Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial RI 2015
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
Pembimbing: 1. Direktur KTKPM 2. DR.Ir. Lala M Kolopaking, MS. Editor: DR.Ir. Lala M Kolopaking, MS. Penulis: Dra. Husmiati,M.Soc.Sc.,PhD. Drs. Nurdin Widodo, MSi Dra. Alit Kurniasari, MP Ivo Noviana, S.Sos., MSi. M. Belanawane Sulubere, S.Sos. Tata letak & Desain Sampul: Tim Inovasi Cet. I. Jakarta 2015 vi + 92 hal; 14,8 x 21cm. ISBN 978-602-363-012-7 Diterbitkan oleh: P3KS Press Jl. Dewi Sartika No. 200 Cawang III Jakarta-Timur. Telp. (021) 8017126 Email:
[email protected] Website: puslit.kemsos.go.id
Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak buku sebagian atau seluruhnya tanpa izin dari penerbit
KATA PENGANTAR Bekerja di luar negri kini memang menjadi pilihan sebagian masyarakat Indonesia. Banyak diantara mereka yang tidak mempunyai keterampilan khusus masuk negara lain melalui jalur tidak resmi. Mereka tidak memikirkan resiko yang dihadapi sampai akhirnya menjadi pekerja migran bermasalah. Kecenderungan jumlah pekerja pekerja migran bermasalah dan yang harus dipulangkan ke tempat asalnya semakin bertambah setiap tahunnya. Jumlah yang semakin meningkat ini tentunya menjadi beban pemerintah. Masalah anggaran dan tenaga (SDM) untuk mengurus kepulauan PMB menjadi hambatan yang cukup besar bagi pemerintah khususnya bagi Kementerian Sosial. Sedangkan bagi pekerja migran itu sendiri membawa masalah sosial, psikologis dan ekonomi yang dibawa ke kampung halamannya. Sementara ini, Kementerian Sosial melalui Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial, telah menyediakan Rumah Perlindungan dan Trauma Center (RPTC). RPTC merupakan penampungan sementara bagi pekerja migran bermasalah dan korban tindak kekerasan sebelum mereka dikembalikan ke daerah asalnya. Penelitian tentang Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center 2015 yang dilakukan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial ini dimaksudkan untuk mengetahui implementasi kebijakan penanganan pekerja migran bermasalah, peran dan fungsi Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) dalam melakukan perlindungan sosial dan kondisi kerentanan yang dialami mereka, serta faktor pendorong mereka yang ingin kembali bekerja di luar negeri. Sasaran penelitian ini adalah pelaksana kebijakan penanganan pekerja migran di daerah, RPTC dan pekerja migran bermasalah di lokasi penelitian.
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
i
Meskipun buku ini hanya menggambarkan provinsi Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat, namun informasinya cukup menarik untuk didiskusikan. Diharapkan dapat dijadikan acuan bagi unit-unit terkait di lingkungan Kementerian Sosial, dan Kementerian terkait serta pemerintah daerah dan LSM yang bergerak dalam perlindungan sosial bagi pekerja migran bermasalah. Kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada para peneliti, yang dengan keseriusannya mampu menyajikan informasi terkait perlindungan sosial bagi pekerja migran bermasalah melalui Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC). Tidak lupa ucapan terima kasih juga disampaikan kepada berbagai pihak yang telah memberikan kontribusi hingga terbitnya buku ini.
Jakarta,
Desember 2015
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Kepala,
DR. Dwi Heru Sukoco, M.Si
ii
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
PENGANTAR Perkembangan tenaga kerja dari Indonesia yang bekerja di luar negeri dalam tiga periode terakhir menunjukkan, bahwa mereka yang bekerja itu cenderung menjadi buruh migran di sektor informal. Diperkirakan sampai tahun 2014 jumlah mereka mendekati 6.3 juta orang yang tersebar di 28 negara tujuan bekerja di tiga benua dunia, Asia pasifik (61.78%), Timur Tengah dan Afrika (37.08%), Eropa dan Amerika (1.14%). Mereka ini dicatat berasal dari hampir seluruh pulau-pulau besar di Indonesia, seperti Jawa-Madura-Bali, NTB dan NTT, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Bahkan, kawasan-kawasan perbatasan yang semula hanya menjadi tempat singgah atau transit mereka yang akan bekerja ke luar negeri, kini telah berkembang menjadi daerah pengirim tenaga kerja dari Indonesia ke luar negeri. Proses tenaga kerja dari Indonesia ke luar negeri dicatat telah memberikan manfaat. Bank Indonesia menyebutkan jumlah aliran uang sebagai remitansi dari mereka yang bekerja di luar negeri pada periode tahun 2010 hingga tahun 2015 rata-rata per tahun mencapai 7,217 juta USD. Tidak saja manfaat ekonomi, di beberapa negara seperti Hongkong, Taiwan dan Singapura, proses tersebut dapat menjadi sumber gejala diaspora budaya. Diperkirakan selama ada permintaan atas tenaga kerja dari Indonesia dari negara-negara tujuan bekerja maka proses ini akan terus berlangsung. Namun dibalik itu semua, aliran tenaga kerja dari Indonesia yang bekerja ke luar negeri diikuti oleh berbagai persoalan. Dari berbagai catatan hingga tahun 2014, diketahui 16.86% dari jumlah yang bekerja ke luar negeri terkena masalah mulai dari sakit, PHK sepihak, majikan bermasalah, gaji tidak di bayar, pelecehan seksual, tidak sesuai perjanjian kerja, kecelakaan kerja, hamil, penganiayaan, dipulangkan secara paksa oleh negara tujuan bekerja, menghadapi soal keimigrasian (dokumen tidak lengkap, over stay ), hingga ancaman hukuman mati dan meninggal dunia. Hal yang mengindikasikan mereka yang bekerja ke luar negeri cenderung tidak terlindungi martabat kemanusiaannya Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
iii
sebagai akibat tidak dilindungi dalam norma hukum nasional maupun internasional. Meskipun, sebagian dari mereka yang punya masalah seharusnya dilindungi agar dapat bekerja dan hidup yang layak, baik di dalam maupun di luar negeri. Hingga saat ini tenaga kerja dari Indonesia yang bekerja ke luar negeri khususnya mereka yang menjadi buruh migran perempuan paling rentan menghadapi masalah. Mereka yang terkena masalah itu kemudian menjadi tanggungan negara. Ketidaksiapan pemerintah Indonesia dalam menghadapi pemulangan tenaga kerja dari luar negeri sering menimbulkan dampak terhadap hak asasi manusia para tenaga kerja yang dipulangkan. Buku berjudul “Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center” ini, adalah hasil penelitian yang ingin mencoba membahas kondisi tenga kerja dari Indonesia yang mengadu nasib bekerja ke luar negeri dan menghadapi masalah, sehingga dipulangkan dengan paksa oleh negara tujuan bekerja, khususnya Malaysia. Tenaga kerja bermasalah tersebut dinyatakan dalam buku ini sebagai pekerja migran bermasalah (PMB). Pemulangan PMB ini tentunya menjadi kewajiban pemerintah untuk menerimanya. Salah satunya adalah Kementerian Sosial yang menyediakan Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) sebagai upaya melakukan perlindungan sosial bagi para PMB. Dalam Bab 1 diuraikan tentang latar belakang, masalah dan tujuan, serta metodologi yang digunakan dalam penelitian. Sedangkan, Bab 2 membahas bagaimana migrasi dan apa itu pekerja migran bermasalah, kebijakan-kebijakan dan upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah dalam upaya melindungi tenaga kerja sebagai warga negara yang mencoba bekerja ke luar negeri. Fokus dalam hal tersebut adalah dalam kerangka penyediaan pelayanan sosial melalui Rumah Perlindungan Trauma Center. Dalam Bab 3 diuraikan hasil yang didapat dari penelitian, dan dalam Bab 4 berisi bagaimana para peneliti menganalisis dan memaknai temuan lapangan. Terakhir pada Bab 5 diajukan rekomendasi berdasarkan temuan lapangan yang sudah dianalisis bersama mereka yang bekerja dan terkena masalah dan dilayani oleh RPTC.
iv
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
Penelitian ini menekankan, bahwa pemerintah perlu memiliki rencana antisipatif atas pemulangan PMB. Bahkan, rencana jangka pendek perlu disiapkan dengan langkah yang terstruktur untuk dapat dilakukan. Antisipasi yang baik dari pemerintah pusat juga perlu disinergikan dengan kegiatan dari pemerintah daerah dan desa dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak warga negara sebagai tenaga kerja yang bekerja diluar negeri dan dideportasi. Selain itu, perlu langkah nyata melakukan upaya pencegahan agar mereka yang pulang dan bekerja kembali ke luar negeri tidak terjerumus lagi dalam masalah yang sama. Salah satu bunyi NAWACITA yang dicanangkan oleh Pemerintah Jokowi-Jusuf Kala 2014-2019 adalah “menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya…”. Hal ini menegaskan pentingnya kehadiran pemerintah dalam memberikan hak perlindungan pada warganya serta menghilangkan eksploitatif yang kerap ditemui dalam akiran tenaga kerja dari Indonesia ke luar negeri hingga saat ini. Negara harus hadir tersebut adalah gagasan yang perlu diwujudkan dalam langkah konkret dengan melibatkan mereka yang akan, sedang atau sudah kembali dari bekerja di luar negeri secara aktif. Permasalahan yang mengancam mereka yang akan bekerja keluar negeri perlu dicegah dan ditangani dengan baik. Oleh karena, tidak ada satu bangsa pun yang berhak melecehkan martabat kemanusiaan. Dengan demikian, rangkaian lima bab dari buku ini yang dirangkai secara terintegrasi diharapkan dapat memberikan wawasan dan menemukan iktibar untuk lebih baik lagi dalam melayani pekerja-pekerja migran bermasalah, khususnya dari mereka yang dilayani di RPTC. Jakarta, Desember 2015
DR. IR. Lala M Kolopaking, MS Editor
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
i
PENGANTAR EDITOR
ii
DAFTAR ISI
vi
DAFTAR TABEL
ix
BAB I: PENDAHULUAN
1
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA
7
Migrasi 7 Pekerjan Migran
10
Pekerja Migran Bermasalah
13
Kebijakan Pemerintah bagi Pekerja Migran
15
Perlindungan Sosial
17
Rumah Perlindungan Trauma Center
19
Kerangka Konseptual
20
BAB III: HASIL PENELITIAN
22
TANJUNG PINANG KEPULAUAN RIAU
22
-- Gambaran umum RPTC Tanjung Pinang
22
-- Alur Penanganan Pekerja Migran Bermasalah
24
-- Implementasi kebijakan dan program perlindungan
vi
-- sosial bagi PMB
25
-- Peran dan fungsi RPTC dalam melakukan perlindungan sosial bagi PMB
27
-- Peran dan fungsi RPTC dalam proses reintegrasi PMB didaerah asal.
29
-- Kondisi kerentanan yang dialami PMB selama proses migrasi (transit, destinasi, daerah asal).
29
-- Faktor pendorong internal dan eksternal yang menyebabkan PMB ingin kembali bekerja diluar negeri
30
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
DKI JAKARTA
30
-- Gambaran Umum RPTC Bambu Apus, Jakarta
30
-- Sumberdaya 32 -- Implementasi kebijakan dan program perlindungan sosial bagi PMB di DKI Jakarta
33
-- Peran RPTC dalam Perlindungan Sosial dan Proses Reintegrasi di Daerah
35
-- Kondisi kerentanan yang dialami PMB selama proses migrasi (transit, destinasi, keluarga asal)
37
-- Faktor pendorong yang menyebabkan PMB ingin tetap bekerja di luar negeri
40
JAWA TIMUR
40
-- Implementasi kebijakan dan program perlindungan sosial bagi PMB
41
-- Peran dan fungsi RPTC dalam melakukan perlindungan sosial dan pada saat proses reintegrasi eks PMB didaerah asalnya.
45
-- Kondisi kerentanan yang dialami PMB selama proses migrasi (transit, destinasi, daerah asal)
46
-- Faktor pendorong internal dan eksternal yang menyebabkan PMB ingin kembali bekerja diluar negeri.
47
NUSA TENGGARA BARAT
49
-- Gambaran Umum Pekerja Migran Provinsi Nusa Tenggara Barat
49
-- Peran RPTC dalam Perlindungan Sosial bagi PMB
51
-- Kondisi Kerentanan PMB selama Migrasi
54
BAB IV: PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
58
Implementasi kebijakan dan program perlindungan sosial bagi PMB
58
Peran dan fungsi RPTC dalam melakukan perlindungan sosial bagi PMB
60
Peran dan fungsi RPTC dalam proses reintegrasi PMB didaerah asal.
64
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
vii
Kondisi kerentanan yang dialami PMB selama proses migrasi (transit, destinasi, daerah asal).
65
Faktor pendorong internal dan eksternal yang menyebabkan PMB ingin kembali bekerja diluar negeri.
70
BAB V: KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
74
Kesimpulan 74 Rekomendasi 77 DAFTAR PUSTAKA
80
BIODATA PENULIS
85
INDEK
90
viii
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
DAFTAR TABEL Tabel 1. Teori Migrasi
8
Tabel 2. SDM dilihat dari Tingkat Pendidikan
23
Tabel 3. SDM dilihat dari Jabatannya
24
Tabel 4. Data pemulangan PMB di RPTC Tanjung Pinang Periode Januari - Mei 2015
28
Tabel 5. SDM dilihat dari Jabatannya
32
Tabel 6. SDM dilihat dari Tingkat Pendidikan
33
Tabel 7. Data pemulangan PMB di RPTC Tanjung Pinang Periode Januari - Mei 2015
61
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
ix
BAB I PENDAHULUAN Peningkatan jumlah penduduk hingga saat ini sangat fantastik dari tahun ketahunnya. Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2012 jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 252 juta orang. Kondisi ini tentunya akan memberi berbagai dampak positif maupun negatif di berbagai sektor. Apabila dilihat dari keberadaan angkatan kerja yang ada saat ini, jumlahnya cukup tinggi dan tidak diimbangi dengan penyerapan tenaga kerja di dalam negeri. Badan Pusat statistik mengeluarkan data pada tahun 2011 dimana jumlah angkatan kerja mencapai angka lebih dari 22 juta orang. Setiap tahunnya angka ini terus mengalami peningkatan, tanpa kecuali di tahun 2015 ini. Jumlah angkatan kerja yang tinggi ini tidak diimbangi dengan penyerapan tenaga kerja di dalam negeri, sehingga menyebabkan banyak yang melakukan migrasi ke kotakota besar di Indonesia dan juga migrasi keluar negeri terutama ke negeri jiran Malaysia, Korea, Hongkong, Taiwan, Singapura, dan Negara-negara di Timur Tengah. Bekerja di luar negeri kini menjadi pilihan banyak orang, termasuk warga Indonesia. Mayoritas tenaga kerja di Indonesia baru mampu mengisi segmen pasar tenaga kerja rendah dan mayoritas di sektor informal, seperti asisten rumah tangga (ART), buruh bangunan dan buruh perkebunan (Sutaat dkk, 2008). Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka yang tidak mempunyai ketrampilan khusus meski harus dilakukan dengan cara illegal. Mereka tidak memikirkan resiko yang akan dihadapi sampai akhirnya mereka menjadi pekerja migran bermasalah dan yang menjadi pekerjaan tambahan pemerintah untuk memulangkan mereka. Bagaimanapun pekerja migran atau yang biasa disebut dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau buruh migran ini banyak memberi keuntungan yang cukup besar bagi Negara, diantaranya dengan mengirimkan sebagian dari penghasilannya ke tanah air. Remitan yang
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
1
dilakukan oleh pekerja migran merupakan sumber devisa kedua terbesar bagi Indonesia setelah devisa dari sektor migas. Kondisi ini membuat tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin tinggi. Namun dibalik itu semua, mereka menjadi tanggungan Negara terutama pada pekerja migran bermasalah. Mereka tidak hanya merepotkan Negara dengan berbagai masalah khas pekerja migran seperti dipulangkan secara paksa dari Negara tempat mereka bekerja, dokumen yang tidak lengkap, overstay, dan masalah-masalah lainnya. Bagi pekerja migran domestik hingga kini permasalahannya ratarata didominasi sebagai korban penipuan dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, seperti gaji dibawah upah minimum, korban trafficking, penyiksaan dari majikan dan lain-lain. Permasalahan pekerja migran ke luar negeri, ditemukan berasal dari pemalsuan dokumen akibat penipuan calo, penganiayaan oleh majikan, overstay, bekerja tanpa dilengkapi dokumen, gaji tidak dibayarkan, pembatasan komunikasi denga keluarga dan hak-hak lainnya tidak sesuai kontrak kerja, menjadi korban pelecehan seksual, terlibat kasus kriminal. Saat pekerja migran pulang muncul masalah lain diantaranya pengangguran, disharmoni keluarga, pulang dalam keadaan sakit, dijerat hutang, dan lain-lain (Sutaat dkk, 2007). Sebelum proses pemulangan ke Indonesia tidak sedikit mereka telah melalui proses pengadilan bahkan sampai masuk penjara, namun kondisi tersebut tidak menyurutkan mereka untuk kembali lagi bekerja di luar negeri. Para pekerja migran bermasalah (PMB) membutuhkan penanganan dan perlindungan dari negaranya. Mengacu kepada konsep residu, dalam arti mereka yang rentan perlu mendapatkan perlindungan sosial, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang no. 11 tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial pasal 14 ayat 1 menyatakan bahwa perlindungan sosial diberikan untuk mencegah dan menangani resiko dari guncangan dan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok dan atau masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal. Selain itu Undang-Undang No.39/2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
2
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
Indonesia di Luar Negeri juga menyatakan bahwa Negara melindungi hak asasi warga negaranya yang bekerja baik di dalam maupun di luar negeri berdasarkan prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, dan anti perdagangan manusia Kementerian Sosial melalui Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial, telah menyediakan Rumah Perlindungan dan Trauma Center (RPTC). Fungsi RPTC sebagai penampungan sementara bagi pekerja migran bermasalah dan korban tindak kekerasan sebelum mereka di kembalikan ke daerah asalnya. Di RPTC mereka mendapatkan pelayanan rehabilitasi psikososial, terutama bagi pekerja migran yang menjadi korban kekerasan maupun mereka ynang menunggu saat pemulangan kedaerah asal. Kenyataan menunjukkan bahwa diantara PMB ini, ternyata masih ada yang berminat untuk kembali menjadi pekerja migran, mereka belum siap untuk kembali ke kampung halamannya. Alasannya karena tidak mempunyai pekerjaan, harus membayar hutang kepada calo yang mengurus keberangkatannya ke luar negeri, disharmoni keluarga, malu pada masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya karena mengetahui mereka gagal menjadi TKI dan lain sebagainya. Tidak sedikit juga ada pekerja migran yang masih mengalami trauma akibat kejadian yang mereka alami selama menjadi pekerja migran. Berdasarkan uraian diatas, maka asumsi sementara menunjukkan bahwa isu pekerja migran bukanlah sesuatu yang baru tetapi masih aktual untuk dibahas karena masih banyak sisi negatif yang berupa perlakuan yang tidak manusiawi terhadap pekerja migran. Jumlah pekerja migran bermasalah pada setiap tahunnya dan yang harus dipulangkan ke tempat asalnya semakin bertambah setiap tahunnya. Hal ini bisa dilihat dari data yang dikeluarkan oleh Direktorat Perlindungan Sosial Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran (KTKPM), dimana pada tahun 2013 pekerja migran yang dipulangkan sebesar 18.710 orang, tahun 2014 sebesar 20.614 orang, dan tahun 2015 diprediksi sebesar 20.000 s.d. 24.000 orang. Jumlah yang semakin meningkat ini tentunya menjadi beban pemerintah. Masalah anggaran dan sumber daya manusia untuk
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
3
menguruskan kepulangan PMB menjadi hambatan yang cukup besar bagi pemerintah khususnya bagi Kementerian Sosial. Sedangkan bagi pekerja migran itu sendiri membawa masalah sosial, psikologis dan ekonomi yang dibawa ke kampung halamannya. RPTC sebagai salah satu lembaga yang menangani pekerja migran saat mereka baru dipulangkan perlu bekerja keras dalam memberikan pelayanan, karena tidak menutup kemungkinan masih banyak masalah sosial psikologis yang mereka alami belum tuntas tertangani. Dari sisi sosial ekonomi, mereka mengalami kesulitan untuk pulang ke daerah asalnya. Anggapan pulang bekerja dari luar negeri selalu berhasil dan membawa uang banyak telah melekat dalam diri mereka. Padahal kenyataannya mereka mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Hal ini menyebabkan mereka sulit untuk kembali hidup biasa di daerah asalnya. Mereka malu dan mengalami kesulitan berinteraksi dalam lingkungannya. PMB yang dipulangkan melalui RPTC semakin meningkat dengan permasalahan yang hamper sama sebagai pekerja migran yang “gagal” menjadi TKI, dan dalam pola yang sama mulai dari proses keberangkatan ke negara tujuan, telah menimbulkan permasalahan yang perlu ditelusuri lebih lanjut. Berdasarkan uraian diatas, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana implementasi kebijakan dan program perlindungan sosial bagi. (2) bagaimana peran dan fungsi RPTC dalam melakukan perlindungan sosial bagi PMB (3) bagaimana peran dan fungsi RPTC dalam proses reintegrasi PMB didaerah asal. (4) bagaimana kondisi kerentanan yang dialami PMB selama proses migrasi (transit, destinasi, daerah asal). (5) apakah faktor pendorong internal dan eksternal yang menyebabkan PMB ingin kembali bekerja diluar negeri. Penelitian tentang perlindungan sosial bagi Pekerja Migran Bermasalah (PMB) melalui Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) bertujuan: 1. Mengetahui implementasi kebijakan dan program perlindungan sosial bagi PMB
4
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
2. Mengetahui peran dan fungsi RPTC dalam melakukan perlindungan sosial bagi PMB. 3. Mengetahui peran dan fungsi RPTC dalam proses re-integrasi PMB di daerah asal 4. Mengetahui kondisi kerentanan yang dialami PMB selama proses migrasi (transit, destinasi, daerah asal) 5. Mengetahui faktor pendorong internal dan eksternal menyebabkan PMB ingin kembali bekerja diluar negeri.
yang
Sedangkan Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut 1. Tersusunnya rekomendasi dalam membuat kebijakan tentang upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah khususnya Kementerian Sosial RI dalam upaya perlindungan sosial bagi pekerja migran bermasalah. 2. Tersusunnya laporan penelitian yang berisi tujuan penelitian ini. 3. Sebagai bahan rujukan atau literatur dalam memperkaya ilmu pengetahuan dalam ilmu-ilmu sosial Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, karena ditujukan untuk menyampaikan gambaran dari sebuah situasi atau setting sosial tertentu, mendeskripsikan apa-apa yang saat ini berlaku. Di dalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis dan menginterpretasikan kondisi yang sekarang ini terjadi atau ada. Dengan kata lain penelitian deskriptif kualitatif ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai keadaan yang ada. (Mardalis,1999). Lokasi penelitian ditentukan di 4 (empat) lokasi yaitu Tanjung Pinang(Kepri), DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Lokasi dipilih dengan pertimbangan sebagai berikut; a. Tanjung Pinang (Kepri) dan DKI Jakarta dipilih karena terdapat Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC), yaitu DKI Jakarta dan Tanjung Pinang. b. Jawa Timur (kabupaten Sumenep, Pamekasan, Sampang) dan NTB dipilih karena merupakan propinsi yang menerima kepulangan warganya sebagai pekerja migrant bermasalah dengan jumlah cukup besar di tahun 2014.
