| Nomor 05 | Tahun 2004 | Rp6.750 |
DaftarIsi
2 2 3 3 4 18 24 25 26 27 28 29 30 32
Dari DariRedaksi Surat SuratSurat Info InfoEksekutif Etalase Fokus HC HCTren Kolega Life LifeStyle Konsultasi A dv er t orial dver Kolom Kiat Bursa BursaKerja Rehal
F O K U S
AYO MEMBANGUN
‘CORP0RATE UNIVERSITY’ Sadar akan pentingnya sumberdaya manusia sebagai asset utama perusahaan, semakin banyak perusahaan – utamanya perusahaan global – membangun dan mengembangkan Corporate University. Di sinilah para karyawan diindoktrinasi, dibentuk, dan dikembangkan. Selamat tinggal departemen training?
BERLOMBA MENDAPATKAN SERTIFIKASI halaman
18
PROFESIONAL
Tidak semua orang ingin meraih gelar S1, S2, S3. Sebagian memilih pendidikan professional sebagai jalan meraih sukses. Apa manfaat sertifikasi professional itu, dan pendidikan professional bersertifikat apa saja yang tersedia? Budi Siswanto: “Namun, yang kami alami di training, lebih banyak kami menghabiskan anggaran dan mengejar angka rasio pelatihan,” halaman 13
Raechanah Syafei: “John F. Welch Leadership Center mempunyai peranan sebagai agen dari perubahan budaya di GE,” halaman 14
Djimanto: “... mempekerjakan orang yang sudah diuji melalui sertifikasi, bukan berarti perusahaan akan membayar lebih mahal, ...” halaman 19
Regi Wahju: “Tujuan dasar dibentuknya CU adalah membuat organisasi itu menjadi organisasi pembelajaran” halaman 8
2
| HumanCapital | Nomor 05 | Tahun 2004 |
D a r i R e d a k s i
TRAGEDI PERADABAN INDONESIA: PERLU MENDENGAR PENDAPAT CAPRES?
B
ulan lalu, kita – para praktisi dan pemerhati masalah sumberdaya manusia – sedih dan prihatin membaca laporan The National Human National Report (NHDR) 2004. Laporan berjudul Pembangunan Manusia Indonesia itu merupakan hasil kerjasama Biro Pusat Statistik, Bappenas, dan UNDP. Kesimpulan penting laporan itu menyebutkan bahwa Indonesia masih tertinggal jauh dari negara tetangga di bidang pembangunan manusia. Secara global, indeks pembangunan manusia itu dinyatakan dalam bentuk Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan Bank Dunia. Indonesia berada di peringkat 111, jauh di bawah negara-negara ASEAN lainnya. Posisi itu hanya satu peringkat di atas Vietnam, negara yang jauh belakangan mengembangkan perekonomian dan membuka diri terhadap dunia luar. Kendati ada kenaikan indeks pembangunan manusia dari 64,3% tahun 1999 menjadi hampir 66% tahun 2002, tetapi kenyataannya di lapangan kualitas kehidupan manusia Indonesia terus merosot. Peningkatan angka penduduk dewasa melek huruf dan proporsi penduduk berusia 15 tahun yang dapat membaca dan menulis ataupun penurunan tingkat kematian bayi dan persentase balita kurang gizi hanyalah indikator umum yang perlu dikonfirmasi ulang dengan kenyataan kehidupan seharihari masyarakat. Buruknya perekonomian dan tidak adanya perhatian pemerintah saat ini untuk memberi prioritas pada pengembangan kualitas manusia membuat peningkatan indeks di atas menjadi sumir. Saat ini, diperkirakan lebih dari 40 juta orang menganggur, rekor sejak 1970-an. Kondisi ekonomi ini otomatis berpengaruh pada kemampuan masyarakat meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan. Masalahnya, mayoritas perbaikan kualitas pendidikan dan kesehatan dibiayai dengan dana belanja masyarakat, tidak seperti yang terjadi di negaranegara lain. Sebagai contoh, di bidang kesehatan, pemerintah hanya membiayai 20% anggaran kesehatan masyarakat, atau kurang separuh angka rata-rata di negara Asia Timur dan Pasifik. Otomatis, keterpurukan ekonomi masyarakat langsung menohok kualitas pendidikan dan kesehatan tersebut. Kondisi sulit itu klop pula dengan tidak adanya prioritas tinggi dari pemerintahan saat
ini terhadap pembangunan manusia. Pemerintah hanya mengandalkan JPS (Jaring Pengaman Sosial), namun hal itu jelas keliru. Pertama, JPS lebih bertujuan pada upaya mengurangi dampak dari krisis ekonomi. Kedua, JPS itu bisa dikatakan tidak efektif membantu masyarakat. Uang subsidi yang disalurkan untuk JPS kurang jelas alokasi dan teknik penyalurannya. Dikhawatirkan hanya sedikit saja dana JPS itu yang mencapai sasaran. Makanya, perlu audit menyeluruh terhadap JPS supaya rakyat tahu sejauh mana komitmen dan empati pemerintah yang berkuasa terhadap kesulitan hidup masyarakat banyak. Pemerintah mengklaim telah mengalokasikan dana 3% dari PDB (Produk Domestik Bruto) atau Rp 53,7 triliun untuk memenuhi hak dasar warganegara, seperti keamanan pangan, kesehatan dasar, pendidikan dasar, dan rasa aman. Anggaran tersebut juga memasukkan anggaran Polri Rp 7,5 triliun, sehingga jika dikurangi lagi, maka alokasi dana tersebut praktis kurang dari 3%. Belum lagi, dana yang ada dikorupsi di berbagai level, sehingga boleh jadi dana yang efektif sampai hanya separuhnya saja. Padahal, idealnya, biaya memenuhi hak dasar itu efektif 6% dari PDB. Mau bukti? Lihat saja begitu banyak anak-anak jalanan yang terpaksa tidak sekolah karena orang tuanya tidak mampu. Di era 80-an, jumlah anak jalanan di seluruh Indonesia hanya 50.000 anak. Jumlah tersebut meningkat tajam. Bahkan Departemen Sosial memperkirakan jumlahnya meningkat menjadi 1,5 juta anak. Sungguh menyedihkan. Fenomena ini layak disebut sebagai sebuah tragedi peradaban. Katanya sudah ada program pendidikan dasar 9 tahun, tetapi praktiknya mana? Katanya pemerintah ke luar uang Rp 33 triliun per tahun untuk pendidikan dasar, uangnya ke mana? Kita harus mengakhiri kesesatan ini. Itu sebabnya, ada baiknya kita mendengar pula pandangan calon presiden sebagai pimpinan periode mendatang tentang strategi pembangunan manusia agar harapan perbaikan yang lebih nyata bisa terwujud. Misalnya dengan menghadirkannya dalam sebuah forum peduli sumberdaya manusia Indonesia, semacam seminar begitu. Anda setuju? Silakan kirimkan komentar Anda ke redaksi kami■
S u r a t S u r a t BANK MANDIRI TIDAK INVESTASI E-LEARNING Redaksi Yth. Kami berterima kasih atas pemuatan materi e-Learning Bank Mandiri di HC edisi 04. Namun, kami tidak setuju dengan tulisan yang mengatakan bank kami melakukan investasi besar-besaran untuk e-Learning. Untuk diketahui, kami belum mengeluarkan uang apapun untuk investasi e-Learning karena kami melakukan e-Learning secara outsourcing. Kalau dianalogikan dengan memanfaatkan hotel, kami tidak harus berinvestasi di hotel, tetapi kami membayar jumlah kamar yang kami pakai. Tentu untuk menginap, kami tidak perlu bangun hotel dulu bukan? Begitu juga dengan e-Learning Bank Mandiri. Kami tidak investasi pada e-Learning, tetapi kami membayar setiap materi yang
di-e-Learningkan. Kalau tidak ada materi yang di-e-Learningkan, maka kami tidak perlu bayar apa-apa. Kami mohon, bila ingin menulis tentang e-Learning Bank Mandiri, silakan tanyakan kepada pejabat terkait, yaitu Riyani T. Bondan (Group Head Training) dan Felicianus Manurung (Dept. Head Training Program Design). Terima kasih. Regards, Felicianus Manurung DH Training Program Design Bank Mandiri Jakarta Soal pernyataan investasi besar dalam tulisan itu tidak dimaksudkan Bank Mandiri yang harus ke luar uang untuk itu. Namun untuk bisa memanfaatkan e-Learning, sejatinya perusahaan harus memiliki infrastruktur
teknologi informasi dasar macam LAN, WAN, server, situs Web, akses Internet, PC, dan pengembangan konten. Biaya terbesar sebetulnya ada di situ. Tentunya perusahaan harus berinvestasi di sana. Kami pun sudah berkirim surat dan menghubungi beberapa kali melalui telepon untuk melakukan wawancara dengan pihak Bank Mandiri tentang materi e-Learning ini. Sayang hingga tulisan naik cetak, tidak memperoleh tanggapan. Tetapi, Kami berharap Bank Mandiri dapat berkontribusi dalam topik lainnya. (Red.)
HC DI BATAM Redaksi Yth. Kami membaca HC sewaktu berkunjung ke Jakarta beberapa waktu lalu. Sajiannya sangat
bermanfaat bagi kami yang bergerak dalam dunia bisnis, khususnya dalam pengelolaan sumberdaya manusia. Sayangnya waktu kami cari di Batam, tempat domisili kami, kami kesulitan menemukan HC. Adakah agen atau jaringan pemasaran HC di Batam? Mohon bantuannya. Terima kasih. T. Puspo Batam Center Batam Kami sedang berbicara dengan sejumlah pihak di Batam untuk menjadi agen HC. Selama ini HC untuk Riau dan Batam ditangani Jack Agency, Pekanbaru. Kami akan koordinasikan hal ini. Terima kasih atas masukan dan perhatiannya (Red.)
Pemimpin Umum: Farid Aidid Pemimpin Perusahaan: Iftida Yasar Pemimpin Redaksi: P. M. Rizal Redaktur Pelaksana: Malla Latif Redaktur: Ratri Suyani, Vriana Indriasari Kontributor: Indraria Djokomono Artistik: Joel Totok Apriyanto Fotografer: Adonk Iklan: T. Muhtadi Sekretaris Redaksi: Rizma Maulina Administrasi: Afiantomi Penerbit: PT Bina Semesta Giartha Lestari Alamat Redaksi/Tata Usaha, Iklan&Promosi: Setiabudi Building 2, 3rd Floor. Suite 305 Jl. H. R. Rasuna Said Kav. 62 Jakarta 12920 Telp. 021-5220575 Fax. 02152901024 E-mail:
[email protected] Bank: a/n PT. Bina Semesta Giartha Lestari, Citibank No. Rek. 800333494690 Pencetak: PT Temprint.
3
| HumanCapital | Nomor 05 | Tahun 2004 |
I n f o E k s e k u t i f
LIMA BUKU TERBAIK PENCERAHAN MANAJEMEN Susan M. Heatfield, praktisi SDM dari Society for Human Resources Management, merekomendasikan 5 buku terbaik saat ini untuk pencerahan pemikiran manajemen. Buku-buku ini tidak semata membahas masalah SDM, tetapi isinya sangat berguna bagi praktisi SDM. 1. The Tipping Point: How Little Things Can Make a Big Difference. Buku karya Malcolm Gladwell ini mengupas bagaimana ide-ide besar bisa berkembang lebih cepat dalam perusahaan. 2. Full Steam Ahead. Buku ini membeberkan cara sederhana menciptakan visi besar organisasi 3. Secret Formulas of the Wizard of Ads. Roy H. Williams menawarkan kata-kata bijak dan pikiran besar tentang sukses perusahaan. Ia membahas masalah organisasi, orang, waktu, bisnis, dan sebagainya. 4. The 21 Irrefutable Laws of Leadership: Follow Them and People Will. Inilah buku tentang kepemimpinan yang sangat bagus
karya John C. Maxwell. Sangat berguna untuk mempercepat kemajuan karir. 5. The Power of Full Engagement. Ingin menjadi lebih menikmati hidup, kerja, dan lingkungan? Terapkan prinsip-prinsip yang ada dalam buku ini dan belajar mengelola energi, bukan waktu■
TREN HUBUNGAN PEKERJA-PERUSAHAAN Pola hubungan perusahaan dan pekerja terus berubah dari waktu ke waktu. Di abad 21 ini, sesuai laporan riset Hewitt berjudul 21 st Century Corporation, ada sejumlah tren yang sangat berpengaruh terhadap pola hubungan perusahaan dengan pekerja, seperti berikut 1. Munculnya jaringan pekerja. Kemajuan teknologi yang cepat berpengaruh terhadap usia produk, maka kebutuhan bagi tenaga kerja perusahaan untuk berubah juga semakin cepat. Perusahaan kian dituntut memberlakukan model staf yang fleksibel dan mengandalkan pada jaringan para karyawan permanen, kontraktor indepen-
den, konsultan, karyawan paruh waktu atau temporer. Perusahaan harus mempertahankan jaringan tenaga inti dan membangun hubungan baik pula dengan jaringan pekerja non-permanen. 2. Angkatan kerja kian beragam. Globalisasi menjadikan perusahaan hidup dengan keberagaman kelompok usia dan etnis pekerja. 3. Semakin pentingnya informasi bagi karyawan. Dengan meningkatnya nilai informasi dan semakin cepatnya kecepatan berbisnis, pendidikan karyawan akan menjadi kunci sukses abad ini. Organisasi akan banyak mencari karyawan dengan pendidikan tertier dan kualifikasi tingkat lanjut (postgraduate). Mereka itu kemudian terus diasah dan dikembangkan setelah diterima. 4. Kekuatan bergeser dari pimpinan kepada karyawan. Bisnis yang semakin menyatu dalam jejaring menjadikan peran pemimpin bisnis perusahaan berubah. Pemimpin bisnis abad 21 wajib mengajarkan pengetahuan kepada karyawan dan memberdayakan mereka untuk mengambil
keputusan. Mereka akan mengukur kontribusi karyawan dalam bentuk hasil, bukan jumlah waktu atau jam kerja■
TRAINING BERBASIS TEKNOLOGI DISUKAI Knowledge Anywhere, sebuah perusahaan konsultan di Bellevau, AS, melakukan poling terhadap eksekutif dan karyawan 183 perusahaan tentang bagaimana mereka mendapatkan training. Lebih dari sepertiga belajar dari kolega, 27% mendapatkannya dengan menghadiri seminar di luar, seperlima belajar di dalam kelas, dan 11% dilatih dengan kursus sendiri secara online. Hampir duapertiga mengatakan metode yang terakhir adalah yang paling mereka sukai. Dalam mendapatkan training berbasis teknologi, separuh mengatakan memilih training tersebut karena sangat fleksibel, seperempat karena bisa mengatur sendiri, 15% karena penyebarluasan pengetahuan yang lebih cepat secara geografis, dan 10% karena butuh biaya perjalanan lebih sedikit■
E t a l a s e
HSBC Luncurkan Kartu Kredit Visa Platinum-Simbol Keistimewaan Sesungguhnya
perpaduan antara sumber daya, keahlian, jaringan serta reputasi internasional di antara kedua institusi, akan dapat diterima di pasar■
The Hongkong and Shanghai Banking Corporation Limited (HSBC) meluncurkan kartu kredit Visa Platinum terbarunya dengan slogan “Simbol keistimewaan sesungguhnya”. Lily Budiono, Senior Vice President Personal Financial Services HSBC berkata, “Kami sangat bangga memperkenalkan kartu kredit Visa Platinum HSBC untuk melengkapi gaya hidup pemegang kartu kami. Dengan batas kredit yang lebih tinggi, para pemegang kartu bebas menikmati berbagai penawaran dan pelayanan terbaik sepanjang tahun”. Dan sebagai apresiasi HSBC pada para pemegang kartunya yang setia, kartu kredit ini awalnya di tawarkan secara eksklusif dan akan mulai diperkenalkan pada masyarakat umum pada awal tahun 2005. Sementara itu Ellyana C. Fuad, Country Manager Visa Internasional Indonesia mengatakan keyakinannya bahwa rekanan antara Visa Internasional dengan HSBC merupakan
Produk-produk Terbaru HP Dalam era globalisasi, HP terus mengembangkan inovasi-inovasi terbarunya. HP kini mengumumkan inisiatifnya untuk mengedepankan solusi cetak warna secara agresif ke seluruh pasar. Dengan berbekal inovasi selama 20 tahun untuk imaging dan printing, riset dan pengembangan bernilai lebih dari USD 1 milyar, serta komitmen senilai USD 60 juta untuk masuk ke pasar Asia Pasifik, HP mendukung pelanggan untuk mengadopsi pencetakan berwarna ke seluruh aspek bisnis mereka. Selain itu HP juga mengumumkan pengembangan produk bisnis PC dengan memperkenalkan empat HP Compaq Business Desktop model baru untuk memenuhi kebutuhan UKM dan koperasi. Desktop terbaru membantu memenuhi kebutuhan bisnis untuk menyederhanakan kepemilikan PC secara keseluruhan dan menurunkan total biaya kepemilikan. Melanjutkan teknologi thermal inkjet pada tahun 1979, HP juga menciptakan Printer Desktop Inkjet yang menggunakan print cartridge service station untuk menjamin jarum tinta bekerja dengan handal dan efektif. Sama halnya dengan kamera digital yang mengubah cara pengambilan gambar, printer inkjet juga telah
merubah cara foto-foto dicetak. Konsumen tidak perlu lagi menunggu lama untuk mendapatkan hasil pencetakan kembali atau memperbesar foto mereka. HP pun terus berinovasi untuk tetap mempersembahkan sistem pencetakan berwarna dengan kualitas terbaik pada pasarnya, baik untuk keperluan rumah tangga maupun kantor. Komitmen HP terhadap lingkungan juga Andreas Diantoro dan produk baru HP semakin mantap. HP mendesain suplai pencetakan untuk dari Hewlett-Packard. Teknologi pencetakan mengurangi dampak mereka terhadap HP SMART memungkinkan komunikasi lingkungan dengan mengurangi atau antara tinta HP yang asli dengan printer HP. menghilangkan bahan-bahan berbahaya, HP juga menghadirkan HP SureSupply yang dengan memakai sumber yang lebih sedikit, menyediakan pelanggan dengan kemamdan didesain agar agar dapat didaur ulang. puan untuk memesan ulang cartridge tinta HP SMART printing supplies menghadirsecara mudah dan nyaman untuk system kan inovasi teknologi terbaru tinta printer pencetakan HP inkjet melalui internet■
HARAPAN KEPADA PRESIDEN MENDATANG
Kepada siapapun Presiden yang terpilih kelak tentu Anda ingin menyampaikan harapan, pandangan, dan pertanyaan tentang strategi Presiden dalam pembangunan sumberdaya manusia Indonesia. Sampaikan harapan, pandangan, dan pertanyaan tersebut kepada Tabloid HC melalui fax 0215253134 dan email
[email protected]. Bagi sejumlah pengirim materi terbaik tersedia sejumlah hadiah menarik, yang akan dimuat di edisi berikut. Selamat berpartisipasi!
4
| HumanCapital | Nomor 05 | Tahun 2004 |
F O K U S
AYO MEMBANGUN
‘CORPORATE UNIVERSITY’
Sadar akan pentingnya sumberdaya manusia sebagai asset utama perusahaan, semakin banyak perusahaan – utamanya perusahaan global – membangun dan mengembangkan Corporate University. Inilah lembaga yang secara khusus menyediakan pendidikan dan pelatihan bagi karyawan dan mitra bisnis mereka secara holistik: tidak hanya mencakup keahlian teknis tetapi mencakup pula nilainilai, kultur, filosofi, sejarah perusahaan, dan keahlian kepemimpinan. Di sinilah para karyawan diindoktrinasi, dibentuk, dan dikembangkan. Selamat tinggal departemen training?
J
ohn F. Welch alias Jack Welch baru saja berhenti sebagai Chairman dan CEO konglomerat General Eelectric (GE), namun nama besarnya – berikut segala kontribusi pentingnya – begitu sulit dilupakan orang-orang GE. Namanya diabadikan pada Crotonville Learning Center (pusat pelatihan GE yang sangat prestisius dan sering juga disebut sebagai GE University) sehingga berubah menjadi The John F. Welch Leadership Development Center mulai 6 September 2001. Sukses besar yang diraih Welch di GE, tak pelak, karena ia sadar betapa pentingnya kualitas sumberdaya manusia dalam menjalankan organisasi. Ia memberi perhatian sangat besar terhadap Crotonville, bukan hanya sebagai tempat untuk mendidik karyawan menjadi lebih baik, namun juga sebagai medium memperluas perubahan dalam kultur dan pemikiran yang membuat GE terus maju. Hampir 20 tahun Welch mengajar di Crotonville, yang berarti hampir sepanjang waktunya 20 tahun sebagai Chairman dan CEO GE. Hebatnya lagi, Crotonville tidaklah eksklusif bagi para karyawan GE, melainkan juga bagi para pelanggan GE ataupun orang-orang lain yang beruntung. Seperti disampaikan Satya Heragandhi, Country Leader GE Transportation untuk Indonesia dan Vietnam, Crotonville memiliki program ACFC (At the Customer for the Customer), di mana GE berbagi tentang ilmu manajemen GE kepada para pelanggan GE. Pesertanya adalah calon pimpinan potensial di
berbagai pelanggan perusahaan dunia (umumnya level General Manager, belum direksi, red). Secara bisnis, langkah ini mungkin tidak menguntungkan jangka pendek. Namun, GE melihatnya dalam perspektif jangka panjang. Bila pelanggan semakin maju dan orang itu menjadi pimpinan, GE tentu juga akan kecipratan maju. “Hitung-hitung, GE ikut membangun komunitas,” ujar Satya. Lain lagi dengan McDonald’s Corporation, perusahaan makanan cepat saji terdepan di dunia. Mereka memiliki Hamburger University, kawah candradimuka bagi penggodokan orang-orang McDonald’s di seluruh bidang. Seluruh karyawan baru McDonald’s maupun pemegang hak waralaba McDonald’s di seluruh dunia harus ditraining di Hamburger University. Mereka dilatih untuk memahami prinsip dan nilainilai perusahaan agar bisa memberikan layanan, kebersihan, dan nilai-nilai berkualitas tinggi bagi konsumen. Hingga kini lebih dari 65.000 manajer restoran McDonald’s telah lulus dari Hamburger University. Mereka berasal dari berbagai ras dan negara di dunia, saling memperkuat nilai-nilai kebersamaan yang dianut Ray Kroc, pendiri McDonald’s. Seperti dikatakannya: “None of us is as good as all of us.” Meski hanya menjual hamburger, McDonald’s sangat serius dalam membangun dan mengembangkan sumberdaya manusia berkualitas. Bagi Ray Kroc, berbisnis hamburger lebih dari sekedar membikin hamburger, tetapi tentang orang, baik karyawan maupun konsumen. Kroc secara tegas
mengatakan: “We take the hamburger business more seriously than anyone else”. Simak pula ucapannya yang lain dan telah menjadi prinsip perusahaan: “Don’t worry about making money. Love what you’re doing and always put the customer first. And success will be yours”.
C
ROTONVILLE dan Hamburger University hanyalah contoh dari corporate university (CU) yang dibangun dan dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan global terkemuka. Bahkan, di institusi pendidikan ini korporasi besar menggantungkan harapan tentang masa depan perusahaan, selain bidang R&D (Research & Development). Berdiri tahun 1956, Crotonville, yang kini berubah nama menjadi The John F. Welch Leadership Center, menjadi model bagi penerapan CU secara luas di dunia.
Istilah CU sendiri mulai dipergunakan akhir 80-an sebagai peningkatan dari departemen training tradisional. Kemunculannya dimaksudkan untuk menyelaraskan upaya training perusahaan dengan visi dan strategi organisasi. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah istilah Human Resources telah menjadi kata-kata populer di lingkungan perusahaan, seperti learning organization, knowledge management, core competencies, succession planning, value added, dan investing in employee. Menurut Shelly Prochaska dalam tulisannya berjudul Is a Corporate University in Your Organization’s Future?, CU mampu menyajikan semuanya itu bagi perusahaan. CU adalah alat untuk merapihkan dan mensistematikan upaya pendidikan perusahaan dalam sebuah unit yang kohesif. Globalisasi memberikan tekanan-tekanan kepada perusahaan-perusahaan Barat
5
| HumanCapital | Nomor 05 | Tahun 2004 |
F O K U S akibat lingkungan kompetitif yang kian kompleks dan beragam. Persaingan dan konsumen semakin sulit diprediksi. Upaya meningkatkan marjin laba semakin sulit pula. Penggantian CEO perusahaan Amerika, terutama disebabkan rendahnya kinerja laba usaha, meningkat 53% dari 1995 hingga 2001. Untuk pertama kalinya, perusahaan merasakan dampak dari kekurangan orangorang ahli dan karyawan independen. Terasa sekali adanya kelangkaan talenta yang berpengalaman seiring dengan globalisasi bisnis. Kelangkaan itu terjadi pada bidang tertentu, dan diperkirakan akan terus meningkat dalam beberapa tahun ke depan. Respons awal yang dilakukan perusahaan akibat adanya tekanan ini adalah meningkatkan jumlah training yang tersedia bagi karyawan, dan memberikan fokus lebih pada program pengembangan eksekutif. Ditandai dengan mengirim manajemen ke seminarseminar pengembangan strategik dan program MBA eksekutif. Toh, solusi tersebut dianggap belum memecahkan masalah inti yang dihadapi perusahaan. Program pendidikan tinggi manajemen maupun MBA dikritik karena kurang menyentuh persoalan bisnis hari ini. Itu sebabnya, beberapa perusahaan menginginkan pendekatan training yang lebih paralel dengan bisnis riil sehari-hari. Di sisi lain, kompetisi bisnis yang ketat menimbulkan dampak pula pada pengurangan karyawan (downsizing) dan pengetatan bujet training. Sebagai jawabannya, semakin banyak perusahaan yang kian menyatukan upaya training dalam satu payung: corporate university. Mereka mendirikan CU sebagai pusat pendidikan manajemen, bukan hanya untuk mendapatkan manajer di masa depan tetapi juga untuk meningkatkan nilai finansial saat ini. Perkembangan CU di Amerika merupakan yang paling cepat di dunia. Menurut Stuart Crainer dalam SHRM, diperkirakan lebih dari 1.000 CU kini beroperasi. Mereka tersebar dalam berbagai ukuran dan bentuk industri. Kecuali beberapa nama CU yang telah disebut di atas, beberapa CU lainnya, antara lain, Dana University (milik produsen komponen otomotif Ohio Dana Corporation), Heavy Truck University (milik Ford di Detroit), Intel University (milik Intel di Santa Clara), Sun U (milik Sun Microsystems), Apple University (milik Apple di Cupertino, California). CU juga berkembang ke Inggris, seperti Unipart University milik Unipart. Inilah jawaban perusahaan Amerika atas perubahan jaman. General Motors dan GE memang telah mendirikan lembaga training tingkat tinggi sekitar tahun 1917, tetapi mereka beroperasi berbeda dengan apa yang dikerjakan oleh CU saat ini. Bila kita kembali ke era 60-an, lingkungan bisnis kini sangat berbeda. Dulu pasar lebih bisa diprediksi, pesaing lebih sedikit, perusahaan lebih berorientasi ke pasar domestik, dan perhatian konsumen terhadap mutu serta pilihan tidak secerewet sekarang. Saat istilah CU diproklamirkan, mereka sempat menuai kritik, terutama dari kalangan akademisi sekolah bisnis. Sebagian menilai, kritik itu lebih untuk melindungi kepentingan sekolah-sekolah bisnis. Sebab, semakin banyak perusahaan mem-
PERTANYAAN YANG SERING MUNCUL TENTANG CU 1. Bukankah saya tidak perlu memiliki CU sepanjang aktivitas training terkait erat dengan upaya mewujudkan tujuan dan objektif perusahaan? Ini adalah mispersepsi yang umum. Hampir seluruh training dan pengembangan terkait dengan tujuan bisnis. Kursus yang sifatnya pengembangan pribadi macam keahlian presentasi pun bertujuan membantu pencapaian objektif perusahaan. Ada 3 perbedaan nyata dengan CU: a. Berkaitan sekali dengan tujuan bisnis Contohnya: perusahaan akan melakukan sejumlah merger. CU akan fokus pada upaya mencari best practices, mengidentifikasi keahlian yang dibutuhkan, mengkaji staf yang ada berdasarkan keahlian itu, dan susun aktivitas pengembangan untuk menjembatani gap itu. b. Perhatian dan dukungan penuh level CEO, kalaupun tidak terlibat langsung Contohnya: di banyak perusahaan raksasa dengan CU yang mapan, CEO bahkan menjadi pengajar dan sering bertindak sebagai pengawas c. Tidak fokus pada pengembangan keahlian professional seseorang Contohnya: kelas training penjualan dasar bisa saja tersedia bagi karyawan, namun CU biasanya lebih fokus pada bekerjasama dengan bagian penjualan untuk menaikkan penjualan, untuk memahami konsumen dan produk lebih baik. Pembelajaran langsung diubah menjadi aksi. 2. CU harus mempunyai gedung khusus dan staf yang banyak? bangun CU, pasar sekolah bisnis tentu berkurang. Kritik itu kini semakin menghilang. Bahkan, professor sekolah bisnis pun ikut mengajar di sejumlah CU.
