SASTRA, CITIZEN, NETIZEN1 Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono Guru Besar Ilmu Susastra pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia
Sastrawan, Karya Sastra, Pembaca Sastra tidak jatuh dari langit, tetapi diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dihayati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Ada tiga pihak yang terlibat dalam proses tersebut: sastrawan, karya sastra, dan pembaca. Sastrawan dan pembaca adalah anggota masyarakat. Mereka terikat oleh kelompok sosial tertentu yang menyangkut pendidikan, agama, adat istiadat, dan segenap lembaga sosial yang ada di sekitarnya. Mereka kita anggap memiliki kaitan-kaitan – kalau tidak boleh dikatakan keterikatan – dengan konsep-konsep teritorialisme, primordialisme, dan sektarianisme. Sastrawan, karya sastra, dan pembaca tercakup dalam masyarakat – semua itu membentuk struktur kesusastraan yang sekaligus menjadi substruktur masyarakat. Setiap kali dalam masyarakat terjadi perubahan, yang memang selalu terjadi demi keberlangsungan keberadaannya, semua unsur dalam strukturnya akan mengalami perubahan juga. Sosiologi sastra mendekati karya sastra berdasarkan situasi semacam itu. Yang menjadi pegangan pengertian tentang sastra adalah bahwa yang dimanfaatkan dan diciptakan sastrawan untuk menyampaikan dongengnya adalah bahasa verbal, meskipun perkembangan sebelum kita mengenal aksara yang menjadi urusan sastrawan tidak hanya bunyi tetapi juga gerak-gerik dan mungkin sekali juga gambar atau ujud visual lain.
1
Naskah ini adalah semacam rancangan catatan atau rancangan dari sebuah karangan yang sedang disusun untuk melengkapi buku Sosiologi Sastra, yang sejak terbit pertama kali tahun 1978 telah mengalami revisi dan cetak ulang beberapa kali, terahir tahun 2015. Pemikiran di dalamnya diramu dari berbagai sumber yang akan terus dikembangkan sampai terbentuk pandangan yang lebih utuh tentang arah sosiologi sastra di masa datang.
1
Bahasa yang jenisnya berbagai-bagai itu menyalurkan niat sastrawan untuk menyampaikan dongeng, yang bisa berujud apa saja yang dalam bahasa sekarang kita menyebutnya antara lain puisi, novel, drama, dan cerpen. Dalam bahasa kita, atau bahasa Jawa yang saya kenal, dongeng mencakup semua jenis itu – dan bahkan cukup aman dikatakan bahwa dongeng pada dasarnya mengaburkan batas tegas antara fakta dan fiksi. Mendongeng bisa berarti menyampaikan berita yang kita klasifikasikan sebagai fakta, tetapi juga cerita yang biasanya dianggap fiksi. Kebetulan jarak antara berita dan cerita hanya selangkah, yakni dari b ke c, kalau kita mengikuti abjad Latin. Dalam bahasa kita tidak dikenal istilah khusus utuk folklore, legend, myth, dan sebagainya. Petualangan Kancil disebut dongeng Kancil, demikian juga cerita tentang Joko Tarub yang mengakali bidadari dan Prabu Watu Gunung yang menaklukkan Kahyangan. Kedua cerita yang disebut terakhir itu dicantumkan dalam Bahad Tanah Jawi, kitab yang dianggap sebagai sejarah, yang juga mencakup peristiwa-peristiwa yang menyangkut peperangan antara kelompok orang Belanda, Cina, dan Jawa yang oleh sejarawan bisa saja dianggap sebagai pernah benar-benar terjadi – yang biasa dikenal sebagai sejarah. Demikianlah maka sastra kita berkembang berdasarkan konsep-konsep yang datang dari kebudayaan lain: kisah, gurindam, sejarah, hikayat, puisi, prosa, drama – misalnya
