Implementasi Desentralisasi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Berdasarkan Undang-Undang ....
IMPLEMENTASI DESENTRALISASI DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (DIY) BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG KEISTIMEWAAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Eko Nuriyatman Email :
[email protected] Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Djoko Wahju Winarno Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Considering research, it could be found that although the Law Number 13 of 2012 about the Peculiarity of Daerah Istimewa Yogyakarta had been enacted for 3 (three) years, some constraints were still faced by DIY government and the implementation stage of peculiarity law had not been run optimally yet because this
layout and land affairs. The implication of research was that Perdais concerning such the three matters Peculiarity of Daerah Istimewa Yogyakarta and could solve the problem occurring so far in DIY. Kywords :The Implementation, Desentralsasi, Preferential. Abstrak Berdasarkan penelitian ini diperoleh data bahwa meskipun telah berlaku selama 3 (tiga) tahun UndangUndang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, masih terdapat kendala yang dihadapi oleh Pemerintah DIY dan dalam tahap implementasian undang-undang keistimewaan ini belumlah terlaksana secara optimal dikarenakan masih terdapat tiga Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) yang belum disahkan sampai dengan saat ini, yaitu kebudayaan, tata ruang dan pertanahan. Implikasi dari penelitian ini adalah agar Perdais dalam tiga hal tersebut dapat segera disahkan dan berlaku sebagai mana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, secara baik dan dapat menyelesaikan masalah yang selama ini terjadi di DIY. Kata Kunci : Implementasi, Desentralisasi, Keistimewaan.
A. Pendahuluan Pemerintah lokal/daerah yang kita kenal sekarang berasal dari perkembangan praktik pemerintahan di Eropa pada abad ke XI dan XII. Pada saat itu muncul satuan-satuan wilayah di tingkat dasar yang secara alamiah yang membentuk suatu lembaga pemerintah. Pada awalnya satuan-satuan wilayah tersebut merupakan suatu komunitas swakelola dari sekelompok penduduk. Satuan-satuan wilayah tersebut diberi nama municipal (kota) county (kabupaten) dan commune.gamentee (desa). Fenomena ini mirip dengan “satuan komunitas asli penduduk Indonesia yang disebut dengan desa (Jawa), nagari (Sumatra Barat), huta (Sumatera Utara), marga (Sumatera Selatan), gampong (Aceh) dan Kampung (Kalimantan Timur) (Hanif Nurcholis, 2005 : 1).
Pada awalnya komunitas-komunitas tersebut terbentuk atas kebutuhan masyarakatnya sendiri. Untuk menjaga eksistensinya dan kelangsungan hidupnya mereka membuat lembaga yang diperlukan. Lembaga yang dibentuk mencakup lembaga politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan (Hanif Nurcholis, 2005 : 1). Menurut Stoker munculnya pemerintah daerah moderen berkaitan erat dengan fenomena industrialisasi yang melanda Inggris pada pertengahan abad ke-XVIII (Hanif Nurcholis, 2005 : 2). Pada 1998 sebelumrezim orde baru (orbar) mewujudkan kekuasaan sentripetal, yakni berat sebelah memihak pusat bukan pinggiran (daerah) (Donald K. Emmerson, Jakarta, 2001 : 122).B.J. Habibie yang menggantikan Soeharto sebagai presiden pasca orbar membuat kebijakan politik baru yang mengubah hubungan kekuasaan pusat
55
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol IV No. 2 Juli-Desember 2016
dan daerah dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang pelaksanaan otonomi daerah atau yang biasa disebut desentralisasi. Dengan terbitnya undang-undang ini, daerah tidak lagi sepenuhnya bergantung pada Jakarta dan tidak lagi mau didikte oleh pusat. Bahkan, beberapa daerah, seperti Aceh, Papua dan Maluku menuntut merdeka dan ingin berpisah dari Republik Indonesia (Budi Agustono, 2005 : 163). Berangkat dari hal inilah berkembang pemerintahan daerah seperti yang kita kenal sekarang. Dalam perkembanganya dikenal konsep dasar pemerintahan lokal, yaitu: 1. Sentralisasi; 2. Desentralisasi; dan 3. Dekonsentrasi. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibagi atas daerahdaerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.” Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah mendefenisikan bahwa “otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Selama Indonesia merdeka, kebijakan pemerintahan daerah telah mengalami perubahan dan perkembangan yang sangat dinamis. Ketentuan mengenai daerah otonom terdapat dalam Pasal 1 angka (12) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terdapat pengertian mengenai daerah otonom, yaitu “Daerah Otonom yang selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Bagir Manan mengatakan, dalam tataranpelaksanaan belum pernah otonomi dijalankan sebagaimana mestinya, menurut Bagir pemerintahan pusat dan legislatif tetap gamang dan tidak tulus hati dalam merumuskan dan menjalankan arti otonomi yang sesungguhnya
56
dengan berbagai alasan pembenaran (Bagir Manan, 2004 : 27).Perubahan kebijakan hubungan pusat dan daerah di Indonesia pada dasarnya mengacu pada “ultra vires doctrinal (merinci satu persatuan urusan pemerintah yang diberikan kepada daerah) dan risidual power atau open and arregement (konsep kekuasaan asli atau kekuasaan sisa) (Hanif, 2003 : 6).Pola hubungan pusat dan daerah sejak pemberlakuan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1974 sampai UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 pastilah mengalami dinamika perubahan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 lebih tepat lebih tepat dikatakan sebagai pola ultra vires doctrinal karena kewenangan yang diberikan kepada daerah dirincikan satu persatu. Sementara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 dan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 kewenangan yang diberi bersifat residual power atau open and arregemet atau general competence. Dalam hal perkembangan mengenai pemerintahan daerah dan otonomi daerah Indonesia memperkenalkan dua bentuk desentralisasi, yaitu desentralisasi simetris (seragam) dan desentralisasi asimetris (beranekaragam). Pengaturan dalam hal desentralisasi simetris merupakan semua daerah yang tunduk dan patuh (berpatokan) pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, sedangkan desentralisi asimetris tertera dalam Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2). Secara etimologis, istilah “desentralisasi berasal dari bahasa Latin, ‘de’ berarti lepas dan ‘centrum’ berarti pusat. Oleh karena itu, dari pengertian asal katanya desentralisasi berarti melepaskan dari pusat (Dharma Setyawan Salam,2002 : 74).Otonomi dan desentralisasi menegaskan bahwa terdapat dua elemen pengertian pokok, yaitu pembentukan daerah otonom dan penyerahan kekuasaan secara hukum untuk menangani bidang-bidang pemerintahan tertentu, baik yang dirinci maupun yang dirumuskan secara umum. Jauh sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah telah diberlakukan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah mengatur hal-hal tentang pembentukan daerah dan kawasan khusus, pembagian urusan pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan, kepegawaian daerah, perda dan peraturan kepala daerah, perencanaan pembangunan daerah, keuangan daerah, kerja sama dan penyelesaian perselisihan, kawasan perkotaan, desa, pembinaan dan pengawasan, pertimbangan dalamkebijakan otonomi daerah.
