Kesiapan Badan Layanan Umum Transjakarta untuk menjadi Badan Usaha Milik Daerah PT Transjakarta (Studi pada Kesiapan Sumber Daya Manusia dan Kinerja Keuangan
Chintia Haqdia Hasrul1, Achmad Lutfi2
1. 2.
Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Email :
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Tulisan ini membahas bagaimana kesiapan Badan Layanan Umum Transjakarta untuk menjadi Badan Usaha Milik Daerah PT Transjakarta dari aspek sumber daya manusia dan kinerja keuangan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan post-positivist melalu studi lapangan dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukan bahwa Transjakarta dari aspek sumber daya manusia siap untuk menjadi Badan Usaha Milik Daerah sementara jika dari aspek kinerja keuangan Transjakarta tidak siap untuk menjadi Badan Usaha Milik Daerah. Kata kunci : Transjakarta, Sumber Daya Manusia, Kinerja Keuangan
READINESS OF PUBLIC AGENCY TRANSJAKARTA TO BE A LOCAL OWNED ENTERPRISE PT TRANSJAKARTA (STUDY ON THE READINESS OF HUMAN RESOURCES AND FINANCIAL PERFORMANCE)
ABSTRACT This paper discusses how the readiness of public service agency Transjakarta to be a local owned enterprise through human resources and financial performance aspects. This research was conducted by using post-positivist approach through field research and document research. The result show that Transjakarta is ready to be a state owned enterprise through its human resources aspect. But Transjakarta is not ready to be state owned enterprise through its financial performance. Key words : Transjakarta, Human Resources, Financial Performance
Kesiapan badan..., Chintia Haqdia Hasrul, FISIP UI, 2014
Pendahuluan Daerah dalam melaksanakan otonomi daerah melakukan berbagai cara untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerahnya dalam membiayai pembangunan daerah tersebut. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menambah jumlah Badan Usaha Milik Daerah. Keberadaan BUMD di sebuah daerah diharapkan dapat membawa dampak yang positif bagi pelayanan kepada masyarakat dan peningkatan pendapatan asli daerah tersebut. Salah satu daerah yang memiliki BUMD di sektor Transportasi adalah Jakarta ditandai dengan dibentuknya Perda tentang perubahan status Badan Layanan Umum Transjakarta menjadi BUMD PT Transjakarta tahun 2014. TransJakarta atau yang lebih dikenal oleh masyarakat dengan nama Busway merupakan transportasi umum massal yang dioperasikan oleh Pemerintah DKI. Pembuatan Busway ini ditandai dengan dikeluarkannya SK GUB DKI No.110 Tahun 2003 tentang Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola TransJakarta-Busway (jakarta.go.id). Pada awalnya, Transjakarta adalah Badan Layanan Umum (BLU) yang berada di bawah Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta. Sebagai BLU yang berada di bawah naungan dinas, Transjakarta tidak dapat bergerak secara fleksibel untuk membuat kebijakan-kebijakan yang diperlukan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Permasalahan-permasalahan utama yang dihadapi oleh Transjakarta saat menjadi BLU adalah masih terjadinya kerugian dan kurangnya kualitas pelayanan yang diberikan oleh Transjakarta tersebut. Kerugian yang dialami oleh Transjakarta ini dapat dilihat dari jumlah dana operasional yang lebih besar dibandingkan pendapatan Transjakarta. Pada tahun 2012 Transjakarta memperoleh pendapatan sebesar Rp 425 Milyar sedangkan dana operasional yang harus dikeluarkan oleh BLU Transjakarta adalah sebesar Rp 678 Milyar (kompas.com, 2012). Akibatnya, BLU Transjakarta harus mengalami kerugian sebesar Rp 253,6 milyar yang harus ditanggung oleh APBD DKI Jakarta. Setelah ditetapkannya Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta nomor 4 tahun 2014 tentang Pembentukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) TransJakarta, Transjakarta diharapkan untuk mandiri dalam pengelolaan keuangan dan manajemennya sehingga dapat memberikan pelayanan yang optimal bagi penggunanya. Dengan perubahan BLU Transjakarta menjadi BUMD, Transjakarta tidak lagi mendapatkan dana dari APBD. Sedangkan permasalah kurangnya kualitas pelayanan yang diberikan dapat dilihat masih banyaknya operator bus dan kasir yang tidak ramah kepada penumpang dan masih buruknya sarana dan prasarana yang ada.
Kesiapan badan..., Chintia Haqdia Hasrul, FISIP UI, 2014
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka peneliti ingin mengetahui tentang kesiapan Badan Layanan Umum Transjakarta untuk menjadi Badan Usaha Milik Daerah PT Transjakarta ditinjau dari sumber daya manusia dan kinerja keuangannya. Adapun pokok permasalahan yang akan diteliti adalah bagaimana kesiapan Badan Layanan Umum Transjakarta untuk menjadi Badan Usaha Milik Daerah PT Transjakarta ditinjau dari sumber daya manusia dan kinerja keuangannya? Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui kesiapan BLU Transjakarta untuk menjadi BUMD ditinjau dari sumber daya manusia dan kinerja keuangan.
