KISAH PENGHUNI TAMAN Montague Rhodes James
2015
Kisah Penghuni Taman Diterjemahkan dari The Rose Garden karangan Montague Rhodes James terbit tahun 1911 (Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah Penyunting Penyelaras akhir Penata sampul
: Ilunga d’Uzak : Kalima Insani : Bared Lukaku : Bait El Fatih
Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh: RELIFT MEDIA Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351 SMS : 0853 1179 4533 Surel :
[email protected] Situs : reliftmedia.com Pertama kali dipublikasikan pada: Juli 2015 Revisi terakhir: Februari 2016 Copyright © 2015 CV. RELIFT Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati, peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.
Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT: Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan mengklik iklan sponsor di situs dan blog kami.
T
N.
dan Ny. Anstruther sarapan di ruang tamu Westfield Hall,
kabupaten Essex. Mereka sedang menyusun rencana untuk
hari ini. “George,” kata Ny. Anstruther, “kupikir sebaiknya kau bawa mobil ke Maldon, cari barang-barang rajutan yang pernah kubicarakan, untuk stanku di bazar.” “Oh, well, kalau maumu begitu, Mary, tentu saja aku bisa melakukannya, tapi aku ada rencana jalan-jalan dengan Geoffrey Williamson pagi ini. Bazarnya masih Kamis pekan depan, bukan?” “Apa hubungannya dengan itu, George? Pasti kau mengira, kalau aku tak mendapat barang-barang di Maldon, aku akan menulis surat ke segala macam toko di kota, dan mereka pasti mengirimkan sesuatu yang harga atau kualitasnya tidak cocok. Kalau kau sudah buat janji dengan Tn. Williamson, lebih baik kau tepati, tapi seharusnya beritahu aku dulu.” “Oh bukan, bukan, bukan janji. Aku mengerti maksudmu. Aku akan pergi. Terus kau sendiri, apa yang akan kau lakukan?” “Ah, setelah membereskan pekerjaan rumah, aku harus menata taman mawar baruku. Ngomong-ngomong, sebelum berangkat ke Maldon, kuharap kau ajak Collins melihat-lihat tempat yang kupilih. Kau pasti tahu.” “Well, aku tidak begitu yakin, Mary. Di ujung atas, kan, ke arah desa?” “Ya ampun, George, sayang, bukan. Kukira sudah kujelaskan. Bukan itu, tapi bukaan hutan kecil di pinggir jalan setapak bersemak ke arah gereja.” 5
“Oh, iya, tempat yang dikira pernah ada rumah musim panas, yang ada kursi tua dan tiang-tiangnya itu. Tapi apa kau pikir sinar mataharinya cukup di sana?” “George, bicaralah yang masuk akal, jangan bebani aku dengan ide rumah musim panasmu itu. Ya, akan ada banyak sinar matahari setelah kita membuang beberapa semak box. Aku tahu apa yang mau kau katakan. Seperti halnya kau, aku pun tidak ingin menggunduli tempat itu. Aku cuma ingin Collins menyingkirkan kursi-kursi lama, tiang-tiang, dan lainnya sebelum aku ke sana satu jam lagi. Setelah makan siang, kurasa aku akan meneruskan sketsa gereja. Kalau kau suka, kau boleh pergi ke lapang golf, atau—” “Ah, ide bagus—bagus sekali! Ya, kau selesaikan sketsanya, Mary, sementara aku akan senang dengan satu ronde.” “Aku ingin bilang, kau bisa mampir di tempat Uskup. Tapi sepertinya percuma memberi usulan. Sekarang bersiap-siaplah, atau kau akan kehilangan separuh pagi.” Wajah Tn. Anstruther, yang sempat memperlihatkan gejala memanjang, kini memendek lagi. Dia pun bergegas keluar ruangan dan terdengar memberi perintah di lorong. Ny. Anstruther, wanita anggun lima puluh musim panas, beranjak menunaikan pekerjaan rumah setelah memeriksa surat-surat pagi. Dalam beberapa menit, Tn. Anstruther sudah mendapati Collins di rumah kaca. Mereka pun pergi ke lokasi proyek taman mawar. Aku tak tahu-menahu tentang kondisi yang paling cocok untuk kebun bibit ini. Tapi aku cenderung merasa bahwa Ny. Anstruther, meski biasa melukiskan dirinya sebagai “pekebun 6
