Warta
Cendana
Balai Penelitian Kehutanan Kupang
Forestry Research Institute of Kupang (Forist)
Edisi VIII No.3 Desember 2015
Potensi Ekowisata TANJUNG TORONG PADANG dan Sekitarnya di Pulau Flores Nusa Tenggara Timur
www.catperku.com
FOKUS Pengelolaan Hutan Mangrove di Desa Pariti Kecamatan Sulamu Kabupaten Kupang
Kandungan Nutrisi Hijauan Sebagai Pakan Rusa Timor (Rusa timorensis Blainville) di KHDTK Rarung Nusa Tenggara Barat
Materi Genetik Penghasil Gaharu (Gyrinops versteegii) Berupa Buah dan Benih Serta Bentuk Kerusakannya
Evaluasi Pertumbuhan Semai Kayu Merah (Pterocarpus indicus Willd.) untuk Uji Keturunan Generasi Pertama (F-1) di Stasiun Penelitian Oilsonbai
SEKAPUR SIRIH Jumpa lagi pembaca setia warta cendana, dipenghujung tahun 2015 kali ini warta cendana vol.8 no. 3, hadir dengan berbagai informasi seputar kegiatan penelitian yang lebih menarik antara lain kita akan mengetahui bagaimana karakteristik materi genetik penghasil gaharu berupa buah dan benih, masih tentang pengelolaan hutan mangrove di Desa Pariti, artikel menarik tentang potensi ekowisata Tanjung Porong Padang dan sekitarnya di Pulau Flores dan masih banyak lagi informasi yang akan disajikan dalam warta cendana kali ini. Bagi para pembaca yang ingin berbagi informasi dalam warta cendana, dapat mengirimkan naskah artikelnya ke dewan redaksi warta cendana.. akhirnya tim dewan redaksi mengucapkan Selamat Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 untuk para pembaca setia.
DAFTAR ISI | FOKUS |
Potensi Ekowisata Tanjung Torong Padang dan Sekitarnya di Pulau Flores Nusa Tenggara Timur oleh: Kayat
h.1 Kandungan Nutrisi Hijauan Sebagai Pakan Rusa Timor (Rusa timorensis Blainville) di KHDTK Rarung Nusa Tenggara Barat
Materi Genetik Penghasil Gaharu (Gyrinops versteegii) Berupa Buah dan Benih Serta Bentuk Kerusakannya Oleh : Dani Pamungkas
| GALERI PERISTIWA | h.24
Pengelolaan Hutan Mangrove di Desa Pariti Kecamatan Sulamu Kabupaten Kupang
Oleh : M. Hidayatullah dan Bernadus Ndolu
h.12
h.20
Oleh : Siswadi
Evaluasi Pertumbuhan Semai Kayu Merah (Pterocarpus indicus Willd.) untuk Uji Keturunan Generasi Pertama (F-1) di Stasiun Penelitian Oilsonbai
h.8
h.16
Cover Photo : Tanjung Torong Padang oleh Kayat
Oleh : Hery Kurniawan dan Sumardi
REDAKSI
PENERBIT
BALAI PENELITIAN KEHUTANAN KUPANG | FORESTRY RESEARCH INSTITUTE OH KUPANG
Penanggung Jawab Kepala Balai Penelitian Kehutanan Kupang Dewan Redaksi merupakan majalah ilmiah poluler Balai Penelitian Kehutanan Kupang yang diterbitkan 3 kali dalam satu tahun, berisikan tema rehabilitasi hutan dan lahan, konservasi, sosial ekonomi, ekowisata, lingkungan, HHBK, managemen, hukum kelembagaan, kebijakan publik dan lain-lain.
Imam Budiman, S.Hut, M.A . Hery Kurniawan, S.Hut, M.Sc. DR. S. Agung S. Raharjo, S.Hut.,M.T. Muhamad Hidayatullah, S.Hut, M.Si.
Redaksi Pelaksana Kepala Seksi Data, Informasi dan Sarana Penelitian Anggota Merry Mars Dethan, S.P. Feri A. Widhayanto,S.T.
Redaksi menerima sumbangan artikel sesuai tema terkait, Tim Redaksi berhak menyunting tulisan tanpa mengubah isi materi tulisan, Tulisan dapat dikirim melalui email ke
[email protected]
Balai Penelitian Kehutanan Kupang Jln Untung Suropati No 7 B. Kupang Telp (0380)823357 Fax (0380) 831086 Email :
[email protected]
| FOKUS |
Potensi Ekowisata TANJUNG TORONG PADANG dan Sekitarnya di Pulau Flores Nusa Tenggara Timur oleh: Kayat Pendahuluan Pada saat ini ekowisata telah berkembang. Ekowisata ini tidak hanya sekedar untuk melakukan pengamatan burung, mengendarai kuda, penelusuran jejak di hutan belantara, tetapi telah terkait dengan konsep pelestarian hutan dan penduduk lokal. Ekowisata ini kemudian merupakan suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatian terhadap lingkungan, ekonomi dan sosial. Ekowisata tidak dapat dipisahkan dengan konservasi, oleh karena itu ekowisata disebut sebagai bentuk perjalanan wisata bertanggungjawab (Fandeli dan Mukhlison, 2000).
Lebih lanjut Fandeli dan Mukhlison (2000) mengemukakan bahwa ekowisata adalah suatu bentuk wisata yang bertanggung jawab terhadap kelestarian area yang masih alami (natural area), memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budaya bagi masyarakat setempat. Dalam konteks kehutanan, ekowisata diharapkan dapat menjadi kegiatan yang penting dalam memulihkan kerusakan hutan dan mengembalikan peranan masyarakat untuk ikut menjaga kelestarian hutan (Fandeli dan Nurdin, 2005). Kawasan Tanjung Torong Padang dan
www.foristkupang.org
Edisi VIII No.3 Desember 2015
1
sekitarnya yang berada di Pulau Flores bagian utara memiliki potensi ekowisata yang besar, namun belum dimanfaatkan secara optimal dan belum menghasilkan nilai ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Tulissan ini bertujuan mengenalkan potensi ekowisata di kawasan Tanjung Torong Padang. Diharapkan masyarakat luas baik dari dalam negeri maupun luar negeri bisa lebih mengenal berbagai potensi ekowisata yang ada di kawasan Tanjung Torong Padang dan sekitarnya sehingga potensi tersebut dapat optimal dimanfaatkan. Pengambilan Data Lokasi pengambilan data adalah di kawasan Tanjung Torong Padang dan sekitarnya. Kawasan Tanjung Torong Padang secara administrasi berada di wilayah Desa Sambinasi Kecamatan Riung Kabupaten Ngada Propinsi Nusa Tenggara Timur (Gambar 1.)
Wilayah Desa Sambinasi Barat
Gambar 1. Peta Kawasan Tanjung Torong Padang dan Sekitarnya
Metode pengambilan data yang digunakan adalah interview, observasi, dan observasi partisipatif (Bungin, 2012). Interview dilakukan dengan Pemerintah Daerah setempat seperti Camat Riung, Kepala Desa Sambinasi, Kepala
2
Edisi VIII No. 3 Desember 2015
Desa Sambinasi Barat, dan beberapa tokoh adat dan tokoh masyarakat. Observasi dilakukan di kawasan Tanjung Torong Padang dan sekitarnya. Sedangkan observasi partisipatif adalah dengan cara ikut terlibat di dalam kegiatan masyarakat adat Suku Baar di Desa Sambinasi dan Sambinasi Barat. Kegiatan masyarakat yang diikuti adalah perburuan adat, upacara adat caci/larik, kaizo, dan rentok. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif.
Potensi Ekowisata Berdasarkan hasil interview, observasi dan observasi partisipatif, potensi ekowisata yang ada di kawasan Tanjung Torong Padang dan sekitarnya dapat digolongkan ke dalam tiga kategori ekowisata yaitu ekowisata dalam bentuk pengamatan satwa liar, pemandangan/bentang alam dan wisata budaya. 1. Pengamatan Satwa Liar Satwa liar yang berpotensi sebagai obyek pengamatan adalah komodo (Varanus komodoensis), rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822), dan berbagai jenis burung. 1.a. Komodo (Varanus komodoensis) Masyarakat umum mungkin hanya mengetahui bahwa satwa liar komodo (Varanus komodoensis) hanya ada di kawasan Taman Nasional Komodo, padahal komodo dapat dijumpai juga di daratan Pulau Flores khususnya di wilayah Kecamatan Riung. Distribusi komodo tersebar di beberapa lokasi yaitu di Pulau Ontoloe dan kawasan Tanjung Torong Padang. Untuk menikmati atau mengamati satwa liar komodo ini, sehari
di mata air Wae Nepong. Hasil penghitungan populasi rusa timor di kawasan Tanjung Torong Padang dengan menggunakan bantuan camera trap selama 3 bulan yang terbagi ke dalam beberapa periode (setiap periode selama dua minggu) menghasilkan data populasi rusa timor sebanyak 69 ekor. Gambar 2. Komodo, Satwa Andalan Kawasan Tanjung Torong Padang
1.c. Bird Watching
sebelumnya harus diberikan umpan berupa daging atau ikan. Umpan tersebut diletakkan di tempat yang agak terbuka sehingga kita bisa melihat dengan jelas dari tempat yang agak jauh. Sebaiknya tempat pengamatan atau pengintaian berada pada tempat yang lebih tinggi sehingga memudahkan pengamat untuk melihat komodo. 1.b. Rusa Timor (Rusa timorensis Blainville 1822)
Gambar 3. Rusa Timor, Satwa Buru Masyarakat Suku Baar
Rusa timor merupakan satwa liar lainnya yang ada di kawasan Tanjung Torong Padang. Rusa timor biasa beraktivitas pada siang hari (diurnal) dan malam hari (nocturnal). Namun akibat perburuan adat yang dilakukan setiap setahun sekali, menyebabkan perubahan perilaku rusa timor yaitu lebih banyak beraktivitas pada malam hari. Saat yang tepat untuk melakukan pengamatan rusa timor di kawasan Tanjung Torong Padang adalah pada musim kemarau. Lokasi terbaik untuk pengamatan adalah di daerah mata air. Kawasan Tanjung Torong Padang mempunyai satu mata air yaitu mata air Wae Nepong yang tidak pernah kering walaupun saat musim kemarau. Seluruh satwa liar yang ada di kawasan tersebut akan minum
Gambar 4. Salah Satu Jenis Burung di Kawasan Tanjung Torong Padang
Kawasan Tanjung Torong Padang kaya akan berbagai jenis burung. Terdapat dua lokasi pengamatan burung yang menarik yaitu di lembah dan di perbukitan sampai pantai. Jenis burung yang dapat dijumpai di kawasan lembah adalah burung gosong kaki merah, ayam hutan hijau, merpati hutan, srigunting, tekukur dan perkutut. Sedangkan jenis burung yang dapat dijumpai di kawasan perbukitan savana dan pantai adalah burung elang bondol, elang laut, burung raja udang biru, burung sesap madu, burung branjangan dan apung. 2. Pemandangan Alam/Bentang Alam Panorama atau pemandangan alam yang bisa dinikmati di kawasan Tanjung Torong Padang adalah Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Tujuh Belas Pulau, Teluk Damu, Pantai di Tanjung Torong Padang, dan Air Terjun Buntang Ireng. 2.a. TWAL Tujuh Belas Pulau TWAL Tujuh Belas Pulau memiliki banyak potensi berupa keanekaragaman hayati (flora dan fauna) dan ekosistem (hutan tropika kering, savana,
Edisi VIII No.3 Desember 2015
3
berwarna coklat dan kehitaman bekas pembakaran yang dilakukan oleh masyarakat.
