TERBAWA ARUS
Penyesalan
1
TERBAWA ARUS
N
ila meletakkan kedua belah tangan dan merentangkan jemari di atas kusen jendela kamar. Inai masih membekas di ujung-ujung kukunya. Mata lelah yang basah menatap kuku-kuku itu. Ada yang menggores batin yang tengah rapuh. Sejurus perempuan belia itu memejamkan mata seraya menekan torehan-torehan dalam rongga dada. Cairan hangat mulai merebak lagi dan menetes satu per satu di pipi yang pucat. Bulan mengambang di antara awan-awan malam yang berarak di langit perkampungan belahan selatan pulau timah. Suasana yang tidak jauh berbeda dengan malam ketika ia berdiri di tempat yang sama tujuh bulan lalu. Ketika itu, ia dilanda kebimbangan untuk menemukan sebuah keputusan. Nila berada antara dua pilihan yang sama-sama memberatkan. Terus bersekolah yang mungkin akan menjadikan dirinya lebih bermartabat atau menikah seperti yang dilakukan teman-teman sesama kampung dan disarankan kedua orang tuanya, hingga dapat memiliki dan dimiliki Fikri. Pada malam bulan penuh di halaman rumah, Nila berkumpul bersama teman-teman gadis kampungnya. Mereka asyik bercengkerama, mengobrol tentang bermacam pengalaman dan membahas masalahmasalah yang mereka hadapi. Nila sempat mengeluh kepada teman-temannya tentang kebimbangan dalam menentukan pilihan, sekolah atau menikah? “Nur, kamu jadi keluar sekolah?”, Nila membuka topik pembicaraan. “Jelas jadi, dong! Aku sudah malas sekolah. Orang kampung kita yang sekolah tinggi saja tidak banyak yang hidup enak. Malahan banyak yang tidak sekolah hidup lebih berkecukupan, bahkan berlebih. Meskipun Dani tidak sekaya Fikri, aku yakin dia bisa 2
TERBAWA ARUS
menyenangkanku.” Berbeda dengan Nila, Nur begitu yakin dengan keputusannya. Mendengar jawaban Nur yang begitu semangat, Nila menjadi semakin bingung. Ia masih sempat membayangkan Sofi anak Pak Haji Muhamad beberapa bulan yang lalu pulang dari Jakarta. Perempuan yang masih bertalian darah dengannya, pulang bersama suaminya yang begitu sopan dan intelek. Ia seorang insinyur yang tampak sangat melindungi dan menghormati keluarga. Sofi seorang dokter yang cukup terkenal, mampu bersaing di ibu kota. Waktu itu Nila sempat dihinggapi impian kesuksesan serupa. Ia ingin menjadi perempuan kedua yang sukses dari kampungnya. Meskipun orang di sekelilingnya kelihatan hidup senang dilimpahi materi, tapi di matanya berbeda dengan tampilan kebahagiaan Sofi. “Heh! Kenapa kamu malah bengong? Bagaimana, kamu jadi enggak gabung dengan kami? Kelihatannya kamu juga sudah cukup dekat dengan Fikri. Kurang apa sih, dia? Kaya, naksir berat lagi sama kamu. Itu jarang-jarang didapat orang, Nil! Banyak cewek kampung kita bahkan kampung seberang naksir berat sama dia. Apa kamu nggak takut kehilangan Fikri?” Kalimat Nur menyentuh titik sensitif lubuk cinta yang sedang bergejolak. Sekilas melintas bagaimana perasaan suka citanya ketika pulang nonton dangdut di pesta perkawinan Heni. Fikri mengajak pergi berjalan kaki karena letak keramaian tidak jauh. Fikri menggandeng dan merangkul pinggangnya dengan mesra. Nila merasa seluruh persendiannya lemah. Suhu tubuh meninggi, gelombang di dada pun pasang. Kepolosan jiwa remaja membiarkan diri menjadi perhatian orang-orang yang berada di sekelilingnya. 3
TERBAWA ARUS
Gadis yang baru setengah mekar tak mampu lagi menghadirkan kesadaran akan rasa malu atau takut. Benar-benar ia telah mabuk, masuk dalam lingkaran yang dengan cepat di kalang oleh sang dewi asmara. Tegur sapa orang yang berpapasan atau yang berjalan mendahului mereka berdua hanya dijawab sepintas lalu tanpa respon bermakna. Langkah dua pasang kaki, Nila dan Fikri saat itu seakan hanya sebagai alasan. Ada yang tersirat dibalik langkah mereka saat itu, bahwa mereka sebenarnya ingin bebas berduaan melepaskan rasa suka. Kesempatan untuk mencurahkan getaran-getaran jiwa remaja yang menggejolak. Hal yang demikian bukanlah hal yang aneh atau menghawatirkan di kampung itu. Semuanya telah dianggap wajar, karena hampir setiap pasangan remaja di sana melakukan hal yang sama. Demikian dengan Nila, begitu tersihir oleh keindahan remang bulan yang mampu mengalirkan desirandesiran mesra sang jejaka. *** Beberapa detik berikutnya Nila tersadar pada sekeliling. Baru sadar pikirannya telah ngeluyur ke dalam rimba masa lalu di kepalanya. Menyusul tangan Irma menepuk pundaknya. “Eh, kita belum selesai ngobrol, jangan melamun dulu! Bagaimana, sebenarnya kamu takut kehilangan Fikri yang begitu perhatian sama kamu, kan?” “Ya, sih! Aku juga sadar itu, tapi rasanya sayang harus meninggalkan sekolah. Aku masih mau sekolah. Di samping itu, umurku baru menginjak enam belas, belum cukup umur untuk menikah. Tidak boleh, kan menikah di bawah umur tujuh belas?” Nampak sekali pikiran Nila bercabang. 4
TERBAWA ARUS
“Sudahlah, Nil! Sudah aku bilang, orang sekolah tinggi juga banyak yang hidupnya susah. Orang yang tidak sekolah dan menikah muda dengan orang kaya justru senang. Soal umur jangan dipersoalkan. Mamak-mamak kita saja menikah di bawah tujuh belas tahun. Mereka bisa menjadi istri dan rumah tangganya awet, bahagia sampai tua-tua. Tidak ada yang mati gara-gara melahirkan karena hamil waktu muda.” Nur memanasi Nila yang sedang bimbang. Masuk ke rumah, kepala Nila dipenuhi kalimat teman-temannya, terutama Nur yang sama-sama baru masuk SMU beberapa bulan yang lalu. Di samping itu, ia merasakan desiran rindu terus mengipasi otaknya. Nila tak dapat menahan lonjakan-lonjakan dalam dadanya untuk segera mewujudkan kebersamaan dengan sang kekasih. Otaknya hanya dipenuhi bayangan wajah Fikri. Akhirnya, gelombang asmara tak memberi kesempatan pada gadis belia untuk lebih berat pada sekolahnya. Nila menyerah. Janda belia itu masih ingat, bahwa di ambang jendela itulah ia memutuskan untuk menikah. Saat itu ia benar-benar mabuk, mencintai kekasihnya dengan keluguan seorang remaja yang pertama kali terpentang panah sang Arjuna. Dalam keadaan seperti itu, angin segar dihembuskan oleh kedua orang tuanya. Mereka lebih menginginkan Nila menikah. Pagi harinya, hari Minggu ada sesuatu yang mengejutkan emaknya. “Mak, Aku akan berhenti sekolah!” Hati-hati dan malu-malu ia membuka pembicaraan ketika emaknya muncul di belakang rak pencucian piring. “Untuk apa kamu berhenti sekolah? Atau?” Bi Aini tidak melanjutkan pertanyaannya. “E…e… aku mau kawin saja!” Tangan Nila terus mencuci sebuah piring seakan tak kunjung bersih, kepalanya tertunduk dalam. 5
TERBAWA ARUS
“Mak rasa, itu pilihan yang tepat meskipun Mak dan Bak tidak memaksa. Itu terserah kamu, tapi tak sekolah pun hidup kamu akan senang. Kebun sahang dan karet kita luas. Kamu anak Mak satu-satunya. Begitu juga Fikri, walaupun ada tiga saudaranya, kebun orang tuanya lebih luas dari kita bahkan mempunyai dua buah truk. Fikri pemuda yang rajin bekerja, lagi.” Besar hati Bi Aini seperti mendapat hadiah undian. Mulut Nila masih diam hingga piring di rak kayu pencucian bersih semua. “Nil, lihat Mak, ni! Tak sekolah pun bisa hidup layak. Mas banyak, mobil ada, rumah besar. Hidup kita, kan untuk mencari senang, Mak setuju sekali kamu memilih kawin. Soal umurmu yang baru enam belas, bisa diatur. Bakmu bisa mengurusnya nanti. Sulit mencari laki-laki seperti calon suamimu!”, lanjut perempuan setengah baya itu sambil menarik kain telesan yang bergantung pada jemuran. “Nil, berapa si umur Fikri?” Sebelum pergi ke pemandian Bi Aini ingat, kalau ia belum tahu umur calon menantunya. “Sembilan belas, Mak!” Nila menjawab singkat sembari mengangkat baskom yang berisi piring-piring ke dapur. “Sembilan belas! Mak rasa tidak terlalu muda. Cukup sesuai dengan umurmu. Nanti kalau sudah kawin, kedewasaanmu akan cepat menyesuaikan.” Bi Aini memberi semangat. “Ya sudah, Mak pergi mandi dulu. Nanti Bakmu yang merundingkan dengan calon mertuamu”, lanjut Bi Aini yang masih menyukai mandi di jerambah, daripada di kamar mandi rumahnya yang sudah berporselin. 6
TERBAWA ARUS
Saat itu Nila merasa ruang dadanya seluas lapangan sepak bola di ujung kampung. Ia akan menikah serentak dengan gadis-gadis lain dalam pernikahan masal, adat leluhur yang sudah jarang sekali dilaksanakan di kampungnya maupun di kampung lain. Orang tuanya pasti akan membuat pesta yang paling besar karena baru panen lada yang meruah. Seminggu dari pembicaraan Nila di tempat pencucian piring belakang rumah, keluarga Fikri datang melamar. Tak terbayangkan bahagia hati Nila. Hasrat untuk mewujudkan impian semakin jelas. Begitu juga orang tuanya merasa bangga, anak gadis tunggalnya dilamar keluarga terkaya di kampung itu. Nila akan mendapat mahar seperangkat alat salat dan lima puluh gram perhiasan emas. Perkawinan masal tetap menjadi pilihan Nila. Ia menjalani prosesi adat yang bakal menjadi kenangan berharga seumur hidup. Keluarganya mempersiapkan acara di rumahnya seperti semua pasangan lain mempersiapkan pesta di rumah pihak perempuan. Di sana juga mereka melaksanakan ijab qabul pernikahan secara bergantian dengan penghulu yang sama. Pesta yang menjadi momen tak kalah pentingnya dan ditunggu-tunggu menggema ke seluruh pelosok kampung. Masing-masing penyelenggara pesta bersaing menyewa grup-grup seni yang sesuai dengan selera. Dua hari dua malam menjadi waktu seisi kampung menikmati berbagai hiburan. Para pengantin leluasa memamerkan kecantikan dan kegagahan dalam pakaian pengantin beraneka macam, mulai dari pakaian pengantin merah Melayu hingga gaun pengantin ala barat. Nila menjadi bintangnya dari empat pasang pengantin yang lain. Saat itu, ia tak ubah seorang ratu yang menjadi pusat perhatian dan penuh sanjungan. Kebanggaannya bertambah, karena 7
TERBAWA ARUS
foto pasangan pengantin yang dipampang di halaman budaya surat kabar lokal adalah pasangan dia dan Fikri. *** Sejurus Nila meraba dan mengelus-elus jari manis yang telah dibiarkannya kosong tanpa cincin sejak siang tadi menerima talak Fikri di Pengadilan Agama. Tak pernah dibayangkan sebelumnya, kalau secepat itu ia menerima status janda. Usianya belumlah genap tujuh belas. Malam itu Nila harus menerima risiko suatu kecerobohan. Ia tak mempunyai siapa pun yang bisa dipersalahkan selain dirinya. Orang tua, mereka tidak pernah memaksa meski menginginkan pernikahan itu. Saat itu ia merasa benar-benar sendiri. Kehangatan yang dirasakan beberapa bulan lalu telah terlebih dahulu pergi sebelum ia mengerti makna kebersamaan. Ia merasa naif membayangkan kembali dirinya yang begitu bahagia menyambut kedatangan sang penghulu yang baru selesai menikahkan pengantin sebelah rumahnya. Ia merasa sangat bodoh, mengingat saat mengumbar senyum kepada setiap orang ketika duduk di atas pelaminan. Musik mengalun dari band yang disewa orang tuanya. Suara penyanyi bersahutan dengan penyanyi dari rumah pengantinpengantin lain. Sungguh hingar- bingar yang mampu mengusir kesadaran akan segala kemungkinan di depannya. Tanpa berhenti ia melemparkan senyum untuk mengabarkan, bahwa dirinya sedang benar-benar bahagia. Hari itu ia sedang ditaburi mutiara, menikmati kemilaunya pantulan cinta dengan lelaki yang 8
TERBAWA ARUS
baru resmi menjadi belahan jiwa. Di atas pelaminan mereka kehilangan hakikat kehidupan, tak terkenang lagi isi khotbah nikah yang baru beberapa jam berlalu. *** “Benar-benar bodoh! Aku bodoh sekali!” Tangan yang dikepalkan, dipukul-pukulkan ke tembok pinggir jendela. Sebenarnya ia ingin menghancurleburkan semua yang ada di kamar itu. Ia ingin mengamuk melampiaskan kekesalan dan penyesalan hanya tak ada kekuatan yang tersisa. Sayatan di dadanya bertambah perih ketika ia mencoba merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Tergambar di benaknya kemanisan malam pertama yang dilalui bersama Fikri di atas tempat tidur itu. Di situlah ia mengenal laki-laki dengan kedekatan tertentu. Warna-warna indah kasih sayang bertebaran di sekelilingnya. Suara binatang malam mengiringi syair romantis dalam dadanya. Hari-hari seperti berlari tak ada yang mampu membendung, terus menambah hitungan usia perkawinan Nila dan Fikri. Sayang, dari bergantinya hari itu memberikan kenyataan yang sama sekali di luar garis harapan. Bulan ketiga mulai muncul pertengkaran-pertengkaran kecil karena masalah sepele. Sifat remaja mereka belum mau menghilang. Di antara mereka belum ada yang mau menguburkan ego yang terkadang muncul menguasai akal sehat. Kerikil-kerikil masalah terus berkumpul dalam rumah tangga Nila. Yang mengejutkannya ialah sifat Fikri yang kasar dan pencemburu. Fikri naik pitam waktu pulang mengawasi para pekerja di kebun, mendapatkan Nila sedang duduk di ruang tamu 9
TERBAWA ARUS
menghadapi seorang remaja laki-laki berseragam SMA. Ia masuk lewat pintu samping dan spontan tangannya meraih sebuah gelas di atas meja makan. Gelas itu dijadikan pelampiasan kemarahan. Dihempaskannya gelas itu hingga dentangan beling pecah terdengar jelas ke ruang tamu. Nila berlari ke dalam menghampiri sang suami. Sebenarnya ia sudah meninggalkan tempat duduknya sebelum mendengar suara hempasan. Ia berniat untuk mengajak sang suami ke ruang tamu. Ia ingin memperkenalkan pemuda yang duduk bersamanya di ruang depan. Malang bagi Nila, Fikri terlanjur dikuasai emosi. Begitu melihat istrinya muncul, Fikri langsung menghardik. “Apa pedulimu pada suami? Aku bisa mengurusi diriku sendiri di sini. Lebih baik kamu layani saja teman lelakimu itu kalau kamu anggap pantas. Seorang istri menerima teman lelaki ketika suami tak ada di rumah, bukan perbuatan senonoh. Aku jijik melihat tingkahmu, tak ada bedanya dengan perempuan murahan di lokalisasi sana!” Fikri mencaci dengan perkataan yang membuat bulu kuduk Nila meremang. “Astaghfirullah Haladzim, Bang! Aku ke sini ingin mengenalkan tamu itu. Dia teman sekolah yang mengantarkan surat dari Rina teman sebangkuku dulu. Tamu itu, kan anak Mang Burhan dari kampung seberang.” “Tak usah kau kenalkan juga aku sudah tahu. Alasan saja!” Fikri tak memedulikan lagi Nila yang terdiam ketakutan bercampur marah karena persangkaan suami yang tak beralasan. Pertengkaran berlanjut hingga malam larut. Adu mulut terus mengalir, tak ada yang mau mengalah bahkan semakin malam beranjak percekcokan tambah 10
TERBAWA ARUS
memanas. Nila sempat syok ketika pertama kali kelima jari Fikri mendarat di pipinya hingga meninggalkan garis-garis merah. Akhirnya perempuan muda itu memilih diam. Ia terduduk lemah di tepi tempat tidur merasakan dadanya yang sesak dan dipadati rasa sakit. Bagaimana pun ia masih ingin mempertahankan tegaknya tiang rumah tangga yang masih sangat muda. Ia sadar, usia perkawinannya belum seumur jagung. Ia tak ingin perselisihannya dengan Fikri menjadi buah bibir orang sekampung yang sangat jeli pada sepak terjang tetangga. Ia menutup muka ketika hadir lagi kehebatan pertengkaran dengan Fikri di tempat yang sama. Saat itu Nila tak mau tinggal diam. Waktu laki-laki beringas itu mengayunkan tangan, dengan refleks tangannya mendahului meluncur. Fikri yang tak memperhitungkan perlawanannya, mendapat tinju di belakang telinga kanan. Fikri sempat terhuyung surut beberapa langkah ke belakang, namun berikutnya sosok kekar balik menerjang tubuh gempal Nila. Pertengkaran hebat itu menjadi awal patah jembatan penghubung dirinya dengan Fikri. Orang tua mereka pun turut terpancing oleh permasalahanpermasalahan rumah tangga mereka. Perselisihan dua pihak berbesan pun tak dapat dihindari. Masingmasing merasa anaknya yang paling benar. Maka, runtuhlah tiang-tiang perkawinan kedua remaja itu. *** Air mata Nila kembali meleleh, berkilatan tertimpa sinar bulan yang semakin tampak molek dan bulat. Tiba-tiba Nila memegang kepala, wajahnya menegang. Dalam hitungan detik ia berbalik, direnggut11
TERBAWA ARUS
nya seprai hingga tercabut dan diremasnya dengan segenap tenaga yang tersisa. Ia ingin membenci tapi tak tahu siapa yang mesti dibenci. Tak tahu, siapa yang harus ia teriaki saat itu karena ia hanya bisa mempersalahkan diri sendiri. Ia tak sanggup membawa status baru. Teman-teman sekelasnya dulu sedang bersiap-siap menghadapi liburan. Mereka akan menikmati hari- hari gembira penuh dengan dinamika remaja. Nila merasa telah kehilangan dunia. Ia tak tahu dengan siapa ia harus bergaul, semua orang kampung tidak ada yang menyukai perceraian meskipun kerap terjadi. Ia tak sanggup bertatapan dengan tetangga atau kerabat apalagi keluarga mantan suami. Bergaul lagi dengan teman-teman sekolah dulu, tak mungkin baginya. Ia merasa sudah tercabut dari dunia mereka. Ia telah keluar dari dunia yang penuh dengan tawa dan canda, tak sanggup bertemu lagi dengan mereka. Dunianya telah jauh terpisah dari dunia remaja. Ada status yang membedakan. Pikiran Nila kacau, tak dapat lagi berpikir jernih untuk menghadapi kehidupan besok saat matahari terbit. Pada detik berikutnya, meninggalkan kampung menjadi suatu kemestian bagi Nila. Tak ada pilihan lain dan tak ada kesempatan lain untuk melakukan itu. Dalam kesingkatan waktu, Nila telah memulai pelariannya dengan merayap menuruni jendela. Selanjutnya mengendap berbelok ke arah belakang rumah. Yang ia tuju pertama kali ialah segerumbul pohon pisang sebagai perlindungan sementara. Ia merogoh saku celana panjang dan mengeluarkan helai-helai uang seratus ribuan. Tanpa menghitung jumlahnya, Ia memasukkannya kembali. Mungkin ia sekadar memastikan, kalau uang itu terbawa. 12
TERBAWA ARUS
“Nil…, Nil…, Nil…,! Nila, di mana kamu?” Suara yang memanggil nama itu semakin keras dan dekat ke tempat persembunyian Nila. Tubuh Nila bergetar, lututnya mulai gemetar. Ia berubah menjadi seekor tikus kecil yang menggigil ketakutan dan merapatkan tubuhnya pada sebatang pohon pisang. Ia tak ingin kepergian itu gagal, tak sanggup harus menahan malu bila tetap berada di kampung itu. Kalau mungkin ia harus keluar dari pulau kecil tanah kelahirannya meski telah memberikan kehidupan belasan tahun. “Nil…, Nil…, Nil…! Suara yang memanggil namanya semakin banyak dan makin menyebar. Cahaya senter berkelebatan semakin merambah rumpun pisang persembunyiannya. Nila semakin tersudut, diangkatnya tumit untuk lebih merapatkan tubuhnya pada pelepah daun pisang tua yang patah dan menjuntai. Kuat-kuat ia menahan nafas dan berusaha memusatkan kesadarannya agar tak keluar pekikan atau batuk. Suara orang-orang yang memanggilnya mulai menjauh. Ia menarik nafas dalam-dalam. Badannya kuyup bermandi keringat dingin. Bajunya telah melekat lengket di badan. Ia mulai menoleh kiri kanan untuk memastikan, kalau tidak ada lagi orang di sekitar persembunyian itu. Ia bersiap untuk melanjutkan pelariannya. Ia berniat untuk lari menyeberangi jalan tanah merah dan menuju belakang rumah Mak Sumi yang lebih gelap dari tempat lain. Baru Nila mengangkat sebelah kaki, tiba-tiba muncul ayahnya dari arah kanan menyirapkan darah dalam tubuhnya. Akan tetapi, tekad yang telah bulat memberikan semangat dan keberanian yang luar biasa. Ia melompat, melesat lari tanpa memedulikan ayah yang mulai meneriakkan namanya keras-keras. 13
TERBAWA ARUS
Nila patut bersyukur, cahaya bulan membantu kelancaran gerak-gerak kakinya. Ia terus berlari menuju hutan karet dan berikutnya tidak ada pilihan lain selain hutan liar yang banyak ditumbuhi cempedak dan durian dan sulit dijangkau orang. Sementara itu, di belakang, bukan hanya ayahnya tapi orang mulai bertambah banyak. Malang, Nila tak menyadari kakinya tersangkut rumput liar yang menjalar. Ia kehilangan keseimbangan dan tersungkur. Masih ada kemujuran berpihak kepada Nila, ia masih sempat menyelamatkan diri dari kejaran para pencari, ia merangkak tanpa menghiraukan lagi rasa perih yang semakin menyengat. Darah pun mulai merembes membasahi bagian lutut celana bahkan kening dan kakinya. Dengan sisa-sisa kekuatan, ia beringsut sampai menemukan sebatang pohon yang sekelilingnya ditumbuhi perdu dan semak yang dianggap cukup untuk menyembunyikan tubuhnya. Nila merasakan sekujur tubuhnya luluh lantak. Luapan sedih dan perih berbaur, membelit dan mengebat erat ruang gerak batinnya. Kebeliaan yang belum siap menerima kepahitan membuatnya menyerah pada alam , paling tidak malam itu. Hanya bulan yang bergantung pada paruh malam setia menemani Nila dalam belukar yang diam hingga jadwal berpindah kepada sang penguasa siang.
