IV
Daftar isi Kata Pengantar Bagian I
v vii 1
Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah
Bagian II
9
Perekonomian Sumatera
Boks 1
20
Mendorong Pengembangan Ekonomi Batam dan Daerah Sekitarnya
Bagian III
23
Perekonomian Jawa
Boks 2
37
Implementasi Paket Kebijakan Pemerintah di Daerah (Hasil Survei Terhadap Pelaku Usaha di Jawa)
Bagian IV
39
Perekonomian Kalimantan
Boks 3
52
Menuju Transformasi Ekonomi Kalimantan
Bagian V
55
Perekonomian Kawasan Timur Indonesia
Boks 4
69
Potensi Industri Perikanan KTI
Bagian VI
71
Isu Strategis : Mempercepat Pembangunan Infrastruktur Maritim untuk Mendukung Pertumbuhan Ekonomi yang Berkelanjutan dan Mendorong Peningkatan Kepariwisataan
Lampiran
V
83
D
alam proses perumusan kebijakan, selain asesmen menyeluruh perekonomian global dan nasional, Bank Indonesia selalu mempertimbangkan berbagai dinamika perekonomian dan isu terkini dalam perspektif kewilayahan. Secara periodik, pembahasan menyeluruh terkait perkembangan perekonomian terkini dan berbagai isu strategis yang mengemuka di daerah dilakukan antara Dewan Gubernur dengan Kepala Departemen Regional yang mewakili 4 (empat) wilayah di seluruh 1 Indonesia . Pembahasan tersebut memberikan pemahaman mendalam terkait kondisi makroekonomi disertai berbagai aspek risiko spasial yang berkembang dan menjadi bagian penting dalam proses perumusan kebijakan. Pada triwulan II 2016, pertumbuhan ekonomi secara nasional tercatat sebesar 5,18%, lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 4,91%. Akselerasi pertumbuhan ekonomi pada triwulan ini terutama didorong oleh meningkatnya ekonomi Sumatera dan Jawa. Hampir seluruh provinsi di dua wilayah tersebut tumbuh meningkat, kecuali Aceh. Di sisi lain, perekonomian Kalimantan dan KTI tumbuh melambat bersumber dari melambatnya laju ekonomi beberapa provinsi seperti Kalimantan Barat, Gorontalo, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Papua Barat; serta kontraksi cukup dalam yang terjadi di Kalimantan Timur dan Papua. Pertumbuhan ekonomi di berbagai wilayah pada triwulan ini terutama ditopang oleh konsumsi rumah tangga, yang tumbuh meningkat seiring pergeseran masa Ramadhan yang menjadi lebih banyak berada pada triwulan II, serta didukung membaiknya daya beli masyarakat karena Tunjangan Hari Raya (THR). Selain itu, perbaikan ekspor dan konsumsi pemerintah juga menopang pertumbuhan pada triwulan II 2016. Namun, masih terkontraksinya pertambangan dan melambatnya industri pengolahan menahan pertumbuhan, terutama untuk wilayah di luar Jawa. Perkembangan terkini indikator perekonomian di berbagai daerah secara agregat mengindikasikan potensi berlanjutnya peningkatan perekonomian di triwulan III 2016. Perbaikan tersebut ditopang oleh akselerasi investasi, baik investasi bangunan maupun nonbangunan, membaiknya ekspor, serta masih kuatnya konsumsi rumah tangga. Membaiknya kinerja investasi didorong oleh berlanjutnya realisasi berbagai proyek infrastruktur pemerintah berskala besar. Investasi swasta juga membaik seiring dengan intensifnya kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah untuk mendorong peningkatan iklim usaha di daerah. Sementara itu, perbaikan ekspor dapat mendorong kembali peningkatan kinerja perekonomian di berbagai daerah, terutama ditopang oleh ekspor antar daerah. Perkembangan inflasi di berbagai daerah pada triwulan II 2016 (Juni 2016) secara agregat berada pada level yang terjaga, yakni sebesar 3,45%. Realisasi inflasi pada periode Ramadhan ini bahkan cenderung lebih rendah dibandingkan rata-rata historisnya dalam lima tahun terakhir. Realisasi inflasi yang terendah pada akhir triwulan II 2016 terjadi di wilayah Jawa (3,14%), diikuti Sumatera (3,71%), Kawasan Timur Indonesia (3,94%), dan Kalimantan (4,87%). Terjaganya inflasi di sepanjang triwulan II 2016 dipengaruhi oleh masa panen padi yang berlangsung di sejumlah daerah sentra produksi serta minimalnya kendala distribusi di tengah mulai meningkatnya permintaan memasuki periode Ramadhan.
1
Terhitung sejak 2015, bahasan ekonomi dan keuangan daerah dibagi menjadi 4 (empat) wilayah yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Kawasan Timur Indonesia (KTI-mencakup Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur).
Prospek pertumbuhan ekonomi daerah pada tahun 2016 mengindikasikan secara agregat perekonomian akan tumbuh lebih tinggi dibanding 2015, yakni di kisaran 4,9-5,3%; sedikit lebih rendah dari prakiraan sebelumnya yang sebesar 5,0-5,4%. Perbaikan perekonomian diprakirakan akan ditopang oleh pertumbuhan ekonomi Jawa dan Sumatera yang didorong oleh realisasi berbagai proyek infrastruktur berskala besar di daerah. Sementara itu, prospek perkembangan inflasi di berbagai daerah untuk keseluruhan tahun 2016 tetap terkendali dalam kisaran sasaran inflasi sebesar 4%±1%. Perkiraan masih terbatasnya perbaikan harga komoditas global serta harga minyak dunia berdampak pada rendahnya tekanan inflasi. Demikian halnya dengan tekanan permintaan domestik yang diperkirakan masih tumbuh terbatas sejalan dengan belum kuatnya ekspektasi perbaikan ekonomi dari pelaku ekonomi domestik. Pada edisi kali ini, Laporan Nusantara mengangkat isu khusus mengenai “Mempercepat Pembangunan Infrastruktur Maritim untuk Mendukung Pertumbuhan Ekonomi yang Berkelanjutan dan Mendorong Peningkatan Kepariwisataan”. Isu tersebut diangkat dengan latar belakang fakta output kegiatan ekonomi di sektor maritim yang masih sangat jauh dari potensi yang dimiliki yang bahkan mengakibatkan terjadinya defisit neraca jasa di industri pelayaran dan perkapalan akibat sejumlah kendala seperti lemahnya industri galangan kapal dan komponen kapal, dominasi asing dalam jasa pelayaran, serta terbatasnya SDM maritim yang berkualitas. Walaupun Indonesia sesungguhnya memiliki potensi yang besar juga dalam sektor perikanan dan pariwisata bahari, namun kedua sektor tersebut masih relatif tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Oleh karena itu, strategi kebijakan maritim yang terintegrasi perlu dirumuskan untuk mengatasi persoalan struktural di sektor maritim, sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) serta sesuai dengan prioritas Pemerintah untuk mengembangkan industri maritim. Penyusunan buku Laporan Nusantara ini dilakukan secara bersama antara Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) dan Departemen Regional I-IV yang masing-masing membawahi regional Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Kawasan Timur Indonesia. Akhir kata, kami berharap buku Laporan Nusantara ini dapat bermanfaat dan menjadi acuan bagi para pemangku kepentingan dan pemerhati ekonomi daerah, serta menjadi salah satu kontribusi Bank Indonesia dalam pembangunan ekonomi daerah.
Jakarta, 25 Agustus 2016 Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter
Juda Agung Direktur Eksekutif
Perkembangan Terkini Perekonomian Daerah
kenaikan pertumbuhan ekonomi Jawa secara keseluruhan.
Perekonomian nasional pada triwulan II 2016 tumbuh meningkat dibanding triwulan sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan laporan tercatat sebesar 5,18%, lebih tinggi dibanding triwulan sebelumnya yang 2 tumbuh 4,91% . Akselerasi pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2016 terutama didorong oleh meningkatnya ekonomi Sumatera dan Jawa. Hampir seluruh provinsi di dua wilayah tersebut tumbuh meningkat, kecuali Aceh. Sementara itu, perekonomian Kalimantan dan KTI tumbuh melambat bersumber dari melambatnya laju ekonomi beberapa provinsi seperti Kalimantan Barat, Gorontalo, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Papua Barat, serta kontraksi cukup dalam yang terjadi di Kalimantan Timur dan Papua.
Pertumbuhan ekonomi Sumatera juga meningkat terutama didorong oleh konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah dan investasi. Realisasi pertumbuhan ekonomi Sumatera meningkat dari 4,18% menjadi 4,49% pada triwulan II 2016. Seperti halnya di kawasan Jawa, pola musiman di bulan Ramadhan yang disertai dengan perbaikan daya beli akibat gaji ke-13 dan ke-14 memberikan tambahan daya dorong bagi pertumbuhan ekonomi Sumatera. Di sisi lain, kenaikan investasi di Sumatera lebih dipengaruhi oleh investasi swasta, terutama terkait replanting CPO dan industri karet, serta berlanjutnya proyek infrastruktur pemerintah berskala besar seperti di Sumatera Selatan. Kenaikan pertumbuhan ekonomi Sumatera juga bersumber dari meningkatnya kinerja pertanian seiring kenaikan produksi sawit yang didukung membaiknya permintaan dan harga yang mendorong ekspor, serta masa panen tanaman bahan makanan di beberapa daerah sentra produksi. Meski demikian, meningkatnya kinerja Sumatera tertahan oleh masih berlanjutnya kontraksi lifting migas di Riau dan produksi gas alam cair (LNG) di Aceh, serta terbatasnya produksi timah di Bangka Belitung.
Meningkatnya perekonomian Jawa dari 5,31% menjadi 5,73% pada triwulan II 2016 terutama bersumber dari konsumsi. Meningkatnya konsumsi terjadi baik pada konsumsi rumah tangga maupun konsumsi pemerintah. Pergeseran masa Ramadhan yang menjadi lebih banyak berada pada triwulan II, didukung membaiknya daya beli masyarakat karena Tunjangan Hari Raya (THR) mendorong kenaikan konsumsi rumah tangga. Sementara konsumsi pemerintah juga menunjukkan kenaikan seiring meningkatnya realisasi belanja pemerintah terutama terkait penyaluran gaji ke-13 dan ke-14. Masuknya masa panen tanaman bahan makanan di sejumlah daerah sentra produksi juga turut menjadi sumber meningkatnya pertumbuhan ekonomi Jawa. Di samping itu, perbaikan ekspor di Jawa Timur dan Jawa Barat turut mendorong
2
Berdasarkan angka rilis BPS pada 5 Agustus 2016
1
Sementara itu, perekonomian Kawasan Timur Indonesia (KTI) justru tumbuh melambat. Pada triwulan II 2016, pertumbuhan ekonomi berbagai daerah di KTI secara agregat tumbuh 5,91% atau lebih rendah dibanding periode sebelumnya yang tumbuh 6,27%. Beberapa daerah di KTI yang tercatat tumbuh melambat antara lain Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Nusa Tenggara Barat. Provinsi Papua bahkan tercatat mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi yang cukup dalam hingga -5,91%. Secara umum,
melambatnya kinerja ekonomi KTI disebabkan oleh turunnya kinerja tambang dan industri LNG, khususnya di Papua dan Papua Barat, yang diikuti menurunnya kinerja ekspor luar negeri dan terbatasnya kinerja investasi swasta. Namun, berlanjutnya proyek infrastruktur pemerintah berskala besar di sejumlah daerah, meningkatnya aktivitas perdagangan di masa RamadhanLebaran, serta panen tanaman bahan makanan di beberapa daerah sentra produksi dapat menahan perlambatan ekonomi KTI lebih lanjut. Perekonomian Kalimantan pada triwulan II 2016 tercatat berada pada tingkat yang cukup rendah yakni sebesar 1,13%; melambat dibanding triwulan lalu yang sebesar 1,44%. Melambatnya
ekonomi Kalimantan terutama karena perekonomian Kalimantan Timur yang terkontraksi lebih dalam dibanding triwulan sebelumnya. Kondisi ini terutama dipengaruhi melambatnya kinerja industri LNG, masih berlanjutnya pertumbuhan negatif di sektor tambang, serta terbatasnya produksi sawit. Perkembangan kinerja lapangan usaha utama di Kalimantan yang kurang menguntungkan tersebut juga diikuti terbatasnya investasi swasta dan lebih mengandalkan investasi dari proyek infrastruktur pemerintah. Selain itu, penyerapan belanja pemerintah cenderung terbatas seiring rasionalisasi belanja karena menurunnya Dana Bagi Hasil (DBH).
Gambar I.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan II 2016
Perkembangan terkini indikator perekonomian di berbagai daerah mengindikasikan potensi berlanjutnya perbaikan perekonomian secara agregat pada triwulan III 2016. Perbaikan tersebut ditopang oleh akselerasi investasi, baik investasi bangunan maupun non-bangunan, membaiknya ekspor, serta masih kuatnya konsumsi rumah tangga. Membaiknya kinerja investasi didorong oleh berlanjutnya realisasi berbagai proyek infrastruktur pemerintah berskala besar. Investasi swasta juga membak seiring kondusifnya perekonomian seiring intensifnya kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah untuk mendorong peningkatan iklim
2
usaha di daerah. Sementara itu, perbaikan ekspor dapat mendorong kembali peningkatan kinerja perekonomian di berbagai daerah, terutama ditopang oleh ekspor antar daerah. Di Sumatera, perbaikan ekspor antar daerah terutama untuk pemenuhan sawit domestik di tengah masih terbatasnya permintaan ekspor luar negeri. Di Jawa, peningkatan ekspor lebih didorong ekspor antar daerah terutama untuk komoditas pertanian, produk makanan-minuman, dan tekstil seiring dengan masih kuatnya permintaan domestik. Di Kalimantan, ekspor alumina dan batubara ke negara mitra dagang diperkirakan membaik. Di KTI, perbaikan ekspor ke luar negeri
didukung oleh selesainya masa perbaikan mesin tambang mineral di Papua, membaiknya produksi perikanan di Maluku, serta masih tingginya
permintaan mitra dagang terhadap produk industri.
Tabel I.1. Tendensi Arah Perekonomian Daerah Triwulan III 2016* PDRB Pertumbuhan Ekonomi
NASIONAL
SUMATERA Tendensi
Asesmen Didorong akselerasi investasi & perbaikan ekspor. Scr sektoral, didorong peningkatan sektor utama, kecuali Perdagangan.
Konsumsi RT
Menurun pasca mencapai puncaknya di triwulan sebelumnya.
Konsumsi Pemerintah
Belum optimalnya realisasi belanja Pemda, yang dibayangi pemotongan Transfer ke daerah.
Investasi (PMTB)
Terindikasi dari meningkatnya impor barang modal.
Ekspor
Membaiknya permintaan CPO Domestik di tengah tertahannya ekspor LN
Impor
Meningkatnya impor bahan baku & barang modal.
JAWA Tendensi
KALIMANTAN
Asesmen Didorong akselerasi konsumsi dan investasi. Sektor utama diperkirakan meningkat. Kenaikan optimisme konsumen sebagaimana tercermin pada Survei Pedagang Eceran (SPE) dan Survei Konsumen (SK). Simpanan APBD di Bank sebagai alternatif sumber pembiayaan di tengah kebijakan pemotongan transfer ke daerah. Meningkat seiring realisasi proyek infrastruktur pemerintah. Di sisi swasta, pelonggaran kebijakan LTV/FTV turut mendorong pembangunan properti.
Tendensi
KAWASAN TIMUR INDONESIA
Asesmen Tendensi Asesmen Tumbuh terbatas didorong akselerasi konsumsi Didorong stabilnya Pemerintah dan investasi, konsumsi RT serta meski tertahan akselerasi investasi dan melambatnya konsumsi RT & sektor-sektor utama. Industri pengolahan. Tingkat pendapatan terjaga. Kembali normalnya Penyelenggaraan MICE konsumsi makanan pasca masih marak. Tertahan Ramadhan. oleh penjualan barang tahan lama yang melambat. Lebih optimalnya realisasi belanja Pemda, meski dibayangi pemotongan Transfer ke daerah.
Pencairan dana desa diperkirakan masih terkendala.
Pasca selesainya proses lelang di Tw II 2016, realisasi proyek infrastruktur pemerintah dilakukan di Tw III 2016.
Akselerasi pembangunan infrastruktur. Turunnya suku bunga mendukung optimisme pelaku usaha dalam melakukan investasi.
Lebih didorong Ekspor Antar Daerah seiring masih tingginya permintaan domestik.
Level kontraksi batubara menurun, ekspor alumina Kalbar dan CPO meningkat. Di sisi lain, produksi LNG turun.
Tambang di Papua membaik. Permintaan mitra dagang untuk produk industri masih tinggi. Produksi perikanan meningkat.
Sejalan dengan kinerja industri manufaktur, impor mengalami peningkatan terutama impor bahan baku dan barang modal.
Peningkatan impor barang modal d.r. percepatan infrastruktur. Naiknya impor bahan makanan menjelang Idul Adha.
Impor barang antara turun, karena perusahaan tambang & manufaktur sudah melakukan stok pada Tw II 2016.
* Tendensi arah kondisi ekonomi secara tahunan (year-on-year) Keterangan : merah (berkontribusi negatif terhadap PDRB), hijau (berkontribusi positif terhadap PDRB)
Stabilitas Keuangan Daerah Kinerja keuangan sektor korporasi pada triwulan II 2016 menunjukkan adanya perbaikan meski masih terbatas karena belum cukup kuatnya aktivitas di sektor swasta. Hal ini tercermin dari penyaluran kredit ke sektor korporasi yang tumbuh sebesar 17,39% (yoy), meningkat dibanding triwulan lalu 15,38% (yoy). Peningkatan penyaluran kredit korporasi tertinggi terjadi di Jawa, yakni dari 16,0% di triwulan I 2016 menjadi 18,2% pada akhir triwulan II 2016, terutama didorong kenaikan penyaluran kredit ke sektor perdagangan dan konstruksi. Di sisi lain, pertumbuhan penyaluran kredit korporasi di Kalimantan masih sangat rendah, yakni sebesar 5,04%. Meski demikian, kenaikan penyaluran kredit tersebut juga diikuti meningkatnya risiko non performing loans (NPL) di hampir seluruh lapangan usaha utama di berbagai wilayah.
3
Di sisi lain, kinerja keuangan sektor rumah tangga masih relatif stabil. Hal ini tercermin dari penyaluran kredit ke sektor rumah tangga yang tumbuh stabil di angka 8,3% sejak triwulan lalu. Masih stabilnya kinerja sektor rumah tangga didorong akselerasi pertumbuhan kredit di luar Jawa, namun diimbangi oleh perlambatan pertumbuhan kredit di Jawa. Kondisi tersebut terutama dipengaruhi kredit multiguna, yang tumbuh akseleratif di luar Jawa, namun sebaliknya di Jawa. Stabilnya kinerja keuangan juga didukung dengan masih terjaganya risiko NPL yang mencapai 3,7% sejak triwulan lalu.
Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah Aktivitas transaksi keuangan selama periode triwulan II 2016 terindikasi meningkat terutama terkait masuknya periode Ramadhan. Nilai transaksi keuangan melalui sistem Real Time
Gross Settlement (RTGS) sepanjang triwulan II 2016 tumbuh negatif 3,46% (yoy) atau senilai Rp27.117 triliun, sedikit membaik dibanding periode triwulan sebelumnya yang tumbuh
negatif 7,41%. Demikian halnya dari sisi volume yang menunjukkan perbaikan transaksi pada sistem RTGS, yakni tumbuh dari -48,98% menjadi -47,77% atau sekitar 1,52 juta transaksi.
Gambar I.2. Peta Inflasi Daerah, Juli 2016 (yoy)
Peningkatan aktivitas transaksi keuangan juga terlihat pada kliring. Perputaran kliring melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) pada triwulan II 2016 secara nominal tumbuh 56,22% atau senilai Rp1.160 triliun, meningkat dibanding triwulan lalu yang tumbuh 51,58%. Secara volume, transaksi perputaran kliring juga tumbuh meningkat dari 48,55% menjadi 50,75%. Sejalan dengan hal tersebut, peredaran uang kartal menunjukkan peningkatan seiring akselerasi pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Hal tersebut tercermin dari peningkatan outflow uang kartal dari Bank Indonesia sepanjang triwulan II 2016 yaitu 62,2% (yoy), jauh lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh 12,1% (yoy). Peningkatan yang signifikan tersebut didorong pergeseran bulan Ramadhan yang lebih banyak terjadi di triwulan II terkait peningkatan aktivitas penukaran uang menjelang Lebaran.
Perkembangan Inflasi Perkembangan inflasi di berbagai daerah sepanjang triwulan II 2016 terjaga dalam level yang cukup rendah. Realisasi inflasi pada akhir triwulan II 2016 (Juni 2016), yang merupakan periode Ramadhan, secara agregat tercatat
4
sebesar 3,45% (yoy). Realisasi inflasi pada periode Ramadhan ini bahkan cenderung lebih rendah dibandingkan rata-rata historisnya dalam 5 tahun terakhir. Secara umum, terkendalinya inflasi di sepanjang periode triwulan II 2016 dipengaruhi oleh masa panen padi yang berlangsung di sejumlah daerah sentra produksi dengan capaian yang lebih baik dibanding periode panen tahun sebelumnya. Hal tersebut didukung minimalnya kendala distribusi di tengah mulai meningkatnya permintaan memasuki periode Ramadhan. Realisasi inflasi (yoy) yang terendah pada akhir triwulan II 2016 terjadi di wilayah Jawa (3,14%), diikuti Sumatera (3,71%), Kawasan Timur Indonesia (3,94%), dan Kalimantan (4,87%). Memasuki awal triwulan III 2016, tren penurunan inflasi masih terus berlanjut di tengah masuknya periode lebaran. Inflasi Jawa secara agregat bahkan tercatat berada di bawah 3% atau sebesar 2,96%, diikuti inflasi di Sumatera (3,50%), Kawasan Timur Indonesia (3,61%), dan Kalimantan (3,92%). Tren menurunnya inflasi di berbagai daerah terutama karena relatif minimalnya tekanan kenaikan harga pangan seiring dengan pasokan yang cukup memadai serta intensifnya upaya pemerintah untuk mengendalikan harga-harga. Tekanan inflasi triwulan III 2016 secara bulanan (month-to-
month) lebih bersumber dari kenaikan harga daging ayam ras, ikan segar, cabai merah, dan daging sapi. Kondisi terkendalinya inflasi diperkirakan akan terus berlanjut, meskipun tarif angkutan udara dan angkutan antar kota sempat mencatatkan inflasi yang cukup tinggi pada Juli 2016 yaitu pada periode peak season Lebaran, sebagaimana pola historisnya. Hingga akhir triwulan III 2016, inflasi berbagai daerah di Jawa, Sumatera, dan KTI secara agregat masing-masing masih akan berada di bawah 4%. Sementara itu, inflasi di Kalimantan diperkirakan berada sedikit di atas 4% dengan kecenderungan lebih rendah dibanding realisasi akhir triwulan II 2016. Terkendalinya inflasi tidak terlepas dari berbagai kebijakan pemerintah untuk memperkuat pasokan pangan. Upaya menambah pasokan secara serentak di seluruh daerah dapat mengatasi kenaikan permintaan yang terjadi di seluruh daerah pada masa Ramadhan 2016. Upaya Pemerintah untuk memperkuat pasokan ditempuh antara lain melalui intensifnya upaya peningkatan produksi pangan, pemenuhan pasokan dari berbagai sumber, termasuk impor, didukung berlanjutnya program gerai maritim dan tol laut, serta pelaksanaan operasi pasar beras yang diikuti koordinasi kuat dalam forum Tim Pengendalian Inflasi, baik di tingkat pusat maupun daerah. Selain itu, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kegiatan pasar murah di bulan Ramadhan tahun ini tidak hanya dilakukan untuk komoditas beras, minyak goreng, dan gula pasir, namun juga komoditas penyumbang inflasi lainnya, seperti pasar murah telur ayam di Padang, pasar murah cabai merah di Banten, dan operasi pasar daging sapi oleh Bulog yang dilakukan secara serentak di seluruh daerah.
Prospek Daerah
dan
Tantangan
Ekonomi
Prospek Ekonomi Daerah Perkembangan terkini berbagai indikator perekonomian di daerah mengindikasikan prospek perekonomian pada 2016 tumbuh lebih
5
baik dibandingkan realisasi pertumbuhan ekonomi di 2015, meski sedikit lebih rendah dari prakiraan sebelumnya. Perbaikan perekonomian terutama ditopang oleh meningkatnya kinerja pertumbuhan ekonomi Jawa dan Sumatera. Meski demikian, perbaikan perekonomian masih dibayangi risiko belum optimalnya penyerapan belanja daerah di tengah upaya penghematan belanja pemerintah yang antara lain berupa pemotongan dana transfer ke daerah. Selain itu, masih tingginya ketidakpastian ekonomi global yang berimbas pada ekspor daerah diperkirakan turut membatasi kinerja perekonomian daerah secara keseluruhan. Melihat berbagai perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi keseluruhan tahun 2016 diperkirakan berada di kisaran 4,9 – 5,3% (yoy), sedikit lebih rendah dari kisaran sebelumnya, yaitu 5,0 – 5,4% (yoy). Pertumbuhan ekonomi Jawa diprakirakan ditopang oleh menguatnya konsumsi rumah tangga disertai peningkatan kinerja perdagangan antar daerah. Hal tersebut tercermin dari indeks keyakinan konsumen yang membaik secara gradual sejak pertengahan tahun. Selain itu, berlanjutnya pembangunan infrastruktur berskala besar di berbagai daerah di Jawa turut mendorong perbaikan ekonomi Jawa secara keseluruhan. Pemulihan ekonomi negara tujuan ekspor utama juga diprakirakan turut mendorong perbaikan kinerja ekspor luar negeri yang diikuti oleh kinerja industri pengolahan. Pertumbuhan ekonomi Sumatera diprakirakan bersumber dari meningkatnya realisasi proyek infrastruktur pemerintah disertai masih kuatnya konsumsi rumah tangga. Pembangunan beberapa proyek infrastruktur berskala besar di Sumatera seperti pembangunan jalan trans Sumatera, pembangkit listrik, dan sarana penunjang kegiatan Asian Games 2018 diperkirakan dapat mendorong investasi dan kinerja perekonomian secara keseluruhan. Selain itu, perkiraan membaiknya ekspor seiring membaiknya harga komoditas di pasar global serta rendahnya inflasi akan berdampak positif pada penguatan konsumsi rumah tangga.
Sementara itu, sedikit optimis dibanding prakiraan sebelumnya, perekonomian Kalimantan akan membaik terbatas dan dapat tumbuh positif walaupun masih relatif rendah. Perkiraan membaiknya produksi sawit dan beroperasinya smelter alumina diprakirakan akan menopang pertumbuhan ekonomi Kalimantan hingga akhir 2016. Namun, kontraksi kinerja pertambangan masih akan menjadi penghambat kinerja perekonomian Kalimantan secara keseluruhan seiring masih rendahnya harga komoditas, meski mulai membaik sejak tengah tahun 2016. Sementara itu, hanya perekonomian KTI yang diprakirakan tumbuh lebih lambat, walaupun masih relatif lebih tinggi daripada wilayah lainnya. Prakiraan melambatnya ekonomi KTI dipengaruhi oleh perkembangan kinerja ekspor, khususnya pertambangan, yang masih belum menunjukkan adanya perbaikan berarti serta lebih rendahnya capaian investasi untuk hilirisasi pasca beroperasinya beberapa smelter di KTI. Meski demikian, pertumbuhan ekonomi KTI masih akan berada di level yang cukup tinggi karena ditopang oleh konsumsi yang masih kuat seiring prospek peningkatan pendapatan pada usaha jasa dan perdagangan. Di sisi inflasi, perkembangan terkini di berbagai daerah mengindikasikan, hingga akhir tahun 2016, inflasi diperkirakan tetap terkendali dan secara agregat berada dalam kisaran sasaran inflasi nasional 4%±1%. Masih terbatasnya kenaikan harga komoditas global serta masih rendahnya harga minyak dunia berdampak pada rendahnya tekanan inflasi dari faktor eksternal. Demikian halnya dengan tekanan permintaan domestik yang diperkirakan masih belum kuat sejalan dengan ekspektasi perbaikan ekonomi yang masih terbatas dari pelaku ekonomi domestik. Selain itu, kebijakan pemerintah yang membatalkan kenaikan tarif listrik non-subsidi untuk daya 900VA juga turut mendukung prakiraan rendahnya inflasi di akhir 2016.
6
Meski demikian, risiko inflasi dari kenaikan harga bahan pangan tetap perlu diwaspadai. Beberapa komoditas pangan seperti cabai merah, bawang merah, dan ikan diperkirakan menghadapi masalah gangguan produksi akibat menguatnya potensi La Nina yang ditandai tingginya curah hujan di paruh kedua 2016. Wilayah yang paling rentan terdampak fenomena La Nina ini antara lain Kalimantan bagian selatan, Sulawesi, Sumatera bagian utara dan barat, serta Indonesia bagian timur. Di samping itu, risiko inflasi yang bersumber dari potensi terjadinya kendala distribusi karena persoalan struktural terkait infrastruktur dan tata niaga juga tetap perlu dicermati. Semakin intensifnya koordinasi antara Bank Indonesia dan Pemerintah di tingkat pusat dan daerah akan dapat mendukung upaya pengendalian inflasi. Kebijakan pengendalian inflasi difokuskan pada upaya menjaga ketersediaan dan keterjangkauan pasokan pangan, meningkatkan kelancaran distribusi, serta mengelola ekspektasi masyarakat melalui komunikasi yang intensif. Langkah pemerintah untuk meningkatkan kapasitas produksi pangan domestik ditempuh melalui pembukaan lahan pertanian baru serta pembangunan berbagai infrastruktur pendukung produksi pertanian dan konektivitas. Berlanjutnya program Gerai Maritim yang dipadu dengan Tol Laut diperkirakan berdampak positif bagi stabilitas harga pangan ke depan. Di tingkat daerah, koordinasi dalam wadah Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) akan terus diperkuat dengan implementasi program yang mulai mengarah pada pengentasan persoalan struktural. Implementasi tersebut antara lain dilakukan melalui penguatan pasar lelang pangan daerah, kerjasama antar daerah untuk pemenuhan pasokan pangan, serta inisiatif penghapusan Peraturan Daerah yang kurang mendukung dari sisi keterjangkauan harga.
Tantangan Ke Depan Pemulihan ekonomi di 2016 masih dibayangi tantangan yang cukup berat karena tingginya
ketidakpastian global, kinerja fiskal yang terbatas, serta masih terbatasnya optimisme sektor swasta terhadap prospek pemulihan perekonomian. Hasil referendum di Inggris yang memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa serta masih lemahnya ekonomi Tiongkok yang diikuti terbatasnya perbaikan harga komoditas global menambah tingginya ketidakpastian ekonomi dunia. Kondisi tersebut berimbas pada terbatasnya perbaikan ekonomi daerah, terutama daerah yang mengandalkan ekspor komoditas primer (SDA). Di sisi lain, hal itu juga berdampak pada turunnya pendapatan fiskal daerah serta terbatasnya peningkatan kinerja korporasi karena turunnya pendapatan usaha. Selain itu, percepatan penyerapan belanja daerah untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi daerah perlu menjadi perhatian. Sampai dengan akhir triwulan II 2016, saldo dana milik Pemda di perbankan di berbagai daerah masih cukup besar, yang secara agregat mencapai Rp219,5 triliun. Efisiensi anggaran pemerintah guna menjaga kesinambungan fiskal yang ditempuh melalui kebijakan pemotongan anggaran belanja APBN sebesar Rp133,8 triliun, akan turut mempengaruhi stimulus fiskal daerah. Pemotongan itu terdiri dari pengurangan belanja Kementerian/Lembaga sebesar Rp65 triliun dan dana transfer ke daerah sebesar Rp68,8 triliun. Walaupun demikian, masih cukup besarnya cadangan SiLPA yang dimiliki Pemda di berbagai daerah diperkirakan masih mampu meredam dampak dari upaya efisiensi belanja tersebut. Sementara itu, langkah pengendalian inflasi masih dihadapkan pada berbagai risiko dan tantangan struktural. Masih terbatasnya kapasitas produksi pangan, struktur pasar yang belum efisien, dan infrastruktur logistik yang belum memadai merupakan tantangan terbesar bagi stabilitas harga pangan dalam jangka panjang. Kondisi ini menyebabkan tingginya ketergantungan produksi pangan terhadap faktor iklim dan cuaca, serta besarnya disparitas harga antara produsen-konsumen maupun antarwilayah. Di samping itu, masih terbatasnya
7
kapasitas dan akses transportasi di beberapa daerah juga kerap mendorong kenaikan inflasi yang bersumber dari angkutan, terutama pada periode peak seasons. Untuk mengatasi berbagai risiko tersebut, strategi kebijakan yang terintegrasi dan koordinasi yang intensif antara pusat-daerah perlu secara konsisten dilakukan dan diperkuat. Langkah koordinasi diarahkan pada upaya untuk mempercepat implementasi pembangunan berbagai infrastruktur utama yang mampu menjadi akselerator bagi kinerja perekonomian daerah di tahun 2016. Di sektor maritim, sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) serta sesuai dengan prioritas Pemerintah, perlu dirumuskan kebijakan integratif yang mampu mendorong berkembangnya industri maritim domestik. Strategi kebijakan maritim yang terintegrasi tersebut ditujukan untuk meningkatkan kinerja sektor maritim dan juga pariwisata. Output sektor maritim saat ini masih jauh di bawah potensi yang dimiliki. Kendala seperti lemahnya industri perkapalan dan pendukungnya, dominasi asing dalam jasa pelayaran, serta terbatasnya kualitas SDM maritim, telah mengakibatkan defisit neraca jasa terutama di industri pelayaran, asuransi, jasa galangan kapal. Lebih jauh, walaupun Indonesia memiliki potensi yang besar juga dalam sektor perikanan dan pariwisata bahari, namun pada kedua sektor tersebut, Indonesia masih relatif tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Hanya strategi kebijakan maritim yang terintegratif yang mampu mengatasi persoalan struktural lintas sektoral yang dihadapi, yang mencakup tidak saja perbaikan infrastruktur terkait kemaritiman namun juga dukungan kuat pemerintah terkait regulasi dan insentif pengembangannya. (Lihat Isu Khusus “Mempercepat Pembangunan Infrastruktur Maritim untuk Mendukung Pertumbuhan Ekonomi yang Berkelanjutan dan Mendorong Peningkatan Kepariwisataan”).
“halaman ini sengaja dikosongkan”
8
Perekonomian Sumatera pada triwulan II 2016 tumbuh lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya; dari 4,18% (yoy) menjadi 4,49% (yoy). Peningkatan tersebut didorong oleh pertumbuhan konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, dan investasi swasta. Dari sisi sektoral, di tengah masih terbatasnya kinerja pertambangan, pertumbuhan ekoomi ditopang oleh perbaikan kinerja lapangan usaha pertanian dan lapangan usaha perdagangan besar dan eceran. Dari sisi harga, perkembangan inflasi selama triwulan II 2016 dapat terkendali pada tingkat yang rendah di tengah periode Ramadhan – Lebaran di bulan Juni 2016. Pada akhir triwulan II 2016, inflasi berbagai daerah di Sumatera secara agregat tercatat sebesar 3,71% (yoy), lebih rendah dibanding periode akhir triwulan sebelumnya sebesar 5,71% (yoy). Penurunan laju inflasi bersumber dari terkendalinya harga pangan seiring dengan terjaganya pasokan pangan dan koreksi harga pada administered prices. Di samping itu, terjaganya inflasi juga ditopang oleh semakin intensifnya upaya koordinasi pengendalian harga yang ditempuh oleh Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID). Sejalan dengan perbaikan perekonomian, stabilitas keuangan Sumatera juga relatif terjaga, di tengah masih terbatasnya pertumbuhan kredit yang disertai dengan peningkatan risiko kredit. Hingga akhir tahun 2016, perbaikan ekonomi di Sumatera diperkirakan terus berlanjut terutama didukung peningkatan konsumsi rumah tangga seiring dengan perbaikan daya beli, peningkatan konsumsi pemerintah, dan investasi. Dengan kondisi tersebut, perekonomian Sumatera hingga akhir 2016 diperkirakan tumbuh di kisaran 4,2–4,7% (yoy), lebih baik dari capaian tahun 2015 sebesar 3,54% (yoy). Sementara itu, belum optimalnya penyerapan belanja pemerintah daerah disertai kemungkinan pemotongan alokasi transfer daerah menjadi risiko yang dapat menahan laju pertumbuhan ekonomi Sumatera. Dari sisi harga, inflasi triwulan III 2016 diperkirakan sedikit meningkat terutama didorong oleh peningkatan biaya pendidikan dan kenaikan harga pangan seiring momentum Idul Adha dan potensi gangguan produksi pangan akibat dampak menguatnya La Nina yang diperkirakan terjadi hingga akhir tahun. Namun demikian, inflasi berbagai daerah di Sumatera pada akhir tahun 2016 diperkirakan akan berada pada kisaran 4,3-4,8% sejalan dengan prospek terjaganya pasokan pangan dan minimalnya kebijakan pemerintah terkait tarif.