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
5
Teknik pengumpulan data melalui: (1) Wawancara dengan pihak direktorat KTKPM Kementerian Sosial, Dinas Sosial Propinsi, Pengelola RPTC, PMB dalam RPTC, dan eks PMB di masyarakat, LSM. Wawancara ini bertujuan untuk menggali dan mendapatkan informasi tentang semua aspek yang berkaitan dengan tujuan penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide). (2) Diskusi kelompok terfokus (FGD) yang dilakukan dengn Dinas Sosial dan Dinas Tenaga Kerja Propinsi, Satuan Gugus Tugas Penanganan PMB, Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI), pengelola RPTC dan instansi terkait lainnya. (3). Pengamatan terhadap kondisi PMB baik di RPTC maupun di masyarakat. (4). Studi kepustakaan / dokumentasi untuk mendapatkan data-data dari tulisan, laporan dan sumber-sumber tertulis lainnya yang relevan dengan tujuan penelitian. Data dan informasi yang diperoleh dari lapangan dianalis secara kualitatif deskriptif meliputi reduksi data, pengelompokan data sesuai tujuan penelitian dan lokasi, penyajian, pembahasan dan menyimpulkan. Penelitian ini dilaksanakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial RI dengan organisasi penelitian sebagai berikut: Pembimbing : Direktur KTKPM Kementerian Sosial DR.IR.Lala M Kolopaking,MS. Ketua Tim : Dra. Husmiati,M.Soc.Sc.,PhD. Anggota
: 1. Drs. Nurdin Widodo,MSi
2. Dra. Alit Kurniasari,MP 3. Ivo Noviana, S.Sos.,MSi. 4. M Belanawane Sulubere, S.Sos.
6
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Migrasi Konsep tentang migrasi dapat ditinjau dari berbagai disiplin ilmu, yang menyebabkan hakekat, penyebab dan kosekuensi dari migrasi cukup bervariasi. Massey et.al (1993) berpendapat bahwa pemahaman tentang migrasi perlu dilihat secara komprehensif yang menggabungkan atas berbagai perspektif, tingkat dan asumsi. Penyebab dan konsekuensi dari migrasi tidak dapat digeneralisir karena keragaman dan kompleksitas fenomena migrasi itu sendiri, sehingga membahas migrasi tidak dapat dipisahkan dari proses sosial, ekonomi dan politik, serta menggabungkannya dengan teori migrasi secara makro, mikro sehingga tidak ada teori migrasi yang umum. Namun demikian teori migrasi dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat analisisnya, yang membagi kedalam tingkat mikro, meso, makro. Untuk tingkat mikro, fokus analisis pada individu, untuk tingkat makro fokus pada tren migrasi, sementara tingkat messo memfokuskan antara tingkat individu dan tren yakni pada tingkat rumah tangga atau komunitas. Berdasarkan fokus analisa tersebut, dapat menjelaskan tentang penyebab dan pelestari atau yang mempertahankan terjadinya migrasi. Tabel berikut menggambarkan teori migrasi berdasarkan tingkat analisis.
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
7
Tabel 1. Teori Migrasi Analisis
Logika
Level MAKRO (Struktural)
Level MESO (Relasional)
Level MIKRO (Individual)
Struktur Peluang (struktur politikekonomi-budaya)
Jaringan Kolektif & sosial (Relasi Sosial)
Nilai ekspektasi & sumberdaya. (tingkat kebebasan)
Ekonomi:
Reasi sosial:
Nilai Individual:
- Perbedaan - Relasi kuat pada pendapatan dan keluarga maupun pengangguran; rumah tangga. - Akses pada modal. - Relasi lemah; antara jaringan Politik: yang berpotensi Regulasi nasional sebagai migran, dan internasional perantara dan tentang kebebasan tidak bermigrasi. mobilitas/migrasi. - Relasi simbolik: organisasi etnis Budaya: dan agama.
- Meningkatkan dan mengamankan status kekayaan, kelangsungan hidup, kenyamanan, stimulasi, otonomi, afiliaasi dan moralitas.
Sumberdaya Individual:
- Modal finansial - Modal manusia; Norma dan wacana penghargaan dominan pendidikan, - Modal sosial: keterampilan Sumberdaya yang Demografi dan profesional. tersedia bagi ekologi: - Modal Budaya; migran dan yang - Pertumbuhan tidak migran untuk pandangan / penduduk, wawasan, simbol berpartisipasi - ketersediaan lahan pada relasi yang ingatan, ramalan produktif kolektif kuat, lemah dan - Penguasaan simbolis - Modal politik: teknologi suara/aspirasi Sumber: Drbohlav (2011), Hagen-Zanker (2008), dikutip dengan penyesuaian.
Analisis pada level makro, menjelaskan bahwa migrasi sebagai bagian dari proses pembangunan ekonomi. Migrasi internal sebagai akibat dari perbedaan geografis dalam penawaran dan permintaan tenaga kerja, terutama pada sektor pertanian pedesaan tradisional dan sektor manufaktur modern di perkotaan. Teori tersebut tumbuh dari teori dagang, (demand - suply) yang berasumsi bahwa pasar yang sempurna
8
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
(modern) dan tenaga yang surplus di sektor pertanian, akan diserap oleh sektor modern. Pekerja dari pedesaan akan tertarik dengan upah yang tinggi, akhirnya bermigrasi ke perkotaan, sehingga terjadi pemerataan upah. Todaro, 1969 dan Haris &Todaro, 1970 mengemukakan bahwa migrasi dari desa ke kota akan semakin meningkat jika upah atau tingkat pekerjaan di kota semakin meningkat (Ceteris paribus). Penganut teori tersebut berpendapat bahwa migrasi secara rational (logika) dapat terjadi, meski tingkat pengangguran di kota cukup tinggi, karena adanya harapan akan upah yang tinggi. Teori dual market labour, (Priore, 1979) berpendapat bahwa migrasi sebagai hasil dari permintaan tenaga kerja yang kuat dari negara-negara maju. Pendekatan teori ini mencerminkan adanya dualisme pada pasar tenaga kerja di negara maju dan upah yang mencerminkan status dan prestise. Di negara maju terdapat pekerjaan di sektor primer dengan upah tinggi, dan sektor sekunder untuk pekerjaan kasar. Permintaan tenaga kerja migran, karena terjadi inflasi struktural pada upah sektor primer secara konstan konsekuensinya terjadi upah rendah pada sektor sekunder. Akibatnya pekerjaan di sektor sekunder tidak menarik bagi pekerja pribumi. Lapangan pekerjaan pada sektor sekunder berfluktuasi sesuai dengan siklus ekonomi, membuat pekerjaan tersebut tidak stabil dan tidak pasti sehingga tidak menarik bagi pribumi. Pekerja migran termotivasi untuk bekerja di sektor sekunder karena mereka tidak menganggap dirinya sebagai bagian dari masyarakat negara tujuan. Analisis pada level mikro, (Crawford, 1973) dengan model behavioral, menjelaskan bahwa keputusan untuk bermigrasi tidak hanya atas pertimbangan ekonomi. Kekuatan potensial untuk bermigrasi karena adanya harapan atas kekayaan dan nilai keamanan atau eksistensi diri yang tidak bermakna ekonomi. Oleh karenanya menjadi migran sangat tergantung pada niat migrasi, pengaruh-pengaruh tidak langsung dari faktor individu dan masyarakat. Teori system sosial (Hoffman-Novotny, 1989) menjelaskan bahwa pekerja migran berharap untuk mencapai status yang diinginkan di negara tujuan, alih-alih mereka tidak akan mencapai status tersebut. Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
9
Seorang migran yang berasal dari negara dengan peringkat kesejahteraan lebih rendah dari negara tujuan akan sulit mencapai status yang tinggi, karena terjadi “undercasting” migran, artinya migran mengambil posisi terendah dalam masyarakat, sementara pribumi dengan strata rendah justru mengalami mobilitas keatas, setidaknya dalam pendapatan. Teori ini menempatkan faktor penyebab bermigrasi dari faktor dorongan sosial dengan mempertimbangkan apa yang terjadi pada pekerja migran di negara tujuan.
Pekerjan Migran Menurut pasal 1 angka 2 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya sendiri maupun kebutuhan masyarakat. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 2 UU No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Tenaga Kerja Indonesia adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Penekanan terhadap TKI adalah warga negara yang mampu dan memenuhi syarat. Dalam perkembangannya, muncul istilah pekerja Indonesia di luar negeri dan buruh migran. Pasal 1 angka 3 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyamakan pengertian buruh dan pekerja sebagai setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Penekanan pekerja/ buruh adalah setiap orang yang bekerja, baik yang memenuhi syarat atau tidak termasuk didalamnya pekerja anak, ilegal dan lain sebagainya. Sedangkan migran sendiri berasal dari kata migrasi yang berarti tindakan berpindah ke tempat lain baik di dalam suatu negara maupun ke negara lainnya. Migrasi tenaga kerja adalah tindakan berpindah ke negara lain untuk tujuan bekerja. Seperti Pekerja migran merupakan sebutan bagi masyarakat yang bekerja di luar negara asalnya. Negara yang masuk dalam kategori dunia ketiga seperti Indonesia, memang belum memiliki kemampuan
10
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
yang cukup kuat untuk memberikan jaminan kehidupan yang layak dengan menyediakan lapangan pekerjaan yang mencukupi. Biasanya kita memberi sebutan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau untuk yang lebih spesifik Tenaga Kerja Wanita (TKW) karena memang lapangan kerja bagi kaum perempuan lebih besar peluangnya untuk direkrut di sektor informal khususnya pekerja rumah tangga. Keberadaan mereka sering menjadi bahan pemberitaan media massa terkait perlakuan buruk yang mereka terima di luar negeri. Meski tidak semua buruh migran mengalami hal yang sama, namun tidak dipungkiri, sebagian besar masih berada dalam situasi rentan karena rendahnya perlindungan dan jaminan keamanan di negeri tujuan. Berbicara mengenai migran, terdapat beberapa definisi mengenai pekerja migran dari berbagai sumber. Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (International Labour Organisation/ILO) migrasi perburuhan adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan pergerakan/migrasi yang dilakukan orang dari sebuah tempat ke tempat lain, dengan tujuan bekerja atau menemukan pekerjaan. Ketika bermigrasi, mereka diklasifikasikan sebagai pekerja migran. Migrasi perburuhan mencakup berbagai jenis pekerja migran, mulai dari pekerja kontrak yang kurang terampil hingga semi dan sangat terampil. Dalam konteks migrasi perburuhan, negara-negara tempat para migran berasal disebut sebagai negara pengirim dan negara yang dituju disebut sebagai negara tujuan atau negara tuan rumah. Organisasi Perburuhan Internasional (International Labour Organisation/ILO) mendefinisikan seorang pekerja migran sebagai seseorang yang bermigrasi, atau telah bermigrasi dari satu negara ke negara lain, dengan sebuah gambaran bahwa orang tersebut akan dipekerjakan oleh seseorang yang bukan dirinya sendiri, termasuk siapapun yang biasanya diakui sebagai seorang migran, untuk bekerja Pengertian menurut Kementerian Sosial, pekerja migran yaitu seseorang yang mencari pekerjaan di luar daerah asalnya, baik masih di dalam negeri atau domestik maupun ke luar negeri atau lintas negara atau seseorang yang berpindah ke daerah lain baik di dalam maupun
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
11
ke luar negeri untuk bekerja dalam jangka waktu tertentu. Definisi ini mengandung makna sangat luas dan umum, yaitu meliputi semua orang baik laki-laki maupun perempuan, yang berpindah lintas batas negara (ke luar negeri) mapupun di dalam negeri, serta tidak membedakan sektor pekerjaan formal maupun informal, domestik atau publik serta status hukum legal atau illegal. Sedangkan dalam Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia tahun 2006 (dalam Sutaat, 2011) digunakan istilah domestic worker untuk menunjuk pada warga Negara Indonesia yang pindah sementara ke Malaysia untuk dikontrak dan bekerja sebagai asisten rumah tangga. Dalam MoU tersebut, domestic worker yang dimaksud adalah: “a citizen of Republic of Indonesia who is contracting or contracted for a special periode of time for specific individual as a domestic servant as defined in the employment act 1955, the labour Ordinance Sabah (chapter 67) and the Labour Ordinance Sarawak (Chapter 76). Definisi ini lebih spesifik menunjuk kepada warga Negara Indonesia yang dikontrak untuk periode waktu tertentu sebagai asisten rumah tangga, sehingga tidak mencakup mereka yang bekerja tanpa kontrak. Dari berbagai definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pekerja migran adalah seseorang (baik laki-laki maupun perempuan) yang pergi ke negara lain untuk bekerja dalam jangka waktu tertentu. Negara-negara tujuan pekerja migran Indonesia umumnya adalah negara-negara di Asia Tenggara, Asia Timur dan Timur Tengah, di mana Malaysia dan Arab Saudi merupakan dua negara tujuan utama (ILO, 2012). Menurut Tobing (2003), arus migrasi pekerja ini diperkirakan akan terus meningkat setiap tahunnya sejalan dengan melonggarnya hambatan-hambatan resmi migrasi di negara-negara yang tergabung dalam World Trade Organization (WTO). Melonjaknya arus migrasi ini pada hakekatnya merupakan resultante dari perbedaan tingkat kemakmuran antara negara maju dan negara berkembang.
12
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
Pekerja Migran Bermasalah Perubahan sosial yang sangat cepat dalam era globalisasi selain membawa dampak positif juga membawa dampak negatif. Dampak negatif yang muncul diantaranya muculnya penyandang masalah kesejahteraan sosial baru seperti pekerja migran baik domestik maupun lintas Negara. Munculnya permasalahan pekerja migran internal telah berdampak dengan meningkatnya jumlah pendatang ke kota-kota besar dengan tujuan yang kurang jelas telah menimbulkan masalah sosial seperti menjamurnya perumahan liar dan kumuh, meningkatnya kriminalitas, pelacuran, penggelandangan dan lain-lain. Sementara masalah pekerja migran lintas Negara berupa terjadinya deportasi tenaga kerja Indonesia (TKI), ketelantaran di luar negeri, berbagai tindak kekerasan, eksploitasi, telah menimbulkan persoalan nasional, bilateral dan internasional yang rumit. Masalah-masalah tersebut timbul tidak diperkirakan sebelumnya oleh siapapun, baik oleh lembaga bahkan Negara yang sudah terorganisir atau tidak terorganisir akan mengakibatkan korban mengalami gangguan fisik, psikologis dan sosial sebagai dampak dari pengalaman traumatis yang dialami. Banyak penelitian telah membuktikan bahwa pekerja migran mengalami kadar gangguan psikologis yang lebih tinggi berbanding penduduk asli sebuah negara (Patel, 1992; dalam Husmiati, 2013). Prevalensi gangguan mental di kalangan kelompok pekerja migran di United Kingdom telah menjadi perhatian dalam kepustakaan penelitian sejak tiga puluh tahun yang lalu. Penelitian ini umumnya menggunakan angka masuk rumah sakit sebagai sumber data utama mereka. Wanita Asia diketahui mempunyai resiko lebih tinggi mengalami gangguan psikologis berbanding lelaki (Community Relations Commission, 1976c; dipetik oleh Patel, 1992). Selain itu Cochrane (1981) dan Dean et al. (1981) mendapati tingginya angka masuk dan dirawat di rumah sakit pada kelompok pekerja migran. Bila dibandingkan beberapa temuan penelitian diatas masih menunjukkan keputusan tidak konsisten antara satu penelitian dengan penelitian lain. Nazroo (1998) mengatakan bahwa rendahnya prevalensi Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
13
yang dilaporkan dalam beberapa penelitian mungkin disebabkan ketidaktepatan model asesmen Barat mengenai sakit mental ketika diterapkan ke dalam budaya kelompok ini. Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Lloyd (1986) melaporkan negara berkembang mempunyai angka somatik yang tinggi, hal ini ditunjukkan dengan adanya simptom-simptom psikologis sebagai refleksi dari pendekatan budaya untuk memahami penyakit. Di Malaysia, penelitian di kalangan wanita pekerja migran menunjukkan wanita pekerja migran ilegal mengalami masalah kesehatan mental yang tinggi berbanding wanita pekerja migran legal. Wanita pekerja migran ilegal memperlihatkan tingkat stress, anxiety dan depression yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan wanita pekerja migran legal. Dari segi strategi daya tindak (coping strategy) juga wanita pekerja migran yang ilegal tidak baik berbanding wanita pekerja migran yang legal (Fahrudin & Baco, 2001; 2002; 2004). Pekerja migran yang legal juga mengalami masalah berkaitan dengan kehilangan dan kesedihan (loss and grief) karena terpaksa meninggalkan anggota keluarga mereka, tidak adanya dukungan sosial, kedudukan sosial, nilai dan norma, kebudayaan dan lingkungan mereka (Husmiati, 2013). Para pekerja migran juga mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru. Mereka menghadapi kesulitan dalam percobaan untuk mengatasi masalah bahasa dan kebudayaan semasa proses acculturation. Faktor-faktor ini saling berkait dan menghasilkan berbagai gangguan dan masalah sosial. Faktor budaya pekerja migran dengan budaya negara baru yang mereka datangi sangat jelas berbeda. Akibatnya pekerja migran tersebut akan mengalami stres yang serius serta beban mental yang berat (Rogler, Dharma & Malgady, 1991; dalam Husmiati 2013). Gangguan penyesuaian terjadi karena penderitaan dan gangguan emosi yang meningkat dalam tempo penyesuaian pada perubahan kehidupan yang baru sebagai pekerja migran di negara baru atau akibat daripada peristiwa kehidupan di negara asal yang banyak tekanan.
14
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
Selain itu, gangguan psikologis dan gangguan tingkah laku yang serius juga ditemui di kalangan anak-anak pekerja migran terutama pada waraffected children (anak-anak korban peperangan). Anak-anak yang mengalami pengalaman perpisahan dan kehilangan anggota keluarga akan menyebabkan terjadinya trauma dan begitu pula pada orangorang yang kehilangan tempat berteduh, kelaparan, penganiayaan dan menjadi korban tindak kekerasan. Peristiwa seperti ini akan memberi pengaruh kepada anak-anak dimana mereka tidak yakin atau timbul ketidak percayaan antara satu sama lain atau diri sendiri dan menaruh kecurigaan terhadap orang dewasa. Berbagai kajian di atas telah membuktikan bahwa kaum pekerja migran mempunyai status kesehatan mental yang lebih rendah dibandingkan dengan penduduk asli negara yang dituju. (Chae Chung Um & Dancy, 1999; dalam Husmiati, 2013),
Kebijakan Pemerintah bagi Pekerja Migran Perhatian Negara terhadap warganya yang menjadi pekerja migran diatur dalam beberapa regulasi, antara lain: 1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 27 ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. 2. Undang-undang RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Azazi Manusia, Pasal 30 yang menyatakan bahwa Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. 3. Undang-Undang No.39/2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang menyatakan bahwa negara wajib menjamin dan melindungi hak asasi warga negaranya yang bekerja baik di dalam maupun di luar negeri berdasarkan prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, dan anti perdagangan manusia; selain itu dinyatakan juga bahwa Perlindungan TKI adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan calon TKI/TKI dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya sesuai dengan Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
15
peraturan perundang-undangan, baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja 4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Pasal 14 ayat (1) Pasal 14 (1) Perlindungan sosial dimaksudkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal. Perlindungan sosial korban tindak kekerasan dan pekerja migran merupakan salah satu pilar pelayanan kesejahteraan sosial. Penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial. 5. Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2013 tentang Koordinasi Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia, Pasal 17 ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam hal TKI yang akan dipulangkan mempunyai keluarga, maka pemulangan tersebut termasuk keluarganya sampai ke daerah asal. Dan ayat (2) Keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi isteri/suami dan anaknya. 6. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor: 86/HUK/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Sosial RI, Pasal 281 menyebutkan bahwa Subdirektorat Perlindungan Sosial Pekerja Migran mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perlindungan sosial pekerja migran. 7. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2013 tentang Pemulangan Pekerja Migran Bermasalah dan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah ke Daerah Asal, Pasal 1 ayat (7) yang menyatakan bahwa Perlindungan Sosial bagi PMB dan TKIB adalah semua upaya yang diarahkan untuk mencegah dan menangani risiko dari keguncangan dan kerentanan sosial yang meliputi bantuan sosial, advokasi sosial, dan bantuan hukum dalam pemulangan ke daerah asal. Permenos ini dibuat sebagai norma, standar, prosedur, dan kriteria yang mengatur mengenai pemulangan PMB dan TKIB serta keluarganya yang menjadi acuan bagi Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
16
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
Perlindungan Sosial Hingga saat ini terdapat berbagai macam definisi perlindungan sosial. Keragaman ini dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, dan politik suatu negara. Berikut adalah beberapa dari sekian banyak definisi yang digunakan oleh berbagai institusi dan negara. Asian Development Bank (ADB) menjelaskan bahwa perlindungan sosial pada dasarnya merupakan sekumpulan kebijakan dan program yang dirancang untuk menurunkan kemiskinan dan kerentanan melalui upaya peningkatan dan perbaikan kapasitas penduduk dalam melindungi diri mereka dari bencana dan kehilangan pendapatan. Dalam hal ini perlindungan sosial tidak berarti merupakan keseluruhan dari kegiatan pembangunan di bidang sosial, dan tidak termasuk upaya penurunan resiko (risk reduction). ADB membagi perlindungan sosial ke dalam 5 (lima) elemen, yaitu: (i) pasar tenaga kerja (labor markets); (ii) asuransi sosial (social insurance); (iii) bantuan sosial (social assitance); (iv) skema mikro dan area-based untuk perlindungan bagi komunitas setempat; dan (v) perlindungan anak (child protection). Namun, menurut Bank Dunia dalam “World Bank Social Protection Strategy”, konsep yang digunakan oleh ADB dalam membagi perlindungan sosial tersebut masih tradisional. Bank Dunia mendefinisikan perlindungan sosial sebagai: (i) jejaring pengaman dan ‘spring board’; (ii) investasi pada sumberdaya manusia; (iii) upaya menanggulangi pemisahan sosial; (iv) berfokus pada penyebab, bukan pada gejala; dan (v) mempertimbangkan keadaan yang sebenarnya. Interpretasi yang agak berbeda diberikan oleh Hans Gsager dari German Development Institute. Gsager berpendapat bahwa sistem perlindungan sosial dimaksudkan untuk mendukung penanggulangan situasi darurat ataupun kemungkinan terjadinya keadaan darurat. Dia memilah-milah jenis-jenis perlindungan sosial berdasarkan pelaksana pelayanan, yaitu pemerintah, pemerintah bersama-sama dengan lembaga non pemerintah, lembaga non-pemerintah, dan kelompok masyarakat.
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
17
Menurut Barrientos dan Shepherd (2003), perlindungan sosial secara tradisional dikenal sebagai konsep yang lebih luas dari jaminan sosial, lebih luas dari asuransi sosial, dan lebih luas dari jejaring pengaman sosial. Saat ini perlindungan sosial didefinisikan sebagai kumpulan upaya publik yang dilakukan dalam menghadapi dan menanggulangi kerentanan, resiko dan kemiskinan yang sudah melebihi batas (Conway, de Haan et al.; 2000). Deutsche Stiftung für Internationale Entwicklung (DSE) melalui discussion report mengambil definisi perlindungan sosial yang digunakan oleh PBB dalam “United Nations General Assembly on Social Protection”, yaitu sebagai kumpulan kebijakan dan program pemerintah dan swasta yang dibuat dalam rangka menghadapi berbagai hal yang menyebabkan hilangnya ataupun berkurangnya secara substansial pendapatan/gaji yang diterima; memberikan bantuan bagi keluarga (dan anak) serta memberikan layanan kesehatan dan permukiman. Secara lebih detail dijelaskan bahwa perlindungan sosial memberikan akses pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar dan hak-hak dasar manusia, termasuk akses pada pendapatan, kehidupan, pekerjaan, kesehatan dan pendidikan, gizi dan tempat tinggal. Selain itu, perlindungan sosial juga dimaksudkan sebagai cara untuk menanggulangi kemiskinan dan kerentanan absolut yang dihadapi oleh penduduk yang sangat miskin. Dengan demikian, perlindungan sosial menurut PBB dapat dibagi menjadi dua sub-kategori yaitu bantuan sosial (social assistance) dan asuransi sosial (social insurance). Bantuan sosial merupakan penyaluran sumberdaya kepada kelompok yang mengalami kesulitan sumber daya; sedangkan asuransi sosial adalah bentuk jaminan sosial dengan pendanaan yang menggunakan prinsip-prinsip asuransi. Program perlindungan sosial di Direktorat KTKPM dilaksanakan berdasarkan bahwa Perlindungan sosial adalah Keseluruhan upaya, program dan kegiatan Yang ditujukan untuk membantu orang lain Baik yang belum maupun yang terganggu fungsi sosialnya agar mampu mencegah atau mengelola berbagai resiko sosial yang dihadapi. Adapun perlindungan sosial yng diberikan kepada: (1) korban tindak kekerasan.
