Clinical Consideration in Choosing an Antibiotic Rizka Humardewayanti Asdie-Nugroho Subdivision of Tropical and Infectious Diseases, Internal Medicine Department Faculty of Medicine, Universitas Gadjah Mada / Sardjito Hospital, Yogyakarta
Abstract Empiric antibiotics for some infectious diseases will improve clinical symptoms more quickly, and the eventual outcome is improved compared with delayed or inappropriate therapy. As a consequence, clinicians initiate antibiotics for any clinical problem that might be a bacterial infection even when symptoms are mild and often even when symptoms are probably caused by a virus. An approach must has led to a striking overuse of antibiotics, which in turn has led to the evolution of bacteria (e.g., Streptococcus pneumoniae or Staphylococcus aureus) resistant to antibiotics that previously were effective. In the United States, antimicrobial agents are the second most commonly used class of drugs (second to agents used for cardiovascular disorders). In hospitals, approximately 25% to 40% of patients receive an antibiotic, accounting for nearly 25% of total drug acquisition, whereas about 15% of office-based private practice prescriptions are for antibiotics. Several studies suggest that approximately 50% of antibiotic use in the United States is inappropriate. In Sardjito Hospital, from the results of the audit the use of antibiotics in pneumonia patients get the irrational use of antibiotics reached 68 %. Excessive and inappropriate antibiotic use can lead to the emergence of bacterial resistance and increase the economic burden of health care; additionally, many adverse affects of drugs may be seen. Key words: antibiotics, clinical consideration, hospital
1
Intisari Pemilihan antibiotika empiris yang tepat untuk suatu penyakit infeksi akan memperbaiki gejala klinis lebih cepat dan tentu saja akan mempengaruhi outcome dibandingkan pemberian yang tidak tepat atau terlambat. Sebagai konsekuensinya maka klinisi harus menginisiasi antibiotik untuk beberapa masalah klinis yang disebabkan oleh infeksi bakteri, meski gejala yang ada ringan dan mungkin juga gejala yang ada itu disebabkan oleh virus. Sehingga perlu pendekatan dan pertimbangan didalam memilih antibiotika supaya tidak terjadi penyalahgunaan pemakaian antibotika, yang pada akhirnya akan menyebabkan evolusi dari bakteri menjadi resisten terhadap antibiotika tersebut. Di Amerika Serikat, antimikroba merupakan klas obat kedua yang paling sering digunakan (kedua dari penggunaan obat kardiovaskuler). Di rumah sakit, kurang lebih 25-40% pasien menerima antibiotika, dan hampir 25% dari total pemakaian obat, sedangkan 15% dari peresepan di praktek swasta berupa antibiotika. Beberapa penelitian di Amerika Serikat menyebutkan bahwa 50% dari penggunaan antibiotika tidak tepat (tidak sesuai indikasi, salah obat, salah dosis atau durasi). Di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr Sardjito, dari hasil audit pemakaian antibiotika pasien pneumonia didapatkan pemakaian antibiotik yang tidak rasional mencapai 68%. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa pemakaian anbitiotika yang tidak tepat akan menyebabkan resistensi, menyebabkan kolonisasi patogen yang resisten dimana jika superinfeksi terjadi, pasien yang terinfeksi dengan organisme resisten antibiotika akan lebih memerlukan rawat inap, durasi rawat inap lebih lama, dan risiko kematian tinggi. Kata kunci: antibiotika, pertimbangan klinis, rumah sakit Latar Belakang Pemilihan antibiotika empiris yang tepat untuk suatu penyakit infeksi akan memperbaiki gejala klinis lebih cepat dan tentu saja akan mempengaruhi outcome. Di satu sisi pemakaian antibiotika yang tidak
2
tepat akan menyebabkan resistensi kuman patogen, sehingga klinisi perlu mempertimbangkan pendekatan yang baru dan pendekatan yang berbeda terhadap pasien dengan gejala-gejala yang dicurigai karena penyakit infeksi. Pendekatan/pertimbangan ini harus efektif untuk penderita penyakit infeksi dan pada saat yang sama tidak menggunakan antibiotika jika memang tidak ada indikasinya. Ada dua komponen yang penting didalam mempertimbangkan pemberian antibiotika, yaitu: pertama, pada orang orang yang sakit parah (seriously ill), membutuhkan spektrum antibiotik yang mencakup kemungkinan patogen-patogen yang resisten; yang kedua, penggunaan antibiotik harus diminimalkan pada kondisi pasien tidak akan mendapatkan keuntungan dari pemberian antibiotik, sebagai contoh memberikan antibiotika pada infeksi karena virus. Dengan menggunakan dua teknik ini maka diharapkan akan dapat memperpanjang usia antibiotika karena jika tidak maka industri farmasi tidak mempunyai cukup waktu untuk mengembangkan suatu antibiotika yang baru yang aman dan efektif1. Dalam pemberian antibiotika maka ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan untuk mendapatkan efek yang optimal dari pemakaian antibiotika tersebut. Pertimbangan ini tercantum dalam : Sepuluh Pertanyaan yang harus selalu muncul dan dijawab sebelum memberikan dan memilih antibiotika secara bijaksana 1. Pertanyaan Pertama: Apakah Antibiotika Memang Dibutuhkan?1 Pertanyaan ini sering sekali sangat sulit dijawab. Sebagai contoh pasien dengan suatu keganasan hematologi atau penyakit autoimun yang menunjukkan demam. Demam ini apakah sebagai tanda dari infeksi ataukah sebagai tanda dan gejala keganasan atau penyakit autoimun itu sendiri. Tidak semua demam merupakan tanda terjadinya suatu infeksi, dan tidak semua infeksi itu disebabkan oleh bakteri yang membutuhkan suatu antibiotika. Sebagai contoh, untuk individu dengan gejala-gejala lebih dari satu minggu atau lebih dan gejala-gejala ini muncul tidak secara cepat, maka antibiotika dapat diberikan setelah mendapatkan cukup bukti memang terjadi infeksi bakteri.