S
EDIKITNYA ada 3 hal yang mendorong tumbuhnya CU, menurut pandangan Crainer. Pertama, masih derasnya kritik terhadap sekolah bisnis yang menuduh mereka terlalu jauh dari denyut nadi dunia bisnis. Kelemahan itulah yang ingin dipecahkan melalui CU. Sekolah bisnis mencoba mengatasi hal ini dengan lebih banyak membawa “dunia nyata” ke dalam programprogramnya melalui pekerjaan berbasis proyek dan membuat program yang telah disesuaikan. Kedua, meningkatnya kesadaran bahwa pengembangan manusia adalah kunci survival di masa depan; sesuatu yang terlalu penting untuk diserahkan kepada pihak lain. CU jelas sebuah prioritas bagi perusahaan yang mencoba menjadi organisasi pembe-
Banyak CU yang bersifat virtual. Organisasi macam IBM, Dell, dan Cisco menghindarkan bangunan CU berukuran besar, dan sebaliknya memanfaatkan teknologi serta e-Learning untuk menyediakan pendidikan secara global. Trennya adalah menuju staf yang lebih sedikit, makin melibatkan manajemen dan karyawan dalam berbagi pengetahuan, serta penggunaan e-Learning. 3. Bolehkah kami mengubah kelas-kelas yang ada dengan menambah sejumlah materi dengan objektif perusahaan secara menyeluruh, dan kemudian menyebutnya dengan CU? Ini yang sering terjadi, namun bukanlah cara paling efektif membangun CU. Jamaknya CU yang efektif menggabungkan secara hati-hati materi dan teori dalam kelas dengan pengembangan praktik. CU memberikan lebih dari kelas dan kursus biasa. 4. Bagaimana caranya bisa meyakinkan manajemen bahwa CU sangat membantu organisasi dan mendapatkan bujet? Ini bukanlah pekerjaan mudah. Anda harus menyusun argumen yang kuat dengan memperagakan bagaimana perbedaannya dengan fungsi training dan pengembangan, sembari memberikan komitmen berupa peningkatan hasil tertentu. Misalnya, komitmen meningkatkan 10% penjualan per orang dalam setahun. Tentunya juga harus ada dukungan dari bagian bujet dan manajerial untuk membuatnya terjadi. Kebanyakan manajemen akan setuju untuk berinvestasi selama mereka melihat imbal hasilnya■
lajaran. Sebuah riset di Amerika menunjukkan bahwa perusahaan yang memiliki CU menghabiskan dana 2,5% dari gaji untuk pembelajaran – dua kali lipat dari rata-rata perusahaan Amerika. Ketiga, pemanfaatan teknologi termutakhir dalam CU memungkinkan pembelajaran jarak jauh dan e-Learning dengan lebih efisien dan efektif. Otomatis, pembelajaran bisa diadakan secara terus menerus dan segera. Kebanyakan CU memang berbasis di dalam dan sekitar Lembah Silikon. Seperti telah disinggung di atas, CU tidak hanya berkembang di Amerika. IBM memiliki sebuah sekolah bisnis di pedesaan Hampshire dan GE di Dunchurch, Inggris. Tahun 50-an, Dunchurch adalah markas besar produsen peralatan listrik English Electric. Setelah perusahaan itu tutup, fasilitas perusahaan berubah menjadi pusat pendidikan eksekutif dalam bidang manajemen proyek, kontrol proses statistik, dan sejenis. Dunchurch untuk pertama kalinya membuka kursus kepada pihak luar tahun 1960an. Hingga saat ini, Dunchurch masih menjadi bagian dari GE, meski hanya separuh pesertanya adalah manajer GE. Civil Service College milik pemerintah Inggris termasuk CU yang membuka diri terhadap peserta dari luar. Tadinya, lembaga berbasis di Sunningdale itu hanya fokus pada pengembangan pegawai negeri. Kini mereka menawarkan lebih dari 500 kursus dengan mengundang manajer di bidang pemerintahan maupun swasta. Daya tarik CU bagi pihak luar sangat tergantung kepada kebutuhan peserta. Jika tujuannya untuk mendapatkan gelar akademik tertentu, mengikuti CU jelas tidak pas. CU hanya memberikan pengakuan kualifikasi secara internal. Lulus dari Hamburger University mungkin orang-orang masih terkesan. Bagaimana dengan CU lain yang belum begitu terkenal? Sebagai solusi, semakin banyak CU yang berafiliasi dengan institusi akademik tradisional. Sebagai contoh, seseorang yang mengikuti pendidikan di National Semiconductor University bisa mendapatkan gelar associate, bachelor, atau Master dari berbagai universitas. Pertanyaannya, apakah gelar akademik penting bagi para karyawan untuk mengikuti CU perusahaannya? Rasanya tidak. Bagi
6
| HumanCapital | Nomor 05 | Tahun 2004 |
F O K U S mereka, inilah jalan untuk mengembangkan keahlian, pengetahuan, dan karir di lingkungan perusahaan. Hanya saja, membangun CU juga tidak murah. Riset yang dilakukan oleh Jeanne Meister di Amerika, bujet operasional ratarata untuk sebuah CU mencapai US$12,4 juta, kendati 60% melaporkan US$5 juta ke bawah. Biaya membangun Intel University tahun 1996 sebesar US$150 juta. Intel menyediakan 2.600 kursus yang telah diikuti oleh 400.000 peserta. Tak bisa dipungkiri, CU masih “makanan” perusahaan multinasional. Fakta itu tidak mesti membuat ciut manajemen perusahaan Indonesia untuk membangun CU. Dalam segala hal, Amerika memang lebih mahal. Bank-bank besar di Indonesia, macam Mandiri, BRI, BNI, BCA, Danamon, dan banyak lagi, telah memiliki pusat pelatihan sendiri dengan bangunan yang memadai. Begitu pula Matsushita Gobel dan Ericsson Indonesia. Tinggal dikemas dalam bentuk visi, rencana, dan implementasi program serta dukungan SDM memadai, mereka bisa memproklamirkan diri sebagai CU. Apalagi Astra Group dengan AMDI (Astra Management Development Institute)-nya. Menilik program pendidikan dan pelatihan Astra yang begitu komplit dan sistematis, tak ayal lagi, Astra sesungguhnya telah memiliki CU.
PENDIDIKAN BISNIS. Program training mengajarkan karyawan tentang organisasi dan layanannya z PENDIDIKAN PROFESIONAL. Program training yang mengajarkan materi pengembangan karir, supervisi, dan kepemimpinan z PENGEMBANGAN PERSONAL. Program training yang mengajarkan materi keuangan personal, kesehatan personal, stress, dan manajemen waktu z INSTRUKSI TEKNIKAL. Program training yang mengajarkan materi komputer dan informasi teknikal lainnya (Sumber: Shelly Prochaska) z
“Selama program pelatihannya sudah komprehensif dengan menghubungkan nilai-nilai, kultur, dan kepemimpinan perusahaan, ia sudah berperan sebagai CU,” ujar Dra. Yuniari Susilowati, MM., MSc., Kepala Pengembangan SDM PPM. Sebuah solusi lain kini juga tersedia di pasar. Bila membangun CU dianggap mahal dan pengelolaannya tidak gampang, maka sebuah perusahaan berbasis di Singapura Productivity and Standards Boards (PSB) Corporation siap menerima oursourcing CU secara total, mulai dari fisik bangunan
hingga pengajar dan kurikulumnya (tentu setelah digali dari perusahaan klien). PSB adalah organisasi bisnis yang sebelumnya dibiayai dengan dana pensiun PSB Corporation. Sebagai spesialis, PSB akan bisa beroperasi lebih efisien dan memiliki kompetensi di dalam pengajaran. Perusahaan ini juga bisa mendesain CU sesuai kebutuhan perusahaan atau mengelola CU perusahaan di bangunan milik perusahaan. Anda tinggal pilih sesuai kebutuhan dan kemampuan. Selamat menyongsong era CU!
Pembangunan Corporate University secara Bertahap Satu lagi perusahaan berkelas internasional mengemukakan pendapatnya tentang corporate university (CU). Menurut Danny Pradhana, Human Resources Manager DHL Express, CU adalah suatu training program di dalam perusahaan, untuk menyediakan kelas dan sarana training seperti di sekolah/universitas, tetapi program training tersebut bertujuan untuk meningkatkan kompetensi karyawan dan hasil kerja mereka. Sehingga pada akhirnya CU bertujuan untuk meningkatkan hasil kerja dan keuntungan bagi perusahaan. Keberadaan CU dipandang sangat penting bagi DHL atau perusahaan besar lainnya. Karena hal ini dianggap sebagai kunci keberhasilan perusahaan jika berhasil mengembangkan potensi karyawannya. “Maksud saya perusahaan besar adalah perusahaan yang mempunyai karyawan tetap sekitar 1.000 orang atau lebih,” terang Danny Pradhana. Tidak hanya potensi karyawan yang dapat dikembangkan di CU, tetapi juga perkembangan nilai dan budaya perusahaan terkait. Secara garis besar, bagaimana caranya, melalui CU, agar seluruh karyawan tersebut mempunyai sifat-sifat yang hampir sama dan dapat berpikir yang sejalan, sehingga mereka semua dapat bekerja sama dengan baik. “Selain menyediakan training, CU sangat dibutuhkan di perusahaan besar untuk membentuk kultur perusahaan,” tegas Danny. DHL Amerika (DHLA) telah memiliki training center di kantor pusatnya di
‘COR BEDA
KOMPONEN CU TERMASUK KURSUS-KURSUS BERIKUT
DANNY PRADHANA. Human Resources Manager DHL Express Florida. “Pada awalnya sekitar 15 tahun yang lalu, DHLA hanya mempunyai departemen training (DT), yang menyediakan sekitar 10 kelas training. Kurikulumnya pada waktu itu masih belum teratur. Kadang-kadang ada kelas yang selalu ditawarkan setiap tahun, ada juga yang hanya ditawarkan jika peminatnya cukup banyak,” jelasnya. Namun kini DT di DHLA telah ‘berevolusi’ menjadi CU. “Kami mempunyai sekitar 30 macam kelas, yang mencakup material untuk departemen tertentu (seperti kelas-kelas untuk pegawai IT, Sales atau Finance) dan juga material yang diperlukan untuk hampir semua karyawan di departemen manapun mereka berada (seperti kelas-kelas leadership, communication, time management, dsb),” tambahnya. Kurikulum CU di DHLA kini sangat teratur. Menurut Danny, sudah seperti suatu universitas, setiap tahun menerbitkan kalender/tanggal
untuk kelas-kelas yang akan ditawarkan. Sehingga karyawan dapat mendaftar, dengan persetujuan atasannya ke kelas training sekitar 3 bulan sebelum kelas tersebut diadakan. Danny juga menjabarkan perbedaan antara CU dan DT. Perbedaannya sangat fundamental. Secara garis besar, biasanya CU adalah hasil ‘evolusi’ dari DT. Atau bisa juga dikatakan, CU merupakan satu langkah lebih besar atau efektif dari DT. Memandang pentingnya keberadaan CU, Danny menyarankan agar perusahanperusahaan besar yang belum memiliki CU, untuk membangun CU secara perlahan-lahan, meski banyak tantangan dalam pembentukkan CU. Masih menurut Danny, halangan yang paling utama adalah investasi untuk mendirikan dan menjalankan CU yang jauh lebih mahal dari DT. Tantangan yang lain untuk mewujudkan CU adalah bagaimana caranya mendapatkan dukungan dan persetujuan dari manajemen perusahaan, dalam bentuk biaya, sarana, ataupun dukungan moral. Sekali lagi, Danny menegaskan bahwa untuk membangun CU, perusahaan perlu melakukannya secara bertahap dan harus selalu melihat bagaimana dampak kelas training kepada karyawan dan perusahaan itu sendiri. Danny juga mengingatkan agar tidak lupa juga melihat apa yang pesaing lakukan dengan DT atau CUnya. Tentunya dengan tujuan agar perusahaan dapat membangun CU yang lebih baik dan efektif■
Ada banyak perbedaan antara CU dengan Departemen Training biasa. Hati-hati, untung-rugi menerapkan CU juga ada. Apa saja?
P
ertanyaan yang sering muncul saat mendengar istilah CU adalah apa perbedaannya dengan Departemen Training. Perbedaan tersebut sangat banyak. Pertama, CU didesain selaras dengan inisiatif strategik perusahaan. Training lebih bersifat reaktif sesuai kebutuhan perusahaan sehingga berpotensi untuk tidak selaras dengan objektif bisnis. Kedua, materi program CU lebih komprehensif, lebih dari sekedar keahlian baru yang dibutuhkan karyawan. Ia memasukkan visi, misi, nilai, budaya, sistem manajemen, dan kepemimpinan perusahaan. Semuanya terangkai dalam sebuah kesatuan untuk mempersiapkan diri menghadapi kebutuhan masa depan organisasi. Sedangkan training lebih kepada instruksi langsung untuk keahlian teknis tertentu. Ketiga, CU memanfaatkan sekali bantuan teknologi sehingga bisa dilakukan secara lebih efisien dan efektif. Training tidak mesti seperti itu. Fungsi utama CU adalah mengelola inisiatif perusahaan dalam mendidik karyawan tidak hanya berkaitan dengan keahlian penting di tempat kerja, tetapi juga pada kultur, nilai-nilai, filosofi, sejarah perusahaan, dan kepemimpinan. CU juga efektif untuk memfasilitasi perubahan organisasi yang besar atau transformasi perusahaan. Lajimnya, inisiatif CU berasal dari CEO. CU menjembatani tujuan bisnis strategik, pembelajaran karyawan, dan kompetensi inti.
Ia berfungsi pula untuk mengembangkan keahlian individual dan mengelola pengembangan karir dalam perusahaan. Program pendidikan yang ada termasuk sistem manajemen kinerja, aktivitas pengembangan karir personil seperti rencana pengembangan individual, perencanaan suksesi, dan strategi pendidikan lainnya untuk meningkatkan retensi karyawan
7
| HumanCapital | Nomor 05 | Tahun 2004 |
F O K U S
PORATE UNIVERSITY’ DENGAN BAGIAN TRAINING CU MENURUT CU ENTERPRISE Menurut Corporate University Enterprise, perusahaan konsultan di McLean, Virginia, sebuah CU adalah: z Secara strategik menyelaraskan pembelajaran dengan praktik bisnis z Menyaring pembelajaran bagi seluruh karyawan z Mengandalkan pada kompetensi dan konten dari organisasi itu sendiri z Bertumbuh dan makin matang sejalan perubahan organisasi z Membangun komitmen organisasi untuk pembelajaran terus menerus z Sebuah proses untuk mengarahkan pengembangan organisasi, manajemen efektif, dan pendidikan karyawan KEUNTUNGAN MENGGUNAKAN MODEL CU Meningkatkan kualitas rekrutmen Kompensasi bisa menjadi isu nomor dua bagi karyawan ketimbang pertumbuhan dan pengembangan karir z Meningkatkan pendapatan Setiap pembelajaran bagi karyawan bisa menambah nilai dan bahkan pendapatan z Kemajuan yang lebih baik bagi karyawan Program training tidaklah wajib, namun karyawan mengetahui training sebagai jalan tercepat untuk kenaikan gaji dan tanggung jawab z Tersedianya talenta yang lebih banyak CU akan mengisi kekurangan yang dimiliki oleh karyawan z Menyediakan model yang sangat kuat CU memperbarui komitmen orang untuk belajar dan terlibat penuh dalam pengembangan diri secara penuh z Menawarkan peluang branding yang unik Terdapat peluang bagi perusahaan untuk mengembangkan sebuah nama universitas, logo, publikasi tertulis, situs Web, program bergelar atau sertifikat, desain fakultas dan pengajar tamu, dan kendaraan komunikasi. Upaya membangun merek bisa diperluas ke selain karyawan peserta training, seperti mitra strategik, jaringan bisnis, perusahaan training, siswa dan mahasiswa lokal. z Melibatkan eksekutif senior dalam proses Dalam kerangka CU, eksekutif terlibat penuh dalam menyusun training yang dibutuhkan perusahaan. Mereka harus mengidentifikasi tantangan utama perusahaan dan menetapkan keahlian serta pengetahuan apa yang dibutuhkan untuk menciptakan keunggulan kompetitif. z Menekan ke luar-masuk karyawan Setiap orang menyukai tantangan untuk mendapatkan peluang untuk meningkatkan pengetahuan dan keahlian. CU menyediakan proses pembelajaran yang terstruktur bagi orang untuk berkembang. z
KELEMAHAN MENGGUNAKAN MODEL CU z CU sekedar nama berdampak buruk Jika tidak direncanakan secara baik, branding CU akan merugikan. Sekedar menempelkan nama CU pada departemen training akan sangat berbahaya. Untuk menghilangkan kemungkinan ini, buatlah rencana transisi yang hati-hati untuk menjadi CU. Tentukan merek yang ingin dilahirkan. Secara hati-hati kelola merek dan hanya membolehkan penggunaannya bagi program dan inisiatif yang sesuai dengan misi perusahaan. Penting untuk menentukan kualitas pembicara atau program training tertentu. z Kritik bahwa pembelajaran tidak menghadirkan skenario membumi Kritik terhadap pendidikan tinggi yang tidak kompatibel dengan fakta bisnis saat ini juga bisa terjadi pada CU. Menggunakan dosen tamu dan tekun mendesain materi training yang didasarkan skenario aktual bisa menghindarkan hal seperti ini. z Tambahan pengeluaran Biaya membentuk dan mengelola CU tergolong mahal. Biaya yang mahal itu tidak masalah bila return on investment (ROI)-nya memadai. Perusahaan harus memiliki ukuran untuk menilai ROI tersebut dan upaya meraihnya. Fokusnya harus pada pencapaian jangka panjang
Perbedaan CU dan Departemen Training Departemen Training
CU
Kelas terselenggara berdasarkan popularitas dan permintaan z Manfaatkan e-Learning sebagai penghematan
z
z
Ousource training untuk meminimalkan orang dengan gaji tetap z Eksekutif memandang training sebagai biaya yang harus dijaga tetap rendah z
Sumber : SHRM
Menyelaraskan peluang pembelajaran dengan inisiatif perusahaan z Manfaatkan teknologi secara strategis untuk mendukung dan mendorong training z Membangun kemitraan di luar untuk mendukung tujuan organisasi z Manajemen senior secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran dan memiliki komitmen terhadap pembelajaran sebagai keuntungan kompetitif
8
| HumanCapital | Nomor 05 | Tahun 2004 |
F O K U S
MEREKA MEMBANTU ANDA MEWUJUDKAN CU Sejumlah perusahaan dan lembaga pendidikan siap melayani kebutuhan perusahaan untuk mendesain dan menyelenggarakan Corporate University. Bagaimana sebetulnya visi Daya Dimensi Indonesia (DDI) dan Lembaga Manajemen PPM terhadap CU?
REGI WAHJU
Head of Client Account Manager DDI HAMBATAN MUNCUL SAAT IMPLEMENTASI CORPORATE UNIVERSITY DIMULAI
B
icara Corporate University (CU), tentu tidak lepas dengan pengembangan dan perubahan dari sebuah organisasi. Menurut Regi Wahju, Head of Client Account Manager Daya Dimensi Indonesia (DDI), CU kini mulai diminati perusahaanperusahaan besar multinasional karena CU merupakan Strategic umbrella untuk menyelaraskan, mengkoordinasikan dan memfokuskan kepada usaha pembelajaran untuk karyawan, pelanggan dan supplier dalam rangka mencapai strategi dan tujuan bisnis organisasi. Tujuan dasar dibentuknya CU adalah membuat organisasi itu menjadi organisasi pembelajaran. “Inilah yang membedakan dengan Training Department (TD),” papar Regi. Menurutnya, ada beberapa hal yang membedakan TD dengan CU di antaranya adalah dilihat dari sisi fokus ,TD lebih bersifat reaktif dibandingkan proaktif, apabila dilihat dari sisi organisasinya TD lebih Fragmented dan Decentralize, sementara CU secara organisasi bersifat Cohesive dan Centralized. “Dan yang paling jelas apabila kita berusaha membedakan TD dan CU adalah dari cara beroperasinya, dimana TD beroperasi sebagai staff, managerial atau directorship sebuah divisi, sementara CU beroperasi sebagi Strategic Business Unit yang memiliki tanggung jawab strategis terhadap organisasi secara lebih luas.” Namun, yang perlu diperhatikan, CU bukan sebuah tempat seperti kampus, juga bukan nama lain dari TD dan pengembangan, bukan pula training katalog dan bukan sebuah institusi yang menawarkan berbagai macam program yang berbeda. Dalam CU,
ada 3 elemen yang penting yaitu edukasi dan training, riset dan pengembangan serta kurikulum akademik yang terstruktur,” paparnya. CU itu memfasilitasi semua aktifitas pembelajaran di dalam organisasi,
sehingga bisa menggunakan metode apapun yang ada yang di antaranya adalah In class training, Coaching and Mentoring, Self Study, Computer Based Training, Online Learning, bahkan sampai membuat program leadership yang mendatangkan berbagai professor dari top business school di dunia pun dilakukan oleh sebuah CU. Dengan kata lain, CU adalah “One Stop Learning Solution for every stakeholder in organization” yang pendekatan dan infrastrukturnya lebih memudahkan semua pengguna dan lebih efisien. Di lain pihak, sangat memungkinkan apabila CU adalah hasil dari ekspansi TD untuk menjadi strategic business unit yang lebih besar, mengingat proses CU tidak
hanya sebatas kerjasama dengan satu pihak saja, melainkan juga dengan berbagai macam provider training. Menurutnya, jika dalam organisasi sudah memiliki CU, maka TD sudah tidak diperlukan lagi. Dalam proses pembentukan CU, menurut Regi ada 4 faktor yang menjadi bahan pertimbangan, yaitu ketika organisasi melihat adanya individual development needs yang sama di semua karyawannya, sehingga organisasi memerlukan satu pengembangan yang sifatnya cocok dan utuh bagi semua karyawan, maka sudah saatnya untuk menyusun kurikulum dasar (broad based curriculum) untuk merealisasikan pengembangan tersebut. Kedua, adalah apabila sejalan dengan kebutuhan bisnis, semua organisasi membutuhkan suatu pengembangan yang terarah. Contoh yang sering terjadi adalah apabila organisasi mencanangkan untuk berorientasi pada customer satisfaction maka organisasi tersebut dapat membuat kurikulum yang ditujukan bagi setiap lini karyawan untuk meningkatkan layanan perusahaan. Ketiga, apakah perusahaan ingin melakukan regenerasi atau menerapkan succession management kepada kader-kader leader masa depannya. “Saat ini banyak organisasi mengalami kekosongan leader di level menengah yang siap untuk menduduki posisi top executive. Kekosongan atau gap tersebut membuat organisasi merasa perlu untuk melakukan succession” katanya. Sehingga, diperlukan adanya strategi manajemen yang terarah untuk melakukan pengembangan bagi leader di posisi menengah agar siap untuk menduduki posisi top executive. Dalam hal ini, CU menjadi suatu bagian yang sangat dibutuhkan sebagai wadah pengembangan bagi organisasi tersebut. Terakhir, lanjutnya, apakah organisasi itu mengalami perubahan budaya atau tidak. Perubahan budaya ini akan nampak di organisasi yang mengalami akuisisi, divestasi maupun perubahan status perusahaan. Dalam hal ini CU merupakan vehicle yang dapat dipergunakan untuk mengko-
9
| HumanCapital | Nomor 05 | Tahun 2004 |
F O K U S munikasikan dan mengedukasi karyawan mengenai budaya atau nilai yang baru di perusahaan tersebut. Dalam strategi penerapan CU, sangat diperlukan “kaki tangan” dan orang-orang yang duduk di level strategi. Biasanya, dalam CU ada yang namanya Chief Learning Officer. Ini setara dengan Chief Finance Officer atau Chief Operasional Officer, dimana orang tersebut bertanggung jawab terhadap pembelajaran organisasi. Perlu diketahui bahwa komitmen dari para leader di perusahaan tersebut, baik dari awal pendirian hingga pada proses pelaksanaannya merupakan kunci sukses dari implementasi CU. Tahapan yang harus dikerjakan dalam membangun CU, sambung Regi, semuanya tergantung dari arahan strateginya. Organisasi harus melihat kesiapan organisasi tersebut untuk membentuk CU. Siap dalam arti sudah melakukan survei mengenai kebutuhan pembelajaran, siap dengan metode pembelajaran yang akan ditawarkan, seberapa tinggi respon yang ada, seberapa tinggi mereka sadar terhadap pembelajaran, atau apakah semua ini hanya sebatas ulangan saja. Kalau base learning tinggi, organisasi tinggal menentukan strategi pembelajarannya. Baru setelah itu berapa biaya yang harus dikeluarkan. Dengan adanya CU, maka organisasi bisa lebih efisien dalam biaya pengembangan stakeholdernya. “Efisiensi yang signifikan ini baru dapat terjadi setelah berjalan 3–4 tahun” papar Regi. “Tapi dari pengalaman kami, effisiensi bisa terlihat setelah 3 tahun, karena dalam tahun pertama masih banyak penataan dan pembentukan secara keseluruhan, termasuk orang-orang yang terlibat di dalamnya,” tambahnya. Ditambahkan, pada tahun-tahun pertama kerjasama dengan beberapa provider juga masih dalam tahap penjajagan. Saat sebuah organisasi bicara kerjasama jangka panjang, berarti organisasi tersebut akan bicara kontrak dan hubungan jangka panjang kepada para provider sehingga efisiensi biaya baru bisa terjadi. Selain faktor pembuatan CU, perlu pula diperhatikan konsep yang merupakan sistem terintegrasi dalam organisasi pembelajaran. Dalam konsep dasar, ada 5 hal yang diperlukan yaitu organisasi, yang di dalamnya sudah mencakup visi, kultur, struktur, strategi dan target bisnis. Kemudian yang tak kalah penting adalah manusia, baik itu internal maupun eskternal yang mencakup karyawan, manajer, pelanggan, dan komunitas. Ketiga adalah teknologi. “Teknologi ini sudah mencakup teknologi informasi, teknologi berbasis learning dan electronic performance support system,” paparnya. Keempat adalah pengetahuan, mulai dari pengumpulan informasi yang mendukung, penyimpanannya, hingga penggunaannya. Kelima yaitu pembelajaran secara menyeluruh yang mencakup 3 level yang berbeda yaitu individu, grup atau tim dan organisasi. Hambatan dan kendala yang ada saat membangun CU diakui Regi jelas akan muncul dari organisasi itu sendiri saat implementasi CU dimulai. “Dalam arti, apakah karyawan mau meluangkan waktu untuk belajar atau kursus baik itu secara online maupun secara ikut sub development
atau diklat guna memenuhi komitmen,” jelasnya. Dan ini berhubungan dengan sistem yang ada. Solusinya, sambung Regi, adalah dengan menekankan kepada orangorang dalam sebuah organisasi bahwa ini merupakan komitmen untuk semua orang agar menggunakan CU yang sedang dibangun untuk belajar. Di samping itu Regi juga memaparkan bahwa dalam perjalanannya tidak mudah untuk mendapatkan full commitment dari leader dari perusahaan tersebut untuk senantiasa terlibat dalam pengembangan CU. “Yang biasanya kita berikan kepada klien untuk menjembatani keengganan karyawan untuk meluangkan waktu yaitu dengan mengaitkan pada performance manajemen mereka.” Dalam performance manajemen, DDI menyarankan untuk mengkaitkan setiap orang yang ada dalam organisasi dengan pengembangan pribadi. Ketika memasukkan area pengembangan pribadi dalam performance manajemen tentunya setiap orang berkewajiban dan harus ikut dalam pengembangan tersebut. Bentuknya bisa training atau apapaun. Tergantung dari kebutuhan developer melalui servis yang diberikan lewat CU. Regi menambahkan bahwa sarana yang harus dipersiapkan untuk menunjang operasional CU yaitu call center untuk mengatur segala kebutuhan pengembangan dari karyawan kepada CU. Kemudian idetifikasi learning, dan memarketkan CU seperti apa. “CU perlu diposisikan secara strategis di perusahaan dengan memegang suatu brand yang cocok untuk organisasi tersebut. Misalnya seperti Hamburger Universitynya McDonald’s”. Yang harus diingat, bicara CU, tidak hanya sekedar bicara development saja. Tapi juga bicara juga program mentoring dan coaching, yang ditangani CU dari segi mekanisme dan sistem pelaksanaannya. Melalui CU, seseorang bisa mengetahui siapa mentornya, dan bagaimana proses mentoring itu. Data base seseorang sebagai karyawan juga akan tersimpan di CU sehingga CU bisa menyarankan kepada karyawan tentang proyek pekerjaan karyawan lain yang sesuai dengan pengembangannya karena servis yang diberikan CU adalah asssesment center. Sayangnya, perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia yang sudah menerapkan CU adalah perusahaan multi nasional dan perusahaan asing. “Itu merupakan tantangan DDI untuk memberikan pengertian yang lebih mendalam dan secara utuh di perusahaan di Indonesia. Tapi yang kami tahu ada beberapa perusahaan lokal yang sudah memulai konsep CU, walaupun belum dalam scope yang besar dan terintegrasi, tetapi sudah sangat baik untuk memulainya dari yang sangat sederhana,” Regi menjelaskan panjang lebar. Perusahaan lokal masih cukup kuat dengan kinerja departemen training itu sendiri sehingga jika perusahaan itu mulai menerapkan CU, maka akan terjadi servis maintenance secara besar-besaran karena biasanya harus diimplementasikan kepada seluruh organisasi yang ada di seluruh region dengan tujuan efisiensi. Tantangan perusahaan lokal untuk mendirikan CU sebagian besar dari sisi
investasi atau prioritas untuk biaya. “Saya sangat mengerti sekali alokasi biaya pengembangan yang dimiliki oleh banyak perusahaan masih banyak tersedot untuk mengembangkan dasar-dasar system HR seperti misalnya Competency Profiling, atau Assessment Center ataupun Performance Management, Sehingga saya yakin di tahuntahun mendatang ketika semua sistem HR sudah establish di perusahaan, maka
pengembangan dan pembelajaran menjadi prioritas utama dari organisasi tersebut” Dengan fakta dilapangan mengenai penerapan sistem HR yang ada dan kebutuhan pengembangan manusia yang tidak akan ada.
