Mengingat pentingnya cagar budaya maka sangat dibutuhkan metode pengujian yang bersifat tidak merusak bendanya (non-destruktif). Metode pengujian non-destruktif yang dikenal antara lain XRF (X-Ray Fluorescene). Kajian ini menguji penerapan alat XRF untuk memahami pelapukan cagar budaya, subjek yang dikaji adalah Candi Mendut. Hasil kajian menunjukkan bahwa analisis dengan alat XRF menghasilkan data yang relatif akurat, cepat, dan mudah dilaksanakan di lapangan. Berdasarkan kandungan silika dalam sampel, batu-batu Candi Mendut belum mengalami pelapukan yang serius, kecuali bagian bilik dalam yang telah mengalami pelapukan dengan tingkat yang bervariasi. Pelapukan batu bilik diperkirakan akibat aktivitas mikroba karena tingginya kandungan phospat dan sulfat dalam batu. Pelapukan pada dinding bagian luar yang cukup banyak diamati adalah terbentuknya endapan garam, penggaraman yang terjadi merupakan proses pengendapan garam silikat dan karbonat dengan kation yang dominan adalah kalsium. Pertumbuhan organisme pada permukaan batu terjadi pada batu jenis-jenis tertentu dengan komposisi yang berbeda. Batu yang ditumbuhi organisme mengandung besi, kalium, dan phospor yang relatif rendah karena unsur-unsur tersebut merupakan nutrisi bagi metabolisme organisme. Udara tercemar turut mempengaruhi pelapukan batu Candi Mendut, ditandai dengan kandungan sulfur pada batu-batu candi. Namun kandungan tersebut belum menunjukkan adanya gelaja pelapukan yang signifikan. Kandungan sulfur dalam endapan garam juga relatif rendah sehingga dampak udara tercemar tidak mempengaruhi penggaraman. Berdasarkan pengolahan dan interpretasi data yang dilakukan maka permasalahan pelapukan Candi Mendut dapat dipahami dengan lebih baik. Hasil analisis permasalahan pelapukan ini dapat menjadi acuan dalam pengambilan tindakan konservasi yang diperlukan. Kata kunci : Analisis Non-Destuktif, XRF, Pelapukan batu, Candi Mendut Abstract: Cultural heritage, as a valuable cultural remain, is very important to preserve. Cultural heritage is generally limited in number dan have experienced deterioration/weathering. Material conservation efforts are needed to maintain thesustainability of the object. Conservation process requires a precise analysis. Given the importance of the cultural heritage, testing methods that are non-destructive are needed. Non-destructive testing methods are still limited, although the technology is already developed. One of the non-destructive testing can be used is XRF (X-Ray Fluorescene) equipment. This study tested the XRF application for understanding the deterioration/weathering of cultural heritage, with the subject studied is Candi Mendut. The study result shows that the XRF equipment can produce relatively fast and accurate data, while easily applied on the field. Based on the silica in the sample, stones of Mendut Temple has no yet experienced severe deterioration, except for the chamber that has undergone deterioration in varied level. The deterioration in chamber’s stones is assumed to be caused by microbe activity ignited by high phospat and sulfure in the stone. Deterioration in outer wall mostly is salt deposit, in which sometimes is followed by formation of postule and alveol. The deposit is formed by precipitation process of silica and carbonit salt and calcium, which is the most dominant cation. The growth of microorganism on stone’s surface occurs in certain stone type with varied composition. The stones with microorganisms has relatively low iron, potassium, and phospor. These compounds are nutrient for the microorganism’s growth. Polluted air has effect also on the stone deterioration in Mendut Temple. The pollution is shown by the content of sulfur, although the content is not showing significant deterioration process yet. The sulfur in salt deposit is relatively low, which shows that the polluted air has no effect on the deposit. Based on the data analysis and interpretation, Candi Mendut material deterioration problems can be better understood. The results of the deterioration problem analysis can become a reference in determining the necessary conservation measures. Keywords : Non-destructive analysis, XRF, Stone deterioration, Candi Mendut
42
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 42-52
A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kegiatan pelestarian cagar budaya merupakan pekerjaan yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tindakan konservasi yang diambil harus didasarkan pada hasil analisis terhadap permasalahan yang terjadi. Berbagai metode analisis dapat dipergunakan untuk memahami permasalahan konservasi secara komprehensif, sehingga dapat dirumuskan rencana pelaksanaa konservasi yang sesuai. Pelapukan cagar budaya merupakan salah satu permasalahan yang perlu ditangani dengan suatu metode konservasi. Metode konservasi yang tepat dapat diperoleh berdasar analisis kimia fisika, petrografi, dan lain-lain. Umumnya metode tersebut bersifat destruktif, karena memerlukan pegambilan sampel dan proses destruksi dalam analisisnya. Cagar budaya merupakan kekayaan yang harus dijaga kelestariannya karena memiliki nilai penting yang tinggi. Oleh karena itu sebisa mungkin analisis yang dilakukan bersifat non-destruktif. Analisis yang menggunakan metode pengujian non-destruktif saat ini sangat diperlukan. Perkembangan teknologi saat ini memungkinkan berbagai teknik pengujian nondestruktif dilakukan. Berbagai peralatan pengujian non-destruktif saat ini telah tersedia dan mampu menghasilkan data analisis secara akuarat. Data yang dihasilkan belum dapat selengkap dan seakurat metode analisis destruktif, namun untuk keperluan pemahaman terhadap permasalahan konservasi seringkali sudah cukup memadai. Salah satu metode analisis non-destruktif yang dapat digunakan dalam analisis pelapukan cagar budaya adalah pengujian dengan instrumen X-Ray
Fluorescence (XRF). Pengujian dengan alat XRF dapat memberikan data komposisi unsur secara semikuantitatif. Pengujian yang dilakukan tidak bersifat merusak benda, dapat dilakukan di lokasi, dan cepat. Hasil penngujian berupa komposisi unsur, meskipun masih semi-kuantitatif namun data yang dihasilkan sudah mendekati kuantitatif. Kelebihan tersebut membuat metode ini menarik untuk diterapkan pada analisis terhadap material cagar budaya. Pada kajian ini dilakukan pengujian batu Candi Mendut dengan alat XRF, dan dilanjutkan dengan analisis pelapukan yang terjadi. Dengan pengujian non-destruktif ini diharapkan telah dapat dilakukan analisis sehingga dapat diketahui proses dan faktor pelapukan yang terjadi. Hasil analisis diharapkan dapat dipergunakan sebagai dasar untuk melakukan tindakan konservasi yang diperlukan. 2. NDT (Non-Destructive Testing) NDT (Non-Destructive Testing) adalah salah satu teknik pengujian material tanpa merusak benda ujinya. Pengujian tak rusak (NDT) dapat memainkan beberapa peran penting dalam analisis benda-benda dan bangunan bersejarah. Hal ini yang menyebabkan penerapan metode ini menarik di bidang arkeologi karena bermanfaat untuk konservasi. Metode nondestruktif testing terbatas pada beberapa metode saja yang memang bersfat tidak merusak benda uji. Pengujian non-destruktif dapat dikelompokkan seperti gambar berikut, yang membagi dalam empat kelompok utama, yaitu: suara, penetrasi radiasi, elektromagnetisme dan optik (Livingstone, 2001). Pengetahuan dan hasil diagnosis status konservasi benda/bangunan bersejarah dapat digunakan untuk memahami permasalahan material dan struktural
43
Cahyandaru, Penerapan NDT (Non-Destructive Testing) untuk Analisis Pelapukan Cagar Budaya Menggunakan Alat Xrf.....
yang terjadi serta mengarahkan pada pilihan model intervensi yang sesuai. Model penanganan yang perlu dilakukan misalnya usulan perbaikan atau perkuatan struktural dapat diketahui dari analisis struktural dan material non-destruktif. Analisis yang tepat terhadap struktural dan material dapat membantu dalam memahami tingkat kerapuhan dan meramalkan kondisinya di masa depan. (Binda and Saisi, 2001). Dalam konservasi, metode analisis ilmiah digunakan untuk mengevaluasi material cagar budaya dan proses konservasinya. K. Janssens dan R. van Grieken dalam Svahn (2006) membagi metode analisis yang digunakan dalam konservasi menjadi tiga kelompok, sebagai berikut: - Analisis terhadap material pembuat cagar budaya, yang meliputi semua komponen penyusunnya, - Keadaan perubahan (di permukaan dan atau internal) benda sebagai hasil dari proses terpapar kondisi lingkungan tertentu dalam jangka pendek, menengah, dan panjang, - Efek / efektivitas pelaksanaan konservasi / restorasi yang dilaksanakan, baik sebelum, selama, dan setelah aplikasi. Penelitian modern pada material cagar budaya biasanya melibatkan penggunaan berbagai metode analisis dan teknik untuk memperoleh informasi dari bahan-bahan tersebut; dalam banyak kasus, komposisi kimia (elemen utama) merupakan informasi utama yang diperlukan (Schreiner, 2004). Ada banyak metode yang berbeda yang dapat dilakukan, pemilihan metode yang akan dipergunakan tergantung pada tujuan analisis. Hal ini penting karena tidak mungkin untuk mendapatkan semua informasi yang diperlukan dari satu metode analisis tunggal. Konservator harus memilih dan merancang serangkaian tes yang memberikan informasi komplementer (saling melengkapi). Persyaratan metode analisis yang diperlukan cukup banyak, seperti tes harus non destruktif, cepat, universal, ekonomis, mampu reproduksi, mudah digunakan, sesuai tujuan, tersedia, sensitif dan tidak berbahaya bagi lingkungan (Lahanier et al. dalam Schreiner, 2004). Seperti disebutkan di atas, tidak semua tes sesuai dengan persyaratan tersebut, dalam
44
beberapa kasus perlu merusak secara mikro (misalnya uji ketahanan pengeboran mikro). Apabila semua tes dilakukan akan sangat mahal dan membutuhkan pengalaman. Konservator harus memperhatikan kriteria dan persyaratan, serta harus memilih metode yang menghasilkan data optimal ketika merancang sebuah program analisis (Svahn, 2006). Penerapan teknik analisis non-destruksi awalnya dikembangkan di bidang ilmu material. Selanjutnya bidang arkeologi, seni, dan sejarah menerapkan metode ini untuk mengetahui komposisi bahan, serta mengetahui dari mana, kapan, atau oleh siapa artefak tersebut dibuat. Analisis non-destruktif ini juga berharga dalam beberapa kasus yang sangat diperlukan untuk kegiatan konservasi, untuk membedakan bagian-bagian asli atau penambahan dari objek, dan pengujian pemalsuan. Fenomena ini harus dipelajari secara ekstensif untuk memahami kinetika pelapukan dan untuk mengembangkan cara-cara konservasi dan untuk mencegah atau memperlambat proses ini (Janssens et al, 2000). Kapsalas, et al (2007) melakukan penelitian yang diarahkan untuk menyelidiki pelapukan batu secara kuantitatif dengan deteksi non-destruktif. Permukaan yang diteliti dipantau melalui bantuan beberapa model pencitraan. Lebih khusus, digunakan Fiber Optik Microscope (FOM), kamera digital, dan sistem reflectography yang beroperasi pada spektrum pita sinar tampak. Beberapa algoritma selanjutnya diuji untuk mendeteksi pola pelapukan yang terjadi. 3. Permasalahan Pelapukan Candi Mendut dan Faktornya Candi Mendut dan juga Candi Pawon merupakan candi yang tidak bisa dipisahkan dari Candi Borobudur, tidak hanya pada konsteks religi tetapi juga pada sejarah pembangunan dan pemugarannya. Candi Mendut dibangun pada masa yang tidak jauh dari Candi Borobudur, diperkirakan dibangun terlebih dahulu dibanding Candi Borobudur. Riwayat Candi Mendut hingga pemugaran pertama pada awal abad 20 serupa dengan Candi Borobudur. Dengan demikian usia dan riwayat pemugarannya identik dengan Candi Borobudur. Yang berbeda adalah Candi Borobudur kemudian mengalami pemugaran
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 42-52
kedua pada 1973-1983. Candi Mendut yang telah berusia sangat tua mengalami berbagai permasalahan pelapukan material. Berbagai gejala pelapukan terjadi pada bagian dinding luar dan dinding dalam (bilik) candi. Kerusakan struktural juga terjadi, yaitu berupa penggelembungan, keretakan struktur, dan beberapa bagian yang mengalami deformasi. Pelapukan material yang teridentifikasi telah terjadi di Candi Mendut adalah : a. Penggaraman b. Postule dan alveol c. Pertumbuhan organisme d. Kerapuhan dan pengelupasan e. Kerusakan/pelapukan jenis lain Berdasarkan pengamatan struktur bangunan serta lokasi dan keberadaan Candi Mendut, beberapa faktor teridentiikasi turut berperan pada terjadinya pelapukan batu. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari internal material atau bangunan serta dari faktor eksteral karena Candi Borobudur terletak di lingkungan terbuka. Berikut ini faktor-faktor yang teridenfikasi berperan secara signifikan dalam proses pelapukan batu Candi Mendut. a. Faktor Internal 1) Jenis batu 2) Struktur bangunan 3) Material lain dalam bangunan b. Faktor Eksternal 1) Suhu dan Kelembaban 2) Penyinaran Matahari 3) Air 4) Organisme 5) Udara dan pengaruh emisi kendaraan 6) Asap dupa dalam bilik 7) Manusia B. METODE / PENGAMBILAN DATA Untuk menghasilkan data yang valid, maka setiap kelompok sampel terdiri atas 5 batu yang mewakili populasi, dan setiap batu diambil 3 data untuk selanjutnya di rata-rata. Pengambilan data dilaksanakan langsung dilapangan terhadap batubatu yang dianggap mewakili kelompok populasi. Pengukuran dengan alat Handheld XRF tidak
memerlukan pengambilan sampel dari permukaan batu, namun alat XRF langsung ditembakkan pada permukaan batu secara langsung dilapangan. Langkah pertama setelah pemilihan batu sampel adalah dengan mengkondisikan alat sesuai material yang diukur, yaitu untuk batu menggunakan setingan alat mode “Soil-plus”. Kalibrasi dilakukan terhadap alat sebelum digunakan menggunakan keping standar bawaan alat. Pengukuran dilakukan dengan menempelkan unjung alat pada permukaan batu dan diaktifkan melalui layar sentuh pada alat. Posisi alat ditahan agar stabil pada permukaan batu selama kurang lebih satu menit sampai proses pembacaan alat selesai. Setiap selesai pengukuran dilakukan penyimpanan data (save) dan setelah selesai semua pengukuran data yang diperoleh diunduh dan disimpan dalam format MS-Excel. Data yang dihasilkan dari XRF berupa data komposisi, namun masih perlu untuk diolah karena harus mengkoreksi unsur dari komponen lain yang mengganggu. Beberapa komponen akan masuk sebagai bagian tidak terukur, yaitu unsur oksigen, hidrogen, nitrogen dan bahan organik, air dalam hal ini juga termasuk komponen yang tidak terukur dan harus dikoreksi. Setelah dilakukan koreksi, untuk mengeliminir komponen tidak terukur maka dilakukan pengolahan data lebih lanjut dengan mengubah konponen silikon (Si) menajadi silika (SiO2). Hal ini karena yang terukur pada alat adalah unsur, sementara kondisi sebenarnya silikon dalam batuan mayoritas adalah dalam bentuk senyawaan silika. Sedangkan unsur lainnya tetap sebagai unsurnya meskipun dalam batuan juga berupa mineral. Data hasil analisis kimia yang diperoleh ditampilkan di Tabel 1. Data pada Tabel 1. merupakan data komposisi sampel batu hasil konversi dan koreksi, data tersebut menggambarkan kandungan unsur-unsur yang ada. Analisis dengan XRF menghasilkan data pengukuran untuk unsur-unsur tertentu terutama logam, sedang unsur lain non logam tidak terukur. Unsur yang dominan namun tidak terukur antara lain oksigen, hidrogen, nitrogen, dan senyawa organik. Sehingga data tersebut bukanlah kadar sesungguhnya (bukan prosentase berat unsur per berat sampel) dari unsurunsur yang ditampilkan, tetapi menggambarkan
45
Cahyandaru, Penerapan NDT (Non-Destructive Testing) untuk Analisis Pelapukan Cagar Budaya Menggunakan Alat Xrf.....
