Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya
Direktorat Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri 2016
Buku ini disusun oleh Direktorat Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan, Direktorat Jenderal Multilateral, Kementerian Luar Negeri, dan telah dikonsultasikan dengan Kementerian dan Lembaga terkait. Pengarah Penanggung Jawab
: Direktur Jenderal Multilateral : Direktur HAM dan Kemanusiaan
Cetakan Pertama Koordinator Tim Editor
: Juli 2011 : Acep Somantri : Bonanza P. Taihitu, Rijal Al Huda, Rina Komaria, Karbela Rachman : Maryanto (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdiknas), Anisa Farida, Nadia Amalia
Alih Bahasa
Cetakan Kedua Koordinator Tim Editor
: Juli 2013 : Acep Somantri : Rijal Al Huda, Karbela Rachman, Ifan Pandji Kresna
Cetakan Ketiga Koordinator Tim Editor
: Juni 2016 : Sulaiman Syarif : Ifan Pandji Kresna, Karbela Rachman, G.A. Amanda Himawan
Kata Pengantar Tahun 2011 dunia memperingati 20 tahun Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families) atau Konvensi Pekerja Migran. Tepatnya pada tanggal 18 Desember 1990, Majelis Umum PBB telah mengesahkan Konvensi Pekerja Migran melalui Resolusi 45/158. Konvensi tersebut mengatur secara komprehensif dan menyeluruh pemajuan dan perlindungan HAM yang harus diberikan kepada pekerja migran dan anggota keluarganya, baik yang harus dilakukan di negara pengirim, dalam proses transit maupun di negara penerima. Berbagai upaya kampanye global mendorong tercapainya ratifikasi universal Konvensi ini telah dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk oleh Kantor Komisaris Tinggi HAM PBB. Kampanye ini ditujukan tidak hanya kepada negara-negara pengirim tenaga kerja, namun juga kepada negara-negara penerima pekerja migran dan negara-negara transit. Upaya Indonesia mengikatkan diri pada Konvensi ini telah dimulai pada awal tahun 2000. Suatu tim antar kementerian dan juga wakil organisasi sipil yang dikoordinasikan Kementerian Luar Negeri dibentuk untuk melakukan suatu proses pengkajian terhadap Konvensi. Salah satu hasilnya adalah rekomendasi agar Indonesia melakukan penandatanganan Konvensi. Pada tanggal 22 September 2004, Menteri Luar Negeri RI atas nama Pemerintah Indonesia telah menandatangani Konvensi Pekerja Migran. Indonesia menjadi Negara Pihak Konvensi pada tanggal 1 September 2012 Sesuai amanat Konvensi, setiap Negara Pihak wajib menyampiakn Laporan Awal dan Periodik implementai Konvensi. Saat ini, Pemerintah Indonesia sedang mempersiapkan Laporan Awal
i
Konvensi Pekerja Migran telah masuk ke dalam RANHAM 20152019, khususnya Rencana Aksi HAM Tahun 2016. Terjemahan Konvensi ini merupakan upaya dari Kementerian Luar Negeri, sekaligus bukti komitmen pemerintah dalam meningkatkan perlindungan hak asasi semua pekerja migran dan keluarganya dalam berbagai dimensi. Melalui terjemahan Konvensi ini, diharapkan berbagai pihak dapat memahami bentuk upaya pemajuan dan perlindungan HAM pekerja migran dan anggota keluarganya, serta dapat membangun dan memelihara kerja sama sinergis antar semua pemangku kepentingan. Diharapkan Indonesia dapat berkontribusi, dalam upaya global untuk meningkatkan harkat dan martabat pekerja migran yang tentunya akan berdampak bagi peningkatan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Demikian, terimakasih. Jakarta,
Juni 2016
Direktur HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri
Dicky Komar
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Daftar Isi Bagian I: Undang-Undang No. 6 Tahun 2012 1. Naskah Undang-Undang No. 6 Tahun 2012 dan Penjelasannya 2. Konvensi Internasional tentang Perlindungan HakHak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya 3. International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families 4. ASEAN Bagian II: Proses Pembahasan di DPR RI 1. Rapat Kerja Komisi VIII a. b. c. d.
Pengantar Ketua Komisi VIII Keterangan Pemerintah Pendapat Mini Fraksi Sambutan Penutup Pemerintah
2. Sidang Paripurna a. Laporan Ketua Komisi VIII b. Pendapat Akhir Pemerintah c. RUU dengan Paraf Bagian III: Naskah Akademik
iii
Bagian I Undang-Undang No. 6 Tahun 2012
1
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE PROTECTION OF THE RIGHTS OF ALL MIGRANT WORKERS AND MEMBERS OF THEIR FAMILIES (KONVENSI INTERNASIONAL MENGENAI PERLINDUNGAN HAK-HAK SELURUH PEKERJA MIGRAN DAN ANGGOTA KELUARGANYA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, sehingga hak asasi manusia, termasuk hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapa pun; b. bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; c. bahwa Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (Konvensi Internasional
2
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya) pada tanggal 22 September 2004 di New York; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu mengesahkan International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya) dengan UndangUndang; Mengingat
: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 20 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3882); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012);
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
3
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE PROTECTION OF THE RIGHTS OF ALL MIGRANT WORKERS AND MEMBERS OF THEIR FAMILIES (KONVENSI INTERNASIONAL MENGENAI PERLINDUNGAN HAK-HAK SELURUH PEKERJA MIGRAN DAN ANGGOTA KELUARGANYA). Pasal 1 (1) Mengesahkan International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya). (2) Salinan naskah asli International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya) dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. Pasal 2 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
4
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 2 Mei 2012 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Mei 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 115 Salinan sesuai dengan aslinya KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI Asisten Deputi Hukum, ttd. Suripto
5
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE PROTECTION OF THE RIGHTS OF ALL MIGRANT WORKERS AND MEMBERS OF THEIR FAMILIES (KONVENSI INTERNASIONAL MENGENAI PERLINDUNGAN HAK-HAK SELURUH PEKERJA MIGRAN DAN ANGGOTA KELUARGANYA) I. UMUM Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Hak asasi manusia sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, juga dilindungi, dihormati, dan dipertahankan oleh Negara Republik Indonesia, sehingga perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia, termasuk hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya perlu ditingkatkan. Pada tanggal 18 Desember 1990 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan Resolusi Nomor A/RES/45/158 mengenai International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya). Resolusi tersebut memuat seluruh hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya dan
6
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
menyatakan akan mengambil langkah-langkah untuk menjamin pelaksanaan konvensi ini. Pada tanggal 22 September 2004 di New York, Pemerintah Indonesia telah menandatangani International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya) tanpa reservasi. Penandatangan tersebut menunjukan kesungguhan Negara Indonesia untuk melindungi, menghormati, memajukan dan memenuhi hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya, yang pada akhirnya diharapkan dapat memenuhi kesejahteraan para pekerja migran dan anggota keluarganya. Sebagai salah satu negara yang telah menandatangani International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya), Indonesia memiliki komitmen untuk meratifikasi Konvensi ini. Ratifikasi Konvensi ini diharapkan dapat mendorong terciptanya ratifikasi universal dan penerapan prinsip serta norma standar internasional bagi perlindungan hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya secara global. Dalam upaya melindungi, menghormati, memajukan dan memenuhi hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya, Pemerintah Indonesia telah membentuk berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan terhadap tenaga kerja, antara lain: 1.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;
7
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
2.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; 5. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; 6. Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri; 7. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional; 8. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia; 9. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; 10. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial; 11. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; 12. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Pokok-Pokok Isi Konvensi 1.
2.
Pembukaan Pembukaan berisi definisi umum mengenai istilah dan konsep yang digunakan dalam Konvensi. Tujuan Tujuan konvensi ini adalah untuk menetapkan standar-standar yang menciptakan suatu model bagi hukum serta prosedur administrasi dan peradilan masing-masing negara pihak. Terobosan utama Konvensi ini adalah bahwa orang-orang yang memenuhi kualifikasi sebagai pekerja migran dan anggota
8
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
3.
4.
5.
6.
keluarganya, sesuai ketentuan-ketentuan Konvensi, berhak untuk menikmati hak asasi manusia, apapun status hukumnya. Kewajiban Negara Kewajiban negara merealisasikan hak-hak yang tercantum dalam Konvensi diberikan kepada seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya tanpa diskriminasi. Substansi/Materi Pokok Konvensi Pekerja Migran Setiap pekerja migran dan anggota keluarganya memiliki hak atas kebebasan untuk meninggalkan, masuk dan menetap di Negara manapun, hak hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan, hak untuk bebas dari perbudakan, hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama, hak atas kebebasan berekspresi, hak atas privasi, hak untuk bebas dari penangkapan yang sewenang-wenang, hak diperlakukan, sama di muka hukum, hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hak terkait kontrak/hubungan kerja, hak untuk berserikat dan berkumpul, hak mendapatkan perawatan kesehatan hak atas akses pendidikan bagi anak pekerja migran, hak untuk dihormati identitas budayanya, hak atas kebebasan bergerak, hak membentuk perkumpulan, hak berpartisipasi dalam urusan pemerintahan di Negara asalnya, hak untuk transfer pendapatan. Termasuk hak-hak tambahan bagi para pekerja migran yang tercakup dalam kategori-kategori pekerjaan tertentu (pekerja lintas batas, pekerja musiman, pekerja keliling, pekerja proyek, dan pekerja mandiri). Kerja Sama Internasional Konvensi ini mengatur ketentuan-ketentuan terkait kerja sama dan koordinasi internasional dalam pengelolaan migrasi legal dan pencegahan atau pengurangan migrasi ilegal (tak-reguler). Laporan Negara Pihak dan Peran Komite Perlindungan HakHak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya
9
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Negara Pihak wajib membuat laporan pelaksanaan Konvensi ini 1 (satu) tahun setelah Konvensi ini berlaku, dan laporan selanjutnya selambat-lambat setiap 5 (lima) tahun dan jika Komite Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya memintanya melalui Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Komite Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya membahas laporan yang disampaikan oleh Negara Pihak dan memberikan pertimbangan mengenai cara dan sarana meningkatkan kapasitas nasional untuk melaksanakan Konvensi ini. Komite juga melakukan kerja sama internasional dan koordinasi dengan Organisasi Buruh Internasional, badan dan organ khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa, organisasi antar-negara, serta badan terkait lain. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya dalam bahasa Indonesia, maka digunakan salinan naskah aslinya dalam bahasa Inggris. Pasal 2 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5314
10
Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya Disahkan Melalui Resolusi Majelis Umum PBB 45/158 pada tanggal 18 Desember 1990 Pembukaan Negara-Negara Pihak Konvensi ini, Memperhatikan prinsip-prinsip yang terkandung dalam instrumen-instrumen dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai hak asasi manusia, khususnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia,1 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,2 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik,2 Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial,3 Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita4 dan Konvensi tentang Hak-Hak Anak,5 Memperhatikan juga prinsip-prinsip dan standar-standar yang ditetapkan lebih lanjut dalam instrumen-instrumen terkait yang diuraikan dalam kerangka kerja Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organisation - ILO), khususnya Konvensi tentang Migrasi untuk Bekerja (No.97), Konvensi tentang Migrasi dalam Kondisi Teraniaya dan Pemajuan Kesetaraan Kesempatan dan Perlakuan bagi Pekerja Migran (No.143), Rekomendasi mengenai Migrasi untuk Bekerja (No.86), Rekomendasi mengenai Pekerja Migran (No.151), Konvensi tentang Kerja Paksa atau Wajib (No.159), dan Konvensi tentang Penghapusan Kerja Paksa (No.105), Resolusi 217 A (III). Resolusi 2200 A (XXI), lampiran. 3 Resolusi 2106 A (XX), lampiran. 4 Resolusi 34/180, lampiran. 5 Resolusi 44/25, lampiran. 1 2
11
Menegaskan kembali pentingnya prinsip-prinsip yang terkandung dalam Konvensi menentang Diskriminasi dalam Pendidikan dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization - UNESCO),6 Mengingat Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Derajat Manusia,7 Deklarasi Kongres Keempat Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Pelaku Kejahatan,8 Aturan Berperilaku para Pejabat Penegak Hukum,9 dan Konvensi-konvensi terkait Perbudakan,10 Mengingat bahwa salah satu tujuan ILO, sebagaimana dicantumkan dalam Konstitusinya, adalah melindungi kepentingan para pekerja ketika mereka dipekerjakan di negara-negara yang bukan negaranya sendiri, dan mengingat keahlian dan pengalaman organisasi tersebut dalam hal-hal yang berkenaan dengan para pekerja migran dan anggota keluarganya, Mengakui pentingnya pekerjaan yang telah dilakukan terkait dengan para pekerja migran dan anggota keluarganya pada berbagai badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, khususnya Komisi Hak Asasi Manusia dan Komisi untuk Pembangunan Sosial, dan dalam Organisasi Pertanian dan Pangan Perserikatan BangsaBangsa, UNESCO, dan Organisasi Kesehatan Dunia, dan juga dalam organisasi internasional lain,
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Seri Perjanjian, vol. 429, No. 6193 Resolusi 39/46, lampiran. 8 Lihat Kongres Keempat Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan Bagi Para Pelanggar Hukum, Kyoto, Jepang, 17-26 Agustus 1970: laporan yang dipersiapkan oleh Sekretariat (publikasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, Penjualan No. E.71.IV.8). 9 Resolusi 34/169, lampiran. 10 Lihat Hak Asasi Manusia: Sebuah Kompilasi Instrumen Internasional (publikasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, Penjualan No. E.88.XIV.1). 6 7
12
Mengakui pula kemajuan yang telah dicapai oleh beberapa Negara secara bilateral dan regional, menuju perlindungan hak-hak para pekerja migran dan anggota keluarganya, juga pentingnya dan manfaat perjanjian-perjanjian bilateral dan multilateral dalam bidang ini, Menyadari pentingnya dan luasnya masalah migrasi, yang melibatkan jutaan manusia dan mempengaruhi sejumlah besar Negara dalam komunitas internasional, Menyadari dampak arus pekerja migran terhadap Negara-Negara dan bangsa-bangsa yang terkait, dan menginginkan ditetapkannya norma-norma yang dapat berkontribusi terhadap harmonisasi sikap Negara-Negara tersebut melalui penerimaan prinsip-prinsip dasar mengenai perlakuan terhadap para pekerja migran dan anggota keluarganya, Mempertimbangkan situasi kerentanan yang seringkali dialami para pekerja migran dan anggota keluarganya, antara lain, karena ketidakberadaan mereka di Negara asal, dan karena kesulitankesulitan yang mungkin mereka hadapi yang timbul sebagai akibat dari keberadaan mereka di Negara tempat mereka bekerja, Meyakini bahwa hak-hak para pekerja migran dan anggota keluarganya belum diakui secara memadai di mana pun dan oleh karena itu mengharuskan perlindungan internasional yang tepat, Mempertimbangkan bahwa migrasi sering mengakibatkan masalah-masalah yang serius bagi anggota keluarga para pekerja migran dan juga bagi pekerja itu sendiri, khususnya karena terpisahnya keluarga tersebut, Mengingat bahwa masalah-masalah kemanusiaan yang terkait dengan migrasi menjadi lebih serius dalam kasus migrasi takreguler dan oleh karena itu meyakini bahwa tindakan yang tepat harus didorong dalam rangka mencegah dan menghapuskan
13
pergerakan dan perdagangan para pekerja migran secara gelap, dan sementara itu memastikan adanya perlindungan hak asasi manusia fundamental mereka, Mempertimbangkan bahwa para pekerja yang tidak memiliki dokumen atau yang berada dalam situasi tak-reguler seringkali dipekerjakan dalam kondisi kerja yang kurang layak dibandingkan dengan pekerja lain dan bahwa sebagian majikan terdorong untuk mencari pekerja semacam itu untuk memperoleh keuntungan dari persaingan yang tidak sehat, Juga mempertimbangkan bahwa pilihan untuk mempekerjakan pekerja migran yang berada dalam situasi tak-reguler akan tidak dipertimbangkan jika hak dasar dari pekerja migran lebih dihargai secara luas, dan lebih lanjut lagi, bahwa pemberian seperangkat hak tambahan kepada para pekerja migran dan anggota keluarganya dalam situasi reguler akan mendorong seluruh pekerja migran dan majikan untuk menghormati dan mematuhi hukum dan prosedur yang ditetapkan oleh Negara-Negara yang bersangkutan, Meyakini adanya kebutuhan untuk mewujudkan perlindungan internasional terhadap hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya, menegaskan kembali dan menetapkan norma-norma dasar dalam konvensi yang menyeluruh yang dapat diterapkan secara universal, Telah menyepakati hal-hal sebagai berikut : BAGIAN I Ruang lingkup dan definisi Pasal 1 1. Konvensi ini berlaku, kecuali jika ditentukan sebaliknya, bagi seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya tanpa
14
pembedaan apa pun seperti jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama atau kepercayan, pendapat politik atau lain-lain, kebangsaan, asal-usul etnis atau sosial, kewarganegaraan, usia, kedudukan ekonomi, kekayaan, status perkawinan, status kelahiran atau lain-lain. 2. Konvensi ini berlaku selama seluruh proses migrasi para pekerja migran dan anggota keluarganya, yang terdiri atas persiapan untuk migrasi, keberangkatan, transit dan keseluruhan masa tinggal dan aktivitas yang dibayar di Negara tujuan kerja, dan juga kembalinya ke Negara asal atau Negara tempat tinggal mereka. Pasal 2 Untuk tujuan Konvensi ini : 1. istilah “pekerja migran” mengacu pada seseorang yang akan, tengah, atau telah melakukan aktivitas yang dibayar di suatu Negara di mana ia bukan merupakan warga negara; 2. (a) istilah “pekerja lintas batas” mengacu pada pekerja migran yang bertempat tinggal di suatu Negara tetangga yang ia biasa pulang setiap hari atau setidaknya sekali dalam seminggu; (b) istilah “pekerja musiman” mengacu pada pekerja migran yang sifat pekerjaannya bergantung pada kondisi musiman dan dilakukan hanya dalam sebagian waktu setiap tahunnya; (c) istilah “pelaut” yang mencakup nelayan, mengacu pada seorang pekerja migran yang dipekerjakan di atas kapal yang terdaftar di suatu Negara yang ia bukan merupakan warga negaranya; (d) istilah “pekerja pada instalasi lepas pantai” mengacu pada pekerja migran yang dipekerjakan pada suatu instalasi lepas
15
pantai yang berada di bawah yurisdiksi suatu Negara yang ia bukan merupakan warga negaranya; (e) istilah “pekerja keliling” mengacu pada seorang pekerja migran yang harus bepergian ke Negara atau Negara-Negara lain untuk waktu singkat sehubungan dengan sifat pekerjaannya, sedang ia bertempat tinggal sehari-hari di suatu Negara; (f) istilah “pekerja proyek” mengacu pada seorang pekerja migran yang diterima di suatu Negara tujuan kerja untuk jangka waktu kerja tertentu semata-mata untuk proyek tertentu yang dilaksanakan di Negara tersebut oleh majikannya; (g) istilah “pekerja dengan pekerjaan tertentu” mengacu pada pekerja migran yang : (i) dipekerjakan oleh majikannya untuk jangka waktu yang terbatas dan tertentu ke suatu Negara tujuan kerja, untuk melakukan tugas atau pekerjaan tertentu; (ii) untuk jangka waktu yang terbatas dan tertentu melakukan pekerjaan yang memerlukan keahlian profesional, komersial, teknis, atau keahlian sangat khusus lain; atau (iii) atas permintaan majikannya di Negara tujuan kerja, untuk jangka waktu yang terbatas dan tertentu, melakukan pekerjaan yang bersifat sementara atau singkat; dan diharuskan untuk meninggalkan Negara tujuan kerja, baik pada saat berakhir izin tinggalnya atau sebelumnya, apabila ia tidak lagi melakukan tugas atau kewajiban tertentu yang diperintahkan kepadanya; (h) istilah “pekerja mandiri’’ mengacu pada pekerja migran yang melakukan aktivitas yang dibayar dan tidak berada di bawah perjanjian kerja, mencari nafkah melalui kegiatan ini
16
seorang diri atau bersama anggota keluarganya, serta pekerja migran lain yang diakui sebagai pekerja mandiri menurut kententuan hukum yang berlaku di negara tujuan bekerja atau menurut perjanjian bilateral atau multilateral. Pasal 3 Konvensi ini tidak boleh berlaku bagi : (a) orang-orang yang dikirim atau dipekerjakan oleh organisasi dan badan-badan internasional, atau oleh suatu Negara di luar wilayahnya untuk menjalankan tugas resmi, yang kedatangan dan statusnya diatur oleh hukum internasional umum atau oleh perjanjian internasional atau konvensi khusus; (b) orang-orang yang dikirim atau dipekerjakan oleh suatu Negara atau atas nama Negara di luar wilayahnya, yang berpartisipasi dalam program pembangunan dan program kerja sama lain, yang kedatangan dan statusnya diatur oleh perjanjian dengan Negara tujuan kerja, dan yang sesuai dengan perjanjian tersebut, tidak dianggap sebagai pekerja migran; (c) orang-orang yang bertempat tinggal di Negara yang berbeda dengan Negara asalnya sebagai penanam modal; (d) pengungsi atau orang tanpa kewarganegaraan, kecuali ketentuan tentang hal ini ditetapkan dalam ketentuan hukum nasional, atau dalam instrumen internasional yang berlaku bagi Negara Pihak tersebut; (e) pelajar dan peserta pelatihan; (f) pelaut dan pekerja pada suatu instalasi lepas pantai yang belum memperoleh izin tinggal dan melakukan aktivitas yang dibayar di Negara tujuan kerja. Pasal 4 Untuk tujuan Konvensi ini, istilah “anggota keluarga” mengacu pada orang-orang yang kawin dengan pekerja migran atau
17
mempunyai hubungan dengannya, yang menurut hukum yang berlaku berakibat sama dengan perkawinan, dan juga anak-anak mereka yang menjadi tanggungan dan orang-orang lain yang menjadi tanggungan mereka yang diakui sebagai anggota keluarga berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, atau menurut perjanjian bilateral atau multilateral antara Negara-Negara yang bersangkutan. Pasal 5 Untuk tujuan Konvensi ini, para pekerja migran dan anggota keluarganya : (a) dianggap telah memiliki dokumen atau berada dalam situasi reguler apabila mereka diizinkan masuk, bertempat tinggal dan melakukan aktivitas yang dibayar di Negara tujuan kerja, sesuai dengan hukum Negara tersebut dan perjanjian-perjanjian internasional yang Negara tersebut menjadi pihak; (b) dianggap tidak memiliki dokumen atau berada dalam situasi tak-reguler apabila mereka tidak mematuhi ketentuan yang diatur dalam sub-ayat (a) Pasal ini. Pasal 6 Untuk tujuan Konvensi ini : (a) istilah “Negara asal” berarti negara dimana orang yang bersangkutan merupakan warga Negara; (b) istilah “Negara tujuan kerja” berarti negara dimana pekerja migran akan, tengah atau telah melakukan aktivitas yang dibayar, sebagaimana adanya; (c) istilah “Negara transit” adalah negara yang disinggahi oleh orang yang bersangkutan dalam perjalanan ke negara tujuan kerja atau dari negara tujuan kerja ke negara asal atau tempat tinggalnya.
18
BAGIAN II Non-diskriminasi dalam kaitan dengan hak Pasal 7 Negara-Negara Pihak berupaya, sesuai dengan instrumeninstrumen internasional tentang hak asasi manusia, untuk menghormati dan memastikan semua pekerja migran dan anggota keluarganya dalam wilayahnya atau yang tunduk pada yuridiksinya memperoleh hak-hak yang diatur dalam Konvensi ini tanpa pembedaan apa pun seperti jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama atau kepercayaan, pendapat politik atau lain-lain, kebangsaan, asal-usul etnis atau sosial, kewarganegaraan, usia, kedudukan ekonomi, kekayaan, status perkawinan, status kelahiran atau lain-lain. BAGIAN III Hak asasi manusia bagi seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya Pasal 8 1. Para pekerja migran dan anggota keluarganya harus bebas untuk meninggalkan negara mana pun, termasuk negara asal mereka. Hak ini tidak boleh dibatasi kecuali sebagaimana ditetapkan oleh hukum, diperlukan untuk melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan dan moral umum, atau hakhak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan yang sesuai dengan hak-hak lain yang diakui dalam Konvensi ini. 2. Para pekerja migran dan anggota keluarganya harus memiliki hak untuk memasuki dan tinggal di negara asalnya setiap saat. Pasal 9 Hak hidup para pekerja migran dan anggota keluarganya harus dilindungi oleh hukum.
19
Pasal 10 Tidak seorang pun pekerja migran atau anggota keluarganya boleh dijadikan sasaran penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Pasal 11 1. Tidak seorang pun pekerja migran atau anggota keluarganya boleh diperbudak atau diperhambakan. 2. Tidak seorang pun pekerja migran atau anggota keluarganya boleh diwajibkan untuk melakukan kerja paksa atau kerja wajib. 3. Di Negara-Negara yang memberlakukan pemenjaraan dengan kerja kasar sebagai hukuman atas suatu kejahatan, ayat 2 Pasal ini tidak boleh mengecualikan pelaksanaan kerja kasar tersebut sesuai dengan keputusan hukuman oleh pengadilan yang berwenang. 4. Untuk tujuan Pasal ini, istilah “kerja paksa atau kerja wajib” tidak boleh mencakup : (a) setiap pekerjaan atau jasa yang tidak disebutkan dalam ayat 3 Pasal ini yang biasanya diwajibkan kepada orang yang ditahan atas perintah yang sah dari pengadilan atau kepada orang yang tengah menjalani pembebasan bersyarat dari penahanan tersebut ; (b) setiap tindakan yang dituntut untuk dilakukan dalam keadaan darurat atau bencana yang mengancam kehidupan atau penghidupan masyarakat; (c) setiap pekerjaan atau jasa yang merupakan bagian dari kewajiban sipil umum sepanjang pekerjaan itu diwajibkan juga kepada warga negara dari Negara yang bersangkutan.
20
Pasal 12 1. Para pekerja migran dan anggota keluarganya harus memiliki hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak ini harus mencakup kebebasan untuk memeluk atau menganut suatu agama atau kepercayaan atas pilihan dan kebebasannya untuk menjalankan agama atau kepercayaan dalam beribadah, penaatan, pengamalan, dan pengajaran, secara sendiri atau dalam masyarakat bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau pribadi. 2. Para pekerja migran dan anggota keluarganya tidak boleh menjadi sasaran pemaksaan yang dapat mengganggu kebebasannya untuk memeluk atau menganut agama atau kepercayaan pilihannya. 3. Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum dan demi melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan-kebebasan fundamental orang lain. 4. Negara-Negara Pihak dalam Konvensi ini berupaya untuk menghormati kebebasan para orang tua, yang setidaknya salah satu di antaranya adalah pekerja migran, dan apabila dimungkinkan, wali yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri. Pasal 13 1. Para pekerja migran dan anggota keluarganya harus memiliki hak untuk berpendapat tanpa campur tangan. 2. Para pekerja migran dan anggota keluarganya harus memiliki hak atas kebebasan berekspresi; hak ini harus termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan gagasan apa pun, terlepas dari pembatas-pembatas, baik
21
secara lisan, tulisan atau dalam bentuk cetakan, karya seni, atau melalui media lain pilihannya. 3. Pelaksanaan hak yang ditentukan dalam ayat 2 Pasal ini menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karena itu, pelaksanaan hak ini dapat dikenai pembatasan tertentu yang hanya boleh dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan diperlukan ; (a) untuk menghormati hak-hak atau nama baik orang lain; (b) untuk melindungi keamanan nasional Negara-Negara yang bersangkutan atau ketertiban umum atau kesehatan publik atau moral; (c) untuk tujuan mencegah segala propaganda perang; (d) untuk tujuan mencegah segala upaya yang mendorong kebencian berdasarkan kebangsaan, ras, atau agama yang merupakan penghasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan, atau tindak kekerasan. Pasal 14 Tidak seorang pun pekerja migran atau anggota keluarganya boleh secara sewenang-wenang atau secara tidak sah diganggu dalam hal urusan pribadi, keluarga, rumah tangga, korespondensi, atau komunikasi lain, atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya. Setiap pekerja migran dan anggota keluarganya harus memiliki hak atas perlindungan hukum terhadap gangguan atau serangan seperti itu. Pasal 15 Tidak seorang pun pekerja migran atau anggota keluarganya boleh secara sewenang-wenang dirampas harta bendanya, baik yang dimiliki sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Apabila menurut ketentuan hukum yang berlaku di Negara tujuan kerja, aset pekerja migran atau anggota keluarganya disita baik sebagian maupun seluruhnya, orang yang bersangkutan harus memiliki hak untuk memperoleh kompensasi yang adil dan memadai.
22
Pasal 16 1. Para pekerja migran dan anggota keluarganya harus memiliki hak atas kebebasan dan keamanan pribadi. 2. Para pekerja migran dan anggota keluarganya harus memiliki hak atas perlindungan yang efektif dari Negara terhadap tindak kekerasan, cedera fisik, ancaman, intimidasi yang dilakukan oleh aparat pemerintah atau oleh orang perseorangan, kelompok, atau lembaga. 3. Verifikasi apa pun oleh aparat penegak hukum mengenai identitas para pekerja migran dan anggota keluaganya harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan menurut hukum. 4. Para pekerja migran dan anggota keluarganya, baik secara perseorangan maupun secara kolektif, tidak boleh menjadi sasaran penangkapan atau penahan yang sewenang-wenang; mereka tidak boleh dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah dan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan menurut hukum. 5. Para pekerja migran dan anggota keluarganya yang ditangkap harus diberi tahu pada saat penangkapan mengenai alasan-alasan penangkapannya dalam bahasa yang sedapat mungkin dapat mereka pahami, dan harus sesegera mungkin diberi tahu tuduhan yang dikenakan terhadapnya dalam bahasa yang mereka pahami. 6. Para pekerja migran dan anggota keluarganya yang ditangkap atau ditahan berdasarkan tuduhan pidana harus segera dihadapkan kepada hakim atau pejabat lain yang diberi kewenangan menurut hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan dan harus mempunyai hak diadili dalam jangka waktu yang wajar atau dibebaskan. Bukan merupakan suatu ketentuan umum bahwa selama menunggu untuk diadili mereka harus ditahan, tetapi pembebasan dapat diberikan atas dasar jaminan
23
untuk hadir pada persidangan, pada setiap proses peradilan, dan pada pelaksanaan putusan, apabila diputuskan demikian. 7. Apabila seorang pekerja migran dan anggota keluarganya ditangkap atau dipenjara atau ditahan selama menunggu untuk diadili atau ditahan dalam bentuk lain: (a) pejabat konsuler atau diplomatik Negara asalnya atau Negara yang mewakili kepentingan Negara tersebut wajib diberitahukan dengan segera penangkapan atau penahanan tersebut serta alasan-alasannya, apabila yang bersangkutan memintanya; (b) orang yang bersangkutan harus memiliki hak untuk berkomunikasi dengan pejabat-pejabat yang disebutkan di atas; komunikasi tersebut harus segera disampaikan, dan ia harus memiliki hak untuk menerima komunikasi yang dikirimkan oleh pejabat tersebut dengan segera; (c) orang yang bersangkutan harus segera diberi tahu hak-hak ini dan hak-hak yang berasal dari perjanjian yang relevan, jika ada, yang berlaku antara Negara-Negara yang bersangkutan, untuk berkorespondensi dan bertemu dengan pejabat di atas dan membuat pengaturan untuk pengacara mereka. 8. Para pekerja migran dan anggota keluarganya yang dirampas kebebasannya dengan penangkapan atau penahanan, berhak untuk disidangkan di pengadilan, dengan tujuan agar pengadilan dapat segera memutuskan keabsahan penahanan mereka dan memerintahkan pembebasan apabila penahanan tersebut ternyata tidak sah menurut hukum. Dalam mengikuti proses tersebut, para pekerja migran dan anggota keluarganya harus memperoleh bantuan, jika perlu tanpa biaya, seorang penerjemah jika mereka tidak memahami atau berbicara bahasa yang digunakan.
24
9. Para pekerja migran dan anggota keluarganya yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan yang tidak sah, harus memiliki hak untuk mendapat ganti rugi. Pasal 17 1. Para pekerja migran dan anggota keluarganya yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan secara manusiawi dan dengan penghormatan atas martabat yang melekat pada diri manusia dan pada identitas budaya mereka. 2. Para pekerja migran dan anggota keluarganya yang dituduh harus, kecuali dalam keadaan-keadaan luar biasa, dipisahkan dari orang yang telah dipidana dan harus diperlakukan secara berbeda sesuai dengan statusnya sebagai orang yang belum dipidana. Terdakwa di bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan sesegera mungkin dihadapkan pada sidang pengadilan. 3. Para pekerja migran dan anggota keluarganya yang ditahan di suatu Negara transit atau Negara tujuan kerja karena pelanggaran terhadap ketentuan yang berkenaan dengan migrasi, harus sedapat mungkin dipisahkan dari orang-orang yang sudah dijatuhi hukuman atau orang-orang yang tengah menunggu penundaan persidangan. 4. Selama jangka waktu hukuman penjara menurut hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan, tujuan penting dari perlakuan terhadap para pekerja migran dan anggota keluarganya harus menjadi perbaikan dan rehabilitasi sosial mereka. Terpidana di bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan diperlakukan sesuai dengan usia dan status hukum mereka. 5. Selama ditahan atau dipenjara, para pekerja migran dan anggota keluarganya harus menikmati hak-hak yang sama dengan warga negara untuk dikunjungi anggota keluarganya.
25
6. Apabila seorang pekerja migran dirampas kebebasannya, pejabat yang berwenang dari Negara yang bersangkutan wajib memperhatikan masalah-masalah yang mungkin dihadapi oleh anggota keluarganya, khususnya pasangan dan anak-anaknya yang di bawah umur. 7. Para pekerja migran dan anggota keluarganya yang menjadi sasaran penahanan dan hukuman penjara sesuai dengan hukum yang berlaku di Negara tujuan kerja atau di Negara transit, harus menikmati hak-hak yang sama sebagaimana diterapkan kepada warga negara dari Negara-Negara tersebut pada situasi yang sama. 8. Apabila seorang pekerja migran dan anggota keluarganya ditahan dengan maksud untuk melakukan verifikasi atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berkenaan dengan migrasi, yang bersangkutan tidak boleh dibebani biaya yang ditimbulkan. Pasal 18 1. Para pekerja migran dan anggota keluarganya harus memiliki hak yang setara dengan warga negara dari Negara yang bersangkutan di hadapan pengadilan dan tribunal. Dalam menentukan tuduhan kejahatan terhadap mereka atau menentukan hak-hak dan kewajiban mereka yang digugat secara hukum, mereka harus memiliki hak untuk menjalani dengar pendapat yang adil oleh tribunal yang kompeten, independen, dan imparsial oleh hukum. 2. Para pekerja migran dan anggota keluarganya yang dituntut atas suatu tindak pidana harus memiliki hak praduga tak-bersalah sampai terbukti sesuai dengan hukum yang berlaku. 3. Dalam menentukan tuntutan kejahatan terhadap mereka, para pekerja migran dan anggota keluarganya harus memiliki hak atas jaminan-jaminan minimum di bawah ini :
26
(a) untuk diinformasikan secara baik dan jelas dengan bahasa yang mereka pahami mengenai penyebab adanya tuntutan terhadap mereka; (b) untuk memiliki waktu dan fasilitas yang memadai guna melakukan persiapan pembelaan atas tuntutan terhadap mereka dan berkomunikasi dengan pengacara yang mereka pilih sendiri; (c) untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya; (d) untuk diadili dengan kehadiran mereka dan untuk membela diri mereka secara pribadi atau melalui penasihat hukum atas pilihan mereka sendiri; untuk diinformasikan, jika mereka tidak memiliki penasihat hukum, akan adanya hak ini; dan untuk memiliki penasihat hukum yang ditugasi mendampingi mereka, dalam keadaan apa pun ketika kepentingan keadilan sangat dibutuhkan dan tanpa pembayaran oleh mereka dalam hal ini jika mereka tidak memiliki sumber pembiayaan yang cukup; (e) untuk memeriksa atau telah memeriksa saksi-saksi yang melawan mereka dan untuk memperoleh kehadiran dan pemeriksaan atas saksi-saksi pada pihak mereka dengan kondisi yang sama dengan saksi-saksi yang melawan mereka; (f) untuk memperolah bantuan cuma-cuma dari seorang penerjemah jika mereka tidak memahami atau tidak menuturkan bahasa yang digunakan di negara setempat; (g) tidak dipaksa untuk bersaksi melawan diri mereka sendiri atau untuk mengaku bersalah. 4. Pada kasus yang menimpa anak di bawah umur, prosedur yang diambil wajib memperhatikan umur mereka dan dorongan untuk memajukan rehabilitasi mereka. 5. Para pekerja migran dan anggota keluarganya yang dihukum karena tindakan pidana harus memiliki hak atas hukuman dan
27
vonis terhadap mereka untuk ditinjau kembali oleh badan tribunal yang lebih tinggi menurut hukum. 6. Apabila seorang pekerja migran atau seorang anggota keluarganya, oleh putusan akhir pengadilan, telah diputuskan bersalah atas tindak pidana dan apabila kemudian keputusan bersalah tersebut telah dibalikkan atau ia telah diberikan pengampunan atas dasar baru penemuan fakta atau penemuan fakta baru yang menyimpulkan bahwa telah terjadi kesalahan peradilan, orang tersebut yang telah menjalani hukuman sebagai akibat dari keputusan bersalah tersebut harus dikompensasi menurut hukum, kecuali terbukti bahwa tidak terungkapnya fakta-fakta yang tidak diketahui tersebut secara keseluruhan atau sebagian yang melekat pada orang tersebut. 7. Tidak seorang pun pekerja migran dan anggota keluarganya boleh diadili atau dihukum kembali atas kejahatan yang ia telah diputuskan bersalah ataupun tidak bersalah berdasarkan hukum dan prosedur hukum pidana yang berlaku di negara yang bersangkutan. Pasal 19 1. Tidak seorang pun pekerja migran atau anggota keluarganya boleh dinyatakan bersalah atas suatu tindak pidana karena tindakan atau kelalaian yang bukan merupakan tindak pidana berdasarkan hukum nasional atau internasional pada saat dilakukannya tindak pidana tersebut, tidak pula diperbolehkan untuk dijatuhkan hukuman yang lebih berat daripada hukuman yang berlaku pada saat tindak pidana tersebut dilakukan. Apabila setelah dilakukannya suatu tindak pidana muncul ketetapan yang lebih ringan hukumannya, ia harus mendapatkan keuntungan dari ketetapan tersebut. 2. Pertimbangan kemanusiaan yang berkenaan dengan status pekerja migran, khususnya sehubungan dengan haknya untuk tinggal dan bekerja, harus diperhatikan dalam menjatuhkan hukuman atas tindak pidana yang dilakukan oleh pekerja migran atau anggota keluarganya.
28
Pasal 20 1. Tidak seorang pun pekerja migran atau anggota keluarganya boleh dipenjara semata-mata atas dasar kegagalan memenuhi suatu kewajiban perjanjian. 2. Tidak seorang pun pekerja migran atau anggota keluarganya boleh dirampas haknya atas izin tinggal atau izin kerja, atau diusir semata-mata atas dasar kegagalan memenuhi suatu kewajiban yang muncul dari perjanjian kerja, kecuali pemenuhan kewajiban dimaksud merupakan ketentuan dari diterbitkannya izin tersebut. Pasal 21 Adalah tindakan melawan hukum bagi setiap orang, kecuali oleh aparat pemerintah yang diberi kewenangan oleh hukum, untuk menyita, menghancurkan atau mencoba menghancurkan dokumen identitas, dokumen yang memberi izin masuk atau tinggal, bertempat tinggal atau dokumen penting lain yang diperlukan di wilayah nasional atau izin kerja. Tidak satu pun penyitaan resmi atas dokumen-dokumen tersebut boleh dilakukan tanpa memberikan tanda terima terperinci. Dalam hal apa pun tidak dibolehkan untuk menghancurkan paspor atau dokumen yang setara milik pekerja migran atau anggota keluarganya. Pasal 22 1. Para pekerja migran dan anggota keluarganya tidak boleh menjadi sasaran kebijakan pengusiran secara massal. Setiap kasus pengusiran harus diperiksa dan diputuskan sendiri-sendiri. 2. Para pekerja migran dan anggota keluarganya hanya dapat diusir dari wilayah suatu Negara Pihak atas suatu keputusan yang diambil oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan hukum. 3. Keputusan tersebut wajib dikomunikasikan kepada mereka dalam bahasa yang mereka pahami. Atas permintaan mereka, kecuali merupakan kewajiban, keputusan itu wajib disampaikan secara tertulis dan, kecuali dalam keadaan terkait keamanan
29
nasional, beserta alasan-alasannya. Orang-orang yang bersangkutan wajib diberi tahu mengenai hak-hak ini sebelum atau selambat-lambatnya pada saat keputusan itu diambil. 4. Kecuali, apabila suatu keputusan akhir telah ditetapkan oleh pengadilan yang berwenang, orang-orang yang bersangkutan harus memiliki hak untuk menyampaikan alasan-alasan mengapa mereka tidak boleh diusir dan untuk meminta kasusnya ditinjau kembali oleh pejabat yang berwenang, kecuali ditentukan sebaliknya, dengan alasan keamanan nasional. Selama menunggu peninjauan kembali, orang-orang yang bersangkutan harus memiliki hak untuk meminta penundaan keputusan pengusiran tersebut. 5. Apabila keputusan pengusiran yang telah ditetapkan kemudian dibatalkan, orang yang bersangkutan harus memiliki hak untuk menuntut ganti rugi menurut hukum, dan keputusan yang pertama tidak boleh dipergunakan untuk mencegahnya memasuki kembali negara yang bersangkutan. 6. Dalam hal pengusiran, orang-orang yang bersangkutan harus memiliki hak atas kesempatan yang cukup sebelum atau sesudah keberangkatannya, untuk menyelesaikan pembayaran gaji atau hak lain yang harus diberikan dan juga utang-utangnya. 7. Tanpa mengurangi pelaksanaan keputusan pengusiran, seorang pekerja migran atau anggota keluarganya yang menjadi sasaran keputusan tersebut dapat memohon untuk memasuki suatu negara yang bukan negara asalnya. 8. Dalam hal pengusiran seorang pekerja migran atau anggota keluargannya, biaya pengusiran tidak boleh dibebankan kepadanya. Orang yang bersangkutan dapat diminta untuk membayar biaya perjalanannya sendiri. 9. Pengusiran dari negara tempat bekerja tidak boleh mengurangi hak apa pun yang telah diperoleh pekerja migran atau anggota
30
keluarganya sesuai dengan hukum negara tersebut, termasuk hak untuk menerima gaji dan hak lain yang harus diterimanya. Pasal 23 Para Pekerja migran dan anggota keluarganya harus memiliki hak untuk memperoleh pilihan meminta perlindungan dan bantuan pejabat konsuler atau diplomatik dari Negara asalnya atau Negara yang mewakili kepentingan Negara tersebut, apabila hak-hak yang diakui dalam Konvensi ini dilanggar. Khusus dalam hal pengusiran, orang yang bersangkutan wajib diberi tahu mengenai hak ini dengan segera dan pejabat dari Negara yang melakukan pengusiran wajib memfasilitasi pelaksanan hak tersebut. Pasal 24 Setiap pekerja migran dan anggota keluarganya harus memiliki hak untuk diakui di mana pun sebagai pribadi di hadapan hukum. Pasal 25 1. Para Pekerja migran harus mendapatkan perlakuan yang tidak kurang menguntungkan daripada yang diterapkan pada warga negara dari Negara tujuan kerja dalam hal penggajian dan : (a) ketentuan kerja lain, yaitu uang lembur, jam kerja, istirahat mingguan, liburan dengan dibayar, keselamatan, kesehatan, pemutusan hubungan kerja, dan ketentuan kerja lain yang menurut hukum dan praktik nasional dicakup dalam ketentuan ini; (b) persyaratan kerja lain, yaitu usia minimum untuk bekerja, pembatasan terhadap pekerjaan perusahaan yang dilakukan di rumah, dan hal-hal lain yang menurut hukum dan praktik nasional dianggap sebagai persyaratan kerja.
31
2. Pengurangan prinsip persamaan perlakuan yang dicantumkan dalam ayat 1 dari Pasal ini dari perjanjian kerja perseorangan, adalah tindakan yang melanggar hukum. 3. Negara-Negara Pihak wajib mengambil semua kebijakan yang tepat untuk memastikan bahwa pekerja migran tidak dihalangi dari hak apa pun yang muncul dari prinsip ini atas alasan adanya hal yang sifatnya tak-reguler dalam masa tinggal atau pekerjaan mereka. Khususnya, majikan tidak boleh dibebaskan dari kewajiban yang ada dalam hukum atau perjanjian atau kewajiban mereka tidak boleh dibatasi dengan cara apa pun berdasarkan hal yang sifatnya tak-reguler semacam itu. Pasal 26 1. Negara-Negara Pihak mengakui hak para pekerja migran dan anggota keluarganya : (a) untuk mengambil bagian dalam pertemuan-pertemuan dan kegiatan-kegiatan serikat pekerja dan perkumpulan lain yang dibentuk menurut hukum, dengan pandangan untuk melindungi kepentingan ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain, selama sesuai dengan peraturan organisasi yang bersangkutan; (b) untuk bergabung secara bebas pada serikat pekerja dan perkumpulan-perkumpulan tersebut di atas, selama sesuai dengan peraturan organisasi yang bersangkutan; (c) untuk mencari bantuan dan sumbangan dari serikat pekerja dan perkumpulan-perkumpulan tersebut di atas. 2. Tidak satu pun pembatasan dapat diberlakukan terhadap pelaksanaan hak-hak ini, kecuali pembatasan yang diatur oleh hukum dan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis demi kepentingan keamanan nasional, ketertiban umum, atau perlindungan hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain.
