IV
Daftar isi Kata Pengantar Bagian I
v vii 1
Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah
Bagian II
9
Perekonomian Sumatera
Boks 1
25
Diversifikasi Vertikal dan Horisontal Perekonomian Sumatera
Bagian III
31
Perekonomian Jawa
Boks 2
50
Strategi Transformasi Spasial dan Sektoral di Wilayah Jawa
Bagian IV
57
Perekonomian Kawasan Timur Indonesia
Boks 3
75
Diversifikasi Sumber Pertumbuhan Ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI)
Bagian V
79
Isu Strategis : Mendorong Strategi Kebijakan Diversifikasi Sumber Pertumbuhan Ekonomi Daerah untuk Menjaga Momentum Perbaikan Ekonomi Nasional
Lampiran
V
89
D
alam proses perumusan kebijakan, Bank Indonesia mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk dinamika ekonomi dan isu terkini dari perspektif kewilayahan. Pembahasan menyeluruh terkait perkembangan perekonomian terkini dan berbagai isu strategis yang mengemuka di daerah dilakukan secara periodik antara Dewan Gubernur dengan Kepala Departemen Regional yang mewakili 3 (tiga) wilayah di seluruh Indonesia. Hasil dari pembahasan tersebut menjadi bagian penting dalam melengkapi pemahaman Bank Indonesia terhadap kondisi makroekonomi dengan berbagai aspek risiko yang berkembang. Perekonomian nasional pada triwulan I 2017 tumbuh 5,01%, lebih tinggi dibandingkan triwulan IV 2016 yang tumbuh 4,94%. Peningkatan pertumbuhan ekonomi ditopang oleh kenaikan pertumbuhan di Jawa dan Kalimantan, sementara Sumatera dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) tumbuh lebih rendah dibanding triwulan sebelumnya. Pada triwulan I 2017, perekonomian Kalimantan mengalami perbaikan dibandingkan kondisi dua tahun terakhir. Pertumbuhan ekonomi Jawa didukung oleh membaiknya investasi dan konsumsi pemerintah, serta konsumsi rumah tangga yang masih kuat. Perlambatan ekonomi Sumatera disebabkan oleh kinerja investasi yang lebih rendah, sementara ekspor luar negeri dan konsumsi rumah tangga masih meningkat. Di KTI, perlambatan ekonomi disebabkan oleh tekanan kinerja ekspor luar negeri di Balnusra dan Sulampua, sedangkan kinerja ekspor Kalimantan membaik. Asesmen terhadap sejumlah indikator ekonomi terkini di berbagai daerah mengindikasikan perekonomian pada triwulan II 2017 akan tumbuh lebih baik terutama di Sumatera dan KTI. Pertumbuhan ditopang oleh meningkatnya konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah serta ekspor luar negeri. Peningkatan konsumsi rumah tangga didukung oleh naiknya permintaan sepanjang Ramadhan dan perayaan HBKN Idul Fitri. Sementara itu, konsumsi pemerintah meningkat seiring realisasi APBD yang mulai terakselerasi. Dari sisi eksternal, kinerja ekspor diprakirakan meningkat khususnya di KTI, sedangkan di Sumatera dan Jawa sedikit tertekan. Perkembangan inflasi di berbagai daerah secara agregat pada triwulan I 2017 tercatat meningkat. Inflasi triwulan I 2017 didorong inflasi administered prices antara lain biaya perpanjangan STNK, tarif listrik, dan BBM non subsidi. Selain itu, volatile foods khususnya komoditas cabai rawit juga turut menyumbang tekanan inflasi akibat penurunan produksi. Memasuki triwulan II 2017, tekanan inflasi cenderung meningkat di seluruh wilayah. Pada April 2017, seluruh provinsi mencatatkan kenaikan tekanan inflasi (yoy) dibanding akhir triwulan I 2017. Selain tarif listrik, inflasi juga disumbang oleh tarif angkutan udara. Realisasi inflasi tertinggi year on year hingga April 2017 terjadi di Sumatera (4,81%), kemudian diikuti KTI (4,24%), dan Jawa (3,95%). Perekonomian pada triwulan III 2017 diperkirakan tumbuh tertahan terutama karena melambatnya ekonomi Jawa dan KTI. Kondisi ini disumbang oleh melambatnya konsumsi rumah tangga pasca perayaan hari besar keagamaan serta ekspor luar negeri seiring belum kuatnya permintaan dari negara mitra dagang dan harga komoditas ekspor yang diperkirakan mengalami sedikit penurunan. Secara keseluruhan tahun 2017, perekonomian daerah diperkirakan tumbuh di kisaran 5,0%-5,4%, lebih tinggi dibanding 2016. Peningkatan optimisme konsumen, pembangunan infrastruktur pemerintah yang terus berlangsung serta
perbaikan investasi swasta dan ekspor luar negeri merupakan sumber pertumbuhan ekonomi di 2017. Sementara itu, inflasi pada 2017 diperkirakan masih berada dalam kisaran sasaran inflasi nasional 4±1%, meski lebih tinggi dari 2016. Pada edisi kali ini, Laporan Nusantara mengangkat isu khusus mengenai “Mendorong Strategi Kebijakan Diversifikasi Sumber Pertumbuhan Ekonomi Daerah untuk Menjaga Momentum Perbaikan Ekonomi Nasional”. Isu tersebut diangkat mengingat masih terdapatnya ketidakseimbangan spasial dan sektoral dalam struktur perekonomian Indonesia, dimana Jawa atau Kawasan Barat Indonesia memiliki kekuatan ekonomi yang kurang seimbang dengan Kawasan Timur Indonesia. Secara sektoral, ketidakseimbangan tercermin dari sumber pertumbuhan ekonomi di sejumlah wilayah yang masih bertumpu komoditas berbasis Sumber Daya Alam (SDA). Kondisi tersebut mengakibatkan tingginya volatilitas pertumbuhan daerah akibat fluktuasi harga dan permintaan dunia terhadap komoditas berbasis SDA. Oleh karena itu, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan, diperlukan upaya diversifikasi sumber pertumbuhan ekonomi baik secara horizontal dan vertikal di berbagai daerah. Penyusunan buku Laporan Nusantara ini dilakukan secara bersama antara Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) serta Departemen Regional I, II, dan III yang masing-masing membawahi regional Sumatera, Jawa, dan Kawasan Timur Indonesia. Akhir kata, kami berharap buku Laporan Nusantara ini dapat bermanfaat dan menjadi acuan bagi para pemangku kepentingan dan pemerhati ekonomi daerah, serta menjadi salah satu kontribusi Bank Indonesia dalam pembangunan ekonomi daerah.
Jakarta, 23 Mei 2017 Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter
Dody Budi Waluyo Asisten Gubernur
Perkembangan Terkini Perekonomian Daerah Perekonomian nasional pada triwulan I 2017 tumbuh lebih tinggi dibanding triwulan sebelumnya. Perekonomian tumbuh sebesar 5,01%, sedangkan pada triwulan sebelumnya tumbuh 4,94%. Pertumbuhan nasional tersebut tetap didorong oleh peran perekonomian Jawa, dengan pangsa ekonomi dominan sebesar 58%, yang tumbuh meningkat. Namun, pertumbuhan ekonomi Sumatera dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang lebih rendah dibanding triwulan sebelumnya menahan ekonomi nasional untuk dapat tumbuh lebih tinggi. Pada triwulan ini perekonomian Kalimantan mulai mencatat pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi dua tahun terakhir. Jika dilihat berdasarkan sebaran provinsi, perbaikan ekonomi pada triwulan I 2017 belum merata. Perbaikan ekonomi Jawa ditopang oleh membaiknya ekonomi DKI Jakarta, Banten, dan DIY. Sementara, tiga provinsi lainnya tumbuh melambat. Di Sumatera, lebih dari separuh provinsi di wilayah tersebut tumbuh melambat. Adapun pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi di KTI tercatat cukup beragam, pertumbuhan ekonomi meningkat di seluruh Kalimantan, namun melambat di sebagian besar wilayah Sulawesi-Maluku-Papua (Sulampua) dan BaliNusa Tenggara (Balinusra). Dari seluruh provinsi di Indonesia, hanya Nusa Tenggara Barat yang mencatatkan pertumbuhan negatif seiring dengan berakhirnya periode ijin ekspor mineral tembaga. Perekonomian Jawa pada triwulan I 2017 tumbuh kuat sebesar 5,66% atau meningkat dibanding triwulan lalu yang tumbuh 5,45%. Lebih tingginya pertumbuhan ekonomi Jawa didorong oleh membaiknya investasi dan
1
konsumsi pemerintah, yang sempat terkontraksi 1 di triwulan lalu . Pelaksanaan Pilkada serentak termasuk di Jawa (DKI Jakarta dan 5 daerah lainnya) pada Februari 2017 memberikan sumbangan perbaikan realisasi konsumsi pemerintah. Investasi tercatat meningkat, yang ditandai oleh peran realisasi proyek infrastruktur pemerintah yang masih lebih kuat dibandingkan swasta yang juga memperlihatkan peningkatan kapasitas produksi industri manufaktur. Sementara itu, konsumsi rumah tangga, walaupun tumbuh sedikit melambat, tetap tumbuh kuat dan masih menjadi penopang ekonomi Jawa. Di sisi lain, ekspor tumbuh melambat seiring masih rendahnya permintaan dari mitra dagang utama Jawa seperti Eropa, Tiongkok dan Jepang. Meningkatnya impor, terutama bahan modal, turut menahan laju pertumbuhan ekonomi Jawa di triwulan laporan. Dari sisi lapangan usaha (LU), seluruh LU utama Jawa mencatatkan pertumbuhan lebih tinggi, khususnya industri pengolahan, terutama pada sub-LU alat angkut; serta perdagangan seiring masih kuatnya permintaan domestik. Kinerja LU pertanian juga tumbuh meningkat didorong adanya panen raya tanaman bahan makanan di paruh kedua triwulan I 2017. Perekonomian Sumatera pada triwulan I 2016 tumbuh lebih rendah dari triwulan sebelumnya karena melambatnya kinerja investasi. Ekonomi Sumatera tercatat tumbuh 4,05%, lebih rendah dibanding triwulan IV 2016 yang mampu tumbuh 4,49%. Perlambatan ekonomi tersebut terutama 1
Langkah konsolidasi fiskal oleh Pemerintah, seiring terbatasnya pencapaian pajak, mendorong Pemerintah untuk melakukan sejumlah efisiensi pengeluaran seperti pengadaan barang dan jasa serta perjalanan dinas, termasuk pemotongan dan penundaan transfer dana ke berbagai daerah pada triwulan IV 2016.
karena masih lemahnya investasi non-bangunan oleh swasta sebagaimana siklusnya di awal tahun, ditengah membaiknya indikator makroekonomi daerah lainnya. Kenaikan ekspor luar negeri yang kemudian berimbas pada kenaikan konsumsi rumah tangga, disertai membaiknya konsumsi pemerintah yang sempat kontraktif di triwulan lalu, berhasil membawa ekonomi Sumatera tetap tumbuh kuat di triwulan laporan. Kenaikan harga komoditas ekspor seperti CPO, karet, dan kopi yang sudah berlangsung sejak triwulan akhir 2016 memberi dampak positif pada pendapatan ekspor dan konsumsi rumah tangga di daerah
menurun, seperti yang tercatat di Riau dan Kepulauan Riau. Kondisi tersebut mengakibatkan kinerja LU Pertambangan menjadi terus menurun yang kemudian berimbas pada LU perdagangan dan akhirnya turut berperan pada melambatnya perekonomian Sumatera. Penurunan ekspor antar daerah di Sumatera secara jelas mencerminkan perlambatan perdagangan dimaksud. Namun, kinerja pertanian dan industri pengolahan yang menguat seiring puncak panen tabama serta perbaikan harga dan permintaan ekspor komoditas telah berkontribusi dalam menahan perlambatan ekonomi lebih dalam.
Dari sisi lapangan usaha utama, faktor natural declining migas mengakibatkan lifting migas terus
Gambar I.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan I 2017 (% yoy)
Perekonomian Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada triwulan I 2017 masih tumbuh kuat meski melambat karena kinerja ekspor luar negeri. KTI tumbuh dari 5,54% menjadi 5,01% pada triwulan I 2017. Sumber utama penyebab melemahnya ekonomi KTI adalah kinerja ekspor konsentrat Tembaga dari Papua dan NTB yang rendah karena faktor regulasi ijin ekpsor yang belum diperbarui oleh operator. Pengurusan administrasi untuk perpanjangan izin ekspor baru, ternyata tidak bisa selesai sesuai target. Namun, membaiknya kinerja ekspor Batubara di wilayah Kalimantan mampu menahan perlambatan ekonomi KTI lebih dalam. Perbaikan ekspor Batubara, karena faktor harga, juga mengubah arah ekonomi Provinsi
2
Kalimantan Timur menjadi tumbuh positif setelah dua tahun berturut-turut mengalami pertumbuhan negatif. Di sisi lain, membaiknya konsumsi pemerintah, dari kondisi kontraksi pada triwulan sebelumnya, serta meningkatnya kinerja konsumsi rumah tangga dan investasi berhasil mendorong tumbuhnya ekonomi KTI di triwulan laporan. Peningkatan konsumsi rumah tangga tercermin pada membaiknya konsumsi masyarakat pada makanan dan minuman, pakaian dan alas kaki, perumahan dan perlengkapan rumah tangga, serta konsumsi restoran dan hotel. Sementara, meningkatnya kinerja investasi didorong oleh
investasi bangunan di Kalimantan dan Sulampua terkait percepatan pengerjaan beberapa proyek infrastruktur strategis nasional. Peningkatan kapasitas kilang minyak serta pembangunan pabrik baru (misalnya pabrik makanan olahan di NTT dan NTB) juga turut menyumbang peningkatan investasi di sisi swasta. Dari sisi lapangan usaha utama, selain karena melambatnya LU pertambangan, lebih rendahnya pertumbuhan KTI juga disumbang perlambatan pertanian dan perdagangan. Melambatnya
pertanian terutama terjadi di Sulampua karena masih lemahnya permintaan untuk komoditas kakao, jagung, dan ikan. Adapun perlambatan perdagangan terutama terjadi untuk perdagangan besar di Balnusra dan Sulampua sebagai dampak dari menurunnya kinerja pertambangan terhadap pendapatan dan daya beli masyarakat. Meski demikian, meningkatnya pertumbuhan LU industri pengolahan, konstruksi, dan penyediaan akomodasi mampu menopang pertumbuhan KTI di triwulan laporan.
Tabel I.1. Tendensi Arah Perekonomian Daerah Triwulan II 2017*
PDRB
AGREGASI
SUMATERA Tendensi
Asesmen
JAWA Tendensi
Asesmen
KAWASAN TIMUR INDONESIA Asesmen
Tendensi
Pertumbuhan Ekonomi
Didorong meningkatnya konsumsi dan investasi; tertahan menurunnya netekspor.
Didorong meningkatnya konsumsi dan investasi; tertahan melambatnya ekspor.
Didorong meningkatnya konsumsi, investasi dan ekspor; tertahan meningkatnya impor.
Konsumsi RT
Naiknya permintaan sepanjang Ramadhan & Lebaran.
Naiknya permintaan sepanjang Ramadhan & Lebaran.
Naiknya permintaan sepanjang Ramadhan & Lebaran.
Konsumsi Pemerintah
Penyaluran gaji ke-13 dan ke14. Pengesahan lelang di awal Tw II 2017.
Penyaluran gaji ke-13 dan ke14. Pengesahan lelang di awal Tw II 2017.
Investasi (PMTB)
Percepatan proyek infrastruktur strategis pemerintah.
Berlanjutnya proyek infrastruktur pemerintah dan swasta.
Ekspor LN
Prospek harga komoditas tidak sebaik triwulan sebelumnya. Potensi diversifikasi negara tujuan
Ekspor ke negara mitra dagang utama (Tiongkok, Jepang, AS) diperkirakan tumbuh terbatas.
Impor LN
Meningkatnya impor barang konsumsi dan barang modal.
Impor barang modal melambat.
Penyaluran gaji ke-13 dan ke14.Komitmen percepatan lelang proyek. Percepatan proyek infrastruktur pemerintah. Investasi swasta, a.l. smelter di Kalimantan, Sulawesi, dan Malut; peningkatan kapasitas kilang minyak di Kalimantan; pabrik makanan olahan di NTB dan NTT. Telah diperolehnya izin ekspor produsen mineral. Relaksasi aturan ekspor hasil tambang. Meningkatnya impor bahan baku & barang modal.
* Tendensi arah kondisi ekonomi secara tahunan (year-on-year) Keterangan : hijau (berkontribusi positif terhadap PDRB), merah (berkontribusi negatif terhadap PDRB)
Perekonomian pada triwulan II 2017 terindikasi membaik di seluruh wilayah. Perekonomian akan didorong oleh meningkatnya konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah serta ekspor luar negeri (Tabel I.1). Konsumsi rumah tangga diprakirakan membaik sehubungan naiknya permintaan karena faktor musiman Ramadhan dan perayaan HBKN. Konsumsi pemerintah juga diprakirakan meningkat seiring dikeluarkannya gaji ke-13 dan ke-14 serta percepatan pengesahan lelang yang biasanya mulai terjadi di awal triwulan II 2017, sehingga belanja modal serta barang dan jasa sudah mulai terealisasi.
3
Percepatan proyek-proyek infrastruktur pemerintah serta menguatnya investasi swasta diharapkan terus membaik untuk mendorong investasi di seluruh wilayah. Sementara itu, prospek harga komoditas yang diprakirakan tidak sebaik triwulan sebelumnya karena kebijakan negara partner, serta tekanan permintaan mitra dagang utama diperkirakan menekan kinerja ekspor Sumatera dan Jawa. Namun, ekspor KTI diperkirakan pulih kembali seiring dengan telah diberikannya izin ekspor mineral kepada produsen utama di Papua dan
NTB serta adanya relaksasi ketentuan ekspor hasil tambang nikel low grade.
NPL lapangan usaha utama masih di bawah 5%, kecuali Pertambangan di Sumatera dan KTI.
Berdasarkan lapangan usaha utama, perekonomian Jawa tumbuh menguat terutama ditopang akselerasi industri pengolahan, perdagangan, dan konstruksi seiring menguatnya konsumsi rumah tangga dan berlanjutnya investasi bangunan pemerintah dan swasta. Sementara, meningkatnya pertumbuhan Sumatera didorong oleh LU pertanian, perdagangan, dan konstruksi. Meningkatnya kinerja pertanian didorong adanya periode panen raya di berbagai provinsi sentra seiring kondisi cuaca yang mendukung peningkatan produksi tabama. Adapun perekonomian KTI tumbuh meningkat terutama ditopang meningkatnya kinerja pertambangan, perdagangan dan industri pengolahan. Ekspektasi kenaikan permintaan menjelang Ramadhan mendorong tingginya aktivitas perdagangan serta meningkatnya produksi industri makanan olahan, seperti industri tepung terigu di Sulawesi Selatan dan beberapa industri bahan makanan di Balinusra.
Kinerja keuangan sektor rumah tangga juga tumbuh meningkat dibanding triwulan lalu. Hal ini tercermin dari penyaluran kredit rumah tangga yang tumbuh 7,23%, lebih tinggi dibanding triwulan III 2016 yang tumbuh 5,11%. Peningkatan kredit rumah tangga tersebut terjadi di Sumatera dan KTI, terutama untuk kredit pemilikan rumah dan kredit multiguna. Peningkatan pertumbuhan kredit rumah tangga di semua wilayah tersebut terjadi seiring dengan semakin membaiknya NPL.
Stabilitas Keuangan Daerah Kinerja korporasi di daerah meningkat di semua wilayah, yang tercermin dari kinerja kredit 2 sektor korporasi pada triwulan I 2017. Penyaluran kredit ke sektor usaha pada triwulan laporan berhasil tumbuh 9,24% (yoy), lebih tinggi dibanding triwulan lalu 7,50% (yoy). Peningkatan kredit pertambangan di Sumatera dan KTI melanjutkan pola recovery yang terjadi sejak triwulan lalu seiring membaiknya harga komoditas. Perbaikan harga komoditas juga berkontribusi pada meningkatnya pertumbuhan kredit industri pengolahan di Sumatera. Selain itu, faktor harga komoditas juga berpengaruh pada peningkatan kredit perdagangan khususnya di Jawa dan Sumatera yang didukung oleh masih kuatnya permintaan masyarakat. Pertumbuhan kredit korporasi didukung tingkat nonperforming loan (NPL) yang relatif stabil di semua wilayah. 2
Kredit korporasi disini merupakan kredit yang disalurkan kepada lapangan usaha
4
Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah Aktivitas transaksi keuangan pada triwulan I 2017 tumbuh sejalan dengan pertumbuhan perekonomian, baik melalui RTGS maupun Kliring. Nilai transaksi keuangan melalui sistem Real Time Gross Settlement (RTGS) sepanjang triwulan I 2017 tumbuh 8,7% (yoy) atau senilai Rp28.924 triliun, sedikit lebih rendah dibanding triwulan sebelumnya yang tumbuh cukup tinggi 11,45% (yoy) sesuai pola musimannya pada akhir tahun. Namun, dari sisi volume, transaksi RTGS mengalami lonjakan signifikan. Transaksi RTGS pada triwulan laporan mampu tumbuh 17,72% (yoy) atau sebesar 1,69 juta transaksi; lebih tinggi dari triwulan sebelumnya yang tercatat tumbuh negatif 24,19% (yoy). Sejalan dengan itu, perputaran kliring melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) pada triwulan I 2017 terlihat semakin membaik. Secara volume, meskipun masih tumbuh negatif 18,50% (yoy) atau tercatat sekitar 31,35 juta transaksi, namun cenderung membaik dibanding triwulan sebelumnya yang tumbuh negatif 20,83% (yoy). Di sisi lain, nilai transaksi perputaran kliring mencatatkan pertumbuhan negatif 19,72% (yoy) atau sebesar Rp891,4 triliun; lebih rendah dibanding triwulan lalu yang tumbuh negatif 6,22% (yoy) atau sebesar Rp962,4 triliun.
Peredaran uang kartal juga menunjukkan peningkatan signifikan sejalan dengan ekonomi yang tumbuh di daerah. Kondisi tersebut tercermin dari meningkatnya outflow uang kartal dari Bank Indonesia sepanjang triwulan I 2017
yang mencapai pertumbuhan 26,55% (yoy), jauh lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh 0,12% (yoy). Peningkatan pertumbuhan tersebut terjadi di semua wilayah, baik Sumatera, Jawa, dan KTI.
Gambar I.2. Peta Inflasi Daerah, April 2017 (yoy)
Perkembangan Inflasi Tekanan inflasi daerah secara agregat pada triwulan I 2017 tercatat meningkat. Inflasi tahunan (yoy) tercatat meningkat di Jawa dan KTI, serta mulai menurun di Sumatera. Meski demikian, inflasi Sumatera masih yang tertinggi dibanding dua wilayah lain (Gambar I.2). Terdapat empat provinsi yang mencatatkan inflasi diatas rentang sasaran inflasi 4±1%, yakni Kepulauan Bangka Belitung (6,40%), Bengkulu (6,01%), Riau (5,03%), dan Kalimantan Barat (5,02%). Tingginya inflasi triwulan I 2017 terutama terjadi di awal periode yang didorong inflasi administered prices seperti biaya perpanjangan STNK, tarif listrik, dan bensin serta inflasi inti terutama tarif pulsa ponsel. Kenaikan biaya 3 perpanjangan STNK lebih dari 100% terjadi di semua daerah, dengan kenaikan tertinggi terjadi di Jawa yang mencapai 5,5% (mtm). Inflasi tarif listrik terjadi seiring penyesuaian tarif listrik untuk pelanggan daya 900 VA nonsubsidi. 3
PP 60/2016 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang menggantikan PP No. 50 Th 2010 dan berlaku sejak 6 Januari 2017.
5
Sementara komoditas BBM yang mengalami kenaikan yaitu Pertamax, Pertalite, Pertamina Dex, dan Dexlite, masing-masing sebesar Rp300/liter seiring meningkatnya harga minyak dunia. Kenaikan tarif pulsa ponsel terjadi sejak September 2016 untuk menutup biaya investasi perusahaan perusahaan penyedia jasa telekomunikasi. Selain kelompok administered prices dan inflasi inti, volatile foods khususnya komoditas cabai rawit juga turut menyumbang tekanan inflasi di triwulan I 2017. Anomali cuaca dan curah hujan tinggi yang merata di seluruh Indonesia menyebabkan penurunan produksi cabai rawit karena (i) menurunnya ekspektasi hasil produksi yang mendorong sebagian petani menunda waktu tanam, (ii) terjadinya gangguan distribusi hasil panen, serta (iii) merebaknya berbagai Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang merusak tanaman seperti jamur patek dan virus Gemini. Meski demikian, koreksi harga cabai merah di sepanjang triwulan I 2017 mampu menahan tekanan inflasi di Jawa dan KTI, serta menurunkan tekanan inflasi di Sumatera.
Memasuki triwulan II 2017, tekanan inflasi cenderung meningkat di seluruh wilayah. Berdasarkan rilis inflasi Apil 2017, tekanan inflasi tahunan (yoy) wilayah secara berurut dari yang tertinggi adalah Sumatera (4,81%), KTI (4,24%), dan Jawa (3,95%). Seluruh provinsi juga mencatatkan kenaikan tekanan inflasi (yoy) dibanding akhir triwulan I 2017. Bahkan terdapat lima provinsi yang mencatatkan inflasi diatas rentang sasaran inflasi 4±1%, yakni Kepulauan Bangka Belitung (8,37%), Bengkulu (6,60%), Riau (6,40%), Kalimantan Barat (5,79%) dan Sulawesi Tengah (5,09%). Selain tarif listrik yang masih menjadi penyumbang inflasi di triwulan ini, tarif angkutan udara menjadi penyumbang tekanan inflasi lainnya dari kelompok administered prices. Komoditas ini mulai merangkak naik seiring tingginya permintaan menjelang HBKN Idul Fitri pada akhir triwulan II 2017. Tingginya permintaan juga membuat harga komoditas pangan naik, terutama bawang putih, daging ayam ras, dan tomat sayur; yang merupakan penyumbang inflasi utama April 2017. Peningkatan tekanan inflasi diperkirakan terjadi di semua wilayah sampai akhir triwulan II 2017 sejalan dengan Siklus Ramadhan dan HBKN Idul Fitri.
Prospek dan Tantangan Ekonomi Daerah Prospek Ekonomi Daerah Perekonomian daerah secara agregat pada triwulan III 2017 diperkirakan tumbuh tertahan terutama karena melambatnya ekonomi Jawa dan KTI. Secara agregat, pertumbuhan ekonomi tertahan oleh melambatnya konsumsi rumah tangga serta ekspor luar negeri. Lebih rendahnya konsumsi rumah tangga terjadi seiring kembali normalnya konsumsi pasca mencapai puncaknya pada Ramadhan dan HBKN Idul Fitri di triwulan II 2017. Sementara perbaikan ekspor tertahan karena masih terbatasnya peningkatan harga komoditas dan permintaan negara mitra dagang. Meski demikian, meningkatnya konsumsi
6
pemerintah, investasi dan ekspor antar daerah masih akan mendorong perekonomian. Ekonomi Jawa melambat terutama karena perlambatan industri pengolahan dan perdagangan sejalan dengan kembali normalnya konsumsi masyarakat pasca Ramadhan dan HBKN Idul Fitri. Namun, meningkatnya kinerja LU pertanian dan konstruksi mampu menahan perlambatan lebih dalam. Sementara itu, perekonomian KTI tumbuh lebih rendah karena melambatnya sektor pertambangan, perdagangan, penyediaan akomodasi, dan perdagangan. Hal ini terkait dengan pergerakan harga komoditas yang diperkirakan tidak setinggi triwulan II 2017, terutama untuk batubara, bijih besi, nikel, dan CPO. Meski demikian, membaiknya LU konstruksi karena percepatan proyek infrastruktur pemerintah mampu menahan perlambatan ekonomi KTI. Di sisi lain, perekonomian Sumatera mampu tumbuh sedikit lebih tinggi karena perbaikan di LU konstruksi dan industri pengolahan, seiring masih berlanjutnya proyek infrastruktur strategis dan mulai menggeliatnya investasi swasta. Hingga akhir tahun 2017, perekonomian diperkirakan tumbuh di kisaran 5,0%-5,4%, lebih tinggi dibanding 2016. Perbaikan pertumbuhan ekonomi 2017 diperkirakan berlangsung di seluruh wilayah. Optimisme konsumen yang cukup kuat diperkirakan akan mampu menjadi pondasi pertumbuhan konsumsi rumah tangga serta perdagangan antar daerah. Selain itu, pembangunan infrastruktur pemerintah di berbagai daerah diprakirakan mampu mendorong peningkatan investasi fisik. Beberapa paket kebijakan pemerintah terkait deregulasi perijinan dan berbagai insentif investasi diharapkan mampu menarik investasi swasta yang lebih tinggi di sepanjang tahun 2017. Selain itu, perbaikan kondisi ekonomi dan capaian positif tax amnesty diharapkan mampu mendukung kondisi fiskal dan kinerja konsumsi pemerintah yang lebih baik, meski masih terdapat potensi short fall pajak. Sementara itu, prakiraan meningkatnya ekspor di berbagai
daerah juga ditopang oleh perbaikan perekonomian dunia, yang akan mendorong volume perdagangan dunia, serta didukung perbaikan harga komoditas seperti minyak, gas alam, CPO, karet, aluminium, timah, dan nikel. Inflasi pada 2017 diperkirakan masih berada dalam kisaran sasaran inflasi nasional 4±1%, namun lebih tinggi dari 2016. Hal tersebut didukung terkendalinya inflasi inti seiring stabilnya nilai tukar rupiah serta minimnya ancaman cuaca yang dapat mengganggu produksi tanaman pangan dan hortikultura. Namun, penyesuaian administered prices patut diwaspadai karena berpotensi memberikan tekanan inflasi 2017. Hingga akhir tahun 2017, risiko inflasi terutama lebih banyak berasal dari kelompok administered prices seiring dengan beberapa kebijakan penyesuaian harga maupun alokasi subsidi yang dilakukan oleh pemerintah, antara lain kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL) untuk pelanggan 900 VA dan 450 VA serta kenaikan cukai rokok. Selain itu, terdapat risiko kenaikan harga minyak dunia yang berpotensi meningkatkan harga BBM, serta perlu diwaspadai dampak turunannya terhadap tarif angkutan dan harga komoditas lainnya. Ke depan, Pemerintah Daerah perlu memberi perhatian khusus yang berimbang baik pada pencapaian pertumbuhan ekonomi maupun pengendalian inflasi. Sesuai dengan arahan Presiden pada Rakornas TPID VII 2016, dalam konteks pengendalian inflasi kedepan, Pemerintah Daerah perlu (i) segera membentuk TPID bagi daerah yang belum memilikinya; (ii) merumuskan dukungan intervensi atau program pengendalian harga yang diperlukan dengan alokasi APBD yang memadai; (iii) bersama-sama dengan penegak hukum untuk melakukan pengawasan kewajaran stok pangan di gudanggudang daerah secara berkala; (iv) melakukan monitoring kondisi infrastruktur distribusi pangan daerah dan segera melakukan perbaikan yang diperlukan; serta (v) mencermati kondisi distribusi pasokan pangan dan mengidentifikasi faktor-faktor yang memicu disparitas harga.
7
4
High Level Meeting TPI-TPID menyepakati tiga hal terkait pengendalian inflasi kedepan. Pertama, menekan laju inflasi volatile food (VF) menjadi di kisaran 4-5%, melalui (i) penguatan infrastruktur logistik pangan di daerah, khususnya pergudangan untuk penyimpanan komoditas; (ii) pembangunan sistem data lalu lintas barang, khususnya komoditas pangan; (iii) penggunaan instrumen dan insentif fiskal untuk mendorong peran pemerintah daerah dalam stabilisasi harga; (iv) upaya mendorong diversifikasi pola konsumsi pangan masyarakat, khususnya untuk konsumsi cabai dan bawang segar, antara lain dengan mendorong inovasi industri produk pangan olahan; (v) penguatan kerjasama antar daerah; (vi) percepatan pembangunan infrastruktur konektivitas; dan (vii) perbaikan pola tanam pangan. Kedua, mengendalikan dampak lanjutan dari penyesuaian kebijakan administered prices (AP), seperti pengendalian tarif angkutan umum; serta ketiga, melakukan pentahapan (sequencing) kebijakan AP, termasuk rencana implementasi konversi beberapa jenis subsidi langsung menjadi transfer tunai antara lain subsidi pupuk, raskin, dan LPG 3 kg.
Tantangan Ke Depan Sepanjang 2017, perekonomian daerah akan dihadapkan pada berbagai tantangan, baik global maupun domestik. Di tengah ekonomi global yang diprakirakan membaik, ekonomi negara mitra dagang, khususnya Eropa dan sebagian Asia, diproyeksikan masih tumbuh terbatas. Walaupun terdapat perkiraan perbaikan volume perdagangan dunia, kebijakan ekonomi AS yang cenderung lebih protektif berisiko menekan pertumbuhan ekonomi dunia. Meski dampak langsung terhadap kinerja investasi dan ekspor Indonesia tidak terlalu besar, mengingat eksposurnya yang relatif kecil, namun dampak tidak langsungnya perlu dicermati. Selain itu, risiko peningkatan suku bunga The Fed akan 4
Diselenggarakan di Kantor Bank Indonesia, Jakarta pada 25 Januari 2017
memberikan tekanan terhadap nilai tukar dan arus modal. Di sisi domestik, kemampuan fiskal masih relatif terbatas seiring potensi pajak yang belum dapat terserap secara optimal. Disamping itu, proses transisi kepemimpinan daerah hasil Pilkada 2017 berisiko menghambat pengambilan kebijakan strategis. Momentum Pilkada juga berpotensi mendorong investor untuk berperilaku wait and see. Di sisi lain, kebijakan peningkatan Domestic Market Obligation (DMO) mineral dan batubara di tengah belum kuatnya serapan domestik, berpotensi menahan peningkatan produksi. Lebih 5 jauh, ekspor mineral bersyarat juga menjadi tantangan kinerja ekspor pertambangan. Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan, diperlukan upaya diversifikasi sumber pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah. Hingga saat ini, masih terdapat ketidakseimbangan spasial dan sektoral dalam perekonomian Indonesia. Secara spasial, Jawa menyumbang 58% dari perekonomian nasional, sementara Sumatera dan KTI hanya menyumbang masing-masing 22% dan 20%. Secara sektoral, sumber pertumbuhan ekonomi berbagai wilayah masih sangat bertumpu pada produksi dan ekspor komoditas. Hal inilah yang membuat ekonomi Indonesia rentan terhadap fuktuasi harga komoditas dunia serta penurunan ketersediaan sumber daya alam tak terbaharukan seperti migas dan tambang. Keberhasilan ekonomi suatu negara bukan ditentukan oleh seberapa besar kekayaan SDA yang dimiliki, namun ditentukan oleh strategi pengolaan SDA. Karena tanpa pengelolaan yang baik, negara yang kaya SDA seperti Indonesia tidak akan mendapat benefit optimal dan rentan terjebak dalam fenomena kutukan SDA (resource course). Untuk mendorong upaya diversifikasi kita perlu mengatasi simpul masalah dan berbagai tantangan terkait upaya diversifikasi 5
PP. No. 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas PP No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
8
perekonomian daerah di Indonesia. Terdapat setidaknya tiga masalah utama terkait diversifikasi: (i) diversifikasi ekonomi beberapa daerah masih rendah sehingga struktur ekonominya rentan terhadap shock, (ii) overconcentration menyebabkan sektor ekonomi lain kurang berkembang, serta (iii) ketidakseimbangan sektoral mengakibatkan kerentanan kinerja ekspor. Sejumlah tantangan dan strategi diversifikasi akan dibahas pada Bab V Isu Strategis: Mendorong Strategi Kebijakan Diversifikasi Sumber Pertumbuhan Ekonomi Daerah untuk Menjaga Momentum Perbaikan Ekonomi Nasional.
Perekonomian Sumatera pada triwulan I 2017 tumbuh mencapai 4,05% (yoy), lebih rendah dari triwulan sebelumnya sebesar 4,49% (yoy) terutama disebabkan realisasi investasi yang lebih rendah ditengah peningkatan konsumsi dan ekspor. Sementara itu, komponen konsumsi pemerintah juga mengalami peningkatan terutama didorong selain oleh realisasi yang lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, juga oleh transfer DAU yang sempat tertunda di tahun lalu. Di sisi lain, pelaksanaan Pilkada serentak di beberapa daerah di Sumatera turut mendorong aktivitas ekonomi seiring terjadinya akselerasi pertumbuhan konsumsi Lembaga Non-Profit Rumah Tangga. Dari sisi sektoral, perlambatan ekonomi lebih dalam di sektor pertambangan dan penggalian dapat tertahan oleh peningkatan kinerja sektor pertanian dan sektor industri pengolahan. Musim panen raya yang terjadi di triwulan I, setelah di tahun lalu mengalami pergeseran di triwulan II, memberi dampak signifikan terhadap pertumbuhan sektor pertanian. Sejalan dengan itu, peningkatan harga komoditas dan perbaikan kinerja ekspor memberi dampak positif terhadap kinerja sektor industri. Penurunan tekanan inflasi masih berlanjut, dengan inflasi pada triwulan laporan mencapai 3,92% (yoy). Penurunan tersebut terutama bersumber dari penurunan tekanan inflasi volatile foods seiring dengan musim panen raya dan kelancaran distribusi antar daerah sehingga pasokan pangan mencukupi. Namun penurunan tersebut sedikit tertahan oleh kenaikan harga kelompok administered prices sejalan dengan kebijakan pemerintah menaikkan tarif STNK dan melakukan penyesuaian tarif listrik di awal tahun. Dengan adanya perbaikan harga komoditas, tekanan risiko terhadap sektor keuangan di Sumatera relatif berkurang sehingga memberi dampak terhadap membaiknya kinerja sektor keuangan meskipun masih terbatas. Penghimpunan DPK terus mengalami peningkatan, dan tingkat NPL juga masih relatif terjaga. Ke depan, masih perlu dicermati tendensi penurunan kualitas kredit terutama pada sektor konstruksi. Perekonomian di Sumatera tahun 2017 diperkirakan akan lebih baik dibandingkan tahun 2016. Kinerja investasi diperkirakan relatif membaik ditopang oleh masih berlanjutnya proyek infrastruktur strategis. Sementara inflasi Sumatera pada akhir 2017 diproyeksikan mengalami penurunan dan diperkirakan masih akan berada pada rentang sasaran inflasi nasional sebesar 4±1%, didukung oleh koordinasi dan sejumlah program pengendalian inflasi dalam TPID.
Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi wilayah Sumatera pada triwulan I 2017 menunjukkan perlambatan dibandingkan triwulan IV 2016. Pada triwulan laporan, ekonomi Sumatera tumbuh 4,05% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh 4,49% (yoy). Dari sisi penggunaan, perlambatan pertumbuhan ekonomi Sumatera bersumber dari kegiatan investasi yang masih terbatas di awal tahun, terutama investasi nonbangunan. Sementara konsumsi rumah tangga
9
yang meningkat, ditengah kenaikan administered prices, belum mampu mengkompensasi perlambatan pertumbuhan investasi tersebut. Dari sisi sektoral, perlambatan pertumbuhan ekonomi disebabkan oleh menurunnya kinerja sektor pertambangan dan penggalian seiring dengan lifting produksi minyak dan gas bumi yang terus menurun. Dari 10 provinsi di Sumatera, 6 provinsi menunjukkan perlambatan pertumbuhan, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Jambi, Kepulauan Riau,
Sumatera Selatan, dan Bengkulu. Perlambatan pertumbuhan di Sumatera Utara disebabkan oleh menurunnya produksi perkebunan sawit dan karet yang berdampak pada penurunan laju ekspor, serta bergesernya periode panen tanaman pangan dan hortikultura akibat anomali cuaca pada akhir tahun 2016. Di sisi lain, perlambatan pertumbuhan ekonomi di Kepulauan Riau diakibatkan oleh lifting minyak dan gas bumi yang terus mengalami penurunan, serta melemahnya kinerja industri galangan kapal dan industri elektronik.
Konsumen (IKK) dan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) (Grafik II.1.). Konsumen juga menunjukkan optimisme yang lebih baik sejalan dengan Indeks Ekspektasi Konsumen yang menunjukkan arah peningkatan. Perbaikan konsumsi rumah tangga juga tercermin pada penyaluran kredit konsumsi rumah tangga yang meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya dari semula tumbuh 7,64% (yoy) menjadi 8,21% (yoy) (Grafik II.2.).
Tabel II.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Sumatera (%yoy) Provinsi Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Kep. Riau Sumsel Bengkulu Lampung Kep. Babel PDRB (% YoY)
I 3.74 4.66 5.58 2.74 3.53 4.21 4.93 5.02 5.06 3.44 4.19
2016 II II 2.67 2.52 5.49 5.28 5.85 4.81 2.75 1.26 3.55 4.01 5.17 5.50 5.08 4.95 5.43 5.18 5.24 5.26 3.85 4.21 4.47 4.03
IV 4.30 5.25 4.86 2.22 6.35 5.24 5.15 5.56 5.01 4.92 4.49
2016 3.31 5.18 5.26 2.23 4.37 5.03 5.03 5.30 5.15 4.11 4.29
2017 I 2.87 4.50 4.91 2.82 4.27 2.02 5.11 5.21 5.11 6.42 4.05
Grafik II.1. IKK, IKE, dan IEK
Sumber: BPS Tabel II.2. Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Sisi Penggunaan (%yoy) Komponen
I Konsumsi RT 5.23 Konsumsi LNPRT 6.59 Konsumsi Pemerintah 1.38 PMTB 6.30 Ekspor (1.47) Impor (2.14) Net Ekspor 1.12 Perubahan Inventori (38.16) PDRB Penggunaan 4.19
2016 II III 5.44 4.90 5.02 4.48 6.76 (5.60) 6.20 4.54 (0.09) (0.15) 0.95 (1.55) (4.37) 5.32 (11.56) 7.92 4.47 4.03
IV 4.69 3.89 (3.60) 4.40 0.96 (1.00) 15.83 20.46 4.49
2016 5.06 4.95 (0.81) 5.33 0.44 0.11 1.94 (14.63) 4.29
2017 I 4.71 6.62 2.54 4.05 9.06 10.25 4.63 (31.82) 4.05
Sumber: BPS
Konsumsi rumah tangga yang tumbuh meningkat menjadi tumpuan penahan perlambatan pertumbuhan ekonomi Sumatera lebih dalam. Konsumsi rumah tangga pada triwulan I 2017 tumbuh 4,71% (yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh 4,69% (yoy). Membaiknya konsumsi rumah tangga, dikonfirmasi oleh survei konsumen yang menunjukkan tren peningkatan Indeks Keyakinan
10
Grafik II.2. Pertumbuhan Kredit Konsumsi
Pertumbuhan konsumsi pemerintah yang lebih baik dibandingkan triwulan sebelumnya turut menopang pertumbuhan ekonomi Sumatera. Pertumbuhan konsumsi pemerintah pada periode laporan tumbuh 2,54% (yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang menurun sebesar 3,60% (yoy). Peningkatan ini didorong oleh serapan belanja APBD di Sumatera pada triwulan I 2017 yang mencapai 8,63%, melebihi catatan historis pada triwulan yang sama tahun sebelumnya sebesar 8,30%. Peningkatan penyerapan juga didukung oleh alokasi penyaluran dana Transfer Ke Daerah dan
Dana Desa (TKDD) yang lebih cepat sejalan dengan perbaikan kebijakan fiskal pemerintah pusat. Di tengah penguatan konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah tersebut, kinerja investasi tumbuh melambat. Perlambatan tersebut seiring dengan kegiatan investasi non bangunan, khususnya dari pelaku swasta yang masih terbatas. Pada triwulan I 2017 investasi tumbuh 4,05% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 4,40% (yoy). Perlambatan terjadi seiring dengan siklus kegiatan investasi swasta yang cenderung melambat di awal tahun. Hal ini tercermin dari hasil liaison kepada pelaku usaha yang menunjukkan posisi investasi relatif sama dengan triwulan sebelumnya. Investasi non bangunan pada triwulan I 2017 tercatat 0,57% (yoy), jauh lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 5,87% (yoy).
Grafik II.3. Perkembangan PMTB
Tren perbaikan harga komoditas dunia turut menopang perbaikan kinerja ekspor. Ekspor pada triwulan laporan tumbuh signifikan mencapai 9,06% (yoy), jauh melebihi pencapaian triwulan sebelumnya yang hanya tumbuh 0,96% (yoy). Peningkatan pertumbuhan didorong oleh peningkatan aktivitas ekspor luar negeri produk komoditas seperti minyak kelapa sawit (CPO), karet, minyak nabati dan kopi. Namun, pertumbuhan impor jauh lebih tinggi dibandingkan ekspor sejalan dengan menguatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga, terutama berasal dari impor antar daerah. Di samping itu, impor luar negeri juga meningkat khususnya
11
untuk pemenuhan bahan baku industri. Pertumbuhan impor pada triwulan I 2017 tumbuh mencapai 10,25% (yoy), jauh melebihi triwulan sebelumya yang menurun 1,0% (yoy). Lebih tingginya pertumbuhan impor dibandingkan ekspor tersebut menyebabkan pertumbuhan net ekspor melambat dari semula sempat mencapai 15,83% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi tumbuh 4,63% (yoy).
Grafik II.4. Perkembangan Ekspor
Pada triwulan II 2017, pertumbuhan ekonomi Sumatera diperkirakan tumbuh lebih baik mencapai 4,53% (yoy). Perbaikan pertumbuhan ditopang konsumsi rumah tangga yang membaik sejalan dengan meningkatnya permintaan memasuki bulan Ramadhan dan perayaan Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) Idul Fitri. Optimisme perbaikan konsumsi rumah tangga ini tercermin dari perbaikan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK). Penguatan konsumsi rumah tangga juga didukung oleh peningkatan belanja konsumsi pemerintah melalui pencairan gaji ke13 dan 14 PNS. Kinerja investasi juga diperkirakan akan semakin membaik didukung oleh peningkatan belanja modal pemerintah sejalan dengan proses pengadaan yang akan dipercepat. Di samping itu, pemerintah juga akan melakukan percepatan pengerjaan proyek infrastruktur strategis, seperti pembangunan jalan tol MedanKualanamu, Tebing Tinggi-Parapat, PalembangSimpang Indralaya, serta Pelabuhan Kuala Tanjung. Di sisi lain, kinerja ekspor diperkirakan akan sedikit melambat disebabkan oleh prospek harga komoditas yang diperkirakan tidak sebaik di triwulan sebelumnya.
Kinerja Lapangan Usaha Pertanian Kinerja sektor pertanian meningkat sejalan dengan meningkatnya produksi terkait dengan musim panen yang terjadi di triwulan I 2017, setelah di tahun lalu mengalami pergeseran di triwulan II. Peningkatan hasil pertanian juga dikonfirmasi oleh pelaku usaha melalui liaison (Grafik II.5) dan hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) (Grafik II.6). Pelaku usaha dari sektor pertanian mengkonfirmasi adanya peningkatan jumlah permintaan dibandingkan periode sebelumnya baik yang berasal dari pemintaan domestik maupun permintaan untuk pemenuhan ekspor.
berpeluang meningkat sejalan dengan pelaksanaan program-program ketahanan pangan di sejumlah provinsi, serta didukung dengan prakiraan cuaca yang relatif kondusif bagi peningkatan hasil produksi pertanian dan perkebunan.
Grafik II.7. Perkiraan Kegiatan Usaha Pertanian
Sub sektor perkebunan diperkirakan perbaikannya akan sedikit tertahan sejalan dengan prospek harga komoditas pada triwulan II 2017 yang diperkirakan tidak sebaik di triwulan sebelumnya. Harga CPO pada triwulan I 2017 meningkat sebesar 22,99% (yoy) setelah triwulan sebelumnya mencatat peningkatan tertinggi sebesar 32,25% (yoy) (Grafik II.8). Grafik II.5. Likert Scale Pertanian
Grafik II.6. Realisasi Kegiatan Usaha Pertanian
Kinerja pertanian diperkirakan mengalami peningkatan pada triwulan II 2017 sejalan dengan periode panen raya yang sebagian besar terjadi pada triwulan II. Optimisme ini terlihat dari indikasi optimisme pelaku usaha pertanian hingga April 2017 berdasarkan hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) (Grafik II.7). Hasil produksi tanaman bahan makanan (Tabama)
12
Sumber: Bloomberg Grafik II.8. Harga CPO Internasional
Pertambangan Kinerja lapangan usaha pertambangan pada triwulan I 2017 masih mengalami kontraksi. Hal ini terutama akibat penurunan lifting minyak di Riau. Pada periode laporan, kinerja pertambangan menurun 2,03% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang menurun sebesar 1,04% (yoy) (Grafik II.9.).
Penurunan lifting minyak di Riau terjadi akibat penurunan produktivitas sumur minyak yang sudah tua (natural declining) dan minimnya eksplorasi sumber cadangan minyak baru yang produktif.
Sumber: Bloomberg Grafik II.9. Lifting Minyak Riau
Berdasarkan hasil liaison, pelaku usaha utama yang bergerak sebagai produsen gas di Sumatera mengalami penurunan penjualan akibat penghentian pembelian gas alam dari salah satu pelaku usaha yang bergerak dalam eskplorasi dan pengolahan minyak bumi sebagai respon terjadinya penurunan produksi minyak bumi. Lapangan usaha pertambangan diperkirakan akan sedikit mengalami perbaikan pada triwulan II 2017 sejalan dengan perkiraan peningkatan harga migas dunia. Kontraksi diperkirakan akan mereda pada komoditas migas selaras dengan prospek harga migas yang akan mengalami sedikit peningkatan.
Sumber: World Economic Outlook, IMF Grafik II.10. Average Petroleum Spot Price
Selain itu, produksi batubara di Sumatera Selatan juga diperkirakan akan meningkat seiring dengan
13
beroperasinya infrastruktur pendukung, seperti rel kereta api, tempat penampung, dan meningkatnya permintaan domestik dari beberapa PLTU yang beroperasi di Sumatera. Kinerja produksi tambang timah juga diperkirakan akan meningkat sejalan dengan harga timah ke depan yang diperkirakan akan membaik. Perbaikan harga timah selain didorong oleh peningkatan permintaan, juga terjadi akibat menurunnya pasokan timah dunia terkait rencana Tiongkok untuk mengurangi produksi timah. Selain itu, dengan mulai beroperasinya beberapa smelter sebagai bentuk implementasi ketentuan Permendag No. 33/M.DAG/PER/5/2015 diperkirakan akan turut mendorong pertumbuhan lapangan usaha pertambangan dan turut mendorong peningkatan kinerja ekspor luar negeri.
Sumber: Bloomberg Grafik II.11. Harga Batu Bara Internasional
Industri Pengolahan Lapangan usaha industri pengolahan membaik terutama ditopang oleh peningkatan penyerapan CPO domestik. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah yang menerapkan regulasi domestic market obligation (DMO), yaitu 15% dari produksi kelapa sawit digunakan untuk pemenuhan permintaan domestik dan sebagai Bahan Bakar Nabati (BBN). Pertumbuhan industri pengolahan pada triwulan I 2017 tercatat 5,28% (yoy), lebih tinggi dari triwulan sebelumnya sebesar 5,17% (yoy). Peningkatan kinerja industri pengolahan juga tercermin dari hasil liaison yang menunjukkan peningkatan penjualan domestik.
Grafik II.12. Likert Scale Industri Pengolahan
Kinerja industri pengolahan diperkirakan akan mengalami perlambatan pada triwulan II 2017. Perlambatan diperkirakan bersumber dari beberapa tantangan yang akan dihadapi oleh lapangan usaha industri pengolahan di Sumatera seperti produk kelapa sawit beserta turunannya, serta produk kertas, antara lain terkait: i) Black Campaign CPO di Eropa yang berdampak pada penerapan peningkatan bea masuk dan non-tariff barrier berupa kewajiban penggunaan label POF (Palm Oil Free) pada sejumlah produk impor. Di samping itu beberapa negara lain seperti India, Rusia, dan Tiongkok juga menerapkan bea masuk; ii) Tindakan anti dumping kertas oleh Amerika Serikat; dan iii) Harga gas industri yang masih relatif tinggi serta adanya penyesuaian tarif listrik yang berpotensi meningkatkan biaya produksi dan menekan margin usaha.
Grafik II.13. Survei Penjualan Eceran (SPE)
Sumber: SAMSAT Grafik II.14. Pendaftaran Kendaraan Baru
Perdagangan Kinerja perdagangan tumbuh melambat pada triwulan I 2017, didorong oleh perlambatan kinerja perdagangan antardaerah. Sektor perdagangan tumbuh 5,73% (yoy), lebih rendah dibandingkan pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar 7,46% (yoy). Perlambatan sektor perdagangan disebabkan oleh masih lemahnya akitivitas perdagangan retail yang tercermin pada hasil Survei Penjualan Eceran (SPE) yang mengindikasikan terjadinya penurunan penjualan eceran (Grafik II.13). Di samping itu, penurunan aktivitas sektor perdagangan juga terkonfirmasi oleh menurunnya pendaftaran kendaraan bermotor baru di Sumatera yang mencerminkan penurunan penjualan kendaraan (Grafik II.14).
14
Grafik II.15. SKDU Perdagangan
Kinerja perdagangan diperkirakan akan membaik di triwulan II 2017. Permintaan diperkirakan meningkat sejalan dengan konsumsi rumah tangga yang akan semakin membaik memasuki masa Ramadhan dan perayaan HBKN Idul Fitri pada Juni 2017. Peningkatan permintaan juga ditopang oleh pencairan gaji ke-13 dan 14 PNS yang diperkirakan akan turut menopang peningkatan konsumsi. Searah dengan itu, pelaku usaha optimis akan terjadi peningkatan aktivitas perdagangan yang diindikasikan oleh trend
peningkatan indeks perdagangan hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) (Grafik II.15).
Konstruksi Kinerja konstruksi tumbuh melambat pada triwulan I 2017 sebesar 5,49% (yoy), dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh 6,57% (yoy). Siklus perlambatan investasi di awal tahun dan kecenderungan investor untuk wait and see memicu terbatasnya kinerja konstruksi pada triwulan laporan. Kondisi ini terkonfirmasi dari likert scale investasi dan kapasitas utilisasi yang relatif menurun. Di sisi lain, sebagian proyek pembangunan infrastruktur pemerintah pada triwulan laporan sudah mencapai tahap akhir, sementara sebagian proyek lainnya masih dalam tahap awal berupa studi kelayakan dan proses pengadaan.
terkait pembangunan jalan tol, pelabuhan dan fasilitas pendukung pelaksanaan Asian Games 2018 diperkirakan mendorong perbaikan kinerja konstruksi. Realisasi belanja investasi swasta juga diperkirakan meningkat guna peningkatan kapasitas produksi merespon permintaan yang semakin tinggi di triwulan II. Hasil survei SKDU kepada beberapa perusahaan konstruksi menunjukkan bahwa kegiatan usaha konstruksi akan semakin baik (Grafik II.18)
Grafik II.18. SKDU Konstruksi
Fiskal Daerah
Grafik II.16. Likert Scale Investasi dan Kapasitas Utilisasi.
Sumber: Asosiasi Semen Indonesia Grafik II.17. Konsumsi Semen Sumatera
Ke depan, sektor konstruksi diperkirakan akan menguat sejalan percepatan realisasi proyek strategis nasional di Sumatera. Percepatan beberapa proyek infrastruktur di Sumatera
15
Peningkatan realisasi belanja APBD menjadi salah satu tumpuan pertumbuhan ekonomi di Sumatera. Serapan belanja APBD di Sumatera (termasuk APBD provinsi dan kabupaten/kota) pada triwulan I 2017 mencapai 8,63%, lebih tinggi dibandingkan periode yang sam tahun sebelumnya sebesar 8,30%. Secara spasial, penyerapan tertinggi terjadi di Bengkulu dengan mencapai 11,81%, disusul Jambi 10,81% dan Kep. Bangka Belitung 10,61%. Secara spasial, dari 10 provinsi di Sumatera, 6 provinsi mengalami peningkatan penyerapan belanja APBD pada triwulan I dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Peningkatan penyerapan belanja APBD terjadi di Aceh, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, dan Kep. Bangka Belitung. Peningkatan penyerapan fiskal daerah tersebut mengakselerasi pertumbuhan ekonomi Sumatera. Meningkatnya realisasi APBD di triwulan laporan searah dengan membaiknya kinerja konsumsi pemerintah, meskipun Pemda
sempat mengalami perubahan struktur organisasi dan mutasi pejabat pengelola keuangan. APBD Sumatera tahun 2017 mengalami peningkatan menjadi sebesar Rp227,8 triliun dibandingkan APBD tahun 2016 sebesar Rp196,8 triliun. Secara spasial, provinsi yang mengalami peningkatan APBD terbesar terjadi di Sumatera Utara sebesar 26,57% (yoy). Sebaliknya, beberapa provinsi menunjukkan penurunan anggaran seperti di Riau seiring dengan DBH migas yang menurun.
Grafik II.19. Realisasi APBD Sumatera Triwulan I 2017
Peningkatan penyerapan APBD di tahun 2017 antara lain disebabkan oleh percepatan pengesahan APBD, peralihan kewenangan penyaluran dana sertifikasi guru, serta kenaikan transfer dana desa. Alokasi DAU di Sumatera mengalami peningkatan seiring dengan peralihan kewenangan penyaluran dana sertifikasi guru dari kabupaten/kota ke provinsi. Di samping itu, alokasi Dana Desa untuk tahun anggaran 2017 di Sumatera mencapai Rp18 triliun, lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya Rp14,2 triliun. Berdasarkan kebijakan terbaru, penyaluran Dana Desa di daerah akan dilakukan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), sehingga penyalurannya dapat lebih merata hingga ke pelosok daerah. Realisasi penyaluran Dana Desa tahap I akan dilakukan pada bulan April-Juli 2017.
Perkembangan Inflasi Pada triwulan I 2017, laju inflasi Sumatera menurun dari triwulan sebelumnya yang sebesar 4,53% (yoy) menjadi 3,92% (yoy).
16
Namun capaian tersebut tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi nasional sebesar 3,61% (yoy). Penurunan tekanan inflasi berasal dari kelompok volatile food. Rendahnya inflasi kelompok volatile food dipicu oleh penurunan harga sejumlah komoditas pangan, antara lain: cabe merah, daging ayam ras, telur, serta beberapa jenis sayur-sayuran seiring dengan terpenuhinya pasokan dengan masuknya musim panen, serta terpenuhinya pemenuhan pasokan yang berasal dari daerah lain. Namun di sisi lain tekanan inflasi dari kelompok administered price masih cukup tinggi, khususnya akibat kenaikan biaya tarif listrik, tarif angkutan udara, bensin, dan rokok kretek. Kenaikan tarif listrik diakibatkan oleh penyesuaian tahap II bagi pelanggan paska bayar daya 900 VA nonsubsidi, sementara kenaikan tarif angkutan udara disebabkan oleh meningkatnya permintaan akibat banyaknya momentum liburan panjang selama triwulan I. Sedangkan inflasi bensin didorong oleh kenaikan harga bahan bakar khusus (BBK) yang meningkat Rp100/liter, dan kenaikan harga rokok disebabkan oleh peningkatan cukai rokok sebesar 10,54% per tahun. (Grafik II.20)
Grafik II.20. Realisasi APBD Sumatera Triwulan I 2017
Inflasi kelompok inti (core inflation) juga tercatat mengalami trend peningkatan. Peningkatan tekanan inflasi inti diakibatkan dari sisi permintaan seiring kenaikan penghasilan masyarakat dari kenaikan upah. Di samping itu, tekanan inflasi juga bersumber dari kenaikan
biaya sewa/kontrak rumah, serta ekspektasi inflasi masyarakat.
peningkatan
Secara spasial, inflasi tertinggi terjadi di Bangka Belitung dan Bengkulu dengan masing-masing sebesar 6,40% (yoy) dan 6,01% (yoy). Sebaliknya, inflasi terendah terjadi di Jambi dan Kepulauan Riau yang masing-masing tercatat sebesar 2,85% (yoy) dan 3,08% (yoy). Inflasi Sumatera pada triwulan II 2017 diperkirakan meningkat menjadi 5,24% (yoy) (Grafik II.19). Peningkatan tekanan inflasi berasal dari kelompok administered prices akibat penyesuaian subsidi energi oleh Pemerintah, serta peningkatan permintaan terkait momentum Ramadhan dan HBKN IdulFitri. Dalam rangka pengendalian inflasi di Sumatera, Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di Sumatera menjalankan beberapa kegiatan unggulan, antara lain: a.
Mengupayakan optimalisasi penanganan pasca panen dan penerapan gerakan tanam cabai di polybag untuk mengendalikan harga komoditas cabai.
b.
Pengembangan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) di 17 Kabupaten/Kota dan sinkronisasi Early Warning System agar dapat memberikan peringatan bagi daerah yang harga pangannya melonjak naik.
c.
Melaksanakan inisiasi koperasi peternak ayam guna memberikan kemudahan akses tambahan likuiditas bagi peternak ayam.
d.
Memperbanyak jumlah Toko Tani Indonesia, Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (LDPM), gudang dan cold storage untuk memastikan kelancaran distribusi dan ketersediaan pasokan pangan.
e.
17
Pembentukan klaster bawang merah dan hortikultura, serta pengadaan kebutuhan pangan mengantisipasi peningkatan permintaan dimasa Ramadhan dan HBKN IdulFitri di Sumatera Selatan.
f.
Memperluas jaringan Rumah Pangan Kita (RPK) untuk menjual dan mendistribusikan beras di Kepulauan Riau.
g.
Pembentukan klaster pembibitan Brahman X di Kabupaten Siak, Riau.
h.
Diversifikasi pangan dan konsumsi produk lokal di Bengkulu. TPID Bengkulu juga melakukan pengembangan produk substitusi daging ayam kampung dan daging itik talang benih
sapi
Stabilitas Keuangan Daerah Ketahanan Sektor Korporasi Kinerja Korporasi dan Penilaian Risiko Peningkatan harga komoditas berdampak pada 6 membaiknya kinerja korporasi di kawasan Sumatera. Hal ini tercermin dari membaiknya rentabilitas, likuiditas, solvabilitas perusahaan yang berdampak pada meningkatnya kemampuan membayar dalam memenuhi kewajiban pembayaran hutang dan bunga. Kemampuan korporasi dalam menghasilkan laba dari aset yang dimiliki semakin meningkat sejalan dengan kemampuan korporasi dalam memaksimalkan tingkat pengembalian ekuitas untuk menghasilkan laba bagi pemegang saham.
Grafik II.21. ROA Korporasi Sumatera
Rasio rentabilitas korporasi menunjukan perbaikan sejak triwulan I 2016 (Grafik II.21). Return on Asset (ROA) mengalami peningkatan 6
Korporasi di Sumatera diwakilkan oleh 12 perusahaan yang tercatat dalam Bursa Efek Indonesia.
dari 2,84% pada triwulan III 2016 menjadi 3,67% pada triwulan IV 2016. Indikator lainnya yaitu Return on Equity (ROE) juga tercatat meningkat dari 6,02% menjadi 7,58% (Grafik II.22). Membaiknya indikator profitabilitas tersebut terutama terjadi baik pada korporasi perkebunan, pertambangan, maupun industri pengolahan.
kewajiban berupa bunga pinjaman mengalami peningkatan yang tercermin dari ICR dari triwulan III 2016 yang hanya mencapai 4,72 menjadi 7,86 pada triwulan IV 2016. Selain itu, (DSR) korprorasi mengalami penurunan yang mengindikasikan terjadi peningkatan kemampuan laba perusahaan untuk menutup risk debt yang dimiliki baik itu kewajiban jangka pendek, baik pemenuhan pembayaran pokok hutang maupun bunganya. DSR pada triwulan IV 2016 mencapai 12,93, membaik dibandingkan dengan triwulan sebelummya yang tercatat sebesar 13,06 (Grafik II.24).
Sumber: Bloomberg Grafik II.22. ROE Korporasi Sumatera
Ketahanan korporasi juga terlihat dari proporsi hutang terhadap pendanaan yang semakin menurun. Preferensi korporasi dalam penggunaan dana internal semakin tinggi dibandingkan dengan penambahan porsi hutang dari pihak eksternal. Hal ini tercermin dari turunnya rasio Debt to Equity Ratio (DER) dari sebesar 1,29 menjadi 1,26 (Grafik II.23.).
Sumber: Bloomberg Grafik II.24. ICR Korporasi Sumatera
Grafik II.25. DSR Korporasi Sumatera
Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi Sumber: Bloomberg Grafik II.23. DER Korporasi Sumatera
Perbaikan profitabilitas serta kemampuan korporasi dalam membayar hutang semakin membaik tercermin dari perbaikan rasio Interest Coverage Ratio (ICR) dan Debt Service Ratio (DSR). Kemampuan korporasi dalam memenuhi
18
Penurunan suku bunga kredit di triwulan I 2017 diikuti dengan peningkatan penyaluran kredit kepada korporasi. Suku bunga kredit tercatat 9,14%, menurun dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 9,28%. Penurunan suku bunga ini terjadi baik pada suku bunga kredit modal kerja maupun suku bunga kredit investasi.
Sejalan dengan penurunan suku bunga kredit, penyaluran kredit perbankan ke korporasi tumbuh meningkat dari 5,43% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 8,33% (yoy) pada triwulan I 2017. Peningkatan terutama terjadi pada penyaluran kredit industri pengolahan dan kredit perdagangan yang masing-masing memiliki pangsa 35,47% dan 17,68% dari total penyaluran kredit korporasi (Grafik II.26). Penyaluran kredit ke sektor industri pertanian melambat dari 9,09% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 1,14% (yoy). Sementara kredit perdagangan tumbuh menjadi 12.87% (yoy) dari sebelumnya 3.91% (yoy).
Grafik II.28. Pertumbuhan Kredit Korporasi Sektoral
Grafik II.29. Pertumbuhan NPL Kredit Korporasi Sektoral
Grafik II.26. Proporsi Kredit Sektoral Korporasi
Peningkatan aktivitas usaha dan penghasilan korporasi seiring peningkatan penjualan berdampak positif terhadap peningkatan DPK korporasi. DPK perbankan milik korporasi mengalami pertumbuhan dari 5,40% menjadi 17,66% pada triwulan laporan. Pertumbuhan terjadi pada semua jenis DPK, baik tabungan, deposito dan giro.
Grafik II.27. Proporsi Kredit Korporasi per Jenis Penggunaan
Pertumbuhan kredit masih didukung dengan NPL yang relatif terjaga. Tingkat NPL sektor korporasi sepanjang dua triwulan terakhir relatif stabil dan terjaga, yaitu dari 2,37% menjadi 2,39%. Secara sektoral, peningkatan NPL terjadi pada sektor-sektor seperti pertanian, industri, konstruksi, dan perdagangan. Namun demikian, keseluruhan rasio NPL masih berada dibawah target indikatif 5%. (Grafik II.28)
19
Grafik II.30. Pertumbuhan DPK Korporasi Sumatera
Ketahanan Sektor Rumah Tangga Sumber Kerentanan dan Kondisi Sektor Rumah Tangga
Perbaikan daya beli dan pendapatan mendorong peningkatan konsumsi rumah tangga dan kenaikan tabungan milik perseorangan. Pertumbuhan DPK perseorangan Sumatera pada triwulan I 2017 tercatat tumbuh sebesar 11,37% (yoy), membaik dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 10,50% (yoy). DPK perseorangan masih mendominasi porsi DPK perbankan atau mencapai 70,52% (Grafik II.31). Meskipun sedikit menurun dibandingkan periode sebelumnya, pertumbuhan DPK perseorangan masih menjadi penopang pertumbuhan DPK (Grafik II.32).
Grafik II.31. Perkembangan Pangsa DPK Perseorangan
Kredit Perseorangan di Perbankan Penurunan suku bunga kredit perumahan (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB) di triwulan I 2017 berdampak pada peningkatan pertumbuhan kredit KPR dan KKB, namun pertumbuhan tersebut tertahan oleh kredit multiguna yang tumbuh terbatas. Secara keseluruhan penyaluran kredit sektor rumah tangga (RT) membaik dari tumbuh 7,23% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 8,04% (yoy) pada triwulan I 2017 (Grafik II.33). Kredit Pemilikan Rumah (KPR) tumbuh 7,00% (yoy) menguat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh 6,76% (yoy) (Grafik II.34). Peningkatan pertumbuhan KPR terutama terjadi pada penyaluran KPR untuk tipe rumah di 2 atas 70 m . Demikian juga dengan pertumbuhan KKB yang mengalami perbaikan meskipun masih mengalami kontraksi, dari semula menurun 6,51% (yoy) menjadi menurun 3,62% (yoy). Perbaikan penyaluran KKB tersebut terjadi baik untuk kendaraan sepeda motor maupun kendaraan bermotor lainnya. Sementara itu, kredit multiguna mengalami perlambatan pada triwulan I 2017 dengan tumbuh 7,21% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 7,98% (yoy).
Grafik II.32. Perkembangan Pertumbuhan DPK Perseorangan
Pertumbuhan DPK Perorangan pada triwulan laporan didorong utamanya oleh pertumbuhan tabungan dari 10,01% (yoy) menjadi 12,59% (yoy). Sementara itu, pertumbuhan deposito dan giro mengalami perlambatan. Pertumbuhan deposito dalam dua triwulan terakhir tumbuh melambat dari 16,92% (yoy) dan 10,60% (yoy), begitupula pertumbuhan giro yang melambat dari 16,79% (yoy) menjadi 8,40% (yoy).
20
Grafik II.33. Pertumbuhan Pembiayaan Sektor Rumah Tangga per Jenis Penggunaan
Di tengah pertumbuhan penyaluran kredit RT yang meningkat, rasio NPL tetap terjaga di bawah 5%, meskipun terjadi peningkatan. Rasio NPL meningkat dari 1,69% di triwulan IV 2016 menjadi 2,8% di triwulan I 2017. Peningkatan NPL
kredit RT terjadi pada seluruh jenis penyaluran kredit RT, dengan kenaikan tertinggi pada NPL KPR/KPA.
pemerintah di triwulan I. Kondisi net inflow ini dialami hampir seluruh provinsi di Sumatera terkecuali Riau, Kepulauan Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan. Secara total, net inflow Sumatera di triwulan I 2017 mencapai Rp7,85 triliun. Berdasarkan provinsinya, aliran uang masuk (inflow) terbesar terjadi di Sumatera Utara (Rp4,98 triliun) dan Sumatera Barat (Rp2,44 triliun) (Grafik II.35)
Grafik II.34. Pertumbuhan KPR per Tipe
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Penyaluran kredit UMKM di Sumatera cenderung melambat serta tumbuh di bawah pertumbuhan nasional. Penyaluran kredit UMKM pada triwulan I 2017 tercatat tumbuh sebesar 15,49% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan IV 2016 sebesar 5,20% (yoy). Secara sektoral, pertumbuhan kredit UMKM terjadi pada sektor ekonomi utama di Sumatera, seperti industri pengolahan, pertanian, pertambangan, dan perdagangan dengan pertumbuhan pada triwulan laporan masing-masing sebesar 72,54%; 36,25%; 31,28%; dan 4,51%. Penyaluran kredit UMKM Sumatera pada triwulan I 2017 masih didominasi oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran (PHR), dan sektor pertanian, masing-masing tercatat sebesar 49,2% dan 24,7%.
Grafik II.35. Pembayaran Tunai
Sementara itu, temuan uang palsu (UPAL) di wilayah Sumatera pada triwulan I 2017 sebanyak 1.661 lembar. Penemuan tersebut menurun dibanding triwulan IV 2016 yang berjumlah sebanyak 4.781 lembar dan lebih kecil dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 5.371 lembar. Secara spasial, temuan UPAL se-Sumatera terbanyak berasal dari Lampung (48,48%) dan Sumatera Selatan (18,00%).
Peningkatan penyaluran kredit UMKM tersebut masih diikuti dengan NPL yang relatif terjaga. Rasio NPL kredit UMKM sedikit meningkat dari 5,04% (yoy) di triwulan IV 2016 menjadi 5,05% di triwulan I 2017 (yoy) .
Pengelolaan Uang Tunai Rupiah Transaksi keuangan tunai mengalami penurunan net triwulan yang sama tahun sejalan dengan pola
21
di triwulan I 2017 inflow dibandingkan lalu. Peningkatan ini operasi keuangan
Grafik II.36. Temuan Uang Palsu (UPAL)
Sistem Pembayaran Non-Tunai Transaksi kliring di kawasan Sumatera baik secara nominal maupun volume pada triwulan I
2017 menurun dibandingkan triwulan sebelumnya seiring dengan penurunan aktivitas sektor perdagangan. Secara nominal transaksi kliring triwulan I 2017 tumbuh sebesar 13,22% (yoy), melambat dibandingkan triwulan IV 2016 yang tumbuh 14,75% (yoy). Total transaksi kliring pada triwulan I tahun 2017 mencapai Rp114,36 triliun, meningkat dari Rp120,79 triliun pada triwulan sebelumnya. Sejalan dengan perlambatan transaksi kliring secara nominal, volume kliring juga turut melambat dibandingkan dengan triwulan IV 2016 yang tumbuh sebesar 15,37% (yoy) menjadi sebesar 7,08% (yoy) pada triwulan I 2017 (Grafik II.38).
Perkembangan Layanan Keuangan Digital di Wilayah Sumatera Ketersediaan Layanan Keuangan Digital (LKD) bagi
penduduk
Sumatera
menunjukkan
peningkatan signifikan. Pada triwulan I 2017 ketersediaan LKD meningkat 5,24% (yoy). Jumlah agen LKD di wilayah Sumatera saat ini telah mencapai 30.844 agen. Provinsi dengan jumlah agen LKD terbesar berasal dari Sumatera Utara atau mencapai 26,89% dari total agen LKD seSumatera. Sementara jumlah agen LKD di Bengkulu masih terbatas dengan hanya mencapai 2,21% dari total agen LKD yang berada di wilayah Sumatera.
Grafik II.37. Transaksi Kliring Menurut Nominal (Wilayah Sumatera) Grafik II.39. Jumlah Agen LKD
Dalam rangka meningkatkan jumlah agen LKD di daerah, Bank Indonesia melaksanakan beberapa program, antara lain:
Grafik II.38. Transaksi Kliring Menurut Volume
Secara spasial, transaksi kliring tertinggi terjadi di Sumatera Utara sebesar Rp48,95 triliun atau 42,8% dari keseluruhan transaksi di Sumatera. Sedangkan transaksi kliring terendah terjadi di Bengkulu dengan nominal sebesar Rp1,5 triliun atau 1,31% dari total Sumatera.
22
a.
Melakukan sosialisasi dan kampanye LKD kepada pemerintah daerah, sekolah, universitas, dan pengusaha (termasuk UMKM).
b.
Melakukan kerjasama diikuti penandatanganan MoU antara BI, perbankan dan instansi terkait untuk pembayaran gaji, pajak, tagihan, dan cicilan pelunasan pinjaman.
c.
Mendorong kerjasama antara perbankan, pemerintah daerah, dan sekolah dalam penyaluran dana sosial bergulir ke masyarakat, pelaku UMKM, dan pembayaran pajak oleh Pemda.
