BAB II Konvensi PBB Tentang Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya A. Definisi Perjanjian Internasional (Konvensi) Dalam memberikan pengertian tentang perjanjian internasional, para sarjana memberikan definisi yang berbeda-beda tetapi memiliki persamaan : Menurut G. Schwarzenberger, “Treaties are agreements between subject of International law creating binding Obligations in International law. They may be bilateral”. Dari definisi tersebut dapat diartikan bahwa, “perjanjian internasional sebagai suatu persetujuan antara subjek-subjek hukum internasional yang kemudian menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat dalam hukum internasional”. Persetujuan tersebut dapat berbentuk bilateral dan multilateral. Kemudian, menurut Oppenheim dan H. Lauterpacht, “International treaties are conventions, or contracts, between two or more states concerning various matters of interest” artinya perjanjian internasional adalah konvensi atau kontrak antara dua negara atau lebih mengenai berbagai macam kepentingan” (Hasibuan, 2002). Menurut J.L Briely perjanjian internasional adalah “Contractual engagement between states are called by various names treaties, convention, pacts, acts, declarations, protocols”. Artinya perjanjian kontraktual antar negara yang dikenal dengan
beberapa
nama
:
perjanjian
internasional
(treaties),
konvensi
(Convention), pakta (pacts), deklarasi (declaration), dan protocol (protocol).
14
Menurut D.P. O’ Connel : “a treaty is an agreement between states, governed by International law as distinct from municipal law, the form and manner of which is immaterial to the legal consequences of the act” artinya suatu perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antar negara, yang diatur oleh hukum internasional sebagai pembeda dengan persetujuan menurut hukum nasional, terhadap konsekuensi hukum pembuatan perjanjian internasional, bentuk dan caranya adalah tidak penting. Menurut prof. Mochtar Kusumaatmadja, beliau memberi batasan perjanjian internasional adalah sebagai berikut : “Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsabangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat dari hukum tertentu (Kusumaatmaja, 1990). Selain berdasarkan pendapat dari para sarjanawan, definisi dari perjanjian internasional juga dijelaskan dalam konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina tahun 1989. Menurut ketentuan pasal 2 ayat 1 huruf a, Konvensi Wina 1969 perjanjian internasional adalah : “Treaty means an international agreement concluded between states in written form and governed by International law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation”. “Perjanjian internasional berarti suatu persetujuan internasional yang ditandatangani antar negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah dibuat dalam wujud satu instrumen tunggal atau dalam dua instrumen yang saling berhubungan atau lebih dan apapun yang menjadi penandaan khususnya”. Sementara, pasal 2 ayat 1a Konvensi Wina
15
pada tahun 1989 menyatakan batasan dari perjanjian internasional adalah sebagai berikut : Treaty means an international agreement governed by international law and concluded in written form : Between one or more states and one more international organization or, Between international organization. Whether that agreement is embodied in a single instruments or in two or more related instruments and whatever its particular designation” yang artinya Perjanjian internasional berarti suatu persetujuan internasional, yang diatur dengan hukum internasional dan ditandatangani dalam bentuk tertulis antar suatu negara atau lebih dan antara suatu organisasi atau lebih atau antar organisasi internasional.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, subjek hukum internasional yang mengadakan perjanjian adalah anggota masyarakat bangsa-bangsa, termasuk juga lembaga internasional dan negara-negara. Dari definisi tersebut dapat ditarik persamaan terkait dengan ciri-ciri perjanjian internasional bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, saling menyetujui antara pihak-pihak yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban dalam bidang internasional. B. Latar Belakang Konvensi Migran Pada awal disahkannya Konvensi PBB tentang perlindungan hak pekerja migran dan anggota keluarganya bermula ketika adanya kasus yang menyeret buruh migran asal Afrika yang bekerja di Eropa yang mengalami situasi eksploitasi atau dapat dikatakan sebagai perbudakan. Munculnya Keprihatinan
16
PBB terhadap isu
perlindungan pekerja migran didasari atas
adanya
kecenderungan pengiriman pekerja migran secara ilegal dari beberapa negara Afrika ke benua Eropa. Adanya kecenderungan tersebut kemudian memunculkan apa yang dikenal dengan pemicu lahirnya sebuah kondisi lingkungan kerja yang mirip dengan perbudakan serta kerja paksa yang terjadi pada awal abad ke 1970an. Berdasarkan laporan yang disusun oleh Sub-commission on prevention of Discrimination and protection of Minorities mengenai exploitation of labour through illicit and clandestine trafficking pada tahun 1976, terdapat 2 aspek yang berkaitan dengan permasalahan pekerja migran : Pertama ialah berkaitan dengan kegiatan pengiriman pekerja migran yang sifatnya “illicit” dan “clandestine”. Kedua adalah adanya perlakuan yang diskriminatif terhadap pekerja migran di negara penempatan. Laporan tersebut sekaligus memberikan rekomendasi terhadap perlunya penyusunan sebuah Konvensi PBB mengenai Pekerja Migran (Leolita Masnun, 2010) Faktor lainnya yang mendasari dibentuknya konvensi migran ialah berkaitan dengan Hak Asasi Manusia. Konvensi Internasional Perlindungan Hak Pekerja Migran dapat dikatakan sebagai proses panjang perundingan di forum internasional. International Labour Orgnization (ILO) telah mengelaborasi dua konvensi yang berkaitan dengan perlindungan pekerja migran yaitu konvensi 97 tahun 1949 terkait dengan Migration for employment dan konvensi 143 tahun 1975 terkait dengan Migrations in Abusive Conditions and the Promotion of