32
Pasal 27 1. Berkenaan dengan jaminan sosial, para pekerja migran dan anggota keluarganya harus menikmati perlakuan yang sama dengan warga negara di Negara tujuan kerja, selama mereka memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh ketentuan hukum yang berlaku di Negara tersebut serta perjanjian bilateral dan multilateral yang berlaku. Pejabat berwenang negara asal dan negara tujuan kerja sewaktu-waktu dapat membuat pengaturan yang diperlukan untuk menentukan tata cara pelaksanaan norma ini. 2. Apabila ketentuan hukum yang berlaku tidak memberikan tunjangan kepada para pekerja migran dan anggota keluarganya, Negara-Negara yang bersangkutan wajib mencari kemungkinan untuk memberikan penggantian pada orang yang bersangkutan sejumlah kontribusi yang dibayarkan mereka terkait dengan tunjangan itu sebagaimana diterapkan kepada warga negaranya pada situasi yang sama. Pasal 28 Para Pekerja migran dan anggota keluarganya harus memiliki hak untuk menerima perawatan kesehatan yang sangat mendesak yang diperlukan untuk kelangsungan hidup mereka atau untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada kesehatan mereka, berdasarkan kesetaraan perlakuan dengan warga negara dari Negara yang bersangkutan. Perawatan medis mendesak semacam itu tidak boleh ditolak oleh Negara dengan alasan adanya hal yang sifatnya tak-reguler yang berkaitan dengan masa tinggal atau pekerjaan mereka. Pasal 29 Setiap anak pekerja migran harus memiliki hak atas suatu nama, pendaftaran kelahiran, dan kewarganegaraan.
33
Pasal 30 Setiap anak pekerja migran harus memiliki hak dasar atas akses pada pendidikan berdasarkan kesetaraan perlakuan dengan warga negara dari Negara yang bersangkutan. Akses pada lembagalembaga pendidikan prasekolah atau sekolah umum tidak boleh ditolak atau dibatasi dengan alasan situasi tak-reguler yang berkaitan dengan masa tinggal atau pekerjaan salah satu orangtuanya, atau berdasarkan alasan yang sifatnya tak-reguler terkait masa tinggal anak tersebut di Negara tujuan kerja. Pasal 31 1. Negara-Negara Pihak wajib menjamin penghormatan pada identitas budaya para pekerja migran dan anggota keluarganya, dan tidak boleh mencegah mereka untuk mempertahankan hubungan budaya dengan Negara asal mereka. 2. Negara-Negara Pihak dapat mengambil kebijakan yang tepat untuk membantu dan mendorong upaya-upaya dalam hal ini. Pasal 32 Pada saat berakhirnya masa tinggal mereka di Negara tujuan kerja, para pekerja migran dan anggota keluarganya harus memiliki hak untuk memindahkan pendapatan dan tabungan mereka serta, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Negara-Negara yang bersangkutan, barang-barang milik pribadi mereka. Pasal 33 1. Para pekerja migran dan anggota keluarganya harus memiliki hak untuk diberi tahu oleh Negara asal, Negara tujuan kerja, atau Negara transit mengenai : (a) hak-hak mereka yang ditimbulkan oleh Konvensi ini; (b) ketentuan mengenai penerimaan, hak-hak dan kewajiban mereka menurut hukum dan praktik di Negara yang bersangkutan serta hal lain yang serupa yang memungkinkan
34
mereka untuk menaati ketentuan administratif dan ketentuan lain di Negara tersebut. 2. Negara-Negara Pihak wajib mengambil seluruh kebijakan yang mereka anggap tepat untuk menyebarluaskan informasi tersebut di atas, atau untuk memastikan bahwa informasi itu telah diberikan oleh majikan, serikat pekerja dan badan-badan atau lembaga-lembaga lain yang sesuai. Jika perlu, mereka wajib bekerja sama dengan Negara-Negara lain yang bersangkutan. 3. Informasi yang memadai tersebut wajib diberikan atas permintaan pekerja migran dan anggota keluarganya secara cumacuma, dan sejauh dimungkinkan dalam bahasa yang mereka pahami. Pasal 34 Tidak satu pun bagian dalam Konvensi ini boleh mengakibatkan para pekerja migran dan anggota keluarganya terlepas dari kewajiban untuk menaati hukum dan peraturan Negara transit dan Negara tujuan kerja mana pun, atau kewajiban untuk menghormati identitas budaya dari penduduk Negara-Negara tersebut. Pasal 35 Tidak satu pun bagian dari Konvensi ini boleh diartikan sebagai maksud untuk menjadikan situasi reguler bagi para pekerja migran dan anggota keluarganya yang tidak memiliki dokumen, atau berada dalam suatu situasi tak-reguler, serta tidak boleh mengabaikan kebijakan yang dimaksudkan untuk memastikan kondisi yang baik dan setara untuk migrasi internasional sebagaimana ditentukan dalam bagian VI Konvensi ini.
35
BAGIAN IV Hak lain dari para pekerja migran dan anggota keluarganya yang memiliki dokumen atau yang berada dalam situasi reguler Pasal 36 Para pekerja migran dan anggota keluarganya yang memiliki dokumen atau berada dalam situasi reguler di Negara tujuan kerja harus menikmati hak-hak yang ditentukan dalam bagian IV dari Konvensi, selain hak-hak yang telah ditentukan dalam bagian III. Pasal 37 Sebelum keberangkatannya, atau selambat-lambatnya pada saat diterimanya mereka di Negara tujuan kerja, para pekerja migran dan anggota keluarganya harus memiliki hak untuk diinformasikan sepenuhnya oleh Negara asal atau Negara tujuan bekerja, jika perlu, mengenai semua ketentuan yang berlaku bagi penerimaan mereka, dan khususnya mengenai masa tinggal mereka dan aktivitas yang dibayar yang mereka dapat lakukan, serta persyaratan yang harus mereka penuhi di Negara tujuan kerja, dan juga pejabat yang harus mereka hubungi apabila ada perubahan atas ketentuan tersebut. Pasal 38 1. Negara tujuan kerja wajib melakukan segala upaya untuk mengizinkan para pekerja migran dan anggota keluarganya untuk cuti sementara tanpa memengaruhi izin tinggal atau izin kerja, apabila hal tersebut terjadi. Dalam melakukan hal ini, Negara tujuan kerja wajib memperhatikan kebutuhan dan kewajiban khusus para pekerja migran dan anggota keluarganya, khususnya di Negara asal mereka. 2. Para pekerja migran dan anggota keluarganya harus memiliki hak untuk diberi tahu sepenuhnya mengenai persyaratan cuti sementara yang diizinkan.
36
Pasal 39 1. Para pekerja migran dan anggota keluarganya harus memiliki hak atas kebebasan bergerak di wilayah Negara tujuan kerja dan kebebasan memilih tempat tinggalnya di wilayah tersebut. 2. Hak-hak yang disebutkan dalam ayat 1 Pasal ini tidak boleh dikenai pembatasan apa pun kecuali yang ditetapkan oleh hukum, yang diperlukan guna melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan yang sesuai dengan hak lain yang diakui dalam Konvensi ini. Pasal 40 1. Para Pekerja migran dan anggota keluarganya harus memiliki hak untuk membentuk perkumpulan dan serikat pekerja di Negara tujuan kerja untuk pemajuan dan perlindungan kepentingan ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain. 2. Tidak satu pun pembatasan dapat diberlakukan terhadap pelaksanaan hak ini kecuali pembatasan yang diatur oleh hukum, dan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis demi kepentingan keamanan nasional, ketertiban umum, atau perlindungan atas hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain. Pasal 41 1. Para pekerja migran dan anggota keluarganya harus memiliki hak untuk berpartisipasi dalam urusan pemerintahan di Negara asalnya dan untuk memilih dan dipilih pada pemilihan umum di Negaranya, sesuai dengan ketentuan hukum Negaranya. 2. Negara-Negara yang bersangkutan wajib, jika perlu dan sesuai dengan ketentuan hukum, memfasilitasi pelaksanaan hak-hak ini. Pasal 42 1. Negara-Negara Pihak wajib mempertimbangkan penetapan prosedur-prosedur atau lembaga-lembaga yang dapat memberikan
37
perhatian, baik di Negara asal maupun di Negara tujuan kerja, mengenai kebutuhan khusus, aspirasi dan kewajiban para pekerja migran dan anggota keluarganya, dan wajib merencanakan, jika perlu, kemungkinan bagi para pekerja migran dan anggota keluarganya untuk secara bebas memilih wakil-wakil mereka dalam lembaga-lembaga tersebut. 2. Negara tujuan kerja wajib memfasilitasi, sesuai dengan ketentuan hukum nasional, konsultasi atau partisipasi para pekerja migran dan anggota keluarganya dalam keputusankeputusan mengenai kehidupan dan tata administrasi komunitas setempat. 3. Para pekerja migran dapat menikmati hak-hak politik di Negara tujuan kerja apabila Negara itu, dalam pelaksanaan kedaulatannya, memberikan hak-hak politik tersebut. Pasal 43 1. Para pekerja migran harus menikmati kesetaraan perlakuan dengan warga negara dari Negara tujuan kerja dalam kaitan dengan : (a) akses pada lembaga-lembaga dan pelayanan-pelayanan pendidikan dengan tunduk pada persyaratan penerimaan dan peraturan lain dari lembaga atau pelayanan yang tersebut; (b) akses pada penempatan;
bimbingan
kejuruan
dan
pelayanan
(c) akses pada pelatihan kejuruan serta fasilitas dan lembaga pelatihan-ulang; (d) akses pada perumahan, termasuk skema perumahan sosial, dan perlindungan terhadap eksploitasi dalam hal penyewaan; (e) akses pada pelayanan sosial dan kesehatan, dengan ketentuan persyaratan keikutsertaan dalam skema-skema tersebut dipenuhi;
38
(f) akses pada perusahaan-perusahaan koperasi dan swakelola yang tidak boleh mengakibatkan perubahan dalam status migrasi mereka, dan harus tunduk pada peraturan dan ketentuan dari badan yang bersangkutan; (g) akses dan partisipasi pada kehidupan budaya. 2. Negara-Negara Pihak wajib memajukan kondisi untuk memastikan kesetaraan perlakuan yang efektif untuk memungkinkan para pekerja migran menikmati hak-hak yang disebutkan dalam ayat 1 Pasal ini, apabila persyaratan masa tinggal mereka, sebagaimana diizinkan oleh Negara tujuan kerja, memenuhi persyaratan yang tepat. 3. Negara tujuan kerja tidak boleh mencegah majikan para pekerja migran untuk membangun perumahan atau fasilitas sosial atau budaya bagi mereka. Berdasarkan Pasal 70 Konvensi ini, Negara tujuan kerja dapat mendirikan fasilitas semacam ini sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang secara umum berlaku di Negara tersebut mengenai pendirian fasilitas tersebut. Pasal 44 1. Negara-Negara Pihak, dengan mengakui bahwa keluarga merupakan satuan kelompok masyarakat yang alami dan mendasar serta berhak atas perlindungan masyarakat dan Negara, wajib mengambil kebijakan yang tepat untuk memastikan perlindungan terhadap kesatuan keluarga para pekerja migran. 2. Negara-Negara Pihak wajib mengambil kebijakan yang mereka anggap sesuai dan dalam kewenangannya untuk memfasilitasi reunifikasi para pekerja migran dengan pasangannya atau orangorang yang mempunyai hubungan dengan pekerja migran yang, menurut hukum yang berlaku, berakibat sama dengan perkawinan, serta dengan anak-anak di bawah umur dalam tanggungan mereka yang belum menikah.
39
3. Negara tujuan kerja, berdasarkan alasan-alasan kemanusiaan, wajib mempertimbangkan dengan baik pemberian perlakuan yang setara, sebagaimana ditentukan dalam ayat 2 Pasal ini, kepada anggota keluarga lain dari pekerja migran. Pasal 45 1. Anggota keluarga para pekerja migran harus, di Negara tujuan kerja, menikmati kesetaraan perlakuan dengan warga negara dari Negara tersebut dalam kaitan dengan : (a) akses pada lembaga-lembaga dan pelayanan-pelayanan pendidikan, dengan tunduk pada persyaratan penerimaan dan peraturan lain dari lembaga dan pelayanan tersebut; (b) akses pada bimbingan kejuruan serta lembaga dan pelayanan pelatihan, dengan ketentuan persyaratan keikutsertaan dipenuhi; (c) akses pada pelayanan sosial dan kesehatan, dengan ketentuan persyaratan keikutsertaan dalam skema-skema tersebut dipenuhi; (d) akses dan partisipasi pada kehidupan budaya. 2. Negara tujuan kerja wajib mengupayakan suatu kebijakan, jika perlu melalui kerja sama dengan Negara asal, yang ditujukan untuk memfasilitasi integrasi anak-anak pekerja migran pada sistem sekolah setempat, khususnya dalam mengajari mereka bahasa setempat; 3. Negara tujuan kerja wajib berupaya memfasilitasi kepada anakanak para pekerja migran pengajaran bahasa ibu dan budaya mereka dan, dalam hal ini, Negara asal wajib bekerja sama apabila diperlukan.
40
4. Negara tujuan bekerja dapat menyediakan skema khusus pendidikan dalam bahasa ibu anak-anak pekerja migran, jika perlu melalui kerja sama dengan Negara asal. Pasal 46 Para pekerja migran dan anggota keluarganya harus, berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku di Negara-Negara bersangkutan, serta perjanjian internasional yang sesuai dan kewajiban Negara bersangkutan yang timbul akibat keikutsertaannya pada serikat kepabeanan, menikmati pembebasan bea dan pajak impor dan ekspor, berkenaan dengan barang milik pribadi dan rumah tangga mereka dan juga peralatan yang diperlukan untuk melakukan aktivitas yang dibayar yang menyebabkan mereka diterima di Negara tujuan kerja : (a) setelah keberangkatan mereka dari Negara asal atau dari Negara tempat tinggalnya; (b) setelah mereka memasuki Negara tujuan kerja pertama kalinya; (c) setelah keberangkatan terakhir dari Negara tujuan kerja; (d) setelah kepulangan terakhir mereka ke Negara asal atau Negara tempat tinggalnya. Pasal 47 1. Para pekerja migran harus memiliki hak untuk mentransfer pendapatan dan tabungan mereka, khususnya dana-dana yang diperlukan untuk membiayai keluarganya, dari Negara tujuan kerja ke Negara asal atau Negara lain. Transfer semacam ini wajib dilakukan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh ketentuan hukum yang berlaku di Negara yang bersangkutan dan sesuai dengan perjanjian-perjanjian internasional yang berlaku. 2. Negara-Negara yang bersangkutan wajib mengambil kebijakan yang tepat untuk memfasilitasi transfer tersebut.
41
Pasal 48 1. Tanpa mengesampingkan perjanjian pajak berganda yang berlaku, para pekerja migran dan anggota keluarganya, berkaitan dengan pendapatannya di Negara tujuan kerja : (a) tidak boleh dibebani pajak, bea, atau biaya-biaya dalam jenis apa pun yang lebih tinggi atau lebih membebani daripada yang dikenakan kepada warga negaranya dalam keadaan yang sama; (b) harus memiliki hak atas pengurangan atau pembebasan pajak dalam jenis apa pun dan kemudahan pajak yang berlaku bagi warga negaranya dalam keadaan yang sama, termasuk kemudahan-kemudahan pajak bagi anggota keluarga yang menjadi tanggungannya. 2. Negara-Negara Pihak wajib berupaya untuk menetapkan kebijakan yang tepat untuk menghindari pengenaan pajak berganda terhadap penghasilan dan tabungan para pekerja migran dan anggota keluarganya. Pasal 49 1. Apabila pemberian izin tinggal dan izin kerja yang dilakukan secara terpisah diwajibkan oleh ketentuan hukum nasional, Negara tujuan kerja wajib mengeluarkan izin tinggal bagi pekerja migran untuk setidaknya dalam jangka waktu yang sama dengan izin untuk menjalankan aktivitas yang dibayar. 2. Para pekerja migran yang di Negara tujuan kerja diperbolehkan untuk secara bebas memilih aktivitas yang dibayar, tidak boleh dianggap sebagaimana halnya pada situasi tak-reguler dan tidak boleh dianggap kehilangan izin tinggal semata-mata karena diberhentikannya mereka dari aktivitas yang dibayar sebelum habisnya masa berlaku izin kerja atau izin sejenis. 3. Guna memberikan waktu yang cukup kepada para pekerja migran yang disebut dalam ayat 2 Pasal ini untuk mencari aktivitas yang dibayar lainnya, izin tinggal tidak boleh dicabut setidaknya
42
untuk jangka waktu yang sesuai dengan jangka waktu yang memungkinkan mereka untuk mendapatkan hak atas tunjangan pengangguran. Pasal 50 1. Dalam kasus meninggalnya pekerja migran atau berakhirnya perkawinan, Negara tujuan kerja wajib mempertimbangkan dengan baik untuk memberikan kepada anggota keluarga pekerja migran izin tinggal di Negara tersebut berdasarkan pertimbangan keutuhan keluarga; Negara tujuan kerja wajib memperhatikan jangka waktu mereka telah bertempat tinggal di Negara tersebut. 2. Anggota keluarga yang tidak diberi izin tinggal seperti di atas harus diberikan waktu yang cukup guna menyelesaikan urusanurusan mereka di dalam Negara tujuan kerja tersebut sebelum meninggalkannya. 3. Ketentuan pada ayat 1 dan 2 Pasal ini tidak dapat ditafsirkan berlawanan dengan segala hak untuk tinggal dan bekerja kecuali jika diberikan kepada anggota keluarga berdasarkan ketentuan hukum Negara tujuan kerja atau perjanjian-perjanjian bilateral dan multilateral yang berlaku pada Negara tersebut. Pasal 51 Para pekerja migran yang di Negara tujuan kerja tidak diizinkan untuk secara bebas memilih aktivitas yang dibayar tidak boleh dianggap berada dalam situasi tak-reguler dan juga tidak boleh kehilangan izin tinggal mereka, semata-mata karena pemutusan hubungan kerja sebelum izin kerja mereka habis, kecuali apabila izin tinggal dengan jelas bergantung pada pekerjaan tertentu yang menyebabkan mereka boleh memasuki Negara tersebut. Para Pekerja migran semacam ini, harus memiliki hak untuk mencari pekerjaan alternatif, untuk berpartisipasi dalam skema-skema pekerjaan umum dan pelatihan ulang selama waktu yang tersisa
43
dari izin kerja mereka, dengan tunduk pada ketentuan dan pembatasan sebagaimana ditentukan dalam izin kerja tersebut. Pasal 52 1. Para Pekerja migran di Negara tujuan kerja harus memiliki hak untuk secara bebas memilih aktivitas yang dibayar, berdasarkan pada pembatasan atau ketentuan berikut ini. 2. Terhadap tiap pekerja migran, Negara tujuan kerja dapat : (a) membatasi akses pada kategori pekerjaan, fungsi, pelayanan atau kegiatan tertentu apabila diperlukan demi kepentingan Negara tersebut dan ditetapkan oleh ketentuan hukum nasional; (b) membatasi kebebasan dalam memilih aktivitas kerja yang dibayar sesuai dengan ketentuan hukum mengenai pengakuan atas kualifikasi pekerjaan yang diperoleh di luar wilayah Negara tersebut. Namun, Negara-Negara pihak yang bersangkutan wajib mengusahakan untuk memberikan pengakuan atas kualifikasi semacam itu. 3. Terhadap pekerja migran yang jangka waktu izin kerjanya dibatasi, Negara tujuan kerja juga dapat : (a) menjadikan hak untuk bebas memilih aktivitas yang dibayar dengan tunduk pada ketentuan bahwa pekerja migran tersebut telah bertempat tinggal secara sah di wilayahnya untuk tujuan aktivitas kerja yang dibayar dalam suatu jangka waktu yang ditetapkan oleh ketentuan hukum nasional yang tidak boleh melebihi dua tahun; (b) membatasi akses pekerja migran pada aktivitas yang dibayar sesuai dengan kebijakan pemberian prioritas pada warga negaranya atau pada orang-orang yang diasimilasi untuk tujuan-tujuan hukum atau perjanjian bilateral dan multilateral
44
bagi mereka. Pembatasan apa pun semacam ini tidak lagi berlaku pada seorang migran yang telah bertempat tinggal secara sah di wilayahnya untuk tujuan aktivitas yang dibayar dalam suatu jangka waktu yang ditetapkan oleh ketentuan hukum nasional yang tidak boleh melebihi lima tahun. 4. Negara tujuan kerja wajib menetapkan ketentuan yang di dalamnya seorang pekerja migran, yang telah diizinkan untuk melakukan pekerjaan, dapat diberi wewenang bekerja atas namanya sendiri. Pertimbangan harus diambil dengan mencakup jangka waktu pekerja migran tersebut telah berada secara sah di Negara tujuan kerja. Pasal 53 1. Anggota keluarga para pekerja migran yang memiliki izin tinggal atau izin masuk tanpa batas waktu atau secara otomatis dapat diperpanjang, harus diizinkan untuk secara bebas memilih aktivitas yang dibayar dalam ketentuan yang sama sebagaimana berlaku bagi pekerja migran sesuai dengan Pasal 52 Konvensi ini. 2. Dengan memperhatikan anggota keluarga pekerja migran yang tidak diizinkan untuk secara bebas memilih aktivitas yang dibayar, Negara-Negara Pihak wajib mempertimbangkan dengan baik untuk memberikan mereka prioritas dalam memperoleh izin untuk melaksanakan aktivitas yang dibayar daripada pekerja lain yang ingin masuk ke Negara tujuan kerja, berdasarkan pada perjanjian bilateral dan multilateral. Pasal 54 1. Tanpa mengesampingkan persyaratan izin tinggal atau izin kerja dan hak-hak yang disebutkan dalam Pasal 25 dan 27 Konvensi ini, pekerja migran harus menikmati kesetaraan perlakuan dengan warga negara dari Negara tujuan kerja dalam hal : (a) perlindungan terhadap pemecatan;
45
(b) tunjangan pengangguran; (c) akses pada skema pekerjaan umum yang dimaksudkan untuk memberantas pengangguran; (d) akses pada pekerjaan alternatif dalam hal hilangnya pekerjaan atau pemberhentian aktivitas yang dibayar lainnya, berdasarkan Pasal 52 Konvensi ini. 2. Apabila seorang pekerja migran mengadukan bahwa persyaratan perjanjian kerjanya telah dilanggar oleh majikannya, ia harus memiliki hak untuk mengajukan kasusnya kepada pejabat berwenang yang kompeten dari Negara tujuan kerja, berdasarkan ketentuan yang ditentukan dalam Pasal 18 ayat 1 Konvensi ini. Pasal 55 Para pekerja migran yang telah diberi izin untuk terlibat dalam aktivitas yang dibayar, berdasarkan ketentuan yang melekat pada izin tersebut, harus memiliki hak atas kesetaraan perlakuan dengan warga negara dari Negara tujuan kerja dalam melaksanakan aktivitas yang dibayar tersebut. Pasal 56 1. Para pekerja migran dan anggota keluarganya yang disebut dalam bagian Konvensi ini tidak dapat diusir dari Negara tujuan kerja, kecuali untuk alasan-alasan yang dirumuskan dalam ketentuan hukum nasional dari Negara tersebut, dan berdasarkan pada rambu-rambu yang dicantumkan dalam bagian III. 2. Langkah pengeluaran secara paksa tidak boleh diambil untuk tujuan merampas hak-hak yang timbul dari izin tinggal dan izin kerja pekerja migran dan anggota keluarganya. 3. Dalam mempertimbangkan pengusiran pekerja migran atau anggota keluarganya, seharusnya memperhatikan pertimbangan kemanusiaan dan jangka waktu yang bersangkutan telah bertempat tinggal di Negara tujuan kerja.
46
BAGIAN V Ketentuan yang berlaku bagi golongan tertentu dari para pekerja migran dan anggota keluarganya Pasal 57 Golongan tertentu dari para pekerja migran dan anggota keluarganya yang dijelaskan dalam bagian Konvensi ini yang memiliki dokumen atau berada dalam situasi reguler harus menikmati hak-hak yang ditentukan dalam bagian III dan, kecuali sebagaimana diubah di bawah ini, hak-hak yang ditentukan dalam bagian IV. Pasal 58 1. Para pekerja lintas-batas, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2 ayat 2 (a) Konvensi ini, harus memiliki hak-hak yang ditentukan dalam bagian IV yang dapat berlaku bagi mereka dengan alasan keberadaan dan pekerjaan mereka di wilayah Negara tujuan kerja, dengan memperhatikan bahwa mereka tidak memiliki tempat tinggal sehari-hari di Negara tersebut. 2. Negara tujuan kerja wajib mempertimbangkan dengan baik pemberian kepada para pekerja lintas-batas hak untuk secara bebas memilih aktivitas yang dibayar setelah jangka waktu tertentu. Pemberian hak tersebut tidak boleh memengaruhi status mereka sebagai pekerja lintas-batas. Pasal 59 1. Pekerja musiman, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2 ayat 2 (b) Konvensi ini, harus memiliki hak-hak yang ditentukan dalam bagian IV yang dapat berlaku bagi mereka dengan alasan keberadaan dan pekerjaan mereka di wilayah Negara tujuan kerja dan yang sesuai dengan status mereka di Negara tersebut sebagai pekerja musiman, dengan memperhatikan kenyataan bahwa
47
mereka berada di Negara tersebut hanya pada sebagian waktu dalam suatu tahun. 2. Dengan memperhatikan ayat 1 Pasal ini, Negara-Negara Pihak wajib mempertimbangkan pemberian kepada pekerja musiman yang telah dipekerjakan di wilayahnya dalam periode waktu yang signifikan, peluang untuk mengambil aktivitas yang dibayar lainnya dan memberikan mereka prioritas dari pada pekerja lain yang ingin masuk ke Negara tersebut, dengan tunduk pada perjanjian bilateral dan multilateral yang berlaku. Pasal 60 Pekerja keliling, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2 ayat 2 (e) Konvensi ini, harus memiliki hak-hak yang ditentukan dalam bagian IV yang dapat diberikan kepada mereka dengan alasan keberadaan dan pekerjaan mereka di wilayah Negara tujuan kerja dan yang sesuai dengan status mereka sebagai pekerja keliling di Negara tersebut. Pasal 61 1. Pekerja proyek, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2 ayat 2 (f) Konvensi ini, dan anggota keluarganya, harus memiliki hak-hak yang ditentukan dalam bagian IV, kecuali ketentuan pada Pasal 43 ayat 1 (b) dan (c), Pasal 43 ayat 1 (d), dalam hubungannya dengan skema perumahan sosial, Pasal 45 ayat 1(b) dan Pasal 52 sampai dengan 55. 2. Apabila seorang pekerja proyek menyatakan bahwa persyaratan dalam perjanjian kerjanya telah dilanggar oleh majikannya, ia harus memiliki hak untuk mengajukan hal tersebut kepada pejabat Negara yang berwenang yang mempunyai yurisdiksi atas majikan tersebut, berdasarkan ketentuan yang ditentukan dalam Pasal 18 ayat 1 Konvensi ini. 3. Negara-Negara Pihak, dengan tunduk pada perjanjianperjanjian bilateral dan multilateral yang berlaku bagi mereka, wajib berupaya agar para pekerja proyek tetap dilindungi secara
48
memadai oleh sistem jaminan sosial di Negara asal mereka atau di Negara tempat mereka tinggal sehari-hari selama keterlibatan dalam proyek tersebut. Negara-Negara Pihak yang bersangkutan wajib mengambil kebijakan yang tepat dengan tujuan untuk menghindari pengingkaran hak atau duplikasi pembayaran dalam hal ini. 4. Tanpa mengabaikan ketentuan Pasal 47 Kovensi ini dan perjanjian bilateral atau multilateral yang relevan, Negara-Negara Pihak yang bersangkutan wajib mengizinkan pembayaran pendapatan para pekerja proyek di Negara asal mereka atau Negara tempat mereka tinggal sehari-hari. Pasal 62 1. Pekerja dengan pekerjaan tertentu yang dijelaskan dalam Pasal 2 ayat 2 (g) Konvensi ini, harus memiliki hak-hak yang ditentukan dalam bagian IV, kecuali ketentuan dalam Pasal 43 ayat 1 (b) dan (c), Pasal 43 ayat 1 (d), dalam hubungannya dengan skema perumahan sosial, Pasal 52 dan Pasal 54 ayat 1 (d). 2. Anggota keluarga pekerja dengan pekerjaan tertentu harus memiliki hak yang terkait dengan anggota keluarga para pekerja migran sebagaimana ditentukan dalam bagian IV Konvensi ini, kecuali ketentuan dalam Pasal 53. Pasal 63 1. Pekerja mandiri sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2 ayat 2 (h) Konvensi ini, harus memiliki hak-hak yang ditentukan dalam bagian IV, kecuali hak-hak yang secara khusus berlaku bagi pekerja yang mempunyai perjanjian kerja. 2. Tanpa mengabaikan Pasal 52 dan 79 Konvensi ini, berhentinya aktivitas ekonomi dari pekerja mandiri tidak boleh dengan sendirinya berakibat dicabutnya izin bagi mereka dan anggota keluarganya untuk tinggal atau melakukan aktivitas yang dibayar di Negara tujuan kerja, kecuali apabila pemberian izin tinggal tersebut dengan jelas bergantung pada aktivitas khusus yang
49
dibayar yang menyebabkan mereka boleh memasuki Negara tersebut. BAGIAN VI Pemajuan kondisi yang baik, setara, manusiawi dan sah sehubungan dengan migrasi internasional para pekerja dan anggota keluarganya Pasal 64 1. Tanpa mengabaikan Pasal 79 Konvensi ini, Negara-Negara Pihak yang bersangkutan wajib, jika perlu, berkonsultasi dan bekerja sama dengan tujuan untuk memajukan kondisi yang baik, setara, dan manusiawi sehubungan dengan migrasi internasional dari para pekerja dan anggota keluarganya. 2. Dalam hal ini, perhatian yang sungguh-sungguh harus diberikan tidak hanya terhadap kebutuhan dan sumber daya pekerja, tetapi juga terhadap kebutuhan sosial, ekonomi, budaya dan kebutuhan lain dari pekerja migran dan anggota keluarganya yang terlibat, dan juga akibat-akibat migrasi semacam itu pada komunitas yang bersangkutan. Pasal 65 1. Negara-Negara Pihak wajib menyediakan pelayanan-pelayanan yang tepat untuk menangani masalah-masalah mengenai migrasi internasional para pekerja dan anggota keluarganya. Fungsi pelayanan ini mencakup, antara lain : (a) perumusan dan penerapan kebijakan mengenai migrasi semacam ini; (b) pertukaran informasi, konsultasi dan kerja sama dengan pejabat yang berwenang dari Negara-Negara Pihak lain yang terlibat dalam migrasi semacam ini;
50
(c) penyediaan informasi yang sesuai, khususnya bagi para majikan, pekerja dan organisasi mereka mengenai kebijakan, hukum dan peraturan yang berkenaan dengan migrasi dan pekerjaan, perjanjian yang telah dibuat dengan Negara lain mengenai migrasi dan hal lain yang relevan; (d) penyediaan informasi dan bantuan yang sesuai bagi para pekerja migran dan anggota keluarganya mengenai perizinan dan tata cara yang dipersyaratkan serta pengaturan keberangkatan, perjalanan, kedatangan, tempat tinggal, aktivitas yang dibayar, keluar dan kembali, juga mengenai kondisi kerja dan kehidupan di Negara tujuan kerja dan mengenai kepabeanan, nilai tukar uang, pajak serta hukum dan peraturan lain yang relevan. 2. Negara-Negara Pihak wajib memfasilitasi, jika perlu, penyediaan layanan konsuler dan lain-lain yang perlu untuk memenuhi kebutuhan sosial, budaya dan lain-lain dari para pekerja migran dan anggota keluarganya. Pasal 66 1. Dengan tunduk pada ayat 2 Pasal ini, hak untuk melakukan kegiatan dengan tujuan untuk merekrut pekerja-pekerja untuk bekerja di Negara lain harus dibatasi pada : (a) pelayanan umum atau badan-badan Negara dilakukannya kegiatan tersebut;
tempat
(b) pelayanan umum atau badan-badan Negara tujuan kerja berdasarkan perjanjian antara Negara-Negara yang bersangkutan; (c) sebuah badan yang dibentuk berdasarkan kesepakatan bilateral atau multilateral. 2. Dengan tunduk pada perizinan, persetujuan dan pengawasan oleh pejabat pemerintah dari Negara-Negara Pihak yang
51
bersangkutan sebagaimana dapat ditetapkan berdasarkan ketentuan hukum dan praktik di Negara-Negara tersebut, badanbadan, calon-calon majikan atau orang-orang yang bertindak atas nama mereka juga dapat diizinkan untuk melakukan kegiatan di atas. Pasal 67 1. Negara-Negara Pihak yang bersangkutan wajib bekerja sama, jika perlu, dalam menetapkan kebijakan mengenai kepulangan yang tertib para pekerja migran dan anggota keluarganya ke Negara asal apabila mereka memutuskan untuk pulang, atau jika izin tinggal atau izin kerja mereka telah habis masa berlakunya, atau jika mereka berada dalam situasi tak-reguler di Negara tujuan kerja. 2. Terkait para pekerja migran dan anggota keluarganya yang berada dalam situasi reguler, Negara-Negara Pihak yang bersangkutan wajib bekerja sama, jika perlu, berdasarkan persyaratan yang disepakati bersama oleh Negara-Negara tersebut, dengan tujuan untuk memajukan kondisi ekonomi bagi permukiman kembali mereka dan untuk memfasilitasi reintegrasi sosial dan budaya mereka secara berkesinambungan di Negara asal. Pasal 68 1. Negara-Negara Pihak, termasuk Negara transit, wajib bekerja sama dengan tujuan untuk mencegah dan menghapuskan pergerakan-pergerakan klandestin atau ilegal dan mempekerjakan pekerja migran dalam suatu situasi tak-reguler. Kebijakan yang diambil untuk tujuan ini yang berada dalam yurisdiksi setiap Negara yang bersangkutan, harus mencakup : (a) kebijakan yang tepat untuk menentang penyebarluasan informasi yang menyesatkan mengenai emigrasi dan imigrasi; (b) kebijakan untuk mendeteksi dan memberantas pergerakan klandestin atau ilegal para pekerja migran dan anggota
52
keluarganya dan untuk menjatuhkan sanksi yang efektif kepada orang-orang, kelompok atau entitas yang mengatur, melaksanakan, atau membantu dalam pengaturan atau pelaksanaan pergerakan tersebut; (c) kebijakan untuk menjatuhkan sanksi yang efektif kepada orang-orang, kelompok atau entitas yang menggunakan tindak kekerasan, ancaman atau intimidasi terhadap para pekerja migran dan anggota keluarganya yang berada dalam situasi takreguler; 2. Negara tujuan kerja wajib mengambil kebijakan yang memadai dan efektif untuk menghapuskan dipekerjakannya para pekerja migran dalam situasi tak-reguler di wilayah mereka, termasuk jika diperlukan, menjatuhkan sanksi kepada majikan mereka. Hak-hak pekerja migran vis-à-vis majikan mereka yang ditimbulkan dari pekerjaan tersebut tidak boleh dirugikan oleh kebijakan ini. Pasal 69 1. Negara-Negara Pihak wajib, apabila di wilayahnya terdapat pekerja migran dan anggota keluarganya yang berada dalam situasi tak-reguler, mengambil kebijakan yang tepat untuk memastikan bahwa situasi demikian tidak terus berlangsung. 2. Apabila Negara-Negara Pihak yang bersangkutan mempertimbangkan kemungkinan menjadikan situasi reguler orang-orang tersebut sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan perjanjian bilateral atau multilateral yang berlaku, pertimbangan yang tepat harus diambil terkait situasi masuknya mereka ke dalam Negara tersebut, lamanya mereka tinggal di Negara tujuan kerja, dan pertimbangan lain, khususnya yang berkenaan dengan situasi keluarga mereka. Pasal 70 Negara-Negara Pihak wajib mengambil kebijakan yang tidak kurang menguntungkan daripada yang diterapkan pada warga
53
negaranya untuk memastikan bahwa kondisi kerja dan kehidupan para pekerja migran dan anggota keluarganya yang berada dalam situasi reguler memenuhi standar kebugaran, keselamatan, kesehatan dan prinsip-prinsip martabat manusia. Pasal 71 1. Negara-Negara Pihak wajib memfasilitasi, jika perlu, pemulangan jenazah pekerja migran atau anggota keluarganya ke Negara asal. 2. Berkenaan dengan masalah kompensasi terkait dengan meninggalnya seorang pekerja migran atau anggota keluarganya, Negara-Negara Pihak wajib, jika perlu, menyediakan bantuan bagi orang-orang yang bersangkutan dengan tujuan untuk segera menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Penyelesaian masalah tersebut harus dilaksanakan berdasarkan hukum nasional yang berlaku sesuai dengan ketentuan dalam Konvensi ini dan perjanjian bilateral atau multilateral yang relevan. BAGIAN VII Penerapan konvensi Pasal 72 1. (a) Untuk tujuan kaji ulang penerapan Konvensi ini, akan dibentuk suatu Komite Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (selanjutnya disebut “Komite”); (b) Komite ini wajib terdiri atas sepuluh orang pakar pada saat Konvensi ini mulai berlaku efektif, dan menjadi empat belas orang pakar setelah Konvensi ini berlaku efektif terhadap negara ke-empat puluh satu, yang semuanya memiliki reputasi moral tinggi, tidak memihak, dan diakui kemampuannya pada bidang yang dicakup oleh Konvensi ini. 2. (a) Anggota Komite wajib dipilih melalui pemungutan suara rahasia oleh Negara-Negara Pihak dari daftar orang-orang yang
54
dicalonkan oleh Negara-Negara Pihak, dengan mempertimbangkan distribusi geografis yang setara, termasuk Negara asal dan Negara tujuan kerja, dan keterwakilan sistem hukum yang utama. Setiap Negara Pihak dapat mencalonkan satu orang di antara warga negaranya; (b) Anggota wajib dipilih dan wajib bertugas dalam kapasitas pribadi mereka. 3. Pemilihan pertama wajib diselenggarakan tidak lebih dari enam bulan setelah tanggal Konvensi ini berlaku efektif, dan pemilihan berikutnya dilakukan setiap tahun kedua. Sekurang-kurangnya empat bulan sebelum tanggal pemilihan, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa wajib mengirimkan surat kepada Negara-Negara Pihak, yang mengundang mereka untuk menyampaikan calon mereka dalam waktu dua bulan. Sekretaris Jenderal wajib menyiapkan daftar nama semua orang yang dicalonkan sesuai abjad, dengan menyebutkan Negara-Negara Pihak yang mencalonkan mereka, dan wajib menyampaikan daftar tersebut kepada Negara-Negara Pihak tidak lebih dari satu bulan sebelum tanggal pemilihan, bersama dengan daftar riwayat hidup orang-orang yang dicalonkan. 4. Pemilihan anggota Komite wajib diselenggarakan pada pertemuan Negara-Negara Pihak yang diselenggarakan oleh Sekretaris Jenderal di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada pertemuan tersebut, yang kuorumnya wajib dibentuk dengan dua per tiga dari seluruh Negara-Negara Pihak, calon-calon yang terpilih untuk menjadi anggota Komite adalah mereka yang memperoleh suara terbanyak dan mayoritas suara mutlak dari Negara-Negara Pihak yang hadir dan memilih. 5. (a) Anggota Komite wajib bertugas untuk masa jabatan empat tahun. Namun, masa jabatan untuk lima anggota yang terpilih pada pemilihan pertama akan berakhir setelah masa dua tahun; segera setelah pemilihan pertama, nama-nama kelima anggota
55
tersebut wajib dipilih melalui undian oleh Ketua pertemuan Negara-Negara Pihak; (b) Pemilihan empat anggota tambahan Komite wajib diselenggarakan sesuai dengan ketentuan ayat 2, 3, dan 4 Pasal ini, setelah Konvensi ini berlaku efektif terhadap Negara Pihak keempat puluh satu. Masa kerja dari dua anggota tambahan yang dipilih pada kesempatan ini akan berakhir pada masa dua tahun; nama-nama kedua anggota tersebut wajib dipilih melalui undian oleh Ketua Pertemuan Negara-Negara Pihak; (c) Anggota Komite berhak dipilih kembali apabila dicalonkan kembali. 6. Apabila seorang anggota Komite meninggal dunia atau mengundurkan diri atau menyatakan atas alasan lainnya bahwa ia tidak lagi dapat menjalankan tugas Komite, Negara-Negara Pihak yang mencalonkan pakar tersebut wajib menunjuk pakar lain di antara warga negaranya untuk sisa masa jabatan anggota tersebut. Penunjukan baru ini tunduk pada persetujuan Komite. 7. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa wajib menyediakan staf dan fasilitas yang diperlukan untuk pelaksanaan fungsi Komite secara efektif. 8. Anggota Komite harus menerima gaji dari sumber-sumber Perserikatan Bangsa-Bangsa sesuai dengan persyaratan dan ketentuan yang diputuskan oleh Majelis Umum. 9. Anggota Komite harus memiliki hak atas fasilitas, hak istimewa dan kekebalan sebagai pakar dalam misi Perserikatan BangsaBangsa sebagaimana ditetapkan dalam bagian-bagian yang relevan dalam Konvensi tentang Hak-Hak Istimewa dan Kekebalan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
56
Pasal 73 1. Negara-Negara Pihak berupaya untuk menyerahkan sebuah laporan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk dipertimbangkan oleh Komite mengenai kebijakan legislatif, yudisial, pemerintah, dan kebijakan lain yang telah diambil untuk melaksanakan ketentuan dalam Konvensi ini : (a) dalam waktu satu tahun setelah Kovensi ini berlaku efektif bagi Negara Pihak yang bersangkutan; (b) selanjutnya setiap lima tahun dan jika Komite memintanya. 2. Laporan yang disiapkan menurut Pasal ini harus menyebutkan faktor-faktor dan kesulitan-kesulitan, apabila ada, yang memengaruhi implementasi Konvensi ini dan harus mencakup informasi mengenai karakteristik arus migrasi yang Negara Pihak bersangkutan terlibat di dalamnya. 3. Komite wajib menetapkan pedoman lebih lanjut mengenai isi dari laporan tersebut. 4. Negara-Negara Pihak wajib menjadikan laporan-laporan mereka tersedia secara luas kepada publik di negaranya sendiri. Pasal 74 1. Komite wajib memeriksa laporan-laporan yang disampaikan oleh setiap Negara Pihak dan wajib menyampaikan komentarkomentar yang dianggap tepat kepada Negara Pihak yang bersangkutan. Negara Pihak ini dapat menyampaikan kepada Komite pengamatan-pengamatan terhadap segala komentar yang diberikan oleh Komite sesuai dengan Pasal ini. Komite dapat meminta informasi tambahan dari Negara-Negara Pihak ketika sedang mempertimbangkan laporan-laporan tersebut. 2. Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa wajib, dalam waktu yang tepat sebelum pembukaan setiap persidangan reguler Komite, menyampaikan kepada Direktur Jenderal Organisasi
57
Buruh Internasional salinan laporan yang disampaikan oleh Negara-Negara Pihak yang bersangkutan dan informasi yang relevan dengan pertimbangan laporan ini, untuk memungkinkan Organisasi tersebut membantu Komite dengan kepakaran yang dapat mereka berikan terkait dengan hal-hal yang ditangani oleh Konvensi ini yang masuk dalam cakupan kewenangan Organisasi Buruh Internasional. Komite wajib mempertimbangkan dalam pembahasannya komentar-komentar dan bahan-bahan yang dapat disediakan oleh Organisasi tersebut. 3. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa juga dapat, setelah berkonsultasi dengan Komite, menyampaikan kepada badan khusus lain dan kepada organisasi-organisasi antar-negara, salinan dari bagian-bagian laporan ini yang dianggap masuk dalam kewenangan badan dan organisasi tersebut. 4. Komite dapat mengundang badan dan organ khusus Perserikatan Bangsa Bangsa, dan organisasi antar-negara, serta badan terkait lain untuk menyampaikan, untuk dipertimbangkan oleh Komite, informasi tertulis mengenai hal yang ditangani Konvensi ini yang masuk dalam cakupan kegiatan mereka. 5. Organisasi Buruh Internasional wajib diundang oleh Komite untuk menunjuk perwakilannya untuk berpartisipasi, dalam kapasitas konsultasi, pada pertemuan-pertemuan Komite. 6. Komite dapat mengundang perwakilan badan dan organ khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa serta organisasi antar-negara, untuk hadir dan didengarkan dalam pertemuan, bilamana masalah yang menjadi cakupan kewenangan mereka tengah dipertimbangkan. 7. Komite wajib menyampaikan laporan tahunan pada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai penerapan Konvensi ini, yang berisi pertimbangan dan rekomendasinya sendiri, khususnya berdasarkan pemeriksaan laporan-laporan dan segala pengamatan yang disampaikan oleh Negara-Negara Pihak.