Implementasi Desentralisasi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Berdasarkan Undang-Undang ....
Menurut undang-undang ini, negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Sehubungan dengan daerah yang bersifat khusus dan istimewa ini, kita mengenal adanya beberapa bentuk pemerintahan yang lain, seperti Dwerah Kusus Ibukota (DKI) Jakarta, Daerah Istimewa (DI) Nanggroe Aceh Darussalam, Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat dan DIY. DIY merupakan salah satu provinsi yang memiliki kewenangan istimewa tersendiri sejak diatur dalam UndangUndang Nomor 3 Tahun 1950 dan saat ini telah direvisi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Keistimewaan yang dimiliki oleh DIY diatur dalam Pasal 7 ayat (2) yang memuat tentang lima kesitimewaan DIY, yaitu meliputi tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur, kelembagaan pemerintah DIY, kebudayaan, pertanahan dan tataruang. Terbentuknya DIY berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dengan dikeluarkanya Amanat kedua 30 Oktober 1945, berdasarkan amanat tersebut telah dibentuk suatu badan pekerja yang bertugas menjalani fungi legislatif di wilayah DIY. Nama resmi DIY mulai digunakan dalam urusan pemerintahan yang menggabungkan dua kerajaan besar menjadi satu daerah istimewa dari negara Indonesia, pada tanggal 18 Mei 1946.Setelah pengesahan UUK DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengeluarkan Surat Edaran Nomor 51/SE/IX/2012 yang berisi tentang penghapusan kata provinsi dari penyebutan nomenklatur (penamaan dalam bidang tertentu) (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2012 : 337). Salah seorang Dosen Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Isharyanto menulis dalam akun blognya mengenai desentralisasi, yang mana belian mendefenisikan desentralisasi asimetris (asymmetric decentralization) bukanlah pelimpahan kewenangan biasa. Ia berbentuk pelimpahan kewenangan khusus yang hanya diberikan kepada daerah-daerah tertentu. Secara empirik, ia merupakan strategi komprehensif pemerintah pusat guna merangkul kembali daerah yang hendak memisahkan diri ke pangkuan ibu pertiwi. Melalui kebijakan desentralisasi asimetris dicoba diakomodasi tuntutan dan identitas lokal ke dalam suatu sistem pemerintahan lokal yang khas (Isharyanto.wordpress.com/denyutotonomi/desentralisasi-asimetris-peluang-atau –ketiadagunaan, di akses Pada Tanggal 06 November 2015).
Pemahaman umum tentang definisi dan ruang lingkup desentralisasi selama ini banyak mengacu kepada Bank Dunia (World Bank, 2001), yang mana mendefenisikan bahwa desentralisasi adalah transfer kewenangan dan tanggung jawab fungsi-fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, lembaga semi-pemerintah, maupun kepada swasta desentralisasi sendiri terdiri dari empat jenis, yakni desentralisasi politik, desentralisasi administratif, (World Bank, “Decentralization and Governance: Does Decentralization Improve Public Service Delivery” in Prem-Notes No. 55. Diakses dari: http://hazni.blog.esaunggul.ac.id, di akses Pada Tanggal: 27 November 2014). Desentralisasi bukan sekedar memindahkan sistem politik dan ekonomi yang lama dari pusat ke daerah, tetapi pemindahan tersebut harus pula disertai oleh perubahan kultural menuju arah yang lebih demokratis dan beradab. Pilihan pada desentralisasi sesungguhnya haruslah disikapi dengan penuh optimisme dan menjadikannya sebagai sebuah tantangan. Politik hukum tentang desentralisasi yang di gariskan Undang-Undang Dasar 1945 mengisyaratkan pertama, pengembangan desentralisasi asimetris yang menekankan kekhususan, keistimewaan, keberagaman daerah, serta kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisional, kedua, pengembangan desentralisasi asimetris dimaksud diatur lebih lanjut dengan undangundang. Presiden keenam Indonesia, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono ketika menyinggung masalah status keistimewaan pemerintah DIY khususnya masalah wacana pemilihan gubernur secara demokratis, dengan alasan bahwa tidak ada sistem monarki dalam NKRI. Hal ini merupakan salah satu masalah desentralisasi yang paling menarik perhatian semua kalangan khususnya bagi rakyat Yogyakarta. Spontan, “puluhan ribu warga Yogyakarta lantang memprotes dan mengumandangkan Amanat 5 September 1945 untuk mengigatkan pemerintah terkait perjanjian integrasi Negara Ngayogyakarta Hadiningrat ke NKRI (Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo, 2011 : 11). Apa urgensinya dari asas desentralisasi itu di Indonesia? Berdasarkan kajian dari Tim ICCE UIN Jakarta, ada beberapa alasan mengapa kebutuhan terhadap desentralisasi di Indonesia saat ini dirasakan sangat mendesak. Pertama, kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di Jakarta (Jakarta sentris).