Tinjauan Teoritis Terdapat beberapa konsep dalam penelitian ini yaitu keuangan daerah, pendapatan asli daerah, badan usaha milik daerah konsep badan layanan umum. Pertama, Keuangan Daerah atau anggaran daerah adalah rencana kerja pemerintah daerah dalam bentuk uang (rupiah) dalam satu periode tertentu. Anggaran daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah karena digunakan untuk pembangunan daerah tersebut (Mardiasmo, 2002:9). Keuangan daerah sendiri dapat bersumber dari alokasi pemerintah pusat, perpajakan, retribusi, pinjaman serta badan usaha. Menurut Walters (1993 : 11-15), public enterprise adalah salah satu alat dalam melakukan regulasi di bidang ekonomi. Public enterprise ini didefinisikan dengan dua ciri khas, yaitu : 1) dimiliki dan dikendalikan oleh pemerintah; dan 2) memproduksi hasil (output) untuk dipasarkan. Pembentukan public enterprise ini dapat dilihat dari sudut pandang berikut : 1. Pendirian public enterprise dari segi faktor-faktor ekonomi dan kepemilikan pemerintah atas proses produksi dipandang sebagai reaksi non ideologis terhadap kegagalan atau ketidakmampuan mekanisme pasar 2. Berdasarkan pertimbangan sosial politik yang lebih luas dan memandang pertumbuhan public enterprise ditentukan oleh permainan dan kekuasaan sosial politik Greytak (dalam Bahl dan Miller, 1983:141) mengungkapkan tiga syarat penting sebuah perusahaan dapat dikategorikan sebagai perusahaan daerah. Syarat yang pertama adalah terdapatnya tenaga pelaksana atau SDM yang dapat memberikan pelayanan secara efisien. Menurut Whether dan Davis (1989) sumber daya manusia (Human Resources) adalah “the people who are ready, willing and able to contribute to organizational goals”. Sumber daya manusia (Human Resources) dalam perusahaan yang dapat memberikan pelayanan yang efisien
Kesiapan badan..., Chintia Haqdia Hasrul, FISIP UI, 2014
memiliki beberapa indikator. Indikator tersebut menurut Rostamzadeh dan Sofian (2009: 263) adalah sebagai berikut: Table 2.2 Indikator Sumber Daya Manusia Dimensi Manpower
Indikator Education Experience Motivation Skills Age
Sumber : Rostamzadeh dan Sofian, 2009 Syarat berikutnya yang dibutuhkan untuk menjadi perusahaan daerah adalah perusahaan harus dapat menebus seluruh biaya yang telah dikeluarkan dan bahkan memperoleh surplus. Syarat ini dapat dilihat dipelajari dengan melihat kinerja keuangan dari perusahaan daerah tersebut. Elliot (2010: 138) mengatakan bahwa untuk mengukur kinerja keuangan suatu perusahaan dapat dilihat dari laporan keuangan perusahaan tersebut. Laporan keuangan suatu perusahaan terdiri dari beberapa elemen yaitu: Assets perusahaan yaitu hak yang dimiliki oleh perusahaan sebagai konsekuensi dari transaksi terdahulu, Liabilities yaitu kewajiban dari perusahaan yang masih harus dibayarkan sebagai konsekuensi dari transaksi terdahulu, Ownership Interest yaitu jumlah harta yang dimiliki oleh pemilik perusahaan setelah dikurangi dengan kewajiban yang harus dibayarkan, Gains yaitu keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan bukan hasil penambahan dari pemilik pribadi, Losses yaitu kerugian yang dialami oleh perusahaan, Contribution by the Owners yaitu penambahan modal yang dilakukan oleh pemilik perusahaan serta Distribution to Owners yaitu pengurangan kepemilikan yang dilakukan oleh pemilik perusahaan dalam kapasitasnya sebagai pemilik. Ketujuh elemen tersebut dapat dilihat dari Balance Sheets (neraca), Cash Flow (laporan arus kas), serta laporan laba rugi. Selain menilai dari laporan keuangan, kinerja keuangan suatu perusahaan juga dapat dilihat dari analisis rasio keuangan perusahaan tersebut. analisis rasio keuangan yang dapat digunakan ada tiga yaitu rasio likuiditas, rasio solvabilitas dan rasio profitabilitas. Rasio likuiditas merupakan rasio yang menunjukan kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi kewajibannya yang harus segera dibayar. Rasio likuiditas dihitung dengan cara membagi total aktiva lancar perusahaan tersebut dengan total kewajiban lancar perusahaan tersebut. rasio
Kesiapan badan..., Chintia Haqdia Hasrul, FISIP UI, 2014
lainnya yang dapat digunakan adalah rasio solvabilitas. Rasio solvabilitas menurut Riyanto (1986) adalah rasio yang menunjukan kemampuan perusahaan untuk memenuhi segala kewajiban finansilanya apabila perusahaan tersebut pada saat ini dilikuidasikan. Rasio solvabilitas dihitung dengan cara membagi total hutang yang dimiliki oleh perusahaan tersebut dengan total modal yang dimiliki oleh perusahaan tersebut. rasio ketiga yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja keuangan perusahaan adalah rasio profitabilitas. Rasio profitabilitas menunjukan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan kekayaan bagi pemegang sahamnya. Rasio profitabilitas dihitung dengan cara membagi laba/rugi bersih yang dimiliki oleh perusahaan dengan total penjualan bersih yang dimiliki oleh perusahaan. Konsep terakhir yang digunakan adalah badan layanan umum. Departemen Keuangan Australia (1998) nmengemukakan bahwa agencies
adalah badan0badan kuasi-otonom yang
difokuskan pada pekerjaan yang harus dilakukan. Agencies memiliki target dan output atau hasil yang diharapkan.
