Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
Centrosema pascuorum DALAM SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DAN TERNAK DI NUSA TENGGARA TIMUR (Centrosema pascuorum in Integrated Crop-Livestock System in Nusa Tenggara Timur) DEBORA KANA HAU Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Timur, Jl. Timor Raya, km 32, Naibonat, Kupang
ABSTRACT One of the alternative solutions to overcome the problem of feed availability in Nusa Tenggara Timur (NTT) during the dry period can be done trough the optimization of underutilized lands on farms to develop herbaceous legume fodder plants. One of the potential herbaceous legumes is Centrosema pascuorum, that was tested since 2006 in NTT. The legume was originated from Latin America and is now widespread into various countries such as Australia and Africa as an important legume for livestock fodder as well as for improving soil fertility, preventing soil erosion and providing biomass for bio-energy. The plant has been observed to be well adapted to the dryland sites in NTT (especially in West Timor and Flores) in the low land areas as forage and improving soil fertility in normal and or rotation of maize cultivation. Although the plant was catagorized as normal, during the assessments it was found that it can be harvested 3 times in a year, with 3 – 4 tonnes dry-matter of forage at each harvest per ha (9 – 12 tonnes DM/ha/year) depends on planting density and soil moisture during the growing period. It can be used in the forms of fresh forage, or as hay. When fed as hay to weaned Bali calves it can give between 0,24 – 0,35 kg/head/day live weight gain. While as supplement feed on fattened cattle in the rice planting area in Flores receiving rice straw and native grass from the paddy area it produced 0,4 – 0,5 kg/head/day weight gain. Integration of C. pascuorum with maize in dry land increased maize grain yield by 500 kg to 1.500 kg per ha, compared to maize production without fertilizer and without integration of legume. Key Words: Centrosema pascuorum, NTT, Timor, Flores, dryland, rice land, farming systems, rotation, Relay, Forages ABSTRAK Salah satu alternatif pemecahan masalah kekurangan pakan di Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah dengan mengoptimalkan pemanfaatan lahan atau bagian lahan usahatani yang kurang dimanfaatkan (underutilized land) untuk pengembangan tanaman pakan leguminosa herba. Salah satu leguminosa herba potensial adalah Centrosema pascuorum, yang telah dujicobakan sejak tahun 2006 di NTT. Tanaman leguminosa herba ini berasal dari Amerika Latin dan telah berkembang luas di berbagai negara (antara lain di Kanada, Australia dan Afrika) sebagai leguminosa penting baik sebagai pakan ternak maupun fungsi lainnya seperti penyubur tanah, pencegah erosi serta menghasilkan biomas untuk energi alternatif. Tanaman leguminosa ini diamati dapat bertumbuh dan beradaptasi dengan baik di lahan-lahan kering dan lahan sawah di NTT (terutama di Timor Barat dan di Flores) di dataran rendah sebagai tanaman pakan dan penyubur tanah dalam pola relay dan atau rotasi. Walaupun masuk dalam kategori tanaman pakan umur pendek (annual) atau binneal, selama penelitian dan pengkajian didapati bahwa tanaman ini dalam setahun dapat dipangkas sampai 3 kali, dengan setiap panenan (interval 80 – 90 hari) dapat menghasilkan 3 – 4 ton bahan kering (BK) per ha (9 – 12 ton BK/ha/tahun) tergantung jarak tanam yang digunakan dan kandungan air tanah pada waktu penanaman dan pertumbuhannya. Pemanfaatan sebagai pakan ternak dapat dalam bentuk segar atau kering (hay). Pemberian pakan dalam bentuk hay pada ternak sapi Bali lepas susu di Timor dapat memberikan pertambahan berat badan PBB 0,24 – 0,35 kg/ekor/hari, dibandingkan dengan PBB 0,15 kg/ekor/hari pada pemberian pakan lokal. Sedangkan sebagai suplemen pada ternak sapi penggemukan di kawasan persawahan di Flores dapat memberikan PBB sebesar 0,4 – 0,5 kg/ekor/hari. Integrasi C. pascuorum dengan tanaman jagung di lahan
815
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
kering dapat meningkatkan hasil jagung biji antara 500 kg s/d 1.500 kg per ha, dibandingkan dengan cara petani menanam jagung tanpa pemupukan dan tanpa integrasi tanaman leguminosa. Kata Kunci: Centrosema pascuorum, NTT, Timor, Flores, Lahan Kering, Lahan Sawah, Sistem Usahatani, Rotasi, Relay, Pakan Ternak
