Chief Editor Dr. Raymond R. Tjandrawinata Executive Editor Dwi Nofiarny, Pharm., Msc. Editorial Staff dr. Della Manik Worowerdi Cintakaweni, dr. Lydia Fransisca Hermina Tiurmauli Tambunan, Liana W Susanto, M biomed., dr. Lubbi Ilmiawan, dr. Novita Pangindo Manoppo, dr. Prihatini, Puji Rahayu, Apt., dr. Ratna Kumalasari, Tri Galih Arviyani, SKom. Peer Review Prof.Arini Setiawati, Ph.D, Jan Sudir Purba, M.D., Ph.D, Prof.Dr.Med. Puruhito,M.D.,F.I.C.S., F.C.T.S, Prof DR. Dr. Rianto Setiabudy, SpFK Editorial Office Titan Center, Lantai 5, Jalan Boulevard Bintaro B7/B1 No. 05, Bintaro Jaya Sektor 7, Tangerang 15224, Indonesia, Tel. +62 21 7454 111, Fax. +62 21 7453111, Email:
[email protected], Website: www.dexa-medica.com
1 Content. 2 Perspective. 3 Instruction for Authors. Leading article 4 Apakah Oxaliplatin atau Irinotecan yang digunakan sebagai Terapi Ajuvan Kanker Kolorektal? Sebuah Perjalanan Sejarah dalam Kemoterapi Kanker Usus Besar. 7 Original Article (Research) Pengaruh Suplementasi Besi Pada Tuberculosis Paru Dengan Anemia Defisiensi Besi. 19 Hubungan Antara Komponen Sindroma Metabolik Dengan Plasminogen Activator Inhibitor - 1 26 Hasil Kehamilan Pada Penderita Hipertiroidisme Technology 30 Uji Farmakokinetik Pelet Ibuprofen Untuk Pelepasan Di Kolon Pada Tikus Wistar Normal. 35 Formulasi Lipstik Menggunakan Liposom Magnesium Askorbil Fosfat Yang Dibuat Dengan Metode Reverse Phase Evaporation Medical review 41 Hiperparatiroidisme Primer 47 Penyakit Polikista Ginjal Autosomal Dominan 53 Calendar Event
Contribution Medicinus Editors accept participation in form of writings, photographs and other materials in accordance with the mission of this journal. Editors reserve the right to edit or modify the wri-tings, particulary redactionally without changing the content of the published articles, if necessary.
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
54 Event
M E D I C I N U S
contents
MEDICINUS 1
Perspective
Pencarian Obat Baru Besaran investasi industri farmasi dalam pengembangan obat baru sangat tinggi. Menurut data penelitian terbaru yang dipublikasi oleh Universitas Tufts, Boston, AS, penemuan dan pengembangan sebuah obat baru saat ini menelan biaya sekitar USD 1,2 milyar atau setara dengan Rp 11,2 triliun per obat. Ratarata waktu yang diperlukan untuk suatu penemuan dan pengembangan obat baru cukup panjang, yaitu sekitar 10 sampai 20 tahun. Hal ini bukanlah suatu usaha yang mudah, karena risiko kegagalannya juga tinggi. Ada banyak kandidat obat yang pada akhirnya gagal menunjukkan hasil yang baik ketika dilakukan uji klinik maupun dilakukan evaluasi keamanan. Hanya satu di antara tiga obat yang berhasil dipasarkan memberikan hasil yang baik sekali secara finansial dan memberikan angka pengembalian atas investasi yang tinggi. Oleh karena itulah industri farmasi secara keseluruhan mengalami tekanan untuk meningkatkan produktivitas pencarian obat baru. Pada saat ini telah terjadi perubahan paradigma, yaitu memadukan pengetahuan biologi molekuler dengan farmakologi agar didapatkan terapi inovatif dalam waktu yang singkat. Namun demikian, walaupun target-target obat baru telah ditemukan, keterbatasan teknologi masih menjadi kendala bagi ditemukannya obat baru. Hal ini terbukti dari jumlah registrasi obat yang menurun dari tahun ke tahun walaupun biaya riset dan pengembangan yang dikeluarkan meningkat di seluruh dunia. Karena sulitnya melakukan riset sampai mendapatkan obat baru, banyak perusahaan obat mengembangkan pola-pola aliansi strategis baru dalam pencarian produk baru, misalnya “outsource development” di mana suatu perusahaan memberikan pekerjaan pengembangan obat ke perusahaan lain dan “co-development” di mana suatu obat baru dikembangkan oleh lebih dari satu perusahaan. Moda yang terbaru adalah suatu perusahaan farmasi membeli perusahaan lain, terutama perusahaan bioteknologi, agar portofolio produk perusahaan pembeli menjadi lebih besar untuk menghadapi kompetisi yang kian keras. Strategi ini juga digunakan untuk menghadapi kenyataan bahwa dana riset yang terbatas harus dijaga ketat karena ongkos riset di negara-negara maju sangat tinggi. Hal inilah yang membuka kesempatan bagi negara-negara Asia untuk ramai-ramai membuka pintu investasi dalam bidang riset bagi perusahaan-perusahaan obat berbasis riset di seluruh dunia. Negara Cina, India, Korea, Taiwan, dan Singapura memberikan kemudahan bagi perusahaan-perusahaan dunia agar membangun pusat riset di negara-negara mereka.
2 MEDICINUS
Negara Asia tidak kalah dalam hal pendidikan tinggi dibandingkan dengan negara maju, inovasi baru banyak dihasilkan oleh profesor-profesor Asia. Hal ini diperkuat oleh banyaknya ilmuwan yang semula tinggal di negara-negara maju, saat ini “pulang” ke negaranya setelah mengambil pendidikan tinggi di negara-negara tersebut. Di samping itu, pemerintah setempat memberikan banyak insentif dan kemudahan untuk investasi bagi perusahaan-perusahaan dunia. Tidak mustahil bahwa dalam satu dekade mendatang, kita akan mendapatkan produk obatobat baru yang merupakan hasil inteligensia orang Asia dan dipasarkan di seluruh dunia oleh perusahaan obat multinasional. Pada akhirnya, Indonesia tidak boleh ketinggalan mengejar kesempatan ini. Kita seharusnya mengikuti ombak tren dalam pencarian obat baru di Asia: kita memiliki banyak ilmuwan yang handal dalam hal ini. Dimulai dengan adanya infrastruktur yang memudahkan kegiatan riset baik di lingkungan akademik, institusi riset pemerintah, maupun perusahaan farmasi di Indonesia. Indonesia banyak disebut dan dihormati sebagai negara yang mempunyai kekayaan biodiversitas majemuk terbesar kedua di dunia setelah Brasilia. Namun sampai saat kini di tahun 2010, belum ada satu obatpun yang berasal dari Indonesia yang mendunia. Bahkan dalam sejarah fitofarmaka di Indonesia sampai saat ini hanya ada lima fitofarmaka yang diakui di Indonesia. Bagaimana kemajuan dalam bidang ini bisa terjadi apabila para ilmuwan Indonesia tidak didukung dengan infrastruktur penelitian yang baik, serta pengelolaan struktur riset yang terintegrasi dan berkesinambungan? Kepentingan dan kesempatan tidak selalu ada. Saat ini negara-negara Asia sedang dilirik sebagai pemasok obat-obat masa mendatang. Inilah kesempatan yang harus kita hormati dan ambil agar Indonesia disegani oleh dunia sebagai negara yang berbasis “science” dan teknologi dan memberikan kontribusinya dalam menyejahterakan serta meningkatkan kualitas hidup para pasien di dunia. Mungkinkah ini terjadi? Melihat sejarah negaranegara Asia lainnya, hal ini sangat mungkin terjadi, tetapi dengan syarat kerja sama antar kelompok harus terlaksana dengan baik dan tiap kelompok harus mau mengalah agar integrasi riset terjadi untuk kepentingan bersama, dan bukan melulu untuk kepentingan kelompoknya. Raymond R. Tjandrawinata, Ph.D., M.S., M.B.A., Farmakologi Molekuler dan Chief Editor Utama Jurnal Medicinus
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
Instruction for authors
MEDICINUS Editors receive original papers/articles of literature review, research or case reports with original photographs in the field of Medicine and Pharmacy. 1. The article that is sent to the Editor are any papers/articles that have not been published elsewhere in print. Authenticity and accuracy of the information to be the responsibility of the author(s). 2. The paper should be type in MS Word program and sent to our editorial staff via e-mail:
[email protected] 3. Should be type with Times New Roman font, 12 point, double space on quarto size paper (A4) and should not two side of printing. 4. The paper should be max. 8 pages. 5. All type of articles should be completed with abstract and keyword. Abstract should not exceed 200 words. 6. The title does not exceed 16 words, if more please make it into sub title. 7. The author’s name should be completed with correct address. 8. Please avoid using abbreviations, acronyms. 9. Writing system using a reference number (Vancouver style) 10. If there are tables or images please be given a title and description. 11. The papers that have been edited if necessary will be consulted to the peer reviewer. 12. The papers should be given with data of the authors / curriculum vitae, and the email address (if any), telphone number / fax that can be contacted directly. Articles in Journals 1. Standard journal article Vega KJ, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996; 124(11):980-3. More than six authors: Parkin DM, Clayton D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood leukaemia in Europe after Chernobyl: 5 years follow-up. Br J Cancer 1996; 73:1006-12 2. Organization as author The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical Exercise Stress Testing. Safety and performance guidelines. Med J Aust 1996; 164:282-4 3. No author given 21st century heart solution may have a sting in the tail. BMJ 2002; 325(7357):184 4. Article not in English Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar seneruptur hos tidligere frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 1996; 116:41-2 5. Volume with supplement Shen HM, Zhang QE. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupational lung cancer. Environ Health Perspect 1994; 102 Suppl 1:275-82 6. Issue with supplement Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women’s psychological reactions to breast cancer. Semin Oncol 1996; 23(1 Suppl 2):89-97 7. Volume with part Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in non-insulin dependent diabetes mellitus. Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3):303-6 8. Issue with no volume Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap lacerations of the leg in ageing patients. N Z Med J 1990; 107(986 Pt 1):377-8 9. Issue with no volume Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrodesis in rheumatoid arthritis. Clin Orthop 1995; (320):110-4 10. No volume or issue Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of the cancer patient and the effects of blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen Surg 1993:325-33 11. Pagination in roman numerals Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and hematology. Introduction Hematol Oncol Clin North Am 1995; Apr; 9(2):xi-xii
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
Books and Other monographs 12. Personal author(s) Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed. Albany (NY):Delmar Publishers; 1996 13. Editor(s), compiler(s) as author Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for eldery people. New York:Churchill Livingstone; 1996 14. Organization(s) as author Institute of Medicine (US). Looking at the future of the medicaid program. Washington:The Institute; 1992 15. Chapter in a book Note: This Vancouver patterns according to the page marked with p, not a colon punctuation like the previous pattern). Phillips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner BM, editors. Hypertension: Patophysiology, Diagnosis and Management. 2nded. New York:Raven Press; 1995.p.465-78 16. Conference proceedings Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent Advances in clinical neurophysiology. Proceedings of the 10th International Congress of EMG and Clinical Neurophysiology; 1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan. Amsterdam:Elsevier; 1996 17. Conference paper Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and security in medical information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE, editors. MEDINFO 92. Proceedings of the 7th World Congress on Medical Informatics; 1992 Sep 6-10; Geneva, Switzerland. Amsterdam:North-Hollan; 1992.p.1561-5 18. Scientific or technical report Issued by funding/sponsoring agency: Smith P, Golladay K. Payment for durable medical equipment billed during skilled nursing facility stays. Final report. Dallas(TX):Dept. of Health and Human Services (US), Office of Evaluation and Inspections; 1994 Oct. Report No.: HHSIGOEI69200860 Issued by performing agency: Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Health Services Research: Work Force and Education Issues. Washington:National Academy Press; 1995. Contract No.: AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health Care Policy and Research 19. Dissertation Kaplan SJ. Post-hospital home health care: The eldery’s access and utilization [dissertation]. St. Louis (MO): Washington University; 1995 20. Newspaper article Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates 50,000 admissions annually. The Washington Post 1996 Jun 21; Sept A:3 (col.5) 21. Audiovisual material HIV + AIDS: The facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO): Mosby-Year Book; 1995 electronic material 22. Journal article on the Internet Abood S. Quality improvement initiative in nursing homes: the ANA acts in an advisory role. Am J Nurs [serial on the Internet]. 2002 Jun [cited 2002 Aug 12]; 102(6):[about 3 p.]. Available from: http://www.nursingworld.org/AJN/2002/june/Wawatch.htm 23. Monograph on the Internet Foley KM, Gelband H, editors. Improving palliative care for cancer [monograph on the Internet]. Washington: National Academy Press; 2001 [cited 2002 Jul 9]. Available from: http://www.nap. edu/books/0309074029/html/ 24. Homepage/Web site Cancer-Pain.org [homepage on the Internet]. New York: Association of Cancer Online Resources, Inc.; c2000-01 [updated 2002 May 16; cited 2002 Jul 9]. Available from: http://www.cancerpain.org/ 25. Part of a homepage/Web site American Medical Association [homepage on the Internet]. Chicago: The Association; c1995-2002 [updated 2001 Aug 23; cited 2002 Aug 12]. AMA Office of Group Practice Liaison; [about 2 screens]. Available from: http://www.ama-assn.org/ama/pub/ category/1736.html 26. CD-ROM Anderson SC, Poulsen KB. Anderson’s electronic atlas of hematology [CD-ROM]. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2002
MEDICINUS 3
Leading article
Apakah Oxaliplatin atau Irinotecan yang digunakan sebagai Terapi Ajuvan Kanker Kolorektal?: Sebuah Perjalanan Sejarah dalam Kemoterapi Kanker Usus Besar Aru Wisaksono Sudoyo Bagian Penyakit Dalam FKUI/RSCM, Jakarta
PENDAHULUAN Kanker usus besar atau kanker kolorektal (KKR) adalah keganasan yang termasuk dalam urutan 10 kanker terbanyak di dunia. Dari semua jenis kanker yang ada, kanker kolorektal (KKR) merupakan penyebab kematian kedua dan di dunia menempati urutan ke-4, dengan jumlah laki-laki sedikit lebih banyak daripada wanita dengan perbandingan sebesar 19,4 dan 15,3 per 100.000 penduduk. Kejadiannya ditemukan paling banyak di Amerika Utara, Australia, Selandia Baru dan sebagian di Eropa (Eropa Barat yang sudah masuk kategori negaranegara maju/ developed countries), namun seiring dengan meningkatnya kondisi sosioekonomi negara berkembang termasuk Indonesia, serta adanya kecenderungan “westernisasi” pada pola makan, kanker ini perlahan menanjak menjadi salah satu dari sepuluh kanker tersering. Di Indonesia, kanker ini menjadi semakin penting untuk diwaspadai karena menyerang lebih dari 30% kaum muda (umur kurang dari 40 tahun, dibandingkan dengan 3% di negara barat/maju).1 Jelas bahwa beban sosial dari KKR ini sangat besar terutama bagi negara seperti Indonesia. Sungguhpun demikian, dua dasawarsa terakhir ini menjadi saksi akan kemajuan yang sangat pesat pada pengembangan terapi di dunia, di mana kemajuan dalam teknik bedah serta pemahaman akan perangai kanker ini telah meningkatkan angka harapan hidup lima tahun (five-year survival rate) dari 50% menjadi 63% secara keseluruhan untuk semua stadium. Peningkatan ini juga tidak terlepas dari ditemukannya obat sitostatika oxaliplatin dan irinotecan dalam suatu pendekatan multimodalitas yang multidisipliner, serta deteksi dini.
gap bermanfaat bagi penderita KKR, kemoterapi untuk kanker ini hanya terdiri dari kombinasi 5-fluorouracil (5-FU), levamisole (kemudian diganti oleh asam folinat atau leucovorin) dalam sebuah protokol yang dikenal sebagai FUFA, dan protokol ini tidak berubah hingga 40 tahun. Laporan-laporan hanya bervariasi antara berbagai cara pemberiannya, dengan harapan hidup maksimal antara 11 hingga 13 bulan. Hal ini menyebabkan kanker kolorektal “tertinggal” dari jenis kanker lain dalam kemajuan pengobatan. Baru pada tahun 1998 Saltz3 melaporkan irinotecan, yang disarikan dari kulit pohon sejenis pinus, sebagai obat baru yang, bila ditambahkan pada protokol FUFA, kemudian disusul oleh oxaliplatin, sebuah obat dengan tambahan dasar platinum. Penemuan-penemuan ini telah terjadi dengan sangat cepat–kemudian disusul oleh capecitabine dan berbagai obat biologi (semuanya dalam kurun waktu kurang dari lima tahun), sehingga para klinisi sibuk melakukan penelitian-penelitian dalam menilai keefektivitasannya. Irinotecan adalah suatu derivat semisintetik dari alkaloid alami camptothecine yang dirubah menjadi SN-38113 oleh enzim karboksilase. Dengan penghambatan terhadap topoismerase-I, yaitu sebuah enzim katalisator pengatur replikasi DNA, zat ini menyebabkan fragmentasi dan apoptosis sel kanker tersebut.
KEMOTERAPI
Penelitian-penelitian randomisasi menunjukkan perbaikan waktu hingga progresi (progression free survival) dalam harapan hidup (overall survival) bila irinotecan ditambahkan pada protokol yang mengandung 5-FU, baik secara infus (FOLIFIRI) maupun bolus (IFL).
Sejak tahun 1960-an awal, di mana untuk pertama kalinya 5-fluorouracil (5-FU) ditemukan dan diang-
Belakangan ini, diketahui bahwa protokol tersebut menghasilkan angka harapan hidup yang lebih baik
4 MEDICINUS
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
Gambar 1. Perhitungan estimasi menurut Kaplan-Meier: perbandingan antara protokol FUFA dan irinotecan yang ditambahkan pada 5-FU bolus (IFL).3
daripada penambahan terhadap capecitabine (CAPIRI atau XELIRI) sehingga terapi infus menjadi cara yang lebih banyak diterima.4 Berdasarkan hasil-hasil yang menggembirakan di atas, diantisipasi bahwa irinotekan dianggap sebagai kombinasi utama malawan kanker kolorektal. Namun kemudian tiga penelitian susulan menunjukkan toksisitas obat ini sehingga untuk beberapa tahun kemudian hanya diberikan sebagai tambahan bagi protokol utuk KKR stadium lanjut atau metastatik. Oxaliplatin dan Penelitian MOSAIC Oxaliplatin merupakan suatu senyawa platinum yang membentuk tambahan (adduct) DNA, menyebabkan gangguan terhadap replikasi dan apoptosis sel. Pada pasien KKR metastasis di mana obat ini pertama kali diuji, menunjukkan hasil harapan hidup yang lebih baik bila ditambahkan pada FUFA, dan dari hasil studi keamanannya – neuropati perifer merupakan efek samping yang diamati yang membawa oxaliplatin sebagai obat pilihan pada terapi adjuvans pada (KKR). Studi MOSAIC merupakan suatu penelitian yang dimulai pada 2001 untuk menilai obat ini, dan yang amat penting dalam kemoterapi KKR. Penelitian dilakukan terhadap 2246 pasien di 146 sentra dari 20 negara diacak untuk mendapat 5-FU/ leukovorin dan V plus oxaliplatin. Evaluasi setelah 6 tahun terhadap penelitian MOSAIC ini membuktikan adanya perbaikan secara statistik sebesar
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
Gambar 2. Estimasi Kaplan-Meier harapan hidup bebas penyakit (disease-free survival) Sesuai (A) pengobatan dan (B) pengobatan serta stadium4
MEDICINUS
Leading article
han pada KKR stadium III (73.0% vs. 68.6%). Evaluasi 6 tahun ini menguatkan manfaat disease-free survival yang ditrjemahkan sebagai manfaat pada harapan hidup secara keseluruhan (overall benefit) pada KKR stadium III. Suatu perbandingan langsung (“head-to-head”) antara berbagai protokol kemoterapi, KKR menunjukkan bahwa kombinasi 5-FU, leucovorin dan oxaliplatin (FOLFOX) lebih baik (superior) daripada protokol yang menggunakan irinotecan. Namun, setelah menelaah kembali protokol, perbedaan tersebut dapat diakibatkan oleh perbedaan pada cara pemberiannya, di mana hasil sistem pemberian FUFA secara bolus tidak sebaik bila diberikan infus secara terus menerus (protokol de Gramont).5 Penelitian oleh Tournigand,6 di mana protokol FOLFOX dibandingkan FOLFIRI, membuktikan bahwa kedua obat tersebut memberikan hasil yang sama. Pertimbangan pemberiannya harus berdasarkan pada karakteristik pasien secara individu (kasus per kasus) dan efek samping yang diantisipasi. Sebagai contoh, seorang dokter harus mempertimbangkan pemberian oxaliplatin bila pasien menderita diabetes dengan neuropati berat. Namun hingga saat ini, tercermin pada panduan NCCN (National Cancer Centers Network) tahun 2010, oxaliplatin masih merupakan obat sitostatika yang dianjurkan untuk terapi ajuvans. Di pihak lain, sebuah panduan atau guideline hanyalah berfungsi sebagai penuntun pertimbangan, dan seorang dokter harus bisa memutuskan yang terbaik untuk pasiennya.
Kesimpulan Setelah sekian tahun “berkiprah” di dunia kemoterapi kanker kolorektal, seberapa besar peran kedua obat di atas dan bagaimana hasil mereka? Perta-
nyaan tersebut terjawab dengan adanya sebuah makalah di JCO pada tahun 2010 yang diajukan oleh hampir semua tokoh-tokoh kanker kolorektal yang menyatakan bahwa setelah suatu evaluasi selama 8 tahun, memang ada manfaat dalam peningkatan angka harapan hidup.10 Kesimpulan yang dapat diambil adalah manfaat utama dari terapi ajuvan pada kanker kolorektal, pada akhirnya, adalah untuk secara bermakna menurunkan risiko rekurensi yang secara bermakna kira-kira sebesar 40%. Gambar di bawah ini memperlihatkan peningkatan harapan hidup dengan penambahan obat sitostatika.
Gambar 3. Perbaikan pada harapan hidup kanker kolorektal7
Akhirnya, dengan menyimak hasil-hasil penelitian selama ini, yang kemudian dirangkum oleh para penelitinya sendiri setelah 8 tahun, situasi saat ini adalah bahwa dengan kemoterapi kanker kolorektal berbasis 5-FU yang dikombinasi dengan oxaliplatin maupun irinotecan, kanker kolorektal (stadium II dan III dapat disembuhkan.
Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Squire JA, Whitmore GF, Phillips R. Genetic basis of cancer. In: Tannock IF, Hill RP, editors. The basic science of oncology. 3rd ed. New York: McGraw-Hill; 1998.p.48-78 Benson AB III. New approaches to the adjuvant therapy of colon cancer. The Oncologist 2005; 12:23-30 Saltz LB. Moving beyond fluorouracil for colorectal cancer. N Eng J Med 2000; 343:963-4 Andre T, de Gramont. Oxaliplatin, fluorouracil, and leucovorin as adjuvant treatment for colon cancer. N Eng J Med 2005; 350:23 De Gramont. Oxaliplatin/5FUAV in adjuvant colon cancer: updated efficacy results of the mosaic trial, including survival, with a median follow-up of six years. ASCO 2007 (Abstr No 4007) Tournigand J. FOLFIRI followed by FOLFOX or the reverse sequence in advanced colorectal cancer: a randomized GERCOR study. J Clin Oncol 2004; 22:229-37
6 MEDICINUS
7.
Venook A. Critical evaluation of current treatments in metastatic colorectal cancer. The Oncologist 2005;10: 250–61 8. André T, Boni C, Navarro M, Tabernero J, Hickish T, Topham C, et al. Improved overall survival with oxaliplatin, fluorouracil, and leucovorin as adjuvant treatment in stage II or III colon cancer in the MOSAIC trial. J Clin Oncol 2009; 27(19):3109-16. 9. Andre T, Boni C, Navarro M, Tabernero J, THickish, Topham C, et al. Improved overall survival with oxaliplatin, fluorouracil, and leucovorin as adjuvant treatment in stage II or III colon cancer in the MOSAIC Trial. J Clin Oncol 2009; 27(19):3109-16 10. Sargent D, Sobrero A, Grothy A, O’connel MJ, Buyse M, Thierry A, et al. Evidence for cure by adjuvant therapy in colon cancer: observations based on individual patient data from 20,898 patients on 18 randomized trials. J Clin Oncol 2010; 27:872-7
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
MEDICINUS 73
2 MEDICINUS
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
original article
research
Pengaruh Suplementasi Besi Pada Tuberculosis Paru Dengan Anemia Defisiensi Besi (Kajian Respon Kesembuhan, Respon Imun, dan Resistensi)
Djoko Trihadi Lukmono Subagyo
Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang ABSTRAK Latar belakang. Prevalensi Tuberkulosis Paru (TBP) di Indonesia sekitar 0,15%-0,26%. Suplementasi besi pada penderita TBP dengan anemia defisiensi besi (ADB) mempunyai efek antara lain mengaktivasi monocyte derived macrophage (MDM), dan interferon-gamma (IFN-γ), dengan mekanisme umpan balik positif memacu interleukin-12 (IL-12). Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh suplementasi besi terhadap respon kesembuhan, respon imun, dan resistensi pada pasien TB dengan ADB tanpa anemia penyakit khronis, tidak ada infeksi akut atau kronis, dan status gizi baik. Metode. Randomized clinical trial dengan simple randomized the pre test-post test control group design pada 252 responden secara tersamar ganda (triple blind). Responden yaitu penderita TBP aktif kategori 1 dengan ADB sesuai dengan standar World Health Organization (WHO) yang mendapat pengobatan strategi directly observed treatment shortcourse (DOTS). Kelompok eksperimen 126 responden diterapi 2 RHZE/4 R3H3 dan sulfas ferrosus 3 x 200 mg yang mengandung ferro-sulfat heptahidrat 60 mg selama 2 bulan pertama, dan 3 kali seminggu selama 4 bulan selanjutnya. Kelompok kontrol 126 responden diterapi 2 RHZE/4 R3H3 dan plasebo. Variabel bebas adalah suplementasi besi, variabel tergantung adalah konversi bakteri tahan asam(BTA), IFN-γ, IL-12, multi drug-resistant TB (MDR-TB), hemoglobin, serum Transferrin Receptor (sTfR), dan Indeks Massa Tubuh (IMT). Analisis data dengan uji-t SPSS Version 15.0 (2007). Hasil. Uji normalitas data praterapi dilakukan terhadap umur, IFN-γ, IL-12, hemoglobin, sTfR, dan IMT dengan uji Kolmogorov-Smirrnov. Hanya data IL-12 yang berdistribusi normal baik pada kelompok kontrol maupun kelompok eksperimen (p>0,05). Analisis selanjutnya digunakan statistik non-parametrik kecuali IL-12. Demikian pula data pascaterapi menunjukkan bahwa semua variabel menunjukkan minimal salah satu kelompok (kontrol atau eksperimen) berdistribusi tidak normal (p<0,05). Hasil analisis data delta variabel penelitian antara kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok eksperimen adalah: 1) peningkatan konversi BTA dahak pada kelompok eksperimen sebesar +100% (p<0,05). 2) peningkatan IFN-γ pada kelompok eksperimen sebesar +324,84% (p<0,05). 3) peningkatan IL-12 pada kelompok eksperimen sebesar +364,42% (p<0,05). 4) penurunan MDR-TB pada kelompok eksperimen sebesar –100% (p<0,05). 5) peningkatan hemoglobin pada kelompok eksperimen sebesar +47,96% (p<0,05). 6) Penurunan kadar sTfR pada kelompok eksperimen sebesar –68,54% (p<0,05). 7) peningkatan IMT pada kelompok eksperimen sebesar +45,63% (p<0,05). 8) menghambat mutasi basa-tunggal CCT-Arginin, dan mutasi basa-berganda histidin–leusin GGC TGA DNA MTB. 9) batas nilai ambang risiko terjadi MDR-TB pada kadar hemoglobin 9,5 gr%, sTfR 60,26 pg/ml, IFN-γ 14,58 pg/ml, IL-12 15,56 pg/ml, dan IMT kurang 18,5 kg/m2. 10) batas nilai ambang kadar hemoglobin tertinggi 15 gr% untuk mencegah makin beratnya infeksi MTB. Hasil uji test data logaritma semua variabel berbeda sangat bermakna (p<0,00), kecuali IMT meningkat bermakna (p<0,05), dan pada uji Mann-Whitney data delta didapatkan perbedaan sangat bermakna (p<0,00). Pada kelompok kontrol didapatkan 9 mutasi basa-ganda sebagai penyebab MDR-TB. Simpulan. Suplementasi besi pada TB dengan ADB meningkatkan: konversi BTA sputum, IFN-γ, IL-12, hemoglobin, IMT, menurunkan sTfR, dan MDR-TB. Pada kelompok yang tidak diberi suplementasi besi didapatkan 9 mutasi basa-ganda sebagai penyebab MDR-TB. Kata kunci: interferon-gama, interleukin-12, resistensi, suplementasi besi, tuberkulosis.