Gambar 5. Kawasan TWAL Tujuh Belas Pulau
mangrove, lamun/sea grases, dan terumbu karang). Potensi terumbu karang di kawasan laut TWAL 17 Pulau sangat tinggi baik dari jenis maupun ukurannya. Di kawasan TWAL 17 Pulau dapat dijumpai sekitar 183 jenis dalam 16 famili. Famili dengan kelimpahan tertinggi adalah Famili Acroporidae (57 spesies), Faviidae (36 spesies), Fungiidae (19 spesies), Agariciidae (11 spesies), dan Poritidae (10 spesies). Keindahan terumbu karang lainnya di lokasi diving dan snorkling adalah mawar laut. Mawar laut merupakan ikon TWAL 17 Pulau yang merupakan kumpulan telur kelinci laut (Hexabranchus sanguineus) yang keberadaannya cepat hilang (bertahan ± 5 hari) (BBKSDA, 2012).
2.c. Savana dan Pantai Tanjung Torong Padang Di kawasan perbukitan savana Tanjung Torong Padang kita bisa menikmati hamparan savana yang berwarna kuning kecoklatan pada saat musim kemarau. Pada sore hari, kita bisa menikmati sun set matahari terbenam di bagian barat yang memancarkan cahaya kuning kemerahan. Di sisi lain, kawasan Tanjung Torong Padang memiliki pantai dengan hamparan pasir putih dan susunan karang yang menarik.
Gambar 9. Air Terjun Buntang Ireng
yang hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki. Waktu tempuh dari Dusun Damu ke Air Terjun Buntang Ireng jika berjalan kaki sekitar 1,5 jam, namun jika kombinasi naik sepeda motor dan berjalan kaki dapat ditempuh dalam waktu satu jam. Air Terjun Buntang Ireng terdiri dari tiga buah air terjun. Air terjun pertama memiliki tinggi sekitar tujuh meter, air terjun kedua memiliki
Gambar 7. Sun Set di Kawasan Tanjung Torong Padang
2.b. Teluk Damu
Gambar 10. Upacara Perburuan Adat
Sambinasi Barat). Perburuan adat dilakukan pada bulan September atau Oktober setiap tahun. Masyarakat Suku Baar berkeyakinan bahwa berburu adat ini merupakan adat nenek moyang Suku Baar, bukan target daging rusa namun untuk melestarikan budaya. Rangkaian acara perburuan adat adalah Larik – Malang (Berburu) – Alasa. Kegiatan acara ini merupakan satu rangkaian yang tidak terpisahkan. Masyarakat Suku Baar mempercayai bahwa berhasil atau tidaknya berburu sangat ditentukan oleh berjalan lancar atau tidaknya rangkaian adat yang dilaksanakan. Ada beberapa teknik perburuan adat yang dilakukan oleh masyarakat Suku Baar, yaitu (1) menggunakan kuda dengan peralatan bisa berupa tombak atau jerat; (2) menggunakan jerat dan anjing, juga dilengkapi dengan tombak dan parang; (3) menggunakan banso, yaitu bambu runcing yang ditanam di tanah dengan kemiringan tertentu; dan (4) menggunakan tombak dan parang. 3.b. Upacara Caci/Larik Upacara Caci/Larik merupakan upacara adat perang tanding antara dua orang laki-laki yang merupakan perwakilan kampung atau desa yang berbeda. Menurut keterangan masyarakat setempat, upacara caci dilatarbelakangi oleh keinginan seorang suami untuk menikah lagi padahal sang istri tidak menyetujuinya, kemudian sang istri mengadu kepada keluarganya sampai
Gambar 8. Pantai Pasir Putih dan Karang di Pantai Tanjung Torong Padang
Gambar 6. Teluk Damu
Pemandangan bentang alam Teluk Damu bisa dinikmati dari kawasan Tanjung Torong Padang yang memiliki ketinggian lebih tinggi. Jika dipandang dari tempat yang lebih tinggi, Teluk Damu seperti berupa danau air asin, dengan warna air laut yang biru dan pemandangan hijau hutan mangrove yang mengelilinginya. Bagian atasnya berupa hamparan bukit-bukit savana yang
4
Edisi VIII No. 3 Desember 2015
2.d. Air Terjun Buntang Ireng Air Terjun Buntang Ireng terletak di wilayah Desa Sambinasi. Air Terjun Buntang Ireng berjarak sekitar 2,5 km dari Dusun Damu. Rute perjalanan dari Dusun Damu ke lokasi Air Terjun Buntang Ireng adalah dengan menyusuri pinggir sungai kecil sejauh satu kilometer yang bisa dilakukan dengan berjalan kaki atau menggunakan sepeda motor, kemudian dilanjutkan dengan menyusuri jalan setapak yang agak mendaki sekitar 1,5 kilometer
ketinggian sekitar 10 meter dan air terjun ketiga memiliki ketinggian sekitar 35 meter. Menurut informasi dari beberapa tokoh adat Masyarakat Suku Baar, bahwa pada sekitar bulan Juli - Oktober banyak turis manca negara yang mengunjungi Air Terjun Buntang Ireng. 3. Wisata Budaya 3.a. Perburuan Adat Perburuan adat rusa timor dilakukan oleh masyarakat Suku Baar yang berada di Dusun Damu dan Ruki (Desa Sambinasi) dan Marotauk (Desa
Gambar 11. Budaya Adat Caci/Larik
Edisi VIII No.3 Desember 2015
5
Gambar 12. Kaizo, Upacara Meminta Diturunkan Hujan
terjadilah perang tanding tersebut. Sebelum dilakukan acara adat Caci/Larik pada keesokan harinya, maka malam sebelumnya dilakukan acara adat “Alasa”. Pada zaman dulu, alasa merupakan salah satu ajang untuk mencari jodoh. Di pihak lain juga merupakan ajang silaturahmi antar keluarga supaya saling mengenal garis keturunan. 3.c. Upacara Kaizo Kaizo merupakan acara adat pertanian karena tidak ada hujan yang turun pada bulan Januari atau Februari. Sehingga untuk meminta turun hujan kepada Yang Maha Kuasa maka dilakukan upacara adat berupa “Kaizo”. Namun menurut sejarah Kaizo adalah berasal dari nama dua orang Kakak dan Adik kandung yang melakukan hubungan suami istri padahal secara adat tidak boleh dilakukan. Akhirnya ketahuan oleh masyarakat adat sehingga keduanya dibunuh agar keturunannya tidak berlanjut. Untuk membersihkan seluruh permasalahan kampung maka dilakukan upacara Kaizo. 3.d. Upacara Rentok Rentok merupakan upacara adat dalam rangka mengucapkan syukur kepada Yang Maha Kuasa atas limpahan hasil panen pertanian. Upacara Rentok biasa dilakukan setelah musim panen dilakukan, sekitar bulan April akhir atau Mei. Upacara adat Rentok dilatarbelakangi untuk menghilangkan rasa lelah selama 3 bulan proses bercocok tanam.
