SKRIPSI
PERLINDUNGAN HUKUM INTERNASIONAL PEKERJA MIGRAN BIDANG PERIKANAN DI KAPAL PERIKANAN ASING
Oleh: MUHAMMAD NUR B111 10 467
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014
i
HALAMAN JUDUL
PERLINDUNGAN HUKUM INTERNASIONAL PEKERJA MIGRAN BIDANG PERIKANAN DI KAPAL PERIKANAN ASING
OLEH :
MUHAMMAD NUR B111 10 467
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana dalam Program Kekhususan Hukum Internasional Program Studi Ilmu Hukum
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014
ii
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Diterangkan bahwa Mahasiswa: Nama
: Muhammad Nur
NIM
: B111 10 467
Program
: Ilmu Hukum
Bagian
: Hukum Internasional
Judul
:
PERLINDUNGAN
HUKUM
INTERNASIONAL
PEKERJA MIGRAN BIDANG PERIKANAN DI KAPAL PERIKANAN ASING. Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam ujian Skripsi di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar. Makassar, 22 Juli 2014
Pembimbing I
Prof. Dr. S.M. Noor, S,H., M,H. NIP. 195507021988101001
Pembimbing II
Dr. Marcel Hendrapati, S.H., M.H. NIP. 195010271980031002
iv
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI
Diterangkan bahwa skripsi mahasiswa : Nama
: Muhammad Nur
Nomor Pokok
: B 111 10 467
Bagian
: Hukum Internasional
Judul Skripsi
: Perlindungan Internasional Pekerja Migran Bidang Perikanan di Kapal Perikanan Asing
Memenuhi syarat untuk diajukan dalam ujian skripsi sebagai ujian akhir program studi. Makassar, 11 Agustus 2014 A.n. Dekan Wakil Dekan Bidang Akademik
Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng,S.H.,M.H. NIP. 1963 04 19 1989 03 1 003
v
ABSTRAK
Muhammad Nur (B111 10 467), Perlindungan Hukum Internasional Pekerja Migran Bidang Perikanan di Kapal Perikanan Asing dibimbing oleh Syamsuddin Muhammad Noor dan Marcel Hendrapaty. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui berbagai permasalahan yang dihadapi oleh Pekerja Migran Bidang Perikanan yang bekerja di Kapal Perikanan Asing, serta mengkaji bentuk perlindungan yang semestinya diberikan terhadap pekerja di bidang ini yang telah dituangkan dalam berbagai instrumen hukum internasional serta penerapannya di beberapa negara, khususnya di Indonesia. Penelitian ini bersifat penelitian normatif di mana pengumpulan data dilakukan dengan metode studi pustaka, yaitu mengumpulkan, mengidentifikasi, mengklasifikasi, dan menganalisis data untuk kemudian dilakukan pemahaman, pencatatan atau pengutipan terhadap data yang berkaitan dengan topic penelitian. Selanjutnya, data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan dipaparkan secara deskriptif. Berdasarkan analisis, penulis menyimpulkan beberapa hal, antara lain: 1) berbagai bentuk kecelakaan kerja hingga pelanggaran secara fisik maupun psikis kerap dialami oleh para pekerja perikanan di berbagai kapal perikanan di seluruh dunia. Kecelakaan dan pelanggaran yang terjadi tidak hanya menimpa pekerja perikanan yang berkebangsaan sama dengan bendera kapal, tetapi sebagian besar -terutama pelanggaran eksploitatif- terjadi pada pekerja yang berasal dari negara lain (pekerja migran); 2) Perlindungan hukum internasional terhadap pekerja bidang ini telah dibuat oleh ILO, IMO atau FAO. Berbagai instrument internasional terkait yaitu International Convention on Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel (STCW-F) 1995, Seaferer‟s Identity Documents Convention 2003, Recruitment and Placement of Seafarers Convention 1996, Repatriation of Seafarers Convention (Revised) 1987, Health Protection and Medical Care (Seafarers) Convention 1987, Minimum Age (Fishermen) Convention 1959, Seafarers Hours of Work and the Manning of Ships Convention 1996, Accommodation of Crews (Fishermen) Convention 1966 beserta ketentuan tambahannya yaitu Accommodation of Crews (Supplementary Provisions) Convention 1970, Social Security (Seafarers) Convention (Revised) 1987, Social Security (Minimum Standards) Convention 1952, Safety Recommendations for Decked Fishing Vessels of Less than 12 metres in Length and Undecked Fishing Vessels, Work in Fishing Convention 2007 beserta rekomendasinya; 3) Di Indonesia perlindungan pekerja ini diatur dalam Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM. 84 Tahun 2013 tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal, dan Peraturan Kepala BNP2TKI PER/03/KA/I/2013 tentang Tata Cara Penempatan dan Perlindungan TKI Pelaut Perikanan di Kapal Berbendera Asing.
vi
KATA PENGANTAR Alhamdulillahir Rabbil Alamin, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam atas segala limpahan rahmat, hidayah dan karunia yang senantiasa membimbing langkah penulis agar mampu merampungkan skripsi ini sebagai salah satu syarat tugas akhir pada jenjang studi Strata Satu (S1) di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Salam dan shalawat kepada Rasulullah Muhammad S.A.W. yang selalu menjadi teladan agar setiap langkah dan perbuatan kita selalu berada di jalan kebenaran dan bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Semoga semua hal yang penulis lakukan berkaitan dengan skripsi ini juga bernilai ibadah di sisi-Nya. Segenap kemampuan penulis telah dicurahkan dalam penyusunan tugas akhir
ini.
Namun
demikian,
penulis
sangat
menyadari
bahwa
kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Sebagai mahluk ciptaannya, penulis memiliki banyak keterbatasan. Oleh karena itu, segala bentuk saran dan kritik konstruktif senantiasa penulis harapkan agar kedepannya tulisan ini menjadi lebih baik. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang tiada terhingga kepada kedua orang tua penulis, kepada ayah Alm. H. Tajuddin dan Ibu Hj. Ramlah yang senantiasa merawat, mendidik dan memotivasi penulis dengan penuh kasih sayang. Kepada kakak-kakak penulis, Andi Yahya, Andi Ahmad T, Andi Rahmania, Andi Irmawati, dan Andi
vii
Rismawati yang setiap saat mengisi hari-hari penulis dengan penuh kebersamaan, canda dan tawa. Terimakasih penulis haturkan pula kepada: 1.
Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A., selaku Rektor Universitas Hasanuddin dan segenap jajaran Wakil Rektor Universitas Hasanuddin serta Prof. Dr. dr. Idrus A Paturusi selaku Rektor Universitas Hasanuddin sebelumnya beserta jajaran Wakilnya;
2.
Ibu Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H.,M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan segenap jajaran Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin;
3.
Seluruh
dosen
di
Fakultas
Hukum
UNHAS
yang
telah
membimbing dan memberikan pengetahuan, nasehat serta motivasi kepada penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin; 4.
Bapak Prof. Dr. Syamsuddin Muhammad Noor, S.H., M.H. selaku Pembimbing I, ditengah kesibukan dan aktivitasnya senantiasa bersedia membimbing dan memotivasi penulis dalam penyusunan skripsi ini;
5.
Bapak Dr. Marcel Hendrapaty, S.H.,M.H. selaku Pembimbing II yang senantiasa menyempatkan waktu dan penuh kesabaran dalam membimbing penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini;
viii
6.
Dewan Penguji, Ibu Prof. Dr. Alma Manuputty, S.H.,M.H., Ibu Inneke
Lihawa,
S.H.,M.H.,
dan
Ibu
Trifenny
Widayanti,
S.H.,M.H., atas segala saran dan masukannya yang sangat berharga dalam penyusunan skripsi ini; 7.
Bapak
Prof.
Dr.
Soekarno
Aburaerah,
S.H.,M.H.
selaku
Penasihat Akademik atas waktu dan nasihat yang dicurahkan kepada penulis; 8.
Seluruh pegawai dan karyawan di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
yang
senantiasa
membantu
penulis
selama
menempuh pendidikan; 9.
Mr. Max Tunon, GMS TRIANGLE Project Coordinator ILO Regional Office for Asia and the Pacific yang telah memberikan berbagai referensi via email di tengah-tengah kesibukannya;
10. Ms. Krisdaporn Singhaseni Information Officer ILO Regional Office for Asia and the Pacific atas segala masukan dan saransarannya; 11. Keluarga besar bibi, paman, sepupu dan keponakan yang selama
ini
menyemangati
penulis
untuk
menyelesaikan
penulisan skripsi ini; 12. Sahabat-sahabatku Nur Afifah, Maya Dwi Astuti, Fauzi Fadilah, Resky Dian Sari, Fitri Rahmiyani Annas, Muh. Afif Mahfud, Icmi Trihandayani, Gunawan, Muh. Al Imran, Hidayat Pratama Putra, Muhammad Irfan, Andi Mekasari, Mhule Mulhadi, Ariel Surya Ananda, Nur Khalik K. Noor, Suardi, Haidir Ali, Dio Alfiansyah,
ix
Irsan Ismail, Sudarwin, Septi Wahyu Sandi Yoga, Alvin Gunawan, Rafika Ramli, Ulfa, Andi Imam Wahyudi, Wahyudin, Sri Rahayu, Yupitasari Saeful, Sabrina, Andi Dede Suhendra, Edwin Damil Permana, Isak Purwanto, Muhammad Ali Imran, Irwansyah, atas kebersamaan dan pelajaran hidup yang kalian berikan; 13. Senior, teman-teman dan adik-adik di UKM Lembaga Penalaran dan Penulisan Karya Ilmiah (LP2KI) Fakultas Hukum UNHAS atas segala bantuan dan nasehat yang telah diberikan kepada penulis selama ini; 14. Senior, teman-teman dan adik-adik di UKM Lembaga Dakwah Mahasiswa Pecinta Mushallah (LD MPM) Asy Syariah Fakultas Hukum UNHAS atas segala bantuan dan nasehat yang telah diberikan kepada penulis selama ini; 15. Senior, teman-teman dan adik-adik di UKM Karatedo Gojukai Fakultas Hukum UNHAS atas segala bantuan dan nasehat yang telah diberikan kepada penulis selama ini; 16. Senior, teman-teman dan adik-adik di International Law Student Assosiation (ILSA) atas segala bantuan dan nasehat yang telah diberikan kepada penulis selama ini; 17. Senior, teman-teman dan adik-adik di Ikatan Penulis Mahasiswa Hukum Indonesia (IPMHI) atas motivasi dan dukungannya;
x
18. Semua pihak yang telah membantu penulis selama menempuh pendidikan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang penulis tidak bisa sebutkan satu per satu. Semoga Allah SWT senantiasa membalas segala kebaikan yang telah diberikan dengan penuh rahmat dan hidayahNya. Akhir kata, semoga skripsi
ini
dapat
bermanfaat
bagi
kita
semua,
terutama
dalam
perkembangan hukum di Indonesia. Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Makassar, 10 Agustus 2014
Penulis
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ............................................................................. i HALAMAN JUDUL ................................................................................. ii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... iii PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................ iv PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ................................... v ABSTRAK .............................................................................................. xv KATA PENGANTAR .............................................................................. xi DAFTAR ISI ............................................................................................ vi BAB 1: PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ...................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah ................................................................ 11 1.3. Tujuan Penulisan .................................................................. 12 1.4. Manfaat Penulisan ................................................................ 12 BAB 2: TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Migrasi Pekerja ..................................................................... 14 2.1.1. Pengertian Migrasi ...................................................... 14 2.1.2. Pengertian dan Jenis Migrasi Internasional................ 16 2.1.3. Faktor-Faktor Migrasi Pekerja .................................... 20 2.1.4. Pengertian Pekerja Migran ......................................... 24 2.2. Usaha Perikanan .................................................................. 27
xii
2.2.1. Pengertian Usaha Perikanan ...................................... 27 2.2.2. Jenis-Jenis Usaha Perikanan ..................................... 29 2.3. Kapal Perikanan ................................................................... 30 2.3.1. Pengertian Kapal Perikanan ....................................... 30 2.3.2. Jenis-jenis Kapal Perikanan ....................................... 34 2.3.3. Kapal Perikanan Asing................................................ 37 2.4. Pelaut (Seafarer) .................................................................. 40 2.4.1. Pengertian Pelaut ....................................................... 40 2.4.2. Jenis-jenis Pelaut ........................................................ 41 2.5. Perjanjian Kerja Laut ............................................................ 42 2.5.1. Pengertian Perjanjian Kerja Laut ................................ 42 2.5.2. Bentuk Perjanjian Kerja Laut ...................................... 44 2.5.3. Isi Perjanjian Kerja Laut .............................................. 46 2.5.4. Kecelakaan dan Bahaya-bahaya di Laut .................... 47 2.6. International Labour Organization (ILO) ............................... 49 2.6.1. Sejarah Pembentukan International Labour Organization ................................................................ 49 2.6.2. Maksud dan Tujuan International Labour Organization ................................................................ 51 2.6.3. Struktur Organisasi International Labour Organization ................................................................ 52 BAB 3: METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Lokasi Penelitian .................................................. 55
v
xiii
3.2. Jenis dan Sumber Data ........................................................ 56 3.3. Teknik Pengumpulan Data.................................................... 57 3.4. Analisis Data ......................................................................... 58 BAB 4: PEMBAHASAN 4.1. Kasus Pelanggaran Terhadap Pekerja Migran Bidang Perikanan di Kapal Perikanan Asing .................................... 59 4.1.1. Eksploitasi Pekerja Migran Perikanan di Thailand ... 61 4.1.2. Eksploitasi Pekerja Perikanan Buta Huruf Asal Nepal oleh Agency Singapura .................................. 65 4.1.3. Penyiksaan Pekerja Perikanan Asal Tiongkok di Samoa Amerika ........................................................ 60 4.1.4. Kasus Eksploitasi Pekerja di Kapal „the Oyang 70‟ Asal Korea ................................................................ 70 4.1.5. Kasus Awak Kapal „Hsieh Ta‟ Longliner Tuna ......... 75 4.1.6. Kasus-Kasus Eksploitasi Pekerja Perikanan di Afrika ......................................................................... 75 4.1.7. Kasus Pekerja Perikanan Indonesia di Trinidad and Tobago dan Pantai Gading ....................................... 78 4.2. Perlindungan Hukum Internasional Terhadap Pekerja Migran Bidang Perikanan di Kapal Perikanan Asing ............ 81 4.2.1. Standar Perekrutan dan Penempatan Pekerja Migran Bidang Perikanan ......................................... 83 4.2.2. Standar Minimal Umur Pekerja Bidang Perikanan ... 90
vi
xiv
4.2.3. Syarat Standar Kesehatan Medis Pekerja Migran Bidang Perikanan ..................................................... 92 4.2.4. Standar Dokumen Identitas Pelaut Bidang Perikanan di Kapal Perikanan Asing.......................................... 96 4.2.5. Standar Pelatihan dan Sertifikasi Bagi Pekerja Migran Bidang Perikanan ......................................... 98 4.2.6. Ketentuan Standar Perjanjian Kerja Laut bagi Pekerja Migran Bidang Perikanan ......................................... 111 4.2.7. Standar Upah Pekerja Migran Bidang Perikanan di Kapal Perikanan Asing ............................................. 118 4.2.8. Pengaturan Standar Jam Kerja dan Jam Istirahat di Kapal Perikanan ....................................................... 120 4.2.9. Standar Kelayakan Hidup Setiap Pekerja di Atas Kapal Perikanan ....................................................... 122 4.2.10. Pengaturan Standar Perlindungan Kesehatan dan Keselamatan serta Pencegahan Kecelakaan Pekerja di atas Kapal Perikanan................................................ 126 4.2.11. Perlindungan Sosial dan Kompensasi Kecelakaan Kerja bagi Pekerja Migran Bidang Perikanan di Kapal Perikanan Asing ........................................................ 133 4.2.12. Ketentuan Standar Repatriasi (Pemulangan) Pekerja Migran Bidang Perikanan di Kapal Perikanan Asing ke Negara Asal ......................................................... 137
xv
4.2.13. Upaya-upaya Pelaporan dan Penyelesaian Masalah yang Terjadi pada Pekerja Migran di Kapal Perikanan Asing ......................................................................... 142 4.3. Pelaksanaan Perlindungan Pekerja Migran Bidang Perikanan Asal Indonesia di Kapal Perikanan Asing ............................. 157 4.3.1. Masalah Umum yang Dihadapi Pekerja Migran Asal Indonesia di Kapal Perikanan Asing ......................... 159 4.3.2. Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Migran Asal Indonesia di Kapal Perikanan Asing ......................... 162 4.3.3. Peran Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) ......................... 167 4.3.4. Faktor-faktor Efektiftas Perlindungan Pekerja Migran Bidang Perikanan Asal Indonesia ............................. 175 BAB 5: PENUTUP 5.1. Kesimpulan ........................................................................... 183 5.2. Saran-saran .......................................................................... 187 Daftar Pustaka Lampiran
xvi
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Dua pertiga dari luas seluruh permukaan bumi merupakan lautan
dan laut itu sendiri adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia yang patut kita jaga dan lestarikan demi kelangsungan hidup generasi selanjutnya. Dalam kehidupan manusia, laut memiliki peranan yang sangat besar. Berbagai kegiatan eksplorasi, eksploitasi, perdagangan, ekonomi, bisnis, investasi dan pertukaran budaya banyak terjadi di lautan antar-kelompok bangsa. Laut juga telah menjadi jalur awal terjadinya globalisasi di seluruh dunia. Globalisasi merupakan proses terjalinnya hubungan tanpa sekat negara-negara di seantero dunia. Dalam globalisasi, perdagangan barang dan jasa, perpindahan modal, jaringan transportasi, serta pertukaran informasi dan kebudayaan bergerak secara bebas ke seluruh dunia seakan-akan tanpa mengenal batas-batas negara (transboundary). Globalisasi ternyata juga mendorong perpindahan pekerja antar-negara (migrasi internasional). Pada awalnya, migrasi pekerja ini terjadi untuk memenuhi kekurangan pekerja jangka pendek (short-terms Labour shortages), seperti yang terjadi di Amerika Serikat tahun 1950-an, dengan
1
mendatangkan pekerja asal Meksiko.1 Menurut Osaki2 migrasi ini terjadi karena adanya keperluan pekerja yang bersifat hakiki (intrinsic Labour demand) pada masyarakat industri modern. Pernyataan ini dikemukakan oleh aliran yang menganalisis keinginan seseorang melakukan migrasi yang disebut dengan dual labour market theory. Menurut aliran ini, migrasi terjadi karena adanya keperluan pekerja tertentu pada daerah atau negara yang telah maju. Oleh karena itu migrasi bukan hanya terjadi karena push factors yang ada pada daerah/negara asal tetapi juga adanya pull factors pada daerah/negara tujuan. Dewasa ini, penduduk dunia bergerak meninggalkan tanah airnya menuju negara lain yang menawarkan pekerjaan dengan upah lebih tinggi. Upaya pengiriman pekerja tersebut setidak-tidaknya telah mendatangkan manfaat yang besar, yaitu3: a. Mempercepat hubungan antar-negara (negara pengirim pekerja dengan negara penerima); b. Mendorong terjadinya pengalaman kerja dan alih teknologi; c. Meningkatkan
pembayaran
di
dalam
neraca
pembayaran
negara/devisa. Migrasi internasional dengan alasan ekonomi sering dianggap sebagai brain drain, yaitu suatu eksodus pekerja terampil dari negara 1
Weeks, J., 1974, Population: An Introduction to Concept and Issues, California: Wardsworth Publishing, dikutip Elisabeth Dewi, Migrasi Internasional dan Politik Luar Negeri Indonesia, Paper yang dipresentasikan di FKKLN “Migrasi dan Pembangunan: Kondisi Global serta Peluang dan Tantangannya bagi Kebijakan Luar Negeri” di Bandung pada Desember 2012, hlm. 19. 2 Osaki, K, 2003, Migrant Remittances in Thailand: Economic Necessity or Social Norm?, Journal of Population Research, Edisi XX Vol.2, hlm. 203. 3 Sendjun H. Manulang, 1990, Pokok Pokok Hukum Ketenagakerjaan, Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 43.
2
berkembang ke negara maju dengan tujuan untuk mencari penghidupan yang lebih baik4. Akan tetapi, di Asia migrasi semacam ini banyak dilakukan oleh pekerja tidak terampil (unskilled workers) dan setengah terampil (semi-skilled workers) dengan maksud untuk memperbaiki taraf hidupnya5.
Migrasi
pekerja
mencerminkan
tipe
khusus
mobilitas
internasional dan biasanya hanya melibatkan tenaga kerja. Menurut Elwin Tobing6, arus migrasi pekerja ini diperkirakan akan terus meningkat setiap tahunnya sejalan dengan melonggarnya hambatan-hambatan resmi migrasi di negara-negara yang tergabung dalam World Trade Organisation (WTO). Melonjaknya arus migrasi ini pada hakekatnya merupakan resultante perbedaan tingkat kemakmuran antara negara maju dan berkembang. Pembangunan ekonomi yang tinggi di beberapa negara telah mendorong upah dan kondisi lingkungan kerja ke taraf yang lebih tinggi. Percepatan pembangunan ekonomi di
negara tersebut kemudian
meningkatkan kebutuhan akan pekerja dalam jumlah tertentu. Secara umum, permintaan akan pekerja terlatih di negara maju dapat dipenuhi dari negara maju lainnya. Sedangkan permintaan akan pekerja tidak terlatih “terpaksa” didatangkan dari negara berkembang. Pekerja dari negara-negara maju sendiri seringkali tidak tertarik dengan pekerjaan yang menurut kategori mereka bergaji rendah.
4
Pressat R., 1985, The Dictionary of Demography, Oxford: Basil Blackwell, hlm. 114-115. Graeme Hugo, 1995. Illegal Migration in Asia, Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 38-39. 6 Elwin Tobing, 2003, Pendidikan, Pasar Pekerja dan Kewiraswastaan, Jakarta: The Prospect & The Indonesian Institute, hlm.2. 5
3
Sementara itu, kesulitan ekonomi, sempitnya lapangan pekerjaan dan upah rendah di negara berkembang mendorong penduduk untuk mengadu nasib ke negara maju meskipun tanpa bekal (keahlian, persiapan, dokumen) yang memadai. Sebagian besar pekerja migran dari negara berkembang umumnya terdorong oleh upah yang relatif lebih tinggi dibanding upah yang diterima di negara asal. Namun, sebagian pekerja migran ada yang termotivasi oleh alasan lain, seperti keagamaan (pergi haji, umroh) khususnya di Arab Saudi. Faktor pendorong dan daya tarik tersebut sebenarnya merupakan hukum ekonomi yang wajar jika prosesnya dilalui berdasarkan kriteria yang dibutuhkan. Persoalan menjadi lain manakala pekerja dari negara pengirim bermigrasi secara ilegal dan/atau tanpa keahlian serta persiapan yang diperlukan. Dalam konteks ini, munculah dua macam migrasi, yaitu yang legal (resmi) dan yang ilegal (gelap). Status gelap inilah yang kemudian menyebabkan pekerja migran sangat
rentan
mengalami
permasalahan
sosial-psikologis
dan
pelanggaran hak asasi manusia. Peluang pekerja migran selama ini tidak hanya terbatas di bidang pekerjaan rumah tangga, perawatan, konstruksi, pertanian, manufaktur dan bidang jasa saja, tetapi juga merambah hingga bidang perikanan tangkap. Di tahun 2000 yang lalu, Food and Agriculture Organization (FAO) memperkirakan terdapat 36 juta orang yang terlibat dalam kegiatan
4
penangkapan ikan dan budidaya perikanan, dan 15 juta di antaranya terlibat dalam penangkapan ikan di laut.7 Sumber daya kelautan yang merupakan salah satu potensi yang jumlahnya sangat besar di dunia telah lama mendapat porsi tersendiri dalam pemenuhan kebutuhan manusia. Sumber daya perikanan dapat dipandang sebagai suatu komponen dari ekosistem perikanan dan berperan sebagai faktor produksi yang diperlukan untuk menghasilkan sebuah output yang bernilai ekonomi masa kini maupun masa mendatang, sehingga beberapa negara di dunia semakin fokus melakukan eksplorasi dan eksploitasi terhadap sumber daya tersebut. Potensi sumber daya perikanan yang cukup besar di beberapa negara telah membuka peluang kerja bagi pekerja asing, khususnya pekerja yang berasal dari kawasan Asia Tenggara (ASEAN) yang terkenal sebagai negara dengan lumbung pekerja perikanan terbesar di dunia. Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), 87 persen pekerja perikanan dan 73 persen kapal perikanan di dunia berasal dari kawasan Asia Tenggara, serta Jepang dan Cina.8 Besarnya jumlah pekerja perikanan di Asia Tenggara dipengaruhi oleh kebutuhan akan produk-produk perikanan yang terbilang tinggi di 7
Djodjo Suwardjo, dkk., Kajian Tingkat Kecelakaan Fatal, Pencegahan dan Mitigasi Kecelakaan Kapal-Kapal Penangkap Ikan yang Berbasis Operasi Di PPP Tegalsari, PPN Pekalongan dan PPS Cilacap, Jurnal Teknologi Perikanan & Kelautan Universitas Pertanian Bogor Vol. 10, No.1 tahun 2010, hlm. 61-62. 8 Data Food and Agriculture Organization (FAO) yang dikutip oleh International Labour Organization (ILO) dalam artikel “Pertemuan untuk mengkaji upaya perlindungan pekerja perikanan di kawasan ASEAN” yang dimuat dalam website resmi ILO
diakses tanggal 25 Februari 2014 pukul 09.47 Wita.
5
Asia, di mana makanan laut sejak lama telah menjadi bagian dari kebutuhan konsumsi pangan di wilayah ini. Jumlah pekerja perikanan yang potensial inilah yang membuat pemilik perusahaan di bidang perikanan tangkap di berbagai negara tertarik untuk merekrut dan mempekerjakan mereka sebagai pelaut perikanan atau anak buah kapal perikanan. Salah satu alasan besarnya perekrutan pekerja perikanan migran adalah karena sifat pekerjaan ini yang memiliki risiko tinggi yang menyebabkan generasi muda dari beberapa negara seperti Jepang dan Taiwan tidak bersedia bekerja sebagai awak kapal perikanan, yang menyebabkan pihak-pihak yang berusaha di bidang penangkapan ikan kesulitan mencari pekerja yang berasal dari negaranya sendiri. Para pekerja perikanan migran yang bekerja di kapal-kapal asing di berbagai negara, terutama di Asia dan Pasifik kerap kali melakukan perjalanan jarak jauh dan menjalani pekerjaan berat dalam upaya menjamin keamanan keuangan dan meraih masa depan yang lebih baik bagi diri dan keluarga mereka. Upaya mereka yang tidak mengenal lelah dengan bekerja di kapal-kapal perikanan di seluruh dunia tidak hanya menghidupi mereka tetapi juga berkontribusi pada keamanan pangan global serta perkembangan ekonomi baik di negara tujuan dan negara asal mereka. Namun, manfaat ini bukanlah hal yang mudah untuk didapatkan. Perjuangan para pekerja migran di kapal asing ini dalam pelaksanaannya
telah
memberikan
ancaman
yang
serius
bagi
keselamatan mereka. International Labour Organization (ILO) telah
6
mengidentifikasi perikanan komersial sebagai pekerjaan berbahaya dengan tingkat kecelakaan dan kematian yang sangat tinggi di dunia9. Pekerjaan pada kapal penangkap ikan pada umumnya bersifat berbahaya (dangerous) karena melakukan penangkapan (berburu) ikan di laut dengan kondisi lingkungan (cuaca) yang tidak menentu dengan risiko kerja yang tinggi, bersifat sulit (difficult) karena tidak semua orang bisa bekerja dengan menggunakan berbagai jenis alat penangkap ikan dan dapat bertahan (betah) di laut, serta bersifat kotor (dirty) karena pada kapal penangkap ikan secara langsung menangani ikan yang mudah membusuk. Pekerja kapal perikanan berlayar menempuh alur pelayaran yang tidak menentu. Alur pelayaran kapal-kapal penangkap ikan tidak seperti alur pelayaran kapal-kapal niaga, karena sudah menjadi keharusan untuk menyesuaikan alur pelayarannya dengan daerah penangkapan ikan yang menjadi sasaran penangkapan yang kerap berpindah-pindah, sehingga jangkauan wilayah kerjanya akan sangat luas yang melampaui batas-batas territorial suatu negara hingga jauh ke laut lepas. Besarnya jangkauan wilayah kerja tersebut mengakibatkan lama atau durasi pelayaran kapal-kapal penangkap ikan sangat bervariasi. Selain itu, durasi perjalanan kapal-kapal penangkap ikan juga tergantung pada ukuran kapal, musim penangkapan atau faktor lain seperti cuaca yang selalu berubah-ubah. Kapal-kapal berukuran kecil biasanya berlayar hanya satu hari (one day fishing) sedangkan kapal besar bisa mencapai 9
Ibid.
7
hingga berbulan-bulan lamanya.10 Hal ini juga biasanya disesuaikan dengan jumlah perbekalan dan bahan bakar yang disiapkan di kapal pengangkut ikan. Berdasarkan laporan ILO, setiap tahunnya terjadi sekitar 24 ribu kecelakaan kapal yang fatal dan 24 juta kecelakaan non-fatal atau 79 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seluruh tingkat kecelakaan kerja yang terjadi di sektor kerja lain. Menurut International Maritime Organization (IMO), di tahun 2006, 80 persen kecelakaan kapal terjadi karena kesalahan manusia, dan untuk industri perikanan tangkap terjadi 7 persen kecelakaan dari total kecelakaan yang terdata.11 Banyak faktor yang dapat meningkatkan risiko kecelakaan di antaranya: kondisi jam kerja yang relatif lama sehingga menyebabkan kelelahan; kondisi kapal yang tua dan kurang terawat; ruang kerja yang sempit; bahaya yang melekat pada pekerjaan (seperti kondisi cuaca); kurang terampil dan kurang pelatihan; kurangnya monitoring dan performance mesin kapal; produk yang ditangani membahayakan seperti ikan berbisa; kurangnya peralatan dan penggunaan peralatan keselamatan, dan faktor-faktor lainnya yang akhirnya mengancam keselamatan pekerja migran yang bekerja di kapal
10
Gurdun Petursdottir, Olafur Hannibalson dan Jeremy MM. Turner, 2001, Safety At Sea as an Integral Part of Fisheries Management. Food and Agriculture Organization of the United Nation, dikutip dalam Djodjo Suwardjo,dkk., Kajian Tingkat Kecelakaan Fatal, Pencegahan dan Mitigasi Kecelakaan Kapal-Kapal Penangkap Ikan yang Berbasis Operasi Di PPP Tegalsari, PPN Pekalongan Dan PPS Cilacap, Jurnal Teknologi Perikanan & Kelautan Universitas Pertanian Bogor Vol. 10, No.1 tahun 2010, hlm. 62. 11 Direktorat Kapal Perikanan dan Alat Penangkap Ikan, 2011, Keselamatan Kerja Awak Kapal Perikanan Untuk Siapa?, dimuat dalam website resmi diakses tanggal 25 Februari 2014 pukul 17.16 Wita.
8
tersebut dan banyak menimbulkan pengabaian terhadap hak-hak mereka dalam hal ganti rugi serta asuransinya. Sementara itu, kondisi kerja dan kehidupan di kapal-kapal perikanan komersial dapat menjadi berbahaya dan tidak sehat. Jam kerja yang panjang, terbatasnya perlindungan dari bahaya pekerjaan, ruang tinggal yang sempit dan padat, serta kendala bahasa merupakan kondisi yang banyak dihadapi pekerja migran bidang perikanan di kapal perikanan asing. Selain itu, perlakuan eksploitatif oleh para pekerja asal negara pemilik
kapal,
pekerja
senior
dan
pekerja
lainnya
tidak
jarang
menyebabkan pekerja migran mengalami tindakan kekerasan dan tekanan kerja yang berat yang menimbulkan depresi hingga kematian pekerja migran. Kaum migran pekerja perikanan adalah manusia, pemilik mutlak hak asasi manusia yang telah diakui secara universal. Yang harus dipahami adalah hak-hak, martabat dan keamanan mereka membutuhkan perlindungan spesifik dan khusus. Namun kenyataannya saat ini, banyak di antara mereka tidak mendapatkan perlindungan hukum dari negara asalnya dan negara tempat mereka bermigrasi, sehingga kaum migran internasional ini bisa menjadi sangat rentan terhadap pelecehan dan eksploitasi.12 Perlindungan hukum dan perlindungan dalam bentuk lain
12
Patrick Taran, 2007, “Clashing Worlds: Imperative for a Rights-Based Approach to Labour Migration in the Age of Globalization” dalam Globalization, Migration and Human Rights: International Law under Review, Volume II Bruylant, Brussel, dikutip dalam “Petunjuk Ratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya” oleh Komite Pengarah Internasional Untuk Kampanye Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Pekerja Migran, April 2009, hlm. 3.
9
untuk menjamin dihargainya hak asasi dan kerja layak bagi pekerja migran belum cukup terbangun di banyak negara tujuan. Banyak pemerintah yang belum membuat undang-undang, kebijakan dan struktur pengaturan yang memadai untuk mengatur pekerja migran, mereduksi migrasi ilegal, menjamin kerja layak bagi pekerja migran, dan memperkuat kohesi sosial dalam konteks meningkatnya mobilitas lintas batas saat ini. Migran sangat sering dipandang sebagai kelompok orang yang bisa dieksploitasi dan dikorbankan, sumber pekerja murah, lemah dan fleksibel, bersedia menerima pekerjaan atau kondisi kerja yang berisiko tinggi, yang mana warga negara tempatnya bermigrasi tidak bersedia dan/atau tidak mau menerimanya. Melihat kondisi dan risiko kerja yang besar inilah yang kemudian menuntut berbagai pihak untuk memberikan perlindungan yang lebih besar terhadap pekerja migran di bidang ini. Sehingga akhirnya, tuntutan perlindungan terhadap pekerja migran bidang perikanan, keselamatan kerja, besaran upah, kondisi kerja dan kehidupan yang layak bagi mereka dalam kapal-kapal perikanan asing beberapa tahun terakhir telah menjadi isu internasional. Namun, kendati berbagai upaya telah dilakukan belakangan ini oleh konstituen tripartit ILO (pemerintah, pekerja dan pengusaha) untuk meningkatkan jaminan terhadap pemenuhan hak-hak dan keselamatan mereka, tapi berbagai kendala masih banyak dihadapi dalam tataran pelaksanaannya.
10
Di Indonesia sendiri, menurut data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Pekerja Indonesia (BNP2TKI) sampai September 2012, ada 3.919 pekerja Indonesia di kapal perikanan di berbagai negara13, dan sejak tahun 2005 sampai 2011 telah dilakukan pendataan dari berbagai sumber terhadap berbagai kasus yang dialami oleh para awak kapal perikanan Indonesia yang bekerja di luar negeri. Kasus tersebut di antaranya kasus: illegal fishing, meninggal, terlantar, penganiayaan, gaji, dokumen, penipuan, penahanan, pemulangan, pemutusan hubungan kerja, pemalsuan, kapal tenggelam/hanyut, asuransi, penyanderaan dan pembunuhan. Adapun negara tempat terjadinya kasus tersebut di antaranya: Australia, Somalia, Malaysia, Korea Selatan, Mozambik, Afrika Selatan, Fiji, Mauritius, Italia, Taiwan, Spanyol, PNG, Filipina, Argentina, Rusia, Inggris, Togo, Peru, Jepang, Hawai dan Colombo.14 Adanya berbagai kasus yang dihadapi oleh para pekerja migran yang bekerja di kapal asing di berbagai negara, serta kurang maksimalnya perlindungan dan penindakan terhadap berbagai pelanggaran yang dialami oleh pekerja migran tersebut perlu menjadi perhatian yang serius bagi setiap stakeholder. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk mengangkat permasalahan ini dalam skripsi yang berjudul “Perlindungan
13
Kompas, 2012, Indonesia Perlu Lindungi TKI Pelaut Kapal Ikan, Wawancara Albert Y Bonasahat (Staf International Labour Organization (ILO) untuk Migrasi Kerja) yang dimuat dalam diakses tanggal 03 Maret 2014 pukul 19.17 Wita. 14 Direktorat Kapal Perikanan dan Alat Penangkap Ikan, 2012, Kasus Awak Kapal Perikan Indonesia di Luar Negeri, laporan kejadian kasus yang dimuat dalam website resmi diakses tanggal 25 Februari 2014 pukul 14.45 Wita.
11
Hukum Internasional Pekerja Migran Bidang Perikanan di Kapal Perikanan Asing”. 1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kasus pelanggaran yang dialami pekerja migran bidang perikanan di kapal perikanan asing? 2. Bagaimanakah perlindungan hukum internasional terhadap pekerja migran bidang perikanan di kapal perikanan asing? 3. Bagaimanakah
pelaksanaan
perlindungan
pekerja
migran
bidang perikanan asal Indonesia di kapal perikanan asing?
1.3.
Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui pelanggaran yang dihadapi pekerja migran bidang perikanan di kapal perikanan asing. 2. Untuk mengetahui perlindungan hukum internasional terhadap pekerja migran bidang perikanan di kapal perikanan asing. 3. Untuk
mengetahui
pelaksanaan
perlindungan
hukum
internasional terhadap pekerja migran bidang perikanan di kapal perikanan yang beroperasi di Indonesia.
1.4.
Manfaat Penulisan 1. Manfaat Teoritis
12
Hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
bermanfaat
dalam
meningkatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan sebagai bahan kajian menyangkut Perlindungan Hukum Internasional Pekerja Migran Bidang Perikanan di Kapal Perikanan Asing. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada masyarakat, terutama para pekerja migran dan calon pekerja migran bidang perikanan guna mengetahui secara jelas tentang hak dan kewajibannya terkait pelaksanaan pekerjaan di sektor perikanan serta menjadi bahan pertimbangan dalam merencanakan langkah antisipatif ataupun melakukan penuntutan atas pelanggaran yang dihadapi oleh pekerja migran bidang perikanan yang bekerja di kapal perikanan asing.
13
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Migrasi Tenaga Kerja 2.1.1. Pengertian Tenaga Kerja Tenaga kerja dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk
mengeluarkan usaha pada tiap satuan waktu guna menghasilkan sesuatu baik berupa barang atau jasa, yang digunakan baik untuk dirinya sendiri ataupun untuk orang lain.15 Menurut Sumarsono16 tenaga kerja adalah semua orang yang bersedia dan sanggup bekerja, di mana tenaga kerja ini meliputi semua orang yang bekerja baik untuk diri sendiri ataupun untuk anggota keluarganya yang tidak menerima imbalan dalam bentuk upah, atau semua orang yang sesungguhnya bersedia dan mampu untuk bekerja, dalam arti mereka menggangur dengan terpaksa karena tidak adanya kesempatan kerja.
