2
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dikenal sebagai kota pelajar yang diminati oleh para pencari ilmu. Berdasarkan data yang dimiliki oleh BPS, tahun 2012 pada jenjang perguruan tinggi negeri (PTN) Yogyakarta memiliki total sepuluh perguruan tinggi yang memiliki jumlah mahasiswa hingga 6.980 (tidak termasuk mahasiswa UGM) dan pada jenjang perguruan tinggi swasta (PTS) Yogyakarta tercatat memiliki 112 institusi (18 universitas, 42 sekolah tinggi atau institut, 7 politeknik dan 45 akademi) dengan total mahasiswa sebanyak 57.402 orang. Pada tahun 2013 jumlah mahasiswa yang menempuh pendidikan di Yogyakarta mencapai angka total hingga 69.680 jiwa. Mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di Yogyakarta bukanlah seluruhnya berasal dari kota Yogyakarta dan mayoritas justru berasal dari luar kota Yogyakarta maupun luar pulau Jawa. Mahasiswa merupakan seseorang yang telah terdaftar dan sedang menempuh pendidikannya di jenjang perguruan tinggi, baik itu akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut ataupun universitas (Poerwadarmita, 1999; Somadikarta, 1996; Salim dan Salim, 2002). Mahasiswa sering dikatakan sebagai tunas bangsa yang memiliki tugas sebagai calon pemimpin bangsa pada masa yang akan datang dan untuk itu mahasiswa diharapkan dapat memiliki cara pandang, jiwa, kepribadian serta mental yang sehat, kuat, lebih dewasa, dan mampu menempatkan diri pada kondisi yang ada. Anggapan orang mengenai mahasiswa pada umumnya tersebut secara tidak langsung merupakan tanggung jawab yang harus dipikul oleh para mahasiswa di Indonesia. Pada kenyataannya, menurut hasil wawancara yang dilakukan oleh Kholidah dan Alsa (2012) pada 200 mahasiswa di Yogyakarta menyebutkan bahwa mahasiswa seringkali mengalami stres yang biasanya disebabkan oleh persaingan dalam meraih prestasi, adanya tekanan untuk terus meningkatkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK), banyaknya tugas perkuliahan, ujian, praktikum, pilihan jurusan yang dirasa kurang tepat, masalah penyesuaian diri, manajemen diri, kemandirian, ketidakpuasan akademik, pengaturan keuangan, hubungan interpersonal dan adanya konflik dengan dosen, teman, pacar ataupun keluarga.
3
Hal senada juga diungkapkan oleh 7 (tujuh) orang mahasiswa yang diwawancarai dalam wawancara pendahuluan oleh peneliti mengenai kehidupan mereka saat menyandang peran sebagai seorang mahasiswa. Mayoritas dari ketujuh mahasiswa tersebut mengungkapkan betapa berbedanya kehidupan mereka setelah berkuliah dibandingkan saat mereka menjadi siswa di sekolah. Mereka mengatakan bahwa meskipun tidak ada aturan yang terlalu ketat di universitas mengenai absensi ataupun target nilai, namun mereka masih tetap bisa merasakan ketatnya persaingan secara akademik untuk terus meningkatkan IPK. Selain itu, bagi mahasiswa pendatang, culture shock seringkali juga menjadi masalah yang mengganggu proses perkuliahan. Masalah penyesuaian diri, manajemen diri, keuangan, menjadi hal-hal yang terkesan biasa terjadi pada mahasiswa. Keluhan mengenai waktu yang habis untuk menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan disamping kemalasan mereka untuk fokus pada perkuliahan juga muncul pada wawancara yang dilakukan. Beberapa di antara mereka