Metode Penelitian Metode penelitian digunakan peneliti sebagai pedoman dalam melakukan proses pengumpulan data di lapangan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan post-positivist. Peneliti menggunakan pendekatan post-positivist karena secara epistemologis, peneliti post-positivist mengumpulkan data secara objektif dari luar objek penelitian. Sesuai dengan hal tersebut, peneliti menggunakan suatu konsep yang berkaitan dengan topik yang peneliti angkat yaitu teori Badan Usaha Milik Daerah. Melalui pendekatan postpositivist peneliti akan melihat kesiapan Badan Layanan Umum Transjakarta untuk menjadi BUMD PT Transjakarta. Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah studi lapangan dan studi kepustakaan. Peneliti melakukan studi lapangan untuk memperoleh data primer dengan melakukan wawancara mendalam, sedangkan srudi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan melakukan studi terhadap bahan-bahan kepustakaan seperti buku, jurnal, internet serta dokumen-dokumen insatansi yang terkait dengan kesiapan badan layanan umum Transjakarta untuk berubah menjadi BUMD.
Kesiapan badan..., Chintia Haqdia Hasrul, FISIP UI, 2014
Hasil dan Pembahasan Pada bagian ini memaparkan kesiapan Badan Layanan Umum Transjakarta untuk menjadi Badan Usaha Milik Daerah PT Transjakarta jika ditinjau dari kesiapan sumber daya manusia dan kinerja keuangannya. Analisis Sumber Daya Manusia Transjakarta Sumber daya manusia merupakan faktor penting bagi perusahaan jasa dalam menjalankan proses pelayanan terhadap konsumen. Sumber Daya Manusia di Transjakarta atau yang disebut karyawan terbagi dalam dua status yaitu Pegawai Neger Sipil (PNS) dan Non Pegawai Negeri Sipil. Karyawan non PNS terbagi lagi yaitu pegawai tetap dan pegawai kontrak dengan uraian pada tabel 1 berikut ini : Tabel 1 Jumlah Pegawai Transjakarta tahun 2013 No
Status Kepegawaian
Jumlah
1
Pegawai Negeri Sipil
26 orang
2
Non Pegawai Negeri Sipil
6177 orang
-
Pegawai Tetap
93 orang
-
Pegawai Kontrak
6804 orang
Total
6203 orang Sumber : Dinas Perhubungan DKI Jakarta, 2013
Transjakarta sebagai badan layanan umum yang berubah menjadi badan usaha milik daerah harus memenuhi persyaratan dalam aspek sumber daya manusianya. Kesiapan sumber daya manusia Transjakarta dapat dilihat dari beberapa indikator. Indikator pertama yang dapat dilihat adalah indikator pendidikan. Dari data yang didapatkan oleh peneliti di lapangan, dalam hal perekrutan Transjakarta tidak terlalu memperhatikan tingkat pendidikan dan spesialisasi pendidikan seseorang untuk melakukan penempatan di bidang tertentu. Tingkat pendidikan dan spesialiasi pendidikan seseorang bukan merupakan acuan utama bagi Transjakarta untuk merekrut pegawainya. Seperti yang dikatakan oleh Tommy bahwa untuk dapat menguasai pekerjaannya tersebut pegawai harus memiliki kemauan tinggi untuk mempelajari bidang yang bukan merupakan spesialisasinya tersebut. Selain itu, dalam bekerja sebenarnya pegawai di
Kesiapan badan..., Chintia Haqdia Hasrul, FISIP UI, 2014
Transjakarta khususnya pegawai di kantor memang dituntut untuk dapat menguasai semua bidang pekerjaan yang ada di kantor. Hal ini dilakukan mengantisipasi jika seandainya di dalam tubuh pegawai terjadi rotasi pegawai. Indikator kedua yang dapat digunakan untuk menilai sebuah perusahaan siap untuk menjadi BUMD adalah experience (pengalaman). Seperti yang dikatakan Foster (2001 : 40) bahwa pengalaman kerja merupakan suatu ukuran tentang lama waktu atau masa kerja yang telah di tempuh seseorang dalam memahami tugas-tugas suatu pekerjaan dan telah melaksanakannya dengan baik. Pegawai di Transjakarta sebelum di tempatkan di berbagai bidang haruslah memiliki kualifikasi berpengalaman di bidang yang akan ditempatkan tersebut. Pengalaman bekerja pegawai sangat dibutuhkan untuk mendukung kualitas pelayanan yang akan diberikan oleh Transjakarta. Pengalaman bekerja seorang pegawai sangat perlu diperhatikan terutama dalam perusahaan jasa karena pengalaman bekerja berhubungan dengan profesionalitas dan kemampuan dari pegawai tersebut. Semakin lama seorang pegawai bekerja di suatu bidang maka pegawai tersebut semakin paham dengan tugas-tugas yang dia miliki. Indikator yang ketiga untuk melihat sebuah perusahaan siap untuk menjadi BUMD dari segi SDM-nya adalah motivasi. Seperti yang telah dikemukakan pada bab teori bahwa motivasi merupakan daya pendorong dalam diri seseorang karyawan untuk melakukan suatu perbuatan ke arah positif. Seperti yang telah dikemukan pada teori, terdapat empat jenis motivasi bagi seorang pegawai dalam perusahaan yaitu motivasi positif, motivasi negatif, motivasi dari dalam dan motivasi dari luar. Bentuk motivasi positif yang ada pada Transjakarta diantaranya adalah kedudukan