Pertumbuhan Ekonomi Perekonomian Sumatera pada triwulan II 2016 tumbuh lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya, terutama didorong konsumsi rumah tangga dan investasi. Pada triwulan II 2016, pertumbuhan ekonomi Sumatera tumbuh 4,49% (yoy), lebih tinggi dari pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar 4,18% (yoy). Peningkatan laju pertumbuhan terjadi pada seluruh provinsi di Sumatera, kecuali Aceh (Tabel II.1). Konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, dan investasi menjadi penopang utama semakin cepatnya aktivitas ekonomi di hampir seluruh provinsi di Sumatera. Di samping
9
itu, periode musim panen serta perbaikan harga komoditas turut mendorong kinerja pertanian dan perkebunan. Laju pertumbuhan ekonomi Aceh pada triwulan II 2016 yang lebih lambat dari triwulan sebelumnya terutama disebabkan oleh penurunan kinerja lapangan usaha pertambangan dan industri pengolahan. Sering dengan periode Ramadhan – Lebaran, kinerja konsumsi rumah tangga di Sumatera pada triwulan II 2016 mengalami peningkatan. Pada triwulan II 2016, konsumsi rumah tangga tercatat tumbuh 5,51% (yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan triwulan I 2016 sebesar 5,24% (yoy). Peningkatan konsumsi
rumah tangga selain didukung oleh terjaganya daya beli akibat inflasi yang relatif rendah, juga ditopang oleh pencairan gaji ke-13/14 yang dilakukan menjelang perayaan Idul Fitri. Peningkatan laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga tersebut searah dengan peningkatan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dari 117,15 pada triwulan I 2016 menjadi 118,37 pada triwulan II 2016. (Grafik II.1). Grafik II.2. Pertumbuhan Simpanan Pemda di Perbankan Tabel II. 1 Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Sumatera Indikator Makroekonomi Daerah PDRB (% YoY) Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Kep. Riau Sumsel Bengkulu Lampung Kep. Babel Sumber: BPS
2015
2015
II
III
IV
2.98 (2.09) 5.13 5.48 (2.13) 4.33 6.70 4.71 5.24 5.06 3.97
3.13 (0.29) 5.09 4.93 (1.38) 4.38 5.40 4.75 5.18 5.22 3.97
4.56 1.42 5.32 5.74 4.45 3.18 5.20 3.94 4.86 5.33 4.28
3.52 (0.72) 5.08 5.41 0.22 4.21 6.02 4.44 5.14 5.13 4.05
2016 I
II
4.18 3.66 5.02 5.48 2.34 3.42 4.58 4.94 4.99 5.05 3.30
4.49 3.54 5.67 5.78 2.40 3.57 5.40 5.13 5.41 5.21 3.67
Realisasi investasi pada triwulan II 2016 tumbuh 5,66% (yoy), lebih tinggi daripada triwulan sebelumnya sebesar 4,91% (yoy). Meningkatnya investasi tersebut terutama didorong oleh realisasi pembangunan infrastruktur pemerintah berskala besar serta investasi swasta nonkonstruksi, seperti replanting yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan dan penambahan kapasitas produksi. Peningkatan kapasitas produksi itu sejalan dengan hasil liaison Bank Indonesia mengenai kapasitas produksid dan investasi pada beberapa pelaku usaha utama di berbagai daerah di Sumatera. (Grafik II.3).
Grafik II.1. Perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)
Pertumbuhan konsumsi pemerintah di berbagai daerah di Sumatera juga relatif tinggi. Pada triwulan laporan, konsumsi pemerintah tumbuh 7,45% (yoy) jauh lebih tinggi dibanding realisasi triwulan sebelumnya yang hanya sebesar 1,67% (yoy). Peningkatan realisasi konsumsi pemerintah itu tercermin dari kontraksi simpanan Pemda di perbankan sebesar 30,6% (yoy) (Grafik II.2). Peningkatan konsumsi pemerintah terutama dipengaruhi oleh pencairan gaji ke-13 dan ke-14, dan peningkatan belanja rutin.
10
Grafik II.3. Perkembangan Likert Scale Kapasitas Produksi dan Investasi
Perbaikan perekonomian Sumatera diperkirakan terus berlanjut di triwulan III 2016 dan dapat tumbuh sebesar 4,6% (yoy). Pertumbuhan yang melebihi angka pada tahun 2015 diperkirakan akan ditopang oleh peningkatan konsumsi rumah tangga, investasi, dan alokasi belanja modal pemerintah seiring dengan realisasi proyekproyek infrastruktur yang berdampak kepada perbaikan kinerja investasi dan sektor konstruksi. Indikasi terkait proyek-proyek infrastruktur
tercermin dari tendensi meningkatnya impor besi dan baja Sumatera (Grafik II.4). Sementara itu, prospek membaiknya harga komoditas akan menopang perbaikan kinerja ekspor serta peningkatan produksi perkebunan dan kinerja industri pengolahan. Sejalan dengan hal tersebut, kinerja sektor pertambangan, khususnya batubara, membaik seiring dengan beroperasinya PLTU dan infrastruktur pendukung. Sumber: Bloomberg
Grafik II.5. Perkembangan Harga CPO dan Karet
Grafik II.4. Perkembangan Impor Besi dan Baja
Kinerja Lapangan Usaha Pertanian Peningkatan kinerja sektor pertanian di Sumatera pada triwulan II 2016 terutama ditopang oleh Panen perkebunan dan tanaman bahan makanan. Pada triwulan II 2016, kinerja pertanian di Sumatera tumbuh 4,17% (yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 3,67% (yoy). Peningkatan tersebut terutama bersumber dari perbaikan produksi perkebunan, terutama sawit, di sejumlah daerah yang disertai dengan membaiknya harga. Khusus untuk perkebunan kelapa sawit, penerapan 3 kebijakan B20 ternyata relatif efektif menjaga permintaan dan harga tanaman sawit (Grafik II.5). Selain itu, panen raya di sejumlah sentra pertanian, seperti di Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat turut mendorong peningkatan produksi pertanian Sumatera.
3
kewajiban pencampuran bahan bakar nabati (BBN) dalam solar sebesar 20 persen
11
Grafik II.6. Pertumbuhan Kredit Pertanian
Membaiknya kinerja pertumbuhan lapangan usaha pertanian diperkirakan akan berlanjut di triwulan III 2016. Walaupun terbatas, perbaikan harga komoditas perkebunan mampu mendorong optimisme perbaikan kinerja lapangan usaha pertanian. Optimisme ini tercermin dari relatif tingginya kredit sektor pertanian. Hingga akhir triwulan II 2016, kredit pertanian tumbuh hingga 21,40% (yoy), jauh meningkat dibandingkan ratarata penyaluran kredit pertanian di Sumatera selama 3 tahun terakhir yang sebesar 12,39% (yoy) (Grafik II.6).
Pertambangan Kinerja lapangan usaha pertambangan pada triwulan II 2016 masih terkontraksi. Lapangan usaha pertambangan mengalami kontraksi yang lebih dalam dibandingkan periode triwulan sebelumnya, yakni dari negatif 0,77% menjadi negatif 1,86% (yoy). Terkontraksinya lapangan usaha pertambangan dipengaruhi oleh terus menurunnya produksi minyak di Riau dan masih belum optimalnya perbaikan harga komoditas pertambangan, khususnya batu bara, dalam
memberi insentif produksi yang lebih tinggi. Kondisi ini diperkirakan masih akan berlanjut di triwulan III 2016 meski sedikit membaik seiring dengan potensi meningkatnya kebutuhan batubara domestik untuk kebutuhan energi.
Industri Pengolahan Lapangan usaha industri pengolahan tumbuh melambat, sejalan dengan masih terbatasnya permintaan ekspor luar negeri. Industri pengolahan pada triwulan II 2016 tumbuh lebih rendah menjadi 3,73% (yoy) dari sebelumnya sebesar 4,67% (yoy) pada triwulan I 2016. Perlambatan kinerja industri pengolahan juga tercermin dari survei liaison, yang menunjukkan tren pertumbuhan penjualan domestik dan ekspor yang masih berada di bawah rata-rata normalnya (Grafik II.7). Pada triwulan III 2016, kinerja lapangan usaha industri pengolahan diperkirakan mulai mengalami perbaikan, terutama ditopang oleh membaiknya permintaan CPO. Hasil liason juga mengkonfirmasi optimisme pengusaha terhadap prospek peningkatan sektor industri pengolahan di triwulan III 2016 yang menunjukan adanya prospek perbaikan penjualan hasil industri yang tercermin dari peningkatan likert scale dari 0,38 menjadi 0,65.
Peningkatan tersebut terutama didorong oleh perbaikan daya beli masyarakat seiring dengan momentum bulan Ramadhan yang jatuh di triwulan II dan Idul Fitri di awal bulan Juli 2016, pencairan gaji ke-13 dan ke-14 serta terkendalinya inflasi dan nilai tukar. Peningkatan aktivitas perdagangan pada triwulan II 2016 itu terindikasi dari perkembangan aktivitas kliring yang yang menunjukkan peningkatan 30% (yoy) rata-rata volume transaksi kliring, jauh lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang hanya sekitar 20% (yoy) (Grafik II.8).
Grafik II.8. Perkembangan Kliring
Pada triwulan III 2016, lapangan usaha perdagangan diperkirakan tumbuh lebih lambat. Telah selesainya perayaan lebaran dan Idul Fitri serta pemangkasan anggaran Pemerintah, khususnya terkait dengan kegiatan perjalanan dinas dan rapat, diperkirakan akan menahan pertumbuhan lapangan usaha perdagangan. Selain itu, pelaku hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) juga memproyeksikan terjadinya penurunan kegiatan usaha perdagangan di triwulan III 2016. (Grafik II.9).
Grafik II.7. Likert Scale Penjualan Domestik dan Ekspor
Perdagangan Perbaikan kinerja lapangan usaha perdagangan pada triwulan II 2016 sejalan dengan peningkatan konsumsi rumah tangga. Sektor perdagangan tumbuh dari 5,05% (yoy) menjadi sebesar 6,16% (yoy) pada akhir triwulan II 2016.
12
Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha
Grafik II.9. Perkiraan Volume Perdagangan
Konstruksi Peningkatan aktivitas lapangan usaha konstruksi pada triwulan II 2016, sejalan dengan realisasi proyek-proyek infrastruktur pemerintah. Pada triwulan laporan, lapangan usaha konstruksi tercatat tumbuh 6,40% (yoy), lebih tinggi dari triwulan I 2016 sebesar 5,77% (yoy). Hasil SKDU mengkonfirmasi adanya peningkatan realisasi kegiatan usaha sektor bangunan selama triwulan laporan (Grafik II. 10).
simpanan giro dan deposito Pemda di perbankan Sumatera mengalami penurunan masing-masing sebesar 22,45% (yoy) dan 32,89% (yoy).
Sumber: TEPRA, 2016
Grafik II.11. Persentase Belanja Fisik Pemerintah Prov dan Kota/Kab hingga Juni 2016
Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha
Grafik II.10. Realisasi Kegiatan Usaha Bangunan
Ke depan, lapangan usaha konstruksi diperkirakan terus tumbuh sejalan dengan realisasi belanja infrastruktur pemerintah serta realisasi pembangunan proyek-proyek multiyears. Pertumbuhan lapangan usaha konstruksi juga tercermin dari hasil survei SKDU yang mengindikasikan terjadinya peningkatan. Secara keseluruhan, berlanjutnya pembangunan proyek infrastruktur terutama yang berskala besar di berbagai daerah di Sumatera menopang perbaikan kinerja lapangan usaha konstruksi.
Penyerapan belanja fisik paling tinggi terjadi di Sumatera Barat, sementara yang terendah terjadi di Sumatera Utara. Rendahnya serapan belanja fisik di Sumatera Utara terutama dipengaruhi oleh masih rendahnya realisasi belanja fisik Pemerintahan Kabupaten/Kota, yang mencapai hanya sebesar 17%.
Sumber: TEPRA, 2016
Grafik II.12. Indeks Kapasitas Fiskal Sumatera
Fiskal Daerah Serapan belanja Sumatera hingga Juni 2016 menunjukkan perbaikan terutama pada serapan belanja rutin. Perbaikan penyerapan belanja daerah terutama didorong oleh realisasi pembayaran gaji ke-13/14. Sementara realisasi belanja fisik sampai dengan akhir triwulan II 2016, baru mencapai 21,21%. (Grafik 11.11). Seiring dengan peningkatan realisasi belanja APBD, simpanan pemerintah pada perbankan di Sumatera mengalami penurunan. Pada juni 2016,
13
Beberapa hal yang menjadi kendala serapan belanja fisik di daerah antara lain sulitnya pembebasan dan/atau pengadaan lahan, belum disahkannya RTRW, dan terbatasnya sumber pembiayaan APBD. Terkait dengan pembiayaan APBD, Aceh, Riau, Kepulauan Riau, dan Kepulauan Bangka Belitung memiliki indeks kapasitas fiskal yang relatif tinggi, yang artinya mimiliki potensi peningkatan peran APBD. Sementara Provinsi Bengkulu, Lampung, dan
Sumatera Utara memiliki indeks kapasitas fiskal yang lebih rendah.
Perkembangan Inflasi Inflasi wilayah Sumatera pada triwulan II 2016 tercatat lebih rendah. Pada triwulan II 2016, inflasi wilayah Sumatera tercatat sebesar 3,71% (yoy) menurun dari triwulan sebelumnya yang sebesar 5,71% (yoy). Penurunan laju inflasi tersebut terutama dipengaruh oleh terkendalinya harga pangan seiring panen tanaman bahan makanan di sejumlah daerah sentra produksi. Terkendalinya inflasi juga tidak terlepas dari intensifnya upaya pemerintah untuk menjaga kecukupan pasokan pangan di seluruh daerah serta minimalnya kendala distribusi sepanjang triwulan II 2016 (Grafik II.13). Menurunnya laju inflasi terjadi di hampir seluruh provinsi; dengan inflasi terendah terjadi di Riau (1,92%) dan Aceh (2,34%). Satu-satunya provinsi yang mengalami kenaikan inflasi adalah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang mencapai 6,21% pada akhir triwulan II 2016. Lebih tingginya inflasi di provinsi tersebut terutama dipengaruhi oleh kenaikan harga cabai merah, bawang merah, daging ayam ras, dan daging sapi. Kenaikan harga beberapa komoditas tersebut merupakan dampak tingginya ketergantungan provinsi ini terhadap pasokan dari provinsi lain. Secara umum, tekanan inflasi di Sumatera lebih dipengaruhi oleh kenaikan harga komoditas daging ayam dan beberapa aneka sayuran. Beberapa komoditas lainnya yang turut menyumbang tekanan inflasi adalah angkutan udara, rokok kretek, dan tarif listrik. Pada akhir triwulan III 2016, perkembangan inflasi di Sumatera diperkirakan tetap terkendali di level yang rendah, yakni sebesar 3,89% (yoy). Tingkat inflasi pada Juli 2016 masih relatif terbatas, yakni sebesar 0,89% (mtm). Terjaganya pasokan pangan yang disertai berbagai langkah kebijakan untuk menjaga kecukupan pasokan pangan menjadi faktor positif bagi terkendalinya inflasi.
14
Grafik II.13. Perkembangan Inflasi
Stabilitas Keuangan Daerah Ketahanan Sektor Korporasi Kinerja Korporasi dan Penilaian Risiko Secara umum, kondisi keuangan korporasi di Sumatera masih relatif stabil. Hal ini sejalan dengan hasil liaison Bank Indonesia yang mengindikasikan bahwa perusahaan mulai mengalami perbaikan tingkat penjualan pada triwulan II 2016. Likert scale penjualan domestik mulai membaik dari semula negatif 0,19 menjadi positif 0,38, sementara likert scale penjualan ekspor walaupun masih negatif membaik dari negatif 0,98 menjadi negatif 0,61 (Grafik II.7). Hal yang sama juga ditunjukan oleh hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang mulai mengalami perbaikan dari negatif 0,05 pada triwulan I menjadi positif 16,82 pada triwulan II 2016. (Grafik II. 14). Pada triwulan II 2016, profitabilitas perusahaan mulai kembali mencatatkan perbaikan setelah sebelumnya sempat lebih rendah akibat penurunan harga komoditas utama (Grafik II.15). Perbaikan yang terbatas pada sektor korporasi, tercermin pula dari beberapa indikator keuangan jangka panjang (solvabilitas) maupun jangka pendek (likuditas). Indikator solvabilitas keuangan beberapa perusahaan, meskipun masih terbatas, mulai menunjukkan perbaikan (Grafik II.16). Membaiknya kondisi keuangan korporasi di Sumatera meningkatkan kemampuan korporasi dalam membayar utang. Rasio kemampuan membayar utang korporasi (debt service ratio)
menunjukkan penurunan, dari 24,64% menjadi 22,03%. Hal ini sejalan dengan membaiknya sektor perkebunan, perbaikan ditunjukkan oleh perusahaan yang bergerak di bidang agroindustri.
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.17. Perkembangan Kredit Korporasi
Grafik II.14. Realisasi Kegiatan Usaha
Sumber: Bloomberg & Laporan Keuangan BEI, diolah
Grafik II.15. Indikator Profitabilitas Korporasi
Penyaluran kredit perbankan kepada sektor korporasi melambat dari 11,23% (yoy) pada triwulan I 2016 menjadi 10,64% (yoy) pada triwulan laporan. Perlambatan terutama terjadi pada penyaluran kredit industri pengolahan, sementara kredit untuk sektor perdagangan justru mengalami peningkatan. Laju pertumbuhan kredit sektor industri pengolahan turun dari 7,38% di triwulan I 2016 menjadi 6,98% pada triwulan II 2016. Sebaliknya, pertumbuhan kredit sektor perdagangan mengalami peningkatan menjadi 2,86% dari triwulan setelah sebelumnya sempat terkontraksi 1,94%. Lebih lanjut, pertumbuhan kredit sektor pertanian masih relatif tinggi, yakni sebesar 34,79%; walaupun sedikit melambat dibanding triwulan sebelumnya yang tumbuh 35,59% (Grafik II. 17).
Grafik II.16. Indikator Solvabilitas Korporasi
Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi Penurunan suku bunga kredit belum diikuti peningkatan penyaluran kredit korporasi. Suku bunga kredit tercatat menurun dari 10,02% di triwulan I menjadi 9,76%. Penurunan suku bunga ini terjadi baik pada semua jenis penggunaan.
15
Grafik II.18. Perkembangan DPK Korporasi
Di tengah perlambatan kredit korporasi, peningkatan rasio nonperforming loans (NPL) sektor korporasi masih terjaga dalam batas aman. NPL pada triwulan II 2016 mengalami
peningkatan menjadi 2,49% dari 2,43% pada triwulan I 2016. Secara sektoral, peningkatan NPL ini terjadi pada sektor-sektor utama seperti pertanian, industri pengolahan, pertambangan, dan perdagangan. Namun demikian, keseluruhan rasio NPL masih terjaga di bawah 5%.
menjadi negatif 12,79% (Grafik II. 20). Penurunan penyaluran kredit tersebut terjadi pada seluruh jenis kendaraan, terutama sepeda motor.
Ketahanan Sektor Rumah Tangga Pertumbuhan DPK perseorangan Sumatera pada triwulan II 2016 mencatatkan laju pertumbuhan yang cukup tinggi dari 7,61% (yoy) di triwulan I 2016 menjadi sebesar 14,10% (yoy) pada akhir triwulan II 2016. Peningkatan laju pertumbuhan terjadi pada semua jenis simpanan, dengan kenaikan tertinggi terjadi pada tabungan. Peningkatan ini diperkirakan sebagai akibat dari pembayaran gaji ke-13/14 PNS serta pencairan Tunjangan Hari Raya (Grafik II.19).
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.20. Perkembangan DPK Perbankan
Peningkatan pertumbuhan kredit rumah tangga relatif tidak meningkatkan risiko kemampuan rumah tangga dalam melakukan pembayaran cicilan. Hasil Survei Konsumen mengindikasikan porsi cicilan pinjaman masih relatif terjaga dalam batas aman (Tabel II. 2). Walaupun masih dalam batas aman, kenaikan risiko NPL seiring peningkatan pertumbuhan kredit sektor rumah tangga perlu diwaspadai. Pada posisi triwulan II 2016, rasio NPL sektor rumah tangga tercatat sebesar 3,66%; meningkat sedikit dibanding triwulan sebelumnya sebesar 3,61% (Grafik II.21).
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.19. Perkembangan DPK Perseorangan
Penurunan suku bunga dan membaiknya sektor rumah tangga mendorong peningkatan pertumbuhan kredit rumah tangga, khususnya untuk jenis kredit KPR dan multiguna. Kredit sektor rumah tangga (RT) di triwulan II 2016 tumbuh (yoy) 6,40%, lebih tinggi daripada triwulan sebelumnya sebesar 6,33%. Kredit Pemilikan Rumah (KPR) juga tumbuh meningkat, dari semula 5,32% menjadi 5,69%. Hal ini sejalan dengan hasil Survei Harga Properti Residensial (SHPR) yang mengindikasikan terjadinya peningkatan permintaan KPR/KPA di semua tipe rumah residensial. Peningkatan permintaan kredit kepemilikan rumah belum diikuti oleh kredit kepemilikan kredit bermotor (KKB) yang masih terkontraksi lebih dalam dari negatif 9,21%
16
Tabel II.2. Komposisi Pengeluaran Masyarakat
Sumber : Bank Indonesia
Grafik II.21. Perkembangan NPL
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Tabel II.3. Perkembangan Kredit UMKM gKredit NPL UMKM UMKM I-16 II-16 I-16 II-16 Aceh 10.22 14.42 10.00 9.44 Sumut 5.59 5.09 6.51 6.57 Sumbar 3.20 3.53 7.20 7.17 Jambi 8.28 8.94 5.35 5.23 Kepri 5.20 7.67 3.59 3.63 Riau (2.77) (1.59) 7.15 7.44 Sumsel 4.42 5.78 5.68 5.77 Lampung 11.20 17.20 4.06 4.17 Babel 15.47 15.05 5.94 4.99 Bengkulu 14.65 10.04 4.76 4.53 Prov
Suku Bunga UMKM I-16 II-16 13.78 13.41 13.47 12.88 13.72 13.3 14.34 13.93 12.16 11.96 14.12 13.71 14.42 14.01 14.66 14.35 14.21 13.81 15.26 14.75
Pada triwulan II 2016, walaupun masih di bawah angka pertumbuhan nasional, laju pertumbuhan kredit UMKM di Sumatera menunjukkan peningkatan. Secara tahunan, penyaluran kredit UMKM pada triwulan II 2016 mengalami peningkatan 6,40%, lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang hanya 5,42%. Peningkatan tersebut didorong peningkatan kredit ke perdagangan, yang memiliki porsi terbesar dari total kredit UMKM (54%), yang tumbuh meningkat dari 10,76% ke 11,77%. Sementara kredit UMKM ke pertanian yang memiliki porsi 20%, justru tumbuh lebih lambat yaitu 5,47%; menurun dibanding triwulan sebelummya 8,07%. Seiring dengan peningkatan penyaluran kredit, walaupun masih aman, peningkatan rasio NPL kredit UMKM tetap perlu diwaspadai. Secara spasial peningkatan rasio NPL kredit UMKM terjadi di Kepulauan Riau, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, dan Sumatera Utara (Tabel II.3).
Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah Sistem Pembayaran Non Tunai Sejalan dengan meningkatnya aktivitas sektor perdagangan, transaksi kliring di kawasan Sumatera pada triwulan II 2016 menunjukkan peningkatan. Secara nominal, pertumbuhan transaksi kliring meningkat dari 59,29% (yoy) pada triwulan I menjadi 71,85% (yoy) (Grafik
17
II.22). Hal ini sejalan dengan pertumbuhan volume warkat kliring, yang tumbuh meningkat dari 20,82% (yoy) pada triwulan I 2016 menjadi 30,05% pada triwulan II 2016. Berdasarkan pangsanya, Sumatera Utara memiliki porsi transaksi kliring terbesar, yakni 43,23% dari keseluruhan transaksi di Sumatera. Sementara Bengkulu dan Aceh memiliki porsi transaksi kliring yang terendah dengan total keduanya mencapai kurang dari 5% dari keseluruhan transaksi di Sumatera.
Pengelolaan Uang Rupiah Peningkatan arus uang kartal keluar (outflow) dari Bank Indonesia terutama didorong oleh momen liburan sekolah, puasa, dan perayaan menjelang Idul Fitri seiring dengan terjadinya peningkatan konsumsi. Arus keluar (Outflow) pada triwulan II 2016 tercatat sebesar Rp48,32 triliun, lebih tinggi dibandingkan arus keluar pada triwulan sebelumnya yang hanya Rp14,70 triliun, dan lebih tinggi dari triwulan yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp30,07 triliun. Di sisi lain, terjadi arus masuk (inflow) pada periode laporan sebesar Rp17,08 triliun, lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya Rp27,77 triliun, dan sedikit lebih tinggi dibanding triwulan yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp16,25 triliun. Pertumbuhan net outflow terjadi di seluruh provinsi di Sumatera, dengan level net outflow terbesar di Provinsi Sumatera Utara, Bengkulu, Riau, dan Kep. Riau dan yang terendah terjadi di Provinsi Sumatera Barat, Kepulauan Bangka Belitung, dan Sumatera Selatan (Grafik II.22). Sementara itu, temuan uang palsu (UPAL) di wilayah Sumatera terus mengalami penurunan. Temuan uang palsu pada triwulan II 2016 berjumlah 2.418 lembar atau menurun 28,14% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Berdasarkan porsinya, uang palsu paling banyak ditemukan di Lampung (52,07%), Sumatera Selatan (13,44%), dan Riau (12,99%) (Grafik II.23).
pertumbuhan tahun 2015 yang hanya sebesar 3,52%. Konsumsi rumah tangga dan investasi diperkirakan menjadi penopang pertumbuhan ekonomi tahun 2016. Sementara risiko melambatnya konsumsi pemerintah akibat pemotongan anggaran pemerintah serta masih terbatasnya pertumbuhan ekspor seiring belum kuatnya pertambangan, diperkirakan akan menahan pertumbuhan Sumatera lebih tinggi. Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.22. Aliran Uang Kartal
Sumber : Bank Indonesia Grafik II. 23. Temuan Uang Palsu (UPAL)
Pengembangan Layanan Keuangan Digital Ketersediaan layanan keuangan digital (LKD) bagi penduduk Sumatera menunjukkan peningkatan signifikan. Pada triwulan I 2016, terdapat 8.664 agen LKD di wilayah Sumatera atau sebesar 11,1% dari jumlah agen LKD secara nasional. Pada posisi triwulan II 2016, jumlah LKD di Sumatera telah meningkat mencapai 20.438 LKD. Provinsi dengan jumlah agen LKD terbesar adalah Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Riau. Secara spasial, kebutuhan LKD optimal telah terlampaui di seluruh provinsi, kecuali di wilayah Bengkulu.
Prospek Perekonomian Prospek Pertumbuhan Ekonomi Perekonomian Sumatera 2016 diperkirakan tumbuh sejalan dengan perkiraan sebelumnya. Secara keseluruhan tahun 2016, perekonomian Sumatera diperkirakan akan tumbuh pada kisaran 4,2%-4,7% (yoy), lebih tinggi dibandingkan
18
Dari sisi penawaran, lapangan usaha pertanian, industri pengolahan dan perdagangan diperkirakan akan tetap menjadi kontributor utama pertumbuhan. Lapangan usaha pertanian diperkirakan meningkat seiring dengan berbagai upaya pemerintah meningkatkan produksi Tabama melalui perbaikan infrastruktur pertanian. Selain itu, semakin besarnya prospek peningkatan harga CPO dan karet yang sejalan dengan menguatnya permintaan domestik diperkirakan mendukung proyeksi kenaikan laju pertumbuhan sektor pertanian, industri pengolahan dan perdagangan. Sementara itu, lapangan usaha konstruksi diprediksi tetap tumbuh stabil sejalan dengan realisasi proyekproyek infrastruktur pemerintah. Tabel II.4. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Indikator Makroekonomi Daerah PDRB (% YoY)
2016 2015
I
II
III*
2016 f
3.52
4.18
4.44
4.62
4,22-4,72
Aceh
(0.72)
3.66
3.54
3.52
2,90-3,40
Sumut
5.08
5.02
5.67
5.32
5,09-5,59
Sumbar
5.41
5.48
5.78
5.84
5,31-5,81
Riau
0.22
2.34
2.40
2.70
1,41-1,91
Jambi
4.21
3.42
3.57
4.11
4,83-5,33
Kep. Riau
6.02
4.58
5.40
5.84
6,08-6,58
Sumsel
4.44
4.94
5.13
5.50
5,17-5,67
Bengkulu
5.14
4.99
5.41
5.22
5,01-5,51
Lampung
5.13
5.05
5.21
5.43
5,46-5,96
Kep. Babel
4.05
3.30
3.67
3.96
4,07-4,57
Perbaikan ekonomi Sumatera tahun 2016 diperkirakan terjadi di hampir seluruh provinsi, kecuali Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka Belitung. Prakiraan perlambatan ekonomi Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka Belitung terutama disebabkan oleh risiko lemahnya kinerja industri manufaktur akibat belum
pulihnya permintaan perekonomian global dan relatif masih terbatasnya peningkatan harga komoditas timah, yang merupakan salah satu motor penggerak perekonomian Kepulauan Bangka Belitung (Tabel II.4).
distribusi sarana parasarana pertanian, serta terjaganya pasokan pangan. Berbagai faktor positif tersebut akan membawa inflasi Sumatera di akhir tahun berada di kisaran 4,3–4,8% (yoy), sedikit di bawah perkiraan triwulan lalu.
Prospek Inflasi
Meski demikian, faktor-faktor risiko peningkatan inflasi tetap perlu diwaspadai. Beberapa risiko tersebut antara lain adalah gangguan produksi akibat pergeseran musim tanam dan musim panen sebagai dampak dari La Nina, gangguan distribusi, serta gangguan produksi lainnya. Berkaitan dengan hal ini, perkembangan beberapa harga komoditas utama yang berpotensi mengalami inflasi akibat dampak La Nina seperti bawang merah, cabai merah, beras, perlu diwaspadai.
Inflasi Sumatera pada tahun 2016 diprakirakan tetap terkendali dan berada dalam rentang target inflasi nasional 4±1%. Beberapa faktor menjadi pendukung terkendalinya inflasi di Sumatera diantaranya realisasi program-program pembangunan infrastruktur pangan, perbaikan distribusi pangan serta berbagai upaya pemerintah dalam mendorong ketahanan pangan seperti perluasan lahan pertanian dan perbaikan
19
Boks 1 Pengantar Wilayah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), yang antara lain mencakup pulau Batam, Bintan, dan Karimun (BBK) merupakan salah satu wilayah yang memiliki peran strategis secara geografis maupun ekonomi terhadap perekonomian nasional. Secara geografis, Kepri berbatasan langsung dengan beberapa negara yaitu Vietnam dan Kamboja di sebelah utara, Malaysia dan Singapura di sebelah barat, serta Malaysia dan Brunei di sebelah timur. Provinsi Kepri dibentuk pada tahun 2002, meliputi Kota Tanjungpinang, Kota Batam, Kabupaten Bintan, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Lingga, dan Kabupaten Anambas; yang di dalamnya terdapat 2.408 pulau, dengan 19 di antaranya berada di wilayah terluar. Dari total wilayahnya, 95% merupakan wilayah laut yang membentang dari Laut China Selatan, Selat Malaka, dan Selat Karimata dan memiliki garis pantai sepanjang 2.368 Km. Dengan dukungan Batam, yang menyumbang 60% dari PDRB Kepri, provinsi ini mampu tumbuh lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi wilayah lain baik di Sumatera maupun Nasional.
Sumber: BPS
Grafik II.24. Pertumbuhan Ekonomi
Sebagai basis logistik dan operasi industri migas, pengembangan wilayah Batam telah dimulai sejak tahun 1970-an. Pada tahun 1973,
20
dibentuklah Lembaga Otorita Pengembangan Industri Pulau Batam untuk secara khusus mengelola pengembangan Batam. Selanjutnya, dalam perkembangannya, dibentuklah pemerintahan kota administratif untuk mendukung pengembangan Batam yang kemudian sejak 1999 telah diperluas kewenangannya sebagaimana pemerintahan kota lainnya. Ketidakjelasan kewenangan pengembangan Industri di Batam kemudian menjadi salah satu hambatan pengembangan Batam. Setelah beberapa kali mengalami perubahan, pada tahun 2016 melalui Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 2016, dibentuklah Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (PBPB) Batam yang diketuai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dengan anggota dari kementerian terkait, Gubernur Kepulauan Riau, Walikota Batam, dan Ketua DPRD Provinsi Kepulauan Riau.
Potensi Ekonomi Sekitarnya
Batam
dan
Sebagai Kawasan PBPB, dibandingkan provinsi lainnya, Batam memiliki beragam keunggulan yang tercermin dari keberadaan infrastruktur dasar yang relatif lebih baik, seperti pelabuhan laut, bandara, tenaga listrik, kawasan industri, jalan, serta perumahan bagi pekerja. Walaupun memiliki Batu Ampar sebagai pelabuhan laut utama yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan ekspor-impor, namun kapasitasnya yang hanya sekitar 800.000 TEUs, masih jauh tertinggal dibandingkan dengan kapasitas Port of Singapore (32 juta TEUs), Port Klang Malaysia (9 juta TEUs), ataupun Tanjung Pelepas Johor Baru Malaysia (10 juta TEUs). Jumlah pelabuhan yang dimiliki relatif lebih banyak dibandingkan wilayah lain. Selain Batu Ampar, beberapa pelabuhan lainnya antara lain adalah Sekupang, Teluk Senimba, Harbor Bay, Kabil, dan Telaga Punggur. Selain pelabuhan,
Batam juga memiliki salah satu bandar udara tersibuk di Indonesia, yaitu Bandar Udara Hang Nadim, yang mampu mengakomodasi sekitar 5 juta penumpang setiap tahunnya. Ketersediaan Infrastruktur kelistrikan dan air bersih di Batam juga relatif baik. Pasokan listrik tercatat mengalami surplus. PLN Batam mampu memasok listrik 412,3 MW sementara kebutuhan listrik pada saat puncak sebesar 362,7 MW. Begitu pula kebutuhan air bersih mampu dipasok dari sejumlah waduk. Walaupun saat ini, Batam telah memiliki 22 klaster kawasan industri yang bahkan beberapa di antaranya juga telah dilengkapi dengan perumahan pekerja, pemanfaatan optimal kawasan industri dimaksud masih belum tercapai. Tumpang tindih kewenangan perizinan, hambatan pembebasan lahan dan ketidakjelasan peruntukannya telah menjadi salah satu hambatan utama pengembangan Batam, terutama terkait dengan potensi besar yang dimiliki untuk pengembangan industri kemaritiman dan pariwisata. Batam memiliki potensi untuk menjadi pelabuhan transhipment internasional, area perikanan, destinasi pariwisata, serta pusat industri penunjang sektor kemaritiman seperti industri galangan kapal. Saat ini, pangsa ekspor kapal nasional Kepulauan Riau yang mencapai 90% pangsa nasional. Saat ini sekitar 47% ekspor komoditas utama Sumatera harus dilakukan melalui pelabuhan di Singapura. Pengembangan Batam sebagai pelabuhan transhipment internasional akan dapat mengurangi defisit neraca jasa Indonesia selain meningkatkan ekonomi regional sebagai dampak lanjutan peningkatan perdagangan dan aktivitas ekonomi kawasan Batam. Upaya menjadikan Batam sebagai pelabuhan berdaya saing tidak saja membutuhkan pelabuhan yang memenuhi kriteria, namun juga membutuhkan keberadaan infrastruktur galangan kapal, dukungan industri perkapalan dan komponennya serta industri pelayaran serta pembiayaannya.