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
Background. Prevalence of Lung Tuberculosis (TB) in Indonesia is about 0.15% 0.26%. Iron supplement on the TB patients with iron deficiency anemia (IDA) has several effects such as activating monocyte derived macrophage (MDM) and interferon-gamma (IFN-γ), with a positive feed-back mechanism pushing interleukin-12 (IL-12). The objective of this research is to find out the influence of iron supplement on recovery responses, immune responses, and resistance on the TB patients with IDA without chronic disease anemia, no acute or chronic infections, and good nutrition status. Method. Randomized clinical trial with simple randomized pre-test – post-test control group design on 252 respondents in a triple blind manner. The respondents are those having the category 1 active pulmonary TB with IDA according the World Health Organization (WHO) standard, receiving the directly observed treatmenshortcourse (DOTS) strategy treatment. The experimental group consists of 126 respondents, treated with a therapy of 2 RHZE/4 R3H3 and 3 x 200 mg sulfate ferrosus containing 60 mg ferro-sulfate hepta-hydrate for the first 2 months, and 3 times a week for the next 4 months. The control group consists of 126 respondents, treated with a therapy of 2 RHZE / 4 R3H3 and placebo. Independent variable was iron supplementation, while dependent variable were Acid FastBaccili (AFB) smears, IFN-γ, IL-12, MDR-TB, hemoglobin, serum tranferrin Receptor (sTfR), and Body Mass Index (BMI). Data analysis is conducted with SPSS t-test Version 15 (2007). Results. The pre-therapy data normality test is executed to find out the ages, IFN-γ, IL-12, hemoglobin, sTfR, and BMI by using the KolmogorovSmirrnov test. Only the normally-distributed IL-12 data on both control and experimental groups (p>0.05).Furthert analysis used the nonparametric analytic except for IL-12. Thus, the post-therapy data show that all variables showed at least one of the groups (control group or experimental group) is not normally-distributed (p<0.05). The analysis results of delta data of study variables between the control group vs. experimental group are: 1) increased sputum AFB conversion in the experimental group +100% (p<0,05). 2) increased IFN-γ in the experimental group +324,84% (p<0,05). 3) increased IL-12 in the experimental group +364,42% (p<0,05). 4) decreased MDR-TB in the experimental group -100% (p<0,05). 5) increased haemoglobin in the experimental group +47,96% (p<0,05). 6) decreased sTfR in the experimental group -68,54% (p<0,05) .7) increased BMI in the experimental group +45,63% (p<0,05). 8) inhibited single - basa mutation CCT-Arginin, and multiple - basa mutation histidin-leusin GGC TGA DNA MTB. 9) haemoglobine threshold for MDR-TB risk was 9,5gr%, sTfR 60,26 pg/ml, IFN-γ 14,58 pg/ml, IL-12 15,56 pg/ml, and BMI less than 18,5 kg/ m2. 10) haemoglobine highest risk threshold was 15 gr% to prevent infection MTB worsening. The results of logarithmic data t-test of all variables are highly significant (p<0.00), except BMI was significantly increases (p<0.05); Mann-Whitney test of delta data, highly significant differences were found (p<0.00). In the control group 9 multiple-basa mutations as the causes of MDR-TB were found. Conclusions. Iron supplement on the TB with IDA increases: sputum AFB conversion, IFN-γ, IL-12, hemoglobin, BMI, decreases sTfR and MDR-TB. In other group which no iron supplementation there are 9 multiple-basa mutations as the causes of MDR-TB. Keywords: interferon-gamma, interleukin-12, iron supplementation, tuberculosis
MEDICINUS 7
research
original article
PENDAHULUAN Tuberkulosis Paru (TBP) telah menyebabkan angka kematian lebih dari 1,97 juta orang per tahun. Case fatality rate: 27%; kasus baru tahun 2005 sebesar 10,4 juta. Angka multidrug-resistant (MDR) bervariasi antara 1,2–8,7%. Populasi yang telah terinfeksi antara lain di Afrika 35%; Amerika 18%; Asia Tenggara, termasuk Indonesia 44% (prevalensi TB di Indonesia 0,150,26%).1 Salah satu faktor risiko TB adalah anemia defisiensi besi (ADB). Diperkirakan tahun 2020 TB menyerang 1 miliar populasi dengan 70 juta kematian, kalau tidak dilakukan usaha pengendalian.2,3 Pengaruh ADB pada TB antara lain adalah: 1) menurunkan respon imun seluler. Aktivitas interleukin-12 (IL-12) dan interferon-gamma (IFN-γ) adalah memacu makrofag yang mempunyai dua efek, yaitu membunuh MTB dan memacu produksi IL12, atau disebut umpan-balik positif (positive-feed back).4,5 2) menurunkan konversi bakteri tahan asam (BTA) dahak. 3) meningkatkan re-infeksi dan kejadian kasus baru. 4) meningkatkan prevalensi MDRTB.6,7 Penelitian meta-analisis melaporkan masih ada beda pendapat tentang suplementasi besi pada TBP dengan ADB. Kelompok yang setuju suplementasi besi pada infeksi MTB dengan alasan yaitu: 1) infeksi laten MTB menimbulkan defisiensi Magnesium (Rv 1811, mgtc), dan menyebabkan afinitas Fe-Mg-S berkurang,8 2) Mycobactin (Mbt-RV 2383c) dan carboxymycobactin yang berfungsi sebagai penyandi protein MTB aktivitasnya berkurang,9 3) inang membutuhkan monosit lebih banyak dari suplementasi besi untuk membentuk mono-
8 MEDICINUS
cyte derived macrophage (MDM) dan diharapkan fagositosis lebih baik.10 Kelompok yang tidak setuju suplementasi besi pada TBP dengan ADB beralasan: 1) virulensi MTB karena faktor Sigma A (Rv 2703, sig A) yang menimbulkan mutasi arginin-histidin pada kodon 515 terminal C,11 2) TBP dengan ADB terjadi hiperekspresi TNF,12 3) Overblown-infection TBP disebabkan oleh streptomycin resistant.13 Selain TBP keadaan yang harus diperhatikan di dalam suplementasi besi adalah infeksi malaria, diare kronis, meningitis, anemia infeksi khronis, dan status gizi.14 Dilaporkan bahwa pada infeksi MTB yang sangat berat, kadar IFN-γ sangat rendah. Disisi lain, IFN-γ dengan IL-12 berperan sangat penting pada pematangan hematopoisis.15 Secara umum hanya 7% zat besi atau 1 mg yang dapat memasuki plasma dari perkiraan asupan sehari 15 mg. Pengukuran ADB menggunakan parameter sTfR dengan pertimbangan: tidak menyakitkan, tidak membahayakan, tidak memerlukan tenaga khusus, dan tidak mahal bila dibandingkan dengan biopsi sumsum tulang.16
Perbedaan penelitian ini dibandingkan dengan penelitian lain adalah memberikan gambaran tentang pengaruh suplementasi besi terhadap adanya: 1) mutasi basa - ganda pada TBP dengan ADB yang mengalami MDR - TB, 2) mekanisme resistensi genotip MDR-TB, dan 3) titik potong (cutoff point) kadar hemoglobin, sTfR, IFN-γ, dan IL-12 sebagai deteksi dini resistensi mycobacterium tuberculosis (MTB).6,7
Penelitian terdahulu menemukan bahwa MDR-TB dapat disebabkan oleh adanya mutasi basa-tunggal pada gen rpoB pada Rif, gen katG pada resistensi INH.17,18
TBP disebabkan oleh MTB yaitu kuman berbentuk batang bersifat fakultatif intraseluler, dan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi TB. Sebanyak 95% merupakan kasus baru, 98% kematian terjadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, dan 75% kasus menyerang usia produktif.2-4
Rumusan masalah penelitian adalah: ”Apakah terapi standar obat anti TB (OAT) dan suplementasi besi akan meningkatkan respon kesembuhan, respon imun, hemoglobin, IMT, menurunkan MDR-TB dan sTfR pada pasien Tuberkulosis Paru (TBP) dengan ADB yang tidak mengalami anemia penyakit kronis, inflamasi akut, dan status gizi masih cukup baik? ”
Tujuan umum penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh suplementasi besi terhadap respon kesembuhan, respon imun, dan resistensi pada pasien TBP dengan ADB. Tujuan khusus penelitian adalah untuk menentukan pengaruh suplementasi besi terhadap respon kesembuhan yang diukur dengan konversi BTA dahak, respon imun yang diukur dengan IFN-γ dan IL-12, kadar hemoglobin, sTfR, MDR-TB yang diukur dengan skuensing urutan DNA MTB, dan IMT.
KERANGKA TEORI DAN HIPOTESIS
Beberapa penelitian melaporkan bahwa penderita TB dengan ADB menyebabkan antara lain: a) Kegagalan konversi BTA dahak;9 b) Meningkatkan re-infeksi setelah BTA dahak menjadi negatif;10,11 c) Kejadian kasus baru mening-
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
original article
kat pada pengangguran, nara pidana, pekerja dengan penghasilan rendah, usia lanjut, dan wanita hamil; d) Kekerapan resistensi obat meningkat bermakna yaitu berkisar antara 34,9% sampai 57,9%.12,13
yaitu suplementasi besi pada pasien TBP dengan ADB yang tidak mengalami anemia penyakit kronis, inflamasi akut atau khronis, dan status gizi cukup baik akan meningkatkan respon kesembuhan, respon imun, dan menurunkan MDR-TB.
Suplementasi sulfas ferrosus 300 mg dua kali seminggu selama 20 minggu pada penderita TB dengan ADB menghasilkan konversi BTA meningkat secara bermakna dan kejadian MDRTB sangat rendah.19,20 Kelebihan parameter biokimia ADB menggunakan sTfR terbukti lebih akurat dibandingkan biopsi aspirasi sumsum tulang.6 Infeksi MTB intraseluler mengaktivasi makrofag dan memproduksi IL-12, kemudian memicu IFN-γ, menyebabkan respon kesembuhan meningkat. Efek itu disebut umpan balik positif.4,5 IFN-γ merupakan parameter respon imun dan efek imunoproteksi terpenting pada infeksi TB.
Hipotesis minor penelitian adalah:
Disimpulkan bahwa zat besi memengaruhi hematopoisis secara tidak langsung melalui aktivitas Progenitor Limfosit , IL-3, IL-6, dan IL-11. Efek IL-12 pada hematopoisis antara lain meningkatkan jumlah eritrosit dan fungsi imunitas sel NK, memacu pertumbuhan sel B, dan differensiasi eosinofil pada infeksi TB. Zat besi juga berperan pada fungsi fagosit melalui mannose receptor, fragment crystalin factor dan tolllike receptor sehingga aktivitas membunuh MTB lebih tinggi.21 Respon kesembuhan diukur dengan parameter konversi BTA dahak, respon imun diukur dengan parameter IFN-γ dan IL-12, dan MDR-TB diukur dengan parameter hasil kultur standar proporsional dilanjutkan sekuensing DNA MDR-TB. Hipotesis mayor penelitian ini
1. Suplementasi besi pada penderita TBP dengan ADB berpengaruh terhadap peningkatan respon kesembuhan yang diukur dengan peningkatan konversi BTA dahak. 2. Suplementasi besi pada penderita TBP dengan ADB berpengaruh terhadap respon imun yang diukur dengan kadar IFN-γ. 3. Suplementasi besi pada penderita TBP dengan ADB berpengaruh terhadap respon imun yang diukur dengan kadar IL-12. 4. Suplementasi besi pada penderita TBP dengan ADB berpengaruh terhadap penurunan MDR-TB. 5. Suplementasi besi pada penderita TBP dengan ADB berpengaruh terhadap peningkatan kadar hemoglobin. 6. Suplementasi besi pada penderita TBP dengan ADB berpengaruh terhadap penurunan sTfR. 7. Suplementasi besi pada penderita TBP dengan ADB berpengaruh terhadap peningkatan indeks massa tubuh .
METODA Desain yang digunakan adalah uji klinis randomized clinical trial
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
research
dengan simple randomized the pre test-post test control group, tersamar ganda (triple blind) terhadap 126 penderita TBP dengan ADB yang diterapi OAT dan suplementasi besi sebagai kelompok eksperimen, dan 126 penderita TBP dengan ADB yang diterapi OAT dan plasebo sebagai kelompok kontrol. Sampel ditentukan dengan cara acak sederhana, objektivitas penelitian pemberian obat dilakukan dengan teknik butaberganda. Kelompok eksperimen diterapi dengan OAT standar 2RHZE/4R3H3 dan sulfas ferrosus besi 3x200 mg mengandung ferro-sulfat heptahidrat 60 mg selama 2 bulan pertama-fase awal, dilanjutkan 3 kali seminggu selama 4 bulan-fase lanjutan. Kelompok kontrol diterapi dengan OAT standar 2RHZE/4R3H3 dan plasebo. Tempat penelitian di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Semarang, waktu penelitian antara 3 Januari 2003 sampai 31 Mei 2007. Kriteria inklusi yaitu: 1) TBP kategori 1-BTA dahak positif, 2) pria atau wanita usia 15-55 tahun, 3) bersedia menjadi responden sampai penelitian selesai, 4) belum pernah mendapat OAT dan suplementasi besi, 5) anemia ringan sampai sedang sesuai jenis kelamin: hemoglobin antara 8 sampai 11 gr%; sTfR lebih dari 50 pg/μl; CRP negatif, 6) IMT antara 18 sampai 25 kg/m2, 7) patuh minum OAT dan suplementasi besi minimal 90% obat yang ditentukan. Kriteria eksklusi yaitu: 1) diabetes melitus, 2) gagal ginjal akut atau gagal ginjal kronis, 3) gagal jantung/aritmia kordis, 4) penyakit hati akut atau khronis, 5) tumor paru atau keganasan lain, 6) thalasemia, leukemia, koagulasi intravaskuler disseminata, dan anemia penyakit kronis, 7) penyakit degeneratif, 8) meng-
MEDICINUS 9
research
original article
hentikan terapi, 9) penyakit saluran cerna, 10) hamil atau laktasi, dan kontrasepsi hormonal. Variabel tergantung adalah tingkat konversi BTA dahak, kadar IFN-γ, kadar IL-12, MDR-TB, hemoglobin, sTfR, dan IMT sedangkan variabel bebas yaitu suplementasi besi. Analisis data menggunakan SPSS 15.0 untuk membuktikan pengaruh suplementasi besi terhadap respon kesembuhan, respon imun, dan resistensi. Dilakukan analisis parametrik dengan uji T independent terhadap data delta antara kedua kelompok yang berdistribusi normal, sedangkan data yang tidak berdistribusi normal dianalisis dengan uji non-parametrik menggunakan uji Mann-Whitney. Untuk membuktikan hipotesis dilakukan uji t tes data delta konversi BTA sputum, IFN-γ, dan IL-12 sedangkan hemoglobin, sTfR, dan IMT kedua kelompok dengan uji Mann-Whitney.
HASIL Hasil Uji Normalitas Berdasarkan hasil penelitian terhadap 1276 orang tersangka TBP didapatkan 843 orang dengan BTA dahak +3. Setelah pemeriksaan hemoglobin dan sTfR didapatkan 347 sampel memenuhi kriteria, karena beberapa faktor penyulit 74 sampel dikeluarkan dari penelitian. Sampel yang memenuhi kriteria sebesar 273 orang, pada akhir 6 bulan terapi 21 sampel dikeluarkan dari penelitian. Sampel yang benar diteliti adalah 252 orang yang terdiri dari kelompok eksperimen 126 orang dan kelompok kontrol 126 orang. Hasil analisis uji Normalitas praterapi dan pasca terapi pada kedua kelompok sesuai tabel 1 dan tabel 2 berikut. Tabel 1. Hasil Uji Normalitas data variabel penelitian praterapi kelompok
Variabel
Kolmogorov-Smirnov Kemaknaan (p)
jukkan minimal salah satu kelompok (kontrol atau eksperimen) berdistribusi tidak normal (p<0,05). Sehingga selanjutnya akan digunakan analisis non parametrik. Tabel 2. Hasil uji normalitas data variabel penelitian pascaterapi kelompok kontrol (n=126) dan kelompok eksperimen (n=126)
Variabel
Kontrol
Eksperimen
IFN-γ
0,000
0,023
IL-12
0,000
0,000
Hemoglobin
0,000
0,000
sTfR
0,001
0,001
IMT
0,000
0,200
Hasil Uji Homogenitas Untuk meyakinkan bahwa sampel kelompok kontrol dan eksperimen berasal dari populasi dengan kondisi homogen dilakukan uji homogenitas. Uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan Levene test. Variabel yang diuji adalah IL-12 karena pada uji normalitas menunjukkan distribusi normal, sedangkan untuk variabel lain yang berbentuk kategori jenis kelamin menggunakan uji Chi Square. Dari kedua variabel tersebut menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak berbeda secara bermakna (p>0,05) antara kedua kelompok, sedangkan variabel IL-12 menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (p<0,05). Dengan demikian keadaan sampel untuk IL-12 dari kedua kelompok tidak homogen. Penghitungan uji statistik selanjutnya menggunakan hasil sesuai koreksi yang dilakukan. Data lengkap dapat dilihat pada tabel 3 ini. Tabel 3. Uji signifikansi homogenitas jenis kelamin dan IL-12 kelompok kontrol (n=126) dan kelompok eksperimen (n=126) pada kondisi praterapi
Kontrol
Eksperimen
Umur
Variabel
0,000
0,000
1. Kelamin
IFN-γ
0,200
0,002
IL-12
0,200
0,200
Hemoglobin
0,000
0,000
2. IL-12 (pg/ml)
sTfR
0,001
0,001 0,011
IMT
0,000
Kolmogorov-Smirnov Kemaknaan (p)
Kontrol
Eksperimen
p
Pria
66
67
0,509 !
Wanita
63
62
Rata-rata
15,85
15,16
SD
3,27
2,25
0,000 @
Keterangan: ! Chi Square test @ Levene test
Demikian pula hasil yang diperoleh dari data pascaterapi menunjukkan bahwa semua variabel menun-
10
MEDICINUS
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
original article
Hasil Pengujian Data Penelitian antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen
research
Tabel 5. Uji signifikansi data pascaterapi antara kelompok kontrol (n=126) dan kelompok eksperimen (n=126) Variabel
Kontrol
Eksperimen
p
1. IFN-γ(pg/ml) Tabel 4. Uji signifikansi data praterapi antara kelompok kontrol (n=126) dan kelompok eksperimen (n=126) Variabel
Kontrol
Eksperimen
p
SD Median
0,009 +
77,92
14,58
30,19
Median
31,5
0,000 +
64,1
Rata-rata
11,55
14,50
SD
1,53
0,75
Median
11,2
14,3
0,000 +
3. Hemoglobin (gr%)
15,06
13,97
0,509 ^
0,000 +
2,41
2,42
Rata-rata
33,23
18,54
13,80
SD
14,20
4,47
Median
30,1
18,4
Rata-rata
21,23
27,08
SD
3,06
1,97
Median
20,5
26,8
Rata-rata
15,85
15,16
SD
3,27
2,25
Rata-rata
9,22
8,99
SD
0,76
0,65
9,40
8,80
Rata-rata
59,2
61,5
SD
8,7
6,4
Median
58,3
60,3
Rata-rata
17,4
18,1
SD
1,4
1,5
17,3
18,3
0,053 #
5. Hemoglobin (gr%) 0,017 +
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
0,000 +
5. IMT (kg/m2) 0,000 +
Keterangan : Mann Whitney tes +
0,006 +
7. IMT (kg/m2)
Indept test Mann Whitney test Chi Square test
0,000 +
4. STfR (pg/ml)
15,20
4. IL-12 (pg/ml)
Median
33,04
SD
62
Keterangan : # + ^
Rata-rata
29,00
63
6. STfR (pg/ml)
56,7
14,18
67
Median
15,01
31,3
3,83
66
Median
12,18
Median
25,00
Pria
SD
SD
32,65
Wanita Rata-rata
58,12
26,90
2. Kelamin
3. IFN-γ (pg/ml)
33,01
2. IL-12 (pg/ml)
1. Umur (tahun) Rata-rata
Rata-rata
0,000 +
Tuberkulosis Paru (TBP) disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis (MTB) yaitu kuman berbentuk batang bersifat fakultatif intraseluler, dan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi TB. Sebanyak 95% merupakan kasus baru, 98% kematian terjadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, dan 75% kasus menyerang usia produktif.2-4
MEDICINUS 11
research
original article
Tabel 6. Hasil analisis data delta variabel penelitian antara kelompok kontrol (n=126) dan kelompok eksperimen (n=126) Delta antara data praterapi dan pascaterapi Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol ( n = 126 ) (n = 126 )
Variabel
Uji Statistik
Mean
SD
Median
Mean
SD
IFN-γ
17,94
10,99
15,85
44,15
15,07
Median
42,70
0,000 +
p
IL-12
17,19
12,59
14,30
55,76
29,44
47,35
0,000 +
Hemoglobin
1,59
8,51
2,00
5,51
0,88
5,40
0,000 +
IMT
3,90
2,96
3,10
8,95
1,74
8,90
0,000 +
Keterangan: Mann Whitney test +
Tabel 6 tersebut di atas terlihat bahwa secara keseluruhan terdapat berbedaan yang bermakna pada setiap variabel antara kelompok kontrol dan kelompok terapi (p<0,05). Bila dikonfirmasikan dengan data deskriptif (Mean atau Median) menunjukkan bahwa nilai yang jauh lebih besar pada kelompok eksperimen dibandingkan pada kelompok kontrol.
Hasil Uji Statistik Multivariat Untuk mengetahui variabel yang menjadi penyebab perbedaan di antara dua kelompok subyek dilakukan analisis multivariat yaitu Analisis Deskriminan. Adapun variabel yang diduga menjadi pembeda adalah perubahan (delta) IFN-γ, IL-12, hemoglobin, IMT dan sTFR.
Tabel 7 menunjukkan bahwa konversi BTA (+) yang berhasil yaitu dari keadaan BTA(+) ke BTA(-) lebih banyak terdapat pada kelompok eksperimen dibandingkan pada kelompok kontrol. Sebaliknya konversi BTA (+) yang tidak berhasil lebih banyak terdapat pada kelompok kontrol dibandingkan pada kelompok eksperimen, dan secara statistik terdapat perbedaan yang bermakna tentang keberhasilan konversi BTA (+) antara kedua kelompok.
Tabel 8 menunjukkan bahwa semua variabel yang diduga telah terbukti menjadi pembeda pengelompokan kelompok subyek. Jadi variabel perubahan IFN-γ, IL-12, hemoglobin, IMT, sTFR secara bersamasama menunjukkan perbedaan di antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Keadaan dalam kelompok sebagian besar sangat bervariasi kecuali hemoglobin yang relatif homogen (Wilk’s Lambda
Tabel 7. Hasil analisis data delta variabel penelitian konversi BTA dahak antara kelompok kontrol (n=126) dan kelompok eksperimen (n=126) Delta antara data praterapi dan pascaterapi Kelompok Kontrol (n = 126 )
Variabel
Kelompok Eksperimen ( n = 126 )
f
%
f
- Berhasil
96
76,2
126
100,0
- Tidak berhasil
30
23.8
0
0,0
Uji Statistik p
%
Konversi BTA (+) 0,000 ^
Keterangan : ^ Chi Square test
Tabel 8. Hasil uji kesamaan kelompok rerata
Wilk’ Lambda
12 MEDICINUS
F
df1
df2
Sig
delta IFN-γ
0,501
248,606
1
250
0,000
delta IL-12
0,578
182,814
1
250
0,000
delta Hb
0,904
26,501
1
250
0,000
delta IMT
0,480
271,324
1
250
0,000
delta sTFR
0,616
156,172
1
250
0,000
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
original article
research
mendekati 1).
Hasil Reaksi PCR DNA-MTB Hasil PCR pada 22 ekstrak dilusi dari suspensi kultur galur MTB, 9 dari 22 pemeriksaan (9/22) dapat dideteksi satu pita DNA spesiflk dengan ukuran molekul 157-bp yang disesuaikan dengan standar ukuran molekul marka digesti DNA pUC 19 Hae III, pada gel elektroforesis. Pada isolat 7B posisi + 19 diisi C, sedangkan nukleotida seharusnya Arginin. Isolat 13A dan 13B posisi + 4 nukleotida G menggantikan Timin dan Sitosin, juga isolat 15A dan !5B nukleotida G dan T menggantikan susunan Histidin. Hal ini sebagai akibat mutasi basa tunggal DNA – MDR TB sesuai gambar 1 berikut. Gambar 2. Hasil analisis perubahan nukleotida DNA – MTB yang mengalami MDR – TB Keterangan : Hasil analisis perubahan urutan nukleotida DNA MDR-TB yang menyebabkan mutasi basa-ganda, yaitu insersi-basa TGC CAT, delesi-basa CGG TGA, dan transkripsi-basa TGC GGA. Silent mutation didapatkan pada area kodon CGT, missense mutation pada kodon CCG, nonsense mutation pada kodon TCG, dan deletion with frameshift pada kodon CGC.
Pembuktian hipotesis dari masing-masing variabel penelitian diuraikan di bawah ini: 1. Pengaruh suplementasi besi terhadap peningkatan konversi BTA dahak Delta konversi BTA dahak kedua kelompok yang
Gambar 1. Hasil analisis titik mutasi basa – ganda pada MDR – TB Keterangan: Hasil analisis homologi urutan nukleotida gen KatG isolat 5, 8, 10, dan 12 ditemukan adanya perubahan urutan nukleotida (mutasi titik) pada daerah regulasi gen, dari nukleotida G pada isolat 7A menjadi C pada isolat 7B pada posisi +28 daerah urutan RBS sebelum ATG (awal translasi pada posisi +36). Dibandingkan wild-type sebagai pembanding standar MDR-TB, pada penelitian ini didapatkan mutasi basa-ganda ACC GAC TTC ATA TGC pada area kodon heterozygous point mutation. Mutasi basa-tunggal terdapat pada TAC area kodon homozygous point mutation.
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
Untuk mengetahui variabel yang menjadi penyebab perbedaan di antara dua kelompok subyek dilakukan analisis multivariat yaitu Analisis Deskriminan. Adapun variabel yang diduga menjadi pembeda adalah perubahan (delta) IFN-γ, IL-12, hemoglobin, IMT dan sTFR.
MEDICINUS 13
research
original article
diteliti, didapatkan peningkatan konversi BTA dahak kelompok eksperimen (+100%) lebih besar daripada kelompok kontrol (+76,2%). Dengan uji Chi Square didapatkan perbedaan bermakna (p<0,05), maka hipotesis nomor 1 terbukti. 2. Pengaruh suplementasi terhadap peningkatan IFN-γ dan IL-12 Delta IFN-γ dan IL-12 kedua kelompok yang diteliti didapatkan peningkatan pada kelompok eksperimen IFN-γ (+324,84%) dan IL-12 (+364,42%), lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol IFN-γ (+117,27%) dan IL-12 (+103,51 %). Menggunakan uji Mann Whitney terhadap IFN-γ dan IL-12 didapatkan perbedaan bermakna (p<0,05), maka hipotesis nomor 2 dan nomor 3 terbukti. 3. Pengaruh suplementasi besi terhadap peningkatan hemoglobin dan IMT Delta hemoglobin dan IMT kedua kelompok yang diteliti didapatkan peningkatan pada kelompok eksperimen yaitu hemoglobin (+47,96 %) dan IMT (+45,63 %), lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu hemoglobin (+22,69 %) dan IMT (+22,68 %). Menggunakan uji Mann-Whitney terhadap hemoglobin dan IMT didapatkan perbedaan bermakna pada variabel hemoglobin dan IMT (p<0,05), maka hipotesis nomor 5 dan nomor 7 terbukti. 4. Pengaruh suplementasi besi terhadap penurunan MDRTB dan sTfR Delta sTfR dan MDR-TB pada kedua kelompok yang diteliti didapatkan penurunan pada kelompok eksperimen yaitu
14 MEDICINUS
sTfR (–68,54%) dan MDR-TB (–100 %) lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu sTfR (–43,45%) dan MDR-TB (–76,40%). Menggunakan uji Mann Whitney terhadap sTfR dan MDR-TB didapatkan perbedaan bermakna (p<0,05), maka hipotesis nomor 4 dan nomor 6 terbukti.
PEMBAHASAN Angka konversi BTA kelompok eksperimen pada penelitian ini sebesar 100% lebih tinggi dibandingkan dengan target P2TB Nasional tetapi pada kelompok kontrol hanya 76,2%. Hal ini berarti masih ada sekitar 23,8% kasus yang berpotensi menjadi sumber penularan aktif dan sulit untuk memutus rantai penularan.21,22
adalah bila kadar IFN-γ lebih kecil dari 14,46 pg/ml. Peningkatan IL-12 pascaterapi pada penelitian ini sebesar 61% lebih tinggi dibandingkan peneliti lain.27 Pengaruh suplementasi besi terhadap IL-12 yaitu: 1) Mengaktivasi pematangan, jumlah dan fungsi MDM, sehingga jumlah IL-12 meningkat. 2) Mengubah fase tenang menjadi fase aktif IL-12 28. Batas nilai ambang terjadi MDR-TB adalah bila kadar IL-12 lebih kecil dari 15,56 pg/ml. Penurunan MDR-TB sebesar 12,4% pada penelitian ini lebih tinggi dari penelitian terdahulu.29 Pengaruh suplementasi besi terhadap penurunan resistensi MTB yaitu:
Suplementasi besi meningkatkan konversi BTA sputum dengan mekanisme sebagai berikut:
1) Menghambat fungsi mannose-receptor, maka fagositosis terhadap MTB semi dorman dan dorman lebih aktif.
1) Menghambat delayed hipersensitivity yang memi-cu aktivitas seluler MTB, sehingga banyak MTB dorman dan semidorman yang mati.23
2) Memperkuat daerah rawan mutasi sehingga menghambat mutasi basa-tunggal maupun basa-berganda.30
2) Meningkatkan monocyte derived macrophage sehingga fagositosis terhadap MTB lebih kuat.24 Peningkatan IFN-γ pascaterapi 74% pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan peneliti terdahulu.
3) Mengaktifkan NRAMP 1 yang bermuatan makro-fag pada fase “immune-macrophage cell-line”, se-hingga efek fagositosis lebih kuat.