14
TERBAWA ARUS
Gubuk Di Tengah Kebun Lada
15
TERBAWA ARUS
M
erahnya matahari menyelinap lewat daundaun seru yang tumbuh tanpa diganggu pemilik tanah. Hangatnya merayapi wajah pucat, membangunkan tidur yang lelap. Nila menggosok-gosok kedua mata. Awalnya ia sedikit bingung karena belum menyadari apa yang telah terjadi semalam. Ia berusaha bangun, tangannya berusaha menyingkirkan rerumputan yang hampir menutup tubuh. Akan tetapi, ia merasakan seluruh persendiannya ngilu dan perih di beberapa bagian tubuh. Ia memaksakan diri untuk duduk dan mengingat-ingat apa yang telah terjadi atas dirinya. Tangannya meraba-raba lutut bergantian dengan kening yang dirasakan perih. Sejenak ia berpikir, berusaha menggali kesadaran yang belum penuh. Kepalanya berat dan pusing. Dalam lelah yang menguras tenaga, ia baru menyadari, kalau ia berada dalam pelarian. Kepalanya berdenyut hebat, belulangnya kian lemah. Sejurus perempuan yang baru sadar itu melihat sekeliling dengan memutar kepala, tapi seperti ada kain hitam tiba-tiba menutupi matanya. Mendadak gelap dan tubuhnya tak sanggup lagi bertahan duduk. Tubuh yang telah mulai mengurus itu kembali tergeletak, tapi kali ini bukan tidur. Nila pingsan kehabisan tenaga, karena sejak dua hari yang lalu menjelang menerima keputusan cerai ia tak mau makan. Tak sebutir nasi atau makanan apa pun masuk ke perutnya. *** Orang tua Nila dan para tetangga melanjutkan pencarian. Mereka menyebar ke seluruh hutan dan kebun sekitar kampung itu. Tak luput juga hutan
16
TERBAWA ARUS
cempedak tempat janda kecil itu menghilang. Andai kata ia sadar pasti sudah mendengar hiruk-pikuk orang-orang yang mencarinya. Saat itu hanya Kuasa Tuhan yang senantiasa mempunyai rencana dan cara untuk mengatur jalan hidup umat-Nya yang dapat menentukan segala sesuatunya. Antara dua kemungkinan, diketemukan atau tidak. Benar-benar tergantung pada yang Maha Berkehendak, Nila tak sadarkan diri. Seorang lelaki muda dari kampung seberang mendengar apa yang terjadi pada Nila. Hutan cempedak itulah yang ditujunya, karena menurut orang-orang kampung tadi malam ia lari ke sana. Ia tak menyangka perempuan semuda itu berani masuk hutan dalam gelap malam. Itu sangat mustahil dilakukan Nila apabila tidak ada sesuatu yang besar menutupi akalnya. Iman yakin pasti ada masalah yang ingin ia hindari dari keluarga atau kampungnya. Lelaki remaja itu berjalan terpisah dengan orang-orang lain. Ia dengan cepat menyingkap dan menyeruak ke dalam semak dan tetumbuhan hutan. Ia merasa ada kekuatan yang menuntun kakinya melangkah dengan lancar. Terkejut bukan alang kepalang ketika ia hampir menginjak tubuh Nila. Hampir ia berteriak memberi tahu orang-orang di belakangnya, tapi ada yang melintas di benaknya secara serta-merta. Ada insting yang mencegahnya berteriak ketika melihat keadaan perempuan itu. Begitu mengenaskan. Hatinya tetap berkata, bahwa temannya itu benar-benar mempunyai masalah yang tak dapat diselesaikan dengan keluarga. Ia memilih diam dan tiba-tiba ia berbalik mendekati para pencari yang lain.
17
TERBAWA ARUS
“Saya sudah menyingkap-nyingkap semua tempat dalam hutan itu, tapi tidak ada siapa pun. Ini, kan sudah siang, mungkin saja dia telah keluar dari hutan diam-diam dan telah pergi menumpang kendaraan yang lewat di jalan itu.” Penjelasan Iman memang masuk akal, semua orang di sana termasuk orang tua Nila membenarkan. Merekapun akhirnya sepakat untuk pulang dan pencarian akan diarahkan ke kota. Orang tuanya yakin, Nila lari membawa seluruh perhiasan maskawin dari Fikri waktu menikah dan sejumlah uang. Dengan demikian, keras dugaan orang tuanya, Nila memang merencanakan pergi meninggalkan kampung tidak main-main. Ia benar-benar nekad. *** Pemuda itu berlari, kembali menuju tempat Nila ditemukan tadi sementara orang-orang kampung sudah kembali ke rumah masing-masing. Kali ini Iman mendapatkan Nila sedang duduk lemah, tangannya menggapai-gapai batang kecil. Mungkin ia ingin berdiri, tapi sayang tangannya tak dapat mencapai batang itu. “Ya Allah, ia sudah tak berdaya sama sekali. Beri petunjuk padaku untuk menolongnya.” Baru kali itulah Iman merasa benar-benar terharu. Ia melangkah maju, pelan karena tak mau mengejutkan perempuan yang pasti pikirannya sedang kacau dan merasa sendirian. Ia terus berjalan dan berputar ke arah depan Nila dan berharap teman sekelasnya dulu melihat sosoknya terlebih dahulu sebelum mendengar suara. Nila belum sadar akan kehadiran orang lain yang hanya berjarak beberapa 18
TERBAWA ARUS
langkah saja. Untuk memancing perhatian Nila, sebuah ranting kayu kering dipatahkan keras-keras. Dugaan lelaki remaja itu benar. Nila memutarkan pandangan mencari sumber bunyi yang didengarnya. Ia berubah menjadi tegang, tampak waspada dan mulai kelihatan mengerahkan tenaga. Dengan susah payah lelaki yang bersimpati itu memancing perhatian makhluk lemah yang sudah ketakutan. Akhirnya sampai juga pandangan Nila pada sosok lelaki yang sedang memasang senyum. Akan tetapi, di luar dugaan, Nila bertambah panik begitu melihat teman lelakinya. “Sssst!” laki-laki di hadapan Nila menempelkan telunjuk di mulutnya selanjutnya memamerkan gigi seperti bintang iklan pasta gigi. “Iman?” Nila menggosok-gosok mata, sama seperti saat dia terbangun mendapatkan dirinya berada di tengah tetumbuhan liar. Iman mendekat lalu jongkok dengan jarak beberapa jengkal menghadap ke arah teman perempuannya . Ia ingin meyakinkan, bahwa kehadirannya bukan untuk menambah masalah. “Man, kok kamu sampai ke sini? Atau kamu tidak sengaja ke sini dan menemukan aku?” Nila bertanya masih penuh selidik. “Memangnya aku pemburu, masuk ke hutan seperti ini? Aku sengaja menemui kamu di sini!”, jelas Iman. “Aku mendengar kabar kejadian tadi malam. Sebenarnya aku tadi sudah menemukanmu di sini. Tapi setelah aku pertimbangkan, aku memilih tidak memberi tahu orang. Aku yakin, kamu sampai berani sembunyi dan tidur di tempat ini karena ingin menghindar dari mereka”, tambah Iman sambil melepaskan rumput melata yang menjerat kaki Nila. 19
TERBAWA ARUS
“Ya, tadi malam aku melarikan diri dari rumah. Aku bingung, Man! Aku mau pergi dari kampung ini.” Air mata Nila mulai menganak sungai di pipinya yang telah cekung. Iman terdiam untuk beberapa saat, hatinya iba melihat tangis perempuan di depannya. Pikirannya sibuk mencari cara untuk menolong Nila. Tetapi ia belum mengerti masalah yang dihadapi janda muda itu. “Nil, memang kamu kenapa? Ada masalah apa sampai kamu mau meninggalkan kampung diamdiam?” “Kemarin aku dicerai. Kamu tahu, umur perkawinanku baru tujuh bulan dan umurku sendiri belumlah tujuh belas. Aku malu, mau ditaruh di mana mukaku, Man! Aku tak tahu lagi dengan siapa aku bergaul. Tak ada lagi tempat di kampung ini untukku.” Nila menangis sesenggukan. “Masya Allah, Nil, hanya masalah itu kamu mau lari dari kampung? Tidak akan ada orang yang mengucilkan kamu gara-gara menjanda. Kamu harus berpikir panjang. Ke mana kamu akan pergi? Apa yang akan kamu kerjakan di sana? Bagaimana selanjutnya?” Iman berusaha mengingatkan. “Aku juga belum tahu, Man! Akan pergi ke mana aku? Aku tak punya saudara di luar kampung. Ada saudara jauh juga aku tidak begitu kenal. Tapi tetap aku harus pergi, lebih baik lagi kalau ke luar dari pulau ini.” Sekilas Nila melihat wajah lawan bicaranya. “Aku ngerti kamu mau meninggalkan kampung ini tapi kenapa harus diam-diam dari orang tuamu. Kalau kamu ingin menenangkan pikiran di tempat lain coba terus terang saja pada orang tua. Orang 20
TERBAWA ARUS
tuamu pasti mengerti, bahkan mungkin bisa memberi jalan keluar, misalnya menunjukkan saudara atau temannya yang bisa membantumu.” “Tidak! Bak dan Mak tak mungkin mengizinkanku meninggalkan kampung. Aku malu, Man! Mantan suami dan keluarganya pasti tidak menyukaiku. Maka, pasti aku tak bisa ke mana-mana, mereka tersebar di kampung ini.” Nila baru sadar , kalau perkawinan dengan orang sekampung berisiko tinggi. “Ya, sudah, sekarang begini saja!” “Kalau begini terus, aku bisa mati, Man! Kapan aku bisa pergi?! Yang ada paling ketangkap basah aku sembunyi di sini!” Nila memotong kalimat Iman yang belum selesai. “Sabar, Nil! Tadi kalimatku belum selesai. Maksudku, aku akan coba menolongmu.” Iman menatap wajah tirus dan pucat. Sejurus Iman diam, keningnya sedikit berkerut. Ia berusaha mencari jalan agar temannya tidak tersesat ke jalan yang akan menambah masalah. “Nil, aku melihat kamu lemah sekali, mukamu pun pucat. Menurutku, kamu lebih baik istirahat dulu sambil menenangkan diri. Untuk sementara kamu bisa beristirahat di rumah kebun orang tuaku yang sudah jarang sekali dipergunakan. “ “Tapi aku tidak sanggup lagi berjalan, Man! Bagaimana bisa ke sana?”, keluh Nila. “Makanya jangan lari-lari segala! Bagaimana menyeberang dari pulau, baru sampai hutan belakang kampung saja sudah tak bisa berjalan. Konyol, kan?” Iman sedikit menggoda sekadar mencairkan suasana yang tak berhenti dibasahi hujan air mata. “Kamu ini mau menolong atau mau memperolokku? Aku lagi tak berdaya malah ditertawakan!” 21
TERBAWA ARUS
Meskipun menggerutu, tapi ada sunggingan senyum seulas dari bibir yang beku. Tidak ada pilihan lain bagi Iman, menolong berarti berkorban. Melihat kondisi Nila yang sudah lemas tak berdaya, terpaksa ia membopongnya sampai pinggir jalan yang terlindung rumpun bambu. Di sana ia memarkir motor untuk membawa Nila ke gubuk kebun orang tuanya. Di bawah matahari terus merayap motor melaju cepat. Iman sedikit khawatir ada orang yang mengetahui perjalanan mereka. Sementara di belakang punggungnya Nila tak punya kekuatan untuk duduk tegak, apalagi dengan kecepatan mencapai 60 kilometer per jam. Kurang lebih sepuluh menit perjalanan mereka tiba di gubuk yang lumayan besar. Gubuk itu hanya dipergunakan bila musim mengerjakan kebun, sedang waktu itu bukan waktu tanam, siang, ataupun panen. Gubuk itu kelihatan bersih tak jauh berbeda dengan sebuah rumah. Di pinggiran halamannya ditanami terung, keladi, cabe, dan ada beberapa junjung kacang panjang. Tapi suasana demikian belum tertangkap oleh Nila. Saat itu sampai di gubuk baginya seperti sampai di sebuah istana yang siap memberikan rasa aman dan kenyamanan. Tak sabar ia ingin segera membaringkan tubuh di tempat yang rata, bukan di rerumputan yang membuat ia mirip seekor burung sedang mengeram. Iman siap membopong Nila yang limbung setelah turun dari goncengan. “Tak usah kau bopong lagi, Man! Sekarang, kan tidak terburu-buru lagi seperti tadi. Aku bisa berjalan sedikit-sedikit ke dalam.” Nila merasa tak enak harus merepotkan orang terus, terlebih ia laki-laki. Nila berusaha melangkah dipapah menuju pintu gubuk namun baru beberapa langkah, kepalanya 22
TERBAWA ARUS
terkulai jatuh ke pundak Iman. Ia pingsan. Iman menjadi panik, baru kali itulah ia menghadapi orang pingsan sendirian, tak ada teman tempat berbagi. Sambil membaringkan Nila, benaknya sibuk memikirkan apa yang akan diperbuat selanjutnya. Kenuraniannya tetap menuntut untuk terus berbuat dan berusaha membantu janda muda yang merana. Yang pertama, otaknya memerintah mencari kasur dan bantal. Di gubuk itu ada satu kamar lengkap dengan kasur serta bantal. Itu biasa digunakan oleh siapa yang bermalam di gubuk. Ia mengambil gulungan kasur dan digelar di sebelah Nila dibaringkan. Perempuan sebayanya itu belum memberikan tandatanda akan sadar. Mukanya bertambah pucat, bibirnya membiru. Waktu ia mengangkat untuk memindahkan ke kasur jelas terasa dingin tubuhnya seperti mayat. Tak tahu apa yang harus ia lakukan tapi karena Iman merasa tubuh Nila dingin dihidupkanlah perapian. Dijerangnya air pada sebuah panci. Sambil menunggu air mendidih ia mencari-cari sesuatu di tempat persediaan makanan di dapur gubuk. Ia bersyukur mendapatkan sedikit beras dan kecap asin. Diambilnya beberapa genggam beras kemudian dicuci. Mulailah ia menyiapkan pembuatan bubur, mencuci beras dan meletakkan di atas api setelah air mendidih. Nila belumlah sadar sekembali Iman dari dapur. Iman jadi bingung sendiri. Ia berpikir keras, bagaimana dan dengan apa menyadarkan Nila. Minyak angin apalagi obat tak ada. Putaran otaknya semakin kencang, sayang selalu tersandung menemui jalan buntu karena yang ada hanya air panas. Sembari melihat tanakan bubur, ia mengambil air panas di gayung lalu dicampur dengan air dingin hingga hangat. Ia meraba-raba saku celana. Mujur di 23
TERBAWA ARUS
sana ia temukan saputangan meski tak tahu persis bersih atau kotor. Mulailah Iman menyeka-nyeka kening dan muka Nila dengan air hangat. Sebenarnya ia ingin melonggarkan pakaian si sakit, tapi ia tak sanggup melakukannya dirasakannya hal itu tak senonoh. Entah dari mana datangnya ada pikiran nakal muncul di benaknya. Tiba-tiba ia teringat ada sejenis rumput melata yang bau daunnya menyengat sangat mirip dengan udara orang buang angin. Lekas ia ke luar dan bola matanya berputar mencari-cari. Tak sulit baginya mencari rumput itu. Kembali ia masuk sambil meremas-remas daun beraroma khas itu. Sebenarnya ia tak tega menyodorkan daun itu ke ambang hidung Nila, tapi apa daya tak ada lagi yang dapat ia lakukan untuk menyadarkan si sakit. Waktu ia mulai mendekatkan daun itu ke hidung Nila, ada kelucuan yang mendesak dalam dadanya. Ia ingin tertawa. Mungkin kalau bukan dalam suasana demikian ia sudah tertawa terpingkal-pingkal. Hampir saja Iman bersorak sendiri melihat mata Nila mulai mengerjap-ngerjap. Tangannya bergerak, ia mulai membuka mata. “Aku pusing, rasanya kepalaku berputar-putar! Di mana aku? Aku takut!” Seraya ia memiringkan badan dan bergelung di atas kasur seperti ketakutan. “Nil…, tenang, Nil! Kamu aman. Kamu ada di gubuk kebunku, aku Iman! Ingat nggak?” Iman menenangkan Nila sambil membetulkan letak bantal. Nila membalik, matanya menatap laki-laki yang duduk di sampimgnya. Ia bergumam,”Iman?” “Terima kasih, Man kamu menolongku! Aku lelah sekali, Man!” Selanjutnya Nila menutup mata kembali mungkin ia merasa pusing bila matanya terbuka. 24
TERBAWA ARUS
“Nil.., Nil, kamu harus makan dulu jangan tidur!” Iman menggoyangkan tangan Nila. “Aku tidak tidur, kepalaku pening. Aku tak mampu melihat cahaya rasanya”, keluh Nila. Sesendok demi sesendok Iman menyuapkan bubur yang hanya diberi kecap asin. Sesuap bubur sesendok air, tak ubah ia menyuap bayi yang baru belajar makan. “Aku sangat merepotkanmu, Man! Siapa yang memasak bubur ini?” Nila memecahkan diam yang memenuhi ruang kecil itu. “Memangnya kenapa, buburnya gosong, ya? Sorry, aku belum pernah masak bubur. Aku hanya mengirangira saja, tapi mudah-mudahan bisa mengganjal perutmu yang kosong. Badanmu lemah sekali, aku yakin kamu tidak sakit tapi kelaparan. Benar, kan?” “Kamu benar, Man! Dengan hari ini aku sudah tiga hari tidak makan apa-apa sedangkan tenagaku habis untuk berlari tadi malam.” Nila jujur membenarkan apa yang dikatakan penolongnya seraya menyambut suapan bubur dari tangan Iman. Sepiring bubur sudah berpindah ke perut kosong Nila. Iman masih menawarkan sisa bubur yang tersisa di dapur. Nila benar-benar mendapatkan rizki nomplok. Di tengah haus dan lapar yang parah, ia mendapat makanan yang tepat. Seandainya yang diberikan saat itu nasi mungkin dia tak selahap itu. Perutnya yang lama kosong lebih beradaptasi dengan bubur. Bubur hangat yang masih mengepulkan asap. Aroma gosong mengapung di ruangan, tapi bagi penyantapnya bukan bau angus, di hidungnya harum yang sangat merangsang nafsu makan. Iman merasa lega dengan kelahapan orang yang ditolongnya itu. Ia seperti ke luar dari kamar yang 25
TERBAWA ARUS
gelap penuh dengan hantu menakutkan karena Nila kelihatan mulai punya kekuatan. Cara bicaranya sudah lebih keras dan jelas dibandingkan ketika baru sadar. Mungkin hangatnya bubur menjalar menjadi kekuatan bagi perempuan yang masih terbaring itu. “Man, Aku mau bangun!” Tangan Nila terulur ke arah Iman mencari pertolonngan. “Sudahlah, jangan bangun dulu, istirahatkan saja badanmu. Habiskan saja dulu bubur ini. Nanti kalau kekuatanmu pulih baru bangun. Mau lari lagi juga boleh!” Iman menggoda sembari tertawa. “Masa aku harus kamu suap terus. Aku malu, di rumah saja kalau aku sakit tak pernah ada yang nyuapi.” Ekspresi wajah sang janda yang masih wangi itu menggambarkan rasa rikuh. “Aku bukan sedang menyuruh kamu membandingkan keadaan di rumah dengan di sini bersamaku. Aku ingin membantu memulihkan kekuatan tubuhmu dan pikiranmu. Minimal pikiranmu bisa tenang, bisa berpikir dengan jernih. Aku tak mau kamu melakukan sesuatu yang merugikanmu sendiri.” “Man, apa aku salah pergi dari rumah?” Nila menatap muka lawan bicaranya tanda sungguh-sungguh membutuhkan jawaban. Untuk beberapa detik suasana mengambang karena Iman masih diam. Ia memilih menarik nafas panjang dan membuang pandang ke luar gubuk yang mataharinya semakin meninggi. Sebenarnya pikirannya mulai berputar lagi memikirkan, bagaimana ia meninggalkan Nila sendirian di tengah-tengah bentangan kebun lada. Tak ada orang yang bisa memberikan pertolongan kepadanya bila ada sesuatu terjadi. Ia sendiri tidak mungkin harus menemani Nila hingga malam hari. Memang tidak ada orang lain 26
TERBAWA ARUS
yang mengetahui keberadaan mereka di sana, tetapi ada tapal batas yang tak layak dilangkahi. “Kenapa kamu malah melamun? Tadi aku bertanya, kan? Kamu keberatan, ya menolongku? Atau takut ketahuan orang tuamu?” Pertanyaan Nila mendesak. “Oh, maaf, aku bukan melamun apalagi keberatan.” Kembali ia menghirup udara dalam-dalam. “Kamu tak salah pergi dari rumah tapi yang aku sayangkan caramu pergi tanpa pamit kepada orang tua. Aku prihatin kamu harus berlari-lari dan sembunyi malam-malam, jadinya kamu seperti pencuri di kejarkejar orang kampung.” Iman balik menatap wajah Nila seakan ada yang dipertanyakan lebih dalam atas pelariannya. “Sudah aku bilang, kalau orang tuaku tahu pasti aku tak bisa keluar. Keluargaku masih belum tenang karena pertengkaran dengan keluarga bekas mertuaku. Itulah yang membuatku tambah tak betah di rumah. Orang tua Fikri masih selalu menuding perpecahan rumah tanggaku karena kesalahanku. Sebaliknya, orang tuaku bersikeras meyakini Fikrilah penyebabnya. Aku yakin, sekarang mereka masih sibuk dengan tudingan masing-masing.” “Biangnya terdampar di gubuk kebun, ya!” Timpal Iman sambil senyum kembali menggoda. Sementara Nila yang sudah duduk, diam terpukul jawaban Iman. Ia merasa menjadi pelempar bom lalu lari jauh-jauh setelah bom meledak. Ia sadar perceraiannya telah menimbulkan kekeruhan dalam telaga yang dulunya beriak-riak memberi kesejukan kedua keluarga, keluarganya dan Fikri. Persahabatan orang tua dan orang tua mantan suaminya sangat kental. Ia sendiri merasakan kedekatan kedua 27
TERBAWA ARUS
keluarga itu seperti saudara. Susah senang selalu berbagi. Masih ada dalam ingatannya ketika ayah Fikri kehilangan mobil, ayahnya yang banyak andil dalam pencarian karena kebetulan ia banyak kenal dengan polisi. Dengan jerih payah berhari-hari, mobil itu dapat ditemukan. Kemunculan ingatan itu bukan hanya menumbuhkan kenangan manis tentang kedekatan kedua keluarga sebelum datang prahara cintanya. Satu hal lagi muncul tiba-tiba tanpa terperhitungkan sebelumnya. Ia baru ingat , ayahnya mempunyai banyak kenalan polisi. Ia jadi takut pelariannya dilaporkan kepada mereka. Ia akan menjadi buronan, akan dikejar-kejar polisi ke mana pun pergi. Berbagai kemungkinan bermunculan dalam benak yang sudah ruwet. Ia menjadi ngeri, sepertinya dunia menyempit bagai balon yang dikempesinya waktu kecil, sempit sekali. Ia tak melihat peluang untuk bebas melangkah di muka bumi. “Aku jadi takut, Man!” Mata Nila kembali menatap mata lelaki di depannya wajahnya memelas. “Apa yang membuatmu takut? Aku rasa kamu sampai di sini karena keberanian. Jadi tak perlu ada yang ditakutkan bagi seseorang yang sudah berani mengambil sikap dan langkah”, jawab Iman lembut. “Baru terpikir olehku, bak punya kenalan polisi banyak. Bagaimana kalau aku dilaporkannya ke polisi? Aku akan menjadi orang yang dicari polisi. Juga aku takut kamu terbawa-bawa. Nanti jadi fitnah lagi!” Nila menjadi gamang. “Makanya aku sarankan, pikirkan dulu masakmasak keuntungan dan kerugian jika kamu meninggalkan kampung apalagi keluar pulau. Bukan aku takut terbawa-bawa, tapi aku ikut memikirkan kehidupanmu 28
TERBAWA ARUS
yang masih panjang. Eh, maaf kalau aku jadi mengajarimu.” Iman menyadari, dirinya sok dewasa. “Ah, tak apa-apa. Aku senang kamu mau menyumbangkan saran di samping menolongku hingga aku bisa mendapat tempat yang aman. Lebih dari itu aku tidak sendiri saat-saat aku jatuh.” “Man, kalau kamu tahu, bagaimana persaanku akhir-akhir ini, terutama waktu suami menjatuhkan talak. Rasanya aku berdiri di tengah ladang terbuka tersambar petir yang menghanguskan sekujur tubuh. Tak ada seorang pun yang dapat meredakan deraan panas dalam batinku. Tak ada yang dapat meredakan perasaan yang bergolak dalam dadaku. Tak ada yang mampu menenangkan hatiku yang rusuh dan gusar.” Nila menghapus air yang merembes dari balik bulu matanya yang lebat dan lentik. Sementara Iman masih diam, kelihatannya ia sangat mafhum, bagaimana perasaan teman yang mematung di depannya. Ia teringat di rumah mempunyai adik perempuan yang beranjak remaja. Tibatiba ia membayangkan orang yang sedang bertutur di depannya adalah adik perempuannya itu. Sekonyongkonyong ada yang menyayat ngilu dalam dadanya. “Man, terus terang, aku tak sanggup menceritakan kepada orang tua, apa yang kurasakan. Aku takut menambah suasana bertambah keruh karena mereka masih saling mempersalahkan dengan keluarga bekas mertuaku. Dan rasanya memang aku pantas menanggung sendiri, semua salahku. Kalau dulu aku tidak ceroboh, hal ini tak mungkin terjadi. Hanya sayang aku terlalu naif dalam berpikir, semuanya tidak bisa kutanggung sendiri. Aku sangat membutuhkan orang lain, kamu.”
