Daftar Isi
Laporan Penelitian Perbandingan antara Sevofluran dan Isofluran terhadap Gangguan Fungsi Kognitif Pascabedah Tumor Otak menggunakan Mini Mental State Examination (MMSE) Caroline Wullur, Ike Sri Redjeki, Tatang Bisri.......................................................................
Efek perbedaan Volume Tidal Ventilasi Mekanik Selama Operasi terhadap Rasio PaO2/FiO2 Pascaoperasi Kraniotomi Elektif Dita Aditianingsih, Rudyanto Sedono, Yoshua Baktiar .........................................................
155–62
163–72
Laporan Kasus Perdarahan Berulang Pascakraniotomi pada Pasien Cedera Kepala Ringan Bona Akhmad Fithrah, Bambang J. Oetoro, Siti Chasnak Saleh ...........................................
173–79
Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Kepala Traumatik yang Terlambat Alexander Samuel P, Nazaruddin Umar, Siti Chasnak Saleh, Nancy Margarita Rehata ......
180–88
Krisis Tiroid Pascakraniotomi Mikro pada Makroadenoma Hipofise disertai Akromegali Yasmine K. Kartika Putri, Sofyan Harahap ...........................................................................
189–96
Tinjauan Pustaka Manajemen Cairan dan Elektrolit pada Cedera Kepala Bau Indah Aulyan Syah, Syafruddin Gaus, Sri Rahardjo ........................ ............................... 197–209 Ambang Hemoglobin pada Cedera Otak Traumatik Dewi Yulianti Bisri, Tatang Bisri ........................................................................................
210–17
Perbandingan antara Sevofluran dan Isofluran terhadap Gangguan Fungsi Kognitif Pascabedah Tumor Otak menggunakan Mini Mental State Examination (MMSE) Caroline Wullur, Ike Sri Redjeki, Tatang Bisri Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Abstrak Latar Belakang dan Tujuan: Pasien dengan tumor otak sering mengalami gangguan fungsi kognitif yang berdampak terhadap fungsi fisik, psikologis, sosial, dan vokasional. Post operative cognitive dysfunction (POCD) adalah ganggguan kognitif pascabedah yang paling sering terjadi. Anestesi umum yang digunakan dapat berpengaruh terhadap gangguan fungsi kognitif. Anestetika inhalasi sevofluran dan isofluran merupakan anestetika inhalasi yang paling sering digunakan untuk prosedur kraniotomi tumor otak. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perbandingan efek antara sevofluran dan isofluran terhadap fungsi kognitif pascabedah tumor otak. Subjek dan Metode: eksperimental acak terkontrol buta tunggal melibatkan 44 pasien dengan tumor otak yang menjalani kraniotomi tumor otak pada bulan April−Oktober 2015. Data dianalisis dengan uji-t tidak berpasangan, Chi kuadrat, Mann Whitney dan Komolgorov Smirnov, nilai p<0,05 dianggap bermakna. Fungsi kognitif diukur menggunakan uji mini mental state examination (MMSE) yang dinilai saat pre-operatif dan pascabedah pada jam ke 6, 12, 18, 24, 48, 72, 96, dan 120. Hasil penelitian menunjukkan MMSE pascabedah pada kelompok anestetika inhalasi sevofluran lebih tinggi dibanding dengan isofluran pada 6, 12, 18, 18, 24, 48 dan 72 jam pascabedah dengan perbedaan bermakna (p<0,05). Simpulan: Anestetik inhalasi sevofluran menimbulkan gangguan fungsi kognitif pascabedah yang lebih ringan dibanding dengan isofluran pada pasien yang menjalani kraniotomi tumor otak. Kata kunci: Gangguan fungsi kognitif, kraniotomi tumor otak, sevofluran, isofluran JNI 2016;5(3): 155–62
Comparison between Sevoflurane and Isoflurane on Cognitive Dysfunction Post Craniotomy Tumor Removal assessed using Mini Mental State Examination (MMSE) Abstract Background and Objective: Patients with brain tumor often experience cognitive dysfunction that may have an impact on physical functioning, psychology, social and vocacional functioning. Post operative cognitive dysfunction (POCD) is the most common post surgical cognitive dysfunction. General anaesthesia may have an impact on POCD. Sevofluran and isoflurane are the two most commonly used inhaled anaesthetic agents for craniotomy tumor removal. The aim of this study is to compare the effects between sevoflurane and isoflurane on cognitive functions after brain tumor surgery. Subject and Method: This is a randomized controlled trial involving 44 ASA II patients who underwent craniotomy tumor removal under general anaesthesia between period of April−October 2015. Statistical analysis using unpaired t-test, Chi Square, Mann Whitney and Komolgorov Smirnov test with p<0,05 as statistically significant. Cognitive function was assessed using mini mental state examination (MMSE) preoperatively and postoperatively at 6, 12, 18, 24, 48, 72, 96 and 120 hour postoperative. Result: shows that postoperative MMSE was higher in sevoflurane group compared to isoflurane on 6, 12, 18, 24, 48, 72 hours postoperatively with statistical significance (p<0,05). Conclusion: Inhaled anaesthetic agent sevoflurane causes less postoperative cognitive disturbance compared to isoflurane on patients undergoing craniotomy tumor removal. Key words: Cognitive dysfunction, craniotomy tumor removal, sevoflurane, isoflurane
155
JNI 2016;5(3): 155–62
156
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
I. Pendahuluan Kognitif adalah proses untuk mengetahui atau berpikir, yang meliputi memilih, mengerti, mengingat, dan menggunakan informasi. Prosedur pembedahan dan anestesi dapat menyebabkan gangguan kognitif pascabedah yang dikenal dengan postoperative cognitive dysfunction (POCD).1 Postoperative cognitive dysfunction (POCD) paling sering terjadi dalam 3 bulan pascabedah. Stres pascabedah dan perubahan imunologis, terutama neuroinflamasi berhubungan dengan gangguan kognitif. Peningkatan sitokin proinflamasi seperti interleukin-6 (IL-6), tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan protein S-100 β berkaitan dengan beberapa perubahan perilaku, fisiologis dan psikologis.1,2 Usia adalah satu-satunya faktor risiko yang secara konsisten berkaitan dengan POCD. Beberapa faktor risiko lain adalah faktok genetik, tingkat pendidikan rendah, penyalahgunaan alkohol, usia, status fisik menurut American Society of Anaesthesiologists (ASA) tinggi, gangguan kognitif sebelumnya, riwayat cedera vaskuler serebral, pembedahan mayor, operasi bedah jantung, durasi pembedahan dan anestesi yang panjang, desaturasi serebral intraoperasi, delirium pascabedah dan infeksi pascabedah.1 Pemeriksaan fungsi kognitif dapat dilakukan menggunakan beberapa uji, salah satunya adalah mini mental state examination (MMSE). Mini mental state examination adalah sebuah kuesioner berisi 11 pertanyaan, dengan nilai 0−30, merupakan alat ukur sensitif, valid dan reliabel untuk mengukur gangguan kognitif. Metode MMSE digunakan untuk menilai derajat keparahan dan perkembangan perubahan kognitif dari pasien. Keuntungan MMSE adalah sederhana dan tidak memerlukan perlatan khusus. MMSE mempunyai validitas dan realibilitas yang telah diketahui untuk diagnosis dan penilaian longitudinal penyakit Alzheimer's dan juga gangguan kognitif lain.3 Pasien dengan tumor otak biasanya mempunyai keluhan seperti nyeri kepala, kejang, gangguan motorik dan sensorik. Gangguan fungsi kognitif terjadi pada 50−80% pasien tersebut.
Gangguan kognitif terjadi akibat proses neoplastik, sekunder dari gangguan struktural seperti kompresi atau pergeseran dan edema serebral. Obat-obatan seperti antiepilepsi dan kortikosteroid juga mempunyai peran. Tindakan kraniotomi tumor otak diharapkan memperbaiki gangguan kognitif tersebut.4 Anestesi pada operasi kraniotomi tumor otak berfokus pada stabilitas hemodinamik, tekanan perfusi otak yang stabil, tekanan intrakranial yang tidak meningkat, mempertahankan otak tidak cembung untuk memfasilitasi diseksi tumor, serta emergence yang halus dan waktu bangun yang cepat sehingga penilaian status neurologis dapat segera dilakukan.5 Anestetik inhalasi mempunyai efek neuroprotektif dan neurotoksik. Anestesi umum mengurangi metabolisme otak dan hipoksia, sehingga mengurangi konsumsi oksigen. Neurotoksisitas anestesi umum dapat disebabkan oleh efek langsung (melalui gangguan homeostasis kalsium), neurodegenerasi yang disebabkan oleh proses neuroapoptosis dengan mempotensiasi reseptor gamma-aminobutyric acid (GABA) A dan NMDA, neuroinflamasi yang dicetuskan oleh sistemik inflamasi pembedahan, atau supresi proliferasi dan diferensiasi sel stem.6 Sevofluran dan isofluran adalah anestetik inhalasi yang paling sering digunakan pada operasi bedah saraf. Sevofluran mempunyai beberapa efek yang lebih unggul dibanding dengan isofluran. Koefisien partisi darah/gas sevofluran lebih rendah sehingga waktu induksi dan pemulihan lebih cepat. Pada dosis yang sama, sevofluran lebih sedikit menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah otak dan gangguan autoregulasi. Sevofluran mempunyai efek antinekrotik dan antiapoptotik sedangkan isofluran tidak mempunyai efek antiapoptotik. Efek inflamasi yang disebabkan oleh isofluran lebih tinggi dibanding dengan sevofluran sehingga peningkatan sitokin proinflamasi pada kelompok isofluran lebih tinggi dibanding dengan sevofluran.5,7−10 Hingga saat ini, belum dapat disimpulkan kombinasi anestetik yang paling unggul digunakan untuk kraniotomi tumor otak.
Perbandingan antara Sevofluran dan Isofluran terhadap Gangguan Fungsi Kognitif Pascabedah Tumor Otak menggunakan Mini Mental State Examination (MMSE)
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan sumbangan praktis yang bermanfaat mengenai perbandingan pengaruh anestetik inhalasi antara sevofluran dan isofluran terhadap gangguan fungsi kognitif pascabedah tumor otak. II. Subjek dan Metode
Penelitian ini eksperimental acak terkontrol buta tunggal yang dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian dilakukan pada bulan April− Oktober 2015 di ruang pemulihan dan ruang perawaran Dr. Hasan Sadikin Bandung. Subjek
Tabel 1 Cara Pemeriksaan Mini Mental State Examination (MMSE) Tes Nilai maksimum ORIENTASI Sekarang (tahun), (musim), (bulan), (tanggal), hari apa?
5
Kita berada dimana? (negara), (propinsi), (kota), (rumah sakit), (lantai/kamar)
5
REGISTRASI Sebutkan 3 buah nama benda ( jeruk, uang, mawar), tiap benda 1 detik, pasien disuruh 3 mengulangi ketiga nama benda tadi. Nilai 1 untuk tiap nama benda yang benar. Ulangi sampai pasien dapat menyebutkan dengan benar dan catat jumlah pengulangan ATENSI DAN KALKULASI Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar. Hentikan setelah 5 5 jawaban. Atau disuruh mengeja terbalik kata “ WAHYU” (nilai diberi pada huruf yang benar sebelum kesalahan; misalnya uyahw=2 nilai) MENGINGAT KEMBALI (RECALL)
3
Pasien disuruh menyebut kembali 3 nama benda di atas BAHASA Pasien diminta menyebutkan nama benda yang ditunjukkan ( pensil, arloji)
2
Pasien diminta mengulang rangkaian kata :” tanpa kalau dan atau tetapi ”
1
Pasien diminta melakukan perintah: “ Ambil kertas ini dengan tangan kanan, lipatlah 3 menjadi dua dan letakkan di lantai”. Pasien diminta membaca dan melakukan perintah “Angkatlah tangan kiri anda” 1 Pasien diminta menulis sebuah kalimat (spontan)
Dikutip dari Folstein3
157
1
Nilai
158
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Tabel 2. Interpretasi Mini Mental State Examination (MMSE) Skor 24-30 18-23 0-17
Interpretasi Tidak ada gangguan kognitif Gangguan kognitif ringan Gangguan kognitif berat
Dikutip dari Folstein3
penelitian adalah pasien dengan tumor otak yang menjalani kraniotomi tumor otak, adapun kriteria inklusi adalah pasien dengan status fisik ASA I− II, usia 17−40 tahun, pendidikan minimal SMP atau sederajat, dan waktu pembedahan <7jam. Kriteria eksklusi adalah pasien dengan riwayat alergi terhadap obat-obatan yang digunakan pada penelitian ini, indeks masa tubuh (body mass index/BMI) >25, kehamilan, riwayat stroke, gangguan penglihatan, dan penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan lain yang berpengaruh pada saraf pusat dan pasien yang tidak fasih berbahasa Indonesia. Kriteria pengeluaran adalah pasien yang mengalami perubahan tekanan darah >20% dibanding dengan awal selama tindakan pembedahan. Pasien yang masuk ke dalam kriteria inklusi dan tidak termasuk kriteria eksklusi dilakukan informed consent mengenai penelitian yang dilaksanakan. Dilakukan pencatatan data pasien mencakup usia, jenis kelamin, BMI, tekanan darah, laju nadi, hemoglobin dan pemeriksaan fungsi kognitif awal. Induksi anestesi dilakukan menggunakan fentanil 3 mcg/kgBB, propofol 2 mg/kgBB dan rokuronium 0,6 mg/kgBB. Rumatan anestesi dengan menggunakan anestetika inhalasi sevofluran 1−2vol% atau isofluran 0,8−1,2 vol% dan propofol kontinu 50−100mcg/kgBB/menit. Saat pembedahan dilakukan pencatatan anestetik inhalasi yang digunakan, tekanan darah dan laju nadi setiap 15 menit serta jumlah perdarahan. Saat pascabedah, pasien ditunggu hingga kesadarannya pulih. Pasien yang mengalami perubahan tekanan darah sistol dan diastol >20% dibandingkan dengan nilai awal dikeluarkan. Pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan MMSE dilakukan pada saat prainduksi dan 6 jam, 12 jam, 18 jam, 24 jam, 48
jam, 72 jam, 96 jam dan 120 jam pascabedah. Cara pemeriksaan MMSE dapat dilihat pada Tabel 1 dan interpretasi hasil MMSE dapat dilihat pada Tabel 2.3 Analisis data penelitian adalah analisis deskriptif. Data yang berskala kategorik seperti kategori status fisik dan pendidikan pasien dipresentasikan sebagai distribusi frekuensi dan persentase. Data yang berskala numerik seperti usia pasien dipresentasikan sebagai rata-rata, standar deviasi. Analisis statistik diawali dengan melakukan uji karakteristik kedua kelompok apakah homogen sehingga layak untuk dibandingkan atau tidak. Setelah kedua kelompok tersebut telah diuji dengan uji statistik Chi kuadrat untuk data kategorik, serta alternatif Uji Exact Fisher dan Kolmogorov Smirnov apabila asumsi Chi kuadrat tidak terpenuhi, kemudian dilakukan uji normalitas pada data numerik. Uji statistik untuk membandingkan median antara kelompok anestesi inhalasi sevofluran dan isofluran menggunakan mini mental state examination (MMSE) adalah dengan menggunakan uji t tidak berpasangan apabila data berdistribusi normal, dan alternatif Uji Mann Whitney bila data tidak berdistribusi normal. Uji statistik untuk mencari hubungan antara data kategorik dengan kategorik dengan menggunakan statistik Chi kuadrat dengan alternatif Uji Exact Fisher dan Kolmogorov Smirnov apabila asumsi statistik Chi kuadrat tidak terpenuhi. Data yang diperoleh kemudian diolah melalui program statistical product and service solution (SPSS) versi 2.0 for Windows. III. Hasil Karakteristik usia, jenis kelamin, body mass index (BMI), tekanan darah sistol, tekanan darah diastol, laju nadi, hemoglobin antara kedua kelompok tidak terdapat perbedaan bermakna (p>0,05; Tabel 1). MMSE pascabedah kelompok sevofluran lebih tinggi dibanding dengan isofluran. Terdapat perbedaan yang signifikan pada MMSE pascabedah pada 6, 12, 18, 24, 48 dan 72 jam pascabedah antara kelompok anestesi inhalasi sevofluran dan isofluran (p<0,05; Tabel 2). Pada kelompok sevofluran, fungsi kognitif pada 48 dan 72 jam pascabedah sama dengan prabedah dan pada 96 dan 120 jam pascabedah lebih baik dibanding
Perbandingan antara Sevofluran dan Isofluran terhadap Gangguan Fungsi Kognitif Pascabedah Tumor Otak menggunakan Mini Mental State Examination (MMSE)
159
Tabel 1. Karakteristik Umum Subjek Penelitian pada Kedua Kelompok Karakteristik Umum
Kelompok Sevofluran Kelompok Isofluran Nilai p (n=22) (n=22)
Usia (tahun) Jenis kelamin Pria Wanita Body mass index (kg/m2) Tekanan darah sistol (mmHg) Tekanan darah diastol (mmHg) Laju nadi (x/menit
41,77(9,12)
39,05(10,67)
8 (36,4%) 14 (63,6%) 23,32(1,43) 118,04±7,364 72,045±6,813 84,227±5,511
11 (50,0%) 11 (50,0%) 23,10(1,37) 117,54±6,314 71,136±6,541 83,863±6,018
0,564a 0,810a) 0,760a) 0,835a)
Hemoglobin (Hb) (g/dL)
12,118±0,557
12,007±0,582
0,813a)
0,369a) 0,272b)
Keterangan: Nilai p dihitung berdasarkan uji: a) t tidak berpasangan (independen), b) Chi kuadrat perbedaan bermakna jika p<0,05
Tabel 2. Perbandingan Median MMSE Awal dan Pascabedah antara Kedua Kelompok MMSE
Kelompok Sevofluran Kelompok Isofluran (n=22 (n=22)
Nilai p
Awal 6 jam pascabedah
24 16
25 12
0,407 0,002*
12 jam pascabedah 18 jam pascabedah 24 jam pascabedah 48 jam pascabedah 72 jam pascabedah 96 jam pascabedah 120 jam pascabedah
18 19 22 24 24 25 25
14 14 16 16 20 23 24
0,002* 0,0001* 0,0001* 0,002* 0,001* 0,053 0,143
Keterangan: Nilai p dihitung berdasarkan Uji Mann Whitney, perbedaan bermakna jika p<0,05
dengan prabedah sedangkan pada kelompok isofluran, fungsi kognitif pada 120 jam pascabedah belum kembali kenilai prabedah (Tabel 2). Pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan bermakna pada jumlah perdarahan, lama anestesi, dan parameter tekanan darah pascabedah antara kedua kelompok (p>0,05; Tabel 3). IV. Pembahasan Gangguan fungsi kognitif yang disebabkan oleh anestetik inhalasi sevofluran lebih sedikit dibanding dengan isofluran (Tabel 2). Pada
kelompok anestetik inhalasi sevofluran, gangguan fungsi kognitif berat terjadi hanya pada 6 jam pascabedah dibanding dengan 6−48 jam pascabedah pada kelompok isofluran. Pada kelompok isofluran, pada 96 jam pascabedah subjek penelitian masih mengalami gangguan fungsi kognitif ringan dibanding dengan 24 jam pascabedah pada kelompok sevofluran. Fungsi kognitif 48 jam pascabedah pada kelompok sevofluran sudah kembali kenilai awal dan bahkan 96 jam pascabedah, fungsi kognitif menjadi lebih baik dibanding dengan prabedah. Pada kelompok isofluran, gangguan fungsi
160
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Tabel 3. Perbandingan Lama Anestesi, Jumlah Perdarahan, dan Tekanan Darah antara Kedua Kelompok Variabel
Lama anestesi (jam) Jumlah perdarahan (mL) Tekanan darah sistol (mmHg) Tekanan darah diastol (mmHg)
Kelompok Sevofluran (n=22) 5,09(1,69) 1140,90 (607,61) 117,09(8,84) 68,32(3,72)
Kelompok Isofluran (n=22) 6,42(2,75) 1154,54 (657,35) 116,95(7,49) 68,27(4.16)
Nilai p
0,061 0,098 0,956 0,970
Keterangan: Nilai p dihitung berdasarkan uji t tidak berpasangan, perbedaan bermakna jika p<0,05
kognitif yang terjadi lebih berat dibanding dengan dengan sevofluran. Pada penilaian terakhir yaitu 120 jam pascabedah, fungsi kognitif pada kelompok isofluran belum kembali ke nilai awal. Anestetik inhalasi sevofluran mempunyai beberapa efek yang lebih unggul dibanding dengan isofluran. Koefisien partisi darah/gas sevofluran lebih rendah dibanding dengan isofluran sehingga waktu induksi dan pemulihan lebih cepat. Sevofluran menyebabkan peningkatan aliran darah otak dan tekanan intrakranial yang lebih kecil dibanding dengan dengan isofluran. Pada dosis yang sama, sevofluran lebih sedikit menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah otak dan gangguan autoregulasi. Sevofluran juga mempunyai efek antinekrotik dan antiapoptotik sedangkan isofluran tidak mempunyai efek antiapoptotik. Efek inflamasi yang disebabkan oleh isofluran lebih tinggi dibanding dengan sevofluran sehingga peningkatan sitokin proinflamasi pada kelompok isofluran lebih tinggi dibanding dengan sevofluran. Secara keseluruhan, anestetik inhalasi isofluran menyebabkan gangguan fungsi kognitif yang lebih berat dibanding dengan sevofluran.5,7-11 Penelitian ini menunjukkan bahwa pemulihan fungsi kognitif lebih cepat pada kelompok anestetik sevofluran dibanding dengan isofluran. Pada 72 pascabedah, MMSE pasien pada kelompok sevofluran sama dengan MMSE awal dan pada 96 jam pascabedah MMSE lebih tinggi dibanding dengan MMSE awal. Hal ini berarti fungsi kognitif pada pasien pada kelompok sevofluran meningkat pascabedah sedangkan hal ini tidak ditemukan pada kelompok isofluran
(Tabel 2). Hingga 120 jam pascabedah, fungsi kognitif pada kelompok isofluran belum kembali ke nilai prabedah. Sebuah penelitian membandingkan pengaruh tiga jenis anestesi yaitu propofol, isofluran dan sevofluran terhadap gangguan kognitif pascabedah pada pasien ASA I yang menjalani disektomi lumbar. Pemulihan fungsi kognitif pada kelompok yang menggunakan propofol kontinu sebagai rumatan tidak berbeda dengan kelompok dengan anestesi inhalasi sevofluran sebagai rumatan. Sedangkan pemulihan fungsi kognitif pada kelompok anestesi inhalasi sevofluran lebih cepat dibanding dengan kelompok isofluran dengan perbedaan yang signifikan.12 Sebuah penelitian sebelumnya melibatkan pasien dengan tumor supratentorial yang menjalani kraniotomi tumor otak dan membandingkan anestesi total intravenous anaesthesia (TIVA) menggunakan kombinasi propofol dan remifentanil dengan anestesi menggunakan kombinasi fentanil dan sevofluran. Peneliti menunjukkan bahwa waktu emergence dan waktu ekstubasi serupa pada kedua kelompok. Tidak ada perbedaan yang signifikan pada fungsi kognitif pada menit ke-15 dan 45 pascaekstubasi antara kedua kelompok penelitian.13 Sebuah penelitian menunjukkan bahwa anestetik inhalasi dapat menyebabkan gangguan daya ingat. Penilaian dilakukan setelah tikus berusia 7 hari terpapar anestesi inhalasi sevofluran atau isofluran dengan dosis masing-masing 1 MAC selama 4 jam. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa sevofluran dan isofluran menyebabkan gangguan daya ingat jangka panjang namun hanya
Perbandingan antara Sevofluran dan Isofluran terhadap Gangguan Fungsi Kognitif Pascabedah Tumor Otak menggunakan Mini Mental State Examination (MMSE)
isofluran yang menyebabkan gangguan daya ingat jangka pendek. Hal ini menunjukkan bahwa efek neurotoksik sevofluran tidak sama dengan isofluran. Walaupun subjek pada penelitian ini bukan manusia, namun efek anestetik inhalasi terhadap sistem saraf mungkin serupa. Anestetik inhalasi isofluran menyebabkan gangguan daya ingat jangka pendek pada pasien sehingga secara keseluruhan menyebabkan gangguan fungsi kognitif pascabedah lebih berat dibanding dengan sevofluran.14 Gangguan daya ingat yang disebabkan oleh anestetik inhalasi berkaitan dengan proses neuroinflamasi. Penelitian menunjukkan bahwa daya ingat melibatkan hipokampus dan paparan terhadap isofluran menyebabkan peningkatan kadar IL-1β pada bagian otak tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa paparan terhadap anestetika menyebabkan peningkatan sitokin neuroinflamasi yaitu IL-6, TNF-α, IL-10 dan protein S100. Namun, dosis dan jangka waktu paparan terhadap anestetik inhalasi yang dapat menyebabkan gangguan tersebut pada manusia masih belum diketahui. Penelitian ini menunjukkan bahwa pada kelompok sevofluran, MMSE 96 dan 120 jam pascabedah lebih baik dibanding dengan awal maka proses neuroinflamasi yang disebabkan oleh sevofluran tersebut mungkin bersifat reversible.15,16 Sebuah penelitian menunjukkan bahwa gangguan kognitif awal dan adanya infark serebal dapat mempengaruhi fungsi kognitif pascabedah. Konsep brain reserve mungkin dapat menjelaskan dampak tindakan pembedahan dan anestesi terhadap fungsi kognitif pascabedah. Faktor yang berperan sebagai brain reserve berupa pendidikan, tingkat kecerdasan, ukuran otak, lesi substantia alba. Pasien dengan resiko vaskular prebedah juga mungkin lebih rentan terhadap POCD. Selain efek langsung dari anestetik inhalasi isofluran terhadap susunan saraf pusat, faktor brain reserve mungkin mempunyai peran dalam menentukan fungsi kognitif pascabedah pasien dalam penelitian ini.17 V. Simpulan Pengaruh anestetik inhalasi sevofluran terhadap gangguan fungsi kognitif pascabedah lebih
161
rendah dibanding dengan anestetik inhalasi isofluran bagi pasien dengan tumor otak yang menjalani kraniotomi tumor otak. Penelitian ini secara praktik menyarankan penggunaan anestetik inhalasi sevofluran bagi pasien dengan tumor otak yang akan menjalani kraniotomi tumor otak sehingga gangguan fungsi kognitif pascabedah dapat diminimalisasi. Daftar Pustaka 1. Grape S, Ravussin P, Rossi A, Kern C, Steiner LA. Postoperative cognitive dysfunction. Trends in Anaesthesia and Critical Care. 2012;2(3):98−103. 2. Hudetz JA, Gandhi SD, Iqbal Z, Patterson KM, Pagel PS. Elevated postoperative inflammatory biomarkers are associated with short and medium-term cognitive dysfunction after coronary artery surgery. J Anesth. 2011;25(1):1−9. 3. Folstein MF, Folstein SE. ‘Mini-mental state’. A practical method for grading the cognitive state of patients for the clinician. J Psychiat Res. 1975;12:189−98. 4. Tucha O, Smely C, Preier M, Becker G, Paul GM, Lange KW. Preoperative and postoperative cognitive functioning in patients with frontal meningiomas. J Neurosurg. 2003;98(1):21−31. 5. Sakabe T, Matsumoto M. Effects of anesthetic agents and other drugs on cerebral blood flow, metabolism and intracranial pressure. Dalam: Cottrell JE, Young WL. Cottrell and Young's Neuroanesthesia. Edisi ke-5. Amerika Serikat: Mosby/Elsevier; 2010, 87−103. 6. Chiao S, Zuo Z. A double-edged sword: volatile anesthetic effects on the neonatal brain. Brain Sci. 2014;4(2):273−94. 7. Tong L, Cai M, Huang Y, Zhang H, Su B, Li Z, et al. Activation of K(2)P channel-TREK1 mediates the neuroprotection induced by
162
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
sevoflurane preconditioning. Br J Anaesth. 2014;113(1):157−67. 8. Holmstrom A, Akeson J. Sevoflurane induces less cerebral vasodilation than isoflurane at the same A-line autoregressive index level. Acta anaesthesiol Scand. 2005;49(1):16−22. 9. Zhang Y, Dong Y, Wu X, Lu Y, Xu Z, Knapp A, et al. The mitochondrial pathway of anesthetic isoflurane-induced apoptosis. J Biol Chem. 2010;285(6):4025−37. 10. Tong L, Cai M, Huang Y, Zhang H, Su B, Li Z, dkk. Activation of K(2)P channel-TREK1 mediates the neuroprotection induced by sevoflurane preconditioning. Br J Anaesth. 2014;113(1):157−67. 11. Dinsmore J. Anaesthesia for elective neurosurgery. Br JAnaesth. 2007;99(1):68−74. 12. Hadzimesic M, Imamovic S, Uljic V, Hodzic M, Iljazic-Halilovic F, Hodzic R Cognitive function recovery rate in
early postoperative period: comparison of propofol, sevoflurane and isoflurane anesthesia. J of Health Sci. 2013;3(1):48−54. 13. Magni G, Baisi F, La Rosa I, Imperiale C, Fabbrini V, Pennacchiotti ML, dkk. No difference in emergence time and early cognitive function between s e v o f l u r a n e fentanyl and propofol-remifentanil in patients undergoing craniotomy for supratentorial intracranial surgery. J Neurosurg Anesthesiol. 2005;17(3):134−8. 14. Ramage TM, Chang FL, Shih J, Alvi RS, Quitoriano GR, Rau V, dkk. Distinct long-term neurocognitive outcomes after equipotent sevoflurane or isoflurane anaesthesia in immature rats. Br J Anaesth. 2013;110 Suppl 1:i39−46. 15. Lin D, Zuo Z. Isoflurane induces hippocampal cell injury and cognitive i m p a i r m e n t s in adult rats. Neuropharmacology. 2011;61(8):1354−9.
