Katalog BPS : 1101002.34
ar ta .b ps
.g o.
id
Statistik 2014
ht
tp
://
yo gy
ak
Daerah Istimewa Yogyakarta
BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
ar ta .b ps
ak
yo gy
://
tp
ht
id
.g o.
id .g o.
ar ta .b ps
Statistik
ht
tp
://
yo gy
ak
Daerah Istimewa Yogyakarta
2014
STATISTIK DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 2014 978-602-1392-05-8 34.553.14.13 1101002.34 17,6 cm X 25 cm 110
id
: : : : :
ar ta .b ps
.g o.
ISBN No. Publikasi Katalog BPS Ukuran Buku Jumlah Halaman
Naskah : Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik
ak
Gambar kulit :
tp
://
Diterbitkan oleh :
yo gy
Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik
ht
Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Boleh dikutip dengan menyebut sumbernya
STATISTIK DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 2014
: Mainil Asni, SE, ME
ar ta .b ps
Editor
Mutijo, S.Si, M.Si
: Waluyo, SST, SE, M.Si
Pengolah Data
: Gita Oktavia, S.Si
yo gy
ak
Naskah
Waluyo, SST, SE, M.Si
: Waluyo, SST, SE, M.Si
ht
tp
://
Layout
.g o.
Penanggung Jawab : Y. Bambang Kristianto, MA
id
TIM PENYUSUN
ar ta .b ps
ak
yo gy
://
tp
ht
id
.g o.
Kata Pengantar
ar ta .b ps
.g o.
id
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas diterbitkannya buku Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014 oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Publikasi ini memuat berbagai informasi dan indikator terpilih seputar Daerah Istimewa Yogyakarta yang dianalisis secara sederhana untuk membantu pengguna data dalam memahami perkembangan pembangunan serta potensi yang ada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
yo gy
ak
Buku Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014 diterbitkan secara rutin setiap tahun untuk melengkapi publikasi-publikasi statistik yang sudah terbit sebelumnya. Berbeda dengan publikasi-publikasi yang sudah ada, publikasi ini lebih menekankan pada aspek analisis dalam membaca dan memahami data BPS.
ht
tp
://
Materi yang disajikan dalam buku Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014 berupa informasi dan indikator terpilih yang terkait dengan pembangunan di berbagai sektor. Diharapkan informasi tersebut dapat menjadi rujukan/kajian dalam perencanaan maupun evaluasi kegiatan pembangunan. Kritik dan saran konstruktif berbagai pihak kami harapkan untuk penyempurnaan penerbitan di masa mendatang. Semoga publikasi ini mampu memenuhi tuntutan kebutuhan data statistik, baik oleh institusi pemerintah, swasta, akademisi, maupun masyarakat luas.
Yogyakarta, Oktober 2014 Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Kepala
Y. Bambang Kristianto, MA vii
ar ta .b ps
ak
yo gy
://
tp
ht
id
.g o.
Daftar Isi Kata Pengantar v
.g o.
id
Daftar Isi vii 1. Geografi dan Iklim
2
ar ta .b ps
2. Pemerintahan 4 3. Penduduk 10 4. Ketenagakerjaan 14 5. Pendidikan 20
ak
6. Kesehatan 26 30
8. Kemiskinan
34
yo gy
7. Pembangunan Manusia
://
9. Pertanian 40
ht
tp
10. Pertambangan dan Energi 11 . Industri Pengolahan
50 54
12. Konstruksi 58 13 Hotel dan Pariwisata
60
14. Perbankan dan Investasi
66
15. Harga-harga 72 16. Pengeluaran Penduduk
76
17. Perdagangan 80 18 PDRB 82 19. Perbandingan Regional
86
Lampiran 90 ix
ar ta .b ps
ak
yo gy
://
tp
ht
id
.g o.
ar ta .b ps
ak
yo gy
://
tp
ht
id
.g o.
1
GEOGRAFI DAN IKLIM DIY merupakan wilayah setingkat provinsi yang memiliki luas wilayah administrasi
terkecil kedua di Republik Indonesia dengan luas 0,17 persen dari wilayahNKRI
KONDISI GEOGRAFIS Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan wilayah setingkat provinsi yang memiliki luas wilayah administrasi terkecil kedua di Republik Indonesia, setelah Provinsi DKI Jakarta. Luas wilayah administrasi DIY mencapai 3.185,80 km2, atau 0,17 persen dari seluruh wilayah daratan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara astronomis, wilayah DIY terletak pada posisi 7o.33’- 80.12’ Lintang Selatan dan 110o.00’-110o.50’ Bujur Timur. Posisi geografis DIY berada di bagian tengah Pulau Jawa, tepatnya sisi selatan. Seluruh wilayah daratan DIY dikelilingi oleh wilayah administrasi Provinsi Jawa Tengah, yakni Kabupaten Purworejo di sisi barat, Kabupaten Magelang dan Boyolali di sisi utara; serta Kabupaten Klaten dan Kabupaten Wonogiri di sisi timur. Wilayah selatan DIY berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia. Gambar 1.1.
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
Peta Wilayah Administrasi Daerah Istimewa Yogyakarta
Sumber: Bakosurtanal, elantowow.wordpress.com
ht
tp
://
Bentang alam wilayah DIY merupakan kombinasi antara daerah pesisir pantai, dataran dan perbukitan/pegunungan yang dapat dikelompokkan menjadi empat satuan fisiografi. Pertama, satuan fisiografi Gunung Merapi dengan ketinggian antara 80 m sampai 2.911 m di atas permukaan laut. Wilayah ini terbentang mulai dari kerucut gunung api hingga dataran fluvial gunung api serta bentang lahan vulkanik di wilayah Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta dan sebagian Kabupaten Bantul. Kedua, satuan fisiografi Pegunungan Selatan dengan ketinggian 150 m sampai 700 m. Wilayah ini menjadi bagian dari jalur Pegunungan Seribu yang terletak di wilayah Kabupaten Gunungkidul dan bagian timur Kabupaten Bantul. Kawasan ini didominasi oleh wilayah perbukitan batu kapur dan karst yang tandus dan kekurangan air permukaan, sehingga kurang potensial untuk kegiatan budidaya komoditas pertanian semusim. Ketiga, satuan fisiografi Pegunungan Kulonprogo yang terletak di bagian utara Kulonprogo. Kawasan ini menjadi bentang lahan dengan topografi wilayah berupa perbukitan, sehingga cukup potensial untuk pengembangan komoditas perkebunan. Keempat, satuan fisiografi Dataran Rendah dengan ketinggian 0-80 m di atas permukaan laut. Kawasan ini membentang di bagian selatan wilayah DIY mulai dari daerah pesisir di Kabupaten Kulonprogo sampai wilayah Bantul yang berbatasan dengan Pegunungan Seribu. Kawasan ini sangat subur, sehingga cukup potensial untuk kegiatan budidaya komoditas pertanian semusim. 2
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
Wilayah DIY termasuk dalam daerah yang beriklim tropis, sehingga memiliki curah hujan dan kelembaban udara yang cukup tinggi
1
KONDISI IKLIM DAN CUACA Wilayah DIY berada di sekitar garis khatulistiwa tepatnya pada posisi 7o.33’- 80.12’ LS, sehingga termasuk daerah yang beriklim tropis atau memiliki dua musim dalam setahun yakni musim penghujan dan kemarau. Secara umum, karakteristik cuaca di wilayah DIY bertemperatur tinggi atau memiliki suhu udara yang panas serta memiliki kelembaban udara dan curah hujan yang cukup tinggi. Ringkasan perkembangan kondisi cuaca di wilayah DIY berdasarkan data dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Stasiun Geofisika Kelas I Yogyakarta selama beberapa tahun terakhir disajikan dalam Tabel 1.1.
2010
2011
2012
2013
C
22
18
17
18
C
35
40
35
36
C
27
26
27
26
Curah Hujan Maksimum
mm
512
405
409
442
Rata-rata Curah Hujan/Bulan
mm
254
173
Rata-rata Hari Hujan
kali
17
14
Kelembaban Udara Minimum
%
41
42
Kelembaban Udara Maksimum
%
97
96
Rata-rata Kelembaban Udara
%
74
78
0
Suhu Udara Tertinggi
0
Rata-rata Suhu Udara
0
122
230
9
15
47
44
100
98
80
86
milibars
1.005
990
Tekanan Udara Maksimum
milibars
1.015
1.000
1.021
1.006
1.019
Rata-rata Tekanan Udara
milibars
1.010
995
1.014
1.015
ak
Tekanan Udara Minimum
yo gy
id
Satuan
ar ta .b ps
Indikator Suhu Udara Terendah
Rata-rata suhu udara di wilayah DIY selama tahun 2013 berada pada kisaran 260 Celsius. Suhu udara tertinggi mencapai 360 Celsius dan terjadi pada bulan Oktober. Sementara, suhu udara terendah tercatat sebesar 180 Celsius dan terjadi di bulan Agustus. Intensitas hujan yang diukur dari rata-rata curah hujan per bulan pada tahun 2013 tercatat sebesar 230 mm dan mengalami kenaikan yang signifikan dibandingkan dengan tahun 2012 yang sebesar 122 mm.
.g o.
Tabel 1.1. Ringkasan Kondisi Cuaca di Wilayah DIY, Tahun 2010-2013
1.010
Sumber: Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika Stasiun Geofisika Kelas I Yogyakarta, diolah
ht
tp
://
Rata-rata hari hujan juga meningkat dari 9 kali per bulan menjadi 15 kali di tahun 2013. Curah hujan yang tertinggi selama tahun 2013 terjadi di bulan Januari dengan intensitas sebesar 442 mm selama 21 hari dan bulan Desember dengan intensitas 358 mm selama 20 hari. Sementara, intensitas hujan terendah terjadi pada bulan Agustus dan September. Bahkan, di kabupaten Gunungkidul, Bantul dan Kota Yogyakarta tidak terjadi hujan selama dua bulan tersebut. Rata-rata kelembaban udara pada tahun 2013 tercatat sebesar 86 persen dan cenderung meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang sebesar 80 persen. Kelembaban udara minimum tercatat sebesar 44 persen yang terjadi pada bulan Oktober, sementara kelembaban maksimum mencapai 98 persen yang terjadi pada bulan Februari, Juni dan September. Secara rata-rata, kelembaban terendah terjadi pada bulan Oktober sebesar 80 persen dan kelembaban tertinggi di bulan Juni sebesar 90 persen. Tekanan udara rata-rata selama tahun 2013 tercatat sebesar 1.015 milibars dan mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2012 yang sebesar 1.014 milibars. Tekanan udara terendah tercatat sebesar 1.010 milibars yang terjadi di bulan Februari dan Juni, sementara tekanan udara tertinggi sebesar 1.019 milibars yang terjadi selama bulan September. Selama bulan Januari-Juni 2013, angin lebih banyak bergerak dari arah barat dengan rata-rata kecepatan tertinggi sebesar 5,4 m/s pada bulan Januari dan kecepatan terendah sebesar 2,7 m/s pada bulan Mei. Pada bulan Agustus-November angin lebih banyak bergerak dari arah selatan. Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
3
2
PEMERINTAHAN Secara administratif, DIY terbagi menjadi lima kabupaten/kota dengan pusat pemerintahan berada di Kota Yogyakarta
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi wilayah yang memiliki keistimewaan khusus dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka NKRI. Keistimewaan yang dimaksud tertuang dalam UU Nomor 13 Tahun 2012 yang mengatur tentang kedudukan hukum DIY berdasarkan sejarah dan hak asal usul untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa. Kewenangan dalam urusan keistimewaan meliputi tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas dan wewenang Gurbernur dan Wakil Gubernur; kelembagaan pemerintah daerah; kebudayaan; pertanahan; dan tata ruang. Dasar filosofi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di DIY adalah Hamemayu Hayuning Bawana, sebagai cita-cita luhur untuk menyempurnakan tata nilai kehidupan masyarakat Yogyakarta berdasarkan nilai budaya daerah yang perlu dilestarikan dan dikembangkan.
Tabel 2.1.
ak
Luas Wilayah, Jumlah Kecamatan dan Desa/Kelurahan di DIY menurut Kabupaten/Kota, 2013
://
tp
ht
Kabupaten/ Kota
Luas Wilayah
Jumlah Kecamatan
Jumlah Status Desa/Kelurahan Desa/ Kelurahan Perkotaan Perdesaan
Kulonprogo
(km2) 586,27
12
88
13
Bantul
506,85
17
75
47
28
1485,36
18
144
5
139
574,82
17
86
59
27
32,50
14
45
45
-
DIY 3185,80 Sumber : BPS DIY
78
438
169
269
yo gy
Daerah yang memiliki wilayah administrasi yang terluas adalah Kabupaten Gunungkidul dengan luas 1.485,36 km2 atau 46,62 persen dari luas daratan DIY. Sementara, Kota Yogyakarta memiliki luas administratif yang terkecil sebesar 32,5 km2 atau 0,01 persen dari luas wilayah DIY. Meskipun demikian, dengan status sebagai ibukota provinsi kehidupan sosial dan ekonomi di Kota Yogyakarta lebih majemuk dan lebih dinamis dibandingkan dengan keempat kabupaten lainnya.
ar ta .b ps
.g o.
id
Secara administratif, wilayah DIY terbagi menjadi empat kabupaten dan satu kota, yakni Kabupaten Kulonprogo, Bantul, Gunungkidul, Sleman dan Kota Yogyakarta. Pusat pemerintahan DIY berada di Kota Yogyakarta. Berbeda dengan provinsi lain yang banyak mengalami pemekaran wilayah sejak pemberlakuan otonomi daerah pada tahun 2001, jumlah kabupaten/kota di DIY tidak mengalami perubahan. Demikian pula dengan jumlah kecamatan dan desa/kelurahan, dalam beberapa tahun terakhir juga tidak mengalami perubahan. Jumlah kecamatan pada tahun 2013 sebanyak 78 kecamatan yang terbagi menjadi 438 desa/kelurahan.
Gunungkidul Sleman Yogyakarta
75
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN Penyelenggara pemerintahan di DIY terdiri dari pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pemerintah daerah berfungsi eksekutif yang dipimpin oleh seorang Gubernur dan dibantu oleh seorang Wakil Gubernur dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan, Gubernur juga dibantu oleh perangkat daerah yang terdiri dari Sekretaris Daerah (Sekda) dan Lembaga Teknis Daerah seperti Dinas-dinas, Badan-badan dan Kantor-kantor. Tahukah Anda ? DIY adalah provinsi tertua kedua di NKRI setelah Jawa Timur yang memiliki keistimewaan khusus dalam penyelenggaraan pemerintahan 4
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
Gubernur dan wakil gubernur DIY tidak dipilih melalui mekanisme Pemiilukada, tetapi melalui proses penetapan sebagai salah satu wujud keistimewaan DIY
2
Berbeda dengan provinsi lainnya, Gubernur dan Wakil Gubernur di DIY tidak dipilih melalui mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkadal), namun melalui proses penetapan Sultan Yogyakarta yang bertahta menjadi Gubernur dan Adipati Paku Alam yang bertahta menjadi Wakil Gubernur sebagai salah satu wujud keistimewaan DIY. Sekretaris Daerah (Sekda) sebagai pembantu gubernur dalam pelaksanaan pemerintahan, membawahi tiga asisten. Pertama, Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat yang membawahi Biro Tata Pemerintahan; Biro Hukum; serta Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat dan Kemasyarakatan. Kedua, Asisten Perekonomian dan Pembangunan yang membawahi Biro Administrasi Perekonomian dan SDA serta Biro Administrasi Pembangunan. Ketiga, Asisten Administrasi Umum yang membawahi Biro Organisasi dan Biro Umum Humas dan Protokol.
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPRD) DPRD merupakan lembaga legislatif yang merepresentasikan perwakilan rakyat yang dipilih melalui mekanisme Pemilu yang dilaksanakan setiap 5 tahun sekali. Komposisi anggota DPRD DIY periode 2009-2014 hasil Pemilu Legislatif 2009 berjumlah 55 orang, terdiri dari 42 anggota laki-laki (76,36 %) dan 13 anggota perempuan (23,64 %). Sementara, komposisi hasil Pemilu Legislatif 2014 terdiri dari 48 anggota laki laki ( 87,27 persen) dan 7 anggota perempuan (12,73 persen). Komposisi hasil Pemilu 2014 tersebut mengindikasikan proporsi keterwakilan perempuan dalam parlemen yang semakin menurun. Komposisi anggota DPRD DIY hasil Pemilu Legislatif 2014 berdasarkan partai politik pengusungnya didominasi oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). PDIP berhasil menempatkan wakilnya sebanyak 14 orang (25 persen anggota) atau meningkat 3 orang dibandingkan hasil Pemilu 2009. Berikutnya adalah Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Golkar yang menempatkan wakil masing-masing sebanyak 8 anggota, diikuti oleh Partai Gerindra dan Partai keadilan Sejahtera (PKS) menempatkan wakil masing-masing sebanyak 7 dan 6 anggota. Sebaliknya, perolehan kursi Partai Demokrat mengalami kemerosotan tajam dari 10 kursi menjadi 2 kursi.
ht
Gambar 2.1. Komposisi Anggota DPRD DIY Periode 2009-2014 dan 2014-2019 menurut Partai Politik
Sumber : Sekretariat DPRD DIY
Tahukah Anda ? Keterwakilan perempuan dalam parlemen DIY Hasil Pemilu legislatif 2014 semakin berkurang dibanding dengan Pemilu 2009
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
5
2
Struktur birokrasi kepegawaian di lingkungan pemerintahan DIY didominasi oleh pegawai yang berpendidikan sarjana dan mayoritas memiliki kepangkatan pada golongan III
Sebagai mitra kerja kepala daerah, DPRD memiliki tiga fungsi yakni fungsi legislasi yang berkaitan dengan pembentukan Peraturan Daerah (Perda), fungsi pengawasan untuk mengontrol pelaksanaan perda, peraturan lain serta kebijakan pemerintah daerah, dan fungsi anggaran untuk menyusun dan mengesahkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) bersama pemerintah daerah. Untuk mendukung fungsi tersebut, struktur DPRD DIY dibagi menjadi empat komisi yang terdiri dari Komisi A (pemerintahan), Komisi B (ekonomi dan keuangan), Komisi C (pembangunan) dan Komisi D (kesejahteraan rakyat) serta alat kelengkapan dewan yang lain seperti fraksi dan pimpinan dewan. Selama tahun 2013, DPRD DIY mampu menghasilkan sebanyak 12 Perda. Jumlah ini sedikit berkurang dibandingkan dengan tahun 2012 dan 2011 yang menghasilkan sebanyak 14 dan 16 Perda.
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
PEGAWAI NEGERI SIPIL Komposisi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bekerja di lingkungan pemerintahan DIY terdiri dari pegawai daerah dan pegawai pusat. Pegawai daerah mencakup semua PNS yang sistem penggajiannya dicover oleh dana APBD, sementara pegawai pusat mencakup semua PNS yang bekerja di institusi vertikal (perwakilan pemerintah pusat) dan sistem penggajiannya dicover oleh dana APBN. Jumlah PNS daerah di DIY pada tahun 2013 tercatat sebanyak 56.369 orang yang terdiri dari 28.118 pegawai laki laki (49,88 persen) dan 28.251 pegawai perempuan (50,12 persen). Fakta ini menggambarkan telah tercapainya kesetaraan gender dari sisi komposisi dalam lingkungan birokrasi pemerintahan DIY. Berdasarkan golongan kepangkatan, mayoritas PNS daerah DIY merupakan pegawai golongan III dengan proporsi 43,09 persen. Komposisi selanjutnya adalah pegawai golongan IV dan II dengan proporsi masing-masing sebesar 37,86 persen dan 16,16 persen. Jumlah pegawai pada golongan I juga masih cukup banyak dengan porsi sebesar 2,88 persen. Dari sisi pendidikan tertinggi yang ditamatkan, struktur PNS daerah didominasi oleh mereka yang berpendidikan Sarjana/S1 (41,36 %). Komposisi berikutnya adalah pegawai yang berpendidikan SLTA sederajat dan Diploma I/II/III/IV dengan porsi masing-masing sebesar 25,33 persen dan 25,69 persen. Sementara, jumlah pegawai yang berpendidikan SLTP ke bawah memiliki proporsi sebesar 4,5 persen. Berdasarkan daerah penempatannya, maka proporsi pegawai yang terbanyak ditempatkan di Pemda kabupaten Sleman dan Bantul dengan jumlah masing-masing sebesar 20,93 persen dan 19,84 persen. Gambar 2.1. Komposisi PNS Daerah di DIY Berdasarkan Golongan Kepangkatan dan Pendidikan
Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Regional I Jawa Tengah dan DIY
6
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
Sumber utama pendapatan daerah dalam RAPBD DIY 2013 berasal dari Pendapatan Asli Daerah khususnya pajak daerah dan dana perimbangan khususnya Dana Alokasi Umum
2
://
Tabel 2.2.
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
KEUANGAN DAERAH Penerimaan daerah untuk pembiayaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang dikelola oleh pemerintah DIY berasal dari beberapa sumber, yakni Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan (dana bagi hasil pajak dan bukan pajak, Dana Alokasi Umum/DAU dan Dana Alokasi Khusus/DAK), serta penerimaan lain yang sah. Sampai saat ini, komponen PAD yang bersumber dari pajak daerah dan komponen DAU menjadi sumber penerimaan terpenting bagi pendapatan daerah DIY. Berdasarkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) DIY 2013, jumlah nominal pendapatan yang direncanakan mencapai Rp 2,287 triliun dan meningkat sebesar 18,16 persen dibandingkan dengan tahun 2012 yang sebesar Rp1,94 triliun. Selama empat tahun terakhir, nilai nominal pendapatan daerah yang direncanakan semakin meningkat secara signifikan terutama pasca disahkannya Undang-undang No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY yang salah satunya memuat tentang alokasi dana keistimewaan DIY yang mulai direalisasikan pada tahun 2012. Dalam RAPBD 2013, semua sumber pendapatan yang baik PAD, dana perimbangan maupun penerimaan lainnya yang sah mengalami peningkatan. Sumber utama pendapatan dalam RAPBD 2013 berasal dari komponen PAD dengan proporsi sebesar 44,34 persen, sementara komponen dana perimbangan dan penerimaan lainnya yang sah masingmasing memiliki proporsi sebesar 42,03 persen dan 13,62 persen. Kondisi ini berbeda dengan RAPBD tahun 2012 dimana komponen dana perimbangan memiliki proporsi yang lebih besar dibandingkan dengan komponen PAD. Secara nominal, nilai PAD dalam RAPBD 2013 mencapai Rp 1,01 triliun dengan sumber penerimaan terbesar berasal dari pajak daerah dengan nilai nominal sebesar Rp 885,22 miliar. Nilai penerimaan pajak daerah dalam RAPBD 2013 meningkat sebesar Rp 196 miliar dari tahun sebelumnya dengan sumber utama dari pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor. Komponen terbesar dana perimbangan berasal dari DAU dengan nilai Rp 828 milyar atau 36,22 persen, sementara sumber utama penerimaan lainnya yang sah berasal dari dana penyesuaian dan otonomi khusus atau dana keistimewaan dengan nilai Rp 302,76 milyar.
ht
tp
Rencana Anggaran Pendapatan Daerah DIY menurut Sumber Penerimaan, 2010-2013 (Rp Milyar)
Sumber : BPS DIY
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
Cat : Angka dalam kurung menunjukkan persentase
7
2
Struktur belanja daerah dalam RAPBD DIY 2013 didominasi oleh belanja pegawai, sementara dari fungsinya sebagian besar digunakan untuk pelayanan umum
ar ta .b ps
.g o.
id
Pengeluaran/belanja daerah dalam RAPBD DIY 2013 direncanakan sebesar Rp 2,45 triliun. Secara nominal, nilai tersebut meningkat sebesar Rp 330,78 miliar atau naik 15,57 persen dibandingkan dengan tahun 2012 yang sebesar Rp 2,12 triliun. Komposisi pengeluaran daerah untuk belanja langsung sebesar Rp 1,03 triliun (41,85 %) atau meningkat 19,83 persen dibandingkan dengan rencana pengeluaran 2012 yang sebesar Rp 587,26 milyar. Belanja langsung yang terbesar digunakan untuk belanja barang dan jasa serta belanja modal dengan nilai masing-masing sebesar Rp 609,74 miliar (24,84 %) dan Rp 292,51 miliar (11,92 %). Sementara, jumlah belanja tidak langsung direncanakan sebesar Rp 1,43 triliun (58,15 %) atau meningkat 12,68 persen dibandingkan dengan tahun 2012. Komposisi belanja tidak langsung yang terbesar digunakan untuk belanja pegawai dengan nilai Rp 503,34 miliar (20,50 persen) dan diikuti oleh belanja hibah dan bagi hasil dengan proporsi masing-masing sebesar 19,04 persen dan 306,12 persen. Nilai belanja pegawai secara nominal meningkat namun proporsinya justru menurun, sementara nilai nominal maupun proporsi dari belanja hibah, bagi hasil, serta belanja modal justru semakin meningkat. Perubahan komposisi dalam belanja daerah ini menunjukkan pengelolaan keuangan yang semakin berorientasi pada pelayangan publik. Secara umum, RAPBD DIY tahun 2013 mengalami defisit sebesar Rp 168,06 milyar.
yo gy
ak
Berdasarkan fungsinya, pengeluaran terbesar dalam RAPBD 2013 digunakan untuk pelayanan umum dengan nilai sebesar Rp 1.318,08 miliar (53,69 %). Proporsi terbesar selanjutnya adalah pengeluaran bidang ekonomi (12,89 %), pendidikan (10,24 %), perumahan dan fasilitas umum (9,90 %) serta kesehatan (6,89 %). Sementara, porsi pengeluaran untuk kegiatan pariwisata dan budaya, perlindungan sosial, ketertiban dan ketentraman, serta lingkungan hidup berada di bawah 5 persen.
ht
Tabel 2.3.
tp
://
Tahukah Anda ? Dengan semakin meningkatnya sumber penerimaan daerah dari sumber pendapatan asli daerah maka derajad ketergantungan fiskal DIY semakin menurun.
Rencana Pengeluaran/Belanja Daerah dalam RAPBD DIY, 2010-2013 (Rp Milyar)
Sumber : DIY dalam Angka 2010-2013, BPS DIY
8
Cat : Angka dalam kurung menunjukkan persentase
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
Kota Yogyakarta dan Sleman menjadi daerah dengan kemandirian fiskal tertinggi, sementara rasio belanja modal/infrastruktur dalam RAPBD kabupaten/kota di DIY masih rendah.
2
.g o.
id
Struktur pendapatan dan belanja dalam RAPBD tahun 2013 kabupaten/kota di DIY cukup bervariasi. Dari sisi pendapatan, Kabupaten Sleman menjadi daerah yang memiliki rencana pendapatan yang tertinggi sebesar Rp 1,67 triliun dan diikuti oleh Kabupaten Bantul dengan rencana pendapatan sebesar Rp 1,34 triliun. Sementara, Kabupaten Kulonprogo menjadi daerah yang memiliki rencana pendapatan yang terendah sebesar Rp 918,78 miliar. Dari sisi pengeluaran atau belanja daerah juga memiliki pola yang sama. Kabupaten Sleman menjadi daerah yang memiliki belanja yang tertinggi sebesar Rp 1,73 triliun, sementara kabupaten Kulonprogo menjadi daerah dengan belanja terendah sebesar Rp 935,37 miliar. Dalam RAPBD 2013, semua kabupaten/kota mengalami defisit anggaran atau memiliki nilai belanja yang lebih besar dibandingkan dengan nilai pendapatan. Nilai defisit anggaran yang terbesar dialami oleh Kabupaten Gunungkidul sebesar Rp 93,92 miliar dan diikuti oleh Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman dengan defisit sebesar Rp 63,44 milyar dan Rp 63,06 milyar. Sementara, nilai defisit Kabupaten Bantul dan Kulonprogo masing-masing sebesar Rp 17,44 milyar dan Rp 16,59 milyar.
Gambar 2.2.
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
Komposisi pendapatan daerah dalam RAPBD 2013 kabupaten/kota DIY berdasarkan sumbernya didominasi oleh komponen dana perimbangan terutama Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dengan proporsi antara 59,41-74,96 persen. Proporsi dana perimbangan yang tertinggi dimiliki oleh Kabupaten Gunungkidul, sementara yang terendah dimiliki oleh Kabupaten Sleman. Semakin tinggi proporsi dana perimbangan dalam struktur APBD kabupaten/kota menunjukkan derajat ketergantungan yang semakin besar terhadap dana transfer dari pemerintah pusar sekaligus menunjukkan derajat kemandirian yang semakin rendah. Sementara, komponen pendapatan asli daerah memberi andil antara 5,69-28,45 persen. Kota Yogyakarta menjadi daerah yang memiliki rasio PAD terhadap total penerimaan yang terbesar, sehingga menjadi daerah yang kemandirian fiskalnya paling baik. Sementara, Kabupaten Gunungkidul dan Kulonprogo memiliki rasio PAD terhadap total penerimaan yang terendah atau derajat ketergantungan fiskal terhadap transfer dana dari pemerintah pusat tinggi. Dari sisi belanja, komponen yang terbesar digunakan untuk belanja pegawai. Komponen pengeluaran untuk belanja barang dan jasa berkisar antara 1229 persen, sementara pengeluaran untuk belanja modal berkisar antara 10-15 persen.
Rencana Pendapatan Daerah menurut Sumber dan Kabupaten/Kota di DIY, 2013 (Rp Milyar)
Gambar 2.3. Rencana Pendapatan dan Belanja Daerah menurut Kabupaten/Kota di DIY, 2013 (Rp Milyar)
Sumber : DIY dalam Angka 2013, BPS DIY
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
9
3
PENDUDUK Laju pertumbuhan penduduk per tahun di DIY pada periode 2000-2010 kembali meningkat di atas 1 persen, setelah dua dekade sebelumnya yang selalu di bawah 1 persen
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
JUMLAH PENDUDUK DAN PERTUMBUHANNYA Hasil Sensus Penduduk 2010 mencatat jumlah penduduk yang tinggal di wilayah DIY mencapai 3.457.491 jiwa, dengan komposisi 49,43 persen laki-laki dan 50,57 persen perempuan yang tersebar di lima kabupaten/kota. Jumlah penduduk DIY semakin bertambah setiap tahun dengan laju pertumbuhan yang berfluktuasi, namun masih cukup terkendali. Hasil Sensus Penduduk tahun 1971 mencatat jumlah penduduk DIY sebanyak 2,49 juta jiwa dan terus meningkat menjadi 3,46 juta jiwa di tahun 2010. Laju pertumbuhan penduduk selama periode 1971-1980 tercatat sebesar 1,10 persen per tahun. Laju ini melambat menjadi 0,58 persen per tahun di periode 1980-1990 dan 0,72 persen per tahun di periode 1990-2000 sebagai dampak keberhasilan pemerintah dalam pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB) maupun program perbaikan taraf kesehatan masyarakat lainnya. Peningkatan taraf kesehatan masyarakat ditandai oleh membaiknya kesehatan ibu, anak dan balita sehingga terjadi penurunan angka kematian bayi secara signifikan dan berpengaruh terhadap menurunnya fertilitas (tingkat kelahiran). Meskipun demikian, dalam sepuluh tahun terakhir (2000-2010) laju pertumbuhan penduduk kembali meningkat menjadi 1,04 persen per tahun. Fenomena ini berkaitan dengan semakin menurunnya angka kematian dan meningkatnya angka harapan hidup serta semakin bertambahnya migrasi masuk ke DIY dengan tujuan untuk bersekolah maupun bekerja. Laju pertumbuhan penduduk yang tercepat selama empat dekade terakhir terjadi di Kabupaten Sleman dan Bantul. Selama periode 2000-2010 kedua daerah ini memiliki laju pertumbuhan penduduk per tahun masing-masing sebesar 1,92 persen dan 1,55 persen. Sebaliknya, Kota Yogyakarta justru mengalami pertumbuhan penduduk negatif sebesar 0,21 persen. Sebagai pusat perekonomian dan pemerintahan, Kota Yogyakarta pada tahun 2010 dihuni oleh 388.627 jiwa penduduk. Selama beberapa tahun terakhir, wilayah Kota Yogyakarta sudah semakin jenuh untuk menampung penduduk akibat meningkatnya aktivitas perekonomian, pemerintahan dan sosial. Hal ini membawa konsekuensi terhadap perkembangan kawasan pemukiman dan peningkatan jumlah penduduk di wilayah penyangganya, terutama di Kabupaten Sleman dan Bantul.
ht
Tahukah Anda ? Laju pertumbuhan penduduk DIY per tahun pada periode 2000-2010 sebesar 1,04 persen, sehingga tahun 2020 jumlah penduduk diproyeksikan mencapai 3,88 juta jiwa. Tabel 3.1. Luas Wilayah, Jumlah Kecamatan dan Desa/Kelurahan di DIY menurut Kabupaten/Kota, 2013 Kabupaten/ Kota
Jumlah Penduduk (jiwa)
Laju Pertumbuhan per Tahun (%)
1971
1980
1990
2000
Kulonprogo
370.629
380.685
372.309
370.944
388.869
0,29
-0,22
-0,04
0,48
Bantul
568.618
634.442
696.905
781.013
911.503
1,21
0,94
1,19
1,57
Gunungkidul
620.085
659.486
651.004
670.433
675.382
0,68
-0,13
0,3
0,07
Sleman
588.304
677.323
780.334
901.377 1.093.110
1,56
1,43
1,5
1,96
Yogyakarta
340.908
398.192
412.059
396.711
388.627
1,72
0,34
-0,39
-0,21
2.488.544 2.750.128 2.912.611 3.120.478 3.457.491
1,10
0,58
0,72
1,04
DIY
2010 1971-1980 1980-1990 1990-2000 2000-2010
Sumber : Data Sensus Penduduk, BPS DIY
10
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
3
Kepadatan penduduk DIY di tahun 2010 mencapai 1.085 jiwa/km2 dan ssebaran penduduk yang terbesar terdapat di Kabupaten Sleman dan Bantul
PERSEBARAN PENDUDUK DAN KEPADATANNYA Distribusi penduduk DIY selama empat dekade terakhir terpusat di Kabupaten Sleman, Bantul dan Gunungkidul. Kabupaten Sleman dan Bantul menjadi dua daerah yang memiliki distribusi penduduk terbesar dan memiliki pola yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Jumlah penduduk di Kabupaten Kulonprogo dan Gunungkidul juga semakin meningkat dalam empat dekade terakhir, namun laju pertumbuhannya relatif lebih lambat dibandingkan dengan kedua daerah sebelumnya sehingga andil distribusi penduduknya semakin menurun. Sementara, Kota Yogyakarta menjadi potret wilayah yang populasi penduduknya sudah jenuh dan semakin berkurang akibat terbatasnya wilayah administasi yang digunakan untuk pemukiman dan tempat tinggal. Kepadatan penduduk DIY pada tahun 2010 sebesar 1.085 jiwa per km2, artinya setiap 1 km wilayah DIY dihuni oleh 1.085 jiwa penduduk. Kepadatan penduduk ini berada pada urutan ketiga secara nasional setelah Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat, yang masing-masing memiliki kepadatan penduduk 14.469 jiwa per km2 dan 1.217 jiwa per km2. Dibandingkan dengan kepadatan penduduk pada tahun 2000 yang mencapai 979 jiwa per km2, kepadatan penduduk pada tahun 2010 meningkat cukup tajam dengan selisih 106 jiwa per km2. Hal ini berarti, selama rentang sepuluh tahun jumlah penduduk di setiap 1 km2 wilayah DIY bertambah sebanyak 106 jiwa.
ar ta .b ps
.g o.
id
2
ht
tp
://
yo gy
ak
Berdasarkan wilayah, kepadatan penduduk yang tertinggi terjadi di Kota Yogyakarta. Setiap 1 km2 wilayah Kota Yogyakarta dihuni oleh 11.958 jiwa penduduk. Tingginya kepadatan penduduk di Kota Yogyakarta berkaitan dengan statusnya sebagai ibukota pemerintahan provinsi maupun sebagai pusat perekonomian dan pendidikan yang menuntut ketersediaan sarana dan infrastruktur sosial ekonomi yang lebih memadai. Faktor ini menjadi daya tarik bagi sebagian penduduk dari luar daerah untuk bermigrasi dan melakukan aktivitas ekonomi maupun aktivitas pendidikan di Kota Yogyakarta. Di sisi lain, luas wilayah administrasi Kota Yogyakarta relatif terbatas untuk menampung kelebihan populasi penduduk sehingga banyak di antara mereka yang tinggal di daerah pinggiran perkotaan yang menjadi penyangga perkembangan kota Yogyakarta.
Tabel 3.2.
Tabel 3.3.
Distribusi Penduduk DIY menurut Kabupaten/ Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk DIY menurut Kota Hasil SP Tahun 1971-2010 (Persen) Kabupaten/Kota Hasil SP 1971-2010 (jiwa/km2) Kab/Kota
Tahun Sensus Penduduk
Kab/Kota
Kepadatan Penduduk (Jiwa per Km2 )
Luas Wilayah Km2
%
1971
1980
1990
2000
2010
11,25 Kulonprogo
586
18,4
632
649
635
633
663
25,03
26,36 Bantul
507
15,91
1.122
1.252
1.375
1.541
1.798
22,35
21,48
19,53 Gunungkidul
1.486
46,63
418
444
438
451
455
24,63
26,79
28,89
31,62 Sleman
575
18,04
1.024
1.178
1.358
1.568
1.902
13,7
14,48
14,15
12,71
11,24 Yogyakarta
100
100
100
100
1971
1980
1990
2000
2010
Kulonprogo
14,89
13,84
12,78
11,89
Bantul
22,85
23,07
23,93
Gunungkidul
24,92
23,98
Sleman
23,64
Yogyakarta Jumlah
100
DIY
32 3.186
1,02 10.490 12.252 12.679 12.206 11.958 100
781
863
914
979
1.085
Sumber : Profil Kependudukan DIY Hasil SP 2010, BPS DIY
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
11
3
Komposisi penduduk DIY menurut usia hasil Sensus Penduduk 2010 didominasi oleh penduduk berusia muda (usia produktif)
Kabupaten Sleman dan Bantul menjadi dua daerah yang memiliki peningkatan kepadatan penduduk tercepat dengan dengan tingkat kepadatan masing-masing sebesar 1.902 jiwa/km2 dan 1.798 jiwa/km2 pada tahun 2010. Sementara itu, Gunungkidul menjadi daerah dengan kepadatan penduduk terendah yakni 445 jiwa/km2. Rendahnya kepadatan penduduk di Gunungkidul berkaitan dengan karakteristik wilayah yang berupa pegunungan kering dengan dukungan infrastruktur yang kurang memadai untuk dijadikan sebagai tempat tinggal maupun tempat untuk melakukan aktivitas ekonomi, sehingga ada kecenderungan kaum terdidik dari daerah ini yang justru bermigrasi keluar dengan motif mencari pekerjaan dan penghidupan yang lebih layak.
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
KOMPOSISI PENDUDUK MENURUT USIA DAN JENIS KELAMIN Komposisi penduduk DIY menurut kelompok usia berdasarkan hasil SP 2000 dan SP 2010 masih didominasi oleh kelompok penduduk berusia muda (15-34 tahun). Namun demikian, komposisi penduduk selama kedua periode menunjukkan pergeseran secara signifikan. Populasi penduduk berusia muda (kelompok usia 15-24 tahun) pada piramida penduduk tahun 2000 terlihat cukup dominan, namun pada piramida penduduk tahun 2010 populasi penduduk yang dominan terdapat pada kelompok usia 15-44 tahun. Penduduk pada kelompok umur rendah (0-9 tahun) di piramida penduduk tahun 2010 terlihat meningkat, sementara pada kelompok usia produktif (25-54) terjadi penambahan populasi yang cukup signifikan. Fenomena ini menunjukkan perkembangan kelompok penduduk usia muda yang cukup progresif dan mendorong peningkatan jumlah angkatan kerja. Hal ini menjadi sebuah potensi manakala penduduk yang mulai masuk pasar kerja memiliki keahlian yang mumpuni dan didukung oleh tersedianya kesempatan kerja yang luas. Namun, jika kesempatan kerja yang tersedia terbatas fenomena peningkatan penduduk berusia ini perlu diantisipasi agar tidak berdampak pada peningkatan tingkat pengangguran. Secara umum juga terjadi peningkatan populasi penduduk berusia tua (>64 tahun) dan hal ini menandakan adanya perbaikan kualitas kesehatan yang mendorong meningkatnya usia harapan hidup penduduk.
ht
Gambar 3.1. Piramida Penduduk DIY Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000 dan 2010 (Ribu Jiwa) SP 2000
SP 2010
Sumber : Profil Kependudukan DIY Hasil SP 2010, BPS DIY
12
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
Rasio jenis kelamin penduduk DIY selama dua dekade terakhir didominasi oleh penduduk perempuan, sementara rasio beban ketergantungannya berada pada level 45,9 persen
3
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk laki-laki di DIY tercatat sebanyak 1.708.910 jiwa dan perempuan 1.748.581 jiwa, sehingga nilai seks rasionya sebesar 97,73. Artinya, terdapat 98 penduduk laki-laki untuk setiap 100 penduduk perempuan atau jumlah penduduk perempuan 2,27 persen lebih banyak dari penduduk laki-laki. Dibandingkan dengan hasil Sensus Penduduk tahun 2000, seks rasio tahun 2010 mengalami penurunan dari 98,3 menjadi 97,73. Seks rasio di hampir semua kabupaten/kota memiliki nilai kurang dari 100, artinya jumlah penduduk perempuan lebih dominan dibandingkan dengan penduduk laki-laki. Namun demikian, Kabupaten Sleman justru memiliki seks rasio lebih dari 100 yang berarti jumlah penduduk laki-lakinya lebih banyak dari perempuan. Hampir semua kabupaten/kota juga mengalami penurunan seks rasio, kecuali Bantul yang meningkat dari 99 persen pada tahun 2000 menjadi 99,45 persen pada tahun 2010.
ar ta .b ps
.g o.
id
Seks rasio berdasarkan kelompok umur menunjukkan pola yang semakin menurun seiring dengan meningkatnya kelompok umur. Nilai seks rasio penduduk DIY mulai dari lahir sampai umur 29 tahun berada di atas 100, artinya jumlah penduduk laki-laki pada usia tersebut lebih dominan dari perempuan. Mulai usia 30 tahun, jumlah penduduk perempuan cenderung lebih dominan dari laki-laki yang ditunjukkan oleh nilai sex rasio yang kurang dari 100. Namun, pada kelompok umur 55-59 nilai sex rasio berada di atas 100. Pada kelompok umur 60 tahun ke atas, jumlah penduduk perempuan jauh lebih dominan. Fenomena ini terjadi karena angka harapan hidup perempuan yang relatif lebih tinggi dari laki-laki yang disebabkan oleh kecenderungan penduduk laki-laki untuk melakukan pekerjaan dan aktivitas yang sifatnya lebih berat, kasar dan memiliki resiko lebih tinggi.
Tabel 3.4.
ht
tp
://
yo gy
ak
Rasio beban ketergantungan (Dependency Ratio) dihitung dari perbandingan antara banyaknya penduduk yang belum/tidak produktif secara ekonomi (usia dibawah 15 tahun dan 65 tahun ke atas) dengan banyaknya penduduk yang berusia produktif (usia 15-64 tahun). Rasio ketergantungan penduduk DIY pada tahun 2010 tercatat sebesar 45,9 persen. Secara kasar, hal ini berarti setiap 100 penduduk produktif menanggung sekitar 46 orang yang belum produktif dan sudah tidak produktif. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2000 yang sebesar 44,7 persen. Semakin tinggi rasio ketergantungan menunjukkan semakin tingginya beban yang harus ditanggung penduduk usia produktif. Gambar 3.2. Sex Ratio Penduduk DIY menurut Kabupaten/ Sex Ratio Penduduk DIY menurut Kelompok Kota Hasil SP 2000 dan 2010 Umur Hasil SP 2010
Sumber : Profil Kependudukan DIY Hasil SP 2010, BPS DIY
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
13
4
KETENAGAKERJAAN Terbatasnya penciptaan kesempatan kerja yang tidak sebanding dengan pertumbuhan jumlah angkatan kerja menyebabkan terjadinya pengangguran
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
Tenaga kerja menjadi salah satu faktor produksi yang memiliki peran sentral dalam menggerakkan aktivitas perekonomian. Sebagai faktor produksi, tenaga kerja merupakan unsur manusia yang memiliki tingkat keahlian dan perilaku yang berbeda-beda. Setiap pekerja akan berharap mendapat balas jasa yang memadai sesuai pekerjaan yang telah dilakukannya. Namun, sistem dan struktur upah dalam pasar tenaga kerja ditentukan berdasarkan banyak pertimbangan seperti besarnya kebutuhan hidup minimum di wilayah yang bersangkutan maupun variabel individu dari angkatan kerja seperti pendidikan yang ditamatkan, masa kerja, jenis dan resiko pekerjaan, produktivitas, lokasi kerja, pengalaman kerja, usia, posisi/jabatan yang bersangkutan di tempat kerja maupun kemampuan perusahaan dalam membayar upah. Pertumbuhan jumlah angkatan kerja setiap tahun sebanding dengan pertumbuhan penduduk, sementara kesempatan kerja yang tersedia relatif terbatas. Terbatasnya kesempatan kerja yang tersedia ini menyebabkan tidak semua angkatan kerja dapat terserap oleh pasar kerja atau terjadi ketidakseimbangan antara supply dan demand tenaga kerja, sehingga terjadi pengangguran. Penyebab lain dari pengangguran lebih bersifat struktural seperti kebijakan penetapan upah minimum maupun bersifat friksional akibat adanya jeda atau lama waktu menunggu kesempatan kerja yang sesuai dengan pendidikan dan keterampilan yang dimiliki. Beberapa aspek ketenagakerjaan yang dikaji dalam sub bab ini menyangkut Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) serta karakteristik penduduk bekerja. Konsep ketenagakerjaan yang digunakan oleh BPS merujuk pada rekomendasi dari International Labor Organization (ILO) yang membagi penduduk berusia produktif (15 tahun ke atas) berdasarkan aktivitas utamanya menjadi dua kelompok yakni angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja terdiri dari dua bagian yakni bekerja dan pengangguran, sementara bukan angkatan kerja mencakup bersekolah, mengurus rumah tangga dan lainnya. Komposisi penduduk berusia kerja hasil Sakernas di DIY dalam beberapa tahun terakhir disajikan dalam Tabel 3.4. Jumlah penduduk berusia kerja meningkat dari 2,70 juta jiwa di bulan Agustus 2010 menjadi 2,83 juta jiwa di bulan Februari 2014.
ht
Tabel 4.1.