komposisi unsur yang ada. Tabel 1. Kompilasi Data Hasil Pengukuran dengan XRF Jenis sampel 1
Batu sehat porus
75,82
8,25
7,38
5,59
1,57
0,10
0,13
0,77
0,16
Unsur lain 0,23
2
Batu sehat porus
74,66
6,96
7,14
8,09
1,20
0,20
0,49
0,66
0,19
0,41
100,00
3
Batu sehat porus
70,33
11,27
7,32
7,01
1,95
0,34
0,38
0,74
0,20
0,46
100,00
4
Batu sehat porus
76,52
9,06
6,46
5,28
1,44
0,14
0,10
0,61
0,18
0,22
100,00
5
Batu sehat porus
71,27
11,27
6,80
4,62
1,85
2,64
0,61
0,58
0,19
0,19
100,00
6
Batu sehat kompak
73,91
11,99
6,05
4,93
1,18
0,61
0,13
0,58
0,17
0,45
100,00
7
Batu sehat kompak
71,34
11,38
6,14
7,36
1,64
0,96
0,18
0,61
0,18
0,22
100,00
8
Batu sehat kompak
68,85
10,10
7,96
8,36
1,37
0,44
0,62
0,70
0,21
1,38
100,00
No
46
Komposisi (%) SiO2
Al
Fe
Ca
K
P
S
Ti
Mn
Total 100,00
9
Batu sehat kompak
70,47
9,51
7,32
7,98
1,57
0,35
1,27
0,75
0,20
0,60
100,00
10
Batu sehat kompak
67,38
5,72
5,65
17,09
0,78
0,56
1,04
0,49
0,21
1,06
100,00
11
Batu sehat kompak
65,78
5,15
7,15
18,00
0,67
0,42
1,00
0,48
0,20
1,14
100,00
12
Lapisan kuning
78,06
9,20
3,93
6,32
0,47
0,66
0,44
0,30
0,18
0,44
100,00
13
Lapisan kuning
78,53
8,12
4,62
6,25
0,45
0,66
0,50
0,32
0,17
0,39
100,00
14
Lapisan kuning
78,90
9,30
4,96
4,44
0,88
0,36
0,43
0,38
0,16
0,19
100,00
15
Lapisan kuning
76,75
7,14
5,17
5,23
0,85
0,44
0,40
0,46
0,19
3,37
100,00
16
Lapisan kuning
78,06
8,19
4,92
5,31
0,73
0,49
0,44
0,39
0,17
1,32
100,00
17
Batu yang bergaram
77,40
7,67
5,05
5,27
0,79
0,46
0,42
0,42
0,18
2,34
100,00
18
Batu yang bergaram
81,20
5,36
5,15
6,04
1,07
0,18
0,04
0,49
0,16
0,31
100,00
19
Batu yang bergaram
82,33
3,34
4,38
6,99
0,67
0,29
1,15
0,41
0,17
0,27
100,00
20
Batu yang bergaram
80,16
6,67
5,89
4,72
0,90
0,08
0,18
0,48
0,16
0,76
100,00
21
Garam pada batu
81,02
1,16
2,83
14,03
0,15
0,05
0,25
0,18
0,17
0,15
100,00
22
Garam pada batu
79,80
1,19
2,36
15,79
0,08
0,00
0,28
0,19
0,17
0,15
100,00
23
Garam pada batu
89,11
1,46
1,70
7,01
0,08
0,00
0,13
0,15
0,15
0,21
100,00
24
Garam pada batu
83,31
1,27
2,30
12,27
0,10
0,02
0,22
0,17
0,16
0,17
100,00
25
Garam pada batu
86,59
1,67
3,57
7,11
0,15
0,00
0,11
0,24
0,09
0,47
100,00
26
Batu dengan organisme
87,78
2,90
3,19
4,36
0,34
0,10
0,62
0,27
0,16
0,27
100,00
27
Batu dengan organisme
86,70
1,82
2,69
7,69
0,17
0,03
0,27
0,21
0,14
0,28
100,00
28
Batu dengan organisme
86,10
1,91
2,94
7,86
0,19
0,04
0,31
0,22
0,14
0,30
100,00
29
Batu dengan organisme
84,26
2,54
3,32
8,71
0,25
0,00
0,42
0,24
0,08
0,18
100,00
30
Batu dengan organisme
91,07
0,64
1,82
5,39
0,04
0,04
0,47
0,13
0,05
0,35
100,00
31
Batu baru pemugaran I
86,59
1,67
3,57
7,11
0,15
0,00
0,11
0,24
0,09
0,47
100,00
32
Batu baru pemugaran I
73,20
8,10
7,11
8,69
1,42
0,09
0,37
0,63
0,19
0,21
100,00
33
Batu baru pemugaran I
76,42
4,72
6,23
9,22
1,09
0,11
1,34
0,51
0,17
0,20
100,00
34
Batu baru pemugaran I
68,98
2,21
4,80
17,65
0,21
0,02
5,46
0,32
0,14
0,21
100,00
35
Batu baru pemugaran I
85,60
4,66
3,96
3,60
0,67
0,47
0,37
0,34
0,10
0,22
100,00
36
Batu baru
76,08
10,23
5,29
4,79
2,54
0,10
0,08
0,57
0,17
0,14
100,00
37
Batu baru
73,99
10,59
5,96
6,52
1,88
0,10
0,00
0,58
0,19
0,19
100,00
38
Batu baru
73,04
10,46
6,20
6,63
2,37
0,13
0,23
0,59
0,18
0,18
100,00
39
Batu baru
74,68
10,93
5,48
5,92
1,97
0,08
0,00
0,56
0,19
0,20
100,00
40
Batu baru
74,70
10,18
6,82
4,70
2,48
0,08
0,00
0,63
0,20
0,21
100,00
41
Batu dinding bilik dalam
72,69
8,35
3,70
4,61
2,33
6,08
0,87
0,43
0,09
0,85
100,00
42
Batu dinding bilik dalam
56,87
21,02
4,35
3,53
1,39
10,00
2,07
0,36
0,09
0,31
100,00
43
Batu dinding bilik dalam
43,56
2,78
1,70
27,83
0,16
7,77
13,31
0,17
0,35
2,39
100,00
44
Batu dinding bilik dalam
48,72
18,99
3,10
6,33
0,75
13,53
8,04
0,19
0,13
0,22
100,00
45
Batu dinding bilik dalam
23,95
29,64
2,18
5,79
3,35
28,60
5,29
0,19
0,17
0,85
100,00
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 42-52
HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data di atas, selajutnya dilakukan analisis data untuk mengetahui gejala pelapukan yang terjadi dan memprediksi faktor-faktor yang mempengaruhi. Hasil analisis diharapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk merumuskan program penanganan konservasi ke depan. 1. Kandungan SiO2 dalam Batu Batu andesit merupakan batuan baku dari produk vulkanik yang secara petrografi merupakan batuan berbasis mineral yang memiliki kandungan dominan silika. Oleh karena itu kandungan silika akan mencerminkan karakter batu, sehingga perlu dilakukan analisis perbandingan kandungan silika antar kelompok sampel. Data tersebut dituangkan dalam grafik pada Gambar 1. Dari grafik pada Gambar 1terlihat perbedaan kandungan silika dari berbagai sampel yang dianalisis. Batu yang sehat (tidak mengalami pelapukan) berada pada kisaran 70-76,5 % untuk batu porous dan 65,7873,91 %. Kandungan silika yang tinggi ditunjukkan pada sampel batu yang ditumbuhi organisme (84,2691,07 %). Kandungan silika yang rendah ditemukan pada batu bilik dalam dengan kandungan silika 23,95-72,69 %. Hal ini disebabkan karena kondisi permukaan batu bilik dalam yang lapuk dan terlihat adanya endapan garam yang sangat tebal. Batu yang mengalami pelapukan akan kandungan silikanya rendah. Karena silika merupakan kerangka penguat material, maka batu yang kandungan silikanya rendah lebih rapuh. Kandungan silika yang rendah ini juga disebabkan lapisan garam pada permukaan batu yang
cukup tebal. Endapan tersebut merupakan produk proses pelapukan sehingga memiliki komposisi yang berbeda dengan batu. Adanya senyawa organik yang tinggi pada permukaan juga akan menyebabkan kandungan silika menjadi rendah. Senyawa organik tersebut bersumber dari proses pelapukan dan endapan asap dari pembakaran dupa dan lilin yang berlangsung terus-menerus.
Gambar 1. Kandungan SiO2 dalam Sampel untuk Setiap Kelompok Populasi
Gambar 2. Grafik Perbandingan Unsur Aluminium terhadap Silika Batu Candi Mendut
2. Kandungan Aluminium Kandungan aluminium dalam batu digambarkan dalam grafik perbandingan kandungan silika dengan aluminium pada Gambar 2. Berdasarkan grafik pada Gambar 2 dapat terlihat adanya pengelompokan kandungan silika versus aluminium yang tergambarkan dari titik-titik yang saling berkelompok. Kelompok titik-titik tersebut menunjukkan bahwa sampel yang diambil memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda. Dari grafik tersebut kandungan aluminium terlihat tidak terpola pada sampel batu bilik dalam, hal ini karena batu tersebut sudah mengalami pelapukan dengan tingkat yang bervariasi. Kondisi yang tidak berpola menunjukkan bahwa kondisi pelapukan batu bilik dalam berbeda-beda, baik tingkat maupun jenis pelapukannya. Pelapukan yang paling tinggi terjadi pada sampel no.45 yaitu sebesar 29,64 %. Batu andesit yang mengalami pelapukan akan berubah komposisi mineralnya. Mineral penyusun andesit akan berubah menjadi mineral lainnya, dan bentuk terakhir dari mineral yang sangat lapuk adalah lempung/clay. Lempung merupakan mineral tanah yang lunak dengan kandungan utama alumina
47
Cahyandaru, Penerapan NDT (Non-Destructive Testing) untuk Analisis Pelapukan Cagar Budaya Menggunakan Alat Xrf.....
dan silikat. (lempung merupakan mineral yang tersusun oleh lapisan alumina dan silikat atau rasio Si/Al = 1 (kaolin ) dan Si/Al = 2 (monmorilonit), jadi komponen utama lempung adalah Si dan Al). Oleh karena itu batu-batu pada bilik dalam mengandung aluminium dengan kadar tinggi karena telah mengalami pelapukan tingkat lanjut sehingga telah banyak terbentuk mineral clay. Namun hal ini masih merupakan hipotesis dan masih membutuhkan analisis lain untuk memastikan, misalnya dengan XRD. Kandungan aluminium terendah ditunjukkan pada sampel endapan garam yaitu pada kisaran 1,161,67 %. Hal ini sangat jelas karena endapan garam terbentuk dari proses kimia pelarutan garam yang kemudian mengendap di permukaan. Peristiwa pengendapan garam umumnya melibatkan senyawa silikat dan karbonat, dengan gabungan beberapa kation terutama kalsium, magnesium, dan besi. Dalam prosesnya aluminium tidak terlibat karena senyawa aluminium umumnya tidak mudah larut, sehingga larutan yang akan mengering membentuk garam juga memiliki kandungan aluminium yang rendah. Oleh karena itu komposisi aluminium dalam endapan garam sangat rendah.
48
kesamaan karakteristik setiap kelompok sampel. Kandungan besi pada sampel bilik dalam terlihat paling acak, hal ini disebabkan karena sampel bilik dalam sudah mengalami pelapukan sehingga masingmasing memiliki kandungan yang berbeda sesuai dengan tingkat pelapukannya. Batu yang sehat baik porous maupun kompak dan batu baru yang segar dan dari pemugaran pertama, semuanya menunjukkan kandungan besi yang relatif tinggi. Hal ini karena batu-batu tersebut relatif belum mengalami pelapukan sehingga besi yang ada belum terdekomposisi dari batu. Kandungan besi pada batu dengan organisme relatif lebih rendah. Rendahnya kandungan besi ini dimungkinkan karena batu jenis ini rentan terhadap pertumbuhan organisme, selain itu besi juga salah satu jenis unsur nutrisi dari metabolisme organisme sehingga menjadi dapat berkurang akibat diserap untuk aktivitas organisme. Mekanisme ini masih perlu pengkajian lebih lanjut untuk mengetahui jenis andesit yang rentan pertumbuhan organisme.
3. Kandungan Besi Kandungan besi ditunjukkan pada grafik perbandingan kandungan besi terhadap kandungan silika pada Gambar 3. Berdasarkan grafik pada Gambar 3 dapat terlihat bahwa masing-masing jenis sampel juga terlihat berkelompok, karena sesuai dengan
4. Kandungan Kalsium Kalsium merupakan unsur yang ada dalam batu andesit, jumlahnya tidak dominan. Kalsium dominan pada batu kapur dan material yang dibuat dengan campuran kapur seperti mortar/plester. Kandungan kalsium pada batu andesit yang tinggi biasanya dipengaruhi oleh material lain. Kandungan kalsium dapat dilihat pada grafik pada Gambar 4. Dari grafik pada Gambar 4 terlihat bahwa kandungan kalsium yang tinggi ditemukan pada sampel endapan garam dan sampel batu bilik dalam.
Gambar 3. Grafik Perbandingan Unsur Besi terhadap Silika Batu Candi Mendut
Gambar 4. Grafik Perbandingan Unsur Kalsium terhadap Silika Batu Candi Mendut
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 42-52
Sampel endapan garam merupakan material baru yang merupakan hasil pelapukan batu. Sehingga komposisi endapan garam akan berbeda dengan batu andesit. Dari proses pembentukannya, garam pada permukaan batu umumnya merupakan senyawa silikat dan karbonat yang berikatan dengan kation. Kation yang paling banyak ditemukan adalah kalsium. Hal ini sejalan dengan data yang ada dimana kandungan kalsium pada sampel endapan garam relatif tinggi dibanding sampel lainnya. Sampel batu bilik dalam juga demikian, karena sampel batu bilik dalam kondisinya juga tertutup endapan garam. Batu bilik dalam merupakan batu yang sudah mengalami pelapukan sehingga komposisinya merupakan campuran antara batu dan produk pelapukan, tergantung tingkat pelapukannya. Sumber kalsium yang membentuk endapan garam pada Candi Mendut dapat berasal dari mortar yang ada bagian dalam struktru bangunan. Air yang meresap ke dalam bangunan dapat melarutkan kalsium yang ada dalam mortar dan mengendap di permukaan. Oleh karena itu penting untuk menjaga agar Candi Mendut tidak mengalami kebocoran di bagian atap. Sela-sela batu atap telah ditutup agar air tidak masuk, namun sistem ini harus dimonitor agar tidak mengalami kerusakan. 5. Kandungan Kalium Kalium merupakan unsur yang ada secara alamiah dalam mineral penyusun batu andesit. Kalium pada dasarnya merupakan unsur yang mudah larut dan mudah bereaksi. Sehingga batu andesit yang sudah cukup tua dan lapuk akan memiliki kandungan kalium yang rendah. Berikut ini grafik pada Gambar
Gambar 5. Grafik Perbandingan Unsur Kalium terhadap Silika Batu Candi Mendut
5 kandungan kalium terhadap silika. Dari grafik tersebut terlihat dengan jelas bahwa kelompok sampel batu baru (segar) memiliki kandungan kalium yang relatif paling tinggi dibanding sampel batu lainnya. Demikian juga dengan sampel batu sehat baik yang porous dan kompak juga relatif tinggi. Kandungan kalium yang tinggi dalam batu andesit menunjukkan bahwa mineral penyusun andesit yang mengandung kalium masih cukup stabil dan belum mengalami pelapukan. Pada sampel endapan garam kandungan kalium relatif rendah karena garam kalium merupakan garam yang mudah larut sehingga tidak mengendap di permukaan membentuk endapan sebagaimana garam kalsium. Batu yang ditumbuhi organisme memiliki kandunga kalium yang rendah, hal ini dimungkinkan karena kalium merupakan salah satu nutrisi yang sangat dibutuhkan oleh organisme terutama organisme fotosintetik. Sehingga kandungan kalium dalam batu yang ditumbuhi organisme akan menurun karena diserap oleh organisme untuk metabolismenya. 6. Kandungan Phospor Phospor pada dasarnya bukanlah unsur dalam mineral penyusun batu andesit. Unsur phospor bisa ada dalam batu dalam bentuk senyawa phospat yang mungkin terbentuk dalam proses pelapukan batu dan pengaruh lingkungan. Data menunjukkan bahwa kandungan phospos relatif rendah untuk semua sampel kecuali sampel dari bilik dalam. Berikut ini grafik pada Gambar 6 yang menggambarkan kandungan phospor dalam sampel. Pada grafik pada Gambar 6 sampel batu dinding
Gambar 6. Grafik Perbandingan Unsur Fosfor terhadap Silika Batu Candi Mendut
49
Cahyandaru, Penerapan NDT (Non-Destructive Testing) untuk Analisis Pelapukan Cagar Budaya Menggunakan Alat Xrf.....