PENDAHULUAN Masalah ketersediaan pakan ternak (kuantitas dan kualitas) dalam usahatani ternak, terutama sapi, di Nusa Tenggara Timur (NTT), terutama selama periode kemarau masih merupakan salah satu hambatan penting yang mengakibatkan produktivitas ternak di daerah ini masih tergolong rendah. Kenaikan bobot badan harian rata-rata seekor ternak sapi di NTT dengan mangandalkan hijauan rumput alam hanya berkisar antara 0,2 s/d 0,3 kg/ekor/hari (NULIK dan BAMUALIM, 1998). Keterbatasan pakan selama kemarau berakibat pada kematian anak yang tinggi, ternak mengalami kehilangan berat badan yang besar selama kemarau yang berakibat lambatnya waktu penggemukan, dan interval kelahiran yang panjang (2 – 3 tahun sekali beranak) seperti pada sapi Sumba Ongole (BAMUALIM dan WIRDAHAYATI, 2001). Di sisi lain masih ada potensi yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan pakan berkualitas guna mencukupi kebutuhan ternak, terutama selama musim kemarau, baik di lahan-lahan kering maupun lahan basah (sawah). Lahan kering di NTT yang dijadikan lahan padang penggembalaan mencapai > 850.000 ha, sementara lahan kering untuk usahatani pangan mencapai 3 juta ha (BPS NTT, 2009). Lahan kering usahatani ini juga masih berpeluang dioptimalkan dengan integrasi tanaman pakan leguminosa herba. Hal ini dapat dilakukan karena pemanfaatan lahan kering ini umumnya hanya untuk penanaman jagung sekali setahun selama musim hujan (November – Maret). Setelah panen jagung sebenarnya masih terdapat hujan dan air tanah yang tersisa yang seringkali masih dalam kondisi profil air tanah penuh (DALGLIESH et al., 2010) dan ini masih dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan tanaman leguminosa herba (dalam pola relay). Pada pola relay ini, leguminosa dapat ditanam atau disebar dengan biji di antara tanaman jagung saat tanaman jagung telah mencapai fase pengisian biji. Penaman leguminosa pada saat ini tidak akan mengganggu produksi jagung dan sebaliknya dapat meningkatkan
816
kesuburan lahan untuk pertanaman jagung musim tanam berikutnya (di tahun kemudian) sekaligus menyediakan pakan ternak berkualitas untuk dimanfaatkan selama musim kemarau. Pemanfaatan leguminosa herba ini dapat secara langsung dipanen dan diberikan ke ternak atau dipanen dan diawetkan dalam bentuk hay dengan pengeringan matahari dan disimpan untuk pakan musim kemarau. Pengintegrasian tanaman pakan leguminosa ini merupakan usaha untuk mengotimalkan pemanfaatan lahan dan sisa air tanah (yang masih ada dalam tanah dan curah hujan yang sering masih ada beberapa kali setelah jagung dipanen) yang selain dapat meningkatkan kesuburan lahan juga menyediakan pakan ternak berkualitas. Walaupun tergolong kering, NTT secara absolut mempunyai lahan sawah yang cukup luas (> 125.000 ha) (NTT dalam angka BPS NTT, 2009), yang jika diusahakan secara baik mampu memberikan produksi padi yang cukup untuk kebutuhan provinsi dan akan tersedia jerami padi cukup banyak yang dapat diolah menjadi pakan ternak. Pada bagian-bagian lahan sawah seperti pematang dan tepian parit irigasi yang selama ini dibiarkan kosong dapat dimanfaatkan secara optimal untuk pengembangan tanaman pakan leguminosa herba, seperti C.pascuorum. Juga pada lahanlahan yang diberokan karena air irigasi yang tidak mencukupi untuk pertanaman padi maupun lahan-lahan yang tidak diusahakan padi karena alasannya dapat ditanamami dengan leguminosa herba C. pascuorum. Tulisan ini merupakan hasil review dari pengalaman penelitian selama 4 tahun di NTT (di Timor dan Flores) serta ditunjang dengan hasil-hasil penelitian tentang leguminosa herba Centrosema pascuorum dari berbagai tempat di dunia yang dapat dikutip dari pustaka yang dapat diperoleh. Sistem usahatani di Nusa Tenggara Timur Umumnya sistem usahatani di NTT adalah berupa usahatani campuran baik antara tanaman
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
pangan, tanaman perkebunan, dan peternakan. Makin kering suatu tempat, ketergantungan kepada usaha ternak semakin tinggi (NULIK dan BAMUALIM, 1998). Walaupun petani telah menggunakan kotoran ternak dalam usahatani sayuran dan tanaman keras ketika penanaman, namun integrasi antara ternak dan tanaman dalam suatu sistem yang baik belum optimal dipraktekkan oleh para petani.