6
Edisi VIII No. 3 Desember 2015
Setelah semua masyarakat selesai memanen hasil pertaniannya, seminggu kemudian beberapa tokoh adat mengadakan musyawarah untuk menentukan hari “H” pelaksanaan upacara Rentok. Proses upacara Rentok berupa sekelompok orang (sekitar 7 - 20 orang) berkeliling sambil menyanyikan lagu khusus disertai dengan menghentakan kaki sesuai irama nyanyian. Antara irama nyanyian dan hentakan kaki harus seiring. Upacara rentok dilakukan mulai malam hari sekitar pukul 19.30 sampai pagi hari sekitar pukul 07.00. Pada saat pagi harinya dilanjutkan dengan kegiatan “NggiuNggolong Tupas” yaitu memakan ketupat yang berasal dari hasil panen padi baru, jagung baru, dan jewawut baru . Kegiatan upacara Rentok diikuti oleh masyarakat yang berasal dari dalam maupun luar kampung tempat dilakukannya acara tersebut. 3.e. Kerajinan Tenun Ikat Karajinan tenun ikat merupakan mata pencaharian tambahan bahkan pokok masyarakat Suku Baar yang ada di tiga dusun yang berada di Desa Sambinasi dan Sambinasi Barat, yaitu Dusun Damu, Ruki dan Marotauk. Sampai saat ini, dari beberapa potensi obyek ekowisata yang diuraikan di atas hanya kawasan TWAL Tujuh Belas Pulau dan Mata Air Buntang Ireng yang sudah menghasilkan nilai ekonomi, sedangkan potensi ekowisata lainnya belum dikelola untuk menghasilkan nilai ekonomi. TWAL Tujuh Belas Pulau dikelola oleh Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Riung Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur, sedangkan kawasan ekowisata Mata Air Buntang Ireng dikelola oleh masyarakat setempat yang ada di Dusun Damu Desa Sambinasi. Nilai ekonomi dari ekowisata TWAL Tujuh Belas Pulau diperoleh dari pemasukan pembayaran karcis masuk kawasan, penyewaan perahu motor, penginapan, dan restauran/rumah makan. Sedangkan nilai ekonomi dari ekowisata Mata Air Buntang Ireng hanya dari pemasukan karcis pengunjung. Pengelolaan ekowisata Mata Air
Buntang Ireng belum optimal, sebagai contoh dalam penetapan tarif karcis pengunjung pun nilainya bersifat sukarela tergantung pemberian pengunjung. Sebenarnya berbagai potensi ekowisata tersebut di atas dapat dijadikan sebagai satu paket destinasi ekowisata. Sehingga destinasi ekowisata tersebut dapat menghasilkan manfaat ekologis, sosial budaya dan ekonomi yang sebesar-besarnya bagi masyarakat, pengelola dan pemerintah (Fandeli dan Mukhlison, 2000). Selanjutnya Fandeli dan Mukhlison (2000) menyatakan bahwa di dalam pemanfaatan areal alam beserta segala potensi ekowisata yang ada dapat menggunakan pendekatan pelestarian dan pemanfaatan. Kedua pendekatan ini dilaksanakan dengan menitikberatkan pada pelestarian dibanding pemanfaatan. Kemudian pendekatan lainnya adalah pendekatan pada keberpihakan kepada masyarakat setempat agar mampu mempertahankan budaya lokal dan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya. Untuk menjual potensi ekowisata yang ada di kawasan Tanjung Torong Padang dan sekitarnya perlu kerjasama berbagai pihak terkait seperti Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Pengusaha ekowisata, dan masyarakat setempat. Dukungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat berupa penyediaan fasilitas jalan, listrik dan air bersih yang nyaman. Pengusaha ekowisata dapat berkiprah dalam bentuk promosi ekowisata diberbagai media, sedangkan masyarakat setempat bisa berpartisipasi di dalam menjaga dan melestarian obyek ekowisata yang ada. Sementara dalam pengelolaan paket destinasi ekowisata, semua pihak dapat bekerjasama dalam bentuk kelembagaan kolaboratif (Subarudi, 2009). Penutup Kawasan Tanjung Torong Padang dan sekitarnya memiliki potensi ekowisata yang cukup menarik, s e p e r t i p e n g a m a t a n s a t w a l i a r, pemandangan/bentang alam, dan ekowisata
budaya. Namun berbagai potensi ekowisata tersebut belum dimanfaatkan secara optimal sehingga belum menghasilkan nilai ekonomi yang maksimal untuk kesejahteraan masyarakat lokal yang ada di sekitar kawasan tersebut. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, masyarakat setempat, dan berbagai stakeholder terkait perlu bekerjasama untuk mengembangkan berbagai obyek ekowisata yang ada, terutama promosi agar potensi ekowisata yang ada bisa dikenal oleh masyarakat luas terutama para pelaku ekowisata baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Daftar Pustaka BBKSDA. 2012. Draft Penataan Blok Taman Wisata Alam Laut Tujuh Belas Pulau. Kementerian Kehutanan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur. Kupang. Bungin, Burhan. 2012. Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Rajawali Pers – Divisi Buku Perguruan Tinggi PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. Fandeli, C. dan Mukhlison. 2000. Pengusahaan Ekowisata. Fakultas Kehutanan UGM bekerjasama dengan Unit Konservasi Sumberdaya Alam DIY dan – Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI). Yogyakarta. Fandeli, C. dan M. Nurdin. 2005. Pengembangan Ekowisata Berbasis Konservasi di Taman Nasional. Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta bekerjasama dengan Pusat Studi Pariwisata UGM Yogyakarta dan Kantor Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Yogyakarta. Subarudi. 2009. Prospek Bisnis Ekowisata di Taman Nasional. Departemen Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.
Edisi VIII No.3 Desember 2015
7
| FOKUS |
KANDUNGAN NUTRISI HIJAUAN SEBAGAI PAKAN RUSA TIMOR (Rusa timorensis Blainville) di KHDTK RARUNG NUSA TENGGARA BARAT Oleh : Siswadi Pendahuluan Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Rarung di Kabupaten Lombok Tengah adalah salah satu lokasi penelitian yang dikelola oleh Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu (BPTHHBK) Mataram. Di KHDTK Rarung terdapat padang rumput yang dimanfaatkan sebagai habitat Rusa timor (Rusa timorensis Blainville). Padang rumput tersebut dikelola dengan sistem silvopastur. Untuk meningkatkan produktifitas padang rumput, pengkayaan dilakukan pada lahan seluas 1 Ha dengan menanam beberapa jenis rumput, yaitu: Turi (Sesbania grandiflora), Rumput Gajah (Pennisetum purpureum), Rumput raja (Pennisetum purpuphoindes) Gamal (Gliricidia sepium Stend), dan Lamtoro (Leucaena leucocephala). Tulisan ini bertujuan untuk menyampaikan informasi mengenai kandungan nutrisi pada pakan hijauan rusa timor pada plot pengkayaan padang rumput di KHDTK Rarung. Pemeliharaan padang rumput memerlukan investasi modal yang cukup tinggi dalam jangka waktu yang panjang. Ada beberapa hal yang berpengaruh terhadap budidaya rumput, antara lain : kesuburan tanah, kelembaban tanah, temperatur, cahaya dan naungan, bentuk pertumbuhan dan pertumbuhan musiman, palatabilitas, serangan hama dan penyakit serta persaingan dengan gulma. Keterkaitan antara tumbuhan dengan faktor lingkungan ini sering disebut dengan asosiasi (McIlroy, 1977). Padang
rumput yang produktif akan dapat menyediakan pakan yang berkualitas bagi satwa. Rusa secara umum adalah satwa pemakan hijauan. Di habitat alaminya preferensi pakan antara satu jenis rusa dengan yang lainnya berbeda, sebagai contoh rusa sambar cenderung memakan tanaman yang berdaun sedangkan rusa timor lebih menyukai rumput-rumputan. Hal ini terjadi karena habitat rusa sambar lebih banyak berupa hutan lebat, sedangkan rusa timor hidup pada daerah savana (Semiadi, 2004). Rusa dapat dikatakan menyukai hampir segala jenis hijauan dan dapat mengkonsumsi pakan tambahan selain rumput. Oleh karena itu menyediakan pakan untuk rusa bukanlah hal yang sulit. Metodologi A. Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian ini dilakukan pada bulan September tahun 2007, Analisis kandungan nutrisi (proksimat) dilakukan pada Laboratorium Kimia Bahan Pakan Universitas Mataram. Sampel uji pakan diambil dari plot pengkayaan di KHDTK Rarung. B. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini adalah arit, parang, keranjang dan timbangan. Sedangkan bahan yang digunakan adalah hijauan Turi (Sesbania grandiflora), Rumput Gajah (Pennisetum purpureum), Rumput raja (Pennisetum purpuphoindes), Gamal (Gliricidia
sepium Stend), Lamtoro (Leucaena leucocephala). C. Pengumpulan Data Data kandungan nutrisi pakan diperoleh dengan melakukan analisis proksimat pada Lamtoro, Rumput Raja, Rumput Gajah, Gamal dan Turi dengan menggunakan metode AOAC 1970. Analisis sampel dilakukan dengan 2 kali ulangan. Adapun data yang dikumpul meliputi kandungan bahan kering, lemak kasar, protein kasar, abu dan serat kasar. Sedangkan bahan sampel yang diambil adalah bagian daun dan batang yang muda. Hasil dan Pembahasan A. Peran Nutrisi Bagi Pertumbuhan Rusa Lemak dan protein merupakan sumber energi bagi hewan. Protein merupakan senyawa struktur dasar dari pembentuk semua jaringan tubuh. Pada jaringan tulang, sekitar sepertiga dari berat keringnya terdiri dari protein sehingga senyawa protein berperan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan hewan bahkan sejak masih dalam kandungan sebagai calon anak (fetus). Protein merupakan suatu bahan organik komplek yang terbuat dari susunan asam amino.