hebat”, belum terlalu paham dalam memilih tempat untuk tujuan tersebut. Tempat itu berupa bukaan hutan kecil dan lembab, dibatasi jalan setapak di satu sisi, dan semak box lebat, pohon salam, dan beraneka tumbuhan hijau di sisi lain. Tanahnya nyaris tak berumput dan agak gelap. Bekas kursi berkarat dan tiang ék tua dan bengkok dekat tengah-tengah bukaan membuat Tn. Anstruther menduga pernah ada rumah musim panas di situ. Jelas Collins belum diberitahu soal niat nyonya rumahnya dengan bidang tanah ini. Dan begitu mengetahuinya dari Tn. Anstruther, dia tampak tidak antusias. “Tentu saja aku bisa menyingkirkan kursi-kursi secepatnya,” katanya. “Mereka bukan hiasan tempat ini, Tn. Anstruther. Lagipula sudah lapuk. Lihat ini, tuan,” dia mematahkan potongan besar, “betul-betul lapuk. Ya, dibuang saja, kita bisa melakukannya.” “Lalu tiangnya,” kata Tn. Anstruther, “itu juga harus disingkirkan.” Collins maju, menggoyang-goyang tiang dengan kedua tangannya, lalu menggosok dagu. “Tiang ini terhujam kuat di tanah,” katanya. “Sudah bertahuntahun di situ, Tn. Anstruther. Aku ragu apa bisa mencabutnya dengan cepat seperti kursi-kursi tadi.” “Tapi majikanmu ingin semuanya beres dalam satu jam,” kata Tn. Anstruther. Collins tersenyum dan menggeleng pelan. “Maaf, tuan, coba saja sendiri. Tidak, tuan, manusia tidak bisa melakukan sesuatu yang mustahil, kan, tuan? Aku bisa selesaikan sebelum waktu 7
minum teh, tuan, tapi perlu banyak digali. Permintaan Anda, tuan, jika boleh disebut demikian, Anda ingin tanah di sekitar tiang ini merekah. Aku dan bocah itu, kami akan perlu sedikit waktu untuk melakukannya. Tapi sekarang, kursi-kursi ini,” kata Collins, menerima bagian rencana ini sesuai kesanggupannya, “aku bisa ambil tong dan memasukkan mereka ke dalamnya, kurang dari satu jam, jika Anda mengizinkan. Hanya saja—” “Hanya saja apa, Collins?” “Well, tak sepantasnya aku menentang perintah Anda—atau siapapun” (yang terakhir ini ditambahkan terburu-buru) “tapi maaf, tuan, ini bukan tempat yang pas untuk taman mawar. Lihat saja tanaman box dan laurestinus itu, mereka menghalangi cahaya dari —” “Ah, iya, kita harus menyingkirkan mereka, tentu saja.” “Oh, sungguh, menyingkirkan mereka! Ya, pasti, tapi—maaf, Tn. Anstruther—” “Maaf, Collins, aku harus pergi sekarang. Mobilnya sudah terdengar di pintu. Majikanmu akan menjelaskan apa yang diinginkannya. Akan kuberitahu dia bahwa kau dapat membuang kursikursi sekarang, dan tiangnya sore nanti. Selamat pagi.” Collins ditinggal sendirian, menggosok dagu. Ny. Anstruther menerima laporan dengan tidak puas, tapi tetap bersikukuh pada rencananya. Menjelang jam empat sore dia sudah membebaskan suaminya ke lapangan golf, sudah mengurus Collins dan tugas-tugas lain hari itu. Setelah menurunkan kursi lipat dan payung di tempat semesti8
nya, dia duduk mengerjakan sketsa gereja yang terlihat dari semakbelukar. Kemudian seorang pelayan datang tergesa-gesa dari jalan setapak untuk melapor bahwa Nona Wilkins mampir. Nona Wilkins adalah salah satu dari sisa anggota keluarga yang menjual tanah Westfield kepada keluarga Anstruther beberapa tahun silam. Dia tinggal di sekitar sini, dan mungkin ini kunjungan perpisahan. “Persilakan
Nona Wilkins
kemari,”
kata
Ny.