29
TERBAWA ARUS
“Tadi aku dengar kejadian ini akibat kecerobohanmu sendiri. Apa maksudmu?” Iman penasaran. “Ya, waktu itu mungkin aku sedang dimabuk cinta. Aku akui memang yang ada dalam pikiranku waktu itu hanya Fikri. Aku ingin segera hidup bersama lelaki itu. Akulah yang memutuskan keluar dari sekolah dan memilih menikah.” Nila menunduk dalam, jari tangannya mempermainkan tepi tikar. “Nil, apa sih yang kamu inginkan dari pernikahan, dulu? Kamu tidak sadar, kalau kamu masih sangat muda, bahkan baru saja menginjak remaja? Eh, sorry, mungkin pertanyaanku menyinggungmu, ya?” Iman sedikit takut perempuan muda di depannya tersinggung atau bertambah merasa dibebani. oleh pertanyaannya. Suasana diam seperti pepohonan dan rumpunrumpun lada yang ada di luar gubuk. Kedua manusia yang sedang berdialog tiba-tiba tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Nila merasakan pertanyaan Iman sangat tepat untuk dirinya. Sementara Iman merasa bersalah. Ia meyakini yang membuat Nila terdiam tak mau bicara lagi karena tersinggung. Bibirnya seperti terkunci, di benaknya tak satu pun kata yang terlintas untuk memulai lagi pembicaraan. Kecemasan mulai menyergap, tapi ia maklum sekali kalau Nila cepat tersinggung dalam situasi yang diselimuti awan kelabu. “Nil, kamu tersinggung, ya? Maafkan aku, sudahlah jangan kau pikirkan lagi pertanyaanku tadi. Aku memang salah, kenapa mau tahu urusan orang. Jangan marah, ya!” Setelah membisu lama, akhirnya Iman menemukan kata-kata untuk mencairkan suasana.
30
TERBAWA ARUS
Tampak Nila mengambil nafas dalam-dalam, pandangannya menerawang ke luar yang sedang dibakar sang raja siang. Bibirnya yang masih pucat dan kering mulai berkata,”Sama sekali aku tidak tersinggung. Justru aku senang ada orang yang masih peduli padaku yang bodoh dan ceroboh. “ Matanya masih menerawang ke luar. “Nil, kamu jangan terpancing pertanyaanku tadi. Maaf kalau aku membuatmu sedih”, bujuk Iman memelas. “Man, dua hari ini kepalaku sibuk mencari orang yang patut kupersalahkan dalam perceraianku. Hanya, tak ada seorangpun yang bisa dianggap bersalah selain aku sendiri. Dulu akulah yang memutuskan keluar dari sekolah. Aku memilih menikah. Bodoh…! Aku bodoh, Man! Waktu itu otakku tak dapat berpikir waras lagi. Perasaan cinta pada Fikri telah merasuk hingga ke sum-sum belulangku. Tetapi cinta yang dulu kuanggap madu ternyata hawa nafsu yang menjerumuskanku. Inilah akibatnya, Man.” Nila mengusap titik air di pipi. “Jadi kamu ikut kawin masal bukan dipaksa orang tuamu?” Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Iman setengah tidak disadari. “Ya.”, jawaban Nila pun spontan dan pendek diiringi nafas berat. “Memang dugaanku tepat, semua orang mengira aku menikah karena paksaan orang tua. Sebenarnya tidak, sama sekali tidak. Itu keputusanku, pilihanku. Mak dan Bak hanya melaksanakannya.” Nila menggapai gelas air putih dan meneguknya. “Sekarang kasihan mereka, Man. Persahabatan mereka dengan orang tua Fikri yang dulu begitu kental sekarang
31
TERBAWA ARUS
berubah menjadi permusuhan gara-gara ulahku.” Nila nampak bertambah gelisah. Mendengar pengakuan Nila, Iman baru mengerti, mengapa janda muda itu begitu terpukul dengan perceraian. Ia nekad meninggalkan rumah karena ia menganggap perceraiannya menjadi aib keluarga. Di samping itu, jelas Nila mempunyai beban sosial tersendiri, sebelia itu harus menyandang predikat janda sementara teman-teman sebayanya sedang sukasuka menikmati masa remaja. Ada yang gila pacaran ke pantai, ada yang gila mengikuti kegiatan di sekolah, ada juga yang gila bermain voli di kampung sambil cari pacar. “Man, bagaimana tanggapanmu terhadap seorang janda sepertiku? Aku sekarang tak ubah barang rongsokan yang hanya pantas ditempatkan dalam tumpukan barang-barang bekas. Duniaku sekarang sempit.” “Nil, anggapanmu tentang dirimu sendiri salah. Orang tidak memandang status janda sedemikian rendah. Janda bisa bermartabat rendah kalau melakukan hal-hal yang melanggar adat dan agama.” Iman mengingatkan Nila, ia tak menghendaki Nila memvonis dan menghukum dirinya sendiri. Akan tetapi, emosi Nila belum stabil, sehingga belum mampu menggunakan akal sehat dengan jernih. Ia belum bisa menerima kenyataan, ia belum siap menerima risiko dari sebuah keputusan. Hal itu sebenarnya sangat wajar karena dari segi usia ia belum matang, ditambah suasana yang sedang ia alami tidak membuatnya nyaman untuk berpikir. “Tapi, semuanya karena aku, Man! Aku yang memilih jalan itu, aku yang memutuskan!” Nadanya meninggi. 32
TERBAWA ARUS
“Kalau kita debat sekarang, percuma. Kamu masih capek, pikiranmu masih rusuh. Kamu masih sangat membutuhkan istirahat. Sebaiknya kamu tidur, supaya badan dan pikiranmu bisa segar kembali. Aku akan pulang dulu mengambilkan keperluanmu selama di sini.” Iman menjadi tampak lebih dewasa dari usianya saat dihadapkan pada masalah semacam itu. “Tak usah repot-repot, Man. Bagiku, sudah ditolong dan diizinkan istirahat di sini saja sudah terima kasih sekali. Apalagi kamu sudah bersusah payah memasakkan bubur hingga menyuapiku. Yang masih aku harapkan sekarang, kamu masih mengizinkan istirahat di tempat ini barang semalam, Man!”, pinta Nila bersungguh-sungguh. Mendengar kalimat-kalimat yang meluncur penuh harapan, terbit haru dan kenuranian pemuda yang telah bersiap-siap pergi. Kembali berkelebat wajah adik perempuan yang mungkin sedang bercanda tawa dengan teman-temannya. Kembali mampir ketakutan akan tercabutnya keceriaan adik perawannya. Ia benar-benar takut hal yang sama dengan Nila menimpa boneka kesayangannya. “Nil, untuk apa aku membawamu ke sini kalau aku tak membolehkanmu tinggal di sini? Sudahlah jangan terlalu banyak berpikir, yang penting kamu harus tenang dulu. Kamu perlu istirahat.” Sikap Iman seperti seorang suami kepada istri. Akhirnya Nila menyerah, ia tak mau lagi menjawab panjang lebar. Di samping merasa kasihan kepada teman yang telah rela hati menolong juga ia membenarkan saran Iman. Sekujur tubuhnya terasa ngilu, belulangnya seperti lepas dari persendian, kepalanya masih sangat berat. Luka di lututnya pun mulai berdenyut.” Baiklah aku tidur dulu.”, ucapnya seperti berbicara kepada dirinya sendiri. 33
TERBAWA ARUS
Iman keluar dan menutup pintu. Matahari mulai merosot ke Barat, hatinya pun ikut-ikutan bergeser dari memberi keyakinan menjadi bimbang. Ia berkeinginan besar untuk melindungi Nila, tapi hingga detik itu belum satu pun cara yang aman muncul di benaknya. Bagaimana cara mendapatkan pakaian meskipun ala kadarnya supaya Nila bisa menukar pakaiannya dengan yang bersih. Kalau baju, bisa memakai bajunya dan bisa ia memberikan celana panjangnya, tapi untuk pakaian dalam yang membuat kepalanya sedikit berputar. Selain masalah pakaian, ia mengkhawatirkan Nila kalau harus tidur sendirian di gubuk kebun. Ia tak mungkin menemani Nila karena meskipun tak melakukan sesuatu yang melanggar adat dan agama rasanya tak baik. Baginya, hal sedemikian sangat rentan. Fatal sekali akibatnya jika ada orang yang mengetahui. Mengajak kawan tak mungkin karena keberadaan Nila di sana tak ingin diketahui siapa pun. Sejenak pemuda tanggung itu duduk terpekur di atas bongkahan kayu pinggir gubuk. Kalau tadi ia sibuk mengerjakan ini, itu, sekarang otaknya yang kebagian sibuk. Otaknya diperas untuk memikirkan apa yang akan diperbuat untuk teman yang sedang prihatin. “Menurutku, menolong Nila benar dan keharusan tapi belum tentu menurut orang lain. Gubuk ini milik orang tuaku, aku tidak berhak meminjamkan kepada oarang lain tanpa seizin mereka. Tapi, nasi sudah menjadi bubur, janda belia itu sudah tertidur di dalamnya. Bagaimana cara berterus terang kepada orang tuaku?” Semakin lama ia berdiam duduk dirasanya semakin banyak masalah yang muncul membuat kepalanya pusing tujuh keliling. 34
TERBAWA ARUS
Memang menolong Nila untuk sementara seperti makan buah simalakama. Dilakukan mengandung risiko besar, tidak dilakukan ia tak tega melihat Nila yang begitu terbelit masalah berat. Peringatan untuk kembali ke rumah dan meminta izin baik-baik kalau mau pergi, Nila tak mau. Sekejap ia sempat melihat matahari yang panasnya masih cukup terik. Tapi seketika ia merasa bulatan kuning itu meluncur ke arahnya sambil menganga lebar siap menelannya bulat-bulat. Ia terperangah, mendadak dari dalam dadanya pun ada yang meluncur. Ia seperti mendapat teguran yang keras menyentak hatinya. “Astaghfirullah, aku belum salat Dzuhur!” Tak berpikir panjang lagi ia melompat menuju motor dan segera tancap gas pulang. *** “Dari mana, si Abang? Baru sekarang aku melihat Abang sejak pagi. Tadi ayah menanyakan Abang tapi aku jawab tak tahu.” Meme yang sedang melipat pakaian sambil nonton TV menatap abangnya yang dirasanya lama sekali pergi dari rumah hari itu. “Ah, seperti baru hari ini saja Abang pergi sampai siang. Abang dari rumah teman, ada pekerjaan yang perlu diselesaikan. Ini juga belum selesai, nanti kembali lagi setelah salat dan makan.” Iman meletakkan kunci motor di atas bufet samping pintu. Usai mengakhiri salatnya dengan salam ia menyempatkan diri untuk berdoa, mohon petunjuk dari Sang Mahapencipta. Sudah mendarah daging kebiasaan mengadu kepada Tuhan saat ia mendapatkan kesulitan. Memang keluarganya membesarkan dalam suasana religius yang kental. Akan tetapi, Iman 35
TERBAWA ARUS
beruntung orang tuanya bukan agamais yang diktator dan kaku. Ia dapat mengerti, berada di dunia yang macam apa anak-anaknya hingga ia dapat menjalani masa-masa sejalan dengan irama pertumbuhan dan perkembangan. Ruh keyakinan akan Sang pencipta menjadi pembimbing hingga senantiasa berada di atas rel yang telah digariskan. Iman duduk menghadap meja makan dan di depannya sudah siap sepiring nasi. Tak dapat dipungkiri perutnya sangat lapar, karena sedari pagi perut itu belum mendapat pasokan makanan. Tapi, ada yang mengganjal nafsu makan meskipun laukpauk yang tersedia cukup menggiurkan. Dalam kepalanya masih berjejalan masalah, bagaimana dan apa yang kemudian akan diperbuat selanjutnya untuk Nila. “Me, ayah dan ibu ke mana?”, tanya Iman kepada Meilasari adiknya yang biasa dipangil Meme. “Kan, lagi kondangan ke rumah Pak Jumli yang syukuran khitanan anaknya.” Meme menjawab sambil mencuri pandang, matanya mengerling ke arah abangnya yang dianggap agak bersikap aneh. Meme tak biasa melihat Iman bengong saat di depannya ada sepiring nasi. Biasanya ia yang paling semangat makan kalau pulang sekolah apalagi kalau hari panas disodori lempah darat. Semangat makan abangnya akan menyamai orang di medan perang sudah berhadap-hadapan dengan musuh. Maka, tak heran jika Meme berpikir abangnya sedang menghadapi masalah atau kesulitan. Meskipun demikian, ia tak angkat bicara karena ia paham akan sifat kakak laki-lakinya. Kalau ada masalah tak pernah mau bercerita kalau masih bingung tapi jika pikirannya telah rileks ia akan bercerita sendiri. 36
TERBAWA ARUS
“Dek, menurutmu menolong orang yang kesusahan wajib, kan?” Tak disangka-sangka, Iman bertanya kepada Meme. “Ya, Abang! Pertanyaan abang aneh bener. Semua orang yang masih waras pasti menjawab, ya, dong Bang! Memangnya kenapa? Ada teman Abang yang lagi kehabisan duit lalu mau minjam, begitu?”, jawaban Meme malah berupa pertanyaan lagi. “Ah, tidak. Ia bukan membutuhkan uang sebab ia punya uang”, sangkal Iman. “Lalu, bantuan apa?”, Meme semakin penasaran. Iman membungkam, ia asyik menyuapkan sesendok demi sesendok nasi ke mulutnya yang setengah menolak. Selera makannya hilang sama sekali padahal perut kempes dan perih. Pikirannya pun buntu, buntu untuk melanjutkan pembicaraan dengan Meme. Diam-diam ia menyesal telah membuka dialog dengan sang adik yang jelas-jelas selalu penasaran dengan pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Ia berpikir keras untuk menemukan jawaban sebagai kelanjutan pembicaraan bahkan kalau mungkin mengakhirinya. “Meme rasa, Abang lagi linglung. Tadi ngajak ngobrol, sekarang bisu. Ah, aku tahu, Abang lagi jatuh cinta barangkali! Ya, kan?” Meme yang baru saja minum kembali ke depan televisi sambil menjawil telinga Iman. “Terserah kamu sajalah, Abang malas melanjutkan obrolan sama kamu. Ngomong sama kamu rumit, seperti benang kusut”, Timpal Iman yang kemudian berjalan ke dapur membawa piring kotor. “Ya, terserah mau dilanjutkan boleh, tidak juga boleh. Meme juga masih banyak pekerjan lain!” Meme pergi menuju kamarnya dengan memeluk setumpuk pakaian yang baru dilipat. 37
TERBAWA ARUS
Iman menghidupkan motornya dan memacunya ke luar kampung. Ia sedang mengikuti perintah otak yang dari tadi sibuk mencari jalan. Ia memarkir motornya di depan sebuah toko, dalam sekejap telah berjalan di antara pengunjung yang berseliweran ke luar masuk. Ia memilih pakaian dalam dengan ukuran sekenanya, hanya dikira-kira. Dari sana ia menuju ke dalam dan mulai sibuk mengisi keranjang dengan mi instan tak lupa beras yang kantong ukuran lima kilogram. Matanya tak henti celingukan takut ada orang yang mengenalinya. Setelah dirasa cukup, ia kembali memacu motor. Kali ini ia menuju kebun lada di mana Nila tinggal. Didapatinya Nila masih tertidur pulas. Perlahan ia meletakan keperluan Nila yang telah dibelinya ditambah dua helai kemeja dan sebuah celana jean miliknya. Sejenak ia menatap perempuan muda yang sedang terbang di alam mimpi. Terbit iba yang dalam, menelusup di sela-sela bilik jantungnya. Selanjutnya dengan langkah gontai ia keluar gubuk. Tinggal satu yang belum ia dapatkan, yaitu mukena. Ia akan sangat merasa berdosa apabila menolong tanpa memerhatikan kebutuhan untuk ibadahnya. Justru dalam keadaan yang demikian, Nila membutuhkan kedekatan dengan Sang Maha Pencipta. Iman sangat mengharapkan Nila dapat menenangkan pikiran, hingga bisa berpikir jernih agar dapat menentukan langkah selanjutnya. Ia tak mau Nila salah langkah yang akhirnya akan kembali pada penyesalan. Ia tak mau teman perempuanya itu keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Lama Iman duduk di balai-balai depan gubuk. Sembari memperhatikan burung-burung kecil berloncatan di ranting-ranting pohon petai, pikirannya 38
TERBAWA ARUS
pun berloncatan. Matanya tak lepas dari hewan-hewan mungil bersayap dan lucu. “Sepertinya mereka tak punya masalah. Apakah mereka selalu begitu? Apakah mereka pun punya kesulitan tapi tak hendak menampakkannya kepada alam yang senantiasa menyediakan sarana kehidupan? Ya Allah, berilah aku petunjuk-Mu untuk dapat memberikan yang terbaik bagi temanku itu. Aku melakukan ini karena-Mu semata maka aku serahkan semua kepada-Mu, tunjukkan apa yang terbaik baginya. Bukalah hati Nila agar dapat menentukan sesuatu yang benar menurut-Mu!” Iman bergumam dalam hati. Pada saat berikutnya Iman menyadari, bahwa ia tak sanggup melakukan semuanya sendiri. Ia masih mempunyai banyak kekurangan, terutama sekarang ia masih bergantung kepada orang tua. Ia merasa bersalah melakukan sesuatu yang bukan hal remeh tanpa sepengetahuan dan seizin orang tua. Ia berbesar harap agar kedua orang tuanya mau mengerti apa yang sedang dilakukan. Ia pun berkeyakinan, orang tuanya yang telah banyak makan asam garam kehidupan akan lebih bijaksana dalam menyikapi masalah Nila. Maka, sampailah pada keputusan, Iman akan memberitahukan semuanya kepada orang tua. Selepas salat Asar, Iman duduk di kursi teras sendirian. Saat itu ia sedang menimbang-nimbang kembali keterusterangan tentang Nila. Rasa takut disalahkan oleh orang tuanya menghantui, tetapi kejujuran menjadi hal yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Ia mulai merancang kata-kata untuk mengutarakan masalah yang sedang ia hadapi kepada kedua orang tuanya. Tanpa disadari, ayahnya telah duduk bersebelahan di kursi sebelah kirinya. *** 39
TERBAWA ARUS
“Man, kenapa, si Ayah perhatikan dari tadi kamu seperti orang kebingungan. Ada masalah?” Pak Burhan bertanya ringan setengah menggoda anaknya. Iman tercekat ditanya demikian. Ia merasa dipanah tepat pada jantung, sasaran yang ditentukan ayahnya tepat sekali tak meleset sedikit pun. Sejurus ia merasa gamang, tak mampu berkata apa-apa. Yang ia lakukan hanya memperbaiki letak duduk yang agak miring ke arah yang sedikit berlawanan dengan ayahnya. “Ceritalah kalau ada masalah, jangan sok sanggup, jangan sok dewasa lah! Ayah ini cukup berpengalaman dalam menyelesaikan masalah remaja soalnya ayah sudah pernah menjadi remaja seperti kamu!” Nada ayahnya begitu akrab dan bersahabat. Hal itulah yang membuat ia tadi memutuskan untuk menceritakan pertolonganya kepada Nila. Ia yakin, ayahnya akan mengerti apabila ia dapat menjelaskan permasalahannya dengan baik. Di samping itu, pertolongannya benar-benar Lillahi Taala, tak ada pamrih atau kehendak lainnya. “Yah, kalau saya berbuat salah Ayah marah tidak?”, tanya Iman hati-hati. “La, menurutmu kesalahanmu itu layak membuat Ayah marah atau tidak? Ayah tidak pernah sembarang mengobral amarah. Marah itu jalan yang paling akhir dan jelek dalam menanggapi sesuatu.” Pak Burhan mulai memiringkan letak duduknya ke arah Iman. “Ayah tahu tidak ada perempuan kampung seberang yang melarikan diri dari rumah?” Iman membuka pintu keterusterangan. “Ya, tadi mendengar di tempat hajatan waktu ayah kondangan. Katanya perempuan itu janda yang baru dicerai suaminya. Kalau tidak salah, ia anak Pak Adnan.” Ayahnya menanggapinya dengan santai. 40
TERBAWA ARUS
“Bagaimana kalau saya yang menolongnya?” Kembali Iman bertanya. Sekarang giliran ayahnya yang terkejut. “ Maksudmu, Man?” “Ya, menolong janda itu dalam pelariannya!” Iman diam menunggu reaksi ayahnya. “Yang bener saja, Man! Kamu tidak serius, kan?” Wajah lelaki berambut uban itu sedikit tegang. Melihat perubahan air muka sang ayah, Iman merasa sedikit gentar. Ada rasa takut merayapi otaknya. “Kacau nih, kalau ayah marah,” hati Iman bicara sendiri. “Man, kenapa malah diam? Serius atau tidak katakatamu tadi?” Ayahnya mengulangi pertanyaan yang belum kunjung dijawab. “Benar, Yah! Iman kasihan menemukan dia pingsan di hutan tadi pagi. Ia tak berdaya sama sekali, katanya tidak makan sejak sehari sebelum dijatuhi talak oleh suaminya.” Iman menjawab polos. “Bagaimana kamu bisa menemukannya di hutan?” “Saya mendengar dari kawan, kalau Nila melarikan diri dari rumah tadi malam dan belum ketemu. Karena ia teman sekolah saya, saya ikut orang kampung mencarinya di tempat ia menghilang tak ditemukan penduduk semalam.” Selanjutnya pemuda itu menceritakan secara rinci apa yang dialami dan apa yang telah dilakukannya. “Jadi, sekarang anak itu masih di gubuk kebun kita?”, tanya Pak Burhan sambil menatap Iman yang menunduk dan menjawab dengan anggukan. “Apa kamu tidak berpikir, orang akan menuduhmu melarikan anak itu?” “Tentulah, Yah! Tapi, saya sangat kasihan melihat dia sudah tak berdaya dan dia tak mau jika kembali 41
TERBAWA ARUS
ke rumah.” Iman menelan ludah. “ Saya pikir biar saya tolong dulu supaya ia bisa berpikir dengan baik. Kasihan, Pak kalau ia sampai salah jalan.” Lanjut Iman. “Ternyata kamu mampu juga berpikir, tapi sayang kamu terlalu berani. Ini akan berisiko tinggi, Man!” “Saya tahu itu. Sekarang saya minta pendapat Ayah untuk selanjutnya.” Keseriusan Iman tampak sekali dalam nada bicara pada ayahnya. “Nasi sudah menjadi bubur, Man. Sekarang kepalang basah. kita tak bisa mengelak lagi. Kita harus melakukan sesuatu, tapi harus penuh perhitungan. Jangan sampai kita menolong kita yang dapat apinya.” Lelaki penuh baya itu, ternyata sama bijak dengan anak lelakinya. “Untuk malam ini, biar si Nur yang menemaninya di gubuk. Ayah rasa si Nur bisa dipercaya dan berani. Ayah akan bicara baik-baik dengan kedua orang tuanya. Mudah-mudahan mereka mau mengerti yang paling penting tidak menyalahkan kita, terutama kamu.” Pak Burhan akan menyuruh pembantunya menemani Nila malam itu.