Efek perbedaan Volume Tidal Ventilasi Mekanik Selama Operasi terhadap Rasio PaO2/ FiO2 Pascakraniotomi Elektif *)
Dita Aditianingsih*), Rudyanto Sedono*), Yoshua Baktiar*) Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia
Abstrak Latar Belakang: Kraniotomi elektif memiliki insidens komplikasi paru pascaoperasi (25%) dan mortalitas (10%) yang tinggi; insiden ini lebih rendah pada pemakaian volume tidal rendah sebagai teknik proteksi paru. Penelitian ini meneliti efek volume tidal 6 mL/kg dan 10 mL/kg terhadap rasio PaO2/FiO2(sebagai parameter keparahan cedera paru) pascaoperasi pada kraniotomi elektif. Subjek dan Metode: Setelah mendapat izin Komite Etik FKUI/Rumah Sakit Cipto Mangukusumo dan konsen pasien, dilakukan uji klinis acak pada 52 pasien kraniotomi elektif yang dirandomisasi ke dalam 2 kelompok: ventilasi mekanik selama operasi dengan volume tidal 6 mL/kg (VT–6) atau 10 mL/kg (VT–10), lalu dilakukan analisis gas darah. Hasil: Rasio PaO2/FiO2 kelompok VT-6 dan VT–10 secara berurutan: pada 1 jam pascainduksi 413,7 ± 113,4 mmHg dan 401,5 ± 106,3 mmHg (p>0.05); pada akhir operasi, 466,6 ± 94,6 mmHg dan 471,1 ± 89,0 mmHg (p>0.05), pada 24 jam pascainduksi, 418,8 ± 108,8 mmHg dan 448,5 ± 119,6 mmHg (p>0.05); pada 48 jam pascainduksi, 414,9 ± 88,1 mmHg dan 402,5 ± 100,7 mmHg (p>0.05 ). Tidak ada perbedaan signifikan insiden mortalitas dan komplikasi paru dan ekstraparu diantara dua kelompok. Simpulan: Tidak ada perbedaan signifikan antara volume tidal 6 ml/kg dan 10 ml/kg terhadap ratio PaO2/FiO2 pada pasien kraniotomi elektif. Kata kunci: volume tidal, rasio PaO2/FiO2, kraniotomi elektif, komplikasi paru pascaoperasi, neuroanestesia JNI 2016;5(3): 163–62
The Effect of Different Tidal Volume against Postoperative PaO2/FiO2 Ratio in Elective Craniotomy Patients
Abstract
Background: Elective craniotomy is associated with a high incidence of postoperative pulmonary complications/ PPC (25%) and mortality (10%); in which these incidence went down with the administration of low tidal volume. This study investigated the effect of low tidal volume in intraoperative PaO2/FiO2 ratio in elective craniotomy patients. Subject and Methods: After approval from Ethics Committee Faculty of Medicine Universitas Indonesia, Ciptomangunkusumo Hospital and consent from patients,a randomized controlled trialwas done to 52 elective craniotomy patients. Subjects were ventilated with tidal volume 6 mL/kg (VT–6) or 10 mL/kg (VT–10) intraoperatively, then blood gas analyses wereperformed. Results: PaO2/FiO2 ratio of VT–6 and VT–10 respectively: at 1 hour postinduction, 413.7 ± 113.4 mmHg and 401.5 ± 106.3 mmHg (p>0.05); at end of surgery, 466.6 ± 94.6 mmHg and 471.1 ± 89.0 mmHg (p>0.05); at 24 hours postinduction, 418.8 ± 108.8 and 448.5± 119.6 mmHg (p>0.05); at 48 hours postinduction, 414.9 ± 88.1 mmHg and 402.5 ± 100.7 mmHg (p>0.05). There were no significant differences on mortality, lung and extralung complications observed between both groups Conclusions: There were no significant difference between tidal volume 6 ml/kg and 10 ml/kg against intraoperative PaO2/FiO2 ratio in elective craniotomy patients. Key words: tidal volume; PaO2/FiO2 ratio, lective craniotomy, postoperative pulmonary complications, neuroanesthesia JNI 2016;5(3): 163–62
163
164
I.
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Pendahuluan
Optimalisasi ventilasi mekanik perioperatif merupakan intervensi klinis yang sangat penting karena volume tidal yang diberikan menentukan efek dan komplikasi yang dapat terjadi. Volume tidal atau tekanan yang terlalu besar dapat menyebabkan hiperventilasi, barotrauma dan ketidakstabilan hemodinamik. Sebaliknya, volume tidal atau tekanan yang terlalu rendah dapat menyebabkan kolaps alveolus paru, meningkatkan shunt pulmoner dan mengganggu proses oksigenisasi.1 Komplikasi paru pascaoperasi (KPP) merupakan masalah pascaoperasi yang cukup sering ditemukan dengan insidens 2–40% tergantung pada tipe operasi yang dijalani dan berkaitan dengan peningkatan morbiditas, mortalitas, lama perawatan, dan biaya perawatan. Pasien yang menjalani kraniotomi elektif merupakan salah satu populasi pasien yang memiliki risiko KPP yang tinggi dengan insidens sebesar 25% dan tingkat mortalitas sekitar 10%. Hal ini menyebabkan pentingnya manajemen ventilasi mekanik pada pasien kraniotomi elektif.2 Banyak faktor berperan dalam terjadinya komplikasi paru pascaoperasi seperti kondisi pasien sebelum bedah, tipe pembedahan, teknik anestesia dan teknik ventilasi mekanik perioperatif yang digunakan. Komponen dalam ventilasi mekanik yang berpengaruh adalah besarnya volume tidal, pemakaian positive end-expiratory pressure (PEEP) dan manuver rekrutmen.3
Ventilasi mekanik dengan strategi proteksi paru diketahui menurunkan komplikasi paru pascaoperasi dibandingkan teknik konvensional. Strategi proteksi paru ini terdiri dari penggunaan volume tidal kecil (6–8 mL/kg), aplikasi PEEP moderat dan manuver rekrutmen. Penelitian Futier dkk4 pasien bedah abdominal mayor menunjukkan bahwa penggunaan strategi proteksi paru dapat menurunkan komplikasi paru pascaoperasi dari 27,5% menjadi 10,5% dibandingkan teknik ventilasi konvensional (volume tidal 12 mL/kg tanpa PEEP). Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Severgnini dkk.5 Sementara penelitian mengenai efek positif teknik proteksi paru dilakukan dengan melakukan ketiga manuver (volume tidal kecil, PEEP moderat, dan manuver rekrutmen), beberapa studi menunjukkan kecenderungan dokter anestesiologi untuk memakai volume tidal yang lebih kecil pada hampir seluruh jenis operasi dan dengan pemakaian PEEP rendah.6,7 Sementara kombinasi volume tidal kecil dan PEEP moderat diketahui dapat meningkatkan oksigenasi dan mencegah atelektasis, pemakaian volume tidal kecil pada PEEP rendah atau tanpa PEEP dapat menyebabkan atelektasis progresif dan hipoksemia.8 Selain itu, sebuah penelitian di Amerika Serikat menunjukkan adanya hubungan antara pemakaian volume tidal kecil dan mortalitas dalam 30 hari pertama.9 Di sisi lain, penggunaan volume tidal yang besar (10–12 mL/kg) dapat menyebabkan hiperinflasi alveolus atau volum trauma, berkaitan dengan pelepasan
Gambar 1. Diagram Alur CONSORT
Efek perbedaan Volume Tidal Ventilasi Mekanik selama Operasi terhadap Rasio PaO2/FiO2 Pascakraniotomi Elektif
mediator inflamasi sistemik dan cedera paru. Penelitian ini dilakukan pada populasi pasien bedah saraf yang menjalani kraniotomi dengan beberapa pertimbangan. Pertama, populasi ini memiliki risiko tinggi komplikasi paru pascaoperasi dan mortalitas. Kedua, paparan ventilasi mekanik yang relatif lama karena durasi pembedahan yang relatif lebih lama dibanding pembedahan lainnya. Ketiga, terdapat manajemen khusus ventilasi mekanik dengan tujuan menjaga perfusi otak dan tekanan intrakranial dengan mencegah hipoksemia, mengontrol PaCO2 dan pemakaian PEEP yang relatif rendah (5 cmH2O).10,11 Keempat, sejauh ini tidak ada uji klinis acak yang membandingkan efek perbedaan volume tidal pada populasi bedah saraf. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek perbedaan ventilasi mekanik perioperatif volume tidal 6 mL/kg dan 10 mL/kg terhadap rasio PaO2/ FiO2 pascaoperasi pada pasien yang menjalani kraniotomi elektif. Karena pemakaian volume tidal kecil dapat mencegah terjadinya hiperinflasi alveolus, pelepasan mediator inflamasi dan cedera paru yang disebabkan pemakaian volume tidal besar, oksigenasi pada volume tidal kecil diharapkan lebih baik yang terlihat dari rasio PaO2/FiO2 pascaoperasi yang lebih tinggi. II. Subjek dan Metode Penelitian ini adalah uji klinis acak tersamar tunggal yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Cipto Mangunkusumo pada Oktober 2014–Maret 2015 setelah mendapatkan persetujuan dari Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Alur rekrutmen subjek ditampilkan pada Gambar 1. Kriteria inklusi penelitian ini adalah pasien kraniotomi elektif dengan usia 18–60 tahun, durasi bedah diperkirakan >4 jam, paru normal, dan bersedia ikut serta dalam penelitian. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah gagal jantung kongestif, kehamilan, Indeks Massa Tubuh (IMT) >35, penyakit neuromuskular progresif, sepsis, syok sepsis, riwayat ventilasi mekanik dalam 2 minggu sebelumnya. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak dieksklusi diikutsertakan dalam penelitian ini dan dialokasikan secara acak ke dalam 2 kelompok
165
perlakuan: volume tidal 6 mL/kg (VT–6) dan volume tidal 10 mL/kg (VT–10). Randomisasi dilakukan menggunakan aplikasi lunak oleh pihak ketiga, disamarkan dalam amplop hitam yang boleh dibuka sesaat sebelum induksi. Pasien masuk kamar operasi dan dilakukan monitor rutin anestesia elektrokardiografi (EKG) 5 lead, SpO2, Non-Invasive Blood Pressure (NIBP). Induksi anestesia dilakukan dengan midazolam 1–2 mg i.v., fentanyl 3-4 mcg/kg BB, propofol 1–2 mg/kg BB, dan vecuronium 0.1 mg/kg BB. Intubasi endotrakeal dengan ETT non kinking ukuran 7.5 mm. Posisi ETT dikonfirmasi dengan auskultasi paru dan ETCO2. Selanjutnya, pasien dipasang selang nasogastrik dan kateter urin. Pengaturan ventilator mesin anestesia dilakukan sesuai kelompok perlakuan. Kelompok VT-6 akan mendapat volume tidal 6 mL/kg dan kelompok VT-10 mendapat volume tidal 10 mL/kg. Berat badan yang digunakan dalam perhitungan volume tidal adalah ideal body weight (IBW) yang dihitung berdasarkan rumus: IBW dalam kg = (tinggi badan dalam cm – 152,4) x 0,91 + 50 untuk laki-laki IBW dalam kg = (tinggi badan dalam cm – 152,4) x 0,91 + 45,5 untuk perempuan. Pengaturan ventilator yang lainnya dilakukan sama pada kedua kelompok. Pasien mendapat ventilasi mekanik dengan mode ventilasi volumecontrolled (VC), frekuensi napas disesuaikan untuk mencapai target ETCO2 27–30 mmHg atau PaCO2 30–35 mmHg, PEEP 5 cmH2O, rasio I:E 1:2, aliran gas segar 1–2 L/menit dengan campuran oksigen dan compressed air dan fraksi oksigen 30–50%. Tekanan inspirasi puncak Peak Inspirational Pressure (PIP) dibatasi maksimal 30 cmH2O; apabila didapatkan PIP >30 cmH2O pasien dikeluarkan dari penelitian. Mesin anestesia yang digunakan adalah Datex-Ohmeda S5/Avance atau Datex-Ohmeda Aestiva/5, Madison, WI, USA. Rumatan anestesia dilakukan dengan isoflurane <1 MAC, fentanyl 1–3 mcg/kg/ jam i.v. kontinyu dan vecuronium 0,06–0,08 mg/ kg/jam i.v. kontinu. Kateter vena sentral (CVC) 3 lumen ukuran 7 Fr. dipasang pada v. subklavia kanan dan arterial line dipasang pada a. radialis kiri. Akses arterial ini digunakan sebagai akses pengambilan sampel pemeriksaan analisis
166
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
untuk mengetahui insidens komplikasi paru pascaoperasi (atelektasis, pneumonia, ARDS, gagal napas) dan komplikasi ekstraparu (SIRS, sepsis, sepsis berat). Mortalitas pada hari ke28 diketahui melalui catatan rekam medik.
numerik. Data kategorik disajikan dalam bentuk n (%) dan diuji menggunakan uji Chi square atau uji Fischer. Seluruh uji adalah uji 2 arah dan dianggap bermakna apabila nilai p<0,05.
Tabel 1. Karakteristik Dasar Pasien Karakteristik VT-6(n = 26) VT-10(n = 26) Umur (tahun) 43,2 ± 9,6 36,5 ± 13,0 Jenis kelamin – n (%) Laki-laki 7 (26,9%) 7 (26,9%) Perempuan 19 (73,1%) 19 (73,1%) Tinggi badan (cm) 157,5 (142,0 - 155,0 (144,0 - 180,0) 170,0) Berat badan (kg) 65,0 ± 11,2 65,0 ± 12,2 Indeks massa tubuh (kg/m2) 26,5 (17,1 - 32,4) 25,2 (21,3 - 35,9) Kondisi perancu – n (%) Merokok 0 1 (3,8%) Konsumsi alkohol 0 0 Ketergantungan fungsional 0 2 (7,6%) Penurunan berat badan >10% 2 (7,6%) 1 (3,8%) Tipe pembedahan – n (%) Tumor 23 (88,4%) 25 (96,2%) Vaskular 3 (11,6%) 1 (3,8%) Lain-lain 0 0 Status Fisik – n (%) ASA-1 0 1 (3,8%) ASA-2 23 (88,6%) 23 (88,6%) ASA-3 3 (11,4%) 2 (7,6%) Data numerik dengan sebaran normal disajikan dalam bentuk rerata ± simpang baku, sedangkan data numerik dengan sebaran tidak normal disajikan dalam bentuk median (nilai minimum – nilai maksimum); data kategorik disajikan dalam bentuk n (%).
Perhitungan besar sampel untuk mendapatkan power 80% dengan nilai α (kesalahan tipe I) sebesar 5%, uji dua arah dan perbedaan klinis yang dianggap bermakna sebesar 75 mmHg dibutuhkan sampel sejumlah 52 pasien atau 26 pasien per kelompok.16 Analisis statistik dilakukan menggunakan piranti lunak SPSS versi 20. Data numerik disajikan dalam bentuk rerata ± simpang baku bila sebaran data normal atau dalam bentuk median (nilai minimum – nilai maksimum) bila sebaran data tidak normal. Uji t tidak berpasangan atau uji Mann-Whitney digunakan untuk membandingkan 2 variabel
III. Hasil Karakteristik dasar kedua kelompok serupa (Tabel 1). Sebagian besar pasien memiliki diagnosis tumor otak dan status fisik ASA-2. Data intraoperatif tidak berbeda di antara kedua kelompok (Tabel 2). Data penelitian berkaitan dengan pengaturan ventilasi mekanik dan analisis gas darah tercantum dalam tabel 3. Frekuensi napas yang dibutuhkan untuk mencapai target PaCO2 30-35mmHg lebih tinggi secara signifikan pada kelompok VT-6 dibandingkan VT-10 (p<0,05). Peak inspiratory pressure (PIP)
Efek Perbedaan Volume Tidal Ventilasi Mekanik Selama Operasi Terhadap Rasio Pao2/Fio2 Pascaoperasi Kraniotomi Elektif
167
Tabel 2. Data Intraoperatif Karakteristik Balans (mL)
cairan
VT-6 (n = 26)
VT-10 (n = 26) Nilai p
intraoperatif 600 (-2400 – 1777)
700(–1228 – 2962)
0,13
Volume cairan intraoperatif Kristaloid (mL)
2500 (1000 – 10000)
2500 (1000 – 6500)
0,88
Koloid (mL)
0 (0 – 1500)
0 (0 - 2500)
0,66
PRC (mL)
0 (0 – 1078,0)
0(0 – 627,0)
0,63
FFP (mL)
0 (0 – 443,0)
0 (0 – 545,0)
0,18
Transfusi intraoperatif
TC (mL)0
0
0
Urine (mL)
1350(200 – 9200)
Durasi pembedahan (menit)
362,5(225,0 – 840,0) 390,0(240,0 – 780,0)
0,95
Durasi anestesia (menit)
450,0 915,0)
0,89
(315,0
1205(100 – 6400)
– 480,0 (240,0 – 480,0)
0,29
Penggunaan vasopresor – n (%) 0
2 (7,7%)
Perdarahan (mL)
550 (200 – 5000) 0,60
600 (200 – 2600)
0,49
Kejadian desaturasi intraoperasi yang memerlukan intervensi FiO2>0.5 – n (%)
0
0
–
PEEP >5 cmH2O – n (%)
0
0
–
Manuver rekrutmen – n (%)
0
0
–
Data numerik dengan sebaran tidak normal disajikan dalam bentuk median (min-maks) dan diuji menggunakan uji Mann-Whitney; data kategorik disajikan dalam bentuk n (%) dan diuji menggunakan uji Chi-square atau uji Fischer. Nilai p signifikan bila p<0,05.
didapatkan lebih rendah secara signifikan pada VT-6 dibandingkan VT-10 (p<0,05). Pada tabel 5, tidak ada perbedaan signifikan terhadap komplikasi paru dan extraparu pada kedua grup. Tidak ditemukan mortalitas dalam 28 hari pertama, atau komplikasi paru/ekstra paru lain pada penelitian ini.Hasil menunjukkan bahwa pada pasien yang menjalani kraniotomi elektif nilai rasio PaO2/FiO2kelompok volume tidal 6 mL/ kg (VT-6) pada 1 jam pascainduksi, akhir operasi, 24 jam pascainduksi dan 48 jam pascainduksi tidak lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok volume tidal 10 mL/kg (VT-10). Selain itu, penelitian ini juga tidak menemukan perbedaan bermakna insidens komplikasi paru (pneumonia, Acute Respiratory Dystress Syndrome (ARDS), atelektasis dan gagal napas) dan komplikasi
ekstraparu (Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), sepsis dan sepsis berat) pada 7 hari pertama pascaoperasi dan mortalitas pada hari ke-28 di antara kedua kelompok. III. Pembahasan Penelitian ini didesain untuk mengetahui efek penggunaan volume tidal yang lebih kecil (6 mL/kg) terhadap rasio PaO2/FiO2 pascaoperasi dan komplikasi paru pascaoperasi, dibandingkan volume tidal yang lebih besar (10 mL/kg), tanpa efek dari perbedaan PEEP maupun manuver rekrutmen seperti yang biasa digunakan dalam teknik proteksi paru. Hasil penelitian ini menunjukkan penggunaan volume tidal yang lebih kecil secara terpisah tidak menghasilkan
168
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Tabel 3. Data Analisis Gas Darah dan Pengaturan Ventilasi Mekanik Karakteristik Volume tidal (mL) 1 jam pascainduksi pO2 (mmHg) pCO2 (mmHg) SaO2 (%) PIP(cmH2O) Frekuensi napas (x/menit) Ventilasi semenit (L/ menit) FiO2 (%) Akhir operasi pO2 (mmHg) pCO2 (mmHg) SaO2 (%) PIP(cmH2O) Frekuensi napas (x/menit) Ventilasi semenit (L/ menit) FiO2 (%) 24 jam pascainduksi pO2 (mmHg) pCO2 (mmHg) SaO2 (%) FiO2 (%) 48 jam pascainduksi
VT-6 (n = 26) 302,0(216,0 – 400,0)
VT-10 (n = 26) 476,5(375,0 – 751,0)
Nilai p <0,01*
147,7 ± 48,5 35,5 ± 5,3 99,1(95,0 – 99,9) 18,8 ± 2,4 16(12 – 20) 4,8 ± 0,6
147,0 ± 35,9 33,6 ± 4,4 99,0(95,8 – 100,0) 21,4 ± 3,3 8(7 – 12) 4,5 ± 0,9
0,95 0,15 0,98 0,01** <0,01* 0,17
34 (24–60)
35 (30–58)
164,6 ± 37,8 35,6 ± 6,5 99,1(97,0 – 99,9) 18,2 ± 2,7 16(12–20) 4,7 ± 0,8
182,4 ± 44,2 35,3 ± 6,6 99,4 (97,1–100,0) 21,1 ± 3,1 8(7–12) 4,7 ± 0,8
35(27–54)
37(24–60)
0,08
158,0 ± 45,9 39,8 ± 6,9 99,0(95,9 – 99,9) 40(21–50)
169,6 ± 41,2 38,4 ± 6,8 99,4(94,9–100,0) 40(21–50)
0,34 0,46 0,60 0,81
pO2 (mmHg) pCO2 (mmHg) SaO2 (%)
111,1 ± 46,1 36,8 ± 5,4 96,8 ± 2,5
104,8 ± 32,6 39,0 ± 5,6 97,5 ± 1,7
0,77 0,08 0,16
FiO2 (%)
21(21–50)
21(21–50)
0,80
0,57 0,12 0,87 0,10 <0,01** <0,01* 0,93
**data numerik dengan sebaran normal disajikan dalam bentuk rerata ± simpang baku dan diuji menggunakan uji t tidak berpasangan.*data numerik dengan sebaran tidak normal disajikan dalam bentuk median (min-maks) dan diuji menggunakan uji Mann-Whitney. Nilai p signifikan bila p<0.05.
gas darah arteri selama penelitian. Desaturasi (SpO2<92%) selama operasi akan ditatalaksana dengan meningkatkan FiO2, melakukan manuver rekrutmen atau meningkatkan PEEP. Kejadian desaturasi dan tatalaksananya akan dicatat oleh peneliti. Apabila desaturasi tidak dapat dikoreksi kecuali dengan mengubah volume tidal, pasien akan dikeluarkan dari protokol penelitian. Cairan rumatan diberikan kristaloid isotonis balans 1 cc/kg/jam. Resusitasi cairan dilakukan
untuk mengganti jumlah perdarahan/hipovolemia dengan cairan koloid dengan rasio 1:1 atau cairan kristaloid balans dengan rasio 3:1. Jumlah cairan, jenis cairan, dan kebutuhan transfusi produk darah ditentukan oleh dokter anestesiologi yang bertugas sesuai dengan kondisi klinis pasien. Hipotensi akan ditatalaksana dengan resusitasi cairan, pemberian efedrine 5 mg i.v., fenilefrin 50–100 mcg i.v. atau pemberian vasopresor melalui kateter vena sentral.Suhu tubuh dipantau
Efek Perbedaan Volume Tidal Ventilasi Mekanik Selama Operasi Terhadap Rasio Pao2/Fio2 Pascaoperasi Kraniotomi Elektif
169
Tabel 4. Keluaran Primer Karakteristik
Rasio PaO2/FiO2 (mmHg) 1 jam pascainduksi Akhir operasi 24 jam pascainduksi 48 jam pascainduksi
VT-6 (n = 26)
413,7 ± 113,4 466,6 ± 94,6 418,8 ± 108,8 414,9 ± 88,1
VT-10 (n = 26)
401,5 ± 106,3 471,1 ± 89,0 448,5 ± 119,6 402,5 ± 100,7
Nilai p
0,69 0,86 0,35 0,63
Perbedaan rerata
12,2 –4,4 –29,7 12,4
IK 95%
Min
Maks
–49,0 –55,6 –93,4 –40,2
73,4 46,7 33,9 65,2
Data numerik dengan sebaran normal disajikan dalam bentuk rerata ± simpang baku dan diuji menggunakan uji T tidak berpasangan; nilai p signifikan bila p<0.05.
Tabel 5. Keluaran Sekunder Karakteristik
TV-6(N 26)
= TV-10 (N = 26)
Nilai p
Komplikasi paru pascaoperasi – n (%) Pneumonia Atelektasis
1 (3,8%)
2 (7,6%)
0
0
ARDS
0
0
Gagal napas
0
0
SIRS 2 (7,6%)
1 (3,8%)
2 (7,6%)
Sepsis
0
0
Sepsis berat
0
0
Mortalitas pada 28 hari pascaoperasi 0 – n (%)
0
1,00*
Komplikasi ekstraparu pascaoperasi – n (%) 1,00*
*Data diuji dengan uji T tidak berpasangan; nilai p signifikan bila p<0.05.
selama operasi dan normotermia dicapai dengan pemberian alas hangat/blower hangat. Pascaoperasi pasien diekstubasi di kamar operasi atau di ICU. Bila ekstubasi dilakukan di kamar operasi, pasien diekstubasi setelah pasien sadar penuh dan dapat mengikuti perintah verbal. Pasien yang tidak diekstubasi di kamar operasi akan ditranspor ke ruang ICU Dewasa atau HCU Bedah Saraf. Pengaturan ventilator di ICU akan dilanjutkan dengan mode ventilasi volume-controlled (VC) atau synchronized intermittent mandatory ventilation (SIMV-VC). Pasien disapih dan diekstubasi segera setelah ventilasi dan oksigenasi adekuat dan sadar penuh sesuai dengan pertimbangan dokter ICU. Keluaran primer penelitian ini adalah rasio
PaO2/FiO2 yang diukur pada 4 waktu: 1 jam pascainduksi anestesia, akhir operasi, 24 jam pascainduksi dan 48 jam pascainduksi. Nilai PaO2 diukur dengan analisis gas darah (AGD) arteri yang diperiksa menggunakan mesin StatProfile pHOx (Nova, MA, USA). Nilai FiO2 diukur menggunakan oksimeter pada mesin anestesia/ventilator atau berdasarkan tabel bila pasien sudah diekstubasi dan mendapatkan suplementasi oksigen menggunakan kanul nasal/ masker (lihat lampiran). Pemeriksaan x-ray toraks anteroposterior dilakukan rutin segera setelah operasi. Foto x-ray toraks ini dibaca oleh dokter spesialis radiologi dan temuan baru dalam foto pasien akan dicatat (atelektasis, infiltrat). Pasien diobservasi sampai hari ke-7 pascaoperasi
170
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
keluaran yang lebih baik. Penggunaan volume tidal yang besar (10–12 mL/kg) diketahui dapat menyebabkan regangan dan stress yang berlebih pada struktur mikroskeletal alveolus dan menyebabkan cedera paru, terutama pada paru yang sudah mengalami cedera sebelumnya/ ARDS.13 Namun, pasien dengan paru sehat, seperti dalam penelitian ini, memiliki ambang batas volume tidal yang lebih besar sebelum terjadi cedera pada paru. Gattinoni dkk14 memperkirakan pada paru yang sehat dibutuhkan setidaknya volume tidal 17 mL/kg untuk menyebabkan cedera paru, yang mungkin menjelaskan tidak adanya perbedaan rasio PaO2/FiO2 pascaoperasi di antara kedua kelompok dalam penelitian ini. Protokol ventilasi mekanik dalam penelitian ini mengharuskan subyek penelitian mendapatkan PEEP 5 cmH2O terlepas dari kelompok perlakuan. Penggunaan PEEP dapat mencegah kolapsnya alveolus/atelektasis pada akhir ekspirasi dan mengurangi jumlah alveolus yang mengalami siklus rekrutmen-derekrutmen.15
dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan harus dihindari. Penggunaan volume tidal kecil tanpa penyesuaian frekuensi napas dapat menyebabkan hipoventilasi dan hiperkarbia. Namun, pengaturan frekuensi napas yang dipandu pemantauan ETCO2 secara kontinu dan analisis gas darah secara berkala seperti dalam penelitian ini dapat mencegah terjadinya hiperkarbia walaupun digunakan volume tidal yang kecil. Pada penelitian ini tidak ditemukan pasien yang mengalami desaturasi/hipoksemia selama pembedahan dan tidak ada perbedaan PaO2 intraoperasi dan pascaoperasi di antara kelompok yang menggunakan volume tidal 6 mL/kg dan 10 mL/kg. Hipoksemia dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan harus dihindari pada operasi kraniotomi.10,11 Secara tradisional, penggunaan volume tidal kecil dapat menyebabkan hipoksemia intraoperatif karena adanya atelektasis progresif. Namun demikian, hal ini dapat dicegah dalam penelitian ini dengan penggunaan PEEP.14,18
Penggunaan PEEP yang sama di antara kedua kelompokbertujuan untuk menyingkirkanefek PEEP terhadap cedera paru. Efek volume tidal terhadap rasio PaO2/FiO2 dapat dipengaruhi oleh PEEP yang digunakan. Rasio PaO2/ FiO2 yang lebih tinggi dapat ditemukan pada penggunaan volume tidal kecil bila digunakan PEEP yang tinggi.5,12 Sebaliknya, rasio PaO2/ FiO2 ditemukan lebih rendah bila digunakan pada PEEP rendah atau tanpa PEEP.8,16 Selain itu, penggunaan PEEP yang sama pada semua subyek dipertimbangkan karena titrasi PEEP memerlukan intervensi dan alat pemantauan yang kompleks yang tidak rutin dilakukan pada pasien bedah dengan paru sehat. Selain itu, pada pasien kraniotomi penggunaan PEEP tinggi >10 cmH2O dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, menurunkan perfusi serebral dan harus disertai pemantauan tekanan intrakranial.17,18 Pada penelitian ini penggunaan volume tidal yang lebih kecil memerlukan kompensasi berupa frekuensi napas yang lebih tinggi untuk mencapai ventilasi semenit yang adekuat dan menjaga PaCO2 dalam rentang 30–35 mmHg. Kontrol PaCO2 merupakan hal penting dalam operasi kraniotomi. Hiperkarbia diketahui
Selain itu, pemakaian volume tidal 6 mL/kg dan 10 mL/kg intraoperatif diketahui tidak menghasilkan perbedaan penambahan atelektasis.20 Pneumonia pascaoperasi ditemukan pada 2 subyek pada kelompok VT-10 dan 1 subyek pada kelompok VT-6, dengan insidens yang serupa sepertipenelitian sebelumnya. Komplikasi paru pascaoperasi lain seperti atelektasis, gagal napas, dan ARDS, tidak ditemukan dalam penelitian ini. Hal ini disebabkan karena populasi yang dipakai dalam penelitian ini adalah pasien yang memiliki paru sehat sebelum operasi dan jumlah sampel yang relatif sedikit (untuk mendeteksi perbedaan sebesar 50% insidens komplikasi paru pascaoperasi pada kraniotomi diperlukan jumlah sampel sekitar 524 pasien). Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, penelitian ini dirancang untuk mendeteksi perbedaan rasio PaO2/FiO2 sebesar 75 mmHg sehingga perbedaan lebih kecil yang mungkin ada tidak dapat disingkirkan. Kedua, rasio PaO2/ FiO2 pada penelitian ini hanya diobservasi sampai hari ke-2 pascaoperasi sehingga perbedaan yang mungkin muncul setelah hari ke-2 pascaoperasi tidak dapat diketahui. Ketiga, rasio PaO2/FiO2 adalah parameter klinis yang sering dipakai untuk
Efek Perbedaan Volume Tidal Ventilasi Mekanik Selama Operasi Terhadap Rasio Pao2/Fio2 Pascaoperasi Kraniotomi Elektif
menilai derajat keparahan cedera paru, namun parameter ini tidak dapat menilai proses cedera paru yang lebih ringan atau belum menimbulkan gangguan oksigenasi secara bermakna. Sebagai simpulan atas penelitian ini adalah ventilasi mekanik perioperatif dengan volume tidal 6 mL/kg tidak menghasilkan rasio PaO2/FiO2 yang lebih tinggi sampai hari ke-2 pascaoperasi dibandingkan penggunaan volume tidal 10 mL/ kg pada pasien dengan paru sehat yang menjalani kraniotomi elektif. Oleh karena itu, volume tidal 6-10 mL/kg dapat digunakan secara aman pada pasien kraniotomi elektif dengan paru sehat selama dilakukan teknik ventilasi dan pemantauan yang serupa dengan penelitian ini. IV. Simpulan Ventilasi mekanik perioperatif dengan volume tidal 6 mL/kg tidak menghasilkan rasio PaO2/ FiO2 pascaoperasi yang lebih tinggi dibandingkan volume tidal 10 mL/kg. Komplikasi paru/ ekstraparu pascaoperasi dan mortalitas ditemukan tidak berbeda di antara kedua kelompok. V. Saran Diperlukan penelitian lanjutan mengenai efek penggunaan PEEP, volume tidal pada berbagai posisi intraoperatif terhadap tekanan intrakranial dan komplikasi paru pasca operasi pasien bedah saraf. Daftar Pustaka 1. Gattinoni L, Chiumello D, Russo R. Reduced tidal volume and lung protective ventilatory strategies: where do we go from here? Curr Opin Crit Care 2002;8:45–50 2. Shander A, Fleisher LA, Barie PS, Bigatello LM, Sladen RN, Watson CB. Clinical and economic burden of postoperative pulmonary complications: patient safety summit on definition, risk-reducing interventions, and preventive strategies. Crit Care Med. 2011;39(9):2163–72.