3
Pertanyaan Kedua: Sebelum Antibiotika Diberikan Apakah Spesimen Klinik Sudah Terambil, Diperiksa dan Dikultur? 1. Banyak sarana kesehatan yang belum mempunyai sarana untuk membiakkan dan menilai kepekaan suatu kuman patogen (pemeriksaan kultur dan sensitivitas), sehingga sering kali antibiotika diberikan sebelum spesimen klinik diambil untuk diidentifikasi. Pengecatan Gram merupakan salah saru sarana yang sangat berharga. Pengecatan Gram ini membantu mengidentifikasi apakah kumannya coccus Gram positif atau basil Gram negatif. Lebih lanjut diperlukan 10 5 kuman patogen untuk dapat terlihat, dan dibutuhkan 10 6-107 mikroorganisme untuk menimbulkan penyakit. Adanya tipe morfologi yang multipel mengindikasikan infeksi anaerob dan jika pada abdomen menunjukkan adanya perforasi1. Spesimen dari tempat infeksi harus diambil sebelum pemberian antibiotika. Kultur darah hampir semua diindikasikan untuk penyakit dengan gejala yang sistemik. Untuk penyakit dengan demam yang tidak tinggi, tiga kultur diambil dengan jarak 1-2 jam atau selama 24 jam jika terjadi sub akut endokarditis bakterial. Jika terjadi pemberatan penyakit maka kultur diambil dengan jarak 20-30 menit 1. Pertanyaan Ketiga: Organisme Apa yang Mungkin Diperkirakan Sebagai Penyebab?1 Menggunakan informasi klinis dan hasil pemeriksaan pengecatan Gram, maka pemberian terapi antibiotika empiris dengan aktivitas yang baik yang melawan kuman patogen dicurigai sebagai penyebab dapat dimulai. Ini sangat penting untuk pasien-pasien dengan sakit ringansedang, dan untuk organisme yang mungkin tidak barasal dari tempat yang dikultur. Sebagai contoh pasien dengan pneumonia dimana pengecatan Gram menunjukkan organisme pleomorfik terapi ditujukan untuk kuman Haemophilus influenza dan bukan untuk kuman S. pneumoniae. Maka Azithromycin tidak perlu ditambahkan. Sistem organ yang terlibat (misal genitourinaria, pulmonal, kulit atau bilier) akan mempengaruhi keputusan apakah akan ditujukan ke kuman Gram
4
positif, Gram negatif, atau kuman anaerob. Selulitis akut biasanya disebabkan kuman Gram positif, ISK Gram negatif. Akan tetapi pada laki-laki usia lanjut dengan ISK dan hasil pengecatan gram menunjukkan kuman coccus Gram positif antibiotika harus ditujukan pada enterococcus atau Staphylococcus. Usia dapat memberi petunjuk. Sebagai contoh pada pneumonia, kuman patogen tertentu banyak terjadi pada kelompok usia tertentu. Pada usia lanjut, infeksi mungkin memberi gambaran atipikal dengan riwayat penyakit yang tidak jelas, tidak ada tanda dan gejala pada pemeriksaan dan tidak adanya tanda demam, akan tetapi angka morbiditasnya tinggi pada kelompok usia lanjut1. Pertanyaan Keempat: Antibiotik Apa yang Harus Dipilih? Apakah Ada Antibiotika Pilihan Lainnya? Jika Ada Apakah Antibiotika Tersebut Dapat Digunakan? 1 Apakah ada alergi terhadap antibiotika tersebut? Jika seseorang alergi terhadap penisilin, maka harus diasumsikan bahwa pasien tersebut alergi terhadap derivat penisilin kecuali dilakukan skin tes untuk membuktikan reaksi silang tersebut. Adalah penting untuk mempertimbangkan riwayat alergi pasien terhadap antibiotik generik dan merk dagang tertentu1. Apakah antibiotik dapat berpenetrasi terhadap daerah yang terinfeksi? Ini sangat penting pada kasus-kasus meningitis, osteomielitis dan prostatitis1. Apakah ada efek samping yang potensial? Beberapa antibiotika mungkin merupakan kontraindikasi. Sebagai contoh tetrasiklin terbatas penggunaannya pada kasus anak diatas 8 tahun dan ibu hamil karena mengganggu pertumbuhan tulang. Fluorokuinolon yang mungkin mempengaruhi pembentukan kartilago dan oleh karena itu saat ini belum direkomendasikan penggunaannya pada anak prepurbetas dan wanita hamil 1. Antibotika yang bersifat bakterisidal ataukah bakteriostatik? Pada kasus infeksi yang ringan pada orang yang sehat, antibiotika bakteriostatik sudah cukup, tetapi pada infeksi yang mengancam jiwa (misal bakteremia pada pasien lekopeni, atau pasien dengan
5