–
telah
membentuk
kesusastraan
modern
kita
sejak
awal
perkembangannya. Segala konsep itu pada hakikatnya adalah bentuk penyampaian belaka, yang memiliki ciri berbeda berdasarkan ujud visual dan auditorinya. Bunyi dan tampilan visual itulah sebenarnya yang terutama membedabedakan masingmasing konsep itu sedangkan yang disampaikan tidak lain dan tidak bukan adalah dongeng. Soneta, misalnya, memiliki tampilan visual dan tata bunyi yang berlainan dengan gurindam; masing-masing bisa dirakit untuk menyampaikan dongeng yang berbeda kepentingannya. Kedua jenis sastra tersebut dibedakan berdasarkan tampilan visualnya: soneta terdiri atas 14 larik, gurindam dua larik, syair, yang berasal
2
dari kebudayaan Arab, disusun dalam empat larik. Dengan demikian bisa saja kita simpulkan bahwa pembedaan dan pembagian jenis-jenis itu tentunya muncul ketika kebudayaan kita sudah meninggalkan tradisi lisan dan masuk ke tradisi aksara, meskipun kelisanan tetap saja menjadi segi yang tidak bisa dipisahkan. Dalam tradisi lisan sama sekali tidak dikenal konsep larik dan bait, pikiran bahwa pantun disusun dalam empat larik adalah konep yang sepenuhnya didasarkan pada tradisi tulis – ketika pantun dilisankan tidak pernah terbayang adanya pembagian ujud visual tersebut.
Karya Sastra Kita mulai dengan benda budaya yang dihasilkan sastrawan. Soneta, sebagai contoh, jenis puisi yang terdiri atas 14 larik, bisa dikelompokkan menjadi beberapa bait; soneta Petrarka berbeda dengan soneta Shakespeare, misalnya. Namun jenis itu disebut soneta tidak hanya karena jumlah lariknya tetapi juga sebab ditata dalam cara pengaturan bunyi tertentu dalam masing-masing baitnya. Aspek visual puisi tersebut berubah sama sekali menjadi rentetan bunyi yang menghapus cara pengaturan aksara, kata, kalimat, larik, dan segenap tanda baca yang tentunya mulamula diciptaan untuk justru untuk menekankan pentingnya aspek bunyi dalam tampilan visual. Dalam sastra, penemuan dan pemanfaatan penulisan dan pencetakan dongeng membuktikan bahwa teknologi, yang tidak lain adalah the way people do things, kata François Sigant, diciptakan agar dongeng bisa disampaikan dengan cara yang terus-menerus diubah dan dikembangkan. Dalam tradisi lisan, tidak mungkin orang Italia membayangkan soneta, misalnya, sebagai suatu jenis puisi yang sepenuhnya disusun berdasarkan ujud visual yang ketat. Di atas kertas atau lembaran yang rata, soneta memiliki ujud yang tidak akan bisa dibayangkan penyair yang hidup dalam tradisi lisan, yang pasti tidak akan mampu membayangkan ujud visual yang rapi seperti soneta.
