CATATAN SINGKAT TENTANG KONVENSI PBB TENTANG PENGGUNAAN KOMUNIKASI ELEKTRONIK DALAM KONTRAK INERNASIONAL Oleh : Y. Sogar Simamora
ABSTRACT
The aim of this paper is to analyze the rules set forth in United Nations Convention on the Use of Electronic Communication in International Contract 2005 (convention), especially pre-contractual aspects. The rules of contract formation as set forth in article 1320 Indonesian Civil Code (BW) may bring the parties to the uncertainty since offer and acceptance as the element of mutual consent is not covered. By using comparative approach it is concluded that this convention has shown the importance of legislation agenda on the enactment of contract act in Indonesia. Keyword: convention, contract, pre-contractual.
I. PENDAHULUAN Sebagai salah satu sumber lex mercatoria, United Nations Convention On The Use of Electronic Communications in International Contracts 2005 atau Konvensi PBB tentang Penggunaan Komunikasi Elektronik dalam Kontrak Internasional 2005 (selanjutnya disebut konvensi) membawa manfaat yang sangat penting bagi peningkatan perdagangan internasional. Sama seperti konvensi lain di bidang perdagangan internasional, misalnya United Nations Convention on the International Sale of Goods 1980 (CISG), konvensi ini dirancang dan dilahirkan dalam rangka meniadakan atau setidaknya mengurangi hambatan hukum dalam pelaksanaan kegiatan perdagangan internasional.1 Adanya perbedaan sistem ekonomi, sistem sosial dan sistem hukum antar negara, termasuk perbedaan dalam pengaturan komunikasi elektronik dalam kegiatan perdagangan akan membawa dampak dalam kegiatan perdagangan. Hambatan yang terjadi karena adanya perbedaan itulah yang berusaha 1
Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga Periksa bagian preamble dari CISG.
1
untuk diatasi. Dengan konvensi ini diharapkan terdapat kepastian hukum tentang penggunaan komunikasi elektronik dalam kegiatan perdagangan. Penggunaan
komunikasi
elektronik
sebagai
sarana
dalam
kegiatan
perdagangan merupakan fenomena yang universal. Seperti di negara-negara lain, di Indonesia pun penggunaan komunikasi elektronik dalam aktifitas bisnis
sudah
menjadi kelaziman. Berkomunikasi secara elektronik, termasuk dalam rangka transaksi bisnis, menjadi kebutuhan yang tidak dapat dielakkan terutama karena sarana komunikasi ini sangat efisien; dapat dilakukan dengan waktu yang sangat cepat dan dalam jarak jangkauan yang sangat jauh. Dari perspektif Hukum Kontrak, komunikasi elektronik tidak mengurangi keabsahan suatu kontrak. Yang penting adalah bahwa di antara para pihak terdapat suatu kesepakatan (mutual consent) yang sah di antara para pihak. Karena kesepakatan pada hakikatnya adalah persesuaian kehendak (meeting of minds) maka komunikasi di antara para pihak menjadi penting. Tidak mungkin tercapai kesepakatan jika di antara calon kontraktan tidak pernah ada komunikasi. Dalam kaitan ini hukum memberikan kebebasan kepada para tentang bagaimana komunikasi itu dilakukan. Tidak ada keharusan apakah komunikasi itu harus dilakukan secara lisan, tertulis atau dengan sarana elektronik. Namun jika para pihak telah memilih cara tertentu dalam berkomunikasi guna membentuk kesepakatan maka penting bagi para untuk mendapatkan kepastian tentang keabsahan kesepakatan yang terbentuk. Dalam konteks kontrak (dagang) internasional yang menggunakan sarana elektronik dalam pembentukkannya, kepastian hukum menjadi pusat perhatian yang sangat penting. Tidak adanya keseragaman aturan hukum akan membuka peluang terjadinya sengketa dan ini pada gilirannya akan menghambat arus perdagangan.
2
Pengaturan tentang komunikasi elektronik tentu saja tidak akan dijumpai dalam Burgerlijk Wetboek (BW) Indonesia. Tetapi tidak berarti komunikasi elektronik tidak dapat dilaksanakan dalam kegiatan perdagangan. Realita menunjukkan bahwa penggunaan komunikasi elektronik, dalam pengertiannya yang luas2, telah lama dipergunakan seiring dengan perkembangan teknologi. Norma hukum yang secara eksplisit mengatur tentang penggunaan komunikasi elektronik memang belum tersedia. Namun prinsip-prinsip hukum, khususnya kebebasan berkontrak (freedom of contract) menjadi landasan utama dalam penggunaan sarana komunikasi ini dalam berkontrak. Implikasi dari penggunaan sarana elektronik dalam berkontrak, termasuk ecommerce, meliputi aspek yang sangat luas. Fokus tulisan pendek ini adalah menyoroti ketentuan dalam konvensi dimaksud, khususnya pada aspek pembentukkan dan pelaksanaan kontrak dari perspektif Hukum Kontrak Indonesia.
