Antologi Cerita Tentang Perubahan Yang Paling Signifikan Hasil Pengalaman Rutgers WPF Indonesia bersama Changemakers MSGD
CERITA KAMI
MENETAPKAN PERUBAHAN:
MENETAPKAN PERUBAHAN: CERITA KAMI Antologi Cerita Tentang Perubahan Yang Paling Signifikan Hasil Pengalaman Rutgers WPF Indonesia bersama Changemakers MSGD
2
Jl Pejaten Barat Raya 17B Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, 12510 Indonesia e.
[email protected] rutgerswpfindo.org
MENETAPKAN PERUBAHAN: CERITA KAMI Antologi Cerita Tentang Perubahan Yang Paling Signifikan Hasil Pengalaman Rutgers WPF Indonesia bersama Changemakers MSGD
Editor: Emily Rowe Sri Agustine Layout: Zulfikar Arief Tim Produksi: Monique Soesman, Rinaldi Ridwan Foto Cover: Jeroen van Loon Penerbit: Rutgers WPF Indonesia Cetakan pertama, Desember 2015 Materi ini dapat diperbanyak, direproduksi, dan disimpan dalam format digital tanpa tujuan profit. Setiap kutipan terhadap materi ini harus mencantumkan Rutgers WPF Indonesia sebagai referensi “MENETAPKAN PERUBAHAN: CERITA KAMI”
3
Daftar Isi KATA PENGANTAR...................................................................................................................................................... 4 HERLINA - Bersahabat Dan Berjuang Bersama LGBTIQ...................................................................................... 8 PANCA - Organisasi Jaringan Gay Waria LSL - Indonesia (GWL-INA).............................................................. 10 MASITOH - SIKOK - Berbuat Kebaikan Untuk Sebuah Perubahan................................................................... 12 ITAS - PKBI JATIM- Pelangi Di Sudut Senja....................................................................................................... 14 NIKEN - RUTGERS WPF - Changemakers And The Team.................................................................................. 16 DIAH - PKBI DKI - Sisi Lain Dari LGBTQI............................................................................................................. 18 HAFSAH - PKBI LAMPUNG- “Changes Making Bukanlah Liberalsiasi Seks Bebas”........................................ 20 DEWI - CD BETHESDA - Meretas Jalan Perubahan Untuk Keadilan Bagi Komunitas Dampingan LGBTQI.... 23 RINA - RIFKA ANNISA........................................................................................................................................... 26 CAHYO - YAYASAN PULIH - Merubah Perilaku................................................................................................... 29 FITRI - PKBI DIY - Perjalanan Memanusiakan Manusia.................................................................................... 32 INO - ARDHANARY INSTITUTE - Eksistensi Disi Seorang Lesbian Dari Lingkup Keluarga Hingga Tempat Kerja..... 36 ENNY - YAYASAN PELITA ILMU - Ciptaan Tuhan............................................................................................... 38
“Antologi Cerita Tentang Perubahan Yang Paling Signifikan Hasil Pengalaman Rutgers WPF Indonesia bersama Changemakers MSGD”
4
Kata Pengantar
K
ami percaya akan kekuatan semangat dan energi individu yang mendambakan adanya perubahan. Untuk itulah di dalam program Pengarusutamaan Keragaman Gender dan Seksualitas (PKGS) kami mendorong hadirnya individu yang memiliki semangat perubahan dengan menjadikan mereka sebagai Changemakers.
mulai dari substansi mengenai keragaman gender dan seksualitas hingga bagaimana melakukan PKGS bagi organisasi. Kegiatan penguatan kapasitas ini dilakukan secara bertahap melalui beberapa pelatihan dan workshop serta pendokumentasian pembelajaran “perubahan signifikan” yang didapat oleh changemaker.
Changemakers adalah orang-orang yang berperan melakukan PKGS di organisasinya, sehingga organisasi tersebut terbuka terhadap ragam identitas SOGIE (sexual orientation, gender identity and expression) baik yang terinteranlisasikan dalam sumber daya manusia, managemen, kebijakan hingga program kerja yang dikembangkan oleh organisasi tersebut. Oleh karena itu, changemakers harus memiliki kemampuan mengubah sistem dan ideologi organisasi sekaligus mengembangkan strategi perubahan yang akan digunakan dalam PKGS organisasinya.
“Pada November 2014, organisasi saya meminta saya untuk menjadi changemakers dan mengikuti Training of Trainer PKGS yang diadakan oleh Rutgers WPF bekerjasama dengan Ardhanary Institute. Pelatihan tersebut memberikan gambaran pada saya bagaimana menerapkan secara lebih konkrit pemahaman yang saya miliki terhadap isu keberagaman gender dan seksualits. Saya menjadi tahu strategi seperti apa yang bisa saya lakukan untuk mengarusutamakan isu keberagaman gender dan seksualitas ini kepada orang lain dan juga ke dalam organisasi saya dengan kerja-kerjanya maupun dengan kebijakan-kebijakan organisasinya. Pemetaan organisasi terkait dengan isu keberagaman juga memberikan pencerahan pada saya tentang apa yang perlu diperbaiki dalan kerangka organisasi terkait isu tersebut. Pelatihan juga membuat saya amengenal bahwa ada organisasiorganisasi lain yang juga berusaha bersama melakukan PKGS dalam organisasi mereka maupun dalam kerja-kerja mereka.” (C)
Dengan perannya tersebut, menjadi changemaker PKGS bukanlah hal yang mudah, karena ia terlebih dahulu harus menginternalisasikan nilai-nilai keragaman gender dan seksualitas di dalam dirinya. “LGBT… sebuah kata yang sebelumnya sangat asing bagi saya. Jangankan untuk mengenalnya, mendengar istilahnya pun jarang sekali di telinga saya. Latar belakang keluarga, agama, pendidikan dan pekerjaan saya tidak pernah membicarakan LGBT.” (M) Ungkapan diatas adalah salah satu contoh pengalaman changemaker ketika Trajectory Learning Process (TLP) PKGS pertama kali dijalankan. Hal ini menjadi dasar utama TLP bahwa pengetahuan mengenai keragaman gender dan seksualitas serta nilai-nilai LGBTI sebagai Hak Asasi Manusia harus dimiliki dan terinternalisasi dalam diri seorang changemakers sebelum ia mengembangkan strategi PKGS dan melakukan perubahan di organisasinya. Untuk itu, Rutgers WPF Indonesia memberikan penguatan kapasitas kepada para changemakers
Catatan penting yang didapat dari proses TLP adalah pembelajaran bagaimana changemakers berproses melakukan perubahan ke dalam dirinya terlebih dahulu, lalu berperan sebagai agen perubahan bagi rekan-rekan kerja dan organisasinya. Pengalaman inilah yang menjadi cerita penting para changemakers, tertuang dalam strorytelling changemakers yang kami terbitkan ini.
Monique Soesman Direktur Rutgers WPF Indonesia
“MENETAPKAN PERUBAHAN: CERITA KAMI”
5
P
atut disayangkan, hingga sekarang banyak organisasi SRHR yang menjadi partner kami di Afrika dan Asia – bahkan yang mempunyai visi akan hak-hak manusia yang teguh sekalipun – tidak sepenuhnya menerapkan visi akan hak-hak tersebut ke dalam praktek, dan membiarkan keberagaman gender dan seksual menjadi isu yang tak tersentuh. Seringkali mereka kekurangan pengalaman, padahal kinerja yang bersifat teknis sangat dibutuhkan untuk menerapkan prinsip bahwa kelompok LGBTIQ pantas mendapatkan perlakuan yang sama, dan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana menerjemahkan prinsip tersebut ke dalam kebijakan-kebijakan yang melibatkan LGBTIQ, sistem manajemen, prosedur organiasi, advokasi dan penyusunan program. Dengan menjawab pertanyaan ini, kita dapat merespon pertanyaan dari Kementrian Luar Negeri Kerajaan Belanda kepada aliansi SRHR Belanda – termasuk juga Program Unite for Body Rights pada tahun 2011 – tentang bagaimana Mengarustutamakan Keberagaman Seksual dan Gender (MKSG). Karena menemukan jawaban untuk pertanyaan ini sangat berarti untuk semua aliansi lokal, termasuk jugaAliansi Satu Visi di Indonesia. Walaupun konsep dari keberagaman gender dan seksualitas adalah bagian dari kultur tradisional di berbagai negara, terutama Indonesia, hal ini masih terbukti menjadi masalah yang sensitive dan controversial bagi para pembuat kebijakan dan masyarakat sipil. Namun yang patut dibanggakan adalah bahwa Aliansi SRHR di Kenya dan Indonesia memiliki keberanian untuk memulai Thematic Learning Program (TLP) tentang mengarustutamakan keberagaman seksual dan gender pada akhir 2011. Sebagai tambahan keberhasilan di Kenya, Aliansi Satu Visi (ASV) di Indonesia, yang dikoordinasi oleh Rutgers WPF Indonesia dan Ardhanary Institute, juga berhasil menjawab pertanyaan tentang bagaimana melakukan hal ini secara efektif. Sejak 2012, Aliansi SRHR Malawi dan Tanzania telah menggunakan pembelajaran TLP untuk mengarusutamakan keberagaman seksualitas dan gender, yang diperoleh dari Kenya. Sementara itu di Indonesia, 4 organisasi pelopor yang berpartisipasi telah mengembangkan berbagai sarana dan pedoman, seperti modul pelatihan yang digunakan untuk membantu menyebarluaskan langkah-langkah pendekatan kepada
14 organisasi SRHR baru dari Aliansi Satu Visi. Kunci dari proses-proses pengarusutamaan ini adalah para Changemakers; perwakilan dari partisipan organisasi yang bersedia berada di garis depan dalam proses mengarusutamakan keberagaman seksualitas dan gender. Kumpulan cerita Changemakers yang diambil dari laporan lengkap tentang pengarusutamaan keberagaman seksualitas dan gender di Indonesia ini menunjukan betapa kuatnya motivasi dan keberanian yang Changemakers (yang kebanyakan non-LGBTIQ) mampu lakukan untuk membantu organisasi mereka menjalankan langkah awal dari keseluruhan proses mengarusutamakan keberagaman seksual dan gender. Mereka membantu menerapkan system manajemen dan kebijakan organisasi yang mampu menerima LGBTIQ dengan baik, beberapa yang lain bahkan mampu membawa proses memasyarakatkan keberagaman seksual dan gender ke level advokasi dan penyusunan program. Banyak yang bisa organisasi-organisasi pelajari dari keberanian dan pengembangan diri para Changemakers ini, tidak hanya untuk membawa proses memasyarakatkan keberagaman seksualdan gender di Indonesia lebih jauh lagi, tapi juga untuk aliansi SRHR di 9 negara yang bekerjasama di Asia dan Afrika, dan bahkan untuk para pembuat kebijakan dan masyarakat sipil di seluruh dunia. Para Changemakers layak mendapatkan penghargaan; penghargaan untuk berbagi cerita sukses dan hambatan tersembunyi, dan tentunya penghargaan untuk cerita pribadi mereka yang dapat menjadi inspirasi bagi semua orang yang ingin bergabung dalam perjuangan untuk kualitas hidup kelompok LGBTIQ yang termarginalkan dan memiliki stigma negatif, untuk keadilan,dan untuk “melindungi hak-hak semua orang, di mana saja”
Liesbeth Hofs, Learning Facilitator, SRHR- Alliance, the Netherlands Jo Reinders, Technical Advisor Youth and Sexual Health and Rights, Rutgers, the Netherlands
“Antologi Cerita Tentang Perubahan Yang Paling Signifikan Hasil Pengalaman Rutgers WPF Indonesia bersama Changemakers MSGD”
6
“MENETAPKAN PERUBAHAN: CERITA KAMI”
7
“Cerita Kami”
“Antologi Cerita Tentang Perubahan Yang Paling Signifikan Hasil Pengalaman Rutgers WPF Indonesia bersama Changemakers MSGD”
8
H Bersahabat &Berjuang Bersama LGBT HELINA ERIKA - PKBI DAERAH JAMBI
Semua Berawal di tahun 2006 sejak saya aktif terlibat menjadi seorang relawan youth center PKBI Daerah Jambi. Meskipun sempat vakum karena kesibukan di bangku perkuliahan akhirnya pada Juli 2011 saya kembali.Tidak sebagai seorang relawan lebih dari itu saya diberi kesempatan menjadi seorang staff program Youth Friendly Services-UFBR.
ingga pada suatu kesempatan di 2011 saya mengikuti pelatihan bagi feminis muda sumatera yang mempertemukan saya dengan para aktivis perempuan muda yang berjuang dalam isu perempuan. Disanalah untuk pertama kalinya bagi saya bertemu dan berinteraksi langsung dengan beberapa orang teman dengan orientasi seksual yang beragam. Kaget pasti, karena belum banyak informasi yang saya peroleh pada saat itu seputar keberagaman. Tidak bisa saya pungkiri gimik serta perlakuan saya berubah sesaat ketika saya tahu mereka memiliki orientasi yang beragam. Pertanyaan besar mengahantui saya saat itu “Kenapa mereka bisa seperti itu?,kenapa mereka ada dibagian gerakan ini?, kenapa dan kenapa?. Sepulangnya, saya menceritakan apa yang saya alami kepada Direktur dan staff lembaga lainnya dimana akhirnya proses itu dimulai. Proses dimana informasi seksualitas dan gender saya terima dengan baik meskipun tidak mudah awalnya untuk dapat menerima keberagman ditengah sosial, budaya dan kepercayaan yang saya anut. Penolakan pasti terjadi tapi semakin itu saya rasakan saya semakin merasa perlu pula untuk terus mencari informasi tentang hal ini. Saya ingat sekali saat lembaga saya menjadi 4 lembaga pilot project untuk program MGSD di tahun 2012. Seiring berjalanannya waktu saya dilibatkan dalam proses pengarusutamaan internal di lembaga, desiminisasi akhir serta berkesempatan internship ke 2 lembaga LGBT di jakarta. Pengalaman bertemu, berkomunikasi serta berinteraksi secara langsung dengan teman teman di Ardhanary Institute dan GWL INA yang akhirnya mampu membuat saya seperti saat ini. Saya percaya bahwa pengalaman adalah guru berharga. Mereka membuka pandangan saya, membuka hati saya untuk menerima dan menghargai keberagaman. Menyadari sekali bagaimana proses ini tidak mudah untuk dilalui, tapi saya yakin kita semua diciptkan setara, memiliki hak yang sama dimata negara maupun tuhan yang maha esa. Saya ingin apayang saya alami ini tidak selesai disaya saja. Dukungan keluarga sangat penting “MENETAPKAN PERUBAHAN: CERITA KAMI”
9
bagi saya bekerja di isu ini. Bagaimana ayah saya mampu menjadi pelindung untuk melindungi saya dari serangan, cercaan lingkungan sekitar akan pekerjaan dan pilihan hidup saya. Ayah, kakak juga melewati proses yang sama meskipun tidak secara komprehensive mereka menerima informasi, tapi pertemuan langsung bersama teman teman Lesbian saya membuka diskusi kami bersama. Saya menyadari benar tidak mudah awalnya bagi mereka, ayah dan kakak dapat menerima tapi saya bersyukur keluarga saya mampu menghargai, bersikap dan menerima hangatakan keberadaan teman LGBT saya tanpa perlakuan diskriminasi. Bahkan saat ini teman terdekat saya yaitu Kak ino yang merupakan seorang remaja lesbian bukanlah hanya sahabat buat saya tapi juga telah diterima menjadi bagian dari keluarga saya. Perjuangan belum selesai ketika kita berada di bagian perjuangan LGBT. Tantangan besar kembali PKBI Daerah Jambi hadapi ketika penyedia layanan ramah remaja yang telah terlatih dan bertugas di klinik selama ini resign. Kekhawatiran terlintas apakah penyedia layanan pengganti akan memiliki presepktif yang baik dan sensitif gender. Sehingga dari awal perekrutan isu ini jelas diangkat untuk mengetahui pemahaman dan penerimaan mereka. Saya tahu ini hal yang tidak mudah bagaimana yang saya pernah rasakan dahulunya, akhirnya sebagai agent perubahan dilembaga saya bertugas untuk memberikan informasi seputar seksualitas dan gender kepada penyedia layanan. Telah mengetahui bahwa salah satu fokus kerja pkbi adalah memberi layanan ramah remaja juga terhadap kelompok LGBT tapi pada kenyataannya saat berinteraksi untuk pertama kali dengan komunitas LGBT yang mengakses layanan kesehatan seksual dan reproduksi secara langsung banyak hal yang mereka rasakan.
