Pimpinan Redaksi/ Pimpinan Umum Muhammad A Qohhar Sekretaris Redaksi Suziana Dwi Unzila Redaktur Nitis S Nidhomatum. M.R. Staf Redaksi Joel Joko (Koordinator Liputan) Akbar Ardiansyah Riska Irdiana Khoirul Muhsinin Fotografer : Erfan Effendi Desain Visual Mahesa El-Pacul Pendampingan Hukum Fiska Maulidian Nugroho, SH Penerbit PT BCA SIUP : 517/034/208.412/PB/2011 TDP : 131615200011 NPWP : 31.350.156.1-601.000 Direktur Utama Nitis Sahpeni Administrasi & Keuangan Suziana Dwi Unzila Pemasaran M Koliq Chrisna Setiawan Aang Chrisna Setiawan Iklan Ardilla Sholikhatus Zahra Aar Fatunnisa Alamat Redaksi Jl Veteran No. 99 Kota Bojonegoro Telp : 0353 - 3410044 Email:
[email protected],
[email protected] Redaksi menerima tulisan berupa artikel, opini dan karya tulis lainnya dengan panjang tulisan minimal 2 setengah halaman kertas A 4, font Times New Roman ukuran 12 sapsi/ single. Tulisan bisa dikirim via email yang telah disediakan di atas. Juga bisa datang langsung ke kantor redaksi blokBojonegoro. Redaksi berhak mengedit kalimat tanpa merubah maksud dan tujuan penulis. Bagi tulisan yang dimuat, akan mendapatkan imbalan sepantasnya.
Membela Kepentingan Petani H
al terpenting yang perlu direnungkan bersama seba gai bahan evaluasi sekaligus juga refleksi dalam memperingati Hari Petani pada September adalah, sudahkah negara memberikan proteksi yang menyeluruh kepada kehidupan petani. Apabila pertanyaan tersebut diajukan kepada petani , niscaya akan didapati jawaban: tidak ada. Bukan bermaksud pesimis dan tidak percaya (apatis) terhadap apa yang selama ini sudah dilakukan oleh pemerintah, faktanya nasib petani dari masa ke masa, dari tahun ke tahun, tidak pernah beranjak dari jurang kesengsaraan, kenestapaan. Betapa potret petani secara keseluruhan dan kemiskinan bagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sebagai contoh, dalam beberapa waktu terakhir, di Bojonegoro berita yang menceritakan tentang derita petani, nyaris tidak pernah habis. Saat memasuki masa panen beberapa waktu lalu, ribuan petani di Bojonegoro mengeluhkan tentang ketiadaan harapan pada lahan padi mereka, karena ludes diserang hama wereng. Seperti kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Di saat kerugian sudah berada di ambang mata, petani tetap saja menjadi pihak yang selalu dikalahkan dan tidak berdaya. Seolah tidak mau disalahkan, pemerintah dengan enteng mengatakan gagal panen atau pagebluk pertanian di banyak daerah, termasuk di Bojonegoro. Alibi pemerintah, masa yang seharusnya digunakan untuk menanam tanaman palawija, oleh para petani diabaikan. Petani justru menanam padi. Padahal, mengacu rumus teknis dalam pertanian, dengan menanam palawija maka siklus perkembangan hama (khususnya wereng) akan terputus. Akan tetapi karena tetap ditanami padi, hama wereng subur berkembang hingga menjadi ancaman yang
next Edition : Tabloid blokBojonegoro edisi Oktober Pada edisi Oktober mendatang, bertepatan dengan peringatan Hari Jadi Kabupaten Bojonegoro ke-334, blokBojonegoro akan menghadirkan investigasi dengan tema utama “Senjakala di Hari Jadi”. Untuk fokus masih akan mengulas tuntas tentang “Jejak Purbakala di Bojonegoro” bagian kedua. Sementara segmen religi akan membedah tentang “Pesantren Salaf, sebagai Penjaga Tradisi Agama”. Semoga akan tetap berkenan dan dapatkan bB edisi “premium” perdana di agen/kios terdekat Anda.
menebar teror dan kemiskinan yang berkepanjangan. Memang secara sekilas seolah petani salah dalam tragedi pertanian ini. Akan tetapi jika diteliti lebih jauh, sebenarnya petani tidak melulu salah. Persoalannya, sejauh ini pemerintah kurang memberikan penjelasan detail kepada petani mengenai kemungkinan buruk tersebut. Kalaupun dilakukan, sejauh ini tidak dijadikan sebagai gerakan yang menyeluruh dan dengan metode yang mudah dipahami oleh petani. Persoalan di atas hanyalah satu di antara banyak problem yang melingkupi petani dan dunia pertanian itu sendiri. Di luar gagal panen dan serangan hama wereng, problem klasik lain yang acap melingkupi petani adalah persoalan distribusi pupuk yang hampir selalu fluktuatif, dan bahkan terkesan hanya menjadikan petani sebagai komoditas kapitalisasi ekonomi. Persoalan lain adalah harga hasil panen yang nyaris selalu anjlok dari tahun ke tahun, hingga minimnya kebijakan yang pro petani, semisal proteksi ketat terhadap komoditas beras impor, gula impor, dan lain sebagainya. Juga, lahan petani begitu mudah terenggut oleh industrialisasi minyak dan gas bumi (migas) dengan dalih atas nama negara. Untuk menyelamatkan petani, peran negara mutlak dibutuhkan dengan cara proteksi ketat komoditas yang masuk, pembatasan lahan yang terkonversi, sekaligus menerapkan kebijakan yang benar-benar pro dan membela kepentingan petani. Sebagaimana tertuang dalam pasal 33 UUD 1945. Tentu kita tidak ingin petani boikot tanam, karena persoalan yang tidak diselesaikan? Saatnya membela secara konsisten kepentingan petani, tulang punggung bangsa. [*]
Citizen Jurnalism
Kramasi Kambing Seminggu Sekali Pengirim : Eko Heru Megantoro Kristianto (46) merupakan salah satu warga belajar program Inovasi Aksara Agar Berdaya (Inovasi AKRAB) PKBM Makmur, dari Desa Luwihaji, Kecamatan Ngraho, Kabupaten Bojonegoro. Salah satunya memelihara kambing Etawa. Dalam proses perawatan kambing, bapak dua anak ini memiliki trik khusus agar kambing tetap sehat dan juga segar bugar, salah satunya ngramasi kambing seminggu sekali. “Kambing juga punya tumo (kutu), jika tidak dibersihkan kambing juga merasa terganggu dengan keberadaan kutu tersebut,” jelas pria kelahiran 1965 ini. Ia juga membuatkan kandang khusus untuk kambing-kambingnya tersebut. Kandang berukuran 5,5 m2 yang terbuat dari potongan-potongan bambu dan dibuat mirip rumah panggung kecil, dengan alas juga dari bambu agar kambing tidak kedinginan saat malam hari. “Setiap hari kandang selalu saya bersihkan agar kambing merasa nyaman serta mengurangi penyakit yang dapat menyerang kambing” ujar suami Sunarti ini. Tidak hanya itu saja, ia selalu memberikan asupan jamu yang cukup untuk membuat badan kambing peliharaannya menjadi sehat dan tidak mudah sakit. Karena, saat kambing sakit secara otomatis akan mempengaruhi pertumbuhannya. [*] Asal Desa Kalirejo, Kecamatan Ngraho
[email protected]
PET
H
tun lain cam tidu lan tiap ini ban ngg ora geb Se ini, keb ber era Lim sum hin lap Lap Ala sam ker Ba bua hid wa kan nah dar sek yan rin buk taw 20.0 rga ren asa 5.00
blokBojonegoro/KhoirulMuhsinin
PETANI sedang mengolah lahannya yang berada di samping rig Jambaran, Blok Cepu
armoni kebahagiaan petani Desa Mojode lik, Gayam, Ringintunggal dan beberapa desa lainnya yang termasuk Kecamatan Ngasem dan Kalitidu, semakin lama mulai hilang. Petani yang yampak setiap pagi berladang, sekarang ini telah jarang dan lebih banyak didapati duduk menunggu jatuhnya rezeki dari seseorang di warung sebelah pengeboran. Sejak tahun 2008 hingga 2011 ini, ratusan hektare lahan yang kebanyakan ladang pertanian berhasil dibebaskan oleh operator Blok Cepu, Mobil Cepu Limited. Baik yang terkait sumur Lapangan Banyuurip hingga menyebar di sekitar lapangan Gas Jambaran, Lapangan Alas Tuwo Timur, Alas Tuwo Barat hingga sampai di Lapangan Kedungkeris. Banyak faktor yang membuat warga melepas sandaran hidupnya tersebut. Mulai tawaran harga yang menggiurkan, bujuk rayu spekulan tanah, sampai dengan intervensi dari berbagai pihak. Lahan di sekitar Lapangan Banyuurip yang sejak dulu terkenal kering dan hanya tadah hujan, buka wilayah irigasi aktif, ditawar dengan satuan harga Rp 20.000/m2 pada awalnya. Harga tersebut sudah tinggi, karena rata tiap meter persegi biasanya hanya dikisaran Rp 5.000 saja. Walaupun begitu,
lahan tersebut termasuk produktif. Karena masih bisa ditanami palawija atau tembakau di saat musim kemarau. Dan ketika penghujan, seperti biasa petani lebih memilih bercocok tanam padi. “Kami tidak mengetahui awalnya, karena memang banyak pencari lahan mengatasnamakan operator MCL. Mereka menghargai Rp 20.000/m2 sampai Rp 30.000,/ m2. Sehingga kami melepasnya,” kata salah satu petani, Lamri (50) asal Dusun Ledok, Desa Mojodelik, Kecamatan Ngasem, Bojonegoro. Diterangkan, pikiran awal menjual lahan untuk kepentingan migas bisa mendapatkan modal besar untuk diberikan lahan lagi. Ternyata semuanya salah. Setelah dibelikan lahan baru ternyata kondisinya jelak dan pendapatnnya berkurang. “Bahkan, hasil panen saya jual semuanya tidak bisa mengembalikan modal awal menanam,” ujar pria paruh baya ini. Lamri juga bercerita, kalau semenjak ia tidak mempunya sawah di desanya, Damrin (30), anak pertamanya harus pergi ke Jakarta untuk mengais rezeki . Padahal ia berharap, di saat hari tua ada yang menunggui dan bisa menggendong cucunya. Tetapi, semuanya musnah seiring lahan garapannya berpindah ke MCL dan penguasa minyak. “Kondisi seperti ini banyak dialami oleh warga lain yang
lahannya telah terbeli,” sambungnya dengan terdiam. Hal serupa juga diungkapkan Nardi (30) warga Desa Gayam, Kecamatan Ngasem. Dikatakan, awal menjual tanah juga karena adanya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang melonjak tinggi daripada harga sebelumnya. Faktor inilah yang menjadi pemicu masyarakat merelakan sawahnya dijual.
“
Bahkan hasil panen saya jual semuanya tidak bisa mengembalikan modal awal tanam
“
H
“Sekarang ini saya merantau ke Surabaya untuk bekerja menjadi buruh pabrik sandal. Penghasilnya tidak seberapa jika dibandingkan dengan masa bertani dahulu,” tambahnya. Ia juga kebingungan ketika keluarg kekurangan penghidupan dan uang hasil menjual tanah dahulu telah habis. Padahal, jika dihitung pada saat itu jelas sangat tinggi dan mencapai ratusan juta. Namun,
karena tidak memiliki keahlian lain, baik berdagang atau lainnya, maka uang itu habis untuk makan sehari-hari dan kebutuhan lain. Kondisi yang tidak kalah pelik dialami beberapa petani lainnya yang sudah tidak mempunyai lahan garapan. Padahal, sebelum dijual ke pihak operator melalui perantara pihak desa dan kecamatan, kehidupan mereka berkecukupan, walaupun untuk makan setiap haru dengan sangat sederhana. Tetapi, kondisi sekarang ini lebih miris dengan penghasilan tetap yang sudah tidak ada. “Saat barusaha menjual lahan dahulu, saya memakai untuk membelikan anak sepeda motor dan membangun rumah. Namun, saat ini sudah lenyap terjual lagi. Kondisi kehidupan keluarga saya juga kekurangan,” tegas petani asal DesaRingintunggal. Menurutnya, tidak sedikit warga di Desa Brabuhan, Begadon, Katur, Sumengko, Bonorejo, Bandungrejo, Mojodelik, dan Gayang yang kondisinya lebih miris. Bahkan, menurut beberapa kabar ada yang sampai melepas keramik yang terpasang, hanya demi makan. “Kabarnya memang seperti itu, dan jika tidak memiliki keahlian mengelola uang cukup banyak, bisa berakibat fatal,” sambungnya.
