Seminar Nasional Forum Manajemen Indonesia 5, Jogjakarta, 2012
CO-OPETITION USAHA KELUARGA KURSUS BAHASA INGGRIS ICB GARUT Dini Turipanam Alamanda Institut Manajemen Telkom,
[email protected] Kursus bahasa Inggris merupakan salah satu kegiatan populer sejak tahun 1980 an di Indonesia tidak terkecuali di kota Garut. Merdeka College ICB merupakan lembaga pendidikan bahasa Inggris pertama di kota Garut. Didirikan sejak tahun 1986, ICB menjadi ikon yang sangat populer saat itu, hampir semua peminat kursus bahasa Inggris se kabupaten Garut berbondong-bondong kesana. Rata-rata siswa ajarnya mencapai 500 orang per semester, jumlah yang cukup fantastis saat itu jika dibandingkan dengan kapasitas gedungnya. Bisnis keluarga yang dirintis oleh pendirinya bapak Adang Kurnia ini terus mengalami kemajuan pesat, selain kursus bahasa Inggris, ICB merambah ke jenis kursus lain seperti elektro, otomotif, kesekretariatan, mengetik, dan komputer. Namun seiring perkembangan jaman, persaingan di bidang kursus tidak dapat dihindari, terlebih setelah munculnya bimbingan belajar untuk para pelajar, kurang lebihnya menyedot sebagian besar pasar potensial kursus dan juga diantara kursus bahasa sendiri. Di tahun 2000an bisnis kursus bahasa Inggris sudah hampir diambang kebangkrutan, peminatnya tinggal 10% dari semula, bidang kursus lainnya seperti mengetik, elektro dan otomotif selesai karena tidak ada peminat. Bukan hanya itu pegawai dan guru-guru pun hampir tinggal 5 %dari jumlah semula. ICB kemudian mencoba bangkit dengan mengambil jenis usaha lain di bidang pendidikan. Melihat potensi wisata dan hotel di kabupaten Garut yang cukup diminati para wisatawan, Pak Adang, akhirnya membuka sekolah perhotelan 1 tahun di akhir tahun 2000. Peminatnya memang tidak banyak, tetapi dapat melanjutkan usaha bidang pendidikan yang dicintainya. Penelitian ini membahas bagaimana value co-creation dari bisnis kursus bahasa Inggris, dan melihat kompetisi serta kolaborasinya dengan value net. Dalam value net digambarkan co-opetition, dimana ICB sebagai pusat model, kursus dan lembaga pendidikan sebagai pesaing, Diknas, Disnaker, Hotel sebagai komplementor. Siswa, mahasiswa dan masyarakat umum digambarkan sebagai pelanggan. Suppliernya terdiri dari pengajar, dan universitas.
1
Seminar Nasional Forum Manajemen Indonesia 5, Jogjakarta, 2012 Dengan teknik wawancara terhadap pemilik, mantan pengajar, pengajar, mantan karyawan, karyawan, siswa ajar, mantan siswa ajar, dan pihak-pihak pemerintah yang pernah tahu kejayaan ICB riset ini menghasilkan data yang kaya bagaimana bisnis kursus bahan Inggris ini dimulai, berkembang, jaya dan layu. Berubahnya co-opetition dalam value net menandakan pentingnya inovasi dan menjaga hubungan baik dengan para stakeholder dalam bisnis keluarga. Kata Kunci: Kursus Bahasa Inggris ICB, Co-opetition, Value Net
PENDAHULUAN Di era globalisasi ini, bahasa memegang peranan yang sangat penting untuk manusia dalam melakukan komunikasi. Banyak negara menggunakan bahasa Inggris dalam komunikasi seharihari dan tidak sedikit pula yang tidak menggunakan bahasa Inggris. Bahasa Inggris dikenal sebagai bahasa internasional, sehingga membuat negara-negara yang tidak menggunakan bahasa Inggris terdorong untuk memperkenalkan dan mempelajari bahasa tersebut baik di sekolah formal maupun informal. Salah satu lembaga informal yang menjual produk belajar bahasa Inggris adalah lembaga kursus bahasa Inggris. Lembaga informal ini jumlah cukup fantastis di Indonesia, sebut saja EF (English First) yang berdiri sejak tahun 1965 mempunyai 400 kantor dan sekolah di