rasa penasaran mereka yang begitu besar terhadap bagaimana hubungan homoseksual itu bisa terjadi. Dan saat ini seiring berjalannya waktu meskipun proses ini masih sangat panjang dan terus berjalan tetapi rekan rekan pemberi layanan di klinik dara jingga telah berproses dalam menghilangkan semua ketakutan, lebih membuka diri dan telah terinformasikan bahwasanya sebagai pemberi layanan tugas utamanya ialah melayani tanpa melihat status ataupun latar belakang pasien sehingga pemberi layanan diharapkan lebih sensitif gender dan non diskriminasi. Memberi layanan secara profesional ialah cara yang paling bijak jika penerimaan diri masih belum bisa tercipta. Dalam proses ini tidak hanya staff klinik, semua bagian dari PKBI Daerah Jambi berharap mampu menjadi lembaga yang semakin sensitif terhadap isu KGS dan memiliki keberpihakan dalam memperjuangkan HKSR LGBT. Kini kami menjadi bagian yang berjuang bersama dalam pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi bagi remaja khususnya komunitas LGBT. Bertemu, berdiskusi bersama melibatkan semua bagian tidak hanya remaja LGBT dan Staff PKBI Sendiri tetapi juga antara LGBT dan Pemberi layanan kesehatan serta relawan remaja telah menjadi bagian rutin yang dilakukan. Melibatkan komunitas lgbt dalam setiap kegiatan tidak hanya menjadikan mereka sasaran program lebih dari itu mereka adalah sahabat yang menjadi team baik dalam setiap hal yang kita lakukan.
Hasil capacity building dan sharing yang rutin dilakukan terungkap perasaan mereka diawal melayani teman teman dari komunitas LGBT, timbul perasaan ketakutan, kekhawatiran, bingung, geli bahkan pertanyaan besar selalu muncul dalam benak mereka saat berhadapan dengan teman komunitas seperti “Mengapa mereka bisa menjadi lesbian atau gay?” dan
“Antologi Cerita Tentang Perubahan Yang Paling Signifikan Hasil Pengalaman Rutgers WPF Indonesia bersama Changemakers MSGD”
10
Organisasi: S Jaringan Gay Waria LSL - Indonesia PANCHA WARDHANA - GWL INA
(GWL-INA)
Jaringan GWL-INA merupakan suatu jaringan nasioanal yang memiliki keanggotaan Organisasi Berbasis Komunitas (OBK) di daerah. Sesuai dengan visi GWL-INA yaitu “Komunitas dan individu yang sehat dan sejahtera tanpa stigma dan diskriminasi dengan pendekatan hak asasi manusia”.
edangkan untuk mencapai visi maka misi dari GWL-INA adalah :
1. Memperkuat dan memobilisasi organisasi dan komunitas GWL sehingga dapat melaksanakan program pencegahan, perawatan, dukungan serta pengobatan terhadap IMS serta HIV dan AIDS dalam kerangka kesehatan dan kesejahteraan serta hak seksual dan reproduksi. 2. Membangun, mengembangkan dan memelihara komunikasi dan kerjasama yang baik di antara organisasi dan komunitas maupun dengan lembaga lainnya yang berkepentingan untuk mencapai terpenuhinya kesehatan dan kesejahteraan seks, orientasi seksual, gender, identitas seksual & ekspresi gender dan jasmani, serta hak seksual dan reproduksi. 3. Mengkoordinasikan kerja advokasi menuju tercapainya kesehatan dan kesejahteraan seksual & reproduksi, termasuk IMS dan HIV & AIDS, serta tercapainya kesejahteraan komunitas GWL berdasarkan hak asasi manusia.
Salah satu isu strategis dalam pencapaian rencana strategis GWL-INA adalah penguatan sistiem didalam komunitas Gay, Waria & LSL lainnya (GWL) dengan dilakukannya kegiatan sebagai berikut : 1. Memperkuat kapasitas organisasi dan komunitas GWL/anggota Seknas GWL-INA di dalam bidang hukum, HAM, dan keterkaitannya dengan SOGIE, SRHR dan HIV & AIDS. 2. Meningkatkan pemahaman waria Indonesia tentang HIV-AIDS, SOGIE dan kesehatan reproduksi khas waria melalui penyediaan buku panduan kesehatan waria. 3. Mengadakan survey baseline untuk mengukur tingkat stigma masyarakat (termasuk internal komunitas) 4. Peningkatan kapasitas tentang SOGIE bagi LBH mitra kerja OBK di wilayah 5. Intervensi Penurunan Stigma dan Diskriminasi di Fasyankes berbasis SOGIE 6. ToT SOGIE & SRHR bagi GWL muda 7. Menjangkau komunitas GWL di seluruh Indonesia dengan media sosial melalui komunikasi, informasi dan edukasi berbasis isu SOGIE dan HIV “MENETAPKAN PERUBAHAN: CERITA KAMI”
11
8. Mengoptimalkan website BrondongManis. com sebagai media info komprehensif (HIV AIDS, Kespro, SOGIE, SRHR, gaya hidup, dll) tentang komunitas GWL & LGBT bagi komunitas dan publik
Peningkatan kapasitas tentang SOGIE bagi LBH mitra kerja OBK di wilayah Dari kegiatan yang sudah dilakukan yang lebih terbaru adalah dengan melakukan Peningkatan kapasitas tentang SOGIE bagi LBH di wilayah. Kegiatan ini melalui beberapa tahapan yaitu dengan mengadakan pelatiahan tentang Hukum dan HAM bagi OBK anggota, pelatihan penulisan pendokumentasian, melakukan Advokasi ke Komnas HAM dan peningkatan pemahaman tentang SOGIE bagi LBH dan OBK di wilayah Banyak sekali permasalahan yang terjadi bagi komunitas GWL salah satunya adalah dengan adanya tindak kekerasan yang menyebabkan komunitas GWL menjadi tidak terbedaya dan menjadikan susahnya ruang gerak bagi komunitasi. Pada saat menjalankan program dan kegaiatan sering sekali mendapat ancaman-ancaman dari masyarakat baik dari organisasi keagamaan maupun dari masyarakat yang tidak suka dengan keberadaan komunitas GWL. Dengan terjadinya tindak kekerasan ini komunitas hanya diam dan tidak bisa berbuat apa-apa.
GWL. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas bagi anggota dalam penulisan untuk tindakan kekerasan yang dialami bagi komunitas didaearh, supaya tindakan kekerasan terdokumentasi. Hasil dari pelatihan ini peserta sudah bisa lebih memahami sistem dalam pembuatan pelaporan tindakan kekerasan berbasis SOGIE yang dialami oleh komunitas GWL dan adanya dokumen laporan yang akan dijadikan sebagai bahan untuk melakukan advokasi. Dari hasil kegiatan peningkatan kapasitas bagi OBK maka GWL berinisiatif melakukan peningkatan kapasitas bagi LBH di wilayah peningkatan pemahaman tentang SOGIE. Tujuan dari pelatihan ini adalah supaya OBK yang ada diwilayah bisa bekerjasama dengan LBH untuk memilisisirkan kekerasan terhadap komunitas GWL dan LBH bisa membantu dalam menegakan keadilan bagi komunitas GWL.
Maka Sekretariat Jaringan GWL-INA mengadakan pelatihan untuk peningkatan kapasitas Hukum dan HAM bagi OBK anggota. Pelatihan ini bertujuan agar OBK lebih paham tentang Hukum dan HAM. Setiap pelatihan yang dibuat oleh GWL-INA akan disisipi materi tentang SOGIE, ini dilakukan supaya anggota dapat terus diberikannya pencerahan dan meningkatkan pemahamannya tentang SOGIE. Hasil yang didapati pada pelatiahan ini adalah peserta sudah banyak memahami tentang hukum-hukum yang berlaku walapun masaih banyak peserta yang merasa terlalu berat dengan materi yang diberikan oleh fasilitator. Selanjutnya GWL-INA mengadakan pelatihan penulisan pendokumentasian tindak kekerasan bagi “Antologi Cerita Tentang Perubahan Yang Paling Signifikan Hasil Pengalaman Rutgers WPF Indonesia bersama Changemakers MSGD”
12
B Berbuat Kebaikan Untuk Sebuah Perubahan MASITOH - SIKOK
LGBT… sebuah kata yang sebelumnya sangat asing bagi saya. Jangankan untuk mengenal nya, mendengar istilahnya pun jarang sekali di telinga saya. Latar belakang keluarga, agama, pendidikan dan pekerjaan saya tidak pernah membicarakan LGBT. Pendidikan saya selalu berbicara tentang bagaimana manusia memenuhi kebutuhan hidupnya yang sifatnya tidak terbatas sementara alat pemenuhan kebutuhan tersebut terbatas. Intinya saya hanya mendengar dan melihat manusia sebagai makhluk ekonomi, yang segala sesuatu dinilai dengan uang, pemenuhan kebutuhan yang sifatnya adalah kebendaan, ada wujudnya yang bisa diukur, kemudian pekerjaan saya sebelumnya juga selalu berhubungan dengan uang dan anggaran. Saya bergabung di Yayasan SIKOK pada tahun 2012 dan bekerja sebagai tenaga keuangan. Sampai November 2014 ketika saya mendapat kesempatan untuk mengikuti training Pengarusutamaan Gender dan seksualitas, ada pandangan baru bagi saya dalam memandang hubungan manusia.
anyak pengetahuan baru yang saya dapat dalam pelatihan tersebut. Saya jarang mendengar sebelumnya. Pernah suatu waktu saya diajak untuk mengikuti diskusi dengan isu LGBT, tetapi saya dan beberapa teman lebih memilih untuk tidak membicarakannya. Saya tidak pernah membicarakan topik LGBT sebelumnya, dengan keluarga, maupun teman. Pelatihan ini menambah pengetahuan saya bagaimana sebenarnya seksualitas itu, dan didalamnya ada seksualitas antara orang dengan jenis kelamin yang sama, baik laki-laki (secara biologis) dengan laki-laki, maupun perempuan (secara biologis) dengan perempuan, dan yang lainnya. Saya agak ragu, apakah pengetahuan saya selama ini tentang seksualitas yang memang masih kurang atau mungkin perkembangan zaman yang terlalu cepat membuat segala sesuatu berkembang dengan sangat cepat pula sehingga dalam hal seksualitaspun banyak sekali kemajuan yang tidak atau dalam konteks pemikiran saya sudah diluar kebiasaan yang terjadi selama ini. Saya mencoba untuk mendiskusikan masalah ini dengan beberapa teman yang sebelumnya sudah mendapat informasi ini , mereka memberikan pandangan yang berbeda, ada hal-hal yang ternyata harus kita semua fahami, bahwa manusia diciptakan tidaklah sama, sehingga sebagai sesama manusia kita harus menghargai dan menghormati perbedaan itu, dimana kita tidak boleh memandang perbedaan sebagai sesuatu yang diluar kebiasaan kita adalah sesuatu yang salah. Beberapa kali saya melakukan diskusi dengan beberapa teman, berbagai argument yang saya dapatkan, ada yang menolak, ada yang tidak mau membicarakan seperti dulu saya juga tidak mau membicarakan, ada yang menganggap kondisi ini hanya terjadi sesaat saja, life style, jadi biarkan saja, nanti juga akan berakhir dengan sendirinya, tidak penting untuk dibahas, karena ada begitu banyak hal lain yang lebih penting untuk dibicarakan. Beragam pendapat mereka membuat saya kembali ragu, karena sejujurnya nilai-nilai yang telah ditanamkan dalam agama dan budaya saya, melarang “MENETAPKAN PERUBAHAN: CERITA KAMI”
13
praktek homoseksual. Jadi tidak mudah bagi saya untuk serta merta menerima sesuatu yang selama ini dianggap sebagai sesuatu diluar norma yang berlaku, kemudian dengan mudah saya menerimanya. Walaupun dalam beberapa kali diskusi dilembaga dan saya yang menyampaikan isu seksualitas dan gender, tetapi sejujurnya saya sendiri ragu dengan diri saya. Kemudian saya kembali berdiskusi dengan teman saya yang menulis dan meneliti tentang LGBT. Dia menyatakan bahwa di dalam Islam ada hubungan dengan Tuhan (Allah) sebagai pencipta dan ada hubungan sesama manusia. Hubungan dengan Tuhan dalam bentuk ibadah, sementara hubungan dengan sesama manusia adalah hubungan sosial yang kita lakukan dalam kehidupan bermasyarakat, dimana sebagai manusia kita selalu diajarkan untuk berbuat baik dan menghormati orang lain. Disinilah mulai terbuka pemikiran saya bahwa dalam hal ini konsep berbuat baik yang harus saya terapkan untuk menerima isu ini. Kita harus berbuat baik kepada sesama manusia, walaupun mereka berbeda dengan kita. Berbuat baik disini dalam pengertian bahwa saya sebagai manusia tidak boleh memandang rendah orang lain yang berbeda dengan saya, tidak boleh menyakiti mereka, tidak boleh melakukan diskriminasi. Konsep berbuat baik ini yang selalu saya tekankan ketika saya menyampaikan isu LGBT kepada teman dan relawan di lembaga saya, karena orang akan lebih mudah menerima ketika sesuatu yang tadinya dianggap sebagai sesuatu diluar norma, tetapi ini adalah perbuatan baik kita sebagai sesama manusia yaitu saling menghargai sesama walaupun kita berbeda. Karena saya tau merekapun menghadapi persoalan yang sama dengan saya ketika membicarakan LGBT, nilai mereka secara pribadi yang telah tertanam dalam keluarga dan masyarakat selama ini tidak toleran dengan isu ini. Ketika kita selalu menanamkan nilai berbuat kebaikan maka tidak akan ada keraguan untuk melakukan atau menerima isu LGBT.
“Antologi Cerita Tentang Perubahan Yang Paling Signifikan Hasil Pengalaman Rutgers WPF Indonesia bersama Changemakers MSGD”
14
ITAS - PKBI JATIM
Pelangi Di Sudut Senja Indonesia adalah sebuah negara dengan banyak beribu pulau, kaya akan segala macam budaya, bahasa, dan juga bermacam-macam suku bangsa yang ada. Semuanya begitu beragam dan satu sama lainnya juga memiliki karakterisktik yang cukup berbeda-beda dan penuh warna yang indah layaknya seperti sebuah pelangi di sudut senja yang selalu memberikan keindahan tersendiri untuk Indonesia Ku yang begitu beragam dan berseragam.