Dra. Yuniari Susilowati, MM., M.Sc. Kepala Pengembangan SDM Lembaga Manajemen PPM APA DAN BAGAIMANA CORPORATE UNIVERSITY SEBENARNYA
K
ini mulai marak adanya istilah cor porate university (CU), namun masih banyak pihak yang belum mengerti apa definisinya pastinya. “CU ini sebetulnya merupakan suatu institusi di mana semua model-model belajar, pelatihan dan pengembangan itu dipusatkan di sana. Biasanya yang diinginkan dalam CU itu bukan sekedar training yang sifatnya parsial, tetapi bagaimana caranya supaya karyawan itu bisa dikembangkan untuk sejauh mungkin bisa mendukung tercapainya strategi organisasi,” terang Dra. Yuniari Susilowati, MM., M.Sc. Kepala Pengembangan SDM Lembaga Manajemen PPM. “Jadi arahnya supaya in line antara model pengembangan karyawan dengan strategi yang mau dicapai dalam bisnis tersebut,” tambahnya. CU dengan demikian berupa institusi yang formal, namun menurut Yuniari, jangan terpengaruh dengan kata university, karena dalam bayangan orang, hal itu bentuk secara fisik memiliki gedung dan lokasi. “Jadi CU bentuknya tidak nyata, tapi secara formal di bentuk produk-produknya, jasa, programprogram yang ditawarkan, semuanya tersistemasi dengan baik,” jelasnya lagi. Seperti layaknya sebuah tempat belajar, CU hendaknya juga memiliki kurikulum. “Kalau soal kurikulum yang dimaksud seperti yang ada di universitas itu tergantung pada saat CU berdiri, tujuan perusahaan itu untuk apa. Jadi CU itu bisa dalam artian pelatihan-pelatihan yang bersertifikat atau bisa juga menawarkan programnya sampai ke ada ijazahnya,” katanya. “Yang penting jangan terlalu terpengaruh dengan kata universitasnya. Jadi ketika kita bicara mengenai CU, tidak seperti membicarakan UI atau Gajah Mada. Tapi mungkin dalam perjalanan waktu perkembangan CU dapat bekerja sama dengan universitas yang sesungguhnya, sehingga mereka membuka program untuk MBA,” jelasnya. Namun menurut Yuniari, justru lebih efisien jika CU bekerja sama dengan provider yang sudah memiliki kompetensi. Perlu juga dibedakan antara CU dengan training center. Yuniari menjabarkan
perbedaan antara keduanya bahwa kalau training center hanya merupakan bagian kecil dari human resource, dan karena lingkupnya kecil biasanya training center hanya menjawab kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya reaktif dan untuk meningkatkan keterampilan kerja tertentu, serta ke arah yang sifatnya belum strategis tapi lebih pada praktek. “CU mungkin lebih strategis dari pada itu. Misalnya begitu perusahaan punya keinginan untuk mendirikan CU, dia harus sudah tahu dulu tujuannya mau apa, kemudian dia lihat kebutuhan masa depannya akan membentuk manusia seperti apa,” tutur wanita yang mengambil gelar MM di Inggris. Saat ini banyak perusahaan yang punya management development program, namun itu belum tentu seideal CU. Tapi meskipun bentuknya belum benar-benar seperti CU, menurut Yuniari, banyak perusahaan di Indonesia sudah memiliki program pelatihan yang bagus. “Jadi mungkin banyak perusahaan yang baru mempunyai training center, belum yang betul-betul terintegrasi seperti CU. Jadi kita harus hati-hati jangan sembarang mengklaim bahwa ia punya CU. Tapi bisa juga di sebuah perusahaan namanya apa tapi sebenarnya sudah berperan seperti CU,” jelasnya. Meski mulai diperhitungkan, keberadaan CU masih banyak didominasi oleh perusahaan besar khususnya miltinational companies (MNC). Sehingga perlu kita pahami apa yang membuat perusahaanperusahaan mau atau tidak membentuk CU. “ Membangun CU itu membutuhkan investasi yang cukup besar. Kadang perusahaan skala kecil beranggapan dari pada membangun CU yang mahal tapi kita tidak punya kompetensi lebih baik tetap pakai lembaga yang memang punya kompetensi,” papar Yuniari. “Tetapi perusahaan yang sudah berkembang mungkin mereka punya kebutuhan ingin punya program pelatihan dan pengembangan karyawan itu yang sifat terintegrasi,” jelasnya lagi. Yuniari menjabarkan ada beberapa hal yang mendorong perusahaan mendirikan CU. Pertama bahwa perusahaan
10
| HumanCapital | Nomor 05 | Tahun 2004 |
ingin betul-betul pengembangan karyawannya bisa mendukung strategi organisasi. Itu dorongan yang paling kuat. Kesadaran bahwa SDM adalah sesuatu yang merupakan intellectual capital bukan lagi hanya sekedar asset. Kedua ada peningkatan kesadaran akan pentingnya proses learning. Karena kreatifitas orang tidak mudah ditiru. Ketiga pimpinan perusahaan memang sudah punya visi bahwa organisasi tidak bisa berkembang tanpa manusianya. Ada banyak investasi di organisasi, nah sekarang banyak yang ingin investasi pada sisi peoplenya, meski tingkat pengembaliannya tidak cepat. Tapi keyakinan tersebut memang ada. Oleh karena itu Yuniari berharap jika perusahaan di Indonesia mendirikan CU bukan karena hanya mengikuti tren tapi memang karena dorongan kebutuhannya. Karena tanpa kajian yang jelas maka hal itu akan gagal dan sia-sia. Bagi perusahaan yang berminat untuk membentuk CU, Yuniari memberikan beberapa kiat untuk mempermudah prosesnya. Kiatnya adalah: 1. CU ini sangat besar jadi harus melalui pembahasan dalam sebuah komite. Harus ada komitmen yang jelas. Kemudian SDM nya harus melibatkan senior manager dari departemen lain dalam perumusan pembentukkan CU. 2. Komite juga harus duduk bersama untuk menentukan ke depannya, akan dijadikan
seperti apakah CU ini. Jangan namanya CU tapi tidak berbeda dengan training center. 3. Strategi pendanaan. Harus juga dipikirkan bagaimana caranya mendanai kegiatankegiatan dalam CU. 4. Menentukan scopenya. Maksudnya semua program learning dan pengembangan ini apakah akan dilaksanakan oleh CU sendiri atau masih akan menggunakan lembaga lain yang juga memiliki kompetensi dalam hal itu. 5. Harus mengidentifikasi kebutuhan pemakai jasa nanti. Ini akan berkaitan dengan pembentukan program yang akan dilaksanakan. 6. Apakah perusahaan mau menjalankan semuanya sendiri atau bekerja sama dengan pihak lain seperti konsultan dan lainnya. 7. Strategi tehnologi informasi. Karena kalau benar yang ingin dibentuk adalah CU dan semua dilakukan manual sangat tidak mungkin. Jadi harus dipikirkan mengenai tehnologi informasinya. Mungkin salah satunya adalah e-learning. 8. Lalu menentukkan apa ukuran keberhasilan dari CU ini. Kalau tidak ada ukuran keberhasilannya, perusahaan sudah dirikan CU lalu hanya berjalan apa adanya kalau tidak dievaluasi, maka perusahaan tidak akan tahu apakah hal itu bermanfaat atau tidak. Komunikasi. Hal ini diperlukan bukan hanya dilakukan saat di awal pembentukkan CU saja, tetapi harus terus dilakukan saat berjalan terutama saat evaluasi■
11
| HumanCapital | Nomor 05 | Tahun 2004 |
BAGAIMANA CARA KERJA CU Idealnya sebuah CU beroperasi di 3 level: LEVEL 1. PERENCANAAN DAN STRATEGI TALENTA Menentukan siapa saja karyawan terbaik, bagaimana memberikan penghargaan dan menahan mereka pada organisasi yang tidak menguntungkan adalah tugas yang sangat berat. Juga mengambil keputusan apakah ia akan dikembangkan atau ditraining atau lebih baik rekrut saja orang luar yang sudah ahli. Perusahaan harus paham tentang pasar tenaga kerja global, di mana saja keahlian bisa didapat atau tidak, kemampuan internal, dan gapnya. CU bertanggung jawab untuk menjamin adanya orang-orang dengan keahlian yang dibutuhkan sebagai antisipasi tren pasar dan produk.
LEVEL 2. RISET Data dan pengetahuan umum tentang pasar, kinerja internal, kinerja kompetitor, tren, dan dampak potensial perlu dimiliki setiap perusahaan. CU seyoganya mengumpulkan, menerjemahkan dan menyebarluaskan informasi tentang tren global, isu-isu yang muncul, ancaman dan peluang potensial, dan minat konsumen. Biasanya riset semacam ini dilakukan oleh departemen pemasaran atau pengembangan strategi. CU bisa bertindak sebagai mitra dalam pengumpulan dan penerjemahan data mentah. CU juga butuh informasi taktis jangka pendek tentang tujuan perusahaan dan butuh alat untuk menentukan apakah
ada gap pengetahuan dan keahlian untuk mewujudkan tujuan itu, dan mengukur seberapa lebar gap tersebut. LEVEL 3. PENGEMBANGAN DESAIN AKTIVITAS DAN IMPLEMENTASI Kebutuhan untuk menyebarluaskan pengetahuan dan keahlian kepada para pekerja yang sibuk, CU harus menemukan cara paling cepat dan efektif untuk menyebarluaskannya. Caranya bisa melalui kombinasi kegiatan dalam kelas atau menggunakan e-Learning, yang disesuaikan dengan gaya belajar para karyawan
MENDESAIN DAN MENGELOLA CU Berikut adalah beberapa langkah untuk mendesain CU: ● Pastikan dengan tim eksekutif senior bagaimana pembelajaran bisa mendukung visi dan strategi organisasi ● Identifikasi bagaimana menyelaraskan fungsi training dengan setiap inisiatif perusahaan ● Ciptakan nama, logo, dan merek CU ● Kembangkan visi, misi, dan pernyataan nilai-nilai dari CU ● Susun inisiatif kunci dan pengukuran sukses ● Telaah kekuatan dan komitmen anggota tim terhadap proses perubahan ● Bekerjasama dengan grup pemasaran untuk menciptakan rencana pemasaran CU ● Susun rencana peluncuran CU dan pastikan ia menyentuh setiap bagian organisasi Setelah diluncurkan, berikut adalah hal-hal yang perlu dilakukan untuk pengoperasian CU: 1. Jadikan pemasaran sebagai kompetensi inti Bekerjasama erat dengan bagian pemasaran untuk membangun merek CU. Perhatikan bagaimana CU diterima oleh konsumen dan pihak-pihak lainnya melalui iklan program dan kegiatan, riset apa yang harus dilakukan, kegiatan Public Relations, dan biaya pendidikan 2. Kelola seperti bisnis CU ibarat sebuah perusahaan, lengkap dengan orang-orang di setiap fungsi. Bisa saja orang itu tidak bekerja penuh, namun bertanggung jawab penuh sesuai tugasnya. 3. Berikan pengakuan terhadap peserta Gunakan media komunikasi internal untuk pengakuan bagi para peserta CU dan siapa saja yang berkontribusi untuk pengembangan lainnya 4. Jadilah fasilitator pembelajaran Meski jajaran puncak perusahaan bukanlah
CU atau bekerjasama dengan ketiga. 8. Evaluasi inisiatif pembelajaran Pengukuran hasil training terbaik adalah menggunakan 4 level evaluasi Donald Kirkpatrick, yaitu: reaksi (bagaimana peserta bereaksi terhadap training), pembelajaran (berapa banyak partisipan belajar dari training), perilaku (seberapa berubah perilaku setelah training), dan hasil (apa tipe hasil yang dihasilkan oleh training)
instruktur yang hebat, namun turun gunungnya eksekutif akan sangat besar manfaatnya bagi keberhasilan program CU. Contohlah Jack Welch yang sebagian besar waktunya menjadi guru di Crotonville 5. Gunakan teknologi Penggunaan teknologi akan sangat membantu penyelenggaraan CU sehingga efisien dan efektif. 6. Berpikir pembelajaran sebagai proses yang terus berjalan Pembelajaran seyogyanya sebuah proses, bukan hanya program atau kegiatan training saja. CU harus mempunyai alat untuk membantu menciptakan sukses dalam perusahaan. Pastikan bagaimana menilai pengetahuan, keahlian, dan kebutuhan peserta; sediakan peluang untuk belajar dalam banyak cara; manfaatkan alat, fungsi dukungan dan cara-cara agar setiap orang bisa mengukur apa yang sudah dipelajarinya 7. Pertimbangkan untuk memberikan sertifikasi atau program bergelar Selain mempertimbangkan kepentingan perusahaan, pertimbangkan pula kemungkinan para karyawan peserta mendapatkan sertifikasi professional atau gelar CU. Pemberian bisa dilakukan sepenuhnya oleh
9. Bangun komunitas praktik Komunitas praktik adalah kelompok orang yang menerapkan pengetahuan bersamanya di dalam pekerjaannya. Bentuknya bisa formal maupun informal dan seringkali memakai bantuan teknologi untuk berkolaborasi. Membangun komunitas membuat organisasi menjadi lebih inovatif. Perluasan pembelajaran akan menjadi lebih cepat ke kelompok di luar itu■
12
| HumanCapital | Nomor 05 | Tahun 2004 |
F O K U S
JALAN INDONESIA MENUJU CU
Kebutuhan perusahaan Indonesia untuk membangun CU tentu saja besar. Astra, Telkom, dan Danamon diperkirakan bisa menjadi pionir – jika mereka mau. Sejauh mana mereka melangkah?
AMDI DAN PERKEMBANGAN BISNIS ASTRA
I
stilah corporate university memang baru dibicarakan, namun keberadaannya diakui cukup dapat membantu sebuah perusahaan untuk maju. Astra Management Development Institute (AMDI) terlihat memiliki karakteristik sebagai corporate university, meski pihak AMDI sendiri belum mengakuinya. “Kami sendiri tidak tahu apakah ini namanya corporate university atau bukan. Kita tidak pernah diskusikan tra hal itu,” ujar Yakub Liman, Chief As Astra Management Development Institute Institute.. AMDI yang berdiri sejak tahun 1989, sampai saat ini dianggap sangat penting bagi perkembangan orang maupun bisnis Astra. Berikut penuturan Yakub Liman lebih jauh: Pendiri Astra, yaitu William Suryajaya selalu menganggap orang sebagai asset yang sangat penting untuk mewujudkan mimpi bisnisnya, dan karena itu beliau sangat yakin sekali dengan pengembangan orang. Bahkan sebelum AMDI berdiri, Astra sudah mempunyai program pengembangan dengan INSEAD sebuah sekolah bisnis dari perancis. Presiden Astra Pak Budi, juga pernah dikirim ke sana. Kerangka kurikulum AMDI juga banyak yang dipengaruhi INSEAD, tetapi sudah banyak perkembangan. Pak William yang committed dengan pengembangan manusia sampai mendonasikan tanahnya untuk membentuk training center. Berawal dari tahun 1992 itu kami mulai belajar bagaimana mengelola training center. Apapun training yang ada di luar dan dibutuhkan Astra, kita bawa ke sini dan dilaksanakan sendiri dengan menggunakan instruktur dari Astra dengan harapan program ini menjadi lebih murah. Tahun 1992 AMDI ini ditransformasikan menjadi management development yang lebih fokus pada pengembangan kepemimpinan. AMDI itu resmi berdiri tahun 1989. Selain AMDI, Astra masih memiliki training lain yang menampung level 1-3 dan4-7 tetapi khusus mengenai bisnisnya saja. AMDI adalah bagian dari Corporate Human Resources Development yang bertugas untuk menjalankan dua hal penting: Pertama bertanggung jawab untuk melakukan pengembangan orang. Karena dari board, AMDI diminta membantu menyiapkan kader-kader pimpinan bisnis yang sejalan dengan kebutuhan bisnis Astra. Kedua, AMDI juga diminta membantu anak-anak perusahaan dalam implementasi sistem
yang disebut sebagai sistem manajemen atau Astra Management system dan juga berkaitan dengan pengembangan orang. Untuk pengembangan orang Astra memiliki sebuah program yang disebut Leadership Development Program, yang merupakan program wajib berjenjang untuk karyawan Astra yang memang dianggap punya potensi untuk dikembangkan ke jenjang yang lebih tinggi lagi. AMDI sebagai tempat pengembangan orang untuk Astra memiliki customers yang pasti yaitu yang pertama adalah direksi Astra. Kedua, AMDI juga melayani seluruh anakanak perusahaan Astra. Selain untuk mengembangkan pemimpin, AMDI juga membantu mengembangkan kompetensi orang-orang Astra. Selain pengembangan orang juga berkaitan dengan system implementation yang disebut sebagai Astra Management System. Ini adaah nilai yang ada dalam Astra tentang pengelolaan pekerjaan sedangkan yang khusus untuk pengelolaan orang, Astra (Human Resources Management) AHRM. Kami membantu anak perusahaan untuk mengimplementasikannya. Masih ada satu bidang lagi yang dilakukan oleh AMDI yaitu strategic studies yang bertujuan melakukan riset dan pengembangan untuk AMDI dan knowledge management yang bertujuan untuk menginstitusionalkan beragam ilmu pengetahuan yang ada di Astra. Jadi kalau ditanya AMDI itu apa, ya tiga hal itu yang dilakukan AMDI ya Management development, Management Improvement
dan Strategic Studies. AMDI terus mengalami peningkatan. Kami bergerak dari training provider menjadi solution provider. Dulu keberadaan kami memang untuk menyediakan program-program yang dibutuhkan oleh orang Astra dengan harga yang terjangkau. Namun, jika hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan Astra dan tersedia di luar, pihak Astra masih mengirim orang untuk training ke luar. Misalnya di luar ada orang yang lebih terampil mengajar itu, buat apa kami buat di sini. Jadi AMDI itu memang spesifik untuk kebutuhan Astra saja dan memang di luar tidak ada. Pemilihan karyawan untuk dapat belajar di AMDI juga harus melalui proses. Karyawan tidak bisa menunjuk dirinya untuk ikut training, itu harus ada proses. Ditentukan oleh perusahaan bahkan untuk program Astra General Management Program pesertanya dipilih dan ditentukan oleh board of director Astra. Mengenai biaya, AMDI tetap mengenakan biaya tapi ditanggung oleh perusahaan mereka yang merupakan anak perusahaan Astra. Investasi untuk pembentukkan corporate university memang cukup besar. Pembangunan gedung AMDI saja memakan biaya sekitar 300 milyar. Namun hal itu tidak menjadi masalah, tergantung dari bagaimana believe dari manajemen terhadap pengembangan orang, karena investasi pengembangan orang itu sulit dilihat returnnya. Tapi ini masalahnya adalah kepercayaan
YAKUB LIMAN. Chief Astra Management Development Institute (AMDI)
bahwa orang itu adalah asset yang sangat berharga. Meski punya infrastruktur yang luar biasa, punya bisnis sebagus apapun, tapi kalau orangnya tidak bagus, perusahaan tidak akan bisa excellent juga. Menanam orang tidak bisa langsung jadi, harus melalui prinsip-prinsip pertumbuhan alami.”
TRAINING AKAN TETAP ADA JIKA CORPORATE UNIVERSITY DIBANGUN
M
eski secara riil belum terbentuk, namun Telkom Regional Divisi II Jakarta sudah merencanakan pembentukan Corprate University (CU) sekitar bulan September-Oktober 2004 mendatang, dengan memanfaatkan knowledge management (KM) sebagai embrio program dan referensi. Menurut Budi Siswanto, Deputy of Head Telkom Regional Divisi II Jakarta, Telkom sedang mencoba mengembangkan suatu sistem pembelajaran di dalam perubahan nilai-nilai di Telkom yang diambil dari suatu strategi perusahaan. Pembentukan CU ini merujuk pada proses pembentukan CU yang sudah dimiliki oleh beberapa perusahaan di antaranya seperti McDonald’s (Hamburger University), Toyota (AMDI) dan Motorola. Sejauh ini, ruang lingkup KM yang dikembangkan Telkom sangat luas, sesuai dengan kebutuhan dalam menghadapi lingkungan bisnis telekomunikasi yang bergerak sangat dinamis dan tumbuh dengan sangat cepat. Secara garis besar, ruang lingkup kebutuhan pembelajaran terbagi menjadi kebutuhan running of business dan kebutuhan business change. Proses pengembangan pembelajaran sendiri dijalankan melalui program formal (certified learning program) maupun non formal yang diwadahi dengan KM. “Namun, yang kami alami di training, lebih banyak kami menghabiskan anggaran dan mengejar angka rasio pelatihan,” papar Budi lagi. Pada akhirnya, fase training terkadang tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan Telkom. Karena itu, dibutuhkan cara untuk meningkatkan kinerja seseorang supaya bisa fit in dalam suatu proses di dalam strategi Telkom. “Jadi, awalnya dari strategi kami dan terjadi dalam sistem strategi kami.