Luas lautan yang membentang luas dari Laut China Selatan, Selat Malaka, dan Selat Karimata merupakan potensi besar bagi pengembangan sektor perikanan di Batam dan Kepulauan Riau. Potensi usaha kelautan dan perikanan tersebut ditaksir mencapai Rp150 triliun per tahun. Namun demikian, pemanfaatannya baru saat ini masih berada jauh di bawah potensinya. Dalam sektor kepariwisataan, Kep. Riau memiliki bentang laut dan pantai yang luas serta keindahan alam yang sulit ditandingi. Kepulauan Anambas telah dinobatkan sebagai pulau tropis terindah se-Asia (CNN, 2012). Lokasi Batam yang berbatasan langsung dengan beberapa negara seperti Singapura, Malaysia, Brunei, Vietnam, dan Kamboja menjadikan Kepulauan Riau sebagai wilayah yang memiliki daya saing pariwisata 4 tertinggi di Sumatera .
Tantangan Pengembangan Ekonomi Batam dan Sekitarnya 1. Terbatasnya kapasitas Pelabuhan Batu Ampar untuk mendukung perekonomian Batam dan Nasional. Selain skala ekonomi pelabuhan yang masih rendah dan fasilitas yang kurang kompetitif permasalahan empty backhaul turut menjadi kendala perkembangannya. 2. Terbatasnya infrastruktur Perikanan maupun pariwisata di Batam dan sekitarnya. Keterbatasan infrastruktur perikanan itu meliputi pelabuhan pendaratan ikan, ketersediaan dan kapasitas kapal-kapal, peralatan tangkap, penyimpanan dan pengolahan hasil perikanan. Sebagai ilustrasi, selain cold storage yang tersedia hanya dapat memenuhi 1,19% kebutuhan, sementara kapasitas utilisasi pengolahan ikan (UPI) di Kepulauan Riau juga masih relatif rendah. Keterbatasan infrastruktur pariwisata antara lain terlihat dari sulitnya akses dan lamanya waktu temputh menuju tempat wisata. Sebagai contoh, akses dan waktu tempuh ke 4
21
Hasil analisis Bank Indonesia
Kepulauan Anambas dan Natuna serta pengelolaan resort di Kepulauan Bintan yang masih belum memadai. 3. Tantangan pengembangan industri Batam. Saat ini, perkembangan industri di Batam lebih banyak merupakan kepanjangan tangan dari perusahaan-perusahaan yang berlokasi di Singapura dan Malaysia. Seluruh transaksi keuangan terjadi di luar wilayah Indonesia, sementara Batam hanya menjadi tempat lokasi industri dan pergudangan sebagai feeder pelabuhan di Singapura dan Malaysia.
Strategi Pengembangan Perekonomian Batam dan Sekitarnya 1. Potensi perdagangan internasional Indonesia melalui Selat Malaka yang mencapai 8 juta TEUs menciptakan peluang untuk menjadikan Batam sebagai salah satu Pelabuhan Ekspor Utama Indonesia berkapasitas internasional yang mampu menampung kapal-kapal berukuran besar. Untuk itu, diperlukan pembangunan pelabuhan ekspor dengan kapasitas yang lebih baik. Salah satunya adalah dengan mempercepat realisasi pembangunan pelabuhan Tanjung Sauh sesuai standar internasional, di samping perbaikan dwelling time. Selain itu, upaya memperdalam pelabuhan Batu Ampar dari 8 meter menjadi 15 meter perlu dilakukan agar bisa menampung kapal ukuran besar kemudian secara bertahap ekspor dapat dialihkan melalui pelabuhan Batu Ampar. 2. Peningkatan utilisasi pulau-pulau terluar di Kepulauan Riau yang tedapat di Selat Karimata, Laut Natuna, maupun Laut China Selatan sebagai daerah Perikanan Regional. Optimalisasi pemanfaataan area tersebut membutuhkan armada kapal ikan modern berkapasitas besar serta pembangunan pelabuhan perikanan di Natuna atau Anambas sebagai kawasan perikanan terpadu, di mana di dalamnya terdapat fasilitas penyimpanan ikan (cold storage), galangan kapal ikan,
22
ketersediaan energi, dan unit pengolahan ikan hasil tangkapan dan budidaya perikanan. 3. Pemanfaatan jaringan turis global dan dukungan sistem informasi dan pembayaran yang handal serta manajemen yang baik untuk pengelolaan kepariwisataan di Batam selain pemenuhan kebutuhan infrastrukturnya. 4. Pengembangan industri pelayaran dan galangan kapal perlu didukung dengan insentif perpajakan dan pembiayaan perbankan untuk meningkatkan daya saing industri nasional. Selain itu, diperlukan pengembangan industri penunjang serta kemudahan impor komponen. 5. Pemenuhan kebutuhan infrastruktur dasar baik pelabuhan, bandara, jalan sebagai bagian infrastruktur konektivitas, ketersediaan SDM yang memadai maupun ketersediaan energi yang mendukung daya saing industri. 6. Pengembangan Batam ke depan membutuhkan adanya sinkronisasi peraturan, perijinan, dan kewenangan antara otoritas pemangku kebijakan pengelolaan Batam. Pembentukan Dewan Kawasan PBPB Batam, diharapkan mampu mengatasi tumpang tindih kewenangan pengolaan Batam terkait dengan perijinan, perdagangan, dan investasi. Pengembangan kawasan Batam dan sekitarnya membutuhkan dukungan dan sinergitas para pihak termasuk Bank Indonesia. Upaya-upaya dimaksud meliputi peningkatan akses keuangan bagi masyarakat, mendorong kelancaran efisiensi sistem pembayaran dengan mewujudkan less cash society, menjamin ketersediaan uang Rupiah hingga daerah perbatasan, serta programprogram pengendalian inflasi dan pengembangan perekonomian lokal agar stabilitas perekonomian dan keuangan tetap terjaga sehingga mendukung ekonomi yang berkelanjutan.
Ekonomi berbagai daerah di Jawa pada triwulan II 2016 secara agregat tumbuh 5,73% (yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan I 2016 (5,31%). Meningkatnya pertumbuhan ekonomi Jawa terutama didorong oleh peningkatan konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah, serta membaiknya aktivitas perdagangan antar daerah seiring dengan momen Ramadhan. Hal tersebut berdampak positif pada kinerja lapangan usaha perdagangan dan industri pengolahan Jawa. Pada triwulan III 2016, perbaikan ekonomi Jawa diperkirakan masih berlanjut ditopang oleh menguatnya konsumsi rumah tangga dan membaiknya ekspor luar negeri serta meningkatnya belanja modal pemerintah dan pembelian impor barang modal sektor usaha. Lapangan usaha perdagangan, industri pengolahan dan konstruksi juga diperkirakan tumbuh lebih tinggi sebagai respons atas meningkatnya belanja rumah tangga dan pemerintah. Sementara itu, perbaikan kinerja pertanian lebih didorong oleh faktor pergeseran musim panen. Secara keseluruhan tahun, perekonomian Jawa pada 2016 diprakirakan tumbuh pada kisaran 5,6-6,0%. Di sisi inflasi, pada triwulan II 2016, tekanan inflasi berbagai daerah di Jawa relatif terjaga pada tingkat yang rendah. Realisasi inflasi Jawa di akhir periode triwulan II 2016 tercatat sebesar 3,14% (yoy) atau 0,96% (ytd), lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya 3,93% (yoy). Rendahnya tingkat inflasi pada triwulan laporan dipengaruhi koreksi harga energi (BBM dan TTL), serta terkendalinya inflasi pangan di tengah meningkatnya permintaan di masa Ramadhan. Pada triwulan III 2016, inflasi diperkirakan terus terjaga pada kisaran yang rendah meski sedikit mengalami kenaikan seiring adanya perayaan Idul Fitri dan tahun ajaran baru pada bulan Juli. Namun, menguatnya nilai rupiah serta intensifnya upaya pemerintah untuk menjaga kecukupan pasokan pangan diharapkan mampu meredam tekanan inflasi. Secara keseluruhan, inflasi tahunan Jawa pada 2016 diperkirakan berada di kisaran 3,35%-3,75% (yoy).
Pertumbuhan Ekonomi Pada triwulan II 2016, perekonomian Jawa tumbuh sebesar 5,73% (yoy) atau meningkat dibanding triwulan sebelumnya. Peningkatan pertumbuhan ekonomi terjadi di seluruh provinsi di Jawa dengan kenaikan tertinggi terjadi di Jawa Barat (5,88%), diikuti Jakarta (5,86%), dan Jawa Tengah (5,75%). Tabel III.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Jawa Provinsi
2014
Banten DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Jawa
5.47 5.87 5.09 5.24 5.16 5.86 5.57
I 5.51 5.54 4.91 5.64 4.26 5.09 5.20
2015 II III 5.21 5.90 5.33 6.12 4.94 5.02 5.06 5.00 4.63 5.33 5.23 5.53 5.15 5.51
IV 4.87 6.48 5.23 6.08 5.50 5.94 5.87
2015 5.37 5.88 5.03 5.44 4.94 5.44 5.45
Sumber: BPS dan Perkiraan Bank Indonesia
23
I 5.10 5.63 5.13 4.98 4.84 5.47 5.32
2016 II 5.16 5.86 5.88 5.75 5.57 5.62 5.73
IIIp 5.34 6.06 5.72 5.76 5.65 5.76 5.80
Sumber: BPS
Grafik III.1. Pertumbuhan Ekonomi Menurut Penggunaan
Peningkatan ekonomi berbagai daerah di Jawa pada triwulan II 2016 ditopang oleh konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah. Peningkatan ekonomi yang lebih tinggi juga didorong oleh meningkatnya ekspor terutama
perdagangan antar daerah seiring meningkatnya permintaan terkait Ramadhan. Momentum Ramadhan yang terjadi pada triwulan II 2016 menjadi pendorong utama peningkatan konsumsi rumah tangga. Hal ini sejalan dengan peningkatan Indeks Perdagangan Ritel (IPR) yang menunjukkan peningkatan transaksi perdagangan retail (Grafik III.2). Peningkatan konsumsi RT juga tercermin dari meningkatnya pertumbuhan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR). Disamping itu, tingkat inflasi yang terjaga pada level yang rendah dan stabil serta peningkatan optimisme konsumen yang tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumsi (IKK) turut menopang akselerasi pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan laporan.
Grafik III.2. Perkembangan KPR, KKB dan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)
Sumber: TEPRA, 2016
Grafik III.3. Perkembangan Realisasi Belanja Pemerintah
Konsumsi pemerintah juga mengalami kenaikan pertumbuhan pada triwulan II 2016. Hal ini bersumber terutama dari percepatan realisasi belanja pegawai pemerintah baik di tingkat Kab/Kota maupun Provinsi seiring dengan pencairan gaji ke-13 dan ke-14. Sementara itu,
24
kinerja investasi pemerintah dan swasta pada triwulan II 2016 cenderung stabil. Hal ini sejalan 5 dengan angka likert scale (LS) hasil liason di beberapa daerah industri di Jawa yang mengindikasikan peningkatan investasi swasta.
Grafik III.4. Perkembangan Investasi – Liaison
Sumber: Bea Cukai
Grafik III.5. Perkembangan Ekspor Luar Negeri
Kinerja ekspor wilayah Jawa tumbuh meningkat di triwulan II 2016 menjadi 7,23% (yoy), terutama didorong oleh perdagangan antar daerah. Meningkatnya permintaan domestik dari berbagai daerah di luar Jawa terutama untuk produk tekstil dan makanan-minuman. Perdagangan luar negeri meskipun masih terkontraksi tetapi telah relatif membaik. Perbaikan ekspor luar negeri ditopang oleh peningkatan ekspor manufaktur, khususnya komoditas alat angkut dan makanan-minuman dari Jawa Barat dan Jawa Timur. Di sisi lain, impor
5
Likert scale (LS) merupakan salah satu tools dalam statistic yang digunakan untuk menilai beberapa variabel/indikator. Skala LS adalah -5 untuk penurunan signifikan dan 5 untuk peningkatan signifikan.
tumbuh lebih tinggi akibat meningkatnya permintaan impor bahan baku tekstil dan baja. Dari berbagai indikator perekonomian, kinerja ekonomi Jawa di triwulan III 2016 diperkirakan dapat tumbuh sebesar 5,8% (yoy). Pada triwulan III, hampir seluruh provinsi di Jawa, kecuali Jawa Barat, akan sedikit mengalami pertumbuhan ekonomi. Masih kuatnya konsumsi rumah tangga, disertai penyerapan realisasi belanja investasi pemerintah, serta dampak dari pelonggaran kebijakan LTV/FTV dan ekpektasi positif pelaku usaha dalam merespon insentif pemerintah di bidang investasi, diperkirakan akan menopang pertumbuhan ekonomi Jawa di triwulan III 2016.
Industri Pengolahan Kinerja industri pengolahan pada triwulan II 2016 tumbuh relatif stabil sehingga masih menopang tumbuhnya perekonomian Jawa. Pada triwulan II 2016, industri pengolahan tercatat tumbuh 4,56% (yoy), atau stabil dibandingkan kinerja triwulan I 2016 yang juga tumbuh 4,56% (yoy). Berdasarkan hasil liaison, permintaan domestik menunjukkan peningkatan di tengah masih rendahnya permintaan ekspor luar negeri. Kondisi tersebut mampu menjaga tumbuhnya kinerja industri pengolahan pada triwulan II 2016.
Kinerja Lapangan Usaha Di sisi lapangan usaha, meningkatnya perekonomian Jawa pada triwulan II 2016 ditopang oleh lapangan usaha perdagangan dan konstruksi. Masuknya bulan Ramadhan mendorong konsumsi domestik tumbuh lebih kuat sehingga berdampak positif pada kinerja lapangan usaha perdagangan. Selain itu, realisasi proyek infrastruktur pemerintah dan membaiknya investasi swasta mendorong lapangan usaha konstruksi tumbuh lebih tinggi. Lapangan usaha industri pengolahan yang merupakan sumber utama pertumbuhan ekonomi Jawa juga tumbuh relatif stabil ditopang oleh membaiknya permintaan ekspor luar negeri dan perdagangan antar daerah.
Sumber: BPS
Grafik III.6. Pertumbuhan Lapangan Usaha Utama
25
Grafik III.7. Perkembangan Penjualan Pelaku Usaha (Likert Scale)
Kinerja industri pengolahan yang meningkat terutama terjadi di Jabar dan DKI Jakarta. Adapun sub-lapangan usaha yang mengalami peningkatan diantaranya industri alat angkut (mobil), makanan minuman dan tekstil. Perbaikan angka penjualan mobil baik domestik (7,6%;yoy) maupun ekspor (1,9%;yoy) turut memberikan dampak positif. Sementara itu, membaiknya kinerja industri makanan-minuman dan tekstil lebih didorong oleh kenaikan permintaan perdagangan antar daerah. Di sisi lain, permintaan ekspor luar negeri masih tumbuh terbatas seiring meningkatnya risiko pelemahan ekonomi global pasca referendum keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit). Pada triwulan III 2016, di tengah permintaan ekspor luar negeri yang diperkirakan masih tumbuh terbatas akibat masih tingginya ketidakpastian global dan berlanjutnya risiko pelemahan ekonomi global, kinerja industri
pengolahan diperkirakan tumbuh lebih tinggi, khususnya industri baja dan kendaraan bermotor. Hal ini didorong oleh ekspektasi membaiknya permintaan domestik dan kenaikan permintaan besi baja hasil produksi dalam negeri pada proyek infrastruktur pemerintah.
Konstruksi Lapangan usaha konstruksi tumbuh membaik pada triwulan II 2016 sebesar 4,18% (yoy). Perbaikan ini telah turut mendorong peningkatan kinerja industri baja. Tracking realisasi proyek infrastruktur pemerintah terus menunjukkan peningkatan, khususnya pembangunan jalan tol, pelabuhan dan bandara. Di sisi lain, pembangunan pabrik baru terindikasi meningkat, khususnya Provinsi Jawa Tengah. Pada triwulan III 2016, realisasi pembangunan infrastruktur pemerintah diprakirakan mendorong kinerja konstruksi tumbuh lebih tinggi. Selain itu, respons positif terhadap pelonggaran kebijakan LTV/FTV serta ekspansi beberapa pabrik (Jateng) berpotensi turut mendorong kinerja konstruksi.
Sumber: Asosiasi Semen Indonesia
Grafik III.8. Konsumsi Semen
Pertanian Pada triwulan II 2016, kinerja lapangan usaha pertanian menunjukkan kenaikan yang cukup tinggi dari sebelumnya tumbuh negatif sebesar 0,73% (yoy) menjadi tumbuh positif sebesar 2,63% (yoy). Kenaikan laju pertumbuhan ini terutama didorong oleh meningkatnya produksi tanaman bahan makanan (tabama) seiring berlangsungnya masa panen raya padi dengan
26
puncaknya pada April 2016. Kenaikan pertanian juga dipengaruhi oleh pergeseran panen ke triwulan II 2016 akibat dampak El Nino yang terjadi di akhir tahun 2015. Perbaikan kinerja lapangan usaha pertanian terkonfirmasi dari ekspektasi pertanian SKDU dan peningkatan pasokan padi sehingga berdampak pada deflasi komoditas beras di Jawa. Meskipun curah hujan di beberapa daerah relatif tinggi, namun hasil produksi masih dapat terjaga seiring meningkatnya luas areal tanam di sentra produksi.
Grafik. III.9. Perkembangan Lapangan Usaha Pertanian – Liaison dan SKDU
Pada triwulan III 2016, seiring dengan datangnya panen kelompok hortikultura, perkembangan kinerja lapangan usaha pertanian diperkirakan sedikit meningkat. Hal ini tercermin dari hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang menunjukkan potensi kenaikan tipis angka produksi dibandingkan triwulan II 2016. Namun demikian, risiko La Nina yang akan mencapai puncaknya pada Agustus-September tetap perlu diwaspadai untuk meminimalkan dampak kerusakan hasil panen.
Perdagangan Kinerja lapangan usaha perdagangan pada triwulan II 2016 menunjukkan peningkatan. Hal ini dipengaruhi oleh masuknya periode Ramadhan yang bergeser ke akhir triwulan II 2016 serta dampak dari libur sekolah. Peningkatan kinerja lapangan usaha perdagangan tercatat meningkat di hampir seluruh daerah di Jawa, kecuali Jawa Tengah dan DKI Jakarta.
Hasil Survei Perdagangan Eceran (SPE) menunjukkan pertumbuhan Indeks Penjualan Ritel (IPR) yang meningkat dari sebelumnya tercatat 6,46% menjadi 12,61% pada triwulan II 2016. Selain penjualan domestik, meningkatnya permintaan ekspor luar negeri di DKI Jakarta, Jatim dan Jabar turut menopang kinerja perdagangan. Penjualan Komoditas alat angkut dan perhiasan tumbuh meningkat pada triwulan ini. Kenaikan ekspor juga didorong oleh peningkatan permintaan ekspor ke Eropa khususnya komoditas perhiasan dan tekstil. Peningkatan penjualan ini tercermin dari hasil liaison yang tercatat membaik.
Jasa Keuangan Lapangan usaha jasa keuangan tumbuh meningkat pada triwulan laporan. Jasa keuangan tumbuh sebesar 14,02% (yoy), jauh lebih tinggi dibanding triwulan sebelumnya yang mencapai 10,28% (yoy). Kenaikan pertumbuhan jasa keuangan terjadi di seluruh daerah di Jawa, kecuali Yogyakarta. Perbaikan kinerja lapangan usaha jasa keuangan terutama ditopang oleh perbaikan sub lapangan usaha perbankan, yang memegang pangsa output terbesar jasa keuangan. Hal ini sejalan dengan perbaikan kinerja korporasi regional Jawa ini seiring dengan meningkatnya penyaluran kredit oleh perbankan dan terjaganya rasio NPL di bawah level 5% serta rasio LDR (likuiditas perbankan) yang stabil. Pendapatan hasil intermediasi perbankan pada triwulan II 2016 yang dihitung dengan metode FISIM (Financial Intermediation Services Indirectly Measured) tercatat meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan provisi atau komisi perbankan juga meningkat seiring sedikit membaiknya pertumbuhan kredit.
Grafik III.10. Pertumbuhan Indeks Penjualan Riil
Grafik III.12. Perkembangan FISIM Grafik III.11. Penjualan Domestik dan Ekspor (LS)-Liaison
Pada triwulan III 2016, kinerja lapangan usaha perdagangan diperkirakan terus meningkat. Hal ini terutama ditopang oleh terjaganya daya beli masyarakat di tengah tingkat inflasi yang relatif rendah. Hasil SKDU menunjukkan peningkatan ekspektasi kinerja perdagangan dari 3,90 SBT menjadi 7,20 SBT di triwulan III 2016.
27
Kinerja lapangan usaha jasa keuangan diperkirakan tumbuh melambat pada triwulan III 2016. Hal ini disebabkan oleh perkiraan masih terbatasnya pertumbuhan kredit di seluruh provinsi Jawa. Akibatnya, pendapatan perbankan dari jasa bunga, provisi dan komisi diperkirakan tumbuh lebih rendah dibandingkan triwulan II 2016.
Fiskal Daerah Realisasi belanja pemerintah daerah di Jawa pada triwulan II 2016 (29,61%) lebih tinggi dibandingkan triwulan I 2016 (10,04%) maupun triwulan II 2015 (22,18%). Peningkatan realisasi berasal dari belanja provinsi (33,40%) senilai Rp 49,11 triliun dan belanja kota/kabupaten (27,52%) senilai Rp73,37 triliun. Walaupun realisasi wilayah Jawa (29,61%) mengalami peningkatan, namun masih di bawah targetnya (45,33%). Tabel III.2. Target dan Realisasi Belanja Provinsi Banten DKI Jawa Barat
Tw II 20151 22,68 9,17 25,21
Jawa Tengah DIY
19,34 31,22
Tw II 20162 (target) (realisasi) 52,71 30,94 5,35 29,18 51,46 29,48 48,53 51,73
24,86 35,19
Jawa Timur 25,23 55,77 Jawa 21,02 45,33 Sumber: TEPRA (diolah) 1 Data 6 provinsi dan 98 kota/kabupaten 2 Data 6 provinsi dan 104 kota/kabupaten
32,94 29,61
Grafik III.13. Persentase DPK Pemda di BPD
Sumber: TEPRA (diolah)
Grafik III.14. Realisasi Pendapatan Provinsi
Berdasarkan disagregasi wilayah, realisasi belanja APBD terbesar pada Daerah Istimewa Yogyakarta (35,19%) senilai Rp4,94 triliun. Kenaikan belanja ini didorong realisasi belanja tidak langsung
28
terutama belanja pegawai dan belanja hibah. Sedangkan realisasi belanja paling kecil pada Provinsi Jawa Tengah (24,86%) disebabkan realisasi belanja modal yang belum optimal seiring masih rendahnya angka pembebasan lahan proyek, khususnya Jalan Tol dan Bandara. Kenaikan realisasi belanja Pemda sejalan dengan penurunan persentase simpanan Pemda di BPD, dari 60,72% (Rp124,79 triliun) pada triwulan II 2015 menjadi 52,89% (Rp 101,68 triliun) pada triwulan II 2016. Penurunan persentase terutama berasal dari giro, dari 51,05% (Rp177,97 triliun) menjadi 20,60% (Rp35,32 triliun). Sementara itu, realisasi pendapatan provinsi wilayah Jawa pada triwulan II 2016 (36,22%) meningkat dibandingkan triwulan I 2016 (18,81%). Penurunan pendapatan (yoy) terbesar dialami DKI Jakarta (-26,89%) disebabkan masih rendahnya pajak daerah, khususnya retribusi jasa akomodasi.
Perkembangan Inflasi Tekanan inflasi Jawa pada triwulan laporan relatif terjaga seiring terkendalinya harga pangan di tengah menguatnya permintaan di periode Ramadhan. Kondisi ini tercermin dari tingkat inflasi (yoy) sebesar 3,14%, lebih rendah dibandingkan realisasi triwulan sebelumnya sebesar 3,93%. Pencapaian inflasi tersebut juga lebih rendah dibandingkan tingkat inflasi nasional sebesar 3,45%. Laju inflasi kalendar (ytd) wilayah Jawa tercatat sebesar 0,96%, jauh di bawah angka historis lima tahun terakhir sebesar 1,71%. Rendahnya laju inflasi periode ini disebabkan oleh koreksi harga pada beberapa komoditas administered prices seiring penyesuaian harga energi ke bawah serta relatif terkendalinya harga pangan. Koreksi ke bawah harga energi (BBM dan TTL) pada awal periode triwulan II 2016 adalah sejalan dengan masih berlangsungnya tren penurunan harga minyak dunia. Dampak lanjutan dari penurunan harga BBM ini menyebabkan koreksi pada tarif angkutan dalam kota dan angkutan laut. Di sisi lain, tekanan
inflasi yang terjadi pada kelompok administered prices lebih bersumber dari penyesuaian tarif listrik untuk kelompok 3.500 VA.
perhiasan seiring kenaikan harga emas dunia serta gula pasir karena rendahnya hasil rendemen tebu yang menyebabkan berkurangnya hasil produksi. Tabel III.3. Komoditas Penyumbang Inflasi dan Deflasi
Sumber: BPS (diolah)
Grafik III.15. Perkembangan Inflasi Jawa dan Nasional
Komoditas Inflasi Volatile Food 1 Daging Ayam Ras 2 Telur Ayam Ras 3 Wortel Administered Prices 1 Angkutan Udara 2 Angkutan Antar Kota 3 Tarif Kereta Api Core Inflation 1 Emas Perhiasan 2 Gula Pasir 3 Kontrak Rumah
qtq
andil qtq
10.93 8.22 62.84
0.10 0.04 0.03
16.22 1.82 0.17
6.62 1.89 0.09
3.59 12.60 0.53
0.04 0.04 0.02
Komoditas Deflasi Volatile Food 1 Cabai Merah 2 Beras 3 Cabai Rawit Administered Prices 1 Solar 2 Bensin 3 Tarif Taksi Core Inflation 1 Busi 2 Ban Luar Sepeda 3 Semen
qtq
andil qtq
(38.18) (0.69) (29.24)
(0.10) (0.02) (0.02)
(8.85) (6.84) (2.94)
(6.16) (5.57) (1.51)
(0.12) (0.59) (1.05)
(0.04) (0.02) (0.01)
Sumber: BPS (diolah)
Tabel III.4. Perkembangan Inflasi Spasial Provinsi
Sumber: BPS (diolah)
Grafik III.16. Disagregasi Kelompok Inflasi
Sementara itu, inflasi pangan relatif terkendali di tengah menguatnya permintaan di masa Ramadhan. Masuknya masa panen raya beras dan hortikultura (cabe merah dan bawang merah) pada awal triwulan laporan mampu menahan tekanan inflasi selama triwulan II 2016. Selain itu, kebijakan impor bawang merah, bawang putih dan daging sapi beku turut menjaga ekspektasi masyarakat di beberapa daerah. Komoditas bawang merah dan cabai merah tercatat deflasi di bulan Mei dan Juni 2016. Selain itu, pelaksanaan operasi pasar murah untuk beberapa komoditas utama meliputi beras, daging sapi dan gula pasir juga turut menjaga terkendalinya harga. Tekanan inflasi pada beberapa komoditas yang masuk dalam kelompok inti relatif terjaga dibandingkan periode sebelumnya. Penguatan nilai tukar Rupiah mampu meredam gejolak kenaikan harga komoditas lainnya seperti emas
29
Jawa Barat Banten Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur DKI Jakarta Jawa Nasional
2014 IV 7.60 10.20 8.21 6.59 7.77 8.95 8.35 8.36
2016
2015 I 5.46 7.46 5.68 5.13 6.08 7.10 6.28 6.38
II 6.51 8.91 6.15 5.68 6.77 7.59 7.07 7.26
III 6.11 8.14 5.78 5.23 6.69 7.24 6.71 6.83
IV 2.73 4.29 2.73 3.09 3.08 3.30 3.12 3.35
I 3.78 5.70 4.21 3.69 3.71 3.62 3.93 4.45
II 3.22 3.78 2.96 2.94 2.93 3.08 3.14 3.45
Sumber: BPS (diolah)
Memasuki triwulan III 2016, tekanan inflasi masih terkendali pada tingkat yang rendah. Meningkatnya permintaan pada periode lebaran relatif dapat diimbangi oleh terjaganya pasokan pangan seiring intensifnya upaya pemerintah dalam menjaga kecukupan pasokan pangan. Tekanan inflasi di awal triwulan III 2016 bersumber dari kenaikan tarif transportasi umum dan beberapa komoditas bahan makanan. Hal ini sebagai dampak dari meningkatnya pola konsumsi masyarakat seiring berlangsungnya libur sekolah yang bersamaan dengan Idul Fitri. Selain itu, momentum tahun ajaran baru diperkirakan turut memberikan tekanan pada inflasi inti akibat adanya penyesuaian tarif biaya pendidikan. Dalam rangka upaya pengendalian inflasi di daerah, Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) melakukan berbagai kegiatan di masing-masing provinsi. Sebagai contoh, upaya TPID dalam
menjaga kestabilan harga menjelang Lebaran 2016, secara umum dilakukan melalui kegiatan penyelenggaran Pasar Murah. Komoditas utama yang menjadi target operasi di seluruh provinsi antara lain beras, daging sapi dan gula pasir. Selain itu, komoditas daging ayam ras, telur ayam ras dan minyak goreng turut menjadi target operasi murah di beberapa provinsi di Jawa. TPID se-Jawa juga telah menindaklanjuti arahan presiden pada Rakornas TPID 2015 untuk menjaga kestabilan harga di tingkat daerah.
Sumber: BPS (diolah) dan Bank Indonesia
Grafik III.17. Inflasi dengan Perkiraan Harga 3 bulan Survei Konsumen
Stabilitas Keuangan Daerah Ketahanan Sektor Korporasi Kinerja korporasi di Jawa pada triwulan I 2016 menunjukkan adanya perbaikan. Hal tersebut tercermin dari rasio rentabilitas korporasi yang mengalami peningkatan pada triwulan laporan, setelah pada triwulan sebelumnya mengalami perlambatan. Rasio rentabilitas korporasi yang mengalami peningkatan pada triwulan I 2016 turut mendorong peningkatan kinerja solvabilitas dan repayment capacity korporasi Jawa. Peningkatan rentabilitas korporasi Jawa tercermin dari peningkatan Return on Assets (ROA) dari 5,38 pada triwulan IV 2016 menjadi 5,43 pada triwulan I 2016. Sejalan dengan tingkat solvabilitas yang mengalami peningkatan pada triwulan I 2016, kemampuan korporasi dalam membayar pokok utang maupun beban bunga juga membaik. Kemampuan membayar bunga atau rasio Interest Coverage Ratio (ICR) korporasi Jawa pada triwulan I 2016 tercatat sebesar 4,31 atau meningkat dari triwulan IV 2016 yang tercatat sebesar 3,77. Peningkatan rasio ICR menunjukkan resiliensi korporasi Jawa di tengah tren ketidakpastian perekonomian global saat ini. Secara sektoral, peningkatan ICR koporasi Jawa tersebut terutama didorong oleh peningkatan ICR sektor industri kimia yang mengalami peningkatan ICR dari 1,97 pada triwulan IV 2015 menjadi sebesar 7,75 pada triwulan I 2016.
Untuk mendukung upaya pengendalian inflasi, diperlukan perbaikan infrastruktur dan tata niaga. Pembenahan kelembagaan basis produksi, distribusi dan penjualan saat ini dirasakan masih kurang memadai. Selain itu, rantai tata niaga beberapa komoditas pangan pun masih belum efektif. Namun demikian, upaya pemberian subsidi pertanian melalui kartu tani, kebijakan dan dukungan penyediaan lahan oleh pemerintah serta penyediaan infrastruktur penunjang produksi seperti cold storage dan saluran irigasi dinilai mampu mendorong perbaikan dari sisi produksi. Sementara itu, perluasan kerjasama antar daerah, penguatan peran Bulog dan BUMD serta pendirian Pusat Distribusi Agribisnis turut memberikan dampak positif terhadap efektifitas distribusi. Kondisi ini semakin diperkuat dengan dibangunnya Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) dengan berbagai fitur Sumber: Bloomberg pendukung. Hal ini dinilai dapat memberikan Grafik III.18. Perkembangan ROA dan ROE Korporasi percepatan akses mitigasi risiko inflasi bagi Pemerintah Daerah.
30
likuiditas korporasi Jawa pada triwulan I 2016 tercatat sebesar 1,59 atau meningkat dibandingkan triwulan IV 2016 yang sebesar 1,54. Namun demikian, peningkatan likuiditas korporasi dapat memberikan sinyal adanya sikap wait and see terhadap perkembangan ekonomi tahun 2016 sehingga korporasi menunda realisasi investasi. Sumber: Bloomberg
Grafik III.19. Perkembangan DER dan Solvability Ratio Korporasi
Sumber: Bloomberg
Grafik III.20. Perkembangan ICR dan Current Ratio Korporasi
Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Jawa, penyaluran kredit berdasarkan lokasi proyek turut mengalami peningkatan. Kredit di Jawa secara keseluruhan tumbuh (yoy) sebesar 8,52%, lebih tinggi dibandingkan triwulan I 2016 sebesar 8,21%; meski masih lebih rendah jika dibandingkan pertumbuhan kredit nasional (8,78%). Sektor korporasi menjadi pendorong utama peningkatan pertumbuhan kredit di tengah melambatnya pertumbuhan kredit sektor perseorangan.