57
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol IV No. 2 Juli-Desember 2016
Sementara itu, pembangunan di beberapa wilayah lain dilalaikan. Kedua, pembagian kekayaan secara tidak adil dan merata. Daerah-daerah yang memiliki sumber kekayaan alam melimpah, seperti Aceh, Riau, Irian Jaya (Papua), Kalimantan, dan Sulawesi ternyata tidak menerima perolehan dan yang patut dari pemerintah pusat. Ketiga, kesenjangan sosial (dalam makna seluasluasnya) antara satu daerah dengan daerah daerah berkembang pesat sekali, sedangkan pembangunandi banyak daerah lamban dan bahkan terbengkalai (Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), 2003 : 152-153). Djohermansyah Djohan menjelaskan bahwa desentralisasi asimetris (asymetric decentrlization) bukanlah pelimpahan kewenangan khusus yang hanya diberikan kepada daerah-daerah tertentu. Secara empirik ia merupakan strategi komprehensif pemerintah pusat guna merangkul kembali daerah yang hendak memisahkan diri ke pangkuan ibu pertiwi. Melalui kebijakan desentralisasi asimetris dicoba diakomodasi tuntutan dari identitas lokal ke dalam suatu sistem pemerintahan lokal yang khas (Djohermansyah Djohan, Jurnal Sekretariat RI Nomor 15, Desentralisasi Asimetris Aceh, Desember 2014). Salah satu yang kita ketahui dari keistimewaan DIY adalah mengenai aspek budaya yang sangat melekat, dari segi tersebut ada 3 (tiga) elemen yang melekat pada keistimewaan Yogyakarta, yaitu: 1. Kraton sebagai institusi adat yang melukiskan karya adiluhur (Court Cultura); 2. Unsur transformasi nilai-nilai modernitas melalui jalur pendidikan; dan 3. Fungsi sultas sebagai mediator kosmologis antara misi kerajaan Islam dengan realitas masyarakat yang pluralis (Jawahir Thontowi, 2007 : 7). Berdasarkan bentuk pemerintahan berdasarkan pengamatan dan pemahaman penulis DIY mempunyai dua bentuk pemerintahan, yaitu: 1. Berdasarkan bentuk pemerintahan kerajaan yang sesuai dengan kebudayaan lokal; dan 2. Bentuk pemerintahan yang sesuai dengan pemerintahan yang moderen. Melalui pembahasan akan Pemerintahan DIY kita juga harus mengamati dari segi implementasi dari segi pemberlakuan undangundang keistimewaan. Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik, sebuah program kebijakan
58
haruslah di implementasikan agar mempunyai dampak dan tujuan yang di inginkan. Untuk membuat suatu kebijakan yang rasional rnaka para pembuat kebijakan harus : 1. Mengetahui semua nilai-nilai utama yang ada dalam masyarakat; 2. Mengetahui semua alternatif kebijakan yang tersedia; 3. Mengetahui semua konsekuensi dari setiap alternatif kebijakan; 4. Mengetahui rasio antara tujuan dan nilai-nilai sosial yang dikorbankan bagi setiap alternatif kebijakan; dan 5. Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien (Jamal Wiwiho, Model-Model Kebijakan Publik, Surakarta, Diakses dari: Jamalwiwoho.com/materi-kuliah, Pada Tanggal 03 November 2015). Dalampenyelenggaraan pemerintahan daerah, kebijakanpublik dan hukum mempunyai peranan yangpenting. Pembahasan mengenai hukum dapatmeliputi dua aspek, yaitu: 1. Aspek keadilan menyangkut tentang kebutuhan masyarakat akan rasa adil di di tengah masyarakat. Aspek legalitas ini menyangkut apayang disebut dengan hukum positif yaitusebuah aturan yang ditetapkan oleh sebuahkekuasaan negara yang sah dan dalampemberlakuannya dapat dipaksakan atas nama hukum (Wibowo dan Edi, 2004 : 30-31) Proses pembuatan kebijakan ini bila telah melalui rasional dan penilaian terhadap aspekaspek tersebut tentulah akan melahirkan kebijakan yang tidak hanya berpihak kepada penguasa dan bukan atas kepentingan penguasa pengeluaran kebijakan tersebut. Hal ini berhubungan dengan kebijakan publik merupakan tindakan yang dil akukan o leh Pemeri nt ah Da erah dalammengendalikan pemerintahannya. 2.
B. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian hukum non doktrinal (empiris), penelitian yang dilakukan oleh penulis mengenai Desentralisasi Asimetris DIY merupakan penelitian dalam bentuk preskriptif dan evaluatif. Penelitian yang dimaksut adalah untuk mengetahui implementasi dari berlakunya undang-undang keistimewaan DIY, mengetahui kendala dan solusi mengenai implementasi dalam hal penerapan undang-undang kelistimewaan DIY. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konseptual (conceptual approach), bahan hukum
Implementasi Desentralisasi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Berdasarkan Undang-Undang ....
terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Sumber data diperoleh melalui pengkajian undang-undang, observasi lapangan dan kajian kepustakaan. C. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1.
Implementasi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Awal mulanya keistimewaan DIY dimuat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai dasar hukum terbentuknya Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta yang otonominya termasuk didalamnya dibidang Agraria, maka kewenangan pengelolaan pertanahan beralih menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Akhirnya pada tahun 2012 terbitlah Undang-Undang mengenai Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta telah disahkan dan diterbitkan yaitu UndangUndang Nomor 13 Tahun 2012. Selama pemberlakuan UUK DIY yang telah diputuskan dalam Sidang Paripurna DPR RI pada tanggal 30 Agustus 2012 dan disahkan Presiden RI keenam pada tanggal 03 September 2012.Perjuangan rakyat DIY dalam mengawal keistimewaannya sebagaimana amanat Maklumat 5 September 1945 dari Sultan Hamengku Buwono IX dan Adipati Paku Alam VIII yang menyatakan bahwa Kesultanan Ngayogyakarto Hadiningrat menjadi bagian dari NKRI (Heru Wahyukismoyo, 2008 : 12). Implementasi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, belumlah optimal dikarenakan masih terdapat beberapa amanat dalam UUK DIY yanng belum diterapkan dan belum maksimal dalam hal pengimplementasiannya UUK DIY tersebut, yaitu: Pertama, dalam hal penyerapan dana keistimewaan yang diatur dalam Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 37 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Dana Keistimewaan, masih belum dapat terimplementasikan dengan baik dikarenakan penyaluran anggaran pada tingkat Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yang berefek pada keterlambatan transfer anggaran dan mundurnya agenda-agenda yang telah direncanakan oleh masing-masing KPA dikarenakan anggaran belum turun dari Pemda.