II.
PEMBENTUKKAN KONTRAK Pasal 8 ayat (1) konvensi ini menentukan bahwa suatu komunikasi atau
kontrak tidak dapat disangkal keabsahannya atau pelaksanaannya semata-mata atas dasar bahwa hal tersebut dalam bentuk komunikasi elektronik. Keabsahan kontrak tidak menjadi titik berat dalam konvensi ini melainkan semata-mata hanya pengakuan bahwa para pihak diberi kebebasan dalam memilih dalam cara bagaimana mereka membentuk kesepakatannya. Bahwa para pihak saling berkomunikasi dengan sarana elektronik dalam proses perundingan maka kesepakatan yang terbentuk tidak dapat disangkal kebenarannya. Namun demikian mengenai syarat keabsahan kontrak harus dinilai menurut hukum domestik. Hal ini pada hakikatnya sama dengan sumber lex
2
Periksa Pasal 4 huruf b dan c konvensi ini.
3
mercatoria lain dalam kontrak komersial, seperti misalnya dalam Pasal 3.1 Principles of International Commercial Contracts (PICC).3 Syarat kesepakatan merupakan syarat utama dalam pembentukkan kontrak. Dalam sistem kita hal ini kita jumpai dalam Pasal 1320 ke-1 Burgerlijk Wetboek (BW). Tetapi apa yang dimaksud “sepakat” pembentuk BW tidak mengatur lebih lanjut. Pasal 1321 BW hanya menentukan 3 (tiga) faktor penyebab tidak sahnya suatu kesepakatan, yakni: kesesatan (dwaling), paksaan (dwang) dan penipuan (bedrog). Inilah yang kita kenal dengan cacat kehendak, yang dalam BW diatur dari Pasal 1322 sampai dengan Pasal 1328.4 Hal-hal yang terkait dengan apa pengertian kesepakatan, penawaran dan penerimaan selanjutnya banyak bertumpu pada pendapat para sarjana. Inilah yang kemudian memicu situasi terjadinya ketidakpastian hukum. Di Belanda sendiri, negara yang melahirkan BW, ketentuan tentang kesepakatan ini telah berubah. Belanda menyadari benar pentingnya melihat perkembangan dan karena itu perlu penyesuaian-penyesuaian hal mana ternyata dari substansi Nieuw Burgerlijk Wetboek (NBW). Khusus menyangkut syarat kesepakatan dalam pembentukkan kontrak, yang diatur dalam Pasal 6:217 NBW disebutkan bahwa kontrak dibentuk karena adanya penawaran dan penerimaan. Dalam bagian selanjutnya dirinci aturan tentang penawaran dan penerimaan itu. Substansi ini pada dasarnya banyak dipengaruhi oleh prinsip pembentukkan kontrak yang tertuang dalam CISG.5 Penentuan saat terjadinya kata sepakat adalah aspek yang sangat penting sebab momen ini menentukan kapan kontrak lahir dengan segala akibat hukumnya. Karena 3
Tidak termasuk substansi yang diatur dalam PICC adalah: ketidakcakapan, ketidakwenangan dan kontrak yang melanggar moral atau kontrak yang illegal. 4 Dalam perkembangannya kemudian di Indonesia juga diakui jenis cacat kehendak yang keempat, yakni Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden). Lihat, HP Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan Sebagai Alasan (Baru) Untuk Pembatalan Perjanjian, Liberty, Yogyakarta, 1992, h. 64. 5 Arthur S. Hartkamp, Contract Law in the Netherlands, Kluwer Law International, London, 1995, p. 57. Terkait ketentuan tentang pembentukkan kontrak (formation), periksa Pasal 14 sampai Pasal 24 CISG.
4
lahirnya kata sepakat terjadi ketika suatu penawaran diterima (diakseptasi) maka momen terjadinya penerimaan menjadi penting untuk dipahami. Beranjak dari jenis komunikasi yang digunakan oleh para pihak, lahir berbagai teori tentang saat terjadinya penerimaan ini.
III. PENAWARAN Dalam konvensi ini tidak diatur tentang apa makna dan bagaimana kekuatan suatu penawaran (offer). Apa yang dituangkan dalam Pasal 10 konvensi adalah tentang waktu dan tempat pengiriman dan penerimaan komunikasi elektronik. Sedangkan dalam Pasal 11 konvensi, diatur lebih lanjut tentang kekuatan hukum suatu undangan untuk membuat penawaran (invitation to make offers). Perlu penjelasan mengenai hal ini. Penawaran adalah suatu perbuatan hukum (juridical act)6. Secara luas dipahami bahwa penawaran merupakan pernyataan kehendak yang mengandung maksud untuk membuat kontrak. Penawaran dengan demikian adalah usulan atau ajakan untuk mengadakan perjanjian. Namun demikian tidak setiap usulan itu dapat dinilai sebagai penawaran. Dalam penawaran harus diungkapkan secara jelas pokok yang diperjanjikan. Dalam kaitan ini lebih lengkap pernyataan Treitel mengenai penawaran: An offer is an expression of willingness to contract on specified terms, made with the intention that it shall become binding as soon as it is accepted by the person to whom it is addressed.7 Dalam penawaran harus dikemukakan unsur pokok dari perjanjian. Hal yang pokok dari perjanjian ini lazim disebut unsur essentialia.8 Dalam jual beli misalnya, penawaran yang dimaksud harus mengemukakan unsur essensial dari jual beli yakni 6 7
Arthur S. Hartkamp, loc.cit. G.H. Treitel, Law of Contract, Sweet & Maxwell, London, 1995, p. 8. 8 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1985, h. 2.