Tabel III.5. Indikator Kinerja Korporasi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Subsektor Automotive & Components Food & Beverage Pulp& Paper Tobacco Manufacturers Cement Metal & Allied Products Chemicals Pharmaceuticals Textile, Garment Ceramics, Glass, Porcelain Plastics & Packaging Agregat Subsektor Automotive & Components Food & Beverage Pulp& Paper Tobacco Manufacturers Cement Metal & Allied Products Chemicals Pharmaceuticals Textile, Garment Ceramics, Glass, Porcelain Plastics & Packaging Agregat
ROA ROE TwIV TwI TwIV TwI 2015 2016 2015 2016 4.99 4.93 9.93 9.74 6.02 6.31 12.36 12.83 1.99 1.93 5.42 5.24 14.63 14.50 29.78 28.06 11.19 10.62 15.55 14.97 -8.23 -8.31 -19.45 -18.11 1.19 2.98 2.42 6.10 15.29 15.21 18.68 18.61 0.98 1.16 6.59 7.63 1.65 1.90 4.17 4.35 0.98 1.39 2.03 2.86 5.38 5.43 11.22 11.16 Current Ratio Inventory TO TwIV TwI TwIV TwI 2015 2016 2015 2016 1.40 1.40 2.26 2.25 1.84 1.97 2.22 2.32 1.39 1.49 0.89 0.93 2.50 2.45 0.76 0.72 1.98 1.86 3.44 2.34 0.72 0.73 0.64 0.72 1.30 1.09 1.11 2.54 4.10 4.08 1.63 1.49 0.81 0.80 1.27 1.29 1.68 4.20 1.41 2.95 0.99 1.01 1.74 1.86 1.54 1.59 1.30 1.30
DER TwIV TwI 2015 2016 0.97 0.91 1.00 0.96 1.72 1.67 0.71 0.72 0.39 0.43 1.05 1.06 1.03 1.11 0.22 0.22 5.47 5.51 1.53 0.26 1.05 1.00 1.01 0.96 Asset TO TwIV TwI 2015 2016 0.18 0.17 0.22 0.23 0.10 0.11 0.42 0.36 0.19 0.14 0.09 0.10 0.14 0.22 0.32 0.30 0.21 0.20 0.22 0.55 0.26 0.26 0.20 0.20
Sumber: Bloomberg (diolah dari 38 korporasi manufaktur Tbk di Jawa)
Sementara itu, rasio likuiditas (current ratio) juga mengalami peningkatan sejalan dengan peningkatan rentabilitas korporasi. Rasio
31
Grafik III.21. Pangsa Kredit Sektor Korporasi
Kredit korporasi triwulan II 2016 tumbuh (yoy) sebesar 10,91%, meningkat dibanding triwulan sebelumnya yang sebesar 9,58%. Peningkatan penyaluran kredit terjadi pada kredit modal kerja dan investasi, masing-masing sebesar 9,59% dan 14,36%; di atas pencapaian periode sebelumnya. Peningkatan kredit ini terutama didorong oleh sektor konstruksi, sejalan dengan percepatan pembangunan infrastruktur oleh pemerintah. Kredit ke lapangan usaha konstruksi, yang memiliki pangsa 7,4% dari total kredit korporasi, tumbuh meningkat pesat mencapai 24,93%. Sementara itu, kredit utama Jawa yaitu pada lapangan usaha industri pengolahan serta perdagangan besar dan eceran masih mengalami perlambatan. Masing-masing lapangan usaha
tersebut tercatat hanya tumbuh 6,81% 10,72% pada triwulan II 2016.
dan
pengolahan yang mencapai 3,88%, jauh lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya (2,87%).
Ketahanan Sektor Rumah Tangga Dana Pihak Ketiga Perseorangan di Perbankan
Grafik III.22. Penyaluran Kredit Sektoral Korporasi
Dana Pihak Ketiga (DPK) perseorangan tercatat mengalami peningkatan yang disumbang oleh peningkatan tabungan. Dengan pangsa mencapai 49% dari total DPK, tabungan yang pada triwulan II 2016 tumbuh 16,0% (yoy) mendorong pertumbuhan DPK secara keseluruhan. Sementara itu, deposito tumbuh negatif 2,1% (yoy). Hal ini mengindikasikan adanya shifting dari deposito ke tabungan yang mengindikasikan peningkatan preferensi masyarakat terhadap dana likuid.
Grafik III.23. Rasio NPL Kredit Sektoral Korporasi
Melambatnya penyaluran kredit korporasi industri pengolahan juga tercermin dari menurunnya rasio DER. Tingkat utang terhadap ekuitas pada akhir triwulan I 2016 mengalami penurunan menjadi 1,08; lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya sebesar 1,13. Ketidakpastian kontinuitas pertumbuhan permintaan ekonomi global ditengarai menjadi penyebab penurunan preferensi korporasi dalam menerima pinjaman di tengah perbaikan kinerja korporasi. Peningkatan penyaluran kredit korporasi diikuti pula dengan peningkatan risiko kredit, meski masih berada dalam kategori aman. Pada triwulan II 2016 ini, risiko kredit korporasi (NPL) meningkat menjadi 3,16%, lebih tinggi dari rasio NPL secara keseluruhan yang sebesar 2,89%. Menurunnya kualitas kredit korporasi terutama terjadi baik untuk kredit modal kerja maupun kredit investasi. Secara sektoral, peningkatan risiko kredit (NPL) terutama terjadi pada industri
32
Grafik III.24. Pertumbuhan DPK Perseorangan
Kredit Perseorangan di Perbankan Kredit rumah tangga tumbuh (yoy) melambat dari 7,95% pada triwulan I 2016 menjadi 6,83% pada triwulan II 2016. Perlambatan penyaluran kredit rumah tangga utamanya disumbang oleh kredit multiguna yang tumbuh melambat dari 17,18% ke 16,15% serta kredit kendaraan bermotor (KKB) yang tumbuh juga tumbuh melambat, dari 2,17% menjadi 0,82%. Perlambatan KKB utamanya disumbang oleh adanya kontraksi kredit kepemilikan truk dan kendaraan bermotor beroda enam atau lebih, yang mencapai negatif 55,37%. Meskipun demikian, kredit penjualan mobil roda empat pada triwulan II 2016 tumbuh membaik menjadi
4,97%, dari kuartal sebelumnya yang sebesar 4,44%. Penyaluran KPR mengalami peningkatan terutama didorong kenaikan permintaan KPR untuk perumahan tipe 22 s.d. 70. Kredit perumahan tipe 22 s.d.70 mencata pertumbuhan hingga 15,06%. Peningkatan permintaan kredit terkait properti itu sejalan dengan hasil Survei Harga Properti Residensial (SHPR) yang menunjukkan adanya peningkatan indeks harga properti di kota-kota besar di Jawa yang ditopang oleh kenaikan optimisme masyarakat untuk pembelian barang tahan lama, yang ditunjukkan oleh hasil Survei Konsumen (SK).
di seluruh tipe KPR, terutama pada tipe di atas 70.
Grafik III.27. Rasio NPL Kredit Rumah Tangga
Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah Sistem Pembayaran Non Tunai
Grafik III.25. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga
Grafik III.26. Perkembangan KPR
Risiko kredit rumah tangga mengalami sedikit peningkatan. Rasio NPL untuk kredit rumah tangga tercatat meningkat ke level 2,55%; sedikit lebih tinggi dari triwulan sebelumnya (2,51%). Kenaikan risiko kredit terjadi di semua jenis kredit rumah tangga, dengan kenaikan terbesar pada KKB dan KPR. Kenaikan risiko KKB didorong oleh peningkatan risiko kredit kepemilikan sepeda bermotor, sementara kenaikan risiko KPR terjadi
33
Jumlah transaksi kliring melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) pada triwulan II 2016 mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Volume transaksi SKNBI tercatat meningkat dari 24,3 juta transaksi menjadi 26,8 juta transaksi. Sementara berdasarkan nominalnya, transaksi SKNBI mengalami peningkatan 58,4% (yoy) menjadi Rp 961 triliun. Dari jumlah itu, lebih dari Rp 685 triliunnya bersumber dari DKI Jakarta, yang memiliki pangsa terbesar (68,5%) di Jawa. Peningkatan nominal SKNBI terjadi di seluruh wilayah Jawa, dengan pertumbuhan terbesar terjadi di Jawa Tengah (113,4%; yoy). Kenaikan yang besar terjadi tidak saja karena pola seasonal Ramadhan, melainkan juga disebabkan pembukaan caping atas SKNBI yang berlangsung sejak November 2015.
Grafik III.28. Volume Transaksi SKNBI
Grafik III.29. Nominal Transaksi SKNBI
Grafik III.30. Perkembangan Inflow dan Outflow
Pengelolaan Uang Rupiah Pada triwulan II 2016, wilayah Jawa mengalami net-outflow sebesar Rp76,6 triliun, berbeda dengan triwulan sebelumnya yang mengalami net-inflow. Nominal outflow mengalami peningkatan pertumbuhan (yoy) yang tinggi, dari 21,03% pada triwulan I 2016 menjadi 77,86% di triwulan II 2016. Sebaliknya, pertumbuhan inflow melambat cukup dalam menjadi 1,00% (yoy), setelah sebelumnya dapat tumbuh hingga 16,75% (yoy). Sesuai dengan pola historis netoutflow pada periode Ramadhan – Lebaran, maka net outflow yang terjadi ini dialami oleh seluruh provinsi di Jawa. Jumlah uang palsu (atau yang diragukan keasliannya) yang dilaporkan kepada Bank Indonesia pada triwulan kedua tahun 2016 tercatat sebanyak 25.410 lembar, turun dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencapai 43.402 lembar. Upaya mengantisipasi peningkatan uang palsu dan edukasi kepada masyarakat terkait ciri-ciri keaslian uang rupiah akan senantiasa ditingkatkan guna menekan peredaran uang palsu. Hal tersebut juga akan didukung oleh penguatan koordinasi dengan perbankan dan pihak berwajib mengenai penanganan laporan masyarakat terkait uang yang diragukan keasliannya.
34
Grafik III.31. Perkembangan Temuan Uang Palsu
Grafik III.32. Perkembangan Pemusnahan UTLE
Prospek Perekonomian Prospek Pertumbuhan Ekonomi Perekonomian berbagai daerah di Jawa secara agregat diperkirakan tumbuh di kisaran 5,6%6,0% (yoy) pada tahun 2016; lebih tinggi dibandingkan realisasi pertumbuhan tahun 2015. Komitmen pemerintah untuk terus merealisasikan proyek infrastruktur strategis dalam bentuk konsumsi dan investasi pemerintah, menjadi pendorong utama pertumbuhan. Di sisi lain, sejalan dengan perbaikan indeks keyakinan konsumen,
pertumbuhan konsumsi swasta, walaupun masih relatif terbatas, akan juga mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah Jawa. Ekspektasi membaiknya kinerja jasa konstruksi, industri pengolahan dan perdagangan di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur diharapkan menjadi pendorong utama perbaikan ekonomi Jawa. Tidak hanya itu, perbaikan ekonomi DKI Jakarta, khususnya yang terjadi pada sektor konstruksi dan industri pengolahan turut menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Jawa tahun 2016. Secara keseluruhan, membaiknya ekspektasi masyarakat dan pelaku usaha terhadap perekonomian domestik baik Jawa maupun non Jawa, diperkirakan mendorong perbaikan ekonomi melalui belanja masyarakat dan investasi, baik belanja infrastruktur pemerintah maupun upaya ekspansi sektor riil. Dari sisi permintaan, pertumbuhan diperkirakan didorong oleh peningkatan permintaan domestik. Meningkatnya kinerja konsumsi rumah tangga diperkirakan didorong oleh meningkatnya persepsi masyarakat terhadap kondisi perekonomian nasional yang mengalami perbaikan secara gradual pada tahun ini. Apresiasi nilai tukar, terjaganya inflasi pada tingkat yang rendah dan stabil, serta pelonggaran kebijakan moneter dan makroprudensial yang dilakukan oleh Bank Indonesia diperkirakan turut mendukung peningkatan kinerja konsumsi. Pengeluaran Investasi diprakirakan juga tumbuh meningkat didorong terutama oleh realisasi infrastruktur pemerintah, antara lain pembangunan tol Trans Jawa, bendungan, infrastruktur transmisi kelistrikan, serta berbagai proyek lainnya. Selain itu, kebijakan tax amnesty dan Paket Kebijakan Ekonomi pemerintah juga diperkirakan memberikan dorongan pada sektor properti swasta dan investasi sektor riil meski baru berdampak pada akhir tahun 2016. Dari sisi penawaran, akselerasi kinerja industri pengolahan dan perdagangan menjadi pendorong utama peningkatan pertumbuhan. Di semester I 2016, secara umum kinerja industri
35
pengolahan secara umum menunjukkan peningkatan menjadi lebih baik daripada periode yang sama tahun sebelumnya. Kinerja beberapa subsektor, seperti industri otomotif, logam, dan tekstil diperkirakan akan terus membaik. Subsektor industri makanan-minuman juga diperkirakan terakselerasi seiring dengan peningkatan kinerja konsumsi rumah tangga. Meningkatnya kapasitas produksi industri pengolahan yang terjadi seiring dengan meningkatnya produksi, juga didukung oleh implementasi paket kebijakan ekonomi yang memberikan kemudahan bagi investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Sementara itu, meningkatnya permintaan domestik juga mendorong peningkatan pertumbuhan lapangan usaha perdagangan. Tren penurunan suku bunga kebijakan moneter, yang kemudian akan ditransmisikan melalui suku bunga kredit perbankan, akan mendorong kinerja perdagangan retail domestik serta penjualan kendaraan bermotor. Sektor konstruksi diperkirakan tetap tumbuh stabil, ditopang terutama oleh realisasi proyek infrastruktur pemerintah. Walaupun demikian, potensi perlambatan dapat terjadi pada sektor pertanian karena terganggunya produksi akibat ketidakmenentuan kondisi cuaca hingga akhir tahun 2016, sebagai dampak La Nina. Di balik optimisme pertumbuhan ekonomi tersebut, masih terdapat risiko terhadap kinerja perekonomian Jawa di tahun 2016 ini. Walaupun upaya otoritas perekonomian negara-negara mitra dagang utama Jawa terus diarahkan untuk memulihkan kondisi ekonomi, nyatanya perbaikan perekonomian Jepang, Tiongkok, Amerika Serikat, dan Eropa relatif berjalan lambat. Pemulihan yang berjalan lambat tersebut berpotensi terus menekan kinerja ekspor luar negeri Jawa. Harga komoditas internasional yang masih rendah juga menekan kinerja perekonomian mitra Jawa dalam perdagangan antar daerah, yang sebagian besar berbasis sumber daya alam. Selain itu, risiko lebih rendahnya pendapatan pemerintah daripada
yang diharapkan, berpotensi terhadap realisasi pembiayaan proyek-proyek infrastruktur yang telah dicanangkan.
Prospek Inflasi Inflasi tahunan Jawa di penghujung tahun 2016 diperkirakan berada dalam rentang target inflasi 4±1%. Tingkat inflasi tersebut berada di kisaran 3,35%-3,75% (yoy), sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat inflasi di tahun 2015 yang hanya mencapai 3,12% (yoy). Tekanan inflasi terutama bersumber dari kelompok komoditas volatile foods terutama sebagai akibat potensi gangguan produksi akibat fenomena La Nina yang diperkirakan akan terjadi hingga penghujung tahun 2016. Selain itu, harga pakan ternak, terutama jagung dan kedelai, berpotensi meningkat yang berdampak lanjutan kepada harga daging dan telur. Tekanan pada inflasi administered prices berpotensi meningkat jika rencana kenaikan tarif listrik pelanggan 900 VA dilaksanakan pada bulan Agustus, Oktober,
36
dan Desember. Di sisi permintaan, peningkatan konsumsi masyarakat, terutama di akhir tahun, seiring dengan potensi perbaikan kondisi perekonomian Jawa akan mendorong demand pull inflation pada kelompok inflasi inti. Di sisi lain, potensi downside risk inflasi diperkirakan akan bersumber dari kelompok administered prices dan inflasi inti. Harga bahan bakar minyak yang terkoreksi di awal tahun serta masih rendahnya harga minyak internasional diperkirakan mendorong pemerintah untuk menurunkan tarif transportasi umum dan LPG. Selain itu, kebijakan tax amnesty yang dicanangkan oleh pemerintah pusat berpotensi mendorong capital inflow yang besar di semester II 2016, baik yang merupakan dana repatriasi maupun dana asing yang terdorong masuk akibat sentimen positif terhadap kebijakan pemerintah. Capital inflow tersebut berpotensi mendorong penguatan nilai tukar rupiah yang tertransmisi pada terjaganya tekanan kelompok inflasi inti.
Boks 2
Untuk mempertahankan dan mendorong daya saing ekonomi domestik di tengah pemulihan ekonomi global yang belum kuat, Pemerintah secara konsisten telah mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi Jilid I-XII. Dari rangkaian Paket Kebijakan transformasi struktural tersebut, diharapkan sektor riil dapat memperoleh insentif suku bunga, kemudahan berinvestasi, peningkatan daya saing serta perbaikan infrastruktur logistik dan listrik (Gambar III.33).
Sistem Pengupahan dan Pengamanan PHK) yang sudah dilengkapi dengan Juknis adalah perizinan tanah, pendirian usaha dan penghitungan tarif Upah Minimum Regional (UMR). Sebaliknya, paket kebijakan industri farmasi dan Alkes (Paket Kebijakan XI), masih kurang dipahami dan dimanfaatkan dunia usaha. Para pelaku usaha pada prinsipnya sangat mendukung setiap upaya pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah/pedesaan.
Gambar III.33. Paket Kebijakan Jilid I-XII
Berbagai kebijakan insentif yang telah diterbitkan Pemerintah, dalam implementasinya di daerah ternyata masih menghadapi beberapa kendala. Status daerah sebagai Daerah Otonomi menyebabkan beberapa kebijakan pemerintah pusat perlu, dalam implementasinya perlu dirumuskan kembali dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Untuk mengetahui sejauh mana para pelaku usaha memahami dan merespons Paket Kebijakan Pemerintah tersebut, Bank Indonesia telah melakukan survei langsung kepada para pelaku usaha di seluruh daerah di Jawa. Survei dilakukan pada bulan Juli dan melibatkan 150 responden.
Sumber: Survei Bank Indonesia (diolah)
Grafik III.34. Tingkat Pemahaman Isi Paket Kebijakan Jilid I-XII
b. Tingkat Pemanfaatan Pelaku Usaha Tabel III.6. Tingkat Pemahaman Isi Paket Kebijakan Jilid IXII No
Ya Tidak
No
88%
12%
VII
54%
46%
VIII
Kredit Usaha Rakyat (KUR)
50%
50%
IX
Percepatan Perizinan Tanah UMR IV Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) Revaluasi Aset V Pemb. Syari'ah
14% 100%
86% 0%
X
I
Kebijakan Inland Free Trade Arrangement (IFTA)
II Layanan 3 Jam
III
VI
KEK Tanjung Lesung Izin Impor Bahan Baku Farmasi
6%
94%
37%
63%
7%
93%
100% 5%
0% 95%
XI
XII
Kebijakan Insentif PPh 21 Industri Padat Karya Kepastian Usaha dan Investasi Industri Petrokimia Penggunaan Fasilitas Indonesia National Single Window (INSW) Keterbukaan Investasi Asing KUR Pelaku Ekspor (KURBE) Dana Investasi Real Estate (DIRE) Integrasi Jasa Pelabuhan Ketersediaan bahan baku industri farmasi & alkes Produksi Farmasi DN Kemudahan berusaha
Ya Tidak 11%
89%
100%
0%
41%
59%
25% 50%
75% 50%
4%
96%
25%
75%
7%
93%
4% 26%
96% 74%
Sumber: Survei Bank Indonesia, 2016 (diolah)
Temuan Hasil Survei a. Tingkat Pemahaman Paket Kebijakan yang dilengkapi dengan petunjuk teknis (juknis) memiliki tingkat efektifitas implementasi yang lebih baik dibandingkan dengan yang belum dilengkapi dengan Juknis. Dari Paket Kebijakan Jilid I (Mendorong Daya Saing Industri) dan Paket Kebijakan IV (Jaminan
37
Paket Kebijakan IV, VI dan VIII, yaitu penetapan Upah Minimum Regional (UMR), Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Lesung dan insentif investasi pada industri petrokimia tampaknya sudah lama ditunggu para pelaku usaha, tercermin dari tingkat pemanfaatan yang paling tinggi sebesar 100%. Industri pengolahan
sangat antusias dalam memanfaatkan fasilitas/insentif yang diberikan. Hingga akhir Agustus 2016, sebanyak 70% dari 38% responden survei yang memanfaatkan fasilitas/insentif pemerintah berasal dari Industri Pengolahan, sedangkan sisanya dari perdagangan dan jasa.
Selain itu, BKPM Daerah mengutarakan beberapa hal yang menjadi kendala dalam pelaksanaan kebijakan insentif investasi di daerah, yaitu: 1. 2. 3. 4.
Kewenangan Kab/Kota terbatas; Belum ada sosialisasi BKPM Pusat ke daerah; Pelaku usaha belum paham Juknis; Pengusaha tidak menyampaikan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM); serta 5. Keterbatasan jumlah SDM.
Sumber: Survei Bank Indonesia (diolah)
Grafik III.35. Pemanfaatan Paket Kebijakan oleh Pelaku Usaha
Kebijakan pemberian insentif pada Kawasan Inland Free Trade Arrangement (IFTA) direspons sangat baik terutama oleh industri tekstil dan kendaraan bermotor, karena efektif dalam meningkatkan daya saing produk ekspornya. Sementara kebijakan insentif penurunan tarif bea masuk bahan baku industri (Paket VI), jaminan ketersediaan bahan baku dalam negeri serta insentif biaya investasi industri farmasi (Paket XI), kurang diminati oleh kalangan Industri.
c. Penyelarasan Ketentuan Investasi Daerah Efektifitas pelaksanaan kebijakan pemerintah untuk mempermudah proses investasi di daerah sangat dipengaruhi oleh Perda yang selaras. Peraturan Kepala (Perka) BKPM No.14,15,16,17 Tahun 2015 yang terkait kemudahan ijin investasi daerah pada umumnya telah direspons dengan baik oleh BKPMPT/BKPM Daerah. Penyesuaian Perda yang selaras dengan cepat diselesaikan oleh 80% lebih responden (BKPMPT/BKPM Daerah). Perka diatas umumnya sudah dilengkapi dengan Juknis, kecuali Perka BKPM No.16. Respons tertinggi tindak lanjut BKPM Daerah terutama ada pada pengaturan perizinan dan non perizinan investasi daerah, khususnya di kawasan industri (Perka BKPM No. 15), seiring ditetapkannya target realisasi investasi daerah oleh BKPM Pusat.
38
Sumber: Survei Bank Indonesia (diolah)
Grafik III.36. Tindak Lanjut BKPM Daerah
Kesimpulan Secara umum, hasil survei mengindikasikan bahwa pelaku usaha, terutama sektor industri, memiliki ekspektasi positif pada insentif yang diberikan pemerintah melalui Paket Kebijakan Pemerintah Jilid I-XII. Berbagai kemudahan berinvestasi melalui layanan 3 jam, insentif investasi di bidang farmasi petrokimia, serta keterbukaan investasi asing telah dimanfaatkan sektor industri. Di sisi lain, kebijakan jaminan sistem pengupahan tenaga kerja, insentif PPh 21, perbaikan infrastruktur logistik, serta fasilitas bebas biaya impor bahan baku dan pajak di Kawasan Inland Free Trade Arrangement (IFTA) turut mendorong daya saing produk industri, khususnya tujuan ekspor. Ke depan, dibutuhkan sinergi antara Pemerintah Pusat dan Daerah guna mendorong efektivitas pelaksanaan Paket Kebijakan, khususnya di tingkat Kab/Kota. Perumusan juknis hinigga di level teknis semakin dibutuhkan, terutama sejak terdapatnya kecenderungan aliran investasi sektor industri ke beberapa Kabupaten.
Pertumbuhan ekonomi Kalimantan pada triwulan II 2016 melambat dibandingkan dengan triwulan I 2016. Perlambatan pertumbuhan ekonomi disebabkan rendahnya kinerja sektor pertanian dan industri pengolahan terutama akibat produksi produksi CPO dan LNG. Sementara itu, meskipun masih terkontraksi, kinerja sektor pertambangan mulai menunjukkan perbaikan. Perlambatan kinerja sektor ekonomi utama berdampak pada minimnya realisasi investasi selama periode laporan. Pada triwulan III 2016, pertumbuhan ekonomi Kalimantan diprakirakan mulai membaik, terutama didorong oleh realisasi belanja pemerintah dan meningkatnya kinerja ekspor. Sejalan dengan masih lesunya perekonomian, pada triwulan II 2016 tekanan inflasi Kalimantan menurun menjadi sebesar 4,87%, terutama bersumber dari turunnya tekanan inflasi volatile foods dan administered prices. Tekanan inflasi pada triwulan III 2016 diprakirakan kembali menurun dibandingkan triwulan II 2016 seiring dengan masih lesunya perekonomian Kalimantan. Sepanjang tahun 2016, inflasi Kalimantan diperkirakan lebih rendah dibanding tahun 2015, terutama ditopang oleh terkendalinya tekanan inflasi volatile foods dan inflasi inti. Namun demikian, risiko inflasi yang berasal dari kenaikan harga emas, tarif angkutan udara, dan kendala distribusi perlu diwaspadai.
Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi Kalimantan pada triwulan II 2016 melambat dibandingkan triwulan I 2016. Perekonomian Kalimantan pada triwulan II 2016 tumbuh 1,1% (yoy), atau lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencapai 1,4% (yoy). Perlambatan pertumbuhan ekonomi Kalimantan dipengaruhi oleh menurunnya pertumbuhan konsumsi pemerintah dan investasi. Di sisi lain, membaiknya konsumsi rumah tangga dan ekspor mampu menahan perlambatan ekonomi yang lebih dalam. Secara spasial, provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi, sementara Kalimantan Timur masih terkontraksi lebih dalam, dan hanya Kalimantan Tengah yang mengalami akselerasi pertumbuhan. Tabel IV.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Kalimantan Provinsi Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan
I 6.3 7.6 4.0 -0.2 2.0
II 4.1 7.1 3.3 -0.4 1.4
2015 III 4.6 6.9 3.9 -2.2 0.4
IV Total 4.3 4.8 6.6 7.0 4.1 3.8 -0.5 -0.9 1.4 1.3
2016 I II* 5.9 5.3 5.2 6.8 4.0 3.8 -1.3 -1.0 1.1 1.3
Pertumbuhan konsumsi pemerintah pada triwulan II melambat menjadi 2,5% (yoy) lebih
39
rendah daripada triwulan sebelumnya 4,4% (yoy). Hal ini tercermin pada realisasi belanja operasional pemerintah daerah yang menurun serta melambatnya pertumbuhan realisasi belanja Kementerian dan Lembaga di Kalimantan dari 57,8% (yoy) pada triwulan I 2016 menjadi menjadi 54,9% (yoy). Kinerja investasi pada triwulan II 2016 mengalami kontraksi lebih dalam menjadi negatif 5,8% lebih rendah daripada triwulan sebelumnya negatif 2,1%. Kinerja sektor pertambangan yang belum pulih mengakibatkan penurunan investasi nonbangunan yang dilakukan oleh korporasi sektor pertambangan. Hal ini dikonfirmasi oleh indikator investasi pada Likert Scale (LS) liaison dan Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang berada pada level rendah, khususnya untuk sektor pertambangan dan pertanian, indikator impor barang modal, serta kredit investasi yang tumbuh terbatas pada level 5,11% (yoy). Namun demikian, berlanjutnya proyek pembangunan pabrik pengolahan mineral alumina tahap II senilai Rp5,47 triliun dan kenaikan investasi bangunan pemerintah menahan perlambatan investasi lebih dalam pada
triwulan laporan. Kenaikan investasi bangunan yang dilakukan oleh pemerintah terindikasi dari meningkatnya pertumbuhan belanja modal pemerintah dari 24,5% (yoy) pada triwulan I 2016 menjadi 26,4% (yoy) pada triwulan II 2016. Hal itu sejalan dengan peningkatan konsumsi semen di Kalimantan. Di sisi lain, meski masih terkontraksi, kinerja ekspor Kalimantan juga cenderung membaik. Ekspor Kalimantan pada triwulan II 2016 terkontraksi lebih kecil yaitu hanya negatif 0,5% (yoy), tidak sedalam triwulan sebelumnya yang mencapai negatif 1,4% (yoy). Membaiknya kinerja ekspor disebabkan baik oleh kenaikan harga beberapa komoditas ekspor utama Kalimantan, antara lain minyak mentah, CPO dan karet, serta batubara, maupun kenaikan permintaan komoditas ekspor Kalimantan di negara tujuan ekspor seperti Tiongkok dan India. Kenaikan harga CPO didorong oleh penurunan stok minyak nabati dunia pasca fenomena El Nino, sementara perbaikan harga batubara didorong oleh peningkatan permintaan Tiongkok akibat menurunnya produksi domestik pasca adanya aturan pemotongan jumlah hari kerja. Sementara peningkatan permintaan di negara tujuan ekspor terindikasi dari perbaikan Purchasing Manufacturing Index (PMI) di kedua negara tersebut.
Ramadhan terutama terkait makanan dan layanan transportasi udara. Hal ini dikonfirmasi juga oleh tren peningkatan likert scale hasil liaison dan saldo bersih tertimbang (SBT) SKDU untuk sektor perdagangan pada triwulan II 2016. Kenaikan konsumsi rumah tangga juga terindikasi dari meningkatnya Indeks Tendensi Konsumen (ITK) di seluruh provinsi di Kalimantan dari 102,09 menjadi 106,83 serta perbaikan NTP dari 96,89 di TW I 2016 menjadi 97,36 di TW II 2016 yang berpotensi meningkatkan daya beli rumah tangga petani.
Grafik IV.2. LS dan SBT Perdagangan
Memasuki triwulan III 2016, pertumbuhan ekonomi Kalimantan diperkirakan membaik didukung oleh peningkatan konsumsi pemerintah, investasi dan ekspor. Pertumbuhan ekonomi triwulan III 2016 diproyeksikan sebesar 1,4% (yoy). Semua provinsi di Kalimantan diperkirakan akan mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi, termasuk Kalimantan Timur yang akan mulai tumbuh positif meskipun masih pada tingkat yang rendah.
Grafik IV.1. Ekspor Batubara Kalimantan Berdasarkan Negara Tujuan
Pertumbuhan ekonomi triwulan III 2016 akan ditopang oleh konsumsi pemerintah yang diproyeksikan tumbuh sebesar 3,1% (yoy), lebih tinggi dibanding triwulan sebelumnya sebesar 2,5% (yoy). Hal ini sejalan dengan prakiraan akan lebih optimalnya realisasi anggaran pada triwulan III 2016.
Konsumsi rumah tangga Kalimantan menunjukkan peningkatan pertumbuhan yaitu dari 4,2% (yoy) menjadi 4,6% (yoy). Peningkatan ini didorong meningkatnya konsumsi pada
Investasi diproyeksikan membaik meski masih mengalami kontraksi. Pada triwulan III 2016, kinerja investasi diproyeksikan tumbuh negatif 3,1% (yoy), membaik dibanding triwulan II 2016
40
yang tercatat negatif 5,8% (yoy). Perbaikan investasi tersebut didorong oleh realisasi proyek infrastruktur pemerintah pusat. Selain itu, upaya deregulasi birokrasi pemerintah melalui paket kebijakan dan tax amnesty juga diperkirakan akan mendorong laju investasi di wilayah Kalimantan. Kenaikan investasi juga bersumber dari pelunasan pembayaran kepada kontraktor pelaksana oleh pemerintah daerah atas pembangunan beberapa proyek infrastruktur pasca selesainya lelang proyek pada triwulan II 2016. Kegiatan investasi untuk pembangunan smelter alumina di Provinsi Kalimantan Barat dan smelter besi Provinsi Kalimantan Selatan diprakirakan masih akan terus berjalan. Namun demikian, investasi korporasi di sektor pertambangan diprakirakan masih belum pulih seiring masih terbatasnya permintaan komoditas global.
komoditas lain seperti CPO seiring peningkatan produksi tandan buah segar (TBS). Beroperasinya smelter alumina di Kalimantan Barat juga menjadi pendorong ekspor Kalimantan. Sementara itu, risiko penurunan ekspor LNG akibat terbatasnya feed gas diperkirakan berpotensi menahan laju pertumbuhan ekspor pada triwulan III 2016. Sementara itu, pertumbuhan konsumsi RT pada triwulan III diproyeksikan melambat menjadi 3,4% (yoy) dari 4,6% (yoy) di triwulan II. Hal ini terindikasi dari melambatnya Indeks Ekspektasi Konsumen, konsumsi makanan yang menurun pasca ramadhan, serta menurunnya konsumsi durable goods, seperti perumahan dan kendaraan bermotor. Sejalan dengan itu, penyaluran kredit untuk barang-barang tersebut diprakirakan mengalami perlambatan sesuai pola musimannya pasca periode Ramadhan – Lebaran.
Kinerja Lapangan Usaha Pertambangan
Grafik IV.3. Likert Scale Ekspor
Grafik IV.4. ITK dan Likert Scale Perdagangan
Ekspor Kalimantan triwulan III 2016 diproyeksikan mulai tumbuh positif setelah sempat terkontraksi pada triwulan II 2016. Ekspor diprakirakan tumbuh 0,1% (yoy) terutama didorong oleh ekspor batubara dan ekspor
41
Lapangan usaha pertambangan yang didominasi pertambangan batubara dan migas, masih terkontraksi tumbuh negatif 4,2% (yoy) pada triwulan II, tidak sedalam kontraksi pada triwulan sebelumnya yang tumbuh negatif 5,0% (yoy). Perbaikan kinerja batubara didorong oleh kenaikan permintaan Tiongkok seiring menurunnya produksi batubara disana karena aturan penurunan jumlah hari kerja buruh. Hasil liaison dan SKDU sektor pertambangan juga mengkonfirmasi perbaikan di sektor tersebut. Sementara produksi minyak dan gas masih tertekan seiring penurunan lifting. Memasuki triwulan III, kinerja sektor pertambangan diproyeksikan sedikit membaik meskipun masih terkontraksi sebesar negatif 4,1% (yoy). Hal ini didorong oleh peningkatan target produksi batubara sebesar 10,7% (yoy) karena adanya diversifikasi pasar dan peningkatan target Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 30%, seiring mulai beroperasinya smelter Galena secara optimal di Provinsi Kalimantan Tengah, dan smelter alumina dengan
target produksi 600.000 WMT di Provinsi Kalimantan Barat pada triwulan III 2016. Selain itu, perbaikan kinerja pertambangan juga akan didukung oleh kenaikan harga komoditas tambang yang diprakirakan mulai terjadi pada triwulan III 2016. Hal ini juga terkonfirmasi dari hasil SKDU dan LS liaison.
Grafik IV.5. Lifting Migas Kalimantan
Industri Pada triwulan II 2016, industri pengolahan mengalami perlambatan. Sektor industri melambat menjadi 5,0% (yoy) dari 7,8% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Perlambatan sektor industri terjadi di semua provinsi di Kalimantan. Hal ini disebabkan oleh perlambatan aktivitas industri CPO, LNG, karet, kayu dan kimia. Penurunan produksi LNG disebabkan oleh turunnya suplai gas alam. Salah satu korporasi gas utama di Kalimantan mencatatkan penurunan lifting gas sebesar 1,8% (yoy). Bahkan penurunan suplai gas tersebut juga berdampak pada penurunan produksi urea dan amoniak. Sementara perlambatan industri CPO disebabkan oleh penurunan berat buah sawit akibat el-nino. Hal ini terkonfirmasi dari penurunan produksi TBS, CPO dan kernel dari korporasi perkebunan utama di Kalimantan. Penurunan produksi industri karet disebabkan oleh mulai berlakunya kesepakatan antara Indonesia, Thailand dan Malaysia untuk melakukan pembatasan ekspor per 1 Maret 2016 sebagaimana tertuang dalam Agreed Export Tonage Scheme (AETS). Sementara itu, peningkatan kapasitas produksi smelter alumina di Provinsi Kalimantan Barat, kenaikan aktivitas industri BBM, yang terindikasi
42
dari kenaikan impor bahan baku minyak mentah di Provinsi Kalimantan Timur, serta selesainya pembangunan fase kedua pabrik semen di Kalimantan Selatan dengan kapasitas 3200 ton/hari, menjadi penahan perlambatan kinerja sektor industri. Memasuki triwulan III 2016, industri pengolahan Kalimantan diprakirakan masih tumbuh melambat menjadi 4,4% (yoy). Hal ini terindikasi dari masih berlanjutnya penurunan output industri LNG di Provinsi Kalimantan Timur dan hasil olahan karet di Provinsi Kalimantan Selatan, serta masih lemahnya investasi di sektor industri sebagaimana terkonfirmasi dari hasil LS liaison pada indikator investasi yang cenderung melambat. Sementara itu, pertumbuhan industri CPO dan smelter alumina belum mampu mendorong pertumbuhan industri pengolahan secara keseluruhan.