17
Equality of Opportunity and Treatment of Migrant Workers. Pada tahun 1990-an persoalan migran berkaitan dengan hak asasi manusia sehingga membutuhkan Konvensi PBB khusus. Sebuah kelompok kerja kemudian dibentuk pada tahun 1980 yang diketuai oleh Meksiko guna membahas serta menyusun International Convention on Protection of The Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families. Konvensi ini kemudian dibahas dalam sidang pleno Majelis Umum PBB pada 18 desember tahun1990 yang kemudian didokumentasikan dalam resolusi nomor 45/158. Pada konferensi dunia berkaitan dengan hak asasi manusia
yang
diselenggarakan di Wina pada tahun 1993, perwakilan dari hampir seluruh perwakilan di tiap-tiap negara mengadopsi deklarasi dan rencana aksi Wina, dimana pada aksi tersebut menekankan bahwa hak asasi manusia bersifat universal, tidak dapat dicabut atau dipecah-pecah. Beberapa pertemuan tingkat tinggi dan deklarasi lainnya seperti International Conference of Kairo tahun 1994, Copenhagen Declaration tahun 1995, dan Beijing Declaration mengenai perempuan tahun 1995 juga memunculkan setara dari arti penting hak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya, serta pengaplikasian hak-hak tersebut untuk seluruh pekerja migran. Deklarasi dan rencana aksi yang diadopsi oleh konferensi ini, menyerukan agar negara-negara mempertimbangkan untuk meratifikasi konvensi hak-hak pekerja migran. Sebuah kampanye untuk ratifikasi konvensi
18
mulai diluncurkan pada tahun 1998, menyusul beberapa insiatif dalam mempromosikan ratifikasi konvensi. Sebagai salah satu instrumen untuk mempromosikan konvensi tersebut, dibentuklah komite pengarah kampanye yang dibentuk di Jenewa oleh LSM Migrant Rights International dengan tujuan membangun dasar yang luas untuk kampanye Global Ratifikasi serta pemberlakuan konvensi. Komite pengarah kampanye terdiri dari 14 organisasi, yakni Badan-Badan PBB, Serikat Pekerja, LSM, dan organisasi internasional lainnya. Adapun Badan-Badan PBB yang termasuk di dalamnya adalah The United Nations High Commissioner for Human Rights (UNHCR) yang bertugas untuk membentuk pelapor khusus yang berkaitan dengan hak asasi migran. International Labour Organization (ILO) yang bertugas untuk melakukan promosi dan mengkaji tentang perlindungan standar perburuhan, dan yang terakhir adalah The United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) yang tugasnya untuk terus fokus terhadap hak-hak dari pekerja migran dan promosi terhadap integrasi sosial migran yang memiliki budaya yang berkeanekaragaman. Selain itu, International Organization for Migration (IOM) juga terlibat di dalam komite pengarah, dimana IOM merupakan Organisasi di bidang migrasi yang merupakan sebuah lembaga antar pemerintah diluar Sistem PBB dengan anggota 100 negara. Organisasi ini berusaha memajukan pemahaman tentang isu yang berkaitan dengan migrasi.
19
C. Langkah-Langkah Pembuatan Perjanjian Internasional dan Proses Dibentuknya Konvensi Migran Adapun langkah-langkah yang bisa ditempuh dalam membuat perjanjian internasional adalah sebagai berikut : a. Pemberian kuasa resmi kepada orang yang melakukan negosiasi atas nama negara peserta; b. Negosiasi dan Adopsi; c. Otentikasi dan Penandatanganan; d. Ratifikasi; e. Aksesi dan Addesi; f. Mulai Berlakunya Perjanjian Internasional; g. Registrasi dan Publikasi; h. Aplikasi dan Pelaksanaan Perjanjian Internasional (Strake, 1984:424, Green, 1982:140, 141) a. Pemberian Kuasa Resmi Kepada Orang Yang Melakukan Negosiasi Atas Nama Negara Peserta Pada tahap ini, ditunjuklah suatu perwakilan untuk kemudian melakukan negosiasi. Pemberian kuasa resmi harus dilakukan dengan prosedur yang tepat. Adapun kekuasaan yang diberikan adalah sebagai berikut :
20
-
Status resmi sebagai perwakilan negara
-
Kekuasaan untuk menghadiri negosiasi
-
Kekuasaan berpartisipasi kedalam negosiasi
-
Kekuasaan untuk menyetujui teks akhir dari suatu perjanjian internasional
-
Kekuasaan untuk menandatangani teks akhir dari perjanjian internasional.
Dalam praktik perwakilan negara, pada umumnya dilengkapi dengan instrumen yang sangat formal, yang diberikan oleh kepala negara atau menteri luar negeri dimana instrument tersebut dikenal dengan sebutan “Full Powers” b. Negosiasi dan Adopsi Pada tahap ini, biasanya negosiasi dilakukan melalui dua cara : 1. Dengan lisan dalam perjanjian internasional bilateral dan 2. Dengan
konferensi
diplomatik
dalam
perjanjian
internasional
multilateral. Pada tahap ini yakni negosiasi dan adopsi, para delegasi tetap mengadakan hubungan dengan pemerintah masing-masing. Sebelumnya, mereka telah dibekali dengan berbagai instruksi serta konsep yang berasal dari pemerintahannya dan harus mereka pertahankan. Sewaktu-waktu pada tahap ini, mereka dapat berkonsultasi dengan pemerintah yang
21
mengutusnya dan apabila perlu, mendapatkan instruksi-instruksi baru. Pada
umumnya,
sebelum
mereka
melakukan
negosiasi,
mereka
membutuhkan tanda tangan pada teks final perjanjian internasional, para delegasi benar-benar mendapatkan instruksi baru untuk menandatangani instrument tersebut apakah dengan reservasi ataukah tidak. Negara yang berpartisipasi dalam negosiasi disebut negara peserta “Contracting State” c. Otentikasi dan Penandatanganan Apabila rancangan dari perjanjian internasional telah disetujui, berarti instrumen
ini
telah
siap
ditandatangani.