juga mengatakan konflik dengan kekasih ataupun orang tua dan terkadang teman seringkali membuat mereka kebingungan dan tidak fokus. Ketujuh mahasiswa yang diwawancarai menyadari peran mereka sebagai mahasiswa beserta seluruh perubahan yang harus mereka lalui untuk menjadi individu yang lebih dewasa, namun terkadang mereka merasa bahwa tuntutan-tuntutan tersebut membebani mereka. Ketika ditanya apakah mereka bahagia menjadi seorang mahasiswa dengan semua tuntutan yang mereka miliki, mereka menjawab bahwa sebenarnya mereka bahagia, namun ada kalanya ketika mereka terlibat konflik interpersonal, kurang tidur, kecemasan mengenai akademik, finansial yang tidak teratur, tugas kuliah yang menumpuk membuat mereka mudah memiliki mood yang jelek, mudah lelah, insecure, rasa malas, mudah sakit, perasaan tidak berdaya sehingga ingin pulang ke daerah asal, mencari pelarian lain (pergaulan lain), dan menjadi lebih sulit untuk merasa gembira dan puas atas hidup atau pencapaian mereka. Banyaknya tuntutan yang dirasakan oleh mahasiswa-mahasiswa tersebut dapat menyebabkan munculnya pikiran-pikiran negatif yang berakhir dengan munculnya simtom stres maupun depresi dan dengan banyaknya tuntutan yang
4
harus mereka penuhi mahasiswa juga diharapkan untuk dapat melewati fase tersebut. Ketidakmampuan mahasiswa mengatasi permasalahan maupun tuntutan hidupnya membuat mereka tidak mampu menjalani hidup dengan rasa puas dan juga kegembiraan. Tidak adanya rasa puas dan kegembiraan pada diri individu tentu saja akan berpengaruh terhadap subjective well-being. Sebagaimana telah diungkapkan oleh Diener, Lucas, dan Oishi (2005) ketika subjective well-being seorang individu berada pada level yang tinggi maka mereka akan lebih dapat merasakan afek positif dibandingkan afek negatif. Subjective well-being didefinisikan sebagai evaluasi kognitif dan afektif seseorang mengenai hidup. Evaluasi tersebut mencakup reaksi emosional terhadap suatu kejadian dan juga penilaian kognitif terhadap kepuasan dan pemenuhan (Diener, dkk., 2005). Seorang individu dikatakan memiliki level subjective wellbeing yang tinggi ketika memiliki afek positif, ketiadaan afek negatif dan adanya kepuasan hidup. Hal tersebut dikemukan oleh beberapa pakar subjective wellbeing (Eddington & Shuman, 2005; Diener, 1994) yaitu bahwa terdapat tiga komponen penting dalam subjective well-being, yaitu (1) Kepuasan hidup, yang mencakup ranah kehidupan yang spesifik, seperti dirasakan pada berbagai bidang kehidupan misalnya rekereasi, cinta, pernikahan, persahabatan; (2) Adanya afek positif, yang meliputi mood serta emosi yang menyenangkan. Afek positif yang dimaksud merupakan refleksi dari suatu peristiwa tertentu yang menunjukkan perasaan sukacita, kasih sayang, harga diri, afeksi; dan (3) Ketiadaan afek negatif, yang terdiri dari mood serta emosi yang tidak menyenangkan (sedih, marah, takut, cemas). Berdasarkan rumusan yang telah diungkapkan oleh para ahli (Eddington & Shuman, 2005; Diener, 1994; Baumgardner & Crothers, 2010) maka dapat dibuat kesimpulan mengenai bagaimana seorang individu mendapatkan level subjective well-being yang tinggi, yaitu dengan memiliki kepuasan hidup yang ditambah dengan banyaknya afek positif dan kemudian berkurangnya afek negatif.