Penduduk Berusia 15 Tahun ke Atas menurut Kegiatan Utama di DIY, 2010-2013 Kegiatan (1) Angkatan Kerja Bekerja Pengangguran
2011
2010
2012
2013
2014
Agustus
Februari
Agustus
Februari
Agustus
Februari
Agustus
Februari
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(8)
1.882.296 1.991.350 1.933.917 1.970.200 1.988.539 1.958.084 1.949.243 2.032.896 1.775.148 1.881.310 1.850.436 1.892.303 1.911.720 1.885.040 1.886.071 1.988.912 107.148
110.040
83.481
77.897
76.819
73.044
63.172
43.984
815.838
739.052
813.549
793.422
791.920
838.726
863.845
796.887
Sekolah
279.420
262.569
269.226
324.537
280.427
306.151
201.760
349.639
Mengurus Rumah Tangga
437.630
365.924
433.602
360.161
404.800
466.843
479.109
352.183
98.788
110.559
110.721
108.724
106.693
65.732
182.976
95.065
Bukan Angkatan Kerja
Lainnya Jumlah
2.698.134 2.730.402 2.747.466 2.763.622 2.780.459 2.796.810 2.813.088 2.829.783
Sumber : Sakernas, BPS DIY
14
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
4
Tingkat partisipasi angkatan kerja di DIY selama sepuluh tahun terakhir berada pada kisaran 68-73 persen dan ada kecenderungan partisipasi angkatan kerja laki-laki lebih tinggi dari perempuan dan partisipasi angkatan kerja di perdesaan lebih tinggi dari perkotaan.
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
TINGKAT PARTISIPASI ANGKATAN KERJA (TPAK) Perkembangan jumlah angkatan kerja di DIY semakin bertambah seiring dengan pertumbuhan penduduk. Selama periode Februari 2005 sampai Februari 2014, TPAK di DIY terlihat berfluktuasi dengan kisaran antara 68 sampai 73 persen. Angka ini menggambarkan besarnya proporsi atau bagian dari penduduk berusia kerja yang terlibat aktif dalam kegiatan perekonomian baik yang berstatus bekerja maupun sebagai pencari kerja atau penganggur. Secara umum, terdapat pola TPAK di bulan Februari yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan TPAK bulan Agustus. Fenomena ini berkaitan dengan periode musiman puncak panen komoditas tanaman padi yang terjadi selama triwulan pertama di setiap tahun. Periode panen ini mendorong meningkatnya TPAK di daerah perdesaan, terutama pada sektor pertanian tanaman pangan yang secara tidak langsung juga mendorong peningkatan TKAK secara umum. Pada bulan Februari 2014 TPAK DIY tercatat sebesar 71,84 persen atau meningkat 2,55 poin dibandingkan dengan periode sebelumnya. Secara umum, pola perkembangan TPAK di DIY menurut jenis kelamin menunjukkan TPAK penduduk laki-laki lebih dominan dibandingkan dengan TPAK penduduk perempuan. TPAK lak-laki berfluktuasi pada kisaran 77-82 persen, sementara TPAK perempuan berada pada kisaran 57-67 persen. Fenomena ini mengindikasikan keterlibatan penduduk laki-laki dalam aktivitas perekonomian yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Hal ini terjadi karena sebagian besar aktivitas mengurus rumah tangga dilakukan oleh perempuan serta adanya pandangan bahwa kewajiban mencari nafkah adalah tanggung jawab laki-laki sehingga lebih sedikit perempuan yang masuk dalam angkatan kerja. Pola perkembangan TPAK menurut wilayah menunjukkan kecenderungan TPAK daerah perdesaan yang selalu lebih tinggi dibandingkan dengan daerah perkotaan. TPAK daerah perdesaan memiliki pola yang berfluktuasi antara 73-82 persen, sementara TPAK daerah perkotaan berfluktuasi pada kisaran 62-72 persen. Fenomena ini berkaitan dengan adanya kecenderungan penduduk perkotaan yang lebih memilih untuk menyelesaikan pendidikan sampai jenjang yang setinggi-tingginya sebelum memasuki pasar tenaga kerja. Sementara, penduduk perdesaan memiliki lama bersekolah yang lebih singkat dan merasa sudah cukup untuk menyelesaikan jenjang pendidikan dasar kemudian masuk pasar tenaga kerja untuk membantu ekonomi keluarga meski statusnya hanya sebagai pekerja keluarga atau pekerja tak dibayar dan bekerja di sektor informal dengan jumlah jam kerja yang relatif pendek. Gambar 4.1. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) DIY menurut Jenis Kelamin dan Wilayah, 2005-2014 (Persen) 90
90 85
80,26
80 75 71,95
79,00
70,30
81,25
71,69
70
81,33
79,82
71,70
69,95
81,17
80,18
72,93
71,41
80,84
71,29
85 79,72
70,01
77,70 71,84
81,29
75
60 63,87
61,95
62,64
62,06
66,24
65,08 62,65
62,17
60,15
55
60,73
65
77,98
71,95
69,83
77,99
77,04
71,69 70,30
70
65
79,95
78,26
80
68,56 69,95
75,78
70,51
Feb'05
Feb'06
71,84 69,29
71,50 68,72
67,44 64,96
77,39
75,85
72,93 71,29 71,52 70,39 70,01
71,41 71,70 70,23 69,76
69,20
65,67
76,42
67,01
66,09
65,21
67,09
69,06
60 55
50
L
45 Feb'05
Feb'06
Feb'07
Feb'08
P Feb'09
L+P Feb'10
Feb'11
K
Feb'12
Feb'13
Feb'14
D
K+D
50 Feb'07
Feb'08
Feb'09
Feb'10
Feb'11
Feb'12
Feb'13
Feb'14
Sumber : Sakernas, BPS DIY
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
15
4
Tingkat pengangguran terbuka (TPT) di DIY selama sepuluh tahun terakhir menunjukkan pola yang semakin menurun dan terdapat kecenderungan TPT di perkotaan lebih tinggi dari perdesaan, sementara TPT menurut jenis kelamin lebih berfluktuasi
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA (TPT) Bagian dari angkatan kerja yang tidak terserap oleh pasar tenaga kerja termasuk dalam kategori pengangguran terbuka (TPT). TPT DIY selama periode Februari 2005-Februari 2014 memiliki pola yang berfluktuasi pada kisaran 2,16-7,59 persen dan memiliki kecenderungan yang semakin menurun. Pada bulan Februari 2005, TPT DIY tercatat sebesar 5,05 persen dan meningkat tajam hingga mencapai 7,59 persen di bulan November sebagai dampak dari keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM di tahun 2005 yang memberi tekanan negatif terhadap kondisi perekonomian DIY secara makro. Pada periode berikutnya, secara bertahap angka TPT di DIY semakin menurun hingga mencapai level 2,16 persen di bulan Februari 2014. Perkembangan TPT menurut wilayah perkotaan dan perdesaan menunjukkan pola yang hampir sama dan terdapat kecenderungan TPT di daerah perkotaan selalu lebih tinggi dibandingkan TPT di daerah perdesaan. Meskipun demikian, gap atau selisih antara kedua wilayah menunjukkan pola yang semakin mengecil. Secara kasar, fenomena ini menunjukkan bahwa penduduk berusia kerja di daerah perdesaan yang lebih mudah terserap dalam pasar kerja karena pada umumnya mereka akan menerima jenis pekerjaan apa saja termasuk di sektor informal maupun bekerja dengan status sebagai pekerja keluarga atau pekerja tak dibayar, meskipun pasar tenaga kerja di daerah perdesaan relatif terbatas dengan struktur homogen dan dominan pada sektor pertanian. Sebaliknya, penduduk di daerah perkotaan lebih selektif dalam memilih lapangan usaha dan jenis pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan maupun upah. Lamanya waktu dalam mencocokkan jenis pekerjaan inilah yang mendorong TPT daerah perkotaan menjadi lebih tinggi. Level TPT yang tertinggi di daerah perkotaan terjadi pada bulan Agustus 2005 dengan nilai TPT mencapai 10,37 persen, sementara level TPT tertinggi di daerah perdesaan terjadi di bulan Februari 2011 dengan nilai sebesar 4,90 persen. Pada bulan Februari 2014, TPT di daerah perkotaan dan perdesaan mengalami penurunan dengan nilai masing-masing mencapai 2,68 persen dan 1,24 persen. Perbandingan TPT menurut jenis kelamin tampak lebih dinamis dan polanya juga lebih berfluktuasi, meski secara umum keduanya terlihat memiliki kecenderungan yang semakin menurun. Mulai periode Februari 2005 sampai Agustus 2008 TPT penduduk perempuan tercatat lebih tinggi, namun di periode Februari 2009-Februari 2011 TPY penduduk laki-laki tercatat lebih tinggi. Pada kondisi Februari 2014, TPT laki-laki tercatat sebesar 2,67 persen dan TPT perempuan tercatat sebesar 1,62 persen. Gambar 4.2. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) DIY menurut Wilayah dan Jenis Kelamin, 2005-2014 (Persen) 10
11 10
9 8,36
9 8
8,42
8
7,62
7,06
7 6
8,41
6,25
6,08
6,04
7,42
6,00
7 5,86 5,53
6,02
5,05
5 4
2
3,64
3,11
2,63
Feb'06
Feb'07
5
4,45 3,73
4,21
4 2,68 2,16
3,03
K
0 Feb'05
3,95
2,36
1
16
4,90
4,03
3
6 4,84
Feb'08
D Feb'09
2,47
Feb'11
1,24
Feb'12
2 1
K+D Feb'10
3
Feb'13
Feb'14
L
P
L+P
0 Feb'05 Feb'06 Feb'07 Feb'08 Feb'09 Feb'10 Feb'11 Feb'12 Feb'13 Feb'14
Sumber : Sakernas, BPS DIY
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
4
Struktur angkatan kerja di DIY menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan didominasi oleh mereka yang berpendidikan menengah, namun komposisi yang berpendidikan kurang dari SD juga masih cukup besar meskipun proporsinya semakin berkurang
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
STRUKTUR ANGKATAN KERJA MENURUT PENDIDIKAN Struktur angkatan kerja di DIY berdasarkan tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan menunjukkan bahwa mayoritas telah mengenyam pendidikan sampai tingkat menengah baik SLTA umum maupun kejuruan. Pada kondisi bulan Februari 2014, komposisi angkatan kerja yang berpendidikan SLTA mencapai 36,30 persen yang terdiri dari SLTA umum sebesar 16,27 persen dan kejuruan 20,03 persen. Sementara, komposisi angkatan kerja yang berpendidikan SLTP dan Diploma/Universitas masing-masing mencapai 17,54 persen dan 16,57 persen. Di sisi lain, masih terdapat komposisi angkatan kerja yang berpendidikan SD ke bawah dalam jumlah yang cukup besar yakni mencapai 29,59 persen. Komposisi angkatan kerja ini didominasi oleh penduduk yang tinggal di daerah perdesaan dan berjenis kelamin perempuan. Perkembangan struktur angkatan kerja menurut pendidikan dalam beberapa periode terakhir menunjukkan pola yang cukup dinamis. Komposisi angkatan kerja yang berpendidikan SD ke bawah cenderung berkurang, sementara yang berpendidikan SLTP relatif stabil dan yang berpendidikan SLTA ke atas cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Secara kasar, hal ini menunjukkan adanya peningkatan kualitas angkatan kerja dari sisi pendidikan. Komposisi penduduk bekerja di DIY secara umum juga memiliki pola yang sama dengan komposisi angkatan kerja. Mayoritas penduduk yang bekerja telah menamatkan pendidikan pada jenjang SLTA, namun masih cukup banyak pekerja yang berpendidikan SD ke bawah. Pola perkembangan komposisi jumlah pekerja yang berpendidikan SLTA ke atas dalam beberapa tahun terakhir juga menunjukkan peningkatan, sementara yang berpendidikan SD ke bawah cenderung menurun. Persoalan ketenagakerjaan yang cukup serius adalah semakin meningkatnya komposisi penganggur atau pencari kerja yang berpendidikan tinggi atau penganggur terdidik. Berdasarkan hasil Sakernas, komposisi jumlah penganggur pada bulan Februari 2014 didominasi oleh mereka yang berpendidikan SLTA sederajat dengan jumlah mencapai 55,28 persen. Sementara, jumlah penganggur yang berpendidikan Diploma/Universitas tercatat sebanyak 26,17 persen dan sisanya adalah penganggur yang berpendidikan SLTP ke bawah dengan jumlah 18,55 persen. Fenomena tersebur berkaitan dengan persoalan pertumbuhan jumlah angkatan kerja baru yang berpendidikan tinggi melebihi pertumbuhan kesempatan kerja yang tercipta serta persoalan friksional dimana angkatan kerja baru yang berpendidikan tinggi cenderung lebih selektif dalam memilih pekerjaan yang sesuai dengan bidang pendidikannya. Tabel 4.2. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) DIY menurut Wilayah dan Jenis Kelamin, 2005-2014 (Persen) Pendidikan
Bekerja Feb'12
Ags'12
Feb'13
Angkatan Kerja Ags'13
Feb'14
Feb'12
Ags'12
Feb'13
Ags'13
Feb'14
SD ke Bawah
35,93
36,49
31,85
35,20
29,99
35,27
35,45
31,22
34,27
29,59
SLTP
17,30
17,68
17,12
17,78
17,78
17,27
17,73
16,57
17,67
17,54
SLTA Umum
14,78
16,74
16,93
15,85
16,41
15,27
16,89
16,89
16,01
16,27
SLTA Kejuruan
17,45
16,06
18,52
16,94
19,47
17,46
16,63
18,45
17,68
20,03
Diploma I/II/III
4,58
3,49
4,72
4,15
4,21
4,72
3,61
5,02
4,05
4,23
Universitas
9,96
9,53
10,86
10,08
12,14
10,01
9,69
11,85
10,30
12,34
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
Jumlah
Sumber : Sakernas, BPS DIY
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
17
4
Struktur penduduk bekerja di DIY didominasi oleh lapangan usaha pada sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor pertanian
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
STRUKTUR PENDUDUK BEKERJA MENURUT LAPANGAN USAHA Pasar tenaga kerja di DIY didominasi oleh empat lapangan usaha, yakni sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor pertanian; sektor jasa-jasa; dan sektor industri pengolahan. Sektor pertanian yang pada awalnya paling dominan dalam menyerap angkatan kerja secara berangsur-angsur perannya mulai tergantikan oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran yang mampu menyerap angkatan kerja sebesar 26,64 persen di bulan Februari 2014. Meskipun peranannya semakin menurun, sektor pertanian masih menjadi andalan utama untuk menyerap angkatan kerja terutama di daerah perdesaan dan di bulan Februari 2014 mampu menyerap angkatan kerja sebesar 25,42 persen. Sektor jasa-jasa dan sektor industri pengolahan masing-masing menyerap angkatan 20,75 persen dan 14,91 persen. Kedua sektor ini mengalami peningkatan peranan yang cukup signifikan dalam menyerap angkatan kerja. Keempat sektor yang lainnya (pertambangan, listrik, gas dan air bersih; konstruksi; angkutan dan komunikasi; dan keuangan) memiliki peranan yang relatif rendah, tetapi perkembangan andilnya yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan status dalam pekerjaan utama, mayoritas penduduk bekerja di DIY melakukan kegiatan kerja sebagai buruh/karyawan. Pada bulan Februari 2014, komposisi pekerja yang berstatus sebagai buruh/karyawan mencapai 41,81 persen dan selama beberapa tahun terakhir proporsinya cenderung meningkat. Proporsi pekerja yang statusnya berusaha mencapai 36,21 persen, terdiri dari berusaha sendiri (12,14 %), berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar (19,97 %) dan berusaha dibantu buruh tetap (4,1 %). Perkembangan proporsi pekerja yang berusaha sendiri dan berusaha dibantu buruh tidak tetap/tidak dibayar selama lima tahun terakhir menunjukkan pola yang semakin menurun. Proporsi penduduk bekerja yang berstatus sebagai pekerja bebas/lepas di sektor pertanian selama lima tahun terakhir semakin menurun hingga menjadi 1,28 persen, sementara proporsi pekerja bebas non pertanian juga menurun hingga sebesar 3,85 persen. Secara kasar, penurunan proporsi pekerja bebas di sektor pertanian menggambarkan kondisi sektor pertanian yang semakin jenuh untuk menampung kelebihan angkatan kerja karena lambatnya peningkatan produktivitas dan penyempitan lahan pertanian. Akibatnya, terjadi perpindahan status dari pekerja bebas di sektor pertanian menjadi pekerja lepas di sektor lainnya atau berubah menjadi pekerja tetap/buruh/pegawai atau pekerja tak dibayar. Gambar 4.3.
Gambar 4.4.
Komposisi Penduduk Bekerja di DIY menurut Status Pekerjaan Utama, Februari 2014 (Persen)
Komposisi Penduduk Bekerja di DIY menurut Lapangan Usaha, Februari 2014 (Persen)
3,85
3,78 Berusaha Sendiri
1,28 16,85 12,14
41,81
19,97
Berusaha Dibantu Buruh Tidak Tetap/Tidak Dibayar Berusaha Dibantu Buruh Tetap/Buruh Dibayar Buruh/ Karyawan
3,37
Penggalian dan LGA
4,84
26,64
Industri Pengolahan Konstruksi 20,75
14,91
Pekerja Bebas Pertanian Pekerja Bebas non Pertanian Pekerja Tak Dibayar
4,10
Pertanian
25,42
0,29
Perdagangan, Hotel dan Restoran Transportasi dan Komunikasi Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan
Sumber : Sakernas Februari 2014, BPS DIY
18
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
4
Tingkat pengangguran terbuka di DIY dalam beberapa tahun terakhir cenderung menurun, sementara tingkat setengah penganggurannya justru meningkat
id
Hal lain yang cukup menarik untuk dicermati adalah struktur pekerja menurut jam kerja per minggu. Jumlah pekerja dengan jumlah jam kerja di atas jam kerja normal (35 jam per minggu) hasil Sakernas Februari 2014 tercatat sebesar 71,10 persen. Sementara, jumlah pekerja dengan jam kerja kurang dari jam kerja normal tercatat sebesar 28,90 persen yang terdiri dari 1-14 jam sebanyak 7,36 persen dan 15-34 jam 21,54 persen. Hal ini mengindikasikan masih cukup banyak pekerja yang termasuk dalam kategori setengah pengangguran (under unemployment) karena memiliki jumlah jam kerja kurang dari jam kerja normal. Dalam beberapa tahun terakhir ada kecenderungan proporsi pekerja yang memiliki jumlah jam kerja lebih dari 35 jam per minggu semakin berkurang, sementara proporsi yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu justru semakin meningkat. Fenomena ini menunjukkan tingkat setengah pengangguran yang semakin meningkat meskipun TPT menurun secara signifikan. Artinya, penduduk yang berubah status dari pengangguran terbuka menjadi bekerja sebagian besar masih memiliki jam kerja di bawah jam kerja normal.
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
UPAH MINIMUM PROVINSI (UMP) UMP merupakan standar upah minimal yang harus dibayarkan oleh pengusaha/ perusahaan kepada karyawan/ buruh/pegawai sesuai dengan tingkat kebutuhan hidup minimum yang layak (KHL) yang berlaku di provinsi yang bersangkutan. Tujuan utama penetapan upah minimum adalah untuk menjaga daya beli penduduk akibat adanya kenaikan harga atau inflasi. Penentuan UMP dilakukan oleh Dewan Pengupahan Daerah yang terdiri dari perwakilan birokrat, akademisi dan serikat pekerja melalui survei kebutuhan hidup minimum yang dilakukan setiap tahun. UMP DIY diambil dari nilai Upah Minimum Kabupaten (UMK) yang terendah di DIY yakni UMK Kabupaten Gunungkidul. UMP menjadi isu yang sensitif karena dalam realita tidak semua perusahaan mau dan mampu melakukan pembayaran upah sesuai dengan ketentuan, sementara nilai UMP yang ditetapkan dinilai masih jauh dari kebutuhan hidup minimum yang layak dari sisi pekerja. Pada tahun 2013, UMP DIY secara nominal ditetapkan sebesar Rp 947 ribu per bulan dan meningkat menjadi Rp 989 ribu di tahun 2014. Secara nominal UMP dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan, meskipun dari sisi KHL cenderung berfluktuasi dan sangat tergantung pada tingkat harga yang berlaku. Gambar 4.5.
Gambar 4.6. Perkembangan Nilai Upah Minumum Provinsi (UMP) DIY , 2007-2014 (Rp 000)
Komposisi Penduduk Bekerja di DIY menurut Jumlah Jam Kerja per Minggu, 2011-2014 (Persen) 100
1200 1-14 Jam
90 76,05
80
15-34 Jam
73,35
1000
75,73
71,66
66,27
70
0 dan 35+ Jam 893
71,10 800
60,18
60
600
50
700
746
947
989
808
586 500
40 26,06
30 20 10
18,80
18,05 5,90
7,68
7,84
21,65 6,69
400
26,49 17,68
21,54
13,32 7,36
6,59
200
0
0 Feb'11
Ags'11
Feb'12
Ags'12
Feb'13
Ags'13
Feb'14
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Sumber : Sakernas Februari 2011-2014, BPS DIY
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
19
5
PENDIDIKAN Perkembangan beberapa indokator pendidikan di DIY menggambarkan kondisi pendidikan penduduk yang semakin meningkat, baik dari sisi capaian maupun partisipasi
Salah satu tujuan negara yang diamanahkan dalam Pembukaan UUD 1945 adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Langkah yang ditempuh oleh pemerintah untuk mewujudkannya adalah dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui jalur pendidikan baik pendidikan di dalam sekolah (formal) maupun di luar sekolah (non formal). Dalam beberapa kurun waktu terakhir, pembangunan pendidikan yang dilaksanakan telah menunjukkan kemajuan yang menggembirakan. Program Wajib Belajar Sembilan Tahun, yang didukung dengan pembangunan infrastruktur sekolah dan penyediaan tenaga pendidik yang mencukupi serta pengalokasian anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN/APBD menjadi bukti keseriusan pemerintah dalam melaksanakan amanah UUD 1945. Beberapa indikator pendidikan yang dikaji dalam sub-Bab ini diantaranya adalah rasio murid-guru, rasio murid-kelas, angka partisipasi sekolah menurut tingkatan, angka melek huruf dan rata-rata lama bersekolah penduduk.
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
RASIO MUDIR GURU DAN RASIO MURID KELAS Rata-rata jumlah murid dan guru per sekolah semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jenjang pendidikan. Pada tahun ajaran 2013/2014, setiap sekolah pada level SD rata-rata menampung sebanyak 151 murid, level SLTP 290 murid, level SLTA 302 murid dan level SMK 368 murid. Rasio murid-guru memiliki pola yang semakin menurun seiring dengan meningkatnya jenjang pendidikan, sehingga rasio murid-guru pada tingkat SD lebih tinggi dari SLTP dan rasio murid-guru di tingkat SLTP lebih tinggi dari SLTA dan SMK. Pada tahun ajaran 2013/2014, seorang guru SD rata-rata memiliki beban untuk mengajar sebanyak 13 murid. Sementara, pada tingkat SLTP; SLTA dan SMK masing masing memiliki beban mengajar sebanyak 12, 9 dan 9 murid. Perkembangan rasio murid guru pada semua tingkatan pendidikan selama delapan tahun terakhir masih berada dalam kondisi ideal dan hal ini menjadi indikasi yang baik karena ketersediaan tenaga pendidik masih tercukupi. Rasio murid-kelas pada tingkat SD berada pada kisaran 21 murid per kelas dan angka ini menggambarkan daya tampung kelas pada tingkat SD yang masih lebih rendah dibanding dengan tingkat SLTP maupun SLTA. Sementara, daya tampung pada tingkat SLTP, SLTA dan SMK di tahun 2013/2014 berada pada kisaran 26 murid per kelas. Secara umum, rasio muridkelas pada semua tingkatan kelas masih cukup ideal, karena berada pada kisaran 20-30 murid per kelas. Tabel 5.1. Rata-rata Murid dan Guru per Sekolah, Rasio Murid-Guru dan Murid-Kelas menurut Tingkat Pendidikan SD/MI (Negeri+Swasta) Tahun Ajaran
SLTP/MTS (Negeri+Swasta)
SLTA/MA (Negeri/Swasta)
SMK (Negeri/Swasta)
Rata-rata per Rasio Rasio Rata-rata per Rasio Rasio Rata-rata per Rasio Rasio Rata-rata per Rasio Rasio Sekolah Sekolah Sekolah Sekolah Murid Murid Murid Murid Murid Murid Murid Murid Murid Guru Guru Kelas Murid Guru Guru Kelas Murid Guru Guru Kelas Murid Guru Guru Kelas
2013/2014
151
11
13
21
290
24
12
27
302
33
9
26
368
39
9
26
2012/2013
153
12
13
21
283
24
12
29
300
32
9
26
378
39
10
27
2011/2012
153
12
13
18
284
25
11
28
299
34
9
27
388
40
10
29
2010/2011
153
12
13
21
294
26
11
29
297
35
9
28
395
41
10
30
2009/2010
153
12
13
22
296
26
11
30
288
34
8
28
387
41
9
30
2008/2009
152
12
13
21
295
26
11
33
292
35
8
29
347
38
9
30
2007/2008
152
11
13
22
292
26
11
33
300
35
9
30
327
35
9
31
Sumber : Diolah dari data Dinas Pendidikan DIY
20
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
Angka partisipasi sekolah pada berbagai kelompok usia mencerminkan akses dan kesempatan penduduk berusia sekolah terhadap institusi pendidikan sesuai dengan kelompok usianya
5
Gambar 5.1.
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
ANGKA PARTISIPASI SEKOLAH Angka partisipasi sekolah (APS) merupakan ukuran daya serap sistem pendidikan terhadap penduduk usia sekolah yang dihitung dari rasio antara jumlah penduduk pada kelompok usia tertentu sekolah yang bersekolah pada berbagai tingkatan dengan jumlah penduduk pada kelompok usia yang sesuai. Indikator ini berguna untuk mengetahui seberapa besar akses penduduk usia sekolah terhadap institusi pendidikan yang tersedia. Semakin tinggi nilai APS maka secara kasar mencerminkan semakin besar pula penduduk usia sekolah yang mendapat kesempatan bersekolah. APS memperhitungkan adanya perubahan komposisi penduduk terutama pada kelompok usia muda. Selain APS, partisipasi sekolah juga dapat diukur dengan angka partisipasi sekolah kasar (APK) dan murni (APM). Angka partisipasi sekolah kasar (APK) mencerminkan tingkat partisipasi penduduk secara umum pada suatu tingkat pendidikan. Sama halnya dengan APK, angka partisipasi sekolah murni (APM) juga menunjukkan partisipasi sekolah penduduk usia sekolah di tingkat pendidikan tertentu, namun angka APM lebih baik karena APM melihat partisipasi penduduk kelompok usia standar di jenjang pendidikan yang sesuai dengan standar tersebut. Berdasarkan Gambar 5.1, APS di DIY selama periode 2003-2013 memiliki pola yang menurun seiring dengan meningkatnya kelompok umur, sehingga partisipasi sekolah penduduk berusia 7-12 tahun > APS 13-15 tahun > APS 16-18 tahun>19-24 tahun. APS penduduk berusia 7-12 tahun selama satu dekade terakhir sudah stabil mendekati 100 persen dan nilai pada tahun 2013 mencapai 99,96 persen. Fenomena ini mengindikasikan masih terdapat 0,04 persen penduduk pada usia 7-12 tahun yang belum/tidak mendapat kesempatan untuk mengenyam bangku sekolah atau sudah putus sekolah. APS penduduk berusia 13-15 tahun (usia SLTP) dalam beberapa tahun terakhir juga semakin meningkat mendekati 100 persen. Pada tahun 2013, masih terdapat sekitar 3 persen penduduk berusia 13-15 tahun yang tidak/belum pernah bersekolah atau sudah putus sekolah karena berbagai alasan, meskipun kebijakan wajib belajar sembilah tahun telah dicanangkan sejak tahun 2004. Berbagai permasalahan seperti biaya pendidikan, jarak ke sekolah, membantu ekonomi keluarga atau tidak mau bersekolah karena alasan tidak mampu mengikuti menjadi alibi bagi mereka yang tidak berpartisipasi dalam sekolah. Angka Partisipasi Sekolah (APS) menurut Kelompok Penduduk Berusia Sekolah di DIY, 2003-2013 (Persen)
100
98,67
98,77
99,05
95,10
95,02
95,16
75,96
74,86
80 73,58
60 42,29
99,35
99,29
99,62
99,65
99,69
90,55
92,62
92,91
93,42
94,02
71,82
72,46
72,26
73,06
43,38
43,47
43,30
44,03
71,18
47,00 41,21
39,71
99,46
99,77
99,96
97,59
98,32
96,71
80,22
81,50
75,85
41,73
44,32
Tahukah Anda ? Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal partisipasi sekolah antara penduduk lakilaki dan perempuan pada semua jenjang pendidikan di DIY
46,73
40 7-12 20 2002
2003
2004
2005
13-15 2006
2007
16-18 2008
2009
19-24 2010
2011
2012
2013
2014
Sumber : BPS RI
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
21
5
Kesetaraan gender dalam hal mengakses pendidikan yang diukur dari angka partisipasi sekolah sampai tingkat menengah semakin mendekati harapan
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
APS penduduk berusia 16-18 tahun selama satu dekade terakhir menunjukkan pola peningkatan lebih tajam dibandingkan dengan kelompok usia lainnya, meskipun dari sisi level masih jauh di bawah kelompok usia 7-12 tahun dan 13-15 tahun. Pada tahun 2003, APS penduduk berusia 16-18 tahun tercatar sebesar 73,58 persen dan secara bertahap meningkat menjadi 81,50 persen di tahun 2013. Hal ini berarti masih terdapat sekitar 19,50 persen penduduk berusia 16-18 tahun yang tidak berpartisipasi atau berkesempatan mengenyam pendidikan sekolah pada berbagai tingkatan. Tingginya angka ini lebih banyak berkaitan dengan persoalan ekonomi seperti mahalnya biaya pendidikan pada tingkat SLTA/SMK dan belum adanya mekanisme BOS maupun keterbatasan ekonomi keluarga yang menuntut peran penduduk pada kelompok usia tersebut untuk berpartisipasi sebagai aset produksi dalam membantu ekonomi rumah tangga. Adanya pandangan dalam rumah tangga yang menganggap bahwa bersekolah sampai jenjang pendidikan dasar sembilan tahun sudah cukup juga menjadi penyebab lain. Di samping itu, persoalan aksibilitas seperti terpusatnya infrastruktur pendidikan tingkat menengah (SMA/SMK) di pusat kecamatan atau daerah perkotaan sehingga masih ada penduduk yang kesulitan untuk mengakses karena faktor jarak maupun sarana transportasi menuju sekolah juga menjadi sebab masih banyaknya penduduk pada kelompok usia ini yang tidak berpartisipasi sekolah. Sementara, level APS penduduk berusia 19-24 tahun tercatat pada kisaran 45 persen. Tingkat partisipasi sekolah juga dapat dikaji dari angka partisipasi murni yang dihitung berdasarkan jumlah penduduk yang sedang bersekolah pada jenjang sekolah yang sesuai dengan usianya dibagi dengan jumlah penduduk pada kelompok usia yang sama. Indikator ini berguna untuk melihat proporsi penduduk sekolah yang tepat waktu. Secara umum, nilai APM lebih rendah dari APK, karena APK mencakup penduduk di luar kelompok usia pada jenjang pendidikan yang bersangkutan. APM penduduk berusia SD pada tahun 2013 mencapai 98,72 persen, artinya jumlah penduduk yang berusia SD (7-12 tahun) yang sedang bersekolah pada tingkat SD mencapai 98,72 persen. Sisanya, sebanyak 1,28 persen kemungkinan belum bersekolah pada tingkat SD atau sudah bersekolah pada tingkat SLTP atau sudah putus sekolah. Selama satu dekade terakhir APM penduduk berusia SD cenderung meningkat, meskipun terlihat ada penurunan di tahun 2011 sebagai akibat dari perubahan metodologi dalam pengumpulan data Susenas dari tahunan menjadi triwulanan. Gambar 5.1. APM Penduduk DIY menurut Tingkatan, 2003-2013 (Persen)
100
80
91,98 79,06
92,55
95,46
94,38
93,53
94,32
94,38
94,76
74,94
75,31
75,34
75,55
91,98
96,03
98,72
Tahukah Anda ?
83,27 77,37
60 59,77
61,51
2003
2004
72,30
62,45 55,85
69,15
57,88
58,96
2007
2008
58,69
59,35
2009
2010
59,68
72,64
75,82
64,02
64,92
2012
2013
40 SD 20 2002
2005
2006
SLTP
SLTA 2011
2014
Partisipasi sekolah murni penduduk usiaSD di DIY menjadi yang tertinggi secara nasional, sementara pada usia SLTA berada di peringkat kedua setelah Provinsi Bali
Sumber : BPS RI
22
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
5
Masih tingginya tingkat buta huruf di DIY dipengaruhi oleh tingginya tingkat melek huruf pada kelompok penduduk di atas 45 tahun, sementara pada kelompok usia 15-45 tahun sudah mendekati nol persen
APM pada tingkat SLTP dan SLTA di tahun 2013 masing-masing sebesar 75,82 persen dan 64,92 persen. Secara umum, nilai APM semakin menurun seiring dengan meningkatnya jenjang pendidikan sehingga APM SD>SLTP>SLTA. Berdasarkan jenis kelamin, APM di semua tingkatan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hal ini mencerminkan telah tercapainya kesetaraan jender dalam hal memperoleh kesempatan pendidikan sampai level pendidikan menengah di DIY.
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
ANGKA MELEK HURUF Angka Melek Huruf (AMH) menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan pendidikan di masa lampau yang sekaligus mencerminkan kualitas pencapaian stok modal manusia di suatu wilayah. Indikator ini menggambarkan tingkat kecerdasan dan kemampuan dasar penduduk suatu wilayah dalam berkomunikasi baik secara lisan (verbal) dan secara tertulis maupun kemampuan untuk menyerap informasi dari berbagai media. AMH diukur dari proporsi penduduk 15 tahun ke atas yang mampu membaca dan menulis sebuah kalimat sederhana baik dalam huruf latin maupun huruf lainnya. Perkembangan AMH di DIY selama periode 2003-2013 menunjukkan pola yang semakin meningkat. Pada tahun 2003, AMH tercatat sebesar 85,75 persen dan secara bertahap meningkat hingga menjadi 92,86 persen di tahun 2013. Hal ini berarti sebanyak 93 persen penduduk berusia 15 tahun ke atas telah memiliki kemampuan baca tulis, sementara sisanya sebesar 7 persen masih berstatus buta huruf (tidak memiliki kemampuan baca tulis). Berdasarkan jenis kelaminnya, secara umum AMH penduduk laki-laki selalu lebih tinggi dibandingkan dengan AMH wanita. AMH penduduk laki laki pada tahun 2012 mencapai 96 persen, sementara AMH penduduk wanita baru mencapai 86,7 persen. Secara tidak langsung, fenomena tersebut menggambarkan adanya gap atau ketimpangan antar jender dalam memperoleh kesempatan pendidikan pada masa lampau. Namun demikian, selama periode satu dekade terakhir besarnya gap antara kedua kelompok sudah semakin mengecil. Dibandingkan dengan AMH secara nasional, maka AMH di DIY selama satu dekade terakhir selalu lebih rendah. Pada tahun 2003, AMH DIY tercatat sebesar 85,75 persen dan AMH nasional sebesar 89,79 persen sehingga terjadi gap sebesar 4,04 persen. Sementara, Tabel 5.2
Angka Melek Huruf Penduduk Berusia 15 Tahun ke Atas di DIY dan Nasional, 2003-2013 (Persen)
Kelompok Umur (1)
15+
15-44
45+
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
DIY
85,75 85,78 86,72 86,43 87,78 89,45 90,18 90,84 91,49 92,02 92,86
Indonesia
89,79 90,38 90,91 91,45 91,87 92,19 92,58 92,91 92,81 93,25 94,14
DIY
97,54 97,79 97,90 97,71 98,47 99,26 99,33 99,38 99,40 99,67 99,80
Indonesia
96,12 96,70 96,91 97,11 97,04 98,05 98,20 98,29 97,70 98,00 98,39
DIY
64,93 65,49 68,72 68,66 71,24 75,13 77,19 78,05 79,51 80,44 82,18
Indonesia
74,57 75,13 77,17 78,91 81,06 80,41 81,32 81,75 82,11 82,80 84,76
Sumber : BPS RI
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
23
5
Pencapaian rata-rata lama sekolah penduduk berada pada level 9,38 tahun. sehingga secara rata-rata penduduk telah menyelesaikan pendidikan setingkat lulus SLTP
ar ta .b ps
.g o.
id
AMH DIY pada tahun 2013 tercatat sebesar 92,86 persen dan AMH nasional sebesar 94,14 persen atau terjadi gap sebesar 1,28 persen. Fenomena tersebut menggambarkan secara level AMH di DIY memang lebih rendah tetapi gap dari waktu ke waktu menunjukkan pola yang semakin menurun. Jika dilihat berdasarkan kelompok usia, maka terlihat cukup jelas penyebab tingginya AMH di DIY adalah andil dari AMH pada kelompok penduduk tua (>45 tahun). Pada tahun 2013, AMH pada kelompok ini tercatat sebesar 82,18 persen dan jauh lebih rendah dari AMH nasional pada kelompok umur yang sama yang sebesar 84,76 persen. Sementara, AMH penduduk DIY pada kelompok usia15-44 tahun tercatat sebesar 99,80 persen dan lebih tinggi dibandingkan dengan AMH nasional pada kelompok umur yang sama yang sebesar 98,39 persen. Jadi persoalan tingginya tingkat buta huruf di DIY lebit terkait dengan komposisi penduduk berusia tua. Di satu sisi komposisi penduduk berusia tua cukup besar sebagai hasil dari angka harapan hidup yang tinggi, sementara di sisi yang lain sebagian besar dari penduduk tersebut berstatus belum melek huruf sebagai akibat program pendidikan yang belum menjangkau mereka pada masa lalu. Secara alamiah, komposisi penduduk berusia tua tersebut akan semakin berkurang sehingga nilai AMH secara umum akan semakin meningkat.
ht
tp
://
yo gy
ak
RATA-RATA LAMA SEKOLAH Kualitas modal manusia juga dapat dilihat dari Rata-rata Lama Sekolah (RLS) yang ditempuh oleh penduduk berusia produktif (15 tahun ke atas). Semakin tinggi RLS di suatu daerah menggambarkan kualitas modal manusia yang semakin membaik, sehingga produktivitas perekonomian daerah juga bisa meningkat. Perkembangan RLS penduduk berusia 15 tahun ke atas di DIY selama periode 20042013 menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat. Pada tahun 2004, RLS tercatat sebesar 8,22 tahun atau setara dengan kelas 8 SLTP. Angka tersebut meningkat hingga mencapai 9,33 tahun atau setara dengan lulus jenjang SLTP sederajad pada tahun 2013. Angka tersebut menggambarkan secara-rata-rata penduduk berusia produktif di DIY telah menyelesaikan pendidikan dasar sembilan tahun. Gambar 5.2
Rata-rata Lama Sekolah Penduduk Berusia 15 Tahun ke Atas di DIY dan Nasional, 2004-2013 (Tahun) 10
DIY
Nasional
9
8 7,24
7,30
7,40
7,47
Tahukah Anda ?
8,78
8,71
8,59
8,50
8,38
8,22
9,33
9,21
9,20
9,07
7,52
7,72
7,92
7,94
8,08
8,14
7
Rata-rata lama sekolah penduduk DIY berada di peringkat keempat secara nasional setelah Provinsi DKI Jakarta, Kepulauan Riau dan Kalimantan Timur
6 2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Sumber : Data IPM, BPS RI
24
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
Capaian rata-rata lama sekolah penduduk DIY yang lebih tinggi dari level nasional menggmbarkan kualitas modal manusia di DIY yang lebih baik
5
Selama periode 2004-2013, RLS penduduk DIY cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan RLS penduduk pada level nasional. RLS penduduk pada level nasional di tahun 2004 tercatat sebesar 7,24 tahun, sehingga gap dengan RLS penduduk DIY sebesar 0,98 tahun. Selama tahun 2013, RLS penduduk pada level nasional meningkat hingga 8,14 tahun. Namun peningkatan RLS penduduk nasional tersebut masih lebih lambat dibandingkan peningkatan RLS penduduk DIY sehingga gapnya meningkat hingga sebesar 1,19 tahun. Fenomena ini secara kasar menggambarkan kualitas modal manusia di DIY yang lebih baik dibandingkan dengan kualitas modal manusia secara nasional. Dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain, RLS penduduk DIY di tahun 2013 berada diperingkat keempat tertinggi setelah Provinsi DKI Jakarta, Kepulauan Riau dan Kalimantan Timur. Gambar 5.3
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
Universitas Gajah Mada (Institusi Pendidikan Tinggi Kebanggaan Masyarakat DIY)
ht
Sumber : www.cimpa2011.ugm.ac.id
Sumber : wradarsuperindo.wordpress.com
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
25
6
KESEHATAN Misi pembangunan kesehatan adalah untuk meningkatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas, merata dan terjangkau
Misi pembangunan di bidang kesehatan adalah untuk meningkatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas, merata dan terjangkau dengan sasaran terwujudnya masyarakat yang hidup dalam lingkungan sehat dan berperilaku hidup sehat serta meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang berkualitas secara adil dan merata di seluruh wilayah Republik Indonesia. Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengkaji implementasi dari program pembangunan kesehatan yang telah dilakukan diantaranya adalah melalui ketersediaan infrastruktur dan tenaga kesehatan, kemudahan penduduk dalam mengakses sarana yang tersedia, angka kematian bayi, angka harapan hidup, angka kesakitan dan lainnya.
Tabel 6.1.
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
INFRASTRUKTUR DAN AKSES KESEHATAN Infrastruktur kesehatan yang tersedia di DIY mencakup rumah sakit, rumah bersalin, puskesmas/puskesmas pembantu/puskesmas keliling, balai pengobatan dan apotek. Tenaga kesehatan yang tersedia terdiri dari dokter, bidan, perawat, mantra, tabib, dan lainnya. Pada tahun 2013, jumlah rumah sakit tercatat sebanyak 72 unit yang terdiri dari 13 rumah sakit pemerintah dan 59 swasta, termasuk rumah sakit khusus. Total kapasitas tempat tidur yang tersedia sebanyak 6.393 unit. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, maka tuntutan penyediaan rumah sakit maupun kapasitas tempat tidur menjadi sebuah keharusan untuk menjaga standar pelayanan kepada masyarakat. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, jumlah rumah sakit bertambah sebanyak 6 unit terdiri dari rumah sakit swasta. Kapasitas tempat tidur di rumah sakit juga meningkat sebesar 8,58 persen. Dari sisi aksibilitas, rasio rumah sakit per 100.000 penduduk mencapai 2 unit. Artinya, terdapat 2 unit rumah sakit untuk setiap 100.000 penduduk atau satu rumah sakit rata-rata menanggung pelayanan 49.929 jiwa penduduk. Rasio kapasitas tempat tidur per 100.000 penduduk mencapai 178 tempat tidur atau satu tempat tidur rata-rata digunakan untuk melayani sebanyak 562 orang. Kondisi ini sedikit lebih baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Namun demikian, persebaran fasilitas kesehatan rumah sakit di DIY masih belum merata dan terpusat di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman dengan jumlah masing-masing sebanyak 19 dan 26 unit. Sementara, keberadaan rumuh sakit di Kabupaten Kulonprogo dan Gunungkidul masih terbatas dengan jumlah masing-masing 8 dan 5 unit.
Jumlah Fasilitas/Sarana Kesehatan di DIY , Rasio per 100.000 Penduduk dan Jangkauan per Fasilitas
2009 Rumah Sakit
Rasio Per 100 000 Penduduk
Jumlah Sarana/Fasilitas
Fasilitas Kesehatan
2010
2011
2012
2013
2011
2011
2012
2013
2,00
55.354
53.254
49.929
6.393 160,24 167,52 177,84
624
597
562
63
63
66
3.751
5.191
5.588
5.888
53
71
71
70
70
2,04
1,99
1,95
49.117
50.211
51.356
Balai Pengobatan
177
181
181
181
181
5,19
5,15
5,03
19.267
19.419
19.861
Puskesmas/Puskestu /Puskesling
580
558
578
576
579
16,57
16,39
16,11
6.033
6.102
6.209
Apotek
381
428
428
464
526
12,27
13,20
14,63
8.148
7.575
6.834
Rumah Bersalin
1,81
1,88
2013
60
Kapasitas Tempat Tidur Rumah Sakit
72
2012
Jangkauan Pelayanan Per Fasilitas
Sumber : Diolah dari data Dinas Kesehatan DIY
26
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
Angka kematian bayi yang semakin menurun dan harapan hidup yang semakin meningkat menggambarkan derajat kesehatan penduduk terutama ibu dan anak yang semakin meningkat
6
.g o.
id
Tidak semua orang yang sakit mampu dilayani oleh rumah sakit akibat keterbatasan sarana maupun tingkat penyebarannya yang tidak merata. Untuk mengurangi beban rumah sakit dalam memberikan fasilitas pelayanan kesehatan dasar pemerintah mendirikan fasilitas Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di daerah setingkat kecamatan. Sementara, untuk melayani penduduk di daerah yang terpencil juga didirikan puskesmas pembantu dan puskesmas keliling serta mengaktifkan peran posyandu pada level pedukuhan. Pada tahun 2013, terdapat 579 unit puskesmas/puskestu/puskesling yang tersebar di lima kabupaten/kota di DIY dengan rincian puskesmas sebanyak 121 unit, puskestu sebanyak 321 unit dan puskesling sebanyak 137 unit. Kemudahan dalam mengakses puskesmas dapat dilihat dari nilai rasio puskesmas/puskestu/puskesling per 100.000 penduduk. Pada tahun 2013, nilai rasionya mencapai 16,11 yang berarti setiap satu unit sarana yang tersedia memiliki beban untuk melayani penduduk sebanyak 6.209 jiwa penduduk. Dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya ketersediaan saran puskesmas semakin tercukupi dan beban pelayanannya juga masih tercukupi.