jagung dipanen lasiznya masih ada sedikit curah hujan yang turun ditambah dengan air tanah yang masih sisa selama musim hujan sebenarnya ini masih cukup untuk penanaman tanaman leguminosa. Pilihan jatuh pada tanaman leguminosa herba karena akan lebih mudah dilakukan kontrol penyiangan pada waktu hujan berikutnya untuk mengurangi kompetisi tanaman.
Lahan kering
Lahan sawah
Nusa Tenggara Timur (NTT) didominasi oleh usahatani lahan kering (+ 3 juta ha), yang meliputi lahan usahatani tanaman pangan dan tanaman perkebunan. Karena penerapan teknologi budidaya yang minimal produktivitas tanaman (pangan dan perkebunan) masih rendah dan pemanfaatan lahan belum optimal karena keterbatasan tenaga kerja dan modal. Di lahan kering untuk usahatani tanaman pangan umumnya petani menanam jagung atau padi gogo, dengan produktivitas rendah hingga bisa mencapai < 1 ton/ha (terutama untuk jagung). Di lahan kering umumnya petani menanam jagung sekali setahun pada musim hujan tidak melakukan pemupukan tanaman dan praktek ladang berpindah masih dilakukan jika ketersediaan persil lahan memungkinkan memiliki dua atau lebih persil. Sebaliknya pada areal padat penduduk petani harus melakukan usahatani yang menetap pada suatu lahan tertentu dan karena itu penurunan kualitas atau kesuburan lahan sangat nyata di berbagai tempat yang menyebabkan produktivitas rendah. Di sini ada peluang untuk pemanfaatan tanaman leguminosa herba untuk meningkatkan kualitas dan kesuburan lahan baik dalam pola relay atau rotasi. Pola Relay dapat dilakukan pada usahatani menetap yang lahannya diusahakan setiap tahun pada musim hujan, sedangkan pola rotasi dapat dilakukan pada lahan usahatani berpindah untuk mempersingkat waktu pemberoan lahan (terutama jika persil lahan makin berkurang). Pada pola relay keuntungannya adalah efisiensi pemanfaatan lahan dan air tanah yang masih cukup tersedia setelah panen jagung di akhir musim hujan. Di lahan-lahan yang dilakukan penanaman jagung sekali setahun masih banyak yang dibiarkan kosong tanpa tanaman pangan selama kemarau, sementara pada akhir musim hujan setelah
Walaupun didominasi oleh usahatani lahan kering, namun NTT juga mempunyai potensi lahan sawah yang secara absolut cukup luas (> 125.000 ha), dengan beberapa sentra lahan sawah di Timor Barat (Tarus-Noelbaki, Bokong-Takari, Bena, Oepoli), Flores (Mbay dan Lembor) dan Sumba (Kambaniru dan Waekelo). Karena ketersediaan air dan fasilitas irigasi yang belum memadai lahan sawah ini ada yang ditanami hanya sekali dalam setahun, dua kali dalam setahun tetapi ada juga yang mempunyai suplai air dan kondisi saluran irigasi yang baik sehingga dapat ditanami hingga 3 kali dalam setahun. Produktivitas masih rendah (2 – 3 ton/ha) karena teknologi budidaya yang masih minimal digunakan. Pada areal