Prospek Perekonomian Prospek Pertumbuhan Ekonomi Perekonomian Sumatera triwulan III 2017 diperkirakan tumbuh relatif stabil dengan kecenderungan sedikit meningkat dibandingkan triwulan II 2017 dengan berada pada level 4,54%. Perbaikan tersebut terutama didorong oleh tingginya realisasi belanja Pemerintah dan masih relatif terjaganya tingkat konsumsi masyarakat. Di sisi sektoral, industri pengolahan diperkirakan masih tumbuh stabil didorong oleh permintaan global yang masih resilien, sedangkan lapangan usaha pertanian dan perdagangan diperkirakan sedikit menurun seiring dengan berakhirnya masa panen raya dan penurunan permintaan pasca momentum perayaan HBKN Idul Fitri. Konsumsi rumah tangga pada triwulan III 17 diperkirakan tumbuh terbatas sejalan dengan dampak seasonal penuruan permintaan paska Ramadhan dan HBKN Idul Fitri. Peningkatan terbatas ini terkonfirmasi dari IKK terhadap kondisi 6 bulan mendatang yang menunjukkan arah sedikit perlambatan. Di sisi lain, konsumsi pemerintah diprakirakan meningkat didorong oleh percepatan realisiasi proyek pembangunan strategis nasional di Sumatera. Ekspor luar negeri pada triwulan III 2017 diprediksikan akan meningkat terkait adanya potensi diversifikasi tujuan ekspor CPO seperti ke Pakistan dengan disepakatinya perjanjian kerjasama perdangangan antara Indonesia dengan Pakistan (PTA), serta didorong pula oleh meningkatnya produksi perkebunan. Secara keseluruhan tahun 2017, perekonomian Sumatera diprakirakan akan mengalami perbaikan, terutama didorong oleh peningkatan konsumsi rumah tangga, ekspor dan belanja pemerintah. Pertumbuhan ekonomi Sumatera pada 2017 diprakirakan tumbuh 4,47% (yoy). Perbaikan konsumsi rumah tangga pada 2017 didorong momentum perbaikan harga komoditas perkebunan serta pelaksanaan Pilkada di beberapa daerah. Investasi akan mengalami
23
perbaikan sejalan dengan masih berlanjutnya proyek infrastruktur strategis pemerintah, antara lain: infrastruktur pendukung Asian Games, pembangunan tol dan jalur kereta api Sumatera. Lebih cepatnya proses penyaluran DAU dan DAK dibandingkan tahun 2016 diharapkan dapat diikuti oleh peningkatan realisasi belanja pemerintah. Kinerja ekspor diprakirakan akan meningkat seiring dengan masih positifnya pergerakan harga komoditas dunia, dan didorong pula oleh perbaikan kondisi ekonomi negara mitra dagang sehingga akan meningkatkan permintaan ekspor. Secara sektoral, perbaikan ekonomi Sumatera akan ditopang oleh sektor pertanian sebagai dampak peningkatan produksi perkebunan dan harga komoditas yang masih akan tumbuh positif. Hal ini kemudian turut berdampak positif pada perbaikan kinerja industri pengolahan dan perdagangan. Secara spasial, perbaikan ekonomi Sumatera pada keseluruhan tahun 2017 akan terjadi pada hampir seluruh provinsi, kecuali di Aceh, Sumatera Utara dan Kepulauan Riau. Produksi dan cadangan migas yang diperkirakan akan terus mengalami penurunan (Aceh dan Kepulauan Riau), serta terjadi perlambatan di sektor pertanian dan ekspor antar daerah (Sumatera Utara).
Prospek Inflasi Inflasi Sumatera pada keseluruhan tahun 2017 diprakirakan akan lebih rendah dibandingkan 2016. Level inflasi Sumatera pada 2017 diprakirakan akan berada dalam kisaran target inflasi nasional, yaitu 4% ± 1%. Selain disebabkan oleh base effect inflasi tahun 2016 yang cenderung tinggi, penurunan inflasi di tahun 2017 juga didukung oleh beberapa faktor yang salah satunya bersumber dari menurunnya tekanan inflasi dari harga pangan. Produksi tanaman bahan pangan diprakirakan akan membaik didukung oleh kondisi cuaca yang relatif kondusif. Implementasi penetapan Harga Eceran Tertinggi
(HET) pada beberapa komoditas akan mendukung upaya pengendalian inflasi di Sumatera. Perbaikan jalur distribusi seiring dengan mulai beroperasinya beberapa ruas tol baru akan semakin menunjang konektivitas antardaerah dan kelancaran distribusi pangan dari daerah lain. Beberapa faktor risiko yang perlu mendapat perhatian mengingat dampaknya terhadap peningkatan tekanan inflasi, yaitu terkait kebijakan penyesuaian administered price. Untuk mengurangi dampak inflasi akibat pelaksanaan kebijakan tersebut, maka diperlukan upaya di bawah koordinasi TPID untuk mengelola ekspektasi masyarakat, serta menjaga agar inflasi kelompok volatile food tetap relatif rendah dan stabil.
24
Boks 1
Sumber Utama Perekonomian Sumatera Dalam sepuluh tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan ekonomi Sumatera berada di bawah nasional. Tiga sektor utama ekonomi yang mencakup 57% dari total perekonomian Sumatera adalah pertanian, industri pengolahan dan pertambangan dengah pangsa masingmasing 23%, 21%, dan 13% (Grafik II.40). Pertumbuhan ekonomi Sumatera yang lebih rendah dibandingkan dengan nasional terutama disebabkan oleh melambatnya kinerja sektor pertambangan. Perlambatan sektor pertambangan tersebut bersumber dari penurunan produksi minyak dan gas bumi yang terjadi secara alamiah (natural declining), terbatasnya investasi baru di sektor migas, dan penurunan harga komoditas tambang dalam beberapa tahun terakhir.
ekspor Sumatera agar risiko yang bersumber dari gejolak eksternal, khususnya gejolak permintaan dan harga komoditas di pasar internasional, dapat dimitigasi.
Sumber: Bank Indonesia, data diolah, Cognos, UN Comtrade diolah berdasarkan klasifikasi UNIDO Grafik II.41. Persentase Ekspor Sumatera
Sumber: BPS, diolah Grafik II.42. Diversifikasi Komoditas Ekspor Sumber: BPS, 2016 Grafik II.40. Pangsa Sektoral PDRB (%) – Sumatera
Dari sisi ekspor, sebagian besar komoditas ekspor nonmigas merupakan hasil ekstraksi Sumber Daya Alam (SDA) sehingga cenderung memiliki nilai tambah relatif rendah. Dari total seluruh produk ekspor Sumatera pada 2016, sekitar 70%nya berasal dari SDA seperti CPO dan produk olahannya, batubara, karet, kopi, kertas, timah, dan produk pertanian lainnya. Kerentanan yang terjadi pada kinerja ekspor menjadi pendorong perlunya strategi kebijakan diversifikasi produk
25
Keberagaman produk ekspor di sebagian besar provinsi di Sumatera masih cukup rendah. Sebagaimana terlihat pada Grafik II.42, Sumatera Selatan, Bengkulu, Sumatera Barat dan Kepulauan Bangka Belitung merupakan provinsi dengan tingkat keberagaman produk ekspor cukup rendah. Sementara, untuk Aceh, Jambi, Lampung dan Riau, keberagaman produk ekspornya relatif lebih tinggi. Hanya Sumatera Utara dan Kepulauan Riau yang memiliki keberagaman produk ekspor yang paling tinggi.
dengan menggunakan metode BCG Matrix, Backward and Forward Linkage, Prospek Ekspor, serta kesesuaian dengan RPJMD/RPJMN, terdapat beberapa komoditas yang potensial untuk dikembangkan lebih lanjut di Sumatera. Komoditas potensial tersebut di antaranya adalah hilirisasi kelapa sawit, kopi, perikanan, konstruksi dan pariwisata. Sumber: Hasil Estimasi, BI Nilai mendekati 0 berarti portfolio eksport terdiversifikasi, nilai mendekati 1 terkonsentrasi Grafik II.43. HHI Product Concentration Index Ekspor Sumatera
Dalam empat tahun terakhir, tren ekspor non migas Sumatera semakin terkonsentrasi, yang mengindikasikan ketergantungan ekspor terhadap komoditas utama semakin tinggi. Hal ini tercermin dari indeks Herfindhl Hirschman pada Grafik II.43. Peningkatan konsentrasi ekspor Sumatera berada jauh di atas level nasional. Secara provinsi, hanya Kepulauan Riau memiliki tingkat diversifikasi produk ekspornya yang tinggi (HHI = 0.11).
Perikanan Pangsa sektor perikanan tangkap Sumatera terhadap nasional tergolong cukup besar yaitu mencapai 27,9%. Sejumlah provinsi di Sumatera yang merupakan penghasil utama produk perikanan yaitu Sumatera Utara, Lampung dan Kepulauan Riau. Sebagian besar hasil perikanan tangkap Sumatera dipasarkan dalam bentuk ikan segar, sehingga memiliki nilai tambah yang rendah. Adapun pangsa ekspor perikanan Sumatera hanya mencapai 8,36% dari ekspor perikanan secara nasional
Diversifikasi Vertikal dan Horizontal di Sumatera Tabel II.3. Kajian Pemetaan Sektor/Komoditas Potensial di Sumatera Grafik II.44. Ekspor vs Produksi Perikanan Sumatera
*Berdasarkan strategi daerah yang disusun dalam RPJMN 2015-2019 dan RPJMD Sumber: Hasil Estimasi, BI
Beberapa sumber pertumbuhan ekonomi baru dapat menjadi alternatif diversifikasi ekonomi Sumatera. Berdasarkan hasil kajian pemetaan
26
Dengan potensi perikanan yang tergolong besar, hasil perikanan tangkap Sumatera memiliki peluang untuk lebih ditingkatkan, terutama untuk daerah yang berdekatan dengan Laut Natuna dan Laut Cina Selatan. Namun, terdapat beberapa tantangan peningkatan hasil perikanan laut yaitu (i) keterbatasan sarana prasarana, antara lain jumlah/kapasitas kapal dan cold storage; dan (ii) kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM). Kapal nelayan Sumatera mayoritas memiliki kapasitas yang kecil, dimana 93% kapal nelayan bermuatan di bawah 10 gross ton. Adapun sarana cold storage yang tersedia saat ini hanya mampu
memenuhi 2,34% kebutuhan atau hanya memiliki kapasitas sekitar 22,7 ribu ton dari total kebutuhan 969,7 ribu ton. Dengan demikian, peningkatan daya saing industri perikanan di Sumatera memerlukan strategi kebijakan terintegrasi meliputi pengembangan kapasitas SDM (tenaga kerja), infrastruktur teknologi, konektivitas, inovasi, keberadaan industri terkait, serta regulasi yang mendukung pengembangan sektor prioritas.
Pariwisata Pangsa pariwisata dalam perekonomian Sumatera terus menunjukkan peningkatan. Pangsa sektor transportasi dan sektor penyedia akomodasi makan minum berada di atas 5% dari total PDRB Sumatera dan cenderung terus meningkat. Adapun pangsa wisatawan mancanegara (wisman) yang mengunjungi Sumatera terhadap total wisman nasional mencapai hampir 23%, sementara pangsa wisatawan nusantara mencapai sekitar 16%. Kunjungan wisman ke Sumatera masih terkonsentrasi di Kepulauan Riau dan Sumatera Utara mengingat akses transportasi di daerah tersebut yang relatif lebih mudah dibandingkan daerah lain. Sementara itu, sebaran kunjungan wisatawan nusantara relatif lebih beragam. Berdasarkan tingkat daya saingnya, daya saing pariwisata di berbagai daerah Sumatera belum merata. Berdasarkan Indeks Pariwisata Indonesia 2016, hanya terdapat 4 (empat) kota/kabupaten yang termasuk dalam peringkat 20 besar nasional. Daerah di Sumatera yang memiliki daya saing pariwisata paling tinggi yaitu Batam, Padang, Palembang dan Belitung. Berdasarkan daftar Destinasi Pariwisata Nasional (DPN) yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, setiap provinsi di Sumatera memiliki destinasi pariwisata unggulan. Dua daerah di antaranya menjadi Destinasi Wisata Prioritas di Indonesia, yakni Danau Toba dan Tanjung Kelayang. Melalui survei yang dilakukan terhadap 32 perusahaan di sektor pariwisata Sumatera disimpulkan beberapa upaya yang perlu
27
dilakukan untuk meningkatkan daya saing pariwisata. Upaya perbaikan yang diperlukan antara lain terkait ketersediaan fasilitas umum, teknologi, pemasaran/paket promosi pariwisata, iklim usaha yang kondusif, ketersediaan infrastruktur pendukung konektivitas dan aksesibilitas. Tabel II.4. Indeks Daya Saing Pariwisata 2016 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kab / Kota Skor Peringkat Denpasar 3.94 1 Sleman 3.9 2 Surabaya 3.87 3 Batam 3.84 4 Badung 3.66 5 Semarang 3.64 6 Bandung 3.34 7 Bogor 3.3 8 Banyuwangi 3.26 9 Bantul 3.25 10
No 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Kab / Kota Makasar Gianyar Kota Batu Sukabumi Yogyakarta Padang Kebumen Surakarta Palembang Beitung
Skor Peringkat 3.07 11 3.06 12 3.04 13 3.03 14 3.03 15 3.02 16 3.02 17 3.01 18 2.99 19 2.97 20
Sumber : Kompas
Optimalisasi pengembangan pariwisata Sumatera diperkirakan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah. Hasil estimasi Bank Indonesia menunjukkan bahwa setiap peningkatan jumlah wisatawan mancanegara dan domestik sebesar 10% akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,31% dan mendorong penambahan jumlah tenaga kerja sekitar 0,68%.
Perkebunan Kopi Secara nasional, Sumatera merupakan pelaku utama ekspor kopi Indonesia. Ekspor kopi Sumatera mencapai 80,1% dari total ekspor kopi nasional. Komoditas kopi memiliki prospek pengembangan lebih lanjut mengingat permintaan dalam negeri dan luar negeri yang terus meningkat. Selain itu, perkembangan harga kopi yang diprediksi akan terus meningkat ratarata 2,5% per tahun sampai dengan 2020 juga merupakan peluang yang harus dioptimalkan. Namun, nilai tambah produk kopi ekspor Sumatera masih relatif rendah karena sebagian besar diekspor hanya dalam bentuk non-roasted coffee. Non-roasted coffee memiliki nilai tambah yang lebih rendah dibandingkan roasted coffee tercermin dari lebih tingginya harga jual roasted
coffee dibandingkan non-roasted coffee (Grafik II.44).
sarana prasarana, permodalan, teknologi, riset produk, dan akses pemasaran.
Keterbatasan industri pengolahan kopi Sumatera yang ada saat ini menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya nilai tambah produk kopi. Di lain sisi, permintaaan kopi olahan di dunia terus meningkat, terlihat dari kenaikan pangsa kopi olahan (Grafik II.45). Saat ini, industri pengolahan Sumatera terkonsentrasi di Sumatera Utara, Lampung dan Sumatera Selatan.
Konstruksi
Sumber: Badan Pusat Statistik dan SITC, UN Comtrade, Kementrian Perindustrian, 2016 Grafik II.45. Perbandingan Harga Kopi Roasted dan Non Roasted
Sektor konstruksi di Sumatera menunjukkan trend yang terus meningkat dalam 5 tahun terakhir, disertai dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja. Berdasarkan jenis kegiatannya, perkembangan konstruksi terutama didukung oleh pembangunan sub sektor bangunan sipil untuk publik yang mencakup jalan, jembatan dan landasan, jalan, jembatan kereta api, pengairan, dan dermaga dengan pangsa 60%. Kemudian, diikuti sub sektor bangunan gedung yang mencakup tempat tinggal, kantor, pusat perbelanjaan, kesehatan, pendidikan, akomodasi, dan tempat hiburan dengan pangsa 28%. Peluang sektor swasta untuk terlibat dalam sektor konstruksi sangat besar terutama dalam konstruksi bangunan perumahan dan komersial. Peluang pembangunan perumahan di Sumatera cukup besar mengingat masih ada sekitar 22% rumah tangga yang belum memiliki hunian milik sendiri dan backlog pasokan rumah yang mencapai 3 juta rumah (KemenPUPERA, 2015).
Sumber: Badan Pusat Statistik dan SITC, UN Comtrade, Kementrian Perindustrian, 2016 Grafik II.46. Pangsa Kopi Olahan Dunia
Berdasarkan indikator luas lahan, jumlah produksi, jumlah ekspor serta kondisi geografisnya, terdapat lima provinsi yang berpotensi untuk selanjutnya dikembangkan menjadi sentra produksi kopi di Sumatera, antara lain Sumatera Selatan, Lampung, Aceh, Sumatera Utara, dan Bengkulu. Upaya pengembangan ekspor kopi, terutama roasted coffee perlu disertai dengan peningkatan dan pengembangan
28
Sumber: IHPR, BI Grafik II.47. Level Harga Tanah (Rp/m2)
Adapun sejumlah tantangan pengembangan perumahan yang mengemuka yaitu terkait regulasi, perizinan, maupun pembiayaan Tantangan regulasi terkait dengan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tataruang dan Tata Wilayah (RTRW) yang belum dimiliki oleh seluruh provinsi di Sumatera. Daerah yang memiliki potensi tinggi dalam pengembangan perumahan
di antaranya Riau dan Kepulauan Riau. Hal ini didukung oleh tingginya permintaan di kedua daerah tersebut sejalan dengan jumlah penduduk berpendapatan di atas Rp2 juta per bulan yang lebih tinggi dibandingkan daerah lain dan harga tanah yang masih relatif lebih rendah (Grafik II.47).
penghasil minyak nabati lainnya (kedelai, biji matahari, canola) sehingga dapat menghasilkan harga yang lebih ekonomis.
Produk Turunan Kelapa Sawit Sumatera merupakan penghasil utama kelapa sawit di Indonesia dan dunia. Produksi kelapa sawit Sumatera mencapai 36% produksi kelapa sawit dunia. Sekitar 68% produksi minyak kelapa sawit (CPO) di Indonesia berasal dari Sumatera terutama dari Provinsi Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Jambi. Potensi pengembangan produk turunan Kelapa Sawit didukung oleh peningkatan permintaan minyak nabati dunia maupun domestik. Permintaan minyak nabati dunia diproyeksikan akan meningkat mencapai 15 % (2015-2020) dan 8% (2020-2025). Sementara, peningkatan permintaan domestik berasal dari pemenuhan domestic market obligaton (DMO) dan mandatory pemanfaatan biodiesel kelapa sawit melalui implementasi aturan BBN 20 (Grafik II.48).
Grafik II.49. Ekspor CPO di Sumatera
Saat ini, hilirisasi dalam rangka peningkatan nilai tambah kelapa sawit sudah berjalan cukup baik. Hal ini terlihat dari peningkatan komposisi ekspor untuk produk turunan CPO. Sekitar 77,5% dari total produk kelapa sawit ekspor, diekspor dalam bentuk produk turunan berupa refinery, oleokimia dan biodiesel (Grafik II.49). Adapun lokasi hilirisasi berdasarkan ketersediaan bahan baku dimana mayoritas terletak di Sumatera Utara dan Riau. Tabel II.5. Pangsa Pengolahan Kelapa Sawit di Indonesia
Sumber: GAPKI
Dampak Pertumbuhan Ekonomi dan Penyerapan Tenaga Kerja
Grafik II.48. Proyeksi Permintaan Domestik CPO
Peluang perluasan pasar ekspor luar negeri semakin terbuka yaitu ke beberapa negara potensial, seperti Bangladesh, Pakistan, Italia, Malaysia dan Spanyol. Sejumlah Negara tersebut terus menunjukkan peningkatan permintaan terhadap produk turunan CPO. Kondisi ini didukung dengan produktivitas lahan kelapa sawit yang lebih tinggi dibandingkan lahan
29
Hasil simulasi yang dilakukan oleh Bank Indoonesia menunjukkan pengembangan sektor perikanan dan produk turunan kelapa sawit mampu memberikan dampak ekonomi (output) yang lebih tinggi dibandingkan pengembangan pariwisata. Sementara, dari sisi tenaga kerja, pengembangan sektor pariwisata dan perikanan mampu mendorong penyerapan tenaga kerja yang lebih baik. Pengembangan sumber pertumbuhan ekonomi baru tersebut tentunya perlu disesuaikan dengan potensi yang dimiliki setiap daerah dan turut mempertimbangkan keterkaitan ekonomi antar daerah. Hasil pemetaan menunjukkan peran
penting Sumatera Selatan sebagai hub dalam jaringan produksi domestik dan distribusi di Sumatera. Dengan demikian, Sumatera Selatan dapat menjadi hub utama aktivitas ekonomi di Sumatera. Tabel II.6. Dampak Pertumbuhan Sektor/Komoditas Potensial terhadap Perekonomian Sumatera
Sumber: Hasil Estimasi, BI
30
Perekonomian Jawa pada triwulan I 2017 berhasil tumbuh sebesar 5,66% (yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan IV 2016 yang tercatat sebesar 5,45% (yoy). Akselerasi pertumbuhan ekonomi Jawa ditopang oleh meningkatnya realisasi investasi, baik dari pemerintah maupun swasta, serta realiasi konsumsi pemerintah yang membaik. Konsumsi rumah tangga, ditengah kenaikan harga administered price, masih tumbuh cukup kuat dan masih menjadi penopang ekonomi Jawa, meski mengalami sedikit perlambatan. Di sisi lain, kinerja ekspor mengalami perlambatan seiring masih rendahnya permintaan dari mitra dagang utama Jawa seperti Eropa, Tiongkok dan Jepang. Meningkatnya pertumbuhan impor turut menahan laju pertumbuhan ekonomi Jawa. Kenaikan impor tersebut didorong oleh impor barang modal yang mengindikasikan optimisme pelaku usaha pada perekonomian Jawa di tahun 2017. Dari sisi lapangan usaha, seluruh lapangan usaha utama tercatat tumbuh lebih tinggi, khususnya industri pengolahan dan perdagangan, terutama pada sub lapangan usaha alat angkut. Kinerja lapangan usaha pertanian juga terakselerasi yang didorong oleh adanya panen raya untuk tanaman bahan makanan di triwulan I 2017. Laju inflasi tahunan Jawa pada triwulan I 2017 mengalami peningkatan, terutama bersumber dari komoditas kelompok administered prices dan kelompok inti. Tekanan terbesar kelompok administered prices didorong oleh penyesuaian TTL, khususnya untuk golongan rumah tangga 900VA, dan juga kenaikan biaya adminsitrasi STNK. Selain itu, kenaikan cukai rokok pada awal 2017 mendorong adanya penyesuaian secara bertahap harga rokok hingga akhir tahun 2017. Sementara itu, komoditas penyumbang inflasi terbesar dari kelompok inti adalah tarif pulsa ponsel, yang disebabkan oleh adanya penyesuaian tarif oleh operator dalam mengkompensasi penurunan tarif interkoneksi. Selain tarif pulsa ponsel, kenaikan sewa rumah dan kontrak rumah di awal tahun turut memberikan sumbangan inflasi yang cukup tinggi di triwulan I 2017. Sementara itu, laju inflasi volatile food relatif terjaga seiring kembali normalnya pasokan aneka cabai dan bawang merah. Panen raya beras yang sejak akhir triwulan I 2017 turut menahan tekanan inflasi dari kelompok volatile food. Perekonomian Jawa pada tahun 2017 diprakirakan lebih tinggi dari tahun 2016 yang ditopang oleh perbaikan pada seluruh komponen PDRB dengan rentang 5,6% - 6,0% (yoy), di atas realisasi tahun 2016 yang sebesar 5,59% (yoy). Dari sisi permintaan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga masih menjadi penopang utama ekonomi Jawa yang turut didukung oleh peningkatan realisasi investasi dan kinerja ekspor. Sementara dari sisi penawaran, optimisme perbaikan ekonomi global diprakirakan dapat mendorong produksi industri pengolahan dan juga perdagangan. Akselerasi pembangunan proyek infrastruktur pemerintah dan aktivasi pabrik baru juga mendorong kinerja lapangan usaha konstruksi di Jawa. Sementara itu, laju inflasi tahunan Jawa untuk tahun 2017 diperkirakan lebih tinggi dari tahun 2016, namun masih dalam rentang sasaran target inflasi 4% ± 1%. Sumbangan inflasi terbesar untuk tahun 2017 diperkirakan bersumber dari komoditas administered prices, terutama penyesuaian TTL untuk golongan 900 VA dan kenaikan biaya administrasi STNK. Tekanan dari kelompok inti diperkirakan juga relatif tinggi yang disebabkan oleh kenaikan tarif pulsa ponsel dan penyesuaian sewa rumah dan kontrak rumah pada awal tahun maupun pada pertengahan tahun menjelang tahun ajaran baru. Namun tingginya tekanan inflasi Jawa pada tahun 2017 diperkirakan dapat tertahan oleh relatif terjaganya inflasi volatile food.
31
Terkendalinya harga volatile food tidak terlepas dari terjaganya pasokan komoditas hortikultura, beras dan daging sapi.
Pertumbuhan Ekonomi Perekonomian Jawa pada triwulan I 2017 tumbuh meningkat, ditopang akselerasi ekonomi provinsi DKI Jakarta dan Banten. Perekonomian Jawa tumbuh sebesar 5,66% (yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan IV 2016 yang tercatat sebesar 5,45% (yoy). Secara spasial, meningkatnya pertumbuhan ekonomi Jawa didorong oleh tingginya pertumbuhan di Provinsi DKI Jakarta yang mencapai 6,48% (yoy) dan Provinsi Banten yang tumbuh sebesar 5,90% (yoy) serta naiknya pertumbuhan D.I. Yogyakarta sebesar 5,12% (yoy). Sedangkan 3 (tiga) provinsi lainnya di Jawa tercatat mengalami perlambatan.
Tertahannya konsumsi rumah tangga didorong oleh perlambatan provinsi Jawa Timur yang disebabkan oleh relatif tingginya dampak inflasi kelompok administered prices terutama TTL, biaya administrasi STNK dan bensin. Namun pertumbuhan kredit konsumsi yang meningkat, terutama kredit multiguna, memberikan indikasi masih kuatnya konsumsi rumah tangga di Jawa.
Tabel III.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Jawa Provinsi DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur PDRB (% YoY)
I 5.74 5.20 5.10 5.08 5.11 5.44 5.38
2016 II II 6.04 6.10 6.06 5.97 5.17 5.24 5.71 5.01 5.44 4.95 5.64 5.62 5.82 5.70
IV 5.51 5.45 5.53 5.33 4.71 5.48 5.45
2016 5.85 5.67 5.26 5.28 5.05 5.55 5.59
2017 I 6.48 5.24 5.90 5.20 5.12 5.37 5.66
Sumber: BPS, diolah Grafik III.1. Pertumbuhan Ekonomi Menurut Penggunaan (Triwulanan)
Sumber: BPS, diolah
Membaiknya perekonomian Jawa didorong oleh akselerasi pertumbuhan investasi dan meningkatnya realisasi konsumsi pemerintah. Pertumbuhan ekonomi Jawa yang lebih tinggi masih tertahan oleh perlambatan ekspor luar negeri, terutama ke mitra dagang utama Jawa seperti Jepang, Tiongkok dan Eropa. Sementara itu, pertumbuhan net ekspor antar daerah Jawa masih tinggi mengindikasikan membaiknya perekonomian di luar Jawa. Konsumsi rumah tangga masih tumbuh cukup kuat meski mengalami sedikit perlambatan di triwulan I 2017. Perlambatan konsumsi rumah tangga, meski pada tingkat yang rendah, tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Jawa yang lebih rendah dari triwulan sebelumnya, terutama pada komponen indeks penghasilan yang mengalami penurunan.
32
Grafik III.2. Perkembangan Kredit Konsumsi, IKK dan IPR
Percepatan pertumbuhan ekonomi Jawa didorong investasi dari proyek multiyears swasta dan pemerintah. Secara spasial, peningkatan pertumbuhan investasi tercatat di DKI Jakarta, Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Banten. Realisasi investasi di Provinsi DKI Jakarta ditopang oleh proyek infrastruktur pemerintah, terutama fasilitas transportasi dan publik. Sementara itu, peningkatan pertumbuhan investasi di Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Banten didorong oleh investasi di industri
manufaktur yang bertujuan untuk peningkatan kapasitas produksi. Tingginya realisasi investasi terkonfirmasi dari hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang tercatat sebesar 12,05% (SBT), lebih tinggi dari triwulan sebelumnya yang sebesar 9,91% (SBT). Penjualan semen di Jawa turut mengkonfirmasi peningkatan aktivitas pembangunan proyek infrastruktur pemerintah dan swasta. Selain itu, peningkatan impor barang modal yang tumbuh lebih tinggi mengindikasikan realisasi pihak swasta dalam meningkatkan kapasitas produksinya.
dan Tiongkok meski perlambatan tersebut masih dapat tertahan oleh meningkatnya ekspor ke AS. Kinerja ekspor juga didorong oleh peningkatan kinerja ekspor TPT dan elektronik, terutama dengan negara tujuan AS dan ASEAN. Pertumbuhan ekonomi Jawa yang masih kuat, mendorong pertumbuhan impor barang modal di awal tahun. Akselerasi pertumbuhan impor ditopang oleh impor barang modal yang tumbuh sebesar 16,71% (yoy), lebih tinggi dari posisi triwulan sebelumnya yang mengalami kontraksi 2,74% (yoy). Sementara itu impor konsumsi dan bahan baku tercatat melambat dibandingkan periode sebelumnya. Peningkatan impor barang modal ini menandakan optimisme pihak swasta dalam melihat prospek ekonomi Jawa tahun 2017.
Sumber: Bea Cukai dan Asosiasi Semen, diolah Grafik III.3. Perkembangan SKDU, Impor Barang Modal dan Penjualan Semen
Meningkatnya konsumsi pemerintah sejalan dengan pelaksanaan PILKADA yang dilaksanakan serentak pada bulan Februari. Secara spasial, dari 101 daerah yang melaksanakan Pilkada serentak terdapat 6 wilayah di Jawa (termasuk DKI Jakarta) yang melaksanakan. Konsumsi pemerintah meningkat terutama tercatat di DKI Jakarta, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta. Sementara itu, realiasi belanja pemerintah di Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat mengalami kontraksi. Membaiknya realiasi belanja pemerintah turut terlihat dari terkontraksinya pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) di BPD pada triwulan I 2017. Kinerja ekspor Jawa menunjukkan perlambatan, terutama kepada mitra dagang utama Jawa. Perlambatan ekspor Jawa khususnya terjadi pada komoditas makanan dan minuman, logam dasar dan alat angkutan. Perlambatan ekspor utamanya berasal dari lemahnya permintaan Eropa, Jepang
33
Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik III.4. Perkembangan Ekspor dan ImporLuar Negeri
Akselerasi pertumbuhan ekonomi Jawa diperkirakan masih terus berlanjut hingga triwulan II 2017. Peningkatan terutama didorong oleh konsumsi rumah tangga yang meningkat seiring dengan momen Ramadhan dan HBKN Idul Fitri di akhir triwulan II. Dari sisi Investasi, berlanjutnya pembangunan proyek infrastruktur pemerintah serta pembangunan beberapa pabrik baru di Jawa turut mendorong naiknya investasi pada triwulan II 2017. Selain itu, meningkatnya ekonomi Jawa turut ditopang oleh konsumsi pemerintah yang akan melakukan pencairan gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) ke 13 dan 14 di bulan Juni 2017.
Peningkatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga berpotensi meningkat memasuki bulan Ramadhan dan menjadi penopang ekonomi Jawa. Indeks Ekspektasi Konsumsi (IKK) dan Indeks Penjualan Riil (IPR) mengindikasikan adanya peningkatan konsumsi rumah tangga, khususnya pada jenis makanan minuman dan peralatan rumah tangga. Namun demikian, inflasi kelompok administrered prices yang relatif tinggi hingga April 2017, masih berisiko mengurangi daya beli sehingga dapat menahan pertumbuhan konsumsi rumah tangga.
indikatif 50. Di sisi lain, pertumbuhan ekspor yang diperkirakan melambat dapat menahan perlambatan laju pertumbuhan net ekspor, seiring impor barang modal yang diperkirakan tidak setinggi triwulan sebelumnya.
Kinerja Lapangan Usaha Meningkatnya pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2017 didorong oleh perbaikan kinerja pada seluruh lapangan usaha utama, khususnya industri pengolahan dan perdagangan. Pertumbuhan lapangan usaha industri pengolahan dan perdagangan yang membaik sejalan dengan konsumsi rumah tangga dan konsumsi lembaga non profit yang masih cukup kuat. Realisasi investasi di Jawa yang meningkat pada triwulan I 2017 turut mendorong kinerja lapangan usaha konstruksi, terutama di DKI Jakarta, D.I. Yogyakarta dan Banten.
*) Data hingga April 2017 Grafik III.5. Perkembangan Kredit Konsumsi, IKK dan IPR
Investasi triwulan II 2017 diperkirakan masih mengalami akselerasi, ditopang oleh masih berjalannya pembangunan proyek infrastruktur pemerintah dan swasta. Berlanjutnya proyek pembangunan infrastruktur pemerintah di sejumlah daerah yang telah dimulai triwulan I akan dipercepat pada triwulan II, khususnya terkait proyek pembangunan jalan untuk mengantisipasi arus mudik sepanjang periode Idul Fitri. Sementara itu, Investasi multiyears oleh pelaku usaha diperkirakan masih akan beranjut seiring dengan optimisme terhadap prospek ekonomi pada tahun 2017. Peningkatan pertumbuhan ekonomi Jawa di triwulan II 2017 tertahan oleh perlambatan ekspor yang masih berlanjut hingga triwulan mendatang. Kinerja ekspor ke mitra dagang utama Jawa diperkirakan tumbuh terbatas yang dapat terlihat pada PMI Tiongkok, Jepang dan AS yang tercatat melambat meski masih di atas level
34
Sumber: BPS, diolah Grafik III.6. Pertumbuhan Lapangan Usaha Utama
Industri Pengolahan Peningkatan kinerja industri pengolahan yang merupakan lapangan usaha terbesar di Jawa menjadi pendorong utama akselerasi pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2017. Lapangan usaha industri pengolahan tumbuh sebesar 4,64% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan IV 2016 yang tercatat sebesar 4,10% (yoy). Membaiknya kinerja industri pengolahan tersebut terkonfirmasi dari hasil liaison yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Likert scale (LS) penjualan domestik dan ekspor tercatat mengalami peningkatan yang didorong oleh sub lapangan usaha makanan dan minuman serta alat
angkut. Membaiknya kinerja industri pengolahan juga terkonfirmasi dari naiknya kapasitas utilisasi dari 75,5% menjadi 77,9% pada triwulan laporan. Akselerasi kinerja industri pengolahan didorong oleh sub lapangan usaha alat angkut, TPT dan juga logam dasar. Meningkatnya permintaan kendaraan bermotor terkonfirmasi dari data penjualan mobil (GAIKINDO) dan motor (AISI) yang mengalami peningkatan di triwulan I 2017. Permintaan untuk produk TPT terpantau meningkat, terlihat dari nilai ekspor TPT Jawa yang meningkat, selain itu hasil liaison juga menunjukkan permintaan TPT dari Tiongkok dan AS mengalami peningkatan. Sementara itu, meningkatnya realisasi investasi yang diikuti oleh akselerasi lapangan usaha konstruksi, memberikan dampak positif terhadap permintaan sub lapangan usaha logam dasar dan semen.
Sumber: Liaison Grafik III.7. Perkembangan Industri Pengolahan
Sumber: Bea Cukai, AISI dan GAIKINDO, diolah Grafik III.8. Perkembangan Industri Pengolahan Sub Lapangan Usaha Alat Angkut, TPT dan Semen
35
Membaiknya kinerja industri pengolahan di triwulan I 2017 diperkirakan akan terus berlanjut pada triwulan II 2017. Peningkatan produksi industri pengolahan tersebut merupakan salah satu upaya dalam memenuhi permintaan domestik yang meningkat selama bulan Ramadhan dan HBKN Idul Fitri. Sub lapangan usaha yang diperkirakan akan mengalami peningkatan antara lain makanan dan minuman, TPT dan alat angkut. Meningkatnya kinerja industri pengolahan juga terindikasi dari penyaluran kredit ke lapangan usaha industri pengolahan yang meningkat hingga bulan April 2017.
Konstruksi Percepatan pembangunan sejumlah proyek infrastruktur pemerintah dan pabrik-pabrik sektor swasta di Jawa mendorong kinerja lapangan usaha konstruksi di triwulan I 2017. Pertumbuhan lapangan usaha konstruksi tercatat sebesar 4,64% (yoy), lebih tinggi dibanding triwulan IV 2016 sebesar 4,10% (yoy). Akselerasi kinerja lapangan usaha konstruksi ditopang oleh pembangunan proyek dari sektor pemerintah maupun swasta. Beberapa proyek infrastruktur pemerintah, khususnya di DKI Jakarta seperti pembangunan New Tanjung Priok, Fly Over Semanggi, MRT, LRT serta pembangunan sejumlah ruas jalan tol memberikan andil terhadap tingginya pertumbuhan lapangan usaha konstruksi di triwulan ini. Selain itu, beberapa proyek infrastruktur lain di Kawasan Jawa seperti PLTU Batang dan pembangunan ruas jalan tol di Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam menyambut arus mudik pada periode Idul Fitri 2017 turut mendorong kinerja lapangan usaha konstruksi. Akselerasi kinerja lapangan usaha konstruksi baik dari proyek pemerintah dan swasta tercermin dari penjualan semen yang meningkat pada triwulan laporan. Sementara itu, berjalannya pembangunan proyek swasta yang masih berlangsung diantaranya adalah pembangunan pabrik otomotif di Jawa Barat, pabrik karet ban, semen dan logam dasar di
Banten, serta perluasan pabrik rokok di Jawa Timur juga ikut mendorong pertumbuhan sektor konstruksi ini. Kenaikan konstruksi juga terkonfirmasi dari Indeks Harga Properti Residensial yang meningkat. Hal tersebut juga sejalan dengan peningkatan pertumbuhan penyaluran Kredit Pemilikian Rumah (KPR) di wilayah Jawa, terutama untuk tipe rumah di atas 2 22 m .