1) Memacu IFN-γ mengurangi ketersediaan besi intraseluler yang digunakan MTB.25
Fenomena baru penelitian ini adalah didapatkannya mutasi basa-ganda DNA MTB yang belum pernah dilaporkan di Indonesia selama ini dengan beberapa bentuk mutasi. Pengaruh suplementasi besi terhadap perubahan urutan nukleotida yaitu:
2) Mengaktivasi MDM pada reaksi dengan IL-12 se cara umpan balik positif.26 Batas ambang terjadi MDR-TB
1) Mengubah sifat genomik dan fenomik MTB yang patogen melalui proses “host extra cellular iron chelates accesible”
Suplementasi besi meningkatkan IFN-γ dengan mekanisme yaitu:
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
original article
sehingga urutan nukleotida DNA tidak berubah.31 2) Menghambat virulensi MTB yang bersifat “non-viable strains” sehingga dimensi sel yang tersusun oleh nukleotida tertentu menjadi lebih kuat. 3) Memperkuat ikatan awal intraseluler pada asam amino AAT GCG atau AAT CGT, sehingga menghambat terjadinya mutasi basa-tunggal maupun basa-ganda.32 Peningkatan hemoglobin pascaterapi sebesar 54%, lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh pengaruh suplementasi terhadap 2 hal yaitu: 1) Meningkatkan jumlah eritrosit, besi simpanan, dan besi fungsional.33 2) Meningkatkan hematopoisis. Batas nilai ambang risiko terjadi MDR-TB pada kadar hemoglobin 9,5gr%. Sedangkan batas nilai ambang hemoglobin tertinggi 15 gr% untuk mencegah makin beratnya infeksi TB. Penurunan sTfR pascaterapi sebesar 69,7%, lebih tinggi dibandingkan penelitian terdahulu. Hal ini merupakan efek peningkatan simpanan besi enterosit akibat suplementasi besi dan berkurangnya reseptor di plasma membran.34 Batas nilai ambang risiko terjadi MDR-TB bila kadar sTfR lebih besar dari 60,26 pg/ml.
hingga massa otot bertambah besar melalui aktivasi RAB 5-recycling-antigen-binding dan Lamp-12 - lipid associated macrophage protein-1. 2) Mengaktifkan reactive oxygen intermediate sehingga terjadi penimbunan masa otot tubuh. 3) Meningkatkan ekspresi inducible nitric oxid syntethase (INOS) sehingga metabolisme intraseluler karbohidrat, lemak, protein meningkat, dan menimbulkan penambahan jaringan lemak tubuh (anabolik). Batas nilai ambang terjadi MDR-TB adalah bila IMT lebih kecil dari 18,5 kg/m2.
KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian terhadap 252 responden TBP dengan anemia defisiensi besi, tanpa anemi penyakit kronis, dengan status gizi baik, kelompok eksperimen diterapi OAT standar strategi DOTS 2 RHZE/4 R3 H3 dan sulfas ferrosus heptahydrat 3×200 mg zat besi elemental standar hayati, kelompok kontrol diterapi 2 RHZE/4 R3 H3 dan plasebo, masing-masing selama 6 bulan, maka disimpulkan bahwa suplementasi besi: 1) Meningkatkan konversi BTA dahak pada kelompok eksperimen sebesar +100% dibandingkan dengan kelompok kontrol +76,2% (p<0,05).
Peningkatan IMT pascaterapi sebesar 64,2%, lebih tinggi dibandingkan penelitian sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh 3 hal yaitu:
2) Meningkatkan IFN-γ pada kelompok eksperimen sebesar +324,84% dibandingkan dengan kelompok kontrol +117,27% (p<0,05).
1) Meningkatkan afinitas dan volume ikatan mioglobin, se-
3) Meningkatkan IL-12 pada kelompok eksperimen sebe-
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
research
sar +364,42% dibandingkan dengan kelompok kontrol +103,51% (p<0,05). 4) Menurunkan MDR-TB pada kelompok eksperimen sebesar –100% dibandingkan dengan kelompok kontrol –76,4% (p<0,05). 5) Meningkatkan hemoglobin pada kelompok eksperimen sebesar +47,96% dibandingkan dengan kelompok kontrol +22,69% (p<0,05). 6) Menurunkan kadar sTfR pada kelompok eksperimen sebesar –68,54% dibandingkan dengan kelompok kontrol –43,45% (p<0,05). 7) Meningkatkan IMT pada kelompok eksperimen sebesar +45,63% dibandingkan dengan kelompok kontrol +22,68% (p<0,05). Kesimpulan lain pengaruh suplementasi besi adalah menghambat mutasi basa-tunggal CCT-Arginin, dan mutasi basa-berganda histidin–leusin GGC TGA DNA MTB. Batas nilai ambang risiko terjadi MDR-TB pada kadar hemoglobin 9,5 gr%, sTfR 60,26 pg/ml, IFN-γ 14,58 pg/ml, IL-12 15,56 pg/ ml, dan IMT kurang 18,5 kg/m2.
SARAN Atas dasar kesimpulan di atas dikemukakan saran untuk klinisi perlu mempertimbangkan menyingkirkan faktor anemia penyakit kronis, infeksi akut, dan inflamasi kronis sebelum memberikan suplementasi besi pada pasien TBP dengan ADB. Hal ini dikarenakan prevalensi TBP di masyarakat masih tinggi, sehingga cara pemberian harus sederhana dengan harga yang murah, tetapi kontraindikasi juga harus diperhatikan.
MEDICINUS 15
Daftar Pustaka 1. 2.
3.
4. 5. 6. 7.
8.
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
16. 17.
Achmadi UF. The global burden of tuberculosis and curent control strategies in Indonesia. Simposium Nasional TB Update. Eds: Palilingan JF. Surabaya, Maret 2004.p.164–9 Soemantri S, Senewe FP, Tjandrarini DH, Day R, Basri C, Manissero D et al. Three-fold reduction in the prevalence of tuberculosis over 25 years in Indonesia and risk factors. International Journal of Tuberculosis and Lung Diseases 2007; 11(4):398-404 Lemery G, Ferguson BJ, Skine BS, Simpson KM, Baynes RD, Look JD. Correlation between anemia of chronic disease with iron deficiency anemia. Journal of Laboratory and Clinical Medicine 2004; 119:385–90 Viane KW, Smith GF, Bruce R, Hamilton K. Interferon-gamma and Il-12: positive-feedback mechanism in tuberculosis infection. Infection and Immunity 2005:327-36 Johnson B, Catherine G, Brook R, Viery P. Nutritional status, comorbidity, and influencing factors in human tuberculosis. Infection and Immunity 2005; 37:76–82 Ravligione MC, Maher D. Hyperexpression of rpoB gene associated with single-basa mutation in pulmonary tuberculosis. TUBERCLE 2006; 10(3):240-42 Vosskuill M, Garther HF, Smith C. Oxygen-bridged iron in mycobacterium tuberculosis in iron –dependent gene expresión, iron metabolism, and argynine mutation. Infection and Immunity 2006; 70: 3371-9 Kuhn MG, Goebel W, Philpot DJ, Sansonetti PJ. Overview of the bacterial pathogens: mycobacterium tuberculosis and magnesium deficiency. In: Immunology of Infectious Diseases. Eds: Kaufmann SHE, Sher A, Ahmed R. Washington DC:ASM Press; 2005.p.16-8 De Voss JJ, Rutter K, Schroder BG, Cliffon. Iron acquisition and mycobactin (Mbt-Rv 2383c) hyper expresión. Journal of Bacteriology, August 2004:443-51 Matos EB, Lemos AC, Moreirera H. Association between tuberculosis and macrophage derived monocyt. International Journal of Tuberculosis and Lung Diseases 2006; 10(12):1360–6 Yang HK, Shiou LM, Kimoto FJ, Lie YT. Rv 2703, sigA recognition and single mutation in MDR-TB: focus on alternated iron level. Infection and Immunity 2007:17–23 Washent GF, Gross B, Armadoz HG, Cecilia N. TNF hyper expresión along C terminal codon in latency tuberculosis. TUBERCLE 2006; 25:148–54 Richardson F, Nelly T, Hubert C, Luang L. Overblown severity lung tuberculosis precipitated by streptomycin resistant strains: risk factor for MDR-TB? CHEST, May 2007:69–76 Gerraldino T, Wolkow D, van Syss G, Lung K, Schultz R. Limitation of iron intake in acute and chronic diseases: prospects and warning on IL-12 and IFN-γ. CHEST, May 2006:247–54 Smulders MJ, Keer J, Speight RA, Williams HD. Adaptation of mycobacterium tuberculosis to iron acquisition, interferon-α and IL-12 in MDR-TB basa mutation pattern. Infection and Immunity 2005;5:914–9 Fitzsimon EJ, Brock JH. Serum transferrin receptor in the anemia of chronic disease. Remains hard to distinguís. Blood 2003; 17(24):3943 Word D, Snack RC, Meter JF. Bacterial pathogenicity: iron acquisition and pattern of basa-mutation in MDR-TB: a guide to microbial
16 MEDICINUS
18. 19. 20.
21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.
31. 32. 33. 34.
infections. In: Patogénesis, Immunity, Laboratory Diagnosis and Control. 3th eds. Edinburg:Churchil Livingstone; 2006.p.138–43 Qunnonew K, Irjala M. Iron deficiency is associated with high concentration of transferrin receptor in serum and MDR-TB multiplebasa mutation. Clinical Chemistry 2004:74–6 Amin M. Imun protektif dan suplementasi besi pada infeksi tuberculosis. Palilingan JF, ed. Simposium Nasional TB update. Surabaya; 2004.p.14–8 Sumarmi S, Adi AC, Moekono. Anemia defisiensi besi: surveilens epidemiologi gizi di Indonesia. Proyek Pengembangan Kesehatan dan Gizi. Media Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2003.p.16-23 van Klose A, Klapper F, Heinke NM, Bald MS. Iron mediated plasmids to mannose receptor surface and targeting of sTfR stimulation. Blood 2007; 92:68–72 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Program Penanggulangan Tuberkulosis. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Terpadu; 2002.p.1–16 Wu Y, Cotes RM. Cytokines stimulations: IL-12, TNF, and IFN-gamma related to immune responses of tuberculosis infection. Journal of Bacteriology, March 2007:1380–7 Marshal KJ, Bates JF. An essential macrophage activity: positivefeedback mechanism between IFN-gamma and IL-12 in active tuberculosis. TUBERCLE, May 2006:536–43 Ambrosino FG, Palzkill T, Charles F. Systematic mutagenesis of IL12 and IFN-gamma associated with MDR-TB: In vitro mycobacterium tuberculosis. CHEST 2008; 38:182–7 Cockeril FR, Vardeniz K, van Lakkens D. IL-12 and IFN-gamma genetic methods for assesing resistance-focusing in mycobacterium tuberculosis. Tubercle, May 2006:45–52 Bellamy R, Cuwende C, Mc Adam KP. Variations in the NRAMP 2, IL-12, iron-gene, and susceptibility to tuberculosis in West Africans. The New England Journal of Medicine 2007; 19:640–4 Piatek AS, Tyagi S, Pol AC, Tellenti A, Miller LP. Molecular beacon sequence analysis for detecting drugs resistance in mycobacterium tuberculosis. Nature, March, 2008:27–35 Aisen H, Resnick MW, Leibold H. Role of mannose receptor focusing in iron alternate and acquisition for tuberculosis resistance: from facts and acts? Circulation, April 2007:5–9 Xematery H, Stroganoff W, Pernott K. Characterization of new multiple basa mutation in pyrazinamide and rifampicin resistant strains of severe pulmonary tuberculosis. Tubercle, June 2007; 43:95–100 Chin KL, Grace Y, Haley T. Correlations of host extra-cellular iron chelates with treatment of iron deficiency anemia in active and MDR-TB patients. Chest, 2007; 53:146–53 Willner JJ, Hirsech CS, Whallen K. Impacts of secondary hemoglobinopathies in severity and MDR-TB strains: obsession for preventive cases. Tubercle, October 2006; 85:25–31 Hansen S, Loo B, Evans D, Neophyton K. Surfactant protein-D interconection with serum transferrin receptor: in vivo case in resistance MDR-TB. Nature 2007; 74:149–53 Dennerry G, Visner T, Weng YH, Nguyen XL. Increasing recyclingantigen binding 5 (RAB-5) activity in myoglobin expression: role in body mass index tuberculosis patients. American Journal of Respiratory Cell And Molleculer Biology 2008; 95:47–53
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
original article
research
Hubungan antara Komponen Sindroma Metabolik dengan Plasminogen Activator Inhibitor - 1 Himawan Sanusi, John MF Adam, Fachruddin Benyamin* Sub-Bagian Endokrin dan Metabolik, *Sub-Bagian Hematologi, Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar ABSTRAK Latar belakang: Penderita sindrom metabolik (MetS) diketahui mempunyai risiko tinggi untuk mendapat penyakit kardiovaskular. Selain sering ditemukan berbagai faktor risiko tradisional seperti hipertensi, dislipidemia, dan hiperglikemi, mereka juga mempunyai faktor proinflamasi yang buruk. Pada penelitian ini dievaluasi hubungan plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) dengan komponen sindrom metabolik. Cara penelitian: Subyek adalah mereka yang tidak menderita diabetes melitus dan secara klinis tidak menderita penyakit kardiovaskular, tidak mengkonsumsi obat penurun lipid atau obat antiagregasi. Semua subjek dilakukan pemeriksaan fisik lengkap. Setelah berpuasa selama 12 jam, diambil contoh darah untuk pemeriksaan glukosa plasma puasa, profil lipid, dan kadar PAI-1. Sindrom metabolik menggunakan kriteria AHA/NHLBI. Hasil: Sebanyak 183 subyek memenuhi kriteria penelitian, 76 sebagai MetS, dan 108 non-MetS. Kadar PAI-1 lebih tinggi secara bermakna pada mereka dengan MetS dibandingkan non-MetS yaitu 18,01±9,33 dan 4,33±4,83 mlU/ml (p=0,001). Terdapat korelasi bermakna yang meyakinkan antara glukosa plasma puasa, trigliserida, HDL-C, lingkar pinggang, tekanan darah dan kadar PAI-1 (p<0,05, r=0,693). Dengan menggunakan kadar PAI-1>7 IU/ml sebagai kriteria tinggi, kadar trilgiserida tinggi mempunyai risiko 25,5 kali untuk mendapat risiko kadar PAI-1 yang tinggi, sedang lingkar pinggang, HDLkolesterol rendah, kadar glukosa plasma tinggi, dan hipertensi hanya 2,69 kali dibandingkan non-MetS. Kesimpulan: Subjek dengan MetS mempunyai kadar PAI-1 yang tinggi dibandingkan non-MetS. Semua komponen MetS berhubungan dengan peningkatan kadar PAI-1, terutama kadar trigliserida yang tinggi. Hal ini dapat meningkatkan risiko kardiovaskular pada MetS.
Backgrounds: Individuals with metabolic syndrome (MetS) is found to have a higher risk for cardiovascular diseases. In addition to various traditional risk factors such as hypertension, dyslipidemia, and hyperglycemia, they also show a severe proinflammation factor. The study evaluates correlation between PAI-1 and metabolic syndrome component. Methods: Subjects are those without diabetes mellitus and any cardiovascular disease, and those administered with lipid-lowering or anti-aggregation drugs. All participants were subjected to thorough physical examinations. After 12h fasting, the blood was sampled for further plasma glucose examination, lipid profile, and PAI-1 level. Metabolic syndrome uses AHA/NHLBI criterion. Results: A number of 183 subjects were considered eligible, consisting of 76 subjects as MetS and 108 subjects as non-MetS. Individuals with MetS have a significantly higher PAI-1 level in comparison with non-MetS, i.e. 18.01±9.33 and 4.33±4.83 mIU/ ml (p=0.001). There is a significant correlation between fasting plasma-glucose, triglyceride, HDL-C, waist circumference, blood pressure and PAI-1 level (p<0.05; r = 0.693). Using PAI-1 > 7 IU/ml as high criterion, a high triglyceride level represents 25.5 times for high PAI-1 level risk, whereas waist circumference, low HDL-cholesterol, high level plasma glucose, and hypertension account for 2.69 times in comparison with non-MetS. Conclusions: Those with MetS reported a higher level of PAI-1 in comparison with non-MetS. The whole components of MetS is in correlation with PAI-1 level increasing, especially a high level of triglyceride. This brings about effects on a higher risk of cardiovascular individual with MetS. Keyword: PAI-1, MetS
Kata kunci: PAI-1, MetS
PENDAHULUAN Plasminogen Activator Inhibitor-1 (PAI-1) merupakan suatu acute phase protein yang berperan sebagai regulator fibrinolis pada proses hemostasis dan sebagai faktor yang mempercepat kejadian fibrosis. Plasminogen Activator Inhibitor-1 berperan pada patogenesis penyakit kardiovaskular dengan jalan mempercepat pembentukan clot dari proses ate-
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
rotrombosis.1 Beberapa penelitian membuktikan bahwa peningkatan kadar PAI-1 akan meningkatkan risiko kejadian aterotrombosis dan mempercepat progresivitas penyakit jantung koroner.2 Faktor lain yang turut berperan pada kejadian penyakit kardiovaskular yaitu faktor metabolik, yang meliputi gangguan toleransi glukosa, hipertensi, dislipidemia, dan peningkatan jaringan lemak; yang kemudian dike-
MEDICINUS 17
research
original article
nal sebagai sindrom metabolik.3 Sindrom metabolik atau yang dikenal pula sebagai sindrom resistensi insulin adalah kumpulan abnormalitas metabolik yang ditandai dengan penurunan sensitivitas jaringan terhadap insulin. Individu yang memenuhi kriteria ini memiliki kecenderungan untuk menderita penyakit jantung koroner serta diabetes melitus tipe 2.2,4 Hingga saat ini terdapat 5 kriteria yang sering digunakan untuk mendiagnosis sindrom metabolik, yaitu kriteria World Health Organization (WHO), National Cholesterol Education Program-Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III), International Diabetes Foundation (IDF), European Group for the study of Insulin Resistance (EGIR), serta American Heart Association /National Heart, Lung, and Blood Institute (ADA/NHLBI) di mana resistensi insulin menjadi dasar dari kelainan ini. Prevalensi sindrom metabolik meningkat dengan semakin meningkatnya populasi obesitas, bahkan lebih tinggi jika dibandingkan populasi diabetes.5 Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa terdapat hubungan antara peningkatan kadar PAI-1 dengan resistensi insulin, sehingga diketahui bahwa sudah terjadi gangguan hemostasis pada subjek resistensi insulin. Oleh karena resistensi insulin merupakan dasar sindrom metabolik, maka tujuan dari penelitian ini yaitu ingin mengetahui hubungan antara komponen sindrom metabolik dengan gangguan fibrinolisis dalam hal ini kadar aktivitas PAI-1, dan seberapa besar kekerapan peningkatan kadar PAI-1 pada masing-masing komponen sindrom metabolik.
METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah bagian dari penelitian EIDEG (East Indonesia Diabetes Epidemiology Group) dengan pendekatan cross-sectional yang dilaksanakan Juni 2007 sampai Januari 2008. Subjek penelitian adalah individu yang tampak sehat dan datang ke tempat praktek dokter, dan poliklinik penyakit dalam rumah sakit Akademis Jaury Jusuf Putra untuk melakukan pemeriksaan kesehatan rutin. Estimasi jumlah sampel penelitian dihitung berdasarkan rumus: n = zα2pq d2
n = besar sampel minimal d = tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki zα = 1.96 (α = 5%), p = 1 – P ; ditetapkan P = 0.5
18
n = zα2pq d2 MEDICINUS
Dari perhitungan dengan rumus di atas, jumlah sampel minimal sebesar 97 orang. Kriteria inklusif yaitu individu dewasa berusia 35-65 tahun yang bersedia ikut dan menandatangani surat persetujuan untuk mengikuti penelitian ini. Subjek tidak diikutkan pada penelitian jika menderita diabetes melitus tipe 2, diketahui menderita penyakit jantung koroner maupun infark miokardium dengan prosedur revaskularisasi dalam enam bulan terakhir, adanya pembedahan/trauma dalam enam bulan terakhir, peningkatan enzim transaminase ≥2 kali lipat nilai normal dan gangguan klirens kreatinin (TKK≤60 ml/L), subjek yang telah mendapat obat atau mengikuti program penurunan berat badan, obat-obat penurun lipid, obat antiagregasi trombosit, obat antihipertensi, dan merokok, subjek yang menderita penyakit rematik, infeksi, dan riwayat keganasan, serta subjek yang menolak ikut berpartisipasi dalam penelitian. Kriteria sindrom metabolik berdasarkan kriteria AHA/NHLBI (American Heart Association/National Heart, Lung, and Blood Institute)6 dengan menggunakan ukuran lingkar pinggang yang disesuaikan untuk orang Asia. (Tabel 1) Trigliserida Kolesterol HDL Pria Wanita Tekanan darah Lingkar pinggang Pria Wanita Glukosa Plasma Puasa
≥ 150 mg/dl < 40 mg/dl < 50 mg/dl ≥ 130 / ≥ 85 mmHg > 90 cm > 80 cm ≥ 100 mg/dl
Subjek diklasifikasikan sebagai sindrom metabolik jika terdapat tiga atau lebih komponen metabolik yang abnormal. Subjek yang memenuhi kriteria penelitian, dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium dilakukan setelah sebelumnya subjek berpuasa lebih kurang 12 jam dan sampel darah diambil pada waktu pagi hari. Sampel darah diambil untuk pemeriksaan glukosa plasma puasa, trigliserida, kolestrol HDL, dan PAI-1. Pemeriksaan kadar glukosa darah dengan metode enzimatis kalorimetri menggunakan cara CHODPAP, pemeriksaan meliputi kadar glukosa darah puasa (GDP) dan tes toleransi glukosa oral (TTGO) berdasarkan kriteria WHO (1994), pemeriksaan ka-
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
original article
dar kolesterol total dengan cara CHOP-PAP Roche, pemeriksaan kadar kolestrol HDL dan LDL direct secara enzimatis dengan Cholestest® buatan Daichii Pure Chemicals Co.Ltd dan pemeriksaan kadar trigliserida secara enzimatis kalorimetri dengan menggunakan dimension buatan Dade Behring Inc. Pemeriksaan kadar aktivitas PAI-1 serum secara kuantitatif dengan menggunakan teknik sensitive enzyme immunoassay technique dengan menggunakan Asserachrom® PAI-1 kit.
research
Tabel 2. Hasil analisis deskriptif variabel penelitian
Karakteristik
Pria (n=75)
Wanita (n=108)
mean ± SD
HASIL PENELITIAN
mean ± SD
Umur (tahun)
45 ± 7.7
46.3 ± 7.5
GDP (mg/dl)
92.1 ± 13.5
92.4 ± 14.4
Kol-total (mg/dl)
217.1 ± 36.9
215.4 ± 46.2
Kol-LDL (mg/dl)
135.5 ± 30.1
138.3 ± 32.8
Kol-HDL (mg/dl)
42.9 ± 11.4
47.1 ± 11.9
TG (mg/dl)
165.6 ± 57.8
152.6 ± 54.5
TDS (mmHg)
128.8 ± 13.9
127.8 ± 16.6
TDD (mmHg)
79.9 ± 10.8
79.5 ± 11.7
LP (cm)
89.6 ± 10.5
87.3 ± 9.5
PAI-1 (mIU/ml)
10.9 ± 10.1
9.4 ± 9.6
Selama periode November 2007 hingga Januari 2008 dapat diperiksa 183 orang yang memenuhi kriteria penelitian, terdiri dari 75 orang (41%) pria dan 108 orang (59%) wanita. Hasil analisis deskriptif variabel penelitian dapat dilihat pada tabel 2.
Keterangan: LP = lingkar pinggang, TDS = tekanan darah \sistolis, TDD = tekanan darah diastolis, GDP = glukosa darah puasa, Kol = kolesterol, LDL = low density lipoprotein, HDL = high density lipoprotein, TG = trigliserida, PAI-1 = Plasminogen Activator Inhibitor-1
A. Analisis Regresi Hubungan Komponen Sindrom Metabolik dengan Kadar PAI-1
Tabel 3. Hubungan berbagai komponen sindrom metabolik dengan kadar
Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan linear positif yang bermakna antara kadar GDP, TG, HDL, LP, dan TD dengan kadar PAI-1. (tabel 3). Semakin tinggi kadar GDP, TG, LP dan TD maka semakin tinggi kadar PAI-1. (Gambar 5) Tabel 3. Hubungan berbagai komponen sindroma metabolik dengan kadar PAI-1
Keseluruhan komponen sindroma metabolik berhubungan dengan peningkatan
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
PAI-1
Komponen sindrom metabolik
r
p
Glukosa darah puasa
0.363
0.000
Kolesterol HDL (pria)
- 0.487
0.000
Kolesterol HDL (wanita)
- 0.160
0.049
Trigliserida
0.693
0.000
Lingkar pinggang (pria)
0.685
0.000
Lingkar pinggang (wanita)
0.533
0.000
Tekanan darah sistolis
0.190
0.010
Tekanan darah diastolis
0.292
0.000
kadar PAI-1 dengan nilai kemaknaan yang paling tinggi yaitu kadar TG dengan nilai r = 0.693, diikuti lingkar pinggang, kadar GDP, kadar kolesterol HDL, dan tekanan darah.
MEDICINUS 19
research
original article
Gambar 3. Diagram pencar hubungan glukosa darah puasa dan PAI-1
Gambar 4. Diagram pencar hubungan kadar trigliserida dengan PAI-1
Gambar 5. Diagram pencar hubungan antara kolesterol HDL dengan PAI-1
Gambar 6. Diagram pencar hubungan antara lingkar pinggang dengan kadar PAI-1
20 MEDICINUS
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
original article
research
Gambar 7. Diagram pencar hubungan antara tekanan darah dengan kadar PAI-1
B. Hubungan Komponen Sindroma Metabolik dengan Kadar PAI-1
Pada penelitian ini, bila kadar PAI-1 di atas 7 mIU/ ml dikategorikan tinggi, kemudian dilakukan analisis hubungan antara komponen sindrom metabolik dengan kadar PAI-1 tinggi, maka diperoleh odds ratio (OR) masing-masing komponen sindrom metabolik tersebut dengan kadar PAI-1 yang tinggi. Hasil analisis diperoleh bahwa obesitas sentral, TD tinggi, kadar GDP tinggi, kolesterol HDL rendah, dan kadar TG tinggi berkorelasi bermakna dengan kadar PAI-1 tinggi. (Tabel 4)
Kadar TG tinggi mempunyai peluang 25,5 kali lipat untuk mendapat kadar PAI-1 tinggi dibandingkan kadar TG normal, kemudian diikuti obesitas sentral dengan peluang 15,8 kali lipat dibandingkan lingkar pinggang normal. Jika dibandingkan dengan nilai normal, kadar kolesterol HDL rendah dan kadar GDP tinggi mempunyai peluang 4 kali lipat untuk mendapat PAI-1 tinggi. Hipertensi berpeluang 2,69 kali lipat dibandingkan tekanan darah normal untuk mendapat kadar PAI-1 yang tinggi. (Tabel 4)
Rentang kadar PAI-1 yang diperoleh pada pene-
Tabel 4. Hubungan komponen sindroma metabolik dengan kadar PAI-1 > 7 mIU/ml Variabel
PAI-1 (>7 IU/ml)
OR
CI (95%)
P
Lingkar pinggang Obesitas sentral
76 (83.5%)
Normal
15 (16.5%)
15.8
1.648 ± 1.824
0.001
2.69
1.517 ± 1.710
0.02
4.26
1.573 ± 1.759
0.01
4.53
1.316 ± 1.487
0.02
25.5
0.995 ± 1.075
0.001
Tekanan darah Hipertensi
58 (63.8%)
Normotensi
33 (36.2%)
Kolesterol HDL Rendah
67 (83.5%)
Normal
24 (26.4%)
Glukosa plasma puasa Abnormal
54 (59.5%)
Normal
37 (40.5%)
Trigliserida Hipertrigliseridemia
88 (96.7%)
Normal
3 (3.3%)
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
MEDICINUS 21
research
original article
litian ini yaitu 0,16–38,8 IU/ml. Hingga saat ini belum ada cut off point untuk kadar PAI-1, maka rentang kadar ini dikelompokkan menjadi kuartil, di mana kuartil I dengan kadar PAI-1 0,16 - 9,65 IU/ml, kuartil II dengan 9,66 – 19,31 IU/ml, kuartil
pokan berdasarkan jumlah komponen dari sindrom metabolik, kemudian dihubungkan dengan pengelompokan kadar PAI-1 secara kuartil, maka dengan analisis oneway Anova yang dilanjutkan dengan uji LSD didapatkan bahwa kel-
Tabel 5. Hubungan komponen sindroma metabolik dengan kuartil IV PAI-1
Variabel
PAI-1 (28,95 – 38,8 IU/ml)
OR
CI (95%)
P
Lingkar pinggang Obesitas sentral
4 (8.7 %)
Normal
42 (91.3 %)
0.051
0.015 ± 0.67
0,585
0.221
0.090 ± 0.542
0,353
0.099
0.036 ± 0.272
0,503
0.153
0.053 ± 0.242
0,398
Tekanan darah Hipertensi
19 ( 41.3%)
Normotensi
27 ( 48,7%)
Kolesterol HDL Rendah
7 (15.2 %)
Normal
39 (84.8%)
Glukosa plasma puasa Abnormal
23 (50.0%)
Normal
23 (50.0 %)
Trigliserida Hipertrigliseridemia
46 (100%)
Normal
0 (0 %)
-
-
-
III dengan PAI-1 19,32 – 28,94 IU/ml, dan kuartil ompok dengan 5 komponen mempunyai kadar IV dengan kadar PAI-1 28,95 – 38,8 IU/ml. Pada rerata PAI-1 tertinggi dibandingkan lima kelompenelitian ini jika kadar PAI-1 tinggi dianggap pok lainnya. Kelompok 5 komponen mempunyai pada kuartil IV dan kuartil I sebagai kadar yang rendah, Tabel 7. Hubungan jumlah dari komponen sindroma metabolik dengan kadar kemudian dilakukan analisis PAI-1 hubungan dengan kompoBanyaknya Komponen n(%) PA-1 p nen dari sindrom metabolik, maka didapatkan tidak 0 komponen 16 1.49 ± 1.2aa ada hubungan yang bermakna antara komponen 1 komponen 2.72 ± 1.7ab 36 sindrom metabolik dengan 2 komponen 3.67 ± 1.8bc 56 kadar PAI-1 pada kuartil IV. 0.000 (Tabel 5) 3 komponen 12.2 ± 5.7dd 22 C. Hubungan Jumlah Komponen Sindrom Metabolik dengan Kadar PAI-1
Bila dilakukan pengelom-
22 MEDICINUS
4 komponen
33
17.5 ± 8.7ee
5 komponen
19
21.9 ± 8.9ff
Keterangan: Kadar PAI-1 dengan superscript dengan komponen sama mempunyai hasil uji statistik yang tidak bermakna
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
original article
research
Gambar 9. Rerata kadar PAI-1 berdasarkan jumlah komponen sindroma metabolik
rerata kadar PAI-1 yang lebih lebih tinggi, jika dibandingkan dengan kelompok 4 komponen. Kadar rerata PAI-1 pada kelompok 4 komponen lebih tinggi daripada 3 komponen, demikian pula rerata kadar PAI-1 pada kelompok 3 komponen lebih tinggi dari kelompok 2 komponen, 1 komponen, serta pada kelompok tanpa komponen sindrom metabolik. (Tabel 7)
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa semakin banyak komponen dari sindroma metabolik, maka semakin tinggi kadar PAI-1 dengan koefisien korelasi r=0,802 dan p=0,000.