Sebelum
dilakukan
penandatanganan, rancangan dari teks tersebut dapat diumumkan. Tahap penandatanganan dapat dikatakan sebagai bagian yang formal. Apabila tidak ada persetujuan untuk melakukan penandatanganan, tindakan penandatanganan merupakan suatu hal yang esensial bagi perjanjian internasional, karena penandatangananlah yang memberikan status otentik dari teks perjanjian internasional. Efek penandatanganan suatu perjanjian internasional, tergantung kepada diperlukan atau tidak diperlukannya ratifikasi bagi perjanjian internasional tersebut. Apabila suatu perjanjian internasional memerlukan ratifikasi, penandatanganan memiliki arti tidak lebih daripada para delegasi telah menyetujui suatu teks dan mau menerimanya, yang kemudian selanjutnya adalah menyampaikan kepada masing-masing pemerintah untuk mendapatkan tindak lanjut dari
22
pemerintah mereka yaitu akan menerima perjanjian internasional tersebut atau menolaknya. d. Ratifikasi Ratifikasi menurut teori diartikan sebagai persetujuan dari kepala negara atau pemerintah atas penandatanganan dari suatu perjanjian internasional yang dilakukan oleh kuasa penuhnya yang ditunjuk sebagaimana mestinya. Dalam pasal 2 Konvensi Wina tahun 1969, ratifikasi mengacu kepada suatu tindakan internasional dimana suatu negara
menyatakan
kesediaannya
untuk
diikat
oleh
perjanjian
internasional tersebut sehingga, ratifikasi dapat dikatakan mengikat sejak tanggal penandatanganan ratifikasi. Dalam arti internasional, ratifikasi merupakan suatu kegiatan pertukaran atau penyimpanan dokumen ratifikasi (nota ratifikasi), sejak tanggal pertukaran dokumen tersebut, lahirlah apa yang dinamakan kewajiban-kewajiban internasional yang sifatnya mengikat sebagai efek dari ratifikasi. Berdasarkan pasal 14 Konvensi Wina tahun 1969, menentukan bahwa persetujuan suatu negara terkait pada suatu perjanjian internasional dinyatakan dengan ratifikasi apabila : a. Perjanjian internasional menentukan demikian secara tegas-tegas atau; b. Kecuali apabila ditentukan sebaliknya, negara yang mengadakan negosiasi menyetujui bahwa ratifikasi tersebut perlu untuk dilakukan atau
23
c. Perjanjian internasional yang telah ditandatangani akan mulai berlaku apabila sudah diratifikasi d. Kemauan dari negara untuk menandatangani perjanjian internasional dengan syarat akan berlaku apabila sudah diratifikasi, yang nampak dalam instrument “full powers” nya, atau dinyatakan selama negosiasi. Berikut adalah praktik dalam ratio ratifikasi : 1. Negara berhak mempunyai kesempatan guna meneliti kembali serta meninjau kembali instrumen yang telah ditandatangani oleh utusannya, sebelum
negara
tersebut
menjalankan
kewajiban-kewajiban
yang
ditentukan dalam instrumen tersebut. 2. Berdasarkan kedaulatan suatu negara, negara tersebut berhak untuk menarik diri dari partisipasi dalam suatu perjanjian internasional, apabila negara yang bersangkutan menghendaki demikian; 3. Sering dalam suatu perjanjian internasional mengundang dilakukannya amandemen atau peninjauan dalam hukum internasional; 4. Karena adanya prinsip demokrasi dimana pemerintah harus berkonsultasi dengan pendapat umum yang ada dalam parlemen atau yang lainnya, berkaitan
dengan
ada
atau
tidaknya
suatu
keharusan
untuk
mengkonfirmasi perjanjian internasional. Perlu diketahui bahwa, tidak ada kewajiban untuk melakukan ratifikasi bagi suatu negara. Kekuasaan menolak untuk melakukan ratifikasi dianggap sebagai
24
hal yang biasa diterima didukung dengan adanya kedaulatan negara, oleh karenanya, menurut hukum internasional tidak ada kewajiban hukum atau kewajiban moral untuk meratifikasi suatu perjanjian internasional, yang ada hanyalah kesopanan untuk mengutarakan kepada negara lain yang bersangkutan mengenai alasan-alasan untuk menolak melakukan ratifikasi. Adanya instrumen ratifikasi,
apabila
tidak
ditentukan
oleh
perjanjian
internasional
yang
bersangkutan tidak mempunyai pengaruh dalam membentuk persetujuan akhir untuk terikat pada suatu perjanjian internasional. Hal tersebut dapat mengikat apabila : 1. Pertukaran atau penyimpanan instrumen ratifikasi, atau 2. Memberitahukan instrumen ratifikasi kepada negara lain atau kepada negara-negara yang bersangkutan dan 3. Penyimpaan perjanjian internasional. e. Aksesi dan addesi Aksesi dan addesi merupakan cara untuk menyampaikan keterkaitan negara pada suatu perjanjian internasional yang tersedia bagi negara-negara yang tidak ikut serta dalam pembuatan perjanjian internasional. f. Mulai Berlakunya Perjanjian Internasional Berdasarkan ketentuan dari Konvensi Wina pasal 24 ayat 1 tahun 1969, berlakunya suatu perjanjian internasional apabila terdapat :
25
1. Ketentuan perjanjian internasional 2. Atau apa yang telah disetujui oleh negara peserta Bagi perjanjian internasional yang memerlukan ratifikasi, penerimaan, atau persetujuan, mulai berlaku sesudah dilakukan pertukaran atau penyimpanan instrumen ratifikasi, penerimaan atau persetujuan negara dan penandatanganan. Untuk perjanjian internasional yang tidak memerlukan tiga syarat tersebut, perjanjian internasional mulai berlaku sejak penandatanganan. Mulai berlakunya perjanjian internasional multilateral biasanya tergantung pada penyimpanan sejumlah instrumen ratifikasi dan persetujuan untuk terikat, yang telah disetujui oleh negara anggota. g. Registrasi dan Publikasi Pada pasal 102 Piagam PBB tahun 1945, menentukan bahwa semua perjanjian internasional dan persetujuan internasional yang dibuat oleh Anggota PBB harus segera mungkin dicatatkan oleh Sekertariat PBB dan kemudian akan diumumkan oleh sekertariat. Akibat dari adanya hukum ketentuan ini, bagi perjanjian internasional yang tidak dicatatkan, tidak bisa dipakai sebagai sandaran hukum Didepan PBB maupun Organisasi PBB. Adanya peraturan tersebut guna mencegah terbentuknya perjanjian-perjanjian yang sifatnya rahasia.