Kedua, mengenai Penetapan Gubernur dan Wakili Gubernur mengalami kendala yang cukup serius dikarenakan Sultan Hamengku Buwono X tidak memiliki putra mahkota, namun hal itu seolah mampu terjawab dengan dikeluarkanlah Peraturan Daerah Istimewa Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pengisian Jabatan, Pelantikan, Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Gubernur dan Wakil Gubernur. Ketiga, dalam hal kebudayaan menurut penulis pada tahap implementasi belumlah optimal dikarenakan amanat dari Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 mengenai pengaturan dalam bentuk Perdais yang khusus mengatur tentang kebudayaan belumlah diselesaikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), namun telah ada Perdais yang mengatur tetang pembentukan Dinas Kebudayaan, yang diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerahan Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 1998 Tentang Pemebentukan Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang mana ditetapkan pada tanggal 25 Mei 1998 dan diundangkan pada tanggal 12 Oktober 1998. Keempat, mengenai tata ruang yang menurut penulis telah cukup optimal pada tataran implementasi dikarenakan belum diselesaikanya Perdais sesuai amanat Pasal 35 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, namun telah ada peraturan yang dikeluarkan mengenai tata ruang, yaitu Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2009-2029. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suryanto yang menyatakan bahwa terkait kesitimewaan tata ruang Yogyakarta, menemukan bahwa ketentuan mengenai penataan ruang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Da era h I st i mewa Yog yaka rat a ti da k cukup sebagai acuan dalam pengaturan keistimewaan tata ruang kota Yogyakarta. Konsep keistimewaan tata ruang kota Yogyakarta saat ini menurutnya tidak jelas. Padalah pertimbangan dasar dari keistimewaan Yogyakarta adalah berdasarkan akar sejarah dan budaya (https://ugm.ac.id, Keistimewaan Tata Ruang Kota Yogyakarta Makin Ditinggalkan, diakses Pada Tanggal 09 Desember, Pukul 06:13 Wib).
59
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol IV No. 2 Juli-Desember 2016
Menurut penulis seharusnya pembangunan tata ruang baik kota maupun kabupaten yang ada di DIY dalam warisan yang paling berharga di Yogyakarta haruslah mencerminkan kebudayaan DIY yang bersifat istimewa, bukan berdasarkan nilai ekonomi semata namun juga berdasarkan atas acuan sejarah dan budaya. Apabila pembangunan bersegikan pada kebudayaan dan sejarah pastilah hal ini menjadikan nilai tambah DIY yang tidak dimiliki oleh daerah-daerah lain yang ada di NKRI. Kelima, mengenai bidang pertanahan. Kebijakan pertanahan di DIY dengan alasan implementasi UUK DIY ternyata tidak sesuai dengan harapan masyarakat terhadap keistimewaan dan tidak sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Wacana tentang ketiadaan tanah negara di DIY dan/atau tidak berlaku Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) di DIY merupakan sebuah wacana yang sangat menarik untuk dibahas dan dikaji oleh para peneliti. Berdasarkan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta pada intinya memerintahkan agar Sultan selaku Gubernur dan Pakualaman selaku Wakil Gubernur melakukan inventarisasi dan pendaftaran tanah Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PG) kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN), namun sampai dengan saat ini berdasarkan info yang penulis dapat belum ada diterima oleh BPN mengenai hal tersebut. Menurut penulis UUK tidak bisa menjamin kepemilikan atas tanah warga Yogyakarta, karena dalam UUK ini tidak menjelaskan luasan dan peruntukan tanah SG dan PG. Implementasi UUK DIY ini belumlah dinyat aka n sempurna namun sedikit mendekati kesempurnaan dikarenakan sampai dengan saat ini belum diselesaikanya
60
Perdais yang belum diselesaikan yang mana sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta telah mengeluarkan Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 55 Tahun 2015 Tentang Tugas dan Funsi Dinas Pertanahan dan Tata Ruang, Peraturan Gubernur ini merupakan sebuah langkah dan sinyal positif agar perdais mengenai pertanahan dapat diselesaikan oleh DPRD DIY. 2.
Kendala Implementasi UndangUndang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Kendalala dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah problem yang dihadapi berupa masalah yang berupa suatu hal yang harus dipecahkan (Reyhan Virgirama dan Abdar Sulton S, 2013 : 245). Adapun kendala yang telah dihadapi pemerintah DIY dalam mengimplementasikan undang-undang ini, adalah sebagai berikut: Pertama, adalah mengenai dana keitimewaan. Dana keistimewaan merupakan dana ear marking yaitu dana yang diarahkan pemerintah, dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kewenangan keistimewaan DIY yang mana di jelaskan dalam Pasal 42 ayat (3) dan ayat (4), yaitu dana Keistimewaan DIY diajukan oleh Pemda DIY, dibahas dengan kementerian/lembaga terkait kemudian dianggarkan dan ditetapkan dalam APBN sesuai dengan kemampuan keungan negara dan pedoman sesuai dengan alokasi dana keistimewaan DIY yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Kerangka pendanaan dalam rangka keistimeaan DIY, adalah sebagai berikut:
Implementasi Desentralisasi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Berdasarkan Undang-Undang ....
(Sumber: Bapeda DIY) Berdasarkan skema perencanaan dan penganggaran keistimewaan DIY diatas yang mana telah sesuai dengan Peraturan Gubernur Nomor 37 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Dana Keistimewaan, dalam hal perencanaan diatur dalam Pasal 7 yaitu dimulai dari penyusunan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kabupaten/ Kota yang dimulai pada bulan Juli sampai dengan tahap Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Kabupaten/Kota, yaitu pada bulan Agustus oleh Bupati/ Walikota dan menyampaikan anggaran usulan kepada Gubernur pada bulan September.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis terhadap Bapak Aris Eko Nugroho mengutarakan bahwa, mengenai pengaturan khusus dalam dana keistimewaan telah ada UU dan tidak ada Peraturan Pemerintah (PP) yang mana ini telah sesuai dengan amanat UU dan langsung kepada Peraturan Daerah (Perda), sampai dengan saat ini telah terdapat dua perda dan terdapat satu perda induk yang berkaitan dengan lima urusan yang termasuk didalamnya, namun belum terperinci (Wawancara dengan Bapak Aris Eko Nugroho, November 2015, Kepala Bidang (Kabid) Anggaran Belanja DIY).