42
TERBAWA ARUS
Keputusan
43
TERBAWA ARUS
Matahari sejengkal demi sejengkal menyembunyikan diri di antara rerimbunan daun yang menghijau. Gerumbulan itu lama-kelamaan semakin menghitam hingga berubah menjadi sosok raksasa yang berdiri kokoh. Ia siap menelan siapa pun yang mendekat. Pemandangan itu sempat tertangkap mata Nila yang sempat melongokkan kepala lewat jendela kecil di bagian depan gubuk. Burung-burung kecil yang masih ingin menghabiskan sisa-sisa guratan sinar beterbangan dengan arah yang tak beraturan. Pemandangan demikian mengundang kegetiran Nila. Dirasanya burung-burung itu beterbangan dalam kepalanya. Alangkah berat Nila mengahadapi pergantian hari itu. Ia benar-benar sendiri untuk kedua kalinya dalam melalui malam. Hanya bedanya saat itu ia lebih beruntung tidak lagi tidur di semak belukar. Ia disediai tikar bahkan kasur dan bantal sayangnya ia tak sempat memanfaatkan pakaian yang diantar Iman. Ia masih tak berani keluar gubuk itu untuk sekedar membersihkan diri di pemandian. Ia sangat takut ada orang lain selain Iman mengetahui keberadaannya di sana. Ia bertahan dalam kegerahan dan aroma badannya yang mulai tak sedap. Telinga Nila seakan terangkat ketika tiba-tiba mendengar suara perempuan mengucapkan salam. Hampir-hampir ia melompat, pantatnya telah terangkat ketika mendengar ucapan salam itu berulang. Ia merasa keamanannya di tempat itu terancam. “Yuk…! Yuk Nila… ini Nur pembantu Bang Iman!” Tangan Nur mengetuk-ngetuk pintu gubuk yang dikunci. Mendengar penjelasan itu, Nila kembali duduk tapi tetap waspada terhadap segala kemungkinan yang akan dihadapinya. Nila yang sebelumnya mudah 44
TERBAWA ARUS
percaya kepada orang lain, berubah menjadi seorang yang serba curiga. Ia selalu mencurigai orang-orang yang menurutnya sewaktu-waktu bisa membuka rahasia keberadaannya. Ia tak mau rancangan yang mulai muncul dalam benaknya rusak oleh siapa pun. Wajar jika saat Nur memperdengarkan suaranya ia hampir melompat. Dengan hati-hati ia berjalan menuju pintu, sejurus ia mencari celah yang kira-kira ia bisa mengintip ke luar. Ia ingin memastikan perempuan yang belum begitu ia kenal itu datang sendirian. “Nur, dengan siapa kamu datang?” Setelah gagal mengintip, Nila langsung bertanya. “Sendiri, aku disuruh Bang Iman menemani Ayuk!” Terdengar suara Nur sabar menjawab pertanyaan orang yang belum kelihatan wajahnya. Memang waktu itu Nur yang umurnya hampir sebaya dengan Nila kelihatan sabar berdiri di luar. Tangannya memegang gagang pintu gubuk siap mendorongnya bila sudah ada tanda nila membuka kunci. Tangan kirinya menenteng tas plastik yang berisi makanan dan mukena hanya ketika ada beberapa ekor nyamuk mulai menggerayangi kakinya plastik itu ditundanya di tanah. Ia membungkuk, tangan kirinya mulai menepis serangga-serangga kecil itu. Ia masih cukup sabar menunggu pintu terbuka. Wataknya yang terbentuk siap bersabar menghadapi orang lain telah cukup mendarah daging. Ia seorang pembantu yang tak jarang harus selalu berusaha menyesuaikan diri dengan keinginan dan seleraselera sang majikan. Itulah salah satu prestasinya menjadi pembantu di keluarga Pak Burhan sejak ia duduk di bangku SD hingga dianggap menjadi keluarga oleh keluarga majikannya. 45
TERBAWA ARUS
Keterbatasan ekonomi dalam keluarganya telah membawanya masuk ke dalam keluarga Iman. Seiring waktu yang membawa kehidupannya, Nur mampu menyesuaikan diri dalam keluarga yang kebetulan cukup peduli. Ia banyak belajar hidup dalam sistem yang mendudukannya bukan pembantu. Ia selalu diarahkan untuk tidak bersikap sebagai pembantu oleh seluruh anggota keluarga itu. Ia belajar menghargai dirinya sendiri, tapi tetap memiliki sikap hormat yang menjaga kedudukan keluarga Pak Burhan sebagai keluarga yang telah banyak berarti baginya. Dari kesadaran itulah tumbuh sebentuk kesabaran yang tak kalah berarti dalam hidupnya. Dari dalam, tidak ada tanda-tanda kunci dibuka. Nyamuk semakin berani menggerayangi kaki muda Nur. Akhirnya ia memutuskan untuk mengetuk lagi pintu kayu di depannya. Sengaja ia tak memanggil Nila lagi, ia takut Nila merasa terganggu atau menjadi gusar. Lama ia menunggu reaksi dari dalam, tapi tetap tak ada tanda-tanda kunci dibuka. Di dalam sepi dan tenang. Menghadapi situasi yang seperti itu, Nur jadi khawatir terjadi sesuatu dengan Nila, misalnya pingsan. Nila ingat, kunci serut pintu belakang bisa dibuka dengan merogohnya dari atas. Dia pun segera mengambil tas plastik dan berjalan lewat pinggir gubuk menuju pintu dapur. Sampai di tempat yang dituju, Nur mendapatkan pintu itu terbuka sehingga langsung masuk ke dapur yang hanya mendapat sisa-sisa cahaya lampu minyak di ruang tengah. Tanpa Perasaan curiga apapun, Nur berjalan memasuki ruang dalam tapi tetap tanpa suara. Ia mempunyai perkiraan Nila tidak akan suka banyak mendapat pertanyaan atau mendengar kalimat-kalimat lainnya. 46
TERBAWA ARUS
Setelah matanya menyapu seluruh ruangan hingga memeriksa kamar, baru ia sadari kalau saat itu ia tinggal sendiri. Tidak ada Nila. Tidak ada perempuan muda yang akan ditemaninya. Tapi ia yakin tadi sempat menjawab pertanyaannya. Ia sempat berbicara dengannya, tidak mungkin itu hanya ilusinya. Kembali ia ke luar. Dengan bantuan cahaya bulan yang belum bulat, matanya berkeliling ke sekitar gubuk. Tak ada bayangan manusia di mana pun. Beberapa saat Nur terdiam, ia menyadari kalau Nila telah pergi dengan diam-diam setelah mengetahui kedatangannya. Ia mulai menebak-nebak dengan jalan pikir yang sederhana. Ada bebera kemungkinan kepergian janda muda itu yang terlintas dalam benaknya. Mungkin ia takut Nur memberi tahu orang lain tentang keberadaannya di sana. Mungkin juga Nur merasa terganggu atas kehadirannya, dan kemungkinan-kemungkinan lain yang berjejalan di otaknya. Merasa tak ada guna lagi ia mereka-reka tanpa menghasilkan apa-apa, bergegas meninggalkan tempat itu. Dengan berbekal senter, ia terus berjalan tanpa rasa ragu atau takut. Ia melangkah lincah tanpa ada keinginan melihat ke belakang atau ke arah mana pun. Dalam pikirannya hanya ada satu yang penting saat itu adalah memberi tahu Iman atau ayahnya. “Assalamu Alaikum! Bu, Bang Iman mana?” Dengan dada turun naik Nur bertanya kepada majikan perempuan. “Masya Allah, kamu seperti orang dikejar anjing gila, nafas sampai hampir putus seperti itu? Kenapa kamu kembali? Kamu takut atau bertemu dengan babi hutan?” Bu Aminah, ibunya Iman, bertanya tanpa memberi kesempatan yang ditanya untuk menjawab.
47
TERBAWA ARUS
“I…tu, Bu! Yuk Nila kabur setelah mendengar suara saya minta dibukakan pintu!” Nur masih tetap tersengal-sengal. Selanjutnya giliran perempuan berkulit putih di depannya itu terkejut. Hampir-hampir mulutnya menganga. “Apa? Nila lari lagi? Celaka, Nur, Iman bisa kena akibatnya! Kita juga tak mungkin luput dari sorotan orang, terutama orang tuanya!” Pikiran Bu Aminah langsung pada akibat larinya Nila. “Me…, Me…! Lekas antar Nur ke rumah Pak Adnan mudah-mudahan ayah dan abangmu masih ada di sana. Kunci motor di atas bufet, cepat!” Melihat kedatangan dua remaja putri yang sama sekali jauh dari dugaan, semua yang berada di ruang tamu orang tua Nila berhenti berbicara. Mimik muka masing-masing pun berubah dengan semu yang berlainan sesuai dengan isi pikiran yang menafsirkan maksud kedatangan mereka. Ada satu persamaan, yaitu rasa cemas karena melihat Nur yang sebelumnya telah pergi ke kebun di mana Nila berada tibatiba ada di tempat itu. “Maaf, Pak, Bang Iman, tadi saya sudah sampai ke gubuk tapi setelah saya minta dibukakan pintu, mungkin Yuk Nila pergi lewat pintu belakang. Saya masuk lewat pintu belakang yang sudah terbuka, Yuk Nila tak ada lagi!” Dengan suara sedikit serak dan takut Nur menceritakan apa yang terjadi di gubuk kebun. “Memang, benar-benar menyusahkan orang itu anak! Tak tahu terima kasih!” Ayah Nila yang pertama angkat suara. “Apa, sih maunya? Pikirannya tak waras lagi, Bak!” Bi Aini juga menyambung dengan nada gusar.
48
TERBAWA ARUS
“Sekarang kita tak bisa menyalahkan Nila dengan bermacam-macam tudingan. Namanya juga anak masih muda dalam keadaan kalut. Makanya, tadi kami membiarkan dulu ia di kebun agar ia berpikir jernih dengan harapan ia mau kembali ke rumah ini.” Ayah Iman menenangkan orang tua Nila yang dilihatnya mulai naik darah. “Sekarang kita sama-sama mencarinya tapi diamdiam, cukup kita. Ini bukan mengejar penjahat, perlu cara yang rapi”, lanjut Pak Burhan. Iman seperti seorang petualang malam. Ia menelusuri barisan demi barisan tanaman lada dan tempat-tempat yang dianggap mungkin untuk dijadikan persembunyian. Juga orang tua Nila dan ayahnya melakukan hal yang sama di tempat-tempat yang telah disepakati letak-letaknya. Semuanya sampai ke pinggir jalan besar tak seorang pun yang menemukan jejak perempuan malang itu. Akhirnya semua menyerah, tapi Iman dan Pak Adnan menuju ke Pangkalpinang. Mereka memutuskan untuk berjaga-jaga sekitar terminal bis kedatangan dari arah Toboali yang merupakan pintu masuk ke Pangkal pinang dan bisa jadi Nila pun lewat di tempat itu. Semula Pak Adnan sering mengeluarkan katakata mempersalahkan Nila. Berkali-kali Iman mendengarnya. Mendapatkan keadaan lelaki penuh baya yang mulai lepas kontrol, ia pun merasa iba. Akhirnya sambil duduk-duduk di tepi tembok terminal Iman sempat menceritakan apa yang tadi siang terurai dari lisan Nila. “Sebenarnya Nila melakukan ini karena tak sanggup melihat Paman dan Bik saling menyalahkan. Ia merasa yang menjadi penyebab semua keretakan hubungan kekerabatan dua berbesan. Mungkin karena 49
TERBAWA ARUS
pikirannya sedang kalut dan dihimpit rasa malu jalan seperti itu yang ia anggap paling baik.” Iman mengulangi apa yang dikeluhkan Nila sewaktu di gubuk kepada Pak Adnan. Pak Adnan terdiam mendengarnya. Tak sanggup lagi mengucapkan kata-kata karena benaknya sedikit terbuka atas keadaan putri tunggalnya. Ia merasa kalah oleh anak kemarin sore dalam berpikir. Sekelebat melintas dalam pikirannya sesuatu yang sangat tidak ia inginkan, “bunuh diri” . Itu kemungkinan terburuk yang ia bayangkan setelah mendengar tuturan teman mudanya. Lama ia diam terpekur dengan nafas berat. Menyusul di kepala lelaki itu rangkaian perjalanan pernikahan putrinya hingga ia menyaksikan sendiri putusnya talak dari sang menantu. Ya, menantu yang dulu sangat diyakini sanggup memberikan kebahagiaan kepada anak perempuannya. Pak Adnan sekarang menginsyafi sepenuhnya kepanikan janda belia itu. Betapa cepat kemakluman sang bapak timbul dari gumpalan-gumpalan kegusaran. Kesadaran muncul serta-merta bagaikan berloncatan dari ruang gelap benaknya. Semuanya berpindah menjadi ruang-ruang beku dalam rongga dadanya. Sesal ia selama Nila menghilang hanya mampu melihat dari sudut negatif. Ia hanya melihat dengan kaca mata etika dengan garis adat dan keharusan bakti seorang anak kepada orang tua. Ia tak pernah mengerti apa yang sedang bergolak dalam jiwa yang masih muda dan rapuh. *** Nila turun dari penyimpanan kayu di atas kamar gubuk setelah benar-benar merasa yakin sekeliling50
TERBAWA ARUS
nya aman. Sebenarnya ia tak keluar gubuk saat kedatangan Nur. Ia membuka pintu belakang hanya untuk mengecoh agar orang menyangka ia kabur. Waktu pembantu Iman datang ia merasa keamanannya terancam, ia khawatir esoknya gadis itu akan menceritakan keberadaannya di gubuk. Pucuk dicinta ulam tiba, ia melihat di atas kamar gubuk ada beberapa keping papan dan balok tersimpan. Tanpa ragu ia naik dan bersembunyilah ia di sana hingga berjam-jam. Hanya saja ia beruntung, orang yang mencarinya tidak ada yang teringat akan tempat itu, termasuk ayah Iman yang menyimpan kayu-kayu itu. Sejurus Nila menyelunjurkan kaki-kaki yang dirasa pegal. Direguknya beberarapa teguk air yang disediakan Iman tadi sore. Lapar kembali menyerang. Ia ingin memasak mi instan, tapi kemudian timbul lagi kekhawatiran. Jika ia menyalakan api takut ada orang yang melihat kepulan asap atau nyala apinya. Akhirnya ia memutuskan untuk makan mi itu tanpa dimasak. Ia membuka sebungkus mi dan mulai mengunyahnya dengan hati-hati, takut ada orang mendengar bunyi kriuk-kriuknya. Nasib baik masih berpihak pada janda muda itu. Ketika mi kering di tangannya hampir habis, matanya menangkap onggokkan hitam di dekat jendela. Ia beringsut mendekatinya dan perlahan mengambil benda itu. Ternyata tas plastik hitam yang berisi dua buah rantang dan mukena. Itu adalah plastik yang tadi dibawa Nur dan karena gugup dan terburu-buru tidak terbawa pulang lagi. Dikeluarkannya rantang-rantang yang ternyata berisi nasi serta lauk pauk. Tanpa ragu ia makan dengan lahap. Sudah berhari-hari ia tak makan. Terdorong rasa capek yang mendera semangat makannya menjadi luar biasa. Hampir tak disadari, 51
TERBAWA ARUS
isi rantang bersih tak bersisa berpindah ke dalam perutnya yang kempes. Usai makan, sebenarnya ia ingin langsung pergi tidur tapi semangat untuk meninggalkan kampung halaman segera mencegahnya. Ia menyempatkan diri untuk merancang kepergian besok pagi. Dalam kepalanya tersusun rapi skenario perjalanan besok hari. Mulai waktu ia bangun, meninggalkan gubuk dan menumpang apa hingga akan ke mana ia pergi telah ia petakan dalam benak yang muda. Di akhir perencanaan itu, ia mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan dan menghitungnya sambil kepalanya terus mengkalkulasikan kebutuhan besok. “Bisa…, bisa!” Batinnya menggumam dan hanya dia yang tahu rencana apa yang telah tertata di benaknya. Matanya jadi tak hendak tidur. Rasa kantuknya hilang, mungkin karena tadi siang telah banyak beristirahat dengan tidur. Selanjutnya, ia seperti mencari-cari sesuatu yang akan dikerjakan. Sepi mulai memangut kesendirian, Nila mulai resah. Rasa waswas, tak sabar menunggu surutnya malam membuatnya menjadi gelisah. Tak tahu apa yang harus ia kerjakan di gubuk itu. Ia merasa ada sesuatu yang tertinggal belum ia kerjakan. Pikirannya mencari-cari sesuatu yang seakan terlewati itu. Nila mulai sadar, telah meninggalkan beberapa waktu salat. Sejenak dadanya sesak, ia merasa pundaknya tiba-tiba berat terbebani bongkahanbongkahan batu besar. Ia baru menyadari, kalau dirinya bukan sekedar lari meninggalkan rumah dan kedua orang tua juga lari meninggakan Allah yang sejatinya selalu memberikan perlindungan. Air matanya mulai merembes, rasa berdosa tak terbendung 52
TERBAWA ARUS
dengan alasan apa pun yang ia coba buat dalam pikirannya. Nila merasa terkurung dalam ruang sempit dan menyala membakar dosa-dosa yang melekat dan merasuk ke pori-pori. Dosa-dosa itu dirasakan pula telah menelusup hingga melebur dengan darah dan mengotori seluruh bagian tubuh bahkan batinnya. Setengah tertatih ia raih mukena yang tertinggal si Nur. Diletakkannya di tepi tikar duduknya. Perlahan ia turun dan menuju dapur. Ia hendak mencari air di sana. Ternyata ada ember penampungan air minum yang penuh. Selanjutnya ia memisahkan terlebih dahulu air untuk berwudu, sisanya ia gunakan untuk mandi. Pakaian yang dibawakan Iman tadi sore ia kenakan. Tak tertinggal mengobati luka di lututnya dengan betadin yang ada di plastik belanjaan Iman. Saat itu yang ia inginkan hanyalah bersih meski tak patut. Mulailah Nila melarutkan jiwanya dengan Sang Empunya malam. Ia tak lagi menghiraukan diri sendiri, ia tak merasakan lagi ancaman-ancaman di sekeliling atau di hari-hari yang akan datang. Semuanya ia serahkan kepada Yang Maha Berkehendak. Saat itu ia tak merasa sendiri lagi. Ia merasa mendapatkan penjaga yang melindungi dari segala yang ada di sekelilingnya. Nila tak berhenti memohon dengan caranya sendiri karena pengetahuan agamanya pun sebenarnya tidaklah terlalu kurang. Segala kehendaknya ia pintakan kepada-Nya hingga ia tertidur dengan berselimut mukena. Malam melewati waktu sendirian melenggang dengan tenang tanpa dibebani rintih sesal Nila. Semuanya berlalu tenang, hening tanpa keluh dan cemas, tak ada nafas yang berat terbebani masalah. 53