B
erdiri sejak 23 Desember 1957, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) merupakan LSM tertua yang mempelopori gerakan Keluarga Berencana di Indonesia. Lahirnya PKBI sendiri dilatarbelakangi oleh keprihatinan para pendiri PKBI dan juga berasal dari sekelompok tokoh masyarakat serta ahli kesehatan, terhadap berbagai masalah kependudukan dan tingginya angka kematian ibu di Indonesia. Tidak Hanya itu saja, PKBI juga cukup memiliki komitmen yang tinggi terhadap isu tentang kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual secara komperhensif. Sesuai dengan visi dan misi dari PKBI yaitu Terwujudnya masyarakat yang dapat memenuhi kebutuhan Kesehatan Reproduksi (Kespro) dan / seksual serta hak-hak Kesehatan Reproduksi dan Seksual yang berkesetaraan dan berkeadilan gender. Selain itu PKBI juga memiliki misi dimana terwujudnya masyarakat yang mampu dalam mengambil keputusan dan berperilaku bertanggung jawab dalam hal Kesehatan Reproduksi dan Seksual serta hak-hak Kesehatan Reproduksi dan Seksual. Berbicara mengenai isu kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual yang komperhensif, bukan merupakan hal yang sangat mudah untuk PKBI. Terlebih Indonesia yang juga masih sangat belum memiliki keterbukaan terkait isu tersebut, juga menjadi sebuah tantangan tersendiri dalam melakukan segala macam kegiatan yang berkaitan dengan isu tentang kesehatan reproduksi dan seksual secara komperhensif tersebut. Tantangan tersebut juga tidak hanya muncul dari isu tentang kesehatan reproduksi dan seksual saja, tetapi isu keberagaman juga menjadi salah satu topik yang memang juga masih sangat menjadi satu pembahasan yang cukup akan selalu di perdebatkan di setiap perjalanan dari ceritanya dari maisng-masing PKBI Yang ada Indonesia, tak terkecuali yang terjadi di PKBI Jawa Timur.
“MENETAPKAN PERUBAHAN: CERITA KAMI”
15
Awal perjalanan yang penuh tantangan tersebut juga menjadi salah satu dari sekian banyak cerita yang ada di PKBI Jawa Timur, baik mengenai isu tentang kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual secara komperhensif serta terkait tentang isu keberagaman. Memiliki julukan sebagai salah satu provinsi dengan basis kota yang cukup kental akan budaya jawa serta nilai agama yang sangat sakral, menjadikan cerita tersendiri untuk segala kegiatan yang dilakukan oleh PKBI Jawa Timur, tak terkecuali dengan isu baik tentang kesehatan reproduksi seksual serta tentang isu keberagaman, yang sampai saat ini pun masih begitu hangat untuk di dapat. Rasa lelah, hingga perasaan gelisah pun merupakan salah satu bukti jika melakukan sebuah perubahan itu memang tidak harus menjadi sesempurna yang kita inginkan. Tetapi setidaknya sudah ada hal yang paling tidak itu merupakan hasil yang nyata dan benar-benar adanya. Komitmen dari PKBI Jawa Timur sendiri pun juga memberikan dampak yang cukup positif, walaupun masih ada banyak pekerjaan rumah yang untuk segera di selesaikan dengan cermat dan tepat, tak terkecuali mengenai proses informasi, edukasi serta adanya layanan kesehatan reproduksi seksual secara komperhensif dan juga mengenai tentang keberagaman yang berseragam dan bertanggung jawab .
Terus melakukan pelibatan dengan ajakan yang begitu kraetif dan juga inovatif menjadi salah satu peran aktif yang selalu ditunjukkan sebagai salah satu metode dalam melakukan share informasi baik terkait tentang isu kesehatan reproduksi seksual dan juga isu mengenai keberagaman yang bersama dan berseragam. Masih banyak pekerjaan rumah dan juga beberapa tugas yang tentunya akan memiliki maisng-masing tantangan tersendiri untuk segara di selesaikan. Tapi setidaknya informasi mengenai isu kesehatan reproduksi dan seksual yang komperhensif serta terwudnya masyarakat yang tidak hanya paham dan mengerti, tetapi juga menjadi masyarkat yang benarbenar bisa bertanggung jawab serta memilik kepedulian akan beberapa hal yang menjadi bagian penting tersebut, juga akan menjadi peran dan juga tugas kita bersama-sama untuk menjadikan sebuah warna pelangi yang tidak lagi akan menjadi sebuah pelangi yang hanya akan ada di sebuah sudut senja saja. Karena hal tersebut juga merupakan tugas kita bersama – sama dan bukan merupakan tugas serta kewajiban PKBI Jawa Timur saja, yang merupakan salah satu pelopor program kesehatan reproduksi dan seksual secara komperhensif tersebut, tetapi ini menjadi tanggung jawab bersama yang mengatasnamakan bangsa Indonesia yang benar-benar beragam, berseragam dan juga penuh warna yang indah nan elok, seperti hal nya pelangi di sudut senja.
Dari 38 Kabupaten dan Kota yang tersebar di Jawa Timur, setidaknya sudah ada 8 Kabupaten dan kota yang berhasil menjadi Lead Of Information For SRHR and Diverity, kerjakerja tersebut juga merupakan keberhasilan bersama baik dari PKBI Jawa Timur dan juga peran dari beberapa PKBI Cabang yang ada di masing-masing Kabupaten dan kota di Jawa Timur tersebut. Karakteristik dan keberagaman yang ada di masingmasing PKBI cabang di Jawa Timur, juga merupakan salah satu dari tantangan yang setidaknya sudah bisa mulai untuk terjawab dari satu persatunya.
“Antologi Cerita Tentang Perubahan Yang Paling Signifikan Hasil Pengalaman Rutgers WPF Indonesia bersama Changemakers MSGD”
16
S Change Maker Senja &The Team NIKEN - RUTGERS WPF INDONESIA
Terhitung mulai bulan April 2015 saya menjadi “Change Maker” menggantikan Lingga Putra Permana, modul SOGIEB tersedia untuk saya pelajari dan diskusi dengan Lingga terkait dengan peran, apa yang sudah dilakukan dan masih adakah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
aya sangat beruntung dibesarkan dalam konsep budaya Jawa yang beragam, dimana keberagaman adalah hal lumrah demikian juga dengan latar belakang pekerjaan, beberapa organisasi dimana saya pernah bergabung sangat mendukung keberagaman. Sejak bergabung dengan RutgersWPF dan kemudian menjadi “Change Maker”, konsep keberagaman yang saya ketahui menjadi lebih luas. Rutgers sendiri focus pada SRHR & SGBV dan SOGIEB adalah bagian yang harus dipahami. Saya menjadi mengerti dengan lebih details mengenai Orientasi Seksual, Identitas Gender dan expression of bodies, dan berdiskusi dengan beberapa rekan kerja mengenai hal ini semakin memperkaya pemahaman saya. Kami terbuka berdiskusi dalam rangka berbagi dan menggali informasi. Semula saya hanya memahami mengenai keberagaman, kemudian bertambah menjadi keberagaman gender dan sekarang bertambah lagi mengenai nilai-nilai SOGIEB. Pemahaman ini tidak hanya bermanfaat pada diri saya pribadi dimana saya menjadi bertambah pengetahuannya tapi juga terkait dengan tugas dan tanggungjawab saya sebagai HR bahwa saya harus memastikan nilai-nilai organisasi ter-internalisasi pada semua anggota team, baik team project maupun team support. Terkait dengan posisi saya sebagai HR dan “Change Maker” dan salah satu rencana tindak lanjut dari pertemuan MGSD di bulan Juni 2015, yaitu memberikan pemahaman SOGIEB pada business support (Team Admin meliputi Admin, Office Boy, Security & Finance) maka pada bulan Agustus 2015 dengan bantuan Mba Agustine kami mengadakan pelatihan SOGIEB dengan dihadiri oleh beberapa orang staff dari bagian bussiness support. Masingmasing staff yang hadir sangat tertarik dengan hal ini dan diskusi yang terjadi sangat “fun” namun ber-nas sehingga membangun masing-masing angggota team untuk mendapatkan pemahaman mengenai SOGIEB. Menjadi pekerjaan rumah yang masih harus dikerjakan adalah memberikan training SOGIEB sesi yang kedua “MENETAPKAN PERUBAHAN: CERITA KAMI”
17
untuk business support lainnya. Disamping itu, kami akan berdiskusi dengan Management Team untuk memberikan training kebutuhan-kebutuhan khusus pada teman-teman Bussiness Support dan team project pada umumnya untuk lebih memahami satu sama lain selain “BROWN BAG” (adalah suatu acara 2 mingguan yang dilakukan untuk saling mengerti satu sama lain, yaitu masing-masing bagian menceritakan atau mempresentasikan tugas dan tanggungjawabnya dan acara dikemas dalam sesi yang fun). Pada umumnya Teman-teman sangat menyukai sesi “Brown Bag” atau berbagi ini, sehingga kami dapat belajar dari project-project lainnya berbagi pengetahuan dimana kami bekerja di isu ini dan secara khusus dari pengetahuan yang didapat tidak hanya bermanfaat untuk diri sendiri namun juga keluarga dan tema-teman mereka sehingga jaring laba-laba pengetahuan dan perubahan itu akan semakin tersebar. Dari kegiatan training SOGIEB di bulan Agustus 2015, salah seorang teman sudah berdiskusi dengan keluarganya di daerah mengenai rencana akan diberikannya pelatihan keberagaman gender pada ibu-ibu PKK di daerahnya. Ini masih dalam tahap wacana, karena belum terealisasi namun rencana dan perubahan yang akan dilakukan ini akan menyebar sampai ke akar rumput.
“Antologi Cerita Tentang Perubahan Yang Paling Signifikan Hasil Pengalaman Rutgers WPF Indonesia bersama Changemakers MSGD”
18
“Ceritaku”, S “Dia” dan berproses ke “Mereka” DIAH - PKBI DKI JAKARTA
(Sisi lain dari LGBT)
Berbicara tentang Keberagaman Gender dan Seksualitas, bukanlah menjadi hal yang biasa dibanyak negara, termasuk Indonesia, masyarakat masih menganut sistem atau norma yang kental yang membatasi bahkan menutup pintu jika membicarakan tentang Keberagaman gender dan Seksualitas ini. Padahal kenyataan nya, konteks yang dibicarakan tidak hanya membahas tentang seksualitas saja, namun banyak konteks yang dibicarakan didalamnya, seperti hak-hak yang harus tetap melekat pada diri setiap manusia tanpa pengecualian. Sebagai pelajar, saya termasuk siswi yang open minded dengan Keberagaman Seksualitas, menurut saya itu hal yang biasa saja dan tidak berpengaruh apa-apa, namun beda dengan teman-teman saya yang masih menganggap hal tersebut aneh, menganggapnya hal yang gila dan hal yang tidak biasa. Memang awalnya saya merasa Keberagaman Seksualitas dan Gender itu hal yang tidak baik, pemikiran saya yang masih dangkal membuat saya merasa paling benar dan tidak mau disalahkan, berbagai pertanyaan muncul dalam benak dan pemikiran saya, yang jawaban nya pun saya tidak tahu apakah benar atau salah, saya hanya memandang dari satu sisi, satu pandangan saya saja saat itu. Mungkin pemikiran itu juga yang banyak melekat pada pandangan teman-teman saya disekolah.
ampai akhirnya saya tahu dan mengerti tentang Keberagaman Gender dan Seksualitas, bermula dari mengikuti Pelatihan Integrated Youth Friendly Services for Service Providers yang diadakan oleh Centra Mitra Muda sebuah pusat Pelayanan Informasi Kesehatan Reproduksi Remaja yang saat itu mengadakan pelatihan untuk para petugas Puskesmas tingkat Kecamatan untuk dapat memberikan pelayanan yang ramah remaja, pelatihan tersebut melibatkan beberapa remaja sebagai sumber informasi layanan untuk mengetahui seperti apa layanan ramah remaja yang dibutuhkan,dan saya berkesempatan untuk bisa mengikuti pelatihan tersebut. Dalam pelatihan itu, sebuah pengetahuan luar biasa yang disampaikan oleh Mba Ag yang tidak pernah aku dapatkan sebelumnya dimanapun, beliau berbicara tentang LGBTIQ juga tentang Keberagaman Gender dan Seksualitas ,kami membahas materi itu sampai tuntas dan detail ,dengan dilengkapi dengan kesempatan untuk bertanya, disitulah pemikiran tabuh dan baku yang menempel dipemahaman saya berubah dan merasa bahwa saya salah ketika dulu berpikir Keberagaman Gender dan Seksualitas adalah hal yang tidak normal. Singkat cerita saya tidak lagi mempermasalahkan atau mempertanyakan hal-hal aneh terkait Kebergaman Gender dan Seksualitas dimasyarakat, semuanya clear dalam pemikiran saya. Sudah menjadi hal yang biasa menurut saya, kecuali satu hal, yaitu saya masih menganggap bahwa orang-orang yang memiliki Keberagaman Gender dan Seksualitas atau khususnya bebeda Orientasi Seksual adalah individu yang tidak mudah bersosialisasi dimasyarakat, dan cenderung diam, karena saat itu saya masih belum menemukan langsung disekitar saya atau orang yang memiliki ikatan dekat dengan saya. Sampai pada akhirnya saya mengetahui fakta yang mengejutkan bahwa teman saya adalah seorang Biseksual, seorang yang cukup dekat yang selama ini tidak pernah Speak Up tentang siapa dirinya, karena Gender Ekspresinya pun sama sekali tidak menunjukan bahwa dia adalah seorang Biseksual, disanalah saya baru menyadari bahwa perkataan orang-orang bahwa LGBT itu bisa dilihat dari ekspresi “MENETAPKAN PERUBAHAN: CERITA KAMI”
19
wajah dan cara mereka berpakaian adalah hal yang salah , nyatanya Gender Ekspresi tidaklah menentukan bahwa seseorang LGBT atau tidak. Dia mengatakan hal itu secara langsung, dan terbuka kepada saya, mungkin karena dia tahu bahwa saya adalah salah satu siswi yang cukup paham terkait Hak Kesehatan Seksual Reproduksi Remaja, selama ini dia memang sering menceriakan tentang kehidupan dia, pelajaran dia, bagaimana dia menjalankan kegiatan disekolah dan sebagainya, tetapi tidak pernah Open atau membuka diri tentang Orientasi Seksual nya. Ketika dia menceritakan tentang Orientasi Seksualnya, rasa terkejut memang muncul secara tiba-tiba, berbagai pertanyaan kembali muncul, mengapa dia tidak membicarakannya dari dulu, apa yang membuat dia diam saja dan sebagainya . Dia mengatakan semuanya dengan detail, dia meminta maaf kerena baru bisa menceritakan hal ini kepada saya , mungkin dia merasa ada yang dirahasiakan dari saya, karena selama ini kami tidak pernah merahasiakan apapun, dia menjelaskan bahwa dia takut dijauhi jika dia menceritakan hal ini, dia takut dicap dengan label “tidak normal” yang bisanya dia dapat dari beberapa orang yang langsung menstigma tanpa fikir panjang. Ketika dia Speak Up saya menghargai itu, bahkan saya menganggap bahwa keberanian dia untuk mengungkapkan siapa dirinya sebenarnya adalah nilai positif yang ada pada dirinya, dia memberikan kepercayaan kepada saya untuk tetap merahasiakan orientasi seksualnya pada saat itu. Dia mengatakan bahwa sebenarnya banyak dilingkungan sekitar kami yang seperti dirinya, dia bisa merasakan hal itu, itulah mengapa dia bisa tetap beraktivitas seperti biasa dengan menjadi dirinya sendiri. Dia mempertegas bahwa Orientasi Seksualnya tidaklah menjadi batu hambatan untuk dia terus melangkah maju menggapai cita-cita dan tujuan hidup nya meskipun terkadang mendapat pandangan negatif oleh beberapa orang. Dan itu membuat saya tersadar akan anggapan saya yang dulu muncul yang masih menganggap
bahwa Orang-orang yang berbeda Orientasi Seksual adalah individu yang tidak mudah bersosialisasi dan tidak mampu mengikuti banyak kegiatan disekolah. Dari pembicaraan kami, dan keterbukaan dia, maka itu menjawab bahwa LGBT juga bukan seseorang yang tidak mudah bergaul justru sebaliknya, mereka cenderung mudah bergaul dan ramah, bukan seseorang yang tidak bisa melakukan apa-apa, justru sama seperti yang lain nya, bahkan mereka memiliki potensi yang tinggi dalam pencapaian tujuan hidup mereka. Dari pengalaman langsung inilah yang membuka pemikiran dan mengubah cara pandang saya tentang apa yang harus saya lakukan, apakah saya harus diam saja? Sementara saya sudah mendapatkan Informasi terkait Keberagan Seksual yang belum didapatkan teman-teman remaja yang lain selain saya. Menjadi relawan PKBI merupakan pintu saya untuk bisa menshare informasi kepada teman-teman sebaya dan mengubah pola fikir mereka terkait Keberagaman Gender dan Seksualitas agar mereka bisa menghargai dan tidak lagi menganggap itu hal yang tidak normal atau aneh. Memberikan informasi terkait Keberagaman Gender dan Seksualitas bukanlah hal yang mudah seperti membalikan telapak tangan, penuh perjuangan dan kesabaran dalam proses penyampaian nya.Tantangan yang muncul tak diduga, celaan yang didapat belum lagi pemikiran negatif masyarakat tentang pemberi informasi. Namun seiring berjalan nya waktu, meskipun tidak sampai ke tingkat Kebijakan, saya bisa sedikit memberikan pemahaman teman-teman dekat saya terkait Keberagaman Gender dan Seksualitas, membuka pandangan mereka dari fikiran negatif yang menempel selama ini, agar mereka paham dan menerima manfaat dari informasi yang saya berikan, mencoba untuk memberikan Informasi Keberagaman Gender dan Seksualitas juga dilakukan pada relawan baru dan beberapa anak magang yang ada di PKBI DKI jakarta. Menjadi sebuah keharusan dalam mengkapasitasi relawan baru yang akan bergabung, termasuk materi Keberagaman Gender dan Seksualitas atau SOGIEB.