seluruh Indonesia (englishfirst, 2011), LIA (Lembaga Indonesia-Amerika) berdiri sejak 1959 dan mempunya 80 gerai di 18 provinsi dengan rata-rata jumlah siswa 240.000 per tahunnya (liapramuka.com/about-us, 2012). Di tahun 1984, TBI (The British Institute) muncul dan telah meluluskan 30.000 siswanya (majalahfranchise, 2012). Tiga lembaga kursus tersebut merupakan beberapa kursus bahasa Inggris yang paling sukses di Indonesia. Kesuksesannya banyak menginspirasi pengusaha lembaga kursusan daerah dan membuat bisnis kursus bahasa Inggris ini menjamur di era tahun 80-a. Salah satu yang terinspirasi adalah Bapak Adang Kurnia
2
Seminar Nasional Forum Manajemen Indonesia 5, Jogjakarta, 2012
yang kemudian mendirikan lembaga kursus bahasa Inggris ICB (International Communication Bridge) di kabupaten Garut pada tahun 1986. Belajar bahasa Inggris dianjurkan banyak pakar bahasa dimulai sejak kecil, karena otak anakanak masih banyak menyimpan memori kosong sehinggalebih mudah menyerap materi yang diajarkan. Seorang pakar bahasa, Eric Lennenberg, mengatakan bahwa sebelum masa pubertas, daya pikir anak lebih lentur sehingga lebih mudah belajar bahasa sedangkan sesudahnya akan semakin berkurang dan pencapaiannya kurang maksimal. Oleh sebab itu, pada tahun sekolah dianjurkan untuk memasukkan bahasa Inggris ke dalam kurikulumnya, namun untuk Sekolah Dasar baru mulai dilaksanakan di tahun 90-an. Terbatasnya waktu ajar bahasa Inggris di sekolah formal, membuat pada siswa dan orangtuanya mencari sekolah informal sebagai alternatif untuk memperlancar bahasa Inggrisnya. Lembaga bahasa Inggrispun berlomba-lomba untuk menjadi lembaga kursus terbaik, memiliki jumlah siswa yang banyak dan menjadikannya nomor satu di kotanya. Semakin banyaknya lembaga kursus bahasa Inggris yang berkembang saat itu, membuatnya harus memiliki keunikan tersendiri. Perbedaan lembaga kursus bahasa Inggris besar dan kecil adalah dari pengadaan guru asing (native-speaker), harga dan teknologi pendukung. ICB Garut merupakan satu-satunya lembaga kursus bahasa Inggris di kabupaten Garut saat itu (1980an). Karena hanya satu-satunya, ICB menjadi sangat populer, rata-rata 500 orang per semester mendaftar kesana. Sampai awal tahun 1990, ICB telah meluluskan sekitar 5.000 siswa ajar. Jumlah nya semakin meningkat dan di tahun 1995, jumlah yang telah diluluskan sekitar 13.265 siswa. Angka tersebut cukup fantastis di kota Garut. Pesaing-pesaing baru tidak mampu
3
Seminar Nasional Forum Manajemen Indonesia 5, Jogjakarta, 2012
menyaingi kepopuleran ICB, dan memang tidak ada lembaga kursus besar yang masuk ke kabupaten Garut. Namun kondisi tersebut mulai berubah ketika pusat bimbingan belajar mulai muncul (1991) dan berkembang pesat di tahun 1995 (munculnya Ganesha Operation). Kemunculan pusat bimbingan belajar membuat banyak orangtua yang mempunyai keterbatasan dana dan siswa yang mempunyai keterbatasan waktu membuat pilihan apakah sepulang sekolah mengikuti kursus bahasa Inggris atau ikut bimbingan belajar. Bermunculannya lembaga kursus bahasa Inggris baru dan bimbingan belajar membuat pangsa pasar ICB semakin berkurang. Tanpa inovasi dari segi kurikulum maupun teknologi di bidang bahasa Inggris, membuat ICB semakin tertinggal, hingga di tahun 2012 jumlah siswa bahasa Inggrisnya hanya berjumlah 20 siswa dan jumlah gurunya hanya 1 orang. Fenomena ini menjadi sangat menarik untuk diteliti. Maka, penelitian mengangkat isu bagaimana co-opetition dari lembaga kursus ICB di periode kejayaan (1986-1995) dan di diperiode kelesuan (1995-2012). KAJIAN PUSTAKA ICB (International Communication