Asam amino adalah asam organik yang mengandung satu atau lebih gugus amino (NH2) kumpulan asam amino inilah yang disebut polipeptida. Hingga saat ini diketahui tidak kurang dari 25 jenis asam amino, dimana 20 di antaranya merupakan asam amino yang membentuk jaringan pada hewan. Dari 20 jenis asam amino, 10 jenis diantaranya termasuk dalam kategori essensial (utama) dan sisanya termasuk kategori nonessensial (sekunder). Asam amino utama adalah asam yang sangat dibutuhkan hewan dan tidak dapat disintesa (dibentuk) oleh tubuh hewan sehingga harus tersedia pada pakan yang dikonsumsinya. Sedangkan yang tidak utama adalah jenis asam amino yang dapat dibentuk dari jenis asam amino lainnya oleh tubuh hewan sehingga keberadaannya dalam pakan tidak perlu dikhawatirkan. Kelebihan protein yang dikonsumsi oleh hewan akan dirombak dan disimpan dalam jaringan hati dan dimanfaatkan oleh tubuh hewan sebagai energi. Untuk mengetahui kandungan nutrisi hijauan pakan di KHDTK Rarung, dapat dilihat dari hasil analisis proksimat sebagai mana Tabel 1.
Tabel 1. Hasil analisis proksimat hujauan pakan rusa di KHDTK Rarung. Abu (Gre y) (%)
Lemak Kasar (Gross Fat ) (%)
100 31.7668 100 31.4469
8.2165 2.6101 7.3575 2.3136
4.7438 1.5069 4.0061 1.2598
20.2133 6.4211 20.8817 6.5666
27.3793 8.6975 26.8197 8.4339
1.
100
10.0622
3.2673
31.1345
5.7691
2.
24.9894 100 25.0270
2.5145 10.9867 2.7496
0.8972 3.8226 0.9594
7.7803 31.4282 7.8655
1.4416 5.7604 1.4416
1.
100
7.7862
5.1197
19.5661
27.0927
2.
24.5608 100 24.5900
1.9124 7.8605 1.9329
1.2575 4.1064 1.0230
4.8056 19.8371 4.8779
6.6524 26.4163 6.4958
1.
100
6.5548
4.00879
23.1069
24.9379
2.
20.3618 100 20.5050
1.3347 7.4443 1.5262
0.8924 4.3174 0.8851
4.7049 23.2021 4.7568
5.0778 24.1325 4.9475
1.
100
13.9075
2.7935
33.5141
6.7151
2.
22.7596 100 22.7474
3.01653 13.1471 2.9906
0.6358 3.2156 0.7915
7.6277 34.2200 8.0116
1.5283 7.3906 1.6812
Nama Bahan/ Kode (Name Ingredients / Code ) Gliricidia sepium Stend
1. 2.
Pennisetum purpureum
Leucaena leucocephalla
Sesbania grandiflora
Pennisetum purpuphoindes
Bahan Kering (Dry Ingredients ) (%)
Serat Kasar (Gross Fiber ) (%)
Protein Kasar (Gross Protein ) (%)
Sumber : Hasil analisis prosimat di UNRAM
8
Edisi VIII No. 3 Desember 2015
Edisi VIII No.3 Desember 2015
9
Nutrisi hijauan pakan sebagaimana tabel 1 menunjukkan kandungan serat kasar pada kelima jenis rumput tersebut masih di bawah jumlah keperluan dan toleransi maksimal kandungan serat dalam bahan pakan yang diperlukan rusa. Rumput raja dan rumput gajah mengandung serat lebih besar bila dibandingkan dengan jenis rumput lainnya. Hal ini disebabkan bentuk daun yang memanjang dan dengan tulang daun yang besar sehingga akan membentuk jaringan serat yang lebih banyak. Lamtoro dan turi adalah tanaman berdaun kecil, dengan penampang daun yang lebih halus dan lunak menyebabkan kandungan seratnya lebih sedikit, sedangkan jenis gamal adalah jenis tanaman dengan daun berbentuk oval. Warna daun yang sangat hijau mengindikasikan bahwa tanaman ini banyak mengandung klorofil. Kandungan serat pada daun gamal adalah antara 6,4 – 6,5%. Bahan kering (BK) merupakan unsur nutrisi yang sangat penting dalam pemberian pakan pada hewan ruminansia. Ada dua jenis bahan yang mampu membuat hewan menjadi kenyang yaitu BK dan air. Idealnya dalam melakukan penangkaran harus melakukan kontrol dan mengetahui kandungan BK suatu pakan, karena penyusun ransum terdiri dari beberapa bahan diantaranya adalah BK (Dry Matter Basis), kemudian dikonversikan ke bahan segar (As Fed). Konsumsi BK idealnya adalah sekitar 2-3 % dari bobot badan. Rusa Timor membutuhan protein antara 15 -19% BK, dimana kandungan protein dikatakan rendah jika hanya terkandung <11% BK. Kekurangan protein dapat berakibat pada penurunan berat badan rusa dan dalam jangka panjang dapat berpengaruh terhadap proses reproduksi (Semiadi, 2004). Dari hasil analisis diketahui bahwa semua jenis pakan menunjukkan kandungan protein yang rendah. Pada gamal kandungan proteinnya antara 8,4 – 8,6%, lamtoro 6,4 – 6,6%, dan turi 4,9 – 5.0, rumput gajah dan rumput raja kandungan proteinnya sangat sedikit yakni 1,4 dan 1,6%. Hasil analisis ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil
10
Edisi VIII No. 3 Desember 2015
penelitian Supriyadi (2013), dimana kandungan protein gamal 22,7%, lamtoro 18,9%, turi 19,6% dan rumput gajah 9,9%. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis rumput ini masih memerlukan pemeliharaan yang intensif seperti dengan melakukan pemupukan. Selain itu disebabkan hal di atas, rendahnya kandungan nutrisi pakan pada hijauan dapat disebabkan karena jumlah rumpun yang terlalu besar dan jarak yang terlalu rapat yang mengakibatkan terjadinya kompetisi dalam mendapatkan unsur hara dan sinar matahari yang akhirnya menyebabkan etiolasi. Berikut Gambar 1 adalah kombinasi tegakan turi dan rumput raja.
Gambar 1. Tanaman turi yang di tanam dengan rumput raja
Salah satu unsur pada hijauan yang paling mempengaruhi daya cerna adalah kandungan unsur serat dan kerabatnya seperti selullosa, humiselullosa dan lignin. Semakin tua umur hijauan akan semakin meningkatkan unsur serat sehingga menjadi penghambat dalam meningkatkan pemanfaatan suatu hijauan. Tingginya kandungan serat cenderung akan menurunkan nilai daya cerna dan rendahnya daya cerna merefleksikan rendahnya kualitas hijauan tersebut ditinjau sebagai sumber nutrisi. Pada pakan berbahan karbohidrat tinggi, seperti dedak, jagung beras dan ubi-ubian cenderung mempunyai nilai daya cerna yang sangat tinggi, dimana unsur nutrisi dari jenis pakan tersebut mudah sekali dicerna (Semiadi, 2004).
B. Meningkatkan Nutrisi Pada Hijauan Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi serta kandungan protein hijauan pakan, diantaranya : 1. Perbaikan kualitas tanah Jenis pupuk yang dapat meningkatkan kesuburan tanah antara lain Nitrogen, Fosfor, Kalium, dan ZA. Unsur-unsur makro yang diperlukan oleh tanaman tersebut sering dikelompokkan dalam golongan pupuk yang disebut dengan golongan N,P,K. Pada umumnya rumput dapat menyerap zat NH3 (ammonia) secara langsung. Sedangkan hasil pemupukan dengan menggunakan urea menunjukkan hasil yang terendah. Untuk mengimbanginya diperlukan pengapuran 148 kg kapur untuk setiap kuintal ZA. Sedangkan urea yang memberikan efek keasaman tanah pada tingkat sedang saja hanya memerlukan 82 kg kapur untuk setiap kuintal urea (McIlroy. R. J, 1977). Upaya lain yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kualitas tanah adalah dengan penggemburan tanah/pengolahan tanah kembali setelah lahan padat/jenuh. Cara ini juga dapat bersamaan dengan rotasi jenis hijauan pakan, dimana waktunya disesuaikan dengan jenis hijauan yang ditanam. 2. Penyiangan Kompetisi yang tinggi antara tanaman inti dengan gulma sangat merugikan karena gulma akan mengambil unsur hara dalam tanah. Persaingan tidak hanya terjadi pada areal perakaran saja, akan tetapi gulma yang tidak terkendali akan membuat pertumbuhan tanaman menjadi kerdil, hal ini
terjadi karena adanya kompetisi dalam mendapatkan cahaya matahari. C. Pengendalian Hama dan Penyakit Sama halnya dengan tanaman budidaya, hama juga sering menyerang rumput. Adapun jenis hama yang sering menyerang adalah ulat daun dan ulat batang. Untuk meningkatkan produksi dan memelihara kualitas hijauan rumput gajah dan rumput raja, jenis hama ulat penggerek daun dan pemakan batang dapat dikendalikan dengan penyemprotan pestisida. Penutup Hasil analisis hijuan pakan menunjukkan bahwa gamal mempunyai kandungan protein yang paling besar yakni sebesar 8,5% dari bahan kering, lamtoro sebesar 6,5% dan turi 5,0%, sedangkan pada jenis rumput gajah dan rumput raja hanya berkisar antara 1,4 dan 1,6%. Peningkatan kandungan nutrisi dan mutu hijauan pakan dapat dilakukan dengan berbagai cara di antaranya adalah dengan perbaikan kualitas tanah, pemupukan, penyiangan serta pengendalian hama dan penyakit. Daftar Pustaka McIlroy, R.J.1977. Pengantar Budidaya Padang Rumput Tropika. Prandya Paramita, Jakarta. Sumiadi, G. dan Nugraha, R.T.P. 2004. Panduan Pemeliharaan Rusa Tropis. Pusat Penelitian Biologi. LIPI. Bogor. Supriyadi. 2013. Macam Bahan Pakan Sapi dan Kandungan Gizinya. BPTP Yogyakarta. Yogyakarta.