5
barang dan harganya. Hal-hal yang tidak termasuk unsur
pokok tidak harus
dikemukakan dalam penawaran. Apa yang terkandung dalam penawaran secara hukum mengikat. Artinya, bila pihak lain melakukan akseptasi maka isi penawaran itu berlaku baik mengenai unsur pokok yang secara tegas telah dikemukakan, maupun unsur-unsur tambahan bila tentang hal ini juga dikemukakan. Di samping syarat pokok dari perjanjian, penawaran yang mengikat adalah penawaran yang menunjukkan adanya niat (intention) untuk terikat. Syarat inilah yang dalam sistem common law lazim disebut Intention to Create Legal Relation (ICLR). Baik PICC maupun Principles of European Contract Law (PECL) juga menentukan niat sebagai syarat. Dengan adanya syarat ini maka ungkapan atau keinginan untuk bertransaksi atau melakukan negosiasi tidak masuk dalam kategori penawaran melainkan dikategorikan sebagai undangan untuk melakukan penawaran (invitation to treat).9 Iklan dan shop window displays misalnya, juga tidak tergolong sebagai penawaran.10 Terkait dengan undangan untuk melakukan penawaran ini, menarik untuk disimak pertimbangan Lord Parker dalam kasus Fisher v. Bell (1961). Dalam kasus ini terdakwa dituntut karena pelanggaran (pidana) atas larangan menjual pisau lipat (flick-knife) yang dipajang di jendela toko berikut harganya. Ketentuan yang dilanggar itu terdapat dalam Restriction of Offensive Weapons Act 1959 yang di dalamnya terdapat larangan
“menawarkan untuk menjual” (offering for sale).
Terdakwa dinyatakan tidak bersalah karena memajang pisau tersebut tidak termasuk penawaran melainkan sekedar undangan untuk melakukan penawaran (invitation to
9
Dalam bagian penjelasan PICC diterangkan lebih lanjut tentang niat untuk terikat ini. Dijelaskan bahwa kriteria ini penting dalam menentukan apakah penawaran memang dimaksudkan untuk pembentukkan kontrak atau sekedar ajakan untuk membuka negosiasi (merely opens negotiations) sekalipun ini bukan hal mudah. Sebagai pedoman adalah semakin rinci suatu usulan semakin menunjukkan bahwa usulan itu dimaksudkan sebagai penawaran. 10 Richard Stone, Principles of Contract Law, Cavendish Publishing Limited, Sydney, 2000, p. 10-13.
6
treat). Lord Parker mengemukakan pertimbangan sisi kontraktual dari kasus pidana ini sebagai berikut: It is perfectly clear that according to the ordinary law of contract the display of an article with a price on it in a shop-window is merely an invitation to treat. It is in no sense an offer for sale the acceptance of which constitutes a contract.11 Penawaran dapat dilakukan secara tegas maupun diam-diam. Penawaran yang dilakukan secara tegas adalah penawaran yang di dalamnya terungkap dengan jelas maksud pihak yang menawarkan (offeror) baik secara tertulis maupun lisan. Sedangkan penawaran diam-diam adalah penawaran yang dilakukan dengan tindak tanduk atau sikap tertentu. Penawaran melahirkan hak kehendak (wilsrecht). Artinya, pihak kepada siapa penawaran itu ditujukan (offeree) mempunyai hak untuk menerima atau menolak penawaran itu. Hak inilah yang kemudian menjadi dasar dalam mengukur kekuatan mengikat suatu penawaran. Namun demikian berlakunya hak ini bersifat terbatas. Terdapat situasi dimana hak ini tidak berlaku lagi atau dengan kata lain penawaran tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat. Hal-hal yang menyebabkan penawaran kehilangan kekuatan atau tidak berlaku (termination of offer) adalah: karena ditolak, lampaunya batas waktu atau karena penawaran ditarik kembali sebelum akseptasi.12 Inilah situasi yang meniadakan hak kehendak pada pihak ditawari. Dalam konteks penawaran yang diajukan secara elektronik, jika terjadi kesalahan dalam penawaran, Pasal 14 konvensi ini dapat diterapkan.
IV. AKSEPTASI
11 12
Ibid., p. 10. Ibid.