15
Sri Handono, 2004, Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja pada Sentra Industri Kecil yang telah Dibina di Kabupaten Sukoharjo, Skripsi Mahasiswa S-1, Surakarta: Fakultas Ekonomi UNS, hlm. 24. 16 Sony Sumarsono, 2003, Ekonomi Manajemen Sumber Daya Manusia dan Ketenagakerjaan, Yogyakarta: Graha Ilmu, hlm. 6.
14
Sedangkan Dumairy17 menyatakan bahwa yang termasuk dalam tenaga kerja adalah semua penduduk yang mempunyai umur dalam batas usia kerja. Setiap negara menentukan batas usia yang berbeda tergantung dari situasi tenaga kerja di negara tersebut. Pada Sensus Penduduk (SP) tahun 1971, 1980 dan 1990, Indonesia menggunakan patokan seluruh penduduk berusia 10 tahun ke atas. Namun sejak SP tahun 2000, yang termasuk tenaga kerja adalah penduduk yang berusia 15 tahun atau lebih, hal ini sesuai dengan ketentuan internasional18. Penghitungan jumlah tenaga kerja dapat dilakukan dengan menjumlahkan seluruh penduduk usia kerja 15 tahun ke atas di dalam suatu negara. Sedangkan persentase tenaga kerja di dalam satu negara dapat dihitung dengan membandingkan antara total penduduk dalam usia kerja dengan total keseluruhan penduduk. Khusus di bidang perikanan, menurut pasal 9 ayat (1) Work in Fishing Convention tahun 2007 dinyatakan bahwa: Usia minimal untuk bekerja di kapal penangkap ikan adalah 16 tahun. Namun, pihak berwenang yang berkompeten dapat menetapkan usia minimal 15 tahun kepada mereka yang tidak lagi mengikuti kegiatan wajib belajar sebagaimana yang diharuskan undang-undang nasional, dan yang mengikuti pelatihan kejuruan di bidang penangkapan ikan. 2.1.2. Pengertian dan Jenis Migrasi Internasional
17
Dikutip dalam Anugerah Dewantara, 2004, Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Wanita, Skripsi Mahasiswa S-1, Surakarta: Fakultas Ekonomi UNS, hlm. 8. 18 Lihat Pasal 2 ayat 3 Minimum Age Convention 1973.
15
Martin19 mendefinisikan migrasi sebagai perpindahan penduduk dari satu wilayah ke wilayah lain, yang terjadi karena adanya perbedaan kondisi kedua wilayah tersebut. Perbedaan terbesar yang mendorong terjadinya migrasi adalah kondisi ekonomi dan non-ekonomi. Menurut Solimano20,
migrasi
internasional
merupakan
proses
perpindahan
penduduk suatu negara ke negara lain yang umumnya orang melakukan migrasi ke luar negeri untuk memperoleh kesejahteraan ekonomi yang lebih baik bagi dirinya dan keluarganya. Pendapat seperti ini didasarkan atas fakta yang memperlihatkan bahwa pengangguran, upah yang rendah, prospek karir yang kurang menjanjikan untuk orang-orang
yang
berpendidikan tinggi dan risiko untuk melakukan investasi di dalam negeri merupakan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
seseorang
sehingga
melakukan migrasi ke luar negeri. Menurut Osaki21 migrasi penduduk terjadi karena adanya keperluan pekerja yang bersifat hakiki (intrinsic Labour demand) pada masyarakat industri modern. Pernyataan ini merupakan salah satu aliran yang menganalisis keinginan seseorang melakukan migrasi yang disebut dengan dual labour market theory. Menurut aliran ini, migrasi terjadi karena adanya keperluan pekerja tertentu pada daerah atau negara yang telah maju. Oleh karena itu, migrasi bukan hanya terjadi karena push
19
Martin P.L., 2003, Sustainable Migration Policies in A Globalizing World, Genewa: International Institute for Labour Studies, hlm. 9. 20 Solimano A., 2001, International Migration and the Global Economic Order, Policy Research Working Paper, Washington D.C.: World Bank Development Research Group, hlm. 17. 21 Osaki, K., 2003, Op.Cit., hlm. 203.
16
factors yang ada di daerah asal tetapi juga adanya pull factors di daerah tujuan. Aliran new economics of migration beranggapan migrasi penduduk tidak hanya berkaitan dengan pasar kerja saja, tetapi berkaitan juga dengan keputusan lingkungan terdekat migran, terutama keluarganya. Berbeda dengan keputusan individu, keputusan keluarga lebih mampu menangani risiko dalam rumah tangga pada saat migrasi dilakukan, yaitu melalui diversifikasi alokasi sumber daya yang mereka miliki, seperti alokasi pekerja keluarga. Beberapa anggota keluarga tetap berada di daerah asal, sementara yang lain bekerja di daerah atau negara lain. Alokasi tersebut merupakan upaya untuk meminimalkan risiko kegagalan yang dapat terjadi akibat migrasi. Selain itu, jika pasar kerja lokal tidak memungkinkan anggota keluarga yang berada di daerah asal memperoleh penghasilan yang memadai, maka pengiriman uang (remittances) yang dikirim oleh anggota keluarga yang bekerja di luar daerah atau luar negara dapat membantu ekonomi rumah tangga.22 Terdapat beberapa definisi mengenai migrasi Internasional yang dapat digunakan, salah satunya adalah definisi yang dikemukakan oleh Zlotnik23 bahwa migrasi internasional adalah suatu bentuk mobilitas penduduk yang melampaui batas-batas wilayah negara dan budaya. 22
Stark O. & Bloom D. E., 1985, The New Economics of Labour Migration. American Economic Review, Edisi 75 Vol.2, hlm. 173. 23 Zlotnik H., Empirical Identification of International Migration System, dikutip dalam M.Ktizet, M. al. (ed), 1992, International Migration Systems: A Global Approach, Oxford: Clarendon Pres, dikutip oleh Elisabeth Dewi, Migrasi Internasional dan Politik Luar Negeri Indonesia, Paper yang dipresentasikan di FKKLN “Migrasi dan Pembangunan: Kondisi Global serta Peluang dan Tantangannya bagi Kebijakan Luar Negeri” di Bandung pada Desember 2012, hlm. 1.
17
Pengertian yang lebih luas dikemukakan oleh Everett S. Lee24 yang mendefinisikan migrasi internasional sebagai suatu aktivitas perpindahan yang mencakup aspek perubahan tempat tinggal, tujuan migrasi, serta keinginan-keinginan untuk menetap ataupun tidak di daerah tujuan. Di samping itu, kebanyakan negara memiliki sejumlah kategori dalam kebijakan dan statistik migrasi negaranya masing-masing. Pekerja yang melakukan migrasi antar-negara ini disebut dengan Pekerja Migran. Sampai saat ini belum ada definisi seragam mengenai migrasi internasional, definisi-definisi tersebut lahir dari kebijakan negara sehingga memiliki tujuan politik dan ekonomi suatu negara tertentu.25 Namun secara umum, berdasarkan dimensi ruang atau wilayah, migrasi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu migrasi internal dan migrasi internasional. Migrasi internal adalah migrasi yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang ruang lingkupnya masih berada di dalam negeri. Istilah migrasi masuk dan migrasi keluar mengacu pada gerakan penduduk (individu atau kelompok) yang masuk dan keluar dari daerah asal ke daerah tujuan yang masih berada dalam satu negara. Sementara itu migrasi internasional lebih mengacu pada migrasi lintas batas negara.26 Dapat pula dikatakan migrasi internasional adalah migrasi yang melewati batas politik antar negara. Batas politik ini sangat 24
Everett S. Lee, 1992, Teori Migrasi (Terjemahan), Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada, hlm. 15. 25 Castles Stephen, International Migration at the Beginning of the Twenty-First Century, International Social Science Journal, Vol. 165, hlm. 269-280. 26 Pressat yang dikutip dalam Aswatini Raharto, 1997, Aspek-Aspek Sosio-Demografi Migrasi Internasional dari Indonesia, Warta Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia No.2 Tahun 1997.
18
dinamis tergantung kepada konstelasi politik global yang ada. Beberapa hal yang membedakan migrasi internasional dengan migrasi internal adalah sebagian besar migrasi internasional dipengaruhi oleh iklim sosial politik negara asal, lebih dapat mengubah taraf hidup pelakunya secara lebih drastis dibandingkan pelaku internal migration dikarenakan sangat eratnya kaitan implikasi migrasi internasional terhadap kebijakan sosial, politik, dan ekonomi. Migrasi Internasional dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis tertentu, yaitu27: a. Migran tetap (penetap): termasuk para pekerja pendatang, dan keluarga yang kemudian menyusulnya. b. Pekerja
kontrak
sementara:
umumnya
tidak
atau
semi
terdidik/terlatih yang tinggal di negara penerima untuk jangka waktu tertentu yang biasanya sekitar dua tahun lamanya. c. Para profesional dengan izin tinggal sementara: yakni tenaga terdidik/terlatih yang pindah dari satu negara ke negara lain, biasanya sebagai tenaga ahli, staf, atau karyawan dari organisasi internasional atau perusahan multi-internasional. d. Migran ilegal (klandestin): yakni mereka yang masuk dan tinggal di negara penerima tanpa didukung dokumen serta izin dari pihak yang berwenang. e. Pencari suaka: yakni mereka yang masuk ke negara lain dengan mengajukan izin tinggal atas dasar adanya perasaaan takut
27
John R. Weeks., 1998, Population: An Introduction to Concepts and Issues, Edisi Ketujuh, California: Wadsworth Publishing Co., hlm. 246.
19
hukuman karena suku, agama, politik, keanggotaan organisasi, dan lain sebagainya. f. Pengungsi: yakni mereka yang diakui sebagai pengungsi sesuai persyaratan
dalam
Konvensi
PBB
1951
mengenai
Status
Pengungsi. Perang Saudara dan penindasan merupakan sebab utama dari pengungsi yang murni.
2.1.3. Faktor-Faktor Migrasi Pekerja Pada dasarnya orang berpindah tempat senantiasa didukung oleh berbagai alasan, seperti alasan yang bersifat pribadi, alasan lingkungan dan lain sebagainya. Menurut Everett S. Lee dalam teorinya “DorongTarik” (Push-Pull Theory) yang dikutip oleh Mantra Ida Bagus28, ada 4 faktor yang perlu diperhatikan dalam studi migrasi ini, yaitu: 1. Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal; 2. Faktor-faktor yang terdapat di tempat tujuan; 3. Rintangan antara; 4. Faktor-faktor individu. Faktor-faktor tersebut, kemudian oleh Everett S. Lee dibuat dalam model sebagai berikut:
Rintangan Antara 28
Mantra Ida Bagus, 1985, Penduduk Indonesia dalam Dinamika Migrasi 1971-1980, Yogyakarta: Dua Dimensi, hlm. 181.
20
Negara Asal
Negara Tujuan
Gambar 1. Model Faktor Migrasi Internasional Menurut Everett S. Lee.
Alasan terbesar yang mendorong terjadinya migrasi adalah kondisi ekonomi dan non-ekonomi. Keputusan seorang pekerja untuk bermigrasi atas dasar alasan-alasan ekonomi dapat dianalisis melalui pola dan perangkat yang sama ketika kita mempelajari motif-motif investasi internasional. Secara spesifik, migrasi itu sama halnya dengan berbagai bentuk investasi, melibatkan perhitungan biaya dan keuntungan. Adapun biaya yang tercakup dalam proses migrasi itu antara lain adalah biaya transportasi dan biaya oportunitas (opportunity cost) berupa hilangnya pendapatan karena seseorang harus meluangkan waktu yang cukup banyak untuk menyelenggarakan proses perpindahan dan mencari pekerjaan baru di tempatnya yang baru. Di samping itu, masih cukup banyak biaya lain yang tidak mudah untuk dihitung seperti hilangnya keakraban dengan sanak saudara dan para sahabat, tekanan untuk mempelajari kebudayaan, pola perilaku dan bahasa yang baru, adanya risiko kegagalan dalam menemukan pekerjaan yang baru, dan sebagainya. Namun, sebagian besar biaya non-ekonomi tersebut biasanya pupus oleh besarnya harapan para migran itu untuk mendapatkan pendapatan dan penghidupan yang lebih menyenangkan. Itulah sebabnya migrasi senantiasa terjadi. Dorongan untuk bermigrasi menjadi lebih besar jika di suatu tempat sudah ada orang-orang berkebangsaan sama yang terlebih dahulu telah berhasil memperoleh
21
pekerjaan dan kehidupan yang lebih layak. Sebagai contoh, migrasi orang-orang Tiongkok ke Amerika Serikat berlipat ganda ketika mereka mengetahui bahwa ada sejumlah orang-orang Tiongkok yang berhasil dalam merantau ke negara tersebut. Berdasarkan pengelompokannya, maka faktor yang mendorong pekerja untuk melakukan migrasi dibedakan dalam tiga kategori, yaitu29: a. Demand pull Faktor demand pull terjadi jika ada permintaan pekerja dari negara tujuan, seperti pekerja Meksiko yang direkrut untuk bekerja pada sektor pertanian di Amerika. b. Supply push Faktor supply push terjadi jika pekerja sudah tidak mungkin lagi memperoleh pekerjaan di negaranya sendiri, sehingga mendorong mereka untuk migrasi ke negara lain. c. Network Network factor merupakan faktor yang dapat memberi informasi bagi migran dalam mengambil keputusan untuk migrasi. Malini30 menambahkan, ada beberapa faktor yang mendorong pekerja ingin bekerja ke luar negeri antara lain:
29
Safrida, 2008, Dampak Kebijakan Migrasi Terhadap Pasar Kerja dan Perekonomian di Indonesia, Disertasi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, hlm. 1. 30 Dikutip oleh Tuti Irawaty, 2011, Migrasi Internasional Perempuan Desa dan Pemanfaatan Remitan di Desa Pusakajaya, Kecamatan Pusakajaya, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, Skripsi, Institut Pertanian Bogor, hlm. 8.
22
-
Dorongan ekonomi akibat semakin tingginya kebutuhan hidup;
-
Semakin sempitnya lahan pertanian sebagai sumber mata pencaharian;
-
Sempitnya lapangan kerja dalam negeri serta upah yang rendah, sedangkan di luar negeri upahnya tinggi hingga tujuh kali lipat;
-
Alasan sosial berupa pendidikan yang rendah;
-
Demonstration effect, di mana mereka melihat tetangganya hidup enak dan mewah dari hasil bekerja di luar negeri;
-
Faktor demografi usia muda membuat mereka ingin mempunyai uang banyak.
Kondisi daerah asal menjadi pendorong untuk melakukan mobilitas. Tanah pertanian yang tidak subur (keterbatasan sumber daya alam), kekeringan, lowongan pekerjaan terbatas, merupakan kondisi umum yang dihadapi para migran. Mereka yang tidak dapat meningkatkan kualitas hidup di tempat asalnya, pada akhirnya berusaha mengadu nasib di negara tetangga. Mereka umumnya terdiri atas tenaga kerja yang untrained, seperti buruh bangunan, buruh perkebunan, dan terutama sebagai pembantu rumah tangga.31
2.1.4. Pengertian Pekerja Migran Migrasi
pekerja
merupakan
bagian
dari
proses
migrasi
internasional. Migrasi internasional pekerja bertujuan untuk memenuhi 31
Ibid, hlm. 10.
23
kebutuhan pekerja jangka pendek (short-terms Labour shortages) di negara tujuan migrasi. Penyebab utama terjadinya migrasi pekerja ini adalah
ketidaksamaan
tingkat
upah
yang
terjadi
secara
global.
Perpindahan pekerja dari negara pengirim (sending country) ke negara penerima pekerja migran (receiving country) akan membuat negara pengirim mendapat keuntungan remittance, sedangkan negara penerima akan mendapat keuntungan pasokan pekerja murah.32 International Labour Organisation (ILO) mendefinisikan pekerja migran sebagai seseorang yang bermigrasi, atau telah bermigrasi, dari sebuah negara ke negara lain, dengan gambaran untuk dipekerjakan oleh orang lain selain dirinya sendiri, termasuk siapa pun yang diterima secara reguler, sebagai seorang migran, untuk suatu pekerjaan.33 Konvensi ILO yang dibuat pada tahun 1949 tersebut tidak mencakup beberapa kategori pekerja dari definisi pekerja migran yang mencerminkan tren migrasi pada saat itu. Kategori-kategori pekerja yang tidak termasuk dalam Konvensi ini adalah34: -
Pekerja-pekerja perbatasan;
-
Artis-artis dan anggota-anggota profesi liberal yang masuk ke sebuah negara hanya untuk waktu yang singkat;
-
Pelaut;
-
Orang-orang yang mempekerjakan diri sendiri (berwirausaha);
32
Safrida, 2008, Op.Cit., hlm. 4. Lihat Pasal 11 ayat (1) Migration for Employment Convention (Revised) 1949. 34 Lihat Pasal 11 ayat (2) Migration for Employment Convention (Revised) 1949. 33
24
-
Orang-orang yang datang secara khusus untuk tujuan pelatihan atau pendidikan;
-
Orang-orang
dalam
bisnis
atau
penugasan
khusus,
untuk
organisasi mereka, di negara lain, untuk jangka waktu yang terbatas atau tertentu, dan yang diharuskan untuk meninggalkan negara tersebut setelah pekerjaan atau penugasan mereka selesai; dan -
Pekerja-pekerja yang tinggal di sebuah negara secara ilegal. Namun, sebagian besar kategori pekerja seperti ini sekarang telah
dimasukkan kedalam International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families 2000, yang mencerminkan pemahaman terkini tentang tren migrasi baik dari sudut pandang negara pengirim maupun negara tujuan. Kategori-kategori pekerja yang tercakup di dalam konvensi tersebut adalah35: -
Pekerja perbatasan, yang bekerja di negara tetangga, di mana mereka pulang setiap harinya atau setidak-tidaknya pulang sekali seminggu;
-
Pekerja musiman;
-
Pelaut yang bekerja di kapal yang terdaftar di sebuah negara yang bukan negara asal mereka;
-
Pekerja-pekerja di instalasi lepas pantai yang berada di bawah yurisdiksi sebuah negara yang bukan negara asal mereka;
35
Lihat Pasal 2 ayat (2) International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of their Families 2000.
25
-
Pekerja yang sering bepergian;
-
Migran yang dipekerjakan untuk sebuah proyek tertentu; dan
-
Pekerja yang mempekerjakan dirinya sendiri (berwirausaha).
Definisi pekerja migran dalam International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families 2000 Pasal 2 ayat 1 : The term "migrant worker" refers to a person who is to be engaged, is engaged or has been engaged in a remunerated activity in a State of which he or she is not a national. Ananta36 menyebutkan, migrasi internasional pekerja terjadi karena adanya
perbedaan
kesempatan
ekonomi.
antar-negara, Respon
terutama
masyarakat
dalam terhadap
memperoleh perbedaan
kemampuan ekonomi telah menimbulkan kesadaran untuk melakukan migrasi ke negara yang menjanjikan dengan adanya kesempatan kerja yang lebih baik. Pada intinya, perpindahan pekerja ini disebabkan oleh adanya perbedaan ekonomi antar-negara, rendahnya tingkat upah, sulitnya memperoleh pekerjaan yang memadai di negara berkembang serta adanya kesempatan kerja dan upah yang tinggi di negara tujuan. Faktor lain yang mempengaruhi migrasi ke luar negeri yaitu adanya karakteristik individu yang terdiri dari umur, tingkat pendidikan, dan jenis pekerjaan. Aspek-aspek tersebut erat kaitannya dengan kebutuhan pekerja dari negara penerima yang hanya membutuhkan pekerja untuk sektor 36
Tuti Irawaty, 2011, Op.Cit., hlm. 6.
26
domestik (pembantu, baby sitter, dan lain-lain) yaitu diperlukan wanita muda dengan tingkat pendidikan formal yang tidak begitu diperhitungkan. Menurut Elwin Tobing37, arus migrasi pekerja ini diperkirakan akan terus meningkat setiap tahunnya sejalan dengan melonggarnya hambatanhambatan resmi migrasi di negara-negara yang tergabung dalam World Trade Organization (WTO). Melonjaknya arus migrasi ini pada hakekatnya merupakan resultante dari perbedaan tingkat kemakmuran antara negara maju dan negara berkembang.
2.2.
Usaha Perikanan 2.2.1. Pengertian Usaha Perikanan Sebelum membahas tentang usaha perikanan, perlu dipahami dulu
definisi dari perikanan itu sendiri. Menurut Robert T. Lackey38, perikanan didefinisikan secara umum sebagai: A fishery is defined generally as a system interacting components: the aquatic biota, the the human users of these renewable natural these components influence how the Understanding the entire system and its parts successful management of a fishery.
composed of three aquatic habitat, and resources. Each of fishery performs. is often essential to
Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, memberi definisi tentang perikanan, yaitu: 37
Elwin Tobing, 2003, Pendidikan, Pasar Pekerja dan Kewiraswastaan, Jakarta: The Prospect & The Indonesian Institute, hlm.2. 38 Robert T. Lackey, 2005, Fisheries: history, science, and management, dalam Water Encyclopedia: Surface and Agricultural Water, Jay H. Lehr and Jack Keeley, editors, John Wiley and Sons, Inc., Publishers, New York, hlm. 3.
27
Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu system bisnis perikanan. Menurut Effendi dan Oktariza39, perikanan merupakan setiap kegiatan yang berkaitan dengan ikan baik melalui penangkapan (perikanan tangkap), maupun budidaya (perikanan budidaya/akuakultur) dan atau mengelolanya untuk memenuhi kebutuhan manusia akan pangan
dan
non-pangan.
Sedangkan,
usaha
perikanan
sendiri
didefinisikan oleh Hermanto dan Baharsyah40 sebagai suatu sistem yang terdiri dari komponen-komponen yang tidak dapat di pisahkan satu dengan yang lainnya, komponen-komponen tersebut adalah ikan sebagai sumber daya hayati, perairan sebagai sumber daya alam, nelayan sebagai produsen, pengelola lembaga pemasaran serta masyarakat umum selaku konsumen akhir. Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 2002 tentang Usaha Perikanan mendefinisikan Usaha Perikanan sebagai: Usaha perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau membudidayakan ikan, termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersial.
39
Irzal Effendi dan Wawan Oktariza, 2006, Manajemen Agribisnis Perikanan, Jakarta: PT. Penebar Swadaya, hlm. 5 40 Dikutip oleh Mandak Y., 2004, Tingkat Kesejahteraan Nelayan Hand Line di Desa Faer dan Letman Kecamatan Pulau-Pulau Kei Kecil, Skripsi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon, hlm. 16.
28
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (PER.05/MEN/2008) tentang Perikanan Tangkap, usaha perikanan didefinisikan: Usaha perikanan adalah kegiatan yang dilaksanakan dengan sistem bisnis perikanan yang meliputi praproduksi, produksi, pengolahan dan pemasaran. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia Tahun 2009, yang dimaksud usaha perikanan adalah kegiatan usaha yang mencakup penangkapan dan budi daya ikan, jenis crustacea (seperti udang, kepiting), moluska, dan biota air lainnya di laut, air payau dan air tawar. Sedangkan Nurhakim41 mendifinisikan usaha perikanan sebagai suatu usaha terpadu mulai dari produksi hingga pemasaran yang dikelola secara profesional dan bertanggung jawab didasari azas kelestarian dengan memanfaatkan kemajuan iptek.
2.2.2. Jenis-Jenis Usaha Perikanan Usaha perikanan yang ada sangat beragam, mulai dari usaha menangkap
ikan,
membudidayakan
ikan,
termasuk
di
dalamnya
bermacam-macam kegiatan, seperti menyimpan, mendinginkan atau mengawetkannya
untuk
tujuan
komersial
yang
mendatangkan
penghasilan dan keuntungan bagi manusia. Usaha penangkapan ikan dilakukan
di
perairan
bebas,
dalam
artian
tidak sedang
dalam
41
Nurhakim, S, 2002. Peran Penelitian dan Pengembangan dalam Pembangunan Perikanan, Jakarta: Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia (ISPIKANI), hlm. 4.
29
pembudidayaan yaitu di laut dan perairan umum (sungai, danau, waduk, rawa dan sejenisnya) dengan mempergunakan alat tangkap ikan. Pembudidayaan ikan merupakan kegiatan memelihara/membesarkan ikan termasuk
melakukan
pembenihan
atau
membiakan
ikan
untuk
menghasilkan benih serta memanen hasilnya.42 Secara garis besar, sumber daya perikanan dapat dimanfaatkan melalui penangkapan ikan (perikanan tangkap) dan budidaya ikan. Sehingga usaha perikanan merupakan semua kegiatan yang dilakukan oleh
perorangan
membudidayakan
atau ikan
badan termasuk
hukum
untuk
menyimpan,
menangkap
atau
mendinginkan
atau
mengawetkan ikan untuk tujuan komersil dan mendapatkan laba dari kegiatan yang dilakukan.43
2.3.
Kapal Perikanan 2.3.1. Pengertian Kapal Perikanan Pengertian kapal menurut Sution Usman didefinisikan sebagai
semua bahtera apapun namanya dan apapun sifatnya, yang ditujukan untuk berlayar (bestemdet versen).44 Sedangkan menurut artikel 3 huruf d Protocol Against Smuggling of Migrants by Land, Sea and Air tahun 2000, kapal didefinisikan sebagai: 42
Tribawono, MSi., 2002, Hukum Perikanan Indonesia, Bandung: Penerbit Citra Adityia Bukti, hlm. 13. 43 Monintja, D., 2001, Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir Dalam Bidang Perikanan Tangkap, Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir, Institut Pertanian Bogor, hlm. 3. 44 Sution Usman, Prakoso Djoko dan Pramono Hari, 1980, Hukum Pengangkutan di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 218.
30
Any type of water craft, including non-displacement craft and seaplane, used or capable of being used as a means of transportation on water, except a warship, naval auxiliary or other vessel owned or operated by a Government and used, for the time being, only on government non-commercial service. Menurut pasal 1 angka 36 Undang-undang nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran, kapal didefinisikan sebagai: Kapal adalah Kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan tenaga angin, tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah. Kemudian, definisi kapal perikanan menurut Pasal 1 ayat (9) Undang-undang nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan atas undangundang nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan, yaitu: Kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian/eksplorasi perikanan. Kapal perikanan adalah salah satu jenis kapal laut, sehingga syarat-syarat yang diperlukan oleh suatu kapal laut juga diperlukan pada kapal perikanan. Namun berbeda dengan jenis kapal umum lainnya seperti kapal penumpang atau kapal barang, kapal perikanan mempunyai fungsi operasional yang lebih rumit dan berat. Kapal perikanan dipakai untuk menangkap, menyimpan dan mengangkut ikan serta kegiatan lain yang berhubungan dengan tujuan usaha perikanan. Mengingat fungsi operasional kapal perikanan ini, diperlukan suatu persyaratan khusus yang merupakan keistimewaan dan karakteristik kapal perikanan.
31
Keistimewaan
pokok
yang
dimiliki
kapal
perikanan,
antara
lain
keistimewaannya yang berkaitan dengan kecepatan kapal, kemampuan olah gerak, kelaik lautan, luas lingkup area pelayaran, tenaga penggerak, peralatan kapal dan lain-lain. Dengan demikian desain konstruksi kapal perikanan memerlukan pertimbangan khusus agar kapal yang dibangun dapat mengakomodasi keinginan operasional usaha penangkapan ikan.45 Menurut Pasal 1 ayat (10) Kepmen nomor PER.05/MEN/2008 tentang perikanan tangkap: Kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian/ eksplorasi perikanan. Dalam pasal 1 huruf e Convention on the Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean, yang dimaksud dengan kapal perikanan adalah: “fishing vessel” means any vessel used or intended for use for the purpose of fishing, including support ships, carrier vessels and any other vessel directly involved in such fishing operations. Menurut pasal 2 huruf (g) Work in Fishing Convention tahun 2007, definisi kapal penangkap ikan adalah: Kapal penangkap ikan atau kapal berarti kapal atau perahu, yang memiliki sifat apapun, tanpa memandang bentuk kepemilikannya, yang digunakan atau dimaksudkan untuk digunakan dengan tujuan untuk penangkapan ikan komersial.
45
Ayodhya, A.U., 1972, Suatu Pengenalan Tentang Kapal Penangkap Ikan, Bogor: Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor, hlm. 13.
32
Dalam pasal 1 huruf b Protocol of 1993 relating to the Convention for the Safety of Fishing Vessels, kapal perikanan didefinisikan sebagai: "Fishing vessel" or "vessel" means any vessel used commercially for catching fish, whales, seals, walrus or other living resources of the sea. Selain itu, di Indonesia sendiri dikenal adanya persyaratan pengawakan kapal penangkap ikan yang disesuaikan dengan ukuran kapal dan daerah operasinya.46 Sertifikat dan surat keterangan yang umumnya harus dimiliki oleh perwira kapal antara lain47: 1. Sertifikat Ahli Nautika Kapal Penangkap Ikan (ANKAPIN); 2. Sertifikat Ahli Tehnika Kapal Penangkap Ikan (ATKAPIN); dan 3. Sertifikat Keterampilan Bidang Radio. Sedangkan berdasarkan tingkatan ukuran dan daerah operasi pelayarannya antara lain sebagai berikut48: 1. Kapal di bawah 35 GT dan daerah pelayarannya kurang dari 60 NM: a. Nahkoda : ANKAPIN Tingkat III b. Kepala Kamar Mesin (KKM) : ATKAPIN Tingkat III 2. Kapal 35 GT - 88 GT dan daerah pelayarannya kurang dari 200 NM: a. Nahkoda : ANKAPIN Tingkat III 46
Lihat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 46 Tahun 1996 tentang Sertifikasi Kelaiklautan Kapal Penangkap Ikan. 47 Muhammad Ainul Huda, dkk., Implementasi Regulasi Nasional Terkait Keselamatan Kapal Penangkap Ikan di PPN Pekalongan, Journal of Fisheries Resources Utilization Management and Technology Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, hlm. 93. 48 Ibid.
33
b. KKM : ATKAPIN Tingkat III 3. Kapal 88 GT - 353 GT dan daerah pelayarannya seluruh Indonesia: a. Nahkoda : ANKAPIN Tingkat II b. Mualim : ANKAPIN Tingkat II c. KKM : ATKAPIN Tingkat II d. Masinis : ATKAPIN Tingkat II 4. Kapal 88 GT - 353 GT dan daerah pelayarannya semua lautan: a. Nahkoda : ANKAPIN Tingkat I b. Mualim I : ANKAPIN Tingkat I c. Mualim II : ANKAPIN Tingkat II d. KKM : ATKAPIN Tingkat I e. Masinis I : ATKAPIN Tingkat I f. Masinis II : ATKAPIN Tingkat II
2.3.2. Jenis-jenis Kapal Perikanan Menurut Supardi49, kapal perikanan secara umum terdiri dari: kapal penangkap ikan, kapal pengangkut hasil tangkapan, kapal survey, kapal latih, dan kapal pengawas perikanan: 1. Kapal Penangkap Ikan Kapal Penangkap Ikan adalah kapal yang dikonstruksi dan digunakan khusus untuk menangkap ikan sesuai dengan alat
49
Supardi Ardidja, 2007, Kapal Penangkap Ikan, Jakarta: Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta, hlm. 3.
34
penangkapan dan teknik penangkapan ikan yang digunakan termasuk menampung, menyimpan, dan mengawetkan. 2. Kapal Pengangkut Hasil Tangkapan Kapal Pengangkut Hasil Tangkapan adalah kapal yang dikonstruksi secara khusus, dilengkapi dengan palkah khusus yang digunakan untuk menampung, menyimpan, mengawetkan dan mengangkut ikan hasil tangkapan. 3. Kapal Survey Kapal Survey adalah kapal yang dikonstruksi khusus untuk melakukan kegiatan survey perikanan dan kelautan. 4. Kapal Latih Kapal Latih adalah kapal yang dikonstruksi khusus untuk pelatihan penangkapan ikan. 5. Kapal Pengawas Perikanan Kapal Pengawas Perikanan adalah kapal yang dikonstruksi khusus untuk kegiatan pengawasan kapal-kapal perikanan. Sementara itu, menurut Setianto50, beberapa jenis kapal perikanan antara lain : 1. Kapal Purse seine adalah yang secara khusus dirancang dan digunakan untuk menangkap ikan dengan alat tangkap jenis purse seine atau sering juga disebut pukat cincin. Kapal ini 50
Indradi Setianto, 2007, Kapal Perikanan, Semarang: Universitas Diponegoro, hlm. 5.
35
sekaligus digunakan untuk menyimpan, mendinginkan dan mengangkut hasil tangkapan. 2. Kapal Longline, adalah kapal yang secara khusus dirancang untuk menangkap ikan dengan alat tangkap jenis long line atau sering juga disebut rawaili dan sekaligus untuk menyimpan, mendinginkan, dan mengangkut hasil tangkapan sampai ke pelabuhan. Kapal long line yang berukuran 30-100 GT pada umumnya dioperasikan untuk menangkap ikan jenis tuna dengan hasil sampingan ikan cucut, sehingga sering pula kapal tersebut disebut kapal tuna long line. 3. Kapal Trawl adalah kapal yang secara khusus dirancang dan dibangun untuk menangkap ikan dengan alat tangkap jenis trawl atau sering disebut juga pukat harimau. Tujuan utama penangkapan adalah udang dengan hasil sampingan ikan demersal, sehingga sering disebut juga pukat udang. 4. Kapal pole and liner adalah kapal yang dibangun secara khusus dibangun dan digunakan untuk menangkap ikan dengan alat penangkapan jenis pole and line atau sering disebut juga huhate. Tujuan utama penangkapan ikan dari kapal pole and line yang berukuran 30-100 GT adalah jenis cakalang (skipjack), dan ikan tuna jenis yellow fin tuna, sehingga sering pula kapal itu disebut sebagai kapal skipjack pole and line.
36
2.3.3. Kapal Perikanan Asing Dalam pasal 1 angka 12 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 33 tahun 2001 tentang penyelengaraan dan pengusahaan angkutan laut, yang dimaksud dengan kapal asing adalah kapal berbendera asing yang tunduk kepada ketentuan peraturan perundang-undangan dari negara bendera yang bersangkutan. Kemudian menurut Pasal 1 angka 11 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor KEP.60/MEN/2001 tentang penataan penggunaan kapal perikanan di zona ekonomi eksklusif Indonesia, kapal perikanan asing diartikan sebagai “kapal perikanan yang dimiliki oleh orang atau badan hukum asing”. Secara umum dapat dikemukakan bahwa suatu kapal dikategorikan sebagai kapal asing dilihat dari perspektif negara bendera kapal tersebut. Negara bendera kapal dapat ditentukan melalui suatu proses pendaftaran dan penandaan kapal di berbagai negara dengan ketentuannya masingmasing untuk menyatakan kebangsaan dari kapal tersebut. Kebangsaan dari kapal ini diatur dalam United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 sebagai berikut: Pasal 91 Kebangsaan kapal 1. Setiap negara harus menetapkan persyaratan bagi pemberian kebangsaannya pada kapal, untuk pendaftaran kapal di dalam wilayah, dan untuk hak mengibarkan benderanya. Kapal memiliki kebangsaan negara yang benderanya secara sah dapat dikibarkan olehnya. Harus ada suatu kaitan yang sungguh-sungguh antara negara dan kapal itu.
37
2. Setiap negara harus memberikan kepada kapal yang olehnya diberikan hak untuk mengibarkan benderanya dokumen yang diperlukan untuk itu. Pasal 92 Status kapal 1. Kapal harus berlayar di bawah bendera suatu negara saja dan kecuali dalam hal-hal luar biasa yang dengan jelas ditentukan dalam perjanjian internasional atau dalam Konvensi ini, harus tunduk pada yurisdiksi eksklusif negara itu di laut lepas. Suatu kapal tidak boleh merubah bendera kebangsaannya sewaktu dalam pelayaran atau sewaktu berada di suatu pelabuhan yang disinggahinya, kecuali dalam hal adanya suatu perpindahan pemilikan yang nyata atau perubahan pendaftaran. 2. Sebuah kapal yang berlayar di bawah bendera dua negara atau lebih, dan menggunakannya berdasarkan kemudahan, tidak boleh menuntut salah satu dari kebangsaan itu terhadap negara lain manapun, dan dapat dianggap sebagi suatu kapal tanpa kebangsaan. Pasal 93 Kapal yang memakai bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa, badan-badan khususnya dan Badan Tenaga Atom Internasional Pasal-pasal yang terdahulu tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kapal-kapal yang digunakan dalam dinas resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa, badan-badan khususnya atau Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency), yang mengibarkan bendera organisasi tersebut. Sifat karakteristik dari suatu kapal menurut hukum publik diberi tanda kebangsaan satu negara tertentu yang di Indonesia diatur dalam Zeebrieven en Scheeppassen Besluit 1934 dan Ordonantie 1935 sebagai hukum nasional warisan Hindia Belanda. Dengan memenuhi persyaratan hukum nasional status kapal dalam hukum publik akan memberi suatu tanda bukti nasionalitas/kebangsaan yang disebut dengan surat laut dan atau pas kapal. Ini berarti nasionalitas kapal laut menunjuk kepada
38
adanya hubungan khusus antara kapal laut dan negara tertentu.51 Pada saat yang sama negara bertindak sebagai pelindung (protector) dan penjamin (guarantor) menurut hukum internasional.52 Dengan demikian, hubungan kapal laut dengan negara tempat kapal tersebut didaftarkan untuk memperoleh nasionalitas atau kebangsaannya, berhak untuk menikmati hak khusus menurut hukum internasional, antara lain53: a. Kapal tersebut berada di bawah yurisdiksi negara bendera kapal (flag state) dalam hal pengaturan administratif yaitu penasihat kelaikan laut dan hukum pidana atas kejahatan awak kapal yang dilakukan di atas kapal. b. Negara bendera kapal berkewajiban untuk melaksanakan kewajiban internasional atas kapal yang membawa benderanya. c. Kapal
yang
bersangkutan
memperoleh
keuntungan
perlindungan dari negara bendera kapal yang diberikan pada warga negaranya. d. Registrasi atau pendaftaran dianggap sebagai bukti pemilikan (evidence of title) walaupun di berbagai negara bukti ini tidak mutlak. Keadaan seperti ini menandakan adanya effective control dari negara bendera kapal atas kapal tersebut.