Sumber: Asosiasi Semen, diolah Grafik III.9. Perkembangan Penjualan Semen dan Indeks Harga Properti Residensial (IHPR)
Kinerja lapangan usaha konstruksi pada triwulan II 2017 diperkirakan masih dapat tumbuh lebih tinggi dibandingkan triwulan I 2017. Masih relatif kuatnya kinerja lapangan usaha konstruksi tersebut didorong oleh masih terus berlangsungnya pembangunan proyek baik dari sektor Pemerintah maupun swasta. Akselerasi lapangan usaha konstruksi di triwulan II 2017 juga juga terindikasi dari hasil SKDU, dimana ekspektasi kegiatan usaha konstruksi mengalami kenaikan dari 6,13% pada triwulan I 2017 menjadi 12,45% pada triwulan laporan.
Pertanian Masa panen raya yang berlangsung pada bulan Maret 2017 berdampak positif terhadap tumbuhnya lapangan usaha pertanian. Lapangan usaha pertanian tumbuh 7,07% (yoy), meningkat dari triwulan IV 2016 yang tumbuh 6,64% (yoy). Panen raya tanaman bahan makanan, terutama padi, menjadi penyumbang terbesar dalam produksi pertanian pada triwulan laporan. Meskipun curah hujan masih relatif tinggi, namun kondisi tersebut tidak berpengaruh terhadap
36
produktifitas tanaman pangan dan hanya memengaruhi produksi komoditas hortikultura yang memberikan sumbangan inflasi cukup besar pada awal tahun 2017. Meningkatnya kinerja lapangan usaha pertanian juga tercermin dari peningkatan kredit pertanian. Masa panen raya untuk komoditas tanaman pangan yang telah dimulai sejak triwulan I 2017 membuat produksi di triwulan II 2017 tidak setinggi tahun sebelumnya. Kebijakan Kementerian Pertanian yang membatasi produksi Day Old Chicken (DOC) juga berisiko mengurangi produksi ayam di triwulan II 2017. Selain itu, perlambatan kinerja juga terindikasi dari hasil SKDU terkait ekspektasi kegiatan usaha pertanian yang diperkirakan menurun pada triwulan II 2017. Namun demikian, untuk tanaman hortikultura telah dilakukan pola tanam off season yang diperkirakan mampu mendorong produksi komoditas hortikultura di triwulan II 2017.
Grafik III.10. Perkembangan Kredit Pertanian
Perdagangan Daya beli masyarakat di Jawa yang masih kuat serta adanya penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) serentak mendorong pertumbuhan lapangan usaha perdagangan. Lapangan usaha perdagangan mencatatkan pertumbuhan sebesar 5,44% (yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan IV 2016 yang tumbuh 5,12% (yoy). Indeks Penjualan Riil (IPR) Jawa menunjukkan adanya peningkatan kegiatan perdagangan di hampir seluruh provinsi di Jawa. Selain itu, pertumbuhan penjualan mobil
(GAIKINDO) dan motor (AISI) mengalami peningkatan di triwulan I 2017. Membaiknya kinerja lapangan usaha perdagangan turut terkonfirmasi oleh adanya peningkatan permintaan kredit konsumsi, yang tumbuh meningkat dari 11,86% (yoy) di triwulan IV 2016 menjadi 12,33% (yoy) di triwulan I 2017. Bulan Ramadhan dan HBKN Idul Fitri di triwulan II diperkirakan mampu mendorong kinerja lapangan usaha perdagangan di triwulan II 2017. Indikator kinerja lapangan usaha perdagangan yaitu IPR mengindikasikan adanya peningkatan omset penjualan di awal triwulan II 2017. IKK yang diperkirakan meningkat turut mengkonfirmasi adanya tendensi peningkatan konsumsi rumah tangga di triwulan mendatang sebagai dampak dari meningkatnya kebutuhan masyarakat seiring dengan Ramadhan dan HBKN Idul Fitri yang mendorong arus perdagangan semakin tinggi. Pencairan gaji ke 13 dan 14 bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di bulan Juni, diperkirakan turut mampu mendorong konsumsi rumah tangga.
Sumber: GAIKINDO dan AISI Grafik III.11. Perkembangan LU Perdagangan dan Indikator Pendukungnya
Jasa Keuangan Prospek pertumbuhan ekonomi Jawa tahun 2017 yang diperkirakan membaik, mendorong akselerasi kinerja lapangan usaha jasa keuangan. Pertumbuhan lapangan usaha jasa keuangan pada triwulan I 2017 tumbuh 6,69% (yoy), jauh lebih tinggi dibandingkan triwulan IV 2016 yang tumbuh 2,93% (yoy). Meningkatnya lapangan usaha jasa keuangan sejalan dengan
37
pertumbuhan penyaluran kredit yang tercatat 9,72% (yoy) meningkat dibandingkan triwulan IV 2016 sebesar 8,11 (yoy). Peningkatan pertumbuhan penyaluran kredit diikuti dengan kualitas kredit yang masih terjaga. Sementara itu, salah satu index pasar keuangan, yaitu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat mengalami peningkatan di triwulan I 2017. Hal tersebut mengindikasikan transaksi keuangan yang lebih tinggi di pasar saham pada triwulan I 2017.
Sumber: IDX Grafik III.12. Perkembangan Pasar Keuangan
Kinerja lapangan usaha jasa keuangan diperkirakan tumbuh lebih tinggi pada triwulan II 2017. Akselerasi lapangan usaha jasa keuangan tersebut didorong oleh permintaan kredit yang diperkirakan lebih tinggi dari triwulan I 2017. Penyaluran kredit hingga bulan April 2017 masih menunjukkan adanya peningkatan, dimana pertumbuhan kredit sebesar 10,33 % (yoy). Sementara itu, transaksi pasar saham juga diperkirakan akan meningkat yang terlihat dari IHSG di bulan April yang lebih tinggi dari realisasi triwulan I 2017.
Fiskal Daerah Realisasi belanja APBD pada triwulan I 2017 tercatat lebih rendah bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2016. Realisasi belanja daerah (APBD provinsi dan Kab/Kota) pada triwulanan laporan hanya sebesar 7,73%, lebih rendah dari tahun sebelumnya sebesar 9,96%. Secara spasial, D.I. Yogyakarta dan 5 kabupaten di wilayahnya memiliki persentase realisasi
tertinggi sebesar 10,73%. Sementara itu secara nominal realisasi tertinggi terjadi di wilayah Jawa Timur dengan total realisasi sebesar Rp 10,15 Triliun, meski secara persentase hanya sebesar 8,8%.
besar pada akhir tahun 2016, sementara realisasi belanja di triwulan I 2017 masih relatif terbatas.
Tabel III.2. Realisasi Belanja Daerah Anggaran (Rp Triliun) DKI Jakarta 57 Jawa Barat 115 Banten 33 Jawa Tengah 96 D.I. Yogyakarta 14 Jawa Timur 113 Jawa 427 Provinsi
Tahun 2016 Realisasi Realisasi (Rp (%) Triliun) 3 5% 13 11% 3 9% 9 10% 1 10% 13 12% 43 10%
Anggaran (Rp Triliun) 64 117 33 94 15 115 437
Tahun 2017 Realisasi Realisasi (Rp (%) Triliun) 4 6% 9 8% 1 4% 8 8% 2 11% 10 9% 34 8%
Grafik III.13. Porsi Dana Pemda di BPD
Sumber: Biro Ekonomi dan TEPRA, diolah
Perkembangan Inflasi Penurunan realisasi belanja APBD pada triwulan I 2017, terjadi baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Realisasi belanja daerah di tingkat provinsi tercatat sebesar 9,13%, lebih rendah dari tahun sebelumnya sebesar 10,65%. Peningkatan realisasi belanja daerah di tingkat provinsi hanya terjadi di DKI Jakarta yang tahun sebelumnya sebesar hanya 4,86% menjadi 5,86%. Akselerasi realisasi belanja daerah di DKI Jakarta disebabkan oleh dipercepatnya penetapan APBD 2017. Sementara itu, realisasi belanja di tingkat kabupten/kota, terjadi penurunan signifikan dari 9,60% menjadi 6,90%. Realisasi belanja daerah pada awal tahun 2017 masih terbatas pada pengeluran rutin dan belanja pegawai. Anggaran belanja modal pada triwulan I 2017 baru terealisasikan di Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Timur, sementara untuk empat provinsi lainnya, masih dalam tahapan lelang. Penyerapan anggaran belanja modal diperkirakan baru akan terealisasi pada triwulan II 2017 dan akan terus terakselerasi hingga triwualn IV 2017. Porsi dana Pemda di BPD kembali mengalami kenaikan di triwulan I 2017. Sesuai dengan pola historisnya, dana Pemda di BPD pada triwulan I 2017 memiliki porsi sebesar 51% (setara Rp106,8 triliun) atau lebih tinggi dari triwulan IV 2016 yang memiliki porsi 33% (senilai Rp 59,3 triliun). Kenaikan porsi dana Pemda tersebut disebabkan oleh adanya penarikan anggaran yang cukup
38
Tekanan inflasi pada triwulan I 2017 yang relatif tinggi menyebabkan laju inflasi tahunan Jawa pada triwulan I 2017 mengalami peningkatan. Tingkat inflasi Jawa tercatat sebesar 3,47% (yoy), lebih tinggi dari realisasi pada triwulan IV 2016 sebesar 2,59% (yoy), namun masih lebih rendah dibandingkan dengan inflasi nasional sebesar 3,61% (yoy). Realisasi inflasi Jawa tersebut masih berada dalam rentang sasaran inflasi tahun 2017 sebesar 4% ± 1%. Berdasarkan disagregasinya, laju inflasi tahunan kelompok inti dan administered prices mengalami peningkatan, sementara inflasi dari kelompok volatile food terpantau lebih rendah dan dapat menahan laju inflasi yang lebih tinggi.
Sumber: BPS, diolah Grafik III.14. Disagregasi Kelompok Inflasi
Tekanan inflasi terbesar pada triwulan I 2017 berasal dari komoditas kelompok administered prices dan kelompok inti. Penyesuaian Tarif
Tenaga Listrik (TTL) dan biaya administrasi STNK menjadi penyumbang inflasi terbesar di bulan Januari. Laju inflasi bulanan Jawa pada bulan Januari tercatat sebesar 1,02% (mtm), lebih tinggi dari realisasi nasional yang sebesar 0,97% (mtm). Sementara itu, tekanan dari kelompok inti juga relatif besar, terutama dari kenaikan tarif pulsa ponsel serta adanya penyesuaian harga kontrak rumah dan sewa rumah. Namun tekanan inflasi Jawa di triwulan I 2017 dapat diredam oleh penurunan harga-harga komoditas volatile food seperti cabai merah, bawang merah dan beras. Tekanan inflasi volatile food yang lebih rendah dari triwulan sebelumnya, mampu meredam peningkatan inflasi Jawa yang lebih tinggi. Kembali normalnya harga komoditas hortikultura seperti cabai merah dan bawang merah mampu menahan tekanan inflasi dari kelompok volatile food. Pasokan cabai merah dan bawang merah pada triwulan I 2017 kembali meningkat seiring masa panen yang terjadi di beberapa sentra produksi di Jawa Tengah. Panen raya padi yang serentak dimulai sejak awal Maret 2017, memberikan tambahan pasokan beras sehingga mampu memberi sumbangan deflasi di triwulan laporan. Selain itu, pasokan telur ayam ras yang melebihi permintaan masyarakat di awal tahun dapat menahan laju inflasi volatile food yang lebih tinggi. Di sisi lain, tekanan terbesar kelompok volatile food disumbang oleh cabai rawit. Pasokan cabai rawit sempat terhambat pada awal tahun yang disebabkan oleh gagal panen karena berkembangnya penyakit “patek”. Namun demikian, harga cabai rawit telah berangsur menurun pada akhir triwulan menyusul pasokan yang kembali normal. Kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL) dan biaya administrasi STNK menjadi penyumbang inflasi terbesar pada triwulan I 2017. Sumbangan inflasi tertinggi bersumber dari Tarif Tenaga Listrik (TTL), yang disebabkan adanya penyesuaian tarif untuk golongan rumah tangga 900VA. Kenaikan TTL untuk golongan 900VA dilakukan secara bertahap setiap 2 bulan, mulai Januari hingga Juli 2017. Tekanan inflasi yang cukup besar pada awal
39
tahun juga turut disumbang oleh penyesuaian biaya administrasi STNK di bulan Januari. Kenaikan biaya administrasi STNK untuk kendaraan roda empat mencapai 167%, sementara untuk kendaraan roda dua sebesar 100%. Tekanan dari kelompok administered prices masih ditambah oleh kenaikan harga rokok secara bertahap sepanjang tahun 2017, seiring diimplementasikkannya PMK No 147/PMK.010/2016 terkait cukai rokok 2017. Sumbangan inflasi kelompok inti pada triwulan I 2017 relatif besar, terutama dengan adanya penyesuaian tarif pulsa ponsel dan kenaikan kontrak rumah serta sewa rumah. Komoditas kelompok inti yang memberikan sumbangan inflasi terbesar adalah tarif pulsa ponsel, yang disebabkan adanya upaya operator jasa telekomunikasi untuk menutup biaya investasi paska penurunan tarif interkoneksi. Sementara itu, penyesuaian tarif sewa rumah dan kontrak rumah yang umumnya dilakukan pada awal tahun turut memberikan sumbangan inflasi yang relatif tinggi pada triwulan laporan. Kenaikan sewa rumah dan kontrak rumah yang secara rutin terjadi di awal dan pertengahan tahun ditengarai salah satunya disebabkan oleh rasio kepemilikan rumah tinggal yang rendah. Secara umum, kota yang memiliki basis pendidikan maupun industri cenderung memiliki potensi risiko inflasi sewa dan kontrak rumah lebih tinggi dibandingkan daerah lain. Tabel III.3. Komoditas Penyumbang Inflasi % yoy Andil yoy Komoditas Bobot Volatile Food Cabai Rawit 0.11 107.93 0.19 Minyak Goreng 0.94 9.73 0.08 Daging Ayam Ras 1.17 4.39 0.05 Administered Prices Tarif Listrik 2.90 15.44 0.51 Biaya Perpanjangan STNK 0.32 106.72 0.28 Rokok Kreket Filter 1.52 7.25 0.13 Core Inflation Tarif Pulsa Ponsel 2.14 12.32 0.22 Sewa Rumah 4.23 3.35 0.13 Kontrak Rumah 4.74 2.66 0.11 Sumber: BPS, diolah
Secara spasial, laju inflasi tahunan seluruh provinsi mengalami peningkatan namun masih berada di bawah rentang sasaran inflasi tahun 2017. Tingkat inflasi tertinggi pada triwulan I 2017 tercatat di provinsi Jawa Timur sebesar 3,84% (yoy), dan menjadi satu-satunya provinsi di Jawa yang memiliki tingkat inflasi tahunan di atas nasional. Hal tersebut dikarenakan bobot dari biaya administrasi STNK yang lebih besar sehingga andil dari komoditas dimaksud juga menjadi lebih tinggi daripada provinsi lainnya di Jawa. Sementara itu, laju inflasi tahunan terendah berada di Jawa Tengah yang tercatat sebesar 3,30% (yoy). Relatif rendahnya capaian inflasi Jawa Tengah disebabkan oleh terjaganya inflasi bahan pangan yang merupakan terendah bila dibandingkan provinsi lainnya di wilayah Jawa. Tabel III.4. Perkembangan Inflasi Spasial Provinsi
2014
2015
DKI Jakarta 8.95 3.30 Jawa Barat 7.60 2.74 Banten 10.20 4.29 Jawa Tengah 8.21 2.73 DI Yogyakarta 6.59 3.09 Jawa Timur 7.77 3.08 Jawa 8.35 3.12
I 3.62 3.78 5.70 4.21 3.69 3.71 3.93
2016 II III 3.08 2.40 3.22 2.54 3.78 3.01 2.96 2.71 2.94 2.68 2.93 2.69 3.14 2.58
III 2.73 2.96 2.90 2.53 2.87 3.03 2.59
2017 I 3.43 3.37 3.45 3.30 3.40 3.84 3.47
Sumber: BPS, diolah
Tekanan inflasi pada triwulan II 2017 diperkirakan meningkat, didorong kenaikan permintaan masyarakat pada bulan Ramadhan dan HBKN Idul Fitri. Seluruh kelompok disagregasi inflasi diperkirakan akan mengalami peningkatan, khususnya kelompok administered prices. Sumbangan inflasi dari kelompok administered prices diperkirakan bersumber dari tarif angkutan, baik darat, udara maupun kereta api pada musim mudik. Selain itu masih berlanjutnya penyesuaian tarif tenaga listrik dan BBM akibat tren peningkatan harga minyak dunia akan memberikan sumbangan inflasi yang cukup besar. Sementara tekanan inflasi dari kelompok volatile food diperkirakan relatif terjaga, seiring komitmen Pemerintah dalam pengendalian inflasi bahan pangan selama bulan Ramadhan dan HBKN Idul Fitri. Tekanan terbesar akan
40
bersumber dari kenaikan harga daging ayam ras terkait Keputusan Menteri Pertanian nomor 3035 tahun 2017 terkait pengurangan Day Old Chicken Final Stock (DOC FS). Pada inflasi inti, peningkatan harga emas perhiasan diperkirakan akan menjadi penyumbang utama inflasi di triwulan II 2017. Dalam rangka menghadapi inflasi pada bulan Ramadhan dan HBKN Idul Fitri, TPID di Jawa telah mempersiapkan berbagai program dan kegiatan rutin maupun khusus. Beberapa kegiatan rutin yang akan dilaksanakan antara lain pemantauan harga melalui PIHPS, rapat koordinasi, pemantauan atau “sidak” stok bahan pangan dan bahan bakar, persiapan operasi pasar murah atau pasar Ramadhan dan pengendalian ekspektasi inflasi di masyarakat. Sementara itu, beberapa kegiatan khusus yang telah direncanakan untuk dilaksanakan antara lain pertemuan dengan ulama setempat dalam rangka mensosialisasikan pengertian inflasi dan pentingnya kestabilan harga, pendirian warung TPID serta pelaksanaan “sidak” terhadap tarif angkut. Dari lima pilar di roadmap pengendalian inflasi, fokus pengembangan program dan kegiatan TPID di Jawa saat ini lebih diarahkan pada pilar 2 dan pilar 3, yaitu produksi, distribusi dan konektivitas serta kerjasama dan sinergi antar daerah. Melalui berbagai program dan kegiatan yang disusun, diharapkan dapat membantu meredam tekanan inflasi hingga akhir tahun 2017.
Stabilitas Keuangan Daerah Ketahanan Sektor Korporasi 7
Ketahanan dan kinerja korporasi di wilayah Jawa menunjukkan peningkatan, yang tercermin dari membaiknya seluruh indikator. Perbaikan kinerja korporasi dapat terlihat dari rasio
7
Korporasi di Jawa diwakili oleh 40 (empat puluh) perusahaan manufaktur terbesar di Jawa dan tercatat dalam Bursa Efek Indonesia (IDX)
8
9
10
rentabilitas , solvabilitas , likuiditas serta 11 repayment capacity yang meningkat. Kenaikan seluruh indikator tersebut melanjutkan tren peningkatan sepanjang tahun 2016 dan menjadi pertanda sudah mulai pulihnya kinerja korporasi setelah melewati tren penurunan sejak tahun 2013. Hasil positif seluruh indikator menunjukkan masih kuatnya ketahanan korporasi dalam stabilitas keuangan daerah. Rasio rentabilitas korporasi kembali mengalami akselerasi yang mengindikasikan efisiensi kinerja korporasi. Kinerja korproasi dalam menghasilkan laba tercermin dari indikator Return on Assets (ROA) yang mengalami peningkatan dari 6,13% menjadi 6,93%. Indikator lainnya yaitu Return on Equity (ROE) juga tercatat meningkat dari 12,09% menjadi 13,31%. Peningkatan efisiensi kinerja korporasi tercermin dari rasio profit margin korporasi yang meningkat di tengah pertumbuhan penjualan di triwulan IV 2016 yang melambat. Secara sektoral, rasio ROA dan ROE pada seluruh sub lapangan usaha tercatat meningkat, namun pertumbuhan penjualan untuk sub lapangan usaha TPT, logam dan sejenisnya, serta tembakau tercatat mengalami perlambatan.
Sumber: IDX dan Bloomberg Grafik III.15. Perkembangan ROA dan ROE Korporasi
8
Rentabilitas adalah kemampuan korporasi dalam menghasilkan laba atau keuntungan 9 Solvabilitas adalah kemampuan korporasi dalam memenuhi seluruh kewajibannya 10 Likuiditas adalah kemampuan korporasi dalam memenuhi kewajiban finansial jangka pendek 11 Repayment capacity adalah kemampuan korporasi dalam membayar bunga pinjaman dan juga cicilan pokoknya
41
Ketahanan korporasi di triwulan IV 2017 juga terlihat rasio solvabilitas yang meningkat dengan tingkat hutang yang lebih rendah. Rasio solvabilitas korporasi di Jawa tercatat meningkat menjadi 2,27%, lebih tinggi dari triwulan III 2016 sebesar 2,07%. Meningkatnya rasio solvabilitas tidak terlepas dari menurunnya rasio Debt to Equity Ratio (DER) ke level 0,79%, di bawah realiasi triwulan sebelumnya yang sebesar 2,07%. Menurunnya rasio DER pada triwulan IV 2016 mengindikasikan adanya kehati-hatian korporasi dalam mendapatkan hutang baru di tengah mulai membaiknya kinerja perusahaan.
Sumber: IDX dan Bloomberg Grafik III.16. Perkembangan DER dan Solvability Ratio Korporasi
Kemampuan korporasi dalam memenuhi kewajiban bunga pinjaman mengalami peningkatan. Rasio Interest Coverage Ratio (ICR) pada triwulan IV 2016 tercatat meningkat dari menjadi 8,79%, lebih tinggi dari realiasi triwulan III 2016 sebesar 4,19%. Debt Service Ratio (DSR) korporasi di Jawa pada tahun 2016 juga menunjukkan penurunan. Rasio DSR yang turun mengindikasikan semakin rendahnya kewajiban korporasi dalam bentuk bunga pinjaman dan pinjaman jangka panjang yang akan jatuh tempo pada tahun depan. Rasio ICR yang meningkat serta DSR yang lebih rendah tersebut menunjukkan ketahanan korporasi dalam memenuhi kewajibannya. Sementara itu, indikator rasio likuiditas yang tercermin dari current ratio, juga mengalami peningkatan. Rasio likuiditas korporasi Jawa tercatat sedikit meningkat dari 1,55% menjadi 1,62%. Rasio
likuiditas korporasi di Jawa yang meningkat sejalan dengan peningkatan kinerja korporasi sepanjang tahun 2016.
dibandingkan sektor lainnya. Dari sisi rentabilitas, ROA dan ROE pada sektor logam dan sejenisnya masih mencatatkan angka negatif meski relatif lebih baik dari triwulan sebelumnya. Rasio solvabilitas dari sektor logam dan sejenisnya masih berada di atas satu kali, yang menandakan masih kuatnya ketahanan koproasi sektor logam dan sejenisnya.
Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi
Sumber: IDX dan Bloomberg Grafik III.17. Perkembangan ICR dan Current Ratio Korporasi Tabel III.5. Indikator Kinerja Korporasi ROA Tw III Tw IV Automotive & Components 5.34 5.71 Food & Beverage 7.54 7.94 Pulp& Paper 2.00 2.87 Tobacco Manufacturers 14.07 15.31 Cement 10.30 9.60 Metal & Allied Products -6.34 -4.05 Chemicals 10.85 14.84 Pharmaceuticals 15.66 16.61 Textile, Garment 1.00 1.72 Ceramics, Glass, Porcelain 2.84 3.06 Plastics & Packaging 2.62 2.09 Total 6.12 6.91
ROE Tw III Tw IV 10.34 11.01 14.87 15.23 5.32 7.47 22.97 23.96 14.62 13.45 -13.57 -8.71 21.16 28.33 19.14 20.31 6.64 10.33 7.19 7.75 5.22 4.14 12.07 13.28
DER Tw III Tw IV 0.93 0.92 0.94 0.76 1.61 1.46 0.53 0.43 0.42 0.31 1.18 1.14 0.86 0.87 0.22 0.22 5.78 1.86 1.63 0.96 0.94 0.79
Solvability Tw III Tw IV Automotive & Components 2.08 2.08 Food & Beverage 2.06 2.31 Pulp& Paper 1.62 1.68 Tobacco Manufacturers 2.89 3.32 Cement 3.36 4.21 Metal & Allied Products 1.85 1.88 Chemicals 2.17 2.16 Pharmaceuticals 5.64 5.51 Textile, Garment 1.17 1.54 Ceramics, Glass, Porcelain 1.61 Plastics & Packaging 2.04 Total 2.07 2.27
ICR Tw III Tw IV 21.77 33.90 7.66 8.73 1.92 2.40 20.11 29.81 9.23 19.90 0.31 7.94 12.29 128.56 199.18 1.51 0.71 4.19 8.79
Current Ratio Tw III Tw IV 1.39 1.26 1.86 1.75 1.42 1.55 2.25 2.69 1.84 2.19 0.80 0.81 1.50 1.53 4.08 4.13 0.85 3.06 1.44 1.08 1.55 1.62
Sektor
Sektor
Prospek positif dari perekonomian domestik di tahun 2017, diikuti dengan semakin membaiknya permintaan kredit di Jawa. Penyaluran kredit di kawasan Jawa secara keseluruhan tumbuh sebesar 9,72% di triwulan I 2017 meningkat dibanding triwulan sebelumnya sebesar 8,11% (yoy), dan menjadi pertumbuhan kredit tertinggi sejak tahun 2016. Realisasi pertumbuhan kredit di Jawa tercatat di atas capaian nasional sebesar 9,26% (yoy). Akselerasi pertumbuhan kredit di Jawa didorong oleh permintaan kredit korporasi yang meningkat sebesar 10,34% (yoy) pada triwulan I 2017. Sementara itu, permintaan kredit oleh golongan perseorangan juga mengalami peningkatan, meski tidak setinggi pertumbuhan golongan korporasi.
Sumber: IDX dan Bloomberg Grafik III.18. Perkembangan Kredit Perbankan
Secara sektoral, seluruh sektor korporasi di Jawa mengalami peningkatan kinerja, tercermin dari perbaikan rasio rentabilitas dan ICR. Secara umum seluruh sektor korporasi masih memiliki rasio solvabilitas di atas satu kali, dengan rasio solvabilitas terendah pada sektor TPT sebesar 1,54. Secara keseluruhan, rasio DER seluruh sektor menurun, walaupun secara level, sektor DER kertas dan TPT relatif lebih tinggi
42
Peningkatan pertumbuhan kredit Jawa didorong oleh lapangan usaha utama seperti perdagangan dan konstruksi, meski permintaan kredit untuk industri pengolahan sedikit melambat. Peningkatan penyaluran kredit korporasi terjadi baik pada kredit modal kerja maupun investasi. Pertumbuhan kredit korporasi yang meningkat
terutama didorong peningkatan permintaan lapangan usaha perdagangan dan konstruksi. Kenaikan permintaan kredit terkonfirmasi dari meningkatnya pertumbuhan lapangan usaha perdagangan dan konstruksi pada PDRB. Sementara itu, penyaluran kredit ke lapangan usaha industri pengolahan masih relatif terbatas dan mengalami sedikit perlambatan.
lapangan usaha utama mengalami penurunan. Risiko kredit dari lapangan usaha perdagangan perlu mendapat perhatian meski mengalami penurunan di triwulan I 2017, seiring rasio NPL yang hampir melampaui batas indikatif aman 5%. Sementara itu, terjaganya kualitas kredit dari lapangan usaha industri pengolahan dan perdagangan mampu menjaga kualitas kredit korporasi secara keseluruhan.
Ketahanan Sektor Rumah Tangga Dana Pihak Ketiga Perseorangan di Perbankan
Grafik III.19. Penyaluran Kredit Sektoral Korporasi
Grafik III.20. Rasio NPL Kredit Sektoral Korporasi
Peningkatan pertumbuhan kredit korporasi yang diikuti kualitas kredit yang relatif terjaga menunjukkan ketahanan korporasi pada triwulan I 2017. Terjaganya kualitas kredit korporasi di triwulan I 2017 mengindikasikan masih kuatnya kemampuan bayar dari korporasi dalam memenuhi kewajibannya. Pada triwulan I 2017, rasio Non Performing Loan (NPL) korporasi tercatat stabil pada level 3,37% namun lebih tinggi dari rasio NPL kredit secara keseluruhan yang sebesar 2,96%. Berdasarkan penggunaannya, risiko kredit investasi mengalami kenaikan, namun dapat tertahan oleh membaiknya kualitas kredit dari jenis modal kerja. Secara sektoral, risiko kredit dari seluruh
43
Dana Pihak Ketiga (DPK) dari golongan perseorangan tercatat mengalami perlambatan, terutama bersumber dari perlambatan giro dan tabungan. Secara keseluruhan, DPK perseorangan tumbuh melambat dari 9,38% (yoy) menjadi 9,05% (yoy) di triwulan I 2017. Sementara itu, deposito yang pangsanya mencapai 45,1% dari total DPK, tercatat meningkat dari 3,57% (yoy) menjadi 6,60% (yoy). Peningkatan pertumbuhan deposito ditengarai didorong oleh adanya peningkatan suku bunga deposito dengan jangka waktu 3 bulan. Sementara itu, pertumbuhan deposito giro mengalami perlambatan yang cukup dalam dari 28,06% (yoy) menjadi 3,54% (yoy), sementara tabungan sedikit melambat dari 12,56% (yoy) pada triwulan IV-2016 menjadi 12,07% (yoy).
Grafik III.21. Pertumbuhan DPK Perseorangan
Kredit Perseorangan di Perbankan Sejalan dengan pertumbuhan kredit secara umum, kredit rumah tangga turut mengalami peningkatan, khususnya pada kredit KPR dan Kredit Multiguna. Penyaluran kredit rumah
tangga tumbuh dari 9,43% (yoy) menjadi 10,30% (yoy) pada triwulan I 2017. Peningkatan penyaluran kredit rumah tangga terutama disumbang pertumbuhan kredit kepemilikan rumah (KPR) yang meningkat dari 8,58% (yoy) menjadi 8,95% (yoy). Penyaluran Kredit Multiguna juga tumbuh meningkat sebesar 13,40% (yoy) setelah sempat melambat pada triwulan sebelumnya. Namun pertumbuhan kredit rumah tangga tertahan perlambatan KKB, yang justru sedikit melambat dari 1,52% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi 1,26% (yoy) pada triwulan I 2017.
tahun terakhir. Perlambatan juga dialami pada penyaluran KPR tipe >70 yang hanya tumbuh sebesar 3,95% (yoy). Membaiknya permintaan KPR di awal tahun 2017 sejalan dengan relaksasi LTV sejak pertengahan tahun 2015. Meningkatnya permintaan akan aset tetap juga tercermin dari peningkatan indeks konsumsi barang tahan lama saat ini yang lebih tinggi dibandingkan 3 bulan sebelumnya, sebagaimana ditunjukkan hasil Survei Konsumen.
Grafik III.23. Perkembangan KPR
Grafik III.22. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga
Perlambatan KKB didorong oleh melemahnya permintaan kredit kepemilikan kendaraan roda empat (mobil). Kredit kepemilikan mobil tercatat tumbuh sebesar 7,01% (yoy) pada triwulan I 2017, relatif lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 7,32% (yoy). Sementara itu, pertumbuhan penyaluran kredit kepemilikan sepeda bermotor masih terkontraksi, meskipun sudah cenderung membaik dibandingkan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan kredit sepeda bermotor meningkat dari minus 11,81% (yoy) menjadi minus 7,08% (yoy) pada triwulan laporan. Penyaluran KPR pada triwulan laporan tumbuh meningkat, sejalan dengan Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) yang relatif stabil. Peningkatan permintaan KPR bersumber dari rumah tipe 22 s.d 70. Sementara penyaluran KPR untuk tipe tipe <21 masih terkontraksi, walaupun lebih kecil kontraksinya, melanjutkan pertumbuhan negatif yang terjadi dalam satu
44
Grafik III.24. Rasio NPL Kredit Rumah Tangga
Kerentanan sektor rumah tangga yang tercermin dari rasio NPL kredit rumah tangga sedikit meningkat meski masih berada dalam level yang aman. Menurunnya ketahanan sektor rumah tangga juga terlihat dari indeks penghasilan (Survei Konsumen) yang mengalami penurunan di triwulan I 2017. Sementara rasio NPL kredit rumah tangga sedikit meningkat ke 1,63%, di atas realisasi triwulan sebelumnya 1,50%. Meningkatnya risiko kredit rumah tangga bersumber dari peningkatan rasio NPL KPR dan multiguna, sementara kualitas KKB relatif membaik dibandingkan triwulan sebelumnya.
Peningkatan risiko KPR terjadi pada seluruh tipe rumah. NPL terendah tercatat pada KPR dengan tipe 22 s.d 70 yaitu sebesar 1,99% pada triwulan I 2017, walaupun lebih tinggi daripada triwulan sebelumnya. Sementara NPL Kredit Multiguna meningkat dari 1,12% menjadi 1,17%. Di sisi lain, risiko kredit KKB masih relatif rendah dan terjaga, dengan rasio NPL sebesar 1,13%.
Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
transaksi. Transaksi SKNBI di Jawa secara total mencapai Rp682,63 triliun, atau terkontraksi sebesar 23,06% (yoy). Pertumbuhan pada triwulan laporan tersebut turun lebih dalam bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang terkontraksi sebesar 7,92% (yoy). Pada triwulan IV 2015, sempat diberlakukan caping yang lebih besar yaitu sebesar Rp500 juta yang menyebabkan terjadinya base year effect pada rendahnya angka pertumbuhan triwulan I 2017.
Sistem Pembayaran Non Tunai Sejalan dengan pola historisnya, transaksi kliring melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) mengalami perlambatan dari sisi volume transaksi di triwulan I 2017. Volume transaksi SKNBI tercatat mencapai 26,04 juta transaksi atau tumbuh sebesar 7,19% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang dapat tumbuh sebesar 8,94% (yoy). Penurunan volume transaksi kliring ini sejalan dengan pola musimannya, yaitu menurunnya aktivitas perekonomian di awal tahun paska momen Natal dan Tahun Baru serta realisasi APBD yang cenderung lebih tinggi pada akhir tahun. Ini terlihat dari rata-rata transaksi harian melalui SKNBI yang turun dari 8,4 triliun rupiah per hari menjadi 7,6 triliun rupiah per harinya.
Grafik III.26. Nominal Transaksi SKNBI
Pengelolaan Uang Rupiah Transaksi RTGS (Real Time Gross Settlement) baik secara nominal maupun volume tercatat melambat di triwulan I 2017 bila dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Namun perlambatan pertumbuhan volume RTGS tidak sedalam perlambatan pertumbuhan nominal RTGS. Jumlah nominal transaksi melalui RTGS sebesar Rp5.888 triliun dengan volume transaksi mencapai 1,68 juta kali. Secara spasial, perlambatan transaksi RTGS disumbang oleh provinsi DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Banten.
Grafik III.25. Volume Transaksi SKNBI
Pemberlakuan ketentuan terkait caping 12 transaksi kliring melalui SKNBI berdampak kepada melambatnya pertumbuhan nominal 12
Ketentuan Caping transaksi SKNBI adalah pemberlakuan ketentuan transaksi kliring menjadi maksimum 100 juta rupiah sejak 1 Juli 2016
45
Grafik III.27. Perkembangan Inflow dan Outflow
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang cenderung melambat serta masih terbatasnya realisasi APBD mendorong net-inflow di Jawa pada triwulan I 2017. Net-inflow Jawa sebesar 27,3 triliun rupiah ini juga sesuai dengan pola historisnya kawasan Jawa pada awal tahun. Netinflow tersebut lebih rendah dibandingkan netinflow pada periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp43,7 triliun. Hal ini disebabkan oleh penggunaan uang kartal oleh masyarakat dan pemerintah yang relatif terbatas serta realisasi APBD yang belum optimal pada awal tahun.
jaringan kas titipan di wilayah Jawa, yaitu di Kabupaten Kebumen yang telah diresmikan pada tanggal 21 April 2017, serta akan dibukanya layanan kas titipan di Kabupaten Cilacap.