7
Akseptasi merupakan pernyataan penerimaan oleh pihak yang ditawari atas penawaran yang diajukan kepadanya. Akseptasi itu meliputi syarat dan ketentuan dalam penawarannya. Akseptasi yang bersyarat tidak dapat dinilai sebagai akseptasi melainkan penawaran balik (counter offer). Dalam proses negosiasi yang panjang, sering
terjadi counter offer karena penerimaan tidak cocok (match)
penawarannya. Apabila
dengan
terjadi counter offer maka penawaran kehilangan
kekuatannya karena adanya penolakkan (rejection). Menjadi pertanyaan dalam hal terjadi counter offer,
siapa yang kemudian menjadi pihak
pemberi penawaran
(offeror) dalam situasi seperti itu? Dalam kaitan ini maka yang menjadi offeror adalah pihak yang melakukan counter offer itu.13 Terjadinya akseptasi menandai terjadinya kesepakatan. Oleh sebab itu penentuan waktu terjadinya akseptasi sangat penting. Hak dan kewajiban para pihak efektif berlaku setelah kesepakatan terbentuk. Para pihak tidak dapat menuntut satu terhadap yang lain sebelum mereka mencapai kesepakatan. Dengan demikian para pihak hanya saling terikat pada kewajiban kontraktualnya manakala mereka telah mencapai kesepakatan. Dalam kaitan inilah maka isu mengenai waktu terjadinya akseptasi (time of acceptance) merupakan isu yang sangat penting untuk dijawab. Perpaduan antara dinamika perkembangan dalam bidang teknologi dan dunia bisnis yang bergerak demikian cepat membawa implikasi pada aspek kontrak dalam segala sisinya, termasuk pada aspek pembentukkannya.
Jenis-
jenis transaksi bisnis baru bermunculan dengan coraknya masing-masing yang sering mengandung perbedaan karakter baik pada aspek hukum maupun aspek ekonominya.
Perbedaan cara dan media dalam proses pembentukkan
ini
membawa implikasi yang berbeda pula dalam menentukan kapan saat terjadinya 13
Ilustrasi tentang situasi saling tawar dalam suatu negosiasi ini digambarkan oleh Roger Halson terkait dengan kasus Hyde v. Wrench. Lihat, Roger Halson, Contract Law, Pearson Education Limited, London, 2001, p. 139-140.
8
kesepakatan pada para pihak. Kontrak konvensional yang dibentuk baik dengan cara lisan atau tertulis akan berbeda dengan kontrak yang dilakukan secara elektronik.
Akibatnya,
teori
tentang terjadinya
akseptasi
pada
kontrak
konvensional ini tidak sepenuhnya dapat diterapkan pada kontrak yang dilakukan secara elektronik. Prinsip dasar dalam menentukan waktu akseptasi adalah bahwa setiap pernyataan itu mengikat. Dalam perspektif ini maka momen ketika akseptasi itu dinyatakan, dianggap sebagai momen saat terjadinya akseptasi. Sikap diam tidak dapat dianggap sebagai akseptasi melainkan harus tegas dinyatakan.14 Inilah yang kemudian menjadi dasar lahirnya teori pernyataan (Uitingstheorie).15
Dalam
kaitan dengan kontrak yang proses menuju kesepakatannya dilakukan secara lisan atau melalui telepon, maka saat terjadinya akseptasi adalah saat ketika akseptasi itu diucapkan (dinyatakan). Dengan demikian sejak itulah di antara para pihak terikat secara hukum (legally binding). Menjadi lain persoalannya apabila proses dalam pembentukkan itu dilakukan dengan sarana komunikasi lain, misalnya dengan surat, telegram, fax,
atau e-mail. Dalam media-media ini terdapat
perbedaan waktu antara saat akseptasi dinyatakan dengan saat akseptasi itu diterima atau diketahui oleh pihak lawan. Dalam kaitan ini terdapat perbedaan prinsipiil antara sistem civil law dan comon law seperti dikemukakan oleh Dalhuisen: In civil law, it is normally considered the moment when the acceptance is received by the offeror. Reliance on an offer may, however, bring the moment forward. In common law it is normally the moment the offeree
14
Periksa Artikel 2.6 PICC dan Artikel 2.204 PECL. Kedua model hukum tegas menyatakan bahwa sikap diam (silence) atau tidak berbuat (inactivity) tidak dapat dinilai sebagai akseptasi. 15 J. Satrio, Hukum Perikatan-Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian (Buku I), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, h. 257-258. Bandingkan dengan J.H. Nieuwenhuis, op. cit., h. 6.
9
dispatches the acceptence, the postman being here considered the agent of the offeror.16
1. Akseptasi Atas Penawaran Lisan Terhadap penawaran lisan, akseptasi harus diberikan secara langsung kecuali para pihak menentukan lain. Prinsip ini dianut oleh BW17 dan CISG (Pasal 18 ayat 2).