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
ANGKA KEMATIAN BAYI Selain infrastruktur kesehatan, Indikator lain yang sering digunakan untuk mengkaji derajat kesehatan masyarakat adalah Angka Kematian Bayi/AKB (Infant Mortality Rate/IMR) dan angka harapan hidup (AHH). Nilai kedua indikator tersebut paling ideal dihitung dari hasil sensus penduduk, namun sensus penduduk dilakukan sepuluh tahun sekali sehingga penghitungan kedua indikator dapat dilakukan melalui metode tidak langsung. Indikator lain yang dapat digunakan untuk mengkaji perkembangan di bidang kesehatan adalah kondisi persalinan, pola pemberian ASI, imunisasidan angka kesakitan (morbidity rate). Perkembangan angka kematian bayi selama kurun waktu satu dekade terakhir menunjukkan tren yang semakin menurun. Secara tidak langsung, fenomena ini mengindikasikan adanya peningkatan derajat kesehatan masyarakat terutama ibu dan bayi. Penurunan tren kematian bayi sangat berkaitan dengan meningkatnya pengetahuan ibu tentang kehamilan, kesehatan serta gizi bayi dan balita maupun fasilitas dan kualitas tenaga penolong persalinan. Hasil SP 2010 mencatat angka kematian bayi di DIY sebesar 16, artinya terdapat 16 kasus kematian bayi dari setiap 1000 kelahiran hidup. Angka tersebut lebih Gambar 6.1.
Gambar 6.2.
Angka Kematian Bayi per 1000 Kelahiran Hidup di DIY, 2000-2010 (Jiwa)
Penolong Persalinan Pertama di DIY, 2009-2013 (Persen)
30 25
Non Medis 100%
24 20
20
Tenaga Medis 3,47
0,40
4,10
2,78
2,19
95,90
97,22
97,81
96,53
99,60
2009
2010
2011
2012
2013
90%
19 16
15
80% 70%
10
60%
5
50%
0
40% SP 2000
SDKI 2002
SDKI 2007
SP 2010
Sumber : Sensus Penduduk, BPS
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
Sumber : Susenas, BPS
27
6
Turunnya angka kematian bayi di DIY didorong oleh perbaikan kualitas persalinan, gizi balita, imunisasi dan meningkatnya pengetahuan ibu terkait dengan perawatan balita
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
rendah dibandingkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 yang sebanyak 19 per 1000 kelahiran hidup maupun hasil SP 2000 yang sebanyak 24 per kelahiran hidup. Sebagian besar kasus kematian bayi tersebut terjadi pada bulan pertama setelah bayi tersebut lahir (kematian neonatal) dengan jumlah mencapai 79 persen (SDKI 2007). Hal ini membawa implikasi pentingnya penanganan persalinan oleh tenaga penolong persalinan yang terdidik serta peningkatan pengetahuan ibu tentang tata cara perawatan bayi pasca kelahiran maupun pada masa kehamilan. Berdasarkan hasil Susenas, mayoritas proses persalinan di DIY ditangani oleh tenaga medis, seperti dokter, bidan dan tenaga medis lainnya (Gambar 6.2). Sampai dengan tahun 2013, proses persalinan pertama telah mendekati seratus persen ditangani oleh tenaga medis baik dokter, bidan maupun tenaga medis lain. Sementara, proses persalinan yang ditangani oleh tenaga non medis atau tenaga tradisional seperti dukun, keluarga dan lainnya jumlahnya sebesar 0,4 persen. Perubahan preferensi masyarakat dalam memilih tenaga penolong persalinan menjadi salah satu sebab penurunan angka kematian bayi dan hal ini juga mengindikasikan adanya kemajuan dalam pelayanan kesehatan dasar di wilayah DIY. Peran pendidikan ibu dalam menunjang kesehatan bayi dan balita juga dapat dikaji menggunakan indikator lamanya menyusui balita. Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan terbaik bagi pertumbuhan dan kesehatan bayi karena mengandung nilai gizi yang tinggi serta zat pembentuk kekebalan tubuh, sehingga semakin lama seorang bayi mendapat asupan ASI maka daya tahan tubuhnya menjadi semakin baik. Selama periode 2009-2013, sebagian besar balita berusia 2-4 tahun di DIY telah mendapat asupan ASI lebih dari 24 bulan (2 tahun) dan porsinya juga semakin meningkat dari 53,71 persen di tahun 2009 menjadi 62 persen di tahun 2013. Semakin besarnya porsi balita berusia 2-4 tahun yang mendapat asupan ASI lebih dari 24 bulan menjadi fenomena yang sangat baik dan secara tidak langsung mencerminkan peningkatan pengetahuan ibu menyusui terkait dengan manfaat ASI bagi bayi mereka. Porsi terbesar selanjutnya adalah mereka yang mendapat asupan ASI antara 1823 bulan, jumlahnya sebesar 20,40 persen. Hal yang harus menjadi perhatian adalah masih terdapat balita berusia 2-4 tahun yang mendapat asupan ASI kurang dari 5 bulan dengan porsi sebesar 5,18 persen. Gambar 6.3.
Gambar 6.4.
Komposisi Balita Berusia 2-4 Tahun di DIY menurut Lamanya Disusui, 2009-2013 (Bulan) <=5
6-11
12-17
18-23
>=24
Lamanya Diberi ASI
100%
25
80%
20
53,71
55,66
56,78
54,77
40% 20% 0%
19,76
20,51
20,53
21,19
16,39
15,38 12,25
12,17
10 20,40 5
15,78
12,08
11,91
12,29
4,20 5,97
5,91 6,59
5,86 4,93
5,26 7,15
7,55 4,86 5,18
2009
2010
2011
2012
2013
Sumber : Diolah dari Data Susenas, BPS
ASI dengan Makanan Pendamping
16,73
15
20,35
ASI Eksklusif
19,90 16,50
62,00
60%
28
Rata-rata Pemberian ASI dan Makanan Tambahan Balita Berusia 2-4 Tahun di DIY, 2010-2013 (Bulan)
4,33
4,48
4,52
4,81
2010
2011
2012
2013
0
Sumber : Diolah dari Data Susenas, BPS
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
6
Secara level angka harapan hidup di DIY termasuk dalam kategori tinggi, sehingga mendorong tingginya level pencapaian pembangunan manusia
Rata-rata lama periode menyusui balita berusia 2-4 tahun di DIY pada tahun 2013 tercatat sebesar 21,19 bulan. Angka ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan dengan beberapa periode sebelumnya yang masih berada pada level 16,5 bulan. Secara umum, lama periode menyusui bagi balita dapat dibagi menjadi dua yakni pemberian ASI saja tanpa makanan tambahan (ASI eksklusif ) dan pemberian ASI ditambah dengan makanan tambahan. Periode pemberian ASI eksklusif bagi balita berusia 2-4 tahun selama beberapa tahun terakhir memiliki rata-rata di atas empat bulan, artinya sudah lebih dari ketentuan Departemen Kesehatan. Sementara, periode pemberian ASI dengan makanan tambahan memiliki rata-rata sebesar 16 bulan. Fenomena ini secara umum menggambarkan pengetahuan kaum ibu terkait dengan manfaat ASI eksklusif bagi pembentukan kekebalan tubuh alami balita yang semakin meningkat.
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
USIA HARAPAN HIDUP PENDUDUK Meningkatnya derajat kesehatan penduduk akan ditandai oleh semakin bertambahnya usia harapan hidup penduduk pada saat lahir (e0). Pada tahun 2002, angka harapan hidup penduduk DIY mencapai 72,4 tahun. Hal ini berarti perkiraan rata-rata yang usia akan dijalani oleh seorang bayi yang dilahirkan hidup pada tahun 2002 hingga akhir hayatnya adalah 72,4 tahun. Secara bertahap, usia harapan hidup penduduk DIY terus meningkat hingga mencapai 73,62 tahun pada tahun 2013. Dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain atau rata-rata secara nasional, maka angka harapan hidup penduduk DIY termasuk dalam kelompok yang tertinggi. Angka Harapan hidup pada level nasional di tahun 2013 tercatat sebesar 70,07 tahun atau memiliki gap 3,55 tahun dengan angka harapan hidup DIY. Secara umum, tingginya angka harapan hidup penduduk DIY disebabkan oleh faktor gaya hidup (life style) yang dikenal low profile disamping faktor perbaikan kualitas kesehatan dan gizi masyarakat yang mendorong penurunan angka kematian bayi dan balita maupun aspek kemudahan dalam mengakses sarana/fasilitas dan tenaga kesehatan yang tersedia.
tp
Gambar 6.5.
ht
Angka Harapan Hidup Penduduk Saat lahir (e0) di DIY dan Nasional, 2004-2013 (Tahun) 80 75 70
72,6 67,6
72,90 68,08
DIY
73,00 68,47
73,10 68,70
Nasional 73,11 69,00
73,16 69,21
73,22 69,43
73,27 69,65
73,33 69,87
73,62 70,07
65 60 55 50 2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Sumber : IPM 2004-2013, BPS
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
29
7
PEMBANGUNAN MANUSIA Pembangunan manusia dimaknai sebagai upaya perluasan pilihan bagi penduduk sekaligus sebagai taraf yang dicapai dari upaya tersebut
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
Pembangunan manusia menjadi isu utama yang mewarnai proses pembangunan sosial ekonomi di level nasional maupun regional selama lebih dari dua dekade terakhir. Bahkan pada level internasional, pembangunan manusia juga menjadi topik sentral sesuai dengan amanat Millenium Development Goals (MDGs). Deklarasi MDGs ditandatangani oleh 124 negara pada September tahun 2000 dan menghasilkan delapan butir kesepakatan. Dalam deklarasi tersebut tersirat bahwa penanggulangan kemiskinan dan upaya pemenuhan kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan merupakan prioritas utama dengan menempatkan manusia menjadi obyek sasarannya. Keberpihakan ini tentu saja tidak cukup tertuang dalam komitmen, namun memerlukan implementasi yang nyata. Pemerintah Republik Indonesia dalam sekup nasional maupun regional sangat gencar melaksanakan program pembangunan yang menyangkut pembiayaan untuk mengangkat kondisi sosial ekonomi masyarakat khususnya yang berpendapatan rendah. Program yang bersifat intervensi dianggap sangat perlu mengingat terbatasnya akses penduduk miskin terhadap faktor-faktor produksi maupun layanan pendidikan dan kesehatan. Dalam bidang pendidikan, pemerintah mengalokasikan anggaran minimal sebesar 20 persen dari APBN pusat maupun APBD daerah provinsi/kabupaten/kota. Salah satu program yang dilakukan adalah Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk membantu penyelenggaraan pendidikan di level pendidikan dasar sembilan tahun. Di bidang kesehatan, pemerintah meluncurkan program jaminan kesehatan bagi keluarga miskin (Jamkeskin), sehingga masyarakat berpendapatan rendah dapat memperoleh layanan kesehatan secara gratis di puskesmas ataupun fasilitas kelas III pada rumah sakit pemerintah. Untuk mengevaluasi perkembangan capaian pembangunan tersebut dibutuhkan sebuah indikator yang mampu merangkum semua aspek dari pembangunan manusia dan salah satu dari indikator tersebut adalah Indeks Pembangunan manusia (IPM). Gambar 7.1.
ht
tp
://
Delapan Butir Komitmen dalam Millenium Development Goals
30
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
IPM merupakan indeks komposit yang mewakili tiga dimensi pembangunan, yakni panjang umur, dimensi pengetahuan dan dimensi penghidupan yang layak
7
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
Pada awalnya, banyak pihak yang menganggap pembangunan identik dengan pertumbuhan ekonomi. Pada era 1970-an dunia mengenal indeks PDB atau Produk Nasional Bruto (PNB) yang digunakan sebagai indikator tunggal untuk menilai besarnya kekayaan negara. Logikanya, semakin tinggi PDB suatu negara maka semakin besar pula penghasilan penduduk dan semakin sejahtera negara itu. Namun, ternyata ada kesenjangan antara skala PDB dengan kondisi nyata dalam masyarakat. Beberapa negara mencatat indeks PDB dan pertumbuhan yang cukup mengesankan, namun kemudian diketahui masih banyak penduduknya yang tidak bisa membaca. Dalam perkembangannya, muncul pandangan proses pembangunan tidak sekedar merepresentasikan aspek ekonomi dalam mengejar akselerasi pertumbuhan, namun memiliki aspek yang lebih luas yakni menyangkut transformasi struktur perekonomian, sosial dan kultural, kelembagaan, serta sikap dan mental berfikir masyarakat. Tujuan terpenting dari proses pembangunan adalah meningkatkan standar kehidupan masyarakat, mengurangi kemiskinan serta memperluas pilihan ekonomi dan sosial yang membebaskan dari sifat ketergantungan (Todaro dan Smith, 2006). Stewart, Streeten, dan Hicks (1981) merumuskan metode pengukuran kebutuhan dasar manusia, yang dipertegas oleh Amartya Sen (1985) melalui kritiknya terhadap skala Pendapatan Nasional Bruto (GNP). Menurut Sen, taraf hidup manusia tidak boleh hanya dipandang dari sekedar tingkat pendapatan, namun juga kualitas hidup yang dimilikinya. Akhirnya tahun 1995, Mahbub Ul-Haq, ilmuwan Pakistan yang bekerja di UNDP mengembangkan pemikiran Sen menjadi sebuah indikator progres ekonomi baru yang dikenal dengan Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia. IPM merupakan indeks gabungan antara indikator sosial yang terdiri dari angka harapan hidup pada saat lahir (dimensi kesehatan), angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas (dimensi pendidikan) dan indikator ekonomi yang diukur dengan pengeluaran per kapita yang telah disesuaikan (dimensi daya beli). Salah satu kegunaan dari angka indeks ini adalah untuk mengukur tingkat kemajuan pembangunan manusia di suatu wilayah/negara serta membandingkannya dengan wilayah lain. IPM mempunyai ruang lingkup yang jauh lebih sempit dan hanya dapat mengukur sebagian kecil dari aspek pembangunan manusia. Masih banyak aspek yang sangat sulit diukur atau dikumpulkan datanya, bahkan kalaupun itu bisa dikumpulkan akan sulit untuk menggabungkan informasi tersebut menjadi indeks gabungan. IPM juga dikritik karena ketidakmampuannya dalam mengukur dampak kerusakan lingkungan yang diakibatkan proses pembangunan. Tabel 7.1. Dimensi Indeks Pembangunan Manusia dan Indikator Penyusunnya
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
31
7
Pencapaian IPM Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2013 berada pada level 77,37 dan menduduki peringkat kedua tertinggi setelah DKI Jakarta
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
Perkembangan nilai IPM DIY selama periode 1996-2013 menunjukkan pola yang semakin meningkat. Pada tahun 1996, nilai IPM DIY tercatat sebesar 71,8 dan menempati peringkat kedua secara nasional setelah Provinsi DKI Jakarta. Nilai IPM DIY pada tahun 1999 mengalami penurunan yang cukup tajam hingga mencapai level 68,7 sebagai dampak dari krisis ekonomi 1997/1998. Krisis ekonomi yang melanda wilayah Indonesia mulai pertengahan tahun 1997 memberi dampak yang luar biasa terhadap kondisi sosial ekonomi penduduk sampai di wilayah regional DIY. Selama masa itu nilai tukar rupiah mengalami depresiasi tajam hingga menyentuh level Rp 15.000,- per 1 US$, laju inflasi Kota Yogyakarta tercatat mencapai level 17,72 persen di tahun 1997 kemudian meningkat tajam menjadi 77,46 persen di tahun 1998 dan pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif. Hal ini berpengaruh besar terhadap penurunan daya beli (paritas) penduduk terhadap komoditas barang dan jasa kebutuhan rumah tangga, sehingga tingkat konsumsi riil penduduk juga menurun dan indeks daya beli juga menurun. Pasca krisis ekonomi 1997/1998, kondisi perekonomian sedikit membaik meskipun belum sepenuhnya pulih. Hal ini berpengaruh terhadap pencapain IPM DIY tahun 2002 yang sedikit meningkat menjadi 70,8. Mulai titik itu, secara berangsur-angsur IPM DIY menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat hingga mencapai level 77,37 di tahun 2013. Fenomena ini menggambarkan kualitas pembangunan manusia yang semakin membaik dari waktu ke waktu. UNDP membagi status wilayah berdasarkan angka IPM yang dimilikinya menjadi empat kategori, rendah (angka IPM < 50), menengah bawah (IPM antara 50-66), menengah atas (IPM antara 66-80) serta tinggi (IPM lebih dari 80). Sejak tahun 19962013 angka IPM DIY berada pada kategori menengah atas. Secara umum, perkembangan IPM DIY selama tahun 1996-2013 memiliki pola yang sama dengan dengan angka IPM nasional. Namun demikian, level IPM DIY masih jauh di atas level IPM nasional. Hal ini mengisyaratkan level pencapaian pembangunan manusia di DIY yang relatif lebih baik dibandingkan dengan rata-rata pencapaian pembangunan manusia secara nasional. Berdasarkan levelnya, angka IPM DIY pada tahun 2013 berada di peringkat
tp
Gambar 7.2.
ht
Perkembangan IPM DIY dan Nasional, 1996-2013 85
DIY
NAS
80
75
73,50
73,70
74,15
75,77
76,31
72,27
72,77
73,29
73,81
2010
2011
2012
2013
70,8 68,7
70
65
72,9
71,8
68,7
67,7 64,3
77,37
75,23
76,75
74,88
70,1
71,17
69,57
70,59
71,76
2005
2006
2007
2008
2009
65,8
60
55 1996
1999
2002
2004
Sumber : IPM 1996-2013, BPS
32
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
Pencapaian IPM pada level kabupaten/kota di DIY memberi gambaran yang kontras, satu sisi ada daerah yang memiliki level IPM tinggi dan di sisi yang lain ada yang masih rendah
7
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
kedua tertinggi secara nasional setelah Provinsi DKI Jakarta. Peringkat ini membaik setelah sebelumnya selalu berada di peringkat keempat tertinggi sesudah Provinsi DKI Jakarta, Sulawesi Utara serta Riau sejak tahun 2008. Perbedaan laju perubahan IPM selama periode waktu tertentu dapat diukur menggunakan rata-rata reduksi shortfall per tahun. Nilai shortfall mengukur keberhasilan dipandang dari segi jarak antara apa yang telah dicapai dengan apa yang harus dicapai, yaitu jarak dengan nilai maksimum. Nilai reduksi shortfall IPM DIY selama periode 2012-2013 tercatat sebesar 2,67. Pencapaian pembangunan manusia di semua kabupaten/kota DIY pasca krisis ekonomi 1997/1998 menunjukkan perkembangan yang semakin membaik. Hal ini terlihat dari nilai IPM selama periode 1999-2012 di semua kabupaten/kota yang cenderung meningkat secara bertahap. Secara umum, kualitas pembangunan manusia yang tertinggi dicapai oleh Kota Yogyakarta dan diikuti oleh Kabupaten Sleman dan Bantul. Sebaliknya, pencapaian pembangunan manusia di Kabupaten Gunungkidul selama satu dekade terakhir selalu berada di peringkat terakhir. Pencapaian IPM di seluruh kabupaten di DIY sampai dengan tahun 2013 termasuk dalam kategori “menengah sedang” atau memiliki nilai IPM antara 6680, bahkan khusus untuk Kota Yogyakarta termasuk dalam kategori “tinggi” karena memiliki nilai IPM di atas 80. IPM tertinggi tahun 2013 masih disandang oleh Kota Yogyakarta dengan nilai 80,51. Posisi selanjutnya adalah Kabupaten Sleman (IPM sebesar 79,97) dan Bantul (IPM sebesar 76,01). Sebaliknya, IPM terendah terjadi di Gunungkidul dengan nilai 71,64. Gambaran perbandingan pencapaian IPM Kabupaten Gunungkidul dengan Kota Yogyakarta menjadi sebuah perbandingan yang kontras. Fenomena ini secara tidak langsung menggambarkan adanya kesenjangan yang cukup lebar dalam hal pembangunan ekonomi dan sosial antar wilayah di DIY. Ke depan, perlu dipikirkan upaya-upaya yang lebih intensif untuk mengurangi kesenjangan ini. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah melalui pengembangan infrastruktur dan ekonomi yang berbasis lokal. Gunungkidul dikenal sebagai wilayah yang memiliki potensi wisata alam yang luar biasa, sehingga jalinan kerja sama antara pemerintah selaku fasilitator dengan pihak swasta maupun masyarakat untuk pengembangan potensi ini menjadi penting untuk dilakukan. Kegiatan investasi yang masih terpusat di Kota Yogyakarta dan sekitarnya harus diperluas cakupannya dan diarahkan untuk pengembangan wilayahwilayah yang memiliki potensi tetapi infrastrukturnya masih tertinggal. Tabel 7.2. Perkembangan IPM menurut Kabupaten/Kota di DIY, 1999-2013 Kabupaten/Kota 1999 2002 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Kulonprogo
66,39 69,41 70,92 71,50 72,01 72,76 73,26 73,77 74,49 75,04 75,33 75,95
Bantul
65,83 68,41 71,50 71,95 71,96 72,78 73,38 73,75 74,53 75,05 75,51 76,01
Gunungkidul
63,58 67,10 68,86 69,27 69,44 69,68 70,00 70,17 70,45 70,84 71,11 71,64
Sleman
69,83 72,70 75,10 75,57 76,22 76,70 77,24 77,70 78,20 78,79 79,39 79,97
KotaYogyakarta
73,40 75,30 77,42 77,70 77,81 78,14 78,95 79,28 79,52 79,89 80,24 80,51
DIY
68,67 70,78 72,91 73,50 73,70 74,15 74,88 75,23 75,77 76,31 76,75 77,37
Sumber : IPM 1999-2013, BPS
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
33
8
KEMISKINAN Pengukuran kemiskinan di Indonesia menggunakan pendekatan ekonomi, garis kemiskinan absolut merepresentasikan nilai kebutuhan miniimum makanan dan minuman yang diperlukan untuk dapat hidup secara layak
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
Proses pembangunan yang dilakukan di semua wilayah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Kesejahteraan yang dimaksud tidak semata-mata diukur dari aspek tinggi atau rendahnya pendapatan perkapita maupun tingkat pertumbuhannya, tetapi juga menyangkut aspek penurunan tingkat kemiskinan dan pemerataan pendapatan yang diterima penduduk. Tingkat kemiskinan menjadi tolok ukur utama kesejahteraan penduduk di suatu wilayah, semakin tinggi tingkat kemiskinan mencerminkan tingkat kesejahteraan yang semakin memburuk dan semakin rendah tingkat kemiskinan mencerminkan kesejahteraan penduduk yang semakin membaik. Deklarasi MDG’s yang ditandatangani di pertengahan tahun 2000 menempatkan penanggulangan kemiskinan dan kelaparan sebagai komitmen pertama dengan sasaran mengurangi hingga setengah dari jumlah orang yang berpenghasilan di bawah US $1 sampai US $2 per hari dan mereka yang menderita kelaparan di akhir tahun 2015. Fakta ini menyiratkan bahwa kemiskinan merupakan masalah yang sangat mendesak untuk diatasi dan ditanggulangi. Dimensi kemiskinan tidak hanya menyangkut aspek ekonomi saja, namun juga menyangkut aspek sosial dan kultural, dengan kata lain kemiskinan bersifat multidimensional. Meskipun demikian, metode pengukuran kemiskinan yang digunakan di banyak negara termasuk Indonesia sampai saat ini masih bertumpu pada pendekatan ekonomi baik pendekatan income/kekayaan maupun pengeluaran/konsumsi. Konsep kemiskinan yang digunakan di Indonesia mengacu pada pendekatan pengeluaran yang didasarkan pada pendekatan kebutuhan dasar minimum (basic needs approach). Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang yang mencakup kebutuhan makanan yang disetarakan dengan 2100 kalori perkapita per hari ditambah dengan kebutuhan non makanan (pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya) yang disebut dengan garis kemiskinan. Seseorang dikatakan miskin apabila memiliki pengeluaran per bulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan dihitung dalam bentuk absolut berdasarkan survei pengeluaran rumah tangga (Susenas) modul konsumsi, sementara dan angka kemiskinan diestimasi berdasarkan data Susenas kor secara berkala.
ht
tp
PERKEMBANGAN GARIS KEMISKINAN DIY Perkembangan garis kemiskinan di DIY selama periode 2002-2014 menunjukkan tren yang semakin meningkat seiring dengan kenaikan harga barang dan jasa kebutuhan rumah tangga atau inflasi. Pada tahun 2002, nilai nominal kebutuhan dasar minimum (garis Tabel 8.1. Perkembangan Garis Kemiskinan DIY dan Nasional menurut Wilayah, 2002-2013 (Rp 000) Daerah
DIY
Indonesia
Mar'02 Mar'03 Mar'04 Mar'05 Mar'06 Mar'07 Mar'08 Mar'09 Mar'10 Mar'11 Sep'11 Mar'12 Sep'12 Mar'13 Sep'13 Mar'14 K
123,90 137,13 148,25 160,69 196,41 200,86 208,66 228,24 240,28 265,75 273,68 274,66 284,55 297,39 317,93 327,27
D
103,01 106,80 114,67 130,81 148,52 156,35 169,93 182,71 195,41 217,92 226,77 231,86 241,98 256,56 275,79 286,14
K+D
113,00 127,09 134,37 148,48 170,72 184,97 194,83 211,98 244,26 249,63 257,91 260,17 270,11 283,45 303,84 313,45
K
130,50 138,80 143,46 150,80 174,29 187,94 204,90 222,12 232,99 253,02 263,59 267,41 277,38 289,04 308,83 318,51
D
96,51 105,89 108,73 117,26 130,58 146,84 161,83 179,84 192,35 213,40 223,18 229,23 240,44 253,27 275,78 286,10
K+D
108,89 118,55 122,78 129,11 152,00 166,70 182,64 200,26 211,73 233,74 243,73 248,71 259,52 271,63 292,95 302,74
Sumber : BPS, Beberapa Terbitan
34
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
8
Masih tingginya level kemiskinan di DIY dan lambatnya pengentasan kemiskinan salah satunya disebebkan oleh heterogenitas karakteristik kemiskinan pada level kabupaten/kota
id
kemiskinan) di DIY ditetapkan sebesar Rp 113,- ribu per kapita per bulan. Nilai ini terus meningkat menjadi Rp 313,- ribu di bulan Maret 2014. Secara umum, garis kemiskinan di DIY selalu lebih tinggi dari garis kemiskinan pada level nasional. Berdasarkan wilayah, nilai nominal garis kemiskinan juga menunjukkan perkembangan yang semakin meningkat baik di daerah perkotaan maupun perdesaan. Peningkatan ini terkait dengan kenaikan harga barang dan jasa kebutuhan rumah tangga (inflasi) yang terjadi setiap tahun. Tabel 8.1 menggambarkan garis kemiskinan yang memiliki pola semakin meningkat, dan nilai nominal garis kemiskinan di daerah perkotaan selalu lebih tinggi dibandingkan dengan daerah perdesaan. Secara umum, garis kemiskinan di DIY baik di wilayah perkotaan maupun perdesaan selalu lebih tinggi dibandingkan dengan garis kemiskinan nasional. Faktor ini menjadi salah satu penyebab level kemiskinan (persentase penduduk miskin) di DIY yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan angka nasional, karena ukuran kemiskinan sangat sensitif dengan garis kemiskinan yang digunakan.
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DIY Pola perkembangan jumlah penduduk miskin atau headcount (jiwa) di DIY selama periode 2000-2014 menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun. Pada tahun 2000, jumlah penduduk miskin tercatat sebanyak 1.035,8 ribu jiwa dengan persentase (HCI) sebesar 33,39 persen. Tingginya level kemiskinan pada saat itu dipengaruhi oleh dampak krisis ekonomi 1997/1998 yang belum sepenuhnya pulih. Secara bertahap, jumlah penduduk miskin maupun persentasenya semakin menurun hingga mencapai jumlah 544,9 ribu jiwa atau sebesar 15,0 persen di bulan Maret 2014. Meskipun demikian, berdasarkan data series selama periode 2000-2014 jumlah penduduk miskin terlihat beberapa kali mengalami peningkatan. Pada tahun 2003, 2005 dan 2006 jumlah penduduk miskin meningkat cukup signifikan sebagai dampak dari fenomena kenaikan harga/inflasi yang cukup tinggi terutama berkaitan dengan kenaikan harga bahan bakar minyak/energi. Tingginya laju inflasi berimplikasi pada kenaikan garis kemiskinan, sehingga secara otomatis jumlah penduduk miskin (jiwa) juga meningkat. Sejak tahun 2008, persentase penduduk miskin menunjukkan pola yang semakin menurun hingga tahun 2014, namun jumlahnya terlihat meningkat di bulan September 2011, Maret 2012 dan Maret 2014. Tabel 8.2. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin/Head Count-HC(000 Jiwa) dan Persentase (Head Count Index-HCI) di DIY menurut Wilayah, Maret 2000-Maret 2014 Tahun
Perkotaan (K)
Perdesaan (D)
Kota + Desa (K+D)
HC (000) HCI (%) HC (000) HCI (%) HC (000) HCI (%)
Tahun
Perkotaan (K)
Perdesaan (D)
Kota + Desa (K+D)
HC (000) HCI (%) HC (000) HCI (%) HC (000) HCI (%)
Mar 2000
436,6
24,58
599,2
45,17
1.035,8
33,39
Mar 2009
311,5
14,25
274,3
22,60
585,8
17,23
Mar 2001
266,8
14,56
500,8
38,65
767,6
24,53
Mar 2010
308,4
13,98
268,9
21,95
577,3
16,83
Mar 2002
303,8
16,17
331,9
25,96
635,7
20,14
Mar 2011
304,3
13,16
256,6
21,82
560,9
16,08
Mar 2003
303,3
16,44
333,5
24,48
636,8
19,86
Sep 2011
298,9
12,88
265,3
22,57
564,2
16,14
Mar 2004
301,4
15,96
314,8
23,65
616,2
19,14
Mar 2012
305,9
13,13
259,4
21,76
565,3
16,05
Mar 2005
340,3
16,02
285,5
24,23
625,8
18,95
Sep 2012
306,5
13,10
255,6
21,29
562,1
15,88
Mar 2006
346,0
17,85
302,7
27,64
648,7
19,15
Mar 2013
315,5
13,43
234,7
19,29
550,2
15,43
Mar 2007
335,3
15,63
298,2
25,03
633,5
18,99
Sep 2013
325,5
13,73
209,7
17,62
535,2
15,03
Mar 2008
324,2
14,99
292,1
24,32
616,3
18,32
Mar 2014
333,0
13,81
211,8
17,36
544,9
15,00
Sumber : BPS, Beberapa Terbitan
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
35
8
Sebaran populasi penduduk miskin di DIY sebagian besar terdapat di kawasan perdesaan terutama di Kabupaten Gunungkidul, Kulonprogo dan Bantul
ar ta .b ps
.g o.
id
Berdasarkan penyebarannya, selama lebih dari satu dekade terakhir tingkat kemiskinan (persen) di daerah perdesaan selalu lebih dominan dibandingkan dengan kemiskinan di daerah perkotaan. Hal ini terlihat dari persentase penduduk miskin di daerah perdesaaan yang selalu lebih tinggi dibandingkan dengan daerah perkotaan, meskipun dari sisi jumlah penduduk miskin (jiwa) di daerah perkotaan sudah melampaui daerah perdesaan sejak tahun 2005. Perkembangan kemiskinan di daerah perkotaan mencapai level tertinggi pada tahun 2000 sebesar 24,58 persen dan menurun secara bertahap hingga menjadi 13,73 persen di bulan September 2013. Dalam rentang waktu 2000-2013 kemiskinan perkotaan mengalami kenaikan sebanyak tiga kali, yakni tahun 2002/2003 sebagai akibat dari meningkatnya harga pangan dunia di tahun 2002, pada tahun 2005/2006 sebagai dampak kenaikan harga BBM di akhir tahun 2005 dan di tahun 2013 sebagai dampak kenaikan harga BBM di pertengahan tahun 2013. Tingkat kemiskinan daerah perdesaan mencapai level tertinggi pada tahun 2000 sebesar 45,17 persen dan menurun secara bertahap hingga mencapai 23,65 persen di tahun 2004. Dampak kenaikan harga BBM di tahun 2005 memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam meningkatkan level kemiskinan di daerah perdesaan hingga mencapai 27,4 persen di tahun 2006. Pada periode berikutnya, secara bertahap tingkat kemiskinan menunjukkan pola penurunan hingga mencapai level 17,62 persen di tahun 2013.
://
yo gy
ak
PERKEMBANGAN INDEKS KEDALAMAN DAN KEPARAHAN KEMISKINAN Persoalan kemiskinan tidak sekedar mencakup urusan jumlah dan persentase penduduk miskin, tetapi juga menyangkut dimensi kedalaman (poverty gap index) dan keparahan (poverty severity index) dari kemiskinan maupun sifatnya baik persisten maupun transitory. Secara sederhana, indeks kedalaman kemiskinan (P1) menggambarkan sejauh mana pendapatan kelompok penduduk miskin menyimpang dari garis kemiskinan. Sementara, indeks keparahan kemiskinan (P2) menyatakan ketimpangan pendapatan di antara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks kedalaman dan keparahan menunjukkan persoalan kemiskinan yang semakin kronis.
ht
tp
Berdasarkan data series selama 2007-2014, terdapat kecenderungan penurunan indeks kedalaman dan indeks keparahan kemiskinan secara rata-rata maupun di daerah perkotaan dan perdesaan. Penurunan ini menjadi sinyal yang cukup mengembirakan bagi pengentasan Tabel 8.3. Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Keparahan Kemiskinan (P2) di DIY menurut Wilayah Mar'07 Mar'08 Mar'09 Mar'10 Mar'11
Tahun Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1 , %) Indeks Keparahan Kemiskinan (P2 , %)
Sep'11 Mar'12
Sep'12 Mar'13
Sep'13 Mar'14
Perkotaan (K)
3,08
2,72
2,84
2,27
1,93
1,93
3,56
2,29
2,08
2,18
2,22
Perdesaan (D)
5,08
4,49
4,74
3,89
3,67
3,54
3,29
4,07
3,02
2,03
2,11
K+D
3,80
3,35
3,52
2,85
2,51
2,48
3,47
2,89
2,40
2,13
2,19
Perkotaan (K)
0,88
0,71
0,81
0,56
0,50
0,48
1,32
0,58
0,50
0,52
0,53
Perdesaan (D)
1,55
1,29
1,46
1,02
0,93
0,81
0,79
1,09
0,63
0,34
0,40
K+D
1,12
0,92
1,04
0,73
0,65
0,59
1,14
0,75
0,55
0,46
0,48
Sumber : BPS, Beberapa Terbitan
36
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
8
Lambatnya pengentasan kemiskinan menyebabkan indeks kedalan dan indeks keparahan kemiskinan juga turun secara lambat
kemiskinan. Meskipun demikian, nilai kedua indeks sedikit meningkat di bulan Maret 2009 dan 2012. Penyebabnya adalah naiknya nilai kedua indeks di daerah perkotaan, sementara di daerah perdesaan cenderung menurun. Selama periode tersebut, indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan di daerah perdesaan selalu lebih tinggi dari daerah perkotaan, tetapi pada bulan Maret 2012, September 2013 dan maret 2014 nilai kedua indeks di daerah perdesaan justru lebih rendah. Secara umum, fenomena tingginya nilai kedua indeks di daerah perdesaan menjadi gambaran kemiskinan di perdesaan yang jauh lebih kompleks. Nilai indeks kedalaman kemiskinan dan keparahan kemiskinan DIY pada bulan Maret 2014 masing-masing mencapai 2,19 dan 0,48. Nilai ini menurun cukup signifikan dibandingkan periode bulan yang sama di tahun 2013, sehingga secara rata-rata pengeluaran penduduk miskin semakin mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin semakin menyempit.
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
SEBARAN DAN PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN MENURUT KABUPATEN/KOTA Distribusi penduduk miskin menurut wilayah kabupaten/kota di DIY menunjukkan pola yang tidak merata. Ketidakmerataan ini ditunjukkan oleh jumlah penduduk miskin (HC) maupun persentasenya (HCI) yang sangat bervariasi. Berdasarkan jumlahnya, sebaran penduduk miskin sebagian besar terdapat di Kabupaten Gunungkidul dan Bantul dengan jumlah masing-masing sebesar 152,2 ribu dan 156,6 ribu jiwa. Sementara populasi penduduk miskin yang terendah terdapat di Kota Yogyakarta sebesar 35,6 ribu jiwa. Berdasarkan persentasenya, maka Kabupaten Gunungkidul (21,70 persen) dan Kulonprogo (21,39 persen) menjadi daerah dengan persentase penduduk miskin tertinggi. Sementara, Kota Yogyakarta (8,82 %) dan Sleman (9,68 %) menjadi dua daerah dengan persentase kemiskinan terendah. Secara umum, perbedaan tersebut merepresentasikan tingkat kesejahteraan penduduk antar wilayah yang cukup heterogen. Perbedaan kuantitas infrastruktur terutama pendidikan, kesehatan serta infrastruktur perekonomian seperti pasar, baik dari sisi ketersediaan maupun kemudahan dalam mengakses menjadi penjelas perbedaan kualitas kesejahteraan masyarakat yang cukup mencolok tersebut. Perkembangan kemiskinan di kabupaten/kota selama lima tahun terakhir secara umum menunjukkan pola yang menurun. Penurunan jumlah penduduk miskin terbesar terjadi di Kabupaten Gunungkidul, sementara dari sisi persentase penurunan yang terbesar terjadi di Kabupaten Kulonprogo. Tabel 8.4.
Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Keparahan Kemiskinan (P2) di DIY menurut Wilayah 2009 Kab/Kota
GK (Rp)
2010
2011
2012
2013
HC HC HC HC HC HCI (%) GK (Rp) HCI (%) GK (Rp) HCI (%) GK (Rp) HCI (%) GK (Rp) HCI (%) (Jiwa) (Jiwa) (Jiwa) (Jiwa) (Jiwa)
Kulonprogo
205.585
89,9
Bantul
224.373 158,5
17,64 245.626 146,9
16,09 264.546 159,4
Gunungkidul
186.232 163,7
24,44 203.873 148,7
Sleman
226.256 117,5
Yogyakarta
265.168
DIY
220.830 574,9
45,3
24,65 225.059
90,0
86,5
21,39
17,28 284.923 159,2
16,97 292.639 156,6
16,48
22,05 220.479 157,1
23,03 238.438 157,8
22,71 238.056 152,2
21,70
11,45 247.688 117,0
10,7 267.107 117,3
10,61 288.048 118,2
10,44 297.170 110,8
9,68
10,05 290.286
9,75 314.311
37,8
16,86 234.282 540,4
23,15 240.301
92,8
37,7
15,63 257.909 564,3
23,62 256.575
9,62 340.324
93,2
37,4
16,14 270.110 565,7
23,31 259.945
9,38 353.602
35,6
8,82
15,88 303.843 541,9
15,03
Sumber : BPS, Beberapa Terbitan
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
37
8
Lambatnya penurunan kemiskinan di DIY disebabkan oleh tingginya pertumbuhan ekonomi yang tidak dikompensasi oleh aspek pemerataan dalam distribusi pendapatan
ar ta .b ps
.g o.
id
Upaya Penurunan Kemiskinan Banyak faktor yang dapat berpengaruh terhadap penurunan tingkat kemiskinan di suatu wilayah, antara lain adalah kenaikan pendapatan atau upah riil, kesempatan kerja yang lebih luas dan pendapatan masyarakat yang semakin merata. Kenaikan upah buruh yang diindikasikan dengan upah minimum provinsi (UMP) pada tahun 2013 meningkat sebesar 6,05 persen. Jika dibandingkan dengan laju inflasi Kota Yogyakarta yang sebesar 7,32 persen, kenaikan upah masih jauh lebih rendah. Tingginya inflasi selama 2013 sangat dipengaruhi oleh kenaikan harga BBM dipertengahan tahun serta kenaikan tarif dasar listrik. Dengan asumsi bahwa penetapan UMP tersebut diikuti oleh sebagian besar perusahaan DIY, maka rata-rata pendapatan riil penduduk tidak meningkat secara signifikan. UMP yang meningkat secara nominal tidak menjadi gambaran yang baik bagi pekerja manakala laju inflasi barang dan jasa meningkat tak terkendali. Tingkat kesempatan kerja (TKK) sebagai gambaran persentase angkatan kerja yang terserap di pasar kerja pada bulan September 2013 meningkat sangat signifikan dibandingkan bulan yang sama pada tahun 2012, yakni dari 96,17 persen menjadi 96,46 persen. Penyerapan angkatan kerja yang besar ini akan berdampak tidak langsung terhadap berkurangnya persentase penduduk miskin, meskipun dari sisi produktivitas jam kerja masih banyak yang termasuk kategori underunemployment.
ht
tp
://
yo gy
ak
KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN Kebijakan pemerintah untuk mendorong dan mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi di satu sisi berdampak baik bagi peningkatan kesejahteraan penduduk secara ratarata, namun di sisi lain juga membawa trade off berupa meningkatnya ketimpangan dalam distribusi hasil pertumbuhan yang dihasilkan. Hal ini terjadi karena distribusi aset dan skill yang tidak tersebar secara merata antar penduduk, sehingga pendapatan yang diperoleh pun sangat bervariasi. Beberapa indikator yang sering digunakan untuk mengukur ketimpangan dalam distribusi pendapatan (distribusi ukuran) adalah ukuran Bank Dunia, Rasio Kuznets dan Gini Rasio. Berdasarkan data Susenas tahun 2009-2013, distribusi pendapatan yang diterima penduduk menunjukkan perkembangan ke arah yang semakin tidak merata/timpang. Pada Gambar 8.1.
Gambar 8.2.
Pertumbuhan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Inflasi DIY, 2005-2013
Perkembangan Tingkat Kesempatan Kerja (TKK) DIY, 2005-2013
25
UMP
98
Inflasi
17,20
14,98 8,70
8,31
7,99
2,93
2006
Sumber : BPS
2007
6,05
7,38
0
38
6,57
9,88
2008
2009
2010
7,32 3,88
4,31
2011
2012
93,69
94
10,52 10,4
2005
94,62
95
15
5
95,68
96
15,00
10
96,76
97
19,45
20
93
94,00
93,90
96,14
94,31
92,41
92 91
2013
90 2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Sumber : BPS
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
8
Selain persoalan distribusi pendapatan antar penduduk yang semakin timpang, persoalan di DIY juga diwarnai oleh ketimpangan pendapatan regional yang semakin meningkat
tahun 2013, 40 persen penduduk berpendapatan terendah menerima 18,47 persen dari total pendapatan, sementara 20 persen penduduk golongan pendapatan tertinggi memperoleh porsi sebesar 46,93 persen. Jika dihitung dengan rasio Kuznets maka total pendapatan 20 persen penduduk berberpendapatan tertinggi besarnya 2,5 kali lipat dari jumlah pendapatan dari 40 persen penduduk golongan berpendapatan terendah. Fenomena ini menunjukkan adanya ketimpangan yang cukup lebar dan diperjelas oleh nilai koefisien Gini pada bulan Maret 2013 yang sebesar 0,44 dan lebih meningkat dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar 0,43. Peningkatan indeks ketimpangan ini menggambarkan distribusi pendapatan antar penduduk yang bergerak semakin tidak merata, meskipun secara level masih termasuk dalam kategori ketimpangan sedang.
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
Selain ketimpangan pendapatan antar penduduk, isu ketimpangan pendapatan antar wilayah kabupaten/kota (ketimpangn regional) juga menjadi persoalan yang cukup krusial di wilayah DIY. Salah satu pendekatan metode untuk mengukurnya adalah menggunakan indeks Williamson. Semakin tinggi nilai indeks ini menunjukkan ketimpangan pendapatan antar wilayah yang semakin melebar. Perkembangan nilai indeks Williamson di DIY selama periode 2000-2013 menunjukkan pola yang semakin meningkat dari 0,39 di tahun 2000 menjadi 0,47 di tahun 2013. Fenomena ini menggambarkan kesenjangan atau ketimpangan pendapatan antar wilayah yang semakin tidak merata. Salah satu pemicunya adalah terpusatnya kegiatan ekonomi terutama investasi di daerah perkotaan, sementara perkembangan kawasan perdesaan jauh lebih lambat dan kurang mendapat perhatian serius. Persoalan infrastruktur yang kurang merata juga menjadi penyebab lain dari tingginya ketimpangan pendapatan antar wilayah. Gambar 8.3.
Tabel 8.5.