endokarditis atau meningitis) mungkin diperlukan antibiotika bakterisidal seperti penicillins, cephalosporins, aztreonam, imipenem, metronidazole, aminoglycosides, vancomycin, dan fluoroquinolon1,4. Biaya antibiotika sendiri merupakan salah satu komponen yang paling mudah untuk memilah-milah. Obat generik harus merupakan pertimbangan jika memungkinkan. Sehingga sangatlah penting klinisi mengetahui biaya antibiotika setiap harinya disamping komponen lain dari biaya pemberian anibiotika pada pasien rawat inap 1. Frekuensi pemberian antibiotika setiap hari. Makin sering antibiotika tersebut diberikan, maka makin mahal komponen biaya pemberiannya, baik dari waktu maupun material yangdigunakan. Antibiotik dengan waktu paruh makin panjang, makin efektif karena makin jarang diberikan. Pada satu penelitian estimasi biaya non antibiotik untuk memberikan antibiotika iv dosis tunggal adalah $3.35 1. Jumlah antibiotik. Pemberian antibiotika yang multipel (lebih dari satu) maka biayanya makin besar dibandingkan dengan monoterapi. Meskipun demikian kadang dua antibiotika lebih murah dibanding antbiotik tunggal (sebagai contoh cefazoline + metronidazole lebih murah dibanding ampisilin sulbactam untuk infeksi intraabdomen) 1. Terapi intravena versus oral. Biaya yang lebih murah antibiotika peroral dan pemberian yang lebih mudah membuat terapi peroral lebih hemat biaya 1. Monitoring kadar obat dalam serum. Potensial efek toksisitas untuk antibiotika tertentu, misal aminoglikosida adalah nyata, dan jika toksisitas tersebut terjadi maka akan memperlama pasien dirumah sakit, meningkatkan level perawatan pasien (misal hemodialisis), mungkin dikaitkan dengan morbiditas dan bahkan mortalitas. Biaya monitoring adalah mahal. Faktor-faktor ini juga harus ikut dalam pertimbangan memilih antibiotika 1. Memilih spektrum yang sempit atau luas. Untuk terapi empiris pada pasien dengan kondisi parah, antibiotika spektrum luas biasanya digunakan pertama kalinya, begitu ada data susceptibilitas diketahui maka lebih dianjurkan untuk mengganti antibiotika spektrum sempit sesegera mungkin 1.
6
Apakah ada sarana lain untuk menghilangkan sumber infeksi selain dari pemberian antibiotika? Sebagai contoh insisi, drainase abses. Pertanyaan Kelima: Apakah Kombinasi Antibiotika Diindikasikan?1 Pada beberapa keadaan maka antibiotika kombinasi diperbolehkan. Efek synergism. Jika satu antibiotik mempengaruhi aktivitas antibiotika lainnya melebihi efek additive maka interaksi ini disebut dengan efek sinergi. Sebagai contoh dipercayai bahwa enterococci dapat menghambat penetrasi aminoglikosida. Interaksi sinergis antara penisilin (atau ampisilin) dan aminoglikosida melawan enterococci adalah akibat penisilin mempengaruhi dinding sel, sehingga menyebabkan aminoglikosida dapat berpenetrasi ke dalam bakteri dan beraksi dengan efektif di tingkat ribosom. Penisilin dengan spektrum yang diperluas (misal piperasilin) dan aminoglikosida dipertimbangkan memiliki efek sinergisme dalam melawan Pseudomonas aeruginosa dan Enterobacteriaceae. Serial penghambatan pertumbuhan kuman. Kombinasi tetap dari trimetroprim (80 mg) dan sulfametoksazol (400mg) akan memblok step sintesis asam folat 1. Pada infeksi dengan penyebab multiple (misal infeksi intraabdomen atau abses pelvis), antibiotika lebih dari satu mungkin diperlukan untuk mencapai terapi yang adekuat1. Untuk membatasi atau mencegah resistensi. Prinsip terapi ini yang saat ini diterapkan pada pengobatan tuberkulosis. Lebih dari satu agent antibiotika yang digunakan untuk mencegah replikasi mikobakteria resisten yang mungkin terjadi. Kombinasi beta laktam dengan inhibitor beta laktamase, seperti ampisilin sulbaktam diguankan untuk mencegah ensim beta laktamase merusak antibiotik beta laktam. Kombinasi imipenem dan silastatin, silastatin akan mencegah pemecahan imipenem oleh ginjal1. Selain dari keuntungan-keuntungan yang mungkin dapat diperoleh dengan memberikan antibiotika multipel (bukan monoterapi) maka kerugian dari pemberian antibiotika multipel juga harus ikut dipertimbangkan. Adapun kerugian dari pemberian antibiotika yang multipel adalah: peningkatan risiko alergi obat atau toksisitas terjadi
7