13
| HumanCapital | Nomor 05 | Tahun 2004 |
F O K U S Jangka panjang, merupakan ide awal kami. Kami sedang berpikir bagaimana mengimplementasikannya.” Yang patut disyukuri, lanjut Budi, Telkom memiliki modal yang penting yaitu teknologi informasi (TI), yang bisa diakses semua pegawai Telkom, baik staf maupun di posisi manajer. “Kami sudah bicarakan semua hal, termasuk belajar, yang merupakan satu proses perubahan nilai yang utuh, baik kepada pegawai, pelanggan, pemasok, mitra kerja dan masyarakat. Dan itu terjadi proses learning,” paparnya panjang lebar. Telkom sendiri sudah memberlakukan sistem learning dalam skala kecil dengan nama Gugus Kendali Mutu (GKM) sejak tahun 1986 meski belum berbasis TI. Melalui GKM, muncul pula Base in Training, yaitu training yang setiap kebutuhan dilaksanakan dalam proses kerja. Sistem yang sudah dilaksanakan dalam GKM ini ditarik secara utuh nantinya ke dalam CU dengan strategi yang diterapkan Telkom. Yang membedakan dengan training, proses learning dilakukan sejak di awal, dengan cara didefinisikan terlebih dulu. Basisnya pun tidak lagi dengan biaya, tapi lebih diutamakan bagaimana pengetahuan ini tumbuh. Tidak terhalang oleh biaya maksudnya, di dalam pembangunan sistem CU, tapi tetap terkait dengan biaya orang yang terlibat di dalamnya. “Misalnya, di training, dengan dana sekian rupiah hanya bisa untuk 4 orang, tapi di CU karena diuntukkan e-learning, setiap orang bisa akses langsung dan kapan saja. Jadi sifatnya adalah pengurangan biaya,” ujar Puguh Kariyanto, Chance Agent Manager Telkom Regional Divisi II Jakarta. Walau berkaitan dengan return of investment (ROI), tapi menurut Puguh lagi, hal itu hanya dalam jangka pendek saja. “CU di awal jelas berkaitan dengan ROI, tapi membangun CU kan untuk jangka panjang,” papar Puguh yang memperkirakan anggaran CU mendatang sebesar 15% dari total pendapatan per tahun. Nanti saat dimunculkan CU, sambung Budi, semua yang berkaitan dengan Telkom akan dimunculkan bagi perusahaan dan juga bagi pegawainya. Telkom sendiri mempunyai budaya korporasi, yang disebut “The Telkom Way”, artinya budaya Telkom dimana seluruh pegawai menjalankan pekerjaan dan kehidupan sehari-hari melalui The Telkom way, dengan rumus “Telkom 135”, supaya cepat meresap di semua pegawai. Telkom 135 yang dimaksud adalah, “1” asumsi dasar yaitu commited 2U. Maksudnya, setiap pegawai harus membangun komitmen dasar. Dalam membangun asumsi dasar, harus dibangun pula “3” nilai inti yaitu customer value. Artinya, setiap bekerja, pegawai harus menjabarkan nilai-nilai ke pelanggan. Pelanggan ini selain diri pegawai, juga teman kerja dan atasan. Dalam menciptakan nilai itu, pegawai harus menciptakan servis yang baik dan bernilai bagi pelanggan
BUDI SISWANTO Deputy of Head Telkom Regional Divisi II Jakarta (excellent service). Untuk bisa mewujudkan servis yang baik, pegawai harus bisa menjadi orang yang kompeten (competency people). Dalam 3 pikiran ini sehari-hari, pegawai harus mempunyai “5” perilaku yaitu stretch the goals, yang artinya pegawai harus menetapkan suatu sasaran dan harus di atas kemampuannya. Dengan begitu, akan timbul motivasi untuk belajar mencapai target di atas diri pegawai. Dalam melaksanakan proses, pegawai harus membuat sesimpel mungkin (simplify). “Pangkas semua birokrasi. Kalau bisa dipermudah, kenapa dipersulit ? Kita harus buat sederhana mungkin,” katanya balik bertanya. Ketiga adalah involve everyone. Artinya, harus melibatkan orang yang mampu dan memang bisa bekerjasama dengan pegawai. Keempat, setiap pegawai harus punya budaya kualifikasi (quality is my job). “Disitu adalah kualitas keahlian dan kualitas attitude. Ini harus ada dalam diri kita.” Terakhir adalah budaya reward atau penghargaan dengan berbagai macam bentuk dan cara, bagi pegawai yang sudah melakukan pekerjaan dengan benar (reward the winners). Penghargaan ini merupakan prasyarat untuk menetapkan stretch the goals berikutnya. “Ini kan memacu orang lain dan diri sendiri untuk lebih baik,” katanya. Budi menambahkan, bukan berarti penerapan CU kelak tidak akan menimbulkan permasalahan. Kendala yang akan dihadapi nanti yaitu bagaimana meyakinkan orang untuk bisa terlibat dalam suatu proses belajar seperti seolah dia berada dalam satu universitas. “Bagaimana kami meyakinkan
“Mungkin setiap pegawai akan dapat SKS per tahun atau per semester. Jadi ada ukurannya. Selesai itu, akan ada pengakuan, bisa berupa sertifikat,”
orang, mengajak orang, bahwa dalam bekerja dia juga sebagai mahasiswa yang berada dalam sebuah universitas.” Hambatan lain, adalah kalau pegawai merasakan pelaksanaan CU ini sebagai pekerjaan sampingan, sehingga seolah-olah ada beban tambahan. Untuk memotivasi pegawai, sejauh ini ditandaskan Budi, masih dalam tahap pemikiran. “Mungkin setiap pegawai akan dapat SKS per tahun atau per semester. Jadi ada ukurannya. Selesai itu, akan ada pengakuan, bisa berupa sertifikat,” tukasnya. Untungnya, sudah sejak lama Telkom mencoba sistem learning melalui komputer dengan beberapa cara seperti pemberian slip gaji melalui komputer, juga absensi pegawai yang bisa dipantau masing-masing oleh setiap pegawai dan level manajer. Kendati kelak akan dibangun CU, training tetap akan diadakan untuk hal-hal tertentu. Ini ditegaskan oleh Puguh. Menurut Puguh, dengan adanya CU, training tidak akan dihilangkan begitu saja. “CU bukan suatu lembaga yang akan menggantikan departemen training. Sebenarnya yang kita lakukan adalah membangun sebuah KM dengan sistem e-learning. Disitu terjadi pembelajaran,” kata Puguh. Senada dengan Puguh, Budi juga mengatakan bahwa dalam training, jajaran direksi tidak diikutsertakan. Lain hal jika di CU yang mewajibkan pegawai dari level atas hingga level bawah untuk mengikuti CU. “CU itu kecenderungannya individual, tanpa menoleh kiri kanan. Padahal seharusnya bisa tukar pendapat dengan sekitarnya. ini hanya ada dalam training,” ujar Budi mengakhiri perbincangan
PERSEMBAHAN GE BAGI PENGEMBANGAN KARYAWAN DAN KOMUNITASNYA
S
aat ini, banyak perusahaan tengah memfokuskan diri pada pengembangan karyawannya. Anggapan bahwa manusia adalah asset yang paling penting bagi perkembangan sebuah perusahaan, kini pun mulai disadari banyak pihak. Dan salah satu cara pengembangan karyawan adalah dengan memberikan training-training yang bermanfaat dan juga pembentukkan sesuatu yang lebih dari sekedar training center, atau yang kini disebut corporate university (CU). GE, sebuah perusahaan Internasional ternyata memiliki program pengembangan karyawan terutama untuk mencetak para pemimpinnya di masa datang dengan sangat matang. Bahkan program ini bukan hanya diperuntukkan bagai karyawan GE semata, melainkan juga mengembangkan caloncalon pemimpin yang mungkin ada di komunitas sekitarnya. “Kami punya pro-
gram ACFC (at the customer for the customer). Dengan program ini share, kami sampaikan apa yang kita miliki tentang management tools atau skill. Dengan perhitungan kami membantu membangun komunitas. Karena jika customer maju, mudah-mudahan kami juga ikut maju. Ini juga menyangkut banyak negara bukan hanya Indonesia, tetapi ada juga Thailand, Malaysia, dll,” papar Satya Heragandhi Country Leader for GE Transportation untuk Indonesia dan Vietnam. GE memiliki sebuah fasilitas untuk melakukan training yang telah berdiri sejak tahun 1956. Tempat ini mereka sebut dengan nama “John F. Welch Leadership Development Center”. Karena letaknya di Crotonville, banyak yang menyebutnya dengan sebutan Crotonville. Inilah training center tertua yang dimiliki oleh GE. “J.F. Welch Leadership Center adalah sekolah bisnis pertama di mana karyawan GE bisa belajar menangani masalah-masalah dalam bisnis dari seluruh dunia dan berbagi pengetahuan dengan customers, suppliers dan para kolega,” tutur Raechanah Syafei, Human Resources Director GE Indo-
SATYA HERAGANDHI. Country Leader for GE Transportation untuk Indonesia dan Vietnam nesia. “John F. Welch Leadership Center mempunyai peranan sebagai agen dari perubahan budaya di GE,” tambahnya lagi. Untuk dapat belajar di Crottonville, bukan dengan proses yang mudah. “Ini sesuatu yang jadi impian semua orang di GE. Karena kalau masuk ke situ seolah-olah punya kesempatan ada certain kind of skill tertentu yang bisa diharapkan dari sana,” tutur Satya. Tidak seperti training center pada umumnya, menurut Satya, di Crotonville peserta akan diberi materi yang memang sangat dibutuhkan. “Sehingga secara otomatis mereka akan melihat GE itu terbentuk karena ada kualitasnya, tidak harus selalu saya bercerita bahwa solusi/ style saya itu yang nomor satu, biarkan orang melihat apa yang kami lakukan itu bermanfaat buat mereka atau tidak. Kalau itu bermanfaat bagi mereka, mereka akan bilang waduh kita beruntung bisa ikut program ini dan saya rasa memang berman-
14
| HumanCapital | Nomor 05 | Tahun 2004 |
F O K U S faat,” tambahnya lagi. Seperti dikatakan sebelumnya bahwa proses seleksi untuk bisa pergi ke Crotonville bukanlah hal yang mudah. Masih menurut Satya, mereka yang dipilih untuk ke Crotonville adalah mereka yang memiliki potensi untuk menjadi pemimpin di masa mendatang. “Sedangkan kualifikasi para customer yang akan diajak ke crottonville itu sulit diterjemahkan, kalau dia dilihat oleh komunitas terdekatnya sebagai potential leader itu sudah minimal kualifikasi yang kami perlukan. Dan itu bukan kami yang menentukan. Misalnya kami masuk ke BUMN A, kami tanya ke teman-teman di sini siapa yang orang muda atau orang kayaknya akan mungkin menjadi leader ke depan. Nah dari situ kami akan lihat orang yang akan menjadi future leader, orang-orang ini yang harus kami bantu,” jelas pria yang juga pernah menjadi Business Development Director GE untuk Indonesia.
RAECHANAH SYAFEI. Human Resources Director GE Indonesia
Menurut Satya, Asia Executive Program Crotonville ini pertama kali tahun 19961997, kemudian pada saat krisis program ini sempat terhenti karena pada saat itu customer lebih berkonsentrasi untuk membenahi perusahaannya. “Tahun 20012002 kami mulai menghidupkan kembali program ini, karena terbukti bahwa apa yang dulu dikirim tahun 1996-1997, tahun 20012002 justru pada saat krisis, yang maju adalah orang-orang yang kebetulan dulu ikut program ini”, ungkap pria yang pernah mengikuti program Crotonville tahun 2003. “Di sana suasana dibuat sangat menarik dan tidak mewah, tapi convenient. Jadi untuk apapun you don’t have to leave the facilities,” tambahnya. Satya mengakui setelah pergi ke Crotonville, ia merasa lebih lengkap. “Di sana itu saya dibukakan pintu sehingga saya punya frame yang lebih luas tentang apa saja yang dibutuhkan untuk membuat the right decision,” jelasnya mengakhiri
How to re-design HR systems in order to Keep Continuous Growth in Asian Market TARGET OF THIS SEMINAR
Beyond the era of economic crisis, Asian countries started to achieve steady growth. With this environment changes, we can see the movement inside the labor market and some companies are suffering from retention the talented employees. To cope with this situation, many Japanese companies in ASEAN region are considering revising HR management systems. What is the key point for re-designing HR system? It would be not just introducing ‘Hard ware’ like ‘HR systems of western style’ or ‘HR system based on the concept of Job’. We have to consider the strength of the Japanese company and figure out the essence and we have to strengthen the essence when we re-design new HR systems. For this seminar, we would like to share and discuss about the way of re-designing new HR system from ‘People’ side and ‘Business’ side.
SEMINAR SCHEDULE
SEMINAR DETAILS
The sessions will be conducted from 9.00 a.m. to 4.00 p.m. Registration is from 8.30 a.m. to 9.00 a.m. Seminar Date: 23 August 2004 (Monday) Venue: JW MARRIOTT HOTEL, Dua Mutiara 1 Jl. Lingkar Mega Kuningan Kav.E.2. No. 1 & 2, Jakarta Seminar fee: 1-day program: Rp. 1.000.000 (VAT exclusive) for one delegate, special discount for payment before 12 August 2004. Seminar size: 30-35 participants Language: Japanese Instructors*: Koji Suzuki and Ken Sakamoto, Watson Wyatt (Japan) Ltd.
SEMINAR FEE
1 day course
1. Consider new HR system from ‘People’ side ·Key points to be considered before re-designing HR system ·Key points of Grading/ Band system ·Key points of Appraisal system ·Key points of Compensation system 2. Case Study ·Discuss from the learning from case study, and consider the total framework and priorities for re-designing new HR systems 3. Consider new HR system from ‘Business’ side ·Why we have to consider business side? ·Basic concept of ‘Business Platform’ ·How to develop and clarify the business platform 4. Case Study ·Figure out and discuss the essence of the problem and make hypothesis for re-designing new business platform
Instructors* Koji Suzuki, Consultant He has been consulting on human resource management at Watson Wyatt K.K. He is experienced in designing organization/human resources management system to performance-based HR systems. His clients are belonging to many industries such as pharmaceutical, manufacturing, consumer products, trading and financial industries. Also multinational companies having operations in Japan, Asian countries and China are his clients. Ken Sakamoto, Consultant Mainly engaged in, and managed consulting projects on Reengineering of Operation Process and Management Process for clients in variety of industries such as electric power, communication networks, transportation, temporary employment agencies, chain stores, and trading firms.
For further information, please contact Lisbeth Simbolon Tel: (021) 5762635 ext. 211 Fax: (021) 5762639 Email:
[email protected] PT Watson Wyatt Indonesia
15
| HumanCapital | Nomor 05 | Tahun 2004 |
F O K U S
BAGAIMANA PERUSAHAAN GLOBAL MELAKUKANNYA? Walt Disney, McDonald’s, GE, Motorola, dan Oracle adalah contoh-contoh perusahaan raksasa yang membangun corporate university sejak awal secara serius. Hasilnya, sangat mencengangkan. Mereka selalu selangkah di depan pesaing.
DISNEY UNIVERSITY
W
alt Disney Company, yang juga memiliki saham mayoritas di jaringan TV dan radio ABC di Amerika Serikat, adalah salah satu contoh perusahaan yang menjadi pionir dalam mendirikan Corporate University dengan nama Disney University (DU). DU adalah wahana sosialisasi internal dan training kelompok usaha Disney. Melalui DU yang berlokasi di Florida, Disney melakukan indoktrinasi, penyelarasan total, dan membangun rasa elitisme kepada setiap karyawannya. Training atau kursus-kursus didesain agar karyawan baru memahami betul tradisi, filosofi, organisasi, dan cara Disney melakukan bisnis. Perusahaan mewajibkan setiap karyawan – apapun level maupun posisinya – untuk menghadiri masa orientasi karyawan baru (sering disebut dengan Disney Traditions) yang diajar oleh pengajar dari DU. Disney menaruh perhatian besar terhadap upaya menyaring dan melakukan sosialisasi terhadap para pekerja dengan mengajak mereka memahami tema-tema taman rekreasi milik perusahaan. Setiap kandidat karyawan setidaknya harus melalui seleksi oleh minimal 2 orang pewawancara. (Tahun 1960-an, Disney bahkan mewajibkan seluruh pelamar untuk mengikuti tes personalitas yang ekstensif, red). Dalam merekrut karyawan, Disney dikenal sangat ketat, termasuk dalam hal kerapihan berpakaian. Jangan harap pria atau wanita berpenampilan aneh-aneh diterima bekerja. Tahun 1991, sejumlah karyawan Disneyland melakukan demo memprotes aturan penampilan itu. Disney kemudian memecat pimpinan demo dan tetap memberlakukan aturan tersebut. Seluruh karyawan yang baru direkrut mengikuti program training beberapa hari,
di mana mereka dengan cepat belajar istilah baru. Misalnya, karyawan disebut “kru kasting”, pelanggan disebut “para tamu”, sebuah kerumunan disebut “hadirin”, kerja giliran disebut “performans”, sebuah pekerjaan sebagai “komponen”, rincian kerja sebagai “naskah skenario”, seragam kerja sebagai “kostum”, lagi bekerja disebut “lagi di atas panggung”, lagi libur disebut “lagi di belakang panggung”. Istilah-istilah baru itu ditanamkan dalam seminar orientasi oleh pendidik berpengalaman. Para kru kasting akan selalu ditanyakan tentang berbagai karakter, sejarah, mitos, dan ideology Disney. Termasuk tentang apa yang dikerjakan oleh perusahaan, yaitu membuat orang lain gembira (it makes people happy). Seminar orientasi berlangsung dalam ruangan training yang didesain khusus, yang ditempeli foto dari pendiri Walt Disney dan karakterkarakternya yang terkenal macam Mickey Mouse, Snow White, dan Seven Dwarfs. Seperti yang diuraikan dalam video karya Tom Peter, hal ini bertujuan menciptakan ilusi seakan-akan sang pendiri Walt hadir di ruangan itu, mengucapkan selamat datang kepada karyawan baru. Tujuan akhirnya adalah agar setiap karyawan merasa sebagai mitra dari pendiri Disney. Para karyawan bisa membaca buku teks DU yang secara tegas menguraikan: Di Disneyland, kita semua akan merasa capai, tetapi tidak pernah merasa bosan. Kendati pada saat yang paling melelahkan pun, kita harus tetap gembira. Anda haruslah selalu tampak tersenyum sepenuh hati. Yang datang dari dalam sanubari…. Bilamana tidak ada lagi yang bisa membantu, ingatlah bahwa Anda dibayar untuk tersenyum. Setelah masa orientasi di dalam kelas, setiap kru kasting baru didorong untuk saling berinteraksi satu sama lain dengan rekan kerja yang akan membawanya ke dalam nuansa pekerjaan tertentu. Disney menerapkan aturan ketat dalam hal bersikap
dan berperilaku, meminta seluruh karyawan untuk secepatnya menanggalkan personalitas yang tidak sesuai dengan skenario perusahaan. Majalah Training menulis: “Tidak ada yang tidak terencana bagi karyawan baru di Disney. Hari pertama setelah program orientasi Disney diisi dengan pengepasan seragam (kostum), training, dan bertemu kru lainnya. Semuanya itu ditampilkan seakan-akan menghadapi para pengunjung pusat rekreasi mereka.” Cara Disney melakukan indoktrinasi visi, misi, tujuan, sistem nilai, dan budaya perusahaan memang sangat istimewa. Bukan hanya karyawan saja yang terpengaruh olehnya, namun termasuk juga konsumen atau pelanggan loyal Disney. Padahal, sang pendiri – Walt Disney – sudah lama tiada. Hingga kini, DU telah memungkinkan Disney Compay berkembang secara sehat dan kuat, berhasil bertahan dari terkaman perusahaan raksasa lainnya seperti yang terjadi pada Columbia Pictures dan Time Warner.
CROTONVILLE (GE) UNIVERSITY
B
anyak orang yang terkesima dengan nama besar Jack Welch, yang digambarkan sebagai tokoh bisnis paling legendaris di dunia. Bayangkan, ia menjadi CEO General Electric Company tahun 1981, dan satu dekade kemudian telah menjadi legenda di masanya. Majalah Fortune menyebut, Welch diakui secara luas sebagai master dari perubahan perusahaan sepanjang masa. Membaca artikel tentang revolusi yang dihadirkan Welch, semua orang – boleh jadi – akan terdorong untuk
CROTONVILLE (GE) UNIVERSITY menggambarkan dia sebagai penyelamat perusahaan yang sedang dalam kesulitan dan sulit berubah sejak ditemukannya listrik. Tanpa mengetahui latar belakang Welch dan sejarah GE, kata James C. Collins dan Jerry I. Porras, kita semua larut dalam pemikiran bahwa Welch didatangkan dari luar sebagai darah segar untuk mengelola perusahaan raksasa itu. Sesungguhnya Welch adalah murni produk GE. Ia bergabung dengan perusahaan langsung begitu lulus dari universitas sebulan sebelum ulang tahunnya yang ke25. Inilah pekerjaan penuhnya yang pertama dan ia bekerja 20 tahun penuh sebelum menjadi CEO. Seperti halnya para pendahulunya, Welch muncul dari dalam perusahaan. Tentu saja Welch tidak mewarisi perusahaan yang salah urus. Sedikit berlawanan, pendahulu Welch, Reginald Jones, pensiun sebagai “pemimpin bisnis yang paling dikagumi di Amerika”. Sebuah survei yang dilakukan koleganya di majalah US News & World Report menempatkan Jones sebagai orang yang paling berpengaruh di dunia bisnis saat itu. Bukan hanya sekali, tapi dua kali, tahun 1979 dan 1980. Survei serupa dalam Wallstreet Journal dan majalah Fortune juga menempatkan Jones di posisi puncak, dan poling Gallup menempatkan ia
16
| HumanCapital | Nomor 05 | Tahun 2004 |
F O K U S sebagai “CEO of the Year” 1980. Dari segi indikator keuangan, seperti pertumbuhan laba, return on equity, return on sales, dan return on assets, kinerja GE dalam 8 tahun kepemimpinan Jones lebih baik daripada 8 tahun pertama kepemimpinan Welch. Lebih jauh, Welch bukanlah agen perubahan atau innovator manajemen pertama dalam sejarah sukses deretan CEO GE. Di bawah pimpinan Gerard Swope (19221939), GE bergerak cepat ke bidang peralatan rumah tangga. Swope juga memperkenalkan ide “pencerahan manajemen” – sesuatu yang sangat baru di GE di era itu – dengan tanggung jawab seimbang terhadap karyawan, pemegang saham, dan pelanggan. Di bawah pimpinan Ralph Cordiner (1950-1963) dan slogan “Go for it”, GE memasuki berbagai arena bisnis baru – peningkatan 20 kali lipat segmen pasar yang dilayani. Cordiner secara radikal merestrukturisasi dan mendesentralisasi perusahaan, melembagakan filosofi management by objective (salah satu perusahaan pertama yang menerapkannya di Amerika), membangun Crotonville di New York (pusat pelatihan dan indoktrinasi manajemen GE yang terkenal), dan menulis buku berpengaruh New Frontiers for Professional Managers. Masa kepemimpinan Fred Borch (19641972) adalah era pengembangan kreatif dan keberanian untuk berinvestasi di arena mesin pesawat jet dan komputer. Selanjutnya Reginald Jones (1973-1980) menjadi pemimpin yang mengubah hubungan bisnis dengan pemerintah. Tak dapat dipungkiri, GE memiliki tradisi kaderisasi yang hebat. Crotonville telah menjadi universitas bagi seluruh jajaran manajemen GE di seluruh dunia, di samping juga bagi para pelanggan dan eksekutifeksekutif non-GE yang beruntung. Itulah kehebatan GE. Ia tidak menutup diri dari masuknya eksekutif perusahaan lain untuk menimba ilmu dan berbagi pengalaman di Crotonville. Misi dari Crotonville adalah mengembangkan pemimpin, memperkenalkan perubahan cultural dan menyebarluaskan inisiatif kunci di seluruh perusahaan GE. Orang-orang GE menyebut Crotonville sebagai tempat di mana orang-orang bekerja, belajar, dan berbagi melintasi batas – dan di mana para pelanggan merasakan langsung kultur dan kemitraan GE. Ia adalah tempat pertukaran informasi yang vital untuk: ● Mendidik karyawan, fokus pada kepemimpinan, perubahan, Six Sigma, e-Business, dan berbagai inisiatif korporasi kunci lainnya ● Mengkomunikasikan dan memperkuat komitmen karyawan terhadap GE dan nilainilai GE ● Membangun jembatan melintas batas dengan menyediakan kesempatan bagi karyawan untuk berinteraksi secara lintas bisnis, fungsi-fungsi, dan hirarki ● Meningkatkan fokus pelanggan; membangun hubungan dengan pelanggan strategic dan konstituen kunci lainnya Besarnya jasa Welch telah mendorong manajemen GE memberi nama fasilitas training GE yang berusia 45 tahun itu dengan The John F. Welch Leadership Development Center pada sebuah acara pada
Jack Welch. Buah tradisi GE 6 September 2001. Penghargaan itu diberikan oleh Jeffrey R. Immelt (Chairman dan CEO GE penerus Welch) dan William Donaty, Senior VP Corporate Human Resources GE untuk memperingati penundaan pensiun Welch setelah 20 tahun penuh menjabat Chairman dan CEO GE. “Tidak ada tempat lain yang secara jelas menunjukkan spirit Welch selain di Crotonville ini,” tutur Immelt, sambil menambahkan, “Jack mengenali sejak dini nilai dari Crotonville dan memanfaatkannya bukan hanya untuk memberikan pendidikan lebih baik bagi karyawan GE, tapi juga sebagai medium untuk menyebarluaskan perubahan kultur dan pemikiran yang membuat GE bisa seperti sekarang. Crotonville selalu memiliki tempat istimewa dalam hati Welch.” Hampir dua dekade Welch mengajar di Crotonville. Crotonville menyediakan kelas-kelas modern terhadap karyawan dan pelanggan GE dalam bidang manajemen bisnis, pengembangan kepemimpinan, keuangan, penjualan, dan pemasaran. Pusat pendidikan ini juga memberikan training untuk melembagakan inisiatif perusahaan di era Welch, seperti Six Sigma, Work-Outtm, dan Change Acceleration. Bangunan yang ada dilengkapi dengan fasilitas audio, visual, dan komputer berteknologi canggih. Bangunan tempat tinggal memiliki 188 ruang tamu untuk menampung partisipan selama kursur, yang berlangsung mulai dari sehari hingga 3 minggu. Ribuan karyawan dan pelanggan GE dari seluruh dunia datang bersama-sama ke Crotonville setiap tahunnya untuk mengidentifikasi peluang dan berdebat tentang berbagai isu yang dihadapi bisnis di seluruh dunia
HAMBURGER UNIVERSITY
H
amburger University (HU) adalah pusat training manajemen McDonald’s di seluruh dunia berlokasi di Oak Brook, Illinois. Lembaga ini didesain secara eksklusif untuk mendidik karyawan McDonald’s Corporation ataupun karyawan pemegang hak waralaba Mc-
Donald’s di seluruh dunia. Lembaga ini didirikan tahun 1961, lama setelah McDonald’s membuka fasilitas training pertama di basemen restoran McDonald’s di Elk Grove Village, Illinois. Semenjak itu, HU sudah pindah dua kali dan jumlah peserta per kelas berkembang dari rata-rata 10 orang per kelas menjadi lebih dari 200 orang per kelas. HU kini berlokasi di Kampus McDonald’s, Oak Brook, seluas 130.000 kaki persegi, yang dilengkapi oleh fasilitas state of the art. HU memiliki 17 kelas pengajaran, sebuah auditorium berkapasitas 300 tempat duduk, dan empat ruang khusus untuk pendidikan interaktif. Dewasa ini, lebih dari 73.000 manajer restoran McDonald’s telah lulus dari HU. Mereka berasal dari 119 negara. Angka fantastis itu menjadikan McDonald’s sebagai pusat training terbesar, melampaui Angkatan Darat Amerika. Setiap karyawan restoran mendapatkan training 32 jam pada bulan pertama dengan McDonald’s. Setiap tahunnya, HU dihadiri oleh 5.800 peserta. Tim pengajarnya terdiri dari 16 profesor tetap internasional. Tersedia perangkat penerjemah elektronik untuk membantu penerjemahan materi pelajaran ke dalam berbagai bahasa utama. Para professor bisa mengajar dan berkomunikasi dalam 28 bahasa secara serentak. Selain fasilitas training di Oak Brook, McDonald’s juga mengelola 10 pusat training internasional, termasuk Hamburger University di Inggris, Jepang, Jerman, dan Australia. Keragaman kebangsaan yang ikut pendidikan di HU ataupun yang bergabung dengan McDonald’s mencerminkan filosofi sang pendiri McDonald’s Ray Kroc: “None of us is as good as all of us.” McDonald’s berusaha keras untuk memberikan training
dan peluang karir/pembelajaran jangka panjang sebaik mungkin sesuai dengan visi perusahaan untuk menjadi pengembang terbaik sumberdaya manusia di dunia. McDonald’s memang memiliki komitmen tinggi mengembangkan orang-orangnya di setiap level organisasi dari karyawan restoran hingga eksekutif. Sebanyak 70% eksekutif McDonald’s mulai bekerja sebagai karyawan restoran McDonald’s. President dan CEO McDonald’s Charlie Bell mulai berkarir sebagai karyawan restoran. Begitu pula President McDonald’s Asia/Pasifik, Timur Tengah dan Afrika, President McDonald’s Amerika Latin dan Canada Ed Sanchez, dan Senior Chairman Fred Turner. Sedangkan Vice Chairman Jim Skinner mulai sebagai management trainee. Selain itu, seluruh operator atau pemilik hak waralaba juga harus mulai sebagai karyawan restoran. Sebelum menjadi pemegang hak waralaba McDonald’s di Indonesia, Bambang Rachmadi – misalnya – juga harus menjadi karyawan sebuah restoran McDonald’s. McDonald’s menempatkan HU sebagai cawah candradimuka untuk penggodokan kader-kader pimpinan. Di sini para karyawan dari seluruh dunia belajar tentang kualitas, layanan, kebersihan, nilai-nilai dan prinsipprinsip inti McDonald’s. Seluruh training McDonald’s di setiap negara harus melalui uji lapangan dan departemen desain dari HU. Lebih dari 1,5 juta orang bekerja untuk membentuk sistem McDonald’s global. Bagi mereka, bisnis hamburger tak hanya sekedar membuat hamburger, tetapi lebih kepada membangun orang, baik pelanggan maupun karyawan. Itu tercermin dari komitmen perusahaan terhadap para karyawannya: We value you, your growth and your contributions
Dekan Hamburger University
MOTOROLA UNIVERSITY
S
ama dengan raksasa GE, Motorola juga membangun Motorola University tidak hanya untuk memberikan pendidikan dan pelatihan bagi para karyawan, tetapi juga bagi para pemasok atau mitra bisnis. Perusahaan peralatan telekomunikasi ini membagi Motorola University (MU) menjadi 2 bagian: Motorola University’s Galvin Center untuk pelatihan bagi para karyawan dan Motorola University West untuk pelatihan bagi para pemasok atau mitra bisnis. MU didirikan tahun 1987 berlokasi di
17
| HumanCapital | Nomor 05 | Tahun 2004 |
F O K U S kampus kantor pusat Schaumburg. Pusat pelatihan ini memberikan pelatihan dalam seluruh aspek bisnis mereka: mulai dari hal yang sangat dasar di bidang software hingga proses mutu Six Sigma. Program pendidikan dikelola oleh lebih dari 100 staf dan instruktur dari luar setiap minggunya serta melatih sekitar 100.000 peserta setiap tahunnya. Galvin Center merupakan salah satu pusat training terbesar Motorola, tetapi itu bukan satu-satunya. MU juga memberikan training melalui pusat pelatihan di kantor cabang dan pusat training lainnya di seluruh dunia. Galvin Center baru saja selesai merenovasi secara besar-besaran 21 ruang kelas yang ada sebagai bagian dari upaya memberikan metodologi training terbaik bagi para peserta. Berbagai media teknologi mutakhir disediakan dan semuanya terhubung dengan sistem kontrol jaringan Panja WebLinx, pertama di Amerika Serikat. Introduksi teknologi tinggi itu juga berbarengan dengan upaya Motorola untuk menerapkan pula e-Learning, khususnya untuk meminimumkan biaya perjalanan bagi karyawan yang tinggal di tempat jauh. Namun, Motorola tetap merasa bahwa pelajaran di dalam kelas tetap lebih efektif sehingga Motorola berusaha keras agar sebisanya para karyawan ikut training di dalam kelas.