26
h. Aplikasi dan Pelaksanaan Dapat dikatakan bahwa langkah akhir dari pembuatan perjanjian internasional ialah penyatuan ketentuan perjanjian internasional kedalam hukum nasional negara pihak, kemudian diikuti dengan adanya tindakan aplikasi, tindakan administrasi yang diperlukan oleh supervisi organ-organ internasional. Penerapan prosedur pembuatan perjanjian internasional tersebut pada perjanjian internasional bilateral berbeda penerapannya dalam perjanjian internasional multilateral, maupun perjanjian internasional dibawah wibawa Dari PBB atau organisasi internasional lainnya (Tsani, 1990). Untuk memudahkan mengenali perbedaan prosedur khususnya multilateral murni dapat dilihat dari contoh bagan berikut : Bagan 2.1 Prosedur Pembuatan Perjanjian Internasional Multilateral Murni
Sumber : Mohd. Burhan Tsani (1990)
27
Berkaitan dengan langkah-langkah pembuatan perjanjian internasional yang telah dijelaskan sebelumnya, berikut adalah proses dibentuknya konvensi tersebut yang berdasarkan dengan prosedur pembuatan perjanjian internasional. Pada tahun 1999, komisi Hak Asasi Manusia PBB memberikan mandat kepada pelapor khusus terkait dengan hak asasi migran. Pelapor khusus tersebut diberi mandat untuk mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan kendala bagi perlindungan hak asasi migran secara penuh. Mandat dari pelapor khusus tersebut mencakup kedalam seluruh negara. Dalam sejumlah kesempatan, termasuk ke dalam kunjungan kenegaraan, pelapor khusus tersebut kemudian menyarankan kepada negara-negara tersebut agar meratifikasi konvensi perlindungan hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya. Selanjutnya, pada tahun 2001, Majelis Umm PBB menyelenggarakan konferensi dunia anti rasisme, atau Diskriminasi Rasial, Xenophobia dan Intoleransi
terkait
Discrimination,
dengan
Xenophobia
world and
Conference Related
Againts
Intolerance,
Rasism, guna
Radical mengkaji
perkembangan kompleksitas diskriminasi rasial dan kekerasan etnis yang merupakan tantangan bagi dunia internasional. Konferensi ini diselenggarakan di Durban, Afrika Selatan. Deklarasi Durban serta program dari aksi tersebut memberikan perhatian besar bagi kaum migran dan menyerukan untuk meratifikasi konvensi hak-hak pekerja migran kepada seluruh negara.
28
Sebelumnya,
konvensi
ini
membutuhkan
waktu
panjang
untuk
mempertimbangkan dan melakukan pembahasan. Dalam proses pembahasannya, adapun beberapa hal yang menjadi penting untuk diperhatikan. Perjanjian serta standar-standar lain pada umumnya terwujud atas inisiatif dari suatu negara, tetapi adapun beberapa negara yang juga ikut menyerukan disusunnya sebuah standar di Forum PBB. Apabila suatu negara ingin mengembangkan instrumen hak asasi yang baru kemudian mendapat persetujuan dari Majelis Umum PBB, maka kemudian ditentukanlah sebuah kelompok kerja antar pemerintah atau kelompok penyusun draf. Meskipun demikian, terdapat pula negara-negara yang dapat menentang standar atau usulan yang diajukan, atau dapat pula mendukung tetapi dengan beberapa syarat. Hal lainnya ialah untuk memperebutkan kursi di komite penyusunan draf untuk menjamin bahwa apapun hasil dari draf tersebut tidak membuat mereka keberatan. Beberapa perjanjian membutuhkan waktu lama untuk terwujud, salah satunya adalah konvensi migran itu sendiri yang membutuhkan waktu yang lama sekitar 10 tahun waktu yang diperlukan untuk mengerjakan serta melakukan negosiasi setelah kelompok kerjanya telah terbentuk. Dalam penyusunannya, kelompok penyusun draf bertugas untuk mengkaji keputusan serta rekomendasi dan menggunakan mana yang dianggap paling relevan, sebanding serta dapat diaplikasikan. Kelompok tersebut juga sering melakukan kerja sama dengan organisasi-organisasi lainnya seperti organisasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Independen, terasuk juga di dalamnya badan non pemerintah yang berkompeten atau memiliki pengetahuan lebih di bidang
29
tersebut. Dalam proses pembahasannya, terkait dengan konvensi tentang hak-hak pekerja migran ini, sejumlah organisasi antar pemerintah, organisasi non pemerintah, Organisasi PBB memberikan saran selama proses penyusunan draf tersebut. Adapun yang dapat dikatakan paling membantu adalah International Labour Office yang dapat dilihat keahliannya dalam persoalan migrasi kerja. Begitu kelompok penyusun draf menyepakati suatu naskah, kemudian naskah tersebut diajukan kepada Majelis Umum PBB untuk kemudian diadopsi baik melaui voting atau konsensus. Perlu diketahui bahwa suatu perjanjian dapat dikatakan berlaku apabila disetujui oleh sejumlah negara. Jumlah biasanya disepakati atau ditentukan oleh perjanjian itu sendiri. Konvensi tentang pekerja migran menetapkan minimal disetujui oleh 20 negara agar dapat dinyatakan berlaku. Apabila suatu perjanjian dinyatakan berlaku, perjanjian