Grafik IV.6. Likert Scale Proyeksi Investasi
Pertanian Pada triwulan II 2016, lapangan usaha pertanian, kehutanan dan perikanan tumbuh melambat menjadi 1,2% (yoy), dari 2,0% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Hal ini dipengaruhi oleh penurunan produksi TBS pasca fenomena elnino 2015 dan masih rendahnya harga komoditas karet internasional. Namun, perlambatan lebih dalam tertahan oleh meningkatnya kinerja tanaman bahan makanan sejalan dengan penambahan luas tanam padi di Provinsi Kalimantan Barat melalui program cetak sawah yang dicanangkan oleh pemerintah. Selain itu, pergeseran musim panen dari triwulan I ke triwulan II 2016 akibat pengaruh el-nino juga
menjadi faktor pendorong kinerja tanaman bahan makanan. Pertumbuhan kinerja lapangan usaha pertanian, kehutanan dan perikanan pada triwulan III 2016 diproyeksikan membaik menjadi 2,6% (yoy). Perbaikan didorong oleh kinerja subsektor perkebunan, khususnya peningkatan produksi TBS sejalan dengan kenaikan harga CPO internasional. Perbaikan ini juga terkonfirmasi dari LS liaison untuk indikator proyeksi penjualan di sektor pertanian. Namun demikian, meningkatnya pertumbuhan sektor pertanian diperkirakan akan tertahan oleh menurunnya produksi tabama dan karet di Provinsi Kalimantan Selatan. Penurunan produksi karet masih akan terjadi tidak saja akibat implementasi kesepakatan AETS untuk membatasi ekspor hasil olahan karet, namun juga akibat harga karet dunia yang belum menunjukkan peningkatan yang menjadi disinsentif peningkatan produksi bagi petani karet.
semua provinsi. Hal ini tercermin dari belanja operasional Kalimantan pada triwulan II 2016 yang terkontraksi cukup dalam di seluruh provinsi. Kontraksi terdalam terjadi di Kaltimra akibat adanya rasionalisasi belanja daerah di tengah pendapatan DBH yang menurun. Tabel IV.2. Pertumbuhan Belanja Operasional APBD
Kalbar Kalteng Kalsel Kaltimra Kalimantan
g. Belanja Operasional (% yoy) Q1 '16 Q2 '16 Arah 29.01 -14.52 ↓ -23.70 -4.85 ↑ -16.50 -21.10 ↓ 67.75 -4.38 ↓ 11.63 -10.31 ↓
Di sisi lain, progres fisik pembangunan di Kalimantan membaik, dimana progres fisik pembangunan meningkat menjadi 33,0% atau lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Peningkatan terjadi di semua provinsi di Kalimantan, kecuali Kalteng. Peningkatan terutama didorong oleh lebih cepatnya realisasi belanja modal oleh Pemprov di Kalimantan. Realisasi belanja modal pada Tw II 2016 tercatat 26,4%, lebih tinggi dibandingkan triwulan lalu yang mencapai 24,6%.
Grafik IV.7. Nilai Tukar Petani
Fiskal Daerah Konsumsi pemerintah pusat di daerah juga tumbuh melambat. Pertumbuhan realisasi dana K/L di Kalimantan pada triwulan II melambat dari 57,8% (yoy) menjadi 54,9% (yoy), meskipun secara persentase realisasi anggaran Tw II 2016 lebih tinggi dibandingkan Tw II 2015 akibat penurunan pagu anggaran dari Rp35,6 triliun pada 2015 menjadi Rp32,4 triliun pada tahun 2016. Pada triwulan II 2016, pertumbuhan konsumsi pemerintah mengalami perlambatan hampir di
43
Grafik IV.8. Perkembangan Realisasi Fisik-APBD (%)
Dari sisi pendanaan, pendapatan fiskal cenderung stabil. Secara spasial, penurunan realisasi pendapatan di Kalteng dan Kaltimra terkompensasi dengan kenaikan realisasi pendapatan di Kalbar dan Kalsel. Berdasarkan sumbernya, penurunan realisasi pendapatan bersumber dari turunnya PAD yang
mengindikasikan dampak perlambatan ekonomi daerah.
Grafik IV.9. Pendapatan Daerah-APBD (%)
Perkembangan Inflasi Melanjutkan trend penurunan sejak awal 2015, Inflasi Kalimantan pada triwulan II 2016 tercatat sebesar 4,87% (yoy), atau lebih rendah daripada triwulan sebelumnya sebesar 5,07% (yoy). Secara spasial, inflasi (yoy) provinsi di Kalimantan berada di atas nasional (3,45%) kecuali Kalteng (3,13%). Inflasi tertinggi terjadi di Kalsel (5,88%), diikuti oleh Kalbar (5,25%), dan terakhir Kaltimra (4,61%). Apabila dibandingkan dengan pola historisnya, capaian inflasi provinsi di wilayah Kalimantan berada di bawah rata-rata 3 tahun terakhir, kecuali di Kalsel.
seiring kembali normalnya harga DOC dan pakan ayam. Inflasi administered prices mengalami penurunan dari 4,4% (yoy) pada triwulan I menjadi 3,9% (yoy) pada triwulan II. Penurunan tersebut dipicu selain oleh koreksi harga bensin dan solar pada 1 April 2016, juga oleh penurunan secara rata-rata, Tarif Tenaga Listrik (TTL) pada triwulan II. Namun, penurunan inflasi administered prices tertahan oleh kenaikan tarif angkutan udara akibat tingginya permintaan layanan angkutan udara dalam rangka umroh di Kalsel dan perayaan imlek & sembahyang kubur di Kalbar, serta kenaikan harga rokok akibat kenaikan cukai rokok. Di sisi lain, pada triwulan II 2016, inflasi kelompok inti mengalami peningkatan menjadi 4,51% (yoy) dari semula 4,48% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Capaian inflasi kelompok inti tertinggi terjadi di Kalsel sebesar 4,01% (yoy). Peningkatan inflasi inti didorong oleh kenaikan harga sewa rumah di Kalbar dan Kalsel akibat tingginya permintaan perusahaan sektor pertambangan yang memberikan fasilitas sewa rumah kepada pegawai serta pengenaan pajak sewa rumah kos dalam rangka optimalisasi PAD di Kalsel. Khusus di Kalsel, kenaikan inflasi inti juga disebabkan peningkatan harga kelompok komoditas makanan jadi, terutama nasi dengan lauk.
Grafik IV.10. Perkembangan Inflasi
Penurunan tekanan inflasi pada triwulan II 2016 terutama didorong oleh meredanya inflasi kelompok volatile foods (VF) dan inflasi kelompok administered prices. Secara umum, capaian inflasi VF Kalimantan berada di bawah level nasional (9,6% yoy) kecuali Kalbar. Pada triwulan II 2016, Inflasi VF turun menjadi 6,60% (yoy) dari 7,20% (yoy) pada triwulan sebelumnya, terutama didorong penurunan harga daging ayam ras
44
Grafik IV.11. Disagregasi Kelompok Inflasi
Memasuki awal triwulan III 2016, inflasi Kalimantan pada bulan Juli 2016 turun menjadi 3,92% (yoy). Pada akhir triwulan III 2016, inflasi di Kalimantan diperkirakan kembali menurun menjadi 4,50% (yoy). Penurunan tersebut, secara
spasial bersumber dari penurunan inflasi di provinsi Kalbar, Kalteng, dan Kalsel, masingmasing sebesar 4,46%, 2,94% dan 4,93% (yoy). Khusus Kaltim, inflasi diproyeksikan meningkat menjadi 4,68% (yoy). Penurunan inflasi triwulan III dipengaruhi oleh penurunan tekanan inflasi kelompok volatile foods dan stabilnya tekanan inflasi kelompok inti. Tekanan inflasi volatile foods diprakirakan akan berkurang pasca perluasan area peti kemas dan perbaikan distribusi logistik akibat rekayasa lalu lintas dari pelabuhan ke gudang, sebagaimana dilakukan di Kaltim, serta membaiknya distribusi barang melalui kapal seiring dengan penurunan gelombang laut. Sedangkan stabilnya tekanan inflasi inti sejalan dengan permintaan masyarakat terhadap durable goods dan pertumbuhan ekonomi yang tumbuh terbatas, di tengah terkendalinya nilai tukar Rupiah. Risiko inflasi Kalimantan terutama bersumber dari kelompok administered prices yaitu tarif listrik rumah tangga dan tarif angkutan udara. Tarif listrik rumah tangga pada bulan Juli dan Agustus tercatat lebih tinggi dibandingkan ratarata triwulan II 2016. Sementara, risiko peningkatan tarif transportasi udara diperkirakan bersumber dari kenaikan permintaan angkutan udara pada masa Idul Adha. Secara keseluruhan, inflasi kalimantan di tahun 2016 diprakirakan lebih rendah dibandingkan 2015 yaitu 4,08% (yoy), masih dalam kisaran sasaran inflasi nasional 4+1%. Secara spasial, penurunan inflasi (yoy) provinsi di Kalimantan di tahun 2016 diprakirakan bersumber dari Kalsel, Kalbar, Kaltim dan Kalteng masing-masing sebesar 4,82%, 4,61%, 3,73%, dan 3,00%. Penurunan tekanan inflasi 2016 diperkirakan bersumber dari koreksi harga BBM sebagai dampak dari penurunan harga minyak dunia, membaiknya produksi pangan sejalan dengan pembangunan dan revitalisasi irigasi untuk mendukung produksi pangan, serta koordinasi yang semakin kuat dalam TPID untuk merumuskan langkah-langkah strategi
45
pengendalian inflasi sebagaimana tertuang dalam Roadmad Pengendalian Inflasi. Namun, masih terdapat beberapa risiko inflasi di 2016, yang bersumber dari permasalahan infrastruktur logistik pangan, seperti gudang dan pelabuhan laut dalam, serta kenaikan tarif angkutan udara pada masa Idul Adha dan akhir tahun. Dari sisi eksternal, peningkatan harga emas internasional juga diperkirakan akan memberikan potensi tekanan terhadap inflasi inti di triwulan III 2016.
Koordinasi Pengendalian Inflasi Inflasi Ramadhan di Kalimantan lebih rendah dibandingkan rata-rata historis dalam lima tahun terakhir. Rendahnya inflasi Ramadhan tidak lepas dari berbagai upaya yang dilakukan TPID di masing-masing provinsi, antara lain: 1. TPID Kalbar: (i) Operasi pasar daging sapi bersama Bulog di pasar-pasar tradisional, (ii) Operasi pasar dan pasar murah di 7 kabupaten/kota, (iii) Pelaksanaan pasar pendamping di kantor SKPD, (iv) Perbaikan ruas jalan Sosok-Tayan untuk mempercepat akses distribusi pangan wilayah barat & timur Kalbar, (v) Pengelolaan ekspektasi dengan program komunikasi publik melalui media cetak dan media elektronik, serta (vi) Pelaksanaan sidak di gudang distributor utama untuk memastikan tidak ada penimbunan stok. 2. TPID Kalteng: (i) Penyelenggaraan pasar penyeimbang selama bulan ramadhan di dekat pasar utama, (ii) Operasi pasar daging sapi bersama Bulog di 14 kabupaten/kota, (iii) Penyaluran Raskin bersama Bulog di 14 kabupaten/kota, (iv) Pengaturan pasokan dari kandang dan kolam penyangga untuk memenuhi kebutuhan menjelang dan saat lebaran, (v) Pengelolaan ekspektasi dengan memanfaatkan media cetak dan talkshow di media elektronik, serta (vi) Pelaksanaan sidak di pasar utama Palangka Raya. 3. TPID Kalsel: (i) Operasi pasar dan pasar murah untuk komoditas beras, bawang merah, dan
daging sapi, (ii) Operasi pasar daging sapi bersama Bulog, (iii) Pengembangan klaster sapi potong untuk mengurangi pasokan daging sapi dari luar Kalsel, (iv) Pengelolaan ekspektasi melalui komunikasi intensif di media cetak dan media elektronik, serta (v) Pelaksanaan sidak gudang distributor utama untuk memastikan tidak ada penimbunan stok. 4. TPID Kaltara: (i) Penyelenggaraan pasar murah selama bulan Ramadhan di 15 kabupaten/kota; (ii) Penyaluran raskin bersama Bulog di 6 kabupaten/kota dengan jumlah penduduk kurang sejahtera terbanyak; (iii) Penambahan area peti kemas (2 ha) untuk menampung pasokan pangan dari Jawa; (iv) Pelaksanaan rekayasa lalu lintas untuk distribusi pangan dari pelabuhan ke area pergudangan, (v) Penguatan komunikasi publik di media cetak dan media elektronik, serta (vi) Pelaksanaan sidak di pasar utama Kota Samarinda.
Bahkan korporasi di sektor pertambangan batubara mampu bertahan di tengah rendahnya harga komoditas akibat lesunya permintaan global. Indikator asset turnover korporasi batubara terlihat mengalami rebound meskipun masih terbatas, sementara subsektor perkebunan kelapa sawit dan CPO cenderung stabil.
Grafik IV.12. Asset Turnover
Stabilitas Keuangan Daerah Ketahanan Sektor Korporasi Kinerja Korporasi dan Penilaian Risiko Perlambatan ekonomi Kalimantan pada triwulan II 2016 turut berdampak pada kinerja korporasi di Kalimantan. Penurunan kegiatan usaha, tercermin pada indikator rata-rata utilisasi kapasitas produksi hasil SKDU triwulan II 2016 yang turun menjadi 74,78% dari triwulan sebelumnya sebesar 86,04%. Penurunan kapasitas produksi terjadi pada sektor pertanian, pertambangan dan industri pengolahan yang secara rata-rata mengalami penurunan dari 83,6% menjadi 66,37%. Namun beberapa korporasi sektor utama di Kalimantan masih mampu menunjukan kinerja keuangan yang stabil sebagaimana terlihat dari beberapa indikator kinerja keuangan seperti produktivitas, profitabilitas, solvabilitas, likuiditas, dan repayment capacity yang mulai menunjukan gejala rebound meski terbatas.
46
Grafik IV.13. Current Ratio Korporasi Batubara
Grafik IV.14. Solvability Ratio Korporasi Batubara
Ketahanan korporasi batubara lebih baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek, sementara korporasi di subsektor perkebunan kelapa sawit dan CPO sekalipun memperlihatkan gejala kerentanan dalam jangka pendek, namun akan tetap mampu bertahan dalam jangka panjang. Hal ini terlihat dari indikator likuiditas
dan solvabilitas korporasi batubara yang semuanya di atas 1 (Tw I 2016=2,0), sementara korporasi CPO berada pada kisaran 1 untuk current ratio-nya.
Grafik IV.15. Current Ratio Korporasi CPO
Selain itu, dilihat dari kemampuan korporasi dalam membayar hutangnya (repayment capacity), korporasi batubara cenderung lebih baik dibandingkan korporasi yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit dan CPO. Indikator repayment capacity menunjukkan tendensi yang lebih baik, dimana Debt Service Ratio (DSR) semakin rendah dan Interest Coverage Ratio (ICR) meningkat.
Sedangkan indikator repayment capacity korporasi yang bergerak di perkebunan kelapa sawit dan CPO perlu diwaspadai mengingat relatif lebih tingginya rasio DSR dan masih rendahnya rasio ICR. Terkait dengan risiko mismatch, beberapa korporasi utama yang bergerak di pertambangan batubara saat ini tidak memiliki risiko mismatch khususnya currency mismatch karena utang luar negeri dan impor mampu diminimalisasi dengan adanya natural hedging yang bersumber dari pendapatan ekspor. Selain itu, jumlah utang luar negeri yang jatuh tempo di tahun 2016 tercatat relatif kecil (di bawah USD 1,5 juta). Sementara itu, korporasi utama di bidang perkebunan kelapa sawit dan CPO memiliki risiko currency mismatch yang lebih tinggi dan masih perlu diwaspadai.
Grafik IV.18. DSR & ICR Korporasi Perkebunan CPO
Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi
Grafik IV.16. Solvability Ratio Korporasi CPO
Grafik IV.17. DSR & ICR Korporasi Batubara
47
Secara keseluruhan, penyaluran kredit korporasi menunjukkan perbaikan yang tercermin dari pertumbuhan kredit yang kembali positif menjadi 0,2% (yoy). Sejalan dengan belum kuatnya prospek permintaan global komoditas pertambangan, pertumbuhan penyaluran kredit pada korporasi sektor pertambangan, masih mengalami kontraksi 12,5% (yoy), meski tidak sedalam triwulan sebelumnya. Sementara penyaluran kredit pada sektor utama lainnya tercatat tumbuh positif dengan kecenderungan yang meningkat seperti penyaluran kredit (yoy) pada sektor industri pengolahan dan perdagangan yang pada triwulan II 2016 masingmasing kembali terakselerasi sebesar 11,9% dan
0,5%, setelah sempat melambat pada triwulan yang lalu. Meskipun penyaluran kredit membaik, namun risiko penyaluran kredit korporasi di Kalimantan meningkat. Hal ini tercermin dari rasio nonperforming loans (NPL) yang naik, dari 5,3% menjadi 7,0% (Tabel IV.3). Kenaikan NPL terjadi di semua sektor utama di Kalimantan, kecuali perdagangan yang cenderung stabil. Secara spasial, NPL korporasi di Kalbar dan Kaltim yang banyak bergantung pada kinerja sektor pertambangan yang sedang mengalami kontraksi, menunjukkan peningkatan dan berada sedikit diatas threshold 5%. Secara agregat, terjadi peningkatan risiko terhadap stabilitas sistem keuangan yang bersumber dari korporasi di Kalimantan.
Fitri. Hal ini sejalan dengan hasil survei konsumen yang menunjukan peningkatan Indeks Keyakinan Kosumen (IKK) dan Indeks Kondisi Ekonomi (IKE) dibanding dengan triwulan sebelumnya. DPK Perseorangan di Perbankan DPK rumah tangga di Kalimantan pada triwulan II 2016 menunjukkan peningkatan yang didorong oleh peningkatan pertumbuhan giro dan tabungan. Sementara jenis DPK deposito masih terus mengalami perlambatan. Ditengarai, Rumah Tangga di Kalimantan melakukan liquidity profiling sebagai strategi berjaga-jaga dan pemenuhan keperluan likuidas dalam jangka pendek.
Grafik IV.20. Pertumbuhan DPK RT
Kredit Perseorangan di Perbankan Grafik IV.19. Perkembangan Kredit Korporasi Tabel IV.3. Perkembangan NPL Korporasi Tani Tambang Industri Dagang Transkom Jasa Konstruksi '16-I '16-II '16-I '16-II '16-I '16-II '16-I '16-II '16-I '16-II '16-I '16-II '16-I '16-II '16-I '16-II Kalsel 3.5 4.11 0.5 0.61 1.7 2.22 0.7 0.49 4.2 4.41 12.3 10.88 7.9 6.83 8.1 8.73 Kalbar 5.6 7.90 0.1 0.01 0.1 0.10 29.2 43.22 1.3 1.25 0.0 0.83 1.6 1.81 5.8 4.45 Kaltim 6.4 8.53 0.2 0.19 12.1 20.01 0.3 0.28 6.2 6.13 15.4 19.61 31.6 38.61 14.3 16.17 Kalteng 3.4 3.43 0.0 0.01 43.5 39.93 0.2 0.22 2.3 1.73 0.4 0.15 5.7 4.12 15.3 15.64 Kalimantan 5.3 7.00 0.1 0.12 10.4 16.28 6.9 10.67 4.6 4.58 11.9 13.88 23.2 26.13 12.2 13.32
Ketahanan Sektor Rumah Tangga Sumber Kerentanan dan Kondisi Sektor Rumah Tangga Di tengah perlambatan perekonomian Kalimantan hingga triwulan II 2016, sektor rumah tangga masih dapat meningkatkan konsumsinya menjadi 4.6% (yoy) yang didorong kebutuhan konsumsi selama ramadhan dan Hari Raya Idul
48
Pertumbuhan kredit sektor rumah tangga pada triwulan II 2016 cenderung stabil pada level yang rendah. Pertumbuhan paling tinggi terjadi pada kredit pemilikan rumah (KPR) sebesar 11% (yoy) terutama dipengaruhi oleh penyaluran kredit untuk pemilikan rumah tipe 21 s.d 70 yang merupakan bagian dari program subsidi pemerintah kepada pengembang perumahan sederhana atau dikenal sebagai program “sejuta rumah”. Sementara kredit pemilikan kendaraan mengalami kontraksi 21% (yoy), sebagai akibat dari penurunan daya beli seiring melambatnya perekonomian Kalimantan. Berdasarkan komposisi kredit, porsi kredit rumah tangga saat ini masih didominasi oleh kredit multiguna sebesar 58%, disusul kredit perumahan, kredit kendaraan dan kredit ruko masing-masing sebesar 29%, 10% dan 3%.
peningkatan outflow di Kalimantan ini sejalan dengan tren peningkatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga.
Grafik IV.21. Nonperforming loans (NPL) RT
Dari sisi kualitas kredit, kredit rumah tangga masih terjaga dengan NPL yang rendah (2%) serta rasio debt to service yang sehat yaitu 11,7%; jauh dibawah threshold DSR yang sehat sebesar 30% berdasarkan hasil Survei Konsumen. Secara spasial, DSR tertinggi ada di provinsi Kalteng dan Kalsel masing-masing sebesar 17,6% dan 13,3%.
Dalam memastikan ketersediaan uang layak edar di Kalimantan, Bank Indonesia memperluas jaringan distribusi dalam layanan kas antara lain melalui pengembangan Centralized Cash Network Planning (CCNP). Hingga triwulan II 2016, Bank Indonesia telah membuka 3 kas titipan baru di wilayah Kalimantan yaitu kas titipan Batulicin di Kalsel, kas titipan Tanjung Selor di Kaltara dan kas titipan Tanjung Redeb di Kaltim. Untuk jangka panjang (2015-2019), Bank Indonesia juga akan membuka kas titipan di beberapa titik seperti Kalbar (Putussibau), Kalteng (Purukcahu, Nangabulik, Buntok dan Kuala Kapuas), Kalsel (Batulicin, Tanjung, Barabai), Kaltim (Tanjung Redeb, Melak) serta Kaltara (Tanjung Selor, Tarakan, Malinau).
Grafik IV.22. DSR- Survei Konsumen
Lebih jauh, hasil Survei Konsumen yang dilakukan oleh Bank Indonesia di Kalimantan mengindikasikan penurunan pengeluaran konsumen untuk setiap kelompok komoditas. Konsumen juga memperkirakan bahwa pengeluaran tiga bulan yang akan datang sejak periode survei di triwulan II lebih rendah dibandingkan hasil survei pada triwulan sebelumnya.
Grafik IV.23. Perkembangan Outflow dan Inflow
Pengelolaan Uang Rupiah
Rasio Uang Tidak Layak Edar (UTLE) terhadap inflow tercatat mengalami peningkatan dari 32,5% pada triwulan I 2016 menjadi 41,41% pada triwulan II 2016. Hal ini mengindikasikan bahwa mayoritas uang yang masuk kembali ke sistem perbankan sesuai pola siklikalnya adalah uang layak edar.
Pengedaran uang kartal di Kalimantan selama periode triwulan II 2016 meningkat seiring dengan perayaan Idul Fitri. Kondisi ini terjadi di seluruh provinsi di Kalimantan. Jumlah uang yang diedarkan Bank Indonesia (outflow) di wilayah Kalimantan meningkat sebesar 46,80% (yoy), sementara jumlah uang yang masuk ke Bank Indonesia (inflow) turun 1,56% (yoy). Tren
Sementara itu, temuan uang palsu pada triwulan II 2016 turun dibandingkan triwulan sebelumnya. Total bilyet temuan uang palsu di Kalimantan tercatat sebanyak 673 bilyet atau 2,2% dari temuan uang palsu nasional. Penurunan temuan uang palsu tersebut terjadi di hampir semua provinsi di Kalimantan. Penurunan signifikan terjadi di Kalimantan Barat dari 1.036
49
bilyet pada triwulan I 2016 menjadi 233 bilyet pada triwulan II 2016. Berbagai upaya terus dilakukan Kantor Perwakilan Bank Indonesia di daerah dalam mencegah dan mengurangi peredaran uang palsu antara lain melalui kegiatan edukasi/sosialisasi tentang ciri-ciri keaslian uang Rupiah (Cikur), upaya mendorong pelaporan uang palsu oleh perbankan dan masyarakat serta kerjasama dengan pihak yang berwenang untuk mendorong Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) melalui program elektronifikasi dan keuangan inklusif.
Grafik IV.24. Perkembangan Pemusnahan UTLE
eksportir negara lain seperti Australia juga diperkirakan akan semakin ketat. Di sisi lain, sektor industri diperkirakan meningkat didorong oleh peningkatan produksi industri CPO pada semester kedua, sejalan dengan naiknya produksi sawit pasca El Nino. Industri LNG juga berpotensi membaik, meski masih dibayangi penurunan lifting gas. Perbaikan kinerja sektor industri juga akan ditopang oleh peningkatan produksi semen, pasca beroperasinya pabrik semen di Kalsel. Dari sisi permintaan eksternal, pertumbuhan ekspor secara agregat masih akan tertahan pada level negatif. Di sisi permintaan domestik, investasi masih akan mengalami tekanan seiring aktivitas sektor pertambangan yang belum sepenuhnya membaik sehingga pelaku usaha masih menahan diri untuk berinvestasi. Oleh karena itu, pertumbuhan investasi akan sangat bergantung pada realisasi proyek infrastruktur Pemerintah. Di sisi lain, konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah diprediksi akan mengalami peningkatan. Hal ini antara lain didorong oleh optimisme masyarakat terhadap kondisi perekonomian yang semakin membaik.
Prospek Inflasi
Grafik IV.25. Penemuan Uang Palsu
Prospek Perekonomian Prospek Pertumbuhan Ekonomi Perekonomian Kalimantan pada tahun 2016 diprakirakan tumbuh terbatas pada kisaran 1,0%1,5% (yoy). Rendahnya pertumbuhan Kalimantan terutama disebabkan masih terbatasnya pertumbuhan pertambangan akibat lemahnya permintaan dari eksternal. Produksi batubara diprakirakan belum akan meningkat sejalan dengan masih rendahnya kebutuhan batubara Tiongkok dan India. Selain itu, persaingan dengan
50
Inflasi Kalimantan pada tahun 2016 diprakirakan lebih rendah dari 2015. Inflasi Kalimantan 2016 diprakirakan berada pada kisaran 3,8%-4,2%. Kisaran prakiraan ini lebih rendah dari prakiraan pada periode sebelumnya. Secara spasial, penurunan inflasi dibandingkan tahun 2015 diproyeksi terjadi pada semua provinsi di Kalimantan. Penurunan inflasi terutama diprakirakan berasal dari kelompok volatile foods. Hal ini terkait optimisme terhadap pencapaian peningkatan produksi tanaman pangan, realisasi pembangunan dan revitalisasi irigasi pertanian serta penguatan koordinasi dan langkah strategis yang semakin baik dalam pengendalian inflasi pangan yang dilakukan oleh dinas teknis, sebagai bagian dari pelaksanaan roadmap pengendalian
inflasi daerah. Berbagai program tersebut juga akan diperkuat dengan komunikasi yang intensif agar ekspektasi inflasi masyarakat tetap terkendali. Di sisi lain, inflasi kelompok administered prices diperkirakan meningkat. Peningkatan tekanan diperkirakan berasal dari tarif angkutan udara yang akan meningkat pada periode perayaan Idul Adha dan akhir tahun. Namun, koreksi harga BBM sepanjang tahun 2016 sebagai dampak dari penurunan harga minyak dunia diharapkan mampu menahan kenaikan inflasi administered prices lebih lanjut. Selanjutnya, perlu diwaspadai risiko tekanan inflasi 2016 yang bersumber dari
51
tren peningkatan harga emas sejak bulan Mei 2016 serta kendala infrastruktur logistik yang berpotensi mengganggu kelancaran distribusi pangan dan mendorong proyeksi inflasi volatile foods menjadi lebih bias ke atas. Dengan adanya berbagai risiko tersebut, berbagai langkah konkrit harus ditempuh bersama dan terkoordinasi untuk mengendalikan inflasi di daerah. Hal ini sejalan dengan arahan Presiden dalam Rapat Koordinasi Nasional VII TPID, tanggal 4 Agustus 2016, terkait dengan hal-hal yang perlu dilakukan dalam pengendalian inflasi.
Boks 3
Pengantar Kondisi perekonomian Kalimantan masih belum mampu untuk bangkit kembali. Pada triwulan II 2016, ekonomi tumbuh 1,1 % (yoy) atau lebih rendah jika dibandingkan pertumbuhan periode yang sama tahun lalu yakni 1,4%. Melemahnya harga komoditas dan permintaan eksternal secara signifikan terus menekan ekspor Kalimantan yang sangat bergantung pada komoditas. Lebih dari 75% ekspor komoditas yang merupakan sumber utama pendapatan Kalimantan adalah batubara. Tidak dapat dielakkan, kondisi tersebut mulai berdampak kepada ketahanan pelaku ekonomi, baik korporasi maupun rumah tangga. Penurunan mulai terjadi pada berbagai indikator kinerja korporasi seperti profitabilitas, tingkat pengembalian, leverage dan risiko kredit. Sebagai akibatnya, berbagai indikator sosial memburuk seperti tingkat pengangguran terbuka dan kemiskinan yang mulai meningkat. Sektor pertambangan batubara di Kalimantan menjadi lapangan usaha terakhir bagi 22,7% pekerja yang tidak diperpanjang masa kontrak dan 16,88% bagi pekerja yang terkena PHK. Mayoritas latar belakang pendidikan tenaga kerja di Kalimantan yang didominasi oleh SD (45,5%) tidak memungkinkan mereka untuk berpindah ke sektor lain karena kurangnya keahlian yang dimiliki. Lesunya sektor pertambangan langsung direspons dengan peningkatan kemiskinan di semua provinsi di Kalimantan yang tercermin dari 6 peningkatan indeks kedalaman kemiskinan dan 7 indeks keparahan kemiskinan . Hilirisasi sektor pertambangan dipandang menjadi salah satu solusi untuk mengatasi tekanan ini. Berbagai upaya telah dilakukan 6
Ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan 7 Ukuran ketimpangan pengeluaran antar penduduk miskin
52
pemerintah untuk mendorong hilirisasi seperti kebijakan pelarangan ekspor mineral dalam bentuk mentah serta pengembangan kawasan industri dan kawasan ekonomi khusus di Kalimantan. RPJMN 2015-2019 menetapkan 4 kawasan industri prioritas di Kalimantan Selatan (Batu Licin dan Jorong), dua Kawasan di Kalimantan Barat (Ketapang dan Landak) dan rencana pendirian KEK Maloy serta satu kilang minyak di Kalimantan Timur. Namun, desain program hilirisasi sebaiknya juga mengarah pada diversifikasi struktur ekonomi di Kalimantan, sehingga akan mendorong terjadinya pola perdagangan antar daerah.
Perkembangan penyelesaian berbagai kendala struktural hilirisasi industri Sampai saat ini, program hilirisasi belum berjalan sebagaimana yang direncanakan. Terdapat beberapa kendala struktural antar lain minimnya infrastruktur pendukung, permasalahan lahan dan tumpang tindih perizinan lahan, rendahnya kualitas sumber daya manusia, inkonsistensi peraturan, serta ketidaksinambungan ketersediaan energi. Pembenahan infrastruktur dan penyediaan energi di Kalimantan tengah diupayakan pemerintah. Saat ini, pemerintah sedang melakukan pembangunan empat pembangkit dan empat jalur transmisi guna mengatasi defisit energi listrik sebesar 442 MW. Keempat pembangkit tersebut adalah (i) PLTU Kaltim Teluk Balikpapan berkapasitas 2x110 MW dengan progresnya mencapai 95% atau dalam tahapan uji coba operasional, (ii) PLTMG Bengkanai berkapasitas 155 MW dengan progres penyelesaian 80%, (iii) PLTU Adaro-Kalsel berkapasitas 2x100 MW yang progressnya baru mencapai 10%, dan (iv) PLTU Parit Baru Baru– Kalbar berkapasitas 2x55 MW dengan tingkat penyelesaian sudah 70%. Selain itu terdapat empat proyek transmisi lainnya yang sedang
dalam tahap konstruktsi dengan progress penyelesaiannya antara 33% s.d. 88% yaitu Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 180 km Bangkanai Melak, SUTT 344 km Sampit-Pangkalan Bun, SUTT 160 km Tanjung-Buntok dan SUTT 275 km Bengkayang-Ngabang-Tayan. Semua proyek infrastruktur tersebut pada umumnya menghadapi kendala pembebasan tanah, keterlambatan kontraktor dan belum terbitnya ijin DPA multiyears. Kendala pembebasan lahan juga menyebabkan rendahnya progres beberap proyek Infrastruktur konektivitas seperti jalan tol BalikpapanSamarinda sepanjang 99,02 km dengan nilai Rp16 triliun yang masih baru dalam tahap pembebasan lahan 81,5% dan pembangunan 7,7%, Bandara Samarinda yang baru dalam tahap penyelesaian pekerjaan darat sementara pekerjaan sisi udara masih tertunda akibat kondisi lahan yang labil, Pelabuhan KEK Maloy, Kijing dan Batanjung yang progressnya masing-masing sebesar 75%, 0% dan 35%. Selain pembebasan lahan, pemenuhan AMDAL dan pemotongan anggaran APBD disinyalir turut menjadi kendala. Sementara proyek infrastruktur lainnya seperti Bendungan Tritip, Bendungan Tapin, Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong, PLBN Aruk dan PLBN Nanga Badau masing-masing baru menyelesaikan 48,6%, 4,13%, 64%, 18% dan 21% akibat sulitnya pembebasan dan perubahan peruntukan lahan. Munculnya kendala pembebasan lahan sebagai faktor penghambat utama hilirisasi dan pembangunan infrastruktur di Kalimantan akibat selain belum dimilikinya RTRW juga karena ketidaksinkronan RTRW yang dimiliki antara provinsi, kabupaten dan kota.
Keberlangsungan Permintaan SDA dan Diversifikasi Kunci Kekuatan Struktur Ekonomi Daerah Efek penurunan harga komoditas dialami oleh seluruh provinsi yang mengadalkan SDA. Namun demikian, dampak yang dirasakan berbeda di setiap provinsi. Sebagai ddaerah yang kaya SDA, dampak penurunan harga komoditas di Sumatera
53
Selatan relatif tidak sedalam di Kalimantan Timur dan daerah lain di Kalimantan. Keberhasilan menciptakan kestabilan permintaan batubara dengan melakukan hilirisasi melalui pendirian PLTU Mulut Tambang telah mampu menjaga output sektor pertambangan. Selain itu, Provinsi Sumatera Selatan juga secara bertahap mendiversifikasi struktur ekonominya dengan mengembangkan sektor tersier yang tercermin dari menurunnya pangsa sektor primer (pertanian dan pertambangan) dan meningkatnya pangsa sektor tersier dalam enam tahun terakhir. Akselerasi pembangunan infrastruktur yang lebih dari 50% pembiayaannya bersumber dari APBN dengan menjadi tuan rumah penyelenggaraan event berskala nasional maupun internasional turut memitigasi dampak penurunan harga komoditas.
Things to do Oleh karena itu, penyusunan roadmap transformasi ekonomi Kalimantan yang terintegrasi dan tidak parsial kedaerahan menjadi hal yang mendesak dilakukan. Kalimantan harus dilihat sebagai satu wilayah Pulau yang terdiri dari beberapa provinsi yang saling bergantung yang secara keseluruhan perlu dihubungkan secara efisien dengan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di wilayah lainnya seperti Sumatera, Jawa dan KTI. Roadmap diharapkan juga memberikan tahapan implementasi pengembangan ekonomi yang dibutuhkan Kalimantan agar transisi dari kondisi saat ini yang berbasis sumber daya alam (resource based development) menuju ekonomi dengan konsep sustainable development dapat dicapai. Keberadaan Roadmap dapat menjadi acuan sinergi kebijakan berbagai pemangku kepentingan agar pembangunan infrastruktur dapat optimal mendukung perekonomian Kalimantan untuk tumbuh kuat dan berkelanjutan.