51
Mieke Komar Kantaatmadja, 1988, Lembaga Jaminan Kebendaan Pesawat Udara ditinjau dari Hukum Udara, disertasi, Universitas Padjajaran Bandung, hlm. 35. 52 Ibid,. 53 Ibid, hlm. 2.
39
Pendaftaran hak atas kapal berarti pendaftaran hak kepemilikan atas kapal tersebut. Pendaftaran ini merupakan dasar hukum yang memberikan pembuktian tentang kepastian hak si pemilik dan juga alat bukti bagi pihak lain baik mengenai identitas pemilik kapal maupun mengenai segala hak yang timbul sebagai akibat dari kepemilikan tersebut.
2.4.
Pelaut (Seafarer) 2.4.1. Pengertian Pelaut Menurut pasal 1 ayat 3 Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2000
tentang Kepelautan, pengertian Pelaut adalah setiap orang yang mempunyai kualifikasi keahlian atau keterampilan sebagai awak kapal. Pengertian awak kapal adalah orang yang bekerja atau pekerjaanya di atas kapal sesuai dengan jabatannya yang tercantum dalam buku sijil.54 Jadi pelaut adalah orang yang sudah mempunyai kualifikasi keahlian atau keterampilan untuk menjadi awak kapal. Pelaut adalah salah satu profesi yang paling sering berpindah tempat.
Bidang
membedakannya
pekerjaan dengan
ini
memiliki
bidang-bidang
ciri-ciri
pekerjaan
khusus
yang
lainnya. Dalam
menjalankan pekerjaannya, mereka secara otomatis diharuskan untuk selalu berpindah-pindah tempat dari daerah ke daerah lainnya atau dari negara ke negara lainnya. Kehidupan mereka yang selalu berpindahpindah juga jauh dari keluarga dan masyarakat menyebabkan munculnya 54
Lihat pasal 1 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2000 tentang Kepelautan.
40
berbagai permasalahan. Masalah-masalah yang harus dihadapi pelaut seperti adaptasi dengan lingkungan baru baik lingkungan kapal (bagi pelaut baru), maupun lingkungan tempat singgah, masalah seputar pekerjaan yang harus di atasi dengan fasilitas yang ada, perasaan rindu karena
jauh
dari
keluarga,
penyaluran
kebutuhan
biologis,
dan
sebagainya. 2.4.2. Jenis-jenis Pelaut Sejauh ini, ada jenis pelaut dalam dua pelayaran, yakni pelaut untuk kapal niaga dan pelaut untuk kapal penangkap dan pengangkut perikanan. Jika pelaut yang dididik untuk kapal barang, niaga, dan kapal pengangkut gas pendidikannya dikhususkan sesuai dengan kapal yang mereka bawa. Pelaut untuk kapal ikan sertifikatnya dikhususkan untuk menangkap ikan, alat dan teorinya juga spesifik untuk menangkap ikan. Meski demikian, baik itu pelaut kapal niaga maupun kapal penangkap ikan, pada dasarnya ujian yang diberikan juga sama. Sebab, pada prinsipnya
apapun
kapalnya
yang
terpenting
adalah
unsur
keselamatannya. Selain itu, ijazah kedua jurusan pelaut tersebut, di Indonesia juga di keluarkan oleh lembaga yang sama yakni oleh Ditjen Perhubungan Laut. Ijazah perikanan disebut juga Ahli Nautika Kapal Perikanan (ATKAPIN). Adapun jenjang pendidikan kapal niaga dan lainnya adalah Ahli Nautika Tingkat (ANT) I hingga IV dan Ahli Teknika Tingkat (ATT) I sampai IV. Sementara khusus untuk nelayan sendiri, yang mereka gunakan sebagai pegangan di laut adalah Surat Keterangan
41
Kecakapan Kapal Nelayan. Surat ini diberikan setelah mereka mengikuti pelatihan seperti di Cilincing dan Muara Angke, Jakarta Utara. Surat keterangan tersebut yang dikeluarkan oleh Ditjen Hubla. 55
2.5.
Perjanjian Kerja Laut 2.5.1. Pengertian Perjanjian Kerja Laut Setiap pelaut sudah seharusnya melakukan perjanjian kerja
sebelum melaksanakan pekerjaan di sebuah kapal. Menurut pasal 1 huruf f Work in Fishing Convention 2007: fisher's work agreement means a contract of employment, articles of agreement or other similar arrangements, or any other contract governing a fisher's living and working conditions on board a vessel Perjanjian kerja laut terdapat dalam pasal 395 Kitab Undangundang Hukum Dagang. Jika dibandingkan dengan perjanjian kerja pada umumnya yang diatur dalam pasal 1601a Kitab Undang-undang Hukum Perdata, maka akan tampak bahwa perjanjian kerja laut merupakan perjanjian perburuhan yang bersifat khusus. Pasal 1601a Kitab Undangundang Hukum Perdata menyebutkan: “Persetujuan perburuhan adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu, si buruh mengikatkan dirinya untuk di bawah perintahnya pihak yang lain, si majikan untuk sesuatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah”.
55
Ikawati & Damar Budi Purnomo, 2014, Defisit Pelaut di Negeri Bahari, Jurnal Maritim Edisi 10 Februari 2014, hlm. 8.
42
Sedangkan, Pengertian Perjanjian kerja laut yang diatur dalam pasal 395 Kitab Undang-undang Hukum Dagang menyebutkan: “Perjanjian kerja laut adalah perjanjian yang dibuat antara seorang pengusaha kapal di satu pihak dan seseorang di pihak lain, dengan mana pihak yang disebut terakhir menyanggupi untuk bertindak di bawah pengusaha itu melakukan pekerjaan dengan mendapat upah, sebagai nahkoda atau anak kapal.” Sedangkan menurut pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan, hanya memberikan pengertian secara eksplisit dan
singkat
yaitu
perjanjian
kerja
laut
adalah
perjanjian
kerja
perseorangan yang ditandatangani oleh pelaut Indonesia dengan pengusaha angkutan di perairan. Jadi, secara singkat perjanjian kerja laut dapat dikatakan sebagai perjanjian kerja yang dibuat antara seorang majikan atau pengusaha kapal dengan seseorang yang mengikatkan diri untuk bekerja padanya, baik nahkoda atau anak buah kapal dengan menerima upah dan perjanjian tersebut harus dibuat atau ditandatangani di hadapan pejabat yang ditunjuk pemerintah serta pembuatannya harus pula menjadi tanggung jawab perusahaan pelayaran. Maksud dari perjanjian kerja dibuat di hadapan pejabat yang ditunjuk oleh Pemerintah (Administratur Pelabuhan) adalah agar pembuatan akta perjanjian tersebut harus berdasarkan atas kemauan kedua belah pihak atau tanpa adanya paksaan dan dalam perjanjian tidak terdapat hal-hal yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan yang berlaku. Dengan demikian dalam pelaksanaannya administratur pelabuhan harus memberitahu yang seterang-terangnya.
43
Perjanjian kerja laut antara pengusaha kapal dengan nahkoda atau perwira kapal harus dibuat secara tertulis, supaya dianggap sah (berlaku) dan ditandatangani oleh kedua belah pihak.56 Melakukan perjanjian kerja laut antara pengusaha kapal dengan anak buah kapal harus dibuat di hadapan anak buah kapal, di hadapan syahbandar atau pegawai yang berwajib dan ditandatangani olehnya, pengusaha kapal dan anak buah kapal tersebut.57 Di samping syarat tertulis perjanjian kerja laut harus memenuhi pula ketentuan yang diatur dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, antara lain: 1. Adanya kesepakatan atau kemauan secara sukarela dari kedua belah pihak; 2. Masing-masing mempunyai kecakapan untuk bertindak; 3. Persetujuan mengenai atau mengandung suatu hak tertentu; 4. Isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
2.5.2. Bentuk Perjanjian Kerja Laut Perjanjian kerja laut dapat dilakukan dalam bentuk 3 macam ikatan kerja58:
56
Lihat Pasal 399 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Lihat Pasal 400 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. 58 Lihat Pasal 398 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. 57
44
a. Perjanjian kerja laut yang diselenggarakan untuk waktu tertentu atau perjanjian kerja laut dalam tenggang waktu tertentu, misalnya untuk jangka waktu 2 tahun, 5 tahun, atau 10 tahun, dan lain-lain. Dalam perjanjian ini para pihak telah menentukan secara
tegas
mengenai
lamanya
waktu
untuk
saling
mengikatkan diri, di mana masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. b. Perjanjian kerja laut yang diselenggarakan untuk waktu yang tidak ditentukan. Dalam perjanjian ini, hubungan kerja berlaku terus sampai ada pengakhiran oleh para pihak atau sebaliknya hubungan kerja berakhir dalam waktu dekat (besok), besok lusa dan sebagainya jika memang salah satu pihak ataupun para pihak menghendakinya. c. Perjanjian kerja laut yang diselenggarakan untuk satu atau beberapa perjalanan atau trip adalah perjanjian kerja laut yang diselenggarakan
berdasarkan
pelayaran
yang
diadakan
perusahaan pelayaran dari suatu pelabuhan ke pelabuhan lain. Kemudian jika ditinjau dari sudut perbedaan perjanjian kerja laut dalam Undang-undang, yaitu menyangkut persoalan alasan-alasan yang sah untuk melakukan pemutusan hubungan kerja, maka perjanjian kerja laut dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu59: a. Perjanjian kerja laut untuk nahkoda. 59
Viky Ratna Wulandari, 2007, Pelaksanaan Perlindungan Hukum Tenaga Kerja di Kapal Terhadap Risiko Bahaya di Laut pada PT. Pelayaran Indonesia (Pelni) Semarang, Semarang: Universitas Negeri Semarang, hlm. 46.
45
b. Perjanjian kerja laut untuk anak buah kapal. Dilihat dari pihak yang mengikatkan diri, perjanjian kerja laut terbagi menjadi 2 (dua) yaitu60: a. Perjanjian kerja laut pribadi atau perseorangan, yaitu perjanjian kerja laut yang dibuat antara seorang tenaga kerja dengan perusahaan pelayaran. b. Perjanjian kerja laut kolektif, yaitu perjanjian kerja laut yang dibuat
antara
perusahaan
perusahaan
pelayaran
pelayaran
dengan
atau
gabungan
gabungan
tenaga
kerja
(anak buah kapal), dengan syarat masing-masing pihak harus berbentuk badan hukum.
2.5.3. Isi Perjanjian Kerja Laut Isi dari Perjanjian kerja laut antara lain61: a. Nama lengkap, tanggal lahir dan tempat kelahiran dari anak buah kapal. b. Tempat dan tanggal dilakukannya perjanjian. c. Kapal tempat yang bersangkutan bekerja. d. Perjalanan-perjalanan yang akan ditempuh. e. Sebagai apa ia dipekerjakan atau jabatan tenaga kerja di kapal, baik sebagai nahkoda atau anak buah kapal.
60 61
Ibid. Lihat Pasal 401 Kitab Undang-undang Hukum Dagang.
46
f. Pernyataan
yang
berisi:
apakah
tenaga
kerja
tersebut
mengikatkan diri untuk tugas-tugas lain selain tugas di kapal. g. Nama syahbandar yang menyaksikan atau mengesahkan perjanjian kerja laut itu. h. Gaji atau upah dan jaminan-jaminan lainnya selain yang harus atau diharuskan oleh Undang-undang. i. Saat perjanjian kerja laut itu dimulai. j. Pernyataan yang berisi: Undang-undang atau peraturan yang berlaku dalam penentuan hari libur atau cuti. k. Tanda
tangan
tenaga
kerja,
pengusaha
pelayaran
dan
syahbandar. -
Tanggal ditandatanganinya atau disahkannya perjanjian kerja laut tersebut.
-
Perihal pengakhiran hubungan kerja.62
2.5.4. Kecelakaan dan Bahaya-Bahaya di Laut Menurut pasal 2 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 1998 tentang pemeriksaan kecelakaan kapal disebutkan ada 5 macam kecelakaan kapal, yaitu: a. Kapal tenggelam b. Kapal terbakar c. Kapal tubrukan d. Kapal kandas
62
Djoko Triyanto, Op.Cit., hlm. 48-49.
47
e. Kecelakaan
kapal
yang
menyebabkan
terancamnya
jiwa
manusia. Penyebab Baharudin
Lopa
kecelakaan di
samping
bermacam-macam, karena
kelalaian
yang manusia
menurut (pelaut),
kecelakaan juga dapat diakibatkan karena usia kapal yang digunakan untuk berlayar, juga ada yang disebabkan karena bahaya laut, seperti63: a. Angin Topan Angin topan merupakan salah satu bahaya dalam pelayaran, maka kemampuan untuk melihat tanda datangnya angin topan harus dimiliki seorang pelaut. b. Hantu Laut Hantu laut adalah bahaya laut yang sering meminta korban anak buah kapal maupun penumpang perahu. Pada umumnya muncul dalam bentuk titik-titik yang menyerupai kunang-kunang yang hinggap di atas tiang layar, yang kemudian dalam waktu beberapa saat saja berubah menjadi air, dan makin lama makin membesar memenuhi seluruh ruangan kapal yang dapat menenggelamkan. c. Gurita Besar
63
Baharudin Lopa, 1984, Perjanjian Kerja Laut termasuk Penanggungan Laut di Dalamnya, dikutip dalam Viky Ratna Wulandari, 2007, Pelaksanaan Perlindungan Hukum Tenaga Kerja di Kapal Terhadap Risiko Bahaya di Laut pada PT. Pelayaran Indonesia (Pelni) Semarang, Semarang: Universitas Negeri Semarang, hlm. 48.
48
Gurita besar adalah sejenis binatang laut yang mempunyai jari-jari tiga buah. Besarnya jari-jari sebesar pohon kelapa dan memiliki panjang antara 10-20 meter. d. Laso Angin Laso angin biasanya berupa sebatang tetesan hujan raksasa yang tampak turun dari segumpal awan. e. Kala-kala Kala-kala bisa timbul karena pertemuan antar dua aliran arus yang bertentangan yang muncul ke permukaan laut sebagai kolakan atau tirisan putaran angin yang berupa ombak yang berputar-putar. f. Batu Karang Batu karang yang dimaksud dalam hubungan ini adalah batu karang yang besar yang sering kali mengandaskan kapal.
2.6.
International Labour Organization (ILO) 2.6.1. Sejarah Pembentukan International Labour Organization International Labour Organization (ILO) atau Organisasi Buruh
Internasional adalah sebuah organisasi internasional yang bertanggung jawab dalam menangani, mengawasi serta meningkatkan standar buruh
49
internasional.64 ILO dibentuk pada tahun 1919 melalui Perjanjian Versailles yang mengakhiri perang dunia pertama.65 Konstitusi organisasi ini dirancang pada pertengahan Januari dan April 1919 oleh Labour Commission yang selanjutnya disusun oleh Peace Conference yang bertempat di Paris kemudian di Versailles. International Labour Organization dibentuk oleh komisi yang diketuai oleh Samuel Gompers, ketua American Federation of Labour (AFL) di Amerika Serikat, dan diprakarsai oleh sembilan negara yaitu: Belgia, Kuba, Republik Ceko, Perancis, Italia, Jepang, Polandia, Inggris dan Amerika Serikat. Saat ini, ILO sudah beranggotakan 183 anggota.66 Markas besar ILO berlokasi di Genewa, Swiss. International Labour Organization memiliki model perwakilan yang unik di mana perwakilan negara anggota dikenal dengan model tripartit (tiga pihak). Model tripartit merupakan sebuah bentuk perwakilan di mana negara anggota ILO mengirimkan tiga perwakilan yaitu perwakilan pemerintah, pengusaha, dan serikat buruh. Model ini bertujuan agar seluruh komponen dapat menyampaikan aspirasinya dalam memperkuat kebijakan dan program-program ILO.67 2.6.2. Maksud dan Tujuan International Labour Organization 64
Sejarah Pembentukan International Labour Organization, dimuat di website resmi ILO diakses pada tanggal 17 Maret 2014 pukul 18.29 Wita. 65 Tentang Sejarah ILO, dimuat di website resmi diakses pada tanggal 17 Maret 2014 pukul 18.40 Wita. 66 Ibid. 67 John Budd W., 2005, Labour Relations (Striking a Balance), New York: Mc. Graw-Hill, hlm. 406.
50
International internasional
yang
Labour berupaya
Organization untuk
merupakan
melindungi
organisasi
hak-hak
buruh,
meningkatkan peluang kerja, serta berupaya meningkatkan perlindungan sosial dan memperkuat pembahasan mengenai isu-isu ketenagakerjaan.68 ILO berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dengan cara mengorganisasikan
hak-hak
buruh,
hal
ini
mengingat
bahwa
kelangsungan hidup buruh akan menentukan tingkat kesejahteraan. Tujuan utama ILO adalah meningkatkan kesempatan kepada pria dan wanita untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, produktivitas kerja dalam kemerdekaan, kekayaan, keamanan, dan martabat kemanusiaan. Saat ini, ILO berupaya untuk mempromosikan pekerjaan yang layak dan memperhatikan
kondisi
pekerjaan
dalam
perdamaian
abadi,
kesejahteraan dan kemajuan.69 Untuk mewujudkan visinya, langkah strategis yang dilakukan ILO di antaranya: mempromosikan dan menyadari akan pentingnya standar dan prinsip-prinsip yang fundamental mengenai hak-hak buruh, membuka kesempatan yang lebih besar untuk pria dan wanita demi mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang layak, mempertinggi pembaharuan dan efektivitas perlindungan sosial untuk semua, memperkuat lembaga tripartit serta melakukan dialog sosial. Kegiatan International Labour Organization (ILO), yaitu70:
68
Ibid. Eichelberger M.Clark, 1965, The United Nations: the First 20 Years, New York: Harper & Low Publishers, hlm. 110. 70 International Labour Organization (ILO), dimuat di website resmi Binapenta Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja diakses pada tanggal 17 Maret 2014 pukul 19.04 Wita. 69
51
-
Merumuskan kebijaksanaan dan program internasional untuk memperbaiki lapangan pekerjaan dan kehidupan para pekerja;
-
Menyusun standar ketenagakerjaan Intenasional untuk dijadikan pedoman
bagi
negara
anggota
dalam
membuat
dan
melaksanakan kebijakan ketenagakerjaan khususnya dalam membuat peraturan perundangan ketenagakerjaan; -
Melakukan perbaikan syarat-syarat kerja dan norma kerja serta upaya mengatasi masalah pengangguran.
2.6.3. Struktur Organisasi International Labour Organization Struktur dan organisasi International Labour Organization terdiri dari tiga lembaga, yaitu71: a. International Labour Conference (ILC) International Labour Conference (ILC) adalah forum pleno ILO yang mempunyai kekuasaan tertinggi dan memutuskan semua aktivitas ILO. Sidang diadakan sekali setiap tahun pada bulan Juni di kantor PBB dan kantor pusat ILO di Jenewa. Sidang dihadiri oleh para Menteri Tenaga Kerja sebagai "Minister attending to the conference" dan delegasi negara anggota yang tersusun secara tripartit dengan komposisi: Pemerintah (2), Pengusaha (1), Pekerja (1). Selain itu, masing-masing unsur dapat membawa penasehat yang jumlahnya paling banyak 10 orang agar bisa mengikuti tiap mata acara.
71
Ibid.
52
b. Governing Body (GB) Governing Body (GB) merupakan Sidang Badan Pimpinan yang diselenggarakan tiga kali dalam setahun bertempat di Kantor Pusat ILO di Jenewa. Governing Body adalah badan pengambil keputusan ILO yang mempunyai tugas utama memutuskan kebijakan, menetapkan program dan anggaran organisasi, menyusun acara ILO dan lain sebagainya. c. ILO Office ILO Office merupakan sekretariat permanent ILO yang dipimpin oleh seorang Dirjen, dibantu 5 orang Direktur Eksekutif dan 1 orang Asisten Dirjen. Kantor Pusat ILO berkedudukan di Jenewa, Swiss. Kantor Pusat ILO mempunyai kantor-kantor cabang yang tersebar di beberapa wilayah di dunia yang terdiri dan Kantor Wilayah dan Kantor Lokal. Kantor Wilayah ILO terdapat di 5 negara yaitu Kantor Wilayah Afrika di Abidjan (Ethiopia), Amerika Latin dan Karibia berkedudukan di Lima (Peru), Asia dan Pasifik berkedudukan di Bangkok (Thailand), Eropa dan Asia Tengah berkedudukan di Jenewa (Swiss) dan negara-negara Arab berkedudukan di Beirut. Masing-masing Kantor Wilayah mempunyai Kantor Lokal. Kantor Lokal untuk Wilayah Asia Pasifik berkedudukan di New Delhi (India), Islamabad (Pakistan), Dhakar (Bangladesh), Manila (Philipina), Jakarta (Indonesia), Tokyo (Jepang), Colombo (Sri Lanka), Beijing (China), dan Suva (Fiji).
53
BAB 3 METODE PENELITIAN
54
3.1.
Jenis dan Lokasi Penelitian Suatu Metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat
memahami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Metode adalah pedoman tentang cara seorang ilmuan mempelajari
dan
memahami
langkah-langkah
yang
dihadapi.72
Sedangkan Penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan
dan
menganalisis
sampai
menyusun
laporan
hasil
penelitian.73 Sesuai dengan judul dari penelitian ini, maka penulis dalam mengadakan penelitian ini menggunakan Jenis Penelitian Yuridis Normatif yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder lainnya. Penelitian ini akan berfokus untuk mencari berbagai permasalahan yang dihadapi oleh Pekerja Migran Bidang Perikanan yang bekerja di Kapal Perikanan Asing, serta mengkaji bentuk perlindungan yang semestinya diberikan terhadap pekerja di bidang ini yang telah dituangkan dalam berbagai instrumen hukum internasional serta penerapannya di beberapa negara. Penelitian ini hanya mengkaji permasalahan yang dihadapi pekerja migran bidang perikanan di kapal perikanan asing serta bentuk-bentuk perlindungan yang seharusnya mereka dapatkan. Tempat penelitian ini adalah di Universitas Hasanuddin, dalam hal ini Perpustakaan Fakultas 72
Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, edisi 1, cetakan ke-10, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 6. 73 Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, 1997, Metodologi Penelitian, Jakarta: Bumi Pustaka, hlm. 1.
55
Hukum Universitas Hasanuddin, dan Perpustakaan Umum Universitas Hasanuddin.
3.2.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder yang bersumber pada bahan hukum primer berupa instrumen hukum internasional serta bahan hukum sekunder berupa hasil penelitian, buku-buku teks, jurnal ilmiah, surat kabar (koran), dan berita internet yang relevan dengan penelitian ini. Instrumen internasional yang dimaksud antara lain (namun tidak terbatas pada): -
International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families 2000;
-
International Convention on Standards of Training, Certification and Watchkeeping (STCW) 1995
-
International Convention on Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel (STCW-F) 1995;
-
Seaferer‟s Identity Documents Convention 2003, Recruitment and Placement of Seafarers Convention 1996;
-
Repatriation of Seafarers Convention (Revised) 1987;
-
Health Protection and Medical Care (Seafarers) Convention 1987;
-
Minimum Age (Fishermen) Convention 1959;
-
Seafarers Hours of Work and the Manning of Ships Convention 1996;
-
Accommodation of Crews (Fishermen) Convention 1966;
56
-
Accommodation of Crews (Supplementary Provisions) Convention 1970;
-
Social Security (Seafarers) Convention (Revised) 1987;
-
Social Security (Minimum Standards) Convention 1952;
-
Safety Recommendations for Decked Fishing Vessels of Less than 12 metres in Length and Undecked Fishing Vessels;
-
Torremolinos International Convention for the Safety of Fishing Vessels 1977;
-
3.3.
Work in Fishing Convention 2007.
Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengumpulan Data yang digunakan adalah studi pustaka,
yaitu mengumpulkan, mengidentifikasi, mengklasifikasi, dan menganalisis data untuk kemudian dilakukan pemahaman, pencatatan atau pengutipan terhadap data tersebut. Studi pustaka dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut: 1. Menentukan terlebih dahulu sumber data bahan hukum primer dan sekunder. 2. Identifikasi data yang diperlukan. 3. Inventarisasi data yang relevan dengan rumusan masalah.
3.4.
Analisis Data Analisis data merupakan upaya mengolah data menjadi informasi,
sehingga karakteristik atau sifat-sifat data tersebut dapat dengan mudah
57
dipahami dan bermanfaat untuk menjawab masalah-masalah yang berkaitan dengan kegiatan penelitian. Hasil analisis tersebut dapat ditafsirkan untuk menjawab suatu pemasalahan yang telah dirumuskan, berdasarkan teknik analisis yang telah ditentukan dan sesuai dengan pemasalahan yang akan dikaji. Dalam Penelitian ini, data yang diperoleh melalui studi pustaka akan dianalisis secara kualitatif kemudian disajikan secara
deskriptif
yaitu
dengan
menguraikan,
menjelaskan
dan
menggambarkan mengenai Perlindungan Hukum Internasional Pekerja Migran Bidang Perikanan di Kapal Perikanan Asing.
BAB 4 PEMBAHASAN
58
4.1.
Kasus
Pelanggaran
Terhadap
Pekerja
Migran
Bidang
Perikanan di Kapal Perikanan Asing Organisasi Buruh Internasional (ILO) telah mengklasifikasikan pekerjaan di bidang perikanan sebagai salah satu industri yang paling berbahaya dan eksploitatif secara fisik di dunia. Apa yang dikemukakan oleh ILO ini tentu memiliki data-data yang valid atas pernyataan tersebut. Dari penelitian yang telah dilakukan penulis, berbagai bentuk kecelakaan kerja hingga pelanggaran secara fisik maupun psikis kerap dialami oleh para pekerja perikanan di berbagai kapal perikanan di seluruh dunia. Kecelakaan dan pelanggaran yang terjadi tidak hanya menimpa pekerja perikanan yang berkebangsaan sama dengan bendera kapal, tetapi sebagian besar -terutama pelanggaran eksploitatif- terjadi pada pekerja yang berasal dari negara lain (pekerja migran). Penyebaran para pekerja migran bidang perikanan ini sejalan dengan penyebaran kepemilikan kapal-kapal perikanan dan produksi perikanan tangkap di berbagai negara. Penyebaran kapal-kapal perikanan dan produksi perikanan tangkap tersebut dapat dilihat pada diagram di bawah ini: Diagram 1: Penyebaran Kapal Perikanan menurut Zona Wilayah tahun 2006
59
Sumber: FAO Fisheries - The State of World Fisheries and Aquaculture, 2008. Diagram 2: Produksi Perikanan Tangkap (Penangkapan Laut) tahun 2006
Sumber: FAO Fisheries - The State of World Fisheries and Aquaculture, 2008.
60
Berbagai kasus yang telah dirangkum oleh penulis dari berbagai sumber di bawah ini akan sedikit menjelaskan fakta berbagai pelanggaran yang dialami oleh pekerja migran bidang perikanan di kapal perikanan asing di berbagai negara.
4.1.1. Eksploitasi Pekerja Migran Perikanan di Thailand Industri perikanan komersial memainkan perang yang sangat penting dalam pembangunan sosial dan ekonomi di Thailand. Kondisi geografis Thailand dengan panjang pantai sekitar 2.700 km memicu negara ini untuk semakin mengembangkan potensi perikanannya selama empat dekade terakhir dengan melaksanakan penyebaran alat tangkap dan teknologi terbaru, ekspansi ke wilayah tangkap yang lebih luas, perbaikan kapal perikanan serta pengembangan sarana dan prasarana. Di tahun 1999, Thailand menjadi salah satu negara eksportir produk perikanan terkemuka di dunia.74 Total nilai ekspor Thailand berada di peringkat ketiga secara global di bawah Tiongkok dan Norwegia, yang mencapai nilai sebesar US$ 7 miliar.75 Namun, keterbatasan regulasi bidang perikanan yang tidak diperbaharui secara konsisten dan berbagai persoalan lainnya membuat sumber daya perikanan di Thailand mengalami eksploitasi berlebih dan eksploitasi pekerja, termasuk kerja paksa dan perdagangan manusia. Struktur lapangan kerja bidang perikanan di Thailand selama beberapa 74
Food and Agriculture Organization, 2009, National Fishery Sector Overview: Thailand, Fisheries and Aquaculture Department FAO: Roma, Italia, hlm. 2. 75 Food and Agriculture Organization, 2012, the state of world fisheries and aquaculture 2012, Fisheries and Aquaculture Department FAO: Roma, Italia, hlm. 3.
61
tahun belakangan ini mengalami perubahan yang cukup drastis. Banyak di antara warga Thailand semakin kurang berminat untuk bekerja di sektor perikanan sebagai dampak dari bencana alam besar yang terjadi di tahun 1989 yang menyebabkan turunnya keuntungan yang didapatkan oleh industri perikanan, serta kondisi tingkat pendidikan warganya yang semakin membaik. Hal ini menyebabkan para pengusaha di bidang perikanan kesulitan mencari pekerja di negaranya sendiri sehingga harus mendatangkan pekerja dari negara tetangga seperti Kamboja dan Myanmar. Pada
tahun
2012,
Asosiasi
Perikanan
Nasional
Thailand (NFAT) memperkirakan sekitar 50.000 pekerja perikanan migran telah mengisi kekurangan pekerja di sektor ini.76 Walaupun harga bahan bakar yang semakin tinggi, para pemilik kapal perikanan di Thailand tidak mau berhenti untuk meneruskan usaha ini, sehingga berbagai cara untuk mendapatkan keuntungan yang besar dilakukan oleh para pemilik kapal. Banyaknya pasokan pekerja migran dari negara tetangga yang bersedia dibayar dengan gaji rendah dan dengan kondisi kerja yang di bawah standar menjadi faktor kunci terjadinya eksploitasi pekerja yang sangat besar di negara ini. Berbagai tindakan pelanggaran yang terjadi seperti perekrutan illegal, kerja paksa, upah rendah, upah yang tidak dibayar, penyiksaan, perdagangan manusia hingga terjadinya kematian para pekerja. 76
International Labour Organization, 2013, Employment Practices and Working Conditions in Thailand’s Fishing Sector, Asian Research Center for Migration, Thailand: Institute of Asian Studies, Chulalongkorn University, hlm. ix.
62
Untuk mendapatkan data yang lebih akurat terkait masalah ini, ILO melalui Pusat Penelitian Asia untuk Migrasi (ARCM) melakukan survei kuantitatif skala besar terhadap praktik kerja dan kondisi kerja sektor perikanan komersial di empat provinsi pesisir Thailand. Survei juga melibatkan bantuan Departemen Tenaga Kerja, Departemen Perikanan, NFAT, Asosiasi Perikanan Thailand (Tofa), departemen terkait lainnya dan organisasi masyarakat sipil. Sampel penelitian ini sekitar 600 orang yang dipekerjakan di kapal perikanan Thailand yang melakukan aktifitas di perairan nasional maupun perairan internasional. Dari semua pekerja yang disurvei, sebagian besar adalah pendatang dari Kamboja dan Myanmar. Hasil survei menunjukkan beberapa fakta sebagai berikut77: 1. Sekitar 1/3 dari pekerja yang disurvei direkrut ke dalam industri perikanan oleh penyalur tenaga kerja yang mengenakan biaya atas penyaluran setiap tenaga kerja yang ditanggung oleh masingmasing pekerja, yang tidak sedikit dari mereka harus berhutang pada penyalur tersebut. 2. Sebanyak ¼ dari pekerja yang menggunakan jasa penyalur tenaga kerja mengaku upah mereka dipotong oleh para penyalur untuk biaya pengiriman mereka ke negara tersebut. 3. Sebanyak 5,4% menyatakan bahwa mereka telah ditipu atau dipaksa untuk bekerja di kapal perikanan, bertentangan dengan apa yang telah disepakati dan dijanjikan sebelum mereka dikirim ke negara tersebut. 77
Ibid, hlm. x-xii.
63
4. Sebanyak 94% pekerja yang disurvei belum menandatangani kontrak
dengan
majikan
mereka
sebelum
memulai
kerja.
Kesepakatan kerja hanya dilakukan secara verbal yang tidak memberikan
bantuan
pembuktian
apapun
dalam
pertanggungjawaban hukum saat perselisihan upah dan kondisi kerja terjadi. 5. Peraturan Menteri No. 10 tentang Pekerja Perikanan Laut yang dikeluarkan oleh Pemerintah Thailand tidak membatasi jam kerja sehingga hampir 28% pekerja yang disurvei mengaku bahwa mereka harus bekerja 17-24 jam dalam sehari dan sekitar 41% menyatakan bahwa tidak ada penetapan jam kerja yang ditentukan oleh pemilik kapal. 6. Sekitar 73,7% menyatakan bahwa mereka punya cukup waktu istirahat dan sekitar 26,3% menyatakan mereka tidak mendapatkan waktu istirahat yang cukup. 7. Gaji pekerja yang disurvei rata-rata 6.480 baht perbulan, masih lebih rendah di bawah upah minimum empat provinsi yang disurvei yaitu sekitar 300 baht perhari atau 9000 baht perbulan. Dan sekitar 40% dari mereka mengaku mengalami pemotongan gaji mereka untuk berbagai alasan. Selain itu, sumber-sumber lain juga menyebutkan bahwa banyak di antara pekerja yang upahnya tidak dibayarkan sama sekali. 8. Sebanyak 33 pekerja yang disurvei berusia di bawah 18 tahun dan tujuh orang di antaranya berusia di bawah 15 tahun. Selain itu,
64
belum ada ketentuan yang mengatur jenis pekerjaan di atas kapal perikanan yang boleh dilakukan oleh pekerja di bawah usia 18 tahun. 9. Sebanyak 78% pekerja yang disurvei mengaku selama ini tidak mendapatkan tunjangan kesejahteraan sosial. 10. Sebanyak 16,9% dari pekerja tidak dapat meninggalkan pekerjaan mereka karena takut ancaman hukuman denda. Sebanyak 12% takut karena ancaman kekerasan dan sebanyak 12% lainnya tidak dapat berhenti karena terbelit utang kepada pemilik kapal. 11. Menurut hasil survey, 10% dari mereka mengaku pernah mengalami kekerasan di kapal baik oleh majikan maupun oleh pekerja lainnya. 12. Hanya
5,2%
dari
mereka
yang
pernah
melaporkan
permasalahannya, dan sebanayak 61,7% mengatakan bahwa mereka tidak melapor karena mereka merasa tidak mengalami pelanggaran serius terhadap hak asasi, namun temuan dari survey ini menunjukkan bahwa pemahaman pekerja terhadap hak-hak mereka masih sangat terbatas. Selain itu, 21,3% tidak melaporkan permasalahannya
karena
takut
dimintai
bayaran
dalam
penyelesaian kasusnya, pesimis terhadap kemampuan pemerintah setempat untuk merespon, atau tidak mengetahui bagaimana cara untuk melakukan pengaduan.
4.1.2. Eksploitasi Pekerja Perikanan Buta Huruf Asal Nepal oleh Agency Singapura
65
Pada tahun 2010, Environmental Justice Foundation78 merilis sebuah laporan yang berisi kasus kontrak kerja yang tidak memenuhi standar antara pekerja perikanan asal Nepal yang direkrut oleh keagenan asal Asia Tenggara di mana kontrak tersebut telah dibubuhi cap jempol oleh para pekerja. Environmental Justice Foundation sendiri merupakan sebuah badan yang fokus terhadap pelaksanaan konsep keadilan lingkungan. Pada dasarnya Environmental Justice (keadilan lingkungan) mengkaji seberapa jauh keterkaitan antara ketidakadilan lingkungan dan sosial, dan mempertanyakan apakah mungkin ketidakadilan sosial dan masalah lingkungan dapat di atasi melalui pendekatan kebijakan dan pembangunan yang terintegrasi. Environmental Justice biasa disebut juga environmental equity yang diartikan sebagai hak untuk mendapatkan perlindungan dari bahaya lingkungan secara adil bagi individu, kelompok, atau masyarakat tanpa membedakan ras, bangsa, atau status ekonomi. Klausul utama dari kontrak tersebut menyatakan bahwa para awak ini akan bekerja selama tiga tahun dengan gaji bulanan sebesar US$ 200. Namun ¾ dari gaji mereka (US$ 150) akan ditarik untuk agency Singapura di mana kontrak tersebut disetujui. Pembayaran gaji untuk 6 bulan pertama (US$ 300) hanya akan diberikan setelah kontrak selama 3 tahun tersebut berakhir. Gaji pertama untuk 6 bulan kedua akan dibayarkan setelah satu tahun kerja, setelah itu setiap enam bulan gaji akan dibayarkan setiap enam bulan sekali sebesar US$ 1.200. Untuk pembayaran gaji 6 bulan pertama sebesar US$ 300 yang telah ditahan 78
EJF, 2010, All at Sea: The Abuse of Human Rights Aboard Illegal Fishing Vessels, Environmental Justice Foundation: London, hlm. 12.