Petani Sekitar JOB P-PEJ Semua Tidak hanya di wilayah Blok Cepu saja, kondisi serupa juga dialami oleh petani di sekitar Lapangan Sukowati yang dioperatori Join Operating Body Pertamina-Petrochina East Java (JOB P-PEJ). Beberapa petani yang lahannya dijual dahulu, sekarang ini kondisinya tidak jauh lebih baik. Seperti warga di Desa Campurrejo, Kecamatan Kota Bojonegoro, dan beberapa diantaranya lagi di Desa Ngampel dan Sambiroto, Kecamatan Kapas, Bojonegoro. Para petani lebih banyak menganggur dan mencari pekerjaan lainnya di luar eks lahan mereka. “Banyak yang lebih parah, karena mencari pekerjaan di migas tidak mudah. Bahkan, warga sekitar kebanyakan ditinggal,” terang salah seorang warga setempat. Terpisah, Koordinator LSM Pijak, M Kholil menjelaskan, proses pelepasan lahan pertanian ke sektor industri migas sejak awal sempat ditentangnya cukup keras. Karena, warga tidak diberikan keahlian untuk mengelola keuangannya terlebih dahulu dan operator mengambil enaknya saja. “Makanya, tidak jarang warga yang kondisinya bertambah miskin dan masa depan keluarganya buram setelah menjual lahan pertanian mereka ke operator migas,” sambungnya. [*]
Jual Rumah untuk Hidup
SEORANG petani sedang mengolah lahan dengan traktor. Banyak warga di sekitar tapak sumur Lapngan Banyuurip yang membeli lahan di wilayah Kecamatan Kalitidu. blokBojonegoro/Khoirul Muhsinin
S
ejak tahun 2006, tidak sedikit lahan pertanian yang telah terkonversi menjadi industri. Baik di wilayah Blok Cepu yang dioperatori Mobil Cepu Ltd. maupun di Lapangan Sukowati yang menjadi daerah operasi Joint Operating Body Pertamina-Petrochina East Java (JOB P-PEJ). Selain karena faktor untuk kepentingan negara, petani juga banyak tergiur dengan uang yang cukup berlimpah. Dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) awal lahan yang berkisar di nilai Rp 5.000/ m2, oleh spekulan diiming-imingi Rp 20.000/m2 sampai Rp 30.000/m2, warga dengan rela hati melepas lahan yang selama ini menjadi sandaran hidup keluarga. Banyak petani berpikiran, dengan hasil menjual lahan ke operator migas, mereka bisa mendapatkan lahan pengganti yang lebih murah. Ternyata, mereka salah dan mengakui merugi cukup besar tiap panennya. Seperti yang dialami Lamri (50) asal Desa Mojodelik, Kecamatan Ngasem, Bojonegoro. Ia menjual lahannya karena berfikir akan mudah mendapatkan lahan yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Namun, semuanya tinggal menyisakan penyesalan yang mendalam. Karena, ia menderita dengan hasil yang tidak memuaskan. “Ternyata, setelah mendapatkan lahan pertanian di Kecamatan Porwosari, saya harus mengeluarkan uang transport ektra setiap harinya. Alhasil, pemasukan dan pengeluaran tidak seimbang,” katanya sambil menggelengkan kepala bak orang bingung. Tidak hanya transport saja, kondisi tanaman juga kurang maksimal dibandingkan lahan yang dekat rumah. Karena, dirinya mengaku kurang bisa merawat dengan intensif, dan kondisi itu jelas-jelas tidak biak bagi tanamannya. “Bagaimana bisa setiap hari ke sana,
kalau harus mengeluarkan Rp 5.000 untuk beli bensin tiap hari,” tambahnya kepada blokBojonegoro saat ditemu di rumahnya. Kondisi tersebut diperparah dengan hasil panen yang belakangan ini juga cukup buruk. Hal itu memaksa dirinya menjual apa saja yang bisa dijadikan uang. Termasuk, seluruh hasil panen di sawah, tetapi jumlahnya tidak bisa menutupi biaya produksi yang dikeluarkan pada saat masa tanam dan perawatan. Tidak berbeda dengan Lamri, beberapa warga di Desa Gayam, Ringintunggal, Begadon, Brabuhan dan Bonorejo mengakui hal yang sama. Hasil investigasi di lapangan menyebutkan, para petani takut menceritakan secara rinci mengenai kondisi yang sebenarnya. Karena, selama ini mereka menjual lahan kepada spekulan yang kebetulan masih warga sekitar. “Sebenarnya saat itu saya masih memikirkan untuk melepas lahan kami, karena setelah tidak punya penghasilan tetap dari bercocok tanam, keluarga juga akan makan apa ?” tegas salah seorang warga yang mewanti namanya jangan sampai dibeber. Warga lainnya yang ditemui di salah satu warung dekat Gas Oil Separation Plant (GOSP) menegaskan, setelah tanah dijual, uang menumpuk tidak banyak membantu kehidupan petani. Bahkan, tidak jarang petani menghambur-hamburkan uang untuk kesenangan sesaat dengan membeli mobil, sepeda motor, perhiasan, membangun rumah dan lain sebagainya. Ada juga yang membeli tanah di wilayah Ngasem sebelah timur, Purwosari, Ngambon, Tambakrejo dan Kalitidu, tetapi kurang bisa mengurus secara maksimal. “Pokoknya nasib petani benar-benar terjepit mas. Selama ini yang tampak di permukaan, petani untung dari menjual
lahan. Bisa membeli kepentingan sesaat, sampai dengan menjalankan usaha. Padahal, kondisi di lapangan lebih parah, dan mereka baru menyesal menjual lahan tanpa pertimbangan matang,” tegas petani asal Ringintunggal itu. Tidak hanya petani yang mempunyai lahan, warga yang menggantungkan hidup dari buruh tani bernasib sama. Walaupun jumlah lahan yang masih ada lebih besar dibandingkan lahan terkonversi untuk migas, tetapi dampaknya cukup nyata. Mereka yang menggantungkan pekerjaan dari operasi migas, banyak yang harus gigit jari. Dikatakan Hadi (40) warga Desa Manukan, Kecamatan Kalitidu. Ada beberapa petani di Desa Gayam, Mojodelik dan desa lain sekitar tapak sumur membeli lahan sampai di tepi bengawan. Contohnya di Desa Manukan, Cengungklung, Leran sampai dengan Desa Ngraho, Kecamatan Kalitidu. Dampaknya, ada beberapa warga pemilik lahan lokal yang kondisinya berganti tersisih. “Bahkan, untuk mencari pekerjaan, petani dan buruh harus menjadi gelandangan hingga ke Lamongan. Mereka bekerja serabutan, termasuk ngedos,” jelasnya. Suwarno (40) warga Desa Sumengko, Kecamatan Kalitidu, juga merasakan kondisi yang sama. “Sebenarnya bekerja di luar daerah, hanya menutupi kebutuhan hidup keluarga. Juga, biar tidak dikatakan menganggur. Sebab, hasilnya habis dipakai perjalanan dan biaya hidup di perantauan,” tambahnya. Warga sekitar operasi migas mengharapkan diajak untuk bekerja. Karena, saat merelakan lahan pertaniannya untuk dibebaskan, bekerja di wilayah migas tetap menjadi idaman para petani agar bisa bertahan hidup. [*]
Harapan Kasmi (60) warga Desa Ringintunggal, Kecamatan Ngasem, Bojonegoro sempat membumbung tinggi saat menjual tegalan pada tahun 2007 ke spekulan tanah. Dengan harga cukup tinggi, tetapi dirinya seperti menghapus mata pencaharian. Karena, lahan yang menjadi bagian pembangunan Gas Oil Separation Plant (GOSP) itu menjadi tempat tanaman singkong yang sejak lama jadi gantungan hidup. Setelah dua tahuh berjalan, janda satu anak ini harus menjual rumah untuk bisa mencukupi kebutuhan. Sebab, semenjak tanahnya terjual, singkong sudah tidak bisa tumbuh lagi. “Selama ini kami penjual getuk dan bahannya dari tanaman singkong di ladang. Tapi sekarang usaha tidak cukup untuk biaya hidup, beserta anak, menantu dan cucu,” jelasnya pasrah. “Ketika mempunyai tanah sendiri, singkong sudah tidak perlu membeli dengan harga yang mahal. Cukup mengambil di tegalan. Tetapi, sekarang semuanya tinggal pasrah,” lanjutnya. Keberuntungan juga tidak berpihak pada Nardi (30) warga Desa Gayam, Kecamatan Ngasem. Setelah menjual lahan ke operator migas, kondisi kehidupan keluarganya jauh menurun. Bahkan, ia harus menjadi buruh pabrik di Surabaya. “Banyak yang mengalami seperti saya ini. Setelah menjual lahan ke spekulan, saat ini terkatungkatung kehidupannya. Menjadi buruh juga sulit di tempat sendiri,” sambungnya. Hal senada diungkapkan beberapa warga lain. Mereka mengaku banyak menghuni warung-warung di tepi jalan untuk memantau perkembangan pekerjaan. “Tidak sedikit yang awalnya kaya-raya, setelah menjual tanah ke “kompeni”, sekarang sengsara. Bisa dilihat mas,” kata warga Desa Sumengko lainnya. [*]
blokBojonegoro/Khoirul Muhsinin
RUMAH warga yang menjual lahan ke operator migas.
DUA
Lap Muh
S
Lap rasa ters seca rad Da pu ited terd Per PEJ sam nya H dar sem yan lak lah ope Me tor alih Se di s sing dal dar Bad hin pen ma
Hanya Memantau, Tak Punya Data
blokBojonegoro/Muhammad A Qohhar
Nurul Azizah, Camat Kalitidu
DUA PETANI sedang bekerja dengan kesibukannya masing-masing di sekitar Lapangan Alas Tuwo Timur, Desa Ngunut, Kecamatan Dander, Bojonegoro.
S
aling lempar data lahan petani yang dikonversi ke industri migas Blok Cepu maupun di Lapangan Sukowati, benar-benar terasa. Di tingkat desa, pejabat publik tersebut mengaku tidak memiliki data secara langsung, karena semuanya berada di tingkat operator. Dalam hal ini, untuk wilayah Blok Cepu dibawa pegawai Mobil Cepu Limited (MCL), dan di Lapangan Sukowati terdata oleh Joint Operating Body Pertamina-Petrochina East Java (JOB PPEJ). Sehingga, pejabat di lingkup desa sampai kabupaten seirama jawabannya. Hasil investigasi blokBojonegoro.com dari beberapa desa di Kecamatan Ngasem dan Kalitidu, menemukan hasil yang sama. Para pejabat selalu mengelak saat ditanya mengenai jumlah lahan milik petani yang dibebaskan operator untuk kepentingan migas. Mereka menyarankan untuk ke operator yang mengetahui secara rinci data alih fungsi lahan tersebut. Selama ini, proses pembebasan lahan di sekitar Blok Cepu berada di desa masing-masing. Beberapa pihak terlibat dalam pengalihan fungsi lahan, mulai dari tingkat desa, kecamatan, pemkab, Badan Pertanahan Nasional (BPN) hingga operator. Bahkan, saat proses penyerahan hak, dilakukan dengan pemantauan ekstra ketat.
Tetapi, banyaknya pihak yang terlibat, tidak menjamin semua mempunyai data akurat tentang lahan di wilayah masing-masing. Buktinya, begitu alot menguak data lahan milik petani yang terbebaskan. Padahal, jika bisa transparan akan mengurai sejauhmana
“
Semua data tidak masuk BPN. Namun berada di Pemerintah Daerah (Pemda) Bojonegoro.
“
Laporan: Khoirul Muhsinin, Riska Irdiana Muhammad A Qohhar, Joel Joko
tanggungjawab operator kepada pemilik lahan, yang fenomena belakangan ini kehidupannya terabaikan. Kades Mojodelik, Sandoyo mengatakan, secara pasti ia tidak mengatahui lahan yang terbebaskan. Khususnya tentang lahan pertanian, baik sawah maupun tegalan. “Data tentang tanah yang terkonversi atau yang sudah terbebaskan, di Pemerintahan Desa (Pemdes) tidak ada. Karena, semua ada pada Kantor Pertanahan,” katanya. Ia juga menyarankan bertanya kepada pihak berwenang, salah satunya ke
operator yang membebaskan lahan milik warga. Sebab, prosesnya sudah lama dan bertahap. Jawaban hampir sama disampaikan Kades Bonorejo, Siti Rokayah. Menurutnya, data tentang tanah yang sudah terbebaskan di wilayahnya telah bercampur dengan dokumen-dokumen lain. Sehingga, ia tidak bisa kalau diminta mencarikan data-data itu lagi. “Itu sudah lama, dan bertumpuk datanya. Jadi, sulit dicari lagi. Saya tidak bisa mencarikan,” sambung Rokayah. Jawaban yang tidak jauh berbeda dikatakan Kepala Desa Campurrejo, Budi Utomo. Dijelaskan, selama pembebasan lahan untuk migas di wilayahnya, Pemdes Campurrejo tidak banyak ikut campur. Karena, prosesnya ditangani langsung operator JOB P-PEJ dan penyelesaiannya bersama BPN. “Kami hanya membantu administrasi saja, masalah dokumen itu di BPN yang mengetahui secara langsung dan tidak berada di tingkat desa. Apalagi berapa lahan pertanian yang terbebaskan,” tambahnya. Dijelaskan, Pemdes Campurrejo selain memproses administrasi, juga menjembatani kalau ada permasalahanpermasalahan pembebasan lahan. Itupun terkadang diarahkan ke DPRD Bojonegoro untuk membantu memperjuangkan hak masyarakat bawah. “Kami selama ini sering meminta bantuan dewan. Salah satunya pembebasan lahan,” terang Budi.
SEJAK proses pembebasan yang berlangsung mulai tahun 2006, sudah ratusan hektare lahan petani diserahkan kepada operator. Baik di Blok Cepu maupun Lapangan Sukowati. Tetapi, pejabat teras di Pemkab Bojonegoro sempat kebingungan juga saat ditanya mengenai berapa lahan milik petani di wilayah mereka yang sudah berpindah tangan ? Contohnya Camat Ngasem, Bambang Waloyo. Ia mengaku selama ini pihak kecamatan hanya memantau di lapangan pada saat pembebasan dilaksanakan. Terkait data konversi lahan, ia mengarahkan langsung ke pihak operator. “Mobil Cepu ltd. (MCL) yang memegang dokumen tanah milik perani. Jadi, kami sama sekali tidak mengetahui mengenai jumlah luas lahan yang terkonversi,” katanya tegas. Setali tiga uang, Camat Kalitidu, Nurul Azizah juga mengakui hal yang sama. Dikatakan, kalau lahan pertanian di Kecamatan Kalitidu memang memang luas. Namun, data tanah yang masuk di kantor kecamatan tidak ada. “Semua data lahan yang sudah terbebaskan, langsung menjadi kewenangan pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN),” tegas camat perempuan ini. Terpisah, Kepala Badan Perizinan, Pemkab Bojonegoro, Edi Susanto menegaskan, selama ini proses izin pengalihan lahan tidak termasuk dalam wilayahnya. Sehingga, Badan Perizinan jelas-jelas tidak melakukan pendataan atas konversi lahan pertanian itu. [*] Sementara itu, pejabat BPN Bojonegoro juga saling lempar saat ditanya mengenai data lahan pertanian yang terkonversi dan terbebaskan. Alasan bukan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dikedepankan. “Semua data tidak masuk BPN. Namun berada di Pemerintah Daerah (Pemda) Bojonegoro,” kata salah seorang pegawai BPN, Mahmud. Ia beralasan jika dirinya juga tidak mengetahui, karena bukan wilayahnya. Kondisi serupa juga dilemparkan ke pegawai lain. Jawabannya sama. Di kantor yang terletak di Jalan Teuku Umar Kota Bojonegoro rata-rata bungkam saat ditanya tentang data konversi. Terpisah, Field Public and Government Affairs Manager MCL, Rexy Mawadijaya menjelaskan, dirinya yang melanjutkan pemimpin sebelumnya, yakni dari Deddy Afidick, mengaku kurang mengetahui detail data yang dimaksud. Sehingga, tidak bisa memberikannya. “Masalah data tersebut, seharusnya bisa diperoleh di BPN. Kami kurang mengetahui,” jelasnya. [*]
blokBojonegoro/Muhammad A Qohhar
Laporan: Riska Irdiana, Muhammad A Qohhar
BURUH tani sedang menanam padi di sebelah pengeboran Pad A Lapangan Sukowati di Desa Campurrejo, Kecamatan Kota Bojonegoro
U
UPA yang pada waktu itu dianggap buatan Partai Komunis Indonesia (PKI) lebih memanusiakan petani dibandingkan perkembangan saat ini. Dengan istilah landreform, pemilik lahan di atas 10 hektare sangat dibatasi. Sehingga, pendistribusian lahan benar-benar merata di tingkat bawah. Bahkan, semaksimal mungkin pemilik tanah yang rata-rata saat itu dikuasai petani diberi hak lebih. Secara otomatis, kepemilikan tuan tanah terkurangi. Asumsi yang terbangun, semakin banyak tanah dikuasai petani, maka hajat hidup di kalangan menengah ke bawah semakin terpenuhi. Perubahan dramatis tersaji belakangan ini. Secara besar-besaran, pemilik modal sangat mudah menguasai lahan
Petani Harus Terlindungi Nuswantoro Wakil Ketua Komisi C DPRD Bojonegoro
Tidak hanya memberikan lahan pengganti untuk tetap mempertahankan keberadaan pangan di Bojonegoro, operator migas harusnya bisa mengarahkan petani yang lahannya telah terbeli. Artinya, mereka tetap bisa menghidupi keluarganya dengan lebih terarah. Hal itu disampaikan Wakil Ketua Komisi C DPRD Bojonegoro, Nuswantoro. Kepada blokBojonegoro. Politisi asal PDIP itu menambahkan, adanya pengalihan fungsi lahan secara otomatis mengganggu eksistensi para petani di Bojonegoro.