58
8. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa wajib menyampaikan laporan tahunan Komite kepada Negara-Negara Pihak Konvensi ini, Dewan Ekonomi dan Sosial, Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, Direktur Jenderal Organisasi Buruh Internasional dan organisasi terkait yang lain. Pasal 75 1. Komite wajib mengadopsi aturan-aturan prosedural mereka sendiri. 2. Komite wajib memilih pejabat-pejabatnya untuk masa jabatan dua tahun. 3. Komite, dalam keadaan normal, wajib melakukan pertemuan setiap tahun. 4. Pertemuan-pertemuan Komite, dalam keadaan normal, wajib diselenggarakan di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 76 1. Suatu Negara Pihak Konvensi ini sewaktu-waktu dapat mendeklarasikan berdasarkan Pasal ini bahwa ia mengakui kewenangan Komite untuk menerima dan mempertimbangkan komunikasi sehingga suatu Negara Pihak dapat menggugat Negara Pihak lain yang tidak memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi ini. Komunikasi yang dimaksud dalam Pasal ini dapat diterima dan dipertimbangkan hanya jika disampaikan oleh suatu Negara Pihak yang telah membuat deklarasi bahwa dirinya tunduk pada kewenangan Komite. Tidak satu pun komunikasi boleh diterima oleh Komite apabila hal tersebut berhubungan dengan Negara Pihak yang belum membuat deklarasi. Komunikasi yang diterima berdasarkan Pasal ini harus ditangani sesuai dengan prosedur sebagai berikut. (a) Apabila suatu Negara Pihak Konvensi ini beranggapan bahwa Negara Pihak lain tidak memenuhi kewajibannya dalam Konvensi ini, Negara Pihak tersebut dapat, melalui komunikasi
59
tertulis, membawa masalah tersebut untuk diperhatikan oleh Negara Pihak yang bersangkutan. Negara Pihak juga dapat memberitahukan Komite mengenai masalah ini. Dalam waktu tiga bulan setelah komunikasi tersebut diterima, Negara penerima wajib menyampaikan kepada Negara yang mengirimkan komunikasi sebuah penjelasan, atau pernyataan lain secara tertulis menerangkan masalah tersebut yang mencakup, sepanjang memungkinkan dan relevan, rujukan terhadap prosedur domestik dan penyelesaian yang ditempuh, tertunda, atau tersedia untuk masalah ini; (b) Apabila masalah tersebut tidak dapat diselesaikan secara memuaskan bagi kedua Negara Pihak yang bersangkutan dalam waktu enam bulan setelah komunikasi awal diterima oleh Negara penerima, Negara salah satunya harus memiliki hak untuk mengajukan masalah tersebut kepada Komite, dengan memberikan pemberitahuan kepada Komite dan Negara Pihak lain; (c) Komite wajib menangani masalah yang diajukan kepadanya hanya jika Komite telah memastikan bahwa semua penyelesaian domestik yang ada telah ditempuh dalam menangani masalah ini, sesuai dengan asas-asas hukum internasional yang diakui secara umum. Ketentuan ini tidak boleh berlaku apabila, menurut pandangan Komite, pelaksanaan upaya penyelesaian telah tertunda tanpa alasan; (d) Dengan tunduk pada ketentuan huruf (c) ayat ini, Komite harus menyediakan jasa-jasa baiknya bagi Negara-Negara Pihak yang berkepentingan dengan tujuan untuk menyelesaikan masalah ini secara bersahabat berdasarkan penghormatan pada kewajiban yang ditentukan dalam Konvensi ini; (e) Komite wajib menyelenggarakan pertemuan tertutup ketika memeriksa komunikasi-komunikasi berdasarkan Pasal ini; (f) Dalam setiap masalah yang diajukan kepada Komite sesuai dengan huruf (b) ayat ini, Komite dapat meminta Negara-
60
Negara Pihak yang bersangkutan, sebagaimana dimaksud dalam huruf (b), untuk memberikan informasi yang relevan; (g) Negara-Negara Pihak yang bersangkutan, sebagaimana dimaksud dalam huruf (b) ayat ini, harus memiliki hak untuk diwakili apabila masalahnya dipertimbangkan oleh Komite dan untuk menyampaikan pernyataan secara lisan dan/atau tulisan; (h) Dalam waktu dua belas bulan setelah tanggal penerimaan pemberitahuan berdasarkan huruf (b) ayat ini, Komite wajib menyampaikan laporan sebagai berikut : (i) Apabila suatu penyelesaian telah dicapai sesuai dengan ketentuan dalam huruf (d) ayat ini, Komite wajib membatasi laporannya pada keterangan singkat tentang fakta-fakta dan penyelesaian yang telah dicapai; (ii)Apabila suatu penyelesaian yang diatur dalam huruf (d) tidak tercapai, Komite dalam laporannya wajib memasukkan fakta-fakta yang relevan mengenai isu di antara NegaraNegara Pihak yang bersangkutan. Penyampaian tertulis dan rekaman penyampaian lisan dari Negara-Negara Pihak wajib dilampirkan pada laporan tersebut. Komite juga dapat mengkomunikasikan hanya kepada Negara-Negara Pihak yang bersangkutan pandangan-pandangan yang dianggapnya relevan dengan isu di antara mereka. Dalam setiap hal, laporan tersebut wajib dikomunikasikan kepada Negara-Negara Pihak yang bersangkutan. 2. Ketentuan dalam Pasal ini mulai berlaku efektif pada saat sepuluh Negara Pihak Konvensi ini telah membuat deklarasi berdasarkan ayat 1 Pasal ini. Pernyataan tersebut wajib disimpan oleh Negara Pihak pada Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa yang kemudian wajib meneruskan salinannya kepada Negara Pihak lain. Suatu deklarasi dapat ditarik sewaktu-waktu dengan menyampaikan pemberitahuan kepada Sekretaris Jenderal. Penarikan tersebut tidak boleh mengabaikan pertimbangan segala masalah yang menjadi isu dari komunikasi yang telah disampaikan berdasarkan Pasal ini; tidak satu pun komunikasi lanjutan oleh
61
Negara Pihak boleh diterima berdasarkan Pasal ini setelah pemberitahuan penarikan deklarasi diterima oleh Sekretaris Jenderal, kecuali apabila Negara Pihak yang bersangkutan telah membuat deklarasi baru. Pasal 77 1. Suatu Negara Pihak Konvensi ini dapat sewaktu-waktu mendeklarasikan berdasarkan Pasal ini bahwa ia mengakui kewenangan Komite untuk menerima dan mempertimbangkan komunikasi dari atau atas nama individu yang berada di bawah yurisdiksinya yang menggugat bahwa hak-hak individunya telah dilanggar oleh Negara Pihak sebagaimana ditentukan dalam Konvensi ini. Tidak satu pun komunikasi boleh diterima Komite apabila hal tersebut berkenaan dengan suatu Negara Pihak yang belum membuat deklarasi semacam itu. 2. Komite wajib menolak segala komunikasi berdasarkan Pasal ini apabila komunikasi tersebut tanpa nama, atau apabila Komite menganggapnya sebagai penyalahgunaan hak untuk menyampaikan komunikasi, atau apabila tidak sesuai dengan ketentuan Konvensi ini. 3. Komite tidak boleh mempertimbangkan segala komunikasi dari individu berdasarkan Pasal ini kecuali Komite telah memastikan bahwa : (a) masalah yang sama belum dan tidak sedang diperiksa berdasarkan prosedur penyelidikan atau penyelesaian internasional lain; (b) individu tersebut telah menggunakan seluruh upaya penyelesaian domestik yang ada; hal ini tidak boleh berlaku apabila, menurut pandangan Komite, pelaksanaan upaya pemulihan tersebut telah ditunda-tunda tanpa alasan atau tidak akan memberikan penyelesaian yang efektif bagi individu tersebut.
62
4. Dengan tunduk pada ketentuan ayat 2 Pasal ini, Komite wajib menyampaikan setiap komunikasi yang diajukan kepada Komite berdasarkan Pasal ini untuk diperhatikan oleh Negara Pihak Konvensi ini yang telah membuat deklarasi berdasarkan ayat 1 dan dituduh telah melanggar ketentuan Konvensi. Dalam waktu enam bulan, Negara penerima wajib menyampaikan kepada Komite suatu penjelasan atau pernyataan tertulis yang mengklarifikasi masalah tersebut dan upaya-upaya pemulihan, jika ada, yang telah dilakukan oleh Negara tersebut. 5. Komite wajib mempertimbangkan komunikasi yang diterima Komite berdasarkan Pasal ini berkenaan dengan semua informasi untuk Komite yang disediakan oleh atau atas nama individu dan oleh Negara Pihak yang bersangkutan. 6. Komite wajib menyelenggarakan pertemuan tertutup ketika memeriksa komunikasi-komunikasi menurut Pasal ini. 7. Komite wajib menyampaikan pandangan-pandangannya kepada Negara Pihak yang bersangkutan dan kepada individu. 8. Ketentuan dalam Pasal ini mulai berlaku efektif pada saat sepuluh Negara Pihak Konvensi ini telah membuat deklarasi berdasarkan ayat 1 dari Pasal ini. Deklarasi tersebut wajib disimpan oleh Negara-Negara Pihak pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa yang kemudian wajib meneruskan salinannya kepada Negara-Negara Pihak lain. Suatu deklarasi sewaktu-waktu dapat ditarik dengan menyampaikan pemberitahuan kepada Sekretaris Jenderal. Penarikan tersebut tidak boleh mengabaikan pertimbangan terhadap segala masalah yang menjadi isu dari komunikasi yang telah disampaikan berdasarkan Pasal ini; tidak satu pun komunikasi lanjutan oleh atau atas nama individu boleh diterima berdasarkan Pasal ini setelah pemberitahuan penarikan deklarasi diterima oleh Sekretaris Jenderal, kecuali apabila Negara Pihak tersebut telah membuat deklarasi baru.
63
Pasal 78 Ketentuan dalam Pasal 76 Konvensi ini wajib diterapkan tanpa mengabaikan prosedur untuk penyelesaian sengketa atau pengaduan dalam bidang yang dicakup oleh Konvensi ini yang tercantum pada instrumen yang menyertai, atau dalam Konvensi yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badanbadan khusus, dan tidak boleh mencegah Negara-Negara Pihak untuk memilih segala prosedur untuk menyelesaikan sengketa sesuai dengan perjanjian internasional yang berlaku efektif di antara mereka. BAGIAN VIII Ketentuan umum Pasal 79 Tidak satu pun ketentuan dalam Konvensi ini boleh memengaruhi hak setiap Negara Pihak untuk menetapkan kriteria yang mengatur penerimaan pekerja migran dan anggota keluarganya. Mengenai masalah lain berkenaan dengan situasi dan perlakuan hukum sebagai pekerja migran dan anggota keluarganya, Negara-Negara Pihak wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan yang dicantumkan dalam Konvensi ini. Pasal 80 Tidak satu pun ketentuan dalam Konvensi ini boleh ditafsirkan sedemikian rupa sehingga mengurangi ketentuan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan konstitusi dari badan-badan khusus yang menetapkan tanggung jawab masing-masing Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan khususnya, berkenaan dengan permasalahan yang diatur dalam Konvensi ini. Pasal 81 1. Tidak satu pun ketentuan dalam Konvensi ini boleh memengaruhi hak-hak atau kebebasan-kebebasan yang lebih baik yang diberikan kepada para pekerja migran dan anggota keluarganya dalam hal :
64
(a) hukum atau praktik di Negara Pihak; atau (b) segala perjanjian bilateral atau multilateral yang berlaku bagi Negara Pihak yang bersangkutan. 2. Tidak satu pun ketentuan dalam Konvensi ini dapat ditafsirkan sedemikian rupa sehingga menyiratkan bahwa suatu Negara, kelompok, atau individu mempunyai hak untuk melakukan aktivitas atau menjalankan tindakan yang dapat mengurangi hakhak dan kebebasan-kebebasan yang ditentukan dalam Konvensi ini. Pasal 82 Hak-hak para pekerja migran dan anggota keluarganya yang ditentukan dalam Konvensi ini tidak dapat dicabut. Tidak dibolehkan untuk melakukan segala bentuk tekanan terhadap para pekerja migran dan anggota keluarganya dengan maksud agar mereka melepaskan atau menghilangkan segala hak-hak di atas. Tidak dimungkinkan untuk mengurangi hak-hak yang diakui dalam Konvensi ini melalui perjanjian. Negara-Negara Pihak wajib mengambil kebijakan yang tepat untuk memastikan dihormatinya prinsip-prinsip ini. Pasal 83 Setiap Negara Pihak pada Konvensi ini berupaya : (a) untuk memastikan bahwa setiap orang yang hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, sebagaimana diakui dalam Konvensi ini, telah dilanggar, wajib mendapatkan upaya pemulihan yang efektif walaupun pelanggaran tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak dalam kapasitas resmi; (b) untuk memastikan bahwa setiap orang yang mencari upaya pemulihan tersebut, wajib agar gugatannya dikaji ulang dan diputuskan oleh pejabat pengadilan, pemerintah, atau legislatif yang berwenang, atau oleh pejabat berwenang lain yang ditetapkan oleh sistem hukum Negara tersebut, dan untuk mengembangkan kemungkinan pemulihan hukum;
65
(c) untuk menjamin bahwa pejabat yang berwenang tersebut wajib melaksanakan upaya-upaya pemulihan apabila dikabulkan. Pasal 84 Setiap Negara Pihak berupaya untuk mengambil kebijakan legislatif dan kebijakan lain yang diperlukan untuk menerapkan ketentuan dalam Konvensi ini. BAGIAN IX Ketentuan penutup Pasal 85 Sekretaris Jenderal Perserikatan sebagai penyimpan Konvensi ini.
Bangsa-Bangsa
ditetapkan
Pasal 86 1. Konvensi ini terbuka untuk ditandatangani oleh semua Negara. Konvensi ini tunduk pada ratifikasi. 2. Konvensi ini terbuka untuk diaksesi oleh setiap Negara. 3. Instrumen ratifikasi atau aksesi disimpan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 87 1. Konvensi ini mulai berlaku efektif di hari pertama pada bulan setelah periode tiga bulan sejak tanggal penyimpanan instrumen ratifikasi atau aksesi yang kedua puluh. 2. Bagi setiap Negara yang meratifikasi atau mengaksesi setelah Konvensi ini berlaku efektif, Konvensi ini mulai berlaku efektif di hari pertama pada bulan setelah periode tiga bulan sejak tanggal penyimpanan instrumen ratifikasi atau aksesinya.
66
Pasal 88 Suatu Negara yang meratifikasi atau mengaksesi Konvensi ini tidak dapat mengecualikan penerapan bagian mana pun dari Konvensi ini, atau tanpa mengabaikan Pasal 3, mengecualikan kategori tertentu dari pekerja migran dalam penerapannya. Pasal 89 1. Setiap Negara Pihak dapat menarik diri dari Konvensi ini, tidak lebih awal dari lima tahun sejak Konvensi ini mulai berlaku efektif di Negara yang bersangkutan melalui pemberitahuan tertulis yang ditujukan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. 2. Penarikan diri semacam itu mulai berlaku efektif di hari pertama pada bulan setelah periode dua belas bulan berakhir sejak tanggal penerimaan pemberitahuan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. 3. Penarikan diri semacam itu tidak akan melepaskan Negara Pihak dari kewajibannya berdasarkan Konvensi ini sehubungan dengan tindakan atau kelalaian yang terjadi sebelum tanggal penarikan diri berlaku efektif, dan penarikan diri ini tidak boleh mengabaikan dalam bentuk apa pun pertimbangan yang tengah berlangsung mengenai segala masalah yang sedang dipertimbangkan oleh Komite sebelum tanggal penarikan diri berlaku efektif. 4. Setelah tanggal penarikan diri suatu Negara Pihak berlaku efektif, Komite tidak boleh memulai pertimbangan masalah baru terkait dengan Negara tersebut. Pasal 90 1. Lima tahun setelah Konvensi ini berlaku efektif, Negara Pihak dapat mengusulkan perubahan Konvensi ini sewaktu-waktu melalui pemberitahuan tertulis yang ditujukan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sekretaris Jenderal kemudian wajib mengkomunikasikan segala usulan amendemen kepada Negara-Negara Pihak, dengan permintaan bahwa mereka
67
memberi tahu kepadanya apakah mereka menyetujui diadakannya Konferensi Negara Pihak dengan tujuan untuk mempertimbangkan dan melakukan pemungutan suara atas usulan tersebut. Jika dalam waktu empat bulan sejak diterimanya komunikasi tersebut sekurang-kurangnya sepertiga dari Negara-Negara Pihak menyetujui diadakannya konferensi itu, Sekretaris Jenderal wajib menyelenggarakan konferensi di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Setiap amendemen yang ditetapkan oleh mayoritas Negara Pihak yang hadir dan memiliki hak suara pada konferensi, wajib disampaikan kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mendapat persetujuan. 2. Amendemen akan mulai berlaku efektif apabila telah disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan diterima oleh dua pertiga mayoritas Negara Pihak, sesuai dengan proses konstitusi masing-masing. 3. Apabila amendemen telah berlaku efektif, amendemen tersebut akan mengikat Negara-Negara Pihak yang telah menerimanya, sedangkan Negara Pihak lain masih tetap terikat pada ketentuan dalam Konvensi ini dan amendemen-amendemen terdahulu yang telah mereka terima. Pasal 91 1. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa wajib menerima dan mengedarkan kepada semua Negara, naskah reservasi yang dibuat oleh Negara-Negara pada saat dilakukannya penandatanganan, ratifikasi, atau aksesi. 2. Suatu reservasi yang tidak sesuai dengan tujuan dan maksud Konvensi ini tidak diizinkan. 3. Reservasi dapat sewaktu-waktu ditarik kembali melalui suatu pemberitahuan yang disampaikan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang kemudian wajib menginformasikannya kepada semua Negara. Pemberitahuan semacam itu akan mulai berlaku pada tanggal saat diterima.
68
Pasal 92 1. Segala sengketa antara dua atau lebih Negara Pihak mengenai interprestasi atau penerapan Konvensi ini yang tidak dapat diselesaikan melalui negosiasi, atas permintaan salah satu dari mereka, wajib diajukan kepada arbitrase. Apabila dalam waktu enam bulan sejak tanggal diajukannya permohonan arbitrase tersebut para Pihak tidak dapat menyetujui pengaturan arbitrase, salah satu Pihak dapat merujuk kasus tersebut ke Mahkamah Internasional melalui permohonan yang sesuai dengan Statuta Mahkamah tersebut. 2. Setiap Negara Pihak pada saat penandatanganan atau ratifikasi atau aksesi Konvensi ini dapat mendeklarasikan bahwa ia tidak menganggap dirinya terikat oleh ayat 1 Pasal ini. Negara-Negara Pihak lain tidak boleh terikat dengan ayat tersebut dalam hubungannya dengan setiap Negara Pihak yang telah membuat deklarasi semacam itu. 3. Setiap Negara Pihak yang telah membuat deklarasi sesuai dengan ayat 2 Pasal ini dapat sewaktu-waktu menarik kembali deklarasi tersebut melalui pemberitahuan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 93 1. Konvensi ini, yang naskah-naskahnya dalam bahasa China, Inggris, Perancis, Rusia, dan Spanyol adalah sama-sama otentik, wajib disimpan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa. 2. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa wajib menyampaikan salinan resmi Konvensi ini kepada semua Negara. Dengan disaksikan oleh yang berkuasa penuh di bawah ini, dengan wewenang yang diberikan oleh Pemerintah masing-masing, telah menandatangani Konvensi ini.
69
International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families Adopted by General Assembly Resolution 45/158 of 18 December 1990 Preamble The States Parties to the present Convention, Taking into account the principles embodied in the basic instruments of the United Nations concerning human rights, in particular the Universal Declaration of Human Rights,1 the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights,2 the International Covenant on Civil and Political Rights,2 the International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination,3 the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women4 and the Convention on the Rights of the Child,5 Taking into account also the principles and standards set forth in the relevant instruments elaborated within the framework of the International Labour Organisation, especially the Convention concerning Migration for Employment (No. 97), the Convention concerning Migrations in Abusive Conditions and the Promotion of Equality of Opportunity and Treatment of Migrant Workers (No.143), the Recommendation concerning Migration for Employment (No. 86), the Recommendation concerning Migrant Workers (No.151), the Convention concerning Forced or Compulsory Labour (No. 29) and the Convention concerning Abolition of Forced Labour (No. 105),
Resolution 217 A (III). Resolution 2200 A (XXI), annex. 3 Resolution 2106 A (XX), annex. 4 Resolution 34/180, annex. 5 Resolution 44/25, annex. 1 2
70
Reaffirming the importance of the principles contained in the Convention against Discrimination in Education of the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization,6 Recalling the Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment,7 the Declaration of the Fourth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders,8 the Code of Conduct for Law Enforcement Officials,9 and the Slavery Conventions,10 Recalling that one of the objectives of the International Labour Organisation, as stated in its Constitution, is the protection of the interests of workers when employed in countries other than their own, and bearing in mind the expertise and experience of that organization in matters related to migrant workers and members of their families, Recognizing the importance of the work done in connection with migrant workers and members of their families in various organs of the United Nations, in particular in the Commission on Human Rights and the Commission for Social Development, and in the Food and Agriculture Organization of the United Nations, the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization and the World Health Organization, as well as in other international organizations, Recognizing also the progress made by certain States on a regional or bilateral basis towards the protection of the rights of migrant workers and members of their families, as well as the importance and usefulness of bilateral and multilateral agreements in this field, United Nations, Treaty Series, vol. 429, No. 6193 Resolution 39/46, annex. 8 See Fourth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, Kyoto, Japan, 17-26 August 1970: report prepared by the Secretariat (United Nations publication, Sales No. E.71.IV.8). 9 Resolution 34/169, annex. 10 See Human Rights: A Compilation of International Instruments (United Nations publication, Sales No. E.88.XIV.1). 6 7
71
Realizing the importance and extent of the migration phenomenon, which involves millions of people and affects a large number of States in the international community, Aware of the impact of the flows of migrant workers on States and people concerned, and desiring to establish norms which may contribute to the harmonization of the attitudes of States through the acceptance of basic principles concerning the treatment of migrant workers and members of their families, Considering the situation of vulnerability in which migrant workers and members of their families frequently-find themselves owing, among other things, to their absence from their State of origin and to the difficulties they may encounter arising from their presence in the State of employment, Convinced that the rights of migrant workers and members of their families have not been sufficiently recognized everywhere and therefore require appropriate international protection, Taking into account the fact that migration is often the cause of serious problems for the members of the families of migrant workers as well as for the workers themselves, in particular because of the scattering of the family, Bearing in mind that the human problems involved in migration are even more serious in the case of irregular migration and convinced therefore that appropriate action should be encouraged in order to prevent and eliminate clandestine movements and trafficking in migrant workers, while at the same time assuring the protection of their fundamental human rights, Considering that workers who are non-documented or in an irregular situation are frequently employed under less favourable conditions of work than other workers and that certain employers find this an inducement to seek such labour in order to reap the benefits of unfair competition, Considering also that recourse to the employment of migrant workers who are in an irregular situation will be discouraged if the fundamental human rights of all migrant workers are more widely 72
recognized and, moreover, that granting certain additional rights to migrant workers and members of their families in a regular situation will encourage all migrants and employers to respect and comply with the laws and procedures established by the States concerned, Convinced, therefore, of the need to bring about the international protection of the rights of all migrant workers and members of their families, reaffirming and establishing basic norms in a comprehensive convention which could be applied universally, Have agreed as follows: PART I Scope and definitions Article 1 1. The present Convention is applicable, except as otherwise provided hereafter, to all migrant workers and members of their families without distinction of any kind such as sex, race, colour, language, religion or conviction, political or other opinion, national, ethnic or social origin, nationality, age, economic position, property, marital status, birth or other status. 2. The present Convention shall apply during the entire migration process of migrant workers and members of their families, which comprises preparation for migration, departure, transit and the entire period of stay and remunerated activity in the State of employment as well as return to the State of origin or the State of habitual residence. Article 2 For the purposes of the present Convention: 1. The term "migrant worker" refers to a person who is to be engaged, is engaged or has been engaged in a remunerated activity in a State of which he or she is not a national.
73
2. (a) The term "frontier worker" refers to a migrant worker who retains his or her habitual residence in a neighbouring State to which he or she normally returns every day or at least once a week; (b) The term "seasonal worker" refers to a migrant worker whose work by its character is dependent on seasonal conditions and is performed only during part of the year; (c) The term "seafarer", which includes a fisherman, refers to a migrant worker employed on board a vessel registered in a State of which he or she is not a national; (d) The term "worker on an offshore installation" refers to a migrant worker employed on an offshore installation that is under the jurisdiction of a State of which he or she is not a national; (e) The term "itinerant worker'' refers to a migrant worker who, having his or her habitual residence in one State, has to travel to another State or States for short periods, owing to the nature of his or her occupation; (f) The term "project-tied worker" refers to a migrant worker admitted to a State of employment for a defined period to work solely on a specific project being carried out in that State by his or her employer; (g) The term "specified-employment worker" refers to a migrant worker : (i) Who has been sent by his or her employer for a restricted and defined period of time to a State of employment to undertake a specific assignment or duty; or (ii) Who engages for a restricted and defined period of time in work that requires professional, commercial, technical or other highly specialized skill; or (iii) Who, upon the request of his or her employer in the State of employment, engages for a restricted and defined period of time in work whose nature is transitory or brief; 74
and who is required to depart from the State of employment either at the expiration of his or her authorized period of stay, or earlier if he or she no longer undertakes that specific assignment or duty or engages in that work; (h) The term "self-employed worker" refers to a migrant worker who is engaged in a remunerated activity otherwise than under a contract of employment and who earns his or her living through this activity normally working alone or together with members of his or her family, and to any other migrant worker recognized as self-employed by applicable legislation of the State of employment or bilateral or multilateral agreements. Article 3 The present Convention shall not apply to : (a) Persons sent or employed by international organizations and agencies or persons sent or employed by a State outside its territory to perform official functions, whose admission and status are regulated by general international law or by specific international agreements or conventions; (b) Persons sent or employed by a State or on its behalf outside its territory who participate in development programmes and other co-operation programmes, whose admission and status are regulated by agreement with the State of employment and who, in accordance with that agreement, are not considered migrant workers; (c) Persons taking up residence in a State different from their State of origin as investors; (d) Refugees and stateless persons, unless such application is provided for in the relevant national legislation of, or international instruments in force for, the State Party concerned; (e) Students and trainees; (f) Seafarers and workers on an offshore installation who have not been admitted to take up residence and engage in a remunerated activity in the State of employment. 75
Article 4 For the purposes of the present Convention the term ''members of the family" refers to persons married to migrant workers or having with them a relationship that, according to applicable law, produces effects equivalent to marriage, as well as their dependent children and other dependent persons who are recognized as members of the family by applicable legislation or applicable bilateral or multilateral agreements between the States concerned. Article 5 For the purposes of the present Convention, migrant workers and members of their families : (a) Are considered as documented or in a regular situation if they are authorized to enter, to stay and to engage in a remunerated activity in the State of employment pursuant to the law of that State and to international agreements to which that State is a party; (b) Are considered as non-documented or in an irregular situation if they do not comply with the conditions provided for in subparagraph (a) of the present article. Article 6 For the purposes of the present Convention : (a) The term “State of origin" means the State of which the person concerned is a national; (b) The term “State of employment" means a State where the migrant worker is to be engaged, is engaged or has been engaged in a remunerated activity, as the case may be; (c) The term “State of transit” means any State through which the person concerned passes on any journey to the State of employment or from the State of employment to the State of origin or the State of habitual residence. 76
PART II Non-discrimination with respect to rights Article 7 States Parties undertake, in accordance with the international instruments concerning human rights, to respect and to ensure to all migrant workers and members of their families within their territory or subject to their jurisdiction the rights provided for in the present Convention without distinction of any kind such as sex, race, colour, language, religion or conviction, political or other opinion, national, ethnic or social origin, nationality, age, economic position, property, marital status, birth or other status. PART III Human rights of all migrant workers and members of their families Article 8 1. Migrant workers and members of their families shall be free to leave any State, including their State of origin. This right shall not be subject to any restrictions except those that are provided by law, are necessary to protect national security, public order (ordre public), public health or morals or the rights and freedoms of others and are consistent with the other rights recognized in the present part of the Convention. 2. Migrant workers and members of their families shall have the right at any time to enter and remain in their State of origin. Article 9 The right to life of migrant workers and members of their families shall be protected by law. Article 10 No migrant worker or member of his or her family shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment. 77
Article 11 1. No migrant worker or member of his or her family shall be held in slavery or servitude. 2. No migrant worker or member of his or her family shall be required to perform forced or compulsory labour. 3. Paragraph 2 of the present article shall not be held to preclude, in States where imprisonment with hard labour may be imposed as a punishment for a crime, the performance of hard labour in pursuance of a sentence to such punishment by a competent court. 4. For the purpose of the present article the term "forced or compulsory labour" shall not include : (a) Any work or service not referred to in paragraph 3 of the present article normally required of a person who is under detention in consequence of a lawful order of a court or of a person during conditional release from such detention; (b) Any service exacted in cases of emergency or calamity threatening the life or well-being of the community; (c) Any work or service that forms part of normal civil obligations so far as it is imposed also on citizens of the State concerned. Article 12 1. Migrant workers and members of their families shall have the right to freedom of thought, conscience and religion. This right shall include freedom to have or to adopt a religion or belief of their choice and freedom either individually or in community with others and in public or private to manifest their religion or belief in worship, observance, practice and teaching. 2. Migrant workers and members of their families shall not be subject to coercion that would impair their freedom to have or to adopt a religion or belief of their choice. 78
3. Freedom to manifest one's religion or belief may be subject only to such limitations as are prescribed by law and are necessary to protect public safety, order, health or morals or the fundamental rights and freedoms of others. 4. States Parties to the present Convention undertake to have respect for the liberty of parents, at least one of whom is a migrant worker, and, when applicable, legal guardians to ensure the religious and moral education of their children in conformity with their own convictions. Article 13 1. Migrant workers and members of their families shall have the right to hold opinions without interference. 2. Migrant workers and members of their families shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art or through any other media of their choice. 3. The exercise of the right provided for in paragraph 2 of the present article carries with it special duties and responsibilities. It may therefore be subject to certain restrictions, but these shall only be such as are provided by law and are necessary : (a) For respect of the rights or reputation of others; (b) For the protection of the national security of the States concerned or of public order (ordre public) or of public health or morals; (c) For the purpose of preventing any propaganda for war; (d) For the purpose of preventing any advocacy of national, racial or religious hatred that constitutes incitement to discrimination, hostility or violence. Article 14 No migrant worker or member of his or her family shall be subjected to arbitrary or unlawful interference with his or her 79
privacy, family, home, correspondence or other communications, or to unlawful attacks on his or her honour and reputation. Each migrant worker and member of his or her family shall have the right to the protection of the law against such interference or attacks. Article 15 No migrant worker or member of his or her family shall be arbitrarily deprived of property, whether owned individually or in association with others. Where, under the legislation in force in the State of employment, the assets of a migrant worker or a member of his or her family are expropriated in whole or in part, the person concerned shall have the right to fair and adequate compensation. Article 16 1. Migrant workers and members of their families shall have the right to liberty and security of person. 2. Migrant workers and members of their families shall be entitled to effective protection by the State against violence, physical injury, threats and intimidation, whether by public officials or by private individuals, groups or institutions. 3. Any verification by law enforcement officials of the identity of migrant workers or members of their families shall be carried out in accordance with procedures established by law. 4. Migrant workers and members of their families shall not be subjected individually or collectively to arbitrary arrest or detention; they shall not be deprived of their liberty except on such grounds and in accordance with such procedures as are established by law. 5. Migrant workers and members of their families who are arrested shall be informed at the time of arrest as far as possible in a language they understand of the reasons for their arrest and they shall be promptly informed in a language they understand of any charges against them. 80
6. Migrant workers and members of their families who are arrested or detained on a criminal charge shall be brought promptly before a judge or other officer authorized by law to exercise judicial power and shall be entitled to trial within a reasonable time or to release. It shall not be the general rule that while awaiting trial they shall be detained in custody, but release may be subject to guarantees to appear for trial, at any other stage of the judicial proceedings and, should the occasion arise, for the execution of the judgement. 7. When a migrant worker or a member of his or her family is arrested or committed to prison or custody pending trial or is detained in any other manner : (a) The consular or diplomatic authorities of his or her State of origin or of a State representing the interests of that State shall, if he or she so requests, be informed without delay of his or her arrest or detention and of the reasons therefor; (b) The person concerned shall have the right to communicate with the said authorities. Any communication by the person concerned to the said authorities shall be forwarded without delay, and he or she shall also have the right to receive communications sent by the said authorities without delay; (c) The person concerned shall be informed without delay of this right and of rights deriving from relevant treaties, if any, applicable between the States concerned, to correspond and to meet with representatives of the said authorities and to make arrangements with them for his or her legal representation. 8. Migrant workers and members of their families who are deprived of their liberty by arrest or detention shall be entitled to take proceedings before a court, in order that that court may decide without delay on the lawfulness of their detention and order their release if the detention is not lawful. When they attend such proceedings, they shall have the assistance, if necessary without cost to them, of an interpreter, if they cannot understand or speak the language used.
81
9. Migrant workers and members of their families who have been victims of unlawful arrest or detention shall have an enforceable right to compensation. Article 17 1. Migrant workers and members of their families who are deprived of their liberty shall be treated with humanity and with respect for the inherent dignity of the human person and for their cultural identity. 2. Accused migrant workers and members of their families shall, save in exceptional circumstances, be separated from convicted persons and shall be subject to separate treatment appropriate to their status as unconvicted persons. Accused juvenile persons shall be separated from adults and brought as speedily as possible for adjudication. 3. Any migrant worker or member of his or her family who is detained in a State of transit or in a State of employment for violation of provisions relating to migration, shall be held, in so far as practicable, separately from convicted persons or persons detained pending trial. 4. During any period of imprisonment in pursuance of a sentence imposed by a court of law, the essential aim of the treatment of a migrant worker or a member of his or her family shall be his or her reformation and social rehabilitation. Juvenile offenders shall be separated from adults and be accorded treatment appropriate to their age and legal status. 5. During detention or imprisonment, migrant workers and members of their families shall enjoy the same rights as nationals to visits by members of their families. 6. Whenever a migrant worker is deprived of his or her liberty, the competent authorities of the State concerned shall pay attention to the problems that may be posed for members of his or her family, in particular for spouses and minor children. 7. Migrant workers and members of their families who are subjected to any form of detention or imprisonment in accordance 82
with the law in force in the State of employment or in the State of transit shall enjoy the same rights as nationals of those States who are in the same situation. 8. If a migrant worker or a member of his or her family is detained for the purpose of verifying any infraction of provisions related to migration, he or she shall not bear any costs arising therefrom. Article 18 1. Migrant workers and members of their families shall have the right to equality with nationals of the State concerned before the courts and tribunals. In the determination of any criminal charge against them or of their rights and obligations in a suit of law, they shall be entitled to a fair and public hearing by a competent, independent and impartial tribunal established by law. 2. Migrant workers and members of their families who are charged with a criminal offence shall have the right to be presumed innocent until proven guilty according to law. 3. In the determination of any criminal charge against them, migrant workers and members of their families shall be entitled to the following minimum guarantees : (a) To be informed promptly and in detail in a language they understand of the nature and cause of the charge against them; (b) To have adequate time and facilities for the preparation of their defence and to communicate with counsel of their own choosing; (c) To be tried without undue delay; (d) To be tried in their presence and to defend themselves in person or through legal assistance of their own choosing; to be informed, if they do not have legal assistance, of this right; and to have legal assistance assigned to them, in any case where the interests of justice so require and without payment by them in any such case if they do not have sufficient means to pay; 83
(e) To examine or have examined the witnesses against them and to obtain the attendance and examination of witnesses on their behalf under the same conditions as witnesses against them; (f) To have the free assistance of an interpreter if they cannot understand or speak the language used in court; (g) Not to be compelled to testify against themselves or to confess guilt. 4. In the case of juvenile persons, the procedure shall be such as will take account of their age and the desirability of promoting their rehabilitation. 5. Migrant workers and members of their families convicted of a crime shall have the right to their conviction and sentence being reviewed by a higher tribunal according to law. 6. When a migrant worker or a member of his or her family has, by a final decision, been convicted of a criminal offence and when subsequently his or her conviction has been reversed or he or she has been pardoned on the ground that a new or newly discovered fact shows conclusively that there has been a miscarriage of justice, the person who has suffered punishment as a result of such conviction shall be compensated according to law, unless it is proved that the non-disclosure of the unknown fact in time is wholly or partly attributable to that person. 7. No migrant worker or member of his or her family shall be liable to be tried or punished again for an offence for which he or she has already been finally convicted or acquitted in accordance with the law and penal procedure of the State concerned. Article 19 1. No migrant worker or member of his or her family shall be held guilty of any criminal offence on account of any act or omission that did not constitute a criminal offence under national or international law at the time when the criminal offence was 84
committed, nor shall a heavier penalty be imposed than the one that was applicable at the time when it was committed. If, subsequent to the commission of the offence, provision is made by law for the imposition of a lighter penalty, he or she shall benefit thereby. 2. Humanitarian considerations related to the status of a migrant worker, in particular with respect to his or her right of residence or work, should be taken into account in imposing a sentence for a criminal offence committed by a migrant worker or a member of his or her family. Article 20 1. No migrant worker or member of his or her family shall be imprisoned merely on the ground of failure to fulfil a contractual obligation. 2. No migrant worker or member of his or her family shall be deprived of his or her authorization of residence or work permit or expelled merely on the ground of failure to fulfil an obligation arising out of a work contract unless fulfilment of that obligation constitutes a condition for such authorization or permit. Article 21 It shall be unlawful for anyone, other than a public official duly authorized by law, to confiscate, destroy or attempt to destroy identity documents, documents authorizing entry to or stay, residence or establishment in the national territory or work permits. No authorized confiscation of such documents shall take place without delivery of a detailed receipt. In no case shall it be permitted to destroy the passport or equivalent document of a migrant worker or a member of his or her family. Article 22 1. Migrant workers and members of their families shall not be subject to measures of collective expulsion. Each case of expulsion shall be examined and decided individually. 85
2. Migrant workers and members of their families may be expelled from the territory of a State Party only in pursuance of a decision taken by the competent authority in accordance with law. 3. The decision shall be communicated to them in a language they understand. Upon their request where not otherwise mandatory, the decision shall be communicated to them in writing and, save in exceptional circumstances on account of national security, the reasons for the decision likewise stated. The persons concerned shall be informed of these rights before or at the latest at the time the decision is rendered. 4. Except where a final decision is pronounced by a judicial authority, the person concerned shall have the right to submit the reason he or she should not be expelled and to have his or her case reviewed by the competent authority, unless compelling reasons of national security require otherwise. Pending such review, the person concerned shall have the right to seek a stay of the decision of expulsion. 5. If a decision of expulsion that has already been executed is subsequently annulled, the person concerned shall have the right to seek compensation according to law and the earlier decision shall not be used to prevent him or her from re-entering the State concerned. 6. In case of expulsion, the person concerned shall have a reasonable opportunity before or after departure to settle any claims for wages and other entitlements due to him or her and any pending liabilities. 7. Without prejudice to the execution of a decision of expulsion, a migrant worker or a member of his or her family who is subject to such a decision may seek entry into a State other than his or her State of origin. 8. In case of expulsion of a migrant worker or a member of his or her family the costs of expulsion shall not be borne by him or her. The person concerned may be required to pay his or her own travel costs. 86
9. Expulsion from the State of employment shall not in itself prejudice any rights of a migrant worker or a member of his or her family acquired in accordance with the law of that State, including the right to receive wages and other entitlements due to him or her. Article 23 Migrant workers and members of their families shall have the right to have recourse to the protection and assistance of the consular or diplomatic authorities of their State of origin or of a State representing the interests of that State whenever the rights recognized in the present Convention are impaired. In particular, in case of expulsion, the person concerned shall be informed of this right without delay and the authorities of the expelling State shall facilitate the exercise of such right. Article 24 Every migrant worker and every member of his or her family shall have the right to recognition everywhere as a person before the law. Article 25 1. Migrant workers shall enjoy treatment not less favourable than that which applies to nationals of the State of employment in respect of remuneration and : (a) Other conditions of work, that is to say, overtime, hours of work, weekly rest, holidays with pay, safety, health, termination of the employment relationship and any other conditions of work which, according to national law and practice, are covered by this term; (b) Other terms of employment, that is to say, minimum age of employment, restriction on home work and any other matters which, according to national law and practice, are considered a term of employment.
87
2. It shall not be lawful to derogate in private contracts of employment from the principle of equality of treatment referred to in paragraph 1 of the present article. 3. States Parties shall take all appropriate measures to ensure that migrant workers are not deprived of any rights derived from this principle by reason of any irregularity in their stay or employment. In particular, employers shall not be relieved of any legal or contractual obligations, nor shall their obligations be limited in any manner by reason of such irregularity. Article 26 1. States Parties recognize the right of migrant workers and members of their families : (a) To take part in meetings and activities of trade unions and of any other associations established in accordance with law, with a view to protecting their economic, social, cultural and other interests, subject only to the rules of the organization concerned; (b) To join freely any trade union and any such association as aforesaid, subject only to the rules of the organization concerned; (c) To seek the aid and assistance of any trade union and of any such association as aforesaid. 2. No restrictions may be placed on the exercise of these rights other than those that are prescribed by law and which are necessary in a democratic society in the interests of national security, public order (ordre public) or the protection of the rights and freedoms of others. Article 27 1. With respect to social security, migrant workers and members of their families shall enjoy in the State of employment the same treatment granted to nationals in so far as they fulfil the
88
requirements provided for by the applicable legislation of that State and the applicable bilateral and multilateral treaties. The competent authorities of the State of origin and the State of employment can at any time establish the necessary arrangements to determine the modalities of application of this norm. 2. Where the applicable legislation does not allow migrant workers and members of their families a benefit, the States concerned shall examine the possibility of reimbursing interested persons the amount of contributions made by them with respect to that benefit on the basis of the treatment granted to nationals who are in similar circumstances. Article 28 Migrant workers and members of their families shall have the right to receive any medical care that is urgently required for the preservation of their life or the avoidance of irreparable harm to their health on the basis of equality of treatment with nationals of the State concerned. Such emergency medical care shall not be refused them by reason of any irregularity with regard to stay or employment. Article 29 Each child of a migrant worker shall have the right to a name, to registration of birth and to a nationality. Article 30 Each child of a migrant worker shall have the basic right of access to education on the basis of equality of treatment with nationals of the State concerned. Access to public pre-school educational institutions or schools shall not be refused or limited by reason of the irregular situation with respect to stay or employment of either parent or by reason of the irregularity of the child's stay in the State of employment. Article 31 1. States Parties shall ensure respect for the cultural identity of migrant workers and members of their families and shall not 89
prevent them from maintaining their cultural links with their State of origin. 2. States Parties may take appropriate measures to assist and encourage efforts in this respect. Article 32 Upon the termination of their stay in the State of employment, migrant workers and members of their families shall have the right to transfer their earnings and savings and, in accordance with the applicable legislation of the States concerned, their personal effects and belongings. Article 33 1. Migrant workers and members of their families shall have the right to be informed by the State of origin, the State of employment or the State of transit as the case may be concerning : (a) Their rights arising out of the present Convention; (b) The conditions of their admission, their rights and obligations under the law and practice of the State concerned and such other matters as will enable them to comply with administrative or other formalities in that State. 2. States Parties shall take all measures they deem appropriate to disseminate the said information or to ensure that it is provided by employers, trade unions or other appropriate bodies or institutions. As appropriate, they shall co-operate with other States concerned. 3. Such adequate information shall be provided upon request to migrant workers and members of their families, free of charge, and, as far as possible, in a language they are able to understand. Article 34 Nothing in the present part of the Convention shall have the effect of relieving migrant workers and the members of their families from either the obligation to comply with the laws and regulations 90
of any State of transit and the State of employment or the obligation to respect the cultural identity of the inhabitants of such States. Article 35 Nothing in the present part of the Convention shall be interpreted as implying the regularization of the situation of migrant workers or members of their families who are non-documented or in an irregular situation or any right to such regularization of their situation, nor shall it prejudice the measures intended to ensure sound and equitable-conditions for international migration as provided in part VI of the present Convention. PART IV Other rights of migrant workers and members of their families who are documented or in a regular situation Article 36 Migrant workers and members of their families who are documented or in a regular situation in the State of employment shall enjoy the rights set forth in the present part of the Convention in addition to those set forth in part III. Article 37 Before their departure, or at the latest at the time of their admission to the State of employment, migrant workers and members of their families shall have the right to be fully informed by the State of origin or the State of employment, as appropriate, of all conditions applicable to their admission and particularly those concerning their stay and the remunerated activities in which they may engage as well as of the requirements they must satisfy in the State of employment and the authority to which they must address themselves for any modification of those conditions. Article 38 1. States of employment shall make every effort to authorize migrant workers and members of the families to be temporarily 91
absent without effect upon their authorization to stay or to work, as the case may be. In doing so, States of employment shall take into account the special needs and obligations of migrant workers and members of their families, in particular in their States of origin. 2. Migrant workers and members of their families shall have the right to be fully informed of the terms on which such temporary absences are authorized. Article 39 1. Migrant workers and members of their families shall have the right to liberty of movement in the territory of the State of employment and freedom to choose their residence there. 2. The rights mentioned in paragraph 1 of the present article shall not be subject to any restrictions except those that are provided by law, are necessary to protect national security, public order (ordre public), public health or morals, or the rights and freedoms of others and are consistent with the other rights recognized in the present Convention. Article 40 1. Migrant workers and members of their families shall have the right to form associations and trade unions in the State of employment for the promotion and protection of their economic, social, cultural and other interests. 2. No restrictions may be placed on the exercise of this right other than those that are prescribed by law and are necessary in a democratic society in the interests of national security, public order (ordre public) or the protection of the rights and freedoms of others. Article 41 1. Migrant workers and members of their families shall have the right to participate in public affairs of their State of origin and to vote and to be elected at elections of that State, in accordance with its legislation. 92
2. The States concerned shall, as appropriate and in accordance with their legislation, facilitate the exercise of these rights. Article 42 1. States Parties shall consider the establishment of procedures or institutions through which account may be taken, both in States of origin and in States of employment, of special needs, aspirations and obligations of migrant workers and members of their families and shall envisage, as appropriate, the possibility for migrant workers and members of their families to have their freely chosen representatives in those institutions. 2. States of employment shall facilitate, in accordance with their national legislation, the consultation or participation of migrant workers and members of their families in decisions concerning the life and administration of local communities. 3. Migrant workers may enjoy political rights in the State of employment if that State, in the exercise of its sovereignty, grants them such rights. Article 43 1. Migrant workers shall enjoy equality of treatment with nationals of the State of employment in relation to : (a) Access to educational institutions and services subject to the admission requirements and other regulations of the institutions and services concerned; (b) Access to vocational guidance and placement services; (c) Access to vocational training and retraining facilities and institutions; (d) Access to housing, including social housing schemes, and protection against exploitation in respect of rents; (e) Access to social and health services, provided that the requirements for participation in the respective schemes are met; 93
(f) Access to co-operatives and self-managed enterprises, which shall not imply a change of their migration status and shall be subject to the rules and regulations of the bodies concerned; (g) Access to and participation in cultural life. 2. States Parties shall promote conditions to ensure effective equality of treatment to enable migrant workers to enjoy the rights mentioned in paragraph 1 of the present article whenever the terms of their stay, as authorized by the State of employment, meet the appropriate requirements. 3. States of employment shall not prevent an employer of migrant workers from establishing housing or social or cultural facilities for them. Subject to article 70 of the present Convention, a State of employment may make the establishment of such facilities subject to the requirements generally applied in that State concerning their installation. Article 44 1. States Parties, recognizing that the family is the natural and fundamental group unit of society and is entitled to protection by society and the State, shall take appropriate measures to ensure the protection of the unity of the families of migrant workers. 2. States Parties shall take measures that they deem appropriate and that fall within their competence to facilitate the reunification of migrant workers with their spouses or persons who have with the migrant worker a relationship that, according to applicable law, produces effects equivalent to marriage, as well as with their minor dependent unmarried children. 3. States of employment, on humanitarian grounds, shall favourably consider granting equal treatment, as set forth in paragraph 2 of the present article, to other family members of migrant workers.