Penguatan koordinasi dengan instansi yang berwenang serta peningkatan upaya edukasi CIKUR (Ciri-ciri Keaslian Uang Rupiah), berdampak kepada menurunnya penemuan uang yang diragukan keasliannya. Sampai dengan Februari 2017, jumlah uang yang diragukan keasliannya yang dilaporkan kepada Bank Indonesia pada triwulan I 2017 sebanyak 18.157 lembar, lebih rendah daripada triwulan sebelumnya yang mencapai 32.341 lembar. Penemuan terbesar masih berasal dari Jakarta disusul Jawa Timur yang merupakan daerahdaerah pusat transaksi bisnis. Makin sedikitnya temuan uang yang diragukan keasliannya merupakan hasil koordinasi yang semakin kuat antara Bank Indonesia dengan pihak berwajib dalam melakukan upaya-upaya preventif terhadap tindak pemalsuan uang serta edukasi yang dilakukan Bank Indonesia kepada masyarakat terkait ciri-ciri keaslian uang rupiah. Sementara itu, sejalan dengan upaya Bank Indonesia untuk menjaga kualitas uang beredar, rasio pemusnahan Uang Tidak Layak Edar (UTLE) terhadap inflow tercatat meningkat pada triwulan I 2017. Selain itu, ketersediaan uang layak edar semakin ditingkatkan di seluruh pelosok Indonesia melalui kegiatan kas keliling oleh Bank Indonesia yang menjangkau hingga ke seluruh pelosok negeri. Agar masyarakat mendapatkan uang yang berkualitas, peningkatan layanan perkasan kepada masyarakat oleh Bank Indonesia juga ditingkatkan melalui penambahan
*) hingga Februari 2017 Grafik III.28. Perkembangan Temuan Uang Palsu
46
Grafik III.29. Perkembangan Pemusnahan UTLE
Prospek Perekonomian Prospek Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi Jawa pada triwulan III 2017 diprakirakan lebih rendah, terutama dipengaruhi oleh menurunnya konsumsi musiman paska perayaan HBKN Idul Fitri. Setelah melewati masa puncaknya pada akhir triwulan II 2017, pertumbuhan konsumsi rumah tangga diperkirakan melambat. Perlambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga setelah periode puncak HBKN Idul Fitri, diprakirakan dapat menahan laju pertumbuhan ekonomi Jawa secara keseluruhan, walaupun realisasi investasi dan konsumsi pemerintah masih diprakirakan meningkat di samping prakiraan akselerasi kinerja ekspor Jawa seiring perbaikan kondisi ekonomi global dan kenaikan harga komoditas.
Secara sektoral, perlambatan ekonomi Jawa pada triwulan III 2017 dipengaruhi oleh melambatnya kinerja lapangan usaha industri pengolahan dan perdagangan paska Ramadhan dan HBKN Idul Fitri. Produksi industri pengolahan kembali ke level normal setelah melewati masa puncak permintaan pada periode Ramadhan dan HBKN Idul Fitri 2017. Hal yang sama juga terjadi pada kinerja lapangan usaha perdagangan, dimana volume perdagangan diprakirakan akan lebih rendah dari triwulan sebelumnya. Meski demikian, membaiknya produksi dari lapangan usaha pertanian dan juga masih kuatnya pertumbuhan lapangan usaha konstruksi seiring masih terus berlanjutnya pembangunan proyek infrastruktur pemerintah dan proyek swasta lainnya, mampu mengurangi perlambatan musiman yang terjadi. Perekonomian Jawa tahun 2017 diprakirakan mampu tumbuh lebih tinggi dibandingkan tahun 2016. Ekonomi Jawa diperkirakan tumbuh dalam rentang 5,6% - 6,0% (yoy), di atas realiasi tahun 2016 yang sebesar 5,59% (yoy). Akselerasi pertumbuhan ekonomi Jawa tersebut didorong oleh membaiknya seluruh komponen PDRB. Beberapa faktor yang mendukung peningkatan pertumbuhan ekonomi Jawa antara lain optimisme perbaikan ekonomi global, khususnya mitra dagang utama Jawa, meningkatnya harga komoditas, multiplier effect dari pembangunan proyek-proyek infrastruktur pemerintah serta bauran kebijakan dari otoritas moneter dan otoritas fiskal. Peningkatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga masih menjadi penopang utama ekonomi Jawa pada tahun 2017. Optimisme keyakinan konsumen di Jawa yang masih relatif tinggi hingga pertengahan 2017, mengindikasikan daya beli masyarakat yang masih kuat dan diperkirakan masih akan berlanjut hingga akhir tahun 2017. Masih kuatnya konsumsi rumah tangga tercermin dari penyaluran kredit konsumsi maupun kredit secara umum yang mulai menunjukkan tren meningkat di awal tahun 2017. Selain peningkatan konsumsi rumah
47
tangga, realisasi investasi di tahun 2017 diperkirakan turut membaik. Perbaikan iklim investasi dan meningkatnya peringkat investasi Indonesia oleh sejumlah lembaga rating, mendorong masuknya lebih banyak PMA ke Indonesia. Meningkatnya realisasi investasi sudah mulai terlihat semenjak triwulan I 2017 dimana PMDN dan PMA untuk wilayah Jawa tercatat lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Selain itu optimisme sektor swasta terhadap kondisi Indonesia paska PILKADA serentak di awal tahun, mampu mendorong realisasi investasi yang sudah terlihat pada semester I 2017. Perbaikan ekonomi global, terutama mitra dagang utama Jawa, diprakirakan mampu mendorong kinerja ekspor di tahun 2017. Perbaikan prospek ekenomi global terlihat dari ekonomi AS yang terus menguat disertai dengan membaiknya ekonomi Eropa dan Tiongkok. Menguatnya perekonomian di tiga negara tujuan utama ekspor Jawa, berpotensi untuk meningkatkan permintaan akan produk industri pengolahan. Selain itu, berdasarkan hasil survey liason Bank Indonesia, para pelaku usaha di Jawa telah melakukan diversifikasi negara tujuan ekspor ke negara ASEAN, Amerika Latin dan Afrika. Permintaan ekspor Jawa yang meningkat, diprarkirakan akan berdampak kepada peningkatan impor, terutama impor bahan baku dan barang modal. Hal ini sejalan dengan prakiraan realisasi investasi Jawa yang meningkat untuk keseluruhan tahun 2017. Dari sisi penawaran, akselerasi ekonomi Jawa Tahun 2017 ditopang oleh seluruh lapangan usaha utama. Peningkatan ekonomi Jawa, terutama didorong oleh akselerasi pertumbuhan lapangan usaha industri pengolahan dan perdagangan. Prospek ekonomi Indonesia yang membaik di tahun 2017 mendorong pelaku usaha untuk merealisasikan investasi yang bertujuan untuk peningkatan kapasitas produksi. Sejalan dengan masih kuatnya daya beli masyarakat, maka kinerja lapangan usaha perdagangan diprakirakan masih dapat tumbuh cukup kuat. Sementara itu, pertumbuhan lapangan usaha
pertanian juga mengalami peningkatan, seiring perkiraan cuaca yang lebih kondusif di tahun 2017 dan berlanjutnya program perbaikan infrastruktur pertanian. Percepatan pembangunan proyek Pemerintah maupun swasta diprakirakan menjadi pendorong utama kinerja lapangan usaha konstruksi. Pembangunan proyek pemerintah terutama berasal dari akselerasi proyek infrastruktur seperti pembangunan jalan Trans Jawa, Bandara di Jawa Barat dan DIY, pelabuhan New Priok di Jakarta dan pelabuhan Patimban serta sarana pendukung untuk penyelenggaraan ASEAN Games di Jakarta. Pembangunan proyek sektor swasta turut mendorong kinerja lapangan usaha konstruksi, terutama dari sub lapangan usaha alat angkut serta tekstil dan produk turunannya. Prakiraan pertumbuhan ekonomi Jawa yang membaik masih dibayangi oleh beberapa risiko internal dan eksternal. Dari sisi external, arah kebijakan pemerintah baru AS dan peningkatan suku bunga AS di tahun 2017 masih berpotensi memberikan risiko tekanan terhadap nilai tukar dan arus modal. Sementara itu, dari sisi domestik, tekanan inflasi akibat penyesuaian beberapa komoditas administered prices berisiko untuk menurunkan daya beli masyarakat. Hal tersebut sudah dapat terlihat di triwulan I 2017 yaitu dengan sedikit melambatnya dimana pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Selain itu, di sisi fiskal, resiko shortfall pajak masih cukup tinggi, terutama untuk DKI Jakarta, yang berpotensi menurunkan transfer dana ke daerah di tahun 2017. Tekanan inflasi di triwulan II 2017 yang relatif lebih tinggi diperkirakan akan berlanjut pada triwulan III 2017. Laju inflasi tahunan Jawa pada triwulan III 2017 diperkirakan masih akan relatif tinggi sejalan dengan dorongan kenaikan permintaan pada perayaan Idul Adha paska mengalami masa puncaknya pada perayaan HBKN Idul Fitri di akhir Juni 2017. Risiko inflasi volatile food diperkirakan bersumber kenaikan
48
harga daging ayam ras, sebagai dampak lanjutan dari kebijakan pengurangan DOC di semester I 2017. Dampak penyesuaian TTL diperkirakan masih akan dirasakan pada awal triwulan III disertai masih akan adanya penyesuaian harga rokok secara bertahap. Sementara tekanan dari kelompok inti diperkirakan berasal dari penyesuaian biaya pendidikan untuk seluruh tingkat pendidikan, yang secara historis terjadi di triwulan III 2017. Laju inflasi tahunan Jawa untuk tahun 2017 diprakirakan lebih tinggi dari tahun 2016, namun masih dalam rentang sasaran target inflasi tahun 2017 yaitu 4% ± 1%. Sumbangan inflasi terbesar diprakirakan bersumber dari komoditas administered prices dan kelompok inti, sementara inflasi dari kelompok volatile food diprakirakan lebih rendah dibandingkan tahun 2016. Secara spasial, tingkat inflasi untuk seluruh provinsi di Jawa diprakirakan juga akan lebih tinggi dari capaian tahun 2016 dengan penyumbang inflasi utama berasal dari komoditas administered prices. Kenaikan inflasi tahun 2017 didorong oleh peningkatan inflasi administered prices, khususnya penyesuaian TTL dan juga biaya perpanjangan STNK. Laju inflasi tahunan administered prices diprakirakan akan meningkat dan menjadi penyumbang inflasi terbesar untuk tahun 2017. Komoditas penyumbang inflasi tertinggi bersumber dari penyesuaian Tarif Tenaga Listrik (TTL), yang disebabkan adanya penyesuaian tarif untuk golongan rumah tangga 900VA. Tekanan inflasi yang cukup besar turut disumbang oleh adanya penyesuaian biaya administrasi STNK yang signifikan pada bulan Januari 2017. Risiko inflasi dari kelompok administered prices juga bersumber dari kenaikan harga rokok secara bertahap, sejalan dengan diimplementasikannya ketentuan cukai rokok 2017. Inflasi dari kelompok inti juga diprakirakan menambah sumbangan inflasi tahunan Jawa untuk keseluruhan tahun 2017. Salah satu
komoditas yang menjadi risiko penyumbang inflasi terbesar adalah tarif pulsa ponsel. Kenaikan tersebut merupakan upaya dari operator telekomunikasi dalam menutupi biaya investasi paska penurunan tarif interkoneksi. Selain itu, sumbangan inflasi dari kelompok inti juga berasal dari penyesuaian tarif sewa rumah dan kontrak rumah yang biasanya secara historis terjadi pada awal dan pertengahan tahun. Sementara itu, tren peningkatan harga emas perhiasan diprakirakan turut menyumbang inflasi pada tahun 2017, terutama pada triwulan II 2017 di periode Ramadhan dan HBKN Idul Fitri. Laju inflasi tahunan Jawa tahun 2017 diprakirakan dapat tertahan oleh relatif terjaganya harga komoditas volatile food. Tingkat inflasi volatile food pada bulan April 2017 tercatat cukup rendah dan hingga akhir tahun diperkirakan tidak akan mengalami peningkatan yang signifikan. Terjaganya inflasi volatile food tidak terlepas dari pasokan beras yang terjaga dan produksi komoditas hortikultura yang kembali normal setelah mengalami gagal panen di akhir tahun 2016. Risiko terbesar dari kelompok volatile food disumbang oleh potensi kenaikan harga daging ayam ras, setelah dikeluarkannya peraturan oleh Kementerian Pertanian terkait pembatasan DOC. Menghadapi tekanan inflasi pada 2017, semua TPID di wilayah Jawa bersama-sama dengan Pemerintah Daerah dan instansi terkait akan terus berkoordinasi dalam mengimplementasikan berbagai program dan kegiatan pengendalian inflasi daerah agar realisasi inflasi tetap berada dalam sasaran inflasi.
49
Boks 2
Strategi diversifikasi sumber pertumbuhan baru dapat mengintegrasikan antara transformasi sektoral dengan transformasi spasial. Strategi transformasi perekonomian dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu i) peningkatan efisiensi untuk sektor pertanian dan industri padat karya; ii) industrial upgrading menuju medium to high technology; dan iii) new source of growth dengan mendorong industri pariwisata dan industri kreatif. Strategi transformasi untuk setiap wilayah dapat berbeda antara satu sama lain, dengan mempertimbangkan stage of growth wilayah tersebut pada saat ini.
klasifikasi Huggins (2014) dengan variabel pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita.
Analisis transformasi spasial hingga ke tingkat kabupaten kota yang ada di Pulau Jawa penting untuk dilakukan agar strategi yang akan diterapkan untuk masing-masing wilayah dapat disesuaikan dengan stage of growth-nya. Wilayah dengan basis sumber daya alam dan tenaga kerja murah dapat diarahkan pada efisiensi pertanian dan industri padat karya. Sementara, daerahdaerah penyangga kota besar diarahkan untuk upgrading teknologi med-high. Selain itu, wilayah dengan potensi wisata yang besar diarahkan untuk mendorong sektor pariwisata dan industri kreatif.
Setelah mengetahui stage of growth dari masingmasing kabupaten/kota, selanjutnya akan dilakukan analisis dan pemetaan sektoral ekonomi dengan mengadaptasi metode Boston Consulting Group (BCG) Matrix (Henderson, 1970). Berdasarkan hasil pemetaan tersebut, dapat diperoleh asesmen awal terkait strategi pengembangan yang dianggap terbaik untuk masing-masing sektor ekonomi. Untuk wilayah yang masih mengandalkan sumber daya alam (seperti sektor pertanian) dan industri padat karya, akselerasi pertumbuhan ekonomi dapat didorong dengan peningkatan efisiensi. Sementara, wilayah yang berbasis industri pengolahan perlu melakukan upgrading menuju industri berteknologi menengah-tinggi. Di sisi lain, sumber pertumbuhan baru (new source of growth) perlu didorong melalui sektor pariwisata, jasa kreatif, dan jasa-jasa bernilai tinggi (high value).
Gambar III.1. Strategi Transformasi Perekonomian
Pemetaan Spasial dan Sektoral Penentuan stage of growth masing-masing kabupaten-kota di kawasan Jawa dilakukan dengan menggunakan metodologi Klassen dan
50
Sumber: BPS, diolah Gambar III.2. Pemetaan Stage of Growth
Pengintegrasian dua pemetaan diatas menunjukkan bahwa daerah yang memiliki fungsi sebagai pusat pertumbuhan seperti Jakarta, Bandung, dan Tangerang Selatan dapat diarahkan untuk menjadi sumber pertumbuhan baru dari sektor jasa-jasa high-value. Sementara, daerah penyangga di sekitar pusat pertumbuhan ekonomi dapat menjadi sentra-sentra industri
berteknologi menengah tinggi. Di sisi lain, peningkatan pertumbuhan wilayah pertanian masih perlu untuk tetap dijaga dan ditingkatkan produktivitasnya. Selain itu, pada daerah yang memiliki potensi pariwisata seperti Banten selatan, DIY, Banyuwangi, dan Jawa bagian tengah pariwisata dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru bagi Jawa.
Sumber: BPS, diolah Gambar III.3. Pemetaan Sektor Ekonomi
Sumber: BPS, diolah Gambar III.4. Peta Pengembangan Sektoral Daerah
Tantangan dan Strategi Diversifikasi Ekonomi Peningkatan Efisiensi Dalam menjalankan strategi diversifikasi ekonomi, pertumbuhan sektor pertanian dan industri padat karya sebagai dua sektor ekonomi penyerap tenaga kerja terbesar masih perlu ditingkatkan. Pada tahun 2016, sektor pertanian dan industri padat karya masing-masing menyerap 24,19% dan 11,51% dari total tenaga
51
kerja yang ada di Pulau Jawa. Strategi utama dari peningkatan kinerja kedua sektor ekonomi tersebut dapat ditempuh dengan melakukan peningkatan efisiensi. Namun demikian, peningkatan efisiensi sektor pertanian Jawa masih menghadapai beberapa tantangan seperti (i) skala usaha yang tidak ekonomis; (ii) rendahnya pendidikan SDM; dan (iii) produktivitas tenaga kerja yang rendah. Beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan di kedua sektor di atas antara lain memperbaiki skala usaha melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) untuk mencapai economies of scale. Mekanisasi dan modern farming dapat menjadi solusi untuk mendorong efisiensi pada sektor pertanian. Selain itu, diperlukan upaya untuk mempermudah mobility of labor melalui pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kerja di sektor pertanian, agar dapat masuk ke sektor industri padat karya. Peningkatan kinerja industri padat karya Jawa juga menghadapi beberapa tantangan, antara lain (i) tren peningkatan upah dalam bentuk Upah Minimum Provinsi atau Kab / Kota (UMP/UMK); (ii) rendahnya produktivitas tenaga kerja industri padat karya; dan (iii) semakin berkembangnya Vietnam sebagai sentra industri padat karya ASEAN sehingga menjadi kompetitor Indonesia. Strategi utama yang dapat dijalankan dalam menghadapi tantangan tersebut adalah melalui peningkatan kualitas SDM tenaga kerja industri padat karya. Kualitas SDM yang lebih tinggi akan mendukung peningkatan produktivitas, sehingga dampak dari kenaikan UMK bagi pelaku usaha akan dapat terkompensasi oleh produktivitas yang tinggi. Selain itu, dari sisi industri, peningkatan iklim usaha dan daya saing industri diperlukan untuk menarik minat investor dalam maupun luar negeri agar berinvestasi atau melakukan ekspansi industri padat karya existing di wilayah Jawa.
Sumber: BPS, diolah Gambar III.5. Peta Potensi Pengembangan Industri Low-Med Tech
Industrial Upgrading Beberapa wilayah di Jawa juga dapat mengembangkan industri med-high technology yang menghasilkan nilai tambah lebih tinggi. Secara khusus, industri otomotif dan mesin merupakan industri yang paling terkonsentrasi di
Jawa. Berdasarkan Dati II, maka wilayah yang menjadi pusat industri high tech di Jawa adalah Bekasi, Karawang, dan Jakarta Utara. Dari sisi investasi, PMA yang masuk ke industri med-high relatif besar dengan pangsa yang mencapai 32%, lebih besar dari pangsa realisasi PMDN ke industri med-high technology.
Sumber: BPS, diolah Gambar III. 6. Peta Potensi Pengembangan Industri Med-High Tech
52
Namun demikian, pangsa industri med-high technology terhadap PDRB Jawa relatif stagnan, bahkan pangsanya terhadap ekspor luar negeri Jawa terus mengalami penurunan. Neraca perdagangan luar negeri untuk industri ini juga masih konsisten mengalami defisit, khususnya pada industri kimia dan mesin. Hal tersebut disebabkan oleh ketergantungan terhadap impor untuk pemenuhan input antara di industri medhigh tech yang relatif lebih tinggi dibanding industri manufaktur pada umumnya. Sementara itu, ketersediaan tenaga kerja dengan skill dan pemahaman teknologi yang tinggi masih terbatas. Hal ini terindikasi dari tenaga kerja pada industri med-high tech yang masih didominasi oleh lulusan pendidikan menengah. Tantangan lain yang dihadapi pengembangan industri med-high technology adalah technological readiness Indonesia yang cukup tertinggal dan hanya lebih baik dari Vietnam untuk kawasan ASEAN. Salah satu negara dengan technological readiness tertinggi di ASEAN adalah Singapura dan Malaysia, yang memiliki ketersediaan teknologi terkini dan firm level technology absorption tertinggi. Posisi Indonesia yang rendah tersebut disebabkan tingkat pemanfaatan teknologi terkini serta technological transfer oleh PMA yang masih relatif rendah. Di sisi lain, tingkat inovasi Indonesia berada dalam posisi yang moderat dibanding negara lain di ASEAN. Namun, pemanfaatannya di industri medhigh technology diperkirakan masih belum optimal.
Sumber: CGI (2016-2017) Gambar III.7. Technological Readiness Negara di ASEAN
Mempertimbangkan relatif besarnya tantangan dalam pengembangan industri med-high technology di Jawa, beberapa strategi
53
diversifikasi yang dapat dilakukan untuk mendorong upgrading industri med-high tech antara lain (i) Peningkatan alokasi biaya untuk research & development (R&D) untuk menghasilkan produk yang inovatif sehingga mampu bersaing secara global; (ii) Mendorong kerjasama dengan Industri Kecil Menengah (IKM) sebagai pendukung dalam memasok input antara; (iii) Mendorong investor asing melakukan technological transfer kepada SDM lokal; dan (iv) Optimalisasi peran Regional Investor Relation Unit (RIRU) untuk mengakomodir kebutuhan investor dengan menawarkan potensi industri med-high di wilayah Jawa.
New Source of Growth Untuk daerah di Jawa yang tidak berada di pusat aglomerasi, sehingga tidak memungkinkan untuk membangun industri pengolahan, maka pengembangan sektor Pariwisata dan industri kreatif dapat menjadi alternatif sumber pertumbuhan ekonomi baru. Pertumbuhan sektor pariwisata Jawa terus mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi dengan pangsa terhadap PDRB yang terus meningkat. Potensi pariwisata yang dimiliki Jawa dapat bersaing dengan objek pariwisata di luar Jawa yang sering menjadi tujuan wisatawan asing. Selain wisata alam, sejumlah daerah di Jawa memiliki kekayaan budaya, sejarah dan nilai-nilai religi yang dapat dioptimalkan menjadi tujuan wisata tematik. Potensi sektor pariwisata Jawa ke depan diperkirakan akan semakin berkembang, khususnya untuk daerah-daerah yang telah menjadi Kawasan Strategis Swasta Nasional (KSPN) dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Tantangan utama dalam pengembangan pariwisata di Jawa antara lain terkait kualitas infrastruktur penunjang pariwisata yang masih kurang, isu keberlangsungan lingkungan, kualitas keamanan, keselamatan dan kebersihan serta kesiapan information and communication technologies (ICT). Selain itu, upaya pemerintah untuk meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) masih menghadapi
sejumlah tantangan. Kebijakan pemerintah untuk memberikan bebas visa kunjungan bagi 169 negara, secara umum berdampak positif secara nasional, namun belum optimal bagi Jawa. Sejumlah upaya pemerintah untuk memperkuat
branding Indonesia melalui peningkatan anggaran pemasaran juga belum mampu mendorong kenaikan jumlah kunjungan wisman secara signifikan.
Sumber : Kementerian Pariwisata Gambar III.8. Peta Potensi Daerah Pariwisata
Strategi transformasi pariwisata perlu difokuskan kepada upaya pembenahan tata kelola, antara lain melalui alignment kebijakan pusat-daerah. Selain itu, upaya pemerintah pusat terkait pembangunan infrastruktur pendukung pariwisata juga perlu diikuti dengan upaya penyiapan sumber daya manusi dan peningkatan keterlibatan masyarakat setempat. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah melalui pengembangan industri kreatif sebagai penggerak sektor wisata di daerah.
Sumber : BPS, diolah Gambar III.9. RCA Ekspor Industri Kreatif
Pengembangan aktivitas pariwisata perlu didukung oleh industri kreatif yang mengisi ceruk
54
produk souvenir, kuliner, dan seni hiburan. Saat ini, sebagai basis industri dan didukung oleh warisan sosial budaya, Jawa merupakan pusat industri kreatif nasional. Hal ini terindikasi dari ekspor industri kreatif yang 97% berasal dari Jawa. Dari sisi keunggulan komparatif, revealed comparative advantage (RCA) ekspor industri kreatif yang berasal dari D.I. Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta tercatat unggul dengan nilai RCA > 1. Proses pengembangan industri kreatif di Jawa tergolong lebih unggul dibandingkan dengan daerah lain, namun tetap menghadapi beberapa tantangan. Tantangan pengembangan industri kreatif terkait dengan peningkatan produktivitas kelompok usaha mikro kecil yang saat ini memiliki tingkat produktivitas di bawah rata-rata industri. Alternatif solusi dalam mengatasi tantangan tersebut adalah melalui optimalisasi e-commerce mengoptimalkan riset dan pengembangan industri kreatif melalui pembentukan pusat desain, riset, dan konsultansi industri kreatif. Apabila kendala di atas sudah dapat teratasi, maka tahapan selanjutnya adalah mengembangkan sektor kreatif bernilai tinggi
sebagai mesin pertumbuhan menuju ekonomi berbasis pengetahuan, inovasi, dan kreativitas seperti industri musik, jasa arsitektur dan desain, pengembangan industri game dan konten aplikasi, serta teknologi penunjang industri seperti robotik. Upaya yang perlu dilakukan antara lain adalah meningkatkan iklim kemudahan berinvestasi dan berusaha, penyediaan media dan ajang menyalurkan inovasi, serta kemudahan mendirikan pusatpusat pelatihan berbasis teknologi informasi dan desain.
55
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
56
Pada triwulan I 2017, ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang mencakup wilayah Kalimantan, Sulampua (Sulawesi, Maluku, dan Papua), dan Balinusra (Bali dan Nusa Tenggara) tumbuh 5,01% (yoy,) lebih rendah daripada triwulan sebelumnya sebesar 5,54% (yoy). Perlambatan dipengaruhi oleh penurunan ekspor mineral tambang dari Papua dan NTB, meski perlambatan lebih dalam masih dapat ditahan oleh membaiknya kinerja ekspor batubara dari Kalimantan. Di sisi perkembangan harga, laju inflasi KTI meningkat dari 2,90%, (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 3,76% (yoy) pada triwulan I 2017. Peningkatan inflasi terutama disebabkan oleh inflasi beberapa komoditas yang mengalami penyesuaian tarif di awal tahun, seperti tarif listrik, biaya perpanjangan STNK, serta tarif pulsa telepon seluler. Memasuki triwulan II 2017, laju pertumbuhan ekonomi KTI diperkirakan membaik seiring dengan peningkatan konsumsi terkait Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) Idul Fitri dan telah diperolehnya izin ekspor sementara oleh produsen mineral utama di Papua dan NTB. Namun, tekanan terhadap pertumbuhan datang dari melambatnya pertumbuhan harga batubara dan CPO yang berdampak pada deselerasi ekonomi Kalimantan. Pada triwulan III 2017, perekonomian KTI diprakirakan kembali tumbuh melambat akibat prospek perlambatan harga komoditas ekspor utama. Namun, untuk keseluruhan tahun 2017, ekonomi KTI diprakirakan akan tumbuh meningkat yaitu pada kisaran 5,50-5,90% (yoy) ditopang oleh membaiknya seluruh komponen permintaan. Di sisi perkembangan harga, pada awal triwulan II 2017, inflasi April 2017 tercatat sebesar 0,12% (mtm) yang disebabkan oleh peningkatan tarif listrik dan tarif angkutan udara. Kenaikan inflasi sejumlah komoditas administered prices diprakirakan berlanjut hingga akhir triwulan II 2017 dan seiring dengan peningkatan permintaan menjelang perayaan HBKN Idul Fitri, maka tekanan inflasi secara keseluruhan akan bertambah. Selanjutnya, tekanan Inflasi pada triwulan III 2017 diprakirakan sedikit berkurang sesuai pola historisnya pasca HBKN Idul Fitri. Secara keseluruhan tahun 2017, inflasi diprakirakan berada pada kisaran 4,70%-5,10% (yoy), meningkat dibandingkan tahun 2016.
Pertumbuhan Ekonomi Perekonomian KTI secara agregat mengalami perlambatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Perekonomian KTI tumbuh 5,01% (yoy) pada triwulan I 2017, melambat dari 5,54% (yoy) pada triwulan IV 2016. Perlambatan pertumbuhan ekonomi di KTI dipengaruhi oleh deselerasi perekonomian baik di Sulampua dan Balinusra yang lebih besar daripada perbaikan kinerja ekonomi di Kalimantan. Perlambatan ekonomi Sulampua dan Balinusra disebabkan oleh menurunnya ekspor luar negeri tambang seiring dengan berakhirnya periode izin ekspor mineral mentah dari Papua dan NTB. Hal ini turut
57
menekan kinerja permintaan kepada usaha perdagangan di kedua daerah tersebut. Adapun provinsi lain yang juga mengalami perlambatan ekonomi adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Papua Barat, dan NTT (Tabel IV.1). Perlambatan di daerah-daerah tersebut terkait dengan pelemahan kinerja sektor ekonomi utama. Sementara dari sisi permintaan, capaian kinerja pendapatan dan konsumsi rumah tangga di Sulawesi Utara, Papua Barat, dan NTT, serta net ekspor luar negeri di Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan tidak sebaik triwulan sebelumnya.
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah di Kalimantan menjadi penopang pertumbuhan pada triwulan I 2017. Perbaikan ekonomi Kalimantan didorong oleh meningkatnya pertumbuhan ekonomi hampir di seluruh provinsi. Peningkatan ekonomi tersebut terutama disebabkan oleh tumbuhnya ekonomi Kalimantan Timur setelah sempat mengalami kontraksi dalam dua tahun terakhir. Hal tersebut didorong oleh peningkatan ekspor luar negeri batubara sejalan dengan perbaikan harga batubara sejak akhir 2016.
negeri Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara (Grafik IV.1). Peningkatan ekspor juga terjadi pada komoditas nikel dari Sulawesi Selatan.
Tabel IV.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah di KTI Provinsi Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Utara Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Sulawesi Tengah Gorontalo Sulawesi Utara Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat Bali NTB NTT PDRB (% YoY)
2016 I
II
III
IV
6.64
4.28
6.25
3.77
5.13
5.73
5.95
4.69
4.51
3.13
(0.52)
(0.69)
3.03
2016
2017 I
IIp
5.22
4.77
4.64
8.59
6.36
9.49
8.06
5.28
4.38
5.33
5.40
(0.01)
(0.30)
(0.38)
3.85
3.01
3.38
4.28
4.27
3.75
6.17
6.07
7.27
8.02
6.78
7.60
7.41
7.52
7.72
6.10
4.71
5.72
7.51
6.03
7.38
10.08
5.50
6.81
5.96
7.65
6.51
8.39
8.68
13.56
15.56
7.91
3.80
9.98
3.91
4.06
6.67
5.37
6.98
7.02
6.52
7.27
7.15
5.97
6.15
6.02
6.49
6.17
6.43
6.51
5.57
6.04
5.52
5.91
5.76
6.19
5.52
5.17
5.72
5.61
6.54
5.77
7.54
6.57
(0.72)
(5.17)
20.44
21.41
9.21
3.36
25.30
5.46
3.88
3.87
4.86
4.52
3.68
4.94
6.38
6.54
6.61
5.47
6.24
5.75
6.07
8.36
8.18
3.43
3.77
5.82
(4.18)
4.04
5.07
5.35
5.11
5.19
5.18
4.98
5.40
4.33
4.03
5.39
5.54
4.84
5.01
6.81
Sumber: BPS, data realisasi periode sebelumnya direvisi
Dari sisi permintaan, perlambatan pertumbuhan ekonomi KTI disebabkan oleh capaian ekspor luar negeri yang tidak sebaik triwulan sebelumnya. Ekspor ke luar negeri tumbuh 8,80% (yoy) pada triwulan I 2017, lebih rendah dari triwulan IV 2016 yang tercatat sebesar 12,22% (yoy). Berakhirnya izin ekspor hasil tambang mineral di Papua dan NTB serta pengurusan administrasi perpanjangan izin ekspor baru yang tidak selesai sesuai dengan target yang diharapkan, menjadi faktor utama penyebab perlambatan. Meski demikian, ekspor luar negeri masih dapat tumbuh cukup tinggi karena meningkatnya ekspor batubara seiring dengan perbaikan harga sejak akhir tahun 2016. Membaiknya harga batubara memberikan dukungan positif terhadap kinerja ekspor luar
58
Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik IV.1. Volume Ekspor Batubara
Selain oleh pelemahan kinerja ekspor luar negeri, tekanan terhadap ekonomi KTI juga datang dari peningkatan impor luar negeri. Pada triwulan I 2017, impor luar negeri tercatat tumbuh 6,30% (yoy), lebih tinggi dari triwulan sebelumnya yang tercatat mengalami kontraksi sebesar -5,50% (yoy). Peningkatan impor disebabkan oleh meningkatnya impor barang modal dan barang antara dihampir seluruh daerah. Impor barang modal dan barang antara tumbuh meningkat didorong oleh optimisme pelaku usaha tambang dan industri pengolahan di Kalimantan dan Sulampua seiring dengan membaiknya harga komoditas. Sementara itu, peningkatan impor barang modal di Balinusra disebabkan oleh beberapa proyek pembangunan pabrik bahan makanan di NTB dan NTT. Di tengah tekanan perlambatan dari komponen neraca perdagangan luar negeri, konsumsi rumah tangga tumbuh meningkat dan menjadi salah satu penopang pertumbuhan. Konsumsi rumah tangga meningkat dari 4,42% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 4,53% (yoy) pada triwulan I 2017. Peningkatan konsumsi rumah tangga, ditengah kenaikan administered prices seperti TTL, didorong oleh konsumsi makanan dan minuman, pakaian dan alas kaki, perumahan dan perlengkapan rumah tangga, serta konsumsi restoran dan hotel. Peningkatan konsumsi rumah
tangga terutama terjadi di Kalimantan dan Sulampua. Perbaikan di Kalimantan didukung oleh terjaganya tingkat pendapatan masyarakat, seiring dengan perbaikan kondisi ekonomi secara keseluruhan. Di Sulampua, konsumsi rumah tangga yang masih cukup kuat dinilai sebagai dampak dari masih terkendalinya inflasi dan terjaganya tingkat pendapatan di sektor sekunder dan tersier. Hal tersebut didukung oleh peningkatan UMP yang relatif tinggi (rata-rata kenaikan mencapai 9,50%, yoy) dan cukup kuatnya aktivitas konsumsi dari sektor pariwisata, terkait perayaan tahun baru dan Imlek. Peningkatan konsumsi rumah tangga yang terjadi juga dikonfirmasi dari peningkatan Indeks Keyakinan Konsumen di beberapa daerah di Kalimantan dan Sulampua (Grafik IV.2).
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia Grafik IV.2. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)
Sejalan dengan peningkatan konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah pada triwulan I 2017 juga mengalami perbaikan pertumbuhan, setelah berada dalam fase kontraksi di triwulan sebelumnya. Konsumsi pemerintah di KTI tercatat tumbuh sebesar 3,56% (yoy) setelah turun sebesar -8,49% (yoy) pada triwulan IV 2016. Pencairan DAU yang sempat mengalami penundaan pada tahun 2016 (DAU dicairkan di akhir Desember 2016) dan pelaksanaan Pilkada serentak di beberapa daerah di KTI menjadi pendorong meningkatnya kinerja konsumsi pemerintah. Namun, tingkat pertumbuhan dinilai masih terbatas dan akselerasi yang terjadi lebih dipengaruhi oleh adanya kontraksi yang dalam pada triwulan IV 2016. Beberapa kendala dalam
59
realisasi belanja masih perlu mendapat perhatian di daerah, khususnya terkait adanya perubahan struktur organisasi serta masih lambatnya pemrosesan dokumen lelang sehingga jadwal pelaksanaan proyek mengalami penundaan. Kinerja investasi di KTI yang tercermin dari komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) mengalami akselerasi pada triwulan I 2017. Secara agregat, tingkat pertumbuhan PMTB tercatat sebesar 4,22% (yoy), lebih tinggi dari triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 3,37% (yoy). Akselerasi pertumbuhan tersebut terutama didorong oleh naiknya investasi bangunan di Kalimantan dan Sulampua. Adanya percepatan pengerjaan beberapa proyek infrastruktur yang termasuk dalam proyek strategis nasional (Perpres No. 3 Tahun 2016) menjadi salah satu pendorong kinerja PMTB bangunan di KTI. Sementara itu, kinerja investasi langsung swasta juga mengalami peningkatan yang diindikasikan oleh akselerasi pertumbuhan Penanaman Modal Asing (PMA) (Grafik IV.3). Selain itu, peningkatan kapasitas kilang minyak, pembangunan sejumlah pabrik di sektor riil, serta lanjutan dari proyek Pemerintah Daerah yang bersifat multiyears juga berkontribusi terhadap peningkatan pertumbuhan investasi.
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal, diolah Grafik IV.3. Realisasi PMA dan PMDN di KTI
Memasuki triwulan II 2017, perekonomian KTI diperkirakan mengalami peningkatan yang diindikasikan oleh berbagai indikator serta hasil survei dan liaison. Ekonomi KTI diperkirakan tumbuh 6,81% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan I 2017. Peningkatan
pertumbuhan ekonomi terutama terjadi di Sulampua dan Balinusra yang didorong oleh perbaikan kinerja konsumsi, investasi dan khususnya ekspor luar negeri. Namun demikian, ekonomi Kalimantan diperkirakan mengalami perlambatan yang disebabkan oleh melemahnya kinerja ekspor luar negeri komoditas hasil pertambangan. Perbaikan ekspor luar negeri akan menjadi faktor utama pendorong ekonomi KTI pada triwulan II 2017. Telah diberikannya izin ekspor mineral kepada produsen utama di Papua dan NTB akan memperbaiki kinerja ekspor tembaga yang sebelumnya mengalami penurunan. Selain itu, adanya relaksasi ketentuan ekspor hasil tambang nikel low grade juga akan menjadi faktor pendorong akselerasi ekspor dari Sulawesi. Meski demikian, ekspor batubara dari Kalimantan diperkirakan sedikit melambat dan menahan akselerasi lebih lanjut seiring dengan melambatnya pertumbuhan harga komoditas tersebut di pasar global.
p) Proyeksi atau angka sementara Grafik IV.4. Perkembangan Kegiatan Dunia Usaha (Survei Kegiatan Dunia Usaha) dan Liaison Penjualan Domestik
Konsumsi pada triwulan II 2017 diperkirakan mengalami peningkatan, baik konsumsi rumah tangga maupun pemerintah. Peningkatan kinerja konsumsi rumah tangga akan didorong oleh meningkatnya aktivitas konsumsi dan permintaan masyarakat seiring dengan persiapan dan perayaan HBKN Idul Fitri, yang turut mendorong kinerja usaha perdagangan dan usaha akomodasi, makanan, dan minuman. Selain itu, peningkatan juga akan ditopang oleh terjaganya tingkat
60
pendapatan di sektor tradable, pencairan THR, serta optimisme peningkatan kinerja pariwisata. Searah dengan konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah juga diperkirakan dapat tumbuh lebih tinggi pada triwulan II 2017. Komitmen percepatan lelang proyek, upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), akselerasi pencairan Dana Desa, serta pencairan gaji ke-13 PNS akan menjadi faktor-faktor pendorong percepatan pertumbuhan konsumsi pemerintah pada triwulan berjalan. Kinerja investasi (PMTB) juga diperkirakan terus melanjutkan peningkatannya pada triwulan II 2017. Akselerasi PMTB tersebut salah satunya didorong oleh adanya komitmen dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam melakukan percepatan pembangunan infrastruktur utama di daerah, seperti jalur rel kereta api, jalan tol, jembatan, pelabuhan, dan bandara. Selain itu, investasi bangunan dan non-bangunan milik swasta pada sektor industri pengolahan di KTI (smelter di Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku Utara; peningkatan kapasitas kilang minyak di Kalimantan; pabrik bahan makanan di NTB dan NTT) diperkirakan masih akan mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut dipengaruhi oleh optimisme pelaku usaha terhadap prospek perbaikan perekonomian tahun 2017. Hal ini dikonfirmasi oleh hasil liaison Bank Indonesia di daerah yang mengindikasikan para pelaku usaha cenderung mulai melakukan penambahan investasi di tahun 2017. Meski masih belum signifikan, namun penambahan investasi itu diakui lebih tinggi dibandingkan tahun 2016, khususnya bagi pelaku usaha di sektor pertanian, tambang, industri pengolahan, serta penyediaan akomodasi.