Anstruther. Tak lama kemudian Nona Wilkins, perempuan berumur matang, datang menghampiri. “Ya, aku akan meninggalkan Ashes besok, dan aku akan cerita pada saudara lelakiku betapa hebatnya kau memperbaiki tempat ini. Pasti dia sedikit menyesali
rumah tua ini—seperti halnya
diriku—tapi tamannya betul-betul indah sekarang.” “Senang rasanya kau bilang begitu. Tapi jangan pikir perbaikan kami sudah selesai. Biar kuperlihatkan di mana aku berniat membuat taman mawar. Tak jauh dari sini.” Seluk-beluk proyek diungkapkan cukup panjang-lebar di depan Nona Wilkins, tapi pikirannya jelas ada di tempat lain. “Ya, indah,” akhirnya dia berkata, sedikit melamun. “Tapi apa kau tahu, Ny. Anstruther, aku merasa terkenang masa lalu. Aku sangat senang melihat tempat ini lagi sebelum kau mengubahnya. Aku dan Frank punya romansa dengan tempat ini.” “Ya?” kata Ny. Anstruther tersenyum, “coba ceritakan. Sesuatu yang menarik dan mempesona, pastinya.” “Tidak terlalu mempesona, tapi selalu membuatku heran. Sewaktu kecil kami tak pernah sendirian di sini, dan aku tak yakin 9
apa aku mesti memikirkannya sekarang dalam mood tertentu. Ada satu hal yang hampir tak bisa diungkapkan dengan kata-kata— setidaknya olehku—dan ini terdengar agak konyol jika tak disampaikan dengan benar. Aku bisa ceritakan sesuai dengan apa yang kami alami—well, horor tempat ini saat kami berdua saja. Hari itu, menjelang petang musim panas, Frank raib secara misterius di sekitar pekarangan. Aku menjemputnya untuk minum teh. Saat menyusuri jalan setapak ini tiba-tiba aku melihatnya, tidak bersembunyi di dalam semak-belukar, sebagaimana yang kupikirkan, tapi duduk di atas bangku di rumah musim panas tua— ada rumah musim panas kayu di sini, kau tahu—dia di pojok, tertidur, tapi raut wajahnya menyeramkan. Aku sampai mengira dia sakit atau bahkan mati. Buru-buru kudekati dia dan menggoyanggoyangnya, menyuruhnya bangun. Dia pun bangun sambil menjerit. Anak malang itu tampak ketakutan. Dia menyuruhku cepat-cepat kembali ke rumah. Kondisinya buruk sepanjang malam itu, hampir tidak tidur. Harus selalu ditemani, seingatku. Dia segera membaik, tapi selama berhari-hari aku tak bisa membuatnya bercerita kenapa dia seperti itu. Ternyata, dia memang tertidur dan mendapat mimpi aneh yang terpotong-potong. Dia tak pernah melihat apa yang ada di sekelilingnya, tapi dia merasakan suasananya dengan gamblang sekali. Pertama-tama dia melihat dirinya sedang berdiri di ruangan besar bersama sejumlah orang, dan ada seseorang di seberangnya yang “sangat kuat”. Dia diberi pertanyaan-pertanyaan yang baginya sangat penting. Setiap kali dia menjawab, seseorang—entah yang di seberangnya, atau orang lain 10
—menyanggahnya. Semua suara terdengar sangat jauh, tapi dia ingat sedikit-sedikit yang mereka katakan: ‘Di mana kau berada pada tanggal 19 Oktober?’ dan ‘Apa ini tulisan tanganmu?’ dan sebagainya.