2. Akseptasi Melalui Surat atau Telegram Terdapat beberapa teori tawar
menawar
dilakukan
(Vernemingstheorie),
Teori
mengenai saat terjadinya akseptasi dalam hal dengan Pengiriman
surat
yakni:
Teori
(Verzendingstheorie)
Mengetahui dan
Teori
Penerimaan (Ontvangsttheorie) serta Teori Pitlo.18 Munculnya teori-teori di atas pada dasarnya bertitik tolak dan merupakan pengembangan
dari Teori Pernyataan. Kritik yang ditujukan kepada Teori
Pernyataan adalah pemikiran bahwa apa yang dinyatakan seseorang tidak bermakna jika tidak dikirimkan.19 Oleh sebab itu pernyataan (akseptasi) hanya mengikat jika pernyataan itu telah dikirimkan. Inilah yang menjadi landasan lahirnya Teori Pengiriman. Tetapi kemudian timbul kritik lagi terhadap Teori Pengiriman. Surat pernyataan yang dikirimkan itu juga tidak pasti akan diterima oleh pihak lawan. Selama akseptasi belum diterima maka kesepakatan harus dianggap belum tercapai. Oleh sebab itu lebih tepat jika waktu terjadinya akseptasi adalah ketika akseptasi itu diterima. Pendirian ini kemudian menjadi 16
J. Dalhuisen, “International Commercial, Financial and Trade Law”, dalam Materials European Contract Law (Reader 1), J.M. van Dunne, ed., 2003/2004, p. 128. 17 JH Nieuwenhuis, Pokok-pokok Hukum Perikatan, terj D.Saragih, tanpa penerbit, Surabaya, 1985, h. 3. 18 J. Satrio, op. cit., h. 257-260. Periksa juga R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1987, h. 57-59. 19 Inilah yang lazim disebut communications of acceptance. Lihat, G.H. Treitel, op. cit., p. 21.
10
dasar dalam membangun Teori Penerimaan. Masih terdapat kritik terhadap teori ini. Sekalipun surat pernyataan akseptasi itu diterima, belum tentu dibaca dan karenanya tidak diketahui oleh pihak lawan. Teori Mengetahui kemudian lahir atas pemikiran tersebut. Sedangkan teori terakhir, yaitu Teori Pitlo, didasarkan pada pertimbangan bahwa orang yang mengirimkan jawaban (akseptasi) secara patut dapat mempersangkakan bahwa pihak lawan telah mengetahui jawaban itu. Dengan demikian Teori Pitlo pada prinsipnya sama dengan Teori Mengetahui. Bedanya, dalam Teori Mengetahui, unsur mengetahui bersifat riil, sedangkan dalam Teori Pitlo, unsur mengetahui dipersangkakan.20 Hoge Raad dalam putusan HR 21 Desember 1933, NJ 1934, 368 dalam perkara Bosch v. V. Maren, dalam kaitan ini ternyata memilih Teori Penerimaan sebagaimana dikemukakan oleh Nieuwenhuis: Bahwa tidak cukup bila pada para pihak terdapat kehendak yang sesuai (cocok) untuk saling mengikatkan diri dan juga tidak cukup bila mereka menyatakan kehendak itu secara lisan atau tulisan, melainkan perlu (nodig) bahwa pernyataan kehendak itu mencapai pihak lain21 Dalam kaitan dengan penentuan saat terjadinya akseptasi ini, sistem common law seperti misalnya dalam praktek peradilan di Amerika Serikat, pada umumnya menerapkan
aturan yang lazim disebut mailbox rule: akseptasi
dianggap terjadi sejak saat surat akseptasi telah dimasukkan ke dalam kotak surat (mailbox).22 Dasar pemikirannya adalah karena pihak yang menawarkan sejak semula menggunakan surat maka dia dianggap telah menerima akseptsi sejak akseptsi itu diposkan.