pertanian milik kaum alit. Kondisi tersebut tidak diimbangi penyediaan lahan baru yang mengakibatkan petani kehilangan lahan penghasilan yang dibuat sandaran hidup keluarganya. Hal itu dibenarkan oleh Sekretaris Komisi A DPRD Bojonegoro, Sigit Kushariyanto kepada blokBojonegoro. Dijelaskan, sejauh ini pelaksanaan UUPA belum dijalankan secara efektif. Contohnya, Badan Pertanahan Negara (BPN) tidak konsekuen dengan keberadaan lahan penyangga pangan. “Sehingga, banyak institusi yang melewati ambang batas yang ditentukan dalam penggunaan lahan pertanian,” katanya. Politisi asal Partai Golkar tersebut menegaskan, contoh lain mengenai kepemilikan lahan hak guna bangunan
(HGB) yang jumlahnya ratusan hektar. Rata-rata keberadaannya dikuasai pemilik modal dan menjadi sistem agraria yang kurang berpihak. “Petani hanya menguasai sebagian kecil lahan yang sebenarnya menjadi haknya untuk mempertahankan keberadaan pangan di wilayah kelas bawah. Petani kalah dengan pemilik modal,” sambungnya.
Fenomena tersebut yang harus dikembalikan seperti semula. Petani yang tidak mendapatkan penghasilan dari bekas lahan mereka, harus diberikan ruang dan perlindungan melalui UUPA. “Jika tidak, maka produksi pangan bisa terancam dan semakin turun tiap tahun. Parahnya, keberlangsungan hidup orang banyak terganggu,” tegas Sigit. Di pasal 6 UUPA menyatakan, tanah memiliki fungsi sosial dan seluruh yang ada di atas, di dalam dan di bawah dikuasai oleh negara. Kalau konteks negara membutuhkan untuk kepentingan tertentu, maka negara akan memintanya. Dan hal ini diperbolehkan. “Walaupun begitu, pemerintah akan menggantinya dan pengguna atau pemilik lahan harus bersedia memberikannya,” lanjutnya. Sejauh ini, atas nama pemerintah, operator minyak dan gas bumi (migas) di Bojonegoro melakukan pembebasan dengan besar-besaran. Namun, kondisi tersebut tidak berbanding lurus dengan penyediaan lahan serupa. Hanya kompensai diberikan kepada pemiliknya, tanpa diarahkan untuk tetap mengadakan lahan dengan fungsi yang sama. Sehingga, keberadan pangan bisa terancam. Belum lagi, kondisi bencana alam semisal banjir, wabah hama wereng, dan halangan lain, memaksa ketahanan pangan semakin mengkhawatirkan.[*]
Lahan yang Terkonversi di Blok Cepu Sesuai Izin Penetapan Lokasi
Oleh karena itu, BP-Migas yang dalam konteks ini sebagai perwakilan pemerintah harus memberikan kompensasi yang layak. “Dengan demikian, petani yang kehilangan lahannya akan dapat membeli lahan baru di tempat lain dengan menusiawi. Tetapi jika tidak terpenuhi, maka keberadaan pangan yang semakin menipis harus juga dipikirkan oleh pemerintah pusat dan kabupaten,” terangnya. Dikatakan, selama ini petani di wilayah Blok Migas Cepu yang dioperatori Mobil Cepu Ltd. (MCL) maupun Lapangan Sukowati yang dioperatori Joint Operating Body Pertamina-Petrochina East Java (JOB P-PEJ) menggantungkan kehidupan keluarganya dari bertani. “Proporsi yang saling menguntungkan harus dikedepankan. Jangan sampai menggunakan tameng atas nama pemerintah, petani dikalahkan,” lanjutnya. [*] Sumber: Litbang blokBojonegoro
J
(mi Boj kon pen ban D Ne me bas spe 200 lah ber teg lah lah seh me wil yan (MC Sya Pr Kec nam bag 200 taw kuk bag ma gap “W ma
J
angan dilihat berapa jumlah lahan pertanian yang dibebaskan untuk kepentingan minyak dan gas (migas) maupun lainnya di Kabupaten Bojonegoro. Tetapi dampak akibat konversi lahan itu, bisa menyebabkan penumpukan pengangguran lebih banyak di Kota Ledre. Data yang dibeber oleh Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Bojonegoro menyebutkan, sejak mulai pembebasan lahan secara besar-besar oleh spekulan pada tahun 2000 sampai 2007, telah banyak perubahan fungsi lahan. Petani yang awalnya masih bisa bercocok tanam di sawah maupun tegalan, mulai kebingungan mencari lahan pengganti. “Karena kebutuhan lahan pada saat itu cukup besar, sehingga banyak berlomba-lomba membebaskan tanah milik petani di wilayah migas. Khususnya Blok Cepu yang dioperatori Mobil Cepu Limited (MCL),” kata Ketua KTNA Bojonegoro, Syarif Usman. Pria yang juga Kepala Desa Balenrejo, Kecamatan Balen, Bojonegoro itu menambahkan, saat masih menjabat sebagai anggota dewan periode 20042009, dirinya juga beberapa kali ditawari spekulan lahan untuk melakukan pembelian. Tetapi, dengan berbagai pertimbangan saat itu dan juga masa depan petani, ia enggan menanggapinya. “Walaupun di sekitar migas termasuk lahan tandus, karena hanya
tadah hujan untuk ditanami padi, tetapi banyak petani yang menyandarkan hidup keluarganya dari anugerah Tuhan tersebut,” jelasnya. Mantan politisi Partai Golkar itu menegaskan, spekulan tanah membeli lahan petani dengan cukup murah. Yakni antara Rp 11.000/m2 hingga Rp 15.000/m2. Namun, setelah dibebaskan, mereka menjual dengan harga selangit. Mulai dari Rp 50.000/m2 sampai ada yang Rp 80.000/m2. Belakangan ini tersiar kabar ada yang meminta di atas Rp 150.000/m2. “Ketakutan jelas membayangi, karena warga yang menjual lahan pertaniannya kepada operator, baik yang langsung atau melalui spekulan tanah, akan terpinggirkan di daerah sendiri. Sehingga yang perlu dilakukan survei lebih dalam, berapa jumlah petani yang hidupnya makmur, berapa uang yang masih dipegang atau sampai dengan penderitaan setelah tidak ada lahan untuk menghidupi keluarganya,” sambung Arif, panggilan akrabnya. Yang dilakukan menurut Arif, harus ada pembinaan secara berkala untuk mereka yang telah menjual lahannya ke operator. Baik di Blok Cepu, maupun Lapangan Sukowati yang dioperatori Joint Operating Body PertaminaPetrochina East Java (JOB P-PEJ). Diantaranya dengan mengarahkan pada usaha-usaha produktif, dan jangan sampai uang hasil penjualan lahan
pertaanian itu habis untuk dibelikan motor, mobil, perhiasan atau membangun rumah. “Banyaknya warga pendatang maupun luar negeri benarbenar mempengaruhi gaya hidup warga sekitar operasi migas. Salah satunya gaya hidup tinggi dan mewah. Juga, operator lebih peduli dan kami mendesak agar lahan pertanian dilindungi dan terus dikembangkan,” sambungnya. Seperti mencukupi kebutuhan air untuk eksplorasi dan eksploitasi migas dari air Bengawan Solo. Sebab, dengan membangun waduk penampungan, maka para petani yang lahannya tandus bisa terbantu dan secara otomatis menggalakkan pekerjaan masyarakat sipil disana. “Jangan lihat besarnya yang dibebaskan untuk migas dan dikonversi kelahan lain, tetapi dampak riil di lapangan. Kalau dibiarkan terus, maka petani akan menambah jumlah pengangguran di Bojonegoro,” terangnya. Bukan itu saja, keberadaan pangan juga terganggu. Dampaknya, hargaharga kebutuhan pokok juga semakin mahal, dan Bojonegoro yang selama ini terkenal dengan wilayah lumbung padi, statusnya bisa terancam. Sementara itu sejumlah sumber di lapangan menyebutkan, produksi padi di Bojonegoro menurun cukup drastis beberapa waktu belakangan ini. Selain faktor hama wereng yang menghabiskan sekitar 8.000 hektare lahan, jika
konversi tak terkendali oleh pihakpihak terkait, Tahun 2011, luas areal tanaman padi ditargetkan mencapai 100.500 hektare dan dianggap oleh Dinas Pertanian telah melampaui target yang ditetapkan. Areal tanaman padi untuk Musim Panen (MP) 1 yakni bulan Oktober – Maret mencapai 133.012 hektare, sedangkan Musim Kemarau (MK) 1 yakni Bulan April mencapai 4.695 hektare. Kondisi lumayan parah dan diterangai ikut mengganggu ketahanan pangan di Bojonegoro adalah banyaknya gagal panen pada MK II tahun 2010. Sebab, saat itu penurunan produksi diperkirakan sampai 40 % akibat hama dan bencana alam. Walaupun begitu, total produksi tahun 2010 dinyatakan meningkat dibandingkan 2009. Tahun 2010, produksi rata-rata 62,58 kuintal/ hektare, tahun sebelumnya hanya berkisar di angka 54,67 kuintal/ hektare. Terjadinya penurunan produksi akibat serangan berbagai macam hama, seperti sundep, beluk, wereng dan tikus itu menurut data Disperta pada tahun 2010 tidak mempengaruhi signifikan tanaman padi yang mencapai 150.000 hektare lebih dengan angka produksi 922,4 ribu ton gabah kering panen (GKP). Sedangkan 2009, areal padi tertanam di 115.000 hektare lebih dengan produksi 871,1 ton GKP. [*]
blokBojonegoro/Muhammad A Qohhar
PENGGEMBALA Kambing dengan santai menunggui Kambing di sebelah Lapangan Alas Tuwo Timur
blokBojonegoro/Muhammad A Qohhar
ANAK-ANAK bermain di sekitar pengeboran migas di Kabupaten Bojonegoro. Mereka tidak melihat kondisi orang tua mereka yang lahan pertaniannya tergerus.