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
54
Pada triwulan II 2016, pertumbuhan ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI) mengalami perlambatan dari 6,3% (yoy) pada triwulan I 2016 menjadi 5,9% (yoy). Perlambatan yang terjadi dipengaruhi oleh turunnya kinerja ekspor luar negeri komoditas pertambangan serta turunnya realisasi investasi yang bersumber dari penanaman modal dalam negeri. Memasuki triwulan III 2016, laju pertumbuhan ekonomi KTI diperkirakan meningkat, didukung oleh perbaikan kinerja lapangan usaha utama sehingga konsumsi rumah tangga dapat terjaga di tengah perbaikan kinerja investasi bangunan. Untuk keseluruhan tahun 2016, ekonomi KTI diproyeksikan tumbuh di kisaran 6,4%-6,8% (yoy). Di sisi perkembangan harga, laju inflasi KTI pada triwulan II 2016 tercatat sebesar 3,94% (yoy), lebih rendah dari triwulan sebelumnya (4,72%, yoy). Berkurangnya tekanan terhadap inflasi sejalan dengan relatif rendahnya tekanan harga bahan makanan jika dibanding pola historisnya di saat Ramadhan serta adanya koreksi harga BBM di awal triwulan. Tekanan inflasi pada triwulan III 2016 diperkirakan kembali berkurang. Pada Juli 2016, inflasi periode Lebaran tercatat relatif terkendali sebesar 0,67% (mtm). Sampai dengan akhir tahun 2016, faktor optimisme terhadap capaian produksi pangan dan masih rendahnya harga minyak dunia menyebabkan tendensi penurunan inflasi di KTI pada kisaran batas atas 3,6%-4,0% (yoy).
Pertumbuhan Ekonomi Ekonomi KTI pada triwulan II 2016 tumbuh melambat dibandingkan dengan triwulan I 2016. Secara agregat, ekonomi tumbuh sebesar 5,9% (yoy), lebih rendah dari triwulan I 2016 yang sebesar 6,3% (yoy). Melambatnya perekonomian KTI dipengaruhi terutama oleh perlambatan yang terjadi di beberapa provinsi yaitu Sulawesi Barat, Gorontalo, Papua Barat, dan NTB. Sementara itu, Provinsi Papua tercatat kembali mengalami kontraksi yang lebih dalam dari triwulan sebelumnya (Tabel V.1). Melambatnya pertumbuhan ekonomi Sulawesi Barat dan Gorontalo disebabkan oleh penurunan produksi komoditas utama pertanian akibat tingginya curah hujan pada triwulan II 2016. Sementara itu, kinerja industri pengolahan di Papua Barat mengalami kontraksi karena penurunan produksi LNG seiring adanya disinsentif dari sisi harga. Dalam periode yang sama, perlambatan ekonomi di NTB dipengaruhi oleh capaian produksi dan ekspor konsentrat tambang yang tumbuh tidak setinggi triwulan sebelumnya. Adapun kontraksi ekonomi di Papua terutama disebabkan oleh
55
penurunan produksi tambang mineral karena adanya proses perbaikan mesin produksi. Tabel V.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah di KTI Provinsi Sulawesi Selatan Sulawesi Barat
I 5.7 5.6
2015 II III 8.0 7.6 8.7 6.3
IV 7.2 8.7
2015 7.1 7.4
Ir 7.4 6.3
2016 II IIIp 8.1 7.8 4.6 6.2
Sulawesi Tenggara 5.7 7.2 7.0 7.5 6.9 5.5 6.8 7.3 Sulawesi Tengah 16.5 15.1 15.6 15.1 15.6 13.2 15.5 13.9 Gorontalo Sulawesi Utara
4.8 6.4
6.7 6.3
5.9 6.3
7.7 5.6
6.2 6.1
6.7 6.0
5.4 6.1
6.7 6.4
Maluku Maluku Utara
4.1 5.0
5.5 6.5
5.6 6.8
6.5 6.0
5.4 6.1
5.6 5.1
6.5 5.6
6.7 6.1
Papua Papua Barat
1.6 13.8 (2.0) 7.0
2.5 6.6
14.1 5.2
8.0 4.1
(1.2) (5.9) 7.2 5.5 3.4 4.5
Bali NTB
6.0 5.9 6.3 6.0 6.0 6.1 19.4 20.1 34.2 12.0 21.2 10.0
6.5 9.9
6.6 0.8
NTT KTI
4.6 6.5
5.3 5.9
5.4 6.9
5.1 9.4
5.1 8.9
5.1 8.6
5.0 8.4
5.1 6.3
Sumber: BPS r) Revisi rilis sebelumnya p) Prakiraan Bank Indonesia
Di sisi permintaan, melambatnya ekonomi KTI dipengaruhi oleh kontraksi ekspor luar negeri dan perlambatan investasi. Kontraksi ekspor luar negeri terutama disebabkan oleh penurunan ekspor komoditas pertambangan. Turunnya ekspor hasil tambang, khususnya mineral dari Papua, merupakan dampak proses perbaikan
mesin produksi. Hal ini menyebabkan terjadinya 23 hari downtime di tengah penurunan produktivitas konsentrat mineral yang diperoleh. Sementara itu, melemahnya kinerja investasi di KTI terjadi di berbagai daerah dan secara agregat tercermin dari realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang mengalami kontraksi. PMDN triwulan II 2016 di KTI tercatat sebesar Rp3,8 triliun atau turun sebesar -14,8% (yoy). Di sisi lain, pengeluaran untuk konsumsi masih menjadi penopang pertumbuhan ekonomi KTI pada triwulan II 2016. Dorongan kegiatan perdagangan selama periode Ramadhan-Lebaran serta relatif terkendalinya laju inflasi menjadi faktor pendukung akselerasi konsumsi rumah tangga. Di samping itu, penguatan konsumsi rumah tangga juga ditopang oleh tingkat pendapatan yang terjaga seiring dengan adanya panen raya pertanian. Hal ini juga dikonfirmasi oleh hasil liaison yang dilakukan oleh Bank Indonesia (Grafik V.1). Sementara itu, konsumsi pemerintah juga mengalami akselerasi yang didorong oleh percepatan pelaksanaan lelang proyek, pencairan gaji ke-13 dan tunjangan bagi PNS, serta adanya evaluasi anggaran secara berkala untuk memperkuat koordinasi dan mengatasi kendala antar satuan kerja yang ada di daerah.
percepatan pertumbuhan ekonomi terjadi di hampir seluruh provinsi. Meningkatnya kinerja perekonomian di berbagai daerah tersebut didorong oleh masih kuatnya konsumsi rumah tangga yang disertai oleh perbaikan ekspor luar negeri dan akselerasi kegiatan investasi. Di sisi lain, prakiraan melambatnya konsumsi pemerintah karena pengurangan transfer pusat ke daerah dapat menjadi faktor penahan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan konsumsi rumah tangga KTI ditopang oleh terjaganya tingkat pendapatan dan dukungan dari peningkatan kinerja pariwisata. Pada triwulan III 2016, terjaganya tingkat pendapatan masyarakat di tengah inflasi yang terkendali didukung oleh prakiraan peningkatan produksi sektor ekonomi tradable. Selain itu, kinerja pariwisata, khususnya di Bali, juga diprakirakan meningkat seiring masuknya musim liburan di Eropa dan Australia. Optimisme tersebut tercermin dari keyakinan konsumen yang masih tinggi dan cenderung meningkat (Grafik V.2). Sementara itu, konsumsi pemerintah diprakirakan tumbuh melambat pasca pencairan gaji tambahan untuk PNS di triwulan II 2016. Deselerasi pertumbuhan konsumsi pemerintah antara lain dipengaruhi oleh belum optimalnya pencairan dana desa serta adanya efisiensi anggaran akibat pemotongan belanja rutin nonpembangunan oleh Pemerintah Pusat.
Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha dan Liaison Bank Indonesia
Grafik V.1. Realisasi Kegiatan Usaha dan Likert Scale
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
Grafik V.2. Indeks Keyakinan Konsumen
Perkembangan berbagai indikator dan hasil liaison mengindikasikan adanya perbaikan ekonomi KTI pada triwulan III 2016. Pada periode tersebut, ekonomi KTI diperkirakan tumbuh 6,9% (yoy). Secara spasial, prakiraan
56
Investasi diperkirakan tumbuh meningkat pada triwulan III 2016. Meningkatnya kinerja investasi yang dihitung dari Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) terutama akan didorong oleh
belanja fisik dari APBD yang diprakirakan semakin meningkat. Realisasi belanja dimaksud terutama untuk mendukung pembangunan infrastruktur di Papua Barat, Sulawesi Tenggara, Bali, NTT, Maluku, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Barat. Sementara itu, terdapat indikasi peningkatan investasi swasta seiring dengan turunnya tingkat suku bunga kredit. Peningkatan investasi oleh pelaku usaha tersebut terutama terlihat di lapangan usaha pertanian, pertambangan, maupun bangunan/konstruksi (Grafik V.3).
menjadi 2,4% (yoy). Akselerasi kinerja pertanian terutama terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, Papua, NTB, dan NTT. Masuknya musim panen raya subkategori tabama menjadi faktor utama pendorong pertumbuhan. Berdasarkan hasil liaison di beberapa daerah sentra, panen raya juga didukung oleh peningkatan dari aspek produktivitas lahan. Di samping itu, akselerasi pertumbuhan usaha pertanian juga didukung oleh membaiknya produksi ikan tangkap karena kondisi cuaca yang mendukung kegiatan penangkapan ikan para nelayan (Grafik V.4).
Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia
Grafik V.3. Kegiatan Investasi Dunia Usaha
Setelah mengalami kontraksi, ekspor luar negeri diperkirakan tumbuh positif pada triwulan III 2016. Perbaikan di sisi ekspor antara lain akan didukung oleh peningkatan ekspor perikanan dari Maluku dan Bali seiring cuaca yang masih kondusif bagi kegiatan penangkapan ikan. Ekspor hasil perkebunan, khususnya dari NTT, Sulawesi Utara, dan Maluku Utara, juga akan mendukung akselerasi ekspor seiring dengan terjaganya produksi perkebunan. Di samping itu, harga migas dan nikel di pasar global yang menunjukkan sedikit peningkatan diperkirakan akan mendorong ekspor LNG (Papua Barat) dan hasil olahan nikel (Sulawesi). Hal ini diperkuat dengan membaiknya ekpor mineral tembaga dari Papua pasca perbaikan mesin produksi.
Sumber: KKP, diolah
Grafik V.4. Produksi Ikan Tangkap Maluku
Pertanian
Memasuki triwulan III 2016, kinerja lapangan usaha pertanian diprakirakan kembali tumbuh meningkat karena masih berlangsungnya panen komoditas tabama. Panen tabama masih berlanjut di beberapa daerah seperti NTB, Sulawesi Utara, Papua, Sulawesi Barat, Bali, dan NTT. Selain itu, pada periode Agustus-Oktober 2016, akan terjadi panen komoditas perkebunan seperti cengkih, kelapa, aneka buah, serta kakao. Peningkatan juga diprakirakan akan terjadi pada produksi ikan tangkap (Maluku) dan hasil peternakan sapi (NTT) yang didorong oleh faktor permintaan dari negara importir maupun provinsi lain. Peningkatan indikator Nilai Tukar Petani (NTP) beberapa provinsi di KTI mengkonfirmasi prakiraan akselerasi pertanian di awal triwulan III 2016 (Grafik V.5).
Pada triwulan II 2016, pertumbuhan lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan kembali mengalami akselerasi. Angka pertumbuhan tercatat menguat dari 2,1% (yoy)
Produksi usaha pertanian yang terjaga akan mendukung akselerasi kinerja ekspor KTI di triwulan III 2016. Peningkatan produksi berbagai jenis komoditas perkebunan dan hortikultura
Kinerja Lapangan Usaha
57
akan menjaga kinerja ekspor pertanian. Hal tersebut juga akan menjaga ketersediaan bahan baku bagi industri makanan olahan sehingga dapat mendorong ekspor produk industri pengolahan secara keseluruhan, khususnya produk industri berbasis aneka buah dan kakao. Sementara produksi ikan tangkap dan udang segar yang diprakirakan masih tumbuh meningkat juga akan menopang ekspor dengan tujuan utama ke Jepang dan Amerika Serikat.
produksi pertambangan juga akan ditopang oleh akselerasi produksi nikel di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Sulawesi Tenggara yang ditujukan untuk memenuhi permintaan industri olahan nikel setempat. Faktor peningkatan harga internasional juga menjadi insentif dalam mendorong kegiatan produksi nikel (Grafik V.7).
Sumber: Produsen, diolah
Grafik V.6. Produksi Mineral Papua Sumber: BPS
Grafik V.5. Nilai Tukar Petani
Pertambangan Lapangan usaha pertambangan mengalami kontraksi pertumbuhan pada triwulan II 2016. Penurunan usaha pertambangan di KTI tercatat sebesar -2,1% (yoy) setelah tumbuh 2,7% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Kontraksi yang terjadi terutama disebabkan oleh adanya proses perbaikan mesin produksi pertambangan di Papua yang mengalami kerusakan sejak triwulan I 2016. Di samping itu, penurunan produktivitas konsentrat mineral yang dihasilkan turut mengakibatkan semakin terbatasnya produksi tembaga dan emas (Grafik V.6). Penurunan tertahan oleh perbaikan kinerja tambang di beberapa provinsi di Sulawesi yang masih tumbuh menguat sehingga kontraksi tidak terjadi lebih dalam lagi. Pada triwulan III 2016, kinerja pertambangan diperkirakan berbalik arah dan tumbuh positif. Pasca maintenance dan perbaikan mesin pertambangan pada triwulan II 2016, produksi hasil tambang di Papua diprakirakan mulai mengalami akselerasi. Prakiraan peningkatan
58
Sumber: World Bank
Grafik V.7. Harga Komoditas Tambang
Prakiraan akselerasi capaian produksi akan sejalan dengan peningkatan ekspor hasil pertambangan yang akan ikut mengalami percepatan pertumbuhan. Setelah mengalami kontraksi, penjualan hasil produksi mineral dari Papua diprakirakan meningkat untuk memenuhi permintaan dari beberapa mitra dagang di Asia dan Eropa. Sementara itu, mengikuti pola historisnya, ekspor nikel matte dari Sulawesi Selatan ke Jepang juga diprakirakan meningkat untuk memenuhi kebutuhan industri lanjutan di sana. Peningkatan ekspor tambang tersebut secara keseluruhan akan menjadi pendorong akselerasi ekspor luar negeri dari KTI pada triwulan III 2016.
Industri Lapangan usaha industri pengolahan mengalami perlambatan pertumbuhan pada triwulan II 2016. Setelah tumbuh 12,2% (yoy) pada triwulan sebelumnya, pertumbuhan usaha industri tercatat melambat menjadi 9,1% (yoy) pada triwulan II 2016. Deselerasi lapangan usaha industri pengolahan hampir terjadi di seluruh provinsi di KTI. Beberapa daerah bahkan mencatatkan kontraksi yaitu Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, dan Papua Barat. Kontraksi yang terjadi di Sulawesi Utara dan Sulawesi Barat dipengaruhi oleh keterbatasan bahan baku baik untuk industri pengolahan ikan maupun kelapa sawit. Sementara di Papua Barat, pengaruh harga komoditas yang masih rendah menjadi disinsentif bagi perkembangan produksi LNG. Faktor harga nikel yang masih rendah juga menyebabkan perlambatan produksi industri pengolahan feronikel (Grafik V.8).
Peningkatan pertumbuhan juga akan disumbangkan oleh industri pengolahan ikan dan kayu yang meningkat seiring dengan terjaganya pasokan bahan baku yang diimbangi oleh kuatnya permintaan dari negara importir. Perbaikan kinerja industri pengolahan didukung oleh hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang mengindikasikan peningkatan volume produksi manufaktur pada triwulan III 2016. Ekspor industri pengolahan berbasis komoditas diprakirakan akan mengalami akselerasi. Masih kuatnya permintaan untuk komoditas hasil industri dari KTI menjadi faktor pendukung akselerasi ekspor. Hal ini tercermin dari Purchasing Managers’ Index (PMI) di AS, Tiongkok, dan Eropa yang masih ekspansif hingga akhir triwulan II 2016. Di samping itu, peningkatan harga nikel di awal triwulan diprakirakan mampu menggiring optimisme produksi dan ekspor hasil tambang nikel serta produk-produk olahannya seperti feronikel atau nickel pig iron (NPI).
Sumber: Produsen, diolah
Grafik V.8. Produksi Feronikel Sulawesi Tenggara Sumber: Produsen, diolah
Pada triwulan III 2016, kinerja industri pengolahan diprakirakan meningkat. Selain perbaikan produksi industri nikel yang ditopang peningkatan harga jual, kinerja lapangan usaha industri pengolahan juga akan didorong akselerasi industri makanan olahan. Akselerasi tersebut sejalan dengan upaya produsen makanan olahan untuk meningkatkan ketersediaan barang pasca optimalisasi penjualan di musim hari raya (Grafik V.9). Selain itu, mulai beroprerasinya pabrik gula baru di NTB serta pabrik semen baru di Papua Barat juga akan menjadi faktor pendorong pertumbuhan.
59
Grafik V.9. Produksi Makanan Olahan Sulawesi Selatan
Konstruksi Pada triwulan II 2016, lapangan usaha konstruksi tumbuh meningkat dibandingkan dengan triwulan I 2016. Angka pertumbuhan tercatat sebesar 8,2% (yoy), lebih tinggi dari triwulan sebelumnya yang sebesar 7,1% (yoy). Hal tersebut sejalan dengan meningkatnya realisasi belanja modal dari APBD. Lanjutan berbagai proyek pemerintah seperti proyek multiyears pembangkit listrik dan pengembangan kawasan ekonomi terpadu di Sulawesi Utara,
Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan NTB turut memberi dorongan positif pada perkembangan lapangan usaha konstruksi. Indikator realisasi konsumsi semen (Grafik V.10) di KTI pada triwulan II 2016 juga mengkonfirmasi adanya akselerasi pertumbuhan. Memasuki triwulan III 2016, kinerja konstruksi diprakirakan sedikit meningkat. Perkembangan yang cukup baik tersebut terutama terjadi di Sulawesi Utara, Maluku Utara, Bali, Papua, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat. Kondisi tersebut ditopang oleh realisasi belanja fisik Pemerintah Daerah yang semakin intensif. Selain itu, tren penurunan suku bunga diperkirakan dapat mendorong perbaikan kegiatan investasi swasta bangunan di KTI. Perbaikan investasi juga didukung oleh beberapa proyek multiyears yang terus berlangsung di KTI seperti peningkatan kapasitas jalan, jembatan, perbaikan irigasi, perbaikan jalan akses antara kota ke bandara, serta pembangunan fasilitas umum seperti rumah sakit dan rel kereta api.
Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia
Grafik V.11. Perkembangan Lapangan Usaha Bangunan
Perdagangan Pada triwulan II 2016, kinerja usaha perdagangan di KTI tumbuh meningkat. Realisasi pertumbuhan tercatat tumbuh lebih tinggi, dari 7,4% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi 8,2% (yoy). Akselerasi pertumbuhan terutama terjadi di provinsi yang memiliki pangsa cukup besar dalam struktur ekonomi KTI, seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Papua, dan Papua Barat. Masih kuatnya permintaan rumah tangga menjadi penopang pertumbuhan perdagangan di periode Ramadhan-Lebaran 2016. Hal ini tercermin dari aktivitas bongkar di pelabuhan utama di KTI yang mengalami peningkatan seiring meningkatnya kebutuhan konsumsi (Grafik V.12).
Sumber: ASI, diolah
Grafik V.10. Realisasi Konsumsi Semen
Akselerasi lapangan usaha konstruksi pada triwulan III 2016 sejalan dengan perkembangan kegiatan investasi. Meski investasi tercatat melambat pada triwulan II 2016, perkembangan investasi terindikasi akan membaik pada triwulan III 2016 yang didukung oleh peningkatan kinerja usaha konstruksi. Hal ini sejalan dengan hasil survei yang dilakukan baik dari aspek perkiraan realisasi usaha maupun kegiatan investasi yang menunjukkan peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya (Grafik V.11).
60
Sumber: Kantor Administrasi Pelabuhan, diolah
Grafik V.12. Volume Bongkar Pelabuhan Makassar
Pada triwulan III 2016, usaha perdagangan diprakirakan masih tumbuh cukup baik. Sumber pertumbuhan terutama adalah dari kegiatan penjualan eceran (Grafik V.13), khususnya untuk perlengkapan dan peralatan rumah tangga yang dinilai masih mengalami peningkatan meski relatif terbatas. Kondisi ini antara lain didukung
oleh adanya liburan sekolah pada awal triwulan serta dimulainya tahun ajaran baru pada pertengahan triwulan. Di samping itu, penyelenggaraan berbagai jenis event oleh sektor swasta juga masih cukup marak di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Bali, dan NTT. Arus kegiatan perdagangan juga akan ditopang oleh peningkatan ekspor luar negeri dari KTI yang diprakirakan meningkat. Sumber: BPS
Grafik V.14. Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Bali
Sumber: Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia
Grafik V.13. Indeks Penjualan Eceran Makassar Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia
Akomodasi Kinerja usaha penyediaan akomodasi tercatat tumbuh meningkat pada triwulan II 2016. Pertumbuhan usaha penyediaan akomodasi tercatat sebesar 7,6% (yoy) pada triwulan II 2016, lebih tinggi dari triwulan sebelumnya sebesar 7,4% (yoy). Salah satu faktor pendorong akselerasi adalah perayaan hari besar keagamaan. Di samping itu, kunjungan wisatawan mancanegara di daerah pariwisata utama KTI juga tercatat mengalami akselerasi pada triwulan II 2016 (Grafik V.14). Pertumbuhan lapangan usaha penyediaan akomodasi diperkirakan meningkat pada triwulan III 2016. Peningkatan tersebut didorong oleh optimisme pelaku usaha pariwisata, seiring dengan datangnya musim liburan bagi wisman asal Eropa dan Australia. Hasil liaison turut mengkonfirmasi adanya peningkatan wisman asal Tiongkok ke Bali. Akselerasi kinerja pariwisata tersebut akan turut menopang kinerja konsumsi rumah tangga dan ekspor jasa di KTI. Indikator hasil survei juga menunjukkan peningkatan realisasi usaha dan harga jual (Grafik V.15).
61
Grafik V.15. Perkembangan Lapangan Usaha Perdagangan, Hotel, dan Restoran
Fiskal Daerah Penyerapan belanja APBD di berbagai daerah mencatat perbaikan pada triwulan II 2016 meski masih belum dapat mencapai target yang diharapkan. Masih adanya beberapa kendala penyerapan terutama terkait dengan administrasi dan pencairan dana desa menyebabkan realisasi yang belum optimal. Meski demikian, kinerja belanja pemerintah daerah menunjukkan perbaikan seiring dengan adanya percepatan pelaksanaan lelang proyek, pembayaran gaji ke13 dan ke-14 PNS, penerbitan Inpres Nomor 1 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, serta monitoring pencapaian target realisasi secara berkala. 8
Penyerapan belanja APBD di KTI pada triwulan II 2016 tercatat lebih baik dari tahun lalu maupun rata-rata tiga tahun terakhir. Dari total anggaran belanja sebesar Rp57,43 triliun, persentase realisasi hingga triwulan II 2016 8
Data realisasi sementara APBD di tingkat provinsi
mencapai 33,96% atau lebih tinggi dari triwulan II 2015 yang hanya sebesar 27,37% (Tabel V.2). Berdasarkan komponen belanja yang ada, belanja operasional (termasuk komponen transfer) mengalami peningkatan realisasi dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, dari 30,61% menjadi 37,16%. Demikian juga dengan belanja modal yang menunjukkan peningkatan dari 15,61% menjadi 22,30%.
dan akan terus diperkuat di periode mendatang. Sebagai contoh, Provinsi Bali telah memanfaatkan e-planning, e-budgeting, dan emusrenbang dalam rangka penguatan pelaporan dan administrasi. Provinsi Sulawesi Selatan ke depan akan lebih mengoptimalkan Electronic Tax (e-Tax) atau pajak elektronik untuk penarikan pajak hotel dan restoran di Makassar yang selama ini dinilai belum optimal.
Peningkatan penyerapan belanja APBD di KTI didukung oleh peningkatan realisasi pendapatan, terutama dana perimbangan dari Pemerintah Pusat. Secara total, realisasi pendapatan di KTI mencapai 45,73% hingga triwulan II 2016, sedikit lebih tinggi dari tahun lalu sebesar 45,02%. Peningkatan realisasi tersebut didorong oleh persentase peningkatan realisasi penerimaan dana perimbangan dari Pemerintah Pusat yaitu dari 50,81% menjadi 51,93%. Sementara itu, realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Pendapatan Lain-lain yang Sah menunjukkan penurunan dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Realisasi PAD tercatat sebesar 42,89%, lebih rendah dari tahun lalu sebesar 44,31%, sementara realisasi Lain-lain Pendapatan yang Sah menurun dari 35,82% menjadi 32,55%.
Perkembangan Inflasi
Tabel V.2. Realisasi Agregat APBD Provinsi di KTI Komponen APBD
Realisasi (%) Tw II 2015
Tw II 2016
Pendapatan APBD Provinsi
45.02
45.73
Pendapatan Asli Daerah
44.31
42.89
Dana Perimbangan
50.81
51.93
Lain-lain Pendapatan yang Sah
35.81
32.55
27.37
33.96
Belanja Operasi + Transfer
30.61
37.16
Belanja Modal
15.61
22.30
Belanja Tidak Terduga
0.86
2.71
Belanja APBD Provinsi
Sumber: SKPD masing-masing provinsi
Dalam upaya untuk peningkatan kinerja APBD, beberapa daerah di KTI menerapkan strategi dalam mendukung efektivitas penyerapan belanja maupun realisasi pendapatan. Strategi dimaksud telah dilakukan pada triwulan II 2016
62
Laju inflasi KTI triwulan II 2016 sebesar 3,94% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan triwulan I 2016 sebesar 4,72% (yoy). Menurunnya inflasi dipengaruhi oleh terkendalinya inflasi volatile foods dan deflasi pada komoditas administered prices. Bertambahnya supply komoditas pangan seiring panen beras dan hortikultura di sejumlah daerah mampu menahan tekanan inflasi volatile foods di tengah kenaikan permintaan menjelang Lebaran. Sementara itu, komponen administered prices mencatat deflasi karena penurunan harga BBM pada awal triwulan II 2016. Dalam periode ini, dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, inflasi inti (core inflation) tercatat relatif stabil. Secara spasial, inflasi triwulan II 2016 di mayoritas provinsi di KTI masih tetap terjaga. Di tengah tingginya lonjakan permintaan menjelang musim liburan dan hari raya, penurunan tekanan inflasi terjadi di sebagian besar provinsi, kecuali di Papua. Dalam periode ini, inflasi tahunan terendah terjadi di Maluku sebesar 1,82% (yoy), sedangkan tertinggi di Papua sebesar 5,22% (yoy). Selain Papua, Provinsi NTT dan Gorontalo juga masih mencatatkan inflasi tahunan yang cukup tinggi (sekitar 5%) dibandingkan dengan provinsi lain. Tingginya inflasi di daerah tersebut terutama disebabkan oleh tarif angkutan udara dan naiknya harga kebutuhan pokok seperti daging ayam ras dan gula pasir. Secara kumulatif, inflasi di hampir seluruh provinsi di KTI masih berada di bawah 2% (ytd) sehingga di akhir tahun diprakirakan berada dalam rentang sasaran 4%±1% (yoy).
Pada awal triwulan III 2016, inflasi Juli 2016 tercatat sebesar 0,67% (mtm). Inflasi pada periode Lebaran tersebut tercatat di bawah ratarata pola historisnya (tahun 2011-2015) sebesar 1,14% (mtm). Penyumbang utama inflasi Juli 2016 adalah tarif angkutan udara, tarif dasar listrik, dan beberapa komoditas pangan seperti beras, ikan cakalang, ikan layang, dan tomat sayur. Peningkatan harga didorong oleh adanya tekanan dari sisi permintaan.
lainnya seperti aparat penegak hukum dan asosiasi pedagang, TPID melakukan berbagai upaya untuk mengantisipasi lonjakan harga. Upaya pengendalian inflasi tersebut dilakukan di seluruh daerah di KTI yang berfokus pada penambahan pasokan pangan, perbaikan infrastruktur pendukung distribusi barang, komunikasi publik untuk menjaga ekspektasi harga masyarakat, serta kerjasama dengan penegak hukum dalam melakukan inspeksi.
Perkembangan harga terkini menunjukkan inflasi relatif terkendali hingga akhir triwulan III 2016. Pada pertengahan triwulan, masih terdapat tekanan inflasi yang bersumber dari penyesuaian biaya pendidikan tahun ajaran baru dan pasokan hortikultura yang tidak setinggi di triwulan sebelumnya karena dampak La Nina. Di samping itu, harga emas yang cenderung meningkat turut menambah tekanan inflasi. Hasil survei di awal Agustus 2016 juga menunjukkan adanya tendensi kenaikan harga aneka cabai dan emas perhiasan (Grafik V.16). Meski demikian, inflasi akan tertahan oleh penurunan harga berbagai komoditas pangan yang lain, serta koreksi pada tarif angkutan udara seiring dengan kembali normalnya permintaan pasca Lebaran. Berdasarkan perkembangan tersebut, inflasi KTI pada triwulan III 2016 diprakirakan sedikit menurun dan berada pada kisaran 3,88% (yoy).
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
Sumber: Survei Pemantauan Harga Bank Indonesia
Grafik V.16. Perkembangan Harga Beberapa Komoditas
Capaian inflasi periode Ramadhan-Lebaran yang lebih rendah dari historisnya tidak terlepas dari peran Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID). Bersama dengan beberapa instansi terkait
63
Grafik V.17. Ekspektasi Harga Konsumen
Stabilitas Keuangan Daerah Ketahanan Sektor Korporasi Berbagai sumber risiko terhadap stabilitas keuangan daerah seperti harga komoditas dan nilai tukar terpantau masih berada dalam level yang aman. Meski pemulihan ekonomi dunia masih lambat, harga komoditas migas dan nikel mulai menunjukkan sedikit peningkatan pada akhir triwulan II 2016. Di samping itu, tingkat suku bunga dan nilai tukar dinilai berada pada level yang kondusif bagi pelaku usaha sehingga secara keseluruhan belum memberikan ancaman instabilitas bagi kinerja keuangan korporasi di KTI. Hal ini tercermin dari kemampuan korporasi terbuka (listed company) untuk memenuhi kewajiban keuangannya yang masih terjaga cukup baik meski tingkat profitabilitas menurun dibandingkan dengan akhir 2015. Kemampuan membayar korporasi yang cukup baik tersebut terlihat dari Interest Coverage Ratio (ICR) yang lebih besar dari 1,50. Solvabilitas korporasi terbuka juga masih menunjukkan peningkatan
hingga awal tahun 2016. Di samping itu, para pelaku usaha di luar korporasi terbuka juga menunjukkan optimisme pada kinerja keuangan mereka hingga triwulan II 2016 (Tabel V.3). Tabel V.3. Kinerja Keuangan Korporasi KTI Periode
Kinerja Keuangan Korporasi Terbuka
2014
2015
Tw I 2016
3.33%
-1.07%
-1.32%
Likuiditas (Current Ratio)
1.37
1.79
1.60
Leverage (Debt to Equity Ratio)
0.95
0.91
0.60
Solvability Ratio
2.06
2.10
2.77
Kemampuan Bayar (ICR)
9.41
10.12
9.78
Profitabilitas (Return on Assets)
Pelaku Usaha Responden SKDU
tersebut terutama terjadi pada jenis giro dan deposito. Kualitas kredit perbankan yang disalurkan ke korporasi tercatat mengalami perbaikan pada triwulan II 2016. Hal ini tercermin dari penurunan rasio NPL dari 4,85% pada triwulan I 2016 menjadi 4,62% (Grafik V.19). Penurunan NPL kredit korporasi terjadi di hampir seluruh sektor utama, kecuali korporasi tambang.
Tw II 2015 Tw I 2016 Tw II 2016
Profitabilitas (%Baik - %Buruk)
30.80
40.31
45.59
Likuiditas (%Baik - %Buruk)
32.69
42.58
44.65
Sumber: Bloomberg (data 13 korporasi di KTI) dan Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia, diolah
Grafik V.19. Perkembangan NPL Kredit Korporasi
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Grafik V.18. Pertumbuhan Kredit Korporasi
Dengan kemampuan bayar korporasi yang masih cukup baik, kegiatan intermediasi dan risiko kredit korporasi dinilai masih dalam kondisi yang aman. Hal ini tercermin dari pertumbuhan kredit kepada korporasi yang masih tumbuh cukup tinggi walaupun sedikit mengalami perlambatan. Angka pertumbuhan kredit korporasi tercatat sedikit melambat dari 18,65% (yoy) menjadi 17,61% (yoy). Melambatnya pertumbuhan kredit pada triwulan II 2016 terutama disebabkan oleh melambatnya penyaluran kredit kepada korporasi sektor pertanian, industri pengolahan, dan penyediaan akomodasi (Grafik V.18). Sementara itu, simpanan milik korporasi di perbankan juga tumbuh melambat pada triwulan II 2016 yaitu dari 36,16% (yoy) menjadi 34,87% (yoy). Deselerasi pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK)
64
Seiring dengan perkembangan korporasi yang masih cukup baik, kinerja keuangan rumah tangga juga terpantau dalam kondisi yang baik. Hal tersebut juga didukung oleh perkembangan inflasi yang terkendali meski harga properti residensial di beberapa kota besar di KTI menunjukkan peningkatan. Dengan kondisi tersebut, rumah tangga di KTI masih memiliki tingkat keyakinan yang tinggi terhadap peningkatan kondisi pendapatan. Hal ini sesuai dengan hasil Survei Konsumen Bank Indonesia yang menunjukkan level Indeks Pendapatan per Bulan untuk Memenuhi Kebutuhan yang berada di atas 100. Risiko leverage berlebihan yang diukur dari Debt Service Ratio (DSR) terjaga di level 13,49%, turun dari triwulan I 2016 (13,54%). Terjaganya kemampuan sektor rumah tangga dalam memenuhi kewajiban keuangannya mampu mendukung kegiatan intermediasi perbankan. Kredit yang disalurkan pada triwulan II 2016 menunjukkan peningkatan meski masih terbatas yaitu dari 10,02% (yoy) menjadi 11,09% (yoy) (Grafik V.20). Pertumbuhan kredit tersebut
didorong oleh kredit multiguna, sedangkan Kredit Pemilikan Rumah dan Apartemen (KPR dan KPA) serta Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) mencatat perlambatan pertumbuhan. KKB tercatat mengalami kontraksi yang disebabkan oleh perilaku masyarakat yang masih menahan konsumsi dalam bentuk pembelian kendaraan. Adapun simpanan perorangan tercatat tumbuh menguat dari 11,57% (yoy) pada triwulan I 2016 menjadi 14,67% (yoy). Hal ini didorong oleh akselerasi pada simpanan tabungan. Di tengah akselerasi penyaluran kredit, kualitas kredit sektor rumah tangga tetap berada dalam batas aman. Rasio NPL kredit rumah tangga tercatat mengalami penurunan dari 1,51% pada triwulan sebelumnya menjadi 1,48% pada triwulan II 2016. Penurunan NPL terutama dipengaruhi oleh membaiknya kualitas kredit multiguna (Grafik V.21).
lebih tinggi dari triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 8,51% (yoy). Akselerasi tersebut terutama terjadi pada penyaluran kredit kepada UMKM yang bergerak di lapangan usaha pertanian, perikanan, konstruksi, perdagangan, dan akomodasi (Grafik V.22). Kondisi tersebut sejalan dengan akselerasi pertumbuhan sektor ekonomi pada triwulan II 2016.