atau jabatan, imbalan seperti uang tambahan hingga penghargaan yang diberikan kepada pegawainya. Selain motivasi positif, bentuk motivasi lain yang diberikan oleh perusahaan kepada pegawainya adalah motivasi negatif. Motivasi negatif dikatakan sebagai motivasi yang bersumber dari rasa takut. Motivasi ini biasanya berupa hukuman kepada pegawai apabila tidak menjalankan tugas dengan baik. Bentuk motivasi negatif yang dilakukan Transjakarta kepada pegawainya adalah pemberian hukuman kepada pegawainya, terutama pegawai di lapangan yang tidak memenuhi Standar Pelayanan Minimum (SPM). Bentuk motivasi lain adalah motivasi yang berasal dari dalam. Motivasi dari dalam timbul dari diri pegawai pada saat pegawai menjalankan tugas dan kewajiban dan bersumber dari dalam diri pekerja itu sendiri. Motivasi dari dalam dapat muncul karena kesenangan dari pegawai tersebut dalam melakukan pekerjaannya. Faktor lain yang mempengaruhi motivasi dari dalam diri pegawai adalah kesenangan pegawai atas
Kesiapan badan..., Chintia Haqdia Hasrul, FISIP UI, 2014
pekerjaannya. Kesenangan pegawai atas pekerjaannya dapat didukung dengan posisi yang didapat oleh pegawai yang sesuai dengan spesialisasi pendidikannya. Bentuk motivasi lainnya adalah motivasi dari luar. Motivasi dari luar adalah motivasi yang muncul sebagai akibat adanya pengaruh yang ada di luar pekerjaan dan dari luar diri pekerja itu sendiri. Motivasi dari luar bagi pegawai Transjakarta seringkali muncul dari teman pegawai sendiri. Itu sesuai dengan informasi yang didapatkan dari Titi bahwa pegawai lain termotivasi untuk ikut bekerja lembur karena melihat teman pegawainya bekerja lembur. Dengan adanya bentuk motivasi ini tentu akan meningkatkan kinerja Transjakarta. Bentuk motivasi lainnya adalah pemberian beasiswa pendidikan bagi pegawai yang akan dilakukan setelah Transjakarta resmi dipimpin oleh direksi yang baru. Indikator keempat yang menentukan sumber daya manusia sebuah perusahaan siap untuk menjadi Badan Usaha Milik Daerah adalah kemampuan dari pegawai. Seperti yang telah dikemukakan dalam teori, kemampuan pegawai sangat dibutuhkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam berbagai organisasi, dalam hal ini Transjakarta dalam melakukan pelayanan. Kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki oleh pegawai Transjakarta umumnya adalah kemampuan yang sesuai dengan bidang dimana pegawai itu bekerja. Di Transjakarta sendiri pegawai harus memiliki kemampuan sesuai dengan bidang pekerjaannya terutama di bidang operasional menjadi pramudi dan mekanik. Pada dasarnya, kemampuan yang dimiliki oleh pegawai di kantor tidak terlalu di perhatikan. Karena seperti yang dikemukakan sebelumnya oleh staff manajer kepegawaian,Tommy bahwa dalam bekerja di Transjakarta sesungguhnya semua pegawai dituntut untuk menguasai semua bidang pekerjaan. Untuk mendukung penguasaan kemampuan pegawai di berbagai bidang, Transjakarta melakukan pendidikan dan pelatihan yang biasanya diadakan sebulan sekali. Pendidikan dan pelatihan ini dilakukan merata untuk seluruh pegawai yang ada di kantor dan pegawai yang ada di lapangan. Dengan diadakannya pendidikan dan pelatihan tersebut, pegawai Transjakarta diharapkan memiliki kemampuan-kemampuan yang menunjang semua bidang pekerjaan. Indikator kelima yang harus dipenuhi dari aspek sumber daya manusia adalah usia pegawai. Robbins (2003) menyatakan bahwa semakin tua usia pegawai, makin tinggi komitmennya terhadap organisasi, hal ini disebabkan karena kesempatan individu untuk mendapatkan pekerjaan lain menjadi lebih terbatas sejalan dengan meningkatnya usia. Rata-rata usia pegawai di Transjakarta adalah 18 tahun hingga 47 tahun untuk pegawai di lapangan.
Kesiapan badan..., Chintia Haqdia Hasrul, FISIP UI, 2014
Sedangkan untuk pegawai di kantor rata-rata adalah 26 tahun hingga 58 tahun. Menurut Tommy, penyebaran pegawai menurut usia merata di setiap bidang. Di Transjakarta sendiri terdapat beberapa pegawai yang sudah bekerja semenjak Transjakarta didirikan pada tahun 2003. Pegawai yang telah lama bekerja di Transjakarta tersebut menurut Tommy biasanya mempunyai jabatan top manager dan merupakan pegawai yang usianya berada diatas usia pegawai yang baru bekerja di Transjakarta. Di Transjakarta sendiri masih menganut senioritas dalam pengisian jabatan top manager. Hal ini disebabkan oleh pengalaman yang dimiliki oleh pegawai yang senior lebih banyak dibandingkan dengan pengalaman yang dimiliki oleh pegawai yang masih baru. Selain itu untuk kenaikan jabatan di Transjakarta juga di prioritaskan bagi pegawai yang memiliki usia lebih tua dan lebih berpengalaman. Hal ini dilakukan agar pekerjaan yang dilakukan lebih dikuasai oleh pegawai tersebut karena pengalaman bekerjanya.