Bangunan Berdiri, Izin Konversi Baru Dicari Setiap tahun, lahan pertanian yang terkonversi untuk kepentingan industri dan lainnya cukup besar. Bahkan, pemilik modal seakan-akan meremehkan izin konversi. Sebab, banyak yang ditengarai tidak sesuai Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Bojonegoro, karena izin dicari setelah bangunan berdiri. Laporan: Riska Risdiana, Muhammad A Qohhar, Joel Joko
R
ekomendasi terkait konversi la han pertanian untuk kebutuhan lain di Kabupaten Bojonegoro, seakan cukup mudah. Buktinya, setiap tahun lahan milik petani yang berpindah tangan kepada pemodal cukup besar. Khususnya untuk industri minyak dan gas bumi (migas) yang ratarata menggerus lahan milik petani kecil di desa sekitar. Data yang dihimpun blokBojonegoro menyebutkan, ada fenomena menarik mengenai konsversi lahan pertanian ke industri di Bojonegoro yang terkesan dibiarkan. Pasalnya, beberapa kasus tersaji. Saat bangunan telah selesai atau sudah berdiri, pengurus izin baru mengajukan pengalihan status lahan. Kondisi tersebut tidak disikapi secara tegas oleh pemangku kebijakan di Pemkab Bojonegoro. Pejabat terkait tampak lembek saat menemukan kondisi seperti itu dan saling melempar tanggungjawab. Buktinya, beberapa bangunan di wilayah migas ditengarai ada yang belum mempunyai Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan izin gangguan (HO), tetapi telah beroperasi. Badan Perizinan lambat memberikan teguran dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)
terus berlindung pada data yang katanya belum masuk. Padahal, secara aturan bangunan baru bisa didirikan saat segala persyaratan selesai direkomendasi. Artinya, tidak bisa memakai jurus jalan pintas dalam menyelesaikan suatu izin. “Memang kondisinya seperti itu. Akibat pemangku kebijakan di Pemkab Bojonegoro setengah hati, pengendalian lahan milik petani tidak bisa dilakukan secara baik. Konversi menjadi ajang mencari rezeki bagi sebagian oknum,” kata salah seorang perwakilan petani di Blok Cepu. Dijelaskan, jika sejauh ini belum ada upaya dari Pemkab Bojonegoro untuk menyeimbangkan lahan pertanian yang telah terkonversi dengan lahan baru yang lebih produktif. Artinya, saat ada 700 hektare lebih lahan dibebaskan untuk kepentingan operasi migas Blok Cepu, Lapangan Sukowati, atau kegiatan industri lainnya, ada produksi pangan yang terus berlangsung. Sementara itu untuk data di tahun 2008 sampai 2011, telah ada 3.890.637,75 m2 atau sekitar 389 hektare lahan pertanian yang beralih fungsi. Jumlah tersebut masih akan terus bertambah, karena pemilik
modal cukup banyak yang mengajukan izin. Jumlah 389 hektare itu diantaranya pada pengajuan tahun 2008 seluas 631.932 m2, tahun 2009 seluas 1.671.829 m2, tahun 2010 seluas 476.346,75 m2 dan tahun 2011 hingga Bulan Juni yang sudah sebanyak 110.530 m2. “Termasuk juga untuk kepentingan industri migas. Namun, belum mencakup data pengajuan sebelumnya,” terang Kepala Dinas Pertanian (Disperta), Subekti. Khusus untuk industri migas, data yang berhasil didapatkan di Disperta hanya dua tahun saja. Tepatnya rekomendasi pada Maret 2008 untuk lahan seluas 90.000 m2 di Desa Ngasem dan Sendangharjo, serta bulan yang sama seluas 140.000 m2 di Desa Ngunut, Kecamatan Dander. Juga rekomendasi di Bulan September 2008 tanag dengan luas 150.000 m2 di Desa Leran, Kecamatan Kalitidu untuk kegiatan eksplorasi migas. Pada tahun 2009, ada empat kali rekomendasi yang dikeluarkan, tepatnya Bulan April dengan luas 150.000 m2, 126 m2 dan 3.266 m2 untuk jalur pipanisasi, serta 100.000 m2 untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas. “Dengan adanya konversi tanah dari lahan pertanian menjadi
lahan industri, tentu akan memiliki pengaruh bagi para petani. Namun, alih fungsi ini tetap harus dilakukan dengan alasan kepentingan umum. Dalam hal ini kami tetap mengacu pada Rencana Tata Ruang dan Wilayah(RTRW) yang berlaku,” jelasnya. Alasan kepentingan umum itulah yang membuat konversi lahan pertanian menjadi industri selama ini dipermudah. Tetapi, semuanya tetap akan dikendalikan oleh RTRW yang berlaku. Sebab, lahan partanian yang menyempit berakibat penurunan produktifitas hasil pangan. “Adanya fenomena ini harus diimbangi dengan penciptaan sawah lagi. Yakni, lahan yang biasanya hanya tanam satu kali, bisa ditambah produktifitas dengan bertanam dua kali. Artinya, ketersediaan pangan masih bisa terjaga,” sambungnya. Tidak hanya itu, pemerintah tidak akan tinggal diam. Bantuan yang bentuknya langsung maupun berkala diberikan demi menstabilkan hasil produksi pertanian di Bojonegoro. Bantuan diberikan berupa diesel,atau mungkin sumur bawah tanah yang dapat membantu meningkatkan hasil lahan petani. [*]
Operator Nyatakan Komitmen Field Public & Government Affairs Manager MCL, Rexy Mawardijaya menyatakan, komitmen MCL di Bumi Anglingdarma sudah disepakati sejak awal. Itupun telah melalui kajian mendalam, baik amdal maupun indikator lainnya. Sehingga, dampaknya bisa diminimalisir. “Kami belum mencatat kerusakan yang terjadi, mungkin bisa ditanyakan secara langsung kepada pemerintah daerah setempat,” tambah Rexy. MCL selalu memperhatikan masyarakat yang berada di sekitar operasi. Diantaranya dengan kompensasi sosial
melalui tiga pilar, yakni pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Kegiatan tersebut masih terus berlangsung di beberapa desa sasaran. Seperti Gayam, Mojodelik, Bonorejo, Bandungrejo, Brabuhan, Begadon dan Ringintunggal, Kecamatan Ngasem. Selain itu juga menyentuk warga di Desa Katur, Sumengko, Sudu, Ngraho, Beged, Cengungklung, Manukan dan Talok. Masih banyak lagi desa-desa yang telah ditingkatkan kesejahteraan masyarakatnya. [*]
Erw mela latih
Persibo Fokus Regenerasi, Yakin di Kasta Tertinggi Walaupun sudah tidak ada Liga Primer Indonesia (LPI), Persibo Bojonegoro tetap berbenah untuk menyongsong kompetisi selanjutnya. Dengan progreslambat dan belum tampak rekruitment pemain seperti klub lain, menejemen tetap yakin berada di kasta teratas. Laporan: Muhammad A Qohhar
Akhmad Sumardi, Pemain belakang Persibo
LPI yang dianggap “bubar” dan hanya setengah musim menggelar kompetisi, membuat klub-klub dibawah naungan konsorsium harus kembali menata menejemennya. Namun, profesionalitas yang sudah mulai dicanangkan, memudahkan Persibo, salah satunya, saat diverifikasi PSSI untuk ikut di kompetisi profesional. “Kita sudah siap, dan tidak ada masalah sejak lama. Yang penting, kita tetap memperhatikan regenerasi pemain muda,” kata Ketua Umum Persibo, Letkol Inf Taufiq Risnendar, kepada blokBojonegoro. Dikatakan, Laskar Angling Dharma termasuk menjadi bagian klub yang memperjuangkan klub yang mandiri seperti yang tengah digadang-gadang sekarang ini. “Secara administrasi dan menejemen keuangan, kita sudah siap dan semuanya telah masuk ke PSSI,” tegasnya. Sementara itu CEO PT Pengelola Persibo Indonesia (PPI), Widyawan Feriyanto Kodrat menjelaskan, dengan mekanisme yang baru, menejemen tengah mengusahakan Persibo untuk bisa berlaga di kasta tertinggi. Artinya, dengan deposit Rp 5 miliar, maka secara otomatis bisa berlaga di level
Tak Target Atlet Panahan di China Laporan: Nitis Sahpeni
Erwina Safitri tengah melangkah usai mengikuti latihan di Bojonegoro
Lima atlet panahan andalan Bojonegoro, direncanakan berlaga di ajang internasional. Kali ini yang dituju World Cup pada 5 sampai 10 September di Shanghai, Cina. Walaupun memberangkatkan yang terbaik, tetapi para atlet tidak ditarget meraih medali. Karena, dalam ajang ini hanya statusnya sebagai uji coba atlet terakhir sebelum bertanding di even SEA Games pada November mendatang
di Jakarta. “Atlet tidak dibebani harus meraih medali dalam kejuaraan ini memangnya. Sehingga, mereka bisa lebih rileks,”kata Pelatih Pelatnas Panahan Bojonegoro, Endah Sulistyorini, kepada blokBojonegoro. Perempuan yang juga istri Kabid Binpres PP Perpani, I Gusti Nyoman Budiana ini menuturkan, keikutsertaan lima atlet Bojonegoro yang sudah masuk dalam tim inti SEA Games 2011 dimaksudkan untuk menambah jam terbang. Termasuk menguji mental atlet. Dengan uji coba di ajang internasional tersebut, diharapkan atlet bisa lebih tangguh untuk menghadapi SEA Games yang dihelat di negara sendiri. Sat ini, lima atlet panahan Bojonegoro yang dikirim
satu. “Namun, persiapan selama satu musim kempetisi juga terus diperlihatkan,” lanjutnya. Sehingga, tidak cukup hanya mempunyai deposit saja. Kebutuan operasional selama satu musim kompetisi, pembayaran kontrak, gaji dan lain-lain tetap menjadi yang terpenting. “Kita juga tengah melakukan pendekatan dengan beberapa investor. Tinggal menunggu waktu saja,” sambung Ferry Kodrat, panggilan akrab mantan wartawan tersebut. Dijelaskan, setelah lebaran, para pemain yang sudah bergabung sebelumnya akan menjalani latihan kembali untuk memulihkan kondisi fisiknya. Setelah itu, dilihat bagaimana progressnya untuk menentukan langkah selanjutnya. “Persibo termasuk klub yang sudah matang, dengan menejemen yang komplit, sarana yang memadai, serta mempunyai pendukung fanatik cukup besar. Artinya, dari segi tim sudah solid,” lanjutnya pria yang juga menejer Timnas Indonesia Pra Piala Dunia di Brazil itu. Oleh karena itu, dukungan semua pihak termasuk investor, akan membuat Persibo disegani. [*]
antara lain IGNP Praditya Jati, Ika Yuliana, Erwina Safitri, Catur Wuri dan Yanu Ardianto. Mereka semakin intensif melakukan latihan di lapangan Banjarsari, Kecamatan Trucuk. “Setiap hari latihan, baik fisik, teknik, konsentrasi dan akurasi bidikan ke target face,” jelas Endah. Sehingga, dengan semakin keras latihan, di Shanghai nanti atlet semakin siap menghadapi lawan-lawannya. Menurut perempuan kelahiran Pamanukan, Subang, Jabar ini, untuk bisa menang di SEA Games para atlet harus banyak melakukan uji coba. Agar, yang bersangkutan mempunyai mental lomba yang baik dan tangguh. “Karena, untuk cabang olahraga (cabor) panahan, yang dibutuhkan adalah konsentrasi tinggi, mental bagus dan fokus,” sambungnya. Sementara ini, pihak Pelatnas Bojonegoro sambil menunggu kepastian keberangkatan menuju Shanghai, hanya menggelar pemantapan latihan saja. [*]
Jedoran yang Tergerus Dangdutan 10-an tahun yang lalu, kesenian Jedor atau Jedoran asal Desa Sarangan, Kecamatan Kanor, Bojonegoro sempat tenar. Hampir semua kecamatan di Bumi Angling Dharma ini pernah disinggahi untuk unjuk diri. Tetapi saat ini Jedoran sudah di ujung kepunahan. Laporan : Khoirul Muhsinin blokBojonegoro/Muhammad A Qohhar
MBAH MODIN Syafi’i tengah mempertontonkan alat terbang yang menjadi bagian dari kesenian jedoran
T
atapannya kosong. Matanya yang cekung menggambarkan beratnya hidup yang dijalani. Namanya Suri (62), salah seorang personel kesenian Jedoran asal Desa Sarangan, Kecamatan Kanor, Bojonegoro. Dengan santai, dia bercerita banyak mengenai Jedoran di rumahnya yang hanya berlantai tanah dan berdinding anyaman bambu. Dia mengawali dengan kondisi kesenian yang sempat tenar menjelang akhir tahun 1990-an tersebut, tengah sekarat. Banyak faktor membuat Jedoran yang sebenarnya masih cukup diminati tersebut kurang menarik perhatian kaum muda. Bahkan, yang tersisa dari generasi terakhir tinggal 7 orang saja. Dia salah satunya. Bersama dengan enam kakek-kakek, bahkan ada yang sudah menjadi buyut, Dia berusaha tetap melestarikan kesenian yang mengandalkan lengkingan suara itu. Personel lainnya bernama Syafi’i, Dakwan, Abdul Ghoni, Nur Syam, Kalil, dan Sukandar. Mereka semuanya masih aktif, walaupun dari segi kualitas sudah tidak segarang dulu. “Kalau saya sifatnya makmum aja, atau backing vocal. Kalau imamnya adalah Mbah Modin (sapaan akrab Syafi’i yang juga menjabat Kaur Kesra Desa Sarangan) itu,” jelas Suri. Sejak tahun 1960-an, sudah jarang yang mau belajar. Bahkan, kebanyakan sudah kalah dengan musik dangdutan. Sehingga, bisa dikatakan dia termasuk generasi yang terakhir sejauh ini. Padahal, dia menekuni seni Jedoran ketika masih belum kawin. “Saya langsung dibelajari (alm) Kiai Dahlan yang juga pemangku Masjid At-Taqwa Desa Sarangan,” katanya sambil mengingat-ingat waktu persisnya. Dijelaskan, pada saat belajar pertama kali memang sangat sulit. Karena, dibutuhkan waktu tiga tahun untuk
menguasai teknik memukul jedor dan melengkingkan suara. Karena, selain menabuh juga harus mahir melantunkan shalawat Al-Barzanji yang merupakan uraian sejarah atau kisah Nabi Muhammad SAW dengan bahasa arab. Setiap pagelaran berlangsung, baik di acara khitanan, melekan untuk hajat pengantin, hingga mengarak saat temu manten, sebenarnya dibutuhkan delapan personel untuk melengkapi tabuhan. Yakni, tiga orang memegang terbang kecil untuk irama tertentu dan tiga orang lainnya bersiap-siap untuk menabuh terbang besar. Selain itu satu orang lainnya secara terus menerus membunyikan jedor, yang berfungsi sebagi bass. “Satu vokal utama pasti dipegang Mbah Modin Syafi’i. Karena, suaranya yang paling tinggi dan enak didengar. Kalau tidak ada Mbah Modin, maka jedoran tidak bisa berlangsung, karena yang menggantikannya belum ada,” sambungnya dengan sesekali mengusap rambutnya yang telah beruban. Hal senada disampaikan oleh Mbah Modin. Menurut dia, setelah Kiai Dahlan meninggal, Kiai Suhaili yang meneruskan untuk membina teman-teman Jedoran. Saat itu personelnya masih sangat lengkap, dan saat ini yang masih hidup sudah di usia senja. Seperti Mbah Dasirun dan Sajirin. Sedangkan lainnya sudah meninggal dunia. Contohnya, Alm. Mbah Sumandar, Alm Mbah Kairi, Alm. Mbah Sajiran, dan beberapa personel angkatan pertama sampai ketiga. “Kalau saya ini termasuk angkatan keempat dan di bawah saya dua angkatan, termasuk Suri, Dakwan, Nur Syam dan Sukandar,” tegasnya. Pada saat tampil, biasanya para personel harus mempunyai tenaga ekstra. Karena, sejak mulai setelah salat Isya, maka akan baru berakhir menjelang Subuh.
