D. PENYAKIT PANGAN TERBAWA TELUR (Toksiko-Infeksi) Mikroorganisme utama yang bertanggung jawab dalam toksiko-infeksi pangan
oleh
telur
adalah
Salmonella
dan
Staphylococcus
sedangkan
mikroorganisme yang paling sering dijumpai adalah Staphylococcus aureus. Dalam kondisi pH netral, telur atau berbagai produk telur merupakan lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme terutama bila pendinginnya kurang sempurna. Mikroorganisme yang berasal dari orang (penderita penyakit atau carrier) merupakan pencemar paling utama yang dijumpai di telur atau produk telur.
1. Salmonella Salmonella adalah bakteri penyebab infeksi pangan yang sering dijumpai pangan yang pengolahannya tidak higienis. Salmonella merupakan bakteri Gram negatif, berbentuk batang, bersifat aerobik atau fakultatif, mesofil dengan suhu pertumbuhan optimum 35-37°C dan kebutuhan aw sekitar 0,940,99. Terdapat sekitar 2000 Salmonella serotypes yang telah dikenal (Bryan, dkk., 1979). Secara klinis Salmonella telah dikenal menimbulkan enteric fever dan gejala infeksi pangan. Gejala infeksi pangan biasanya ditandai dengan timbulnya gastroenteritis akut, namun masih dapat ditangani sendiri oleh penderita. Hal ini biasanya terjadi akibat kontaminasi telur dan produk pangan hewani lain, tetapi bukan sebagai satu-satunya sumber. Masa inkubasi dapat berlangsung 6 - 48 jam dan biasanya terjadi pada jam ke-12 sampai jam ke-36. Gejala yang menyertainya adalah diare kram perut, muntah-muntah dan demam antara 1 -7 hari. Mikrobia yang bersangkutan dapat pula terekskresikan dalam feses selama hitungan minggu setelah gejala-gejala yang menyertainya surut. Usaha untuk mereduksi kontaminasi salmonella memerlukan beberapa pendekatan mulai dari penanganan di peternakan sampai di tempat pengolahan (dapur). Selain perlakuan panas, penghilangan Salmonella dapat dilakukan dengan pengasaman atau penurunan aw. Dalam hal produk telur, pembuatan telur kering atau pengeringan telur merupakan salah satu usaha untuk mengendalikan Salmonella.
2. Staphylococcus aureus
S. aureus adalah bakteri gram positif, bersifat aerobik atau fakultatif, berbentuk bulat berantai, tidak berspora dan tidak berflagela dan banyak terdapat
pada
bahan
pangan
berprotein
tinggi.
S.
aureus
dapat
berkembangbiak dalam waktu yang tidak terlalu lama dan menghasilkan enterotoksin
yang
stabil
terhadap
panas,
meskipun
sel
yang
memproduksinya telah mati. S. aureus bersifat fakultatif anaerob yang tumbuh optimal pada kondisi aerobik, namun dapat pula tumbuh pada kondisi rendah oksigen. Untuk memproduksi toksin, tetap diperlukan sejumlah oksigen. Bakteri ini akan tumbuh pada suhu 35 - 37 °C. Proses pemanasan atau pemasakan normal dapat membunuh bakteri ini, namun enterotoksin tetap stabil pada kondisi panas dan tetap aktif, sehingga pada makanan yang tidak mengandung Staphylococci belum tentu aman, karena didalamnya masih dapat terkandung racun. S. aureus dapat menyebabkan gastroenteritis. Masa inkubasi dari S. aureus sangat singkat yaitu 30 menit sampai 8 jam setelah konsumsi makanan yang mengandung toksin. Gejalanya
adalah
nausea,
muntah,
kram
perut,
keringat
berlebih,