Bridge) Merdeka College ICB atau lebih dikenal dengan nama ICB merupakan perintis lembaga kursus bahasa Inggris di kabupaten Garut. Berdiri sejak tahun 1986 dengan lokasi di Jalan Ciledug Garut, 2 tahun berikutnya lokasi pindah ke Jalan Merdeka sehingga pemilik, Bapak Adang Kurnia, menambahkan Merdeka College di depannya. Bapak Adang Kurnia dikenal sebagai salah satu wiraswasta sukses di kabupaten Garut. Selain bergerak di bidang kursus bahasa Inggris, bisnis nya merambah ke bidang pariwisata dan perhotelan. Selain kursus bahasa Inggris, kursus yang pernah diselenggarakan di ICB antara lain, komputer, mengetik 10 jari, 4
Seminar Nasional Forum Manajemen Indonesia 5, Jogjakarta, 2012
otomatif, elektro, dan kesekretariatan. Namun karena kurangnya peminat, hanya kursus bahasa Inggris dan komputer yang bertahan sampai tahun ini. Tabel 1 menyajikan jumlah siswa bahasa Inggris pertahun nya sejak tahun 1986-2012. Tabel 1. Jumlah Siswa Ajar Bahasa Inggris ICB (1986-2012) Tahun Jumlah Siswa (Orang) Tahun Jumlah Siswa (Orang) 1986 860 2000 506 1987 921 2001 404 1988 976 2002 321 1989 1.041 2003 225 1990 1.300 2004 201 1991 1.406 2005 154 1992 1.415 2006 107 1993 2.007 2007 143 1994 1.550 2008 179 1995 1.789 2009 134 1996 1.500 2010 78 1997 1.300 2011 54 1998 1.021 2012 20 1999 897 Total Siswa Ajar 20.509 Sumber: Data Internal ICB, 2012
Koopetisi (Co-opetition) Secara terminologi, istilah co-opetition pertama kali dicetuskan oleh Noorda (1993) pendiri perusahaan perangkat lunak jaringan (networking software). Noorda memberikan pandangan bahwa co-opetition yang merupakan perpaduan bekerjasama (cooperation) dan bersaing (competition) dapat menciptakan hubungan yang lebih dinamis ketimbang yang diisyaratkan oleh kata “persaingan” dan “bekerjasama” secara terpisah. Selanjutnya, Bradenburger dan Barry (1996) menggunakan istilah co-opetition dan menjadikannya sebuah judul buku “Co-opetition”.
5
Seminar Nasional Forum Manajemen Indonesia 5, Jogjakarta, 2012
Mewujudkan co-opetition ke dalam praktik bukanlah hal mudah, bukan hanya menyadarkan diri sendiri untuk berpikir kerjasama dan menang - menang tetapi juga butuh kerangka untuk memikirkan konsekuensi yang akan didapat dari kerjasama dan persaingan tersebut (Bradenburger dan Barry, 1996). Begitu pula dengan Dagnino dan Padula (2002) yang menjelaskan situasi aktivitas kerjasama dan persaingan secara simultan. Co-opetition juga merupakan dampak dari berbagi pengetahuan yang bisa menjadi keunggulan kompetitif. Pengetahuan di dapat atau terjadi dalam kerjasama yang dapat juga digunakan untuk bersaing (Osorio dkk. 2002; Levy dkk. 2003).
Perkembangan konsep co-opetition berkembang sangat cepat, Ngo dan Okura (2008) misalnya, mengaplikasikan prinsip co-opetition ini pada sebuah pasar mixed duopoly untuk melihat dampak privatisasi pada tingkat kerjasama dan persaingan diantara perusahaan yang berada pada pasar tersebut. Ngo (2006) juga pernah mempresentasikan co-opetition contest model yang menjadi bahasan populer di European Institute for Advanced Studies in Management (EIASM). Kemudian, aplikasi bisnis untuk co-opetition diantaranya Rodrigues dkk. (2009) yaitu pada studi kasus merek global Nike dan Ipod co-branding, Bradenburger dan Barry (1996) pada studi kasus aspartam untuk pepsi dan coca cola. Tsai (2002) pun mencoba mengaplikasikan konsep co-opetition ini pada organisasi multi unit dengan tiga variabel: koordinasi, persaingan dan berbagi pengetahuan intraorganisasi. Untuk studi kasus di Indonesia, Siregar dkk. (2006) mengaplikasikan co-opetition pada studi kasus perbankan di Indonesia.
