CERITA SEKOLAH Montague Rhodes James
2017
Cerita Sekolah Diterjemahkan dari A School Story karangan Montague Rhodes James terbit tahun 1911 (Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah Penyunting Penyelaras akhir Penata sampul
: Ilunga d’Uzak : Kalima Insani : Bared Lukaku : Bait El Fatih
Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh: RELIFT MEDIA Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351 SMS : 0853 1179 4533 Surel :
[email protected] Situs : reliftmedia.com Pertama kali dipublikasikan pada: Januari 2017 Revisi terakhir: Copyright © 2017 CV. RELIFT Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati, peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.
Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT: Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan mengklik iklan sponsor di situs dan blog kami.
D
UA
pria di ruang merokok sedang memperbincangkan
masa-masa sekolah swasta mereka.
“Di tangga sekolah kami,” kata A, “ada sebuah jejak kaki
hantu. Seperti apa tampilannya? Oh, sangat tidak meyakinkan. Cuma bentuk sepatu, dengan ujung persegi, kalau aku tak salah ingat. Tangganya dari batu. Aku tak pernah dengar cerita apapun tentang hal itu. Rasanya ganjil, kalau dipikir-pikir. Kenapa orang tidak mengarangnya, aku heran?” “Kau tak bisa yakin dengan anak-anak. Mereka punya mitologi sendiri. Ngomong-ngomong, ada materi untukmu—The Folklore of Private Schools.” “Ya, tapi koleksinya agak sedikit. Aku rasa, andai kau selidiki peredaran cerita hantu, contohnya, yang disampaikan oleh anakanak di sekolah swasta kepada satu sama lain, semua itu ternyata versi amat padat dari cerita-cerita dalam buku.” “Dewasa ini Strand dan Pearson’s dan sebagainya dipergunakan secara luas.” “Sok pasti. Mereka tidak terlahir atau terpikirkan di zamanku. Coba kita lihat. Entah apa aku bisa ingat cerita-cerita utama yang pernah disampaikan padaku. Pertama, ada rumah dengan sebuah kamar di mana sederet orang bersikeras melewatkan satu malam; dan pagi harinya masing-masing dari mereka ditemukan sedang berlutut di pojok, sempat berkata, ‘Aku melihatnya,’ lalu mati.” “Bukankah itu rumah di Berkeley Square?” “Sepertinya ya. Terus ada orang yang mendengar bunyi di lorong pada malam hari, membuka pintu, dan melihat seseorang 5
sedang merangkak ke arahnya dengan satu mata bergantung di pipi. Selain itu ada, biar kuingat—ya! kamar di mana seorang lelaki ditemukan tewas di tempat tidur dengan jejak ladam di dahinya, dan lantai di kolong ranjang juga dipenuhi jejak ladam; entah kenapa. Juga ada wanita yang, seusai mengunci pintu kamarnya di sebuah rumah aneh, mendengar suara sayup-sayup di antara tirai ranjang berkata, ‘Sekarang kita terkurung malam ini.’ Tak satupun dari mereka punya penjelasan atau sekuel. Aku penasaran apa mereka masih ada, cerita-cerita itu.” “Oh, mungkin sekali—dengan tambahan dari majalah, seperti kubilang. Kau tak pernah dengar, kan, tentang hantu sungguhan di sebuah sekolah swasta? Kurasa tidak; tak seorangpun pernah dengar apa yang kutemukan.” “Dari caramu mengatakannya, kusimpulkan kau pernah.” “Entahlah; tapi ini ada dalam pikiranku saat itu. Kejadiannya tiga puluh tahun silam di sekolah swastaku, dan