171
3. Smetana GW, Lawrence VA, Cornell JE, American College of P. Preoperative pulmonary risk stratification for noncardiothoracic surgery: systematic review for the American College of Physicians. Ann Intern Med. 2006;144(8):581–95. 4. Futier E, Constantin JM, Paugam-Burtz C, Pascal J, Eurin M, Neuschwander A, et al. A trial of intraoperative low-tidal-volume ventilation in abdominal surgery. N Engl J Med. 2013;369(5):428–37. 5. Severgnini P, Selmo G, Lanza C, Chiesa A, Frigerio A, Bacuzzi A, et al. Protective mechanical ventilation during general anesthesia for open abdominal surgery improves postoperative pulmonary function. Anesthesiology. 2013;118(6):1307–21. 6. Fernandez-Bustamante A, Wood CL, Tran ZV, Moine P. Intraoperative ventilation: incidence and risk factors for receiving large tidal volumes during general anesthesia. BMC Anesthesiol. 2011;11:22. 7. Treschan TA, Schaefer MS, Subasi L, Kaisers W, Schultz MJ, Beiderlinden M. Evolution of ventilator settings during general anaesthesia for neurosurgery: An observational study in a German centre over 15 years. Eur J Anaesthesiol. 2015. 8. Visick WD, Fairley HB, Hickey RF. The effects of tidal volume and end-expiratory pressure on pulmonary gas exchange during anesthesia. Anesthesiology. 1973;39(3):28590. 9. Levin MA, McCormick PJ, Lin HM, Hosseinian L, Fischer GW. Low intraoperative tidal volume ventilation with minimal PEEP is associated with increased mortality. Br J Anaesth. 2014;113(1):97–108. 10. Bruder N, Ravussin PA. Supratentorial masses: anesthetic considerations. Dalam: Cottrell JE, Young WL, editors. Cottrell and Young's Neuroanesthesia. 5th ed. United
172
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
States: Mosby; 2010;184–7. 11. Joshi S, Ornstein E, Young WL. Cerebral and spinal cord blood flow. Dalam: Cottrell JE, Young WL, editors. Cottrell and Young's Neuroanesthesia. 5th ed. United States: Mosby; 2010; 25–6. 12. Weingarten TN, Whalen FX, Warner DO, Gajic O, Schears GJ, Snyder MR, et al. Comparison of two ventilatory strategies in elderly patients undergoing major abdominal surgery. Br J Anaesth. 2010;104(1):16–22. 13. ARDSnet. Ventilation with lower tidal volumes as compared with traditional tidal volumes for acute lung injury and the acute respiratory distress syndrome. The Acute Respiratory Distress Syndrome Network. N Engl J Med. 2000;342(18):1301–8.
16. Treschan TA, Kaisers W, Schaefer MS, Bastin B, Schmalz U, Wania V, et al. Ventilation with low tidal volumes during upper abdominal surgery does not improve postoperative lung function. Br J Anaesth. 2012;109(2):263–71. 17. Videtta W, Villarejo F, Cohen M, Domeniconi G, Santa Cruz R, Pinillos O, et al. Effects of positive end-expiratory pressure on intracranial pressure and cerebral perfusion pressure.Acta Neurochir Suppl. 2002;81:93–7. 18. Caricato A, Conti G, Della Corte F, Mancino A, Santilli F, Sandroni C, et al. Effects of PEEP on the intracranial system of patients with head injury and subarachnoid hemorrhage: the role of respiratory system compliance. J Trauma. 2005;58(3):571–6.
14. Gattinoni L, Protti A, Caironi P, Carlesso E. Ventilator-induced lung injury: the anatomical and physiological framework. Crit Care Med. 2010;38(10 Suppl):S539–48.
19. Imberger G, McIlroy D, Pace NL, Wetterslev J, Brok J, Moller AM. Positive end-expiratory pressure (PEEP) during anaesthesia for the prevention of mortality and postoperative pulmonary complications. Cochrane Database Syst Rev. 2010(9):CD007922.
15. Tusman G, Bohm SH, Vazquez de Anda GF, do Campo JL, Lachmann B. 'Alveolar recruitment strategy' improves arterial oxygenation during general anaesthesia. Br J Anaesth. 1999;82(1):8–13.
20. Cai H, Gong H, Zhang L, Wang Y, Tian Y. Effect of low tidal volume ventilation on atelectasis in patients during general anesthesia: a computed tomographic scan. J Clin Anesth. 2007;19(2):125–9.
Perdarahan Berulang Pascakraniotomi pada Pasien Cedera Kepala Ringan Bona Akhmad Fithrah*), Bambang J. Oetoro*), Nazaruddin Umar**), Siti Chasnak Saleh***), Departemen Anestesi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Mayapada Lebak Bulus, **)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara-RSUP. Adam Malik Medan, ***)Departemen Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD. Dr Soetomo Surabaya *)
Abstrak
Kraniotomi adalah prosedur pembedahan yang digunakan untuk mengangkat tumor untuk memperbaiki lesi vascular atau menurunkan tekanan intrakranial. Salah satu komplikasi dari prosedur ini adalah terjadinya perdarahan hingga harus dilakukan pembedahan kembali. Cedera kepala ringan memiliki angka kejadian sekitar 80–90% dari seluruh cedera kepala dan memiliki angka kematian sekitar 0,1% itu terjadi disebabkan oleh perdarahan intra cerebral yang terlewat. Seorang laki laki usia 47 tahun, berat badan 106 kg dirujuk dari rumah sakit kecil setelah terpelesat saat turun dari angkutan umum. Pasien tidak sadarkan diri dan saat tersadar sudah di instalasi gawat darurat. Hemodinamik pasien baik,GCS E4M6V5, telah dilakukan CT scan dan tidak didapatkan perdarahan apapun. Pasien dua hari di ruang rawat dan terus mengeluh sakit kepala yang bertambah. Dilakukan CT scan ulang dan didapatkan perdarahan intracerebral. Dilakukan tindakan kraniotomi evakuasi hematom dan pasca operasi pasien dirawat di ICU. Dua hari di ICU pasien kembali mengalami penurunan kesadaran dan pada CT scan didapatkan kembali perdarahan pada tempat yang sama. Dilakukan kembali kraniotomi evakuasi hematom dan pasca tindakan pasien dirawat di ICU. Dengan pengawasan yang baik dan tindakan yang cepat cedera kepala ringan yang mengalami perdarahan intracerebral dapat diatasi dengan baik dan tidak menjadi suatu kematian. Kata kunci: Cedera kepala ringan, perdarahan intraserebral, kraniotomi berulang
JNI 2016;5(3): 173–79
Recurrent Post Craniotomy Hemorrhage in Patient with Mild Head Injury Abstract Craniotomy is a procedure performed to remove brain tumor, repair vascular lesion or relieve intracranial pressure. Sometimes complication arise that need re-do craniotomy. Incidence mild traumatic brain injury 80–90%from all traumatic brain injury and has mortality 0,1% related with missed intra-cranial hemorrhage. Patient, 47 years old, body weight 106 kgs referred from smaller hospital after slipped and falling down from the bus. Patient said he had unconscious for several minutes. Patient had already had CT scan and no bleeding at all. Patient stayed in the ward for two days and keep complaining severe headache. CT scan conduct again and the result said there were intracranial hemorrhage. Craniotomy evacuation hemorrhage performed and after operation patient stayed in the ICU. Two days in the ICU patient had decreased of consciousness. CT scan immediately performed and there was another intracranial hemorrhage in the same place with bigger volume. Re-do craniotomy evacuation hemorrhage performed again. With a good monitoring in the room/ICU, a fast diagnostic and craniotomy this patient wouldn’t become a mortality case Key word: Mild traumatic brain injury, intracranial hemorrhage, re-do craniotomy
JNI 2016;5(3): 173–79
173
174
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
I. Pendahuluan Cedera kepala sering terjadi dan bila cedera kepala berat terjadi maka prognosisnya buruk. Angka pasti kejadian cedera kepala adalah 400/100.000 pasien/tahun atau sekitar 1,4 juta pasien pertain di Inggris.1 Tidak berbeda jauh dengan angka di Amerika serikat sekitar 1,5 juta pasien mengalami cedera kepala. Sekitar 50.000 meninggal dan sekitar 80.000 mengalami cacat menetap.2 Cedera kepala sering terjadi pada usia dewasa muda, angka kejadian pada laki laki lebih banyak dua kalilipat daripada wanita. Kejadian cedera otak dari waktu ke waktu tidak pernah berkurang baik di Negara maju maupu di Negara berkembang.2 Di Indonesia angka kejadian cedera kepala belum diketahui secara pasti tetapi dilaporkan penyebab trauma kepala di Indonesia adalah kecelakaan kendaraan bermotor 50%, jatuh 21% dan cedera olah raga 10%.2 Cedera kepala adalah penyebab kematian utama pada pria dewasa kurang dari 45 tahun dan pada anak anak (1–15 tahun). Sebagian besar cedera kepala adalah cedera kepala ringan dan sebagian kecil 8-10% adalah cedera kepala sedang hingga berat.2 Pasien dengan cedera kepala ringan akan memiliki prognosis yang baik sejauh tidak ada kealpaan dalam penegakan diagnosis dan dengan pengelolaan yang baik. Angka kematian pada cedera kepala ringan adalah sekitar 0,1% sebagian besar disebabkan oleh perdarahan intracerebral yang terlewat. Walaupun pasien dengan dengan cedera kepala ringan akan kembali bekerja tetapi 50% mengalami hambatan sedang hingga berat bila dinilai dengan (Glasgow outcome scale) GOS atau disability outcome scale.1 Kraniotomi adalah prosedur pembedahan yang digunakan untuk mengangkat tumor ,memperbaiki lesi vascular atau menurunkan tekanan intracranial. Salah satu komplikasi dari prosedur ini adalah terjadinya perdarahan hingga harus dilakukan pembedahan ulang.3 Angka kejadian perdarahan berulang pasca operasi sangat bervariasi 0,8%–50%.4 Pencetus terjadinya perdarahan berulang pasca operasi banyak sekali dari sisi gender, usia, komorbid yang diderita hingga pengelolaan pasca operasi seperti
penggunaan pengencer darah ikut berpengaruh untuk terjadinya perdarahan pasca operasi4. Pada laporan kasus ini akan dibawakan sebuah kasus cedera kepala ringan dan hampir mengalami kematian karena perdarahan intraserebral yang berulang. II. Kasus Anamnesis Pasien laki laki 47 tahun,berat badan 106 kg datang ke instalasi gawat darurat mayapada dengan ambulans pasien dikirim dari RS sari asih Ciputat. Pasien sebelum masuk ke Rumah Sakit Sariasih terpeleset dan terjatuh saat turun dari an gkutan umum. Pasien tidak ingat terbentur apapun hanya ingat tiba tiba sudah di IGD Rumah sakit sariasih. Di IGD tersebut pasien dilakukan pemeriksan CT scan dikatakan tidak terjadi apa apa hanya perlu observasi. Pasien selanjutnya dikirimkan ke Rumah Sakit Mayapada. Pasien saat itu hanya mengeluh nyeri kepala dan Pasien tidak ada riwayat hipertensi maupun kencing manis. Pemeriksaan Fisik Hasil pemeriksaan survey primer, Jalan napas bebas tidak terdengar suara tambahan apapun, pernapasan gerak dada simetris, frekuensi napas 20x/m, tidak terlihat sesak. Sirkulasi tekanan darah 138/83, frekuensi nadi 88x/m, pengisian kapiler <2 sec. Disabilitas GCS E4M6V5 Hasil survey sekunder, kepala hanya terlihat laserasi di daerah dahi. pupil 2 mm/2mm, Reflek cahaya +/+.tidak terlihat darah mengalir dari lubang hidung atau telinga. Jantng S1-2 normal,Paru vesikuler, rhongki-/-, mengi -/- perut supel. Pemeriksaan Laboratorium Darah tepi lengkap 14,8//43/14.000/220.000 pt/ Aptt: 11,0(9,7)/23,6(23,5), e:135/3,6/99 alb: 3,9 GDS 114 Ur/cr: 18/0,72 EKG: Irama sinus. Ronsen dada tidak ada kelainan pada jantung dan paru. Pasien telah dilakukan CT scan di RS sariasih dan dikatakan hasilnya normal. Pasien masuk ruang rawat inap dengan terapi Manitol 3x125 cc, Ranitidin 3x1 ampul, Brain act 3x500mg. Hari kedua perawatan pasien masih mengeluh sakit kepala yang bertambah, tidak
Perdarahan Berulang Pascakraniotomi pada Pasien Cedera Kepala Ringan
175
Grafik 1. Hemodinamik Intraoperatif Operasi Pertama
Gambar 1. CT-Scan sebelum Operasi Pertama
ada muntah dan tidak ada perubahan kesadaran. Dilakukan CT scan kepala dengan hasil terdapat bekuan darah sekitar 15–20 cc. Direncanakan untuk dilakukan operasi kraniotomi evakuasi hematom.
mg/jam. Baru hari kedua di ICU pasien dilakukan ekstubasi. Hari ke empat di ICU pada pagi harinya pasien terlihat gelisah, tekanan darah naik hingga 207/112, FN sekitar 110–120x/m Saturasi sekitar 98–100%. Dilakukan CT scan ulang dan didapatkan perdarahan intracerebral hematom sekitar 100cc pada tempat yang sama. Diberikan manitol 200cc dan direncanakan segera untuk dilakukan kraniotomi evakuasi hematom.
Pengelolaan Anestesi Operasi Pertama Sesaat akan mulai TD 150/90, FN 109x/m, FP 14x/m. Saturasi O2 100% tanpa nasal kanul. GCS E4M6V5. Pupil isokor. dilakukan koinduksi dengan midazolam 2 mg dan fentanyl 100mcg. Induksi dengan Propofol 100mg, relaksasi otot dengan vecuronium 10 mg. sebelum laringoskopi diberikan kembali fentanyl 100mcg dan Propofol 50 mg. Operasi berlangsung selama 2 jam. Intraoperatif diberikan manitol 200cc. Rumatan dengan oksigen+ kompres air + sevofluran 1%v. Pascaoperasi pasien di rawat ICU masih dalam keadaan terintubasi. Di sedasi dengan propofol 50
Grafik 2. Hemodinamik Intraoperatif Operasi Kedua
Operasi Kedua Saat akan dilakukan operasi kedua ini KU pasien tampak lemah, GCS E2M5V2 Pupil 2/2 refleks cahaya+/+. Tekanan darah 197/100, FN 83x/m, FP 30x/m saturasi oksigen 98– 100% dengan non rebreathing mask 15 ltr/m. Dilakukan ko induksi dengan midazolam 5mg dan fentanyl 100mcg. Induksi dengan Propofol 100 mg. relaksasi otot dengan vecuronium 11 mg. diberikan lidocain 120 mg dan fentanyl 150
Gambar 2. CT Scan sebelum operasi kedua
176
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
mcg. Setelah relaksasi baik dan hemodinamik stabil dilakukan laringoskopi direk dengan ETT non kingking #8. Rumatan dengan O2+ kompres Air, propofol 6 mg/kg bb/jam, fentanyl 2 mcg/ kgbb/jam, dexmedetomidine 0,2 mcg/kgbb/jam dan vecuronium 0,08 mg/kgbb/jam. Manitol diberikan sebanyak 500cc selama 15 menit. Et CO2 dijaga sekitar 30–35. Operasi berlangsung selama 3jam 30 menit. Perdarahan 300cc. Produksi urin 2500cc. Jumlah cairan isotonis masuk 2500cc, koloid masuk 1000cc, FFP 400cc. pasien dipindahkan ke ICU masih terintubasi dengan moda ventilator SIMV tidal volume 640 cc, RR12, FiO2 50% Peep 5 cmH2O dan P support 16 cmH2O, disedasi dengan propofol 2 mg/kgbb/jam dan fentanyl 0,5mcg/kgbb/jam. Target pasca operasi MAP 80–90, Hb>10g/dl, Ht>30%, elektrolit normal, GDS 120–180 mg/ dl. PaO2 100–200mmHg, Pa CO2 38–42. Hari kedua setelah target extracranial dan inrakranial tercapai dilakukan ekstubasi, satu hari di ICU pasien dalam kondisi stabil maka pasien boleh pindah ke ruangan III. Pembahasan Cedera otak traumatik merupakan salah satu dari trauma yang paling serius dan mengancam jiwa. Terapi yang tepat dan cepat diperlukan untuk mendapatkan luaran yang baik. Penatalaksanaan anestesi pada kasus ini dimulai sejak pasien dikonsulkan untuk dilakukan operasi, yaitu sepanjang periode perioperatif, dari ruang gawat darurat sampai ke tempat pemeriksaan radiologi, kamar bedah, dan neurointensif. Sasaran utama pengelolaan anestesi untuk pasien dengan cedera otak adalah optimalisasi tekanan perfusi otak dan oksigenasi otak, menghindari cedera sekunder dan memberikan fasilitas pembedahan yang optimal untuk dokter bedah saraf. Penatalaksanaan anestesi pada suatu cedera otak traumatik harus menjamin adekuasi fungsi respirasi dan sirkulasi.5 Pasien ini datang ke Mayapada setelah mengalami cedera kepala terpeleset saat turun dari angkutan umum. Pasien sempat mengalami pingsan dan sadar saat sudah di ruang IGD Rumah Sakit Sari Asih. Telah dilakukan CT scan kepala dan dikatakan normal. Satu satunya
tanda yang dikeluhkan pasien adalah sakit kepalanya yang terus bertambah. Pasien dengan cedera kecil perubahan yang dapat terjadi pada CT-scan 2,5–8%. Bandingkan dengan cedera kepala berat dimana perubahan yang terjadi pada hasil CT-scan hingga 68–94%.1 Pasien ini dirawat di ruangan dan tetap mengeluhkan sakit kepala hingga akhirnya dilakukan CT-scan ulang dan didapatkan adanya perdarahan intra cerebral. Penggunaan CT-scan untuk penegakkan diagnosis dapat dilakukan terjadwal (scheduled brain CT/SRBCT) yang digunakan untuk memantau progrsifitas dari trauma kepala. atau tidak terjadwal sesuai dengan penurunan atau perubahan dari kondisi neurologis.6 Pasien ini mengalami cedera otak primer yang terjadi akibat benturan langsung pada kepalanya saat terpeleset dan terjatuh dari angkutan umum. Pasien ini dikatakan sempat hilang kesadaran dan tersadar kembali di IGD Rumah Sakit Sariasih tidak jauh dari lokasi kejadian. Cedera kepala diklasifikasikan kedalam cedera primer dan cedera sekunder. Klasifikasi ini berguna untuk pertimbangan terapi. Cedera primer adalah kerusakan yang ditimbulkan oleh impak mekanis dan stres aselerasideselerasi pada tulang kepala dan jaringan otak, mengakibatkan patah tulang kepala (tulang kepala atau basis kranii) dan lesi intrakranial. Lesi intrakranial diklasifikasikan kedalam dua tipe yaitu cedera difus dan fokal. Difus injuri ada dua kategori yaitu brain concussion (bila hilangnya kesadaran berakhir <6 jam) dan Diffus axonal injury/DAI (bila hilangnya kesadaran berakhir > 6 jam). Focal injury ada beberapa macam antara lain brain contusion, epidural hematom, subdural hematom, intraserebral hematom.7 Cedera sekunder berkembang dalam menit, jam, atau hari sejak cedera pertama dan menimbulkan kerusakan lanjutan dari jaringan saraf. Penyebab paling umum dari cedera sekunder adalah hipoksia dan iskemi serebral. Cedera sekunder dapat disebabkan hal-hal berikut: 1) disfungsi respirasi (hipoksemia, hiperkarbia), 2) instabilitas kardiovaskuler (hipotensi, curah jantung rendah), 3) peningkatan tekanan intrakranial, dan 4) gangguan parameter biokimiawi lainnya.7
Perdarahan Berulang Pascakraniotomi pada Pasien Cedera Kepala Ringan
Beradasarkan penggolongan ini maka pasien ini mengalami cedera primer brain concussion dan cedera sekunder berkembang terus dengan keluhan sakit kepala yang disebabkan oleh efek desak ruang dari penambahan volume (hematom) dalam rongga otak. Isi tengkorak terdiri dari jaringan otak(80%), darah (4%) dan cairan serebrospinal (10%). cairan serebrospinal dibentuk dengan kecepatan konstan, 80% dibuat di pleksus koroideus sisanya dibuat di parenkim otak. Produksinya kira kira 0,35–0,4 cc/menit atau 30 cc/jam atau 500–600 cc/hari.8 Karena ruang kepala ditutup oleh tulang yang padat maka penambahan volume akan menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial. Bila sedikit masih dapat dikompensasi oleh pemindahan cairan serebrospinal ke dalam rongga subarachnoid dan penekanan pembuluh darah vena. Kompensasi ini sangat terbatas dan bila terlewati setiap penambahan volume otak akan meningkatkan tekanan intrakranial.8 Peningkatan tekanan intrakranial ini sangat terkait dengan mortalitas semakin besar peningkatan yang terjadi maka semakin besar persentase terjadinya mortalitas.8 Bila tekanan intracranial meningkat dengan cepat, akan terjadi perubahan sistemik seperti hipertensi, hipotensi, bradikardia, takikardi,perubahan irama EKG, gangguan elektrolit hingga neurogenic Pulmonary edema bisa terjadi. Cushing menuliskan adanya trias cushing pada pasien yang mengalami peningkatan tekanan intrakranial. Trias itu terdiri dari hipertensi, bradikardia dan melambatnya respirasi.8 Pada pasien ini tidak memiliki komorbid hipertensi tetapi terjadi peningkatan tekanan darah. Hipertensi terjadi karena mekanisme kompensasi tubuh yang harus menjaga tekanan perfusi ke otak (Cerebral perfusion pressure/ CPP) karena terjadinya peningkatan dari tekanan intrakranial (Intracranial pressure /ICP). Hal ini sesuai dengan rumus CPP= MAP–ICP. Dimana tekanan darah yang naik akan membuat MAP menjadi naik hingga melewati ICP hingga CPP tidak berkurang.8 Tujuan utama dari pengelolaan anestesi adalah memperbaiki perfusi dan oksigenisasi otak dengan harapan cedera sekunder dapat dihindari dan memfasilitasi lapangan
177
operasi. CPP=MAP–ICP harus dipertahankan sekitar 60–110 mmHg.Bila ICP naik melebihi atau mendekati MAP maka otak akan iskemia dan memungkinkan untuk terjadi herniasi dan kematian. Pemgelolaan ICP ini menjadi satu kata penting dalam pengelolaan anestesi untuk cedera kepala berat.2 Pemilihan dari obat obat anestesi sangat tergantung pada pasiennya. Tidak bisa disamakan semua harus menggunakan satu goongan obat. Pada pasien yang memiliki hemodinamik stabil dengan peningkatan ICP dapat digunakan golongan opioid, thiopental dan non depolarisasi pelumpuh otot bersama dengan oksigen dan udara.pada pasien yang peningkatan ICP tidak terlalu tinggi dapat digunakan berbagai obat seperti benzodiazepin, opioid dan gas anestesi.2 Intraoperatif hipotensi karena perdarahan atau karena obat-obat anestesi dapat dicegah dengan penggunaan plasma expander/koloid.2 Intraoperatif bengkaknya otak atau herniasi dapat mempersulit evakuasi hematom. Penyebab bengkaknya otak karena posisi pasien yang tidak tepat, kontralateral cerebral hematom, obstruksi drainase vena atau akut hydrocephalus harus disingkirkan. Pada pasien ini kondisi pasien relative stabil hingga pemilihan obat-obat anestesi tidak erlalu rumit. Pemilihan penggunaan obat-obat seperti midazolam, propofol, fentanyl dan vecuronium dan pengunaan sevofluran dapat dibenarkan. Gejolak hemodinamik tidak terjadi saat induksi tetapi hasil akhir dari semua pengunaan obat anestesi dan intravena yang digunakan adalah bengkaknya otak hingga menjadi penyulit bagi operator dalam melakukan evakuasi hematom. Adapun penyebab dari bengkaknya otak ini adalah telatnya pemberian manitol, manitol baru diberikan setelah diminta oleh operator. Setalah selesai tindakan oleh operator pasien ini tetap dipertahankan dalam kondisi terintubasi. Ada beberapa kondisi yang harus dinilai saat akan memutuskan seseorang pasien akan diekstubasi atau dipertahankan endotracheal tubenya, bagaimana GCS preoperatif pasien? hemodinamik intraoperatif? adakah komplikasi atau kerusakan otak yang berat?, adakah kerusakan pada saraf 9,10 dan 12? adakah
178
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
pengangkatan AVM yang besar?9 Pada pasien ini GCS preoperatif masih 15 hemodinamik intraoperatif stabil, kerusakan otak yang berat tidak ada, kerusakan syaraf 9,10, 12 tidak ada pengangkatan AVM yang besar tidak ada. Kesimpulannya pasien ini seharusnya dapat diekstubasi setelah selesai tindakan tapi oleh anestesi tidak dilakukan ekstubasi mengingat saaat intraoperatif operator sempat menyampaikan bahwa otak pasien bengkak. Post operative hemorrhage (POH) atau post craniotomy hemorrhage (PCH) adalah salah satu komplikasi dari prosedur kraniotomi. Dimana prosedur kraniotomi harus dilakukan sekali lagi atas indikasi pengangkatan sisa tumor, memperbaiki lesi vascular atau untuk menurunkan tekanan intrakranial. Salah satu jenis kraniotomi yang tersering dilakukan adalah evakuasi hematoma disamping, pengangkatan sisa tumor dan bocornya cairan serebrospinal. Prosedur POH/PCH ini sangat terkait dengan luaran yang dapat terjadi dimana bila kraniotomi dilakukan satu kali memiliki luaran yang baik sedangkan bila dilakukan 2–3 kali maka luaran yang terjadi adalah buruk. Luaran yang didapat dari prosedur Re-do ini dapat diprediksi dengan menggunakan data data GCS, ASA, frekuensi redo.3 Pasien ini terpaksa menjalani re-do kraniotomi dengan indikasi evakuasi hematom.terjadi kembali perdarahan pada lokasi yang sama dari operasi yang sebelumnya. Saat dilakukan operasi GCS E2M5V2. Dengan hemodinamik yang tidak stabil tekanan darah 197/100, FN 83x/m, FP 30x/m, saturasi oksigen 98–100% dengan NRM 15 ltr/m. Pasien diinduksi dengan propofol, pelumpuh otot dengan vecuronium dan rumatan dengan teknik TIVA. Intraoperatif hipotensi karena perdarahan atau karena obat-obat anestesi dapat dicegah dengan penggunaan plasma expander/koloid.2 pada operasi kedua cairan yang diberikan tidak imbang dan berlebihan. Cairan masuk dari isotonis 2500 cc, koloid 1000 cc, FFP 400 cc dan manitol 500 cc. sedangkan cairan yang keluar urin 2500 cc dan perdarahan 300 cc. koloid 500 cc diberikan saat dilakukan induksi sedangkan koloid kedua diberikan sebagai pengganti
perdarahan. Gambaran ketinggian phletismograph selama induksi hingga operasi selesai digunakan untuk menilai kecukupan cairan.10 Pasien ini juga tidak dilakukan ekstubasi saat pasca operasi. Pertimbangannya adalah hemodinamik yang tidak stabil dan GCS preoperatif yang pas ambang batas. Karena itu pasien baru di ekstubasi setelah siap untuk dilakukan ekstubasi. Pasien ini dilakukan re-do satu kali dengan GCS preoperatif.9 Berdasarkan prediktor ini luaran yang diharapkan adalah baik.3 IV. Simpulan Anestesi untuk cedera kepala traumatik membutuhkan suatu pengertian mengenai patofisiologi dari peningkatan tekanan intrakranial dan kaitannya pada hemodinamik tubuh. Dengan alat yang minimal untuk mengetahui tekanan intrakranial secara pasti maka pengenalan tanda tanda klinis dari peningkatan tekanan intrakranial menjadi sangat penting. Kondisi awal pasca cedera bersifat dinamis dan dapat berkembang dengan sangat cepat karena itu observasi pasca trauma kepala sangat penting. Persiapan perioperatif yang cepat, cermat dan terstruktur sangat penting pada penanganan anestesi untuk cedera kepala traumatik, yang meliputi persiapan pasien preoperasi, persiapan kelengkapan obat, alat, dan pemantauan, serta perencanaan pelaksanaan anestesi sampai dengan pananganan pascaoperasi. Penatalaksanaan jalan napas, pernapasan, sirkulasi dan farmakologi obat obat neuroanestesi selama intraoperatif menjadi syarat utama untuk pengelolaan intraoperatif pasien cedera kepala. Daftar Pustaka 1. Moppet IK. Traumatic Brain injury: assessment, resuscitation and early management. Br. J.Anaesth. 2007; 99(1):18–23 2. Bendo AA. Perioperative management of adult patient with severe head injury. Dalam: Cottrell JE, William L, Young WL. Cottrell and Young Neuroanesthesia, 5th. Philadelphia: Mosby Elseivier. 2010;317–26.