18
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
korban, yaitu mereka yang mendapatkan perlakuan dari perilaku seseorang yang dengan sengaja maupun tidak sengaja yang ditujukan untuk mencederai atau merusak orang lain, baik berupa serangan fisik, mental, sosial maupun seksual yang melanggar hak asasi manusia dan bertentangan dengan nilai dan norma dalam masyarakat yang berlaku secara universal serta mengakibatkan trauma psikologis. (2) Pekerja migran internal dan lintas negara yang mengalami masalah sosial, baik dalam bentuk tindak kekerasan, keterlantaran karena mengalami musibah (faktor alam dan sosial), mengalami konflik sosial karena ketidakmampuan menyesuaikan diri ditempat kerja baru atau di negara tempatnya bekerja maupun mengalami kesenjangan sosial sehingga mengakibatkan fungsi sosial terganggu.
Rumah Perlindungan Trauma Center Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) merupakan salah satu unit pelaksana teknis dibawah direktorat jenderal perlindungan sosial dan jaminan sosial yang memberikan layanan terpadu (integrated services), baik sebagai pusat krisis (crisis centre) maupun pusat pemulihan traumatik (traumatic centre). Dalam kapasitas sebagai crisis centre, RPTC berfungsi sebagai pusat penanggulangan masalah tindak kekerasan, yang terdiri dari: (1) layanan informasi dan advokasi; dan (2) layanan rumah pertlindungan (shelter unit). Selanjutnya, dalam kapasitas sebagai pusat trauma (trauma centre), RPTC berfungsi pula sebagai wahana pemulihan traumatik, yang terdiri dari: (1) layanan rehabilitasi psikososial dan spiritual; dan (2) layanan resosialisasi dan rujukan. Adapun sasaran meliputi semua korban yang mengalami tindak kekerasan fisik, mental dan sosial, terdiri dari: a. Korban yang mengalami perlakuan salah; meliputi segala bentuk penganiayaan, pemukulan dan/atau tindakan sejenis lainnya yang mengakibatkan korban mengalami cedera fisik dan/cedera mental b. Korban yang mengalami penelantaran fisik, mental dan sosial c. Korban yang mengalami eksploitasi fisik dan ekonomi d. Korban yang mengalami perlakuan diskriminasi
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
19
e. Korban yang dibiarkan dalam situasi berbahaya RPTC memiliki fungsi sebagai tempat rehabilitasi sosial bagi korban tindak kekerasan, yang mengalami traumatik, dilaksanakan secara terpadu dan komprehensif, dengan tujuan agar para korban tindak kekerasan dapat pulih kembali fungsi sosialnya, dan dapat di integrasikan ke masyarakat. Dalam kapasitasnya sebagai krisis center, RPTC berfungsi untuk memberikan layanan infornasi dan layanan rumah perlindungan (shelter unit). Sedangkan sebagai trauma center RPTC berfungsi memberikan layanan pemulihan sosial dan layanan resosialisasi dan rujukan serta mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali secara wajar.
Kerangka Konseptual Faktor yang menyebabkan seseorang bermigrasi dan bekerja di luar negeri diantaranya karena adanya perbedaan pendapatan dan tingginya pengangguran di tempat tinggalnya, tingginya pertumbuhan penduduk, keterbatasan lahan produktif dan perkembangan teknologi. Pekerja migran yang bekerja di luar negeri baik secara legal maupun ilegal, memiliki berbagai motif seperti untuk meningkatkan status ekonomi dan kelangsungan hidup maupun atas motif sosial berupa harapan atas kekayaan, kenyamanan atau eksistensi diri. Oleh karenanya menjadi seorang pekerja migran sangat tergantung pada motivasi bermigrasi, dan juga pengaruh tidak langsung dari faktor individu dan masyarakat. Setelah berada di Negara tujuan, pekerja migran tersebut mengalami perubahan kehidupan yang drastis, berbeda dengan tempat tinggal asal, yang menuntut mereka untuk melakukan penyesuaian diri dengan kehidupan dan budaya di negara tujuan. Penyesuaian diri tidak hanya secara mental psikologis namun juga dengan tuntutan keterampilan menggunakan alat-alat teknologi yang berkaitan dengan pekerjaannya. Kegagalan dalam penyesuaian diri ini menyebabkan mereka pada akhirnya memiliki masalah, baik masalah psikologis maupun sosial dengan pihak majikan. Kondisi ini mendorong mereka menjadi pekerja migran bermasalah, bahkan bisa terjadi perubahan status dari pekerja migrant legal menjadi pekerja migran ilegal.
20
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
Pekerja migran bermasalah (PMB) dari waktu ke waktu semakin meningkat, dalam jumlah maupun permasalahan psikososial saat dipulangkan ke Indonesia. Menyadari hal itu Pemerintah dalam hal ini Kementerian Sosial memiliki kewenangan, tugas dan tanggung jawab untuk pemulangan pekerja migran bermasalah ke daerah asal, yang dilaksanakan melalui Rumah Perlindungan Trauma Center dengan memberikan layanan terpadu (integrated services), baik sebagai pusat krisis (crisis centre) maupun pusat pemulihan traumatic (traumatic centre). Dalam hal ini RPTC berfungsi sebagai tempat tinggal sementara sebelum mereka dikembalikan ke kampung halamannya, dan bagi pekerja migran yang mengalami masalah psikologis akan memperoleh rehabilitasi sampai mereka pulih secara psikologis. Model kerangka berpikir dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Model Kerangka Berfikir
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
21
BAB III HASIL PENELITIAN
TANJUNG PINANG KEPULAUAN RIAU Gambaran umum RPTC Tanjung Pinang Kota Tanjung Pinang terletak di Kepulauan Riau dipilih menjadi salah satu lokasi penelitian karena di kota ini terdapat salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC), dimana sebelumnya juga telah berdiri RPTC di DKI Jakarta milik Kementerian Sosial dibawah Direktorat Perlindungan Sosial Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran (KTKPM). RPTC didirikan di Tanjung Pinang karena Kepulauan Riau merupakan salah satu pintu masuk (Gate way Indonesia), dimana (1) Daerah Kepulauan Riau merupakan daerah perbatasan dengan luar negeri khususnya Singapura, Malaysia dan Vietnam. (2) Perairan Kepulaun Riau (selat malaka) merupakan alur lalu lintas perdagangan dunia yang sangat ramai di lalui oleh kapal - kapal domestik dan asing. (3) Berdasarkan kedua hal tersebut mendorong banyaknya Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang ke Malaysia dan Singapura melalui Perairan Kepulauan Riau. (4) Diantara mereka ada yang keluar Negeri tanpa menggunakan dokumen resmi, sehingga bermasalah dan akhirnya ditangkap oleh Polisi Diraja/Custome Malaysia/Singapura selanjutnya dideportasi melalui Johor Baru Malaysia ke Kepulauan Riau. Selain itu karena alasan konektivitas, dimana (1) Daerah kepulauan Riau merupakan daerah perbatasan dengan luar negeri khususnya Singapura, Malaysia, Vietnam dan Philipina. (2) Demikian juga merupakan jalan lalu lintas antara negara tetangga ke kepulauan Riau dapat di akses dengan mudah melalui jalan laut. (3) Berdasarkan kedua hal tersebut berdampak kepada banyaknya Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah (PMB) yang dideportasi melalui wilayah Kepulauan Riau.
22
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
RPTC Tanjung Pinang dibangun di lahan seluar 3 hektar yang merupakan hibah Pemerintah provinsi Kepulauan Riau. Keterlibatan Kementerian Sosial dalam penanganan PMB adalah sebagai bentuk perlindungan sosial dari pemerintah. RPTC bertujuan untuk menampung PMB yang dipulangkan paksa dari negara tempatnya bekerja. Para PMB tersebut akan dibina sebelumnya, dan akhirnya dipulangkan ke kampung halaman masing-masing. Dalam kontek pendirian RPTC ini, perlindungan sosial yang dilakukan pemerintah adalah untuk mencegah dan menangani resiko dari guncangan, serta kerentanan sosial PMB yang menjadi korban di negara tempat mereka bekerja. RPTC Tanjung Pinang dipimpin oleh koordinator yang merupakan pejabat eselon 4 di Dinas Sosial Propinsi Kepulauan Riau. Adapun Kebijakan yang dimiliki oleh Dinas Sosial Prov Kepri terkait PMB adalah MoU antar SKPD. Instansi yang terlibat meliputi Dinas Perhubungan, PT Pelni, Dinas Kesehatan terutama untuk kasus ringan. Dinas Sosial tidak sama sekali melibatkan LSM, karena LSM disini selalu melihat keburukan dan kelemahan dari kinerja pemerintah. Tahun 2012 Dinas Sosial Kepri yang mendapatkan kewenangan dalam perlindungan bagi PMB melalui RPTC. Melalui APBD Dinsos mengganggarkan untuk UEP bagi PMB yang berasal dari Kepri, sementara untuk PMB yang berasal dari luar Kepri seluruhnya ditanggung oleh Kemensos. Latar belakang pendidikan sumber daya manusia di RPTC Tanjung Pinang dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 2. SDM dilihat dari Tingkat Pendidikan No.
Tingkat Pendidikan
Jumlah
1.
SMA
9 orang
2.
D3
2 orang
3.
S1 / Sarjana
6 orang
TOTAL
17 orang
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
23
Sedangkan tabel dibawah ini menggambarkan kondisi SDM RPTC Tanjung Pinang berdasarkan jabatan yang menjadi tanggungjawabnya. Tabel 3. SDM dilihat dari Jabatannya No
Personil/Profesi
1.
Koordinator
1 orang
2.
Pekerja sosial
3 orang
3.
Dokter
1 orang
4.
Psikolog
1 orang
5.
Bidan
1 orang
6.
Perawat
1 orang
7.
Ahli hukum
1 orang
8.
Ahli agama
1 orang
9.
Pramusosial
4 orang
sekuriti
4 orang
10.
Jumlah
18 orang
Sumber: RPTC Tanjung Pinang, 2015.
Alur Penanganan Pekerja Migran Bermasalah Alur penanganan PMB saat kedatangan dari Malaysia melalui pintu masuk Tanjung Pinang dapat ditelusuri sebagai berikut: 1. Sebelum kedatangan (perjalanan Malaysia - Tanjungpinang), petugasnya adalah Pendamping dari pihak ke 3 utusan dari Konsulat Jendral Malaysia. 2. Saat kedatangan, petugasnya adalah Pendamping PMB yang merupakan satuan tugas (satgas) yang melakukan penjemputan di pelabuhan dan pendampingan sampai ke RPTC. Adapun satgas PMB meliputi Imigrasi, KP3, Dishub, KKP, Dinsos Kota (satgas lapangan) dan Polres. Selanjutnya PMB dibawa ke RPTC. 3. Penanganan di RPTC, petugasnya adalah perangkat RPTC yang melakukan:Pendataan PMB dengan menggunakan Finger Scan,
24
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
Pelayanan Kebutuhan PMB, Intervensi Psikososial, Pelayanan Kesehatan, dan Pelayanan Keamanan. 4. PMB menunggu kapal yang akan membawa ke Tanjung Priuk di RPTC Tanjung Pinang. 5. Dalam perjalanan ke Tanjung Priuk, PMB didampingi oleh pendamping dari RPTC dan atau satgas lain. Sesampainya di Tanjung Priuk, PMB diserahkan pada satgas. 6. PMB kemudian dipulangkan ke daerahnya masing-masing dengan menggunakan kapal laut, bis atau dijemput keluarganya atau dibawa ke RPTC Bambu Apus. Kondisi pekerja migran pada saat dipulangkan diantaranya dalam keadaan sakit (trauma/psychotik ; aid/HIV; cacat/lumpuh; struk ; hamil dll). Pada saat mereka sampai maka tahapan yang dilakukan adalah: 1. Proses penerimaan kedatangan PMB dengan melakukan Pendekatan awal yang meliputi tahap pengarahan dan pemberian informasi 2. Proses identifikasi klien mencangkup pendataan, analisis, dan mengungkap permasalahan yang dihadapi klien 3. Bimbingan dan pendampingan klien 4. Penyuluhan kesehatan Saat tahap pemulangan atau keberangkatan ke Tanjung Priuk, petugas yang bertanggungjawab terdiri dari: 1. Pendamping PMB yang tugasnya mengantar PMB sampai ke Pelabuhan dan juga mendampingi ke Tanjung Priok 2. Sedangkan Satgas PMB Tanjung. Pinang mengantarkan PMB sampai pelabuhan, mempersiapkan prasyarat keberangkatan dengan PELNI. Setibanya di Tanjung Priok Jakarta, serah terima PMB dilakukan oleh pendamping kepada satgas Tanjung Priuk.
Implementasi kebijakan dan program perlindungan sosial bagi PMB Kebijakan pemerintah mendirikan RPTC di provinsi Kepulauan Riau adalah sebagai lembaga penampungan bagi PMB, yang juga berfungsi sebagai “pintu masuk” PMB kembali ke kampung halaman.
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
25
Proses pemulangan PMB yang selama ini dilaksanakan melalui RPTC Tanjung Pinang, dibawah pembinaan Dinas Sosial Provinsi Kepulauan Riau, pada prakteknya telah bekerja sama dengan SKPD lainnya, seperti Dinas Perhubungan Provinsi Kepulauan Riau, Kantor Imigrasi Kepulauan Riau maupun dari Pemerintah Daerah Kepulauan Riau itu sendiri. Pada kenyataannya masing-masing sektoral belum cukup kuat komitmennya dalam proses pemulangan PMB. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh informan dibawah ini: “……Perlu ada kerjasama dinas sosial, perhubungan, imigrasi,, kerja dilapangan.. jangan hanya lengkap saat di rapat,, karena selama ini dilapangan tidak professional. Bagaimana bersama dalam satgas saat dilapangan, bertugas untuk pencegahan. Sepanjang tidak ada kerjasama maka selalu ada PMB Tidak pernah ada sumbernya,, kita hanya dapat menyelesaikan kasus. Percuma uang bertrilyun trilyun dikeluarkan tidak menyelesaikan masalah….”
(sumber: BNP2TKI, hasil FGD)
UU no. 39/2004 selalu didengung-dengungkan tetapi pihak imigrasi tidak disentuh (contoh: cukup hanya melihat seseorang punya pasport dan tidak expired/ada ijin pelancong). DPRD tidak mau menganggarkan dalam penanganan PMB. Selain itu ada lempar tanggungjawab dari konjen Indonesia di Malaysia saat pemulangan PMB ke Tanjung Pinang. Tanpa memilah kasus PMB, sebagian besar dipulangkan kepada Kementerian Sosial melalui RPTC. Komitmen dengan negara tetangga (Malaysia) terkait PM Indonesia yang mencari kerja belum dibuat. Karena menurut Malaysia, orang Indonesia yang datang sendiri mencari kerja bukan diminta datang. Mekanisme penanganan PMB, dimulai dari kedatangan dari pelabuhan, kemudian diterima oleh Satgas, dan dilakukan pendataan,
26
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
melalui KKP (Kantor Kesehatan Pelabuhan), dilakukan identifikasi kesehatan PMB, setelah itu dilakukan serah terima ke pendamping TKI dan apabila para PMB ini telah bergerak sejauh 400 meter dari KKP, maka secara birokrasi sudah menjadi tanggung jawab Pemerintah daerah. Di kepulauan Riau, Satuan Tugas belum mempunyai komitmen yang tegas untuk sama-sama menangani PMB yang masuk ke wilayah Kepulauan Riau . Contohnya saat penanganan PMB yang sakit dimana masing-masing pihak saling lempar tanggungjawab. Belum dipahami kesepakatan antar SKPD dalam menangani PMB yang masuk ke wilayah kepulauan riau, sehingga ada kesan ego sektoral. Dalam hal ini sangat jelas bila sistem penanganan PMB belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Selain itu Selalu ada selisih data antara kedatangan dan pemulangan PMB. Tidak ada data yang menjamin PMB benar-benar kembali kedaerah asalnya ataukah mereka kembali lagi menjadi pekerja migrant. Bagi PMB yang menderita sakit saat dipulangkan juga tidak ada laporan bagaimana kondisi kesehatannya setelah sampai didaerah asalnya. Pemda setempat tidak memberikan laporan resmi pada daerah pengirim PMB, dengan kata lain rujukan terputus. Begitu pula berdasarkan Standar operasional prosedur (SOP) pemulangan PMB dari Tanjung Pinang cukup rumit. Dimana PMB yang akan pulang ke Medan (Belawan) dan sekitarnya dari Tanjung Pinang harus melalui Tanjung Priuk dahulu baru kembali ke Medan dan sekitarnya.
Peran dan fungsi RPTC dalam melakukan perlindungan sosial bagi PMB Hasil penelitian menemukan RPTC Tanjung Pinang belum maksimal menjalankan fungsi sebagaimana mestinya, dimana dalam petunjuk pelaksanaan RPTC dinyatakan sebagai lembaga kesejahteraan sosial yang memberikan layanan terpadu baik sebagai pusat krisis, maupun pusat pemulihan traumatik. Pada kenyataannya RPTC Tanjung Pinang hanya sebagai tempat transit para PMB menunggu kapal yang akan pulang ke daerah asalnya. Selain itu RPTC Tanjung Pinang hanya melayani PMB perempuan. Dibawah ini adalah tabel data pemulangan PMB
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
27
sebagai awal perjalanan pemulangan PMB dari pintu masuk Tanjung Pinang menuju Tanjung Priuk dan selanjutnya menyebar ke daerah dipulau Jawa dan sekitarnya sampai ke NTB dan NTT. Berdasarkan data yang ada, jumlah PMB yang dipulangkan dari Malaysia periode Januari sampai dengan Mei cukup besar, bahkan selalu ada bayi dan anak-anak didalamnya. Kondisi ini tentunya sangat memperihatinkan. Untuk lebih jelas data kepulangan PMB dapat dilihat pada Tabel 1 berikut: Tabel 4. Data pemulangan PMB di RPTC Tanjung Pinang Periode Januari - Mei 2015 Bulan
Laki-laki
Perempuan
Anak
Bayi
jumlah
Januari
1135
399
17
10
2261
Februari
813
283
7
9
1112
Maret
1457
658
18
15
2148
April
1742
650
21
24
2418
Mei
807
359
11
15
1192
Sumber: RPTC Tanjung Pinang Kepulauan Riau
Seperti yang telah dikemukakan diatas, RPTC di Tanjung Pinang kepulauan Riau merupakan tempat transit bagi PMB perempuan sambil menunggu kapal laut ke Tanjung Priuk. Sedangkan PMB laki-laki ditempatkan di rumah penampungan milik swasta (pihak ketiga) yang jauh dari layak. Belum ada regulasi khusus “….Kalo di RPTC dan transito harus dari pusat, tidak ada regulasi sebagai orang terlantar, diperbantukan dari APBD, tetapi untuk TKI yang bertanggung jawab adalah pemerintah pusat. Saat kedatangan PMB siapa yang akan mengurus untuk kesehteraan.. karena tidak ada BPJS dan unregister. Seharusnya kewajiban Negara dalam pemenuhan kebutuhan dasar.. Untuk itu Perlu payung hukum antara kem kes dan Kemsos, untuk penanganan kesehatan PMB …..” Sumber: Dinas Sosial Prop Kepri, hasil FGD
28
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
Peran dan fungsi RPTC dalam proses reintegrasi PMB didaerah asal. Peran dan fungsi RPTC Tanjung Pinang adalah sebagai rumah perlindungan trauma dan juga sebagai penampungan TKI. Dalam prakteknya RPTC Tanjung Pinang hanya menampung pekerja migran bermasalah perempuan. Sedangkan PMB laki-laki ditampung di rumah yang disebut transito milik pihak ketiga. Petugas RPTC tidak ada yang datang memberikan pelayanan pada PMB di transito. RPTC Tanjung Pinang dalam kenyataannya tidak maksimal melakukan kegiatan mempersiapkan para PMB saat mereka sampai di kampungnya nanti. Jumlah PMB yang cukup besar setiap kedatangan menjadi salah satu kendala. Sekali lagi RPTC hanya tempat transit. RPTC Tanjung Pinang hanya memberikan pelayanan kesehatan, bimbingan rohani. Bila jadwal kapal yang akan mengangkat para PMB belum ada atau masih lama, maka para PMB diberikan kegiatan pengisian waktu luang, seperti membuat kerajinan tangan menyulam dan lain-lain.
Kondisi kerentanan yang dialami PMB selama proses migrasi (transit, destinasi, daerah asal). Kondisi PMB selama proses migrasi cukup rentan. Pemulangan pekerja migran bermasalah menggunakan kapal laut dari Tanjung Pinang hingga Tanjung Priuk tanpa pendampingan petugas, dan selanjutnya dipulangkan melalui darat ke daerah masing-masing. Kondisi fisik dan mental para PMB sudah sedemikian lelah, sehingga kadang terjadi pemukulan fisik kepada sopir bus yang tidak mau mengantarnya hingga ke daerah asal. Pemulangan PMB yang sakit berat merupakan masalah besar yang dihadapi RPTC Tanjung Pinang terkait dengan biaya pemulangan ke daerah asal yang cukup besar selain itu apabila PMB mengalami masalah kesehatan sangat sulit untuk segera mendapat layanan kesehatan. PMB tidak mempunyai kartu identitas (KTP) sehingga tidak bisa mengakses layanan BPJS saat sakit dan perlu penanganan di RS. Dalam hal ini PMB dianalogikan sebagai penduduk unregister.
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
29
Faktor pendorong internal dan eksternal yang menyebabkan PMB ingin kembali bekerja diluar negeri Hasil wawancara dengan sampel informan menunjukkan mereka ada yang masih ingin tetap akan kembali ke Malaysia, meskipun mereka sudah tahu resiko yang akan dihadapinya. Bagi mereka pengalaman buruk yang menimpa mereka selama mencari kerja di negara orang adalah resiko yang harus mereka terima. Walau bagaimanapun kembali bekerja menjadi pekerja migran lebih membantu kelangsungan hidup mereka dan keluarganya dari pada tetap tinggal di daerah asalnya yang menurut mereka sangat susah untuk mendapatkan pekerjaan. Selain itu karena banyak jalan untuk bisa sampai ke Negara jiran. Seandainya tidak melalui jalur resmi, mereka masih bisa sampai dengan melalui “jalan tikus” walaupun mereka tahu cara ini melanggar hukum.