Edisi VIII No.3 Desember 2015
11
| FOKUS |
kebungaharununukan.blogspot.com
Materi Genetik Penghasil Gaharu (Gyrinops versteegii)
Aetoxylon spp, Wikstroemia spp dan Dalbergia spp. Tanaman penghasil gaharu telah banyak dikenal jenis dan keberadaannya, tanaman ini juga telah banyak dibudidayakan oleh masyarakat karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Tindakan budidaya tanaman penghasil gaharu menjadi penting dilakukan karena populasinya di alam saat ini mengalami penurunan sebagai akibat dari eksploitasi yang tak terkendali. CITES telah memasukkan jenis tanaman ini ke dalam appendix II, selain itu juga telah terdaftar dalam redlist IUCN pada tahun 2009 dengan kategori vulnerable atau rawan. Budidaya tanaman penghasil gaharu lebih banyak menggunakan materi genetik berupa benih, karena dipandang lebih mudah dilakukan dan dapat menghasilkan anakan siap tanam yang cukup banyak. Mengenal kondisi fisik materi genetik tanaman penting untuk diketahui dalam suatu kegiatan budidaya tanaman penghasil gaharu. Dari pengalaman dan literatur yang ada tentang budidaya tanaman penghasil gaharu, materi genetik gaharu memiliki karakteristik yang khas dan perlu untuk diketahui. Materi genetik tanaman penghasil gaharu, dalam hal ini adalah buah dan biji memberikan tanda atau sign dalam kesiapannya untuk dibudidayakan, selain itu tanaman ini memiliki ciri khasnya yang harus diperhatikan dengan baik agar tidak terlewat dalam proses
pemanenan materi genetiknya. Di lain pihak, materi genetik juga memiliki kerentanan terhadap suatu kerusakan yang dapat diakibatkan oleh faktor biotik maupun abiotik. Marga Gyrinops merupakan jenis gaharu atau jenis kemedangan yang termasuk dalam famili Thymelaeaceae. Famili ini sebagian besar tumbuh dan mendominasi struktur tegakan hutan di hutan hujan tropis, mulai dataran rendah dari kering hingga rawa dengan ketinggian 0-1.000 m dpl (Susilo dkk, 2014). Secara morfologis tumbuhan gaharu jenis Gyrinops berbentuk sebagai pohon yang memiliki sifat morfologis relatif sama dengan anggota famili Thymeleaceae lainnya. Daun lonjong memanjang, hijau tua, tepi daun rata, ujung daun meruncing, panjang sekitar 8 cm, lebar 5 – 6 cm. Buah berwarna kuning – kemerahan dengan bentuk lonjong. Batang abu-kecoklatan, banyak cabang, tinggi pohon dapat mencapai 30 m dan berdiameter sekitar 50 cm (Sumarna, 2012). Pembahasan A. Karakteristik Buah dan Biji Gyrinops versteegii Tanaman penghasil gaharu dari jenis G. versteegii termasuk dalam sub-divisio angiospermae, dimana biji yang dihasilkan merupakan tipe berbiji tertutup dengan biji berkeping dua. Proses pembentukan buah menunjukkan bahwa munculnya buah yang
Berupa Buah dan Benih Serta Bentuk Kerusakannya Oleh : Dani Pamungkas
Pendahuluan Gaharu adalah resin berbau harum berwarna gelap yang terakumulasi didalam batang dan akar pada berbagai umur, bentuk dan ukuran (Jensen dan Meilby, 2010). Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No P.35/Menhut-II/2007, spesies tumbuhan penghasil gaharu masuk ke dalam kelompok penghasil resin bersama dengan jenis-
12
Edisi VIII No. 3 Desember 2015
jenis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) lainnya, yang terdiri dari 9 kelompok HHBK, yang terdiri dari 557 spesies tumbuhan dan hewan. Menurut peraturan yang ada tersebut, bahwa jenis penghasil gaharu tidak hanya berasal dari satu genus saja, namun terdapat beberapa genus yang tersebar luas di seluruh Indonesia, yaitu diantaranya Aquilaria spp, Gyrinops spp, Gonystylus spp; Enkleia spp,
Gambar 1 . Proses pembentukan buah G. versteegii. Inset: benih gaharu yang belum masak
Edisi VIII No.3 Desember 2015
13
masak dari bunga membutuhkan waktu 27-50 hari setelah anthesis, buah akan menguning pada minggu ke 5 setelah anthesis, dan akan menguning keseluruhan setelah berumur 6-8 bulan (Khoerani, 2013). Buah G. versteegii yang masih muda memiliki warna hijau tua dan terkesan licin halus serta mengkilat, jika ditekan dengan menggunakan jari akan terasa keras. Apabila buah diekstraksi akan nampak biji yang masih putih bersih pada bagian pangkal buah dan ujung buah.Sedangkan karakter buah G. versteegii yang telah masak akan berwarna kuning cenderung oranye dengan biji yang telah masak memiliki warna biji hitam dengan ujung biji berwarna putih. Menurut masyarakat yang telah lama melakukan budidaya tanaman penghasil gaharu, buah yang memiliki warna hijau kekuningan umumnya telah memiliki biji yang telah berwarna hitam. Buah G. versteegii yang telah matang akan terbelah secara membujur diatas pohon, kemudian biji akan menggantung dan akan jatuh kebawah dan selanjutnya buah akan menutup kembali seperti semula. Hal ini yang kadang menyebabkan para pemanen buah gaharu terlewatkan saat melakukan pemanenan jika kurang pengalaman dalam melaksanakan pengunduhan materi genetik tanaman penghasil gaharu. Kelompok tanaman penghasil gaharu dari keluarga Thymeleaceae memiliki proses pemasakan yang sama. Seperti halnya dari jenis Aquilaria crassna saat buah telah matang, dengan perubahan warna buah dari hijau menjadi coklat dan terbuka saat masih di pohon dan kemudian biji terjatuh (Jensen, 2000 dalam Lata, 2007). Bahwa setiap materi genetik dari jenis tertentu
memiliki sifat yang khas terkait dengan perkecambahan dan pertumbuhannya, maka perlu diperhatikan karakter materi genetik tanaman penghasil gaharu yang bersifat rekalsitran. Biji tersebut harus segera ditabur di persemaian karena tidak dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama tidak seperti biji yang bersifat orthodok yang dapat disimpan dalam waktu yang lama. Sifat fisiologis pertumbuhan bibit pada fase vegetatif umumnya bersifat tidak tahan terhadap cahaya secara langsung atau semitoleran hingga umur 2-3 tahun (Sumarna, 2012). B. Bentuk Kerusakan Materi Genetik Yang Dijumpai Sebuah gangguan terhadap materi genetik selalu menjadi kendala dalam kegiatan budidaya tanaman. Hal tersebut dapat menjadi penyebab menurunnya keberhasilan dalam tingkat persemaian terutama dalam hal perkecambahan. Gangguan tersebut dapat diakibatkan dari faktor biotik atau abiotik maupun faktor lain dari sebuah sistem pola tanam. Sistem pola tanam berupa monokultur (tanaman dengan jenis seragam) umumnya memiliki resiko serangan yang lebih tinggi dibandingkan polykultur. Ekosistem hutan tanaman dengan komposisi tegakan hutan terdiri dari jumlah jenis yang terbatas atau bahkan seringkali monokultur, cenderung untuk memacu peningkatan populasi penyakit seperti halnya yang terjadi pada ekosistem perkebunan dan pertanian (Anggraeni, I dan Lelana, N E, 2011). Pada gambar 2 [1] menunjukkan adanya tanda serangan pada kulit buah gaharu, nampak seperti
bekas gigitan dan sayatan yang menyebabkan kerusakan pada kulit buah gaharu. Sedangkan pada gambar 2 [2] menunjukkan perbandingan antara kondisi materi genetik yang mengalami kerusakan dengan materi genetik yang sehat. Pada materi genetik dengan kulit buah yang kisut, dan setelah dilakukan ekstraksi buah, diketahui bahwa ternyata biji menunjukkan kondisi yang tidak sehat. Pada materi genetik [a] menunjukkan buah yang kisut, nampak terdapat bercak warna coklat disekelilingnya dan bijinya tidak berkembang menjadi biji yang siap tanam meskipun sebagian kulit buah memberi tanda warna buah hijau kekuningan. Bentuk biji menunjukkan buah yang kempis dan terkesan tidak memiliki isi. Pada materi genetik [b] meskipun kulit buah telah menunjukkan tanda buah matang dengan ciri warna buah telah kuning menyeluruh, namun setelah dilakukan ekstraksi, biji menunjukkan biji yang tidak sehat, nampak pada gambar bahwa biji berwarna coklat pucat dan biji lainnya berwarna hitam kemerahan. Pada materi genetik [c] biji menunjukkan warna hitam pekat dan tidak terdapat tanda-tanda kerusakan pada biji maupun kulit buahnya seperti pada materi genetik [a] dan [b]. Kulit buahnya memiliki kesan yang halus dan tidak kisut serta bebas dari bercak. Penutup Pengetahuan tentang karakteristik buah penghasil gaharu penting untuk diketahui seperti waktu masak dan warna buah yang telah masak, bahkan bentuk kerusakan dari materi genetik juga perlu diketahui, dalam kaitannya dengan proses pengunduhan benih. Dengan demikian, keterlambatan dalam pengunduhan dapat dihindari.