persawahan ini ada potensi untuk ditingkatkan pemanfaatannya sebagai sumber pakan ternak sapi (sebagai ternak unggulan NTT), seperti pemanfaatan jerami padi dan penanaman leguminosa herba ketika lahan tidak diusahakan atau menanam leguminosa di bagian-bagian lahan yang tidak dimanfaatkan sebelumnya (underutilized lands), seperti pematang sawah, tepian saluran air atau bahkan dalam petakan sawah selama lahan diberokan dan tidak ditanamami padi. Centrosema pascuorum DAN PENGELOLAANNYA SEBAGAI TANAMAN PAKAN Asal, penyebaran dan pemanfaatannya Centrosema pascuorum adalah leguminosa herba yang bersifat annual tetapi kadang bersifat binneal (tumbuh sampai 2 tahun), berasal dari Amerika latin (FRANTZ, 2004) dan telah cukup menyebar di dunia sebagai tanaman pakan ternak baik dalam bentuk tanaman pakan
817
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
monokultur maupun yang diintegrasikan di lahan usahatani tanaman pangan, perkebunan dan padang rumput alam. Tanaman ini selain digunakan sebagai sumber pakan ternak berkualitas, juga dimanfaatkan sebagai tanaman penutup tanah untuk mencegah erosi, dan sebagai tanaman sumber bio-energy (biomasa sumber energi alternatif). Saat ini ada dua kultivar yang cukup terkenal, yaitu C. pascuorum cv. Cavalcade dan C. pascuorum cv. Bundey. Kultivar Bundey sifat pembungaannya lebih lambat dari pada Cavalcade (CAMERON, 2003b) dan lebih dapat beradaptasi dengan lebih baik pada lokasi dengan curah hujan lebih tinggi untuk cv. Cavalcade, dan juga dapat tahan terhadap kondisi tergenang untuk beberapa waktu (CAMERON, 2009). Karena pembungaannya yang lebih lambat Bundey mempunyai masa pertumbuhan vegetatif yang lebih panjang sehingga pemanfaatannya sebagai pakan segar dapat lebih panjang selama kemarau (NULIK, 1987). Selain dari pada itu kedua kultivar ini memiliki persamaan dalam banyak hal, seperti antara lain produktivitas, nilai nutrisi, pemanfaatan, palatabilitas dan lainnya.
menyarankan takaran benih sebanyak 15 kg/ha sudah memadai untuk penutupan tanah yang baik pada tahun pertama. Tingkat kepadatan tanaman akan menentukan kecepatan penutupan tanah dan produksi hijauan. Kepadatan tanaman yang tinggi pada penanaman awal akan membantu menekan pertumbuhan gulma, mempercepat penutupan tanah dan memberikan produksi yang tinggi pada pemangkasan pertama. Pemangkasan tanaman C. pascuorum dapat dilakukan dengan interval 80 – 90 hari, dengan dipangkas setinggi 10 – 15 cm dari permukaan tanah. Dengan kepadatan tanaman yang cukup memadai (jarak tanam 10 20 cm) ketika panen pada 90 hari dapat memberikan produksi hingga 3 – 4 ton/ha bahan kering (BK) dan dapat dipangkas 2 – 3 kali dalam setahun (NULIK dan DALGLIESH, 2010) bergantung pada kandungan air tanah (untuk mendorong pertumbuhan kembali yang cepat).