66
akan dibayarkan oleh kapten ketika kapal berada di pelabuhan, walaupun jangka waktunya bisa lebih dari 6 bulan bahkan lebih dari setahun. Kontrak ini juga tidak mencakup biaya pemulangan (repatriasi), dan para pekerja ini dapat ditinggalkan di pelabuhan terdekat kapan saja jika melanggar kontrak. Pelanggaran yang mereka maksudkan ini didefinisikan dengan “penyakit bawaan, malas, tidak disukai oleh kapten kapal, dan sebagainya”. Jam kerja mereka ditentukan sekitar 18 jam (bisa lebih dan bisa kurang) dan tidak ada pembayaran untuk kelebihan jam kerja yang dimaksud. Makanan akan disediakan tetapi mie dan makanan ringan harus di beli sendiri oleh para pekerja. Mandi dan mencuci harus menggunakan air laut. Dengan menandatangani kontrak tersebut, para pekerja dianggap telah paham dan setuju untuk tidak meminta kembali uang yang telah mereka habiskan untuk mendapatkan kerja tersebut termasuk biaya yang telah dipotong oleh pihak agency. Dari isi kontrak tersebut, dapat dilihat bahwa para pekerja dituntut untuk bekerja keras selama 19.710 jam dalam jangka waktu 3 tahun, dengan gaji sekitar US$ 0,37 perjam. Selain itu, biaya pemulangan (repatriasi) yang tidak ditanggung oleh perusahaan semakin memperbesar kemungkinan para pekerja harus terlilit utang kepada perusahaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang pada akhirnya mereka semakin sulit untuk terlepas dari model perbudakan. Bukti dari kontrak tersebut dapat dilihat di bawah ini. Gambar 2: Bukti Kontrak Kerja Pekerja Migran Asal Nepal
67
68
4.1.3. Penyiksaan Pekerja Perikanan Asal Tiongkok di Samoa Amerika.79 Pada tanggal 26 September 2005, enam pekerja perikanan asal Tiongkok yang bekerja di sebuah kapal Samoa Amerika bernama “the Tunago #61” melompat dari kapal dan bersembunyi di pegunungan karena takut ditangkap oleh kapten mereka. Mereka mencari bantuan dari agen perusahaan mereka, tetapi tidak mendapatkan respon apapun. Mereka akhirnya melapor ke kantor polisi dan kemudian berlindung di Pusat Pelaut yang ada di wilayah Pago-Pago, dan menjelaskan kepada International Transport Workers' Federation tentang penderitaan mereka. Para pekerja tersebut memberikan kesaksian mereka tentang penyiksaan fisik ekstrim yang mereka dapatkan dari awak kapal tempat mereka bekerja. Setiap hari mereka menerima penyiksaan secara sporadik yang dilakukan oleh kapten kapal dan chief engineer. Kapten kapal tempat mereka bekerja juga memiliki pistol dan sering kali diancam untuk dibunuh dan jejak mereka akan dihilangkan dengan cara dibuang ke laut. Salah seorang pekerja mengaku dipukul dengan batang besi hingga menderita luka yang serius dan mengalami pendarahan hebat kemudian dikurung di haluan kapal selama tiga hari tanpa diberi makan dan minum. Hal ini terjadi setelah pekerja tersebut meminta cuti kerja. Pekerja lain yang ditemukan sedang mengobrol dengan temannya tiba-tiba rambutnya ditarik dan kemudian dipukuli di bagian wajah. Setelah
79
ITF, 2006, Out of Sight, Out of Mind: Seafarers, Fishers & Human Rights, International Transport Workers' Federation: Amerika, hlm. 20.
69
itu, dia dipukuli lagi dengan sebuah balok kayu yang keras sepanjang tiga kaki di bagian paha, perut dan punggungnya. Seorang pekerja lain yang masih sangat muda yang gagal mendapatkan tangkapan akhirnya dipukuli dan ditendang di bagian kepalanya hingga ia terjatuh di bagian geladak kapal. Setelah kejadian itu, pekerja tersebut dihukum untuk bekerja selama 48 jam tanpa istirahat. 4.1.4. Kasus Eksploitasi Pekerja di Kapal „the Oyang 70‟ Asal Korea80 Pada tanggal 18 Agustus 2010 sebuah kapal perikanan milik perusahaan Sajo Oyang bernama the Oyang 70 yang telah melakukan usaha penangkapan ikan di laut Selandia Baru sejak tahun 2002 mengirimkan sinyal panggilan bantuan karena mengalami insiden kerusakan kapal. Kapal penyelamat akhirnya datang menyelamatkan 45 awak kapal tersebut yang berasal dari Indonesia, Filipina, Tiongkok dan Korea, 6 awak kapal ditemukan telah meninggal. Sedangkan tiga orang kru termasuk kapten kapal menolak untuk meninggalkan kapal tersebut. Dari kejadian tersebut, para awak kapal penyelamat mengumpulkan informasi mengenai kasus ini. Dan dari keterangan para awak kapal yang diselamatkan mereka mengaku telah mengalami berbagai tindakan yang tidak manusiawi dan melanggar hak asasi manusia.
80
Christina Stringer, dkk., 2011, Not in New Zealand’s Waters, Surely? Labour and Human Rights Abuses Aboard Foreign Fishing Vessels, New Zealand Asia Institute: New Zealand, hlm. 13-14.
70
Para awak kapal tersebut menuturkan bahwa keadaan tempat hidup mereka di atas kapal itu sangat tidak layak. Ruang tempat mereka tinggal selalu terendam air, tanpa tempat tidur, sangat kotor dan selalu dipenuhi serangga. Mereka harus mandi dengan air laut dan minum air yang sangat kotor dan tidak dimasak. Mereka juga mengaku tidak mendapatkan makanan dengan kuantitas dan kualitas yang memadai, bahkan mereka kadang hanya makan nasi dan umpan ikan yang sudah membusuk, dan setelah 20 hari berlayar makanan mereka dijatah dan dapur kapal dikunci. Kondisi ini sangat berbeda dengan para petugas kapal yang dapat makan berbagai makanan dan minuman sepanjang pelayaran. Berbagai kecelakaan kerja juga dialami oleh para awak kapal yang minim perlengkapan keselamatan. Mereka hanya diberi saru set sarung tangan dalam sebulan tanpa kacamata pelindung, pakaian keamanan dan perlengkapan keselamatan lainnya. Berbagai insiden yang menimpa para pekerja seperti jari yang hancur di sabuk conveyer, jari hancur tertimpa pengawet ikan seberat 12 kilogram, cedera karena terjatuh, tersandung dan terperangkap dalam kawat ketika menarik jaring, dan berbagai kasus lainnya. Sebagian besar kasus tersebut hanya diobati dengan plester luka atau obat yang sudah kedaluarsa atau bahkan tanpa pengobatan sama sekali dan semua kecelakaan ini tidak dicatat dalam buku catatan kapal dan tidak dilaporkan ke petugas kelautan Selandia Baru. Ketika tiba di pelabuhan, para awak kapal yang terluka dilarang untuk turun dari kapal agar petugas pelabuhan tidak melihat kondisi mereka.
71
Selain itu, awak kapal ini juga mengalami kekerasan fisik dan verbal. Para petugas memanggil para awak kapal yang beragama muslim dengan sebutan anjing atau monyet. Salah seorang awak kapal muslim asal Indonesia pernah dipukul dengan pengawet ikan seberat 12 kilogram di bagian kepala hingga mengeluarkan banyak darah. Ketika awak kapal lain meminta kapten kapal memberikan pengobatan, dia hanya berkata “oh no no he‟s Indonesian, no touchy no touchy”. Akhirnya para awak kapal yang tidak memiliki pemahaman medis menjahit luka korban seadanya. Penyiksaan yang mereka alami semakin berat karena upah mereka juga tidak dibayarkan oleh perusahaan tersebut. Kasus di atas bukanlah kasus yang pertama kali terjadi di Selandia Baru, berbagai kasus serupa kerap terjadi yang dilakukan oleh sebagian besar kapal yang berasal dari luar Selandia Baru. Beberapa kasus tersebut dapat dilihat dalam table 1 di bawah ini. Tabel 1. Data Kasus yang Dilaporkan di Selandia Baru Tahun
Kasus Enam orang Indonesia meminta perlindungan dari kapal Melilla 203 karena mengalami penganiayaan.
2005
Sepuluh pekerja perikanan asal Indonesia melarikan diri dari kapal Korea bernama Sky 75 karena mengaku mengalami kekerasan fisik dan mental.
72
Beberapa waktu kemudian, dua pekerja perikanan asal Vietnam juga melarikan diri dari kapal Sky 75 karena mengalami penyiksaan. Empat pekerja perikanan asal Tiongkok melarikan diri dari kapal
Oyang
96
asal
Korea
karena
mengalami
penyiksaan. Delapan pekerja perikanan asal Indonesia melarikan diri dari kapal San Liberatore asal Selandia Baru. Awak kapal Melilla 201 melompat dari kapal. Sembilan pekerja perikanan asal Indonesia melarikan diri dari kapal Marinui asal Korea yang mengaku mendapatkan penyiksaan secara fisik dan mental. Dua puluh tujuh awak kapal Malakhov Kurgan asal 2006 Ukraina melakukan aksi mogok karena masalah upah kerja. Awak kapal asal Myanmar melarikan diri dari kapal Sky 75 asal Korea yang mengaku mengalami perlakuan kasar. Delapan pekerja perikanan asal Indonesia melarikan diri 2009
dari kapal Shin Ji asal Korea yang mengaku mendapatkan penyiksaan secara fisik dan verbal, dan upah mereka tidak
73
dibayarkan. Empat awak melompat dari kapal Melilla 201 asal Korea yang mengaku mendapatkan perlakuan kasar dan jam kerja yang panjang. Kapal
perikanan
asal
Korea
bernama
Oyang
70
mengalami kecelakaan dan menyebabkan enam orang 2010
meninggal. Para awak kapal yang selamat mengaku mendapatkan penyiksaan secara fisik dan verbal, dan upah mereka juga tidak dibayarkan. Tujuh pekerja perikanan asal Indonesia melarikan diri dari kapal Shin Ji asal Korea yang mengaku mengalami penyiksaan fisik, mental dan seksual, dan upah mereka juga tidak dibayarkan.
2011 Tiga puluh dua orang pekerja perikanan asal Indonesia melarikan diri dari kapal Oyang 75 asal Korea, mereka mengaku mengalami penyiksaan fisik, mental dan psikis, dan upah mereka juga tidak dibayarkan. Sumber: New Zealand Asia Institute Working Paper Series 2011.
74
4.1.5. Kasus Awak Kapal „Hsieh Ta‟ Longliner Tuna81 Pada bulan September 2013 dilaporkan bahwa empat orang pekerja perikanan asal Vietnam melarikan diri dari kapal Hsieh Ta yang merupakan kapal berjenis longliner tuna. Kapal ini telah terdaftar di Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) dan InterAmerican Tropical Tuna Commission (IATTC). Kapal Hsieh Ta merupakan kapal milik perusahaan perikanan Hong Yuan asal Taiwan. Empat pekerja tersebut kemudian berhasil diselamatkan oleh sebuah kapal penarik (tugboat) dan dibawa ke darat. Salah seorang dari pekerja yang berhasil diselamatkan bernama Tran Van Dung yang berumur 22 tahun menjelaskan bahwa kapten kapal beserta kru mesin dan dua pria lain di kapal tersebut berulang kali memukul mereka tanpa alasan dengan menggunakan benda apapun di tangan mereka seperti palu atau kunci inggris. Kejadian yang paling menyakitkan baginya adalah ketika kapten kapal dan kru mesin memukul dan menginjak tubuhnya hingga darah mengucur dari hidungnya dan kemudian dia tidak sadarkan diri. Kasus ini kemudian dimuat di berbagai media massa. 4.1.6. Kasus-Kasus Eksploitasi Pekerja Perikanan di Afrika Pada tahun 2010, Environmental Justice Foundation (EJF) semakin meningkatkan
kewaspadaan
terhadap
kemungkinan
tindakan
81
Greenpeace, 2013, The Failure of the Global Tuna Longline Fisheries, Out of Line Report Greenpeace: Belanda, hlm. 35.
75
perdagangan orang di kapal perikanan yang ada di lepas pantai Afrika Barat. Selama penyelidikan atas dugaan kasus kejahatan atas sumber daya alam laut di sepanjang 200 mil laut zona pantai Sierra Leone yang dilakukan EJF bekerjasama dengan Greenpeace ditemukan sebuah kapal perikanan yang digunakan sebagai kapal induk. Kapal asal Korea Selatan yang bernama Five Star tersebut ternyata merupakan kapal tua yang dipermak dengan struktur kayu-kayu tipis yang dibuat empat tingkat dengan tinggi hanya sekitar satu meter di setiap tingkatnya. Di setiap tingkat, terdapat tempat tidur untuk sekitar 200 orang pekerja perikanan asal Senegal. Para pekerja ini tidur di atas kasur kardus dan saling berdesakan karena luas ruangannya yang tidak memadai untuk jumlah pekerja sebanyak itu. Selain sebagai tempat istirahat, ruangan itu juga harus mereka gunakan sebagai tempat memasak dan makan. Meskipun kapal ini beratap, tetapi dengan kondisi kapal yang rapuh maka disaat cuaca yang buruk terjadi, kapal ini sangat berisiko mengalami kerusakan yang dapat mengancam nyawa para awak kapal. Dan ternyata setelah ditelusuri, kapal ini tidak terdaftar secara resmi untuk ijin penangkapan ikan di wilayah Sierra Leone sehingga kasus ini dianggap sebagai kasus illegal, unreported and undocumented fishing (IUU)82. Setiap pagi para pekerja ini akan meninggalkan kapal dengan menggunakan 40 kano yang
82
IUU Fishing secara harfiah dapat diartikan sebagai kegiatan perikanan yang tidak sah, tidak dilaporkan pada institusi pengelola perikanan yang berwenang, dan kegiatan perikanan yang belum diatur dalam peraturan yang ada.
76
terbuat dari kayu dan kembali pada malam hari dengan hasil tangkapan mereka.83 Kasus lain terjadi pada bulan Februari tahun 2010, seorang awak kapal Kenya dari kapal penangkap ikan asal Taiwan „Tawariq-1‟ tewas dalam keadaan yang misterius di penjara Tanzania. Sebelumnya di bulan Maret tahun 2009, kapal tempat korban dipekerjakan ditangkap di perairan Tanzania
karena
melakukan
tindakan
illegal,
unreported
and
undocumented fishing. Kapal tersebut mempekerjakan 15 orang Tiongkok, 8 orang Filipina, 5 orang Vietnam, 6 orang Indonesia, dan 3 orang Kenya. Pemilik kapal sendiri berhasil melarikan diri dari kejaran petugas. Sejak para awak kapal ini ditangkap, mereka ditahan di penjara yang terpisah. Pada bulan September 2009, pengadilan Tanzania di wilayah Dares-Salaam memutuskan bahwa para awak kapal dapat dibebaskan dengan membayar uang sebesar satu milyar Tanzania Shillings untuk setiap orang (sekitar US$770 perorang), namun pada akhirnya hal ini tidak dibayarkan oleh pemilik kapal karena memang belum berhasil ditangkap dan diidentifikasi dengan jelas, sedangkan para awak kapal sendiri tidak memiliki uang sebanyak itu, sehingga mereka akhirnya tetap melanjutkan masa penahanan mereka. The East African Programmed dan sebuah NGO bernama Ecoterra International yang merupakan satu-satunya organisasi lingkungan yang masih aktif di Somalia, kemudian mengajukan
83
EJF, 2010, Op.Cit., hlm. 9.
77
banding kepada Pemerintah Tanzania untuk pembebasan awak kapal tersebut.84 4.1.7. Kasus Pekerja Perikanan Indonesia di Trinidad and Tobago dan Pantai Gading.85 Sebanyak 187 awak kapal Indonesia terdampar di Port of Spain (Trinidad and Tobago) dan Pantai Abidjan (Pantai Gading) selama enam bulan. Para awak kapal ini mengaku ditelantarkan oleh perusahaan penangkapan ikan milik perusahaan asal Taiwan, Kwo-Jeng Co.Ltd. sejak Agustus 2012 saat mereka berada di perairan Trinidad. Selama ini mereka bekerja di 15 kapal yang beroperasi di lautan Trinidad, Afrika, hingga Amerika Latin untuk menangkap ikan tuna kualitas super. Dan selama mereka bekerja, mereka juga mengaku kerap kali mendapatkan kekerasan secara fisik dan psikis serta berbagai perlakuan tidak manusiawi lainnya. Dari 187 awak kapal yang terdampar di dua tempat yang terpisah itu, tercatat sebanyak 158 awak kapal ditempatkan oleh jasa penyalur tenaga kerja asal Indonesia PT.Karltigo dan sisanya sebanyak 29 awak kapal ditempatkan oleh PT.Bahana Samudera Atlantik yang kantornya saat ini sudah tidak beroperasi. Kasus penelantaran ini bermula ketika perusahaan tempat mereka bekerja bangkrut setelah pemegang saham mayoritas (80 persen)
84
Ibid, hlm. 17. BNP2TKI, 2013, 187 ABK Indonesia yang Terdampar di Trinidad dan Abijidan Sudah Tiba, dimuat dalam website resmi BN2TKI http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu231/7914-187-abk-indonesia-yang-terdampar-di-trinidad-dan-abijidan-sudah-tiba.html diakses pada tanggal 17 Juni 2014 pukul 22.48 Wita. 85
78
perusahaan tersebut menarik sahamnya yang menyebabkan perusahaan tidak sanggup lagi membiayai operasional kapal dan bahkan tidak mampu membayarkan gaji seluruh awak kapal yang telah tertunda selama dua hingga tiga tahun. Setelah terlunta-lunta selama enam bulan, akhirnya Pemerintah Indonesia melalui Departemen Luar Negeri dan BNP2TKI memulangkan mereka secara bertahap. Namun, setelah tiba di Indonesia kasus mereka ternyata menghadapi berbagai masalah. Janji pelunasan gaji yang selama ini tidak dibayarkan belum mendapatkan kepastian. Menurut pihak PT.Karltigo, kapal-kapal millik perusahaan Taiwan yang disita di Trinidad dan Tobago yang rencananya akan dilelang oleh pihak perusahaan belum juga menuai kejelasan. Kasus inipun kemudian berlanjut ke pengadilan dan menyeret pemilik PT.Karltigo yang terindikasi melakukan tindakan perdangan manusia (Human Trafficking) dan melakukan pemalsuan dokumen untuk para tenaga kerja yang mereka kirim. Kasus pelanggaran terhadap pekerja migran bidang perikanan asal Indonesia di atas bukanlah kasus pertama yang terjadi. Berbagai kasus yang serupa selama ini telah banyak terjadi di berbagai kapal perikanan asing di berbagai negara. Menurut data yang dihimpun oleh Direktorat Kapal Perikanan dan Alat Penangkap Ikan dari tahun 2005-2011, berbagai kasus tersebut terjadi di Australia, somalia, Malaysia, Korea Selatan, Mozambik, Afrika Selatan, Fiji, Mauritius, Italia, Taiwan, Spanyol, PNG, Filipina, Argentina, Rusia, Inggris, Togo, Peru, Jepang, Hawai dan
79
Colombo. Adapun rincian kasus tersebut dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
Diagram 1: Data Kasus ABK Asal Indonesia di Kapal Perikanan Asing di Berbagai Negara
80
Sumber: Direktorat Kapal Perikanan dan Alat Penangkap Ikan Tahun 2009
4.2.
Perlindungan Hukum Internasional Terhadap Pekerja Migran Bidang Perikanan di Kapal Perikanan Asing Peluang untuk bekerja di bidang perikanan khususnya di kapal
perikanan dari waktu ke waktu semakin besar. Peluang kerja di kapal perikanan khususnya semakin banyak ditawarkan kepada negara-negara yang memiliki topografi wilayah yang memiliki perairan laut seperti negaranegara Asean. Sehingga perekrutan pekerja di kapal perikanan selama ini semakin didominasi oleh pekerja asal Asean. Namun, peluang ini bukanlah hal yang tanpa resiko. Berbagai permasalahan yang dialami para pekerja perikanan ini semakin banyak terjadi mulai dari upah yang di bawah standar hingga pada kejahatan yang terkait dengan nyawa para pekerja. Permasalahan-permasalahan seperti itu, pada dasarnya dapat dicegah jika berbagai persiapan diberikan dan dipahami untuk setiap pekerja sebelum mereka dikirim untuk bekerja ke kapal-kapal perikanan di berbagai negara. Instrument-instrumen hukum internasional telah banyak dibuat untuk memberikan perlindungan terhadap para pekerja migran bidang perikanan ini. Secara umum para pekerja migran bidang perikanan masuk
81
dalam
kategori
perlindungan
pekerja
migran
yang
diatur
dalam
International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and
Members
of
Their
Families
2000
yang
mengatur
perlindungan dan ketentuan dasar bagi pekerja migran dan keluarganya, memberikan pedoman tentang penerapan ketentuan perjanjian hak asasi manusia yang ada bagi buruh migran, yang ditujukan untuk melindungi dan mendorong pemenuhan hak maupun martabat secara bebas dan setara tanpa membedakan dengan pekerja lainnya. Organisasi regional juga telah membuat kerangka normatif mereka sendiri. Di Asia Tenggara misalnya, ASEAN mengadopsi Deklarasi ASEAN tentang Perlindungan dan Promosi Hak-Hak Buruh Migran yang dikeluarkan pada KTT ASEAN ke-12 (Januari 2007).86 Upaya juga dilakukan oleh South East Asia Human Rights Institution Forum (SEANF) untuk mendukung dan mengembangkan instrumen ASEAN tentang Perlindungan dan Promosi terhadap Hak-Hak Buruh Migran, sebagai kelanjutan dari Deklarasi ini.87 Sementara itu, “Deklarasi Dhaka” yang difokuskan pada migrasi yang bermartabat diadopsi pada 2011 oleh Proses Kolombo, suatu proses
86
South East Asia National Human Rights Institutions Forum (SEANF), 2010, SEANF Paper on Migrant Workers, disitir oleh Bassina Farbenblum, dkk., 2013, Akses Buruh Migran Terhadap Keadilan di Negara Asal: Studi Kasus Indonesia, Amerika Serikat: Open Society Foundations, hlm. 29-30. 87 Kantor Komisioner Tinggi PBB untuk HAM, 2005, Konvensi Internasional tentang Buruh Migran dan Komitenya, Lembar Fakta No. 24 (Rev. 1), New York/Geneva: United Nations, disitir oleh Bassina Farbenblum, dkk., 2013, Akses Buruh Migran Terhadap Keadilan di Negara Asal: Studi Kasus Indonesia, Amerika Serikat: Open Society Foundations, hlm. 30.
82
konsultasi menteri regional tentang migrasi tenaga kerja bagi negaranegara asal di Asia.88 Namun, pengaturan secara khusus terkait pekerjaan di bidang ini juga telah diatur dalam berbagai instrument internasional yang disusun oleh ILO, IMO atau FAO. Berbagai instrument internasional terkait yaitu International Convention on Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel (STCW-F) 1995, Seaferer‟s Identity Documents Convention 2003, Recruitment and Placement of Seafarers Convention 1996, Repatriation of Seafarers Convention (Revised) 1987, Health Protection and Medical Care (Seafarers) Convention 1987, Minimum Age (Fishermen) Convention 1959, Seafarers Hours of Work and the Manning of Ships Convention 1996, Accommodation of Crews (Fishermen) Convention 1966 beserta ketentuan tambahannya yaitu Accommodation of Crews (Supplementary Provisions) Convention 1970, Social Security (Seafarers) Convention (Revised) 1987, Social Security (Minimum Standards) Convention 1952, Safety Recommendations for Decked Fishing Vessels of Less than 12 metres in Length and Undecked Fishing Vessels, dan pada tahun 2007 telah disahkan sebuah konvensi yang konsen mengatur pekerjaan di bidang perikanan yaitu Work in Fishing Convention 2007 beserta rekomendasinya.
88
Colombo Process, 2011, Deklarasi Dhaka oleh Negara Anggota Colombo Process, disitir oleh Bassina Farbenblum, dkk., 2013, Akses Buruh Migran Terhadap Keadilan di Negara Asal: Studi Kasus Indonesia, Amerika Serikat: Open Society Foundations, hlm. 30.
83
4.2.1. Standar Perekrutan dan Penempatan Pekerja Migran Bidang Perikanan Untuk bekerja di luar negeri, khususnya bagi para pekerja perikanan, pada umumnya membutuhkan lembaga-lembaga kerja sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap penempatan, pelatihan dan dokumen para tenaga kerja. Lembaga-lembaga ini dapat berasal dari pemerintah maupun dari pihak swasta yang memang bergerak di bidang perekrutan dan penempatan tenaga kerja. Ketentuan perekrutan dan penempatan telah menjadi salah satu perhatian khusus dalam Work in Fishing Convention 2007. Pasal 22 Work in Fishing Convention 2007 menyatakan bahwa: 1. Setiap Negara Anggota yang mengoperasikan kantor umum yang menyediakan jasa rekrutmen dan penempatan untuk awak kapal perlu memastikan bahwa kantor tersebut menjadi bagian dari, atau dikoordinir bersama, layanan kerja umum untuk semua pekerja dan pengusaha. 2. Setiap kantor swasta yang menyediakan jasa rekrutmen dan penempatan untuk awak kapal yang beroperasi di wilayah Negara Anggota harus melakukannya sesuai sistem lisensi atau sertifikasi yang standar atau bentuk peraturan lain, yang akan dibuat, dipelihara atau dimodifikasi hanya setelah berkonsultasi. 3. Setiap Negara Anggota perlu, melalui sarana undang-undang, peraturan atau tindakan-tindakan lain:
84
a) melarang lembaga rekrutment dan penempatan menggunakan sarana, mekanisme atau daftar yang dimaksudkan untuk mencegah atau menghambat awak kapal
melaksanakan
pekerjaan tersebut; b) mengharuskan bahwa tidak ada iuran atau biaya lain untuk rekrutmen atau penempatan awak kapal yang akan dibebankan secara langsung maupun tak langsung, baik sebagian atau sepenuhnya, oleh awak kapal; dan c) menetapkan persyaratan di mana ijin, sertifikat atau wewenang serupa dari lembaga rekrutment atau penempatan swasta dapat dihentikan sementara atau dicabut bila terjadi pelanggaran atas undang-undang
atau
peraturan
terkait;
dan
menetapkan
persyaratan di mana lembaga rekrutment dan penempatan swasta dapat beroperasi. 4. Negara Anggota yang telah meratifikasi Konvensi ILO No. 181 tahun
1997
mengenai
Lembaga
kerja
swasta,
dapat
mengalokasikan tanggungjawab tertentu berdasarkan Konvensi ini kepada lembaga kerja swasta yang menyediakan layanan-layanan yang dimaksud dalam ayat 1(b) Pasal 1 Konvensi tersebut. Setiap tanggungjawab dari lembaga kerja swasta ini dan pemilik kapal penangkap ikan, yang akan menjadi “perusahaan pengguna” dalam Konvensi tersebut, akan ditentukan dan dialokasikan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Konvensi tersebut. Negara Anggota ini perlu
menerapkan
undangundang, peraturan atau tindakan-
85
tindakan lain untuk memastikan tidak ada alokasi tanggungjawab atau kewajiban kepada lembaga kerja swasta yang menyediakan layanan tersebut dan kepada “perusahaan pengguna” sesuai Konvensi ini yang akan menghalangi awak kapal tersebut dari menuntut hak atas hak gadai terhadap kapal penangkap ikan tersebut. 5. Dengan menyimpang dari ketentuan-ketentuan ayat 4, pemilik kapal penangkap ikan harus bertanggung-jawab apabila lembaga kerja swasta tersebut melalaikan kewajiban-kewajibannya terhadap awak kapal apabila, dalam konteks Lembaga kerja swasta Konvensi, 1997 (No. 181), pemilik kapal penangkap ikan adalah “perusahaan pengguna”. 6. Tidak
ada
membebani
ketentuan Kewajiban
dalam
Konvensi
kepada
ini
Negara
yang
dianggap
Anggota
untuk
memperbolehkan pengoperasian lembaga kerja swasta di sektor penangkapan ikan, sebagaimana disebutkan dalam ayat 4 Pasal ini. Hal yang serupa juga telah diatur dalam Pasal 4 Recruitment and Placement of Seafarers Convention 1996 yang menyatakan bahwa: 1. Negara Anggota wajib, dengan hukum nasionalnya atau peraturan yang berlaku: a) memastikan bahwa tidak ada biaya atau pembayaran lain untuk perekrutan atau untuk penyediaan lapangan kerja bagi pelaut
86
yang ditanggung secara langsung maupun tidak langsung, secara keseluruhan atau sebagian, oleh pelaut; untuk tujuantujuan seperti biaya pemeriksaan kesehatan, sertifikat nasional, dokumen perjalanan pribadi dan buku pelaut nasional tidak dianggap
sebagai
“biaya
atau
pembayaran
lain
untuk
perekrutan” yang dimaksud; b) Menentukan bagaimana dan dengan kondisi seperti apa lembaga
perekrutan
dan
penempatan
boleh
melakukan
perekrutan dan penempatan pelaut di luar negeri; c) Secara spesifik menentukan, dengan memperhatikan hak atas privasi dan kebutuhan perlindungan terhadap kerahasiaan, kondisi di mana data pribadi pelaut dapat diproses oleh lembaga rekrutmen menyimpan,
dan
penempatan
mengkombinasikan
termasuk dan
mengumpulkan,
mengkomunikasikan
beberapa data tersebut ke pihak ketiga; d) Menentukan kondisi di mana lisensi, sertifikat atau otorisasi yang serupa dari lembaga rekrutmen dan penempatan dapat ditangguhkan atau ditarik dalam kasus pelanggaran hukum dan peraturan terkait; dan e) Secara spesifik menentukan, di mana lisensi atau sertifikat ini berlaku, dalam kondisi seperti apa lembaga perekrutan dan penempatan tersebut boleh beroperasi, serta sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan tersebut.
87
2. Setiap negara anggota harus menjamin bahwa pihak yang berwenang: a) Melakukan supervisi secara ketat terhadap setiap lembaga rekrutmen dan penempatan; b) Memberikan atau memperpanjang izin, sertifikat, atau otorisasi yang serupa hanya bila telah diverifikasi bahwa lembaga rekrutmen dan penempatan yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan hukum dan peraturan nasional; c) Mengharuskan managemen dan staf lembaga rekrutmen dan penempatan pelaut harus terlatih dan memiliki pengetahuan yang cukup mengenai industri maritim; d) Melarang
lembaga
rekrutmen
dan
penempatan
untuk
menggunakan cara, mekanisme atau daftar yang dimaksudkan untuk mencegah atau menghalangi pelaut untuk mendapatkan pekerjaan; e) Mengharuskan
lembaga
rekrutmen
mengadopsi
langkah-langkah
untuk
dan
penempatan
memastikan,
sebisa
mungkin, bahwa majikan memiliki itikad baik untuk melindungi pelaut dari tindakan penelantaran di pelabuhan asing; dan f) Memastikan bahwa sistem perlindungan, melalui asuransi atau langkah lain yang serupa, diberikan untuk mengkompensasi pelaut atas kerugian yang dialami sebagai akibat kegagalan lembaga
rekrutmen
dan
penempatan
untuk
memenuhi
kewajibannya kepada mereka.
88
Selain itu, ketentuan lain terkait kewajiban lembaga rekrutmen dan penempatan diatur pada Pasal 5 Recruitment and Placement of Seafarers Convention 1996 yang menyatakan bahwa: 1. Semua lembaga rekrutmen dan penempatan harus menyimpan semua daftar pelaut yang telah direkrut dan ditempatkan oleh mereka, dan harus bersedia untuk diinspeksi oleh otoritas yang berwenang. 2. Semua lembaga rekrutmen dan penampatan harus menjamin bahwa: a) Setiap pelaut yang direkrut atau ditempatkan oleh mereka memenuhi syarat dan memegang dokumen yang diperlukan untuk pekerjaan yang bersangkutan; b) Kontrak kerja dan surat perjanjian sesuai dengan hukum yang berlaku, peraturan dan kesepakatan bersama; c) Pelaut diberikan informasi tentang hak dan kewajiban mereka di bawah kontrak kerja dan surat perjanjian sebelumnya atau saat proses kesepakatan; dan d) Telah ada mekanisme yang jelas bagi pelaut untuk memeriksa kontrak kerja dan surat perjanjian mereka sebelum dan setelah mereka tandatangani dan memastikan mereka menerima salinan kontrak kerja tersebut. 3. Tidak ada dalam ayat 2 di atas yang dipahami sebagai pengurangan kewajiban dan tanggungjawab dari pemilik kapal atau kapten kapal.
89
Sedangkan terkait dengan ketentuan keluhan dari para pekerja terhadap kinerja lembaga perekrutan dan penempatan diatur dalam Pasal 6 Recruitment and Placement of Seafarers Convention 1996 yang menjelaskan bahwa: 1. Pihak berwenang harus menjamin bahwa perangkat dan prosedur yang memadai tersedia untuk penyelidikan, ketika dibutuhkan, terhadap keluhan mengenai aktifitas jasa lembaga rekrutmen dan penempatan,
melibatkan,
sebagaimana
mestinya,
perwakilan
pemilik kapal dan pelaut. 2. Semua lembaga rekrutmen dan penempatan harus menerima dan menanggapi setiap keluhan yang berkaitan dengan aktifitas mereka serta memberikan saran kepada pihak berwenang dari setiap keluhan yang belum terselesaikan. 3. Di mana keluhan terkait kondisi kerja atau kondisi hidup di kapal dilaporkan kepada mereka, maka mereka harus meneruskan laporan tersebut kepada pihak yang berwenang. 4. Tidak ada ketentuan dalam konvensi ini yang mencegah pelaut untuk melaporkan keluhan mereka langsung kepada otoritas yang tepat.
4.2.2. Standar Minimal Umur Pekerja Bidang Perikanan
Tidak semua tenaga kerja dapat melaksanakan pekerjaan di bidang perikanan. Ada standar-standar minimal yang harus dipenuhi oleh setiap tenaga kerja di bidang ini. Ketentuan terkait standar minimal umur pekerja
90
bidang perikanan ini telah diatur dalam beberapa instrument hukum internasional. Pasal 9 Work in Fishing Convention 2007 secara jelas telah mengatur ketentuan ini, bahwa: 1. Usia minimal untuk bekerja di kapal penangkap ikan adalah 16 tahun. Namun, pihak berwenang
yang berkompeten dapat
menetapkan usia minimal 15 tahun kepada mereka yang tidak lagi mengikuti kegiatan wajib belajar sebagaimana yang diharuskan undang-undang nasional, dan yang mengikuti pelatihan kejuruan di bidang penangkapan ikan. 2. Pihak berwenang yang berkompeten, sesuai undang-undang dan praktek nasional, dapat memberikan ijin kepada mereka yang berusia 15 tahun untuk melaksanakan tugas ringan selama libur sekolah. Dalam hal ini, ia harus menetapkan, setelah berkonsultasi, jenis-jenis pekerjaan yang diperbolehkan dan akan menetukan kondisi di mana pekerjaan tersebut harus dilaksanakan serta masa istirahat yang dibutuhkan. 3. Usia minimal untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan di kapal penangkap ikan, yang berdasarkan sifatnya atau situasi di mana kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan, kemungkinan besar dapat mengganggu kesehatan, keselamatan atau moral remaja, adalah tidak boleh kurang dari 18 tahun. 4. Jenis kegiatan yang menerapkan ayat 3 Pasal ini akan ditentukan oleh undang-undang atau peraturan nasional, atau oleh pihak berwenang yang berkompeten, setelah berkonsultasi, dengan
91
mempertimbangkan resiko-resiko terkait serta standar internasional yang berlaku. 5. Pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang disebutkan dalam ayat 3 Pasal ini oleh mereka yang berusia 16 tahun dapat disahkan oleh undang-undang atau peraturan nasional, atau melalui keputusan pihak berwenang yang berkompeten, setelah berkonsultasi, dengan syarat bahwa kesehatan, keselamatan dan moral remaja tersebut sepenuhnya dilindungi dan para remaja terkait telah menerima instruksi khusus atau pelatihan kejuruan yang memadai dan telah menyelesaikan pra-pelatihan dasar tentang keselamatan di laut. 6. Melibatkan awak kapal yang berusia di bawah 18 tahun untuk melaksanakan pekerjaan di malam hari adalah dilarang. Dalam Pasal ini, definisi “malam” akan ditentukan sesuai undang-undang dan praktek nasional. Definisi harus mencakup masa minimal sembilan jam mulai dari tidak lebih lama dari tengah malam dan berakhir tidak lebih awal dari jam 5 pagi. Pengecualian atas ketentuan yang ketat tentang pembatasan kerja di malam hari dapat dibuat oleh pihak berwenang yang berkompeten apabila: a) pelatihan efektif awak kapal terkait, sesuai program dan jadwal yang telah ditetapkan, akan terganggu; atau b) sifat khusus dari tugas tersebut atau program pelatihan yang diakui mengharuskan awak kapal yang dilindungi pengecualian tersebut untuk melaksanakan tugas di malam hari dan pihak berwenang
menetapkan,
setelah
berkonsultasi,
bahwa
92
pekerjaan tersebut tidak mempunyai dampak yang merugikan terhadap kesehatan atau keselamatan mereka. 7. tidak ada ketentuan dalam Pasal ini yang akan mempengaruhi kewajiban-kewajiban apapun yang ditanggung Negara Anggota akibat meratifikasi konvensi tenaga kerja internasional lainnya.
4.2.3. Syarat Standar Kesehatan Medis Pekerja Migran Bidang Perikanan Kesehatan para calon pekerja merupakan sebuah persyaratan yang sudah tentu harus dipenuhi oleh setiap tenaga kerja. Kesehatan merupakan sebuah modal awal yang sangat penting dan menentukan dalam
bidang
pekerjaan
ini.
Oleh
karena
itu, organisasi
buruh
internasional (ILO) telah memasukkan persyaratan kesehatan ini sebagai hal pokok untuk dipenuhi dalam instrument internasional yang terkait dengan bidang pekerjaan ini. Ketentuan dalam Pasal 10 Work in Fishing Convention 2007 menyatakan: 1. Tidak ada awak kapal yang bekerja di kapal penangkap ikan tanpa sertifikat medis sah yang menyatakan bahwa mereka fit untuk melaksanakan tugas. 2. Pihak berwenang yang berkompeten, setelah berkonsultasi, dapat memberikan pengecualian dari penerapan ayat 1 Pasal ini, dengan mempertimbangkan keselamatan dan kesehatan awak kapal, ukuran kapal, ketersediaan bantuan medis dan evakuasi, masa
93
pelayaran,
bidang
pengoperasian,
serta
jenis
kegiatan
penangkapan ikan. 3. Pengecualian dalam ayat 2 Pasal ini tidak berlaku untuk awak kapal yang bekerja di kapal penangkap ikan yang berukuran panjang 24 meter atua lebih atau yang biasanya tetap di laut selama lebih dari tiga
hari.