94
Article 45 1. Members of the families of migrant workers shall, in the State of employment, enjoy equality of treatment with nationals of that State in relation to : (a) Access to educational institutions and services, subject to the admission requirements and other regulations of the institutions and services concerned; (b) Access to vocational guidance and training institutions and services, provided that requirements for participation are met; (c) Access to social and health services, provided that requirements for participation in the respective schemes are met; (d) Access to and participation in cultural life. 2. States of employment shall pursue a policy, where appropriate in collaboration with the States of origin, aimed at facilitating the integration of children of migrant workers in the local school system, particularly in respect of teaching them the local language. 3. States of employment shall endeavour to facilitate for the children of migrant workers the teaching of their mother tongue and culture and, in this regard, States of origin shall collaborate whenever appropriate. 4. States of employment may provide special schemes of education in the mother tongue of children of migrant workers, if necessary in collaboration with the States of origin. Article 46 Migrant workers and members of their families shall, subject to the applicable legislation of the States concerned, as well as relevant international agreements and the obligations of the States concerned arising out of their participation in customs unions, enjoy exemption from import and export duties and taxes in respect of their personal and household effects as well as the equipment necessary to engage in the remunerated activity for which they were admitted to the State of employment : 95
(a) Upon departure from the State of origin or State of habitual residence; (b) Upon initial admission to the State of employment; (c) Upon final departure from the State of employment; (d) Upon final return to the State of origin or State of habitual residence. Article 47 1. Migrant workers shall have the right to transfer their earnings and savings, in particular those funds necessary for the support of their families, from the State of employment to their State of origin or any other State. Such transfers shall be made in conformity with procedures established by applicable legislation of the State concerned and in conformity with applicable international agreements. 2. States concerned shall take appropriate measures to facilitate such transfers. Article 48 1. Without prejudice to applicable double taxation agreements, migrant workers and members of their families shall, in the matter of earnings in the State of employment : (a) Not be liable to taxes, duties or charges of any description higher or more onerous than those imposed on nationals in similar circumstances; (b) Be entitled to deductions or exemptions from taxes of any description and to any tax allowances applicable to nationals in similar circumstances, including tax allowances for dependent members of their families. 2. States Parties shall endeavour to adopt appropriate measures to avoid double taxation of the earnings and savings of migrant workers and members of their families. 96
Article 49 1. Where separate authorizations to reside and to engage in employment are required by national legislation, the States of employment shall issue to migrant workers authorization of residence for at least the same period of time as their authorization to engage in remunerated activity. 2. Migrant workers who in the State of employment are allowed freely to choose their remunerated activity shall neither be regarded as in an irregular situation nor shall they lose their authorization of residence by the mere fact of the termination of their remunerated activity prior to the expiration of their work permits or similar authorizations. 3. In order to allow migrant workers referred to in paragraph 2 of the present article sufficient time to find alternative remunerated activities, the authorization of residence shall not be withdrawn at least for a period corresponding to that during which they may be entitled to unemployment benefits. Article 50 1. In the case of death of a migrant worker or dissolution of marriage, the State of employment shall favourably consider granting family members of that migrant worker residing in that State on the basis of family reunion an authorization to stay; the State of employment shall take into account the length of time they have already resided in that State. 2. Members of the family to whom such authorization is not granted shall be allowed before departure a reasonable period of time in order to enable them to settle their affairs in the State of employment. 3. The provisions of paragraphs 1 and 2 of the present article may not be interpreted as adversely affecting any right to stay and work otherwise granted to such family members by the legislation of the State of employment or by bilateral and multilateral treaties applicable to that State. 97
Article 51 Migrant workers who in the State of employment are not permitted freely to choose their remunerated activity shall neither be regarded as in an irregular situation nor shall they lose their authorization of residence by the mere fact of the termination of their remunerated activity prior to the expiration of their work permit, except where the authorization of residence is expressly dependent upon the specific remunerated activity for which they were admitted. Such migrant workers shall have the right to seek alternative employment, participation in public work schemes and retraining during the remaining period of their authorization to work, subject to such conditions and limitations as are specified in the authorization to work. Article 52 1. Migrant workers in the State of employment shall have the right freely to choose their remunerated activity, subject to the following restrictions or conditions. 2. For any migrant worker a State of employment may : (a) Restrict access to limited categories of employment, functions, services or activities where this is necessary in the interests of this State and provided for by national legislation; (b) Restrict free choice of remunerated activity in accordance with its legislation concerning recognition of occupational qualifications acquired outside its territory. However, States Parties concerned shall endeavour to provide for recognition of such qualifications. 3. For migrant workers whose permission to work is limited in time, a State of employment may also : (a) Make the right freely to choose their remunerated activities subject to the condition that the migrant worker has resided 98
lawfully in its territory for the purpose of remunerated activity for a period of time prescribed in its national legislation that should not exceed two years; (b) Limit access by a migrant worker to remunerated activities in pursuance of a policy of granting priority to its nationals or to persons who are assimilated to them for these purposes by virtue of legislation or bilateral or multilateral agreements. Any such limitation shall cease to apply to a migrant worker who has resided lawfully in its territory for the purpose of remunerated activity for a period of time prescribed in its national legislation that should not exceed five years. 4. States of employment shall prescribe the conditions under which a migrant worker who has been admitted to take up employment may be authorized to engage in work on his or her own account. Account shall be taken of the period during which the worker has already been lawfully in the State of employment. Article 53 1. Members of a migrant worker's family who have themselves an authorization of residence or admission that is without limit of time or is automatically renewable shall be permitted freely to choose their remunerated activity under the same conditions as are applicable to the said migrant worker in accordance with article 52 of the present Convention. 2. With respect to members of a migrant worker's family who are not permitted freely to choose their remunerated activity, States Parties shall consider favourably granting them priority in obtaining permission to engage in a remunerated activity over other workers who seek admission to the State of employment, subject to applicable bilateral and multilateral agreements. Article 54 1. Without prejudice to the terms of their authorization of residence or their permission to work and the rights provided for 99
in articles 25 and 27 of the present Convention, migrant workers shall enjoy equality of treatment with nationals of the State of employment in respect of : (a) Protection against dismissal; (b) Unemployment benefits; (c) Access to public work schemes intended to combat unemployment; (d) Access to alternative employment in the event of loss of work or termination of other remunerated activity, subject to article 52 of the present Convention. 2. If a migrant worker claims that the terms of his or her work contract have been violated by his or her employer, he or she shall have the right to address his or her case to the competent authorities of the State of employment, on terms provided for in article 18, paragraph 1, of the present Convention. Article 55 Migrant workers who have been granted permission to engage in a remunerated activity, subject to the conditions attached to such permission, shall be entitled to equality of treatment with nationals of the State of employment in the exercise of that remunerated activity. Article 56 1. Migrant workers and members of their families referred to in the present part of the Convention may not be expelled from a State of employment, except for reasons defined in the national legislation of that State, and subject to the safeguards established in part III. 2. Expulsion shall not be resorted to for the purpose of depriving a migrant worker or a member of his or her family of the rights arising out of the authorization of residence and the work permit. 100
3. In considering whether to expel a migrant worker or a member of his or her family, account should be taken of humanitarian considerations and of the length of time that the person concerned has already resided in the State of employment. PART V Provisions applicable to particular categories of migrant workers and members of their families Article 57 The particular categories of migrant workers and members of their families specified in the present part of the Convention who are documented or in a regular situation shall enjoy the rights set forth in part III and, except as modified below, the rights set forth in part IV. Article 58 1. Frontier workers, as defined in article 2, paragraph 2 (a), of the present Convention, shall be entitled to the rights provided for in part IV that can be applied to them by reason of their presence and work in the territory of the State of employment, taking into account that they do not have their habitual residence in that State. 2. States of employment shall consider favourably granting frontier workers the right freely to choose their remunerated activity after a specified period of time. The granting of that right shall not affect their status as frontier workers. Article 59 1. Seasonal workers, as defined in article 2, paragraph 2 (b), of the present Convention, shall be entitled to the rights provided for in part IV that can be applied to them by reason of their presence and work in the territory of the State of employment and that are compatible with their status in that State as seasonal workers,
101
taking into account the fact that they are present in that State for only part of the year. 2. The State of employment shall, subject to paragraph 1 of the present article, consider granting seasonal workers who have been employed in its territory for a significant period of time the possibility of taking up other remunerated activities and giving them priority over other workers who seek admission to that State, subject to applicable bilateral and multilateral agreements. Article 60 Itinerant workers, as defined in article 2, paragraph 2 (e), of the present Convention, shall be entitled to the rights provided for in part IV that can be granted to them by reason of their presence and work in the territory of the State of employment and that are compatible with their status as itinerant workers in that State. Article 61 1. Project-tied workers, as defined in article 2, paragraph 2 (f), of the present Convention, and members of their families shall be entitled to the rights provided for in part IV except the provisions of article 43, paragraphs I (b) and (c), article 43, paragraph I (d), as it pertains to social housing schemes, article 45, paragraph 1 (b), and articles 52 to 55. 2. If a project-tied worker claims that the terms of his or her work contract have been violated by his or her employer, he or she shall have the right to address his or her case to the competent authorities of the State which has jurisdiction over that employer, on terms provided for in article 18, paragraph 1, of the present Convention. 3. Subject to bilateral or multilateral agreements in force for them, the States Parties concerned shall endeavour to enable project-tied workers to remain adequately protected by the social security systems of their States of origin or habitual residence during their engagement in the project. States Parties concerned shall take 102
appropriate measures with the aim of avoiding any denial of rights or duplication of payments in this respect. 4. Without prejudice to the provisions of article 47 of the present Convention and to relevant bilateral or multilateral agreements, States Parties concerned shall permit payment of the earnings of project-tied workers in their State of origin or habitual residence. Article 62 1. Specified-employment workers as defined in article 2, paragraph 2 (g), of the present Convention, shall be entitled to the rights provided for in part IV, except the provisions of article 43, paragraphs I (b) and (c), article 43, paragraph I (d), as it pertains to social housing schemes, article 52, and article 54, paragraph 1 (d). 2. Members of the families of specified-employment workers shall be entitled to the rights relating to family members of migrant workers provided for in part IV of the present Convention, except the provisions of article 53. Article 63 1. Self-employed workers, as defined in article 2, paragraph 2 (h), of the present Convention , shall be entitled to the rights provided for in part IV with the exception of those rights which are exclusively applicable to workers having a contract of employment. 2. Without prejudice to articles 52 and 79 of the present Convention, the termination of the economic activity of the selfemployed workers shall not in itself imply the withdrawal of the authorization for them or for the members of their families to stay or to engage in a remunerated activity in the State of employment except where the authorization of residence is expressly dependent upon the specific remunerated activity for which they were admitted.
103
PART VI Promotion of sound, equitable, humane and lawful conditions in connection with international migration of workers and members of their families Article 64 1. Without prejudice to article 79 of the present Convention, the States Parties concerned shall as appropriate consult and cooperate with a view to promoting sound, equitable and humane conditions in connection with international migration of workers and members of their families. 2. In this respect, due regard shall be paid not only to labour needs and resources, but also to the social, economic, cultural and other needs of migrant workers and members of their families involved, as well as to the consequences of such migration for the communities concerned. Article 65 1. States Parties shall maintain appropriate services to deal with questions concerning international migration of workers and members of their families. Their functions shall include, inter alia : (a) The formulation and implementation of policies regarding such migration; (b) An exchange of information, consultation and co-operation with the competent authorities of other States Parties involved in such migration; (c) The provision of appropriate information, particularly to employers, workers and their organizations on policies, laws and regulations relating to migration and employment, on agreements concluded with other States concerning migration and on other relevant matters; (d) The provision of information and appropriate assistance to migrant workers and members of their families regarding requisite authorizations and formalities and arrangements for 104
departure, travel, arrival, stay, remunerated activities, exit and return, as well as on conditions of work and life in the State of employment and on customs, currency, tax and other relevant laws and regulations. 2. States Parties shall facilitate as appropriate the provision of adequate consular and other services that are necessary to meet the social, cultural and other needs of migrant workers and members of their families. Article 66 1. Subject to paragraph 2 of the present article, the right to undertake operations with a view to the recruitment of workers for employment in another State shall be restricted to : (a) Public services or bodies of the State in which such operations take place; (b) Public services or bodies of the State of employment on the basis of agreement between the States concerned; (c) A body established by virtue of a bilateral or multilateral agreement. 2. Subject to any authorization, approval and supervision by the public authorities of the States Parties concerned as may be established pursuant to the legislation and practice of those States, agencies, prospective employers or persons acting on their behalf may also be permitted to undertake the said operations. Article 67 1. States Parties concerned shall co-operate as appropriate in the adoption of measures regarding the orderly return of migrant workers and members of their families to the State of origin when they decide to return or their authorization of residence or employment expires or when they are in the State of employment in an irregular situation. 2. Concerning migrant workers and members of their families in a regular situation, States Parties concerned shall co-operate as 105
appropriate, on terms agreed upon by those States, with a view to promoting adequate economic conditions for their resettlement and to facilitating their durable social and cultural reintegration in the State of origin. Article 68 1. States Parties, including States of transit, shall collaborate with a view to preventing and eliminating illegal or clandestine movements and employment of migrant workers in an irregular situation. The measures to be taken to this end within the jurisdiction of each State concerned shall include : (a) Appropriate measures against the dissemination of misleading information relating to emigration and immigration; (b) Measures to detect and eradicate illegal or clandestine movements of migrant workers and members of their families and to impose effective sanctions on persons, groups or entities which organize, operate or assist in organizing or operating such movements; (c) Measures to impose effective sanctions on persons, groups or entities which use violence, threats or intimidation against migrant workers or members of their families in an irregular situation. 2. States of employment shall take all adequate and effective measures to eliminate employment in their territory of migrant workers in an irregular situation, including, whenever appropriate, sanctions on employers of such workers. The rights of migrant workers vis-à-vis their employer arising from employment shall not be impaired by these measures. Article 69 1. States Parties shall, when there are migrant workers and members of their families within their territory in an irregular situation, take appropriate measures to ensure that such a situation does not persist. 106
2. Whenever States Parties concerned consider the possibility of regularizing the situation of such persons in accordance with applicable national legislation and bilateral or multilateral agreements, appropriate account shall be taken of the circumstances of their entry, the duration of their stay in the States of employment and other relevant considerations, in particular those relating to their family situation. Article 70 States Parties shall take measures not less favourable than those applied to nationals to ensure that working and living conditions of migrant workers and members of their families in a regular situation are in keeping with the standards of fitness, safety, health and principles of human dignity. Article 71 1. States Parties shall facilitate, whenever necessary, the repatriation to the State of origin of the bodies of deceased migrant workers or members of their families. 2. As regards compensation matters relating to the death of a migrant worker or a member of his or her family, States Parties shall, as appropriate, provide assistance to the persons concerned with a view to the prompt settlement of such matters. Settlement of these matters shall be carried out on the basis of applicable national law in accordance with the provisions of the present Convention and any relevant bilateral or multilateral agreements. PART VII Application of the convention Article 72 1. (a) For the purpose of reviewing the application of the present Convention, there shall be established a Committee on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (hereinafter referred to as "the Committee");
107
(b) The Committee shall consist, at the time of entry into force of the present Convention, of ten and, after the entry into force of the Convention for the forty-first State Party, of fourteen experts of high moral standing, impartiality and recognized competence in the field covered by the Convention. 2. (a) Members of the Committee shall be elected by secret ballot by the States Parties from a list of persons nominated by the States Parties, due consideration being given to equitable geographical distribution, including both States of origin and States of employment, and to the representation of the principal legal systems. Each State Party may nominate one person from among its own nationals; (b) Members shall be elected and shall serve in their personal capacity. 3. The initial election shall be held no later than six months after the date of the entry into force of the present Convention and subsequent elections every second year. At least four months before the date of each election, the Secretary-General of the United Nations shall address a letter to all States Parties inviting them to submit their nominations within two months. The Secretary-General shall prepare a list in alphabetical order of all persons thus nominated, indicating the States Parties that have nominated them, and shall submit it to the States Parties not later than one month before the date of the corresponding election, together with the curricula vitae of the persons thus nominated. 4. Elections of members of the Committee shall be held at a meeting of States Parties convened by the Secretary-General at United Nations Headquarters. At that meeting, for which two thirds of the States Parties shall constitute a quorum, the persons elected to the Committee shall be those nominees who obtain the largest number of votes and an absolute majority of the votes of the States Parties present and voting. 5. (a) The members of the Committee shall serve for a term of four years. However, the terms of five of the members elected in the 108
first election shall expire at the end of two years; immediately after the first election, the names of these five members shall be chosen by lot by the Chairman of the meeting of States Parties; (b) The election of the four additional members of the Committee shall be held in accordance with the provisions of paragraphs 2, 3 and 4 of the present article, following the entry into force of the Convention for the forty-first State Party. The term of two of the additional members elected on this occasion shall expire at the end of two years; the names of these members shall be chosen by lot by the Chairman of the meeting of States Parties; (c) The members of the Committee shall be eligible for reelection if renominated. 6. If a member of the Committee dies or resigns or declares that for any other cause he or she can no longer perform the duties of the Committee, the State Party that nominated the expert shall appoint another expert from among its own nationals for the remaining part of the term. The new appointment is subject to the approval of the Committee. 7. The Secretary-General of the United Nations shall provide the necessary staff and facilities for the effective performance of the functions of the Committee. 8. The members of the Committee shall receive emoluments from United Nations resources on such terms and conditions as the General Assembly may decide. 9. The members of the Committee shall be entitled to the facilities, privileges and immunities of experts on mission for the United Nations as laid down in the relevant sections of the Convention on the Privileges and Immunities of the United Nations. Article 73 1. States Parties undertake to submit to the Secretary-General of the United Nations for consideration by the Committee a report on 109
the legislative, judicial, administrative and other measures they have taken to give effect to the provisions of the present Convention : (a) Within one year after the entry into force of the Convention for the State Party concerned; (b) Thereafter every five years and whenever the Committee so requests. 2. Reports prepared under the present article shall also indicate factors and difficulties, if any, affecting the implementation of the Convention and shall include information on the characteristics of migration flows in which the State Party concerned is involved. 3. The Committee shall decide any further guidelines applicable to the content of the reports. 4. States Parties shall make their reports widely available to the public in their own countries. Article 74 1. The Committee shall examine the reports submitted by each State Party and shall transmit such comments as it may consider appropriate to the State Party concerned. This State Party may submit to the Committee observations on any comment made by the Committee in accordance with the present article. The Committee may request supplementary information from States Parties when considering these reports. 2. The Secretary-General of the United Nations shall, in due time before the opening of each regular session of the Committee, transmit to the Director-General of the International Labour Office copies of the reports submitted by States Parties concerned and information relevant to the consideration of these reports, in order to enable the Office to assist the Committee with the expertise the Office may provide regarding those matters dealt with by the present Convention that fall within the sphere of competence of the International Labour Organisation. The Committee shall
110
consider in its deliberations such comments and materials as the Office may provide. 3. The Secretary-General of the United Nations may also, after consultation with the Committee, transmit to other specialized agencies as well as to intergovernmental organizations, copies of such parts of these reports as may fall within their competence. 4. The Committee may invite the specialized agencies and organs of the United Nations, as well as intergovernmental organizations and other concerned bodies to submit, for consideration by the Committee, written information on such matters dealt with in the present Convention as fall within the scope of their activities. 5. The International Labour Office shall be invited by the Committee to appoint representatives to participate, in a consultative capacity, in the meetings of the Committee. 6. The Committee may invite representatives of other specialized agencies and organs of the United Nations, as well as of intergovernmental organizations, to be present and to be heard in its meetings whenever matters falling within their field of competence are considered. 7. The Committee shall present an annual report to the General Assembly of the United Nations on the implementation of the present Convention, containing its own considerations and recommendations, based, in particular, on the examination of the reports and any observations presented by States Parties. 8. The Secretary-General of the United Nations shall transmit the annual reports of the Committee to the States Parties to the present Convention, the Economic and Social Council, the Commission on Human Rights of the United Nations, the DirectorGeneral of the International Labour Office and other relevant organizations. Article 75 1. The Committee shall adopt its own rules of procedure. 2. The Committee shall elect its officers for a term of two years. 111
3. The Committee shall normally meet annually. 4. The meetings of the Committee shall normally be held at United Nations Headquarters. Article 76 1. A State Party to the present Convention may at any time declare under this article that it recognizes the competence of the Committee to receive and consider communications to the effect that a State Party claims that another State Party is not fulfilling its obligations under the present Convention. Communications under this article may be received and considered only if submitted by a State Party that has made a declaration recognizing in regard to itself the competence of the Committee. No communication shall be received by the Committee if it concerns a State Party which has not made such a declaration. Communications received under this article shall be dealt with in accordance with the following procedure : (a) If a State Party to the present Convention considers that another State Party is not fulfilling its obligations under the present Convention, it may, by written communication, bring the matter to the attention of that State Party. The State Party may also inform the Committee of the matter. Within three months after the receipt of the communication the receiving State shall afford the State that sent the communication an explanation, or any other statement in writing clarifying the matter which should include, to the extent possible and pertinent, reference to domestic procedures and remedies taken, pending or available in the matter; (b) If the matter is not adjusted to the satisfaction of both States Parties concerned within six months after the receipt by the receiving State of the initial communication, either State shall have the right to refer the matter to the Committee, by notice given to the Committee and to the other State; (c) The Committee shall deal with a matter referred to it only after it has ascertained that all available domestic remedies 112
have been invoked and exhausted in the matter, in conformity with the generally recognized principles of international law. This shall not be the rule where, in the view of the Committee, the application of the remedies is unreasonably prolonged; (d) Subject to the provisions of subparagraph ( c ) of the present paragraph, the Committee shall make available its good offices to the States Parties concerned with a view to a friendly solution of the matter on the basis of the respect for the obligations set forth in the present Convention; (e) The Committee shall hold closed meetings when examining communications under the present article; (f) In any matter referred to it in accordance with subparagraph (b) of the present paragraph, the Committee may call upon the States Parties concerned, referred to in subparagraph (b), to supply any relevant information; (g) The States Parties concerned, referred to in subparagraph (b) of the present paragraph, shall have the right to be represented when the matter is being considered by the Committee and to make submissions orally and/or in writing; (h) The Committee shall, within twelve months after the date of receipt of notice under subparagraph (b) of the present paragraph, submit a report, as follows : (i)If a solution within the terms of subparagraph (d) of the present paragraph is reached, the Committee shall confine its report to a brief statement of the facts and of the solution reached; (ii)If a solution within the terms of subparagraph (d) is not reached, the Committee shall, in its report, set forth the relevant facts concerning the issue between the States Parties concerned. The written submissions and record of the oral submissions made by the States Parties concerned shall be attached to the report. The Committee may also communicate only to the States Parties concerned any views that it may consider relevant to the issue between them. In 113
every matter, the report shall be communicated to the States Parties concerned. 2. The provisions of the present article shall come into force when ten States Parties to the present Convention have made a declaration under paragraph 1 of the present article. Such declarations shall be deposited by the States Parties with the Secretary-General of the United Nations, who shall transmit copies thereof to the other States Parties. A declaration may be withdrawn at any time by notification to the Secretary-General. Such a withdrawal shall not prejudice the consideration of any matter that is the subject of a communication already transmitted under the present article; no further communication by any State Party shall be received under the present article after the notification of withdrawal of the declaration has been received by the Secretary-General, unless the State Party concerned has made a new declaration. Article 77 1. A State Party to the present Convention may at any time declare under the present article that it recognizes the competence of the Committee to receive and consider communications from or on behalf of individuals subject to its jurisdiction who claim that their individual rights as established by the present Convention have been violated by that State Party. No communication shall be received by the Committee if it concerns a State Party that has not made such a declaration. 2. The Committee shall consider inadmissible any communication under the present article which is anonymous or which it considers to be an abuse of the right of submission of such communications or to be incompatible with the provisions of the present Convention. 3. The Committee shall not consider any communication from an individual under the present article unless it has ascertained that : (a) The same matter has not been, and is not being, examined under another procedure of international investigation or settlement; 114
(b) The individual has exhausted all available domestic remedies; this shall not be the rule where, in the view of the Committee, the application of the remedies is unreasonably prolonged or is unlikely to bring effective relief to that individual. 4. Subject to the provisions of paragraph 2 of the present article, the Committee shall bring any communications submitted to it under this article to the attention of the State Party to the present Convention that has made a declaration under paragraph 1 and is alleged to be violating any provisions of the Convention. Within six months, the receiving State shall submit to the Committee written explanations or statements clarifying the matter and the remedy, if any, that may have been taken by that State. 5. The Committee shall consider communications received under the present article in the light of all information made available to it by or on behalf of the individual and by the State Party concerned. 6. The Committee shall hold closed meetings when examining communications under the present article. 7. The Committee shall forward its views to the State Party concerned and to the individual. 8. The provisions of the present article shall come into force when ten States Parties to the present Convention have made declarations under paragraph 1 of the present article. Such declarations shall be deposited by the States Parties with the Secretary-General of the United Nations, who shall transmit copies thereof to the other States Parties. A declaration may be withdrawn at any time by notification to the Secretary-General. Such a withdrawal shall not prejudice the consideration of any matter that is the subject of a communication already transmitted under the present article; no further communication by or on behalf of an individual shall be received under the present article after the notification of withdrawal of the declaration has been received by the Secretary-General, unless the State Party has made a new declaration. 115
Article 78 The provisions of article 76 of the present Convention shall be applied without prejudice to any procedures for settling disputes or complaints in the field covered by the present Convention laid down in the constituent instruments of, or in conventions adopted by, the United Nations and the specialized agencies and shall not prevent the States Parties from having recourse to any procedures for settling a dispute in accordance with international agreements in force between them. PART VIII General provisions Article 79 Nothing in the present Convention shall affect the right of each State Party to establish the criteria governing admission of migrant workers and members of their families. Concerning other matters related to their legal situation and treatment as migrant workers and members of their families, States Parties shall be subject to the limitations set forth in the present Convention. Article 80 Nothing in the present Convention shall be interpreted as impairing the provisions of the Charter of the United Nations and of the constitutions of the specialized agencies which define the respective responsibilities of the various organs of the United Nations and of the specialized agencies in regard to the matters dealt with in the present Convention. Article 81 1. Nothing in the present Convention shall affect more favourable rights or freedoms granted to migrant workers and members of their families by virtue of : (a) The law or practice of a State Party; or (b) Any bilateral or multilateral treaty in force for the State Party concerned. 116
2. Nothing in the present Convention may be interpreted as implying for any State, group or person any right to engage in any activity or perform any act that would impair any of the rights and freedoms as set forth in the present Convention. Article 82 The rights of migrant workers and members of their families provided for in the present Convention may not be renounced. It shall not be permissible to exert any form of pressure upon migrant workers and members of their families with a view to their relinquishing or foregoing any of the said rights. It shall not be possible to derogate by contract from rights recognized in the present Convention. States Parties shall take appropriate measures to ensure that these principles are respected. Article 83 Each State Party to the present Convention undertakes : (a) To ensure that any person whose rights or freedoms as herein recognized are violated shall have an effective remedy, notwithstanding that the violation has been committed by persons acting in an official capacity; (b) To ensure that any persons seeking such a remedy shall have his or her claim reviewed and decided by competent judicial, administrative or legislative authorities, or by any other competent authority provided for by the legal system of the State, and to develop the possibilities of judicial remedy; (c) To ensure that the competent authorities shall enforce such remedies when granted. Article 84 Each State Party undertakes to adopt the legislative and other measures that are necessary to implement the provisions of the present Convention. 117
PART IX Final provisions Article 85 The Secretary-General of the United Nations is designated as the depositary of the present Convention. Article 86 1. The present Convention shall be open for signature by all States. It is subject to ratification. 2. The present Convention shall be open to accession by any State. 3. Instruments of ratification or accession shall be deposited with the Secretary-General of the United Nations. Article 87 1. The present Convention shall enter into force on the first day of the month following a period of three months after the date of the deposit of the twentieth instrument of ratification or accession. 2. For each State ratifying or acceding to the present Convention after its entry into force, the Convention shall enter into force on the first day of the month following a period of three months after the date of the deposit of its own instrument of ratification or accession. Article 88 A State ratifying or acceding to the present Convention may not exclude the application of any Part of it, or, without prejudice to article 3, exclude any particular category of migrant workers from its application. Article 89 1. Any State Party may denounce the present Convention, not earlier than five years after the Convention has entered into force for the State concerned, by means of a notification in writing addressed to the Secretary-General of the United Nations. 118
2. Such denunciation shall become effective on the first day of the month following the expiration of a period of twelve months after the date of the receipt of the notification by the Secretary-General of the United Nations. 3. Such a denunciation shall not have the effect of releasing the State Party from its obligations under the present Convention in regard to any act or omission which occurs prior to the date at which the denunciation becomes effective, nor shall denunciation prejudice in any way the continued consideration of any matter which is already under consideration by the Committee prior to the date at which the denunciation becomes effective. 4. Following the date at which the denunciation of a State Party becomes effective, the Committee shall not commence consideration of any new matter regarding that State. Article 90 1. After five years from the entry into force of the Convention a request for the revision of the Convention may be made at any time by any State Party by means of a notification in writing addressed to the Secretary-General of the United Nations. The SecretaryGeneral shall thereupon communicate any proposed amendments to the States Parties with a request that they notify him whether they favour a conference of States Parties for the purpose of considering and voting upon the proposals. In the event that within four months from the date of such communication at least one third of the States Parties favours such a conference, the SecretaryGeneral shall convene the conference under the auspices of the United Nations. Any amendment adopted by a majority of the States Parties present and voting shall be submitted to the General Assembly for approval. 2. Amendments shall come into force when they have been approved by the General Assembly of the United Nations and accepted by a two-thirds majority of the States Parties in accordance with their respective constitutional processes.
119
3. When amendments come into force, they shall be binding on those States Parties that have accepted them, other States Parties still being bound by the provisions of the present Convention and any earlier amendment that they have accepted. Article 91 1. The Secretary-General of the United Nations shall receive and circulate to all States the text of reservations made by States at the time of signature, ratification or accession. 2. A reservation incompatible with the object and purpose of the present Convention shall not be permitted. 3. Reservations may be withdrawn at any time by notification to this effect addressed to the SecretaryGeneral of the United Nations, who shall then inform all States thereof. Such notification shall take effect on the date on which it is received. Article 92 1. Any dispute between two or more States Parties concerning the interpretation or application of the present Convention that is not settled by negotiation shall, at the request of one of them, be submitted to arbitration. If within six months from the date of the request for arbitration the Parties are unable to agree on the organization of the arbitration, any one of those Parties may refer the dispute to the International Court of Justice by request in conformity with the Statute of the Court. 2. Each State Party may at the time of signature or ratification of the present Convention or accession thereto declare that it does not consider itself bound by paragraph 1 of the present article. The other States Parties shall not be bound by that paragraph with respect to any State Party that has made such a declaration. 3. Any State Party that has made a declaration in accordance with paragraph 2 of the present article may at any time withdraw that
120
declaration by notification to the Secretary-General of the United Nations. Article 93 1. The present Convention, of which the Arabic, Chinese, English, French, Russian and Spanish texts are equally authentic, shall be deposited with the Secretary-General of the United Nations. 2. The Secretary-General of the United Nations shall transmit certified copies of the present Convention to all States. In witness whereof the undersigned plenipotentiaries, being duly authorized thereto by their respective Governments, have signed the present Convention. I hereby certify that the foregoing text is a true copy of the International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families, adopted by the General Assembly of the United Nations on 18 December 1990, the original of which is deposited with the Secretary-General of the United Nations. For the Secretary-General, The Legal Counsel:
Carl-August Fleischhauer
United Nations, New York 22 March 1991
121
Bagian II Proses Pembahasan di DPR RI
122
Rapat Kerja Komisi VIII
123
PENGANTAR PIMPINAN KOMISI IX DPR RI DALAM RAPAT KERJA DENGAN PEMERINTAH PADA PEMBICARAAN TINGKAT I RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN KONVENSI INTERNASIONAL MENGENAI PERLINDUNGAN HAK-HAK SELURUH PEKERJA MIGRAN DAN ANGGOTA KELUARGANYA (INTERNATIONAL CONVENTION ON THE PROTECTION OF THE RIGHTS OF ALL MIGRANT WORKERS AND MEMBERS OF THEIR FAMILIES) SENIN, 9 APRIL 2012 Yang terhormat saudara Menteri Luar Negeri beserta jajarannya; Yang terhormat saudara Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi beserta jajarannya; Yang terhormat saudara Menteri Hukum dan HAM beserta jajarannya; Yang terhormat Ketua danWakil Ketua Komisi IX DPR RI, Yang terhormat para Anggota Komisi IX DPR RI, Serta hadirin yang berbahagia; Assalamu’alaikum Wr. Wb. Salam sejahtera bagi kita semua, Pertama-tama, izinkanlah saya mengajak kita semua untuk memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya atas perkenan-Nya, kita diberi kekuatan dan kesehatan dalam menjalankan tugas konstitusional kita, yaitu menghadiri Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Pemerintah dalam rangka pengambilan keputusan pada pembicaraan Tingkat I RUU tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya pada hari ini, Senin 9 April 2012.
124
Saudara Menteri, para Pimpinan dan Anggota Komisi IX DPR RI, serta hadirin yang kami hormati, Berdasarkan surat Presiden RI kepada Ketua DPR RI dengan nomor R.17/Pres/02/2012 perihal Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan International Convention on The Protection of The Rights of All Migrant Workers And Members Of Their Families tertanggal 7 Februari 2012, Presiden telah menugaskan Menteri Luar Negeri, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigarasi untuk mewakili Pemerintah dalam membahas Rancangan Undang-Undang tersebut. Menindaklanjuti surat tersebut, maka pada tanggal 1 Maret 2012 telah diadakan Rapat Badan Musyawarah DPR RI yang memutuskan bahwa penanganan RUU tersebut diserahkan kepada Komisi IX DPR RI. Selanjutnya, Pimpinan Komisi IX DPR RI telah menerima surat dari Pimpinan DPRI RI perihal penugasan pembahasan RUU tersebut tertanggal 1 Maret 2012. Dalam rangka menjalankan tugas pembahasan RUU tentang Pengesahan Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan HakHak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya maka pada hari ini kita melaksanakan Rapat Kerja dengan Pemerintah untuk mendengarkan Penjelasan Pemerintah terhadap RUU, mendengarkan pandangan setiap Fraksi terhadap RUU usul pemerintah tersebut, dan melakukan pembahasan DIM. Setelah semua proses tersebut kita laksanakan, maka tibalah saatnya bagi Komisi IX untuk mengadakan pengambilan keputusan pada Pembicaraan Tingkat I dengan diawali oleh penyampaian Pendapat Mini masing-masing Fraksi sebagai sikap akhir. Apabila seluruh fraksi dapat memberikan persetujuan terhadap RUU Pengesahan Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya maka akan dilanjutkan pada pembicaraan Tingkat II di dalam Rapat Paripurna DPR RI untuk mendapatkan persetujuan dan disahkan menjadi Undang-Undang.
125
Saudara Menteri, para Pimpinan dan Anggota Komisi IX DPR RI, serta hadirin yang kami hormati, Diratifikasinya Konvensi Pekerja Migran ini merupakan sebuah langkah maju bagi negara Indonesia dan diharapkan dapat memberikan kontibusi positif terhadap jaminan perlindungan hakhak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya. Dengan meratifikasi Konvensi ini, maka Pemerintah Indonesia dapat menyempurnakan sistem perlindungan hak-hak seluruh Tenaga Kerja Indonesia dan anggota keluarganya, mulai dari prapenempatan, selama bekerja dan tinggal di negara penempatan, hingga purna-penempatan. Selain itu, ratifikasi Konvensi Pekerja Migran ini adalah sebuah modal bagi Negara Indonesia untuk mendesak negara-negara lain, khususnya negara penempatan dan negara transit, untuk mengakui, menghormati, dan menjujung tinggi perlindungan Hak Asasi Manusia dari Tenaga Kerja Indonesia. Para Saudara Menteri, para Pimpinan dan Anggota Komisi IX DPR RI, serta hadirin yang kami hormati, Demikian Pengantar Pimpinan Komisi IX ini saya sampaikan, besar harapan kami agar seluruh fraksi dapat menerima dan memberikan persetujuan terhadap RUU tentang Pengesahan Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya tersebut pada Pembicaraan Tingkat I hari ini, sehingga dapat dilanjutkan pada Pembicaraan Tingkat II dalam Rapat Paripurna DPRI RI yang direncanakan akan dilaksanakan pada hari Kamis, 12 April 2012 mendatang. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada pihak Pemerintah, para pimpinan, dan anggota Komisi IX DPR RI atas perhatian dan kerjasamanya dalam melakukan pembahasan terhadap RUU ini. Terima kasih dan penghargaan juga kami sampaikan kepada tim sekretariat dan tim tenaga ahli Komisi IX DPR RI yang telah membantu proses pembahasan terhadap RUU tentang Pengesahan
126
Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Demikian pengantar pimpinan Komisi IX ini kami sampaikan, atas perhatian bapak, ibu dan hadirin sekalian, kami ucapkan terima kasih. PIMPINAN KOMISI IX DPR RI WAKIL KETUA, ttd DRS. IRGAN CHAIRUL MAHFIDZ, MSi A - 291
127
KETERANGAN PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGESAHAN KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN HAK-HAK SELURUH PEKERJA MIGRAN DAN ANGGOTA KELUARGANYA (INTERNATIONAL CONVENTION ON THE PROTECTION OF THE RIGHTS OF ALL MIGRANT WORKERS AND MEMBERS OF THEIR FAMILIES) Ibu Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat yang Terhormat, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, Wakil dari Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, Hadirin yang berbahagia, Assalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Selamat siang, salam sejahtera bagi kita semua. Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji syukur kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, atas rahmat dan karunia-Nya kita masih diberikan kekuatan untuk melanjutkan pengabdian kita bagi bangsa dan negara yang kita cintai ini. Pada kesempatan ini, atas nama Pemerintah, perkenankan kami menyampaikan Keterangan Pemerintah atas Rancangan UndangUndang Republik Indonesia tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya atau International Convention on the Protection of the Rights of all Migrant Workers and Members of Their Families.
128
Kami menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Pimpinan dan Anggota Komisi IX atas undangan Rapat Kerja hari ini, yang mengagendakan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengesahan Konvensi ini. Pimpinan dan Para Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia serta hadirin yang terhormat, Sebagaimana dimaklumi, Indonesia Konvensi ini pada tahun 2004.
telah
menandatangani
Keputusan Pemerintah RI untuk menandatangani Konvensi dimaksud merefleksikan komitmen kuat Pemerintah terhadap pemajuan nilai-nilai Hak Asasi Manusia termasuk didalamnya hak pekerja migran. Selain itu, keputusan dimaksud juga mencerminkan prioritas Pemerintah RI untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak pekerja migran Indonesia. Kedua hal tersebutlah juga yang mendorong Indonesia bertekad untuk meratifikasi Konvensi dimaksud guna menjadi bagian dari sistem hukum nasional Indonesia. Proses persiapan bagi ratifikasi Konvensi telah melalui proses yang seksama, dan karenanya memakan waktu yang relatif panjang. Sungguh, keputusan untuk meratifikasi Konvensi merupakan bagian dari perwujudan tanggung jawab negara untuk meningkatkan perlindungan terhadap tenaga kerja migran Indonesia. Langkah ini juga menunjukkan kepedulian dan keberpihakan seluruh elemen bangsa untuk terus memajukan dan melindungi nilai-nilai HAM di tanah air dan di tingkat global, utamanya dalam memperkuat kerangka perlindungan bagi pekerja migran Indonesia dan anggota keluarga mereka.
129
Pimpinan dan Para Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia serta hadirin yang terhormat, Konvensi Internasional Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya telah disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 18 Desember 1990. Hingga saat ini, Konvensi Pekerja Migran telah diratifikasi oleh sejumlah 45 negara dan ditandatangani oleh 34 negara, termasuk Indonesia. Konvensi Pekerja Migran mulai berlaku efektif (entry into force) sejak tanggal 1 Juli 2003 setelah diratifikasi oleh 20 negara pada bulan Maret 2003. Karenanya, Konvensi ini telah menjadi suatu perjanjian internasional dengan kekuatan hukum mengikat bagi negara pihak yang telah meratifikasi Konvensi dimaksud. Pengesahan Konvensi ini merupakan langkah terobosan di tingkat global untuk memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja migran dan keluarganya. Penyusunan naskah Konvensi ini telah melalui proses panjang yang didorong oleh negara-negara anggota PBB, terutama negaranegara asal tenaga kerja migran. Penyusunan Konvensi ini dilatarbelakangi oleh kenyataan kurangnya perangkat internasional untuk memberikan perlindungan yang komprehensif terhadap berbagai kategori pekerja migran dan keluarganya. Terlebih lagi, perlindungan untuk tenaga kerja migran yang masuk dalam kelompok sangat rentan, terutama tenaga kerja migran di sektor informal dan yang berada dalam situasi irregular. Konvensi ini merupakan satu-satunya instrumen HAM internasional yang mengatur mengenai perlindungan hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya secara komprehensif. Konvensi ini pula memberikan kerangka perlindungan minimum bagi tenaga kerja migran dalam berbagai kategori beserta keluarganya, untuk semua tahapan, baik pada saat pra
130
keberangkatan, masa transit, masa bekerja di luar negeri dan purna penempatan. Konvensi ini mengakomodasi kepentingan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, agar memiliki keleluasaan dalam menerapkan sistem administrasi keimigrasian nasional terkait tenaga kerja asing, sehingga kesempatan kerja warga negaranya sendiri tetap terlindungi. Besar harapan kita bahwa di masa mendatang, kedudukan Konvensi Pekerja Migran ini di tatanan masyarakat internasional akan terus menguat. Ini antara lain disebabkan terus meningkatnya kesadaran global akan pentingnya Konvensi ini bagi perlindungan tenaga kerja migran dan anggota keluarganya, seiring dengan besarnya jumlah orang bekerja di luar negeri. Menurut catatan ILO pada tahun 2010 misalnya terdapat kira-kira 214 juta orang yang tinggal dan bekerja di luar negara asalnya. Pimpinan dan Para Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia serta hadirin yang terhormat, Kandungan Konvensi ini selaras dengan komitmen nasional Indonesia bagi pemajuan dan perlindungan HAM. Sebagaimana dimaklumi, Konstitusi Indonesia dan berbagai instrumen HAM, baik nasional maupun internasional, meletakkan tanggung jawab pemajuan, perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan HAM sebagai tanggung jawab negara. Secara khusus, Pemerintah merupakan pengemban tanggung jawab tersebut. Amanat ini tentunya sangat relevan bagi pemajuan dan perlindungan hak-hak tenaga kerja migran Indonesia. Adalah merupakan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan penuh terhadap mereka di semua tahap, mulai dari pra penempatan, saat transit, masa bekerja dan purna penempatan.
131
Tentunya upaya perlindungan terhadap pekerja migran akan terus menjadi prioritas Pemerintah Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan baik melalui pengembangan kerangka legislasi nasional, penguatan kerangka kelembagaan, peningkatan koordinasi, maupun perlindungan langsung yang diberikan oleh Perwakilan-Perwakilan Indonesia di luar negeri. Pemerintah juga melakukan kerja sama secara bilateral, regional dan global untuk meningkatkan jaminan perlindungan bagi pekerja migran Indonesia dan keluarganya. Pada tingkat nasional, Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang cukup lengkap dan komprehensif. Meskipun tentunya masih terdapat ruang untuk terus memperbaikinya terutama dengan melakukan harmonisasi setelah pengesahan Konvensi ini pada waktunya. Pada tingkat bilateral, Indonesia terus memperkuat pengaturan bilateral dengan negara-negara yang menjadi tujuan tenaga kerja migran Indonesia untuk meningkatkan jaminan perlindungan mereka. Bahkan sesuai dengan arahan dan instruksi Bapak Presiden, Indonesia dengan sangat tegas melakukan moratorium pengiriman tenaga kerja migran ke negara yang tidak memberikan perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia. Selain itu, kemampuan upaya pencegahan, deteksi dini dan perlindungan terhadap tenaga kerja migran Indonesia akan senantiasa dipertajam. Pada tingkat regional, Indonesia terus berusaha mendorong adanya suatu instrumen atau kesepakatan mengenai perlindungan tenaga kerja migran. Indonesia juga aktif dalam forum Colombo Process yang terdiri dari negara-negara asal tenaga kerja migran, serta dalam forum Abu Dhabi Process yang pertemukan negara-negara asal dan negaranegara tujuan tenaga kerja migran.