Kualitas sebagai pakan
Di lahan kering C. pascuorum dapat diintegrasikan dengan tanaman jagung baik dalam pola relay atau rotasi. dalam pola relay, C. pascuorum di tanaman atau disebar di antara tanaman jagung pada waktu tanaman jagung mulai berbunga atau menghasilkan tongkol buah. Pada saat ini masih terdapat curah hujan menjelang akhir musim hujan, serta kandungan air tanah yang masih memadai (DALGLIESH et al., 2010) untuk mendukung pertumbuhan dan produksi hijauan. Untuk pemberian kepada ternak dapat dipangkas setiap 60 – 90 hari, secara teratur dan disajikan dalam bentuk segar atau diawetkan dengan pengeringan matahari dalam bentuk hay. Pemberian dapat dikombinasikan dengan jerami jagung atau padi maupun pakan lokal lainnya. Selama penelitian didapat bahwa integrasi C. pascuorum dengan tanaman pangan di lahan kering dapat membantu meningkatkan kesuburan lahan dengan sumbangan N pada tanah sekitar 40 – 60 kg/ha pada pola rotasi dan sekitar 30 – 40 kg/ha pada pola relay (BUDISANTOSO et al., 2008), sementara THIAGALINGAM et al. (1995) melaporkan
Centrosema pascuorum mempunyai kualitas yang cukup baik, dalam hal misalnya kandungan protein kasar, yang menyamai beberapa jenis pakan terkenal seperti Alfalfa (Medicago sativa) yang banyak dimanfaatkan di berbagai negara seperti Amerika, Kanada, dan Inggris. Hijauan segar dapat mempunyai kandungan protein kasar antara 20 – 27%, dengan daya cerna yang mencapai 60 – 76% (YASHIM et al., 2006). Manajemen penanaman dan pemangkasannya Untuk penanaman yang idealnya adalah dengan melakukan pengolahan lahan sempurna dan ditanam dalam bentuk larikan atau ditugal dengan jarak tanam 10 cm 20 cm (membutuhkan benih 2 – 6 kg/ ha), bergantung kepada ketersediaan benih dan daya kecambah benih (CAMERON, 2003a). Jika ditanam dalam bentuk larikan atau dengan cara disebar akan membutuhkan benih yang lebih, berkisar antara 20 – 30 kg/ha, namun CAMERON (2009)
818
Peluang integrasi Centrosema pascuorum dalam sistem usahatani di NTT di lahan kering diintegrasikan dengan tanaman jagung
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
kontribusi N antara 80 – 100 kg/ha. Rendahnya sumbangan N pada pola relay dalam penelitian ini berkaitan dengan kepadatan tanaman yang rendah dan pertumbuhan tanaman yang lambat karena kompetisi dengan eksiting tanaman jagung pada awal pertumbuhan (DALGLIESH et al., 2010). Pada pola relay diketahui bahwa kandungan air tanah yang sisa selama pananaman jagung selama hujan dan pada penghujung musim hujan setelah jagung dipanen masih cukup untuk dimanfaatkan oleh tanaman leguminosa, yaitu berkisar antara 150 – 200 mm pada jenis tanah vertisol dan alfisol (BUDISANTOSO, et al., 2008; DALGLIESH et al., 2010). Integrasi tanaman C. pascuorum dalam sistem usahatani jagung selain memberikan kontribusi terhadap perbaikan kesuburan lahan yang berdampak pada peningkatan/tambahan produksi jagung antara 500 kg/ha pada pola relay hingga 1,5 ton/ha pada pola rotasi (DALGLIESH et al., 2010) juga menyediakan pakan berkualitas bagi ternak ruminansia (sapi dan kambing). Ketika hasil hijauan yang diperoleh dari pola pertanaman rotasi dan relay diberikan kepada ternak sapi Bali lepas susu selama kemarau di Timor, C. pascuorum memberikan kenaikan berat badan (PBB) sebesar 240 – 350 g/ekor/hari dibandingkan dengan PBB 150 g/ekor/hari pada ternak yang mendapat pakan lokal (BUDISANTOSO, 2008; DALGLIESH et al., 2010b). Di lahan basah diintegrasikan dengan pakan jerami Di lahan sawah, C. pascuorum dapat ditanam di lahan-lahan tepian saluran air atau pada bantalan pematang yang dikelola dengan pemangkasan teratur sebelum tanaman Centurion menjalar panjang (menjelang berbunga) dan mengganggu pertumbuhan tanaman padi dalam petakan sawah. Juga dapat ditanam dengan pola rotasi pada waktu lahan tidak ditanami padi, yang dapat berfungsi sebagai tanaman penyubur atau perbaikan kualitas lahan sawah. Ini biasanya dapat dilakukan di lahan-lahan sawah yang tidak digembalakan ternak selama masa bera baik karena lahan yang tidak dimanfaatkan karena ingin diistirahatkan atau jika kondisi air tidak mencukupi untuk pertanaman padi atau tanaman