Daftar Pustaka Anggraeni, I dan Lelana, N E. 2011. Diagnosis Penyakit Tanaman Hutan. Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Jensen, A. dan Meilby, H. 2010. Return From Harvesting a Commercial Non-Timber Forest Product and Particular Characteristic of Harvesters and Their Strategies : Aquilaria crassna and Agarwood in Lao. Economic Botany, 64(1), 2010 pp. 34-45. The New York Botanical Garden Press, Bronx. Khoerani. 2013. Studi Pembungaan Dan Perkembangan Buah Serta Viabilitas Polen Pohon Gaharu (Gyrinops versteegii). (Skripsi). Departemen Biologi. Fakultas MIPA IPB Bogor. Lata, A. 2007. Investigation Of Seed Longevity And Viability And Cutting Propagation For Aquilaria crassna. School of Marine and Tropical Biology, James Cook University, Cairns. Sumarna, Y. 2012. Budidaya Jenis Pohon Penghasil Gaharu. Pusat Litbang Produktivitas Hutan. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan. Departemen kehutanan. Susilo, A., Kalima, T. dan Erdy Santoso. 2014. Panduan Lapangan Pengenalan Jenis Gaharu Gyrinops spp. Di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi kerjasama ITTO dan CITES.
Gambar 2 . Kenampakan materi genetik yang mengalami kerusakan
14
Edisi VIII No. 3 Desember 2015
Edisi VIII No.3 Desember 2015
15
| FOKUS |
wikipedia.org
Evaluasi Pertumbuhan Semai Kayu Merah (Pterocarpus indicus Willd.) untuk Uji Keturunan Generasi Pertama (F-1) di Stasiun Penelitian Oilsonbai Oleh : Hery Kurniawan dan Sumardi
16
Edisi VIII No. 3 Desember 2015
Pendahuluan Rehabilitasi hutan dan lahan untuk tujuan perbaikan ekosistem merupakan tanggung jawab bersama baik pemerintah, sektor swasta maupun masyarakat. Program pemerintah yang bertujuan untuk memperbaiki ekosistem hutan dan kehutanan di Indonesia dilakukan dengan berbagai program pemerintah melalui Kementerian Kehutanan. Kementerian Kehutanan pada tahun 2010 meluncurkan program Penanaman 1 Miliar Pohon dengan motto “Satu Miliar Pohon Indonesia untuk Dunia” atau “One Billion Indonesian Trees for the World”. Program tersebut dimaksudkan untuk menumbuhkan budaya menanam pada masyarakat. Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki jumlah desa target sebanyak 552 desa untuk pembangunan KBR pada tahun 2011. KBR di NTT cenderung dan lebih banyak menggunakan biji sebagai materi perbanyakan, hal ini melihat kondisi kemampuan masyarakat untuk membudidayakan tanaman secara vegetatif belum memungkinkan. Hal yang perlu mendapatkan perhatian lebih dalam pembangunan KBR dan kegiatan rehabilitasi lainnya di NTT ini adalah ketersediaan dan kecukupan benih dari jenis tanaman target. Dengan demikian perlu dilakukan dengan segera upaya penyediaan benih sebagai materi perbanyakan tanaman untuk pembangunan KBR. Benih yang digunakan diharapkan merupakan benih yang memiliki kualitas baik, yang berasal dari sumber benih yang bersertifikat. Benih yang berkualitas akan menghasilkan bibit yang berkualitas dan bibit yang berkualitas akan menghasilkan tanaman berkualitas pula. Sumber benih berkualitas yang dibuktikan dengan sertifikat memiliki klasifikasi tertentu menurut Permenhut Nomor : P.01/Menhut-II/2009 yang telah direvisi dengan Permenhut Nomor : P.72/Menhut-II/2009 untuk menghasilkan bibit berkualitas. Balai Penelitian Kehutanan Kupang yang bekerjasama dengan instansi terkait berusaha untuk membangun sumber benih tersebut dengan 2 jenis tanaman target yang merupakan jenis
andalan NTT dengan mempertimbangkan kondisi lingkungannya. Jenis target yang dipilih pada tahun 2014 ini merupakan jenis tanaman yang telah mampu beradaptasi dengan karakteristik lingkungan wilayah NTT yakni jenis kayu merah (Pterocarpus indicus Wild.). Tulisan ini merupakan evaluasi awal dari kegiatan penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan sumber benih jenis kayu merah berkualitas di Pulau Timor melalui uji keturunan generasi pertama (F-1). Pembahasan A. Metode Penelitian Persemaian untuk menyiapkan bibit di lakukan di Persemaian Stasiun Penelitian BPK Kupang di Oelsonbai, Kupang. Desain penelitian pada tingkat persemaian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 59 famili, jumlah semai bervariasi antara 14 sampai dengan 30 semai untuk tiap famili. B. Hasil dan Pembahasan 1. Eksplorasi Materi Genetik Kayu merah merupakan jenis penghasil kayu bernilai tinggi. Kayunya agak keras, digunakan untuk mebel halus, lantai, lemari dan alat musik. a
b
Gambar 1a. Materi genetik kayu merah, berupa benih siap tabur; 1b. Bibit kayu merah umur 2,5 bulan di persemaian
Edisi VIII No.3 Desember 2015
17
Jenis ini merupakan jenis pengikat nitrogen. Kayu merah merupakan jenis unggulan kedua setelah cendana di NTT. Keberadaan jenis ini di NTT tersebar di Pulau Timor mulai dari Kabupaten Kupang sampai dengan Kabupaten Belu. Sebaran pohon yang luas ditemukan di hutan primer dan beberapa hutan sekunder dataran rendah, umumnya di sepanjang sungai pasang surut dan pantai berbatu. Merupakan jenis pionir yang tumbuh baik di daerah terbuka. Tumbuh pada berbagai macam tipe tanah, dari yang subur ke tanah berbatu. Biasanya ditemukan sampai ketinggian 600 mdpl, namun masih bertahan hidup sampai 1.300 mdpl. Populasinya berkurang akibat eksploitasi berlebihan, kadangkala penebangan liar menyebabkan hilangnya habitat. Menurut IUCN Red List (2013), Pterocarpus indicus tergolong dalam kategori vurnerable atau mempunyai resiko kepunahan di alam liar sehingga pengetahuan mengenai regenarasinya di alam perlu untuk diketahui. Di Vietnam, populasi jenis ini telah punah selama 300 tahun. Survei ekstensif di Sri Lanka gagal menemukan jenis ini dan populasi di India, Indonesia dan Filipina menunjukkan bahwa jenis ini telah terancam. Populasi terbesar yang tersisa untuk jenis ini terdapat di New Guinea, namun kondisi menunjukkan ternyata keberadaannya telah tereksploitasi dengan parah (Joker, 2002). Pemilihan materi genetik, didasarkan pada pemilihan pohon dengan fenotip yang baik. Pohon atau tegakan yang digunakan sebagai tempat pengumpulan benih disebut sebagai sumber benih.
Berdasarkan materi genetik yang digunakan untuk membangun sumber benih, sumber benih berdasarkan Permenhut Nomor : P.01/MenhutII/2009 yang telah direvisi dengan Permenhut Nomor : P.72/Menhut-II/2009 dapat diklasifikasi menjadi 7 kelas (Kementerian Kehutanan, 2011), yaitu tegakan benih teridentifikasi (TBT), tegakan benih terseleksi (TBS), areal produksi benih (APB), tegakan benih provenan (TBP), kebun benih semai (KBS), kebun benih klon (KBK), kebun pangkas (KP). Urutan sumber benih mulai dari tingkat klasifikasi ke-1 adalah yang terendah kualitas genetiknya dan tingkat klasifikasi ke-7 adalah yang terbaik. Pembangunan sumber benih harus memperhatikan beberapa standar yang harus dipenuhi untuk menjaga dan mempertahankan kualitas sumber benih. Standar sumber benih meliputi standar umum dan standar khusus yang harus dipenuhi dalam pembangunan sumber benih (Kementerian Kehutanan, 2009). Eksplorasi materi genetik kayu merah pada 2 lokasi fokus yaitu, Kabupaten TTU dan Kabupaten TTS - Kupang (berada di sekitar perbatasan) yang masing-masing mendapatkan buah masak yang berasal dari 30 pohon induk (famili). Dari 60 famili yang diunduh, sebanyak 59 famili mampu menghasilkan bibit dalam jumlah cukup. 2. Evaluasi Pertumbuhan Tinggi dan Diameter Semai Kayu Merah Materi genetik yang berasal dari 59 famili yang berhasil disemaikan, selanjutnya dilakukan uji F, untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang
Tabel 1. Hasil uji F untuk 59 famili semai kayu merah umur 3 bulan dan taraf sig. 5%
Variabel
Sumber Variasi
JK
Tinggi
Antar Famili
9022,933
58
155,568
Dalam Famili
27159,996
1351
20,104
Total
36182,929
1409
Antar Famili
101,037
58
1,742
Dalam Famili
609,912
1351
0,451
Total
710,949
1409
Diameter
18
Edisi VIII No. 3 Desember 2015
db
KT
F
Sig.