dalam tidak digambarkan karena kandungannya relatif sangat tinggi dibanding sampel lainnya. Kandungan yang sangat ini terjadi karena batu bilik dalam sudah mengalami pelapukan. Tingginya kandungan phospor dalam batu tersebut dapat dijadikan petunjuk penyebab pelapukan batu bilik dalam. Phospor banyak dihasilkan dari aktivitas binatang yang mungkin dahulu tinggal di dalam bilik Candi Mendur. Binatang yang umum tinggal di dalam bilik candi adalah kelelawar dan burung. Kotoran kelelawar yang menumpuk di bagian dalam bilik akan diuraikan oleh mikroba menghasilkan bahan yang mengandung phospat. Jika kotoran yang menempel pada batu semakin tebal maka kandungan phospor dalam batu akan meninggkat meskipun permukaan batu sudah dibersihkan. Dengan demikian depat disimpulkan bahwa pelapukan yang terjadi pada bilik dalam Candi Mendut terutama disebabkan oleh aktivitas binatang yang tinggal dalam bilik di masa lalu. Sumber lain yang mungkin adalah asap pembakaran dupa dan lilin. Asap tersebut mengandung berbagai gas hasil pembakaran dan gas lain termasuk senyawa aromatik. Perlu pengkajian lebih lanjut untuk mengetahui komposisi asap dupa dan lilin serta perkiraan dampaknya terhadap batu candi. Kandungan phospor yang rendah dijumpai pada sampel batu yang ditumbuhi organisme dan endapan garam. Endapan garam yang ada di Candi Mendut merupakan endapan silikat dan karbonat, sehingga phospat tidak ditemukan dalam hal ini. Phospat merupakan senyawa yang dibutuhkan oleh tumbuhan sebagai nutrisi, sehingga batu yang
Gambar 7. Grafik Perbandingan Unsur Belerang terhadap Silika Batu Candi Mendut
50
ditumbuhi organisme akan kehilangan kandungan phospatnya. 7. Kandungan Belerang Kandungan belerang dalam sampel batu dapat dilihat pada Gambar 7. Belerang merupakan unsur yang tidak secara alami terdapat dalam mineral batu andesit. Sulfur ada dalam batu andesit akibat faktor eksternal, yaitu udara yang tercemar dan aktivitas mikroorganisme. Udara yang tercemar dapat bersumber dari alam seperti erupsi gunung api dan sumber non alam terutama pembakaran bahan bakar minyak yang mengandung sulfur. Untuk Candi Mendut sumber-sumber tersebut memungkinkan terjadi karena erupsi gunung api cukup sering terjadi dan lokasi candi yang berada di dekat jalan raya. Faktor mikroorganisme juga berpengaruh terutama batu bilik dalam, sebagaimana diuraikan pada analisis kandungan phospor di atas. Bilik Candi Mendut kemungkinan pernah di huni binatang dan kotorannya diuraikan oleh mikroorganisme menghasilkan senyawa sulfat dan phospat yang masuk ke pori-pori batu. Jika kita perhatikan grafik di atas, maka dapat dilihat bahwa kandungan sulfur yang rendah terdapat pada batu baru (segar). Hal ini karena batu tersebut masih alami dan belum terkena faktor-faktor eksternal yang meningkatkan kandungan sulfur. Sedangkan sampel-sampel lainnya mengandung sulfur relatif lebih tinggi. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pengaruh eksternal turut berpengaruh pelapukan batu Candi Mendut. Pengaruh udara tercemar telah turut memberikan dampak pelapukan, meskipun perlu dikaji secara lebih mendalam kecepatan dampak tersebut. Perlu kajian lebih lanjut untuk mengetahui dampak udara tercemar terutama akibat lalu lintas kendaraan di jalan raya yang dekat dengan Candi Mendut terhadap pelapukan batu candi. Dari grafik tersebut terlihat bahwa kandungan sulfur dalam endapan garam relatif rendah, sehingga dapat dikatakan bahwa sulfat tidak berperan secara signifikan dalam pembentukan endapan garam, namun pada gejala pelapukan lainnya.
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 42-52
8. Rumusan Hasil Analisis Hasil analisis pelapukan batu Candi Mendut yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut : a. Berdasarkan kandungan silika dalam sampel, batu-batu Candi Mendut belum mengalami pelapukan yang serius, kecuali bagian bilik dalam yang telah mengalami pelapukan dengan tingkat yang bervariasi. b. Pelapukan batu bilik diperkirakan akibat aktivitas mikroba karena tingginya kandungan phospat dan sulfat dalam batu. Aktivitas mikroba tersebut dapat terjadi karena di masa lalu bilik Candi Mendut menjadi tempat tinggal binatang seperti kelelawar yang menghasilkan kotoran. Asap yang ditimbulkan dari pembakaran lilin dan dupa secara terus-menerus juga dapat berperan dalam pelapukan meskipun perlu kajian lebih mendalam. c. Pelapukan pada dinding bagian luar yang cukup banyak diamati adalah terbentuknya endapan garam yang sebagian diikuti dengan terbentuknya postule dan alveol. Penggaraman yang terjadi merupakan proses pengendapan garam silikat dan karbonat dengan kation yang dominan adalah kalsium. Tingginya kandungan kalsium dalam endapan garam menunjukkan adanya faktor material lain yang mengandung kapur, dalam hal ini adalah adanya mortar di dalam struktur bangunan yang dipasang pada pemugaran. d. Pertumbuhan organisme pada permukaan batu terjadi pada batu jenis-jenis tertentu dengan komposisi yang berbeda. Batu yang ditumbuhi organisme mengandung besi, kalium, dan phospor yang realatif rendah karena unsur-unsur tersebut merupakan nutrisi bagi metabolisme organisme tersebut. Perlu kajian lebih dalam untuk mengetahui jenis dan karakter batu yang mudah mengalami pertumbuhan organisme dan pengendaliannya. e. Udara tercemar turut mempangaruhi pelapukan batu Candi Mendut, ditandai dengan kandungan sulfur pada batu-batu candi. Namun kandungan tersebut belum menunjukkan adanya gelaja pelapukan yang signifikan. Kandungan sulfur dalam endapan garam juga relatif rendah sehingga
dampak udara tercemar tidak mempengaruhi pelapukan dalam bentuk penggaraman. Perlu kajian lebih lanjut untuk mengetahui dampak udara tercemar terhadap pelapukan batu Candi Mendut termasuk dampak emisi gas buang kendaraan dari jalan raya yang dekat dengan candi. Berdasar permasalahan, analisis data, dan rumusan di atas maka dapat direkomendasikan beberapa program/kegiatan yang perlu dilaksanakan ke depan. Program/kegiatan tersebut yaitu: a. Melaksanakan kegiatan monitoring keterawatan batu-batu candi secara detail dan kontinyu, untuk mengetahui perkembangan pelapukan yang terjadi b. Melaksanakan kegiatan perawatan batu-batu candi berupa pembersihan dan perbaikan c. Melaksanakan perawatan atap untuk mencegah terjadinya kebocoran d. Melaksanakan pemeliharaan kebersihan candi dari sampah dan pengotor lainnya e. Melaksanakan pemeliharaan lingkungan berupa pembersihan dan perawatan taman f. Penanaman pohon untuk tamanisasi sekaligus meningkatkan kualitas udara g. Penanaman pohon untuk penghalang emisi gas kendaraan dari jalan raya h. Melaksanakan kajian dampak emisi gas buang terhadap pelapukan batu candi i. Melaksanakan kajian dampak asap lilin dan dupa terhadap pelapukan batu candi j. Melaksanakan kajian pelapukan batu dinding bilik dalam dan motode penanganannya C. KESIMPULAN Berdasarkan analisis data dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Alat XRF dapat diterapkan untuk analisis pelapukan cagar budaya, dalam hal ini batu Candi Mendut. Analisis dengan alat XRF bersifat nondestruktis dan dapat menghasilkan data yang relatif akurat, cepat, dan mudah dilaksanakan di lapangan. 2. Berdasarkan pengolahan dan interpretasi data yang dilakukan maka permasalahan pelapukan
51
Cahyandaru, Penerapan NDT (Non-Destructive Testing) untuk Analisis Pelapukan Cagar Budaya Menggunakan Alat Xrf.....
Candi Mendut dapat dipahami dengan lebih baik. Hasil analisis permasalahan pelapukan ini dapat menjadi acuan dalam pengambilan tindakan konservasi yang diperlukan. Datar Pustaka Kapsalas P, Zervakis M, Maravelaki-Kalaitzaki P, Delegou E.T, Moropoulou A, (2007), NDT Detection of Decay Areas and Evaluation of Their Attributes, XXI International CIPA Symposium, Athens, Greece Svahn H, (2006), Non-Destructive Field Tests in Stone Conservation; Literature Study, Final Report for the Research and Development Project, Riksantikvarieämbetet Livingston R A, (2001), Nondestructive Testing of Historic Structures, Archives and Museum Informatics 13: 249–271, Kluwer Academic Publishers. Binda L and Saisi A, (2001), Non Destructive Testing Applied to Historic Buildings: The Case of some Sicilian Churches, Historical Constructions, Guimarães
52
Janssens K, Vittiglio G, Deraedt I, Aerts A, Vekemans B, Vincze L, Wei F, Deryck I, Schalm O, Adams F, Rindby A, Kn¨ochel A, Simionovici A, Snigirev A, (2000), Use of Microscopic XRF for Nondestructive Analysis in Art and Archaeometry, X-Ray Spectrom. 29, 73–91 Schreiner M, Frühmann B, Jembrih-Simbürger D, Linke R, (2004), X-Rays In Art And Archaeology – An Overview, Advances in X-ray Analysis, Volume 47, International Centre for Diffraction Data
Metode Isolasi dan Identifikasi Struktur Senyawa Organik Bahan Alam Sri Atun
Jurusan Pendidikan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta Email :
[email protected] Abstrak: Beberapa penelitian etnomedika yang tercatat dalam dokumen kuno dari beberapa wilayah Indonesia menunjukkan adanya beberapa jenis tumbuhan yang dapat digunakan sebagai obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit, maupun dapat diterapkan pada benda yang mengalami permasalahan akibat aktivitas suatu organisme. Senyawa bioaktif dapat berkhasiat sebagai anti bakteri, anti jamur, anti serangga dan lain-lain. Namun demikian, agar tumbuhan tersebut dapat dikembangkan dan dilestarikan perlu dilakukan penelitian yang berkelanjutan, sehingga dapat diketahui jenis senyawa bioaktifnya. Untuk mengetahui kandungan senyawa aktif dari tumbuhan perlu dilakukan isolasi, sehingga diperoleh senyawa murni. Selanjutnya dari senyawa murni yang diperoleh belum memiliki makna apabila belum diketahui struktur molekulnya. Dalam artikel ini akan dibahas mengenai metode isolasi dan penentuan struktur senyawa alam. Kata kunci: Isolasi, Identifikasi, Senyawa bioaktif Abstract: Some ethno-medical studies, which have been written in ancient documents from several regions in Indonesia, shows that there are several types of plant used as medicines to cure diseases as well as to be applied in an object that has problem with organism’s growth. The bioactive compound could be used as anti-bacteria, anti-fungi, anti-insect, etc. Nevertheless, continuous study is needed to investigate the type of its bioactive compound. Thus, the plant could be developed and preserved. In identifying the active compound from a plant, isolation is needed to gain pure compound. The pure compound has no meaning if its molecular structure has not been identified. The article discuss about isolation methodology and determination on the structure of natural compound. Keywords: Isolation, Identification, Bioactive compound Pendahuluan Indonesia termasuk salah satu negara “megadiversity” yang kaya keanekaragaman hayati. Di dunia terdapat kurang lebih 250.000 jenis tumbuhan tinggi, dan lebih dari 60 % dari jumlah ini merupakan tumbuhan tropika. Diperkirakan sekitar 30.000 tumbuhan ditemukan di dalam hutan hujan tropika, dan sekitar 1.260 spesies di antaranya diketahui berkhasiat sebagai obat. Namun, baru sekitar 180 spesies yang telah digunakan untuk berbagai keperluan industri obat dan jamu, dan baru beberapa spesies saja yang telah dibudidayakan secara intensif [1]. Keanekaragaman hayati Indonesia tersebut terutama tersebar di setiap pulau besar, seperti Kalimantan, Papua, Sumatra dan Jawa. Di samping itu terdapat organisme lain seperti jamur maupun mikroba yang belum banyak tersentuh oleh peneliti. Keanekaragaman hayati tersebut merupakan sumber biomolekul senyawa-senyawa organik yang tidak terbatas jumlahnya [1]. Sejak dahulu kala, nenek moyang kita telah mengetahui sifat-sifat yang berguna dari berbagai jenis tumbuhan untuk mengobati penyakit, pembunuh jamur maupun pengawet kayu sebagai
bahan bangunan maupun yang lainnya. Sebagian informasi tersebut ada yang tercatat dalam dokumen kuno yang berasal dari beberapa wilayah Indonesia, namun ada juga yang hanya sebagai cerita dari mulut ke mulut. Namun demikian, agar tumbuhan tersebut dapat dikembangkan dan dilestarikan perlu dilakukan penelitian yang berkelanjutan, sehingga dapat diketahui jenis senyawa bioaktifnya serta khasiatnya untuk mengobati penyakit-penyakit tersebut maupun sebagai bahan pengawet kayu maupun yang lainnya [2-4]. Penerapan bahan aktif dari tumbuhan tidak terbatas pada pengobatan terhadap penyakit manusia. Khasiat bioaktif tersebut selain sebagai obat pada penyakit manusia juga dapat diterapkan pada benda yang mengalami permasalahan akibat aktivitas suatu organisme. Senyawa bioaktif dapat berkhasiat sebagai anti bakteri, anti jamur, anti serangga dan lainlain. Salah satu material yang terancam pelapukan akibat aktivitas organisme adalah benda-benda cagar budaya. Cagar budaya merupakan tinggalan budaya yang memiliki nilai penting sehingga perlu untuk
53
Atun Metode Isolasi dan Identifikasi Struktur Senyawa Organik Bahan Alam.....