kedinginan, denyut nadi lemah, kejang-kejang, temperatur badan tidak normal, dan napas yang pendek. Semakin lama pertumbuhan S. aureus maka toksin yang dihasilkan per gram makanan akan semakin banyak dan memperburuk keadaan individu. Beberapa enterotoxin yang berbeda dari S. aureus telah diidentifikasi yaitu toksin A, B, C, C 2, D, dan E dan masih ada yang lain yang belum diidentifikasi. Entotoksin A adalah yang paling beracun dan paling sering menimbulkan penyakit melalui makanan (Bergdoll, 1979). Bahan pangan dengan kadar protein yang tinggi seperti telur sangat baik untuk perkembangan S. aureus. Jumlah dari S. aureus biasanya tidak dapat dihitung karena bakteri ini tidak dapat berkompetisi baik dengan bakteri lainnya. Makanan yang mengandung garam atau gula merupakan kondisi yang menguntungkan bagi pertumbuhan S. aureus. Sebab mikrobia lainnya pada saat bersamaan mengalami hambatan pertumbuhan. S. aureus dapat tumbuh pada kadar garam dari 10 - 20 % sementara gula dari 50 - 60 %. S. aureus toleran terhadap nitrit sehingga dapat berkembangbiak pada larutan pemeraman daging. Meskipun Staphylococci dapat melakukan fermentasi dan bersifat proteolitik, namun bakteri ini tidak memproduksi bau atau menimbulkan tanda-tanda lain pada makanan yang terkontaminasi sehingga
makanan tersebut tidak kelihatan busuk. Kehadiran bakteri ini atau racunnya tidak dapat dideteksi dengan metode sensor (sensory methods). Sebagian besar keracunan makanan karena Staphyloccoci disebabkan oleh proses pendinginan, proses pemanasan dan pemasakan yang tidak memadahi.
NUTRISI TELUR Telur merupakan bahan pangan sumber protein cukup tinggi dan mempunyai nilai biology yang tinggi. Kualitas protein Pada telur sering digunakan sebgai standatt pengukuran untuk protein dari bahan pangan lain. Telur juga sebagai sumber asam lemak tidak jenuh yang essensial yaitu asam linoleat (linoleic 18:2n6), asam oleat yang merupakan asam lemak tidak jenuh tunggal, zat besi, fosfor, mineral trace, vitamin yang larut dalam lemak yaitu A, D, E, K dan beberapa vitamin yang larut dalam air termasuk vitamin B. Telur merupakan sumber vitamin D tetapi kadar kalsium dalam telur rendah dan hampir tidak mengandung vitamin C. Telur merupakan bahan pangan yang unik memiliki nutrisi yang seimbang untuk manusia pada segala umur. Telur rebus terutama kuning telurnya merupakan sumber sumber zat besi bagi anak- anak. Telur memiliki peranan yang penting, karena mengandung nutrisi yang dibutuhkan untuk tubuh selama masa pertumbuhan, demikian pula merupakan makanan yang baik bagi remaja. Daya cerna yang tinggi dan konsentrasi nutrisi pada telur menyebabkan telur sebagai bahan pangan yang baik bagi orang yang sedang sakit, untuk orangorang tua telur merupakan bahan pangan yang cocok, disamping nilai nutrisi yang seimbang juga memiliki nilai kalori yang rendah. Menurut Symposium and Aging ( 1992 ), telur dapat berpengaruh pada system imun. Bahan pangan ini sangat mempunyai sifat yang sangat mudah dicerna dan diabsorsi sehingga nutrien essensial dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Faktor-faktor yang mempengaruhi nutrisi telur Terdapat beberapa factor yang dapat mempengaruhi konsentrasi nutrisi dalam telur. Factor-faktor tersebut adalah umur, breed dan strain, individu, rasio pakan, lingkungan,kondisi penyimpanan telur, lama penyimpanan dan prosesing.