Perdarahan Berualng Pascakraniotomi pada Pasien Cedera Kepala Ringan
3. Adigun TA, Adeolu AA, Adeleye AO.Anesthetic and surgical predictor of treatment outcome in re do craniotomy. Journal of neuroscience in rural practice 2011;(2):137–40. 4. Seifman MA, Lewis PM, Rossenfeld JV, Hwang PYK. Postoperative intracranial haemorrhage: a review. Neurosurg rev 2011(34):393–407 5. Kass IS, Cottrell JE. Brain metabolism, the pathophysiology of brain injury, and potential beneficial agents and techniques. Dalam: Cottrell JE, Young WL, eds. Cottrell and Young’s Neuroanesthesia. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2010; 1–16. 6. Bradley WT, Vicente AM. Scheduled repeat CT–Scanning for traumatic brain injury remain important in assessing head injury
179
progression. Journal of the American College of Surgeon.May 2010; (210): 824–30 7. Bisri T. Dasar-dasar Neuroanestesi. Seri buku literasi Anestesiologi. Bandung: Saga Olah citra; 2011. 8. Bisri T. Penanganan neuroanestesi dan critical care: cedera otak traumatik. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. 2012 9. Anesthesia for Supratentorial tumor. Participant work book Neuroanestesi and critical care course. INA-SNACC 2015. Mahestra media komunika 2014. 10. Dinsmore J. Anesthesia for elective neurosurgery. Br. J. Anaesth. 2007(99): 66– 78.
Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Kepala Traumatik yang Terlambat Alexander Samuel Partogi *), Nazaruddin Umar**), Siti Chasnak Saleh***), Nancy Margarita Rehata***) *)Departemen Anestesiologi Rumah Sakit Siloam Karawaci, Tangerang, **)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara-RSUP. Adam Malik Medan, ***)Departemen Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD. Dr Soetomo Surabaya Abstrak Cedera kepala traumatik merupakan salah satu pembunuh pada usia dewasa muda di seluruh dunia. Permasalahan yang sering timbul selain pasien dengan cedera kepala yang tidak dibawa ke rumah sakit, terkadang juga diagnostik yang dilakukan pada awal perjalanan penyakit tidak menunjukkan adanya masalah. Yang sering terlupakan adalah patologi cedera kepala tidaklah berhenti, namun dapat terus berlangsung. Laki-laki dengan berat badan 50 tahun dengan tinggi badan 172 cm BB 82kg dibawa ke Unit gawat darurat, menurut keluarga,pasien ditemukan dalam keadaan mata lebam di dalam rumah, tampak sakit kepala dan muntah-muntah di rumah sejak 18 jam sebelum masuk Rumah Sakit tanpa jelas mekanisme traumanya. Kesadaran GCS E3–4 M6 V5 pemeriksaan pupil kanan dan kiri 2mm isokor, kelopak mata kanan tampak jejas, TD tekanan darah 135/85, frekuensi nadi 50–60x. Dari CT scan ditemukan adanya EDH pada daerah frontal-parietal dan ICH multipel. Dilakukan operasi darurat untuk evakuasi hematom, intra operatif terjadi perdarahan, pasca operasi pasien dirawat di ICU dengan sedasi propofol 5mg/kg/jam. Penatalaksanaan cedera kepala yang terlambat dan tidak adekuat dapat memberikan hasil yang kurang baik. Kata kunci: Cedera kepala traumatik, epidural hematoma, penanganan terlambat
JNI 2016;5(3): 180–88
Abstract
Perioperative Management in Delayed Traumatic Brain Injury
Traumatic brain injury is one of the leading cause of death worldwide. Problems with these patient with traumatic brain injury was not administered to the hospital, sometimes from the diagnostic done in the early course of the disease does not indicate a problem. What is often forgotten is the course of the disease head injury did not stop, keep continue. Male weighing 50 years with a body height of 172 cm BB 82kg brought to emergency department , according to the family, the patient was found with bluish eyes in the house, severe headache and vomiting at home since 18 hours before entering the Hospital without obvious trauma mechanism. GCS was E3-4 M6 V5 pupillary examination 2mm isokor right and left, looked right eyelid injury, blood pressure 135/85, heart rate 50-60x. CT scans reveal any EDH in the frontal-parietal and multiple ICH. The neurosurgeon decide to performed emergency surgery, intraoperative major bleeding, postoperative patients admitted to the ICU with propofol sedation 5mg / kg / hour. Management of head injury late unhandled include rapid evaluation, resuscitation, surgery and intensive therapy management gives good outcome Key words: Traumatic head injury, epidural hematoma, delayed managemnt
JNI 2016;5(3): 180–88
180
Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Kepala Traumatik yang Terlambat
I. Pendahuluan Cedera kepala traumatik merupakan salah satu pembunuh pada usia dewasa muda di seluruh dunia. Setiap tahun di Amerika serikat angka kematian mencapai 52000 setiap tahun. Kematian di luar rumah sakit dapat mencapai 17 pasien dari 100.000 orang dan sebanyak 6 dari 100.000 pasien dirawat di rumah sakit. Angka di Indonesia sendiri masih belum pasti, dikarenakan banyak pasien di Indonesia yang tidak dibawa ke rumah sakit ataupun telat dibawa ke rumah sakit. Diperkirakan insidensi dari cedera kepala ringan 131 kasus dari 100.000 orang, sedang insidensi cedera kepala sedang 15 kasus dari 100.000 orang dan cedera kepala berat 14 kasus dari 100.000 orang. Data tersebut diambil di Amerika Serikat. Permasalahan yang sering timbul selain pasien dengan cedera kepala yang tidak dibawa ke rumah sakit, terkadang juga diagnostik yang dilakukan pada awal perjalanan penyakit tidak menunjukkan adanya masalah. Yang sering terlupakan adalah perubahan yang terjadi akibat cedera kepala tidaklah berhenti, namun dapat terus berlangsung. Misalkan pada awal dilakukan diagnostik dengan CT-scan tidak menunjukkan adanya perdarahan dan gejala yang minimal, namun seiring dengan berjalannya waktu, perdarahan terjadi dan menunjukkan perburukan dari gejala. Penyebab utama cedera kepala berat adaah kecelakaan sepeda motor (50%), jatuh (21%) dan kekerasan (12%). Insidens tertinggi terjadi pada rentang umur 15–24 taun dengan angka kejadian lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan.1,2 Cedera kepala diklasifikasikan menurut skor Glasgow Coma Scale (GCS) yaitu cedera kepala ringan, sedang dan berat. Cedera Kepala Ringan adalah trauma kepala dengan skala GCS 13– 15, keluhan pusing dan nyeri kepala, terdapat hematoma kepala. Cedera kepala sedang adalah trauma kepala dengan skala GCS 9–12, dan cedera kepala berat dengan skala GCS <8. Selain dari skala GCS juga disertai keluhan pusing, nyeri kepala, mual dan muntah serta disertai juga dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial.2-4 Patofisiologi cedera kepala terdiri dari cedera kepala primer dan sekunder. Cedera kepala primer disebabkan oleh adaanya perdarahan intrakranial
181
yang berupa epidural hematom, subdural hematom ataupun intracranial hematom, terdapat kontusio cerebri atau Difuse axonal injury. Epidural hematom (EDH) merupakan akumulasi darah yang terbentuk antara tulang tengkorak dengan duramater. Subdural hematom (SDH) merupakan akumulasi darah yang terbentuk di antara lapisan duramater dan lapisan arachnoid. Sedang Intracranial hematom adalah akumulasi dari darah yang terbentuk di dalam jaringan otak. Cedera kepala sekunder terjadi setelah terjadinya trauma. Penyebabnya bisa dari intrakranial maupun extrakranial. Intrakranial dapat disebabkan oleh terjadinya peningkatan Tekanan Intrakranial akibat dari perdarahan di dalam tulang tengkorak. Selain itu disebabkan juga oleh hipoksemia, hiperkapnia, hipotensi, anemia, hpoglikemia, hiponatremia, gangguan osmolaritas darah, sepsis, koagulopati dan hipertensi. kadang cedera kepala sekunder ini luput dari penanganan dan dapat memperburuk outcome dari pasien. untuk itu perlulah kita untuk menangani pasien cedera kepala dari mulai stabilisasi prarumah sakit, unit gawat darurat, pembedahan serta tatalaksana di unit terapi intensif. Untuk mennghambat terjadinya cedera otak sekunder ini, penanganan secara komprehensif harus segera dilakukan. Apabila terdapat perdarahan seperti epidural hematom, subdural hematom atau intracranial hematom, dan menimbulkan gejala, dilakukan tindakan evakuasi dalam 2-4 jam. II. Kasus Laki-laki dengan berat badan 50 tahun dengan tinggi badan 172 cm berat badan 82 kg dibawa ke Unit gawat darurat, menurut keluarga,pasien ditemukan dalam keadaan mata lebam di dalam rumah, tampak sakit kepala dan muntah-muntah di rumah sejak 18 jam sebelum masuk Rumah Sakit tanpa jelas mekanisme traumanya. Menurut keluarga pasien, pasien cenderung semakin mengantuk. Pasien dibawa ke RumahSakit lain di dekat rumah, lalu atas permintaan keluarga dibawa ke rumah sakit kami. Di rumah sakit sebelumnya dilakukan pemeriksaan radiologi yaitu Ct-scan kepala dan leher.
182
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Pemeriksaan Fisik Airway: Bebas Breathing: 16x/menit, tidak ada jejas di leher dan dada, pernafasan abdominal, suara nafas vesikuler, tidak ada ronkhi, tidak ada wheezing. Circulation: perfusi hangat, tekanan darah 135/85, frekuensi nadi 50–60x Disability: kesadaran GCS E3-4 M6 V5 pemeriksaan pupil kanan dan kiri 2mm isokor, kelopak mata kanan tampak jejas. Dilakukan resusitasi cairan di Instalasi Gawat Darurat dengan NaCl 0,9% 500 ml dan juga
pemberian suplementasi oksigen dengan nasal kanula 2l/menit, serta memasang akses vena di ekstremitas atas dengan 20G dan dilakukan pemeriksaan darah dengan hasil: Pemeriksaan Laboratorium DPL: 12.9 gt/dl/36.6%/16.920/mm / 196000/mm bt/ct: 1.5/8, PT/APTT: 10.2 (11.10) s/32.9(32.3), SGOT/SGPT: 28/3, ureum/creatinin: 21/10.8, elektrolit: 131/3.6/99 mmol/L, GDS 143mg/dl. Ct-scan didapatkan epidural hematoma di daerah frontoparietal dengan midline
Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Kepala Traumatik yang Terlambat
183
Tabel 1. Grafik hemodinamik selama operasi
shift dan tampak edema serebri, serta intracranial hemoragik pada daerah frontal. Sejawat bedah saraf memutuskan untuk melakukan operasi darurat evakuasi epidural hematoma. Pengelolaan Anestesi Di ruang operasi, pasien dipasang alat-alat monitor non invasif (tekanan darah, denyut jantung, SaO2 EKG). Posisi kepala dilakukan elevasi 30˚. Pasien diberikan premedikasi midazolam 2 mg iv, induksi dengan fentanyl 200 mcg secara perlahan untuk mengindari batuk dan propofol titrasi total 100mg, intubasi endotrakeal nonkinking no 8, difasilitasi dengan atracurium 50 mg. Sebelumnya juga dilakukan resusitasi cairan NaCl 0,9% 500 ml. Pemeliharaan anestesi dengan oksigen: compressed air = 0.9 : 0.9 L/ menit, sevoflurane 1–2%, vecuronium 3mg/ jam, fentanyl 25–50mcg/jam, ventilator diatur dengan tidal volume 460ml, pernafasan 12x/ menit. dilakukan pemasangan IV line 14 G dan pemasangan kateter urin. EtCO2 dipertahankan di angka 25–26 mmHg. Insisi pasien dilakukan pada daerah frontoparietal. Intraoperatif terjadi perdarahan masif hingga kurang lebih 1000ml, dengan hipotensi hingga 90mmHg/45mmHg (MAP 60mmHg), dilakukan pemberian ephedrine 5mg sebanyak 2x, dan resusatasi cairan koloid hingga 500ml koloid dan 500ml kristaloid. Setelah itu operasi dilakukan selama 2 jam 30 menit dengan jumlah perdarahan 1200ml, jumlah urine 1200ml, jumlah cairan masuk koloid 1000ml, kristaloid 3000ml dan
darah 240ml. Pada akhir operasi, pasien tidak diekstubasi, perawatan pascabedah di ICU. Pengelolaan Pascabedah di ICU Hari pertama perawatan: Kesadaran pasien GCS E3M5V tube pasien cenderung agitasi (Ramsay score 1), diputuskan sedasi dengan morphin dan dormicum 1/2 : 1 mg/jam, TD 120–150/80–100 mmHg, Nadi; 72–100x/menit, suhu: afebris RR: on ventilator, Mode : ASV 100%, urine 50–100ml/jam. Sedasi ditambahkan propofol 5mg/kg/jam, Ramsay Score 2–3, Nutrisi dimulai dengan enteral 1000kal dilakukan evaluasi CT-scan kepala. Pemberian H2 antagonis dengan ranitidin 2x50 mg, antibiotik ceftriakson 1x2 gram Hasil laboratorium DPL: 11.02/31.19/14.300/165000, PT/APTT: 11,2 (10.3)/32.3(32.4), laktat 5.7 mmol, ur/cr : 20/0.79, AGD: 7.42/38.6 /114.8/40/2.1/ 98.2% elektrolit: natrium 134.2 Kalium 3.22 Calcium ion 1.13 Hasil CT-scan kepala tampak epidural hematoma sudah tidak ada namun terdapat intracranial hemoragik pada daerah frontal Hari kedua perawatan di ICU Kesadaran pasien GCS E3M5Vtube, Ramsay score 2–3, sedasi dengan morphin dan dormicum 1/2: 1 mg/jam dan propofol 10mg/jam, Ramsay Score 2–3,TD 120–150/80–100 mmHg, Nadi; 72–100x/menit, suhu : afebris RR: on ventilator,
184
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Mode: ASV 100%/+5/40%, urine 35–75ml/jam, Nutrisi dinaikkan 1500kal, dilakukan pemasangan CVC pada subclavia dextra. Hari ketiga perawatan di ICU Sedasi dihentikan pagi hari, kesadaran pasien gcs E4M6Vtube, Ramsay score 2, direncanakan untuk ekstubasi, tekanan darah 120–130/80–100 mmHg, Nadi; 72–84x/menit, suhu: afebris RR: on ventilator, Mode: ASV 100%/+5/40% lalu, urine 40–80ml/jam. Sore hari pasien dilakukan ekstubasi. GVS E4M6V5, Hemodinamik stabil, Hari ke4 perawatan di ICU, pasien dipindahkan ke ruang rawat. Hari ke 6 perawatan di Rumah Sakit, pasien pulang atas permintaan pribadi. III. Pembahasan Selama beberapa dekade belakangan ini, terjadi perkembangan teknologi di berbagai bidang termasuk bidang kesehatan. Angka kecelakaan yang meningkat juga turut andil dalam angka insidensi dari cedera kepala traumatik. Cedera
kepala lebih sering terjadi pada dewasa muda yang merupakan usia produktif dan mempunyai dampak terhadap sosioekonomi dari pasien dan keluarga.1 Cedera kepala traumatik ini sangat mengancam nyawa apabila tidak ditangani dengan baik. Selama beberapa dekade ini juga sudah banyak perubahan dalam tatalaksana cedera kepala berat. Tatalaksana dimulai dari penanganan di lapangan, di rumah sakit, mulai dari Instalasi Gawat darurat sampai ke ruang operasi dan melibatkan berbagai pihak, seperti paramedis dan dokter umum serta dokter spesialis saraf, bedah saraf dan anestesi. Penanganan sebaiknya disertai dengan penunjang yang baik seperti adanya CT-scan, pemeriksaan lab, serta peralatan anestesi yang memadai, seringkali juga memerlukan ruang rawat intensif yang baik.2,3,4 Penanganan yang baik dimulai di tempat kejadian, yang memerlukan evaluasi yang baik. Dimulai dengan prioritas ABC (Airway, Breathing, circulation). setelah itu paramedis atau dokter yang berada di lapangan seharusnya bisa menilai derajat cedera kepala tersebut, bila pasien memerlukan fasilitas yang baik sebaiknya dinilai sejak awal. Apabila memang memerlukan tindakan segera, diharapkan dalam 2–4 jam sudah dilakukan operasi.2–6 Di ruang gawat darurat, sejak pasien diterima, dilakukan evaluasi diagnostik secara menyeluruh. Pemeriksaan radiologis seperti CT-scan, MRI, serta laboratorium yang diperlukan diperiksa. Trauma pada tulang belakang yang berhubungan dengan cedera kepala juga sebisa mungkin
Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Kepala Traumatik yang Terlambat
ditegakkan. Apabila tidak memungkinkan, collar neck sebaiknya tetap dipertahankan, dan hindari gerakan yang dapat mengganggu stabilitas tulang leher.2-5,7,8 Tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial harus diketahui sejak dini. Penurunan kesadaran, mual-muntah, amnesia dan gangguan neurologis lain juga harus diketahui. Apabila terdapat gejala-gejala peningkatan tekanan intrakranial akut, lakukan langkah-langkah seperti elevasi kepala 150, pemberian mannitol 0,25–1gram/kg, apabila pasien memerlukan bantuan respirasi dan intubasi, pasien dilakukan hiperventilasi dengan target PaCO2 30–35mmHg, sebagai terapi lini pertama. Perhatikan tanda-tanda vital, hindari hypotensi. Pemberian mannitol harus dilakukan dengan keadaan euvolemia. Hiperventilasi dengan PaCO2 25–35mmHg tidak lagi direkomendasi sebagai terapi lini pertama.2-5 Pada kasus ini, penanganan perdarahan di daerah kepala dititikberatkan agar tidak terjadi trauma otak sekunder, yang dapat disebabkan oleh hipoksia, hipovolemia, hiperkarbia. Jalan nafas harus segera dievaluasi dan ditangani. Status hidrasi harus diperhatikan, terlebih lagi pasien sudah tidak mendapat cairan cukup selama 18 jam dan juga terdapat muntah-muntah akibat peningkatan tekanan intrakranial yang dapat menyebabkan cedera kepala sekunder. Resusitasi cairan dimulai saat pasien diterima di ruang gawat darurat, dengan resusitasi NaCl 0,9% sebanyak 500ml. Selain itu cedera otak sekunder juga disebabkan oleh karena penekanan dari perdarahan.2-5 Epidural hematom adalah terkumpulnya darah di antara tulang tengkorak dengan lapisan luar perioesteal dari dura, sumber perdarahan disebabkan dari sobeknya pembuluh darah pada lapisan meningen. Manifestasi klinis bervariasi, tanda dan gejala awal disertai dengan rasa mual dan muntah, sampai terjadinya dilatasi pupil, hemiparese, dan desereberasi. Gejala yang cukup khas adalah terjadinya Lucid Interval, yaitu setelah terjadinya mekanisme trauma terjadi perbaikan kesadaran, yang berlangsung beberapa saat. Setelah itu kesadaran pasien akan lebih buruk. Epidural hematoma biasanya disertai dengan adanya fraktur tulang kepala. Insidensi terjadinya epidural hematom dilaporkan 0,2–
185
6% pada semua kejadian trauma kepala. Pada pemeriksaan CT Scan ditemukan gambaran klasik berupa densitas tinggi dengan bentuk seperti bulan sabit yang menempel pada tulang kepala. 9,10 Indikasi untuk pembedahan pada epidural hematom, volume lebih dari 30ml, atau dengan ketebalan 15mm, GCS > 8, dengan adanya focal defisit neurologis. Bila ada salahsatu dari tanda di atas, operasi evakuasi hematoma harus dilakukan segera. Golden period untuk dilakukan operasi darurat adalah 2-4 jam sejak dari awal terjadinya trauma. Bila masih meragukan untuk dilakukan operasi, sebaiknya pasien dilakukan pemantauan ketat baik kesadaran pasien, gejala yang semakin memberat, dan juga focal defisit seperti pupil pasien yang anisokor, dilakukan CT-Scan secara berkala untuk memantau perjalanan dari epidural hematom.6,10 Penanganan Anestesi Penanganan saat pasien diterima di ruangan operasi harus dilakukan secara cepat dan cermat. Evaluasi ulang sesaat terutama mengenai status hidrasi pasien, evaluasi jalan nafas ulang, kesadaran, riwayat alergi, cedera tulang belakang, riwayat penyakit sebelumnya diharapkan sudah diketahui sebelum masuk ke dalam ruangan operasi. Hasil pemeriksaan laboratorium diharapkan sudah mulai ada, termasuk hematokrit, profil koagulasi, elektrolit, kadar gula daran, ureum kreatinin. Akses intravena yang adekuat juga sudah harus ada. Pemilihan obat saat dilakukan induksi dilakukan dengan golongan benzodiazepin sebagai premedikasi. Midazolam digunakan karena onset dan juga mempunyai efek yang minimal terhadap hemodinamik pasien. Pemberian midazolam harus hati-hati, dalam pengawasan seorang dokter anestesi. Pemberian midazolam dapat menyebabkan depresi nafas yang mengakibatkan peningkatan kadar CO2 dalam darah (hiperkarbia). Hiperkarbi dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial akibat peningkatan aliran darah ke jaringan otak. Opioid dalam hal ini digunakan fentanyl dengan dosis 2–4mcg/kg yang disuntikkan secara perlahan, perlu diingat karena apabila terlalu cepat dapat menyebabkan pasien batuk sehingga akan meningkatkan tekanan intrakranial. Fentanyl digunakan untuk menumpulkan refleks
186
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
dan rasa sakit saat intubasi. Untuk induksi digunakan propofol secara titrasi, propfol digunakan untuk menurunkan aliran darah otak akibat dari efek vasokonstriksi pada pembuluh darah serebral. Selain itu propofol juga dapat menurunkan CMRO2 sehingga pada pasien ini juga digunakan untuk sedasi pasien di ruang ICU. Pemberian propofol juga harus hati-hati karena propofol dapat menurunkan tekanan darah akibat vasodilatasi, sehingga status hidrasi pasien harus dijaga dengan baik. Pasien tersebut setelah 18 jam terjadinya trauma dilakukan resusitasi cairan dengan NaCl 0,9% 500 ml. Obat pelumpuh otot digunakan untuk membantu intubasi pada pasien. Atracurium seharusnya dihindari pada pasien ini, dikarenakan pada pemberian atracurium dosis besar dapat menyebabkan pelepasan histamin. Pelepasan histamin dapat menyebabkan penurunan tekanan perfusi otak, yang diakibatkan oleh vasodilatasi pembuluh darah otak dan penurunan dari Tekanan darah rerata. Pelumpuh otot yang dapat dipilih seharusnya rocuronium ataupun vecuronium, yang mempunyai efek minimal pada aliran darah otak, CMRO2 dan tekanan intrakranial. Rocuronium dapat dilakukan pemilihan pada operasi gawat darurat karena onset yang cepat dan dapat digunakan pada pasien dengan isi lambung yang penuh.7 Pemasangan monitor intraoperatif yang baik sangat diperlukan. Pulse oximetri, kapnograf, elektrokardiografi, pengukur tekanan darah noninvasif serta gas analyzier, serta kateter urin diharapkan terpasang dengan baik. Pemasangan arteri line juga dapat seharusnya dapat dilakukan, namun mengingat kasus ini merupakan kasus gawat darurat, dan pemasangan artery line itu membutuhkan waktu, tidak dilakukan. Pemeliharaan pada pasien ini dilakukan dengan obat anestesi inhalasi dan intravena. Vecuronium dipilih sebagai pelumpuh otot karena tidak punya efek yang berarti terhadap hemodinamik pasien, dan dapat digunakan untuk secara kontinu, dibandingkan dengan atracurium yang bisa menghasilkan metabolit laudanosin yang dapat menyebabkan kejang serta efek vasodilatasi yang dapat mengganggu hemodinamik. Fentanyl pada pemeliharaan
digunakan sebagai analgetik. Sevoflurane sebagai obat anestetik inhalasi digunakan karena sevoflurane dilaporkan menurunkan aliran darah otak dan menurunkan CMRO2. Sevoflurane juga dilaporkan mempunyai efek neuroproteksi pada penelitian. Tidak digunakan N2O pada pasien ini untuk menghindari efek peningkatan tekanan intrakranial.2-5 Komplikasi intraoperatif yang sering terjadi salah satunya perdarahan. Perdarahan sering terjadi oleh karena fragmen dari tulang, tpi sumber perdarahan yang sering adalah berasal dari perdarahan vena. Kesulitan yang sering dihadapi saat mengatasi perdarahan dari pembuluh vena disebabkan kenaikan tekanan intra kranial. Hal yang perlu dilakukan adalah mengatasi kenaikan tekanan intrakranial. Selain itu harus juga memperhatikan kompresi dari vena jugularis interna, yang mungkin terjadi dari posisi kepala yang tidak dinaikkan 30 derajat dan juga posisi leher. Untuk menurunkan tekanan intra kranial, sebagai anestesi bisa dilakukan beberapa cara, salahsatunya adalah dengan manitol intravena ataupun dengan barbiturat. Pemberian mannitol sebaiknya patut dipikirkan, karena merupakan standar dari terapi hyperosmolar dan juga merupakan terapi firsttier pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial. Namun harus diperhatikan bahwa pasien harus dalam keadaan euvolemia.2,3,4 Setelah operasi pasien dimasukkan ke instalasi perawatan intensif untuk dilakukan pemantauan. Perdarahan yang cukup banyak menjadi bahan pertimbangan untuk menunda ekstubasi pasien tersebut. Selain itu Selama di ruang perawatan intensif, pasien dilakukan sedasi dengan menggunakan morfin dan midazolam, selain sebagai sedasi juga digunakan sebagai analgetik. Penggunaan obat ini tampak tidak begitu adekuat, pasien cenderung gelisah, sehingga ditambahkan propofol untuk sedasi. perlu dipikirkan pada pasien yang masih menggunakan pipa endotracheal akan memberikan rasa tidak nyaman pada pasien. Pemilihan propofol juga digunakan untuk menurunkan CMRO2 dan juga untuk obat neuro proteksi. Pemilihan sedasi sebaiknya dengan obat yang mempunyai durasi yang cepat serta mempunyai obat reversal.2-5,8
Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Kepala Traumatik yang Terlambat
Tujuan utama untuk perawatan pasca operasi di ruang perawatan intensif adalah untuk mencapai perfusi ke jaringan otak yang adekuat, serta mencapai tekanan intrakranial yang normal agar tidak terjadi cedera kepala sekunder. Hal ini dapat dicapai dengan mencegah komplikasi akibat operasi seperti hipotensi, gangguan elektrolit, kejang, hypertermi dan gangguan koagulasi. Selain itu tatalaksana rutin di ruang intensif seperti perawatan alat respirasi, profilaksis deep vein trombosis dan juga pemberian nutrisi yang adekuat. Pemantauan tekanan intrakranial pada pasien ini tidak digunakan, karena dipikirkan cukup invasif dan meningkatkan kemungkinan infeksi selama perawatan.7 Selama di ruang rawat intensif pasien diposisikan head-up 30o–45o, untuk membantu menurunkan tekanan intrakranial dengan memperbaiki arus balik pembuluh darah vena dari kepala. Selain itu juga dengan posisi ini, sebagai pencegahan terhadap infeksi nosokomial yang mungkin timbul dari penggunaan ventilasi mekanik.8,9,10 Pada hari pertama perawatan dilakukan evaluasi ulang secara radiologik pada pasien ini. Didapatkan perdarahan intrakranial yang disebabkan oleh trauma pada pasien ini. Agitasi pada pasien ini dapat disebabkan oleh karena perdarahan intrakranial tersebut. Perdarahan ini mungkin disebabkan oleh karena mekanisme trauma yang dialami pasien. Tidak ada tindakan bedah yang dilakukan untuk perdarahan intrakranial ini. Seperti dibahas sebelumnya, perawatan di ruang intensif ditujukan untuk menjaga tekanan perfusi ke jaringan otak. Pemantauan seharusnya dapat melalui pemasangan kateter vena jugularis retrograde, yang berfungsi untuk mendeteksi saturasi dari vena yang berasal dari otak.10,11 Pada pasien ini dilakukan pemasangan kateter vena sentral pada vena subclavia dextra. Pemasangan ini dipertimbangkan mengingat pasien membutuhkan akses vena yang baik, karena sudah sulit dilakukan pemasangan akses vena perifer. Pemasangan dilakukan pada daerah vena subklavia dikarenakan tidak mengganggu aliran darah vena dari otak apabila dilakukan pada daerah vena jugular. Perawatan yang relatif
187
lebih mudah dibandingkan pemasangan pada daerah vena femoralis. Namun pemasangan juga harus hati-hati mengingat komplikasi kemungkinan terjadinya pneumothorax yang dapat menyebabkan peningkatan dari tekanan intratorakal.12 IV. Simpulan Pasien dengan cedera kepala perlu dilakukan penanganan dari awal diterima di ruangan gawat darurat. Anamnesis mengenai mekanisme terjadinya trauma harus bisa didapat. hal ini dilakukan untuk mendapatkan trauma di bagian lain terutama di daerah leher. Pada pasien ini anamnesis tidak mendapatkan hal jelas mengenai mekanisme trauma, namun dari anamnesis didapatkan pasien cenderung semakin mengantuk. Pemilihan obat untuk penatalaksanaan anestesi pada pasien trauma otak haruslah tepat. Pemberian obat juga harus dalam pemantauan yang ketat, mengingat efek dari obat-obat anestesi yang bisa menyebabkan depresi nafas, penurunan kesadaran, menyebabkan hiperkarbia. Pemilihan obat juga yang mempunyai efek menurunkan tekanan intrakranial, menurunkan CMRO2, mempunyai efek proteksi otak. Penanganan perioperatif, dimulai dari instalasi gawat darurat, penanganan di ruang operasi dan pasca operasi merupakan kunci dari tatalaksana cedera otak traumatik. Penanganan dititik beratkan pada menghindari terjadinya cedera kepala sekunder yang dapat terjadi akibat cedera kepala primer ataupun akibat penanganan yang tidak adekuat. Pemantauan di ruang perawatan intensif juga dititik beratkan untuk menghindari cedera kepala sekunder dan menurunkan tekanan intrakranial. Daftar Pustaka 1. Dawodu ST. Traumatic brain injury - definiton and pathophysiology. Www. Emedicine. Medscape.Com Sept 2012 diunduh Februari 2016 2. Bendo AA. Perioperative management of adult patient with severe head injury. Dalam: Cottrel JE, Young WL, eds. Cottrell and Young's Neuroanesthesia, 5th ed;
188
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2010, 317–26 3. Curry P, Viernes D, Sharma D. Perioperative management of traumatic brain injury. Int J Crit Illn Inj Sci 2011 4. Bisri T. Penanganan neuroanesthesia dan critical care: cedera otak traumatik. Bandung: Universitas Padjadjaran; 2012 5. Gopinath SP, Robertson CS. Management of severe head injury. Dalam: Cottrell JE, Smith DS, eds. Anesthesia and Neurosurgery. USA: Mosby Inc; 2001, 663–85 6. Bullock MR, Chestnut R, Ghajar J, Gordon D, Hartl R, et al. Surgical management of acute epidural hematoma. Dalam: Guidelines of The Surgical Management of Traumatic Brain Injury, Neurosurgery 2006;(58): 3 S–1, S2–3 7. Sakabe T, Matsumoto M. Effect of anesthetic agents and other drugs on cerebral blood flow, metabolism, and intracranial pressure. Dalam: Cottrel JE, Young WL, eds. Cottrell and Young's Neuroanesthesia, 5th edition Philadelphia: Mosby Elsevier; 2010; 78–91.