DKI JAKARTA Gambaran Umum RPTC Bambu Apus, Jakarta Suatu negara dengan tingkat pertumbuhan penduduk dan tingkat pengangguran yang tinggi, maka migrasi tenaga kerja ke luar negeri (migrasi internasional) merupakan salah satu cara untuk mengatasi permasalahan tersebut. Migrasi internasional merupakan proses perpindahan penduduk suatu negara ke negara lain. Umumnya orang melakukan migrasi ke luar negeri untuk memperoleh kesejahteraan ekonomi yang lebih baik bagi dirinya dan keluarganya. Bekerja di luar negeri sebagai pekerja migran memang menjanjikan gaji yang besar, namun resiko yang harus ditanggung juga sangat besar. Sementara itu, arus migrasi tenaga kerja Indonesia ke luar negeri semakin hari semakin membesar jumlahnya. Pada umumnya, permasalahan-permasalahan yang terjadi menyangkut pengiriman pekerja migran ke luar negeri terutama tentang ketidaksesuaian antara yang diperjanjikan dengan kenyataan, serta adanya kesewenangan pihak majikan dalam memperkerjakan pekerja migran. Selain itu sering terjadi penangkapan dan penghukuman pekerja migran yang dikarenakan ketidaklengkapan dokumen kerja (pekerja
30
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
migran ilegal). Hal-hal ini menimbulkan ketegangan antara pihak pemerintah dengan negara-negara tujuan pekerja migran tersebut dan apabila didiamkan akan menimbulkan terganggunya hubungan bilateral kedua negara. Rentetan kisah suram pekerja migran bermasalah (PMB) memang membutuhkan perhatian yang serius dan segera dari pemerintah. Pemerintah melalui instansi terkait, dalam hal ini Kementerian Sosial merasa perlu untuk segera membuat langkah-langkah yang signifikan dalam menanggulangi permasalahan pekerja migran bermasalah, terutama dalam perlindungan sosial dan proses reintegrasi PMB di daerah asal. Oleh karena itu, sejak tahun 2004 di daerah kemayoran, Direktorat Bantuan Sosial Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran bekerja sama dengan Dinas Bina Mental Spiritual dan Kesejahteraan Sosial Propinsi DKI Jakarta telah mendirikan Rumah Perlindungan dan Trauma Center (RPTC) sebagai tempat perlindungan dan rehabilitasi psikososial bagi korban tindak kekerasan dan pekerja migran bermasalah sosial. Pada tanggal 30 Agustus 2008, RPTC telah melakukan pindahan gedung dan lokasi yang tadinya bergabung dengan Dinas Bina Mental Spiritual dan Kesejahteraan Sosial Popinsi DKI Jakarta di daerah Kemayoran, Jakarta Pusat ke daerah Bambu Apus, Jakarta Timur. Rumah Perlindungan dan Trauma Center Bambu Apus merupakan rumah lembaga kesejahteraan sosial milik Kementerian Sosial RI terletak di Kelurahan Bambu Apus kecamatan Cipayung Jakarta Timur. RPTC Bambu Apus tidak memiliki visi dan misi tersendiri tetapi menginduk visi dan misi Direktorat Korban Timdak Kekerasan dan Pekerja migran. Dalam perlindungan sosial terhadap pekerja migran bermasalah (PMB), RPTC bersifat sebagai penampungan sementara sebelum mereka (PMB) dikirim kembali ke kampung halaman masing-masing, atau menunggu jadwal pemulangan menggunakan kapal laut milik Pelni atau Damri. Ini juga merupakan salah satu peran Kemensos dalam penanganan pekerja migran bermasalah
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
31
Sumberdaya Kelengkapan sumberdaya dalam perlindungan sosial bagi pekerja migran bermasalah di RPTC, sebagai berikut : 1. Sumberdaya Manusia Jumlah pegawai di RPTC sebanyak 32 orang, 30 orang diantaranya sebagai honorer dan 2 orang PNS yaitu sebagai koordinator dan sekretaris di RPTC. Sebagian besar pegawai RPTC Bambu Apus telah memiliki masa kerja honor 1 - 10 tahun. Dilihat jabatannya, pegawai RPTC dibedakan menjadi 3 tim atau bagian, yaitu : Tabel 5. SDM dilihat dari Jabatannya No 1.
Personil/Profesi Tim Pengelola a.Koordinator b.Sekretaris c.Petugas Komputer Tim Profesi a.Pekerja Sosial b.Psikolog c.Tenaga medis d.Tenaga hukum e.Tokoh agama (Islam dan Kristen) f.Pendamping Korban Tindak Kekerasan g.Pendamping Pekerja Migran Tim Umum a. Security b. Driver/sopir c. Juru masak d. Cleaning service e. Tukang kebun TOTAL
1 orang 1 orang 1 orang
6 2 2 1 2 1 1
orang orang orang orang orang orang orang
4 2 2 4 2
orang orang orang orang orang
Jumlah 3 orang
15 orang
14 orang
32 orang
Sumber: RPTC Bambu Apus, 2015.
32
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
Tingkat pendidikan pegawai cukup bervariasi terdiri dari: Tabel 6. SDM dilihat dari Tingkat Pendidikan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tingkat Pendidikan
SD SMP SMA D3 S1 / Sarjana S2 TOTAL
Jumlah
- orang 1 orang 14 orang 2 orang 11 orang 4 orang 32 orang
2. Sarana kelengkapan Kapasitas daya tampung RPTC Bambu Apus sebanyak 100 orang, memiliki sarana prasarana cukup lengkap baik perkantoran, ruangan untuk kegiatan, ruang tidur dan sarana pendukung lainnya. Bila PMB yang datang melebihi kapasitas daya tampung, maka RPTC memfungsikan ruangan lain seperti ruang perpustakaan, ruang bimbingan/kegiatan yang dijadikan sebagai tempat tidur. RPTC Bambu Apus dipimpin oleh seorang koordinator yang berstatus sebagai PNS Kementerian sosial.
Implementasi kebijakan dan program perlindungan sosial bagi PMB di DKI Jakarta Secara nasional, penempatan dan perlindungan pekerja migran diatur dalam Undang-Undang dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Sedangkan penanganan pekerja migran bermasalah didasarkan atas Undang-Undang Kesejahteraan Sosial tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Korban dan Saksi, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlinddungan Anak, Peraturan Pemerintah RI Nomnor 4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Tindak kekerasan dalam Rumah Tangga, dan berbagai peraturan Perundangan lainnya serta Peraturan Menteri Sosial RI nomor 102/HUK/2007 tentang pendirian dan Penyelenggaraan Rumah Perlindungan dan Trauma Center (RPTC). Berbagai Undang-Undang dan peraturan ini, oleh Kementerian Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
33
Sosial diwujudkan dalam kegiatan Pendirian Rumah Perlindungan dan Trauma Center yang kegiatannya meliputi perlindungan dan pelayanan sosial. Pendirian RPTC di berbagai daerah diiniasi oleh Kementeriaan sosial dengan status sewa selama 2 tahun, yang selanjutnya kepemilikan dan pengelolaannya diserahkan oleh pemerintah daerah Sedangkan penanganan Pekerja Migran Bermasalah di DKI Jakarta selain didasarkan atas Undang-Undang dan Peraturan Menteri Sosial Nomor 22 tahun 2013 tentang Pemulangan Pekerja Migran Bermasalah dan Tenaga Kerja Indonesia bermasalah ke daerah asal, juga didasarkan pada Peraturan Gubernur DKI Jakarta. Peraturan Gubernur ini antara lain Peraturan Gubernur Nomor 134 tahun 2007 tentang Penanggulangan Sosial Korban Tindak Kekerasan di Provinsi DKI Jakarta, Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 218 tahun 2010 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 184 tahun 2012 tentang Pelayanan Sosial kesehatan dan Permakanan Orang terlantar. Implementasi dari berbagai peraturan ini, oleh Dinas Sosial DKI Jakarta diwujudkan dalam kegiatan antara lain: a. Pendirian Panti Sosial Bhakti Kasih di Kebon Kosong yang bertujuan untuk melindungi, memulihkan trauma dan memberikan pemberdayaan kepada KTK dan PM b. Dinas Sosial membangun sinergi dengan LSM, dunia usaha dan masyarakat dalam melakukan deteksi awal terhadap KTK dan PM c. Pemberdayaan Pekerja Migran di daerah Cilincing Jakarta Utara melalui bantuan UEP sebesar Rp. 5.000.000,-/orang dalam bentuk barang kepada 25 orang KTK dan 25 orang PMB. Bantuan serupa juga pernah diberikan oleh Kementerian Sosial tahun 2013 yang diwujudkan dalam bentuk peralatan catering, dan pendampingan terhadap KTKPM terkait dengan trauma yang dialaminya. d. Sesuai dengan tugas dan fungsinya Dinas Sosial DKI Jakarta dalam Gugus tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah melaksanakan fungsi re integrasi sosial, dengan melakukan pemulangan pekerja migran (orang terlantar)
34
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
ke daerah asal. Pemerintah DKI menyebut sebagai Orang Terlantar dan dapat dipulangkan ke daerah asal dengan anggaran Pemda DKI jakarta.
Peran RPTC dalam Perlindungan Sosial dan Proses Reintegrasi di Daerah a. Kegiatan perlindungan sosial Perlindungan sosial bagi PMB di RPTC diwujudkan dalam beberapa kegiatan terjadual meliputi: 1) Penerimaan PMB 2) Kontrak sosial, yang diwujudkan kesediaan dan persetujuan PMB untuk menandatangani peraturan/tata tertib selama di RPTC 3) Pemberian pakaian, peralatan mandi, makan dan ruang tidur 4) Asesemen yang dilakukan oleh pekerja sosial 5) Kegiatan dalam rangka pengisian waktu luang seperti bimbingan rohani, dinamika kelompok, olah raga, senam dan kegiatan lainnya 6) Trauma healing 7) Pelayanan kesehatan melalui kerjasama dengan Puskesmas Kecamatan Cipayung dan RS Koja 8) Pendampingan PMB yang mengalami trauma Klien yang mendapatkan pelayanan di RPTC Bambu Apus tahun 2013 sebanyak 1.303 orang, 763 orang diantaranya adalah PMB, tahun 2014 sebanyak 1.571 orang, 935 orang diantaranya adalah PMB, sedangkan sampai dengan 11 Juni 2015 sebanyak 1,264 klien ditampung di RPTC, 769 diantaranya adalah PMB. Diperkirakan jumlah PMB yang ditampung di RPTC Bambu Apus akan semakin meningkat, sejalan dengan operasi yang masih terus dilakukan oleh Pemerintah Malaysia terhadap pekerja migran yang tidak memiliki dokumen resmi. Selain dipenjara, mereka di pulangkan ke Indonesia melalui Tanjung Pinang. Hal ini merupakan beban cukup berat bagi RPTC Bambu Apus, dan Kementerian Sosial terkait dengan biaya pemenuhan kebutuhan fisik (sandang dan makan) dan pemulangan ke daerah asal. RPTC Bambu Apus juga harus menangani PMB yang Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
35
memiliki kasus-kasus cukup berat seperti sakit fisik sebagai akibat kecelakaan kerja dan penyiksaan fisik oleh majikan, hamil dan gangguan jiwa. Mengatasi permasalahan ini, RPTC Bambu Apus selain memiliki peketrja sosial, psikolog dan perawat, juga telah menjalin kerjasama dengan Puskesmas Kecamatan Cipayung, RS Koja dan RS Jiwa. RPTC Bambu Apus juga menangani PMB yang tidak ingin kembali ke daerah asal, penggunaan alamat “palsu” dan penolakan keluarga PMB di daerah asal. Menghadapi permasalahan ini, RPTC telah berupaya sedemikian rupa agar masalah ini bisa diatasi, diantaranya melalui pendekatan informal dengan Dinas Sosial setempat terkait dengan pencarian alamat keluarganya di daerah asal. Pendekatan informal cukup berhasil, banyak keluarga dapat ditemukan dan dapat menerima kembali PMB yang dikembalikan ke daerah asal. b. Kegiatan reintegrasi sosial Mempertemukan dan mengembalikan PMB ke keluarga dan masyarakat merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan oleh pekerja sosial RPTC. Tujuan kegiatan ini adalah agar PMB dapat hidup menyatu dalam keluarganya atau kerabatnya agar bisa kembali hidup di tengah-tengah masyarakat. Kegiatan RPTC dalam proses reintegrasi PMB dengan keluarga dan masyarakat daerah asal, antara lain: 1) Penyiapan keluarga asal melalui koordinasi dengan Dinas Sosial Provinsi, kabupaten/kota. Pada kasus-kasus tertentu, penyiapan keluarga dilakukan sendiri oleh RPTC Bambu Apus. 2) Home visit dilakukan sebelum dan sesudah PMB kembali ke daerah asal. Home visit sebelum PMB kembali ke daerah asal dilakukan dalam rangka penyiapan keluarganya, sedangkan home visit pasca PMB kembali ke daerah asal dilakukan dalam rangka penyiapan pemberian bantuan UEP. Meskipun PMB ini merasa “gagal” bekerja di luar negeri, namun berdasarkan informasi klien PMB yang menjadi sampel dalam penelitian ini, pada umumnya PMB optimis bisa diterima oleh keluarga dan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan komunikasi
36
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
mereka dengan keluarga daerah asal yang umumnya mengharap agar PMB segera kembali ke daerah asal.
Kondisi kerentanan yang dialami PMB selama proses migrasi (transit, destinasi, keluarga asal) a. Pra Penempatan 1) Calon Pekerja migran tidak mengetahui proses bekerja ke luar negeri dari instansi berwewenang, tetapi dari calo yang datang langsung menemui calon pekerja migran. Bahkan ada yang belum pernah mendengar Instansi Tenaga kerja, Dinas Sosial, dan Emigrasi 2) Mereka terpaksa bekerja di Malaysia karena sulit mencari pekerjaan di daerahnya 3) PPTKIS belum berperan sebagaimana mestinya, pengurusan dokumen dilakukan via calo 4) Rendahnya tingkat pendidikan calon pekerja migran 5) Pemalsuan dokumen seperti nama, umur, pendidikan dan alamat calon pekerja migran 6) Beaya pengurusan dokumen berasal dari penjualan aset keluarga seperti hewan ternak dan sawah/tanah, ada yang terpaksa hutang keluarga, kerabat dan tetangga. 7) Tidak melalui PAP (Pembekalan Akhir Pemberangkatan) 8) Berangkat via jalur tidak resmi dengan nenggunakan kapal laut yang kurang terjamin keselamatannya 9) Calon pekerja migran menggunakan visa pelancong, bahkan ada yang sama sekali tidak membawa dokumen 10) Tidak mengetahui dan menandatangai PK (Perjanjian Kerja) 11) Tidak memiliki Asuransi b. Penempatan 1) Penempatan bekerja tidak sesuai dengan yang dijanjikan oleh calo, mereka terpaksa menerima pekerjaan yang tidak sesuai dengan bakat dan minatnya 2) Besarnya gaji yang diterima tidak sesuai yang dijanjikan, bahkan ada yang tidak dibayar Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
37
3) Dalam waktu 3 sampai 4 bulan gaji diambil atau dipotong oleh calo sebagai pengganti biaya pengurusan dokumen dan pemberangkatan 4) Paspor ditahan oleh calo atau majikan 5) Penipuan pengurusan perpanjangan visa oleh calo/tekong di Malaysia 6) Konflik dengan majikan sebagai akibat bekerja melebihi jam kerja, gaji tidak dibayar dan penyiksaan fisik dan mental, sehingga terpaksa kabur tanpa membawa dokumen 7) Mengalami kecelakaan kerja yang tidak sepenuhnya ditanggung oleh perusahaan/majikan 8) Pemerkosaan pekerja migran perempuan oleh majikan 9) Mengalami nasib yang sama saat pindah kerja ke majikan/ perusahaan lain 10) Tidak melakukan perpanjangan visa, atau perpanjangan melalui calo namun ternyata palsu
melakukan
11) Pihak KBRI/KJRI tidak memberikan perlindungan sosial, meskipun mereka juga sudah berusaha menghubungi via telpun namun tidak diangkat 12) Penangkapan oleh aparat keamanan Malaysia karena dianggap ilegal, semua uang dan barang berharga lainnya dirampas, serta mengalami penyiksaan fisik dan mental 13) Proses penyelesaian masalah PMB oleh aparat kepolisian malaysia melalui tahapan: (a) penahanan oleh kepolisian yang mereka sebut “lokap” selama 1-2 minggu, semua barang bawaan PMB dirampas; (b) sidang di mahkamah (pengadilan); (c) masa hukumannya penjara sesuai dengan putusan mahkamah; (d) camp (penampungan) imigrasi selama 2 minggu; (e) penampungan di pasir gudang 4 - 5 hari untuk menunggu kapal ke Tanjung Pinang; (f) pemulangan dengan kapal laut ke Tanjung Pinang. 14) Proses pengadilan pekerja migran tidak didampingi oleh pengacara dan petugas dari KBRI/KJRI. Pihak KBRI/KJRI baru bertindak apabila kasusnya menjadi berita besar di Indonesia.
38
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
15) Pada kasus-kasus tertentu, berdasarkan putusan pengadilan Malaysia, pekerja migran yang dianggap salah selain dihukum penjara, juga dihukum cambuk 16) Fasilitas penjara Malaysia dianggap tidak manusiawi baik makan, tempat tidur, kamar mandi dan kesehatan, bahkan semua jenis penyakit hanya diberikan “panadol” c. Pasca Penempatan 1) Tidak membawa uang, bahkan hanya pakaian yang dipakai yang dibawa pulang 2) Penampungan sementara bagi pekerja migran laki-laki di Tanjung Pinang dianggap kurang memenuhi syarat seperti fasilitas kamar mandi, makan dan tidur yang tidak sebanding dengan jumlah pekerja migran serta fasilitas air yang kurang bersih. Sedangkan PMB perempuan di tampung di RPTC Tanjung Pinang, sebelum melanjutkan perjalanan pulang ke daerah asal. 3) Pengangkutan kapal laut dari Tanjung Pinang ke Tanjung Priuk di Jakarta, Sebagian ada yang langsung melanjutkan perjalanan darat ke daerah asal. Sedangkan yang masih menunggu kapal dibawa ke RPTC Bambu Apus 4) Pekerja migran dalam keadaan sakit, cacat fisik, stres, hamil dan ada yang trauma saat tiba kembali di tanah air 5) Pemulangaan pekerja migran bermasalah menggunakan kapal laut dari Tanjung Pinang hingga Tanjung Priuk tanpa pendampingan petugas, dan selanjutnya dipulangkan via darat ke daerah masing-masing. Kondisi fisik dan mental para PMB sudah sedemikian lelah, sehingga kadang terjadi pemukulan fisik kepada sopir bus yang tidak mau mengantarnya hingga ke daerah asal. 6) Dalam kasus-kasus tertentu terkait dengan kondisi fisik dan mental, PMB ditampung di RPTC Bambu Apus hingga pulih, dan kadang memerlukan waktu lebih dari 2 minggu 7) Kondisi PMB yang sakit berat merupakan berban berat terkait dengan biaya pengobatannya. Sementara pengurusan BPJS juga tidak mudah karena harus melengkapi KTP yang sudah lama mati Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
39
8) Bagi yang sudah berkeluarga dan memiliki anak, merupakan beban berat bagi PMB laki-laki karena harus memenuhi kebutuhan keluarganya. Kadang mreka juga harus menanggung kebutuhan orang tuanya atau anggota keluarga lainnya 9) Pada umumnya PMB belum sepenuhnya bisa mendapatkan pekerjaan pasca kembali ke daaerahnya, karena tidak ada lapangan pekerjaan di daerahnya. Mereka lebih banyak bekerja sebagai buruh tidak tetap. 10) Terbatasnya lapangan kerja di daerah asal, sebagian PMB masih ada yang ingin tetap kembali bekerja di luar negeri. Malaysia masih merupakan pilihan sebagian warga untuk mendulang emas.
Faktor pendorong yang menyebabkan PMB ingin tetap bekerja di luar negeri Perbedaan pendapatan dan tingginya pengangguran di daerah, tingginya pertumbuhan penduduk, keterbatasan lahan produktif dan sulitnya mencari pekerjaan di daerah merupakan faktor dominan pekerja migran bekerja di Malaysia. Selain itu juga ada faktor budaya, dan janji imbalan lebih tinggi dibandingkan di Indonesia turut menjadi faktor pendorong. Hasil wawancara dengan sampel informan menunjukkan mereka ada yang masih ingin tetap akan kembali ke Malaysia, meskipun mereka sudah tahu resiko yang akan dihadapinya.
JAWA TIMUR Jawa Timur merupakan salah satu dari empat lokasi penelitian yang dipilih karena merupakan provinsi yang menjadi tujuan pengiriman PMB dari Tanjung Priok dan juga merupakan daerah transit para PMB yang akan melanjutkan pulang ke NTB atau NTT. Di Jawa Timur ada dua RPTC sewa yaitu di Kabupaten Jombang dan Kabupaten Jember yang merupakan kantong pekerja migran di provinsi Jawa Timur. Jawa Timur menjadi provinsi urutan ke 2 yang mengirim pekerja migrant. Terkait dengan keberadaan RPTC di Kabupaten Jombang, maka fenomena Pekerja Migran khususnya di kabupaten Jombang perlu menjadi
40
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
perhatian dari berbagai lintas sektoral di Lingkup kabupaten Jombang. Penanganannya tidak dapat dipikul oleh Dinas Sosial Kabupaten Jombang sendiri, tapi harus duduk bersama antar SKPD untuk bersamasama menangani permasalahan penduduk yang menjadi pekerja migran. Jumlah pekerja migran dari kabupaten Jombang akan nampak saat proses pemulangan, yang menuntut SKPD terkait memperketat data administrasi, seperti data RT - RW pekerja migran harus jelas, sementara kasus yang muncul, dan teridentifikasi hanya kecamatan dengan nama pekerja migran yang tersebar di dibeberapa desa. Meski sudah dilakukan pendataan, tapi alamat sebenranya sering tidak jelas, kadang RT dan RW jelas tapi nama pekerja migran bersangkutan tidak ditemukan. Seperti kasus pekerja migran bermasalah di Kabupaten Jombang terdaftar 41 orang tapi kenyataan hanya 30% penduduk yang mejadi pekerja migran. Berdasarkan kilas balik fenomena tersebut maka perlu dipertanyakan mereka yang bekerja ke luar negeri, dari mana pintu masuk keberangkatan ke luar negeri, melihat bagaimana hubungan Dinas Tenaga Kerja dengan PJTKI dalam hubungannya dengan pekerja migran yang bermasalah. Apakah ada aturan yang diberlakukan untuk pekerja migran yang akan berangkat ke Luar Negeri, serta mengapa mereka bisa menjadi pekerja migran bermasalah. Selain itu bagaimana keberangkatan mereka ke luar negeri. Pertanyaan pertanyaan mendasari tersebut mengarahkan para pemangku kebijakan dalam mengatasi permasalah pekerja migran bermasalah. Dalam bagian ini akan dipaparkan kebijakan terkait penanganan pekerja migran bermasalah, Bagaimana peran dan fungsi RPTC dalam melakukan perlindungan sosial dan pada saat proses reintegrasi eks PMB didaerah asalnya. Kondisi kerentanan yang dialami PMB selama menjadi pekerja migran dan faktor - faktor yang mendorong pekerja migran bermasalah ingin kembali menjadi pekerja migran.
Implementasi kebijakan dan program perlindungan sosial bagi PMB Kebijakan tentang perlindungan sosial bagi PMB, lebih ditujukan pada aspek sosial bagi pekerja yang bermasalah bukan pada aspek tenaga kerjanya, dengan demikian kebijakan terkait PMB berada di Kementrian sosial. Sementara kebijakan tenaga kerja, dibawah Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
41
Kementrian Tenaga Kerja, telah diimplementasikan oleh Disnakertrans Provinsi. Dalam pelaksanaannya pada tingkat provinsi, melibatkan tiga SKPD, seperti Dinas Tenaga Kerja, Dinas Transmigrasi dan Dinas Sosial. Permasalahnnya adalah siapa yang bertanggung jawab. Sebagaimana dikemukakan oleh Bapak M, Disnaker Provinsi Jatim sebagai berikut: “Adanya Kepala Dinas yang baru, jadi agak sulit untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab”
Kota Surabaya sebagai pintu pemulangan bagi pekerja migran bermasalah, pada penanganan pekerja migran yang dipulangkan, di tingkat kabupaten dan Kota, seharusnya bidang sosial yang menangani permasalahan pekerja migran yang bermasalah tersebut, namun kenyataannya yang menangani PMB adalah Dinas ketenagakerjaan. Sebagaimana dikemukakan oleh kepala Bidang tenaga kerja, Disnaker, bapak M : “ Sebenarnya Dinas Tenaga Kerja, memiliki kapasitas untuk mengurus tenaga kerja legal, bukan menangani pekerja illegal, namun kenyataannya juga menangani kasus tenaga kerja yang kebanyakan berkasus dan pulang dalam keadaan meninggal. Dan tidak sedikit bukan berangkat bukan dari Jombang dengan prosedur dari luar daerah dengan PT abal-abal”
Permasalahan pekerja migran kebanyakan tersebar di 38 kabupaten, kota yang berada di provinsi jawa timur, menempatkan Jawa Timur sebagai peringkat ke dua dalam mengirimkan pekerja migran, yang tersebar di 38 kabupaten kota. Berdasarkan data yang diperoleh, populasi tertinggi PMB Provinsi Jawa Timur umumnya adalah PMB yang bekerja dari Malaysia, diikuti Saudi Arabia. Idealnya permasalahan pekerja migran yang bersumber di kabupaten dan kota, dalam penanganannya oleh Dinas Sosial setempat, namun kenyataannya ditangani oleh Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan provinsi Jawa Timur. Berbagai permasalahan yang
42
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
dihadapi mulai dari persyaratan administrasi sebagai tenaga pekerja migran yang berangkat secara illegal karena tidak terdaftar di Disnakertran provinsi Jawa Timur, tidak memiliki pekerjaan di wilayahnya, juga karena kemiskinan, mendorong mereka melakukan prosedural secara illegal. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu ada peraturan bupati karena seluruh penyedia tenaga kerja berasal dari kabupaten, sehingga dapat mengurangi penyedia tenaga kerja dengan legalitas yang tidak terjamin. Kenyataan di lapangan ditemukan praktek-praktek “curang” untuk memenuhi persyaratan sebagai pekerja migran legal, berbagai upaya ditempuh mulai dari administrasi di tingkat RT sampai di tingkat Imigrasi. Kondisi tersebut menuntut perlunya aturan khusus yg mengatur ketenagakerjaan, untuk menjawab mengapa tidak menyediakan lapangan kerja di wilayah asal pekerja migran? Tidak adanya peraturan bupati berdampak pada mudahnya sektor pendidikan terutama SMK (sekolah Menengah Kejuruan) merasa “nyaman” mengeluarkan siswanya untuk bekerja ke Luar Negeri.