Kinerja Lapangan Usaha Pertanian Pada triwulan I 2017, pertumbuhan lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan KTI mengalami perlambatan. Perlambatan tersebut tercatat dari angka 8,42% (yoy) menjadi 6,82% (yoy). Perlambatan dipengaruhi oleh deselerasi
kinerja pertanian di Sulampua sebagai dampak dari masih lemahnya permintaan komoditas kakao, jagung, dan ikan, di tengah harga jual yang belum menunjukkan perbaikan yang signifikan dibandingkan dengan komoditas tambang (Grafik IV.5). Perlambatan pertanian juga dipengaruhi oleh base effect pertumbuhan pada akhir tahun 2016 yang mengalami lonjakan cukup tinggi seiring dengan anomali El Nino 2015 yang menekan tingkat produksi tanaman bahan makanan (tabama) pada masa tersebut. Dengan kondisi cuaca yang kondusif di triwulan IV 2016, produksi tabama mencatat pertumbuhan yang tinggi sehingga capaian pertumbuhan di awal 2017 menjadi tidak sebaik triwulan sebelumnya.
berkurangnya aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan. Perlambatan usaha pertanian tersebut tercermin dari nilai tukar petani (NTP) di beberapa daerah sentra produksi yang cenderung menurun pada April 2017 (Grafik IV.6).
Sumber: Badan Pusat Statistik Grafik IV.6. Nilai Tukar Petani
Pertambangan
Sumber: IMF, diolah Grafik IV.5. Pertumbuhan Harga Komoditas Pertanian
Pada triwulan II 2017, usaha pertanian di KTI diperkirakan kembali mengalami perlambatan. Perlambatan diperkirakan terjadi di Sulampua dan Kalimantan, khususnya untuk komoditas terkait perkebunan dan perikanan. Dari subkategori usaha perkebunan, harga kakao dan jagung masih belum menunjukkan pemulihan yang berarti sehingga akan menjadi faktor disinsentif produksi di Sulampua. Sementara, prospek perbaikan harga jual CPO dan karet olahan di pasar domestik juga diperkirakan mulai melambat, sehingga akan berdampak pada berkurangnya permintaan hasil produksi dari perkebunan kelapa sawit dan karet di Kalimantan. Untuk subkategori usaha perikanan, curah hujan yang cukup tinggi pada periode AprilMei, serta adanya periode Ramadhan dan HBKN Idul Fitri ditengarai akan menjadi sumber utama
61
Lapangan usaha pertambangan mengalami perlambatan pertumbuhan pada triwulan I 2017. Pertambangan tercatat tumbuh melambat dari 6,33% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 2,13% (yoy) pada triwulan I 2017. Adanya deselerasi tersebut lebih didorong oleh perlambatan produksi tembaga di Papua serta penurunan penjualan konsentrat mineral di NTB (Grafik IV.7), yang disebabkan oleh berakhirnya periode izin ekspor produsen utama dari dua provinsi tersebut sejak awal Januari 2017. Sementara itu, faktor positif yang menopang kinerja usaha tambang di KTI adalah peningkatan produksi batubara di Kalimantan dan nikel di Sulawesi seiring dengan membaiknya harga di pasar internasional. Memasuki periode triwulan II 2017, usaha pertambangan diperkirakan dapat tumbuh lebih baik dan mengalami akselerasi pertumbuhan. Percepatan pertumbuhan terutama dipengaruhi oleh perbaikan ekspor tembaga dari Papua dan NTB setelah proses negosiasi dan administrasi izin ekspor sementara selesai dilakukan selama periode Maret-April 2017. Indikasi perbaikan juga tercermin dari hasil survei yang menunjukkan adanya optimisme dari para pelaku usaha terkait
kinerja pertambangan pada triwulan berjalan (Grafik IV.8). Meski demikian, akselerasi diperkirakan tertahan oleh perlambatan produksi batubara seiring dengan perkiraan melambatnya pertumbuhan harga batubara meski masih berada di level yang cukup tinggi.
faktor penopang kinerja industri pengolahan di Kalimantan. Capaian pertumbuhan konsumsi semen juga tercatat tumbuh membaik seiring dengan permintaan yang meningkat untuk mendukung kebutuhan proyek investasi infrastruktur dan sektor riil di KTI.
Sumber: Produsen, diolah Grafik IV.7. Kinerja Pertumbuhan Mineral di KTI
Sumber: Produsen, diolah Grafik IV.9. Kinerja Pertumbuhan Industri di KTI
Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha p) Proyeksi Grafik IV.8. Perkembangan Kegiatan Dunia Usaha Pertambangan
Industri Kinerja lapangan usaha industri pengolahan mengalami akselerasi pada triwulan I 2017. Angka pertumbuhan tercatat meningkat yaitu dari 2,97% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi 6,11% (yoy). Hampir seluruh provinsi mengalami perbaikan kinerja industri utamanya (Grafik IV.9). Semakin dekatnya periode bulan Ramadhan dan perayaan HBKN dinilai menjadi faktor pendorong kinerja industri makanan olahan, seperti industri tepung terigu di Sulawesi Selatan dan beberapa industri bahan makanan di Balinusra. Selain itu, perbaikan harga komoditas karet dan CPO hingga awal 2017 turut menjadi
62
Memasuki triwulan II 2017, kinerja usaha industri pengolahan di KTI diperkirakan tumbuh melambat. Sumber perlambatan terutama berasal dari Kalimantan seiring dengan perkiraan perlambatan pertumbuhan harga komoditas yang akan berimbas pada perlambatan produksinya. Di samping itu, industri makanan olahan juga diperkirakan tumbuh relatif moderat karena telah melakukan penyediaan stok sejak triwulan I 2017. Hasil liaison mengkonfirmasi pesimisme kinerja industri pengolahan KTI di triwulan II 2017 (Grafik IV.10). Meski demikian, kinerja beberapa industri pengolahan yang lain diperkirakan meningkat, seperti industri semen dan nikel yang ditopang oleh permintaan yang masih cukup kuat.
Sumber: Liaison *) Angka sementara Grafik IV.10. Likert Scale Kinerja Industri Pengolahan
Konstruksi Pada triwulan I 2017, lapangan usaha konstruksi tumbuh lebih baik dari triwulan IV 2016. Percepatan pertumbuhan tercatat dari 3,18% (yoy) menjadi 4,87% (yoy). Akselerasi terjadi di sebagian besar daerah di KTI, kecuali Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Papua, Papua Barat, dan NTT. Sejalan dengan kinerja investasi bangunan yang meningkat, kegiatan konstruksi di KTI juga tumbuh lebih tinggi. Salah satu faktor pendukungnya adalah lanjutan proyek pembangunan Pemerintah Daerah seiring dengan pencairan DAU yang sebelumnya ditunda sehingga dapat mendorong penyelesaian kegiatan-kegiatan operasional pra-pembangunan. Adanya arahan Pemerintah Pusat untuk mempercepat proyek yang bersifat strategis juga diyakini menjadi faktor pendorong investasi pemerintah. Di samping itu, berbagai proyek swasta terkait hilirisasi, baik pembangunan pabrik baru maupun penambahan kapasitas, masih berlangsung di beberapa daerah di Kalimantan, Sulawesi, Maluku Utara, NTB, dan NTT. Akselerasi ini juga tercermin dari percepatan pertumbuhan jumlah proyek baru bernilai di atas US$0,5 juta yang dimulai pada triwulan I 2017 (Grafik IV.11).
Sumber: BCI Asia, diolah Grafik IV.11. Perkiraan Jumlah Proyek yang Dimulai (Memasuki Fase Konstruksi)
Memasuki triwulan II 2017, pertumbuhan lapangan usaha konstruksi diperkirakan lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. Optimisme perbaikan tersebut terutama ditopang oleh komitmen percepatan realisasi proyek
63
pembangunan dari Pemerintah Daerah, termasuk proses lelang dari proyek-proyek baru di 2017. Sementara itu, dari sisi swasta, kegiatan investasi bangunan secara historis akan lebih intensif dibandingkan dengan awal tahun. Beberapa proyek terkait peningkatan kapasitas kilang minyak di Kalimantan, hilirisasi mineral di Sulampua, serta pengembangan industri makanan olahan di Balinusra dinilai akan terus dipacu pada triwulan berjalan. Hasil survei kepada para pelaku usaha yang dilakukan oleh Bank Indonesia di daerah juga menunjukkan adanya optimisme dari sisi peningkatan realisasi usaha bangunan, investasi, dan harga jual. Khusus untuk Kalimantan, beberapa proyek infrastruktur utama dan pengembangan kawasan khusus masih terus berlanjut. Hal ini menjadi sangat penting untuk menjaga kesinambungan ekonomi di tengah prospek harga komoditas yang masih diwarnai ketidakpastian. Di Kalimantan Barat, pada awal 2017, telah diresmikan tiga Pos Lintas Batas Negara (PLBN) di Badau, Aruk, dan Entikong. Ke depan, pembangunan infrastruktur pendukung di PLBN tersebut masih akan dilakukan sehingga dapat mendorong kinerja konstruksi dan perdagangan. Di Kalimantan Timur, pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Maloy Batuta juga terus berjalan terkait dengan pembangunan pelabuhan di sisi laut dan darat. Pembangunan pelabuhan dan akses jalan menjadi agenda utama ke depan bersama dengan pembangunan tangki timbun CPO. Sementara itu, di Kalimantan Selatan, terdapat dua proyek Kawasan Industri (KI) yaitu di Jorong dan Batulicin. Pengembangan dua KI tersebut masih menemui beberapa kendala terkait pembebasan lahan dan pasokan listrik. Apabila kendala-kendala tersebut dapat diatasi, pembangunan di dua KI ini dinilai akan mampu berkontribusi pada peningkatan nilai tambah konstruksi dan industri di daerah setempat.
Perdagangan Pertumbuhan lapangan usaha perdagangan KTI pada triwulan I 2017 mengalami perlambatan. Pertumbuhan tercatat sebesar 6,02% (yoy), sedikit lebih rendah dari triwulan sebelumnya sebesar 6,30% (yoy). Perlambatan pertumbuhan terutama terjadi di beberapa daerah di Sulawesi, Papua, dan Balinusra. Melambatnya kinerja usaha perdagangan di Papua dan Balinusra terutama dipengaruhi oleh perlambatan kinerja perdagangan besar seiring dengan penurunan produksi tambang mineral utama. Hal tersebut dinilai juga memengaruhi kinerja pendapatan dan permintaan konsumsi dari golongan masyarakat dan usaha terkait. Sementara itu, perlambatan kegiatan perdagangan di Sulawesi terutama sebagai dampak dari persaingan industri baru di daerah lain di KTI yang dapat memenuhi pasokan ke daerahnya sendiri, seperti dengan hadirnya industri semen di Kalimantan Selatan dan Papua Barat. Hal ini juga diindikasikan oleh kinerja aktivitas di pelabuhan utama KTI yang mengalami perlambatan (Grafik IV.12).
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik IV.12. Volume Bongkar Muat Pelabuhan
Pada triwulan II 2017, lapangan usaha perdagangan diperkirakan tumbuh meningkat. Secara spasial, hampir seluruh daerah akan mengalami akselerasi usaha perdagangan. Kenaikan tersebut utamanya ditopang oleh perbaikan pertumbuhan ekonomi sehingga turut menopang kinerja permintaan dari sisi konsumsi, baik konsumsi rumah tangga maupun konsumsi pemerintah. Momen hari besar keagamaan juga akan menjadi faktor pendorong pertumbuhan
64
usaha perdagangan. Dari sektor pariwisata, jumlah wisatawan mancanegara (wisman) diperkirakan masih akan tumbuh cukup kuat dan akan berkontribusi pada perkiraan percepatan kinerja usaha perdagangan. Hasil survei kepada pelaku usaha juga menunjukkan adanya optimisme terkait perkembangan kegiatan perdagangan, hotel, dan restoran (PHR) pada triwulan berjalan (Grafik IV.13).
Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha p) Proyeksi Grafik IV.13. Perkembangan Kegiatan Dunia Usaha PHR
Akomodasi Usaha penyediaan akomodasi (termasuk makanan dan minuman) mengalami akselerasi pada triwulan I 2017. Pertumbuhan tercatat meningkat dari 6,40% (yoy) menjadi 7,01% (yoy). Peningkatan kinerja terjadi di Kalimantan dan Balinusra, khususnya di daerah-daerah yang merupakan pusat pertambangan atau pariwisata seperti Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, dan Bali. Meningkatnya harga komoditas dan ekspor batubara menjadi faktor pendorong kegiatan ekonomi di Kalimantan yang turut berdampak pada kemajuan investasi dan usaha akomodasi. Dari sisi pariwisata, adanya periode liburan di awal tahun serta perayaan Imlek menjadi faktor penopang pertumbuhan pariwisata yang tercermin dari tingginya pertumbuhan jumlah wisatawan mancanegra ke KTI (Grafik IV.14). Memasuki triwulan II 2017, lapangan usaha akomodasi diperkirakan kembali melanjutkan tren akselerasi pertumbuhannya. Dari sisi permintaan, optimisme percepatan pertumbuhan
ditopang oleh adanya momen Ramadhan dan libur HBKN Idul Fitri yang akan mendorong konsumsi untuk hotel dan restoran di hampir seluruh daerah, khususnya di Kalimantan dan Sulampua. Optimisme kinerja pariwisata, khususnya di Balinusra, akan menjadi penopang utama pertumbuhan usaha penyediaan akomodasi, makanan dan minuman. Hal ini juga didukung oleh akan berlangsungnya liburan musim panas di Eropa dan liburan musim dingin di Australia yang diperkirakan akan mendorong jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke KTI.
Seiring dengan realisasi pendapatan yang lebih rendah, penyerapan belanja APBD di KTI pada triwulan I 2017 juga tercatat tidak sebaik tahun sebelumnya yaitu dari 11,86% menjadi 10,51%. Penurunan realisasi terjadi pada jenis belanja operasional dan belanja modal. Selain karena pola siklikal, penurunan realisasi serapan belanja operasional dinilai sebagai salah satu dampak dari upaya penghematan anggaran dan konsolidasi di awal tahun yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Hal ini terjadi baik di Kalimantan, Sulampua, maupun Balinusra. Meski demikian, beberapa kendala realisasi juga turut menjadi faktor penyebab penurunan penyerapan seperti penyusunan rencana kerja yang tidak realistis, kecepatan penyiapan dan pemrosesan dokumen lelang yang belum optimal, serta adanya pergantian personil di satuan kerja karena reorganisasi berupa pembentukan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang baru. Tabel IV.2. Realisasi Agregat APBD Provinsi di KTI
Komponen APBD Sumber: Badan Pusat Statisik, diolah Grafik IV.14. Jumlah Wisatawan Mancanegara
Fiskal Daerah 13
Penyerapan pendapatan daerah dalam APBD di KTI pada triwulan I 2017 tercatat sebesar 21,31%, lebih rendah dari capaian triwulan yang sama tahun 2016 sebesar 22,41%. Lebih rendahnya realisasi disebabkan oleh menurunnya realisasi dari seluruh sumber pendapatan (Tabel IV.2). Penurunan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan pendapatan lain yang sah dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun lalu, khususnya terjadi di Kalimantan. Hal ini mengindikasikan perbaikan ekspor batubara belum memberikan pengaruh langsung pada kinerja fiskal di daerah dan diperkirakan baru akan berdampak dan memperluas kapasitas fiskal di daerah pada triwulan berjalan.
13
Data realisasi APBD Pemerintah Daerah Provinsi, kecuali Provinsi Papua
65
Pendapatan APBD Provinsi Pendapatan Asli Daerah Dana Perimbangan Lain-lain Pendapatan yang Sah Belanja APBD Provinsi Belanja Operasi + Transfer Belanja Modal Belanja Tidak Terduga
Realisasi (%)* 2016 Q1 2017 Q1 22.41 21.31 18.69 17.79 27.35 24.84 10.87 4.66 11.86 10.51 13.54 12.03 5.75 3.54 1.46 2.52
Sumber: SKPD masing-masing provinsi *) Angka sangat sementara
Sementara itu, penurunan realisasi belanja modal terjadi khususnya di Kalimantan dan Balinusra, sedangkan di Sulampua mengalami peningkatan. Selain karena adanya reorganisasi, penurunan realisasi juga dipengaruhi oleh adanya keterlambatan di beberapa daerah dalam melakukan pengurusan administrasi dokumen APBD maupun berkas lelang sehingga pelaksanaan beberapa kegiatan pembangunan menjadi mundur dari jadwal sebelumnya. Adapun pembangunan beberapa proyek strategis seperti Kawasan Industri (KI) dan Kawasan Ekonomi
Khusus (KEK) di beberapa daerah juga masih terkendala oleh masalah pembebasan lahan, keterbatasan investor, serta belum maksimalnya pembangunan infrastruktur pendukung kawasan yang bersumber dari dana APBD. Ke depan, berbagai daerah di KTI akan menerapkan strategi peningkatan efektivitas penyerapan anggaran sebagai upaya untuk peningkatan kinerja APBD 2017. Upaya-upaya tersebut akan ditempuh melalui monitoring realisasi dan saldo anggaran secara berkala oleh kepala daerah di level provinsi, percepatan lelang proyek infrastruktur, percepatan pengesahan administrasi terkait penggunaan anggaran, serta optimalisasi sumber penerimaan, khususnya PAD. Keberhasilan peningkatan efektivitas realisasi anggaran menjadi krusial di tengah peningkatan pertumbuhan DAU dan Dana Desa yang tidak setinggi 2016, serta alokasi belanja modal di beberapa daerah yang relatif menurun dibandingkan dengan tahun 2016. Selain itu, terdapat risiko adanya pengetatan fiskal nasional yang juga dapat berpengaruh terhadap kinerja fiskal di daerah.
Selain itu, cukup terjaganya pasokan pangan menjadi faktor meredanya tekanan inflasi volatile food. Peningkatan inflasi pada triwulan I 2017 terjadi di sebagian besar provinsi di KTI. Inflasi tahunan tertinggi terjadi di Kalimantan Barat sebesar 5,02% yoy. Kondisi ini disebabkan oleh meningkatnya permintaan pada masa perayaan Imlek dan Cap Go Meh, khususnya terkait tarif angkutan udara dan permintaan beberapa bahan makanan. Sejumlah faktor tersebut memberikan sumbangan besar pada inflasi tahunan di Kalimantan Barat. Sementara itu, Bali dan beberapa daerah lain di Kalimantan dan Sulawesi juga mencatat inflasi yang cukup tinggi di akhir triwulan I 2017 yang dipicu oleh tekanan inflasi dari beberapa komoditas pangan seperti cabai rawit, aneka ikan, dan bawang putih.
Perkembangan Inflasi Inflasi KTI pada triwulan I 2017 meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, meski masih dalam level yang terkendali. Inflasi KTI tercatat sebesar 3,76% (yoy) pada triwulan I 2017, sementara pada triwulan IV 2016 sebesar 2,90% (yoy). Peningkatan inflasi pada triwulan I 2017 terutama didorong oleh kelompok administered prices, seiring dengan kebijakan pemerintah dalam menaikkan tarif STNK, serta pencabutan subsidi listrik untuk sebagian pelanggan listrik dengan daya 900 VA. Di samping itu, peningkatan tarif angkutan udara turut meningkatkan tekanan inflasi sepanjang triwulan I 2017. Di lain pihak, faktor penahan kenaikan inflasi berasal dari kelompok core dan volatile food (Grafik IV.15). Terjaganya ekspektasi serta masih normalnya tingkat permintaan domestik menyebabkan pergerakan inflasi inti relatif stabil dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
66
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik IV.15. Disagregasi Inflasi KTI
Sumber: Survei Pemantauan Harga Grafik IV.16. Perkembangan Harga Beberapa Komoditas
Pada April 2017, realisasi inflasi KTI tercatat lebih tinggi dari capaian historisnya. Inflasi KTI pada April 2017 tercatat sebesar 0,12% (mtm), di
atas pola historis tiga tahun terakhir pada bulan yang sama sebesar 0,04% (mtm). Cukup tingginya tekanan inflasi pada April 2017 dibandingkan dengan historisnya terutama didorong oleh peningkatan tekanan inflasi administered prices. Komoditas penyumbang inflasi terbesar berasal dari tarif listrik dan tarif angkutan udara. Selain itu, berdasarkan survei Bank Indonesia pada awal Mei 2017, menjelang Ramadhan beberapa komoditas pangan tercatat mulai mengalami kenaikan harga, yaitu komoditas daging ayam ras, daging sapi, dan telur ayam ras (Grafik IV.16). Secara kumulatif, inflasi di hampir seluruh provinsi di KTI sampai dengan April 2017, tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hanya dua provinsi yang mencatat inflasi kumulatif hingga April 2017 yang lebih rendah dari tahun 2016, yaitu Kalimantan Utara dan Sulawesi Tenggara. Dengan perkembangan yang ada, secara tahunan, inflasi KTI pada triwulan II 2017 diperkirakan sebesar 4,60% (yoy), lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. Pengurangan subsidi listrik untuk pelanggan 900 VA serta kenaikan permintaan pada bulan Ramadhan dan perayaan HBKN Idul Fitri diperkirakan menjadi sumber utama tekanan inflasi. Selain itu, banyaknya hari libur juga akan menyebabkan kenaikan tarif angkutan udara. Secara historis, ekspektasi konsumen juga cenderung meningkat memasuki periode hari besar keagamaan (Grafik IV.17).
Sumber: Survei Konsumen Grafik IV.17. Ekspektasi Harga Konsumen
Menyadari berbagai risiko ke depan dan dalam upaya mengendalikan tingkat inflasi, beberapa
67
langkah telah dan akan diambil oleh Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di KTI. Langkah yang diambil telah disesuaikan dengan Lima Pilar Roadmap Pengendalian Inflasi yang terdiri dari program rutin dan khusus (insidentil), antara lain: (i) penguatan fungsi kelembagaan dan regulasi, (ii) produksi, distribusi, dan konektivitas, (iii) kerjasama dan sinergi antar daerah, (iv) riset dan informasi, dan (v) ekspektasi masyarakat. Di samping itu, secara khusus, menghadapi kenaikan inflasi saat Ramadhan dan Idul Fitri, TPID se-KTI telah melakukan dan merencanakan upaya antisipasi kelangkaan pasokan melalui Rapat Koordinasi TPID praRamadhan, monitoring dan sidak ke produsen hingga distributor, pengadaan Pasar Murah, dan komunikasi melalui media cetak maupun elektronik, termasuk melalui alim ulama.
Stabilitas Keuangan Daerah Identifikasi & Pengukuran Sumber Kerentanan Pada triwulan I 2017, sumber kerentanan terhadap stabilitas keuangan daerah di KTI, baik dari sisi eksternal maupun internal dinilai masih terjaga. Sumber-sumber kerentanan dari sisi eksternal antara lain terdiri dari perkembangan ekonomi dunia serta harga komoditas yang sejak tahun 2016 menunjukkan perkembangan yang positif. Optimisme terhadap pertumbuhan ekonomi negara mitra dagang seperti India dan Jepang serta membaiknya harga batubara, nikel, karet, dan CPO yang berkontribusi pada meningkatnya kinerja ekspor komoditas dari KTI, kecuali ekspor tembaga yang mengalami penurunan karena faktor regulasi. Nilai tukar yang relatif stabil dan kondusifnya suku bunga kebijakan moneter turut mendukung optimisme tersebut. Dari sisi domestik, inflasi dan harga properti di triwulan I 2017 tercatat relatif terkendali meskipun terdapat risiko dari kenaikan harga komoditas administered prices. Menilai semua perkembangan tersebut, sumber kerentanan dinilai belum memberikan risiko instabilitas yang signifikan terhadap kinerja keuangan korporasi maupun rumah tangga.
Sejalan dengan membaiknya harga komoditas dan ekspor, kinerja keuangan korporasi terbuka di tahun 2016 turut mengalami perbaikan. Profitabilitas perusahaan menunjukkan kinerja positif setelah tercatat negatif pada tahun 2015. Perbaikan tersebut terutama terjadi pada korporasi yang bergerak di sektor tambang batubara dan industri kelapa sawit. Likuiditas mengalami perbaikan yang diiringi dengan penurunan tingkat leverage. Para pelaku usaha responden survei Bank Indonesia di daerah melaporkan kondisi profitabilitas dan likuiditas yang membaik sepanjang triwulan I 2017 (Tabel IV.3). Meski demikian, untuk repayment capacityI dari perseroan terbuka yang berusaha atau memiliki area operasional di KTI, masih belum menunjukkan perbaikan. Hal ini dipengaruhi oleh peningkatan hutang jangka pendek dalam beberapa tahun terakhir, terutama pada industri produk logam dan migas. Tabel IV.3. Kinerja Keuangan Korporasi Terbuka dan Pelaku Usaha di KTI Kinerja Keuangan Korporasi Terbuka Profitabilitas (Return on Assets %) Profitabilitas (Return on Equity %) Leverage (Debt to Equity Ratio) Likuiditas (Current Ratio) Kemampuan Bayar (ICR) Kemampuan Bayar (DSR %) Pelaku Usaha Responden SKDU Likuiditas (%Baik - %Buruk) Profitabilitas (%Baik - %Buruk)
Periode 2015 Q4 2016 Q3 2016 Q4 (5.17) 2.44 3.06 (13.39) 6.52 8.00 1.78 1.62 1.37 0.81 0.88 1.75 1.93 1.75 258.72 293.49 261.50 2016 Q3 2016 Q4 2017 Q1 41.40 44.10 39.68 40.35 45.51 39.25
Sumber: Bloomberg (diolah dari 44 perusahaan terbuka) dan Survei Kegiatan Dunia Usaha
Di tengah perbaikan kinerja keuangan korporasi di akhir 2016, kinerja keuangan rumah tangga mengalami sedikit pelemahan pada triwulan I 2017. Berdasarkan hasil survei dari Bank Indonesia (Grafik IV.18), penghasilan rumah tangga diperkirakan sedikit menurun di tengah tingkat pengeluaran yang berpotensi meningkat seiring dengan datangnya hari besar keagamaan dan musim liburan sekolah. Kondisi tersebut dinilai berpengaruh terhadap posisi pinjaman dari masyarakat yang dipersepsikan terus mengalami peningkatan. Hal tersebut pada akhirnya menekan kinerja repayment capacity rumah
68
tangga. Dengan kata lain, alokasi pendapatan yang digunakan rumah tangga untuk membayar cicilan mengalami peningkatan, meski masih berada pada tingkat rasio yang aman.
Sumber: Survei Konsumen Grafik IV.18. Kinerja Keuangan Rumah Tangga
Ketahanan Sektor Korporasi Sejalan dengan kinerja keuangan korporasi yang membaik, intermediasi perbankan kepada korporasi turut mengalami perbaikan. Hal ini terlihat dari adanya peningkatan pertumbuhan kredit kepada debitur korporasi. Meski demikian, risiko kredit korporasi masih tercatat di atas batas aman dan cenderung meningkat. Hal ini dinilai sebagai dampak dari repayment capacity korporasi yang belum menunjukkan pemulihan. Ke depan, perbankan diperkirakan akan semakin optimis dalam menyalurkan pembiayaan kepada korporasi seiring dengan prospek perbaikan kondisi ekonomi secara umum. Ekspansi pertumbuhan kredit kepada debitur korporasi pada triwulan I 2017 tercatat meningkat dari sebesar 3,59% (yoy) di triwulan IV 2016 menjadi 5,52% (yoy). Peningkatan terjadi baik untuk jenis kredit modal kerja maupun investasi. Secara spasial, peningkatan kredit terjadi di Kalimantan dan Sulampua, sedangkan Balinusra masih mengalami perlambatan. Peningkatan kredit di Kalimantan dan Sulampua antara lain terjadi pada sektor pertanian. Akselerasi ini sejalan dengan perbaikan optimisme perbankan terhadap kinerja korporasi kelapa sawit serta adanya upaya pemerintah yang mendorong perbankan untuk berfokus pada
penyaluran kredit kepada petani, nelayan, dan peternak. Selain pertanian, sektor lain yang mencatat akselerasi kredit adalah sektor industri pengolahan dan perdagangan, khususnya di Sulawesi Utara, Papua, dan Papua Barat. Percepatan pertumbuhan kredit korporasi disertai dengan meningkatnya rasio NPL untuk seluruh jenis kredit. NPL korporasi tercatat meningkat dari 5,33% menjadi 5,86%. Memburuknya kualitas kredit dinilai sebagai pengaruh dari belum membaiknya kinerja repayment capacity korporasi pasca tekanan perlambatan kondisi ekonomi di tahun sebelumnya. Secara sektoral, NPL tertinggi berada di sektor pertambangan (14,49%), konstruksi (7,36%), dan akomodasi (6,12%). Beberapa provinsi yang memiliki NPL di atas 5% antara lain adalah Papua (15,93%), Kalimantan Timur (9,55%), serta NTT (9,78%). Memburuknya kualitas kredit tersebut perlu menjadi perhatian perbankan dan pemangku kepentingan agar tidak menjadi faktor penghambat dalam penyaluran kredit ke depan. Tabel IV.4. Pertumbuhan dan NPL Kredit Korporasi gKredit (% yoy) 2016 2017 I IV I Total Kredit 7.06 3.59 5.52 - Modal Kerja 5.76 3.93 5.84 - Investasi 7.75 3.12 5.47 - Pertanian 10.00 11.37 20.41 - Perikanan 5.09 (6.49) (6.21) - Tambang (10.82) (6.48) (7.43) - Industri 21.41 1.72 1.95 - Konstruksi 8.87 (3.43) (4.57) - Perdagangan 9.19 6.92 9.74 - Akomodasi 23.90 12.06 7.20 Kalimantan (0.14) (0.56) 3.52 Sulampua 24.28 13.49 13.15 Balinusra 10.63 2.75 0.35 Indikator & Wilayah
NPL (%) 2016 2017 I IV I 5.10 5.33 5.86 7.59 6.71 7.72 3.20 4.27 4.46 0.63 1.29 1.17 1.65 4.26 7.93 8.39 14.79 15.51 7.12 4.14 5.55 8.35 6.59 7.05 4.71 6.69 7.17 4.40 4.17 4.84 5.29 6.22 6.35 5.25 3.91 4.80 4.20 4.66 6.01
Sumber: Laporan Bank Umum, diolah
Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) milik deposan korporasi tercatat mengalami peningkatan pada triwulan I 2017. Kinerja keuangan korporasi yang cenderung membaik sejak akhir tahun lalu dinilai menjadi faktor pendorong pertumbuhan DPK tersebut. Pertumbuhan DPK korporasi meningkat dari
69
2,15% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 7,23% (yoy) pada triwulan I 2017. Peningkatan ini didorong oleh pertumbuhan jenis simpanan tabungan dan giro. Di sisi lain, pertumbuhan deposito tercatat masih mengalami perlambatan. Secara spasial, perbaikan pertumbuhan DPK terutama terjadi di Kalimantan dan Balinusra.
Sumber: Laporan Bank Umum, diolah Grafik IV.19. Pertumbuhan DPK Golongan Debitur Korporasi
Ketahanan Sektor Rumah Tangga Di tengah perbaikan kredit kepada debitur korporasi, kredit kepada rumah tangga tercatat tumbuh melambat pada triwulan I 2017. Perbankan dinilai masih berhati-hati dan lebih berfokus pada ekspansi golongan debitur korporasi karena adanya kecenderungan peningkatan NPL kredit rumah tangga yang tercatat lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Apalagi, kinerja repayment capacity dari masyarakat cenderung melemah seiring dengan porsi pembayaran cicilan pinjaman yang meningkat pada triwulan I 2017. Meski demikian, pertumbuhan kredit tercatat di atas 10% dengan NPL yang masih tercatat di bawah 2%. Kredit rumah tangga mengalami perlambatan dari 11,51% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 11,31% (yoy). Deselerasi penyaluran kredit rumah tangga utamanya terjadi pada kredit lainnya yang meliputi peralatan rumah tangga dan keperluan rumah tangga yang lain. Sementara itu, meski belum signifikan, Kredit Kepemilikan Rumah (KPR), Kredit Kendaraan Bermotor (KKB), maupun kredit multiguna mencatat kinerja yang lebih baik dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya. Adapun pelonggaran kebijakan LTV dan FTV dinilai belum memberikan dampak yang besar bagi peningkatan kredit rumah tangga, meski perbankan telah merespon secara positif melalui penurunan suku bunga kredit konsumsi. Ketahanan kredit rumah tangga masih terjaga dengan cukup baik meski risiko kredit menunjukkan sedikit peningkatan. Rasio NPL kredit rumah tangga tercatat 1,73% (yoy), atau lebih tinggi dari triwulan sebelumnya sebesar 1,53% (yoy). Peningkatan risiko kredit terjadi pada KPR, kredit multiguna, dan kredit rumah tangga lainnya. Ke depan, sejalan dengan prospek membaiknya kinerja korporasi dan ekonomi secara keseluruhan, keuangan rumah tangga juga dinilai berpotensi untuk mengalami perbaikan sehingga rasio NPL rumah tangga pada akhirnya akan turut mengalami penurunan. Tabel IV.5. Pertumbuhan dan NPL Kredit Rumah Tangga Indikator & Wilayah Total Kredit - Multiguna - KPR - KKB - Lainnya Kalimantan Sulampua Balinusra
gKredit (% yoy) 2016 2017 I IV I 8.99 11.51 11.31 12.75 11.01 11.25 8.44 5.49 5.53 (13.76) (6.63) (6.14) 13.47 33.19 30.74 6.51 7.20 7.22 9.22 14.97 14.54 11.72 9.73 9.70
NPL (%) 2016 I IV 1.65 1.53 0.92 0.75 3.16 3.34 1.85 1.88 1.15 0.88 2.01 2.10 1.73 1.48 1.05 0.94
2017 I 1.73 0.84 3.94 1.81 0.93 2.34 1.66 1.14
Sumber: Laporan Bank Umum, diolah
Pada sisi penghimpunan dana dari deposan rumah tangga, terjadi peningkatan pertumbuhan dari 5,82% (yoy) menjadi 6,36% (yoy). Peningkatan pertumbuhan DPK rumah tangga yang dihimpun perbankan terutama terjadi untuk jenis simpanan tabungan. Hal ini dinilai sebagai pengaruh dari sikap masyarakat yang lebih berhati-hati dan cenderung menahan konsumsi. Berdasarkan asesmen keuangan rumah tangga sebelumnya, masyarakat memiliki persepsi bahwa posisi pinjaman dan pengeluaran akan cenderung meningkat di tengah penghasilan saat ini yang belum membaik secara signifikan. Oleh sebab itu, rumah tangga mengalokasikan
70
sebagian besar dananya untuk ditabung sebagai motif berjaga-jaga terhadap risiko adanya kebutuhan pengeluaran konsumsi atau pembayaran cicilan di masa yang akan datang.