“Antologi Cerita Tentang Perubahan Yang Paling Signifikan Hasil Pengalaman Rutgers WPF Indonesia bersama Changemakers MSGD”
20
P Changes Making Bukanlah Liberalisasi Seks Bebas HAFSAH - PKBI LAMPUNG
Bekerja di PKBI Lampung pada isu SRHR merupakan sesuatu hal yang menyenangkan bagi saya, karena selain saya bisa mengasah kemampuan dan ketrampilan saya juga dapat menjadi ladang dakwah bagi saya. Kata “ladang dakwah” adalah kata yang dibuat oleh suami saya, karena menurutnya berdakwah bukan hanya urusan agama tetapi apapun yang kita lakukan untuk membuat orang yang tidak tahu menjadi tahu, yang tidak paham menjadi paham dan yang beresiko menjadi tidak beresiko. Walaupun tantangan yang saya hadapi juga tidak mudah karena selain menghadapi masyarakat yang belum paham, saya juga menghadapi mereka yang mengatasnamakan agama (fundamentalis). Bahkan merekasampai memberi label pada saya “liberalisasi seks bebas”. Menurut mereka mengajarkan pendidikan seksualitas sama dengan mengajarkan anak untuk melakukan hubungan seksual. Tetapi hal tersebut tidak menyurutkan langkah dan semangat saya untuk terus berbagi karena belajar SRHR bukan hanya masalah hubungan seksual dan membicarakan SRHR bukan hanya tentang laki-laki dan perempuan tetapi juga tentang keberagaman seksual dan gender. Ini akan lebih sulit lagi karena selain masih baru bagi sebagian orang, mereka yang tidak paham akan langsung mengaitkannya dengan agama dan menganggap hal tersebut adalah tabu dan tidak pantas untuk dibicarakan.
roses saya belajar dan memahami keberagaman seksual dan gender sudah cukup lama. Sebelumnya pada tahun 1998/ 1999 organisasi kami pernah melakukan kegiatan outreach (penjangkauan dan pendampingan) pada teman-teman lesbian dan gay (sebutan pada mereka saat itu). Walaupun belum menggunakan terminologi SOGIEB. Basic pendidikan saya yang psikologi juga membantu mempermudah pemahaman saya. Saya beruntung karena organisasi kami juga menjadi anggota Kespromatra Network (Jaringan Kesehatan Reproduksi Remaja se-Sumatra) yang didukung oleh WPF dan saya mendapatkan banyak penguatan kapasitas disana. Tetapi pemahaman lebih lengkap baru saya peroleh saat mengikuti TOT Pendidikan SRHR melalui Modul DAKU (Dunia Remajaku Seru) pada tahun 2007 yang di fasilitasi oleh Jo Reinders. Hal tersebut menjadi modal utama bagi saya untuk terus memahami keberagaman seksual dan gender hingga saat ini. Pengalaman menarik bersama teman-teman LGBT cukup banyak saya alami, misalnya ada seorang teman gay yang menjadi sahabat saya. Dia sering sekali mengikuti kegiatan yang kami lakukan seperti kemah bersama staf dan relawan. Saat berkemah dia memilih untuk tidur bersama kami yang perempuan dibandingkan dengan teman laki-laki karena dia merasa lebih nyaman tidur bersama kami. Kami berdua pernah berdiskusi tentang orientasi seksual yang dipilihnya. Diskusi tersebut lebih membuka pemikiran dan mata hati saya tentang kehidupan dan orientasi seksual yang dipilih seseorang termasuk dirinya. Perkataannya yang masih saya ingat hingga sekarang adalah “Hafsah, masalah dosaku, apa yang aku lakukan dan orientasi seksualku adalah urusanku dengan Tuhanku, yang aku butuhkan dari kamu adalah dukungan darimu. Dengan kamu mau menerima aku apa adanya sebagai sahabat, itu sudah cukup bagiku”. Dan pada tahun 2011, dia telah pergi menghadap Sang Pencipta. Saya pernah mendapatkankan rujukan klien dari Guru Bimbingan Konseling yang siswanya adalah seorang gay dan akan dikeluarkan dari sekolah karena orientasinya tersebut. saya membantu menguatkan “MENETAPKAN PERUBAHAN: CERITA KAMI”
21
siswa tersebut untuk dapat memahami masalahnya dan membantu sekolah untuk memahami bahwa orientasi seksual tidak menular pada siswa yang lain. Menyenangkan sekali karena tiga tahun kemudian anak tersebut menghubungi saya dan dia sudah kuliah. saya juga mengajar pada mahasiswi D4 Kebidanan tentang Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Belajar & Konseling dan selalu menyelipkan isu keberagaman seksual dan gender pada mahasiswi saya dan berharap ketika mereka bekerja nanti sebagai petugas kesehatan telah siap dan dapat membantu temanteman LGBT yang datang ke layanan kesehatan yang mereka berikan. Bagi saya keterbukaan dengan pasangan adalah hal yang paling penting didalam membina hubungan. Dan itu selalu saya lakukan bersama suami saya tentang fokus pekerjaaan saya termasuk tentang LGBT. Kami membiasakan diri setiap malam minimal 30 menit (kami menyebutnya quality time) untuk berdiskusi tentang apa saja baik yang berhubungan dengan pekerjaan ataupun tidak. Kalau bicara tentang SRHR termasuk LGBT saya yang paham dari sisi medis, psikologis dan sosial dan suami saya yang paham dari sisi agamanya (suami saya bekerja di Kementerian Agama sebagai Penghulu dengan basic pendidikan Hukum Islam), sehingga bisa saling mengisi dan menguatkan. Yang membuat saya kagum padanya, pemikirannya sangat terbuka jika berbicara tentang LGBT. Dia tidak akan fokus pada pemikiran yang negatif tetapi lebih melihat sisi kemanusian yang menurutnya sangat penting. Menurutnya, bicara tentang sesuatu hal yang berhubungan dengan agama bukan hanya tentang hitam dan putih tetapi juga warna yang lain termasuk abu-abu. Sebagai organisasi yang bertujuan “Mewujudkan keluarga bertanggung jawab” dengan Visi “Pusat unggulan pengembangan program dan advokasi kesehatan seksual &reproduksi yang mandiri pada tahun 2020” tugas kami di PKBI Lampung untuk mewujudkannya tidaklah mudah. Setiap orang baik pengurus, staf dan relawan seharusnya sudah clear dengan isu keberagaman seksual dan gender.
Tetapi karena proses pergantian pengurus (daerah dan cabang), staf dan relawan juga sering terjadi mengakibatkan sebagian besar dari mereka ada yang baru terlibat dan belum paham dengan keberagaman seksual dan gender. Sehingga melakukan kegiatan penguatan kapasitas menjadi sangat penting. Penguatan kapasitas yang kami lakukan adalah pelatihan SRHR bagi Pengurus Daerah, Pengurus Cabang dan Staf. Pada pelatihan tersebut materi SOGI juga kami sampaikan. Walaupun masih ada yang berbeda pendapat kami mendiskusikan bersama bahwa menjadi sangat penting untuk belajar memahami dan menerima mereka. Selain itu untuk menjadi pengurus, staf dan relawan di PKBI Lampung, semua orang dari berbagai latar belakang dan orientasi seksual mempunyai kesempatan yang sama. kami tidak pernah membedakan latar belakang dan orientasi seksual seseorang karena yang paling penting bagi kami adalah mereka mau berjuang bersama dibawah bendera PKBI. Pengalaman kami, ada beberapa staf dan relawan yang berasal dari komunitas LGBT. PKBI Lampung juga bermitra dengan organisasi yang bergerak pada isu keberagaman seksual dan gender di Lampung seperti Gaylam Lampung dan Gendhis LBT. Beberapa kegiatan yang kami lakukan secara bersama misalnya Hari Kesehatan Seksual Sedunia (WSHD), Hari AIDS Sedunia dan lain-lain. Saat PKBI Lampung bertanggunjawab mengelola Indonesian Youth Diversity Celebration 2014 juga melibatkan mereka sebagai narasumber. Kami juga diminta oleh Gendhis LBT untuk mengisi materi PPDGJ kepada komunitas mereka. Selain itu, kami juga membantu menguatkan kapasitas pendidik sebaya LGBT dan menghubungkan mereka pada layanan yang ramah remaja. Kami berharap kerjasama yang sudah lama kami bangun akan terus berjalan dan lebih kuat lagi. Saat ini, sebagai penanggung jawab program di organisasi, saya harus bertanggung jawab terhadap kualitas informasi yang kami sampaikan kepada orang lain. Saya harus memastikan informasi tersebut bisa diterima oleh mereka dan dapat membantu penerima
“Antologi Cerita Tentang Perubahan Yang Paling Signifikan Hasil Pengalaman Rutgers WPF Indonesia bersama Changemakers MSGD”
22
manfaat untuk bertransfomasi baik pengetahuan, sikap maupun perilaku mereka. Terkait dengan keragaman seksual dan gender, biasanya kami masukkan kedalam materi pelatihan atau diskusi yang kami lakukan. Baik pelatihan pada pendidik sebaya di sekolah, pendidik sebaya pada komunitas LGBT, guru yang akan mengajarkan CSE juga pada petugas kesehatan. Misalnya saja pelatihan bagi petugas kesehatan. Selain mereka dilatih untuk dapat menyiapkan layanan yang ramah pada remaja mereka juga diberi penguatan kapasitas seperti SOGI dan SGBV. Peserta pada pelatihan tersebut bukan hanya petugas kesehatan tetapi juga perwakilan guru, remaja dan komunitas LGBT. Pada pelatihan tersebut kami mengundang Mbak Ag dari Ardhanary Institute untuk memfasilitasi materi SOGI di hari pertama. Dihari kedua, Mbak Ag sudah tidak lagi memfasilitasi pelatihan dan kami yang melanjutkan memfasilitasinya. Yang menarik bagi saya adalah ketika sesi review saat membahas pelatihan hari pertama, waktu yang dibutuhkan hampir 2 jam. Ada pertanyaan dari petugas kesehatan yaitu untuk apa mereka diberi materi tentang SOGI. Tetapi “insight” justru diperoleh dari sesama peserta bahwa sebagai petugas kesehatan mereka harus tahu banyak informasi tentang LGBT dan SGBV agar mereka dapat memberikan layanan sesuai dengan hak dan kebutuhannya remaja dan komunitas LGBT. Yang saya ingatkan juga pada petugas kesehatan adalah bagaimana mereka dapat memisahkan antara nilai personal dan nilai profesional. Selain itu, jika kita hanya fokus pada masalah agama saja maka kita tidak akan banyak berbuat untuk orang lain tetapi jika kita mau mencoba memahami dengan penafsiran agama yang lebih luas baik dari segi kesehatan maupun kemanusiaan maka kita akan bisa banyak membantu mereka.
“MENETAPKAN PERUBAHAN: CERITA KAMI”
P Meretas Jalan Perubahan untuk Keadilan bagi Komunitas Dampingan LGBTQI DEWI - CD BETHESDA
Mengapa Kami Bekerja di Isu Keberagaman Gender & Kesehatan? Bekerja dalam bidang kesehatan masyarakat terutama dengan focus kesehatan bagi masyarakat marjinal yang jauh dari akses layanan ternyata membawa CD Bethesda pada konsekuensi dalam kondisi yang dinamis dan berkembang. Isu kesehatan pada faktanya tidak hanya berurusan dengan penyakit menular dan kesembuhan saja, tetapi juga beririsan dengan isu-isu lain, termasuk isu keberagaman gender. Hal inilah yang menuntut orang-orang yang bekerja di dalamnya harus membuka diri dan pikiran yang lebih inklusif, untuk menerima perkembangan isu gender dan kesehatan agar visi, misi, dan panggilan pelayanan dapat diwujudkan.
erjalanan kami ketika mulai membangun komitmen menggelar program kesehatan reproduksi dan seksual bagi kaum muda (14-24 tahun) memang relative masih tertatih layaknya bayi belajar jalan. Namun, mengingat tantangan yang harus kami hadapi ternyata beragam, maka mau tidak mau kami harus berlari lebih kencang untuk membuka dan membongkar perspektif agar layanan kami semakin meluas. Isu yang dialami oleh kaum muda bukan saja hanya sebatas ketidakmengertian mereka tentang hak kesehatan reproduksi dan seksual yang masih saja ditabukan dari segala pihak, tetapi juga sikap dan tindakan diskriminatif dari masyarakat terhadap orang muda yang memutuskan sebagai komunitas LGBTQI, yang juga rentan mengalami masalah kesehatan reproduksi, termasuk HIV AIDS dan IMS. Perilaku tidak adil itu tidak saja pada kata-kata yang menyakitkan, namun juga sikap kasar bahkan sampai kekerasan dan sangat terbatasnya atau diskriminasinya akses layanan kesehatan bagi teman-teman muda LGBTQI, khususnya dengan kondisi positif HIV dan IMS. Sikap penyedia layanan kesehatan (rumah sakit, Puskesmas) yang melecehkan, seenaknya, dan tidak tulus melayani hanya karena kaum muda ini selain ODHA juga berada pada kondisi LGBT menjadi kisah nyata yang sehari-hari diceritakan kepada kami. Belum lagi bayangan masa depan yang tak pasti karena kesempatan melanjutkan perjuangan hidup dengan bekerja di instansi formal bagi kalangan LGBTQI masih sangat terbatas di Indonesia. Belum lagi curhatan yang mengisahkan sikap penolakan keluarga dan masyarakat atas pilihan orientasi seksual dan gender mereka yang dianggap tak lazim, padahal syarat berhasilnya pemulihan dari HIV AIDS salah satunya adalah dukungan dari lingkungan sosial. Tentu saja, bagi pendamping kaum muda LGBTQI yang bekerja di CD Bethesda, hal ini mengundang rasa jengkel dan tidak nyaman karena melihat ketidakadilan yang dialami oleh dampingan mereka. Namun yang terpenting bagi para pendamping itu sendiri adalah membongkar perspektif mereka sendiri yang selama ini kurang sensitive terhadap kebutuhan berbasis keberagaman gender dan orientasi seksual.