132
Di forum global, terutama di PBB, Indonesia senantiasa memanfaatkan berbagai mekanisme yang tersedia untuk tujuan peningkatan perlindungan tenaga kerja migran. Salah satu upaya adalah, bersama-sama Filipina, memprakarsai resolusi di Majelis Umum PBB mengenai penanggulangan kekerasan terhadap tenaga kerja migran wanita. Namun demikian, kita menyadari masih terdapat peluang untuk terus memperbaiki upaya dimaksud baik pada tingkat nasional, regional maupun global. Karenanya, Konvensi Internasional mengenai Perlindungan HakHak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya diyakini akan dapat membantu memperkuat kerangka nasional, regional dan global dalam mengatasi masalah perlindungan tenaga kerja migran Indonesia. Pimpinan dan Para Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia serta hadirin yang terhormat, Terdapat tiga hal utama yang kiranya melatarbelakangi keputusan Pemerintah untuk meratifikasi Konvensi tersebut yaitu: Pertama, mempertegas komitmen Indonesia bagi peningkatan perlindungan, penghormatan, pemajuan dan pemenuhan hak asasi manusia, terutama hak asasi seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya. Kedua, memperkuat landasan hukum bagi kebijakan nasional dalam meningkatkan sistem perlindungan, penghormatan, pemajuan dan pemenuhan hak-hak asasi tenaga kerja migran dan anggota keluarganya. Ketiga, memperkuat mekanisme perlindungan tenaga kerja migran dan penataan manajemen migrasi, baik bilateral maupun multilateral, agar pekerja migran Indonesia dapat menikmati perlindungan dan haknya dengan lebih baik, mulai dari tahap pra penempatan, masa transit, selama bekerja di luar negeri maupun purna penempatan.
133
Ratifikasi Konvensi ini tentunya akan melahirkan sebuah kewajiban, antara lain untuk melakukan upaya harmonisasi hukum nasional, terutama yang berkaitan dengan penempatan dan perlindungan tenaga kerja migran Indonesia dan keluarganya, agar sesuai dengan standar hak asasi pekerja migran sebagaimana diatur dalam Konvensi. Isi Konvensi ini akan menjadi acuan untuk menciptakan dan merevisi berbagai peraturan perundang-undangan yang menyangkut tenaga kerja migran Indonesia. Ratifikasi Konvensi ini juga akan memberikan kewajiban bagi Indonesia untuk menyampaikan laporan implementasi Konvensi kepada Komite Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Sesuai ketentuan Konvensi, laporan akan disampaikan setahun setelah ratifikasi dan selanjutnya setiap lima tahun sekali dan jika Komite memintanya. Diharapkan dengan ratifikasi Konvensi ini, akan memberikan ruang yang lebih besar bagi Indonesia untuk memperkuat pengaturan bilateral, regional dan global dalam peningkatan perlindungan hak-hak tenaga kerja migran Indonesia dan keluarganya. Lebih daripada itu, pengesahan ini akan menjadi amunisi bagi Indonesia untuk bergabung dalam berbagai kampanye global guna mendorong negara-negara lain, khususnya negara tujuan pekerja migran untuk meratifikasi dan menerapkan norma dan standar yang diatur dalam Konvensi ini. Pimpinan dan Para Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia serta hadirin yang terhormat, Demikian kiranya Keterangan Pemerintah atas Rancangan Undang-undang Republik Indonesia tentang Pengesahan Konvensi Internasional Perlindungan Hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.
134
Pengesahan Konvensi ini kami yakini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia dan masyarakat dunia. Atas perhatian Pimpinan dan Anggota Dewan, kami mengucapkan terima kasih. Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Menteri Luar Negeri Republik Indonesia ttd. R.M. Marty M. Natalegawa
135
PANDANGAN FRAKSI PARTAI DEMOKRAT TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN KONVENSI INTERNASIONAL MENGENAI PERLINDUNGAN HAK-HAK SELURUH PEKERJA MIGRAN DAN ANGGOTA KELUARGANYA Juru Bicara: Dhiana Anwar, SH Nomor Anggota: A – 481 Nomor Anggoa : A – 432
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Salam sejahtera bagi kita semua, Yang kami hormati, Sdr. Pimpinan Komisi IX DPR RI, Para Anggota Komisi IX DPR RI, Menteri Luar Negeri RI, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Menteri Hukum dan HAM RI, serta hadirin sekalian, Puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga kita masih dapat menjalankan tugas konstitusional sebagai anggota dewan untuk menyampaikan Pandangan Fraksi terhadap RUU tentang Pengesahan Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya dalam rapat kerja kita pada hari ini. Sdr. Pimpinan, Para Anggota Dewan, Para Menteri dan Hadirin Sekalian, Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (Konvensi Pekerja Migran) disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tangal 18 Desember 1990 melalui Resolusi Nomor A/RES/45/158. Pengesahan Konvensi tersebut disambut baik oleh masyarakat internasional, terutama negara-negara asal pekerja migran, sebagai kerangka perlindungan internasional yang lebih solid bagi
136
pekerja migran dari semua kategori beserta keluarganya. Konvensi ini membuka suatu babak baru dalam sejarah perjuangan untuk memajukan dan melindungi hak-hak pekerja migran, termasuk anggota keluarganya. Konvensi ini merupakan hasil kajian Komisi Hak Asasi Manusia PBB, kesimpulan dan rekomendasi dari pertemuan pakar dan perdebatan tentang masalah pekerja migran di badan-badan PBB selama lebih dari dua dasawarsa. Hingga saat ini, Konvensi Pekerja Migran telah diratifikasi oleh 45 negara, sedangkan 16 negara termasuk Indonesia telah menandatangani namun belum meratifikasi Konvensi tersebut. Indonesia menandatangi Konvensi Pekerja Migran pada tanggal 22 September 2004 di New York. Sebagai negara penandatangan Konvensi, Indonesia memiliki komitmen kuat untuk segera meratifikasi Konvensi. Ratifikasi Konvensi Pekerja Migran bagi Indonesia pada saat ini telah menjadi kebutuhan yang mendesak ditinjau dari berbagai pertimbangan filosofis, sosiologis dan yuridis yang kuat. Sebagai negara yang berdasarkan falsafah Pancasila, Indonesia juga memiliki komitmen tinggi dalam melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta memajukan kesejahteran umum, sesuai dengan cita-cita proklamasi dan UUD 1945. Sdr. Pimpinan, Para Anggota Dewan, Para Menteri dan Hadirin Sekalian, Berkaitan dengan hal di atas, Fraksi Partai Demokrat akan mengemukakan pandangan yang berkaitan dengan aspek yang menjadi perhatian utama dalam pembahasan RUU ini. Pertama, mengenai hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya. Fraksi Partai Demokrat berpendapat bahwa setiap pekerja migran dan anggota keluarganya memiliki hak atas kebebasan untuk meninggalkan, masuk dan menetap di negara manapun, hak hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan, hak untuk bebas dari perbudakan, hak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama, hak atas kebebasan berekspresi, hak atas privasi, hak untuk bebas dari penangkapan yang sewenang-wenang, hak
137
diperlukan sama di muka hukum, hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hak terkait kontrak/hubungan kerja, hak untuk berserikat dan berkumpul, hak mendapatkan perawatan kesehatan, hak atas akses pendidikan bagi anak pekerja migran, hak untuk dihormati identitas budayanya, hak atas kebebasan bergerak, hak membentuk perkumpulan, hak berpartisipasi dalam urusan pemerintahan di negara asalnya, hak untuk transfer pendapatan. Kedua, mengenai Kewajiban Negara. Fraksi Partai Demokrat menyetujui bahwa negara berkewajiban merealisasikan hak-hak yang tercantum dalam Konvensi kepada seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya tanpa diskriminasi. Pemerintah Indonesia masih perlu meningkatkan upaya-upaya perlindungan, penghormatan, pemajuan dan pemenuhan hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya berdasarkan normanorma hak asasi manusia universal. Ketiga, berkaitan dengan Peran Komite Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Fraksi Partai Demokrat menyetujui peran Komite untuk melakukan kerjasama internasional dan koordinasi dengan Organisasi Buruh Internasional, badan dan organ khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa, organisasi antar Negara, serta badan terkait lainnya. Keempat, mengenai pendekatan Multilateral sebagai pelengkap pendekatan Bilateral. Fraksi Partai Demokrat memandang bahwa Konvensi Pekerja Migran menyediakan mekanisme multilateral yang memungkinkan dorongan terhadap negara tujuan untuk lebih memberikan pelindungan terhadap pekerja migran. Dalam konteks yang lebih luas, pedekatan multilateral terbukti dapat meretas kebuntuan bilateral. Sdr. Pimpinan, Para Anggota Dewan, Para Menteri dan Hadirin Sekalian, Berdasarkan hal-hal di atas, Fraksi Partai Demokrat menyambut baik dan memandang Rancangan Undang-Undang ini sangat penting dalam upaya melindungi dan menghormati hak-hak
138
seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya. RUU ini juga merupakan bukti bahwa Pemerintah Republik Indonesia mengakui dan menjunjung hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang melekat pada dan tidak terpisah dari manusia yang harus dilindungi, dihormati dan ditegakkan sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Karena itu, dengan mengucapkan bismillahirrohmanirrohiim, puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa dan demi terwujudnya masyarakat adil dan sejahtera, Fraksi Partai Demokrat menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya untuk dapat disahkan menjadi Undang-Undang dalam Sidang Paripurna yang akan datang. Demikian Pandangan Fraksi Partai Demokrat. Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, memberikan Ridho-Nya kepada kita. Terima kasih atas perhatian pimpinan, para Anggota Panja, para Menteri dan hadirin sekalian. Wabillahi taufiq wal hidayah, Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Salam sejahtera bagi kita semua. Jakarta, 9 April 2012 PIMPINAN FRAKSI PARTAI DEMOKRAT DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Wakil Ketua,
Sekretaris,
Drs. RAMADHAN POHAN, MIS NO. ANGGOTA: 520
SAAN MUSTOPA NO. ANGGOTA: 480
139
PENDAPAT AKHIR FRAKSI PARTAI GOLONGAN KARYA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MENGENAI RUU PENGESAHAN KONVENSI INTERNASIONAL MENGENAI PERLINDUNGAN HAK-HAK SELURUH PEKERJA MIGRAN DAN ANGGOTA KELUARGANYA Disampaikan oleh Dra. Hj. Hernani Hurustiati Anggota DPR RI Nomor A-242 Assalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Salam sejahtera untuk kita semua, Yang Terhormat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Yang Terhormat Menteri Luar Negeri RI, Yang Terhormat Menteri Sekretaris Negara RI, Yang Terhormat Menteri Hukum dan HAM, Yang Terhormat Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI, Yang Terhormat Pimpinan Pansus dan Para Anggota Dewan dan Hadirin yang Kami Muliakan, Mengawali Pendapat akhir fraksi ini marilah kita memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita sekalian sehingga kita dapat mengikuti Rapat yang penting dan strategis ini dalam keadaan sehat lahir dan batin. Selanjutnya perkenankanlah kami, Fraksi Partai Golkar DPR RI, menyampaikan pendapat akhir fraksi mengenai RUU Pengesahan Konvensi Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Pemerintah Indonesia pada tanggal 22 September 2004, di New York, telah menandatangani Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran Beserta Keluarganya (International Convention On The Protection Of The Rights Of All Migrant Workers And Members Of Their Families – ICMW tahun 1990). Penandatanganan tersebut dilakukan pada
140
kesempatan Program Perjanjian Tahunan PBB (UN Annual Treaty Event) pada sidang Majelis Umum PBB ke-59 yang digagas oleh Sekjen PBB sejak tahun 2000. Penandatanganan Konvensi ini mencerminkan komitmen Pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan kepada para tenaga kerja Indonesia beserta keluarga mereka di luar negeri yang kini jumlahnya mencapai lebih dari 3 juta orang. Setelah penandatanganan ini diharapkan akan dilanjutkan dengan proses nasional yakni upaya pengesahan (Ratifikasi) Konvensi dimaksud. Melalui serangkaian dan pembahasan yang memakan waktu relatif cukup panjang, upaya pengesahan ini kiranya sampai pada wujud ratifikasi konvensi internasional itu melalui sebuah peraturan perundangundangan di Indonesia. Sebagai pertimbangan utama alasan Pemerintah Indonesia dalam menyetujui dan menandatangani Konvensi ICMW, adalah untuk mewujudkan harmonisasi ketentuan dan peraturan di berbagai negara yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak para pekerja migran dan mencegah serta mengikis perilaku eksploitasi pekerja migran. Secara khusus, Konvensi bertujuan menghentikan rekruitmen tidak sah dan pelintasan tenaga kerja serta menekan praktek mempekerjakan buruh yang tidak memiliki kelengkapan dokumen yang sah. Indonesia menilai tujuan Konvensi ini selaras dengan kebijakan nasional tentang manajemen yang baik bagi penanganan masalah TKI. Pelaksanaan Konvensi dengan demikian akan mendorong perbaikan dalam mekanisme penerimaan dan pengiriman para pekerja migran di tingkat nasional serta perlindungan terhadap TKI yang bekerja di luar negeri. Konvensi yang disahkan melalui resolusi SMU-PBB no: 45/158 pada 1 Desember 1990 ini mulai berlaku sejak 1 Juli 2003. Dalam perkembangannya, hingga akhir tahun 2011, terdapat 26 negara yang telah menyetujui dan menandatangani konvensi ini, termasuk negara yang berasal dari kawasan Asia, yakni : Filipina, Sri Lanka, dan Bangladesh. Penandatanganan Konvensi oleh Indonesia sekaligus mencerminkan tanggapan positif Indonesia terhadap seruan Sekretaris Jenderal PBB untuk mendorong negara menjadi
141
pihak yang pro aktif pada instrumen perjanjian internasional yang mengatur tentang berbagai masalah penting di dunia. Indonesia adalah negara pengirim terbesar pekerja migran di negara-negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Misalnya Arab Saudi, Malaysia, Kuwait, dan sejumlah Negara Timur Tengah lainnya. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) memprediksi bahwa jumlah pekerja migran asal Indoensia pada tahun 2012 akan mencapai lebih dari 4,31 juta. Sebagian besarnya adalah perempuan yang bekerja di sektor informal. Persoalan utama pekerja migran di negara penerima adalah minimnya perlindungan terhadap mereka. Tak ayal mereka kerap mendapatkan perlakuan diskriminatif yang berujung pada praktik kekerasan. Sementara Indonesia sendiri sebagai negara pengirim, di rasa masih lemah memanfaatkan jalur diplomasi dengan negaranegara penerima. Berbagai kasus hukum pancung yang melibatkan banyak pekerja migran Indonesia yang dipancung di Arab Saudi beberapa waktu lalu menunjukan kelemahan diplomasi tersebut. Sejauh ini, usaha Pemerintah memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak para pekerja migran di luar negeri jauh dari standar memuaskan. Banyak cerita tentang nasib mengenaskan yang dialami para pekerja migran kita seperti penipuan dalam pengupahan, penyiksaan, pelecehan seksual, pemerkosaan hingga pembunuhan terjadi dan berulang. Tampak seperti tidak ada upaya penanggulangannya. Sebagai anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang cukup diperhitungkan, mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, semestinya OKI bisa digunakan untuk memperkuat jalur diplomasi bagi pemenuhan hak pekerja migran. Sangatlah ironis, misalnya, Filipina yang bukan anggota OKI bisa membebaskan pekerja migrannya di Arab Saudi dari ancaman hukuman pancung. Sementara pada saat yang sama, Indonesia justru tidak mampu menyelamatkan nyawa banyak pekerja migran Indonesia.
142
Memperjuangkan nasib pekerja migran adalah mutlak. Bukan hanya karena mereka secara ekonomi, adalah pahlawan devisa negara, namun lebih karena, para pekerja migran adalah warga negara yang pada diri mereka melekat hak-hak yang harus dilindungi Negara sebagaimana dijamin dalam Konstitusi UUD 1945 Pasal 28 huruf (A sampai I). Kita berharap keikutsertaan Indonesia dalam forum OKI mampu mendesakkan hak-hak para pekerja migran. Di sisi lain, apabila di tinjau dari perspektif berbagai peraturan di bidang ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia, khususnya antara lain melalui payung hukum UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 39 tahun 2004 tentang Perlindungan dan Penempatan TKI di Luar Negeri, nampak bahwa subtansi Konvensi Internasional ini (ICMW) jika dibandingkan dengan kedua UU tersebut menimbulkan beberapa perbedaan dan ketidaksesuaian. Dari hasil pengkajian dan pembahasan, tercatat perbedaan baik dari segi filosofis, tujuan, ruang lingkup, dan teknis melalui berbagai ketentuan dalam pasal dan ayat, yang mengatur substansi kedua UU tersebut tidak/belum sejalan dengan Konvensi ICMW, dan hal inilah yang menjadi salah satu pertimbangan Pemerintah Indonesia belum melakukan ratifikasi terhadap ICMW selama ini. Alasan utama Pemerintah Indonesia belum melakukan ratifikasi ICMW selama ini, lebih disebabkan karena adanya sejumlah kewajiban yang muncul sebagai konsekuensi jika Indonesia meratifikasinya. Salah satunya adalah penyesuaian terhadap berbagai peraturan terkait dengan hak-hak pekerja migran yang tercakup dalam ICMW dan ini tentunya memerlukan biaya yang sangat besar. Namun, perlu pula dicatat bahwa apabila Indonesia mampu meratifikasi konvensi ICMW tersebut, maka Indonesia dapat menaikkan posisi tawar, mengangkat masalah TKI ke dunia Internasional dan dapat menggunakan berbagai mediasi dalam mekanisme pengaduan. Berdasarkan dasar pijakan pemikiran tersebut, secara umum Pemerintah, melalui beberapa Kementerian dan Lembaga terkait, bersama DPR RI terus berjuang untuk
143
melakukan ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak-Hak seluruh Pekerja Migran beserta Keluarganya. Pimpinan, Para Menteri, Anggota Dewan dan hadirin Yang Berbahagia. Fraksi Partai Golkar DPR-RI menyambut baik inisiatif dari Pemerintah yang sedari awal, berupaya melakukan kajian secara menyeluruh terhadap ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran beserta Anggota Keluarganya melalui sebuah Undang-Undang. Rancangan Undang-Undang ini sangat relevan sekali jika dikaitkan dengan kondisi bangsa saat ini. Adapun butir-butir penting yang selayaknya menjadi perhatian bersama dalam draft RUU Konvensi Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran beserta Keluarganya ini adalah sebagai berikut: 1.
Pengertian mengenai perlindungan hak-hak seluruh pekerja migran. Konsep perlindungan yang diatur dalam Konvensi agar diharmonisasikan dengan ketentuan perlindungan hakhak pekerja migran pada peraturan perundang-undangan Indonesia yang berlaku. Catatan kami adalah bahwa pengertian perlindungan hak-hak seluruh pekerja migran pada aturan Konvensi, terlalu luas, nyaris tidak ada batasnya, sementara kondisi keuangan negara sangatlah terbatas, sehingga apabila perlindungan hak-hak pekerja migran akhirnya mengakibatkan konsekuensi pembiayaan Pemerintah, akan menyebabkan beban biaya yang terlampau besar ditanggung oleh APBN.
2.
Konvensi ICMW mengatur, apabila terjadi perselisihan antara dua atau lebih negara yang terlibat dalam perlindungan pekerja migran, maka salah satu pihak dapat mengajukan ke Arbitrase atau ke Mahkamah Internasional (Pasal 92 Ayat 1 Konvensi ICMW). Dalam ratifikasi Konvensi ICMW melalui pengesahan RUU Konvensi ICMW, Fraksi Partai Golkar, belum sependapat dengan ketentuan ini, dengan pemikiran, karena negara tujuan pekerja migran Indonesia, pada umumnya merupakan negara yang sudah berkembang, sementara Indonesia masih merupakan negara yang sedang berkembang, 144
maka negara tujuan pekerja migran Indonesia umumnya lebih mampu membiayai proses arbitrase. Maka besar kemungkinannya Negara tujuan pekerja migran Indonesia akan memenangkan gugatan di Lembaga Arbitrase tersebut. Fraksi Partai Golkar menyarankan dalam RUU Konvensi tersebut, diatur bahwa kasus perlindungan pekerja migran hanya dapat dibawa pada proses Arbitrase Internasional apabila disetujui paling sedikit 5 (lima) Negara yang sudah meratifikasi Konvensi ICMW. 3.
Pasal 92 Ayat 2 Konvensi ICMW menyatakan bahwa Perlindungan atas Hak-hak Pekerja Migran dan anggota keluarganya adalah mengikat. Makna dari ketentuan ini adalah, bahwa negara terkait untuk melindungi seluruh hakhak pekerja migran beserta keluarganya. Apabila Pemerintah tidak mampu melindungi pekerja Migran tersebut, besar kemungkinan Pemerintah mendapat sanksi Internasional. Fraksi Partai Golkar mengusulkan agar pasal 92 ayat 2 tidak perlu di ratifikasi. Artinya pemerintah berkewajiban melindungi hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya, sepanjang Pemerintah mampu melaksanakannya.
4.
Pasal 46 Konvensi ICMW, menyatakan bahwa pekerja migran dan anggota keluarganya dalam status reguler menikmati pembebasan pajak impor dan ekspor rumah tangga dan barang pribadi. Pasal 48 menyatakan bahwa pekerja migran tidak akan dikenakan pajak lebih berat dibandingkan dengan warga negara lainnya, dalam kondisi kehidupan yang setara. Sedangkan pasal 47 mengatur bahwa pekerja migran berhak untuk mentransfer pendapatan dan tabungan mereka, khususnya dalam hal dana tersebut diperlukan untuk membiayai keluarga mereka yang tinggal di negara asal migran. Dalam hal ini Fraksi Partai Golkar menyatakan bahwa Peraturan Perpajakan, Ekspor/Impor, Transfer Dana dan berbagai peraturan lainnya di bidang perbankan tetap berlaku secara nasional, tidak menganut asas pengecualian, untuk memberikan kepastian hukum bagi seluruh masyarakat.
145
5.
Akhirnya Fraksi Partai Golkar menekankan bahwa kemauan politik Pemerintah untuk memastikan perlindungan Internasional bagi para pekerja migran dan anggota keluarganya melalui ratifikasi Konvensi Perlindungan HakHak Pekerja Migran beserta Anggota Keluarganya, harus dapat diterapkan sesuai dengan undang-undang yang berlaku secara nasional. Apabila bertentangan, maka terlebih dahulu dilakukan revisi atas UU tersebut, agar mampu menyesuaikan dengan aturan Internasional Konvensi ICMW.
Berdasarkan beberapa pandangan dan pemikiran diatas maka Fraksi Partai Golongan Karya dengan mengucapkan Bismillahirrahmannirrahim menyatakan Menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Konvensi Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya untuk disyahkan menjadi Undang-Undang. Demikian pendapat akhir Fraksi Partai Golkar, semoga Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT, senantiasa memberikan perlindungan dan kekuatan kepada kita, sehingga kita semua dapat menjalankan tugas-tugas konstitusional dengan sebaik-baiknya. Wabillahittaufiq Walhidayah Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Jakarta, 9 April 2012 Pimpinan Fraksi Partai Golongan Karya Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Ketua
Sekretaris
ttd.
ttd.
Drs. Setya Novanto, Ak.
Drs. Ade Komaruddin, MH.
146
147
PENDAPAT MINI FRAKSI PDI PERJUANGAN PADA PENGAMBILAN KEPUTUSAN TINGKAT I RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN KONVENSI INTERNASIONAL MENGENAI PERLINDUNGAN HAK-HAK SELURUH PEKERJA MIGRAN DAN ANGGOTA KELUARGANYA Disampaikan oleh No Anggota
: Rieke Diah Pitaloka : A-339
Assalamualaikum Wr.Wb. Salam sejahtera bagi kita semua Om Swastiastu MERDEKA!!! Yang terhormat Pimpinan dan Anggota Komisi IX DPR RI, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Tenaga Kerja, Menteri Luar Negeri, Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karuniaNya sehingga pada hari ini kita semua masih diberikan kesempatan untuk melaksanakan tugas konstitusi dan amanat rakyat. Seperti kita ketahui Konvensi Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya bukan semata-mata, karena fenomena pekerja migran yang umumnya melibatkan dua atau lebih wilayah hukum yang berada, melainkan juga merupakan pengakuan atas konsekuensi perdagangan barang dan jasa pada era globalisasi dimana arus perpindahan barang, jasa dan manusia menjadi kian intensif. Tanggal 07 Februari, Presiden SBY telah mengeluarkan Ampres No. R-17/Pres/02/2012. Ampres berisikan amanat kepada Pemerintah (Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM dan Kemenaketrans) untuk bersama DPR RI membahas dan menyetujui International Convention on the Protection of All Migrant Wokers and Their
148
Families (Konvensi tentang Perlindungan Seluruh Hak-Hak buruh Migran dan Anggota Keluarganya). Dalam Rancangan UU pengesahan Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, di bagian penjelasan paragraf 3 dijelaskan bahwa Pemerintah tanggal 22 September 2004 telah menandatangani Konvensi ini tanpa reservasi. Kata Reservasi menurut Konvensi Wina 1969 Pasal 2 (1d) : suatu pernyataan sepihak, dengan bentuk dan nama apapun, yang dibuat oleh suatu Negara, ketika menandatangani, meratifikasi, mengakseptasi, menyetujui, atau mengaksesi atas suatu perjanjian internasional, yang maksudnya untuk mengesampingkan atau mengubah akibat hukum dari ketentuan tertentu dari perjanjian itu dalam penerapannya terhadap negara yang bersangkutan. Artinya semua pasal dalam Konvensi diadopsi oleh pemerintah. Oleh karenanya dalam rancangan UU tentang pengesahan Konvensi di pasal 1 dikatakan : - Ayat 1 : Mengesahkan International Convention on the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-hak seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluargnya). - Ayat 2 : Salinan naskah asli International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Wokers and members of Their Families (Konvensi Internasional mengenai Perlindungan hak-hak Seluruh Pekreja Migran dan Anggota Keluarganya) dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UU ini. Yang terhormat Pimpinan dan Dewan, serta hadirin yang dimuliakan. Fraksi PDI Perjuangan DPR RI sangat mendukung hadirnya UU ini untuk perlindungan kepada buruh migran. Fraksi PDI Perjuangan DPR RI menyampaikan beberapa catatan penting sebagai berikut :
149
Pertama, Fungsi Konvensi PBB tahun 1990 Memberikan jaminan perlindungan berada dalam kerangka hukum internasional, yakni fungsi pencegahan, penanggulangan dan penyelesaian sengketa hukum antar negara yang terkait. Konvensi ini merupakan konvensi yang relatif paling lengkap menyerap berbagai prinsip dari aturan HAM internasional seperti hak sipol, hak ekonomi sosial budaya, anti diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan terhadap perempuan dan konvensi hak anak. Kedua, Pentingnya meratifikasi konvensi PBB tahun 1990 1. Mengatur mengenai standar minimum perlindungan hakhak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya seluruh buruh migran dan anggota keluarganya. Konvensi ini mendorong negara agar menyelaraskan perundang-undangannya dengan standar universal yang termaktub dalam konvensi. 2. Mengakui adanya kontribusi yang disumbangkan oleh buruh migran terhadap ekonomi dan masyarakat negara tempat mereka bekerja serta pembangunan negara asal mereka. 3. Mencantumkan serangkaian standar untuk perlindungan buruh migran dan kewajiban negara yang terkait meliputi negara asal, transit dan negara tempat bekerja. 4. Mencegah dan menghapuskan eksploitasi seluruh buruh migran dan anggota keluarga di seluruh proses migrasi termasuk mencegah terjadinya perdagangan manusia. 5. Konvensi ini tidak hanya melindungi para buruh migran, tapi juga melindungi kepentingan negara penerima buruh migran terkait dengan pembatasan akses kategori pekerjaan guna melindungi warga negaranya. Pembatasan ini tertuang pada Pasal 52 ayat 2 (a) : “membatasi akses pada kategori pekerjaan, fungsi, pelayanan atau kegiatan tertentu apabila diperlukan demi kepentingan negara tersebut dan diterapkan oleh ketentuan hokum nasional.”
150
Ketiga, Beberapa pasal perlindngan yang diatur dalam konvensi PBB tahun 1990 1.
Mengatur dan mengakui keluarga buruh migran. Pasal 4 : "anggota keluarga mengacu pada orang-orang yang kawin dengan pekerja migran atau mempunyai hubungan dengannya, yang menurut hukum yang berlaku berakibat sama dengan perkawinan, dan juga orangorang mereka yang menjadi tanggungan dan orang-orang lain yang menjadi tanggungan mereka yang diakui sebagai anggota keluarga berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku atau menurut perjanjian bilateral atau multilateral antara negara-negara yang bersangkutan"
2.
Adanya kepastian non diskriminasi dalam kaitan dengan hak buruh migran. Pasal 7 : "negara-negara pihak berupaya, sesuai dengan intrumen-instrumen internasional tentang hak asasi manusia, untuk menghormati dan memastikan semua pekerja migran dan anggota keluarganya dalam wilayahnya atau yang tunduk pada yuridiksinya memperoleh hak-hak yang diatur dalam konvensi ini tanpa membedakan apapun seperti jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama, atau kepercayaan, pendapat politik atau lain-lain, kebangsaan, asal-usul etnis atau sosial, kewarganegaraan, usia, kedudukan ekonomi, kekayaan, status perkawinan, status kelahiran dll"
3.
Bebas keluar masuk meninggalkan negarapun termasuk negara asal mereka, meskipun akan dibatasi bila diperlukan untuk melindungi TKI. a. Pasal 8 ayat 1 "para pekerja migran dan anggotanya keluarganya harus bebas untuk meninggalkan negara manapun, termasuk negara asal mereka. Hak ini tidak boleh dibatasi kecuali sebagaimana ditetapkan oleh hukum, diperlukan untuk melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan dan moral umum, atau hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang
151
lain, dan yang sesuai dengan hak-hak lain yang diakui dalam konvensi ini” b. Ayat 2 "para pekerja migran dan anggota keluargannya harus memiliki hak untuk memasuki dan tinggal di Negara asalnya setiap saat". 4.
Hak atas kehidupan yang dilindungi oleh hukum. Pasal 9 : "hak hidup para pekerja migran dan anggota keluarganya harus dilindungi oleh hukum".
5.
Hak tidak menjadi korban penyiksaan atau bentuk tindakan yang tidak manusiawi. Pasal 10 : "tidak seorangpun pekerja migran atau anggota keluarganya boleh dijadikan sasaran penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan manusia".
6.
Bebas dari perbudakan, kerja paksa termasuk kerja dalam tahanan. a. Ayat 1 "tidak seorangpun pekerja migran atau anggota keluarganya boleh diperbudak atau diperhamba". b. Ayat 2 "tidak seorangpun pekerja migran atau anggota keluarganya boleh diwajibkan untuk melakukan kerja paksa atau kerja wajib; 3. Di negara-negara yang memberlakukan pemenjaraan dengan kasar sebagai hukuman atas suatu kejahatan, ayat 2 pasal ini tidak boleh mengecualikan pelaksanaan kerja kasar tersebut sesuai dengan keputusan hukum oleh pengadilan yang berwenang".
7.
Hak untuk bebas berpikir, menjalankan agama dan berpendapat. Pasal 12 ayat 1 “para pekerja migran dan anggota keluarganya harus memiliki hak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak ini harus mencakup kebebasan untuk memeluk atau menganut suatu agama atau kepercayaan atas pilihan dan kebebasannya untuk menjalankan agama atau kepercayaan dalam beribadah, penaatan, pengamalan,
152
dan pengajaran, secara sendiri atau dalam masyarakat bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau pribadi”. 8.
Hak untuk memiliki pendapat yang bebas dari intervensi. Pasal 13 ayat2 “ para pekerja migran dan anggota keluarganya harus memiliki hak atas kebebasan berekspresi; hak ini harus termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan gagasan apapun, terlepas dari pembatas-pembatas, baik secara lisan, tulisan atau dalam bentuk cetakan, karya seni, atau melalui media lain pilihannya”.
9.
Hak untuk memiliki properti/barang dan bebas dari perampasan harta yang sewenang-wenang. Pasal 15 “ tidak seorangpun pekerja migran atau anggota keluarganya boleh bicara secara sewenang-wenang dirampas harta bendanya, baik yang dimiliki sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain”. Apabila menurut ketentuan hukum yang berlaku dinegara tujuan kerja, aset pekerja migran atau anggota kelurganya disita baik sebagian maupun seluruhnya, orang yang bersangkutan harus memiliki hak untuk memperoleh kompensasi yang adil dan memadai”.
10. Hak mendapat perlindungan dari Negara baik dari segala macam ancaman dan proses hukum. a. Pasal 16 ayat 2 “para pekerja migran dan anggota keluarganya harus memiliki hak atas perlindungan yang efektif dari Negara terhadap tindak kekerasan, cidera fisik, ancaman, intimidasi yang dilakukan oleh aparat pemerintah atau oleh orang perseorangan, kelompok atau lembaga”. b. Pasal 16 ayat 5 “ para pekerja migran dan anggota keluarganya yang ditangkap harus diberi tahu pada saat penangkapan mengenai alasan-alasan penangkapannya dalam bahasa yang sedapat mungkin dapat mereka pahami, dan harus segera mungkin
153
diberi tahu tuduhan yang dikenakan terhadapnya dalam bahasa yang mereka pahami”. 11. Hak mendapatkan perbaikan dan rehabilitasi sosial ketika mendapatkan hukuman. Pasal 17 ayat 4 “selama jangka waktu hukuman penjara menurut hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan, tujuan penting dari perlakuan terhadap para pekerja migran dan anggota keluarganya harus menjadi perbaikan dan rehabilitasi sosial mereka. Terpidana dibawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan diperlakukan sesuai dengan usia dan status hukuman mereka”. 12. Hak mendapatkan bantuan hukum ketika diadili. Pasal 18 ayat 3 d : “ untuk diadili dengan kehadiran mereka dan untuk membela diri mereka secara pribadi atau melalui penasehat hukum atau pilihan mereka sendiri; untuk diinformasikan, jika mereka tidak memiliki penasehat hukum , akan adanya hak ini; dan untuk memiliki penasehat hukum yang ditugasi mendampingi mereka, dalam keadaan apaun ketika kepentingan keadilan sangat dibutuhkan dan tanpa pembayaran oleh mereka dalam hal ini jika mereka tidak memiliki sumber pembiayaan yang cukup”. 13. Hak untuk tidak disita dan dihancurkan dokumen identitasnya, atau dokumen izin masuk atau tinggal atau kerja. Pasal 21 “ adalah tindakan melawan hukum bagi setiap orang, kecuali oleh aparat Pemerintah yang diberi kewenangan oleh hukum, untuk menyita, menghancurkan, atau mencoba menghancurkan dokumen identitas, dokumen yang memberi izin masuk atau tinggal, bertempat tinggal atau dokumen penting lain yang diperlukan di wilayah nasional atau izin kerja”. Tidak satupun penyitaan resmi atas dokumen-dokumen tersebut boleh dilakukan tanpa memberikan tanda terima terperinci. Dalam hal apapun tidak diperbolehkan untuk menghancurkan paspor atau dokumen yang setara milik pekerja migran dan anggota keluarganya.
154
14. Hak mendapatkan perlakuan yang sama dengan negara tujuan bekerja. Pasal 25 ayat 1 a “ketentuan kerja lain yaitu uang lembur, jam kerja, istirahat mingguan, liburan dengan dibayar, keselamatan, kesehatan, pemutusan hubungan kerja, dan ketentuan kerja lain yang menurut hukum dan praktik nasional dicakup dalam ketentuan ini”. 15. Hak mendapatkan jaminan sosial dengan negara tujuan bekerja. Pasal 27 ayat 1 “berkenaan dengan jaminan sosial, para pekerja migran dan anggota keluarganya harus menikmati perlakuan yang sama dengan warga negara di negara tujuan kerja, selama mereka memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut serta perjanjian bilateral dan multilateral yang berlaku”. 16. Hak mendapatkan kesehatan. Pasal 28 “ para pekerja migran dan anggota keluarganya harus memiliki hak untuk menerima perawatan kesehatan yang sangat mendesak yang diperlukan untuk kelangsungan hidup hidup mereka atau untuk untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada kesehatan mereka, berdasarkan kesetaraan perlakuan dengan warga negara dari negara yang bersangkutan”. Perawatan medis mendesak semacam itu tidak boleh ditolak oleh negara dengan alasan adanya hal yang sifatnya tak reguler yang berkaitan dengan masa tinggal atau pekerjaan mereka. Beberapa keberatan dan perdebatan mengenai Ratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 juga sudah terjawab, yaitu: 1. Hak memiliki properti di negara tempat bekerja. Hak ini sudah jelas diatur dalam pasal 15 dengan terjemahan bahasa : “ tidak seorangpun pekerja migran atau anggota keluarganya boleh secara sewenang-wenang dirampas harta bendanya, baik yang dimiliki sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Apabila menurut ketentuan hukum yang berlaku di negara tujuan kerja, aset pekerja migran atau anggota keluarganya disita baik sebagian maupun seluruh, orang yang bersangkutan 155
harus memiliki hak untuk memperoleh kompensasi yang adil dan memadai. 2. Hak untuk mendapatkan perawatan kesehatan (pasal 28). Pasal ini dapat digunakan sebagai dasar pembuatan Memorandum of Understanding (MoU) dengan negara penerima buruh migran bahwa Pemerintah Indonesia mempunyai standar perlindungan sesuai konvensi PBB tahun 1990 untuk melindungi warga negaranya di luar negeri. 3. Mengenai pajak yang diberikan kepada pekerja migran (pasal 48 ). Dalam pasal ini jelas dikatakan bahwa pekerja migran TIDAK DIKENAI PAJAK GANDA atau PAJAK yang LEBIH BESAR dari warga negara tempat mereka bekerja. Oleh karenanya Negara pihak wajib menetapkan kebijakan yang tepat. Sidang yang terhormat, Demikianlah pandangan mini Fraksi PDI Perjuangan tentang pembahasan RUU tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Dengan semua pertimbangan-pertimbangan yang pada, maka Fraksi PDI Perjuangan menyetujui untuk ditindaklanjuti dalam pembahasan Tingkat II. Semoga dengan adanya Undang-Undang ini menjadi payung untuk perbaikan peraturan untuk perlindungan buruh migran dan anggota keluarganya. Wassalamu’alaikum WrWb Merdeka!!! Jakarta, 09 April 2012 PIMPINAN FRAKSI PDI PERJUANGAN DPR RI PUAN MAHARANI
Ir. BAMBANG WURYANTO, MBA
ttd.
ttd.
KETUA
SEKRETARIS
156
PENDAPAT MINI FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA DPR RI TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN KONVENSI INTERNASIONAL MENGENAI PERLINDUNGAN HAK-HAK SELURUH PEKERJA MIGRAN DAN ANGGOTA KELUARGANYA Disampaikan oleh : H. Martri Agoeng No. Anggota : A- 79 Bismillahirrahmanirrahiim, Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuhuu,Yang kami hormati, Menteri Luar Negeri RI Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Ketua dan wakil ketua Komisi IX DPR RI Bapak & Ibu Anggota Komisi IX DPR RI Hadirin serta wartawan yang berbahagia Alhamdulillah segala puji hanya Allah SWT yang ditanganNyalah segala urusan atas makhlukNya. Shalawat dan salam semoga Allah curahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta seluruh keluarganya, sahabatnya dan umatnya sampai akhir zaman. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia, telah menjamin hak dasar setiap individu untuk memperoleh perlindungan yang layak bagi setiap orang, sebagaimana yang termaktub dalam pasal 27 ayat (2). Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian. Ratifikasi Konvensi Pekerja Migran adalah perwujudan komitmen Indonesia dalam perlindungan, penghormatan, pemajuan dan pemenuhan hak asasi manusia sebagaimana yang telah
157
diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia. Norma-norma yang tertuang dalam Konvensi Pekerja Migran sesungguhnya bukanlah norma baru hak asasi manusia. Kami dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera memandang bahwa Konvensi Pekerja Migran merupakan kodifikasi dan kesatuan utuh dari perlindungan hak-hak asasi manusia yang dikhususkan kepada pekerja migran dan anggota keluarganya, termasuk juga pekerja migran dalam situasi tak reguler dan reguler serta bagi pekerja di sektor formal dan informal. Kami melihat bahwa isi Konvensi Pekerja Migran telah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang no.13 tahun 2003 yakni terkait perlindungan tenaga kerja yang telah mengatur ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja yang telah mengatur ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja khususnya di dalam negeri serta hak dan kewajiban pelaksanaan penempatan dan pemberi tenaga kerja serta tenaga kerja itu sendiri, salah satunya perlindungan hak asasi mereka sebagaimana diatur dalam Konvensi Pekerja Migran. Apabila dikaitkan dengan ketentuan Konvensi Pekerja Migran maka hal ini akan berkaitan dengan penanganan seluruh pekerja. Termasuk pekerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri. Kami juga menilai bahwa ratifikasi Konvensi Pekerja Migran sesuai dengan semangat revisi RUU no. 39 tahun 2004 yang sedang berjalan pembahasannya di Komisi IX DPR RI saat ini, yakni dapat memperbaiki perlindungan bagi calon pekerja migran Indonesia dalam pra penempatan, selama bekerja di luar negeri, serta purna penempatan dan kiranya dapat memperbaiki sistem penempatan pekerja migran ke luar negeri. Fraksi PKS memandang bahwa Konvensi Pekerja Migran tidak hanya akan meningkatkan perlindungan pekerja migran tetapi juga mencegah praktik-praktik illegal serta akan mengatasi tingkat penyalahgunaan system pekerja migran ke luar negeri. Harapannya bahwa dengan RUU Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, Fraksi
158
PKS perlu memberikan penguatan beberapa point yang antara lain; 1. Memperkuat peran diplomasi Indonesia untuk mendesak negara-negara tujuan Pekerja Migran dari Indonesia untuk juga meratifikasi konvensi ini. 2. Meminta pada Pemerintah menyiapkan perangkat yang lebih baik dalam mengawasi tenaga kerja asing di Indonesia. 3. Meminta pada Pemerintah untuk menghadirkan komitmen demi kepentingan negara yang ditetapkan oleh ketentuan hukum Nasional untuk melindungi Pekerja Migran. 4. Perlindungan dapat dilakukan melalui mekanisme hukum internasional yang tidak hanya diberikan kepada pekerja migran dalam yurisdiksi Indonesia tetapi juga pekerja migran Indonesia di luar negeri. Hendaknya cakupan pokok-pokok subtansi Konvensi dapat memperkuat hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya, yakni; hak untuk hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan, hukuman atau perlakuan kejam dan tidak manusiawi, hak untuk bebas dari perbudakan, hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama, hak atas berekspresi, hak untuk bebas dari penangkapan/penahanan yang sewenang-wenang, hak untuk diperlakukan sama di depan hukum, hal untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hal-hal terkait kontrak/hubungan kerja, hak untuk berserikat dan berkumpul, hak untuk membentuk perkumpulan dan serikat pekerja, serta hak atas akses terhadap pendidikan bagi anak pekerja migran.Berdasarkan pemaparan di atas, maka dengan bertawakal kepada Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Penyayang dan dengan mengucap bismillaahirohmaanirrahim Fraksi Keadilan Sejahtera menyetujui pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya untuk diambil keputusan tingkat I dan selanjutnya dapat diambil keputusan tingkat II pada paripurna DPR RI.
159
Demikian pandangan Fraksi PKS terhadap Rancangan UndangUndang tentang Pengesahan Konvesi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya ini kami sampaikan, atas perhatiannya dan kerjasamanya kami mengucapkan banyak terima kasih. Jazakumullah khairan katsiran Wassallaamualaikum warahmatullaah wabarakaatuhu Jakarta, 17 Jumadil Awal 1433 H 09 April 2012 M PIMPINAN FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA DPR RI Ketua,
Sekretaris,
ttd.
ttd.
H. MUSTAFA KAMAL, S.S. A-53
K.H.Ir. ABDUL HAKIM, M.M. A-57
160
PENDAPAT AKHIR MINI FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE PROTECTION OF THE RIGHTS OF ALL MIGRANT WORKERS AND MEMBERS OF THEIR FAMILIES (KONVENSI INTERNASIONAL MENGENAI PERLINDUNGAN HAK-HAK SELURUH PEKERJA MIGRAN DAN ANGGOTA KELUARGANYA) Dibacakan Oleh : Ir. A. Riski Sadig Nomor Anggota : 129 Bismillahirrahmanirrahiim Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Selamat siang dan Salam Sejahtera untuk kita semua Saudara Pimpinan dan Anggota Komisi IX DPR RI yang kami hormati; Saudara Menteri Luar Negeri RI berserta jajarannya yang kami hormati; Saudara Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI beserta jajarannya yang hormati; Saudara Menteri Hukum dan HAM RI beserta jajarannya yang kami hormati; Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena berkat limpahan rahmatNya kita dapat melaksanakan Rapat Kerja untuk membahas Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan International Convention on The Protection of the Rights of All Migrant Workers And Members of Their Families (Konvensi Internasional Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran Dan Seluruh Anggotanya). Indonesia merupkan salah satu negara pengirim pekerja migran terbesar di dunia. Dalam pelaksanaan tugasnya, perkerja
161
Indonesia menghadapi banyak permasalahan, antara lain resiko persaingan dengan pekerja asing, mobilitas dan ancaman keamanan terhadap keselamatan pekerja. Hal ini, tentu saja perlu diberikan perlindungan yang memadai. Fraksi Partai Amanat Nasional menyambut Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Worker and Members of Their Families (Konvensi Internasional Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Seluruh Anggota Keluarganya). Indonesia memiliki kebutuhan untuk mengatur dan memajukan mekanisme perlindungan dan penataan manajemen migrasi. Dengan adanya pengaturan ini diharapkan pekerja dapat memperoleh perlindungan dan haknya lebih baik, mulai dari prapenempatan, selama bekerja di luar negeri, maupun purnapenempatan. Kebutuhan ini meliputi kebijakan di tingkat nasional dan internasional (baik bilateral maupun multilateral). Kebijakan ini terdiri dari kebijakan politik, pembangunan, hukum dan kebijakan luar Negeri, khususnya terkait perlindungan pekerja migran Indonesia. Dengan meratifikasi Konvensi Pekerja Migran diharapkan Pemerintah Indonesia dapat meningkatkan upaya-upaya perlindungan, penghormatan, pemajuan dan pemenuhan hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya berdasarkan norma-norma hak asasi manusia universal. Ratifikasi Konvensi Buruh Migran ini sangat penting untuk menaikan posisi tawar Indonesia di komunitas internasional. Sehingga penyelesaian kasus yang menyangkut pekerja migran Indonesia di luar negeri berpotensi mendapat kemudahan. Selama ini, negara tujuan pekerja migran sering menjadikan alasan belumnya Indonesia meratifikasi Konvensi itu sehingga negara yang bersangkutan tak wajib melindungi pekerja migran Indonesia.