tersebut mengikat negara-negara yang telah meratifikasinya. Negara-negara yang telah meratifikasi suatu perjanjian juga wajib menyampaikan laporan yang berkaitan dengan langkah-langkah yang mereka lakukan untuk mengimplementasikan norma-norma yang terkandung di dalam perjanjian tersebut. Ada pula beberapa negara yang menyetujui perjanjian tersebut dengan syarat. Syarat tersebut biasanya berupa pasal-pasal yang terkandung di dalam perjanjian tersebut. Ada beberapa pasal yang terkandung di dalam perjanjian tersebut yang tidak disetujui dengan alasan tidak dapat diaplikasikan atau tidak sesuai dengan kasus mereka. Konvensi perlindungan pekerja migran dan anggota keluarganya tahun 1990 disahkan dalam sidang Majelis umum PBB yang ke 45. Pada tanggal 1 juli tahun 2003 konvensi
30
tentang perlindungan hak pekerja migran dan anggota keluarganya mulai diberlakukan sebagai hukum internasional. Sumber hukum internasional merupakan bahan dan proses dimana aturan dan kaidah-kaidah yang mengatur komunitas internasional dikembangkan. Hukum internasional konvensional diturunkan melalui perjanjian internasional dan dapat berbentuk apapun sesuai dengan kesepakatan yang disepakati oleh negara-negara yang terlibat di dalam perjanjian tersebut. Perjanjian internasional menciptakan hukum bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kesepakatan tersebut. Sumber hukum internasional yang berkaitan dengan pekerja migran yang berdasarkan perjanjian internasional ketika telah ditandatangani dan diratifikasi maka secara hukum negara tersebut mempunyai kewajiban untuk melaksanakan serta memberikan pemenuhan hak-hak pekerja migran di negaranya. Sebelum membahas lebih jauh Konvensi PBB tentang perlindungan hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya, adapun hal-hal yang mengacu atau mendorong adanya konvensi tentang migran tersebut salah satunya adalah konvensi internasional tentang hak ekonomi dan budaya. Konvensi ini dibentuk guna mendukung terpenuhinya hak atas pekerjaan. Pasal 6 (1) Konvenan menyatakan bawa negara pihak konvenan ini mengakui hak atas pekerjaan termasuk hak atas semua orang untuk mencari nafkah melalui pekerjaan yang dipilih atau yang diterimanya secara bebas. Kemudian ayat ke 2 menyatakan bahwa langkah-langkah yang diambil oleh negara-negara pihak konvenan ini untuk mencapai perwujudan hak ini sepenuhnya, harus menempuh juga
31
bimbingan teknis serta program-program seperti pelatihan, kebijakan serta teknikteknik untuk mencapai perkembangan ekonomi, sosial, dan budaya yang mantap serta lapangan kerja yang produktif (Naek Siregar, 2012). Konvensi tentang perlindungan pekerja migran menjadi hukum internasional dan disepakati atau ditandatangani oleh lebih dari 20 negara sehingga konvensi ini melebihi kuota persetujuan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, konvensi migran ini dapat disetujui apabila telah mencapai kesepakatan dimana perjanjian ini dapat berlanjut dan berlangsung apabila disetujui atau disepakati oleh minimal 20 negara. Diratifikasinya konvensi ini oleh Guatemala dan El Savador pada tanggal 14 maret tahun 2003, menandai bawa konvensi tersebut telah siap diberlakukan. Tercatat 22 negara telah melakukan ratifikasi konvensi dan masuk kedalam Entry Into Force pada tangga 1 juli tahun 2003. Adapun berikut adalah daftar dari negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi Internasional PBB tahun 1990 tentang perlindungan pekerja migran dan anggota keluarganya : Gambar 2.1 Daftar 22 Negara Peratifikasi Konvensi hingga mulai diberlakukan
32
Negara-negara terebut adalah negara-negara yang telah menandatangani konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Berdasarkan tabel di atas, bergabungnya El Savador, Guatemala, dan Mali menambah jumlah negara peratifikasi dan totalnya menjadi 22 negara. Gambar 2.2 States Parties March 2006. Ratification : 34 countries have ratified the Convention.
Sumber : International Catholic Migration Commission Signatures : Argentina, Bangladesh, Benin, Cambodia, Comoros, Gabon, Guinea-Bissau, Guyana, Indonesia, Liberia, Paraguay, Sao Tome and Principe, Serbia & Montenegro, Sierra Leone and Togo (International Catholic Commission , 2006). Gambar selanjutnya menunjukkan partisipasi 34 negara yang telah meratifikasi konvensi tentang perlindungan hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya, dapat pula dilihat posisi Indonesia adalah sebagai negara dengan
33
status signatures atau belum termasuk kedalam negara-negara yang telah melakukan ratifikasi. Sebelum membahas tentang konvensi internasional tentang perlindungan hakhak pekerja migran, berikut adalah tabel yang menunjukkan negara serta konvensi-konvensi yang berkaitan dengan hak-hak migran. Tabel 2.1 Ratifikasi Instrumen-Instrumen Internasional Mengenai Migrasi Serta Hak-Hak Dari Pekerja Migran Negara (Cetak tebal, telah meratifikasi satu instrumen atau lebih) Albania