dilestarikan, umumnya sudah berumur tua dan telah lapuk. Pelestarian cagar budaya dapat dilakukan dengan mengendalikan faktor-faktor perusaknya, dengan cara-cara konservasi menggunakan berbagai bahan termasuk bahan tradisional. Masyarakat tradisional selain meninggalkan cagar budaya dalam bentuk benda, juga mewariskan berbagai praktek yang bertujuan memelihara atau mengawetkan benda-benda tersebut. Cara-cara tradisional tersebut menggunakan bahan-bahan alam termasuk dari tumbuh-tumbuhan. Penelitian mengenai isolasi senyawa aktif pada tumbuhan yang digunakan sebagai bahan konservan tradisional pada cagar budaya juga penting untuk dilakukan. Perkembangan dalam penelitian bahan alam mengalami kemajuan yang semakin cepat dengan ditemukannya teknik-teknik pemisahan secara kromatografi dan penentuan struktur molekul secara spektroskopi pada pertengahan abad ke-20. Dengan menggunakan metode tersebut beberapa struktur senyawa bioaktif berhasil ditemukan, misalnya penemuan alkaloid seperti vinblastin dan vinkristin dari tumbuhan Catharanthus roseus (tapak dara) sebagai obat kanker. Demikian juga penemuan taksol dari tumbuhan Taxus brevifolia, serta taxoter hasil modifikasinya yang dapat digunakan sebagai obat kanker kandungan. Hal ini mendorong perusahaanperusahaan farmasi untuk mengeksplorasi senyawasenyawa bioaktif dari tumbuhan sebagai lead compounds penemuan obat baru[3-5]. Di Amerika Serikat terdapat sekitar 45 macam obat penting berasal dari tumbuhan obat tropika, 14
H O N N
N
e M O C
H H O H O
3C
N R
R = Me, Vinblastin R = CHO, Vinkristin
54
H
c A O e M O C
H3C O O
H N
O
O
H O
H O
O
O
O
H
H O
O O
H C
3
O
Taxol H3C H C H C
O
3 3
H3C O
O
H N
O
O
H O
H O
H O
O
O
O
H
O O
H C
3
O
Taxoter
spesies berasal dari Indonesia, di antaranya obat anti kanker vinblastin dan vinkristine dan obat hipertensi reserpine yang berasal dari pulai pandak (Rauvolfia serpentina). Pada tahun 1983–1994 lebih dari 40% obat baru yang disetujui oleh FDA adalah senyawa alam, dan saat ini lebih dari 30% bahan obat yang beredar diperdagangan juga berasal dari senyawa alam. Dengan demikian, di masa yang akan datang akan lebih banyak lagi ditemukan obat-obat baru yang berasal dari alam, baik dari tumbuhan, hewan, maupun organism[5]. Hasil metabolisme suatu organisme hidup (tumbuhan, hewan, mikroorganisme) berupa metabolit primer dan sekunder. Senyawa metabolit primer umumnya sama untuk setiap organisme, terdiri dari molekul-molekul besar seperti polisakarida, protein, asam nukleat, dan lemak. Fungsi senyawa metabolit primer adalah sebagai sumber energi untuk kelangsungan hidup organisme atau sebagai cadangan energi bagi organisme itu sendiri. Metabolit sekunder berupa molekul-molekul kecil, bersifat spesifik, artinya tidak semua organisme mengandung senyawa sejenis, mempunyai struktur yang bervariasi, setiap senyawa memiliki fungsi atau peranan yang berbedabeda[6]. Pada umumnya senyawa metabolit sekunder berfungsi untuk mempertahankan diri atau untuk
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 53-61
mempertahankan eksistensinya di lingkungan tempatnya berada. Dalam perkembangannya senyawa metabolit sekunder tersebut dipelajari dalam disiplin ilmu tersendiri yaitu kimia bahan alam (natural product chemistry). Metabolit sekunder merupakan biomolekul yang dapat digunakan sebagai lead compounds dalam penemuan dan pengembangan obat-obat baru. Metode Isolasi Senyawa Organik Bahan Alam 1. Ekstraksi Senyawa metabolit sekunder biasanya terdapat dalam organisme dalam jumlah yang sangat sedikit. Oleh karena itu biasanya dalam proses isolasi dimulai dari sampel yang jumlahnya banyak, minimal 2 kg sampel kering yang sudah dihaluskan. Pekerjaan isolasi membutuhkan ketrampilan dan pengalaman dalam memadukan berbagai teknik pemisahan. Untuk mendapatkan senyawa murni biasanya peneliti menggunakan beberapa teknik ekstraksi dan kromatografi. Teknik ekstraksi senyawa organik bahan alam yang biasa digunakan antara lain maserasi, perkolasi, infudasi, dan sokhletasi. Sedangkan teknik kromatografi yang biasanya digunakan antara lain kromatografi lapis tipis (KLT), kromatografi kolom vakum (KVC), kromatografi kolom gravitasi (KKG), dan kromatotron (Centrifugal Chromatography). Pemilihan jenis metode biasanya dilakukan berdasarkan pengalaman peneliti maupun hasil penelitian yang telah dilaporkan sebelumnya[7-10]. Langkah pertama yang biasanya dilakukan dalam isolasi senyawa organik bahan alam adalah ekstraksi sampel menggunakan pelarut organik. Ada beberapa metode ekstraksi sampel bahan alam, antara lain maserasi, infusdasi, digesti, perkolasi dan soxletasi. Maserasi merupakan teknik ekstraksi dari sampel padat menggunakan pelarut tertentu biasanya digunakan metanol atau etanol. Metanol memiliki kelebihan memiliki titik didih yang lebih rendah sehingga mudah diuapkan pada suhu yang lebih rendah, tetapi bersifat lebih toksik. Sedangkan etanol memiliki kelemahan memiliki titik didih yang relatif tinggi sehingga lebih sulit diuapkan, tetapi relatif tidak toksik dibanding metanol. Proses maserasi dilakukan selama waktu tertentu dengan sesekali diaduk,
biasanya dibutuhkan waktu 1-6 hari. Selain metanol atau etanol pelarut yang lain yang biasa digunakan antaralain aseton, klroform, atau sesuai dengan kebutuhan. Setelah waktu tertentu ekstrak yang disebut maserat dipisahkan dengan cara penyaringan. Maserasi biasanya dilakukan pengulangan dengan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat yang pertama yang disebut remaserasi. Remaserasi biasanya dilakukan tiga kali atau sampai senyawa yang diinginkan dalam sampel benar-benar sudah habis. Apabila dalam proses maserasi dilakukan pengadukan terus menerus maka disebut juga dengan maserasi kinetik. Sedangkan apabila dalam maserasi kinetik tersebut dilakukan di atas suhu kamar, biasanya 40-50 oC disebut digesti. Cara yang biasa dilakukan adalah dengan menempatkan sejumlah bahan ditempatkan pada wadah tertutup, ditambah dengan pelarut dengan perbandingan kira-kira 1:7, atau sedikitnya semua sampel tercelup. Diamkan selama 1-6 hari pada suhu kamar dan terlindung dari cahaya dengan sesekali diaduk. Setelah itu, cairan dipisahkan, buang bagian yang mengendap. Pada saat proses perendaman senyawa organik yang terkandung dalam sampel berdifusi melewati dinding sel untuk melarutkan konstituen dalam sel dan juga memacu larutan dalam sel untuk berdifusi keluar. Sistem yang digunakan dalam metode ini adalah sistem statis, kecuali saat digojog, proses ekstraksi berjalan dengan difusi molekuler, sehingga proses ini berlangsung secara perlahan. Setelah ekstraksi selesai, residu dari sampel harus dipisahkan dengan pelarut dengan didekantir atau disaring. Maserasi dengan pengulangan (remaserasi) akan lebih efisien dari pada hanya sekali saja, hal ini terjadi karena ada kemungkinan sejumlah besar komponen aktif masih tertinggal dalam proses maserasi yang pertama. Sejumlah filtrat (maserat) dari hasil pengulangan maserasi selanjutnya dicampur dan dipekatkan. Infusdasi merupakan metode ekstraksi dengan pelarut air. Pada waktu proses infusdasi berlangsung, temperatur pelarut air harus mencapai suhu 90ºC selama 15 menit. Rasio berat bahan dan air adalah 1 : 10, artinya jika berat bahan 100 gr maka volume air sebagai pelarut adalah 1000 ml. Cara yang biasa dilakukan adalah serbuk bahan dipanaskan dalam
55
Atun Metode Isolasi dan Identifikasi Struktur Senyawa Organik Bahan Alam.....
panci dengan air secukupnya selama 15 menit terhitung mulai suhu mencapai 90ºC sambil sekalisekali diaduk. Saring selagi panas melalui kain flanel, tambahkan air panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume yang diinginkan. Apabila bahan mengandung minyak atsiri, penyaringan dilakukan setelah dingin. Dekoksi merupakan proses ekstraksi yang mirip dengan proses infusdasi, hanya saja infus yang dibuat membutuhkan waktu lebih lama (≥ 30 menit) dan suhu pelarut sama dengan titik didih air. Caranya, serbuk bahan ditambah air dengan rasio 1 : 10, panaskan dalam panci enamel atau panci stainless steel selama 30 menit. Bahan sesekali sambil diaduk. Saring pada kondisi panas melalui kain flanel, tambahkan air panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume yang diinginkan. Perkolasi adalah proses ekstraksi dengan pelarut yang dialirkan melalui kolom perkolator yang diisi dengan serbuk bahan atau sampel, dan ekstraknya dikeluarkan melalui keran secara perlahan. Secara umum proses perkolasi ini dilakukan pada temperatur ruang. Parameter berhentinya penambahan pelarut adalah perkolat sudah tidak mengandung komponen yang akan diambil. Pengamatan secara fisik pada ekstraksi bahan alam terlihat tetesan perkolat sudah tidak berwarna. Caranya, serbuk bahan dibasahi dengan pelarut yang sesuai dan ditempatkan pada bejana perkolator. Bagian bawah bejana diberi sekat berpori untuk menahan serbuk. Cairan pelarut dialirkan dari atas kebawah melalui serbuk tersebut. Cairan pelarut akan melarutkan zat aktif dalam sel-sel yang dilalui sampai keadaan jenuh. Soxkletasi merupakan proses ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus soxklet sehingga terjadi ekstraksi konstan dengan adanya pendingin balik. Caranya, serbuk bahan ditempatkan pada selongsong dengan pembungkus kertas saring, lalu ditempatkan pada alat soxklet yang telah dipasang labu dibawahnya. Tambahkan pelarut sebanyak 2 kali sirkulasi. Pasang pendingin balik, panaskan labu, ekstraksi berlangsung minimal 3 jam dengan interval sirkulasi kira-kira 15 menit.
56
2. Kromatografi Langkah berikutnya setelah diperoleh ekstrak dalam isolasi senyawa organik bahan alam adalah pemisahan komponen-komponen yang terdapat dalam ekstrak tersebut. Teknik yang banyak digunakan adalah kromatografi. Kromatografi adalah teknik pemisahan campuran berdasarkan perbedaan kecepatan perambatan komponen dalam medium tertentu. Pada kromatografi, komponenkomponennya akan dipisahkan antara dua buah fase yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam akan menahan komponen campuran sedangkan fase gerak akan melarutkan zat komponen campuran. Komponen yang mudah tertahan pada fase diam akan tertinggal. Sedangkan komponen yang mudah larut dalam fase gerak akan bergerak lebih cepat. Beberapa teknik kromatografi yang banyak digunakan antara lain kromatografi lapis tipis (KLT), kromatografi kolom vakum (KVC), kromatografi kolom gravitasi (KG), dan kromatotron. Kromatografi lapis tipis adalah suatu teknik pemisahan komponen-komponen campuran suatu senyawa yang melibatkan partisi suatu senyawa di antara padatan penyerap (adsorbent, fasa diam) yang dilapiskan pada pelat kaca atau aluminium dengan suatu pelarut (fasa gerak) yang mengalir melewati adsorbent (padatan penyerap). Pengaliran pelarut dikenal sebagai proses pengembangan oleh pelarut (elusi). KLT mempunyai peranan penting dalam pemisahan senyawa organik maupun senyawa anorganik, karena relatif sederhana dan kecepatan analisisnya. Di dalam analisis dengan KLT, sampel dalam jumlah yang sangat kecil ditotolkan menggunakan pipa kapiler di atas permukaan pelat tipis fasa diam (adsorbent), kemudian pelat diletakkan dengan tegak dalam bejana pengembang yang berisi sedikit pelarut pengembang. Oleh aksi kapiler, pelarut mengembang naik sepanjang permukaan lapisan pelat dan membawa komponen-komponen yang terdapat dalam sampel. Pemilihan fasa gerak yang tepat merupakan langkah yang sangat penting untuk keberhasilan analisis dengan KLT. Umumnya fasa gerak dalam KLT ditemukan dengan coba-coba dan jarang sekali yang didasarkan pada pengetahuan yang mendalam.
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 53-61
Sifat-sifat pelarut pengembang juga merupakan faktor dominan dalam penentuan mobilitas komponenkomponen campuran. Umumnya kemampuan suatu pelarut pengembang untuk menggerakkan senyawa pada suatu adsorben berhubungan dengan polaritas pelarut. Kemampuan ini disebut kekuatan elusi, dan urutan kekuatan elusi beberapa pelarut yaitu air > metanol > etanol > aseton > etil asetat > kloroform > dietil eter > metilen diklorida > benzena > toluena > karbon tetraklorida > heksan > petroleum eter. Identifikasi senyawa yang telah terpisah pada lapisan tipis dapat dilakukan dengan menggunakan reaksi penampak noda maupun dideteksi menggunakan lampu UV (254 atau 356 nm) untuk senyawa-senyawa yang dapat menyerap warna. Kromatografi vakum cair digunakan untuk fraksinasi ekstrak total secara cepat. Teknik ini dapat dilakukan dengan menggunakan kolom kromatografi yang dihubungkan dengan pompa vakum, dengan isian kolom silika gel untuk TLC (10 -40 μm). Sebagai eluen digunakan campuran pelarut dari yang non polar secara bertahap ke yang polar. Hasil pemisahan dari kromatografi vakum cair adalah fraksi-fraksi yang dapat dikelompokkan menjadi kelompok senyawa non polar, semi polar, dan polar. Kromatografi vakum cair merupakan modifikasi dari kromatografi kolom gravitasi. Metode ini lebih banyak digunakan untuk fraksinasi sampel dalam jumlah besar (10-50 g). Kolom yang digunakan biasanya terbuat dari gelas dengan lapisan berpori pada bagian bawah. Ukuran kolom bervariasi tergantung ukurannya. Kolom disambungkan dengan penampung eluen yang dihubungkan dengan pompa vakum. Pompa vakum akan menghisap eluen dalam
A
kolom, sehingga proses pemisahan berlangsung lebih cepat. Penggunaan tekanan dimaksudkan agar laju aliran eluen meningkat sehingga meminimalkan terjadinya proses difusi karena ukuran silika gel yang biasanya digunakan pada lapisan kromatografi KLT sebagai fasa diam dalam kolom yang halus yaitu 200-400 mesh. Kolom yang digunakan berukuran lebih pendek dari pada kolom kromatografi gravitasi dengan diameter yang lebih besar (5 -10 cm). Kolom KVC dikemas kering dalam keadaan vakum agar diperoleh kerapatan kemasan maksimum. Sampel yang akan dipisahkan biasanya sudah diadsorbsikan ke dalam silika kasar terlebih dahulu (ukuran silika kasar 30-70 mesh) agar pemisahannya lebih teratur dan menghindari sampel kangsung menerobos ke dinding kaca tanpa melewati adsorben terlebih dahulu, yang dapat berakibat gagalnya proses pemisahan. Pelarut yang kepolarannya rendah dituangkan ke permukaan penyerap yang sebelumnya sudah dimasukkan sampel. Kolom dihisap perlahan-lahan ke dalam kemasan dengan memvakumkannya. Kolom dielusi dengan campuran pelarut yang cocok, mulai dengan pelarut yang kepolarannya rendah lalu kepolaran ditingkatkan perlahan-lahan. Kolom dihisap sampai kering pada setiap pengumpulan fraksi, sehingga kromatografi vakum cair disebut juga kolom fraksinasi. Kromatografi gravitasi dapat digunakan untuk pemisahan dan pemurnian senyawa yang telah difraksinasi menggunakan kromatografi vakum cair. Teknik ini dapat dilakukan dengan kolom diameter ukuran 1-3 cm dan panjang kolom 50 cm. Sebagai adsorben digunakan silika gel GF 60 (200-400 mesh). Tinggi adsorben yang biasa digunakan berkisar 15-20 cm. Eluen yang digunakan menggunakan campuran
B
C
Gambar 1. Beberapa teknik kromatografi KVC (A); KG (B); kromatotron (C)
57
Atun Metode Isolasi dan Identifikasi Struktur Senyawa Organik Bahan Alam.....