8. Tolani K, Bendo AA, Sakabe T. Anesthetic management of head trauma. Dalam: Newfield P, Cottrell JE, eds. Handbook of Neuroanesthesia. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2012; 98–115 9. Flower O, Hellings S. Sedation in traumatic brain injury. Emerg Med Int 2012 10. Bullock RM, Povlishock TJ. Guideline for the management of severe traumatic brain injury. J Neurotrauma 2007; 24, S1 11. Avellino AM, Lam AM, Winn RH. Management of acute head injury. Dalam: Albin MS. Textbook of Neuroanesthesia with Neurosurgical and Neuroscience Perspective. New York: Mc Graw Hill; 1997; 1137–69. 12. Pong RP, Lam AM, Anesthetic management of cerebral aneurysm surgery. Dalam: Cottrel JE, Young WL, eds. Cottrell and Young's Neuroanestesia, 5th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier;2010, 218–46.
Krisis Tiroid Pascakraniotomi Mikro pada Makroadenoma Hipofise disertai Akromegali Yasmine K. Kartika Putri, Sofyan Harahap Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedoktean Diponegoro-RSUP Dr. Kariadi Semarang
Abstrak Tumor Hipofise sering terjadi pada dewasa dan mewakili 10% tumor intrakranial. Akromegali adalah sindrom klinik yang disebabkan oleh produksi hormon pertumbuhan yang berlebihan dan diketahui sebagai penyakit yang jarang, yang ditandai oleh sekresi yang berlebihan hormon pertumbuhan (GH, growth hormone) dan faktor pertumbuhan seperti insulin (IGF-1/Insulin Growth Factor-1). Insiden keseluruhan akromegali diperkirakan mencapai 3 sampai 5 kasus baru per juta populasi. Akromegali dapat muncul bersamaan dengan gangguan tiroid. Lini pertama pengobatan untuk akromegali adalah operasi transsphenoidal. Manajemen perioperatif operasi hipofise membutuhkan penanganan oleh tim bedah saraf, neuroanaesthesiologists dan ahli endokrin. Semua pasien dengan adenoma hipofise memerlukan evaluasi endokrin menyeluruh pada periode pre-operatif dan di follow-up saat periode post-operatif. Seorang wanita 50 tahun masuk Rumah Sakit dengan keluhan kedua tangan dan kaki membesar, telapak kaki menebal dan bengkok, rahang dan hidung membesar. Riwayat pengobatan hipertiroid ± 3 tahun. Dari pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) kepala dengan kontras didapatkan makroadenoma hipofise. Pasien menjalani prosedur operasi craniotomi mikro transsphenoidal. Pasca operasi pasien dirawat di ICU dan mengalami perburukan dan pada akhirnya meninggal di hari kedua perawatan ICU oleh karena krisis tiroid. Kata kunci: makroadenoma hipofise, akromegali, krisis tiroid
JNI 2016;5(3): 189–96
Thyroid Crisis Post Microcraniotomy of Macroadenoma Pituitary Accompanied Acromegaly Abstract Pituitary tumors are common in adults and represents 10% of intracranial tumors. Acromegaly is a clinical syndrome caused by the production of excess growth hormone and it is known as a rare disease, which is characterized by excessive secretion of growth hormone (GH) and growth factors such as insulin (IGF-1, Insulin Growth Factor-1). The overall incidence of acromegaly is estimated at 3 to 5 new cases per million population. Acromegaly can coexist with thyroid disorders. First-line treatment for acromegaly is transsphenoidal surgery. Perioperative management of pituitary surgery requires treatment by a team of neurosurgeons, neuroanaesthesiologists and endocrinologists. All patients with pituitary adenoma requires a thorough pre -operative endocrine evaluation and a follow- up in post- operative period. A 50 years old woman entered a hospital with complaints of swollen both hands and feet, thicken and crooked foot, enlarging of jaw and nose. She had a history of ± 3 years hyperthyroid treatment. Magnetic resonance imaging (MRI) examination of the head with the contrast obtained macroadenoma pituitary. Patiens underwent micro- surgery procedures of craniotomi transsphenoidal. Post-surgery, Patient being observed in the ICU and her condition was deteriorated and she eventually died on the second day due to thyroid crisis. Key words: macroadenoma hypofise, acromegaly, thyroid crisis
JNI 2016;5(3): 189–96
189
190
I.
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Pendahuluan
Tumor hipofise sering terjadi pada dewasa dan mewakili 10% tumor intrakranial. Pemahaman menyeluruh terhadap patofisiologi penyakit hipofise sangat diperlukan untuk anestesiologist. Klasifikasi tumor hipofise berdasarkan ukuran adalah mikroadenoma (<10 mm) atau makroadenoma (>10 mm) dan, berdasarkan fungsi adalah fungsional dan non-fungsional.1 Akromegali adalah sindrom klinik yang disebabkan oleh produksi hormon pertumbuhan yang berlebihan dan diketahui sebagai penyakit yang jarang1. Akromegali berkembang tidak diketahui dan berlangsung perlahan-lahan, biasanya tetap tidak terdiagnosis selama sekitar 10 tahun.2,3 Insiden keseluruhan akromegali diperkirakan mencapai 3 sampai 5 kasus baru per juta populasi.4 Akromegali merupakan gangguan yang jarang, yang ditandai oleh sekresi yang berlebihan hormon pertumbuhan (GH, growth hormone) dan faktor pertumbuhan seperti insulin (IGF-1, Insulin Growth Factor-1). Lini pertama pengobatan untuk akromegali adalah operasi transsphenoidal.5,6 Akan tetapi, pada sekitar 50% pasien, pembedahan itu sendiri tidak dapat mengendalikan penyakit. Pada kasus –kasus dimana kemungkinan penyembuhan dengan pembedahan adalah rendah, dianjurkan penatalaksanaan dengan analog somatostatin long-acting.6 II. Kasus Anamnesa Seorang wanita 50 tahun masuk Rumah Sakit dengan keluhan nyeri hampir diseluruh sendi yang bertambah berat terutama saat berjalan, kedua tangan dan kaki membesar, telapak kaki menebal dan bengkok, rahang dan hidung membesar, kulit menghitam dan berminyak. Keluhan ini sudah dirasakan selama ± 5 tahun. Selain itu pasien juga sering berkeringat di malam hari, dan berat badan menurun. ± 10 tahun yang lalu penderita sudah tidak haid. Pasien sudah berobat ke penyakit dalam dan diterapi. Riwayat pengobatan hipertiroid ± 3 tahun.
Pemeriksaam Fisik Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak seperti laki-laki, jalan nafas bebas, laju nafas 16 x/menit, suara nafas vesikuler, tidak didapatkan ronkhi maupun wheezing, tekanan darah 140/90 mmHg, laju nadi 88x/menit teratur, skin tag, acne, pembesaran jari- jari tangan dan kaki, plantar thickness extremitas inferior.
Pemeriksaan Penunjang Gambar 1. MRI kepala dengan kontras Lesi bentuk lobulated, batas tegas, tepi reguler, pada intrasella (regio hipofise) yang tampak menyebabkan pelebaran dan flattening dorsum sella serta pendesakan chiasma nerve optic, pada bagian posterior tampak menempel dengan a.carotis interna kanan kiri → cenderung berasal dari pituitary gland, suspek makroadenoma.
Gambar 2. MRI kepala dengan kontras
Krisis Tiroid Pascakraniotomi Mikro pada Makroadenoma Hipofise Disertai Akromegali
191
Pemeriksaan Laboratorium Hematologi
Gambar 2. Foto thoraks PA
Kesan: Bentuk dan letak normal. Elongatio Aorta. Gambaran bronchitis
Gambar 3. EKG: sinus takikardi, RBBB inkomplit
Gambar 4. Sidik tiroid Kesan: Struma nodusa (Nodul autonom)
Gambar 5. Echocardiography Kesan: saat resting, fungsi sistolik global dan segmental dalam batas normal dengan LVEF 77%, disfungsi diastolik LV grade I tanpa peningkatan LVEDP, TR mild, pulmonary hypertension (–)
Satuan
Hemoglobin Hematokrit Eritrosit
11,2 34,3 4,12
MCH MCV MCHC Leukosit
27,3 83,3 32,8 2,80
Trombosit
130
N i l a i Normal gr% 12.00 – 15.00 % 35.0 – 47.0 J u t a / 3.90 – 5.60 mmk Pg 27.00 – 32.00 fL 76.00 – 96.00 gr/dl 29.00 – 36.00 r i b u / 4.00 – 11.00 mmk r i b u / 150.0 – 400.0 mmk
Kimia Klinik G l u k o s a 165 sewaktu Ureum 19
Satuan mg/dL
Nilai Normal 74 – 106
mg/dl
15 – 39
Kreatinin 0,5 SGOT 18 SGPT 31 A l k a l i 81 Phosphatase Gamma GT 50 Protein Total 6,6 Albumin 3,6 Asam Urat 3,7 HbsAg Negatif Magnesium 0,86 TSHs <0,05 Free T4 56,68
mg/dl U/L U/L U/L
0.60 – 1.30 15–34 15–60 50–136
U/L g/dL g/dL mg/dL
5-55 6,4-8,2 3,4-5,0 2,6-6,0
Hormon IGF-1
783
Satuan 783 ng/mL
Nilai Normal 87–238
Prolaktin
42.03
ng/mL
2–29
mmo/L 0,74-0,99 uIU/mL 0,25-5 pmol/L 10,6-19,4
Pengelolaan Anestesi Pasien menjalani prosedur operasi craniotomi mikro transphenoid dengan status fisik ASA II, mallampati III dengan makroglossia. Premedikasi diberikan midazolam 0,12 mg/kgBB. Induksi
192
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
dengan propofol 2mg/kg, rocuronium 0,6 mg/ kg dan fentanyl 2 ug/kg. intubasi sulit dengan percobaan intubasi 3 kali, dilakukan dengan menggunakan laringoscope Macintosh dengan pipa endotrakheal non kinking nomor 7 kedalaman 20 cm pada tepi bibir. durante operasi tekanan darah 140/80 mmHg, heart rate 98 kali/menit, SpO2 99–100%. Tehnik maintenance anestesi dengan oksigen, N2O dan sevofluran 1 MAC, dikontrol dengan ventilator. Operasi berjalan selama 3 jam dengan total cairan masuk RL 2000 ml, jumlah perdarahan 100 ml dan produksi urin 300 ml.
pukul 08.00 keesokan hari. Selama di ICU pasien mendapatkan sedasi midazolam 1 mg/jam. Di hari kedua ICU kondisi pasien mengalami perburukan, kesadaran somnolen, Tekanan darah 160/90 mmHg, Heart Rate 140x/menit, Nafas 30x/menit, suhu 40 celcius, kadar free T4 56,68 pml/L (10,6– 19,4) dan TsHS <0,05, diberikan PTU 100 mg/8 jam, Lugol 8 tetes/8 jam, propanolol 40 mg/ 8 jam dan methylprednisolon 125 mg/12 jam. Pasien meninggal 12 jam kemudian karena krisis tiroid Gambar 6. Grafik vital signs hari pertama di ICU.
Pascabedah Pascabedah pasien dirawat di Intensive Care Unit (ICU). Hari pertama di ICU, pasien masuk pukul 12.00 dan dalam kontrol ventilator (volume control, FiO2 50%, RR 14x/menit, P-inspirasi 14, PEEP 5, VT 450 cc, sat 99%) selama 6 jam dan dilakukan weaning bertahap serta ekstubasi
Salah satu manifestasi klinis yang paling sering dari akromegali mempengaruhi sendi, sekitar 70% dari individu pada saat diagnosis. Perubahan artikular adalah penyebab paling sering dan berat yang menyebabkan morbiditas dan kecacatan pada pasien. Patogenesis artropati pada akromegali terdiri dari dua mekanisme: peningkatan GH dan IGF-I memicu pertumbuhan tulang rawan artikular dan ligamen periarticular, kemudian menyebabkan perubahan mekanis. Artralgia merupakan salah satu keluhan yang paling umum pada pasien akromegali. Artropati pada sendi besar merupakan gambaran dari penyakit, terjadi pada sekitar 70% pasien, yang merupakan hasil dari penebalan jaringan fibrosa tulang rawan dan periarticular yang menyebabkan pembengkakan sendi, nyeri, dan penurunan gerak diikuti oleh penyempitan ruang sendi, osteopitosis, dan gambaran osteoarthritis dengan penyakit kronis . Sekitar 50% dari pasien memiliki artropati aksial (pelebaran ruang diskus, pembesaran tulang belakang, dan pembentukan osteofit) terutama mempengaruhi daerah lumbar. Pengaruh pada daerah lumbal dapat menyebabkan berbagai keterbatas gerakan, ketidakstabilan sendi, dan deformitas sendi.7
Gambar 6. Grafik Tanda Vital hari pertama di ICU
Gambar 7. Grafik vital signs hari kedua di ICU
III. Pembahasan
Hipertensi merupakan komplikasi penting dari akromegali. Prevalensi hipertensi pada pasien akromegali adalah sekitar 35%. Penurunan tekanan darah yang diamati bersamaan dengan penurunan kadar GH setelah terapi akromegali yang sukses menunjukkan hubungan antara peningkatan GH atau IGF-I dan hipertensi. Mekanisme yang tepat yang mendasari berkembangnya hipertensi pada
Krisis Tiroid Pascakraniotomi Mikro pada Makroadenoma Hipofise Disertai Akromegali
akromegali masih belum jelas, tetapi mungkin termasuk beberapa faktor tergantung pada paparan kronis peningkatan GH atau IGF–I.8 Manifestasi klinis, seperti prognathism dan maloklusi gigi, adalah akibat penebalan dari bentuk wajah dan proliferasi tulang, hal ini merupakan patognomonik dari akromegali. Didapatkan juga penebalan dari mukosa laring dan faring, hipertrofi daerah peri-epiglotik, kalsinosis laring yang menyebabkan penyempitan bukaan laring dan bahkan cidera dari nervus laryngeal rekuren. Manifestasi sistemik dari akromegali termasuk gangguan cardiovascular, diabetes mellitus dan hipersekresi adrenokortikotropik Manajemen airway pada pasien dengan akromegali dapat memberikan kesulitan saat ventilasi dan intubasi dikarenakan penebalan dari mukosa hidung, mulut, bibir dan lidah. Anestesiologist harus mempersiapkan manajemen difficult airway.1 Kesulitan pemakaian laryngeal mask airway (LMA) terjadi oleh karena abnormalitas upper airway, terutama karena lidah besar. Hal yang sama juga terjadi pada penggunaan fiberoptic flexible.1 Akromegali dapat muncul bersamaan dengan gangguan tiroid, patologi yang paling sering adalah goiter (gondok). Berdasarkan riset dari tahun 1960–2008 menunjukkan bahwa goiter terjadi pada 20% sampai 90% pasien akromegali, biasanya dalam bentuk aktif (55%). Non-toxic nodular goitre (39,9%) dan non-toxic diffuse goitre (17,8%) adalah bentuk yang paling sering. Sedangkan toxic nodular goitre lebih jarang (14,3%). Dan juga telah dilaporkan bahwa 13% hingga 17,5% pasien akromegali menjalani tiroidektomi dan sebagian besar dilakukan sebelum mereka terdiagnosa adenoma hipofise.9 Fungsi tiroid normal dijaga oleh inkteraksi endokrin antara hipotalamus, hipofise anterior dan kelenjar tiroid. Iodide ditranspor melewati membran basalis dari sel tiroid oleh membran protein intrinsik yang disebut Na/I symporter (NIS). Diujung apikal, protein transpor iodide sekuder yang disebut pendrin menggerakkan iodide kedalam koloid, dimana akan terlibat pada hormonogenesis. Di dalam folikel, sebagian besar iodide dioksidasi oleh enzim thyroid peroxidase (TPO) sebagai reaksi yang memfasilitasi kombinasi dengan molekul
193
tyrosine untuk membentuk thyroxine (T4) dan triiodothyronine (T3). Thyroxine adalah hormon tiroid utama yang disekresi kedalam sirkulasi (90%, dengan T3 adalah 10% sisanya. Seluruh organ penting dalam tubuh dipengaruhi oleh perubahan kadar hormon tiroid. Aksi ini terutama di perantarai oleh T3, di dalam sel, T3 mengikat reseptor nuclear, menyebabkan transkripsi dari gen spesifik respon hormon tiroid. Beberapa penelitian menjelaskan akibat lamanya penyakit akromegali terhadap pembentukan patologi dari tiroid. Cheung dan Boyages mengemukakan bahwa pada tahap awal akromegali muncul struma difusa, otonom tiroid perlahan muncul, dan pasien yang menderita sakit lebih lama memiliki struma nodular, hal ini dijelaskan dari pemaparan sel tiroid terhadap peningkatan kadar IGF–1 yang lebih lama. Riset mengkonfirmasi bahwa pembesaran tiroid pada akromegali berubungan dengan peningkatan kadar IGF-1.9 Berdasarkan studi yang melibatkan 3.662 pasien sehat (tidak terdiagnosa gangguan tiroid, tidak ada akromegali) yang tinggal di Jerman bagian utara, terjadianya peningkatan kadar IGF-1 dihubungkan dengan struma. Dokumentasi bahwa pada kelompok pasien akromegali, ratarata kadar GH preoperatif lebih tinggi pada pasien dengan pembesaran tiroid daripada yang tanpa pembesaran struma.9 Selanjutnya, struma dikorelasikan dengan durasi dari peningkatan GH dalam serum. Stimulasi berkepanjangan epitel folikuler tiroid oleh GH dan IGF–1 dapat menyebabkan pembesaran tiroid dan gangguan fungsi tiroid pada pasien akromegali.9,10 Pengaruh Thyroid-Stimulating Hormone (TSH) terhadap pembentukan struma pada pasien akromegali adalah sangat kompleks. Beberapa peneliti menyimpulkan bahwa terdapat hubungan terbalik antara volume tiroid dan kadar TSH. Dilain pihak juga diperkirakan bahwa struma berkembang independen dari TSH meskipun TSH adalah faktor penting yang mendukung efek IGF–1 terhadap tiroid. Studi lebih lanjut, TSH diperkirakan memainkan peran penting pada pembentukan struma pada tahap awal akromegali, akan tetapi pada fase lebih lanjut, ketika otonomisasi dari tiroid sudah terbentuk, peran TSH tidak lagi diperlukan
194
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
untuk pembesaran volume tiroid. Sebagian besar pasien akromegali adalah euthyroidism (67%) dan 25% memiliki hypothyroidism.9 Hyperthyroidism telah ditemukan pada 3,5– 26% pasien. Tirotoksikosis jarang terjadi tetapi meningkatkan resiko kardiovaskuler terutama bila dikombinasikan dengan tingginya kadar GH dan IGF–1. Hyperthyroidism harus dipertimbangkan pada pasien akromegali dengan penurunan berat badan setelah menyingkirkan kemungkinan kanker. Beberapa faktor mempengaruhi sekresi TSH dari hipofise. Sintesis dan sekresi TSH sebagian besar dikontrol oleh stimulus dari TRH dan umpan balik negatif dari hormon tiroid (T3 dan T4). Regulator lainnya seperti leptin, dopamin, GH, IGF–1 dan somatostatin kurang berperan. Sistem saraf otonom memodulasi sensitivitas tiroid terhadap TSH. Sekresi TSH penting untuk menjaga energi homeostasis dan produksi panas basal. Studi juga menunjukkan bahwa GH dan IGF-1 baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi sekresi TSH oleh sel tiroropin.9 Dopamine menghambat sintesis dan sekresi dari TSH melalui reseptor D2 yang distimulasi di sel thyreotropic, yang menyebabkan penurunan amplitudo denyut TSH, tetapi tidak mempengaruhi frekuensi.
Somatostatin menghambat sekresi TSH dengan mengaktivasi dua reseptor subtipe, SST2 dan SST5, di sel thyreotropic. Dalam kondisi fisiologis, GH memberikan mekanisme umpan balik terhadap sekresi somatostatin hipotalamus, meningkatkan pelepasannya dan menurunkan sekresi dari growth -hormone-releasing hormone (GHRH). Selanjutnya peningkatan jumlah somatostatin dan akibatnya pada sel thyreotropic dapat menghambat sekresi TSH. Dilain pihak, GHRH, memiliki efek sinergis pada sekresi TSH setelah TRH baik pada pasien sehat maupun akromegali. Salah satu sinyal metabolik yang penting dalam memodulasi aktivitas hypothalamic-hipofise-thyroid axis adalah leptin; memiliki efek stimulasi pada sintesis dan pelepasan TRH baik secara direk maupun indirek via neuron. Roelfsema et al. mengemukakan hipotesis bahwa produksi dan sekresi TSH pada aktif akromegali dapat diturunkan dengan beberapa mekanisme. Salah satunya berhubungan dengan inhibisi transmisi leptin di nukleus paraventricular, dimana konsentrasi leptin berkurang pada pasien dengan akromegali dan meningkat setelah adenoma hipofise di operasi atau diterapi dengan analog somatostatin atau reseptor GH blocker.9 Mekanisme lainnya berhubungan dengan meningkatnya konversi T3 ke T4 intraseluler
Tabel 1. Jenis Adenoma Hipofise Sekretorik dan Obat-Obatannya Tipe dan insiden Prolaktinoma – 35%
Obat Dopamin agonis Bromocriptine, cabergoline
GH secreting tumours –20%
Analog somatostatin Ocreotide, lanreotide Antagonis reseptor GH Pegvisomant
ACTH secreting tumours –7%
Ketoconazole, metyropone
TSH secreting tumours –<3%
Somatostatin analogue Ocreotide
Aksi Menurunkan hiperprolaktinemia, mengecilkan ukuran tumor, mengembalikan fungsi reproduksi Menghambat produksi GH dan proliferasi somatotropin. Mengurangi produksi IGF-1. Tidak mengecilkan ukuran tumor Menghambat steroidogenesis di kelenjar adrenal. Tidak mengecilkan ukuran tumor atau mengembalikan fungsi normal pituitary Dapat menghambat sekresi TSH. Dapat mengurangi ukuran tumor
GH= Growth Hormone, TSH= Thyroid Secreting Hormone, ACTH= Adrenocorticotropic Hormone, IGF–1= Insulinlike Growth Factor-1
Krisis Tiroid Pascakraniotomi Mikro pada Makroadenoma Hipofise Disertai Akromegali
Tabel 2. Sistem skoring Burch dan Wartofsky Parameter Diagnostik Suhu 37,2 – 37,7 37,8–38,2
Gangguan Saraf Pusat
38,3 –38,8 38,9–39,4 39,4 –39,9 >40 Sistem Ringan (Agitasi)
Skor 5 10 15 20 25 30 10
Sedang (Delirium/ 20 Psikosis) Berat (Kejang/ 30 Koma) G a n g g u a n Sedang ( Diare) 10 Gastrointestinal Berat (Jaundice) 20 Takikardi 99 – 109 5 110 – 119 10 120 – 129 15 130 – 139 20 >140 26 Gagal Jantung Ringan 5 Kongestif Sedang 10 Atrial Fibrilasi Riwayat krisis tiroid
Berat Tidak ada Ada Tidak ada Ada
15 0 10 0 10
Dikutip dari Burch and Wartofsky, 1993
(intrahipofise) sebagai respon GH berlebihan, yang dapat menurunkan sintesis dan sekresi TSH. Meskipun pasien akromegali memiliki kadar TSH yang rendah, tidak demikian hal nya dengan konsentrasi T4 di darah. Riset menunjukkan adanya peningkatan aktivitas biologis TSH melalui perubahan rantai oligosakarida dari partikel TSH dalam proses post-translasional atau akibat dari sistem saraf otonom.9 Pada pasien ini terjadi krisis tiroid/badai tiroid yang mana krisis tiroid suatu keadaan yang mengancam kehidupan, kematian pada krisis tiroid antara 20% sampai 30% . Badai tiroid adalah manifestasi
195
akut dari tirotoksikosis yang berlebihan.11 Banyak manifestasi dari tirotoksikosis yang dihubungkan dengan peningkatan konsumsi oksigen dan penggunaan bahan bakar metabolik yang diasosiasikan dengan kondisi hipermetabolik, demikian halnya dengan peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis. Patofisiologi dari badai tiroid tidak sepenuhnya dimengerti, tetapi dianggap berhubungan dengan peningkatan jumlah reseptor betaadrenergic yang terpapar oleh peningkatan kadar katekolamin pada kondisi stress. Badai tiroid per definisi mewakili kondisi ekstrem dari spektrum tirotoksikosis dimana dekompensasi fungsi organ terjadi. Sistem skoring dari Burch dan Wartofsky menggambarkan situasi tipikal disfungsi akhir organ yang terlihat pada badai tiroid.11 IV. Simpulan Manajemen perioperatif operasi hipofise membutuhkan penanganan oleh tim bedah saraf, neuroanaesthesiologists dan ahli endokrin. Semua pasien dengan adenoma hipofise memerlukan evaluasi endokrin menyeluruh pada periode preoperatif dan di follow-up saat periode post-operatif. Tantangan yang dihadapi oleh anestesiologist berhubungan dengan sistem endokrin dan terapi hormon perioperatif, manajemen airway, stabilitas hemodinamik intraoperatif, dan komplikasi post-operatif yang seringnya adalah gangguan keseimbangan cairan dan natrium. Meskipun hipertiroid yang menyertai akromegali sudah diterapi, dan dari klinis menunjukkan eutiroid, ancaman krisis tiroid tetap tidak dapat diabaikan oleh karena pemaparan kronis kelenjar tiroid dari gangguan hormonal akibat adenoma hipofise telah mengubah otonomisasi tiroid. Daftar Pustaka 1. Abraham M. Perioperative management of patients with hipofise tumor. Journal of Neuroanesthesiology and Critical Care. 2016; 3(3):211–18. 2. Ozkaya M, Sayiner ZA, Kiran G, Gul K, Erkutlu I, Elboga U. Ectopic acromegaly due
196
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
to a growth hormone secreting neuroendocrine diferentiated tumor developed from ovarian mature cystic teratoma. Wiener klinische Wochenschrift journal. 2015; 127: 491–93 3. Lau IT, Yeung CK, Chan CP. An unusual cause of acromegaly. Hong Kong Med J. 2014; 20(4): 331–34 4. Philippe CP, Salenave S. Acromegaly. Orphanet Journal of Rare Diseases. 2008;3: 17 5. Kanakapura G, Chandrashekar P, Prabhu V. Acromegaly : a case report. International Journal of Oral & Maxillofacial Pathology. 2012; 3(1):38–43. 6. Wuster C, Cordes W, Omran W, Reischa R. Primary treatment of acromegaly with highdose lanreotide: a case series. Journal of Medical Case Reports. 2010; 4: 85.
7. Kleinberg DL, Stavrou S. Rheumatic manifestations of hipofise tumors. Current Rheumatology Reports. 2001; 3: 459–63. 8. Bondanelli M, Ambrosio MR, Uberti D. Pathogenesis and Prevalence of Hypertension in Acromegaly. Kluwer Academic Publishers. 2001; 4: 239–49. 9. Dabrowska AM, Tarach JS, Kurowska M, Nowakowski A. Thyroid disease in patient with acromegaly. Arch Med Sci. 2014;10(4) 10. Uchoa HB, Lima GA, Correa LL, Vidal AP, Cavallieri SA, Vaisman M, et al. prevalence of thyroid disease in patients with acromegaly –experience of a Brazilian centre. Arq Bras Endocrinol Metab. 2013;57(9):685–90. 11. Caroll R, Matfin G. Endocrine and metabolic emergencies: thyroid storm. Ther Adv Endrocinol Metab 2010; 1(3): 13–45.
Manajemen Cairan dan Elektrolit pada Pasien Cedera Kepala Bau Indah Aulyan Syah*), Syafruddin Gaus**), Sri Rahardjo***)
Departemen Anestesiologi &Terapi Intensif Rumah Sakit Awal Bros Makassar, **)Departemen Anestesiologi &Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin RSUP Dr. Wahidin Makassar, ***)Departemen Anestesiologi &Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada-RSUP dr. Sardjito Yogyakarta *)
Abstrak
Manajemen pasien cedera kepala harus selalu difokuskan pada penatalaksanaan cedera primer dan cedera sekunder. Pemeliharaan perfusi serebral dan pencegahan hipertensi intrakranial yang mencakup pemeliharaan osmolalitas merupakan bagian penting dalam tatalaksana cairan dan elektrolit pasien cedera kepala, terutama bila diduga sawar darah otak tidak intak. Pemberian dan jenis cairan harus mempertimbangkan ketidakmampuan otak pasien dalam mengatasi perubahan volume dan osmolalitas seluler dan peningkatan konsumsi oksigen serebral. Target tekanan perfusi serebral antara 50–70 mmHg. Pemilihan jenis cairan pada cedera kepala masih kontroversi, karena baik koloid maupun kristaloid dianggap memiliki efek samping yang sama beratnya terhadap otak yang cedera. Dari penelitian SAFE (Saline and Albumin Fluid Evaluation) ditemukan luaran mortalitas-28 hari yang lebih tinggi pada pasien yang menerima koloid (albumin 4%) dibanding yang menerima kristaloid (salin isotonik). Sifat hipotonis albuminlah (osmolalitas 260 mOsml/ kg) yang membahayakan pasien cedera kepala, bukan karena sifat koloidnya. Rekomendasi terkini menganjurkan penggunaan larutan isotonik seperti NaCl 0,9%. Penanganan hipertensi intrakranial pada cedera kepala juga sering melibatkan terapi hiperosmolar, dan yang paling dominan adalah mannitol yang dianjurkan hanya untuk jangka pendek dan pada sawar darah otak yang intak, serta dalam cakupan osmolaritas darah 300–310 mOsm/l. Selain mannitol, salin hipertonik dapat menjadi alternatif, namun harus dihindari bila kadar natrium serum lebih dari 160 mmol/L.
Kata Kunci: Cairan dan elektrolit, resusitasi cairan, osmolalitas, terapi hiperosmolar
JNI 2016;5(3): 197–209
Fluid and Electrolyte Management in Head Injury Patient Abstract Treatment for head trauma patients should always be focused on the management of the primary and secondary trauma. Maintaining cerebral perfusion and preventing intracranial hypertension, which include maintaining cerebral osmolality, is part of the crucial fluid and electrolyte management for patients with head injury, particularly when the blood brain barrier is assumed to be no longer intact. Fluid administration and the type of the fluids given should carefully account the patient brain capability to adjust to volume change and cellular osmolality, and to an increase in cerebral oxygen consumtion. Target of cerebral perfusion pressure in the range of 50-70 mmHg. The preference fluid for patients with head injury remains controversial, because either colloid or crystalloid fluids are both believed to be equally detrimental in side effects. However, SAFE (Saline and Albumin Fluid Evaluation) research revealed 28 days mortality outcome higher among patients receiving colloid (4% albumin) compared to those receiving crystalloid (Isotonic saline). It was the hypotonisity of the albumin (osmolality 260 mOsml/kg) that was harmful in nature for the patients brain, instead of its colloid characteristics. Recent updates recommend using isotonic solution such NaCl 0.9%. Intracranial hypertension management in head injury cases is frequently combined with hyperosmolar therapy, which dominantly using mannitol which is recommended limited to certain circumstances: short period of administration, intact condition of blood brain barrier, and with osmolarity coverage in range of 300-310 mOsml/L. As alternative, hypertonic saline can also be used, hence should be avoided when sodium serum concentration is higher than 160 mmol/L.