Ratifikasi ILO C-97
Ratifikasi ILO C-143
02 Maret 2005
12 Sept. 2006
Algeria Argentina
19 Oct. 1962
Armenia Azerbaijan
27 Jan. 2006
Ratifikasi atau persetujuan (a) Konvensi 1990
Penandatanganan Konvensi 1990
05 June 2007 (a)
21 Apr. 2005 23 Feb. 2007
10 Aug. 2004
11Jan.1999
(a) Bahamas Bangladesh Barbados Belgium Belize
25 May 1976 07 Oct. 1998 08 May 1967 27 July 1953 15 Dec. 1983
14 Nov. 2001
11June 1980
Benin Bolivia Bosnia & Herzegovina Brazil
(a)
11June 1980
12 Oct. 2000 02 June 1993
02 June 1993
18 June 1965
34
(a) (a)
13 Dec. 1996
Burkina Faso Cambodia Cameroon Cape Verde Chile Colombia Comoros Congo (Brazzaville) Cuba Cyprus Dominica Ecuador
09 June 1961
09 Dec. 1977
26 Nov. 2003
27 Sept. 2004 03 Sept. 1962
04 July 1978
(a) 21 Mar. 2005 24 May 1995
29 Apr. 1952 23 Sept. 1960 28 Feb. 1983 05 Apr. 1978
28 June 1977
(a)
06 Feb. 2002 14 Mar. 2003 19 Feb. 1993
France Gabon Germany Ghana
29 Mar. 1954
Granada Guatemala Guinea
9 July 1979 13 Feb. 1952
Honduras Hong Kong (China SAR)* Indonesia Israel Italy Jamaica Kenya Kyrgyz Republic Lesotho Liberia
24 Sept. 1993 22 Sept. 2000 29 Sept. 2008
El Salvador Egypt
Guinea-Bissau Guyana
16 Nov. 2001
15 Dec. 2004 22 June 1959
05 June 1978
(a)
08 Sept. 2000
(a)
14 Mar. 2003 08 Sept. 2000 12 Sept. 2000 15 Sept. 2005
8 June 1966 11 Aug. 2005 22 Jan. 1951
22 Sept. 2004 30 Mar. 1953 22 Oct. 1952 22 Dec. 1962 30 Nov. 1965 10 Sept. 2008
23 June 1981 09 Apr. 1979
(a)
29 Sept. 2003 16 Sept. 2005
35
24 Sept. 2004 22 Sept. 2004
(a)
18 June 2004
Mali
(a)
06 June 2003
Mauritania
(a)
22 Jan. 2007
Libyan Arab Jamahiriya The former Yugoslav Republic of Macedonia Madagascar Malawi Malaysia (Sabah)
Mauritius Mexico Moldova Montenegro Morocco Netherlands New Zealand
17 Nov. 1991
17 Nov. 1991
14 June 2001 22Mar. 1965 03 Mar. 1964
02 Dec. 1969 8 Mar. 1999 12 Dec. 2005 03 June 2006
03 June 2006
23 Oct. 2006 21 June 1993
15 Aug. 1991
03 June 2006 10 Nov. 1950
Nicaragua
26 Oct. 2005
Niger
18March2009
Nigeria Norway Paraguay Peru Philippines
17 Oct. 1960 17 Feb. 1955
Portugal Rwanda
12 Dec. 1978 14 May 1980
24 Jan. 1979 23 Sept. 2008 14 Sept. 2005 05 July 1995
21 April 2009
Saint Lucia San Marino Sao Tome & Principe Senegal Serbia
22 May. 1991
(a)
13 Sept. 2000 22 Sept. 2004 15 Nov. 1993
15 Dec. 2008
23 May 1985 06 Sept. 2000
09 June 1999 24 Nov. 2000
11 Nov. 2004
36
seychelles
29 May 1992
Sierra Leone Slovenia Spain Srilanka Sweden Syiria Tajikistan
21 Mar. 1967 29 May 1992 21 Mar.1967
(a)
15 Sept. 2000 29 May 1992
(a)
11 Mar. 1996
28 Dec. 1982 02 June 2005 08 Jan. 2002
10 Apr. 2007
Tanzania (Zanzibar)
22June 1964
Trinidad & Tobago
24 May 1963
Timor Leste
(a)
Togo
08 Nov. 1983
Turkey Uganda
31 Mar. 1978
United Kingdom Venezuela Zambia
15 Dec. 1994
22 Jan. 1951 09 June 1983 02 Dec. 1964
07 Sept. 2000
30 Jan. 2004 15 Nov. 2001
(a)
27 Sept. 2004 14 Nov. 1995
13 Jan. 1999
09 June 1963
Sumber : Komite Pengarah Internasional Untuk Kampanye Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Pekerja Migran.
D. Konvensi Migran Tentang Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya Konvensi migran tahun 1990 ( International Convention on the Protection of The Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families) terdiri dari 9 bagian dan 93 pasal. Namun dikarenakan pasal yang terlalu banyak untuk
37
dipaparkan satu per satu, maka berikut adalah isi dari konvensi migran yang dapat dikelompokkan kedalam 7 bagian besar yang dipaparkan melalui tabel berikut : Tabel 2.2 Isi Dari Konvensi Migran Tahun 1990 Secara Singkat Bagian I II III
Pembahasan Struktur Ruang lingkup dan definisi 6 pasal / pasal 1-6 Non-diskriminasi dalam kaitan dengan hak 1 pasal / pasal 7 Hak asasi manusia bagi seluruh pekerja 28 pasal / pasal 8-35 migran IV Hak lain dari para pekerja migran dan anggota 21 pasal / pasal 36-56 keluarganya yang memiliki dokumen atau berada dalam situasi regular V Ketentuan yang berlaku dari para pekerja 7 pasal / pasal 57-63 migran dan anggota keluarganya VI Pemajuan kondisi yang baik, setara, 8 pasal / pasal 64-71 manusiawi, dan sah sehubungan dengan migrasi internasional para pekerja dan anggota keluarganya VII Penerapan konvensi 7 pasal / pasal 72-78 VIII Ketentuan umum 6 pasal / pasal 79-84 IX Ketentuan penutup 9 pasal / 85-93 Total 93 pasal Sumber : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Dalam konvensi tersebut, mengindikasikan tanggung jawab negara-negara anggota untuk memberikan perlindungan kepada buruh migran. Apabila dipersentasekan, 65% dari isi konvensi tersebut menekankan kewajiban negara yang dalam hal ini adalah pemerintah negara anggota untuk memberikan perlindungan yang menyeluruh atas hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya (Convention, 1990).