7,738
0,000
3,859
0,000
nyata antar famili. Hasil uji F untuk ke-59 famili yang ada disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan hasil analisis varian pada Tabel 1 diketahui untuk variabel tinggi berbeda nyata antar familinya, demikian juga untuk variabel diameter. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, bahwa pada tanaman semai secara umum, pertumbuhan tinggi dan diameter relatif belum mendapatkan persaingan dengan tersedianya ruang tumbuh yang cukup dan nutrisi yang relatif tersedia secara seragam. Dengan demikian proses pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman, dapat terjadi secara optimal. Menurut Solikin (2011), proses perkecambahan, pertumbuhan dan perkembangan tanaman dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan seperti media, kelembapan, temperatur, cahaya, dan tumbuhan lain di sekitarnya. Dengan demikian, hasil pertumbuhan yang berbeda nyata ini diduga kuat merupakan pengaruh dari genetika tanaman. Menurut Mahdi (1986) pohon induk sebagai sumber biji berpengaruh pada perkecambahan biji dan pertumbuhan semai karena setiap pohon menghasilkan biji yang memiliki sifat-sifat unggul yang berbeda seperti kandungan kimia dalam biji. De La Cruz (1982) melaporkan bahwa komposisi kimia dalam biji dikendalikan oleh faktor genetika sedangkan jumlah masing-masing komponen kimia tersebut dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat tumbuh pohon induk dan iklim. Kisaran pertumbuhan tinggi umur 3 bulan untuk semua semai uji pada masing-masing famili sampai dengan umur 3 bulan di persemaian berkisar antara 11,41 cm (famili nomor T.21) sampai dengan 21,72 cm (famili nomor S.2) dengan nilai reratanya sebesar 15,74 cm. Sedangkan rerata pertumbuhan diameternya berkisar antara 2,04 mm (famili nomor T.25) sampai dengan 3,27 mm (famili nomor S.9) dengan nilai reratanya sebesar 2,69 mm. Penutup Evaluasi pertumbuhan semai kayu merah umur 3 bulan untuk 59 famili yang diuji memberikan hasil
adanya perbedaan yang nyata dalam pertumbuhan tinggi dan diameter semai. Perbedaan ini diduga kuat dipengaruhi oleh faktor genetika tanaman. Kisaran pertumbuhan tinggi antara 11,41 cm (famili nomor T.21) sampai dengan 21,72 cm (famili nomor S.2) dengan nilai reratanya sebesar 15,74 cm. Sedangkan rentang pertumbuhan diameternya berkisar antara 2,04 mm (famili nomor T.25) sampai dengan 3,27 mm (famili nomor S.9) dengan nilai reratanya sebesar 2,69 mm. Daftar Pustaka De La Cruz, R.E, 1982. Seed biology. Training Course in Biolical Aspect of Silviculture. Bogor: BIOTROP. IUCN 2013. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2013.1. <www.iucnredlist.org>. Diakses 10 Mei 2013. Joker, D., 2002. Informasi Singkat Benih : Pterocarpus indicus Willd. Indonesia Forest Seed Project. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Kementerian Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Nomor : P.72/Menhut-II/2009, tentang Perubahan atas peraturan penyelenggaraan perbenihan tanaman hutan. Kementerian Kehutanan. Jakarta, Indonesia. 22p. Mahdi, A, 1986. The biology of Santalum album seed with special emphasis on its germination characteristics. Biotrop Technical Buletin 1 (1): 1-9. Solikin. 2011. Sebaran Anakan Mahoni (Sweitenia macrophylla King.) Di Kebun Raya Purwodadi. Berkala Penelitian Hayati Edisi Khusus: 7A (47-50). Thomson, L.A.J. 2006. Species Profile For Pacific Island Agroforestry: Pterocarpus indicus (narra). http://www.traditionaltree.org. Diakses 10 Mei 2013
Edisi VIII No.3 Desember 2015
19
| FOKUS |
Di Desa Pariti Kecamatan Sulamu Kabupaten Kupang Oleh : M. Hidayatullah dan Bernadus Ndolu
20
Edisi VIII No. 3 Desember 2015
www.eoearth.org
PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE
Pendahuluan Kabupaten Kupang merupakan salah satu wilayah dengan luasan hutan mangrove yang cukup besar di Nusa Tenggara Timur, yaitu mencapai 6.344 ha, jumlah tersebut setara dengan 15,61% dari total luas hutan mangrove NTT (BPDAS BN, 2009). Kondisi hutan mangrove di Kabupaten Kupang cukup beragam, dari yang masih bagus dengan penutupan padat maupun yang mengalami kerusakan dengan penutupan jarang. Masyarakat pesisir kabupaten Kupang memanfaatkan mangrove sebagai area penangkapan ikan, kepiting, udang dan kerang. Pada beberapa tempat ditemukan adanya aktifitas konversi kawasan menjadi area budidaya perikanan, tambak garam maupun pembangunan pemukiman. Bentuk pemanfaatan lain seperti pengambilan kayu untuk kayu bakar dan bahan bangunan juga masih dapat dijumpai walaupun terus berkurang. Keberadaan hutan mangrove menjadi sangat penting karena selain beragam aktifitas pemanfaatan diatas, hutan mangrove juga mempunyai fungsi sosial dan ekologi dalam mendukung kelangsungan hidup manusia. Kondisi tersebut menyebabkan keberadaan hutan mangrove menjadi sangat penting, sehingga perlu dikelola dengan bijak agar fungsi dan manfaatnya dapat berkesinambungan. Bentuk-bentuk pengelolaan hutan mangrove dapat berbeda sesuai dengan model yang dikembangkan pada suatu daerah, namun pada umumnya keterlibatan masyarakat setempat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan hutan mangrove. Kondisi Umum Lokasi Secara administrasi desa Pariti termasuk dalam kecamatan Sulamu dengan total luas wilayah 1.305,5 ha. Suhu udara rata-rata harian adalah 350C. (Daftar Isian Profil Desa Pariti, 2013). Pariti menjadi salah satu desa dengan konsentrasi hutan mangrove yang cukup luas di kecamatan Sulamu. Berdasarkan pengukuran di lapangan dan hasil padu serasi dengan peta penutupan lahan diketahui bahwa ketebalan hutan mangrove berkisar antara 50-200 meter dengan panjang garis pantai hampir 5 km. Pada beberapa tempat ditemukan bahwa kawasan hutan mangrove langsung berbatasan dengan area persawahan.
Lahan pertanian di desa Pariti merupakan sawah tadah hujan dengan jenis tanaman padi, palawija dan sayur-sayuran merupakan beberapa jenis komoditas yang umum ditanam oleh masyarakat. Area persawahan yang cukup luas didukung oleh jumlah petani penggarap yang cukup banyak (bertani menjadi sumber matapencaharian terbanyak bagi masyarakt pariti diikuti nelayan). Pada umumnya sawah yang dikelola bukan milik pribadi melainkan sistem bagi hasil dengan pemilik tanah. Akses menuju desa Pariti dapat ditempuh menggunakan transportasi darat dengan kondisi jalan yang relatif cukup baik. Semua wilayahnya dapat dijangkau oleh transportasi darat dengan jarak tempuh ± 17 km dari kota kecamatan (waktu tempuh ± 20 menit) atau sekitar 60 km dari ibu kota kabupaten (waktu tempuh ± 1 jam). Akses jalan yang cukup baik menyebabkan pemasaran hasilhasil pertanian, peternakan maupun hasil laut berlangsung cukup baik. Potensi Mangrove Pariti menjadi salah satu desa dengan konsentrasi hutan mangrove yang cukup luas di kecamatan Sulamu – Kabupaten Kupang. Sepanjang garis pantai ditumbuhi mangrove dengan ketebalan yang berfariasi antara 50-200 meter. Hutan mangrove di desa Pariti disusun setidaknya oleh 14 jenis mangrove (12 jenis mangrove sejati dan 2 jenis mangrove ikutan). Keluarga dari famili Rhizophoraceae merupakan famili yang paling banyak dijumpai yaitu sebanyak 4 jenis : Bruguiera cylindrica (L.) BI., Ceriops tagal (Perr), Rhizophora mucronata Lmk dan Rhizophora stylosa Griff. Jenis-jenis lain yang dijumpai adalah : Famili Avicenniaceae (Avicennia alba Bl.), Acanthaceae (Acanthus ilicifolius L), Plumbaginaceae (Aegialitis annulata R. Br), Pteridaceae (Acrosthicum aureum Linn), Pteridaceae (Acrostichum speciosum), Euphorbiaceae (Excoecaria agallocha L), Sonneratiaceae (Sonneratia alba J.R Smith) dan Pandanaceae (Pandanus odoratissima), sedangkan dari jenis ikutan yaitu famili Molluginaceae (Sesuvium postucalartum (L.) L.) dan Malvaceae (Thespesia populnea (L.) Soland). (Hidayatullah, dkk. 2014). Jenis-jenis mangrove diatas merupakan jenis yang umum dijumpai pada kawasan hutan
Edisi VIII No.3 Desember 2015
21