Sekarang
aku
paham,
dia
bermimpi
tentang
persidangan, padahal kami tak pernah diizinkan membaca koran, dan aneh rasanya seorang bocah delapan tahun punya gambaran sejelas itu tentang apa yang berlangsung dalam pengadilan. Sepanjang waktu dia merasa, katanya, sangat gugup, terhimpit, dan tak berdaya (meski aku tak menyangka dia memakai kata-kata seperti itu padaku). Lalu, setelah itu, ada jeda di mana dia merasa gelisah dan sengsara, dan kemudian muncul gambar lain: dia keluar dari pintu di pagi buta dengan salju-salju di sekitarnya. Dia berada di jalan raya, atau di antara rumah-rumah. Dia merasa di sana juga ada banyak orang, dan dia dibawa menaiki beberapa tangga kayu reyot dan berdiri di atas sejenis peron, tapi satusatunya yang bisa dia lihat adalah api kecil yang menyala di dekatnya. Seseorang yang tadi memegang lengan kirinya tiba-tiba melepasnya dan berjalan ke arah api. Dia bilang, ketakutan yang dialaminya waktu itu jauh lebih buruk daripada bagian lain dalam mimpinya, dan andai aku tak membangunkannya dia tak tahu akan seperti apa nasibnya. Mimpi yang aneh untuk ukuran anak kecil, bukan? Well, itu saja. Kemudian, di tahun yang sama, aku dan Frank kemari. Aku duduk di punjung selagi matahari terbenam. Aku memperhatikan matahari tenggelam, dan menyuruh Frank memeriksa apakah teh sudah siap, sementara aku menyelesaikan sebuah bab dalam buku yang sedang kubaca. Frank pergi lebih 11
lama dari yang kuperkirakan. Cahaya senja pergi begitu cepat, aku sampai harus membungkuk untuk membaca buku. Tiba-tiba aku tersadar ada seseorang yang berbisik padaku di dalam punjung. Kata-kata yang dapat kudengar, atau menurutku begitu, adalah kira-kira ‘Tarik, tarik. Aku akan dorong, kau tarik.’ “Aku pun terkejut ketakutan. Suara itu—sedikit lebih keras dari bisikan—terdengar begitu serak dan marah, tapi seolah-olah datang dari jauh, jauh sekali—sebagaimana dalam mimpi Frank. Meski terperanjat, aku cukup berani untuk menengok sekeliling dan berusaha mencaritahu dari mana suara itu berasal. Dan—ini sangat konyol, aku tahu, tapi ini fakta—aku pastikan suara itu menguat ketika kutempelkan telingaku ke sebuah tiang tua yang menjadi bagian dari ujung kursi. Aku yakin dengan hal ini, bahkan aku ingat, aku pernah membuat beberapa tanda pada tiang tersebut —tanda
sedalam-dalamnya
dengan
memakai
gunting
dari
keranjang jahit. Entah kenapa. Ngomong-ngomong, aku penasaran apa itu tiangnya... Well, ya, mungkin benar: ada tanda dan goresan di permukaannya—tapi aku tak yakin. Bagaimanapun juga mirip dengan tiang yang kau punya di sana. Ayahku pasti tahu bahwa kami berdua takut dengan punjung itu. Dia turun ke sana suatu malam setelah makan. Punjungnya diruntuhkan tanpa banyak basabasi. Aku ingat, ayahku membicarakannya dengan seorang pak tua yang biasa melakukan pekerjaan aneh di tempat ini, dan pak tua itu bilang, ‘Jangan khawatir, tuan, dia cukup kencang di dalam sana asalkan tidak ada yang mengeluarkannya.’ Tapi saat kutanya siapa, aku tak mendapat jawaban memuaskan. Mungkin ayah atau ibuku 12