bila obat yang digunakan lebih banyak, peningkatan risiko kolonisasi organisme bakteri yang resisten terjadi dan jika terjadi superinfeksi oleh organisme ini maka akan lebih sulit diterapi; bukan efek sinergisme atau additive yang diperoleh justru efek antagonisme yang terjadi. Antagonisme terjadi bila efek kombinasi 2 macam obat lebih rendah bila dibandingkan efek satu macam obat, salah satu dari obat mengganggu aksi obat yang lain, sering hal ini terjadi secara klinis akan tetapi tidak diketahui, sebagai contoh adalah kombinasi tetrasiklin dan penicillin untuk terapi meningitis mengakibatkan mortalitas yag lebih tinggi dibandingkan bila penicillin digunakan tunggal, hal ini diduga akibat inhibisi pertumbuhan oleh tetrasiklin yang mengganggu aksi bakterisidal dari penicillin. Biaya yang lebih tinggi karena kombinasi antibiotika seringkali lebih mahal dibandingkan satu macam obat, rasa aman yang keliru, meskipun tampak aman untuk saat ini karena mencakup semua kuman patogen tetapi penggunaan obat secara multipel untuk menerapi organisme penyebab dikaitkan dengan peningkatan efek samping1. Pertanyaan Keenam: Apakah Penting Faktor Host?1 Terdapat beberapa karakteristik khusus host yang harus dipertimbangkan dalam memilih antibiotika pada pasien secara individual1. Risiko khusus. Sebagai contoh pasien demam dengan katup jantung buatan tidak boleh menerima antibiotika tanpa diambil kultur darahnya terlebih dahulu, pasien dengan limfoma atau penyakit vaskuler kolagen harus diterapi secara berbeda dengan pasien dengan infeksi yang sama tapi tanpa risiko diatas. Pneumonia pada pasien limfoma biasanya cryptococcal dan bukan pneumococcal 1. Fungsi ginjal. Gagal ginjal berpengaruh tidak hanya pada pemilihan antibiotika tetapi juga pada dosis. Sehingga, fungsi ginjal harus dimonitor pada pasien yang diterapi dengan antibiotika yang nefrotoksik dan terutama diekskresikan pada ginjal. Kadar antibiotika serum, terutama penggunaan aminoglikosida, harus dimonitor, juga
8
serum kreatinin, setiap 2-4 hari. Dosis antibiotika yang diekskresi terutama pada ginjal dimodifikasi berdasarkan bersihan creatinin. Serum creatinin tidak merefleksikan fungsi ginjal pasien secara akurat, terutama pada usia lanjut, yang mengalami penurunan produksi creatinin. Bersihan creatinin merupakan pengukuran fungsi ginjal yang lebih baik. Dengan memodifikasi equasi Cockcroft dan Gault, memungkinkan memperkirakan bersihan creatinin dari usia, jenis kelamin, berat badan (kilogram) dan serum creatinin sebagai berikut1,9:
Bersihan creatinin pada laki-laki = Bersihan creatinin pada wanita = 85% nilai laki-laki Beberapa lebih menggunakan berat badan ideal yang dihitung sebagai berikut: o laki-laki = 50 kg + 2,3 kg per inch bila tinggi lebih dari 5 kaki (tinggi badan) o perempuan = 45,5 kg + 2,3 kg per inch bila tinggi lebih dari 5 kaki o pada obese, kita menggunakan berat badan ideal untuk memperkirakan bersihan creatinin. o Pada pasien dengan insufisiensi hepar, formula ini terlalu tinggi memperkirakan bersihan creatinin1
Fungsi hepar. Pemahaman dalam memodifikasi dosis pada insufisiensi hepar tidak seperti pada insufisiensi ginjal. Namun, beberapa hal perlu menjadi perhatian khusus, seperti penggunaan aminoglikosida pada pasien dengan cirrhosis dikaitkan dengan peningkatan risiko nefrotoksisitas, penggunaan antibiotika ß-lactam pada satu penelitian dikaitkan dengan peningkatan risiko leukopenia bila dosis standar dari antibiotika ß-lactam digunakan pada pasien dengan penyakit hepar. Kemungkinan mekanisme yang terjadi adalah gangguan metabolisme hepar untuk antibiotika ß-lactam terganggu, mengakibatkan supresi sumsum tulang pada prekursor sel darah putih
9
dengan konsentrasi antibiotika yang berlebihan. Pengalaman, dosis standar nafsilin lebih sering menyebabkan nefrotoksisitas pada pasien dengan cirrhosis, sehingga penurunan dosis antibiotika ß-lactam pada pasien dengan disfungsi hepar dianjurkan. Obat-obat yang terutama dimetabolisme di hepar (seperti chloramphenicol, clindamycin) perlu penyesuaian dosis. Obat lain yang harus hati-hati dalam penggunaan atau kadar serum diperiksa termasuk fluconazole, itraconazole, nitrofurantoin, and pyrazinamide. Dalam pemilihan dosis untuk obat yang diekskresikan melalui ginjal, bersihan creatinin harus dihitung (pada usia lanjut) meskipun serum creatinin normal. Pada pasien dengan penyakit dasar hepar, creatinin yang rendah dapat mempertinggi bersihan creatinin (dua-tiga kali lipat) seperti pengukuran bersihan inulin. Hal ini dikarenakan oleh kurangnya produksi creatinin karena hilangnya massa otot atau penurunan kecepatan produksi creatin, substrat untuk produksi creatinin pada otot1. Pasien neutropenia. Pada penderita yang mengalami neutropenia, obat bakterisidal lebih disukai. Infeksi pada alat prostese sulit untuk dieradikasi 1. Faktor genetik. Pasien dengan defisiensi