Dalam
situasi
darurat,
pihak
berwenang
yang
berkompeten dapat mengijinkan awak kapal bekerja di kapal tersebut selama jangka waktu terbatas atau jangka waktu tertentu hingga sertifikat medis dapat diperoleh, selama awak kapal tersebut memiliki sertifikat medis yang sudah kadaluarsa dengan tanggal terbaru. Selanjutnya, penjelasan dalam Pasal 11 dan Pasal 12 konvensi ini juga menekankan pengaturan atas sertifikat medis tersebut. Pasal 11 mengatur bahwa setiap Negara Anggota akan menerapkan undangundang, peraturan atau tindakan-tindakan lain yang mengatur tentang: a) sifat pemeriksaan medis; b) bentuk dan isi sertifikat medis; c) pengeluaran sertifikat medis oleh seorang praktisi medis yang memenuhi syarat atau, apabila sertifikat hanya terkait penglihatan, oleh seorang yang diakui oleh pihak berwenang yang berkompeten memenuhi syarat untuk mengeluarkan sertifikat tersebut; maka mereka sepenuhnya bebas untuk memberikan penilaian profesional mereka;
94
d) frekuensi pemeriksaan medis dan masa berlakunya sertifikat medis; e) hak atas pemeriksaan lebih lanjut oleh praktisi medis independent yang lain apabila sertifikat seseorang sudah ditolak atau dibatasi pekerjaan yang dapat ia lakukan; dan f) persyaratan terkait lainnya. Kemudian Pasal 12 menjelaskan bahwa di samping persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 10 dan Pasal 11, untuk kapal penangkap ikan dengan panjang 24 meter atau lebih, atau untuk kapal yang biasanya tetap di laut selama lebih dari tiga hari: 1. Sertifikat medis awak kapal harus, minimal, menyatakan bahwa: a) pendengaran dan penglihatan awak kapal tersebut memuaskan untuk melaksanakan tugasnya di kapal; dan b) awak kapal tersebut tidak menderita kondisi medis yang kemungkinan besar akan terganggu oleh pekerjaan di laut atau membuat awak kapal tersebut tidak fit untuk tugas tersebut atau membahayakan keselamatan atau kesehatan orang lain di kapal. 2. Sertifikat medis harus berlaku selama jangka waktu maksimal dua tahun kecuali awak kapal tersebut berusia kurang dari 18 tahun, di mana masa berlaku maksimalnya adalah satu tahun. 3. Apabila masa berlakunya sertifikat berakhir selama berlayar, maka sertifikat tersebut akan tetap berlaku hingga pelayaran berakhir. Kemudian, terkait pemeriksaan medis tersebut, dalam rekomendasi Work in Fishing Convention 2007 ini juga dicantumkan bahwa:
95
1. Dalam menentukan sifat pemeriksaan kesehatan, Negara Anggota perlu mempertimbangkan usia mereka yang akan diperiksa serta sifat tugas yang akan mereka lakukan. 2. Sertifikat medis harus ditandatangani seorang praktisi medis yang disetujui pihak berwenang yang berkompeten. 3. Pengaturan perlu dibuat agar mereka yang, setelah diperiksa, dinyatakan tidak fit untuk bekerja di kapal penangkap ikan atau jenis kapal penangkap ikan tertentu, atau untuk melakukan jenis pekerjaan tertentu di kapal, dapat meminta pemeriksaan lanjutan oleh seorang atau beberapa orang penengah medis (medical referees) yang bebas dari kepentingan pemilik kapal atau organisasi pemilik kapal atau awak kapal manapun. 4. Pihak berwenang yang berkompeten perlu mempertimbangkan pedoman internasional tentang pemeriksaan kesehatan dan sertifikasi untuk mereka yang bekerja di laut, seperti Panduan untuk Melaksanakan Pemeriksaan Medis secara Berkala bagi para Pelaut (ILO/WHO). 5. Untuk awak kapal yang dikecualikan dari penerapan ketentuan terkait
pemeriksaan
kesehatan
dalam
Konvensi
ini,
pihak
berwenang yang berkompeten perlu mengambil langkah yang memadai
untuk
mengadakan
pengawasan
kesehatan
guna
memastikan kesehatan dan keselamatan kerja. 4.2.4. Standar Dokumen Identitas Pelaut Bidang Perikanan di Kapal Perikanan Asing
96
Setiap pekerja, terutama bagi mereka yang melaksanakan pekerjaan lintas negara, sudah sepatutnya melengkapi diri dengan persyaratan dokumen yang harus dipenuhi sesuai jenis pekerjaannya masing-masing. Peraturan
terkait persyaratan
dokumen
ini, pada
dasarnya berfungsi untuk keamanan dan keselamatan dari setiap pekerja itu sendiri. Fakta di lapangan selama ini, para pekerja yang tidak melengkapi dokumen atau bahkan tanpa dokumen sama sekali sering kali terjebak pada berbagai pelanggaran hukum di berbagai negara, dan akhirnya penyelesaiannya juga kebanyakan mengalami berbagai kendala, bahkan kasusnya bisa saja tidak terdeteksi oleh pihak pemerintah asal negara pekerja. Oleh karena itu, berbagai instrument hukum internasional dibentuk untuk mencegah kemungkinan-kemungkinan kondisi buruk yang dihadapi oleh para pekerja. Salah satu instrument hukum internasional yang mengatur tentang standar dokumen untuk para pekerja di sektor kelautan termasuk pelaut perikanan adalah Seafarers' Identity Documents Convention (Revised) 2003. Konvensi ini mengatur tentang dokumen identitas pelaut (seafarers indentity document) yang wajib dimiliki oleh setiap pelaut termasuk pelaut bidang perikanan. Dalam Pasal 3 konvensi ini mengatur bahwa: 1. Setiap Anggota yang terikat pada Konvensi ini wajib menerbitkan dokumen
identitas
pelaut
sesuai
ketentuan-ketentuan
yang
terdapat dalam Pasal 3 Konvensi ini untuk tiap-tiap warga
97
negaranya yang berprofesi sebagai pelaut dan mengajukan permohonan untuk mendapatkan dokumen tersebut. 2. Kecuali ditetapkan lain dalam Konvensi ini, kondisi-kondisi (syaratsyarat) yang sama sebagaimana yang telah ditetapkan sebelumnya oleh peraturan perundang-undangan nasional untuk menerbitkan dokumen perjalanan dapat diterapkan untuk penerbitan dokumendokumen identitas pelaut. 3. Setiap Anggota juga dapat menerbitkan dokumen identitas pelaut sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 kepada pelaut yang telah diberi status penduduk tetap (permanent resident) di dalam wilayah hukumnya. Para penduduk tetap tersebut harus, dalam segala hal, melakukan perjalanan dengan mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, ayat 7. 4. Setiap Anggota wajib menjamin agar dokumen identitas pelaut diterbitkan tanpa penundaan yang tidak perlu. 5. Pelaut berhak mengajukan permohonan banding administratif dalam hal terjadi penolakan atas permohonan (dokumen identitas pelaut) mereka. 6. Konvensi ini tidak ada pengaruhnya terhadap kewajiban masingmasing Anggota dalam perjanjian-perjanjian internasional yang berkaitan dengan para pengungsi dan orang-orang yang tidak bernegara. Secara umum, persyaratan dokumen di setiap kapal berbeda-beda bergantung
pada
kebijakan
perusahaan
pemilik
kapal.
Dalam
98
pelaksanaannya, standar dokumen yang harus dipenuhi oleh setiap pekerja migran yang akan bekerja di kapal perikanan asing harus memenuhi dokumen berupa: 1. Passport dan visa; 2. Dokumen identitas pelaut; 3. Sertifikat keterangan medis; 4. Sertifikat standar pelatihan keselamatan dasar; dan 5. Sertifikat kompetensi di bidang terkait.
4.2.5. Standar Pelatihan dan Sertifikasi Bagi Pekerja Migran Bidang Perikanan Setiap pekerja yang bekerja di bidang kemaritiman kenyataannya memiliki potensi kecelakaan kerja yang sangat tinggi. Dari berbagai kecelakaan yang selama ini terjadi, banyak di antaranya yang disebabkan oleh tenaga kerja itu sendiri yang tidak menguasai bidang pekerjaannya. Salah satu pengetahuan yang sudah seharusnya dimiliki oleh para pelaut kapal perikanan adalah Basic Safety Training (BST), yakni kemampuan pelaut
dalam
pemadaman
kompetensi kebakaran,
penyelamatan
pertolongan
diri,
pertama
pencegahan pada
dan
kecelakaan,
pencegahan polusi dari kegiatan kapal dan hubungan manusia di atas kapal. Sertifikat tersebut harus dimiliki oleh seluruh awak kapal tanpa memperhatikan jabatan apapun di atas kapal. Sedangkan untuk perwira kapal masih diperlukan sertifikat-sertifikat keterampilan lainnya serta menguasai teknologi dan kompetensi tentang: bernavigasi, penangkapan
99
ikan, komunikasi, penanganan hasil tangkap, bahasa inggris maritim serta budaya dan bahasa asing sesuai dengan negara tempat bekerja. Oleh karena itu, untuk mengurangi dan mencegah kecelakaan kerja, pembentukan instrument hukum internasional terhadap standar kompetensi bagi setiap pekerja kemaritiman yang mengikat bagi setiap negara sangat dibutuhkan. Instrument hukum internasional yang mengatur tentang standar kompetensi berupa pelatihan dan sertifikasi bagi para pelaut adalah International Convention on Standard of Training, Certification, and Watchkeeping for Fishing Vessel Personnel (STCW-F) yang digagas oleh International Maritime Organization (IMO) pada tahun 1995, Safety Recommendations for Decked Fishing Vessels of Less than 12 metres in Length and Undecked Fishing Vessels dan Work in Fishing Convention 2007 yang digagas oleh International Labour Organization (ILO). Ketentuan terkait pelatihan dan kompetensi telah dijabarkan dalam rekomendasi Work in Fishing Convention 2007 yang menjelaskan bahwa setiap negara perlu: a) Mempertimbangkan standar-standar internasional yang diterima secara umum tentang pelatihan dan kompetensi untuk awak kapal dalam menentukan kompetensi yang dibutuhkan untuk nakhoda, kelasi, masinis dan pihak lain yang bekerja di kapal penangkap ikan;
100
b) Menangani persoalan-persoalan berikut ini, yang terkait dengan pelatihan
kejuruan
untuk
awak
kapal:
perencanaan
dan
administrasi nasional, termasuk koordinasi; standar keuangan dan pelatihan; program-program pelatihan, termasuk prapelatihan kejuruan serta kursus-kursus singkat untuk awak kapal yang sedang bekerja; metoda pelatihan; serta kerjasama internasional; dan c) memastikan tidak ada diskriminasi yang terkait akses ke pelatihan. Kemudian, ketentuan Pasal 6 STCW-F 1995 mengatur tentang sertifikat bagi pelaut yang menyatakan bahwa “Personil kapal penangkap ikan harus disertifikasi sesuai dengan ketentuan lampiran Konvensi ini”. Ketentuan Basic Safety Training (BST) yang telah disebutkan sebelumnya telah diatur di bagian Annex, Chapter III Regulation 1 konvensi ini yang mengatur bahwa: 1. Personil kapal perikanan wajib, sebelum ditugaskan di sebuah kapal, menerima pelatihan dasar yang telah disetujui oleh adminstrasi dalam bidang berikut: 1) Teknik bertahan hidup termasuk cara menggunakan pakaian keselamatan dan, jika perlu, pakaian penyelaman; 2) Pencegahan kebakaran dan pemadaman kebakaran; 3) Prosedur darurat; 4) Dasar-dasar pertolongan pertama; 5) Pencegahan pencemaran laut; dan
101
6) Pencegahan kecelakaan kapal. 2. Dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan ayat 1, adminstrasi harus menentukan bagaimana dan, lalu sejauh mana, ketentuanketentuan ini berlaku untuk personil kapal perikanan kecil atau orang yang sudah bekerja di kapal perikanan. Secara khusus, dalam rekomendasi Work in Fishing Convention 2007 mengatur tentang sertifikasi dan pelatihan untuk melindungi remaja yang berumur 16 sampai 18 tahun yang bekerja di kapal perikanan, yaitu: 1. Negara Anggota perlu menetapkan persyaratan tentang pelatihan sebelum melaut bagi mereka yang berusia 16 sampai 18 tahun yang bekerja di kapal penangkap ikan, dengan mempertimbangkan instrumen-instrumen internasional mengenai pelatihan kerja di kapal
penangkap
ikan,
termasuk
masalah
kesehatan
dan
keselamatan kerja seperti kerja di malam hari, tugas-tugas berberbahaya,
bekerja
menggunakan
mesin
berbahaya,
penanganan secara manual dan transportasi muatan yang berat, pekerjaan dengan ruang gerak yang besar, pekerjaan yang lama serta persoalan-persoalan terkait lainnya yang diidentifi kasi setelah dilakukan penilaian resiko terkait. 2. Pelatihan bagi mereka yang berusia antara 16 sampai 18 tahun dapat diberikan melalui partisipasi dalam program magang atau program pelatihan yang telah disetujui, yang harus beroperasi sesuai ketentuan yang telah ditetapkan dan dipantau oleh pihak
102
berwenang yang berkompeten, dan tidak boleh mengganggu pendidikan umum mereka. Pekerja migran bidang perikanan yang bekerja di kapal perikanan asing selama ini sangat jarang ditugaskan sebagai nakhoda kapal. Namun, tidak dipungkiri adanya kemungkinan bahwa seorang pekerja migran dapat diangkat sebagai nakhoda suatu kapal perikanan di kapal asing. Oleh karena itu, untuk bisa ditugaskan sebagai seorang nakhoda kapal perikanan, seorang pekerja harus memenuhi standar sertifikasi untuk pekerjaan tersebut. Ketentuan
persyaratan
minimum
untuk
mendapatkan standar sertifikasi nakhoda kapal perikanan yang berukuran 24 meter atau lebih yang beroperasi di perairan yang tidak terbatas telah diatur di bagian Annex, Chapter II Regulation 1 STCW-F 1995 yang mengatur bahwa: 1. Setiap nakhoda pada kapal penagkap ikan yang berukuran 24 meter dan lebih yang beroperasi di perairan tidak terbatas wajib memiliki sertifikat yang sesuai. 2. Setiap calon untuk sertifikasi harus: 1) Memastikan ketentuan pemerintah terkait kesehatan medis, khususnya terkait penglihatan dan pendengaran; 2) Memenuhi persyaratan untuk sertifikasi sebagai perwira yang bertanggungjawab
atas
pengawsan
navigasi
di
kapal
penangkap ikan yang berukuran 24 meter dan lebih yang beroperasi di perairan tak terbatas, dan telah pernah berlayar
103
selama tidak kurang dari 12 bulan sebagai petugas kapal yang bertanggungjawab sebagai pengawas navigasi atau nakhoda pada kapal perikanan yang berukuran tidak kurang dari 12 meter. Namun, pemerintah dapat memberikan subtitusi jangka waktu tidak melebihi enam bulan pelayaran sebagai petugas kapal yang bertanggungjawab sebagai pengawas navigasi pada kapal yang diakui dalam Konvensi STCW 1978; dan 3) Telah lulus ujian yang sesuai atau pemeriksaan untuk penilaian kompetensi sesuai ketentuan pemerintah. Beberapa ujian atau pemeriksaan tersebut harus meliputi materi yang diatur dalam lampiran pertaturan ini. Calon yang akan diuji yang memiliki sertifikat kompetensi yang sah yang dikeluarkan sesuai dengan ketentuan Konvensi STCW 1978 tidak perlu diuji ulang untuk materi yang telah tercantum dalam lampiran yang disahkan pada tingkat yang lebih tinggi atau setara untuk diterbitkan sertifikat konvensi. Secara jelas, di dalam lampiran untuk Regulation 1 konvensi ini, ditentukan standar minimum pengetahuan yang harus dimiliki untuk mendapatkan sertifikat nakhoda di kapal perikanan yang berukuran 24 meter atau lebih yang beroperasi di perairan yang tidak terbatas, yaitu: 1. Penentuan navigasi dan posisi; 2. Tugas jaga; 3. Navigasi radar;
104
4. Kompas magnetik dan giro; 5. Ilmu perbintangan dan ilmu kelautan; 6. Maneuver kapal penangkap ikan dan penanganannya; 7. Konstruksi kapal penangkap ikan dan stabilitasnya; 8. Penanganan tangkapan dan penyimpanannya; 9. Pembangkit listrik kapal penangkap ikan; 10. Pencegahan kebakaran dan peralatan pemadam kebakaran; 11. Prosedur darurat; 12. Perawatan medis; 13. Hukum maritime; 14. Bahasa inggris; 15. Komunikasi; 16. Cara bertahan hidup; 17. Pencarian dan penyelamatan; 18. Kode keselamatan untuk pekerja perikanan dan kapal penangkap ikan FAO/ILO/IMO; 19. Metode demonstrasi kecakapan. Ketentuan persyaratan minimum untuk mendapatkan standar sertifikasi pengawas navigasi kapal perikanan yang berukuran 24 meter atau lebih yang beroperasi di perairan yang tidak terbatas telah diatur di bagian Annex, Chapter II Regulation 2 STCW-F 1995 yang mengatur bahwa:
105
1. Setiap
petugas
yang
bertanggungjawab
sebagai
pengawas
navigasi pada kapal perikanan berukuran 24 meeter dan lebih yang beroperasi di perairan tidak terbatas wajib memiliki sertifikat yang sesuai. 2. Setiap calon yang disertifikasi harus: 1) Berumur tidak kurang dari 18 tahun; 2) Memenuhi persyaratan kesehatan medis, khususnya terkait penglihatan dan pendengaran; 3) Telah melakukan pelayaran tidak kurang dari dua tahun di bagian dek kapal perikanan yang panjangnya berukuran tidak kurang dari 12 meter. Namun, administrasi dapat memungkinan mengganti ketentuan pelayaran dengan periode pelatihan khusus tidak melebihi satu tahun, dengan ketentuan bahwa periode program pelatihan khusus harus paling tidak setara nilainya dengan periode pelayaran yang digantikan tersebut atau dengan periode pelayaran yang disetujui dibuktikan dengan buku catatan perjalanan yang diakui oleh Konvensi STCW 1978. 4) Telah lulus ujian yang sesuai atau pemeriksaan untuk penilaian kompetensi yang memenuhi standar pemerintah. Pengujian atau pemeriksaan tersebut meliputi materi yang diatur dalam lampiran peraturan ini. Calon yang akan diuji yang memiliki sertifkat kompetensi yang sah yang dikeluarkan sesuai dengan ketentuan Konvensi STCW 1978 tidak perlu lagi diuji ulang
106
untuk materi yang tercantum dalam lampiran yang disahkan pada tingkat yang lebih tinggi atau setara untuk diterbitkan sertifikat konvensi. Pengetahuan minimum yang harus dipenuhi untuk mendapatkan sertifikat pengawas navigasi di kapal perikanan yang berukuran panjang 24 meter atau lebih yang beroperasi di perairan tidak terbatas diatur dalam lampiran Regulation 2 konvensi ini, yaitu: 1. Navigasi angkasa; 2. Navigasi darat dan pesisir; 3. Navigasi radar; 4. Tugas-jaga; 5. Sistem elektronik untuk memperbaiki posisi dan navigasi; 6. Meteorologi; 7. Kompas magnetik dan giro; 8. Kominikasi; 9. Pencegahan kebakaran dan peralatan pemadam kebakaran; 10. Cara bertahan hidup; 11. Prosedur darurat dan praktek kerja yang aman bagi personil kapal perikanan; 12. Manuver kapal perikanan dan penanganannya; 13. Konstruksi kapal perikanan; 14. Stabilitas kapal; 15. Penanganan tangkapan dan penyimpanannya;
107
16. Bahasa inggris; 17. Bantuan medis; 18. Pencarian dan penyelamatan; 19. Pencegahan pencemaran lingkungan laut; 20. Metode demonstrasi kecakapan. Selain mengatur standar sertifikasi dan pelatihan untuk kapal perikanan yang berukuran panjang 24 meter atau lebih, konvensi STCW-F 1995 ini juga mengatur ketentuan serupa untuk Kepala Bagian Mesin dan Petugas Kedua Bagian Mesin di kapal perikanan yang didukung oleh mesin penggerak utama 750 kilowatt daya dorong atau lebih. Ketentuan tersebut diatur pada bagian Annex, Regulation 5, yang mengatur bahwa: 1. Setiap petugas kepala bagian mesin dan petugas kedua bagian mesin pada kapal penangkap ikan yang didukung oleh mesin penggerak utama 750 kilowatt daya dorong atau lebih wajib memiliki sertifikat yang sesuai. 2. Setiap calon yang akan disertifikasi harus: 1) Tidak kurang dari 18 tahun; 2) Memenuhi persyaratan kesehatan medis, khususnya terkait penglihatan dan pendengaran; 3) Untuk sertifikasi sebagai petugas kedua bagian mesin, memiliki pengalaman tidak kurang dari 12 bulan tugas pelayaran di ruang mesin; namun, periode ini dapat dikurangi hingga tidak kurang dari 6 bulan jika pemerintah merekomendasikan
108
pelatihan khusus yang dianggap setara dengan tugas pelayaran sesuai yang digantikan itu; 4) Untuk sertifikasi sebagai petugas kepala mesin, memiliki pengalaman tidak kurang dari 24 bulan tugas pelayaran, di mana 12 bulan dari itu harus bertugas sebagai petugas kedua bagian mesin; 5) Telah berpartisipasi dalam kursus praktis pemadam kebakaran yang disetujui; dan 6) Telah lulus ujian sesuai penilaian kompetensi untuk standar pemerintah. Ujian tersebut termasuk materi yang diatur dalam lampiran peraturan ini, kecuali bahwa pemerintah membedakan rekomendasi ujian dan tugas pelayaran untuk petugas kapal perikanan yang terlibat dalam pelayaran di perairan terbatas mengingat kekuatan mesin pneggerak dan pengaruh pada keselamatan semua kapal perikanan yang dapat beroperasi di perairan yang sama. 3. Pelatihan untuk mendapatkan pengetahuan teoritis yang diperlukan dan
pengalaman
praktis
harus
memperhatikan
peraturan
internasional yang relevan dan rekomendasinya. 4. Tingkat pengetahuan yang disyaratkan dalam ayat yang berbeda dari lampiran dapat bervariasi bergantung pada apakah sertifikat tersebut diterbitkan di tingkat kantor kepala mesin atau di kantor petugas kedua bagian mesin.
109
Selanjutnya,
standar
sertifikasi
untuk
setiap
personil
yang
bertanggungjawab atau yang bertugas untuk radio komunikasi di kapal perikanan dalam bagian Annex, Regulation 6 diatur bahwa: 1. Setiap orang yang bertanggungjawab atau menjalankan tugas radio komunikasi di kapal wajib memiliki sertifikat yang diterbitkan atau diakui oleh administrasi berdasarkan ketentuan Peraturan Radio yang sesuai. 2. Pengetahuan minimum, pemahaman dan kemampuan yang diperlukan untuk setifikasi sesuai peraturan ini harus memadai bagi personil radio untuk untuk melaksanakan tugas radio mereka dengan aman dan efisien. 3. Setiap calon yang akan disertifikasi harus: 1) Tidak kurang dari 18 tahun; 2) Memenuhi standar kesehatan medis pemerintah, khususnya mengenai penglihatan dan pendengaran; dan 3) Memenuhi persyaratan lampiran peraturan ini. 4. Setiap calon sertifikasi wajib lulus ujian atau pemeriksaan terhadap standar pemerintah. 5. Untuk mendukung semua jenis sertifikat yang dikeluarkan berdasarkan Peraturan Radio yang sesuai dengan ketentuan konvensi, pengetahuan yang diperlukan, pemahaman dan keahlian ditentukan dalam lampiran peraturan ini. Dalam menentukan tingkat pengetahuan dan pelatihan, pemerintah
110
juga harus mempertimbangkan rekomendasi yang relevan dari IMO. Untuk kapal perikanan yang berukuran kecil, yaitu berukuran panjang 12 meter atau kurang, ketentuan standar pengetahuan nakhoda dan awak kapal diatur pada Bab 12 poin 12.4 Safety Recommendations for Decked Fishing Vessels of Less than 12 metres in Length and Undecked Fishing Vessels yang mengatur bahwa setiap nakhoda dan awak kapal harus terlatih dengan89: 1. Penggunaan alat pemadam kebakaran, seragam keselamatan, peralatan mengapung pribadi; 2. Keselamatan kerja, termasuk memahami bahaya yang terkait dengan kelelahan dan konsumsi alcohol dan obat-obatan; 3. Pengguaan alat tangkap secara aman; 4. Penggunaan peralatan dek yang aman; 5. Dasar pelatihan keamanan sebelum berlayar dan pengenalannya (pedoman pelatihan keselamatan dasar sebelum berlayar dapat ditemukan dalam lampiran XXXIII konvensi); 6. Pencegahan polusi; dan 7. Pencegahan kecelakaan saat di kapal, menerapkan prinsip-prinsip penilaian resiko.
89
FAO, IMO & ILO, 2012, Safety Recommendations for Decked Fishing Vessels of Less than 12 metres in Length and Undecked Fishing Vessels, Food and Agriculture Organization of the United Nations: Rome, Italy, hlm. 70.
111
4.2.6. Ketentuan Standar Perjanjian Kerja Laut bagi Pekerja Migran Bidang Perikanan Perjanjian
kerja
sebagai
sarana
pendahulu
sebelum
berlangsungnya hubungan kerja, harus diwujudkan dengan sebaikbaiknya, dalam arti mencerminkan keadilan baik bagi pengusaha maupun bagi buruh, karena keduanya akan terlibat dalam suatu hubungan kerja. Pada dasarnya, bentuk hubungan kerja tersebut merupakan suatu kesepahaman antara pengusaha dengan buruh yang akan dipekerjakan di sebuah perusahaan. Khusus di bidang penangkapan ikan, apalagi jika bekerja sebagai pekerja migran di kapal perikanan asing, perjanjian kerja yang dituangkan secara sah dalam bentuk tertulis merupakan sebuah hal yang wajib dilaksanakan untuk menjamin hak dan kewajiban mereka dapat terpenuhi, mengingat wilayah kerja untuk jenis pekerjaan ini kerap berindah-pindah. Beberapa instrument hukum internasional yang mengatur tentang perjanjian kerja para pelaut bidang perikanan ini telah mendapat porsi pembahasan tersendiri dan telah gencar dilaksanakan di berbagai negara. Dalam ketentuan Pasal 16 Work in Fishing Convention 2007 dijelaskan bahwa setiap Negara Anggota perlu menerapkan undang-undang, peraturan atau tindakan-tindakan lain: a) yang mengharuskan awak kapal yang bekerja di kapal dan mengibarkan benderanya memiliki perlindungan perjanjian kerja
112
awak kapal yang mudah mereka pahami dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi ini; dan b) menguraikan informasi minimal yang akan dimasukkan dalam perjanjian kerja awak kapal tersebut sesuai ketentuan-ketentuan yang ada dalam Lampiran II konvensi ini. Kemudian dalam Pasal 17 sampai Pasal 20 diatur bahwa: Pasal 17: Setiap Negara Anggota perlu menerapkan undang-undang, peraturan atau tindakan-tindakan lain terkait: a) prosedur untuk memastikan bahwa awak kapal punya kesempatan untuk mengkaji dan meminta nasehat tentang persyaratan
perjanjian
kerja
awak
kapal
sebelum
ditandatangani; b) bila mungkin, pemeliharaan catatan tentang tugas awak kapal berdasarkan perjanjian ini; dan c) sarana untuk menyelesaikan perselisihan terkait perjanjian kerja awak kapal. Pasal 18: Perjanjian kerja awak kapal, yang salinannya harus diberikan kepada awak kapal terkait, harus dibawa ke kapal serta disediakan kepada awak kapal tersebut dan, sesuai undangundang dan praktek nasional, kepada pihak terkait lainnya, sesuai permintaan.
113
Pasal 19: Pasal 16 sampai 18 dan Lampiran II tidak berlaku untuk pemilik kapal penangkap ikan yang mengoperasikan kapal sendiri. Pasal 20: Pemilik
kapal
penangkap
ikan
bertanggungjawab
untuk
memastikan bahwa setiap awak kapal sudah mempunyai perjanjian kerja awak kapal tertulis yang ditandatangani oleh awak kapal dan pemilik kapal penangkap ikan atau oleh perwakilan sah pemilik kapal (atau jika awak kapal tidak dipekerjakan atau dilibatkan oleh pemilik kapal, maka pemilik kapal harus punya bukti kontrak atau pengaturan serupa) yang menyediakan kondisi pekerjaan dan kehidupan yang layak di kapal sebagaimana yang ditetapkan Konvensi ini. Selain itu, dalam Lampiran II konvensi ini juga menjelaskan secara rinci terkait persyarat isi dari perjanjian kerja awak kapal perikanan, yaitu: (a) nama keluarga awak kapal dan nama-nama lain, tanggal lahir atau usia, dan tempat lahir; (b) tempat dan tanggal di mana perjanjian tersebut diadakan; (c) nama kapal(-kapal) penangkap ikan dan nomor pendaftaran kapal(kapal) tersebut di kapal di mana awak kapal melaksanakan tugasnya; (d) nama pengusaha, atau pemilik kapal penangkap ikan, atau pihak lain yang terkait dengan perjanjian tersebut dengan awak kapal; (e) pelayaran(-pelayaran) yang akan dilaksanakan, apabila ini dapat ditentukan pada waktu membuat perjanjian tersebut;
114
(f) kapasitas di mana awak kapal tersebut akan dipekerjakan atau dilibatkan; (g) bila mungkin, tempat dan tanggal di mana awak kapal tersebut diharuskan melapor pekerjaan di kapal; (h) ketentuan-ketentuan yang akan diberikan kepada awak kapal, kecuali bila beberapa sistem alternatif diberikan oleh undangundang atau peraturan nasional; (i) jumlah upah, atau jumlah pembagian dan cara menghitung pembagian
tersebut jika
upah akan
diberikan berdasarkan
pembagian, atau jumlah upah dan pembagian serta cara menghitung pembagian jika upah akan diberikan berdasarkan kombinasi, dan setiap upah minimum yang disepakati; (j) pemutusan perjanjian dan persyaratannya, yaitu: (i) apabila perjanjian telah dibuat untuk jangka waktu tertentu, maka
tanggal
tersebut
akan
ditetapkan
sebagai
masa
berakhirnya; (ii) apabila perjanjian telah dibuat untuk satu pelayaran, maka pelabuhan tujuan dan waktu yang akan berakhir setelah tiba sebelum awak kapal diberhentikan; (iii) apabila perjanjian telah dibuat untuk jangka waktu yang tidak terbatas, maka persyaratan yang memberi hak kepada salah satu pihak untuk membatalkannya, serta masa yang dibutuhkan untuk
menyerahkan
pemberitahuan
tentang
pembatalan
tersebut, selama jangka waktu tersebut tidak boleh kurang untuk
115
pengusaha, atau pemilik kapal penangkap ikan atau pihak lain yang terlibat dalam perjanjian dengan awak kapal; (k) perlindungan yang akan mencakup awak kapal apabila terjadi penyakit, cidera atau kematian yang terkait dengan pekerjaan; (l) jumlah cuti tahunan dibayar atau rumus yang digunakan untuk menghitung cuti, bila mungkin; (m)perlindungan kesehatan dan jaminan sosial serta manfaat-manfaat yang akan diberikan kepada awak kapal oleh pengusaha, pemilik kapal penangkap ikan, atau pihak(-pihak) lain yang terlibat dalam perjanjian kerja awak kapal, bila mungkin; (n) hak awak kapal atas pemulangan atau repatriasi; (o) referensi untuk perjanjian perundingan bersama, bila mungkin; (p) masa istirahat minimal, sesuai undang-undang nasional, peraturan atau tindakan-tindakan lain; dan (q) informasi lain yang mungkin diharuskan undang-undang atau peraturan nasional. Sebelum menandatangani suatu kontrak kerja di bidang perikanan, seorang pekerja migran harus mencermati kontrak tersebut terlebih dahulu. International Transport Workers Federation (ITF) menyarankan untuk setiap pekerja membaca dan menganalisa kontrak tersebut. Adapun hal-hal yang disarankan untuk diperhatikan adalah90: -
Jangan bekerja di suatu kapal tanpa kontrak tertulis;
90
International Transport Workers Federation, Dapatkah Anda mendengar Kami?, Buletin Pelaut No. 25 tahun 2011, ITF: London Inggris, hlm. 20.
116
-
Jangan pernah menandatangani blanko kontrak kosong atau suatu kontrak yang nantinya akan mengikat anda dengan ketentuan-ketentuan dan persyaratan-persyaratan yang tidak lazim atau tidak dimengerti oleh anda;
-
Periksalah apakah kontrak yang anda tandatangani telah sesuai dengan perjanjian kerja bersama (hasil perundingan). Jika iya, pastikan bahwa anda mengetahui dengan jelas ketentuanketentuan dari perjanjian kerja bersama, dan simpanlah salinannya bersama dengan kotrak anda;
-
Pastikan bahwa masa kontrak anda telah tercantum dengan jelas;
-
Jangan menandatangani suatu kontrak yang dapat memberikan kewenangan kepada pemilik kapal untuk merubahnya secara sepihak selagi anda masih terikat dengan kontrak yang lama. Apapun yang telah disetujui dalam kontrak hanya dapat diubah dengan persetujuan bersama;
-
Harus selalu memastikan bahwa kontrak tersebut dengan jelas menyatakan upah pokok yang menjadi hak anda dan pastikan pula bahwa dasar jam kerja anda ditulis dengan jelas (misalnya 40, 44 atau 48 jam per minggu). ILO menyatakan bahwa jam kerja dasar harus maksimum 48 jam per minggu (208 jam per bulan);
-
Pastikan bahwa kontrak yang ditandatangani dengan jelas mengatur tentang waktu lembur yang dibayarkan dan berapa
117
nilainya. Bisa saja jumlah pembayaran lembur yang dihitung perjamnya secara keseluruhan lebih besar dari upah pokok anda. Atau mungkin ada pembayaran lembur tetap sebagai suatu jaminan lembur bulanan, dalam hal ini maka besarnya untuk jam kerja yang dilaksanakan melampaui waktu lembur yang telah dijamin, harus dengan jelas dinyatakan. ILO menetapkan bahwa semua jam kerja lembur harus dibayar minimum 1,25x pembayaran normal per-jamnya; -
Pastikan bahwa kontrak anda dengan jelas menyatakan berapa jumlah hari cuti yang dibayarkan yang harus anda terima setiap bulan. ILO menetukan pembayaran hari cuti tidak boleh kurang dari 30 hari pertahun (2,5 hari per bulan kalender).
-
Pastikan bahwa pembayaran upah pokok, lembur dan cuti tertera dengan jelas dan terperinci dalam kontrak;
-
Jangan pernah menandatangani kontrak yang menyatakan bahwa anda bertanggung jawab atas sebagian/seluruh biaya penempatan atau pemulangan anda;
-
Jangan menandatangani kontrak yang memungkinkan pemilik kapal menahan atau menerima sebagian dari upah anda selama masa kontrak. Anda berhak sepenuhnya atas pembayaran upah yang diperoleh pada setiap akhir bulan kalender;
-
Jangan menandatangani kontrak yang isinya membatasi hakhak anda untuk bergabung, berhubungan, berbicara dengan atau diwakili oleh serikat pekerja anda;
118
-
Sadarilah
bahwa
setiap
kontrak
pekerjaan
tidak
selalu
mencantumkan rincian tunjangan tambahan. Karena itu anda harus mencoba untuk mendapatkan konfirmasi/kepastian (lebih baik dalam perjanjian tertulis atau hak kontrak) tentang besarnya kompensasi yang dibayarkan kepada anda apabila:
Sakit atau kecelakaan selama masa kontrak
Meninggal dunia (jumlah yang harus dibayarkan kepada ahli waris)
-
Tenggelamnya kapal
Kehilangan barang pribadi akibat tenggelamnya kapal.
PHK sebelum selesai kontrak.
Pastikan bahwa anda diberi dan menerima sebuah salinan kontrak yang anda tandatangani;
-
Apapun ketentuan dan persyaratanya sebuah kontrak/perjanjian yang secara suka rela anda setujui, secara hukum akan dianggap sah dan mengikat.
4.2.7. Standar Upah Pekerja Migran Bidang Perikanan di Kapal Perikanan Asing Upah bagi para pekerja migran di kapal perikanan asing selama ini menuai banyak masalah mulai dari jumlah upah yang dianggap tidak sesuai dengan berat pekerjaan yang mereka jalankan hingga, upah yang sama sekali tidak dibayarkan oleh para pemilik kapal. Untuk mencegah masalah ini, klausul pengaturan terkait upah para pekerja bidang
119
perikanan ini telah dimasukkan dalam pengaturan pengupahan yang lebih spesifik berlaku untuk para pekerja bidang perikanan diatur pada Pasal 23 dan Pasal 24 Work in Fishing Convention 2007 yang mengatur bahwa: Pasal 23: Setiap
Negara
Anggota,
setelah
berkonsultasi,
perlu
menerapkan undang-undang, peraturan atau tindakan-tindakan lain
selama
awak
kapal
yang
diberi
upah
dipastikan
memperoleh upah bulanan atau upah tetap lainnya. Pasal 24: Setiap Negara Anggota perlu mewajibkan bahwa semua awak kapal yang bekerja di kapal penangkap ikan diberi sarana untuk mengirim semua atau sebagian upah yang mereka terima, termasuk uang muka, kepada keluarga mereka tanpa dipungut biaya. Penentuan standar jumlah upah bulanan seorang pekerja bidang perikanan di sebuah kapal juga diatur oleh Joint Maritime Commission (JMC) atau badan lain yang berwenang menurut Badan Pengurus Kantor Perburuhan Internasional. Setiap hasil keputusan Badan Pengurus, Direktur Jenderal harus memberitahukan nominal yang direvisi kepada semua anggota organisasi. Pada tahun 2014 ini, Joint Maritime Commission telah menetapkan standar terendah upah bulanan setiap pelaut adalah US$585 - US$592, mulai pada Januari 2015 dan US$614 mulai pada Januari 2016.91
91
International Labour Organization, 2014, ILO Body Adopts New Minimum Monthly Wage For Seafarers, dimuat dalam website resmi ILO http://www.ilo.org/suva/information-
120
4.2.8. Pengaturan Standar Jam Kerja dan Jam Istirahat di Kapal Perikanan Pengaturan terhadap jam kerja dan jam istirahat bagi para pelaut merupakan hal yang sudah seharusnya mendapat perhatian yang serius bagi setiap pemangku kebijakan. Ada banyak kasus kecelakaan pelaut maupun kecelakaan kapal yang terjadi akibat awak kapal yang mengalami keletihan yang disebabkan oleh jam kerja yang terlalu lama dan jam istirahat yang sangat kurang. Dalam Pasal 13 Work in Fishing Convention 2007 diatur bahwa setiap Negara Anggota perlu menerapkan undangundang, peraturan atau tindakan-tindakan lain yang mengharuskan pemilik
kapal
penangkap
ikan
yang
mengikbarkan
benderanya
memastikan bahwa: a) kapal mereka dioperasikan dengan cara yang aman dan memadai untuk memastikan navigasi dan pengoperasian kapal yang aman dan di bawah kendali seorang nakhoda yang berkompeten; dan b) awak kapal diberi masa istirahat yang teratur dan cukup untuk menjaga keselamatan dan kesehatan mereka. Kemudian pada Pasal 14 konvensi ini diatur bahwa: 1. Di samping persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 13, pihak berwenang yang berkompeten perlu:
resources/public-information/press-releases/WCMS_237169/lang--en/index.htm diakses pada tanggal 10 Juli 2014 pukul 15.58 Wita.