hendak menceritakannya setelah aku dewasa, tapi, kau tahu sendiri, mereka berdua wafat saat kami masih kecil. Harus dikatakan, itu selalu terasa aneh bagiku, dan aku sudah sering bertanya pada orang-orang sepuh di desa ini apa mereka tahu sesuatu yang aneh. Tapi mereka tidak tahu apa-apa, atau tidak mau menceritakannya padaku. Astaga, astaga, aku sudah membuatmu bosan dengan kenangan masa kecilku! Tapi memang punjung itu menyita perhatian kami untuk waktu lumayan lama. Kau bisa bayangkan, bukan, jenis cerita yang kami karang untuk kami sendiri. Well, Ny. Anstruther, aku harus pergi sekarang. Kuharap kita bertemu lagi di kota musim dingin nanti, ya?” dan seterusnya. ***** Kursi dan tiang disingkirkan dan dicabut malam itu juga. Cuaca di akhir musim panas tidak mengenakkan. Pada waktu makan malam Bu Collins meminta brendi kecil karena suaminya kedinginan dan dikhawatirkan tidak dapat bekerja esok harinya. Renungan pagi Ny. Anstruther sama sekali tidak tenang. Dia yakin rerumputan tinggi masuk ke dalam kebun semalam. “Dan satu hal lagi, George, begitu Collins datang, suruh dia berbuat sesuatu dengan burung-burung hantu itu. Aku tak pernah dengar yang seperti mereka, dan aku yakin ada satu yang bertengger di luar jendela kita. Kalau ia sampai masuk, aku bisa gila. Dinilai dari suaranya, pasti burung yang sangat besar. Kau tidak dengar? Tidak, tentu saja tidak, kau tidur pulas seperti biasa. Tapi, George, 13
wajahmu seolah menunjukkan malammu tidak enak.” “Sayangku, aku merasa tolol. Kau tak tahu mimpi yang kualami. Aku tak bisa menceritakannya saat bangun tadi. Kalau saja ruangan ini tidak begitu terang dan disinari matahari, aku tak mau memikirkannya sampai sekarang.” “Well, George, tak biasanya kau seperti ini. Kau pasti mengalami—tidak, kau hanya mengalami apa yang kualami kemarin—kecuali kalau kau minum teh di club house celaka itu, benar?” “Tidak, tidak, aku cuma minum secangkir teh, makan roti dan mentega. Entah harus bagaimana merangkai mimpiku itu—kalau memang bisa dirangkai dari banyak hal kecil yang dilihat atau dibaca. Dengar, Mary, begini ceritanya—kalau kau tak bosan—” “Aku ingin mendengarnya, George. Akan kusimpulkan setelah cukup mendengar.” “Baiklah. Ini tidak seperti mimpi buruk lainnya, karena aku tidak melihat siapapun yang bicara padaku atau menyentuhku, tapi aku sangat ketakutan dengan kesannya yang nyata. Mulanya aku duduk, tidak, mondar-mandir, di sebuah ruangan kuno berbahan papan. Aku ingat ada perapian dan banyak kertas terbakar di dalamnya, dan aku sangat gelisah. Ada satu orang lain—kurasa seorang pelayan, karena aku berkata padanya, ‘Ambilkan kudakuda, secepatnya,’ lalu menunggu sebentar. Selanjutnya aku mendengar beberapa orang naik tangga, dan kegaduhan pacu kuda di lantai papan, kemudian pintu terbuka dan terjadilah apa yang kuperkirakan.” 14
“Ya, apa itu?” “Kau tahu, aku tak bisa pastikan: sejenis syok yang mengacaukanmu dalam mimpi. Apa aku bangun ataukah semuanya menjadi gelap. Itulah yang menimpaku. Terus aku berada di dalam ruangan besar berdinding gelap, dari papan, kukira, seperti yang tadi, dan sejumlah orang, dan aku jelas-jelas—” “Sedang disidang, kuduga, George.” “Astaga! Ya, Mary, aku disidang. Tapi apa kau bermimpi itu juga? Aneh sekali!” “Tidak, tidak, aku tidak cukup pulas untuk itu. Teruskan, George, akan kuberitahu nanti.” “Ya. Well, aku memang disidang, sungguh, aku yakin, mengingat kondisi yang kulalui. Tak ada yang membelaku, dan ada seseorang yang sangat menakutkan—di atas bangku. Dia menyerangku dengan curang, memutarbalikkan apapun yang kukatakan, dan mengajukan pertanyaan paling buruk.” “Tentang apa?” “Tanggal ketika aku berada di tempat-tempat tertentu, dan surat-surat yang seharusnya kutulis, dan kenapa aku memusnahkan beberapa dokumen. Aku ingat dia menertawakan jawaban yang kuberikan. Tawanya membuatku ciut. Tidak banyak yang terdengar, tapi aku bisa bilang padamu, Mary, waktu itu betul-betul mengerikan. Aku cukup yakin pernah ada orang semacam itu, dan dia pasti penjahat paling bengis. Hal-hal yang dia katakan—” “Terima kasih, aku tak mau mendengarnya. Aku bisa pergi ke lapang golf itu sendiri kapan-kapan. Bagaimana akhirnya?” 15