24
Mulai Meretas Jalan Perubahan Baru Kami bersyukur bahwa kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan tentang keberagaman gender, ekspresi gender, dan orientasi seksual (istilah lain untuk SOGIEB) itu terbuka lebar melalui program dan jaringan yang dibangun dan ditawarkan. Dengan berbagai rangkaian kegiatan, maka CD Bethesda juga mendesain beberapa kegiatan pelatihan dan workshop untuk lebih dalam mengenal dan memahami SOGIEB yang ditujukan bagi staf internal dan kelompok dampingan sebaya (KDS) dengan berbagai latarbelakang, yaitu komunitas sekolah, komunitas kaum muda gay, komunitas ODHA, dan lain-lain. Tentu saja rangkaian kegiatan itu juga sebagai hasil dari aktivitas peningkatan kapasitas yang dikerjasamakan dengan jaringan untuk menularkan “virus” change makers (pembuat perubahan). Salah satu pelatihan mengenal keberagaman gender dan seksualitas dilakukan pada bulan Agustus 2015 lalu, dimana saya dan rekan fasilitator lain (Mi dan Pr) diberi kesempatan untuk menularkan “virus yang baik” agar orang-orang muda yang diharapkan berperan menjadi change-makers juga lebih inklusif menerima keberagaman seksualitas yang mau-tidak mau telah menjadi realitas. Kebetulan saja saya sendiri pernah dilatih dan mendapatkan kesempatan memperdalam isu ini sejak 2007. Kesempatan menularkan virus untuk kebaikan itu tentu saja tidak bisa saya tolak, mengingat rekanrekan kerja yang masih muda baik usia dan pengalaman membutuhkan referensi yang lebih dalam. Pelatihan ini menyasar pada staf program di CD Bethesda yang dalam keseharian mendampingi komunitas muda di sekolah, komunitas muda ODHA dan komunitas LGBTQI dan anggota KDS yang selama ini menjadi mitra. Berbagai materi SOGIEB dan kebijakan yang disampaikan dengan metode yang kreatif agar tidak membosankan diberikan selama 3 hari. Diwarnai dengan canda, debat, dan masukan yang konstruktif, pelatihan menjadi begitu dinamis. Hal yang baru buat mereka adalah ketika menyadari bahwa terlepas dari keragaman pilihan (peran) gender dan orientasi seksual, semestinya setiap pribadi mendapatkan perlakuan yang adil dan dihargai sebagai manusia.
Memanusiakan manusia, siapapun dia. Hal ini yang ditekankan, bahkan ketika rekan-rekan muda LGBTQI sendiri seringkali lupa dan melanjutkan budaya kekerasan di antara mereka sendiri. Yogyakarta Principles, UU Kesehatan yang ternyata mencantumkan hak yang sama bagi SEMUA orang dengan latar belakang apapun, dan regulasi resmi di Indonesia yang mengatur HAM ternyata belum sangat familiar di antara mereka dan pekerja yang mendampingi komunitas ini. Pada akhir kegiatan dan kami sebagai fasilitator bertanya kepada peserta, pada umumnya mereka berkesimpulan bahwa mereka baru menyadari hak asasi yang mustinya mereka dapatkan adalah sama dengan orang lain. “Pencerahan bagi saya”, adalah kesimpulan yang melegakan buat kami para fasilitator, karena virus-virus perubahan sedikit demi sedikit mulai tertular dalam pikiran mereka.
Kesaksian Para Peretas Jalan Perubahan Bagi para kolega kami, munculnya kesadaran ini tidak serta merta datang dalam waktu yang singkat. Namun seiring perjumpaan mereka dengan komunitas muda LGBTQI, mampu mengubah cara pandang mereka. Simak saja kesaksian mereka yang saya tulis berikut ini: Nn (staf informasi dan komunikasi. Staf paling muda) “Sebelumnya saya masih berpikir bahwa peran utama perempuan adalah domestic, bersih-bersih rumah, perempuan harus bisa masak, mengurus anak. Setelah mendapatkan pencerahan tentang kesetaraan peran gender, saya mulai berpikir bahwa harus ada pembagian tugas yang sama antara lakilaki dan perempuan dalam urusan domestic. Terhadap komunitas LGBTQI, saya kemudian menyadari bahwa apapun pilihan gender dan oerientasi/ eksrepsi mereka harus tetap dihormati (hak asasinya)” Ni (staf keuangan, calon ibu sedang hamil muda) “Saya kini sudah bisa menerima keberadaan mereka, karena hakikatnya adalah sama, mereka manusia. Meski aku menyadari bahwa di Indonesia masih sering terjadi diskriminasi terhadap komunitas tersebut” Ibu Sd (manajer program, staf yang paling senior) “Bagi saya, organisasi remaja sangat berpotensi dalam “MENETAPKAN PERUBAHAN: CERITA KAMI”
25
mengkampanyekan sensitive gender. Sama halnya komunitas LGBT, juga merupakan aset dan potensi yang setara dengan lainnya. Berangkat dari hak asasi, kami menganggap setara, mereka perlu diberi ruang untuk berekspresi.” Md (staf pendamping komunitas/lapangan, ibu 2 orang anak yang sehat dan cerdas)
“Saya semakin bisa menghargai orang lain yang mempunyai orientasi seks selain hetero, misalnya gay. Dan yang saya alami ketika anak saya bertemu teman-teman saya yang homoseksual atau transgender, dia bisa paham dan tidak menganggap hal itu aneh. Selain itu, perubahan yang saya rasakan adalah membolehkan anak untuk bermain permainan yang biasa dilakukan oleh laki-laki (artinya tidak ada bias gender bahwa mainan itu hanya untuk anak perempuan atau anak laki-laki). Saya juga pada akhirnya meyakini bahwa sebagai perempuan saya bisa menjalankan fungsi sebagai kepala keluarga.”
menjadi lesbian itu langsung suka pada perempuan lain. Mereka memiliki kriteria sama seperti halnya pasangan heteroseksual, mereka memiliki kriteria. Sementara itu, pada umumnya peserta lain yang berangkat dari KDS memberikan kesan bahwa dalam diri mereka mulai terbentuk komitmen untuk saling menghargai dan mereduksi kekerasan berbasis seksual, gender, dan orientasi seksual. Agar hidup menjadi lebih adil, dan itu dimulai dari diri mereka sendiri dengan menerima keberagaman. Semoga virus-virus yang baik itu tertular kemanamana. Semoga keadilan sosial tercipta buat setiap manusia yang bernafas di Indonesia. Semoga jalan yang teretas itu tidak berhenti dan terputus, namun tetap terbentang di depan meski tidak mulus (karena tentangan dan tantangan dari berbagai pihak pasti ada). Dan semoga lahir pembuat perubahan muda baru semakin banyak. Warung Solo Kemang Jakarta, September 2015
Put (staf lapangan, berlatarbelakang kebidanan) “Saat sebelum berinteraksi dengan teman-teman dengan orientasi LGBTQI, saya merasa sedikit aneh pada diri mereka. Namun sekarang setelah banyak bergaul dan mendapatkan pelatihan gender, saya menjadi terbiasa dan tidak ada yang aneh lagi.” Pr (staf pendamping komunitas/lapangan masih muda) “Tadinya aku (menerima keberadaan komunitas LGBTQI) Cuma sebatas karena (tuntutan) pekerjaan, tetapi setelah itu aku baru tahu bahwa aku harus menghargai lebih. Kemudian, pengetahuanku tentang lesbi berubah, bahwa ternyata tidak semua perempuan memutuskan “Antologi Cerita Tentang Perubahan Yang Paling Signifikan Hasil Pengalaman Rutgers WPF Indonesia bersama Changemakers MSGD”
26
RINA - RIFKA ANISA Bersinggungan dengan isu keberagaman gender dan seksualitas sudah saya mulai ketika saya diutus lembaga menghadiri acara seminar yang diselenggarakan oleh Pelangi Perempuan pada tahun 2010. Nama saya Rn yang menjadi pendamping perempuan yang mengalami kekerasan di Rifka Annisa selama 8 tahun. Dengan agak terpaksa saya berangkat ke acara tersebut. Saya takut, ngeri, agak cemas ketika membayangkan berinteraksi langsung para para lesbian dan waria. Terbayang perilaku norak waria yang sering membuatku risih dan semakin males mengenal lebih jauh.
B
agaimana dengan lesbian ya, bagimana harus bernteraksi dengan mereka agar tidak terjadi intimasi? Acara tersebut memberi kesempatan saya untuk sekamar dengan lesbian, berinteraksi secara dekat dengan teman lesbian yang tinggal di Yogya, dan mendengar langsung perasaan-perasaan mereka. Saya menjadi tahu jika lesbian sama dengan heteroseksual yang memiliki ketertarikan pada seseorang yang ia tertarik bukan ke semua perempuan. duduk di sebelahnya tidak apa, tidur sekamar dengannya tidak apa, dan tidak ada yang ditularkan kepadaku sepertihalnya virus influenza. “aku sering maen bareng dengan emak-emak, biar bisa ketularan mereka, tapi ternyata gak tuh”, kata salah seorang lesbian. Kalimat itu sangat berkesan buatku dan membuatku memiliki keyakinan bahwa orientasi seksual tidak dengan mudah bisa berubah bahkan dengan cara pertemanan sekalipun. Setelah momen itu, aku mencari dan mendapatkan banyak pengetahuan mengenai LGBT dalam kurun waktu 2010-2012. Diskusi dengan teman-teman di Rifka Annisa dengan mengundang mas Yasir Alimi membuka mata saya untuk mampu memilah antara perilaku dan orientasi seksual. Diskusi tersebut juga menyadarkan saya bahwa urusan salah dan benar bukanlah menjadi ranah kita sebagai sesama manusia untuk menentukan. Karena kita sama-sama manusialah, maka seharusnya saudara-saudara kita yang memiliki orientasi seksual berbeda dengan kita tidak berhak mendapat perlakuan yang berbeda atau dipandang sebelah mata. Meski banyak perubahan pengetahuanku mengenai LGBT, aku masih meyakini bahwa jika seseorang menjadi lesbian yang disebabkan oleh trauma masa lalu dengan laki-laki yang belum pulih atau selesai, maka ia bisa diberi intervensi (terapi) agar ia tidak membenci laki-laki kemudian bisa heteroseksual. Lalu pada tahun 2012, Rifka Annisa menjadi salah satu lembaga yang dilibakan dalam learning trajectory dimana kami secara intensif mendapatkan peningkatan kapasitas mengenai LGBT dengan berbagai metode dan pendekatan. Kami menjadi mengerti mengapa transgender mudah diterima di “MENETAPKAN PERUBAHAN: CERITA KAMI”
27
Indonesia karena kami sudah terbiasa melihat dan berinteraksi dengan transgender sebelum adanya pengarusutamaan. Kami di Indonesia rupanya memiliki bukti sejarah yang menggambarkan bahwa pada zaman nenek moyang kami sudah ada identitas seksual dan gender yang beragam. Dari program tersebut, aku kemudian mengerti bahwa kita sering terjebak dalam symbol-simbol yang membuat kita mengkotak-kotakkan atau mengelompokkan. Padahal dengan kita terjebak pada symbol, kita menjadi mudah memberikan judgement. Maka sebaiknya kita mengingat kembali bahwa kita ada karena dan untuk tulusnya cinta dan kasih sayang. Bukankah kasih sayang dan cinta tidak memandang latar belakang suku, agama, warna kulit, serta demikian juga tidak memandang gender serta jenis kelamin. Mengikuti Training Of Trainer Pengarusutamaan Keragaman Gender dan Seksualitas (ToT PKGS) pada November 2014 merupakan kegiatan yang mengesankan karena saya mendapatkan hal baru. Melihat film yang diangkat dari kisah nyata seorang lesbian, menguatkan keyakinan saya bahwa homoseksualitas bukanlah diperoleh dari adanya trauma masa lalu. Selain itu saya disadarkan bahwa untuk menjalani kehidupan kita sebaiknya membebaskan diri dari belenggu kotak-kotak nilai social yang seringkali membuat kita menyingkirkan cinta sebagai dasar berelasi. Bahkan ketika relasi itu antara orang tua dan anak, penerimaan dan cinta kasih tanpa syaratpun butuh proses untuk dapat diwujudkan oleh orang tua dan anak. Saya juga tidak lagi berpikir bahwa lesbian yang memiliki trauma masa lalu dapat diterapi sehingga jika traumanya pulih bisa menjadi heteroseksual. Orientasi seksual dan trauma psikologis merupakan hal yang berbeda, dan sekarang saya bisa memilahnya. Perjalanan Rifka Annisa sebagai lembaga yang berbasis pada ideology feminisme dan memperjuangkan eliminasi kekerasan terhadap perempuan, sudah menerima beberapa aduan yang berasal dari lesbian, waria, dan guy sejak jauh sebelum Rifka Annisa terlibat dalam learning trajectory. Mereka datang karena merasa membutuhkan bantuan untuk
pemecahan masalahnya. Selain itu, Rifka Annisa juga sering menerima klien perempuan yang mengalami kekerasan dari suami yang guy. Tujuh tahun lalu, kami melakukan tindakan responsive untuk membantu dengan sangat terbatasnya pengetahuan yang dimiliki oleh konselor/pendamping. Masih terjadi, pendamping merasa ragu untuk mendampingi kasus yang berkaitan dengan persoalan LGBT. Akhirnya merujukkan kepada konselor lain yang dianggap lebih siap dan mampu. Seiring dengan semakin banyaknya staf yang terlibat dalam pertemuan-pertemuan yang membahas isu LGBT, maka semakin banyak ruang untuk mendiskusikan secara terbuka baik di ruang diskusi kelembagaan formal maupun di ruang diskusi informal ketika makan siang. Teman-teman terutama pendamping/konselor tidak lagi memiliki kegamangan ketika berhadapan dengan kasus yang bernuansa LGBT. Kondisi level kesadaran yang meningkat membuat kami melihat kembali dokumen-dokumen lembaga untuk memastikan tidak ada diskriminasi yang tertuang dalam dokumen kelembagaan tersebut. Dulu kami melakukan untuk dikaitkan dengan isu yang lain misalnya disabilitas, HIV/AIDS. Awal tahun 2014, ketika membahas perencanaan tahunan, kami membahas kembali posisi Rifka Annisa sebagai lembaga pengada layanan terhadap kasuskasus yang menimpa LGBT. Sudah banyak kasus yang didampingi, namun secara kelembagaan belum memiliki posisi yang bisa dijadikan pegangan bagi para staf. Dari pertemuan tersebut disepakati Rifka Annisa tidak mentolerir kekerasan. Rifka Annisa mendampingi perempuan yang mengalami kekerasan tanpa melihat identitas gender dan orientasi seksualnya. Kemudian, ketika awal tahun 2015 dalam perencanaan tahunan dan refleksi pengorganisasian yang dilakukan Rifka Annisa selama ini, Rifka Annisa kembali mendiskusikan filosofi nama Rifka Annisa, visi misi, dan strategi untuk perjuangan ke depan. Visi misi Rifka Annisa dibedah kembali untuk melihat apakah masih relevan dengan arah Rifka Annisa sebagai Pusat Pengembangan Sumber Daya. Sampai dengan saat ini, visi misi lembaga masih dalam pembahasan untuk merumuskan visi misi yang disepakati dan memuat strategi lembaga.