162
Indonesia harus memeliki posisi tawar yang baik sehingga dapat memiliki alasan untuk mendorong negara tujuan pekerja migran untuk melindungi hak pekerja migran Indonesia. Ratifikasi Konvensi Perlindungan Pekerja Migran itu penting bagi Indonesia karena dapat memberi perlindungan komprehensif terutama bagi pekerja di sektor informal, karena pekerja di sektor informal tidak banyak diatur perlindungannya. Ratifikasi Konvensi itu memberi perlindungan terhadap pekerja migran yang tak berdokumen. Keuntungan meratifikasi konvensi ini, sebagai acuan untuk merevisi UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKLN). Selain itu untuk memaksimalkan perlindungan pekerja migran Indonesia, menegaskan pemerintah dapat membangun hubungan luar negeri di tingkat bilateral, regional dan global. Ratifikasi bukan tujuan akhir tapi tindakan untuk mengintegrasikan norma dan standar masyarakat internasional ke dalam peraturan nasional. Fraksi PAN berpendapat bahwa Ratifikasi konvensi ini tidak boleh merugikan kepentingan tenaga kerja kita dan kepentingan nasional secara keseluruhan. Ratifikasi Konvensi ini harus benar-benar memberikan perlindungan kepada pekerja dan keluarganya. Ratifikasi ini hendaknya dapat melindungi pekerja migran yang tidak berdokumen lengkap atau tidak memiliki izin resmi untuk bekerja dan menetap. Pekerja migran tak terdokumentasi (PTT) tetap harus diupayakan mendapat perlindungan dari aparat berwenang, karena penekanan HAM tidak terbatas pada kelompok tertentu saja. Fraksi PAN mengharapkan Konvensi ini dapat memberantas praktik penyelundupan manusia antar negara karena sudah semakin memprihatinkan. Ratifikasi Konvensi ini akan melindungi warga negara Indonesia dari praktik penyelundupan dan kriminalisasi yang dilakukan oknum-oknum tertentu untuk kepentingan mereka ke negara lain secara ilegal. Berkaitan dengan hal ini, Fraksi Partai Amanat Nasional mengharapkan agar Pemerintah segera membuat peraturan 163
pelaksanaan dan perangkat lain yang mendukung pelaksanaan Undang-Undang ini sekaligus menyiapkan kebijakan anggaran secara proporsional sebagai konsekuensi logis dari penetapan Undang-undang ini. Selain itu, agar Undang-Undang ini betul-betul dapat dilaksanakan secara efektif maka Pemerintah perlu melakukan sosialisasi secara intensif kepada komponen masyarakat terkait sehingga tumbuh persepsi yang sama dan sekaligus mendukung pelaksanaan Undang-Undang ini. Dengan adanya sosialisasi yang efektif, diharapkan Ratifikasi Konvensi ini dapat mendorong terciptanya ratifikasi universal dan penerapan prinsip serta norma standar internasional bagi perlindungan hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya secara global. Saudara Pimpinan dan Anggota Komisi IX DPR RI yang kami hormati; Saudara Menteri Luar Negeri RI berserta jajarannya yang kami hormati; Saudara Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI beserta jajarannya yang hormati; Saudara Menteri Hukum dan HAM RI beserta jajarannya yang kami hormati Secara umum Fraksi Partai Amanat Nasional berpendapat, bahwa kesepakatan atas berbagai substansi dari Rancangan Undang-Undang ini meruapakan hasil optimal, setelah melalui pembahasan bersama antara DPR dan Pemerintah. Fraksi Partai Amanat Nasional merasakan proses pembahasan telah berlangsung secara demokratis, positif dan ada nuansa kebersamaan. Dengan semangat inilah, setiap pembahasan dapat terlaksana secara efektif, aspiratif dan produktif. Akhirnya, kami atas nama Fraksi Partai Amanat Nasional mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
164
1. Pimpinan Komisi IX yang telah memimpin persidangan dengan penuh kesabaran, toleransi, dan bijaksana, sehingga pembahasan ini dapat berjalan lancar dan tertib. 2. Seluruh fraksi yang telah berpartisipasi dalam pembahasan dengan penuh enerjik, kreatif, dan dinamis. 3. Saudara Menteri Luar Negeri, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Menteri Hukum dan HAM beserta jajarannya selaku wakil pemerintah. 4. Seluruh Staf Sekretariat Komisi IX Pansus yang telah memberikan dukungan penuh selama pembahasan RUU ini. Demikian pendapat Fraksi Partai Amanat Nasional, dengan mengucapkan Bismillahirrmanirrahiim kami menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang International Convention On The Protection of The Rights of All Migrant Wokers and Members of Their Families (Konevensi Internasional Hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan Seluruh Anggota Keluarganya) untuk dilanjutkan pada Pembicaraan Tingkat II dalam Rapat Paripurna DPR RI untuk Disahkan menjadi Undang-Undang. Atas perhatiannya kami sampaikan banyak terima kasih. Wabillahi taufik walhidayah. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh. Jakarta, 9 April 2012 PIMPINAN FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA ttd.
ttd.
Ir. H. Tjatur Sapto Edy, MT Ketua
Ir. H. Teguh Juwarno, M.Si Sekretaris
165
PENDAPAT AKHIR MINI FRAKSI PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE PROTECTION OF THE RIGHTS OF ALL MIGRANT WORKERS AND MEMBERS OF THEIR FAMILIES (KONVENSI INTERNASIONAL MENGENAI PERLINDUNGAN HAK-HAK SELURUH PEKERJA MIGRAN DAN ANGGOTA KELUARGANYA) Disampaikan pada Rapat Kerja Komisi IX DPR RI, Senin, 9 April 2012 Oleh Juru bicara Fraksi PPP DPR RI: Muhammad Iqbal, SE., M. Kom Anggota DPR RI nomor: 285
Assalamu’alaikum Wr.Wb. Yang terhormat Saudara Pimpinan Komisi IX DPR RI, Yang terhormat Saudara Menteri Luar Negeri RI, Yang terhormat Saudara Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Yang terhormat Saudara Menteri Hukum dan HAM RI, Yang terhormat Rekan-Rekan Anggota Komisi IX DPR RI, Dan semua hadirin yang berbahagia. Mengawali Rapat Kerja yang berbahagia ini, marilah kita bersyukur senantiasa perlindungan Allah SWT atas Rahmat dan karunia-Nya pada hari dan kesempatan yang berbahagia ini, kita dapat dapat melaksanakan rapat kerja dalam rangka pembahasan RUU Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Salawat dan Salam ke hadapan Junjungan Nabi besar Muhammad SAW, sebagai pimpinan teladan bagi peradaban umat manusia. Bapak dan ibu peserta Rapat Kerja Komisi IX yang terhormat Pada kesempatan yang berbahagia ini Fraksi Partai Persatuan Pembangunan diberikan kesempatan untuk menyampaikan
166
pandangannya mengenai RUU Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Sebelum menyampaikan beberapa catatan penting dalam pembahasan RUU ini, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan menegaskan kembali “Bahwa Negara berkewajiban melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, serta memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa” yang ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945 yang juga diamanatkan dalam Pasal 27 Ayat 2: “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian” sesuai dengan cita-cita Proklamasi dan UUD 1945. Menimbang hal di atas, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan memiliki komitmen yang kuat untuk senantiasa peduli dengan perlindungan terhadap hak pekerja migran yang selama ini menjadi persoalan yang menguras tenaga dan pikiran kita sebagai anak bangsa. Banyak kasus penganiayaan tenaga kerja, penyiksaan, pemerkosaan bahkan sampai pada tingkat pembunuhan yang dialami pekerja migran kita di negara tempatnya bekerja. Hal ini meninggalkan kesedihan mendalam bagi keluarga maupun kita sebagai sesama anak bangsa. Padahal kehadiran pekerja migran tersebut akan membawa pengaruh yang positif bagi peningkatan devisa Negara dan kesejahteraan keluarga. Upaya-upaya diplomasi yang dilakukan selama ini belumlah dapat menyelesaikan permasalahan yang ada, maka oleh karena itu diharapkan dengan pembahasan RUU Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya akan membawa perubahan yang lebih baik bagi perlindungan pekerja migran kita. Hadirin Rapat Kerja yang kami muliakan, Bahwa Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran, dan Anggota Keluarganya adalah konvensi yang sangat penting bagi Indonesia, yang dapat memberikan kontibusi positif terhadap jaminan perlindungan hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya. Konvensi Pekerja Migran yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 18 Desember 1990 melalui resolusi nomor 45/158, disambut baik oleh masyarakat
167
internasional, terutama bagi Negara asal pekerja migran termasuk Indonesia. Hadirin yang berbahagia, Sebagai sebuah Konvensi yang berorientasi pada perlindungan, maka posisi Konvensi ini tidak berbeda dengan konvensi internasional lainnya yang sudah terlebih dahulu diratifikasi oleh Indonesia. Maka dalam konteks ini sangat penting bagi Indonesia, sebagai salah satu negara terbanyak buruh migran untuk memiliki instrument atau standar perlindungan buruh migran yang sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungan yang sesuai dengan hukum internasional. Dalam konteks praktis, Konvensi ini memberi panduan bagaimana struktur organisasi pemerintah harus melindungi buruh migran, mulai dari Pra-Pemberangkatan sampai pulang ke rumah (Purna Bekerja), serta kewajiban-kewajiban yang melekat di dalamnya. Oleh karena itu, kekuatan dari Konvensi ini dapat menjadi alat untuk menekan perubahan domestik di Negara yang meratifikasi Konvensi dan untuk melobi dunia internasional untuk menegakkan standar HAM bagi para pekerja migran dan anggota keluarganya. Di samping itu yang menjadi catatan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan adalah setelah Ratifikasi Konvensi ini disahkan, bahwa tidak secara otomatis perlindungan tenaga kerja migran kita di luar negeri dapat diatasi secara sempurna. Sejauh Negara tujuan atau tempatnya bekerja belum turut serta dalam meratifikasi Konvensi ini. Maka oleh karena itu, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mendesak Pemerintah Indonesia untuk turut secara aktif mendesak Negara-negara lain untuk mengakui dan menghormati perlindungan hak asasi tenaga kerja Indonesia. Sekaligus meratifikasi Konvensi tersebut, sehingga Pemerintah Indonesia dapat membangun kerjasama bilateral, regional maupun multilateral. Disamping itu yang perlu menjadi perhatian kita adalah bahwa Konvensi ini perlu juga menegaskan kewajibankewajiban yang harus dilakukan oleh pekerja migran baik yang nantinya bekerja di negeri ini maupun yang akan bekerja di negara lain. 168
Hadirin yang berbahagia, Dengan usulan Rancangan Undang-Undang ini, selanjutnya Fraksi Partai Persatuan Pembangunan berpandangan sebagai berikut. Pertama, mendesak pemerintah untuk melakukan dan mendorong optimalisasi dampak migrasi bagi kesejahteraan buruh migran Indonesia dan anggota keluarganya. Kedua, mendorong terjadinya optimalisasi sinergi dan koordinasi antar instansi dalam menangani masalah pekerja migran. Ketiga, mendorong transparasi dan akuntabilitas dalam keseluruhan proses migrasi sehingga dapat meminimalisir terjadinya permasalahan yang dihadapi pekerja migran. Berdasarkan pokok-pokok pikiran diatas, dengan senantiasa mengharap Ridho Allah SWT, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan dengan mengucapkan Bismilahirrahmanirahim, menyatakan persetujuannya terhadap Usulan Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan International Convention on the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families – Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, untuk ditetapkan sebagai Undang-Undang. Demikianlah, Pendapat Akhir Mini Fraksi PPP DPR RI ini disampaikan, dan atas perhatian Pimpinan Rapat, Menteri Luar Negeri RI, Menakertrans RI dan Menteri Hukum dan HAM RI dan Rekan-rekan anggota komisi IX DPR RI serta hadirin yang sekalian kami ucapkan terima kasih. Billahittaufiq Walhidayah, Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Jakarta, Senin, 9 April 2012 FRAKSI PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Juru Bicara, ttd. Muhammad Iqbal, SE, M.Kom Anggota DPR RI No. : A-285
169
PENDAPAT MINI FRAKSI KEBANGKITAN BANGSA ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN KONVENSI INTERNASIONAL MENGENAI PERLINDUNGAN HAKHAK SELURUH PEKERJA MIGRAN DAN ANGGOTA KELUARGANYA Di sampaikan Oleh Jubir Fraksi PKB DPR RI : Hj. Chusnunia Chalim, M.Si Anggota No. A-148
Assalamu'alaikum Wr.Wb. Yang terhormat Saudara Pimpinan Sidang Yang terhormat saudara Anggota DPR RI Dan hadirin yang berbahagia, Alhamdulillah Robbil ‘Alamin, puja dan puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, taufiq serta hidayah-Nya, sehingga kita dapat menghadiri rapat kerja dalam rangka membahas RUU tentang pengesahan Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Sholawat dan salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah menunjukkan jalan kebenaran bagi umatnya, dan senantiasa menegakkan keadilan di muka bumi. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada saudara Pimpinan Rapat, yang telah memberikan kesempatan kepada Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa untuk menyampaikan Pendapat Mini Fraksi atas Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Pimpinan Sidang dan Hadirin yang terhormat, Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, telah disyahkan melalui Resolusi Majelis Umum PBB 45/158 pada 18 Desember 1990 di New York, Amerika Serikat. Dan berlaku menjadi hukum internasional sejak 1 Juli 2003. Selanjutnya Indonesia sebagai Anggota PBB telah menandatangani Konvensi ini pada 22
170
September 2004. Sebagai konsekuensinya Pemerintah Indonesia harus membentuk hukum nasional yang baru dan harmonisasi undang-undang yang ada. Dalam Konvensi Pekerja Migran Internasional termaktub perlindungan hak sipil, politik, ekonimi, sosial dan budaya bagi seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya, baik dalam situasi regular maupun tak reguler, bekerja di sektor formal maupun informal. Sementara itu, Undang-Undang No. 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, belum mengakomodir seluruh isi dari Konvensi Pekerja Migran. Undang-Undang ini masih mengakomodir perlindungan pekerja migran pada pra penempatan dan pasca penempatan, dan pasca penempatan, pada saat penempatan atau saat bekerja, belum ada perlindungan hukum yang menaunginya. Setelah disyahkannya ratifikasi Konvensi tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya ini selanjutnya agar dapat diakomodir ke dalam revisi UU No. 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang saat ini dilakukan pembahasannya di Komisi IX. Pimpinan Sidang dan Hadirin yang terhormat, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan, Pemerintah Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekan abadi dan keadilan sosial. Oleh sebab itu, Konstitusi Indonesia dan berbagai untuk instrumen HAM, baik nasional maupun internasional bertanggung jawab untuk memajukan, melindungi dan menghormati serta memenuhi Hak Asasi Manusia. Upaya ini dilakukan untuk memenuhi hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya berdasarkan norma-norma hak manusia scara universal.
171
Pekerja migran yang membutuhkan perlindungan tidak hanya dari pekerja formal, akan tetapi banyak migran Indoensia yang berstatus tidak terdokumentasikan. Sehingga dibutuhkan sebuah kerangka normatif universal, yang mampu memberikan perlindungan, sekaligus menjadi rujukan untuk memperkuat kerangka perlindungan pekerja migran Indonesia. Dalam memperkuat ketentuan perundang-undangan nasional, secara bilateral, regional, dan global, demi untuk melindungi, menghormati, memajukan dan memenuhi hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya diperlukan norma-norma asasi manusia yang bersifat universal, sehingga menyusun sebuah Rancangan Undang-Undang sebagai landasan ratifikasi Indonesia terhadap Konvensi Pekerja Migran Internasional menjadi kebutuhan Negara yang sangat mendesak. Pimpinan Sidang dan Hadirin yang terhormat, Demikian, pendapat Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa DPR RI terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya ini. Dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Konvensi Internasional ini untuk dibahas lebih lanjut dalam sidang dan rapat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Sekian pendapat mini Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa atas Rancangan Undang-Undang ini, atas perhatiannya kami sampaikan terima kasih. Wallahul Muwaffiq ilaa aqwamiththorieq Wassalamu’alaikum Wr.Wb. Jakarta, 09 April 2012 PIMPINAN, FRAKSI PARTAI KEBANGKITAN BANGSA DPR RI ttd. Marwan Ja’far Ketua
ttd. Muh. Hanif Dhakiri Sekretaris 172
PENDAPAT FRAKSI PARTAI GERINDA DPR RI TENTANG RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGESAHAN KONVENSI INTERNASIONAL MENGENAI PERLINDUNGAN HAK-HAK SELURUH PEKERJA MIGRAN DAN ANGGOTA KELUARGANYA Disampaikan Oleh No. Anggota
: Pius Liustrilanang, SIP, M.Si : A-42
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salam Sejahtera bagi kita semua Yang kami hormati: Pimpinan Sidang Komisi IX DPR RI; Hadirin dan hadirat serta para wartawan yang berbahagia Segala puji bagi Tuhan yang telah menganugerahkan Karunia-Nya sehingga kita dapat melaksanakan dan menyelesaikan tugas-tugas konstitusional yang telah diamanahkan oleh rakyat kepada kita, AMIN. Pimpinan dan Anggota Komisi IX yang kami hormati, Sebagaimana telah dijelaskan dalam UUD 1945 pasal 27 bahwa: Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerja dan penghidupan yang layak, maka pemerintah wajib menyediakan lapangan pekerja dan melindungi hak-hak tenaga kerja. Untuk melaksanakan kewajiban tersebut, maka pemerintah sudah sewajarnya melakukan upaya-upaya untuk mengatasi masalahmasalah yang terkait dengan tenaga kerjaan, baik yang berhubungan dengan tenaga kerja di dalam maupun di luar negeri. Dalam kaitan ini, buruh migran Indonesia (BMI) merupakan salah satu alternatif pekerjaan yang banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Namun demikian jerih upaya yang telah dilakukan buruh migran Indonesia tidak jarang menghadapi berbagai permasalahan sosial. Isu tentang buruh migran meliputi persoalan ketenagakerjaan dan hubungan antar negara. Padahal buruh migran selama ini dikenal sebagai pahlawan devisa. Sebagai contoh data pada tahun 2010 menunjukan bahwa 173
buruh migran telah menyumbang 84 trilyun rupiah, devisa negara. Namun demikian pada kenyataannya begitu banyak masalah yang dihadapi buruh migran dan seringkali mereka menjadi korban. Beberapa penyebab permasalahan tersebut antara lain, resolusi yang tidak berpihak pada buruh migran, pengambilalihan peran negara pada pihak swasta dengan memberi porsi keterlibatan PJTKI yang terlalu besar, pendidikan pra pemberangkatan migrasi yang tidak memberi bekal yang diperlukan sehingga mereka siap bekerja dan sebagainya. Di sisi lain, budaya diplomasi luar negeri yang selalu memandang persoalan-persoalan buruh migran merendahkan martabat bangsa masih kuat sehingga berbagai persoalan yang dihadapi buruh migran tidak menjadi pembelajaran dan dibiarkan berulang kali terjadi. Secara lebih terinci masalah buruh migran yang sering terjadi adalah: -
Tidak ada hukum dan kebijakan terkait migran komprehensif Keamanan internal Motif keuntungan ekonomi negara tujuan Minimnya serikat pekerja, CSO Minimnya pelayanan untuk perlindungan Kesulitan komunikasi: mahal, terbatas, dll Luput/Minim informasi tentang hak, hukum, kebijakan, situasi negara tujuan Menjadi seorang Non-WN (etnis, budaya, bahasa, agama) Isu-isu dokumen BMI; ditahan/disimpan majikan BMI yang ditahan: tidak manusiawi, cambuk Kriminalisasi BMI: perkosaan sebagai perzinahan
Pimpinan dan Anggota Komisi IX yang kami hormati, Dengan diratifikasi RUU tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya menurut hemat kami Fraksi Partai Gerinda, akan memberikan manfaat antara lain: 1.
Mengatur semua jaminan perlindungan yang harus diberikan kepada pekerja migran dan anggota keluarganya dalam setiap fase migrasi, semua status migrasi (berdokumen dan tidak berdokumen), semua area migrasi (area asal, transit dan tujuan); 174
2.
Menjadi dasar pijakan penting bagi pengaturan sistem migrasi tenaga kerja dalam sistem hukum nasional yang melindungi HAM pekerja migran dan anggota keluarganya, juga menjadi acuan dasar bagi pembentukan perjanjian baik bilateral maupun multilateral yang terkait dengan migrasi ketenagakerjaan; 3. Membantu mencegah migrasi yang tidak aman dan perdagangan manusia karena Konvensi ini sejak awal sudah mengatur dan menjamin tata cara migrasi yang aman; 4. Meningkatkan posisi tawar diplomasi pemerintah untuk menuntut perlindungan maksimal kepada negara penerima pekerja migran; 5. Menjamin kesetaraan antara pekerja lokal dan pekerja migran (bukan sebaliknya). Untuk konteks Indonesia diskriminasi justru dialami buruh lokal yang mengalami kesenjangan upah dan hak-hak lain dengan pekerja asing. Pimpinan dan Anggota Komisi IX yang kami hormati, Berdasarkan penjelasan dan uraian diatas, maka dengan mengucapkan Bismillaharrahmanirrahim, kami Fraksi Partai Gerinda DPR RI menyatakan menyetujui Pengesahan RUU tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Perlindungan HakHak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya untuk dibahas pada tahapan selanjutnya. Demikian atas perhatian dan kerja sama yang diberikan, kami ucapkan terima kasih. Wabillahittaufiq Walhidayah Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Jakarta, 9 April 2012
PIMPINAN FRAKSI PARTAI GERAKAN INDONESIA RAYA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT INDONESIA Wakil Ketua, ttd. Ir. Fary Djemi Francis, MMA No. Anggota : A-43
Sekretaris, ttd. Edhy Prabowo, MM, MBA No. Anggota : A-19
175
SAMBUTAN PENUTUP PEMERINTAH PADA RAPAT KERJA KOMISI IX DPR RI DENGAN MENLU, MENAKERTRANSDAN MENKUMHAM RI MENGENAI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE PROTECTION OF THE RIGHTS OF ALL MIGRANT WORKERS AND MEMBERS OF THEIR FAMILIES (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN HAK-HAK SELURUH PEKERJA MIGRAN DAN ANGGOTA KELUARGANYA) Jakarta, 9 April 2012 Saudara Pimpinan dan Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat yang Terhormat, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Para hadirin sekalian, Assalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Atas nama Pemerintah, izinkan kami menyampaikan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada Ketua Komisi IX selaku Pimpinan Rapat dan seluruh anggota Komisi IX atas dedikasi dan komitmennya sehingga kita bersama-sama telah berhasil menyelesaikan pembahasan RUU Pengesahan Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Upaya Pimpinan dan Anggota Komisi IX dengan menyegerakan agenda pembahasan ratifikasi Konvensi ini merupakan bentuk nyata dari dukungan dan keberpihakan DPR RI dalam memberikan perlindungan kepada para pekerja migran Indonesia.
176
Kami percaya bahwa kerja sama yang kita lakukan ini akan memberikan kontribusi yang signifikan bagi pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, khususnya hak-hak para pekerja migran dan anggota keluarganya. Keberhasilan pembahasan RUU Pengesahan ini adalah keberhasilan kita bersama guna memberikan perlindungan, pemajuan dan pemenuhan hak-hak para pekerja migran dan anggota keluarganya. Keberhasilan ini juga merupakan keberhasilan segenap elemen bangsa, termasuk para penggiat organisasi kemasyarakatan dan institusi HAM nasional yang telah melakukan berbagai upaya untuk mendorong pengesahan Konvensi ini. Kami sepakat bahwa proses ratifikasi hanyalah merupakan langkah awal. Namun langkah awal ini sangatlah krusial bagi upaya ke depan yang lebih membutuhkan komitmen dan dukungan semua pemangku kepentingan dalam mengimplementasikan berbagai ketentuan yang menjadi konsekuensi ratifikasi. Dalam hal ini, perlu kami sampaikan kembali komitmen dan keberpihakan Pemerintah untuk mengimplementasikan Konvensi ini dengan berbagai langkah yang diperlukan. Sekali lagi kami sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas keberpihakan yang telah ditunjukkan oleh para anggota Dewan yang terhormat. Kami berharap dukungan dan kerja sama yang erat ini dapat diteruskan dalam pembahasan selanjutnya di tingkat paripurna. Atas perhatian Pimpinan mengucapkan terima kasih.
dan
Anggota
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, ttd. Drs. H.A. Muhaimin Iskandar, M.Si 177
Dewan,
kami
Sidang Paripurna
178
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN KOMISI IX DPR RI PADA PEMBICARAAN TINGKAT II/PENGAMBILAN KEPUTUSAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN KONVENSI INTERNASIONAL MENGENAI PERLINDUNGAN HAK-HAK SELURUH PEKERJA MIGRAN DAN ANGGOTA KELUARGANYA (INTERNATIONAL CONVENTION ON THE PROTECTION OF THE RIGHTS OF ALL MIGRANT WORKERS AND MEMBERS OF THEIR FAMILIES) PADA RAPAT PARIPURNA DPR RI (TANGGAL 12 APRIL 2012) Yang kami hormati Saudara Pimpinan Rapat Paripurna DPRRI; Yang kami hormati Saudara Menteri Luar Negeri RI beserta seluruh jajarannya; Yang kami hormati Saudara Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI beserta seluruh jajarannya; Yang kami hormati Saudara Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI beserta seluruh jajarannya; Yang kami hormati para Anggota Dewan, dan Rapat Paripurna Dewan yang berbahagia. Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salam Sejahtera bagi kita semua. Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya atas berkat rahmat dan
179
karunia-NYA, hari ini kita dapat hadir di tempat yang terhormat ini dalam keadaan sehat wal’afiat dan siap menjalankan tugas kenegaraan kita yaitu dalam rangka Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan atas Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families), pada Rapat Paripurna Dewan hari ini. Saudara Pimpinan, para Menteri, dan anggota Dewan yang terhormat, Izinkanlah saya selaku Pimpinan Komisi IX DPR RI menyampaikan laporan mengenai proses pembahasan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families). Berdasarkan surat Presiden RI kepada Ketua DPR RI dengan nomor R.17/Pres/02/2012 perihal Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families tertanggal 7 Februari 2012, Presiden telah menugaskan Menteri Luar Negeri, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk mewakili Pemerintah dalam membahas Rancangan Undang-Undang dimaksud. Menindaklanjuti surat tersebut, maka pada tanggal 1 Maret 2012 telah diadakan Rapat Badan Musyawarah DPR RI yang memutuskan bahwa penanganan pembahasan RUU tersebut diserahkan kepada Komisi IX DPR RI. Selanjutnya, Pimpinan Komisi IX DPR RI telah menerima surat dari Pimpinan DPR RI perihal penugasan pembahasan RUU tersebut tertanggal 1 Maret 2012. Dalam melaksanakan tugas pembahasan RUU tersebut, Komisi IX DPR RI telah melakukan beberapa kegiatan sebagai berikut:
180
1. Tanggal 29 Maret 2012 mengadakan Rapat Internal Komisi IX DPR RI. 2. Tanggal 9 April 2012 mengadakan Rapat Kerja dengan Menteri Luar Negeri, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Menteri Hukum dan HAM sebagai wakil Pemerintah, dengan agenda penjelasan Pemerintah terhadap RUU, pandangan fraksi terhadap RUU usul Pemerintah, pembahasan DIM, penyampaian pandangan mini fraksi, dan diakhiri dengan penandatanganan Naskah RUU. Saudara Pimpinan, para Menteri, dan Anggota Dewan yang terhormat, Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (Konvensi Pekerja Migran) disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 18 Desember 1990 melalui Resolusi 45/158. Konvensi ini lahir karena adanya dorongan kuat dari negara-negara asal pekerja migrant dalam upaya memberikan perlindungan lebih kepada pekerja migrant maupun anggota keluarganya. Konvensi Pekerja Migran mulai berlaku efektif sejak tanggal 1 Juli 2003 dan hingga tanggal 9 November 2011 tercatat sudah diratifikasi oleh 45 negara. Republik Indonesia sendiri telah menandatangani Konvensi tersebut pada tanggal 22 September 2004 di New York akan tetapi sampai saat ini belum meratifikasinya. Sebagai salah satu negara asal pekerja migran terbesar di dunia, Indonesia membutuhkan sistem perlindungan yang lebih baik bagi para pekerja migrannya, sehingga dampak positif migrasi pekerja Indonesia dapat lebih dioptimalkan. Persetujuan Rapat Paripurna Dewan yang terhormat hari ini adalah merupakan suatu bukti nyata bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak pemberian Tuhan Yang Maha Kuasa yang melekat dan tidak terpisah dari manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan 181
sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Selain itu, dengan diratifikasinya Konvesi Pekerja Migran oleh Indonesia, diharapkan dapat memperkuat landasan hokum bagi kebijakan nasional dalam meningkatkan sistem perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak-hak tenaga kerja, khususnya hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya yang sesuai dengan norma-norma Hak Asasi Manusia. Saudara Pimpinan, para Menteri, dan Anggota Dewan yang terhormat, Demikianlah pokok-pokok Laporan Komisi IX DPR RI mengenai hasil pembahasan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families). Dengan disetujui hasil pembahasan RUU tersebut dalam Pembicaraan Tingkat I, maka pada kesempatan ini kami menyerahkan kepada Rapat Paripurna Dewan agar Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families) dapat memperoleh persetujuan untuk menjadi Undang-Undang. Akhirnya dalam kesempatan ini, kami selaku Pimpinan Komisi IX DPR RI menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Pimpinan DPR RI, para Pimpinan dan anggota Komisi IX DPR RI serta para Menteri beserta seluruh jajarannya yang mewakili Pemerintah atas kerja sama yang baik dalam pembahasan RUU tersebut. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga kami sampaikan kepada jajaran Sekretariat dan Tim Tenaga Ahli Komisi IX DPR RI yang telah memberikan dukungan dan kinerja yang produktif dalam seluruh proses pembahasan RUU ini.
182
Demikian Laporan Komisi IX DPR RI ini kami sampaikan. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa melimpahkan berkah dan karunia-NYA kepada kita sekalian serta selalu meridhoi setiap langkah yang kita jalankan. Atas perhatian Bapak, Ibu dan hadirin sekalian, kami ucapkan terima kasih. Sekian dan terima kasih Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Jakarta, 12 April 2012 PIMPINAN KOMISI IX DPR RI WAKIL KETUA ttd. DRS. IRGAN CHAIRUL MAHFIZ, M.Si. A.291
183
PENDAPAT AKHIR PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE PROTECTION OF THE RIGHTS OF ALL MIGRANT WORKERS AND MEMBERS OF THEIR FAMILIES (KONVENSI INTERNASIONAL MENGENAI PERLINDUNGAN HAK-HAK SELURUH PEKERJA MIGRAN DAN ANGGOTA KELUARGANYA) Bapak Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang Terhormat, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Wakil-wakil dari Kementerian dan Lembaga Pemerintah, Hadirin yang berbahagia, Assalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua. Perkenankanlah kami, pertama-tama, memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat-Nya kita masih diberikan kesempatan untuk melaksanakan pengabdian kita bagi bangsa dan negara yang kita cintai ini. Pada kesempatan ini, izinkanlah kami menyampaikan Pendapat Akhir Pemerintah atas Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pengesahan International Convention on the Protection of the Rights of all Migrant Workers and Members of Their Families atau Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.
184
Pimpinan dan Para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terhormat, Pagi hari ini kita telah mengikuti dan menyaksikan, Rapat Paripurna secara aklamasi telah menyetujui RUU tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Perlindungan HakHak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya yang diajukan Pemerintah menjadi Undang-Undang. Atas nama Pemerintah, perkenankan kami menyampaikan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada seluruh Anggota Dewan Perwakilan Rakyat atas pengesahan Rancangan UndangUndang Konvensi ini. Pemerintah secara khusus sekali lagi menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada Pimpinan dan Anggota Komisi IX DPR RI yang telah mengantarkan pembahasan RUU pengesahan Konvensi ini. Pembahasan konstruktif yang dilandasi oleh semangat kebersamaan antara Pemerintah dan Komisi IX DPR RI pada Rapat Kerja tanggal 9 April 2012 telah memungkinkan pengesahan ratifikasi Konvensi ini pada pagi hari ini. Penghargaan setinggi-tingginya juga kami sampaikan kepada segenap organisasi kemasyarakatan dan institusi HAM nasional yang secara bersama telah bekerja keras bersama dengan Pemerintah untuk mendorong pengesahan Konvensi ini. Pimpinan dan Para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terhormat, Pengesahan Konvensi ini merupakan cerminan komitmen kuat seluruh elemen bangsa terhadap pemajuan nilai-nilai hak asasi manusia, terutama hak-hak pekerja migran. Hal ini juga mencerminkan prioritas bangsa dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak pekerja migran Indonesia. Keputusan ini juga merupakan bagian dari perwujudan tanggung jawab negara untuk meningkatkan perlindungan terhadap tenaga kerja migran Indonesia.
185
Kepedulian dan keberpihakan seluruh elemen bangsa untuk terus memajukan dan melindungi hak-hak pekerja migran Indonesia dan anggota keluarganya merupakan hal yang mutlak. Pimpinan dan Para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia serta hadirin yang terhormat, Dalam keseluruhan proses pembahasan RUU ratifikasi Konvensi ini, Pemerintah menyimak dengan seksama pandangan, catatan, dan masukan yang disampaikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Pemerintah juga memiliki pandangan yang sejalan. Bahwa ratifikasi Konvensi ini pada akhirnya harus secara nyata memberikan nilai tambah bagi upaya nasional dalam melindungi hak-hak pekerja migran Indonesia. Bahwa ratifikasi Konvensi ini mengharuskan dilakukannya harmonisasi hukum nasional, dan menjadikan norma dan standar yang dimuat dalam Konvensi sebagai bagian dari sistem hukum nasional. Bahwa ratifikasi Konvensi juga akan memberikan dasar bagi Indonesia untuk mendorong negara lain khususnya negara tujuan pekerja migran Indonesia untuk meratifikasi Konvensi ini. Indonesia akan terus ikut serta dalam upaya global untuk mencapai universalitas Konvensi dimaksud. Pemerintah juga telah menyimak dengan seksama pandangan dan catatan anggota Dewan mengenai implikasi ratifikasi Konvensi ini. Merupakan komitmen Pemerintah untuk senantiasa memastikan kesempatan kerja bagi warga negara Indonesia tetap terlindungi. Konvensi ini memberikan ruang gerak yang leluasa bagi Indonesia sebagai Negara Pihak untuk melaksanakan komitmen ini. Pimpinan dan Para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia serta hadirin yang terhormat, Konvensi yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 18 Desember 1990 ini merupakan satu-satunya instrumen HAM
186
internasional yang mengatur mengenai perlindungan hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya secara komprehensif. Pengesahan Konvensi ini oleh PBB merupakan langkah terobosan di tingkat global untuk memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja migran dan keluarganya, khususnya bagi kelompok sangat rentan yang mencakup tenaga kerja migran di sektor informal dan yang berada dalam situasi irregular. Tentunya Konvensi ini sangat dekat dan sejalan dengan kepentingan pekerja migran Indonesia. Pemerintah meyakini bahwa tindakan meratifikasi Konvensi ini sejalan dengan kepentingan nasional dan prioritas Pemerintah, dan wujud tindak-lanjut penandatanganan Konvensi ini oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 22 September 2004. Hingga saat ini, Konvensi Pekerja Migran telah diratifikasi oleh 45 negara dan ditandatangani oleh 34 negara, termasuk Indonesia. Dengan disetujuinya Undang-Undang Pengesahan Konvensi Pekerja Migran oleh DPR RI hari ini, Indonesia akan segera menjadi Negara Pihak ke-46 Konvensi Pekerja Migran, atau Negara Pihak Konvensi ke-2 di ASEAN. Pimpinan dan Para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia serta hadirin yang terhormat, Keprihatinan dan harapan publik mengenai jaminan perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia di luar negeri juga merupakan keprihatinan, harapan dan bahkan terutama komitmen Pemerintah. Adalah merupakan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan penuh terhadap mereka di semua tahap, mulai dari pra penempatan, saat transit, masa bekerja dan purna penempatan. Sudah menjadi prioritas Pemerintah untuk melindungi hak-hak pekerja migran Indonesia. Ini merupakan tanggung jawab negara.
187
Ini merupakan amanat konsitutusi. Berbagai upaya telah dilakukan baik melalui pengembangan kerangka legislasi nasional, penguatan kerangka kelembagaan, peningkatan koordinasi, maupun perlindungan langsung yang diberikan oleh Perwakilan-Perwakilan Indonesia di luar negeri. Pada tingkat nasional, Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang cukup lengkap. Meskipun tentunya masih terdapat ruang untuk terus memperbaikinya terutama dengan melakukan harmonisasi setelah pengesahan Konvensi ini pada waktunya. Pada tingkat bilateral, Indonesia terus memperkuat pengaturan bilateral dengan negara-negara yang menjadi tujuan tenaga kerja migran Indonesia untuk meningkatkan jaminan perlindungan mereka. Sebagaimana yang telah kami sampaikan dalam Rapat Kerja Komisi IX, sudah menjadi keputusan Pemerintah, bahwa Indonesia dengan sangat tegas akan melakukan moratorium pengiriman tenaga kerja migran ke negara yang tidak memberikan perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia. Pada tingkat regional, Indonesia merupakan negara yang senantiasa mendorong terciptanya suatu instrumen kerjasama yang kuat untuk perlindungan tenaga kerja migran. Indonesia juga aktif dalam forum Colombo Process dan forum Abu Dhabi Dialogue yang membahas upaya perlindungan terhadap tenaga kerja migran. Di forum global, terutama di PBB, komitmen Indonesia tidak dapat disanggah. Indonesia selalu menjadi negara terdepan dalam memperjuangkan perlindungan tenaga kerja migran. Bersama-sama Filipina misalnya, kita telah memprakarsai resolusi di Majelis Umum PBB mengenai upaya masyarakat internasional untuk menanggulangi kekerasan terhadap tenaga kerja migran wanita. 188
Namun demikian, kita menyadari masih terdapat peluang untuk terus memperbaiki upaya dimaksud baik pada tingkat nasional, regional maupun global. Karenanya, kita berkeyakinan, ratifikasi Konvensi ini akan semakin memperkuat kerangka nasional, regional dan global dalam mengatasi masalah perlindungan tenaga kerja migran Indonesia. Pimpinan dan Para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia serta hadirin yang terhormat, Pemerintah berpandangan bahwa proses ratifikasi ini hanyalah merupakan sebuah langkah awal. Meskipun demikian, ini merupakan suatu langkah yang sangat penting untuk ditindaklanjuti dalam mengimplementasikan berbagai ketentuan yang menjadi konsekuensi ratifikasi. Demikian kiranya pendapat akhir Pemerintah atas Rancangan Undang-Undang Pengesahan International Convention on the Protection of the Rights of all Migrant Workers and Members of Their Families atau Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Atas perhatian Pimpinan dan Anggota Dewan, disampaikan terima kasih. Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Menteri Luar Negeri Republik Indonesia ttd. R.M. Marty M. Natalegawa
189
190
191
192
193
194
195
196
197
198
Bagian III Naskah Akademik
199
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE PROTECTION OF THE RIGHTS OF ALL MIGRANT WORKERS AND MEMBERS OF THEIR FAMILIES (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN HAK-HAK SELURUH PEKERJA MIGRAN DAN ANGGOTA KELUARGANYA) BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara asal pekerja migran terbesar di dunia dan tersebar ke banyak negara tujuan kerja. Fenomena besarnya jumlah pekerja migran asal Indonesia tersebut, di satu sisi memberikan manfaat bagi pembangunan melalui remitansi dan pengurangan angka pengangguran, namun di sisi lain juga menimbulkan berbagai masalah dan dampaknya yang melekat pada pekerja migran. Indonesia memiliki kebutuhan untuk mengatur dan memajukan mekanisme perlindungan dan penataan manajemen migrasi agar pekerja migran Indonesia dapat menikmati perlindungan dan haknya lebih baik, mulai pra penempatan, selama bekerja di luar negeri, maupun purna penempatan. Kebutuhan ini tidak hanya menata berbagai kebijakan di tingkat nasional, namun juga internasional (baik bilateral maupun multilateral). Hal ini sebagai upaya mendukung kebijakan dalam negeri dan politik luar negeri, serta pembaharuan dan pembangunan hukum terkait pekerja migran Indonesia. Dalam konteks tersebut, Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (Konvensi Pekerja Migran) menjadi pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
200
Konvensi Pekerja Migran disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 18 Desember 1990 melalui Resolusi nomor 45/158. Pengesahan Konvensi tersebut disambut baik oleh masyarakat internasional, terutama negara-negara asal pekerja migran, sebagai kerangka perlindungan internasional yang lebih solid bagi pekerja migran dari semua kategori beserta keluarganya. Konvensi ini membuka suatu babak baru dalam sejarah perjuangan untuk memajukan dan melindungi hak-hak pekerja migran, termasuk anggota keluarganya. Konvensi ini merupakan hasil kajian Komisi Hak Asasi Manusia PBB, kesimpulan dan rekomendasi dari pertemuan pakar dan perdebatan resolusi tentang masalah pekerja migran di badan-badan PBB selama lebih dari dua dasawarsa. Konvensi Pekerja Migran lahir karena dorongan kuat negara-negara asal pekerja migran dalam upaya memberikan perlindungan lebih kepada pekerja migran secara spesifik dan mencakup pula anggota keluarganya, selain perlindungan HAM yang sudah ada dalam instrumen internasional HAM lainnya. Konvensi ini juga lahir akibat ketidakpuasan negaranegara asal pekerja migran terhadap berbagai upaya melalui International Labour Organisation (ILO) yang pada saat itu dinilai kurang memadai dalam melindungi hak-hak pekerja migran dan keluarganya. Bahkan lebih dari itu, negara-negara asal pekerja migran juga menilai bahwa ILO pada saat itu secara struktur lebih menguntungkan negara-negara maju. Negara pendukung utama pada tahap awal formulasi Konvensi ini adalah Maroko dan Meksiko yang merupakan negara-negara asal pekerja migran yang sangat berkepentingan untuk melindungi hak-hak warga negaranya yang bekerja di luar negeri. Upaya kedua negara tersebut berhasil mendorong pengesahan Resolusi Majelis Umum PBB nomor 34/172 pada tahun 1979 yang kemudian membentuk sebuah Open-Ended Working Group (OEWG) yang bertugas menyusun draft Konvensi Pekerja Migran. Sejak awal, upaya penyusunan draft Konvensi Pekerja Migran telah menimbulkan pertentangan, terlebih mayoritas negara maju
201
menginginkan agar isu pekerja migran hanya dibahas dalam kerangka ILO. Namun pada akhirnya, kelompok gabungan negaranegara Mediterania dan Skandinavia (MESCA) seperti Spanyol, Italia dan Norwegia, juga ikut mengambil peran penting dalam pembahasan pada OEWG tersebut. Keterlibatan kelompok MESCA tersebut utamanya dilandasi motivasi untuk memerangi imigrasi tak-reguler dengan mencegah penerimaan pekerja-pekerja migran yang tidak memiliki dokumen, dan pada saat yang sama tetap mengakui hak-hak dasar seluruh pekerja migran tanpa memandang status legalitas mereka. Konvensi Pekerja Migran mulai berlaku efektif (entry into force) sejak tanggal 1 Juli 2003 setelah diratifikasi oleh 20 negara pada bulan Maret 2003 dan merupakan perjanjian dengan kekuatan hukum mengikat. Hingga saat ini, Konvensi Pekerja Migran telah diratifikasi oleh 45 negara,21 sedangkan 16 negara lain, termasuk Indonesia, telah menandatangani namun belum meratifikasi Konvensi tersebut. Indonesia menandatangani Konvensi Pekerja Migran pada tanggal 22 September 2004 di New York. Sebagai negara penandatangan Konvensi, Indonesia memiliki komitmen kuat untuk segera meratifikasi Konvensi. Ratifikasi Konvensi Pekerja Migran bagi Indonesia pada saat ini telah menjadi kebutuhan yang mendesak ditinjau dari berbagai pertimbangan filosofis, sosiologis dan yuridis yang kuat. Sebagai negara yang berdasarkan falsafah Pancasila, Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial. Indonesia juga memiliki komitmen tinggi dalam melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta memajukan kesejahteraan umum, sesuai dengan cita-cita Proklamasi dan UUD 1945.
21
Sampai dengan tanggal 9 November 2011
202
Ratifikasi Konvensi ini juga merupakan bukti bahwa negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang melekat pada dan tidak terpisah dari manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Sebagai salah satu negara asal pekerja migran terbesar di dunia, Indonesia membutuhkan sistem perlindungan yang lebih baik bagi para pekerja migran sehingga dampak positif migrasi terhadap pembangunan dapat dioptimalkan. Selain itu, Indonesia telah meratifikasi sejumlah instrumen HAM internasional yang mengakui pemajuan dan perlindungan hak-hak para pekerja migran dan anggota keluarganya. Di sisi lain, Indonesia juga telah memiliki berbagai perangkat hukum nasional yang dapat dijadikan rujukan bagi upaya pemajuan dan perlindungan hak-hak para pekerja migran dan anggota keluarganya. B.