Sumber: Laporan Bank Umum, diolah Grafik IV.20. Pertumbuhan DPK Golongan Debitur Perseorangan
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Pembiayaan UMKM tetap menunjukkan ketahanan cukup baik pada triwulan I 2017. Hal ini ditunjukkan dengan adanya akselerasi kredit dengan risiko yang masih terjaga di bawah batas aman. Pertumbuhan kredit tercatat sebesar 26,20% (yoy), jauh lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 10,56% (yoy). Peningkatan kredit UMKM terutama terjadi di Sulampua dan Kalimantan, khususnya kepada sektor pertanian, perikanan, pertambangan, industri pengolahan, dan penyediaan akomodasi. Adanya optimisme perbankan terhadap kinerja UMKM dinilai menjadi dasar akselerasi penyaluran kredit seiring dengan masih cukup tingginya risiko penyaluran kredit kepada korporasi besar dalam dua tahun terakhir. Adapun kualitas kredit UMKM masih terjaga dan tercatat sebesar 4,57%, sedikit lebih tinggi dari triwulan IV 2016 sebesar 4,38%. Peningkatan NPL disebabkan oleh meningkatnya NPL di sektor perdagangan, sektor konstruksi, dan sektor akomodasi. Rasio kredit UMKM terhadap total kredit tercatat meningkat pada hampir seluruh daerah di KTI. Secara agregat, rasio kredit UMKM meningkat dari 28,15% di triwulan IV 2016
menjadi 31,33% di triwulan I 2017. Peningkatan rasio tersebut menunjukkan upaya perbankan untuk lebih mendorong pengembangan UMKM di KTI. Terkait upaya tersebut, perbankan di KTI akan terus mengoptimalkan peran jaringan yang dimiliki untuk memetakan UMKM potensial, termasuk utilisasi dari Layanan Keuangan Digital (LKD). Edukasi produk dan pendampingan intensif juga menjadi strategi perbankan untuk mendukung pembiayaan UMKM yang sehat dan memiliki daya tahan yang baik. Tabel IV.6. Pertumbuhan dan NPL Kredit UMKM* gKredit (% yoy) 2016 2017 I IV I Total Kredit 6.84 10.56 26.20 - Modal Kerja 6.91 11.06 11.96 - Investasi 6.69 9.43 57.49 - Pertanian 20.73 17.35 109.98 - Perikanan 21.22 19.98 36.19 - Tambang (42.46) (7.08) 112.78 - Industri 10.45 11.88 78.88 - Konstruksi (4.72) 9.12 12.89 - Perdagangan 12.41 10.79 10.15 - Akomodasi 9.11 19.81 22.81 Kalimantan 3.49 7.14 38.50 Sulampua 6.23 9.43 20.39 Balinusra 12.67 17.11 20.40 Indikator & Wilayah
NPL (%) 2016 I IV 4.70 4.38 4.87 4.36 4.31 4.43 2.11 2.83 5.74 4.19 18.51 7.98 5.62 4.07 12.60 10.74 3.91 3.70 4.76 5.00 5.99 4.95 4.97 5.14 2.57 2.43
2017 I 4.57 5.01 3.89 2.28 5.34 3.55 2.86 11.97 4.36 7.20 4.28 5.55 3.33
pada transaksi kliring maupun transaksi RTGS. Perlambatan itu sesuai dengan pola historis dari transaksi sistem pembayaran nontunai. Pada awal tahun, pelaku usaha cenderung masih melakukan perencanaan sehingga kegiatan settlement terhadap transaksi belum dilakukan secara intensif. Pertumbuhan jumlah transaksi kliring melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) pada triwulan I 2017 mengalami penurunan. Volume transaksi SKNBI pada tahun triwulan I 2017 tercatat sebanyak 2,29 juta transaksi dengan nominal mencapai Rp83,11 triliun atau mengalami penurunan baik dari sisi volume (2,23% yoy) maupun dari sisi nomionalnya (16,45% yoy). Penurunan transaksi kliring tersebut terjadi pada seluruh daerah di KTI.
Sumber: Laporan Bank Umum, diolah *) Angka sangat sementara
Grafik IV.22. Volume Transaksi Kliring
Sumber: Laporan Bank Umum, diolah Grafik IV.21. Rasio Kredit UMKM
Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah Sistem Pembayaran Non Tunai Sejalan dengan perlambatan perekonomian KTI, kinerja sistem pembayaran turut melambat pada triwulan I 2017. Perlambatan kinerja sistem pembayaran tersebut diindikasikan dari kontraksi
71
Grafik IV.23. Nominal Transaksi Kliring
Dari sistem BI-RTGS (Bank Indonesia Real Time Gross Settlement), total transaksi dari KTI juga tercatat mengalami kontraksi. Selama periode Januari, Februari, dan Maret 2017, transaksi RTGS (from) KTI masing-masing tercatat turun sebesar 31,98% (yoy), -28,02% (yoy), dan -19,25% (yoy)
dengan total nominal transaksi selama tiga bulan tersebut sebesar Rp73,00 triliun. Kontraksi dari transaksi RTGS terutama terjadi di Kalimantan dan Balinusra. Sama halnya dengan transaksi kliring, penurunan kinerja RTGS dinilai masih sesuai dengan pola historisnya.
Pengelolaan Uang Rupiah Peredaran uang kartal (uang kertas dan uang logam) di KTI sepanjang triwulan I 2017 sesuai dengan pola historisnya mengalami net inflow. Meski demikian, posisi net inflow uang kartal pada triwulan I 2017 tercatat lebih rendah dari tahun sebelumnya. Melemahnya kinerja pertumbuhan ekonomi KTI pada triwulan I 2017 dinilai turut berdampak pada peredaran uang kartal. Kondisi ini dinilai juga dipengaruhi oleh melemahnya konsumsi rumah tangga di beberapa daerah di KTI antara lain di NTB, NTT, Papua Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Maluku Utara.
Kalimantan Utara, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Maluku Utara, dan Papua. Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan soil level (kualitas uang yang diedarkan) dan menekan angka temuan uang palsu di masyarakat. \ Jumlah uang palsu atau yang diragukan keasliannya yang dilaporkan kepada Bank Indonesia di KTI pada triwulan I 2017 tercatat menurun. Temuan uang palsu pada triwulan I 2017 tercatat sebanyak 2.394 lembar, lebih sedikit dari triwulan sebelumnya yang mencapai 6.628 lembar. Upaya antisipasi peningkatan peredaran uang palsu melalui edukasi kepada masyarakat terkait ciri-ciri keaslian uang Rupiah akan terus ditingkatkan di daerah. Hal tersebut juga akan didukung oleh peningkatan kegiatan bersama serta penguatan koordinasi antara Bank Indonesia dengan perbankan dan pihak yang berwenang dalam hal penanganan laporan masyarakat terkait uang yang diragukan keasliannya.
Grafik IV.24. Aliran Uang Kartal Grafik IV.25. Temuan Uang Palsu
Terkait kegiatan pengedaran uang, Kantor Perwakilan Bank Indonesia di KTI terus berupaya meningkatkan layanan perkasan di daerah. Hal ini ditempuh melalui perluasan jaringan kas titipan, penambahan frekuensi kas keliling, serta sosialisasi ciri-ciri keaslian uang Rupiah. Selain melalui upaya-upaya tersebut, Bank Indonesia (BI) juga berupaya untuk meningkatkan jangkauan layanan pengedaran uang di area perbatasan dan kepulauan terpencil melalui inisiatif BI Jangkau. Di KTI, inisiatif tersebut direncanakan di tujuh provinsi, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan
72
Prospek Perekonomian Prospek Pertumbuhan Ekonomi Ekonomi KTI triwulan III 2017 diprakirakan masih tumbuh positif, namun lebih rendah dibandingkan dengan triwulan II 2017. Perlambatan ekonomi terjadi di beberapa provinsi di KTI disebabkan oleh penurunan kinerja ekspor luar negeri dan konsumsi rumah tangga. Penurunan kinerja ekspor luar negeri terjadi di Kalimantan dan Sulampua. Sementara, penurunan konsumsi terjadi di sebagian besar daerah di KTI seiring dengan melemahnya
pendapatan ekspor dari sektor-sektor ekonomi utama dan sesuai pola musiman penurunan konsumsi pasca berakhirnya perayaan HBKN Idul Fitri. Dari sisi permintaan, perlambatan kinerja perekonomian KTI pada triwulan III 2017 disebabkan oleh penurunan ekspor luar negeri. Penurunan kinerja ekspor luar negeri KTI dipicu oleh pergerakan harga komoditas yang dinilai lebih rendah daripada triwulan II 2017, terutama harga batubara, bijih besi, nikel, dan CPO. Selain itu, di triwulan III 2017 ekonomi Tiongkok yang merupakan mitra dagang utama KTI, diprakirakan tumbuh sedikit lebih rendah dibanding triwulan II 2017. Melemahnya ekspor komoditas utama akan menekan pendapatan masyarakat dan menahan pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Di samping itu, kembali normalnya permintaan masyarakat pasca perayaan HBKN Idul Fitri juga berdampak pada melambatnya konsumsi rumah tangga. Di sisi lain, konsumsi dan investasi pemerintah diprakirakan justru mengalami peningkatan sesuai dengan pola historisnya didorong oleh peningkatan konsumsi kolektif dalam bentuk kegiatan pertemuan atau koordinasi antara satuan kerja serta percepatan realisasi belanja modal proyek strategis di daerah. Di sisi penawaran, perlambatan ekonomi KTI triwulan III 2017 terutama disebabkan oleh sektor pertambangan. Sejalan dengan ekspor luar negeri yang menurun, kinerja sektor pertambangan diperkirakan akan mengalami perlambatan seiring dengan pergerakan harga komoditas yang tumbuh melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Sektor perdagangan juga akan tumbuh melambat seiring dengan menurunnya konsumsi masyarakat. Di sisi lain, kinerja konstruksi diperkirakan akan menjadi penopang pertumbuhan ekonomi KTI pada triwulan III 2017. Akselerasi sektor konstruksi akan didukung oleh semakin meningkatnya realisasi pekerjaan konstruksi proyek pemerintah, antara lain pembangunan infrastruktur transportasi (jalan trans-antardaerah, jalan tol,
73
rel kereta api, pelabuhan, dsb) serta beberapa proyek renovasi gedung (bangunan) milik pemerintah maupun fasilitas umum lainnya. Walaupun melambat di triwulan III 2017, secara keseluruhan tahun 2017, ekonomi diprakirakan tumbuh lebih baik daripada 2016. Ekonomi KTI tahun 2017 diprakirakan tumbuh pada kisaran 5,50%-5,90% (yoy), lebih tinggi dari capaian 2016 sebesar 4,84% (yoy). Prakiraan pertumbuhan ekonomi KTI cenderung bias ke atas dari proyeksi. Peningkatan perekonomian KTI tersebut didorong oleh perbaikan di Kalimantan dan Sulampua. Membaiknya ekonomi Kalimantan diprakirakan terjadi di seluruh komponen permintaan, terutama ekspor dari usaha industri pengolahan dan tambang. Hal ini ditopang oleh perkembangan harga komoditas yang secara tahunan 2017 dinilai akan lebih tinggi dari tahun 2016. Kondisi serupa juga terjadi pada Sulampua yang ditopang oleh perbaikan harga dan ekspor nikel. Di samping itu, kontinuitas ekspor mineral tembaga juga akan menopang pertumbuhan ekonomi Sulampua. Berdasarkan hasil liaison, pelaku usaha di KTI optimis bahwa penjualan dan investasi di tahun 2017 akan mengalami perbaikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Di tengah optimisme tersebut, upaya diversifikasi sumber pertumbuhan ekonomi perlu menjadi agenda penting dan mendesak agar KTI agar dapat keluar dari jebakan ketergantungan terhadap kinerja usaha berbasis komoditas (Lihat Boks III).
Sumber: Liaison – One Year Projection Grafik IV.26. Perkiraan Kinerja Pelaku Usaha
Peningkatan kinerja perekonomian KTI tahun 2017 masih dihadapkan pada risiko-risiko yang bersumber dari eksternal dan internal. Dari sisi eksternal, divergensi arah pertumbuhan ekonomi negara mitra dagang utama dan perbaikan harga komoditas yang belum stabil dan fundamental memberikan risiko terhadap kinerja ekspor luar negeri. Sementara itu, meski dengan probabilitas yang sangat kecil, anomali iklim La Nina (dengan skala lemah) yang terjadi sejak Agustus 2016 hingga awal 2017, diprakirakan dapat berisiko terhadap produksi pertanian di Sulawesi bagian timur, Papua bagian tengah, serta di Kalimantan. Adapun untuk semester II 2017, terdapat risiko terjadinya El Nino sehingga diperlukan antisipasi di sentra pertanian. Masih terdapatnya sejumlah risiko akan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi KTI dapat berdampak pada menurunnya tingkat kepercayaan investor. Lebih lanjut, regulasi pertambangan seperti domestic market obligation (DMO) batubara dan pembatasan ekspor mineral mentah juga dapat menekan laju pertumbuhan ekonomi KTI secara temporer meski kemudian akan berdampak positif dalam jangka panjang.
Prospek Inflasi Tekanan inflasi di KTI pada triwulan III 2017 diprakirakan sedikit berkurang. Penurunan laju inflasi terutama akan terjadi di Balinusra dan Sulampua. Turunnya tekanan inflasi terutama berasal dari volatile food. Tren penurunan harga komoditas hortikultura seperti cabai rawit dan bawang merah, serta kondisi cuaca yang lebih kondusif bagi penangkapan ikan menjadi faktor yang mengurangi tekanan inflasi pangan. Sementara laju inflasi inti dan administered prices diprakirakan akan melandai. Berakhirnya perayaan HBKN Idul Fitri serta liburan sekolah menyebabkan penurunan harga tiket pesawat. Kendati demikian, penurunan inflasi KTI yang lebih dalam diprakirakan akan tertahan oleh meningkatnya tekanan inflasi di beberapa daerah. Peningkatan permintaan masyarakat menjelang Idul Adha dan Tahun Baru Islam serta penundaan masa tanam dan panen padi akibat
74
curah hujan yang tinggi pada triwulan sebelumnya, terutama di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Kepulauan Maluku, dan Pulau Papua, menjadi faktor utama yang dapat menahan penurunan inflasi lebih lanjut. Dengan perkembangan pada triwulan III 2017 tersebut, inflasi hingga akhir 2017 diprakirakan lebih tinggi dari 2016. Inflasi diprakirakan masih berada pada kisaran 4,70%-5,10% (yoy), namun lebih tinggi dari inflasi 2016 sebesar 2,90% (yoy). Meningkatnya tekanan inflasi 2017 terutama bersumber dari inflasi administered prices antara lain kenaikan biaya perpanjangan STNK pada Januari 2017 lalu, kenaikan tarif angkutan udara, serta tarif listrik bagi pelanggan pra-bayar dan pasca-bayar dengan daya 900 VA. Inflasi inti juga meningkat sejalan dengan peningkatan harga komoditas yang akan tertransmisi kepada harga konsumen, khususnya untuk komoditas emas perhiasan, serta melalui jalur ekspektasi. Adapun peningkatan tekanan inflasi volatile food terutama akan bersumber dari gangguan produksi hortikultura karena curah hujan tinggi di awal tahun yang menggeser waktu produksi serta dampak negatif dari alih fungsi lahan. Dengan perkiraan inflasi 2017 yang lebih tinggi dari 2016, berbagai risiko administered prices perlu semakin diwaspadai. Pada komoditas volatile food, risiko yang ada terutama terkait dengan anomali iklim yang dapat mengurangi produksi pangan sehingga berdampak pada peningkatan harga.
Boks 3
Urgensi Diversifikasi Tren perlambatan pertumbuhan ekonomi di KTI serta kinerja ekonomi yang berada di bawah potensialnya sangat dipengaruhi oleh fluktuasi kinerja ekspor yang berbasis komoditas tambang (Grafik IV.28). Dominasi komoditas tambang dalam pangsa ekspor non-migas KTI masih sangat kuat sehingga menyebabkan kerentanan terhadap gejolak harga, perubahan regulasi, serta konflik sosial-operasional di sektor pertambangan. Kemampuan daerah untuk melakukan diversifikasi ekonomi ke sektor atau komoditi selain pertambangan menjadi suatu keharusan agar volatilitas pertumbuhan akibat gejolak eksternal pada komoditas tambang dapat diminimalkan.
Keberagaman ekspor KTI tergolong cukup rendah sebagaimana tercermin dari Herfindahl Hirschman Index (HHI) yang cukup tinggi disebagian besar daerah di KTI (Grafik IV.29). Kondisi ini menunjukkan ketergantungan yang tinggi pada komoditas SDA. Tingkat diversifikasi ekspor yang rendah dapat menimbulkan ketimpangan ekonomi. Sejumlah daerah di KTI yang memiliki kekayaan SDA yang cukup besar dan memiliki tingkat diversifikasi ekspor rendah, terlihat memiliki tingkat ketimpangan yang tinggi antara lain yaitu NTB, Papua, dan Papua Barat (Kuadran II).
Grafik IV.29. Export Diversity Index & Gini Ratio
Grafik IV.27. Tren Pertumbuhan Melambat
Namun demikian, terdapat pula daerah dengan diversifikasi ekspor yang relatif tinggi tetapi memiliki indeks ketimpangan yang juga relatif tinggi seperti terjadi di Bali dan NTT. Dalam kasus ini, sektor pariwisata yang memiliki penyerapan tenaga kerjanya cukup tinggi dapat berperan mengurangi ketimpangan ekonomi. Hal ini mengingat ketimpangan juga sangat dipengaruhi oleh seberapa besar penyerapan tenaga kerja dan keterlibatan masyarakat dalam sektor tersebut. Dengan demikian, bagi KTI, diversifikasi sumber pertumbuhan ekonomi baru yang
14
Grafik IV.28. Dominasi Tambang Di Ekspor
75
14
Angka Index Export Diversity (Herfindahl Hirschman Index) dibawah 0.25 mencerminkan ekspor dengan jenis komoditi yang lebih beragam. Sementara, angka indeks Gini Ratio yang semakin tinggi, mencerminkan ketimpangan yang semakin tinggi.
berorientasi ekspor dan mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak merupakan langkah yang tepat untuk memperkuat sustanabilitas ekonomi daerah.
Identifikasi Sektor dan Komoditi Diversifikasi Karakteristik ekonomi yang berbeda menyebabkan jenis diversifikasi ekonomi yang berbeda untuk masing-masing wilayah. Kalimantan yang memiliki tingkat konsentrasi tambang tertinggi perlu melakukan diversifikasi ke arah komoditas non-tambang dan mengoptimalkan pemanfaatan komoditi tambang di pasar domestik. Sementara, karakteristik ekonomi Sulampua yang sudah cukup berimbang antara pangsa industri dengan pertambangan memerlukan strategi diversifikasi yang berbeda. Upgrading/deepening sektor industri merupakan strategi yang dinilai potensial untuk mengoptimalkan kinerja sektor industri sekaligus memanfaatkan potensi sumber daya alam yang masih tinggi. Upgrading tersebut dilakukan melalui hilirisasi berbasis pertambangan dan pertanian untuk menghasilkan produk bernilai tambah lebih tinggi. Di sisi lain, meski pangsa ekspor Balinusra khususnya di Nusa Tenggara masih didominasi oleh pertambangan, namun secara keseluruhan ekonomi Balinusra didominasi sektor pariwisata. Dengan competitive advantage berupa keindahan alam dan budaya, terdapat potensi besar dalam pengembangan pariwisata di Balinusra. Untuk itu, diversifikasi ekonomi di Balinusra dapat diarahkan ke deepening sektor pariwisata secara lebih spesifik yaitu melalui segmentasi pasar pariwisata yang selama ini belum digarap secara intensif seperti EcoTourism, Senior-Tourism dan Halal-Tourism.
Diversifikasi Wilayah Kalimantan: Upgrading Pertambangan dan Shifting Sumber Pertumbuhan Baru Diversifikasi di wilayah Kalimantan berpotensi untuk dilakukan secara vertikal dan horizontal.
76
Salah satu potensi diversifikasi vertikal adalah dengan memanfaatkan hilirisasi batubara ke dalam bentuk lainnya. Selama ini, mayoritas batubara dijual dalam bentuk ore sehingga sangat rentan terhadap gejolak harga batubara dunia. Mengingat cadangan batubara Kalimantan masih cukup besar, yaitu mencapai 55% dari total cadangan nasional atau sebesar 69,46 miliar ton, serta ditengah lemahnya permintaan global batubara, potensi penyerapan batubara yang besar justru berasal dari domestik. Saat ini sekitar 10% dari total produksi batubara nasional digunakan utk memenuhi kebutuhan dalam negeri melalui skema Domestic Market Obligation (DMO), sedangkan 90% sisanya di Ekspor. Sekitar 70,13% batubara DMO tersebut digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Dengan adanya proyek kelistrikan 35.000 MW yang sebagian besar berbahan bakar batubara, diperkirakan akan mampu menyerap 15 batubara lokal sebanyak ±315 Juta ton . Namun demikian, nilai tambah pemanfaatan batubara sebagai bahan bakar pembangkit listrik ini terbilang masih relatif rendah. Kebutuhan batubara yang sangat besar juga muncul dari potensi hilirisasi industri batubara yang memiliki varian produk yang cukup banyak. Beberapa produk turunan batubara yang bernilai tambah cukup tinggi (medium) adalah kokas batubara, hasil gasifikasi batubara, dan briket batubara. Pengolahan produk turunan tersebut berpotensi memberikan kontribusi sekitar 3% terhadap total PDRB Kalimantan. Selanjutnya, potensi pengembangan industri batubara juga dapat diarahkan pada produk bernilai tambah tinggi, sesuai RIPIN 2015-2035 yaitu menjadi industri pendukung petrokimia di Jawa. Adapun pasokan produk petrokimia nasional saat ini dipenuhi dari pintu impor sebesar 2,3 juta ton dari total kebutuhan produk petrokimia 8,5 juta ton/tahun. Dengan menjadikan batubara sebagai produk antara dan mengkonversinya menjadi metanol, amoniak, hidrogenolfelin, maka 15
Sumber : Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia
kecenderungan ketergantungan impor produk petrokimia dapat dikurangi. Jumlah penyerapan batubara yang dipergunakan untuk menghasilkan 2,3 juta ton produk petrokimia diperkirakan mencapai ± 4,6 juta ton batubara. Sementara, nilai tambah yang dihasilkan dari pengembangan industri petrokimia berpotensi memberikan kontribusi 1,2% terhadap PDRB Kalimantan. Selain hilirisasi pertambangan, diversifikasi sumber pertumbuhan ekonomi di Kalimantan juga dapat diarahkan pada pemanfaatan potensi kayu dan hutan melalui industri furnitur. Potensi industri kayu didukung oleh luasnya lahan hutan Kalimantan (24,5 juta Ha) yang dapat dimanfaatkan sebagai hutan produksi (Hutan Tanaman Industri) dan memiliki potensi produksi hingga mencapai 87 juta meter kubik per tahun. Industri furnitur memiliki nilai tambah produk yang lebih tinggi dibandingkan industri kertas. Nilai tambah produk industri furnitur mampu mencapai US$ 431,5 per meter kubik kayu, dibanding industri keras yang hanya mampu menghasilkan US$ 96,6 per meter kubik kayu. Pengembangan industri furnitur menjadi semakin penting mengingat adanya penurunan konsumsi kertas domestik dalam 3 tahun terakhir dan bertambahnya kalangan menengah Indonesia hingga 146 juta jiwa pada tahun 2015 yang berpotensi besar menjadi konsumen furnitur domestik. Potensi shifting ke sumber pertumbuhan ekonomi baru juga muncul dari pemanfaatan hutan menjadi tempat eco-tourism. Kondisi hutan Kalimantan dengan kekayaan flora dan fauna yang tinggi, dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan mancanegara. Kalimantan saat ini sudah memiliki beberapa taman nasional, hutan wisata dan hutan konservasi antara lain Taman Nasional Kutai, Hutan Wisata Baning dan Taman Konservasi Mangrove yang menjadi habitat hewan endemik langka di dunia seperti orang utan dan bekantan. Namun demikian, wisata hutan tersebut belum dikembangkan dengan baik akibat minimnya infrastruktur dan fasilitas konektivitas untuk menjangkau area tersebut,
77
serta kurangnya kualitas sumber daya manusia pengelola lokasi wisata.
Diversifikasi Wilayah Sulampua: Upgrading Berbasis Pertambangan dan Pertanian Berbeda dengan Kalimantan yang baru akan melakukan hilirisasi berbasis tambang, hilirisasi tambang sudah berlangsung di Sulampua sejak tahun 2012, walau masih terbatas pada pemurnian konsentrat nikel (smelter). Upgrading pertambangan di Sulampua dalam bentuk hilirisasi smelter sebagian besar telah selesai dan telah mulai berproduksi. Industri pengolahan/ pemurnian nikel di wilayah KTI terpusat di daerah Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara. Saat ini, nilai produksi olahan nikel di Sulampua mencapai Rp113,21 triliun per tahun, dan diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan proses penyelesaian beberapa smelter dan diperkirakan akan siap untuk beroperasi di tahun 2017. Berbeda dengan nikel, hilirisasi tembaga, yang merupakan komoditi yang cadangannya masih cukup besar, masih sulit dilakukan. Saat ini hilirisasi tembaga direncanakan dibangun di Jawa Timur. Namun, rencana tersebut belum dapat direalisasikan mengingat banyaknya berbagai kendala regulasi pada perusahaan utama pengolah tembaga. Potensi diversifikasi ekonomi daerah melalui startegi upgrading lain di wilayah Sulampua, adalah upgrading berbasis komoditas pertanian, khususnya Kakao. Saat ini, 76% produksi kakao nasional bersumber dari Sulampua, namun industri pengolahan kakao menjadi coklat olahan justru terdapat di Jawa dan Sumatera. Meski Indonesia merupakan penghasil kakao terbesar ke-tiga di dunia, namun peran Indonesia dalam Global Value Chain kakao masih rendah yaitu terbatas pada produk cocoa butter dengan nilai tambah relatif rendah. Adapun total produksi cocoa butter tersebut baru mencapai 10% dari total produksi dunia. Untuk itu, masih sangat terbuka peluang hilirisasi produk kakao yang
mampu memberikan nilai tambah yang lebih tinggi antara lain melalui pengolahan menjadi kosmetik, parfum, coklat batang, dll . Kendala pengembangan hilirisasi kakao terutama berasal dari sisi hulu, yaitu terkait dengan jaminan pasokan dan tingkat kualitas kakao. Produktivitas yang rendah dan alih fungsi lahan perkebunan kakao menjadi tantangan domestik bagi pengembangan industri kakao yang memerlukan pasokan kakao yang berkesinambungan. Selain itu, etos kerja petani yang masih rendah dan kurangnya pengetahuan mengenai penyakit tanaman kakao turut menyebabkan produktivitas dan kualitas kakao yang rendah. Di sisi hilir, tantangan terutama muncul dari eksternal berupa pengenaan tarif bea masuk varian produk kakao di Eropa dan sejumlah Negara tujuan ekspor lainnya. Tarif bea masuk yang cukup tinggi dikenakan kepada produk coklat olahan ekspor seiring dengan added value yang semakin tinggi. Padahal, coklat olahan dengan added value yang tinggi mampu memberikan nilai ekspor yang lebih baik dan memiliki pasar ekspor yang lebih luas. Oleh karena itu, peran pemerintah sangat penting dalam memfasilitasi kemudahan perdagangan internasional kakao dan melakukan negosiasi perdagangan untuk meringankan tariff bea masuk ke Eropa.
Diversifikasi Wilayah Balinusra: Potensi ‘Halal Tourism’ Di dukung oleh potensi alam yang cukup besar, diversifikasi sumber pertumbuhan ekonomi Balinusra dapat dilakukan melalui deepening sektor pariwisata. Pengembangan sektor pariwisata tersebut sejalan dengan RPJMN 20152019 yang mentargetkan kunjungan 20 juta Wisatawan Mancanegara (wisman) dan 275 juta Wisatawan Nusantara pada 2019. Oleh karena itu dibutuhkan pengembangan pariwisata yang strategis untuk mencapai target tersebut, khususnya di Balinusra, mengingat pangsa
78
kunjungan wisatawan ke Balinusra mencapai 43% dari total kunjungan wisatawan ke Indonesia. Salah satu strategi pengembangan pariwisata yang dapat dilakukan di Balinusra adalah melalui pengembangan pariwisata segmen Halal Tourism. Segmen halal tourism berpotensi mendatangkan 20 juta wisatawan muslim dari mancanegara. Adapun implementasi perdana konsep Halal Tourism dilaksanakan di Provinsi NTB melalui pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika yang menjual konsep Nature Luxuries dan Syariah. Konsep pengembangan KEK Mandalika akan menggabungkan Integrated tourism complex, Ecotourism dan syariah, high capacity tourism, dan future connectivity yang didukung teknologi ramah lingkungan. Total investasi KEK Mandalika diperkirakan mencapai Rp32,14 triliun dan diharapkan mampu menciptakan multiplier effect pada masyarakat melalui penyerapan tenaga kerja baru sebesar 58.700 orang, pemanfaatan lahan yang tidak produktif, serta meningkatkan output nasional hingga Rp7,5 triliun. Selain itu, pengembangan KEK Mandalika juga menciptakan peluang investasi ritel, akomodasi dan restoran serta jasa penunjang lainnya. Untuk mewujudkan pengembangan Halal Tourism, terdapat sejumlah tantangan yang harus di hadapi yaitu (1) penciptaan produk wisata halal baik dari segi budaya, alam dan wisata alam; (2) penyediaan muslim friendly amenities; serta (3) pengembangan infrastruktur pariwisata halal. Sertifikasi halal pada aspek logistik dan seluruh fasilitas layanan wisata menjadi salah satu contoh dari tantangan dimaksud. Untuk mendukung pengembangan Halal Tourism secara komprehensif, maka diperlukan pengembangan Cetak Biru Pengembangan Logistik Halal di Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki kekayaan alam berlimpah baik dari sektor minyak dan gas bumi (migas), maupun non migas. Kemajuan ekonomi Indonesia yang signifikan di era 70-an hingga 90-an tak lepas dari peran penting komoditas berbasis Sumber Daya Alam (SDA) dalam perekonomian. Keran investasi dibuka seluas-luasnya untuk memaksimalkan kinerja sektor ekstraktif. Kondisi ini didukung pula oleh commodity boom yang semakin membuat komoditas SDA bersinar, termasuk komoditas perkebunan. Sejumlah daerah memanfaatkan kesempatan tersebut dan menjadi cara yang sederhana untuk menggenjot perekonomian daerah, dan kurang memperhatikan perkembangan sektor lainnya. Akibatnya, sejumlah daerah di Indonesia cenderung memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap kinerja salah satu komoditas SDA. Kinerja perekonomian daerah tersebut menjadi sangat terpengaruh kinerja ekspor komoditas SDA yang bergantung pada fluktuasi harga dan permintaan dunia. Kondisi tiga tahun terakhir ketika commodity boom berbalik arah menjadi commodity bust, mengakibatkan perlambatan ekonomi di berbagai daerah. Sejumlah sektor pun ikut terimbas. Strategi pengelolaan SDA yang belum optimal mengakibatkan rentannya ketahanan ekonomi daerah dan berisiko terjebak dalam fenomena resource curse. Untuk menuju pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, maka diperlukan upaya diversifikasi sumber pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah. Strategi diversifikasi perlu disesuaikan dengan dengan karakter masing-masing daerah dan mempertimbangkan fokus pembangunan daerah dan nasional. Terdapat sejumlah tantangan dalam mengimplementasikan strategi diversifikasi ekonomi terutama terkait dengan koordinasi kebijakan pusat-daerah, regulasi, dan kapabilitas SDM. Selain tantangan tersebut, isu struktural terkait ketersediaan infrastruktur yang merata, praktik good governance dan kemudahan akses pembiayaan juga masih perlu mendapatkan perhatian. Pengelolaan perekonomian Indonesia masih belum optimal, terindikasi dari ketidakseimbangan perekonomian baik dari sisi spasial maupun secara sektoral. Secara spasial, Jawa secara konsisten memiliki kontribusi terbesar terhadap perekonomian nasional yaitu mencapai 59% dari total perekonomian. Kemudian, berturut-turut diikuti oleh Sumatera (22%), Sulawesi Maluku Papua (Sulampua, 9%), Kalimantan (8%), dan Bali-Nusa Tenggara (Balnusra, 3%). Secara sektoral, sejumlah sektor strategis juga terkonsentrasi di Jawa antara lain seperti pertanian, industri pengolahan dan jasa keuangan. Ketidakseimbangan ini merupakan dampak dari proses selama ini terkait strategi
79
kebijakan ekonomi nasional, ketimpangan kondisi infrastruktur fisik, konektivitas dan komunikasi, kapasitas SDM, kemampuan tata kelola pemerintahan daerah, serta kondisi geografis. Secara umum, perekonomian Indonesia hingga saat masih belum dapat terlepas dari peran besar komoditas Sumber Daya Alam (SDA) dalam menopang pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi nasional sejak tahun 1960-an ditopang oleh eksploitasi berbagai komoditas SDA antara lain seperti minyak bumi dan gas alam, pertambangan mineral, produk hutan dan perkebunan. Meskipun terdapat periode dimana terjadi shifting perekonomian
nasional dari sektor pertanian ke sektor industri pengolahan, namun peran komoditas SDA masih
besar, terutama jika dilihat dari sisi ekspor.
Grafik V.1. Komposisi Dana Bagi Hasil (DBH) Terhadap Total Pendapatan dalam APBD
Ketergantungan terhadap komoditas SDA juga pendapatan dari pengelolaan eksploitasi sumber tercermin dari pengelolaan keuangan daerah. daya alam. Berbagai kemudahan diberikan agar Saat ini, sebagian besar keuangan daerah masih maksimisasi SDA dapat diraih. Akibatnya, terjadi sangat bergantung pada dana transfer APBN. migrasi kapital dan labor dari kegiatan produktif Sejumlah daerah yang perekonomiannya berbasis non-SDA ke kegiatan ekstraktif SDA baik dari SDA, misal Kalimantan Timur, masih dalam daerah SDA itu sendiri maupun dari luar mengandalkan pendapatan daerah dari transfer daerah SDA. Dana Bagi Hasil (DBH) yang mencapai sekitar 35,82% dari total pendapatan daerah pada APBD 2017 (Grafik V.1). Sementara pada APBD 2014, ketika harga komoditas masih tinggi, komposisi DBH mencapai 52,67% dari pendapatan APBD . Ketergantungan keuangan daerah terhadap SDA semakin mulai terlihat paska penerapan desentralisasi keuangan daerah yang berdampak pada berubahnya pola transfer daerah. Transfer daerah yang semula besarannya seragam, penyalurannya diubah menjadi berdasarkan Sumber: Frankel, 2010 kriteria tertentu antara lain seperti jumlah Gambar V.1. Hubungan Antara Kekayaan SDA & penduduk dan luasan wilayah. Dengan demikian, Pertumbuhan Ekonomi: Kasus Dunia daerah dengan perekonomian berbasis SDA berusaha sedapat mungkin untuk Indonesia memang memiliki kekayaan alam yang memaksimalkan pendapatan daerah. Dengan begitu berlimpah (resource rich). Namun, kesiapan daerah untuk mendiversifikasikan kekayaan SDA Indonesia yang tinggi tersebut perekonomiannya yang masih terbatas, maka perlu diimbangi dengan manajemen pengelolaan pilihan cara yang paling mudah dan cepat SDA yang tepat agar kemudian tidak terjebak dilakukan adalah dengan memaksimalkan dalam permasalahan resource curse. Secara
80
nasional indikasi resource curse di Indonesia memang relatif belum terlihat. Hal ini tercermin dari tingkat diversifikasi ekspor yang relatif baik dan rata-rata pertumbuhan ekonomi yang diatas rata-rata sejumlah negara resource based lainnya (Gambar V.1). Namun demikian, bila fenomena tersebut dilihat pada lingkup spasial kedaerahan, maka indikasi resourse curse terlihat terjadi pada sejumlah daerah, antara lain Kalimantan Timur (Gambar V.2).
khususnya yang terkait dengan SDA. Sepanjang tahun 2014 hingga 2016, perekonomian global mengalami perlambatan yang signifikan. Pada periode sebelum 2014, perekonomian global mampu tumbuh rata-rata 3,1%, namun dalam 3 tahun terakhir hanya mampu tumbuh rata-rata sekitar 2,8%. Perlambatan ekonomi yang berlangsung merata di hampir seluruh negara maju maupun sejumlah negara berkembang, berdampak pada melemahnya permintaan terhadap komoditas SDA, baik migas maupun non migas. Kondisi ini kemudian berdampak pada turunnya harga jual komoditas SDA secara signifikan. Salah satunya yaitu komoditas minyak bumi yang terkoreksi hingga sekitar 50,4% (ratarata harga 2015 dibanding 2014) dan harga batubara bahkan terkoreksi sebesar 28,4% (ratarata harga 2016 dibanding 2014) (Grafik V.2).
Gambar V.2. Hubungan Antara Kekayaan SDA & Pertumbuhan Ekonomi: Kasus Indonesia
Besarnya kekayaan SDA yang dimiliki suatu negara tidak menjamin kemajuan ekonomi negara tersebut. Keberhasilan ekonomi suatu negara justru lebih banyak ditentukan oleh strategi pengelolaan SDA-nya. Pengelolaan SDA yang optimal perlu memperhatikan keberlanjutan ketersediaan SDA tersebut bagi pembangunan ekonomi ke depan. Pemanfaatan SDA perlu diarahkan secara optimal untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat, dan juga perlu disertai dengan upaya untuk memastikan ketersediaan SDA dimasa depan.
Struktur Ekonomi Daerah Perkembangan ekonomi global yang kurang kondusif beberapa tahun terakhir, berdampak pada melemahnya kinerja sejumlah sektor,
81
Sumber: Bloomberg Grafik V.2. Pergerakan Harga Batubara & Minyak Bumi
Dampak perlambatan perekonomian dunia juga turut dirasakan oleh Indonesia, tercermin dari perlambatan pertumbuhan ekonomi dari 5,56% pada 2013 menjadi 4,79% pada tahun 2015. Hampir seluruh daerah mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi, terutama daerah yang ekonominya terkonsentrasi pada pengelolaan SDA, umumnya di daerah yang berada di luar Jawa. Sementara itu, Jawa yang perekonomiannya relatif lebih terdiversifikasi meski turut mengalami perlambatan pertumbuhan, namun tidak sedalam wilayah yang lebih mengandalkan SDA.