3
Pantun berasal dari tradisi lisan yang kemudian kita ‘paksa’ menjadi tradisi tulis. Aspek bunyi yang ketat dalam pantun kita ubah menjadi unsur-unsur visual yang pada gilirannya menyebabkan kita mengelompokkannya sebagai bagian dari tradisi tulis dan cetak. Proses bunyi ke aksara itu berbeda dengan apa yang terjadi dengan tembang, jenis puisi yang tampaknya sejak awal memang sudah ditata sebagai hasil tradisi tulis yang justru mensyaratkan penyampaian lisan. Penataan visual tembang Jawa yang sangat ketat didasarkan pada karakteristik bunyi yang dimanfaatkan untuk menjaga agar tembang tidak bisa disusun menyimpang dari keketatan aturan penulisannya, tetapi yang justru diterapkan agar bisa dilisankan. Dengan demikian, tembang adalah puisi visual yang mensyaratkan penyampaian lisan, berbeda prosesnya dengan pantun yang kita paksa menjadi tampilan visual berdasarkan karakteristik bunyi. Di luar maupun di dalam pendidikan formal, pantun sekarang ini terlebih dahulu ditulis baru kemudian dikembalikan ke habitatnya semula, yakni tradisi lisan. Dalam tembang jumlah larik setiap bait, jumlah suka kata yang berlainlainan setiap larik, bunyi akhir setiap larik yang pasti dan tidak boleh diubah menyebabkannya menjadi jenis puisi yang sangat rumit persyaratan penyusunan visualnya, yang justru ditata sedemikian rupa untuk mengontrol penyampain lisan yang berkaitan bahkan dengan penataan nada. Perjalanan ulang-alik dongeng dari penyampaian auditori ke penampilan visual dalam dua jenis puisi tersebut sama sekali tidak menyebabkan kita mempertanyakan kemusykilan hakikatnya. Kita menganggap hubungan-hubungan antara aspek-aspek auditori dan visual itu sebagai sesuatu yang wajar, yang memang seharusnya terjadi. Kita sekarang bahkan mungkin tidak menyadari bahwa proses tersebut pada intinya adalah teknologi kata, hal yang dengan panjang lebar telah didiskusikan oleh Walter Ong dalam Orality and Literacy. The Technologizing of the Word. Bunyi diproses sedemikian rupa agar memiliki ujud visual, hanya agar bisa dikembalikan ke bunyi lagi. Keadaan yang sekarang ini kita anggap wajar sebenarnya
4
merupakan proses teknologi yang luar biasa, yang telah mengubah kehidupan dan keberadaan kita sepenuhnya. Dongeng yang di zaman lampau kita dengar dari Nenek di tempat tidur sekarang kita lihat sebagai kata yang berjajar di atas kertas. Moda yang kita pergunakan untuk menerima dongeng itu bergeser dari pendengaran ke penglihatan, dan sesudah itu kita geser lagi ke pendengaran. Proses itu dengan mudah menyangkut upaya kita untuk kemudian menyatukan atau mencampurkan yang auditori dan yang visual menjadi suatu ujud baru – yang sebelumnya hanya bisa terjadi dalam dunia khayal kita. Kancil yang kita ciptakan sebagai bunyi dalam penyampaian lisan muncul sebagai gambar dalam khayal kita. Dalam proses teknologi selanjutnya Kancil berubah menjadi aksara, yakni tampilan visual yang tidak lain adalah gambar sebab aksara adalah gambar. Dan kalau dalam proses selanjutnya Kancil menjadi lukisan atau gambar maka ‘si kancil’ terus-menerus berubah penampilan berkat upaya kita dalam mencari berbagai cara untuk menyampaikan dongeng.
Menyampaikan Dongeng Kancil yang berubah-ubah ujud dari bunyi ke tulisan tangan ke aksara cetak ke gambar ke foto ke gambar bergerak ke ujud baru yang terdiri atas semua unsur itu tetap saja kita terima dan tafsirkan sebagai kancil. Teknologi, atau upaya kita untuk selalu mencari cara baru dalam menyampaikan dan melakukan sesuatu, telah memaksa binatang kesayangan kita itu untuk selalu berubah ujud. Binatang itu berusaha dengan mulus berpindah-pindah habitat agar semakin lama bisa beredar lebih luas, berada di mana-mana dalam ujud yang berbeda-beda. Ia aman-aman saja menjadi penghuni dunia lisan ketika dituturkan, menjadi rangkaian aksara di kertas, menjadi gambar yang dibatasi oleh garis dan ruang dalam komik, menjadi ‘binatang’ atau gambar dalam film, dan bisa saja menjadi tokoh yang harus menghadapi gajah