121
a) untuk kapal dengan panjang 24 meter atau lebih, menetapkan level pengoperasian minimal yang aman untuk navigasi kapal, yang mencantumkan jumlah dan kualifi kasi awak kapal yang dibutuhkan; b) untuk kapal penangkap ikan tanpa memandang ukuran kapal yang tetap di laut selama lebih dari tiga hari, setelah berkonsultasi dan untuk membatasi keletihan, menetapkan masa istirahat minimal yang akan diberikan kepada awak kapal. Masa istirahat minimal ini tidak boleh kurang dari: (i) sepuluh jam untuk jangka waktu 24-jam; dan (ii) 77 jam untuk jangka waktu 7 hari. 2. Pihak berwenang yang berkompeten dapat memberikan, atas alasan terbatas dan khusus, pengecualian sementara atas batasan yang ditetapkan dalam ayat 1(b) Pasal ini. Namun, dalam hal ini, ia perlu mewajibkan bahwa awak kapal harus menerima kompensasi masa istirahat sesegera mungkin. 3. Pihak berwenang yang berkompeten, setelah berkonsultasi, dapat menetapkan persyaratan lain dari apa yang disebutkan dalam ayat 1 dan 2 Pasal ini. Namun, persyaratan alternatif ini harus setara dan tidak boleh mengganggu keselamatan dan kesehatan awak kapal terkait. 4. Tidak ada ketentuan dalam Pasal ini yang dianggap mengganggu hak nakhoda kapal untuk meminta awak kapal melaksanakan jam kerja yang dibutuhkan demi keselamatan kapal, orang-orang yang
122
ada di kapal atau hasil tangkapan, atau untuk memberi bantuan kepada perahu atau kapal atau orang lain yang menghadapi keadaan berbahaya di laut. Di samping itu, nakhoda juga dapat menunda jadwal istirahat dan meminta awak kapal melaksanakan pekerjaan yang dibutuhkan hingga situasi kembali normal. Segera setelah
situasi
kembali
normal,
nakhoda
tersebut
harus
memastikan bahwa awak kapal yang telah melaksanakan tugas dalam masa istirahat tadi diberikan masa istirahat yang cukup.
4.2.9. Standar Kelayakan Hidup Setiap Pekerja di Atas Kapal Perikanan Menjalani pekerjaan di sebuah kapal, terutama di kapal perikanan bukanlah hal yang mudah. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian latar belakang, bahwa sifat pekerjaan ini yang berbahaya, sulit dan bersifat kotor membuat para pekerja rentan mengalami berbagai permasalahan. Oleh karena itu, untuk mengimbangi sifat dari pekerjaan ini, maka organisasi internasional seperti ILO, IMO dan FAO telah melakukan usaha yang
menghasilkan
beberapa
konvensi
dan
rekomendasi
untuk
menciptakan kondisi hidup yang layak di atas kapal khususnya kapal perikanan. Konvensi khusus yang terbentuk untuk akomodasi awak kapal perikanan terbentuk pada tahun 1966 yaitu Accommodation of Crews (Fishermen)
Convention
1966
dan
ketentuan
tambahannya
yaitu
Accommodation of Crews (Supplementary Provisions) Convention 1970. Berbagai ketentuan yang diatur dalam konvensi ini antara lain:
123
1. Ketentuan standar ruang tidur awak kapal dan perlengkapannya; 2. Ketentuan standar ruang makan awak kapal dan perlengkapannya; 3. Ketentuan standar ruang dapur dan perlengkapannya; 4. Ketentuan penyediaan sarana hiburan atau ruang hiburan untuk kapal berukuran tertentu; 5. Ketentuan standar penerangan di setiap ruang akomodasi tersebut; 6. Ketentuan standar kamar mandi dan toilet untuk awak kapal; 7. Ketentuan penyediaan ruang khusus pengobatan untuk kapal-kapal ukuran tertentu. Pengaturan terkait akomodasi dan konsumsi para pelaut khusus bidang perikanan telah diatur dalam Work in Fishing Convention 2007 pada Pasal 25 sampai Pasal 28, yang mengatur bahwa: Pasal 25: Setiap Negara Anggota perlu menerapkan undang-undang, peraturan atau tindakan-tindakan lain tentang akomodasi, makanan dan air minum di kapal penangkap ikan yang mengibarkan benderanya. Pasal 26: Setiap Negara Anggota perlu menerapkan undang-undang, peraturan atau tindakan-tindakan lain yang mewajibkan bahwa akomodasi di kapal penangkap ikan yang mengibarkan benderanya memiliki ukuran dan mutu yang memadai dan dilengkapi secara wajar dengan layanan kapal dan jangka waktu awak kapal tinggal di kapal. Khususnya, tindakan-tindakan ini, bila mungkin, mencakup hal-hal berikut ini:
124
(a) persetujuan atas rencana konstruksi atau modifikasi kapal penangkap ikan dalam hal akomodasinya; (b) pemeliharaan ruang akomodasi dan dapur dalam hal kebersihan
dan
keselamatan,
kesehatan
dan
kenyamanannya secara keseluruhan; (c) ventilasi, alat pemanas, alat pendingin dan penerangan; (d) pengurangan kebisingan dan getaran yang berlebihan; (e) lokasi, ukuran, materi konstruksi, perabotan dan melengkapi kamar tidur, ruang makan dan ruang akomodasi lainnya; (f) fasilitas sanitasi, termasuk kamar mandi dan fasilitas cuci, dan pasokan air panas dan dingin yang memadai; dan (g) prosedur untuk merespon keluhan terkait akomodasi yang tidak sesuai dengan persyaratan Konvensi ini. Pasal 27: Setiap Negara Anggota perlu menerapkan undang-undang, peraturan atau tindakan-tindakan lain yang mewajibkan bahwa: (a) makanan yang dibawa dan disajikan di kapal memiliki nilai gizi, kualitas dan kuantitas yang memadai; (b) air minum memiliki kualitas dan kuantitas yang memadai; dan (c) pemilik kapal penangkap ikan akan menyediakan makanan dan air tanpa dipungut biaya kepada awak kapal. Namun, sesuai undang-undang dan peraturan nasional, biayanya dapat
ditutup
sebagai
biaya
operasional
apabila
125
kesepakatan bersama mengatur sistem bersama atau perjanjian kerja awak kapal menetapkan seperti itu. Pasal 28: 1. Undang-undang, peraturan atau tindakan-tindakan lain yang akan diterapkan Negara Anggota sesuai Pasal 25 sampai Pasal 27 akan memberi efek penuh terhadap Lampiran III tentang akomodasi kapal penangkap ikan. Lampiran III dapat diubah dengan cara yang ditetapkan dalam Pasal 45. 2. Negara Anggota yang tidak berada pada posisi untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Lampiran III dapat, setelah berkonsultasi, menerapkan ketentuan-ketentuan dalam undangundang dan peraturan atau tindakan-tindakan lainnya yang secara substansial setara dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam Lampiran III, kecuali ketentuan-ketentuan yang terkait dengan Pasal 27. Dalam Recommendation for Work in Fishing Convention 2007 angka 33 menyebutkan fasilitas yang harus diusahakan di setiap kapal perikanan berukuran panjang 24 meter atau lebih yaitu: (a) satu ruang merokok; (b) menonton televisi dan penerimaan siaran radio; (c) proyeksi fi lm atau fi lm video, stoknya harus cukup selama masa pelayaran dan bila perlu, diganti setiap kurun waktu tertentu; (d) peralatan olahraga termasuk peralatan latihan, permainan di atas meja, dan permainan di dek;
126
(e) satu perpustakaan yang berisi buku kejuruan serta buku-buku lain, stok buku harus cukup selama masa pelayaran dan diganti setiap kurun waktu tertentu; (f) fasilitas untuk kerajinan tangan rekreasional; dan (g) peralatan elektronik seperti radio, televisi, video recorder, CD/DVD player, komputer pribadi dan perangkat lunak, serta cassette recorder/player. Terkhusus untuk kapal perikanan yang berukuran panjang 12 meter atau kurang, pengaturannya telah dimasukkan dalam Bab 11 Safety Recommendations for Decked Fishing Vessels of Less than 12 metres in Length and Undecked Fishing Vessels yang merupakan rekomenasi yang dibuat oleh FAO, ILO dan IMO. Ketentuan rekomendasi ini mengatur beberapa hal, di antaranya: 1. Pencahayaan, alat pemanas dan ventilasi (sub-bab 11.2); 2. Ruang tidur (sub-bab 11.3); 3. Ruang makan dan fasilitas memasak (sub-bab 11.4); 4. Fasilitas sanitiasi (sub-bab 11.5); 5. Fasilitas air (sub-bab 11.6); 6. Desain kapal kategori A dan B, yang berlayar kurang dari 24 jam di laut, dan desain kategori C dan D (sub-bab 11.7). 4.2.10. Pengaturan
Standar
Perlindungan
Kesehatan
dan
Keselamatan serta Pencegahan Kecelakaan Pekerja di atas Kapal Perikanan
127
Pengaturan
terhadap
standar
perlindungan
kesehatan,
keselamatan dan pencegahan kecelakaan kerja bagi pekerja migran di atas kapal perikanan sudah menjadi hal mutlak untuk dilakukan. Sebagai salah satu jenis pekerjaan yang menurut ILO mempunyai resiko tingkat kecelakaan yang tinggi, menuntut setiap pihak untuk memberikan perlindungan yang lebih terhadap pekerja di bidang ini. Salah satu bentuk pengaturan materi tersebut diatur dalam Work in Fishing Convention 2007 yang dituangkan dalam Pasal 29 sampai Pasal 33, yaitu: Pasal 29: Setiap Negara Anggota perlu menerapkan undang-undang, peraturan atau tindakan-tindakan lain yang mewajibkan bahwa: (a) kapal penangkap ikan membawa peralatan medis dan obatobatan yang memadai untuk layanan kesehatan di kapal, dengan mempertimbangkan jumlah awak kapal yang ada di kapal, bidang pengoperasian dan panjang pelayaran; (b) kapal penangkap ikan punya minimal satu awak kapal di kapal yang memenuhi syarat atau dilatih dengan P3K dan bentuk-bentuk perawatan kesehatan lain dan yang punya pengetahuan
yang
dibutuhkan
untuk
menggunakan
peralatan medis dan obat-obatan untuk kapal terkait, dengan mempertimbangkan jumlah awak kapal yang ada di kapal, bidang pengoperasian dan panjang pelayaran; (c) peralatan medis dan obat-obatan yang dibawa di kapal dilengkapi dengan instruksi atau informasi lain dalam bahasa
128
dan format yang dipahami (para) awak kapal yang disebutkan dalam sub-ayat (b); (d) kapal penangkap ikan dilengkapi dengan komunikasi radio atau satelit dan pihak-pihak atau layanan di darat yang dapat memberikan nasehat medis, dengan mempertimbangkan bidang pengoperasian dan panjang pelayaran; dan (e) awak kapal punya hak atas perawatan medis di darat dan hak untuk dikirim ke darat dengan cepat untuk dirawat apabila cidera atau sakit serius. Pasal 30: Untuk kapal penangkap ikan dengan panjang 24 meter atau lebih, dengan mempertimbangkan jumlah awak kapal di kapal, bidang pengoperasian dan masa pelayaran, setiap Negara Anggota perlu menerapkan undang-undang, peraturan atau tindakan-tindakan lain yang mewajibkan bahwa: (a) pihak berwenang yang berkompeten menetapkan peralatan medis dan obat-obatan yang akan dibawa di kapal; (b) peralatan medis dan obat-obatan yang dibawa di kapal dikelola dengan baik dan diperiksa pada kurun waktu tertentu seperti yang ditentukan pihak berwenang yang berkompeten oleh penanggung-jawab yang ditetapkan atau disetujui pihak berwenang yang berkompeten;
129
(c) kapal membawa panduan medis yang diterapkan atau yang disetujui pihak berwenang yang berkompeten, atau edisi terakhir dari Panduan Medis Internasional untuk di Kapal; (d) kapal punya akses ke sistem pemberian nasehat medis yang sudah ditetapkan sebelumnya untuk kapal-kapal di laut melalui komunikasi radio atau satelit, termasuk nasehat spesialis, yang harus tersedia setiap saat; (e) kapal-kapal membawa daftar stasiun radio atau satelit di kapal di mana nasehat medis dapat diperoleh; dan (f) hingga ke tingkat yang sesuai dengan undang-undang dan praktek nasional Negara Anggota, perawatan kesehatan diberikan gratis kepada awak kapal saat mereka berada di kapal atau berlabuh di sebuah pelabuhan asing. Pasal 31: Setiap Negara Anggota perlu menerapkan undang-undang, peraturan atau tindakan-tindakan lain tentang: (a) pencegahan kecelakaan kerja, penyakit terkait pekerjaan dan resiko-resiko terkait kerja di kapal penangkap ikan, termasuk evaluasi dan pengelolaan resiko, pelatihan dan instruksi di kapal untuk para awak kapal; (b) pelatihan untuk awak kapal dalam menangani jenis gir penangkapan ikan yang akan mereka gunakan serta pengetahuan tentang kegiatan penangkapan ikan di mana mereka akan terlibat di dalamnya;
130
(c) kewajiban-kewajiban pemilik kapal penangkap ikan, awak kapal dan pihak-pihak terkait lainnya, untuk memastikan keselamatan dan kesehatan para awak kapal yang berusia di bawah 18 tahun; (d) pelaporan dan penyelidikan kecelakaan di kapal penangkap ikan yang mengibarkan benderanya; dan (e) pengaturan
komisi
bersama
tentang
kesehatan
dan
keselamatan kerja atau, setelah berkonsultasi, badan-badan terkait lainnya. Pasal 32: 1. Persyaratan Pasal ini berlaku pada kapal penangkap ikan dengan panjang 24 meter atau lebih yang biasanya tinggal di laut selama lebih dari tiga hari dan, setelah berkonsultasi, berlaku pada kapal-kapal lain, dengan mempertimbangkan jumlah awak kapal di kapal, bidang pengoperasian, dan masa pelayaran. 2. Pihak berwenang yang berkompeten perlu: (a) setelah berkonsultasi, mewajibkan bahwa pemilik kapal penangkap peraturan, bersama,
ikan,
sesuai
kesepakatan menetapkan
undang-undang dan
praktek
prosedur
di
nasional,
perundingan
kapal
tentang
pencegahan kecelakaan kerja, cidera dan penyakit, dengan mempertimbangkan bahaya dan resiko tertentu tentang kapal penangkap ikan terkait; dan
131
(b) mewajibkan bahwa pemilik kapal penangkap ikan, nakhoda, awak kapal dan pihak-pihak terkait lainnya untuk disediakan panduan yang memadai dan cocok, materi pelatihan, atau informasi terkait lainnya tentang cara mengevaluasi dan mengelola resiko terhadap keselamatan dan kesehatan di kapal penangkap ikan. 3. Pemilik kapal penangkap ikan harus: (a) memastikan bahwa setiap awak kapal yang ada di kapal diberikan baju dan alat pelindung pribadi yang sesuai; (b) memastikan bahwa setiap awak kapal yang ada di kapal telah menerima pelatihan dasar keselamatan yang disetujui pihak berwenang yang berkompeten; dan pihak berwenang
yang
berkompeten
dapat
memberikan
pengecualian tertulis dari persyaratan ini untuk awak kapal yang telah memperlihatkan pengetahuan dan pengalaman yang setara; (c) memastikan bahwa awak kapal sudah memahami secara memadai dan wajar tentang peralatan dan metoda pengoperasiannya,
termasuk
tindakan
keselamatan
terkait, sebelum menggunakan peralatan tersebut atau berpartisipasi dalam pengoperasian terkait. Pasal 33: Evaluasi resiko yang terkait dengan penangkapan ikan akan dilakukan, bila mungkin, dengan melibatkan partisipasi awak kapal atau perwakilan mereka.
132
Spesifikasi
keselamatan
secara
teknis
diatur
dalam
Recommendation for Work in Fishing Convention 2007 pada angka 47 bahwa Negara Anggota perlu menangani hal-hal berikut ini, hingga ke tingkat yang dapat diterapkan dan sesuai kondisi yang ada di sector penangkapan ikan: (a) kelaikan laut dan stabilitas kapal penangkap ikan; (b) komunikasi radio; (c) temperatur, ventilasi dan penerangan tempat kerja; (d) pengurangan tingkat kelicinan di permukaan dek; (e) keamanan mesin, termasuk pelindung mesin; (f) pemahaman tentang kapal untuk awak kapal dan pemantau perikanan yang baru di kapal; (g) alat pelindung pribadi; (h) pemadaman kebakaran dan penyelamatan jiwa; (i) bongkar muat kapal; (j) gir pengangkat (lifting gear); (k) peralatan jangkar dan tambatan; (l) keselamatan dan kesehatan di tempat tinggal; (m) kebisingan dan getaran di tempat kerja; (n) ergonomi, termasuk yang terkait dengan susunan tempat kerja serta pengangkatan dan penanganan secara manual; (o) peralatan dan prosedur untuk menangkap, menangani, menyimpan dan memproses ikan dan sumber daya laut lainnya;
133
(p) desain, konstruksi dan modifikasi kapal yang terkait dengan kesehatan dan keselamatan kerja; (q) navigasi dan penanganan kapal; (r) bahan-bahan berbahaya yang digunakan di kapal; (s) sarana aman untuk keluar masuk kapal penangkap ikan di pelabuhan; (t) ketentuan keselamatan dan kesehatan khusus untuk remaja; (u) upaya untuk mencegah keletihan; dan (v) persoalan-persoalan lain yang terkait dengan keselamatan dan kesehatan. Ketentuan teknis terkait perlengkapan keselamatan dan kesehatan yang ada di atas kapal perikanan secara jelas telah diatur pada Torremolinos International Convention for the Safety of Fishing Vessels 1977. Ketentuan konvensi ini membahas secara lebih mendetail terkait standar keamanan untuk kapal perikanan itu sendiri, mulai dari sertifikat kapal, pengoperasian kapal, kelistrikan hingga standar perlengkapan yang harus ada di atas kapal perikanan.
4.2.11. Perlindungan Sosial dan Kompensasi Kecelakaan Kerja bagi Pekerja Migran Bidang Perikanan di Kapal Perikanan Asing Setelah pengaturan pencegahan terhadap kecelakaan pekerja di kapal perikanan diatur, maka perlu pula diatur bentuk tindakan yang harus dilakukan saat kejadian kecelakaan tersebut terjadi serta hak-hak yang
134
harus diberikan kepada korban. Ketentuan dalam Work in Fishing Convention 2007 mengatur hal ini pada Pasal 38 dan Pasal 39, yaitu: Pasal 38: 1. Setiap Negara Anggota perlu berupaya menyediakan perlindungan kepada awak kapal, sesuai undang-undang, peraturan atau praktek nasional, terhadap penyakit, cidera atau kematian yang terkait pekerjaan. 2. Apabila cidera diakibatkan oleh kecelakaan kerja atau penyakit, maka awak kapal tersebut berhak atas: (a) perawatan kesehatan yang sesuai; dan (b) kompensasi
yang
layak
sesuai
undang-undang
dan
peraturan nasional. 3. Dengan mempertimbangkan sifat dalam sektor penangkapan ikan, perlindungan yang disebutkan dalam ayat 1 Pasal ini dapat dipastikan melalui: (a) sistem tentang kewajiban pemilik kapal penangkap ikan; atau (b) asuransi wajib, kompensasi pekerja atau skema-skema lain. Pasal 39: 1. Apabila tidak ada ketentuan nasional tentang awak kapal, setiap Negara Anggota perlu menerapkan undang-undang, peraturan atau tindakan-tindakan lain untuk memastikan bahwa pemilik
kapal
penangkap
ikan
bertanggung-jawab
untuk
menyediakan awak kapal yang ada di kapal yang mengibarkan benderanya, perlindungan kesehatan dan perawatan kesehatan
135
saat dipekerjakan atau dilibatkan atau bekerja di kapal laut atau di pelabuhan asing. Undang-undang, peraturan atau tindakantindakan lain harus memastikan bahwa pemilik kapal penangkap ikan
bertanggung-jawab
untuk
membiayai
perawatan
kesehatan, termasuk bantuan dan dukungan materi terkait, selama perawatan medis di negara asing, sampai awak kapal dipulangkan. 2.
Undang-undang
memperbolehkan
atau
peraturan
pengecualian
kewajiban
nasional pemilik
dapat kapal
penangkap ikan apabila cidera terjadi di luar tugas kapal atau apabila penyakit atau kelemahannya disembunyikan selama dipekerjakan, atau apabila cidera atau penyakit tersebut diakibatkan kelalaian yang disengaja awak kapal tersebut. Instrumen internasional yang khusus mengatur perlindungan sosial bagi pelaut telah dibentuk oleh ILO yaitu Social Security (Seafarers) Convention (Revised) 1987, di mana dalam Pasal 9 konvensi ini telah disebutkan minimum standar pemenuhan hak-hak pelaut termasuk pelaut perikanan terkait bahasan ini yang tidak kurang dari apa yang telah ditetapkan pada pasal-pasal dalam Social Security (Minimum Standards) Convention 1952, yaitu: a. Untuk perawatan medis diatur dalam Pasal 8, 10 (ayat 1, 2 dan 3), 11 dan 12 (ayat 1);
136
b. Untuk kepentingan sakit diatur dalam Pasal 14, 16 (jo Pasal 65 atau 66 atau 67), 17 dan 18 (ayat 1); c. Untuk tunjangan pengangguran diatur dalam Pasal 20, 22 (jo Pasal 65 atau 66 atau 67), 23 dan 24; d. Untuk tunjangan hari tua diatur dalam Pasal 26, 28 (jo Pasal 65 atau 66 atau 67), 29 dan 30; e. Untuk tunjangan kecelakaan kerja diatur dalam Pasal 32, 34 (ayat 1, 2 dan 4), 35, 36 (jo Pasal 65 atau 66) dan 38; f. Untuk tunjangan keluarga diatur dalam Pasal 40, 42, 43, 44 (jo Pasal 66, jika sesuai) dan 45; g. Untuk tunjangan bersalin diatur dalam Pasal 47, 49 (ayat 1, 2 dan 3), 50 (jo Pasal 65 atau 66), 51 dan 52; h. Untuk tunjangan cacat diatur dalam Pasal 54, 56 (jo Pasal 65 atau 66 atau 67), 57 dan 58; i. Untuk tunjangan ahli waris diatur dalam Pasal 60, 62 (jo Pasal 65 atau 66 atau 67), 63 dan 64. Ketentuan perlindungan sosial dan kompensasi kecelakaan kerja tersebut tidak boleh ada diskriminasi antara pelaut migran dengan pelaut lokal. Penegasan ini diatur pada Bagian XII Pasal 68 Social Security (Minimum Standards) Convention 1952 yang menyatakan: 1. Warga negara asing harus memiliki hak-hak yang sama seperti warga negara lokal (nasional): Ini berlaku apabila peraturan khusus terkait warga negara asing dan warga negara nasional yang lahir di
137
luar wilayah Negara Anggota memang ditetapkan, terkait dengan tunjangan atau bagian dari tunjangan yang dapat dibayarkan sepenuhnya atau sebagian dari dana publik dan terkait dengan skema transisional. 2. Berdasarkan skema jaminan sosial berkontribusi yang melindungi pekerja, mereka yang dilindungi merupakan warga negara dari Negara Anggota lain yang telah menerima kewajiban dari sejumlah bagian dari konvensi ini harus mempunyai, menurut bagian tersebut, hak-hak yang sama seperti warga negara nasional dari Negara Anggota bersangkutan: ini berlaku apabila penerapan ayat ini disusun berdasarkan perjanjian bilateral atau multilateral yang memberikan asas timbal balik ini.
4.2.12. Ketentuan Standar Repatriasi (Pemulangan) Pekerja Migran Bidang Perikanan di Kapal Perikanan Asing ke Negara Asal Bekerja di sebuah kapal asing yang beroperasi bukan di dalam negeri sendiri merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi setiap pelaut. Ada berbagai pertimbangan yang harus mereka pikirkan sebelum mereka bekerja hingga terkait dengan proses pemulangan mereka nantinya. Ada banyak kasus yang dihadapi oleh para pelaut yang karena ketidakhatihatiannya dalam membaca dan memahami kontrak/perjanjian kerja yang akhirnya menyebabkan pelaut bermasalah dalam proses pemulangannya. Oleh karena itu, sebelum menandatangani perjanjian kerja, pelaut harus
138
memperhatikan juga terkait ketentuan pemulangan mereka ke negara asal atau ke tempat yang sudah ditentukan. Ketentuan internasional terkait pemulangan pelaut ini sebenarnya sudah diatur juga dalam Work in Fishing Convention 2007 pada Pasal 21 yang mnjelaskan bahwa: 1. Negara Anggota perlu memastikan bahwa awak kapal yang ada di kapal penangkap ikan yang mengibarkan bendera mereka dan memasuki sebuah pelabuhan asing berhak atas pemulangan atau repatriasi apabila perjanjian kerja awak kapal telah berakhir atau telah dihentikan atas alasan yang sah oleh awak kapal tersebut atau oleh pemilik kapal, atau awak kapal tersebut sudah tidak mampu
lagi
melaksanakan
tugas-tugas
yang
diharuskan
berdasarkan perjanjian kerja atau tidak dapat diharapkan untuk melaksanakan tugas tersebut dalam situasi tertentu. Hal ini juga berlaku untuk awak kapal dari kapal yang ditransfer atas alasan serupa dari kapal tersebut ke pelabuhan asing. 2. Biaya pemulangan yang disebutkan dalam ayat 1 Pasal ini harus ditanggung oleh pemilik kapal, kecuali bila awak kapal telah didapati, sesuai undang-undang nasional, peraturan atau tindakantindakan lain, telah melalaikan kewajiban-kewajibannya secara serius berdasarkan perjanjian kerjanya. 3. Negara Anggota perlu menentukan, melalui sarana undangundang, peraturan atau tindakan-tindakan lain, situasi persis yang
139
membuat awak kapal yang disebutkan dalam ayat 1 Pasal ini atas pemulangan, masa bakti maksimal di kapal di mana awak kapal berhak dipulangkan, dan tujuan di mana awak kapal tersebut dapat dipulangkan. 4. Apabila pemilik kapal gagal memberikan repatriasi yang disebutkan dalam Pasal ini, maka Negara Anggota yang benderanya dikibarkan kapal tersebut perlu mengatur pemulangan awak kapal tekait dan berhak memperoleh penggantian biaya dari pemilik kapal penangkap ikan. 5. Undang-undang dan peraturan nasional tidak akan mengurangi hak pemilik kapal untuk memperoleh penggantian biaya pemulangan berdasarkan perjanjian kontrak pihak ketiga. Instrument
internasional
yang
khusus
mengatur
tentang
pemulangan para pelaut telah dibentuk oleh ILO yaitu Repatriation of Seafarers Convention (Revised) 1987, di mana ketentuan dalam Pasal 2 konvensi ini mengatur bahwa: 1. Seorang pelaut berhak untuk pemulangan dalam situasi berikut: a) Jika keterlinatan untuk jangka waktu tertentu atau untuk perjalanan tertentu berakhir di luar negeri; b) Pada batas akhir periode kerja yang disepakati sesuai dengan ketentuan pasal-pasal perjanjian atau kontrak kerja pelaut;
140
c) Dalam hal sakit atau cedera atau kondisi medis lainnya yang membutuhkan pemulangan saat kondisinya secara medis mampu dan bugar untuk melakukan perjalanan; d) Dalam hal kapal karam; e) Dalam hal pemilik kapal tidak mampu untuk terus memenuhi kewajiban hukum atau kontraknya sebagai majikan dari pelaut tersebut dengan alasan bangkrut, penjualan kapal, perubahan pendaftaran kapal atau alasan lain yang serupa; f) Dalam hal kapal menuju zona perang, seperti yang didefinisikan oleh undang-undang atau peraturan nasional atau kesepakatan bersama, yang tidak disetujui sebagai tujuan oleh pelaut; g) Dalam hal pemutusan atau gangguan kerja sesuai dengan penghargaan kerja atau kesepakatan bersama, atau pemutusan hubungan kerja karena alasan lain yang serupa. 2. Hukum nasional atau peraturan atau kesepakatan bersama harus menetapkan durasi maksimum periode layanan kerja di kapal yang pelautnya berhak untuk dipulangkan; periode tersebut harus kurang dari 12 bulan. Dalam menentukan periode maksimal, perlu diperhitungkan faktor yang mempengaruhi lingkungan kerja pelaut. Setiap anggota harus mencari, sebisa mungkin, untuk mengurangi periode ini dengan perubahan teknologi yang semakin pesat dan berkembang dan dapat dipandu oleh rekomendasi yang dibuat tentang masalah ini oleh Komisi Maritim Gabungan (Joint Maritime Commission).
141
Kemudian,
ketentuan
mengenai
bentuk
dan
pembiayaan
pemulangan para pelaut diatur pada Pasal 4 konvensi tersebut yang mengatur bahwa: 1. Hal ini akan menjadi tanggung jawab pemilik kapal untuk mengatur pemulangan
dengan
cara
yang
tepat
dan
cepat.
Bentuk
transportasi normalnya harus melalui udara. 2. Biaya pemulangan ditanggung oleh pemilik kapal. 3. Di mana pemulangan telah terjadi sebagai akibat dari pelaut yang ditemukan, sesuai dengan undang-undang atau peraturan nasional atau kesepakatan bersama, sebagai akibat dari pekerjaannya, tidak ada dalam konvensi ini yang akan mengurangi hak pemulihan dari biaya pemulangan pelaut atau bagiannya sesuai dengan hukum nasional atau peraturan atau kesepakatan bersama. 4. Biaya yang harus ditanggung oleh pemilik kapal meliputi: a) Tiket untuk tujuan tempat pemulangan yang dipilih sesuai dengan Pasal 3 konvensi ini; b) Akomodasi dan makanan dari saat pelaut meninggalkan kapal sampai dia mencapai tujuan pemulangan; c) Gaji dan tunjangan dari saat dia meninggalkan kapal sampai dia mencapai tujuan pemulangan, jika disediakan oleh hukum nasional atau peraturan atau kesepakatan bersama ; d) Transportasi untuk 30 kg bagasi pribadi pelaut ke tujuan pemulangan;
142
e) Perawatan medis bila diperlukan sampai pelaut tersebut secara medis sehat untuk melakukan perjalanan ke tujuan pemulangan. 5. Pemilik kapal tidak boleh memberlakukan pembayaran uang muka terhadap biaya pemulangan pada awal mereka bekerja, ataupun pemilik kapal meminta kembali biaya pemulangan dari upah pelaut atau hak lain kecuali sebagaimana diatur dalam ayat 3 di atas. 6. Hukum atau peraturan nasional tidak boleh mengurangi hak dari pemilik kapal untuk memulihkan biaya pemulangan para pelaut yang tidak dipekerjakan oleh pemilik kapal dari majikan mereka.
4.2.13. Upaya-upaya Pelaporan dan Penyelesaian Masalah yang Terjadi pada Pekerja Migran di Kapal Perikanan Asing Seperti yang telah dipaparkan pada sub-bab sebelumnya terkait berbagai masalah yang dihadapi oleh pekerja migran bidang perikanan di kapal perikanan asing, penulis melihat adanya tuntutan yang besar terhadap pemberian informasi dan pemahaman kepada setiap pekerja migran yang akan bekerja di kapal perikanan asing. Salah satu informasi yang sangat penting untuk diketahui oleh para pekerja migran tersebut adalah terkait pelaporan dan cara penyelesaian masalah yang mungkin dihadapi oleh mereka selama bekerja di kapal perikanan asing. Selama ini, kekurangtahuan mereka terhadap informasi tersebut telah banyak menyebabkan pengabaian terhadap hak-hak mereka dan memberikan peluang penipuan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memanfaatkan kondisi para pekerja migran yang menjadi korban.
143
Ketentuan terkait jaminan bagi awak kapal perikanan untuk menyatakan atau melaporkan masalah mereka telah diatur dalam Pasal 40 Work in Fishing Convention 2007 yang menyatakan bahwa: Setiap Negara Anggota perlu secara efektif melaksanakan yurisdiksi dan kontrolnya atas kapal yang mengibarkan benderanya dengan menetapkan sistem untuk memastikan dipatuhinya persyaratan Konvensi ini termasuk, bila mungkin, inspeksi, pelaporan, pemantauan, prosedur untuk pengajuan keluhan, hukuman dan tindakan korektif yang wajar, sesuai undang-undang atau peraturan nasional. Pada dasarnya ada tiga jenis masalah yang dapat terjadi kepada para pekerja migran di kapal perikanan asing. Pertama adalah pelanggaran bidang perdata, kedua adalah pelanggaran dan kejahatan yang terkait dengan tindak pidana, dan yang ketiga adalah pelanggaran terkait pemenuhan standar hak-hak dasar pekerja di atas kapal. Oleh karena itu, penulis mencoba memaparkan beberapa cara yang dapat ditempuh oleh pekerja migran yang menjadi korban pelanggaran di kapal perikanan asing tempat mereka bekerja. Melakukan Prosedur Komplain kepada Komite Keselamatan dan Kesehatan di Kapal Terkait dengan adanya masalah yang terjadi di atas kapal perikanan, terutama yang menyangkut keselamatan dan kesehatan setiap awak kapal yang berukuran panjang 24 meter atau lebih maka diatur prosedur komplain dalam “an ILO Code of Practice Accident Prevention on Board Ship at Sea and in Port” yang merupakan panduan yang telah dirumuskan oleh unsur tripartit ILO. Di dalam ketentuan kode tersebut
144
diatur bahwa di setiap kapal harus dibentuk Komite Keselamatan dan Kesehatan, di mana dalam poin 2.6.2. dijelaskan bahwa: Komite Keselamatan dan Kesehatan paling kurang terdiri dari perwira-perwira dan ABK bukan perwira (rating) yang harus diangkat atau dipilih dengan benar, dengan mempertimbangkan pentingnya perwakilan yang seimbang dari departemendepartemen atau bagian unit kerja di atas kapal. Kemudian, adapun tugas dan tanggung jawab Komite Keselamatan dan Kesehatan ini dijelaskan pada poin 2.6.4. Tugas-tugas serta tanggung jawab Komite Keselamatan dan Kesehatan termasuk namun tidak terbatas pada (hal-hal) sebagai berikut: 1. Memastikan
agar
persyaratan-persyaratan
keselamatan
dan
kesehatan yang dibuat oleh pejabat pemerintah yang berwenang dan pemilik/pengelola kapal dipenuhi; 2. Membuat
presentasi-presentasi
atau
ceramah-ceramah
serta
usulan-usulan rekomendasi atas nama ABK melalui nakhoda kepada pemilk/pengelola kapal; 3. Bertukar pikiran/berdiskusi dan mengambil tindakan yang tepat sehubungn
dengan
persoalan-persoalan
keselamatan
dan
kesehatan yang menyangkut/berdampak pada ABK, dan hasil evaluasi (penilaian) atas memadainya perlengkapan pelindung dan keselamatan, termasuk peralatan keselamatan jiwa (life saving equipment); dan 4. Mempelajari laporan-laporan kecelakaan yang terjadi.
145
Dalam
ketentuan
pembentukan
Komite
Keselamatan
dan
Kesehatan ada dua pihak yang terlibat yaitu perwira kapal dan ABK bukan perwira. Kedua unsur ini memiliki tugas dan tanggung jawab masingmasing yang telah diatur dalam an ILO Code of Practice Accident Prevention on Board Ship at Sea and in Port ini. Untuk tugas dan tanggung jawab perwira anggota Komite Keselamatan dan Kesehatan diatur pada poin 2.7.1. yaitu: 1. Meningkatkan kepedulian ABK mengenai keselamatan; 2. Menyelidiki setiap keluhan tentang keselamatan yang disampaikan kepadanya dan melaporkan hal yang sama kepada Komite Keselamatan dan Kesehatan dan kepada pelapornya kalau memang diperlukan; 3. Menyelidiki kecelkaan-kecelakaan (yang terjadi) dan membuat rekomendasi-rekomendasi yang cocok/tepat untuk mencegah terulangnya kecelakaan-kecelakaan yang sama; 4. Melakukan inspeksi-inspeksi keselamatan dan kesehatan; dan 5. Memantau
dan
menjalankan
pelatihan-pelatihan
mengenai
keselamatan kepada para pelaut/awak kapal. Sedangkan, tugas dan tanggung jawab perwakilan ABK bukan perwira di Komite Keselamatan dan Kesehatan diatur pada poin 2.8.1. yaitu bahwa apabila tidak bertentangan dengan undang-undang dan ketentuan-ketentuan praktis dari negara bendera kapal (nasional), para
146
petugas perwakilan keselamatan harus mewakili ABK dalam masalahmasalah yang menyangkut keselamatan dan kesehatan mereka. Mekanisme Laporan Kepada Petugas Inspektorat Kapal di Pelabuhan Langkah lain yang dapat diambil oleh awak kapal jika mengalami pelanggaran terhadap keselamatan, kesehatan atau kondisi hidup di atas kapal adalah dengan melaporkan kepada pihak inspektur kapal yang ada di pelabuhan. Dalam ketentuan Pasal 42 Work in Fishing Convention 2007 dinyatakan bahwa:
Pihak berwenang yang berkompeten akan mengangkat beberapa orang
inspektur
yang
memenuhi
syarat
untuk
memenuhi
tanggungjawabnya berdasarkan Pasal 41.
Dalam menetapkan sistem yang efektif dalam memeriksa kondisi hidup dan kerja di kapal penangkap ikan, Negara Anggota, bila mungkin, dapat memberikan ijin kepada lembaga publik atau organisasi lain yang diakui berkompeten dan mandiri untuk melaksanakan inspeksi dan mengeluarkan dokumen. Dalam segala hal,
Negara
Anggota
akan
tetap
bertanggungjawab
untuk
melakukan inspeksi dan mengeluarkan dokumen terkait tentang kondisi hidup kerja awak kapal di kapal penangkap ikan yang mengibarkan benderanya.