aku tak punya penjelasan untuk itu. “Sekolah yang kumaksud berada dekat London. Itu didirikan di sebuah rumah besar dan lumayan tua—bangunan putih megah dengan pekarangan indah di sekelilingnya; ada pepohonan aras di taman, sebagaimana terdapat di begitu banyak taman tua di lembah Thames, serta pohon-pohon elm kuno di tiga atau empat lapangan yang kami pakai untuk bermain. Kupikir itu tempat yang cukup menarik, tapi anak lelaki jarang membiarkan sekolah mereka punya ciri khas lumayan. “Aku datang ke sekolah pada bulan September, tak lama 6
setelah tahun 1870; dan di antara anak yang tiba pada hari yang sama adalah bocah yang kusukai: seorang bocah Highland, yang akan kusebut McLeod. Aku tak perlu habiskan waktu untuk mendeskripsikannya: pokoknya aku kenal dia dengan sangat baik. Dia bukan bocah luar biasa dalam hal apapun—terutama tidak bagus dalam urusan buku atau permainan—tapi kami cocok. “Sekolah tersebut besar. Secara normal harusnya ada 120 sampai 130 anak di sana, jadi dibutuhkan lumayan banyak staf guru, dan agak sering terjadi pergantian di antara mereka. “Suatu masa—mungkin tahun ketiga atau keempatku—muncul seorang guru baru. Namanya Sampson. Dia agak jangkung, agak begap, pucat, berjanggut hitam. Kurasa kami menyukainya: dia sudah banyak bepergian, dan punya cerita menghibur saat jalanjalan di sekolah, sehingga ada semacam persaingan di antara kami untuk sedekat mungkin dengannya supaya bisa mendengar. Aku juga ingat—astaga, aku hampir tidak memikirkannya sejak saat itu!—pada rantai arlojinya terdapat anting-anting yang menarik perhatianku suatu hari, dan aku diperbolehkan memeriksanya. Itu, kalau kuduga sekarang, adalah koin emas Bizantium; ada gambar patung seorang kaisar janggal pada salah satu sisinya; sisi lain sudah hampir licin, dan dia menggoreskan—agak kasar— inisialnya, G.W.S., pada sisi tersebut, serta sebuah tanggal, 24 Juli 1865. Ya, aku mengerti sekarang: dia pernah bilang, itu dipungut di Konstantinopel, kira-kira seukuran koin florin, mungkin lebih kecil. “Well, kejadian aneh pertama adalah ini. Sampson sedang 7
membahas tatabahasa Latin bersama kami. Salah satu metode kegemarannya—mungkin metode cukup bagus—adalah menyuruh kami menyusun kalimat dengan kepala kami sendiri untuk mengilustrasikan kaidah yang sedang dia ajarkan. Tentu saja itu memberi peluang kepada bocah konyol untuk bersikap kurang ajar: itu terjadi dalam banyak cerita sekolah—atau biar bagaimanapun pasti ada. Tapi Sampson terlalu berpegang pada disiplin, jadi kami tidak terpikir untuk mencoba hal tersebut padanya. Nah, pada kesempatan ini dia memberitahu kami cara mengucapkan ‘mengingat’ dalam bahasa Latin; dan dia menyuruh setiap anak membuat kalimat yang mengandung kata kerja ‘memini’, ‘aku ingat’. Well, kebanyakan dari kami mengarang kalimat biasa seperti ‘Aku ingat ayahku’, atau ‘Dia ingat bukunya’, atau sesuatu yang sama-sama hambar. Dan aku berani bilang banyak anak menuliskan ‘memino librum meum’, dan sebagainya. Tapi bocah yang kusebutkan tadi—McLeod—jelas memikirkan sesuatu yang lebih rumit dari itu. Kami semua ingin kalimat kami diluluskan, dan beranjak ke materi lain. Jadi sebagian menyepak McLeod di kolong meja, dan aku, yang duduk di sebelahnya, menyodoknya dan membisikinya supaya buru-buru. Tapi dia seolah tidak memperhatikan. Aku melirik kertasnya dan ternyata dia belum menulis apa-apa. Maka kusentak dia lebih keras dan memarahinya karena sudah membuat kami menunggu. Itu ada efeknya. Dia terkaget dan bangun, lalu menulis sekitar dua baris di kertasnya dengan sangat cepat, dan menyerahkannya bersama yang lain. Sementara kalimat buatannya masuk terakhir, atau hampir terakhir, 8