Kasus : anak SMK (sambil menunggu ijazah kelulusan) diberi tawaran bekerja keluar negeri (Malaysia), melalui agen PT Bahama Jakarta. Dengan bermodal uang 15 juta rupiah sebagai biaya untuk mengurus adminsitrasi, merela jalankan, karena ada perjanjian dapat gaji 30 juta rupiah. Setelah diberangkatkan ke Malaysia, ditempatkan di penampungan selama seminggu dan bekerja tidak sesuai dengan perjanjian. Diketahui ternyata passport yang dipakai hanya untuk kunjungan sosial selama 3 (tiga) bulan.Setelah visa kunjungan sosial habis, maka permasalahan mulai menghadang anakanak SMK tersebut. Dalam hal ini agen sudah tidak terlibat, semua permasalahan dikembalikan kepada anak-anak tersebut. Saat inilah permasalahan mulai muncul dan mereka terjebak sebagai pekerja migran bermasalah. Perjanjian kerja yang mereka terima a.n orang lain, dengan nama ditutup, sehingga biaya sebesar 15 juta menjadi sia-sia.
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
43
Berdasarkan kasus tersebut, maka dibalik pengiriman siswa SMK keluar negeri menjadi salah satu “modus” munculnya pekerja migran bermasalah, bahkan lebih jauh menjadi praktek yang menjurus ke perdagangan orang. Belum adanya peraturan bupati yang mengatur ketenagakerjaan menyebabkan penanganan bagi calon pekerja migran dan eks pekerja migrant bermasalah menjadi tidak maksimal. Kebijakan Kementrian Sosial, terkait perlindungan sosial melalui program pemberian UEP bagi pekerja migran bermasalah setelah mereka kembali ke kampong halamannya, telah diluncurkan oleh Direktorat Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran (bermasalah). Untuk mengidentifikasi penerima manfaat program UEP, maka data yang diterima dalam rentang 2015, perlu diverifikasi ulang bagi pekerja migran bermasalah yang akan mendapatkan UEP, dan kegiatan tersebut telah dilakukan oleh TKSK. Fenomena yang terjadi, data penerima manfaat program tidak jelas dari sejumlah 20%, tinggal 40 orang dan setelah diverifikasi yang masih dirumah sebanyak 30%, sisanya ada yang alamat salah dan tidak ada dalam daftar alamat tersebut. Kondisi tersebut menjadi salah satu tidak optimalnya pelaksanaan program UEP yang diberikan bagi pekerja migran di provinsi Jawa Timur. Salah satunya kegiatan UEP adalah mengembangkan usaha warung sesuai dengan dana. Pertanyaannya adalah mungkinkah dengan usaha kelompok untuk beberapa PM dapat mencegah mereka bekerja ke luar negeri ?. Persoalan lainnya, bahwa penerima manfaat program UEP hanya bagi mereka yang berasal dari Malaysia tidak bagi pekerja migran dari Arab Saudi. “Sebenarnya penanganan Pekerja Migran Bermasalah tidak terfokus pada PMB asal Malaysia tetapi juga dari lain Malaysia yang juga mengalami kerentanan ekonomi, artinya diberi peluang untuk mendapatkan UEP, namun prioritas untuk Malaysia dulu, meski realitanya PMB diluar Malaysia banyak ditemukan.” Imbuh Pak S, KaDinso Kab. Jombang.
44
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
Kesimpulannya adalah perlu ada kebijakan tentang penanganan pekerja migran bermasalah, sampai ke tingkat kabupaten, kecamatan, yang menjadi kantong-kantong pekerja migran bermasalah. jika ada sinergitas penanganan maka akan meminimilasir masalah PM, karena dengan kapasitas seseorang yang akan bekerja ke luar negri yang minimal, menyebabkan Pekerja migran terjebak menjadi bermasalah.
Peran dan fungsi RPTC dalam melakukan perlindungan sosial dan pada saat proses reintegrasi eks PMB didaerah asalnya. RPTC sewa di kabupaten Jombang berada dibawah kantor Dinas sosial tenaga kerja dan transmigrasi. RPTC sewa di kabupaten Jombang ini dalam kesehariannya lebih banyak menangani orang terlantar dan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Eks PMB yang pulang ke Kabupaten Jombang tidak ada yang singgah dulu ke RPTC sewa. Mereka semua langsung pulang kerumahnya masing-masing. Karena alasan inilah petugas RPTC hanya menerima data eks PMB yang pulang tanpa pernah bertemu mereka. Bahkan alamatnya saja mereka tidak tahu. Selain itu beban kerja Dinsosnakertrans kabupaten Jombang cukup berat. tidak bisa fokus pada eks PMB karena ada 3 kementerian yang menjadi satu. Peran RPTC sebenarnya cukup strategis, terutama dalam menangani pekerja migran bermasalah, terutama pada mereka yang pada saat dipulangkan mengalami traumatik. Kondisi ini memerlukan penanganan psikososial, traumatic tidak akan hilang dalam sekejap melainkan perlu proses. Oleh karenanya perlu program rehabilitasi agar mereka dapat kembali berfungsi sosial, khususnya kehadiran pekerja sosial sangat dibutuhkan, sebelum mereka kembali ke keluarga dan bermasyarakat. Selama ini penanganganan psikososial, di RPTC kerjasama dengan psikolog, meski selama di RPTC diberi penguatan, sambil diberi harapan untuk mendapatkan UEP sebagai salah satu upaya untuk mencegah mereka kembali bekerja ke Luar negeri. Jika pekerja migran bermasalah menerima manfaat program maka pihak RPTC melakukan home visit, untuk melihat dan memantau kondisi mereka, meski kenyataannya
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
45
mereka banyak kembali bekerja ke luar negeri. Fenomena kembali bekerja ke luar negeri karena tidak adanya jaminan hidup secara ekonomi untuk mereka tetap berada di kampung halamannya. Sebagaimana jawaban pekerja migran atas pertanyaan : kenapa mereka ingin kembali bekerja ke luar negeri ? mereka balik menjawab ‘‘apakah bisa menjamin hidup saya disini ?’’
Kondisi kerentanan yang dialami PMB selama proses migrasi (transit, destinasi, daerah asal) Eks pekerja migran yang sudah kembali ke daerah asal ada yang masih bisa ditemui dan ada pula yang sulit untuk ditemui. Sebagaimana data yang diperoleh dari RPTC sewa kabupaten Jombang, pada tahun 2014-2015 sebanyak 20% alamat tidak jelas atau tidak ditemukan, bahkan nama tidak ditemukan. sebanyak 30% ada dan masih tinggal dialamat. Serta 50% alamat betul tapi yang bersangkutan sudah pergi bekerja ditempat lain dan bahkan diantaranya menjadi pekerja migrant kembali. Dampak dari masalah PMB seringkali ditanggung oleh kaum perempuan (baik sebagai eks-PMB atau keluarga. Permasalahan mulai muncul berawal dari saat transit diantaranya: 1. mendaftar sebagai pekerja migran, dengan dokumen ‘palsu’ 2. proses cepat dan mudah tanpa perlu persyaratan administrasi yang tidak dimiliki. 3. termotivasi oleh pekerja migran yang berhasil meski pengurusannya lewat calo/ agen illegal, ingin merubah hidup, persoalan keluarga, biaya berobat keluarga. 4. Ada iming iming gaji tinggi yang dapat menutup biaya pengurusan administrasi (yang berasal dari berhutang). Sedangkan di tempat destinasi masalah yang umumnya muncul diantaranya: 1. Berakhirnya masa visa sosial setelah 3 bulan pertama, dan pekerja migran tidak dapat memperpanjang visa karena mahalnya biaya memperpanjang visa.
46
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
2. Tidak memiliki passport (dokumen), karena kabur dari tempat bekerja 3. Tidak ditemukan dokumen (passport) saat ada razia. 4. Majikan tidak mampu membayar gaji, menjadi alasan melaporkan Pekerja migran ke petugas imigrasi setempat. 5. Pekerja migran perempuan yang hamil dan memiliki anak, tidak dapat berobat (ke rumah sakit) karena tidak adanya dokumen. 6. Tertipu agen /calo yang menjanjikan untuk pengurusan dokumen, (perpanjangan visa) 7. Gaji yang tidak dibayarkan oleh majikan. 8. Keterbatasan dalam bergerak atau bermsayarakat karena tidak adanya dokumen. 9. Perasaan ketakutan tertangkap oleh tentara Malaysia. Demikian juga pada daerah asal masalah yang biasanya timbul diantaranya: 1. Suami menikah kembali. 2. Tidak memiliki penghasilan 3. Kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari 4. Tidak memiliki harta benda, karena semua hasil bekerja di luar negeri dibawa suami. 5. Tidak memiliki tempat tinggal, hidup berpindah-pindah tempat tinggal, tergantung siapa yang akan menampung. 6. Tidak mendapatkan penanganan kesehatan (untuk PMB yang mengalami gangguan kejiwaan dan traumatic, maupun sakit parah) 7. Keluarga melarang untuk kembali bekerja ke luar negeri, meski saat ini menjadi pengangguran. 8. Keinginan untuk kembali bekerja keluar negeri tetap ada, meski telah mengetahui resiko yang akan dihadapi.
Faktor pendorong internal dan eksternal yang menyebabkan PMB ingin kembali bekerja diluar negeri. Hasil wawancara dengan sampel informan menunjukkan mereka ada yang masih ingin tetap akan kembali ke Malaysia, meskipun mereka
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
47
sudah tahu resiko yang akan dihadapinya. Bagi mereka pengalaman buruk yang menimpa mereka selama mencari kerja dinegara orang adalah resiko yang harus mereka terima. Faktor yang menjadi pedorong mereka ingin kembali bekerja ke luar negeri adalah : 1. Masalah ekonomi, dimana kehidupan ekonomi PM di tempat asal tidak memadai untuk menghidupi kebutuhan sehari, hari bagi keluarga, terutama tidak adanya penghasilan tetap. Meski untuk “modal” bekerja ke luar negeri, mereka berupaya dengan berbagai cara, seperti menjual harta benda yang tidak bergerak, seperti sawah atau rumah, bahkan dengan cara berhutang. 2. Gaya hidup terutama bagi wanita yang bekerja ke Luar Negeri memiliki prestise dan status tertentu di mata masyarakat. Seperti yang diungkapkan dalam diskusi kelompok terfokus sebagai berikut: “ditemukan mereka banyak menggunakan gaya hidup di luar Negeri, jadi dibutuhkan selain reintegrasi juga resosialisasi, karena mereka pikir dengan bekerja ke luar negeri untuk status”.
Kondisi tersebut mendorong mereka untuk kembali bekerja ke luar negeri, karena gaya hidup yang sudah terinternalisasi dalam kehidupan pekerja migran tidak dapat diperoleh di tempat asal. 3. Status dan prestise yang diperoleh pekerja migran, menjadi lebih tinggi dibandingkan mereka yang bekerja di negeri sendiri, meski jenis pekerjaan yang mereka lakukan sama-sama sebagai pekerja rumah tangga. 4. Tidak adanya lowongan pekerjaan di darah asal. 5. Penghasilan yang diperoleh dengan bekerja ke luar negeri lebih tinggi dibandingkan bekerja di dalam negeri, meski resiko yang ditempuh lebih tinggi. 6. Adanya contoh keberhasilan pekerja migran dalam bidang ekonomi (kekayaan) meski mereka berangkat dengan cara illegal.
48
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
7. Iming-iming dari agen terhadap calon pekerja migran atau penduduk usia produktif untuk bekerja ke luar negeri dengan proses mudah dan cepat, tanpa mempersipakan persyaratan administrasi (yang tidak memenuhi syarat) dan keterampilan. 8. Kondisi geografis dan lingkungan alam yang gersang, di tempat asal, tidak dapat memberikan penghidupan dan penghasilan bagi keluarga maupun diri sendiri. 9. Keterlibatan aparat setempat maupun tokoh agama yang memberikan dukungan untuk penduduknya menjadi pekerja migran, baik dalam mempersiapkan identitas “palsu”, maupun “dukungan” dari tokoh agama setempat. 10. Tidak adanya tindakan hukum bagi agen pencari tenaga kerja yang telah “menipu” calon pekerja migran di wilayahnya, 11. Tidak adanya kontrol atau pengawasan dari pemerintah setempat terhadap agen pencari tenaga kerja yang mensosialisasikan pekerjaan (magang) di luar negeri terutama bagi siswa-siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
NUSA TENGGARA BARAT Gambaran Umum Pekerja Migran Provinsi Nusa Tenggara Barat Berikut adalah sejumlah data-data statistik dasar tahun 2015 menurut BNP2TKI yang menggaris-bawahi posisi penempatan, kedatangan dan kepulangan pekerja migran asal Nusa Tenggara Barat. Jumlah penempatan tenaga kerja Indonesia asal NTB sebesar 18,76% dari total tenaga kerja Indonesia yang berjumlah 212.579 per September 2015. Sedangkan bila dibandingkan berdasarkan sektor pekerjaan ada sejumlah 87% yang bekerja di sektor formal, dan 13% sector informal. Jika dilihat dari status perkawinan, tenaga kerja Indonesia NTB yang berstatus kawin ada sejumlah 64,31%. Berdasarkan pendidikan ada sebesar 59,81% yang berlatar belakang pendidikan Sekolah Dasar. Nusa Tenggara Barat merupakan provinsi yang menerima kepulangan TKI bermasalah dengan jumlah cukup besar, dengan dua lembaga RPTC di Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Timur. Berdasarkan data BP3TKI Nusa Tenggara Barat, Penempatan kerja di luar Negeri tahun Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
49
2013 sebanyak 45.629 orang, tahun 2014 meningkat menjadi 46.187 orang dan tahun 2015 hingga bulan April 2015 sebanyak 9.974 orang, baik pekerja formal maupun non formal. Hal ini belum termasuk yang melalui jalur tidak resmi (ilegal) yang dikawatirkan jumlahnya cukup banyak. Bank Indonesia dan BPS mencatat remitansi dari pekerja migran dari provinsi NTB mencapai hampir 1,5 triliun pada tahun 2014. Tidak semua pekerja migran sukses bekerja di luar negeri, sebagian diantara mereka mengalami masalah karena berangkat melalui jalur ilegal, bahkan yang berangkat melalui jalur resmi juga dipulangkan karena terkait dengan pelanggaran dokumen. Selain didasarkan pada Undang-Undang dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, penempatan dan perlindungan pekerja migran, Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat juga telah memiliki Pergub dan Peraturan Bupati seperti (1) Pergub NTB Nomor 32 tahun 2008 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu Penempatan dan Perlindungan TKI Provinsi NTB; (2) Pergub NTB Nomor 36 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan TKI yang Bekerja di Luar Negeri Provinsi NTB; (3) Nomor 2 tahun 2011 tentang Perubahan atas Pergub nomor 36 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan TKI yang bekerja ke Luar Negeri, dan (4) Perda Kabupaten Lombok Timur Nomor 12 Tahun 2006 tentang Penempatan, Perlindungan dan Pembinaan TKI asal Kabupaten Lombok Timur. Hingga saat ini provinsi NTB belum memiliki Perda tentang penanganan TKI, sehingga berpengaruh besarnya anggaran APBD SKPD yang terkait dengan penempatan dan perlindungan sosial pekerja migran adalah adalah Dinas Sosial dan Dukcapil Provinsi NTB (Seksi Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran), dan Instansi Pemberdayaan Perempuan Anak dan Keluarga Berencana, Dinas Sosial, Tenaga kerja dan Transmigrasi Kabupaten Lombok Timur (Seksi Korban Tindak kekerasan dan Orang Terlantar). Penanganan dan kepulangan pekerja migran bermasalah ini dilakukan oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Provinsi NTB. Tahun 2013 pekerja migran bermasalah yang dipulangkan ke wilayah ini berjumlah 2.447 orang, tahun 2014
50
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
berjumlah 3.130 orang dan hingga 22 Mei 2015 berjumlah 913 orang yang kesemuanya berasal dari Malaysia.
Peran RPTC dalam Perlindungan Sosial bagi PMB RPTC merupakan salah satu lembaga yang menangani pekerja migran bermasalah yang baru datang dari luar negeri. Di Provinsi NTB terdapat 2 RPTC yang terdapat di Kota Mataram dan kabupaten Lombok Timur, sedangkan RPTC Lombok Barat saat ini masih dalam persiapan pendiriannya. Kedua RPTC ini didirikan oleh Direktorat KTKPM (Direktorat Pemberdayaan Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran) Kementerian Sosial. Status gedung RPTC ini merupakan sewa/ kontrak, dan dikelola oleh Dinas Tenaga Kerja dan Dukcapil Provinsi NTB. Sumber dana kegiatan RPTC ini berasal dari Direktorat KTKPM Kementerian Sosial. RPTC ini telah memiliki SOP tentang perlindungan sosial bagi Pekerja Migran Bermasalah, dan pendiriannya merupakan bentuk kepedulian Kementerian Sosial (Direktorat Pemberdayaan Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran) dalam penanganan pekeja Migran bermasalah. RPTC bukan hanya memberikan perlindungan sosial bagi pekerja migran bermasalah, namun korban tindak kekerasan juga memperoleh perlindungan sosial. Mengutip Petunjuk Pelaksanaan Perlindungan Sosial Korban Tindak Kekerasan (2013), Rumah Perlindungan dan Trauma Center (RPTC) merupakan lembaga kesejahteraan sosial yang memberikan layanan terpadu (integrated services), baik sebagai pusat krisis (crisis centre) maupun pusat pemulihan traumatik (traumatic centre). Dalam kapasitas sebagai crisis centre, RPTC berfungsi sebagai pusat penanggulangan masalah tindak kekerasan, yang terdiri dari: (1) layanan informasi dan advokasi; dan (2) layanan rumah perlindungan (shelter unit). Selanjutnya, dalam kapasitas sebagai pusat trauma (truma centre), RPTC berfungsi pula sebagai wahana pemulihan traumatik, yang terdiri dari: (1) layanan rehabilitasi psikososial dan spiritual; dan (2) layanan resosialisasi dan rujukan.