pangan lainnya (seperti jagung) dan petani juga memiliki ternak sapi atau ternak ruminansia lainnya seperti kambing. Penanaman di dalam petakan sawah ini dapat dilakukan untuk jangka waktu 3 – 12 bulan bergantung kepada lamanya waktu lahan tidak dimanfaatkan. Di lahan sawah dengan bantuan pengairan (selain curah hujan) sebanyak 2 kali (pada awal penanaman dan segera setelah pemangkasan) pemangkasan sebanyak 2 kali memberikan hasil pakan sebanyak 9 ton BK. Pemanfaatan hay hijauan C. pascuorum sebagai suplemen pada penggemukan ternak sapi Bali, di kawasan persawahan di Flores, yang mendapat pakan dasar jerami padi dan rumput alam (dari sekitar areal persawahan) memberikan PBB rata-rata 0,4 – 0,5 kg/ekor/hari (DALGLIESH et al., 2010a). Implikasi pengembangan Pengembangan tanaman leguminosa pakan ini dapat ditujukan untuk lahan kering maupun lahan sawah, di dataran rendah, dengan teknik manajemennya masing-masing. Pemanfaatan pakan dapat digunakan untuk ternak yang dikandangkan untuk tujuan penggemukan, dan sebagai pakan suplemen bagi ternak gembala untuk tujuan pemuliabiakan/breeding. Karena pengembangan C. pascuorum di lahan sawah membutuhkan manajemen pemangkasan yang teratur agar tidak mengganggu tanaman padi di petakan, dan ini biasanya sebelum tanaman ini menghasilkan benih, maka untuk keberlanjutan pemanfaatannya, diperlukan pengembangan sistem produksi benih. Demikian juga untuk lahan kering. Dari pengamatan diketahui bahwa masalah utama bagi tanaman pangan (jagung) adalah tanaman pengganggu (gulma), sehingga petani akan melakukan kontrol gulma dengan penyemprotan pada awal musim tanam, sehingga pada pola relay anakan yang tumbuh dari benih tahun sebelumnya juga ikut mati. Karena itu diperlukan lahan untuk produksi benih secara khusus agar penanaman dapat dilakukan setiap tahun. KESIMPULAN Tanaman leguminosa herba pakan Centrosema pascuorum cukup berpotensi
819
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
untuk dikembangkan di dataran rendah NTT dalam sistem usahatani tanaman pangan di lahan kering (misalnya integrasi dengan tanaman jagung), dan di lahan basah (misalnya integrasi di lahan sawah) yang dikombinasikan dengan jerami padi sebagai pakan ternak. Pola integrasi dapat dalam bentuk rotasi tanaman atau relay. Rotasi dilakukan jika lahan diistirahatkan (bero) untuk paling kurang 1 musim tanam (3 – 4 bulan) untuk padi sawah dan setahun untuk tanaman jagung di lahan kering. Sedangkan relay dapat dilakukan setiap tahun, walaupun produktivitas leguminosa dan tanaman pangan setelah leguminosa biasanya lebih rendah dibandingkan dengan pada pola rotasi, dan memerlukan penggunaan takaran (seed rate) yang lebih tinggi untuk mengatasi permasalahan kompetisi dengan eksisting tanaman jagung dan tanaman gulma lainnya. Setelah mempelajari dalam sebaran agroekologi yang lebih luas, misalnya hingga ke dataran tinggi atau tempat dengan curah hujan yang lebih tinggi, ternyata C. pascuorum menampilkan banyak permasalahan dengan kepekaannya terhadap penyakit (seperti terkena serangan jamur, dengan daun yang membusuk dan rontok). Sementara kejadian ini sangat nyata berkurang pada lokasi dataran rendah dengan curah hujan lebih rendah dan karena itu lebih dianjurkan untuk dataran rendah dengan curah hujan lebih rendah. Untuk di lahan sawah leguminosa ini dapat