dan sementara Sampson berkata banyak hal kepada anak-anak yang menulis ‘meminiscimus patri meo’ dan lain-lain, ternyata jam membunyikan angka dua belas sebelum dia beralih pada McLeod, dan McLeod harus menunggu sesudah itu untuk mendapat koreksi kalimatnya. Tak banyak yang berlangsung di luar ketika aku pergi keluar, jadi aku menunggunya datang. Dia datang pelan-pelan sekali, dan kutebak pasti ada masalah. “‘Well,’ kataku, ‘apa yang kau dapat?’ “‘Oh, entahlah,’ sahut McLeod, ‘tidak banyak, tapi kurasa Sampson agak muak padaku.’ “‘Kenapa, apa kau menunjukinya omong-kosong?’ “‘Tentu tidak,’ katanya. ‘Wajar-wajar saja menurutku. Isinya seperti ini: ‘Memento’—itu cukup pantas untuk ‘mengingat’, dan itu perlu kata bentuk genitif, ‘memento putei inter quatuor taxos’.’ “‘Omong-kosong tolol!’ kataku. ‘Apa yang membuatmu menulis itu? Apa artinya?’ “‘Inilah lucunya,’ kata McLeod. ‘Aku tidak yakin apa artinya. Yang kutahu, itu masuk ke dalam kepalaku, terus kutulis. Aku tahu apa itu artinya kupikir, karena persis sebelum kutuliskan, aku dapat semacam gambarannya di dalam kepalaku: aku yakin itu berarti ‘Ingat sumur di antara keempat’—apa jenis pohon gelap yang berbuah béri merah?’ “‘Kurasa maksudmu mountain ash.’ “‘Aku tak pernah dengar,’ kata McLeod, ‘bukan, akan kuberitahu kau—pohon yew.’ “‘Well, terus apa kata Sampson?’ 9
“‘Ah, dia sangat aneh soal itu. Sewaktu membacanya dia bangkit dan pergi ke rak perapian, dan berhenti cukup lama tanpa bilang apa-apa, dengan punggung menghadap ke arahku. Lalu dia berkata, tanpa berbalik, dan agak pelan, ‘Menurutmu apa artinya?’ Kuberitahu dia apa yang kupikirkan; hanya saja aku tak ingat nama pohon lucu itu. Lantas dia ingin tahu kenapa aku menulisnya, jadi aku harus bilang sesuatu. Dan setelah itu dia berhenti membahasnya, dan bertanya sudah berapa lama aku di sini, di mana keluargaku tinggal, dan semacamnya. Aku pun pergi, tapi dia terlihat kurang sehat.’ “Seingatku tak ada lagi yang kami ucapkan tentang ini. Esoknya McLeod meringkuk di tempat tidur sambil kedinginan atau sejenisnya, dan setelah seminggu atau lebih dia kembali bersekolah. Satu bulan berlalu tanpa terjadi sesuatu yang mencolok. Entah Tn. Sampson memang terkejut atau tidak, sebagaimana dugaan McLeod, dia tidak menampakkannya. Tentu saja sekarang aku yakin ada sesuatu yang sangat aneh tentang sejarah masa lalunya, tapi aku tidak akan berpura-pura bahwa kami, anak-anak, cukup tajam untuk menebak hal seperti itu. “Ada satu insiden lain yang jenisnya sama dengan barusan. Beberapa kali sejak hari itu kami harus mengarang contoh untuk mengilustrasikan kaidah berbeda-beda, tapi tak pernah ada perdebatan kecuali saat kami salah mengerjakannya. Akhirnya tibalah hari ketika kami melalui materi suram yang orang sebut Kalimat Pengandaian, dan kami diminta membuat kalimat pengandaian, yang mengekspresikan konsekuensi masa depan. 10