Realisasi Anggaran Dana Keistimewaan Tahun 2012-2015 No Urusan 2013 1 Tata Cara Pengisian Jabatan 2 Kebudayaan 212.546.522.000,3 Pertanahan 6.300.000.000,4 Kelembagaan 2.516.142.500,-
2014 400.000.000,375.178.719.000,23.000.000.000,1.676.000.000,-
2015
420.800.000,10.600.000.000,1.650.000.000,-
61
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol IV No. 2 Juli-Desember 2016
5
Tata Ruang Total Anggaran Realisasi Anggaran
10.030.000.000,231.392.653.500,115.000.000.000,-
123.620.000.000,523.874.719.000,419.099.775.200,-
114.400.000.000,547.450.000.000,547.450.000.000,-
(Sumber: Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPPKA) DIY)
Berdasarkan data tabel diatas kendala yang dihadapi oleh DPPKA dari tiga tahun ini adalah sama yaitu mengenai transfer dana. Tahun 2013 dari sisi transfer dana baru diterima pada tanggal 28 November sedangkan waktu hanya tersisa satu bulan. DPPKA diminta untuk mengalokasikan dana sebesar Rp115.000.000.000,- dari anggaran Rp231.392.653.500,- yang mana diberikan pada tahap pertama 50% jika cair, dengan menyelesai 80% kinerja serta 80% keuangan baru mencairkan tahap kedua dan pada tahun 2013 hanya satu kali cair. Tahun 2014 dari sisi transfer diterima pada bulan April menurut Aris Eko Nugroho juga tidak memungkinkan dikarenakan ada klausul dalam PMK 103 pencair tahap ketiga maksimal tanggal 1 Oktober, dalam PMK ini mengamanatkan transfer dana 25%, 55% dan 25%. Sehinggap pada tahun 2014 ini DPKKA hanya dapat menghabiskan dana sebesar 80%, yaitu sebesar Rp419.099.775.200,- dari keseluruhan anggaran. Tahun 2015 DPPKA dapat menghabiskan 100% dari keseluruhan dana sebesar Rp547.450.000.000,- dan berpedoman pada PMK Republik Indonesia Nomor 124/PMK.07/2015 Tentang Tata Cara Pengalokasian Dan Penyaluran Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Kedua, adalah mengenai penetapan G ub er nu r da n Wa ki l G ub e rnu r DI Y. Terbentuknya Kasultanan Yogyakarta dan Paku Alaman menjadi DIY berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 tentulah melalui suatu proses yaitu dengan dikeluarkanya amanat kedua 30 Oktober 1945, proses pembentukan Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Paku Alaman menjadi DIY. Mengenai penetapan tata cara pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan dengan sistem penetapan, dikarenakan perjuangan masyarakat DIY yang mana Sultan tetap sebagai kepala daerah hal ini telah ditetapkan oleh Presiden melalui UUK. Dengan ketentuan yang menjelaskan bahwa yang berhak menjadi Gubernur adalah Hamengku Buwono dan Wakil Gubernur adalah Adipati Paku Alam yang bertahta, hak
62
tersebut secara yuridis memperkuat legitimasi kedudukan Sultan dan Adipati Paku Alam yang bertahta sebagai yang berhak diajukan sebagai calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur (Suryo Sakti H, 2013 : 156). Ketiga, adalah mengenai kebudayaan. Kebudayaan merupakan salah satu roh dari lima aspek keistimewaan DIY, ibaratnya membangun peradaban baru di atas fondasi lama yang dibawa oleh para leluhur, sehingga perlu dijaga keseimbangannya. Kebudayaan sebagai salah satu aspek keistimewaan DIY harus mampu pembentuk manusia utama, sehingga akan mempunyai idealisme, komitmen yang tinggi, integritas moral, nurani yang bersih. Masalah yang terjadi pada bidang ini adalah mengenai pencairan dana keistimewaan Daerah Istimewa tahun 2015 diduga terkendala masalah teknis. Masalah itu antara lain kurangnya koordinasi di antara beberapa kementerian sehingga proses verifikasi laporan pertanggungjawaban dana keistimewaan DIY tahun 2014 belum selesai hingga saat ini. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis dana keistimewaan DIY tahun 2015 yang dialokasikan sebesar Rp547 miliar belum mulai dicairkan hingga pekan keempat bulan Februari. Keempat, adalah mengenai tata ruang pengaturan mengenai tata ruang terdapat dalam Pasal 34 dan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Penataan ruang DIY tidak diwujudkan lazimnya Propinsi lain yaitu berupa Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi akan tetapi diwujudkan dalam Buku Agenda. Adapun permasalahan pokok pembangunan dan tata ruang DIY terdiri dari beberapa aspek, yaitu: a. Banyaknya hotel dan toko modern yang tidak berizin; b. Ruang publik yang berbayar; c. Banyaknya pemasangan iklan; d. Pengaturan tata ruang kota yang s e m e r a w u t d a n me n g a k i b a t k a n persoalan lalu lintas dan transportasi umum, prasarana dan sarana lingkungan. Permasalahan pada bidang ini, yaitu
Implementasi Desentralisasi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Berdasarkan Undang-Undang ....
e.
f.
g.
h.