DISKUSI Hubungan antara kadar GDP dengan PAI-1 pada penelitian
ini ditemukan bermakna secara statistik (p=0,000). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pandolfi dkk7 yang membuktikan bahwa terdapat korelasi bermakna antara kadar glukosa darah puasa dengan PAI-1. Peningkatan kadar glukosa meningkatkan transkripsi PAI-1 pada endotel vaskular, sehingga meningkatkan produksi PAI-1.8,9 Selain kadar glukosa darah, peningkatan kadar PAI-1 juga dipengaruhi oleh peningkatan kadar insulin.7,10 Efek peningkatan PAI-1 oleh hiperglikemia dan resistensi insulin dapat dihambat dengan jalan pengendalian kadar glukosa dan penurunan resistensi insulin.8,9 Analisis hubungan TDS dan TDD dengan kadar PAI-1 mendapatkan koefisien korelasi masingmasing r=0,19 dan r=0,29 dengan hasil uji statistik didapatkan ada-
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
nya hubungan yang bermakna (p=0,01 untuk TDS dan 0,000 untuk TDD). Hal yang serupa dikemukakan oleh Landin dkk10 dan Skurk dkk11 yang membuktikan terdapat hubungan bermakna antara hipertensi dengan kadar PAI-1. Mekanisme peningkatan kadar PAI-1 pada hipertensi dapat melalui peningkatan angiotensin II dan melalui efek sitokin proinflamasi, yang mana keduanya meningkatkan produksi PAI-1 dari sel adiposit.12-14 Hasil analisis membuktikan terdapat korelasi positif antara kadar trigliserida dengan kadar PAI-1 dengan nilai r=0,693 dan p=0,000. Hasil ini sesuai dengan penelitian The Northern Sweden MONICA Study yang membuktikan bahwa terdapat hubungan linear yang bermakna antara peningkatan kadar TG dengan peningkatan kadar PAI-1.15 Trigli-
MEDICINUS 23
research
original article
serid meningkatkan kadar PAI-1 melalui efek langsung TG pada sel endotel vaskular, serta efek tidak langsung melalui peningkatan resistensi insulin yang akan meningkatkan insulin puasa. Peningkatan insulin puasa akan memicu sekresi PAI-1 pada hepatosit.20 Analisis penelitian ini juga mendapatkan hubungan korelasi negatif bermakna (p=0,000 untuk pria dan p=0,049 untuk wa-nita) antara kadar kolesterol HDL pada subjek pria maupun wanita dengan kadar PAI-1 dengan nilai kemaknaan masing-masing r=-0,48 dan r=-0,16. Penurunan kadar HDL pada sindrom metabolik diakibatkan meningkatnya produksi HDL miskin kolesterol ester tapi kaya TG. High density lipoprotein dengan bentuk demikian menjadi lebih mudah dikatabolisme oleh ginjal sehingga jumlah HDL dalam plasma menurun.31 Penurunan kadar HDL tidak secara langsung meningkatkan kadar PAI-1, akan tetapi melalui mekanisme peningkatan sitokin proinflamasi. Kadar HDL yang rendah memicu aktivitas proinflamasi dari beberapa sitokin yang kemudian memicu produksi PAI-1.15 Korelasi positif bermakna juga didapatkan pada hubungan antara LP dengan kadar PAI1 dengan nilai r=0,685 untuk pria dan 0,533 untuk wanita. Hasil serupa dikemukakan oleh Romano dkk16 yang mengemukakan bahwa terdapat peningkatan kadar PAI-1 pada subjek wanita obesitas dengan nilai kemaknaan p<0,0001. Hal ini didukung pula oleh Landin dkk10 yang mengemukakan
24 MEDICINUS
bahwa obesitas sentral berhubungan dengan peningkatan kadar PAI-1. Peningkatan lemak visceral disamping menghasilkan TG dan sitokin proinflamasi seperti TNF-γ yang dapat menyebabkan peningkatan kadar PAI-1 pada hepatosit dan sel endotel, sel lemak ini juga merupakan tempat produksi PAI-1.1,17 Penelitian oleh Bastelica dkk18 membuktikan bahwa lemak visceral menghasilkan PAI1 lima kali lebih tinggi daripada lemak subkutan. Sehingga dengan makin besarnya obesitas sentral, makin tinggi pula kadar PAI-1 nya. Pada analisis hubungan komponen sindrom metabolik dengan kadar PAI-1 yang tinggi, didapatkan bahwa keseluruhan komponen sindrom metabolik yang abnormal berhubungan dengan kadar PAI-1 yang tinggi. Kadar trigliserida yang tinggi mempunyai peluang 25,5 kali lipat dari normal untuk mendapat kadar PAI-1 yang tinggi, kemudian diikuti obesitas sentral dengan peluang 15,8 kali lipat dari normal. Tingginya kemungkinan peningkatan kadar PAI-1 pada subjek dengan kadar trigliserida tinggi disebabkan oleh karena trigliserida secara langsung dapat memicu transkripsi dan sekresi PAI-1 dari endotel vaskular dan pada jaringan adiposit.13,19 Hal ini didukung oleh penelitian Banfi dkk yang membuktikan bahwa trigliserida terutama yang banyak mengandung VLDL dan kilomikron dapat memicu transkripsi dan sekresi PAI-1 dari endotel vaskuler dan hepatosit.20 Sedangkan jika kadar PAI1 dibagi menjadi kuartil, dan dikategorikan tinggi apabila
kadar PAI-1 berada pada kuartil IV dengan kadar antara 28,95– 38,8 mIU/ml, maka berdasarkan analisis statistik didapatkan hasil yang tidak bermakna. Hasil analisis antara hubungan komponen sindrom metabolik dengan kadar PAI-1 di atas 7 mIU/ml tidak sesuai dengan hasil analisis antara hubungan komponen sindrom metabolik dengan kadar PAI-1 pada kuartil IV membuktikan bahwa terdapat faktor lain yang turut berperan pada peningkatan PAI-1 di samping komponen sindrom metabolik. Faktor lain yang berperan pada peningkatan kadar PAI-1 yaitu faktor gen, di mana penelitian oleh Fachruddin dkk21, Brown dkk22, dan de Rekeniere dkk23 membuktikan bahwa gen 4G/4G sangat berperan pada peningkatan kadar PAI-1. Penelitian ini juga membuktikan bahwa semakin banyak komponen sindrom metabolik maka semakin tinggi kadar PAI1. Pada kategori 0 komponen, 1 komponen, 2 komponen, hingga 5 komponen, dida-patkan kadar rerata PAI-1 yang semakin meningkat, dengan nilai kemaknaan r=0,882 dan p=0,000. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh JuhanVague dkk24 yang membuktikan bahwa semakin banyak jumlah komponen sindrom metabolik maka makin tinggi kadar PAI-1.
KESIMPULAN Terdapat hubungan antara berbagai komponen sindrom metabolik dengan kadar PAI1 yang tinggi, di mana makin banyak jumlah komponen sindrom metabolik maka makin
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
original article
tinggi kadar PAI-1. Di antara komponen sindrom metabolik,
kadar trigliserid yang tinggi memiliki risiko terbesar un-
research
tuk memiliki kadar PAI-1 yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA 1. Lyon CJ, Hsueh W. Effect of plasminogen activator inhibitor–1 in diabetes mellitus and cardiovascular disease. Am J Med. 2003; 115:62S–68S 2. Dunn E, Grant PJ. Atherothrombosis and metabolic syndrome. In: Byrne C, Wild S, eds. The Metabolic Syndrome. England: J Wiley and Sons Ltd; 2005.p.163-77 3. Devaraj S, Rosenson RS, Jialal I. Metabolic syndrome: an appraisal of the proinflammatory and procoagulant status. Endocrinology and Metabolism Clinic of North America 2004; 33:431-53 4. Grundy SM. What is the contribution of obesity to the metabolic syndrome? Endocrinology and Metabolism Clinic of North America 2004; 44:267-82 5. Ford E, Giles W, Dietz W. Prevalence of the metabolic syndrome among US adults. Finding from the third National and Nutrition Examination Survey. JAMA 2002; 287:356-9 6. Grundy SM, Brewer HB, Cleeman JI, Smith Jr SC, Lenfant C. Definition of metabolic syndrome: report of the National Heart, Lung, and Blood Institute/American Heart Association conference on scientific issues related to definition. Circulation 2004; 109:433–8 7. Pandolfi A, Iacoviello L, Capani F, Vitacolonna E, Donati MB, Consoli A. Glucose and insulin independently reduce the fibrinolytic potential of human vascular smooth muscle cells in culture. Diabetologia 1996; 36:1425-31 8. Kohler H. Insulin resistance syndrome: interaction with coagulation and fibrinolysis. Swiss Med Wkly 2002; 132:241-52 9. Correia M, Hayes W. A role for plasminogen activator inhibitor-1 in obesity: from Pie to PAI. Arterioscler Thromb Vasc Biol. 2006; 26:2183-5 10. Landin K, Stigendal L, Eriksson E, Krotkiewski M, Risberg BLT, Smith U. Abdominal obesity is associated with impaired fibrinolytic activity and elevated plasminogen activator inhibitor-1. Metabolism 1990; 39:1044–8 11. Skurk T, Lee YM, Nicut-Rolfs TO, Haastert B, Wirth A, Hauner H. Effect of angiotensin II receptor blocker candesarta on fibrinolysis in patients with mild hypertension. Diabetes Obes Metab. 2004; 6:56-62 12. Alessi M-C, Juhan-Vague I. PAI-1 and the metabolic syndrome: links, causes, and consequences. Arterioscler Thromb Vasc
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
Biol. 2006; 26:2200-7 13. Epstein FH. Plasminogen activator inhibitor type-1 and coronary artery disease. N Eng J Med. 2000; 342:1792-9 14. Palomo I, Alarcon M, Moore-Carrasco R, Argiles JM. Hemostasis alterations in metabolic syndrome. Int J Mol Med. 2006; 18:96974 15. Lindahl B, Asplund K, Iasson M, Evrin P-E. Insulin resistance syndrome and fibrinolytic activity: The Northern Sweden MONICA Study. Int J Epidemiol. 1996; 25:291-9 16. Romano M, Guagnano M, Pacini G, Vigneri S, Falco A, Marinopiccoli M, et al. Association of inflammation markers with impaired insulin sensitivity and coagulative activation in obese healthy women. J Clin Endocrinol Metab. 2003; 88:5321-6 17. Grundy S. Obesity, metabolic syndrome, and cardiovascular disease. J Clin Endocrinol Metab. 2004; 89:2595-600 18. Bastelica D, Morange P, Berthet B, Borghi H, Lacroix O, Grino M, et al. Stromal cells are the main plasminogen activator inhibitor-1 producing cells in human fat: evidence of differences between visceral and subcutaneous deposits. Arterioscler Thromb Vasc Biol 2002; 22:173-8 19. Banga J. Coagulation and fibrinolysis in diabetes. Sem Vasc Med. 2002; 2:75-87 20. Banfi C, Mussoni L, Rise P, Cattaneo MG, Vicentini L, Battaini F, et al. Very low-density lipoprotein- mediated signal transduction and plasminogen activator inhibitor type 1 in cultured HepG2 cells. Circ Res. 1999; 85:208-17 21. Fachruddin A. Peranan polimorfisme cgen plasminogen activator inhibitor-1 alel 4G/5G dan status glikemik terhadap aktivitas plasminogen activator inhibitor-1. Makassar: Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin, Hasanuddin; 2007 22. Brown NJ, Murphey LJ, Srikuma N, Koschachuhanan N, Williams GH, Vaughan DE. Interactive effects of PAI-1 genotype and and salt intake on PAI-1 antigen. Atheroscler Thromb Vasc Biol. 2001; 21:1071-7 23. de Rekeniere N, Peila R, Ding J, Colbert LH, Visser M, Shorr RI, Kritchevsky SB, et al. Diabetes, hyperglycemia, and inflammation. Diab Care. 2006; 29:1902-8 24. Juhan-Vague I, Alessi M, Mavri A, Morange PE. Plasminogen activator inhibitor-1, inflammation, obesity, insulin resistance and vascular risk. J Thromb Haemost. 2003; 1:1575–9
MEDICINUS 25
research
original article
Hasil Kehamilan Pada Penderita Hipertiroidisme Husaini Umar, Rizka Abdiani, Agus P Sambo, John MF Adam Divisi Endokrin dan Metabolik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran PENDAHULUAN
ABSTRAK Tujuan. Wanita hamil dengan hipertiroidisme relatif jarang. Penyebab terbanyak tirotoksikosis pada wanita usia reproduksi adalah penyakit Graves. Belum banyak laporan kasus hipertiroidisme pada kehamilan di Indonesia. Oleh karena itu, kami melaporkan hasil penelitian penderita hipertiroidisme dengan kehamilan. Metode. Subyek penelitian adalah wanita hipertiroidisme dengan usia reproduksi (15-44 tahun), diambil dari Rumah Sakit Jaury dan praktek pribadi pada tahun 1990 sampai 2008. Hipertiroidisme ditegakkan dengan gambaran klinis dan tes fungsi tiroid yaitu titer free thyroxine (FT4) yang tinggi dan Thyroid Stimulating Hormone (TSHs) yang rendah. Pasien diberikan terapi obat antitiroid dan dihentikan pada bulan ke 8 kehamilan. Pengambilan data FT4 dan TSH diulang tiap 2 bulan. Data hasil kehamilan didapatkan dari dokter ahli kebidanan atau rumah bersalin di mana mereka melahirkan. Hasil. Selama 18 tahun, didapatkan 322 wanita usia reproduksi dengan hipertiroidisme. Dari jumlah tersebut didapatkan 34 penderita yang hamil dengan jumlah kehamilan sebanyak 53 kehamilan, atau suatu frekuensi kehamilan sebesar 16,6%. Dari 53 kehamilan ini hanya 42 kehamilan yang bisa dipantau sampai persalinan. Hasilnya adalah abortus terjadi pada 12 kehamilan, malformasi kongenital 1 kehamilan, berat badan lahir rendah (BBLR) 2 kehamilan, lahir prematur 1 kehamilan, 2 kematian janin dalam rahim (KJDR), dan sisanya 24 kehamilan melahirkan normal. Kesimpulan. Komplikasi kehamilan pada penelitian ini cukup besar yaitu sekitar 34% dan sebagian besar ditemukan pada penderita hipertiroidisme yang tidak mendapat obat antitiroid yang adekuat. Kata kunci : Hamil, hipertiroidisme
26 MEDICINUS
Objective. Hyperthyroidism during pregnancy is relatively uncommon. The major cause of thyrotoxicosis in women of child bearing age is Grave’s disease. Very few cases were reported in Indonesian medical journals. We report our clinical experience of hyperthyroidism with pregnancy. Methods. Patient information was collected from Jaury Academic Hospital and private clinics, from 1990 to 2008. Hyperthyroidism was diagnosed by clinical findings and thyroid function test high titer of FT4. Patients were treated with anti-thyroid drugs, and the medication was stopped during the 8th month of pregnancy. FT4 and TSHs were repeated every 2 months where possible. Patients were instructed to report if they delivered, to follow the outcome of pregnancy. Results. During 18 years of researching 322 child bearing aged women with hyperthyroidism, pregnancy occurred in 34 women or 10%. From these 34 women only 25 patients could be followed up until delivery, which gave a total of 42 pregnancies. The outcome: miscarriages were found in 12 pregnancies, 1 congenital malformation, 2 low birth weight infant, 1 premature, and 2 stillbirths, the rest (24) were normal. Conclusion. Pregnancy in women with hyperthyroidism has an increased risk of complications. In this study, large enough at around 34%, hyperthyroidism was mostly found in pregnancies where patients did not receive adequate antithyroid drugs. Key words : Pregnancy, hyperthyroidism
Hipertiroidisme adalah suatu sindrom klinis akibat hiperfungsi kelenjar tiroid yang menyebabkan sekresi berlebihan hormon tiroid yaitu triiodothyronine (T3) dan thyroxine (T4).1 Sebagian besar, yaitu hampir sekitar 90% dari penderita hipertiroidisme adalah wanita dan pada usia reproduksi umumnya ditemukan pada penderita penyakit Graves.2-4 Wanita hamil dengan hipertiroidisme dapat ditemukan dalam tiga kategori yaitu: (a) mereka yang sedang mendapat pengobatan antitiroid kemudian hamil, (b) mereka yang sudah remisi dan tidak mendapat obat antitiroid kemudian hamil dengan hipertiroidisme, (c) serta wanita yang baru menderita hipertiroidisme pada saat hamil. Pada kategori terakhir diagnosis hipertiroidisme agak sulit, karena keluhan dan tanda klinis hipertiroidisme mirip dengan wanita hamil normal seperti takikardi, banyak berkeringat, berat badan menurun akibat emesis hamil.2,5 Di Amerika Serikat hipertiroidisme pada kehamilan diperkirakan 0,1-0,4% dan sebagian besar, yaitu sekitar 85%, disebabkan oleh penyakit Graves.2,6 Di Indonesia, belum banyak penelitian mengenai hipertiroidisme pada kehamilan. Tiga penelitian sebelumnya melaporkan prevalensi yang bervariasi antara 4,3% sampai 16,1%.7-9 Penatalaksanaan hipertiroidisme yang adekuat pada kehamilan sangat penting karena menyangkut kesehatan ibu dan janin. Hasil kehamilan sangat tergantung dari penatalaksanaan tersebut. Aktivitas kelenjar tiroid berlangsung fluktuasi menurut usia kehamilan, paling aktif pada usia kehamilan trimester pertama dan menurun pada akhir kehamilan.5 Pemberian obat antitiroid bertujuan untuk mencapai keadaan eutiroid dan pada usia kehamilan yang lebih tua dosis obat harus dikurangi bahkan dihentikan sebelum persalinan. Tanpa penatalaksanaan yang adekuat berbagai komplikasi kehamilan dapat terjadi seperti abortus, kematian janin dalam rahim (KJDR), lahir prematur, berat badan lahir rendah (BBLR) serta cacat bawaan.3 Penelitian ini melaporkan mengenai hasil kehamilan pada wanita hipertiroidisme.
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
SUBYEK DAN CARA PENELITIAN
adekuat dan yang tidak, dilakukan uji statistik X2.
hamilan dan carbimazole pada 5 kehamilan.
Subyek penelitian adalah wanita hipertiroidisme usia reproduksi (15-44 tahun), yang berobat di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Akademis Jaury dan klinik pribadi. Data klinis subyek diambil dari data-data Subbagian Endokrin Metabolik yang dilengkapi dari Januari 1990 – Desember 2008. Diagnosis hipertiroidisme berdasarkan gambaran klinis serta pemeriksaan fungsi tiroid yaitu free thyroxin (FT4) dan Thyroid Stimulating Hormone (TSHs). Pemantauan fungsi tiroid dilakukan setiap 8 sampai 10 minggu. Berdasarkan pengobatan antitiroid, mereka dibagi atas (a) wanita hamil dengan hipertiroidisme yang mendapat obat antitiroid adekuat sejak hamil sampai akhir kehamilan, dan (b) mereka yang mendapat obat antitiroid tidak adekuat. Pada kelompok kedua ini termasuk mereka yang dirujuk oleh ahli kandungan dengan hipertiroidisme saat hamil. Obat antitiroid yang diberikan adalah propylthiouracil (PTU), thiamazole atau carbimazole dan dihentikan pada usia kehamilan 8 bulan.
HASIL PENELITIAN
Semua penderita melahirkan di rumah bersalin atau rumah sakit. Hasil kehamilan adalah sebagai berikut, 12 kehamilan mengalami abortus, 2 kehamilan mengalami KJDR, 1 kehamilan prematur, 2 kehamilan BBLR, 1 kehamilan malformasi kongenital berupa cacat jantung bawaan dan sisanya 24 kehamilan normal (gambar 1).
Data hasil kehamilan didapatkan dari dokter ahli kebidanan atau rumah bersalin di mana mereka melahirkan. Hasil kehamilan dikelompokkan sebagai normal dan abnormal. Termasuk kriteria abnormal yaitu abortus, kematian janin dalam rahim (KJDR) bila bayi lahir mati pada usia kehamilan di atas 28 minggu, lahir prematur bila bayi lahir hidup pada usia kehamilan kurang dari 28 minggu, berat badan lahir rendah (BBLR) bila berat badan lahir kurang dari 2500 gram, dan malformasi kongenital.
Dalam kurun waktu 18 tahun tercatat sebanyak 322 wanita hipertiroidisme pada usia reproduksi, di mana usia termuda adalah 22 tahun (1 orang) dan usia tertua adalah 40 tahun (1 orang). Dari jumlah tersebut didapatkan 34 penderita yang hamil dengan jumlah kehamilan sebanyak 53 kehamilan, atau suatu frekuensi kehamilan sebesar 16,6%. Dari 53 kehamilan ini hanya 42 kehamilan yang bisa dipantau sampai persalinan, sedangkan 11 kehamilan tidak dapat dipantau oleh karena persalinan dilakukan di luar kota (kota lain). Dari 42 kehamilan, 33 kehamilan hipertiroidisme sudah diketahui sebelum hamil, dan sisanya 9 kehamilan dirujuk oleh ahli kebidanan di mana hipertiroidisme baru ditemukan saat hamil. Mereka yang mendapat obat antitiroid adekuat sebanyak 30 kehamilan, dan sisanya 12 kehamilan mendapat terapi antitiroid tidak adekuat oleh karena tidak makan obat. Obat antitiroid yang diberikan adalah propylthiouracil (PTU) pada 22 kehamilan, thiamazole pada 3 ke-
Untuk melihat perbedaan hasil kehamilan antara mereka yang mendapat obat antitiroid
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
Pada mereka yang mendapat terapi obat antitiroid yang adekuat yaitu sebanyak 30 kehamilan, didapatkan hasil kehamilan normal sebanyak 24 kehamilan dan yang abnormal hanya 6 kehamilan yaitu masing-masing abortus pada 3 kehamilan, KJDR pada 1 kehamilan dan BBLR pada 2 kehamilan. Sebaliknya pada 12 kehamilan dengan terapi antitiroid yang tidak adekuat atau tidak minum obat, tidak ada hasil kehamilan yang normal, 9 abortus, 1 KJDR, 1 prematur dan 1 malformasi kongenital berupa cacat jantung bawaan (gambar 2). Bila dibandingkan hasil kehamilan antara yang mendapat terapi antitiroid adekuat dan yang tidak adekuat terlihat komplikasi lebih banyak terjadi pada yang
Gambar 1. Persentase hasil kehamilan pada 42 kehamilan wanita hipertiroidisme
MEDICINUS 27
research
original article
Gambar 2. Hasil kehamilan pada 30 kehamilan yang mendapat obat antiroid adekuat dan 12 kehamilan dengan obat antitiroid tidak adekuat.
tidak mendapat terapi antitiroid adekuat. Tabel 1 menggambarkan perbedaan bermakna hasil kehamilan antara yang mendapat terapi antitiroid yang adekuat dan tidak p=0,000 (PR 0,018;95% CI 0,0020,174).
PEMBAHASAN Pada penelitian ini frekuensi kehamilan ditemukan sebesar 16,6% dari 322 wanita hipertiroidisme usia subur. Angka ini tidak berbeda dengan penelitian sebelumnya di Indonesia maupun di negara Asia lainnya. Slamet Suyono dkk,8 dalam penelitiannya di Jakarta pada tahun 1996, melaporkan 15,6% kehamilan dari 83 wanita hipertiroidisme, sedangkan Adriansjah dkk,9 dalam penelitiannya di Ma-
kassar, mendapatkan selama kurun waktu 16 tahun (1983-1999) frekuensi kehamilan sebesar 16,1% dari 224 wanita hipertiroidisme. Phoojaroenchanachai dkk10 pada tahun 2001 di Thailand melaporkan frekuensi kehamilan sebesar 18,6% dari 188 wanita hipertiroidisme usia subur. Angka-angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan laporan di negara barat, hal ini mungkin disebabkan di negara maju jumlah wanita hamil lebih sedikit.
talaksanaan saat hamil semakin berkurang kejadian komplikasi pada janin.5 Sebagai contoh, bayi yang lahir mati ditemukan sebesar 50% pada wanita yang tidak mendapat pengobatan antitiroid, 16% pada mereka dengan pengobatan yang tidak adekuat, dan hanya 8% pada mereka yang mendapat pengobatan yang adekuat.12 Dengan kata lain, pada mereka dengan pengobatan yang maksimal selama hamil masih dapat terjadi kelainan pada kehamilan.
Seperti diketahui kadar hormon tiroid yang tinggi mempunyai efek toksik secara langsung terhadap perekembangan janin.11 Oleh karena itu hasil kehamilan pada wanita hamil hipertiroidisme sangat tergantung dari pengobatan hipertiroidisme saat hamil, semakin baik pena-
Tabel 1. Perbedaan hasil kehamilan antara yang mendapat terapi adekuat dan yang tidak
Hasil Kehamilan n
Normal
Abnormal
n = 24 (%)
n = 18 (%)
Terapi adekuat
30
24 (80)
6 (20)
Terapi tidak ade kuat
12
0 (0)
12 (100)
28 MEDICINUS
p 0,000
PR 0,018
95% CI 0,002-0,174
Pada penelitian ini didapatkan perbedaan bermakna antara hasil kehamilan pada wanita hipertiroidisme yang mendapat terapi adekuat dan yang tidak adekuat. Pemberian terapi antitiroid akan memberikan perlindungan terhadap hasil kehamilan, di mana pada wanita hipertiroidisme yang mendapat terapi antitiroid didapatkan hasil kehamilan yang lebih baik dibandingkan yang tidak mendapatkan terapi. Kriplani A dkk13 yang meneliti selama 7 tahun mendapatkan 32 kehamilan pada hipertiroidisme dan melaporkan kelahiran pre-
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
original article
matur 25% serta gangguan pertumbuhan intrauterin 13%. Millar LK dkk14 meneliti berat badan lahir rendah dari wanita hipertirodisme yang terkontrol sebelum hamil, terkontrol saat hamil dan tidak terkontrol mendapatkan risiko BBLR pada yang terkontrol sebelum hamil adalah 0,74, pada yang terkontrol saat hamil adalah 2,36 dan yang tidak terkontrol adalah 9,24 dibandingkan dengan wanita nonhipertiroidisme. Berdasarkan penelitian ini disimpulkan bahwa kontrol hipertiroidisme yang buruk secara signifikan meningkatkan risiko BBLR.
adalah wanita yang hipertiroidisme pada trimester ketiga kehamilan merupakan faktor risiko independen terhadap peningkatan prevalensi BBLR dan penanganan hipertiroidisme selama kehamilan menentukan hasil kehamilan.
Phoojaroenchanachai M dkk10 meneliti wanita hamil dengan hipertiroidisme dan wanita hamil dengan eutiroid pada trimester ketiga kehamilan, mendapatkan prevalensi BBLR pada yang hipertiroidisme secara signifikan lebih tinggi dibandingkan yang eutiroid (p=0,0039, OR=2,7, 95% CI=1,1-7,1). Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini
Pengobatan hipertiroidisme yang direkomendasikan adalah propylthiouracil dengan dosis 150 mg tiga kali sehari atau dengan carbimazole, dengan dosis 15 mg tiga kali sehari, kemudian dosis diturunkan 100 mg dan 10 mg tiga kali sehari setelah 6 minggu. Dosis ini diberikan selama 6 minggu, kemudian diberikan dosis pemeliharaan 100-200 mg propylthiou-
Pada penelitian ini didapatkan hasil kehamilan normal sebanyak 57,1% dan yang mendapat terapi antitiroid adekuat sebanyak 71,4%. Hasil kehamilan yang normal didapatkan pada mereka yang mendapat terapi antitiroid, baik itu dengan propylthiouracil, thiamazole maupun carbimazole.
research
racil atau 10-20 mg carbimazole perhari dalam dosis terbagi.15,16 Dari penelitian ini, lamanya menderita hipertiroidisme tidak mempengaruhi hasil kehamilan, di mana status pada penderita hipertiroidisme lama dan baru tidak berbeda bermakna. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Mitsuda N dkk17 yang meneliti hubungan antara lamanya menderita Graves atau tirotoksikosis dengan berat badan lahir rendah dan mendapatkan 6,5% bayi kecil untuk masa kehamilan yang secara signifikan berhubungan dengan lamanya menderita hipertiroidisme.
KESIMPULAN Komplikasi kehamilan pada penelitian ini cukup besar yaitu sekitar 34 %, sebagian besar ditemukan pada penderita hipertiroidisme yang tidak mendapat obat antitiroid yang adekuat.