://
Perkembangan Indek Williamson di DIY, 2000-2013
0,45 0,415
0,40
0,390
0,394
0,435
0,439
0,437
0,441
0,470 0,443
0,443
0,452
0,472
0,442
ht
0,431
tp
0,50
Perkembangan Indeks Ketimpangan Pendapatan di DIY, 2009-2013
0,35
0,30
2009
2010
2011
2012
2013
40 % Berpendapatan Terendah
Golongan Pendapatan
18,87
18,79
16,46
15,29
18,47
40 % Berpendapatan Menengah
36,48
35,20
34,22
33,15
34,60
20 % Berpendapatan Tertinggi
44,65
46,01
49,32
51,56
46,93
Rasio Kuznets
2,37
2,45
3,00
3,37
2,54
Gini Rasio
0,38
0,41
0,40
0,43
0,44
Sumber : BPS DIY
0,25
0,20 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Sumber : BPS DIY
Tahukah Anda ? Lambatnya penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin di DIY terjadi karena pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi tidak dikompensasi oleh perbaikan distribusi pendapatan penduduk ke arah yang lebih merata
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
39
9
PERTANIAN Pemanfaatan lahan pertanian di DIY sebagian besar digunakan untuk budidaya komoditas tanaman bahan makanan, khususnya padi, palawija dan hortikultura
Tabel 9.1.
ar ta .b ps
.g o.
id
PENGGUNAAN LAHAN Faktor penting yang menopang kelangsungan dan keberlanjutan budidaya komoditas pertanian adalah ketersediaan lahan. Sampai tahun 2013, pemanfaatan lahan di DIY sebagian besar digunakan untuk lahan pertanian dengan luas 240.066 hektar atau 75,36 persen. Lahan pertanian terdiri dari lahan sawah seluas 56.327 hektar (17,69 persen) dan lahan bukan sawah seluas 183.739 hektar (52,72 persen). Dibandingkan dengan tahun 2012, lahan pertanian sawah berkurang sebesar 37 hektar dan lahan bukan sawah berkurang sebesar 139 hektar. Lahan pertanian tersebut berubah status penggunaannya menjadi lahan bukan pertanian seperti pemukiman, pertokoan, maupun infrastruktur yang lain. Pada tahun 2013, lahan yang peruntukannya bukan untuk lahan pertanian mencapai 78.514 hektar atau 24,64 persen dari luas wilayah DIY. Berdasarkan wilayahnya, distribusi lahan sawah yang terbesar terdapat di Kabupaten Sleman dan Bantul dengan luas masing masing mencapai 22,62 ribu hektar dan 15,47 ribu hektar. Untuk lahan bukan sawah, distribusi terbesar terdapat di Kabupaten Gunungkidul dengan luas mencapai 117,83 ribu hektar. Sebagai catatan, sekitar 79 persen wilayah Gunungkidul merupakan lahan pertanian bukan sawah. Sementara, area pertanian terkecil terdapat di Kota Yogyakarta dengan luas 8,06 persen dari seluruh wilayah. Luas Lahan Pertanian dan Bukan Pertanian di DIY, 2013 (Ha) Lahan Pertanian Sawah
Lahan Bukan Pertanian
Bukan Sawah
Jumlah
ak
Kabupaten/Kota
10.297 (17,56)
35.027 (59,75)
13.303 (22,69)
58.627
15.471 (30,52)
14.125 (27,87)
21.089 (41,61)
50.685
(5,30)
117.829 (79,33)
22.842 (15,38)
148.536
22.623 (39,36)
16.567 (28,82)
18.292 (31,82)
57.482
7.865
Yogyakarta DIY
71
(2,18)
191
56.327 (17,68)
Tabel 9.2.
2.988 (91,94)
3.250
78.514 (24,64)
318.580
Cat: Angka dalam kurung menunjukkan %
ht
Sumber: Dinas Pertanian DIY
(5,88)
183.739 (57,67)
://
Sleman
tp
Gunungkidul
yo gy
Kulonprogo Bantul
Komposisi Penggunaan Lahan di DIY, 2008-2013 (Persen) Penggunaan Lahan Lahan Pertanian Lahan Sawah Berpengairan Tadah Hujan Bukan lahan Sawah Tegal/Kebun Sementara Tidak Diusahakan
Persentase Luas 2008
2009
76,60 76,80
Jumlah
2011
76,31 76,21
2012
2013
75,41 75,36 240.066
17,92 17,80
17,75 17,73
17,69 17,68 56.327
15,04 14,91
14,89 14,85
14,76 14,73 46.926
2,88
2,89
2,86
2,88
2,93
2,95
9.401
58,68 59,00
58,56 58,48
57,72 57,67 183.739
30,15 30,06
29,94 29,77
29,69 31,67 100.896
0,36
0,34
Lainnya (Hutan Rakyat, Perkebunan, 28,17 28,60 Tambak, Kolam, Empang, dll) Lahan Bukan Pertanian
2010
Luas 2013 (Ha)
23,40 23,21 100
100
0,32
0,32
0,25
0,29
922
28,30 28,39
27,78 25,71 81.921
23,71 23,79
24,59 24,64 78.514
100
100
100
100 318.580
Pola perkembangan lahan pertanian di DIY selama tahun 2008-2013 menunjukkan tren yang semakin menurun. Pada tahun 2008 persentase lahan pertanian mencapai 76,60 persen dan terus menurun menjadi 75,36 persen di tahun 2013 akibat alih fungsi menjadi lahan bukan pertanian. Hal yang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah adalah semakin berkurangnya lahan pertanian produktif terutama lahan sawah yang berpengairan irigasi dan beralih fungsi menjadi lahan bukan pertanian seperti pemukiman maupun tempat usaha. Selama periode 2008-2013, luas lahan sawah di DIY berkurang sebanyak 763 hektar atau setiap tahun berkurang dengan rata-rata sebesar 153 hektar. Jika konversi lahan sawah produktif terus berlangsung dalam jangka waktu yang lama, maka akan menganggu stabilitas dan ketahanan pangan di masa yang akan datang.
Sumber : SP-VA, Dinas Pertanian DIY
40
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
Perkembangan produksi padi DIY selama dua dekade terakhir menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, meskipun terjadi sedikit penurunan di tahun 2013 sebagai akibat dari penurunan produktivitas
9
TANAMAN BAHAN MAKANAN Tanaman bahan makanan terdiri dari komoditas padi, palawija dan hortikultura. Tanaman padi terdiri dari padi sawah dan padi ladang, sementara palawija terdiri dari jagung, ketela pohon, ketela rambat, kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau, dan cantel. Dari kedelapan komoditas tersebut, tanaman padi menjadi komoditas paling dominan di DIY karena merupakan bahan makanan pokok penduduk. Tanaman hortikultura mencakup sayur-sayuran dan buah-buahan, baik yang berupa tanaman semusim maupun tanaman tahunan.
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
Produksi Tanaman Padi Sampai saat ini, beras menjadi komoditas yang memiliki nilai sangat strategis dalam kehidupan maupun perekonomian. Hal ini tidak lepas dari peran beras yang menjadi sumber makanan pokok bagi sebagian besar penduduk DIY. Akibatnya, output tanaman padi ini mempunyai bobot yang tinggi dalam penghitungan angka inflasi yaitu sebesar 3,29 persen. Apabila terjadi gejolak harga beras, akan berdampak pada inflasi atau deflasi yang berpengaruh terhadap perekonomian DIY secara umum. Kenaikan harga beras dapat mendongkrak inflasi barang dan jasa lainnya, sehingga stabilitas harga beras harus terjaga dan terkendali. Jaminan ketersediaan dan kestabilan harga beras menjadi bidang intervensi pemerintah baik menyangkut aspek produksi, aspek konsumsi maupun distribusi. Produksi beras atau padi tidak terlepas dari peran pelaku usaha tanaman padi, ketersediaan lahan maupun peran pemerintah. Pelaku utama atau produsen padi adalah rumah tangga yang mengusahakan tanaman padi. Rumah tangga usaha tanaman padi inilah yang memegang peran penting dalam proses produksi tanaman padi. Dalam pelaksanaan proses tersebut petani tentu saja dihadapkan berbagai keterbatasan faktor produksi. Peran pemerintah dalam meningkatkan produksi padi dilakukan dengan cara ekstensifikasi dan intensifikasi padi secara terus-menerus. Produksi padi DIY selama dua puluh tahun terakhir menunjukkan pola yang cukup berfluktuasi. Secara umum, produksi sampai tahun 2007 berfluktuasi di bawah 700 ribu ton. Produksi ini kemudian meningkat secara bertahap hingga mencapai 946.244 ton di tahun 2012. Peningkatan yang cukup signifikan ini disebabkan oleh bertambahnya luas panen Tabel 9.3. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Padi di DIY, 1993-2013 Tahun
Luas Produktivitas Produksi Panen (Ha) (Ku/Ha) (Ton)
Tahun
Luas Produktivitas Produksi Panen (Ha) (Ku/Ha) (Ton)
Tahun
Luas Produktivitas Produksi Panen (Ha) (Ku/Ha) (Ton)
1993
136.534
47,21
644.642
2000
137.849
47,46
654.289
2007
133.369
53,18
709.294
1994
135.838
47,36
643.266
2001
137.259
48,22
661.802
2008
140.167
56,95
798.232
1995
135.346
47,44
642.120
2002
134.848
48,47
653.577
2009
145.424
57,62
837.930
1996
137.402
48,12
661.179
2003
130.681
49,91
652.280
2010
147.058
56,02
823.887
1997
134.204
48,22
647.198
2004
132.869
53,05
692.998
2011
150.827
55,89
842.934
1998
137.771
45,12
621.605
2005
130.973
51,21
670.703
2012
152.912
61,88
946.224
1999
134.570
45,51
612.393
2006
132.374
53,5
708.163
2013
159.266
57,88
921.824
Sumber : BPS
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
41
9
Produksi padi di DIY masih dipengaruhi oleh pola musiman, produksi mencapai puncaknya selama sub round pertama (Januari-April) setiap tahun bersamaan dengan musim penghujan
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
tanaman padi sebagai implementasi dari kebijakan swasembada beras secara nasional. Kebijakan ini mampu mendorong kenaikan produktivitas hingga mencapai level 61,88 kuintal/hektar di tahun 2012. Angka produktivitas ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 1993 yang sebesar 42,21 kuintal/hektar. Dari sisi luas panen, terjadi peningkatan dari 136,53 ribu hektar di tahun 1993 menjadi 159,27 ribu hektar di tahun 2013. Namun demikian, di tahun 2013 terjadi sedikit penurunan produksi hingga mencapai 921.824 ton karena penurunan produktivitas akibat kondisi cuaca yang kurang mendukung, meskipun dari sisi luas panen terjadi peningkatan. Program kebijakan pemerintah melalui pemberian subsidi atau bantuan benih, pupuk dan obat-obatan, pemberian kredit usaha tani, kebijakan menstabilkan harga gabah di tingkat padi melalui program Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (LUEP) turut menunjang peningkatatan produksi padi. Sebaliknya, fenomena alih fungsi lahan sawah memberi andil dalam mengurangi luas tanam maupun jumlah petani padi yang tentunya mempengaruhi jumlah produksi padi. Produksi tanaman padi juga sangat ditentukan oleh faktor musim dan kondisi cuaca. Faktor musim dan cuaca menentukan curah hujan dan supplai air yang menjadi unsur terpenting dalam budidaya tanaman padi. Secara umum, masa penanaman padi secara masal di DIY dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan Desember atau pada saat memasuki musim penghujan. Akibatnya, panen raya tanaman padi setiap tahun akan berlangsung selama bulan Januari sampai dengan bulan Maret. Kondisi tersebut tercermin dalam Gambar 9.1 yang memperlihatkan bahwa luas panen pada setiap subround I (Januari s.d April) menjadi yang tertinggi. Rata-rata luas panen tanaman padi di bulan Januari-April dua kali lipat luas panen bulan Mei-Agustus, sementara luas panen bulan Mei-Agustus rata-rata dua kali lipat luas panen bulan September-Desember. Fenomena ini berkaitan dengan curah hujan dan supplai air yang semakin menurun dan sebagai penggantinya petani mulai mengusahakan tanaman palawija.
://
Gambar 9.1.
ht
tp
Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Padi di DIY, 1993-2013 100 80 70
87,09
85,42
90
90,54
88,98
85,56
88,63
70,05
60 44,86
50
42,37
40,90
48,45
44,58
44,44
42,32
40 30
18,46
20
19,18
15,96
13,84
22,19
17,79
17,42
10
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Sep-Des
Mei-Ags
Jan-Apr
Sep-Des
Mei-Ags
Jan-Apr
Sep-Des
Mei-Ags
Jan-Apr
Sep-Des
Mei-Ags
Jan-Apr
Sep-Des
Mei-Ags
Jan-Apr
Sep-Des
Mei-Ags
Jan-Apr
Sep-Des
Mei-Ags
Jan-Apr
0
2013
Sumber : BPS
42
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
9
Jagung dan ubi kayu menjadi komoditas palawija yang potensial dibudidayakan di wilayah DIY pada saat musim kemarau
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
TProduksi Tanaman Palawija Komoditas tanaman palawija yang cukup potensial dibudidayakan di DIY adalah jagung, ubi kayu, kacang tanah dan kedelai. Hal ini terlihat dari luas panen keempat komoditas selama tahun 2013 yang masing-masing sebesar 70.772 ha, 58.777 ha, 65.680 dan 23.290 ha. Pola perkembangan luas panen maupun produksi tanaman palawija selama periode 2000-2013 relatif berfluktuasi. Luas panen tanaman jagung mencapai puncak pada tahun 2010 sebesar 86,84 ribu hektar dengan total produksi sebesar 345,58 ribu ton. Namun demikian, produksi jagung di tahun 2013 mengalami penurunan sebesar 13,97 persen akibat penurunan luas panen dan produktivitas. Produksi tanaman kedelai menunjukkan pola yang semakin menurun dari 68,10 ribu ton di tahun 2000 menjadi 31,68 ribu ton di tahun 2013, sebagai akibat dari penurunan luas panen meskipun dari sisi produktivitas terus menunjukkan peningkatan. Fenomena ini menggambarkan minat petani di DIY dalam mengusahakan komoditas kedelai yang semakin berkurang dan cenderung memilih kacang tanah atau komoditas sayuran sebagai penggantinya. Perkembangan luas panen tanaman kacang tanah relatif berfluktuasi pada kisaran 60 ribu hektar, sementara produktivitasnya menunjukkan peningkatan secara signifikan dari tahun ke tahun. Hal ini memberi pengaruh terhadap produksi yang cukup berfluktuasi dan cenderung meningkat. Pada tahun 2013, produksi kacang tanah mencapai 70,83 ribu ton dan meningkat 12,61 persen dari tahun sebelumnya. Komoditas palawija lainnya yang memiliki kenaikan produksi selama tahun 2013 adalah ubi kayu dengan produksi sebesar 1,01 juta ton dan luas panensebesar 58,77 ribu hektar. Komoditas palawija lainnya yang cukup banyak diusahakan adalah ubi jalar dan kacang hijau. Produksi ubi jalar selama tahun 2013 sedikit menurun dari tahun sebelumnya, karena luas panen yang berkurang. Sementara, produksi kacang hijau mengalami peningkatan akibat pertambahan luas panen. Tabel 9.4.
tp
Tahun
Luas Panen (Ha)
ht
Jagung
://
Luas Panen (Hektar) dan Produksi (Ton) Tanaman Palawija di DIY, 2000-2013
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
65.953 71.374 62.309 65.062 67.645 72.714 70.270 70.216 71.164 74.563 86.837 69.768 73.766 70.772
Kedelai
Prod (Ton)
Luas Panen (Ha)
173.536 187.577 170.753 204.129 211.730 248.960 223.620 258.187 285.372 314.937 345.576 291.596 336.608 289.580
54.248 45.405 42.937 36.327 33.552 33.297 33.419 27.628 32.514 31.666 33.572 28.988 28.554 23.290
Kacang Tanah
Prod (Ton)
Luas Panen (Ha)
Prod (Ton)
68.102 50.202 50.981 35.562 35.729 34.670 39.545 29.692 34.998 40.278 38.244 32.795 36.033 31.677
54.355 58.869 61.713 69.803 68.010 70.362 68.031 66.527 64.087 62.539 58.780 59.533 60.725 65.680
53.918 50.552 58.482 57.767 61.048 60.324 66.359 56.667 63.240 65.893 58.918 64.084 62.901 70.834
Kacang Hijau
Ubi Kayu
Ubi Jalar
Luas Prod Panen (Ton) (Ha)
Luas Panen (Ha)
Luas Produksi Prod Panen (Ton) (Ton) (Ha)
870 727 752 876 942 967 967 874 769 745 1.024 614 501 552
55.901 58.221 59.182 59.270 59.521 60.695 60.926 61.237 62.543 63.275 62.563 62.414 61.815 58.777
701.314 736.316 750.205 764.409 817.398 920.909 1.016.270 976.610 892.907 1.047.684 1.114.665 867.596 866.357 1.013.565
341 293 462 563 617 651 563 571 514 473 610 371 300 318
751 764 741 699 602 617 611 515 610 574 599 413 440 419
7.724 7.906 7.100 7.578 6.439 6.522 6.236 5.496 7.656 6.687 6.484 4.584 5.047 4.951
Sumber : BPS
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
43
9
Cabai merah dan bawang merah menjadi komoditas sayuran semusim unggulan yang sangat potensial dibudidayakan di sepanjang pesisir Pantai Selatan Kulonprogo dan Bantul
Tabel 9.5.
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
Produksi Tanaman Sayur-sayuran Komoditas tanaman sayuran semusim yang cukup potensial dikembangkan di wilayah DIY adalah cabe merah dan bawang merah. Kedua komoditas ini menjadi produk unggulan yang banyak dibudidayakan di sepanjang Pesisir Selatan Kabupaten Bantul dan Kulonprogo. Produksi bawang merah selama tahun 2013 mencapai 96.406 kuintal dengan luas panen sebanyak 893 hektar. Dibandingkan dengan tahun 2012, produksi bawang merah turun sebesar 18,68 persen. Penyebab utama penurunan produksi adalah berkurangnya luas panen dari 1.180 hektar menjadi 893 hektar di tahun 2013 karena pengalihan lahan untuk budidaya komoditas hortikultura lainnya terutama cabe merah. Meskipun demikian, produktivitas bawang merah di DIY justru meningkat dari 100,47 kw/ha menjadi 107,96 kw/ha. Berbeda dengan bawang merah yang produksinya turun, produksi tanaman cabe baik cabe besar maupun cabe rawit justru semakin meningkat. Produksi tanaman cabe besar selama tahun 2013 mencapai 171.335 kuintal, sementara cabe rawit mencapai 32.288 kuintal. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya produksi keduanya masing-masing meningkat sebesar 4,11 persen dan 39,23 persen. Peningkatan produksi cabe besar dan cabe rawit terjadi karena meningkatnya luas tanam/panen masing-masing sebesar 135 hektar dan 181 hektar. Dari sisi produktivitas, cabe merah mengalami sedikit penurunan akibat faktor musim/cuaca dengan curah hujan tinggi pada saat budidaya dilakukan sehingga banyak tanaman yang rusak, sementara produktivitas cabe rawit masih mampu mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Tanaman sayuran lainnya yang mengalami peningkatan produksi adalah kacang panjang, terung, kangkung dan bayam. Sementara, produksi tanaman sawi justrumengalami penurunan. Dibandingkan dengan bawang merah dan cabe, luas area budidaya kelima tanaman tersebut memang jauh lebih kecil. Pada tahun 2013, luas panen tanaman kacang panjang sebesar 462 hektar dengan produksi mencapai 24.311 kuintal. Luas panen tanaman sawi tercatat sebesar 525 hektar dengan produksi mencapai 64.470 kuintal. Luas panen dan produksi beberapa tanaman sayuran yang lainnya (terung, kangkung dan bayam) disajikan dalam Tabel 9.5.
Luas Panen (Ha), Produktivitas (Ku/Ha) dan Produksi (Kuintal) Beberapa Tanaman Sayuran di DIY, 2010-2013 2010 Komoditas
2011
2012
2013
Luas Produkt Luas Produkt Luas Produkt Luas Produkt Produksi Produksi Produksi Produksi ivitas Panen ivitas Panen ivitas Panen ivitas Panen (Kw) (Kw) (Kw) (Kw) (Ha) (Kw/Ha) (Ha) (Kw/Ha) (Ha) (Kw/Ha) (Ha) (Kw/Ha)
Bawang Merah
2.027
98,42 199.503 1.271 113,36 144.086 1.180 100,47 118.550
893 107,96
96.406
Cabe Besar
2.239
58,28 130.489 2.541
56,71 144.101 2.683
61,34 164.574 2.818
60,80 171.335
Cabe Rawit
613
33,72
20.673
746
28,98
21.620
708
32,76
23.191
889
36,32
32.288
Kacang Panjang
677
44,82
30.342
557
38,88
21.655
451
41,28
18.616
462
52,62
24.311
Sawi
613 110,22
67.562
635 112,72
71.580
604 109,32
66.029
525 122,80
64.470
Terung
160 109,59
17.535
237
13.146
203
11.052
393
36.507
55,47
54,44
92,89
Kangkung
377
74,51
28.092
335
78,65
26.347
275
77,11
21.205
321
97,50
31.296
Bayam
566
43,46
24.600
396
36,43
14.425
323
38,91
12.568
376
41,28
15.521
Sumber : BPS
44
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
9
Beberapa komoditas perkebunan unggulan DIY seperti kelapa, tebu, tembakau rakyat dan kakao mengalami penurunan produksi selama tahun 2013
Tabel 9.6.
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
PRODUKSI TANAMAN PERKEBUNAN Beberapa tanaman perkebunan yang cukup berpotensi dan banyak dibudidayakan di DIY antara lain adalah kelapa, cengkeh, jambu mete, coklat, tembakau rakyat dan tebu rakyat. Berdasarkan luas tanamannya selama tahun 2013, kelapa merupakan tanaman perkebunan yang paling banyak diusahakan dengan luas tanaman mencapai 41.591 hektar dan luas panen mencapai 34.207 hektar. Produksi kelapa selama tahun 2013 mencapai 55.751 ton atau turun 1,50 persen dibandingkan dengan produksi tahun 2012 yang mencapai 56.600 ton. Penyebab penurunan produksi kelapa adalah berkurangnya produktivitas, meskipun dari sisi luas panen sedikit meningkat. Tanaman tembakau rakyat yang sebagian besar diusahakan di wilayah Kabupaten Sleman dan Bantul selama tahun 2013 mampu menghasilkan produksi sebesar 560 ton. Produksi ini mengalami penurunan yang cukup signifikan sebesar 60 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Penurunan produksi secara tajam di 2013 disebabkan oleh penurunan luas tanam dan luas panen sebagai akibat faktor musim yang sesuai serta kurangnya rangsangan berupa kenaikan harga tembakau yang mengurangi minat petani untuk membudidayakannya. Produksi tanaman tebu rakyat yang banyak diusahakan di Kabupaten Sleman dan Bantul selama tahun 2013 mengalami penurunan sebesar 5,72 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 16.928 ton. Jika dikaitkan dengan kebutuhan konsumsi gula oleh masyarakat yang cukup tinggi dan masih tergantung pada produk impor, seharusnya produksi tanaman tebu dapat ditingkatkan melalui tata niaga yang lebih baik. Permasalahan keterbatasan lahan untuk budidaya tebu harus diintervensi dengan memperhatikan nilai ekonomis dalam pemanfaatan lahan untuk budidaya tanaman lainnya. Beberapa tanaman perkebunan juga mengalami penurunan produksi, seperti cengkeh, jambu mete dan jarak pagar. Produksi cengkeh di tahun 2013 mencapai 364 ton atau turun 37 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Produksi jambu mete menurun 23,65 persen dibandingkan dengan tahun 2012 yang sebesar 484 ton. Sementara, komoditas yang mengalami kenaikan produksi adalah kopi dari 362 ton di tahun 2011 menjadi 736 ton di tahun 2013.
Luas Panen, Produksi dan Rata-rata Produksi Komoditas Perkebunan di DIY, 2011-2013 2011 Komoditas
Luas Tanaman (ha)
2012
Luas Rata-rata Luas Produksi Panen Produksi Tanaman (ton) (ha) (ton/ha) (ha)
2013
Luas Rata-rata Luas Produksi Panen Produksi Tanaman (ton) (ha) (ton/ha) (ha)
Luas Rata-rata Produksi Panen Produksi (ton) (ha) (ton/ha)
Kelapa
42.904 33.467
56.149
1,68
43.371 32.314
56.600
1,75
41.591 34.207
55.753
1,63
Jambu mete
19.349
6.427
577
0,09
19.197
6.161
484
0,08
15.015
4.343
261
0,06
Coklat
4.693
3.078
1.143
0,37
4.811
2.902
1.367
0,47
4.812
2.859
1.124
0,39
Tebu rakyat
3.621
3.576
15.812
4,42
3.613
3.613
16.928
4,69
3.585
3.604
15.961
4,43
Cengkeh
2.818
1.656
395
0,24
3.241
1.813
667
0,37
3.058
1.569
364
0,23
Jarak pagar
1.921
319
70
0,22
1.779
1.004
793
0,79
1.597
243
43
0,18
Tembakau
2.155
2.163
1.268
0,59
2.210
2.210
1.384
0,63
1.293
1.235
560
0,45
Kopi
1.407
867
362
0,42
1.859
1.386
77
0,06
1.726
1.037
736
0,71
Sumber : BPS
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
45
9
Sapi menjadi komoditas ternak besar unggulan yang banyak dibudidayakan di wilayah Gunungkidul, namun jumlah populasinya mengalami penurunan yang cukup signifikan selama tahun 2013
id
PRODUKSI TERNAK DAN UNGGAS Beberapa jenis hewan ternak besar dan kecil yang cukup banyak dibudidayakan di wilayah DIY adalah sapi, kambing dan domba. Sampai saat ini, sapi masih menjadi komoditas ternak unggulan di DIY yang dibudidayakan oleh rumah tangga usaha peternakan. Namun demikian, jumlah populasi sapi dalam dua tahun terakhir justru semakin menurun. Pada tahun 2009, populasi sapi tercatat mencapai 283.043 ekor dan secara bertahap meningkat menjadi 385.370 ekor pada tahun 2011. Pada saat itu, capaian ke arah swasembada daging semakin mendekati harapan sehingga keran impor sapi secara bertahap mulai dikurangi. Namun, persoalan menjadi cukup rumit manakala impor daging dikurangi sementara permintaan daging cukup tinggi menyebabkan permintaan jauh melebihi supplainya sehingga harga melambung tinggi. Akibatnya, selama tahun 2011-2012 banyak sapi lokal yang dipotong termasuk sapi betina sehingga terjadi penurunan jumlah populasi secara signifikan di tahun 2012 dan 2013 hingga menjadi 272.794 ekor.
Jenis Ternak
2010
2011
2012
2013
1.222
1.360
1.508
1.626
1.776
283.043
290.949
385.370
358.387
272.794
Sapi perah
5.495
3.466
3.888
3.934
4.326
Kerbau
4.312
4.277
1.238
1.143
Kambing
308.353
331.147
343.647
352.223
369.730
Domba
132.872
136.657
147.773
151.772
156.860
12.038
12.695
13.056
12.782
13.579
Babi
980
ak
Sapi
yo gy
Kuda
2009
Ayam kampung
3.916.636 3.861.676 4.019.960 4.060.722 3.274.886
Ayam ras
8.501.005 8.234.703 8.931.529 9.161.499 9.320.591 446.704
498.237
516.525
tp
Sumber : BPS
://
Itik
542.209
Sampai tahun 2013, Kabupaten Gunungkidul masih menjadi daerah utama untuk kegiatan budidaya sapi, diikuti oleh Kabupaten Bantul dan Kulonprogo. Lebih dari 50 persen populasi sapi di DIY terdapat di Gunungkidul. Sementara, budidaya sapi perah terpusat di Kabupaten Sleman dengan populasi mencapai 91 persen. Kegiatan budidaya sapi di Kabupaten Sleman yang sempat terganggu oleh aktivitas erupsi Gunung Merapi secara perlahan juga mulai menunjukkan peningkatan, termasuk budidaya sapi perah.
ar ta .b ps
Populasi Ternak Besar, Ternak Kecil dan Unggas di DIY, 2009-2013 (Ekor)
.g o.
Tabel 9.7.
524.887
ht
Pada tahun 2013, jumlah populasi sapi perah di DIY mencapai 4.326 ekor dan meningkat sebesar 9,96 persen dibandingkan dengan populasi pada tahun 2012. Populasi ternak besar lainnya yang semakin bertambah adalah kuda dengan jumlah populasi 1.776 ekor dan meningkat 9,23 persen dari tahun 2012, sementara populasi kerbau dalam beberapa tahun terakhir justru semakin berkurang. Populasi ternak kecil terutama kambing dan domba dalam tiga tahun terakhir juga semakin meningkat dengan jumlah masing-masing sebanyak 369.730 ekor dan 156.860 ekor di tahun 2013. Dibandingkan dengan tahun 2012, populasi kedua jenis ternak tersebut masing-masing meningkat sebesar 4,97 persen dan 3,35 persen. Demikian pula dengan populasi babi, setelah menurun di tahun 2012 hingga menjadi 12.782 ekor jumlah populasi di tahun 2013 bertambah menjadi 13.579 ekor. Dari tiga jenis unggas yang banyak dibudidayakan di DIY, ayam ras memiliki populasi terbesar dengan jumlah mencapai 9,32 juta ekor. Sementara populasi ayam kampung dan itik masing-masing mencapai 3,27 juta ekor dan 524,89 ribu ekor. Populasi ayam ras mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2012, sementara populasi ayam kampung (bukan ras) dan unggas justru menurun sebesar 19,35 persen dan 3,19 persen. 46
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
Produksi daging sapi dan domba selama tahun 2013 mengalami penurunan, namun produksi daging kambing dan unggas justru meningkat
9
ar ta .b ps
.g o.
id
Produksi daging dari beberapa komoditas ternak dan unggas selama dua dekade terakhir terlihat cukup berfluktuasi (Grafik 9.3). Produksi daging sapi mencapai puncaknya pada tahun 2012 sebesar 8.583 ton dan meningkat 12,10 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya, meskipun di tahun 2013 terjadi sedikit penurunan. Peningkatan produksi daging memiliki korelasi positif dengan jumlah ternak yang dipotong, sehingga alasan jumlah populasi ternak sapi yang berkurang cukup signifikan disebabkan karena peningkatan jumlah ternak yang dipotong. Pola yang lebih berfluktuasi terjadi pada produksi komoditas kambing dan domba. Meskipun tren produksi selama dua dekade terakhir cenderung menurun, jumlah produksi daging kambing di tahun 2013 sedikit mengalami peningkatan menjadi 1.490 ton. Sementara produksi daging domba di tahun 2013 menurun 0,17 persen dibandingkan dengan tahun 2012. Hal yang sebaliknya terjadi pada produksi daging unggas. Produksi daging unggas yang terdiri dari daging ayam ras, daging ayam bukan ras dan daging itik selama dua dekade terakhir terakhir menunjukkan tren yang semakin meningkat, meskipun terdapat pola yang sedikit berfluktuasi. Produksi daging unggas mencapai puncaknya pada tahun 2007 dan 2012 dengan jumlah produksi masing-masing mencapai 36.331 ton dan 42.781 ton. Sementara produksi daging unggas di tahun 2013 relatif stabil. Gambar 9.2.
Produksi Daging Sapi, Kambing, Domba dan Unggas di DIY, 1995-2013 (Ton) Sapi
Kambing
2500 2000
8.000 7.000
1500
6.000
yo gy
5.000
Domba
ak
9.000
1000
4.000 3.000
500
2.000 1.000
Unggas
40.000 35.000 30.000 25.000 20.000 15.000 10.000 5.000 0
ht
tp
://
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
0
0
45.000
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
10.000
Sumber : Dinas Pertanian DIY
PRODUKSI PERIKANAN DIY memiliki sebagian wilayah yang berbatasan langsung dengan lautan dan dilalui oleh beberapa jalur sungai besar, sehingga memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan sebagai kawasan budidaya perikanan, baik perikanan laut maupun perikanan darat. Namun, belum dikelolanya potensi sumber daya perikanan ini secara optimal menyebabkan produktivitas perikanan laut dan darat dari tahun ke tahun masih jauh dari yang diharapkan. Produksi perikanan darat selama periode 2004-2013 menunjukkan tren yang semakin meningkat dengan rata-rata pertumbuhan di atas 27 persen per tahun. Pada tahun 2004, produksi perikanan darat mencapai 7.629 ton dan meningkat secara signifikan menjadi Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
47
9
Produksi ikan di DIY masih didominasi oleh hasil perikanan darat terutama budidaya kolam, sementara produksi perikanan laut relatif kecil dan belum dikelola secara optimal
tp
Gambar 9.3.
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
59.503 ton pada tahun 2013. Sebanyak 95,44 persen produksi perikanan darat merupakan hasil budidaya kolam. Sedangkan sisanya dihasilkan dari budidaya di perairan umum (2,69 persen) tambak (1,37 persen); budidaya keramba (0,07 persen); jaring apung (0,03 persen); sawah (0,25 persen) dan telaga (0,16 persen). Iklim kemarau basah selama tahun 2012 cukup mendukung budidaya perikanan di kolam, sehingga pada terjadi kenaikan produksi yang signifikan. Budidaya ikan darat masih terpusat di Kabupaten Sleman dengan pangsa produksi di atas 43 persen. Sementara, pangsa produksi di Kabupaten Kulonprogo dan Bantul masingmasing mencapai 24,50 persen dan 20,29 persen. Budidaya perikanan di tambak yang mulai marak dalam beberapa tahun terakhir masih terpusat di Kabupaten Bantul. Berbeda dengan produksi perikanan darat yang menunjukkan kenaikan secara tajam, produksi perikanan laut di DIY sampai saat ini masih belum menunjukkan peningkatan secara signifikan, karena hanya dihasilkan dari hasil penangkapan. Sementara, produksi yang dihasilkan dari hasil budidaya perikanan laut masih sangat sedikit. Selama periode 2004-2013, produksi perikanan laut lebih berfluktuasi dan sangat dipengaruhi oleh faktor cuaca dan iklim. Produksi perikanan laut mencapai puncaknya di tahun 2009 dengan total produksi sebesar 4.238 ton dengan rata-rata pertumbuhan produksi per tahunnya mencapai 16,38 persen. Dibandingkan dengan produksi tahun 2012 yang sebesar 2.568 ton, maka produksi tahun 2013 meningkat sebesar 6,03 persen menjadi 2.723 ton. Sampai saat ini, produksi perikanan laut DIY dihasilkan oleh tiga wilayah yakni Kabupaten Kulonprogo, Bantul dan Gunungkidul. Sementara, Kota Yogyakarta dan Sleman tidak menghasilkan produksi karena tidak memiliki wilayah yang berbatasan dengan laut. Penyumbang produksi perikanan laut yang terbesar adalah Kabupaten Gunungkidul dengan andil produksi sebesar 64 persen dan diikuti oleh Kabupaten Bantul dan Kulonprogo dengan andil produksi masing-masing sebesar 20,03 persen dan 15,97 persen. Beberapa jenis ikan tangkapan yang cukup dominan adalah manyung, kuniran, tiga waja, cakalang, layur dan rumput laut.
ht
Produksi Perikanan Darat dan Laut di DIY, 2004-2013 (Ton) 70.000 59.503
Perikanan Darat
60.000
Perikanan Laut
50.247
50.000
44.542 39.033
40.000 30.000
20.105
20.000 10.000 0 2003
7.629
10.186 10.472
12.546
15.613
1.444
1.773
1.720
2.462
1.939
2004
2005
2006
2007
2008
4.238
2.525
3.953
2.568
2.723
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan DIY
48
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
Rendahnya produktivitas perikanan laut DIY dipengaruhi oleh faktor cuaca dan gelombang yang besar serta armada dan alat penangkapan yang masih tradisional
9
Penurunan produktivitas perikanan laut di DIY secara umum dipengaruhi oleh kondisi iklim dan cuaca. Kondisi cuaca yang buruk menyebabkan gelombang Laut Selatan menjadi cukup tinggi, sehingga banyak nelayan yang terpaksa tidak melaut. Di samping itu, kurangnya sumber daya manusia yang terampil dan mumpuni, keterbatasan alat tangkap yang representatif serta mitos yang berlaku di masyarakat seputar penguasa laut selatan cukup membatasi produktivitas perikanan laut. Berdasarkan data dari Dinas Perikanan dan Kelautan DIY, pemanfaatan potensi perikanan laut sampai saat ini masih sangat kecil, yaitu hanya sebesar 0,4 persen dari seluruh potensi yang ada. Sarana penangkapan ikan laut yang masih sangat terbatas baik dari sisi armada penangkapan maupun alat tangkap menyebabkan nelayan hanya dapat menangkap beberapa jenis ikan tertentu saja, seperti bawal, layur, kakap, tigawaja, pari, kembung dan lobster.
.g o.
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
Armada Penangkapan Ikan Laut di DIY, 2004-2013 (Ton)
id
Gambar 9.4.
Tahukah Anda ? Produksi perikanan laut di DIY sebagian besar disumbang oleh hasil penangkapan ikan di Kabupaten Gunungkidul
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
49
10
PERTAMBANGAN DAN ENERGI Potensi kegiatan pertambangan dan penggalian di wilayah DIY merupakan kegiatan penggalian Golongan C yang mayoritas bersumber dari hasil erupsi Merapi
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
PERTAMBANGAN Sektor pertambangan dan penggalian mencakup kegiatan pertambangan migas dan non migas serta kegiatan penggalian batu, pasir dan tanah. DIY tidak memiliki pertambangan migas atau non migas, namun memiliki potensi sebagai produsen batu, pasir atau bahan galian yang tergolong dalam golongan C. Potensi barang galian golongan C tersebut disebabkan oleh sebagian wilayah DIY yang terletak di lereng Gunung Merapi, gunung berapi cukup aktif dan senantiasa mengeluarkan material dalam bentuk pasir maupun bebatuan lainnya. Nilai tambah yang diciptakan oleh sektor pertambangan dan penggalian di DIY selama periode 2000-2013 semakin meningkat hingga mencapai Rp 416,53 milyar. Namun demikian, nilai andil terhadap total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DIY justru semakin menurun dari 0,87 persen di tahun 2000 menjadi 0,65 persen di 2013. Penurunan ini secara umum disebabkan oleh laju pertumbuhan sektor pertambangan dan penggalian yang relatif lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan sektor lainnya. Laju pertumbuhan sektor ini mencapai puncaknya di tahun 2011 pasca erupsi Merapi di akhir tahun 2010 dengan laju sebesar 11,96 persen. Namun, di tahun 2012 pertumbuhannya sedikit melambat dengan laju sebesar 1,98 persen dan kembali menguat menjadi 4,92 persen di tahun 2013. Kendati andil terhadap PDRB relatif kecil, sektor ini menjadi tumpuan hidup bagi sebagian penduduk terutama yang tinggal di lereng Gunung Merapi dan daerah yang menjadi aliran materialnya. Hal ini terkait dengan kualitas bahan galian yang dihasilkan dikenal baik untuk mendukung kegiatan produksi sektor lainnya, seperti konstruksi dan industri pendukung konstruksi seperti ubin, bus beton, dan lainnya.
Tabel 10.1.
ht
tp
://
yo gy
LISTRIK Sama seperti sektor pertambangan dan penggalian, sumbangan nilai tambah sektor listrik, gas dan air bersih dalam struktur PDRB DIY juga tidak terlalu besar. Sektor ini hanya mencakup subsektor listrik dan subsektor air bersih karena tidak tersedianya produsen gas di wilayah DIY. Pada tahun 2013, nilai tambah yang dihasilkan oleh sektor ini mencapai
Nilai Tambah Bruto ADHB dan ADHK 2000, Andil dan Pertumbuhan Sub Sektor Penggalian, Listrik dan Air Bersih di DIY, 2000-2013 Sektor/Sub Sektor Penggalian NTB ADHB (Rp Milyar)
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
117,39 130,22 152,57 170,10 182,52 198,34 218,17 258,76 280,11 293,98 304,66 361,79 379,95 416,53
NTB ADHK 2000 (Rp Milyar) 138,36 118,13 118,32 119,43 120,44 122,33 126,14 138,36 138,33 138,75 139,97 156,71 159,81 167,67 Andil (Persen)
0,87
Pertumbuhan (Persen) Listrik
0,87
0,87
0,83
0,78
0,74
0,79
0,74
0,71
0,67
0,70
0,67
0,65
0,16
0,94
0,84
1,57
3,11
9,69
-0,02
0,30
0,88
11,96
1,98
4,92
NTB ADHB (Rp Milyar)
90,33 121,10 167,43 215,75 250,28 310,80 355,81 398,57 461,85 531,45 576,25 642,76 690,77 756,43
NTB ADHK 2000 (Rp Milyar)
90,33 101,03 117,53 122,62 131,78 140,03 140,19 152,78 162,22 172,77 179,87 187,99 200,98 214,40
Andil (Persen)
0,67
Pertumbuhan (Persen) Air Bersih
0,86 -14,62
0,80
0,96
1,10
1,14
1,23
1,21
1,21
1,21
1,28
1,26
1,24
1,21
1,19
11,86
16,33
4,33
7,47
6,26
0,11
8,98
6,18
6,51
4,11
4,52
6,91
6,67
NTB ADHB (Rp Milyar)
9,36
10,58
13,96
15,95
17,82
19,33
21,19
24,80
26,48
28,87
30,82
33,15
36,80
40,27
NTB ADHK 2000 (Rp Milyar)
9,36
9,67
11,40
12,76
13,07
13,09
12,68
12,99
12,71
12,83
13,16
13,25
14,56
15,24
Andil (Persen)
0,99
Pertumbuhan (Persen)
1,02
1,14
1,10
1,02
0,87
0,74
0,71
0,65
0,65
0,64
0,59
0,59
0,58
3,32
17,89
11,92
2,43
0,15
-3,15
2,50
-2,14
0,88
2,58
0,71
9,89
4,70
Sumber : BPS DIY
50
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
Kebutuhan konsumsi energi listrik semakin meningkat pesar seiring dengan pertumbuhan rumah tangga dan aktivitas perekonomian
10
tp
Gambar 10.1.
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
Rp 796,90 milyar dengan rincian subsektor listrik sebesar Rp 756,43 milyar dan sub sektor air bersih Rp 40,27 milyar. Dari sisi kontribusi, sektor listrik dan air hanya memiliki andil sebesar 1,77 persen terhadap PDRB DIY tahun 2013 yang terdiri dari 1,19 persen sub sektor listrik dan 0,58 persen sub sektor air bersih. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, nilai tambah subsektor listrik selama tahun 2013 mampu tumbuh sebesar 6,67 persen dan nilai tambah subsektor air bersih mampu tumbuh 4,70 persen. Energi listrik yang didistribusikan oleh PT PLN Divisi Regional DIY tidak diproduksi/ dibangkitkan di wilayah DIY, tetapi berasal dari pembangkit listrik di provinsi lain terutama Jawa Tengah. Setiap tahun, volume daya yang didistribusikan semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah rumah tangga maupun perkembangan kegiatan ekonomi yang membutuhkan listrik sebagai sumber energinya. Pada tahun 2013, jumlah pelanggan listrik di DIY tercatat sebanyak 935,82 ribu dan meningkat 4,93 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sementara, daya listrik yang terpasang dan dan terjual selama tahun 2013 masing-masing 1234,193 juta Kwh dan 2046,22 juta Kwh. Dibandingkan dengan tahun 2012, jumlah daya listrik yang terjual meningkat sebesar 0,12 persen. Secara umum, perkembangan jumlah energi listrik yang terpasang (Kwh) selama tahun 1994-2013 juga memiliki pola semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah pelanggan. Jumlah listrik terpasang (Kwh) maupun jumlah pelanggan sempat mengalami penurunan di tahun 2006 akibat terganggunya jaringan listrik sebagai dampak bencana gempa bumi pada bulan Mei 2006, namun dalam tujuh tahun terakhir polanya terus meningkat. Pola perkembangan daya listrik yang terjual hampir sama dengan daya listrik yang terjual, namun dari sisi kuantitas daya jauh lebih besar. Komposisi pelanggan pengguna layanan listrik dikategorikan menjadi beberapa jenis, yakni rumah tangga, usaha, industri dan umum (pemerintah, kegiatan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan, tempat ibadah dan lainnya). Sampai dengan tahun 2013, jumlah terbesar pelanggan listrik di DIY adalah kelompok rumah tangga dengan proporsi mencapai
ht
Jumlah Pelanggan (000 unit), Daya Listrik Terpasang dan Terjual (Juta Kwh) di DIY, 1994-2013 2500 Daya Terpasang (juta Kwh) Daya Terjual (juta Kwh)
2000
Jumlah Pelanggan (000)
1500
1000
500
0
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
Sumber : PLN Yogyakarta
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
51
10
Sampai dengan tahun 2013 rumah tangga menjadi pelanggan utama energi listrik PLN dengan proporsi 92,41 persen dengan proporsi jumlah energi listrik yang dikonsumsi sebesar 55,77 persen
92,41 persen dan sedikit menurun dibandingkan dengan komposisi tahun 2012 yang sebesar 92,51 persen. Meskipun mendominasi dari sisi jumlah pelanggan, jumlah daya (energi) listrik yang dikonsumsi oleh rumah tangga hanya sebesar 55,77 persen dari total daya listrik yang terjual. Konsumen/pelanggan terbanyak kedua adalah kegiatan usaha yang mencakup perdagangan, hotel, restoran, perkantoran dan lainnya dengan proporsi sebesar 4,16 persen. Total daya listrik yang dikonsumsi kegiatan usaha selama tahun 2012 mencapai 19,95 persen dan dalam beberapa tahun terakhir proporsinya semakin meningkat. Pelanggan dari kelompok umum mencapai 3,39 persen dengan total konsumsi mencapai 14,07 persen. Jumlah pelanggan dari kelompok industri relatif kecil hanya 0,05 persen, tetapi kelompok ini mengkonsumsi daya listrik sebesar 10,21 persen dari total daya listrik yang terjual di wilayah DIY.
id
Gambar 10.2.
.g o.