“Oh, memberatkan posisiku. Dia mengurusnya. Aku bisa gambarkan ketegangan setelah itu, dan rasanya seperti berhari-hari: menunggu dan menunggu, terkadang menulis hal-hal yang sangat penting bagiku, menunggu balasan tapi tak ada yang datang, dan setelah itu aku keluar—” “Ah!” “Kenapa bilang begitu? Kau tahu apa yang kulihat?” “Hari yang dingin dan gelap, salju di jalanan, dan api yang menyala tak jauh darimu?” “Astaga, betul! Kau mengalami mimpi buruk yang sama! Benar kan? Well, ini aneh sekali! Ya, aku tak ragu, itu eksekusi atas pengkhianatan tingkat tinggi. Aku tahu tubuhku dibaringkan di atas jerami dan dihentak-hentakkan dengan sangat menyakitkan, lalu aku menaiki beberapa anak tangga, dan seseorang memegang lenganku. Aku melihat jenjang kecil dan mendengar suara banyak orang. Rasanya kini aku tak sanggup bergabung dengan orang ramai dan mendengar kegaduhan bicara mereka. Tapi untungnya aku tidak sampai merasakan bagian intinya. Mimpi itu berlalu dengan gemuruh di dalam kepalaku. Tapi, Mary—” “Aku tahu yang ingin kau tanyakan. Kukira ini contoh membaca pikiran. Nona Wilkins mampir kemarin dan menceritakan mimpi saudara lelakinya sewaktu tinggal di sini di masa kecil mereka. Aku terpikir akan hal ini saat terbangun tadi malam, mendengarkan burung-burung hantu seram dan orang-orang yang mengobrol dan tertawa-tawa di semak-belukar (ngomongngomong, coba periksa apa mereka membuat kerusakan, terus 16
laporkan ke polisi). Aku menduga, ini masuk ke dalam otakmu dari otakku selagi kau tidur. Aneh, tentu saja, dan aku minta maaf sudah memberimu malam yang buruk. Sebaiknya kau cari udara segar hari ini.” “Oh, sekarang sudah tidak apa-apa, tapi sepertinya aku akan pergi ke Pondok, siapa tahu bisa bermain dengan mereka. Kau sendiri?” “Cukup banyak yang harus kukerjakan pagi ini. Dan siang nanti, kalau tak ada halangan, aku bisa melanjutkan menggambar.” “Sudah pasti—aku ingin melihatnya selesai.” Tak ditemukan kerusakan di semak-belukar. Tn. Anstruther meninjau lokasi taman mawar tanpa minat besar. Tiang yang dicabut itu masih tergeletak di sana, lubangnya belum diisi. Setelah diteliti, ternyata Collins jauh lebih baik daripada yang diperkirakan, tapi dia tak bisa datang untuk bekerja. Melalui mulut isterinya dia menyatakan andai saja dirinya tidak berbuat kesalahan dengan menyingkirkan benda-benda itu. Bu Collins menambahkan, ada banyak orang berkasak-kusuk di Westfield, dan yang paling parah kaum sepuh: mereka menganggap benda-benda tersebut lebih lama di gereja daripada barang siapapun. Tapi tak ada yang dapat dipastikan dari ucapan mereka selain bahwa itu telah meresahkan Collins, dan omong-kosong belaka. ***** Disegarkan kembali oleh makan siang dan tidur-tiduran singkat, 17