DAFTAR PUSTAKA 1. Glinoer D. Thyroid disease during pregnancy. In: LE Braverman, RD Utiger, editors. The Thyroid A Fundamental and Clinical Text. 9th Ed. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins; 2005.p.1086-105 2. Waltman PA, Brewer JM, Lobert S. Thyroid storm during pregnancy: a medical emergency. Crit Care Nurse 2004; 24:74-9 3. Fantz CR, Dagogo-Jack S, Ladenson JH, and Gronowski AM. Thyroid function during pregnancy. Clinical Chemistry 1999; 45(12):2250–8 4. Laurberg P, Bournaud C, Karmisholt J and Orgiazzi J. Management of graves’ hyperthyroidism in pregnancy: focus on both maternal and foetal thyroid function, and caution against surgical thyroidectomy in pregnancy. Europ J Endocrinol 2009; 160:1–8 5. LeBeau SO and Mandel SJ. Thyroid disorders during pregnancy. Endocrinol Metab Clin N Am. 2006; 35:117–36 6. Luton D, Le Gac I, Vuillard E, Castanet M, Guibourdenche J, Noel M, et al. Management of graves’ disease during pregnancy: the key role of fetal thyroid gland monitoring. J Clin Endocrinol Metab. 2005; 90:6093–8 7. Sutanto A, Sarwono, dan Slamet. Pengalaman pengobatan penderita hipertiroidisme dengan kehamilan. Naskah Lengkap KONAS I PERKENI. Jakarta;1986.p.423-430 8. Suyono S, Sarwono dan Maryanto. Penyakit graves pada kehamilan. Kumpulan Naskah Temu Ilmiah dan Simposium Nasional III Penyakit Kelenjar Tiroid. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro;1996.p.315-26 9. Adriansjah H, Adam J, dan Sanusi H. Hasil kehamilan pada penderita hipertiroidisme. Kumpulan Abstrak KOPAPDI XI. Sura-
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
baya; 2000.p.644 10. Phoojaroenchanachai M, Sriussadaporn S, Peerapatdit T, Vannasaeng S, Nitiyanant W, Boonnamsiri V, et al. Effect of maternal hyperthyroidism during late pregnancy on the risk of neonatal low birth weight. Clin Endocrinol 2001; 54(3):365-70 11. Anselmo J, Cao D, Karrison T, Weiss RE, Refetoff S. Fetal loss associated with excess thyroid hormone exposure. JAMA 2004; 292:691-5 12. Davis LE, Lucas MJ, Hankins GDV, Roark ML, Cunningham FG. Thyrotoxicosis complicating pregnancy. Am J Obstet Gynecol 1989; 160(1):63-70 13. Kriplani A, Buckshee K, Bhargava VL, Takkar D, Ammini AC. Maternal and perinatal outcome in thyrotoxicosis complicating pregnancy. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol 1994; 54(3):159-63 14. Millar LK, Wing DA, Leung AS, Koonings PP, Montoro MN, Mestman JH. Low birth weight and preeclampsia in pregnancy complicated by hyperthyroidisme. Obstet Gynecol 1994; 84(6):946-9 15. Van Der Spuy ZM and Jacobs HS. Management of endocrine disorders in pregnancy part I thyroid and parathyroid disease. Postgraduate Med J 1984; 60: 245-52 16. Abalovich M, Amino N, Barbour LA, Cobin RH, De Groot LJ, Glinoer D, et al. Management of thyroid dysfunction during pregnancy and postpartum: an endocrine society clinical practice guideline. J Clin Endocrinol Metab 2007; 92: S1–47 17. Mitsuda N, Tamaki H, Amino N, Hosono T, Miyai K, Tanizawa O. Risk factor for developmental disorders in infants born to women with graves disease. Obstet Gynecol 1992; 80:359-64
MEDICINUS 29
Technology
Uji Farmakokinetik Pelet Ibuprofen Untuk Pelepasan Di Kolon Pada Tikus Wistar Normal Heni Rachmawati, Fiana Ramdani, Kusnandar Anggadiredja, Darjono H.Tjahjono Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung Ganesha 10 Bandung ABSTRAK Latar belakang dan Tujuan: Sistem penghantaran obat secara oral merupakan rute pilihan utama dalam proses pengembangan sediaan obat. Pada umumnya sediaan farmasi yang diformulasikan untuk diberikan secara oral terutama untuk tujuan sistemik akan dilepaskan dan/atau diabsorbsi di saluran pencernaan bagian atas, yaitu lambung dan usus halus. Akan tetapi adanya keterbatasan dikarenakan sifat intrinsik dari senyawa obat maupun fisiologi saluran pencernaan bagian atas seringkali menjadi faktor penghalang. Penghantaran obat melalui kolon merupakan alternatif yang saat ini dikembangkan. Di samping tujuan lokal, penghantaran obat melalui kolon juga bisa bermanfaat untuk tujuan pengobatan sistemik terutama untuk senyawa makromolekul dan senyawa lain yang bermasalah jika diabsorpsi di saluran cerna bagian atas. Tujuan penelitian ini adalah menguji profil farmakokinetik sediaan pelet ibuprofen untuk pelepasan di kolon dari formula yang telah dikembangkan sebelumnya. Metode: uji farmakokinetik pelet ibuprofen dilakukan dengan metode silang acak, pada tikus Wistar. Setelah pemberian dosis tunggal 1,8 mg per 200 g/bb secara oral, 0,5 mL plasma diambil dari vena ekor pada waktu 15 menit sebelum pemberian ibuprofen dan 0,25, 0,5, 1, 3, 5, 8, 12, dan 15 jam setelah pemberian. Penentuan kadar ibuprofen dilakukan menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi menggunakan kolom RP-18, fase gerak asetonitril-asam asetat 0,1% (3:2 v/v), laju alir 1,2 mL/menit dengan detektor UV pada panjang gelombang 220 nm. Hasil: Tmaks pelet ibuprofen lebih besar dibandingkan dengan Tmaks ibuprofen suspensi. AUC0-~ antara sediaan pelet dan sediaan suspensi ibuprofen tidak berbeda secara bermakna (p<0,5). Kesimpulan: Ibuprofen yang diformulasikan ke dalam pelet untuk pelepasan di kolon mampu menahan pelepasan di saluran cerna bagian atas, akan tetapi melepaskan ibuprofen dengan baik di kolon dengan derajat absorpsi yang sama. Hasil ini menunjukkan bahwa formula yang kami kembangkan sangat prospektif sebagai alternatif penghantaran ibuprofen.
Backgrounds and purpose: Delivery systems of drugs through oral routes is the main option in the process of developing drug dosage forms. In general, oral administration of drugs, especially for systemic purposes will be released and/or absorbed in the upper part of gastrointestinal tract (GIT), i.e. stomach and small intestine. However, due to the intrinsic limitations of the drug substance and physiology of the digestive tract it is often a prohibitive factor. Colonic drug delivery system is an alternative system, currently developed. In addition to local goals, drug delivery through the colon can also be useful for systemic treatment purposes, especially for macromolecule compounds and other difficult-to-formulate drugs. The aim of this study is to evaluate the pharmacokinetic profile of ibuprofen pellets preparation for release in the colon, from the formula we previously developed. Method: Pharmacokinetic study was done by 2-cross over design methods. In vivo test performed on healthy rats, male, Wistar strain. After giving a single oral dose of ibuprofen (1.8 mg/200 g of body wight), 0.5 mL plasma was taken from the tail vein at 15 minutes before administration and 0.25, 0.5, 1, 3, 5, 8, 12, and 15 hours after administration. Ibuprofen content in plasma was carried out using high performance liquid chromatography using RP-18 column, mobile phase acetonitrile-0.1% acetic acid (3:2 v/v), flow rate 1.2 mL/min with a UV detector at wavelength of 220 nm. Results: Tmax of ibuprofen pellet was higher when compared to conventional preparation (suspension). Whereas the total Cmax and AUC (Area Under Curve) between ibuprofen from pellet and suspension were not significantly different. Conclusion: Ibuprofen pellets for colonic targeting are retained for release in the upper part of GIT while released in the colon with a similar degree of absorption. This result concludes that our developed formula for ibuprofen is prospective as an alternative delivery system for ibuprofen. Keywords: colonic targeting, ibuprofen, pellets, pharmacokinetic, oral absorption
Kata kunci: colonic targeting, pelet, ibuprofen, farmakokinetik, absorpsi oral
PENDAHULUAN Sampai saat ini rute pemberian obat secara oral masih merupakan rute pilihan yang paling nyaman dan paling umum digunakan. Akan tetapi pemberian oral konvensional mempunyai beberapa keterbatasan, terutama pada saluran pencernaan bagian atas seperti rendahnya pH di lambung dan enzimenzim pencernaan yang mempercepat degradasi
30 MEDICINUS
obat tertentu, rendahnya ketersediaan hayati obat karena masalah absorpsi, first pass metabolism yang mengurangi efikasi obat, atau efek samping lokal yang merugikan seperti iritasi lambung dan perangsangan mual dan muntah oleh obat.1 Oleh karena itu pemberian sediaan oral dengan pelapasan obat di kolon merupakan alternatif yang sangat baik. Terdapat beberapa keuntungan pada colonic targeting: bila obat ditujukan untuk penggunaan lokal di ko-
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
lon seperti penyakit infeksi, ulseratif kolitis, Chron’s disease, dan kanker, di mana konsentrasi lokal dapat ditingkatkan sehingga efikasinya menjadi lebih baik sementara efek samping dapat ditekan; meningkatkan efektivitas vaksin di mana kolon kaya akan jaringan lympoid yang berfungsi sebagai penyaji antigen kepada sel mast yang menghasilkan antibodi; meningkatkan absorpsi obat-obat dengan sifat absorpsi yang buruk karena kolon memiliki waktu transit yang lama; tempat penyerapan protein atau senyawa obat yang memiliki masalah dengan sistem pencernaan bagian atas terutama untuk obat yang tidak stabil terhadap fisiologi saluran cerna atas. Ibuprofen adalah antiinflamasi nonsteroid yang memiliki khasiat analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi. Kelarutannya dalam air, koefisien partisi (log P) dan koefisien partisi terhitung (clog P) masing-masing adalah <1 mg/mL; 3,75 dan 3,68. Ibuprofen sangat baik diabsorpsi di sepanjang saluran cerna.2 Pada penelitian ini, ibuprofen dipilih sebagai model obat untuk penghantaran ke kolon dimaksudkan untuk menghindarkan ketidaknyamanan terkait dengan terapi ibuprofen. Pemberian oral ibuprofen secara terus menerus menyebabkan efek samping yang merugikan yaitu menimbulkan tukak lambung. Pemberian yang terus menerus tersebut dilakukan karena waktu paruh ibuprofen cukup pendek yaitu, 2 jam.3,4 Sebagai tempat penghantaran obat, kolon memberikan beberapa keuntungan seperti pH yang mendekati netral, aksivitas enzimatik yang menurun, waktu transit yang panjang dan respon yang baik terhadap zat peningkat absorpsi.5 Walaupun mekanisme transpor pasif sebagai salah satu mekanisme proses absorpsi di kolon tidak sebaik yang terjadi di usus halus, beberapa zat lipofil memberikan nilai absorpsi yang sama baiknya baik ketika diabsorpsi di kolon maupun di usus halus.6 Persyaratan sediaan lepas di kolon adalah sediaan harus tetap utuh dan tidak melepaskan zat aktif ketika berada di saluran pencernaan bagian atas, tetapi melepaskan zat aktif secara maksimal di daerah kolon. Pengembangan sediaan obat yang di targetkan untuk diabsorpsi di kolon dapat dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu pelepasan dikendalikan oleh pH (pH dependent release), pelepasan obat dikendalikan oleh mikroba (microbial dependent release), dan pelepasan dikendalikan oleh waktu (time dependent release). Formula yang kami kembangkan termasuk dalam kelompok pH dependent release. Pada penelitian ini dilaporkan hasil uji farmakokinetik ibuprofen yang diformulasikan ke dalam sediaan pelet. Parameter farmakokinetik dianalisa dengan program Multifit dan pengamatan visual.
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
BAHAN DAN METODE Bahan Ibuprofen (PT. Kimia Farma, Bandung), asetonitril (pro-HPLC), asam asetat glasial (pro-analisa), CMCNa, heparin, air suling ganda, sediaan pelet ibuprofen hasil pengembangan laboratorium teknologi farmasi ITB (Dr. Heni Rachmawati). Semua bahan yang digunakan memenuhi persyaratan mutu farmasi. Alat Spektrofotometer ultraviolet (Beckman DU 650i), pH meter (Hanna), kolom RP-18 (Li-Chrospher®250-4, 10 μm, 4,6 x 150 mm), agitator vortex, kromatografi cair kinerja tinggi (Hitachi D-7000), dan peralatan lain yang umum digunakan di laboratorium analisis kimia. Hewan Uji Tikus jantan, galur Wistar, bobot badan ± 340 gram (BPOM). Hewan diperlakukan menurut persyaratan standar yang diberlakukan untuk hewan percobaan dan diberikan makanan pelet konsentrat dengan porsi ± 7,5 gram per hewan dan air minum matang setiap hari. Penyiapan Sediaan Uji Sediaan uji pelet ibuprofen diperoleh dari penelitian sebelumnya.7 Sediaan pembanding (suspensi ibuprofen), dibuat dengan CMC-Na sebagai pensuspensi (1%). Uji Farmakokinetik Uji farmakokinetik dilakukan baik pada sediaan pelet maupun sediaan suspensi ibuprofen. Uji ini dilakukan pada tikus sehat (empat ekor tikus untuk masing-masing kelompok) secara silang acak (2-crossover design) dengan washing period 7 hari. Uji dilakukan dengan pemberian dosis oral tunggal. Sebelum dilakukan uji farmakokinetik, semua tikus dipuasakan selama 12 jam sebelum pemberian sediaan tetapi masih menerima air minum dengan volume yang terkontrol. Setiap tikus menerima dosis ibuprofen setara dengan 1,8 mg untuk bobot badan 200 gram (setara dengan dosis 100 mg untuk orang dengan bobot badan 70 kg). Metode Pengambilan Sampel Darah Pengambilan sampel darah dilakukan melalui vena marginal menggunakan cara pungtur. Sampel darah ditampung dalam tabung mikrosentrifuga berisi heparin. Penetapan Waktu Pengambilan Sampel Darah Setelah pemberian sediaan secara oral, sampel darah sebanyak 0,5 mL diambil dengan interval waktu sebagai berikut: 15 menit sebelum pemberian, dan 0,25, 0,5, 1, 3, 5, 8, 12, dan 15 jam setelah pemberian sediaan.
MEDICINUS 31
Technology
Penanganan Sampel Darah Sampel darah disentrifuga pada kecepatan 12000 ppm (putaran per menit) selama 5 menit. Plasma yang diperoleh disimpan pada suhu -20oC sampai siap digunakan untuk penentuan kadar ibuprofen. Kadar ibuprofen dalam plasma darah ditentukan dengan kromatografi cair kinerja tinggi menggunakan detektor ultraviolet pada panjang gelombang 220 nm.
cok selama 30 detik. Sebanyak 20 μL disuntikkan ke sistem kromatografi cair kinerja tinggi.
Sistem Kromatografi Cair untuk Penetapan Kadar Ibuprofen dalam Plasma Sistem kromatografi lapis tipis yang digunakan merujuk kepada laporan Utami (2006)8 dengan sedikit modifikasi. Pemisahan ibuprofen dalam plasma dilakukan dengan menggunakan kolom RP-18, 10 μm. Fase gerak terdiri (a) dari asetonitril dan asam asetat 0,1% (3:2 v/v). Kecepatan alir 1,2 mL/menit. Eluat dimonitor dengan detektor UV pada panjang gelombang 220 nm.
Analisis Statistik Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan uji t-student tidak berpasangan. Perbedaan dianggap bermakna jika nilai probabilitasnya (p)<0,05.
Pembuatan Kurva Baku Ibuprofen dalam Plasma Larutan induk ibuprofen 2,5 mg/mL dibuat dalam asetonitril (25 mg ibuprofen dilarutkan dalam 10 mL asetonitril), kemudian dibuat larutan segar dengan konsentrasi 1 μg/mL, 2,5 μg/mL, 5 μg/mL, 10 μg/mL, 25 μg/mL, 100 μg/mL, dan 150 μg/mL. Sebanyak 180 μL plasma blanko dipipet ke dalam tabung mikrosentrifuga dan ditambahkan 20 μL larutan ibuprofen kemudian dikocok selama 5 detik. Selanjutnya sebanyak 600 μL asetonitril ditambahkan ke dalam tabung mikrosentrifuga dan dikocok selama 1 menit, kemudian disentrifuga selama 3 menit de-ngan kecepatan 13000 ppm. Supernatan diambil dan dikeringkan. Residu dilarutkan kembali dengan 200 μL fasa gerak dan dikocok selama 30 detik. Sebanyak 20 μL disuntikkan ke sistem kromatografi cair kinerja tinggi. Penetapan Kadar Ibuprofen dalam Plasma Sebanyak 200 μL sampel plasma dipipet ke dalam tabung mikrosentrifuga. Selanjutnya sebanyak 600 μL asetonitril ditambahkan ke dalam tabung mikrosentrifuga dan dikocok selama 1 menit, kemudian disentrifuga selama 3 menit dengan kecepatan 13000 ppm. Supernatan diambil dan dikeringkan. Residu dilarutkan kembali dengan 200 μL fase gerak dan diko-
32 MEDICINUS
Penetapan Profil Farmakokinetik Sediaan Ibuprofen Pengolahan data konsentrasi ibuprofen dalam darah sebagai fungsi waktu dilakukan dengan menggunakan program komputer Multifit (University of Groningen) dan pengamatan visual.
b)
(c)
Gambar 1. Kromatogram KCKT (a) Blangko plasma tikus (b) Ibuprofen dalam fase gerak (c) Ibuprofen dalam plasma tikus
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
Technology
Gambar 2. Kurva Baku Ibuprofen dalam Plasma
Kurva baku ibuprofen dalam plasma dengan persamaan y = 33452x + 2163, r=0,999 memberikan linearitas yang baik sehingga dapat digunakan dalam penentuan kadar ibuprofen dalam plasma.
Tabel 1. Kadar rata-rata Ibuprofen dalam plasma tikus Waktu (Jam)
Dari gambar 3 terlihat bahwa terdapat 2 puncak pada sediaan pelet ibuprofen. Puncak pertama menunjukkan absorpsi ibuprofen pada daerah atas saluran cerna kemungkinan disebabkan oleh pecahnya pelet pada saat pemberian karena kendala teknis terkait dengan penggunaan hewan. Puncak ini berpengaruh pada tidak bisa dihitungnya data profil farmakokinetik sediaan pelet menggunakan pemodelan program Multifit karena puncak yang diharapkan pada jam ke-5 tidak terpisah dari puncak awal tersebut, sedangkan dosis yang diberikan merupakan dosis tunggal. Oleh karena itu, data parameter farmakokinetik sediaan pelet yang dibandingkan merupakan data pengamatan (observasi). Sedangkan data profil farmakokinetik sediaan suspensi ibuprofen diolah menggunakan program Multifit. Tabel 2. Parameter farmakokinetik dan analisis statistik Ibuprofen dari sediaan pelet dan suspensi setelah pemberian oral
Kadar Rata-rata dalam Plasma (μg/mL) Suspensi
Pelet
0
0
0
0,25
10 ± 5,39
0,5
Parameter
Analisis
Kelompok Suspensi
Pelet
Statistik
Tmaks (jam)
0,776 ± 0.349
5
p < 0. 0001
2,18 ± 0,21
Cmaks (μg/mL)
10,857 ± 2,61
6.457 ± 3,383
p = 0.1219
10,13 ± 4,37
3,13 ± 0,43
AUC0-8 (jam.μg/mL)
36,457 ± 9.415 34,248 ± 6,863 p = 0.7298
1
8,56 ± 2,83
4,15 ± 0,47
3
5,41 ± 2,35
3,54 ± 0,59
5
2,82 ± 0,39
6,46 ± 3,38
8
1,06 ± 0,14
2,75 ± 0,23
12
0,13 ± 0,04
0,84 ± 0,06
Gambar 3. Profil kadar Ibuprofen dalam plasma terhadap waktu setelah pemberian secara oral
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
Tabel 2 menunjukkan sebagian parameter farmakokinetik untuk sediaan pelet ibuprofen dan sediaan suspensi. Terlihat bahwa ibuprofen yang diformulasikan ke bentuk pelet memiliki Tmaks yang lebih besar, Cmaks yang lebih kecil, dan AUC0-8 yang relatif sama dibandingkan sediaan suspensi ibuprofen. Meningkatnya Tmaks jelas menandakan adanya kelambatan absorpsi atau penahanan pelepasan ibuprofen dari sediaan pelet di saluran cerna bagian atas. Cmaks pada puncak kedua lebih kecil disebabkan karena terjadi pelepasan dini (puncak 1) dari ibuprofen di saluran cerna atas yang sesungguhnya tidak diharapkan. Jika Cmaks puncak 1 ditambahkan dengan Cmaks puncak 2, maka hasilnya sama dengan Cmaks ibuprofen dari sediaan suspensi. Sedangkan nilai AUC yang menyatakan nilai ketersediaan hayati ibuprofen dari sediaan pelet tidak menunjukkan perbedaan bermakna dibandingkan dengan ibuprofen suspensi. Data Cmaks total dan AUC ibuprofen pelet yang tidak berbeda bermakna dari ibuprofen suspensi menjelaskan bahwa derajat absorpsi ibuprofen di daerah kolon sama dengan derajat absorpsi di daerah atas saluran cerna. Perbedaan
MEDICINUS 33
parameter farmakokinetik keduanya hanya pada Tmaks yang menjelaskan perbedaan waktu pelepasan ibuprofen di sepanjang saluran cerna. Ibuprofen merupakan obat golongan NSAID yang sukar larut dalam air atau dengan kata lain lebih bersifat lipofil. Mekanisme transpor pasif di kolon memang tidak sebaik di usus halus. Tetapi untuk obat-obat yang bersifat lipofil absorpsi di kolon bisa sebaik absorpsi di usus halus. Hal ini menunjukkan bahwa ibuprofen dapat diserap sama baiknya di seluruh bagian saluran cerna, tergantung di bagian mana ibuprofen tersebut ingin dilepaskan. Sediaan pelet ibuprofen (gambar 4) yang digunakan dalam penelitian ini adalah sediaan yang telah dikembangkan pada penelitian sebelumnya (Pratiwi, 2009)7 dengan formula:
Ibuprofen Avicel pH 101 Gaurgum Ca Asetat Na Alginat PVP
33,33 % 43,33 % 17,41 % 0,97 % 0,97 % 4%
formula di atas dapat menahan pelepasan ibuprofen dalam medium HCl pH 1,2 (simulasi lambung tanpa enzim) selama 2 jam dan memiliki pelepasan yang cukup tinggi pada dapar fosfat pH 5,0 (simulasi cairan kolon tanpa mikroba).7 Data pelepasan ibuprofen in vivo pada penelitian ini selaras dengan data pelepasan in vitro.
Kesimpulan
Sediaan pelet ibuprofen yang dikembangkan dengan kombinasi avicel pH 101, guargum, Ca-asetat dan Na-alginat sebagai pembawa mampu menahan pelepasan ibuprofen di saluran cerna bagian atas dan melepasnya di saluran cerna bagian bawah (kolon) dengan nilai ketersediaan hayati yang tidak berbeda secara bermakna (p>0.05) dengan sediaan suspense konvensional.
Saran
Perlu dikembangkan lebih lanjut cara yang lebih optimal pemberian sediaan pelet terhadap hewan percobaan (tikus) untuk mengurangi kemungkinan rusaknya sediaan sebelum sampai pada tempat tujuan pelepasan.
DAFTAR PUSTAKA 1. Shargel L, Wu-Pong S and Yu ABC. Applied Biophar2. 3. 4. 5.
6. 7. 8.
Gambar 4. Fotograf makroskopik (a) dan fotograf dari scanning electrone microscope (SEM, b) pelet Ibuprofen
Secara in vitro, sediaan pelet ibuprofen dengan
34 MEDICINUS
9.
maceuticals and Pharmacokinetics. 5th., New York:The McGraw-Hill Co. Inc.; 2005 Gohel MC, Nagori SA. A novel colonic drug delivery system of Ibuprofen. Asian Journal of Pharmaceutics 2009:233-9 American Hospital Formulary Services (AHFS). Drug information. Vol 2, Bethesda, Maryland:American Society of Health-System Pharmacists Inc.; 2002.p.1970-4 Goodman LS, Alfred G. Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics, 11th ed., New York:The McGraw-Hill Co. Inc.; 2006.p.637-9 Tuleu C, Andrieux C, Boy P and Chaumeil JC. Gastrointestinal transit of pellets in rats: effect of size and density. International Journal of Pharmaceutics 1999; 180(1):123:31 Yuasa H. Drug absorption from the colon in situ. In: Drug Absorption Studies, Vol VII, US:Springer; 2008.p.77-88 Pratiwi CR. Pengembangan formulasi pelet ibuprofen lepas di kolon. Tugas Akhir Sarjana, Program Studi Sains dan Teknologi Farmasi, Sekolah Farmasi, ITB, Bandung; 2009 Utami SJ. Penentuan kadar ibuprofen dalam sediaan farmasi dan dalam plasma manusia secara kromatografi cair kinerja tinggi. Tugas Akhir Sarjana, Program Studi Sains dan Teknologi Farmasi, Sekolah Farmasi, ITB, Bandung; 2006 Aiache JM, Devissaguet JPH, Guyot-Hermann AM. Farmasetika 2. Biofarmasi, ed.2, terjemahan Widji Soeratri dan Nanizar Zaman-Joenoes, Airlangga University Press, Surabaya; 1993
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
Tekhnologi
Formulasi Lipstik Menggunakan Liposom Magnesium Askorbil Fosfat Yang Dibuat Dengan Metode Reverse Phase Evaporation Joshita Djajadisastra, Sutriyo, Yang Disa Karina Universitas Indonesia,Depok ABSTRAK Kerusakan jaringan termasuk bibir dapat disebabkan oleh radikal bebas yang berasal dari polusi udara, merokok, atau mengkonsumsi makanan yang sudah tengik, dapat dicegah dengan radical scavenger, yaitu antioksidan yang dapat meredam atau menghentikan reaksi radikal pada jaringan. Magnesium Askorbil Fosfat (MAF), suatu antioksidan yang stabil, bersifat sebagai pelembab dan merangsang pembentukan kolagen, direncanakan diformulasikan ke dalam lipstik untuk mengatasi masalah di atas, namun karena sifatnya yang hidrofilik, MAF dienkapsulasi terlebih dahulu menjadi liposom dengan Metode Reverse Phase Evaporation, yang kemudian diformulasikan kedalam lipstik. Pembentukan liposom MAF juga dimaksudkan untuk mempermudah MAF mencapai lapisan dermis. Liposom dibuat dalam tiga formula menggunakan lesitin dan kolesterol dengan perbandingan 10 : 1 (formula I), 10 : 2 (formula II), dan 10 : 3 (formula III) menghasilkan efisiensi penjerapan MAF sebesar 62,00%, 67,26%, dan 73,44%. Formula III yang menghasilkan efisiensi jerapan terbesar diukur ukuran partikelnya dengan menggunakan particle size analyzer, dan diperoleh ukuran partikel rata-rata sebesar 0,496 µm. Formulasi lipstik dibuat menjadi lima formula yang pengembangannya berdasarkan hasil evaluasi. Lipstik terbaik didapatkan yang memenuhi kriteria penampilan fisik, tekstur polesan, homogenitas warna, kekerasan, dan titik lebur. Kata kunci: liposom, lipstik, magnesium askorbil fosfat, reverse phase evaporation
PENDAHULUAN Kosmetik adalah sediaan atau paduan bahan yang siap untuk digunakan pada bagian luar badan untuk membersihkan, menambah daya tarik, mengubah penampakan, melindungi supaya tetap dalam keadaan baik atau memperbaiki bau badan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit.1 Kosmetik menurut kegunaannya ada 2 yaitu kosmetik perawatan kulit dan kosmetik rias. Kosmetik rias terdiri dari bermacammacam jenis seperti lipstik, pemerah pipi, mascara, foundation, bedak, eye shadow, eye liner, cat kuku dan lain-lain.2 Lipstik digunakan oleh hampir seluruh wanita di lingkungan masyarakat modern karena lipstik telah dikenal dan diterima oleh masyarakat sebagai kosmetik rias wajah yang sering digunakan dan mempunyai arti yang sangat penting untuk memberi efek
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
Tissue damage (including lips) caused by free radicals from air pollution, smoking, or consuming rancid food can be anticipated by radical scavenger, an antioxidant which can reliefs or stops the radical reaction on tissue. Magnesium Ascorbyl Phosphate (MAP), a stable hydrophilic antioxidant having properties as moisturizer and collagen production stimulants, was proposed to be formulated into lipstick, in order to overcome the problems. Because of its hydrophilic property, MAP was encapsulated first into liposome in order to be able to reach the dermis layer. Reverse Phase Evaporation method was used to establish MAP liposome, made into three formulas using lecithin and cholesterol with the ratio of 10: 1 (formula I), 10: 2 (formula II), and 10: 3 (formula III). The percentage of MAP entrapped was 62.00%, 67.26%, and 73.44% respectively. Formula III, which is the highest MAP entrapped having particle size of 0,496 μm, was included into lipstick formulation resulting five formulas based on each evaluation. The most excellent lipstick was obtained from the formula V with the most excellent physical appearance, color, polish texture, homogeneity color dispersion, rigidness of 152 1/10 mm, and melting point of 37,5˚C.
Keywords : ascorbyl magnesium phosphate, liposome, lipstick, reverse phase evaporation
penyegar kepada wajah.3 Karena perkembangan zaman, lipstik telah meningkat fungsinya yaitu untuk rias sekaligus perawatan. Bibir adalah bagian yang mudah kering dan terkelupas karena tidak ada sebum, yang proses pengeluarannya diperantarai oleh kelenjar keringat dan folikel rambut yang tidak dimiliki oleh bibir.4 Oleh karena itu, diperlukan pelembab yang mengandung antioksidan pada bibir untuk melindungi bibir dari sinar UV, polusi, radikal bebas yang merusak kulit, dan pengaruh lainnya. Antioksidan yang sering digunakan dalam kosmetik adalah vitamin E dan vitamin C di mana kombinasi kedua vitamin tersebut akan bekerja sinergis sebagai antioksidan.5 Vitamin E merupakan vitamin yang larut dalam minyak yang selain sebagai antioksidan berfungsi memelihara stabilitas jaringan ikat di dalam sel, UV-protection, antiinflamasi, pelembab, dan microcirculator. Vitamin C atau asam askorbat merupakan salah satu
MEDICINUS 35
Technology
jenis vitamin yang larut dalam air yang selain sebagai antioksidan berfungsi sebagai pelembab dan menghambat pembentukan melanin. Penggunaan vitamin C telah dikenal di masyarakat luas, baik penggunaan secara oral maupun topikal. Penggunaan secara topikal umumnya memiliki sifat antioksidan dan berguna untuk pembentukan kolagen. Setelah diteliti lebih lanjut pada penggunaan topikal, vitamin C dapat diserap 20x lebih banyak dibandingkan dengan penggunaan oral.2 Aplikasi penggunaan vitamin C secara topikal belakangan ini telah berkembang pesat di dalam industri kosmetik. Penggunaan vitamin C di dalam lipstik telah banyak beredar di pasaran tetapi vitamin C mudah teroksidasi dan tidak stabil. Oleh karena itu, vitamin C yang digunakan adalah bentuk garamnya yaitu magnesium askorbil fosfat (MAF). MAF dibentuk menjadi liposom yaitu struktur sferik tertutup yang terdiri dari lipid lapis ganda dimana lipid lapis ganda tersebut dapat menutup cairan didalamnya sehingga untuk penggunaan topikal yang akan di aplikasikan ke dalam lipstik akan menjadi lebih mudah mencapai lapisan dermis.