147
Kemudian, dalam Pasal selanjutnya diatur terkait tindak lanjut dari laporan atau keluhan yang telah diterima oleh pihak berwenang yang ada pada Pasal 43 konvensi tersebut, bahwa: 1. Negara Anggota yang menerima keluhan atau memperoleh bukti bahwa
sebuah
kapal
penangkap
ikan
yang
mengibarkan
benderanya tidak mematuhi persyaratan Konvensi ini akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelidiki masalah ini dan memastikan tindakan diambil untuk memperbaiki kesalahan yang dijumpai. 2. Apabila Negara Anggota, di mana sebuah kapal penangkap ikan berlabuh di pelabuhannya, dalam melaksanakan usahanya yang normal atau atas alasan pengoperasian, menerima keluhan atau memperoleh
bukti
bahwa
kapal
tersebut
tidak
mematuhi
persyaratan Konvensi ini, maka Negara Anggota tersebut dapat membuat laporan yang dialamatkan ke pemerintah negara bendera dari kapal tersebut, dan mengirim salinannya ke Direktur Jenderal ILO, dan dapat mengambil tindakan yang diperlukan untuk meralat kondisi apapun di kapal tersebut yang secara jelas membahayakan keselamatan atau kesehatan. 3. Dalam mengambil langkah-langkah yang disebutkan dalam ayat 2 Pasal ini, Negara Anggota perlu memberitahukan perwakilan terdekat dari negara bendera dan, bila mungkin, meminta kehadiran perwakilan tersebut. Negara Anggota tidak boleh menahan atau menunda kapal tersebut secara tidak wajar.
148
4. Dalam Pasal ini, keluhan tersebut dapat diserahkan oleh awak kapal, lembaga profesional, asosiasi, serikat pekerja atau, secara umum, pihak perorangan manapun yang berkepentingan dengan keselamatan kapal, termasuk kepentingan dalam hal bahaya terhadap keselamatan atau kesehatan awak di kapal tersebut. 5. Pasal ini tidak berlaku untuk keluhan yang dianggap tidak ditemukan secara nyata oleh Negara Anggota. Melalui Layanan Bantuan Serikat Pekerja Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan produktif dalam kondisi yang merdeka, setara, aman, bermartabat. Tujuan-tujuan utama ILO ialah mempromosikan hak-hak kerja, memperluas kesempatan kerja yang layak, meningkatkan perlindungan sosial, dan memperkuat dialog dalam menangani berbagai masalah terkait dengan dunia kerja. Salah satu bentuk kerja nyata ILO adalah melaksanakan forum-forum yang melibatkan unsur tripartit (pemerintah, pengusaha dan perwakilan pekerja) yang menghasilkan berbagai konvensi yang ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan ILO tersebut. Salah satu konvensi fundamental yang diakui oleh seluruh anggota ILO adalah Konvensi Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi 1948. Konvensi tersebut menjadi jaminan terhadap kebebasan setiap pekerja di semua sektor untuk membentuk atau bergabung dalam sebuah organisasi/serikat pekerja
149
yang tidak bertentangan dengan perundang-undangan nasional. Pada Pasal 2 konvensi ini menyatakan bahwa: Para pekerja dan pengusaha, tanpa perbedaan apapun, berhak untuk mendirikan dan, menurut aturan organisasi masing-masing, bergabung dengan organisasi-organisasi lain atas pilihan mereka sendiri tanpa pengaruh pihak lain. Ketentuan tersebut dikuatkan lagi pada Pasal 4 yang menyatakan bahwa organisasi pekerja dan pengusaha tidak boleh dibubarkan atau dilarang kegiatannya oleh “penguasa administratif”. Kemudian di dalam Pasal 5 dinyatakan juga bahwa: Organisasi pekerja dan pengusaha berhak untuk mendirikan dan bergabung dengan federasi-federasi dan konfederasi-konfederasi dan organisasi sejenis, dan setiap federasi atau konfederasi tersebut berhak untuk berafiliasi dengan organisasi-organisasi pekerja dan pengusaha internasional. Fungsi/layanan utama paling dasar yang disediakan oleh serikat pekerja kepada anggota-anggotanya adalah negosiasi dan keterwakilan. Terdapat pula manfaat-manfaat lain yang dapat diperoleh dengan menjadi anggota serikat pekerja. Umumnya, meskipun daftarnya terbatas, atas nama anggota-anggota mereka, serikat pekerja dapat92: 1. Bernegosiasi untuk mereka; 2. Mewakili mereka; 3. Menawarkan informasi dan saran kepada mereka; dan 4. Menawarkan layanan keanggotaan kepada mereka
92
Indah Budiarti, 2011, Serikat Pekerja, Mengapa Penting?, Public Services International: Indonesia, hlm. 13.
150
Negosiasi adalah saat di mana serikat pekerja melakukan perundingan dengan pihak pengusaha pemilik kapal perikanan untuk perjanjian kerja bersama yang ketentuannya seperti telah dibahas pada sub-bab perjanjian kerja pelaut di atas yang tujuan: (1) menentukan kondisi-kondisi kerja dan syarat-syarat kerja; (2) mengatur hubungan antara pengusaha dengan pekerja; (3) mengatur hubungan antara pengusaha atau organisasi pengusaha dengan organisasi pekerja/serikat pekerja. Perjanjian kerja bersama ini adalah mengikat kedua belah pihak. Perjanjian kerja bersama yang baik hanya bisa dilakukan oleh serikat pekerja yang kuat. Sering dikatakan bahwa hati dan jiwa serikat pekerja adalah pengakuan dan perjanjian kerja bersama. Dalam pengakuan serikat pekerja oleh pengusaha atau organisasi pengusaha akan terjadi perjanjian kerja bersama demikian juga sebaliknya, perjanjian kerja bersama menghasilkan pengakuan akan serikat pekerja. Hak untuk melakukan perjanjian kerja bersama ini diakui baik oleh Konvensi ILO ataupun peraturan perundang-undangan yang ada. Keterwakilan, serikat pekerja mewakili anggota-anggota individual ketika mereka menghadapi masalah dalam bekerja. Apabila seorang pekerja merasa bahwa mereka diperlakukan secara tidak adil, ia dapat meminta perwakilan serikat pekerja untuk membantu menyelesaikan permasalahan tersebut dengan manajer atau pengusaha. Apabila permasalahan
tersebut
tidak
dapat
diselesaikan
dengan
baik,
permasalahan tersebut dapat dibawa ke pengadilan industrial. Serikat pekerja juga menawarkan keterwakilan hukum bagi anggota-anggotanya.
151
Biasanya, hal ini untuk membantu mereka untuk memperoleh kompensasi finansial atas kerugian yang terkait dengan pekerjaan atau untuk membantu mereka yang telah mengajukan pengusaha mereka ke pengadilan. Informasi dan saran, serikat pekerja memiliki kekayaan informasi yang berguna bagi mereka yang berada di tempat kerja. Mereka dapat memberikan saran-saran mengenai beragam isu yang luas seperti berapa banyak hari libur yang berhak diperoleh setiap tahunnya, berapa banyak bayaran yang dapat diperoleh apabila seorang pekerja mengambil cuti, dan bagaimana cara untuk memperoleh pelatihan dalam pekerjaan Layanan keanggotaan, meliputi banyak hal dan memberikan manfaat langsung bagi pekerja anggota dan keluarganya, misal: (1) pendidikan dan pelatihan; (2) bantuan hukum; (3) layanan potongan harga: tiket liburan, hotel, rumah makan, pinjaman kepada anggota; (5) layanan pensiun serikat pekerja dan jaminan tidak bekerja; dan (6) tunjangan kesejahteraan, anggota serikat pekerja dapat memperoleh tunjangan kematian dan uang keanggotaan ketika pensiun. Namun, sangat disayangkan bahwa menurut ITF hanya satu persen dari sekitar 120 juta pekerja disektor perikanan laut diseluruh dunia yang terorganisir oleh serikat pekerja.93 Oleh karena itu, setiap pekerja bidang perikanan sangat direkomendasikan untuk mendaftar/membentuk serikat pekerja yang dapat memberikan perlindungan untuk mereka. Untuk pekerja 93
Kesatuan Pelaut Indonesia, 2013, Pengorganisasian Pekerja Sektor Perikanan, dimuat http://www.kpiunion.org/news.php?section=NEW&id=05f971b5ec196b8c65b75d2ef8267331 diakses pada tanggal 15 Juli 2014 pukul 02.37 Wita.
152
migran bidang perikanan yang bekerja di kapal perikanan asing disarankan untuk membentuk serikat pekerja yang terdaftar pada satu konfederasi/federasi serikat pekerja internasional sehingga ketika pekerja mengalami permasalahan konfederasi tersebut dapat lebih cepat untuk memberikan layanan bantuannya atau pun tindakan-tindakan lain yang dapat membantu pekerja perikanan yang bersangkutan. Melalui Layanan Bantuan International Transport Workers Federation (ITF) Terdekat International Transport Workers Federation (ITF) merupakan federasi serikat pekerja internasional. Setiap serikat pekerja independen yang memenuhi syarat dari negara mana pun bebas untuk menjadi anggota dari federasi serikat pekerja ini. Hingga tahun 2013, sekitar 700 serikat pekerja yang mewakili lebih dari 4,5 juta pekerja transportasi dari sekitar 150 negara anggota ITF telah terdaftar pada federasi ini.94 Ini adalah salah satu federasi serikat pekerja global yang telah menjadi bagian dari International Trade Union Confederation (ITUC) atau yang dikenal dengan Konfederasi Serikat Buruh Internasional. Salah satu serikat pekerja transportasi yang diwadahi oleh ITF adalah serikat pekerja transportasi bidang perikanan. Adapun tujuan dari ITF sesuai dengan konstitusi mereka adalah:
94
International Transport Workers Federation, 2013, About the ITF, dimuat pada website resmi ITF http://www.itfglobal.org/about-us/moreabout.cfm diakses pada tanggal 11 Juli 2014 pukul 14.21 Wita.
153
-
Untuk mempromosikan penghormatan terhadap serikat pekerja dan hak asasi manusia di seluruh dunia;
-
Bekerja untuk perdamaian berdasarkan keadilan sosial dan kemajuan ekonomi;
-
Untuk membantu serikat pekerja dalam membela kepentingan anggotanya;
-
Untuk menyediakan penelitian dan layanan informasi untuk afiliasinya;
-
Untuk memberikan bantuan umum untuk mengangkut pekerja yang dalam kesulitan.
Walaupun berbagai kegiatan ITF sangat luas, tetapi secara umum kegiatan mereka meliputi bentuk-bentuk: -
Perwakilan;
-
Informasi;
-
Praktek Solidaritas.
Pada transportasi
dasarnya,
ITF
anggotanya
mewakili
terhadap
kepentingan
keputusan
yang
serikat
pekerja
mempengaruhi
pekerjaan, kondisi kerja atau keselamatan dalam perusahaan, termasuk dalam
Organisasi
Buruh
Internasional
(ILO),
Organisasi
Maritim
Internasional (IMO) dan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO). Untuk pekerja migran bidang perikanan yang mengalami pelanggaran selama bekerja diberikan akses yang luas untuk melaporkan masalahnya kepada ITF selama mereka adalah anggota serikat pekerja
154
dari negara anggota yang terdaftar. Pelaporan tersebut dapat melalui serikat pekerja ataupun secara langsung melalui kantor-kantor perwakilan ITF di berbagai negara atau melalui kontak telepon, email dan sosial media lainnya yang telah disediakan oleh ITF.95 Oleh sebab itu, sangat penting bagi seorang pekerja migran bidang perikanan untuk bergabung atau membentuk serikat pekerja yang terdaftar pada ITF demi mendapatkan manfaat yang dapat diberikan oleh federasi ini. Upaya Pelaporan Melalui Perwakilan Negara Pekerja Migran di Luar Negeri Setiap negara dalam memenuhi kebutuhannya akan mengadakan hubungan dengan negara lain. Baik dengan tujuan ekonomi, sosial, politik serta kebudayaan. Dengan meluasnya hubungan tersebut maka tidak menutup kemungkinan suatu negara akan mempunyai hubungan dengan tidak hanya dengan satu negara tertentu saja namun hampir seluruh negara di dunia. Salah satu implikasi dari hubungan antar negara tersebut adalah terbentuknya kantor Perwakilan Diplomatik suatu negara pengirim di negara penerima yang telah diatur melalui Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik. Perwakilan Diplomatik adalah lembaga kenegaraan di luar negeri yang bertugas dalam membina hubungan politik dengan negara lain. Tugas ini dilakukan oleh perangkat diplomatik yang meliputi duta besar, duta, kuasa usaha dan atase-atase. Pada umumnya, kantor Perwakilan Diplomatik setiap negara berada di ibu kota negara penerima. 95
Prosedur pelaporan selengkapnya dapat disimak di situs resmi ITF yang dimuat dalam http://www.itfglobal.org/about-us/contactus.cfm atau melalui berbagai publikasi yang telah disebar di berbagai kantor serikat pekerja dan kantor-kantor terkait.
155
Menurut Konvensi Wina 1961 negara penerima harus dapat menghormati Perwakilan Diplomatik negara pengirim untuk melaksanakan fungsi-fungsinya yang tidak bertentangan dengan konvensi tersebut dan perundang-undangan nasional negara penerima. Adapun salah satu fungsi dari Perwakilan Diplomatik menurut Pasal 3 ayat 1 sub b, Konvensi Wina 1961adalah fungsi proteksi. Dalam Konvensi Wina tahun 1961 telah ditegaskan bahwa Perwakilan Diplomatik berfungsi untuk melindungi, didalam negara penerima, kepentingan-kepentingan negara pengirim dan warganegara-warganegaranya, didalam batas-batas yang diizinkan oleh hukum internasional. Perwakilan Diplomatik melakukan perlindungan terhadap orangorang, properti dan kepentingan dari beberapa subyek dari negara pengirim dan kadang-kadang subyek dari negara lain, sampai kepada batas-batas negara di mana mereka ditugaskan dan diberi kuasa.96 Jika orang-orang diperlakukan tidak adil tanpa dapat menemukan ganti kerugian dengan cara hukum yang biasa dan jika mereka meminta pertolongan Perwakilan Diplomatik dari negara pengirim yang sama dengan negara asal mereka, maka Perwakilan Diplomatik harus diizinkan untuk memberikan perlindungan kepada teman sebangsanya yakni hukum dari negara asal mereka bukan hukum dari negara penerima.97 Selain Perwakilan Diplomatik yang biasanya berkantor di ibu kota negara, dikenal pula Perwakilan Konsuler yang merupakan perwakilan 96
L. Oppenheim, 1960, International Law A Treaties. London: Longmans Green & Company, hlm. 286. 97 Ibid.
156
negara pengirim di tingkat daerah/regional yang bertugas untuk membina hubungan non politik dengan negara lain. Pasal 5 Bab I Bagian I Kovensi Wina 1963 mengenai Hubungan Konsuler mengatur tentang fungsi-fungsi yang dimiliki oleh suatu konsuler. Pasal 5 huruf (a) Bab I Bagian I Kovensi Wina mengenai Hubungan Konsuler 1963 menyatakan bahwa salah satu fungsi konsuler adalah melindungi kepentingan-kepentingan dari Negara pengirim dan warga negara Negara pengirim dalam wilayah kedaulatan Negara penerima, sebagai individu maupun badan hukum, dalam batasbatas yang ditentukan dan diperbolehkan menurut hukum internasional. Pasal 5 huruf (e) Bab I Bagian I Kovensi Wina mengenai Hubungan Konsuler 1963 selanjutnya, secara umum, menyatakan bahwa membantu warga negara Negara pengirim, sebagai individu maupun badan hukum, adalah juga merupakan salah satu fungsi konsuler. Pasal 5 huruf (i) Bab I Bagian I Kovensi Wina 1963 mengenai Hubungan Konsuler mengatur bahwa Negara pengirim dapat mewakili atau mengatur perwakilan yang sesuai bagi yang merupakan warga negara dari Negara pengirim di pengadilan, tribunal atau lembagalembaga lainnya yang berwenang di Negara penerima berdasarkan hukum yang berlaku di wilayah kedaulatan Negara penerima, dalam perihal-perihal untuk melaksanakan, sesuai dengan hukum dan peraturanperaturan dari Negara penerima, langkah-langkah sementara untuk pelestarian dan perlindungan hak-hak dan kepentingan dari warga negara Negara pengirim, dengan alasan-alasan tertentu, warga negara Negara pengirim
tersebut
tidak
dapat,
pada
waktu
yang
tepat,
untuk
157
mempertahankan
hak-hak
dan
kepentingan-kepentingan
mereka.
Selebihnya, berdasarkan Pasal 5 huruf (j) Bab I Bagian I Kovensi Wina 1963 mengenai Hubungan Konsuler, suatu fungsi konsuler adalah untuk mengirim dokumen-dokumen yudisial dan ekstra-yudisial atau surat-surat eksekusi dalam hal memperoleh bukti-bukti untuk pengadilan-pengadilan dari Negara pengirim, sesuai dengan perjanjian-perjanjian internasional yang
telah
berlaku
dalam
hal
kekosongan
perjanjian-perjanjian
internasional yang terkait, dengan prosedur-prosedur lain yang sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku di Negara penerima. Pasal 36 ayat (1) Bab II Bagian I Kovensi Wina 1963 mengenai Hubungan Konsuler mengatur bahwa pejabat-pejabat konsuler memiliki hak dan bebas untuk berkomunikasi dengan warga negara dari Negara pengirim dan mendapatkan akses untuk bertemu dengan warga negara dari Negara pengirim. Diatur lebih lanjut bahwa warga negara dari Negara pengirim
memiliki
hak
dan
kebebasan
yang
sama
dalam
hal
berkomunikasi dan mendapatkan akses dengan pejabat-pejabat konsuler dari Negara pengirim.
4.3.
Pelaksanaan Perlindungan Pekerja Migran Bidang Perikanan Asal Indonesia di Kapal Perikanan Asing Dalam proses bertemunya penawaran dan permintaan tenaga kerja
dari satu negara dengan negara lain tentu akan terjadi suatu transformasi nilai, sehingga problema sosial dan hukum sering dihadapi oleh tenaga kerja pendatang. Data di BNP2TKI menunjukkan jumlah pekerja perikanan
158
indonesia yang bekerja di kapal perikanan asing berturut-turut pada tahun 2011 sebanyak 4.371 orang, 2012 sebanyak 5.123 orang, dan 2013 sebanyak 5.559 orang telah ditempatkan bekerja di kapal berbendera asing di luar negeri di lebih dari 30 negara di dunia.98 Berbagai permasalahan sering dihadapi oleh tenaga kerja Indonesia yang bekerja di kapal perikanan asing baik yang terjadi pada fase pra penempatan, selama penempatan maupun pasca penempatan. Dalam setiap fase tersebut selalu terlibat segitiga pola hubungan yaitu tenaga kerja, pengusaha penempat tenaga kerja serta pemerintah selaku pembuat kebijakan. Khusus untuk hak-hak tenaga kerja yang penting adalah memperoleh jaminan perlindungan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan atas tindakan yang dapat merendahkan harkat dan martabatnya serta pelanggaran atas hak-hak yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selama penempatan di kapal asing dan memperoleh jaminan perlindungan keselamatan dan keamanan kepulangan pekerja migran asal Indonesia ke tempat asal. Aspek perlindungan terhadap penempatan tenaga kerja Indonesia di kapal perikanan asing sangat terkait pada sistem pengelolaan dan pengaturan yang dilakukan berbagai pihak yang terlibat pada pengiriman tenaga kerja Indonesia keluar negeri. Sampai saat ini agensi yang menempatkan TKI pelaut ke luar negeri sebanyak 104 perusahaan, terdiri dari 48 perusahaan di kapal perikanan dan 66 perusahaan di kapal 98
Imam Bukhori, 2014, BNP2TKI - HNSI Tandatangani MoU Peningkatan Kompetensi TKI Pelaut Perikanan, dimuat di website resmi BNP2TKI http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu231/9772-bnp2tki-hnsi-tandatangani-mou-peningkatan-kompetensi-tki-pelaut-perikanan.html diakses pada tanggal 17 Juli 2014 pukul 18.47 Wita.
159
niaga.99 Untuk langkah penempatan tenaga kerja di kapal perikanan asing, Indonesia telah menetapkan mekanisme melalui tiga fase tanggung jawab penempatan yakni fase pra penempatan, selama penempatan dan purna penempatan.100 Proses penempatan tenaga kerja Indonesia pada umumnya sangat berbeda dengan penempatan tenaga kerja pelaut Indonesia demikian pula proses penempatan pelaut yang bekerja di kapal perikanan berbeda dengan pelaut yang bekerja di kapal niaga (cargo, cruise, tanker, offshore). Perbedaan ini meliputi berbagai aspek seperti: fungsi kapal, wilayah pelayaran, muatan, jam kerja, gaji, sifat pekerjaan, pemimpin di atas kapal maupun keahlian.101
4.3.1. Masalah Umum yang Dihadapi Pekerja Migran Asal Indonesia di Kapal Perikanan Asing Semakin meningkatnya animo masyarakat yang bekerja sebagai pelaut di luar negeri di kapal berbendera asing semakin meningkatkan pula kasus perlakuan yang tidak manusiawi baik penipuan di dalam negeri maupun di luar negeri, seperti penyanderaan pelaut perikanan di Kapal Perikanan berbendera asing seperti Jin Chin Tsai 68 (Taiwan), MT Gemini (Singapura), Pramoni (Singapura), Hanjin Tianjin (Korea Selatan), Samho
99
Pusat Sumber Daya Buruh Migran, 2014, Mengintip Masalah Penempatan TKI Pelaut, dimuat dalam http://buruhmigran.or.id/2014/05/22/mengintip-masalah-penempatan-tki-pelaut/ diakses pada tanggal 14 Juli 2014 pukul 02.57 Wita. 100 I Dewa Rai Astawa, 2006, Aspek Perlindungan Hukum Hak-Hak Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro: Semarang, hlm. 3. 101 Lihat bagian Latar Belakang Poin 2 Peraturan Kepala BNP2TKI PER/03/KA/I/2013 tentang Tata Cara Penempatan dan Perlindungan TKI Pelaut Perikanan di Kapal Berbendera Asing.
160
Jewelry (Korea Selatan).102 Berbagai permasalahan tersebut antara lain103: a) Masalah gaji/upah: -
Gaji cukup kecil yaitu sebesar US$ 150 atau besarnya tidak sesuai kontrak kerja, bahkan ada yang tidak dibayar;
-
Pembayaran gaji tidak sesuai peraturan, diterima di kapal US$ 50, dikirim kepada keluarga US$ 50 dan US$ 50 disimpan;
-
Gaji dikirim dari luar negeri kepada Manning Agency di Indonesia, kemudian dipotong untuk fee agency dan sisanya dikirim kepada kelaurga;
-
Besarnya gaji ditetapkan oleh Manning Agency di Indonesia;
-
Diskriminasi penggajian (Pelaut Uruguay US$ 600, Pelaut Indonesia US$ 180).
b) Masalah Perjanjian: -
Tidak memiliki kesepakatan kerja sama (Collective Labour Agreement);
-
Tidak memiliki Perjanjian Kerja Laut (PKL), yang ada hanya Perjanjian Kerja;
-
Perjanjian kerja tidak ditandatangani manning agency sebagai kuasa dari pemilik kapal tetapi hanya ditandatangani oleh pelaut dan saksi mata manning agency;
102
Lihat bagian Latar Belakang Poin 5 Peraturan Kepala BNP2TKI tentang Tata Cara Penempatan dan Perlindungan TKI Pelaut Perikanan di Asing. 103 Lihat bagian Latar Belakang Poin 6 Peraturan Kepala BNP2TKI tentang Tata Cara Penempatan dan Perlindungan TKI Pelaut Perikanan di Asing.
PER/03/KA/I/2013 Kapal Berbendera PER/03/KA/I/2013 Kapal Berbendera
161
-
Perjanjian kerja ditandatangani oleh pelaut dan manning agency disertai dengan Surat Pernyataan Tidak Menuntut;
-
Biaya penempatan cenderung mengeksploitasi pelaut dengan biaya tinggi;
-
Perjanjian kerja tidak di endors/disahkan oleh instansi yang berwenang;
-
Tidak
diasuransikan,
kalaupun
diasuransikan
tidak
jelas
klaimnya. c) Kompetensi rendah: -
Tidak mampu berbahasa inggris;
-
Kurang terampil dalam menggunakan alat penangkap ikan.
d) Lain-lain: -
Pelanggaran wilayah/illegal fishing sehingga pelaut ditangkap kapalnya;
-
Pemilik kapal tidak bertanggungjawab terhadap pelaut ketika kapal bersandar dan pelaut ditangkap oleh otoritas setempat;
-
Penyiksaan fisik oleh nakhoda;
-
Perdagangan manusia (trafficking).
Pada fase pra penempatan tenaga kerja di kapal perikanan asing, sering dimanfaatkan calo tenaga kerja untuk maksud menguntungkan diri calo sendiri, yang sering mengakibatkan calon tenaga kerja yang akan bekerja di sebuah kapal perikanan asing menjadi korban dengan janji berbagai kemudahan untuk dapat bekerja di kapal tersebut, termasuk yang melanggar prosedur serta ketentuan pemerintah, akhirnya sering
162
memunculkan kasus tenaga kerja Indonesia ilegal. Pada fase selama penempatan sangat sering terjadi persoalan tenaga kerja Indonesia yang berada di kapal perikanan asing, mengakibatkan permasalahan yang cukup memprihatinkan berbagai pihak. Hal ini menunjukan bahwa apabila penyelesaian tenaga kerja diserahkan pada posisi tawar-menawar (bargaining position) maka pihak tenaga kerja akan berada pada posisi yang lemah. Sebagai misal, kasus kematian yang tidak wajar sampai pada kasus
penganiayaan,
berbagai
pelecehan
tenaga
kerja
sampai
mengakibatkan adanya rencana pihak Indonesia untuk menghentikan pengiriman tenaga kerja keluar negeri oleh karena dirasakan bahwa pengiriman tenaga kerja keluar negeri akan menemui berbagai macam kendala. Pada permasalahan purna penempatan dalam mekanisme pemulangan sering terjadi bahwa di sana-sini tenaga kerja yang baru pulang dari luar negeri berhadapan dengan berbagai masalah keamanan dan kenyamanan di perjalanan sampai tujuan, yang sering ditandai dengan terjadinya pemerasan terhadap hasil jerih payah yang diperoleh dari luar negeri.
4.3.2. Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Migran Asal Indonesia di Kapal Perikanan Asing Aspek
hukum
ketenagakerjaan104,
harus
selaras
dengan
perkembangan ketenagakerjaan saat ini yang sudah sedemikian pesat,
104
Pasal 1 butir 1 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa “ketenagakerjaan adalah segala hal ihwal menyangkut tenaga kerja baik sebelum, pada saat dan sesudah melakukan pekerjaan”.
163
sehingga substansi kajian hukum ketenagakerjaan tidak hanya meliputi hubungan kerja semata, akan tetapi telah bergeser menjadi hubungan hukum antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah yang substansi kajiannya tidak hanya mengatur hubungan hukum dalam hubungan kerja (during employment), tetapi setelah hubungan kerja (post employment). Konsepsi ketenagakerjaan inilah yang dijadikan acuan untuk mengkaji perangkat hukum yang ada sekarang, apakah sudah meliputi bidangbidang tersebut atau belum.105 Kaitannya dengan hal ini, Lalu Husni mengemukakan sebagai berikut: “Bidang hukum ketenagakerjaan sebelum hubungan kerja adalah bidang hukum yang berkenaan dengan kegiatan mempersiapkan calon tenaga kerja sehingga memiliki keterampilan yang cukup untuk memasuki dunia kerja, termasuk upaya untuk memperoleh lowongan pekerjaan baik di dalam maupun di luar negeri dan mekanisme yang harus dilalui oleh tenaga kerja sebelum mendapatkan pekerjaan”.106 Pengaturan tentang penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri secara umum adalah Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Pada konsideran menimbang huruf c, d dan e, disebutkan bahwa tenaga kerja Indonesia di luar negeri sering dijadikan obyek perdagangan manusia, termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia
105
I Dewa Rai Astawa, 2006, Op.Cit., hlm. 2. Lalu Husni, 2000, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Raja Grafindo Persada: Jakarta, hlm. 54. 106
164
serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia. Oleh karena itu negara wajib menjamin dan melindungi hak asasi warga negaranya yang bekerja baik di dalam maupun di luar negeri berdasarkan prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi dan anti perdagangan manusia. Dalam hal penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri merupakan suatu upaya untuk mewujudkan hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, yang pelaksanaannya dilakukan dengan tetap memperhatikan harkat, martabat, hak
asasi
manusia
dan
perlindungan
hukum
serta
pemerataan
kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan nasional. Profesi sebagai pelaut termasuk dalam pekerjaan atau jabatan tertentu yang membutuhkan pengaturan secara khusus sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 UU Nomor 39 tahun 2004. Pada tahun 2013, Menteri Perhubungan mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM. 84 Tahun 2013 tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal. Dalam Permenhub itu antara lain ditegaskan tentang persyaratan dan kelengkapan izin usaha keagenan awak kapal, tanggung jawab perusahaan keagenan awak kapal, pencabutan surat izin usaha perekrutan dan penempatan awak kapal, seta sanksi-sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh usaha keagenan awak kapal. Satusatunya pengaturan penempatan dan perlindungan yang khusus untuk pekerja asal Indonesia yang bekerja di kapal perikanan asing yang dibuat
165
untuk mengatasi kekosongan regulasi di sektor kerja tersebut adalah Peraturan Kepala BNP2TKI PER/03/KA/I/2013 tentang Tata Cara Penempatan dan Perlindungan TKI Pelaut Perikanan di Kapal Berbendera Asing. Namun, peraturan yang diterbitkan oleh Kepala BNP2TKI tersebut juga menjadi polemik mengingat kewenangan pembuatan regulasi harusnya ada pada Kemenakertrans dan BNP2TKI adalah pelaksana seperti yang diamanatkan dalam Permenakertrans No. 14 tahun 2010. Pasal 1 UU No. 39 tahun 2004 menyatakan dengan jelas bahwa undang-undang
hanya
mencakup
warga
negara
Indonesia
yang
memenuhi persyaratan untuk periode tertentu. TKI ilegal tidak tercakup dalam undang-undang ini dan tidak akan menerima perlindungan, terlepas dari mereka menggunakan jalur tidak resmi secara sengaja maupun tidak. Dilihat dari sudut perspektif UU No. 39 tahun 2004 tidak banyak yang bisa diharapkan. Proses reintegrasi sosio-ekonomi merupakan bagian penting dari perlindungan TKI pelaut perikanan dan upaya untuk memperbaiki kesejahteraan mereka dan keluarganya. Tetapi UU No. 39 tahun 2004 tidak mencakup perlindungan TKI sepulangnya mereka dari luar negeri. Pada kenyataannya banyak TKI pelaut perikanan mengalami masalah sosial dan ekonomi pada saat reintegrasi padahal manfaat dari pengalaman bekerja di luar negeri dan gaji yang mereka hasilkan bisa ditingkatkan bila pelayanan penempatan tenaga kerja di Indonesia juga didampingi dengan pendidikan keuangan untuk mengelola penghasilan mereka dari luar negeri. Ada banyak kasus TKI pelaut perikanan yang pulang tapi tidak bisa melaporkan masalah yang dialami, misalnya mereka
166
mendapati bahwa ternyata gajinya tidak dikirimkan ke keluarga oleh majikan mereka setelah pulang ke negaranya. Menurut studi yang dilakukan oleh the Institute for Ecosoc Rights pada tahun 2007, TKI yang pulang kerja dari luar negeri ingin mendapatkan: (1) pelatihan dan bantuan untuk mengelola usaha; (2) dukungan dalam membentuk koperasi; (3) bantuan dalam menangani asuransi dan klaim gaji dari kerja di luar negeri; dan (4) dukungan menyelesaikan konflik dalam keluarga.107 Kelemahan dari segi regulasi ini juga semakin diperparah mengingat bahwa Indonesia belum meratifikasi beberapa konvensi internasional yang terkait dengan pekerja migran bidang perikanan seperti yang telah di bahas pada sub bab sebelumnya. Konvensi yang sangat penting terkait perlindungan pekerja migran bidang perikanan yang belum diratifikasi Indonesia adalah Standard of Training and Certification for Watchkeeping Personnel at Fishing Vessel (STCW-F) 1995 dan Work in Fishing Convention 2007. Jadi, jika dilihat dari segi perlindungan hukum bagi tenaga kerja Indonesia di kapal perikanan asing saat ini masih sangat lemah dan terbatas, sehingga konsekuensinya para pekerja mudah dieksploitasi dan menjadi korban berbagai masalah ketenagakerjaan. Di luar negeri perlindungan terhadap TKI dilaksanakan oleh Perwakilan
Pemerintah
Negara
Republik
Indonesia
yang
mana
perlindungan itu didasarkan kepada peraturan perundang-undangan serta hukum
dan
kebiasaan
internasional.
Dalam
rangka
pemberian
107
International Organization for Migration, 2010, Migrasi Tenaga Kerja dari Indonesia, Publikasi IOM Jakarta, Indonesia, hlm. 13.
167
perlindungan selama masa penempatan TKI di luar negeri, Perwakilan Republik Indonesia melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perwakilan pelaksana penempatan TKI swasta dan TKI yang ditempatkan di
luar
negeri.
Selama
masa
penempatan
tersebut
maka
Pemerintah/perwakilan pemerintah juga bertugas untuk: a. pemberian bantuan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara tujuan serta hukum dan kebiasaan internasional; b. pembelaan atas pemenuhan hak-hak sesuai dengan perjanjian kerja dan/atau peraturan perundang-undangan di negara TKI ditempatkan. Berdasarkan
hal
tersebut,
maka
pelaksanaan
perlindungan
terhadap TKI itu selain mengacu kepada peraturan perundang-undangan negara juga mengacu kepada hukum internasional. Maka, jika peraturan perundang-undangan Indonesia masih lemah dan ratifikasi konvensi internasional terkait belum dilaksanakan, maka kemungkinan eksploitasi pekerja migran tersebut masih sangat mungkin terus terjadi.
4.3.3. Peran Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Pada tahun 2001 dibentuk Direktorat Jenderal Penempatan dan Perlindungan
Tenaga
membubarkan
Direktorat
Kerja
Luar
Penempatan
Negeri Tenaga
(PPTKLN) Kerja
sekaligus
Luar
Negeri
168
(PTKLN). Direktorat Jenderal PPTKLN pun membentuk struktur Direktorat Sosialisasi dan Penempatan untuk pelayanan penempatan TKI ke luar negeri.
Sejak
kehadiran
Direktorat
Jenderal
PPTKLN,
pelayanan
penempatan TKI di tingkat provinsi/kanwil dijalankan oleh BP2TKI (Balai Pelayanan dan Penempatan TKI). Pada tahun 2004 lahir Undang-undang No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, yang pada pasal 94 ayat (1) dan (2) mengamanatkan pembentukan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Kemudian disusul dengan lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 81 tahun 2006 tentang Pembentukan BNP2TKI yang struktur operasional kerjanya melibatkan unsur-unsur instansi pemerintah pusat
terkait
pelayanan
Kemenakertrans,
TKI,
Kepolisian,
antara
Kemensos,
lain
Kemenlu,
Kemenhub,
Kemendiknas,
Kemenkes,
Imigrasi (Kemenhukam), Sesneg, dan lain-lain. Dengan kehadiran BNP2TKI ini maka segala urusan kegiatan penempatan dan perlindungan TKI berada dalam otoritas BNP2TKI, yang dikoordinasi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi namun tanggung jawab tugasnya kepada presiden. Undang Undang No. 39 Tahun 2004, Pasal 95 ayat (1) secara tegas menyebutkan bahwa BNP2TKI mempunyai fungsi pelaksanaan kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri
169
secara terkoordinasi dan terintegrasi. Lebih lanjut pada ayat (2) menyatakan bahwa BNP2TKI bertugas: a. melakukan penempatan atas dasar perjanjian secara tertulis antara pemerintah dengan pemerintah negara pengguna TKI atau pengguna
berbadan
hukum
di
negara
tujuan
penempatan
sebagaimana Pasal 11 ayat (1). b. memberikan
pelayanan,
mengkoordinasikan,
dan
melakukan
pengawasan mengenai: 1) dokumen; 2) Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP); 3) penyelesaian masalah; 4) sumber sumber pembiayaan; 5) pemberangkatan sampai pemulangan; 6) peningkatan kualitas calon TKI; 7) informasi; 8) kualitas pelaksanaan penempatan TKI; dan 9) peningkatan kesejahteraan TKI dan keluarganya. Berdasarkan amanah undang-undang tersebut BNP2TKI membuat suatu Standar Operasional Procedur (SOP) untuk melindungi pekerja Indonesia termasuk bagi pekerja di kapal perikanan asing. Berdasarkan
170
SOP tersebut, perlindungan terhadap TKI dibagi kepada tiga masa yakni, Masa Pra Penempatan, Masa Penempatan, dan Purna Penempatan.108 Perlindungan Pra Penempatan. Bentuk perlindungan yang dilakukan terhadap calon TKI/TKI pada masa pra penempatan adalah sebagai berikut: a. Pemberian informasi lengkap dan benar tentang keabsahan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang akan menempatkan, persyaratan calon TKI, jenis peluang kerja
yang
tersedia,
kondisi
kerja,
perjanjian
kerja,
biaya
penempatan, dan prosedur penempatan; b. Pembuatan Perjanjian Kerjasama Penempatan, antara PPTKIS dengan Mitra Usaha atau Pengguna; (users) – yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak serta perlindungan terhadap TKI - yang disahkan Perwakilan RI; c. Pengesahan Permintaan Nyata, yang terdiri job order, demand letter, visa wakalah; d. Pembuatan Perjanjian Penempatan, antara calon TKI dan PPTKIS yang sekurang-kurangnya memuat: jenis dan uraian pekerjaan, batas waktu pemberangkan calon TKI, komponen dan besarnya biaya penempatan, pembayaran ganti kerugian akibat pembatalan
108
BNPTKI, 2012, SOP Perlindungan TKI 2012 Diperkuat, Layanan Pengaduan Dipercepat, dimuat dalam http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/6385-sop-perlindungan-tki-2012diperkuat-layanan-pengaduan-dipercepat.html. Diakses pada tanggal 14 Juli 2014 pukul 22.32 Wita.