20
J. Satrio, op. cit., h. 260-261. J.H. Nieuwenhuis , op. cit., h.7. 22 Ada yang menyebut the postal rule. Di antaranya dalam, Richard Stone, op. cit., p. 28. dan Roger Halson, op. cit., p. 148-151. Ada juga yang menyebut the receipt rule atau the dispatch rule. Periksa, Jill Poole, op. cit., p. 53. 21
11
Prinsip di atas lahir dari pertimbangan dalam perkara Adams v. Lindsell (1818) di Inggris.23 Dalam kasus ini tergugat mengirimkan surat penawaran untuk menjual kain wol dan meminta dijawab melalui pos. Terjadi kesalahan yang mengakibatkan surat penawaran itu tidak sampai dalam waktu yang normal. Ketika penggugat (pihak yang ditawari) kemudian menerima penawaran itu, ia segera memberikan akseptasi namun di pihak lain tergugat telah menjual kain itu kepada orang lain karena menduga penggugat tidak berniat membeli berhubung surat akseptasi tidak kunjung ia terima. Penggugat lalu menggugat atas dasar wanprestasi (breach of contract). Pengadilan berpendapat bahwa jika untuk (syarat pembentukkan kontrak)
akseptasi harus sampai pada tujuannya itu
merupakan hal yang tidak praktis dan tidak efisien. Akseptor tidak dapat melakukan tindakan terkait dengan kontrak sampai ada kepastian bahwa akseptasinya telah diterima. Ini menimbulkan ad infinitum yang pada gilirannya tidak dapat meningkatkan kemanfaatan bisnis. Menjadi lebih baik jika segera setelah surat (akseptasi) diposkan, kesepakatan yang menjadi dasar pembentukkan kontrak dianggap
telah terjadi dan akseptor dapat melakukan tindakan yang
diperlukan.24 Dari kasus di atas nampak bahwa hakikat mailbox rule sama dengan teori pengiriman. Akseptasi terjadi pada saat surat dikirimkan. Di lain pihak, pihak yang menawarkan terikat ke dalam kontrak tanpa menyadari hal itu telah terjadi. Prinsip ini berlaku juga dalam situasi di mana penawaran dilakukan dengan telegram. Namun demikian, prinsip ini dapat menimbulkan persoalan hukum yang pelik manakala surat akseptasi itu hilang. Pengadilan Inggris ternyata tetap menerapkan prinsip ini sekalipun kemudian akseptasi itu tidak sampai ke tangan 23 24
Richard Stone, loc. cit. Ibid.
12
pihak yang menawarkan. Situasinya sekarang menjadi tidak adil bagi pihak yang menawarkan. Tetapi situasi itu masih dapat dihindari, seperti dikatakan Roger Halson, “Perhaps this application of the rule is not too unfair to the offeror because he could have avoided it by expressly or impliedly requiring notification of acceptance”.25 Dengan demikian pihak yang menawarkan dapat menentukan, dalam penawarannya,
syarat-syarat akseptasi baik yang menyangkut metode
maupun batas waktu akseptasi.
3. Akseptasi Melalui Komunikasi Elektronik Dari segi kecepatannya dikenal dua jenis sarana komunikasi dala proses tawar menawar, yakni komunikasi cepat (instantaneous communications) dan komunikasi lambat.(non-instantaneous communications).26
Dalam proses tawar
menawar yang dilakukan dengan alat komunikasi elektronik seperti telex, fax dan e-mail, perbedaan waktu tidak setajam dalam kasus akseptasi melalui surat atau telegram. Sekalipun demikian perbedaan itu tetap ada, oleh sebab itu perlu juga dipahami prinsip dalam menentukan waktu terjadinya akseptasi itu. Dalam perkara antara Entores v. Miles Far East Corpn (1955) yang terkait dengan persoalan komunikasi melalui mesin telex yang dikirim dari satu negara dan diterima di negara lain, isu hukum yang dipertanyakan disamping kapan akseptasi itu terjadi, juga tempat di mana akseptasi itu terjadi. 27 Isu yang kedua ini penting karena ini menyangkut penerapan hukum yang berlaku bagi kontrak yang bersangkutan. Dalam kaitan dengan isu hukum yang kedua itu, hakim Lord Denning melakukan pendekatan dengan cara yang sangat sederhana tetapi logis yaitu dengan mengibaratkan terjadinya suatu transaksi oleh dua orang dimana 25
Roger Halson, op. cit., p. 151. Lihat dalam, Jill Poole, Textbook on Contract Law, Blackstone Press, London, 2001, p. 51. 27 Richard Stone, op. cit., p. 31. 26
13
masing-masingnya berada di seberang sungai dan saling berteriak dalam tawar menawar. Dalam situasi ini dia berargumen, tidak akan tercipta kontrak kecuali akseptasi terdengar oleh pihak yang menawarkan. Sayangnya, ketika mereka bernegosiasi, dan pihak yang satu telah menyatakan akseptasi, di atas sungai itu melintas pesawat terbang sehingga pihak yang lain (yang menawarkan) tidak mendengar akseptasi itu . Kontrak dengan demikian belum terjadi. Barulah ketika pesawat itu berlalu, dan akseptor mengulangi akseptasinya, kontrak terbentuk. Lord Denning kemudian melakukan analogi, pendekatan tersebut diterapkan juga dalam sengketa
kontrak yang isu hukumnya terkait dengan sarana
komunikasi yang cepat. Dia mengemukakan bahwa akseptasi dengan telex terjadi di tempat akseptasi itu diterima dan bukan tempat dimana akseptsi itu dikirimkan. Dengan demikian hukum yang berlaku adalah hukum dari negara tempat dimana telex (akseptasi) itu dikirimkan.28 Dalam kaitan dengan isu yang pertama maka yang dipertanyakan adalah apakah mailbox rule atau postal rule dapat diterapkan dalam kasus tersebut. Dalam banyak kasus, dilakukan analogi terhadap aturan yang pada umumnya berlaku dalam situasi dimana proses tawar menawar atau negosiasi dilakukan melalui tilpon, yang digolongkan sebagai instantaneous communications, seperti ternyata dari pernyataan berikut: It is generally accepted that telephone negotiation is a form of instantaneous communication, so that the parties are treated as if in each other’s presence and no contract will be formed unless the words of aceptance are clearly heard by the offeror (‘the receipt rule’).29 Dalam kasus Entores v. Miles Far East Corp. di atas, oleh Lord Denning diberikan pertimbangan bahwa dalam hal terjadi gangguan yang mempengaruhi
28 29
Ibid. Jill Poole, loc. cit.