TERBAWA ARUS
Bintang dan bulan di atas menjadi sang penjaga yang setia, tak pernah lengah sedetik pun. Allah memberikan kenikmatan yang tiada tara pada perempuan yang tengah dikepung masalah malam itu. Nila mengarungi malam dalam tidur yang mengendapkan segala kerisauan, setidaknya malam itu ia dapat terlepas dari keruwetan yang beberapa hari berlarian dalam benaknya. Bulan dan bintang telah pulang tanpa hendak mengganggu Nila yang masih terlelap. Matahari telah siap menggantikan perangkat malam disambut cerecet burung di sekitar gubuk tengah ladang sahang yang membentang hijau. Cahaya matahari perlahan menembus celah-celah gubuk menggapai-gapai tubuh yang masih lelap. Alam memiliki kekompakan yang luar biasa. Isi alam dapat dengan serasi saling mengisi, saling mewarnai, saling mengingatkan. Hangatnya matahari menyerah tak mampu membangunkan kesadaran tidur Nila. Dari jarak yang tak begitu jauh, ayam hutan berkokok dengan suara yang renyah dan khas. Perlahan Nila membuka mata, begitu merasa dan melihat sinar matahari ia tercekat. Serta-merta ia membuka mukena dan setelah meloncat menuju dapur. Di dapur tak ada lagi air yang tersisa. Ia tak bisa mengambil air wudu. Dengan keberanian yang dipaksakan, ia keluar dari pintu dapur, ternyata tak jauh dari sana ada sumur dan tempat mandi. Tanpa pikir panjang ia mandi. Seperti orang setahun tak menemukan air, ia mengguyur tubuhnya. Air yang bening dan dingin meresap lewat pori-pori, memberinya kekuatan dan semangat baru. Meski terlambat, ia tetap mendirikan salat subuh. Usai salat ia sedikit bingung karena rencana semalam meleset, ia bangun kesiangan. Jika sudah 54
TERBAWA ARUS
siang seperti itu pasti orang-orang kampung telah banyak yang ke luar rumah bahkan mungkin ada yang sudah sampai di kebunnya. Ia terus memutar akal untuk menemukan jalan ke luar dari tempat itu dan melanjutkan perjalanan sesuai dengan rancangan semalam. Sambil membereskan rambutnya dengan sisir jelek yang ia temukan di pinggir pintu, otaknya berusaha mengingat liku-liku tempat itu hingga ke pinggir jalan besar. Tanpa membawa apa pun, baju lekat di badan, Nila melangkah meninggalkan gubuk. Sebenarnya jauh dalam hati kecilnya ia merasa sangat bersalah pada orang tua dan orang tua Iman yang ia pastikan telah mengetahui masalahnya. Terutama bekas teman sekolahnya, Iman. Akan tetapi, ia tak dapat mengubah rencana semula. Ia tak dapat menemukan jalan keluar untuk melangsungkan hidup di tengah masyarakat kampung itu. Ia merasa tak punya lagi tempat yang layak di tengah-tengah keluarga, tetangga, apalagi teman-teman sebaya. Ia merasa di lubang yang sangat sempit, tak mampu lagi bergerak ke kiri atau ke kanan. Nila menelusup di antara semak-semak karena ia tak berani melewati jalan sekalipun jalan setapak. Embun yang membasahi pakaiannya tak dihiraukan, tujuannya adalah jalan besar lintasan Toboali menuju Pangkalpinang. Ia pun tak berani keluar di tempat yang berdekatan dengan perkampungan. Perempuan itu keluar di tempat yang jauh dari perkampungan. Ia bersembunyi di balik pohon cempedak besar sambil memperhatikan sekeliling termasuk kendaraankedaraan yang lalu lalang. Tangan Nila melambai ketika sebuah truk lewat dan cukup sepi karena tak ada kendaraan lain. 55
TERBAWA ARUS
“Pak, boleh saya numpang sampai Pangkalpinang?” Ia bertanya dengan gugup dan terburu-buru, matanya lekat menatap sang sopir tanda meminta jawaban dengan cepat. “Kenapa tidak naik bis saja, Dik?” Sopir itu balik bertanya. “Lama, Pak! Saya buru-buru!” Nila menjawab dengan nada mendesak. Akhirnya, sang sopir mengalah, ia membukakan pintu. Nila langsung meloncat naik dengan gembira. Ia duduk mantap di samping sopir karena kebetulan sopir itu sendiri. “Sepertinya kamu terburu-buru dan sedang mengkhawatirkan sesuatu. Kamu orang kampung ini, kan?”, tanya sopir penuh selidik. “Ya, saya orang sini! Saya mau ke Pangkalpinang nyusul suami saya yang sedang sakit di rumah saudaranya!” Nila terpaksa berbohong. “Oh, kamu sudah punya suami? Kelihatannya kamu masih sangat muda. Cepat sekali kamu menikah, Dik?” Sopir bertanya disertai komentar. Mendengar komentar laki-laki setengah baya yang sedang mengemudi truk itu, Nila seperti kena bom tepat di kepala. Hati Nila menggelepar seperti seekor burung kena bidikan penembak profesional dan tertembus peluru. Memang jiwa Nila saat itu kerdilnya tak ubah seekor burung yang diincar penembak. Lama ia diam tak hendak menjawab pertanyaan sopir. “Aduh, maaf kalau saya lancang bertanya seperti tadi!” Sopir itu rupanya menangkap gelagat yang kurang menyenangkan. “Ah, enggak apa-apa, Pak! Saya memang masih muda dan sudah menikah. Maklum orang kampung!” Nila menjawab pelan dan dalam. 56
TERBAWA ARUS
Sang sopir merasa telah salah jalan. Ia tak mau melanjutkan percakapan karena takut kembali menyinggung perasaan perempuan muda di sampingnya. Ia dapat membaca sikap dan nada jawabannya. Tak syak lagi lawan bicaranya tersinggung. Di samping itu dengan kematangan pengalaman dalam menyelenggarakan kehidupan, sopir itu mengerti suasana jiwa Nila. Ia menangkap kekalutan Nila, tak salah jika mudah tersinggung. Akhirnya tidak ada lagi yang membuka suara sebagai percakapan. Hanya deru mesin truk yang terdengar dan membuai Nila. Di sana Nila kembali tertidur. Kurang lebih pukul setengah sepuluh truk telah memasuki kota Pangkalpinang. Sopir bingung, penumpangnya masih tertidur pulas. Ia tidak tahu perempuan muda itu akan turun di mana. Dengan terpaksa ia membangunkan Nila. “Dik…, Dik… ! Sampai, nih! Mau turun di mana?” “Em… sudah sampai, ya? Aduh maaf saya ketiduran. Bapak mau ke arah mana?”, tanya Nila yang masih sedikit linglung karena sebenarnya ia belum memahami seluk beluk kota Pangkalpinang. “Saya mau ke Pelabuhan Pangkalbalam!” Jawab sopir singkat. “Bapak lewat pasar, kan Pak?” Nila ragu-ragu karena kurang paham jalan di sana. “Ya, saya lewat sana. Bolehlah, nanti turun di persimpangan depan bekas supermaket Suzuya.” Sopir memberikan gambaran di mana ia turun nanti. Setelah mendengar supermarket Suzuya ia senang karena ke sanalah ia dulu sering diajak teman-temannya berbelanja atau sekadar jalan-jalan. Di sana ia pertama mencoba naik dengan eskalator. Di sana ia pertama kali masuk ke pusat perbelanjaan 57
TERBAWA ARUS
yang baginya sangat besar. Masih terbayang bagaimana ketakutannya ketika diajak naik ke lantai dua dengan tangga yang berjalan tak kunjung berhenti. Hampir saja ia terjatuh, tubuhnya bermandi keringat dingin apalagi waktu turun. Ia membayangkan, bagaimana tercengangnya melihat isi toko besar itu, ia bingung bagaimana cara berbelanjanya? Baru setelah beberapa kali ke sana bisa tenang berbelanja dan tak canggung lagi mengambil barang-barang yang ia inginkan juga menggunakan tangga berjalan tak harus diajari lagi oleh temannya yang sudah sering ke Palembang. Nila turun di tempat yang telah disepakati. Ia menyodorkan selembar uang dua puluh ribu sebagai ongkos. “Pak, ini untuk Bapak membeli bensin!” Nila menyodorkan uang itu dengan sorot mata ikhlas dan penuh terima kasih. “Dak usah, dak Dik! Saya ikhlas nolong!” Sopir menolak uang itu dengan bahasa Bangkanya. Setelah turun, Nila melayangkan pandang. Bola matanya sibuk melihat sekeliling. Suzuya yang tinggal kenangan tak berbeda dengan rumah tangganya sendiri. Gedung kokoh itu dulu begitu memikat banyak orang, gemerlap seakan tak mengenal siang malam, panas dan hujan. Sekarang sepi sendiri tanpa seorang pun yang peduli. Seperti terbuang begitu saja. Melihat itu, hatinya kembali teriris. Gemerlap dan keriuhan di gedung itu menghilang begitu saja ketika sang pengelola tak dapat mempertahankan kelangsungan usahanya. Sama dengan gemerlap cinta dalam jiwanya ketika bergejolak mendesak. Tapi sayang, ia tak dapat mempertahankannya dalam kelanggengan rumah tangga. Mungkin benar kata 58
TERBAWA ARUS
orang, ia belum matang dalam berpikir untuk menyelenggarakan sebuah rumah tangga. Kakinya mulai melangkah ke arah angkutanangkutan kota berwarna kuning yang parkir tak jauh dari tempat itu. Di sana ia bertanya, di mana penjualan tiket pesawat yang dekat. “Kamu mau ke mana?”, tanya seorang sopir yang dari tadi memperhatikan percakapan temannya dengan seorang calon penumpangnya. “Mau ke Jakarta, Pak!” Nila menjawab polos. “Kalau begitu sekalian saja aku antar ke lapangan terbang di sana aku bisa membelikan tiket. Bagaimana, mau tidak?” Sopir itu menawarkan jasa. “Jangan, Dik! Dia bandit. Nanti habis uangmu ditipu!”, sela teman sopirnya yang masih muda berseloroh ala dunia sopir yang tak lagi membuat tersinggung satu sama lain. “Tak usah didengar, Dik! Dia sih suka sirik, gila! Kalau mau, langsung carter saja dua puluh ribu. Beli tiketnya nanti saya bantu, di sana banyak kawan saya!” Sopir itu terus merayu. Tak dapat dipungkiri gaya Nila seorang gadis kampung yang polos sangat kentara, sehingga yang berada di sana tak usah menebak-nebak lagi. Apalagi para sopir sudah bisa membeda-bedakan orang yang berasal dari kampung dengan dari kota. Mereka biasanya jadi sasaran empuk. Orang kampung biasanya banyak membawa uang kalau ke kota, para sopir maupun pedagang memasang harga setinggi-tingginya kepada mereka. Biasanya mereka pun tak banyak tawar-menawar, setuju saja apalagi kalau yang memang belum paham dengan jalan-jalan di sana. Nila pun demikian. Ia langsung setuju. Tanpa menghiraukan perut yang masih kosong, ia langsung 59
TERBAWA ARUS
naik ke angkot yang ditunjukkan oleh sopir tadi. Dalam kepalanya sudah tergambar kota Jakarta yang baru ia lihat melalui televisi atau gambar-gambar. Sebenarnya ada rasa takut untuk datang ke sana. Ia membayangkan kebingungan ketika sampai di kota yang asing baginya. Ia seperti akan memasuki dunia lain yang siap menpermainkan. Tapi, emosi telah sampai di puncak, rasa takut pun dikubur dalam-dalam, diusirnya jauh-jauh. “Kamu mau ke rumah siapa di Jakarta? Kenapa sendiri?”, tanya sopir setengah iseng bertanya, mungkin karena penumpangnya diam membisu. “Tak tahu, Pak! Tak tahu saya mau ke rumah siapa di sana. Saya mau mencari kerja, ya sedapatnya saja nanti!” Nila menjawab polos tanpa melibatkan kesadaran sepenuhnya. “Masya Allah, Dik! Jangan main-main kalau pergi ke sana! Kalau tak punya tujuan yang jelas jangan coba-coba apalagi kamu perempuan masih sangat muda.” Sopir terkejut mendengar jawaban Nila. Nila sendiri terkejut setelah sadar apa yang ia ungkapkan tadi sebagai jawaban pertanyaan sopir. Tapi sudah terlanjur terucap tak bisa ia meralatnya lagi. Pikirannya capek tak mampu lagi mencari-cari alasan yang lain. “Aku khawatir kalau kamu sampai di Jakarta jadi bulan-bulanan orang. Ya, untung kalau ketemu orang baik-baik, kalau kamu ketemu orang jahat, bagaimana?” Sopir berusaha memberikan berbagai kemungkinan tanda simpati. “Sudahlah, Pak! Biarlah apa yang akan terjadi saya tak peduli, mati pun tak apa-apa”, ucap Nila pasti. “Tak bisa begitu orang hidup, Dik! Kalau soal hidup dan mati kan urusan Tuhan. Tapi kita harus memikir60
TERBAWA ARUS
kan akibat-akibat tindakan kita dengan baik. Aku, sih bukan menggurui, tapi sekadar mengingatkan!” Sopir pun akhirnya menganggap kata-katanya tinggal sekedar basa-basi, karena ia tahu penumpang perempuan itu sedang ditutup ingatannya. “Kalau kamu nekad, aku beri alamat saudaraku di sana. Nanti, kalau kamu merasa bingung datang saja ke tempatnya, bilang anak teman Pak Somad. Namaku Somad. Saudaraku di sana berjualan pempek. Tempat berjualannya ada dua tempat, mungkin kamu bisa kerja dengan dia untuk sementara.” Sopir itu menawarkan kebaikan lagi. Mendengar itu, Nila menjadi sedikit tenang. Setidaknya ia punya tempat yang dituju. Soal apa yang akan ia kerjakan baginya tak menjadi persoalan. Ia mengucap syukur dalam hati, ternyata Allah sangat menyayanginya. Ia senantiasa memberikan jalan pada Nila. Nila langsung diajak turun oleh Pak Somad dan mereka menuju tempat penjualan tiket. Kebetulan suasana penumpang di lapangan Depati Amir sedikit sepi, jadi dengan mudah Nila mendapat tiket. Ia mendapat tiket Adam Air yang pesawatnya berangkat pukul sebelas. Nila tak harus menunggu lama lagi. “Tiket sudah ada, kamu masuk ke sana melapor!” Pak Somad menunjuk ke tempat melapor penumpang Adam Air. “Setelah itu, kamu beli karcis masuk di dekat pintu masuk itu ya! Kamu ikut saja penumpang yang lain kalau sudah dipanggil masuk pesawat!” Pak Somad mengajari Nila seperti mengajari anak sendiri, mungkin ia pun sebagai orang yang telah punya anak dewasa merasa khawatir.
61
TERBAWA ARUS
Sebelum Nila masuk, lelaki itu masih sempat memberi petunjuk tambahan, “Kalau kamu di Jakarta bingung, langsung saja kamu bertanya pada polisi, ya?” Nila hanya mampu mengangguk-angguk setiap sopir itu memberi petunjuk. Akhirnya dengan penuh rasa terima kasih, ia pamit pada Pak Somad. Ia mencium tangan Pak Somad penuh hormat layaknya pamitan pada ayahnya. Air matanya perlahan meleleh membasahi pipi yang cekung dan pucat. Kali ini air mata gembira dan ungkapan terima kasih. Pak Somad pun mengiringi langkahnya dengan tatapan ikhlas, tapi mengandung kekhawatiran.
62
TERBAWA ARUS
Bimbang
63
TERBAWA ARUS
M
atahari bandar udara Sukarno Hatta menyapa dengan panasnya yang khas. Sengatan matahari pukul setengah satu mengusir sisasisa dingin air conditioning dalam pesawat. Pori-pori para penumpang mulai terbuka. Demikian Nila yang tadi dalam pesawat setengah menggigil telah merasa sedikit nyaman. Akan tetapi, di balik kenyamanan yang ia rasakan ada kebingungan yang menguasai dirinya. Melihat situasi yang jelas-jelas asing timbul rasa miris dan takut. Keberanian yang terbentuk dari kenekatan mulai surut. Ia bingung ke mana harus melangkah. Akhirnya ia hanya bisa mengikuti arus penumpang yang lain. Ke mana mereka berjalan, ke sanalah dia melangkah. Tiba di pintu ke luar, kebingungannya memuncak. Melihat orang langsung berebut mencari kendaraan dengan masing-masing tujuan. NiIa diserbu sopir-sopir taksi gelap yang menawarkan jasanya. Ia berusaha menolak dengan tegas tapi tetap bingung, akhirnya duduk di bangku-bangku. Ia ingin melihat-lihat terlebih dulu situasi di sana. Ia melayangkan pandang ke pelataran parkir yang begitu luas, kemudian memperhatikan kesibukan orang yang lalu lalang di hadapannya. Selanjutnya, mata Nila sampai pada deretan para penjual makanan yang menurutnya pasti sangat mahal. Ia pun sempat berpikir, bagaimana ia harus memesan makanan di sana. Perutnya semakin keroncongan dan ia merasa ada cubitan-cubitan kecil di sana. Dengan berbekal nekat, Nila bangkit dari tempat duduk. Ia melangkah ke kedai yang dianggapnya paling sederhana, ia duduk di sana menunggu ditanyai pelayan.