Setiap ruang kelas Galvin Center bisa menerima materi bergerak (streaming) melalui LAN (Local Area Network) maupun untuk menyiarkan dengan menghubungkannya dengan kamera portable. Kamera itu terhubung dengan server yang berlokasi di ruang belakang kelas. Sistem yang baru memungkinkan 4 staf untuk mendukung 16 ruang kelas, 8 lab komputer, 4 ruang konferensi, sebuah ruang e-Learning jarak jauh, Motorola Museum of Electronics, Museum Auditorium, dan ruang-ruang training terpisah di Arlington Heights dan Harvard, Illinois. Fasilitas Galvin Center dimanfaatkan pula malam hari dan hari libur menjadi kampus satelit oleh 7 universitas lokal: Illinois Institute of Technology, Roosevelt University, National-Louis University, the University of St. Francis, Lake Forest College, National Technological University, dan mulai tahun ini Northwestern University. Itu sebabnya, utilisasi Galvin Center mencapai 80% pada hari kerja dan hampir 100%pada malam hari maupun hari libur. Bila Galvin Center diperuntukkan bagi para karyawan Motorola, MU West didedikasikan untuk memberikan keahlian dan pengetahuan kepada pelanggan Motorola. Misi lembaga ini adalah menyediakan solusi pembelajaran untuk klien regional dan global yang selaras dan memberi nilai tambah
bagi bisnis mereka. Visinya menjadi agen perubahan dan sebagai model untuk pembelajaran seumur hidup, sehingga berkontribusi bagi kesuksesan bisnis Motorola dan meningkatkan kualitas hidup orang-orang Motorola. MU West menjadi bagian pula dari proses jaminan mutu produk dan layanan Motorola. Mutu memang menjadi prinsip dasar bisnis dari Motorola. Sesuai keyakinan perusahaan, kinerja bisnis yang tinggi dan mutu excellent hanya bisa diperoleh bila seluruh karyawan dan pemasok bekerja bersama-sama dengan objektif yang sama pula. Sejauh ini, para pelanggan sangat puas dengan kiprah MU West, dan menyebutnya sebagai mitra yang sangat proaktif dan memberikan nilai tambah dalam penyebarluasan keahlian dan pengetahuan yang mereka butuhkan untuk sukses
ORACLE UNIVERSITY
T
raining bagi jawara aplikasi bisnis ERP (Enterprise Resources Planning) ini dijadikan sebagai wahana untuk membantu pemasaran. Bahkan, paket train-
ing yang disediakan oleh Oracle University (OU) juga dijual kepada para peminat karena tingginya minat pelaku bisnis software untuk memperoleh sertifikasi implementasi software Oracle. Seperti diketahui, Oracle memiliki banyak implementor solusi di setiap negara. Perwakilan training akan bekerjasama dengan peminat untuk memberikan solusi training sesuai kebutuhan. Tujuannya untuk membantu kelompok kerja, departemen, ataupun perusahaan global mencapai hasil yang mereka idamkan. OU menyediakan layanan pembelajaran organisasi dan produk training yang lengkap berikut para manajer training. Dengan mengemas layanan dan metode training dalam satu paket, OU yakin bisa memberikan efektifitas dan nilai maksimum kepada klien. Berikut adalah layanan dan produk training yang disediakan oleh OU: ● Rencana training yang dipersonalisasikan ● Kegiatan training privat ● Pendaftaran grup untuk training online ● Konfigurasi perpustakaan untuk pembelajaran sendiri yang disesuaikan ● Training khusus untuk pemakai akhir produk eBusiness Suite dengan tutor Oracle Oracle iLearning – Learning Management System
Formulir Berlangganan Pembaca yang terhormat, z Tabloid Human Capital ( HC ) merupakan media pertama di Indonesia yang berfokus pada berita dan informasi seputar Sumber Daya Manusia dan penyajian informasi sangat informatif serta disain tabloidnya sangat menarik. z HC ditujukan bagi berbagai kalangan dan terbuka bagi siapa saja yang tertarik pada sumber daya manusia. z Dengan ragam rubrikasi yang sangat menarik untuk pengembangan karir, kiat sukses, isu permasalahan dan alternatif solusi di bidang sumber daya serta rubrik lainnya. z HC merupakan media komunikasi potensial bagi para pengguna iklan untuk memasarkan produk maupun corporate image mengingat pembaca tabloid HC adalah kalangan menengah, menengah atas z Untuk itu, kami memberikan penawaran yang menarik & mudah kepada Anda guna mendapatkan Tabloid Human Capital (HC) setiap terbit / edisi dengan cara berlanggan. z Cukup dengan menghubungi nomor telepon telepon (62-21) 5220575 - 52901022 atau mengirimkan form langganan ke faksimili (62-21) 52901024. Kami pastikan Tabloid Human Capital (HC) akan hadir tepat waktu di alamat yang Anda kehendaki. Terima kasih.
Mohon dikirim tabloid HC Nama Perusahaan / instansi Alamat Telp Alamat Rumah Telp E-mail Pesanan tiap edisi
HumanCapital, untuk dan atas nama kami : : …………………………………….. : …………………………………….. Jabatan : ……………………………….……. Kota : ……………………………….……. Kode pos : …………………………………….. Faks : ……………………………….……. : ……………………………….……. Kota Kode pos : ……………………………….…….. Faks : ……………………………….…….. : …………………… Eksemplar Mulai edisi : ……………….… s/d ………
: ……………………………… : ……………………………… : ……………………………… : ……………………………… : ……………………………… : ……………………………… : ………………………………
Daftar Harga Langganan (per-eksemplar) Harga : Rp. 6.750,- / Eksemplar Periode 2 tahun (24 edisi) 1 tahun (12 edisi)
Harga Normal Rp. 162.000,Rp. 81.000,-
Diskont 20% (Rp.32.400,-) 10% (Rp.8.100,-)
Harga Pelanggan Rp. 129.600,Rp. 72.900,-
* Untuk Pelanggan di luar Jakarta tambah ongkos kirim Pembayaran :
………, ………………………………. 2004 Hormat kami,
Transfer a/n PT. Bina Semesta Giartha Lestari, Citibank No. Rek. 800333494690 (bukti transfer dikirim melalui faksimili) ( ………………………………)
PENAWARAN KHUSUS Lengkapi referensi Anda dengan Tabloid HC 1, 2, dan 3. Tiga edisi hanya Rp15.000,- (di luar ongkos kirim). Hubungi TOMY untuk pemesanan di telp. 021-5220575; fax. 021-52901024
18
| HumanCapital | Nomor 05 | Tahun 2004 |
H C
T r
e n d
BERLOMBA MENDAPATKAN SERTIFIKASI PROFESIONAL
Tidak semua orang ingin meraih gelar S1, S2, S3. Sebagian memilih pendidikan professional sebagai jalan meraih sukses. Apa manfaat sertifikasi professional itu, dan apa saja pendidikan professional bersertifikat yang tersedia?
D
icari Direktur Utama oleh sebuah perusahaan broker asuransi. Syarat, antara lain, memiliki sertifikat ABAI (Asosiasi Broker Asuransi Indonesia). Begitulah bunyi sebuah iklan di media massa nasional belum lama berselang. Iklan lain berisi lowongan kerja buat manajer teknologi informasi namun harus memiliki sertifikat professional integrasi UNIX/ Microsoft Windows NT. Masih banyak iklan lowongan kerja lainnya yang mensyaratkan kandidat harus memiliki sertifikasi profesional di bidangnya. Pesan di balik berbagai iklan-iklan itu, ada kriteria-kriteria professional yang harus dipenuhi seorang kandidat untuk bisa mengemban sebuah jabatan atau posisi professional. Dalam praktiknya, hampir di setiap profesi tersedia sertifikasi professional. Sebagian sertifikasi itu berlaku secara internasional, namun sebagian lagi hanya berlaku dalam lingkup nasional. Sertifikasi professional yang berlaku secara internasional, antara lain, Chartered Financial Analyst (CFA) di bidang keuangan, Certified Public Accountant (CPA) di bidang
akuntansi, Professional in Human Resources (PHR) dan Senior Professional in Human Resources (SPHR) di bidang sumberdaya manusia, Certified Compensation Professional (CCP), Certified Benefits Professional (CBP), dan Global Remuneration Professional (GRP) di bidang kompensasi dan benefit, dan banyak lagi. Sedangkan sertifikasi professional yang berlaku nasional, di antaranya, kurator dan konsultan hukum di bidang hukum, notaris, sertifikat ABAI di bidang broker asuransi, dan sebagainya. Secara definisi, sertifikasi merupakan pengakuan terhadap profesionalisme seseorang dalam bidang tertentu. Pengakuan tersebut diberikan oleh sekelompok professional (termasuk asosiasi atau organisasi profesi) kepada seseorang yang telah berhasil memenuhi persyaratan professional yang telah disusun. Setiap individu yang lulus biasanya memperoleh sertifikat yang menegaskan ia telah mengikuti ujian dan memenuhi standar yang telah disusun organisasi. Oleh karenanya, orang tersebut bisa menambahkan status kehor-
matan tersebut di belakang namanya, seperti CFA, PHR, CPA, dan lainnya. Para pakar membedakan sertifikasi dengan program bersertifikat. Alasannya, sertifikasi memasukkan komponen pengalaman kerja di dalamnya. Hanya orang yang sudah berpengalaman kerja bisa memperolehnya. Sementara, program bersertifikat diberikan kepada seseorang yang telah menyelesaikan kursus tertentu dan tidak mensyaratkan adanya pengalaman kerja. Sertifikasi membuat penerimanya memiliki kualifikasi professional lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak memilikinya. Ada banyak keuntungan dengan mendapatkan sertifikasi. Di berbagai negara maju, sertifikasi menjadi sebuah pengakuan publik atas prestasi profesionalnya, baik di dalam maupun di luar profesi. Bagi kebanyakan orang, mendapatkan sertifikasi menjadi tujuan professional untuk menguji pengetahuan, sekaligus membandingkannya dengan rekanrekan sekerja. Kebanggaan dan prestise tentu ikut berperan di sini. Toh, seperti diakui sejumlah professional yang dihubungi Human Capital, hal itu bukanlah faktor utama membuat mereka memburu sertifikasi. “Faktor utamanya tetap untuk menguji kemampuan dan keahlian professional,” ujar Lilis Halim CCP, GRP., Presiden Direktur PT Watson Wyatt Purbajaga, dan Arief Haris, VP Finan-
cial Planning Bank Danamon. Lilis menggaet dua gelar prestisius di bidang kompensasi dan benefit, CCP dan GRP. Sedangkan, Arief telah lulus dari level 1 untuk mendapatkan CFA. “Saya butuh 2 level lagi untuk bisa mendapat gelar CFA,” tuturnya. Bila lulus level 2 dan 3, otomatis Arief berhak menambahkan gelar CFA di belakang namanya. CCP, GRP ataupun CFA adalah sertifikasi internasional yang diakui secara internasional pula. Ke manapun peraihnya bekerja, sertifikasi itu akan diterima dan diakui. “Mirip tes TOEFL dalam kemampuan berbahasa Inggris,” tambah Arief. Karena berstandar internasional, maka materi ujiannya jauh dari enteng. Kecuali harus mampu berbahasa Inggris karena semua materi ujian tersedia dalam bahasa Inggris, kandidat ditantang untuk mengeluarkan segala kemampuan profesionalnya. Terbukti, tingkat kelulusan setiap tes hanya 5060% saja. Bahkan, banyak peserta yang harus mengulang sehingga menyebabkan biaya memperoleh sertifikasi membengkak. Menurut Lilis, biaya mengikuti ujian sebetulnya tidak mahal, tetapi ikut kursus jelas mahal. Dulu, tuturnya, biaya ujian dan kursus sekitar US$2500 per mata pelajaran dan untuk memperoleh GRP harus ikut 8 mata pelajaran sehingga jumlahnya sudah US$20.000. “Sama saja dengan biaya ambil MBA,” tegasnya. Biaya ujian saja lebih murah, yaitu US$350 per mata pelajaran
19
| HumanCapital | Nomor 05 | Tahun 2004 |
H C
T r
e n
sehingga jumlah biaya total adalah US$2800. Repot bila harus mengulang karena ada tambahan biaya US$250 per mata pelajaran. Sebagai orang berlatar belakang sains dan bekerja di perusahaan konsultan sumberdaya manusia (SDM) terkemuka di dunia, memperoleh sertifikasi CCP dan GRP sangat penting bagi Lilis karena ia harus mendalami bidang baru, yaitu bidang SDM. Ini menjadi tuntutan sejalan dengan perluasan layanan PT Purbajaga, perusahaannya tempat bekerja, dari hanya bidang akturia masuk ke bidang SDM setelah Watson Wyatt membeli sebagian besar saham perusahaan. “Saya masuk ke bidang baru, yang ternyata sangat menarik dan menantang. Okelah saya belajar sendiri. Tapi saya butuh semacam tes untuk mengetahui apakah saya mengerti tentang apa yang saya pelajari,” tuturnya. Dasar berotak encer, Lilis berhasil lulus dari setiap mata pelajaran yang diikutinya, yang tesnya diselenggarakan di Amerika, Singapura, dan Indonesia. Kebanyakan peserta malah terpaksa mengulang karena tidak lulus. Di Indonesia, Lilis mungkin satusatunya peraih GRP saat ini, namun peraih sertifikat CCP sudah lebih banyak karena berkaitan dengan bidang SDM. Tingkat kesulitan meraih CFA juga sama. Peraih CFA di Indonesia diperkirakan baru
100-an orang dan jumlahnya di seluruh dunia diperkirakan tak lebih dari 10.000 orang. Di tangan mereka, analisa keuangan akan menjadi sangat tajam dan akurat dengan perspektif analisa yang sangat komprehensif. Mungkin karena begitu berat tesnya, dulu ada IPAF (Institut Pengembangan Analisa Finansial) yang berafiliasi dengan Grup Tirtamas milik pengusaha Hashim Djojohadikusumo, membantu peserta untuk lulus mengikuti tes CFA. IPAF sendiri dimotori oleh sejumlah pakar keuangan Indonesia, seperti Al Nyoo, Goei Siow Hong, dan Lin Tje Wei – semuanya bergelar CFA. Kabarnya, IPAF kini sudah tidak beroperasi lagi.
D
I SEJUMLAH profesi lain, sertifikasi professional lebih vital lagi fungsinya, karena menentukan sekali apakah seseorang bisa menjalankan profesi tersebut atau tidak. Misalnya, sertifikasi kurator dan konsultan hukum pasar modal yang digeluti Andre Sitanggang, SH., SE., MH. Untuk bisa menjalankan profesi kurator – konsultan hukum kepailitan yang mengambil-alih peran direksi perusahaan pailit – di Pengadilan Niaga Jakarta, Andre wajib memperoleh sertifikasi kurator. Sertifikasi ini dikeluarkan oleh Asosiasi Kurator Indonesia. Lembaga ini
menyelenggarakan kursus dan mengeluarkan sertifikasi. Dengan bekal sertifikasi kurator itu, Andre termasuk kurator yang paling dipercaya di Pengadilan Niaga (terakhir menangani kasus pailit Prudential Indonesia). Begitu pula menjadi konsultan hukum di pasar modal. Seluk-beluk pasar modal yang rumit, canggih, dan berkembang cepat mengharuskan konsultan hukum untuk mengikuti pendidikan khusus pasar modal. Sertifikasi ini dikeluarkan oleh Asosiasi Konsultan Hukum Pasar Modal, wadah tunggal para konsultan hukum di pasar modal. Menurut Andre, proses pendidikan kurator butuh 1 bulan, sedangkan untuk pasar modal lebih lama. Namun, sebelum bisa menjadi kurator dan konsultan hukum, seorang sarjana hukum yang ingin praktik sebagai pengacara atau konsultan hukum harus magang dulu di kantor pengacara senior (5 tahun, red) dan memperoleh sertifikasi professional yang dikeluarkan oleh asosiasi pengacara/ advokat. Karena asosiasi pengacara yang banyak, maka ujian untuk memperoleh sertifikasi kini diadakan oleh KKAI (Komite Kerjasama Advokat Indonesia). Ada 8 asosiasi pengacara/advokat yang bergabung di komite tersebut saat ini. Materi ujian tidak hanya pengetahuan tentang hukum, tetapi juga kode etik
sebagai professional. Tujuannya untuk memberikan satu standar kualifikasi yang bisa dipertanggungjawabkan. Meskipun akhirnya pasar yang menentukan, apakah ia laku atau tidak. “Setidaknya, sertifikasi ini menjaga agar pengacara bisa menjual jasa secara professional sehingga masyarakat tidak dirugikan,” kata pendiri firma hukum Andre Sitanggang & Partners itu. Sama halnya dengan pengacara, konsultan hukum, dan kurator, notaris dan akuntan publik wajib pula mengikuti ujian kualifikasi sebelum bisa menjalankan tugasnya melayani publik. Bahkan, seorang sarjana hukum harus mengikuti pendidikan notaris sekitar 2 tahun untuk bisa berpraktik. Ujian untuk menjadi notaris diadakan oleh pemerintah, namun umumnya ujian sertifikasi professional sepenuhnya kini ditangani oleh asosiasi professional masing-masing. Ujian profesi akuntan publik, misalnya, dilaksanakan Ikatan Akuntan Indonesia. Profesi-profesi di atas memang sangat ketat dalam menyaring orang-orangnya untuk bisa memberikan jasa kepada publik. Tanpa kode etik dan kemampuan professional sulit mengharapkan layanan berkualitas. Apalagi, sebagian besar orang-orang bersertifikasi professional itu bekerja dalam bidang konsultansi, seperti di firma hukum, kantor pengacara, notaris, firma audit, dan
SERTIFIKAT MUDAHKAN PERUSAHAAN DALAM HAL REKRUTMEN DAN REMUNERASI BAGI PERUSAHAAN, sertifikasi profesional kini menjadi sangat penting karena memudahkan perusahaan dalam hal rekrutmen dan membenahkan remunerasi dari perusahaan. Ini ditegaskan Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Djimanto saat ditemui Human Capital di ruang kerjanya. Menurut Djimanto, dalam aktivitas bisnis, biasanya kompetensi dari SDM menjadi sangat penting dan sertifikasi yang terakreditasi memudahkan bisnis untuk mencetakkan satu efisiensi sebuah perusahaan. “Bahkan, sertifikasi dalam hal investasi juga sangat membantu. Ini disebabkan investor dalam merekrut tenaga kerja tidak perlu susah-susah mengetes calon karyawan mereka sendiri. Sudah ada klasifikasinya sendiri,” jawab Djimanto. Sertifikat ini juga membuat remunerasi karyawan menjadi lebih baik. Bagi pengusaha, kata Djimanto, dengan mempekerjakan orang yang kompetensinya sudah diuji melalui sertifikasi, bukan berarti perusahaan akan membayar lebih mahal, tapi sesuai remunerasi akan disesuaikan dengan kualitasnya. “Yang jelas lebih pasti. Tidak harus lebih mahal, kok! Sifatnya lebih ke tingkatan sekian dan ini tergantung juga dari kekuatan perusahaan,” sambung Djimanto. Yang mempunyai sertifikat, akan lebih bisa “menjual diri” mereka kepada perusahaan. Atau tepatnya, lebih mudah memasarkan diri. Bahkan, dengan adanya sertifikasi, bisa menjadi penggurangan biaya bagi perusahaan karena tidak perlu lagi melakukan tes,
DJIMANTO Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) tinggal menempatkan karyawan tersebut. “Di tempat saya saja, bisa mengurangi biaya sekitar 10%,” ucap Komisaris di salah satu perusahaan sepatu di Indonesia. Dikatakan lebih lanjut, sertifikasi profesional lebih ke arah kompetensi, sehingga harus lewat fit and proper test. “Kompetensi itu kan sifatnya profesi. Lulusan ASMI saja belum tentu dia kompeten sebagai sekretaris melaksanakan pekerjaan tersebut. Jadi harus dites lagi,” ujarnya. Berbeda dengan lulusan S2, dinilai Djimanto tidak menjamin kesuksesan seseorang karena pemilik ijasah S2 sebagian besar tidak memiliki kompetensi dalam pekerjaan yang lebih
spesifik. “Secara ilmu mungkin dia menguasai. Tapi bekerja belum tentu,” katanya. Djimanto mencontohkan, di Jepang sendiri ada sekitar 63 trade atau sertifikat yang bergerak di berbagai bidang termasuk di bidang jasa kebersihan. Dan sertifikasi itu ada di bawah naungan lembaga independen, tidak di bawah pemerintah. “Tiap tahun mestinya ada semacam olimpiade, mengenai kompetensi. Tukang masak atau kokipun di sana ada sertifikat dan olimpiadenya,” ia kembali berujar. Diakui, meski hanya bersifat implisif, kompetensi sudah tercantum dalam UU No 13 tahun 2003 mengenai ketenagakerjaan. “Memang tidak ditulis dengan jelas, tapi kompetensinya ada dijelaskan,” lanjutnya.maka itu, Apindo mengusahakan dan mendesak pemerintah untuk segera merancang regulasi terhadap sertifikasi profesional. “Buat saya, akan baik jika setiap pekerjaan harus mempunyai sertifikat masing-masing.” Cara mengimplementasinya dengan memasyarakatkan dan memberikan insentif dan kemudahan bagi penyelenggara. Sedang pemerintah sifatnya hanya sebatas pengawasan, memonitor dan mengontrol. Penyelenggara sertifikat yang under performance, lanjut Djimanto, harus dicabut ijinnya. Sebab itu, Djimanto berharap pemerintah tidak terlalu turut campur dalam hal sertifikasi. Ia khawatir jika dalam regulasi nanti, sertifikasi akan diselenggarakan oleh pemerintah sendiri, tidak dialihkan ke pihak swasta atau lembaga independen. “Sebaik-
nya regulasi hanya memberikan arah, garis besar, aturan tentang sertifikasi, tapi bukan pemerintah penyelenggara sertifikasi. Karena kalau dilakukan pemerintah, maka tidak akan berlaku secara internasional,” paparnya panjang lebar. Djimanto sendiri mengakui selama ini dunia internasional lebih mengakui sertifikat yang dilakukan oleh lembaga independen dan terakreditasi oleh lembaga sertifikasi. “Sekarang memang ada yang dikeluarkan pemerintah, tapi dunia internasional tidak mengakuinya kalau yang menyelenggarakan pemerintah. Dimanapun itu terjadi. Tidak hanya di Indonesia. Mungkin, tidak lazim kalau dikeluarkan pemerintah. Saya juga tidak tahu kenapa, tapi saya pikir pemerintah itu cenderung tidak lugas, tidak apa adanya. Ada sesuatu yang ‘dititipkan’ sehingga dia bisa mengeluarkan sertifikat atau tidak,” aku Djimanto yang mencontohkan sertifikat yang ada di Indonesia dan diselenggarakan pemerintah dalam bidang pelayaran atau pelaut hingga kini tidak diakui dunia internasional. Dengan adanya sertifikasi, tidak hanya berdampak positif saja, melainkan dari sisi negatif akan menciptakan golongan excluded bagi mereka yang kompetensinya tidak mampu mencapai sertifikat yang diinginkannya. Dia tidak mencapai sasaran yang diatas tapi berada di bawah. Jika diibaratkan dengan kursus-kursus yang ada selama ini, maka tingkatanya akan sama, yaitu level mahir, trampil dan dasar. “Makin banyak dia mendapatkan sertifikat itu, makin baik remunerasi orang itu,” jelasnya■
20
| HumanCapital | Nomor 05 | Tahun 2004 |
H C
T r
e n d
sebagainya. Tak seluruh profesi mewajibkan sertifikasi professional dalam menjalankan tugasnya. Insinyur, contohnya. Seorang insinyur bisa langsung menjalankan profesinya tanpa harus memiliki sertifikat keinsinyuran. Insinyur tidak wajib bergabung dalam wadah PII (Persatuan Insinyur Indonesia) untuk bisa menjalankan profesinya. Situasi ini diperkirakan segera berubah dengan adanya rencana sertifikasi insinyur yang diadakan PII dalam lingkup ASEAN. “Program ini sedang dipersiapkan PII,” ujar Airlangga Hartarto, Wakil Ketua Umum PII. Kelak, seorang insinyur Indonesia yang memperoleh sertifikat akan bisa menjalankan praktik dan bekerja di negara ASEAN lainnya sesuai profesinya. Langkah ini akan sangat membantu penetrasi tenaga terdidik Indonesia ke pasar regional dan global.
M
ENARIK mengkaji dampak positif dari sertifikasi professional itu dalam pengembangan karir penerimanya. Studi-studi di Amerika menunjukkan keberhasilan mendapatkan sertifikasi professional membantu dalam perkembangan karir. Wajar, karena sertifikasi merupakan pengakuan terhadap kompetensi professional seseorang. “Mestinya hal itu juga terjadi di Indonesia,” ungkap Djimanto, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Perjalanan karir Lilis Halim, agaknya, menjadi petunjuk betapa sertifikasi professional yang diperolehnya
cespleng. Setelah meraih gelar CCP dan GRP, ia semakin mantap menjalankan perannya sebagai CEO perusahaan yang dikenal sangat jago dalam bidang kompensasi dan benefit. Para bosnya di kantor pusat Watson Wyatt dan para kliennya di Indonesia tentu sangat convenience berurusan dengannya. Perjalanan karir Arief Haris setidaknya juga berkat keahlian profesionalnya di bidang analisis keuangan, yang sedang diteguhkannya dengan berupaya meraih sertifikasi CFA. Sempat berkarir di bagian Corporate Planning Bank Universal dan berlanjut ke Permata, Arief dilamar Standard Chartered Bank karena keahliannya dan akhirnya “direbut” oleh Bank Danamon. Lagi-lagi, keahliannya dalam analisis keuangan membuat kepincut banyak pihak. Kemampuan pribadi dan kualitas professional Goe Siow Hong dan Lin Tje We dengan gelar CFA-nya (disamping gelar MBA, misalnya) membuat mereka dilirik banyak perusahaan untuk menjadi eksekutif. Sebagai konsultan keuangan pun, kini keduanya termasuk unggul di pasar. Untuk mengisi jabatan manajer kompensasi dan benefit perusahaan besar, para professional peraih GRP atau CCP tentu lebih dicari. Keberhasilan mendapatkan posisi bergengsi ini bisa menghantarkan penerimanya ke jenjang lebih tinggi – menjadi General Manager atau direksi bidang SDM. Memang ada pertanyaan, apakah penerima sertifikasi itu tidak menjadi terlalu spesialis sehingga sulit menjejak jenjang karir yang lebih tinggi? Djimanto menepis pertanyaan seperti
itu. “Bila bicara kompetensi professional, mereka lebih baik daripada lulusan S2 atau S3 sekalipun,” ungkapnya serius. Perusahaan-perusahaan multinasional lebih menyukai tenaga bersertifikasi professional daripada tenaga lulusan S2 dan S3. “Secara ilmu mungkin lulusan S2 dan S3 itu menguasai, tetapi dalam bekerja belum tentu. Mereka benar-benar siap pakai,” tambahnya. Sejatinya, tujuan seseorang meraih sertifikasi professional tentu berbeda dengan program pendidikan bergelar, termasuk MBA atau MM sekalipun. “Ada kebanggaan professional bila bisa mendapatkannya,” ungkap Arief. Meraih gelar MBA atau MM termasuk prestasi biasa-biasa saja dibandingkan dengan gelar professional internasional, karena banyak orang bisa mendapatkannya. Terlebih jika perguruan tingginya tidak tergolong premium macam Ivy League di Amerika. Seseorang bersertifikat Assesor, umpamanya, lebih dipilih dalam menjalankan tugasnya menilai kompetensi seseorang ketimbang seorang bergelar MBA atau MM. Di level yang lebih rendah sekalipun, tingginya tuntutan kompetensi professional di kalangan dunia usaha mengharuskan setiap pekerja professional meraih sertifikasi professional. Untuk menjadi tukang las (welder) instalasi perminyakan bawah laut, Anda butuh sertifikasi khusus. Selain gaji besar, ke manapun Anda bekerja akan diterima dan diperlakukan sesuai standar internasional. Anda ingin menjadi pemandu arung jeram atau petugas penyelamat
TAK SATU JALAN KE ROMA Biaya memperoleh sertifikasi professional tidak murah, meskipun tidak semuanya mahal. Namun, manfaatnya jelas terasa. Ada beberapa pilihan sertifikasi professional yang bisa menjadi pertimbangan. Sebagian bisa dilakukan secara online.