“Antologi Cerita Tentang Perubahan Yang Paling Signifikan Hasil Pengalaman Rutgers WPF Indonesia bersama Changemakers MSGD”
28
Keterbukaan untuk membahas isu LGBT di Rifka Annisa berdampak pada semakin banyaknya staf dan relawan yang menjadi meningkat pengetahuannya mengenai keberagaman gender dan seksualitas. Hal ini menjadikan peningkatan sensitifitas staf di lembaga untuk selalu menggunakan perspektif keberagaman dalam membuat keputusan mulai level teknis hingga pada level strategis. Pada level teknis misalnya, bagaimana desain sampul modul yang menggambarkan sebuah keluarga, teman-teman sudah menggunakan perspektif keberagaman gender dan seksualitas. Lalu ketika membuat desain materi untuk relawan, keberagaman gender dan seksualitas menjadi bagian dari materi pengetahuan tentang gender. Ketika ada yang magang ke Rifka Annisa, keberagaman gender dan seksualitas juga disampaikan sebagai pengetahuan dasar untuk membangun sensitifitas. Relawan belajar dan pemagang yang berasal dari berbagai propinsi di Indonesia, bagi Rifka Annisa adalah asset, dan memberikan mereka perspektif mengenai keberagaman gender dan seksualitas selain mengenai kekerasan terhadap perempuan berbasis gender adalah investasi. Ketika mereka kembali ke daerah asalnya atau komunitasnya, mereka sudah memiliki sensitifitas terhadap LGBT dan harapannya apa yang mereka peroleh selama di Rifka Annisa akan ditularkan kepada komunitasnya. Dalam mekanisme layanan Rifka Annisa, SOP layanan di Divisi Pendampingan sudah menggunakan prinsip menerima perempuan yang mengalami kekerasan tanpa memandang latar belakang identitas gender dan seksualitas.
“MENETAPKAN PERUBAHAN: CERITA KAMI”
P Merubah perilaku CAHYO - YAYASAN PULIH
Pertama kali saya ikut pelatihan tentang seksualitas adalah pada saat Pulih mengadakan pelatihan untuk fasilitator masyarakat dalam program yang mendorong pelibatan lak-laki untuk menghentian kekerasan terhadap perempuan. Materi seksualitas (dan keberagamannya) menjadi salah satu materi dalam pelatihan tentang gender, maskulinitas dan kekerkasan. Saat itu saya belum terlalu paham apa itu seksualitas. Setelah mengikuti pelatihan itu ada perubahan pemahaman tentang keberagaman seksualitas, bahwa seksualitas itu cair. Memang pelatihan tersebut lebih banyak menguatkan pemahaman saya dan bukan sikap atau perilaku saya karena jauh sebelumnya saya sudah lebih bisa menerima dan menghargai keberagaman seksualitas dan gender. Bahkan pada masa kuliah saya terlibat dalam penelitian lapangan selama 1 bulan dengan komunitas waria terkait dengan perilaku seksual dan kesehatan reproduksi mereka. Pengalaman tersebutlah yang merubah sikap dan perilaku saya.
elatihan itu pun saya anggap belum mampu membuat saya berpikir untuk bertindak sesuatu yang terkait dengan keberagaman seksualitas dan gender. Saya hanya berpikir sampai pada tataran pengetahuan dan pemahaman saja. Kalaupun berniat untuk menyampaikan kepada orang lain, saya masih belum berani dan cukup percaya diri dengan pemahaman yang saya miliki. Menurut saya topic ini cukup berat dan membingungkan bagi banyak orang sehingga untuk menyampaikan secara terang benderang diperlukan orang yang memiliki pemahaman konseptual yang kuat. Bisa dibilang pelatihan yang saya dapatkan saat itu belum membuat saya mencoba mengarusutamakan seksualitas dalam organisasi Pada November 2014 ketika Pulih mendapat undangan menghadiri pelatihan ToT tentang Seksualitas yang diadakan oleh Rutgers WPF bekerjasama dengan Ardhanary Institute. Saya pun dikirimkan untuk mewakili Pulih dalam pelatihan tersebut. Pelatihan tersebut lebih memberikan gambaran pada saya bagaimana menerapkan secara lebih konkrit pemahaman yang saya miliki terhadap isu keberagaman seksual. Saya menjadi tahu strategi seperti apa yang bisa saya lakukan untuk mengarusutamakan isu keberagaman seksusual dan gender ini ke dalam kepada orang lain dan juga ke dalam organisasi Pulih dengan kerja-kerjanya maupun dengan kebijakan-kebijakan organisasinya. Pemetaan organisasi terkait dengan isu keberagaman juga memberikan penecerahan pada saya tentang apa yang perlu diperbaiki dalan kerangka organisasi Pulih terkait isu tersebut. Pelatihan juga membuat say amengenal bahwa ada organisasi-organisasi lain yang juga berusaha bersama mengarusutamakan gender dan seksualitas dalam organisasi mereka maupun dalam kerja-kerja mereka seperti Ardhanary, PKBI Jakarta dll. Jaringan organisasi ini dikemudian hari dilibatkan Pulih ketika Pulih membutuhkan orang-orang yang paham tentang gender dan seksualitas dalam berbagai lokakarya maupun pelatihan yang dilakukan oleh Pulih. Memang selama ini Pulih pernah terlibat dengan organisasi LGBT seperti Arus Pelangi namun tidak
30
secara konsisten membangun jaringan dengan organisasi semacam itu. Pulih juga cukup terbuka terhadap individu atau organisasi yang bergerak dalam pengarusutamaan gender dan seksualitas. Namnun semua itu lebih banyak dalam bentuk konsensus organisasi, dan belum menyentuh kebijakan tertulis sehingga di masa depan sikap toleransi dan menghargai keberagaman tersebut akan sangat tergantung pada personel yang ada di Pulih. Pulih sendiri juga sudah melibatkan teman-teman gay untuk menjadi fasilitator muda dalam kegiatan Pulih. Bahkan keduanya pun tanpa dibedakan sama-sama didorong untuk menguatkan kapasitasnya agar dapat menjadi seorang konselor, sama seperti beberapa fasilitator muda yang memiliki orientasi heteroseksual lainnya. Keberadaan teman-teman gay ini dapat diterima dengan baik oleh teman-teman di Pulih yang tidak berinteraksi langsung dengan mereka yaitu temanteman di program lain dan juga di bagian umum. Namun memang perlu diakui ada beberapa mitra psikolog pulih yang masih memiliki kekhawatiran dan bias terhadap mereka yang memiliki orientasi seksual dan gender yang berbeda. Pasca pelatihan November memang tidak banyak yang bisa saya lakukan dikarenakan banyaknya kegiatan yang melibatkan saya di pulih hingga kemudian ada undangan lagi untuk pertemuan lanjutan di bulan Juni 2015. Selama rentang waktu November menuju Juni, saya hanya sekedar berbagi apa yang saya dapatkan dalam pelatihan di Pulih dan membuat perencanaan untuk mengadakan refreshment training bagi fasilitator muda terkait topic seksualitas dan kesehatan reproduksi. Selain itu juga mendukung ketika isu seksualitas dijadikan salah satu materi penguatan mitra Men Care (salah satu program Rutgers-WPF) dari berbagai daerah dan mengundang narasumber-narasumber yang membahas isu seksualitas secara lebih mendalam seperti dari sisi agama (Islam dan Kristen). Saya pun terlibat dalam pengembangan modul bagi tenaga kesehatan untuk mendorong pelibatan laki-laki dalam meningkatkan kesehatan ibu dan anak dan menekan angka kematian ibu saat melahirkan. Modul tersebut juga memasukkan isu keberagaman gender dan seksualitas di dalamnya.
Kami pun (termasuk saya) melatih beberapa tenaga kesehatan untuk menguji coba modul tersebut. Pada bulan Juni 2015 ada pertemuan lanjutan yang membahas tindak lanjut yang lebih konkrit. Pertemuan ini saya rasa untuk membantu para pembuat perubahan ini merencanakan yang lebih konkrit dalam pengarusutamaan gender dan seksualitas dalam kerja-kerja organsasinya. Hal inilah yang saya rasakan selama mengikuti pertemuan tersebut. Pertemuan tersebut memberi saya ide bagaimana berstrategi untuk mengarusutamakan isu gender dan seksualitas ke dalam kerja-kerja Pulih terutama yang terkait dengan mitra psikolog dan konselor. Pertemuan tersebut juga membuat saya dan juga Pulih mengembangkan jaringan baru karena bertemu dengan teman-teman GWL INA. Pertemuan tersebut memberikan saya ide untuk bekerjasama dengan Ardhanary dalam mengembangkan kepekaan mitra psikolog dan konselor Pulih dan juga mungkin staf Pulih terhadap keberagaman gender dan seksualitas. Bentuk kegiatan yang terpikirkan saat itu adalah memagangkan (menempatkan) mitra psikolog/ konselor/ staf Pulih tersebut di Ardhanary untuk belajar tentang keberagaman gender dan seksualitas serta mengasah kepekaan mereka terhadap isu tersebut. Fokus utamanya adalah untuk menguatkan kapasitas mitra psikolog dan konselor tersebut sehingga ketika berhadapan dengan kelayan di Pulih yang memiliki identitas gender dan seksual beragam mereka dapat lebih peka, tidak bias dan bersikap professional. Pasca pelatihan mulailah ide tersebut saya gulirkan ke beberapa teman-teman Pulih terutama temanteman pengurus. Saya pun menaruh ide tersebut dalam kerangka pengembangan kapasitas personel dan organisasi Pulih ke depan. Ide ini sangat didukung oleh teman-teman dan mulailah proses mewujudkan ide tersebut. Saya mencoba melakukan “survey” kecilkecilan terhadap teman-teman mitra psikolog dan konselor Pulih dan banyak diantaranya yang justru berharap ide tersebut dapat dilakukan secepatnya. Pada saat yang bersamaan banyak hal yang terjadi di Pulih yang mendorong percepatan ide diantaranya “MENETAPKAN PERUBAHAN: CERITA KAMI”
31
perubahan di dalam Pulih sendiri untuk mulai fokus menguatkan dan meluaskan pemahaman isu yang terkait dengan kekerasan. Selama ini Pulih lebih banyak menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, anak dan pelanggaran HAM termasuk konflik dan bencana dalam kerja-kerjanya. Namun saat ini lingkup itu terasa kurang memenuhi perubahan yang terjadi di luar Pulih. Ada kebutuhan dari Pulih untuk membangun system rujukan dengan oerganisasi-organisasi di luar jaringan yang selama ini terlibat terutama jaringan-jaringan HIV AIDS dan juga LGBT. Di pihak lain Pulih yang bekerjasama dengan ALB melakukan perekrutan dan pelatihan fasilitator muda geombang kedua yang dilakukan secara terbuka. Ternyata melalui metode ini banyak terjaring teman-teman gay yang tertarik untuk belajar tentang gender, maskulinitas dan kekerasan dan bersemangat untuk menjadi fasilitator muda yang menjadi jaringan mitra Pulih ke depan. Selain itu klinik konseling Pulih mulai kedatangan kelayan yang membutuhkan layanan konseling keluarga terkait dengan identitas gender dan seksual yang dialami anaknya. Kondisi-kondisi ini seperti mempermudah proses perubahan yang sedang terjadi di Pulih. Hingga saat ini proses tersebut masih berjalan dan mungkin akan ada tantangan-tantangan ke depan. Namun saat ini saya masih optimis dengan berbagai modal awal untuk perubahan yang dimiliki oleh Pulih perubahan di tingkat organisasi tersebut dapat berjalan optimal.
“Antologi Cerita Tentang Perubahan Yang Paling Signifikan Hasil Pengalaman Rutgers WPF Indonesia bersama Changemakers MSGD”
32
Perjalanan P FITRI - PKBI DIY
Memanusiakan
Manusia
Kehidupan bagi saya adalah sebuah tantangan, bagi saya tantangan adalah sebuah hal yang sangat menyenangkan, walaupun penuh dengan resiko namun hal itu bukan lah menjadi penghalang untuk melangkah mencari sesuatu hal yang ingin saya ketahui. Satu kehidupan yang membawa saya menjadi orang yang lebih bisa menghargai keberagaman yang ada di dunia ini. Semua berawal dari rasa penasaran dan keingintahuan yang tinggi terhadap teman-teman LGBT yang membawa saya bergabung dan berjuang bersama dalam pergerakan memperjuangkan hak-hak temanteman LGBTkhususnya transgender yang ada di Kota Yogyakarta melalui PKBI DIY.