5
Gambar 1. Rumusan level subjective well-being Intervensi untuk meningkatkan subjective well-being dirasa perlu untuk dilakukan karena bukan hanya penting bagi seorang individu untuk merasa bahagia namun individu yang bahagia juga memiliki kecenderungan untuk dapat lebih sukarela, memiliki perilaku kerja yang lebih positif dan menunjukkan lebih banyak karakter yang diinginkan (Diener, dkk., 2005). Berkaitan dengan usaha untuk meningkatkan subjective well-being seorang individu, teori kebutuhan dan teori aktivitas sama-sama memiliki pendapat bahwa subjective well-being akan berubah sesuai dengan kondisi kehidupan seseorang. Ketika seorang individu berusaha untuk meraih tujuan dan terlibat di dalam aktivitas yang menyenangkan, maka mereka akan mengalami well-being yang positif. Subjective well-being juga dipengaruhi oleh kuatnya disposisi kepribadian seorang individu dan dapat ditingkatkan dengan adanya dukungan sosial dari keluarga untuk menurunkan afek negatif dan dukungan sosial dari orang penting di dalam hidup akan meningkatkan afek positif. Adanya dukungan sosial dari baik itu keluarga dan juga orang penting di dalam hidup berasosiasi dengan tingginya kepuasan hidup bagi para remaja di universitas di Jepang, Cina dan Korea. Dengan demikian, selain adanya kekuatan dari dalam diri individu, aktivitas yang menyenangkan dan adanya dukungan sosial tentu saja berefek terhadap tingginya
6
level subjective well-being para remaja (Diener, dkk., 2005; Matsuda, Tsuda, Kim, & Deng, 2014). Beberapa usaha peningkatan subjective well-being telah pernah dilakukan dengan menggunakan beberapa metode intervensi oleh para peneliti terdahulu. Beberapa studi dan penelitian mengemukakan mengenai pentingnya memiliki subjective well-being bagi para remaja, hal tersebut dikarenakan subjective wellbeing dapat berpengaruh terhadap kesehatan dan juga hasil akademik yang positif (Savage, 2011). Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap 290 remaja dengan rentang usia 14-17 tahun di Turki menemukan bahwa para remaja membutuhkan strategi untuk meningkatkan subjective well-beingnya. Penelitian ini menggunakan alat ukur Subjective Well-Being Increasing Strategies Scale for Adolescents and Determination of Life Goals with Respect to Positive Psychotherapy Scale Likert Form dan juga Satisfaction with Life Scale (SWLS). Penemuan dalam penelitian ini menyatakan bahwa secara statistik terdapat hubungan yang signifikan antara strategi meningkatkan SWB dengan menentukan tujuan hidup pada remaja. Strategi peningkatan subjective well-being bagi para remaja dapat dilakukan dengan terlebih dahulu menentukan tujuan hidup (life goal). Hal tersebut mungkin dikarenakan ketika remaja sudah
mengetahui tujuan hidupnya dan memiliki
pandangan mengenai pentingnya tujuan hidup tersebut, maka level SWB mereka juga akan meningkat (Eryilmaz, 2011). Uraian-uraian mengenai subjective well-being sebelumnya menyebutkan bahwa subjective well-being dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu kepuasan hidup, afek positif dan afek negatif. Penemuan dari penelitian yang dilakukan oleh Katja, Paivi, Terttu dan Pekka (2002) mengungkapkan bahwa kepuasan akademik, kepuasan akan bentuk tubuh, dan juga kesehatan yang baik berkontribusi terhadap kepuasan bagi para remaja wanita dan bagi remaja pria, merokok merupakan salah satu cara untuk merasa rileks dan menghadapi stres. Bagi para remaja, kepuasan atas terpenuhinya kebutuhan mereka memainkan peran penting dalam subjective well-being dibandingkan dengan alasan (reasons) untuk hidup itu sendiri. Hal tersebut mungkin berhubungan dengan kebutuhan akan kompetensi, relasi dan
7
kemandirian yang dimiliki oleh remaja (Eryilmaz, 2012). Dengan demikian, diketahui bahwa subjective well-being memainkan peran penting bagi remaja dikarenakan hal tersebut dapat berpengaruh terhadap kesehatan dan juga hasil akademik yang positif. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada 220 mahasiswa tingkat akhir Mehmed Akif Ersoy University, diketahui bahwa intervensi dengan teknik psikodrama yang dilakukan selama 12 sesi (90-120 menit) membawa dampak yang positif untuk meningkatkan subjective well-being dan menurunkan perasaan putus asa seorang individu. Hal tersebut nampak dari perubahan skor pada Subjective Well-Being Scale dan Hopeless Scale. Namun meskipun demikian, efektivitas teknik intervensi psikodrama membawa dampak jangka panjang dalam menangani keputusasaan dan jangka pendek untuk meningkatkan subjective wellbeing. Hal tersebut mungkin disebabkan karena terlalu banyaknya variabel yang dapat mempengaruhi kesejahteraan partisipantif seorang individu dibandingkan dengan keputusasaan itu sendiri (Karatas, 2014). Selain menggunakan teknik psikodrama, relaksasi otot progresif (progressive muscle relaxation) ditemukan efektif untuk menangani stress psikologis dan juga subjective well-being. Penelitian tersebut dilakukan terhadap 88 pasien penderita skizofrenia. Pada penelitian awal ditemukan bahwa sekali intervensi relaksasi otot progresif yang dilakukan selama kurang lebih 25 menit dapat menurunkan kecemasan pada penderita skizofrenia (dan juga diketahui efektif pula bagi populasi lainnya) dan setelah diteliti lebih jauh, penurunan kecemasan tersebut ternyata juga berkorelasi dengan penurunan stress psikologis dan peningkatan subjective well-being (Vancampfort, dkk., 2011). Membawa tubuh dan pikiran ke dalam kondisi rileks membawa dampak yang positif terhadap subjective well-being. Tidak hanya dengan menggunakan relaksasi otot progresif, teknik yoga juga diketahui dapat meningkatkan subjective well-being pada seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Jadhav dan Havalappanavar (2009) menemukan bahwa mahasiswa (25 laki-laki dan 25 perempuan) tahun pertama dengan rentang usia 19-20 tahun yang berlatih yoga selama dua sesi mendapatkan manfaat positif dari hal tersebut yang ditunjukkan dengan
8
meningkatnya level subjective well-being-nya. Seperti yang diungkapkan di atas, permasalahan mahasiswa terletak pada beban dan tuntutan yang terlalu banyak mereka rasakan sehingga mereka justru lebih banyak memiliki afek negatif dibandingkan afek positif dan juga berkurangnya kepuasan atas hidup yang telah dijalani. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa mahasiswa juga memiliki subjective well-being yang rendah. Berkaitan dengan hal tersebut sangat penting bagi mahasiswa untuk meningkatkan afek positif dan juga kepuasan hidup mereka agar subjective well-being meningkat dan untuk itu diperlukan intervensi yang cocok agar tujuan tersebut dapat tercapai. Namun dari beberapa penelitian di atas diketahui bahwa usaha yang dilakukan para remaja untuk meningkatkan subjective well-being dapat dikatakan kurang memaksimalkan nilai-nilai positif di dalam diri mereka sendiri, karena mereka masih fokus pada usaha untuk meningkatkan nilai akademik, bentuk tubuh, atau bahkan cara-cara yang cenderung merugikan seperti merokok, untuk itulah dirasa perlu untuk mencari jenis intervensi yang cocok untuk meningkatkan subjective well-being pada remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Kong dan Sun (2013) memperoleh hasil bahwa gratitude (kebersyukuran) memiliki hubungan yang positif dengan kepuasan hidup. Hal tersebut diketahui dari hasil pengukuran menggunakan Gratitude Questionnaire PANAS, dan SWLS. Analisis korelasi yang dilakukan di dalam penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa individu yang memiliki tingkat kebersyukuran yang tinggi cenderung akan memiliki banyak afek positif dan berkurangnya afek negatif. Penelitian tersebut memiliki hasil yang spesifik signifikan diterapkan kepada 354 remaja akhir yang berkuliah di Universitas di Cina. Intervensi kognitif berbasis psikologi positif juga diketahui dapat digunakan untuk meningkatkan subjective well-being. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Padash, Dehnavi, dan Botlani (2012), mereka menggunakan Quality of Life Therapy (QOLT) yang merupakan kombinasi dari terapi kognitif dan psikologi positif selama 8 sesi pertemuan selama 120 menit untuk meningkatkan kepuasan dan subjective well-being dalam kehidupan seorang individu. Penelitian dilakukan terhadap 40 orang yang dipilih secara acak. Hasil dari penelitian tersebut
9