Distribusi Pelanggan dan Daya Listrik Terjual menurut Jenis Pelanggan di DIY, 2010-2013 Pelanggan
ar ta .b ps
Listrik Terjual
Rumah Tangga 4,14
92,41
19,95
Usaha
55,77
0,05 3,39
10,21
Industri
14,07
yo gy
ak
Umum
ht
tp
://
Sumber : PLN Yogyakarta
AIR BERSIH Kebutuhan pokok penduduk mencakup tersedianya air bersih, baik untuk konsumsi maupun keperluan sehari-hari. Permasalahannya adalah tidak semua penduduk mampu menyediakan dan memenuhi kebutuhan air sendiri dengan berbagai pertimbangan dan alasan, sehingga membutuhkan peran pemerintah maupun swasta untuk memproduksinya. Dari enam unit perusahaan air bersih yang beroperasi di DIY, lima diantaranya berstatus sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau sebagian besar dari sahamnya dimiliki oleh pemerintah daerah dan hanya satu yang berstatus perusahaan swasta. 52
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
10
Belum efesiennya perusahaan air minum di DIY dipengaruhi oleh masih besarnya proporsi air bersih yang susut dalam proses distribusi
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
Potensi kapasitas produksi air bersih di DIY pada tahun 2013 tercatat 2.500 liter/detik, namun baru efektif digunakan sebesar 1.789 liter/detik atau 71,56 persen. Dibandingkan dengan tahun 2012, kapasitas produksi potensial maupun kapasitas produksi efektif mengalami penurunan sebesar 45,37 persen dan 12,09 persen. Sumber air bersih yang selama ini diolah berasal dari sungai, waduk, mata air, serta air tanah dan lainnya (air hujan, dan sebagainya). Dari keempat sumber air minum tersebut, sebanyak 60,99 persen atau sebesar 26.409 ribu m3 diantaranya berasal dari air tanah dan lainnya. Sumber dari mata air dan sungai masing-masing mencapai 8.506 ribu m3 atau 19,64 persen dan 7.770 ribu m3 atau 17,94 persen. Sementara, air yang diolah dari sumber waduk mencapai 619 ribu m3 atau sebesar 1,43 persen. Berdasarkan data dari perusahaan air minum, volume air bersih yang terbesar selama tahun 2013 disalurkan ke konsumen rumah tangga dengan jumlah mencapai 18.234 m3 atau 69,65 persen dari total volume air yang disalurkan. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya konsumsi air bersih oleh rumah tangga turun sebesar 12,51 persen. Instansi pemerintah mengkonsumsi air bersih dengan volume mencapai 942 ribu m3 atau 3,60 persen. Kelompok niaga dan industri serta institusi sosial mengkonsumsi air bersih dengan porsi masing-masing sebesar 1,77 persen dan 0,55 persen. Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, konsumsi kelompok niaga dan jasa cenderung menurun tetapi kelompok institusi sosial justru meningkat. Hal yang perlu mendapat perhatian serius dalam persoalan distribusi air bersih adalah berkurangnya volume air bersih (susut) akibat kualitas infrastruktur penyaluran air yang semakin memburuk karena faktor rusak maupun pemakaian illegal. Volume air bersih yang susut pada tahun 2013 sebesar 21,81 persen dan cenderung menurun dibandingkan dengan tahun 2012. Nilai produksi atau pendapatan yang dihasilkan oleh perusahaan air bersih dari tahun ke tahun terus meningkat sebagai akibat dari kenaikan volume maupun kenaikan harga. Pada tahun 2012, besarnya nilai produksi air bersih yang tersalurkan mencapai 83,49 milyar rupiah dan menurun sebesar 3,17 persen menjadi 80,48 milyar rupiah di tahun 2013 akibat berkurangnya volume aier yang terjual. Dari total pendapatan tahun 2013, 83,31 persennya berasal dari konsumen rumah tangga sebagai pengguna terbesar. Sementara, nilai volume air bersih dari pengguna niaga dan industri serta jasa sedikit meningkat akibat kenaikan harga, meskipun volume penjualannya turun. Gambar 10.2.
Tabel 10.2.
Sumber Air Bersih yang Diolah Peru- Distribusi Penyaluran Air Bersih menurut Jenis Pengguna di DIY, sahaan Air Bersih di DIY, 2013 (%) 2010-2013 (000 m3) Pengguna Rumah Tangga
60,99
Instansi Pemerintah
17,94 19,64
1,43 Sungai
Waduk
Sumber : BPS DIY
Mata Air
Air Tanah/Lainnya
2010 Jumlah
2011 %
19.548 49,93
Jumlah
2012 %
19.597 49,93
Jumlah
2013 %
20.841 51,98
Jumlah
%
18.234 69,65
1.040
2,66
1.080
2,66
1.043
2,6
942
3,60
Niaga dan Industri
837
2,14
691
2,14
708
1,77
684
2,61
Sosial
720
1,84
720
1,84
894
2,23
464
1,77
Lainnya
321
0,82
302
0,82
185
0,46
145
0,55
Susut
16.683 42,61
17.388 42,61
13.722 40,96
Jumlah
39.149
39.778
37.393
100
100
100
5.710 21,81 26.179
100
Sumber : BPS DIY
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
53
11
INDUSTRI PENGOLAHAN Populasi usaha industri pengolahan di DIY didominasi oleh industri kecil dan mikro denganjumlah 90,62 persen.
Sektor industri pengolahan selama tahun 2012 memberikan sumbangan nilai tambah sebesar 13,35 persen terhadap perekonomian DIY. Struktur usaha industri (manufacture) di DIY berdasarkan hasil Sensus Ekonomi 2006 didominasi oleh industri berskala mikro (90,62 %) dan industri kecil (8,49 %). Sementara, populasi usaha yang berskala menengah dan besar hanya mencapai 0,89 persen. Gambar 11.1. Distribusi Populasi Perusahaa Industri Besar Sedang di DIY menurut Golongan Industri, 2013 (%)
Lainnya 0,08
Makanan 0,12
id
Tembakau 0,02
Furniture 0,16
Kulit 0,03
Barang Galian 0,14
Percetakan 0,05
Kayu 0,13
ak
Karet 0,02 Batu Bara 0,03
yo gy
Sumber : BPS DIY
Tabel 11.1.
ar ta .b ps
Pakaian 0,11
Barang Logam 0,03
.g o.
Tekstil 0,07
Mesin 0,02
://
Jumlah Pekerja Perusahaan IBS di DIY menurut Golongan Industri dan Jenis Kelamin, 2013 (Jiwa) Laki-laki
Makanan Tembakau
335
Perempuan
Jumlah
Total Upah
2.173
7.124
4.162
4.497
446,31 72,20
Tekstil
3.360
3.727
7.087
108,34
Pakaian
249,59
1.696
10.351
12.047
Kulit
629
425
1.054
19,59
Kayu
755
761
1.516
27,40
Percetakan
1.276
601
1.877
44,44
652
378
1.030
24,03
Karet
1.520
867
2.387
80,65
Barang Galian
2.180
394
2.574
53,70
Barang Logam
410
31
441
14,82
Mesin
2.335
488
2.823
134,69
Furniture
4.177
1.026
5.203
165,08
Lainnya
1.010
2.214
3.224
81,42
25.286
27.598
52.884
1.522,24
Batu Bara
Jumlah
Sumber : BPS DIY
54
4.951
tp
Jumlah Tenaga Kerja
ht
Golongan Industri
JUMLAH PERUSAHAAN DAN TENAGA KERJA INDUSTRI BESAR DAN SEDANG Berdasarkan hasil Survei Industri Besar Sedang (IBS) yang dilakukan secara berkala oleh BPS DIY, jumlah perusahaan IBS yang beroperasi di DIY selama tahun 2012 sebanyak 391perusahaan. Komposisi jumlah perusahaan IBS berdasarkan golongan usahanya menunjukkan bahwa industri furnitur memiliki populasi yang terbesar dengan jumlah 62 perusahaan atau 16 persen. Populasi terbesar selanjutnya secara berturut-turut adalah golongan industri barang galian bukan logam (54 unit); industri kayu, barang dari kayu dan anyaman (49 unit); industri makanan dan minuman (46 unit); pakaian jadi (43 unit); dan tekstil (29). Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengklasifikasikan besar atau kecilnya suatu perusahaan adalah banyaknya tenaga kerja. Tenaga kerja menjadi faktor produksi terpenting bagi kelangsungan proses produksi selain input bahan baku. Semakin banyak tenaga kerja yang digunakan akan semakin besar pula skala output yang dihasilkan perusahaan. Berdasarkan hasil survei tahunan IBS tahun 2012, jumlah tenaga kerja pada perusahaan IBS di DIY mencapai 52.884 orang terdiri dari 25.286 pekerja laki-laki (47,81 %) dan 27.598 pekerja perempuan (52,19 %). Jika dibandingkan dengan tahun 2011, jumlah tenaga kerja perusahaan IBS selama tahun 2012 mengalami sedikit penurunan akibat berkurangnya jumlah perusahaan yang berubah status menjadi industri kecil. Sementara, nilai total balas jasa yang dibayarkan kepada para pekerja selama tahun 2013 mencapai Rp 1,522 triliun dan menurun 1 persen dari tahun 2011. Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
Struktur output dan nilai tambah bruto pada perusahaan industri besar dan sedang didominasi oleh golongan industri makanan dan minuman serta industri pakaian jadi
11
Golongan industri pakaian jadi menyerap tenaga kerja terbesar dalam IBS DIY selama tahun 2012 dengan jumlah 12.047 orang. Nilai total balas jasa pekerja pada golongan industri ini mencapai Rp 249,59 milyar, sehingga rata-rata satu orang pekerja industri pakaian jadi menerima balas jasa sebesar Rp 20,72 juta per tahun. Golongan industri yang menyerap tenaga kerja terbesar berikutnya adalah industri industri makanan, tekstil dan industri furniture dengan jumlah masing-masing sebesar 7.124 orang, 7.087 orang dan 5.203 orang. Nilai upah atau balas jasa per pekerja yang pada perusahaan IBS tahun 2012 mencapai Rp 28,78 juta per tahun. Golongan industri yang memiliki nilai balas jasa per pekerja tertinggi adalah industri makanan dan minuman jadi serta industri mesin.
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
STRUKTUR INPUT DAN OUTPUT NDUSTRI BESAR DAN SEDANG Struktur input produksi perusahaan IBS terdiri dari biaya untuk bahan baku dan bahan penolong baik berasal dari domestik maupun impor, biaya untuk bahan bakar pelumas, biaya untuk sewa gedung, mesin, dan alat-alat, dan biaya untuk lainnya. Sementara, nilai output perusahaan IBS terdiri dari nilai barang yang dihasilkan, tenaga listrik yang dijual, pendapatan dari jasa, selisih nilai stock barang setengah jadi, dan penerimaan lainnya Selama tahun 2012, total nilai input produksi atau nilai biaya antara perusahaan IBS di DIY mencapai Rp 7.823 milyar. Sementara, nilai output yang dihasilkan dalam periode yang sama mencapai Rp 11.696 milyar, sehingga rasio nilai input terhadap nilai total output (rasio biaya antara) mencapai 0,67. Rasio biaya antara menunjukkan seberapa besar kebutuhan input antara dalam suatu proses produksi untuk menghasilkan satu unit output. Semakin tinggi nilai rasio biaya antara maka semakin tidak efisien produk tersebut diproduksi dan sebaliknya semakin rendah rasionya maka proses produksi semakin efisien. Dibandingkan dengan tahun 2011 yang sebesar 065, maka rasio biaya antara tahun 2012 sedikit mengalami kenaikan sehingga proses produksi IBS 2012 menjadi kurang efisien. Tabel 11.2.
Makanan
Rasio Rasio 2012 Input Input Nilai terhadap Nilai terhadap Input Output Input Output Tambah Output Tambah Output 4.180 5.677 1.497 73,63 3.888 5.386 1.498 72,19 2011
ht
Golongan Industri
tp
://
Nilai Input, Output dan Nilai Tambah Bruto Perusahaan IBS di DIY menurut Golongan Industri (Milyar Rp)
Tembakau
130
348
218
37,28
517
825
307
62,73
Tekstil
497
737
240
67,38
721
1.038
317
69,45
Pakaian
847
1.486
639
57,01
837
1.461
624
57,27
Kulit
137
182
45
75,44
120
179
59
66,92
Kayu Percetakan Batu Bara
55
123
67
45,18
61
97
36
62,93
173
290
117
59,68
158
261
103
60,57
47
98
51
47,84
108
157
49
69,01
Karet
202
326
125
61,83
260
303
43
85,87
Barang Galian
259
427
168
60,72
302
469
167
64,38
Barang Logam
25
34
8
74,88
31
53
22
59,17
Mesin
171
488
317
35,08
398
651
253
61,15
Furniture
322
545
223
59,02
215
367
153
58,46
78
158
80
49,54
207
350
143
59,07
7.122 10.917
3.794
65,24
7.823 11.596
3.773
67,46
Lainnya Jumlah
Sumber : BPS DIY
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
Industri makanan dan minuman menjadi golongan industri yang memiliki nilai input dan output yang terbesar, sementara industri barang logam memiliki nilai input dan output produksi yang terendah. Selama tahun 2012, nilai input yang digunakan industri makanan dan minuman mencapai Rp 3.888 milyar dan mampu menghasilkan output sebesar Rp 5.386 milyar, sehingga nilai rasio biaya antaranya sebesar 0,72. Output terbesar selanjutnya dihasilkan oleh perusahaan pada industri pakaian jadi dengan nilai output mencapai Rp 1.461 milyar, sementara nilai input yang digunakan sebesar Rp 837 milyar sehingga nilai rasio biaya antaranya mencapai 0,57. 55
11
Indikator rata-rata jumlah pekerja, output per pekerja nilai tambah bruto pada perusahaan industri besar dan sedang dalam beberapa tahun terakhir semakin meningkat, di sisi lain rasio input output juga meningkat
Perkembangan indikator perusahaan IBS DIY selama 2006-2012 disajikan dalam Tabel 11.3. Rata-rata jumlah pekerja per perusahaan IBS pada tahun 2013 tercatat sebesar 135 orang . Rata-rata ini sedikit menurun setelah tahun sebelumnya meningkat hingga 145 tenaga kerja per perusahaan. Meskipun demikian, rata-rata upah pekerja per tahun justru meningkat secara signifikan hingga mencapai Rp 28,78 juta per tahun. Peningkatan ini secara kasar merefleksikan tingkat kesejahteraan pekerja yang semakin membaik.
Produk tivitas Pekerja (juta)
Rasio Nilai Input Tambah terhadap Bruto Output (Triliun)
2006
108
9,34
60,10
0,58
1,47
2007
120
10,47
29,27
0,67
1,59
2008
128
11,56
87,33
0,66
1,86
2009
127
12,14
109,67
0,65
1,97
2010
132
12,31
120,70
0,59
2,64
2011
145
26,12
185,44
0,65
3,79
2012
135
28,78
219,27
0,67
3,77
ak
Rata-rata Upah Pekerja (Juta)
ar ta .b ps
Tahun
Rata-rata Jumlah Pekerja (Orang)
Sumber : BPS DIY
yo gy
Tabel 11.4.
tp
Output
2012
NTB
Output
NTB
52,01
39,46
46,45
39,70
Tembakau
3,18
5,75
7,11
8,15
Tekstil
6,75
6,34
8,95
8,40
13,61
16,83
12,60
16,54
Kulit
1,66
1,18
1,54
1,57
Kayu
1,12
1,77
0,83
0,95
Percetakan
2,65
3,08
2,25
2,72
Batu Bara
0,90
1,35
1,35
1,29
Karet
2,99
3,28
2,61
1,13
Barang Galian
3,91
4,42
4,05
4,43
Barang Logam
0,31
0,22
0,46
0,57
Mesin
4,47
8,34
5,61
6,70
Furniture
5,00
5,89
3,17
4,04
Lainnya
1,45
2,10
3,02
3,80
Jumlah
100
100
100
100
Sumber : BPS DIY
ht
Makanan
Pakaian
56
2011
://
Distribusi Output dan Nilai Tambah Bruto Perusahaan IBS DIY menurut Golongan Industri (Persen) Golongan Industri
Produktivitas pekerja yang diukur dari rasio output pekerja selama tujuh tahun terakhir menunjukkan perkembangan positif hingga mencapai level Rp 219,27 juta per pekerja selama setahun. Hal ini menjadi sinyal yang baik, namun dari sisi rasio input terhadap output justru semakin meningkat yang artinya prosen produksi menjadi kurang efisien. Secara umum, fenomena ini menggambarkan kenaikan output yang lebih didorong oleh peningkatan kapasitas modal. Berdasarkan golongannya, industri makanan dan minuman, pakaian jadi dan tekstil menjadi penyumbang terbesar terhadap total nilai output yang dihasilkan oleh perusahaan IBS selama tahun 20082010. Pada tahun 2012, ketiganya memiliki sumbangan sebesar 46,45 persen, 12,60 persen dan 8,40 persen terhadap total nilai output perusahaan IBS. Hal ini juga searah dengan sumbangan perusahaan pada ketiga golongan industri terhadap total nilai tambah bruto yang dihasilkan. Pada tahun 2012 andil ketiganya terhadap nilai tambah bruto mencapai 29,90 persen, 16,54 persen dan 8,40 persen. Komposisi andil dari setiap golongan industri terhadap output maupun nilai tambah bruto pada tahun 2012 relatif sama dengan tahun 2011, meskipun dari sisi level ada perbedaan. Andil output industri makanan dan minuman menurun, tetapi andil nilai tambah brutonya relatif tetap. Andil industri pakaian jadi terhadap output maupun nilai tambah bruto relatif stabil, sementara golongan industri tekstil justru memiliki andil output dan nilai tambah bruto yang semakin meningkat.
id
Rata-rata Jumlah Pekerja, Upah per Tahun, Produktivitas, Rasio Input Output dan NTB Perusahaan IBS di DIY
.g o.
Tabel 11.3.
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
Perkembangan indeks triwulanan produksi industri kecil dan mikro di DIY semakin meningkat, meskipun terjadi penurunan di triwulan I dan II 2012
11
STATUS PERMODALAN PERUSAHAAN iNDUSTRI BESAR SEDANG Status permodalan perusahaan industri bisa berasal dari penanaman modal dalam negeri (PMDN), penanaman modal asing (PMA), dan non fasilitas. Berdasarkan hasil pendataan Survei Industri Besar Sedang, mayoritas perusahaan IBS yang beroperasi di DIY selama lima tahun terakhir memiliki status modal non fasilitas, jumlahnya berada pada kisaran atau 84 persen.
Status Permodalan
2008
2009
2010
2011
2012
PMDN
10,34
8,19
8,75
9,34
8,95
5,77
6,95
6,75
7,13
6,65
83,89
84,86
84,50
83,54
84,40
100
100
100
100
100
PMA Non Fasilitas Jumlah
ar ta .b ps
Sumber : BPS DIY
Proporsi perusahan yang berstatus modal PMDN dan PMA masing-masing sebanyak 8,95 persen dan 6,65 persen. Hal yang patut diperhatikan adalah kebijakan untuk merangsang masuknya investastor asing di satu sisi dapat memacu pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain membawa pengaruh terhadap persoalan distribusi pendapatan, kesejahteraan masyarakat dan kualitas lingkungan.
id
Distribusi Perusahaan IBS di DIY menurut Status Permodalan, 2008-2012 (Persen)
.g o.
Tabel 11.5.
ht
tp
://
yo gy
ak
INDUSTRI MIKRO DAN KECIL Selain industri yang berskala besar dan sedang, struktur industri di DIY juga didominasi oleh industri yang berskala kecil dan mikro (rumah tangga). Hasil Sensus Ekonomi 2006 menunjukkan populasi industri mikro kecil di DIY mencapai 90,62 persen. Kelompok industri mikro kecil ini terbukti memiliki daya tahan yang kuat terhadap krisis ekonomi yang melanda Indonesia, namun perkembangannya sering terkendala oleh faktor modal dan strategi pemasaran. Berdasarkan hasil pendataan Survei Industri Mikro Kecil (IMK) yang dilaksanakan secara periodik setiap triwulan dapat disajikan perkembangan indeks produksi triwulanan maupun pertumbuhan produksinya. Perkembangan nilai indeks produksi triwulanan (2010=100) di DIY secara umum berada di bawah level nasional, bahkan di triwulan I dan II 2012 nilai indeks produksi DIY berada di bawah 100. Artinya terjadi penurunan produksi selama dua triwulan Gambar 11.2. Nilai rata-rata Perkembangan Indeks Produksi Triwulanan Industri Mikro dan Kecil tersebut. indeks produksi tahunan di DIY dan Nasional, 2011-2014 (2010=100) 2011 tercatat sebesar 106,56, 130 121,25 artinya selama tahun 2011 117,68 118,85 115,85 120 113,83 111,88 terjadi kenaikan produksi 110,48 109,8 108,57 107,42 115,45 114,96 116,83 115,83 110 104,93 6,56 persen. Pada tahun 2012, 105,66 105,03 106,46 106,68 106,37 105,91 rata-rata indeks produksi 100 102,76 102,16 101,26 99,33 tercatat sebesar 100,94 96,35 90 sehingga produksi tahun 80 DIY Nasional 2012 masih tumbuh positif namun melambat. Kondisi 70 tahun 2013, indeks produksi 60 mencapai 113,40, sehingga I II III IV I II III IV I II III IV I 2011 2012 2013 2014 produksi naik 12,35 persen. Sumber : BPS DIY
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
57
12
KONSTRUKSI Jenis kegiatan konstruksi yang cukup dominan di wilayah DIY adalah konstruksi bangunan sipil seperti jalan raya, fasilitas industri, jembatan dan lainnya
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
PERKEMBANGAN KEGIATAN PERUSAHAAN KONSTRUKSI Sektor konstruksi mencakup lapangan usaha/kegiatan di bidang konstruksi yang berupa pekerjaan baru/pembangunan, perbaikan, penambahan dan perubahan. Kegiatan konstruksi terdiri dari konstruksi bangunan gedung, bangunan sipil dan konstruksi khusus. Kegiatan konstruksi bangunan gedung berupa konstruksi bangunan tempat tinggal, bangunan kantor, pertokoan, dan bangunan lainnya. Sedangkan konstruksi bangunan sipil terdiri dari jalan kendaraan bermotor, jalan raya, jembatan, terowongan, rel kereta api, lapangan udara, pelabuhan dan bangunan air lainnya, sistem irigasi, sistem limbah, fasilitas industri, jaringan pipa dan jaringan listrik, fasilistas olahraga, dan lain-lain. Kegiatan konstruksi khusus mencakup penyiapan lahan, instalasi gedung dan penyelesaian gedung dan lain-lain. Pekerjaan konstruksi dapat dilakukan atas nama sendiri atau atas dasar balas jasa/kontrak. Kegiatan konstruksi dalam perkembangannya senantiasa tumbuh dan memberikan andil yang cukup signifikan dalam perekonomian DIY. Pada tahun 2013, sumbangan sektor konstruksi terhadap PDRB DIY mencapai 10,85 persen. Selama kurun waktu 2000-2013, sektor konstruksi di DIY mengalami pertumbuhan nilai tambah rata-rata di atas 8 persen per tahun. Jumlah perusahaan konstruksi yang beroperasi di DIY dan melakukan kegiatan konstruksi pada tahun 2012 tercatat sebanyak 1.080 unit perusahaan. Dibandingkan dengan tahun 2010 yang, jumlah perusahaan yang beroperasi di tahun 2012 mengalami penurunan sebanyak 79 unit. Peningkatan maupun penurunan jumlah perusahaan konstruksi tidak selalu menjamin adanya peningkatan kegiatan konstruksi di wilayah DIY. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya ketentuan bahwa kegiatan konstruksi di suatu wilayah tertentu harus dilakukan oleh perusahaan konstruksi di daerah yang sama. Sudah banyak terjadi bahwa perusahaan konstruksi yang berdomisili di wilayah DIY mendapat order proyek di luar wilayah DIY dan sebaliknya.
://
Tabel 12.1.
Tahun
Jumlah Perusahaan (Unit)
ht
tp
Jumlah Perusahaan Konstruksi, Tenaga Kerja Tetap dan Nilai Konstruksi di DIY, 2004-2013 Jumlah TK Tetap (Orang)
Nilai Konstruksi (Rp Milyar)
2004
1.239
5.127
888
2005
1.155
4.780
1.184
2006
1.081
3.335
1.082
2007
1.033
3.419
1.236
2008
1.098
3.738
1.122
2009
1.234
3.312
1.531
2010
1.159
3.312
4.061
2011
1.039
9.280
4.466
2012
1.080
9.525
5.001
Sumber : BPS
58
Jumlah tenaga kerja tetap yang bekerja di perusahaan konstruksi pada tahun 2013 sebanyak 9.525 pekerja. Sementara, nilai pekerjaan konstruksi yang diselesaikan oleh perusahaan konstruksi selama tahun 2012 mencapai Rp 5.001 milyar. Jenis konstruksi yang paling dominan dari sisi nilai adalah konstruksi bangunan sipil dengan proporsi 57,50 persen, diikuti oleh konstruksi bangunan gedung dan konstruksi khusus dengan proporsi masingmasing sebesar 22,36 persen dan 20,14 persen. PDRB sektor konstruksi dihitung berdasarkan nilai bangunan yang dibangun di wilayah yang bersangkutan dan tidak tergantung di mana posisi perusahaan konstruksinya. Hal ini bisa memberi implikasi pada perbedaan nilai tambah yang yang dicatat, karena adanya pembangunan di wilayah tersebut dapat berbeda dengan nilai konstruksi yang dibangun oleh perusahaan setempat. Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
Mayoritas penguasaan tempat tinggal oleh rumah tangga di wilayah DIY adalah menempati bangunan milik sendiri dengan proporsi sekitar 76 persen , bahkan di daerah perdesaan proporsinya mencapai 95 persen
12
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
PENGUASAAN TEMPAT TINGGAL Kontribusi rumah tangga dalam kegiatan konstruksi terutama konstruksi bangunan tempat tinggal di DIY masih sangat vital. Berdasarkan data Susenas dapat diperoleh distribusi persentase rumah tangga menurut status penggunaan bangunan tempat tinggal. Pada tahun 2013, rumah tangga yang menempati tempat tinggal milik sendiri tercatat sebanyak 76,45 persen. Porsi ini menjadi yang terbesar dibandingkan dengan status yang lainnya. Berikutnya secara berturut-turut adalah adalah rumah tangga yang menempati tempat tinggal secara kontrak, sewa dan tinggal di rumah orang tua/keluarga secara bebas sewa dengan proporsi sebesar 7,61 persen; 6,60 persen; dan 7,20 persen. Rumah tangga yang menempati tempat tinggal dengan status penggunaan lainnya (menempati rumah orang lain secara bebas sewa, rumah dinas dan lainnya) jumlahnya paling sedikit yakni 1,74 persen. Meskipun sama-sama didominasi oleh rumah tangga yang menguasai rumah milik sendiri, namun persentase rumah tangga yang tinggal di perdesaan jauh lebih besar dibandingkan dengan daerah perkotaan. Di daerah perdesaan rumah tangga yang menempati rumah sendiri proporsinya di atas 95 persen, sementara di daerah perkotaan hanya sekitar 65 persen. Status penggunaan tempat tinggal di perkotaan cenderung lebih bervariasi baik sewa per bulan maupun secara kontrak selama periode tertentu. Rumah tangga di perkotaan yang statusnya mengontrak tempat tinggal sekitar persen dan yang menyewa tempat tinggal sekitar 13 persen persen. Status penguasaan tempat tinggal di wilayah-wilayah yang menjadi pusat pendidikan pada umumnya dipadati oleh mahasiswa yang kontrak/sewa dan variasinya juga lebih banyak. Di samping itu, sebagian dari penduduk perkotaan adalah pelaku urbanisasi, yang datang ke kota untuk berusaha atau mengadu nasib. Pada umumnya mereka menyewa atau mengontrak tempat tinggal sesuai kemampuannya. Sebagai contoh, banyak terdapat penduduk Kabupaten Gunungkidul yang berdomisili di Kota Yogyakarta dengan mengkontrak rumah bersama-sama untuk mencari nafkah, seperti berjualan bakso, rujak, dan sebagainya. Pada hari-hari libur sebagian di antara mereka mengisi liburan dengan pulang ke daerah asal.
Tabel 12.2.
Gambar 12.1.
Distribusi Penguasaan Tempat Tinggal oleh Rumah Distribusi Penguasaan Tempat Tinggal oleh Rumah Tangga di DIY, 2008-2013 (Persen) Tangga menurut Kabupaten/Kota di DIY, 2013 (Persen) Penguasaan Tempat Tinggal
100%
2008
2009
2010
2011
2012
2013
90%
0,32
0,49
6,03 0,11 0,84
8,00 1,07
0,49 2,95 0,46 0,40
3,96
74,17
78,93
74,5
76,51
76,62
76,45
Kontrak
8,83
7,14
7,99
7,36
7,07
7,61
Sewa
6,87
6,32
8,96
6,62
6,94
6,60
Milik Orang Tua
7,66
4,88
5,79
7,14
7,88
7,60
Lainnya
2,47
2,73
2,76
2,37
1,49
1,74
Jumlah
100
100
100
100
100
100
18,67 92,71
50%
95,70
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
17,73
86,47 66,74
40%
Sumber : Susenas, BPS
15,22
12,44
70% 60%
6,48
7,49 11,35
80%
Milik Sendiri
1,97
41,89
30% 20% Kulonprogo
Bantul Milik sendiri
Gunungkidul Kontrak
Sewa
Sleman Milik Ortu
Yogyakarta
Lainnya
Sumber : Susenas, BPS
59
13
HOTEL DAN PARIWISATA Kegiatan pariwisata sangat menentukan keberlangsungan aktivitas produksi sektoral terutama sektor perdagangan, hotel dan restoran dan jasa-jasa di wilayah DIY
.g o.
id
Visi pembangunan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) adalah menjadikan DIY sebagai pusat pendidikan, budaya dan daerah tujuan wisata terkemuka di Asia Tenggara dalam lingkungan masyarakat yang maju, mandiri dan sejahtera. Untuk mewujudkan visi tersebut maka strategi kebijakan yang ditempuh pemerintah DIY diarahkan dan diprioritaskan menuju sembilan bidang strategis dan bidang pariwisata menjadi prioritas kedua setelah bidang pendidikan. Visi pembangunan pariwisata DIY 2012-2025 adalah terwujudnya Yogyakarta sebagai destinasi wisata berkelas dunia, memiliki keunggulan saing dan banding, berwawasan budaya, berkelanjutan, mampu mendorong pembangunan daerah dan berbasis kerakyatan sebagai pilar utama perekonomian. Hal yang perlu dipahami adalah pariwisata merupakan industri yang digerakkan oleh permintaan/demand atau dihidupi oleh wisatawan dan supplainya disediakan dan ditentukan oleh kegiatan sektoral terutama hotel, akomodasi, restoran, transportasi, komunikasi, dan jasa-jasa. Perkembangan kepariwisataan di suatu wilayah dapat diukur dari indikator jumlah sarana dan prasarana (akomodasi), jumlah kunjungan wisata baik domestik maupun mancanegara, tingkat penghunian kamar hotel dan rata-rata lama menginap tamu.
yo gy
ak
ar ta .b ps
HOTEL DAN AKOMODASI LAINNYA Akomodasi mencakup kegiatan penyediaan hotel yang dikategorikan menjadi hotel bintang dan non bintang, vila, penginapan, hostel dan lainnya. Jumlah akomodasi hotel bintang di DIY selama tahun 2013 tercatat sebanyak 61 unit dengan rincian terletak di Kabupaten Bantul dan Gunungkidul masing-masing 1 unit, 21 unit di Kabupaten Sleman, dan 38 unit di Kota Yogyakarta. Jika dibandingkan dengan tahun 2012, jumlah hotel bintang meningkat sebanyak 7 unit. Peningkatan ini terjadi di Kota Yogyakarta dan Sleman. Jika dicermati maka peningkatan hotel bintang mulai marak sejak tahun 2010. Jumlah kamar yang tersedia pada hotel bintang di tahun 2013 sebanyak 5.801 kamar dengan kapasitas tempat tidur sebanyak 9.280 unit. Jumlah kamar maupun tempat tidur tersebut meningkat
://
Tabel 13.1.
Tahun
ht
tp
Jumlah Akomodasi Hotel, Kamar dan Tempat Tidur di DIY, 2004-2013 (Unit) Bintang
Non Bintang
Akomodasi
Kamar
Tempat Tidur
Akomodasi
Kamar
Tempat Tidur
2004
36
3.416
5.555
1.092
11.278
17.307
2005
36
3.415
5.573
1.089
11.221
17.228
2006
37
3.458
5.640
1.046
11.307
17.459
2007
38
3.458
5.640
1.039
11.307
17.459
2008
34
3.297
5.439
1.095
12.158
18.270
2009
34
3.373
5.633
1.092
12.091
17.735
2010
36
3.631
5.807
1.098
12.519
18.293
2011
41
3.953
6.389
1.063
12.407
18.586
2012
54
5.150
8.171
1.100
13.309
21.720
2013
61
5.801
9.280
1.109
13.547
21.549
Sumber : BPS DIY
60
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
Jumlah kunjungan wisatawan domestik dan asing dalam beberapa tahun terakhir semakin semarak yang ditandai oleh peningkatan jumlah tamu yang menginap di hotel bintang dan non bintang
13
id
cukup signifikan selaras dengan peningkatan jumlah hotel dibandingkan dengan kondisi tahun 2012. Jumlah akomodasi hotel non bintang di DIY di akhir tahun 2013 tercatat sebanyak 1.109 hotel dan tersebar di lima kabupaten/kota dengan rincian Kulonprogo 26 unit, Bantul 286 unit, Gunungkidul 65 unit, Sleman 368 unit dan Kota Yogyakarta 344 unit. Jumlah kamar tidur yang tersedia di hotel non bintang tercatat sebanyak 13.549 kamar dengan kapasitas tempat tidur sebanyak 21.549 unit. Jika dibandingkan dengan tahun 2012, jumlah hotel non bintang dan jumlah kamarnya meningkat, tetapi kapasitas tempat tidurnya mengalami penurunan karena beberapa hotel non bintang berubah statusnya menjadi hotel bintang. Fenomena peningkatan jumlah akomodasi baik hotel bintang dan non bintang maupun jumlah kamar beserta kapasitas tempat tidur di satu menggambarkan kunjungan pariwisata yang semakin semarak di wilayah DIY, namun di sisi yang lain ada ruang terutama pemukiman penduduk yang berkurang dan ketersediaan air tanah yang mulai berkurang.
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
JUMLAH KUNJUNGAN WISATAWAN Salah satu indikator yang menggambarkarkan bergeliatnya kegiatan pariwisata adalah jumlah kunjungan wisata baik wisatawan domestik maupun mancanegara/asing. Sampai saat ini, DIY dikenal sebagai salah satu destinasi wisata di Indonesia di samping Bali, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kepulauan Riau, dan lainnya. Hal ini tidak lepas dari beragamnya khasanah kekayaan wisata DIY, baik wisata alam maupun wisata budaya, baik wisata yang sifatnya massal maupun minat khusus. Jumlah kunjungan wisatawan dapat diukur dengan pendekatan jumlah tamu yang menginap di hotel-hotel dalam wilayah DIY atau berdasarkan catatan jumlah pengunjung dari setiap kawasan tujuan wisata dan event pariwisata. Kelemahan pengukuran kunjungan wisata dari banyaknya tamu yang menginap di hotel adalah tidak mampu mencatat wisatawan yang tidak menginap di hotel/akomodasi lainnya atau wisatawan yang berkunjung tetapi menginap di hotel di luar DIY.
://
Gambar 13.1. 4.000
ht
tp
Jumlah Wisatawan Domestik dan Asing yang Menginap di DIY, 2004-2013 (000 Jiwa) Domestik
Asing
3.603,37 3.397,90
3.500 2.981,83
3.000 2.500
3.057,58 2.850,99
2.516,20 2.263,63 2.070,69
2.127,63
2.000 1.500 1.000 500 79,36
68,86
76,20
110,71
123,37
140,65
148,76
148,50
207,28
0 2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Sumber : BPS DIY
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
61
13
Wisatawan domestik yang berkunjung ke DIY masih mendominasi dari sisi jumlah, sementara wisatawan asing yang berkunjung sebagian besar berasal dari negara-negara di kawasan Asia dan Eropa terutama dari negara Belanda dan Jepang
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
Jumlah kunjungan wisata ke DIY selama periode 2005-2013 cukup berfluktuasi dan sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian makro maupun faktor eksternal seperti bencana alam dan lainnya. Tercatat sebanyak dua kali jumlah kunjungan wisata mengalami penurunan pada tahun 2006 sebagai dampak dari gempa bumi dan tahun 2010 sebagai dampak dari erupsi Merapi. Dalam tiga tahun terakhir, jumlah kunjungan wisatawan ke DIY menunjukkan peningkatan secara signifikan. Selama tahun 2013, jumlah wisatawan yang berkunjung ke DIY mencapai 3,81 juta, terdiri dari 3,60 juta wisatawan domestik dan 207,28 ribu wisatawan asing. Jumlah wisatawan domestik jauh lebih dominan dibanding wisatawan asing dengan porsi sekitar 94,56 persen. Perkembangan kunjungan wisata selama sembilan tahun terakhir menunjukkan bahwa setiap tahun jumlah kunjungan rata-rata meningkat sebesar 7,83 persen. Jumlah kunjungan wisatawan asing mampu tumbuh di atas 20 persen per tahun, sementara wisatawan domestik tumbuh 7,40 persen per tahun. Peran strategis pemerintah dalam mendorong dan meningkatkan arus kunjungan wisata dapat dilakukan melalui strategi kebijakan pengembangan destinasi wisata (mencakup daya tarik, prasarana dan fasilitas), industri pendukung, serta promosi kegiatan wisata. Perkembangan kunjungan wisatawan terutama domestik juga sangat dipengaruhi oleh faktor musiman. Kunjungan akan meningkat tajam pada saat musim liburan sekolah, libur panjang akhir pekan, libur hari raya keagamaan maupun akhir tahun. Hal ini dapat dijadikan sebagai salah satu dasar bagi institusti yang terkait dalam menyusun dan menentukan kalender kegiatan wisata di DIY. Berdasarkan negara asalnya, wisatawan asing yang berkunjung ke DIY selama tahun 2013 didominadi oleh wisatawan dari Belanda, Jepang, dan Malaysia. Pangsa jumlah wisatawan dari negara-negara tersebut secara berturut-turut adalah 11,30 persen dan 9,42 persen. Peta negara asal wisatawan dalam beberapa tahun relatif tidak berubah, tapi dari sisi persentase semakin homogen. Jumlah wisatawan yang berasal dari Belanda dan Jepang dalam beberapa tahun terakhir selalu yang terbanyak. Fenomena ini terjadi karena adanya ikatan historis, dimana Belanda dan Jepang pernah menduduki Indonesia khususnya Yogyakarta dalam kurun waktu yang cukup lama. Sampai saat ini, di wilayah DIY masih banyak tempat dan benda peninggalan yang memiliki nilai historis dan masih tetap terpelihara. Gambar 13.2.
Pangsa Wisatawan Asing yang Berkunjung ke DIY Berdasarkan Negara Asal dan Kawasan, 2013 (Persen) Perancis; 6,33 Singapura; 5,33
Malaysia; 9,42
Jerman; 5,02
Jepang; 10,73
Amerika Serikat; 4,72
Belanda; 11,30
ASEAN; 24,83
Asia Lainnya; 25,12
US, Canada, Amerika Latin; 6,54
Australia; 4,06 Australia dan Oceania; 4,82
Thailand; 2,70 Lainnya; 28,99
RRC; 2,40 Belgia; 2,38 Italia; 2,34
Korea Selatan; 2,05
Eropa; 38,35 Afrika; 0,34
Inggris; 2,23
Sumber : BPS DIY
62
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
Meskipun jumlah kunjungan wisatawan semakin meningkat, namun rata-rata lama menginap (Long of Stay) wisatawan domesti dan Asing justru semakin menurun
13
Pangsa wisatawan asing yang berkunjung berdasarkan kawasan negara asal selama 2013 menunjukkan sebanyak 49,95 persen wisatawan berasal dari kawasan Asia dengan rincian 24,83 persen negara-negara Asean dan 25,12 persen negara di kawasan Asia lainnya. Sementara, kawasan Eropa yang cukup mendominasi kunjungan wisata asing ke DIY di tahun 2012 (52,87 persen) mengalami penurunan proporsi menjadi 38,35 persen. Secara absolut, jumlah wisatawan dari kawasan Eropa justru meningkat, tetapi pertumbuhannya lebih rendah dibandingkan dengan wisatawan dari kawasan Asia. Pemetaan distribusi negara dan kawasan asal wisatawan asing sangat penting bagi perencanaan kegiatan promosi dan pemasaran wisata di luar negeri. Potensi pasar yang dapat digarap lebih serius melalui kegiatan promosi adalah kawasan Timur Tengah, Australia dan Oceania, serta Asia Timur (Jepang, Korea, China, Taiwan), serta Amerika Latin.
id
Gambar 13.3.
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
Jumlah Wisatawan Domestik dan Asing yang Menginap di DIY, 2004-2013 (000 Jiwa)
Pantai Baron
Pantai Kukup
ht
tp
://
RATA-RATA LAMA MENGINAP Kinerja sektor pariwisata juga dapat diukur menggunakan indikator rata-rata lama menginap (Long of Stay/LOS) wisatawan di hotel. Semakin tinggi nilai LOS secara rata-rata menunjukkan semakin lama wisatawan tinggal di wilayah DIY, sehingga akan semakin besar pula pengeluaran konsumsinya. Dari sisi supply, semakin besar konsumsi wisatawan akan semakin menggerakkan pertumbuhan sektor-sektor perekonomian yang terkait terutama sektor hotel, restoran, industri kreatif, transportasi dan jasa lainnya. Kendati volume wisatawan asing yang menginap di hotel/akomodasi lainnya di DIY proporsinya lebih sedikit dibanding wisatawan domestik, rata-rata lama menginapnya justru lebih panjang. Selama tahun 2013, rata-rata lama menginap wisatawan asing mencapai 1,97 malam dan sedikit menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang sebesar 2,23 malam, sementara rata-rata lama menginap wisatawan domestik hanya 1,38 malam. Secara umum, rata-rata lama menginap wisatawan asing menunjukkan pola yang semakin menurun dari 3,49 malam di tahun 2002 menjadi 1,97 malam di tahun 2013. Sementara, perkembangan rata-rata lama menginap wisatawan domestik dalam sepuluh tahun terakhir relatif stabil pada kisaran 1,5 malam dan pada tahun 2013 polanya terlihat semakin menurun. Dalam rentang sepuluh tahun terakhir perbedaan (gap) rata-rata lama menginap antara wisatawan asing dan domestik menunjukkan pola yang semakin mengecil. Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
63
13
Tingkat Penghunian Kamar (TPK) di tahun 2013 mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, dan terdapat kecenderungan TPK hotel berbintang selalu lebih tinggi dari TPK hotel non bintang
.g o.
id
Perkembangan rata-rata lama menginap selama tahun 2010-2013 menurut bulan menunjukkan adanya pola musiman, meskipun tidak ada relasi yang sistematis antara jumlah kunjungan dan rata-rata lama menginap. Pada tahun 2013, rata-rata lama menginap tertinggi terjadi selama bulan Januari sebesar 1,59 malam yang bersamaan dengan momentum perayaan tahun baru. Pada tahun 2012, rata-rata lama menginap tertinggi terjadi pada bulan Januari dan Maret masing-masing sebesar 1,77 dan 1,78 bersamaan dengan momentum pergantian tahun dan liburan cuti bersama. Pada tahun 2011, rata-rata yang tertinggi terjadi selama bulan Agustus sebesar 1,87 malam bersamaan dengan momentum liburan hari raya Idul Fitri. Sementara, rata-rata tertinggi selama tahun 2010 terjadi selama bulan November yang bersamaan dengan momentum pasca erupsi Merapi. Berdasarkan jenis akomodasinya, rata-rata lama menginap pada hotel bintang dalam beberapa tahun terakhir selalu lebih tinggi dibandingkan dengan hotel non bintang. Pada tahun 2013, rata-rata lama menginap di hotel bintang mencapai 1,67 malam dan hotel non bintang mencapai 1,29 malam.
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
TINGKAT PENGHUNIAN KAMAR (TPK) Selain rata-rata lama menginap, kinerja pariwisata juga dapat diukur dengan indikator Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel/ akomodasi lainnya. TPK hotel mencerminkan tingkat produktivitas hotel, semakin tinggi nilainya maka semakin produktif. TPK dihitung dalam persen dengan cara membagi jumlah kamar yang terjual dengan jumlah kamar yang tersedia dikalikan 100 persen. Perkembangan TPK hotel di DIY selama sembilan tahun terakhir menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, namun terjadi sedikit penurunan di tahun 2013. Pada tahun 2005, TPK hotel tercatat sebesar 29,11 persen. Artinya, jumlah malam kamar yang terisi selama tahun 2005 mencapai 29,11 persen. Angka TPK secara bertahap meningkat hingga mencapai 40,72 persen di tahun 2012, sebagai imbas dari semakin bergairahnya aktivitas pariwisata di DIY yang diindikasikan oleh peningkatan jumlah kunjungan wisata. Namun, angka ini sedikit menurun hingga menjadi 35,41 persen di tahun 2013 sebagai akibat dari meningkatnya populasi hotel bintang dan non binang di DIY. Gambar 13.4.
Gambar 13.5. Rata-rata Lama Menginap Wisatawan di Hotel menurut Bulan, 2010-2013 (malam)
Rata-rata Lama Menginap Wisatawan di Hotel/ Akomodasi DIY, 2002-2013 (malam)
2,00
4,50 Asing
3,81
4,00 3,49
2011
2012
Jun
Jul Agust Sep
2013
1,80
3,50 2,89
3,00
2,62
2,67 2,31
2,50
2,00
2,17
2,13
2,24
1,60
2,23 1,97
2,00 1,50
2010
Domestik
1,40 1,75
1,79
1,59
1,00
1,25
1,35
1,44
1,45
1,43
1,40
1,61
1,58
1,38
1,20
0,50 1,00
0,00 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Sumber : BPS DIY
64
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Okt
Nop
Des
Sumber : BPS DIY
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
TPK bulanan hotel bintang dan non bintang di DIY dipengaruhi oleh faktor musiman dan akan mencapai level tinggi bersamaan dengan liburan sekolah, libur akhir tahun dan perayaan hari raya idul Fitri
13
Tabel 13.5.
Berdasarkan golongannya, TPK hotel bintang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan hotel non bintang. Pada tahun 2013, TPK hotel bintang mencapai 56,20 dan meningkat dibandingkan dengan Hotel Hotel non Tahun Jumlah Bintang Bintang tahun 2012 yang sebesar 55,19 persen. Sementara, TPK hotel non bintang tercatat sebesar 30,02 persen 2005 40,99 21,50 26,13 dan cenderung menurun dibandingkan dengan 2006 37,86 19,51 23,07 tahun 2012 yang sebesar 36,72 persen. Fenomena 29,29 2007 45,85 24,18 ini menggambarkan perkembangan kecenderungan 2008 49,26 30,97 35,73 wisatawan untuk menginap di hotel bintang yang 2009 49,44 57,15 55,54 lebih tinggi sekaligus menunjukkan tingkat persaingan 2010 48,83 31,59 35,34 antara hotel bintang dan non bintang dalam merebut 2011 50,65 34,55 37,82 pengunjung. 40,72 2012 55,19 36,56 Minat para wisatawan yang semakin tinggi untuk 2013 56,20 30,02 36,41 mengunjungi DIY mendorong peningkatan TPK hotel. Sumber : BPS DIY Pola perkembangan TPK bulanan selama tahun 20102013 cukup berfluktuasi. TPK 2010 mencapai puncaknya selama bulan Juli berkaitan dengan liburan masa sekolah, dan mencapai level terendah pada bulan Agustus bersamaan dengan momentum bulan Ramadhan dan bulan November pasca peristiwa erupsi Merapi. Sementara, TPK 2011 dan 2012 mencapai puncaknya di bulan Desember bersamaan dengan momentum liburan akhir tahun dan mencapai level terendah di bulan Agustus bersamaan dengan momentum bulan Puasa. Pada tahun 2013, TPK mencapai puncaknya di bulan Desember bersamaan dengan momentum liburan pergantian tahun dan mencapai level terendah di bulan Agustus bersamaan dengan momentum bulan Puasa. Fluktuasi TPK hotel bintang cenderung lebih tajam dibandingkan dengan TPK hotel non bintang, namun keduanya memiliki pola musiman yang hampir sama. Tahukah Anda ?