5
dan harimau dalam game yang kita ciptakan dan mainkan di komputer. Apakah si Kancil tetap sama, binatang yang itu-itu juga ketika berpindah-pindah habitat? Jawabannya adalah ya dan tidak. Ia tetap saja seekor kancil, benar demikian. Namun, teknologi yang kita ciptakan memaksanya untuk senantiasa menyesuaikan diri dengan habitatnya yang baru. Dengan demikan tidak hanya ujudnya yang berubah tetapi juga ‘dongeng’ tentangnya harus disesuaikan dengan kehendak kita untuk menciptakan teknologi atau cara baru dalam menyampaikannya. Kancil yang sejak kita ciptakan sudah memiliki ciri yang ‘aneh’, antara lain bisa berbicara dan berakal, dalam teknologi yang lebih lanjut bisa saja muncul dalam penampilan closeup dan long shot, seandainya kita tuturkan dalam film. Tokoh tetap Kancil namanya, tetapi ujud visual, rangkaian persitiwa, dan amanatnya senantiasa bergeser sejalan dengan teknologi yang kita ciptakan. Pergeseran tidak hanya yang berkaitan dengan semakin luasnya acuan dan berkembangnya perlambangan tetapi juga posisinya sebagai teks yang dalam perkembangan teknologi harus siap muncul bersama teksteks lain di layar komputer. Tuturan lisan Nenek tentang Kancil di tempat tidur tentu saja harus dipahami tidak terlepas dari lingkungannya, tetapi penampilannya di layar komputer akan ‘diganggu’ oleh teks-teks lain yang sama sekali tidak ada kaitan dengannya, di samping kenyataan yang menyebabkannya bisa menjadi rumit dan kaya
dengan
teks-teks
lain
yang
menjadi
bagian
dalam
penyampaian
visualauditorinya. Kancil diciptakan oleh sastrawan, diterima oleh pembaca. Semakin berkembang teknologi yang diciptakan untuk menyampaikan dongeng, semakin banyak juga jenis Kancil yang lahir – dan semakin rumit juga cara penerimaan yang dituntut dari pembaca. Perubahan dari bunyi menjadi aksara adalah proses teknologi yang mahacanggih, yang telah mengubah hampir segalanya dalam hidup kita. Sekarang kita tidak memasalahkannya lagi, tidak pernah memasalahkan mengapa kalau ingin ‘mendengar’ kisah Kancil anak-anak tidak bisa lagi hanya tiduran
6
menunggu Nenek melisankannya tetapi harus membuka-buka halaman buku dan menggunakan mata untuk mengetahui kisahnya. Sewaktu Nenek mendongeng di zaman lampau ketika kita belum mengenal aksara, gerakan literasi tidak ada, tidak terbayangkan, dan tidak perlu dipikirkan. Sekarang gerakan literasi merupakan salah satu inti kegiatan sejumlah orang dalam upaya mereka menyebarluaskan dongeng Kancil lewat aksara, lewat buku, demi terciptanya masyarakat yang berbudaya. Tanpa keterampilan menulis dan membaca kita dianggap unlettered, unlcultured – ‘buta aksara, buta budaya.’ Mogamoga saja kita menyadari bahwa inti masalahnya terletak pada penguasaan teknologi. Tulisan adalah hasil teknologi, itu sebabnya kita dituntut untuk menguasai teknologi yang telah menciptakannya agar bisa memahami apa yang kita hadapi. Istilah literacy ‘literasi’ diturunkan dari kata letter ‘aksara’ – dan tentunya hanya berkaitan dengan teknologi penciptaan dan penerimaan aksara. Konsep itu bukan sekadar berkaitan dengan ujud yang kita lihat tetapi menyangkut keterampilan pencipta aksara dalam teknologi yang dipakainya, di samping kemampuan pembaca untuk ‘membaca’-nya. Bulu angsa, pahat, bolpoin, mesin tik, dan layar sentuh berturut-turut mengambil peran utama dalam pengembangan teknologi literasi selama ini.