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan pada level subjective wellbeing partisipan sebelum dan sesudah pemberian intervensi, dimana partisipan yang diberi intervensi QOLT mengalami peningkatan level subjective well-being. Selain penelitian tersebut, konsep intervensi psikoterapi positif yang dilakukan dengan cara menghitung berkah versus beban hidup dan ekperimental investigasi mengenai kebersyukuran (gratitude) dilakukan oleh Emmons dan McCullough (2003) menemukan bahwa mengumpulkan jurnal mingguan keuntungan atau berkat di dalam hidup diasosiasikan dengan lebih banyaknya perasaan positif dan keoptimisan di dalam penilaian hidup seorang individu. Sedangkan jurnal harian self-guided gratitude diasosiasikan dengan tingginya level afek positif. Individu yang berfokus pada berkat di dalam hidup mereka akan lebih memiliki keinginan untuk membantu orang lain dengan masalah pribadinya atau menawarkan bantuan emosional untuk orang lain. Penelitian yang dilakukan Wood, Froh, dan Geraghty (2010) menghasilkan gratitude berhubungan dengan macam-macam fenomena yang relevan dengan setting klinis, termasuk psikopatologi (khususnya depresi), karakteristik kepribadian adaptif, hubungan sosial yang positif dan kesehatan fisik (khususnya stres dan tidur). Hubungan dari semua hal tersebut sangatlah unik, gratitude dapat berkontribusi untuk literatur well-being tanpa harus mengubah atau menyusun kembali konstruk yang sudah ada. Eksperimen longitudinal (jangka panjang) yang dilakukan menyimpulkan bahwa kegunaan dari gratitude untuk well-being juga merupakan hubungan timbal balik. Beberapa penemuan juga mengindikasikan bahwa gratitude berkaitan dengan orientasi hidup menuju kemampuan untuk mengenali dan menghargai hal-hal positif di dalam hidup. Seperti yang dibahas di atas, banyaknya afek positif, berkurangnya afek negatif dan adanya kepuasan terhadap hidup diasosiasikan dengan tingginya level subjective well-being seorang individu. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut diperoleh hasil yang sesuai pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Sin dan Lyubomirsky (2009) bahwa intervensi psikologi positif benar-benar secara signifikan meningkatkan level well-being dan juga menurunkan simtom depresif seorang individu. Dengan banyaknya bukti bahwa intervensi psikologi positif
10
dapat meningkatkan subjective well-being individu, maka peneliti memilih untuk menggunakan positive psychotherapy (PPT) yang merupakan salah satu bentuk dari terapi psikologi positif. Alasan lain mengapa peneliti memilih intervensi PPT untuk meningkatkan subjective well-being pada remaja dikarenakan peneliti melihat pentingnya bagi remaja untuk memaksimalkan atau fokus terhadap halhal positif yang dimilikinya untuk dapat merasa bahagia dan puas terhadap hidupnya. Intervensi Psikoterapi Positif yang dipilih oleh peneliti kemudian dituangkan ke dalam sebuah Program bernama Program “AKTIF – Aku Positif”. Psikoterapi Positif merupakan salah satu usaha terapi dalam psikologi positif yang memperluas ruang lingkup dari psikoterapi tradisional. Premis atau tujuan utama dari Psikoterapi Positif adalah menyasar potensi-potensi positif yang dimiliki oleh klien seperti misalnya emosi positif, kekuatan karakter individu dan juga kebermaknaan – dalam kaitannya untuk menangani simtom yang muncul – saat menangani psikopatologi. Aksentuasi potensi-potensi positif akan dapat membantu klien agar dapat memiliki performa yang maksimal justru ketika klien menghadapi kesulitan bukannya ketika kehidupannya dirasa mudah. Hal tersebut dikarenakan otak manusia memiliki kecenderungan untuk lebih mudah merespon dan mengingat hal-hal negatif dibandingkan hal positif, maka psikopatologi memperburuk kecenderungan tersebut sehingga dengan demikian memaksimalkan potensi yang dimiliki untuk mengatasi simptom yang muncul merupakan pendekatan terapeutik yang lebih baik (Rashid, 2014). Menurut Rashid dan Seligman (2013) Psikoterapi Positif didasarkan pada tiga asumsi, yaitu
pertama, klien secara turun temurun menginginkan
pertumbuhan, pemenuhan dan juga kebahagiaan alih-alih mengindari penderitaan, kekhawatiran ataupun kecemasan. Psikopatologi muncul ketika keinginan yang sifatnya alami tersebut gagal atau tidak berhasil dilakukan. Asumsi kedua yakni potensi-potensi positif seperti misalnya kekuatan diri merupakan hal yang otentik dan senyata simptom serta gangguan yang muncul. Mereka bukanlah sebuah bentuk dari pertahanan diri (defense), ilusi atau produk klinikal untuk mengurangi munculnya simptom negatif yang muncul. Asumsi ketia adalah bahwa hubungan terapeutik yang efektif dapat diperoleh dari adanya diskusi dan manifestasi dari
11