BAHAN DAN METODE Bahan Lesitin (Lipoid), kolesterol (Research Organic), magnesium askorbil fosfat (Spec-Chem Ind), dlα-tokoferil asetat (DSM), dietil eter (Mallinckrodt), malam kandelila (Kahl), malam mikrohablur (Kahl), malam putih (Kahl), kalium dihidrogen fosfat (Merck), natrium hidroksida (Mallinckrodt), lemak bulu domba (diperoleh dari Brataco), minyak jarak (diperoleh dari Brataco), isopropil miristat (diperoleh dari Brataco), propil paraben (diperoleh dari Brataco), titanium dioksida, D & C Red Ca Lake No.7, aquadest bebas CO2, dan gas nitrogen. Alat Alat yang digunakan adalah spektrofotometer UVVis (Jasco V-530), rotary evaporator (Janken-Kunkel IKA labortechnik), ultrasonikator (Branson 3200), vortex (Health HVM-300), pH meter (Eutech), mesin dialisis dengan rotor pemutar, membrane selofan 24 (Blanka Zavaracie Privezy), mikroskop optik (Labpht-2 Nikon AFX-DX), particle size analyzer (PSA LS coulter 100 Q), membran Whatman dengan ukuran pori-pori 0,45 µm, penetrometer (Koehler), melting point apparatus (Stuart Scientific), kamera digital (Kamera Olympus FE-370), labu bulat, alat-alat gelas, cawan penguap, timbangan analitik, termometer, dan penangas air.
36 MEDICINUS
METODE Pembuatan liposom dengan metode reverse phase evaporation.6 Dibuat empat formula liposom dengan menggunakan lesitin dan kolesterol sesuai formula pada Tabel 1. Lesitin dan kolesterol dilarutkan dalam 15 ml dietil eter lalu dimasukkan ke dalam labu bulat dan ditambahkan 5,0 ml larutan magnesium askorbil fosfat (MAF) 5000 µg/ml dalam dapar fosfat pH 7. Larutan di dalam labu tersebut dialiri dengan gas nitrogen. Larutan lipid dan larutan MAF disonikasi selama 20 menit. Labu ditempatkan dalam rotary evaporator selama 1 jam dengan suhu 40-50˚C dan kecepatan putar 50 rpm hingga pelarut organik menguap. Labu bulat dilepaskan dari rotary evaporator lalu dialiri gas nitrogen dan diaduk dengan menggunakan vortex selama 5 menit. Penentuan efisiensi penjerapan askorbil fosfat dalam liposom
magnesium
Efisiensi penjerapan magnesium askorbil fosfat (MAF) diperoleh dengan menggunakan alat dialisis. Alat dialisis terdiri dari delapan sel yang tiap sel diisi dengan 0,5 ml dapar fosfat pada kompartemen dapar dan 0,5 ml liposom MAF yang masih bercampur dengan MAF yang tidak terjerap pada kompartemen liposom. Pada jam ke-1 di sel pertama, 0,3 ml larutan diambil dari kompartemen dapar yang kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 25,0 ml dan ditambahkan dapar fosfat pH 7,0. Pengambilan larutan dilanjutkan pada sel kedua pada jam ke-2, sel ketiga jam ke-3, dan seterusnya. Lalu dilakukan pengukuran serapan pada panjang gelombang maksimum. Larutan induk MAF 5000 ppm diambil dan dicukupkan volumenya dengan dapar fosfat pH 7,0 pada labu ukur 25,0 ml sehingga diperoleh konsentrasi larutan induk. Serapan MAF yang terjerap dapat dihitung dengan cara mengurangi serapan larutan induk dengan dua kali serapan MAF yang tidak terjerap. Hasil serapan MAF yang terjerap dimasukkan ke dalam kurva kalibrasi sehingga didapatkan konsentrasi MAF yang terjerap. Kemudian efisiensi penjerapan MAF dihitung dengan rumus :
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
Technology Tekhnologi
Penetapan Distribusi Ukuran Partikel
Pembuatan lipstick7 Bahan-bahan fase lilin seperti malam kandelila, malam putih, dan malam mikrohablur dilebur menjadi satu pada suhu 80˚C di atas penangas air. Bahan-bahan fase minyak seperti isopropil miristat, minyak jarak, dan dl-α-tokoferil asetat dicampur menjadi satu hingga homogen diatas penangas air dengan suhu 70˚C. Zat tambahan seperti propil paraben, D & C Red Ca Lake No.7, dan TiO2 dilarutkan dengan sebagian fase minyak. Campuran zat tambahan tersebut disatukan ke dalam campuran fase lilin yang suhunya telah diturunkan
Distribusi ukuran partikel ditetapkan dengan particle size analyzer. Dapar fosfat pH 7,0 dimasukkan ke dalam fluid tank sebagai baseline. Setelah itu, sampel dimasukkan ke dalam fluid tank tetes demi tetes hingga distribusi ukuran partikel dapat diukur. Distribusi ukuran partikel yang diukur adalah formula liposom MAF yang memiliki jerapan paling besar. Pengukuran dilakukan baik untuk liposom sebelum diekstruksi dan sesudah ekstruksi. Tabel 1 Rancangan pembuatan liposom
Formula
Berat (mg) Lesitin Kolesterol
Volume(ml) Dietil eter MAF dalam
dapar fosfat pH 7,0 (5000 ppm)
I
200,0
20,0
15,0
5,0
II
200,0
40,0
15,0
5,0
III
200,0
60,0
15,0
5,0
IV
200,0
80,0
15,0
5,0
Tabel 2. Pembuatan lipstik yang mengandung liposom MAF
Bahan
Formula (%) I
II
III
IV
V
Liposom MAF
1,00
0,50
0,50
0,50
0,50
dl-α-tokoferil asetat
2,00
2,00
2,00
2,00
2,00
Malam
10,0
10,0
10,0
10,0
8,0
kandelila
0
0
0
0
0
Malam putih
8,00
8,00
8,00
8,00
8,00
Malam mikrohablur
3,00
3,00
3,00
3,00
3,00
Lemak
10,0
10,0
15,0
20,0
20,0
bulu domba
0
0
0
0
0
Isopropyl miristat
5,00
5,00
5,00
5,00
7,00
Minyak
58,9
59,4
55,4
50,1
50,8
jarak
0
0
5
5
5
Propil paraben
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
D & C Red Ca
1,00
1,00
1,00
1,00
2,00
1,00
1,00
0,25
0,25
0,26
Lake No.7 TiO2
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
MEDICINUS 37
Technology
menjadi 70˚C. Liposom MAF yang sudah dicampur dengan komponen fase lemak yaitu lemak bulu domba pada suhu 50˚C kemudian ditambahkan pada campuran fase lilin-zat tambahan yang suhunya telah diturunkan menjadi 50˚C. Massa lipstik dicetak dengan cetakan lipstik yang telah dihangatkan pada suhu 50˚C. EVALUASI SEDIAAN LIPSTIK Penampilan fisik Pemeriksaan dilakukan dengan mengamati permukaan lipstik dari timbulnya keringat dan kristal. Tekstur polesan Lipstik dioleskan pada kulit, kemudian diamati tekstur polesannya. Homogenitas polesan Lipstik dioleskan pada permukaan licin seperti punggung tangan atau bibir, lalu homogenitasi warna dan intensitas warna diamati. Kekerasan lipstik Pengujian dilakukan dengan menggunakan alat penetrometer dimana lipstik dikeluarkan dari wadahnya, kemudian diletakkan dengan posisi horizontal dengan jarum penetrometer. Tempatkan jarum penetrometer pada bagian tengah dari permukaan lipstik. Tekan tombol ON pada alat pengukur digital yang dihubungkan dengan penetrometer dan jarum penetrometer dibiarkan menembus permukaan lipstik sampai alat pengukur digital berhenti sendiri secara otomatis, ukur kekerasan lipstik dengan satuan 1/10 mm . Suhu lebur lipstik Pengujian dilakukan menggunakan alat melting point apparatus. Pipa kapiler ditusukkan ke dalam lipstik hingga kedalaman 10 mm. Kemudian pipa kapiler tersebut diletakkan dalam alat melting point apparatus dengan posisi yang sesuai. Suhu pada saat lipstik mulai meleleh adalah suhu lebur lipstik.
HASIL DAN DISKUSI Pada penelitian ini dibuat empat formula liposome MAF, dimana untuk tiap formula digunakan perbandingan lesitin dan kolesterol 10:1, 10:2, 10:3, dan 10:4. Keempat formula ini dibuat dengan menggunakan metode reverse phase evaporation. Metode reverse phase evaporation ini baik karena menjerap zat yang larut air lebih banyak. Prinsip dari metode ini adalah penghilangan pelarut organik dari emulsi larutan lipid dengan zat aktif dalam fase air. Sonikasi
38 MEDICINUS
pada tahap pembuatan liposom bertujuan untuk memutus lapis ganda yang terbentuk apabila larutan lipid didispersikan ke dalam fase air. Pelarut organik yang digunakan adalah dietil eter yang memiliki suhu lebur sekitar 35˚C. Penghilangan pelarut organik dilakukan dengan mengunakan rotary evaporator. Pertama dilakukan orientasi terlebih dahulu terhadap waktu, temperatur, dan kecepatan yang akan digunakan. Dari hasil orientasi yang didapatkan, untuk menghilangkan pelarut organik dari emulsi minyak-air yang sudah terbentuk adalah 1 jam, suhu sekitar 40-50˚C, dan kecepatan pemutaran rotary evaporator sebesar 50 rpm. Setelah pelarut organik menguap, emulsi minyak-air yang sebelumnya masih mengandung pelarut organik, berubah menjadi larutan yang agak kental seperti gel. Penghilangan pelarut organik dengan menggunakan rotary evaporator tidak dapat menghilangkan semua dietil eter yang terkandung didalamnya sehingga liposom yang sudah terbentuk diuapkan terlebih dahulu dalam desikator dimana silika gel yang ada diaktifkan terlebih dahulu. Proses dilakukan selama 2-3 jam. Setelah bau dietil eter hilang, liposom diaduk dengan vortex yang bertujuan mengubah bentuk gel menjadi dispersi liposom yang ditandai dengan terbentuk warna putih kekuningan. Pada liposom formula I, II, dan III terbentuk dispersi liposom sedangkan pada liposom formula IV tidak terbentuk dispersi liposom karena fungsi dari kolesterol telah mencapai keadaan optimal. Dialisis dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan magnesium askorbil fosfat (MAF) yang tidak terjerap di dalam liposom. Pemisahan dilakukan dengan cara perpindahan MAF yang tidak terjerap dari kompartemen liposom menuju kompartemen dapar dengan melewati membran selofan semi permeabel yang berukuran 24 Å. MAF yang terjerap di dalam liposom dapat ditetapkan bila sudah terjadi kesetimbangan antara kompartemen liposom dengan kompartemen dapar, Hal ini ditandai dengan hasil serapan yang berdekatan. Perhitungan jerapan MAF dalam liposom dilakukan pada formula I, II, dan III. Dari hasil orientasi diperoleh bahwa, setiap formula memiliki waktu kesetimbangan yang berbeda dimana untuk formula I kesetimbangan terjadi pada jam ke 4, sedangkan untuk formula II dan III kesetimbangan terjadi pada jam ke 5. Dari kesetimbangan yang terjadi dapat diketahui serapan MAF yang tidak terjerap dan kemudian dimasukkan ke dalam rumus (Aterjerap=At – 2Atidak terjerap). Serapan MAF yang terjerap dimasukan ke dalam kurva kalibrasi untuk mendapatkan konsentrasi MAF yang terjerap (Cter). Efisiensi penjerapan rata-rata yang diperoleh jerap adalah sebesar 62,00 %, 67,26 %, dan 73,44 %, ma-
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
Technology
sing-masing untuk formula I, II, dan III. Dari hasil dialisis ketiga formula ini diambil kesimpulan bahwa, semakin meningkatnya kolesterol yang digunakan akan semakin meningkat pula efisiensi penjerapan obat. Hal ini dikarenakan kolesterol berfungsi sebagai penstabil liposom yang menurunkan permeabilitas sehingga mencegah kebocoran obat.8 Penetapan distribusi ukuran partikel dilakukan pada liposom formula III yang memiliki jerapan terbesar. Pada umumnya, pembuatan liposom dengan cara reverse phase evaporation menghasilkan liposom dengan tipe Giant Unilamellar Vesicles (GUV).9 Tetapi dari hasil penetapan ukuran partikel dengan particle size analyzer (PSA) didapat bahwa ukuran partikel liposom yang dihasilkan berada dalam rentang ukuran Large Unilamellar Vesicle (LUV) yaitu 0,1 – 1 µm sebanyak 83,16% dan dengan ukuran partikel terbanyak sebesar 0,496 µm. Proses ekstruksi dapat memperkecil ukuran partikel. Hal ini ditandai dengan ukuran partikel terbesar untuk liposom yang belum diekstruksi adalah 22,73 µm, sedangkan dari pengukuran liposom yang telah diekstruksi diperoleh ukuran partikel 12,99 µm untuk partikel liposom yang terbesar. Masih adanya ukuran partikel diatas 0,45 µm dapat disebabkan proses ekstruksi tidak sempurna yang terjadi karena kebocoran membran dan keluarnya cairan yang akan diekstruksi dari syringe begitu pula halnya dengan liposom yang teragregasi dapat lolos ketika diseragamkan ukurannya karena pada saat melewati membran Whatman, liposom tersebut berada pada posisi vertikal sehingga tetap dapat terukur ketika ditetapkan distribusi partikelnya. Pada pembuatan formulasi lipstik mengikuti basis creamy type digunakan liposom formula III karena memiliki efisiensi jerapan magnesium askorbil fosfat (MAF) terbesar. Pada proses pembuatan lipstik, fase lilin, fase minyak, dan fase lemak dilelehkan secara terpisah. Fase lilin dilelehkan dengan suhu 80˚C karena bahan-bahan yang digunakan memiliki titik lebur yang tinggi. Pencampuran fase lilin ke dalam fase minyak dilakukan pada suhu 70˚C. Liposom MAF dimasukkan ke dalam fase lemak pada suhu 50˚C. Liposom MAF dicampur dengan leburan lemak bulu domba dengan maksud agar air yang terdapat di dalam liposom diikat oleh lemak bulu domba. Suhu 50˚C yang digunakan pada saat pencampuran liposom MAF dimaksudkan untuk mencegah kerusakan liposom MAF. Oleh karena itu, fase lemak-liposom MAF dimasukkan ke dalam basis lipstik pada suhu lebih kurang 50˚C dan dicetak pada suhu tersebut. Pengembangan formula lipstik dilakukan berdasar-
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
kan hasil evaluasi tiap formula. Pada formula I digunakan konsentrasi liposom MAF sebesar 1% dan lemak bulu domba sebesar 10%. Formula tersebut dibuat dengan pertimbangan bahwa lemak bulu domba dapat mengikat air yang terdapat di dalam liposom MAF. Hasil yang didapat berupa lipstik yang permukaannya berkeringat dan ketika dipotong melintang ditemukan air, karena konsentrasi lemak bulu domba yang digunakan tidak dapat mengikat air yang ada di dalam liposom tersebut sehingga evaluasi formula I terbatas pada penampilan fisik saja. Oleh karena itu, pada pengembangan formulasi selanjutnya dilakukan pengurangan konsentrasi liposom MAF menjadi 0,5% dengan konsentrasi lemak bulu domba yang tetap. Formula II merupakan hasil pengembangan dari formula I di mana konsentrasi liposom MAF dikurangi agar air yang terdapat dalam liposom tersebut dapat diikat oleh lemak bulu domba. Lipstik yang dihasilkan tidak berkeringat dan tidak terbentuk kristal, tekstur polesan kurang halus, homogenitas warna merata dan intensitas warna terlalu rendah. Hasil evaluasi kekerasan lipstik formula II yang diperoleh sebesar 378 1/10 mm sehingga lipstik sulit dikeluarkan dari cetakan dan diaplikasikan. Lipstik formula II memiliki titik lebur lebih kurang 50˚C. Formula III merupakan modifikasi formula II dengan peningkatan konsentrasi lemak bulu domba menjadi 15% agar menghasilkan lipstik dengan tekstur polesan yang cukup halus. Pengurangan pemakaian titanium dioksida dari 1% menjadi 0,25% bertujuan agar warna yang dihasilkan tidak terlalu lemah. Hasil evaluasi secara penampilan fisik menunjukkan lipstik tidak berkeringat ataupun terbentuk kristal. Lipstik memiliki tekstur polesan yang halus, homogenitas warna yang merata dan intensitas warna rendah sehingga ketika diaplikasikan warna tidak keluar. Evaluasi kekerasan lipstik formula III diperoleh nilai sebesar 245 1/10 mm yang menyebabkan lipstik agak sulit dikeluarkan dari cetakan dan diaplikasikan. Lipstik formula III memiliki titik lebur lebih kurang 47˚C. Pada formula IV dilakukan peningkatan konsentrasi lemak bulu domba untuk mendapatkan kenyamanan yang lebih pada saat diaplikasikan. Hasil evaluasi formula IV secara penampilan fisik menunjukkan lipstik tidak berkeringat dan tidak terbentuk kristal. Lipstik memiliki tekstur polesan yang halus, homogenitas warna yang merata dan intensitas warna yang rendah sehingga pada saat diaplikasikan warna belum terlalu keluar. Evaluasi kekerasan lipstik formula IV diperoleh nilai sebesar 181 1/10 mm, hal ini menyebabkan lipstik mudah dikeluarkan dari cetakan tetapi pemakaian pada bibir masih memberi rasa tidak nyaman. Lip-
MEDICINUS 39
stik memiliki titik lebur lebih kurang 44˚C. Pada formula V, komposisi lipstik yang ditingkatkan adalah konsentrasi D & C Red Ca Lake No.7 dan isopropil miristat. Peningkatan konsentrasi D & C Red Ca Lake No.7 dilakukan agar intensitas warna yang dikeluarkan lebih tinggi sedangkan peningkatan konsentrasi isopropil miristat dilakukan untuk meningkatkan kenyamanan pada saat lipstik diaplikasikan. Pada formula V, konsentrasi malam kandelila diturunkan karena pada formula IV titik lebur yang diperoleh relatif tinggi. Titik lebur yang tinggi menyebabkan lipstik sulit diaplikasikan karena suhu tubuh manusia lebih kurang 37˚C. Hasil evaluasi formula V secara penampilan fisik menunjukkan lipstik tidak berkeringat dan tidak terbentuk kristal. Lipstik memiliki tekstur polesan yang halus, homogenitas warna yang merata dan intensitas warna yang tinggi. Lipstik formulasi V memiliki kekerasan sebesar 152 1/10 mm yang menyebabkan lipstik formula tersebut mudah diaplikasikan dan dikeluarkan dari cetakan. Lipstik formula V memiliki bobot sebesar 3,7 gram dan titik lebur lebih kurang 37,5˚C. Titik lebur tersebut menyebabkan lipstik tepat meleleh ketika bersentuhan dengan bibir sehingga dapat terdispersi lebih merata pada permukaan bibir. Dari beberapa formula lipstik tersebut dapat disimpulkan bahwa formula V merupakan lipstik yang memiliki kriteria terbaik karena kekerasan yang didapatkan memasuki rentang kekerasan lipstik yang ideal yaitu 80-240 1/10 mm.10 Oleh karena itu, formula V dibuat sebanyak tiga batch untuk melihat apakah ada perbedaan diantara ketiga batch tersebut. Ketiga batch tersebut masing-masing dievaluasi sebanyak tiga buah lipstik dan dari hasil evaluasi diperoleh tidak terdapat perbedaan bermakna baik dalam hal kekerasan dan titik lebur. Liposom MAF yang digunakan dalam satu lipstik hanya sebesar 0,5% sehingga kadar MAF yang terdapat dalam satu lipstik sebesar 1,4%. Kadar tersebut berada dalam rentang kadar yang seharusnya ada yaitu antara 0,23%.11
KESIMPULAN
fat terbesar didapatkan dari liposom formula III dengan efisiensi penjerapan sebesar 73,44%. Formula lipstik terbaik adalah formula V yang mengandung liposom magnesium askorbil fosfat sebesar 0,5% dengan komposisi dl-α-tokoferil asetat 2%, malam kandelila 8%, malam putih 8%, malam mikroha-blur 3%, lemak bulu domba 20%, isopropil miristat 7%, minyak jarak 50,85%, propil paraben 0,1%, D & C Red Ca lake No.7 2%, dan titanium dioksida 0,25%. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa lipstik tidak berkeringat dan tidak terbentuk kristal, memiliki tekstur polesan yang halus, homogenitas warna yang merata dan intensitas warna yang tinggi, kekerasan sebesar 152 1/10 mm, dan titik lebur lebih kurang 37,5˚C.
DAFTAR PUSTAKA 1. Rata IGAK dan Sjarif M. Wasitaatmadja. Cosmeceuticals. Panitia Semiloka Cosmeceuticals, Jakarta; 2001 2. Tranggono, Retno I. S. dan Fatma Latifah. Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama; 2007 3. Lauffer GIP, Cosmetics science and technology vol 1-3. 2nd ed. New York:Willey Interscience; 1985 4. Anonim. Lips. http://www.pgbeautyscience.com/ spesial-skinstructure.html, 30 Desember 2008. N Wilson dan Shah NP. Microencapsulation of Vitamins. ASEAN Food Journal 2007; 14(1):1-14 6. Szoka, Jr.F dan D. Papahadjopoulos. Procedure for preparation of liposome with large internal aqueous space and high capture by reverse phase evaporation. Proc. Natl. Acad. 1976; 75(9) 7. Anonim. Lipstick. http://www.madehow. com?Volume-1/Lipstick.html 8. F Tadros, Tharwat. Applied Surfactant Principle and Application, Wiley, Weinhien; 2005 9. Rosen, Meyer R. Delivery System Handbook for Personal Care and Cosmetic Products. USA:William andrew; 2005 10. Ishikawa, Kaoru. Guide to Quality Control, Asian Productivity Organization, Japan; 1972 11. Anonim. Magnesium ascorbylp. http://www.makingcosmetics.com/Vitamin-C-magnesium-ascorbylphosphate--p187
Hasil penjerapan liposom magnesium askorbil fos-
40 MEDICINUS
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
medical review
Hiperparatiroidisme Primer Faisal Syarifuddin, Harsinen Sanusi Divisi Endokrin dan Metabolik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar -
ABSTRAK Primary hyperparathyroidism is a state where unregulated release of parathyroid hormone (PTH) is found due to hyper-functioning of parathyroid glands. This is the main cause of hypercalcaemia. The incidence of primary hyperparathyroidism is approximately 42 cases per 100.000 people on average, and the case increased as age developed, especially in women. Adenoma on single parathyroid gland is often become the most common etiology (around 80% cases, along with multiple parathyroid gland hyperplasia [12-15% cases]). Most of the primary hyperparathyroidism are asymptomatic. A number of patients reported several symptoms such as vague neuro-cognitive, including depression, fatigue, weakened proximal muscles, languidity, which is often not diagnosed. Primary hyperparathyroidism diagnosis is held based on leveling of PTH and calcium within blood. Diagnostic imaging is often used to identify location of preoperative parathyroid gland disorder, and rarely on primary hyperparathyroidism diagnosis. Primary hyperparathyroidism maintenance consists of surgical and non-surgical methods, where the first is the best option.
Hiperparatiroidisme primer adalah suatu keadaan di mana ditemukan kelebihan produksi hormon paratiroid (parathyroid hormone, PTH) yang tidak teregulasi akibat hiperfungsi pada kelenjar paratiroid dan merupakan penyebab utama terjadinya hypercalcemia. Insiden hiperparatiroidisme primer ratarata 42 kasus per 100.000 populasi, dan meningkat dengan bertambahnya usia, terutama pada wanita. Etiologi yang paling sering adalah adenoma pada satu kelenjar paratiroid (±80%) kasus dan hiperplasia kelenjar paratiroid yang multipel (12-15% kasus). Sebagian besar hiperparatiroidisme primer bersifat asimptomatik, beberapa penderita mengeluhkan gejala neurocognitive yang samar-samar, seperti depresi, mudah lelah, kelemahan pada otot proksimal, dan lesu, sehingga sering tidak terdiagnosis. Diagnosis hiperparatiroidisme primer ditegakkan berdasarkan peningkatan kadar PTH dan kalsium dalam darah. Pemeriksaan pencitraan jarang dilakukan untuk mendiagnosis hiperparatiroidisme primer, biasanya dilakukan untuk menentukan lokasi kelenjar paratiroid yang mengalami kelainan pada saat preoperatif. Penatalaksanaan hiperparatiroidisme primer meliputi cara pembedahan dan nonbedah, di mana cara pembedahan merupakan pilihan terbaik.
Pendahuluan
Kelenjar paratiroid yang terletak di belakang kelenjar tiroid, berfungsi menghasilkan hormon paratiroid (parathyroid hormone, PTH) yang merupakan regulator utama fisiologi kalsium. PTH mengatur metabolisme kalsium dengan berbagai cara, yaitu
melalui tulang dengan meningkatkan resorpsi kalsium, melalui ginjal dengan meningkatkan reabsorbsi kalsium dan meningkatkan produksi 1,25-(OH)2 D (kalsitriol) yaitu suatu hormon yang meningkatkan absorbsi kalsium di usus.1
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
Kadar normal PTH dalam plasma adalah 10-55 pg/ml. Sekresi PTH diatur oleh kadar kalsium dalam plasma (kadar normal: 8,5–10,5 mg/dl), kadar kalsium tinggi dalam plasma akan menghambat sekresi dan menurunkan produksi PTH sedangkan kadar kalsium rendah dalam plasma akan menstimulasi produksi dan sekresi PTH.2,3 Hiperparatiroidisme merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan kelebihan produksi PTH. Ada tiga bentuk hiperparatiroidisme, yaitu primer, sekunder dan tersier. Hiperparatiroidisme primer merupakan bentuk yang paling banyak yang disebabkan oleh adenoma dan hiperplasia, dimana akibat hiperfungsi pada kelenjar paratiroid terjadi kelebihan produksi PTH.2,4 Hiperparatiroidisme sekunder terjadi karena hiperplasia kelenjar paratiroid yang disebabkan oleh karena adanya disfungsi dari sistem organ lain. Penyebab yang paling banyak adalah gagal ginjal kronik, namun dapat juga disebabkan oleh karena osteogenesis imperfecta, penyakit Paget, mieloma multipel dan defisiensi vitamin D. Hiperparatiroidisme sekunder diakibatkan oleh karena hipokalsemia yang berlangsung lama sehingga menyebabkan stimulasi sekresi PTH.2,4 Hiperparatiroidisme tersier ialah
MEDICINUS 41
medical review
suatu keadaan di mana sekresi PTH yang berlebih setelah mengalami hiperparatiroidisme sekunder yang berkepanjangan, sering terjadi pada penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis jangka panjang dan dapat pula disebabkan dari hiperparatiroidisme sekunder akibat defisisensi vitamin D. Hiperparatiroidisme tersier terjadi oleh karena hiperplasia atau adenomatous multipel setelah terjadi stimulasi sekunder yang berkepanjangan. Kelenjar paratiroid yang mengalami hipertrofi gagal menjadi normal kembali dan terus mensekresikan PTH yang berlebih. Pada keadaan ini kelenjar yang mengalami hipertrofi menjadi autonom dan menyebabkan hypercalcemia.2,4 Pada makalah ini membahas hiperparatiroidisme primer saja, terutama dalam hal etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, pemeriksaan laboratorium, pen-
citraan dan penatalaksanaannya.
Kelenjar Paratiroid Kelenjar paratiroid umumnya terletak di belakang kelenjar tiroid, di mana kelenjar-kelenjar tersebut menghasilkan PTH, yang merupakan regulator utama homeostasis kalsium. Sekresi PTH distimulasi oleh kadar kalsium ekstraseluler yang rendah. PTH akan meningkatkan reabsorbsi kalsium di ginjal dan merangsang produksi 1-α hidroksilase oleh ginjal, yang berperan mengubah 25 (OH) D menjadi 1,25 (OH)2¬ D yaitu suatu hormon yang akan meningkatkan absorbsi kalsium di usus, serta meningkatkan resorpsi tulang melalui stimulasi dari osteoclast-activating factors. Melalui mekanisme ini PTH membantu mengembalikan kecenderungan terjadinya hipokalsemia (Gambar 1).1,5
Hiperparatiroidisme Primer Hiperparatiroidisme primer adalah suatu keadaan di mana ditemukan kelebihan produksi hormon paratiroid (parathyroid hormone, PTH) yang tidak teregulasi akibat hiperfungsi pada kelenjar paratiroid di mana akan menyebabkan gangguan homeostasis kalsium. Hiperparatiroidisme primer merupakan penyebab utama terjadinya hypercalcemia dan memiliki angka insiden rata-rata 42 kasus per 100.000 populasi, angka insiden ini meningkat dengan bertambahnya usia, di mana wanita memiliki insiden empat kali lebih tinggi dibandingkan laki-laki.2,4
Etiologi dan Patogenesis Sekitar 80% kasus hiperparatiroidisme primer disebabkan oleh adenoma pada satu kelenjar paratiroid dan 12-15% dise-
Gambar 1. Mekanisme feedback homeostasis kalsium hormon paratiroid
42 MEDICINUS
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
medical review
babkan oleh hiperplasia kelenjar paratiroid yang multipel. Penyebab yang jarang adalah karsinoma paratiroid hanya 1-2% kasus. Kebanyakan kasus adenoma atau hiperplasia paratiroid tidak diketahui penyebabnya, tetapi diduga melibatkan faktor genetik.2 Walaupun jarang, kelainan akibat faktor genetik yang diturunkan harus dipertimbangkan pada penderita hiperparatiroidisme primer, antara lain: Multiple Endocrine Neoplasia syndromes (MEN) tipe 1, MEN tipe 2A, Familial Isolated Hyperparathyroidism (FIHP) dan Familial Hypocalciuric Hypercalcemia, di mana hiperplasia pada kelenjar paratiroid yang multipel merupakan dasar dari kelainan tersebut.5
Manifestasi Klinis Hiperparatiroidisme Simptomatik.