glucose-6-phosphate dehydrogenase dapat mengalami hemolisis dari sulfonamida, nitrofurantoin atau chloramphenicol1. Kehamilan dan laktasi. Beberapa obat dapat memberikan masalah khusus (seperti tetrasiklin, yang dapat menyebabkan hepatotoksisitas ibu dan gangguan dental bayi). Karena perubahan fisiologis terjadi pada ibu selama kehamilan, kadar serum antibiotika rendah selama gestasi. Sehingga pada infeksi kritis kadar serum antibiotika, harus dimonitor dan penyesuaian dosis harus dilakukan. Transfer antibiotik melalui placenta. Bila memungkinkan, ibu hamil harus menghindari obat karena risiko toksisitas fetal. Antibiotika yang harus digunakan dengan hati-hati adalah aminoglikosida, vancomisin, clindamicin, imipenem/ cilastatin, TMP, dan nitrofurantoin. Antibiotika yang dikontraindikasikan selama kehamilan adalah chloramphenicol, erythromycin estolate, tetracycline, fluoroquinolon, and TMP-SMX (Bactrim, Septra). Meskipun kontroversial, disarankan untuk menghindari pemakaian metronidazole
10
karena potensi carcinogenic, sulfonamid harus dihindari pada trimester terakhir kehamilan, dan menghindari ticarcillin, karena menunjukkan teratogenic pada tikus. Antibiotika pada menyusui. Data mengenai efek samping selama menyusui terbatas. Jika memungkinkan ibu menyusui harus menghindari semua obat.1 Pada pasien kritis terjadi perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik yang akan sangat mempengaruhi kadar obat di dalam darah, seperti perubahan parameter farmakokinetik antibiotik pada pasien kritis disebabkan oleh obat dan faktor penyakit. Dari perspektif obat, sifat hidrofilik dan lipofilik molekul akan mempengaruhi Vd dan CL dari obat 5-8. Perubahan Vd. Patogenesis infeksi pada pasien kritis sangat kompleks. Endotoksin dari bakteri atau jamur menstimulasi produksi dari berbagai macam mediator endogen yang berpengaruh terhadap endotel vaskuler mengakibatkan vasokonstriksi atau vasodilatasi dengan gangguan distribusi aliran darah, kerusakan endotel dan peningkatan permeabilitas kapiler. Sindrom kebocoran kapiler menghasilkan pergeseran cairan dari kompartemen intravaskuler ke ruang interstitial. Akan meningkatkan sifat hidrofilik Vd obat yang akan menurunkan kadar obat didalam plasma. Vd hidrofilik obat juga akan meningkat dengan adanya ventilasi mekanik, hipoalbumin (meningkatkan kebocoran plasma) sirkuit ekstracorporal (seperti pergantian plasma, bypass kardiopulmonal), drainase post operasi, atau pada pasien dengan luka bakar. Obat lipofilik memiliki Vd yang besar karena masuk didalam jaringan adipose dan peningkatan semacam Vd yang berakibat dari ruang ketiga yang menyebabkan peningkatan Vd tak bermakna 5-8. Perubahan pada Waktu Paruh Eliminasi waktu patuh (T1/2) obat secara langsung terkait dengan CL dan Vd obat. T1/2 merupakan equasi dari 0,693 xVd dibagi dengan CL. Yang berarti peningkatan CL obat akan menurunkan T1/2, sedangkan peningkatan Vd akan meningkatkan T1/2. CL dan juga T1/2 terpengaruh
11
oleh proses penyakit yang terjadi pada pasien kritis dan dari intervensi ke pasien. Manajemen awal standar untuk hipotensi yang mungkin terjadi pada pasien kritis karena pemberian cairan intravena. Bila hipotensi tetap, obat vasopressor perlu diberikan. Sehingga pada pasien kritis seringkali lebih tinggi dari index kardial normal. Beberapa informasi menunjukan bahwa ventilasi mekanik dapat menurunkan CL antibiotika. Tidak adanya disfungsi organ, seringkali terjadi peningkatan perfusi renal sehingga akan meningkatkan bersihan kreatinin dan eliminasi dari antibiotika hidrofilik. Sehingga penyesuaian antibiotika hidrofilik adalah dengan mengukur bersihan creatinin meski pada pasien dengan luka bakar luas. Bukti kuat menunjukkan cara paling efektif mengukur fungsi ginjal adalah dengan mengukur bersihan creatinin selama 8, 12, dan 24 jam, meskipun penelitian saat ini mengatakan bahwa bersihan creatinin pada 2 jam sudah cukup adekuat. Equasi dari Cockroft Gault maupun MDRD tidak cukup reliabel sehingga tidak dapat digunakan untuk data bersihan creaykadar creatinin plasma dapat normal. Dengan tingginya CL dari ginjal untuk mengeliminasi obat berakibat penurunan T1/2 5-8. Hipoalbumin Ikatan protein merupakan faktor yang berpengaruh pada Vd dan CL antibiotika. Contoh adalah ceftriaxone, dimana 95% terikat albumin pada pasien tidak kritis. Pada kondisi hipoalbumin seperti pada pasien kritis, akan menyebabkan tingginya kadar obat yang tak terikat dengan peningkatan 100% CL dan 90% Vd. Selain ceftriaxone, contoh lain adalah oxacillin dan teicoplanin5-8 . Terjadinya MODS. Dengan terjadinya deteorisasi status kesehatan pasien, depresi miokard dapat terjadi, yang akan menurunkan perfusi organ dan kegagalan sirkulasi mikrovaskuler. Hal ini akan berkembang menjadi MODS, termasuk disfungsi ginjal dan atau hati. Yang berakibat pada peningkatan CL, T1/2 menjadi lebih panjang dan toksisitas dapat terjadi dari peningkatan konsentrasi antibiotik dan atau akumulasi dari