64
TERBAWA ARUS
“Pesan apa, Mbak?”, tanya seorang pelayan ramah. “Saya pesan nasi dengan sop buntut saja!”, jawabnya singkat berdasarkan tulisan besar di depan kedai. “Minumnya, Mbak?”, Kembali sang pelayan bertanya. Nila sedikit bingung karena dalam tulisan tadi tidak ada minuman. Memang tampaknya kedai itu yang tergolong paling tradisional di sana. Akhirnya ia balik bertanya, “Minumnya ada apa saja, Mbak?” “Ada es teh manis, teh panas, jus jeruk, dan teh botol.” Pelayan menjawab dengan sabar. “Teh botol dingin saja, ya Mbak!” Nila mulai lancar dan sedikit santai. Sembari menunggu makanan dan minuman yang dipesan, Nila tak berhenti melirik-lirik ke tempattempat sekitarnya. Baru kali itu ia melihat manusia yang sangat beragam dan sibuknya kendaraan berlalu lalang. Ia menjadi ragu, apakah ia bisa mempertahankan diri di kota yang hingar bingarnya sedemikian. Kembali ia mengeluarkan alamat yang diberikan Pak Somad. Alamat itu jelas, tapi sangat tersembunyi bagi Nila. Ia sama sekali tidak tahu arah ke sana dan harus naik apa menuju ke sana. Nila berdialog dengan dirinya sendiri, dalam otaknya bermunculan kalimat-kalimat yang berisi pertanyaan. Diskusi besar antara rasa dan logika tengah berlangsung dalam kepala Nila yang telah ia bayangkan sendiri aromanya. Telah beberapa hari rambutnya tak dicuci. Juga baju dan celana yang ia kenakan mungkin janggal, karena semuanya kepunyaan Iman. Begitu tersadar dengan keadaannya, bertambah surut kepercayaan dirinya. Niat bertanya 65
TERBAWA ARUS
pun selalu ia tarik kembali dan ia simpan rapat-rapat dalam kantong otaknya. Ia takut terjebak, takut tertipu, takut dihardik dan banyak rasa takut yang lain hinggap berjejalan dalam benaknya. Ia selalu ingat akan cerita orang tentang ketidakramahan manusia ibu kota. Ia takut akan cerita orang, kalau kehidupan di ibu kota selalu identik dengan kekerasan dan ketidakramahan. Ternyata apa yang diceritakan orang itu ada benarnya, kehidupan ibu kota penuh dengan kekerasan karena memang ia melihat dipenuhi kendaraan. Seakan manusia di sana tak bisa bergerak tanpa benda-benda besi yang selalu bergerak angkuh. Mungkin angkuh akibat keangkuhan manusia di dalamnya atau hanya di mata Nila yang belum pernah melihat kendaraan sebanyak dan sesibuk itu. Tak terhitung manusia yang terus berebut naik bus rela berlari dengan beban bawaan masing-masing. Di sana Nila tak mendapatkan orang-orang beramah-ramah atau berhandai-handai sambil menunggu kendaraan umum yang kosong, seperti di kampung halamannya. Semua tampak serius, mungkin kepala mereka telah dipenuhi rencana-rencana yang akan dilakukan nanti sesampai di tempat tujuan masing-masing. Para manusia di sana sibuk. Nila menerima uang kembalian dari kasir kedai dengan pikiran tak menentu. Di benaknya berjejalan soal yang sama sekali tak ada jalan pemecahannya. Beruntung perutnya telah diisi, setidaknya kunangkunang yang sebelumnya selalu menyerbu di mana saja dia ada, telah terusir. Selanjutnya ia terjebak bimbang, tak tahu ke arah mana harus membawa kedua kakinya. Ia tak tahu ke mana harus mengarahkan tujuan. Kertas yang bertuliskan alamat 66
TERBAWA ARUS
masih terselip dalam saku calana, bahkan nyaris dihafalnya. Matanya yang lelah tak berhenti mengamati kendaraan hilir mudik dan simpang siur manusia di pelataran bandara itu. Tiba-tiba Nila dikejutkan kehadiran seorang lelaki muda yang telah begitu dekat. Ia terkejut dan risih karena tubuhnya yang terbalut pakaian laki-laki pasti memberikan aroma tak sedap. Akan tetapi, kewaspadaan yang dinasihatkan sopir itu tiba-tiba muncul. Sejurus ia mematung, ia tak ingin bereaksi dalam bentuk apa pun. Tidak melihat, tidak menegur karena telah begitu dekat dengannya. Nila pun yakin, orang itu dengan sengaja mendekati dirinya. Di samping itu tak mungkin seseorang menghampiri, bahkan nyaris merapatkan diri pada seseorang hanya untuk berdiri. Pasti ia punya maksud tertentu. Akan tetapi ia tetap pada sikap semula, tak mengacuhkannya meski kerusuhan tetap berlanjut dalam dadanya. “Nunggu jemputan, Mbak?” Lelaki itu mulai membuka komunikasi. “Eh, ya! Eh, tidak!” Nila jadi linglung, bingung menemukan jawaban yang tepat baginya dalam situasi genting begitu. “Aku sedang menjemput seorang teman yang akan datang dari Surabaya. Sebentar lagi, mungkin akan muncul karena pesawatnya sudah landing.” Terang lelaki itu tanpa ditanya. Ternyata tidak salah yang dikatakannya itu. Seorang perempuan muda muncul dan menghampiri mereka yang telah mulai berkomunikasi. Perempuan itu mengulurkan tangan mengajak Nila bersalaman. Ia menyebutkan namanya yang langsung keluar dari telinga Nila lalu terlupakan. Hanya saja kepolosan Nila menangkap keramahan perempuan bernama Dice itu. 67
TERBAWA ARUS
Nila tak dapat lagi menghindar dari keramahan dua manusia yang baru saja dia kenal. Keberaniannya pun bertambah setelah Dice hadir, Nila pun mulai membuka diri ketika ditanyai. Jika sebelumnya ia selalu gugup dan cenderung menutupi keadaan dirinya telah berubah seakan matahari telah menyibakkan kabut beku. Binar-binar kegembiraan menyeruak menabraki bulir-bulir keraguan di ruang batinnya. “Mbak dari mana atau mau ke mana? Em, Rasanya akan lebih akrab jika aku panggil Nila saja, ya?”, ujar Dice. Sejenak Nila terperanjat karena ternyata Dice begitu memperhatikan apa yang diucapkannya dalam perkenalan tadi, hingga namanya saja langsung ia akrabi. Sementara dirinya tak menyempatkan memorinya untuk menyimpan nama perempuan itu. Nila merasa dirinya begitu konyol tapi segera menyangkal, bahwa tadi pikirannya ngambang dan mengawang. Ia sibuk mendaftar berbagai pertimbangan dan rencana yang tak kunjung ditemuinya. Ia menginginkan pikirannya memberikan sumbangan untuk langkah kaki yang buntu dan merasa tiba-tiba terongrong oleh kehadiran lelaki necis itu. “Kok diam? Kamu jangan takut pada kami. Sekarang kami sudah menjadi temanmu. Kami siap menolong jika kamu dalam kesulitan.” Kalimat itu bukan tak beralasan meluncur dari mulut Dice karena ia dapat menangkap kebimbangan di wajah belia yang kusut. “Em, tidak! Saya tidak takut. Saya mau ke Gambir menemui Paman saya yang berjualan sekitar stasiun. Tapi kepala saya masih agak pusing, jadi tadi saya berdiri di sini terlebih dahulu.” Nila menerangkan tujuannya dengan lancar. Padahal yang namanya 68
TERBAWA ARUS
stasiun Gambir itu baru ia lihat sebagian-sebagian ruangannya saja dalam sinetron. “Kamu sudah pernah ke sana sebelumnya?”, desak Dice seperti sengaja menjajagi penguasaan Nila tentang Jakarta. “Oh, belum tapi saya bawa alamatnya, kok! Saya bisa ke sana sendiri, tuh ada bis ke Gambir.” Seperti sebuah kebetulan saat Nila dikejar pemburu muncul Damri yang bertuliskan Gambir. Nila akan segera melangkah ke arah bus, tapi dalam sekejap Ilo menangkap pergelangan tangannya. “Tunggu! Kamu jangan gegabah, kalau baru kali ini akan pergi ke sana! Jakarta bukan daerahmu yang kecil dan mungkin masih ramah. Sebaiknya kamu ikut kami saja, kami bisa ngantar kamu ke Gambir. Bersama kami kamu lebih aman.” Ilo berusaha membujuk Nila agar tetap bersamanya dan Dice. Kembali Nila dihadapkan pada sebuah persimpangan. Antara menumpang kedua orang kenalan barunya dengan menaiki Damri yang baru saja memberi inspirasi untuk menuju Gambir. Mungkin benar apa yang dikatakan Ilo, jika Jakarta tak mudah untuk diarungi seorang pendatang baru. Jakarta bagaikan belantara yang isinya gladiator semua, yang siap menghancurkan belulang para pendatang di daerah kekuasaanya. Ia jadi merinding. Di sisi lain, dirinya pun merasa terlalu cepat jika harus percaya begitu saja pada orang-orang yang baru saja dikenal. Mungkin saja mereka dua di antara jutaan gladiator yang dibayangkannya. Nila mematung sejenak sementara dalam hatinya tengah berlangsung dialog antara nurani dan logika. Hati kecilnya ingin menjerit sekeras-kerasnya mencegah diri menuruti kemudahan yang ditawarkan. 69
TERBAWA ARUS
Akan tetapi, logikanya membujuk agar menerima uluran mereka sang kenalan baru yang belum diketahui tinggal di mana dan apa pekerjaannya dan yang lain-lainnya. Sekuat tenaga Nila menahan diri untuk tidak berteriak karena emosi memuncak. Ia jengkel bukan alang kepalang pada keadaan yang sedang berlangsung. Ia ingin berteriak dan berlari sekencang-kencangnya. Nila membayangkan dirinya berlari dengan tenaga baru setelah makan di kedai tadi. Ia mengikuti Damri yang di depannya bertuliskan Gambir. Ia tak peduli dengan kendaraan yang mengharu biru di sekelilingnya yang penting sampai di Gambir dengan aman dan selamat. Ia merasa takkan kehabisan tenaga untuk mengikuti bus penumpang itu. Ia tak ingin menjadi penumpangnya dan berada di antara orang-orang yang akan menanyai dan menawarkan berbagai kebaikan yang mungkin palsu. Ia benci jasa, ia benci dirinya. Ia berlari dan berlari sekalipun polisi mulai mengejarnya. Ia tak peduli dengan keselamatan dirinya, ia tak peduli dengan orang-orang yang menonton sepanjang jalan. Ia pun tak peduli dengan berbagai macam komentar. Ia ingin menjadi manusia bebas tanpa peduli sekeliling. Ia membiarkan semua orang mengatakan dirinya gila. NiIa membayangkan sampai di Gambir. Seorang lelaki setengah tua menyongsong diiringi senyum bersahabat istrinya. Mereka mengajak masuk ke dalam warung yang padat pengunjung dan memberi makan, minum. Ia melahap sepiring munjung nasi sembari mendengar kisah kedua suami istri itu. Beberapa orang pelayan warung itu menyambut perkenalan dengan ramah dan sopan. Semua pelayan perempuan. Ah lega, telah bertemu mereka yang dimaksud sopir angkot tadi. Malam pun memanggilnya. 70
TERBAWA ARUS
“Kenapa, kamu sakit? Atau mungkin lapar?” Tibatiba pertanyaan Dice membuyarkan jelajah lamunannya dan sedikit mengejutkan Nila. “Ah, tidak! Saya sehat-sehat saja juga tidak lapar. Baru saja saya makan”, jawab Nila gugup, karena separuh mentalnya belum siap pindah dari alam khayal. “Kalau begitu ayo kita pergi, jangan buang-buang waktu di sini. Cepat sampai kita cepat bisa istirahat, apalagi Nila kelihatannya capek sekali.” Ilo mengambil tas troli yang tadi dibawa Dice. Tugas Dice mengakrabkan diri pada Nila dengan meraih tangannya dan mengajaknya berjalan mengikuti Ilo ke pelataran parkir. Di sana Nila melihat lautan mobil. Tempat itu baginya tempat yang sangat tidak bersahabat. Ia seperti masuk ke dalam dunia kartun yang kerap ia tonton dalam televisi. Dunia itu berisi hal-hal yang serba konsep. Jauh dari jangkauan imajinasinya untuk menjadikannya dunia nyata. Nila bukan terpesona, tapi rempan. Rasanya ia bakal terjebak di lautan itu. Ia merasa menjadi seekor ikan yang sudah pasrah pada calon pemakannya. Ia akan menemukan kolam yang membuatnya betah dan dipelihara dengan perikemanusiaan atau dilempar ke kolam kering dan dibiarkannya menggelepar-gelepar, sekarat lalu mati kaku dan membusuk. Hanya Tuhan yang tetap ia yakini selalu melindungi di mana dan ke mana pun, dalam keadaan aman maupun terancam. Ia sadar, dirinya telah kalah oleh satu ketakberdayaan. Saraf otaknya pun seperti berhenti memberi perintah saraf mata untuk melihat pilihannya benar atau salah. Tapi, memang kebenaran saat itu tak dapat ditetapkan dengan mata.
71
TERBAWA ARUS
Nila melangkahkan kaki kanan ke dalam mobil yang siap dikemudikan Ilo dengan membaca basmalah, bahkan dalam hatinya masih banyak doa-doa lain. Kewaspadaan dan rasa takut telah larut dalam kepasrahan yang terlanjur diikuti. Setelah benarbenar di dalam dan membawanya ke luar area bandara pikirannya semakin semrawut. Arah mata angin seakan menghilang begitu saja dari muka bumi. Ia tak tahu ke arah mana dibawa, bahkan ia membayangkan hal terburuk atas dirinya. Mungkin diperkosa, mungkin dijual, mungkin disekap, atau mungkin digeledah seluruh tubuhnya. Ia ingat masih ada gelang dan kalung di saku pakaian yang paling dalam. “Kamu sudah pernah ke Jakarta sebelum ini?”, tanya Dice penuh selidik. “Em, belum! Saya kenal Jakarta baru dari tontonan di televisi.” Sekilas Nila tersenyum kecut. “Kalau baru sekali ini ke Jakarta, kok kamu berani datang sendirian?” Kembali Dice bertanya. “Memang saudaramu yang di Gambir itu kerjanya apa?” Ilo ikut-ikutan bertanya. “Katanya sih, jualan pempek di dekat stasiun. Saya berniat kerja di sana.” Nila mulai membuka diri meskipun belum mampu menghapus kecemasan. “Kenapa kamu mencari kerja jauh-jauh ke Jakarta? Lagi, aku lihat kamu masih sangat muda. Tidak sekolah lagi?” Dice semakin gencar memancing gadis lugu di sampingnya. Nila membisu sejanak mempertimbangkan dan mencari jawaban yang logis. Keluguannya tak sepenuhnya menyerahkan diri pada perangkap. Sejak bertemu Ilo, kecurigaannya tetap bersarang dalam pikirannya. Ia tak mau terlalu terbuka pada orang72
TERBAWA ARUS
orang yang baru dikenal seperti kedua orang yang sedang membawanya entah ke mana. Dengan keberadaannya di dalam mobil itu sudah merupakan satu kekalahan baginya. Kecerobohan telah kembali menjebak. Ia tak mau terjebak lebih jauh dengan banyaknya masalah pribadi diketahui orang-orang misterius itu. “Kenapa kamu malah melamun atau tersinggung dengan pertanyaanku tadi?”, desak Dice. “Ah, tidak! Saya memang masih muda, tapi sudah tidak sekolah lagi. Maklum di kampung.” Nila tak mau berkepanjangan dengan menjelaskan seluk-beluk kahidupannya saat itu. “O…, ya, ya. Memang aku dengar di desa anakanak sekolah cukup tamat SD. La, kamu sendiri kenapa tidak sekolah?” Nila kembali tersenyum masam sebagai jawaban pertanyaan perempuan yang semakin gencar mengejarnya. Seandainya Nila pernah diinterogasi polisi, mungkin saat itu dia akan merasa sebagai seorang tersangka. Ia sedang dikorek sudut-sudut kehidupannya. Jika tak waspada memang bisa berakibat tak menguntungkan bahkan mungkin mendatangkan petaka. “Ya sudah, aku tahu kamu! Sekarang kita sudah sampai, kita turun!”, ajak Dice setelah Ilo menghentikan Panther yang mereka tumpangi. Begitu ringan Dice mengatakan telah mengenal Nila dari beberapa pertanyaan saja. Jika demikian, kepiawaiannya mendalami pribadi seseorang menandingi seorang psikolog. Sepertinya ia sangat terlatih dalam hal kenal-mengenal. Ia telah berpengalaman dalam mengatur strategi dalam menguasai seseorang. Hal ini pun baru benar-benar diinsyafi Nila. 73
TERBAWA ARUS
“Masa ini daerah Gambir, Mbak?”, hati Nila berdegup kencang menekan rasa takut. “Aduh, Manis! Gambir masih jauh dari sini! Kami tak tega membiarkan kamu kelelahan. Jadi, sekarang lebih baik istirahat saja dulu di rumahku. Jangan takut, aman, kok!” Dice ingin meyakinkan kelinci kecil barunya agar tak berusaha lari. “Tapi, saya mau langsung ke tempat paman di Gambir. Kalau begitu biar saya naik taksi saja tak perlu istirahat dulu.” Keberanian Nila timbul. “Kamu belum paham Jakarta, Nila! Lebih baik kamu di sini saja dulu. Percayalah kami tak punya niat jahat justru ingin memgamankanmu. Daripada kamu jalan sendiri, cari alamat di sini tak semudah di daerah kecil seperti di tempat asalmu. Sudah, masuk saja dulu!” Dice menggandeng Nila dengan gaya akrab. “Sih, sini kamu!” Dice memanggil seseorang ketika Nila telah duduk di ruang tamu. Terdengar langkah tergopoh dari dalam, mungkin dari dapur,” Ya, Bu!” badannya sedikit menunduk di hadapan perempuan yang kelihatannya suka bersolek. “Ini tamu saya. Tolong buatkan minuman dan setelah itu siapkan kamar tengah untuknya!” “Baik Bu!” Sambut perempuan itu dengan sikap tetap hormat. “O, ya! Kamu tak membawa pakaian, Nil?” Rupanya Dice baru sadar, kalau Nila tak membawa pakaian lain selain yang dipakai. “Em, ya! Saya tidak membawa pakaian untuk salin karena tas saya hilang di terminal tadi. Karena itu juga saya kepingin langsung ke rumah paman.” Sebenarnya Nila merasa bersalah pada dirinya dengan kebohongan yang dibuatnya, tapi apa daya tampaknya 74
TERBAWA ARUS
ada sesuatu yang mulai merongrong. Ia merasa perlu melindungi diri dengan segala cara. “Jangan khawatir, itu soal mudah. Aku punya banyak pakaian yang masih bagus, tapi sudah kecil di badanku. Kamu bisa memakainya. Pakaian dalam nanti kita ke luar membelinya, sekalian kamu melihat-lihat Jakarta.” Dice kembali ingin membuat Nila tenang. Di kamar yang tidak begitu besar Nila duduk termenung di atas tempat tidur. Sebenarnya tubuhnya capek bukan kepalang dan matanya pun sudah menyempit. Akan tetapi, Nila berusaha membelalakkan mata dan menguat-nguatkan diri agar tidak tertidur. Untuk sementara, ia merasa cukup beristirahat dengan menyelunjurkan kedua kaki sesantai mungkin sambil sesekali menghirup minuman yang disediakan pembantu rumah itu. Tiba-tiba terdengar pintu diketuk. Perlahan ia membuka pintu penuh waspada. Ternyata pembantu yang telah membantu menyiapkan segala sesuatu untuknya. “Mbak, kata Ibu, makan dulu. Mbak pasti sudah lapar, makan dulu, di ruang makan ibu sudah menunggu.” Kata sang pembantu yang begitu santun menghadapi orang-orang di sekelilingnya. “Sebenarnya, ada yang ingin saya tanyakan sama Mbak…” “Darsih!” Perempuan santun itu mengulurkan tangan sama seperti Dice waktu memperkenalkan diri di bandara tadi siang. “Boleh, tapi sekarang Mbak ditunggu ibu di ruang makan!”, sambung Darsih. *** 75
TERBAWA ARUS
“Wah, cantik sekali kamu mengenakan baju itu! Mungkin kamu kembang di desamu, ya?” Dice memandang kagum ke arah Nila. Nila tersenyum sekilas. Hatinya sedikit terhibur dengan pujian Dice. Mungkin tak ada perempuan di dunia ini yang tidak besar hati jika dipuji kecantikannya. Sayang, bagi Nila yang jiwanya disaput kegalauan bahkan merasa terancam, hal itu tak punya lagi makna. Mungkin sekadar satu bentuk penghiburan sesaat. “Terima kasih, Mbak! Saya jauh dari cantik apalagi bunga desa!”, ujar Nila merendah, padahal ia memang bunga desa incaran para pemuda. “Tubuhmu sangat ideal, wajah cantik, rambutmu juga begitu indah. Setelah mandi, kamu tak ubah intan yang baru digosok.” Dice masih mengumbar pujian dengan mata yang berbinar-binar. Melihat reaksi Dice yang sedemikian, Nila merasa semakin terancam. Kecantikan dapat dijadikan aset yang mampu mendatangkan uang banyak. Tak tertutup kemungkinan jika Dice mempunyai rencana memanfaatkan kecatikannya untuk mendapatkan uang dengan jalan apa pun. Hati Nila semakin gusar, selera makannya hilang walaupun yang terhidang di meja makanan yang cukup mengundang selera. Jika saja tidak dalam situasi demikian, niscaya Nila menghabiskan separuh makanan di atas meja makan itu. “Jangan melamun, tenang saja! Lebih baik kita makan dulu, aku sudah lapar. Jangan malu-malu, anggap saja aku sahabat lamamu.” Perempuan yang duduk di seberangnya berusaha menenangkan tamunya. Sikap manis yang ditampakkan Dice merupakan perangkap bagi Nila. Jiwa Nila menggigil seperti tikus 76
TERBAWA ARUS
kecil terperangkap lalu direndam dalam air dingin. Suasana rumah sepi karena hanya ada mereka berdua di ruang itu ditambah seorang pembantu yang entah sedang di bagian rumah mana. Suasana yang semakin menekan, ketakutan Nila membola dalam rongga dada yang semakin menyempit. Makanan yang hangat dan lezat tak terasa melalui tenggorokannya. Makananmakanan itu masuk seperti penyelundup tanpa permisi. Baginya yang penting makanan masuk untuk ketahanan fisik yang mungkin saja harus menghadapi segala kemungkinan yang terburuk sekalipun. “Nil, kamu istirahat di rumah dulu, ya! Aku harus ke luar malam ini, sebentar lagi Ilo menjemput.” Pemberitahuan itu semakin menguatkan kecurigaan. “O ya, tadi rencananya mau mengajak kamu, tapi tampaknya belum bisa. Kamu pun perlu beristirahat. Kita jalan-jalan lain kali saja, ya!” Dice teringat janjinya tadi. “Tak apa-apa. Saya di rumah saja!” Nila pun tinggal sendiri dengan segala kemungkinan yang akan menyongsong nanti atau esoknya. *** Lamat-lamat terdengar suara musik dangdut dari radio. Telinga Nila berusaha mengikuti arah sumber suara itu. Tangannya memutar pegangan pintu dan melangkah mengikuti arus petunjuk pendengarannya yang tajam. Tak membutuhkan waktu lama untuk menemukan alunan suara penyanyi dangdut itu karena rumah itu tak begitu besar. Nila mengambil kesimpulan, kamar itu tempat Darsih. Dengan ragu ia mengetuk pintunya.