pelarut polar dan non polar dengan perbandingan yang sesuai. Pemisahan dengan kromatografi kolom gravitasi biasanya akan diperoleh hasil yang baik apabila digunakan campuran pelarut yang dapat memisahkan komponen pada Rf kurang dari 0,3 pada uji coba dengan KLT. Kromatotron atau sentrifugal kromatografi merupakan kromatografi menggunakan alat yang disebut kromatotron, teknik pemisahannya menggunakan gaya sentrifugal dan gravitasi. Dalam teknik ini digunakan silika gel for TLC yang berflourecent. Prinsip pemisahan dengan kromatotron sama dengan kromatografi yang lainnya, tetapi pemisahan akan berlangsung lebih cepat, oleh karena ada gaya sentrifugal yang akan mempercepat proses penyerapan pelarut yang membawa komponen yang dipisahkan. Penggunaan gabungan sedikitnya tiga macam teknik kromatografi di atas sudah dapat digunakan untuk memisahkan dan memurnikan senyawa organik bahan alam. Namun diperlukan ketrampilan dalam penggunaan serta ketepatan dalam memilih jenis kromatografi, serta ketepatan pemilihan eluen yang sesuai. Beberapa teknik kromatografi tersebut
dapat dilihat dalam gambar 1. Hasil pemisahan secara kromatografi selanjutnya diperoleh fraksi-fraksi yang ditampung dalam botol atau tabung dan dianalisis secara kromatografi lapis tipis (KLT), yang biasa disebut kromatogram. Kromatogram yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan lampu UV pada panjang gelombang 254 atau 356 nm atau disemprot dengan reagen warna. Salah satu reagent warna yang banyak digunakan antara lain serium sulfat yang dapat mendeteksi hampir semua senyawa bahan alam, maupun reagen yang khusus seperti Lieberman Burchard untuk mendeteksi terpenoid dan steroid. Fraksi-fraksi yang telah dinalisis secara KLT selanjutnya dikelompokkan berdasarkan jumlah senyawa maupun Rfnya yang sama digabungkan untuk dianalisis lebih lanjut. Pemisahan dianggap cukup apabila sudah diperoleh fraksi yang menunjukkan noda tunggal pada beberapa uji KLT dengan menggunakan berbagai variasi eluen yang berbeda. Adanya noda tunggal pada beberapa uji KLT tersebut menunjukkan bahwa sudah diperoleh senyawa dengan tingkat kemurnian tinggi. C. Identifikasi Senyawa Organik Bahan Alam 1. Menggunakan Pereaksi Warna
A
C
B
D
Gambar 2. Fraksi-fraksi hasil pemisahan (A); analisis dengan KLT (B); kromatogram (C); dan kromatogram senyawa yang sudah murni pada berbagai campuran pelarut (D)
58
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 53-61
Pengujian kandungan kimia secara kualitatif terhadap ekstrak atau senyawa murni dapat dilakukan secara sederhana untuk menentukan golongan senyawa yang diperoleh. Secara rinci beberapa pengujian sederhana yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut : a. Uji sterol dan triterpenoids: ekstrak metanol dilarutkan dalam kloroform, disaring dan filtrat diuji untuk sterol dan triterpenoids 1) Uji Salkowski : Beberapa tetes asam sulfat pekat ditambahkan ke larutan kloroform dan diamati untuk warna merah di lapisan bawah untuk sterol dan warna kuning keemasan menunjukkan adanya Triterpenoid. 2) Libermann Buchard test: Beberapa tetesan hidrida asetat ditambahkan ke dalam larutan kloroform, kocok dan teteskan 1 ml asam sulfat pekat dengan hati-hati ditambahkan dari sisi tabung reaksi. Jika berwarna coklat kemerahan menunjukkan adanya sterol dan cincin merah menunjukkan adanya triterpenoid. b. Uji alkaloid: 0,5 g ekstrak diencerkan secara terpisah untuk 10 ml dengan alkohol asam, direbus dan disaring. 5 ml filtrat ditambahkan 2 ml encer amonia. 5 ml kloroform ditambahkan dan kocok dengan lembut untuk mengekstrak alkaloid. Lapisan kloroform diekstraksi dengan 10 ml asam asetat, dan dibagi dalam 3 bagian, dan diuji sebagai berikut: 1) Uji Dragendroff : (kalium nitrat- bismut): Beberapa tetes larutan Dragendroff ditambahkan ke dalam larutan kloroform, endapan coklat kemerahan menunjukkan adanya alkaloid. 2) Uji Mayer : (Kalium iodida- merkuri) : Beberapa tetes reagent Mayer ditambahkan ke dalam larutan kloroform , jika terbentuk endapan putih menunjukkan adanya alkaloid. 3) Uji Wagner : (Yodium- kalium iodida dalam) : Beberapa tetes larutan Wagner ditambahkan ke dalam larutan kloroform, jika terbentuk endapan coklat menunjukkan adanya alkaloid. c. Uji Saponin: Foam Test : Untuk 0.5 g ekstrak ditambahkan 5 ml air suling dalam tabung reaksi. Larutan dikocok dengan kuat dan diamati
terbentuknya buih yang stabil. Buih itu dicampur dengan 3 tetes minyak zaitun dan dikocok dengan kuat setelah itu diamati untuk pembentukan emulsi. d. Uji flavonoids: Sampel dilarutkan dalam pelarut yang sesuai, sebanyak 2 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan tambahkan beberapa tetes larutan FeCl3, apabila terbentuk warna ungu menunjukkan positif terhadap flavonoid. 2. Identifikasi struktur molekul menggunakan metode spektroskopi Elusidasi struktur molekul senyawa organik merupakan tahapan terpenting dari penggunaan analisis spektroskopi modern. Dalam elusidasi struktur molekul untuk menentukan struktur senyawa hasil sintesis jauh lebih mudah dari pada elusidasi senyawa hasil isolasi. Oleh karena analisis struktur molekul dari hasil sintesis sudah dapat diprediksi struktur molekulnya berdasarkan reaktan yang digunakan serta mekanisme reaksinya. Sedangkan dalam elusidasi struktur molekul senyawa hasil isolasi relatif lebih rumit, karena struktur molekul yang sangat banyak kemungkinannya. Untuk mempermudah analisis struktur senyawa hasil isolasi biasanya diperlukan pengetahuan sebelumnya mengenai keragaman struktur senyawa yang telah diperoleh dari tumbuhan yang memiliki kekerabatan yang dekat, misalnya merupakan tumbuhan dalam genus atau famili yang sama. Biasanya senyawa yang ditemukan dari tumbuhan dalam satu genus atau famili memiliki hubungan kekerabatan senyawa metabolit sekundernya. Selanjutnya sebagai tambahan informasi untuk mempermudah dalam analisis struktur senyawa hasil isolasi juga diperlukan data sifat fisik, seperti kelarutan, titik leleh, maupun jenis pelarut yang digunakan dalam proses pemisahan. Metode spektroskopi yang biasanya digunakan untuk identifikasi struktur yang biasa digunakan antara lain spektroskopi ultraviolet (UV), infra merah (IR), NMR (Nuclear magnet resonance), dan massa. Spektroskopi UV untuk identifikasi adanya gugus kromofor (fenolik; ikatan rangkap; dll) , spektroskopi IR untuk identifikasi adanya gugus fungsional ( hidroksil; aromatik; karbonil; dsb),
59
Atun Metode Isolasi dan Identifikasi Struktur Senyawa Organik Bahan Alam.....
spektroskopi NMR (1H dan 13 C), 1H NMR untuk menentukan jumlah dan lingkungan proton (atom H dalam senyawa), 13 C NMR untuk menentukan jumlah atom karbon dalam senyawa , sedangkan untuk menentukan massa atom relatif (Mr) digunakan MS[10-13]. Namun demikian, dalam elusidasi struktur molekul yang kompleks baik senyawa hasil sintesis maupun isolasi tidak cukup hanya menggunakan data spektroskopi UV, IR, 1H NMR, 13C NMR, dan MS, tetapi masih diperlukan data spektroskopi NMR dua dimensi seperti HMQC (Heteronuclear Multiple Quantum Coherence), HMBC (Heteronuclear Multiple Bond Connectivity), 1H-1H COSY (Homonuclear Correlated Spectroscopy), maupun NOESY (Nuclear Overhauser Effect Spectroscopy). Spektroskopi dua dimensi HMQC dapat digunakan untuk mengetahui proton-karbon dengan jarak satu ikatan, sehingga dapat diketahui karbon yang mengikat proton dan karbon yang tidak mengikat proton. Spektroskopi HMBC dapat mengetahui proton-karbon dengan jarak dua atau tiga ikatan, sehingga dapat digunakan untuk mengetahui karbonkarbon tetangga yang memiliki jarak dua sampai tiga ikatan dengan suatu proton tertentu. Untuk mengetahui proton-proton yang berdampingan digunakan data spektroskopi 1H-1H COSY, sedangkan untuk mengetahui struktur konfigurasi cis-trans digunakan data spektroskopi NOESY. Dengan menggunakan data spektroskopi dua dimensi elusidasi struktur menjadi semakin mudah dan secara tepat dapat menentukan kerangka struktur molekul senyawa organik serumit apapun. Dalam elusidasi struktur molekul biasanya dimulai dari data yang paling sederhana, misalnya spektroskopi UV (kalau ada), selanjutnya IR, analisis data 1H NMR dan 13C NMR, dengan memperhatikan data massa molekul dari spektroskopi MS. Dari datadata tersebut biasanya sudah dapat memprediksi struktur kerangka senyawa yang dianalisis, ada kemungkinan memiliki beberapa alternatif struktur.
60
Selanjutnya untuk menentukan struktur yang paling sesuai dibuktikan dengan data fragmentasi dari spektroskopi MS[10-13]. D. Penutup Sejalan dengan keberadaan organisme di alam yang tidak terbatas jumlahnya, maka topik penelitian bahan alam juga tidak akan pernah habis. Penelitian bahan alam biasanya dimulai dari ekstraksi, isolasi dengan metode kromatografi sehingga diperoleh senyawa murni, identifikasi struktur dari senyawa murni yang diperoleh dengan metode spektroskopi, dilanjutkan dengan uji aktivitas biologi baik dari senyawa murni ataupun ekstrak kasarnya. Setelah diketahui struktur molekulnya biasanya juga dilanjutkan dengan modifikasi struktur untuk mendapatkan senyawa dengan aktivitas dan kestabilan yang diinginkan. Di samping itu, dengan kemajuan bidang bioteknologi, dapat juga dilakukan peningkatan kualitas tumbuhan atau organisme melalui kultur jaringan, maupun tumbuhan transgenik yang tentunya juga akan menghasilkan berbagai jenis senyawa metabolit sekunder baru yang beraneka ragam dan mungkin juga dengan struktur molekul yang berbeda dengan yang ditemukan dari tumbuhan awalnya. Penentuan struktur molekul merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari isolasi senyawa kimia bahan alam. Senyawa hasil isolasi belum memiliki makna jika belum diketahui struktur molekulnya. Metode penentuan struktur senyawa organik yang banyak digunakan adalah metode spektroskopi, yang meliputi UV, IR, NMR (1H dan 13C), dan MS. Untuk menentukan struktur senyawa organik yang relatif sederhana metode tersebut sudah cukup memadai, namun untuk senyawa dengan kerangka karbon yang cukup kompleks penggunaan NMR dua dimensi yang meliputi HMQC, HMBC, COSY, dan NOESY mutlak diperlukan[7-13].
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 53-61
Daftar Pustaka Syamsul
A.A., E.H. Hakim, L.D. Juliawati, L. Makmur, S. Kusuma, Y.M. Syah, (1995), Eksplorasi kimia tumbuhan hutan tropis Indonesia : beberapa data mikromolekuler tumbuhan Lauraceae sebagai komplemen etnobotani, Prosiding Seminar Etnobotani Tanggal 24-25 Januari 1995, Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta, 8 -12. Dalimarta, S. (2003), Atlas tumbuhan obat Indonesia, jilid 2, Trubus Agriwidya Dharma AP., (1985), Tanaman Obat Tradisional Indonesia, P.N. Balai Pustaka, Jakarta, hal. 265-266. Heyne K. (1987), Tumbuhan berguna Indonesia, Badan Litbang Kehutanan, Jakarta, jilid III, 1390 – 1443. Grabley R.T., (1999), Drug discovery from nature, Springer-Verlag, Berlin Cannell, Richard J.P. (1998). Natural Products Isolation Methods in Biotechnology ; 4. Totowa : Humana Press.
Hostettman, K., Hostettman, M., & Marston, A. (1986). Cara Kromatografi Preparatif. (Alih bahasa: Kosasih P). Bandung: ITB. Harborne, J.B. (2006). Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan (alih bahasa: Kosasih Padmawinata & Iwang Soediro). Bandung : Penerbit ITB. Sudjadi. 1988. Metode Pemisahan. Yogyakarta: KANISIUS. Hardjono Sastrohamidjojo. (2005). Kromatografi. Yogyakarta : Liberty Silverstein R.M.; Webster F.X., 1998, Spectrometric Identification of Organic Compounds, sixth edition,New York: John Wiley & Sons, Inc. Harjono Sastrohamidjojo. (2007). Spektroskopi. Yogyakarta : Penerbit Liberty. Pavia, D.L, Lampman G.M, Kriz G.S, 2007, Introduction to spectroscopy, Australia : Brook/Cole.