Primer
Sebelum diperkenalkannya pemeriksaan rutin kadar kalsium, diagnosis hiperparatiroidisme primer ditegakkan berdasarkan sindrom klinis. Sindrom klinis dari hiperparatiroidisme primer dapat dengan mudah
diingat sebagai "Bones, Stones, Abdominal groans, and Psychic moans."4 - Kelainan tulang Gambaran klasik kelainan tulang pada hiperparatiroidisme ialah osteitis fibrosa cystica, yang ditandai dengan meningkatnya resorpsi tulang oleh osteoklas, terutama mengenai ruas jari bagian distal yang menyebabkan resorpsi subperiosteal, hal yang sama juga terjadi pada tengkorak dan memberikan gambaran radiologi salt and pepper skull (Gambar 2). Osteitis fibrosa cystica memberikan gejala klinis nyeri pada tulang dan kadang terjadi fraktur patologis, tapi saat ini sudah jarang dijumpai (kurang dari 10% kasus). Kelainan tulang yang tidak kalah penting pada hiperparatiroidisme adalah osteoporosis. Tidak seperti gangguan osteoporosis lainnya, pada hiperparatiroidisme osteoporosis dominan terjadi pada tulang cortical, pada tulang trabekula baik massa maupun kekuatannya relatif terjaga, hal ini disebabkan karena PTH mempunyai efek anabolik pada tulang untuk
menjaga atau bahkan menambah massa tulang.2 - Kelainan ginjal Manifestasi pada ginjal adalah batu ginjal, poliuria, hypercalciuria dan nefrokalsinosis. Batu ginjal terjadi kurang dari 15% kasus, biasanya adalah batu kalsium oksalat. Nefrokalsinosis jarang terjadi namun sering terjadi penurunan fungsi ginjal secara bertahap, di mana setelah dilakukan paratiroidektomi fungsi ginjal akan membaik, sehingga apabila pada penderita hiperparatiroidisme didapatkan gangguan fungsi ginjal yang tidak dapat dijelaskan sebabnya merupakan indikasi untuk dilakukan pembedahan oleh karena risiko untuk menjadi progresif. Hypercalcemia yang berlangsung lama dapat menyebabkan gangguan reabsorbsi di tubulus ginjal sehingga menyebabkan poliuria.2 - Gambaran tidak spesifik Gambaran tidak spesifik dari hiperparatiroidisme primer disebabkan oleh pengaruh langsung dari hypercalcemia, gejala klinis tergantung dari kadar kalsium. Pada kadar
Gambar 2. Gambaran radiologi osteitis fibrosa cystica2
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
MEDICINUS 43
medical review
kalsium antara 11,2-12 mg/dl menyebabkan keluhan lemah, letih dan lesu. Bila kadar kalsium lebih dari 12 mg/dl dapat menyebabkan terjadinya miopati proksimal, juga gejalagejala psikosis, depresi, sulit berkonsentrasi dan hilangnya memori. Pada hiperkalsemia berat yaitu bila kadar kalsium lebih dari 16 mg/dl dapat menyebabkan gangguan kesadaran, koma bahkan dapat menyebabkan kematian. Pada saluran cerna, PTH dan hypercalcemia dapat merangsang sekresi asam lambung sehingga menyebabkan terjadinya keluhan dispepsia dan ulkus peptik. Pengaruh hypercalcemia pada jantung dapat menyebabkan terjadinya aritmia terutama heart block yang bisa berakibat fatal. Pada hiperparatiroidisme primer juga terjadi peningkatan insiden hipertensi.2,6 Hiperparatiroidisme Asimptomatik
Primer
Dengan diperkenalkannya pemeriksaan rutin kadar kalsium darah pada awal tahun 1970 memudahkan pendeteksian suatu hypercalcemia asimptomatik. Di mana pada dua dekade berikutnya insiden hiperparatiroidisme primer meningkat lima kali lipat. Tanda pertama dari hiperparatiroidisme primer yang paling sering ialah meningkatnya kadar kalsium dalam darah pada saat pemeriksaan darah rutin. Beberapa penderita mengeluhkan gejala neurocognitive yang samar-samar seperti depresi, mudah lelah, kelemahan pada otot proksimal, dan lesu. 6 Pemeriksaan Fisis Pemeriksaan fisis biasanya tidak banyak membantu, pemerik-
44 MEDICINUS
saan fisis biasanya dengan memeriksa kekuatan otot. Terabanya massa pada leher pada kasus-kasus yang jarang menandakan tumor paratiroid. 4 Pemeriksaan Laboratorium Hypercalcemia terjadi pada semua penderita hiperparatiroidisme primer, walau demikian kadar kalsium kadang berubah-ubah kebatas atas kisaran nilai normal, oleh karena itu pada penderita dengan hypercalcemia yang dicurigai hiperparatiroidisme harus diperiksa lebih dari satu kali sebelum diagnosis ditegakkan. Pemeriksaan kadar PTH merupakan inti dari diagnosis. Meningkatnya kadar PTH disertai dengan peningkatan kadar kalsium dalam darah merupakan diagnostik untuk hiperparatiroidisme primer. Pemeriksaan kadar kalsium dalam urin 24 jam perlu dilakukan untuk menyingkirkan Familial Hypocalciuric Hypercalcemia. Pada hiperparatiroidisme primer dapat ditemukan kadar kalsium yang normal (hiperparatiroidisme primer normocalcemia), maka dalam menegakkan diagnosis hiperparatiroidisme primer, penyebab-penyebab hiperparatiroidisme sekunder seperti rendahnya asupan kalsium, gangguan fungsi ginjal dan defisiensi vitamin D juga harus disingkirkan. Pemeriksaan laboratorium yang biasa ditemukan pada penderita hiperparatiroidisme primer adalah asidosis hyperchloremic ringan, hipofosfatemia dan peningkatan ringan sampai sedang dari kadar kalsium urin. Peningkatan alkali fosfatase dapat ditemui apabila sudah didapatkan kelainan pada tulang.2,4 Pemeriksaan Pencitraan Pemeriksaan pencitraan jarang
dilakukan untuk mendiagnosis hiperparatiroidisme primer, biasanya dilakukan oleh para ahli bedah untuk menentukan letak kelenjar yang mengalami kelainan pada saat preoperatif. Pemeriksaan yang sering dilakukan diantaranya ialah pencitraan dengan menggunakan penanda Sestamibi, di mana zat radionuklir tersebut terkonsentrasi pada kelenjar tiroid dan paratiroid, dan biasanya akan hilang dalam waktu kurang dari satu jam, tetapi akan bertahan pada kelenjar paratiroid yang mengalami kelainan. Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas 60-90%. Kelemahan dari pemeriksaan ini ialah tidak dapat mendeteksi kelainan kelenjar yang multipel. Ultrasonografi leher mempunyai kemampuan yang sama dibandingkan Sestamibi scanning, akan tetapi tergantung pada operatornya sehingga memberikan tingkat akurasi yang berbeda-beda. Keuntungan dari ultrasonografi leher ialah dapat dilakukan segera pada saat awal evaluasi, akan tetapi juga tidak dapat mendeteksi pada kelainan kelenjar yang multipel. 7
Penatalaksanaan Penatalaksanaan hiperparatiroidisme primer dapat dilakukan secara nonbedah dan bedah. Apabila terdapat hypercalcemia yang berat, penatalaksanaan bedah harus dilakukan secepatnya setelah diagnosis dikonfirmasi dengan pemeriksaan PTH. Tetapi pada umumnya penderita dengan hiperparatiroidisme primer, hypercalcemia yang terjadi biasanya ringan sampai sedang dan tidak membutuhkan penatalaksaan bedah.6 Penatalaksanaan Bedah a. Indikasi pembedahan Hiperparatiroidisme primer dengan gejala klinis sebaik-
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
medical review
nya dilakukan pembedahan pada kelenjar yang mengalami kelainan. Beberapa klinisi berpendapat bahwa semua penderita hiperparatiroidisme primer harus dilakukan pembedahan kecuali pada mereka yang tidak dapat mentoleransi pembedahan. Mereka berpendapat bahwa tindakan pembedahan aman dan juga sebagai terapi pencegahan komplikasi seperti osteoporosis, dan juga bisa menyembuhkan gejalagejala yang sering kali tidak disadari oleh penderita, seperti kelelahan dan depresi ringan. Pendapat lain menganjurkan tindakan nonbedah apabila memungkinkan, seperti penderita dengan kadar kalsium kurang dari 11,5 mg/dl, penderita tanpa gejala klinis dan pada penderita dengan kadar kalsium urin 24 jam yang normal dan tidak mengalami osteoporosis.8
National Institutes of Health (NIH) menyimpulkan indikasi-indikasi pembedahan sebagai berikut:9 - Kadar kalsium melebihi 1 mg/dl dari batas atas nilai normal - Kadar kalsium urin 24 jam lebih dari 400 mg - Terjadi penurunan bersihan kreatinin lebih dari 30% - Nilai T-score densitas mineral tulang di bawah -2,5 - Usia pasien kurang dari 50 tahun
paratiroid mengalami hiperplasia, dilakukan subtotal paratiroidektomi, di mana 3,5 kelenjar diangkat dan menyisakan 50-70 mg kelenjar yang masih normal. Rata-rata 85% kasus hiperparatiroidisme primer disebabkan adenoma tunggal, oleh karena itu kebanyakan penderita yang dilakukan full neck exploration untuk mengevaluasi seluruh kelenjar paratiroidnya dilakukan tindakan pembedahan yang tidak perlu. Saat ini telah berkembang teknik pembedahan yaitu directed parathyroidectomy di mana dilakukan pemeriksaan radiologi preoperatif untuk menentukan lokasi kelenjar paratiroid yang mengalami kelainan, sehingga dokter ahli bedah hanya akan mengangkat kelenjar tersebut tanpa harus mengeksplorasi kelenjar-kelenjar yang lain.8
b. Pilihan tindakan pembedahan Standar dari penatalaksanaan bedah adalah complete neck exploration dengan mengidentifikasi semua kelenjar paratiroid dan mengangkat semua kelenjar yang mengalami kelainan. Pada kasus di mana keempat kelenjar
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
Dengan Sestamibi scanning dan ultrasonografi maka kelenjar paratiroid yang mengalami kelainan dapat dideteksi saat preoperatif pada 70-80% kasus, akan tetapi kedua teknik tersebut tidak dapat mendeteksi kelainan kelenjar yang multipel, oleh karena itu dibutuhkan pemeriksaan yang lain untuk mengkonfirmasi tidak ada kelenjar lain yang mengalami gangguan setelah dilakukan tindakan pembedahan. Untuk tujuan tersebut, saat ini banyak center telah melakukan pengukuran PTH intraoperatif. Oleh karena waktu paruh dari PTH dalam plasma kurang lebih hanya 4 menit, maka kadarnya akan cepat turun setelah diangkat sumbernya. Jika kadar PTH gagal turun setelah kelenjar yang mengalami gangguan diangkat maka diperbolehkan untuk dilaku-
kan eksplorasi lebih lanjut.8
Pembedahan dengan cara directed parathyroidectomy memberikan kesembuhan yang lebih cepat pada penderita dan sebaiknya hanya dilakukan di center yang menyediakan pemeriksaan PTH intraoperatif.
Penatalaksanaan NonBedah. a. Pemanatauan Pada penderita hiperparatiroidisme primer yang tidak memenuhi kriteria guideline NIH dapat dilakukan pemantauan secara aman. Selain memantau gejala klinisnya, penderita juga harus diperiksa kadar kreatinin dan kalsium darah tiap 6 bulan, serta dilakukan pemeriksaan densitas mineral tulang dengan menggunakan alat Dual Energy X-ray Absorptiometry (DEXA).6 b. Pengobatan nonfarmakologi Pada penderita hiperparatiroidisme primer diet rendah kalsium tidak perlu terlalu ketat, karena pada kenyataannya dengan diet rendah kalsium yang terlalu ketat dapat meningkatkan sekresi PTH, dilain pihak diet tinggi kalsium dapat mengeksaserbasi hypercalcemia. Defisiensi vitamin D dapat meningkatkan sekresi PTH dan resorpsi tulang. Oleh karena itu penderita hiperparatiroidisme primer harus mendapatkan suplemen harian berupa kalsium 800-1000 mg dan vitamin D sesuai dengan usia dan jenis kelamin. Selain itu mereka juga harus menjaga hidrasi yang cukup, melakukan olahraga yang teratur dan menghindari imobilisasi dan obat-obatan seperti thiazides dan lithium.10 c. Pengobatan farmakologi - Fosfat
MEDICINUS 45
Fosfat oral dapat menurunkan kadar kalsium darah sampai 1 mg/dl, penurunan kalsium ini terjadi karena fosfat dapat menyebabkan penurunan absorbsi kalsium di usus dan menurunkan aktivitas 1-α hidroksilase sehinga kadar 1,25 (OH)2 D dalam darah rendah. Terapi fosfat tidak boleh diberikan pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal atau pada penderita dengan normophosphatemia atau hyperphosphatemia.11 - Bisphosphonates Bisphosphonates merupakan analog phyrophosphate inorganik yang bekerja menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas. Pada hiperparatiroidisme primer terjadi kehilangan densitas massa tulang cortical, sedangkan tulang trabekular densitas tulang relatif terpelihara. Bisphosphonates adalah kelompok obat yang menjanjikan dalam pengobatan hilangnya densitas tulang. Beberapa penelitian mengenai penggunaan Bisphosphonates pada hiperparatiroidisme primer menunjukkan peningkatan dari densitas mineral
tulang pada tulang punggung dan panggul dan juga tidak menyebabkan perubahan signifikan pada kadar PTH, kadar kalsium darah dan kalsium urin 24 jam. Terapi dengan Bisphosphonates dapat dipertimbangkan pada penderita hiperparatiroidisme primer dengan densitas mineral tulang yang rendah yang tidak dapat atau tidak ingin dilakukan operasi.10 - Estrogen Terapi estrogen pada wanita postmenopause menunjukkan sedikit penurunan pada kadar kalsium darah (0,5-1 mg/dl) tanpa adanya perubahan pada kadar PTH. Estrogen juga memberikan keuntungan pada densitas mineral tulang pada tulang punggung dan kepala femur. Akan tetapi terapi estrogen sebaiknya tidak dijadikan pilihan utama pada wanita postmenopause dengan hiperparatiroidisme primer, oleh karena risiko yang diakibatkan seperti karsinoma endometrium dan peningkatan risiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Selective estrogen receptor modulator seperti raloxifene telah men-
unjukkan penurunan kadar kalsium dalam darah sama halnya dengan terapi estrogen.10 - Calcimimetic Cinacalcet merupakan preparat calcimimetic pertama yang tersedia. Preparat ini bekerja dengan cara mengikat dan memodifikasi calcium sensing receptor pada chief sel dipermukaan kelenjar paratiroid, yang akan menyebabkan meningkatnya sensitivitas reseptor terhadap kalsium. Cinacalcet efektif dalam menurunkan PTH dan menjaga kadar kalsium dan fosfat. Dosis awal cinacalcet 30 mg sekali sehari, dosis dapat dinaikkan 30 mg setiap 2-4 minggu hingga kadar PTH dalam kisaran target atau sudah tercapai dosis maksimal (180 mg perhari).10
Kesimpulan
Hiperparatiroidisme primer merupakan penyebab utama terjadinya hypercalcemia, di mana sebagian besar bersifat asimptomatik, sehingga untuk menegakkan diagnosis diperlukan pemeriksaan laboratorium yang ditandai dengan peningkatan kadar PTH dan kalsium dalam darah. Penatalaksanaan dengan cara pembedahan merupakan pilihan terbaik.
DAFTAR PUSTAKA 1. Potts JT. Diseases of the parathyroid gland and other hyperand hypocalcemic disorders. Harrison,s Principles of Internal Medicine. 16 ed. New York: Mc Graw-Hill; 2005.p.2245-78 2. Bikle DD. Metabolic bone disease. In: Gardner DG, Shoback D, eds. Greenspan's Basic & Clinical Endocrinology. Vol 8. New York: McGraw-Hill's; 2007.p.247-315 3. Marx SJ. Hyperparathyroid and hypoparathyroid disorders. N Engl J Med. 2000; 343:1863-75 4. Ahmad R, Hammond JM. Primary, secondary and tertiary Hyperparathyroidism. Otolaryngol Clin North Am. 2004; 37:701-13 5. Taniegra ED. Hyperparathyroidism. AAFP. 2004; 69:333-9 6. Suliburk JW, Perrier ND. Primary hyperparathyroidism. The Oncologist 2007; 12:644-53 7. Mariani G, Gulec SA, Rubello D, Boni G, Puccini M, Pelizzo,
46 MEDICINUS
et al. Preoperative localization and radioguided parathyroid surgery. J Nucl Med. 2003; 44:1443-58 8. Udelsman R, Pasieka JL, Sturgeon C, Young JE, Clark OH. Surgery for asymptomatic primary hyperparathyroidism: proceeding of the third International Workshop. J Clin Endocrinol Metab. 2009; 94:366-72 9. Bilezikian JP, Khan AA, Potts JT. Guidelines for the management of asymptomatic primary hyperparathyroidism: summary statement from the third International Workshop. J Clin Endocrinol Metab. 2009; 94:335-9 10. Farford B, Prestuti J, Moraghan TJ. Nonsurgical managmenet of primary hyperparathyroidism. Mayo Clin Proc. 2007; 82:351-5 11. Silverberg SJ, Bilezikian JP. Primary hyperparathyroidism. In: DeGroot L, Tameson JL, eds. Endocrinology. Vol 2. 5th ed. Elsevier; 2006.p.1533-54
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
medical review
Penyakit Polikista Ginjal Autosomal Dominan Hendrata Erry Andisari RS. Adi Husada Kapasari, Surabaya PENDAHULUAN
ABSTRAK Penyakit polikistik ginjal autosom dominan adalah salah satu kelainan herediter yang umum ditemukan, dengan angka kejadian terjadi antara 1:400–1:1000 kelahiran, dan merupakan penyebab gagal ginjal terminal ketiga paling sering di Amerika Serikat, terjadi 8-10% akan mengalami gagal ginjal terminal. Pemahaman akan penyakit ini akan membantu para klinisi mengenali gejalanya lebih dini sehingga dapat memberikan terapi yang lebih optimal untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Kata kunci: Penyakit polikist ginjal autosom dominan, herediter, gagal ginjal Autosomal dominant polycystic kidAutosomal dominant polycystic kidney disease is one of the most common hereditary disorders, cove-ring 1:400 to 1:1000 deliveries, and is the third cause of terminal renal-failure in the U.S. (810%). The understanding of this disease will help clinicians in recognizing early symptoms so that it can provide a more optimal therapy to improve patients’ quality of life. Keyword: Autosomal dominant polycystic kidney disease, hereditary, renalfailure
Ginjal merupakan organ yang menyaring kotoran dan cairan berlebihan dari darah dan menghasilkan urin. Setiap individu memiliki dua ginjal berbentuk kacang (bean shaped) terletak retroperitoneal, di belakang kavum abdomen, di mana masing–masing ginjal memiliki panjang ± 10–12 cm (antara vertebra TH 12–L3), penampang 5–6 cm, berat ± 150 gram. Ginjal kanan 1–2 cm lebih rendah daripada ginjal kiri oleh karena adanya hati.1 Penyakit polikistik ginjal autosom dominan, suatu kondisi yang diturunkan secara herediter yang mempengaruhi fungsi dari ginjal. Pada pasien dengan penyakit polikistik ginjal autosom dominan, terdapat kantung–kantung berisi sedikit cairan yang disebut kista ginjal. Kista mengganti sebagian besar jaringan ginjal yang normal dan menyebabkan ginjal menjadi membesar dan berperan menurunkan fungsi ginjal dan akhirnya, terjadi gagal ginjal, yang dapat mengancam jiwa jika tidak diobati secara tepat. Beberapa pasien dapat ditemukan infeksi saluran kemih atau adanya darah dalam urin mereka, yang umumnya disebabkan darah yang masuk ke dalam kista dan dikuti ruptur dari kista.2,3 Ketika terjadi gagal ginjal stadium awal, pasien sebaiknya diterapi dengan dialisis (menyaring darah melalui beberapa cara, seperti dengan filtrasi eksternal) atau dengan transplantasi ginjal. Gejala umum pada pasien dengan penyakit polikistik ginjal autosom dominan adalah nyeri di daerah punggung dan pinggang. Nyeri disebabkan infeksi pada kista, perdarahan di dalam kista, atau regangan dari jaringan fibrous di sekitar ginjal karena pembesaran ginjal. Pada pasien dengan penyakit poli-kistik ginjal autosom dominan, dapat terjadi pembentukan kista dibagian lain dari tubuh, khususnya hati, pankreas, atau pembuluh darah otak dan jantung, dan hal ini dapat menyebabkan komplikasi seperti aneurisma. Sekitar satu di antara seribu individu menderita penyakit polikistik ginjal autosom dominan.2-4
-
EPIDEMIOLOGI
Gambar polikista ginjal7
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
Penyakit polikistik ginjal autosom dominan terjadi pada 1:400–1:1000 individu diseluruh dunia dan sekitar 4% terjadi end–stage renal disease (ESRD). Lebih dari 90% kasus diturunkan sebagai autosom dominan,
MEDICINUS 47
medical review
dengan tetap memperhatikan terjadinya mutasi spontan. Mutasi pada gen PKD 1,85% kasus terjadi pada kromosom 16, sedangkan mutasi pada gen PKD 2 terjadi pada kromosom 4.2,4
PATOFISIOLOGI Gambaran utama dari penyakit polikistik ginjal autosom dominan adalah pembesaran progresif kista pada tubulus ginjal, yang akan menyebabkan gagal ginjal terminal. Kista hati, aneurisma pembuluh darah otak, kelainan katup jantung dapat terjadi.2-4 Penyakit polikistik ginjal autosom dominan adalah penyakit sistemik, namun memperlihatkan adanya kelainan fokal, karena kurang dari satu persen nefron menjadi kista. Pada penyakit polikistik ginjal autosom dominan, masing–masing sel epitel tubulus ginjal mengandung germ–line mutation dan hanya sedikit bagian dari tubulus yang berkembang menjadi kista renal. Sel epitel tubulus dilindungi oleh alel yang diturunkan dari orangtua tanpa penyakit polikistik ginjal autosom dominan. Ketika alel menjadi tidak aktif karena keadaan somatik (mutasi atau sejenisnya) dalam masing–masing sel tubulus ginjal, sel mengalami pembelahan berkali–kali sampai kista terbentuk, dengan program pertumbuhan yang abnormal menyebabkan ekspansi yang tidak habis–habisnya. Beratnya penyakit polikistik ginjal autosom dominan akibat konsekuensi langsung dari lamanya dan frekuensi proses cytogenic yang terjadi dalam ginjal selama kehidupan pasien.3 Sel hiperplastik menyebabkan terbentuknya kantung di luar dinding tubulus, berupa kista saccular berisi cairan yang be-
48 MEDICINUS
rasal dari filtrat glomerulus yang masuk dari tubulus afferent. Ekspansi yang progresif akhirnya menyebabkan munculnya kista yang terpisah dari tubulus asal, menjadi isolated sac yang berisi cairan dari sekresi transepitelial. Isolated sac ini bertambah besar sebagai hasil dari proliferasi epitel mural yang terus menerus bersama dengan sekresi NaCl dan air transepitelial ke dalam lumen.3 Massa tumor yang berisi cairan menyebabkan perubahan sekunder dan tersier dalam interstisial ginjal yang ditunjukkan dengan jelas dengan penipisan dan pelapisan basal membran tubulus, infiltrasi makrofag dan neovaskularisasi. Fibrosis di dalam interstisial merupakan tanda awal dimulainya penyakit. Proliferasi sel dan sekresi cairan dipicu dengan cAMP dan growth factors, seperti epidermal growth factor (EGF). Sebagai kesimpulan, kista berfungsi sebagai struktur yang berdiri sendiri dan bertanggung jawab pada pembesaran progresif ginjal penyakit polikistik ginjal autosom dominan. Rata–rata 85–90% pasien dengan penyakit polikistik ginjal autosom dominan memiliki kelainan pada lengan pendek dari kromosom 16 (seperti penyakit polikistik ginjal autosom dominan tipe 1 (penyakit polikista ginjal autosomal dominan 1). Kelainan yang lain, dengan istilah penyakit polikista ginjal autosomal dominan tipe 2 (penyakit polikista ginjal autosomal dominan 2) bertanggung jawab pada 5–15% kasus penyakit polikista ginjal autosomal dominan dan ini didapatkan kelainan pada lengan panjang dari kromosom 4.3,4 PKD 1 dan PKD 2 diekspresikan pada beberapa organ dan jaringan dari tubuh manusia. Pro-
tein–protein yang dikode oleh PKD 1 dan PKD 2, polycystine 1 dan polycystine 2, berfungsi bersama–sama mengatur konfigurasi morfologi dari sel epitel. Polycystine diekspresikan pada perkembangan awal stadium blastocyt dan diekspresikan secara luas di jajaran terminal jaringan yang berbeda. Fungsi polycystine telah diamati jangkauannya secara luas di jaringan epitel ginjal, hati dan otot pembuluh darah.3 Gen PKD 1 merupakan gen yang mengkode anggota dari keluarga protein polycystine. Glycoprotein yang dikode mengandung bagian ekstraseluler N–terminal rantai panjang, domain transmembrane multipel dan sitoplasma C terminal. Fungsinya menjaga keutuhan membran protein yang terjalin dalam sel–sel/interaksi matriks, dan mengatur keseimbangan kalsium intraseluler dan jalur transduksi–signal lainnya. Hal ini memegang peranan dalam perkembangan tubulus ginjal, dan mutasi dari gen ini dihubungkan dengan penyakit polikistik ginjal autosom dominan.3,5-7 Gen PKD 2 adalah gen yang mengkode anggota dari keluarga protein polycysteine yaitu TRPP1, sebelumnya dikenal sebagai polycysteine 2, PC 2 atau APKD 2. TRPP1 mengan-dung bagian transmembrane multipel, sitoplasma N dan C terminal. Protein menjaga keutuhan membran protein yang terjalin dalam sel–sel/interaksi matriks. TRPP1 berfungsi dalam perkembangan, morfologi dan fungsi tubulus ginjal, memodulasi keseimbangan kalsium intraseluler dan jalur transduksi sinyal yang lain. Protein ini berinteraksi dengan polycysteine 1 untuk produksi arus kation yang per-
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
medical review
Gambar ilustarsi dari PKD1 dan PKD2 protein pada membran sel5
meabel.3,5,6,8
PATOGENESA Penyakit polikistik ginjal autosom dominan ialah penyakit kronik dengan karasteristik perkembangan kista secara progresif dan pembesaran kedua ginjal dengan banyak kista. Penyakit polikistik ginjal autosom dominan merupakan penyakit herediter dari mutasi baik pada gen PKD 1 atau gen PKD 2. Pembentukan kista dimulai pada masa janin dari setiap perkembangan dari nefron, meskipun <5% dari keseluruhan nefron, hal ini tetap terjadi. Saat cairan di dalam kista–kista terakumulasi, mereka akan membesar, terpisah seluruhnya dari nefron, menekan parenkim ginjal disekitarnya, dan secara progresif mempengaruhi fungsi ginjal.6,9
FAKTOR RISIKO Penyakit polikistik ginjal autosom dominan adalah kondisi genetik yang diturunkan secara dominan. Individu–individu mempunyai 2 kopi dari sebagian besar gen (satu
diturunkan dari ayah dan satu diturunkan dari ibu). Dalam kondisi genetik dominan, hanya dibutuhkan satu kopi dari gen tertentu yang cacat untuk menyebabkan terjadinya kondisi ini. Hal ini jelas bahwa mutasi baik di gen PKD 1 atau gen PKD 2 dapat menyebabkan penyakit polikistik ginjal autosom dominan. Oleh karena itu, jika individu memiliki orang tua dengan satu kopi mutasi baik di gen PKD 1 atau PKD 2, individu itu memiliki 50% peluang untuk mendapatkan turunan gen mutasi. Sebagian besar individu–individu yang mendapat mutasi gen PKD 1 atau mutasi gen PKD 2 akan berkembang menjadi penyakit polikistik ginjal autosom dominan.2,6
gejala–gejala yang dialami oleh pasien sama pada setiap mutasi, tetapi gejala–gejala pada pasien dengan mutasi PKD 1 nampak lebih awal.
PENYEBAB2,6,9
Kejadian acak: banyak kasus penyakit polikistik ginjal autosom dominan diturunkan, dalam arti gen yang cacat diwariskan dari orangtua ke anaknya. Namun sebagian kecil kasus penyakit polikistik ginjal autosom dominan tidak diturunkan, tapi dikarenakan mutasi spontan dalam sel telur atau sperma atau pada awal pertumbuhan embrio.