Key Words: Fluids and electrolytes, fluid rescucitation, osmolality, hyperosmolar therapy
JNI 2016;5(3): 197–209
197
198
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Pendahuluan Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama tingginya angka mortalitas dan morbiditas (kecacatan berat) di seluruh dunia sehingga masih menjadi salah satu perhatian utama pada layanan kesehatan. Salah satu konsep yang berkembang akhir-akhir ini menyatakan bahwa penyebab mortalitas dan morbiditas ini bukan akibat cedera primer, namun akibat cedera sekunder yang bisa memburuk akibat penanganan yang terlambat atau tidak tepat, termasuk dalam hal tatalaksana cairan dan elektrolit. Pada tahap awal penanganan pasien cedera kepala, terapi memang sudah harus difokuskan utamanya pada minimalisasi cedera otak sekunder. Hipertensi intrakranial (intracranial hypertension/ ICH) merupakan penyebab tersering kematian dan masalah sekunder paling banyak setelah cedera kepala. Pemeliharaan tekanan perfusi serebral (cerebral perfusion pressure/CPP), yang berhubungan dengan kontrol tekanan intrakranial (TIK) merupakan kunci utama penanganan defisit ion terkait iskemia otak pada pasien cedera otak.1 Pemberian anestetik inhalasi dan vasodilator kuat selama pembedahan akan menurunkan tekanan pengisian jantung (cardiac filling pressure)
A
tanpa merubah volume intravaskuler yang nyata. Hipertensi intrakranial akibat edema serebral saat ini diketahui sebagai penyebab utama kematian dan morbiditas pada periode intraoperatif dan pasca bedah. Cairan umumnya dikategorikan berdasarkan osmolalitas, tekanan onkotik, dan kandungan glukosa. Kristaloid diistilahkan untuk larutan yang tidak mengandung senyawa dengan berat molekul tinggi sehingga memiliki tekanan onkotik senilai nol. Kristaloid bisa hiperosmolar, hipoosmolar, atau iso-osmolar dan bisa tidak mengandung glukosa. Koloid diaplikasikan untuk cairan dengan tekanan onkotik mendekati sifat plasma. Pasien dengan cedera kepala sering terkait syok hemoragik dan memerlukan resusitasi yang segera. Ahli anestesi seringkali dipersulit oleh beberapa hal seperti seberapa cepat restorasi cairan dan perfusi organ dilakukan, dan jenis cairan apa yang paling sesuai diberikan sambil meminimalkan risiko edema serebral.2 Fisiologi Cairan Serebral Cairan intrakranial secara konseptual dibagi menjadi 3 ruang seperti pada jaringan lain, yaitu: intravaskuler, interstisiel, dan intraseluler dengan tambahan cairan interstisiel khusus yaitu cairan serebrospinal (CSS). Regulasi utama cairan otak diperankan oleh sawar antara ruang cairan otak,
B
Gambar 1. Perbedaan kapiler jaringan perifer (a) dan jaringan otak (b). HMW, high-molecular-weight; LMW, low-molecular-weight. Dikutip Dari kepustakaan No. 2
Manajemen Cairan dan Elektrolit pada Cedera Kepala
yaitu sawar darah otak (blood brain barier/BBB).3 Struktur anatomi BBB terdiri dari sel-sel endotel vaskuler serebral, perisit, lamina basalis, serta astrosit perivaskuler. Semua unit ini disebut juga unit neurovaskuler. Sel-sel endotel terhubung satu sama lain dengan thight junctions dimana setiap zat di transport secara transeluler, yang berkebalikan dengan paraseluler seperti pada sirkulasi perifer. Anatomi unit neurovaskuler yang unik membuat volume otak cenderung terpelihara konstan bahkan dalam keadaan perubahan status volume intravaskuler yang nyata.4 Perbedaan kapiler otak dan perifer dapat dilihat pada Gambar 1.2,3 Blood brain barier/ BBB (diestimasikan memiliki pori-pori sebesar 7–9 Å) ternyata memiliki permeabilitas yang pasif terhadap air sehingga setiap penurunan akut osmolalitas plasma akan meningkatkan kandungan air otak secara akut juga. Sel-sel neuron akan berkompensasi dengan cara menurunkan zat osmotik intraseluler secara aktif disebut juga volume regulatory decrease/ VRD) yang akhirnya akan menormalkan volume seluler otak.4 Selama tiga jam pertama, sel-sel akan kehilangan ion-ion inorganik seperti Na+, K+, dan Cl–. Jalur pertama diaktivasi edema otak memerlukan energi karena Na+ dikeluarkan dengan pompa Na+-K+ ATPase, yang mewakili pertahanan utama terhadap edema serebral. Saat status hipo-osmolalitas plasma teratasi, kandungan air akan menurun secara proporsional, namun pada kasus yang berat bisa mengarah ke demyelinisasi. Sekali lagi, sel-sel bereaksi dengan menarik zat-zat osmotik ke dalam sel (volume regulatory increase/VRI). Namun demikian, proses ini kurang efisien dibanding mekanisme VRD. Karena itu, sekuele kritis perubahan akut osmolalitas sebaiknya dihindari jika memungkinkan dalam praktik klinik.4 Istilah (Pc–Pt) menggambarkan peranan tekanan hidrostatik yang umumnya mengarah pada “tekanan darah”. Secara virtual tekanan ini lebih tinggi dalam pembuluh darah di bandingkan dengan di jaringan, sehingga cenderung mendorong air ke dalam jaringan. Peningkatan tekanan intravaskuler (Pc), penurunan tekanan di dalam jaringan (Pt), atau peningkatan hantaran air melalui dinding pembuluh darah akan menyebabkan akumulasi cairan interstisiel yang dikenal dengan edema vasogenik.3
199
Aliran air dari ruang intravaskuler ke interstisiel pada otak sesuai dengan model Starling’s Law: Qf= KfS {(Pc–P1–∑6(πc–πi)} Qf
= pergerakan cairan (jumlah cairan yang melintasi kapiler menuju ruang di sekitar ekstraseluler (interstisiel) KfS = koefisien filtrasi membran, S = area permukaan membran kapiler Pc = tekanan hidrostatik kapiler Pt = tekanan hidrostatik interstisiel (umumnya negatif) ∑σ = koefisien refleksi dinding kapiler terhadap tiap larutan, nilai ini mulai dari 1 (tidak ada pergerakan larutan melintasi membran) hingga 0 (difusi bebas melintasi membran) πc = tekanan onkotik setiap larutan dalam kapiler πi = tekanan onkotik setiap larutan dalam interstisel2, 3
Pada jaringan perifer, satu-satunya kekuatan yang memelihara volume intravaskuler adalah tekanan onkotik plasma, yang ditentukan oleh high-molecular-weight proteins/HMW (protein dengan berat molekul-tinggi) dalam plasma yang tidak dapat melintasi dinding kapiler. Di perifer, sebagian besar low molecularweight/LMW (partikel dengan berat molekul rendah) termasuk ion natrium, klorida, glukosa, dan mannitol) dapat melintasi dinding kapiler dengan bebas. Pemberian larutan LMW tidak dapat mempengaruhi pergerakan air antara interstisiel dan vaskuler karena tidak tercipta gradien osmotik. Sebaliknya, peningkatan tekanan onkotik plasma akibat pemberian larutan pekat seperti albumin, hetastarch, atau dextran akan menarik air dari interstisiel ke dalam pembuluh darah karena partikel HMW tersebut sulit melintasi dinding kapiler.2 Larutan hipertonik salin akan menciptakan gradien osmotik di sekitar membran sel sehingga cairan mudah berpindah dari intraseluler ke kompartemen ekstraseluler,
200
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
termasuk ruang intravaskuler (Gambar 1a). Pengaruh Terapi Cairan terhadap Otak Regulasi yang kompleks pada volume serebral sebagai respon terhadap perubahan osmolalitas merupakan pusat perhatian utama dalam hal konteks terapi cairan pada pasien dengan BBB yang intak atau terganggu. Penentu utama termasuk osmolalitas dan tekanan osmotik koloid sediaan cairan. Suatu cairan kristaloid iso-osmotik (yang ekuivalen dengan osmolalitas plasma fisiologis 288±5 mosml/kg) didistribusikan secara merata ke ruang intravaskuler dan interstisiel, karena sel-sel endotel perifer menjadi tempat pertukaran cairan dan elektrolit tanpa batasan. Karena itu, kristaloid dalam volume besar berhubungan langsung dengan pembentukan edema ekstraseluler yang tergantung dosis.4 Pada kenyataannya, unit neurovaskuler mencegah elektrolit melintas dari ruang intravaskuler ke ruang interstisiel secara pasif. Karena itu, volume intrakranial tidak akan meningkat bahkan pada pemberian larutan kristaloid iso-osmotik. Di lain pihak, larutan hipo-osmotik didistribusikan ke seluruh cairan tubuh, termasuk ruang intraseluler sehingga terjadi peningkatan volume intraseluler yang akan memaksa otak berespon menurunkan senyawa intraseluler secara aktif (berarti memerlukan ATP). Untuk mencegah potensi sekuele edema otak yang fatal, pemberian larutan hipo-osmotik secara cepat atau resusitasi dalam dosis tinggi atau pemberian pada pasien dengan patologi otak sebaiknya secara umum dihindari.4 Gangguan Cairan dan Elektrolit pada Pasien Cedera Kepala Selain kejadian pada tingkat seluler, cedera pada hipotalamus dan kelenjar hipofisis akibat tekanan yang ditransmisikan ke kepala akibat trauma, seiring dengan edema serebral, sering menyebabkan gangguan cairan dan elektrolit yang sangat mempengaruhi mortalitas dan morbiditas pasien dengan cedera otak. Faktor hidro-elektrolit dan hemodinamik memiliki efek yang penting pada pasien dengan cedera kepala dan sangat terpengaruh oleh integritas sawar darah otak (BBB) dan karakteristik tekanan perfusi serebral (CPP).4 Hiponatremia (konsentrasi ion natrium dibawah 136 mEq/L) merupakan abnormalitas elektrolit
yang paling banyak ditemui dan hubungannya dengan otak sangat kuat. Karena itu, tidak mengejutkan bahwa hiponatremia sangat sering ditemukan pada ruang lingkup bedah saraf (50%) dan neuro-ICU (38%). Patologi neurologi utama yang paling sering adalah perdarahan subarachnoid, serangan serebrovaskuler, tumor kepala, dan cedera kepala, yang menyebabkan hiponatremia akibat Syndrome of Inappropriate Secretion of Anti Diuretic Hormone (SIADH) atau akibat Cerebral Salt Wasting Syndrome (CSW), yang masing-masing mengakibatkan pelepasan ADH atau natriuretic peptide dari otak sebagai respon suatu cedera. Manifestasi klinik hiponatremia secara khusus terkait disfungsi SSP, dan lebih dramatis bila penurunan natrium serum terjadi akut. Ensefalopati hiponatremik diketahui merupakan konsekuensi edema otak akibat hiponatremia akut dan dilaporkan mewakili mortalitas sebesar 34%. Di sisi lain, koreksi hiponatremia, jika tidak tepat, akan terkait dengan kerusakan otak yang permanen. Dalam praktik klinik juga sering ditemukan gangguan kalium, terutama hipokalemia.7 Hipernatremia akan ditemukan pada pasien cedera kepala yang disertai diabetes insipidus (DI) sentral dengan kisaran 15–30%.2, 4 Manajemen cairan pasien dengan cedera kepala merupakan tantangan di seluruh dunia. Cairan isotonik merupakan cairan yang paling sering diberikan untuk resusitasi dan rumatan karena dianggap tidak menyebabkan gangguan signifikan dalam tubuh. Namun demikian, ternyata setelah 10 hari menerima cairan ini, gangguan elektrolit terutama natrium masih bisa terjadi, bahkan menyebabkan penurunan kesadaran. Manajemen cairan dengan memperhatikan keseimbangan elektrolit merupakan strategi yang paling penting untuk mencegah hal semacam ini.2,7 Pasien dengan COT berat sangat berisiko mengalami kelainan hipomagnesaemia, hipokalemia, dan hipokalsemia dengan penyebab multifactor alkalosis yang timbul karena efek hiperventilasi spontan atau dari ventilator. Selain itu bisa terjadi akibat pemberian terapi diuretik osmotik dan kortikosteroid terhadap pasien COT.8 Target Resusitasi Cairan pada Cedera Kepala Pada cedera kepala berat, kejadian sekunder
Manajemen Cairan dan Elektrolit pada Cedera Kepala
sering dan sangat mempengaruhi luaran pasien. Pengaruh ini kebanyakan akibat adanya periode hipoksemia (PaO2 < 60 mmHg) dan hipotensi. Satu periode hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg) berhubungan dengan mortalitas dan morbiditas dua kali lipat bila dibandingkan pasien tanpa hipotensi.9 Bahkan, dilaporkan bahwa hipotensi pada periode intra-operatif akan meningkatkan mortalitas hingga tiga kali lipat. Resusitasi cairan idealnya dimulai pada periode sebelum masuk rumah sakit dan dilanjutkan di unit gawat darurat serta kamar operasi dengan target optimalisasi tekanan perfusi serebral (cerebral perfusion pressure/CPP). Fondasi cedera otak mengharuskan untuk menghindari hipotensi dan menganjurkan tekanan darah sistol dipertahankan lebih dari 90 mmHg. Pada pasien dengan cedera kepala, hipotensi merupakan masalah yang paling mungkin untuk dicegah dan sebaiknya dicegah serta di atasi secara agresif.9,10 Ada tiga strategi manajemen CPP berdasarkan perbedaan konsep patofisiologis. Konsep yang paling sering diterapkan adalah konsep “Edinburgh” yang menekankan bahwa aliran darah otak (cerebral blood flow/CBF) akan rendah pada periode pasca cedera sehingga mengganggu autoregulasi, karena itu sangat perlu menunjang CPP (tekanan arteri rerata/mean arterial pressure (MAP) – tekanan intrakranial/intracranial pressure (TIK/ICP)] hingga mencapai 70 mmHg. Konsep “Birmingham” menganjurkan hipertensi yang disengaja dengan farmakologi. Pendekatan ini berdasarkan keyakinan bahwa autoregulasi sebenarnya masih intak dan hipertensi akan menyebabkan vasokonstriksi serebral sehingga menurunkan CBV (volume darah otak/ cerebral blood volume) dan TIK. Konsep “Lund” menekankan peranan hiperemia dalam kejadian peningkatan TIK. Pendekatan tersebut menggunakan anti-hipertensi untuk menurunkan tekanan darah sambil memelihara CPP lebih dari 50 mmHg. Seiring waktu, “Lund” melakukan modifikasi terhadap konsep mereka dan menganggap CPP 60–70 mmHg dianggap optimal dan normovolemia merupakan target klinik yang penting dicapai. Panduan dari Management of Severe Traumatic Brain Injury menganjurkan CPP antara 50–70 mmHg.2 Dari segi osmolaritas,
201
target resusitasi dipelihara pada kisaran osmolaritas normal, yaitu 280 and 295 mOsm/L.11 Beberapa literatur merekomendasikan resusitasi cairan intravena untuk memelihara euvolemia dengan panduan kateter invasive (seperti CVP atau PCWP) atau metode non-invasif (seperti echocardiogram atau pemantauan curah jantung non-invasif) untuk menilai status volume dan hemodinamik dengan metode statik (CVP) atau dinamik (stroke volume index variation). Bila CVP terpilih untuk memandu resusitasi, maka direkomendasikan terpelihara dalam batas 8–10 mmHg. Bila dipandu PCWP, sebaiknya terpelihara dalam batas 12–15 mmHg.9 Hipotonik, hiponatremia dan cairan mengandung gula harus dihindari.9 Jika pasien euvolemik dan tetap hipotensi, sebaiknya gunakan vasopressor. Secara umum, strategi pergantian cairan untuk trauma kepala adalah mengendalikan TIK. Balans cairan negatif berhubungan dengan luaran yang buruk, juga terhadap TIK, MAP, dan CPP.9 Protokol terapi ditekankan pada pemeliharaan normovolemia dan tekanan osmotik koloid sambil menjaga keseimbangan cairan tetap netral atau sedikit positif demi mencegah edema interstisiel.2,7 Saat ini, terdapat dua teori yang menjelaskan konsep terapi pada cedera kepala, yaitu ICP (intracranial pressure) directed therapy (terapi dengan target TIK), dan CPP (cerebral perfusion pressure) directed therapy (terapi dengan target tekanan perfusi serebral). Penerapan klinik CPP directed therapy berdasarkan pada anggapan bahwa pemeliharaan aliran darah otak (cerebral blood flow/CBF) yang optimal penting untuk memenuhi kebutuhan metabolik otak yang cedera. Target terapi ini adalah untuk memelihara penumbra iskemik dan mencegah eksaserbasi cedera sekunder. CPP tinggi berkaitan dengan berbagai macam komplikasi begitu pula dengan CPP rendah. Saat ini, pemahaman yang banyak beredar adalah memperoleh CPP yang seimbang dan menentukan CPP yang optimal. Dalam batas autoregulasi, CPP rendah berhubungan dengan peningkatan TIK akibat mekanisme respon kompensasi vasodilatasi terhadap penurunan tekanan perfusi. Iskemia otak dilaporkan saat CPP di bawah 50
202
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
mmHg dan peningkatan CPP di atas 60 mmHg akan mencegah desaturase oksigen serebral.12 “Lund therapy” merupakan pendekatan terapeutik yang berfokus pada penurunan TIK dengan menurunkan volume intrakranial. Teori ini menunjukkan bahwa dengan menurunkan CPP, akan diperoleh penurunan risiko edema vasogenik dan dengan demikian menurunkan risiko peningkatan TIK.12 Konsep Lund menggunakan CPP rendah (hingga 50) demi mencapai penurunan tekanan hidrostatik kapiler, Cerebral Blood Volume/CBV (volume darah serebral), sambil memelihara tekanan osmotik.13 Pemilihan Jenis Cairan Kontroversi pemilihan kristaloid atau koloid untuk resusitasi cairan telah berlangsung selama lima dekade. Panduan ATLS saat ini menganjurkan
resusitasi cairan yang agresif yang dimulai dengan bolus dua liter kristaloid pada orang dewasa, dan sebaiknya dengan larutan Ringer Laktat (RL). Kristaloid terutama mengisi cairan interstisiel, akibatnya edema merupakan luaran yang sudah terduga setelah resusitasi menurut ATLS.2 Untuk memperbaiki volume plasma, aksioma klasik menyatakan bahwa diperlukan tiga kali atau lebih volume kritaloid dari volume darah yang hilang. Saat ini, rasio tersebut dipertanyakan, dan diduga rasio yang lebih baik adalah 5:1 karena terjadi penurunan tekanan osmotik koloid akibat penurunan konsentrasi protein serum karena perdarahan, kebocoran kapiler, dan pergantian dengan kristaloid.2 Pada model vaskuler yang ideal, larutan isoonkotik koloid tetap di dalam ruang intravaskuler karena sawar endotel tidak permeabel terhadap senyawa koloid. Dalam klinik, volume koloid
Tabel 1. Karakteristik Psikokimia beberapa sediaan Cairan Resusitasi2 Koloid
G r a v i t a s K a n d unga n Koefisien O s m o l a l i t a s Osmolalitas Tonisitas Spesifik H2O Osmotik Te o r i t i s N y a t a a (mosml/kg) (mosml/kg)
Plasma
Protein
1,0258
0,940
0,926
291
287
Isotonik
NaC10,9%
–
1,0062
0,970
0,926
308
286
Isotonik
Dextrosa 5%
–
1,0197
0,997
0,013
278
290
Isotonik (hanya in vitro)b
Ringer laktat
–
0,997
0,926
276
256
Hipotonik
Ringer Asetat
–
0,997
0,926
276
256
Hipotonik
Plasmalyte®
–
0,997
0,926
294
273
Hipotonik
Ringerfundin
–
0,958
0,926
309
287
Isotonik
Voluven®
6% HES 1,0274 130/0,4
0,955
0,926
308
298
Hipertonik (sedikit)
Tetraspan®
6% HES 1,0257 130/0, 42
0,969
0,926
296
292b
Isotonik
Gelafundin® 4 % 1,0177 4% Polygeline
0,969
0,926
274
262
Hipotonik
Gelafundin® 4 % ISO 4% Polygeline
0,958
0,926
284
271
Hipotonik
Albumex ® 4% 4% Human Albumin
0,948
0,926
269
260
Hipotonik
0,926
281
274,5
Hipotonik (sedikit)
Alburex ® 4%
5% Human Albumin
c
Osmolalitas menggambarkan osmolalitas nominal yang telah dikalkulasi (yang dikalkulasi dari osmolaritas, kandungan air dan koefisien osmotik). bKarena glukosa dimetabolisme dengan cepat dan dikeluarkan ke kompartemen intraseluler, larutan dekstrosa ditemukan sangat hipotonik in vivo. cDengan pertimbangan satu anion malat dimetabolisme menjadi dua anion hydrogen karbonat. HES, hydroxythyl starch. Dimodifikasi dari Physioklin, kepustakaan No. 2. a
Manajemen Cairan dan Elektrolit pada Cedera Kepala
tergantung pada status volume dan ada tidaknya inflamasi sistemik. Yang jelas, infus koloid memberikan efek instrinsik terhadap otak dari segi dampaknya terhadap sirkulasi serebral. Dalam konteks ini, ditemukan temuan yang mengejutkan dari penelitian Saline and Albumin Fluid Evaluation (SAFE) yang membandingkan kristaloid (salin 0,9%) dan koloid (albumin 4%), dimana luaran yang kurang baik (mortalitas 28hari yang lebih tinggi) pada pasien cedera kepala yang diterapi dengan albumin 4%. Temuan ini membuat pemberian koloid tidak dianjurkan pada pasien dengan trauma kepala.14 Pada penelitian obat-obatan, salin isotonik memiliki osmolalitas 286 mosml/kg sehingga memang bersifat iso-osmotik. Preparat albumin yang digunakan pada penelitian SAFE (Albumex 4%) bagaimanapun memiliki osmolalitas nominal hanya 260 mosml/kg. Pengukuran pada titik beku hanya mencapai 266 mosml/kg. Penelitian SAFE memberikan konfirmasi bahwa larutan hipoosmotik albumin-lah yang membahayakan pasien cedera kepala, bukan karena sifat koloidnya. Pemberian albumin pada pasien sakit kritis telah diperdebatkan sejak tahun 1988 sehingga pemberian albumin dihentikan di beberapa ICU seluruh dunia saat itu. Pada penelitian yang lebih baru, pemberian albumin pada pasien sakit kritis (cedera kepala dieksklusikan), albumin hiperonkotik 20% dilaporkan memperbaiki fungsi organ berdasarkan skor SOFA.14 Pada suatu penelitian RCT, ditemukan bahwa terapi untuk cedera kepala dengan target-CPP berhubungan dengan tingginya insidensi ARDS, mungkin karena penggunaan cairan dan obatobat vasopressor. Pada terapi dengan target-CPP, terdapat konflik antara strategi terapi hipertensi intrakranial dan terapi ARDS. Terapi targetCPP untuk memelihara tekanan onkotik dengan albumin dapat mencegah terjadinya edema serebral dan ARDS. Penggunaan vasopressor yang berlebihan berhubungan dengan kejadian ARDS.9 Suatu penelitian menunjukkan bahwa dalam perawatan selama 4 hari di ICU, lebih dari 70% pasien per hari tidak memerlukan topangan vasopressor. Penggunaan vasopressor umumnya pada periode tahap-awal karena sulit mencapai normovolemia. Keseimbangan cairan positif pada
203
hari 1-3 dan negatif pada hari ke-4. Keseimbangan kristaloid negatif mulai hari ke-2. Dari hari ke-3 sampai 10, kristaloid diberikan untuk kebutuhan cairan basal saja. Ini menunjukkan bahwa pasien tidak menerima cairan bebas dalam volume besar sehingga menghindari risiko edema interstisiel.7 Pada Tabel 1 dapat dilihat sifat fisik beberapa cairan resusitasi.2 Berdasarkan temuan yang menunjukkan bahwa koloid juga dapat menyebabkan edema otak dan paru-paru yang signifikan, mereka yang mendukung penggunaan koloid menyatakan bahwa dengan menggunakan volume yang lebih sedikit dan kemampuan untuk meningkatkan tekanan osmotik-koloid, maka koloid dapat menurunkan edema disbanding kristaloid. Strategi cairan berdasarkan-kristaloid lebih dipilih pada protokol resusitasi-trauma, meskipun temuan yang menunjang hal ini dalam kasus cedera otak masih terbatas. Osmolaritas lebih berperan dibanding tekanan onkotik plasma dalam menentukan perpindahan cairan antara kompartemen vaskuler dan ekstravaskuler bila sawar darah otak intak.14 Rekomendasi terkini menganjurkan penggunaan larutan isotonik pada pasien dengan cedera otak berat, dengan menggunakan natrium klorida/NaCl (larutan salin 0,9%) sebagai terapi pilihan utama. Namun demikian, larutan NaCl dapat menyebabkan asidosis hiperkloremik dan memiliki efek samping seperti gangguan hemostatik, disfungsi kognitif, dan ileus.9 Hiperkloremia sangat sering ditemukan di pasien sakit kritis dan saat ini diyakini bahwa cairan yang kaya akan klorida merupakan penyebab utama asidosis hiperkloremik pada pasien sakit kritis. Suatu penelitian before-after menunjukkan bahwa strategi restriksi klorida berhubungan dengan berkurangnya angka gagal ginjal yang signifikan pada pasien sakit kritis dan signifikan mempengaruhi status elektrolit dan asam basa. Pada analisis post hoc penelitian retrospektif pasien denga cedera otak yang menerima larutan NaCl isotonik untuk rumatan melaporkan 65% pasien mengalami hiperkloremia. Saluran klorida (Cl) mengatur edema sel dan dapat dianggap bahwa diskloremia berperan pada edema otak.2,3,10
204
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Asidosis hiperkloremia telah dilaporkan pada 33 pasien yang menjalani operasi abdominal aortic aneurysm repair yang masing-masing menerima sekitar 7000 mL NaCl 0,9%. Hal yang sama terjadi pada 26 pasien yang menjalani transplantasi ginjal yang menerima 6 L salin normal.15 Beberapa sediaan larutan isotonik dalam bentuk kristaloid atau HES (hydroxyethyl starch) saat ini mengandung malat atau asetat yang dapat menurunkan konsentrasi klorida sambil mempertahankan isotonisitas. Karena itu, larutan yang seimbang dapat menurunkan insidensi asidosis metabolik hiperkloremik. Larutan yang seimbang menurunkan kejadian asidosis hiperkloremik pada relawan yang sehat dan selama periode perioperatif dibandingkan larutan salin. Saat ini, tidak masih jarang publikasi data yang membahas larutan isotonik yang seimbang untuk pasien cedera otak, sehingga penggunan larutan ini tidak dianjurkan pada pasien tersebut. Namun demikian, penggunaan larutan yang seimbang diduga dapat diberikan pada pasien cedera otak yang rentan mengalami gangguan homeostasis seperti pada diabetes insipidus atau sindrom cerebral salt-wasting atau pada mereka dengan ganggguan saluran tergatungklorida seperti NKCC1 transporter. Larutan yang seimbang tidak berhubungan dengan gangguan TIK atau episode hipertensi intrakranial.2,3,10 Berdasarkan Stewart dkk., konsentrasi ion hydrogen (pH) dipengaruhi secara tepisah oleh tiga faktor biologi: (1) PaCO2, (2) konsentrasi total asam lemah (Atot) yang terdiri dari fosfat dan albumin, dan (3) Strong Ion Difference/SID yang menunjukan perbedaan kation kuat dan anion kuat. Menurut konsep Stewart dkk., larutan NaCl bertanggung jawab dala asidosis metabolic melalui penurunan SID. Karena itu, pemberian obat yang dilarutkan dengan NaCl juga akan menurunkan SID. Hubungan antara hiperkloremia dan base excess telah digambarkan pada pasien yang menjalani bedah mayor. Telah ada penelitian yang melaporkan bahwa larutan yang seimbang dapat menurunkan risiko asidosis hiperkloremik pada pasien usia lanjut yang menjalani bedah mayor dan pada pasien dengan cedera otak berat.2,3,10 Rendahnya kloremia pada pemberian larutan seimbang dianggap meningkatkan fenomena
efflux ion klorida, membatasi pembengkakan otak meskipun osmolaritas lebih rendah bila dibandingkan larutan salin. Penelitian lain telah menggambarkan bahwa larutan hiperosmolar natrium berbasis-laktat secara signifikan menurunkan TIK dibandingkan larutan kaya klorida dengan tingkat osmotik yang ekuivalen. Dengan demikian, pencegahan hiperkloremia dianggap suatu asset dalam pencegahan ICH pada pasien dengan cedera otak berat. Masih ada kontroversi mengenai keamanan HES utamanya efeknya terhadap koagulasi, sehingga penting diperhatikan pada pasien cedera otak. Bagian Neuro-Intensive Care and Emergency Medicine (NICEM) dari European Society of Intensive Care Medicine (ESICM) mengeluarkan konsensus yang menyatakan bahwa HES tidak direkomendasikan dalam konteks cedera otak.2,3,10 Penggunaan cairan hiperosmolar seperti salin hipertonik telah banyak menarik perhatian karena sama sekali tidak memiliki sifat yang menyebabkan dehidrasi pada pasien dan bahkan memiliki manfaat lain pada pasien dengan cedera kepala. Cairan ini mencegah perubahan elektrolit dalam darah. Tidak hanya mengembalikan fungsi kardiovaskuler, namun juga menurunkan tekanan intrakranial (TIK). Cairan salin hipertonik telah dilaporkan menurunkan TIK pada pasien cedera kepala yang disertai ICH, menurunkan edema serebral, dan memperbaiki aliran darah otak regional.4,16 Analisis post-hoc menunjukkan bahwa pada pasien dengan cedera kepala berat tekanan darah sistolik yang lebih tinggi dan survival yang lebih baik ditemukan pada salin hipertonik dibanding salin normal. Data ini menegaskan bahwa meningkatkan tekanan darah pada pasien hipotensif akibat cedera kepala berat akan meningkatkan luaran. Meta-analisis pasien cedera kepala yang menerima salin hipertonik/dextran memiliki angka survival dua kali lebih baik dibanding yang menerima terapi standar.5,6,16,17 Larutan salin hipertonik memiliki beberapa efek manfaat pada pasien cedera kepala, termasuk ekstraksi cairan dari ruang intraseluler, menurunkan TIK, ekspansi volume intravaskuler, dan meningkatkan kontraktilitas jantung.