Kami pun mengerjakannya, benar atau salah, dan menyerahkan kertas kami, dan Sampson mulai memeriksa. Tiba-tiba dia bangkit, membuat bunyi aneh di kerongkongannya, dan bergegas keluar lewat pintu di sebelah mejanya. Kami duduk di sana selama satu atau dua menit, dan kemudian—kukira itu tidak patut—kami maju, aku dan satu atau dua anak lain, untuk melihat kertas-kertas di mejanya. Tentu aku menduga ada seseorang yang menulis suatu omong-kosong, dan Sampson pergi untuk mengadukan orang itu. Tapi kuperhatikan dia tidak membawa sehelai kertas pun saat lari keluar. Well, kertas paling atas di mejanya ditulis dalam tinta merah —yang tidak dipakai oleh siapapun—dan tak ada di tangan siapapun di dalam kelas. Mereka semua memandanginya— McLeod dan semuanya—dan bersumpah itu bukan punya mereka. Lalu aku terpikir untuk menghitung carikan kertas. Dan ini sudah cukup kupastikan: ada tujuh belas carik kertas di atas meja, dan enam belas anak dalam formulir. Well, kukantongi kertas tambahan itu, dan kusimpan, dan aku yakin aku membawanya sekarang. Kau pasti ingin tahu apa yang tertulis di atasnya. Harus dibilang itu cukup sederhana, dan cukup aman. “Si tu non veneris ad me, ego veniam ad te, yang artinya, kukira, Kalau kau tak datang padaku, aku akan datang padamu.” “Bisakah kau tunjukkan kertasnya padaku?” potong si pendengar. “Ya, tapi ada satu hal aneh lain darinya. Siang itu juga kukeluarkan dari lokerku—aku tahu pasti itu carikan yang sama, sebab aku meninggalkan jejak jari di atasnya—tapi tak ada satupun 11
bekas tulisan di situ. Aku menyimpannya, seperti kubilang, dan sejak saat itu mencoba berbagai eksperimen untuk mencaritahu apakah terdapat penggunaan tinta simpatetik. Tapi hasilnya nihil. “Hanya sampai di situ. Setelah kurang-lebih setengah jam, Sampson masuk lagi sebentar. Dia bilang merasa tidak enak badan, dan memperbolehkan kami pergi. Dia datang ke mejanya agak was-was dan menengok sekali saja pada kertas paling atas. Aku yakin dia menganggap dirinya sedang bermimipi. Tapi dia tak bertanya apa-apa. “Hari itu setengah libur, dan esoknya Sampson kembali ke sekolah seperti biasa. Malam itu, terjadi insiden ketiga dan terakhir dalam ceritaku. “Kami—aku dan McLeod—tidur di asrama yang menyiku terhadap bangunan utama. Sampson tidur di bangunan utama di lantai satu. Bulan sedang purnama. Pada jam yang tak bisa kupastikan, tapi antara jam satu dan jam dua, aku dibangunkan oleh seseorang yang menggoyangku. Itu McLeod, dan dia tampak dalam kondisi pikiran yang bagus. “‘Cepat,’ katanya, ‘cepat! Ada maling masuk lewat jendela Sampson.’ “Begitu sanggup bicara, aku langsung bilang, ‘Well, kenapa tidak bangunkan semua orang?’ “‘Jangan, jangan,’ katanya. ‘Aku tidak yakin siapa itu. Jangan berdebat, ayo kita lihat.’ “‘Sudah sepantasnya aku pergi melihat, dan sudah sepantasnya tidak ada siapa-siapa di sana. Aku cukup kesal, dan hendak 12