14
transmisi, misalnya terjadi putus transmisi tetapi pihak akseptor tidak mengetahui hal ini dan mengira akseptasinya telah terkirim maka jika pihak yang menawarkan mengetahui bahwa akseptasi telah dikirim tetapi tidak minta untuk diulang, maka pihak yang menawarkan ini terikat secara hukum karena ia tercegah (estopped) untuk mendalilkan bahwa dia tidak menerima akseptasi. Kesalahan dia sendiri jika ia tidak mendapatkan akseptasi itu.30
Dengan demikian dalam kasus a quo
diterapkan aturan seperti dalam penawaran melalui surat, yakni the postal rule atau the receipt rule. Menentukan waktu terjadinya saat akseptasi ternyata bukan hal yang mudah khususnya dalam kasus sengketa kontrak yang dilakukan dengan sarana komunikasi yang bergerak sangat cepat. Hakim Lord Wilberforce bahkan mengatakan: No universal rule can cover all such cases: they must be resolved by reference to the intentions of the parties, by sound business practice and in some cases by a judgment where the risks shoul lie.31 Sementara itu dalam kaitan dengan waktu terjadinya
akseptasi, PICC
menentukan bahwa penawaran harus diakseptasi sesuai dengan waktu yang ditetapkan (dalam penawarannya) atau jika tidak ditentukan waktu yang pasti maka akseptasi harus diberikan dalam tenggang waktu yang patut (reasonable time) sesuai dengan keadaan dan kecepatan sarana komunikasi yang digunakan oleh pihak yang menawarkan.32 Selanjutnya tentang akseptasi atas penawaran yang telah ditentukan batas waktunya, Artikel 2.8 PICC menentukan sebagai berikut: (1) A period of time for acceptance fixed by the offeror in a telegram or a letter begins to run from moment the telegram is handled in for 30
Ibid., p. 52. Lihat dalam, Richard Stone, op. cit., p. 32. 32 Artikel 2.7 PICC. 31
15
dispatch33 or from the date shown on the letter or, if no such date is shown, from the date shown on the envelope. A period of time for acceptance fixed by the offeror by means of instantaneous communication begins to run from the moment that the offer reaches the offeree. (2) Official holidays or non-business days occurring during the period for acceptance are included in calculating the period. However, if a notice of aceptance cannot be delivered at the address of the offeror on the last day of the period because that day falls on an official holiday or a non-business day at the place of business of the offeror, the period is extended until the first business day which follows. Berbeda dengan apa yang diatur dalam PICC, PECL merumuskan batas waktu akseptasi lebih umum dalam arti tidak secara spesifik menunjuk bentuk surat atau telegram. Dalam Artikel 2.206 PECL aturan tentang batas waktu akseptasi dirumuskan sebagai berikut: (1) In order to be effective, acceptance of an offer must reach34 the offeror within the time fixed by it. (2) If no time has been fixed by the offeror acceptance must reach35 it within a reasonable time. (3) In the case of an acceptance by an act of performance under Article 2.205 (3), that act must be performed within the time for acceptance fixed by the offeror or, if no time is fixed, within a reasonable time. PICC jelas menganut teori pengiriman (the dispatch rule) dalam kaitan dengan waktu akseptasi untuk kontrak yang proses penawarannya melalui surat atau telegram (non-instantaneous communications). Tetapi tidak diatur lebih lanjut untuk situsi pada kontrak melalui sarana komunikasi yang lebih cepat (instantaneous communication). Demikian juga dalam PECL, sekalipun terdapat kata “must reach” tidak dapat disimpulkan bahwa yang dianut adalah teori penerimaan sebab apa yang diatur oleh PECL di atas menyangkut penawaran yang di dalamnya terdapat notifikasi: telah ditentukan batas waktu yang pasti untuk akseptasi. Ukuran yang digunakan oleh PECL dalam hal waktu akseptasi tidak ditentukan adalah kepatutan (reasonableness). 33
Cetak tebal oleh saya, YSS. Cetak tebal oleh saya, YSS. 35 Cetak tebal oleh saya, YSS. 34
16
Dalam kaitan dengan penentuan waktu akseptasi, Pasal 10 ayat (1) konvensi ini menentukan bahwa waktu pengiriman suatu komunikasi elektronik adalah waktu ketika pengiriman sistem informasi di bawah pengendalian originatoir atau pihak pengirim atas nama originatoir atau, jika komunikasi elektronik tidak mengirimkan sistem informasi di bawah pengendalian originatoir atau pihak pengirim atas nama oiginatoir, pada saat ketika komunikasi elektronik itu diterima. Lebih lanjut dalam Pasal 10 ayat (2) ditentukan bahwa waktu penerimaan suatu komunikasi elektronik adalah waktu ketika komunikasi elektronik itu dapat diperoleh kembali oleh penerima (addressee) pada alamat elektronik yang ditentukan oleh penerima itu. Waktu penerimaan atas suatu komunikasi elektronik pada alamat elektronik yang lain dari si
penerima adalah waktu ketika
komunikasi itu dapat diperoleh (dilacak) kembali oleh si penerima pada alamat itu dan si penerima menjadi tahu bahwa komunikasi elektronik telah dikirim pada alamat itu. Suatu komunikasi elektronik harus dianggap dapat diperoleh kembali oleh si penerima jika ia mencapai (diterima) alamat elektronik si penerima.