mangrove, kecuali jenis Aegialitas annulata dan Sesuvium portulacastrum tidak banyak dijumpai pada hutan mangrove di Nusa Tenggara Timur. Berdasarkan kriteria Kementerian Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004 tentang kriteria baku kerusakan hutan mangrove, tingkat kerapatan hutan mangrove di Pariti termasuk dalam kategori jarang sampai padat dengan jumlah pohon berkisar antara 733 – 1.760 pohon/ha (Hidayatullah, dkk. 2014). Pengelolaan Hutan Mangrove Pengelolaan hutan mangrove pada umumnya didasari pada 3 (tiga) aspek yaitu : 1). aspek ekologi dan sosial ekonomi, 2). aspek kelembagaan dan perangkat hukum, serta 3). aspek strategi pelaksanaan rencana. Aspek ekologi terkait dengan dampak dari aktifitas manusia terhadap ekosistem mangrove, baik yang sudah terjadi maupun perkiraan yang akan terjadi dikemudian hari. Aspek kelembagaan dan perangkat hukum berhubungan dengan koordinasi antar lembaga terkait, baik lembaga pemerintah maupun non pemerintah (NGO, lembaga adat, kelompok masyarakat dll), serta kebijakan atau peraturan yang terkait dalam pengelolaan hutan mangrove. Aspek strategi pelaksanaan terkait dengan pilihan metode yang dikembangkan dalam pembangunan hutan mangrove sehingga mampu memperbaiki kondisi yang ada serta memberi nilai tambah bagi masyarakat (Syukur, dkk. 2007). Salah satu strategi dalam pengelolaan hutan mangrove adalah pelibatan masyarakat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi maupun pemanfaatan sumberdaya mangrove secara berkelanjutan. Kondisi tersebut diharapkan dapat meningkatkan rasa tanggung jawab masyarakat dalam menjaga kelestarian mangrove. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove sejalan dengan undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (pasal 6 ayat 1), serta menjadi bagian dari kebijakan Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove (SNPEM). Terkait dengan pengelolaan hutan mangrove di Desa Pariti, dalam beberapa tahun terakhir memang menunjukkan hasil yang menggembirakan. Hal ini tidak terlepas dari keikutsertaan dan partisipasi masyarakat dalam berbagai program atau kegiatan penanaman yang
22
Edisi VIII No. 3 Desember 2015
telah dilakukan. Pada periode sebelum tahun 1990an masyarakat belum mengenal adanya batasan dalam pemanfaatan mangrove, penebangan kayu mangrove untuk berbagai kebutuhan masih kerap dijumpai. Selain untuk kebutuhan kayu bakar dan bahan bangunan, pembuatan serowaring (perangkap ikan) juga membutuhkan kayu mangrove dalam jumlah yang cukup banyak. Serowaring merupakan perangkap ikan yang dibuat dengan cara memasang batang-batang kayu (kayu mangrove) berbentuk lingkaran atau bujur sangkar dalam ukuran tertentu kemudian dipasangi jaring. Batang mangrove yang umumnya digunakan adalah batang berukuran sedang sampai besar dengan harapan perangkap tersebut dapat bertahan lama. Seiring berjalannya waktu, masyarakat mulai menyadari fungsi dan manfaat dari hutan mangrove terutama sebagai pelindung sawah dari abrasi. Lokasi sawah yang langsung berbatasan dengan hutan mangrove menjadi terganggu produksinya akibat adanya abrasi air laut. Kondisi tersebut mulai dirasakan pada awal tahun tahun 2006, sekaligus menjadi salah satu titik balik membaiknya kesadaran masyarakat tentang arti penting mangrove. Pada tahun 2006 dikeluarkan Peraturan Desa (Perdes) Nomor 01 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Lingkungan Pesisir Pantai Desa Pariti. Terbitnya perdes tersebut didasari adanya keprihatinan warga desa karena kondisi hutan mangrove yang semakin menurun. Dalam Perdes tersebut mengatur tentang larangan penebangan kayu mangrove serta bentuk-bentuk pemanfaatan yang diperbolehkan. Masyarakat sangat meghormati adanya perdes tersebut, sehingga sejauh ini cukup efektif dalam menjaga kelestarian hutan mangrove desa Pariti. Implementasi peraturan desa tersebut, selanjutnya dibentuk satu lembaga yaitu POKWASMAS (Kelompok Pengawas Masyarakat) pesisir, tokoh pada masingmasing dusun dilibatkan dalam lembaga ini yang bertujuan untuk mendekatkan lembaga tersebut dengan masyarakat. Pada tahun bersamaan juga terbentuk 6 (enam) kelompok tani mangrove yang diinisiasi sebuah LSM dari Jepang. Kelompok ini selanjutnya melakukan berbagai aktifitas penanaman dan pemeliharaan mangrove baik secara mandiri maupun yang difasilitasi oleh berbagai pihak (instansi pemerintah, perguruan tinggi dan swasta). Sinergi antara Perdes dan kesadaran masyarakat
menjadikan kawasan hutan mangrove di desa Pariti terus terjaga hingga saat ini. Pada saat ini kondisi hutan mangrove di desa Pariti cukup baik, salah satu bentuk kearifan masyarakat desa Pariti untuk mengamankan kawasan hutan mangrove adalah memberi batas hutan mangrove dengan area persawahan atau area penggembalaan dengan pagar hidup. Seiring dengan semakin membaiknya kondisi hutan mangrove di desa Pariti, berbanding lurus dengan hasil tangkapan masyarakat dari hutan mangrove. Salah satu indikasinya adalah adanya peningkatan jumlah tangkapan jenis kepiting (termasuk kepiting bakau). Jumlah tangkapan kepiting di Pariti pada tahun 2011 sebanyak 2,2 ton dan pada tahun 2013 terjadi peningkatan menjadi 5,2 ton (BPS Kabupaten Kupang, 2013). Kondisi ini diharapkan dapat terus dipertahankan sehingga keberadaan hutan mangrove dapat memberi dampak posistif terhadap peningkatan pendapatan masyarakat. Penutup Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan mangrove di desa Pariti berjalan dengan baik, hal tersebut disebabkan karena kesadaran masyarakat terhadap fungsi dan manfaat dari hutan mangrove sangat baik. Kondisi ini juga didukung adanya kearifan lokal masyarakat dalam mengelola hutan mangrove, salah satunya melalui Peraturan Desa
(Perdes) tentang pengelolaan ekosistem pantai desa pariti yang melibatkan sebagian besar tokoh dalam pelaksanaannya. Bentuk partisipasi dapat menjadi salah satu contoh untuk daerah lain, sehingga dapat memberi dampak yang lebih besar untuk perbaikan ekosistem hutan mangrove di Kabupaten Kupang khususnya. Daftar Pustaka BPDAS Benain Noelmina, 2009. Statistik Pembangunan, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Benain Noelmina Tahun 2008. BPS Kabupaten Kupang, 2013. Kabupaten Kupang dalam Angka Tahun 2013. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kupang, 2013. Hidayatullah, M, dkk. 2014. Kajian Model Kemitraan Pemanfaatan Hutan Mangrove di Kabupaten Kupang. Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014. Tidak diPublikasikan. Kementerian Kehutanan, 2013. Buku I Strategi dan Program : Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove Indonesia. Kementerian Kehutanan RI, Jakarta. Syukur Djazuli, Aipassa dan Arifin. 2007. Analisis Kebijakan Pelibatan Masyarakat dalam mendukung Pengelolaan Hutan Mangrove di Kota Bontang. Jurnal Hutan dan Masyarakat. Vol. 14. N0. 2 Desember 2007.
Edisi VIII No.3 Desember 2015
23
| GALERI PERISTIWA | 24
Beberapa kegiatan diseminasi hasil –hasil penelitian yang di selenggarakan di penghujung tahun 2015 antara lain : ? Penyelenggaraan Seminar Nasional dengan tema “Biodiversitas Savana Nusa Tenggara”, yang diselenggarakan di hotel Swiss Bellin-Kristal pada tanggal 24 November 2015 dengan peserta 167 orang . ? Penyelenggaraan Diskusi Ilmiah, antara Balai Penelitian Kehutanan Kupang dengan Balai Diklat Kehutanan Kupang dengan tema Sinergitas Peneliti, Widyaiswara dan Penyuluh Kehutanan, yang diselenggarakan di hotel Ima Kupang pada tanggal 8 Desember 2015 dengan peserta 114 orang. ? Pembinaan kepegawaian oleh kabag kepegawaian, Hukum dan ORTALA (Bapak Drs. Riharto S, MM) di Kantor Balai Penelitian Kehutanan Kupang pada tanggal 10 Desember 2015. .... selamat buat semua panitia dan tim DISPRA yang telah bekerja keras demi suksesnya penyelenggaraan seminar nasional dan diskusi ilmiah
Seminar Nasional Biodiversitas Savana Nusa Tenggara, 24 November 2015
Seminar Nasional Biodiversitas Savana Nusa Tenggara, 24 November 2015
Seminar Nasional Biodiversitas Savana Nusa Tenggara, 24 November 2015
Seminar Nasional Biodiversitas Savana Nusa Tenggara, 24 November 2015
Diskusi Ilmiah, 8 Desember 2015
Edisi VIII No. 3 Desember 2015
Edisi VIII No.3 Desember 2015
25
26
Diskusi Ilmiah, 8 Desember 2015
Pembinaan Kepegawaian, 10 Desember 2015
Diskusi Ilmiah, 8 Desember 2015
Pembinaan Kepegawaian, 10 Desember 2015
Pembinaan Kepegawaian, 10 Desember 2015
Pembinaan Kepegawaian, 10 Desember 2015
Edisi VIII No. 3 Desember 2015
Edisi VIII No.3 Desember 2015
27
Gunung Inerie , Nusa Tenggara Timur source : www.trekearth.com
PETUNJUK BAGI
PENULIS BAHASA Naskah artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia, memuat tulisan bersifat popular/semi ilmiah dan bersifat informatif.
FORMAT Naskah diketik diatas kertas kuarto putih pada satu permukaan dengan 2 spasi. Pada semua tepi kertas disisakan ruang kosong minimal 3,5 cm.
JUDUL Judul dibuat tidak lebih dari 2 baris dan harus mencerminkan isi tulisan. Nama penulis dicantum-kan dibawah tulisan.
FOTO Foto harus mempunyai ketajaman yang baik, diberi judul dan keterangan pada gambar.
GAMBAR GARIS Grafik atau ilustrasi lain yang berupa gambar diberi garis harus kontas dan dibuat dengan tinta hitam. Setiap gambar garsi harus diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Daftar Pustaka yang dirujuk harus disusun menurut abjad nama pengarang dengan mencantum-kan tahun penerbitan, sebagai berikut : Allan, J.E. 1961. The Determination of Copper by atomic Absorbstion of spectrophotometry. Spec-tophotometrim Acta (17), 459-466. 28
Edisi VIII No. 3 Desember 2015