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
51
RPTC Lombok Timur mulai operasional bulan Agustus 2014, memiliki 3 asrama dengan daya tampung 12 orang, ruang kantor, ruang konseling, ruang makan dan dapur. Selama 8 bulan beroperasi, RPTC ini telah memberikan perlindungan sosial sebanyak 24 orang, 5 orang diantaranya adalah pekerja migran bermasalah dan sisanya Korban Tindak kekerasan/penelantaran. RPTC Lombok Timur memiliki petugas sebanyak 8 orang terdiri dari seorang koordinator yang merangkap sebagai Kepala Seksi Korban Tindak kekerasan dan Orang Terlantar Dinsosnakertrans Lombok Timur, 4 orang pekerja sosial, 2 orang Satpam dan seorang pramubhakti. Tingkat pendidikaan mereka cukup bervariasi yakni S2 (1 orang), S1 (2 orang), D3 (1 orang) dan SLTA (3 orang). RPTC kota Mataram juga merupakan rumah tinggal yang berstatus sewa, memiliki 10 orang tenaga, terdiri dari seorang koordinator, seorang sekretaris, 4 orang peksos, seorang perawat, seorang pramubhakti dan 3 orang Satpam. Status pegawai RPTC adalah kontrak, kecuali koordinator yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil pemerintah daerah setempat. Klien RPTC berasal dari masyarakat dan lembaga formal seperti RSUD, PPT/kepolisian, Orsos dan UPT terutama kasus-kasus tindak kekerasan dan penelantaran. Sedangkan Pekerja Migran Bermasalah (PMB) yang ditampung di RPTC berasal dari RPTC Tanjung Pinang dan RPTC Bambu Apus Jakarta, mayoritas berasal dari Malaysia. Mereka yang ditampung di RPTC adalah perempuan yang sakit sebagai akibat penyiksaan fisik dan kecelakaan kerja, dan trauma. Kegiatan ini diawali dengan penerimaan korban (intake proces), pendampingan sementara (brief assistance) asesmen cepat (rapid Assessment). Pelayanan RPTC minimal 2 hari dan tidak lebih dari 10 hari sesuai dengan kasus yang dialaminya. Selain pelayanan makan dan pakaian, juga diberikan pelayanan kesehatan melalui kerjsama dengan puskesmas setempat. Sedangkan kegiatan keterampilan baru diberikan bila dalam satu periode tertentu jumlah PMB lebih satu orang. Pekerja sosial merupakan unsur penting dalam proses pelayanan pelayanan di RPTC. Pekerja sosial berusaha membantu memulihkan
52
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
kondisi psikis dan sosial PMB, dan menghubungkan dengan keluarganya dalam upaya proses reintegrasi. Mempertemukan dan mengembalikan PMB ke keluarga dan masyarakat merupakan salah kegiatan yang dilakukan oleh pekerja sosial RPTC. Kegiatan ini diawali dengan kunjungan rumah ke keluarga PMB, atau keluarga PMB yang datang ke RPTC. Tujuan kegiatan ini adalah agar keluarga dan masyarakat dapat menerima kehadiran PMB. Secara kualitatif menunjukkan bahwa PMB yang mengalami kegagalan bekerja di luar negeri, pada umumnya PMB diterima oleh keluarga dan masyarakat. Meskipun demikian mereka masih merasa malu dan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Permasalahan yang dihadapi RPTC Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Timur provinsi NTB: 1. RPTC belum memiliki tempat yang tetap, saat ini masih berstatus sewa, dan bila tidak ada komitmen pemda, maka penanganan Korban Tindak kekerasan PMB melalui RPTC akan mengalami masalah. 2. Sarana dan prasarana untuk operasional RPTC sangat terbatas bahkan tidak ada computer, camera, sarana telepon/fax, kendaraan roda 4 dan 2, serta ambulan. Sementara ini masih menggunakan fasilitas pribadi dan pinjaman dari Pemda 3. Peran dan fungsi Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi kabupaten/kota belum diatur dalam RPTC. 4. Belum semua instansi daerah dan masyarakat mengenal dan memahami peran dan tugas RPTC karena minimnya kegiatan sosialisasi. 5. Anggaran operasional RPTC sangat terbatas, dan belum sepenuhnya didukung oleh APBD 6. RPTC tidak memiliki pekerja sosial yang berasal dari latar belakang pendidikan pekerjaan/kesejahteraan sosial, sementara pekerja sosial yang ada juga belum semua mengikuti pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya. 7. RPTC belum memiliki tenaga psikolog, tenaga medis, tenaga bantuan hukum, pembimbing spiritual, pranata computer, instruktur Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
53
keterampilan, olah raga dan kesenian, perawat dan tenaga arsiparis sebagaimana diatur dalam Petunjuk Pelaksanaan Perlindungan Sosial Korban Tindak Kekerasan (2013). Harapan pengelola RPTC 1. Melengkapi sarana dan prasarana yang diperlukan seperti computer, kamera, sarana telpun/fax, kendaraan roda 4 dan 2, serta ambulan 2. Dukungan APBD terkait dengan operasional RPTC 3. Keterlibatan pemerintah daerah, LSM dan masyarakat lebih ditingkatkan dalam perlindungan sosial bagi PMB 4. Alokasi anggaran sesuai kebutuhan operasional RPTC 5. Peningkatan SDM RPTC melalui berbagai pelatihan sesuai kebutuhan 6. Sosialisasi tentang RPTC sehingga lebih dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat 7. Status pegawai RPTC diperhatikan masa depannya
Kondisi Kerentanan PMB selama Migrasi Kondisi kerentanan yang dialami PMB selama proses migrasi (transit, destinasi, keluarga asal) 1. Pra Penempatan a. Calon Pekerja migran tidak mengetahui proses bekerja ke luar negeri dari instansi berwewenang, tetapi dari calo yang datang langsung menemui calon pekerja migran b. PPTKIS belum berperan sebagaimana mestinya, pengurusan dokumen dilakukan via calo c. Rendahnya tingkat pendidikan calon pekerja migran d. Pemalsuan dokumen seperti nama, umur, pendidikan dan alamat calon pekerja migran e. Meninggalkan hutang karena biaya pengurusan dokumen berasal dari pinjaman keluarga, kerabat dan tetangga f. Tidak melalui PAP (Pembekalan Akhir Pemberangkatan) g. Berangkat via jalur tidak resmi dengan nenggunakan kapal laut yang kurang terjamin keselamatannya
54
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
h. Calon pekerja migran menggunakan visa pelancong, i. Tidak mengetahui dan menandatangai PK (Perjanjian Kerja) j. Tidak memiliki Asuransi 2. Penempatan a. Penempatan bekerja tidak sesuai dengan yang dijanjikan oleh calo, Pekerja Migran terpaksa menerima pekerjaan yang tidak sesuai dengan bakat dan minatnya b. Besarnya gaji yang diterima tidak sesuai yang dijanjikan, bahkan ada yang tidak dibayar c. Dalam waktu 3 sampai 4 bulan gaji diambil atau dipotong oleh calo sebagai pengganti biaya pengurusan dokumen dan pemberangkatan d. Paspor ditahan oleh calo atau majikan e. Konflik dengan majikan sebagai akibat bekerja melebihi jam kerja, gaji tidak dibayar dan penyiksaan fisik dan mental, sehingga terpaksa kabur tanpa membawa dokumen f. Mengalami kecelakaan kerja yang tidak sepenuhnya ditanggung oleh perusahaan/majikan g. Pemerkosaan pekerja migran perempuan oleh majikan h. Mengalami nasib yang sama saat pindah kerja ke majikan/ perusahaan lain i. Pihak KBRI/KJRI tidak memberikan perlindungan sosial, meskipun mereka juga sudah berusaha menghubungi via telpun namun tidak diangkat j. Penangkapan oleh aparat keamanan Malaysia karena dianggap ilegal, semua uang dan barang berharga lainnya dirampas serta mengalami penyiksaan fisik dan mental k. Proses pengadilan pekerja migran tidak didampingi oleh pengacara dan petugas dari KBRI/KJRI. Pihak KBRI/KJRI baru bertindak apabila kasusnya menjadi berita besar di Indonesia. l. Pada kasus-kasus tertentu, berdasarkan putusan pengadilan Malaysia, pekerja migran yang dianggap salah selain dihukum penjara, juga dihukum cambuk
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
55
m. Fasilitas kesehatan selama menjalani masa hukuman di penjara Malaysia tidak maksimal, semua jenis penyakit hanya diberikan “panadol” n. Proses pemulangan pekerja migran setelah selesai menjalani hukuman di penjara Malaysia melalui sebuah tempat penampungan yang mereka sebut “Pekan nanas”, berisi ratusan orang yang bukan hanya pekerja migran Indonesia, tetapi juga berasal dari berbagai negara dengan fasiitas kamar mandi, MCK, dan tempat tidur terbatas selama 1 minggu. Selanjutnya PMB ini dibawa ke di penampungan Pasir Gudang sambil menunggu pemulangan dengan kapal ke Tanjung Pinang 3. Pasca Penempatan a. Tidak membawa uang, bahkan hanya pakaian yang dipakai yang dibawa pulang b. Penampungan sementara bagi pekerja migran laki-laki di Tanjung Pinang dianggap kurang memenuhi syarat seperti fasilitas kamar mandi, makan dan tidur yang tidak sebanding dengan jumlah pekerja migran serta fasilitas air yang kurang bersih. Sedangkan PMB perempuan di tampung di RPTC Tanjung Pinang yang fasilitasnya lebih baik c. Pekerja migran dalam keadaan sakit, cacat fisik, stres, hamil dan ada yang trauma saat tiba kembali di tanah air d. Pemulangaan pekerja migran bermasalah menggunakan kapal laut dari Tanjung Pinang hingga Tanjung Priuk tanpa pendampingan petugas, dan selanjutnya dipulangkan via darat ke daerah masing-masing. Kondisi fisik dan mental para PMB sudah sedemikian lelah, sehingga kadang terjadi pemukulan fisik kepada sopir bus yang tidak mau mengantarnya hingga ke daerah asal. e. Pemulangan PMB yang sakit berat merupakan masalah besar yang dihadapi RPTC Tanjung Pinang terkait dengan biaya pemulangan ke daerah asal yang cukup basar. f. Dalam kasus-kasus tertentu terkait dengan kondisi fisik dan mental, PMB ditampung di RPTC
56
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
g. Kondisi PMB yang sakit berat merupakan berban berat terkait dengan biaya pengobatannya. Kasus yang terjadi dan ditemui dalam penelitian ini adalah seorang isteri PMB yang mengalami sakit cukup berat dan dalam keadaan hamil akibat kecelakaan di Malaysia. Disamping pengobatannya tidak sepenuhnya ditanggung oleh perusahaan, proses pemulangannya cukup dramatis. Saat ini PMB ini tidak bisa bekerja karena harus menunggu isterinya sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Sementara pengurusan BPJS juga tidak mudah karena harus melengkapi KTP yang sudah lama mati h. Bagi yang sudah berkeluarga dan memiliki anak, merupakan beban berat bagi PMB laki-laki karena harus memenuhi kebutuhan bagi keluarganya. i. Pada umumnya PMB belum sepenuhnya bisa mendapatkan pekerjaan pasca kembali ke daaerahnya, karena tidak ada lapangan pekerjaan di daerahnya. Mereka lebih banyak bekerja sebagai buruh tidak tetap. j. Terbatasnya lapangan kerja di daerah asal, sebagian PMB masih ada yang ingin tetap kembali bekerja di luar negeri. Malaysia masih merupakan pilihan sebagian warga untuk mendulang emas.
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
57
BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Implementasi kebijakan dan program perlindungan sosial bagi PMB Hasil penelitian di empat propinsi dapat dirumuskan sebagai berikut: Kebijakan dan program perlindungan sosial bagi pekerja migran bermasalah sudah ada namun pelaksanaannya belum bersinergi antar kementerian dan lembaga. Hal ini disebabkan belum kuatnya payung hukum penanganan PMB. Selain itu kurangnya komitmen antara satgas pemulangan PMB. Dalam hal ini dari sejumlah anggota satgas hanya beberapa yang menjalankan fungsinya. Belum maksimalnya implementasi SOP satgas penanganan PMB diduga menjadi penyebabnya. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan pernyataan Weinbach (2005) yang menyatakan bahwa suatu kebijakan dan program sebenarnya dilandasi model teoritikal intervensi, sehingga efektivitas kebijakan dan program tersebut dapat diukur dari pelaksanaan tugas yang dilakukan stakeholder. Kebijakan pemerintah mendirikan RPTC di provinsi Kepulauan Riau sebagai lembaga penampungan bagi PMB, berfungsi sebagai “pintu masuk” PMB kembali ke kampung halaman. Proses pemulangan PMB yang selama ini dilaksanakan melalui RPTC Tanjung Pinang, dibawah pembinaan Dinas Sosial Provinsi Kepulauan Riau, pada prakteknya telah bekerja sama dengan SKPD lainnya, seperti Dinas Perhubungan Provinsi Kepulauan Riau, Kantor Imigrasi Kepulauan Riau maupun dari Pemerintah Daerah Kepulauan Riau itu sendiri. Pada kenyataannya masing-masing sektoral belum cukup kuat komitmennya dalam proses pemulangan PMB. George dan Wilding (1992) memperkuat kondisi seperti ini dengan menyebut pendekatan dalam pemecahan masalah yaitu pendekatan konflik, dimana masalah dan kebijakan sosial merupakan cermin dari proses dan peristiwa dalam masyarakat yang penuh konflik. Oleh sebab itu masing-masing pihak sebenarnya sudah tahu tugas dan fungsinya sehingga tidak perlu timbul konflik kepentingan yang menyebabkan
58
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
mereka kehilangan Komitmen bersama dalam dalam urusan pemulangan PMB. Kondisi ini sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh peserta dalam diskusi kelonpok terpadu dibawah ini: “……Perlu ada kerjasama dinas sosial, perhubungan, imigrasi,, kerja dilapangan.. jangan hanya lengkap saat di rapat,, karena selama ini dilapangan tidak professional. Bagaimana bersama dalam satgas saat dilapangan, bertugas untuk pencegahan. Sepanjang tidak ada kerjasama maka selalu ada PMB Tidak pernah ada sumbernya,, kita hanya dapat menyelesaikan kasus. Percuma uang bertrilyun menyelesaikan masalah….”
trilyun
dikeluarkan
tidak
(sumber: BNP2TKI, hasil FGD)
Hasil penelitian juga mendapati selalu ada selisih data PMB saat kedatangan dan saat pemulangan kembali kedaerah asalnya. Tidak ada data yang menjamin keberadaan PMB sesuai dengan manifest awal. PMB yang pulang ke daerahnya dipulau Jawa, sejak dari Tanjung Priuk menuju Surabaya (Jawa Timur) jumlahnya semakin berkurang, mereka turun dijalan dimana kampungnya dilewati. Bahkan sampai Surabaya tidak jarang hanya beberapa orang aja yang sampai ke kantor Dinas Tenaga Kerja hanya untuk menyerahkan daftar manifes penumpang. Tidak ada yang mendamping PMB dalam perjalanan. Bagi PMB yang menderita sakit saat dipulangkan juga tidak ada laporan bagaimana kondisi kesehatannya setelah sampai didaerah asalnya. Pemda setempat tidak memberikan laporan resmi pada daerah pengirim PMB, dengan kata lain rujukan terputus. Begitu pula berdasarkan Standar operasional prosedur (SOP) pemulangan PMB dari Tanjung Pinang cukup rumit. Dimana PMB yang akan pulang ke Medan
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
59
(Belawan) dan sekitarnya dari Tanjung Pinang harus melalui Tanjung Priuk dahulu baru kembali ke Medan dan sekitarnya. Dari hasil penelitian di Jakarta, pemulangan PMB dilakukan sendiri oleh direktorat KTKPM sejak kapal merapat di Tanjung Priuk sampai ke RPTC Bambu Apus apabila PMB harus menunggu kapal selanjutnya. Tidak ada satgas yang melakukan prosedur pemulangan ini. Di Jawa Timur, penerimaan PMB yang tiba dari Tanjung Priuk dilaksanakan oleh Dinas Tenaga Kerja Propinsi Jawa Timur. Selanjutnya pemulangan ke kampung halaman PMB juga tetap dilaksanakan oleh Dinas Tenaga Kerja Propinsi Jawa Timur. Dinas Sosial propinsi Jawa Timur hanya memfasilitasi RPTC sewa di kabupaten Jombang, Kabupaten Banyuwangi dan kabupaten Sampang. Berdasarkan hasil penelitian, Komitmen satgas pemulangan PMB di Propinsi jawa timur masih kurang. Begitu pula di Nusa Tenggara Barat, penjemputan PMB dilakukan oleh Dinas Sosial dan Dukcapil Propinsi Nusa Tenggara Barat. Tidak ada satgas yang membantu proses pemulangan dan penerimaan PMB. Satgas merupakan manifestasi kolektivitas sehingga hasil kajian ini memperkuat argumentasi George dan wilding (1992) yang menyebut kebijakan seperti ini sebagai kolektivitas setengah hati (reluctant collectivity) dimana masing-masing seperti komit untuk mengatasi masalah, namun individualitas yang selalu menonjol dalam perilaku kerja mereka.
Peran dan fungsi RPTC dalam melakukan perlindungan sosial bagi PMB Hasil penelitian menemukan RPTC belum maksimal menjalankan fungsi sebagaimana mestinya, dimana dalam juklak RPTC dinyatakan sebagai lembaga kesejahteraan sosial yang memberikan layanan terpadu baik sebagai pusat krisis, maupun pusat pemulihan traumatik. Dibawah ini adalah tabel data pemulangan PMB sebagai awal perjalanan pemulangan PMB dari pintu masuk Tanjung Pinang menuju Tanjung Priuk dan selanjutnya menyebar ke daerah dipulau Jawa dan sekitarnya sampai ke NTB dan NTT.
60
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
Tabel 7. Data pemulangan PMB di RPTC Tanjung Pinang Periode Januari - Mei 2015 Bulan
Laki-laki
Perempuan
Anak
Bayi
Jumlah
Januari
1135
399
17
10
2261
Februari
813
283
7
9
1112
Maret
1457
658
18
15
2148
April
1742
650
21
24
2418
Mei
807
359
11
15
1192
Sumber: RPTC Tanjung Pinang Kepulauan Riau
Di Tanjungpinang, RPTC berperan sebagai penampungan sementara para PMB sebelum melanjutkan perjalanan ke daerah asalnya dan sebagai rumah perlindungan trauma center. RPTC di Tanjung Pinang kepulauan Riau merupakan tempat transit bagi PMB perempuan sambil menunggu kapal laut ke Tanjung Priuk. Sedangkan PMB laki-laki ditempatkan di rumah penampungan milik swasta (pihak ketiga) yang jauh dari layak. “….Kalo di RPTC dan transito harus dari pusat, tidak ada regulasi sebagai orang terlantar, diperbantukan dari APBD, tetapi untuk TKI yang bertanggung jawab adalah pemerintah pusat. Saat kedatangan PMB siapa yang akan mengurus untuk kesehteraan.. krn tidak ada BPJS dan unregister. Seharusnya kewajiban Negara dalam pemenuhan kebutuhan dasar.. Untuk itu Perlu payung hukum antara kem kes dan Kemsos, untuk penanganan kesehatan PMB …..” Sumber: Dinas Sosial Prop Kepri, hasil FGD
Lain lagi di RPTC Jombang Jawa Timur lebih ke penanganan orang terlantar. PMB tidak ditangani langsung oleh RPTC. Sedangkan di RPTC Lombok Timur dan Mataram. Sedangkan RPTC di Bambu Apus DKI Jakarta lebih mendekati RPTC yang ideal. Selain menampung PMB yang menunggu angkutan ke daerah asalnya, RPTC juga menangani PMB yang mengalami masalah psikologis. Disini mereka diterapi dan direhabilitasi.
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
61
Sebagian besar RPTC sewa belum memiliki sarana dan prasarana yang lengkap (ruang isolasi bagi PMB yang sakit menular/jiwa; sumber air bersih, kendaraan operasional,dll). SDM RPTC / Tenaga profesional masih kurang. Keberadaan RPTC sewa di daerah belum berfungsi sebagai rumah perlindungan dan trauma center bagi PMB. RPTC merupakan salah satu lembaga yang menangani pekerja migran bermasalah yang baru datang dari luar negeri. Di Provinsi NTB terdapat dua RPTC yang terdapat di Kota Mataram dan kabupaten Lombok Timur, sedangkan RPTC Lombok Barat saat ini masih dalam persiapan pendiriannya. Kedua RPTC ini didirikan oleh Direktorat KTKPM (Direktorat Pemberdayaan Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran) Kementerian Sosial. Status gedung RPTC ini merupakan sewa/kontrak, dan dikelola oleh Dinas Tenaga Kerja dan Duk Capil Provinsi NTB. Sumber dana kegiatan RPTC ini berasal dari Direktorat KTKPM Kementerian Sosial. RPTC ini telah memiliki SOP tentang perlindungan sosial bagi Pekerja Migran Bermasalah, dan pendiriannya merupakan bentuk kepedulian Kementerian Sosial (Direktorat Pemberdayaan Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran) dalam penanganan pekeja Migran bermasalah. RPTC bukan hanya memberikan perlindungan sosial bagi pekerja migran bermasalah, namun korban tindak kekerasan juga memperoleh perlindungan sosial. Padahal sebagaimana tercantum dalam Petunjuk Pelaksanaan Perlindungan Sosial Korban Tindak Kekerasan (2013), Rumah Perlindungan dan Trauma Center (RPTC) merupakan lembaga kesejahteraan sosial yang memberikan layanan terpadu (integrated services), baik sebagai pusat krisis (crisis centre) maupun pusat pemulihan traumatik (traumatic centre). Dalam kapasitas sebagai crisis centre, RPTC berfungsi sebagai pusat penanggulangan masalah tindak kekerasan, yang terdiri dari: (1) layanan informasi dan advokasi; dan (2) layanan rumah perlindungan (shelter unit). Selanjutnya, dalam kapasitas sebagai pusat trauma (truma centre), RPTC berfungsi pula sebagai wahana pemulihan traumatik, yang terdiri dari: (1) layanan rehabilitasi psikososial dan spiritual; dan (2) layanan resosialisasi dan rujukan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa fungsi dan peranan RPTC tidak maksimal dari yang seharusnya. Hal ini membuktikan
62
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
bahwa pembentukan lembaga setengah hati yang tidak dilengkapi oleh program, pendanaan dan sumber daya manusia yang mendukung akan menyebabkan kegagalan. Oleh sebab itu pembentukan lembaga yang sama pada masa yang akan datang perlu ditinjau kembali. Sekiranya ingin diteruskan keberadaanya, maka RPTC perlu diperbaiki jika tidak maka RPTC perlu ditinjau ulang keberadaannya. RPTC secara kelembagaan perlu ditata ulang baik dari segi struktur organisasi, fasilitas dan sumber daya manusia yang mempunyai kualifikasi dan professional. RPTC Lombok Timur mulai operasional bulan Agustus 2014, memiliki 3 asrama dengan daya tampung 12 orang, ruang kantor, ruang konseling, ruang makan dan dapur. Selama 8 bulan beroperasi, RPTC ini telah memberikan perlindungan sosial sebanyak 24 orang, 5 orang diantaranya adalah pekerja migran bermasalah dan sisanya Korban Tindak kekerasan/penelantaran. RPTC Lombok Timur memiliki petugas sebanyak 8 orang terdiri dari seorang koordinator yang merangkap sebagai Kepala Seksi Korban Tindak kekerasan dan Orang Terlantar Dinsosnakertrans Lombok Timur, 4 orang pekerja sosial, 2 orang Satpam dan seorang pramubhakti. Tingkat pendidikaan mereka cukup bervariasi yakni S2 (1 orang), S1 (2 orang), D3 (1 orang) dan SLTA (3 orang). RPTC kota Mataram juga merupakan rumah tinggal yang berstatus sewa, memiliki 10 orang tenaga, terdiri dari seorang koordinator, seorang sekretaris, 4 orang peksos, seorang perawat, seorang pramubhakti dan 3 orang Satpam. Status pegawai RPTC adalah kontrak, kecuali koordinator yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil pemerintah daerah setempat. Klien RPTC berasal dari masyarakat dan lembaga formal seperti RSUD, PPT/kepolisian, Orsos dan UPT terutama kasus-kasus tindak kekerasan dan penelantaran. Sedangkan Pekerja Migran Bermasalah (PMB) yang ditampung di RPTC berasal dari RPTC Tanjung Pinang dan RPTC Bambu Apus Jakarta, mayoritas berasal dari Malaysia. Mereka yang ditampung di RPTC adalah perempuan yang sakit sebagai akibat penyiksaan fisik dan kecelakaan kerja, dan trauma. Kegiatan ini diawali dengan penerimaan korban (intake proces), pendampingan sementara (brief assistance) asesmen cepat (Rapid Assessment). Pelayanan
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
63
RPTC minimal 2 hari dan tidak lebih dari 10 hari sesuai dengan kasus yang dialaminya. Selain pelayanan makan dan pakaian, juga diberikan pelayanan kesehatan melalui kerjsama dengan puskesmas setempat. Sedangkan kegiatan keterampilan baru diberikan bila dalam satu periode tertentu jumlah PMB lebih satu orang.