4. Tempat Akseptasi Urgensi penentuan tempat akseptasi adalah untuk menentukan sistem hukum yang berlaku. Pasal 10 ayat (3) konvensi ini menentukan suatu komunikasi elektronik harus dianggap terkirim pada tempat dimana originatoir memiliki tempat usahanya dan dianggap diterima pada tempat dimana si penerima memiliki tempat usahanya, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6. Norma ini hakikatnya sama dengan ratio decidendi yang digunakan oleh Lord Denning dalam kasus Entores. Dengan demikian, jika para pihak tidak menentukan lain maka hukum
17
yang berlaku adalah hukum dari negara dimana akseptasi itu terkirim (lex loci contractus).
V.
PENUTUP Perangkat Hukum Kontrak di Indonesia jelas memerlukan pembaharuan.
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebenarnya telah memasukkan agenda ini. Tetapi sayang hingga hari ini belum juga nampak kejelasannya. Mengubah BW Indonesia menjadi yang baru seperti NBW memang bukan perkerjaan mudah. Tetapi jika itu dilakukan secara parsial, misalnya hanya tentang Perikatan (dan Kontrak), seperti yang tertuang dalam Buku III BW, tidaklah sulit. Kemauan politik (political will) dari pemerintah dalam hal ini dipertanyakan mengingat instrumen hukum ini merupakan basis hukum dalam pelaksanaan kegiatan perekonomian dan perdagangan, termasuk investasi. Instrumen Hukum Kontrak kita memang padat dan fleksibel. Tetapi justru disinilah letak persoalannya. Karakter ini sering menimbulkan multi tafsir yang pada akhirnya menciptakan ketidakpastian hukum. Pembaharuan menurut hemat saya tidak dapat lagi ditunda. Dalam konteks agenda legislasi, konvensi ini bagi saya sangat penting, untuk semakin membuka lebar wawasan dan kesadaran kita bahwa dinamika perdagangan internasional telah berubah pesat, dan karenanya bagi kita diperlukan perangkat hukum yang mampu mengakomodir perubahan itu. Perangkat hukum di bidang E-Contract dan E-Commerce nantinya adalah menjadi turunan dari perangkat Hukum Perikatan/Kontrak. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, BW sebagai sumber hukum utama Hukum Kontrak di Indonesia tidak mengatur tentang elemen kesepakatan secara rinci. Norma hukum tentang kesepakatan diatur dengan cara yang sangat
18
padat. Ini tidak mudah diterapkan tidak saja bagi para praktisi hukum, tetapi lebihlebih bagi para praktisi bisnis yang selalu berkutat dengan kontrak ketika menjalankan usahanya. Sementara tentang komunikasi elektronik juga belum terdapat undang-undang yang secara sfesisik mengaturnya. Karena Indonesia belum meratifikasi konvensi ini maka landasan hukum seperti dituangkan dalam Pasal 1338 (1) BW dalam kaitan ini menjadi dasar dalam pemanfaatan sarana elektronik dalam berkontrak. Para pihak karenanya mempunyai kebebasan dalam menentukan cara guna mencapai kesepakatannya, termasuk jika hal itu dibentuk dengan komunikasi elektronik.
19
DAFTAR BACAAN
Halson Roger, Contract Law, Pearson Education Limited, London, 2001. Hartkamp, S. Arthur, et. al., Contract Law in the Netherlands, Kluwer Law International, London, 1995. Nieuwenhuis, JH, Hoofdstukken Verbintenissenrecht, terjemahan D. Saragih, Surabaya, 1985. Panggabean, HP, Penyalahgunaan Keadaan Sebagai Alasan (Baru) Untuk Pembatalan Perjanjian, Liberty, Yogyakarta, 1992. Satrio, J., Hukum Perikatan-Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian (Buku I), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. Setiawan, R., Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1987. Stone, Richard, Principles of Contract Law, Cavendish Publishing Limited, Sydney, 2000. Subekti, R., Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1985. Treitel, G.H., Law of Contract, Sweet & Maxell, London, 1995.
20