Co-opetition dapat menjadi subjek alternatif diantara dua strategi yang berlawanan, dimana yang satu ingin bekerjasama (dijelaskan dengan model relasi) dan yang lain ingin bersaing (dikarakterkan dengan model sebaran). Model tersebut sangat mirip dengan apa yang diutarakan
6
Seminar Nasional Forum Manajemen Indonesia 5, Jogjakarta, 2012
Bengtsson dkk. (2000), dimana terdapat tiga tipe hubungan bersifat co-opetition: competitiondominated, cooperation-dominated, and equal relationships. Co-opetition yang dibuat oleh Bradenburger dan Barry (1996) merupakan rangkuman dari lima hal:
1. Berpikir tentang komplemen Dengan contoh klasik mengenai komplemen adalah perangkat keras komputer dan perangkat lunaknya. Hal pertama ini menjelaskan bahwa komplemen selalu bersifat timbal balik. Perangkat keras komputer tidak bisa melupakan perangkat lunak dan begitu pula sebaliknya. 2. Jaring nilai (value net) Karena pengenalan co-opetition bermula untuk bisnis. Jaring nilai mengungkap dua simetri fundamental dalam permainan bisnis. Pada dimensi vertikal, pelanggan dan pemasok memainkan peran simetrik. Mereka merupakan mitra sejajar dalam menciptakan nilai. Tetapi orang tidak selalu menyadari simetri ini. Pada dimensi horizontal, terdapat komplementor dan kompetitor. Yang akan dilihat perbedaan dua hal tersebut adalah kata ‘lebih” dalam definisi komplementor menjadi definisi “kurang” dalam definisi kompetitor. Sering sekali dalam bisnis semua orang terfokus pada salah satu sisi bisnis, dan melupakan yang lain. Jaring nilai dirancang untuk mengatasi kecenderungan ini. Jaring nilai digambarkan dalam Gambar 1 berikut.
7
Seminar Nasional Forum Manajemen Indonesia 5, Jogjakarta, 2012
Gambar 1. Jaring Nilai Co-opetition (Sumber:Bradenburger dan Barry 1996)
3. Menebarkan jaring Sejauh ini, menebarkan jaring nilai hanya dari satu sudut pandang yaitu menempatkan diri di tengah dan kemudian melihat ke sekeliling pelanggan, pemasok, pesaing dan komplementor. Ini belum lengkap, masih ada pelanggan dari pelanggan, pemasok dari pemasok, pesaing dari pesaing, komplementor dari komplementor dan seterusnya. Menggambar jaring dapat membantu dan menemukan cara untuk meningkatkan permintaan akan apapun yang dijual pada pelanggan. Membantu pelanggan sama saja dengan membantu perusahaan juga. 4. Memainkan banyak peran Orang memainkan banyak peran dalam kehidupan. Hal tersebut membuat permainan jauh lebih rumit. Adakalanya seseorang sedang memainkan satu orang dan lupa pada perannya yang lain. Jaring nilai akan membantu untuk menghilangkan kemelut tersebut. Dalam jaring nilai, percuma menempatkan seseorang hanya sebagai pelanggan atau hanya sebagai pemasok saja atau hanya sebagai pesaing saja atau hanya sebagai komplementor.
8
Seminar Nasional Forum Manajemen Indonesia 5, Jogjakarta, 2012
5. Menentukan siapa kawan dan siapa lawan Sepanjang dimensi vertikal dari jaring nilai, ada paduan kerja sama dan persaingan. Ada kerja sama bilamana pemasok, perusahaan, dan pelanggan berpadu bersama untuk menciptakan nilai. Tetapi jika nilai itu harus dibagi, pelanggan mendesak untuk mendapatkan harga yang lebih rendah, dan pemasok juga menghendaki bagian. Jadi persaingan ada ketika harus berbagi nilai. Istilah co-opetition adalah yang terbaik untuk memeriksa hubungan perusahaan dengan pelanggan dan pemasok. Penjelasan ini juga berlaku sama untuk dimensi horizontal.