Peranan diet lemak dan kolesterol pada kesehatan manusia
Kolesterol merupakan komponen yang penting yang terdapat pada bahan pangan asal teraak. Kolesterol adalah senyawa sterol yang terdapat pada semua sel didalam tubuh manusia, senyawa ini merupakan precursor hormon steroid, vitamin D dan asam empedu. Tubuh manusia bisa mensintesa kolesterol dari karbohidrat dan precursor libida dan dapat meng-katabolys kolesterol untuk mereduksi konsentrasi dalam jaringan. Kolesterol ada dalam darah bersamasama dengan libida dan asam lemak terikat dengan lipo protein. Sudah banyak diketahui bahwa jumlah dan tipe diet lemak dapat berpengaruh pada konsentrasi libida darah. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Keys, Anderson dan Grande, 1957 menunjukkan pengaruh dari diet terhadap konsentrasi total koleterol di dalam darah. Hasil penelitian tersebut menunjukkan asam lemak jenuh akan meningkatkan kadar kolesterol sedangkan polyunsaturated fat cenderung menurunkan kadar kolesterol. Diet kolesterol direkomendasikan kurang dan 300mg perhari ( The National Research Council's Food and Nutrition Board's Committee on Diet and Health, 1989). Walaupun telur mengandung kolesterol tinggi, tetapi telur juga merupakan sumber asam linoleat dan
mempunyai
perbandingan
antara
saturated
:
monounsaturated
:
polyunsaturated pada kondisi dengan rasio yang seimbang. Rasio ini dianjurkan oleh the American Heart Association. Telur juga mengandung asam stearat dan asam oleat dengan konsentrasi yang tinggi yang dapat berfungsi menetralkan kolestrol plasma. PENGAWETAN TELUR Telur memiliki struktur yang unik dan distribusi komponen kimianya tidak sama diantara bagian-bagian telur, sehingga telur merupakan suatu system yang tidak stabil. Telur segar secara biologi adalah telur yang baru saja ditelurkan, sedang telur segar secara komersial adalah berdasarkan pemeriksaan secara candling, isi telur dalam keadaan masih baik dan masih dapat dikonsumsi. Telur apabila disimpan akan mengalami perubahan yaitu berat telur akan berkurang begitu pula berat jenisnya, rongga udara bertambah lebar dan timbul bau yang kurang enak. Untuk memperlambat terjadinya hal-hal tersebut perlu dilakukan pengawetan telur. Metode yang banyak dilakukan untuk memperlambat dekomposisi bahan pangan juga diterapkan pada pengawetan telur. Pengawetan telur dapat
dilakukan baik secaratelur utuh maupun hanya terhadap isi telurnya (telur terbuka). Beberapa metode pengawetan telur dapat dilakukan secara komersiil tetapi ada yang hanya dapat dilaksanakan pada tingkat rumah tangga. Metode pengawetan telur utuh sebagai berikut: 1. Pengepakan kering Pengawetan telur secara pengepakan kering sudah dilakukan sejak lama. Bahan-bahan yang digunakan antara lain dedak padi, garam, pasir, dan jerami. 2. Metode China Cara ini sudah lama dilakukan di negeri China, sebagai contoh produk telur yang dinamakan "hulidan" yaitu telur yang diawetkan dengan membungkus / melapisi kerabang telur dengan campuran garam dan tanah liat basah atau abu, kemudian telur-telur yang sudah terlapisi tersebut disimpan selama satu bulan. Cara ini menyebabkantelur menjadi asin rasanya. Metode China yang lain adalah "saudan", yaitu dengan cara telur dibungkus dengan campuran nasi dan garam yang kemudian disimpan selama enam bulan. "Pidan" adalah pengawetan telur dengan cara melapisi telur dengan garam, kapur, abu dari kayu, yang dicampur dengan air the dan disimpan selama lima bulan. Telur yang diawetkan dengan cara pidan, yolk akan menjadi berwarna abu-abu kehijauan, sedang albumen akan berwarna kecoklatan.