61
Perbandingan Metode Kalibrasi dan Adisi Standar untuk Penentuan Timbal Terlarut dalam Air Bak Kontrol Candi Borobudur Secara Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)-Nyala Ida Sulistyaningrum, Melati Putri Git Utami, Reni Banowati Istiningrum D III Analis Kimia Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Email:
[email protected]
Abstrak: Telah dilakukan perbandingan metode kalibrasi dan adisi standar untuk penentuan timbal terlarut dalam sampel air bak kontrol Candi Borobudur. Studi dilakukan untuk mengembangkan metode adisi standar dalam penentuan kadar timbal terlarut yang sangat rendah menggunakan Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)-Nyala. Pengambilan sampel dilakukan di lima titik, yaitu satu titik sisi selatan, satu titik sisi barat daya, dan tiga titik sisi utara Candi Borobudur. Metode adisi standar memiliki sensitivitas metode yang lebih baik daripada kalibrasi standar. Linearitas (R) kurva kalibrasi yang diperoleh sebesar 0,957, sementara linearitas kurva adisi standar ≥0,995 (kecuali sampel kode AS). Kedua metode memberikan kadar timbal terlarut yang berbeda dengan hasil metode kalibrasi lebih besar daripada hasil metode adisi standar. Kata Kunci: timbal terlarut, air bak kontrol, Candi Borobudur, metode kalibrasi, metode adisi standar Abstract: Calibration and standard addition method of dissolved lead determined in Borobudur’s control tanks water were compared. The aim of the study was to develop standard addition method to determine dissolved lead in a very low concentration using Flame Absorbtion Spectrophotometry (F-AAS). Samples were taken from five places: a point at south side, a point at south west, and three points at north of Borobudur Temple. Linearity of both curved were compared. The linearity of calibration curved was 0,957092, while standard addition had linearity ≥0,995 (except sample AS). Both method gave different dissolved lead concentration. The result of calibration method was higher than standard addition method. Keywords: dissolved lead, control tanks water, Borobudur Temple, calibration method, standard addition method I. Latar Belakang terutama oleh adanya HNO3. Air hujan yang bersifat Candi Borobudur merupakan salah satu asam dapat meresap dan terakumulasi pada lapisan peninggalan umat Buddha yang menjadi ikon timbal. Kontak langsung yang lama antara air hujan Indonesia. Dalam perjalanan sejarahnya, Candi dan lapisan timbal dapat menyebabkan pelarutan Borobudur telah mengalami dua kali pemugaran yang lapisan timbal membentuk Pb(NO3)2. Timbal dilakukan untuk menangani kerusakan candi akibat terlarut ini dapat terbawa aliran air dan masuk ke beberapa faktor, antara lain korosi, efek kerja mekanis, sistem saluran air yang berakhir di bak kontrol serta kekuatan tekanan dan tegangan dalam batu-batu sebelum dibuang ke lingkungan. candi (Soekmono, 1983). Hal ini tidak terlepas dari Metode utama penentuan kadar timbal terlarut masalah sistem pembuangan air dan rembesan air ke dalam air bak kontrol secara Spektrofotometri Serapan permukaan batuan, mengingat letak geografis Candi Atom (SSA)-Nyala di Balai Konservasi Borobudur Borobudur yang beriklim basah dengan curah hujan adalah metode kalibrasi. Spektrofotometer serapan yang tinggi (Winarno, 1995). Salah satu upaya untuk atom (SSA)-Nyala sendiri memiliki kelemahan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan penggunaan mendeteksi kadar timbal yang rendah, sehingga lapisan timbal pada lapisan kedap air di bawah reliefpenggunaan metode kurva kalibrasi tidak mampu relief setinggi lorong untuk mencegah perembesan air meningkatkan sensitivitas metode. Oleh karena itu, ke permukaan batuan (Soekmono, 1983). Sifat timbal pengembangan metode adisi standar perlu dilakukan yang lunak dan antikorosi menyebabkan timbal dan diharapkan mampu meningkatkan sensitivitas digunakan sebagai pelapis. metode. Penggunaan timbal dalam konstruksi Candi Studi ini dilakukan untuk membanding-kan Borobudur berpotensi menimbulkan pencemaran. sensitivitas metode, linearitas dan kadar Pb terlarut Timbal mudah larut dalam air yang bersifat asam, yang dihasilkan dari metode adisi standar dengan
62
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 62-67
metode kalibrasi. Sensitivitas metode dapat diketahui dari kemiringan (slope) kurva kalibrasi dan kurva adisi standar. Sementara itu, linearitas ditentukan dari nilai korelasi regresi linear yang mengacu pada SNI 6989.8-2009, yaitu R≥0,995. II. Metodologi Kadar timbal terlarut dalam sampel air bak kontrol Candi Borobudur diuji dengan dua metode yang berbeda. Metode yang digunakan adalah metode kurva kalibrasi dan metode adisi standar dengan pengujian yang dilakukan di Laboratorium Kimia Balai Konservasi. Adapun bahan, peralatan dan cara kerja pengujian diuraikan di bawah ini. 1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan meliputi sampel air bak kontrol Candi Borobudur, Titrisol Pb 1000 mg (Merck) untuk membuat larutan standar kalibrasi dan larutan standar adisi timbal, akuabides (PT Ikapharmindo Putramas) sebagai pelarut, dan HNO3 (70,5%; ρ 1,42 g/mL, Merck) untuk mengawetkan sampel. 2. Alat Peralatan pengambilan sampel air bak kontrol antara lain timba plastik 1 L, botol sampel 1 L, dan waterproof portable meter (Eutech Instruments CyberScan PC 650). Pengujian kadar timbal terlarut secara metode kalibrasi dan adisi standar menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA)-Nyala (Analytik Jena novAA 350). 3. Cara Kerja a. Pengambilan dan Preparasi Sampel Pengambilan sampel air bak kontrol dilakukan pada Bulan Februari 2014 di lima bak kontrol Candi Borobudur menggunakan timba. Sampel air bak kontrol diambil dari lima titik, yaitu satu titik di sisi selatan (S), satu titik di sisi barat daya (BD), dan tiga titik di sisi utara (U1, U2, U3). Kualitas sampel diuji menggunakan waterproof portable meter dengan parameter keasaman (pH), temperatur, total padatan terlarut (TDS), salinitas (NaCl), dan konduktivitas. Sampel disaring dengan saringan berpori 0,45 μm untuk menghilangkan padatan tersuspensi dan koloid. Selanjutnya, sampel diasamkan dengan
HNO3 pekat hingga pH<2 sesuai SNI 6989.8-2009. Pengsaman ini yang mampu mengawetkan sampel hingga 6 bulan pada temperatur ruang. b. Penentuan kadar Pb terlarut secara kurva kalibrasi Larutan standar Pb dibuat dari larutan baku Pb 10 mg/L yang berasal dari Titrisol Pb. Seri larutan standar timbal yang digunakan adalah 0,0; 0,1; 0,2; 0,4; 0,6; dan 0,8 mg/L. Absorbansi larutan standar kalibrasi Pb dan sampel diukur menggunakan SSA-Nyala Analytik Jena novAA 350 pada panjang gelombang spesifik dari Hollow Cathode Lamp HCL Pb 283,3 nm. c. Penentuan kadar Pb terlarut sesuai metode adisi standar Larutan adisi standar Pb dibuat dalam 100 mL dengan cara menambahkan masing-masing 10 mL sampel ke dalam 0; 1; 2; 4; 6; dan 8 mL larutan Pb 10 mg/L. Larutan standar adisi Pb diukur absorbansinya menggunakan SSA-Nyala Analytik Jena novAA 350 pada panjang gelombang 283,3. III. Pembahasan 1. Pengambilan dan Preparasi Sampel Pemeriksaan parameter timbal terlarut dilakukan selama musim penghujan. Hal ini bertujuan mengetahui adanya pelarutan lapisan timbal dalam air hujan yang bersifat asam (Winarno, 1995). Hasil pengujian kualitas sampel air bak kontrol disajikan dalam Tabel 1. Berdasarkan baku mutu sesuai KEPMENLH 51/1995 dan KEPMENKLH 02/1988, hasil pengukuran pH, temperatur, total padatan terlarut, dan daya hantar listrik dari kelima sampel telah memenuhi baku mutu tersebut. Gambar 1 menunjukkan hubungan antara TDS dan salinitas sampel air. Sampel air yang memiliki kandungan TDS tinggi juga mengandung salinitas yang tinggi. Sesuai Gambar 1, garam NaCl merupakan komponen utama TDS dalam sampel air. Sisanya berupa garam anorganik terlarut lainnya, seperti garam-garam klorida, karbonat, dan sulfat dari amonium, kalsium dan magnesium. Menurut Winarno (1995), unsur kalsium, magnesium, dan natrium berasal dari pelapukan batuan, sedangkan ion karbonat, klorida, dan sulfat dapat berasal dari
63
Sulistyaningrum, Perbandingan Metode Kalibrasi dan Adisi Standar untuk Penentuan Timbal Terlarut.....
Tabel 1. Hasil Pengujian Kualitas Sampel Parameter
Baku Mutu
Keterangan BD
U1
U2
U3
7,08
6,97
7,19
7,22
7,48
6–9
T
≤ 38
°C
28
28
28
28
28
TDS
2000
ppm
93,86
96,37
81,87
104,4
67,72
ppm
91,79
94,3
80,68
101,6
67,69
100,8
103,4
87,88
112
72,72
DHL
1750 – 2250
KEPMENLH 51/1995
Kode Sampel S
pH
NaCl
pH T TDS NaCl DHL
Satuan
μS/cm
KEPMENKLH 2/1988
: keasaman : temperatur : total dissolved solid (total padatan terlarut) : salinitas sebagai kadar natrium klorida : daya hantar listrik
S BD U1 U2 U3
: Titik Selatan : Titik Barat Daya : Titik Utara 1 : Titik Utara 2 : Titik Utara 3
Tabel 2. Absorbansi Larutan Standar Pb Konsentrasi Pb (mg/L)
Abs
Abs 0
0
-0,000090
0,000000
0,1
0,000361
0,000451
0,2
0,000849
0,000939
0,4
0,001554
0,001644
0,6
0,002960
0,003050
0,8
0,006026
0,006116
Abs: absorbansi keluaran alat Abs 0: absorbansi setelah dikurangi absorbansi blanko Gambar 1.Hubungan TDS dan Salinitas
akumulasi air hujan. 2. Penentuan Pb Terlarut dengan Metode Kalibrasi Metode kalibrasi merupakan metode umum yang digunakan untuk menentukan konsentrasi karena cocok untuk menganalisis banyak sampel secara cepat. Metode ini menggunakan seri larutan standar dengan konsentrasi tertentu (García dan Báez, 2012). Hasil absorbansi larutan standar kalibrasi Pb dapat dilihat dalam Tabel 2. Absorbansi blanko keluaran alat tidak sama dengan nol, sehingga semua absorbansi larutan standar harus dikurangi dengan absorbansi blanko. Absorbansi larutan standar kalibrasi Pb dengan diplotkan terhadap seri konsentrasi larutan standar Pb dalam bentuk kurva kalibrasi standar Pb Gambar 2. Kurva kalibrasi standar Pb memberikan persamaan garis y = 7,04.10-3 x - 4,30.10-4. Analisis regresi linear menunjukkan korelasi (R) sebesar 0,957 dan koefisien determinasi (R2) 0,916. Nilai korelasi (R) digunakan untuk mengetahui hubungan antara
64
Gambar 2. Kurva Kalibrasi Standar Pb
konsentrasi dengan absorbansi, sementara koefisien determinasi (R2) menunjukkan kedekatan garis regresi linear dengan titik data sebenarnya. 3. Penentuan LoD dan LoQ Limit deteksi (Limit of Detection, LoD) menunjukkan batas konsentrasi terkecil analit yang dapat terdeteksi dalam sampel disertai estimasi bias dan ketidakpresisian pada konsentrasi analit yang sangat kecil (Armbruster dan Pry, 2008). Limit deteksi ditentukan melalui garis regresi linear kurva kalibrasi melalui persamaan LoD = (3sy/x)/ slope, dengan
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 62-67
Tabel 3. Standar Deviasi Residual xi
yi
ŷi
(yi-ŷi)2
0,0
0,0
-4,30.10-4
1,85.10-7
0,1
4,5.10-4
2,74.10-4
3,14.10-8
0,2
9,4.10-4
9,78.10-4
1,49.10-9
0,4
1,64.10-3
2,38.10-3
5,50.10-7
0,6
3,05.10-3
3,79.10-3
5,52.10-7
0,8
6,12.10-3
5,20.10-3
8,38.10-7
Jumlah
2,16.10-6
sy/x adalah standar deviasi residual (Harmita, 2004). Nilai faktor 3 merupakan rekomendasi IUPAC sesuai tingkat kepercayaan 90% (Thomsen dkk., 2003). Standar deviasi residual yang diperoleh dari persamaan sy/x = adalah 7,30.10-4. Limit deteksi pengukuran sesuai persamaan kurva kalibrasi standar Pb dengan slope 7,04.10-3 adalah 0,3130 mg/L. Limit kuantitasi (LoQ) ditentukan dari persamaan LoQ = (10sy/x)/slope. Limit kuantitasi menunjukkan kuantitasi konsentrasi terendah analit yang pasti terdeteksi secara presisi dan akurasi. Limit kuantitasi (LoQ) sesuai persamaan kurva kalibrasi standar Pb adalah 1,0371 mg/L. 4. Penentuan Pb Terlarut dengan Metode Adisi Standar Metode adisi standar adalah salah satu metode standardisasi yang dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi sampel. Larutan standar adisi dibuat dengan cara menambahkan larutan standar ke dalam sampel (García dan Báez, 2012). Sinyal analitik seri larutan adisi standar diplotkan terhadap konsentrasi sehingga diperoleh persamaan linear Y = bX + yintersep. Nilai xintersep (x saat y = 0) dinyatakan sebagai xintersep = -CAVo/Vf, dengan volume sampel yang ditambahkan Vo dan volume akhir larutan standar adisi Vf, sehingga konsentrasi analit CA dapat ditentukan. Salah satu contoh kurva adisi standar ditunjukkan dalam Gambar 3. Larutan standar adisi 0 mg/L memberikan respon serapan (absorbansi > 0) karena larutan tersebut telah mengandung analit sampel. Pengukuran sampel S, BD, U1, U2, dan U3 secara adisi standar dengan pengulangan lima kali
Gambar 3. Kurva Adisi Standar Pb Sampel AU22
memberikan persamaan regresi yang telah memenuhi syarat korelasi minimal SNI 6989.8:2009 (≥0,995), kecuali sampel kode AS. Persamaan regresi yang diperoleh digunakan untuk menentukan xintersep, yaitu nilai x pada y = 0. Konsentrasi analit ditentukan dari nilai xintersep dikalikan faktor pengenceran 10 kali. 5. Perbandingan Linearitas Kurva Kalibrasi dan Adisi Standar Harmita (2004) memaparkan bahwa kemampuan metode analisis untuk memberikan respon yang proporsional terhadap konsentrasi analit dapat dinyatakan dalam linearitas. Linearitas dapat diketahui dari koefisien korelasi kurva. Kurva kalibrasi standar Pb sesuai Gambar 2 memberikan korelasi (R) 0,957 tidak memenuhi nilai korelasi minimal SNI 6989.8:2009 (R ≥ 0,995), tetapi masih dapat diterima secara statistik (R > 0,950). Hal ini disebabkan karena sensitivitas metode yang rendah (slope kurva kalibrasi 0,007039) dengan LoD yang tinggi (0,3130 mg/L) sehingga alat tidak mampu mendeteksi kadar timbal yang sangat rendah secara akurat. Di sisi lain, nilai korelasi semua kurva adisi standar ≥0,995 telah memenuhi syarat korelasi regresi linear SNI 6989.8:2009, kecuali kurva adisi sampel kode AS. Penambahan analit sampel dalam larutan standar timbal menyebabkan konsentrasi timbal dalam larutan standar bertambah sehingga sinyal yang terukur juga bertambah. Hal ini menyebabkan sensitivitas metode adisi standar lebih baik daripada
65
Sulistyaningrum, Perbandingan Metode Kalibrasi dan Adisi Standar untuk Penentuan Timbal Terlarut.....