Literasi Dengan demikian, kalau kita masih ingin menggunakan istilah literasi, konsepnya harus diperluas agar bisa menjangkau ‘tata bahasa’ yang diperlukan pencipta untuk menciptakan karyanya. Penyair klasik ketika menulis tembang di Jawa atau haiku di Jepang atau shi di Cina dituntut untuk menguasai teknologi menorehkan tinta dengan berbagai alat – hasilnya adalah ujud visual yang khas milik masingmasing penyair. Dituntut keterampilan khusus untuk menciptakan kaligrafi dan juga kemampuan khusus untuk mengapresiasinya. Ketika sekarang penyair menggunakan
7
komputer untuk menulis, ia harus menguasai ‘tata bahasa’ penciptaannya sedangkan pembaca harus juga terampil membaca hasilnya. Inilah yang biasanya kita kenal sebagai melek teknologi, yang tentu boleh juga kita sebut sebagai literasi digital. Dalam hal ini literasi mempertimbangkan keterampilan pencipta maupun penerima, tidak hanya yang menyangkut penerima. Ketika sekarang sastrawan tidak lagi menggunakan bulu angsa tetapi keyboard dan touch screen atau touch sensitive, yang dituntut dari kita ketika membaca sastra adalah sejenis pengetahuan tentang itu juga. Sebagai pembaca, kita harus pula menguasai literasi digital – sebagai sekadar contoh, untuk mengendalikan televisi dan komputer diperlukan literasi yang sederhana, yakni remote control, dan yang dikendalikan gadget, yakni komputer, yang dituntut adalah penguasaan tata bahasa yang sangat rumit. Tingkat literasi kita sebagai pembaca sedikit banyak ditentukan oleh taraf penguasaan atas gadget itu. Penguasaan atas semakin canggihnya taraf gadgetry yang ada untuk menciptakan dan membaca sastra menentukan berapa tinggi taraf kemampuan membaca kita. Mungkin saja yang kita baca boleh dikatakan tidak berbeda dari yang kita kenal sebelumnya, yakni jajaran aksara di atas hamparan rata, tetapi ketika yang kita hadapi dan bisa dapatkan adalah ebook atau audiobook, literasi yang dituntut dari kita tidak hanya terbatas pada membaca aksara tetapi juga bagaimana ‘membuka’ bukunya. Dan ‘buku’ akhirnya tidak lagi bisa didefinisikan sebagai benda budaya yang dibentuk dari setumpuk kertas yang bertulisan tetapi juga mencakup benda yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan kertas. Ebook masih bisa dikembalikan ke habitatnya semula yakni kertas, tetapi audiobook tidak bisa, dan tidak perlu sebab yang menjadi sasaran bukan penglihatan tetapi pendengaran. Membaca ebook kita kehilangan kertas tetapi tidak kehilangan aksara, bahkan kita masih bisa mengembalikan yang mula-mula hanya dilayar komputer menjadi buku lagi. Menghadapi audiobook kita tidak lagi mengukur kemampuan membaca dengan penglihatan tetapi ‘membaca’-nya dengan telinga. Apakah dengan demikian
8
audiobook masih bisa diklasifikasikan sebagai book? Yang jelas adalah bahwa penyebarluasan buku sekarang ini tidak bisa sekadar mengikuti teori yang dikembangkan berdasarkan jual-beli bundelan kertas yang kita kenal sebagai buku.