Analisis Kinerja Keuangan Transjakarta Pembahasan hasil kinerja keuangan Transjakarta akan dianalisa dari 2 perspektif, yaitu dari laporan keuangan (neraca, laporan laba rugi dan cash flows) serta dari analisis rasio keuangan yang terdiri dari rasio likuiditas, rasio saolvabilitas dan rasio profitabilitas. Laporan Keuangan Transjakarta Penilaian laporan keuangan Transjakarta dapat dilihat dari Neraca, Laporan Realisasi Anggaran dan Laporan Arus Kas. Secara umum dapat digambarkan bahwa pada laporan keuangan dalam bentuk neraca diperoleh beberapa hal. Jumlah kas pada tahun 2013 mengalami penurunan sebesar 26.07% dibanding tahun sebelumnya. Kondisi ini membuat turunnya produktifitas dan kinerja organisasi. Sedangkan modal dari pemerintah menempati porsi yang besar. Di tahun 2012 jumlahnya mencapai 45,2% dari total aktiva lancar, kemudian pada tahun 2013 mengalami kenaikan sebesar 76,73% dibanding tahun sebelumnya. Kenaikan jumlah modal pemerintah yang cukup signifikan tersebut diakibatkan oleh kerugian yang dialami oleh Transjakarta. Dalam sistematika penganggarannya saat menjadi BLU, pemerintah wajib memberikan modal tambahan atau yang disebut dengan subsidi untuk menutupi defisit tersebut. Karena bentuknya sebagai Badan Layanan Umum yang memberikan pelayanan untuk masyarakat, maka Transjakarta tidak diperbolehkan untuk memiliki orientasi profit dalam melakukan tugasnya. Seperti yang dikatakan oleh Sutanto Soehodho selaku Deputi Gubernur
Kesiapan badan..., Chintia Haqdia Hasrul, FISIP UI, 2014
Bidang Industri, Perdagangan dan Transportasi Pemprov DKI Jakarta, yang mengatakan bahwa Transjakarta sebagai BLU sangat tidak diperbolehkan berorientasi profit. Jika Transjakarta berorientasi kepada profit, otomatis harga tiket akan naik karena dibutuhkan pendapatan lebih untuk menutupi defisit yang selama ini dialami Transjakarta. Kenaikan tarif tersebut nantinya akan berpengaruh kepada kemampuan masyarakat yang tidak semuanya mampu untuk membayar tarif Transjakarta yang naik tadi. Ini tidak sesuai dengan prinsip BLU yang menekankan keterjangkauan pelayanan publik bagi masyarakat.
Gambar 5.1 Neraca BLU Transjakarta Tahun 2012-2013 600,000,000,000 500,000,000,000 400,000,000,000 300,000,000,000 200,000,000,000 100,000,000,000 0
Tahun 2013 Tahun 2012
sumber : UP Transjakarta Busway, 2013 Laporan Laba Rugi / Laporan Realisasi Anggaran Sebagai BLU yang berdiri untuk menyediakan pelayanan publik bagi masyarakat, sejatinya Transjakarta tidak mengejar profit dalam menjalankan usahanya. Oleh karena itu, dalam laporan keuangan tidak terdapat laporan keuangan sebagaimana perusahaan lainnya. Pencatatan laba dan rugi Transjakarta dilakukan pada laporan yang disebut sebagai Laporan Realisasi Anggaran. Pada tahun 2013 sebagaimana yang tampak pada grafik 5.2 terlihat bahwa jumlah anggaran pendapatan yang di tetapkan oleh Transjakarta adalah sebesar Rp 502.500.000.000. Realisasi yang terjadi adalah sebesar 85,96% dimana pendapatan layanan umum yang semulanya dianggarkan sebesar Rp 502.500.000.000 hanya terealisasi sebesar Rp 431.968.314.478 dari
Kesiapan badan..., Chintia Haqdia Hasrul, FISIP UI, 2014
pendapatan layanan umum. Sedangkan pendapatan ditangguhkan yang sebenarnya tidak dianggarkan pada awal penganggaran justru pada realisasinya terdapat Rp 56.493.366.134. Kemudian pada tahun 2013 belanja langsung yaitu belanja operasional dianggarkan sebesar Rp 971.445.420.000 yang terdiri dari biaya pelayanan yang dianggarkan sebesar Rp 886.187.720.000, biaya umum dan administrasi yang dianggarkan sebesar Rp 85. 237.700.000 serta belanja non operasional yang dianggarkan sebesar Rp 20.000.000. Realisasi yang terjadi adalah sebesar 90,30% dari belanja operasional yaitu sebesar Rp 877.188.867.876 sedangkan realisasi dari belanja non operasional adalah sebesar 45,39% yaitu sebesar Rp 9.277.000.
Grafik 5.2 Grafik Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja UP Transjakarta Busway periode 31 Desember 2013 Sumber : UP Transjakarta Busway, 2013 Jumlah belanja operasional yang besar ini disebabkan oleh besarnya biaya pegawai dan biaya jasa pelayanan. Besarnya biaya operasional disebabkan oleh biaya pegawai yang jumlahnya melebihi dari yang telah di anggarkan sendiri. Pada tahun 2013 biaya pegawai hanya dianggarkan sebesar Rp 228.852.300.000 namun realisasi yang terjadi pada biaya pegawai adalah sebesar Rp 256.029.698.271. Biaya pegawai sendiri digunakan untuk membayar gaji pegawai. Besarnya biaya pegawai yang dikeluarkan oleh Transjakarta pada tahun 2013 disebabkan oleh bertambahnya jumlah pegawai. Dengan bertambahnya jumlah pegawai tersebut, otomatis
Kesiapan badan..., Chintia Haqdia Hasrul, FISIP UI, 2014
Transjakarta harus mengeluarkan dana yang lebih besar untuk membayar gaji pegawai yang bertambah banyak tersebut.