METODE PENELITIAN Metode penelitian kualitatif mencerminkan model analisis induktif atau proses perpindahan dari pengamatan khusus ke teori umum (Byrne, 2001). Menurut Patton dalam Golafshani (2003) penelitian kualitatif menggunakan pendekatan naturalistik yang berusaha untuk memahami fenomena dalam konteks pengaturan khusus, seperti "pengaturan dunia nyata di mana peneliti tidak berusaha untuk memanipulasi fenomena." Penelitian kualitatif, didefinisikan secara luas, berarti "setiap jenis penelitian yang menghasilkan temuan tidak muncul melalui prosedur statistik atau cara kuantifikasi lainnya" (Strauss dan Corbin di Golafshani, 2003), dan sebagai gantinya, jenis penelitian yang menghasilkan temuan yang muncul dari pengaturan dunia nyata dimana "fenomena yang terungkap secara natural" (Patton di Golafshani, 2003). Desain penelitian ini disajikan dalam Gambar 2.
9
Seminar Nasional Forum Manajemen Indonesia 5, Jogjakarta, 2012
Gambar 2. Desain Penelitian Penelitian ini dimulai dengan observasi tentang fenomena sosial. Fenomena sosial disni yaitu memetakan value net dari bisnis kursus bahasa Inggris ICB, bagaimana co-opetition ICB dengan pesaing, komplementor, pemasok dan pelanggannya. Untuk mendapatkan data digunakan teknik wawancara indepth interview yaitu wawancara kepada responden secara perseorangan. Responden-responden tersebut disajikan profilnya dalam Tabel 2 dan 3. Tabel 2. Profil Responden Terkait ICB Langsung No
Nama (Inisial)
Keterkaitan dengan ICB
Lama Bekerja/ Belajar
1
AK
Pemilik
30 tahun
2
MR
Mantan staf
24 tahun
3
WAR
Mantan pengajar
14 tahun
4
DIL
Mantan siswa ajar
2 tahun
5
DR
Staf
12 tahun
6
DPP
Siswa ajar
1,5 tahun
7
AM
Pengajar
2 tahun
10
Seminar Nasional Forum Manajemen Indonesia 5, Jogjakarta, 2012
Tabel 3. Profil Responden Tidak Terkait ICB Langsung No
Nama (Inisial)
Status
Lama Bekerja/ Belajar
1
AR
Mantan Staf Disnaker Garut
Pensiun
2
HT
Mantan Staf Diknas Garut
Pensiun
3
MI
Direktur Hotel EA
16 tahun
Adapun kerangka pemikiran penelitian ini ditampilkan dalam Gambar 3.
Jaring nilai
Jaringan
Co-opetition
Komplemen
Kondisi Bisnis Kursus Bahasa Inggris ICB Garut
Peran
Kawan dan Lawan
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penelitian Hipotesis penelitian ini adalah co-opetition dari pemasok, pesaing, komplemen dan pelanggan mempengaruhi kondisi bisnis kursus bahasa Inggris ICB Garut. Sample dipilih berdasarkan nonprobability sampling yaitu menggunakan teknik snowball (bola salju). Proses validitas dan reliabilitas penelitian ini menggunakan triangulasi kepada seluruh responden yang terkait baik langsung maupun tidak langusng dengan ICB Garut.
11
Seminar Nasional Forum Manajemen Indonesia 5, Jogjakarta, 2012
HASIL ANALISIS Hasil coding dari transkrip wawancara terhadap 10 responden beserta kategorinya disajikan dalam gambar 4. Gambar 4 merupakan hasil kategorisasi mengenai para pemain yang terlibat dalam co-opetition kursus bahasa Inggris ICB baik di periode 1986-1995 maupun 1995-2012.