Di tengah lagu-lagu shalawat yang dikumandankang, biasanya ada lagu Tombo Ati yang dibuat variasi dan biasanya saat tengah malam. Karena, para orang tua sangat suka mendengarkannya dengan sayup-sayup di rumah untuk refleksi diri. “Banyak yang tanya, saat tampil biasanya dikasih berapa untuk ganti begadangnya. Saya selalu menjawab tidak pernah menarget. Kalau pada waktu dahulu, terkadang hanya singkong dan kopi saja sebagai jaminan, ditambah makan,” lanjutnya. Namun, karena kasihan dengan personel lainnya, Mbah Modin mengusulkan untuk diberikan ganti bedagang atau dana untuk membeli jamu. Kare[na, satu hari setelah tampil biasanya tidak cukup untuk mengembalikan kesehatan badan seperti semula. Padahal, rata-rata semua personel adalah petani yang harus menghidupi keluarga dengan cara bercocok tanam di sawah. “Kalau tidak dipertahankan, maka jedoran dari Sarangan yang sempat cukup terkenal itu akan termakan zaman. Anak cucu pasti hanya mendapatkan ceritanya saja, tanpa bisa me-
nikmati alunan suara terbang dan jedor yang menyentuh hati,” tegasnya penuh harap. Meski sudah bergelut puluhan tahun lamanya, rata-rata personel Jedoran yang usianya sudah kepala 60 tersebut tidak mengetahui apa itu jedoran. Baik secara harfiah maupun makna kiasannya. Mereka lebih memilih sama. Yakni, kata jedoran berasal dari alat penutup setiap musik berlangsung di kesenian tersebut, yakni jedor. Mbah Modin, panggilan akrab Kaur Kesra Desa Sarangan, Syafi’i, yang juga koordinator jedoran, kepada blokBojonegoro, menjelaskan, sejak berdiri jedoran lebih dikenal sebagai bagian dari kesenian Islam. Karena, syair yang dibawa berasal dari kitab Al-Barzanji atau sejarah Nabi Muhammad SAW. Jawaban serupa juga dikatakan Suri, personel lain. Dirinya pernah menanyakan kepada Alm. Kiai Dahlan, dan jawabannya juga sama. Jedoran diambilkan dari kata Jedor. “Itu saja yang diketahui. Lainnya tidak tahu,” jelasnya dengan sambil menggelengkan kepala. [*] [*]
A
Se be jed Sa Ka tid Ha ka ya ka me Idu
Lap
K
pen nia day nila per nta ku teru Te di D cul sam ala sam dila luru dal W tida ban yan N eko jug per me dup Bi nan me yan “K itu ada kec yan
Alat Diremajakan saat Idul Adha Sejak awal mula berdiri, alat kesenian jedoran di Desa Sarangan, Kecamatan Kanor, Bojonegoro tidak pernah ganti. Hanya kulit kambingnya saja yang diremajakan karena rusak. Itupun menunggu Hari Raya Idul Adha. Laporan : Khoirul Muhsinin
K
lasik memang. Banyak kesenian yang gulung tikar karena terkendala pendanaan. Walaupun kesenian tersebut sangat berbudaya dan menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan, tetapi perhatian minim dari pemerintah setempat, membuat pelaku seni kebingungan untuk terus melestarikannya. Termasuk kesenian jedoran di Desa Sarangan. Sejak muncul sekitar tahun 1960-an lalu sampai sekarang ini, bentuk alat yang dimainkan masih sama. Artinya, belum pernah dilakukan peremajaan menyeluruh, karena memang terkendala pendanaan. Walaupun toh sebenarnya tidak memperlukan dana yang banyak untuk membeli alat yang baru. Namun, karena keterbatasan ekonomi para personel, dan juga saat ditanggap orang tidak pernah ada target pemasukan, membuat kesenian tersebut hidup apa adanya. Bisa pentas saja sudah senang, walaupun pulang hanya membawa lelah dan kantung yang menggelayut. “Kondisinya memang seperti itu mas, kita tidak mengadaada. Pada waktu saya masih kecil, pertama kali alat jedoran yang saya lihat ya ini,” kata
PERSONIL jedoran yang rata-rata usianya diatas 60 tahun sedang tampil disalah satu pagelaran.
Syafi’i atau biasa disapa Mbah Modin oleh warga Desa Sarangan, sambil menunjuk alat jedoran yang tertumpuk di sudut bagian depan rumahnya. Menurut dia, alat-alat yang terdiri dari tiga terbang (semacam rebana) kecil, tiga terbang besar dan satu jedor, hanya teremajakan saat ada yang rusak. Biasanya menunggu musim lulang atau kulit kambing yang diberikan orang saat Hari Raya Idul Adha. Kalaupun tidak ada, sesekali ditambal dengan seadanya. Yang menjadi persoalan saat akan pentas, proses nyentak atau
menyelipkan kayu menjalin di sela-sela bagian dalam kayu dan kulit kambing lebih susah dan membutuhkan waktu yang sangat lama agar suara terbang kencang dan nyaring. “Sebenarnya kita ingin ada pembaharuan alat. Mungkin kalau seperti itu ada yang tertarik lagi. Sebab, sudah sejak lama saya mendambakan warga sekitar, khususnya pemuda yang belajar kesenian luhur ini,” sambungnya. Mbah Modin menekankan, generasi muda sekarang ini yang dilihat hanya uang saja. Jarang yang dengan ikhlas
menguri-uri sesuatu yang baik dan bernilai tinggi. Tirakatan untuk menghasilkan sesutu yang baik, juga kurang diperhatikan. “Semoga saja, jedoran ini ada yang meneruskan dan emaneman kalau nanti sampai berhenti di tengah jalan,” jelasnya sedikit pasrah. Harapan serupa juga disampaikan Sajirin, salah seorang generasi angkatan ketiga yang masih hidup. Kakek lima cucu ini menegaskan, dirinya sangat rindu dengan lengkingan suara yang menjadi ciri khas dari jedoran. Selain itu ketena-
blokBojonegoro/Muhammad A Qohhar
ngan saat tengah malam mendengar suara lagu-lagu Islami berkumandang syahdu. “Saat muncul dahulu, mungkin karena di Sarangan kebanyakan petani dan di pinggiran Bengawan Solo, kesenian tersebut tepat. Selain untuk menenangkan batin saat menjelang tidur, atau yang ingin tirakatan pada waktu tengah malam,” lanjutnya. Walaupun begitu, harapan meng-uri-uri jedoran untuk tetap langgeng akan pupus, saat pengambil kebijakan kurang memperhatikan para pelestari kesenian tersebut. [*]
S
ejak tahun 1990, di Kabupaten Bojonegoro muncul duta wisata yang bernama Kange dan Yune. Ikon tersebut selalu tampil di depan saat mempromosikan kebudayaan, wisata maupun produk asal Kota Ledre, sebutan lain Bojonegoro. Mereka dipilih dengan proses yang tidak mudah atau dengan beberapa tahapan. Setiap tahun, pagelaran akbar pemilihan duta wisata yang sekaligus akan dikirimkan untuk mewakili Bojonegoro ke ajang Raka-Raki itu menampilkan sesuatu yang berbeda. Bahkan, semakin meriah dengan segala tampilan yang ada. Pesta tersebut tidak hanya semalam, melainkan beberapa hari sejak proses pendaftaran. Kepada blokBojonegoro, Kepala Bidang Promosi Wisata, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Pemkab Bojonegoro, Imam WS menjelaskan, dirinya sedikit pun tidak menyangkan keberadaan Kange dan Yune menjadi salah satu ikon di Kota Ledre ini. Pasalnya, sejak pertama kali diadakan dirinya hanya berharap masayarakat tidak melupakan peninggalan leluhur, yaitu kebudayaan khas masyarakat Bojonegoro. “Kami hanya ingin mengajak masyarakat tetap melestarikan budaya daerah saja mas,” katanya sambil mengingat-ingat bagaimana kemunculan Kange dan Yune sebagai orang pilihan untuk mempromosikan wisata dan kebudayaan Bojonegoro ke tingkat nasional. Saat didengar sepintas, kata Kange dan Yune, memang terdenger asing. Sebab, pengucapan dua kata itu biasanya disematkan kepada pemuda atau pemudi yang hidup di desa. Namun semuanya itu tidak menjadi masalah, karena masyarakat Bojonegoro pada dasarnya hidup dan berkembang di desa, kalau pun ada perkotaan, itupun hanya sekian persen saja. “Kita ini termasuk trah mataraman. Jadi tidak masalah jika kata Kange dan Yune disebut ndeso,” terang lulusan Seni Rupa IKIP Jogjakarta tersebut. Ditanya mengenai awal mula pemilihan Kange dan Yune, Imam menceritakan, kalau dirinya tidak sengaja membaca salah satu media massa. Kemudian pada halaman tertentu melihat pemilihan Abang dan None, serta Cak dan Ning. Selain itu di beberapa wila-
Seolah menjadi sebuah keharusan, adanya duta wisata suatu daerah di Indonesia. Sebutan juga beragam dan format pemilihannya terkadang tidak sama. Khusus di Kabupaten Bojonegoro memakai nama Kange dan Yune. Laporan: Erfan Effendi
Je
B J
Wi yan pen Ga ham ro Dok. PKYB/blokBojonego
Lapo
PEMENANG Kange-Yune 2010 saat berpose usai malam Grand Final
yah lain di Indonesia juga menyelenggarakan hal yang sama. Berawal dari itulah kemudian ia berkeinginan Kota Bojonegoro juga mengadakan pemilihan duta wisata yang sama. “Modelnya hampir sama, tetapi untuk penyebutan nama perwakilan disesuaikan dengan kondisi masayarakat Bojonegoro. Kata Kang, masayarakat Bojonegoro kebanyakan jika memanggil sahabat atau temannya dengan kalimat Kakang atau Kang. Begitu juga dengan Yune, kalimat tersebut berasal dari kata Mbakyu, yang kemudian dipadatkan menjadi Yu,” sambung bapak dua putra ini. Dijelaskan, panggilan Kang dan Yu sangat fleksibel. Bisa digunakan pada
siapa saja, mulai wong ndeso, kuto, pejabat dan lainnya. Sedangkan tambahan ne di belakang kalimat Kang dan Yu, didasarkan pada kebiasaan masayarakat Bojonegoro yang khasnya mengakhiri percapakan dengan dengan huruf vokal e. Oleh karena itu, kalimat Kang dan Yu, dileburkan menjadi Kange dan Yune. “Saat itu saya dipanggil pejabat Disbudpar untuk menjelaskan latar belakang penyebutan Kange dan Yune. Dengan segenap keyakinan dan berbekal pengalaman melakukan penelitian, akhirnya panggilan tersebut diterima dan pada bulan Oktober, besamaan Ulang Tahun Bojonegoro, duta wisata itu dilombakan,” lanjut Imam.
SUN
Mengenai harapan Kange dan Yune sampai saat ini masih belum berubah. Yakni bisa diterima secara luas di masyarakat Bojonegoro dan menjadi citra tersendiri. Sebab, pada dasarnya Kange dan Yune merupakan pengejewantahan jati diri masayarakat Bojonegoro. Ia mencontohkan, mulai dari baju yang dikenakan, sikap, etika, tutur kata dan segala yang melekat pada sosok Kange dan Yune merupakan cermin budaya khas masayarakat Bojonegoro. [*]
Tetap Bertahan di Tengah Kekurangan
Format Pemilihan Kange-Yune Dirubah
Yulis Widhiawati
Hening Bondan Arif Aulia
Menjadi ujung tombak duta wisata dari Kabupaten Bojonegoro, namun Kange dan Yune sejauh ini tidak lepas dari kekurangan. Tetapi, keberadaan komunitas alumni maupun Kange-Yune yang aktif, menjadi penyemangat tersendiri. Mereka tergabung di Paguyuban Kange dan Yune Bojonegoro (PKYB). Ketua PKYB, Yulis Widhiawati kepada blokBojonegoro mengatakan, rasa kebersamaan yang dimiliki para alumni menjadi alasan kuat untuk terus menghidupkan PKYB. “Selain itu, kedekatan emosi alumni
Kange-Yune begitu kental,” jelasnya. Mengenai perhatian pemerintah sejauh ini ? Widya menjelaskan, PKYB tetap eksis dari pendanaan anggota. Dikatakan jalan sendiri, karena memang kurang ada perhatian serius terhadap PKYB. “Walaupun kepengurusan Kange-Yune mendapatkan SK dari Bupati Bojonegoro, bukan berarti mudah dalam menjalankan aktifitas dan agenda kerja,” kenang Widya. Lebih-lebih dalam hal pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki PKYB. Padahal, sudah seharusnya ada dana khusus untuk duta wisata Bojonegoro yang menjadi ujung tombak promosi. [*]
Ada yang berbeda pada pemilihan KangeYune Bojonegoro tahun 2011. Sebab, pengurus dan panitia pelaksana melakukan perubahan total, mulai dari proses pendaftaran, seleksi, karantina hingga kategori juara. Ketua Harian Paguyuban Kange-Yune Bojonegoro (PKYB), Hening Bondan Arif Aulia menjelaskan, perubahan format pemilihan itu sebagai bentuk tuntutan zaman. Karena, pihak PKYB ingin merubah image yang melekat pada sosok Kange-Yune Bojonegoro. Sebab, selama ini Kange-Yune dikenal hanya sebagai duta wisata saja, padahal seharusnya
bisa apa saja (multiskill). “Untuk perubahan format misalnya pada proses pendaftaran. Kalau sebelumnya terpusat di satu titik, saat ini ada beberapa lokasi yang bisa didatangi calon peserta,” kata Bondan. Perubahan lainnya ada pada tahap seleksi, yakni diberikannya beberapa materi, misalnya tes tulis, lisan, psikotes dan tes wawancara menggunakan Bahasa Inggris. “Pada tahun ini ada penambahan jadual karantina selama 4 hari, dengan materi beragam. Mulai menejemen organisasi, problem solving, outbond, pembentukan karakter kelompok serta pembinaan mental dan moral peserta,” terangnya. [*]
D
mu lalu kan dup lum jud K dite info role Pal log lam rah dan lian rai jug D bid kan cam bar tim di K Tam tidu Tem tan seb nun “T gap ma ata ma
Jejak Purbakala di Bojonegoro (1)
Bojonegoro Lahir Jutaan Tahun lalu ? Wilayah Bojonegoro, diperkirakan sudah terbentuk sejak berjuta tahun yang lalu. Jejak-jejak tersebut dapat ditelusuri dan dipelajari dari penemuan masayarakat, mulai fosil Mollusca hingga bagian tubuh Gajah purba. Bahkan, ditemukan jejak manusia Purba yang tersebar hampir di seluruh wilayah Kota Ledre. Laporan: Nitis Sahpeni blokBojonegoro/Erfan Effendi
SUNGAI BENGAWAN SOLO diperkirakan sebagai aliran sungai purba