38
E. Proses Panjang Ratifikasi Konvensi Migran Oleh Pemerintah Indonesia Indonesia merupakan negara yang dapat dikatakan sebagai negara pengirim buruh migran terbesar, hal tersebut dapat dilihat dimana pekerja migran dapat dikatakan sebagai pahlawan devisa negara. Tabel 2.3 Daftar Sumbangan Devisa Dari Pekerja Migran Dari tahun 20082013. Remittances Year
Receipts (US$mil)
2008
6,618
No. of workers Payments (US$mil) Surplus
Indonesian foreign (thousand) (thousand)
-1,412 4,445 5,206 2009 6,618 -1,748 4,385 4,869 2010 6,735 -1,877 4,201 4,857 2011 6,736 -2,091 4,088 4,645 2012 7,018 -2,402 4,022 4,616 2013 3,716 -1,224 3,998 2,942 Sumber : Kompasiana, TKI Pahlawan devisa
R/P
P/P
43
1,489 32,837
46
1,509 38.000
51
1,603 36.804
60
1,648 34.850
n.a
1,745 n.a
n.a
929
n.a
Tabel tersebut menunjukkan bahwa sumbangan devisa dari pekerja migran dari tahun ke tahun jumlahnya meningkat. Pada tahun 2008, jumlah sumbangan devisa yang dihasilkan oleh pekerja migran ialah sekitar 1,489 dollar AS, dan meningkat sampai pada puncaknya di tahun 2012 yaitu sekitar 1.745 dollar AS.
39
Dengan jumlah tersebut tentunya persoalan yang menimpa buruh migran Indonesia harus mendapatkan penanganan khusus dari pemerintah. Adanya kasus-kasus yang menimpa buruh migran Indonesia, kemudian menuntut pemerintah untuk meratifikasi konvensi migran tentang perlindungan pekerja migran dan anggota keluarganya sebagai bentuk awal perubahan untuk nasib buruh migran yang lebih baik. Berbicara lebih lanjut terkait dengan konvensi migran, meskipun Indonesia dapat dikatakan merupakan negara pengirim buruh migran terbesar, berkaitan dengan konvensi migran, Indonesia melakukan penundaan ratifikasi selama 8 tahun. Rentang waktu tersebut terbilang lama dibandingkan dengan negara-negara lainnya seperti Filipina (2 tahun), Bangladesh (3 tahun), dan Argentina (3 tahun). Indonesia memang telah menandatangani konvensi tersebut pada tahun 2004, namun, seperti yang tercantum dalam langkah-langkah pembuatan perjanjian Internasional dan mulai berlakunya perjanjian tersebut yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa, suatu negara dapat dikatakan akan terikat kedalam suatu perjanjian apabila telah meratifikasi perjanjian tersebut sehingga dapat diproses selanjutnya ke pemerintahannya. Sementara,
Indonesia baru melakukan
penandatanganan dan belum mengambil tindakan lebih dengan melakukan ratifikasi.
40
Perlu diketahui bahwa sebelum lebih lanjut membahas tentang proses penundaan ratifikasi, ada beberapa poin penting yang terlebih dahulu akan saya jelaskan. Perjanjian internasional memiliki tujuan bagi setiap negara anggota yang tergabung dalam perjanjian internasional tersebut. Bergabungnya suatu negara kedalam suatu perjanjian luar negeri merupakan salah satu bentuk manifestasi arah kebijakan luar negeri negara tersebut. Dalam persoalan yang terjadi, Indonesia mengatur hal tersebut di dalam UUD tahun 1945 pasal 11 yang menyatakan bahwa “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain”. Pasal tersebut memperlihatkan bahwa perjanjian internasional harus melalui persetujuan dari DPR terlebih dahulu. Sementara kebijakan luar negeri adalah seperangkat formula nilai, sikap, arah, serta sasaran untuk mempertahankan, mengamankan dan memajukan kepentingan nasional di dalam percaturan dunia internasional. Pada bab II pasal 4 ayat 2 UU. NO.24 tahun 2000 dijelaskan pula bahwa “dalam pembuatan perjanjian internasional, pemerintah Republik Indonesia berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan dan memperhatikan baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.
41
Berikut adalah penjelasan yang perlu diketahui sebelumnya terkait dengan kebijakan luar negeri. Menurut Rossenau, kebijakan luar negeri adalah strategi yang diambil oleh suatu negara sebagai upaya untuk pencapaian kepentingan nasional. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa substansi suatu politik luar negeri adalah bagaimana mengedepankan atau mewujudkan kepentingan nasional suatu negara terhadap negara lain. Terdapat beberapa hambatan yang dapat dikatakan sebagai faktor yang membuat Indonesia belum meratifikasi konvensi migran. Faktor utamanya adalah ketidaksepakatan antara pemerintah dan DPR terkait dengan perlunya ratifikasi. Pada tahun 2005, dalam surat KEMENKERTRANS dengan nomor surat B.359/SJ/HK/2005 yang ditujukan kepada pusat Litbang hakhak Ecosoc Badan Penelitian dan Pengembangan HAM pada tanggal 12 september 2005, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyatakan keberatan untuk meratifikasi konvensi migran. Terdapat beberapa argumentasi yang disampaikan di dalam surat tersebut. Pertama, dengan meratifikasi konvensi tersebut dapat menimbulkan kewajiban bagi pemerintah untuk memberikan peluang dan kesempatan yang sama bagi TKA dan anggota keluarganya yang bekerja di Indonesia, hal ini juga termasuk memberikan kompensasi berupa tunjangan pengangguran jika TKA tersebut mengalami pemutusan hubungan kerja
42
(PHK). Kedua, substansi konvensi migran tahun 1990 mengatur kewajiban bagi negara peratifikasi untuk memberikan perlindungan bagi TKA yang bekerja di negara tersebut sehingga apabila Indonesia meratifikasi, konvensi tersebut tidak memberikan perlindungan bagi BMI yang bekerja diluar negeri, selain itu dengan adanya jaminan yang sama dengan pekerja lokal, hal yang ditakutkan ialah akan semakin banyak TKA yang bekerja di Indonesia sehingga dalam jangka panjang akan mempersempit lahan pekerja lokal. Ketiga, pasal-pasal yang terkandung di dalam konvensi tersebut di antaranya hak berserikat bagi buruh migran, peraturan tidak boleh memutus hubungan kerja dengan buruh migran, serta akses untuk mencari dan mendapatkan pekerjaan dinilai tidak sejalan dengan substansi dari UU NO.13/2003 tentang Ketenagakerjaan (Prokum, 2003). Pada tahun 2006, Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi I Made Arka, menyatakan bahwa Indonesia belum siap meratifikasi konvensi dikarenakan Indonesia belum mampu memfasilitasi Tenaga Kerja Asing sebagaimana fasilitas yang didapatkan oleh pekerja lokal. Kemudian, pada tahun 2006 hingga 2008, pemerintah masih mengandalkan MoU yang dilakukan antara PJTKI dengan negara-negara penempatan namun adanya keputusan tersebut dinilai kurang bahkan tidak signifikan dalam mengatur perlindungan buruh migran. Sebelum lebih lanjut membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan alasan penundaan ratifikasi oleh pemerintah Indonesia, perlu dibahas terlebih dahulu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk melindungi buruh migran Indonesia,