potensi-potensi positif, bukan hanya melalui analisis kekurangan dan kelemahan klien. Peterson dan Seligman (2004) telah merumuskan klasifikasi 6 virtues and 24 character strengths (6 kebajikan dan 24 kekuatan karakter), yakni : (1) Wisdom and knowledge, meliputi creativity, curiosity, open-mindedness, love of learning, dan perspective; (2) Courage, meliputi authenticity, bravery, persistence, dan zest; (3) Humanity, meliputi kindness, love, dan social intelligence; (4) Justice, meliputi fairness, leadership, dan teamwork; (5) Temperance, meliputi forgiveness, modesty, prudence, dan self-regulation; dan (6) Transcendence, meliputi appreciation of beauty and excellence, gratitude, hope, humor, dan religiousness. Dasar utama PPT merupakan konseptualitas dari well-being yang diungkapkan oleh Seligman (2002). Seligman menguraikan well-being menjadi aspek yang dapat diukur secara ilmiah dan juga komponen yang dapat diatur oleh hal-hal seperti emosi positif, kebersamaan, relasi, kebermaknaan dan juga pencapaian. Berdasarkan perspektif humanistik dan self-determination theory atau SDT (Deci & Ryan, 1985, 1991, dalam Linley & Joseph, 2004) diketahui bahwa nilai-nilai, motif, dan tujuan seorang individu berdampak terhadap well-beingnya meskipun beberapa yang lain mungkin berefek negatif terhadap well-being dan outputnya adalah pengaruhnya terhadap well-being seperti munculnya simptomsimptom psikopatologis penurunan kebahagiaan, depresi, atau kecemasan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa latihan dengan menggunakan bentuk PPT seperti using signature strengths in a new way (menggunakan kekuatan diri dengan cara yang baru) dan juga three good things (tiga hal baik/berkah di dalam hidup) dapat meningkatkan kebahagiaan dan menurunkan simptom depresif selama enam bulan lamanya. Waktu enam bulan tersebut memang mungkin tidaklah menjadi ‘bahagia selamanya’, namun dari hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa PPT memungkinkan bertahannya tingkat kebahagiaan meskipun kita hidup di dunia nyata dan bukanlah di negeri dongeng (Seligman, Steen, Park, & Peterson, 2005).
12
Selain penelitian yang dilakukan oleh Seligman, penggunaan intervensi three good things (tiga hal baik/berkah di dalam hidup) dan intervensi three funny things (tiga hal lucu pada hari ini) berpotensi untuk memperkuat kebahagiaan. Intervensi three funny things (tiga hal lucu pada hari ini) yang dilakukan diketahui dapat meningkatkan rasa humor di dalam kehidupan sehari-hari dan hal tersebut akan memfasilitasi pengalaman emosi positif dan menghasilkan efek positif terhadap well-being (Gander, Proyer, Ruch, & Wyss, 2012). Selain pengunaan intervensi three good things dan intervensi three funny things, latihan dengan menggunakan best possible selves (diri yang terbaik) menghasilkan efek yang cukup jelas dan juga langsung untuk menurunkan afek negatif. Latihan best possible selves diprediksi dapat meningkatkan self-relevant dan motivasi seorang individu (Sheldon & Lyubomirsky, 2006). Hal tersebut selaras dengan penemuan Seear dan Brodrick (2013) yakni bahwa penggunaan best possible selves secara signifikan menurunkan afek negatif dibandingkan dengan intervensi three good things. Seligman, Rashid, dan Parks (2006) memberikan ringkasan deskripsi mengenai latihan grup terapi yang akan juga akan diadaptasi dan juga digunakan di dalam Program “AKTIF – Aku Positif”, yaitu : (1) menggunakan kekuatan terbaik di dalam diri, (2) tiga hal baik/berkah di dalam hidup, (3) membuat biografi terbaik untuk dikenang, (4) mengungkapkan rasa terima kasih, (5) merespon orang lain secara aktif dan konstruktif, dan (6) menikmati sesuatu dengan menyenangkan. Keenam bentuk latihan tersebut nantinya akan digunakan sebagai bahan penyusunan modul intervensi Program “AKTIF – Aku Positif” yang akan dikenakan kepada mahasiswa untuk meningkatkan subjective wellbeingnya. Suldo, Savage, dan Mercer (2014) telah berhasil menerapkan intervensi kelompok psikologi positif untuk meningkatkan kepuasan hidup pada siswa sekolah menengah dan berpendapat bahwa pengembangan intervensi untuk meningkatkan subjective well-being konsisten dengan tujuan dari psikologi positif yang menghargai atau berfokus untuk memfasilitasi kesejahteraan pada individu dan tidak hanya untuk mereka yang memiliki masalah pada level klinis.