Keterangan: Concentration Ratio mengukur tingkat terkonsentrasi suatu ekonomi pd sektor ekonomi tertentu, diukur melalui sum of squares %kontribusi sektor dlm ekonomi. Diversification Quotient diestimasi melalui inverse dari Concentration Ratio Sumber: PwC, Booz & Company, BPS, diolah Grafik V.3. Tingkat Diversifikasi dan Konsentrasi Ekonomi Daerah
Keterangan: Growth volatility dihitung berdasarkan standard deviasi pertumbuhan ekonomi daerah dari Tw I 2012 – Tw I 2017. Economic Concentration. Semakin tinggi angkanya, semakin rendah diversifikasi ekonominya atau terkonsentrasi pd sektor ekonomi tertentu. Sumber: BPS, diolah Gambar V.3. Hubungan Antara Konsentrasi Ekonomi dan Volatilitas Pertumbuhan
Sejumlah daerah di Indonesia memiliki tingkat diversifikasi ekonomi yang masih rendah, akibatnya struktur ekonomi daerah tersebut menjadi rentan. Kalimantan Timur dan Papua merupakan salah satu contoh daerah yang
82
memiliki tingkat konsentrasi yang tinggi terhadap sektor tertentu, dalam hal ini pertambangan, sehingga diversifikasi ekonominyapun rendah (Grafik V.3). Akibatnya, ketika terjadi tekanan permintaan yang berdampak pada penurunan
harga komoditas maupun perubahan regulasi ekspor, perekonomian kedua daerah tersebut menjadi rentan. Konsentrasi ekonomi pada satu sektor tertentu akan berdampak pada rendahnya kesinambungan pertumbuhan ekonomi dan kecenderungan volatilitas pertumbuhan yang tinggi (Gambar V.3). Papua, Papua Barat dan NTB merupakan sejumlah daerah yang memiliki volatilitas pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi dibandingkan daerah lain.
perkembangan industri pengolahan berbasis SDA cenderung memiliki linkage yang rendah dengan sektor lain. Sementara itu, konsentrasi dan diversifikasi industri pengolahan di Jawa, yang relatif minim SDA, menjadi semakin tinggi.
Sumber: Cognos BI, diolah Grafik V.5. Pangsa Ekspor Resource Based dan Non Resource Based
Sumber: BPS, diolah Grafik V.4. Pertumbuhan Net-Migrasi Risen Penduduk Per Wilayah
Perkembangan ekonomi daerah yang bertumpu pada satu sektor/komoditi tertentu, cenderung kurang memberikan insentif pada pengembangan sektor lain. Hal ini kemudian mengakibatkan ketidakseimbangan sektoral Sumber: Cognos, IHEX, BI, diolah dalam perekonomian daerah. Sebagai contoh, Grafik V.6. Hubungan Ekspor Dengan Pergerakan Indeks peningkatan harga komoditas pada era 2000-an Harga Komoditas Ekspor mendorong peningkatan ekspor komoditas pertambangan maupun perkebunan. Akibatnya, Ketidakseimbangan sektoral di daerah banyak daerah yang berlomba-lomba mengakibatkan kerentanan kinerja ekspor. memaksimalkan pendapatan melalui sektor Konsentrasi ekspor pada komoditas tertentu, tersebut. Berbagai peluang investasi dibuka khususnya SDA, meningkatkan risiko terhadap untuk meningkatkan eksplorasi dan eksploitasi gejolak eksternal, khususnya terkait dengan SDA daerah. Sejalan dengan keuntungan instan volatilitas harga maupun permintaan dunia yang diperoleh dari kegiatan eksploitasi tersebut, (Grafik V.5 dan V.6.) Kondisi ini berdampak pada terjadi disinsentif bagi pengembangan sektor lain tidak berkesinambungannya kinerja ekspor maupun hilirisasi pengolahan SDA. daerah. Ketidakseimbangan sektoral, khususnya Perkembangan sektor industri pengolahan juga yang terkonsentrasi pada sektor pertambangan, terhambat oleh terjadinya labor dan capital juga berpotensi menghambat transformasi migration ke sektor berbasis SDA, khususnya ekonomi daerah seiring dengan tingginya labor pada masa commodity boom dan terutama mobility cost sektor tersebut akibat requirement berlangsung di luar Jawa (Grafik V.4). Di sisi lain, skill yang spesifik.
83
Tantangan Diversifikasi Perekonomian Daerah Untuk menjamin keberlanjutan pertumbuhan ekonomi di daerah, maka daerah harus mampu memitigasi berbagai potensi risiko yang dapat mengakibatkan volatilitas pertumbuhan ekonomi. Konsentrasi sektoral yang berimbas pada konsentrasi komoditas ekspor, khususnya yang berbasis SDA, mengandung risiko bagi keberlanjutan ekonomi daerah. Untuk itu, maka upaya diversifikasi perekonomian daerah perlu dituangkan dalam strategi pengelolaan ekonomi daerah jangka menengah panjang. Diversifikasi ekonomi, selain dapat mendukung keberlanjutan pertumbuhan ekonomi, juga sebagai instrumen penting menuju pencapaian pemerataan kesejahteraan masyarakat.
dihadapi. Tantangan tersebut mencakup (i) Kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM), khususnya terkait kewirausahaan dan dukungan pendidikan vokasional; (ii) Regulasi/ketentuan, terkait dukungan bagi kemudahan berusaha dan harmonisasi ketentuan agar tidak tumpang tindih; (iii) Pengembangan UMKM/IKM, terkait dengan penguatan peran UMKM/IKM sebagai elemen penggerak diversifikasi ekonomi di level mikro berbasis potensi lokal; (iv) Koordinasi, sikronisasi kebijakan terkait arah pengembangan ekonomi daerah. Selain itu, sejumlah syarat mendasar diperlukan dalam mewujudkan diversifikasi ekonomi yaitu (i) ketersediaan infrastruktur dasar yang memadai (konektivitas, energi dan komunikasi); (ii) Dukungan akses pembiayaan yang mudah dan terjangkau; (iii) Tata kelola yang baik (good governance).
Dalam mewujudkan diversifikasi ekonomi daerah terdapat sejumlah tantangan yang perlu
Gambar V.4. Strategi Diversifikasi Ekonomi Daerah
Strategi Diversifikasi Perekonomian Diversifikasi perekonomian daerah dapat ditempuh melalui dua cara yaitu diversifikasi vertikal dan diversifikasi horizontal. Diversifikasi vertikal erat kaitannya dengan optimalisasi potensi hilirisasi industri berbahan baku SDA lokal. Jenis diversifikasi ini cocok diterapkan di daerah yang memiliki cadangan atau pasokan
84
SDA yang melimpah. Dengan demikian, komoditas yang dihasilkan di wilayah tersebut dapat menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi. Sementara itu, diversifikasi horisontal merupakan strategi suatu daerah untuk mengembangkan sektor lain diluar sektor utama sebagai sumber pertumbuhan baru. Idealnya, daerah mampu menerapkan kedua strategi diversifikasi ini secara simultan sehingga
keberlanjutan pertumbuhan ekonomi daerah dapat lebih resilien. Implementasi strategi diversifikasi ekonomi daerah sangat bergantung pada dua hal yaitu (i) karakteristik dan potensi daerah tersebut, (ii) fokus dan arah pengembangan daerah yang diselaraskan dengan rencana jangka panjang nasional. Wilayah seperti Sumatera, Kalimantan dan Sulampua-Balnusra yang kaya akan bahan baku komoditas perkebunan maupun
pertambangan dapat menerapkan strategi diversifikasi vertikal. Strategi ini memungkinkan transformasi ekonomi lebih lanjut dengan peningkatan peran industri pengolahan dalam perekonomian daerah. Selain itu, mengingat potensi lokal yang cukup beragam dan belum sepenuhnya tergarap, strategi diversifikasi ekonomi horisontal juga dapat diterapkan di Sumatera, Kalimantan dan Sulampua-Balnusra.
Sumber: Estimasi Bank Indonesia Gambar V.5. Pemetaan Economic Stages dan Strategi Diversifikasi Kabupaten/Kota Pulau Jawa
Gambar V.6. Strategi Diversifikasi Kawasan Timur Indonesia
Berdasarkan hasil asesmen Bank Indonesia dan telah diselaraskan dengan arah RPJMN dan RPJMD, diversifikasi vertikal ekonomi Sumatera dapat difokuskan pada hilirisasi dan upgrading komoditas kelapa sawit dan kopi, dimana
85
Sumatera merupakan daerah penghasil kelapa sawit dan kopi terbesar secara nasional. Peningkatan nilai tambah kedua komoditas tersebut yang disertai dengan perluasan pasar ekspor akan berdampak luas pada perekonomian
Sumatera. Sementara itu, peluang diversifikasi horisontal dapat diterapkan pada sektor perikanan dan pariwisata yang didukung oleh posisi geografis dan potensi pariwisata alam yang berlimpah, serta sektor konstruksi. Konstruksi berpotensi menjadi sumber pertumbuhan baru seiring dengan adanya peningkatan permintaan ditengah pengembangan properti Sumatera yang masih terbatas. Jawa yang perekonomiannya sudah lebih terdiversifikasi, maka strategi diversifikasi ekonomi dapat difokuskan pada upaya (i) peningkatan efisiensi dan produktivitas sektor utama (pertanian dan industri-khususnya padat karya); (ii) industrial up grading dengan fokus pada pengembangan industri berteknologi medhigh tech, dan (iii) pengembangan pariwisata dan industri kreatif sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru. Jawa bagian barat dan Jawa Timur terindikasi lebih sesuai bagi pengembangan industri berbasis teknologi dan inovasi. Sementara, diversifikasi Jawa bagian tengah dapat difokuskan pada peningkatan produktivitas dan efisiensi sumber daya yang ada (Gambar V.5).
dan mendorong terjadinya diversifikasi; menyediakan kebijakan membantu daerah yang terdampak SDA. b.
Perlunya strategi kebijakan pemerintah (Pusat dan Daerah) yang konsisten dalam menciptakan hilirisasi/industrialisasi sektor atau komoditas unggulan.
c.
Perlunya institusi yang kuat dan kredibel, didukung oleh Good Governance agar proses diversifikasi dan pengelolaannya dilakukan secara profesional (bekerja berdasarkan sistem) dan optimal.
d.
Diversifikasi diarahkan pada komoditaskomoditas unggulan dan sektor-sektor yang sesuai dengan karakteristik daerah meliputi maritim, agroindustri, manufaktur, pariwisata dan industri kreatif serta pertanian dan perkebunan.
e.
Diversifikasi difokuskan pada kegiatan yang menciptakan dan meningkatkan keterkaitan ekonomi (linkage) dalam struktur perekonomian daerah secara internal maupun dalam kaitannya dengan daerah lainnya serta fokus pada peningkatan peran sektor industri pengolahan. Salah satunya adalah melalui pengembangan industri strategis seperti industri kimia dasar dan logam dasar. Karena karakteristik kebutuhan modal dan skala usaha industri strategis biasanya sangat besar, maka peran pemerintah pusat dalam pembangunannya menjadi sangat penting (baca Laporan Nusantara edisi November 2016 tentang Mempercepat Transformasi Industri Manufaktur untuk Mewujudkan Industrialisasi Indonesia yang Berdaya Saing Global).
f.
Pemenuhan ketersediaan energi, konektivitas antar daerah, dukungan pembiayaan dan kemudahan transaksi serta ketentuan tata ruang dan wilayah yang jelas terus perlu diupayakan yang kemudian
Di Kawasan Timur Indonesia (Kalimantan, Sulampua, Balnusra), penerapan strategi diversifikasi ekonomi antara satu wilayah dengan wilayah lainnya memiliki fokus yang berbeda (Gambar V.6). Wilayah Kalimantan perlu melakukan diversifikasi horisontal untuk dapat mengurangi ketergantungannya pada komoditas ekstraktif. Sementara, di wilayah Sulampua dan Balnusra memerlukan diversifikasi vertikal berupa hilirisasi dan upgrading untuk meningkatkan nilai tambah komoditas.
Rekomendasi Kebijakan Dalam rangka mendorong implementasi diversifikasi ekonomi daerah, terdapat sejumlah rekomendasi kebijakan sebagai berikut: a.
86
Kebijakan aktif pemerintah untuk mendorong agar daerah tidak tergantung berlebihan kepada satu komoditas tertentu
menjadi faktor enabler bagi pertumbuhan ekonomi daerah. g.
Kestabilan makroekonomi dan kestabilan sosial-politik dengan tingkat fragmentasi sosial yang rendah. Semakin tinggi ketidakstabilan makroekonomi dan sosialpolitik serta fragmentasi sosial, maka akan semakin besar tenaga yang tercurah hanya untuk menghasilkan kesepakatankesepakatan antar pihak dan bahkan semakin mahal upaya untuk melakukan monitoring dan evaluasinya karena besarnya pertentangan kepentingan berbagai interestgroup yang berjuang mendapatkan rente ekonomi.
h.
Peningkatan kemampuan SDM dengan tenaga kerja yang berkeahlian lebih tinggi dan kemampuan wirausaha. Beberapa daerah yang kaya SDA, disinyalir kesulitan dalam mengembangkan industri dengan nilai tambah yang lebih besar bukan karena semata kesulitan modal, namun lebih kepada kesulitan mendapatkan tenaga SDM yang berkualitas yang mampu menjalankan industri bernilai tambah lebih besar atau tinggi secara menguntungkan agar dapat berkelanjutan secara ekonomi.
i.
Pemanfaatan Rantai Nilai Global untuk mendukung peningkatan produksi dan pemasaran produk/jasa yang dihasilkan misal industri furnitur, perikanan, pariwisata (halal tourism, eco-tourism), industri kreatif. Pemanfaatan rantai nilai global membutuhkan peningkatan kerjasama baik dalam skala bilateral maupun multilateral, antar pemerintah dan swasta untuk menciptakan saling keterkaitan yang saling menguntungkan secara ekonomi dan berkelanjutan dalam jangka menengahpanjang.
87
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
88
89
Tahun Dasar 2010 2016 II III IV 4.5 4.0 4.5
2016 4.3
I 4.0
2017 IIp 4.28 - 4.78
IIIp 4.29 - 4.79
4.22 - 4.72
4.7 3.9 (3.6) 4.4 1.0 (1.0) 15.8
5.2 5.3 (0.7) 5.4 0.4 0.1 1.9
4.7 6.6 2.5 4.0 9.1 10.2 4.6
4.86 - 5.36 5.99 - 6.49 3.16 - 3.66 5.36 - 5.86 3.62 - 4.12 4.20 - 4.70 1.08 - 1.58
5.03 - 5.53 6.45 - 6.95 5.98 - 6.48 6.43 - 6.93 3.68 - 4.18 4.63 - 5.13 0.23 - 0.73
4.97 - 5.47 6.18 - 6.68 5.32 - 5.82 5.35 - 5.85 4.49 - 4.99 5.49 - 5.99 0.02 - 0.52
3.7 (0.7) 3.6 11.7
3.8 (1.0) 5.2 4.9
3.8 (0.6) 4.2 10.0
3.9 4.48 - 4.98 (2.0) (1.74) - (1.24) 5.3 3.96 - 4.46 6.1 4.32 - 4.82
4.30- 4.80 4.30- 4.81 4.30- 4.82 4.30- 4.83
4.15 - 4.65 (1.8) - (1.3) 4.52 - 5.02 6.60 - 7.10
3.1
5.2
6.5
4.4
6.4
6.15 - 6.65
4.30- 4.84
5.82 - 6.32
6.9
6.4
6.6
6.4
5.5
5.98 - 6.48
4.30- 4.85
5.96 - 6.46
4.6
5.9
6.0
7.5
6.0
5.7
6.28 - 6.78
4.30- 4.86
5.80 - 6.30
5.2 5.9 6.6 6.1 5.2 5.4
6.6 6.6 7.2 9.1 6.0 5.1
6.1 7.2 7.9 6.1 6.5 6.0
5.6 8.2 9.5 4.4 6.5 6.7
5.9 7.0 7.8 6.4 6.1 5.8
6.2 7.1 7.7 1.1 7.7 6.5
6.40 - 6.90 7.28 - 7.78 8.49 - 8.99 3.65 - 4.15 5.74 - 6.24 5.24 - 5.74
4.30- 4.87 4.30- 4.88 4.30- 4.89 4.30- 4.90 4.30- 4.91 4.30- 4.92
6.31 - 6.81 7.41 - 7.91 8.06 - 8.56 3.71 - 4.21 6.07 - 6.57 5.35 - 5.85
7.0
4.1
8.4
1.7
0.9
3.7
2.7
5.25 - 5.75
4.30- 4.93
4.56 - 5.06
7.1 7.3 7.6
6.4 6.1 5.8
8.2 7.0 5.6
5.3 4.6 6.3
3.2 5.3 8.1
5.7 5.7 6.5
3.1 5.3 7.1
5.13 - 5.63 7.06 - 7.56 6.70 - 7.20
4.30- 4.94 4.30- 4.95 4.30- 4.96
4.93 - 5.43 6.62 - 7.12 6.59 - 7.09
(0.7) 5.1 5.5 0.2 4.2 6.0 4.4 5.1 5.1 4.1 3.05 1.53 3.24 1.08 2.65 4.40 1.37 3.10 3.25 4.34 3.27
3.7 4.7 5.6 2.7 3.5 4.2 4.9 5.0 5.1 3.4 5.71 3.55 7.16 6.62 4.42 5.59 4.95 5.05 5.93 5.29 5.50
2.7 5.5 5.8 2.7 3.6 5.2 5.1 5.4 5.2 3.8 3.71 2.34 4.32 3.23 1.92 3.85 3.38 4.37 5.47 3.16 6.21
2.5 5.3 4.8 1.3 4.0 5.5 4.9 5.2 5.3 4.2 4.28 3.65 7.38 6.13 4.07 3.87 4.99 4.22 5.72 2.89 5.04
4.3 5.2 4.9 2.2 6.4 5.2 5.1 5.6 5.0 4.9 4.53 3.95 6.34 4.89 4.04 3.53 4.39 3.58 5.00 2.78 6.75
4.3 5.2 4.9 2.2 6.4 5.2 5.1 5.6 5.0 4.9 4.53 3.95 6.34 4.89 4.04 3.53 4.39 3.58 5.00 2.78 6.75
2.9 4.5 4.9 2.8 4.3 2.0 5.1 5.2 5.1 6.4 3.92 3.45 3.91 3.82 5.03 3.08 2.85 3.71 6.01 3.67 6.40
3.37 - 3.87 5.03 - 5.53 5.22 - 5.72 2.69 - 3.19 4.57 - 5.07 3.53 - 4.03 5.11 - 5.61 5.29 - 5.79 4.92 - 5.42 4.94 - 5.44 4.99 - 5.49 3.42 - 3.92 4.39 - 4.89 6.18 - 6.68 7.07 - 7.57 4.54 - 5.04 4.92 - 5.42 4.01 - 4.51 6.73 - 7.23 4.44 - 4.94 7.58 - 8.08
3.15 - 3.65 5.01 - 5.51 5.14 - 5.64 2.87 - 3.37 5.02 - 5.52 3.85 - 4.35 4.60 - 5.10 5.02 - 5.52 4.99 - 5.49 5.20 - 5.70 4.22 - 4.72 3.42 - 3.92 4.39 - 4.89 6.18 - 6.68 7.07 - 7.57 4.54 - 5.04 4.92 - 5.42 4.01 - 4.51 6.73 - 7.23 4.44 - 4.94 7.58 - 8.08
2.74 - 3.24 4.90 - 5.40 5.07 - 5.57 2.81 - 3.31 4.90 - 5.40 3.46 - 3.96 4.86 - 5.36 5.10 - 5.60 4.96 - 5.46 5.43 - 5.93 3.89 - 4.39 2.72 - 3.22 3.59 - 4.09 4.29 - 4.79 5.96 - 6.46 4.11 - 4.61 4.63 - 5.13 3.26 - 3.76 5.03 - 5.53 4.53 - 5.03 7.25 - 7.75
Indikator Makroekonomi Daerah
2015
PDRB (%,yoy) Sisi Permintaan Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi LNPRT Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto Ekspor Impor Net Ekspor Antar Daerah Sisi Produksi Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Pengadaan Listrik dan Gas Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang Konstruksi Perdagangan Besar, Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Transportasi dan Pergudangan Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum Informasi dan Komunikasi Jasa Keuangan dan Asuransi Real Estate Jasa Perusahaan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib Jasa Pendidikan Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial Jasa lainnya PDRB (%,yoy) Provinsi Aceh Provinsi Sumatera Utara Provinsi Sumatera Barat Provinsi Riau Provinsi Jambi Provinsi Kepulauan Riau Provinsi Sumatera Selatan Provinsi Bengkulu Provinsi Lampung Provinsi Kep. Bangka Belitung Inflasi IHK (%,yoy) Provinsi Aceh Provinsi Sumatera Utara Provinsi Sumatera Barat Provinsi Riau Provinsi Kepulauan Riau Provinsi Jambi Provinsi Sumatera Selatan Provinsi Bengkulu Provinsi Lampung Provinsi Kep. Bangka Belitung
3.5
I 4.2
5.0 2.0 4.5 3.2 (3.2) (4.3) 2.4
5.2 6.6 1.4 6.3 (1.5) (2.1) 1.1
5.4 5.0 6.8 6.2 (0.1) 0.9 (4.4)
4.9 4.5 (5.6) 4.5 (0.2) (1.5) 5.3
3.5 (2.3) 3.8 5.0
3.4 0.5 5.1 8.6
4.6 (1.1) 3.1 15.4
4.9
3.0
4.3
5.8
4.2 7.0 6.8 7.9 4.3 5.9 5.8
`
90
2017p
2016
5.5
I 5.3
Tahun Dasar 2010 2016 II III IV 5.8 5.6 5.7
4.5 (4.0) 4.2 4.3 (1.7) (9.0) (10.7)
4.9 6.0 8.0 4.1 0.9 (5.8) (7.4)
5.2 6.2 13.0 4.7 5.3 (4.8) (16.9)
5.1 9.7 (2.9) 4.9 (3.3) (4.1) 7.2
3.4 5.1 4.6 (3.9)
(0.7) 8.8 4.5 1.9
2.6 6.3 4.6 (0.4)
4.2
3.1
4.8 4.2
5.6
I 5.7
2017 IIp 5.75 - 6.15
IIIp 5.52 - 5.92
5.59 - 5.99
5.2 9.8 (0.9) 5.0 (0.5) (1.5) 22.7
5.1 8.1 0.4 4.0 1.6 (2.6) 3.6
5.1 11.3 1.8 6.0 2.2 7.9 20.3
5.37 - 5.77 2.20 - 2.60 1.02 - 1.42 6.33 - 6.73 1.63 - 2.03 2.92 - 3.32 7.14 - 7.54
5.15 - 5.55 (1.09) - (1.49) 7.09 - 7.49 6.69 - 7.09 2.46 - 2.86 2.50 - 2.90 1.46 - 1.86
5.16 - 5.56 2.23 - 2.63 4.24 - 4.64 6.38 - 6.78 2.03 - 2.43 3.57 - 3.97 8.60 - 9.00
4.5 12.4 4.4 (1.6)
3.6 4.2 4.9 (4.1)
3.3 10.5 4.3 0.6
7.1 7.5 4.6 0.9
4.11 - 4.51 6.39 - 6.79 5.20 - 5.60 1.54 - 1.94
4.66 - 5.06 1.64 - 2.04 5.10 - 5.50 3.36 - 3.76
4.56 - 4.96 4.78 - 5.18 5.05 - 5.45 2.00 - 2.40
4.7
5.9
5.3
4.6
5.8
4.45 - 4.85
3.46 - 3.86
4.46 - 4.86
3.8
4.0
3.4
4.4
4.1
4.6
5.07 - 5.47
5.44 - 5.84
5.08 - 5.48
4.9
5.1
4.4
4.8
5.0
5.4
5.92 - 6.32
5.64 - 6.04
5.58 - 5.98
8.1 6.9 9.8 9.5 5.2 7.6
7.9 7.8 9.9 10.2 5.6 7.3
7.3 6.7 9.9 13.9 5.6 7.4
9.5 7.4 10.0 9.4 5.6 8.0
9.3 6.8 9.6 7.9 6.0 8.1
8.2 7.3 10.0 9.0 5.5 8.1
(5.6) (3.25) - (3.65) (3.85) - (4.25) (3.94) - (4.34) 22.7 21.29 - 21.69 18.60 - 19.00 20.28 - 20.68 8.4 8.70 - 9.10 8.80 - 9.20 8.69 - 9.09 6.7 7.33 - 7.73 6.41 - 6.81 6.79 - 7.19 4.7 5.45 - 5.85 5.55 - 5.95 5.26 - 5.66 8.3 6.88 - 7.28 7.11 - 7.51 7.23 - 7.63
3.7
3.5
6.5
1.4
2.8
3.7
0.9
1.65 - 2.05
1.95 - 2.35
1.67 - 2.07
7.3 8.2 7.1
7.5 8.0 7.5
7.7 7.5 7.7
6.3 7.4 8.3
6.6 7.0 11.0
6.8 7.8 7.8
5.3 7.2 7.8
4.37 - 4.77 7.62 - 8.02 7.56 - 7.96
6.50 - 6.90 6.30 - 6.70 5.03 - 5.43
5.36 - 5.76 6.80 - 7.20 7.01 - 7.41
5.9 5.0 5.4 5.4 4.9 5.4 3.12 3.30 2.73 4.29 2.73 3.09 3.08
5.6 5.2 5.1 4.9 4.8 5.5 3.93 3.62 3.78 5.70 4.21 3.69 3.71
5.9 6.0 5.2 5.7 5.5 5.6 3.14 3.08 3.22 3.78 2.96 2.94 2.93
5.8 5.8 5.4 5.1 4.7 5.6 2.58 2.40 2.54 3.01 2.72 2.68 2.69
5.6 5.8 5.5 5.5 5.1 5.7 2.59 2.37 2.75 2.94 2.36 2.29 2.73
5.8 5.7 5.3 5.3 5.0 5.5 2.59 2.37 2.75 2.94 2.36 2.29 2.73
6.5 5.2 5.9 5.2 5.1 5.4 3.47 3.43 3.37 3.45 3.30 3.39 3.85
6.03 - 6.43 5.77 - 6.17 5.77 - 6.17 5.55 - 5.95 5.08 - 5.48 5.57 - 5.97 4.25 - 4.65 3.98 - 4.38 4.00 - 4.40 4.17 - 4.57 4.79 - 5.19 4.06 - 4.46 4.92 - 5.32
5.81 - 6.21 5.54 - 5.94 5.19 - 5.59 5.23 - 5.63 4.93 - 5.33 5.48 - 5.88 4.40 - 4.80 4.02 - 4.42 4.57 - 4.97 4.51 - 4.91 4.55 - 4.95 3.76 - 4.16 4.75 - 5.15
6.03 - 6.43 5.50 - 5.90 5.48 - 5.88 5.30 - 5.70 4.99 - 5.39 5.44 - 5.84 4.52 - 4.92 4.13 - 4.53 4.70 - 5.10 4.83 - 5.23 4.64 - 5.04 3.99 - 4.39 4.78 - 5.18
Indikator Makroekonomi Daerah
2015
PDRB (%,yoy) Sisi Permintaan Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi LNPRT Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto Ekspor Impor Net Ekspor Antar Daerah Sisi Produksi Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Pengadaan Listrik dan Gas Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang Konstruksi Perdagangan Besar, Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Transportasi dan Pergudangan Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum Informasi dan Komunikasi Jasa Keuangan dan Asuransi Real Estate Jasa Perusahaan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib Jasa Pendidikan Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial Jasa lainnya PDRB (%,yoy) DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Inflasi IHK (%,yoy) DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur
91
2017p
Tahun Dasar 2010 2016 II III IV 4.0 5.4 5.5
2016 4.8
I 5.0
2017 IIp 6.60 - 7.00
Indikator Makroekonomi Daerah
2015
PDRB (%,yoy) Sisi Permintaan Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi LNPRT Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto Ekspor Luar Negeri Impor Luar Negeri Sisi Produksi Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Pengadaan Listrik dan Gas Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang Konstruksi Perdagangan Besar, Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Transportasi dan Pergudangan Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum Informasi dan Komunikasi Jasa Keuangan dan Asuransi Real Estate Jasa Perusahaan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib Jasa Pendidikan Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial Jasa lainnya PDRB (%,yoy) Provinsi Kalimantan Barat Provinsi Kalimantan Tengah Provinsi Kalimantan Selatan Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Utara Provinsi Sulawesi Selatan Provinsi Sulawesi Barat Provinsi Sulawesi Tenggara Provinsi Sulawesi Tengah Provinsi Gorontalo Provinsi Sulawesi Utara Provinsi Maluku Provinsi Maluku Utara Provinsi Papua Provinsi Papua Barat Provinsi Bali Provinsi Nusa Tenggara Barat Provinsi Nusa Tenggara Timur
5.2
I 4.3
5.0 3.9 5.4 6.1 (5.7) (3.0)
5.2 6.7 5.2 4.3 (8.8) (9.5)
5.6 5.0 6.5 2.5 (7.0) (2.2)
4.8 3.7 (5.4) 4.1 (6.0) (11.2)
4.4 1.7 (8.5) 3.4 12.2 (5.5)
5.0 4.2 (0.3) 3.6 (2.6) (7.0)
4.5 8.1 3.6 4.2 8.8 6.3
4.3 2.1 5.7 10.2
2.2 (2.3) 10.0 9.2
2.3 (2.9) 7.1 15.9
3.9 4.5 6.9 14.6
8.4 6.3 3.0 3.8
4.2 1.4 6.6 10.7
6.8 2.1 6.1 4.4
6.00 - 6.40 8.70 - 9.10 5.90 - 6.30 5.60 - 6.00
5.80 - 6.20 2.30 - 2.70 5.90 - 6.30 7.30 - 7.70
5.60 - 6.00 3.70 - 4.10 6.10 - 6.50 6.60 - 7.00
3.3
5.4
5.3
6.5
5.7
5.7
4.8
5.80 - 6.20
6.00 - 6.40
5.70 - 6.10
7.4
5.2
4.6
5.3
3.2
4.6
4.9
5.60 - 6.00
6.20 - 6.60
6.10 - 6.50
6.3
6.9
7.3
6.8
6.3
6.8
6.0
7.30 - 7.70
5.80 - 6.20
6.80 - 7.20
6.5 6.3 8.4 5.6 5.9 4.4
7.1 6.8 9.0 7.6 5.5 5.6
7.1 7.0 8.4 13.1 5.0 4.3
7.7 7.4 7.8 7.9 4.1 4.6
6.3 6.4 7.2 11.1 4.5 4.6
7.0 6.9 8.1 9.9 4.8 4.8
6.4 7.0 7.9 4.0 3.7 5.0
7.20 - 7.60 7.50 - 7.90 8.20 - 8.60 3.80 - 4.20 4.70 - 5.10 5.40 - 5.80
6.00 - 6.40 7.00 - 7.40 8.10 - 8.50 4.20 - 4.60 6.00 - 6.40 5.30 - 5.70
6.10 - 6.50 7.40 - 7.80 7.60 - 8.00 3.90 - 4.20 5.00 - 5.40 5.10 - 5.50
8.0
7.7
9.8
1.3
(0.4)
4.3
2.2
3.90 - 4.30
6.90 - 7.30
5.00 - 5.40
7.4 8.2 7.3
8.3 8.1 7.9
8.1 8.1 8.1
6.6 7.4 7.2
4.2 6.8 7.0
6.7 7.6 7.5
6.0 6.6 6.6
6.00 - 6.40 6.10 - 6.50 6.30 - 6.70
6.50 - 6.90 6.40 - 6.80 6.30 - 6.70
6.40 - 6.80 6.50 - 6.90 6.20 - 6.80
4.9 7.0 3.8 (1.2) 3.4 7.2 7.4 6.9 15.5 6.2 6.1 5.5 6.1 7.5 4.2 6.0 21.8 5.0
6.6 5.1 4.7 (0.5) 3.0 7.3 6.1 5.5 13.6 6.7 6.0 5.6 5.2 (0.7) 5.5 6.4 8.4 5.1
4.3 5.7 4.5 (0.7) 3.4 8.0 4.7 6.8 15.6 5.4 6.2 6.0 5.7 (5.2) 3.9 6.5 8.2 5.4
6.2 5.9 3.1 (0.0) 4.3 6.8 5.7 6.0 7.9 7.0 6.0 5.5 5.6 20.4 3.9 6.6 3.4 5.1
3.8 8.6 5.3 (0.3) 4.3 7.6 7.5 7.6 3.8 7.0 6.5 5.9 6.5 21.4 4.9 5.5 3.8 5.2
5.2 6.4 4.4 (0.4) 3.7 7.4 6.0 6.5 10.0 6.5 6.2 5.8 5.8 9.2 4.5 6.2 5.8 5.2
4.8 9.5 5.3 3.9 6.2 7.5 7.4 8.4 3.9 7.3 6.4 6.2 7.5 3.4 3.7 5.7 (4.2) 5.0
4.40 - 4.80 5.30 - 5.70 7.80 - 8.20 5.90 - 6.30 5.40 - 5.90 4.60 - 5.00 2.80 - 3.20 2.10 - 2.50 5.90 - 6.30 6.50 - 6.90 7.40 - 7.80 7.30 - 7.70 9.70 - 10.10 6.90 - 7.30 8.50 - 8.90 7.80 - 8.20 3.90 - 4.30 9.70 - 10.10 6.80 - 7.20 6.50 - 6.90 6.10 - 6.50 6.30 - 6.70 5.50 - 5.90 5.90 - 6.30 6.20 - 6.60 6.90 - 7.30 25.10 - 25.50 6.60 - 7.00 4.70 - 5.10 4.30 - 4.70 6.00 - 6.40 6.20 - 6.60 3.80 - 4.20 1.90 - 2.30 5.10 - 5.50 5.10 - 5.50
4.80 - 5.20 7.50 - 7.90 4.40 - 4.80 2.70 - 3.10 6.30 - 6.70 7.50 - 7.90 7.80 - 8.20 8.30 - 8.70 7.70 - 8.10 6.80 - 7.20 6.10 - 6.50 5.70 - 6.10 6.60 - 7.00 8.90 - 9.30 4.40 - 4.80 6.10 - 6.50 1.60 - 2.00 5.10 - 5.50
92
IIIp 5.30 - 5.70
2017p 5.50 - 5.90
5.40 - 5.80 5.20 - 5.60 5.10 - 5.50 4.30 - 4.70 3.50 - 3.90 4.40 - 4.80 4.10 - 4.50 7.50 - 7.90 5.90 - 6.30 5.80 - 6.20 5.60 - 6.00 5.30 - 5.70 17.00 - 17.40 11.90 - 12.30 11.00 - 11.40 13.80 - 14.20 12.30 - 12.70 11.70 - 12.10
Indikator Makroekonomi Daerah Inflasi IHK (%,yoy) Provinsi Kalimantan Barat Provinsi Kalimantan Tengah Provinsi Kalimantan Selatan Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Utara Provinsi Sulawesi Selatan Provinsi Sulawesi Barat Provinsi Sulawesi Tenggara Provinsi Sulawesi Tengah Provinsi Gorontalo Provinsi Sulawesi Utara Provinsi Maluku Provinsi Maluku Utara Provinsi Papua Provinsi Papua Barat Provinsi Bali Provinsi Nusa Tenggara Barat Provinsi Nusa Tenggara Timur
93
2015 4.43 5.79 4.74 5.15 5.11 3.42 4.48 5.07 2.27 4.17 4.30 5.56 6.15 4.52 3.59 5.34 2.75 3.43 4.92
I 4.84 4.62 4.56 6.04 4.94 4.71 5.70 5.19 4.75 6.03 5.74 4.90 2.22 5.45 3.76 5.53 3.59 4.34 5.04
Tahun Dasar 2010 2016 II III IV 4.26 3.47 2.90 5.25 3.82 3.66 3.13 3.18 2.11 5.88 4.73 3.57 4.37 3.70 3.40 6.16 4.56 4.31 4.30 3.07 2.94 4.29 3.42 2.23 4.12 3.28 2.69 4.21 4.08 1.49 4.89 2.77 1.30 3.67 2.28 0.35 1.82 2.90 3.26 3.87 4.05 1.91 5.22 4.72 3.22 3.95 3.99 3.62 2.96 3.18 3.23 4.39 2.94 2.60 5.02 3.07 2.48
2016 2.90 3.66 2.11 3.57 3.40 4.31 2.94 2.23 2.69 1.49 1.30 0.35 3.26 1.91 3.22 3.62 3.23 2.60 2.48
I 3.76 5.02 4.10 4.02 3.89 4.34 3.42 4.10 2.25 4.05 2.73 3.93 3.97 2.41 3.90 3.66 4.40 2.58 2.95
2017 IIp 4.30 - 4.70 4.90 - 5.30 5.20 - 5.60 4.90 - 5.30 4.60 - 5.00 3.40 - 3.80 4.90 - 5.30 4.90 - 5.30 2.70 - 3.10 5.40 - 5.80 2.70 - 3.10 4.70 - 5.10 3.60 - 4.00 3.50 - 3.90 4.10 - 4.50 5.00 - 5.40 4.70 - 4.90 3.90 - 4.30 3.10 - 3.50
IIIp 4.50 - 4.90 4.60 - 5.00 4.60 - 5.00 4.80 - 5.20 4.90 - 5.30 5.60 - 6.00 4.90 - 5.30 4.40 - 4.80 1.90 - 2.30 6.30 - 6.70 2.80 - 3.20 4.70 - 5.10 4.70 - 5.10 3.60 - 4.00 4.20 - 4.60 3.50 - 3.90 3.20 - 3.60 5.10 - 5.50 5.00 - 5.40
2017p 4.70 - 5.10 4.90 - 5.30 5.30 - 5.70 5.10 - 5.50 4.50 - 4.90 4.70 - 5.10 4.70 - 5.10 4.80 - 5.20 2.80 - 3.20 6.50 - 6.90 3.80 - 4.20 4.70 - 5.10 3.90 - 4.30 4.20 - 4.60 5.50 - 5.90 4.20 - 4.60 3.40 - 3.80 4.60 - 5.20 4.70 - 5.10
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
94
Dody Budi Waluyo Noor Yudanto
Gunawan Wicaksono Retno Muhardini Maximilian T. Tutuarima Neva Andina Gaffari Ramadhan Ragil Misas Fuadi Hesti Werdaningtyas Diah Ratnasari Warsono Rizki Fitrama Erwin Syafi’i Evy Marya Deswita Siburian Andree Breitner Makahinda