kecenderungan penumpukan arus lalu lintas pada ruas-ruas jalan yang menuju ke dan dari Kotamadya Yogyakarta, antara lain dari arah Bantul, Godean, Prambanan dan Gamping; Lintasan yang rawan kemacetan dan kendala alam Jalur Wonosari-Yogyakarta di pengal Patuk-Piyungan dan lintasan antara Kulonprogo-Gunungkidul; dan potensi sumber daya air tanah tidak merata. Lingkungan. Menurunnya luas kawasan lindung dan makin meningkatnya luas kawasan budidaya dan pengolahan sumb er da ya a la m ya ng kura ng memperhatikan azas lingkungan. Pengembangan Wilayah. Masalah pengembangan wilayah, yaitu semakin berkembang luasnya wilayah-wilayah perkotaan dipinggiran Yogyakarta baik karena keluarnya sebagian penduduk Yog y ak a rt a ma up u n p e n da t a n g ; banyaknya penggunaan tanah yang tidak sesuai dengan fungsinya terutama dengan adanya perubahan penggunaan lahan dari pertanian ke non-pertanian; dan terdapatnya daerah-daerah yang rawan terhadap bahaya alami yang disebabkan oleh aktifiatas gunung merapi, bahaya longsoran lahar dan erosi. Permukiman. Permasalahan permukiman di Yogyakarta, yaitu laju pertumbuhan penduduk perkot aan tinggi, arus migrasi tinggi terutama di kota-kota dan tumbuhnya kawasan permukiman yang tidak teratur dan semakin berkembangnya kawasan kumuh di kawasan perkotaan. Industri. Permasalahan kawasan industri
serta penataannya, dan prasarana dan sarana untuk pengembangan industri kurang memadai. Kelima, adalah mengenai pertanahan. Da lam ket ent ua n Pasal 33 a yat (3) menyebutkan bahwa, “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, Pasal 33 ayat (3) ini merupakan peraturan dasar bagi pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pada tahun 1975 dikeluarkanlah Instruksi Gubernur DIY Nomor. K/898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah Kepada Seorang Warga Negara Indonesia (WNI) non Pribumi
dan hal ini masih menjadi masalah pada BPN DIY. 3.
Solusi Atas Kendala Implementasi Undang-Undang Momor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewaan Yogyakarta Solusi dalam KBBI adalah pemecahan masalah dan sebagainya, jalan keluar dan penyelesaian (Rayhan Virgirama dan Abdar Sulthon S, 2013 : 481). Adapun solusi ataupun jalan keluar yang telah dilakukan oleh Pemda DIY adalah sebagai berikut: Pertama, mengenai solusi dalam hal kendala pada anggaran dana keistimewaan me n u ru t Ba p ak Ari s E ko N u g ro h o mengutarakan beberapa solusi, yaitu seperti dari sisi transfer dan SKPD Pengampu dalam hal ini adalah SKPD yang melaksanakan dana keistimewaan, pada tahun 2013 sebagian besar SKPD di DIY melakukan pengampuan diantaranya, SKPD Dinas Kesehatan, SKPD Dinas Pariwisata dan SKPD Dinas Sosial. Pada tahun 2013 ini dikarenakan baru pertama mendapatkan anggaran ini terdapat 20 (dua puluh) PA dari semua SKPD, di dalam 1 (satu) PA terdapat lebih dari 20 (dua puluh) KPA termasuk didalam Kabupaten yang mana KPA disini bertanggung jawab kepada PA. Solusi pada tahun 2014 hanya ada tiga PA, yaitu: a. Sekrertaris Daerah (Sekda); b. Pekerjaan Umum (PU) dan Sumber Daya Manusia (SDM); dan c. Kebudayaan. Ta h u n 2 0 1 5 l e b i h b a n y a k l a g i yang menjadi KPA t idak hanya pada satu Kabupat en/Kot a satu KPA saja, misalnya pada Kabupaten Kulonprogo tidak hanya Dinas Pendidikan Pemudan, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata (Didisporabudpar), KPA Pertanahan, KPA Tata Ruang, KPA Kebudayaan juga ada sehingga semakin banyak KPA yang dibentuk. KPA ini melaksanakan kegiatan yang menjadi usulan maupun yang telah disediakan dananya. Kedua, solusi yang telah dilakukan pemerintahan DIY dalam hal Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur dalam hal pihak pro dan kontra mengenai pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, telah dapat diselesaika dengan disahkannya UndangUndang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang mana undang-undang ini mempertegas status keistimewaan DIY mengenai penetapan
63
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol IV No. 2 Juli-Desember 2016
Gubernur dan Wakil Gubernur melalui sistem penetapan. Hamengku Buwono X yang tidak memiliki putra mahkota untuk menggantikan tahtanya sebagai Sri Sultan sekaligus merangkap menjadi Gubernur DIY, jika kita lihat bagaimana tradisi atau kebiasaan yang dulunya juga pernah dilakukan dalam Kasultanan Yogyakarta ketika Sultan tidak memiliki putra, maka Raja selanjutnya diserahkan kepada saudara laki-laki Sultan atau garis keturunan ke samping. Kemungkinan adanya raja perempuan itu syah-syah saja, karena kebijakan pemerintah tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, akan tetapi bagi yang dapat memenuhi persyaratan administrasi (Norma Hilma Sari, 2015 : 217).Namun dalam hal ini tidak mungkin terjadi menyusul telah ditetapkanya Peraturan Daerah Istimewa Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pengisian Jabatan, Pelantikan, Kedudukan, Tugas Dan Kedudukan Gubernur dan Wakil Gubernur, yang mana tujuannya dibentuk Perdais. Ketiga, dalam hal kebudayaan terjadi keterlambatan transfer dana dikarenakan laporan pertanggungjawaban dana keistimewaan tahun 2014 yang disusun DI Y awa lnya kurang sesuai den gan ketentuan, yang mana tidak memisahkan pertanggung jawaban tahappertama dan tahap keduaa, solusi yang dilakukan oleh bagian kebudayaan adalah dengan melakukan laporan pertanggung jawaban terpisah terhadap kegiatan dan acara yang mereka selenggarakan (tidak mencampurka laporan pertanggung jawaban pertama dan selanjutnya). Keempat, dalam haltata ruangGubernur Dae rah I sti me wa Yog ya kart a Su lt an Hamengku Buwono X meminta Wali Kota Yogyakarta bersikap tegas terhadap hotelhotel yang beroperasi tanpa izin, kalau enggak ada izin, ya robohkan” kata Sultan di Bangsal Kepatihan. Jumlah hotel yang ada saat ini, terutama di wilayah kota dan Sleman, sudah berlebihan. Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti “membantah adanya belasan hotel illegal yang beroperasi tanpa izin. Menurut dia, hotel-hotel tersebut