12
metabolit. Untuk beberapa obat, jika disfungsi terjadi pada organ yang mengeliminasi obat, maka organ lain akan meningkatkan CL intrinsik sehingga berakibat perubahan pada kadar plasma (disfungsi ginjal, ciprofloxacin transintestinal CL dapat meningkat sehingga terjadi penurunan CL total). Data awal menunjukkan peningkatan CL bilier bila terjadi disfungsi ginjal. Jika disfungsi ginjal terjadi atau pasien membutuhkan hemodialisa, maka artikel review harus digunakan sebagai guide untuk dosis5-8. Penetrasi Obat Farmakokinetik obat pada site target, yang berupa jaringan, penting untuk memprediksi interaksi obat-bakteri. Data saat ini menunjukkan bahwa penetrasi ke dalam jaringan pada pasien dengan syok septik terganggu, terutama sampai 5-10 kali lebih rendah pada sukarelawan sehat, meski pasien dengan sepsis tanpa syok nampaknya lebih rendah efek nya pada kadar jaringan. Sehingga dosis tinggi diperlukan untuk memaksimalkan penetrasi antibiotika terutama pada pasien syok, meski data untuk hal ini masih kurang 5-8. Variabilitas farmakokinetik untuk bermacam antibiotika memerlukan klinisi untuk mengembangkan strategi dosis yang memperhitungkan farmakokinetika yang berubah dan patogen. Individualisasi dosis perlu untuk memperbaiki outcome pasien. Evaluasi terus menerus derajat keparahan memfasilitasi penyesuaian dosis antibiotika5-8 . Faktor Pasien Selain faktor obat, faktor pasien juga berpengaruh pada strategi dosis antibiotika. Karena pasien di ruang ICU tidak selalu homogen patologi penyakitnya, sehingga pada situasi klinis seperti ini, faktor pasien harus dilihat5-8. Gagal Hati Karena sebagian besar metabolisme obat terjadi di hati, obat yang dimetabolisme di hati dapat secara garis besar dibagi menjadi
13
metabolisme fase 1 dan fase 2. Sebagian besar metabolisme fase 1 terjadi pada sitokrom hati dan melibatkan sejumlah transformasi termasuk oksidasi dan metilasi, sehingga obat menjadi lebih larut air dan mudah diekskresikan di ginjal. Sehingga fase 1 tergantung pada kapasitas hati. Sehingga pada obat yang dimetabolisme melalui rute ini kapasitas hati untuk memetabolisme obat melalui fase 1 tertekan bila terjadi kegagalan. Namun kapasitas metabolisme hati harus berkurang > 90% agar metabolisme obat terganggu. Metabolisme fase 2 termasuk glucoronidase dan konjugasi glutation. Fase 2 dapat terjadi setelah fase 1 atau dapat terjadi segera. Namun fase 2 masih bisa terjadi pada gagal hati tahap akhir5-8 . Gagal Ginjal Antibiotika yang hidrofilik seperti ß-lactam dan aminoglikosida diekskresi dalam bentuk tetap oleh ginjal. Eliminasi obat ini terbatas pada gagal ginjal. Aminoglikosida juga dapat memperburuk gagal ginjal dan mengganggu proses penyembuhan. Sehingga dosis obat harus diubah setelah penilaian fungsi ginjal. Efek terhadap ginjal dapat dikurangi dengan memperpanjang waktu interval obat dan melakukan TDM. Untuk obat lipofilik seperti metabolit yang dieliminasi ginjal seperti flucloxacillin yang dimetabolisme di sitokrom menjadi derivat 5 hidroksimetil kemudian diekskresi di ginjal tidak berubah 5-8. Pasien Usia Lanjut Terjadi Beberapa Perubahan Fisiologi9-11 Absorbsi Oral Dengan penuaan terdapat penurunan laju kecepatan pengeluaran asam lambung bersamaan dengan peningkatan pH gaster. Terdapat penurunan kecepatan pengosongan lambung, penurunan aliran darah ke usus halus dan peningkatan insidensi diverticula duodenum. Dengan perubahan ini, antibiotika oral tetap diabsorbsi secara baik dengan sedikit penurunan laju kecepatan absorbsi. Kurangnya informasi bagaimana absorbsi obat berubah pada usia lanjut yang mendapatkan histamine receptor 2-blocker atau penghambat pompa proton (PPI, proton pump inhibitor) atau mereka dengan nasogastric tube9-11.