Laporan Arus Kas Neumann (1988) mengatakan bahwa arus kas (cash flows) merupakan life blood dari setiap perusahaan. Kas Transjakarta diperoleh dari APBD,aktivitas pembiayaan dan pembayaran pemerintah Pendapatan Transjakarta diperoleh dengan dua cara yaitu dana yang berasal dari APBD dan pendapatan dari penjualan tiket. Pada tahun 2012 dana APBD yang diberikan oleh Pemprov DKI Jakarta adalah sebesar Rp 251.923. 620.000. Sementara itu pendapatan yang didapat dari penjualan tiket pada tahun 2012 adalah sebesar Rp 364.631.357.000 dan pendapatan lain sebesar Rp 13.647.731.631. Sehingga total besaran kas yang masuk ke Transjakarta pada tahun 2012 adalah sebesar Rp 630.202.708.631. Pada
tahun
2013
pendapatan
Transjakarta
mengalami
kenaikan
sebesar
Rp
190.492.793.112 atau sebesar 30,22% dibandingkan tahun 2012. Kenaikan pendapatan Transjakarta pada tahun 2013 ini diakibatkan oleh meningkatnya dana dari APBD sebesar Rp 193.296.933.400 atau sebesar 76,72 % dibandingkan tahun 2012. Sementara itu, kas masuk dari penjualan tiket mengalami kenaikan yang tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan kenaikan kas dari dana APBD. Pada tahun 2013 kenaikan yang terjadi pada penjualan tiket adalah sebesar Rp 4.966.155.966 atau sebesar 1,36 % dari tahun 2012. Kenaikan kas dari penjualan tiket tersebut diakibatkan oleh terjadinya kenaikan jumlah penumpang Transjakarta pada tahun 2013. Dana APBD Transjakarta tahun 2013 yang naik ini disebabkan oleh jumlah kekurangan dana yang masih dialami oleh Transjakarta. Kekurangan dana sendiri merupakan akibat dari beban operasional yang lebih tinggi daripada pendapatannya.
Analisis Rasio Keuangan Salah satu alat yang digunakan untuk menilai kinerja keuangan Transjakarta adalah analisis rasio keuangan. Analisis ini meliputi analisis rasio likuiditas, analisisi rasio solvabilitas dan analisis rasio profitabilitas. Keseluruhan rasio ini akan digambarkan dalam bentuk tabel 5.3 berikut :
Kesiapan badan..., Chintia Haqdia Hasrul, FISIP UI, 2014
Tabel 5.3 Perbandingan Kinerja Keuangan BLU Transjakarta Tahun 2012-2013 No
1
2
3
Indikator Kinerja Keuangan
Formula
Satuan
Hasil 2012
2013
Std
Rasio Likuiditas Rasio Lancar
Aktiva lancar/kewajiban lancar
kali
5,33
3,16
2.0
Rasio Cair
Aktiva lancarpersediaan/hutang lancar
Kali
5,19
3,05
1.8
Rasio Hutang terhadap Modal
Total hutang/ekuitasx100 %
%
7,91
6,72
40 %
Rasio Hutang terhadap Harta Tetap
Total hutang/harta tetap x 100%
%
12,1
7,92
48,8 %
Operating Profit Margin
Laba/rugi bersih/penjualan bersih
%
-
1,03
2,2 %
Return on Equity
Laba rugi bersih/total ekuitas
%
-0,48 -0,58
7,7 %
Return on Asset
Laba rugi bersih/total kekayaan
%
-0,54 -0,54
3,9 %
Rasio Solvabilitas
Rasio Profitabilitas
Sumber : data olahan peneliti, 2014 Rasio Likuiditas Rasio Likuiditas terdiri dari rasio lancar dan rasio cair. Rasio Lancar BLU Transjakarta pada tahun 2012 adalah 5,33. Hal itu berarti jauh lebih besar dari standar ukuran baku untuk tingkat likuiditas suatu perusahaan yaitu 2,00. Demikian juga pada tahun 2013 yang berada di atas standar ukuran baku. Dari hasil rasio likuiditas tersebut dapat dilihat bahwa BLU
Kesiapan badan..., Chintia Haqdia Hasrul, FISIP UI, 2014
Transjakarta memiliki kemampuan yang besar untuk membayar semua kewajiban yang dimilikinya karena jumlah harta yang dimiliki oleh BLU Transjakarta masih lebih besar dibandingkan dengan jumlah kewajiban yang harus dibayar oleh BLU Transjakarta. Lebih besarnya jumlah harta yang dimiliki oleh BLU Transjakarta ini seharusnya dapat menjadi pendorong bagi BLU untuk membayar hutang yang dimiliki dan juga dapat digunakan untuk menutupi defisit yang dialami. Namun yang terjadi adalah belanja operasional pada tahun 2013 yang jumlahnya lebih besar dibandingkan pendapatan yang dimiliki oleh Transjakarta pada tahun 2013. Sehingga, jumlah harta yang lebih banyak dibandingkan kewajiban yang harus dibayar tersebut masih belum bisa menutupi defisit yang dialami. Namun secara garis besar dari rasio likuiditas dapat disimpulkan bahwa Transjakarta masih memiliki kemampuan untuk membayar kewajibannya. Rasio cair BLU Transjakarta pada tahun 2012 adalah sebesar 5,19, hal tersebut menunjukan bahwa pada tahun 2012 rasio cair BLU Transjakarta berada di atas ukuran standar. Besarnya rasio cair Transjakarta ini menunjukan bahwa Transjakarta memiliki dana cair untuk menutupi kekurangan dana. Bentuk dana cair yang dimiliki oleh Transjakarta adalah subsidi yang diberikan oleh pemerintah. Dengan adanya subsidi yang terus diberikan pemerintah ini membantu Transjakarta dari kekurangan dana. Ini terbukti setiap tahunnya karena meskipun Transjakarta setiap tahunnya mengalami kekurangan dana khususnya untuk membiayai biaya operasional, pemerintah DKI Jakarta terus memberikan subsidi kepada Transjakarta.