64
hanya belum melengkapi dokumen perizinan (http//:nasional.tempo.co, Banyak Hotel Tak Berizin di Yogya, diakses Pada Tanggal 04 Desember 2015, Pukul 07:00 Wib). Permasalahan hotel-hotel tersebut sudah beroperasi, padahal baru mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Surat Layak Fungsi (SLF). Adapun izin operasional sebagai unit usaha perhotelan seperti izin gangguan (Hinder Ordonantie (HO)), Tanda Data Perusahaan (TDP), Tanda Data Usaha Pariwisata (TDUP) serta Izin Operasional belum mereka miliki. Langkah yang dilakukan oleh pemerintah adalah mempercepat penyelesaian pengurusan izin hotel-hotel tersebut. Karena hal itu juga akan berdampak pada pencapaian target penerimaan pajak pemerintah. Pemerintah harus bersikap tegas, tidak saja terhadap pembangunan hotel, tapi juga terhadap kian maraknya tokotoko modern yang beroperasi tanpa izin. Masyarakat membutuhkan ruang publik, saat ini ruang publik dimana-mana harus berbayar, sebagai contoh saja di Alun-Alun Selatan. Kemudian trotoar di kota Jogja ini sudah menjadi tempat parkir dan tempat Pedagang Kaki Lima (PKL) yang dimana masyarakat terutama terutama para kaum difabel kesulitan dalam mencari jalan dan mereka harus bertaruh nyawa melewati jalan raya karena sudah tidak adanya trotoar yang kosong. Upaya pemerintah untuk mengurangi adanya lahan parkir di Yogyakarta adalah dengan mengurangi space parkir dan menaikan tarif parkir dan mengeluarkan Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK). Kelima, dalam hal pertanahan sebagai man a ya ng kit a ket ah ui Yog yaka rt a merupakan kota pariwisata yang banyak dikunjungi wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Hal inilah yang menyebabkan Yogyakarta berkembang dengan pesat sehingga dapat dilihat dari aneka ragam penduduk di Yogyakarta baik yang berasal dari penduduk asli Yogyakarta, juga banyak pendatang dari luar Yogyakarta dan bahkan dari luar pulau Jawa.
Implementasi Desentralisasi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Berdasarkan Undang-Undang ....
Bagan Proses Peralihan Hak Milik di Yogyakarta
Sumber: “Jurnal Pertanahan PPPM-STPN” (Widhiana Hestining Puri, 2013 : 176)
Sebelum berlaku sepenuhnya UUPA di DIY telah diatur di dalam Instruksi Gubernur DIY Nomor. K/898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah Kepada Seorang Warga Negara Indonesia (WNI) Non Pribumi. Instruksi ini ditujukan kepada Bupati/Walikota Kepala Daerah se-DIY, yang isinya bahwa WNI Keturunan belum dapat mempunyai Hak Milik atas tanah di DIY. Telah ada penelitian sebelumnya, yaitu yang dilakukan oleh Hendras Budi Pamungkas pada tahun 2006 yang mana judul penelitian tersebut adalah “Tinjauan Yuridis Terhadap Instruksi Gubernur DIY Nomor. K/898/ I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah Kepada Seorang Warga Negara Indonesia (WNI) Non Pribumi (Pustaka Agraria.org, Diakses Pada Tanggal 22 Januari 2016). Kesimpulan antara lain kebijakan tanah yang diambil pemerintah Kota Yogyakarta dan Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta setelah dikeluarkanya undang-undang kewarganegaraan, mengenai pelayanan pertanahan masih mengacu pada inrtruksi tersebut, artinya eksistensi kebijakan tersebut masih ada dan tetap berlaku. Dalam hal ini hukum disebut sebagai action. Affirmative Action adalah hukum dan kebijakan yang mensyaratkan dikenakanya kepala kelompok tertentu pemberian kompensasi dan keistimewaan dalam kasuskasus tertentu guna mencapai representasi yang lebih proporsional dalam berbagai
institusi dan okupasi (Widhiana Hestining Puri, 2013 : 172).Mengacu pada UndangUndang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Kesitimewaan Daerah Istimewa Daerah Istimewa Yogyakarta Pasal 32 ayat (1) menempatkan Kraton dan Pakualaman sebagai badan hukum dan Pasal 33 ayat (4) mendefenisikan mengenai pengelolaan tanah antara tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten oleh pihak lain yang harus mendapatkan izin dari Kasultanan dan Kadipaten untuk masingmasing tanah. Dibawah ini adalah gambar keberadaan lahan SG dan PG. Sejak disahkannya UUK Yogyakarta yang mengatur lima kesitimewaan DIY khususnya dalam hal pertanahan masi menyisakan permasalahan pada tahap implementasi UUK tersebut. Adapun kendala yang dapat penulis temui dan berdasarkan data yang penulis dapat adalah mengenai, pengaturan pertanahan yang ada di Yogyakarta masih bersifat diskrimi-natif berdasarkan Instruksi Gubernur DIY tersebut. D. Simpulan 1.
Implementasi UUK DIY belumlah dapat dikatakan maksimal baru diselesaikanya beberapa Perdais, yaitu Peraturan Daerah Istimewa Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pengisian Jabatan, Pelantikan, Kedudukan, Tugas dan Wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur, dalam hal kebudayaan masih berlakunya Peraturan Daerah Istimewa Nomor 6 Tahun 1998 Tentang Pembentukan
65
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol IV No. 2 Juli-Desember 2016
2.
3.