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
TPK Hotel di DIY menurut Jenis Hotel, 2005-2013 (Persen)
ht
tp
TPK dan rata-rata lama menginap wisatawan di DIY dipengaruhi oleh faktor musiman dan mencapai puncak bersamaan dengan momentum liburan sekolah, perayaan Idul Fitri dan pergantian tahun Gambar 13.6.
Tingkat Penghunian Kamar di DIY menurut Jenis Hotel dan Bulan, 2010-2013 (Persen) 50,00
80,00 Hotel Bintang 70,00
63,71
Hotel non Bintang
50,00
58,66
48,60 48,33
52,91
30,00
61,90 62,29
40,00
49,45 40,25
39,34
31,91
Mar
Apr
33,73
33,56 30,00
25,66
20,00 Feb
30,96 31,15
28,63
30,00
36,17 36,30 36,25 35,96
33,88 34,48 33,54
Jan
60,26
35,00
37,46
27,42
2013
51,37
42,36
40,00
2011
45,00
66,48
60,00 51,46
2010
Jumlah
23,77
Mei
Jun
Jul
25,00
28,69 28,17 27,73
20,00 Agust Sep
Okt
Nop
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul Agust Sep
Okt
Nop
Des
Sumber : BPS DIY
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
65
14
PERBANKAN DAN INVESTASI Kinerja perbankan yang diukur dari nilai aset, dana pihak ketiga yang dihimpun dan penyaluran kredit di wilayah DIY menunjukkan perkembangan yang semakin membaik
KELEMBAGAAN Jumlah bank yang beroperasi di DIY pada tahun 2013 tercatat sebanyak 103 unit. Rinciannya terdiri dari 4 bank pemerintah, 33 bank swasta nasional, 1 bank pembangunan daerah dan 65 bank perkreditan rakyat. Dibandingkan dengan tahun 2012 jumlah bank yang beroperasi bertambah 4 unit dan termasuk dalam kategori bank swasta nasional dan bank perkreditan rakyat. Jumlah kantor pelayanan bank pada tahun 2013 sebanyak 810 unit dan terdiri dari 254 unit kantor bank pemerintah, 165 unit kantor bank swasta nasional, 143 unit kantor bank pembangunan daerah, dan 248 unit kantor bank perkreditan rakyat. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, jumlah kantor bank meningkat 10,81 persen. Jumlah kantor bank yang meningkat pesat adalah bank perkreditan rakyat dengan peningkatan sebesar 13,24 persen.
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
PERKEMBANGAN KEGIATAN PERBANKAN Perkembangan kegiatan perbankan dapat diukur dari nilai aset, pinjaman pihak ketiga dan kredit yang disalurkan. Selama periode 2008-2013 perkembangan kegiatan perbankan di wilayah DIY menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Ketiga ukuran tersebut mengalami peningkatan dengan pertumbuhan di atas 13 persen. Aset perbankan pada akhir tahun 2013 tercatat sebesar Rp 47,22 triliun atau meningkat 15,88 persen dibandingkan dengan tahun 2012 yang tercatat sebesar Rp 40,75 triliun. Peningkatan aset perbankan ini sejalan dengan kinerja perekonomian DIY yang mampu tumbuh positif di atas 5 persen. Berdasarkan jenis banknya, lebih dari 91 persen dari total aset perbankan merupakan aset bank umum baik pemerintah maupun swasta dan sisanya merupakan aset bank perkreditan rakyat. Peningkatan aset dari sisi pasiva didorong oleh peningkatan simpanan/dana pihak ketiga yang mampu tumbuh sebesar 13,33 persen selama tahun 2013. Besarnya dana pihak ketiga yang mampu dihimpun dari masyarakat sampai akhir tahun 2012 mencapai Rp 40,27 triliun. Meskipun tingkat suku bunga mengalami penurunan sejalan dengan penurunan BI rate, animo masyarakat untuk menyimpan dana di tabungan masih tetap tinggi yang terlihat dari besarnya share dana milik perorangan yang lebih dari 75 persen. Tabel 14.1.
Tabel 14.2. Jumlah Aset, Dana Pihak Ketiga dan Kredit Perbankan di DIY, 2008-2013
Perkembangan Jumlah Bank, Kantor Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya di DIY (Unit) Tahun
Bank Pemerintah
Bank Swasta Nasional
BPD
BPR
Jumlah
Aset Tahun
Dana Pihak Ketiga
Kredit
2001
4
126
15
58
1
39
65
99
85
322
2008
Nilai (Rp Pertum- Nilai (Rp Pertum- Nilai (Rp Pertummilyar) buhan (%) milyar) buhan (%) milyar) buhan (%) 20.919 10,34 18.017 9,53 10.475 15,64
2002
4
156
14
51
1
58
65
99
84
364
2003
4
156
16
53
1
62
64
99
85
370
2009
24.572
17,46
21.034
16,75
11.723
11,91
2004
4
156
17
54
1
62
65
100
87
372
2010
29.212
18,88
24.524
16,59
14.581
24,38
2005
4
156
18
55
1
62
65
151
88
424
2011
33.923
16,13
28.775
17,33
17.939
23,03
2006
4
156
18
55
1
62
64
151
87
424
2012
40.749
20,12
34.882
21,23
21.840
21,75
2007
4
92
22
93
1
72
60
159
87
416
2013
47.222
15,88
40.270
13,33
26.276
18,60
2008
4
99
24
114
1
134
62
171
91
518
2009
4
102
27
142
1
136
62
114
94
494
2010
4
117
28
144
1
137
64
135
97
533
2011
4
230
30
157
1
140
64
204
99
731
2012
4
251
31
160
1
142
65
219
99
731
2013
4
254
33
165
1
143
65
248
103
810
Bank Kantor Bank Kantor Bank Kantor Bank Kantor Bank Kantor
Sumber : Bank Indonesia Yogyakarta
Sumber : Bank Indonesia Yogyakarta
66
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
Struktur dana yang dihimpun dari masyarakat didominasi oleh tabungan, sementara kredit yang disalurkan sebagian besar terserap untuk kegiatan konsumsi
14
Struktur dana pihak ketiga yang dihimpun dari masyarakat selama tahun 2013 sebagian besar berasal dari tabungan dengan nilai mencapai Rp 21,56 triliun atau sebesar 54,16 persen. Sementara, yang berasal dari simpanan berjangka (deposito) dan giro masing-masing sebesar Rp 13,21 triliun (33,18 %) dan Rp 5,04 triliun (12,67 %). Dari ketiga jenis simpanan, peningkatan yang tertinggi terjadi pada kelompok simpanan berjangka (deposito). Dari sisi aktiva, peningkatan aset didorong oleh kenaikan jumlah kredit yang disalurkan yang mampu tumbuh sebesar 18,60 persen. Jumlah nominal kredit yang tersalurkan selama tahun 2013 mencapai Rp 26,28 triliun. Distribusi kredit berdasarkan penggunaannya menunjukkan bahwa sebagian besar kredit dilakukan untuk kegiatan konsumsi. Pada tahun 2013 besarnya kredit untuk konsumsi mencapai Rp 10,38 triliun dengan porsi mencapai 41,53 persen dari total jumlah kredit yang tersalur. Tabel 14.3.
Jenis Penggunaan Modal Kerja
Investasi
Konsumsi
Jumlah
id
ar ta .b ps
Tahun
Pemanfaatan kredit untuk modal kerja dan investasi masing-masing mencapai Rp 9,50 triliun (37,99 %) dan Rp 4,76 triliun (19,03 %). Selama 20072013, semua jenis penggunaan kredit (modal kerja, investasi dan konsumsi) semakin meningkat dengan besaran yang bervariasi. Pemanfaatan untuk kegiatan konsumsi selalu mendominasi jenis kredit yang disalurkan dan diikuti oleh kredit modal kerja dan kredit investasi.
.g o.
Perkembangan Jumlah Kredit menurut Jenis Penggunaan di DIY, 2007-2013 (Rp Milyar)
3.723 (41,10)
1.219 (13,46)
4.116 (45,44)
2008
4.450 (42,48)
1.280 (12,22)
4.745 (45,30) 10.475 (100)
9.059 (100)
2009
4.642 (39,60)
1.486 (12,68)
5.595 (47,73) 11.723 (100)
2010
5.488 (38,95)
1.809 (12,84)
6.793 (48,21) 14.090 (100)
2011
7.277 (40,57)
2.386 (13,30)
8.276 (46,13) 17.939 (100)
2012
8.996 (41,19)
3.193 (14,62)
9.651 (44,19) 21.840 (100)
2013
9.499 (37,99)
4.756 (19,03) 10.382 (41,53) 24.998 (100)
yo gy
ak
2007
Sumber : Bank Indonesia Yogyakarta
ht
tp
://
Secara sektoral, pemanfaatan kredit perbankan terbesar disalurkan ke sektor bukan lapangan usaha (40,11 %), terutama kredit konsumsi dan diikuti oleh kredit pada sektor perdagangan besar dan eceran dengan porsi 26,99 persen. Posisi selanjutnya secara berturut-turut adalah kredit sektor serta real estate dan usaha persewaan; sektor industri pengolahan; dan sektor penyediaan akomodasi dan restoran dengan proporsi masing masing sebesar 7,80 persen, 6,53 persen dan 4,94 persen. Kinerja perbankan juga dapat diukur dari nilai Loan to Deposit Ratio (LDR) yang dihitung dari rasio antara jumlah kredit yang disalurkan dengan jumlah dana yang dihimpun dari masyarakat. LDR di DIY selama tahun 2013 mencapai 65,25 persen dan lebih meningkat dibandingkan dengan LDR 2012 yang sebesar 62,61 persen. Peningkatan ini menunjukkan peran dan fungsi perbankan sebagai lembaga intermediasi keuangan menjadi semakin baik atau semakin optimal terlebih jika pemanfaatan kreditnya untuk kegiatan yang sifatnya produktif tentu akan mampu menggerakkan perekonomian. Di sisi yang lain, meningkatnya aktivitas ekonomi yang ditandai oleh pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga disinyalir menjadi penyebab meningkatnnya permintaan volume kredit oleh para pelaku ekonomi. Meskipun nilai LDR selama 2007-2012 semakin meningkat, secara umum nilai tersebut masih berada di bawah ketentuan minimum LDR yang sebesar 78 persen. Belum optimalnya LDR salah satunya disebabkan oleh persoalan rendahnya penyaluran kredit terutama dari bank umum yang dihimpun di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. Dengan share dana Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
67
14
Perkembangan LDR semakin meningkat sehing fungsi intermediasi bank semakin berjalan optimal, namun secara level masih berada di bawah taraf yang ditentukan (78 persen)
Tabel 14.4.
Gambar 14.1. Perkembangan Loan to Deposit Ratio (LDR) dan non Performing Loans (NPL) di DIY, 2007-2013 (Persen) 68
3,20
60 58 54
55,07
2,54
62,34
3,19
2,41
58,14
56
5
62,61
5,05
55,73
yo gy
62
NPL
2,79
2,35
57,45
://
64
tp
52 48 2007
2008
ht
50 2009
2010
6
65,25
2011
Sumber : Bank Indonesia Yogyakarta
2012
Pangsa Aset, Dana Pihak Ketiga, Kredit dan LDR Bank Umum menurut Kabupaten/Kota di DIY, 2010-2013 Kabupaten/ Kota
ak
LDR
66
ar ta .b ps
.g o.
id
pihak ketiga yang berhasil dihimpun sebesar 18,74 persen dan 71,19 persen, pangsa kredit yang tersalurkan di kedua daerah hanya mencapai 14,79 persen dan 68,98 persen. Akibatnya, LDR di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta selama tahun 2013 menjadi yang terendah dengan nilai masing-masing sebesar 47,98 persen dan 58,89 persen. LDR yang tertinggi terjadi di Kabupaten Gunungkidul dengan nilai 134,18 persen, artinya dana dari pihak ketiga yang berhasil dihimpun oleh bank umum belum mampu untuk mencukupi permintaan kredit oleh masyarakat dan pelaku usaha sehingga harus dicukupi dari daerah lainnya. Meskipun demikian, dibandingkan dengan tahun 2012 nilai LDR di semua kabupaten/kota mengalami kenaikan kecuali Kabuapten Bantul turun 3,50 poin. Non Performing Loans (NPLs) merupakan indikator yang menunjukkan tingkat resiko kredit perbankan. Nilai NPLs selama tahun 2007-2013 menunjukkan pola yang cukup berfluktuasi. NPLs mencapai level terendah pada tahun 2012 dengan nilai 2,35 persen, meskipun terlihat meningkat kembali di tahun 2013 dengan level sebesar 2,79 persen.Secara umum, kenaikan angka NPLs ini menunjukkan resiko perbankan dalam menyalurkan kredit menjadi semakin tinggi atau tingkat pembayaran/pengembalian cicilan menjadi kurang lancar. Resiko kredit perbankan di DIY dalam empat tahun terakhir masih di bawah batas kategori aman karena memiliki nilai NPLs di bawah 5 persen.
2013
Pangsa (Persen)
Aset
DPK
LDR
Kredit
2010
2011
2012
2013
4
Kulonprogo
2,83
3,04
4,33
94,84
84,73
83,11
86,47
3
Bantul
4,00
4,33
5,94
91,16
81,57
86,77
83,27
2
Gunungkidul
3,29
2,70
5,96 153,04 134,82 127,86 134,18
1
Sleman
16,71
18,74
14,79
0
Yogyakarta
73,17
71,19
68,98
52,40
56,26
57,09
58,89
100,00 100,00 100,00
59,45
58,68
59,24
60,77
DIY
59,69
47,16
46,94
47,98
Sumber : Bank Indonesia Yogyakarta
NILAI TUKAR VALUTA ASING Nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang asing menjadi salah satu variabel ekonomi yang sangat perlu dipantau perkembangan maupun fluktuasinya. Ketika nilai tukar menguat (terapresiasi) maka akan berpengaruh terhadap meningkatnya volume impor luar negeri dan menurunnya volume ekspor, karena harga barang impor menjadi lebih murah dan harga barang ekspor menjadi lebih mahal di luar negeri. Sebaliknya, ketika nilai tukar melemah (terdepresiasi) maka akan berpengaruh terhadap penurunan impor luar negeri karena harga barang impor menjadi lebih mahal dan mampu mendorong ekspor luar negeri. karena harga komoditas ekspor di luar negeri menjadi lebih murah. Perkembangan rata-rata nilai tukar rupiah dalam setahun terhadap valuta asing secara ringkas disajikan dalam tabel 14.5. Data yang disajikan bersumber dari beberapa sampel perusahaan valas. Secara umum, nilai jual beberapa mata uang asing yang diperdagangkan oleh perusahaan valas selalu lebih tinggi dibandingkan dengan nilai mata uang yang dibeli. 68
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
Perkembangan rata-rata nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika di tahun 2013 mengalami depresiasi, sementara terhadapmata uang Euro justru menguat (Terapresiasi)
14
Nilai tukar beberapa mata uang asing terhadap rupiah memiliki pola yang sama dengan nilai tukar Dolar Amerika (USD), karena sampai saat ini USD menjadi mata uang rujukan dalam transaksi internasional. Pola nilai tukar rupiah terhadap USD terlihat melemah sampai tahun 2010, kemudian menguat di tahun 2011 dan kembali melemah di tahun 2012-2013. Pola yang sedikit berbeda terjadi pada nilai tukar mata uang rupiah terhadap Poundsterling Inggris (GBP) yang mengalami pelemahan di tahun 2008 kemudian kembali menguat sampai tahun 2012. Demikian pula dengan nilai tukar rupiah terhadap Yen Jepang terlihat memiliki pola yang semakin menguat. Tabel 14.5. Rata-rata Nilai Tukar Jual dan Beli Valuta Asing menurut Jenis Valuta Asing di DIY, 2007-2013 Dolar Australia Dolar Hongkong Poundsterling Yen Ringgit Dolar Singapura (AUD) (HKD) Inggris (GBP) Jepang (Y) Malaysia (MYR) (SGD)
Beli
Jual
Beli
Jual
9.110
6.938
6.815
1.232 1.147 16.912 16.655 109 107
3.379 3.253 8.462
8.369 13.918 13.830
2008
9.193
9.081
7.704
7.586
1.220 1.144 18.346 18.108 119 117
3.088 2.986 7.587
7.480 12.132 12.006
9.760
9.582
8.271
7.926
1.298 1.203 17.875 17.302 111 109
2.908 2.809 7.048
10.515 10.336
8.236
8.047
1.417 1.301 16.333 15.726 105 102
2.860 2.746 6.732
6.611 12.111 11.940
Jual
Beli
Jual
Beli
Jual
Beli
6.938 12.265 12.130
8.847
8.734
9.107
8.980
1.184 1.105 14.223 13.955 131 109
3.105 2.945 7.243
7.076 14.530 14.256
9.469
9.367
9.788
9.664
1.595 1.518 15.037 14.775
96
92
2.945 2.802 6.895
6.729 14.220 13.967
10.576 10.434 10.224 10.069
1.410 1.324 16.630 16.299
79
77
2.697 2.592 6.120
6.010 12.559 12.432
2012 2013
Jual Beli
ar ta .b ps
2011
Beli
.g o.
Jual 9.226
2009
Jual
EURO
2007
2010
Beli
id
Dolar Amerika (USD)
Bulan
ak
Sumber: BPS DIY
ht
tp
://
yo gy
INVESTASI Investasi adalah pengorbanan materi maupun non materi pada masa sekarang untuk memperoleh pendapatan di masa yang akan datang. Menurut pelakunya investasi dikelompokkan menjadi 3, yaitu pemerintah, perusahaan (terdiri dari perusahaan yang difasilitasi dan tidak difasilitasi), serta rumah tangga. Data investasi perusahaan yang tersedia dan dapat digunakan sebagai bahan perencanaan adalah rencana dan realisasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA) yang merupakan kelompok investasi yang difasilitasi yang dilaporkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah. Tabel 14.4. Realisasi Komulatif PMA dan PMDM menurut kelompok Sektor di DIY, 2013 (Milyar) Sektor Primer Sekunder Tersier Jumlah
PMDN
PMA
Jumlah
27,57
16,21
43,78
(0,96)
(0,31)
(0,54)
1.165,41 1.165,01 2.330,42 (40,68)
(22,50)
1.672
3.998
(28,97)
5.669
(58,36)
(77,19)
(70,48)
2.864,65 5.178,81 8.043,46 (100)
(100)
(100)
Sumber : BKPM DIY
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
Realisasi penanaman modal di DIY secara kumulatif tahun 2013 mencapai Rp 8,04 triliun. Realisasi PMDN mencapai Rp 2,64 triliun atau mencapai 92,01 persen dari investasi yang direncanakan pada tahun yang sama. Sementara, realisasi PMA mencapai nilai Rp 5,18 triliun atau mencapai 115,77 persen dari investasi yang direncanakan. Berdasarkan sektornya, realisasi investasi baik PMDN maupun PMA sebagian besar terjadi pada sektor tersier dengan nilai mencapai 70,48 persen. Sementara realisasi pada sektor primer masih belum terlihat secara signifikan. 69
14
Realisasi nvestasi PMDN dan PMA perusahaan yang tercata oleh BKPMD DIY sebagian besar terserap di sektor tersier terutama hotel dan restoran
ar ta .b ps
.g o.
id
Jumlah perusahaan yang melakukan penanaman modal dengan kategori PMDN di tahun 2013 mencapai 124 perusahaan dan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 22.236 orang tenaga kerja domestik dan 17orang tenaga kerja asing. Jika dibandingkan dengan nilai modal yang direncanakan yang senilai Rp 3,11 triliun, maka realisasi pencapaian PMDN sampai tahun 2013 hanya sebesar 92,01 persen. Berdasarkan kelompok sektor, realisasi PMDN terbesar di DIY dilakukan pada kelompok sektor tersier dengan porsi sebesar 58,36 persen dari total realisasi PMDN. Kelompok sektor tersier terdiri dari kegiatan bangunan; hotel dan restoran; perdagangan; perumahan; pengangkutan; jasa lainnya; listrik, gas dan air minum. Sementara realisasi pada kelompok primer (pertanian dan pertambangan) porsinya hanya sebesar 0,96 persen. Investor domestik lebih berminat menanamkan modalnya di sektor hotel dan restoran (41,6 %). Kemudian diikuti oleh sektor industri tekstil (27,16 %) dan jasa lainnya (13,23 %). Dalam skala nasional DIY termasuk salah satu daerah tujuan utama (destinasi) pariwisata, sehingga cukup potensial untuk pengembangan kegiatan hotel dan restoran. Hal ini mendorong minat para investor domestik untuk berinvestasi pada sektoryang berkaitan dengan pariwisata. Sementara, industri tekstil menjadi mendukung tumbuh pesatnya industri batik yang merupakan produk andalan DIY, terutama pascapenetapan batik sebagai Tabel 14.7.
Tabel 14.6.
Realisasi Komulatif PMA di DIY menurut Sektor 2013 (Milyar)
Realisasi Komulatif PMDM di DIY menurut Sektor, 2013 (Milyar)
Primer
7
Tanaman Pangan
-
Perkebunan
2
Peternakan
3
Perikanan
1
-
46,36
-
-
-
5
16,21
406
9
29,65
Tanaman Pangan
2
-
85
4
245,51
-
16,61
Perkebunan
0
0,00
0
0
0,00
40
-
50,18
Peternakan
1
15,37
115
2
17,46
0,40
-
-
26,67
Perikanan
1
0,68
4
0
5,25
-
-
-
-
Kehutanan
-
-
-
-
-
0,75
38
-
100,00
Pertambangan
1
0,16
202
3
0,68
51 1.165,41 15.824
6
105,78
Sekunder
42 1.165,01 11.247
74
234,27
11
153,73
2.843
-
87,72
://
68
1
ht
Primer
Industri Makanan
3
713,87 1.179
6 1.039,39
17
777,99
7.363
3
236,97
Industri Tekstil
6
100,14
804
5
118,82
Industri Kulit dan Alas Kaki
2
6,69
662
-
79,20
Industri Kulit dan Alas Kaki
7
206,08 4.072
32
273,02
Industri Kayu
5
5,21
485
3
75,62
Industri Kayu
18
62,20 1.701
16
66,58
Industri Kertas dan Percetakan
4
79,23
1.469
-
114,83
Industri Kimia dan Farmasi
1
0,23
16
-
Industri Karet dan Plastik
4
95,34
1.323
Industri Mineral Non Logam
2
9,90
304
Industri Logam, Mesin dan Elektronika
4
22,33
Industri Instrumen Kedokteran Presisi Optik dan Jam
-
Industri Kendaraan Bermotor dan Alat Transportasi Lain Industri Lainnya
Industri Tekstil
Tersier Konstruksi Perhotelan dan Restoran
Industri Kertas dan Percetakan
0
0,00
0
0
0,00
0,67
Industri Kimia dan Farmasi
1
38,28
163
2
137,01
-
87,72
Industri Karet dan Plastik
3
22,04 2.939
4
73,13
-
4,90
Industri Mineral Non Logam
1
2,06
5
4
45,49
1.261
-
25,42
Industri Logam, Mesin dan Elektronika
3
20,34
384
5
23,70
-
-
-
-
Industri Instrumen Kedokteran Presisi Optik dan Jam
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Industri Kendaraan Bermotor dan Alat Transportasi Lain
-
-
-
-
-
1
14,77
98
-
100,00
Industri Lainnya
-
-
-
-
-
66 1.671,67
6.366
11
89,73
67 3.997,59 6.189
66
103,55
Tersier
-
-
-
-
13
1
73,39
24 1.191,57
3.034
8
118,49
Perhotelan dan Restoran
12 1.116,10 1.033
13
106,72
Perdagangan dan Reparasi
33 1.580,97 3.459
32
232,02
-
Konstruksi
Perdagangan dan Reparasi
2
13,70
546
1
41,08
Perumahan, Kawasan Industri dan Perkantoran
-
-
-
-
-
Transportasi, Gudang dan Komunikasi
28
84,63
1.829
2
199,00
Jasa Lainnya
10
378,90
921
-
44,86
Jasa Lainnya
2
2,87
36
-
21,97
Listrik, Gas dan Air
124 2.864,65 22.336
17
92,01
Listrik, Gas dan Air Jumlah
Sumber : BKPM DIY
70
146
-
Tenaga Kerja Perus Nilai (Rp Realisasi ahaan Miliar) Domes Asing (%) tik
1,13
-
Pertambangan Industri Makanan
27,57
Sektor
25,29
tp
Kehutanan Sekunder
yo gy
ak
Tenaga Kerja Per Nilai (Rp Realisasi usaha Miliar) Domes Asing (%) an tik
Sektor
1
36
Perumahan, Kawasan Industri dan Perkantoran
-
-
-
-
-
Transportasi, Gudang dan Komunikasi
4
636,79
25
8
95,96
Jumlah
14
390,48
931
12
74,46
3
237,26
728
0
26,48
114 5.178,81 17.842
149
115,77
Sumber : BKPM DIY
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
Realisasi investasi PMDN dan PMA menurut wilayah sebagian besar terjadi di wilayah perkotaan, terutama di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta
14
Gambar 14.2.
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
karya seni tradisional Indonesia. Investasi jasa lainnya yang berkembang di DIY terutama terkait jasa pendukung perkembangan dunia pendidikan. Realisasi kumulatif penanaman modal asing (PMA) pada tahun 2013 mencapai Rp 5,18 triliun. Realisasi kumulatif PMA tersebut dilaksanakan oleh 114 perusahaan dengan serapan tenaga kerja domestik sebanyak 17.842 orang dan tenaga kerja asing sebanyak 149 orang. Jika dibandingkan dengan perencanaannya, maka realisasi PMA selama tahun 2013 mencapai 115,77 persen artinya nilainya lebih sekitar 16 persen dari yang direncanakan. Distribusi realisasi PMA terbesar terjadi pada kelompok sektor tersier dengan porsi mencapai 77 persen. Sementara porsi kelompok sektor primer dan sekunder masing-masing sebesar 0,31 persen dan 22,50 persen. Sektor yang porsinya terbesar secara berturut-turut adalah sektor perdagangan dan reparasi; sektor hotel dan restoran; dan sektor industri makanan dengan porsi masing-masing sebesar 30,53 persen; 21,55 persen; dan 13,78 persen. Senada dengan investor dalam negeri, para investor asing pun lebih berminat untuk berinvestasi di sektor-sektor yang berbasis pariwisata. Kinerja pariwisata yang terus menunjukkan peningkatan dari sisi jumlah kunjungan menjadi daya tarik investasi di sektorsektor tersebut. Fakta ini menjadi sebuah persoalan, karena pada umumnya investasi sektor pariwisata terpusat di daerah perkotaan sehingga membutuhkan intervensi pemerintah untuk mengalihkan investasi di daerah perdesaan. Berdasarkan lokasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) tahun 2013, realisasi di Kota Yotyakarta dan Kabupaten Sleman memiliki nilai yang terbesar dengan porsi mencapai 46 persen dan 43 persen. Sementara, realisasi di Kabupaten Bantul memiliki porsi sebesar 8 persen. Bahkan, realisasi di Kulonprogo dan Gunungkidul memiliki porsi kurang dari dua persen. Pola yang hampir serupa juga terjadi pada penanaman modal asing (PMA). Realisasi terbesar dicapai Kabupaten Sleman (52 %) dan Kota Yogyakarta (41%), diikuti oleh Kabupaten Bantul dengan porsi mencapai 4 persen. Fenomena ini sangat berkaitan dengan ketersediaan infrastruktur publik yang relatif lebih lengkap dan memiliki kualitas lebih baik. Di samping, itu, resiko pengembalian, resiko keamanan, stabilitas sosial, serta kemudahan dalam perizinan juga turut berpengaruh terhadap volume penanaman modal.
Realisasi PMDM dan PMA di DIY menurut Kabupaten/Kota, 2013 (Persen) PMA
PMDN
Yogyakarta 0,46
Sleman 0,52
Sleman 0,43
Yogyakarta 0,41 Kulonprogo 0,01 Gunungkidul 0,01
Bantul 0,08
Gunungkidul 0,02
Bantul 0,04
Kulonprogo 0,00
Sumber : BKPM DIY
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
71
15
HARGA-HARGA Gambaran perkembangan harga barang dan jasa dan pola konsumsi masyarakat secara kontinyu diukur menggunakan indeks harga dan perubahannya
Salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur stabilitas ekonomi di suatu wilayah adalah tingkat harga. Harga merupakan resultan atau hasil interaksi antara permintaan (demand) dan penawaran (supply) barang dan jasa yang beredar di masyarakat, sehingga perlu dipantau perkembangannya sebagai salah satu indikator penentu kebijakan pemerintah di bidang pendapatan, fiskal maupun moneter. Untuk memperoleh gambaran mengenai kenaikan harga berbagai macam komoditas barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat dari waktu ke waktu dilakukan dengan menghitung indeks secara kontinu. Beberapa indeks harga yang sering digunakan diantaranya adalah Indeks Harga Konsumen (IHK) untuk wilayah perkotaan dan Nilai Tukar Petani (NTP) untuk wilayah perdesaan.
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
INDEKS HARGA KONSUMEN Indeks Harga Konsumen (IHK) merupakan perbandingan antara harga suatu paket komoditas dari sekelompok barang atau jasa (market basket) pada suatu periode waktu terhadap harganya pada periode waktu yang telah ditentukan (tahun dasar). Berdasarkan IHK inilah kemudian didapat besaran angka inflasi/deflasi, yaitu besarnya persentase perubahan IHK antar periode. Angka inflasi/deflasi mencerminkan kemampuan daya beli dari uang yang dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Semakin tinggi angka inflasi maka semakin rendah daya beli uang, sehingga semakin rendah pula daya beli masyarakat terhadap barang dan jasa kebutuhan rumah tangga. IHK dihitung pada tingkat harga konsumen, yaitu harga transaksi yang terjadi antara penjual/pedagang eceran dan pembeli (konsumen) secara eceran dengan pembayaran tunai. Eceran yang dimaksud adalah membeli suatu barang atau jasa dengan menggunakan satuan terkecil untuk dipakai atau dikonsumsi, sebagai contoh: beras dengan satuan kilogram, emas dengan satuan gram, dan lainnya. Mulai bulan Juni 2008, penghitungan IHK didasarkan atas pola konsumsi hasil Survei Biaya Hidup (SBH) tahun 2007. Nilai IHK Kota Yogyakarta pada akhir tahun 2013 (tahun dasar 2007=100) berada pada posisi 145,65. Angka ini mengandung arti dibandingkan dengan harga-harga komoditas barang dan jasa kebutuhan rumah tangga tahun 2007, tingkat harga tahun 2013 mengalami kenaikan dengan rata-rata sebesar 45,65 persen. IHK yang tertinggi terjadi pada kelompok bahan makanan dengan nilai indeks mencapai 186,98 dan diikuti oleh kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau serta kelompok sandang dengan nilai indeks 157,17 persen dan 142,34 persen. Gambar 15.1.
Tabel 15.1.
IHK dan Inflasi Kota Yogyakarta menurut Kelom- Perkembangan IHK Umum Bulanan Kota Yogyakarta, 2010-2013 (Persen) pok Pengeluaran, 2010-2013 (Persen) Kelompok Pengeluaran
2011
Inflasi (%) 2012
150
2011
2012
2013
Bahan Makanan
151,24 154,00 166,48 186,98
1,82
8,10
12,31
Makanan Jadi
126,96 135,94 145,32 157,17
7,07
6,90
8,15
Perumahan
124,84 128,60 132,44 139,30
3,01
2,99
5,18
125
Sandang
125,64 137,45 142,34 142,34
9,40
3,56
0,00
120 115
Kesehatan
114,48 120,94 123,28 127,08
5,64
1,93
3,08
Pendidikan
119,36 121,42 123,16 127,07
1,73
1,43
3,17
Transportasi & Komunikasi
107,71 110,29 111,72 123,40
2,40
1,30
10,45
Umum
125,25 130,11 135,72 145,65
3,88
4,31
7,32
145,65
145
2013
Sumber : BPS DIY
72
IHK 2010
140 135 130
117,30
110 105 100 Jan Mar Mei Jul Sep Nop Jan Mar Mei Jul Sep Nop Jan Mar Mei Jul Sep Nop Jan Mar Mei Jul Sep Nop 2010
Sumber : BPS DIY
2011
2012
2013
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
Perkembangan harga barang dan jasa selama 2013 yang diukur dengan perubahan IHK mencapai 7,32 persen dan lebih tinggi dari tahun 2012 (4,31 persen)
15
Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
IHK yang terendah terjadi pada kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan dengan nilai indeks sebesar 123,40 persen. Artinya, kelompok pengeluaran ini sejak tahun 2007 hanya mengalami kenaikan harga sebesar 23,40 persen. Selama tahun 2013, IHK semua kelompok pengeluaran menunjukkan peningkatan dan peningkatan terbesar terjadi pada kelompok bahan makanan sebesar 20,50 poin dibandingkan dengan IHK tahun 2012. Pola perkembangan IHK umum bulanan di Kota Yogyakarta selama periode 2010-2013 menunjukkan tren yang semakin meningkat, meskipun terlihat ada penurnan indeks di bulan Maret-Mei 2013 (Gambar 15.1). Secara umum, peningkatan indeks harga yang cukup tajam terjadi selama tahun 2013. Sementara, selama 2011 dan 2012 pola perkembangan IHK terlihat lebih datar. IHK tahun 2011 meningkat sebesar 4,86 poin dari IHK 2010, sementara IHK tahun 2012 meningkat 5,61 poin dibandingkan dengan tahun 2011. Fenomena ini menunjukkan tingkat harga selama tahun 2011 dan 2012 relatif lebih stabil dibandingkan dengan tahun 2010 maupun 2013. Perubahan IHK antar periode digambarkan oleh besaran angka inflasi/deflasi. Tabel 15.1 menyajikan perkembangan angka inflasi menurut kelompok pengeluaran selama tiga tahun terakhir. Secara umum, level inflasi yang tertinggi terjadi pada tahun 2013 dengan nilai sebesar 7,32 persen yang didorong oleh kenaikan harga Gambar 15.2. pada kelompok bahan makanan Perkembangan Inflasi Tahunan Kota Kota Yogyakarta dan Nasional, 1990-2013 (Persen) dan kelompok transportasi dan 90 komunikasi dengan besaran DIY Nasional 80 masing-masing 12,31 persen dan 70 10,45 persen. Fenomena yang 60 mendorong kenaikan harga ini 50 salah satunya adalah keputusan 40 pemerintah menaikkan harga 30 bahan bakar minyak dan elpiji 20 di pertengahan tahun 2013. 10 Pola perkembangan inflasi 0 Kota Yogyakarta selama periode 1990-2013 sangat berfluktuasi Sumber : BPS DIY (Grafik 15.2). Secara umum, Gambar 15.3. terdapat pola yang hampir mirip Perkembangan Inflasi Bulanan Kota Yogyakarta, 2017-2014 (%) antara inflasi Kota Yogyakarta dan Nasional. Inflasi Kota Yogyakarta 4,0 3,5 maupun nasional mencapai level 3,0 tertinggi pada tahun 1998 dengan 2,5 level di atas 77 persen sebagai 2,0 dampak dari krisis ekonomi 1,5 1997/1998. Dalam sepuluh tahun 1,0 terakhir, inflasi Kota Yogyakarta 0,5 0,0 mencapai level tertinggi di -0,5 tahun 2005 sebesar 14,98 persen -1,0 sebagai dampak dari kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 sebanyak dua kali di tahun 2005 Sumber : BPS DIY Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
73
15
Perkembangan indeks harga konsumen bulanan di Kota Yogyakarta sangat dipengaruhi oleh pola musiman dan mencapai level tinggi saat peringatan hari raya, liburan sekolah liburan akhir tahun
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
dengan besaran kenaikan di atas 100 persen. Kebijakan ini memicu kenaikan harga barang dan jasa pada kelompok transportasi dan secara tidak langsung juga mendorong inflasi pada kelompok pengeluaran yang lainnya. Pada tahun 2006 dan 2007 tingkat harga secara umum juga tetap meningkat meskipun dari sisi besaran inflasinya sedikit menurun hingga mencapai 10,40 persen di tahun 2006 dan 7,99 persen di tahun 2007. Selama tahun 2008 inflasi tercatat sebesar 9,88. Tingginya inflasi ini dipicu oleh kenaikan harga BBM yang terjadi di akhir bulan Mei 2008 serta kebijakan konversi minyak ke elpiji yang mendorong meningkatnya harga-harga jasa transportasi dan energi. Laju inflasi selama tahun 2009 di Kota Yogyakarta mencapai 2,93 persen dan angka ini menjadi inflasi yang terkecil sejak 20 tahun terakhir. Penyebabnya adalah adanya kebijakan pemerintah yang menurunkan harga BBM hingga 2 kali, yaitu pada bulan Desember 2008 dan Januari 2009, sehingga berakibat pada turunnya tarif angkutan umum dan stabilnya harga kebutuhan pokok masyarakat. Pada tahun 2010 laju inflasi kembali mengalami kenaikan yaitu mencapai 7,38 persen. Melonjaknya harga bahan makanan pokok sebagai akibat anomali musim di tahun 2010 merupakan pemicu utama terjadinya inflasi di kota Yogyakarta. Komoditas beras dan cabe merupakan komoditas yang memberikan andil yang cukup besar terhadap inflasi umum di kota Yogyakarta pada kurun waktu tersebut. Laju inflasi tertinggi pada tahun 2010 terjadi pada kelompok bahan makanan yang mencapai 18,86 persen, kemudian diikuti oleh kelompok transport, komunikasi dan jasa keuangan sebesar 5,57 persen dan kelompok perumahan sebesar 5,49 persen. Sedangkan laju inflasi terendah terjadi pada kelompok kesehatan dengan angka sebesar 1,97 persen. Selama tahun 2011, gejolak harga barang dan jasa kebutuhan rumah tangga relatif stabil. Hal ini ditunjukkan oleh laju inflasi yang sebesar 3,88 persen. Kenaikan harga yang tertinggi terjadi pada kelompok sandang (9,4 %) dan kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau (7,07 persen). Kondisi hargaharga komoditas selama 2012 relatif lebih stabil dan diindikasikan oleh inflasi tahunan yang mencapai 4,51 persen. Pada tahun 2013 laju inflasi kembali menguat hingga mencapai level 7,32 persen, namun dalam beberapa tahun terakhir tingkat inflasi di Kota Yogyakarta cenderung lebih rendah dari level nasinal. Perkembangan inflasi bulanan Kota Yogyakarta selama tahun 2007-2013 menunjukkan adanya pengaruh pola musiman yang cukup kuat. Hal ini terlihat dari nilai inflasi yang mencapai level tertinggi selama tahun 2007-2013 selalu berkaitan dengan momentum perayaan hari raya keagamaan, liburan sekolah dan akhir tahun maupun akibat kebijakan pemerintah dengan menaikkan harga komoditas strategis seperti BBM. NILAI TUKAR PETANI Nilai Tukar Petani (NTP) merupakan salah satu indikator yang berguna untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani, yaitu dengan mengukur kemampuan tukar produk (komoditas) yang dihasilkan/dijual petani dibandingkan dengan produk yang dibutuhkan petani baik untuk proses produksi (usaha) maupun untuk konsumsi rumah tangga petani. NTP menunjukkan daya tukar (term of trade) antara produk pertanian yang dijual oleh petani dengan barang dan jasa yang dibutuhkan petani dalam proses produksi maupun untuk konsumsi rumah tangga. Sebagai salah satu indikator yang menggambarkan tingkat kesejahteraan petani, NTP dihitung dari rasio antara indeks yang diterima dan indeks yang dibayar oleh petani. 74
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
Indeks harga yang diterima petani dalam beberapa periode selalu lebih tinggi dibandingkan dengan indeks yan dibayar petani, sehingga nilai tukar petani juga semakin meningkat dan memberi gambaran kasar kesejahteraan petani yang meningkat
15
ht
Gambar 15.4.
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
Dengan membandingkan keduanya maka dapat diketahui apakah peningkatan pengeluaran untuk kebutuhan petani dapat dikompensasi dengan pertambahan pendapatan petani dari hasil pertaniannya. Sebaliknya, apakah kenaikan harga jual produksi pertanian dapat menambah pendapatan petani yang pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan para petani juga dapat diukur dengan kedua indikator ini. Semakin tinggi nilai NTP, semakin kuat pula tingkat daya beli petani yang berarti pula kesejahteraannya semakin meningkat. Perkembangan indeks harga yang diterima petani (It), indeks harga yang dibayar (Ib) dan NTP di Provinsi DIY selama tahun 2008-2013 menunjukkan pola yang semakin meningkat. Secara umum, nilai It rata-rata selama periode 2008-2013 selalu lebih tinggi dari nilai Ib. Kenaikan indeks yang tertinggi terjadi pada kelompok tanaman pangan dan kelompok perkebunan rakyat. Sementara, kelompok peternakan dan perikanan memiliki kenaikan indeks terendah. Dari sisi level, nilai It tertinggi dimiliki kelompok hortikultura terutama pada komoditas sayur-sayuran dan buah-buahan. Kenaikan It yang lebih tinggi dari kenaikan Ib akan berakibat pada peningkatan NTP. Perkembangan NTP rata-rata di DIY selama periode 2008-2013 (2007=100) semakin menunjukkan peningkatan dari 105,28 di tahun 2008 menjadi 116,39 di bulan November 2013. Secara kasar, hal ini merepresentasikan kesejahteraan petani yang meningkat, karena dengan indeks harga yang diterima lebih tinggi dari harga yang dibayar nilai produksi hasil pertanian menjadi lebih besar dengan asumsi komoditas yang harganya meningkat banyak dibudidayakan oleh petani di DIY. Pola perkembangan NTP bulanan di DIY cukup berfluktuasi dengan nilai di atas 100 dan ada kecenderungan yang semakin meningkat. Pada tahun 2010, nilai NTP mencapai puncak selama bulan Agustus dan terendah di bulan Februari. Pola selama tahun 2011 dan 2012 sedikit mengalami perubahan dan mencapai puncak selama bulan Oktober dan terendah di bulan Maret berkaitan dengan nilai inflasi barang-dan jasa yang cukup tinggi. Hal ini sangat ironis, karena bulan Maret masih menjadi bulan puncak panen tanaman padi dan palawija. Pola di tahun 2013, nilai rata-rata It tercatat sebesar 163,16, sementara nilai Ib tercatat sebesar 139,59 sehingga nilai NTP 2013 tercatat sebesar 116,89. Nilai NTP yang berada di atas 100 menggambarkan kesejahteraan penduduk secara kasar yang meningkat.
Perkembangan Indeks Diterima, Indeks Dibayar dan NTP Bulanan di DIY, 2010-2013 (Persen) 180 It
Ib
NTP
160 140 120 100 80
Nov
Sep
Juli
Mei
Mar
Jan
Nov
2012
Sep
Juli
Mei
Mar
Jan
2011
Nov
Sep
Juli
Mei
Mar
Jan
Nov
2010
Sep
Juli
Mei
Mar
Jan
60
2013
Sumber : BPS DIY
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
75
16
POLA KONSUMSI PENDUDUK Pola konsumsi atau pengeluaran penduduk dari waktu ke waktu dipengaruhi oleh level pendapatan yang diterima dan tingkat perubahan harga (inflasi/deflasi)
Tabel 16.1.
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
PENGELUARAN RUMAH TANGGA Pengeluaran atau konsumsi penduduk/rumah tangga menjadi salah satu komponen permintaan terpenting yang menentukan aktivitas perekonomian di suatu wilayah. Pengeluaran rumah tangga secara riil juga menjadi salah satu indikator kesejahteraan, semakin meningkat pengeluaran penduduk secara rata-rata maka semakin tinggi pula tingkat kesejahteraannya. Pengeluaran penduduk/rumah tangga dibagi menjadi dua kategori, pengeluaan makanan dan non makanan. Pergeseran dalam pola pengeluaran terjadi seiring dengan peningkatan pendapatan, artinya ketika pendapatan meningkat maka porsi pengeluaran untuk makanan akan semakin menurun dan sebaliknya porsi pengeluaran untuk non makanan akan semakin meningkat. Nilai nominal pengeluaran per kapita penduduk DIY selama tahun 2013 tercatat sebesar Rp 765.714, terdiri dari pengeluaran makanan sebesar Rp 359.522 dan non makanan sebesar Rp 406.192. Dibandingkan dengan tahun 2012 yang sebesar Rp 700.297, pengeluaran per kapita tahun 2013 meningkat sebesar 9,34 persen. Peningkatan ini didorong oleh peningkatan pengeluaran untuk kelompok makanan sebesar 9,86 persen dan kelompok non makanan sebesar 8,88 persen. Konsep pengeluaran disajikan dalam bentuk nominal atas dasar harga pasar yang berlaku, sehingga peningkatan pengeluaran per kapita selain disebabkan oleh peningkatan kuantitas barang juga dipengaruhi oleh kenaikan harga barang dan jasa (inflasi). Kondisi ini belum mencerminkan kenaikan kesejahteraan secara riil. Secara umum, pengeluaran per kapita penduduk perkotaan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluaran penduduk perdesaan, sehingga tingkat kesejahteraan penduduk perkotaan secara rata-rata lebih baik dibanding penduduk perdesaan. Pada tahun 2013, pengeluaran per kapita penduduk perkotaan mencapai Rp 879.835 atau tumbuh 9,77 persen dibandingkan dengan tahun 2012. Secara nominal, pengeluaran per kapita penduduk perdesaan tahun 2013 sebesar Rp 543.268 dan tumbuh 8,12 persen dibandingkan dengan tahun 2012. Tingginya pertumbuhan pengeluaran per kapita di perkotaan didorong oleh peningkatan pengeluaran kelompok non makanan yang tumbuh sebesar 12,77 persen, terutama pengeluaran untuk komoditas pada kelompok perumahan dan bahan bakar. Gambar 16.1.