77
TERBAWA ARUS
“Eh, Mbak Nila! Ada yang perlu saya bantu?”, tanya pembantu muda yang rambutnya agak acak-acakan. “Saya kesepian di kamar. Bisa enggak kita ceritacerita di kamar saya?” Nila mengadu tentang sebagian kecil perasaannya saat itu. “Boleh…, boleh! Apa Mbak tidak sebaiknya istirahat? Sejak tadi saya lihat Mbak sangat capek.” Darsih mengingatkan Nila. “Ah, tidak! Saya tidak bisa memejamkan mata untuk tidur. Mungkin karena ada di tempat yang masih asing bagi saya.” Setelah sepakat keduanya beriringan menuju kamar Nila. Tampaknya mereka sebaya. “Boleh saya memanggil nama?”, tanya Nila seraya memperbaiki letak duduknya di atas tempat tidur. “O, tak apa-apa! Mungkin umur kita hampir sama, ya?”, ungkap Darsih gadis berambut ikal hitam kontras dengan kulitnya yang putih. Darsih sudah dua tahun menjadi pembantu di rumah itu. Ia berasal dari Purworejo pinggiran. Ia terkena perangkap sarang madu yang berbisa. Ponirah menjualnya kepada seorang germo. Akan tetapi, ia tak mau melayani tamu yang membawa gejolak syahwat. Darsi ditemukan tak berdaya karena siksaan ketika berada dalam sekapan di sebuah rumah bordir. Ketika itu polisi menggerebek dan menggeledah rumah hiburan seksual itu. Ia pun tak tahu ceritanya sehingga dirinya sampai ke tangan Dice. Yang ia tahu polisi menyerahkannya kepada perempuan yang sekarang menjadi majikan dan sangat mempercayainya. “Boleh, kan kalau aku menanyakan sesuatu padamu, Dar?”, kembali Nila bertanya. “Kenapa tidak boleh?” Darsih menjawab dengan kalimat tanya. 78
TERBAWA ARUS
“Sebenarnya apa sih pekerjaan Mbak Dice?” Nila menatap tajam wajah polos di depannya. “Saya juga tidak tahu. Yang saya tahu ibu sering menampung perempuan-perempuan muda dan cantik. Sering membawa tamu seperti Mbak kemudian dibawa ke mana lagi saya tidak tahu. Mungkin hanya saya yang dibawanya untuk jadi pembantu karena saya bodoh dan tidak cantik.” Gadis itu menjelaskan dan penjelasan itu kabur bagi Nila. “Apa lama mereka di rumah ini?” Nila penasaran. “Biasanya bulanan.” Ternyata Darsih memang sangat polos. Mungkin itu alasan Dice tidak memperlakukannya seperti kepada yang lain. Obrolan yang baru saja menghangat terganggu oleh ketukan di pintu kamar. Ternyata Dice yang datang. Darsih bersiap ke luar kamar setelah tahu siapa yang datang namun majikannya melarang. “Tak usah ke luar, aku hanya sebentar! Aku membawakan pakaian untuk Nila. Dice menyodorkan beberapa tas yang bertuliskan merk pakaian. “Banyak sekali, Mbak! Berapa saya harus bayar?” Nila bertanya dengan bimbang. “Ah, tak usah kau hitung-hitung yang penting kamu bisa berpakaian dengan layak sekarang. Coba saja, mudah-mudahan semuanya cocok, minimal cocok ukurannya. Maaf aku tidak mengajakmu tadi untuk memilih sendiri sesuai dengan seleramu! Aku tadi terburu-buru. Sudah, ya, aku pergi lagi.” “O, ya ada yang belum aku belikan, mukena. Untuk sementara pinjami dulu mukenamu, Dar!” Dice pun segera berlalu diikuti Darsih yang akan mengunci pintu. Darsih tak kembali lagi ke kamar dengan alasan sudah malam. Nila mencoba pakaian baru satu per 79
TERBAWA ARUS
satu sendiri di kamar. Semuanya cocok. Ia melihat tampilan baru dari dirinya di cermin, hatinya mengakui bahwa apa yang dikatakan Dice benar. Ia cantik apalagi dengan tubuhnya yang tak lagi semok. Sekarang tampak lebih semampai. *** “Nil, mulai besok kamu akan masuk sekolah kepribadian dan kursus kecantikan.” Dice membuka pembicaraan ketika makan pagi di hari kedua. “Mengapa saya harus kursus itu, Mbak? Kapan saya akan diantar ke rumah paman di…!” “Sssst!” Perempuan itu segera menempelkan telunjuk di bibirnya. “Karena aku tahu paman yang kamu sebut-sebut itu tidak ada! Sekarang kamu harus menyiapkan diri untuk hidup di Jakarta secara layak dengan jalan benar!” Dice menatap sepasang mata bening menunggu reaksi dari pemiliknya. “Hidup di Jakarta harus punya ilmu dan keterampilan selain keberanian. Tanpa semua itu kita tergilas. Kalau jauh-jauh kamu hanya menjadi tukang mencuci piring di warung, kan sayang. Kamu punya potensi untuk meraih yang jauh lebih baik dari itu.”, lanjut Dice. “Tapi, saya tidak tahu pekerjaan apa yang akan saya dapatkan dengan kursus tersebut?” Nila sedikit gusar. Dice menangkap keberanian dan pertahanan harga diri dari perempuan muda di depannya. Ia semakin yakin jika hal itu salah satu penunjang keberhasilan rencana-rencananya untuk Nila si janda cantik. 80
TERBAWA ARUS
“Tenang Nil! Pasti aku punya rencana yang terbaik untukmu sesuai dengan potensi yang kamu miliki. Percayalah aku tidak akan menjerumuskanmu! Sekarang jalani dulu kursus itu. Semuanya positif bagi setiap perempuan. Jadi apa pun, bekerja di mana pun, semua itu pasti berguna. Nanti kamu akan menjelma jadi seorang perempuan yang sukses asal sungguh-sungguh. Tentang pekerjaan aku belum bisa menjanjikannya. Itu sangat tergantung pada kesungguhanmu.” Kali ini penjelasan Dice agak panjang. Bagi Nila yang belum mengenal kursus-kursus yang disebutkan Dice tadi semuanya menjadi benang kusut dalam otaknya. Dalam kepalanya beriringan pertanyaan terkadang mereka saling menyalib, saling menyambar, lalu bentrok dan ia pun merasa kepalanya hampir pecah. Tapi sekali lagi ia harus menyerah pada sesuatu yang betul-betul belum ia mengerti. Ia harus mengikuti skenario Dice yang diberikan sepenggalsepenggal hingga menjadi cerita penuh misteri. Saat itu ia menganggap dirinya sebagai sebuah robot yang siap diprogram untuk melakukan apa saja oleh tuannya. Kembali ia hanya mampu berserah kepada Tuhan. Ia berharap dengan lindungan-Nya, ia akan mendapat semua yang terbaik. Nila mulai masuk pada babak baru. Ia harus membagi waktu untuk mengikuti kedua kursus yang diikutinya. Banyak pengalaman baru yang ia dapatkan, bahkan pengalaman yang membuatnya malu pun pernah ia alami. Di sekolah kepribadian ia dituntut untuk mengenakan sepatu berhak tinggi. Bagi Nila, itu pengalaman pertamanya yang sangat mengerikan. Dengan susah payah ia berlatih di rumah Dice. Ia tak mau menanggung malu di sekolah. Keringatnya 81
TERBAWA ARUS
menyembur, belajar mulai dari melangkah tertatihtatih. Langkahnya satu demi satu tertahan karena ia takut tergelincir. Nila membayangkan kakinya tergelincir, setidaknya ia akan keseleo. Tiga hari baru ia merasa sedikit terbiasa. Hari ketiganya, ia sudah mampu melangkah sesuai dengan cara melangkah yang diajarkan instrukturnya. Maka, saat instrukturnya meminta ia tampil memeragakan seorang sekertaris yang membawa map dan memakai sepatu hak tinggi, Nila telah lancar. Instrukturnya mengacungi jempol hingga waktu Dice datang menjemput Nila, instruktur itu melaporkan kemajuan yang pesat dari Nila. Tidak sulit bagi Nila menyelesaikan dua macam pendidikan dasarnya. Itu tak lepas dari dorongan Dice, bagaimana mengatasi keminderan Nila sebagai seorang perempuan desa berada di tengah-tengah perempuan kota yang begitu berwawasan dan bebas. Tahap selanjutnya, Nila diikutkan kursus modeling. Setelah memasuki kursus itulah baru Nila tahu, ke arah mana Dice akan membawanya. Maka sebelumnya, Nila mengeluarkan apa yang mengganjal hatinya tentang kursus yang baru itu. “Mbak, jadi saya akan dijadikan model, ya?”, tanya Nila memberanikan diri. Dice hanya membalas dengan anggukan dan senyum. Ia tahu, suatu waktu Nila akan bertanya tentang hal itu. “Tapi, maaf Mbak, rasanya saya kurang cocok dengan dunia model. Saya takut harus difoto dengan gaya ini itu, Mbak!”, ungkap Nila jujur. “Sayang, percayalah aku telah paham betul siapa kamu. Kamu seorang Muslimah taat. Maka, kamu bukan akan aku arahkan menjadi model murahan 82
TERBAWA ARUS
yang bertentangan dengan agama kita. Sekarang pakaian muslimah sedang mulai marak. Desainer yang merancang baju-baju muslim tidak sedikit dan bukan desainer baru saja. Itu akan menjadi ladangmu yang sangat menjanjikan. Maka, aku sangat mengharapkan kamu bersungguh-sungguh. Aku sangat yakin, kamu bisa menjadi top model. Ini sudah diprediksikan oleh para instrukturmu di sekolah kepribadian. Apalagi kamu telah menguasai dasar-dasar ilmu kecantikan, jadi kamu telah cukup mengenal riasan yang seperti apa yang benar-benar cocok dan sejiwa denganmu. Kamu tidak akan tergantung pada penata riasmu semata nanti.” “Kamu punya kelebihan. Kamu pun sudah dibekali ilmu, bagaimana harus bersikap kepada orang lain dalam berbagai situasi dan tempat. Kamu tidak akan menjadi seorang model yang norak. Kamu sudah belajar bagaimana bergaul secara bijak dan penuh percaya diri. Apalagi kamu punya inner beauty yang begitu memancar. Unsur religius yang sangat jarang dipunyai para model kamu punya. Itu akan menjadi penopang yang sangat handal. Melangkahlah dengan penuh keyakinan.” Dice memberi pengarahan yang panjang. “Terima kasih. Mbak selalu memberikan yang terbaik bagi saya. Mudah-mudahan saya bisa menjalaninya dan semua menjadi ibadah kita.” Akhirnya Nila menyanggupi, ia akan mencoba memasuki rimba yang masih asing baginya.
83
TERBAWA ARUS
84
TERBAWA ARUS
Sosok Baru
85
TERBAWA ARUS
Nila telah menjelma menjadi seorang perempuan muda yang berpenampilan menarik. Hanya satu yang ia pegang, tak mau mengenakan baju tak berlengan atau terlalu pendek, juga terlalu ketat. Menurutnya, ia bisa tetap cantik dengan pakaian yang tidak memperlihatkan aurat berlebihan. Dice pun tak mempermasalahkannya karena memang semua itu tak mengurangi daya tarik Nila. Kamera yang difokuskan pada dirinya dengan gaya-gaya sesuai dengan petunjuk pengarah gaya menangkap sosok Nila dengan sempurna. Ya, Nila sang janda belia yang hidup penuh dengan spekulasi, kini mulai merasakan keramahan dunia. Dice yang semula memenuhi persangkaan dirinya ternyata memberikan sesuatu yang tak pernah terduga dan terbayangkan. Ia tulus memberikan hal yang terlalu berharga bagi Nila. Pertama kalinya Nila mengikuti pemotretan untuk model busana muslim dalam majalah Islam. Penampilan pertamanya mengundang acungan jempol, bukan saja dari Dice, tapi dari crew dan perancang. Pengalaman pertama yang sempat tidak dipercayai Nila menjadi awal karirnya sebagai model produkproduk pakaian, bahkan mulai dilirik perancang lumayan ternama. Keadaan itu membuat dirinya mengharuskan berbicara banyak hal dengan Dice. Ia merasa berhutang budi. Di samping itu, ia pun menghimpun keberanian untuk jujur mengatakan prasangka-prasangka terhadap Dice ketika baru mengenalnya. Meskipun pada enam bulan pertama ia hanya menerima 50 persen dari honor setiap kontrak, ia tak mempermasalahkan. Hal itu bukan suatu kebodohan baginya, bukan tak beralasan. Di samping ia 86
TERBAWA ARUS
mendapatkan pendidikan dan pekerjaan juga keselamatan jiwa. Nila tak tahu sudah menjadi apa sekarang, jika kenekatannya jatuh pada tangan kejam metropolitan. Kehormatan dan harga diri apalagi haknya sebagai perempuan muslim masih terlindungi. Pemotretan-pemotretan yang disetujui Dice yang sekarang menjadi manajernya menggunakan pakaian yang sopan. Wajahnya sudah banyak terpampang di buku-buku promo produk pakaian dan kosmetik atau sepatu dan tas. Di samping itu, sesekali ia mendapat job di majalah muslim, bahkan fashion show sudah sering ia jalani. *** Orang tua dan sanak saudara Nila telah mengetahui keberadaannya. Meski Nila belum hendak menampakkan diri di kampungnya, tapi syukuran telah dilaksanakan kedua orang tuanya. Di samping tenang juga keluarganya memiliki sebuah kebanggaan apalagi kehidupan yang dilakoni Nila bukan pekerjaan yang menjadi pergunjingan orang banyak. Maknya bersyukur Nila tidak dijadikan orang penyanyi dangdut yang dengan murahnya mempertontonkan bagianbagian tubuh. Padahal dulu di kampung, Nila sangat suka bernyanyi dangdut, bahkan pernah diam-diam ikut menyanyi di pesta seorang penduduk. Nila menjadi kebanggaan keluarga, sanak saudara, juga teman-teman di kampung dan teman sekolahnya dulu. Iman sang penolong yang gigih dalam pelarian Nila juga tak berbeda dengan orang lain. Ia mengucap syukur atas penjagaan-Nya kepada perempuan yang pernah ia suapi bubur gosong itu. Melalui surat pembaca majalah remaja, Iman mem87
TERBAWA ARUS
peroleh nomor telepon selular Nila. Dengan penuh antusias ia menceritakan keadaan kampung. Nila berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada pemuda yang telah rela menolong, meskipun penuh risiko. “Man, kalau dulu tidak kamu larikan aku ke gubuk itu tak mungkin aku bisa begini sekarang. Kapan aku dapat berterima kasih padamu, ya?” Suara itu begitu terang dan penuh dengan suka cita di telinga Iman. “Kamu, kan sudah berkali-kali mengucapkan terima kasih padaku. Bagiku itu sudah cukup. Aku tidak mengharapkan apa-apa dari kamu. Kamu selamat saja aku sangat senang. Alhamdulillah Allah memberikan perlindungan seperti yang aku harapkan selama ini.” Iman pun tak kalah semangat memberi sambutan atas kalimat-kalimat Nila. “Tapi, Man aku takut!”, ucap Nila berganti nada penuh khawatir. “Apa lagi yang kamu takutkan? Kamu punya seorang manajer yang baik. Kebaikannya padamu telah terbukti, kan? Sekarang kamu tahu, kalau dia seorang perempuan hebat. Seorang anggota LSM yang siap melindungi perempuan-perempuan tertindas. Contohnya kamu dan pembantunya yang pernah kemarin kamu ceritakan.” Rupanya Nila dan Iman telah banyak bertukar cerita meskipun lewat telepon. “Insya Allah beberapa hari lagi aku ke Jakarta. Aku akan berlibur di rumah saudara di daerah Cempaka Putih. Nanti SMS alamat rumahmu agar aku dapat menemuimu.” Pesan Iman serius. “Kamu mau ke Jakarta, Man? Ya, ya, nanti aku kirim alamatku. Ada dua alamat yang akan kukirim. Satu alamat kosku dan satu lagi alamat rumah Mbak Dice. Mungkin untuk sementara aku akan tinggal di 88
TERBAWA ARUS
rumah Mbak Dice lagi karena aku takut. Setiap aku ke luar, sepertinya ada laki-laki yang menguntitku. Ia selalu mengikutiku dengan diam-diam ke mana saja aku pergi.” “Ya, aku mengerti. Hati-hati saja, kalau bisa jangan bepergian sendiri. Kamu cari teman selain Mbak Dice.” “Sekarang aku sudah banyak teman, tapi rasanya aku perlu lebih waspada. Di duniaku sekarang terkadang tak kentara lagi mana kawan mana lawan. Bukan aku tak percaya sama orang, tapi memang itu kenyataannya”, ungkap Nila setengah mengeluh. “Sudah dulu ya, Man! Aku harus pemotretan.” Nila mengakhiri pembicaraan dengan terpaksa. Nila beberapa kali melakukan kesalahan sampai diberi waktu istirahat beberapa saat untuk menenangkan diri. Jantungnya tak bisa dikendalikan, degupannya tak beraturan. Dadanya seperti dipenuhi berbagai perasaan yang bercampur baur. Teman-temannya berusaha menenangkan, ada yang memberinya minum, ada yang menyarankan menarik nafas dalam-dalam, dan macam-macam lagi. Beberapa kali ia istighfar, tetap otaknya tak mampu menerjemahkan perasaan takut dan khawatir yang selalu berkelindan di benaknya. Konsentrasi buyar tak ubah beras dihambur dari genggaman. Akhirnya pemotretan ditunda. Taksi meluncur membawa Nila menuju rumah Dice di daerah Grogol. Nila duduk sendiri dengan pikiran tak terarah karena Dice ke luar kota. Tak terhitung seringnya ia mengubah letak duduk selama dalam taksi. Dalam jok mobil mungil yang ber-AC seperti banyak duri yang tak henti menusuk pantat Nila.
89
TERBAWA ARUS
“Neng, sepertinya di belakang ada mobil yang sengaja mengikuti kita. Bagaimana, teruskan ke tujuan semula atau ke mana?” Sopir taksi mulai merasa terancam. “Aduh, Pak! Saya juga tak tahu harus ke mana, saya takut sekali. Sudah beberapa hari saya diikuti orang. Saya takut sekali!” Nila menjadi panik. “Tapi, biarlah, selamat dan celaka, hidup dan mati saya ada di tangan Tuhan. Kita terus saja ke tujuan semula. Saya tetap akan pulang ke rumah teman. Bapak tak usah khawatir.” Tiba-tiba Nila mendapatkan keberanian yang luar biasa. Taksi sampai ke depan rumah Dice. Sopir mengantar sampai depan pintu, kebetulan halaman rumah itu agak luas. Sang sopir pun tak berani meninggalkan bekas penumpangnya sebelum memastikan ia aman hingga masuk rumah. Darsih membukakan pintu dan menyongsong Nila dengan penuh suka. Mungkin dia kangen, sudah hampir sebulan sejak Nila kos mereka tidak bertemu. Darsih banyak mendapat pembelajaran hidup dari Nila terutama tentang penyerahan diri kepada Sang Penguasa alam. Sementara mobil yang mengikuti taksi Nila tadi tak tahu ke mana arahnya yang jelas raib dari lingkaran kecemasan Nila. *** Dalam gelisah, Nila tak dapat memejamkan mata untuk menjemput mimpi. Sebentar ia membuka-buka album foto awal-awal menjadi model. Sebentarsebentar ia membuka lembaran-lembaran konsep untuk pemotretan besok. Terakhir, tangannya sibuk menghitung buah-buah tasbih untuk membesarkan 90
TERBAWA ARUS
nama-Nya. Ia membiarkan tubuhnya mengikuti kehendak hati. Tiba-tiba perempuan yang terteror rasa takut mendengar suara bel berdering. Ia menajamkan pendengaran sambil menunggu suara bel berikutnya untuk meyakinkan. “Ah, mungkin Mbak Dice pulang!” Nila menuju pintu depan dengan langkah gontai. Perlahan Nila menyibak gordin ingin meyakinkan, siapa yang datang. Matanya menangkap sosok yang telah ia kenal dengan baik, Ilo. Tanpa berpikir dua kali ia memutar kunci dan membukakan pintu dengan ramah. “Apa kabar Nila, agak lama kita tidak bertemu, ya?” Ilo mengulurkan tangan menyalami dengan penuh kagum. “Alhamdulillah, saya sehat! Mungkin sedikit lelah saja karena pekerjaan!” Nila pun memberi isyarat agar tamunya duduk dengan menjulurkan tangan kanan yang terbuka. Layaknya dua orang yang telah lama saling mengenal, Nila dan Ilo ngobrol ngalor ngidul. Ilo banyak bertanya masalah pekerjaan baru Nila yang tentunya disambut dengan gembira. Nila menjawab dengan penuh antusias layaknya seorang anak bercerita pada sang ayah. Apalagi kehadiran lelaki itu telah menenangkan hatinya yang kisruh. Nila bagaikan ikan yang baru bebas berenang karena baru menemukan air jernih setelah sekian waktu berada dalam air keruh. “Kamu punya konsep untuk pemotretan besok? Kalau ada aku pingin lihat!” Ilo serius, matanya menatap tajam ke arah Nila. “Ada, sebentar saya ambil!” Nila langsung beranjak dan berjalan menuju kamar. 91
TERBAWA ARUS
Nila terperanjat ketika berbalik ke pintu dan berniat segera keluar, Ilo telah berdiri di ambang pintu dengan tangan terentang. Dengan sengaja lelaki itu menghalangi Nila. Nila berusaha mengajak Ilo ke luar dari kamar dan kembali mengobrol di ruang tamu. “Ah, ini sudah malam! Akan lebih asyik kalau kita ngobrol di kamar saja!” Ilo terus mendorong Nila hingga terduduk di tepi tempat tidur. Diperlakukan demikian sontak Nila meronta sekuat tenaga dan mendorong. Nila mengundang seluruh kekuatan fisiknya untuk melepaskan diri dari angkara Ilo yang rendah. Meski ia seorang janda, bukan berarti semudah itu menyerah pada nafsu binatang lelaki yang telah andil dalam menyelamatkanya sekalipun. Akan tetapi, ketika bersiap-siap untuk berteriak, kontan tangan buaya menutup rapatrapat mulutnya. “Diam, kamu! Sejak beberapa hari ini aku mengincarmu. Kamu terlalu menarik untukku. Sekarang dewi penyelamatmu sedang tak ada di rumah! Kamu jangan sok suci, Nila!” “Jadi kamu yang mengikutiku selama beberapa hari ini? Tak tahu malu!” Nila menghardik. “Kamu yang tak tahu terima kasih! Sudah untung kutolong, jika tidak sekarang kamu sudah menjadi gelandangan gembel atau pengemis, bahkan mungkin pelacur di emperan!” Nila semakin tersudut. Tubuh Ilo yang tinggi tegap mengunci perlawanan perempuan semampai. Tinggal menunggu keajaiban Tuhan menyelamatkan Nila saat itu. Mulutnya telah disumbat dengan saputangan, untuk menjangkau benda yang paling dekat pun tak bisa, karena kedua tangannya ditekan sekuat tenaga. Air mata yang menderas semakin melebarkan tawa lelaki yang siap mengumbar nafsu iblisnya. 92
TERBAWA ARUS
Darsih yang tiba-tiba terbangun keluar kamar. Dengan sempoyongan menahan kantuk ia menuju kamar kecil. Ia berhenti sejenak, telinganya menangkap suara yang tak jelas dari kamar Nila. Gadis muda itu menghentikan langkah seraya memasang telinga demi memperjelas asal suara. Akhirnya ia yakin suara itu dari kamar Nila. Kemudian Darsih menyimpulkan, Nila sedang mengigau. Bergegas ia memburu suara itu, karena menurut kepercayaannya jika orang ngigau dibiarkan berbahaya. “Mbak! Mbak Nila! Mbak, bangun!” Nila berusaha memutar gagang pintu untuk membukanya namun terkunci. Nila mendengar panggilan Darsih. Kakinya menendang-nendang dengan hebat dan membabi buta. Saputangan sumpal mulutnya telah melumer sebagian, maka ia berkesempatan mengeluarkannya dengan nafas keras yang ditekan ke luar sekuat tenaga. Saat saputangan itu lepas, teriakannya pun lepas mengejutkan Ilo. Dengan teriakan Nila, Darsih segera mengerti Nila sedang dalam keadaan bahaya. Ia berlari ke depan dan berteriak minta tolong. Ia mengharapkan ada seseorang yang belum tidur atau kebetulan lewat dan mendengar teriakan itu. Tapi secepat kilat kepalanya dipukul dari belakang dengan benda keras dari arah belakang. Pembantu setia itu terhuyung dan roboh tak sadarkan diri. Nila berlari mengejar lelaki itu, tapi dengan sigap ia kabur dengan mobil yang tampaknya sengaja diparkir tak jauh dari pintu gerbang. Nila kerepotan sendiri untuk mengangkat Darsih yang tubuhnya sedang tumbuh berisi. Tak ada seorang pun yang dapat dimintai tolong meskipun rumah Dice 93