ilihat dari berbagai penemuan yang ada, diperkirakan wila yah atau kawasan Bojonegoro, mulai ada sejak berjuta-juta tahun yang lalu. Banyak temuan yang menunjukkan, Kota Ledre ini sudah ada di kehidupan masa prasejarah atau jauh sebelum adanya bukti tertulis, sebagai wujud legalitas masa sejarah. Karena, pada masa prasejarah tidak ditemukan tulisan. Namun, hanya ada informasi mengenai masa yang diperoleh melalui bidang-bidang seperti Paleontologi, Astronomi, Biologi, Geologi, Antropologi dan Arkeologi. Dalam artian, bahwa bukti-bukti pra-sejarah hanya didapat dari barang-barang dan tulang-tulang di daerah penggalian di situs sejarah atau yang ditengarai ada benda purbakalanya. Sering juga disebut kegiatan ekskavasi. Di Kabupaten Bojonegoro, beberapa bidang tersebut banyak temuan, bahkan bisa dibilang hampir di semua kecamatan. Khususnya di daerah bagian barat dari Kota Bojonegoro, hingga di timur dan bagian selatan. Contohnya di Kecamatan Ngraho, Margomulyo, Tambakrejo, Padangan, Malo, Kalitidu, Kedewan, Gondang, Bubulan, Temayang, Sugihwaras dan Kecamatan Kedungadem. Seluruh daerah tersebut masuk dalam deretan pegunungan kendeng selatan. “Temuan di Bojonegoro yang dianggap tua, yaitu fosil binatang ada sejak masa plestosin tengah sampai akhir, atau hampir bersamaan dengan sama masa paleolitik. Meskipun temuan
manusia purbanya belum ada pada nges, Kecamatan Sugihwaras. Zaman periode tersebut, “ kata Arkeolog Uni- masa Ordovisium sebagai kemunculan versitas Udayana (Unud) Bali, Rochtri hewan Invertebrata, contohnya Landak Agung Bawono, kepada blokBojonegoro. Laut, Karang Laut, Ekinodermata dan Pria yang juga dosen Unud Bali itu ikan yang ditemukan di Desa Drenges, menambahkan, sebenarnya yang bisa Kecamatan Sugihwaras dan Kecamadiangkat untuk potensi di daerah tan Temayang. Selain itu, Bojonegoro diperkirakan Bojonegoro adalah sejarah perminyajuga mengalami kan. Karena yang zaman Trias, detua tersebut ada ngan adanya peBojonegoro dan baru setelah itu di nemuan banyak Temuan di Bojo- Gastropoda dan Cepu. Kondisi tersebut telah ditenegoro cukup Bivalvia. Itu didengliti dan banyak tua, yaitu fosil buktikan an temuan di memberikan konbinatang sejak Desa Ngrejeng, tribusi sejak zamasa plestosin Kecamatan Purman Belanda hiRochtri ngga sekarang. tengah sampai wosari. “Adanya minyak di wi“Karena, dari pakhir layah Bojonegootensi perminyaro, menunjukkan dapat dilihat kan daerah sekidari masa pembentukan wilayah Bojonegoro, yang tar sudah tua, termasuk paling tua itu sudah sangat tua dan ada sejak berjuta Foraminifera atau jenis Plankton yang tahun lalu,” terangnya dengan sangat termasuk dalam zaman Pliosen,” kata penelusur jejak purbakala Bojonegoro, yakin. Peta purbakala di wilayah Bojone- Harry Nugroho. Sebelumnya, Bojonegoro diperkiragoro jika dilihat dari jejak peninggalan berupa fosil yang ditemukan di bebe- kan juga mengalami zaman Oligosen, rapa kecamatan tersebut, diperkirakan yakni dengan bukti ditemukannya fosil ada mulai masa paleozoikum (kehidu- gajah sebagai penanda adanya kehidupan tua). Data lengkap dapat dilihat di pan pada masa itu. Selain itu, juga mulai muncul kepiting, kerang dan tabel atas. Pada masa ini, terbagi dalam bebe- siput. Tidak hanya itu, dengan adanya rapa zaman, antara lain zaman Kamb- penemuan jejak manusia purba di rium, dengan munculnya hewan ber- sekitar Desa Jono, Kecamatan Temacangkang. Misalnya Ekinodermata dan yang, Bojonegoro juga pernah mengaMollusca yang ditemukan di Desa Dre- lami zaman Plistosen. Meskipun hal itu
“
“
D
hingga sekarang masih dilakukan kajian lebih lanjut. “Jejak manusia purba pernah ditemukan di Goa Keramat dan Goa Lowo tahun 1926, oleh L JC Van S. Tetapi perkiraan umurnya tidak diketahui, masuk masa Mesolitik akhir atau hingga Neolitik. Didasarkan pada temuan alat-alat tulang, alat batu dan fragmen gerabah. Itu informasi dari penelitian Belanda,” tambah Rochtri. Tidak hanya itu, keberadaan Bojonegoro juga dapat dilihat dari bidang Geologi. Menurut fungsional museum geologi di Badan Geologi, Kementerian Eenergi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Suharto, diperkirakan Bojonegoro pada masa lampau termasuk lautan. “Saat terjadi tumbukan lempeng Australia dan Asia jutaan tahun lalu, terbentuklah daratan Jawa, termasuk di Bojonegoro. Namun masih ada peninggalan yang menunjukkan adanya kehidupan laut di masa lalu,” katanya saat dikonfirmasi blokBojonegoro. Seperti adanya sungai purba yang mengikuti aliran sungai Bengawan Solo dan temuan di teras-teras sungai terpanjang di Pulau Jawa itu. Masih banyak lagi benda-benda peninggalan masa purbakala yang perlu mendapat perhatian dari instansi terkait. Karena potensi tersebut bisa menjadi daya tarik yang cukup besar bagi daerah. Pria yang akrab disapa Harto ini menyebutkan, pemerintah daerah setempat harus mulai memperhatikan peta geologi yang ada. “ Bappeda harus tahu potensi geologi. sebagai dasar pembangunan daerah,” urainya. [*]
blokBojonegoro/Muhammad A Qohhar
DESA DRENGES Kecamatan Sugihwaras menyimpan berbagai fosil Purbakala yang menunjukkan adanya kehidupan laut dimasa lalu
Peninggalan Purba Tersebar Hampir di Seluruh Kecamatan Bojonegoro kaya peninggalan masa purba. Hal itu dibuktikan dengan adanya penemuan benda yang diperkirakan berasal dari masa sebelum prasejarah. Penemuan tersebut berpotensi menjadi wisata purba, karena temuan benda tersebar di hampir kecamatan di Kota Ledre. Laporan: Nitis Sahpeni
P
otensi benda purbakala yang ada di Bojonegoro tersebar di hampir seluruh kecamatan, mulai Kecamatan Ngraho hingga Kecamatan Sugihwaras. Di setiap daerah ditemukan jejak purbakala. Mulai temuan fosil hewan invertebrata (tak bertulang) dan vertebrata (bertulang). Jejak masa purba ini diperkirakan sudah ada sejak jutaan tahun silam. Hal ini dapat dilihat dari dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain geologi, paleontologi, arkheologi, dan aspek lainnya. Dari segi geologi, potensi di dalamnya termasuk kandungan minyak. Sebab, proses adanya minyak di Bojonegoro, menurut fungsional Museum Geologi Badan Geologi Kementerian ESDM, Suharto, karena stuktur tanah di Bojonegoro termasuk reservoir (daerah tampungan) yang sangat bagus, sehingga memungkinkan mengendap. Misalnya di daerah situs Biangbali, Desa Kawengan, Kecamatan Kedewan, yang berupa batuan gamping. “Di daerah itu banyak sekali ditemukan pasir purba
yang sangat bagus untuk resapan minyak dan nantinya tertampung di reservoir,” katanya. Potensi minyak tersebut didukung oleh keberadaan batuan yang bisa menjadi penutup atau lapisan pelindung bagi minyak yang ditampung di reservoir. Yakni, adanya bukti lempung yang bermanfaat menutupi minyak mengendap agar tak lari. Lempung ini banyak ditemukan di Desa Kawengan. Tambang gamping di pegunungan Kendeng yang membujur di wilayah selatan juga menandakan adanya kehidupan purba. Juga, sempat terdeteksi ada gunung api, walaupun saat ini sudah tidak aktif. Tepatnya di Gunung Pandan. Temuan tersebut masuk dalam potensi peninggalan sumber daya alam (SDA). Yaitu, jenis batuan yang mewakili formasi geologi lembar Bojonegoro (lebih lengkap lihat tabel). Selain itu, ditemukan juga fosil jejak daun, dan fosil kayu. Batuan Onix di Desa Jari, Kecamatan Gondang menjadi salah satu bukti adanya batuan zamanplistosen akhir.
Tidak hanya itu, di daerah DanderBubulan ditemukan batu lalsit, batu kapur yang termasuk formasi dan lembaran batuan tua. Seluruh temuan menunjukkan pembentukan awal Bojonegoro, dengan adanya potensi geologi yang diketahui sejak 2010. Wilayah Kota Ledre ini masuk dalam peta geologi dunia dan terus dilakukan penelitian lebih lanjut. “Instansi Geologi sejak masa Belanda sudah melakukan observasi jejak purba di Bojonegoro. Itu dapat diketahui di teras Bengawan Solo dan tersebar di hampir semua kecamatan,” paparnya. Sementara, potensi paleontology tersebar di beberapa wilayah. Antara lain Desa Wotanngare, Kecamatan Kalitidu ditemukan fosil gajah purba (stegodon) dengan usia 250 juta tahun, fosil karabau (kerbau purba), cervia (kijang), stegodon trigonochepalus, mastodon, elephas, babos dan bubalus, tulang kaki depan bawah (Ulna) bubaluspalaeokarabau, tulang kaki depan bawah, cervus hippelaphus, dan kepiting air asin. Juga ditemukan fosil stegodon trigonochepalus di Desa Panjunan,
Kecamatan Kalitidu. Juga, temuan Situs Jawik, Kecamatan Tambakrejo yang berupa stegodon trigonochephalus. Di Desa Prangi, Kecamatan Padangan ditemukan situs pasir purba dan fosil binatang. Yakni, stegodon trigonochephalus, bubaluspalaeokarabau, ruas tulang belakang kijang cervus hippelaphus SP, persendian kaki (Patella), stegodon trigonochephalus, pecahan kepala rusa (Cranium) cervus hippelaphus SP, rahang bawah rusa, cervus hippelaphus SP, crocodiles, dan hippopotamus (kuda Nil). Di Desa Tebon, Kecamatan Padangan juga ditemukan fosil stegodon trigonochephalus, persendian kaki. Di Desa Payaman, Kecamatan Padangan ditemukan stegodon trigonochephalus, tulang kaki belakang (Femur) stegodon trigonochephalus, rahang bawah, stegodon trigonochephalus. Di Desa Jampet, Kecamatan Ngasem ditemukan fosil stegodon trigonochephalus. Termasuk di Desa Tanggir, Kecamatan Malo ditemukan bibos palaeosondaicus, stegodon trigonochepalus. Selain itu, daerah Malo dikenal sebagai perairan sungai purba. Temuan untuk bidang paleontologi berupa gajah purba, badak, kuda nil, kerbau dan binatang vertebrata berukuran besar. Sedangkan potensi Arkheologi dapat dilihat dari temuan jejak aktivitas manusia. Salah satunya di Desa Soko, Kecamatan Temayang ditemukan berbagai temuan batuan tua. Antara lain, lumpang batu, fosil jejak daun (Travertin), terumbu karang, batu stalakmit. Masih di Temayang, di Desa Sekidang ditemukan kubur batu yang menandakan adanya aktivitas pemakaman manusia masa lampau. “Diperkirakan juga ditemukan jejak manusia purba di Desa Jono di zaman pletosin. Saat ini masih dilakukan penelitian berkelanjutan oleh ahli dari beberapa universitas,” kata pecinta benda purba, Nunung. Bersama tim Dewan Kepurbakalaan Kabupaten Bojonegoro (DKKB), masyarakat banyak menemukan peninggalan lainnya, antara lain di Desa Drenges, Kecamatan Sugihwaras. Ini kian menunjukkan potensi besar Bojonegoro sebagai daerah tua, yakni ditemukannya fosil hewan laut. Antara lain, cangkang molusca bivalvia, kerang teripang, strombus, urosalpinx, orthaulax, turbo, conus, turritella, eupleura yang termasuk Gasthrophoda, balanus (terumbu karang), meleagrina margaretifera (Kerang mutiara), hariosaurus palingomurus. Di Desa Jono juga ditemukan adanya kehidupan laut, yakni fosil cangkang ekonodermata (Landak Laut). Sementara dari Desa Ngrejeng, Kecamatan Purwosari ditemukan peninggalan fosil jejak cacing, strombus, fosil jejak daun, urosalpinx, turbo, conus, eupleura, dan echinodermota yang termasuk Gasthrophoda. Di Desa Bancer, Kecamatan Ngraho ditemukan fosil musang. Dari fakta temuan tersebut, menunjukkan bahwa wilayah Bojonegoro menyimpan potensi kepurbakalaan yang bisa menjadi ikon daerah. [*]
Tidak banyak masyarakat yang mengetahui potensi kepurbakalaan di wilayah Bojonegoro. Namun, bagi sekelompok pecinta benda purbakala ini, menggali dan menemukan peninggalan jauh dari masa sekarang, merupakan bentuk kecintaan dan kepedulian terhadap benda bersejarah. Mereka tergabung di Dewan Kepurbakalaan Kabupaten Bojonegoro (DKKB). Salah satunya Harry Nugroho atau dikenal dengan Harry Guru.
S
Harry Nugroho
Pada tahun 1989, tanpa sengaja dia menemukan benda purba yang tidak pernah ditemui sebelumnya. Sejak saat itu, Harry bersama beberapa rekannya, mulai melakukan penelusuran terhadap benda-benda purbakala dan benda bersejarah lainnya. Berikut petikan wawancara dengan pengajar seni di SDN Panjunan, Kecamatan Kalitidu, Bojonegoro. Selain itu juga ada temannya lain yang tergabung dalam DKKB, yakni Ali Safaat dan Nunung.
blokBojonegoro/M. Abdul Qohhar
Laporan: Nitis Sahpeni
Harry Nugroho menunjukkan salah satu fosil temuannya
blokBojonegoro (bB) : Bagaimana awalnya suka mencari benda purba dan sejenisnya? Harry Nugroho (HN) : Waktu itu tahun 1989, berawal dari suka mengumpulkan dan membuat batu akik.
mengumpulkan benda-benda purba ini ? HN : Semuanya memang tanpa sengaja. Tetapi, melihat potensi yang luar biasa di wilayah Bojonegoro, hampir keseluruhan ada peninggalan benda bersejarah, jadi semakin terpacu.
bB : Siapa saja yang terlibat? HN : Waktu itu ada tiga orang, selain saya ada dua orang lagi, Ndimun dan Nardi.