Grafik V.22. Pertumbuhan Kredit UMKM
Grafik V.23. Perkembangan NPL Kredit UMKM Grafik V.20. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga
Grafik V.21. Perkembangan NPL Kredit Rumah Tangga
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengan (UMKM) Pertumbuhan kredit untuk sektor UMKM mengalami peningkatan pada triwulan II 2016. Kredit UMKM tercatat tumbuh 10,58% (yoy),
65
Peningkatan kredit kepada sektor UMKM pada triwulan II 2016, diiringi dengan perbaikan kualitas kredit. Hal tersebut tercermin dari NPL kredit UMKM yang turun dari 4,09% pada triwulan I 2016 menjadi 3,94% pada triwulan II 2016 (Grafik V.23). Perbaikan didorong oleh membaiknya kualitas kredit di seluruh lapangan usaha utama. Tren penurunan suku bunga kredit kepada sektor UMKM sejak akhir tahun 2015 dinilai turut mendukung perbaikan NPL.
Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah Sistem Pembayaran Pada triwulan II 2016, transaksi kliring melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI)
kembali menunjukkan akselerasi. Peningkatan ini terlihat baik dari sisi volume maupun nominal transaksinya (Grafik V.24). Di tengah kondisi perlambatan ekonomi KTI pada triwulan II 2016, transaksi nontunai tetap menunjukkan peningkatan karena adanya perayaan Lebaran. Di samping itu, perubahan batas bawah nilai transaksi Real-time Gross Settlement Systems (RTGS) yang semula Rp100 juta menjadi Rp500 juta pada triwulan IV 2015, turut memengaruhi peningkatan transaksi kliring dibandingkan tahun sebelumnya. Pada triwulan II 2016, total nominal transaksi kliring tercatat sebesar Rp70,50 triliun atau tumbuh 102,90% (yoy), lebih tinggi dari pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar 85,17% (yoy).
tersebut, Bank Indonesia meningkatkan aktivitas layanan perkasannya, khususnya melalui kas keliling dan kas titipan.
Grafik V.25. Perkembangan Aliran Uang di KTI
Grafik V.26. Perkembangan Rasio UTLE di KTI
Grafik V.24. Perkembangan Transaksi Kliring di KTI
Pengelolaan Uang Tunai Rupiah Kebutuhan masyarakat akan uang kartal selama periode Ramadhan-Lebaran mengalami peningkatan cukup tinggi, yang tercermin dari lebih besarnya aliran uang kartal yang keluar dari Bank Indonesia (outflow) dibanding uang kartal yang masuk ke Bank Indonesia (inflow). Selama triwulan II 2016, secara agregat di seluruh KTI terjadi net outflow sebesar Rp15,26 triliun (Grafik V.25). Dalam periode ini, uang kartal yang masuk ke Bank Indonesia tercatat sebesar Rp12,83 triliun, sementara aliran uang kartal yang keluar dari Bank Indonesia sebesar Rp28,09 triliun. Kondisi net outflow menunjukkan adanya peningkatan kebutuhan uang kartal oleh nasabah, baik perbankan, masyarakat, maupun pelaku usaha, khususnya pada saat perayaan hari besar keagamaan. Untuk mengantisipasi hal
66
Seiring dengan kebijakan clean money policy, kegiatan pemusnahan uang tidak layak edar (UTLE) terus dilakukan oleh Bank Indonesia. Pada triwulan II 2016, jumlah UTLE yang dimusnahkan mencapai Rp5,96 triliun dengan rasio terhadap inflow sebesar 46,43% (Grafik V.26). Pemusnahan UTLE dilakukan sejalan dengan komitmen Bank Indonesia untuk secara konsisten memastikan ketersediaan uang layak edar bagi masyarakat. Selama triwulan II 2016, temuan uang palsu di wilayah KTI tercatat sebanyak 2.431 lembar. Secara spasial, uang palsu terbanyak di KTI ditemukan di Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, NTT, dan NTB (Grafik V.27). Pemberantasan pengedaran uang palsu akan terus dilakukan Bank Indonesia antara lain melalui penguatan koordinasi bersama aparat penegak hukum. Selain itu, untuk meningkatkan kehati-hatian masyarakat, Bank Indonesia
menggiatkan berbagai kegiatan sosialisasi dan edukasi sepanjang triwulan II 2016, antara lain sosialisasi mengenai ciri-ciri keaslian uang rupiah (CIKUR) kepada masyarakat, pelaku usaha, nasabah perbankan, dan kasir perbankan. Di samping itu, Bank Indonesia juga terus memperkuat strategi komunikasi terkait kewajiban penggunaan Uang Rupiah dalam bertransaksi di wilayah NKRI.
Grafik V.27. Pangsa Temuan Uang Palsu KTI Menurut Provinsi
Prospek Perekonomian Prospek Pertumbuhan Ekonomi Perekonomian KTI pada tahun 2016 diprakirakan tumbuh melambat dibandingkan dengan tahun 2015. Pertumbuhan ekonomi KTI diprakirakan berada pada kisaran 6,4-6,8% (yoy). Rentang pertumbuhan tersebut mengalami revisi ke bawah dibandingkan proyeksi sebelumnya yang berada pada rentang 7,1%-7,5% (yoy). Hal tersebut dipengaruhi oleh turunnya kinerja produksi dan ekspor pertambangan selama semester I 2016 yang lebih dalam dari perkiraan sebelumnya. Melambatnya ekonomi KTI pada tahun 2016 terutama terkait dengan perlambatan kinerja investasi bangunan dan ekspor luar negeri. Deselerasi investasi disebabkan oleh telah selesainya beberapa proyek pengembangan industri di KTI yang berskala besar seperti pabrik gula di NTB, pabrik LNG di Sulawesi Tengah, serta smelter nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara. Sementara itu, pelemahan kinerja ekspor luar negeri dipengaruhi oleh pertumbuhan
67
ekspor mineral yang terbatas seiring dengan kuota ekspor NTB yang lebih rendah dari periode tahun lalu serta adanya kerusakan mesin produksi pertambangan di Sulawesi Selatan dan Papua pada awal tahun 2016. Sebelumnya, ekspor mineral tercatat tumbuh tinggi pada tahun 2015 karena capaian yang rendah di tahun 2014 seiring penerapan kebijakan pembatasan ekspor mineral mentah. Penerapan kebijakan tersebut merupakan langkah konkrit untuk mendorong hilirisasi tambang di KTI. Upaya peningkatan nilai tambah memang menjadi agenda yang krusial di KTI yang kaya akan SDA. Adapun selain tambang, SDA yang juga berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut adalah perikanan (lihat Boks Potensi Industri Perikanan KTI). Di tengah proyeksi perlambatan tersebut, beberapa faktor risiko baik dari sisi eksternal maupun internal masih perlu mendapat perhatian. Dari sisi eksternal, kondisi pemulihan ekonomi global yang berjalan tidak sesuai ekspektasi sebelumnya seiring perlambatan perekonomian Tiongkok dapat memberi pengaruh negatif pada kinerja ekspor dan investasi di KTI. Sementara itu, dari sisi internal, gagal panen dan kekeringan lahan pertanian di Balinusra pada semester I 2016 memberi risiko terhadap pencapaian produksi tabama di KTI. Selain itu, terdapat risiko pelemahan ekspor akibat kemungkinan terhambatnya izin konsentrat yang dapat muncul apabila eksportir mineral KTI tidak dapat memenuhi komitmennya terkait pembangunan smelter. Pelemahan kinerja ekspor tersebut pada gilirannya dapat menekan kinerja ekonomi KTI secara keseluruhan. Di sisi lain, masih adanya beberapa masalah administrasi APBD di awal tahun dikhawatirkan dapat berdampak pada realisasi tingkat penyerapan anggaran. Upaya akselerasi penyerapan APBD yang dilakukan diharapkan dapat meminimalisasi risiko dimaksud dan meningkatkan realisasi anggaran.
Prospek Inflasi Tekanan inflasi KTI sampai akhir tahun 2016 diprakirakan berkurang karena menurunnya inflasi volatile foods dan rendahnya inflasi administered prices. Sepanjang tahun 2016, inflasi KTI diproyeksikan pada kisaran batas atas 3,6-4,0% (yoy). Hal tersebut didukung oleh optimisme peningkatan produksi tabama dan hortikultura di berbagai daerah sentra. Pemerintah daerah juga tengah melakukan berbagai upaya untuk terus memperbaiki proses produksi. Upaya-upaya tersebut antara lain adalah penambahan luas lahan, pendampingan kepada petani, serta pemanfaatan teknologi pertanian. Di samping itu, pasokan ikan segar diprakirakan lebih baik pada tahun 2016 karena cuaca yang relatif lebih kondusif bagi kegiatan penangkapan ikan. Adapun inflasi administered prices yang rendah dipengaruhi oleh minimalnya kebijakan peningkatan harga BBM seiring dengan harga minyak dan nilai tukar yang relatif terjaga. Di sisi lain, adanya tekanan permintaan yang memengaruhi inflasi inti perlu menjadi
68
perhatian, apalagi dengan adanya berbagai faktor risiko lainnya. Prakiraan konsumsi rumah tangga yang masih cukup kuat di KTI akan memengaruhi tingkat permintaan sehingga memberi risiko tersendiri terhadap peningkatan harga barang dalam keranjang inflasi inti. Di samping itu, harga emas di pasar global berada dalam tren yang meningkat sehingga dapat mendorong naiknya harga komoditas emas perhiasan yang memiliki bobot cukup besar dalam keranjang inflasi kelompok sandang. Adapun risiko inflasi juga datang dari aspek gangguan distribusi pangan dan fenomena La Nina yang masih perlu diwaspadai. Dengan adanya berbagai risiko tersebut, berbagai langkah konkrit harus ditempuh bersama untuk mengendalikan inflasi di daerah. Hal ini sejalan dengan arahan Presiden dalam Rapat Koordinasi Nasional VII TPID, tanggal 4 Agustus 2016, terkait dengan hal-hal yang perlu dilakukan dalam pengendalian inflasi.
Boks 4
Sumber Daya Perikanan KTI Tertinggi Sebagai negara maritim utama dunia, Indonesia memiliki potensi perikanan yang cukup tinggi, baik untuk perikanan tangkap maupun budidaya. Produksi perikanan tangkap dan budidaya Indonesia rata-rata mencapai 20 juta ton/tahun, atau terbesar kedua setelah China yang produksinya mencapai 55 juta ton/tahun. Namun demikian, tingkat produksi nasional tersebut masih berada jauh di bawah potensinya yang mencapai 80 juta ton/tahun, yang terdiri dari 10 juta ton perikanan tangkap dan 70 juta ton perikanan budidaya. Sebagai wilayah dengan produksi perikanan terbesar di Indonesia, KTI masih berada jauh di bawah potensi perikanannya. Potensi produksi perikanan KTI yang mencapai 53,5 juta ton/tahun, tercatat hanya 10% yang dapat dimanfaatkan. Hal ini terutama bersumber dari kurang optimalnya produksi perikanan budidaya. Produksi perikanan di KTI, baik yang budidaya maupun tangkap, lebih terkonsentrasi pada yang bernilai rendah (low value fish), seperti demersal dan rumput laut. Produksi perikanan yang bernilai tinggi seperti udang dan bluefin tuna relatif masih rendah. Faktor-faktor yang memengaruhi rendahnya kinerja dimaksud adalah proses budidaya yang rentan terhadap kondisi cuaca, proses penangkapan ikan yang masih sederhana, infrastruktur pendukung yang kurang memadai, peralatan penangkapan ikan yang masih terbatas, serta kualitas dan kapasitas SDM yang kurang mendukung.
Ekspor pengolahan ikan, yang sempat terganggu pasca kebijakan moratorium kapal asing, mulai menunjukkan peningkatan. Penetapan regulasi terkait perikanan tangkap yang terdiri dari moratorium kapal eks asing serta larangan transhipment sejak tahun 2014, pada awalnya mengakibatkan penurunan ekspor yang
69
cukup dalam. Namun, sejak awal tahun 2016, ekspor hasil olahan ikan mulai menunjukkan perbaikan. Jumlah ikan yang berhasil ditangkap para nelayan dilaporkan meningkat. Sehingga indikator Nilai Tukar Nelayan di beberapa provinsi wilayah KTI juga memperlihatkan perbaikan.
Potensi penyediaan bahan baku secara melimpah bagi industri berbasis perikanan (Value Chain Industry) memberikan peluang besar bagi KTI untuk menjadi bagian dari Rantai Nilai Global Perikanan Dunia. Saat ini peran Indonesia dalam rantai nilai global perikanan dunia adalah sebagai pemasok/input bahan baku (raw fish), dengan tujuan utama ke Thailand, Tiongkok, Jepang dan US. Empat negara tersebut berperan sebagai processor atau pengolah inputan raw material tersebut, dengan pembeli utama adalah negara US, Eropa, Jepang dan Tiongkok. Sebagai pengolah bahan mentah, pengolahan pada masing-masing negara tersebut menghasilkan produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Pengolahan lebih lanjut sebagaimana negaranegara tersebut dapat menjadi peluang bagi industri perikanan di Indonesia. Udang yang sebagian besar disuplai dari Indonesia ke Thailand dan Jepang, diolah menjadi frozen breaded shrimps dengan nilai tambah >300%. Pengolahan tuna segar menjadi tuna fillet, sebagaimana yang dilakukan US dan Jepang terhadap ekspor tuna Indonesia, akan memberikan nilai tambah yang cukup signifikan 9 yaitu >200% . Selain itu, komoditas ekspor rumput laut memiliki begitu banyak potensi produk turunan. Rumput laut Indonesia telah menjadi input utama produksi karagenan di Tiongkok. Nilai tambah olahan rumput laut ini bisa mencapai >300%, 9
Sumber: Kementerian Kelautan Perikanan
digunakan untuk bahan makanan dan memiliki demand yang cukup tinggi dari Eropa dan US. Karakteristik industri olahan ketiga produk tersebut, yang menggunakan banyak input tenaga kerja, menghasilkan kesempatan kerja yang lebih besar dan tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Pengembangan industri perikanan di Bitung, Sulawesi Utara, dengan produk utama berupa ikan kaleng yang kemudian diekspor ke US, Eropa dan Arab, telah cukup berhasil. Namun demikian, skala ekonomi industri perikanan di Bitung ini masih jauh tertinggal dibandingkan negara peers seperti Thailand, Filipina, dan Tiongkok. Ironisnya, ketidakpastian pasokan bahan baku menjadi salah satu kendala industri perikanan untuk mencapai skala ekonomi yang lebih besar, termasuk di Bitung.
Peningkatan kapasitas produksi perikanan segar dan pengembangan industri masih terkendala secara struktural. Kendala struktural industri perikanan terutama disebabkan oleh ketidakpastian bahan baku sebagai akibat minimnya infrastruktur pendukung, diantaranya: 1. Keterbatasan dan tidak meratanya pelabuhan perikanan terutama di wilayah Fishing Ground. 2. Keterbatasan jumlah dan belum optimalnya pemanfaatan cold storage akibat terbatasnya kapasitas listrik. 3. Keterbatasan jumlah Unit Pengolahan Ikan (UPI) yang bersertifikasi. Dari jumlah 12.022 unit UPI yang ada di KTI, baru 348 unit atau 2.89% UPI yang memiliki Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP). 4. Keterbatasan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia sektor perikanan. Hal ini tercermin dari minimnya jumlah sekolah perikanan di KTI dan kecilnya pangsa tenaga kerja di sektor perikanan yang hanya berkisar
70
3% - 5% , lebih kecil dari pangsa PDRB sektor perikanan yang berada di kisaran 12,5%. 5. Keterbatasan pembiayaan yang antara lain karena keengganan perbankan menyalurkan kredit ke sektor perikanan karena dianggap lebih berisiko. Faktor permodalan ini menyebabkan sulitnya UMKM perikanan dalam melakukan pengembangan usaha.
Upaya Peningkatan Sektor Perikanan KTI Peningkatan sektor perikanan di KTI perlu diawali dengan perbaikan infrastruktur dasar sebagai enabler terutama pasokan energi listrik, pelabuhan perikanan, serta sarana penyimpanan berikut manajemen pengelolaannya. Lebih jauh, adopsi pola budidaya komoditas bernilai tinggi sebagaimana yang dikembangkan di negara sentra perikanan seperti Thailand, yang memiliki budidaya udang berproduktivitas tinggi, akan mampu meningkatkan produktivitas produksi udang di Indonesia. Dengan peningkatan produktivitas, ekspor perikanan KTI diprakirakan mampu meningkat hingga 228% atau senilai USD 1,82 miliar. Upaya pengembangan perikanan bernilai tinggi juga dapat mencontoh negara yang telah berhasil melakukannya, seperti Norwegia. Norwegia merupakan negara penghasil Salmon (komoditas bernilai tinggi) terbesar di dunia. Pada tahap awal, pemerintah Norwegia secara aktif memberikan subsidi baik pada industri perkapalan penangkap ikannya maupun kepada industri perikanan, terutama untuk menyerap kemungkinan kelebihan suplai ikan di pasar. Kebijakan pemerintah tersebut secara bertahap membantu meningkatkan produksi dan skala ekonomi para produsen sehingga menambah kepercayaan perbankan untuk memberikan bantuan pembiayaan pada sektor perikanan.
Untuk menuju perekonomian Indonesia yang tumbuh berkelanjutan, Bank Indonesia terus berupaya mendorong dilakukannya reformasi struktural, diantaranya berupa Peningkatan Daya Saing Industri, Maritim dan Pariwisata. Terkait dengan sektor maritim, Indonesia saat ini masih belum memperoleh manfaat optimal baik dari bidang Perkapalan, Pelayaran, Perikanan, maupun Pariwisata khususnya Pariwisata Bahari, dan bidang maritim lainnya. Persistensi defisit Neraca Jasa Indonesia menjadi indikator utama masih rendahnya daya saing sektor maritim khususnya pelayaran Indonesia yang juga terkait dengan kinerja industri perkapalan dan bidang maritim lainnya. Setiap bidang memiliki permasalahan yang umumnya terkait dengan lemahnya infrastruktur pendukung. Namun, keterkaitan permasalahan antar bidang di sektor Maritim sangat tinggi sehingga membutuhkan sinergi kebijakan pembangunan infrastruktur maritim yang integratif, tidak parsial, terencana, lintas sektoral dan kementerian yang mencakup industri perkapalan, pelayaran, perikanan, pariwisata, kelembagaan pendukung dan kapasitas SDM maritim. Dari hasil asesmen, upaya pembenahan sektor maritim perlu fokus dan dimulai dari pembenahan bidang perkapalan, sebagai tulang punggung pengembangan bidang maritim lainnya. Usulan kebijakan yang utama adalah implementasi kebijakan satu peta, satu disain kapal (one map, one ship design policy). Kebijakan utama tersebut harus dibarengi dengan pengembangan konektivitas antar daerah dengan dukungan infrastruktur logistik yang berperan sebagai pengumpul dan pengumpan, pengembangan industri dan komoditas unggulan daerah yang mendukung terciptanya volume perdagangan dan pelayaran yang dapat memenuhi skala ekonomi, serta skema insentif untuk mendukung industri perkapalan domestik dan komponennya. Sementara untuk mendukung sektor pariwisata diperlukan penguatan implementasi kebijakan kemudahan kunjungan wisata, pengembangan wilayah terkait pariwisata dan promosi serta paket kepariwisataan yang terintegrasi dalam jaringan internasional.
Potensi Sektor Maritim Penggerak Ekonomi Regional
Menjadi
Mayoritas perdagangan dunia dilakukan melalui laut dan Asia Pasifik menjadi bagian Penting di dalamnya. Untuk mencapai perkonomian Indonesia dapat tumbuh berkelanjutan, kuat, dan inklusif, maka diperlukan langkah-langkah kebijakan yang bersifat struktural. Bank Indonesia
71
memandang perlunya reformasi struktural pada 4 bidang, yaitu (1) Penguatan Ketahanan Pangan, Energi dan Air; (2) Peningkatan Daya Saing Industri, Maritim dan Pariwisata; (3) Penguatan Basis Pembiayaan Pembangunan; dan (4) Penguatan Ekonomi Inklusif. Khusus terkait dengan reformasi struktural poin 2, kinerja sektor maritim Indonesia masih memiliki gap yang lebar antara potensi dan realisasinya.
Gambar VI.1. Percepatan Infrastruktur Maritim untuk Mendukung Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan dan Peningkatan Kepariwisataan
Secara faktual, lebih dari 90% perdagangan barang dunia ditransportasikan melalui jalur laut. Demikian halnya perdagangan barang di Asia dan Pasifik, yang memiliki porsi 70% dari total dunia, lebih dari 75% dilakukan melalui jalur transportasi laut (Gambar VI.1). Hampir setengah (45%) dari transaksi tersebut melalui Alur Laut 10 Kepulauan Indonesia (ALKI) , terutama ALKI 1 (satu), yang berada di wilayah Selat Malaka (Gambar VI.2). Pergeseran poros dunia dari Atlantik ke Asia-Pasifik membuat peran ekonomi maritim di kawasan Asia-Pasifik menjadi semakin 11 penting. Indonesia, yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, serta menjadi tempat pertemuan beberapa lempeng patahan, sangat berpotensi menjadi negara maritim yang kuat bukan saja dari aspek perdagangan dunia namun juga dari aspek sumber daya perikanannya. Potensi Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia sangat besar. Tekad Pemerintah sekarang untuk menjadikan Indonesia sebagai “Poros Maritim Dunia”, memiliki peluang yang kuat, ditilik dari
posisi strategis geografis Indonesia yang menjadi bagian dari jalur laut perdagangan dunia. Tekad tersebut perlu diberi fondasi yang kokoh berupa infrastruktur maritim (hard dan soft), kebijakan 12 integratif, serta dukungan pembiayaan. Masingmasing bidang yang termasuk dalam sektor maritim memiliki potensi dan tantangannya sendiri.
Sumber: Kementerian Perdagangan
Gambar VI.2. Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)
Kontribusi sektor Perikanan dalam perekonomian masih berpotensi besar untuk ditingkatkan. Kontribusi sektor maritim nonmigas Indonesia hanya sekitar 4%, masih jauh 12
10
UNCTAD (2012) 11 Dahuri (2016)
72
Mempertimbangkan juga hasil Rapat Koordinasi Pemerintah Pusat-Pemerintah Daerah dan Bank Indonesia, Mei 2015.
lebih rendah dibandingkan negara lain seperti Tiongkok (45%) dan Belanda (21%) (Grafik VI.1). Kontribusi sektor perikanan terhadap PDB selama ini juga masih rendah, yaitu sekitar 2,5%; meskipun cenderung meningkat dari tahun ke tahun (Grafik VI.2). Pangsa ekspor perikanan Indonesia juga relatif rendah, yaitu sekitar 4,5% terhadap total ekspor non-migas (Grafik VI.3). Menurut salah satu hasil studi, potensi output perikanan Indonesia dapat mencapai sekitar 13 USD140 milyar .
Kurang optimalnya pemanfaatan sektor perikanan mengakibatkan kemiskinan nelayan yang persisten dan lebih parah dibandingkan kemiskinan petani. Walaupun nilai tukar nelayan terus menunjukkan peningkatan (Grafik VI.4), namun pendapatan per kapita nelayan ternyata lebih rendah daripada pendapatan per kapita petani (Grafik VI.5). Hal tersebut diakibatkan antara lain karena kurangnya kemampuan menangkap ikan, baik dari sisi kapal maupun alat tangkapnya, akses keuangan nelayan yang relatif terbatas sehingga sangat rentan terhadap terjadinya guncangan keuangan, serta kurangnya pemberdayaan nelayan dan keluarganya untuk mengolah hasil tangkapan perikanan.
Sumber: BPS, diolah Sumber: FAO, diolah
Grafik VI.1. Kontribusi Sektor Maritim Indonesia terhadap PDB
Sumber: BPS, diolah
Grafik VI.2. Kontribusi Sektor Perikanan
13
Berdasarkan informasi dari Kementerian KKP atas dasar Diposaptono (2016). Bahkan ada yang memperhitungkan potensi perikanan hingga jauh lebih tinggi (Dahuri, 2016).
73
Grafik VI.3. Porsi Ekspor Perikanan terhadap Ekspor Non-Migas
Sumber: BPS, diolah
Grafik VI.4. Nilai Tukar Petani & Nelayan
Sumber: BPS, diolah
Grafik VI.5. Pendapatan Per Kapita Petani & Nelayan
Sementara itu, sektor Pariwisata Indonesia juga menyimpan potensi yang begitu besar untuk dikembangkan. Pemerintah telah menargetkan jumlah wisatawan mancanegara (wisman) sebanyak 20 juta orang pada 2019, dan 4 juta orang diantaranya merupakan wisman pariwisata bahari. Kenaikan target yang signifikan jika dibandingkan jumlah kunjungan wisman 2015 sebesar 8,4 juta orang tersebut merupakan tantangan yang relevan jika dikaitkan dengan potensinya. Peningkatan pariwisata dapat dilihat antara lain dari jumlah wisatawan mancanegara yang terus meningkat signifikan sejak 2012. Keindahan pantai, laut dan budaya Indonesia yang begitu beragam merupakan obyek wisata bahari yang dapat dikembangkan dan diminati oleh banyak wisatawan mancanegara. Pengembangan Pariwisata Bahari perlu diperkuat secara integratif dengan pengembangan sektor maritim dan pemberdayaan masyarakat lokal. Tanpa keikutsertaan dan pemberdayaan masyarakat setempat, keberhasilan suatu daerah menjadi tempat destinasi turis tidak akan berdampak banyak bagi peningkatan kesejahteraan disana. Salah satu program yang bisa digagas dalam kerangka ini adalah pengembangan “home stay” serta pemberdayaan kerajinan lokal. Konsepnya adalah dengan biaya yang relatif terjangkau, turis dapat menikmati keindahan alam setempat dengan memanfaatkan tempat tinggal di perumahan yang telah diberdayakan sebagai fasilitas destinasi turis. Contoh keberhasilan program ini misalnya program “home stay” di
74
Banyuwangi. Beberapa hambatan struktural yang harus dibenahi dalam pengembangan pariwisata bahari diantaranya: (1) Perizinan terkait pembangunan destinasi turis dan fasilitas terkait; (2) Pembiayaan untuk pemberdayaan masyarakat setempat untuk penerimaan turis, kerajinan lokal dan fasilitas tempat tinggal yang aman dan nyaman; (3) Pembangunan konektivitas wilayah destinasi turis; serta (4) masuknya destinasi turis dimaksud sebagai bagian dari jaringan pasar wisata internasional atau paket wisata nasional dan internasional.
Sumber: BPS, diolah
Grafik VI.6. Jumlah Wisatawan Mancanegara
Defisit Neraca Jasa cenderung persisten yang terutama disebabkan defisit Jasa Transportasi Laut Jasa Pelayaran Indonesia yang meliputi jasa perkapalan, angkutan laut internasional, dan asuransi lebih banyak dikuasai pihak asing. Dalam jasa pelayaran internasional Indonesia, perusahaan domestik hanya menguasai sekitar 5% sementara sisanya (95%) dikuasai asing. Akibat banyaknya impor kapal dan penggunaan galangan kapal asing untuk reparasi, maka transaksi jasa ke non residen cukup besar. Selain itu, sekitar 87% pangsa asuransi pelayaran, terutama asuransi pelayaran internasional untuk perdagangan internasional Indonesia juga dikuasai pihak asing. Walaupun neraca barang masih positif, namun penguasaan asing atas moda transportasi laut khususnya pelayaran internasional Indonesia
mengakibatkan defisit neraca jasa yang cukup besar mencapai USD8,3 milyar pada tahun 2015 (Grafik VI.7 dan Grafik VI.8).
Indonesia juga diangkut oleh armada asing melalui Singapura atau Malaysia (Gambar VI.4).
Sumber: NPI, diolah
Gambar VI.4. Jalur Impor Indonesia
Sumber: NPI, diolah
Grafik VI.7. Neraca Barang Indonesia
Sumber: NPI, diolah
Gambar VI.5. Sumber Defisit Neraca Jasa Indonesia Sumber: NPI, diolah
Grafik VI.8. Neraca Jasa Indonesia
Sumber: NPI, diolah
Gambar VI.3. Jalur Ekspor Indonesia
Hampir seluruh ekspor Indonesia diangkut oleh armada asing ke Singapura atau Malaysia sementara armada Indonesia berfungsi sebagai feeder (Gambar VI.3). Sementara itu, impor
75
Secara lebih spesifik, defisit neraca jasa Indonesia disebabkan oleh beberapa hal utama, yaitu Perusahaan Pelayaran yang menggunakan jasa asing jasa docking kapal di galangan asing, penggunaan asuransi asing, serta sewa penggunaan peralatan pelabuhan dari luar negeri (Gambar VI.5). Jasa asing yang digunakan perusahaan pelayaran meliputi jasa pelayaran asing pada kegiatan ekspor-impor Indonesia, sewa kapal dan kontainer asing pada pelayaran domestik serta penggunaan tenaga kerja asing.
Penguatan Industri Jasa Pelayaran Saat ini, industri pelayaran dihadapkan pada sejumlah permasalahan infrastruktur antara lain: (1) Kapasitas pelabuhan yang relatif terbatas baik dari kedalaman, dermaga maupun fasilitas pendukung yang tersedia; (2) Kapasitas galangan dan ketersediaan komponen pendukung kapal
baik untuk pembangunan baru maupun untuk kegiatan reparasi; (3) Rendahnya produktivitas bongkar muat akibat birokrasi kelembagaan, ketrampilan buruh bongkar-muat dan dwelling time yang relatif lama; (4) Ketidaktersediaan muatan yang berimbang yang mengakibatkan terjadinya empty backhaul (muatan kosong arah sebaliknya) dan membuat biaya angkut lebih mahal; (5) Kurangnya daya saing perusahaan
pelayaran domestik akibat kapal yang relatif tua, ketentuan internasional yang tidak diratifikasi, dan pembiayaan maupun asuransi yang lebih mahal; serta (6) Kurangnya ketersediaan Sumber Daya Manusia yang handal seperti pelaut, syahbandar, tenaga ahli forwarder dan sebagainya.
Sumber: Supply Chain Indonesia (2016) dan Drewry (2012)
Gambar VI.9. Kedalaman Pelabuhan di Indonesia dan Kargo yang Dibawa serta Distribusi Armada Domestik berdasarkan Ukuran
Kapasitas pelabuhan relatif masih kurang terutama dari sisi kedalamannya. Seiring dengan perkembangan perdagangan dunia yang mendorong penggunaan kapal-kapal berukuran relatif lebih besar, kedalaman pelabuhan (draft) menjadi syarat utama yang harus dipenuhi disamping ketersediaan fasilitas bongkar-muat yang lebih baik dan jumlah dermaga yang mencukupi. Kurang dalamnya pelabuhan menyebabkan hanya kapal-kapal berukuran relatif kecil (< 3000 TEUs) yang dapat bersandar dan melakukan bongkar-muat di pelabuhan 14 (Gambar VI.9). Dibandingkan dengan negara lain, kepemilikan kapal-kapal oleh perusahaan Indonesia lebih terfokus pada kapal-kapal berukuran kecil sehingga kurang dapat bersaing secara internasional. China, India bahkan 14
TEUs adalah Twenty Cubics Equivalent Units yang merupakan ukuran banyaknya Kargo yang dapat dibawa oleh suatu kapal.
76
Malaysia yang bukan merupakan negara kepulauan relatif saja memiliki armada kapal berukuran besar lebih banyak dibandingkan Indonesia. Rata-rata kedalaman pelabuhan di Indonesia hanya berkisar antara 9–10 meter yang menyebabkan tidak efisiennya biaya transportasi antar wilayah yang diakibatkan oleh lebih banyaknya frekuensi angkutan yang diperlukan untuk melayani kebutuhan suatu wilayah. Kurang dalamnya pelabuhan-pelabuhan serta fasilitas terkait bongkar-muat dan parkir kapal terutama pada lokasi strategis di Indonesia menjadi salah satu faktor utama yang mengakibatkan kurang dapat bersaingnya pelabuhan-pelabuhan tersebut, meski secara lokasi telah sangat strategis. (Grafik VI.10).
Sumber: Supply Chain Indonesia, diolah
Grafik VI.10. Rata-Rata Kedalaman Pelabuhan di Indonesia dan Ukuran Kapal Maksimum
Hanya kapal berukuran yang relatif kecil yang dapat berlabuh dan bersandar serta melakukan kegiatan bongkar-muat secara cukup efisien. Akibatnya, perusahaan pelayaran domestik juga melakukan penyesuaian terhadap kemampuan pelabuhan, sehingga sebagian besar armada kapal Indonesia saat ini lebih banyak dikuasai oleh kapal-kapal berukuran kecil (Tabel VI.1).
dari sisi jumlah namun juga dari kemampuan besar kapal yang dipenuhi dan ketersediaan komponen pendukung. Hal ini menyebabkan industri galangan kurang kompetitif dibanding industri galangan asing.
Tabel VI.1. Besaran Fleet Indonesia
Sumber: Maritime Industry of Tomorrow, 2016
Grafik VI.11. Terbatasnya Galangan Kapal Domestik
Sumber: Hasil Simulasi RisetNeraca Jasa DKEM, Bank Indonesia, forthcoming
Terbatasnya kapasitas galangan kapal domestik dalam memenuhi permintaan pembuatan dan perbaikan kapal mengakibatkan lebih diminatinya galangan kapal asing (Grafik VI.11). Permintaan pembuatan kapal kepada galangan kapal domestik sering terbentur keterbatasan industri komponen kapal di tengah tantangan bea masuk impor komponen kapal. Di sisi reparasi kapal, hal tersebut membuat waktu tunggu kapal di galangan domestik mencapai 2-3 bulan. Keterbatasan galangan kapal domestik bukan saja
77
Di sisi lain, penerapan asas Cabotage memberikan hasil yang positif. Kebijakan pemerintah untuk mewajibkan penggunaan kapal berbendera nasional dalam pelayaran domestik sejauh ini memberikan hasil yang positif. Armada pelayaran nasional mengalami peningkatan lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun 2005 (Tabel VI.2). Jumlah muatan kapal (dalam DWT) mengalami peningkatan lebih dari tiga kali lipat yaitu dari hanya 3,66 juta DWT pada 2005 menjadi lebih dari 12 juta DWT pada 2013. Tren positif dari penerapan asas Cabotage telah memberikan keyakinan yang besar bagi industri pelayaran nasional untuk lebih meningkatkan
perannya di jasa pelayaran internasional (beyond cabotage).
0,01% dan 0,05%, sementara Indonesia mencapai 0,12%.
Namun demikian, penerapan azas Cabotage juga masih menyimpan sejumlah permasalahan, antara lain: ketidakselarasan antara bendera kapal dengan nama kapal misalnya kapal dengan nama Indonesia namun berbendera asing, kapal dengan nama asing namun berbendera Indonesia ataupun kapal dengan nama sama namun berbendera beberapa negara.