Manajemen Cairan dan Elektrolit pada Cedera Kepala
Beberapa tahun terakhir, resusitasi volume kecil dengan infus salin hipertonik banyak menarik perhatian, bukan hanya karena efek manfaat dalam restorasi variabel hemodinamik dan perbaikan mikrosirkulasi, namun juga karena efeknya terhadap berbagai macam sel yang berbeda yang melibatkan serangkaian kompleks system imun/ inflamasi. Pada penelitian pasien trauma, salin hipertonik tidak meningkatkan angka perdarahan. Pada percobaan dengan salin hipertonik 7,5% vs RL pada pasien trauma yang heterogen, termasuk cedera kepala, ditemukan angka ketahanan hidup yang lebih baik pada kelompok salin hipertonik. Salin hipertonik juga kadang-kadang dikombinasi dengan koloid hipertonik (biasanya dextran 70) untuk memperpanjang efek durasi.5,6,16,17 Terapi Hiperosmolar Secara tradisional, terapi hiperosmolar telah digunakan untuk menurunkan TIK dan memperbaiki CPP. Mannitol telah menjadi agen hiperosmolar yang paling dominan dan paling populer selama beberapa dekade terakhir. Mannitol dianggap menurunkan volume otak dengan cara menurunkan semua kandungan air, menurunkan volume darah dengan vasokonstriksi, dan menurunkan volume cairan serebrosinal (CSS).4 Mannitol memiliki efek ekspansi plasma yang cepat dan dapat memperbaiki perfusi serebral karena menurunkan viskositas atau mempengaruhi rheology darah karena efeknya dalam menurunkan hematokrit serta memiliki efek osmotik dengan cara menarik cairan menyebrangi BBB yang intak. Mennitol menciptakan gradien osmotik singkat dan meningkatkan osmolaritas serum hingga 310 sampai 320 mOsm/kg H2O.9 Selain itu, mannitol dianggap memiliki efek protektif terhadap cedera bikokimia. Mannitol 20% atau 25% efektif untuk kontrol TIK pada dosis 0,25 g/kgBB hingga 1 g/kgBB dengan interval 2, 4, 6 jam atau lebih telah digunakan untuk keperluan terapi jangka pendek dan jangka panjang dalam manajemen TIK. Tidak ada temuan yang menganjurkan pemberian berulang dan reguler mannitol untuk digunakan selama beberapa hari. Penggunaan mannitol dalam jangka waktu lama bisa berakibat dehidrasi
205
intravaskuler, hipotensi, dan azotemia prerenal Pedoman terbaru membatasi penggunaan mannitol sebelum pemantauan TIK pada pasien dengan tanda-tanda herniasi transtentorial atau gangguan neurologis progresif yang terjadi bukan karena penyebab ekstrakranial.9 Karena itu osmolaritas plasma harus dipantau selama terapi dengan agen hiperosmotik. Osmolalitas plasma sebaiknya terjaga dalam kisaran 300–310 mosm/L sambil memelihara volume plasma tetap adekuat. Sebagai alternatif terapi, larutan salin hipertonik mulai banyak digunakan, dan paling sering pada pasien saraf/ bedah saraf yang sakit kritis. Hanya sedikit penelitian yang membandingkan mannitol dan salin hipertonik dalam terapi peningkatan TIK. Faktor-faktor yang membuat salin hipertonik lebih menarik perhatian adalah kemampuannya dalam mempertahankan bahkan memperbaiki hemodinamik dan secara teori memiliki keuntungan dalam hal koefisien refleksi osmotik yang lebih tinggi (1,0 dibanding 0,9 pada mannitol) pada BBB yang intak.5,16 Bila menggunakan salin hipertonik, larutan 3% dibolus sekitar 150 ml, larutan 7,5% dibolus 75 ml, atau larutan 23,4% dibolus 30 ml tiap 2,4,6 jam atau lebih. Salin hipertonik tidak boleh diberikan bila kadar natrium serum lebih dari 160 mmol/liter. Pada pasien cedera kepala temuan terbaru masih belum cukup kuat dalam merekomendasikan penggunaan, panduan konsentrasi, serta metode pemberian salin hipertonik untuk terapi hipertensi intrakranial.5,16 Namun, salah satu meta-analisis terbaru menunjukkan bahwa salin hipertonik lebih efektif dan mungkin lebih superior dibanding standar (mannitol) untuk terapi peningkatan TIK.18 Cairan salin hipertonik (bahkan 1,8%) secara eksperimental dilaporkan dapat menyebabkan lisis eritrosit. Ini terjadi akibat eritrosit kehilangan bentuk bikonkafnya hingga kollaps akibat efflux osmotik air yang cepat.19 Penanganan Hiposmolitas pada SIADH dan CSW Hiponatremia dengan hipo-osmolalitas atau hipotonisitas dibagi menjadi 3 kategori tergatung pada status volume pasien. Kategori pertama
206
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
adalah hipervolemia dengan hipo-osmolalitas, yang disebabkan oleh kelebihan air. Kategori kedua adalah hipovolemia dengan hipo-tonisitas yang biasanya terjadi akibat kehilangan air yang banyak. Kategori ketiga adalah euvolemia dengan hipo-tonisitas. CSW termasuk kategori kedua, sedanga SIADH termasuk kategori ketiga. Perbedaan keduanya dapat dilihat pada Tabel 2.11 Pada kedua kondisi, pasien mengalami hiponatremia dengan osmolalitas serum kurang dari 280 mosm/L dan natrium serum kurang dari 135 mEq/L. Kadar natrium urin (normal 20-40 mEq/L) juga meningkat pada kedua kondisi, dengan kadar kadang lebih 50 mEq/L. Perbedaan utama SIADH dan CSW adalah status volume. Pasien dengan SIADH euvolemik bahkan sedikit hipervolemik, sementara pasien dengan CSW hipovolemik.11 Koreksi Hiponatremia Hiponatremia harus dikoreksi secara perlahan selama terapi, dengan kecepatan sekitar 8-12 mEq/L dalam 24 jam atau 0,5 mEq/L per jam. Koreksi natrium pada hiponatremia yang cepat
dikaitkan dengan myelinolis pontin sentral yang merupakan gangguan permanen yang terjadi di substansia alba pontin otak. Pasien dengan hiponatremia akut tampaknya dapat mentoleransi koreksi natrium yang cepat dibandingkan pada hiponatremia kronik. Kadar natrium serum harus dipantau ketat (misalnya etiap 6–12 jam) selama koreksi. Target natrium selama terapi hiponatremia adalah 130–135 mEq/L, meskipun kadar 135 mEq/L merupakan batas bawah normal. Strategi target ini biasanya dapat meredakan gejala dan menghindari koreksi yang berlebihan.13 Restriksi Cairan Restriksi cairan merupakan pilihan untuk pasien SIADH. Strategi ini buka pilihan untuk CSW karena dalam status hipovolemik. Restriksi cairan sangat berbahaya khususnya pada kasus perdarahan subaraknoid, karena kehilangan cairan intravaskuler meningkatkan risiko vasospasme, defisit iskemik yang tertunda, serta kematian. Pada SIADH jumlah asupan cairan total sebaiknya kurang dari total output pasien (urine dan insensible loss). Restriksi cairan
Tabel 2. Perbedaan Diagnosis CSW dan SIADH13
Variabel Osmolalitas Urine Konsentrasi natrium urine Cairan ekstraseluler Berat Badan Keseimbangan Cairan Volume Urin Laju Jantung Hematokrit Albumin Bikarbonat Serum Nitrogen Urea Darah (BUN) As urat serum Keseimbangan natrium Tekanan vena sentral (CVP) Tekanan Baji Dikutip
dari
kepustakaan
CSW ↑ (>100 mOsm/kg) ↑ (>40 mOsm/L) ↓ ↓ Negatif ↔ atau ↑ ↔ atau ↑ ↑ ↑ ↑ ↑
SIADH ↑ (>100 mOsm/kg) ↑ (>100 mOsm/kg) ↑ ↔ atau ↑ Netral atau sedikit positif ↔ atau ↓ ↔ ↔ ↔ ↔ atau ↓ ↔ atau ↓
↔ atau ↓ Negatif ↓ (<6 cmH2O)
↓ Netral atau sedikit positif ↔ atau sedikit positif (610 cmH2O ↔ atau ↑
↓
No.
13
Manajemen Cairan dan Elektrolit pada Cedera Kepala
sekitar 800-1200 ml/hari efektif untuk SIADH akut dan kronik. Namun demikian, pasien dengan SIADH memiliki respon haus yang normal, karena itu restriksi cairan sering tidak nyama buat pasien sehingga kadang sulit terpelihara.11 Salin Isotonik Pasien dengan CSW biasanya disertai penurunan cairan ekstraseluler dan defisit tubuh-total paling kurang 2 mmol natrium per kgBB. Karena disertai hipovolemik, terapi utama CSW adalah menganti cairan dengan larutan NaCl 0,9% untuk restorasi cairan tubuh. Total kebutuhan cairan untuk penggantian cairan dapat dikalkulasi dengan pertama kali menghitung defisit natrium, yang ditentukan dengan rumus:13 (Kadar natrium serum normal – Kadar natrium serum pasien) ÷ 2.13 Langkah selanjutnya adalah menghitung deficit natrium tubuh total berdasarkan berat badan pasien dengan rumus: Defisit natrium x (0,6 x BB dalam kg) Kecepatan penggantian natrium sebaiknya berkisar 0,5 mEq/jam untuk menghindari koreksi cepat. Lama (dalam jam) koreksi dapat dihitung dari:13 Defisit natrium (dalam mEq/L) ÷ 0,5 (target kecepatan penggantian natrium dalam mEq/jam) Langkah terakhir adalah menghitung kecepatan infus NaCl (dalam mL/jam) dengan rumus:13 defisit natrium tubuh total ÷ 0,154 mEq/mL) ÷ total jam Tablet Garam Tablet garam oral telah digunakan untuk mengganti kehilangan natrium oleh ginjal pada CSW. Target terapi CSW adalah menghasilkan keseimbangan natrium yang positif pada pasien. Tablet NaCL hingga 12 gram/hari dalam dosis terbagi telah sering diberikan untuk terapi CSW. Penambahan tablet garam biasanya diberikan bila kadar natrium serum masih rendah meskipun penggantian cairan telah adekuat.13 Salin Hipertonik Ekskresi natrium ginjal masih intak pada SIADH, karena itu pemberian natrium intravena masih dieksresikan lewat urin. Konsep ini berbeda dari penggantian cairan pada hypovolemia-hipo-osmolalitas dimana
207
natrium dan cairan tetap dalam vaskuler. Untuk alasan ini, salin hipertonik biasanya dipilih disbanding NaCl normal untuk SIADH. NaCl dengan konsentrasi 3% merupakan salin hipertonik dengan osmolalitas 1027 mOsm/L yang paling sering diberikan. Bila salin isotonic diberikan pada pasien dengan SIADH, maka hiponatremia malah tambah memburuk karena osmolalitas lebih rendah dibanding osmolalitas urine pasien.11 Salin hipertonik 3% atau lebih harus diberikan melalui kateter vena sentral. Infus kontinyu dapat diberikan dengan kecepatan 0,5 mL/kg per jam untuk meningkatkan kadar natrium sekitar 0,5 mEq/L per jam Kadar natrium serum harus dipantau dengan sangat ketat. Dan hiperonik salin 3% bahkan bisa digunakan pada CSW dengan hiponatremia berat (<120 mEq/L).13 Penanganan Hiperosmolalitas pada di sentral Diabetes insipidus (DI) ditandai oleh peningkatan produksi urine yang tidak normal sekitar 250 mL/ jam), meingkatnya rasa haus dan asupan cairan akibat penurunan sekresi ADH dengan akibat pengeluaran cairan ekstraseluler (hypovolemia), dan hipernatremia. Berat jenis urine biasanya kurang dari 1,005 (normal 1,005-1030), osmolalitas urine kurang dari 200 mOsm/kg, osmolalitas serum meningkat (>295 mOsm/kg), dengan peningkatan kadar natrium (>145 mEq/L), dengan kadar natrium urine berkurang signifikan. Pada pasien trauma, DI sentral biasanya terkait kerusakan bagian posterior kelenjar hipofisis.1, 20, 21 DI sentral terdiri dari 3 fase, fase pertama polyuria akibat inhibisi ADH yang berlangsung selama beberapa jam hingga beberapa hari. Fase kedua (5–6 hari) ditandai dengan produksi urin yang hamper normal karena pelepasan simpanan ADH. Fase ketiga ditandai dengan produksi urine yang sangat berlebihan dan permanen akibat kurangnya simpanan ADH atau kehilangan fungsi sel-sel yang menghasilkan ADH.1,20,21 Cairan Hipotonik Cairan hipotonik intravena paling banyak digunakan untuk koreksi kehilangan cairan tubuh termasuk salin 0,45% yang dititrasi per jam untuk mengganti produks urin. Defisit kehilangan
208
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
cairan (dalam liter) dapat dihitung dari rumus:13 [0,6 x (BB dalam kg)] x (natrium serum – 140) ÷ 140 Hasil defisit cairan dapat digunakan untuk menghitung volume pergantian cairan yang dibutuhkan untuk restorasi stabilitas hemodinamik pada pasien dengan kondisi yang tidak stabil.1, 20, 21 Perawatan pasien dengan fase akut DI sentral memerlukan pemantauan beberapa parameter. Asupan cairan dan produksi urine harus diukur tiap 1–2 jam. Produksi urine pada fase akut bisa luar biasa banyak, lebih dari 250–800 mL/ jam (3–20 L per hari). Berat jenis (BJ) urine harus diukur tiap 1–2 jam. BJ urine rendah (<1,005) menunjukkan bahwa ginjal tidak bisa memekatkan urin. Osmolalitas serum dan kadar elektrolit khususnya kadar natrium dan kalium sebaiknya diukur paling kurang setiap hari dan bisa saja lebih sering tergantung hasil temuan klinis dan stabilitas hemodinamik pasien.1,20 Simpulan Pemilihan jenis dan jumlah cairan untuk keperluan rumatan dan operasi pada pasien dengan cedera kepala harus mempertimbangkan banyak faktor. Mulai dari jenis cairannya, perhitungan jumlah yang bisa diberikan, osmolaritas dan osmolalitasnya, sampai ketersediaan cairan tersebut di tempat kita bertugas. Semua ini memerlukan pengetahuan dan seni, menimbang baik buruknya, manfaat dan kerugian, dan tidak ketinggalan biaya yang harus dikeluarkan, mengingat patofisiologi pasien dengan cedera kepala memiliki keterbatasan dalam menyediakan dan menggunakan oksigen. Dibutuhkan pengawasan dan pemeriksaan laboratorium berkala untuk menjamin dan bila perlu untuk mengoreksi kelainan elektrolit dan plasma yang bisa ditimbulkan dari terapi cairan yang diberikan. Daftar Pustaka 1. Capatina C, Paluzzi A, Mitchell R, Karavitaki N, Stalla G, et al. Permanent central diabetes insipidus after mild traumatic brain injury. Brain Injury. 2009; 23(13–14): 1095–8. 2. Rusa R, Zornow M. Fluid management during
craniotomy. Dalam: Cottrell JE, Young WL, eds. Cottrell and Young's Neuroanesthesia, Philadelphia: Elsevier Inc; 2010, 147–58. 3. Eccher M, Suarez JI. Cerebral edema and intracranial dynamics - monitoring and management of intracranial pressure. Dalam: Suarez JI, ed. Critical Care Neurology and Neurosurgery. New Jersey: Humana Press Inc; 2004, 47–90. 4. Mishra L, Rajkumar N, Hancock S. Current controversies in neuroanesthesia, head injury management and neuro critical care. Anesthesia, Critical Care & Pain 2006; 6(2): 79–82. 5. Froelich M1, Ni Q, Wess C, Ougorets I, Härtl R. Continuous hypertonic saline therapy and the occurrence of complications in neurocritically ill patients. Crit Care Med. 2009; 37(4): 1433–41. 6. Adiga US, Vickneshwaran V, Sen SK. Electrolyte derangements in traumatic brain injury. Journal of Medicine and Clinical Sciences, 2012; 1(2): 15–8. 7. Rafiq M, Ahmed N, Khan A. Serum electrolyte derangements in patients with traumatic brain injury. J Ayub Med Coll Abbottabad. 2013; 25(1–2):162–4. 8. Kundra S, Mahendru V, Gupta V, and Choudhary AK. Postoperative and intensive care including head injury and multisystem sequelae. Dalam: Cottrell JE, Young WL, eds. Cottrell and Young’s neuroanesthesia. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2010, 400–13. 9. Haddad SH, Arabi YM. Critical care management of severe traumatic brain injury in adults. Scandinavian Jaournal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine, 2012; 20(12): 1–15. 10. Kou K, Xiang-yu H, Jian-dong S, Chu K. Current pre-hospital traumatic brain injury management in China. World J Emerg Med,
Manajemen Cairan dan Elektrolit pada Pasien Cedera Kepala
2014; 5(4): 245–54. 11. Zomp A, Alexander E. Syndrome of inappropriate antidiuretic hormone and cerebral salt wasting in critically ill patients. AACN Adv Crit Care. 2012; 23(3): 233–9; quiz 240–1. 12. Prabhakar H, Sandhu K, Bhagat H, Durga P, Chawla R. Current concepts of optimal cerebral perfusion pressure in traumatic brain injury. Journal of Anaesthesiology Clinical Pharmacology. 2014; 30(3): 318–27. 13. Traill R. Royal prince alfred hospital. Syd acute head injuries: Anaesthetic Considerations. 2007. 1–14. 14. Cooper DJ, Myburgh J, Heritier S, Finfer S, Bellomo R, Billot L, et al. Albumin resuscitation for traumatic brain injury: is intracranial hypertension the cause of increased mortality? J Neurotrauma 2013; 30(7): 512–8. 15. Boldt J. The balanced concept of fluid resuscitation. Br J Anaesth 2007; 99(3): 312–5.
209
16. Strandvik G. Hypertonic saline in critical care: a review of the literature and guidelines for use in hypotensive state and raised intracranial pressure. Anaesthesia, 2009. 64(9): 990–1003. 17. Maggiore U, Picetti E, Antonucci E, Parenti E, Regolisti G, Mergoni M, et al. The relation between the incidence of hypernatremia and mortality in patients with severe traumatic brain injury. Crit Care. 2009; 13(4): R110. 18. Kamel H, Navi BB, Nakagawa K, Hemphill JC 3rd, Ko NU. Hypertonic saline versus mannitol for the treatment of elevated intracranial pressure: a meta-analysis of randomized clinical trials. Crit Care Med, 2011; 39(3): 554–59. 19. Red cell fragility. 16 October 2016]; Available from: http://www.medicine.mcgill. ca/physio/vlab/default.htm. 20. Hadjizacharia P, Beale EO, Inaba K, Chan LS, Demetriades D. Acute diabetes insipidus in severe head injury: a prospective study. J Am Coll Surg. 2008; 207(4): 477–84.
Ambang Hemoglobin pada Cedera Otak Traumatik Dewi Yulianti Bisri, Tatang Bisri Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin-Bandung Abstrak WHO mendefinisikan anemia bila konsentrasi Hb<12g/dL pada wanita dan <13 g/dL pada laki-laki. Anemia merupakan salah satu komplikasi medikal yang paling sering pada pasien sakit kritis, termasuk pasien dengan kelainan neurologik. Kira-kira 2/3 pasien mempunyai kadar Hb<12 g/dL pada saat masuk ke ICU, dan kemudian terjadi penurunan 0,5 g/dl/hari. Transfusi PRC memelihara hematokrit dan kapasitas pembawa oksigen, tapi dihubungkan dengan peningkatan resiko infeksi, gagal multiorgan termasuk gagal nafas, kejadian tromboembolik, dan kematian. Penelitian telah menunjukkan bahwa untuk kebanyakan pasien sakit kritis, tidak ada keuntungan untuk mempertahankan konsentrasi hemogloblin yang lebih tinggi.Disamping penemuan pada pasien sakit kritis, diketahui bahwa konsentrasi Hb serendah 7 g/dL tidak dapat ditolerir pada pasien dengan cedera otak traumatik berat maka indikasi transfusi bila Hb<7g/dL. Penelitian telah menunjukkan tidak ada perbedaan dalam mortalitas atau mendukung suatu hubungan antara transfusi dengan lebih buruknya outcome. Mempertahankan konsentrasi Hb sekitar 9-10g/dL adalah suatu strategi terapi yang telah lama dilakukan untuk memperbaiki oksigenasi otak pada pasien dengan cedera otak traumatik. Kemungkinan efek menguntungkan lain dari mempertahankan konsentrasi Hb yang lebih tinggi adalah untuk menghindari peningkatan tekanan intrakranial yang dipicu oleh anemia dan untuk memberikan tekanan darah yang lebih tinggi serta tekanan perfusi otak yang lebih baik. Simpulan adalah anemia berat dan transfusi RBC bisa mempunyai pengaruh pada outcome klinis, transfusi restriksif aman dan sering dianjurkan, indikasi transfusi bukan dari kadar Hb tapi dari sinyal otak misalnya brain tissue oxygen tension dan regional cerebral oxygen saturation. Kata kunci: cedera otak traumatik, haemoglobin, transfusi darah
Hemogloblin Treshold in Traumatic Brain Injury
JNI 2016;5(3): 210–17
Abstract WHO defined anemia as a Hb concentration <12 gr/dL in women and <13 g/dL in men. Anemia is one of the most common medical complication in critically ill patient, including patient with neurologic disorder. About 2/3 patient have Hb concentration <12 g/dL at the time of ICU admission with subsequent decrement of about 0.5 g/ dL per day. PRC transfusion improve hematocrit and oxygen carrying capacity, but have correlation with increase infection risk, multiorgan failure including respiratory failure, thromboembolic event and death. The study show that for common critically ill patient, no benefit to keep Hb concentration in higher level. Beside in critically ill patient, Hb concentratrion as low as 7 g/dL can be tolerir in severe traumatic brain injury and indication for transfusion if Hb<7g/dL. Study show that no different in mortality or support a relation between transfusion and worst outcome. Keeping Hb concentration arround 9–10g/dL is a strategy therapy to improve brain oxygenation in traumatic brain injury patient. The possibility othe advantageus in higher Hb concentration is to avoid increase ICP cause by anemia and to increase blood pressure and better cerebral perfusion pressure.The conclusion is severe anemia and RBC transfusion have some effect in clinical outcome, restrictive transfusion safe and advisable, transfusion indication not only from Hb level but from brain signaling ec brain tissue oxygen tension and regional cerebral oxygen saturation. Key words: traumatic brain injury, haemoglobin, blood transfusion
JNI 2016;5(3): 210–17
210
Ambang Hemoglobin pada Cedera Otak Traumatik
I. Pendahuluan Salah satu paradigma dalam mengelola pasien neurocritical adalah menghindari cedera sekunder. Otak yang mengalami cedera akut rentan terhadap kekacauan sistemik seperti hipotensi, hipoksemia, anemia, panas yang dapat menambah kerusakan neuron. Jadi praktisi terapi kritis bertindak untuk mempertahankan milieu fisiologik yang meminimalkan cedera sekunder, dengan memaksimalkan kesempatan pemulihan fungsi neuron dan neurokognitif.1 WHO mendefinisikan anemia bila konsentrasi Hb<12g/dL pada wanita dan <13 g/dL pada laki-laki. Anemia merupakan salah satu komplikasi medikal yang paling sering pada pasien sakit kritis, termasuk pasien dengan kelainan neurologik. Kira-kira 2/3 pasien mempunyai kadar Hb<12 g/dL pada saat masuk ke ICU, dan kemudian terjadi penurunan 0,5 g/ dl/hari. Penyebab terjadinya anemia pada pasien ICU adalah multifaktor. Inflamasi sistemik menurunkan pembentukan sel darah merah dengan menumpulkan produksi eritropoietin dan mencampuri kemampuan eritroblast untuk menarik besi. Kehilangan sel darah merah dipercepat dengan seringnya dilakukan plebotomi, berkurangnya masa hidup sel darah merah, dan kadang-kadang akibat perdarahan. Jumlah cairan yang banyak saat resusitasi cairan, yang mengakibatkan hemodilusi, juga berperan dalam menurunkan kadar Hb.1 Anemia dapat dikoreksi dengan transfusi alogenik. Pasien ICU yang menerima transfusi darah berkisar 20–44% dan menerima rata-rata 5 unit darah. Akan tetapi, 2 penelitian randomized controlled trial (RCT), multisenter dan 2 penelitian observasional besar telah menunjukkan bahwa penggunaan transfusi darah dengan sasaran konsentrasi Hb yang semena-mena, bukan saja tidak efektip dalam memperbaiki outcome, tapi juga kemungkinan membahayakan. Akan tetapi, disebabkan gangguan pasokan oksigen merupakan faktor penting yang menimbulkan cedera otak sekunder, masih tidak tentu apakah penemuan-penemuan ini dapat secara luas diaplikasikan pada pasien neurocritical care. Maka, praktekna klinisi mentargetkan level Hb pada 9–10 g/dL.1
211
Anemia merupakan salah satu faktor penyebab cedera sekunder dan pengelolaan pasien neurocritical adalah mencegah cedera otak sekunder. Faktor yang menimbulkan cedera otak sekunder adalah faktor sistemik dan faktor intrakranial. Faktor sistemik adalah hipoksemia, hipertensi, hipotensi, anemia, hipokarbia, hiperkarbia, pireksia, hiponatremia, hipoglikemia, hiperglikemia. Faktor intrakranial adalah adanya hematoma, peningkatan tekanan intrakranial, seizure, infeksi, vasospasme. Pencegahan atau pengobatan cedera otak sekunder adalah mengembalikan gangguan sistemik dan intrakranial kearah normal, jadi targetnya adalah normovolemia, normotensi, isoosmoler, normoglikemia, normotermia.2 Kalau yang lain ditargetnya menjadi normal, apakah anemia yang terjadi kita pulihkan kearah normal, yaitu pada wanita 12 g/dL dan pada laki-laki 13 g/dL keatas? II. Penelitian Pendukung Seperti kita telah ketahui proteksi otak adalah tindakan preemptif untuk intervensi terapi dengan maksud memperbaiki outcome pada pasien yang berisiko terjadi iskemia otak, sedangkan resusitasi otak merupakan intervensi terapi yang dimulai setelah kejadian iskemia otak untuk adalah untuk terapi iskemia otak dan mengurangi cedera neuron.2 Pasien dengan cedera otak traumatik berat sering terjadi anemia. Untuk pasien dengan cedera neurologik, anemia merupakan salah satu penyebab terjadinya cedera otak sekunder, yang dapat memperburuk outcome neurologik. Terapi anemia dapat dilakukan dengan transfusi packed red cell (PRC) atau pemberian eritropoietin (EPO).3 Di Amerika, cedera kepala terjadi pada 1,5 juta orang setiap tahunnya. EPO mempunyai kesanggupan sebagai obat proteksi neuron dalam terapi cedera otak traumatik. Transfusi Hb sering digunakan diluar pertimbangan tentang bahaya rendahnya Hb pada trauma, disamping adanya beberapa bukti dari bahaya transfusi. Penelitian ini adalah suatu RCT yang membandingkan efek dari EPO dengan 2 ambang Hb untuk transfusi Hb yaitu 7 dan 10 g/dLpada pemulihan neurologik setelah cedera kepala dengan outcome diukur GCS 6 bulan
212
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
pascatrauma. Dibandingkan dengan plasebo, kedua grup EPO gagal memberikan keuntungan. Laju outcome yang menguntungkan 42,5% untuk ambang transfusi Hb 7 g/dL dan 33,0% untuk 10 g/dL, walaupun secara statistik tidak berbeda. Eritropoietin asalnya merupakan faktor untuk pertumbuhan eritrosit, akan tetapi tenyata mempunyai efek proteksi otak langsung selama iskemia otak, sedangkan efek tidak langsungnya adalah merangsang pembentukan pembuluh darah, sehingga akan berperan dalam pemeliharaan, proteksi, pertumbuhan, perbaikan sistem saraf. EPO juga mempunyai efek antiapoptotik serta efek lainnya seperti memicu protein untuk perbaikan, mengurangi eksitotoksisitas neuronal, antioksidan, mengurangi inflamasi, menghambat apoptosis neuron, memicu neurogenesis dan angiogenesis setelah iskemik, hipoksik dan toksik eksperimen, sehingga disimpulkan bahwa eritropoietin selain meningkatkan kadar Hb, juga mempunyai efek proteksi otak.2 Terapi anemia setelah TBI dengan EPO mempunyai keuntungan tambahan dari efek EPO untuk proteksi otak. Pada model eksperimental, EPO telah memperbaiki outcome setelah cedera. Mekanisme proteksi otak EPO antara lain antiinflamasi, antiapoptotic, dan efek vaskuler. Penelitian multisenter pada pasien sakit kritis akibat trauma menyeluruh telah menunjukkan perbaikan dengan pemberian EPO, tapi efek pada outcome hanya terbatas pada penelitian kasus seri dan penelitian randomized kecil.3 Transfusi PRC untuk memulihkan hematokrit dan kapasitas pembawa oksigen, akan tetapi, juga dihubungkan dengan peningkatan resiko infeksi, gagal multiorgan termasuk gagal nafas, kejadian tromboembolik, dan kematian. Penelitian telah menunjukkan bahwa untuk kebanyakan pasien sakit kritis, tidak ada keuntungan untuk mempertahankan konsentrasi hemoglobin yang lebih tinggi. Disamping penemuan ini pada pasien sakit kritis, diketahui bahwa konsentrasi Hb serendah 7 g/dL tidak dapat ditolerir oleh pasien dengan cedera otak traumatik berat. Penelitian telah menunjukkan tidak ada perbedaan dalam mortalitas atau dukungan hubungan antara