3. Pencelupan dalam larutan Cara ini berguna untuk mengurangi evaporasi air dari telur. Beberapa larutan dapat digunakan denga persyaratan larutan tersebut aman dan tidak beracun. Air kapur dan water glass merupakan bahan yang sudah sering digunakan. 4. Pengawetan dalam suhu rendah. Penyimpanan / pengawetan telur dalam suhu rendah pada 4°C sampai 10°C dengan kelembaban relatif 80 %. 5. Pelapisan kerabang Metode ini dengan cara melapisi kerabang dengan bahan-bahan yang aman dan tidak beracun serta menimbulkan bau yang tidak diinginkan. Bahan yang dapat digunakan antara lain minyak mineral,
agar-agar, gelatin, paraffin, dan lain-lain. 6. Pemanasan sekilas Metode ini dilakukan dengan cara mencelupkan telur kedalam air mendidih selama lima detik. Pada cara ini akan terjadi sedikit koagulasi albumen yang akan membentuk lapisan tipis /film disekeliling albumen, tepat di bagian bawah kerabang. Pengawetan Telur Terbuka Pengawetan ini dilakukan terhadap isi telur (tanpa kerabang). Bahan (isi telur) sebelum diawetkan, dipasteurisasi terlebih dulu, pada suhu 60°C selama 3,5 menit. 1. Pembekuan Telur Pada cara ini, isi telur dapat dipisahkan antar albumen dengan yolk atau campuran albumen dan yolk, kemudian dibekukan pada suhu rendah. Cara pembekuanannya dapat dilakukan pada suhu : a. -18.0 °C sampai - 21,0°C b. - 23,3 °C sampai - 28,9 °C c. - 40,0 °C sampai - 45,6 °C
2. Pengeringan Telur Dasar dari metode ini yaitu mengurangi kadar air dari telur seminimal mungkin, sehingga menjadi produk yang kering yaitu tepung / bubuk telur. Produk ini dapat tahan lama dalam penyimpanan. Pengeringan dapat dilakukan dengan beberapa cara: a. Pengeringan secara penyemprotan dalam udara panas / spray drying b. Pengeringan dengan nampan atau pan di dalam incubator (pan drying) c. Pengeringan beku I freeze drying. PRODUK TELUR Produk telur dapat dalam bentuk cairan, telur beku dan telur kering. Industri pengeringan telur berkembang sejak adanya industri telur beku. Pada tahun 1865 metode pengeringan telur telah dipatenkan dan kemudian proses pengeringan telur mulai dikembangkan. Industri pengeringan telur berkembang
terus di Amerika, dan pada tahun 1915 berkembang pula di China. Sedangkan industri
telur
beku
berkembang
setelah
adanya
perkembangan
mesin
refrigerator, pada tahun 1890. Pada mulanya dimulai dengan membekukan telur dalam kemasan yang berisi albumen dan yolk, tanpa pencampuran yang homogen, sehingga menghasilkan yolk yang mengalami gelatinise, dan produk ini kurang baik kualitasnya. Bahan padat pada telur cair antara telur penuh, albumen dan yolk adalah 25,4 % ; 11,9%; dan 45 ,0 %. Pembekuan dan pengeringan telur dapat mempertahankan kualitas telur. Produk Telur Beku Pada proses pembekuan yolk menyebabkan terjadinya gelation (yaitu struktur fisik yolk menjadi seperti gel) yang bersifat irreversible. Untuk menghambat terjadinya gelation dapat ditambahkan sodium klorida atau sukrosa sebanyak 10 %. Pasteurisasi dilakukan pada isi telur yang akan diproses untuk pembekuan. Pasteurisasi dilakukan pada suhu 60 °C selama 3,5 menit, sehingga semua partikel isi telur dapat terpasteurisasi. Persiapan dan proses untuk pembekuan telur sebagai berikut: 1. Telur disortasi, hanya yang memenuhi syarat kualitas (termasuk tidak retak kerabangnya), dimasukkan kedalam tempat penyimpanan yang mersuhu 15,6 ° C (proses pre chilling dalam holding room). Dari holding room telur dibawa ke ruang candling, untuk memisahkan telur yang tidak baik kualitasnya, dieliminer. Selanjutnya telur dicuci, dikeringkan dan dimasukkan ke dalam ruang pemecahan untuk memisahkan isi telur, tergantung tujuannya, yaitu telur penuh (campuran albumen dan yolk), albumen, atau yolk. Cairan telur penuh sebelum diproses diperlukan proses pengadukan agar didapatkan cairan yang homogen (hindari pengocokan, supaya telur tidak berbuih). Membrana vitelina, chalaza dan partikel-partikel kerabang dibuang / disaring sebelum proses pengadukan. 