BIDANG SUMBERDAYA MANUSIA (SDM) ADA dua sertifikasi yang paling populer dan banyak dicari di bidang SDM di dunia, yaitu PHR (Professional in Human Resources) dan SPHR (Senior Professional in Human Resources). Kedua sertifikasi itu diberikan oleh Human Resource Certification Institute (HRCI). Ujian untuk mendapatkannya bersifat generalis. Materi ujian kedua sertifikat harus menelaah seluruh bidang fungsional dari SDM. Perbedaan pertanyaan antara keduanya hanya dalam hal fokus dan level kognitif. Pertanyaan ujian untuk PHR cenderung pada level operasional/teknikal. Pertanyaan untuk SPHR lebih ke level strategik dan/atau kebijakan. Ujian dilaksanakan HRCI dalam bahasa Inggris. Materi ujian bersifat pilihan ganda, terdiri dari 200 pertanyaan plus 25 ujian pra tes yang secara acak disebarkan selama ujian (sehingga semuanya menjadi 225 soal). Setiap soal memiliki 4 jawaban, dan
hanya satu jawaban benar atau paling mendekati. Dari jumlah soal itu, 200 pertanyaan memiliki skor, sedangkan 25 pertanyaan pra tes tidak. Soal ujian terdistribusi menurut bidang SDM, lihat tabel. Skor kelulusan untuk kedua ujian minimum 500. Kemungkinan skor paling minim 100 dan tertinggi 700. Tes bisa dilakukan secara online. Mulai 2004, HRCI menyelenggarakan ujian PHR dan SPHR dengan komputer (Prometric test center). Ada 2
jadwal tahunan, yakni 1 Mei – Juni 2004 dan 15 November 2004-15 Januari 2005. Kandidat bisa melakukan ujian dari Senin hingga Jumat, tetapi selama periode ujian di atas bisa dilakukan dari Senin sampai Sabtu. Villanova University juga melayani pendidikan persiapan untuk memperoleh sertifikasi PHR dan SPHR secara online. Program yang didesain 10 minggu dirancang untuk memberikan spesialis SDM alat baru untuk sukses dalam pekerjaan serta meraih PHR serta SPHR. Dengan ikut program online, para spesialis bisa mendapatkan keahlian berharga dan komprehensif, termasuk 6 bidang fungsional manajemen SDM: Strategic Management, Workforce Planning & Employment, Human Resource Development, Compensation and Benefits,
Fungsi SDM
PHR SPHR
Strategic Management Workforce Planning and Employment Human Resource Development Compensation & Benefits Employee and Labor Relations Occupational Health, Safety and Security
12% 26% 15% 20% 21% 6%
26% 16% 13% 16% 24% 5%
pantai dan bekerja di mana saja di berbagai belahan dunia? Anda harus mengambil sertifikasi arung jeram atau petugas penyelamat pantai. Di Amerika, sertifikasi untuk penjaga keselamatan pantai dan kolam renang bisa diperoleh di Nassau County Department of Health, New York. Kalau hanya menjadi sebagai pemandu arung jeram dalam lingkup nasional, Anda bisa ikut kursur di PT Lintas Nusantara (penyelenggara Arus Liar Adventure). “Lama pendidikan 6 bulan. Dilatih tidak hanya keahlian membawa perahu, tapi juga dilatih bahasa Inggris, menghibur orang, etika, dan sebagainya,” tukas Amalia Yunita, General Manager perusahaan itu. Apindo sendiri, menurut Djimanto, mendorong agar pemerintah segera mengeluarkan regulasi tentang sertifikasi professional ini. Sebaiknya pemerintah hanya berperan sebagai regulator dan pengawas dalam pemberian sertifikasi, penyelenggaraannya diserahkan kepada pihak swasta saja. “Di manapun program sertifikasi diberikan bukan oleh pemerintah. Setiap sertifikasi yang dikeluarkan pemerintah malah tidak diakui di dunia internasional, seperti yang terjadi pada profesi pelaut,” katanya. Andai gagasan ini terwujud, merekamereka yang memiliki kompetensi professional tidak perlu khawatir terhadap masa depan. Pengembangan kegiatan sertifikasi professional pada akhirnya memacu peningkatan kualitas SDM dan kinerja organisasi di republik ini■
Employee & Labor Relations, dan Occopational Health, Safety, and Security.
KOMPENSASI DAN BENEFIT LEMBAGA paling prestisius dan satusatunya yang dikenal memberikan sertifikasi bidang kompensasi dan benefit adalah WorldatWork Society of Certified Professionals. Ada 3 sertifikasi professional yang diberikan lembaga ini: CCP (Certified Compensation Professional), CBP (Certified Benefits Professional), dan GRP (Global Remuneration Professional). Sejak hadir tahun 1976, CCP dikenal sebagai standar dunia di bidang kompensasi. Untuk bisa mendapatkan CCP harus lulus 9 ujian mata pelajaran, termasuk 6 ujian mata pelajaran wajib plus 3 mata pelajaran dipilih dari ujian pilihan tersisa. CBP harus melampaui skor minimum dari 9 ujian mata pelajaran, termasuk 6 ujian mata pelajaran wajib plus 3 uji yang dipilih dari pilihan sisa. GRP mendukung kiprah di pasar global. Ada 8 ujian yang harus diambil (9 ujian ekuivalen di Amerika). Setiap kandidat harus mendaftarkan diri ke WorldatWork Society of Certified Professionals. Kandidat harus mengikuti ujian terdiri dari 100 pilihan ganda yang seluruhnya berkaitan dengan pengetahuan terkait. Walaupun tidak selalu perlu, kebanyakan
21
| HumanCapital | Nomor 05 | Tahun 2004 |
H C
T r
e n
dikenakan lagi biaya Rp 550.000 per mata ujian itu Rp. 550.000. Batasnya adalah sampai empat kali ujian atau tiga kali kesempatan mengulang. Hal-hal yang diuji dalam USAP adalah pelaporan dan akuntansi keuangan, auditing dan jasa atestasi lainnya, akuntansi manajemen dan manajemen keuangan, DI INDONESIA saat ini telah diselenggarasistem informasi akuntansi, dan perpajakan kan ujian sertifikasi untuk profesi Akuntan dan hukum komersial. Mereka yang telah Publik yang biasa disebut USAP (Ujian lulus USAP bisa menggunakan sebutan BAP Sertifikasi Akuntan Publik). USAP pertama (Bersertifikat Akuntan Publik) atau sebutan kali diselenggarakan tahun 1997 oleh lain dari CPA (Certified Public Accountant) Dewan Penguji yang merupakan organ dari itu sama saja. Setelah bergelar BAP, seorang Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) dan Akuntan dapat mengajukan permohonan ijin dirancang menjadi suatu sistem saringan membuka praktek Akuntan Publik. yang baku dan menjadi “pintu gerbang” bagi USAP dilaksanakan dua kali dalam Akuntan yang ingin menjalankan profesi setahun, bulan Juli dan Desember. Dan sebagai Akuntan Publik di Indonesia. selama pelaksanaannya, yang telah berhasil Dengan semakin dekatnya era pasar bebas, lulus USAP sekitar 402 orang. Menurut USAP dirancang sedemikian rupa agar setara Jusuf, sangat relatif untuk mengukur dengan ujian sertifikasi Akuntan yang kualitas dari lulusan USAP. “Namun karena diselenggarakan di berbagai negara maju, untuk lulus USAP itu sangat berat, baik isi baik dalam isi maupun kualitas penyelenggamateri maupun sistem pelaksanaan yang raannya. diuji, IAI sudah setara dengan organisasi lain. Bahkan Bank Dunia saja sudah mengakui kami. Dan dilihat dari materi yang diuji, rasanya sudah cukup memadai. Sudah banyak perusahaan yang mencari akuntan dengan mensyaratkan bergelar BAP, artinya sudah mulai ada penghargaan dari masyarakat,” ujarnya. Dari evaluasi Bank Dunia tahun 2003 dan hasil penelitian seAsia Pasifik yang mereka buat, USAP mendapat pengakuan sebagai salah satu ujian sertifikasi yang terbaik. USAP Indonesia dikatakan di atas Philipina. Namun ada juga yang ikut JUSUF HALIM, Ketua Dewan Penguji USAP. mengambil USAP tapi tidak ingin membuka praktek AkunUSAP dirancang untuk pertama agar tan Publik. Menurut Jusuf, mereka hanya akuntan siap menyambut pasar bebas, ingin mendapat pengakuan saja bahwa kedua agar akuntan Indonesia mempunyai pengetahuan dan kompetensinya di bidang suatu standar baku kompetensi yang setara akuntansi itu sudah baik. Sehingga setelah dengan negara-negara lain di dunia. “Oleh mendapat gelar BAP atau CPA, mereka dapat karena itu sistem ini kami rancang dengan melamar ke mana saja meski bukan sebagai melihat penyelenggaraan sertifikasi di akuntan publik. negara-negara maju seperti Kanada, AusBagi mereka yang telah menjabat profesi tralia, Inggris, Amerika,” ujar Drs. Jusuf sebagai Akuntan Publik tetap diharuskan Halim, Ketua Dewan Penguji USAP. tambahmelakukan pengembangan. Hal ini untuk nya. mengantisipasi perkembangan di bidang Ada beberapa syarat untuk dapat mengiakuntansi yang juga terus meningkat dan kuti USAP. Pertama, harus lulus perguruan mengalami perubahan atau perbaikan setiap tinggi atau S1 akuntansi, kedua, mereka waktu. Bagi mereka diwajibkan untuk harus mengikuti program pendidikan melakukan kegiatan yang berkaitan dengan akuntansi (PPAK) yang untuk sementara profesinya yang memang diakui oleh IAI ini baru ada beberapa perguruan tinggi yang sebanyak 30 kredit poin selama satu tahun. diijinkan untuk menyelenggarakan program Sehingga mereka tetap mengetahui jika ada ini seperti Universitas Indonesia, Universiperaturan atau standar yang baru. tas Airlangga, Universitas Gajah Mada. “Itu biasanya sekitar 20-24 sks atau dua semester. Setelah lulus dari PPAK mereka berhak menggunakan gelar akuntan. Baik universitas negeri atau swasta harus mengikuti ORACLE termasuk perusahaan teknologi PPAK,” jelas Jusuf. informasi (TI) yang paling banyak menyeSoal biaya, mereka harus bayar sebesar diakan sertifikasi professional bagi peminat. tiga juta rupiah, terdiri uang pendaftaran Misalnya sertifikasi Oracle10g, Oracle 9i, Rp. 250.000 dan uang ujian sebesar Rp. OCP DBA Upgrade Paths, dan Oracle8i 2.750.000. Nanti misalkan mereka baru (semuanya untuk produk Database Adminlulus dua mata ujian, dan harus mengulang, istrator). Masing-masing tersedia dalam 3 kandidat mengikuti tes setelah melakukan kursus persiapan 2 hari yang diselenggarakan WorldatWork. Kursus persiapan tes 2 hari itu tersedia di seluruh dunia.
AKUNTANSI
TEKNOLOGI INFORMASI
tingkatan: associate, professional, Master. Untuk bidang pengembang aplikasi tersedia Oracle9i PL/SQL Developer, Oracle9i Forms Developer, dan Oracle Forms Developer Release 6/6i. Kemudian untuk bidang Web Application Server Administrator, yaitu Oracle9i Application Server. Raksasa HP, IBM, Microsoft, dan banyak lagi yang lain menyediakan pula sertifikasi professional untuk para professional peminat. Sertifikasi tersebut antara lain di bidang UX, Linux, integrasi Unix/Microsoft Windows NT.
ARUNG JERAM DALAM skala internasional, salah satu sekolah pemandu arung jeram terkenal adalah Outback Guide School yang berlokasi di Canada. Kursus di sini mempersiapkan peserta untuk mengambil ujian (praktik dan tertulis) sesuai dipersyaratkan oleh Registrar of Commercial River Rafting sebelum mendapatkan lisensi memandu. Pelatihan berlangsung di sejumlah sungai Canada. Di Indonesia, Arus Liar Adventure termasuk menonjol dalam menyiapkan pemandu arung jeram. Awalnya mereka mendidik tenaga pemandu untuk keperluan sendiri. Caranya, orang-orang berminat namun belum punya pengalaman dididik selama 6 bulan. Mereka dilatih cara membawa perahu, bahasa Inggris, kemampuan menghibur, dan kemampuan lain untuk membuat tamu nyaman dan aman. Selama training mereka memperoleh uang saku, uang makan, dan transpor. Intinya, perusahaan ke luar uang yang tidak sedikit, termasuk kerusakan peralatan. Hanya saja, menurut GM Arus Liar Amalia Yunita, perusahaan tidak menghitung total biaya yang dikeluarkan untuk mendidik satu orang pemandu. Persoalannya, banyak pemandu mereka dibajak perusahaan lain yang baru berdiri. Perusahaan baru itu enggan membuang waktu dan biaya untuk mendidik tenaga pemandu. Pernah terjadi 5 pemandu Arus Liar dibajak perusahaan lain sekaligus. Karena dampaknya yang besar, Arus Liar terpaksa membawa masalah ini ke Asosiasi Pariwisata. “Sekarang sudah berlaku biaya transfer Rp 15 juta ke perusahaan yang mendidik,” ungkap Yuni. Saat ini, Arus Liar memiliki 30 pemandu. Setiap 2 tahun sekali dilakukan evaluasi terhadap pemandu.
CERTIFICATE OF BUSINESS MANAGEMENT (CBM) BERAWAL dari Sekolah Tinggi Manajemen Prasetiya Mulya, yang merupakan lembaga pendidikan pasca sarjana atau S2 dengan gelar MM (dahulu MBA, red) yang berdiri tahun 1982 lalu. Seperti pendidikan formil lain, sekolah tinggi ini memiliki proses seleksi yang cukup ketat, mulai dari ijasah S1, tes akademik, dan banyak lagi. Menurut Martakhir Derita, Assistant Director of Certificate Business Management dan Executive Development Program Prasetiya Mulya, dalam 10 tahun pertama membuka kelas, diakuinya banyak menerima masukan dari kalangan eksekutif yang
ingin sekolah tapi terhalang oleh waktu atau tidak punya ijasah S1. “Ada yang menyarankan supaya diadakan kursus karena mereka hanya perlu ilmunya saja, tidak perlu ijasah. Apalagi mengingat mereka termasuk cukup sukses di karirnya,” ungkap Deri, sapaan akrabnya. Akhirnya, tahun 1993, Prasetiya Mulya membuka certificate of business management (CBM). Sertifikasi profesional ini memiliki materi yang sama dengan program S2 sehingga lebih tepat disebut pendidikan non gelar. “Dari sisi mata kuliah sebenarnya sama, tapi tentu ada beberapa modifikasi. Kalau S2, sistemnya paket dan ada aturan dari Depdiknas. Misalnya mensyaratkan minimal 50 SKS dan pendidikan selama 2 tahun.” Sedang sertifikasi dibuat dalam bentuk modul, yang terdiri dari 5 modul, yaitu Manajemen Pemasaran, Manajemen Keuangan, Manajemen Organisasi Perusahaan, Manajemen Operasi, dan Manajemen Strategi Bisnis. Dalam penjelasannya, kelima modul ini sifatnya lebih fleksibel. Artinya, jika setiap modul membutuhkan waktu sekitar 3-4 bulan, maka peserta harus menyelesaikan 5 modul ini —jika kontinyu— akan selesai dalam 20 bulan. “Kalau ambil S2, maka selama 2 tahun orang itu tidak bisa kemanamana, kuliah terus. Beda kalau sertifikasi. Mereka bisa atur sendiri,” ucap Deri. Selain itu, tidak ada mata kuliah yang gugur jika vakum beberapa tahun. Yang penting, orang
MARTAKHIR DERITA. Assistant Director of CBM dan Executive Development Program Prasetiya Mulya tersebut tercatat pernah kuliah di Prasetiya Mulya. “Ini memenuhi tuntutan mereka sendiri,” tukasnya. Rata-rata, biasaya mereka berhasil menyelesaikan perkuliahan dalam waktu 5-6 tahun. Dari segi biaya, S2 biayanya mencapai Rp7 juta per semester atau Rp28 juta jika bisa menyelesaikan kuliah selama 2 tahun, maka biaya sertifikasi berkisar Rp9 juta per modul atau Rp36 juta untuk 5 modul. “Dari sisi materi, relatif sama dengan S2. Keuntungannya, sertifikasi lebih bisa mengatur waktu dan biaya,” ujarnya. Untuk proses seleksi sertifikasi, mensyaratkan pendidikan minimum SMA dan memiliki pengalaman kerja minimal 4 tahun, 2 tahun diantaranya sebagai manajer per level manajemen, baik itu first, middle maupun top manajemen. “Karena untuk program sertifikasi, mereka harus sudah berpikiran lintas fungsi, tidak hanya berpikir
22
| HumanCapital | Nomor 05 | Tahun 2004 |
H C
T r
e n d
satu bidang pekerjaannya saja, tapi sudah harus mulai berpikir bidang pekerjaan lain,” kata Deri. Contohnya, jika seseorang bekerja di bidang pemasaran, dia tidak hanya memikirkan pemasaran saja, tapi juga bidang keuangan atau bidang yang lain. Jadi tidak hanya spesialisasi di bidangnya saja, harus tahu fungsi lainnya. Sedang S2 sendiri, terdiri dari 3 program yaitu program MM reguler, MM eksekutif dan MM eksekutif muda. Persyaratan MM eksekutif dan MM eksekutif muda tidak jauh berbeda dengan sertifikasi. Kalau MM eksekutif muda syarat bekerja minimal 2 tahun dengan posisi apapun, program MM eksekutif mensyaratkan minimal 5 tahun kerja dan diposisi manajerial. Sementara untuk MM reguler adalah dikhususkan untuk yang baru lulus S1 dan tanpa pengalaman kerja. Di samping program sertifikasi CBM, Prasetiya Mulya juga menyelenggarakan sertifikat di bidang purchasing & supply chain management dengan modul yang disediakan adalah Developing and Maintaining Supply Chain Partners (group A), The Dynamics of Negotiation and Supply Contract (Grup B). Sertifikasi ini diselenggarakan bekerjasama dengan International Trade Center yang berpusat di Paris. Menurutnya, sertifikasi ini sifatnya spesial, karena masing-masing modul lama belajarnya 5 hari setiap Senin-Jumat pukul 08.30-17.00 Wib, dengan biaya Rp4,5 juta per modul. Program ini baru berjalan sejak 2003 kemarin sehingga lulusannya masih terhitung puluhan orang karena masih satu angkatan. Kuliahnya tidak setiap saat ada, tergantung dari ada tidaknya peserta,” kata Deri seraya menambahkan bahwa pengajar sertifikasi ini adalah tenaga asing. Dari sisi karir, Deri menegaskan bahwa orang yang sudah dapat sertifikat secara kompetensi dia sudah selevel dengan S2. Namun, pengembangan karir seseorang itu tergantung apakah dia bisa mengembangkan ilmu yang dia dapat atau tidak. Semua tergantung dari dia sendiri dan ilmu yang dia dapat. “Walau dia punya ijasah S2 atau sertifikat, kalau tidak bisa mengembangkan di tempat kerja ya akhirnya jadi percuma.” Tapi jika dilihat dari posisi di mata masyarakat, menurut Deri, ijasah S2 setingkat lebih tinggi dari sertifikasi. “Karena tidak bisa kita pungkiri itu formil sifatnya,” lontarnya lagi. Sebelas tahun menyelenggarakan sertifikasi menurut Deri banyak mengalami pasang surut dari segi peserta. Pertama kali diadakan, sambutannya sangat antusias hingga mencapai puncaknya awal 1997, sebelum krisis terjadi. Saat krisis, animo masyarakat menurun dan mulai naik pada tahun 2000-2001. “Saya tidak persis penyebabnya apa, tapi belakangan ini animonya menurun,” akunya. Yang menarik, meski animo masyarakat menurun, kebanyakan mereka yang mengambil sertifikasi justru lebih banyak yang mendapat sponsor atau dibiayai perusahaan. “Perusahaan cenderung mengarahkan ke sertifikasi. Soalnya kalau S2, keuntungannya buat si pesertanya, nanti setelah lulus bisa saja dia melamar kerja di tempat lain. Makanya perusahaan arahkan karyawannya ke sertifikasi,” tukas Deri antusias■
APA KOMENTAR MEREKA?
Berikut adalah komentar sejumlah professional yang mengambil sertifikasi professional untuk kepentingan karir dan usaha mereka
LILIS HALIM CCP, GRP
President Director Watson Waytt Purbajaga
S
ebagai pemegang sertifikat CCP (certi fied compensation professional) dan GRP (The global remuneration professional), wanita yang menjabat sebagai President Director Watson Waytt Purbajaga ini boleh berbangga hati. Betapa tidak. Di Indonesia, hanya 2 orang yang berhasil meraih sertifikat tersebut. Dan ia salah satu di antaranya. Menjadi praktisi human resource atau HR, diakui Lilis merupakan sebuah langkah yang tidak pernah diduganya. “Saya ini kuliahnya di bidang sains, entah kenapa saya malah kerja di bidang yang berbeda dengan kuliah saya,” senyum Lilis saat ditanya soal ketertarikannya di dunia HR. Sebelum dibeli sahamnya oleh Watson Waytt, PT. Purbajaga kala itu hanya memberikan servis di aktuaria atau asuransi. Karena di seluruh dunia Watson Wyatt memberikan servis di HR dan aktuaria, maka Watson Waytt Purbajagapun mengadakan ekspansi servis, tak hanya aktuaria, tapi juga HR “Waktu itu, sekitar tahun 1990-an, masih susah cari orang HR. Akhirnya saya mencoba dan tertarik dengan dunia itu,” Lilis menceritakan alasannya. Berhubungan dengan manusia yang problemnya bermacam-macam dan areanya lebih luas, menarik minat dirinya. Jika di aktuaria hanya bicara benefit pension. Di HR, bicara banyak hal, baik itu strategi, sistem dan masih banyak lagi. Sekian waktu di HR, membuat Lilis tertarik untuk mengetes kemampuan dirinya apakah ia memang mendalami bidang yang ia kerjakan. “Waktu itu saya lama dibidang aktuaria, setelah itu pindah ke bidang HR. Karena memang dibutuhkan, saya belajar sendiri. Tapi saya butuh semacam tes untuk mengetahui apakah memang saya juga mengetahui hal yang saya lakukan,” paparnya. Ia kemudian mencoba mengikuti tes CCP dan GRP, sebuah kursus sertifikasi profesional yang dikeluarkan oleh American compensation Association (ACA), yang kini berganti nama menjadi WorldadWork. Untuk mendapatkan sertifikat CCP dan GRP, seseorang harus mengikuti kursus tersebut dengan cara, 2 hari kursus, satu hari tes. Namun, ini menjadi kendala bagi calon peserta kursus mengingat mereka yang akan mengikuti kursus sebagian besar adalah praktisi HR. “Karena kesulitan waktu, saya terpaksa ikut tesnya saja, tidak ikut kursusnya. Saya hanya membeli materinya saja untuk dipelajari. Dari situ saya belajar sendiri dengan aktifitas yang saya lakukan saat itu,” ujar Lilis yang mengaku dibiayai oleh perusahaan. Walau begitu, ia tetap harus mengikuti ujian atau tes yang diselenggarakan WorldadWork dimanapun tim penguji akan menyelenggarakan tes. Misalnya, saat tim penguji berada di Singapura, ia akan dihubungi apakah bisa ikut atau tidak. “Untuk tesnya, saya pernah ambil waktu saya berada di Amerika, tapi tidak
harus kita terbang kesana,” aku lilies yang menyelesaikan tes GRP selama 1 tahun dan CCP selama 3 tahun. Namun, sebagian besar tes ia lakukan di Indonesia sebab saat masih bernama ACA, asosiasi tersebut sengaja datang ke Indonesia untuk menyelenggarakan kursus selama beberapa bulan untuk beberapa mata pelajaran. Kemudian mereka balik lagi ke Indonesia untuk mengajarkan mata pelajaran lainnya sehingga total mata pelajaran untuk sertifikat CCP sebanyak 10 dan 8 mata pelajaran untuk GRP selesai diberikan. “Sekarang untuk AsiaPasifik, WorldatWork hanya mengeluarkan sertifikat GRP, CCPnya sudah tidak ada,” jelas Lilis sambil menambahkan bahwa tidak dibutuhkan syarat tertentu untuk mengikuti kursus dan tes tersebut. Dari segi biaya, jika hanya mengikuti tes, menurut Lilis tidak terlalu mahal. Saat ini berkisar US$300 per mata pelajaran Tapi untuk biaya kursus, maka pesertanya akan dikenakan biaya sebesar US$2,500 per mata pelajaran, yang kalau ditotal mencapai US$20.000 untuk sebuah sertifikat. “Itu sama saja ambil gelar MBA atau S2. makanya perusahaan hanya membiayai tesnya saja,” tambah Lilis. Kecuali, ada perusahaan besar yang benar-benar tertarik dengan sertifikasi tersebut dan mau membiayai kursus karyawannya. “Tapi jika ada kesempatan itu, saya sih lebih baik mengambil program S2, tidak hanya sekedar sertifikat saja,” lanjut Lilis. Dengan biaya yang “wah” tersebut, tak heran jika ia mencoba mendiskusikan hal itu kepada rekannya, Haditopo, bagaimana cara untuk membantu teman-teman yang juga berkecimpung di bidang HR di Indonesia, agar mendapatkan sertifikat tersebut dengan kualifikasi internasional dan harga murah. Yaitu dengan cara si penguji dan pengajar adalah orang lokal yang sebelumnya sudah dites terlebih dulu dengan WorldadWork. Sayangnya, meski dananya bisa ditekan hingga menjadi US$700 per kursus, program ini kurang berjalan mulus akibat kendala waktu pengajar. “Terus terang, saya kesulitan untuk membantu mengajar karena kami harus mengajar 2 hari penuh dan 1 hari menguji. Selain itu, tenaga pengajarnya masih sedikit yaitu 3 orang termasuk saya,” keluh Lilis seraya menyayangkan. Memiliki sertifkat profesional, sambung Lilis, tidak menjamin seseorang itu akan lebih baik dalam berkarir. Semuanya tergantung dari individu yang menekuni bidangnya masing-
masing. “Saya rasa itu tergantung kita bekerja dimana, pekerjaan apa dan perusahaannya. Tapi saya pribadi, memang lebih baik kita punya sertifikat yang berhubungan dengan pekerjaan kita,” imbuhnya. Yang jelas, ia menyarankan bagi praktisi HR dan kompensasi, sertifikat semacam ini diperlukan untuk membantu selalu up to date, mengingat sertifikat tersebut harus diperbaharui setiap 3 tahun sekali. “Kalau kita tidak mengikuti perkembangan di luar, maka kita dalam memberi servis ke klien juga sangat minimal. Klien juga akan berpikir, kalau kita benar-benar berkualitas di bidang ini,” tukasnya. Untuk perpanjangan sertifikat, tidak selalu lewat tes. Bisa saja dengan mengirimkan proyek pekerjaan yang nantinya akan diperiksa oleh WorldadWork. Jika sudah menerapkan dan menjalankan sesuai dengan teknik dan metode yang diajarkan WorldadWork dengan benar, baru bisa mendapatkan perpanjangan sertifikat. Atau dengan cara yang sama dipakai saat pertama kali mendapatkan sertifikat, yaitu di tes, dengan biaya yang sama namun dengan mata pelajaran yang berbeda. “Mata pelajaran WorldadWork setiap tahun bisa berubah karena mereka betul-betul mengikuti perkembangan jaman. Itulah kenapa kita juga harus ada 3 tahun sekali ada pembaharuan. Sebab, perkembangan ini juga terjadi di dunia HR,” tuturnya■
ANDREY SITANGGANG SH, MH, SE Pengacara, Kurator dan Konsultan Pasar Modal
S
ebagai seorang profesional hukum, sudah sepatutnya memiliki kualifikasi hukum karena di level itu harusnya sudah ada kualifikasi tersebut. Ini ditegaskan oleh Andrey Sitanggang, seorang Pengacara, Kurator dan Konsultan Pasar Modal. menurutnya, seharusnya kualifikasi sudah didapat saat ia berada di universitas. “Seorang sarjana hukum idealnya sudah memiliki kualifikasi sarjana hukum,” ujarnya. Tapi dalam profesinya sebagai pengacara, pengacara hanyalah sebatas seorang sarjana hukum. Untuk menjadi pengacara, seseorang harus menempuh magang di kantor pengacara senior serta ujian tertulis, yang diselenggarakan oleh Komite Kerjasama Advokat Indonesia (KKAI). KKAI ini yang melakukan ujian terhadap sarjana hukum sebelum dia resmi menjadi advokat. Yang diuji tidak hanya materi hukum tapi juga kode etik. “Seorang profesional harus ada etika, tidak hanya mampu secara pengetahuan. Setelah dapat kartu, baru kita berhak menangani kasus-kasus yang ada di pengadilan,” paparnya. Tujuannya, untuk memberikan suatu standar yang bisa dipertanggungjawabkan, walaupun pada ujungnya adalah pasar yang menentukan. “Apakah saya laku atau tidak.