Identifikasi Masalah Pokok masalah yang diidentifikasi Akademik ini adalah sebagai berikut:
dalam
Naskah
1) Perlindungan, penghormatan, pemajuan dan pemenuhan hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya masih perlu ditingkatkan, baik pada tahap pra penempatan, selama bekerja di luar negeri maupun purna penempatan. 2) Pemerintah Indonesia masih perlu meningkatkan upayaupaya perlindungan, penghormatan, pemajuan dan pemenuhan hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya berdasarkan norma-norma hak asasi manusia universal. 3) Ketentuan perundang-undangan yang ada di Indonesia di bidang pekerja migran sudah ada, namun belum mengakomodir seluruh isi dari Konvensi Pekerja Migran. Selain itu, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri hanya mencakup perlindungan TKI selama pra penempatan dan 203
purna penempatan, dan tidak dapat melindungi TKI selama bekerja di luar negeri. 4) Berbagai perundang-undangan dan kebijakan yang diterapkan bagi tenaga kerja asing di Indonesia perlu tetap mendasarkan pada kebijakan nasional di bidang ketenagakerjaan dalam rangka mengatasi masalah pengangguran. 5) Indonesia membutuhkan kerangka normatif universal yang memberikan perlindungan minimum bagi segala jenis pekerja migran, termasuk yang bekerja di sektor informal dan yang berstatus tidak terdokumentasikan, dan keluarganya, sebagai rujukan untuk memperkuat kerangka perlindungan pekerja migran Indonesia secara nasional, bilateral, regional dan global. 6) Untuk memperkuat ketentuan perundang-undangan nasional, pengaturan bilateral, regional dan global, dalam perlindungan, penghormatan, pemajuan dan pemenuhan hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya berdasarkan norma-norma hak asasi manusia universal yang terkandung dalam Konvensi Pekerja Migran, perlu disusun suatu Rancangan Undang-Undang yang akan mendasari ratifikasi Indonesia terhadap Konvensi tersebut. C.
Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai berikut: 1) Memberikan gambaran yang utuh dan komprehensif atas aspek-aspek terpenting dari permasalahan yang dihadapi dalam upaya perlindungan, penghormatan, pemajuan dan pemenuhan hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya, serta cara-cara mengatasi permasalahan tersebut.
204
2) Menjabarkan permasalahan hukum yang mendasari perlunya membentuk Rancangan Undang-Undang untuk dijadikan dasar hukum penyelesaian permasalahan yang terkait dengan upaya perlindungan, penghormatan, pemajuan dan pemenuhan hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya. 3) Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan UndangUndang. 4) Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Undang-Undang. Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai acuan atau referensi bagi Pemerintah dan DPR dalam mengkaji keperluan penyusunan Rancangan UndangUndang tentang Pengesahan Konvensi Pekerja Migran dengan tujuan untuk menyempurnakan ketentuan perundangundangan di Indonesia yang mengatur sistem perlindungan, penghormatan, pemajuan dan pemenuhan hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya, agar sesuai dengan norma-norma hak asasi manusia universal. D. Metode Penyusunan naskah akademis ini menggunakan metode yuridis normatif melalui studi pustaka dengan menelaah data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, hasil penelitian dan kajian, serta referensi lainnya.
----------
205
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS A.
Kajian Teoretis Beberapa teori yang dipergunakan dalam Naskah Akademik ini adalah: 1) Teori Migrasi Migrasi didefinisikan secara umum sebagai perubahan tempat tinggal yang permanen atau semipermanen. Faktorfaktor yang memengaruhi keputusan untuk melakukan migrasi dan prosesnya dapat diringkas sebagai berikut: a. b. c. d.
Faktor-faktor yang terkait dengan daerah asal; Faktor-faktor yang terkait dengan daerah tujuan; Kendala-kendala yang menghambat; Faktor-faktor pribadi.22
Sejarah modern migrasi internasional dapat dibagi menjadi empat periode. Periode pertama pada mercantile period (tahun 1500-1800), migrasi di dunia didominasi oleh arus migrasi keluar dari Eropa sebagai hasil kolonisasi dan pertumbuhan ekonomi di bawah mercantile capitalism. Pada periode kedua, industrial period (awal abad ke-19), migrasi merupakan hasil dari pembangunan industri di Eropa dan penyebaran kapitalisme di wilayah-wilayah bekas koloni di Dunia Baru. Dengan berakhirnya migrasi besar-besaran dari Eropa akibat Perang Dunia I, datang periode ketiga period of limited migration selama empat dekade yang ditandai peningkatan nasionalisme ekonomi autarki pada tahun 1920-an. Periode keempat adalah post industrial period yang dimulai pada pertengahan tahun
22
Everett S. Lee, University of Pennsylvania, A Theory of Migration, Demography, Vol. 3, No. 1, 1966, pp. 49-50
206
1960-an dengan negara berkembang sebagai pemasok utama para imigran. 23 Pada saat ini, jumlah manusia yang tinggal di luar negara asalnya mencapai 214 juta orang.24 Jika dibayangkan sebagai penduduk dari satu negara, maka penduduk negara tersebut merupakan kelima terbesar di dunia, melebihi jumlah gabungan penduduk Jerman, Perancis dan Inggris. Meskipun risiko potensial pelanggaran HAM terhadap kaum migran cukup tinggi di berbagai tahap proses migrasi, namun kecenderungan migrasi terus meningkat. Beberapa kelompok tertentu dari kaum migran bahkan menghadapi situasi yang lebih rentan terhadap pelanggaran, seperti pekerja yang unskilled, terutama perempuan, mereka yang bekerja di underground economy, migran yang tak-reguler dan korban trafficking, pencari suaka yang ditolak dan mereka yang akan dideportasi.25 Ketika migrasi internasional mulai disadari sebagai sebuah fenomena terus terjadi dengan konsekuensi yang besar dan jauh jangkauannya, pengaturan imigrasi menjadi isu yang penting bagi pemerintah. Secara konvensional, pengaturan formal imigrasi merupakan tindakan eksplisit pemerintah dengan komponen legislatif dan administratif di mana badan legislatif menetapkan seperangkat kebijakan dan pemerintah melaksanakannya.26 23
Douglas S. Massey, University of Pennsylvania, Patterns of International Migration in the 21st Century, makalah pada Conference on African Migration in Comparative Perspective, Johannesburg, Afrika Selatan, 4-7 Juni, 2003, pp. 1-4 24 ILO, International Labour Migration, a right-based approach, 2010 dan IOM, The World Migration Report, 2010. 25 Bimal Ghosh, Human Rights and Migration: The Missing Link, SIM Special, p. 31 26 Brendan Mullan, Michigan State University, The Regulation of International Migration: The United States and Western Europe in Historical Comparative Perspective, dapat dilihat di
207
Menyadari adanya keperluan untuk mengatur migrasi internasional tanpa harus mengurangi dampak-dampak positif dari migrasi sebagai bagian dari proses integrasi ekonomi global, para pembuat kebijakan selayaknya bekerja sama secara multilateral untuk mengelolanya dengan lebih efektif. Sebagaimana pengaturan arus modal, barang dan jasa telah dikelola bersama melalui WTO, arus migrasi pekerja seharusnya dapat dapat pula dikelola melalui kerja sama internasional untuk memaksimalkan manfaat dan meminimalisir biaya, baik bagi negara asal maupun negara tujuan. Migrasi internasional hendaknya diterima sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari globalisasi ekonomi dan dikelola melalui perjanjianperjanjian multilateral yang luas.27 Lebih lanjut, mengingat adanya tarik-menarik antara dorongan ekonomi untuk mengeksploitasi kaum migran dan keperluan untuk melindungi hak-hak mereka, maka pemerintah dituntut untuk berperan besar meregulasi migrasi dan merekonsiliasi kepentingan-kepentingan yang bertentangan. Pengaturan migrasi membutuhkan formulasi dan implementasi kebijakan yang cermat, komprehensif dan disusun dengan hati-hati. Kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek migrasi baru bisa dilaksanakan dan efektif bila didasari fondasi norma hukum yang kokoh dan berjalan di bawah aturan hukum. Standar-standar hukum internasional menentukan parameter yang dinilai cukup oleh negara-negara di dunia, baik untuk perlindungan pekerja migran dan keluarganya maupun untuk penjagaan kepentingan negara. Standar-standar tersebut memberi kerangka bagi perundang-undangan, kebijakan dan
https://www.msu.edu/course/soc/931/Migration/The%20Regulation%2 0of%20Migration%20in%20the%20U.S.%20&%20Europe.doc 27 Massey, op.cit., p 28
208
praktek nasional serta bagi kerja sama di dalam dan antar negara di berbagai penjuru proses migrasi. 28 2) Hak Pekerja Migran Konvensi Pekerja Migran secara khusus menetapkan hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya, sekaligus kewajiban negara mengenai formulasi dan penerapan kebijakan mereka di bidang migrasi. Konvensi Pekerja Migran adalah konvensi internasional terlengkap yang bertujuan untuk memberikan perlindungan, baik perlindungan hak sipil dan politik maupun perlindungan hak ekonomi, sosial dan budaya pekerja migran dan anggota keluarganya. Konvensi tersebut berlaku untuk seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya, baik dalam situasi regular maupun tak-reguler, baik yang bekerja di sektor formal maupun informal.29 3) Tanggung Jawab Negara (nasional dan internasional) Konstitusi Indonesia dan berbagai instrumen HAM, baik nasional maupun internasional meletakkan tanggung jawab pemajuan, perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan HAM di dalam tanggung jawab negara. Secara khusus Pemerintah merupakan pengemban tanggung jawab tersebut. Selanjutnya dalam pembukaan UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan abadi dan keadilan sosial. 28
The International Steering Committee for the Campaign for Ratification of the Migrants Rights Convention, Guide on Ratification of the International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (ICRMW), April 2009, p. 4 29 Id. pp. 414, 415
209
Skema tanggung jawab ini memberikan hak bagi setiap individu untuk menikmati perlindungan, pemajuan, penghormatan dan pemenuhan HAM. Implementasi tanggung jawab negara secara maksimal adalah bentuk dan indikasi suatu negara memiliki komitmen hak asasi manusia dan prinsip demokrasi yang baik. Dalam konteks yang lebih spesifik, tanggung jawab negara juga diekspresikan dalam relasi negara dan warga negara, yang meletakkan perlindungan, pemajuan, penghormatan dan pemenuhan HAM melekat pada identitas kewarganegaraan, sehingga tanggung jawab itu tidak terbatas pada juridiksi nasional sebuah negara, namun juga tanggung jawab perlindungan warga negara diluar yurisdiksi nasional (di luar negeri). Dalam konteks Konvensi Pekerja Migran, tanggung jawab ini meletakkan dua perspektif, baik dalam konteks setiap individu, maupun dalam konteks hubungan negara dan warga negara. Konsekuensinya, tanggung jawab ini harus diwujudkan ketika pekerja migran indonesia akan, sedang dan kembali kenegara indonesia (mulai dari pra penempatan sampai dengan purna penempatan). Salah satu bentuk tanggung jawab negara adalah langkah efektif, baik, hukum, kebijakan maupun institusional untuk memastikan bahwa perlindungan, terimpelementasi dengan maksimal. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh Indonesia dalam menerapkan tanggung jawabnya untuk melindungi pekerja migran adalah melalui upaya diplomasi. Dalam rangka mendorong dan memperkuat perlindungan pekerja migran Indonesia melalui langkah-langkah diplomasi, keberadaan modalitas serta posisi tawar suatu negara sangat krusial. Keberadaan modalitas tersebut perlu ditunjukkan sejalan dengan konsistensi negara dimaksud. Diratifikasinya Konvensi Pekerja Migran akan memperkuat posisi Indonesia dalam upaya negosiasi perlindungan TKI di luar negeri. 210
Realisasi implementasi tanggung jawab negara dalam konsepsi pendekatan HAM dapat dilakukan dalam dua karakter, yang bertahap dan seketika. Karakter ini ditentukan oleh berbagai indikasi dan karakter dari hak yang menjadi tanggung jawab negara. 4) Pendekatan Multilateral sebagai Pelengkap Pendekatan Bilateral Salah satu bentuk kendala umum yang dihadapi oleh negara asal untuk mendorong perlindungan pekerja migran adalah keengganan negara tujuan untuk berkomitmen dan mengimplementasikan jaminan perlindungan tersebut. Hal ini dikarenakan posisi tawar negara tujuan lebih tinggi dari pada posisi negara asal, dimana negara tujuan memiliki lapangan pekerjaan dan berkuasa atas kesempatan kerja tersebut, sedangkan negara asal membutuhkan kesempatan tersebut dan menjadikan lemah karena kekurangan lapangan pekerjaan di dalam negeri. Walaupun dalam perkembangannya kondisi ini secara teoretis dapat dibalik, yaitu negara yang memiliki lapangan pekerjaan dapat tergantung pada penyedia tenaga kerja (negara asal), namun yang terjadi saat ini adalah kondisi yang pertama. Kondisi diatas menunjukkan unequal relationship antara negara asal dan tujuan. Posisi yang tidak berimbang ini mepengaruhi usaha perlindungan yang didorong oleh negara asal, dan kendalanya semakin kompleks ketika negara tujuan menolak dengan berbagai cara setiap usaha untuk mendorong kebijakan perlindungan secara formal, khususnya dalam hubungan bilateral. Kendala yang dicerminkan dalam posisi ketidakberimbangan tersebut, tentunya tidak dapat didiamkan. Dalam konteks ini alternatif jalan yang dapat di ambil adalah menjadi negara pihak dalam Konvensi Pekerja Migran. Konvensi Pekerja Migran menyediakan mekanisme multilateral yang memungkinkan dorongan terhadap negara tujuan untuk lebih memberikan 211
perlindungan terhadap pekerja migran. Dalam konteks lebih luas, pendekatan multilateral terbukti dapat meretas kebuntuan bilateral. Sebagaimana diutarakan oleh Greenberg, Barton dan McGuinness (2000), mekanisme multilateral memberikan wahana untuk berkomunikasi bagi pihak-pihak yang memiliki keengganan untuk berunding secara bilateral. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa mekanisme multilateral selalu melibatkan negosiasi bilateral.30 B.
Kajian terhadap Asas/Prinsip Penyusunan Norma
yang Terkait dengan
Secara umum, semua prinsip fundamental dan hak-hak asasi manusia menjadi landasan dalam Konvensi ini. Namun, diberikan perhatian khusus terhadap beberapa hak, yang memang merupakan identitas dari hak-hak pekerja migran. 1) Prinsip freedom of movement Kebebasan bergerak merupakan hak setiap orang termasuk hak untuk tinggal di wilayah negaranya dan hak meninggalkan negara lain, termasuk negaranya, dan kembali ke negaranya. Hak ini termasuk sebagai hak dasar dalam hak asasi manusia berdasarkan Pasal 13 Universal Declaration of Human Rights (1948) yang menetapkan bahwa semua orang memiliki kebebasan untuk bergerak dan bertempat tinggal di dalam wilayah suatu negara,31 serta untuk meninggalkan negara manapun (termasuk negaranya sendiri) dan untuk kembali ke negaranya.32 Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 juga menjamin hal yang sama sebagaimana diatur dalam pasal 28E ayat (1) yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak memeluk 30
Melanie C. Greenberg, John H. Barton, Margaret E. McGuinness, Words over War: Mediation and Arbitration to Prevent Deadly Conflict, Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2000, p. 334. 31 Universal Declaration of Human Rights, Pasal 13 ayat (1). 32 Universal Declaration of Human Rights, Pasal 13 ayat (2).
212
agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” 2) Prinsip tanggung jawab negara33 Pemenuhan dan perlindungan HAM merupakan tanggung jawab yang diemban oleh Negara. Pencapaian hak asasi manusia dapat diwujudkan dalam berbagai keadaan politik. Hal tersebut dapat diterjemahkan menjadi kewajiban negara untuk terus-menerus berupaya memenuhi hak-hak dasar bagi masyarakat, di mana hakhak pekerja migran tertuang di dalamnya. Lebih jauh, negara pihak bertanggung jawab kepada masyarakat internasional maupun kepada rakyat mereka sendiri dimanapun atas kepatuhan mereka terhadap kewajibankewajiban yang tertuang dalam berbagai instrumen HAM internasional.34 Tanggung jawab negara dalam memenuhi hak-hak ini mencakup kewajiban untuk melakukan tindakan (prinsip obligation of conduct) dan kewajiban terhadap hasil (prinsip obligation of result).35 Kewajiban untuk menghormati, melindungi dan melaksanakan, masingmasing mengandung unsur kewajiban atas tindakan dan kewajiban atas hasil. Kewajiban atas tindakan membutuhkan tindakan yang diperhitungkan dengan cermat untuk melaksanakan dipenuhinya suatu hak tertentu. Kewajiban atas hasil mengharuskan negara untuk
33 34
Limburg Principles, UN doc. E/CN.4/1987/17, Annex, PP. 6. Id, PP. 10. 35 Maastricht Guidelines on Violations of Economic, Social and Cultural Rights PP. 7. Pedoman Maastricht disusun oleh para pakar pada bulan Januari 1997. Pedoman ini ditujukan untuk menguraikan prinsip Limburg, mengingat sifat dan ruang lingkup pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya serta tanggapan dan penanganan yang tepat.
213
mencapai target tertentu guna mencapai standar substantif terinci. 3) Prinsip non-diskriminasi Larangan dan perlindungan terhadap diskriminasi merupakan unsur mendasar pedoman normatif HAM.36 Dengan demikian, prinsip Non-diskriminasi menjadi prinsip utama dalam RUU ini. Segala bentuk diskriminasi baik secara de jure maupun de facto tidak dibenarkan dan perlu segera diakhiri. Diskriminasi dalam setiap aspek kehidupan tidak dapat diteruskan. Prinsip Nondiskriminasi yang termuat dalam berbagai perjanjian internasional mengenai HAM merupakan “ketentuan untuk pemajuan kesetaraan dalam perlakuan pada manusia tanpa memandang, contohnya, warna kulit, ras, atau asal-usul kebangsaan atau etnis”.37 Prinsip Non-Diskriminasi dalam konteks perlindungan hak terhadap pekerja migran dapat dijelaskan dengan melihat kembali Deklarasi PBB mengenai Hak Asasi Manusia Individu yang bukan merupakan Warga Negara di Negara Tempat Mereka Tinggal.38 Secara umum deklarasi ini tidak hanya ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada pekerja migran, tetapi juga ditujukan kepada semua individu yang bukan merupakan warga negara di tempat mereka tinggal.
36
State Responsibility, Good Governance and Indivisible Human Rights, Martin Scheinin, dalam Human Rights and Good Governance, RWI, Inggris, 2003 37 T. Clark dan J. Niessen, “Equality Rights and Non-Citizens in Europe and North America: The Promise, the Practice and Some Remaining Issues”, Netherland Quarterly of Human Rights, Jilid 14, No. 3 (1996), hal 245-275. 38 Declaration on the Human Rights of Individuals Who Are Not Nationals of the Country in Which They Live, diadopsi melalui Resolusi Majelis Umum PBB A/RES/40/144, 13 Desember 1985, yang disahkan pada 116th plenary meeting Sidang MU PBB.
214
4) Prinsip kesetaraan hak Prinsip ini diperkenalkan oleh Komite HAM PBB dalam Komentar Umum No. 28 tahun 2000. Paragraf 2: “...all human beings should enjoy the rights provided for in the Covenant, on an equal basis and in their totality. The full effect of this provision is impaired whenever any person is denied the full and equal enjoyment of any right. Consequently, States should ensure to men and women equally the enjoyment of all rights provided...” Jelas bahwa kesetaraan mensyaratkan seluruh manusia untuk dapat menikmati seluruh hak-hak asasinya, tanpa terkecuali, secara sama dan menyeluruh. Konsekuensinya, Negara diwajibkan untuk menjamin persamaan penikmatan hak bagi semua orang, termasuk pekerja migran. Salah satu bentuk implementasi dari kesetaraan hak dalam konteks pekerjaan adalah “upah setara untuk pekerjaan setara atau pekerjaan dengan nilai setara”.39 Konvensi Pekerja Migran menjelaskan prinsip kesetaraan hak sebagian besar dalam kerangka kesetaraan antara Pekerja Migran dengan pekerja setempat. Namun demikian, kerangka kesetaraan tersebut terkait erat dengan pemenuhan berbagai hak ekonomi, sosial dan budaya, antara lain hak atas pendidikan, kesehatan, serta partisipasi dalam aktifitas budaya dan memelihara identitas budayanya masing-masing. Prinsip yang dipandang sebagai suatu cara utama dalam proses perwujudan hak asasi manusia secara merata dan global adalah kerja sama internasional. Hal tersebut tertuang dalam ICESCR, yang menyatakan bahwa negara 39
Salah satu prinsip non-diskriminasi yang dikenali sebagai ‘paling sensitif gender’ adalah yang dikenalkan dalam sistem hukum Komunitas Eropa, termasuk diantaranya adalah prinsip “upah setara untuk pekerjaan setara atau pekerjaan dengan nilai setara”.
215
pihak berkewajiban untuk “...secara sendiri-sendiri serta melalui bantuan dan kerja sama internasional...” memenuhi hak-hak sebagaimana tertuang dalam Kovenan. Kerja sama internasional pun menjadi salah satu pilar dalam Konvensi Pekerja Migran. Dalam rangka mempromosikan kondisi migrasi internasional yang tepat, setara dan manusiawi, negara-negara pihak pada Konvensi ini harus saling berkonsultasi dan bekerja sama satu sama lain, sembari memberikan perhatian bukan hanya pada kebutuhan dan sumber daya tenaga kerja tetapi juga kebutuhan migran dan konsekuensi migrasi bagi komunitas terkait.40 Pada akhirnya, prinsip pelaksanaan kewajiban negara dalam pemenuhan dan perlindungan para pekerja migran dan anggota keluarganya dapat dilakukan “secara bertahap hingga mencapai perwujudan sepenuhnya dari hak itu”.41 Kewajiban tersebut mengharuskan negara untuk bergerak secepat mungkin ke arah terwujudnya hak-hak tersebut sepenuhnya. Namun demikian, dalam keadaan apapun hal ini tidak dapat ditafsirkan sebagai mengandung arti bahwa negara berhak untuk mengulur upaya secara tidak terbatas untuk memastikan perwujudan sepenuhnya. Sebaliknya semua negara mempunyai kewajiban untuk dengan segera mulai mengambil langkah-langkah untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya.42
40
Komite Pengarah Internasional untuk Kampanye Ratifikasi Konvensi Hak-hak Pekerja Migran, Guide of Ratification, 2009, hal 23 41 ICESCR, article 2(1), yang selengkapnya berbunyi: Each State Party to the present Covenant undertakes to take steps, individually and through international assistance and co-operation, especially economic and technical, to the maximum of its available resources, with a view to achieving progressively the full realization of the rights recognized in the present Covenant by all appropriate means, including particularly the adoption of legislative measures. 42 Limburg Principles, PP. 21.
216
5) Prinsip equality before the law Salah satu fondasi terpenting dari negara hukum adalah kesetaraan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law). Dalam hal ini, Indonesia sebagai negara hukum43 dituntut untuk memastikan agar setiap orang yang melakukan suatu perbuatan, baik perbuatan yang melanggar hukum atau bukan melanggar hukum akan memperoleh akibat yang sesuai dari perbuatannya. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”44 Dengan adanya persamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan, setiap warga negara yang terbukti melanggar hukum yang berlaku akan mendapat sanksi sesuai perbuatan yang dilakukannya. C.
Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan yang dihadapi masyarakat 1) Masalah pada pra penempatan, selama bekerja di luar negeri dan purna penempatan Berdasarkan data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI), terdapat sekitar 4,31 juta pekerja migran Indonesia yang tersebar di 41 negara. Sepanjang 2010 jumlah penempatan pekerja migran mencapai 533.425 orang; 128.084 (24 persen) di sektor formal sementara selebihnya 405.341 (76 persen) bekerja di sektor informal, mayoritas sebagai pekerja rumah tangga.45 Beberapa permasalahan yang ditemukan pada
43
Karakteristik Indonesia sebagai negara hukum secara tegas diatur dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. 44 UUD 1945 pasal 27 ayat (1). 45 Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2010, Komnas Perempuan, diterbitkan di Jakarta, 7 Maret 2011, p. 29.
217
tiap tahapan migrasi yang dialami oleh pekerja migran Indonesia antara lain: a) Pra penempatan46 Hak para calon pekerja migran atas informasi umumnya belum terpenuhi dengan baik. Dalam hal ini, informasi tentang peluang kerja di luar negeri lebih banyak didapatkan dari petugas lapangan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS)/sponsor/calo yang mendatangi rumah-rumah para calon pekerja dan bukan dari Pemerintah/Dinas Tenaga Kerja (Disnaker)/Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI) setempat. Hal tersebut menjadi masalah karena informasi dari PPTKIS/sponsor/calo lebih banyak bersifat manipulatif dan penegakan hukum terhadap hal tersebut cukup lemah. Informasi yang manipulatif tersebut antara lain mengakibatkan banyaknya calon pekerja yang tidak memenuhi syarat yang ingin bekerja di luar negeri dan banyaknya pekerja yang menjadi korban penipuan terkait gaji, jenis pekerjaan dan kondisi kerja. Perekrutan kerap dilakukan oleh PPTKIS tanpa melibatkan instansi pemerintah setempat. Lebih dari itu, para calon pekerja migran lebih suka menggunakan jasa calo untuk mendaftar ke Disnaker/BP3TKI dan mengurus dokumennya tanpa melalui prosedur yang berlaku. Permasalahan tersebut mengakibatkan banyak pekerja yang dimutasi ke daerah lain dengan dokumen dan identitas yang dipalsukan dan diberangkatkan meskipun tidak memenuhi persyaratan. Banyak dari pekerja tersebut juga yang menjadi korban calo karena harus mengeluarkan banyak uang namun tidak jadi diberangkatkan. 46
Hasil Kajian Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia, Kementerian Luar Negeri, Agustus 2011, pp. 56.
218
Pengurusan dokumen keberangkatan calon TKI, termasuk surat keterangan/pemeriksaan kesehatan diurus oleh calo dan/atau PPTKIS karena mereka memberikan banyak tawaran kemudahan pengurusan dokumen bagi calon TKI yang tidak sesuai dengan prosedur. Sebagai akibatnya, banyak calon TKI yang tetap dapat berangkat ke negara tujuan meskipun tidak memenuhi persyaratan kesehatan (sakit, hamil, dan lain-lain) . Pelatihan keterampilan yang diselenggarakan PPTKIS lebih cenderung berorientasi mengejar keuntungan yang tinggi tanpa memperhatikan standar kecakapan yang penting dari upaya perlindungan. Hal tersebut mengakibatkan kompetensi pekerja yang lemah (sehingga kerap menjadikan pekerja tersebut sebagai sasaran kekerasan) dan ketidakpahaman atas hak yang dimilikinya serta langkah-langkah apa yang harus diambil ketika mengalami masalah di negara tujuan. b) Selama Bekerja di Luar Negeri47 Sistem perlindungan di sebagian negara tujuan utama pekerja migran Indonesia cukup lemah, terutama terkait pengawasan dan penegakan hukum terhadap majikan dan agen yang melanggar hak-hak pekerja. Selain itu, tidak semua negara tersebut memiliki MoU ketenagakerjaan dengan Indonesia dan sebagian yang telah memiliki MoU pun belum efektif dalam melindungi hak-hak pekerja migran Indonesia. Sebelum pekerja migran Indonesia tiba di negara tujuan, PPTKIS tidak menjalankan kewajibannya untuk melaporkan kedatangan pekerja tersebut kepada Perwakilan RI. Setibanya di negara tujuan, pekerja tersebut hanya berhubungan langsung dengan agen setempat atau majikan dan tidak diberikan orientasi 47
Id. p. 7.
219
yang cukup tentang kondisi kerja, hak dan kewajibannya. Hal tersebut menyebabkan tidak optimalnya perlindungan terhadap para pekerja migran Indonesia dan informasi mengenai masalah yang dialami oleh pekerja tersebut kerap terlambat diketahui oleh Perwakilan RI. Mengingat pelaksanaan penempatan yang sangat berorientasi profit, biaya penempatan para pekerja Indonesia di luar negeri dibebankan kepada pekerja yang bersangkutan sehingga mereka harus membayarnya melalui potongan gaji selama 6 hingga 14 bulan. Di samping itu, standar kontrak kerja bagi pekerja migran Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan yang berkebangsaan lain, dan bahkan tidak sedikit dari pekerja Indonesia yang tidak memiliki kontrak kerja. Lebih dari itu, dokumen penting seperti paspor dan kontrak kerja sering dipegang oleh agen atau majikan. Masalah-masalah lain yang kerap dialami oleh pekerja migran Indonesia di luar negeri antara lain kondisi kerja yang buruk, gaji di bawah standar, tingginya kasus kekerasan (termasuk yang berakibat kematian), penyelesaian kasus di luar jalur hukum (sebagian dipulangkan oleh agen atau majikan tanpa sepengetahuan perwakilan RI dan tanpa penyelesaian hak yang jelas), perubahan status menjadi ilegal karena melarikan diri (sedangkan dokumen yang bersangkutan dipegang oleh agen atau majikan), dan pelanggaran lain yang terkait hak sebagai pekerja (terkait gaji, hari libur, jam kerja, jenis pekerjaan dan lain-lain). c) Purna Penempatan Para pekerja migran yang kembali ke Indonesia dalam rangka cuti ataupun telah selesai penempatannya sering mendapatkan perlakuan yang merugikan dan kurang dihargai oleh oknum tertentu ketika tiba di bandara. Selain itu, para pekerja purna penempatan juga 220
sering harus membayar biaya transportasi yang jauh lebih tinggi dari biaya normal untuk perjalanan dari bandara ke kampung halamannya. 48 Selain itu, hingga kini belum ada mekanisme pendampingan bagi para pekerja migran purna penempatan agar dapat memaksimalkan manfaat dari hasil-hasil kerja mereka sebagai modal sehingga tidak perlu bekerja kembali di luar negeri.49 Adapun pekerja migran yang sakit kritis (dan terpaksa dipulangkan) sering mengalami diskriminasi dan ditolak dirawat di rumah sakit yang memadai. Lebih dari itu, para korban yang cacat fisik, mengalami gangguan mental, korban penghamilan dengan anak yang dilahirkannya (akibat kekerasan seksual dan lainlain), sebagian besar dikembalikan untuk menjadi beban keluarga mereka masing-masing. Dalam hal ini negara belum menyiapkan mekanisme pemulihan, rehabilitasi dan kompensasi untuk menangani persoalan ini.50 2) Perkembangan di tingkat internasional terkait Konvensi Menyikapi berbagai permasalahan yang dialami oleh para pekerja migran dan anggota keluarganya, negaranegara asal pekerja migran menjadi motor utama pendorong lahirnya Konvensi Pekerja Migran. Konvensi tersebut adalah bagian dari upaya memberikan perlindungan lebih kepada pekerja migran dan anggota keluarganya. Hingga saat ini51, Konvensi Pekerja Migran telah diratifikasi oleh 45 negara, yaitu Albania, Aljazair, Argentina, Azerbaijan, Bangladesh, Belize, Bolivia, Bosnia Herzegovina, Burkina Faso, Cape Verde, Chile, Ekuador, El 48
Id. pp. 7-8. Id. p. 8. 50 Komnas Perempuan, op.cit. p. 31. 51 Sampai dengan tanggal 9 November 2011 49
221
Salvador, Filipina, Ghana, Guatemala, Guinea, Guyana, Honduras, Jamaika, Kolombia, Kyrgyzstan, Lesotho, Libya, Mali, Maroko, Mauritania, Meksiko, Mesir, Niger, Nigeria, Nikaragua, Paraguay, Peru, Rwanda, Senegal, Seychelles, Sri Lanka, St. Vincent and the Grenadines, Suriah, Tajikistan, Timor-Leste, Turki, Uganda dan Uruguay. Selain itu, 16 negara telah menandatangani namun belum meratifikasi Konvensi tersebut, yaitu Benin, Comoros, Kongo, Gabon, Guinea-Bissau, Indonesia, Kamboja, Kamerun, Liberia, Montenegro, Palau, Sao Tome and Principe, Serbia, Sierra Leone, Togo dan Venezuela52. Secara umum, mayoritas negara yang meratifikasi dan menandatangani Konvensi Pekerja Migran adalah negara-negara asal pekerja migran. Berbagai kampanye global terus dilakukan untuk menggalang dukungan masyarakat internasional agar dapat dicapai ratifikasi universal Konvensi ini. Harapannya adalah agar norma dan standar yang diatur dalam Konvensi Pekerja Migran dapat berlaku secara universal, termasuk di negara-negara yang menjadi tujuan kerja pekerja migran. 3) Upaya untuk memperbaiki nasib pekerja migran Dalam rangka menegaskan komitmen Indonesia terhadap upaya global untuk bersama-sama memperbaiki dan meningkatkan derajat kehidupan pekerja migran berdasarkan prinsip non diskriminasi dan penghormatan nilai-nilai universal HAM, Pemerintah Indonesia telah memasukkan rencana ratifikasi Konvensi Pekerja Migran dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM 1999-2003.53 Sejak awal tahun 2000-an, Tim Inter-Departemen dan 52
Situs Kantor Komisioner Tinggi HAM (www.ohchr.org), “Status of Ratification, Declarations, and Reservations”, dapat dilihat pada http://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no= IV-13&chapter=4&lang=en 53 Departemen Hukum dan HAM, Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia Tahun 1999-2003, Jakarta, 1999
222
wakil organisasi masyarakat sipil yang dikoordinasikan oleh Kementerian Luar Negeri melakukan proses pengkajian terhadap Konvensi. Salah satu hasil kerja dari tim tersebut adalah rekomendasi agar Indonesia melakukan penandatangan terhadap Konvensi ini pada tahun 2004. Menteri Luar Negeri RI atas nama Pemerintah Indonesia telah menandatangani Konvensi Pekerja Migran pada tanggal 22 September 2004 di New York. Upaya ratifikasi Konvensi Pekerja Migran selanjutnya menjadi bagian dari RAN HAM 2004-200954 dan Prolegnas 2005-2009. Proses ratifikasi Konvensi Pekerja Migran selanjutnya juga menjadi bagian dari kegiatan RAN HAM 2011-2014 (Perpres RI nomor 23 tahun 2011)55. Sejak tahun 2005, berbagai rapat antar kementerian dan lokakarya/seminar telah dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri, Kementeri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Sekretariat Negara, dan institusi lainnya, serta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia melalui forum Focus Group Discussion. Seiring dengan proses persiapan ratifikasi tersebut, Pemerintah Indonesia juga telah berpartisipasi aktif dalam berbagai pembahasan isu perlindungan pekerja migran di forum regional dan multilateral. Di forum ASEAN, Indonesia berhasil mendorong diadopsinya ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers dan pembentukan ASEAN Committee on the Implementation of the Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers pada tahun 2007. Di forum multilateral, antara lain Indonesia dan Mexico menjadi co-sponsor Resolusi Komisi HAM PBB
54
Departemen Hukum dan HAM, Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia Tahun 2004-2009, Jakarta, 2004 55 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia Tahun 2011-2014, Jakarta, 2011
223
nomor 2005/47 tentang Human Rights of Migrants56. Indonesia juga berperan aktif pada High Level Dialogue on Migration and Development PBB pada tahun 2006 dan menjadi anggota Steering Group, Co-Chairs, Rapporteur dan peserta aktif pada Global Forum on Migration and Development sejak tahun 2007. Dalam kerangka upaya perlindungan pekerja migran, Indonesia juga telah berperan aktif dalam Colombo Process sebagai forum Pertemuan Tingkat Menteri Tenaga Kerja negara-negara asal pekerja migran di Asia sejak tahun 2003 dan menjadi tuan rumah pada tahun 2005. Indonesia juga mendukung dialog lebih lanjut antara negara-negara asal dan tujuan pekerja migran di Asia melalui Abu Dhabi Dialogue pada tahun 2009. Selain itu, sejak tahun 2002 Indonesia bersama Australia menjadi Co-Chair dari Bali Process yang merupakan forum untuk meningkatkan upaya bersama dalam penanggulangan people smuggling dan human trafficking di Asia Pasifik. Pada bulan Desember 2006, Pemerintah Indonesia telah mengundang Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Migran, Jorge A. Bustamante. Dalam laporannya, Bustamante antara lain mencatat upaya Pemerintah Indonesia untuk melindungi hak-hak para pekerja migran dengan menegosiasikan perjanjian-perjanjian bilateral dengan sebagian negara tujuan pekerja migran asal Indonesia. Namun Bustamante menilai bahwa perjanjianperjanjian bilateral tersebut belum cukup memenuhi standar-standar perlindungan hak pekerja dan HAM internasional, dan merekomendasikan agar Indonesia segera meratifikasi Konvensi Pekerja Migran.57 Di lain
56
Situs Kantor Komisioner Tinggi HAM (www.ohchr.org), dapat dilihat pada http://ap.ohchr.org/documents/ E/CHR/ resolutions/E-CN_4-RES2005-47.doc 57 Id., Report of the Special Rapporteur on the Human Rights of Migrants: INDONESIA, dokumen A/HRC/4/24/Add.3, dapat dilihat di
224
pihak, Komite CEDAW, Komite CERD, dan Komite CAT dalam pembahasan laporan implementasi konvensikonvensi tersebut telah merekomendasikan agar Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Pekerja Migran. Indonesia telah meratifikasi instrumen HAM internasional yang ketentuan-ketentuan di dalamnya mengakui perlindungan, penghormatan, pemajuan dan pemenuhan hak-hak universal seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya, antara lain International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR (melalui UU No. 12/2005), International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights/ICESCR (melalui UU No. 11/2005), Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment/CAT (melalui UU No. 5/1998), Convention on the Rights of the Child/CRC (melalui Keppres No. 36/1990), Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW (melalui UU No. 7/1984), dan Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination/CERD (melalui UU No. 29/1999). Indonesia juga telah meratifikasi seluruh Konvensi ILO terkait dengan hak-hak asasi tenaga kerja, antara lain Konvensi ILO No. 138 mengenai Usia Minimum untuk Bekerja (melalui UU No. 20/1999); Konvensi ILO No. 111 mengenai Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan (melalui UU No. 21/1999); Konvensi ILO No. 105 mengenai Penghapusan Kerja Paksa (UU No. 19/1999); Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Penghapusan Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (melalui UU No. 1/2000); Konvensi ILO No. 98 mengenai Hak untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama (melalui UU No. 18/1956); Konvensi ILO No. 100 mengenai Upah Setara bagi Pekerja Laki-laki dan Perempuan untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya (melalui UU No. 80/1957); dan Konvensi ILO No. http://daccess-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/G07/112/04/PDF/ G0711204.pdf, para 66
225
87 mengenai Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi (melalui Keppres No. 83/1998). Di sisi lain, perhatian nasional terhadap perlindungan pekerja migran meningkat seiring dengan munculnya persoalan dan kondisi tidak manusiawi yang dihadapi banyak pekerja migran Indonesia di luar negeri sepanjang tahun 2010. Menanggapi hal tersebut, Sidang Kabinet tanggal 20 Desember 2010 memutuskan agar Pemerintah Indonesia segera meratifikasi Konvensi Pekerja Migran. Pada saat yang bersamaan, Pemerintah Indonesia juga secara sungguh-sungguh telah menanggapi gugatan Citizen Law Suit sekelompok masyarakat sipil pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang antara lain menuntut Pemerintah Indonesia untuk segera meratifikasi Konvensi Pekerja Migran. Presiden RI dalam pidato pada Sidang International Labour Conference ke-100 di Jenewa tanggal 14 Juni 201158 menekankan kembali komitmen kuat Pemerintah Indonesia untuk memperbaiki dan meningkatkan pemajuan dan perlindungan hak asasi para pekerja migran Indonesia di luar negeri, termasuk mendukung Konvensi ILO nomor 189 mengenai “Decent Work for Domestic Workers” yang memperkuat Konvensi Pekerja Migran terkait perlindungan hak-hak asasi para pekerja domestik migran Indonesia di luar negeri.
58
Situs International Labour Organization (www.ilo.org) 100th Session of the International Labour Conference, Pidato lengkap dapat dilihat di http://www.ilo.org/ilc/ILCSessions/100thSession/mediacentre/speeches/WCMS_157638/lang--en/index.htm
226
D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Undang-Undang terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan negara Indonesia meratifikasi Konvensi Pekerja Migran dengan tujuan untuk: 1) Mempertegas komitmen Indonesia bagi peningkatan perlindungan, penghormatan, pemajuan dan pemenuhan hak asasi manusia, termasuk hak asasi seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya. 2) Memperkuat landasan hukum bagi kebijakan nasional dalam meningkatkan sistem perlindungan, penghormatan, pemajuan dan pemenuhan hak-hak asasi tenaga kerja, khususnya hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya yang sesuai dengan norma-norma hak asasi manusia universal. 3) Menjamin, mengatur dan memajukan mekanisme perlindungan dan penataan manajemen migrasi (baik bilateral maupun multilateral) agar pekerja migran Indonesia dapat menikmati perlindungan dan haknya lebih baik, mulai dari pra penempatan selama bekerja di Luar Negeri maupun purna penempatan. Manfaat meratifikasi Konvensi Pekerja Migran terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat antara lain: 1) Mendorong peningkatan upaya perlindungan, penghormatan, pemajuan dan pemenuhan hak-hak asasi seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya oleh Pemerintah dan pemangku kepentingan nasional. 2) Mendorong pembentukan sistem pengelolaan migrasi yang aman dan menjunjung tinggi hak asasi seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya. 3) Mendorong peningkatan upaya pencegahan migrasi takreguler (ilegal), eksploitasi pekerja migran dan pemberantasan perdagangan orang. 227
4) Meningkatkan leverage (posisi tawar) Indonesia dalam kerja sama perlindungan Tenaga Kerja Indonesia dengan negara-negara penempatan/tujuan kerja dan transit. 5) Mendorong kerja sama bilateral, regional dan multilateral dalam peningkatan upaya perlindungan pekerja migran, termasuk yang bekerja di sektor informal dan berstatus tidak terdokumentasikan. 6) Meningkatkan citra positif Indonesia di dunia internasional dalam perlindungan, penghormatan, pemajuan dan pemenuhan hak asasi manusia. Ratifikasi Konvensi Pekerja Migran akan memberikan implikasi antara lain: 1) Pemerintah Indonesia perlu melakukan upaya harmonisasi hukum nasional, terutama yang terkait dengan masalah ketenagakerjaan dan perlindungan hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya agar sesuai dengan standar hak asasi pekerja migran sebagaimana diatur dalam Konvensi. 2) Pemerintah Indonesia berkewajiban untuk menyampaikan laporan implementasi Konvensi kepada Komite Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya setahun setelah ratifikasi dan selanjutnya setiap lima tahun sekali dan jika Komite memintanya. 3) Indonesia akan memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan menyeluruh kepada pekerja migran dan anggota keluarganya, tanpa diskriminasi, sesuai dengan standar hak asasi manusia internasional sebagaimana diatur oleh Konvensi. 4) Pemerintah Indonesia memiliki kewajiban memberikan perlindungan, penghormatan, pemajuan dan pemenuhan hak-hak Tenaga Kerja Indonesia selama proses pra penempatan, selama bekerja di luar negeri, dan purna penempatan, sesuai ketentuan dalam Konvensi.
228
5) Pemangku kepentingan nasional, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat dan masyarakat madani, perlu meningkatkan pengawasan/pemantauan terhadap pelaksanaan Konvensi. Sejalan dengan prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia umumnya, hak-hak yang menyangkut hak-hak sipil dan politik para pekerja migran dan anggota keluarganya harus segera dipenuhi. Sedangkan hak-hak yang terkait dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, pemenuhannya dapat dilakukan secara bertahap atau “progressive realization”. Namun pemenuhan hak-hak tersebut disesuaikan dengan hukum nasional serta kapasitas dan kemampuan negara. Dengan demikian, pemenuhan hak-hak pekerja migran tersebut tidak akan serta merta berimplikasi terhadap beban keuangan negara, melainkan memperhatikan pula kemampuan keuangan negara. Konvensi ini pada dasarnya menetapkan standar minimum untuk perlindungan pekerja migran dan keluarganya. Sejalan dengan prinsip yang mendasari penyusunan Konvensi ini, negara pihak masih diberikan ruang gerak yang leluasa untuk menerapkan sistem nasionalnya mengenai syarat-syarat administratif dan hukum yang mengatur pekerja asing di wilayahnya. Dengan demikian, langkah ratifikasi terhadap Konvensi ini tidak membawa konsekuensi pada keharusan merombak sistem administrasi tenaga kerja asing di Indonesia, kecuali yang terkait dengan standar minimum perlindungannya. ------
229
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN TERKAIT Norma-norma yang tertuang dalam Konvensi Pekerja Migran sesungguhnya bukanlah norma baru hak asasi manusia. Berbagai hak yang diatur dalam Konvensi ini telah diatur pula dalam beberapa instrumen internasional HAM yang telah ada secara parsial. Konvensi Pekerja Migran merupakan kodifikasi dan kesatuan utuh dari perlindungan hak-hak asasi manusia yang dikhususkan kepada pekerja migran dan anggota keluarganya, termasuk juga pekerja migran dalam situasi tak-reguler dan bagi yang bekerja di sektor informal. Berbagai contoh hak yang telah diatur dalam instrumen internasional yang lain adalah right to non-discrimination and equal treatment59, right not to be enslaved or subject to forced or compulsory labour60, right to fair condition of employment61, right to form and join trade unions and other associations62, right to health care63, right to education64, protection from arbitrary arrest and detention and rights during detention or imprisonement65, right of equality with nationals before the courts and right to due process66,
59
Hak atas perlakuan yang setara dan non-diskriminasi diatur dalam ICCPR pasal 2(1) dan 26, dan ICESCR pasal 2(2). 60 Hak untuk tidak diperbudak diatur dalam ICESCR pasal 10(3), ICCPR 8(1,2,3a, CEDAW pasal 6, CRC pasal 11(1), 32 (1), 34, 35, 36. 61 Hak atas kondisi pekerjaan yang layak diatur dalam ICESCR pasal 6 dan 7, CRC pasal 32(1). 62 Hak berserikat dan berkumpul diatur dalam ICESCR pasal 8(1), ICCPR pasal 22(1), CEDAW pasal 14(2e), ICERD pasal 5(e-iv). 63 Hak atas pelayanan kesehatan diatur dalam ICESCR pasal 12(1), CRC 24(1), 25, 39, CEDAW pasal 14 (2b). 64 Hak atas pendidikan diatur dalam ICESCR pasal 13(1,2), 14, CRC pasal 28(1), 29(1), ICERD pasal 5(e-v). 65 Hak ini diatur dalam ICCPR pasal 9(2,3,4,5), CRC pasal 40(1). 66 Diatur dalam ICERD pasal 5(a), 6, ICCPR pasal 14 (1), 16, 24, CAT pasal 12, 13, 14 dan CRC pasal 12(2).