mengatai McLeod dengan banyak sebutan. Hanya saja—entah kenapa—aku merasa memang ada yang tak beres—ada yang membuatku sangat lega tidak sendirian menghadapinya. Kami masih di jendela, menengok keluar, dan aku segera bertanya apa yang dia dengar atau lihat. “‘Aku tidak dengar apa-apa sama sekali,’ sahutnya, ‘tapi kirakira lima menit sebelum membangunkanmu, aku memandang keluar jendela ini, dan ada seorang pria sedang duduk atau berlutut di ambang jendela Sampson, dan masuk sebentar, dan kukira dia memberi isyarat.’ “‘Pria seperti apa?’ “McLeod menggeliat. ‘Entahlah,’ katanya, ‘tapi aku bisa beritahu satu hal padamu—dia kurus sekali, dan sekujur tubuhnya tampak basah, dan,’ katanya, menengok sekeliling dan berbisik, seolah hampir tidak suka mendengar suaranya sendiri, ‘Aku tak yakin dia masih hidup.’ “Kami terus berbisik-bisik untuk beberapa lama, dan akhirnya merangkak balik ke tempat tidur. Tak ada orang lain di kamar yang bangun atau bergerak sepanjang waktu itu. Aku yakin kami tidur sebentar sesudah itu, tapi kami sangat malu keesokan harinya. “Dan esoknya Tn. Sampson menghilang, tidak ditemukan. Aku yakin jejaknya tak pernah ketahuan sejak waktu itu. Saat kurenungkan, salah satu hal teraneh tentang ini semua adalah fakta bahwa aku ataupun McLeod tak pernah menyebutkan apa yang kami lihat kepada orang ketiga. Tentu saja tak ada pertanyaan terlontar tentang masalah ini, dan seandainya ada, aku cenderung 13
yakin kami tidak bisa membuat jawaban. Kami seakan tak sanggup membahasnya. “‘Itulah ceritaku,’ kata sang narator. ‘Itu satu-satunya pendekatan yang kuketahui terhadap cerita hantu sekolahan, tapi tetap saja, kukira, itu sebuah pendekatan.” ***** Sekuel untuk cerita ini boleh dianggap sangat konvensional. Tapi ada sekuel, jadi harus diperlihatkan. Pendengar cerita ini lebih dari satu, dan, di paruh terakhir tahun yang sama, atau tahun berikutnya, dia menginap di sebuah rumah pedesaan di Irlandia. Suatu malam, tuan rumahnya membalik sebuah laci penuh barang rombeng di ruang merokok. Tiba-tiba tangannya memegang kotak kecil. “Nah,” katanya, “kau paham soal barang-barang lama. Coba katakan apa ini.” “Temanku membuka kotak kecil tersebut, dan di dalamnya ditemukan rantai emas tipis bercantelan sebuah benda. Dia memandang sekilas benda ini dan melepas tasmak guna memeriksanya lebih seksama. “Apa sejarah benda ini?” tanyanya. “Lumayan ganjil,” jawabnya. “Kau tahu semak yew di antara semak-belukar itu. Well, satu atau dua tahun lalu kami sedang membersihkan sumur tua yang dulunya berada di bukaan hutan ini, dan coba tebak apa yang kami temukan?” 14
“Mungkinkah kau menemukan sesosok mayat?” kata si tamu, dengan perasaan gugup aneh. “Benar, tapi, lebih dari itu, dalam setiap pengertiannya, kami menemukan dua.” “Astaga! Dua? Adakah sesuatu yang menunjukkan bagaimana mereka sampai ke sana? Apakah ini ditemukan bersama mereka?” “Ya. Di antara potongan baju yang menempel pada salah satu mayat. Urusan yang jelek, apapun cerita di baliknya. Satu mayat merangkul mayat lain. Mereka pasti sudah di sana selama tiga puluh tahun atau lebih—cukup lama sebelum kami datang ke tempat ini. Kau bisa menduga, kami buru-buru uruk sumur itu. Apa kau menangkap sesuatu dari goresan pada koin emas yang kau pegang itu?” “Rasanya aku bisa,” kata temanku, mengangkatnya ke sumber cahaya (tapi dia baca tanpa kesulitan), “sepertinya G.W.S., 24 Juli 1865.”
15