Rasio Solvabilitas Rasio hutang terhadap modal pada tahun 2012 sebesar 0,079 sedangkan pada tahun 2013 adalah sebesar 0,067. Kecilnya rasio hutang terhadap modal Badan Layanan Umum Transjakarta ini menunjukan bahwa jumlah hutang yang dimiliki oleh Badan Layanan Umum Transjakarta masih lebih sedikit dibandingkan jumlah modal yang dimiliki oleh Badan Layanan Umum Transjakarta. Ini menunjukan bahwa pada tahun 2013 Transjakarta memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajibannya dengan menggunakan dengan modal yang ada. Ini dapat dilihat dari jumlah modal yang dapat digunakan untuk membayar hutang yang ada lebih besar dibandingkan dengan jumlah hutang yang dimiliki. Sedangkan rasio hutang terhadap harta tetap yang dimiliki oleh Transjakarta pada tahun 2012 adalah 0,12 dan pada tahun 2013 adalah sebesar 0,79. Rasio hutang terhadap harta tetap yang dimiliki Transjakarta ini menunjukan bahwa jumlah hutang yang dimiliki oleh Transjakarta
Kesiapan badan..., Chintia Haqdia Hasrul, FISIP UI, 2014
masih lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan jumlah harta tetap yang dimiliki. Selain itu, besarnya rasio hutang terhadap harta tetap yang dimiliki oleh Transjakarta pada tahun 2013 juga menunjukan kemampuan Transjakarta untuk memenuhi kewajibannya dengan harta tetap yang dimilikinya.
Rasio Profitabilitas Rasio profitabilitas terdiri dari Operating Profit Margin, Return on Equity dan Return on Asset. Operating Profit Margin yang dimiliki oleh BLU Transjakarta pada tahun 2013 adalah sebesar minus -1,03%. Angka tersebut masih sangat jauh dari standar baku yaitu 2,2%. Rasio ini menunjukan bahwa BLU Transjakarta belum dapat mengasilkan keuntungan atas penjualan jasa yang dilakukannya. Ini dapat dilihat dari profit yang bernilai minus atau dapat berarti defisit. Sebagai badan layanan umum, Transjakarta tidak diharapkan untuk
menghasilkan profit.
Transjakarta justru diharapkan lebih berorientasikan pada pemberian layanan yang prima kepada masyarakat. Oleh sebab itu, nilai minus pada OPM yang dimiliki oleh Transjakarta tidak dapat dijadikan sebagai indikator kinerja keuangan karena keberadaan Transjakarta tadi sebagai badan layanan umum. Return on Equity yang dimiliki oleh BLU Transjakarta pada tahun 2012 adalah sebesar minus 0,48% dan pada tahun 2013 adalah sebesar minus 0,58%. Angka tersebut masih sangat jauh dari standar baku yaitu 7,7%. Dengan besaran rasio seperti itu maka dapat dikatakan bahwa BLU Transjakarta belum efisien dalam menggunakan modal sendiri untuk menghasilkan laba. Masih belum efisien Transjakarta dalam menggunakan modal sendiri untuk menghasilkan laba ini kembali lagi kepada status Transjakarta sebagai badan layanan umum. Seperti yang telah dikemukakan juga sebelumnya bahwa sebagai badan layanan umum Transjakarta hanya memiliki tugas untuk menyediakan pelayanan yang prima bagi masyarakat tanpa berorientasikan kepada profit yang dihasilkan. Return on Asset BLU Transjakarta pada tahun 2012 adalah sebesar minus 0,45% dan pada tahun 2013 adalah sebesar minus 0,54%. Untuk rata-rata Return on Asset pada tahun 2012 dan tahun 2013 adalah sebesar minus 0,45%. Angka ini masih jauh dari angka standar baku yaitu sebesar 3,9%. Return on Asset merupakan pengukuran yang sering digunakan dalam mengukur seberapa besar tingkat profitabilitas yang dihasilkan suatu perusahaan. Semakin besar Return on Asset maka akan menunjukan semakin besar tingkat profitabilitas, sehingga menunjukan kinerja
Kesiapan badan..., Chintia Haqdia Hasrul, FISIP UI, 2014
perusahaan semakin baik karena tingkat pengembalian investasi semakin besar. Dengan besaran rasio seperti itu maka dapat dikatakan bahwa aktiva yang ada pada BLU Transjakarta tidak dapat menghasilkan laba dengan baik. Ini lagi-lagi didapat dilihat dari BLU Transjakarta yang masih mengalami defisit pada tahun 2012 dan tahun 2013. Sebagai badan layanan umum yang tidak berorientasi profit, rugi yang dialami oleh Transjakarta memang tidak dapat dihindarkan. Untuk menganalisis tingkat kemampuan Transjakarta dalam pengembalian asset dapat dilihat dari jumlah subsidi yang diberikan oleh pemerintah. Jika subsidi yang diberikan oleh pemerintah, maka dapat dinilai bahwa Transjakarta memiliki sedikit kemampuan dalam mengembalikan assetnya.