Gambar 4. Hasil Coding Wawancara Mengenai Co-opetition Pemain 12
Seminar Nasional Forum Manajemen Indonesia 5, Jogjakarta, 2012
Dari hasil pemetaan, bisa dilihat bahwa value net periode 1996-1995 sedikit berbeda dengan periode 1995-2012. Perubahan terjadi pada pemasok, di periode 1995-2012, ICB tidak bekerja sama lagi dengan dengan Diknas untuk pengadaan buku ajar, ICB juga tidak merekrut guru-guru bahasa Inggris SMA maupun sarjana sebagai pengajar. Pengajar yang tersisa hanya beberapa tinggal 3 orang dari sebelumnya berjumlah 25 orang, 3 orang yang tersisa terdiri dari anak pemilik ICB sendiri, saudara dekat dan kenalan lama pemilik ICB. Dapat dilihat bahwa selama periode 1986-1995, co-opetition berlangsung searah, ICB mendapatkan pasokan, tetapi tidak menanyakan apa yang pemasok harapkan dari ICB sendiri dan melupakan bahwa terdapat skenario yang lebih baik bagi para pemasok selain harus menjadi pemasok ICB. Dari segi pesaing, periode kedua seiring dengan berkembangnya jaman, ICB mendapatkan banyak pesaing. Murid-murid yang dulu belajar di ICB, membuka usaha kursus serupa. Bukan hanya murid tetapi pengajar pun selain mengajar di ICB, mereka membuka kursus juga di rumah mereka. Selain itu munculnya bimbingan belajar, membuat orang tua murid dengan penghasilan terbatas harus memilih apakah anaknya akan diberi tambahan kursus atau bimbel. Usaha pendekatan terhadap orang tua baik melalui iklan langsung maupun tidak langsung tidak dilakukan ICB, yang dilakukan adalah pendekatan terhadap siswa saja. Kelemahannya adalah para siswa bukan pengambil keputusan dan yang kedua para siswa pun mulai berfikir karena punya keterbatasan waktu, apakah bimbel atau kursus bahasa Inggris yang lebih penting. Kursus bahasa Inggris online pun ternyata punya dampak, meskipun tidak signifikan pada saat itu. Penawaran harga murah belajar bahasa Inggris cukup menggiurkan walaupun dianggap banyak pihak, belajar tatap muka langsung lebih baik daripada via internet.
13
Seminar Nasional Forum Manajemen Indonesia 5, Jogjakarta, 2012
Kondisi ICB menjadi sangat berat ketika pesaing semakin bertambah, tetapi jumlah pelanggan semakin menurun. Para profesional seperti guru sekolah, pegawai bank, pegawai hotel, dan pegawai negari tidak lagi menggunakan ICB sebagai tempat kursus bahasa Inggris. Hal tersebut karena berkembangnya sistem bundling yang dilakukan oleh para pemilik kursus bahasa lain yang mendatangkan pengajar ke tempat kerja dengan bonus beragam dan harga lebih murah. Strategi bisnis tersebut tidak dihiraukan ICB dan menganggap tidak perlu, karena merasa brand ICB cukup sounding. Akhirnya, hanya tinggal pelajar saja yang menjadi pelanggannya dan saat ini hanya tinggal 20 orang, 12 diantaranya pasif dan hanya 8 orang pelajar yang aktif. Dari segi komplemetor sebenarnya ICB meningkatkan nilai dengan membuat jurusan D3 perhotelan di periode 2. Selain itu membangun hotel dan sarana wisata alam untuk mendukung perkulihan. Namun ternyata komplementor baru tidak mempunyai kekuatan untuk meningkatkan pasar. Berbeda dengan komplementor sebelumnya yang berasal semuanya berasal dari eksternal yang memperkuat posisi ICB. Namun sayangnya tidak dikelola dengan baik sehingga kursus lain di ICB yang lebih dulu mati menjadi tidak bernilai lagi dan pihak pemerintah yang tadinya memperkuat posisi ICB, karena dari pihak pemerintah menilai keberadaan ICB dapat meningkatkan kemampuan bahasa warga Garut dan pemerintahpun menjadi pendamping ICB baik untuk melegalkan ujian negara maupun masalah bantuan pendanaan. Karena pesaing ICB melakukan inovasi dan menarik perhatian pemerintah, dan ICB pun tidak sadar dengan kondisi tersebut, akhinya pemerintah tidak berperan lagi sebagai komplementor. KESIMPULAN Dari value net diatas dapat dilihat co-opetition ICB dengan para stakeholdernya baik di periode perkembangan hingga puncak kejayaan (1986-1995) maupun pada kondisi kemunduran