sensitivitas metode kalibrasi. Inilah keunggulan metode adisi standar karena mampu menentukan kadar analit yang sangat rendah. 6. Perbandingan Hasil Metode Kalibrasi dan Adisi Standar Tabel 4 menunjukkan hasil penentuan kadar timbal terlarut dalam sampel air kode S, BD, U1, U2, dan U3 secara metode kalibrasi dan adisi standar. Kedua metode memberikan hasil yang berbeda sehingga tidak diperlukan uji statistika. Hasil kadar timbal terlarut sesuai metode kalibrasi lebih besar daripada hasil metode adisi standar. Namun, kedua hasil tersebut masih memenuhi baku mutu limbah cair golongan II sesuai KEPMENLH Nomor 51 tahun 1995 (kadar timbal < 1 mg/L). 7. Hasil Penentuan Pb Terlarut oleh LPPT UGM Parameter timbal terlarut dalam sampel air bak kontrol Candi Borobudur juga diujikan di Laboratorium Penelitian dan Pengujian Universitas Gadjah Mada (LPPT UGM). Pengujian ini dilakukan sebagai pembanding terhadap hasil pengujian timbal terlarut yang dilakukan di BKB. Pengujian timbal terlarut oleh LPPT UGM dilakukan dengan metode kalibrasi secara SSA-Nyala dengan seri larutan standar Pb 0,0; 0,1; 0,2; 0,4; 0,6; 0,8 dan 1,0 mg/L. Hasil pengukuran larutan standar Tabel 4. Konsentrasi Pb Terlarut Sesuai Metode Kalibrasi dan Adisi Standar Kode Sampel
Rerata Konsentrasi Pb (mg/L) Kalibrasi
Adisi Standar
S
0,1943
0,1628
BD
0,2492
0,0591
U1
0,3915
0,0335
U2
0,5336
0,0902
U3
0,6263
0,0460
LoD = 0,3130 mg/L
Tabel 5. Absorbansi Larutan Standar Pb di LPPT UGM
66
Konsentrasi Pb (mg/L)
Absorbansi
0
0,00020
0,1
0,00109
0,2
0,00208
0,4
0,00371
0,6
0,00710
0,8
0,01026
1
0,01193
Tabel 6. Konsentrasi Pb Terlarut oleh LPPT UGM Kode Sampel
Konsentrasi Pb (mg/L)
U1
<0,096
U2
<0,096
U3
<0,096
LoD = 0,096 mg/L
timbal ditunjukkan dalam Tabel 4. Persamaan regresi yang diperoleh y = 0,01230 x - 0,0002535 dengan koefisien korelasi (R) 0,994, koefisien determinasi (R2) 0,987, dan LoD 0,096 mg/L. Linearitas kurva kalibrasi hasil pengujian di LPPT UGM lebih baik daripada yang dilakukan di BKB. Hal ini dipengaruhi oleh nilai LoD alat SSAnyala LPPT UGM yang lebih kecil daripada LoD alat SSA-nyala BKB. Selain faktor LoD, sensitivitas kedua alat juga berpengaruh terhadap linearitas kurva kalibrasi. Sensitivitas kedua alat ditentukan dari persamaan S = 0,004.C1/A1 dengan C1 0,4 mg/L dan A1 adalah absorbansi larutan standar Pb 0,4 mg/L masing-masing alat. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa alat SSA-nyala LPPT UGM peka terhadap konsentrasi timbal 0,4313 mg/L, sementara SSAnyala BKB peka terhadap konsentrasi timbal 1,0296 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa alat SSA-nyala LPPT UGM lebih sensitif atau peka daripada alat SSA-nyala di BKB dalam hal pengukuran timbal. Hasil pengujian sampel U1, U2, dan U3 yang dilakukan oleh LPPT UGM pada Tabel 5 menunjukkan bahwa kadar timbal ketiga sampel berada di bawah LoD (<0,096 mg/L). Hal ini dapat memperkuat hasil adisi standar yang dilakukan di BKB, terutama untuk sampel kode U1, U2, dan U3. Dalam hal ini, hasil metode adisi standar lebih baik daripada metode kalibrasi untuk penentuan kadar timbal terlarut yang sangat rendah. IV. Kesimpulan Masing-masing metode memberikan kadar timbal terlarut yang berbeda dengan hasil metode kalibrasi yang lebih besar daripada metode adisi standar. Dilihat dari segi hasil dan linearitas kurva, metode adisi standar lebih baik daripada metode kalibrasi untuk penentuan kadar timbal terlarut yang sangat rendah menggunakan alat SSA-Nyala yang kurang sensititf terhadap timbal.
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 62-67
Daftar Pustaka Armbruster, D.A. dan Pry, T., 2008, Limit of Blank, Limit of Detection, and Limit of Quantitation, Clin Biochem Rev, 29, 49-52. Boniyem, 2013, Verfikasi Metode Uji Penentuan Kandungan Timbal Terlarut pada Sampel Air Filter Layer Candi Borobudur dengan Spektrofotometer Serapan Atom, Laporan PKL, FMIPA, Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia (UII). Harmita, 2004, Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya, Majalah Ilmu Kefarmasian, 3, I, 117-135. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 1995, Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Industri, 23 Oktober 1995, Jakarta. SNI 6989.8-2009, Air dan Air Limbah - Bagian 8: Cara Uji Timbal (Pb) secara Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)-Nyala, 2009, Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
Soekmono, 1983, Pelita Borobudur Laporan Kegiatan Proyek Pemugaran Candi Borobudur Seri A No. 5: Laporan Kerja Proyek Pemugaran Candi Borobudur Tahun Anggaran 1972/1973, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Thomsen, V., Schatzlein, D., dan Mercuro, D., 2003, Limits of Detection in Spectroscopy, Spectroscopy, 18, 12, 112-114, www. spectroscopyonline.com. Winarno, S., 1995, Analisa Masalah Air pada Candi Borobudur, Magelang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Konservasi Candi Borobudur.
67
Pengelolaan Lansekap Budaya dalam Kerangka Warisan Dunia: Studi Kasus Management Plan Lansekap Budaya Provinsi Bali Panggah Ardiyansyah
Balai Konservasi Borobudur Email :
[email protected] Abstrak: Lansekap Budaya Provinsi Bali telah ditetapkan sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO pada tahun 2012. Situs ini dianggap memenuhi 3 kriteria, yaitu kriteria (iii) karena tradisi budaya yang membentuk lansekap Bali, sejak paling tidak abad ke-12, merupakan konsep filosofi kuno Tri Hita Kirana, kriteria (v) karena keempat situs didalamnya merupakan bukti eksepsional dari sistem subak, sebuah sistem yang demokratis dan egaliter yang berpusat di pura tirta dan pengelolaan irigasi yang telah membentuk lansekap selama lebih dari ribuan tahun, dan kriteria (vi) karena pura tirta di Bali merupakan institusi yang khas, yang selama lebih dari ribuan tahun telah terinspirasi oleh beberapa tradisi religius kuno. Kurang lebih setahun setelah ditetapkan, Lansekap Budaya Provinsi Bali mendapatkan catatan negatif dari World Heritage Committee karena dianggap bahwa situs ini tidak dikelola dengan baik. Rencana pengelolaan yang telah disusun tidak dilaksanakan dan badan pengelola yang dibentuk pun tidak berjalan. Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hambatan dalam implementasi rencana pengelolaan sehingga World Heritage Committee sampai memberikan komentar bahwa badan pengelola yang telah dibentuk tidak berjalan sebagai mestinya. Setelah hambatan berhasil diidentifikasi, saran akan dirumuskan untuk menjalankan rencana pengelolaan dengan baik. Data diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan dan wawancara dengan beberapa stakeholders terkait. Ruang lingkup kajian hanya pada faktor internal yang menonjol dan tidak mengidentifikasi faktor eksternal yang mungkin berpengaruh. Dari pengamatan dan wawancara yang dilakukan, diketahui beberapa hambatan yang muncul, yaitu: ego sektoral yang masih besar, aleniasi masyarakat lokal, kegagapan pengelola, dan wewenang dari Balai Pelestarian Cagar Budaya yang terbatas pada pelestarian fisik. Untuk itu, perlu adanya penegasan kembali akan komitmen bersama semua stakeholders yang terlibat, tentu saja dengan memberikan peran utama dalam pengelolaan kepada masyarakat masyarakat lokal. Kata kunci: Lansekap Budaya Provinsi Bali, rencana pengelolaan, ego sektoral, aleniasi Abstract: Cultural Landscape of Bali Province has been enlisted as World Heritage by UNESCO in 2012. The property meets three criteria, which are criteria (iii) because the cultural tradition that shaped Bali landscape, since 12th century, is an ancient concept of Tri Hita Kirana, criteria (v) because the four sites included are exceptional estimony from subak system; a system which is democratic and egaliterian that is centered in water temple and irrigation management, which have shaped the landscape form thousand years, and criteria (vi) because water temple in Bali is a unique institution and inspired by several ancient religious traditions for thousand years. A year after it was enlisted, World Heritage Committee has given a warning that the property is not well managed. The management plan is useless and the governing body is not working. The study is aimed to identify challenges in implementing the management plan, thus raising concern from World Heritage Committee. Recommendation will be drafted based on the challenges. Data was obtained through field observation and interview. The study only focus on the significant internal factor, and do not identify the external factor which may have influence on the implementation of management plan. Based on the field observation and interview, several challenges have been identified, which are big sectoral ego, alienation of local community, unprepared governing assembly, and limited authority given to Cultural Heritage Preservation Office. Thus, all stakeholders must state their commitment once again, with bigger involvement of local community. Keywords: Cultural Landscape of Bali Province, management plan, sectoral ego, alienation A. Pendahuluan Cultural landscape (selanjutnya disebut sebagai lansekap budaya) merupakan lingkungan alam yang didesain oleh kebudayaan manusia (Sauer, 1926, dalam
68
Fowler, 2003). Lebih lanjut, dalam Operational Guidelines for the Implementation of the World Heritage Convention, dikatakan bahwa lansekap budaya merepresentasikan hasil kerja bersama antara manusia dan alam. Dari
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 68-73
pengertian tersebut, dapat kita pahami bersama bahwa di dalam lansekap budaya terdapat tiga unsur utama, yaitu lingkungan alam, kebudayaan, dan di tengah-tengahnya adalah manusia. Seperti dikatakan oleh Sauer, manusia merupakan pelakunya, dengan lingkungan alam sebagai medianya, yang hasilnya adalah lansekap budaya. Definisi yang lebih pragmatis disampaikan oleh Wagner dan Mikesell (1962, dalam Fowler, 2003), yang mengatakan bahwa lansekap budaya merupakan sebuah produk yang konkret dan khas dari interaksi antara komunitas manusia, yang mempunyai preferensi dan potensi budaya tertentu, dan serangkaian kondisi alam. Mereka juga berpendapat bahwa lansekap budaya merupakan warisan budaya dari banyak generasi perilaku manusia dan banyak periode evolusi alam. Pendapat ini mengisyaratkan bahwa lansekap budaya merupakan gambaran dari evolusi manusia dengan permukimannya yang sudah berjalan cukup lama, yang di dalamnya terdapat adaptasi terhadap berbagai batasan yang ditimbulkan oleh kondisi lingkungan dan juga pemanfaatan terhadap potensi yang tersembunyi. Setelah kemunculannya, gagasan lansekap budaya mulai dipertimbangkan dalam kerangka warisan dunia mulai sekitar tahun 1980-an. Akan tetapi, gerakan ini masih belum intensif dilakukan sampai kemudian pada akhir tahun 1980-an, nominasi Lake District di Inggris gagal untuk masuk dalam Daftar Warisan Dunia. Kegagalan ini akhirnya memicu perdebatan lebih lanjut untuk mengakui lansekap budaya yang dipengaruhi oleh manusia. Perdebatan ini mendesak World Heritage Centre (WHC) untuk mengumpulkan para ahli internasional pada Oktober 1992 dan merumuskan kembali Operational Guidelines. Tujuan dari rumusan baru tersebut adalah untuk mengakomodasi lansekap budaya dalam kerangka warisan dunia. Rekomendasi dari panel tersebut kemudian disetujui oleh World Heritage Committee, sehingga para stateparty dapat mengajukan nominasi situs lansekap budaya ke dalam Daftar Warisan Dunia. Lansekap Budaya Provinsi Bali: Sistem Subak sebagai Manifestasi Filosofi Tri Hita Kirana (selanjutnya disebut sebagai Lansekap Budaya Provinsi Bali) telah masuk dalam Daftar Warisan Dunia pada tahun 2012. Sistem subak sendiri merupakan sistem pengelolaan air bagi persawahan yang ada di Bali, sehingga dapat dikatakan bahwa
beras, air, dan sistem subak telah bersama-sama membentuk lansekap yang ada sejak ribuan tahun yang lalu dan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan beragama komunitasnya. Sejak abad ke-11, jejaring pura tirta telah mengelola lingkungan persawahan sebagai bagian dari daerah aliran sungai, yang menjadi bukti unik dari respons komunitas terhadap tantangan untuk menyediakan makanan beras bagi permukiman padat penduduk di bawah kaki gunung api. Sistem subak merupakan gambaran sejati dari filosofi Tri Hita Kirana yang menggabungkan dunia sprritual, manusia, dan alam. Setiap ritual yang diadakan di pura tirta memberikan bukti mengenai hubungan yang harmonis antara manusia dan lingkungannya melalui partisipasi aktif komunitas dalam konsep ritual, dengan menggantungkan kemampuan bertahan hidupnya kepada alam. Sebagai warisan dunia, Lansekap Budaya Provinsi Bali terdiri dari 4 situs, yang menunjukkan koneksi erat antara komponen alam, religi, dan budaya dari sistem subak. Keempat situs tersebut adalah Pura Ulun Danu Batur, yang berkedudukan sebagai pura tirta paling utama dan terletak di tepi Danau Batur yang dianggap sebagai sumber utama dari semua mata air dan sungai yang ada di Bali, Lansekap Subak DAS Pakerisan sebagai salah satu sistem subak tertua, Lansekap Subak Catur Angga Batukaru sebagai contoh utama dari arsitektur Bali Klasik, dan Pura Taman Ayun sebagai gambaran perkembangan sistem subak di bawah kerajaan Bali paling besar pada abad ke-19. Dalam pengajuan nominasi Lansekap Budaya Provinsi Bali, management plan (selanjutnya disebut dengan rencana pengelolaan) telah dilampirkan di dalamnya. Rencana pengelolaan tersebut telah diadopsi oleh Pemerintah Provinsi Bali dan di dalamnya memuat kebijakan, kerangka institusional dan strategi utama dalam melestarikan nilai universal yang dikandung oleh situs ini. Secara legal, Badan Pengelola Warisan Budaya Bali telah dibentuk dan disahkan melalui Peraturan Gubernur Bali No. 32 Tahun 2010. Peraturan tersebut telah mengatur komposisi Badan Pengelola yang di dalamnya terdapat perwakilan dari berbagai instansi terkait dan memberikan peran utama bagi komunitas subak dalam pengelolaan situsnya. Sistem ini mempunyai konsep manajemen adaptif bersama oleh berbagai stakeholders,
69
Ardiansyah, Pengelolaan Lansekap Budaya dalam Kerangka Warisan Dunia: Studi Kasus Management Plan...
70
yang kemudian dimodifikasi untuk disesuaikan dengan konteks masyarakat Bali. Secara gamblang disebutkan dalam dokumen rencana pengelolaan, sistem ini dikatakan mengadopsi badan pengelola yang telah terbentuk di Taman Nasional Bunaken, yang di dalamnya terdapat perwakilan desa, pariwisata lokal, nelayan, instansi pemerintah, asosiasi olahraga air, dan universitas lokal. Sidang tahunan World Heritage Commiitte ke38, yang dilaksanakan di Doha, Qatar pada 15-25 Juni 2014, memutuskan untuk memberikan catatan mengenai pengelolaan Lansekap Budaya Provinsi Bali. Catatan paling utama adalah mengenai tidak berjalannya Badan Pengelola Warisan Budaya Bali sehingga mengakibatkan tidak terimplementasikannya rencana pengelolaan yang telah disusun. Sebelum keputusan ini keluar, World Heritage Centre dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia saling berkirim surat mengenai isu yang muncul bahwa Badan Pengelola tidak pernah melakukan pertemuan untuk menjalankan rencana pengelolaan Lansekap Budaya Provinsi Bali. Catatan ini pun menimbulkan pertanyaan besar, karena baru saja setahun diakui sebagai Warisan Dunia, Lansekap Budaya Provinsi Bali sudah mendapatkan catatan negatif dari World Heritage Committee. Berangkat dari permasalahan tersebut, kajian sederhana ini bertujuan mengidentifikasi hambatan dalam implementasi rencana pengelolaan yang telah disusun. Data didapatkan melalui pengamatan di lapangan dan wawancara dengan stakeholders terkait pada bulan Juni 2014. Data tersebut dirangkum dan dijadikan dasar untuk memberikan saran praktis dalam mengatasi hambatan yang ada. Kajian ini dibatasi pada faktor internal yang menghambat implementasi rencana pengelolaan, sehingga ke depan, untuk lebih melengkapi kajian sederhana ini, perlu dilihat juga apa saja faktor eksternal yang mempunyai pengaruh kuat dalam tidak berjalannya rencana pengelolaan Lansekap Budaya Bali.
mempunyai tujuan utama sebagai berikut: 1. Memastikan semua aset budaya dan alam yang termasuk dalam Lansekap Budaya Provinsi Bali terlestarikan bagi generasi mendatang melalui pola konservasi dan dukungan sosial dan ekologis yang sesuai; 2. Meningkatkan kesadaran, apresiasi, dan partisipasi publik dalam pelestarian Lansekap Budaya Provinsi Bali melalui peningkatan edukasi dan presentasi situs; 3. Membantu menyamakan visi dari beragam stakeholders bagi pelestarian dan pengembangan Lansekap Budaya Provinsi Bali; 4. Menyusun petunjuk pengelolaan yang dapat digunakan oleh stakeholders untuk berpartisipasi dalam pelestarian dan pengembangan nilai universal luar biasa yang dikandung oleh Lansekap Budaya Provinsi Bali; 5. Mengidentifikasi prioritas untuk alokasi dari sumber daya yang ada dalam pelestarian Lansekap Budaya Provinsi Bali; 6. Menjamin bahwa lansekap budaya akan terus diawasi dan dievaluasi secara berkala; 7. Menyediakan dasar bagi rencana ke depan sehingga semua perubahan di dalam situs warisan budaya dapat dikontrol.