14
Fungsi Renal Terdapat penurunan jumlah nefron yang intak dan fungsi renal yang menurun dengan penuaan yang normal. Ditambah dengan penyakit kronis pada usia lanjut, seperti diabetes mellitus, gagal jantung dan hipertensi, ikut menyebabkan penurunan fungsi renal. Equasi dari Cockroft Gault berdasarkan usia, berat badan dan nilai serum kreatinin (Cr) sangat erat berkaitan dengan bersihan creatinin (CLcr) yang diukur dengan urine tampung 24 jam. Kekurangan terbesar menggunakan Formula Cockroft Gault ini adalah memerlukan berat badan ideal dari pasien. Hal ini sulit ditentukan, terutama pada pasien dengan obeis atau edema. Dan nilai serum creatinin mungkin rendah pada usia lanjut karena malnutrisi dan penurunan massa otot. Seringkali nilai serum creatinin dalam batas normal menunjukkan insufisiensi ginjal dalam berbagai derajat keparahan. Sebagai contoh, serum creatinin 1 pada wanita berusia 85 tahun dengan berat badan 43 kg menunjukkan bersihan creatinin 25 mL/menit9-11. Interaksi Obat Pasien usia lanjut seringkali minum beberapa macam obat, seperti antikoagulan, antiaritmia, antihipertensi, antidepresi dan anti kejang. Dan hampir pasien usia lanjut meminum 5-10 macam obat tiap hari9-11. Pertanyaan Ketujuh: Apa Rute Pemberian yang Terbaik untuk Memberikan Antibiotik?1 Antibiotika intravena digunakan pada infeksi serius karena dapat memberikan kadar tinggi sehingga diharapkan terjadi difusi yang lebih besar pada jaringan yang iskemi oleh proses akut. Banyak antibiotika memiliki absorbsi oral yang tidak dapat diprediksi, meskipun diabsorbsi dengan baik (e.g., bioavailabilitas linezolid 104%), namun kadar yang sangat tinggi tidak tercapai. Infus iv kontinu versus bolus intermittent. Hal ini masih menjadi debat kontroversial dan dalam evaluasi. Infus kontinu sedikit menimbulkan iritasi vena dan flebitis. Hasil pada binatang coba menunjukkan konsentrasi penisilin dan cephalosporin pada jendalan
15
fibrin sama dengan kadar serum puncak; sehingga terapi bolus intermiten lebih tepat untuk endocarditis dan infeksi jaringan. Data pada binatang coba menunjukkan bahwa efektivitas klinis dari antibiotika ß lactam optimal bila konsentrasi pada tempat infeksi melebihi konsentrasi hambatan minimum untuk organisme penginfeksi untuk waktu yang lama (50% dari 24 jam). Hal ini disebut aktivitas bakterisidal tergantung waktu. Kadar obat diatas yang dibutuhkan untuk menginhibisi organisme seefektif kadar beberapa kali lipat diatas konsentrasi inhibisi. Fungsi antibiotika ß lactam dan vancomisin adalah antibiotika tipe time dependent yaitu waktu selama kadar obat diatas MIC waktu dibutuhkan untuk membunuh bakteri1. Infus intermiten tetap merupakan metode yang digunakan untuk ß lactam. Infus intermiten dipilih untuk antibiotika karena menunjukkan aktivitas bakterisidal tergantung kadar. Dengan antibiotika ini, laju dan luasnya aksi bakterisidal meningkat dengan peningkatan konsentrasi diatas konsentrasi minimum bakterisidal sampai efek maksimum, biasanya 5-10 kali dari MBC. Aminoglikosida dan fluoroquinolon menunjukkan aksi bakterisidal yang tergantung pada konsentrasi; kadar obat lebih tinggi, bersihan bakteri juga lebih tinggi yang akan menurun dengan penurunan kadar obat. obat yang tergantung kadar dengan dosis besar yang tidak terlalu sering diberikan akan mencapai puncak konsentrasi maksimal pada tempat infeksi harus memberikan efek bakterisidal yang optimal. Hal ini biasa pada regimen satu kali sehari yaitu aminoglikosida. Namun penelitian klinis untuk membuktikan hal ini belum ada1 . Terapi oral efektif untuk infeksi rawat jalan yang ringan sampai sedang dan untuk terapi lengkap pada fokal infeksi harus diawali dengan antibiotika iv. Pada kondisi khusus, terapi oral digunakan untuk infeksi cukup berat seperti TMP-SMX pada Pneumocystis carinii pneumonia dan clindamycin pada osteomyelitis.1 Antibiotika iv yang diberikan di rumah digunakan pada situasi tertentu untuk infeksi stabil yang memerlukan pemberian antibiotika iv lama atau berulang (seperti pada subacute endocarditis, infeksi sendi prosthetik, infeksi pulmonal rekuren pada pasien dengan cystic fibrosis,
16