Dampak Transjakarta berubah menjadi BUMD bagi Keuangan DKI Jakarta Perubahan status Transjakarta menjadi BUMD memiliki banyak dampak bagi internal Transjakarta itu sendiri maupun dampak bagi eksternal Transjakarta. Dengan berubahnya status Transjakarta menjadi BUMD, Transjakarta dituntut untuk lebih mandiri dalam mengelola manajemen dan keuanganya. Salah satu konsekuensi terbesar yang harus dihadapi oleh Transjakarta atas perubahan statusnya tersebut adalah berkurangnya subsidi yang diberikan oleh pemerintah DKI Jakarta. Dengan berubahnya status Transjakarta menjadi BUMD tersebut akan menuntut Transjakarta untuk lebih meningkatkan pelayanan yang berorientasi kepada profit. Profit yang dihasilkan tersebut akan berpengaruh kepada PAD Transjakarta. Seperti yang telah dikemukan pada teori bahwa berdirinya sebuah BUMD di daerah akan membantu pemerintah daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerahnya. Bentuk Manajemen BUMD Transjakarta Dalam
melakukan
manajemennya,
sebuah
BUMD
harus
menentukan
bentuk
manajemennya. Seperti yang telah dikemukakan pada teori, terdapat empat bentuk manajemen BUMD yaitu fully private, private with part state ownership, joint private and public venture, private regulated, public infrastructure dan lain-lain. Dilihat dari bentuknya, bentuk manajemen BUMD PT Transjakarta adalah joint private and public venture dimana swasta dan pemerintah bersama-sama membentuk BUMD tersebut. Badan Usaha Milik Daerah PT Transjakarta dibentuk berdasarkan Peraturan Gubernur nomor 4 tahun 2014. Badan Usaha Milik Daerah tersebut merupakan badan usaha milik daerah yang
Kesiapan badan..., Chintia Haqdia Hasrul, FISIP UI, 2014
didirikan oleh pemerintah bersama-sama dengan swasta. Pemerintah merupakan pemegang saham terbesar di Transjakarta. Untuk manajemennya sendiri pemerintah daerah bertugas untuk menetapkan standar pelayanan minimum yang harus di patuhi oleh Transjakarta. Selain itu pemerintah daerah juga menetapkan sistem BRT sebagai kewajiban pelayanan publik dengan tarif ekonomi.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka simpulan yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah Transjakarta sebagai Badan Layanan Umum jika dinilai dari aspek sumber daya manusia telah siap untuk berubah menjadi Badan Usaha Milik Daerah. Sedangkan jika dilihat dari kinerja keuangan dan mengacu pada konsep Badan Usaha Milik Daerah yang harus berorientasi profit, Transjakarta masih belum siap untuk berubah menjadi Badan Usaha Milik Daerah. Saran Adapun saran- saran untuk Transjakarta dalam menghadapi perubahan status untuk menjadi BUMD antara lain : 1. Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dapat berimplikasi pada kualitas pelayanan yang diberikan oleh Transjakarta, maka dalam hal perekrutan pegawai Transjakarta harus lebih mempertimbangkan indikator kesesuaian pendidikan pegawai terhadap bidang pekerjaan pegawai tersebut. 2. Transjakarta harus mencari sumber pendapatan lain seperti memasang iklan, bekerjasama dengan pihak swasta. Hal ini dilakukan agar Transjakarta dapat menambah jumlah belanja operasional untuk meningkatkan pelayanan dan dengan bertambahnya belanja operasional tersebut dapat membantu Transjakarta untuk menghasilkan profit. 3. Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta harus tetap mengontrol keberadaan Transjakarta dalam menyediakan pelayanan dan dalam peningkatan PAD. 4. Dalam masa peralihan kelembagaan, Transjakarta harus tetap dapat memberikan layanan dan terus meningkatkan pelayanan.
Kesiapan badan..., Chintia Haqdia Hasrul, FISIP UI, 2014
Daftar Referensi 1. Bahl, Roy and Barbara Miller. 1983. Local Government Finance in the Third World: A Case Study of the Philippines. New York : Praeger. 2. Creswell. 2009. The Practice of Social Research. Belmont, CA: Wadsworth 3. Elliot, Barry J and Jamie Elliot. 2010. Financial Accounting and Reporting. Edinburgh : Pearson Education. 4. Hornby, Peter and Paul Forte. Unknown. Human Resource Indicators and Health Service Performance. Original Article of Centre for Health Planning and Management. England. 5. Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta : Penerbit Andi. 6. Neuman, W. Lawrence. 2007. Social Research Methods. Qualitative and Quantitative Approaches. Boston: Allyn & Bacon 7. Rostamzadeh & Sofyan. 2009. Relation of 5S Pronciples and Human Factors Engineering in Possibility of TPM Implementation (Case Study). Singapore : IACSIT 8. Soeria, Arifin P. 2010. Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum. Jakarta : Rajawali Pers. 9. Walters, Stephen J.K. 1992. Enterprise, Government and the Public. New York : McGraw-Hill Education. 10. Werther, William B and Keith Davis. 1989. Human Resources and Personnel Management. New York : McGraw-Hill. 11. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 4 tahun 2014 tentang Pembentukan Badan Usaha Milik Daerah Perseroan Terbatas Transjakarta. 12. BAPPEDA Provinsi DKI Jakarta, 2013. TransJakarta „Sembako‟ Baru Masyarakat. http://bappedajakarta.go.id/?p=1171 (15 Februari 2014 17:08 WIB)
Kesiapan badan..., Chintia Haqdia Hasrul, FISIP UI, 2014