14
Seminar Nasional Forum Manajemen Indonesia 5, Jogjakarta, 2012
(1995-2012). Tidak adanya inovasi yang meningkatkan nilai bagi ICB membuat posisi ICB menjadi mundur karena kondisi kompetisi lebih mendominasi daripada koordinasi itu sendiri. Kursus bahasa inggris yang bertahan selama 2 dekade ini akhirnya menyerah. Pentingnya inovasi dan menjaga hubungan baik, baik itu dengan pelanggan, pemasok, pesaing maupun komplemen berlaku bukan hanya dibisnis besar tetapi juga di bisnis keluarga. Untuk ICB sendiri, jika ingin melanjutkan bisnis dibidang pendidikan, perlu dilakukannya regenerasi kepemilikan yang mampu melanjutkan bisnis dengan penuh inovatif, mampu membangun kerjasama dan mempenyai networking yang baik dengan stakeholder yang diinginkan. Dari segi metode penelitian, ICB hanya merupakan satu contoh bisnis keluarga yang dipetakan dengan value net melalui sifat co-opetitionnya. Kedepannya bisa diambil kursus lain yang mempunyai sejarah yang hampir miri sehingga lebih memperkuat hasil penelitian yang sekarang DAFTAR PUSTAKA Bengtsson, M. dan Kock, S. 2000. Co-opetition in Business Networks- to cooperate and compete simultaneously. Industrial Marketing Management, 29, 5, 411-426, Elsevier Science. Bradenburger, A., dan Barry, N. 1996. Co-opetition. New York: Bantam Doubleday Dell Publishing Byrne, M. (2001a). Disseminating and presenting qualitative research findings. AORN Journal, 74(5), 731-732. Dagnino, G. B. dan Padula. 2002. Coopetition Strategy: A New Kind of Interfirm Dynamics for Value Creation. Paper presented at the Innovative Research in Management, European Academy of Management (EURAM), Second Annual Conference, Stockholm, May 9–11
15
Seminar Nasional Forum Manajemen Indonesia 5, Jogjakarta, 2012
Golafshani, N. .2003. Understanding reliability and validity in qualitative research. The Qualitative Report, 8(4), pp. 597-607. Levy, M., Loebbecke, C., Powell, P. 2003. SMEs, Co-opetition and Knowledge Sharing: the Role of Information Systems. European Journal of Information Systems, 12, 3-17. Majalahfrancise,
2012.
Jumlah
lulusan
TBI.
http://www.majalahfranchise.com/?link=berita&id=1107. Diakses tanggal 18 September 2012. Noorda, Ray. 1993. The Portmanteau "Co-opetition". Electronic Business Buyer edisi Desember 1993. Ngo, D. D. (2006): Coopetition Contest Model. Paper presented at the 2nd Workshop on Coopetition Strategy, European Institute for Advanced Studies in Management (EIASM), Milan (Italy), September, 14–15 Ngo., D.D., dan Okura, M., (2008): Coopetition in a Mixed Duopoly Market. A paper of Grantin-Aid for Scientific Research, Nagasaki University, Jepang, April. Osorio, C., Gomes, D., Leitão, J. (2002): “Parcerias Estratégicas da Banca Portuguesa em Portais Digitais”, Revista Portuguesa e Brasileira de Gestão, 1, 3, 96-104. Rodrigues ,F., Souza, V., Leitão, J. (2009): Strategic Coopetition of Global Brands: A Game Theory Approach to `Nike +iPod Sport Kit' Co-branding, MPRA Paper No. 16146, posted 09. July 2009 Siregar, S. L. (2006): Ko-opetisi Perbankan di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi IV, Institut Teknologi Surabaya, Indonesia. 16
Seminar Nasional Forum Manajemen Indonesia 5, Jogjakarta, 2012
Tsai, W. (2002): Social Structure of "Coopetition" within a Multiunit Organization: Coordination, Competition, and Intraorganizational Knowledge Sharing , Organization Science, 13, 2 (Mar. - Apr., 2002), 179-190. http://www.jstor.org/stable/3085992 Data Internal ICB tahun 1986-2012
17