23
| HumanCapital | Nomor 05 | Tahun 2004 |
H C
T r
e n
Tapi setidaknya kita ingin menjaga bahwa pengacara harus memiliki kemampuan yang bisa dipertanggungjawabkan. Tidak asal bisa menjual jasa ke pasar atau masyarakat sehingga masyarakat tidak dirugikan,” Andrey menjelaskan alasan diadakan ujian dan magang tersebut. Sementara untuk menjadi seorang kurator atau pengacara yang ahli dibidang kepailitan, seorang pengacara kembali harus menempuh ujian khusus untuk kurator. “Menjadi kurator tidak asal saja. Ini harus menempuh pendidikan tertentu dan lulus ujian yang diselenggarakan oleh asosiasi, maka dia bisa disebut kurator di Departemen Kehakiman dan Pengadilan Niaga,” katanya. Menjadi kurator diakui Andrey tergolong rumit karena membutuhkan keahlian khusus dalam pekerjaan. Tak hanya bidang kepailitan yang diambil, mahasiswa S3 Universitas Padjajaran ini juga berhasil meraih sertifikat sebagai konsultan pasar modal. Konsultan hukum pasar modal juga harus menempuh suatu pendidikan pasar modal mengingat area pasar modal atau bursa efek ini dinilai rumit, sama halnya dengan kepailitan, sehingga perlu suatu standarisasi. “Seseorang yang berpraktek di pasar modal, harus memiliki sertifikasi yang diperoleh melalui pendidikan tertentu yang diselenggarakan Asosiasi Kurator Indonesia,” ia memaparkan kembali. Ini ditujukan untuk menjaga standar dan keahlian profesionalnya, sehingga intergritasnya bisa diharapkan memenuhi syarat dalam pekerjaannya. Andrey mengakui, pekerjaan seorang kurator —boleh dibilang— pekerjaannya sama seperti direksi sebuah perusahaan. Dalam keadaan normal, direksilah yang berhak menentukan jalannya perusahaan. Tapi begitu perusahaan pailit, kewenangan direksi berakhir, diganti oleh kurator. Kuratorlah yang berhak melakukan pengurusan terhadap perusahaan, termasuk pesangon pegawai. Tanggung jawab kurator menjaga, menjalankan mengurus perusahaan saat pailit, termasuk jika terpaksa harus menjual perusahaan atau memPHK karyawan. Manfaat yang diraih setelah mendapat sertifikat diakuinya sangat besar. Selain itu juga bermanfaat kepada masyarakat. “Kita harus bisa pertanggungjawabkan pekerjaan kita karena tujuan sertifikasi itu adalah standar servis yang bisa dipertanggungjawabkan.” Dari segi pendapatan, sambungnya lagi, tergantung dari pasar atau masyarakat yang membutuhkan jasa kurator atau konsultan pasar modal. Seseorang yang mendapat semua sertifikasi hukum, belum tentu bisa dengan mudah mendapatkan klien. “Tapi, setidaknya standar melakukan pekerjaan harus ada yaitu dengan sertifikasi. Meski sudah memiliki sertifikat, seorang kurator mempunyai kewajiban untuk mengikuti seminar penyegaran kurator minimal 2 kali dalam setahun. “Jadi kita tidak perlu diuji lagi. Tapi kita wajib hadir., artinya dalam seminar ini kita bisa bertukar pendapat dan menyegarkan kembali ingatan kita kalau kita
kebetulan tidak terlalu aktif atau tidak terlalu banyak pekerjaan,” Andrey membeberkan. Dengan seminar, otomatis seorang kurator otaknya akan bekerja karena mendapat penyegaran. Bagi yang aktif, tentu dia akan mendapat pengetahuan dari sesama rekan kurator tentang pengalaman rekannya menangani kasus kepailitan. Jika tidak ikut dalam seminar, Andrey memastikan akan ada sanksi yang awalnya berupa teguran dari asosiasi. “Semua itu ada dalam kode etik, yakni mewajibkan seluruh anggota menjaga kualitas profesi ini,” tegasnya. Baginya, jika seorang kurator tidak pernah mengikuti seminar, berarti dia memang tidak terlalu tertarik atau tidak berminat menjaga kualitasnya. “Namanya ilmu kalau tidak digali, malah bisa lupa atau tidak paham. Yang namanya dinamika di lapangan itu begitu cepat, kalau tidak diikuti, ilmu kita bisa out of date.” Bahkan bisa tidak dipakai di masyarakat. Kendati lebih banyak bergelut di pengadilan, pria berdarah Batak ini mengaku lebih tertarik sebagai konsultan ketimbang sebagai seorang pengacara. “Sebagai konsultan, saya merasa lebih nyaman. Tetapi saya sudah lebih dikenal di pengadilan. Jadi saya lebih ke market saja,” tawanya mengembang saat mengemukakan hal ini. Menurutnya, seorang konsultan hukum itu persaingannya sangat ketat dengan pasar yang terbatas mengingat sebagian masyarakat kesadaran terhadap hukum masih dinilai belum cukup tinggi. “Budaya hukum kita di masyarakat ini, belum mau datang ke pengacara sebelum bermasalah.” Beda dengan orang asing. Sebelum bermasalah, dia akan tetap konsultasi ke konsultan sebelum melakukan kontrak bisnis■
DEWI NUZULIANTI Head of Performance & RewardBank Permata
S
ertifikasi kini banyak diminati oleh kalangan profesional, termasuk salah satu diantaranya Dewi Nuzulianti, yang kini menjabat Head of Performance & Reward Bank Permata. Menurut wanita berpostur mungil ini, latar belakang para professional, termasuk dirinya, mengikuti sertifikasi adalah untuk menambah ilmu, dan sekaligus untuk mendapat pengakuan secara formal mengenai keahlian yang dimilikinya. “Hal ini tentunya akan memberikan nilai tambah bagi pengembangan pribadinya di masa mendatang,” tukasnya. Meskipun sertifikasi profesional sangat baik bagi kalangan profesional dan eksekutif, tentunya hal ini juga sangat tergantung dari kualitas sertifikasi itu sendiri. Kualitas tersebut diakui Dewi dapat dilihat dari siapa penyelenggaranya, seberapa sulit untuk mendapatkan sertifikasi tersebut, serta lingkup berlakunya sertifikasi, apakah itu sifatnya nasional, regional atau international. Tapi jika dikaitkan dengan remunerasi atau gaji dan jenjang karir, secara general ia mengaku itu sulit diperbandingkan. Karena semua ini kembali lagi pada kualitas dari S2 dan Sertifikasi itu sendiri serta pemilik sertifikasi dalam mengembangkan dirinya. Sebagai profesional yang tentunya juga memiliki pekerjaan yang tidak mudah ditinggalkan, segi waktu, lokasi dan metode pembelajaran tentunya akan menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan sertifikasi tersebut. Dari sisi waktu, semakin fleksibel akan semakin membantu. “Misalnya, jika ada beberapa
modul, tidak harus langsung mengambil semua modul sekaligus, tapi bisa dibagi per modul, tentunya dengan batas waktu yang ditentukan untuk menyelesaikan seluruh modul,” paparnya. Saat ini, Dewi mengaku baru bisa menyelesaikan 5 modul dari 8 modul untuk sertifikasi compensation & benefit di WorldatWork tahun 2001 lalu. Kala itu, ia masih bekerja di Bank Universal sebelum dilebur menjadi Bank Permata. “Tinggal 3 modul lagi yang harus saya jalani. Mudah-mudahan, tahun depan bisa saya selesaikan karena di WorldatWork, hanya berlaku 4 tahun. Lewat dari itu, modul yang sudah saya ikuti akan batal,” Dewi menjelaskan hal ini. Dari segi biaya, ia memahami nilainya yang tergolong mahal, yaitu US$300 per modul. Namun, jika memang kualitas dari sertifikasi tersebut memang bagus dengan biaya yang relatif terjangkau, Dewi menganggap hal itu tidak menjadi masalah. “Tidak masalah jika para profesional harus mengeluarkan biaya sendiri untuk mendapatkan sertifikasi tersebut karena memang bagus untuk dirinya dalam berkarir.” Tentunya akan lebih baik bagi para profesional jika ada yang mensponsori, misalnya perusahaan tempatnya bekerja. Dikatakan, bagi perusahaan itu sendiri juga akan mendapatkan nilai tambah karena dapat dilihat dari berbagai tujuan seperti untuk meningkatkan kualitas SDM-nya, sebagai reward atas prestasi kerja karyawan, dan sebagai bagian dari pegembangan karir karyawan tersebut. Dari sisi lokasi, kini semakin mudah dijangkau sehingga memudahkan para profesional untuk membagi waktu dengan pekerjaanya. Apalagi dengan perkembangan teknologi jaringan saat ini, tanpa mengurangi kualitasnya, akan sangat membantu jika bisa dilakukan secara remote. “Dari sisi metode belajar, saya pribadi lebih suka jika ada training atau kursus yang mendahului ujian pengambilan sertifikasi tersebut,” lontar Dewi kembali■
ARIEF HARIS
Vice President Financial Planning Bank Danamon
A
nalis keuangan jelas bukan profesi sembarangan. Melalui keahliannya, seorang analis keuangan membedah isi perut perusahaan, portofolio investasi, dan berbagai aspek keuangan perusahaan lainnya. Profesi analis keuangan memiliki gelar professional sendiri yang cukup prestisius, yaitu Chartered Financial Analyst (CFA). Inilah gelar professional di bidang keuangan yang berlaku di seluruh dunia. Artinya, ke manapun peraih gelar CFA ingin bekerja, gelar ini akan diakui. Kenapa bisa? Untuk mendapatkannya, seorang kandidat harus mendaftar ke Amerika dan membeli buku-buku sebagai bahan pelajaran. Bahan-bahan tersebut kemudian dipelajari sendiri atau seperti Arief Haris dengan mengikuti kursus pelatihan di IPAF (Institut Pengembangan Analisa Finansial). Ia mengikuti program pelatihan di IPAF selama 4 bulan tahun 1998 dan berhasil lulus melewati level 1. “Biaya pendaftaran, kalau tidak salah Rp 3-4 juta,” ungkapnya. Sayang, kesibukan kerja membuat pria yang baru menikah ini kesulitan waktu untuk meneruskan ke level 2 dan 3. Sehingga, ia belum berhak menyandang
gelar CFA di belakang namanya. Menurut Arief, belajar sendiri sebetulnya tidak menjadi masalah. Hanya saja dengan mengikuti program pelatihan di IPAF, ada sejumlah manfaat yang bisa diraihnya. Pertama, lebih disiplin dalam belajar. Program pelatihan diadakan setiap Sabtu-Minggu dari jam 8 pagi hingga 5 sore. Kedua, bisa berbagi pengetahuan dalam memecahkan soal-soal dengan sesama peserta. Hal ini sangat membantu karena setiap orang tentu memiliki kekuatan dan kelemahan dalam memahami materi. Ketiga, mendapatkan soal lebih banyak. Keempat, pengajarnya adalah kalangan analis dan praktisi keuangan yang umumnya juga telah meraih gelar CFA seperti Goei Siow Hong dan Lin Tje Wei. “Kami bisa mendapatkan contoh-contoh riil dari praktik bisnis seharihari,” tukasnya. Ujian setiap level CFA diadakan sekali setahun secara serentak di seluruh dunia. “Persis seperti TOEFL dalam pelajaran bahasa Inggris,” ujar Vice President Financial Planning Bank Danamon itu. Materi ujian dikirim dari Amerika dan diselenggarakan secara lokal oleh mitra lokal dengan pengawas juga berasal dari Amerika. Hasil ujian dikirim untuk diperiksa di Amerika, dan nanti diumumkan lulus atau tidak. Tingkat kelulusan setiap tes biasanya hanya 50-60%. Ini menunjukkan tingkat kesulitan untuk memperoleh gelar CFA sangat tinggi. Padahal, orang-orang yang ikut tes bukanlah orang sembarangan. Tetapi, gengsi meraih gelar CFA juga tinggi. Sertifikat professional ini berlaku di seluruh dunia. Selain itu, gelar ini diakui Arief sangat bermanfaat dalam menjalankan pekerjaan. Ketika mengambil pendidikan CFA tahun 1998, ia bekerja di bagian Corporate Planning Bank Universal dan berlanjut dengan Bank Permata ketika bank itu merger dengan 3 bank swasta lainnya. Ia bekerja di Bank Permata hingga Februari 2003. Pindah ke bidang Business Finance Divisi Consumer Banking Standard Chartered Bank hingga April 2004, kini Arief bergabung dengan Bank Danamon dengan jabatan Vice President Financial Planning di Divisi Commercial dan SME Banking. Menurut Arief, produk analisa yang dia buat biasanya digunakan oleh Dewan Manajemen Bank untuk menilai kinerja bisnis, analisis investasi, membuka lini bisnis baru, rencana akuisisi, dan berbagai aspek finansial lainnya. Dalam tugasnya sehari-hari di Bank Danamon, hasil analisisnya dimanfaatkan oleh Head of Commercial Banking and SME untuk menilai kelayakan pinjaman terhadap sebuah perusahaan. “Dengan ilmu ini kami bisa lihat kebutuhan pendanaan perusahaan, arus kas dan kondisi keuangannya.” Mengingat besarnya manfaat gelar CFA itu, Arief berencana untuk meneruskan ke level 2 dan 3. “Saya lagi mencari kesempatan,” tukasnya■
24
| HumanCapital | Nomor 05 | Tahun 2004 |
K o l e
g a
Agung Laksamana
A
Mengubah Persepsi di Dunia PR
ir cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga. Mungkin pribahasa itulah yang tepat ditujukan kepada seorang Agung Laksamana. Terinspirasi dari sang ayah, Ridwan Mahmud, yang menjadi humas di sebuah perusahaan minyak di Arun, Aceh, akhirnya penggemar masakan BBQ ini terjun di bidang yang sama, Public Relations (PR). Yang membedakan hanya cakupannya saja. Kalau sang ayah, hanya berkutet di perminyakan, pria kelahiran 19 April 1972 ini justru memperluas lahannya. Challenges, merupakan hal yang menarik untuk peraih gelar Master of Science jurusan Communication Studies di Fort Hays State University Kansas USA dan Bachelor of Art jurusan Mass Communication di Fort Hays University Kansas USA. Jika di Amerika, PR merupakan hal biasa, berbeda dengan Indonesia yang kala itu masih belum populer dibanding sekarang. Apalagi mengingat dulu dunia PR di Indonesia masih bersifat fisik semata dan didominasi kaum perempuan. Bahkan, ada yang menggunakan jasa seorang artis sebagai PR. Persepsi
itu yang ingin ia diubah. Mulai menapaki karir saat bekerja di Ogilvy & Mather of Indonesia, PR Consultant, Februari 1994 sampai tahun 1995. Hanya bertahan setahun, akhirnya ia pindah ke Four Season Regent Residences tahun 1995 - 1997. Di tempat ini, ia justru bertemu tambatan hati, Syeira laksamana dan mengakhiri masa lajangnya tahun 1997, di saat usianya 25 tahun. Nikah muda adalah targetnya, demi mengejar karir. Puas berkarier di bisnis properti, ayah dari Usha Laksamana (5 tahun) dan Jeeva Laksamana (4 tahun) lompat ke PT Goodyear Indonesia Tbk mulai Februari 1997 hingga 2000. Tantangan setiap tempat yang berbeda-beda mengundang gairah bagi pria berpostur 172cm/83kg yang gemar berenang, lari serta membaca buku-buku tentang bisnis dan biografi. Di perusahaan inilah, ia harus mengubah persepsi dan pandangan masyarakat di lingkungan sekitar pabrik ban tersebut. Iapun harus rela bekerja dengan tantangan serta lingkungan yang lebih besar. Tantangan dalam meng-
hadapi lingkungan sekitar pabrik Goodyear yang kompleks, yang berlokasi di tengah kota Bogor. Membina community development dan memasarkan produk dengan baik, targetnya saat itu. “Tidak mudah memang. Tapi saya
anggap itu sebagai tantangan. Disamping itu, kita juga harus memasarkan produknya apakah bagus atau tidak,” jelas Agung. Tiga tahun di Goodyear, baginya sudah cukup untuk menunjukkan kebolehannya. Merasa tertantang lagi, hatinya tergerak untuk mencoba di dunia perbankan. Jabatan Vice President Public Affairs di Bank HSBC kini membuat ia lebih berkosentrasi di tempat yang berbeda dengan tempat-tempat sebelumnya. “Bergaul dengan wartawan memiliki keasyikan tersendiri. Saya jadi banyak teman,” kata pria yang hobi melepaskan waktu santainya bersama keluarga di Mercantile Athletic Club, Starbuck dan Amigos Café. Prinsipnya, setiap pengalaman adalah suatu menarik dan menyenangkan. Setidaknya, ia bisa menambah jam terbang sebagai PR di tempat yang berbeda. Dengan kata lain, ia bisa mempelajari setiap perusahaan secara makro. Akankah sosok seorang Agung Laksamana melanglang ke tempat lain untuk menerima tantangan baru ? Entahlah■
Samuel Mulia
M
‘Bodoh’ dan Sederhana
elihat penampilan dan gaya Sam, mungkin sedikit yang mengira usianya telah menginjak 41 tahun 13 Januari lalu. Peminpin Redaksi Majalah Soap yang telah malang melintang di dunia mode dan jurnalistik (majalah) serta terkenal kreatif ini memang selalu bersemangat dan bergaya muda. Mungkin karena ia senantiasa memandang hidup sederhana. “Saya ini orang ‘bodoh’. Susah berpikir rumit, buat saya hidup sederhana saja. Hitam atau putih. Kalau saya harus di tengah-tengah, aduh… susah! Bukankah lebih enak jika kita bepikir yang masuk akal dan yang kelihatan saja…,” katanya. Lho, bukannya kreatifitas berhubungan dengan mimpi atau khayalan? Sam menolak tegas, “sama sekali tidak, kreatifitas adalah ide dan tindakan real yang harus bisa dirasakan dan memberikan nilai tambah…. Jika tidak, itu namanya bohong,” demikian Sam yang 2 tahun belakangan ini mengaku sangat pasrah dan dekat dengan Tuhan. Lahir dan besar di Denpasar Bali, Sam hampir saja lulus dari fakultas kedokteran Universitas Udayana kalau saja ia kemudian tidak memutuskan ke Paris mengambil jurusan jurnalistik di sekolah mode di ibukota Perancis itu. “Basically tak ada masalah dengan kuliah saya di kedokteran,.Saya menyukai pelajaran yang berhubungan dengan biologi sejak sekolah lanjutan.Ilmu kedokteran itu sangat logis dan pasti, ada obyeknya. Penyakit pasti ada sebabnya dan jika sudah terdeteksi umumnya bisa diketahui obatnya. Hanya saja
memang saya lebih tertarik pada dunia mode,” ujar Sam yang pernah terpilih menjadi 5 besar Lomba Perancang Mode Femina tahun 1981 itu. “Ketika ayah saya menyetujui, saya pun berangkat ke Paris,” katanya.
Sepulang dari Paris, Sam bekerja hampir 3 tahun sebagai asisten desainer Poppy Dharsono. Kemudian ia pindah ke Majalah Dewi saat majalah itu baru berusia 3-4 bulan. Mulai dari wartawan yunior, Sam menghabiskan 9 tahun bekerja di majalah papan atas itu hingga jabatan terakhirnya sebagai Redaktur Eksekutif atau setingkat Wakil Pemimpin Redaksi. Lepas dari majalah Dewi, Sam berkiprah di majalah papan atas lain, yaitu A+. Kontribusinya di majalah A+ bahkan sempat menjadikan majalah itu disejajarkan dengan salah satu majalah asing menurut hasil lembaga survey independen terkemuka di Indonesia. Sejak 8 bulan yang lalu Sam memutuskan keluar dari A+ untuk meluncurkan dan membesarkan majalah baru dengan tajuk Soap, media bacaan yang ditujukan bagi kaum lakilaki single di kota besar dengan segmen atas. “Satu hal yang ingin saya lakukan adalah menjadikan Soap ajang kreatifitas bagi generasi muda berbakat di Indonesia. Sumber daya yang ada di Soap adalah asli Indonesia, mulai dari desainernya, penulis, pengarah dan lain-lain. Dan adalah niat saya menampilkan para jurnalis dan senimannya dengan selalu mencantumkan nama mereka di atas artikel yang ditampilkan.” Adalah cita-cita Sam memajukan bangsa Indonesia. “Saya cinta sekali bangsa ini. Saya ingin menjadikan Indonesia terpandang di mata orang Indonesia sendiri, apalagi di mata bangsa lain,” katanya, Sam mengaku sering sedih negara ini dieksploitir namun
di sisi lain juga ‘dikecilkan’ oleh bangsa lain. “ Namun ia tak memungkiri kebiasaan (jika tak mau disebut budaya) bangsa Indonesia yang takut pada perubahan dan pembaruan. “Orang Indonesia itu follower, bukan trendsetter. Untuk sesuatu yang baru seringkali kita tidak berani. Takut aneh, takut salah. Coba Anda lihat, dari dulu anak Indonesia dari Sabang sampai Merauke kalau menggambar pemandangan kebanyakan dua gunung dengan matahari di antaranya, jalanan di tengah dan sawah di kiri-kanan. Gimana gak sulit bagi kita mencari diferensiasi sebagai nilai jual bagi negara ini?” Sam tersungut-sungut. Sam sendiri meyakini bahwa lingkungan yang kondusif dan kreatif bisa tercipta dalam naungan pemimpin yang handal. Bukan cuma kompeten di bidangnya, pemimpin haruslah fokus dan memberikan aspirasi bagi orang-orang yang dipimpinnya. “Pemimpin bukanlah orang yang harus berkutat dengan hal-hal teknikal yang sudah bisa ditangani oleh bawahannya, melainkan dia harus melihat jauh ke depan, punya visi, misi, dan kemampuan mencapai visi dan menjalankan misi dengan strategi yang tepat serta melakukan tindakan yang implementable yang bisa memberikan manfaat yang real bagi semuanya,” ungkapnya. Selebihnya Sam? Sam yang juga bercitacita menulis buku dan terlibat di film ini tersenyum:”Selebihnya semua yang saya katakan tadi tak ada artinya, jika tidak berserah dan dekat dengan Tuhan…,” ujarnya■
25
| HumanCapital | Nomor 05 | Tahun 2004 |
L K i o f l e eS gt ay l e
Venna Melinda Fitness Center Berstandar Internasional B
agi penggemar fitness dan senam, jika berada di kawasan Bintaro, khususnya di Bintaro Sektor 3, tidak ada salahnya melongok ke sebuah fitness center yang berlokasi di Ruko Multiguna. Fitness center milik artis sinetron dan mantan Putri Indonesia ini patut menjadi tempat yang asyik untuk bersenam atau membentuk tubuh lewat fitness. Menurut Venna Melinda, sang pemilik, awalnya fitness center ini didirikan karena belum adanya fitness center kala itu di kawasan tersebut. Baru setelah didirikan tahun 1998, bermunculan beberapa fitness center. Selain itu, penggemar olahraga olah tubuh dan tari ini memang memiliki citacita sejak kecil yaitu sebagai instruktur senam. “Ini memang cita-cita saya memiliki fitness center. Apalagi sejak duduk di bangku SMP, saya memang sudah menjadi instruktur senam,” papar Venna. Dengan modal yang didapat dari hasil keringat sendiri, wanita lulusan Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen Universitas Trisakti ini sengaja vakum dari dunia sinetron selama 2 tahun khusus untuk mengerjakan proyeknya, membangun fitness center di ruko berukuran 5 x 12 m. “Saya banyak menguras tabungan dari hasil main sinetron untuk pembuatan fitness center ini.” Animo masyarakat pencinta senam dan fitness yang cukup tinggi memang berdampak positif. Ini terlihat dari
banyak jumlah anggota dari tahun ke tahun sehingga wanita berdarah Bali ini bisa membesarkan tempat fitnessnya menjadi 10 x 24 m dan dibangun tiga tingkat dengan jumlah staf mencapai 19 orang, 5 orang di antaranya adalah instruktur fitness dan 7 orang instruktur senam. “Selama 2 tahun, saya sengaja vakum untuk kerjakan ini semua, mulai dari rencana marketing, operasional, hingga SDM,” ujar Venna yang kini melakukan joint venture dengan rekannya mendirikan Selebrity Café, yang berlokasi di Pasaraya Grande. Apa yang menarik dari sebuah “Venna Melinda Studio” dibandingkan dengan fitness center lain, tentulah hal ini yang ingin Venna kerjakan selama itu. Kelengkapan sarana yang ada dan biaya yang kompetitif, menjadi modal utama Venna Melinda Studio. “Dari segi alat, saya berusaha menjaga agar alat-alat yang digunakan aman dan memenuhi standar fitness center bintang 4,” ujarnya antusias. Selain alat-alat, Venna juga melengkapi fitnessnya dengan Juice Bar, loker, shower room, sauna, dan butik baju-baju senam. Di tempat jus bar ini, diakui Murni, staf bar tersebut, selain dijual minuman segar dan alami, juga dijual supplement food atau makanan tambahan khusus untuk pembentuk tubuh. Harganya berkisar Rp5.000 untuk suplemen berbentuk kapsul berisi 3 butir, hingga Rp15 ribu per satu sendok
untuk suplemen berbentuk bubuk. Sementara dari sisi biaya, Venna mengaku memberikan biaya yang murah khususnya bagi pelajar dan mahasiswa yang ingin menjadi anggota fitness, yaitu berkisar Rp125 ribu per bulan atau Rp1 juta per tahun. Bagi masyarakat umum, bila yang menjadi anggota fitness adalah pasangan suami istri, maka akan dikenakan biaya Rp320 ribu per bulan atau Rp2,7 juta per
tahun. “Saya ingin memasyarakatkan fitness center. Jangan sampai gara-gara uang, mereka tidak bisa berolahraga,” Venna menjelaskan alasan ini. Sedangkan untuk senam, biayanya bervariasi, tergantung program yang ingin diambil anggota. Jika ingin mengambil body language, maka akan dikenakan biaya sebesar Rp175 ribu untuk 2 kali seminggu. Atau jika Anda penggemar latin dance atau save yoga, bisa mengeluarkan kocek sebesar Rp200 ribu per minggu dan Rp150 ribu per minggu. Bahkan, kini di tempat ini juga disediakan Aikido dengan biaya Rp150 ribu. “Sengaja saya cari terobosan baru agar anggota makin ‘betah’ disini. Bahkan saya masih tetap hunting instruktur yang bisa menciptakan kreasi dalam senam,” tukasnya kembali. Tanggung jawab yang tinggi terhadap pelanggan, memang berbuah hasil yang baik. Setiap hari, tak kurang dari 80 orang yang datang ke tempat fitness centernya pada hari biasa. Mereka datang bergantian mulai pukul 06.00 – 21.00 WIB. Namun, berbeda pada akhir pekan. Menurut Halimah, salah seorang staf, justru pada akhir pekan, pengunjung di tempat ini justru berkurang, di bawah 50 orang. “Mungkin karena mereka ingin berakhir pekan bersama keluarga. Kalaupun mereka datang ke tempat ini, biasanya hanya sampai siang saja. Sorenya mereka santai bersama keluarga,” katanya■
26
| HumanCapital | Nomor 05 | Tahun 2004 |
Konsultasi Hukum Ketenagaker jaan
Diasuh oleh: A. Kemalsjah Siregar
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Untuk Orang Asing IJIN KERJA TENAGA ASING Bapak Kemal Yth Kami bermaksud untuk menggunakan pegawai asing di perusahaan kami. Karena kami belum berpengalaman maka kami meminta penjelasan singkat kepada Bapak hal-hal yang perlu kami lakukan untuk mendapatkan ijin kerja bagi pegawai asing tersebut. Selain ijin kerja apakah ada dokumen lain yang harus dimiliki oleh pegawai asing. Atas jawaban yang diberikan kami ucapkan terima kasih. Wiwin H CPT International Jakarta Jawab Seorang tenaga kerja asing (TKA) wajib memiliki ijn kerja tenaga asing (IKTA) sebelum bekerja di Indonesia. Memiliki IKTA artinya pada saat dia memulai bekerja dia sudah harus memiliki IKTA dari Depnakertrans. Apabila IKTA masih dalam proses pengurusan maka TKA tersebut tetap belum boleh bekerja. Untuk mengajukan permohonan IKTA secara singkat dapat saya jelaskan bahwa pertama-tama Saudara harus mengajukan permohonan ke Depnakertrans untuk mendapatkan rekomendasi TA-01. Apabila Rekomendasi sudah dikeluarkan maka harus diajukan permohonan Kartu Ijin Tinggal Terbatas (KITAS) ke Ditjen
Imigrasi. Sesudah KITAS diterima maka permohonan IKTA baru dapat diproses. Setelah IKTA diterima maka TKA tersebut wajib mendapatkan Surat Tanda Melapor Diri (STMD) dari Polri dan Buku Mutasi dari Ditjen Imigrasi. Demikian penjelasan singkat saya.