66
Dinas Kebudayaan dan Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 95 Tahun 2015 Tentang Pembentukan Susunan Organisasi, Uraian Tugas dan Funsi Serta Tata Kerja Unit Pelayanan Teknis Pada Dinas Kebudayaan, pada bagian Tata Ruang masih berlakunya Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2009-2029, selanjutnya pada bidang Pertanahan berlakunya Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 55 Tahun 2015 Tentang Rincian Tugas dan Fungsi Dinas Pertanahan Dan Tata Ruang dan telah diaturnya Peraturan Daerah Istimewa Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Kelembagaan Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta. Masih terdapat kendala-kendala teknis dalam penyerapan anggaran yaitu dari sisi transfer dana keistimewaan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah daerah, kendala yang akhir-akhir ini menyita perhatian seluruh warga DIY yaitu penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur yang mana munculnya sabda sultan tentang penggantian nama GKR Pembayung menjadi GKR Mangkubumi menjadi putri mahkota, dalam hal pertanahan dan tata ruang masih terjadi kesemerautan di wilayah DIY terbuktki dengan pengaturan dan perizinan yang tidak lagi mencerminkan keistimewaan DIY dengan banyaknya toko modern dan pembagunan hotel disetiap disetiap wilayah DIY dan dalam hal pertanahan dan tata ruang kendala yang masih terus bergulir mengenai kepemilikan tanah keturunan non pribumi. Solusi yang telah dilakukan pemerintah DIY sudahlah sangat tepat dan berdampak positif dalam menciptakan kestabilan dalam kehidupan masyarakat DIY. Seperti dalam
hal pengesahan Peraturan Daerah Istimewa Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2015 Tetang Tata Cara Pengisian Jabatan, Pelantikan, Kedudukan, Tugas dan Wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur telah sangat tepat untuk meredam permasalahan dan konflik yang timbul dikarenakan sultan yang tidak memiliki keturunan laki-laki untuk meneruskan tahtanya sebagai Sultan sekaligus Gubernur DIY. E.
Saran
1.
Dalam hal implementasi UUK DIY haruslah dapat diselesaikan dengan segera Perdais yang belum diselesaikan agar terciptanya kepastian hukum dan sesuai dengan amanat UUK DIY Pasal 7 ayat (2), dalam hal raperdais yang belum selesai untuk dapan dilakukan pembahasan dan penetapan secepatnya untuk dapat menertipkan dan mengatur Pemerintahan secara baik dan memiliki acuan yang jelas dalam hal Kebudayaan, Tata Ruang dan Pertanahan. Dalam hal pertanahan haruslah mendapat perhatian lebih dari Pemerintah Pusat dan kesadaran oleh Pemerintah DIY mengigat Instruksi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K/898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah Kepada Seorang Warga Negara Indonesia (WNI) Non Pribumi sudah selayaknya untuk tidak diberlakukan dikarenakan Indonesia hanya memberikan perbedaan status kewarganegaraan anata WNI dan WNA. Sebaiknya dipisahkan antara jabatan sebagai Kepala Pemerintahan (Gubernur) dan jabatan sebagai Raja (Sultan) jangan dicampur adukkan dalam sistem pemerintahan yang ada di DIY.
2.
3.
Implementasi Desentralisasi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Berdasarkan Undang-Undang ....
Daftar Pustaka
Buku-Buku Bagir Manan. 2004. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta:Pusat Studi Hukum UII. Dharma Setyawan Salam. 2002. Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai Dan Sumber Daya.Jakarta :Djambatan. Donald K. Emmerson. 2001. Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Jakarta :PT Gramedia. Hanif Nurcholis. 2003. Teori dan Praktek Pemerintahan. Jogjakarta :PT Grasindo. . 2005. Teori dan Praktik Pemerintahan Dan Otonomi Daerah. Jakarta :PT Grasindo. Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo. 2011. Wasiat HB IX Yogyakarta Kota Republik. Yogyakarta :GalangPress. Heru Wahyukismoyo. 2008. Merajut Kembali Pemikiran Sultan Hamengkubuwono IX. Yogyakarta :Dharmakaryadhika Publisher. Jawahir Thontowi. 2007. Apa Istimewa Yogyakarta? Yogyakarta :Pustaka Fahim. Reyhan Virgirama dan Abdar Sulton S. 2013. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta :Cetakan Ketiga. Garda Media. Suharso dan Ana Retnoningsih. 2012. KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang :Widya Karya. Suryo Sakti H. 2013.Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Sistem Ketatanegararaan Indonesia.Yogyakarta :Graha Ilmu. Tim ICCE UIN Jakarta. 2003. Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi. Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta : Prenada Media. Wibowo dan Eddi. 2004. Hukum dan Kebijakan Publik. Yogyakarta : Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia.
Undang-Undang Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK). Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pengisian Jabatan, Pelantikan, Kedudukan, Tugas Dan Keudukan Gubernur dan Wakil Gubernur. Peraturan Gubernur Nomor 37 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Dana Keistimewaan.
Makalah/Tesis/Jurnal Budi Agustono. 2005. “Otonomi Daerah dan Dinamika Politik Lokal: Studi Kasus di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara” dalam Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal.Editor Jamil Gunawan. Jakarta : LP3ES. Isharyanto. 2015. “denyut-otonomi/desentralisasi-asimetris-peluang-atau-ketadagunaan”. Isharyanto. wordpress.com Hendras Budi Pamungkas. “Tinjauan Yuridis Instruksi Gubernur DIY Nomor. K/898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah Kepada Seorang Warga Negara Indonesia (WNI) Non Pribumi.”Pustaka Agraria.org.
67
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol IV No. 2 Juli-Desember 2016
Hazni. World Bank.“Decentralization and Governance: Does Decentralization Improve Public Service Delivery” in Prem-Notes No. 55.http://hazni.blog.esaunggul.ac.id. Suryanto. 2015. “Keistimewaan Tata Ruang Kota Yogyakarta Makin Ditinggalkan.”https://ugm.ac.id. Yogyakarta.” Yogyakarta.Jurnal Ilmiah Pertanahan PPPM-STPN. Nomor 37 Tahun 12 Djohermansyah Djohan. 2014.“Desentralisasi Asimetris Aceh.”Jakarta.Jurnal Sekretariat Nomor 15 Republik Indonesia. Jamal Wiwiho.Model-Model Kebijakan Publik.Surakarta. Jamalwiwoho.com/materi-kuliah. Norma Hilma Sari. 2015. “Analisis Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta di Tinjau Dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.Yogyakarta.” Nomor 1 Volume.1. Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia. Pito Agustin Rudian. 2015. “Banyak Hotel Tak Berizin di Yogya.”http//:nasional.tempo.com.
68