B. Hambatan dalam Implementasi Rencana Pengelolaan Rencana pengelolaan yang disusun memuat kebijakan, kerangka institusional, dan strategi utama dalam melestarikan nilai universal yang dikandung oleh Lansekap Budaya Provinsi Bali. Rencana tersebut
Badan Pengelola diketuai oleh Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, dan dibantu oleh Sekretariat, yang terdiri dari Unit Program (terkait dengan perencanaan), Unit Keuangan dan SDM (terkait dengan staf dan penganggaran), dan Unit Monitoring Lapangan (terkait dengan sistem
Untuk mengelola Lansekap Budaya Provinsi Bali, Badan Pengelola Warisan Budaya Bali telah dibentuk dan merupakan lembaga demokratis yang mempunyai perwakilan dari berbagai stakeholders sebagai berikut: 1. Perwakilan dari semua subak yang masuk dalam Lansekap Budaya Provinsi Bali; 2. Perwakilan dari semua desa adat yang masuk dalam Lansekap Budaya Provinsi Bali; 3. Perwakilan dari instansi pemerintah, baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 68-73
informasi geografis dan monitoring serta evaluasi). Ketua Badan Pengelola bertugas mengkoordinasi dan mengawasi enam kelompok kerja, yaitu Pokja Pelestarian Budaya, Pokja Ekosistem dan Lingkungan, Pokja Pengunjung dan Edukasi, Pokja Pembangunan Pertanian, Pokja Pembangunan Sosial dan Infrastruktur, Pokja Hukum dan Legislasi. Informasi yang didapat dari wawancara dengan Dinas Kebudayaan Bali, yang juga berfungsi sebagai Sekretariat bagi Badan Pengelola, menyebutkan bahwa pertemuan Badan Pengelola telah dilaksanakan secara berkala. Akan tetapi, permasalahan yang muncul adalah ketika pertemuan tersebut hanya dihadiri oleh staf, dan tidak dihadiri oleh kepala instansi terkait, pertemuan tersebut akhirnya tidak dapat menghasilkan keputusan strategis yang dapat mendukung berjalannya rencana pengelolaan. Selain itu, tampak bahwa instansi terkait mempunyai program masing-masing yang tidak dikoordinasikan dan dijalankan dalam kerangka pengelolaan bersama Lansekap Budaya Provinsi Bali. Hal ini menegaskan rendahnya komitmen dari stakeholders terkait, sehingga Dinas Kebudayaan sebagai salah satu stakeholder utama tampak kesulitan karena harus “bekerja sendiri” dalam mengelola situs tersebut. Adanya ego sektoral tampaknya masih menjadi isu utama sehingga memunculkan masalah umum yang sering muncul dalam pengelolaan warisan dunia, yaitu kurangnya koordinasi antar instansi. Untuk mengatasi isu ini, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, selaku Ketua Badan Pengelola, memutuskan untuk membentuk forum komunikasi Warisan Dunia Bali. Pembentukan forum ini, yang diketuai oleh Sekretaris Daerah Provinsi Bali, diharapkan dapat mengurangi ego sektoral yang sering terjadi pertemuan Badan Pengelola. Harapannya adalah para kepala instansi akan bersedia menghadiri pertemuan, apabila yang memimpin pertemuan tersebut adalah Sekretaris Daerah. Selain itu, Pemerintah Provinsi Bali saat ini juga sedang menyusun rancangan peraturan daerah mengenai pelindungan warisan budaya Bali, seperti telah disampaikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kepada World Heritage Centre. Rancangan diharapkan menjadi landasan bagi implementasi dari
konservasi dan pengelolaan Lansekap Budaya Provinsi Bali. Akan tetapi, peraturan ini juga harus dibarengi dengan penegasan komitmen kembali dari berbagai stakeholders yang terlibat, sehingga apabila rancangan tersebut telah disetujui dapat dilaksanakan secara optimal. Salah satu akibat dari tidak berjalannya Badan Pengelola adalah tidak adanya “saluran” bagi komunitas lokal anggota subak untuk berperan dan terlibat aktif dalam pengambilan keputusan serta manajemen dari Lansekap Budaya Bali. Padahal, pelibatan komunitas lokal, dalam hal ini anggota subak, sebagai stakeholder utama merupakan salah satu prinsip utama dalam pengelolaan lansekap budaya, seperti disampaikan oleh Mitchell, Rossler, dan Tricaud (2009). Selain harus inklusif dalam pelibatan semua pihak, manajemen yang dibentuk juga harus transparan, sehingga membuka dialog dan kesepahaman dari semua pihak yang terlibat. Selain itu, transparansi juga akan mendorong kesetaraan di antara pihak yang terlibat. Terkait isu pelibatan komunitas lokal, menarik dicermati mengenai pembentukan Badan Pengelola Desa Wisata Jatiluwih. Subak Jatiluwih sendiri merupakan salah satu subak yang termasuk dalam Lansekap Subak Catur Angga Batukaru. Badan ini dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan pada awal tahun 2014 untuk mengelola dan mempromosikan Jatiluwih dalam kerangka pariwisata. Menjadi anomali ketika ternyata dalam Badan Pengelola tersebut tidak mengikutsertakan komunitas Subak Jatiluwih dalam struktur organisasinya, padahal atraksi utama dari Desa Wisata Jatiluwih adalah lansekap subaknya. Tentu hal ini menjadi pertanyaan, bagaimana berharap mempertahankan keindahan lansekap Subak Jatiluwih apabila komunitas penggarapnya tidak dilibatkan dalam pengelolaannya. Hal ini dapat berdampak pada ancaman pembangunan pariwisata yang merusak serta teraleniasinya komunitas subak dengan pemerintah setempat, yang keduanya dapat berakibat negatif terhadap pelestarian Subak Jatiluwih. Menarik untuk dikaji lebih lanjut, apakah permasalahan aleniasi komunitas lokal oleh pemerintah daerah ini juga terjadi di situs lain yang termasuk di dalam Lansekap Budaya Provinsi Bali. Dari dua isu utama di atas yang disebutkan oleh World Heritage Committee, dapat disimpulkan bahwa terdapat “kegagapan” dari pengelola Lansekap Budaya Provinsi
71
Ardiansyah, Pengelolaan Lansekap Budaya dalam Kerangka Warisan Dunia: Studi Kasus Management Plan...
Bali dalam melestarikan situs tersebut. Pengelolaan lansekap budaya yang kompleks dan dinamis tentu berbeda dengan pengelolaan cagar budaya material yang “hanya” fokus ke konservasi fisiknya. Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Bali, sebagai UPT dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mempunyai tugas dan fungsi terbatas kepada pelestarian budaya materialnya saja. Padahal, nilai utama dari lansekap budaya terdapat pada interaksi antara masyarakat dengan lingkungannya (Mitchell, Rossler, dan Tricaud, 2009). Nilai ini bersifat intangible, sehingga merupakan kewenangan dari instansi lain. Yang menjadi permasalahan adalah di luar instansi BPCB, tidak banyak yang menyadari akan keberadaan dan nilai penting Warisan Dunia. Contoh kecil dapat dilihat dari pembentukan Badan Pengelola Desa Wisata Jatiluwih. Badan ini dibentuk setelah Lansekap Budaya Provinsi Bali dimasukkan ke dalam Daftar Warisan Dunia, tetapi perlu diperhatikan bahwa badan pengelola ini dibentuk untuk mengelola Jatiluwih sebagai desa wisata, bukan sebagai situs warisan dunia. Hal ini menggambarkan bahwa diseminasi informasi dan nilai penting warisan dunia masih belum tersampaikan dengan baik, terutama kepada pemerintah kabupaten/kota. Untuk mengatasi ini, ke depan promosi dari nilai-nilai warisan dunia harus lebih ditingkatkan melalui berbagai media formal maupun informal. C. Kesimpulan Dari pengamatan dan wawancara dengan beberapa stakeholders Lansekap udaya Provinsi Bali, terdapat hambatan implementasi rencana pengelolaan sebagai berikut: 1. Ego sektoral yang masih besar dalam struktur Badan Pengelola Warisan Budaya; 2. Aleniasi masyarakat lokal dalam mengelola kawasan di Lansekap Budaya Provinsi Bali; 3. Kegagapan stakeholders kebudayaan dalam mengelola sebuah lansekap budaya yang harus melibatkan pihak yang lintas sektoral; 4. Kantor Balai Pelestarian Cagar Budaya yang biasanya diandalkan sebagai ujung tombak dalam pelestarian Warisan Dunia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak mempunyai wewenang di luar pemeliharaan fisik material.
72
Terlepas dari hambatan yang ada, sistem manajemen terpadu seperti tercantum dalam rencana pengelolaan Lansekap Budaya Provinsi Bali dapat dikatakan sebagai sebuah sistem ideal bagi pengelolaan lansekap budaya. Akan tetapi, beberapa strategi khusus diperlukan untuk dapat menggerakan roda organisasi Badan Pengelola Warisan Budaya Bali. Dengan melihat banyaknya stakeholders yang terlibat, kiranya perlu adanya penegasan kembali akan komitmen bersama dalam pelestarian situs warisan dunia ini. Komitmen bersama dibutuhkan untuk melepaskan ego sektoral sehingga dapat bersama-sama menjalankan roda organisasi Badan Pengelola. Pelibatan masyarakat juga menjadi kunci penting dalam pengelolaan Lansekap Budaya Provinsi Bali. Hal ini sebenarnya telah disadari dengan benar oleh stakeholders, karena disebutkan secara jelas dalam dokumen rencana pengelolaan bahwa setiap usaha pelestarian tidak akan berjalan efektif tanpa adanya partisipasi dari komunitas lokal. Akan tetapi, dalam prakteknya, usaha pelibatan ini masih jauh dari sempurna. Terdapat indikasi akan adanya aleniasi komunitas lokal dari pengelolaan lansekap subak. Hal ini harus benar-benar dicermati dan ditangani dengan hati-hati sehingga indikasi ini tidak meluas. Seperti definisi yang telah dijabarkan diatas, lansekap budaya terbentuk karena adanya interaksi antara manusia dengan alam. Untuk itu, nilai utama yang harus dilestarikan adalah hubungan komunitas lokal dengan lingkungan, serta nilai budaya yang dikandungnya. Manajemen harus mempunyai basis data dan alat monitoring yang kuat. Dari data yang dikumpulkan, manajemen menyepakati batasbatas perubahan yang masih dapat ditoleransi. Dari kesepakatan itu, perubahan dapat dikontrol sehingga tidak merusak nilai penting dari lansekap budaya. Hal ini penting mengingat lansekap budaya merupakan sebuah situs yang sangat dinamis, dimana hubungan antara manusia dengan alam masih dimungkinkan untuk terus berkembang. Dengan usaha pelestarian yang jelas dan tepat, diharapkan dapat melindungi nilai budaya yang terkandung dalam lansekap, sehingga pada akhirnya tidak menjadikan lansekap budaya hanya sebagai, meminjam istilah dari Mitchell, Rossler, dan Tricaud, fossilized outdoor museum.
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 68-73
Daftar Pustaka Directorate General of Culture, Ministry of Education and Culture. (2014). State of Conservation in General of the State of Conservation of Cultural Landscape of Bali Province (C 1194Rev), World Heritage Property, Indonesia. Tidak dipublikasikan. Fowler, P.J. (2003). World Heritage Cultural Landscapes 19922002. Paris: UNESCO World Heritage Centre. The Ministry of Culture and Tourism of the Republic of Indonesia dan the Government of Bali Province. (2011). Nomination for the Inscription on the UNESCO World Heritage List Cultural Landscape of Bali Province. Tidak dipublikasikan. Mitchell, Nora, Mechtild Rossler, Pierre-Marie Tricaud (Authors/Ed.). (2009). World Heritage Cultural Landscapes, A Handbook for Conservation and Management. Paris: UNESCO.
World Heritage Centre. (2013). Operational Guidelines for the Implementation of World Heritage Convention. Paris: UNESCO World Heritage Centre. http://whc.unesco.org/en/soc/2815. Diakses pada tanggal 31 Agustus 2014, pukul 09.14 WIB. http://whc.unesco.org/en/decisions/6002/. Diakses pada tanggal 31 Agustus 2014, pukul 09.29 WIB.
73
PEDOMAN BAGI PENULIS 1. Naskah yang diajukan oleh penulis merupakan karya ilmiah orisinal, yang belum pernah diterbitkan, merupakan hasil penelitian, tinjauan/pemikiran dan komunikasi pendek tentang konservasi cagar budaya . 2. Judul harus harus singkat, jelas dan mencerminkan isi naskah. . Nama penulis ditulis lengkap tanpa gelar, di bawahnya diikuti nama lembaga tempat bekerja, alamat lembaga, dan e-mail. 3. Abstrak merupakan ringkasan utuh dan lengkap yang menggambarkan esensi isi tulisan, tidak lebih dari 350 kata. Disajikan dalam bahsa Indonesia dan bahasa Inggris. Isi abstrak meliputi tujuan, metode, dan hasil akhir. 4. Kata Kunci harus ada, mencerminkan satu konsep yang dikandung dalam tulisan antara 3--5 kata (dapat berupa kata tunggal dan kata majemuk), ditampilkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. 5. Penyajian instrumen pendukung berupa gambar, foto, grafik, bagan, tabel dan sebagainya harus bersifat informatif dan komplementer terhadap isi tulisan. Penyajiannya dengan dilengkapi keterangan (termasuk sumber/rujukan) di bawah instrumen pendukung. 6. Naskah berbahasa Indonesia atau bahasa Inggris, diketik 1.5 spasi, jenis huruf arial 11, jumlah halaman minimal 10 halaman dan diketik pada kertas A4,. 7. Sistematika Penulisan meliputi: Rangkuman hasil penelitian - Judul - Abstrak - Latar belakang - Metode - Pembahasan - Penutup - Daftar pustaka
Makalah / artikel - Judul - Abstrak - Latar Belakang - Pembahasan - Penutup - Daftar Pustaka
8. Daftar pustaka disusun berdasarkan abjad tanpa nomor urut dengan urutan sebagai berikut : nama pengarang (dengan cara penulisan yang baku), tahun penerbitan, judul artikel, judul buku/nama dan nomor jurnal, penerbit dan kotanya, serta jumlah/nomor halaman. 9. Naskah diserahkan dalam bentuk file tipe Microsoft Word 2003/2007 Document (*.doc/*.docx) dan print out-nya ke alamat redaksi : Dewan Redaksi Jurnal Borobudur d/a Balai Konservasi Borobudur Jalan Badrawati, Borobudur, Magelang 56553 dan dikirim melalui e-mail:
[email protected] 10. Dewan Redaksi mengatur pelaksanaan penerbitan (menerima, menolak, dan menyesuaikan naskah tulisan dengan format Jurnal Borobudur).
74
75