atau bronchiectasis). Merupakan terapi yang cost-effective dimana pasien memilih untuk tidak di rawat inap 1. Pertanyaan Kedelapan : Berapa Dosis yang Tepat? 1 Untuk mengurangi frekuensi efek samping, potensi superinfeksi dan biaya terapi, dosis terendah lebih efektif digunakan, terutama untuk a. Dosis pada neonatus b. Dosis pada anak-anak dan dewasa1 Pertanyaan Kesembilan : Apa Harus Memodifikasi Terapi Setelah Hasil Kultur Ada? 1 Bila hasil kultur dan kepekaan terhadap antibiotika tersedia, regimen antibiotika harus dimodifikasi bila memungkinkan. Beberapa guideline secara umum yang dapat digunakan adalah konversi dari spektrum luas ke spektrum sempit harus dilakukan bila data kepekaan menunjukkan penurunan risiko kolonisasi dan kemungkinan superinfeksi dengan organisme dan atau flora yang resisten, sebagai contoh S. aureus peka terhadap nafcillin. Jika vancomycin diberikan, dan organisme S. aureus peka terhadap nafcillin, kedua macam obat berspektrum sempit ini harus digunakan, karena lebih efektif dan spektrumnya lebih fokus. Infeksi Gram-negative, untuk individu yang diduga telah mendapatkan aminoglikosida pada saat awal, jika patogen yang diidentifikasi peka terhadap obat spektrum sempit (seperti ampicillin atau cephalosporin), perubahan harus dilakukan. Tidak ada pertumbuhan atau flora normal pada kultur awal. Kemungkinan melakukan diagnostik lain harus dipikirkan. Sebagai contoh, pasien pneumonia menerima ceftriaxon belum membaik, kemungkinan patogen infeksius lain (mycoplasma, Mycobacterium tuberculosis, Legionella sp) atau non infeksius (seperti infark pulmonal, vaskulitis pulmonal) harus dipertimbangkan sebagai penyebab1. Evaluasi respon klinis dan hasil kultur. Penting bagi klinisi untuk menilai respon klinis pasien sebelum merubah berdasarkan hasil kultur. Sebagai contoh, kolonisasi dengan organisme baru yang diduga
17
karena pemakaian antibiotika. Kolonisasi baru harus dibedakan dari infeksi baru. Jika pasien membaik dan organisme resisten terhadap antibiotika pada follow up sputum atau kultur luka, bisa diabaikan. 1 Pertanyaan Kesepuluh: Sampai Kapan Durasi Terapi yang Optimal? Durasi optimal terapi antibiotika banyak yang belum diketahui secara pasti, tetapi beberapa penyakit sudah diketahui, seperti minimum 6 minggu untuk osteomielitis atau empirik pada peritonitis selama 1014 hari, tuberculosa paru 6 bulan. Meskipun demikian, pertimbangan lama terapi harus diindividualisasi. Karena organisme resisten sering berkolonisasi pada pasien yang diterapi dengan periode lama, penting untuk klinis menerapi pasien dengan adekuat tetapi tidak perlu dalam periode lama. Pertimbangan lain adalah terjadinya resistensi. Saat ini menjadi jelas, bahwa penggunaan obat spektrum luas berlebihan (seperti generasi ketiga cephalosporin dibandingkan generasi pertama cephalosporin) akan mengakibatkan kolonisasi individu dengan organisme yang resisten terhadap generasi ketiga dibandingkan generasi pertama cephalosporin. Jika superinfeksi terjadi, pasien yang terinfeksi dengan organisme resisten antibiotika akan lebih memerlukan rawat inap, durasi rawat inap lebih lama, dan risiko kematian tinggi. Daftar Pustaka 1.
Betts, Robert F.; Chapman, Stanley, W., , Robert, P. L. (editors). 2003. Principles of Antibiotic Use. Reese & Betts’: A Practical Approach to Infectious Diseases, 5th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
2.
Sutrisno, E. 2013. Impact Of Irrational Antibiotic Therapy To Hospital Cost Of Care Of Pneumonia Inpatients In Dr. Sardjito Hospital. Thesis. Medical Faculty of Gadjah Mada University.
3.
Tunger, O., Karakaya, Y., Cetin, C.B., Dinc, G., Borand, H. 2009. Rational antibiotic use. J Infect Dev Countr 3(2):88-93.
4.
Chambers, H.F. Bactericidal vs. Bacteriostatic Antibiotic Therapy: A Clinical Mini-Review. Volume VI Issue 4 October 2003. Published
18
by National Foundation for Infectious Diseases 4733 Bethesda Avenue, Suite 750, Bethesda. 5.
Matuszkiewicz-Rowiñska, j., Ma³yszko, J., Wojtaszek,E., Pawe³ Kulicki, P. 2012. Dosing of antibiotics in critically ill patients:are we left to wander in the dark? Polskie Archiwum Medycyny Wewnêtrznej, 122 (12).
6.
Mehrotra, R., De Gaudio, R., Palazzo, M. 2004. Antibiotic pharmacokinetic and pharmacodynamic considerations in critical illness. Intensive Care Med. 30: 2145–2156.
7.
McKenzie C. 2011. Antibiotic dosing in critical illness. J Antimicrob Chemother., 66: Suppl 2: ii25–ii31.
8.
Roberts, J.A. , Lipman, J.,M. 2009. Pharmacokinetic issues for antibiotics in the critically ill patient. Crit Care Med, 37 (3):840-851.
9.
Herring, A.R., Williamson, J.C. 2007. Principles of Antimicrobial Use in Older Adults. Clin Geriatr 23: 481–497.
10. McCue J. D. 1999. Antibiotic Use in the Elderly: Issues and Nonissues. Clin Infect Dis;28:750–752. 11. Stalam, M, Kaye, D. 2004. Antibiotic agents in the elderly. Infect Dis Clin N Am 18:533–549.
19