Peran dan fungsi RPTC dalam proses reintegrasi PMB didaerah asal. Hasil penelitian menunjukkan peran dan fungsi RPTC dalam proses reintegrasi PMB di daerah asal masih sangat kurang. Secara keseluruhan RPTC hanya melakukan intervensi saat PMB ada dalam RPTC. Setelah mereka dipulangkan RPTC tidak mengetahuinya lagi. Contoh kasus, PMB di Jombang yang didatangi oleh peneliti sebagian besar tidak mengetahui bagaimana dan apa yang akan dilakukan setelah pulang kerumah masingmasing. Mereka tidak tau bagaimana mengakses layanan kesehatan gratis, bagaimana membuat KTP, bagaimana membuat BPJS, dan lain-lain. Sebenarnya ada bantuan UEP dari kementerian sosial untuk PMB tapi hanya sebagian kecil saja yang menerima. Hasil penelitian ini menegaskan bahwa fungsi RPTC dalam proses berintegrasi ke daerah asal tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini boleh jadi karena peran dan fungsi RPTC terlalu besar sementara secara kelembagaan RPTC tidak jelas. Pekerja sosial merupakan unsur penting dalam proses pelayanan pelayanan di RPTC. Pekerja sosial berusaha membantu memulihkan kondisi psikis dan sosial PMB, dan menghubungkan dengan keluarganya dalam upaya proses reintegrasi. Mempertemukan dan mengembalikan PMB ke keluarga dan masyarakat merupakan salah kegiatan yang dilakukan oleh pekerja sosial RPTC. Kegiatan ini diawali dengan kunjungan rumah ke keluarga PMB, atau keluarga PMB yang datang ke RPTC. Tujuan kegiatan ini adalah agar keluarga dan masyarakat dapat menerima kehadiran PMB. Secara kualitatif menunjukkan bahwa PMB yang mengalami kegagalan bekerja di luar negeri, pada umumnya PMB diterima oleh keluarga dan masyarakat. Meskipun demikian mereka masih merasa malu dan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
64
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
Kondisi kerentanan yang dialami PMB selama proses migrasi (transit, destinasi, daerah asal). Hasil penelitian mendapati Perlindungan PMB saat dalam proses pemulangan tidak maksimal. Alur pemulangan PMB ke daerah asal yang tidak praktis. Sebagian besar PMB tidak mempunyai kartu identitas (KTP) sehingga tidak bisa mengakses layanan BPJS saat sakit dan perlu penanganan di Rumah Sakit. Dalam hal ini PMB dianalogikan sama dengan penduduk unregister. Lebih jauh lagi ada pihak yang mengambil keuntungan dari Pekerja Migran (Indikasi trafficking). Bila diperinci kondisi kerentanan PMB dapat dibagi sejak dari daerah asal, destinasi, tempat transit. Hasil penelitian mendapati faktor kerentanan yang dialami oleh calon pekerja migran di daerah asal diantaranya: a. Calon Pekerja migran tidak mengetahui proses bekerja ke luar negeri dari instansi berwewenang, tetapi dari calo yang datang langsung menemui calon pekerja migran b. PPTKIS belum berperan sebagaimana mestinya, pengurusan dokumen dilakukan via calo c. Rendahnya tingkat pendidikan calon pekerja migran d. Pemalsuan dokumen seperti nama, umur, pendidikan dan alamat calon pekerja migran e. Meninggalkan hutang karena biaya pengurusan dokumen berasal dari pinjaman keluarga, kerabat dan tetangga f. Tidak melalui PAP (Pembekalan Akhir Pemberangkatan) g. Berangkat via jalur tidak resmi dengan nenggunakan kapal laut yang kurang terjamin keselamatannya h. Calon pekerja migran menggunakan visa pelancong, i. Tidak mengetahui dan menandatangai PK (Perjanjian Kerja) j. Tidak memiliki Asuransi Hasil penelitian juga sesuai dengan beberapa penelitian yang dilakukan oleh para peneliti terdahulu diantaranya Sutaat dkk (2007, 2008, 2011). Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
65
Sedangkan hasil penelitian didapati saat sampai pada tempat destinasi, pekerja migran mengalami berbagai masalah diantaranya: a. Penempatan bekerja tidak sesuai dengan yang dijanjikan oleh calo, Pekerja Migran terpaksa menerima pekerjaan yang tidak sesuai dengan bakat dan minatnya b. Besarnya gaji yang diterima tidak sesuai yang dijanjikan, bahkan ada yang tidak dibayar c. Dalam waktu 3 sampai 4 bulan gaji diambil atau dipotong oleh calo sebagai pengganti biaya pengurusan dokumen dan pemberangkatan d. Paspor ditahan oleh calo atau majikan e. Konflik dengan majikan sebagai akibat bekerja melebihi jam kerja, gaji tidak dibayar dan penyiksaan fisik dan mental, sehingga terpaksa kabur tanpa membawa dokumen f. Mengalami kecelakaan kerja yang tidak sepenuhnya ditanggung oleh perusahaan/majikan g. Pemerkosaan pekerja migran perempuan oleh majikan h. Mengalami nasib yang sama saat pindah kerja ke majikan/perusahaan lain i. Pihak KBRI/KJRI tidak memberikan perlindungan sosial, meskipun mereka juga sudah berusaha menghubungi via telepon namun tidak diangkat j. Penangkapan oleh aparat keamanan Malaysia karena dianggap ilegal, semua uang dan barang berharga lainnya dirampas serta mengalami penyiksaan fisik dan mental k. Proses pengadilan pekerja migran tidak didampingi oleh pengacara dan petugas dari KBRI/KJRI. Pihak KBRI/KJRI baru bertindak apabila kasusnya menjadi berita besar di Indonesia. l. Pada kasus-kasus tertentu, berdasarkan putusan pengadilan Malaysia, pekerja migran yang dianggap salah selain dihukum penjara, juga dihukum cambuk m. Fasilitas kesehatan selama menjalani masa hukuman di penjara Malaysia tidak maksimal, semua jenis penyakit hanya diberikan “panadol”
66
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
n. Proses pemulangan pekerja migran setelah selesai menjalani hukuman di penjara Malaysia melalui sebuah tempat penampungan yang mereka sebut “Pekan nanas”, berisi ratusan orang yang bukan hanya pekerja migran Indonesia, tetapi juga berasal dari berbagai negara dengan fasiitas kamar mandi, MCK, dan tempat tidur terbatas selama 1 minggu. Selanjutnya PMB ini dibawa ke di penampungan Pasir Gudang sambil menunggu pemulangan dengan kapal ke Tanjung Pinang Banyak penelitian telah membuktikan bahwa pekerja migran mengalami kadar gangguan psikologis yang lebih tinggi berbanding penduduk asli sebuah negara (Patel, 1992; dalam Husmiati, 2013). Prevalensi gangguan mental di kalangan kelompok pekerja migran di United Kingdom telah menjadi perhatian dalam kepustakaan penelitian sejak tiga puluh tahun yang lalu. Penelitian ini umumnya menggunakan angka masuk rumah sakit sebagai sumber data utama mereka. Wanita Asia diketahui mempunyai resiko lebih tinggi mengalami gangguan psikologis berbanding lelaki (Community Relations Commission, 1976c; dipetik oleh Patel, 1992). Selain itu Cochrane (1981) dan Dean et al. (1981) mendapati tingginya angka masuk dan dirawat di rumah sakit pada kelompok pekerja migran. Di Malaysia, penelitian di kalangan wanita pekerja migran menunjukkan wanita pekerja migran ilegal mengalami masalah kesehatan mental yang tinggi berbanding wanita pekerja migran legal. Wanita pekerja migran ilegal memperlihatkan tingkat stress, anxiety dan depression yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan wanita pekerja migran legal. Dari segi strategi daya tindak (coping strategy) juga wanita pekerja migran yang ilegal tidak baik berbanding wanita pekerja migran yang legal (Fahrudin & Baco, 2001; 2002; 2004). Pekerja migran yang legal juga mengalami masalah berkaitan dengan kehilangan dan kesedihan (loss and grief) karena terpaksa meninggalkan anggota keluarga mereka, tidak adanya dukungan sosial, kedudukan sosial, nilai dan norma, kebudayaan dan lingkungan mereka (Husmiati, 2013).
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
67
Para pekerja migran juga mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru. Mereka menghadapi kesulitan dalam percobaan untuk mengatasi masalah bahasa dan kebudayaan semasa proses acculturation. Faktor-faktor ini saling berkait dan menghasilkan berbagai gangguan dan masalah sosial. Faktor budaya pekerja migran dengan budaya negara baru yang mereka datangi sangat jelas berbeda. Akibatnya pekerja migran tersebut akan mengalami stres yang serius serta beban mental yang berat (Rogler, Dharma & Malgady, 1991; dalam Husmiati 2013). Beberapa kajian di atas telah membuktikan bahwa kaum pekerja migran mempunyai status kesehatan mental yang lebih rendah dibandingkan dengan penduduk asli negara yang dituju. (Chae Chung Um & Dancy, 1999; dalam Husmiati, 2013). Situasi dan kondisi yang dialami oleh pekerja migran jelas akan mempengaruhi kehidupan mereka, untuk itu campur tangan pemerintah baik melalui regulasi maupun campur tangan langsung sangat diperlukan. Perlindungan sosial bagi pekerja migran bermasalah adalah salah satunya. Seorang pekerja migran yang terpaksa dipulangkan walaupun saat berangkat statusnya resmi atau legal bukan tidak mungkin menjadi status pekerja migran bermasalah atau illegal karena berbagai sebab. Saat ditempat transit untuk dipulangkan kedaerah asalnya, kerentanan yang dimiliki oleh pekerja migran bermasalah ini diantaranya: a. Tidak membawa uang, bahkan hanya pakaian yang dipakai yang dibawa pulang. Lebih menyedihkan lagi ttidak sedikit yang membawa anak dengan status perkawinan yang tidak jelas. Hal tersebut seperti yang disampaikan oleh informan dalam FGD sebagai berikut:
68
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
“…..Di kec Tembelang Pekerja Migran bervariatif,, untuk penanganannya tidak hanya untuk eks Malaysia, tp kenyataan di lapangan ada dari Arab dan Negara lain, masalahnya mereka berangkat tidak bawa uang,, berangkat dengan masalah ekonomi, …..pergi ke Luar Negeri, pulang bawa anak. saat pergi resmi tapi saat sampai disana menjadi bermasalah…..” Sumber: kasie perluasan disnaker Jombang, hasil FGD
b. Penampungan sementara bagi pekerja migran laki-laki di Tanjung Pinang dianggap kurang memenuhi syarat seperti fasilitas kamar mandi, makan dan tidur yang tidak sebanding dengan jumlah pekerja migran serta fasilitas air yang kurang bersih. Sedangkan PMB perempuan di tampung di RPTC Tanjung Pinang yang fasilitasnya lebih baik c. Pekerja migran dalam keadaan sakit, cacat fisik, stres, hamil dan ada yang trauma saat tiba kembali di tanah air d. Pemulangaan pekerja migran bermasalah menggunakan kapal laut dari Tanjung Pinang hingga Tanjung Priuk tanpa pendampingan petugas, dan selanjutnya dipulangkan via darat ke daerah masing-masing. Kondisi fisik dan mental para PMB sudah sedemikian lelah, sehingga kadang terjadi pemukulan fisik kepada sopir bus yang tidak mau mengantarnya hingga ke daerah asal. e. Pemulangan PMB yang sakit berat merupakan masalah besar yang dihadapi RPTC Tanjung Pinang terkait dengan biaya pemulangan ke daerah asal yang cukup basar. f. Dalam kasus-kasus tertentu terkait dengan kondisi fisik dan mental, PMB ditampung di RPTC g. Kondisi PMB yang sakit berat merupakan berban berat terkait dengan biaya pengobatannya. Kasus yang terjadi dan ditemui dalam penelitian ini adalah seorang isteri PMB yang mengalami sakit cukup berat dan dalam keadaan hamil akibat kecelakaan di Malaysia. Disamping pengobatannya tidak sepenuhnya ditanggung oleh perusahaan, proses pemulangannya cukup Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
69
dramatis. Saat ini PMB ini tidak bisa bekerja karena harus menunggu isterinya sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Sementara pengurusan BPJS juga tidak mudah karena harus melengkapi KTP yang sudah lama mati h. Bagi yang sudah berkeluarga dan memiliki anak, merupakan beban berat bagi PMB laki-laki karena harus memenuhi kebutuhan bagi keluarganya. i. Pada umumnya PMB belum sepenuhnya bisa mendapatkan pekerjaan pasca kembali ke daaerahnya, karena tidak ada lapangan pekerjaan di daerahnya. Mereka lebih banyak bekerja sebagai buruh tidak tetap. j. Terbatasnya lapangan kerja di daerah asal, sebagian PMB masih ada yang ingin tetap kembali bekerja di luar negeri. Malaysia masih merupakan pilihan sebagian warga untuk mendulang emas.
Faktor pendorong internal dan eksternal yang menyebabkan PMB ingin kembali bekerja diluar negeri. Hasil penelitian mendapati yang menyebabkan PMB ingin kembali bekerja keluar negeri karena mudah mendapatkan pekerjaan, serta sebagian besar bekerja sebagai pekerja kasar. Selain itu mereka tidak harus memiliki ketrampilan tertentu. Cukup tekad dan kemauan dan keberanian menanggung resiko di Negara orang. Faktor lain karena Indonesia dekat dengan Negara tetangga. Banyak alternatif pintu keluar masuk. Dilihat dari gaji yang didapat lebih besar dibandingkan di Indonesia. Faktor lain yaitu tidak adanya kendala bahasa. Dan yang paling sering dijadikan alasan adalah terbatasnya lapangan pekerjaan di daerah asal. Selain itu sebagai pelarian dari masalah pribadi atau keluarga. Sebagian besar mereka ingin mencoba peruntungan dank arena status atau gengsi. Ajakan dan bujukan dari keluarga, teman, calo tenaga kerja yang cukup menggiurkan bisa menjadi alasan yang tidak boleh disepelekan. Terlepas dari faktor penyebab mengapa banyak orang ingin bekerja keluar negeri khususnya ke Malaysia, para calon pekerja migrant harus melakukan persiapan yang matang terutama dalam hal administrasi yang
70
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
dimulai dari tingkat terendah. Seperti yang disampaikan oleh informan dalam FGD sebagai berikut: “…..Penanganan PMB perlu ada sosialisasi dari bawah, di kecamatan dan desa, sosialisasi seharusnya pada orang yang menangani,, seperti pada pembuatan surat. …atau perangkat desa , sekolahan, penyuluhan ketenagakerjaan, ke lapangan kerja, diarahkan ke dunia kerja di dalam negeri….” Sumber: coordinator RPTC Jombang, dalam FGD
Penempatan dan perlindungan calon TKI/TKI berasaskan keterpaduan, persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, serta anti perdagangan manusia. Penempatan dan perlindungan calon TKI/TKI berasaskan keterpaduan, persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, serta anti perdagangan manusia. Penempatan dan perlindungan calon TKI/TKI berasaskan keterpaduan, persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, serta anti perdagangan manusia. Faktor yang menyebabkan seseorang bermigrasi dan bekerja di luar negeri diantaranya karena adanya perbedaan pendapatan dan tingginya pengangguran di tempat tinggalnya, tingginya pertumbuhan penduduk, keterbatasan lahan produktif dan perkembangan teknologi. Pekerja migran yang bekerja di luar negeri baik secara legal maupun illegal, memiliki berbagai motif seperti untuk meningkatkan status ekonomi dan kelangsungan hidup maupun atas motif sosial berupa harapan atas kekayaan, kenyamanan atau eksistensi diri. Oleh karenanya menjadi seorang pekerja migran sangat tergantung pada motivasi bermigrasi, dan juga pengaruh tidak langsung dari faktor individu dan masyarakat. Setelah berada di Negara tujuan, pekerja migran tersebut mengalami perubahan kehidupan yang drastis, berbeda dengan tempat tinggal asal, yang menuntut mereka untuk melakukan penyesuaian diri dengan kehidupan dan budaya di negara tujuan. Penyesuaian diri tidak hanya secara mental psikologis namun juga dengan tuntutan keterampilan menggunakan alat-alat teknologi Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
71
yang berkaitan dengan pekerjaannya. Kegagalan dalam penyesuaian diri ini menyebabkan mereka pada akhirnya memiliki masalah, baik masalah psikologis maupun sosial dengan pihak majikan. Kondisi ini mendorong mereka menjadi pekerja migran bermasalah, bahkan bisa terjadi perubahan status dari pekerja migran legal menjadi pekerja migran ilegal. Pekerja migran bermasalah (PMB) dari waktu ke waktu semakin meningkat, dalam jumlah maupun permasalahan psikososial saat dipulangkan ke Indonesia. Menyadari hal itu Pemerintah dalam hal ini Kementerian Sosial memiliki kewenangan, tugas dan tanggung untuk pemulangan pekerja migran bermasalah ke daerah asal, yang dilaksanakan melalui Rumah Perlindungan Trauma Center dengan memberikan layanan terpadu (integrated services), baik sebagai pusat krisis (crisis centre) maupun pusat pemulihan traumatik (traumatic centre). Dalam hal ini RPTC berfungsi sebagai tempat tinggal sementara sebelum mereka dikembalikan ke kampung halamannya, dan bagi pekerja migran yang mengalami masalah psikologis akan memperoleh rehabilitasi sampai mereka pulih secara psikologis. Dalam Undang-undang republik indonesia nomor 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja indonesia di luar negeri pasal 1 ayat 4 yang berbunyi : Perlindungan TKI adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan calon TKI/TKI dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja. Oleh sebab itu perlindungan sosial harus merupakan upaya, program dan kegiatan yang ditujukan untuk membantu orang lain yang belum maupun yang terganggu fungsi sosialnya agar mampu mencegah atau mengelola berbagai resiko sosial yang dihadapi terhadap pekerja migran bermasalah. Perlindungan sosial yang diberikan terutama kepada: (1) korban tindak kekerasan, yaitu mereka yang mendapatkan perlakuan dari perilaku seseorang yang dengan sengaja maupun tidak sengaja dengan tujuan untuk mencederai atau merusak orang lain. Adapun perilaku berupa serangan fisik, mental, sosial maupun seksual yang melanggar hak asasi manusia yang mengakibatkan trauma psikologis. (2) Pekerja
72
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
migran internal dan lintas negara yang mengalami masalah sosial, baik dalam bentuk tindak kekerasan, keterlantaran, konflik sosial karena ketidakmampuan menyesuaikan diri ditempat kerja baru atau di negara tempatnya bekerja maupun mengalami kesenjangan sosial sehingga mengakibatkan fungsi sosial terganggu.
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
73
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan Penelitian ini telah menunjukkan bahwa kondisi perlindungan pekerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri masih merupakan salah satu tantangan kebijakan yang jauh dari optimal, baik dalam konteks ketenagakerjaan maupun perlindungan sosial. Penelitian ini juga ingin memperlihatkan bahwa Indonesia, melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, sebenarnya masih dalam tahap memulai dalam kebijakan perlindungan tenaga kerja migran. Temuan lapangan dalam konteks kebijakan sedikit-banyaknya membuktikan bahwa implementasi kebijakan perlindungan sosial yang diamanatkan payung hukum tertinggi ternyata belum dapat menjawab adanya ketidakjelasan pembagian wewenang susbstantif maupun teknis Pusat dan Daerah. Temuan lapangan penelitian ini juga menunjukkan sisi kelam kondisi kerentanan yang dialami pekerja migran, dengan gambaran yang berbanding terbalik dengan semangat upaya perlindungan Negara terhadap hak warga negara. Meskipun demikian, penelitian ini berusaha mengidentifikasi sejumlah persoalan dan tantangan yang dapat digaris-bawahi agar inisiatif perlindungan sosial yang dibangun di ranah domestik tidak saja dapat meningkatkan kondisi kesejahteraan pekerja migran, tetapi juga bisa mengalami perluasan ke perlindungan pada negara penerima sehingga hal ini dapat meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi pekerja migran dan keluarga mereka. Berkenaan dengan kebijakan perlindungan sosial, persoalan utama adalah apakah Indonesia sudah memiliki sistem jaminan sosial yang dikembangkan. Jika hal ini terjadi, cakupan jaminan sosial dapat ditingkatkan dengan menyediakan akses yang lebih baik dari mulai domain Kabupaten/Kota, Provinsi hingga Pemberangkatan Pusat, dan juga melalui upaya dengan perjanjian internasional yang menjamin
74
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
portabilitas manfaat perlindungan tersebut. Ada juga beberapa ruang lingkup untuk negara pengirim untuk meningkatkan cakupan jaminan sosial bagi pekerja migran dan keluarga mereka. Berkenaan dengan perluasan perlindungan sosial, masalah utama adalah sejauh mana sarana dan kemauan politik untuk memberikan perlindungan sosial dasar bagi migran rentan dan tidak berdokumen. Sehubungan dengan perlindungan tenaga kerja, sangat penting bahwa ada kerjasama bilateral yang mengikat secara hukum internasional antara pengirim dan negara tuan rumah perihal bagaimana pekerja migran dapat dilindungi pada semua tahap perjalanan migrasi, yaitu pra-keberangkatan, transit, tinggal di luar negeri dan kembali (reintegrasi). Persoalan kebijakan lainnya yang tetap menjadi rintangan utama untuk memberikan perlindungan sosial dasar bagi pekerja migran dan keluarga mereka adalah kurangnya implementasi ratifikasi internasional seperti UN Migrant Workers Convention dan ILO Recommendation on National Social Protection yang berupaya lebih jelas mendefinisikan status perlindungan hukum buruh migran regular (berdokumen) dan irregular (tidak berdokumen) dan keluarga mereka (van Ginneken, 2013). Hal ini tercermin pada misalnya belum paralelnya perjanjian kerjasama dengan negara tujuan yang dilakukan oleh Indonesia dengan ratifikasi terhadap regulasi transnasional yang telah dilakukan. Persoalannya adalah bahwa meskipun perlindungan sosial dasar, bahkan bagi migran gelap, memiliki prioritas implementasi, tetapi ketika perlindungan dimaksud telah disediakan, harus ada aturan yang jelas tentang bagaimana migran dan keluarga mereka dapat kembali ke tanah air. Sekali lagi harus ada ruang yang lebih luas untuk menjamin prosedur pengembalian ini dapat diaplikasikan dalam perjanjian migrasi bilateral dan multilateral. Pada akhirnya, tantangan utama penanganan pekerja migran adalah bagaimana memberikan perlindungan sosial dan ketenagakerjaan dasar untuk pekerja (teratur dan tidak teratur) migran dan keluarga mereka, mengingat skema jaminan sosial formal di Indonesia belum mengikutsertakan pekerja migran secara sistemik. Cara yang paling efektif untuk meningkatkan perlindungan sosial adalah dengan memastikan hak asasi manusia dan hak
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
75
sosial tertentu. Warga migran, terlebih pekerja, sering kali tidak memiliki akses untuk upaya hukum melawan eksploitasi yang sering mereka alami (seperti kasus hampir semua pekerja migran Indonesia yang kami wawancara yang diadili di Malaysia, sama saja karena berdokumen atau tidak, yang tidak didampingi penasihat hukum di persidangan). Selain itu, penting juga untuk memastikan akses ke perawatan kesehatan dasar dan pendidikan dasar bagi anak-anak dari keluarga migran. Seperti disebutkan sebelumnya, ratifikasi Konvensi PBB untuk Pekerja Migran oleh negaranegara BRICS dan negara-negara maju secara signifikan akan meningkatkan status hukum para migran dan keluarga mereka. Selain itu, sangat penting untuk memberikan pekerja migran perlindungan sosial dan ketenagakerjaan selama semua tahap perjalanan migrasi, yaitu pra-keberangkatan, transit, tinggal di luar negeri dan kembali (reintegrasi). Dalam hal ini, langkahlangkah ini dapat diaplikasikan dalam konteks regional pada perjanjian bilateral dan multilateral dengan negara penerima, dan ini tentunya harus dapat diambil-alih oleh Pemerintah Pusat dan tidak mungkin diserahkan ke Pemerintah Daerah yang tidak memiliki jursidiksi maupun sumber daya yang relevan untuk itu. Peran dan fungsi RPTC dalam perlindungan sosial bagi PMB: (1) Sebagai tempat penampungan setelah dibuang dari negara jiran. (2) Tempat rehabilitasi sementara bagi PMB yang mengalami gangguan kejiwaan dan PM yang melahirkan. (3) Sebagai rujukan bagi unit pelayanan sejenis dibawahnya (Rumah Singgah Dinsos Kota Tanjung Pinang). Kondisi kerentanan PMB dalam proses migrasi terdiri dari: (1) Kerentanan administrasi (Status PM sebagai pelancong tanpa bekal uang). (2) Kerentanan fisik (masalah kesehatan). (3) Kerentanan psikis (stres, depresi,trauma, masalah kejiwaan). (4) Kerentanan sosial (penipuan, hubungan dengan majikan, keluarga, hubungan dengan sesama PM, keterbatasan informasi, keterbatasan mengakses fasilitas publik,dll). (5) Kerentanan ekonomi (gaji ditahan, hutang pada calo atau pihak lain,tidak memiliki penghasilan/pekerjaan yang tetap atau jelas). Dan (6) Kerentanan spiritual (mudah dipengaruhi tentang aqidah, tidak segan melakukan apa yang dilarang agama demi mendapatkan ringgit).
76
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
Faktor pendorong PMB tetap ingin kembali bekerja ke luar negeri diantaranya karena: (1) Mudah mendapatkan pekerjaan, (2) Tidak harus memiliki keterampilan tertentu (3) Dekat dengan Indonesia. (4) Gaji lebih besar dibandingkan di Indonesia. (5) Bahasa mirip bahasa indonesia (6) Terbatasnya lapangan pekerjaan di daerah asal. (7) Sebagai pelarian dari masalah pribadi, serta (8) Mencoba peruntungan.