Citizen, Netizen Selanjutnya, apakah audiobook merupakan bukti bahwa kita ternyata akhirnya kembali lagi ke Nenek yang mendongeng cerita tentang Kancil semata-mata dengan bunyi, tanpa ujud visual sama sekali? Apakah jenis book itu dengan sendirinya mengembalikan peran dan fungsi Nenek dalam menyampaikan dongeng? Mendengarkan Nenek mendongeng tidak memerlukan gadgetry, tidak hanya karena Nenek bukan gadget tetapi karena hubungan antara Nenek dan cucunya adalah in real life atau offline. Namun, konsep offline dan real life masih bisa terus didiskusikan lebih lanjut, tergantung antara lain berapa jauh kita mengembangkan cara melakukan segala sesuatu demi keberlangsungan dan kemudahan hidup. Di zaman lampau ketika Kancil belum diproses menjadi aksara tidak ada buku dan tidak ada gadgetry, sekarang Nenek bisa mengambil Kancil dari buku atau layar komputer, tidak hanya dari memorinya yang terbatas – tentu saja dibanding dengan storage yang ada dalam komputer. Ketika Nenek menciptakan (kembali) Kancil untuk kita, acuannya terbatas pada memorinya sebab tidak ada semacam external hard disk untuk otak manusia, tetapi ketika sastrawan sekarang menciptakan Kancil ia bisa mengandalkan acuannya pada storage yang tidak ada batas dan jenisnya dalam komputer. Yang diperlukan adalah penguasaan atas ‘alat tulis’ yang dikendalikannya. Sastrawan yang menulis di zaman ini adalah warga suatu daerah, negara, atau kota karena kelahiran atau karena naturalisasi. Kaitan seorang sastrawan dengan tanahnya, yang bisa berarti negara atau kota atau kampung, bisa menjadi perhatian penting dalam penelitian sosiologi sastra. Setiap kali mendengar pembicaraan tentang Ronggeng Dukuh Paruk, misalnya, yang diutamakan adalah apa yang dikenal
9
sebagai warna lokal, yang bersumber tidak hanya pada dunia sosial yang menggerakkan dan digerakkan tokoh-tokoh tetapi juga sastrawan yang menciptakan dunia sosial itu. Ia hidup sebagai bagian dari suatu masyarakat yang bisa saja masih terikat pada prinsip dan masalah teritorialisme, primordialisme, sektarianisme, kesetiaan pada negara. Ia bisa ‘pulang kampung,’ bisa juga pindah kewarganegaraan, tetapi di mana pun dia berada tetap saja dituntut untuk memiliki KTP atau paspor. Bisa juga ia memiliki dua paspor tetapi tetap saja pada dasarnya ia menjadi bagian tidak terpisahkan dari paspor-paspor itu. Gibran Kahlil Gibran, misalnya, lahir di Lebanon tetapi pindah ke Amerika ketika masih remaja. Ia menulis dalam bahasa Inggris dan Arab, digolongkan sebagai sastrawan penting di Lebanon, di Amerika meskipun pernah pada suatu masa menjadi idola remaja Amerika terutama karena buku esai-puisinya, The Prophet. Dalam kasus ini prinsip teritorialisme mungkin tidak dianggap penting tetapi primordialisme sangat menonjol – yang akhirnya mau tidak mau membawa-bawa ‘negeri leluhur’ dalam pembicaraan tentangnya. Sastra menampilkan gambaran kehidupan; dan kehidupan tak lain adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Itu semua menjadi utama ketika dalam studi sosiologi sastra kita mengangkatnya sebagai bahan kajian. Dalam konsep manusia sebagai citizen hal itu tidak bisa dibantah lagi, tetapi ketika kita beringsut sedikit demi sedikit ke konsep lain, yakni Netizen ‘warga Internet’, maka kita berubah menjadi Warga Internet yang tidak mengenal ius soli atau ius sanguinis dan antara lain karenanya kita tidak dibatasi oleh teritorialisme dan primordialisme. Netizen adalah orang yang ‘mengabdikan diri’ pada Internet. Bisa dikatakan bahwa Netizen adalah ‘warga negara’ Internet meskipun pada dasarnya Internet tidak mensyaratkan KTP dan kartu identitas semacamnya. Warga negara biasanya digolong-golongkan berdasarkan posisinya dalam kehidupan sosial dan politik, atau dalam hierarki kelas
10
sosial dan sekte di samping berdasarkan konsep etnisitas. Netizen adalah manusia yang tidak terikat pada kasta, teritori, agama, paspor dan KTP, jenis dan jenjang pendidikan,
dan
berbagai
ikatan
lain
yang
merupakan
syarat
bagi
kewargainternetannya.