Ny. Anstruther duduk nyaman di atas kursi menggambar di jalan setapak di antara semak-belukar menuju gerbang samping halaman gereja. Pepohonan dan bangunan termasuk objek favoritnya, dan di sini dia dapat mempelajari keduanya dengan baik. Dia bekerja keras, dan lukisan itu menjadi barang yang enak dipandang pada saat bukit-bukit hutan di sebelah barat telah menutup mentari. Dia terus menekuninya, tapi cahaya berubah pesat. Sentuhan terakhir harus ditunda sampai besok. Dia bangkit dan berbalik menuju rumah, berhenti sesaat untuk menikmati langit barat yang hijau jernih. Kemudian dia berlalu di antara semak-semak box gelap. Persis sebelum jalan setapak berakhir di halaman rumput, dia berhenti sekali lagi dan menghayati pemandangan petang yang sunyi, membuat catatan dalam benaknya bahwa yang terlihat di kaki langit itu adalah menara salah satu gereja Roothing. Lalu seekor burung (barangkali) bergerisik di semak box di sebelah kiri. Dia pun menoleh dan terkejut menyaksikan apa yang semula dikiranya topeng Lima November, menyembul di sela-sela dahan. Dia melihat lebih dekat. Bukan topeng. Itu wajah—besar, halus, dan merah muda. Dia ingat tetesan kecil keringat yang mengalir dari keningnya, dia ingat rahangnya yang klimis dan matanya yang terpejam. Dia juga ingat, dengan akurasi yang berat untuk ditanggung, mulutnya yang ternganga dan satu gigi yang tampak di bibir atas. Sementara dia memperhatikan, wajah itu mundur ke dalam gelapnya semakbelukar. Sebelum sempat ambruk, dia berlindung ke dalam rumah dan menutup pintu. 18
Sepekan lebih Tn. Dan Ny. Anstruther mencari pekerja baru di Brighton sebelum mendapat edaran dari Essex Archaeological Society, serta pertanyaan tentang apakah mereka mempunyai potret historis tertentu yang ingin disertakan dalam Essex Portraits mendatang, yang akan diterbitkan dengan bantuan perkumpulan tersebut. Ada satu surat pengiring dari Sekretaris yang berisi kutipan berikut: “Kami ingin tahu apa kalian menyimpan ukiran asli yang fotonya kulampirkan. Itu memperlihatkan Sir.............., Lord Chief Justice di masa Charles II. Kalian tentu tahu, beliau pensiun setelah mencemarkan Westfield, dan diduga meninggal di sana karena penyesalan yang dalam. Mungkin kalian tertarik dengan kabar bahwa baru-baru ini ditemukan sebuah entri aneh di dalam buku register, bukan register Westfield tapi Priors Roothing, sampai jemaat gereja kerepotan setelah kematiannya dan kepala gereja Westfield memanggil pendeta dari seluruh Roothing untuk datang dan membaringkannya. Entri itu diakhiri dengan kalimat: ‘Pancangnya ada di sebuah ladang yang berdampingan dengan halaman gereja Westfield, di sisi barat.’ Mungkin kalian bisa memberitahu kami apakah pusaka ini ada di gereja kalian.” Insiden-insiden
yang
dibangkitkan
kembali
oleh
“foto
lampiran” tersebut mengakibatkan syok berat bagi Ny. Anstruther. Diambillah keputusan agar dia menghabiskan musim dingin di luar negeri. Tn. Anstruther, ketika pergi ke Westfield untuk mengatur persiapan yang diperlukan, menceritakan kisahnya kepada kepala pendeta (seorang bapak tua), yang tidak terlalu kaget. 19
“Sebetulnya aku sudah mengumpulkan keterangan tentang apa yang terjadi, sebagian dari omongan orang dan sebagian dari yang kusaksikan di pekaranganmu. Tentu saja, kami juga menderita sampai taraf tertentu. Ya, awalnya tidak mengenakkan: misalnya burung-burung hantu, seperti kau bilang, dan kadangkala orangorang yang mengobrol. Suatu malam terdengar di taman ini, dan pada malam lain datang dari beberapa pondok. Tapi belakangan ini sudah jarang sekali, kurasa akan menghilang. Tak ada apa-apa dalam buku register kami selain entri pemakaman, dan moto keluarga kurasa. Tapi terakhir kali mencermatinya, aku baru sadar bahwa itu ditambahkan dengan tulisan tangan belakangan, dan memuat inisial salah seorang kepala pendeta kami di akhir abad 17, A.C.—Augustine Crompton. Ini, kau lihat—quieta non movere, jangan mengusik kedamaian. Aku menduga—well, entahlah.”
20