transfusi dengan lebih buruknya outcome. Mempertahankan konsentrasi Hb sekitar 10g/ dL adalah suatu strategi terapi yang telah lama dilakukan untuk memperbaiki oksigenasi otak pada pasien dengan cedera otak traumatik. Pada penelitian pasien traumatic brain injury (TBI) dengan anemia, transfusi hemoglobin dapat memperbaiki oksigenasi otak pada beberapa pasien. Kemungkinan efek menguntungkan lain dari mempertahankan konsentrasi Hb yang lebih tinggi adalah untuk menghindari peningkatan tekanan intrakranial yang dipicu oleh enemia dan untuk memberikan tekanan darah yang lebih tinggi sehingga tekanan perfusi otak akan lebih baik. Praktek transfusi ini telah diharapkan untuk mengurangi cedera neurologik, terutama selama periode pemulihan akut ketika otak paling rentan terhadap cerea iskemik. Akan tetapi, pada penelitian ini, tidak ada keuntungan jangka panjang pada outcome neurologik dideteksi dengan ambang Hb transfusi 10 g/ dL dan lebih besar kejadian tromboembolik.3 Pada pasien dengan cedera kepala tertutup, pemberian eritropoietin atau mempertahankan konsentrasi Hb paling sedikit 10 g/dL tidak memperbaiki outcome neurologi pada 6 bulan. Terapi anemia dapat dilakukan dengan memberikan transfusi packed red cell (PRC) dan atau memberikan eritropoietin (EPO). Eritropoietin adalah suatu hormon yang memicu pertumbuhan eritrosit, akan tetapi, juga mempunyai efek proteksi otak sebagai antiinflammatori, antiapoptotic, dan pertumbuhan pembuluh darah baru. Transfusi PRC meningkatkan hematokrit dan kapasitas pembawa oksigen darah, tapi dihubungkan dengan peningkatan kejadian infeksi, multiple organ failure (MOF) termasuk gagal nafas, peningkatan kejadian tromboembolik dan kematian.3 Anemia akut (kadar Hb sekitar 7g/dL) dapat ditolerir oleh orang sehat, tapi anemia yang ekstrim mungkin mempunyai efek outcome klinis yang negatif pada pasien neurologik yang krisis. Sebaliknya level Hb yang tinggi, yang dicapai dengan bukan transfusi darah, memperbaiki outcome klinis, sedangkan transfusi sel darah merah dihubungkan dengan buruknya outcome
Ambang Hemoglobin pada Cedera Otak Traumatik
(mortalitas, lama perawatan, dan disabilitas) pada pasien dengan subarachnoid hemorrhage (SAH), akut iskemik stroke dan COT. Penelitian tentang optimal Hb level pada neuroctical care adalah kurang, tapi kebijakan restriksi transfusi telah dianjurkan. Di masa yang akan datang, sinyal datang dari otak, seperti brain tissue oxygen tension dan saturasi oksigen serebral regional, mungkin potensi berkembang sebagai triger dilakukannya transfusi.4 Anemia berat dan transfusi RBC mempunyai pengaruh negatif pada outcome klinis pada pasien neurocritical. Penerimaan konsentrasi Hb rendah harus dijustifikasi dengan menghindari efek negatif transfusi. Tidak ada eviden-base transfusi triger pada pasien neurocritical yang telah dianjurkan.4 Mempertahankan Hb 10g/dL merupakan strategi managemen yang telah lama dilakukan untuk memperbaiki oksigenasi serebral pada pasien cedera otak traumatik.3 Transfusi hemoglobin dapat memperbaiki oksigenasi otak.5,6 Kemungkinan efek menguntungkan lain dari mempertahankan konsentrasi Hb yang lebih tinggi adalah mencegah peningkatan tekanan intrakranial yang dipicu oleh anemia, dan memberikan tekanan darah yang lebih tinggi sehinggaakan mendapatkan tekanan perfusi otak yang lebih baik.7,3 Satu penelitian sistematik review pada 2 RCT, multi-center dan 2 penelitian observasional yang besar, menunjukkan bahwa penggunaan transfusi darah yang liberal, dengan sasaran mempertahankan konsentrasi Hb yang asal-asalan, bukan saja tidak efektif dalam memperbaiki outcome, tapi juga kemungkinan membahayakan. Disebabkan karena pasokan oksigen adalah faktor penting pada cedera otak sekunder, maka klinisi mentarget level Hb minimum pada 9 sampai 10 g/dL.1,5 Satu penelitian sistematik review untuk mengevaluasi efek level Hb pada mortalitas, fungsi neurologik, lama tinggal di ICU dan rumahsakit, lama menggunakan ventilasi mekanik, kejadian multiple organ failure (MOF) pada 6 penelitian (n=537): 4 TBI, 1 SAH, 1 campuran pada populasi pasien neurocritical. Mereka membagi minimal level Hb atau ambang transfusi 7–10 g/ dL pada grup lower-Hb dan 9,3–11,5 pada grup higher-Hb. Hasilnya adalah tidak cukup bukti
213
untuk mengkonfirmasi dan tidak dapat dibuat suatu rekomendasi berapa ambang Hb transfusi pada pasien neurocritical.8 Penelitian tentang hubungan konsentrasi Hb dengan mortalitas pada pasien sakit kritis dengan cedera otak traumatik berat dengan total sampel 169 pasien cedera otak traumatik berat. Pasien dibagi atas 4 kelompok berdasarkan konsentrasi Hb rata-rata dalam 7 hari, yaitu kelompok: <9g/dL, 9-9,9 g/dL, 10– 10,9 g/dL, >11 g/dL. Hasilnya adalah konsentrasi Hb rata-rata dalam 7 hari <9 g/dL dihubungkan dengan meningkatnya mortalitas di rumahsakit pada pasien cedera otak traumatik berat.10 Protokol restriksi transfusi (misalnya trasfusi pada level Hb <7g/dL untuk mempertahankan konsentrasi Hb 7–9 g/dL) tidak dihubungkan dengan perbedaan yang nyata dalam morbiditas dan mortalitas bila dibandingkan dengan target Hb tranfusi antara 10 g/dL dan 12 g/dL. Pada analisis subgrup cedera otak traumatik, menunjukkan penemuan yang sama, tapi outcome neurologik tidak dilakukan.10,11,12 Satu penelitian sistematik review, dengan mereview 104 artikel. Simpulannya adalah pendekatan eviden-base terhadap triger transfusi pada cedera kepala kurang dan tidak berdasarkan pengertian patofisiologi serebral dan diperlukan penelitian RCT untuk membandingkan ambang transfusi liberal dengan transfusi restriktif dengan outcome neurologik.12 Ambang transfusi pada pasien sakit kritis didukung oleh penemuan penelitian Transfusion Restriction in Critical Care. Penelitian ini menemukan bahwa protokol restriksi transfusi (misalnya transfusi pada level Hb<7g/dL untuk mendapatkan level Hb antara 7–9 g/dL) tidak mempunyai perbedaan yang nyata dalam mortalitas bila dibandingkan dengan mempertahankan target transfusi antara 10–12 g/dL). Analisis subgroup pasien cedera kepala mempunyai hasil penemuan yang sama, tapi outcome neurologis tidak tidak dapat dinilai. Ada sedikit bukti untuk menggeneralisasi konsentrasi Hb yang lebih rendah sebagai pemicu untuk transfusi pasien cedera kepala, tertama pada fase akut.12 Walaupun implementasi dan ekstrapolasi dari penelitian Transfusion Restriction in Critical Care telah secara luas diobservasi di
214
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
unit terapi kritis, terdapat pendekatan yang bervariasi untuk transfusi darah pasien cedera kepala. Transfusi darah dihubungkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Utamanya bergantung pada pendapat individu klinisi.12 Penelitian efek EPO dan ambang transfusi pada pemulihan neurologik setelah cedera otak traumatik, dilakukan dengan penelitian RCT yang melibatkan 200 pasien. Pasien dibagi atas 4 kelompok yaitu: • 49 pasien ambang transfusi Hb 10 g/dL + EPO, • 50 pasien ambang transfusi Hb 7 g/dL+ plasebo • 53 pasien ambang transfusi Hb 10 g/dL + EPO, • 48 pasien ambang transfusi Hb 7 g/dL+ plasebo Simpulannya adalah pemberian EPO dan transfusi darah tidak memperbaiki outcome pasien cedera otak traumatik. Beberapa komplikasi termasuk respiratory distress syndrome yang dihubungkan dengan transfusi darah, terjadinya clot pada kelompok dengan level Hb yang lebih tinggi dan lebih banyak menerima dosis EPO, sedangkan disabilitas setelah cedera otak traumatik tidak dipengaruhi dengan menaikkan level Hb.3 Setelah suatu cedera otak traumatik, sangat penting bahwa otak menerima cukup oksigen untuk pemulihannya. Satu pemikiran bahwa penentu jumlah oksigen yang diterima otak adalah protein yang disebut sebagai hemoglobin dalam sel darah merah yang membawa oksigen dalam darah. Hemogloblin dapat dinaikkan dengan transfusi darah atau dengan hormon yang disebut eritropoietin (EPO), yang memicu tubuh untuk membuat lebih banyak sel darah merah. Level Hb dapat diukur dengan test darah dan nilai normalnya antara 12–17 g/dL. Ambang transfusi, atau level Hb terendah yang membutuhkan transfusi adalah 7 g/dL. Walaupun seseorang disebut anemia bila kadar Hb <12 g/dL, umumnya tidak membutuhkan transfusi sampai mereka ada di ambang transfusi, terutama pada anemia kronis. Penelitian Robertson dkk., ingin mengetahui peningkatan Hb pada pasien dengan cedera otak traumatik untuk menolongnya pulih. Disebabkan karena EPO dan transfusi darah telah digunakan untuk meningkatkan kadar Hb, peneliti ingin melihat apakah salah satu atau keduanya menguntungkan. Pasien dibagi atas 4
kelompok: 1) EPO dengan transfusi darah bila Hb <7g/dL, 2) EPO dengan transfusi darah bila Hb <10 g/dL, 3) transfusi darah bila Hb<7g/dL, 4) transfusi darah bila Hb <10 g/dL. Setelah itu 6 bulan kemudian, peneliti mewawancara pasien dan menentukan level disabilitas akibat cedera otak traumatik. Peneliti menemukan bahwa EPO dan transfusi darah tidak memperbaiki outcome pada cedera otak traumatik. Terjadi beberapa kompikasi seperti respiratory distress syndrome yang dihubungkan dengan transfusi darah, dan terjadinya gumpalan darah (clot) pada kelompok yang kadar Hb lebih tinggi dan menerima dosis EPO yang lebih banyak.3 Sayangnya, meningkatkan kadar Hb lebih dari 10 g/dL dengan transfusi darah atau EPO tidak menunjukkan kemampuan untuk menolong otak pulih. Para peneliti menemukan bahwa disabilitas setelah cedera otak traumatik tidak dipengaruhi dengan meningkatkan level Hb. Komplikasi transfusi seperti respiratory distress syndrome lebih sering terjadi bila kadar Hb dipertahankan dalam level yang lebih tinggi. Akan tetapi, keseluruhan level fungsi tidak berbeda dengan nyata antara kelompok tersebut. Dr. Claudia Robertson3 mengatakan: “We found that there was no benefit to keeping Hb level at 10 g/dL. The practice used for other critically injured patient without TBI of transfusion only when level reach 7 had the same neurologic outcome, and had fewer complications from the transfusions, this finding are important because it will change the way patients are treated with traumatic brain injury. By reducing the need for transfusions we are lowering the risk of side effect”. Diantara pasien dengan TBI, terapi untuk mempertahankan konsentrasi Hb yang lebih tinggi dengan eritropoietin atau pemberian transfusi, memperbaiki outcome neurologik 6 bulan bergantung pada hasil penelitian kontrol trial. Pada penelitian, transfusi pada Hb konsentrasi yang lebih tinggi (7 g/dL vs 10 g/dL) dihubungkan dengan lebih tingginya resiko terjadi efek buruk. Penemuan ambang transfusi, akan merubah praktek klinis. Adalah sangat umum pada neurocritical care untuk mempertahankan pasokan oksigen pada otak yang cedera dengan
Ambang Hemoglobin pada Cedera Otak Traumatik
mempertahankan konsentrasi Hb paling sedikit 10 g/dL. Penemuan pada penelitian ini, tidak ada hal menguntungkan dengan cara ini, dan hanya ada peningkatan resiko tromboemboli, tidak mendukung menggunakan eritropoietin atau mempertahankan konsentrasi Hb yang lebih tinggi untuk memperbaiki outcome neurologik pasien TBI.3 Brain tissue PO2 monitoring dilakukan dengan memakai mikrokateter polarographic untuk mengukur PO2 dengan interval 15 detik. Merupakan teknik invasif, akan tetapi tidak merefleksikan perubahan global. Nilai normal PO2 adalah 10–15 mmHg dan dianggap hipoksia bila <10 mmHg.
Hal ini terjadi sebagai akibat dari penurunan kebutuhan metabolik (misalnya pada pasien koma atau mati otak) atau dari aliran darah yang berlebihan (misalnya hiperkapnia berat). Pasien dengan AVM serebral mempunyai shunting arteri yang langsung ke dalam sirkulasi vena dan mempunyai peningkatan nilai SJO2 yang abnormal. Kontaminasi ekstrakranial, misalnya dari vena fasialis atau dari pengambilan yang cepat, juga akan berakibat terhadap peningkatan SJO2
III. Regional cerebral oxygen saturation (SJO2)13 Teknik yang pertama kali dilakukan dan aman untuk mengambil sampel darah dari bulbus vena jugularis adalah dengan menusukkan jarum ke vena, medial dari bagian bawah dan anterior prosessus mastoideus. Sejak diperkenalkannya teknik Seldinger untuk kanulasi bulbus vena jugularis pada tahun 1960, pengukuran intermiten dari aliran darah otak dan AVDO2 telah dianjurkan untuk pemantauan pasien bedah saraf yang mempunyai resiko iskemi serebral. Selama tahun 1980-an, pemantauan kontinu saturasi arteri dan vena jugularis dianjurkan untuk pemantauan hipoperfusi otak. Di Eropa, 20% pasien cedera kepala yang dirawat di ICU menggunakan pemantauan saturasi bulbus vena jugularis. Walaupun secara tekniknya sulit, pemantauan SJO2 juga digunakan pada pasien bedah saraf yang kritis, selama operasi aneurisma serebral dan arteriovenous malformation (AVM) serta selama bypass kardiopulmonal. Adanya iskemik setelah cedera otak menegaskan kebutuhan untuk memperbaiki resusitasi dan evaluasi dini dari hematoma intrakranial, seraya adanya episode desaturasi setelah subarachnoid hemorrhage (SAH) atau perdarahan intraserebral menganjurkan adanya pemantauan dan koreksi segera dari pengaliran darah ke otak selama fase resusitasi dan selama dirawat di ICU. Peningkatan Nilai: SJO2 yang > dari 90% menunjukkan hiperemia absolut atau relatif.
215
Tabel 1. Nilai SJO2 Normal = 60-80% Hiperemia = > 90% L o w - f l o w ( i s k e m i a ) =< 50-54%
SJO2 < 50% ↓ SaO2 < 95% ↓ Tidak ↓ PaCO2 < 4,0 kPa ↓ Tidak ↓ Hb < 10 gr% ↓ Tidak ↓ Tekanan darah rata-rata rendah ↓ Tidak ↓ Hipertensi intrakranial
— ya →
K o r e k s i hipoksemia
— ya →
Naikkan PaCO2
— ya →
Transfusi
— ya →
Naikkan tekanan darah
— ya →
M a n n i t o l , furosemid, p r o p o f o l , p e n t o t a l , hipotermi Gambar 2. Algoritma untuk Terapi Desaturasi Vena Jugularis
216
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
nilai. Nilai normal: Walaupun suatu keseimbangan yang normal antara aliran darah dan metabolisme akan berakibat pada SJO2 yang normal, harga normal ini tidak mengesampingkan iskemia fokal. Karena darah dari vena jugularis berasal dari semua area otak, iskemia atau infark yang diskret tidak mempengaruhi tingkatan saturasi. Penurunan nilai: Sebaliknya, SJO2 sensitif terhadap iskemia serebral global. Nilai yang <50% menunjukkan peningkatan ekstraksi oksigen dan menunjukkan resiko cedera iskemik. Mungkin, hal ini disebabkan oleh peningkatan kebutuhan metabolik tidak sesuai dengan peningkatan aliran darah, misalnya demam, kejang, atau penurunan aliran darah. Penurunan yang nyata dari oxygen carrying capacity disebabkan oleh penurunan hematokrit dapat menyebabkan desaturasi. Iskemia juga mengubah CMRO2 dan mempengaruhi interpretasi SJO2. Ketika iskemia menjadi infark, konsumsi oksigen akan menurun dan SJO2 akan normal. Cerebral iskemia didefinisikan bila nilai SJO2 <50%. Berbagai faktor mempengaruhi oksigenasi otak antara lain SaO2, PaCO2, Hb, tekanan darah dan hipertensi intrakranial. Gambar 1 dibawah ini menunjukkan penyebab dan terapi penurunan SJO2. Pada gambar ini bila anemia (Hb<10 gr%) menyebabkan penurunan SJO2, sedangkan SaO2, tekanan darah, PaCO2, tekanan intrakranial sudah diperbaiki, maka barulah dilakukan transfusi darah. IV. Simpulan Anemia berat dan transfusi RBC bisa mempunyai pengaruh pada outcome klinis. Transfusi restriksif aman dan sering dianjurkan. Indikasi transfusi sebaiknya bukan dari kadar Hb tapi dari sinyal otak yang menunjukkan adanya iskemi otak misalnya brain tissue oxygen tension dan regional cerebral oxygen saturation.
the pathophysiology of brain injury, and potential beneficial agents and technique. Dalam: Cottrell JE, Young WL, eds. Cottrell and Young’s neuroanesthesia. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2011, 60–72. 3. Robertson CS, Hannay J, Yamal JM, Gopinath S, Goodman JC, Tilley BC, et al. Effect of erythropoietin and transfusion treshold on neurological recovery after traumatic brain injury. A randomized clinical trial. JAMA 2014;312(1):36–47. 4. Leal-Noval SR, Munoz-Gomez M, Murillo-Cabezas M. Optimal hemoglobin concentration in patients with subarachnoid hemorrhage, acute ischemic stroke and traumatic brain injury. Curent Op Crit Care 2008;14(2):156–62 5. Zygun DA, Nortje J, Hutchinson PJ, Timofeev I, Menn DK, Gupta AK. The effect of red blood cell transfusion on cerebral oxygenation and metabolism. Crit Care Med 2009;37(3):1167–7 6. Figaji AA, Zwane E, Kogel M, Fieggen AG, Argent AC, Le Roux PD, Peter JC. The effect of blood transfusion on brain oxygenation in children with severe traumatic brain injury. Crit Care Med 2010;11(3):326–31 7. Tango HK, Schmidt AP, Mizumoto N, Lacaya M, Criz RZ Jr, Auler JO Jr. Low hematocrite level increase intracranial pressure in an animal model of cryogenic brain injury. J Trauma 2010;68(1):251
Daftar Pustaka
8. Desjardins P, Turgeon AF, Tremblay AH, Lauzier F, Zarychanski R, Boutin A, et al. Hemoglobin level and tranfusion in neurocritically ill patients: a systematic review of comparative study. Criical Care 2012,16:R54
1. Kramer AH, Zygun DA. Anemia and red blood cell transfusion in neurocritical care. Critical Care 2009,13(3) 2. Kass IS, Cottrell JE, Lei B. Brain metabolism,
9. Sekhon MS, McLean N, Henderson WR, Chittock DR, Griesdale DEG. Association of hemogloblin concentration and mortality in critically ill patient with severe traumatic
Ambang Hemoglobin pada Cedera Otak Traumatik
brain injury. Critical Care 2012,16:R128 10. Hebert PC, Wells G, Blajchman MA, Marahall J. A multicenter, randomized, controlled clinical trial of transfusion requirement in critical care. N Engl J Med 1999;340:409–17 11. McIntyre LA, Fergusson DA, Hutchison JS, Pagliarello G, Marshall JC, Yetisir E, Effect of liberal versus restrictive transfusion strategy on mortality in patient with moderate to severe head injury. Neurocrit Care 2006;5(1):4–9
217
12. Bellapart J, Boots R, Fraser J. Physiopathology of anemia and transfusion tresholds in isolated head injury. J Trauma Acute Care Surg 2012, 73(4):997–1005 13. Bisri T. Penentuan Jugular Bulb Oxygen Saturation (SJO2) dan Cerebral Extraction of Oxygen (CEO2) sebagai Indikator Utama Proteksi Otak pada Teknik Anestesi untuk Operasi Cedera Kepala. Disertasi Universitas Padjadjaran, 2002
Indeks Penulis
A Alexander Samuel P, 180
R Rudyanto Sedono, 163
B Bambang J. Oetoro, 173 Bau Indah Aulyan Syah, 197 Bona Akhmad Fithrah, 173
S Siti Chasnak Saleh, 173, 180 Sri Rahardjo, 197 Sofyan Harahap, 189 Syafruddin Gaus, 197
C Caroline Wullur, 155 D
T Tatang Bisri, 155, 210
Dita Aditianingsih, 163 Dewi Yulianti Bisri, 210
W Wahyu Sunaryo Basuki, 173
I Ike Sri Redjeki, 155
Y Yasmine K. Kartika Putri, 189 Yoshua Baktiar, 163
N Nazaruddin Umar, 173 Nancy Margarita Rehata, 180
Z Zafrullah Arifin Kany Jasa, 130
Indeks Subjek
A Amnesia, 173 Akromegali, 189 C Cedera kepala ringan, 173 Cedera kepala traumatik, 180 Cedera otak traumatik, 210 Cairan dan elektrolit, 197 D Diabetes insipidus, 130 E Epidural hematom akut, 173 Evakuasi hematom tertunda, 173 Epidural hematoma, 180 G Gangguan fungsi kognitif, 155 H Haemoglobin, 210 I Isofluran, 155 K Kraniotomi tumor otak, 155 Kraniotomi elektif, 163 Komplikasi paru pascaoperasi, 163
Kraniotomi berulang, 173 Krisis tiroid, 189 M Makroadenoma hipofise, 189 N Neuroanestesia, 163 O Osmolalitas, 197 P Perdarahan intraserebral, 173 Penanganan terlambat, 180 R Rasio PaO2/FiO2, 163 Resusitasi cairan, 197 S Sevofluran, 155 T Terapi hiperosmolar, 197 Transfusi darah, 210 V Volume tidal, 163
Pedoman Bagi Penulis 1.
Ketentuan Umum
Redaksi majalah Jurnal Neuroanestesia Indonesia menerima tulisan Neurosains dalam bentuk Laporan Penelitian, Laporan Kasus, Tinjauan Pustaka, serta surat ke editor. Naskah yang dipertimbangkan dapat dimuat adalah naskah lengkap yang belum dipublikasikan dalam majalah nasional lainnya. Naskah yang telah dimuat dalam proceeding pertemuan ilmiah masih dapat diterima asalkan mendapat izin tertulis dari panitia penyelenggara. 2.
Judul
Bahasa Indonesia tidak melebihi 12 kata, judul bahasa Inggris tidak melebihi10 kata. 3. Abstrak Ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia serta tidak boleh lebih dari 250 kata. Abstrak Penelitian: Terdiri dari IMRAD (Introduction, Method, Result, and Discussion). Dalam introduction mengandung latar belakang dan tujuan penelitian. Dalam Discussion diakhiri oleh Simpulan. Contoh Penulisan Abstrak Penelitian: Latar Belakang dan Tujuan: Disfungsi kognitif pascaoperasi (DKPO) sering terjadi dan menjadi masalah serius karena dapat menurunkan kualitas hidup pasien yang menjalani pembedahan dan meningkatkan beban pembiayaan kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui angka kejadian DKPO pada pasien yang menjalani operasi elektif di GBPT RSU dr. Sutomo dan menganalisa faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya. Subjek dan Metode: Penelitian ini melibatkan 50 orang sampel berusia 40 tahun atau lebih yang menjalani pembedahan lebih dari dua jam. Dilakukan serangkaian pemeriksaan fungsi kognitif praoperasi dan tujuh hari pascaoperasi.
Domain kognitif yang diukur adalah atensi dan memori. Faktor yang diduga mempengaruhi kejadian DKPO dalam penelitian ini adalah usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi. Hasil: Tujuh hari pascaoperasi 30% sampel mengalami gangguan atensi, 36% sampel mengalami gangguan memori dan 52% sampel mengalami disfungsi kognitif pascaoperasi. Pemeriksaan kognitif yang mengalami penurunan bermakna adalah digit repetition test, immediate recall, dan paired associate learning. Analisa logistik regresi variabel usia (p=0,798), tingkat pendidikan (p=0,921) dan durasi operasi (p=0,811) terhadap kejadian DKPO menunjukkan hubungan yang tidak bermakna. Namun bila dianalisa pada masing masing kelompok usia tampak bahwa persentase pasien yang mengalami DKPO konsisten lebih tinggi pada usia ≥50 tahun, tingkat pendidikan ≤6 tahun dan durasi operasi ≥180 menit Simpulan: Kejadian disfungsi kognitif pada pasien yang menjalani operasi elektif di GBPT RSU dr. Sutomo cukup tinggi. Faktor usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi tampaknya mempengaruhi kejadian DKPO meskipun secara statistik tidak signifikan. Kata kunci: anestesi umum, atensi, kognitif pascaoperasi, memori Abstrak Laporan Kasus: Terdiri dari Pendahuluan, Kasus, Pembahasan, simpulan Contoh Penulisan Abstrak Laporan Kasus: Abstrack Meningoencephaloceles are very rare congenital malformations in the world that have a high incidence in the population of Southeast Asia, include in Indonesia. Children with anterior meningoencephaloceles should have surgical correction as early as possible because of the facial dysmorphia, impairment of binocular vision,
increasing size of the meningoencephalocele caused by increasing brainprolapse, and risk of infection of the central nervous system. In the report, we presented a case of a 9 monthsold baby girl with naso-frontal encephalocele and hydrocepahalus non communicant, posted for VP shunt (ventriculo-peritoneal shunt) and cele excision. Becaused of the mass, nasofrontal or frontoethmoidal and occipital meningoencephalocele leads the anaesthetist to problems since the anaesthesia during the operation until post operative care. Anaesthetic challenges in management of meningoencephalocele, which most of the patients are children, include securing the airway with intubation with the mass in nasofrontal or nasoethmoidal with its associated complications and accurate assessment of blood loss and prevention of hypothermia
pengelolaan hemodinamik dan jantung, 2) jalan nafas dan ventilasi, 3) evaluasi fungsi neurologik dan kebutuhan pemantauan tekanan intrakranial atau drainase ventrikel atau keduanya.
Key words: Anaesthesia, difficult ventilation, difficult intubation, naso-frontal, meningoencephalocele, padiatrics
Contoh cara penulisannya:
Abstrak Tinjauan Pustaka: Terdiri dari Pendahuluan, Isi, dan Simpulan Abstrak Stroke hemoragik merupakan penyakit yang mengerikan dan hanya 30% pasien bertahan hidup dalam 6 bulan setelah kejadian. Penyebab umum dari perdarahan intrakranial adalah subarachnoid haemorrhage (SAH) dari aneurisma, perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM), atau perdarahan intraserebral. Perdarahan intraserebral sering dihubungkan dengan hipertensi, terapi antikoagulan atau koagulopati lainnya, kecanduan obat dan alcohol, neoplasma, atau angiopati amyloid. Mortalitas dalam 30 hari sebesar 50%. Outcome untuk stroke hemoragik lebih buruk bila dibandingkan dengan stroke iskemik dimana mortalitas hanya sekitar 10-30%. Stroke hemoragik khas dengan danya sakit kepala, mual muntah, kejang dan defisit neurologic fokal yang lebih besar. Hematoma dapat menyebabkan letargi, stupor dan koma. Disfungsi neurologik dapat terjadi dari rentang sakit kepala sampai koma. Pengelolaan dini difokuskan pada: 1)
Kata kunci: perdarahan intrakranial, stroke perdarahan Diakhir abstrak dibuat kata kunci yang ditulis berurutan secara alphabet, 3–5 buah. 4.
Cara Penulisan Makalah Penulisan Daftar Pustaka:
•
Nomor Kepustakaan berdasarkan urutan datang” di dalam teks, Vancouver style. Jumlah kepustakaan minimal 8 dan maksimal 20 buah.
•
Dari Jurnal: 1. Powers WJ. Intracerebral haemorrhage and head trauma. Common effect and common mechanism of injury. Stroke 2010;41(suppl 1):S107–S110. 2. Qureshi A, Tuhrim S, Broderick JP, Batjer HH, Hondo H, Hanley DF. Spontaneus intracerebral haemorrhage. N Engl J Med 2001,344(19):1450–58. Dari Buku: 1. Ryan S, Kopelnik A, Zaroff J. Intracranial hemorrhage: Intensive care management. Dalam: Gupta AK, Gelb AW, eds. Essentials of Neuroanesthesia and Neurointensive Care. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008, 229– 36. 2. Rost N, Rosand J. Intracerebral Hemorrhage. Dalam: Torbey MT, ed. Neuro Critical Care. New York: Cambridge University Press;2010,143–56. Materi Elektronik Artikel Jurnal dalam Format Elektronik Lipton B, Fosha D. Attachment as a transformative process in AEDP: operationalizing the intersection of
Penanggungjawab, pemimpin, dan segenap redaksi Jurnal Neuroanestesi Indonesia menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya serta ucapan terima kasih yang tulus kepada mitra bebestari: Prof. Siti Chasnak Saleh, dr., SpAnKIC,KNA (Universitas Airlangga ‒ Surabaya) Dr. M. Sofyan Harahap, dr., SpAnKNA (Universitas Diponegoro ‒ Semarang) Dr. Bambang J. Oetoro, dr., SpAnKNA (Universitas Khatolik Atmajaya‒ Jakarta) Dr. Diana Lalenoh, dr., SpAnKNA, KAO, M.Kes (Universitas Sam Ratulangi – Manado) Dr. I Putu Pramana Suarjaya, dr., SpAnKMN, KNA (Universitas Udayana – Denpasar) Dr. M.M. Rudi Prihatno, dr., SpAnKNA, M.Si Universitas Jenderal Soedirman – Purwokerto) Atas kerjasama yang terjalin selama ini, dalam membantu kelancaran penerbitan Jurnal Neuroanestesi Indonesia, semoga kerjasama ini dapat berjalan lebih baik untuk masa yang akan datang Redaksi
FORMULIR PESANAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama Lengkap : ………………………………………………………………... Alamat Rumah : ………………………………………………………………... ………………………………………………………………... ……………….. Kode pos…………………………................. Telepon …………………………Faks …………………......... HP ………………………………E-mail…………................... Alamat Praktik : ………………………………………………………………... Telepon …………………………Faks ………………............. Alamat Kantor : ………………………………………………………................ ……………………….. Kode pos…………………………….. Telepon …………………………Faks ……………………...... Mulai berlangganan : ………………………………. s.d ……………………………...
Saya bermaksud untuk berlangganan JNI secara teratur dengan mengirimkan biaya berlangganan sebesar Rp. 250.000,00 per tahun**
Pembayaran melalui : □ Langsung ke Sekretariat Redaksi Jl. Prof. Dr. Eijkman No. 38 – Bandung 40161 Mobile : 087722631615 JNI dikirimkan ke* :
□ □ □
Alamat Rumah Alamat praktik Alamat Kantor
Bandung, ………………………………… Hormat Saya ( * pilih salah satu ** foto kopi bukti transfer mohon segera dikirimkan/faks ke Sekretariat Redaksi *** termasuk ongkos kirim untuk wilayah Jawa Barat, Jakarta, dan Banten
)