Ali Safaat (AS) : Semua itu dikarenakan temanteman ingin memberitahukan kepada masyarakat, bahwa Bojonegoro mempunyai potensi yang besar terkait benda peninggalan di masa lalu.
ada, baik dari saya maupun dari teman-teman lainnya, sudah ada yang diserahkan ke museum Rajekwesi di Bojonegoro, Museum Mpu Tantular Surabaya, Museum Geologi Bandung, dan banyak juga yang disimpan sendiri. Misalnya di Museum 13 SDN Panjunan. Bahkan ada yang masih disimpan di rumah masing-masing penemu, karena tidak ada tempat penyimpanan untuk perawatan yang memadai serta representatif.
Menurut Harry dan Ali, sejauh ini tidak banyak yang tahu tentang makna pentingnya dari penemuan benda purbakala yang dilakukan sejak bertahun-tahun lalu. Setidaknya, dengan pencarian, penelusuran, penggalian dan perawatan yang dilakukan oleh masing-masing pecinta, bisa ikut memelihara peninggalan sejarah keberadaan bumi dan Kabupaten Bojonegoro.
bB : Bagaimana dari pemerintah daerah sendiri ? HN : Ya, selama ini kalau seluruh proses pendataan, penggalian, sampai perawatan masih dana swadaya. Walaupun begitu, seluruh anggota DKKB berjanji akan menyerahkan benda-penda purbakala jika ada museum yang representatif. Karena selama ini belum ada dan benda purbakala di Museum Rajekwesi juga kurang terawat.
HN : Karena, memang banyak juga masyarakat luar daerah yang berminat. Jadi kenapa tidak warga Bojonegoro sendiri yang melakukan pencarian untuk dilakukan pengamanan, agar tidak dicuri.
Menurut Harry, sebagai pecinta benda purbakala dan benda bersejarah lainnya, potensi besar yang ditemukan di wilayah Bojonegoro bisa menjadi daya tarik wisata berskala nasional maupun internasional. Seperti halnya di daerah Sangiran yang mempunyai koleksi benda purbakala dan cagar budaya yang hampir mirip dengan di wilayah Kota Ledre ini. Sayangnya, masih belum ada perhatian terhadap potensi yang seolah terpinggirkan. [*]
bB : Apa yang ditemukan? HN : Pada saat mencari batu akik itu, tidak sengaja menemukan benda aneh yang seperti batu tetapi aneh pokoknya. Seperti persendian. Lokasinya di belakang SMPN 1 Kalitidu. Karena penasaran, akhirnya dimulai penelusuran ke lokasi di sekitar penemuan, semakin banyak benda seperti batu. Pada temuan awal itu, dapat sekitar tiga karung. Sebagian besar di daerah Nglawatan. bB : Darimana mengetahui benda temuan itu benda langka atau dari zaman purba ? HN : Awalnya belum tahu. Terus sekitar tahun 1991 penelusuran diteruskan dan mulai terekspose ke dunia luar. Dan baru diketahui kalau bendabenda itu dari purbakala. Saat itu, penemuan awal berupa stegodon, bagian tubuh badak, yakni bagian kaki dan cula. bB : Langkah selanjutnya? HN : Banyak ahli benda itu yang kemudian datang, misalnya pada 1992 ada Yan Rizal dari ITB yang mengetahui info tersebut dari internet dan tertarik. Lalu pada 1993 Johan Arif juga dari ITB, melakukan penelitian ke daerah-daerah yang ditemukan. Dari situ, mulai dilakukan pendataan dan observasi oleh Museum Geologi. bB : Benda purbakala apa saja yang ditemukan? HN : Mulai 1992 itu hingga 2010 lalu, sudah ratusan temuan. Mulai jenis vertebrata dan invertebrata. Semua temuan itu menunjukkan potensi yang luar biasa terhadap benda bersejarah di Bojonegoro, khususnya benda purbakala. Pria yang tinggal di Kecamatan Kalitidu ini menuturkan, berawal ari pengetahuan awal tentang benda-benda purba dan komunikasi dengan beberapa ahli dari Bandung, penelusuran dan proses penggalian serta pencarian terus dilakukan hingga sekarang. Bb : Motivasi apa yang menggerakkan anda dan teman-teman lainnya untuk terus mencari dan
bB : Bagaimana anda dan teman-teman lainnya melakukan perawatan dan darimana sumber dananya ? HN : Dari penemuan benda purbakala yang sudah
Harus Ada Museum Representatif Ali Safaat, Ketua DKKB
Penemuan potensi purbakala di Bojonegoro, seharusnya diimbangi dengan sarana penunjang yang memadai bagi kelangsungan pengembangan penemuan tersebut. Sebab, selama ini benda yang ditemukan belum dirawat sebagaimana mestinya. Pernyataan itu disampaikan Ketua Dewan Kepurbakalaan Kabupaten Bojonegoro (DKKB), Ali Safaat. “Perlu adanya museum dan lokasi khusus untuk penyimpanan serta perawatan benda purba tersebut. Karena potensi yang sangat luar biasa,” katanya saat ditemui blokBojonegoro. Terlebih lagi, selama ini proses yang dilakukan masyarakat pecinta benda purba hanya mengandalkan dana pribadi. Mulai dari proses observasi, penggalian dan perawatannya. “Bahkan ada yang disimpan di museum milik pribadi ,” jelas pria berkacamata ini.
Dengan adanya perhatian yang cukup serius, baik dari pemerintah daerah setempat, maupun pihak lembaga berwenang, diharapkan potensi yang sedemikian besar dapat memberikan nilai manfaat bagi Bojonegoro. “Bojonegoro bisa menjadi daerah wisata geologi dan wisata sejarah yang luar biasa. Karena mulai dari barat hingga timur mempunyai karakteristik benda purba yang beranekaragam,” jelasnya. Sehingga, masyarakat lokal maupun daerah lain, bisa menikmati berbagai penemuan yang dapat dilihat secara alamiah di alam. Misalnya di daerah aliran Bengawan Solo, banyak ditemukan batuan-batuan purba. Selain itu, hampir di seluruh kecamatan mempunyai benda temuan yang seluruhnya bisa ditelusuri secara bertahap dan berurutan. “Ya, tinggal bagaimana mengembangkannya. Karena, kalau hanya digali dan diteliti dan tidak dikembangkan akan semakin menghilang. Karena banyak warga luar Bojonegoro yang tertarik,” paparnya. [*]
bup rua me jeru iku sep 224 Gaj gor K Brig diju ters yan me dip Bah ber Ap Yan jara dan U sem Ka ber seb nya Des “M un me buk Ma Gep unt iku Bah Koc tan M Suk tik ber ber me dije Kija aka pol san Koc Te Koc ber dan Pen dim dik Juli dih me tan me Koc lan Suk dip Si Kad ia b cur Nam pem kera lan kat Jela huk
S
ejak kasus bergulir, dengan ditangkapnya Jean Utomo (17) warga Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, 20 Februari 2011, Ari Sukoco tidak pernah mengira nasibnya akan berada di balik jeruji besi untuk kesekian kalinya. Ia ikut menjadi terdakwa pencurian sepeda motor Yamaha Mio Nopol S 2241 CL milik Ali Ad’ad, warga Jalan Gajahmada, Kecamatan Kota Bojonegoro. Kasus pencurian 19 Februari di Jalan Brigjen Sutoyo, barang-bukti (BB) telah dijual ke Sunar seharga Rp 2,5 juta oleh tersangka utama Jean Utomo. Jean yang telah resedivis, karena 6 kali melakukan aksi pencurian dan tiga kali dipenjara, tertangkap di rumahnya. Bahkan, Jean dinyatakan majelis hakim bersalah dan telah divonis pada 25 April 2011 dengan 5 bulan penjara. Yang memberatkan ia baru keluar penjara tahun 2004 di Lapas Bojonegoro dan tahun 2006 dari Lapas Blora. Untuk Ari Sukoco, proses kasusnya sempat berbelit dan berputar-putar. Karena, saat kejadian ia mengaku berada di Balikpapan, Kaltim, bekerja sebagai kurir ekspedisi. Kepulangannya juga karena dirayu oleh Kepala Desa Kalitidu, Imam Mawardi. “Memang benar, saya yang diminta untuk merayunya pulang. Yang menyuruh polisi. Tetapi, saya yakin bukan dia pelakunya,” kata Imam Mawardi. Ia meminta Koco alias Gepeng, panggilan akrab terdakwa, untuk pulang sebentar dengan alibi ikut mengungkap kasus curanmor. Bahkan, Imam yang juga sahabat kecil Koco siap untuk menjamin keselamatannya. Minggu kedua di Bulan Maret, Sukoco yang siap pulang mendapat tiket pesawat dari oknum polisi bernama Datra. Sehingga, 19 Maret ia bergegas terbang ke Surabaya dan menuju ke Bojonegoro. Ternyata ia dijemput oleh polisi dengan mobil Kijang di Terminal Rajekwesi. “Saat itu akan menjenguk tidak diperbolehkan polisi. Itu kan aneh. Sehingga, saya sangat menyesal telah melantarkan Koco dengan polisi,” tegas Imam. Ternyata ketakutan Imam benar. Koco langsung ditahan. Ia beberapa kali berusaha membesuk, ternyata tidak bisa dan terkesan dipersulit. Persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Bojonegoro pun dimulai, dengan majelis hakim yang diketuai I Nyoman Wiguna. Bahkan, 11 Juli dua penyidik, Siswanto dan Didik, dihadirkan di persidangan. Mereka menyangkal ada intimidasi dan salah tangkap. Tetapi, dibantah Jean yang mengaku dipaksa menyebut nama Koco, padahal ia tidak kenal. Kejanggalan lain dalam BAP, tato di lengan Sukoco disebut tengkorak, padahal saat diperlihatkan tato seorang wanita. Sidang selanjutnya menghadirkan saksi Kades Kalitidu, Imam Mawardi. Lagi-lagi ia bersaksi, kalau Sukoco bukan pelaku curanmor, karena ciri-cirinya tidak sama. Namun tetap tidak digubris. “Saya dalam pemeriksaan dan proses BAP di kepolisian kerap dipukul Pak Hakim,” jawab Sukoco lantang dan tegas. Mendengar katakata tersebut, hakim minta dibuktikan. Jelas-jelas Sukoco dan penasihat hukumnya, Sutiyono kesulitan mem-
11 Juli 2011: Dua penyidik dihadirkan dalam persidangan, mereka menyangkal ada intimidasi. Jean mengakui ia dipaksa menyebut nama Sukoco, padahal ia tidak ingin saat itu. Dalam BAP tato di lengan Sukoco disebut tengkorak, padahal saat diperlihatkan seorang wanita.
19 Maret 2011 : Kades Kalitidu, Imam Mawardi yang merayu Sukoco pulang tidak diperkenankan menjenguk di sel tahanan. Awal Maret 2011 : Sukoco Mendapat tiket pesawat oleh anggota polisi bernama Datra. Sukoco meninggalkan Balikpapan dan sampai di Bojonegoro. Awal Maret 2011 : Panggilan dari Polres Bojonegoro, kepada Koco atau Sukoco. Saat itu ia berada di Balikpapan, Kaltim.
18 Juli 2011 : Imam Mawardi, Kades Kalitidu bersaksi Ari Sukoco bukan pelaku curanmor, karena ciricirinya tidak sama.
20 Februari 2011 : Jean Utomo (17) asal Kecamatan Cepu, Blora, Jawa Tengah, ditangkap di rumahnya. Dalam pemeriksaan cokot nama Koco.
20 Juli 2011 : Pemeriksaan terdakwa. Ari Sukoco mengaku dalam pemeriksaan dan BAP di kepolisian kerap dipukul, hakim minta dibuktikan.
19 Februari 2011 : Yamaha Mio Nopol S 2241 CL milik Ali Ad’ad, warga Jalan Gajah Mada, Kota Bojonegoro, hilang di Jalan Brigjen Sutoyo.
03 Agustus 2011 : Sukoco dituntut JPU Arifin SH 2,5 tahun. Jaksa menilai yang membertkan terdakwa berbelit-belit dan 3 kali dihukum. Dikenakan pasal 363 (1) ke-3 KUHP tentang pencurian. 15 Agustus 2011 : Sidang vonis, Pengadilan negeri (PN) Bojonegoro memutus Ari Sukoco bersalah dan dijatuhi hukuman 1,5 tahun penjara.
Ari Sukoco, Salah atau Diduga Salah Tangkap Kasus pencurian kendaraan bermotor (curanmor) dengan terdakwa Ari Sukoco (32) asal Desa Panjunan, Kecamatan Kalitidu, Bojonegoro, hingga kini masih menyisakan tanda tanya. Apalagi, ditemukan adanya dugaan bukti baru pelaku yang sebenarnya. Laporan: Joel Joko
buktikannya. Sebab, proses berlangsung awal pemeriksaan. Karena berbelit-belit dan mempersulit di persidangan, JPU Arifin menuntut terdakwa Sukoco dengan pidana 2,5 tahun. Sesuai pasal 363 (1) ke-3 KUHP tentang pencurian. “Yang memberatkan, terdakwa tiga kali pernah dihukum,” terang Arifin saat sidang 3 Agustus. Akhirnya, hakim memvonis terdakwa 1,5 tahun penjara pada 15 Agustus 2011. Mendengar putusan tersebut, melalui pengacaranya Sukoco mengajukan banding. Foto “Koco” Misterius Hasil investigasi di lapangan menyebut, ada temuan foto yang diduga sebagai identitas Koco, pelaku pencurian. Bahkan, saat Jean Utomo disodori foto hitam putih, dan ditanya apakah mengenal pria di dalam foto tersebut? Dengan spontan ia mengaku
kenal. Dikatakan, kalau yang ada di foto itu Koco alias Frenky alias M Arifin (29) bin Abdul Madjid, warga RT 03/03, Desa Kunduran, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. “Kalau ini 100 % betul, dari mana dapat foto Koco,” tanya Jean. Koco alias Franky dikenalnya saat samasama ditahan di Lapas Blora. Ia terjerat kasus pencurian kabel telepon. Sekarang dirinya tidak mengetahui Koco yang asli berada dimana. Sementara pengakuan orang tua Koco di Blora, pria di foto itu sudah tidak pulang ke rumah setelah dikabarkan tertangkap mencuri. “Terakhir kabarnya di Gresik,” kata ibu kandung Koco. Sebutan Koco jarang dipakai warga sekitar. Karena, selama ini ia disapa Arif dan cukup nakal. ”Cirinya seperti cerita Jean Utomo. Antara lain gondrong dan memiliki tato. Seperti di foto itu memang,” tambah tetangganya, Jasman saat
didatangi beberapa wartawan yang mencari informasi mengenai Koco. Mengadu ke KY Dengan temuan baru ini, pengacara Ari Sukoco, Sutiyono merasa terbantu. Setelah mengantongi identitas Koco alias M Arifin asal Kunduran, Blora, Jawa Tengah, dirinya akan memperjuangkan sampai ke Komisi Yudisial (KY). Proses ini menurut Sutiyono tidak menghalangi upaya banding di tingkat Pengadilan Tinggi (PT). Jalur ini diakui belum bisa maksimal, karena pengadilan menolak melakukan pemeriksaan ulang. Sehingga, iapun tidak akan memasukkan ke dalam kontra banding di PT. “Novum itu akan disampaikan saat mengajukan Peninjauan Kembali (PK),” lanjutnya. Terpisah JPU M Arifin pasca putusan pengadilan enggan lagi merespon perkara yang ditanganinya itu. “Jangan pernah bilang itu salah tangkap,” ujar Arifin. [*]
Petani dan Kutukan Kemiskinan Oleh: Ahmad Taufiq Ketua PC Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (LAKPESDAM) NU Bojonegoro.