anggilan hati ini datang ketika banyak orangorang yang memandang mereka dengan sebelah mata, serta menganggap mereka menyalahi kodrat. Hati nurani ini merasa tergugah dan terpanggil, sehingga dengan keyakinan yang besar saya bertekad untuk ada diantara mereka. Memang bukan hal yang mudah ketika kita membawa isu mengenai LGBT, butuh keberanian besar dan penguatan mental untuk menghadapi resiko-resiko yang mungkin terjadi seperti cibiran, hujatan, cemo’oh bahkan sampai pada aksi kekerasan yang berujung pada pemukulan. Hal itu sudah coba saya pahami karena memang isu LGBT cukup resisten. Sampai pada kejadian dimana terjadi kekerasan yang berujung pada aksi pemukulan yang saya alami bersama teman-teman lainnya dari PKBI DIY pada moment peringatan International Transgender Day di Yogyakarta. Pemukulan itu dilakukan oleh sekelompok orang yang tidak menerima teman-teman LGBT . Hal itu sempat membuat saya down, takut bahkan trauma dan berfikir untuk keluar dari perjuangan ini. Hal itu disebabkan karena ketakutan yang luar biasa dan trauma yang mendalam bahkan sempat tidak berani keluar kos dan menyingkirkan benda-benda yang berwarna merah. Namun berkat pengutan dari temanteman PKBI DIY saya mencoba untuk bangkit dan sedikit demi sedikit menghilangkan trauma itu sampai pada pengiriman saya ke Jakarta yang dilakukan oleh lembaga PKBI DIY untuk mengikuti program PKGS dan harapannya bisa sedikit menghilangkan trauma dan melupakan kejadian di malam itu. November 2014 membawa saya untuk belajar lebih mengenai LGBT dan keragaman seksual di Jakarta yang diadakan oleh RutgersWPF dalam program Pengarusutamaan Keragaman Gender dan Seksualitas (PKGS). Harapan ketika PKBI DIY mengirim saya untuk mengikuti pelatihan ini, selain untuk bisa sedikit menghilangkan trauma juga belajar dan menggali lebih banyak lagi ilmu mengenai isu Gender dan seksualitas sehingga hal itu dapat menjadi bekal tambahan dari apa yang saya peroleh di PKBI DIY mengenai SOGIEB selama ini. Di pelatihan PKGS tahun 2014 , saya bertemu dengan orang-orang dari berbagai daerah dan lembaga yang ikut perjuang “MENETAPKAN PERUBAHAN: CERITA KAMI”
33
dalam pemenuhan hak-hak dari teman-teman LGBT yang ada di Indonesia. Dari pelatihan ini seluruh peserta yang hadir diharapkan bisa menjadi change makers di lembaganya masing-masing untuk lebih bisa melakukan pengarusutamaan gender dengan tujuan tidak lagi ada stigma dan diskriminasi terhadap teman-teman LGBT di lembaganya masing-masing. Dengan adanya pelatihan ini, hati, pikiran dan mata saya terbuka untuk lebih semangat dan yakin dalam perjuangan hak teman-teman LGBT karena saya tidak sendiri, ada banyak teman-teman yang juga ikut dalam pergerakan ini. Sejak mengikuti pelatihan PKGS, saya lebih semangat lagi untuk mendorong dan mendukung perjuangan teman-teman komunitas LGBT di Yogyakarta yang menjadi dampingan PKBI DIY. Dalam hal ini saya tidak pernah melihat atau membenturkan dari sisi agama, karena saya meyakini bahwa agama ataupun keyakinan ini sifatnya prifasi tidak bisa dipaksakan dan menjadi tanggungjawab masing masing individu sebagai makhluk Tuhan, namun saya lebih melihat dari sisi kemanusiaan yakni bagaimana saya bisa memanusiakan manusia dengan saling menghargai, menghormati, dan menerima satu sama lain, karena saya meyakini semua makhluk yang ada di dunia ini adalah ciptaan Tuhan dengan keanekaragaman-NYA yang indah seperti yang dikatakan dalam Islam ‘’Perbedaan adalah Rahmat’’. Selain itu saya juga meyakini bahwa tidak ada satupun agama yang diciptakan untuk melakukan kekerasan ataupun diskriminasi, karena agama itu di ciptakan untuk memanusiakan manusia, jika tidak bisa memanusiakan manusia maka jangan berbicara agama, hal itulah yang dikatakan oleh Ustad Arif (salah satu Ustad Pondok Pesantren Waria Al Fattah)”. Beberapa bulan setelah mengikuti pelatihan itu saya mencoba untuk melakukan suatu perubahan di lingkup organisasi tempat saya bekerja yakni PKBI DIY Cabang Kota Yogyakarta. Saya melihat bahwa pengorganisasian komunitas yang di marginalkan dimana salah satunya adalah komunitas LGBT, ini kurang mendapat perhatian dari staff, selain itu saya juga melihat di jajaran pengurus yang tidak
pernah bersentuhan langsung dengan teman teman komunitas LGBT dampingan PKBI. Permasalahannya adalah kurangnya pemahaman mengenai isu gender, dan LGBT serta sensitifitas yang belum terbangun untuk teman teman LGBT. Ini menjadi catatan khusus bagi saya yang harus segera ditindaklanjuti agar isu SOGIEB menjadi cair di PKBI DIY Cabang Kota Yogyakarta. Karena sempat dalam sebuah diskusi kecil bersama teman-teman relawan cabang kota ada yang masih menstigma teman-teman LGBT, namun kemudian dengan bekal yang cukup banyak dari pelatihan PKGS yang pernah saya ikuti , saya bersama tim Assisting Cabang Kota Yogyakarta dan teman teman dari pengorganisasian komunitas yang dimarginalkan bersama-sama mencoba memberikan pemahaman kepada mereka untuk lebih paham tentang isu SOGIEB dan LGBT. Dan hal itu terbukti dengan sikap dari teman teman relawan yang sedikit demi sedikit tidak lagi menstigma dan mendiskriminasi teman-teman LGBT, tentu hal itu bukan hal yang mudah karena perspektif mengenai SOGIEB di teman-teman relawan harus selalu dibangun dengan materi maupun dengan cara mendekatkan mereka untuk bisa berinteraksi langsung dengan teman-teman dan melibatkan langsung dengan kegiatan yang ada di teman-teman komunitas. Permasalahan yang tidak kalah pentingnya yaitu permasalahan yang ada di para rekan, hal itu sempat membuat saya marah, kesel dan emosi karena ketidakpedulian mereka terhadap temanteman LGBT. Saya merasa jika hal ini tetap dibiarkan saja akan sangat tidak baik untuk organaisasi maupun komunitas.karena dengan tidak adanya kepedulian maka tidak adanya upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh organisasi untuk ikut membantu memperjuangkan hak-hak komunitas, terutama permasalahan di komunitas transgender yang cukup banyak dan butuh perhatian khusus dalam upaya pemenuhan hak sebagai warga Negara. Melihat kondisi ini saya tidak bisa berdiam diri, saya merasa harus perbuat sesuatu agar kondisi ini bisa berubah. Untuk melakukan hal itu juga bukan hal yang mudah buat saya, karena antara yakin dan tidak apakah saya bisa melakukan hal itu karena
“Antologi Cerita Tentang Perubahan Yang Paling Signifikan Hasil Pengalaman Rutgers WPF Indonesia bersama Changemakers MSGD”
34
memang tidak mudah kita bisa memberi pemahaman mengenai isu LGBT. Dengan tekad yang besar saya mencoba untuk mengajak para rekanagar bisa lebih mengenal dan memahami teman-teman komunitas untuk ikut terlibat langsung dalam kegiatan temanteman LGBT khususnya transgender. Berkali kali saya mendapat penolakan dengan alasan, saya melihat hal itu terjadi karena ketidaksiapan mereka untuk terjun langsung. Namun tanpa rasa putus asa saya tetap terus mencoba dan mencoba untuk selalu mengajak berinteraksi langsung dan mengenal lebih dekat dengan komunitas seperti pepatah yang mengatakan bahwa ‘’Tidak kenal maka tidak sayang’’. Dengan usaha keras akhirnya sedikit demi sedikit usaha itu berhasil dan sekarang staff dan pengurus PKBI Cabang Kota Yogyakarta sudah mau berinteraksi dan ikut dalam kegiatan teman teman baik di teman-teman transgender maupun komunitas yang dimarjinalkan lainnya. Sekarang kami bersama sama saling bekerja keras untuk upaya pemenuhan hak hak teman-teman transgender dan lainnya. Bukan hal mudah untuk bisa masuk diantara temanteman transgender, saya butuh waktu yang lama untuk bisa mendapat kepercayaan dan penerimaan dari mereka. Hal itu pula yang coba saya yakinkan pada staff. Karena kita harus bisa membangun kepercayaan pada teman-teman untuk bisa dekat dengan mereka. Dengan usaha keras, saya mencoba meyakinkan mereka agar mereka bisa merasa nyaman dan bisa menerima saya serta bisa terbuka dengan saya untuk lebih mudah dalam proses dampingan dan perjuangan. Melalui pendekatan itu saya mencoba untuk lebih meyakinkan mereka atas pilihan hidup mereka, karena memang ada banyak diantara mereka yang hampir putus asa dalam hidup terutama mengenai isu agama yang sering dibenturkan dengan gender mereka. Dalam kesempatan disebuah pertemuan rutin bulanan yang dilakuakn oleh setiap titik komunitas saya mencoba meyakinkan teman-teman untuk tetap yakin pada dirinya karena Tuhan tidak pernah membeda-bedakan umatnya dalam beribadah. Saya mencoba untuk meminta teman-teman agar jangan menghiraukan stigma-stigma yang dilakukan oleh golongan tertentu yang justru malah akan melemahkan keyakinan teman-
teman, “tetaplah menjalankan ibadah sesuai keyakinan dan kepercayaan teman-teman karena Tuhan tidak pernah membeda-bedakan makhluk ciptaannya”. Ini sedikit kutipan yang saya lontarkan kepada temanteman untuk lebih menguatkan teman-teman dari sisi agama, karena memang ada banyak orang yang selalu mengatakan bahwa ibadahnya transgender ataupun LGBT tidak akan pernah di terima oleh Tuhan. Stigma ini membuat teman-teman down dan putus asa, oleh sebab itu saya mencoba untuk lebih menguatkan teman-teman agar tetap yakin pada dirinya dan pada keyakinannya. dan hasilnya pun teman-teman tetap menjalankan keyakinannya dan tetap mengikuti kegiatan-kegiatan di pondok pesantren waria yang ada di Yogyakarta. Pada kesempatan lain berdasarkan informasi yang diterima dari Dinsos Kota Yogyakarta bahwa ada program produktif yang bagus untuk di akses oleh teman-teman transgender, maka dengan ini saya mencoba mendorong komunitas transgender untuk mendaftarkan organisasinya ( dalam hal ini adalah IWAYO (Ikatan Waria Yogyakarta) sebagai orsos atau organisasi sosial, karena menurut saya tawaran dari Dinsos cukup bagus dan dapat mendekatkan temanteman transgender dengan pemerintah dengan harapan pemerintah dapat lebih memperhatikan kebutuhan dan permasalahan yang ada di temanteman transgender, misalnya salah satunya adalah permasalahan mengenai KTP yang memang menjadi permasalahan yang cukup penting di teman-teman transgender. Karena masih banyak teman-teman waria yang ada di Yogyakarta yang tidak memiliki KTP terutama mereka yang berasal dari luar Kota Yogyakarta. Padahal KTP ini sangat penting untuk teman-teman waria yang ada di Yogyakarta sebagai identitas mereka yang tinggal di Kota Jogja. Semoga dengan pendekatan dan kerjasama ini permasalahan yang ada di transgender sedikit bisa terbantu serta akses transgender menjadi lebih mudah sehingga teman-teman transgender lebih berdaya. Selain hal itu kami melalui PKBI cabang Kota Yogyakarta juga berhasil membuat suatu kegiatan dimana kami semua mempertemukan tiap titik “MENETAPKAN PERUBAHAN: CERITA KAMI”
35
komunitas dampingan PKBI cabang Kota Yogyakarta harapannya selain memang untuk PKGS, juga agar mereka semua saling mengenal, memahami , menghargai, mengetahui permaslahan serta kebutuhan dimasing-masing komunitas dampingan dan dapat menghilangkan stigma maupun diskriminasi khususnya di kelompok temana-teman LGBT, sehingga ada rasa saling menguatkan satu sama lain untuk bisa bersama-sama mendorong dan mendukung dalam pemenuhan hak-hak disetiap komunitas dampingan serta dapat terwujudnya Blok Sosial Baru yang memang menjadi salah satu tujuan dari PKBI DIY. Adapun beberapa kegiatan dalam proses PKGS yang sudah dilakukan oleh PKBI Cabang Kota Yogyakarta selama masa hampir satu tahun ini yaitu audiensi dengan DPRD Kota Yogyakarta (25 Mei 2015), audiensi dengan beberapa jaringan PKBI untuk pemenuhan hak Kespro dalam Jogja Update (25 April 2015), membedah shalatnya waria dalam peringatan pengajian Isra Mi’raj (16 Mei 2015), dan pertemuan forum guru dengan komunitas LGBT yang baru akan dilaksanakan di akhir bulan ini. Semua kegiatan di atas menghadirkan seluruh titik komunitas dampingan PKBI Cabang Kota Yogyakarta. Hal ini dapat terwujud berkat kerja Tim dari PKBI Cabang Kota Yogyakarta dan PKBI DIY yang selalu mensuport kegiatan disetiap titik komunitas, terimakasih semua relawan dan staf PKBI Cabang Kota Yogyakarta. Terimakasih untuk Tim Assisting PKBI Cabang Kota Yogyakarta yang sudah banyak membantu, teman-teman PPK (pengorganisasian komunitas yang di marginalkan . Kalian semua Luar Biasa.
“Antologi Cerita Tentang Perubahan Yang Paling Signifikan Hasil Pengalaman Rutgers WPF Indonesia bersama Changemakers MSGD”
36
Eksistensi P Diri Seorang Lesbian dari Lingkup Keluarga hingga tempat kerja INO - ARDHANARY INSTITUTE
erjalanan berkomunitas akhirnya membawaku sampai pada saat ini, membawaku pada tempat pembelajaran yang lebih tinggi. Kini sudah 3 tahun aku aktif di Ardhanary Institute. Di organisasiku saat ini tentu aku dihadapkan pada banyak hal dan ilmu yang baru. Jika dulu aku tak mempunyai keberanian untuk berbicara didepan umum, ditempat inilah aku dilatih untuk mempunyai pembekalan dan keberanian. Awal – awalnya tentu aku masih terbata – bata saat memberikan testimoni atau menjadi narasumber, tetapi kini organisasiku tak ragu lagi untuk merekomendasikan dan mempercayaiku dalam berbagai kegiatan. Banyak pengalaman yang berkesan dan tak terlupakan saat aku menjadi bagian dalam tubuh organisasiku. Saat tahun pertama aku di Ardhanary Institute, aku dilatih untuk memberikan testimoni perjalananku sebagai seorang lesbian disebuah universitas dengan peserta hampir 50 orang. Meski pada awalnya grogi dan sempat menangis karena teringat kisah masa lalu, tetapi aku mendapatkan support dari beberapa orang yang memberikan ucapan salut padaku. Pengalaman tersebut kemudian di ikuti dengan pengalaman testimoni lainnya di berbagai tempat yang menjadi mitra Ardhanary Institute.
“orang sepertiku” demikian Ibu memberikan isyarat padaku. Aku tak ingin mengecewakan apa yang diharapkan oleh Ibuku, selama di jakarta aku mulai bergabung dengan komunitas yang kebanyakan lesbian muda. Banyak pengalaman yang kudapatkan selama berkomunitas, selain mendapatkan teman aku juga mendapatkan banyak ilmu yang bermanfaat. Bahkan, manfaat tersebut tetap dapat aku nikmati meskipun aku sudah tidak terlalu aktif dalam komunitas lesbian muda.