43
serta memperbaiki nasib mereka. Adapun beberapa kebijakan pemerintah di antaranya adalah : 1. MoU (Memoradum of Understanding) MoU merupakan nota kesepahaman yang dibuat oleh pemerintah Indonesia dengan negara-negara penerima buruh migran. Berdasarkan Black’s Law Dictionary MoU merupakan bentuk dari Letter of Intent yang didefinisikan sebagai suatu pernyataan tertulis yang menjabarkan pemahaman awal pihak yang berencana untuk masuk kedalam kontrak atau perjanjian lainnya, suatu tulisan tanpa komitmen/tidak menjanjikan suatu apapun sebagai awal kesepakatan. Suatu letter of Intent tidak dimaksudkan untuk mengikat tidak menghalangi pihak dari tawar menawar dengan pihak ketiga (Hukum Online, 2013). MoU dilaksanakan Indonesia khususnya kepada dua negara dengan jumlah penerima buruh migran terbesar yaitu Arab Saudi dan Malaysia. Sebagai contoh, nota kesepahaman Indonesia dengan Malaysia mengenai perekrutan dan penempatan pekerja domestik Indonesia yang ditandatangani pada tanggal 13 mei 2006 dimana pemerintah Republik Indonesia dan Malaysia berkeinginan untuk menjunjung tinggi hak-hak dan perlindungan para pengguna jasa dan penata laksana rumah tangga (PLRT) di Malaysia, serta pemenuhan hak asasi mereka. Namun, pada akhirnya melihat banyaknya kekurangan di dalam nota tersebut, akhirnya dilakukan pembahasan terkait dengan perevisian MoU tersebut pada tahun 2007 (Indonesia, 2006).
44
Selanjutnya, pada tahun 2008 pihak Indonesia dengan Brunei Darussalam membahas amandemen nota kesepahaman bersama atau Memorandum of Understanding (MoU) mengenai penempatan tenaga kerja Indonesia pada sektor formal dan informal. Kerangka acuan MoU yang ditetapkan oleh kedua negara tersebut mengacu kepada prosedur penempatan, kewajiban perusahaan Pelaksana Penempatan Tempat Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) dan kewajiban agensi di negara tersebut. selain dengan Malaysia, Indonesia juga menandatangani nota kesepahaman dengan negara Arab Saudi. 2. UU NO.39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia diluar Negeri. Untuk melindungi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri (work in overseas), pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004. Dibentuknya UUD tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada para buruh migran yang kerap kali menghadapi berbagai persoalan seperti kekerasan, eksploitasi, dan perlakuan yang bertentangan dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Hal tersebut dinyatakan dalam UUD No.39 tahun 2004 bahwa bekerja merupakan Hak Asasi Manusia yang wajib dijunjung tinggi, dihormati, dan dijamin penegakkannya (Husni, 2010) .
45
Undang-Undang tersebut dibuat dengan tujuan perlindungan buruh migran, namun adanya peraturan perundang-undangan tersebut dinilai tidak efektif dalam memperbaiki serta melindungi nasib buruh migran Indonesia. 3. Ratifikasi Konvensi ILO Selain berkaitan dengan Undang-Undang Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja, adapun langkah lain yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia
ialah
meratifikasi
Konvensi
International
Labour
Organzation nomor 105 mengenai Penghapusan Kerja Paksa melalui UndangUndang Nomor 19 tahun 1999 (Habibie, 1999), ratifikasi Konvensi ILO nomor 111 mengenai Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan melalui UndangUndang Nomor 21 tahun 1999 (Menteri Tenaga Kerja Indonesia , 2005), serta ratifikasi Konvensi
ILO nomor 138 mengenai Usia Minimum untuk
Diperbolehkan Bekerja dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 1999. Beberapa poin tersebut merupakan tindakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia untuk memperjuangkan nasib buruh migran. Pada tahun 2009, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, beserta pakar dari Universitas Indonesia beberapa kali melakukan pertemuan yang membahas tentang perlunya meratifikasi
konvensi
tersebut.
Namun
dengan
tidak
terakomodirnya persepsi atau pandangan dari para pemangku kepentingan utama tersebut, sehingga hasil kajian dari pentingnya meratifikasi konvensi migran
46
tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa ratifikasi belum perlu dilakukan, dalam artian proses dari hasil kajian KEMENKERTRANS tersebut sama sekali tidak berprespektif perlindungan buruh migran dan keluarganya. Pada tahun 2011, Kementerian Luar Negeri menyuarakan persiapan ratifikasi konvensi migran, dengan menyusun ulang draf naskah akademik ratifikasi konvensi migran tahun 1990, yang sebelumnya draf tersebut dibahas selama dua kali dalam workshop yang diadakan oleh KEMENLU antar departemen dan masyarakat sipil pada tanggal 15-16 juli 2011 dan oktober 2011. Dalam pertemuan tersebut, mayoritas perwakilan dari berbagai kantor kementerian telah menyetujui dan menyusul untuk segera dilakukan pembahasan tentang ratifikasi konvensi tersebut di DPR paling lambat tahun 2011. Namun, meskipun telah mendapat dukungan yang besar, masih ada beberapa pihak dari kementerian kembali menolak langkah tersebut (Syahputra, 2012). Adanya hambatan-hambatan tersebut kemudian membuat Indonesia memerlukan waktu selama 8 tahun untuk mengambil langkah ratifikasi konvensi migran tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.
47