TERBAWA ARUS
sedikit rapat dengan rumah yang lain. Sedang berusaha keras mencoba mengangkat tubuh gempal yang pingsan, sekonyong-konyong matanya disilaukan oleh cahaya lampu mobil. Pengemudinya seorang perempuan, turun menghampirinya dengan tergesa. “Kenapa ini? Dia pingsan?” Nila hanya mengangguk lelah dengan air mata yang masih merebak. “Ayo kita bawa masuk!” Akhirnya tanpa banyak tanya jawab mereka menggotong tubuh itu ke dalam rumah. “Aku dokter. Tadi aku baru pulang dari rumah sakit dan lewat di depan. Ada kejadian apa sebenarnya?” Perempuan berkerudung itu memulai bicara sambil sibuk memeriksa Darsih di kamar Nila. Nila menceritakan garis besar kejadian tadi dan diakhiri dengan isakan kecil. “Masya Allah! Di rumah ini hanya kalian berdua?” “Ya!” Singkat jawaban Nila, itu pun dengan bibir bergetar. Dokter itu sangat mafhun atas keadaan dan kondisi Nila saat itu. Walaupun laki-laki itu belum berhasil memerkosa Nila, trauma pasti ada. Maka ia berusaha membantu Nila melepaskan perasaan yang tentu sangat menekan. “Sekarang, kalau kau ingin menangis, menangislah sepuasnya. Lepaskanlah segala emosimu. Temanmu ini tak apa-apa, sebentar lagi ia akan sadar!” Dokter perempuan itu duduk sambil menatap Nila penuh simpati. “Rasa-rasanya aku mengenal wajahmu?” Tiba-tiba dokter itu teringat wajah model di majalah-majalah muslim yang sering ia baca. “Mungkin! Saya model pakaian muslim di majalahmajalah.”, jawab Nila lirih. 94
TERBAWA ARUS
Meskipun malam semakin merayap dan keadaan Nila belum stabil, pembicaraan terus mengalir. Sambil menunggu Darsi siuman, kedua perempuan yang berlainan generasi itu saling cerita tentang kehidupan. Dari pertukaran cerita itulah Nila sadar, bahwa yang menolongnya itu dokter Sofi yang pernah ia kagumi. Demikian sebaliknya, Sofi jadi mengenal Nila perempuan muda yang nekat dari kampungnya. Orang tua mereka sesungguhnya masih punya pertalian darah meskipun jauh. Malam itu mereka dipertemukan dalam keadaan yang genting. “Bagaimana, kamu puas menjadi model?”, tanya Sofi. Nila diam sejenak karena sejak ia diikuti orang misteritus yang ternyata Ilo, jiwanya selalu tak tenang. Ia merasa terkungkung dalam dunia yang penuh ancaman. “Kenapa diam, Nil?” Sofi meraih tangan Nila perlahan. “Se…sebenarnya mungkin saya tak cocok dengan dunia model. Memang mendapat uang banyak, tapi sepertinya terlalu banyak kepura-puraan dan persaingan tak sehat. Musuh dalam selimut menjadi kemungkinan yang terdekat di dunia model. Mental saya tak selalu siap, terutama dengan situasi seperti tadi.” Nila jujur mengeluarkan unek-unek di hatinya. “Aku mengerti, Nil! Bagaimanapun memasuki dunia model tak lepas dari yang namanya intrik. Bagi yang kurang tahan mental, itu terlalu riskan.” “Bagaimana kalau kau sekolah saja dan kelak kuliah. Kau ingin berhasil sepertiku?” Sofi memberi tenaga baru pada Nila. “Mungkin itu lebih baik untukku, Yuk!” Kembali Nila dijatuhi sebongkah rahmat dari-Nya dan mengubah kata ganti dirinya dengan ‘aku’,sebagaimana adat orang Bangka Selatan, setelah tahu itu Sofi. 95
TERBAWA ARUS
“Kalau kamu setuju, kamu tinggal bersamaku. Kau sekolah baik-baik, umurmu masih sangat muda. Percayalah, kelak orang tidak akan mengingatmu sebagai janda kecil, tapi perempuan yang berhasil.” Sofi terus menyuluhi semangat Nila untuk lebih menemukan hakikat dunia. “Soal Dice yang telah begitu besar jasanya, aku akan berbicara dengannya baik-baik. Kalaupun ia meminta ganti rugi, kita ganti!” Setelah Darsih siuman dan tampak lebih segar, Sofi permisi pulang. Ia berjanji akan datang lagi jika Dice kembali dari luar kota. Sementara Nila bak menemukan matahari di kegelapan. Ia membayangkan dirinya bebas dari dunia penuh intrik yang merampas ketentraman barunya. Ia akan kembali menjadi anak sekolah, ia siap meraih dunianya yang hilang. “Sudah dulu, ya Nila Ayuk pulang! Insya Allah sudah aman. Supaya kamu tenang, shalatlah, mohon perlindungan-Nya!” Sofi keluar dari kamar dan langsung meninggalkan rumah Dice. *** “Nil, kata Darsih kamu mau diperkosa orang. Benar apa enggak?”, tanya Dice serius. Nila menunduk tak menjawab. “Nila, tak usah ragu-ragu, kalau benar katakan, ya!” Dice menatap sambil menunggu jawaban pasti dari Nila. “Ya!” Jawaban Nila singkat diiringi anggukan, sebutir kristal bening bergulir di pipinya. “Kenapa kamu ragu-ragu mengatakan, ya? Kamu mengenal laki-laki itu? Kalau soal pelanggaran moral apalagi ini menyangkut kehormatan kita tak harus 96
TERBAWA ARUS
ditup-tutupi. Kita punya hak untuk menegakkan keadilan. Kehormatan tak dapat dibandingkan dengan nilai apa pun!” Dice mulai memberikan wawasan yang bersentuhan dengan hukum. “Kita tak perlu menunggu besok, sekarang juga setelah sarapan kita ke kantor polisi!”, ujar Dice dengan tegas dan penuh keyakinan. “Tapi, bagaimana dengan bukti-buktinya dan…?” Kalimat yang sebenarnya masih banyak tapi mendadak ditarik lidahnya yang kelu. “Soal bukti, kamu jangan takut! Aku punya bukti lengkap dan ada Darsih sebagai saksi. Lalu, ‘dan’ tadi itu apa?”, lanjut Dice. “Maksud saya, Mbak dan...”. “Dan Ilo, begitu?” Nila terkejut ketika Dice mengucapkan nama lelaki laknat itu. Mengapa secepat itu ia mengetahui calon pemerkosanya? “Maksud Mbak?” “Sekarang aku minta kamu jujur. Laki-laki itu Ilo, kan?” Nila diam menunduk kebingungan. Bingung karena Ilo teman dekat Dice dan bingung mengapa Dice begitu mudah mengetahuinya. “Nil, kebenaran bagiku lebih penting dari pertemanan. Justru dengan kejadian itu mataku terbuka, siapa Ilo sebenarnya. Sebenarnya aku pun merasa perlu menjauh darinya. Setiap ada lelaki yang akan mendekatiku, pasti menyangka Ilo calon suamiku. Tapi, aku juga tak enak jika aku menjauhinya.” Ternyata perempuan secanggih Dice pun bermasalah dengan laki-laki. Di kantor polisi, Dice mengeluarkan sehelai saputangan. 97
TERBAWA ARUS
“Kalau boleh kami tahu, dari mana Ibu memperoleh saputangan ini?” Polisi bertanya, matanya tertuju pada Dice. “Saputangan itu saya temukan di kamar Nila waktu melihat keadaan kamar itu. Saya memeriksa kamar Nila ketika ia membenarkan laporan pembantu. Saputangan itu belum saya sentuh, Pak.” “Ibu tahu tidak, siapa pemilik saputangan ini?” “Saya mengenalnya dengan baik, bahkan bau parfumnya pun saya kenal. Ia teman bahkan sahabat saya, namanya Susilo.” “Ibu yakin, ini saputangan milik Pak Susilo?” Polisi ingin keyakinan dari pelapor. Setelah mendengar keterangan dice di hadapan polisi Nila baru mengerti, mengapa ia langsung menuduh Ilo. Sejak laporan Dice dan Nila masuk ke kantor polisi dan Ilo diperiksa serta diamankan, Nila menjadi merasa lega. Akan tetapi, bagi Nila masih banyak peluang-peluang kelicikan dan kejahatan lain yang mengintainya. Ia sebagai pendatang baru yang langsung mendapat tempat istimewa tentu menimbulkan kecemburuan dan keirian pendahulu-pendahulunya. Nila pun menginsyafi, bahwa dunia model bukan dunianya. Bagi Nila hakikat kebahagiaan bukan kesenangan apalagi popularitas belaka. Ketenangan dan kedekatan dengan Tuhan adalah kesejatian hidup. Gemerlap dunia model baginya sekadar kilauan dari segala yang imitasi. Maka, ia berbulat tekad menghubungkan HP-nya dengan telepon Sofi. Ia memberitahukan, bahwa Dice telah kembali dan penangkapan Ilo pun diceritakannya. Sofi menyambut dengan baik. Dan berjanji akan membicarakan rencana mereka, kalau mungkin langsung menjemputnya. 98
TERBAWA ARUS
Impian Lama
99
TERBAWA ARUS
N
ila kembali mengenakan seragam putih abuabu dengan kerudung putih. Mungkin dari seluruh siswa baru tak ada yang sebangga Nila ketika menginjakkan kaki di halaman sekolah apalagi ke pintu kelas. Memasuki area sekolah baginya tak ubah memasuki surga yang pernah ia tinggalkan karena kebodohan. Waktu itu ia tak tahu itu kebodohan atau kecerobohan atau kekonyolan. Kebahagiaan bukan karena dapat menemukan lagi alamnya yang pernah hilang tapi ia lebih bangga karena bisa memasuki sekolah yang cukup bonavid dengan biaya sendiri. Di sekolah, hampir seluruh warganya mengenal Nila sebagai sang model yang sedang laris. Itu tak heran karena dunia model pun tak ia tinggalkan, terutama karena ia masih terikat kontrak dengan dua produsen pakaian bermerk. Ia pun tak ingin dirinya di cap sebagai pekerja tak profesional. Atas nasihat Dice dan dukungan Sofi, ia dapat menjalaninya tanpa kesulitan yang berarti. Masalah-masalah kecil dapat ia atasi. Terlebih ia sudah tinggal di rumah Sofi ia lebih aman dan yang penting lebih teratur. Nila kembali menjadi remaja yang penuh percaya diri. Perempuan yang tak lagi menyandang status gadis menjadi sosok tangguh. Iman yang tertanam dalam dan berakar menjadikan Nila bagaikan sebatang pohon yang kokoh. Pergaulan remaja di sekolah maupun dinamika permodelan tak menggoyahkanya. Dengan keteguhan, Nila menapak selangkah demi selangkah hingga mampu keluar dari gerbang SMA dengan angka yang tidak jelek. Uang dan popularitas bukan hal yang harus dibanggakan olehnya, karena itu hal yang telah biasa baginya. Semuanya menjadi penambah keyakinan dirinya terhadap kemurahan dan kemahapenolongan-Nya.
100
TERBAWA ARUS
Nila belum hendak menampakkan diri di kampung tempat mengukir masa kecil. Meskipun di sana orang tuanya menanti dengan harap yang besar, tapi ia belum siap menerima tatapan isi kampung itu, terutama keluarga mantan mertua. Duri-duri yang pernah ia pasang sendiri di tanah itu masih berbekas dalam jiwanya. Setiap jengkal tanah kampung yang pernah ia injak mencatat dan menyimpan cerita itu yang tak terhapus oleh waktu. Lembaran dedaunan yang pernah menyaksikan, bagaimana ia menjalani hidup sejak lahir hingga menjadi janda pelarian tetap menyuratkan suka-dukanya. Semua takkan terhancurkan oleh leburnya dedaunan itu di lapisan tanah yang menunujukkan rentang perjalanan hidupnya. Ia belum memiliki keberanian untuk kembali menemui semua itu. Untuk mengobati kerinduan masing-masing, Nila meminta kedua orang tuanya datang ke Jakarta. Sofi pun setuju agar kedua orang tua itu yakin, anaknya aman di rumah saudara sekampung. Syukuran pun diselenggarakan di rumah dokter Sofi. Suka cita seluruh yang hadir termasuk Dice yang hadir di sana. Kedua orang tua Nila mengucapkan terima kasih yang tulus kepada Dice yang telah menolong anaknya. Dice pun telah menganggap mereka saudara. Tak ada hitung-hitungan biaya yang telah dikeluarkan Dice untuk Nila. Menurut Dice, ia pun telah mendapat sebagian uang dari kontrak kerja Nila di awal karirnya. Itu dianggapnya cukup. Di malam itu pula terurai perjalanan hidup Nila sejak memutuskan pernikahan sampai berhasil seperti saat itu. Cerita yang selama ini terserak di sudut-sudut hati Nila mengucur ke luar mengharu biru perasaan orang-orang di sekelilingnya. Hampir 101
TERBAWA ARUS
semua yang mendengarnya merasakan rembesan air mata. Saat itu pula Dice pertama mengetahui, siapa sebenarnya Nila. Jika selama ini masing-masing menyimpan misteri, malam itu terkuak semuanya. Dice pun merasa perlu untuk membeberkan latar kehidupannya. Dice seorang yang dijerumuskan sahabat sendiri di kota yang metro. Beruntungnya, belum lama ia menjadi budak belian di suatu tempat prostitusi, ia berhasil melarikan diri. Ia melaporkan diri ke kantor polisi. Akhirnya ia dikirim ke panti sosial dan mendapat berbagai pelatihan dan wawasan. Dengan berbagai liku dan perjuangan menghadapi kehidupan yang keras, ia pun mampu bangkit dan berdiri sendiri. Memang ia memiliki bekal keberanian dan cerdik serta pandai bergaul. Ia berhasil mengentaskan diri menjadi perempuan pembela perempuan. Pengalaman yang melatarbelakangi kehidupannya menjadi modal untuk menjalankan semua tugas. Dice menganggap semua yang ia lakukan bukan tugas, tapi keharusan. Ia perempuan yang hanya mau diperintah hati kecilnya. Tidak yang lain. Nilai pekerjaan baginya terdapat dalam sebuah perjuangan dan manfaat untuk sesama. Bagi Nila malam itu malam yang memberikan segudang makna. Ia sadar, lebih sadar, jika setiap manusia memiliki sisi-sisi kehidupan yang menjadikannya manusia. Kehidupan bagaikan lekuk-lekuk baju yang sering ia peragakan depan kemera. Semua orang bisa menikmati keindahan yang terkandung dalam lekukan-lekukan itu manakala menggunakan mata yang dipenuhi dengan kacamata Ilahiyah. Tanpa kembali kepada kuasa-Nya, manusia takkan pernah bertemu dengan yang namanya bahagia. Arti hidup 102
TERBAWA ARUS
telah ia resapi dari berjalannya waktu yang menampung tumpukan potret dirinya. Dengan keyakinan yang tak pernah surut akan kepemurahan-Nya, hingga saat itu ia terjaga dari segala ancaman meski penuh perjuangan. Seiring dengan kematangan dan keluasan wawasan Nila pun dapat menjabarkan semua itu dalam jiwanya.
103
TERBAWA ARUS
104
TERBAWA ARUS
Peluang
105
TERBAWA ARUS
S
ejatinya manusia tak ada yang mampu bersembunyi dari rasa cinta. Cinta selalu hadir di setiap kehidupan manusia. Apalagi bagi Nila, dulu pernah bergelut dengannya. Ia pernah diperdaya habis-habisan. Ia pernah disasarkannya ke gua yang gelap dan terjal. Cintakah yang salah? Setelah ia menjadi perempuan matang menyadari bukan perasaan yang salah, tapi dirinya yang terlalu lemah. Ia tak mampu mengendalikan kekuatan nafsu yang dahsyat. Ia terlalu polos dalam menerjemahkan rasa dalam kedekatannya dengan Fikri. Kedewasaannya mengisyaratkan untuk lebih waspada menghadapi rasa khas. Rasa itu mulai menebarkan lagi getar-getar halus dalam hatinya. Nila memang tak ingin mengingkari kehadirannya tapi ia tak mungkin membiarkan diri terperangkap pada tempat yang salah. Di depan Nila, duduk Zahri dengan tatapan sendu. “Nila, aku masih menunggu jawabanmu! Kurasa, jika kau tak berkenan jangan ragu. Katakan saja! Apa pun jawabanmu akan aku terima dengan lapang dada!” Zahri memandang Nila penuh harap. Nila masih didera bimbang dan itu bukan sesuatu yang dibuat-buat. Hati kecilnya memang tak menolak pemuda jangkung yang dikenalkan Iman setahun yang lalu menambat hatinya. Ia yakin, Iman tak salah mengenalkannya dengan Zahri. Kebaikannya menyamai Iman. “Maaf, Ri, aku bukan bermaksud menggantung perasaanmu, tapi…!” Nila terhenti. “Tapi apa…?” Kejar Zahri. “Apakah Iman pernah bercerita tentang aku? Maksudku tentang masa laluku?”, tanya Nila penuh selidik. 106
TERBAWA ARUS
“Ya, aku sudah tahu semuanya. Aku mendengarnya sejak Iman tahu aku menaruh perhatian padamu. Ternyata kamu perempuan hebat.” “Hebat, katamu? Kalau hebat tak mungkin aku berbuat hal konyol dan bodoh!” Nila tersenyum getir karena melintas sekelebat masa remajanya. “Manusia tak ada yang sempurna, tapi kehebatannya bisa kita lihat dalam bagaimana dia menghadapi hidup secara positif. Bagaimana dia mengakhiri kebodohan itu dan menata masa depan. Itu, kan?” Zahri menangkap senyum tipis model cantik di depannya. “Aku hanya melakukan apa yang kudengar dari hati kecilku. Alhamdulillah, Allah selalu menunjukkan yang terbaik untukku, Ri! Cukup sekali aku mengikuti hawa nafsu. Mungkin karena aku terlalu bodoh, maka dulu Tuhan membiarkan aku mendapatkan pelajaran.” Nila mengerjapkan matanya yang mendadak basah dan menyembunyikannya di bawah kening kerudung. “Kalau boleh aku jujur, Ri, aku mencintaimu, tapi aku juga ragu pada diriku sendiri! Aku takut cintaku hanya sesaat, Ri! Aku belum merasa siap untuk meyakinkan perasaanku. Aku masih perlu waktu”, lanjut Nila jujur. “Masalah perasaan tak bisa dipaksakan, Nil! Aku menghargaimu. Tapi, ingat, beberapa minggu lagi kita wisuda.” Zahri menyerah, namun masih menitipkan harapan pada janda muda itu. Nila hanya mampu tersenyum untuk menyembunyikan perasaannya yang galau. Sebenarnya ia sangat ingin mengatakan, “Ya” tapi ketakutan masih mencegahnya.
107
TERBAWA ARUS
“Maafkan aku, Ri. Mudah-mudahan Allah memberikan yang terbaik untuk kita. Bersabarlah!”, ucap Nila dengan berat. *** “Nila, kamu sudah mantap ingin pulang ke kampung?”, tanya Sofi saat makan malam bersama keluarga Nila setelah wisuda. “Ya, aku akan pulang ke kampung setelah menerima ijazah. Jadi guru di kota besar seperti Jakarta bukan cita-cita saya. Saya ingin jadi guru karena takut anak-anak kampung kita mengalami kepahitan seperti….” Nila tak meneruskan kalimatnya, hamya tersenyum kecut. Sofi mengerti jalan pikiran Nila dan maklum. Nila memiliki sesuatu yang tak ia miliki. Nila memiliki rasa peduli yang begitu besar pada kampung halaman. Ia sendiri, saat meraih gelar dokter ogah pulang ke kampung. Ia tergiur uang yang lebih mudah didapat di Jakarta. Sebenarnya, waktu itu kehadiran dokter sangat diperlukan di daerah, terutama di kampungnya. Hingga saat itu belum ada dokter di kampung itu. Orang-orang kampung harus menempuh jarak belasan kilometer untuk berobat ke dokter. “Bagaimana dengan profesimu sebagai model?” Sofi kembali bertanya. “Tentunya pensiun, dong! Biarlah jadi pengalaman hidup, untuk kampung halaman harus ada yang dikorbankan”, ujar Nila tanpa beban. “Ayuk doakan saja, kalau Allah mengizinkan aku akan membuka taman bacaan di kampung kita. Keinginanku tidak muluk-muluk, orang kampung kita tidak seperti katak dalam tempurung. Bukan belajar 108
TERBAWA ARUS
dari sinetron-sinetron yang belum tentu cocok dengan kehidupan di kampung. Orang-orang kampung kita perlu membaca hal-hal yang mampu membuka pikiran pada yang lebih baik.” Tangan Nila mulai sibuk membereskan peralatan makan. *** Dengan pengertian, kemakluman, sekaligus dukungan orang-orang terdekat, Nila kembali ke kampung. Ia rela meninggalkan popularitas yang menyelimutinya dengan materi. Ia meninggalkan kenangan-kenangan pahit dan manis di sana. Demikian juga dengan cinta yang hingga kepulangannya belum tersampaikan kepada Zahri dibawanya pulang. Ia percaya, jika laki-laki itu terbaik untuknya pasti Ia memberikan jalan terbaik. Kekuatan batin untuk menghadapi reaksi teman, tetangga kerabat di kampung yang terpenting baginya. Nila meninggalkan tugu kehidupannya di metropolitan dengan ukiran cinta yang samar. Perut pesawat menelan perempuan muda bersemangat baja. Tak seorang pun tahu kapan Nila berjejak lagi di bandara itu, termasuk dirinya.
109
TERBAWA ARUS
Daftar Kata yang Berasal Dari Bahasa Daerah 1. Bak
: panggilan orang Bangka kepada ayah 2. Kolong : sejenis kolam penampungan mata air dari hutan 3. Sahang : lada (bahasa Bangka) 4. Keladi : talas yang biasanya diambil sebagai bahan sayur 5. Junjung : kayu atau mambu yang ditancapkan untuk menjalarnya tumbuhan melata. 6. Kondangan : memenuhi undangan acara pesta atau syukuran 7. Lempah darat : sejenis sayur yang berbumbu terasi, cabe rawit dan garam 8. Ayuk : panggilan untuk kakak perempuan atau yang setingkat dengan kakak 9. Dak usah, dak Dik : tidak usah, Dik 10. Pempek : sejenis makanan yang terbuat dari tepung sagu dan ikan dibentuk bulat-bulat memanjang atau seperti pastel besar jika berisi telur 110
TERBAWA ARUS
Tentang Penulis Tien Rostini, dilahirkan di Ciamis 11 Oktober 1965. Ia seorang guru yang telah aktif mengajar sejak 1991 di SMP, SMA, maupun perguruan tinggi. Ia aktif menulis cerita pendek dan artikel di surat-surat kabar daerah bahkan ada juga yang diterbitkan di koran nasional. Karya sastranya yang telah diterbitkan ialah antologi cerpen bersama Guru Teladan, buku cerita untuk SMP Arbi, antologi puisi bersama Kelekak, dan antologi puisi bersama Puisi Bingung Seorang Guru, serta kumpulan Cerita Rakyat Bangka dan kumpulan Legenda Rakyat Bangka yang disusun bersama Asyraf Suryadin, serta kumpulan cerpen Transformasi Tikus dan kumpulan cerpen Perempuan Tak Sendiri. Penyusun telah menerima beberapa penghargaan dalam bidang sastra, yaitu juara 2 lomba mengarang cerita pendek Hari Kelautan Provinsi Kep. Bangka Belitung. Juara harapan 2 lomba menulis puisi Hari Kelautan Provinsi Kep. Bangka Belitung, juara 1 dalam lomba penulisan buku cerita untuk siswa SMP tingkat Provinsi Kep. Bangka Belitung, juara 2 pada lomba menulis cerita pendek budaya Melayu yang
111
TERBAWA ARUS
diselenggarakan HP Bangka Pos, juara harapan 4 dalam sayembara penulisan buku cerita untuk siswa SMP tingkat nasional di Pusat Perbukuan, serta masuk 20 besar dalam Lomba Menulis Cerita Pendek (LMCP) Guru yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan Nasional.
112