ditanam selama kemarau ketika lahan tidak diusahakan, misalnya ketika suplai air tidak mencukupi untuk tanaman padi atau sepanjang waktu di bagian lahan yang kurang dimanfaatkan seperti pematang sawah dan tepian saluran irigasi dengan melakukan pemangkasan sering sesuai dengan kecepatan pertumbuhan sehingga tidak mengganggu bagi tanaman padi di petakan sawah. Integrasi tanaman C. pascuorum dalam sistem usahatani tanaman pangan dapat menyumbangkan N sekitar 30 – 40 kg /ha pada pola relay dan 40 – 60 kg/ha pada pola rotasi. Ini berdampak pada peningkatan produksi jagung antara 500 – 1.500 kg/ha. Pemberian leguminosa C. pascuorum pada ternak sapi Bali muda (lepas susu) di Timor dapat memberikan PBB antara 0,24 – 0,35 kg/ekor/hari dibandingkan dengan PBB 0,15
820
kg/ekor/hari pada ternak yang diberikan pakan lokal. Pemberian hay C. pascuorum sebagai suplemen pada penggemukan ternak sapi Bali di lahan sawah di Flores dengan pakan dasar berupa jerami padi dan rumput alam dari areal persawahan dapat memberikan PBB antara 0,4 – 0,5 kg/ekor/hari. DAFTAR PUSTAKA BAMUALIM, A.M. dan R.B. WIRDAHAYATI. 2002. Peternakan di Lahan Kering di Nusa Tenggara. BPTP Nusa Tenggara Timur. 95 hlm. BUDISANTOSO, E., N. DALGLIESH, P. TH. FERNANDEZ, T. BASUKI, E. HOSANG, D. KANA HAU and J. NULIK. 2008. The utilization of stored soil moisture for forage legumes supply in the dry season in West Timor, Indonesia. XXI International Grassland Congress, VIII International Rangeland Congress, 1 – 4 July 2008. Multifunctional Grasslands in Changing World. Guandong People’s Publishing House. p. 90. CAMERON, A.G. 2003a. Cavalcade. Department of Primary Industry, Fisheries and Mines, Northern Territory Government. Agnote No. E14, November 2003. 3 p. Cameron, A.G. 2003b. Cavalcade and Bundey seed production. Department of Primary Industry, Fisheries and Mines, Northern Territory Government. Agnote No. E37, November 2003. 4 p. CAMERON, A.G. 2009. Bundey (Centrosema pascuorum cv. Bundey). Agnote No. E20, May 2009. Department of Regional Development, Primary Industry, Fisheries and Resources, Northern Territory Government. 2 pages. DALGLIESH, N.P., J. NULIK, D. KANA HAU. 2010a. Integrating legumes into the farming system of East Nusa Tenggara. Makalah Seminar yang dilakukan di Kabupaten Nagekeo dan Ende, tanggal 27 – 29 November 2010. DALGLIESH, N.P., J. NULIK, S. QUIGLEY, J. SUEK, T. DARBAS and E. BUDSANTOSO. 2010b. The use of forge legumes in cereals cropping systems of Eastern Indonesia. Makalah dipresentasikan pada Australian Agronomy Conference, 15 – 18 November 2010, New Zealand.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
FANTZ, P.R. 2004. Distribution of Centrosema (DC.) Benth. (Leguminosae: Phaseoleae: Clitoriinae) for the flora Mesoamericana project. Vulpia 3: 99 – 139. NULIK, J. (1987). The Evaluation of Exotic Grasses and Legumes for use in The Eastern Indonesia Pasture. M. Rur. Sc. Thesis, UNE, Australia. NULIK, J. dan A.M. BAMUALIM. 1998. Pakan Ruminansia Besar di Nusa Tenggara. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Naibonat, bekerjasama dengan Proyek Eastern Island Veterinary Services (EIVES). 135 hlm.
NULIK, J. and N.P. DALGLIESH. 2010. Integrating legumes into the maize farming in West Timor. The Extension Project. Seminar Hasil Penelitian, dilakukan di Kabupaten Ende dan Nagekeo, November 2010. THIAGALINGAM, K., D. ZUILL, and T. PRICE. 1995. A review of Centrosema pascuorum (Centurion) cvv. Cavalcade and Bundey in the ley farming studies in North West Australia. YASHIM, S.M., A.M. ADAMU, C.A.M. LAKPINI, and S.B. ABDU. 2006. Comparative response of growing rams fed solely on Centrosema pascuorum and Alysicarpus vaginalis. Pakistan J. Nutr. 5(3): 261 – 262.
821