HAK TENAGA KERJA ASING ATAS PESANGON Bapak Kemal Yth Apakah hak seorang tenaga kerja asing yang diberhentikan oleh perusahaan di Indonesia? Apakah perusahaan memiliki kewajiban yang sama untuk membayarkan pesangon sebagaimana berlaku bagi pekerja Indonesia? Stephanus T PT MI, Jl. Sudirman Jakarta Jawab Keberadaan seorang tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia adalah atas dasar ijin kerja tenaga asing (IKTA) yang berlaku setahun. Apabila IKTA nya berakhir dan perusahaan masih ingin membutuhkan keberadaan TKA tersebut maka harus diajukan permohonan IKTA baru. Karena keberadaan TKA adalah aats dasar keberadaan IKTA nya maka dengan berakhirnya
jangka waktu IKTA dan didapatnya IKTA yang baru, masa kerja TKA untuk periode IKTA yang sudah tidak berlaku lagi tidak dihitung sebagai kumulatif dari masa kerjanya. Karenanya, apabila seorang TKA yang sudah bekerja 6 tahun di Indonesia dan kemudian perusahaan tidak memperpanjang hubungan kerjanya maka hak TKA tersebut terbatas pada apakah masih ada sisa masa kerja dalam IKTA nya. Apabila ia di PHK pada bulan terakhir berlaku IKTA nya maka perusahaan tidak memiliki kewajiban untuk membayarkan apapun kepada TKA tersebut kecuali ada diperjanjikan secara tertulis antara perusahaan dan TKA pada saat akan dimulainya hubungan kerja.
PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU UNTUK ORANG ASING Bapak Kemal Yth Kami mohon penjelasan Bapak mengenai pembuatan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu untuk pekerja asing, apakah boleh berbahasa Inggris saja atau harus berbahasa Indonesia karena orang asing umumnya tidak mengerti bahasa Indonesia. Selain itu apakah diperbolehkan untuk dibuat untuk jangka waktu tidak terbatas atau harus per tahun? Bintang A PT Olojuan Corp.
Jawab Pasal 42 (4) UU No. 13/2003 mengatur bahwa TKA hanya dapat dipekerjakan di Indonesia dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu. Karenanya bentuk perjanjian kerja untuk TKA adalah dalam bentuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Pasal 57 (1) UU No. 13/2003 menyatakan bahwa PKWT wajib dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan huruf latin. Berdasarkan ketentuan ini dan Pasal 57 (3) UU No. 13/ 2003 PKWT untuk tenaga kerja asing (TKA) tetap wajib dibuat dalam Bahasa Indonesia tetapi dapat pula dibuat dalam 2 bahasa yaitu Inggris dan Indoensia. Karena Pasal 42 (4) UU No. 13/2003 sudah mengatur bahwa keberadaan orang asing adalah untuk bekerja dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu maka saya menyarankan bahwa PKWT nya dibuat untuk jangka waktu tertentu dan bukan tanpa batas waktu. Apabila perusahaan masih membutuhkan jasa TKA tersebut dan Depnakertrans masih memberikan IKTA kepada perusahaan untuk mempekerjakan TKA tersebut maka tetap dapat dibuatkan PKWT untuk masa kerja selanjutnya. Kirimkan pertanyaan Anda ke Redaksi Human Capital
A. Kemalsjah Siregar Partner Kemalsjah Cembyn & Affriline Attorneys At Law
27
| HumanCapital | Nomor 05 | Tahun 2004 |
L Ai df vee Sr tt oyr li ae l
ELO Digital Office
Solusi Manajemen Dokumen Anda P
erkembangan teknologi di era globalisasi saat ini kian canggih. Segala aspek kehidupan bergerak secara digital dan menggunakan sistem komputer. Seiring menyambut datangnya era pasar bebas, perusahaan-perusahaan juga banyak menggunakan teknologi untuk mempermudah tercapainya tujuan bisnis. Dengan demikian sebuah perusahaan yang dalam proses bisnisnya hanya mengandalkan teknologi terbelakang akan mengalami kesulitan dalam proses perkembangannya, karena mereka harus bersaing dengan banyak perusahaan yang sudah menggunakan teknologi canggih. Dengan berlatar belakang era teknologi yang semakin canggih ini, sebuah perusahaan yang berasal dari Jerman yaitu ELO Digital Office GmbH GmbH, mencoba menawarkan teknologi terbaru untuk mempermudah sistem pengarsipan perusahaan yang menggunakan teknologi komputer. Sistem pengarsipan yang biasa digunakan dengan kertas, film atau micro film, disadari banyak menghabiskan biaya dan juga resiko kerusakan dan kehilangan yang cukup tinggi. ELO ASIA ASIA, perwakilan ELO Digital Office GmbH GmbH, hadir di Indonesia untuk mempermudah perusahaan-perusahaan di Indonesia yang ingin menggunakan teknologi ELO ELO. ELO adalah suatu sistem pengelolaan dokumen, sistem pengarsipan, sistem alur dokumen (work flow). “Biasanya di sebuah perusahaan itu banyak dokumen yang bersifat kertas, film, dan ini jelas memer-
lukan tempat yang sangat banyak, belum lagi tinta printer kertas itu sendiri,” jelas Andreas Chang, Marketing Director ELO ASIA. Terdapat tiga kelompok produk yang ditawarkan yaitu ELO Office yang akan membantu sebuah perusahaan untuk mengatur informasi sehari-hari, ELO Profesional yang memungkinkan sebuah perusahaan menengah untuk mengatur dokumen dalam jumlah sampai dengan 1000 users, dan ELO Enterprise yang bisa digunakan hingga lebih dari 1000 users. Penggunaan teknologi ELO menjamin keefisienan, kerapian dan keteraturan
ANDREAS CHANG, Marketing Director ELO ASIA
dokumen perusahaan sehingga dapat menekan biaya dan juga waktu. Karena jika kehilangan sebuah dokumen, menurut Andreas, bisa menghasilkan kerugian hingga mencapai ratusan dollar. “Pernah terjadi pada sebuah perusahaan Amerika di Indonesia, ketika diaudit ada dokumen yang hilang dan pada akhirnya dikenakan denda sebesar 800 milyar rupiah,” papar Andreas lagi. Dengan pertimbangan Penggunaan teknologi ELO didukung dengan scanner yang memiliki kecepatan tinggi, mampu melakukan proses scanning hingga 80 lembar per menit, jelas menghemat waktu.
O mampu mengklasifikasikan Teknologi EL ELO dokumen-dokumen yang berbeda dengan sendirinya. “Inilah pintarnya ELO hingga mampu mendeteksi setiap index dan memasukkannnya ke kelompoknya masingmasing,” terang Andreas. Bagi perusahaan yang ingin menggunakan teknologi ELO ELO, tidak perlu ragu karena teknologi ini di produksi oleh ELO Digital Office yang merupakan anak perusahaan dari Louis Leitz Company yang sangat berpengalaman karena telah berusia lebih dari 100 tahun, tepatnya berdiri sejak tahun 1896. dan ELO sudah dipergunakan lebih dari 5000 perusahaan diantaranya Daimler Chrysler, Lufthansa, EADS, BMW, Commerz Bank, dsb. Dengan pengalaman yang dimilikinya, bisa diyakini bahwa teknologi ini akan memberikan apa yang diperlukan oleh perusahaan untuk bisa bersaing dengan banyak pihak■
DENNY MALINGKAS, Director ELO Asia dan KARL HEINZ MOSBACH, CEO ELO Digital Office GmbH
28
| HumanCapital | Nomor 05 | Tahun 2004 |
K O L O M
Konsep Unik: Edutainment PT JAC Indonesia OLEH : MARDIANA SARASWATI
K
alau dulu dikenal istilah learning by doing, kini learning by experiencing adalah ungkapan yang lebih tepat untuk menggambarkan “Edutainment”, yaitu sebuah konsep yang terbilang baru, yang saat ini sedang dikembangkan oleh PT JAC Indonesia. “Sebenarnya core business kami adalah Rekrutmen. Tetapi untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan klien kami secara menyeluruh, kami memberikan layanan inhouse training dan/atau seminar, sesuai kebutuhan mereka, yang biasa disebut tailor made atau customized. Disini kami mengembangkan metode pelatihan dengan konsep Edutainment, sehingga kegiatan tersebut menjadi unik dan memiliki nuansa yang berbeda dibandingkan dengan training atau seminar biasa,” demikian Mardiana Saraswati, atau akrab dipanggil Anna, Marketing Public Relations JAC Indonesia, mengungkapkan. Edutainment adalah akronim dari “education plus entertainment”. Dapat diartikan sebagai program pendidikan atau pelatihan yang dikemas dalam konsep hiburan sedemikian rupa, sehingga tiap-tiap peserta hampir tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya sedang diajak untuk belajar atau untuk memahami nilai-nilai (value) setiap individu. Edutainment dapat digunakan untuk mengemas program Motivation Seminar, Training atau Workshop. Aplikasinya tergantung dari kebutuhan dan impact yang
diharapkan oleh klien, baik terhadap perusahaan, maupun terhadap manajemen dan staff mereka secara mutual. Sedangkan eksekusi dilakukan oleh Tim Pelaksana JAC Indonesia. “Motivation Training yang dikemas dalam Edutainment akan menjadi lebih menarik bagi peserta. Padahal sebenarnya, Motivation Training ini hanyalah kendaraan saja. Yang terpenting adalah muatannya, baik itu internal maupun external issues, misalnya corporate vision and mission, self esteem, sense of belonging, awarding, appreciation, product knowledge, competency, dll,” jelas Anna. Beberapa testimony mengungkapkan bahwa setelah mengikuti kegiatan ini, peserta merasa menjadi ‘seseorang yang baru’ yang berbeda dengan sebelumnya. “Hal tersebut bukan hal yang mengherankan,” kata Anna. “Ada 100% faktor kunci sukses yang compulsory dalam diri kita, yaitu Positive Mental Attitude 50%, Knowledge 10%, Skills 15% dan Habit 25%. Dengan melihat prosentase tersebut, kita dengan mudah dapat melihat bahwa approach yang paling efektif adalah memberikan motivasi pada faktor Positive Mental Attitude” tambahnya.Tekniknya dilakukan dengan menggali impian seseorang yang paling dalam dan menjadikannya sebagai main dream atau main goal. Sedang output-nya nanti adalah momentum seseorang untuk berubah,” tambahnya. Pada tahap persiapan setiap kegiatan,
Show Director bekerjasama dengan Stage Manager akan bertanggungjawab penuh menentukan rundown, dimana mereka secara cermat memperhitungkan alokasi waktu menit per menit. Tidak boleh ada jeda yang menyebabkan acara menjadi membosankan atau membuat mood peserta drop. Untuk itu, banyak digunakan tekhnik-teknik sounds dan lighting design, diantaranya music, illustration, bumper in/out, video presentation, inspirational message dll. Tiap-tiap Pembicara yang terlibat dalam kegiatan ini saling berkoordinasi antara satu dengan lainnya. Mereka juga telah mengetahui peta pribadi peserta secara umum. Sehingga mereka dapat saling mengisi dan saling menguatkan pesan (message), muatan (quote) serta materi (material) yang akan disampaikan sebagai suatu continual synergy yang memiliki benang merah, yang akan memudahkan peserta untuk memahami pembelajaran yang disampaikan secara sederhana. Teknik-teknik khusus ‘outbound’ juga digunakan untuk ‘membongkar’ inner barrier peserta, sehingga selama mengikuti kegiatan mereka menjadi individu-individu yang equal, namun tetap saling menghargai. Setelah ego mereka ‘dilebur’ menjadi satu, kemudian mereka akan dibangun lagi menjadi tim yang lebih solid, dengan menggunakan berbagai simulasi dan ilustrasi. Motivation Training ini dapat dilaksana-
kan dalam waktu setengah hari hingga tiga hari, baik indoor maupun outdoor, misalnya di ballroom hotel, lapangan terbuka, pool side, atau camp didaerah pegunungan atau pantai diluar kota, dll. Lamanya kegiatan, penggunaan equipments serta penentuan aplikasi materimateri outbound mempengaruhi hasil akhir, yang dapat berupa soft, middle atau high impact. Artinya semakin tinggi impact yang dihasilkan, semakin tinggi pula motivasi orang tersebut setelah selesai mengikuti pelatihan. Bahkan ia akan dapat secara positif mempengaruhi dan memotivasi orang lain. “Dalam kurun waktu paling sedikit dua bulan, perusahaan/klien sebaiknya mengevaluasi motivasi tim mereka. JAC Indonesia dapat membantu klien melakukan review serta menganalisa. Jika ‘grafik’ naik atau stabil, kami bisa membantu memberikan motivation training yang sifat dan arahnya lebih kepada maintenance atau development, sehingga tim dapat bertahan atau bahkan menjadi lebih baik lagi. Namun apabila menurun, kami dapat membantu mengemas motivation training dengan tema yang membangun semangat mereka kembali, jika diperlukan. Ini harus menjadi komitmen bersama,” demikian kesimpulan Anna mengakhiri pembicaraan■ Mardiana Saraswati adalah Marketing Public Relations PT. JAC Indonesia
29
| HumanCapital | Nomor 05 | Tahun 2004 |
K i a t
Mengelola Waktu
“ATUR WAKTU, JANGAN BIARKAN WAKTU MENGATURMU”. Mudah memang untuk mengatakannya, namun ternyata tidak demikian dalam melaksanakannya. Seringkali kita mengatakan “maaf, tidak punya waktu”, ketika teman lama mengajak bertemu atau bahkan saat anak kita menagih janji bertamasya ke pantai. Kehidupan kota besar, ditambah dengan kompetisi yang ketat di kantor memaksa kita bekerja keras serasa tanpa jeda. Tidak sedikit karyawan yang bekerja bagaikan vampire yang takut matahari, karena telah berada di kantor pagi hari dan baru kembali larut malam. Pekerjaan yang menumpuk selalu menjadi kambing hitam. Tetapi apakah memang ini yang terjadi atau sebenarnya cara kerja Anda yang belum efektif dan optimal? John Townsend, dalam The Manager’s Pocketbook memiliki kiat sederhana dalam bagaimana cara mengatur waktu. Pada prinsipnya, terdapat empat komponen penting dalam pengelolaan waktu. Hal-hal tersebut akan berpengaruh terhadap bagaimana persepsi Anda terhadap waktu dan cara membaginya dalam keseharian: 1. Definisikan tujuan utama Anda Sisihkan waktu sejenak untuk melakukan analisa diri dengan menjawab beberapa pertanyaan dasar berikut: Pengalaman apa yang telah saya miliki hingga kini? Apa yang dapat saya lakukan dengan baik dan hal apa yang harus dikembangkan? Bagaimana pengalaman selama ini membantu dalam penyelesaian tugas ini? Apa yang diharapkan dan apa yang akan didapat dari pekerjaan ini? Bagaimana kondisi pekerjaan maupun diri kita saat ini? Hambatan apa yang mungkin terjadi?
Hasil apa yang diharap didapat, baik kualitas maupun kuantitas? Kapan tepatnya pekerjaan ini harus diselesaikan? Langkah-langkah apa yang harus diambil untuk mencapai semua tujuan diatas? 2. Memiliki dan menggunakan alat bantu. Saat ini hampir semua karyawan telah memiliki peralatan yang membantu mengatur waktu. Mulai dari yang paling sederhana seperti memo/planner pocket, hingga yang menggunakan teknologi canggih bluetooth yang mampu mengintegrasi telepon genggam, komputer dan PDA. Akan tetapi data yang tercantum seringkali tidak mencerminkan kondisi terkini, sehingga tidak dapat memberikan kontribusi optimal. Oleh karena itu biasakan diri untuk selalu memperbaharui janji dan mencatat setiap rencana secara konsisten. 3. Agar dapat mengefisiensikan waktu, identifikasi dahulu kegiatan yang paling banyak menghabiskan waktu selama ini, misalnya: Terlalu banyak menggunakan telepon Terlalu banyak membaca Terlalu banyak menghadiri undangan pertemuan/meeting Fasilitas bekerja yang tidak memadai Rekan kerja yang tidak kompeten Kurangnya staf pendukung Tidak mampu mengatakan “TIDAK” Setelah diketahui permasalahannya, lakukan suatu perubahan. Berikut contoh ide yang dapat dilakukan untuk menghemat waktu di tempat kerja:
Tentukan prioritas terhadap setiap tugas yang diterima, misalnya: A =lakukan sekarang, B =lakukan segera, C =lakukan setelah A&B Perlakukan semua janji/pertemuan seperti yang dilakukan dokter gigi, - teratur, tercatat, terstruktur, tepati waktunya dan hindari penjadwalan ulang. Usahakan menyisihkan sedikit waktu setiap harinya untuk dapat bekerja dengan menghindari gangguan seperti telepon, teman yang mengajak berbincang dan lainnya. Jangan membahas – bahkan menyentuh – kertas kerja yang sama lebih dari sekali!. Usahakan untuk segera mengerjakan, memberi rekomendasi/preposisi atau solusi. Selaku mencari informasi yang tepat dari orang lain, sehingga selain tidak perlu bertanya berulang kali, juga menghindari kesalahan penyelesaian pekerjaan. Selalu bawa peralatan pengatur waktu seperti buku catatan/notes atau PDA kemana pun, agar selalu dapat diperbaharui. Usahakan bangun lebih pagi dan sempatkan membuat garis besar rencana hari ini. Plot dan jangan ganggu gugat waktu untuk melakukan kegiatan bersama keluarga atau pun hanya melakukan hobi pribadi. 4. Terakhir, lakukan mulai detik ini juga! Seorang bijak mengatakan, “ Today is the first day of the rest of your life”. Jadi, tidak ada kata terlambat untuk memulai membagi waktu dengan efisien serta petik kenikmatan dimana Anda tetap dapat bekerja sukses di kantor tanpa mengecewakan orang sekeliling yang menyayangi Anda■
30
| HumanCapital | Nomor 05 | Tahun 2004 |
B u r s a K e r j a and complain from customer. You should hold min. D3 degree from reputable university with min. GPA 2.75. Ideally, you have min. 2 years experience as call center, preferably in banking industry. You must have excellent communication skill with pleasant voice, high tolerance for stress, and willing to work on shift schedule. CREDIT OFFICER (C0) As Credit Officer, you will responsible for processing loan transaction (e.g appraisal, document verification, loan agreement and disbursement, provide reporting internal & BI). You should hold min. D3 degree from reputable university with min. GPA 2.75. Ideally, you have min. 1 years experience demonstrated top performance in mass market credit management role in fields such as BPR, BRI unit Desa, mass market consumer goods (low end electronic). You should be a team player, concern for excellent, following procedure and able to building relationship. CUSTOMER SERVICE (CS) You will responsible to serve and handle complain from customer. You should hold min. D3 degree from reputable university with min. GPA 2.75. You should have excellent communication and interpersonal skill, good administration skill and high attention to detail. You should also have excellent customer orientation. MARKETING / SALES (MKT/SLS) Your main responsibility will be to offer and sell our client’s product. You should hold min. D3 degree from reputable university with min. GPA 2.75. Ideally, you have min. 2 years experience in the same position, preferably for banking industry. You should also have excellent communication and negotiation skill. An openminded professional with high initiative and creativity are highly preferred.
| S TA R T |
YOUR CAREER WITH US We are global leader in outsourcing company. Our client is one of Indonesia’s premier banking industry, the company is seeking ‘Innovative and Driven Individuals’ to fill this challenging positions:
ADMINISTRATION (ADM) / DATA ENTRY (DE) You will be responsible to creates or set up file management system, input data, and manage all relevant data and records. You should hold min. D1 degree from reputable university, with min GPA of 2.75. You should have high attention to detail and hands on with standard computer packages. CALL CENTER (CC) You will be responsible to handle incoming call
SUPPORT OFFICER (SO) You will responsible to seek and open new channel for new outlet. You should hold min. D3 degree from reputable university with min. GPA 2.75 located in Karawang, Bandung, Tasikmalaya, and Surabaya. You should have excellent communication and interpersonal skill, good analyzing skill and high attention to detail, and experienced in banking industry preferably in BPR or BRI unit Desa min. 1 year. TELLER (TLR) / GREETER (GRT) As Teller / Greeter, you will be responsible to serve cash and non cash transaction, including to handle incoming customer. You should have min. 2 years experience in the same position, preferably in banking industry. Ideally, you hold min. D3 degree from Economy, Accountancy or Finance with min. GPA of 2.75. You must have
high attention to detail and integrity, and able to learn new things. UNIT MANAGER (UM) As Unit Manager, you will responsible for P & L of our unit focused on micro businesses, small businesses and lower income consumers. Manages sales, books and operations. Can approve loans up to IDR50M. You should hold min. S1 degree from reputable university with min. GPA 2.75 and with 3 years experience in management role of Sub Branch, BPR or BRI unit Desa. You must have high integrity, able to demonstrate core values of DSP, good leadership skill and target oriented. Your location must be in Rengasdengklok. VERIFICATION (VER) As Verification Staff, You will be responsible to verify data, based on incoming application. You should hold min. D3 degree from reputable university with min. GPA 2,75. Ideally, you have min. 2 years experience as verificator, preferably in banking industry. You must have excellent communication skill and good analytical thinking.
The successful candidate will be offered competitive remuneration package and opportunity to work for well-known company. To apply, please submit your complete application with brief description about your achievement & job description, within 2 weeks to:
PT. Perdana Perkasa Elastindo PO BOX 8231 JKS SB
Please indicate the position applied on upper left of your envelope.
TARIF IKLAN BURSAKERJA Rp10.000 per milikolom
Tarif Iklan BursaKerja Rp10.000 per milikolom Segera hubungi bagian iklan HumanCapital
Telp. 021-5220575
Fax. 021-5290102
E-mail :
[email protected]
| HumanCapital | Nomor 05 | Tahun 2004 |
B u r s a K e r j a
31
32
| HumanCapital | Nomor 05 | Tahun 2004 |
R e h a l
Dinamika Tim, Kunci Sukses Proyek Six Sigma Judul Six Sigma Team Dynamics The Elusive Key to Project Success Penulis George Eckes Penerbit John Wiley & Sons Halaman 262 halaman (termasuk indeks)
T
idak seluruh implementasi program Six Sigma berlangsung dengan sukses. Banyak juga yang gagal. Eckes and Associates, perusahaan konsultan manajemen yang didirikan oleh George Eckes, telah mempelajari seluruh data yang berhasil mereka kumpulkan, dan menyimpulkan penyebab utama kegagalan implementasi proyek Six Sigma adalah kurangnya dinamika tim. Implementasi Six Sigma akan sukses bila tim yang menangani proyek ini bekerja fungsional dan saling bekerjasama. Bukan karena metodologinya tidak kuat. Pentingnya dinamika tim mendorong George Eckes menulis bukunya ketiga tentang Six Sigma, yang berjudul Six Sigma Team Dynamics. Buku Eckes pertama
TUNGGU EDISI BERIKUTNYA
tentang Six Sigma berjudul The Six Sigma Revolution: How General Electric and Others Turned Process into Profits. Buku ini menekankan pentingnya mengaitkan identifikasi proses dengan objektif bisnis strategik perusahaan, pengumpulan data awal, bagaimana menciptakan serta menjaga Dewan Kualitas Bisnis demi kelanggengan Six Sigma sebagai strategi manajemen mumpuni, dan bagaimana memilih proyek Six Sigma yang memiliki dampak besar. Dalam bukunya kedua Making Six Sigma Last: Managing the Balance Between Cultural and Technical Change, Eckes mengupas komponen kultural agar Six Sigma diterima luas di perusahaan. Misalnya tentang bagaimana menciptakan kebutuhan terhadap Six Sigma dan menghadapi 4 tipe orang atau kelompok yang resisten terhadap Six Sigma. Juga tentang upaya membangun organisasi dengan visi Six Sigma dan bagaimana mengukur kultur Six Sigma karena Six Sigma lebih dari sekedar penghematan biaya. Menurut Eckes dalam buku terbarunya ini, dinamika tim tidak seluruhnya bersifat teknis.Termasuk dalam dinamika itu mengetahui tanggung jawab setiap anggota tim, seperti pemimpin tim (dikenal sebagai
Nomor
06 Th. 2004 SENGKETA KETENAGAKERJAAN
SETELAH P4P DAN P4D BUBAR, LANTAS BAGAIMANA?
Lembaga yang secara tradisional menangani sengketa ketenagakerjaan kini bubar. Sementara, lembaga penggantinya belum berfungsi. Hakim ad hoc yang akan menjalankan tugas memutuskan perkara masih belum juga diseleksi. Bagaimana masa depan penyelesaian kasus-kasus tenaga kerja? Siapa berminat menjadi Hakim ad hoc, dan apa saja persyaratannya?
HC TREND BERLOMBA MERAIHSimak SERTIFIKASI PROFESIONAL jawaban tuntasnya di rubrik FOKUS Para professional semakin rajin mencari sertifikasi professional untuk kesuksesan karir. Aneka pendidikan professional bersertifikat tersedia untuk setiap profesi. Apa saja program bersertifikasi favorit? Bagaimana cara mendapatkannya, dan seberapa mahal? Sejauh mana hal itu menambah bobot professional mereka?
MEDIA SATU-SATUNYA MENGUPAS TUNTAS MASALAH SDM
Black Belt atau Green Belt), konsultan internal (dikenal sebagai Master Black Belt), anggota tim itu sendiri, dan sponsor proyek (disebut dengan Champion). Selain itu, dinamika tim termasuk pula pengetahuan dan aplikasi dari keahlian untuk memfasilitasi. Faktor lain yang mempengaruhi dinamika Six Sigma adalah keahlian manajemen proyek. Penulis mengupas keahlian manajemen proyek dan pentingnya pemanfaatannya melalui metodologi DMAIC (Define, Measure, Analyse, Improve, and Control). Penulis mendefenisikan dinamika tim sebagai kekuatan memotivasi dan mendorong bagi sebuah tim agar berhasil mewujudkan tujuan atau misinya. Berikut adalah sumber-sumber kegagalan dalam melahirkan dinamika tim, yang oleh penulis disebut The Elusive Key to Project Success: ● Gagal menentukan pimpinan ● Tidak menyusun peran dan tanggung jawab anggota tim secara baik dan jelas ● Gagal menyusun tujuan maupun objektif ● Tidak memiliki agenda yang jelas dan sistematis tentang penyelesaian proyek ● Tidak memiliki metode untuk mencapai kesepakatan ● Tidak memiliki aturan dasar dalam menjalankan setiap rapat ● Tidak menggunakan alat bantu bermutu ● Bertingkah laku yang merugikan tanpa konsekuensi
Membuang-buang waktu untuk memulai Penulis mengupas satu per satu sumber-sumber kegagalan tersebut dan jalan pemecahannya dalam sebagian besar tulisannya. Dengan membacanya, Anda bisa meningkatkan dinamika tim dengan: ● Pengetahuan anggota tim tentang peran dan tanggung jawab yang lebih besar ● Tujuan dan objektif tim yang terdefinisi secara jelas ● Panduan untuk menyusun agenda yang jelas dan sistematis ● Lima metode utama pengambilan keputusan ● Kunci-kunci untuk membuat aturan dasar untuk rapat yang efektif ● Alat bantu bermutu yang umum untuk mendapatkan efisiensi tim ● Metode untuk mengatasi tindakan yang menyimpang di antara anggota tim ● Keahlian dan alat bantu manajemen proyek yang esensial ●
Implementasi Six Sigma memang akan meningkatkan proses bisnis, laba usaha dan tingkat kesuksesan usaha, tetapi hal itu hanya mungkin selama setiap individu anggota tim sama-sama bekerja dengan baik. Sebuah bacaan yang sangat menarik dan bermanfaat buat seluruh manajer dan eksekutif, khususnya peminat filosofi dan strategi manajemen kelas dunia■ Buku ini bisa diperoleh, antara lain, di jaringan took buku QB World Books.