B
erbicara tentang petani dan pertanian Bojonegoro tam paknya tidak bisa dilepaskan dari peta kemiskinan yang nyaris sudah mendarah daging. Ibaratnya, antara petani dan kemiskinan seperti sudah menjadi kutukan yang sulit untuk dilepas dari takdirnya. Pada masa lalu, petani dan kutukan kemiskinan terletak pada keterbatasan sumber daya alam dan sumber daya manusia (SDM) petani kala itu untuk mengelolanya, sehingga petani selalu terjebak dalam kubangan kemiskinan. Di masa kini, lingkaran kemiskinan tersebut melilit pada ketiadaan, atau setidaknya minimnya akses petani untuk terbebas dari peta kemiskinan melalui serangkaian kebijakan yang pro-poor. Ihwal kutukan kemiskinan petani di Bojonegoro ini jauh-jauh hari sudah diungkapkan C.L.M. Penders, ilmuwan Department of History University of Queensland, Australia. Dalam penelitian panjangnya yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul Bojonegoro 1900-1942: Kisah Kemiskinan Endemik di Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur (diterjemahkan dari judul asli Bojonegoro 1900-1942: A Story of Endemic Poverty in North-East Java-Indonesia), Penders menjelaskan fakta kemiskinan itu sudah melilit petani Bojonegoro sejak masa lampau. Menurut Penders (1984:8), dalam literatur kolonial Belanda, daerah Bojonegoro selalu digambarkan sebagai salah satu daerah termiskin dan paling terbelakang di Pulau Jawa. Tanahnya kebanyakan tandus dan hampir tidak ada irigasi atau pekerjaan mitigasi banjir. Di luar lembah-lembah sungai yang subur di distrik Pelem dan Baureno, lahan pertanian Bojonegoro berkualitas buruk dan terdiri atas tanah liat dengan kandungan kapur yang tinggi dan kurang fosfat. Hujan deras menyebabkan tanah di kawasan ini tergenang, sehingga kekurangan udara dan mengakibatkan pembusukan akar batang padi. Selama musim kemarau tanahnya selalu mengering dan menimbulkan rekahan besar, kadang hingga sedalam 5 meter. Tetapi daerah yang subur di dekat bengawan Solo juga sering menjadi siasia terkena banjir selama musim hujan. Ketergantungan yang hampir mutlak pada kerasnya cuaca ini membuat pertanian di Bojonegoro sebagai sebuah bisnis penuh risiko. Gagal panen dan kelangkaan pangan merupakan hal yang umum terjadi di Bojonegoro. Untuk mengurangi kemungkinan kelaparan yang disebabkan gagal panen,
petani di wilayah Bojonegoro sejak dahulu kala (sampai kini) menanam palawija di lahan kering (tegalan) mereka. Mereka menanam tanaman pokok seperti jagung, dan juga tembakau yang dijual di pasar domestik Jawa. Tergerusnya Lahan Pertanian Dalam kondisi kekinian, bahkan jauh setelah negeri ini merdeka, proteksi dalam bentuk kebijakan yang membela kepentingan petani masih jauh panggang daripada api. Alih-alih bisa memproteksi, fakta yang terjadi lambat laun luas areal pertanian (sawah maupun tegalan) yang sebenarnya merupakan basis mutlak dan fundamen tal untuk terciptanya ketahanan pangan daerah maupun nasional, terus menyusut, tergerus dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Bojonegoro dalam Angka yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS) Bojonegoro, pada tahun 1996 luas tanah sawah di Bojonegoro mencapai 76 ribu hektare lebih. Sebagian besar dari lahan tersebut, yakni 61,35 persen, adalah sawah tadah hujan yang hanya dapat ditanami padi lebih dari satu kali dalam setahun. Ini berarti kebijakan untuk mendorong agar pemerintah daerah mampu ‘menaklukkan‘ alam yang gersang menjadi kekuatan yang mampu menjadi penopang ketahanan pangan masih belum maksimal dijalankan, untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali. Bahkan, kecenderungan tergerusnya lahan pertanian dari tahun ke tahun semakin tampak di depan mata. Berdasarkan hasil pendataan BPS Bojonegoro yang dituangkan dalam buku Bojonegoro dalam Angka 2004, dibandingkan pada tahun 1996 dengan 2004, luas tanah sawah di Bojonegoro mengalami penyusutan yang cukup signifikan. Pada 1996, luas tanah sawah di Bojonegoro mencapai 76 ribu hektare lebih. Namun, pada 2004 luas tanah sawah
di Bojonegoro menjadi 71,44 ribu hektare atau berkurang hingga 5.000 hektare (sekitar 7 persen) daripada delapan tahun sebelumnya. Dari jumlah itu, hanya 20 persennya sawah dengan pengairan teknis, 8,4 persen sawah setengah teknis, dan sisanya tadah hujan. Tergerusnya lahan sebagian besar karena terkonversi menjadi lahan untuk permukiman, dan pertambangan minyak bumi dan gas (migas). Jumlah lahan untuk pertanian pada 2004 tersebut terus mengalami penyusutan. Sebab, sejak 2004 hingga kini, sebagian lahan pertanian yang berada di kawasan migas, baik di wilayah Kecamatan Ngasem serta Kalitidu yang masuk Blok Cepu, maupun di wilayah Kecamatan Kapas dan Kota Bojonegoro yang masuk lapangan Sukowati, juga dikonversi menjadi lahan untuk kepentingan industri. Khusus hingga pertengahan 2011 ini saja lahan pertanian di empat kecamatan tersebut (Ngasem, Kalitidu, Kapas, dan Kota Bojonegoro) yang terkonversi menjadi lahan industri berkurang hingga sekitar 700 hektare. Tidak menutup kemungkinan luas lahan pertanian yang terkonversi tersebut akan semakin meluas. Karena pada 2013 Blok Cepu ditargetkan akan mencapai puncak produksi minyak, sehingga membutuhkan lebih banyak lagi lahan yang akan dipergunakan untuk berbagai fasilitas serta sarana dan prasarana yang mampu menunjang fasilitas maupun mobilitas produksi migas Blok Cepu. Regulasi yang Memihak Mengacu fakta-fakta di atas, di luar untuk kepentingan nasional, dapat dianalisis bahwa salah satu penyebab semakin meluasnya tanah yang dikonversi menjadi lahan industri karena lemahnya proteksi pemerintah dalam mempertahankan sumber produksi
untuk ketahanan pangan. Sehingga tidak heran kalau kemudian berita mengenai gagal panen (puso), serangan hama, hingga ancaman krisis pangan menjadi berita-berita utama atau headlines di media massa. Padahal, dalam penjelasan pasal 14 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria disebutkan, untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan negara dalam bidang agraria, perlu adanya suatu rencana (planning) mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk pelbagai kepentingan hidup rakyat dan negara, yang termasuk dalam hal ini adalah ketersediaan dan ketahanan pangan. Planning itu mencakup rencana umum (national planning) yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana khusus (regional planning) dari tiap-tiap daerah. Dengan adanya planning itu, maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara dan rakyat, sebagaimana yang tertuang dalam pasal 33 UUD 1945. Sejauh ini, regional planning pemerintah daerah untuk menciptakan stabilitas ketahanan pangan dalam bentuk regulasi masih belum terlalu tampak. Faktanya, kesan yang muncul pemerintah daerah sedemikian mudah memberikan izin kepada pihak-pihak yang ingin mengkonversi lahan pertaniannya menjadi lahan industri, tanpa mempertimbangkan akan dampaknya pada stabilitas ketahanan pangan daerah dan nasional. Bisa jadi, kita perlu merenungkan sinyalemen Penders (1984:16) bahwa pada tahun 1900, rakyat Bojonegoro mungkin lebih sengsara daripada era tanam paksa selama tahun 1840 an. Karena, perusahaan swasta telah gagal memutus lingkaran setan penderitaan ekonomi di Bojonegoro. Pasca itu, giliran pemerintahan kolonial berpartisipasi aktif dalam urusan ekonomi dan sosial di daerah ini melalui implementasi kebijakan yang disebut politik etik (ethische politiek) yang sangat dipengaruhi pemikiran sosialis sekuler dan religius yang menguasai panggung politik belanda waktu itu. Akankah kini giliran petani Bojonegoro mengalami neo-kutukan kemiskinan melalui perusahaan-perusahaan swasta yang akan dan sedang memproduksi migas? [*]
“Seni terlalu terbatas jika didefinisikan, namun ia tetap, karena pada dasarnya seni tak berbatas”. Tak jarang orang gandrung seni, mabuk seni, hingga seumur hidupnya rela ia dermakan untuk seni, yang ada hanya cinta dan kesenangan”. Laporan: Nidhomatum MR.
D
emikian juga kecintaan terhadap seni wayang, yang sudah mendarah daging di jiwa salah satu dalang wayang kulit di Kabupaten Bojonegoro. Dia adalah Ki Wardan Guno Carito. Secara etimologi wayang bermakna Wahyune Eyang, yakni seseorang seharusnya bisa memahami jagad raya beserta isinya merupakan ciptaan Sang Hyang Kang Nur Dumadi (Tuhan Yang Maha Esa). Pewayangan sebagai anologi bahwa semua skenario hidup sudah ada yang mengatur, seperti dalang dan lakonnya. Mantan Wakil Ketua Pepadi Bojonegoro selama dua periode ini menceritakan, awal mula tertarik dengan seni wayang saat usianya masih belia. Sebab, ia sering mendengarkan lakon pewayangan dari radio. Misalnya, Ki Anom Suroto dan Ki Narto Sabdho, ya-
blokBojonegoro/Riska Irdiana
ng saat itu dipancarkan dari radio Surakarta. Karena sudah jatuh hati pada pendengaran pertama, akhirnya pemilik nama asli Wardan ini mencari tahu dari buku tentang teknik-teknik pewayangan. Kebetulan, bapaknya yakni Parijan, memiliki keahlian membuat ringgit (wayang), namun tidak bisa memainkan. Selanjutnya, bapak enam anak ini belajar secara otodidak terkait teknik pendalangan. Untuk mengasah kemampuan, ia mengikuti pelatihan secara non-formal di Akademi Karawitan, Surakarta. Karena hanya sekadar ikut pelatihan tanpa pendaftaran secara formal, ia tidak mendapat ijazah. Pilihan belajar otodidak tersebut, karena saat itu biaya cukup mahal. “Nyedak dalang iku larang mbak, tur wektune yo butuh tahun-tahunan (mende-
kat/belajar wayang itu mahal, dan butuh waktu bertahuntahun),” ujarnya. Sebelum menggelar pagelaran wayang secara resmi, Wardan banyak dikenal hanya mengisi waktu senggang. Hingga saat bibinya hendak melahirkan, dia bernadzar akan nanggap wayang dengan dalang Wardan. Pada tahun 1972, dalang kelahiran 1952 ini menggelar pertunjukan wayang perdananya, dengan lakon Gatot Koco Wini Sodo Ing Argo Keleso. Sejak pertunjukan pertamanya tersebut, kalangan masyarakat mulai mengenalnya dan tanggapan mulai berdatangan. Setelah banyak menggelar pagelaran di banyak daerah, pada tahun 1981, pria yang tinggal di Desa Sukorejo ini dipanggil Radio Republik Indonesia (RRI) Surabaya. RRI menyematkan gelar nama ta-
mbahan dibelakang nama Ki Wardan dengan tambahan Guno Carito. Oleh sebab itu, kini ia dikenal dengan nama Ki Wardan Guno Carito, karena ia dinilai telah ikut mempopulerkan seni wayang dan pertunjukannya diminati hingga ke luar negeri. Antara lain, Amerika, Australia, dan Singapura. Terkait tanggapan, pada sekitar tahun 1982, ketika musim panen tiba, ia bisa mendapat tanggapan hingga 15 kali setiap bulan. Namun, sekarang ini tanggapan itu hanya ada 3-5 kali per bulan. “Sepi mbak, dibanding waktu dulu,” jelasnya. Diduga sepinya peminat wayang saat ini dipengaruhi kendala bahasa dan pemahaman kandungan yang ada pada lakon pewayangan. Pada era ini banyak masyarakat jawa yang tidak paham
dengan bahasa jawa. “Wayang sekarang dianggap mahal mbak, dan banyak yang tidak begitu tertarik karena bahasa, akeh wong jowo ra roh jowone, koyo panganan ngono, mestinya gizinya banyak tapi gak ngerti,” tegasnya. Dituturkan, sekali tanggapan ia dan kelompoknya memperoleh pendapatan sekitar Rp 10 juta yang kemudian dibagikan pada tiap-tiap personel. Kadang, bersihnya masing-masing mendapat Rp 2 juta. Ki Wardan berharap, pemuda generasi bangsa bisa tertarik dan senang terhadap wayang jenis apa pun, baik wayang kulit, thengul, krucil dan lain sebagainya. Dan semoga mereka dapat memahami khazanah seni pewayangan sebagai salah satu kekayangan budaya Indonesia. “Dibutuhkan juga peran serta pemerintah untuk turut melestarikan kesenian tradisi, khususnya wayang yang semakin terpinggirkan,” jelasnya. [*]
Biodata Nama : Wardan (Ki Wardan Guno Carito) Tetala : Bojonegoro, 1952 Istri : Khusnul Khotimah dan Nyamirah Anak : 6 orang Pengalaman: - Wakil Ketua Pepadi Bojonegoro (1981-2007) - Ketua Pepadi Bojonegoro (2010-2015) - Ketua Lembaga Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Jawa (2009-sekarang)