Pengeluaran Perkapita Sebulan di DIY Pangsa Pengeluaran engeluaran Perkapita Sebulan di DIY menurut Kelompok, 2010-2013 (Rupiah) menurut Kelompok, 2010-2013 (Persen) Pengeluaran/Konsumsi Tahun
2010
2011
2012
2013
Daerah
Makanan
Non Makanan
Jumlah
Perkotaan (K)
270.886
385.305
656.191
Perdesaan (D)
195.603
174.305
369.908
K+D
244.003
309.963
553.966
Perkotaan (K)
302.958
399.829
702.787
Perdesaan (D)
223.946
248.219
472.165
K+D
276.322
348.722
625.044
Perkotaan (K)
361.214
440.296
801.510
Perdesaan (D)
260.840
241.638
502.478
K+D
327.242
373.055
700.297
Perkotaan (K)
383.303
496.532
879.835
Perdesaan (D)
313.167
230.101
543.268
K+D
359.522
406.192
765.714
Sumber : BPS DIY
76
100
80 58,72
47,12
55,95
56,89
52,57
55,79
54,93
44,05
43,11
47,43
44,21
45,07
K+D
K
D
K+D
K
48,09
42,35
53,27
56,43
46,73
43,57
K+D
K
53,05
60
40
20
41,28
52,88
51,91
57,65
46,95
0 K
D 2010
2011 Makanan
D 2012
D
K+D
2013
non Makanan
Sumber : BPS DIY
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
Pola konsumsi atau pengeluaran penduduk dari waktu ke waktu dipengaruhi oleh level pendapatan yang diterima dan tingkat perubahan harga (inflasi/deflasi)
16
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
Sampai saat ini, proporsi pengeluaran per kapita untuk kelompok makanan sudah lebih rendah dibandingkan pengeluaran kelompok non makanan. Pada tahun 2013, proporsi pengeluaran per kapita untuk kelompok makanan mencapai 46,95 persen dari total konsumsi per kapita penduduk. Sementara, proporsi pengeluaran per kapita non makanan sebesar 53,05 persen. Proporsi pengeluaran makanan semakin menurun, sementara proporsi pengeluaran non makanan justru semakin meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini sesuai dengan hukum Engel yang menyatakan bahwa semakin tinggi pendapatan yang diterima atau semakin tinggi kekayaan seseorang maka bagian dari pendapatan yang dibelanjakan untuk kelompok makanan (marginal propensive to consume/MPC) akan semakin menurun, sementara MPC untuk kelompok non makanan justru akan semakin meningkat. Hal ini terjadi karena permintaan komoditas non makanan cenderung lebih elastis dibandingkan dengan makanan. Hukum Engel juga berlaku di untuk wilayah perkotaan, sementara untuk wilayah perdesaan dalam empat tahun terakhir masih dominan pengeluaran untuk kelompok makanan. Secara umum, distribusi pengeluaran per kapita penduduk DIY selama tahun 2013 yang terbesar digunakan untuk kelompok barang-barang dan jasa dengan porsi sebesar 22,22 persen. Kelompok ini mencakup pengeluaran untuk jasa pendidikan, kesehatan, rekreasi, transportasi, komunikasi dan keuangan. Proporsi pengeluaran berikutnya adalah kelompok perumahan, bahan bakar dan penerangan dengan nilai 19,22 persen dan makanan dan minuman jadi dengan proporsi 17,84 persen. Komposisi pengeluaran perkapita non makanan sebulah yang terbesar di daerah perdesaan adalah kelompok barangTabel 16.1. barang dan jasa dan diikuti oleh kelompok Proporsi Pengeluaran Perkapita Sebulan di DIY perumahan, bahan bakar, penerangan dan menurut Kelompok Pengeluaran, 2013 (Persen) air. dengan proporsi 19,27 persen dan 14,33 Kelompok Pengeluaran K D K+D persen. Komposisi ini sama dengan daerah Makanan 43,57 57,65 46,95 Padi-padian 4,57 10,23 5,93 perkotaan yang memiliki proporsi 22,13 Umbi-umbian 0,21 0,45 0,27 persen untuk kelompok barang-barang Ikan 1,48 1,60 1,50 dan jasa dan 20,77 persen untuk kelompok Daging dan Hasilnya 1,94 2,39 2,05 Telur, Susu dan Hasilnya 3,32 3,36 3,33 perumahan, bahan bakar, penerangan dan Sayur-sayuran 2,82 5,37 3,43 air Bersih. Kacang-kacangan 1,26 2,74 1,61 Buah-buahan 2,43 2,50 2,45 Komposisi pengeluaran perkapita Lemak dan Minyak 1,04 2,35 1,36 sebulan untuk kelompok makanan Bahan Minuman 1,66 2,91 1,96 Bumbu-bumbuan 0,55 0,83 0,61 di daerah perdesaan didominasi oleh Konsumsi Lainnya 0,77 1,29 0,90 makanan jadi dan minuman dengan Makanan dan Minuman 18,32 16,31 17,84 Jadi porsi 16,31 persen. Proporsi terbesar Tembakau dan Sirih 3,20 5,29 3,70 berikutnya adalah kelompok padi-padian Non Makanan 56,43 42,35 53,05 Perumahan, Bahan Bakar, dengan proporsi 10,23 persen. Komposisi 20,77 14,33 19,22 Penerangan dan Air pengeluaran perkapita komoditas makanan Barang-barang dan Jasa 23,13 19,27 22,20 Pakaian, Alas Kaki dan 2,74 2,58 2,70 di daerah perkotaan juga memiliki pola yang Tutup Kepala Barang Tahan Lama 5,08 4,26 4,88 serupa, namun levelnya sedikit berbeda. Pajak Pemakaian dan 1,92 1,32 1,77 Pengeluaran untuk makanan jadi mencapai Premi Asuransi Keperluan Pesta dan 18,32 persen, sementara padi-padian hanya 2,80 0,59 2,27 Upacara 4,57 persen. Jumlah 100 100 100 Sumber : BPS DIY
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
77
16
Pola konsumsi energi/kalori perkapita per hari penduduk DIY dalam satu dasawarsa terakhir masih berada dibawah angka kecukupan energi (2.000 kilo kalori)
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN Tingkat kecukupan gizi yang diukur dari konsumsi kalori dan protein menjadi salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk. Jumlah konsumsi kalori dan protein dihitung berdasarkan jumlah dari hasil kali antara kuantitas setiap makanan yang dikonsumsi dengan besarnya kandungan kalori dan protein dalam setiap makanan tersebut. Angka kecukupan konsumsi energi dan protein berdasarkan Widyakarya Pangan dan Gizi ke-8 tahun 2004 masing-masing sebesar 2.000 kkal dan 50 gram protein per kapita per hari. Rata-rata kalori yang dikonsumsi oleh penduduk DIY selama periode 2002-2013 cukup berfluktuasi dengan besaran antara 1.766 kkal sampai 1.996 kkal per kapita per hari. Jika mengacu pada standar kecukupan kebutuhan minimum energi yang sebesar 2.000 kkal per kapita per hari, maka rata-rata konsumsi kalori penduduk DIY masih di bawah standar yang ditentukan. Angka tertinggi yang pernah dicapai adalah 1.996 kkal per kapita per hari di tahun 2013. Angka ini meningkat cukup signifikan dibandingkan dengan beberapa periode sebelumnya. Secara umum, selama sepuluh tahun terakhir konsumsi Gambar 16.2. kalori per kapita per hari Rata-rata Konsumsi Kalori Perkapita Sehari di DIY, 2002-2013 (kkal) penduduk perdesaan selalu lebih 2.200 tinggi dibandingkan dengan K D K+D 1996,08 penduduk perkotaan. Pada tahun 2.000 1.915 1.904 1.852 2012, konsumsi per kapita per hari 1.836 1.832 1.803 1794,06 1.766 1.800 penduduk kota tercatat sebesar 1.823 kkal, sementara konsumsi 1.600 per kapita per hari penduduk perdesaan tercatat sebesar 1.867 1.400 kkal. Fenomena ini terjadi karena 1.200 adanya kecenderungan penduduk perkotaan terutama mereka yang 1.000 2002 2005 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 berstatus pelajar/mahasiswa dalam mengkonsumsi makanan Sumber : BPS DIY dan minuman jadi, sementara Gambar 16.3. penduduk desa cenderung Rata-rata Konsumsi Protein Perkapita Sehari, 2002-2013 (gram) mengkonsumsi bahan makanan 70 yang diolah terlebih dahulu. K D K+D 61,65 60 55,30 Konsumsi protein penduduk 53,81 52,89 52,08 51,35 51,04 50,76 49,56 DIY selama periode 2002-2013 50 juga cukup berfluktuasi dan 40 mencapai puncak di tahun 2003 dengan nilai 55,30 gram per kapita 30 per hari. Meskipun konsumsi 20 protein menurun selama tahun 10 2008 hingga mencapai 61,65 gram, dalam lima tahun terakhir polanya 0 2002 2005 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 semakin meningkat menjadi 53,13 gram per kapita per hari di tahun Sumber : BPS DIY 78
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
Konsumsi protein per kapita per hari penduduk DIY dalam lima tahun terakhir sudah melebihi standar yang ditentuka (50 gram), namun untuk penduduk perdesaan masih di bawah standar
16
tp
Gambar 16.3.
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
2012, konsumsi per kapita per hari penduduk kota tercatat sebesar 1.823 kkal, sementara konsumsi per kapita per hari penduduk perdesaan tercatat sebesar 1.867 kkal. Fenomena ini terjadi karena adanya kecenderungan penduduk perkotaan terutama mereka yang berstatus pelajar/mahasiswa dalam mengkonsumsi makanan dan minuman jadi, sementara penduduk desa cenderung mengkonsumsi bahan makanan yang diolah terlebih dahulu. Konsumsi protein penduduk DIY selama periode 2002-2013 juga cukup berfluktuasi dan mencapai puncak di tahun 2003 dengan nilai 61,65 gram per kapita per hari. Jika mengacu pada kebutuhan minimum protein yang sebesar 50 gram per kapita per hari, maka konsumsi protein penduduk DIY sudah melebihi kebutuhan minimum yang ditentukan. Berdasarkan pola konsumsi protein per kapita per hari menurut wilayah selama sepuluh tahun terakhir, penduduk perkotaan masih lebih tinggi dalam mengkonsumsi protein dibandingkan dengan penduduk perdesaan. Hal ini terjadi karena sumber-sumber protein yang dikonsumsi penduduk perkotaan sudah lebih bervariasi dibandingkan dengan penduduk perdesaan. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir pola konsumsi protein penduduk perdesaan masih berada di bawah angka kecukupan protein yang ditentukan. Perkembangan konsumsi kalori dan protein per kapita berdasarkan kelompok makanan selama tahun 2010-2013 disajikan dalam Tabel 16.3. Berdasarkan kelompok makanan, konsumsi kalori dan protein yang tertinggi bersumber dari kelompok padi-padian dan makanan jadi. Selama tahun 2013, kedua kelompok tersebut memiliki pangsa sebesar 36,85 persen dan 27,00 persen dari total konsumsi kalori penduduk DIY. Sementara, pangsa protein kedua kelompok tersebut masing-masing mencapai 28,01 persen dan 34,44 persen dan diikuti oleh kelompok kacang-kacangan dengan porsi 11,21 persen. Porsi konsumsi kalori dan protein yang berasal dari kelompok buah-buahan, umbi-umbian, kelompok ikan dan kelompok daging masih relatif rendah sehingga pemerintah perlu mendorong masyarakat untuk lebih banyak konsumsi energi dan protein yang bersumber dari kelompok-kelompok makanan tersebut.
Kelompok Makanan Padi-padian
ht
Rata-rata Konsumsi Protein dan Kalori Perkapita Sehari menurut Jenis Pengeluaran, 2010-2013 2010 701 (37,85)
Kalori (kkal) 2011 700 (38,23)
Protein (Gram)
2012 708 (38,51)
2013
2010
2011
2012
2013
736 (36,85) 16,45 (31,11) 16,44 (30,55) 16,60 (31,24) 17,27 (28,01)
Umbi-umbian
33
(1,79)
26
(1,41)
21
(1,16)
34
(1,71)
0,24
(0,45)
0,19
(0,35)
0,17
(0,32)
0,25
Ikan
15
(0,80)
14
(0,76)
17
(0,91)
20
(0,98)
2,36
(4,46)
2,1
(3,90)
2,58
(4,86)
3,00
(0,41) (4,87)
Daging dan Hasilnya
40
(2,15)
41
(2,26)
48
(2,62)
47
(2,36)
2,48
(4,69)
2,64
(4,91)
2,84
(5,35)
2,97
(4,82)
Telur, Susu dan Hasilnya
63
(3,38)
62
(3,38)
57
(3,09)
68
(3,41)
3,48
(6,58)
3,46
(6,43)
3,18
(5,99)
3,82
(6,20)
Sayur-sayuran
44
(2,35)
41
(2,26)
44
(2,40)
44
(2,22)
2,9
(5,48)
2,8
(5,20)
2,90
(5,46)
2,91
(4,72)
Kacang-kacangan
79
(4,24)
72
(3,91)
73
(3,95)
76
(3,81)
41
(2,24)
43
(2,35)
48
(2,63)
50
Buah-buahan
6,86 (12,97)
6,92 (12,86)
6,79 (12,78)
6,91 (11,21)
(2,51)
0,46
(0,87)
0,45
(0,84)
0,52
(0,98)
0,49
(0,79)
Lemak dan Minyak
211 (11,39)
201 (10,98)
203 (11,03)
207 (10,35)
0,49
(0,93)
0,43
(0,80)
0,39
(0,73)
0,35
(0,57)
Bahan Minuman
119
(6,42)
118
(6,46)
102
(5,53)
111
(5,54)
1,01
(1,91)
0,97
(1,80)
0,77
(1,45)
0,94
(1,52)
Bumbu-bumbuan
10
(0,53)
12
(0,64)
9
(0,50)
10
(0,51)
0,38
(0,72)
0,44
(0,82)
0,36
(0,68)
0,40
(0,65)
60
(3,21)
54
(2,97)
55
(2,98)
55
(2,77)
1,22
(2,31)
1,12
(2,08)
1,09
(2,05)
1,11
(1,80)
Konsumsi Lainnya Makanan Jadi Jumlah
438 (23,66) 1852
447 (24,38)
(100) 1832
454 (24,69)
(100) 1838
539 (27,00) 14,55 (27,52) 15,85 (29,46) 14,94 (28,12) 21,23 (34,44)
(100) 1996
(100) 52,88
(100) 53,81
(100) 53,13
(100) 61,65
(100)
Sumber : BPS DIY
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
79
17
PERDAGANGAN Nilai ekspor komoditas asarl DIY dalam dselama tahun 2013 semakin meningkat akibat peningkatan volume
Terjaminnya ketersediaan/stok berbagai komoditas kebutuhan masyarakat merupakan hal yang sangat penting untuk dijaga. Untuk menjaga stabilitas perdagangan, baik perdagangan dalam negeri maupun luar negeri, perlu adanya aktivitas perdagangan yang mencakup diantaranya adalah ekspor dan impor beberapa komoditas barang untuk kebutuhan masyarakat di DIY. Sumber data ekspor dan impor luar negeri yang disajikan berasal dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan DIY. Gambar 17.1. Volume dan Nilai Ekspor DIY, 2007-2013 250
Volume (Ribu Ton)
id
150
50
0
2008
ar ta .b ps
2007
.g o.
100
2009
2010
2011
2013
Gambar 17.2.
Pangsa Volume Ekspor DIY menurut Negara, 2013 Australia; (10,16) Asia; (22,91) Uni Eropa; (42,71) Amerika Serikat dan Kanada; (10,93)
tp
Lainnya; (13,28)
ht
80
2012
Sumber : BPS DIY
://
yo gy
Nilai (Juta US$)
200
ak
Kinerja ekspor luar negeri komoditas asal DIY dalam enam tahun terakhir cukup berfluktuasi. Dari sisi volume ada kecenderungan semakin menurun dari 36,62 ribu ton di tahun 2007 menjadi 26,67 ribu ton di tahun 2011, meskipun kembali meningkat menjadi 34,04 ribu ton di tahun 2013. Krisis finansial yang melanda beberapa negara tujuan ekspor seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa sejak akhir tahun 2007 cukup berpengaruh terhadap penurunan volume ekspor asal DIY. Pengaruh tersebut juga sangat terlihat jelas dari sisi nilei ekspor yang melorot tajam hingga menjadi US$ 108,7 juta di tahun 2009. Namun demikian, dalam tiga tahun terakhir nilai nominal ekspor komoditas asal DIY meningkat secara bertahap menjadi US$ US$ 211,76 juta di tahun 2013. Peningkatan nilai ekspor ini lebih disebabkan oleh pengaruh kenaikan harga dan menguatnya nilai mata uang, karena dari sisi volume hanya naik sedikit. Sebagai catatan, nilai ekspor masih dalam bentuk nominal dan dihitung atas dasar harga pasar yang berlaku. Berdasarkan volumenya, komoditas asal DIY selama tahun 2013 sebagian besar diekspor ke negara-negara Uni Eropa dengan porsi 39,86 persen. Negara-negara Uni Eropa tujuan utama ekspor komoditas asal DIY terdiri dari Jerman, Perancis dan Inggris. Dibandingkan dengan tahun 2012, nilai ekspor ke beberapa negara Uni Eropa seperti Jerman, Belgia, Belanda dan Italia selama tahun 2013 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Porsi selanjutnya adalah ekspor ke Amerika Serikat dan Kanada dengan porsi 24,79 persen.
Sumber : BPS DIY
Gambar 17.2. Pangsa Volume Ekspor DIY menurut Negara, 2013 Asia; (23,48)
Australia; (2,91) Lainnya; (8,97)
Uni Eropa; (39,86)
Amerika Serikat dan Kanada; (24,79)
Sumber : BPS DIY
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
Impor luar negeri DIY dilakukan untuk mencukupi kebutuhan bahan baku industri, terutama tekstil, kulit sintetis, kapas, aksesoris dan bahan baku susu
17
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
Pangsa volume ekspor ke negara-negara di kawasan Asia selama 2013 mencapai 22,91 persen, sementara pangsa nilainya mencapai 23,48 persen. Negara-negara di kawasan Asia yang menjadi tujuan ekspor utama komoditas asal DIY adalah Jepang dan China dengan pangsa volume ekspor mencapai 6,64 persen dan5,32 persen. Sementara pangsa nilai ekspor tertinggi di negara Asia adalah Jepang dan Korea Selatan dengan pangsa sebesar 9,79 persen dan 6,46 persen. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya volume maupun nilai ekspor ke kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara semakin meningkat. hal ini mengindikasikan potensi kedua kawasan ini menjadi pasar alternatif Tabel 17.1. bagi pemasaran komoditas ekspor asal DIY. Volume dan Nilai Ekspor DIY Menurut Negara Komoditas ekspor unggulan DIY berdasarkan Tujuan , 2013 nilai ekspornya adalah tekstil dan pakaian jadi Volume (000 Kg) Nilai (US$ Juta) Negara 3,29 (9,67) 47,32 (22,35) Amerika Serikat dengan pangsa sebesar 30,74 persen. Berikutnya Jerman 3,36 (9,87) 27,91 (13,18) secara berturut-turut adalah komoditas mebel Korea Selatan 0,79 (2,32) 13,68 (6,46) kayu, sarung tangan kulit, dan sarung tangan Jepang 2,26 (6,64) 20,73 (9,79) India 0,48 (1,41) 3,14 (1,48) sintetis dengan pangsa nilai ekspor masingPerancis 2,30 (6,76) 6,75 (3,19) masing sebesar 16,89 persen; 13,20 persen; dan Inggris 1,00 (2,94) 5,84 (2,76) 10,61 persen. Komoditas ekspor yang lainnya Turki 1,01 (2,97) 4,76 (2,25) China 1,81 (5,32) 4,76 (2,25) memiliki pangsa nilai di bawah 5 persen. Belanda 2,89 (8,49) 8,15 (3,85) Perkembangan kegiatan impor di DIY relatif Belgia 1,78 (5,23) 3,93 (1,86) Australia 3,46 (10,16) 6,16 (2,91) sulit untuk dicatat dengan kondisi sebenarnya. Spanyol 0,85 (2,50) 3,50 (1,65) Hal ini disebabkan oleh pelabuhan bongkar dan Italia 1,34 (3,94) 23,52 (11,11) Kanada 0,43 (1,26) 5,17 (2,44) pelaku impor umumnya berada di luar DIY. Di Thailand 0,23 (0,68) 1,04 (0,49) samping itu, tidak semua importir melaporkan Uni Emirat Arab 0,61 (1,79) 1,85 (0,87) realisasi impornya, sehingga yang tercatat Malaysia 1,53 (4,49) 4,40 (2,08) Iran 0,09 (0,26) 0,12 (0,06) adalah realisasi dari importir yang secara rutin Portugal 0,01 (0,03) 0,04 (0,02) melaporkan ke Dinas Perindagkop DIY. Meskipun Lainnya 4,52 (13,27) 18,99 (8,95) demikian, dapat dipastikan bahwa barang yang Jumlah 34,04 (100) 211,76 (100) Sumber : BPS DIY diimpor dari luar negeri semuanya merupakan bahan baku produksi, bukan barang konsumtif. Tabel 17.2. Barang-barang tersebut diantaranya adalah Volume dan Nilai Impor DIY Menurut Negara tekstil, bahan baku susu, kulit disamak, sparepart Asal , 2013 mesin pertanian, kapas, label dan asesoris garmen. Negara Asal Volume (000 Kg) Nilai (US$ Juta) Realisasi impor luar negeri yang tercatat China 0,73 (38,62) 2,50 (1,61) masuk ke DIY selama tahun 2013 mencapai US$ Korea Selatan 0,50 (26,46) 2,55 (1,65) 154,99 juta dan meningkat di atas 1000 persen Selandia baru dibandingkan dengan tahun 2012. Dari sisi Hongkong 0,02 (1,06) 0,40 (0,26) volume, impor yang masuk tercatat sebanyak 1,89 Taiwan 0,35 (18,52) 3,49 (2,25) ribu ton yang didominasi oleh komoditas tekstil Amerika Serikat 0,06 (3,17) 0,53 (0,34) dan sparepart mesin pertanian. Jepang 0,10 (5,29) 144,62 (93,31) Distribusi persentase volume impor ke Malaysia DIY selama tahun 2013 didominai oleh barang Singapura 0,01 (0,53) 0,17 (0,11) asal China (38,62 persen), Korea Selatan (26,46 Vietnam 0,02 (1,06) 0,05 (0,03) persen)dan Jepang (5,29 persen). Sementara, nilai Lainnya 0,10 (5,29) 0,68 (0,44) impor yang tertinggi berasal dari Jepang dengan Jumlah 1,89 (100) 154,99 (100) proporsi sebesar 93,31 persen. Sumber : BPS DIY
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
81
18
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO Kinerja perekonomian DIY yang diukur dengan pertumbuhan ekonomi menunjukkan perkembangan positif, meskipun levelnya cenderung berfluktuasi
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO DAN PERTUMBUHAN EKONOMI Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) beserta turunannya merupakan salah satu indikator kemajuan kegiatan perekonomian dalam suatu wilayah. Secara umum, PDRB didefinisikan sebagai penjumlahan nilai tambah bruto (selisih antara nilai output dengan biaya antara) yang timbul dari seluruh aktivitas perekonomian dalam suatu wilayah tertentu tanpa memperhatikan dari mana asal faktor produksi yang digunakan. Penghitungan PDRB dapat dilakukan menggunakan tiga pendekatan, pendekatan produksi, pendapatan dan pengeluaran, namun sampai saat ini yang lazim digunakan adalah pendekatan produksi (PDRB sektoral) dan pendekatan pengeluaran (PDRB penggunaan). Pola perkembangan nilai PDRB DIY selama satu dasa warsa terakhir menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat. Atas dasar harga pasar berlaku, PDRB meningkat secara bertahap dari Rp 13,48 triliun di tahun 2000 menjadi Rp 63,69 triliun di tahun 2013. Sementara, atas dasar harga konstan tahun 2000 PDRB meningkat secara bertahap dari 13,48 triliun menjadi Rp 24,57 triliun di tahun 2013. Selama periode 2000-2013, kinerja perekonomian DIY yang diukur dari pertumbuhan ekonomi mampu tumbuh dengan ratarata 4,73 persen per tahun. Laju pertumbuhan ekonomi DIY selama periode 2000-2013 memiliki pola yang cukup berfluktuasi dengan level antara 3,70 sampai 5,40 persen. Setelah mengalami kontraksi yang cukup besar di tahun 1998, secara bertahap perekonomian DIY mulai pulih yang ditunjukkan oleh laju pertumbuhan ekonomi hingga mencapai 5,12 persen di tahun 2004. Meskipun masih tumbuh positif, perekonomian DIY kembali mengalami perlambatan dan hanya mampu tumbuh 3,7 persen di tahun 2006 sebagai imbas dari kenaikan harga BBM di tahun 2005 dan dampak bencana gempa bumi yang melanda DIY pada bulan Mei 2006. Selama tahun 2009, perekonomian juga mengalami perlambatan dari 5,03 persen menjadi 4,43 persen sebagai imbas dari krisis finansial yang melanda beberapa negara tujuan ekspor terutama Amerika Serikat dan Eropa. Krisis ini cukup memukul sektor industri pengolahan yang berbasis ekspor. Selama tahun 2010 sampai 2013 perekonomian secara perlahan kembali membaik yang ditandai oleh laju pertumbuhan ekonomi yang mencapai level 5,40 persen. Angka ini menjadi level pertumbuhan yang tertinggi yang mampu dicapai DIY selama lehih dari satu dasawarsa terakhir. Gambar 17.1.
Gambar 17.2.
PDRB DIY Atas Dasar harga Berlaku dan Konstan Tahun 2000, 2000-2013 (Rp Triliun)
Perkembangan Laju Pertumbuhan Ekonomi DIY, 2001-2013 (Persen)
70
63,69
ADHB (Triliun) 60
57,03
50
45,63 38,10
40 29,42 30 20
13,48
10
17,52
19,61
22,02
4,00
32,92
5,12 4,50
3,70
2,50 2,00
2011 2012*) 2013**)
2011
2010
2010
2009
2009
2008
2008
2007
2007
2006
2006
2005
2005
2004
2004
2003
4,43
4,31
2003
2002
5,40
3,00
2002
2001
5,32
4,88
4,73
4,58
4,26
2001
2000
Sumber : BPS DIY
5,17
5,03
3,50
25,34
0
82
5,00 4,50
41,41
24,57 22,13 23,31 20,06 21,04 18,29 19,21 17,54 16,91 16,15 14,06 14,69 15,36 15,23
5,50
2013**)
51,79
2012*)
ADHK (Triliun)
6,00
Sumber : BPS DIY
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
18
Dari sisi penawaran pertumbuhan ekonomi DIY didorong oleh konsumsi rumah tangga yang tumbuh 5,82 persen , sehingga memiliki andil sebesar 2,81
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
Dari sisi penawaran/supplai, pertumbuhan ekonomi sebesar 5,40 persen di tahun 2013 didorong oleh pertumbuhan positif di semua sektor, meskipun laju pertumbuhan sedikit terkoreksi oleh laju inflasi 2013 yang mencapai 7,32 persen. Hampir semua sektor tumbuh positif di atas 5 persen, kecuali sektor pertanian dan sektor pertambangan dan penggalian yang hanya mampu tumbuh sebesar 0,63 persen dan 4,93 persen. Sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor industri pengolahan; dan sektor jasa-jasa menjadi tiga sektor yang memiliki kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan DIY dengan andil masing masing sebesar 1,31 persen dan 0,98 persen. Sementara, kontribusi terhadap pertumbuhan yang terkecil dihasilkan sektor listrik, gas dan air bersih dengan andil sebesar 0,06 persen. Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi sebesar didorong oleh peningkatan semua komponen permintaan akhir dalam PDRB penggunaan. Konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar 5,82 persen dan memberi andil sebesar 2,81 persen terhadap pertumbuhan. Kelompok komoditas non makanan dengan nilai proporsi 51 persen masih dominan mendorong pertumbuhan komponen konsumsi rumah tangga di DIY. Meskipun demikian, laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga selama tahun 2013 sedikit melambat bila dibandingkan dengan tahun 2012 yang mencapai 6,74 persen dengan andil pertumbuhan sebesar 3,22 persen. Faktor yang mempengaruhinya adalah melemahnya daya beli masyarakat sebagai akibat kenaikan harga barang dan jasa kebutuhan rumah tangga yang mencapai 7,32 persen di tahun 2013. Komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) sebagai representasi dari kegiatan investasi mengalami pertumbuhan sebesar 5,02 persen dan memberi andil 1,32 persen terhadap pertumbuhan DIY. Sementara, konsumsi pemerintah tumbuh 5,31 persen dan memberi andil sebesar 1,07 persen terhadap pertumbuhan ekonomi DIY. Pencairan dana khusus sebagai implementasi Keistimewaan Yogyakarta cukup memberi pengaruh terhadap peningkatan konsumsi pemerintah selama tahun 2013. Ketergantungan terhadap barang dan jasa dari luar daerah maupun luar negeri oleh penduduk DIY masih cukup tinggi. Hal ini diindikasikan oleh nilai nominal net ekspor yang bertanda negatif, dalam arti nilai impor lebih besar dari nilai ekspor.
ht
tp
STRUKTUR PEREKONOMIAN DIY Struktur perekonomian suatu wilayah dapat dikaji berdasarkan andil atau kontribusi dari semua sektor/lapangan usaha yang ada dalam perekonomian. Struktur perekonomian DIY Gambar 18.1.
Gambar 18.2. PDRB DIY ADHB dan ADHK, Pertumbuhan dan Andil PDRB DIY ADHB dan ADHK, Pertumbuhan dan Andil Pertumbuhan menurut Lapangan Usaha, 2013 Pertumbuhan menurut Penggunaan, 2013 Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan
ADHB (Miliar rupiah)
ADHK (Miliar rupiah)
8.861,28 416,53 8.771,19 796,70
Pertum buhan (Persen)
Pertum buhan (Persen)
3.730,30
0,63
0,10
167,67
4,92
0,03
3.142,84
7,81
0,98
229,64
6,54
0,06
ADHB (Miliar rupiah)
ADHK (Miliar rupiah)
Konsumsi Rumah Tangga
33.293,53
Konsumsi Pemerintah
16.809,33
PMTB
Lapangan Usaha
6.908,38
2.459,17
6,07
0,60
Ekspor
13.152,52
5.225,06
6,20
1,31
Impor
5.400,53
2.744,15
6,30
0,70
Lainnya PDRB
6.543,15
2.552,44
6,23
0,64
Jasa-jasa
12.840,03
4.316,21
5,57
0,98
PDRB
63.690,32 24.567,48
5,40
5,40
Pertum buhan (Persen)
Pertum buhan (Persen)
11.937,09
5,82
2,81
4.923,54
5,31
1,07
19.908,29
6.413,76
5,02
1,32
26.907,82
10.938,46
6,38
2,81
36.372,04
10.614,22
5,86
2,52
3.143,38
968,84
-2,13
-0,09
63.690,32
24.567,48
5,40
5,40
Sumber : BPS DIY
Sumber : BPS DIY
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
83
18
Struktur perekonomian DIY dalam beberapa tahun terakhir didominasi oleh sektor tersier, terutama sektor jasa-jasa dan sektor perdagangan, hotel dan restoran
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
sampai tahun 2013 didominasi oleh empat lapangan usaha, yakni sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor jasa-jasa; sektor industri pengolahan; dan sektor pertanian. Sektor perdagangan, hotel dan restoran memberi sumbangan terbesar dengan nilai andil sebesar 20,65 persen. Selama periode 2000-2013, andil sektor perdagangan,hotel dan restoran relatif stabil pada kisaran 19,5 sampai 20,65 persen. Andil terbesar kedua dalam struktur PDRB 2013 dihasilkan oleh sektor jasa-jasa dengan nilai andil 20,16. Andil terbesar dari sektor ini dihasilkan oleh sub sektor jasa pemerintahan umum, sehingga besarnya peranan sektor jasa-jasa juga menunjukkan peran dan kinerja pemerintahan yang semakin besar. Selama tiga belas tahun terakhir andil sektor jasa-jasa meningkat dari 17,98 persen menjadi 20,16 persen. Sebagai salah satu destinasi pariwisata di Indonesia, DIY memiliki potensi pariwisata yang luar biasa baik wisata alam maupun wisata budaya yang mampu mendorong dan menopang perkembangan sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasa-jasa melalui kegiatan promosi wisata. Sumbangan sektor industri pengolahan dan sektor pertanian dalam struktur perekonomian tahun 2013 juga cukup dominan dengan nilai andil sebesar 13,77 persen dan 13,91 persen. Berdasarkan data series selama tiga belas tahun terakhir, peranan sektor pertanian dalam perekonomian menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun dari 20,56 persen di tahun 2000 menjadi 13,91 persen di tahun 2013. Sementara, peranan sektor industri pengolahan juga menunjukkan pola yang menurun dan relatif stagnan dengan andil sekitar 14 persen dalam tujuh tahun terakhir. Fenomena industrialisasi yang digagas sejak akhir periode 70’an kurang menunjukkan hasil yang signifikan, karena dari sisi nilai tambah maupun dalam menyerap tenaga kerja justru mengalami stagnasi. Sektor perekonomian yang mengalami peningkatan andil adalah sektor jasa-jasa. Fenomena ini menunjukkan perubahan struktural dalam perekonomian di DIY lebih bergeser dari sektor agraris (sektor primer) menuju sektor jasa-jasa (tersier). Struktur PDRB DIY dari sisi penggunaan didominasi oleh komponen konsumsi rumah tangga dan diikuti oleh konsumsi pemerintah serta PMTB. Kontribusi pengeluaran rumah tangga dalam PDRB mencapai 52,27 persen, sehingga setiap perubahan pada komponen konsumsi rumah tangga akan memiliki pengaruh terbesar terhadap laju pertumbuhan ekonomi DIY. Tabel 17.1. Distribusi Persentase PDRB Atas Dasar harga berlaku DIY menurut Lapangan Usaha, 2000-2013 (Persen) Sektor
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Pertanian
20,56 19,43 18,57 17,02 16,50 15,75 15,55 15,01 15,73 15,38 14,56 14,24 14,65 13,91
Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan
0,87
0,86
0,87
0,87
0,83
0,78
0,74
0,79
0,74
0,71
0,67
0,70
0,67
0,65
16,07 15,34 15,47 15,65 15,18 14,16 13,86 13,60 13,29 13,35 14,02 14,36 13,34 13,77
Listrik, Gas & Air Bersih
0,74
0,86
1,04
1,18
1,22
1,30
1,28
Konstruksi
6,99
6,82
6,96
7,40
7,92
8,80
9,75 10,54 10,70 10,70 10,59 10,78 10,85 10,85
Perdagangan, Hotel & Restoran
1,29
1,28
1,35
1,33
1,31
1,28
1,25
19,53 19,75 19,13 19,21 18,90 19,21 19,03 19,22 19,22 19,72 19,74 19,79 20,09 20,65
Pengangkutan & Komunikasi
8,55
8,75
9,63
9,71
9,72 10,22 10,37 10,08
9,82
9,20
9,03
8,83
Keuangan, Real Estat & Jasa Perusahaan
8,71
8,66
9,38
9,90
9,93
9,77
9,88
9,98
9,96 10,30 10,27
Jasa-Jasa PDRB
9,95
9,37
9,69
8,60
8,48
17,98 19,54 18,96 19,06 19,80 19,81 20,05 19,79 19,46 19,71 20,07 20,05 20,23 20,16 100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
Sumber : BPS DIY
84
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
18
PDRB perkapita atas dasar harga konstan (riil) dalam satu dasa warsa terakhir semakin meningkat, sehingga secara rata-rata kesejahteraan penduduk DIY juga semakin meningkat
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
PDRB PERKAPITA PDRB per kapita dihitung dari hasil bagi antara nilai PDRB dengan jumlah penduduk pada pertengahan tahun. Indikator ini menjadi salah satu ukuran kesejahteraan penduduk secara kasar dalam suatau wilayah. Semakin tinggi nilai PDRB per kapita maka mencerminkan tingkat kesejahteraan penduduk di wilayah yang bersangkutan secara rata-rata yang semakin tinggi pula. Meskipun demikian, indikator ini memiliki kelemahan karena masih mengabaikan transfer faktor produksi antar wilayah atau asal kepemilikan faktor produksi dan mengandung komponen pajak tak langsung serta penyusutan. Perkembangan PDRB per kapita DIY dalam satu dasa warsa terakhir menunjukkan pola yang semakin meningkat. Pada tahun 2000 PDRB per kapita DIY atas dasar harga pasar yang berlaku mencapai Rp 4,32 juta per tahun dan meningkat secara bertahap menjadi Rp 17,98 juta per tahun pada tahun 2013. Meskipun demikian, angka tersebut masih mengandung komponen perubahan harga (inflasi/deflasi) sehingga belum mencerminkan nilai riilnya. Secara riil atau dihitung atas dasar harga konstan tahun 2000, nilai PDRB per kapita DIY meningkat secara bertahap hingga mencapai level Rp 6,94 juta per tahun pada tahun 2012 atau mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 3,64 persen per tahun. Secara kasar, fakta ini menunjukkan terjadinya perbaikan kesejahteraan penduduk DIY secara rata-rata dengan asumsi semuan penduduk menerima manfaat yang sama dari haril pertumbuhan. Pertumbuhan pendapatan perkapita riil secara umum memiliki pola yang searah dengan pertumbuhan ekonomi. Pendapatan perkapita dalam tiga belas tahun terakhir mampu tumbuh secara positif, meskipun terjadi perlambatan di tahun 2005-2006 akibat kenaikan harga BBM dan bencana gempa bumi serta melambat kembali di tahun 2009 akibat krisis finansial yang terjadi di negara-negara Amerika dan Eropa yang menjadi tujuan ekspor komoditas asal DIY. Gambar 17.2.
tp
://
Perkembangan Pendapatan Perkapita, Laju Pertumbuhan Pendapatan Perkapita Riil, PertumbuhanEkonomi DIY, 2001-2013 (Persen)
Pertumbuhan (%)
6
4
4,45 4,26
3 3,01
4,60 4,50
4,76
4,95 5,12
4,58 4,04
3,41
3,50
5,14
5,27
5,44
5,86
5,03
4,73 4,31 3,67
5,66
3,70
6,09
6,63
6,94
4,88 3,95
5,17 4,27
5,32
5,40
5
4,50
4,59
4 3
3,41
3,27 2,65
2
7 6
4,43 3,99
6,35
PDRB Perkapita (Rp juta)
PDRB Perkapita Riil (Rp juta) Pertumbuhan Ekonomi (%) Pertumbuhan PDRB Perkapita Riil (%)
7
5
8
ht
8
2
1
1
0
0 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012*) 2013**)
Sumber : BPS DIY
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
85
19
PERBANDINGAN REGIONAL Kontribusi DIY dalam perekonomian nasional masih sangat kecil, hanya 0,86 persen dan berada di peringkat kedua puluh
id
Bab perbandingan regional menyajikan perbandingan pencapaian beberapa indikator strategis antara DIY dengan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Beberapa indikator yang diperbandingkan diantaranya adalah PDRB, PDRB perkapita dan IPM. PDRB Nilai PDRB ADHB DIY tahun 2013 berada di peringkat kedua puluh secara nasional setelah Provinsi Kalimantan Selatan dan sebelum Provinsi Kalimantan Tengah. Peringkat ini tidak mengalami perubahan sejak tahun 2010. Jika dibandingkan dengan lima provinsi lainnya di Pulau Jawa, nilai PDRB DIY selama tahun 2013 baik atas dasar harga pasar yang berlaku maupun atas harga konstan tahun 2000 berada di posisi yang terkecil. Kontribusi PDRB DIY terhadap total PDRB 33 provinsi (PDB nasional) atas dasar harga yang berlaku mencapai 0,84 persen. Dibandingkan dengan nilai andil tahun 2011 dan 2012 yang mencapai 0,86 persen dan 0,85 persen, andil tahun 2013 sedikit mengalami penurunan.
PDRB
Sumber : BPS DIY
86
4,18 6,01 6,18 2,61 7,88 5,98 6,21 5,97 5,29 6,13 6,11 6,06 5,81 5,40 6,55 5,86 6,05 5,69 5,56 6,08 7,37 5,18 1,59 7,45 9,38 7,65 7,28 7,76 7,16 5,14 6,12 9,30 14,84 5,90
1,36 5,33 1,68 6,89 1,13 3,06 0,36 2,17 0,51 1,32 16,57 14,12 8,23 0,84 14,99 3,23 1,25 0,74 0,53 1,12 0,84 1,10 5,61 0,70 0,77 2,44 0,54 0,16 0,21 0,17 0,10 0,67 1,23 100
ak
13 7 12 5 17 9 29 11 28 14 1 3 4 20 2 8 15 23 27 18 21 19 6 24 22 10 26 32 30 31 33 25 16
yo gy
38,01 142,54 46,64 109,07 21,98 76,41 10,05 46,12 12,91 49,67 477,29 386,84 223,10 24,57 419,43 105,86 34,79 20,42 14,75 36,08 23,00 36,20 121,99 22,87 22,98 64,28 15,04 3,65 6,11 5,11 3,66 15,06 24,62 2.661
://
NAD 103,05 Sumut 403,93 Sumbar 127,10 Riau 522,24 Jambi 85,56 Sumsel 231,68 Bengkulu 27,39 Lampung 164,39 Kep. Babel 38,93 Kep. Riau 100,31 DKI Jakarta 1.255,93 Jabar 1.070,18 Jateng 623,75 DIY 63,69 Jatim 1.136,33 Banten 244,55 Bali 94,56 NTB 56,28 NTT 40,47 Kalbar 84,96 Kalteng 63,52 Kalsel 83,36 Kaltim 425,43 Sulut 53,40 Sulteng 58,64 Sulsel 184,78 Sultra 40,77 Gorontalo 11,75 Sulbar 16,18 Maluku 13,25 Malut 7,73 Papbar 50,91 Papua 93,14 Indonesia 7.578
Pering Pertum Kontri kat buhan busi
ADHK
tp
ADHB
ht
Provinsi
ar ta .b ps
Perbandingan PDRB, Pertumbuhan dan Kontribusi PDRB menurut Provinsi di Indonesia, 2013 (Triliun)
Kontribusi PDRB seluruh provinsi di Pulau Jawa terhadap total PDRB 33 provinsi (PDB nasional) mencapai 57,99 persen dan relatif tidak berubah dibandingkan dengan andil pada tahun sebelumnya. Fenomena ini menunjukkan kegiatan perekonomian nasional masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, meskipun secara bertahap dalam sepuluh tahun terakhir levelnya semakin berkurang. Kontribusi PDRB DIY masih rendah juga diikuti level pertumbuhan yang menempati peringkat terendah. Secara rata-rata pertumbuhan ekonomi Provinsiprovinsi di Pulau Jawa mencapai 6,25 persen, sementara di level pertumbuhan DIY hanya 5,40 persen. Hal ini terkait dengan luas wilayah yang relatif lebih sempit dan jumlah penduduk yang relatif lebih sedikit maupun ketiadaan kawasan perekonomian/industri yang berskala besar maupun rendahnya kontribusi nilai tambah dari sektor migas. Kegiatan perekonomian DIY masih berorientasi pada sektor jasa terutama jasa pendidikan dan kegiatan jasa yang berbasis pariwisata dan kebudayaan dan masih bertumbu pada usaha mikro, kecil dan menengah. Namun demikian, selama tahun 2013 DIY menjadi satusatunya wilayah yang pertumbuhannya menguat disaat semua provinsi lain di Pulau Jawa mengalami perlambatan.
.g o.
Tabel 19.1.
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
19
Terdapat lima provinsi yang memiliki PDRB perkapita lebih tinggi dari level nasional yakni DKI Jakarta, Kepri, Kaltim, Jatim dan Sumut, sementara PDRB perkapita provinsi lainnya termasuk DIY lebih rendah dari level nasional
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
PDRB PERKAPITA Perbandingan nilai PDRB per kapita atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan antar provinsi di Indonesia masih menunjukkan adanya gap yang sangat lebar. Berdasarkan Gambar 19.1. level PDRB perkapita riil (ADHK 2000) Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2013 sudah mencapai Rp 47,77 juta per tahun. Sementara, level PDRB perkapita riil Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) masih berada pada kisaran Rp 2,98 juta per tahun. Fenomena tersebut menggambarkan kesenjangan pendapatan regional yan sangat kontras, DKI Jakarta sebagai daerah maju yang merepresentasikan pusat pemerintahan dan pusat perekonomian dan NTT sebagai provinsi yang pembangunan ekonominya masih jauh tertinggal. Secara nasional, level PDRB perkapita riil tahun 2013 tercatat sebesar Rp 10,15 juta per tahun. Berdasarkan level tersebut, tercatat sebanyak 28 provinsi dari 33 provinsi di Indonesia masih memiliki nilai PDRB riil perkapita yang lebih rendah dari level nasional dan hanya ada 5 provinsi yang PDRB perkapita riilnya lebih tinggi dari level nasional. Secara berurutan kelima provinsi tersebut adalah DKI Jakarta (Rp 47,77 juta), Kepulauan Riau (Rp 25,67 juta), Kalimantan Timur (22,70), Jawa Timur (Rp 10,89 juta) dan Sumatera Utara (Rp 10,43 juta). Berdasarkan peringkat secara nasional, PDRB perkapita riil DIY tahun 2013 berada di urutan berada ke-22 dan berada diantara Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Rp 7,14 juta) dan Provinsi Jawa Tengah (Rp 6,38 juta). Beberapa daerah yang memiliki nilai PDRB perkapita tinggi seperti Riau, Kalimantan Timur dan Kepulauan Riau tercatat memiliki potensi pertambangan migas maupun bahan mineral lainnya sehingga mendorong tingginya nilai PDRB perkapita. Gambar 19.1.
yo gy
PDRB Perkapita Riil (Atas Dasar Harga Konstan 2000) Provinsi-provinsi di Indonesia, 2013 (Rp Juta) Provinsi
Nasional
://
60
tp
50
ht
40 30 20 10 0
DKI Jakarta
Kep. Riau
Kaltim
Jatim
Sumut
Riau
Kep. Babel
Sulut
Kalteng
Kalsel
Banten
Sumbar
Papbar
Bali
Jabar
Sulteng
Papua
Sumsel
Kalbar
Sulsel
NAD
DIY
Jateng
Sultra
Jambi
Lampung
Bengkulu
Sulbar
NTB
Gorontalo
Malut
Maluku
NTT
Sumber : BPS DIY
INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA Secara nasional, IPM DIY pada tahun 2013 mencapai 77,37 dan menempati peringkat kedua tertinggi setelah Provinsi DKI Jakarta (78,59). Peringkat IPM tahun 2013 ini meningkat lebih baik dibandingkan dengan IPM 2012 yang berada di peringkat keempat setelah Provinsi DKI Jakarta, Sulawesi Utara dan Riau. Keunggulan DIY terletak pada tingginya rata-rata Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
87
19
Kualitas pembangunan manusia DIY yang diukur dari nilai IPM berada di peringkat kedua secara nasional, dimensi kesehatan dan daya beli menjadi keunggulan DIY
usia harapan hidup penduduk saat lahir yang merepresentasikan indikator kesehatan. Ratarata usia harapan hidup DIY menjadi yang tertinggi secara nasional dan hal ini menunjukkan tingkat kesehatan penduduk DIY secara rata-rata yang relatif lebih baik dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia. Seperti yang sudah diuraikan dalam Bab 7, angka harapan hidup yang tinggi memiliki relasi dengan rendahnya angka kematian bayi dan balita yang dipengaruhi oleh ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai serta kemudahan dalam mengaksesnya. Selain itu, gaya hidup penduduk DIY yang dikenal low profile serta tingkat keamanan dan kenyamanan berdomisili di DIY cukup tinggi yang ditunjukkan oleh preferensi penduduk untuk menghabiskan masa tuanya juga berkontribusi terhadap tingginya angka harapan hidup penduduk.