2. Pasteurisasi. Isf telur dipasteurisasi pada suhu 60 °C pada 3,5 menit. 3. Cairan telur yang sudah melalui pasteurisasi dimasukkan ke dalam ruang dengan suhu 7,2 °C sampaii semua partikel telur sama suhunya. Pada semua penanganan telur, perlu diperhatikan sanitasi yang ketat untuk menghindari kontaminasi oleh mikroorganisme. 4. Pembekuan telur dilakukan pada suhu - 18,0 °C sampai - 21,0 °C . Penurunan suhu setiap 1,0 °C selama setengah jam. Metode pembekuan
cepat biasanya dilakukan pada suhu - 23,3 °C sampai - 28,9 °C atau 40,0 °C sampai - 45,6 °C. Telur sebelum dibekukan dapat dilakukan pengepakan atau dimasukkan kedalam can / wadah dari almunium. Produk Telur Kering Pengawetan telur secara pengeringan yaitu dengan mengurangi kadar air telur sehingga bakteri dan fungi tidak dapat tumbuh. Persiapan untuk proses pengeringan telur adalah sama dengan pembekuan telur. Metode persiapan. Pengeringan telur dilakukan secara evaporasi yaitu dengan metode spray atau pan drying. Albumen biasanya dilakukan secara pan dried, sedangkan teluir penuh dan yolk secara spray dried. Pada proses pengeringan albumen diperlukan fermentasi terlebih dahulu dengan tujuan untuk mengurangi kadar gula albumen sehingga pada proses pengeringan dapat mengurangi reaksi Mail lard ayng dapat menyebabkan terjadinya off flavor serta perubahan warna dan menurunnya kelarutan pada produk tepung telur. Penambahan bahan additiv pada putih telur dapat memprtahankan sifat fungsional telur, misalnya surfaktan anionic dan ester (triethyl sitrat). Fermentasi dilakukan pada suhu 20 °C sampai 29,4 °C selama 36 sampai 60 jam, sehingga pH albumen turun menjadi 6,25. Proses fermentasi menggunakan bakteri Aerobacter aerogenes atau bakteri Escherichia freundii. Setelah proses fermentasi selesai cairan telur dituang ke dalam pan / nampan dengan ketebalan maksimal 6 mm, dikeringkan dengan suhu 50 °C sampai 60 °C selama 6 sampai 20 jam. Produk yang diperoleh kerkadar air + 8 %. Pembuatan tepung telur penuh dan yolk dilakukan secara spray drying. Cairan telur yang telah melalui proses persiapan dimasukkan ke dalam alat spray dryer, yang bertekanafi 3000 Ib setiap inci persegi, cairan telur masuk melalui nozzle, kedalam chamber dimana ditiupkan udara panas (dengan blower) dengan suhu 160 °C. Produk akhir akan diperoleh tepung dengan kadar air dibawah 5 %. Tepung telur dengan proses spray dried, sifat kelarutan lebih tinggi dibandingkan dengan pan dried. Kelarutan dengan spray dried sekitar 90 %, sedangkan dengan proses pan dried sekitar 60 %.
DAFTAR PUSTAKA
Bergdoll, M.S. 1979. Staphylococcal Infection. In: Riemann, H. and Bryan, F.L. Food-borne Infections and Intoxications, 2nd EdAcademic Press Inc, San Diego, Cal., USA. Board, R.G. 1977. Microbiology of Egg. In: Stadelman, W. J. and Cotterill, O.J.(Eds). Eggs Science and Technology. The Avi Publishing Co., Westport, Conn., USA. Bryan, F.L., Fanelli, M.J. and Riemann, H.
1979. Salmonella Infections. In
Riemann, H. and Bryan, F.L. Foodborne Infections and Intoxications. 2nd Ed. Academic Press Inc., San Diego. Cal., USA. Buckle, K.A, R.A. Edward, G.H. Fleet dan M. Wotton. 1978. Food Science Australian Vice Chancellor., Brisbane. Frazier, W.C. and Westhoff, D.C. 1988. Food Microbiology. McGraw-Hill Book Company, New York. Romanoff, A.L dan A. J. Romanoff. 1963. The Avian Egg. John Willey and Sons, Inc., New York. Powrie, W.D. 1973. Chemistry of Eggs and Product. In: WJ Stadelman, W.J. and Cotteril,J. (Eds). Eggs Science and Technology. The Avi Publishing Co., Westport, Conn., USA. Stadelman, W.J dan O.J. Cotterill, 1995. Egg Science and Technology. The Harworth Press, Inc., Binghampton, New York.