”Imagine” John Lennon, salah seorang anggota The Beatles, antara lain mengungkapkan sebuah impian, there’s no countries, it isn’t hard to do, nothing to kill or die for; seperti yang dibayangkan dalam larik-larik lirik lagunya yang berjudul “Imagine.” Dalam ‘impiannya’ dunia ini satu dan dia sadar, you may say I’m a dreamer, but I’m not the only one. Harapannya bahwa kita semua ini pada suatu hari akan bergabung dengannya bisa ditafsirkan ada kaitannya dengan zaman Internet ini. Mungkin yang ada dalam pikirannya adalah khayal belaka, tetapi apa yang sekarang terjadi dan sedang berproses dalam hidup kita sejak adanya Internet boleh saja kita menafsirkan apa yang dibayangkan penulis lagu itu bisa saja telah terjadi. Apa yang disebut-sebut oleh antara lain Howard Rheingold sebagai virtual community menyebabkan saya membayangkan sebuah dunia siber atau digital atau virtual yang mungkin sekali ada dalam bayangan Lennon ketika menciptakan lagu itu. Virtual worlds adalah yang paling interaktif di antara bentuk-bentuk virtual community. Di dalamnya kita saling berhubungan seolah-olah sungguh-sungguh hidup sebagai avatar yang kita ciptakan sendiri dalam dunia yang berbasis komputer. Saya tidak tahu apakah dalam lirik-lirik Lennon itu sengaja disisipkan ideologi tertentu – agama atau politik, misalnya, tetapi suasana dan kondisi yang ada dalam masyarakat Internet sekarang ini mau tidak mau memaksa kita semakin membayangkannya sebagai ‘dunia nyata’ tempat kita berkomunikasi lewat berbagai cara antara lain teks, ikon grafis, bunyi, dan bentukbentuk yang dikendalikan oleh suara dan sentuhan. Dalam dunia virtual yang tidak mengenal negara yang menuntut
11
warganya
untuk
siap
membunuh
atau
dibunuh
demi
mempertahankan
kedaulatannya itulah kebanyakan dari kita sekarang tinggal. Tanpa taraf literasi yang unggul atas gadgetry dan tata bahasa yang rumit yang dituntut oleh komputer, kita pada suatu saat nanti akan dianggap uncultured dan unlettered ‘tidak berbudaya dan buta aksara’. Di zaman lampau, ketika nenek moyang kita masih menggunakan bulu angsa dan kuas untuk menulis karya sastra, masyarakat tentu belum menyodorkan pilihan yang tidak terbatas jumlahnya bagi warganya. Sekarang masyarakat virtual yang kita tumbuhkan dan ada di sekeliling kita mendikte proses penciptaan sastra sedemikian rupa sehingga hubungan-hubungan antarunsur dalam strukturnya menuntut kita untuk mempertimbangkan kembali sejumlah konsep yang kita yakini selama ini. Sosiologi sastra digagas berdasarkan konsep tentang hubungan-hubungan antara sastrawan, karya sastra, pembaca, dan masyarakatnya. Hubungan-hubungan tersebut membentuk struktur yang berubah-ubah sebab masing-masing unsurnya selalu mengalami perubahan. Teknologi, yang tidak lain adalah the way people do things, terus-menerus dikembangkan demi kebahagiaan dan kemudahan hidup kita. Masyarakat terbentuk karena terutama anggotanya mengelompokkan diri berdasarkan niat untuk berkomunikasi, dan sekarang kita mengelompokkan diri dalam etnik atau ideologi atau teritori virtual. Demikianlah maka komunikasi menjadi landasan dan alasan kebudayaan, bahkan dikatakan bahwa komunikiasi adalah kebudayaan, kebudayaan komunikasi. Berdasarkan pemikiran demikian itulah apa yang kita kenal sebagai sosiologi sastra berkembang menjadi tradisi penelitian ilmiah. Di sekitar kita tersedia data yang tak terkirakan banyaknya berkat teknologi yang kita kembangkan, yang bisa membantu kita menjawab pertanyaan, Ke arah mana lagi kita harus mengembangkan sosiologi sastra?
12