AMH
RLS
PPP
IPM
97,04 97,84 97,38 98,48 96,85 97,55 96,55 95,92 96,44 98,07 99,22 96,87 91,71 92,86 90,49 96,87 91,03 85,19 90,34 91,70 97,99 97,18 97,95 96,40 99,56 96,22 89,69 92,59 96,87 90,54 98,25 97,45 94,14 75,92 94,14
9,02 9,13 8,63 8,78 8,32 8,04 8,55 7,89 7,73 9,91 11,00 8,11 7,43 9,33 7,53 8,61 8,58 7,20 7,16 7,17 8,17 8,01 9,39 8,52 9,09 8,22 8,01 8,44 7,52 7,35 9,20 8,72 8,53 6,87 8,14
621,40 646,83 644,59 657,26 644,05 641,35 637,50 628,24 651,22 651,37 637,92 641,63 646,44 656,19 654,02 639,28 643,78 648,66 612,88 641,41 646,01 646,77 653,70 647,51 646,19 640,69 646,71 628,77 633,14 642,66 622,59 609,26 604,82 616,76 643,36
73,05 75,55 75,01 77,25 74,35 74,36 74,41 72,87 74,29 76,56 78,59 73,58 74,05 77,37 73,54 71,90 74,11 67,73 68,77 70,93 75,68 71,74 77,33 74,72 77,36 72,54 73,28 71,73 71,77 71,41 72,70 70,63 70,62 66,25 73,81
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
AHH 69,40 69,90 70,09 71,73 69,61 70,10 70,44 70,09 69,46 69,97 73,56 68,84 71,97 73,62 70,37 65,47 71,20 63,21 68,05 67,40 71,47 64,82 71,78 69,70 72,62 67,21 70,60 68,56 67,54 68,34 67,88 66,97 69,14 69,13 70,07
tp
NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Kep. Babel Kep. Riau DKI Jakarta Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Kalut Sulut Sulteng Sulsel Sultra Gorontalo Sulbar Maluku Malut Papua Barat Papua Indonesia
ht
Provinsi
id
IPM 33 Provinsi di Indonesia, 2013
Pencapaian angka melek huruf di DIY pada tahun 2013 mencapai 92,86 persen dan relatif lebih rendah dibandingkan dengan provinsi lainnya. Meskipun demikian, dari sisi rata-rata lama sekolah penduduk DIY yang sebesar 9,33 tahun berada di peringkat keempat sesudah DKI Jakarta (11 tahun), Kepulauan Riau (9,91 tahun) dan Kaltim (9,39 tahun). Aspek kehidupan yang layak yang diukur dari daya beli (pengeluaran perkapita riil yang disesuaikan) penduduk DIY menduduki peringkat ke-2 sesudah Riau, dengan nilai pengeluaran per kapita yang disesuaikan sebesar Rp 656,19 ribu rupiah. Fenomena tingginya daya beli ini terkait dengan tingkat harga relatif barang dan jasa yang lebih rendah dari provinsi lainnya, sehingga nilai nominal uang yang sama ketika dibelanjakan di wilayah DIY bisa mendapatkan barang atau jasa dalam kuantitas yang lebih banyak.
.g o.
Gambar 19.2.
Sumber : BPS DIY
88
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
ar ta .b ps
ak
yo gy
://
tp
ht
Lampiran id
.g o.
Tabel 1 Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pemerintah DIY, 2010-2013 (Rp 000)
Rincian
2010
2011
2012
2013
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
ht
tp
://
yo gy
ak
ar ta .b ps
.g o.
id
A. Pendapatan Asli Daerah (PAD) 621.738.060 700.339.192 800.156.498 1. Pajak Daerah 526.658.538 592.498.872 689.572.065 2. Retribusi Daerah 35.839.076 37.709.418 36.228.288 3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan 25.376.334 30.557.391 31.863.499 4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah 33.864.112 39.573.511 42.492.646 B. Dana Perimbangan 615.334.816 714.542.343 850.513.085 1. Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak 76.479.469 74.240.415 74.403.649 2. Dana Alokasi Umum 527.471.247 620.812.328 757.056.696 3. Dana Alokasi Khusus 11.384.100 19.489.600 19.052.740 C. Penerimaan Lainnya yang Sah 4.056.726 4.593.565 284.778.165 1. Hibah 4.056.726 4.593.565 5.496.225 2. Dana Darurat - 3. Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan Pemda Lainnya - 4. Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus - 279.281.940 5. Bantuan Keuangan dari Provinsi atau Pemda Lainnya - 6. Dana Tunjangan Pendidikan - Jumlah Pendapatan Daerah 1.241.129.602 1.419.475.100 1.935.447.748 A. Belanja Tidak Langsung 793.215.967 849.118.418 1.267.028.063 1. Belanja Pegawai 357.054.577 443.439.504 490.659.484 2. Belanja Bunga 19.464 3. Belanja Subsidi 4. Belanja Hibah 79.964.292 7.618.834 355.793.657 5. Belanja Bantuan Sosial 94.390.428 105.752.387 94.674.768 6. Belanja Bagi Hasil Kepada Prov./Kab./Kota dan Pemerintah Desa 195.720.206 215.127.693 251.788.474 7. Belanja Bantuan Keuangan Kepada Prov./Kab./Kota dan Pemerintah Desa 60.067.000 67.180.000 54.111.680 8. Belanja Tidak Terduga 6.000.000 10.000.000 20.000.000 B. Belanja Langsung 601.230.133 741.667.293 857.260.645 1. Belanja Pegawai 91.305.152 90.164.079 111.508.041 2. Belanja Barang dan Jasa 378.233.586 501.329.695 527.793.940 3. Belanja Modal 131.691.395 150.173.519 217.958.664 Jumlah Belanja Daerah 1.394.446.100 1.590.785.711 2.124.288.708 Surplus/Defisit -153.316.498 -171.310.611 -188.840.960
1.014.089.544 885.217.610 41.436.703 36.328.245 51.106.986 961.190.992 98.360.324 828.334.768 34.495.900 311.574.558 8.815.476 - - 302.759.082 - - 2.286.855.094 1.427.652.116 503.342.635 467.336.914 15.955.857 306.120.014 124.470.680 10.426.016 1.027.267.313 125.019.271 609.742.631 292.505.411 2.454.919.429 -168.064.335
Sumber : BKPD DIY
90
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
Tabel 2 Jumlah Penduduk Usia Kerja (15 Tahun +) menurut Kegiatan Selama Seminggu yang lalu, TPAK dan TPT di D.I. Yogyakarta, 2006-2012 (orang) 2010
Kegiatan (1)
Angkatan Kerja
2011
2012
2013
2014
Agustus
Februari
Agustus
Februari
Agustus
Februari
Agustus
Februari
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
1.882.296 1.991.350 1.933.917 1.970.200 1.988.539 1.958.084 1.949.243 2.032.896
Bekerja
1.775.148 1.881.310 1.850.436 1.892.303 1.911.720 1.885.040 1.886.071 1.988.912
Penga nggura n
107.148
110.040
83.481
77.897
76.819
73.044
63.172
43.984
815.838
739.052
813.549
793.422
791.920
838.726
863.845
796.887
Sekol a h
279.420
262.569
269.226
324.537
280.427
306.151
201.760
349.639
Mengurus Ruma h Ta ngga
437.630
365.924
433.602
360.161
404.800
466.843
479.109
352.183
98.788
110.559
110.721
108.724
106.693
65.732
182.976
95.065
Bukan Angkatan Kerja
La i nnya Jumlah Penduduk Berusia 15 Tahun ke Atas
2.698.134 2.730.402 2.747.466 2.763.622 2.780.459 2.796.810 2.813.088 2.829.783
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)
69,76
72,93
70,39
71,29
71,52
70,01
69,29
71,84
5,69
5,53
4,32
3,95
3,86
3,73
3,24
2,16
id
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
.g o.
Sumber : Sakernas, BPS DIY
ar ta .b ps
Tabel 3 Distribusi Penduduk Bekerja menurut Lapangan Usaha Kegiatan Utama di DIY, 2010-2014 (%) 2011
2010
Kegiatan (1)
(2)
Pe rta ni a n
2014
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
24,29
26,17
25,43
27,82
24,38
28,18
25,42
0,79
0,96
0,68
0,22
0,72
0,87
0,48
0,20
13,92
14,22
14,68
15,65
14,97
12,96
13,36
14,91
0,10
0,29
0,25
0,00
0,14
0,35
0,29
0,09
6,19
5,55
7,30
5,68
6,92
6,39
5,54
4,84
24,69
25,92
25,76
26,37
24,52
26,38
25,87
26,64
3,80
4,75
3,70
3,72
3,27
3,87
3,48
3,78
2,18
2,20
2,74
2,68
3,06
3,34
2,87
3,37
17,93
21,83
18,73
20,25
18,58
21,46
19,93
20,75
100
100
100
100
100
100
100
100
ak
Indus tri Pe ngol a ha n Kons truks i
yo gy
LGA Pe rda ga nga n, Hote l da n Re s tora n Tra ns porta s i da n Komuni ka s i
://
Ke ua nga n, Re a l Es ta t da n Ja s a Pe rus a ha a n
tp
Jumlah
2013
30,40
Pe rta mba nga n da n Pe ngga l i a n
Ja s a -ja s a
2012
Agustus Februari Agustus Februari Agustus Februari Agustus Februari
ht
Sumber : Sakernas, BPS DIY
Tabel 4 Distribusi Penduduk Bekerja di DIY menurut Status Pekerjaan Utama, 2010-2014 (Persen) Kegiatan (1)
2011
2010
2012
2013
2014
Agustus Februari Agustus Februari Agustus Februari Agustus Februari (2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
Berus a ha Sendi ri
13,75
15,30
13,47
13,61
12,52
13,52
12,92
12,14
Berus a ha Di ba ntu Buruh Ti da k Teta p/Ti da k Di ba ya r
24,35
17,52
20,67
21,32
19,51
20,15
19,83
19,97
3,90
4,26
4,16
3,90
4,35
4,10
4,57
4,10
30,57
39,35
39,10
38,18
38,79
39,75
39,46
41,81
Pekerja Beba s Perta ni a n
2,02
3,53
1,42
2,10
2,16
2,03
1,47
1,28
Pekerja Beba s non Perta ni a n
6,54
5,08
6,89
5,05
6,30
6,71
5,65
3,85
18,87
14,96
14,28
15,85
16,36
13,73
16,10
16,85
100
100
100
100
100
100
100
100
Berus a ha Di ba ntu Buruh Teta p/Buruh Di ba ya r Buruh/ Ka rya wa n
Pekerja Ta k Di ba ya r Jumlah
Sumber : Sakernas, BPS DIY
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
91
91
Tabel 5 Angka Harapan Hidup Penduduk Saat Lahir (e0) menurut Kabupaten/Kota di DIY, 2004-2013 (Tahun) Kabupaten/Kota
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
D.I. Yogyakarta
72,60
72,90
73,00
73,10
73,11
73,16
73,22
73,27
73,33
73,62
Kulonprogo
72,60
73,07
73,20
73,47
73,79
74,09
74,38
74,48
74,58
75,03
Bantul
70,80
70,87
70,90
70,95
71,11
71,21
71,31
71,33
71,34
71,62
Gunungkidul
70,40
70,44
70,60
70,75
70,79
70,88
70,97
71,01
71,04
71,36
Sleman
72,70
72,70
73,80
74,10
74,43
74,74
75,06
75,18
75,29
75,79
Kota Yogyakarta
72,90
72,90
73,10
73,14
73,27
73,35
73,44
73,48
73,51
73,71
id
Sumber : BPS
2005
2006
2007
2008
2009
2011
2012
2013
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
D.I. Yogyakarta
85,78
86,69
86,69
87,78
89,46
90,18
90,84
91,49
92,02
92,86
Kulonprogo
86,41
86,50
87,53
88,69
88,72
89,52
90,69
92
92,04
93,13
Bantul
85,76
86,38
86,38
88,46
88,6
89,14
91,03
91,23
92,19
92,81
Gunungkidul
83,80
84,50
84,50
84,5
84,5
84,52
84,66
84,94
84,97
85,22
Sleman
89,70
90,50
90,50
91,49
91,49
92,19
92,61
93,44
94,53
95,11
Kota Yogyakarta
96,69
97,08
97,08
97,55
97,7
97,94
98,03
98,07
98,10
98,43
ht
tp
://
yo gy
ar ta .b ps
2004
Sumber : BPS
2010
ak
Kabupaten/Kota
.g o.
Tabel 6 Angka Melek Huruf Penduduk Berusia 15 Tahun ke Atas menurut Kabupaten/Kota di DIY, 2004-2013 (Persen)
Tabel 7 Rata-rata Lama Sekolah Penduduk Berusia 15 Tahun ke Atas menurut Kabupaten/Kota di DIY, 2004-2013 (Tahun) Kabupaten/Kota
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
D.I. Yogyakarta
8,22
8,38
8,50
8,59
8,71
8,78
9,07
9,20
9,21
9,33
Kulonprogo
7,40
7,70
7,80
7,80
7,80
7,89
8,20
8,37
8,37
8,37
Bantul
7,91
8,00
8,00
8,36
8,55
8,64
8,82
8,92
8,95
9,02
Gunungkidul
7,40
7,60
7,60
7,60
7,60
7,61
7,65
7,70
7,70
7,79
Sleman
9,79
10,07
10,10
10,10
10,10
10,18
10,30
10,51
10,52
10,55
Kota Yogyakarta
10,69
10,82
10,80
10,95
11,42
11,48
11,48
11,52
11,56
11,56
Sumber : BPS
92
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
Tabel 8 Pengeluaran Perkapita Riil per Bulan yang Disesuaikan (PPP) menurut Kabupaten/Kota di DIY, 2004-2013 (Rp) Kabupaten/Kota
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
D.I. Yogyakarta
636,74
638,03
638,77
639,88
643,25
644,67
646,56
650,16
653,78
656,19
Kulonprogo
616,94
617,92
619,65
624,09
628,29
629,5
630,38
631,42
634,34
635,96
Bantul
634,48
637,07
637,07
637,79
642,19
643,89
646,08
651,17
654,06
656,07
Gunungkidul
613,62
614,63
615,67
617,7
621,67
623,09
625,2
628,73
631,91
634,88
Sleman
638,04
639,06
639,37
640,6
645,15
646,08
647,84
650,27
654,11
656,00
Kota Yogyakarta
637,93
639,11
639,23
640,55
645,1
647,59
649,71
653,79
657,65
658,76
id
Sumber : BPS
2004
2005
2006
(1)
(2)
(3)
(4)
D.I. Yogyakarta
72,91
73,50
73,70
Kulonprogo
70,92
71,50
72,01
Bantul
71,50
71,95
71,96
Gunungkidul
68,86
69,27
69,44
Sleman
75,10
75,57
Kota Yogyakarta
77,42
77,70
2008
2009
2010
2011
2012
2013
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
74,15
74,88
75,23
75,77
76,32
76,75
77,37
72,76
73,26
73,77
74,49
75,04
75,33
75,95
72,78
73,38
73,75
74,53
75,05
75,51
76,01
69,68
70,00
70,17
70,45
70,84
71,11
71,64
76,22
76,70
77,24
77,70
78,20
78,79
79,39
79,97
77,81
78,14
78,95
79,28
79,52
79,89
80,24
80,51
yo gy
ak
(5)
ht
tp
://
Sumber : BPS
2007
ar ta .b ps
Kabupaten/Kota
.g o.
Tabel 9 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menurut Kabupaten/Kota di DIY, 2004-2013 (Persen)
Tabel 10 Reduksi Shortfall IPM per Tahun menurut Kabupaten/Kota di DIY, 2004-2013 (Tahun)
Kabupaten/Kota
20042005
20052006
20062007
20072008
20082009
20092010
20102011
20112012
20122013
20042013
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
D.I. Yogyakarta
2,18
0,75
1,71
2,82
1,39
2,18
2,27
1,82
2,67
1,37
Kulonprogo
1,99
1,79
2,68
1,84
1,91
2,74
2,16
1,16
2,51
1,37
Bantul
1,58
0,04
2,92
2,20
1,39
2,97
2,04
1,84
2,04
1,36
Gunungkidul
1,32
0,55
0,79
1,06
0,57
0,94
1,32
0,93
1,83
1,28
Sleman
1,89
2,66
2,02
2,32
2,02
2,24
2,71
2,83
2,81
1,39
Kota Yogyakarta
1,24
0,49
1,49
3,71
1,57
1,16
1,81
1,74
1,37
1,34
Sumber : BPS
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
93
93
Tabel 11 Angka Partisipasi Sekolah, Kasar dan Murni menurut Kelompok Usia di DIY, 2004-2013 (Persen)
Partisipasi Kelompok Usia Sekolah
Angka Partisipasi Murni (APM)
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
7-12
98,67 98,77 99,05 99,35 99,29 99,62 99,65 99,69 99,46 99,77 99,96
13-15
95,10 95,02 95,16 90,55 92,62 92,91 93,42 94,02 97,59 98,32 96,71
16-18
73,58 75,96 74,86 71,18 71,82 72,46 72,26 73,06 75,85 80,22 81,50
19-24
42,29 47,00 41,21 39,71 43,38 43,47 43,30 44,03 41,73 44,32 46,73
SD
102,83 107,36 106,60 107,97 112,20 115,03 111,10 108,16 104,52 107,13 108,31
SLTP
100,57 97,29 98,21 91,30 102,35 104,81 92,47 93,47 89,40 88,99 83,54
SLTA
75,32 77,48 78,05 72,57 75,87 79,04 78,33 79,29 86,50 83,09 89,74
SD
91,98 92,55 95,46 94,38 93,53 94,32 94,38 94,76 91,98 96,03 98,72
SLTP
79,06 77,37 83,27 72,30 74,94 75,31 75,34 75,55 69,15 72,64 75,82
SLTA
59,77 61,51 62,45 55,85 57,88 58,96 58,69 59,35 59,68 64,02 64,92
id
Angka Partisipasi Kasar (APK)
2004
.g o.
Angka Partisipasi Sekolah (APS)
2003
ar ta .b ps
Sumber : BPS
Tabel 12 Perkembangan Angka Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota di DIY, 2008-2013 2008
2010
Garis Jumlah Garis Jumlah Garis Jumlah Persentase Persentase Persentase Kemiskinan Penduduk Kemiskinan Penduduk Kemiskinan Penduduk Penduduk Penduduk Penduduk (Rp/Kapita/ Miskin (Rp/Kapita/ Miskin (Rp/Kapita/ Miskin Miskin Miskin Miskin Bulan) (000 Jiwa) Bulan) (000 Jiwa) Bulan) (000 Jiwa) 197.507
97,9
26,85
205.585
89,9
24,65
225.059
90,0
23,15
Bantul
196.509
164,3
18,54
224.373
158,5
17,64
245.626
146,9
16,09
Gunungkidul
157.071
173,5
25,96
186.232
163,7
24,44
203.873
148,7
22,05
Sleman
212.031
125,1
12,34
226.256
117,5
11,45
247.688
117,0
10,7
Yogyakarta
263.996
48,1
10,81
265.168
45,3
10,05
290.286
37,8
9,75
DIY
202.362
608,9
18,02
220.830
574,9
16,86
234.282
540,4
15,63
ht
tp
://
Kulonprogo
yo gy
ak
Kab/Kota
2009
Lanjutan 2008 Kab/Kota
2009
2010
Garis Jumlah Garis Jumlah Garis Jumlah Persentase Persentase Persentase Kemiskinan Penduduk Kemiskinan Penduduk Kemiskinan Penduduk Penduduk Penduduk Penduduk (Rp/Kapita/ Miskin (Rp/Kapita/ Miskin (Rp/Kapita/ Miskin Miskin Miskin Miskin Bulan) (000 Jiwa) Bulan) (000 Jiwa) Bulan) (000 Jiwa)
Kulonprogo
240.301
92,8
23,62
256.575
92,4
23,32
259.945
86,5
21,39
Bantul
264.546
159,4
17,28
284.923
158,8
16,97
292.639
156,6
16,48
Gunungkidul
220.479
157,1
23,03
238.438
156,5
22,72
238.056
152,2
21,7
Sleman
267.107
117,3
10,61
288.048
116,8
10,44
297.170
110,8
9,68
Yogyakarta
314.311
37,7
9,62
340.324
37,6
9,38
353.602
35,6
8,82
DIY
257.909
564,3
16,14
270.110
562,1
15,88
303.843
541,9
15,03
Sumber : BPS
94
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
Tabel 13 Perkembangan Indikator Kemiskinan menurut Wilayah di DIY, 2002-2014
Perdesaan (D)
15,63
3,08
0,88
14,99
2,72
0,71
311,5
14,25
2,84
0,81
240,282
308,4
13,98
2,27
0,56
Mar 2011
265,752
304,3
13,16
1,93
0,50
Sep 2011
273,678
298,9
12,88
1,93
0,48
Mar 2012
274,662
305,9
13,13
3,56
1,32
Sep 2012
284,549
306,5
13,10
2,29
0,58
Mar 2013
297,391
315,5
13,43
2,08
0,50
Sep 2013
317,925
325,5
13,73
2,18
0,52
Mar 2014
327,273
333,0
13,81
2,22
0,53
Mar 2002
103,012
Mar 2003
106,801
Mar 2004
114,671
Mar 2005
130,807
Mar 2006
148,523
Mar 2007
156,349
Mar 2008
169,934
Mar 2009 Mar 2010
Mar 2002
123,902
303,8
16,17
Mar 2003
137,132
303,3
16,44
Mar 2004
148,247
301,4
15,96
Mar 2005
160,690
340,3
16,02
Mar 2006
196,406
346,0
17,85
Mar 2007
200,855
335,3
Mar 2008
208,655
324,2
Mar 2009
228,236
Mar 2010
.g o.
ar ta .b ps 331,9
25,96
333,5
24,48
314,8
23,65
285,5
24,23
302,7
27,64
298,2
25,03
5,08
1,55
292,1
24,32
4,49
1,29
182,706
274,3
22,60
4,74
1,46
195,406
268,9
21,95
3,89
1,02
217,923
256,6
21,82
3,67
0,93
226,770
265,3
22,57
3,54
0,81
231,855
259,4
21,76
3,29
0,79
Sep 2012
241,975
255,6
21,29
4,07
1,09
Mar 2013
256,558
234,7
19,29
3,02
0,63
Sep 2013
275,786
209,7
17,62
2,03
0,34
Mar 2014
286,137
211,8
17,36
2,11
0,40
Mar 2002
112,995
635,7
20,14
Mar 2003
127,089
636,8
19,86
Mar 2004
134,371
616,2
19,14
Mar 2005
148,476
625,8
18,95
Mar 2006
170,720
648,7
19,15
Mar 2007
184,965
633,5
18,99
3,80
1,12
Mar 2008
194,830
616,3
18,32
3,35
0,92
Mar 2009
211,978
585,8
17,23
3,52
1,04
Mar 2010
244,258
577,3
16,83
2,85
0,73
Mar 2011
249,629
560,9
16,08
2,51
0,65
Sep 2011
257,909
564,2
16,14
2,48
0,59
Mar 2012
260,173
565,3
16,05
3,47
1,14
Sep 2012
270,110
562,1
15,88
2,89
0,75
Mar 2013
283,454
550,2
15,43
2,40
0,55
Sep 2013
303,843
535,2
15,03
2,13
0,46
Mar 2014
313,452
544,9
15,00
2,19
0,48
Mar 2011 Sep 2011
ht
tp
://
Mar 2012
Perkotaan (K) + Perdesaan (D)
id
Bulan/ Tahun
Persentase Penduduk Miskin (P0 )
ak
Perkotaan (K)
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2 )
Jumlah Penduduk Miskin (000)
yo gy
Wilayah
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1 )
Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/ Bln)
Sumber : BPS
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
95
95
Tabel 14 Laju Inflasi Tahunan Kota Yogyakarta menurut Kelompok Komoditas, 2006-2013 (Persen) 2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
Bahan Makanan
15,62
13,30
14,92
3,91
18,86
1,82
8,10
12,31
Makanan Jadi, Minuman, Rokok dan Tembakau
13,85
7,33
9,01
7,50
5,47
7,07
6,90
8,15
Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar
6,68
6,17
13,78
1,40
5,49
3,01
2,99
5,18
Sandang
8,04
9,34
9,90
5,81
5,41
9,40
3,56
0,00
Kesehatan
16,09
4,37
8,19
1,86
1,97
5,64
1,93
3,08
Pendidikan, Rekreasi dan Olahraga
15,36
12,57
5,62
2,26
4,25
1,73
1,43
3,17
1,50
2,97
6,12
-1,23
5,57
2,40
1,30
10,45
10,40
7,98
10,80
2,93
7,38
3,88
4,31
7,32
(1)
Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan Umum
id
Kelompok Komoditas
.g o.
Sumber : BPS
Tabel 15 IHK Bulan Desember Kota Yogyakarta menurut Kelompok Komoditas, 2009-2013 (Persen) 2009
2010
2011
2012
2013
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
127,24
151,24
154,00
166,48
186,98
Makanan Jadi, Minuman, Rokok dan Tembakau
120,37
126,96
135,94
145,32
157,17
Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar
118,34
124,84
128,60
132,44
139,30
119,19
125,64
137,45
142,34
142,34
112,27
114,48
120,94
123,28
127,08
114,49
119,36
121,42
123,16
127,07
102,03
107,71
110,29
111,72
123,40
116,64
125,25
130,11
135,72
145,65
(1)
ak
Bahan Makanan
ar ta .b ps
Kelompok Komoditas
yo gy
Sandang Kesehatan
://
Pendidikan, Rekreasi dan Olahraga
tp
Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan
ht
Umum Sumber : BPS
Tabel 16 Perkembangan Laju Inflasi Bulanan Kota Yogyakarta, 1990-2014 (Persen) Bulan
96
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 (1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
Januari
0,44 0,74 1,19 2,94 0,47 1,32 1,23 0,17 6,23 2,46 0,78 -0,08 1,44 0,88 0,60 1,20 2,50 0,89 1,25 0,09 0,57 0,84 0,25 0,96 1,05
Februari
0,96 0,29 0,61 2,05 1,56 1,36 1,10 0,88 14,58 0,31 -0,34 1,31 0,75 0,10 -0,20 0,14 0,21 0,54 1,01 0,32 0,31 0,10 0,10 0,93 0,07
Maret
0,13 0,20 0,67 1,10 1,29 1,59 -0,37 0,53 5,38 0,28 0,09 1,26 0,33 -0,02 0,44 0,95 -0,17 0,42 0,56 0,18 0,13 0,21 0,36 0,79 0,14
April
1,56 1,66 0,17 -0,17 -0,72 1,64 -1,05 0,01 4,11 -0,51 0,30 0,48 -0,25 0,22 0,75 0,30 0,64 0,02 0,21 -0,34 0,25 -0,28 0,11 -0,30 0,07
Mei
0,31 0,34 -0,34 0,32 0,53 0,08 -0,07 -0,40 3,57 -0,14 0,37 0,90 1,53 0,11 0,86 0,47 1,05 0,07 1,08 0,27 0,14 0,13 0,05 -0,29 0,05
Juni
1,20 -0,08 0,62 0,41 -0,31 -0,41 0,10 -0,11 4,75 -0,46 0,65 1,16 0,40 0,67 0,31 0,66 0,83 0,08 2,51 0,18 1,26 0,26 0,75 0,84 0,43
Juli
1,01 1,33 -0,02 0,62 1,46 1,21 0,60 0,95 8,60 -0,61 1,30 1,75 1,38 1,06 0,55 1,09 0,60 0,77 1,31 0,32 1,40 0,90 0,76 2,58 0,85
Agustus
1,32 1,23 -0,53 -0,06 1,29 0,73 -0,66 1,24 7,53 -0,10 0,36 0,32 0,82 0,06 0,54 0,87 0,84 1,40 0,67 0,77 0,43 0,63 0,42 0,87 0,09
September
0,83 0,53 0,35 0,17 0,49 0,64 0,15 1,76 4,43 -0,39 0,30 1,08 1,56 0,53 0,26 1,06 1,07 0,96 1,15 0,80 1,06 0,19 0,19 -0,24 0,49
Oktober
2,29 1,27 0,02 0,48 0,87 0,34 0,66 1,67 -0,14 -0,05 0,72 0,67 0,51 0,75 0,50 6,53 0,79 1,09 0,62 -0,03 0,28 0,04 0,38 0,61
Nopember
0,44 0,62 0,70 1,21 1,38 0,30 1,03 2,81 -0,24 0,47 1,20 1,49 1,68 0,67 1,08 1,40 0,43 1,01 0,07 0,09 0,62 0,33 0,20 0,20
Desember
0,24 0,23 1,34 0,94 0,24 0,84 0,33 3,21 0,83 2,51 1,37 1,57 1,27 0,57 1,05 -0,45 1,17 0,47 -0,11 0,24 0,72 0,48 0,66 0,17
Jan-Des
10,73 8,38 4,78 10,01 8,55 9,64 3,05 12,72 77,46 2,51 7,32 12,56 12,01 5,73 6,95 14,98 10,40 7,99 9,88 3,60 7,38 3,88 4,31 7,32
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
Tabel 17 Produk Domestik Regional Bruto DIY Atas Dasar Harga Berlaku, 2004-2013 (Rp Milyar) LAPANGAN USAHA
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
3.634.903
3.991.035
4.574.164
4.941.800
5.993.781
6.366.771
6.644.695
7.373.852
8.355.326
8.861.281
2.661.201
2.936.878
3.438.464
3.610.606
4.419.013
4.652.257
4.817.985
5.348.388
6.136.638
6.304.000
79.108
88.736
99.492
118.189
149.666
139.878
147.300
173.453
188.126
207.577
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
551.044
601.898
624.190
742.176
889.911
987.858
1.067.708
1.204.853
1.335.596
1.587.662
d. Kehutanan
274.907
273.205
315.671
350.341
385.215
419.458
430.726
450.657
462.997
480.884
e. Perikanan
68.643
90.319
96.347
120.487
149.976
167.320
180.976
196.501
231.969
281.157 416.531
(1)
1. PERTANIAN a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN
2013
182.522
198.337
218.170
258.761
280.106
293.983
304.660
361.793
379.951
a. Minyak dan Gas Bumi
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
b. Pertambangan tanpa Migas
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
c. Penggalian 3. INDUSTRI PENGOLAHAN
182.522
198.337
218.170
258.761
280.106
293.983
304.660
361.793
379.951
416.531
3.342.179
3.588.201
4.078.214
4.475.680
5.062.275
5.528.856
6.396.639
7.434.020
7.609.337
8.771.188
a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Tanpa Migas 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3.342.179
3.588.201
4.078.214
4.475.680
5.062.275
5.528.856
6.396.639
7.434.020
7.609.337
8.771.188
1.337.982
1.463.452
1.718.484
1.858.825
2.379.204
2.650.343
3.385.042
4.237.759
4.278.424
5.032.769
673.019
694.184
763.940
815.415
778.189
877.451
843.173
972.033
1.039.011
1.218.083
385.030
413.087
468.737
547.573
512.338
455.006
469.291
416.066
379.507
411.298
161.652
168.987
183.392
207.421
217.375
236.405
245.159
235.655
233.788
254.388
id
3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan
133.031
143.527
165.341
196.203
232.749
282.326
351.537
369.169
391.614
401.976
155.560
169.596
181.529
214.571
232.562
249.411
283.281
313.558
318.348
373.086
9. Barang lainnya 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik
-
-
-
-
280.880
304.557
323.493
339.812
ar ta .b ps
7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya
215.024
230.812
268.095
330.133
250.279
310.802
-
-
17.816
19.332
b. Gas c. Air Bersih
.g o.
5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 6. Semen & Brg. Galian bukan logam
-
-
-
-
-
-
362.243
391.774
435.995
465.967
490.244
498.337
273.298
295.859
347.616
386.139
383.161
423.814
478.401
581.252
377.002
423.370
488.334
560.316
607.072
675.912
727.574
796.704
355.810
398.572
461.850
531.446
576.248
642.759
690.775
756.432
-
-
-
-
-
-
-
-
21.192
24.798
26.484
28.870
30.824
33.153
36.799
40.272
5.580.599
6.186.322
6.908.381
1.743.786
2.230.686
2.866.922
3.470.711
4.075.606
4.431.411
4.833.423
4.162.506
4.866.927
5.597.603
6.326.700
7.321.299
8.165.613
9.008.181 10.246.578 11.457.201 13.152.524
1.775.643
2.086.787
2.379.563
2.701.533
3.150.428
3.497.028
3.884.721
4.395.608
4.884.831
5.510.533
489.097
505.960
454.950
549.130
717.179
801.873
867.922
1.052.324
1.262.869
1.465.009
a. Perdagangan Besar & Eceran b. Hotel c. Restoran a. Pengangkutan 1. Angkutan Rel 2. Angkutan Jalan Raya
ht
b. Komunikasi
tp
5. Angkutan Udara 6. Jasa Penunjang Angkutan 1. Pos dan Telekomunikasi
2. Jasa Penunjang Komunikasi
2.274.180
2.763.090
3.076.036
3.453.693
3.866.713
4.255.538
4.798.646
5.309.500
6.176.982
2.589.587
3.050.036
3.318.453
3.739.697
3.809.094
4.119.970
4.572.928
4.903.522
5.400.530
1.465.321
1.845.410
2.240.253
2.416.332
2.793.303
2.840.046
3.052.517
3.368.744
3.606.797
4.024.160
58.080
65.265
79.534
84.774
100.512
108.273
116.488
92.322
102.630
103.477
1.211.465
1.540.736
1.905.134
2.042.214
2.326.738
2.325.993
2.479.466
2.714.321
2.845.463
3.144.722
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
129.867
163.820
174.972
197.837
255.865
279.763
307.392
379.594
453.148
555.115
65.908
75.588
80.612
91.508
110.188
126.016
149.172
182.508
205.555
220.846
://
3. Angkutan Laut 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr.
1.897.767 2.141.731
yo gy
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
ak
5. BANGUNAN 6. PERDAGANGAN, HOTEL & RESTORAN
676.410
744.177
809.783
902.120
946.393
969.048
1.067.453
1.204.184
1.296.725
1.376.370
611.540
671.696
730.461
815.643
856.584
877.087
969.135
1.092.873
1.176.253
1.248.485
64.869
72.481
79.322
86.477
89.809
91.961
98.318
111.312
120.472
127.885
8. KEUANGAN, PERSEWAAN & JASA PERUSAHAAN 2.188.049
2.522.222
2.755.734
3.188.428
3.724.285
4.090.675
4.552.667
5.158.229
5.876.203
6.543.153
a. Bank
303.813
391.025
340.276
491.845
695.720
735.275
875.831
1.044.942
1.286.608
1.568.864
b. Lembaga Keuangan tanpa Bank
231.838
257.300
335.801
333.072
395.721
430.102
487.047
620.529
687.369
763.305
5.862
6.538
7.666
8.208
9.471
11.505
11.993
14.531
15.583
16.555
1.561.528
1.770.040
1.954.171
2.219.808
2.467.057
2.742.483
2.980.646
3.264.491
3.659.334
3.964.443
197.151
213.736
227.309
229.988
c. Jasa Penunjang Keuangan d. Sewa Bangunan e. Jasa Perusahaan 9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta 1. Sosial Kemasyarakatan 2. Hiburan & Rekreasi 3. Perorangan & Rumahtangga PDRB
85.009
97.320
117.820
135.495
156.316
171.310
4.360.110
5.020.474
5.899.504
6.512.834
7.416.303
8.160.329
9.158.283 10.381.238 11.536.320 12.840.026
3.108.786
3.582.312
4.213.635
4.598.174
5.238.291
5.762.623
6.490.409
7.376.908
8.276.612
9.307.831
1.931.848
2.221.385
2.607.401
2.843.030
3.225.149
3.515.340
3.950.219
4.494.533
5.047.312
5.672.360
1.176.938
1.360.927
1.606.234
1.755.144
2.013.142
2.247.283
2.540.190
2.882.375
3.229.300
3.635.471
1.251.324
1.438.162
1.685.869
1.914.660
2.178.012
2.397.706
2.667.874
3.004.330
3.259.708
3.532.195
618.699
712.243
845.449
947.148
1.079.643
1.174.713
1.293.736
1.454.805
1.546.758
1.670.548
89.947
95.231
106.095
116.859
121.786
132.694
147.827
172.353
191.224
209.274
542.678
630.688
734.325
850.652
976.582
1.090.299
1.226.312
1.377.171
1.521.726
1.652.373
22.023.880 25.337.603 29.417.349 32.916.736 38.101.684 41.407.049 45.625.589 51.785.150 57.031.755 63.690.318
Sumber : BPS
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
97
97
Tabel 18 Produk Domestik Regional Bruto DIY Atas Dasar Harga Konstan 2000, 2004-2013 (Rp Milyar) LAPANGAN USAHA
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
3.052.935
3.185.771
3.306.928
3.333.382
3.523.943
3.642.696
3.632.681
3.557.865
3.706.923
3.730.297
2.291.776
2.418.374
2.528.699
2.492.372
2.673.405
2.773.292
2.757.165
2.654.468
2.773.919
2.779.245
71.736
76.846
81.354
86.905
88.807
93.429
95.772
97.405
99.200
102.371
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
452.277
453.098
452.490
483.795
484.151
493.162
492.699
518.141
536.505
545.115
d. Kehutanan
180.003
166.046
174.236
186.281
190.344
190.273
190.177
190.700
191.589
192.710
e. Perikanan
57.142
71.406
70.148
84.029
87.236
92.539
96.868
97.152
105.709
110.856 167.669
(1)
1. PERTANIAN a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN
2013
120.441
122.332
126.137
138.358
138.328
138.748
139.967
156.711
159.808
a. Minyak dan Gas Bumi
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
b. Pertambangan tanpa Migas
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
c. Penggalian 3. INDUSTRI PENGOLAHAN
120.441
122.332
126.137
138.358
138.328
138.748
139.967
156.711
159.808
167.669
2.400.776
2.463.230
2.481.167
2.528.020
2.562.549
2.610.760
2.793.580
2.983.167
2.915.117
3.142.836
a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Tanpa Migas
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2.400.776
2.463.230
2.481.167
2.528.020
2.562.549
2.610.760
2.793.580
2.983.167
2.915.117
3.142.836 1.395.234
800.848
845.594
860.186
854.291
965.586
1.020.655
1.173.572
1.345.071
1.273.390
508.391
510.219
511.559
505.206
452.315
477.007
446.259
476.534
479.031
525.188
3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya
323.944
323.919
336.147
367.545
321.518
267.691
270.040
237.464
213.889
223.938
129.735
129.201
138.467
139.745
114.892
117.393
130.505
144.582
6. Semen & Brg. Galian bukan logam
126.292
129.566
126.765
134.743
136.179
-
-
-
-
-
225.654
226.719
220.145
218.330
217.340
7. Logam Dasar Besi & Baja 8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 9. Barang lainnya 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik
147.619
141.058
138.820
145.329
197.749
205.690
214.368
213.977
137.245
151.233
161.558
160.023
175.528
-
-
-
-
-
220.616
237.318
244.152
246.895
241.772
178.328
182.586
179.771
178.932
185.285
180.317
169.791
171.639
188.701
221.869
144.845
153.115
152.862
165.772
174.933
185.599
193.027
201.243
215.542
229.640
131.776
140.027
140.186
152.779
162.218
172.772
179.870
187.992
200.981
214.396
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
13.069
13.088
12.676
12.993
12.715
12.827
13.157
13.251
14.561
15.244
b. Gas c. Air Bersih
143.755
163.472
.g o.
124.966 112.353
ar ta .b ps
4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet
id
1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki
1.284.471
1.395.079
1.580.312
1.732.945
1.838.429
1.923.720
2.040.306
2.187.805
2.318.448
2.459.173
3.279.424
3.444.828
3.569.622
3.750.365
3.947.662
4.162.116
4.383.851
4.611.402
4.920.045
5.225.056
1.374.914
1.462.659
1.534.974
1.613.884
1.698.740
1.791.892
1.889.077
1.971.863
2.090.487
2.211.703
340.362
319.188
259.896
287.901
342.329
364.119
376.543
421.779
487.361
530.389
1.564.148
1.662.981
1.774.752
1.848.580
1.906.592
2.006.105
2.118.231
2.217.759
2.342.196
2.482.964
a. Perdagangan Besar & Eceran b. Hotel
yo gy
c. Restoran
ak
5. BANGUNAN 6. PERDAGANGAN, HOTEL & RESTORAN
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
1.582.194
1.673.352
1.761.672
1.875.307
2.008.919
2.128.594
2.250.664
2.430.696
2.581.620
2.744.146
a. Pengangkutan
1.128.495
1.190.805
1.235.199
1.286.540
1.351.435
1.416.841
1.458.821
1.530.366
1.608.411
1.704.159
1. Angkutan Rel
35.099
34.766
35.935
36.850
39.517
44.028
45.785
34.378
37.466
35.938
905.201
954.830
996.814
1.041.603
1.073.134
1.104.480
1.129.742
1.169.792
1.194.788
1.240.135
2. Angkutan Jalan Raya
1. Pos dan Telekomunikasi
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
146.685
156.444
156.490
159.105
185.357
209.573
222.471
260.228
304.650
352.728
41.510
44.765
45.960
48.982
53.427
58.759
60.823
65.968
71.507
75.358
453.699
482.547
526.473
588.767
657.484
711.754
791.843
900.330
973.209
1.039.988
410.188
435.548
474.903
532.306
595.092
643.590
715.123
812.899
882.793
943.357
43.511
46.999
51.570
56.460
62.393
68.164
76.720
87.431
90.416
96.630
1.500.542
1.623.210
1.591.885
1.695.163
1.793.789
1.903.411
2.024.368
2.185.221
2.402.718
2.552.445
ht
6. Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi
-
-
tp
5. Angkutan Udara
-
-
://
3. Angkutan Laut 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr.
2. Jasa Penunjang Komunikasi 8. KEUANGAN, PERSEWAAN & JASA PERUSAHAAN a. Bank
211.425
246.688
187.811
250.720
318.858
329.114
372.961
421.524
499.447
571.716
b. Lembaga Keuangan tanpa Bank
166.142
177.143
201.707
184.786
181.372
202.655
218.339
250.365
264.153
275.124
c. Jasa Penunjang Keuangan d. Sewa Bangunan e. Jasa Perusahaan 9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta 1. Sosial Kemasyarakatan 2. Hiburan & Rekreasi 3. Perorangan & Rumahtangga PDRB
4.521
4.852
4.990
5.330
5.534
6.027
6.264
6.775
6.745
6.716
1.060.204
1.131.199
1.130.299
1.181.982
1.210.446
1.284.735
1.338.835
1.412.809
1.530.192
1.594.592
58.250
63.328
67.078
72.346
77.579
80.880
87.969
93.749
102.181
104.297
2.780.796
2.849.959
2.965.164
3.072.200
3.223.929
3.368.614
3.585.598
3.817.665
4.088.337
4.316.214
1.949.903
1.979.282
2.049.433
2.121.210
2.230.824
2.332.559
2.491.965
2.642.246
2.843.023
2.995.720
1.241.683
1.259.262
1.301.166
1.345.636
1.409.288
1.460.885
1.557.187
1.652.758
1.779.933
1.874.323
708.220
720.020
748.267
775.574
821.536
871.674
934.778
989.488
1.063.090
1.121.397
830.892
870.677
915.731
950.990
993.105
1.036.055
1.093.633
1.175.419
1.245.314
1.320.495
387.807
405.129
425.402
429.787
450.616
470.494
493.810
525.092
547.505
581.085
65.442
67.681
70.717
76.936
79.678
83.729
88.685
97.039
105.334
112.894
377.643
397.867
419.612
444.267
462.811
481.832
511.138
553.288
592.475
626.516
16.146.424 16.910.877 17.535.749 18.291.512 19.212.481 20.064.257 21.044.042 22.131.774 23.308.558 24.567.476
Sumber : BPS
98
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
ar ta .b ps
ak
yo gy
://
tp
ht
id
.g o.
id .g o. ar ta .b ps
D ATA ht
tp
://
yo gy
ak
MENCERDASKAN BANGSA
BADAN PUSAT STATISTIK
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Jl. Lingkar Selatan, Tamantirto, Kasihan Bantul Telp. (0274) 4342234 (Hunting); Fax. (0274) 2432230 E-mail:
[email protected] Homepage: http//yogyakarta.bps.go.id