Rekomendasi Perlu penataan dan penguatan kembali regulasi khusus untuk penanganan PMB, agar ada payung hukum yang jelas tentang peran masing-masing Kementerian dan Lembaga dalam perlindungan PMB. Dalam konteks kebijakan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia tentu saja merupakan sumber hukum utama penanganan masalah perlindungan sosial-ekonomi-politik tenaga kerja migran Indonesia dan dampak sosialbudaya yang ia timbulkan. Pelbagai studi maupun termasuk penelitian ini telah menunjukkan adanya kelemahan-kelemahan yang krusial dalam regulasi tersebut. Ini semakin memperlihatkan urgensi untuk merevisi Undang-Undang tersebut yang memang telah masuk dalam Prolegnas (Prioritas Legislasi Nasional) Tahun 2016. Pelajaran kelemahan yang terkandung dalam Undang-Undang Tahun 2004 harus dielaborasi dengan pengalaman kelemahan-kelemahan yang juga terkandung dalam sejumlah regulasi daerah (untuk menyebut sebagai contoh, seperti Peraturan Daerah di Kabupaten Lombok Timur) yang disusun sebagai penajaman terhadap Undang-Undang Tahun 2004. Termasuk temuan penelitian ini yang paling urgen dimasukkan dalam RUU Perlindungan Pekerja Migran nantinya adalah perlu penataan dan penguatan kembali regulasi khusus untuk menjelaskan peran dan batasan wewenang masingmasing Kementerian/Lembaga dan dualisme kepentingan desentralisasi antara Pusat-Daerah. Penelitian ini juga merekomendasikan agar ada pemisahan yang jelas dan tegas antara domain penempatan, yang harus diterjemahkan dalam konteks penataan manajemen ketenagakerjaan, dan domain perlindungan, yang harus diterjemahkan dalam konteks perlindungan Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
77
sosial-politik-ekonomi warga negara Indonesia yang bermigrasi ke luar negeri (terlepas dari apakah warga tersebut terikat dalam perjanjian kerja ataupun tidak). Pemisahan penanganan ini akan lebih mudah untuk diwujudkan ketika keduanya dimasukkan ke dalam Undang-Undang dan turunan regulasi yang berbeda. Jadi idealnya, dua konteks ini, penempatan dan perlindungan harus direalisasikan dalam dua UndangUndang yang berbeda. Rekomendasi lainnya adalah untuk menyediakan akses yang lebih luas ke cakupan jaminan sosial bagi para pekerja migran Indonesia di luar negeri. Migran sering bekerja di sektor informal, dan oleh karena itu sulit bagi mereka untuk mengakses jaminan sosial. Namun, akses migran ke jaminan sosial pada dasarnya adalah soal legislasi dan praktek nasional. Dengan demikian perlu untuk meninjau undang-undang nasional untuk menilai sejauh mana migran dirugikan berkaitan dengan kelayakan mereka menerima hak perlindungan. Hal ini juga penting untuk menemukan cara dimana migran dan majikan mereka dapat termotivasi untuk terafiliasi pada skema jaminan sosial yang tersedia, misalnya, melalui kampanye informasi publik tentang manfaat jaminan sosial dan melalui mekanisme kepatuhan khusus, seperti untuk pekerja migran musiman. Rekomendasi selanjutnya adalah untuk memberikan perlindungan sosial bagi anggota keluarga yang tinggal di daerah asal mereka dan untuk melindungi hak-hak para pekerja migran yang mungkin sudah terakumulasi di sana. Sejumlah Negara tujuan migran telah menyiapkan skema kesejahteraan untuk tujuan itu. Skema ini biasanya menjadi bagian dari aturan dukungan yang lebih luas bagi para pekerja migran, termasuk dalam hal regulasi perekrutan tenaga kerja langsung dari luar negeri dan pengembangan mekanisme untuk memahami kebutuhan migran. Indonesia perlu memulai ini untuk mengompensasi beberapa negara pengirim lain yang bahkan telah menyiapkan skema pensiun untuk migran. Rekomendasi lainnya adalah Indonesia perlu meningkatkan kemanfaatan skema jaminan sosial dalam kaitan dengan pekerjaannya,
78
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
seperti kompensasi, pesangon, pensiun dan dana deposit yang dikumpulkan dari PPTKIS. Meskipun sebagian besar dari manfaat ini secara hukum bersifat portabel (maksudnya tidak terikat dengan tempat, bisa dipindah-tangankan dengan mudah), ketentuan pembayaran lintasbatas Luar Negeri umumnya diimplementasikan dengan buruk, sehingga manfaat umum tidak pernah mencapai migran atau korban mereka di negara asal para migran. Implementasi yang tepat dari ketentuan tersebut, misalnya, melalui pengaturan administrasi yang lebih baik untuk pengajuan klaim dan penginisiatifan mekanisme banding, akan menjadi langkah penting menuju peningkatan cakupan jaminan sosial untuk pekerja migran. Perlu peningkatan Kerjasama pemerintah pusat dan pemerintah daerah (misalnya mulai membuat SKB, SOP) tentang penanganan & pencegahan pekerja migran ilegal sehingga terbangun kembali komitmen bersama satgas penanganan PMB. Selain itu perlu juga diadakan koordinasi antar Kementerian/Lembaga dan SKPD dalam Sosialisasi & Pengawasan calon PM di kantong PMB melalui kerjasama dengan organisasi masyarakat seperti majelis taklim, MUSLIMAT NU, PKK, SMU, SMK dan lembaga sosial lainnya. Rekomendasi lainnya perlu meninjau ulang alur dan teknis pemulangan PMB ke daerah asal dan meninjau meninjau ulang konsep RPTC untuk memberikan perlindungan bagi PMB, sehingga mereka tetap terlindungi sejak dari pintu masuk pemulangan hingga sampai ke daerah asalnya. Idealnya setiap daerah memiliki RPTC yang difasilitasi oleh Pemerintah daerah atau Pemerintah Pusat. Perlu juga Peningkatan kapasitas sumber daya manusia RPTC. Pemberdayaan PMB melalui peningkatan kegiatan UEP, kemudian membentuk KUBE eks PMB, yang kemudian dilakukan pendampingan. Tujuan ini semua untuk memudahkan eks PMB melakukan proses reintegrasi dengan keluarga dan masyarakat dilingkungan tempat tinggalnya. Sehingga dapat meminimalisir mereka untuk kembali bekerja ke luar negeri. Koordinasi antar program di Kemensos terkait dengan penanganan dan perlindungan PMB melalui program-program yang ada di Kementerian Sosial, seperti PKH, Kube.
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
79
DAFTAR PUSTAKA Balaran, R., Yuen, O. & Raleigh, V.S. (1992). Ethnic differences in general practitioner consultations. British Medical Journal, 299, 958-960. Brink, P. J., & Saunders, J. M. (1976). Culture shock: Theoretical and applied. In P. J. Brink (Ed.), Transcultural nursing: A book of readings. Toronto: Prentice-Hall, 126-138. Browne, C., Fong, R., & Mokuau, N. (1994). The mental health of Asian and Pacific Island elders: Implications for research and mental health administration. Journal of Mental Health Administration, 21(1), 52-59. Chae, C.U., & Dancy, B.L. (1999). Relationship between coping strategies and depression among employed Korean immigrant wives. Issues in Mental Health Nursing, 20, 485-494. Cochrane, R. (1981). Psychological symptom levels in Indian immigrants to England: A Comparison with native english. Psychological Medicine, 11, 319-327. Crawford, T. (1973). ‘Beliefs About Birth Control: A Consistency Theory Analysis’. Representative Research in Social Psychology, 4, 5365. Dean, G., Walsh, D., Downing, H. & Shelly, E. (1981) First admission of native born and immigrants to psychiatric hospitals in South East England. British Journal of Psychiatry, 139, 506-512. de Haas, H. (2007). ‘Migration and Development: A Theoretical Perspective’. Bielefeld: COMCAD. Working Papers - Center on Migration, Citizenship and Development; 29. Drbohlav, D. (2011). ‘Migration Theories: Realities and Myths’. Fahrudin, A. & Baco, B.S. (2003). Stres di kalangan wanita imigran asal Indonesia: Studi kasus di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia Jurnal Pekerjaaan Sosial. No. 2/2003. (ISSN: 1412-5153).
80
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
Fahrudin, A. & Baco, B.S. (2002). Stres di kalangan wanita pendatang asal Indonesia: Satu kajian di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia Kertas kerja dibentangkan dalam Simposium Kebudayaan Indonesia-Malaysia Kelapan (SKIM 8), anjuran Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan, Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, Selangor Darul Ehsan, 8-10 Oktober. Fahrudin, A. & Baco, B.S., & Malek, M.D. (2001). Sumber stres, strategi daya tindak dan kaitannya dengan status kesihatan mental wanita imigran di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia. Laporan Penelitian. Kota Kinabalu: Universiti Malaysia Sabah. Glick-Schiller, N., Basch, L.G. & Szanton-Blanc, C. (1992). ‘Towards a Transnational Perspective on Migration: Race, Class, Ethnicity, and Nationalism Reconsidered’. The New York Academy of Science, New York, XV, 259 S. pp. Hagen-Zanker, J. (2008). ‘Why do people migrate? A review of the theoretical literature’. Working paper series 2008: 002. Maastricht: Maastricht Graduate School of Governance. Harris, J. and Todaro, M. (1970). ‘Migration, Unemployment and Development: A Two-Sector Analysis.’ The American Economic Review 60: 126-142. Hattar-Pollara, M., & Meleis, A.I. (1995). The stress of immigration and the daily lived esperiences of Jordanian immigrant women in the United States. Western Journal of Nursing Research, 17(5), 521-539. Hoffmann-Nowotny, H.-J. (1981). A Sociological Approach Toward a General Theory of Migration. Global Trends in Migration. M. Kritz, L. L. Lim and H. Zlotnik. New York: Centre for Migration Studies. Husmiati. (2013). Masalah dan intervensi psikososial terhadap migran ilegal. Media Informasi. Puslitbangkesos. Vol. 37, N0.3, September 2013. ILO. Buku saku Penghapusan Dan Pencegahan Bagi Pekerja Migran Indonesia. Jakarta: ILO. Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
81
ILO. (2013). 10 Tahun Menangani Migrasi Tenaga Kerja di Indonesia: Bersama Bisa “Together It’s Possible”. Jakarta: ILO. Kementerian Sosial RI. (2011). Buku Pedoman Umum Perlindungan Sosial Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran. Direktorat Perlindungan Sosial Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial. Jakarta: Kementerian Sosial RI. Kementerian Sosial RI. (2010). Peraturan Menteri Sosial RI Nomor: 86/HUK/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Sosial RI. Jakarta: Kementerian Sosial RI. Kementerian Sosial RI. (2013). Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 22 Tahun 2013 tentang Pemulangan Pekerja Migran Bermasalah dan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah ke Daerah Asal. Jakarta: Kementerian Sosial RI. Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. (2009). Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor 05A/ KEP/MENKO/KESRA/I/2009 tentang Satuan Tugas Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah serta Pekerja Migran Indonesia Bermasalah Sosial dan Keluarganya dari Malaysia. Jakarta: Kemenko Kesra RI. Lloyd, G.G. (1986) Psychiatric syndromes with a somatic presentation. Journal of Psychosomatic Research, 30, 113-120. Mardalis (1999). Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Bumi Aksara. Jakarta. Massey, D.S., Arango, J., et al. (1993). ‘Theories of International Migration: A Review and Appraisal.’ Population and Development Review 19(3): 431-466. Massey, D.S., Arango, J., Hugo, G., Kouaouci, A., Pellegrino, A., Taylor, E. (1998). Worlds in Motion: Understanding International Migration at the End of the Millenium. New York: Clarendon Press, Oxford University Press Inc.
82
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
Nazroo, J.Y. (1998) Rethinking the relationship between ethnicity and mental health. The British fourth national survey of ethnic minorities. Social Psychiatry, 33, 145-148. Patel, N. (1992). Psychological disturbance, social support and stressors: A community survey of immigrant Asian women and the indigineous population. Counselling Psychology Quarterly, 5(3), 263-281. Piore, M.J. (1979). Birds of Passage: Migrant Labor Industrial Societies. New York: Cambridge University Press. Rogler, Lioyd Dharma Cortez, and Robert Malgady (1991). Acculuturation and mental Health status Among Hispanic. American Psichologist. 46-6: 585-97. Sutaat, dkk. (2007). Pelayanan Sosial Bagi Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah Di Malaysia. Puslitbangkesos. Departemen Sosial. Sutaat, dkk. (2008). Pendampingan Sosial Bagi Calon Pekerja Migrant dan Keluarganya di Daerah asal: Studi Masalah dan Kebutuhan. Ciputat Press: Jakarta Selatan. Sutaat, Setiti, S.G., Widodo, N., Unayah, N. (2011). Pendampingan Sosial bagi Calon Pekerja Migran dan Keluarganya di Daerah Asal: Studi Masalah dan Kebutuhan. Jakarta: P3KS Press. Tobing, E. (2003). Pendidikan, Pasar Pekerja dan Kewiraswastaan, Jakarta: The Prospect & The Indonesian Institute. Todaro, M.P. (1969). ‘A Model of Labour Migration and Urban Unemployment in Less Developed Countries’. The American Economic Review LIX(1): 138-148. Thieme, S. (2006). Social Networks and Migration: Far West Nepalese Labour Migrants in Delhi. Berne: NCCR North-South dialogue, NCCR North-South. Pemerintah Indonesia. (1999). Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azazi Manusia.
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
83
Pemerintah Indonesia. (2004). Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Pemerintah Indonesia. (2009). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Pemerintah Indonesia. (2013). Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2013 tentang Koordinasi Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia. Jakarta: Indonesia. van Ginneken, W. (2013). Social Protection for Migrant Workers: National and International Policy Challenges. European Journal of Social Security, 15(2). Weinbach RW. (2005). Evaluating social work services and programs. Boston: Pearson Education Inc. Westermeyer, J., Vang, T.F. & Neider, J. (1983). Migration and mental health among Hmong refugees: Association of pre and post migration factors with self rating scales. Journal of Nervous and Mental Disease, 171, 92-96. Wilding, P., dan George, V. (1992). Ideologi dan kesejahteraan rakyat. Graffiti. Jakarta.
84
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
BIODATA PENULIS Husmiati, lahir di Makassar, 9 Oktober 1967, memperoleh gelar Doctor of Philosophy (Ph.D) dan Master of Social Science (M.Soc.Sc) di Universiti Sains Malaysia. Sedangkan jenjang S1 (Doktoranda) diselesaikan di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung. Saat ini menjabat sebagai Peneliti Madya pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial RI. Penelitian yang telah dilakukan dan dipublikasikan meliputi: Kondisi Psikososial Anak Nakal Dan Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Pasca Rehabilitasi Sosial Di Panti Sosial Marsudi Putra (Psmp) Antasena Magelang, Pembinaan Lanjut (After Care Services) Pasca Rehabilitasi Sosial pada Panti Sosial, Trauma Healing Pada Anak-Anak Korban Bencana Gunung Sinabung Di Sumatera Utara, Peranan Harga Diri Sebagai Variabel Moderasi Dalam Hubungan Antara Depresi Dan Keberfungsian Sosial Internal Remaja. International of social work education in indonesia. Joint International Joint Research Project. ACWelS, APASWE, Japan College of Social Work. Working With Homosexual Clients:Application of Solution Focus Therapy. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro. Keluarga dalam Peningkatan Kualitas Hidup Eks Klien Psikotik, Jurnal Diklat Kesejahteraan Sosial. Asesmen dalam Praktek Pekerjaan Sosial:Relevansi dengan Praktek dan Penelitian. perilaku bullying : asesmen multidimensi dan intervensi sosial. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro. Reaksi psikososial orangtua yang memiliki anak retardasi mental. Masalah dan intervensi psikososial terhadap imigran illegal. Survei Kekerasan terhadap Anak (Kerjasama Puslitbangkesos dengan Bappenas, BPS, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan UNICEF) dan Perlindungan Sosial Bagi Anak Korban Tindak Kekerasan. Survei Kesejahteraan Sosial Dasar, dan Penelitian Perlindungan Sosial bagi Pekerja Migran Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
85
Bermasalah melalui RPTC. Selain itu pernah menjadi Co. Pembicara pada The International Seminar On Social Welfare In Asia And Pacific Rim “Religion And Social Work In Asia di Tokyo Jepang (2015).
Alit KURNIASARI, Magister Profesional Pengembangan Masyarakat IPB (2004), Sarjana Psikologi Perkembangan Unpad Bandung,(1984); Saat ini menjabat sebagai Peneliti Madya di Puslitbang Kesos. Penelitian yang pernah dilakukan: Penelitian kebutuhan dan masalah Anak Jalanan; Permasalahan dan Kebutuhan Pengungsi Wanita dan Anak di daerah Konflik; Kebutuhan dan Permasalahan Sosial ODHA; Penelitian Kualitas Pengasuhan dan Pelayanan Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) di Indonesia. (Save Children-Depsos), Pengembangan Komunitas Peduli Anak; Pelayanan Sosial bagi eks TB Paru; Penelitian prevalensi penyalahguna obat/napza pada remaja di kota besar; Penanganan Anak Berkonflik Hukum; Evaluasi Program Pelayanan Sosial Anak melalui Panti Sosial Marsudi Putera (PSMP); Evaluasi Program Pelayanan Sosial Anak melalui Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA); Profil Pendamping Anak Berkonflik Hukum; Sikap Masyarakat terhadap Trafficking Anak di daerah Pengirim; Evaluasi Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial pada Panti Sosial (Studi Aftercare pada pasca rehabilitasi); Survei Kekerasan terhadap Anak, Penelitian Perlindungan Sosial bagi Pekerja Migran Bermasalah melalui RPTC. Survei Kesejahteraan Sosial Dasar. Jabatan: Editor pada Majalah Informasi dari tahun 2008 s.d sekarang; Pernah menjadi staf pengajar di STKS Bandung, dari tahun 1986- 1995, pada mata kuliah Psikologi Anak, Psikologi Abnormal dan Psikologi Sosial. Tahun 1996 - 2003 mengajar di program D2 Pendidikan Guru TK di Yayasan Islamic Tangerang. Pernah mengikuti Training of trainer IEC for HIV Prevention, Melbourne Univercity (1996), pelatihan metodologi dari LIPI, dan pelatihan perlindungan anak lainnya.
86
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
IVO NOVIANA, S.SOS, M.SI, menamatkan program Strata 1 dari Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia – Depok pada tahun 1998, dan Magister Sains dari program pascasarjana Antropologi FISIP – UI pada tahun 2010. Saat ini aktif sebagai peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial RI. Penelitian yang pernah dilakukan, antara lain: Evaluasi Pelaksanaan Program Subsidi Panti dalam mendukung Kelangsungan Pelayanan Panti Sosial; Evaluasi Pasca Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil; Studi Pemberdayaan Fakir Miskin di Desa Barada, Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur; Penelitian Aksi dan Perencanaan Partisipatif untuk Membangun Komuniti Bebas Narkoba di Kompleks Permata, Kedaung Kaliangke – Jakarta Barat; Pemenuhan Hak Dasar Anak di Wilayah Perbatasan (Studi Kasus di Entikong); Penelitian Masalah, Kebutuhan dan Sumberdaya di Daerah Tertinggal (Studi Kasus di Sepuluh Kabupaten Tertinggal); Kebijakan Pendamping Program Keluarga Harapan; Perlindungan Sosial bagi Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan: Suatu Kajian Cepat di Jawa Barat dan Jambi; Kebutuhan dan Aspirasi: Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas.
Nurdin WIDODO,
lahir di Ngawi, 3 Januari 1958, memperoleh gelar Magister Ilmu Kesejahteraan Sosial di STISIP Widuri Jakarta. Saat ini menjabat sebagai Peneliti Madya pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial RI. Disamping itu, sebagai wakil Ketua Redaktur Jurnal Sociokonsepsia Puslitbang Kesos, sekretaris TP2I, TP2JL dan sekretaris P3KS Press. Pernah menjadi ketua Redaktur Jurnal Sociokonsepsia Puslitbang Kesos. Penelitian yang telah dilakukan dan dipublikasikan meliputi:
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
87
Pelayanan Anak Terlantar Putus Sekolah Melalui Panti Sosial Bina Remaja; Hubungan Antar Kelompok Pribumi dan Etnis Cina di Jakarta; Peran Lembaga Sosial dalam Penanganan Pengungsi; Pemberdayaan Pranata Sosial; Pelayanan Kesejahteraan Sosial Tenaga Kerja di Sektor Industri; Pengungsi Wanita dan Anak Korban Konflik dan Kerusuhan Sosial; Potensi Sosial Dalam Pelaksanaan Ketahanan Sosial Masyarakat di Kota Kendari; Pengembangan Uji Coba Model Pemberdayaan Remaja Melalui Karang Taruna; Permasalahan Sosial Pengungsi Korban Poso dan Upaya Penanggulangannya; Konflik Serta Modal Kedamaian Sosial dalam Konsepsi Lintas Kalangan Masyarakat di Tanah Air (kerjasama dengan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta); Uji Coba Model Penanganan Anak Terlantar Berbasis Kekerabatan; Pengaruh Subsidi Panti Terhadap Kelangsungan Penyelenggaraan Pelayanan Sosial Dalam Panti; Penelitian TKI di Malaysia; Pengembangan Program Pendampingan Sosial Bagi Calon Pekerja Migran (TKI) dan Keluarganya di Daerah Asal; Evaluasi Pelayanan Sosial Remaja Putus Sekolah Terlantar melalui panti Sosial Bina Remaja; Studi Kebijakan Pengembangan Sakti Peksos di Panti Sosial Masyarakat; Evaluasi program Perlindungan Anak melalui RPSA; Studi Pemberdayaan Fakir Miskin di Desa Barada, Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur; Pembinaan Lanjut (After Care Services) Pasca Rehabilitasi Sosial pada Panti Sosial, Survei Kekerasan terhadap Anak (Kerjasama Puslitbangkesos dengan Bappenas, BPS, kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan UNICEF) dan Perlindungan Sosial Bagi Anak Korban Tindak Kekerasan.
88
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
Muhammad BELANAWANE S., lahir di Jakarta pada 8 Oktober 1983. Menamatkan Program Studi Sarjana Antropologi Sosial (S.Sos.) dari Universitas Indonesia (UI) pada 2008. Saat ini adalah Peneliti Pertama di Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial RI. Pernah terlibat dalam penelitian lapangan mengenai politik identitas, konstruksi kekuasaan dalam komunitas, respons dan resiliensi keluarga migran di kawasan industri, identifikasi masalah-potensi dampak bencana banjir bandang Wasior di Papua Barat, evaluasi program bantuan sosial terhadap penyandang disabilitas berat di DI Yogyakarta, metode dan teknik pekerjaan sosial di Panti NAPZA Lembang-Jawa Barat, manajemen bencana berbasis komunitas di Sleman, DI Yogyakarta, perlindungan sosial bagi pekerja migran, dan lain-lain. Memiliki minat penelitian pada kajian-kajian tentang berbagai bidang antropologi sosial, khususnya kajian studi pembangunan, kebencanaan, ekologi dan sumber daya alam, migrasi, dan politik-ekonomi kebijakan sosial. Membaca, jalanjalan, dan bermain sepak bola adalah hobinya.
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
89
INDEK
A Arab Saudi, 12, 44
B Bantuan sosial, 16, 17, 18, 31, 89 Bekerja di luar negeri, 1, 2, 10, 20, 30, 36, 40, 47, 50, 53, 57, 64, 70, 74
D Devisa, 2 DKI Jakarta, 5, 22, 30, 33, 34, 35, 61
I International Labour Organisation/ILO, 11
J Jawa Timur, 5, 40, 42, 43, 44, 59, 60
K Ketenagakerjaan, 10, 42, 43, 44, 47, 71, 74, 76, 77
90
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
M Malaysia, 1, 12, 14, 22, 24, 26, 28, 30, 37, 38, 40, 42, 43, 44, 47, 51, 52, 55, 56, 57, 63, 66, 67, 69, 70, 80 Migrasi, 1, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 12, 29, 30, 37, 46, 54, 65, 75, 76
N Nusa Tenggara Barat, 5, 49, 50, 60
O overstay, 2
P Pekerja Migran Bermasalah, 1, 2, 4, 5, 10, 12, 13, 16, 20, 21, 24, 29, 31, 32, 33, 34, 39, 41, 42, 44, 45, 50, 51, 52, 56, 58, 62, 63, 68, 72 pekerja migran domestik, 2 Perdagangan manusia, 3, 15, 71 Perlindungan Sosial, 2, 4, 5, 16, 17, 18, 22, 25, 31, 32, 35, 38, 41, 44, 45, 50, 51, 52, 54, 55, 58, 60, 66, 68, 72, 74, 75, 76, 78
R Rumah Perlindungan Trauma Center, 4, 19, 21, 22, 61, 72
S shelter unit, 19, 20, 51, 62 Spring board, 17
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center
91
T Tanjung Pinang, 5, 22, 24, 25, 26, 28, 29, 35, 39, 52, 56, 58, 60, 61, 63, 67, 68, 69, 76 Tenaga Kerja Indonesia (TKI), 1, 3, 10, 13, 15, 16, 22, 30, 34, 49, 72, 74, 77 Tenaga Kerja Wanita, 11 Trafficking, 2, 65
U undercasting, 10
W World Trade Organization, 12
92
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center