230
serta prohibition of collective expulsion67. Instrumen internasional lain yang mengatur berbagai hak pekerja migran adalah konvensikonvensi Dasar ILO, antara lain Konvensi No. 87 dan No. 98 (freedom of association, right to organize and collective bargaining), No. 100 dan No. 111 (equal remuneration and equality and nondiscrimination in employment and occupation) No. 29 dan No. 105 (abolition of forced labour) dan No. 138 dan No. 182 (elimination of child labour). Berbagai ketentuan tersebut telah diadopsi dalam peraturan perundang-undangan nasional, sejalan dengan ratifikasi yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia atas berbagai instrumen-instrumen internasional terkait. Secara umum, beberapa ketentuan perundang-undangan nasional Indonesia memiliki keterkaitan substansi dengan Konvensi Pekerja Migran, antara lain sebagai berikut: 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang antara lain menyatakan: Pasal 27 ayat (2): Tiap-tiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 28A: Setiap orang berhak untuk hidup mempertahankan hidup dan kehidupannya.
pekerjaan
serta
dan
berhak
Pasal 28B: (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. (2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi Pasal 28C: (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi 67
Diatur dalam ICCPR pasal 13.
231
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. (2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Pasal 28D: (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. (2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. (3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. (4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. Pasal 28E: (1) Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Pasal 28F: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Pasal 28G: (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan 232
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. (2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. Pasal 28H: (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. (2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. (3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. (4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Pasal 28I: (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. (2) Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. (3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
233
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. (5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. 2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women/CEDAW), (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3277) Ketentuan dalam CEDAW yang terkait dengan perlindungan tenaga kerja yaitu hak atas pendidikan dan pelatihan,68 hak untuk bebas dari diskriminasi dalam pekerjaan69 hak untuk bebas dari diskriminasi dalam layanan kesehatan,70 dan hak untuk bebas dari diskriminasi dalam pendidikan,71 hak persamaan di muka hukum,72 hak untuk bebas dari segala bentuk perdagangan perempuan dan eksploitasi perempuan.73 Lebih lanjut lagi, Komite CEDAW dalam catatan atas laporan Pemerintah Indonesia mengenai implementasi CEDAW merekomendasikan untuk meningkatkan perlindungan pekerja migran dan keluarganya melalui: (1) hubungan diplomasi antar negara melalui perjanjian bilateral; (2) memantau perusahaan yang menjadi sponsor atau pengirim pekerja migran ke luar negeri; dan (3) ratifikasi
68
Pasal 16 CEDAW Pasal 11 CEDAW 70 Pasal 12 CEDAW 71 Pasal 5 dan 10 CEDAW 72 Pasal 15 CEDAW 73 Pasal 6 CEDAW 69
234
Konvensi Pekerja Migran. 74 Lebih dari itu, Komite CEDAW melalui Rekomendasi Umum No. 26 tahun 2008 juga mendorong seluruh negara pihak CEDAW untuk meratifikasi seluruh instrumen internasional yang relevan dengan perlindungan hak asasi manusia perempuan pekerja migran, terutama, Konvensi Internasional Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran beserta Anggota Keluarganya.75 3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention againts Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment/CAT (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia), (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3983) Ketentuan CAT yang terkait dengan perlindungan tenaga kerja yaitu hak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan/hukuman tidak manusiawi dan merendahkan.76 Selain itu, terdapat rekomendasi dari Komite AntiPenyiksaan yang mendorong Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Konvensi Pekerja Migran untuk meningkatkan perlindungan pekerja migran Indonesia terutama perempuan.77
74
Id., Concluding Comments of the Committee on the Elimination of Discrimination Against Women: INDONESIA, dokumen Cedaw/C/IDN/CO/5, dapat dilihat di http://daccess-ddsny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N07/460/12/PDF/N0746012.pdf?Open Element, para 44 75 Komite CEDAW, General Recommendation No. 26 on Women Migrant Workers, dokumen CEDAW/C/2009/WP.1/R, dapat dilihat di http://www2.ohchr.org/english/bodies/cedaw/docs/ GR_26_on_women_migrant_workers_en.pdf 76 Pasal 16 CAT 77 Id., Concluding Observations of the Committee Against Torture: INDONESIA, dapat dilihat di http://daccess-dds-
235
4) Undang-Undang No. 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention on the elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965/CERD (Konvensi Internasional mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965), (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3852) Ketentuan dalam CERD yang mengatur perlindungan hakhak tenaga kerja yaitu kewajiban Negara Pihak melakukan langkah-langkah konkrit dan khusus di bidang ekonomi, sosial dan budaya guna memastikan pemajuan dan perlindungan yang layak bagi kelompok ras tertentu dalam rangka menjamin perolehan hak asasi dan kebebasan fundamental yang utuh dan setara.78 CERD juga mengatur ketentuan mengenai kewajiban Negara Pihak untuk menjamin hak-hak setiap orang, antara lain, hak untuk bekerja, kebebasan memilih pekerjaan, kondisi tempat kerja yang adil dan menguntungkan, perlindungan terhadap pengangguran, pembayaran yang sesuai dengan pekerjaan dan hak atas penggajian yang adil dan menguntungkan serta pembentukan dan keanggotaan pada serikat pekerja.79 Ketentuan CERD tersebut juga diatur dalam Konvensi Pekerja Migran, seperti hak bebas dari kerja paksa80 dan hak untuk mendapat perlakuan yang sama dengan warga negara terkait dengan pemberian upah.81 Selain itu, CERD mengatur kewajiban Negara Pihak menyampaikan laporan kepada Sekretariat Jenderal PBB untuk dibahas Komite CERD.82 Terhadap laporan Pemerintah Indonesia, Komite CERD menyoroti masalah diskriminasi ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/G08/428/16/PDF/G0842816.pdf?OpenEle ment, para. 40 78 Pasal 2 CERD 79 Pasal 5 CERD 80 Pasal 11 Konvensi Pekerja Migran 81 Pasal 25 Konvensi Pekerja Migran 82 Pasal 9 CERD
236
rasial terhadap non-warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 5 CERD dan merekomendasi Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Konvensi Pekerja Migran.83 5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886) Ketentuan dalam UU 39/1999 yang terkait dengan perlindungan tenaga kerja yaitu hak atas pekerjaan yang layak, hak atas kebebasan memilih pekerjaan, kesejahteraan hak atas pekerjaan antara perempuan dengan laki-laki, hak atas upah kerja, hak atas pemenuhan kebutuhan dasar untuk berkembang secara layak, dan hak untuk meningkatkan kualitas hidup agar bahagia dan sejahtera, serta hak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya untuk meningkatkan kualitas hidupnya dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.84 Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Pekerja Migran, bahwa setiap orang berhak untuk mempertahankan dan meningkatkan taraf hidupnya, serta berhak pula untuk memiliki pekerjaan yang dikehendaki dan sesuai dengan keterampilannya. 6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4235) Konvensi Pekerja Migran mengatur pula perlindungan anggota keluarga pekerja migran yang identik dengan anakanak dari pekerja migran. UU Perlindungan Anak mewajibkan negara, pemerintah, masyarakat dan keluarga untuk menjamin dan melindungi anak agar dapat hidup, tumbuh dan 83
Id., Concluding Observations of the Committee on the Elimination Against Racial Discrimination: INDONESIA, dapat dilihat di http://www2.ohchr.org/english/bodies/cerd/docs/CERD.C.IDN.CO.3.pdf , para. 19 84 Pasal 11, 12, 38 dan 39 UU 39/1999
237
berkembang, serta berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, termasuk dalam hal ini anak dari pekerja migran. 7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4279) Ketentuan-ketentuan dalam UU 13/2003 yang terkait dengan perlindungan hak-hak pekerja migran, antara lain penempatan tenaga kerja sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi dan perlindungan hukum85, kewajiban pelaksana penempatan dan pemberi tenaga kerja untuk melindungi tenaga kerja86, dan hak atas perlindungan bagi pekerja/buruh.87 Ketentuan dalam UU 13/2003 terkait perlindungan tenaga kerja telah mengatur ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja khususnya di dalam negeri serta hak dan kewajiban pelaksanan penempatan dan pemberi tenaga kerja serta tenaga kerja itu sendiri, salah satunya perlindungan hak asasi mereka sebagaimana diatur dalam Konvensi Pekerja Migran. Apabila dikaitkan dengan ketentuan Konvensi Pekerja Migran maka hal ini akan berkaitan dengan penanganan seluruh pekerja, termasuk pekerja migran Indonesia yang akan bekerja di luar negeri. 8) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 1333, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4445) Ketentuan dalam UU 39/2004 menyatakan bahwa penempatan dan perlindungan calon TKI/TKI berasaskan keterpaduan, persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, 85
Pasal 32 UU 13/2003 Pasal 35 UU 13/2003 87 Pasal 86 UU13/2003 86
238
kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, serta antiperdagangan manusia88. Selain itu, UU 39/2004 mengatur ketentuan mengenai penempatan dan perlindungan pekerja migran di luar negeri mulai dari pra penempatan, selama bekerja di luar negeri dan purna penempatan serta perlindungan hak asasi mereka.89 Dengan meratifikasi Konvensi Pekerja Migran akan memperbaiki perlindungan bagi calon pekerja migran Indonesia dalam pra penempatan, selama bekerja di luar negeri, serta purna penempatan dan memperbaiki sistem penempatan pekerja migran ke luar negeri. Konvensi Pekerja Migran juga tidak hanya akan meningkatkan perlindungan pekerja migran tetapi juga mencegah praktik-praktik ilegal serta akan mengatasi tingkat penyalahgunaan sistem pengiriman pekerja migran ke luar negeri. Konvensi Pekerja Migran akan dapat lebih memperkuat dan melengkapi UU 39/2004, seperti mengenai: definisi dan kategori pekerja migran, prinsip non-diskriminasi, perlindungan hak-hak anggota keluarga pekerja migran, perlindungan hak-hak pekerja migran tak-berdokumen atau tak-reguler. Konvensi Pekerja Migran juga tidak hanya mengatur perlindungan tenaga kerja berdokumen tetapi juga tak berdokumen atau berada dalam situasi tak-reguler.90 Setiap pekerja migran baik berdokumen maupun tidak berdokumen, beserta anggota keluarganya memiliki 20 hak mendasar yang terangkum dalam 4 Guiding Principles, yaitu: 1) tidak adanya diskriminasi dalam jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama, kebangsaan atau kewarganegaraan, etnis atau status lainnya; 2) mata pencaharian untuk mengembangkan kehidupan ekonomi di masa yang akan datang; 3) 88
Pasal 2 UU 39/2004 Pasal 77 UU 39/2004 90 Pasal 5 Konvensi Pekerja Migran 89
239
pertumbuhan dan pembangunan; dan 4) partisipasi dalam kehidupan keluarga, masyarakat, kebudayaan dan kehidupan berpolitik. Dengan ratifikasi Konvensi Pekerja Migran, perlindungan dapat dilakukan melalui mekanisme hukum internasional yang tidak hanya diberikan kepada pekerja migran Indonesia dalam yurisdiksi Indonesia tetapi juga pekerja migran Indonesia di luar negeri. Dengan demikian sebagai tindak lanjut dari ratifikasi dari konvensi ini perlu dilakukan penyesuaian terhadap UU 39/2004 khususnya yang berkaitan mengenai penguatan terhadap aspek-aspek perlindungan tenaga kerja yang termasuk dalam kategori pekerja migran. 9) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights/ICESCR (Konvenan Internasional mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya), (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4557). Ketentuan dalam ICESCR yang terkait dengan ketenagakerjaan antara lain hak untuk mendapat kondisi kerja yang setara dan baik91 dan hak atas layanan kesehatan.92 Selain itu, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya diatur pula dalam Konvensi Pekerja Migran, yaitu hak bebas dari kerja paksa atau perbudakan,93 hak atas jaminan sosial,94 hak atas perawatan medis95 dan hak atas pendidikan.96 10) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik), 91
Pasal 7 ICESCR Pasal 12 ayat 1 ICESCR 93 Pasal 11 Konvensi Pekerja Migran 94 Pasal 27 Konvensi Pekerja Migran 95 Pasal 28 Konvensi Pekerja Migran 96 Pasal 29 Konvensi Pekerja 92
240
(Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4558) Ketentuan dalam ICCPR yang terkait dengan perlindungan tenaga kerja antara lain hak untuk hidup,97 hak untuk bebas dari kerja paksa,98 hak untuk tidak ditahan karena kegagalan memenuhi kewajiban sesuai kontrak kerja99 dan hak anak untuk mendapat nama, tercatat dan mendapat kewarganegaraan.100 Selain itu, ICCPR mengatur ketentuan mengenai hak kebebasan berserikat dengan orang lain, termasuk hak untuk membentuk atau bergabung dalam serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya.101 Hak berserikat juga diatur dalam Konvensi Pekerja Migran di mana Konvensi menjamin hak setiap pekerja migran untuk bergabung atau membentuk serikat buruh.102 Hak-hak ini tidak boleh dibatasi kecuali menurut ketentuan hukum, ketertiban umum atau demi perlindungan hak dan kebebasan orang lain.103 11) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4720) Dalam penjelasan umum UU 21/2007, dinyatakan bahwa UU tersebut mengantisipasi dan menjerat semua tindakan dalam proses, cara, atau semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam praktik perdagangan orang, baik yang dilakukan antar wilayah dalam negeri maupun secara antar negara, dan baik oleh pelaku perorangan maupun korporasi.
97
Pasal 6 ICCPR Pasal 8 ICCPR 99 Pasal 11 ICCPR 100 Pasal 24 ICCPR 101 Pasal 22 ayat (1) ICCPR 102 Pasal 26 ayat (1) Konvensi Pekerja Migran 103 Pasal 26 ayat (2) Konvensi Pekerja Migran 98
241
Adanya UU ini sejalan dengan Konvensi Pekerja Migran yang secara normatif membuka peluang lalu lintas migrasi Pekerja Migran antar negara namun disertai juga dengan semangat perlindungan terhadap Pekerja Migran. Dengan adanya UU ini diharapkan lalu lintas migrasi yang akan meningkat nantinya akan dilengkapi juga dengan safeguard dan pencegahan terhadap adanya peluang tindak pidana perdagangan orang. 12) Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia Tahun 2011-2014 (RANHAM 2011-2014) Salah satu program RANHAM 2011-2014 yaitu ratifikasi Konvensi Pekerja Migran. Selanjutnya RANHAM 2011-2014 juga mengatur tentang penerapan norma dan standar instrumen HAM, termasuk di dalamnya hak atas kesejahteraan sebagai salah satu komponen hak atas pekerjaan. Selain itu, terdapat pula berbagai peraturan perundangundangan nasional lain yang terkait dengan Konvensi, antara lain: 1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019); 2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3143); 3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1982 tentang Pengesahan Vienna Convention on Diplomatic Relations and Optional Protocol to the Vienna Convention on Diplomatic Relations Concerning Acquisition of Nationality, 1961 (Konvensi Wina Mengenai Hubungan Diplomatik Beserta Protokol Opsionalnya mengenai Hak Memperoleh Kewarganegaraan, 1961) dan Pengesahan Vienna Convention on Consular Relation and Optional Protocol to the Vienna Convention on Consular Relation Concerning Acquisition of Nationality, 1963 (Konvensi Wina Mengenai Hubungan Konsuler Beserta Protokol Opsionalnya Mengenai Hak Memperoleh 242
Kewarganegaraan) (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3211); 4) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3789); 5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3882); 6) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Undang-Undang Nomor 1999 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara tahun 2000 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3959); 7) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3989); 8) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4012); 9) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4026); 10) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4301); 11) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4359); 12) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan (Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4634);
243
13) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4674); 14) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Perubahan Ketiga Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 80, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4740); 15) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4846); 16) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 170, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4919); 17) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4967); 18) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5038); 19) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5063); 20) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5216); 21) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5234); 22) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan; 23) Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan 244
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden; 24) Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2006 tentang Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia; 25) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.02/MEN/ III/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing; 26) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.07/MEN/V/2010 Tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia; 27) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.14/MEN/X/2010 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
----------
245
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS A.
Landasan Filosofis Prinsip universalitas HAM di Indonesia merupakan prinsip dasar yang tertuang dalam dua dokumen terpenting, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Pancasila, dalam kelima silanya, mengandung nilai-nilai filosofi luhur tentang hak asasi manusia, baik hak-hak sipil dan politik, maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, menegaskan perlunya perlindungan terhadap seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Sedangkan sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menjamin hak warga negara Indonesia untuk mencari penghidupan yang layak dalam upaya meningkatkan kesejahteraannya. Pembukaan UUD 1945 memiliki semangat perlindungan, penghormatan, pemajuan dan pemenuhan HAM universal tanpa pengecualian. Hal tersebut tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang berbunyi: “….melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.” Dalam upaya mewujudkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 yang menjamin perlindungan, penghormatan, pemajuan dan pemenuhan HAM universal, termasuk hak-hak para pekerja migran dan anggota keluarganya, maka secara filosofis Indonesia memiliki landasan yang kuat untuk meratifikasi Konvensi Pekerja Migran.
246
B.
Landasan Sosiologis Fenomena migrasi internasional pekerja Indonesia setidaknya dipengaruhi oleh dua faktor: faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal antara lain adanya disparitas pertumbuhan ekonomi antar negara dan segmentasi pasar tenaga kerja, di mana penduduk dari negara-negara yang tingkat perekonomiannya rendah cenderung bermigrasi ke negara-negara yang tingkat perekonomiannya tinggi. Selain itu, negara-negara dengan tingkat perekonomian yang tinggi cenderung mengalami segmentasi pasar tenaga kerja, di mana sektor pekerjaan tertentu, seperti pertanian, perkebunan, manufaktur, konstruksi, dan pekerjaan domestik, diisi oleh pekerja migran. Sementara faktor internal terkait dengan faktor ekonomi, antara lain tingkat kemiskinan dan minimnya lapangan kerja. Kedua hal tersebut mendorong meningkatnya migrasi tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Pada perkembangannya, pola migrasi Tenaga Kerja Indonesia mengalami kecenderungan pergeseran rasio gender dari dominasi laki-laki pada awal tahun 1970-an menjadi dominasi perempuan pada tahun 2000-an. Pada saat ini jumlah Tenaga Kerja Wanita mencapai lebih dari 75% dari total Tenaga Kerja Indonesia. Hal tersebut didorong oleh lapangan kerja yang terbatas di dalam negeri, peningkatan jumlah angkatan kerja perempuan, dan stereotipe sosial budaya yang menempatkan tanggung jawab perempuan dalam pemenuhan kebutuhan domestik keluarga.
247
Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 1994-2009
Sumber: Data Penempatan TKI BNP2TKI (1994-2006) dan Kemenakertrans (2007-2009)
Tidak dapat dipungkiri bahwa migrasi tenaga kerja Indonesia telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi pembangunan di Indonesia melalui remitansi yang menjadi modal untuk menggerakkan perekonomian masyarakat. Jumlah remitansi rata-rata sepanjang 2006-2010 yang tercatat pada Bank Indonesia sebesar 4,853 milyar dolar AS.
248
Remitansi Tenaga Kerja 2006-2011 (Netto, Juta USD) 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
Remitansi
2006
2007
2008
2009
2010*
2011 (SMT1)**
4500
4833
5206
4869
4857
2358
Sumber: Laporan Neraca Pembayaran Indonesia 2008, 2009, 2010, 2011 (Bank Indonesia) *angka sementara, **angka sangat sementara
Namun demikian, kontribusi ekonomi pekerja migran tersebut tidak berbanding lurus dengan situasi sebagian tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh manajemen migrasi pekerja migran Indonesia ke luar negeri yang kurang optimal dalam melindungi tenaga kerja Indonesia, mulai dari proses pra penempatan, selama bekerja di luar negeri, dan purna penempatan. Hal ini terlihat dari masih ditemukannya berbagai kasus pelanggaran hak-hak pekerja migran Indonesia di luar negeri antara lain kasus gaji tidak dibayar,
249
kontrak diputus secara sepihak, kekerasan secara fisik, psikis dan seksual, perdagangan orang dan sebagainya104. Indonesia sebagai Negara asal pekerja migran sangat berkepentingan dengan pengelolaan migrasi internasional yang aman bagi pekerja migran Indonesia. Untuk itu, Indonesia dituntut untuk memberikan perlindungan, penghormatan, pemajuan dan pemenuhan hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya melalui ratifikasi Konvensi Pekerja Migran. C.
Landasan Yuridis Ratifikasi Konvensi Pekerja Migran adalah perwujudan komitmen Indonesia dalam perlindungan, penghormatan, pemajuan dan pemenuhan hak asasi manusia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, khususnya pasal 27 ayat (2), 28A, 28B, 28C, 28D, 28E, 28F, 28G, 28H, dan 28I. UUD 1945 menjamin hak dasar setiap individu yang juga diatur dengan lebih spesifik oleh Konvensi Pekerja Migran terutama hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; hak untuk membentuk keluarga dan menjalankan keturunan; hak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi; hak untuk mengembangkan diri; hak atas pendidikan dan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya; hak untuk memajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara kolektif; hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum; hak untuk mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja; hak atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan; hak atas status kewarganegaraan; hak untuk memeluk agama, meyakini kepercayaan, dan beribadat menurut keyakinannya; hak atas pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, 104
Komisi Nasional Perempuan, Draft Naskah Akademik RUU Pengesahan International Convention on the Rights of Migrant Workers and members of their Families, Jakarta, 2009.
250
memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali; hak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap; hak untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat; hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi; hak atas perlindungan diri, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta bendanya; hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia; hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin; hak untuk bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat; hak atas pelayanan kesehatan; hak untuk memperoleh persamaan dan keadilan; hak atas jaminan sosial; dan hak untuk mempunyai hak milik pribadi yang tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Lebih lanjut, peraturan perundang-undangan nasional yang menjadi dasar yuridis bagi Indonesia untuk mengesahkan Konvensi Pekerja Migran, yaitu: 1) Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 28, Pasal 28 A-I, UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3882); 3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886); 4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012). ----------
251
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG A.
Jangkauan dan Arah Pengaturan 1) Sasaran Terpenuhinya hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya yang meliputi hak atas kebebasan untuk meninggalkan, masuk dan menetap di Negara manapun, hak hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan, hak untuk bebas dari perbudakan, hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama, hak atas kebebasan berekspresi, hak atas privasi, hak untuk bebas dari penangkapan yang sewenang-wenang, hak diperlakukan, sama di muka hukum, hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hak terkait kontrak/hubungan kerja, hak untuk berserikat dan berkumpul, hak mendapatkan perawatan kesehatan hak atas akses pendidikan bagi anak pekerja migran, hak untuk dihormati identitas budayanya, hak atas kebebasan bergerak, hak membentuk perkumpulan, hak berpartisipasi dalam urusan pemerintahan di Negara asalnya, hak untuk transfer pendapatan. 2) Tujuan Tujuan utama dari Konvensi Pekerja Migran adalah untuk membakukan hak-hak para pekerja migran dan anggota keluarganya dan memastikan agar hak-hak tersebut dilindungi, dihormati, dimajukan dan dipenuhi oleh semua negara. Dalam hal ini, Konvensi menetapkan standar minimum untuk perlindungan HAM pekerja migran dan keluarganya untuk dijadikan acuan bagi setiap negara dalam membentuk sistem perundang-undangan bagi perlindungan, penghormatan, pemajuan dan pemenuhan hak-hak pekerja migran dan keluarganya.
252
3) Aspek-aspek Migrasi yang Tercakup dalam Konvensi Konvensi Pekerja Migran berlaku pada keseluruhan proses migrasi pekerja migran dan anggota keluarganya. Konvensi tersebut memberi seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya hak-hak dan perlindungan di semua tahap: pra penempatan, selama bekerja di luar negeri, dan purna penempatan (Pasal 1).105 Konvensi Pekerja Migran mengecualikan penerapan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi terhadap 106 pengungsi dan orang tak bernegara, pegawai sebuah negara, pegawai organisasi internasional, siswa/mahasiswa, investor dan pelaut serta pekerja instalasi lepas pantai (Pasal 3).107 4) Definisi Pekerja Migran Untuk pertama kalinya di dalam sebuah instrumen internasional, Konvensi memberikan definisi mengenai pekerja migran yang dipusatkan pada keterlibatan sebuah "aktivitas yang diupah" Definisi ini luas dan mencakup perlindungan terhadap orang-orang yang berencana menjadi pekerja migran, atau secara aktual sedang bekerja di luar negara mereka sendiri, atau selesai bekerja di luar negeri dan kembali ke negara asal mereka.108 Konvensi tersebut menyatakan, "Istilah 'pekerja migran' merujuk pada seseorang yang akan, tengah, atau telah melakukan aktivitas yang dibayar di suatu Negara di mana ia bukan merupakan warga negara" (Pasal 2). Selain 105
The International Steering Committee for the Campaign for Ratification of the Migrants Rights Convention, op.cit., p. 16 106 Pengecualian pemberlakuan Konvensi ini terhadap pengungsi hanya terbatas pada orang-orang yang diakui sebagai pengungsi, dan bukan pada pencari suaka yang memenuhi definisi Konvensi ini mengenai pekerja migran. 107 Id. p. 17 108 Id. p. 16
253
definisi umum pekerja migran, Konvensi tersebut juga memberikan definisi beberapa kategori pekerja migran khusus, seperti "pekerja perbatasan," "pekerja musiman (seasonal worker)," "pekerja proyek (project-tied worker)," dan "pekerja mandiri (self-employed worker)” (Pasal 2). Kategori "pekerja mandiri" adalah pekerja migran yang melakukan aktivitas yang dibayar dan tidak berada di bawah perjanjian kerja, mencari nafkah melalui kegiatan ini seorang diri atau bersama anggota keluarganya. Bagian V Konvensi kemudian menguraikan hak-hak khusus yang berlaku bagi beberapa kategori pekerja migran ini dan anggota keluarganya.109 Konvensi berlaku bagi semua orang yang memenuhi definisi pekerja migran dan anggota keluarganya; mereka berhak atas perlindungan hak-hak mereka di bawah Konvensi tersebut tanpa perbedaan apapun seperti jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama atau keyakinan, pendapat politik atau pendapat lainnya, asal bangsa, etnis atau sosial, kebangsaan, usia, posisi ekonomi, kekayaan, status pernikahan, status kelahiran dan status lainnya (Pasal 7).110 5) Definisi Keluarga Pekerja Migran Konvensi Pekerja Migran mendefinisikan "anggota keluarga" sebagai "orang yang menikah dengan pekerja migran atau memiliki hubungan dengan pekerja migran yang, menurut hukum yang berlaku, memberi dampak yang sama dengan pernikahan", dan anak-anak yang menjadi tanggungan mereka dan tanggungan-tanggungan lainnya yang diakui oleh perundang-undangan negara bersangkutan (Pasal 4). Terminologi ini mempertimbangkan perbedaan bentuk hubungan keluarga secara global. Konvensi tersebut menguraikan hak-hak dan
109 110
Id. p. 16 Id. p. 17
254
perlindungan terhadap anggota keluarga dalam serangkaian situasi, khususnya di negara tempat bekerja.111 B.
Ruang Lingkup Materi Muatan Undang-Undang 1) Ruang Lingkup Umum Secara garis besar, Konvensi Pekerja Migran terdiri dari Pembukaan dan 93 Pasal yang dibagi dalam 9 Bagian, yaitu: a)
Bagian I (Pasal 1-6) memuat definisi umum mengenai berbagai istilah dan konsep yang digunakan dalam Konvensi.
b) Bagian II (Pasal 7) hanya memuat Pasal 7 yang mengharuskan agar hak-hak yang tercantum dalam Konvensi diberikan kepada seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya tanpa diskriminasi. c)
Bagian III (Pasal 8-35) memuat hak-hak dari seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya tanpa memandang status hukum (legalitas) dari keberadaan mereka di wilayah suatu negara.
d) Bagian IV (Pasal 36-56) memuat hak-hak tambahan dari para pekerja migran dan anggota keluarganya yang memiliki status hukum yang legal.
111
e)
Bagian V (Pasal 57-63) memuat hak-hak tambahan bagi para pekerja migran yang tercakup dalam kategori-kategori pekerjaan tertentu (pekerja lintas batas, pekerja musiman, pekerja keliling, pekerja proyek, dan pekerja mandiri).
f)
Bagian VI (Pasal 64-71) memuat ketentuan-ketentuan terkait kerja sama dan koordinasi internasional dalam pengelolaan migrasi legal dan pencegahan atau pengurangan migrasi ilegal (tak-reguler).
Id. p. 17
255
g)
Bagian VII (Pasal 72-78) memuat implementasi dari Konvensi, termasuk pembentukan Komite Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya yang ditugasi untuk mengawasi implementasi Konvensi.
h) Bagian VIII (Pasal 79-84) memuat ketentuan umum yang antara lain mencakup prinsip kedaulatan negara, tidak dapat dikuranginya hak pekerja migran dan keluarganya, dan keharusan Negara Pihak untuk mengambil kebijakan yang diperlukan dalam menerapkan Konvensi. i)
Bagian IX Pasal (85-93) memuat ketentuan penutup yang mencakup hal-hal teknis terkait Konvensi, seperti penyimpanan, aksesi, ratifikasi, entry into force, deklarasi, reservasi, penarikan diri (sebagai Negara Pihak), amandemen, dan penyelesaian sengketa.
2) Cakupan Hak yang Dilindungi Adapun pokok-pokok substansi Konvensi ini tercantum pada Bagian III dan IV yang menerangkan hakhak para pekerja migran dan anggota keluarganya, antara lain: a)
Hak atas kebebasan untuk meninggalkan, masuk dan menetap di negara manapun. Pasal 8 menjamin kebebasan para pekerja migran dan anggota keluarganya untuk meninggalkan negara mana pun, termasuk negara asal mereka dan hak tersebut tidak boleh dibatasi kecuali jika ditetapkan oleh hukum untuk melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan dan moral umum, atau hak-hak orang lain.
b) Hak untuk hidup. Pasal 9 menetapkan bahwa hak hidup para pekerja migran dan anggota keluarganya harus dilindungi oleh hukum. 256
c)
Hak untuk bebas dari penyiksaan, hukuman atau perlakuan kejam dan tidak manusiawi. Pasal 10 melarang terjadinya penyiksaan atau perlakuan/penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat terhadap pekerja migran atau anggota keluarganya.
d) Hak untuk bebas dari perbudakan. Pasal 11 menyatakan bahwa tidak seorang pun pekerja migran atau anggota keluarganya boleh diperbudak atau diperhambakan. Pasal yang sama juga menetapkan bahwa pekerja migran dan anggota keluarganya tidak boleh diwajibkan untuk melakukan kerja paksa atau kerja wajib, kecuali jika hal tersebut merupakan keputusan hukuman oleh pengadilan yang berwenang. e)
Hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Pasal 12 menetapkan bahwa pekerja migran dan anggota keluarganya memiliki hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama, serta tidak boleh menjadi sasaran pemaksaan yang dapat mengganggu kebebasan tersebut. Selain itu, pasal tersebut juga mengatur agar negara menghormati kebebasan orang tua/wali yang salah satunya merupakan pekerja migran untuk menyediakan pendidikan agama/moral yang sesuai dengan keyakinan mereka.
f)
Hak atas kebebasan berekspresi. Pasal 13 menjamin pekerja migran dan anggota keluarganya untuk bebas berekspresi. Hak tersebut juga mencakup kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan gagasan, melalui media (lisan, tulisan, dan lain-lain) yang menjadi pilihannya.
257
g)
Hak atas privasi. Pasal 14 menerangkan bahwa pekerja migran atau anggota keluarganya tidak boleh secara sewenangwenang atau secara tidak sah diganggu urusan pribadi, keluarga, rumah tangga, korespondensi (atau komunikasi lainnya), atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya.
h) Hak untuk bebas dari penangkapan/penahanan yang sewenang-wenang. Pasal 16 menetapkan bahwa para pekerja migran dan anggota keluarganya tidak boleh menjadi sasaran penangkapan atau penahan yang sewenang-wenang. Mereka juga harus memiliki hak atas kebebasan dan keamanan pribadi, dan negara harus memberikan perlindungan yang efektif dari tindak kekerasan, cedera fisik, ancaman, intimidasi yang dilakukan oleh aparat pemerintah atau oleh orang perseorangan, kelompok, atau lembaga. i)
Hak untuk diperlakukan sama di depan hukum. Pasal 18 mengatur bahwa para pekerja migran dan anggota keluarganya harus memiliki hak yang setara dengan warga negara dari negara tujuan/transit di hadapan pengadilan dan tribunal. Pengadilan atau tribunal tersebut juga dituntut untuk kompeten, independen, dan imparsial.
j)
Hak untuk tidak menjadi sasaran kebijakan pengusiran secara massal atau sewenang-wenang. Pasal 22 mengatur bahwa para pekerja migran dan anggota keluarganya tidak boleh menjadi sasaran kebijakan pengusiran secara massal dan mereka hanya dapat diusir berdasarkan keputusan pejabat yang berwenang di Negara tersebut, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
258
k)
Hak untuk meminta perlindungan dan bantuan pejabat konsuler atau diplomatik dari negara asalnya. Pasal 23 menegaskan bahwa para pekerja migran dan anggota keluarganya memiliki hak untuk meminta perlindungan dan bantuan pejabat konsuler atau diplomatik dari negara asalnya, atau negara lain yang mewakili kepentingan negara asalnya.
l)
Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hal-hal terkait kontrak/ hubungan kerja. Pasal 25 menetapkan bahwa pekerja migran harus mendapatkan perlakuan yang tidak kurang menguntungkan daripada yang diterapkan pada warga negara dari negara tujuan kerja, termasuk dalam hal gaji, cuti, dan lain-lain.
m) Hak untuk ikut berserikat dan berkumpul. Pasal 26 menyatakan bahwa para pekerja migran dan anggota keluarganya dijamin haknya untuk bergabung dan ikut serta dalam kegiatan-kegiatan serikat pekerja ataupun perkumpulan lain yang dibentuk menurut hukum, dalam rangka melindungi kepentingan mereka dalam hal ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain. n) Hak untuk mendapatkan perawatan kesehatan yang mendesak yang diperlukan untuk kelangsungan hidup. Pasal 28 mengatur bahwa para pekerja migran dan anggota keluarganya berhak untuk menerima perawatan kesehatan yang sangat mendesak yang diperlukan untuk kelangsungan hidup, atau untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada kesehatan mereka, berdasarkan kesetaraan perlakuan dengan warga negara dari negara tempat pekerja migran itu berada.
259
o)
Hak atas akses terhadap pendidikan bagi anak pekerja migran. Pasal 30 mengatur bahwa setiap anak pekerja migran harus memiliki hak dasar atas akses pada pendidikan berdasarkan kesetaraan perlakuan dengan warga negara dari negara tempat pekerja migran itu berada.
p) Hak untuk dihormati identitas budayanya. Pasal 31 mewajibkan agar Negara Pihak menjamin penghormatan pada identitas budaya para pekerja migran dan anggota keluarganya, dan tidak boleh mencegah mereka untuk mempertahankan hubungan budaya dengan negara asal mereka. q) Hak atas kebebasan untuk bergerak di wilayah negara tujuan kerja dan untuk memilih tempat tinggal di wilayah tersebut. Pasal 39 mengatur bahwa para pekerja migran dan anggota keluarganya memiliki hak atas kebebasan bergerak di wilayah negara tujuan kerja dan kebebasan memilih tempat tinggalnya di wilayah tersebut. r)
Hak untuk membentuk perkumpulan dan serikat pekerja. Pasal 40 mengatur bahwa para pekerja migran dan anggota keluarganya memiliki hak untuk membentuk perkumpulan dan serikat pekerja di negara tujuan kerja untuk pemajuan dan perlindungan kepentingan ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain.
s)
Hak untuk berpartisipasi dalam urusan pemerintahan di negara asalnya dan untuk memilih dan dipilih pada pemilihan umum di negara tersebut. Pasal 41 menjamin hak para pekerja migran dan anggota keluarganya untuk berpartisipasi dalam urusan pemerintahan di negara asalnya dan untuk
260
memilih dan dipilih pada pemilihan umum di negaranya, sesuai dengan ketentuan hukum negaranya. t)
Hak atas akses yang sama terhadap institusi pendidikan, bimbingan kejuruan, skema perumahan sosial, layanan sosial dan kesehatan. Pasal 43 mengatur bahwa pekerja migran harus memiliki akses terhadap institusi pendidikan, bimbingan kejuruan, skema perumahan sosial, layanan sosial dan kesehatan yang setara dengan warga negara dari negara tujuan kerja.
u) Hak untuk mentransfer pendapatan (remittance). Pasal 47 menetapkan bahwa para pekerja migran berhak untuk mentransfer pendapatan dan tabungan mereka, khususnya dana-dana yang diperlukan untuk membiayai keluarganya, dari negara tujuan kerja ke negara asal atau negara lain. 3) Pengawasan Pelaksanaan Konvensi Sesuai dengan Pasal 72 Konvensi, Komite Perlindungan Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya mengkaji implementasi Konvensi Pekerja Migran. Komite tersebut menyelenggarakan dua sesi pertemuan per tahun. Sejak pembentukannya, Komite tersebut beranggotakan sepuluh pakar yang memiliki sikap moral tinggi, sikap tidak memihak dan kompeten. Dengan adanya ratifikasi keempat puluh satu pada bulan Maret 2009, jumlah anggota Komite ditingkatkan menjadi empat belas pakar. Sebagaimana halnya badan-badan perjanjian lainnya, para anggota Komite dinominasikan dan dipilih oleh negara pihak pada Konvensi ini. Pasal 74 Konvensi menetapkan peran dan fungsi Komite sebagai berikut:
261
a)
Mengkaji laporan-laporan negara pihak mengenai langkah-langkah legislatif, yudisial, administratif dan langkah-langkah lain yang telah dilakukan oleh Negara Pihak dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi. Negara peratifikasi diminta menyampaikan laporan pertama dalam satu tahun sejak diberlakukannya Konvensi tersebut oleh negara peratifikasi bersangkutan, dan selanjutnya setiap lima tahun.
b) Mengkaji komunikasi dari negara pihak yang menyatakan bahwa suatu negara pihak lain tidak memenuhi kewajibannya di bawah Konvensi (sejalan dengan Pasal 76 dan 77 Konvensi yang bersifat opsional). Pasal 77 menetapkan bahwa Komite mengkaji komunikasi yang diterima dari atau atas nama individu yang menyatakan bahwa hak individual mereka sebagaimana yang ditetapkan oleh Konvensi telah dilanggar oleh sebuah negara pihak. Kedua pasal tersebut juga mensyaratkan sepuluh negara pihak membuat pernyataan akan tunduk terhadap ketentuan Pasal 76 ataupun 77 sebelum prosedur tersebut dapat dilaksanakan. c)
Menyampaikan laporan tahunan kepada Majelis Umum PBB mengenai implementasi Konvensi, yang berisi pertimbangan dan rekomendasinya, sesuai dengan Pasal 74 ayat 7 Konvensi.
----------
262
BAB VI PENUTUP A.
Simpulan Dari penjelasan-penjelasan tersebut pada Bab I hingga V dapat disimpulkan bahwa Indonesia meratifikasi Konvensi Pekerja Migran dengan tujuan untuk: 1) Mempertegas komitmen Indonesia bagi peningkatan perlindungan, penghormatan, pemajuan dan pemenuhan hak asasi manusia, termasuk hak asasi seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya. 2) Memperkuat landasan hukum bagi kebijakan nasional dalam meningkatkan system perlindungan, penghgormatan, pemajuan dan pemenuhan hak-hak tenaga kerja, khususnya hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya yang sesuai dengan norma-norma hak asasi manusia universal. 3) Menjamin, mengatur dan memajukan mekanisme perlindungan dan penataan manajemen migrasi (baik bilateral maupun multilateral) agar pekerja migran Indonesia dapat menikmati perlindungan dan haknya lebih baik, mulai dari pra penempatan selama bekerja di Luar Negeri maupun purna penempatan. Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya adalah Konvensi yang sangat penting bagi Indonesia yang dapat memberikan kontribusi positif terhadap jaminan perlindungan hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya. Dengan meratifikasi Konvensi Pekerja Migran, Indonesia dapat menyempurnakan sistem perlindungan hakhak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya, mulai dari pra penempatan, selama bekerja di luar negeri, dan purna penempatan, termasuk pencegahan dan pemberantasan migrasi tak-reguler, eksploitasi pekerja migran dan perdagangan orang.
263
Lebih dari itu, ratifikasi akan menjadi modal bagi Indonesia dalam mendesak negara-negara lain, khususnya negara penempatan/tujuan kerja dan negara transit, untuk mengakui, menghormati dan menjunjung tinggi perlindungan hak-hak asasi Tenaga Kerja Indonesia, dan pada gilirannya meratifikasi Konvensi tersebut. Ratifikasi juga akan menyediakan acuan yang jelas bagi Pemerintah Indonesia dalam membangun kerja sama bilateral, regional dan multilateral untuk mengelola migrasi pekerja yang menjunjung tinggi hak asasi seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya. B.
Saran Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, dan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Pemerintah Indonesia perlu: 1) Segera mengajukan rancangan undang-undang tentang pengesahan Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat; 2) Segera melakukan penyesuaian hukum nasional berdasarkan standar internasional yang diatur dalam Konvensi Pekerja Migran, terutama Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri; 3) Segera melakukan peningkatan kapasitas nasional untuk pelaksanaan secara menyeluruh isi Konvensi Pekerja Migran termasuk untuk mengembangkan kerja sama internasional. ----------
264
DAFTAR PUSTAKA Clark, T, dan Niessen, J, (1996). Equality Rights and Non-Citizens in Europe and North America: The Promise, the Practice and Some Remaining Issues. Netherland Quarterly of Human Rights, Jilid 14, No. 3. The Hague. Ghosh, Bimal, (2008). Human Rights and Migration: The Missing Link. The Hague: SIM Special. Greenberg, Melanie C., Barton, John H., McGuinness, Margaret E., (2000). Words over War: Mediation and Arbitration to Prevent Deadly Conflict, Lanham:Rowman & Littlefield Publishers, Inc. International Labour Organization, (2010). International Labour Migration, a right-based approach. Geneva:ILO International Organization for Migration, (2010). The World Migration Report. Geneva:IOM International Commission of Jurists, the Faculty of Law of the University of Limburg, the Urban Morgan Institute for Human Rights, University of Cincinnati, (1985). Limburg Principles. Human Rights Quarterly, vol. 9 No. 2. Maastricht. Dapat dilihat pada UN Doc E/C.12/2000/13. International Commission of Jurists, the Faculty of Law of the University of Limburg, the Urban Morgan Institute for Human Rights, University of Cincinnati, (1997). Maastricht Guidelines. Maastricht. Dapat dilihat pada UN Doc E/C.12/2000/13. Lee, Everett S., (1966). A Theory of Migration, Demography Vol. 3, No. 1. University of Pennsylvania, Pennsylvania. Massey, Douglas S., (2003). Patterns of International Migration in the 21st Century. University of Pennsylvania, Pennsylvania. Mullan, Brendan., (2005). The Regulation of International Migration: The United States and Western Europe in Historical Comparative Perspective. Michigan State University, Michigan. Niessen, Jan, (2001). Economic, Social and Cultural Rights. Leiden: Brill Academic Publishers.
265
Scheinin, Martin, (2003). State Responsibility, Good Governance and Indivisible Human Rights. Human Rights and Good Governance. London: RWI. The International Steering Committee for the Campaign for Ratification of the Migrants Rights Convention, (2009). Guide on Ratification of the International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families. Geneva. United Nations, (1985). Declaration on the human rights of individuals who are not nationals of the country in which they live. UN Doc A/Res/40/144. Disahkan pada 116th plenary meeting Sidang MU PBB. New York: United Nations. Departemen Kehakiman, (1999). Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 1999 – 2003. Jakarta. Departemen Hukum dan Perundang-undangan, (2004). Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2004 – 2009. Jakarta. Kementerian Hukum dan HAM, (2011). Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2011 – 2014. Jakarta. Kementerian Luar Negeri, (2011). Hasil Kajian Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia, Jakarta:Kemlu. Komisi Nasional Perempuan, (2009). Draft Naskah Akademik RUU Pengesahan International Convention on the Rights of Migrant Workers and members of their Families. Jakarta: Komnas Perempuan. Komisi Nasional Perempuan, (2011). Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2010. Jakarta: Komnas Perempuan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, (2008). Kertas Posisi: Urgensi Ratifikasi Konvensi Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya. Jakarta: Komnas HAM. United Nations Treaty Collection di http://treaties.un.org. Berbagai laporan Indonesia di PBB di http://www.ohchr.org. Berbagai dokumen International http://www.ilo.org. 266
Labour
Organization
di