Tingginya premi asuransi maritim domestik disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain (i) klasifikasi dan umur armada kapal nasional yang sebagian besar relatif sudah tua, dengan ratarata umur di atas 20 tahun, serta (ii) tingkat risiko negara Indonesia yang masih dipandang cukup tinggi terutama terkait dengan angkutan laut. Tingkat risiko yang lebih tinggi terutama terkait dengan anggapan keamanan di perairan Indonesia yang rendah, tercermin dari jumlah kejadian dan percobaan pembajakan kapal di perairan Indonesia yang jauh lebih tinggi dibandingkan negara di kawasan (Tabel VI.3). Tabel VI.2. Perkembangan Armada Kapal (dalam juta DWT)
Sumber: OJK, International Union of Marine Insurance, CEIC, diolah
Grafik VI.12. Pangsa Asuransi Nasional
Sementara itu, Undang-Undang No.17 Tahun 2008 tentang pelayaran, yang mewajibkan pengasuransian muatan kapal, telah berhasil mendorong aktivitas bisnis asuransi pelayaran. Namun, beberapa kendala yang dihadapi perusahaan asuransi domestik mengakibatkan pasar asuransi muatan pelayaranan saat ini lebih dikuasai oleh asing. Pendapatan premi asuransi nasional untuk kelas Marine Cargo dan Marine Hull mengalami peningkatan sejalan dengan penerapan azas Cabotage yang meningkatkan jumlah kapal nasional berikut muatannya. Pangsa asuransi nasional masih relatif rendah, yaitu hanya 30,6% pada tahun 2014 (Grafik VI.12). Hal ini diakibatkan antara lain oleh (i) pengiriman barang ekspor dalam bentuk FoB (Free on Board) yang artinya asuransinya ditentukan oleh Pembeli yang cenderung menggunakan asuransi asing serta (ii) relatif tingginya premi asuransi maritim domestik. Sebagai gambaran, premi asuransi maritim di Singapura dan Malaysia masing-masing hanya
78
Sumber: Review of Maritime Transport, UNCTAD (2005 – 2013)
Tabel VI.3. Jumlah Kasus Upaya Pembajakan Kapal
Sumber: 2015 Annual IMB Piracy Report
Strategi Kebijakan Maritim Terintegrasi
Pembangunan
Pengembangan sektor Maritim dalam negeri harus terus diupayakan dan didukung secara sinergis oleh berbagai kebijakan lintas sektoral. Di berbagai negara maju, kebijakan di sektor maritim terutama menyangkut industri perkapalan dan industri pelayaran domestik didukung sangat kuat oleh kebijakan Pemerintah
dalam bentuk pemberian insentif dan dukungan kebijakan yang mewajibkan pemesanan dan penggunaan kapal produksi dalam negeri. Industri perkapalan diperlakukan sebagai industri infrastruktur, sebagai tulang punggung untuk pengembangan industri maritim lainnya (pelayaran, perikanan, dan pariwisata). Sejalan dengan kecenderungan penggunaan kapal berukuran besar untuk perdagangan dunia, maka persoalan ketidak-seimbangan muatan tidak saja dialami oleh negara yang belum maju industri pelayarannya, namun juga dialami oleh negara-negara maju. Apabila tidak diatur, maka ketidakseimbangan muatan akan mendorong perusahaan pelayaran untuk melakukan potongan biaya yang begitu besar bahkan lebih kecil daripada biaya operasinya untuk mendapatkan muatan pada arah sebaliknya. Praktik-praktik seperti ini jelas akan sangat merugikan perusahaan pelayaran domestik yang menjadi pesaing perusahaan internasional terkait. Secara skala ekonomi, penggunaan kapalkapal besar memang dapat menghemat biaya transportasi laut per DWT-nya (Gambar VI.6).
penduduk yang besar di samping lokasinya yang strategis akan menciptakan permintaan yang besar terhadap jasa pelayaran. Hal ini pada gilirannya memungkinkan industri pelayaran untuk hidup dan bahkan mampu menghidupkan industri perkapalan dan galangan kapal. Pengembangan industri perkapalan dengan tingkat kompleksitasnya yang tinggi akan membawa dampak lanjutan yang besar bagi perkembangan industri lainnya, mulai dari industri besi baja yang menyuplai bahan bakunya sampai dengan industri jasa transportasi laut dan perikanan serta pariwisata yang memanfaatkan kapal-kapal dimaksud untuk kegiatan transportasi penumpang dan barang, penangkapan ikan serta wisata bahari. Pengembangan sektor maritim terintegrasi yang dimulai dari penguatan industri perkapalan dan pelayaran domestik, serta ditunjang oleh kemampuan Sumber Daya Manusia yang handal akan mampu memberikan keunggulan komparatif bagi Indonesia sejalan dengan potensi besar yang dimilikinya dalam bidang maritim (Gambar VI.7). Pemanfaatan kapal-kapal produksi dalam negeri untuk jasa pelayaran akan dapat lebih menurunkan defisit neraca jasa dibanding sebaliknya jika kita membeli atau menyewa kapal-kapal asing dalam jasa pelayaran Indonesia. Simulasi menunjukkan penggunaan kapal produksi dalam negeri akan lebih besar dampaknya dalam menurunkan defisit neraca jasa. Setiap 1% penambahan jumlah armada kapal yang berasal dari produksi domestik, akan mampu menurunkan defisit neraca jasa sebesar 0,14%. Sementara apabila menggunakan kapalkapal impor, hanya mampu menurunkan defisit 15 neraca jasa sebesar 0,09%.
Sumber: http://www.eurans.com.ua, diolah
Gambar VI.6. Kecenderungan Pembangunan Kapal Berukuran Besar
Sebagai negara kepulauan dengan alur laut yang begitu panjang dan besar, Indonesia secara natural dapat menjadi lahan yang subur bagi berkembangnya industri pelayaran. Jumlah
79
15
Hasil Simulasi Model Bank Indonesia, dengan jumlah kapal saat ini hampir mencapai 1598 kapal maka 1% penambahan itu sekitar 16 kapal.
Gambar VI.7. Pembangunan Maritim Terintegrasi
Pengembangan Industri Perkapalan, Galangan Kapal dan Industri Pelayaran Domestik Menjadi Prioritas Pengembangan industri perkapalan dan galangan kapal perlu menjadi prioritas. Sesuai RPJMN, pengembangan industri perkapalan diarahkan untuk dapat membangun kapal dengan 16 bobot 200.000 DWT pada 2020 dan 300.000 DWT pada 2025. Namun demikian, hingga saat ini, pembangunan kapal dengan bobot 50.000 DWT masih terkendala (Gambar VI.8). Sebagaimana di semua negara yang memiliki industri perkapalan yang maju, keberhasilan pembangunan industri perkapalan tidak dapat berjalan sendiri tanpa dukungan kuat dari kebijakan pemerintah. Kebijakan pemesanan kapal produksi domestik, perbaikan kapal di galangan kapal domestik serta kemudahan perizinan dan insentif fiskal di industri perkapalan dan pendukungnya menjadi faktor utama yang tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan industri perkapalan domestik. Sebagaimana Malaysia dan Singapura, pembangunan pelabuhan yang berhasil tidak saja membutuhkan syarat teknis dan fasilitas yang memadai, namun juga kawasan industri untuk menopangnya. Keberhasilan Malaysia dan Singapura dalam membangun pelabuhan 16
DWT (Dead Weight Tonnage) adalah ukuran besarnya kargo yang dapat diangkut oleh kapal di luar berat kapal itu sendiri.
80
berskala internasional yang menjadi alternatif hub di Selat Malaka bukan saja didorong oleh pemenuhan syarat teknis dan fasilitas pelabuhan, namun juga dukungan kawasan industri yang dinamis di belakangnya yang berfungsi sebagai pengisi volume perdagangan di pelabuhan internasional yang dibangun. Bahkan, Singapura yang sukses membangun pelabuhan hub besar, memfokuskan diri dalam membangun suatu ekosistem maritim dan pelayanan pelabuhan yang memungkinkan terjadinya perdagangan secara efisien dalam skala ekonomi yang memadai.
Sumber: Kementerian Perindustrian, diolah
Gambar VI.8. Roadmap Perkapalan Nasional
Sumber: http://www.globalsecurity.org dan sumber lain, diolah
Gambar VI.9. Kedalaman Pelabuhan Indonesia, Malaysia dan Singapura
Secara teoritis, ada tiga hal yang harus dipenuhi dalam membangun suatu ekosistem pelabuhan dan maritim, yaitu lokasi yang strategis, ketersediaan infrastruktur dan volume perdagangan yang memadai (Gambar VI.10). Terhadap tiga hal tersebut, Indonesia berpotensi memiliki semuanya: lokasi, infrastruktur dan volume. Lokasi strategis terdapat di beberapa wilayah Indonesia di sebelah Barat dengan Selat Malaka dan di sebelah Timur di wilayah perairan Sulawesi dan Maluku. Pembangunan
infrastruktur membutuhkan kesungguhan Pemerintah dan desain yang baik tidak saja dari sisi teknis namun juga jaringan pengelola pelabuhan. Dari sisi volume perdagangan, sebagai negara yang besar, pemenuhan kebutuhan ekspor impor antar daerah saja sudah sangat besar, apalagi jika turut mempertimbangkan bergabungnya beberapa perusahaan pelayaran internasional dalam pengelolaan pelabuhan.
Sumber: Jean-Paul Rodrigue dalam The Geography of Transport Systems (2013)
Gambar VI.10. Kedalaman Pelabuhan Indonesia, Malaysia dan Singapura
Kawasan industri sangat diperlukan untuk memenuhi volume perdagangan yang dibutuhkan pada pelabuhan internasional. Selain itu, pemetaan arus perdagangan yang
81
menyeluruh dan lengkap terhadap setiap wilayah di Indonesia (one map policy) juga diperlukan agar dapat dibangun simpul-simpul logistik yang memungkinkan terjadinya proses pengumpulan dan transportasi antar wilayah dengan volume
perdagangan yang memadai untuk menghindari terjadinya empty backhaul. Dalam hal ini, peran informasi serta sinergi kebijakan antar industri dan wilayah sangat dibutuhkan untuk mendukung penguatan pelayaran nasional. Pembangunan pelabuhan internasional tanpa dukungan industri pengisi tidak akan dapat bertahan dan berkelanjutan.
Rekomendasi Sinergi Kebijakan Pengembangan Sektor Maritim bagi Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan dan Peningkatan Kepariwisataan Berdasarkan asesmen dan koordinasi dengan para stakeholder yang telah dilakukan terhadap isu reformasi struktural di sektor maritim yang terintegrasi, terdapat tujuh rekomendasi sebagai berikut: Pertama, menerapkan kebijakan satu peta dan satu desain kapal (one map and one ship design policy) untuk mendukung berkembangnya industri perkapalan sebagai backbone industri maritim sehingga dapat memainkan perannya sebagai fondasi pengembangan industri perikanan, industri pelayaran, dan industri pariwisata. Kedua, mengintegrasikan strategi pengembangan infrastruktur logistik dengan pengembangan wilayah untuk mendukung konektivas antar wilayah industri, permukiman, dan simpul-simpul transportasi perdagangan ekspor-impor, antara lain di dalam bentuk buku putih pengembangan kemaritiman (Grand policy). Ketiga, memperkuat sinergi dan strategi kebijakan karena pengembangan maritim bersifat lintas sektor dan lintas kementerian yang mencakup perkapalan, pelayaran, perikanan, dan pariwisata. Keempat, memperkuat asas cabotage dengan penerapan program beyond cabotage secara bertahap, termasuk skema insentif fiskal yang diperlukan, sebagai bagian dari upaya mendorong industri pelayaran nasional dan mengurangi defisit neraca jasa.
82
Kelima, memperkuat strategi pengembangan industri dan komoditas unggulan daerah dan nasional untuk mendukung pengembangan industri maritim sehingga mampu saling mengisi dengan mengoptimalkan kapasitas angkut industri pelayaran. Keenam, mempercepat peningkatan kualitas infrastruktur kelembagaan melalui reformasi birokasi, khususnya melalui implementasi layanan publik dan sistem pemerintah berbasis elektronik (e-government, e-budgeting), serta peningkatan kapasitas Aparatur Sipil Negara (ASN) di tingkat pusat dan daerah a.l. dengan memfokuskan pendidikan kedinasan ke pendidikan yang bersifat vokasional (misal: pendidikan kemaritiman). Ketujuh, untuk mendorong percepatan pengembangan pariwisata, khususnya wisata bahari, pemerintah berkomitmen akan: (1) Mengintensifkan promosi pariwisata dan sosialisasi penerbitan aturan mengenai kemudahan kunjungan yacht dan cruise; (2) Mempercepat deregulasi peraturan a.l. terkait kemudahan kunjungan wisata menggunakan private jet dan private helicopter; perizinan sea plane yang beroperasi menghubungkan antar pulau-pulau kecil; pengaturan pembangunan Dermaga Marina; dan insentif fiskal untuk impor yacht seperti kebijakan pengenaan PPN-BM; dan (3) Mempercepat pengembangan aksesibilitas, fasilitas, dan atraksi di sepuluh destinasi wisata prioritas nasional dan tiga puluh destinasi unggulan wisata bahari bersama dengan Pemerintah Daerah, a.l. Natuna-Anambas (Kepulauan Riau), Danau Toba (Sumatera Utara), Mandeh (Sumatera Barat), dengan disertai penguatan kebijakan pendukungnya seperti pengembangan aksesibilitas Danau Toba yang akan didukung oleh pembangunan Bandara Sibisa yang dimulai sejak 2017 dan Tol Tebing TinggiSiantar-Parapat.
83
Indikator Makroekonomi Daerah PDRB (%,yoy) Sisi Permintaan Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi LNPRT Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto Ekspor Impor Net Ekspor Sisi Produksi Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Pengadaan Listrik dan Gas Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang Konstruksi Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Transportasi dan Pergudangan Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum Informasi dan Komunikasi Jasa Keuangan dan Asuransi Real Estate Jasa Perusahaan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib Jasa Pendidikan Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial Jasa lainnya Provinsi Aceh Provinsi Sumatera Utara Provinsi Sumatera Barat Provinsi Riau Provinsi Jambi Provinsi Kepulauan Riau Provinsi Sumatera Selatan Provinsi Bengkulu Provinsi Lampung Provinsi Kep. Bangka Belitung Inflasi IHK (%,yoy) Provinsi Aceh Provinsi Sumatera Utara Provinsi Sumatera Barat Provinsi Riau Provinsi Kepulauan Riau Provinsi Jambi Provinsi Sumatera Selatan Provinsi Bengkulu Provinsi Lampung Provinsi Kep. Bangka Belitung
84
4.6
Tahun Dasar 2010 2015 I II III 3.5 3.0 3.1
IV 4.6
5.4 10.9 2.2 4.0 (1.4) (2.1) 2.0
5.3 (3.5) 2.7 1.7 (0.5) (4.2) 8.5
5.3 (2.9) 2.6 1.9 (5.3) (10.2) 9.5
4.8 6.0 5.5 3.1 (6.4) (8.5) (2.7)
5.1 (1.5) 4.6 7.6
5.4 (3.5) 1.8 6.0
2.5 (2.4) 3.1 1.7
5.0
5.2
7.0
3.5
I 4.2
2016 II 4.5
4.5 8.7 7.4 5.7 0.7 0.2 (5.7)
5.0 2.0 4.9 3.1 (3.0) (5.7) 2.7
5.2 6.4 1.7 4.9 (16.1) (25.4) (0.0)
5.5 5.2 7.5 5.7 (19.3) (31.2) (8.4)
5.4 5.3 - 5.7 4.4 5.0 - 5.4 4.4 3.6 - 4.0 6.7 5.5 - 5.9 (13.1) (15.4) - (15) (19.4) (24.0) - (23.6) (4.7) (4.8) - (4.4)
0.7 (1.4) 4.3 2.1
6.2 (3.8) 5.8 3.4
3.6 (2.8) 3.8 3.3
3.7 (0.8) 4.7 8.3
4.2 (1.9) 3.7 11.9
4.6 (1.3) 4.7 9.2
4.1 - 4.5 (1.5) - (1.1) 4.3 - 4.7 9.0 - 9.4
6.1
4.2
3.9
4.9
3.3
3.3
3.8
3.8 - 4.2
3.7
2.5
4.8
5.6
4.2
5.8
6.4
6.4
6.1 - 6.5
5.9
5.0
4.6
3.2
4.9
4.4
5.0
6.2
5.7
5.2 - 5.6
6.5
7.8
7.2
8.2
5.6
7.2
6.2
7.8
7.1
6.9 - 7.3
7.7
7.9
6.5
7.3
8.9
7.7
7.6
8.2
8.3
7.9 - 8.3
7.5 3.7 6.6 6.7
8.4 4.8 5.5 6.7
9.1 0.9 5.5 6.1
8.9 5.4 5.8 5.2
7.8 6.1 6.3 5.3
8.5 4.3 5.8 5.8
8.0 6.1 4.9 5.3
8.7 9.0 5.5 4.9
7.0 5.0 6.2 6.3
7.3 - 7.7 6.4 - 6.8 5.3 - 5.7 5.7 - 6.1
6.1
5.9
7.8
6.7
8.3
7.2
5.4
9.5
6.4
6.5 - 6.9
8.1 7.4 6.7
8.9 7.4 7.2
7.1 7.6 7.8
7.2 8.7 7.5
4.9 6.3 7.6
7.0 7.5 7.5
6.2 6.7 6.0
7.6 6.0 5.7
8.4 8.4 6.7
6.8 - 7.2 6.9 - 7.3 6.3 - 6.7
1.5 5.2 5.9 2.7 7.4 6.6 4.7 5.5 5.1 4.7 8.6 8.1 8.2 11.6 8.6 7.6 8.7 8.5 10.9 8.1 9.0
(1.9) 4.8 5.5 (0.0) 5.0 6.8 4.6 5.3 4.9 4.1 6.1 5.4 6.1 6.3 6.2 5.7 4.9 6.3 7.7 6.6 6.7
(2.1) 5.1 5.5 (2.1) 4.3 6.7 4.7 5.2 5.1 4.0 7.7 6.2 7.8 8.2 7.4 8.2 6.4 7.5 9.9 8.2 6.9
(0.3) 5.1 4.9 (1.4) 4.4 5.4 4.7 5.2 5.2 4.0 6.8 4.2 6.6 6.2 5.7 8.3 5.3 7.0 8.6 7.7 7.3
1.4 5.3 5.7 4.5 3.2 5.2 3.9 4.9 5.3 4.3 3.0 1.5 3.2 1.1 2.6 4.4 1.4 3.1 3.3 4.3 3.3
(0.7) 5.1 5.4 0.2 4.2 6.0 4.5 5.1 5.1 4.1 3.0 1.5 3.2 1.1 2.6 4.4 1.4 3.1 3.3 4.3 3.3
3.6 5.0 5.5 2.3 3.4 4.5 5.0 5.0 5.1 3.3 5.7 3.6 7.2 6.6 4.4 5.6 5.0 5.1 5.9 5.3 5.5
3.5 5.7 5.8 2.4 3.6 5.4 5.1 5.4 5.2 3.7 3.7 2.3 4.3 3.2 1.9 3.8 3.4 4.4 5.5 3.2 6.2
3.5 5.3 5.8 2.7 4.1 5.8 5.5 5.2 5.4 4.0 3.9 3.1 4.7 3.4 3.1 3.2 4.2 4.4 3.7 3.9 3.7
3.1 - 3.5 5.2 - 5.6 5.6 - 6.0 2.2 - 2.6 3.8 - 4.2 5.3 - 5.7 5.1 - 5.5 5.0 - 5.4 5.1 - 5.5 3.6 - 4.0 3.8 - 4.2 3.3 - 3.7 4.2 - 4.6 3.8 - 4.2 3.7 - 4.1 3.7 - 4.1 4.3 - 4.7 3.7 - 4.1 3.9 - 4.3 3.6 - 4.0 3.8 - 4.2
2014
2015
IIIp 4.6
2016p 4.3 - 4.7
PDRB (%,yoy) Sisi Permintaan Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi LNPRT Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto Ekspor Impor Net Ekspor Antar Daerah Sisi Produksi Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Pengadaan Listrik dan Gas Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang Konstruksi Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Transportasi dan Pergudangan Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum Informasi dan Komunikasi Jasa Keuangan dan Asuransi Real Estate Jasa Perusahaan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib Jasa Pendidikan Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial Jasa lainnya
5.57
Tahun Dasar 2010 2015 I II III IV 5.26 5.15 5.51 5.87
5.1 12.7 2.7 4.8 3.0 1.2 (4.1)
4.8 (11.8) 0.3 5.1 (1.5) (5.0) 1.4
4.8 (12.3) 1.7 4.3 (1.4) (9.2) (5.0)
4.1 4.5 7.9 4.1 0.6 (9.0) (12.5)
4.5 5.9 5.2 3.8 (4.5) (12.4) (30.9)
4.5 (4.0) 4.2 4.3 (1.7) (9.0) (10.7)
4.9 6.1 2.2 4.3 0.8 (5.9) (5.2)
5.2 6.3 5.5 4.4 5.1 (4.6) (8.4)
5.38 5.36 5.92 5.29 8.19 3.07 12.72
5.5 - 5.9 6.1 - 6.5 11.8 - 12.2 5.5 - 5.9 9.5 - 9.9 3.1 - 3.5 (5.3) - (4.9)
1.3 3.1 5.8 4.3
2.6 (0.2) 4.8 (5.4)
6.7 6.1 3.9 (3.9)
1.8 5.5 5.0 (3.3)
2.4 8.9 4.8 (2.9)
3.4 5.1 4.6 (3.9)
(0.7) 8.1 4.6 1.9
2.6 4.9 4.6 (0.4)
2.87 5.65 5.00
1.7 - 2.1 5.4 - 5.8 4.7 - 5.1
3.3
4.8
4.5
4.1
3.7
4.2
3.1
4.7
1.41
0.6 - 1.0
5.5
4.9
3.8
5.0
5.6
4.8
3.9
4.2
5.76
4.7 - 5.1
4.5
4.3
4.3
4.1
4.0
4.2
4.9
5.0
5.59
4.6 - 5.0
8.7
8.7
9.1
8.2
6.6
8.1
7.9
7.4
5.30
4.9 - 5.3
DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Inflasi IHK (%,yoy) DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur
Indikator Makroekonomi Daerah
85
2014
5.45
I 5.32
2016 II 5.73
IIIp 5.80
5.6 - 6.0
2015
2016p
7.2
6.5
6.5
6.8
7.8
6.9
7.8
6.7
6.44
7.4 - 7.8
11.0 4.5 6.1 8.8
10.0 8.8 5.9 7.1
10.1 2.6 5.3 7.8
9.5 11.3 5.1 7.9
9.5 15.2 4.6 7.8
9.8 9.5 5.2 7.6
9.9 10.3 5.6 7.3
9.9 14.0 5.6 7.4
4.87 9.47 11.70 5.56
6.2 - 6.6 9.7 - 10.1 11.2 - 11.6 5.6 - 6.0
1.3
2.4
3.6
4.1
4.4
3.7
3.8
6.3
7.71
7.5 - 7.9
7.3 8.9 7.8
6.5 8.7 7.5
8.2 7.5 6.3
7.6 8.3 6.8
6.9 8.2 7.7
7.3 8.2 7.1
7.5 8.0 7.5
7.4 7.5 7.7
5.05 7.04 8.14
4.9 - 5.3 6.7 - 7.1 7.6 - 8.0
5.9 5.1 5.5 5.3 5.2 5.9 8.4 9.0 7.6 10.2 8.2 6.6 7.8
5.5 4.9 5.5 5.6 4.3 5.0 6.3 7.1 5.5 7.5 5.7 5.1 6.1
5.3 4.9 5.2 5.1 4.6 5.2 7.1 7.6 6.5 8.9 6.2 5.7 6.8
6.1 5.0 5.9 5.0 5.3 5.5 6.7 7.2 6.1 8.1 5.8 5.2 6.7
6.5 5.2 4.9 6.1 5.5 5.9 3.1 3.3 2.7 4.3 2.7 3.1 3.1
5.9 5.0 5.4 5.4 4.9 5.4 3.1 3.3 2.7 4.3 2.7 3.1 3.1
5.6 5.1 5.1 5.0 4.8 5.5 3.9 3.6 3.8 5.7 4.2 3.7 3.7
6.2 5.9 5.2 5.7 5.6 5.6 3.1 3.1 3.2 3.8 3.0 2.9 2.9
5.8 6.1 5.7 5.3 5.8 5.7 3.3 3.6 3.8 5.7 4.2 3.7 3.7
5.5 - 5.9 5.8 - 6.2 5.5 - 5.9 5.1 - 5.5 5.4 - 5.8 5.3 - 5.7 3.2 - 3.6 5.7 - 6.1 3.0 - 3.4 3.6 - 4.0 2.8 - 3.2 2.7 - 3.1 2.7 - 3.1
Indikator Makroekonomi Daerah PDRB (%,yoy) Sisi Permintaan Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi LNPRT Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto Ekspor Impor Sisi Produksi Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Pengadaan Listrik dan Gas Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang Konstruksi Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Transportasi dan Pergudangan Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum Informasi dan Komunikasi Jasa Keuangan dan Asuransi Real Estate Jasa Perusahaan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib Jasa Pendidikan Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial Jasa lainnya Provinsi Kalimantan Barat Provinsi Kalimantan Tengah Provinsi Kalimantan Selatan Provinsi Kalimantan Timur Inflasi IHK (%,yoy) Provinsi Kalimantan Barat Provinsi Kalimantan Tengah Provinsi Kalimantan Selatan Provinsi Kalimantan Timur
86
3.3
Tahun Dasar 2010 2015 I II III 2.0 1.4 0.4
IV 1.4
3.9 2.7 3.5 6.1 0.3 0.3
3.4 (4.1) 6.6 3.0 (0.4) (2.2)
3.7 4.6 7.0 2.0 0.1 1.9
4.0 11.1 7.2 5.4 (2.0) 2.0
5.1 0.1 2.2 17.1
5.5 (0.9) (1.8) 38.4
5.8 (3.0) 1.2 28.1
6.7
3.4
7.6
1.3
I 1.4
2016 II 1.1
IIIp 1.4
1.1 - 1.6
3.4 15.2 (9.1) (1.4) (1.3) (6.3)
3.6 6.6 0.8 2.2 (0.9) (1.3)
4.1 8.3 4.4 (2.1) (1.4) (3.1)
4.6 3.5 2.5 (5.8) (0.5) (5.9)
3.4 4.0 3.1 (3.1) 0.1 (2.1)
3.8 - 4.3 4.6 - 5.1 3.2 - 3.7 (2.7) - (2.2) (1.2) - (0.7) (3.6) - (3.1)
3.8 (5.9) 2.5 25.9
1.5 (5.7) 10.3 (1.2)
4.1 (3.9) 3.0 20.1
2.0 (5.0) 7.8 5.5
1.2 (4.2) 5.0 12.6
2.6 (4.1) 4.4 11.1
2.0 - 2.5 (4.5) - (4.0) 4.4 - 4.9 10.3 - 10.8
5.5
4.0
5.2
4.6
5.8
6.4
5.6
5.9 - 6.4
4.1
2.1
2.7
2.5
2.8
0.4
(1.6)
0.9
0.6 - 1.1
5.4
4.3
4.0
3.2
5.6
4.3
5.9
4.7
4.3
4.6 - 5.1
6.3
7.4
7.3
5.5
4.2
6.0
6.1
5.4
5.5
5.2 - 5.7
6.1
5.4
6.4
6.2
5.8
5.9
5.3
5.3
4.9
5.1 - 5.6
10.6 5.0 6.9 7.3
11.5 4.8 7.6 3.0
8.8 (0.2) 4.5 2.1
8.4 6.0 4.2 2.6
8.4 3.8 2.6 0.5
9.3 3.6 4.7 2.0
9.5 4.6 3.9 2.2
8.9 8.5 2.7 0.2
8.9 5.9 4.4 1.8
8.8 - 9.3 6.2 - 6.7 3.7 - 4.2 1.5 - 2.0
7.6
7.0
8.6
8.1
9.1
8.2
8.9
11.6
8.7
9.1 - 9.6
9.7 7.9 7.5
10.2 7.7 6.7
10.3 9.8 7.1
9.7 10.0 6.8
5.0 8.5 8.5
8.7 9.0 7.3
7.9 8.5 9.1
7.3 8.0 8.6
9.0 9.1 8.7
7.9 - 8.4 8.5 - 9.0 8.5 - 9.0
5.0 6.2 4.9 2.2 7.9 9.4 7.1 7.3 7.7
6.3 7.6 4.0 (0.2) 7.3 8.9 5.9 7.0 7.1
4.1 7.1 3.3 (0.4) 7.3 9.0 5.9 6.1 7.6
4.6 6.9 3.9 (2.2) 7.4 8.8 5.8 7.0 7.3
4.3 6.6 4.1 (0.5) 5.1 5.8 4.7 5.2 4.9
4.8 7.0 3.8 (0.9) 5.1 5.8 4.7 5.2 4.9
6.0 5.2 4.0 (0.7) 5.1 4.6 4.6 6.0 4.9
4.2 5.7 4.0 (0.9) 4.9 5.2 3.1 5.9 4.6
5.0 6.2 4.1 (0.8) 4.5 4.5 2.9 4.9 4.7
4.9 - 5.4 5.7 - 6.2 3.8 - 4.3 (1.1) - (0.6) 3.8 - 4.3 4.4 - 4.9 2.8 - 3.3 4.6 - 5.1 3.5 - 4.0
2014
2015
2016p
Indikator Makroekonomi Daerah PDRB (%,yoy) Sisi Permintaan Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi LNPRT Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto Ekspor Impor Sisi Produksi Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Pengadaan Listrik dan Gas Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang Konstruksi Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Transportasi dan Pergudangan Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum Informasi dan Komunikasi Jasa Keuangan dan Asuransi Real Estate Jasa Perusahaan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib Jasa Pendidikan Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial Jasa lainnya Provinsi Sulawesi Selatan Provinsi Sulawesi Barat Provinsi Sulawesi Tenggara Provinsi Sulawesi Tengah Provinsi Gorontalo Provinsi Sulawesi Utara Provinsi Maluku Provinsi Maluku Utara Provinsi Papua Provinsi Papua Barat Provinsi Bali Provinsi Nusa Tenggara Barat Provinsi Nusa Tenggara Timur Inflasi IHK (%,yoy) Provinsi Sulawesi Selatan Provinsi Sulawesi Barat Provinsi Sulawesi Tenggara Provinsi Sulawesi Tengah Provinsi Gorontalo Provinsi Sulawesi Utara Provinsi Maluku Provinsi Maluku Utara Provinsi Papua Provinsi Papua Barat Provinsi Bali Provinsi Nusa Tenggara Barat Provinsi Nusa Tenggara Timur
87
2014 6.1
Tahun Dasar 2010 2015 I II III 6.5 9.4 8.9
IV 8.6
8.4
I 6.3
2016 II 5.9
IIIp 6.9
6.4 - 6.8
2015
2016p
5.8 10.0 3.8 8.6 (9.0) 10.1
5.7 (4.0) 6.0 8.7 29.5 (16.3)
5.7 (1.8) 4.5 10.0 51.7 (2.2)
5.4 6.5 5.3 9.2 12.8 6.1
5.2 11.5 10.6 8.5 (4.3) 18.2
5.5 3.0 6.9 9.1 18.8 1.4
5.6 6.3 5.3 8.4 6.6 16.6
6.0 6.1 8.2 7.7 (1.5) 40.2
6.1 3.6 7.4 10.1 2.0 29.2
5.8 - 6.2 4.1 - 4.5 7.4 - 7.8 9.1 - 9.5 5.0 - 5.4 22.0 - 22.4
6.6 (2.3) 7.7 10.8
4.0 7.3 5.7 6.5
6.1 23.6 11.8 (2.6)
3.6 22.1 9.4 (2.2)
3.5 19.2 11.0 (0.7)
4.3 18.1 9.5 0.1
2.1 2.7 12.2 7.2
2.4 (2.1) 9.1 15.2
3.2 1.6 14.4 7.8
2.9 - 3.3 1.4 - 1.8 11.9 - 12.3 9.4 - 9.8
5.6
2.6
3.6
1.1
2.9
2.5
6.1
5.3
4.2
5.0 - 5.4
8.3
9.6
9.1
9.9
9.8
9.6
7.1
8.2
8.3
8.0 - 8.4
7.6
6.1
6.8
7.2
8.1
7.1
7.4
8.2
8.7
7.9 - 8.3
6.8
6.6
7.1
7.9
5.7
6.8
8.0
8.3
9.7
8.3 - 8.7
7.2
6.4
5.7
5.9
5.9
5.9
7.4
7.6
7.8
7.4 - 7.8
7.3 6.3 7.7 7.7
7.3 9.1 6.9 4.0
7.3 2.2 6.5 5.2
8.8 10.0 6.1 6.3
9.1 6.1 5.9 6.5
8.2 6.8 6.4 5.5
8.7 9.3 6.3 7.3
8.2 15.8 6.0 6.2
8.1 8.4 7.3 6.4
8.0 - 8.4 10.3 - 10.7 6.6 - 7.0 6.5 - 6.9
8.4
6.7
8.5
7.8
9.4
8.1
8.0
10.6
9.4
9.1 - 9.5
7.4 8.8 7.6
8.9 7.6 7.1
8.4 8.2 6.9
7.9 9.1 7.9
4.4 6.9 7.0
7.3 7.9 7.2
8.0 7.8 7.3
9.0 8.1 7.4
8.1 6.1 5.9
7.5 - 7.9 6.6 - 7.0 6.4 - 6.8
7.5 8.9 6.3 5.1 7.3 6.3 6.6 5.5 3.8 5.4 6.7 5.1 5.1 8.3 8.6 7.9 8.4 8.8 6.1 9.7 7.2 9.3 9.1 6.6 8.4 7.2 7.8
5.7 5.6 5.7 16.5 4.8 6.4 4.1 5.0 1.6 (2.0) 6.0 19.4 4.6 6.8 7.1 6.7 7.8 5.3 5.3 8.0 9.1 7.9 6.8 7.0 6.4 6.0 5.4
8.0 8.7 7.2 15.1 6.7 6.3 5.5 6.5 13.8 7.0 5.9 20.1 5.1 7.2 7.2 6.3 7.7 5.9 5.8 8.0 8.7 8.9 9.1 7.5 7.0 6.7 5.6
7.6 6.3 7.0 15.6 5.9 6.3 5.6 6.8 2.5 6.6 6.3 34.2 5.1 7.5 8.2 7.2 6.7 5.3 6.6 9.0 9.6 8.0 8.1 7.2 7.0 5.7 6.9
7.2 8.7 7.5 15.1 7.7 5.6 6.5 6.0 14.1 5.2 6.0 12.0 5.1 4.1 4.5 5.1 2.3 4.2 4.3 5.6 6.1 4.5 3.6 5.3 2.7 3.4 4.9
7.1 7.4 6.9 15.6 6.2 6.1 5.4 6.1 8.0 4.1 6.0 21.2 5.0 4.1 4.5 5.1 2.3 4.2 4.3 5.6 6.1 4.5 3.6 5.3 2.7 3.4 4.9
7.4 6.3 5.5 13.2 6.7 6.0 5.6 5.1 (1.2) 5.5 6.1 10.0 5.1 4.7 5.7 5.2 4.8 6.0 5.7 4.9 2.2 5.5 3.8 5.5 3.6 4.3 5.0
8.1 4.6 6.8 15.5 5.4 6.1 6.5 5.6 (5.9) 3.4 6.5 9.9 5.3 3.9 4.3 4.3 4.1 4.2 4.9 3.7 1.8 3.9 5.2 4.0 3.0 4.4 5.0
7.8 6.2 7.3 13.9 6.7 6.4 6.7 6.1 7.2 4.5 6.6 0.8 5.4 3.6 4.1 3.9 4.2 3.3 4.2 3.5 1.4 4.0 4.1 3.3 2.6 4.8 3.6
7.5 - 7.9 6.1 - 6.5 6.7 - 7.1 14.0 - 14.4 6.3 - 6.7 6.1 - 6.5 6.1 - 6.5 5.6 - 6.0 1.7 - 2.1 4.5 - 4.9 6.3 - 6.7 5.6 - 6.0 5.1 - 5.5 3.6 - 4.0 4.3 - 4.7 3.4 - 3.8 3.1 - 3.5 2.9 - 3.3 3.5 - 3.9 4.6 - 5.0 3.3 - 3.7 3.6 - 4.0 4.0 - 4.4 3.9 - 4.3 3.2 - 3.6 4.0 - 4.4 3.3 - 3.7
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
88
Yoga Affandi Noor Yudanto Gunawan Wicaksono Handri Adiwilaga Maximilian T. Tutuarima Ragil Misas Fuadi
Agung Budilaksono Rif’at Pasha Warsono Komalia Rahmayani Frida Yunita Sinurat Hayatullah Khumeini Erlangga Febrianno Ryan Ariefiansyah Wening Tresnaning Asih Erwin Syafii Evy Marya Deswita Siburian Andree Breitner Makahinda
Anggi Adiprasetio