13
Penggunaan terapi kelompok pada setting klinis diketahui telah membawa hasil yang signifikan pada proses terapeutik. Hal tersebut dikarenakan terapi atau konseling kelompok membuat individu untuk saling berdinamika satu dengan yang lainnya. Yalom (1995) memandang hubungan interpersonal sebagai sebuah kebutuhan yang sangat penting bagi seorang individu. Sullivan dan Yalom memandang kesehatan mental berkenaan dengan sebuah hubungan interpersonal yang sehat. Dengan demikian, tujuan dari konseling dan terapi kelompok adalah untuk membantu anggota kelompok untuk belajar bagaimana mencapai hubungan interpersonal yang sehat dan memuaskan (Kline, 2003). Di dalam sebuah konseling atau terapi kelompok, diperlukan adanya kohesivitas kelompok. Ketika sebuah kelompok terapi atau konseling kohesif, masing-masing anggota akan mampu menerima dan menghargai pendapat satu sama lain dan lebih terbuka dan lebih beresiko. Namun meskipun demikian, hal tersebut kemudian akan menghasilkan hasil kelompok yang positif (Yalom, 1995). Proses terapeutik merupakan sebuah pembelajaran interpersonal yang meliputi validasi konsensual, pengalaman emotional correction, kelompok sebagai sebuah “dunia kecil” sosial, aktivasi here and now, dan proses yang menggunakan perputaran self-reflective. Anggota kelompok yang terlibat di dalam keseluruhan proses tersebut akan belajar untuk berfungsi secara lebih efektif dalam hubungan mereka dengan sesama anggota kelompok dan kemudian hasil pembelajaran tersebut akan mereka terapkan pula ketika mereka berada di luar grup konseling atau terapinya (Kline, 2003). Yalom (1995) menekankan bahwa kesuksesan seorang anggota akan bergantung pada pengalaman emosional dan pengembangan struktur kognitif untuk menetapkan, memperoleh insight, dan merubah distorsi interpersonal. Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah untuk membantu mahasiswa meningkatkan subjective well-being dengan menggunakan Program “AKTIF – Aku Positif”. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah Program “AKTIF – Aku Positif” dapat meningkatkan subjective well-being pada
14
mahasiswa. Berikut ini merupakan bagan kerangka pemikiran di dalam penelitian ini. Mahasiswa Tuntutan Akademik
Subjective Well-Being Rendah
1. Rendahnya Afek Positif (kurang minat pada kegiatan sehari-hari, lesu, lemas, pasif, tidak insiatif). 2. Tingginya Afek Negatif (sedih, marah, insecure, ragu-ragu, rasa takut, sensitif). 3. Rendahnya Kepuasan Hidup (perasaan bersalah, menyalahkan diri sendiri, membandingkan dengan orang lain).
Program “AKTIF – Aku Positif”
1. Mengoptimalkan kekuatan terbaik dalam diri (using your strength) 2. Menemukan tiga hal baik/berkah dalam hidup (three good things/blessings) 3. Membuat biografi terbaik untuk dikenang (obituary/biography) 4. Mengungkapkan rasa terima kasih (gratitude visit) 5. Merespon kisah orang lain secara aktif & konstruktif (active/constructive responding) 6. Menikmati sesuatu dengan menyenangkan (savoring)
Keterangan: Subjective Well-Being Meningkat 1. Tingginya Afek Positif (tertarik pada hal-hal di sekitarnya, antusias, bersemangat, kuat, peka, menginspirasi, memiliki tujuan, aktif). 2. Rendahnya Afek Negatif (lebih santai, bergembira, berani mengambil keputusan, menerima kritik). 3. Tingginya Kepuasan Hidup (bertanggung jawab, mengetahui potensi diri, bersyukur).
Diberikan kepada
Intervensi yang diberikan
Gambar 2. Kerangka pikir Program “AKTIF – Aku Positif” untuk meningkatkan subjective well-being pada mahasiswa