Ditahun kedua aku dilatih untuk belajar memfasilitasi diskusi film bagi mahasiswa yang melakukan intership, mahasiswa tersebut dari berbagai universitas, contohnya ada yang dari Sekolah Tinggi Teologi Jakarta dan Universitas Indonesia. Aku tak dilepas sendirian saat memfasilitasi tersebut, aku masih dibantu oleh salah satu program manager AI yang sudah banyak pengalaman sebagai fasilitator, orang tersebut adalah Kak Ly. Selama aku memfasilitasi, Kak Ly hanya melihat dan menambahkan bila ada penjelasanku yang kurang. Setelah sesi diskusi selesai, kami berdua melakukan evaluasi, Kak Ly memberikan banyak sekali masukan yang membuatku makin terampil dalam memfasilitasi. Hasilnya? Di tahun ketiga aku dipercaya memfasilitasi seorang diri komunitas LBT di jabodetabek. Setiap keberhasilan kecilku selama aku bergabung di organisasi selalu kusampaikan kepada Ibu ku. Ibuku “MENETAPKAN PERUBAHAN: CERITA KAMI”
37
pun turut bahagia mendengar berita tersebut. Ya! Ibuku sudah mengetahui dimana aku bekerja, bahkan dia kadang beberapa kali berkunjung ke organisasiku. Tidak hanya aku yang mempunyai banyak pengalaman dengan Ardhanary Institute. Bahkan Ibuku juga mempunyai cerita tersendiri. Ibuku pernah satu kali diundang oleh organisasiku untuk menjadi narasumber dikegiatan family support, dikegiatan itu Ibuku berbagi cerita tentang seorang Ibu yang tetap mencintai dan mendukung anaknya, meskipun anaknya seorang lesbian, menurut Ibuku “Yang penting anaknya bahagia, tugas kita sebagai orangtua hanya membuatnya bahagia.” Berkat kegiatan tersebut, Ibuku kini juga kerap di undang untuk memberikan testimoni. Aku lega dan bahagia dengan semua yang kesempatan yang datang padaku. Aku mempunyai keluarga yang hebat dan mempunyai rekan-rekan ditempat kerja yang saling support. Kini yang harus dilakukan adalah melanjutkan perjuangan yang sudah dimulai. Di jabodetabek khususnya, komunitas LBT sangat banyak, mereka sudah berani menunjukkan eksistensinya meskipun tetap dengan hati – hati. Pemberian informasi harus tetap dilakukan dengan menyeluruh. Meskipun tidak semuanya bisa dan mau datang aktif dalam kegiatan, kita tetap bisa melakukan penyebaran informasi melalui media sosial lainnya baik website, facebook, blog, twitter, dan lain sebagainya. Seperti yang dilakukan oleh Ardhanary Institute, kami memiliki website keren yang didalamnya memuat berbagai informasi, baik dari penanganan dan pencegahan kekerasan, sejarah dari gerakan lesbian, informasi buku terkait dengan LBT bahkan tentang berita artis mancanegara yang memberikan dukungan terang- terangan bagi LGBT. Selain website kami juga mempunyai grup tertutup di facebook, sudah lebih dari 3.000 member didalamnya. Melalui grup tersebut, kami lebih leluasa dalam berdiskusi curah pendapat ataupun berbagi informasi kegiatan.
dan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) di grup facebook tersebut, banyak teman yang merespon dan datang saat pelaksanaan kegiatan. Setiap kegiatan selalu di ikuti oleh 10 – 32 peserta komunitas LBT di jabodetabek. Rangkaian kegiatan yang dilaksanakan berlangsung dengan lancar dan terdokumentasikan dengan baik. Bahkan di sesi materi terakhir terkait HKSR, aku yang saat itu berperan sebagai fasilitator mengajak peserta yang datang untuk tidak takut dalam mengakses layanan kesehatan. Karena jika membicarakan soal kesehatan, kita harus mempunyai tanggungjawab terhadap diri sendiri, tidak malas mencari informasi dan mempunyai kepedulian untuk melakukan pemeriksaan. Bahkan fasilitator memberikan link Pro Care Klinik di PKBI DKI apabila teman – teman yang datang merasa tidak menemukan klinik yang ramah terhadap LGBT. Bahkan fasilitator juga menawarkan apabila teman – teman komunitas masih merasa malu atau takut, kita semua bisa menentukan jadwal dan pergi bersama- sama. Dulu saya memang merasa tidak terlalu penting jika mempelajari tentang HKSR, karena berfikir perjuangan LGBT hanya lekat kepada isu seksualitas. Kini pemikiran tersebut tentu saja sudah dibuang jauh – jauh, HKSR mencakup banyak sekali komponen yang berkaitan dengan LGBT. Bahkan untuk memperkaya pemahaman tersebut, melalui program didalam organisasi, aku sempat ditugaskan untuk internship dan melakukan kerjasama dibeberapa lembaga dengan fokus isu yang berbeda misalnya intership di PKBI Jambi dan Rifka Annisa serta pernah melakukan kerjasama dengan Yayasan Pelita Ilmu. Berbagai pengalaman dan pembelajaran tersebut tentu sangat membantu dalam perubahan pemikiran dan kerja – kerja kedepan dalam melakukan joint advokasi antara organisasi LGBT dan organisasi yang fokus dalam kerja HKSR.
Bahkan saat juni 2015 lalu, saat aku menyebarkan undangan kegiatan diskusi berseri komunitas LBT tentang seks gender, SOGIEB, Yogyakarta Principles “Antologi Cerita Tentang Perubahan Yang Paling Signifikan Hasil Pengalaman Rutgers WPF Indonesia bersama Changemakers MSGD”
38
ENNY - YAYASAN PELITA ILMU
Ciptaan Tuhan Menjadi peserta pelatihan bukanlah hal yang baru bagi saya, bahkan memfasilitasi pelatihan pun sudah beberapa kali saya lakukan. Namun pelatihan yang keseluruhan isi materinya membahas tentang keragaman gender dan seksualitas, baru pada bulan September 2014 saya ikuti, yaitu Pelatihan Pelatih “Pengarusutamaan Keragaman Gender dan Seksualitas (PKGS)” yang diselenggarakan oleh RWPF dengan salah satu fasilitatornya berasal dari Ardhanary Institute. Berangkat dari sejuta pertanyaan, antara lain : “saya akan belajar apa, siapa dan bagaimana fasilitatornya, darimana pesertanya, bagaimana metode pelatihannya, siapa saja yang akan saya temui, dimulai dan selesai jam berapa pelatihan dll”, saya akan berusaha dan akan menikmati pelatihan tersebut. Satu lagi pertanyaan yang ketika itu ada dalam benak saya adalah : “Apa itu Ardhanary Institute, apakah ini sebuah lembaga pendidikan formal, tapi mengapa bekerja untuk isu LBT, sangat langka ada lembaga pendidikan yang mau bekerja untuk isu ini”.
B
ertemu dengan peserta, mendengarkan fasilitator, diskusi dengan tim Ardhanary Institute membuat wawasan saya menjadi sangat lebih terbuka, menerima dan memahami bahwa semua mahluk ciptaan Tuhan mempunyai perasaan dan kebutuhan yang sama, tidak memandang orientasi dan identitas seksualnya. Berteman secara dekat dengan tim Ardhanary di pelatihan dan setelah pelatihan ternyata sangat menyenangkan dan membuktikan bahwa LBT juga mempunyai perasaan yang sama dengan teman yang bukan LBT. Ag yang cerdas membuat saya menjadi lebih paham dengan LBT, Ly yang bersahaja membuat saya menjadi lebih dewasa menerima segala bentuk orientasi seksual dan identitas seksual, Ay yang sekarang sedang belajar di Korea, membuat saya menjadi lebih bersemangat dan percaya diri berteman dengan LBT, (Ay adalah staf Ardhanary yang berkerudung, saya pun berkerudung) serta seorang remaja dari Ardhanary yang baru saya kenal, In namanya, yang membuat keceriaan dan “sumringah” saya muncul kembali. Gayanya yang remaja, bahasanya yang “medok kejawa-jawaan”, senyumnya yang manis mampu menularkan ke orang lain, termasuk saya. Sebagai salah satu pengurus di Yayasan Pelita Ilmu (YPI), salah satu kemudahan bagi saya untuk ikut mengusulkan materi pelatihan SRHR bagi staf dan relawan YPI yang akan dilaksanakan oleh tim program pada bulan September 2014, yaitu materi mereview dokumen visi misi lembaga. Sungguh… ini adalah pertama kali saya bicarakan dan memandu diskusi dengan 30 orang peserta yang kebanyakan adalah staf program dan keuangan, yang khusus membahas apakah layanan untuk LGBT sudah tertulis dalam visi dan misi YPI, apakah memang harus dituliskan LGBT dalam visi dan misi YPI, apakah proposal-proposal yang telah dan sedang diajukan ke donor sudah tertera LGBT, apakah LGBT sudah merupakan bagian dari program yang telah dan sedang dilaksanakan. Dalam buku “Jejak Dua Dekade” yang diterbitkan oleh YPI pada tahun 2009, tertera bahwa Visi YPI adalah : “Pada tahun 2015 menjadi institusi terkemuka di Asia Pasifik yang mampu menjalankan upaya kesehatan “MENETAPKAN PERUBAHAN: CERITA KAMI”
39
dan pendidikan yang berkualitas dengan semangat kemandirian”. Jelas bahwa dalam visi ini bersifat umum dan merupakan tujuan YPI secara besar. Masih dalam buku tersebut, ada 7 Misi yang diusung oleh YPI, yaitu : 1. Meningkatkan kualitas dan cakupan layanan informasi, kesehatan reproduksi, HIV/AIDS dan narkoba yang berkesinambungan. 2. Meningkatkan kemandirian dan partisipasi anak, remaja, perempuan serta pasangannya dalam penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, narkoba dan HIV/AIDS. 3. Mengembangkan kemandirian Orang dengan HIV/ AIDS (Odha) melalui program dukungan. 4. Mengembangkan jejaring dan promosi dengan berbagai lembaga (pemerintah, LSM dan swasta) dalam dan luar negeri. 5. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan formal dan informal. 6. Mengembangkan kegiatan social melalui penyediaan sekolah dan sarana layanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau bagi masyarakat. 7. Mengembangkan unit usaha untuk keberlanjutan program dan mendirikan lembaga pendidikan yang berorientasi pada bidang kesehatan. Mengamati Misi YPI yang tertulis seperti diatas, tampaknya belum tersirat adanya dukungan atau kegiatan yang secara khusus untuk LGBT, atau keragaman gender dan seksualitas. Namun jika mengamati “Nilai-nilai dan Prinsip kerja” yang ditanamkan oleh YPI dalam memberikan layanan kepada masyarakat tertera bahwa : • YPI selalu berupaya untuk mengatasi ketimpangan relasi gender dalam pengelolaan program dan lembaga. • YPI tidak akan bekerja sama dengan pihak lain maupun menjalankan program yang justru mengukuhkan ketimpangan gender. • YPI bekerja sama dengan mitra dan penerima manfaat dalam hubungan yang saling menghormati. • YPI tidak melakukan diskriminasi terhadap mitra dan penerima manfaat.
Berdasarkan diskusi dengan teman-teman peserta pelatihan, kebanyakan berpendapat penerima manfaat adalah berdasarkan usia, misalnya anak-anak, remaja dan dewasa. Tidak harus ada khusus tertulis untuk LGBT. Namun boleh ditambahkan dengan kalimat tanpa membedakan gender dan seksulitas. Ada tiga program utama YPI dalam rangka memberikan layanan yang berkesinambungan, yaitu : 1) Pencegahan, 2) Konseling dan Testing serta 3) Dukungan untuk Odha. Tiga program utama ini diturunkan menjadi beberapa jenis program sesuai dengan perkembangan waktunya. Sejak berdirinya tahun 1989, YPI telah memberikan layanan kepada odha (orang dengan HIV/AIDS) yang penularannya melalui perilaku seks pada gay. Ini menunjukkan bahwa, sejak tahun itu juga, YPI telah memberikan layanan kepada LBGT. Tahun-tahun berikutnya, YPI terus memberikan layanan kepada odha tanpa memandang perbedaan gender dan orientasi seksualnya. Kelompok LGBT datang ke YPI karena kebutuhannya sebagai odha atau perilakunya yang berisiko tertular HIV/AIDS, bukan karena ke-LGBTan nya.Pada tahun 2010 mengembangkan program khusus penjangkauan untuk LGBT, dalamprogram pencegahan penularan HIV/AIDS pada kelompok LSL, waria dan HRM (High Risk Man) bekerja sama dengan lembaga mitra di 11 provinsi. Selain itu juga, mengembangkan modul-modul yang berisi seputar LGBT yang telah digunakan di lingkungan komunitas, antara lain di LAPAS Anak Tangerang serta dalam pelatihan-pelatihan. Pelatihan yang telah dilakukan pun melibatkan LGBT sebagai peserta. Sebagai pengurus di YPI, saya harus memperhatikan semua program dan orang-orang yang menerima manfaat. Namun saya tidak bisa memperhatikan secara utuh dan keseluruhan untuk satu program atau penerima manfaat tertentu, misalnya selama ini jika ada odha LSL atau gay atau waria yang datang ke layanan kami, saya menyapanya hanya sekedar “say hallo”, “basa basi” saja tanpa ada komunikasi yang berarti. Namun sudah sekitar 1 tahun ini, komunikasi saya menjadi lebih akrab dan menjadi teman bagi mereka. Bertanya bagaimana kondisinya hari ini, apa
“Antologi Cerita Tentang Perubahan Yang Paling Signifikan Hasil Pengalaman Rutgers WPF Indonesia bersama Changemakers MSGD”
40
yang diinginkan dari YPI. Dengan demikian, ini menjadi panduan saya ketika akan menyusun program dan keuangan dimasa mendatang, menjadi lebih sensitif dengan keragaman gender dan seksualitas. Odha datang dengan berbagai kebutuhan dan permasalahan. Setiap odha dengan latar belakang orientasi seksual yang berbeda, tentu mempunyai permasalahan yang berbeda. Status odha yang disandang sudah merupakan beban buat dirinya, apalagi jika ternyata odha nya juga komunitas LGBT yang tidak semua orang bisa menerima dan memahaminya, sehingga seringkali mengalami stigma dan diskriminasi. Selain odha yang LGBT, setelah mengikuti pelatihan PKGS, saya jadi berusaha mengingat-ingat program dan kegiatan yang telah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya, diluar program yang dibiayai oleh RWPF. Pada kegiatan pencegahan HIV/AIDS untuk remaja, ternyata sebagian penerima manfaat adalah remaja komunitas lesbian, gay dan transgender. Namun karena sasaran program adalah remaja, sehingga tidak memunculkan kata lesbian, gay dan transgender. Serta tidak memperhatikan secara khusus kebutuhan dan masalahnya. Ini tentu menjadi tantangan bagi saya dan tim kerja untuk mengembangkan layanan yang berkualitas untuk odha LGBT dan remaja yang LGBT. Akhirnya saya benar-benar memahami bahwa berteman dengan LGBT membuat diri saya menjadi lebih berwarna dan mengerti bahwa semua mahluk ciptaan Tuhan mempunyai perasaan, kebutuhan dan kemampuan yang sama, tinggal manusia itu sendiri yang mengasahnya dan mengembangkannya.
“MENETAPKAN PERUBAHAN: CERITA KAMI”
41
“Antologi Cerita Tentang Perubahan Yang Paling Signifikan Hasil Pengalaman Rutgers WPF Indonesia bersama Changemakers MSGD”
42
Rutgers WPF Indonesia adalah pusat keahlian dalam bidang kesehatan reproduksi, seksualitas, penanggulangan kekerasan berbasis gender dan seksualitas. Rutgers WPF mengembangkan berbagai program yang menjamin remaja mendapatkan akses pendidikan seksualitas yang komprehensif, layanan kesehatan seksual dan reproduksi, dan pelibatan lakilaki yang diimplementasikan bersama mitra lokal di Indonesia. Rutgers WPF Indonesia memiliki rekam jejak yang sudah terbukti dan inovatif dalam advokasi kebijakan, penelitian, pendekatan gender transformatif dan mendukung kerjasama dengan mitra lokal. Saat ini Rutgers WPF Indonesia bekerja dengan lebih dari 20 mitra di 10 provinsi di Indonesia.
Head office Jl. Pejaten Barat Raya 17B Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, 12510 Indonesia e.
[email protected] rutgreswpfindo.org “MENETAPKAN PERUBAHAN: CERITA KAMI”