Keturunan: Penyakit polikistik ginjal autosom dominan disebabkan oleh mutasi, atau kerusakan gen pasien. Gen PKD 1 dan PKD 2 dapat berimplikasi menjadi penyakit polikistik ginjal autosom dominan. Telah ditemukan bahwa mutasi dari masing–masing gen pasti menyebabkan penyakit tersebut. Secara umum,
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
PKD 1 dan PKD 2 nampak mempengaruhi fungsi pertumbuhan dan perkembangan dari ginjal. PKD 2 membuka channel protein yang diikuti masuknya ion kalsium ke dalam sel. PKD 1 menghasilkan protein yang berikatan dengan PKD 2 dan mengatur aktivitas channel tersebut. Masih belum jelas bagaimana mutasi dari gen–gen ini memacu pembentukan kista pada penyakit polikistik ginjal autosom dominan.
MEDICINUS 49
medical review
TANDA DAN GEJALA 2,4,6,9,10 Gejala–gejala dari penyakit polikistik ginjal autosom dominan pada umumnya nampak pada masa kehidupan antara umur 30–40 tahun, di mana kista pada pasien dengan penyakit polikistik ginjal autosom dominan akan mengganti sebagian besar jaringan ginjal yang normal dan menyebabkan ginjal menjadi membesar, sehingga fungsi ginjal akan menurun. Pasien dengan penyakit polikistik ginjal autosom dominan dapat ditemukan kista pada bagian lain dari tubuh, khususnya hati, pankreas, atau pembuluh darah dari otak dan jantung. Peningkatan tekanan darah: hipertensi ditemukan pada beberapa pasien dengan penyakit polikistik ginjal autosom dominan. Rasa tidak nyaman di perut Batu ginjal: individu dengan penyakit polikistik ginjal autosom dominan memiliki risiko yang lebih tinggi dalam menderita batu ginjal. Batu ginjal ditemukan pada ginjal ketika mineral–mineral dan substansi lain di urin mengkristal menjadi massa yang padat. Pasien lebih merasakannya ketika terjadi penurunan volume urin dan sangat nyeri. Nyeri: gejala yang paling sering ditemukan pada pasien dengan penyakit polikistik ginjal autosom dominan ialah nyeri pada bagian punggung dan pinggang. Nyeri mungkin disebabkan oleh infeksi pada kista, perdarahan yang masuk ke dalam kista, atau bagian dari jaringan fibrin di sekitar ginjal (yang berhubungan dengan pembesaran ginjal). Nyeri ini dapat sementara atau menetap, tergantung pada masing–masing pasien.
50 MEDICINUS
Beberapa pasien dapat merasakan bengkak. Masalah saluran kemih: karena saluran kemih berhubungan dengan ginjal, sehingga masalah pada saluran kemih dapat terjadi pada pasien dengan penyakit polikistik ginjal autosom dominan. Pasien dapat ditemukan infeksi saluran kemih atau ditemukan darah dalam urin mereka, yang sering disebabkan oleh perdarahan kista yang berhubungan dengan ruptur kista.
DIAGNOSIS 2-4,6,9 Penyakit polikistik ginjal autosom dominan agak sulit untuk didiagnosa dan biasanya tidak diperhatikan pada pasien setelah bertahun–tahun. Hal ini disebabkan karena perkembangan kista pada ginjal yang berlangsung lambat, dan memerlukan beberapa tahun sebelum mulai ditemukan gejala–gejala yang nampak. Beberapa tipe dari teknik pencitraan yang non invasif dapat digunakan untuk mendiagnosa penyakit polikistik ginjal autosom dominan. Ketika kista telah berkembang, kira–kira panjang 1,5 inci, kista cukup besar untuk nampak pada gambaran radiologis dari ginjal dan penyakit polikistik ginjal autosom dominan dapat terdeteksi. Ultrasound: pemeriksaan ultrasound aman untuk dilakukan, merupakan teknik pencitraan yang non invasif yang menggunakan gelombang suara untuk mendapatkan gambaran dari ginjal. Ultrasound merupakan teknik pencitraan yang paling sering digunakan untuk memeriksa kista pada pasien. Teknik pencitraan yang lain: teknologi pencitraan yang lain, seperti Magnetic Resonance
Imaging (MRI) atau Computed Tomography (CT) scan dapat digunakan untuk memberikan gambaran ginjal yang lebih detail. MRI merupakan teknik pencitraan yang non invasif yang menggunakan magnet dan gelombang radio untuk memberi gambaran jaringan dari tubuh. CT Scan merupakan teknik pencitraan yang non invasif yang menggunakan X–rays secara berseri untuk memberi gambaran bagian dalam dari tubuh. Teknik pencitraan ini dapat memberikan gambaran yang lebih detail dibanding ultrasound, dan dapat digunakan untuk mengukur ginjal atau volume kista dan perkembangan ginjal. Teknik pencitraan ini biasanya lebih sering digunakan pada stadium lanjut dari penyakit. Pemeriksaan genetik: mutasi pada gen PKD 1 atau PKD 2 menyebabkan penyakit polikistik ginjal autosom dominan. Adanya pemeriksaan genetik dapat mendeteksi mutasi pada pasien. Pemeriksaan genetik direkomendasikan pada individu yang memiliki riwayat keluarga dengan penyakit polikistik ginjal autosom dominan. Meskipun pemeriksaan ini dapat membuktikan apakah pada individu ditemukan penyakit tersebut, pemeriksaan genetik tidak dapat memperkirakan dengan tepat waktu onset atau seberapa berat gejala yang terjadi.
KOMPLIKASI2,6,9,10 Aneurisma: aneurisma ialah pelembungan atau tonjolan pada pembuluh darah. Pada pasien dengan penyakit polikistik ginjal autosom dominan, kista mulai bertumbuh pada pembuluh darah, yang menyebabkan aneurisma. Aneurisma dapat menyebabkan pembuluh darah pecah dan mengancam kehidupan. Individu
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
medical review
Pengobatan terhadap nyeri: banyak pasien dengan penyakit polikistik ginjal autosom dominan mengalami nyeri. Pengobatan nyeri dengan menggunakan, seperti aspirin atau asetaminofen. Kadang–kadang diperlukan drainase kista dengan aspirasi perkutan, sclerotherapy dengan alkohol (etanol) atau yang lebih jarang dengan pembedahan drainase. Pasien dengan batu ginjal akan mengalami nyeri yang lebih berat dan dapat diobati dengan obat yang lebih kuat, seperti morfin. CT Scan polikista ginjal dan hati
dengan penyakit polikistik ginjal autosom dominan dapat ditemukan aneurisma pada pembuluh darah utama di otak, yang dapat menyebabkan sakit kepala yang berat atau ditemukan komplikasi yang lebih berat, seperti stroke. Juga, beberapa pasien memperlihatkan gambaran aneurisma pada jantung. Kelainan katup jantung: untuk alasan yang tidak jelas, beberapa pasien dengan penyakit polikistik ginjal autosom dominan dapat ditemukan kelainan pada katup jantung mereka. Katup jantung pada pasien tidak tertutup secara tepat, menyebabkan beberapa darah bocor dari bagian bawah dari jantung ke bagian atas. Pada beberapa pasien, menyebabkan palpitasi, tetapi banyak pasien, kelainan pada katup jantung tidak menyebabkan masalah kesehatan yang serius. Peningkatan tekanan darah: hipertensi ditemukan pada beberapa pasien dengan penyakit polikistik ginjal autosom dominan. Banyak pasien yang menga-
lami hipertensi sebelum menderita gagal ginjal. Gagal ginjal: sekitar 1½ pasien dengan penyakit polikistik ginjal autosom dominan ditemukan gagal ginjal, yang mana dapat mengancam kehidupan jika tidak diobati dengan tepat. Gagal ginjal dihubungkan dengan pertumbuhan yang besar dari beberapa kista pada ginjal.
PENGOBATAN2-4,9 Antibiotik: antibiotik yang tersedia dapat digunakan untuk me-ngobati infeksi saluran kemih. Infeksi saluran kemih harus diobati dengan segera, untuk mencegah infeksi menyebar ke dalam kista. Infeksi kista lebih sulit untuk diobati karena banyak antibodi tidak dapat menembus kista. Beberapa antibiotik dapat digunakan untuk mengobati infeksi pada pasien dengan penyakit polikistik ginjal autosom dominan termasuk ciprofloksasin atau trimetoprim–sulfametokzasol.
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
Pembedahan: pada beberapa pasien yang mengalami nyeri yang berat, pembedahan sebaiknya dilakukan untuk meng-urangi ukuran kista yang berkembang pada ginjal. Pembedahan tidak terbukti dapat menyembuhkan pada keadaan di mana kista tumbuh kembali. Sebagai tambahan, pembedahan dapat digunakan untuk mengangkat aneurisma pada beberapa pasien. Dialisis: ketika mengalami gagal ginjal, pasien dapat menjalani dialisis untuk mengembalikan fungsi saringan dari ginjal. Pada hemodialisa, darah pasien mengalir ke dalam saringan eksternal dan dibersihkan. Darah yang disaring kemudian dikembalikan ke dalam tubuh. Pada dialisis peritoneal, cairan yang mengandung gula dimasukkan ke dalam perut melalui pipa. Larutan ini menyerap sampah dari dalam tubuh dan kemudian dikeluarkan. Transplantasi: beberapa pasien yang mengalami gagal ginjal sebaiknya menjalani transplantasi ginjal. Ginjal yang ditranplantasi ke dalam pasien dengan penyakit polikistik ginjal autosom dominan tidak menyebabkan kista.
MEDICINUS 51
KESIMPULAN
yang diturunkan secara herediter yang mempengaruhi fungsi dari ginjal di mana kista mengganti sebagian besar jaringan ginjal yang normal dan menyebabkan ginjal membesar, menurunkan fungsi ginjal dan akhirnya, terjadi gagal ginjal, yang mana dapat mengancam jiwa jika tidak diobati secara tepat.
Penyakit polikistik ginjal autosom dominan adalah kondisi
Gejala–gejala dari penyakit polikistik ginjal autosom dominan
Bagamanapun juga, tranplantasi dihubungkan dengan beberapa komplikasi, termasuk infeksi dan kemungkinan rejeksi dari organ yang baru. Untuk mengurangi perubahan dari rejeksi, pasien memerlukan obat–obatan imunosupresan.
pada umumnya nampak pada masa kehidupan antara umur 30–40 tahun, dengan gejala yang dominan adalah nyeri pada bagian punggung dan pinggang. Ultrasound merupakan teknik pencitraan yang paling sering digunakan untuk pemeriksaan kista. Pengobatan secara umum adalah suportif, di mana tidak ada terapi tunggal yang dapat mencegah penurunan fungsi ginjal.
DAFTAR PUSTAKA 1. Yogiantoro M, Pranawa, Irwanadi C, Santoso D, Mardiana N, Thaha M, et al. Pengantar Kuliah Nefrologi. In: Tjokroprawiro A, Setiawan PB, Santoso D, Soegiarto G, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RS. Dr. Soetomo. Surabaya : Airlangga University Press; 2007. p.193– 201 2. Cyst on Kidney. Autosomal Dominant Polycystic Kidney Disease. US:Natural Standard Monograph; 2008 3. Torra R. Polycystic kidney disease. Available at: http://www. emedicine.medscape.com/article 4. Asplin JR, Coe FL. Tubular disorders. In : Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine, Volume II, 16th ed. United States of America : The Mc Graw–Hill Companies, Inc.; 2005. p.1694–6
52 MEDICINUS
5. Wikipedia. Autosomal dominant polycystic kidney disease. Available at: http://www.en.wikipedia.org/wiki/Polycystic_kidney_disease_2 6. Harris PC, Torres VE. Polycystic kidney disease, autosomal dominant. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/bookshelf/ br.fcgi?book=gene&part=pkd–ad 7. Wikipedia. Polycystic kidney disease 1. Available at: http://www. en.wikipedia.org/wiki/Polycystic_kidney_disease 8. Wikipedia. Polycystic kidney disease 2. Available at: http://www. en.wikipedia.org/wiki 9. Maltzman JS. Autosomal dominant polycystic Kidney Disease. Nephrology Board Review Manual 2002; 5(1):1–11 10. Moore S. Autosomal dominant polycystic kidney disease. Available at: http://www. ehow.com
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
Calendar Event
JULY 2010 1. Simposium Pendekatan Holistik Pen-
yakit Kardiovaskular IX 2 – 4 Juli 2010, Hotel Borobudur Sekretariat: Divis Kardiologi Departemen Penyakit Dalam FKUI/RSCM Jl. Diponegoro No. 71 Jakarta Pusat 10340 E-mail:
[email protected] Phone: 021-31934636 Fax: 021-3161467
2. The 5th Malang Nutrition Update 2010
Topic: Optimizing Nutritional Care in Health and Disease 2-4 Juli 2010, Bumi Surabaya Hotel (ex. Hyatt Regency Hotel) Sekretariat: Neo Organizer, Jl. Sisingamangaraja 42 Malang Fax: 0341-322462 / 457167 Atau Working Group on Nutrition Nutrition Department – Dr. Saiful Anwar, Jawa Timur E-mail:
[email protected] Contact Person: Rosidah Inayati 081334727593 / 0341-7329685 Bernadus 085234005761 / 0341-7790076 Mira 08123319327 / 0341-8127700 Tsalits 081805188422 / 0341-9846905
3. 6th Symposium of Indonesia Antimicro-
bials Resistance Watch (IARW) Improving Cure and Minimizing Antimicrobial Resistance through Activating Clinical Microbiologist in Integrated Infection Service Team 2-4 Juli 2010, Gran Melia Hotel, Jakarta Secretariat: Department of Mikrobiologi Medical Faculty University of Indonesia Jl. Pegangsaan Timur No. 16 JakPus Phone: 62-21-3916826 / 3160491 ext 17 Fax: 62-21-3916826 Hp: 081381275441 E-mail:
[email protected]
4. PIT POGI XVIII
Peningkatan Mutu Pelayanan Obstetri Ginekologi yang Profesional dalam Mempercepat Pencapaian MDGs tahun 2015 4-9 Juli 2010, Jakarta Secretariat: POGI cab. Padang Bag/SMF Obstetri Ginekologi FK UNAND/ RSUP dr. M Djamil, Padang Jl. Perintis Kemerdekaan – PO BOX 55 Padang 25001 Phone: 0751 39246 Fax: 0751 39246 E-mail:
[email protected] Sekretariat Jakarta: ABA Production Jl. Kimia No. 5 Jakarta Pusat Phone: 021 3928721 Fax: 021 3915041 E-mail:
[email protected]
5. Konferensi Kerja XII PDPI: “Pulmonolo-
gist Competencies in Facing Global Respiratory Health Problems” 7-10 Juli 2010, Marbella Hotel, Anyer Secretariat: Kyala Pratama Cijerah 2 Nusaindah 3 no. 8 Cimahi Selatan – Bandung E-mail:
[email protected] Phone: +62 22 6014293 / 73447007 Fax: +62 22 86065137 Contact Person: Ila
6. Pertemuan Ilmiah Ilmu Penyakit Dalam
22-25 Juli 2010, Hotel Sahid Jaya Jakarta Secretariat: Jl. P Diponegoro No. 71, Jakarta 10430 atau Jl. Salemba Raya No. 6 Jakarta 10430 Phone: 021 3142108 / 31930956, 31930166 Fax: 021 3914830 / 3142108 Website: http://www.internafkui.or.id/ pit2010 E-mail:
[email protected] Contact Person: Acep Yulianto, Yunus, Murtini, Nadya Pratiwi
7. KONAS ke-12 & Pertemuan Ilmiah
Tahunan ke-35 12th National Congress & 35th Annual Scientific Meeting of Indonesian Ophthalmologist Association 23-26 Juli 2010, Semarang Secretariat: Bagian Ilmu Kesehatan Mata FK UNDIP/ RSUP Dr. Kariadi Jl. Dr. Sutomo No. 16, Semarang – Jawa Tengah, Indonesia Telp/Fax: 021-8442216 E-mail:
[email protected] Congress Executive: Galih Anindhita
8. Pertemuan Ilmiah Paru Bogor 2010
(The 2nd Bogor Respiratori Scientific Meeting) 23-25 Juli 2010, Bogor Secretariat: Komite Medik RS M. Goenawan Partowidigdo (dh RSTP) Cisarua Raya Puncak Km 83 Cisarua – Bogor Telp: +62 251 8253630 (ext 12) Fax: +62 877 70456783 Hp: 081586962569 / 08170207369 E-mail:
[email protected] Contact Person: Dr. Alvin Kosasih, SpP (08129270404) Dr. Neni Sawotri, SpP (08129616534)
AGUSTUS 2010 1. The 11th Asia Oceania Conference for
Sexology in conjuction with the 3rd National Congress of the Indonesian Association of Sexology Theme: “Sexuality throughout the Life Span” 4-7 August 2010, Discovery Kartika Plaza Hotel, Bali Secretariat: Bali Discovery Tours Komplek Pertokoan Sanur Raya No. 27 Jl. By Pass Ngurah Rai, Sanur, Bali 80227 Telp: +62 361 286283 Fax: +62 361 286284 E-mail:
[email protected] Contact Person :
SEPTEMBER 2010 1. 5th ASEAN Society Pediatric Surgery in
Conjuction with the 2nd Multidisciplinary Pediatric Surgery Meeting 22-25 September 2010, Discovery Kartika Plaza, Bali Secretariat: Pediatric Surgery Division, Department of Surgery Faculty of Medicine University of Indonesia, Cipto Mangunkusumo Hospital Phone: +62 21 31909382; 392 1587 Fax: +62 319 09382; 55960179; 3921587 Contact Person: Lia 08568455050 Tiolan 081317857586
OKTOBER 2010 1. 6th Congress of the Asia Pacific Society
on Thrombosis and Haemostasis 2010 (APSTH 2010) 13-16 Oktober 2010, New Grand Hyatt, Nusa Dua Bali Secretariat: Division of Hematology – Medical Oncology Department of Internal Medicine Medical Faculty, University of Indonesia Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital Phone/Fax: +62 21 3145646 / +62 21 3926286 E-mail:
[email protected] Website: http://www.apsth2010bali.com
2. 13th International Conference of the Asia
Pacific of Surgical Tissue Bank 26-30 Oktober 2009, Padang Bukit Tinggi Secretariat: Dr. M Djamil Hospital Tissue Bank Jl. Perintis Kemerdekaan 25127, Padang – Sumatera Barat Phone: +62 751 841548 Fax: +62 751 841548 E-mail:
[email protected]
3. Jakarta Respiratory Clinical Update
(JRCU) 2010 29-31 Oktober 2010, Sahid Hotel, Jakarta Secretariat: Persahabatan Hospital Asthma Building, 2nd Floor Persahabatan Raya No. 1, Jakarta 13230 Phone: +62 21 47861454 Fax: +62 21 47861454
NOVEMBER 2010 1. Jakarta Diabetes Meeting 2010
Diabetes Lipid & Vascular Risks 13-14 November 2010, Mercure Convention Center, Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Secretariat: Division of Endocrinology and Metabolism Department of Medicine, Faculty of Medicine University of Indonesia / Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta Phone: 021-3907703 / 3100075 Fax: 021-3928658 / 3928659 E-mail:
[email protected]
1.Mr. Arie Sabtono Sukirno | 2.Ms. Moudy Selvana
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
MEDICINUS 53
Event
STIMUNO
TERPILIH SEBAGAI
TOP BRAND FOR KIDS 2010 menyandang predikat merek Top Brand untuk kategori Obat-obatan, kelompok Sistem Imunitas Anak.
Ferry Soetikno (Dexa Medica) menerima penghargaan Top Brand for Kids 2010 untuk STIMUNO, dari PJ Rahmat Susanta (Majalah Marketing) didampingi Handi Irawan D.(Frontier Consulting Group). STIMUNO memperoleh index tertinggi untuk kategori Sistem Imunitas Anak.
Potensi pasar produk-produk fitofarmaka makin berpeluang, sejalan dengan semakin meningkatnya apresiasi konsumen di Indonesia dan manca negara terhadap produk-produk herbal yang telah uji klinis. Salah satu produk fitofarmaka asli Indonesia yang terus mendapat apresiasi dari konsumen Indonesia adalah STIMUNO, yang belum lama ini terpilih menjadi TOP Brand for Kids 2010 untuk kategori Sistem Imunitas Anak. Penghargaan sebagai merek TOP untuk anak-anak ini diberikan oleh Majalah Marketing bekerjasama dengan Frontier Consulting Group di Jakarta pada 23 April 2010. National Sales Manager STIMUNO, Andreas S. Widada menjelaskan bahwa penghargaan yang diperoleh sebagai TOP Brand for Kids 2010 ini, membuktikan bahwa STIMUNO sudah dikenal dan dipercaya oleh konsumen, khususnya untuk kategori sistem imunitas anak. Berdasarkan Top Brand for Kids Index (TBI) 2010 dari hasil riset yang dilakukan oleh Frontier, STIMUNO memperoleh index tertinggi yaitu 88,6% dan berhak
Award ini diberikan kepada merek-merek yang memenuhi dua kriteria, yaitu: Merek-merek yang memperoleh Top Brand for Kids Index minimum sebesar 10%; dan Merek-merek yang menurut hasil survei berada dalam posisi top three di dalam kategori produknya. Kedua kriteria ini harus dipenuhi oleh sebuah merek, untuk dapat menyandang predikat Top Brand. “Survei ini dilakukan oleh lembaga Riset Frontier Consulting Group, diadakan di dua kota besar, yaitu Jakarta dan Surabaya, dengan mengambil sampel sebanyak 1.100 responden. Terdiri dari dua panel responden, yaitu anak-anak sebanyak 500 responden, serta 600 responden panel ibu,” urai Andreas S. Widada lebih lanjut. Andreas S. Widada menambahkan STIMUNO adalah imunomodulator dari herbal alami Indonesia yang dapat membantu meningkatkan daya tahan tubuh. Terbuat dari ekstrak tanaman Phyllanthus niruri (meniran) yang terstandarisasi, dan telah melalui berbagai uji pra-klinis dan klinis. Sebagai imunomodulator, STIMUNO membantu tubuh memproduksi lebih
banyak antibodi dan mengaktifkan sistem kekebalan tubuh, agar daya tahan tubuh bekerja optimal. Ada dua sediaan, yaitu STIMUNO sirup untuk anak-anak di atas 1 tahun dan STIMUNO Forte dalam bentuk kapsul untuk dewasa. Sebagai obat bebas (OTC), STIMUNO telah dipasarkan ke seluruh Indonesia sejak tahun 2005. STIMUNO juga sudah di ekspor ke manca negara sejak tahun 2002. Dipasarkan di Kamboja (tahun 2002), di Vietnam (tahun 2004-2005), yang saat ini dalam proses renewal data registrasi. Sedangkan negara tujuan ekspor STIMUNO yang lain, seperti di Filipina, Myanmar, dan Nigeria sedang dalam proses registrasi. Ragam apresiasi yang diraih STIMUNO, semakin memperkuat fakta bahwa produk-produk herbal semakin diminati konsumen seiring dengan trend kembali ke alam (back to nature). Sebelumnya, STIMUNO juga memperoleh Anugerah Produk Asli Indonesia (APAI), untuk Pemenang Kategori Obat, dari harian Bisnis Indonesia, serta The Most Recommended Brand (produk yang paling direkomendasikan konsumen) untuk kategori Sistem Imunitas Anak oleh onbee Marketing Research dan Majalah SWA. Corporate Communications Dexa Group.
DEXA MEDICA PERKENALKAN VECTRINE di SEMINAR THT VIETNAM PT Dexa Medica di Vietnam mendapat kesempatan memperkenalkan Vectrine dalam satu seminar nasional yang diselenggarakan oleh asosiasi dokter spesialis telinga hidung dan tenggorokan (THT) Vietnam, di Cu Ba Hospital - Hanoi, Selasa 23 Maret 2010. Vectrine merupakan produk baru Dexa Medica di Vietnam yang baru saja dilaunch pada Februari lalu. Tak hanya baru bagi Dexa Medica, Vectrine juga merupakan mukolitik terbaru di Vietnam. Keunggulan dan mekanisme kerja dari Vectrine dipresentasikan di hadapan para dokter THT yang datang, baik dari Hanoi maupun provinsi terdekat.
54 MEDICINUS
Sekitar 80-90 dokter spesialis THT hadir mengikuti seminar tersebut. Lima pakar menyampaikan 3 topik berbeda seputar THT. Topik pertama mengenai “Therapy for Throat and Head Cancer” disampaikan oleh Prof Dai Duy Ban. Topik kedua mengenai “Impact of Cancer Therapy on Internal Ear Structure” disampaikan oleh dr Vu Try Phong. Topik ketiga disampaikan oleh 3 orang pengurus asosiasi dokter spesialis THT Vietnam yakni dr. Ngo Ngoc Lien, dr. Nguyen Hoang Son dan dr. Chu Ngob Binh yang memaparkan program-program yang sudah dilakukan oleh aso-
PT Dexa Medica berpartisipasi memperkenalkan Vectrine saat berlangsungnya Seminar Nasional Asosiasi Dokter Spesialis THT Vietnam, di Hanoi, 23 Maret 2010.
siasi dokter THT tersebut sepanjang tahun 2009 dan akan dilakukan di tahun 2010. Corporate Communications Dexa Group
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
3
MEDICINUS
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
Event
OBAT GENERIK
Makin Diakui Keberadaannya
DI MASYARAKAT DAN PRAKTISI KESEHATAN RI, Dra. Sri Indrawaty, Apt., M.Kes., saat berkunjung di stand OGBdexa usai membuka Kongres Ilmiah Himpunan Seminat Farmasi Rumah Sakit Seluruh Indonesia (HISFARSI) 2010 di Jakarta, 6 Mei 2010.
Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian RI, Dra.Sri Indrawaty,Apt. MKes, saat berkunjung ke stand OGBdexa usai pembukaan Kongres HISFARSI 2010 di Jakarta. Keberadaan Obat Generik makin diakui di kalangan masyarakat dan praktisi kesehatan.
Obat generik semakin diakui keberadaannya di kalangan masyarakat dan praktisi kesehatan, oleh sebab itu, perlu dilakukan peningkatan pelayanan, baik dari segi tingkat produksi dan distribusinya. Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan
“Peningkatan produksi dan distribusi harus dilakukan, karena konsumsi obat generik semakin bertambah,” ujar ibu Sri Indrawaty, yang juga menganjurkan untuk
mencantumkan hasil uji BA/BE dalam stand untuk meningkatkan kepercayaan masayarakat dan praktisi kesehatan terhadap obat generik. Sementara itu, salah satu pengunjung yang berasal dari RSUD Sukabumi, menyatakan bahwa dirinya telah lama menggunakan
OLIMPIADE SAINS KUARK 2010 :
DHARMA DEXA DUKUNG SEMI FINAL UNTUK WILAYAH TANGERANG SELATAN DAN PALEMBANG
Sedangkan khusus dikota Palembang, terseleksi 29 peserta mengikuti tahap ini. Seperti pada tahap penyisihan, peserta dibagi menjadi 3 kelompok Level: Level 1 (1-2 SD), Level 2 (3-4 SD) dan Level 3 (5-6 SD).Kemandirian terlihat saat peserta OSK. Sepanjang lomba, peserta hanya boleh didampingi oleh panitia. Peserta Level 3
OGBdexa terus melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat akan keunggulan dari Obat Generik Berlogo (OGB) dengan range produknya lengkap, kualitas dijamin, harga terjangkau. Selain melalui partisipasi pada pameran kesehatan dan farmasi, edukasi tentang OGB terus dilakukan melalui radio, media cetak, talkshow, ataupun bakti sosial. Produk OGBdexa tidak lepas dari komitmen PT Dexa Medica dalam mendukung program-program pemerintah. OGBdexa juga mudah diperoleh di berbagai rumah sakit, klinik, dan apotik di seluruh wilayah Indonesia. Corporate Communications Dexa Group.
Dharma dexa mendukung Olimpiade Sains Kuark 2010 dengan memfasilitasi pelaksanaan Olimpiade hingga babak semi final, untuk wilayah Bintaro,Tangerang Selatan dan Palembang, 17 April 2010.
tampak tekun dalam menjawab soal, sementara peserta pada Level 1 dan Level 2 lebih ekspresif, seperti beberapa anak terlihat membaca soal dengan suara sedikit nyaring.
Olimpiade Sains Kuark (OSK) 2010 yang telah masuk pada tahap semi final, serentak dilaksanakan di seluruh Indonesia. Dharma dexa – wadah kegiatan sosial Dexa Group -terus mendukung OSK 2010 dengan memfasilitasi pelaksanaan Olimpiade untuk wilayah Tangerang Selatan dan Palembang, Sabtu, 17 April 2010.
Selama 90 menit, seluruh peserta mengerjakan 50 soal tentang Biologi (Botani,Zoologi, Tubuh Manusia), Fisika, Astronomi, Eksperimen, Pengetahuan umum (bersifat sains) dan Elektronika, dengan tingkat kesulitan yang telah disesuaikan.
Sejumlah 62 siswa-siswi SD Negeri/Swasta wilayah Tangerang Selatan lolos seleksi dari 223 peserta di tahap penyisihan Februari lalu, mengikuti babak semi final yang diselenggarakan di Titan Center, Bintaro.
Untuk Palembang, semua lembar jawaban peserta dikumpulkan dan selanjutnya dikirim ke Panitia
Vol. 23, No.2, Edition June - August 2010
OGBdexa. Baginya, kualitas produk OGBdexa tidak kalah dibandingkan dengan produk lainnya. “Selain itu, harganya juga sangat terjangkau. Sangat cocok dengan kebutuhan masyarakat di daerah,” ujarnya diantara puluhan pengunjung yang memenuhi stand OGBdexa.
OSK Pusat di Jakarta. Babak semi final OSK 2010 di seluruh Indonesia diikuti lebih dari 25.000 anak SD/MI di 131 Kabupaten. “Seleksi selanjutnya untuk babak final akan sangat ketat, karena hanya akan dipilih 300 anak dengan nilai tertinggi dari seluruh Indonesia”, ungkap bapak Donald Manik, Representatif PT Kuark Indonesia, di sela-sela berlangsungnya OSK di Titan Center. Babak final Olimpiade Sains yang digagas oleh Prof. Yohannes Surya ini, nantinya akan dilaksanakan pada 26-27 Juni 2010 dan dipusatkan di Jakarta. Corporate Communications Dexa Group.
MEDICINUS 55