171
pemberangkatan, hak dan kewajiban PPTKIS dan calon TKI, persyaratan kerja; e. Pembuatan Perjanjian Kerja antara TKI dengan Pengguna; (users) yang sekurang-kurangnya memuat: nama dan alamat pengguna, nama dan alamat TKI, jenis dan uraian pekerjaan, syarat-syarat kerja; (meliputi waktu kerja, istirahat, upah, cara pembayaran, upah lembur, cuti, dan jaminan sosial), jangka waktu perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis dalam dua bahasa; (bahasa Indonesia dan bahasa Ingrris/negara tujuan) rangkap tiga; (untuk TKI, pengguna dan PPTKI) serta difoto copy yang disampaikan kepada Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) setempat dan Perwakilan RI di negara tujuan; f. Pemeriksaan kesehatan dan psikologi untuk memastikan kondisi kesehatan dan psikologi calon TKI benar-benar sehat; g. Pelatihan ketrampilan kerja dan kemampuan bahasa sesuai negara tujuan; h. Pengurusan dokumen yang lengkap dan sah yang meliputi Paspor, Visa Kerja, tiket perjalanan, rekening tabungan TKI; i. Mengasuransikan TKI dalam program asuransi perlindungan TKI; j. Mengikutsertakan TKI dalam Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP); k. Pemberian Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri; (KTKLN) kepada calon TKI/TKI;
172
l. Pembinaan dan Pengawasan terhadap PPTKIS dan calon TKI agar proses penempatan dilakukan sesuai dengan ketentuan berlaku, serta
menindak
terhadap
oknum
yang
melakukan
proses
penempatan TKI non-prosedural.109 Perlindungan masa penempatan. Perlindungan terhadap TKI selama masa penempatan yang dilakukan adalah: a. PPTKIS,
mitra
usaha
atau
pengguna
(users)
melaporkan
kedatangan dan keberadaan TKI kepada Perwakilan RI; b. Mengadakan welcoming programme dan exit programme; c. Memberikan kesempatan kepada TKI untuk melakukan komunikasi dengan keluarga, PPTKIS dan Perwakilan RI; d. Memberikan pendampingan, bantuan hukum dan perlindungan kepada TKI yang mengalami masalah dengan majikan/pengguna; e. Pemenuhan hak-hak TKI sesuai perjanjian kerja; f. Pembinaan terhadap TKI agar tidak nelakukan tindakan atau halhal yang bertentangan dengan peraturan dan adat istiadat negara tujuan; g. TKI
memahami
cara
penyelesaian
permasalahan
yang
dihadapinya;
109
Ibid
173
h. Mitra usaha atau pengguna melaporkan untuk pengesahan perpanjangan perjanjian kerja kepada perwakilan RI, jika TKI bersedia memperpanjang perjanjian kerja; i. Remitansi (pengiriman uang ke negara asal); j. PPTKIS
bersama
agency
wajib
melakukan
pemantauan
perkembangan keberadaan TKI yang ditempatkannya.110 Perlindungan purna penempatan. Perlindungan yang dilakukan terhadap TKI yang mengakhiri purna kerjanya atau dikenal TKI purna adalah: a. TKI
sendiri
atau
dengan
bantuan
pengguna/mitra
usaha
melaporkan berakhirnya perjanjian kerja dan kepulangan TKI ke Perwakilan RI; b. Pengguna atau mitra usaha mengantar TKI ke bandara setempat dan membiayai kepulangan TKI ke Indonesia; c. PPTKIS melaporkan kepulangan TKI kepada BNP2TKI, karena perjanjian kerja berakhir, mengalami kecelakaan/sakit/meninggal dunia, dan bermasalah; d. PPTKIS bertanggung jawab atas kepulangan TKI sampai ke daerah asal, akan tetapi Pemerintah berhak mengatur kepulangannya dan membuat pos-pos pelayanan pelayanan kepulangan disetiap debarkasi;
110
Ibid
174
e. PPTKIS bertanggung jawab atas hak-hak TKI yang belum dipenuhi oleh pengguna selama dalam masa perjanjian kerja; f. Pemulangan
TKI
dari
terminal/bandara/pelabuhan
debarkasi
dilaksanakan oleh Pos Pelayanan Pemulangan TKI – khusus untuk tingkat pusat oleh Balai Pemulangan dan Keberangkatan Tenaga Kerja Indonesia (BPK TKI) Selapajang – melalui pemanduan, pendataan, penanganan yang bermasalah, sakit, cuti, meninggal dunia, dan pengantaran ke daerah asal; g. Pengamanan kepulangan TKI dilakukan sejak TKI di debarkasi sampai daerah asal dengan memberikan informasi tentang tata cara
kepulangan
pengaduan
TKI
apabila
dan
TKI
prosedur
mengalami
pengaduan, menerima permasalahan
selama
kepulangannya atau selama berada di debarkasi, serta melakukan penindakan terhadap oknum yang merugikan TKI; h. Pemberdayaan TKI purna, yang perlu dilakukan adalah, mendata dan memetakan TKI purna, memberikan bimbingan dalam rangka rehabilitasi TKI purna bermasalah, pembinaan dalam rangka penguatan asosiasi TKI purna, serta temu wicara dan ekspo TKI purna. Kegiatan dilakukan di daerah asal TKI dan terdapat TKI purna.
Untuk
instansi/lembaga
pelaksanaannya terkait
yang
dikoordinasikan ada
di
pusat,
dengan provinsi,
kabupaten/kota, kecamatan dan desa.111
111
Ibid
175
Selain itu, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia
(BNP2TKI)
juga
telah
membuka
layanan
pusat
pengaduan dan informasi 24 jam nonstop sejak 27 Juni 2011. Sebelum berbentuk call center, di BNP2TKI sejak November 2008 telah memiliki unit crisis center dengan tugas pokok melayani pengaduan langsung bagi TKI dan keluarganya dalam kaitan permasalahan yang dialami TKI. Call center
BNP2TKI
berfungsi
untuk
melayani
berbagai
pengaduan
permasalahan atau kasus calon TKI, TKI, maupun keluarga TKI baik yang terjadi di dalam negeri ataupun di luar negeri melalui akses nomor telepon bebas pulsa alias gratis, surat elektronik, ataupun bertatap muka langsung. Secara garis besar pelayanan Call Center BNP2TKI meliputi; (1) penyediaan informasi; (2) pendampingan permasalahan TKI yang terdiri
advokasi
kasus
dan
hukum
serta
penyelenggaraan
mediasi/perselisihan; (3) penyelesaian kasus/masalah. Dalam catatan Direktorat Pelayanan Pengaduan di Unit Pelayanan Crisis Center BNP2TKI sejak berdirinya 27 Juni 2011 sampai 15 Mei 2014 total pengaduan dari TKI Pelaut dan Pelaut Perikanan sebanyak 133 kasus, 65 kasus di antaranya sudah selesai ditangani, dan 68 kasus masih dalam proses penyelesaian. Kasus tertinggi yang dilaporkan adalah masalah gaji tidak dibayar sejumlah 60 pengaduan, meninggal 18 pengaduan, kecelakaan kerja 15 pengaduan, dalam tahanan 11 pengaduan, pekerjaan tidak sesuai Perjanjian Kerja 8 pengaduan, dan potongan gaji melebihi ketentuan 4 pengaduan. Kasus TKI ABK putus komunikasi, pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, penahanan
176
dokumen oleh PPTKIS, dan ingin dipulangkan masing-masing 3 pengaduan. Sedangkan kasus tidak harmonis dengan pengguna 2 pengaduan, serta kasus pemerasaan, tidak punya ongkos pulang, dan tindak kekerasan dari pengguna masing-masing 1 pengaduan.112
4.3.4. Faktor-faktor Efektiftas Perlindungan Pekerja Migran Bidang Perikanan Asal Indonesia Upaya-upaya perlindungan pekerja migran bidang perikanan asal Indonesia di luar negeri sudah mulai dilakukan oleh pemerintah kendati belum didukung oleh perangkat legislasi yang memadai. Berbagai bentuk pendekatan tripartite juga sudah dilakukan belakangan ini dengan adanya kepercayaan memberikan peluang kepada PPTKIS untuk melaksanakan penempatan para tenaga kerja tersebut. Namun, harus diakui berbagai permasalahan yang dialami oleh pekerja migran tersebut masih tetap terjadi hingga saat ini. Oleh karena itu, kita harus memahami apa faktorfaktor yang menyebabkan kurang efektifnya perlindungan terhadap pekerja migran bidang perikanan ini. a. Kurangnya Tingkat Kesadaran Hukum Calon Pekerja Migran. Kesadaran hukum merupakan kesadaran masyarakat untuk menerima atau menjalankan hukum sesuai dengan tujuan pembentukan hukum yang bersangkutan. Menurut Soerjono Soekanto kesadaran hukum
112
Imam Bukhori, 2014, Perlindungan TKI Pelaut dan Pelaut Perikanan Terus Diperkuat, dimuat dalam website resmi BNP2TKI http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/9675perlindungan-tki-pelaut-dan-pelaut-perikanan-terus-diperkuat.html diakses pada tanggal 17 Juli 2014 pukul 18.37 Wita.
177
merupakan konsepsi abstrak di dalam diri manusia tentang keserasian antara
ketertiban
dengan
ketentraman
yang
dikendahaki
atau
sepantasnya. Kesadaran hukum memiliki beberapa indikator yakni pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum (law acquaintance), sikap terhadap peraturan hukum (legal attitude) dan perikelakuan hukum (legal behavior). Untuk mengetahui tingkat kesadaran hukum tersebut, Lalu Husni113 pernah melakukan penelitian terhadap TKI ini yang menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan hukum calon tenaga kerja Indonesia terhadap peraturan yang berkaitan dengan penempatan dan perlindungannya masih sangat rendah yakni hanya 20% yang mengetahui bahwa penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri diatur dengan undangundang, selebihnya 66,7% tidak mengetahui adanya aturan tersebut. Selain pengetahun hukum, indikator selanjutnya yang perlu dipahami dalam kajian kesadaran hukum adalah pemahaman hukum. Pemahaman hukum merupakan sejumlah informasi yang dimiliki seseorang mengenai isi dari hukum yang bersangkutan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa hanya 33,3% calon TKI mengetahui isi Undang-undang Nomor 39 tahun 2004 dan 66,7% tidak memahami isi undang-undang tersebut. Pemahaman terhadap isi peraturan itu pun hanya terbatas pada prosedur penempatan bahwa bekerja ke luar negeri yakni harus memiliki dokumendokumen seperti passport, pemeriksaan kesehatan (medical), bebas
113
Lalu Husni, 2011, Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Mimbar Hukum Vol.23 Nomor 1 Februari 2011, hlm. 162-163.
178
fiskal, pembekalan akhir pemberangkatan (PAP) dan visa kerja, selebihnya seperti pelatihan kerja, bursa kerja tidak mengetahuinya. Pengetahuan dan pemahaman pekerja ini terhadap peraturan perundang-undangan di bidang penempatan dan perlindunngan TKI memberikan implikasi terhadap sikap dalam menempuh prosedur bekerja ke luar negeri, yakni sejumlah 81,7% calon TKI memilih bekerja melalui jalur resmi PPTKIS dengan pertimbangan keselamatan, keamanan, dan perlindungan. Sedangkan sisanya 18,3% melalui jalur tidak resmi (calo/sponsor) karena alasan prosesnya yang cepat, biaya yang lebih ringan dan bisa berpindah-pindah majikan/perusahaan. Permasalah kurangnya pengetahuan dan pemahaman pekerja perikanan tidak hanya terhadap peraturan yang ada di dalam negeri tetapi juga peraturan di negara penerima b. Penegakan Hukum (Law Enforcement) yang Lemah. Dalam hukum ketenagakerjaan, penegakan hukum dapat dilakukan secara administratif maupun pidana. Demikian halnya dengan Undangundang Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, dalam Pasal 100 menyebutkan bahwa Menteri menjatuhkan sanksi administratif atas pelanggaran terhadap beberapa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), Pasal 20, Pasal 30, Pasal 32 ayat (1), Pasal 33, Pasal 34 ayat (3), Pasal 38 ayat (2), Pasal 54 ayat (1), Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 62 ayat (1), Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 69 ayat
179
(1), Pasal 71, Pasal 72, Pasal 73 ayat (2), Pasal 74, Pasal 76 ayat (1), Pasal 82, Pasal 83, atau Pasal 105. Sanksi administratif tersebut berupa peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan
usaha
penempatan
TKI,
pencabutan
izin,
pembatalan
keberangkatan calon TKI, dan/atau pemulangan TKI dari luar negeri dengan biaya sendiri (Pasal 101). Namun, dalam implementasinya terjadi beberpa pelanggaran terhadap ketentuan tersebut yang dilakukan oleh PPTKIS, tapi tidak dikenakan sanksi administratif seperti disebutkan di atas. Selain
penegakan
hukum
secara
administratif,
di
bidang
ketenagakerjaan khususnya dalam penempatan dan perlindungan TKI juga diatur penegakan hukum secara pidana seperti yang diatur dalam Pasal 102 jo. Pasal 104 Undang-undang Nomor 39 tahun 2004 dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan/atau denda paling sedikit satu miliar rupiah dan paling banyak lima miliar rupiah, ketentuan Pasal 19, 33, 35, 45, 50, 51, 68, dan Pasal 70. Tapi, penegakan hukum terhadap ketentuan tersebut juga sangat lemah, hal ini terbukti dari banyaknya kasus pelanggaran terhadap pasal-pasal tersebut namun tidak diproses ke pengadilan. Misalnya kasus perekrutan tenaga kerja perikanan di bawah umur yang sering dilakukan oleh PPTKIS ataupun calo/sponsor TKI sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU No. 39 tahun 2004. Demikian juga terhadap pelanggaran ketentuan Pasal 51 mengenai keharusan menempatkan setiap pekerja luar negeri dengan memiliki dokumen yang lengkap.
180
c. Lemahnya
Sistem
Pengawasan
Pekerja
Pelaut
Perikanan
Indonesia di Kapal Perikanan Asing di Luar Negeri. Dalam Pasal 92 ayat (1) Undang-undang No. 39 tahun 2004 disebutkan bahwa pengawasan terhadap penyelenggaraan penempatan dan perlindungan setiap tenga kerja Indonesia di dalam negeri dilaksanakan
oleh
instansi
yang
bertanggungjawab
di
bidang
ketenagakerjaan pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah
Kabupaten/Kota.
Sedangkan
pengawasan
terhadap
penyelenggaraan penempatan dan perlindungan tenga kerja Indonesia di luar negeri dilaksanakan oleh perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan.114 Saat ini, pemerintah Indonesia baru memiliki 13 Atase Tenaga Kerja (Atnaker) di negara penempatan yaitu Hongkong, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Brunei Darussalam, Arab Saudi (Riyadh dan Jeddah), Kuwait, Qatar, Persatuan Emirat Arab (UEA), Taiwan, Syiria, dan Yordania. Atase ketenagakerjaan mempunyai tugas pelayanan tenaga kerja
yang
mencakup
perlindungan
dan
pendataan
di
negara
penempatan, pemantauan keberadaannya, penilaian terhadap mitra usaha atau agen dalam pengurusan dokumen TKI, upaya advokasi TKI, legalisasi perjanjian atau kontrak kerja serta pembinaan TKI yang telah ditempatkan Berdasarkan landasan normatif tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pengawasan tenaga kerja Indonesia yang dilakukan oleh
114
Lihat Pasal 92 ayat (2) Undang-undang nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
181
perwakilan pemerintah di luar negeri dimaksudkan sebagai upaya preventif untuk menghindari terjadinya masalah ketenagakerjaan. Namun, untuk melaksanakan pengawasan tersebut dibutuhkan pengawas yang memadai dan sistem pengawasan yang dapat mendukung tujuan tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa sistem pengawasan pelaut perikanan berbeda dengan sistem pengawasan bidang pekerjaan lain karena keberadaan subyek yang diawasi selalu berpindah-pindah dan bahkan
melewati
batas
teritorial
negara
penerima.
Kompleksitas
pengawasan di bidang pekerjaan ini sudah seharusnya mendapatkan porsi perhatian tersendiri melalui pembentukan sistem pengawasan yang dapat memberikan perlindungan bagi setiap pekerja di manapun mereka berada. Namun, undang-undang dan kebijakan migrasi tenaga kerja nasional ditinjau dari substansinya masih ditujukan untuk mengurangi pengangguran daerah dan cenderung berfokus pada fasilitasi arus TKI daripada menciptakan mekanisme perlindungan bagi mereka. Selama ini, pengawasan perwakilan pemerintah Indonesia di luar negeri cenderung hanya melaksanakan perlindungan ketika terjadi permasalahan terhadap pekerja yang laporannya masuk ke petugas pengawas KJRI/KBRI. Langkah-langkah preventif yang diamanahkan dalam Undang-undang No.39 tahun 2004 masih kurang dilaksanakan. Hal ini juga disebabkan karena kurang baiknya sistem pengawasan yang dibuat oleh pemerintah. Berkaca dari sistem pengawasan pelaut perikanan di beberapa negara seperti
Filipina
dan
Australia,
pemerintah
seharusnya
melakukan
pendataan terhadap penempatan dan lokasi kerja setiap pelaut perikanan
182
sehingga petugas pengawas di luar negeri sewaktu-waktu dapat melaksanakan
monitoring
terhadap
pemenuhan
hak-hak
pekerja
perikanan Indonesia di setiap kapal. Selain itu, keterbatasan petugas pengawas tenaga kerja di luar negeri juga merupakan salah satu hambatan efektifitas pengawasan selama ini. Tingginya penambahan jumlah pekerja perikanan yang bekerja di kapal perikanan asing terutama di beberapa negara tujuan utama pelaut perikanan seperti Taiwan, Korea Selatan, Jepang, dan Australia menyebabkan pengawas di luar negeri yang jumlahnya cenderung tidak bertambah
harus
kewalahan
dalam
melaksanakan
pengawasan.
Pengawas-pengawas ini juga seharusnya tidak hanya menunggu laporan, tetapi secara berkala melaksanakan monitoring terhadap keadaan para pekerja perikanan sehingga langkah-langkah preventif ini dapat mencegah kasus pelanggaran yang dialami oleh pekerja di bidang ini.
183
BAB 5 PENUTUP
5.1.
Kesimpulan Berdasarkan
hasil
pembahasan
di
atas,
maka
penulis
menyimpulkan bahwa: 1. Dari penelitian yang telah dilakukan penulis, berbagai bentuk kecelakaan kerja hingga pelanggaran secara fisik maupun psikis kerap dialami oleh para pekerja perikanan di berbagai kapal perikanan di seluruh dunia. Kecelakaan dan pelanggaran yang terjadi
tidak
hanya
menimpa
pekerja
perikanan
yang
184
berkebangsaan sama dengan bendera kapal, tetapi sebagian besar -terutama pelanggaran eksploitatif- terjadi pada pekerja yang berasal dari negara lain (pekerja migran). Penyebaran para pekerja migran
bidang
perikanan
ini
sejalan
dengan
penyebaran
kepemilikan kapal-kapal perikanan dan produksi perikanan tangkap di berbagai negara. Sedikit dari kasus-kasus tersebut antara lain: -
Eksploitasi pekerja migran perikanan di Thailand yang sebagian besar berasal dari Myanmar dan Kamboja, di mana para pekerja ini
mengalami
eksploitasi,
termasuk
kerja
paksa
dan
perdagangan manusia, diberi upah yang rendah, di bawah umur, dipekerjakan dengan kondisi kerja yang tidak layak, dan sebagainya; -
Eksploitasi pekerja perikanan buta huruf asal Nepal oleh Agency Singapura
di
mana
para
pekerja
asal
Nepal
tersebut
menandatangani kontrak yang merugikan mereka tanpa tahu isi dari kontrak tersebut sehingga terjadi berbagai tindakan eksploitatif terhadap mereka; -
Penyiksaan pekerja perikanan asal Tiongkok di Samoa Amerika di mana para pekerja tersebut kerap kali mendapatkan penyiksaan fisik ekstrim yang mereka dapatkan dari awak kapal tempat mereka bekerja;
-
Kasus eksploitasi pekerja di kapal „the Oyang 70‟ asal Korea;
-
Kasus awak kapal „Hsieh Ta‟ Longliner Tuna yang mendapatkan penyiksaan dari kapten dan kru kapal;
185
-
Kasus-kasus eksploitasi pekerja perikanan di Afrika yang dipekerjakan dalam kondisi yang tidak layak;
-
Kasus pekerja perikanan Indonesia di Trinidad and Tobago dan Pantai Gading yang ditelantarkan dan gajinya tidak dibayarkan.
2. Instrumen-instrumen hukum internasional telah banyak dibuat untuk memberikan perlindungan terhadap para pekerja migran bidang perikanan ini. Secara umum para pekerja migran bidang perikanan masuk dalam kategori perlindungan pekerja migran yang diatur dalam International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families 2000 yang mengatur perlindungan dan ketentuan dasar bagi pekerja migran dan keluarganya. Namun, pengaturan secara khusus terkait pekerjaan di bidang perikanan ini telah diatur dalam berbagai instrument internasional yang disusun oleh ILO, IMO atau FAO. Berbagai
instrument
Convention
on
internasional
Standards
of
terkait
yaitu
Training,
International
Certification
and
Watchkeeping for Fishing Vessel (STCW-F) 1995, Seaferer‟s Identity Documents Convention 2003, Recruitment and Placement of
Seafarers
Convention
1996,
Repatriation
of
Seafarers
Convention (Revised) 1987, Health Protection and Medical Care (Seafarers)
Convention
1987,
Minimum
Age
(Fishermen)
Convention 1959, Seafarers Hours of Work and the Manning of Ships Convention 1996, Accommodation of Crews (Fishermen) Convention
1966
beserta
ketentuan
tambahannya
yaitu
186
Accommodation of Crews (Supplementary Provisions) Convention 1970, Social Security (Seafarers) Convention (Revised) 1987, Social Security (Minimum Standards) Convention 1952, Safety Recommendations for Decked Fishing Vessels of Less than 12 metres in Length and Undecked Fishing Vessels, dan pada tahun 2007 telah disahkan sebuah konvensi yang konsen mengatur pekerjaan di bidang perikanan yaitu Work in Fishing Convention 2007 beserta rekomendasinya. 3. Pengaturan terhadap pelaksanaan penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri secara umum adalah Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM. 84 Tahun 2013 tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal, dan yang paling khusus mengatur penempatan dan perlindungan pelaut perikanan di kapal asing adalah Peraturan Kepala BNP2TKI PER/03/KA/I/2013 tentang Tata Cara Penempatan dan Perlindungan TKI Pelaut Perikanan di Kapal Berbendera Asing. Namun, instrument hukum nasional tersebut belum memadai karena belum didukung oleh ratifikasi konvensi internasional terkait. Konvensi yang sangat penting terkait perlindungan pekerja migran bidang perikanan yang belum diratifikasi Indonesia adalah Standard of Training and Certification for Watchkeeping Personnel at Fishing Vessel (STCWF) 1995 dan Work in Fishing Convention 2007. Jadi, jika dilihat dari
187
segi perlindungan hukum bagi tenaga kerja Indonesia di kapal perikanan asing saat ini masih sangat lemah dan terbatas, sehingga konsekuensinya para pekerja mudah dieksploitasi dan menjadi korban berbagai masalah ketenagakerjaan. Dari segi pelaksanaan perlindungan pekerja perikanan Indonesia di kapal perikanan asing juga masih sangat lemah. Perwakilan Pemerintah Indonesia di luar negeri juga belum mampu melaksanakan sistem preventif untuk mencegah bertambahnya permasalahan yang dihadapi oleh pekerja perikanan asal Indonesia, hal ini juga disebabkan
karena
belum
adanya
sistem
perlindungan
komprehensif yang dapat mendukung monitoring keberadaan dan kondisi setiap pekerja.
5.2.
Saran-saran
1. Kedutaan dan konsulat di negara tujuan pekerja migran bidang perikanan harus memiliki sumber daya yang lebih baik dan staf yang lebih terlatih untuk melaksanakan proses pengawasan dan memberikan bantuan hukum kepada para pekerja, serta untuk melakukan evaluasi lebih ketat terhadap pihak agen tenaga kerja mitra dan pihak perusahaan kapal perikanan. Hal ini diperlukan untuk mengimplementasikan tanggungjawab pemerintah untuk melindungi warga negaranya yang bekerja di kapal perikanan asing di luar negeri.
188
2. Melaksanakan pengembangan peraturan ketenagakerjaan nasional dan kode etik perikanan di setiap negara, termasuk mekanisme penegakannya. Peraturan setiap negara diharapkan mencakup kewajiban
untuk
mendaftarkan
pekerja
migran,
asuransi
kecelakaan, ketentuan medis, dan hak-hak fundamental pekerja migran bidang perikanan lainnya. 3. Melakukan integrasi pedoman perlindungan dan keselamatan pekerja migran dari berbagai instansi seperti ILO, IMO dan FAO, serta penggabungan panduan ini ke dalam kebijakan nasional setiap negara. 4. Membentuk sistem tanggung jawab yang jelas bagi petugas di setiap pelabuhan di setiap negara terhadap pengawasan kondisi kerja, kebersihan kapal, kesehatan pekerja, dan penanganan masalah-masalah yang muncul. 5. Di
tingkat
nasional
dalam
negeri,
untuk
menghindari
dan
mengurangi terjadinya penyimpangan dalam penempatan Calon TKI/TKI di kapal perikanan asing di Luar Negeri hendaknya Pemerintah
dan
PPTKIS
lebih
mengintensifkan
sosialisasi
peraturan perundang-undangan bagi TKI perikanan yang akan bekerja ke luar negeri. 6. Memperjelas
kewenangan
hukum
antara
BNP2TKI
dan
Kementerian Tenaga kerja dan Transmigrasi yang selama ini tidak dijelaskan di dalam kerangka kerja undang-undang. Contohnya, Kementerian
Tenaga
kerja
dan
Transmigrasi
mempunyai
189
wewenang untuk membuat kebijakan dan BNP2TKI berwenang untuk mengeksekusi dan melaksanakannya. Namun, Pasal 94 UU No. 39 tahun 2004 yang memberikan mandat dalam pembentukan BNP2TKI tidak dengan jelas menentukan tingkat kerja sama antara Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan BNP2TKI. Tingkat koordinasi dan kerjasama yang sangat minim antara dua badan
pemerintahan
untuk
memberikan
perlindungan
TKI
menghambat perbaikan manajemen migrasi tenaga kerja di Indonesia dan memberikan dampak merugikan bagi TKI pelaut perikanan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Peraturan Perundang-Undangan Nasional & Internasional Accommodation of Crews (Fishermen) Convention 1966; Accommodation of Crews (Supplementary Provisions) Convention 1970.
190
Convention on the Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean. International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of their Families 2000. International Convention on Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Seafarers (STCW) 1978. International Convention on Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel (STCW-F) 1995. Maritime Labour Convention 2006. Minimum Age Convention 1973. Minimum Age (Fishermen) Convention 1959. Migration for Employment Convention (Revised) 1949. Protocol Against Smuggling of Migrants by Land, Sea and Air 2000. Protocol of 1993 relating to the Convention for the Safety of Fishing Vessels. Repatriation of Seafarers Convention (Revised) 1987. Safety Recommendations for Decked Fishing Vessels of Less than 12 metres in Length and Undecked Fishing Vessels.
191
Seaferer‟s Identity Documents Convention 2003, Recruitment and Placement of Seafarers Convention 1996. Seafarers Hours of Work and the Manning of Ships Convention 1996. Social Security (Seafarers) Convention (Revised) 1987. Social Security (Minimum Standards) Convention 1952. Torremolinos International Convention for the Safety of Fishing Vessels 1977. United Nations Convention on the Law of the Sea 1982. Work in Fishing Convention 2007. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek Van Koophandel Voor Indonesie, Staatsblad tahun 1847 No. 43). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 Tentang Karantina Laut. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Undang-undang nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
192
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 1998 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal. Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2000 tentang Kepelautan. Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 2002 tentang Usaha Perikanan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia nomor PER.05/MEN/2008 tentang Perikanan Tangkap. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 46 Tahun 1996 tentang Sertifikasi Kelaiklautan Kapal Penangkap Ikan. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor KEP.60/MEN/2001 tentang Penataan Penggunaan Kapal Perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Peraturan Kepala BNP2TKI PER/03/KA/I/2013 tentang Tata Cara Penempatan dan Perlindungan TKI Pelaut Perikanan di Kapal Berbendera Asing.
2. Buku
193
Anugerah Dewantara. 2004. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Wanita. Skripsi. Surakarta: Fakultas Ekonomi UNS. Ayodhya, A.U. 1972. Suatu Pengenalan Tentang Kapal Penangkap Ikan, Bogor: Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Cholid Narbuko dan Abu Achmadi. 1997. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Pustaka. Djoko Triyanto. 2005. Hukum Kapal. Jakarta: CV. Mandar Maju. Eichelberger M. Clark. 1965. The United Nations: the First 20 Years. New York: Harper & Low Publishers. Elwin Tobing. 2003. Pendidikan, Pasar Pekerja dan Kewiraswastaan. Jakarta: The Prospect & the Indonesian Institute. Everett S. Lee. 1992. Teori Migrasi (Terjemahan). Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada. Graeme Hugo. 1995. Illegal Migration in Asia. Cambridge: Cambridge University Press. I Dewa Rai Astawa. 2006. Aspek Perlindungan Hukum Hak-Hak Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Tesis. Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro: Semarang.
194
Indradi
Setianto.
2007.
Kapal
Perikanan.
Semarang:
Universitas
Diponegoro. Irzal Effendi dan Wawan Oktariza. 2006. Manajemen Agribisnis Perikanan, Jakarta: PT. Penebar Swadaya. John Budd W. 2005. Labor Relations (Striking a Balance). New York: Mc. Graw-Hill. John R. Weeks. 1998. Population: An Introduction to Concepts and Issues, Edisi Ketujuh. California: Wadsworth Publishing Co. L. Oppenheim. 1960. International Law: A Treaties. Longmans Green & Company: London. Lalu Husni. 2000. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Raja Grafindo Persada: Jakarta. Mandak Y. 2004. Tingkat Kesejahteraan Nelayan Hand Line di Desa Faer dan Letman Kecamatan Pulau-Pulau Kei Kecil. Skripsi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon. Mantra Ida Bagus. 1985. Penduduk Indonesia dalam Dinamika Migrasi 1971-1980. Yogyakarta: Dua Dimensi. Martin, P.L. 2003. Sustainable Migration Policies in A Globalizing World. Genewa: International Institute for Labour Studies.
195
Mieke Komar Kantaatmadja. 1988. Lembaga Jaminan Kebendaan Pesawat Udara ditinjau dari Hukum Udara. Disertasi, Universitas Padjajaran Bandung. Nurhakim, S. 2002. Peran Penelitian dan Pengembangan dalam Pembangunan Perikanan. Jakarta: Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia (ISPIKANI). Pressat R. 1985. The Dictionary of Demography. Oxford: Basil Blackwell. Robert T. Lackey. 2005. Fisheries: History, Science, and Management dalam Water Encyclopedia: Surface and Agricultural Water, Jay H. Lehr and Jack Keeley, New York: John Wiley and Sons, Inc. Publishers. Safrida. 2008. Dampak Kebijakan Migrasi Terhadap Pasar Kerja dan Perekonomian di Indonesia. Disertasi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sendjun H. Manulang. 1990. Pokok Pokok Hukum Ketenagakerjaan. Jakarta: Rineka Cipta. Soejono Soekanto dan Sri Mamudji. 2007. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sony Sumarsono. 2003. Ekonomi Manajemen Sumber Daya Manusia dan Ketenagakerjaan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
196
Sri
Handono.
2004.
Analisis
Faktor-Faktor
yang
Mempengaruhi
Penyerapan Tenaga Kerja pada Sentra Industri Kecil yang telah Dibina di Kabupaten Sukoharjo. Skripsi. Surakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Sebelas Maret. Supardi Ardidja. 2007. Kapal Penangkap Ikan. Jakarta: Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta. Sution Usman, Prakoso Djoko dan Pramono Hari. 1980. Hukum Pengangkutan di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Tribawono. 2002. Hukum Perikanan Indonesia. Bandung: Penerbit Citra Adityia Bukti. Tuti
Irawaty.
2011.
Pemanfaatan
Migrasi Remitan
Internasional di
Desa
Perempuan Pusakajaya,
Desa
dan
Kecamatan
Pusakajaya, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Skripsi, Institut Pertanian Bogor. Viky Ratna Wulandari. 2007. Pelaksanaan Perlindungan Hukum Tenaga Kerja di Kapal Terhadap Resiko Bahaya di Laut pada PT. Pelayaran
Indonesia
(Pelni)
Semarang.
Skripsi,
Semarang:
Universitas Negeri Semarang.
197
3. Jurnal, Laporan, Publikasi dan Paper Aswatini
Raharto.
1997.
Aspek-aspek
Sosio-Demografi
Migrasi
Internasional dari Indonesia. Warta Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia No. 2 tahun 1997. Bassina Farbenblum, dkk. 2013. Akses Buruh Migran Terhadap Keadilan di Negara Asal: Studi Kasus Indonesia. Open Society Foundations: Amerika Serikat. Castles Stephen, International Migration at the Beginning of the TwentyFirst Century. International Social Science Journal, Vol. 165. Christina Stringer, dkk. 2011. Not in New Zealand‟s Waters, Surely? Labour and Human Rights Abuses Aboard Foreign Fishing Vessels. New Zealand Asia Institute: New Zealand. Djodjo Suwardjo, dkk. Kajian Tingkat Kecelakaan Fatal, Pencegahan dan Mitigasi Kecelakaan Kapal-Kapal Penangkap Ikan yang Berbasis Operasi Di PPP Tegalsari, PPN Pekalongan dan PPS Cilacap. Jurnal Teknologi Perikanan & Kelautan Universitas Pertanian Bogor Vol. 10, No. 1 tahun 2010. Elisabeth Dewi, Migrasi Internasional dan Politik Luar Negeri Indonesia. Paper yang dipresentasikan di FKKLN “Migrasi dan Pembangunan: Kondisi Global serta Peluang dan Tantangannya bagi Kebijakan Luar Negeri” di Bandung pada Desember 2012.
198
Environmental Justice Foundation. 2010. All at Sea: The Abuse of Human Rights Aboard Illegal Fishing Vessels. EJF: London. FAO, IMO & ILO. 2012. Safety Recommendations for Decked Fishing Vessels of Less than 12 metres in Length and Undecked Fishing Vessels. Food and Agriculture Organization of the United Nations: Roma, Italia. Food and Agriculture Organization. 2009. National Fishery Sector Overview: Thailand. Fisheries and Aquaculture Department. FAO: Roma, Italia. Food and Agriculture Organization. 2012. The state of world fisheries and aquaculture 2012. Fisheries and Aquaculture Department. FAO: Roma, Italia. Greenpeace. 2013. The Failure of the Global Tuna Longline Fisheries. Out of Line Report Greenpeace: Belanda. Ikawati & Damar Budi Purnomo. 2014. Defisit Pelaut di Negeri Bahari. Jurnal Maritim Edisi 10 Februari 2014. Jakarta: Indonesia. Indah Budiarti. 2011. Serikat Pekerja, Mengapa Penting? Publikasi Public Services International: Indonesia. International Labour Organization. 2013. Employment Practices and Working Conditions in Thailand‟s Fishing Sector. Asian Research
199
Center for Migration. Institute of Asian Studies Chulalongkorn University: Thailand. International Organization for Migration. 2010. Migrasi Tenaga Kerja dari Indonesia. Publikasi IOM Jakarta. Indonesia. International Transport Workers Federation. Dapatkah Anda mendengar Kami? Buletin Pelaut No. 25 tahun 2011. ITF: London Inggris. International Transport Workers' Federation. 2006. Out of Sight, Out of Mind: Seafarers, Fishers & Human Rights. ITF: Amerika. Komite Pengarah Internasional Untuk Kampanye Ratifikasi Konvensi HakHak Pekerja Migran. Petunjuk Ratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. April 2009. Lalu Husni. 2011. Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Mimbar Hukum Vol. 23 Nomor 1 Februari 2011. Monintja, D. Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir Dalam Bidang Perikanan Tangkap. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu tahun 2001. Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir, Institut Pertanian Bogor. Muhammad Ainul Huda, dkk. Implementasi Regulasi Nasional Terkait Keselamatan Kapal Penangkap Ikan di PPN Pekalongan. Journal
200
of Fisheries Resources Utilization Management and Technology Volume 1, Nomor 1, tahun 2012. Osaki, K. Migrant Remittances in Thailand: Economic Necessity or Social Norm? Journal of Population Research, Edisi XX Vol. 2 tahun 2003. Solimano, A. International Migration and the Global Economic Order. Policy Research Working Paper tahun 2001. Washington D.C.: World Bank Development Research Group. Stark O. & Bloom D. E. The New Economics of Labor Migration. American Economic Review, Edisi 75 Vol. 2 tahun 1985.
4. Sumber Internet BNPTKI. 2012. SOP Perlindungan TKI 2012 Diperkuat, Layanan Pengaduan Dipercepat. Dimuat dalam wesite resmi BNP2TKI http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/6385-sopperlindungan-tki-2012-diperkuat-layanan-pengaduandipercepat.html. Diakses pada tanggal 14 Juli 2014 pukul 22.32 Wita. BNP2TKI. 2013. 187 ABK Indonesia yang Terdampar di Trinidad dan Abijidan Sudah Tiba. Dimuat dalam website resmi BN2TKI http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/7914-187-abkindonesia-yang-terdampar-di-trinidad-dan-abijidan-sudah-tiba.html diakses pada tanggal 17 Juni 2014 pukul 22.48 Wita.
201
Binapenta. International Labour Organization. Dimuat di website resmi Binapenta Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja
http://www.binapenta.go.id/mod.php?i=85
diakses
pada
tanggal 17 Maret 2014 pukul 19.04 Wita. Direktorat Kapal Perikanan dan Alat Penangkap Ikan. 2011. Keselamatan Kerja Awak Kapal Perikanan Untuk Siapa? Dimuat dalam http://kapi.kkp.go.id/blog/2011/08/keselamatan-kerja-awak-kapalperikanan-untuk-siapa diakses tanggal 25 Februari 2014 pukul 17.16 Wita. Direktorat Kapal Perikanan dan Alat Penangkap Ikan. 2012. Kasus Awak Kapal Perikan Indonesia di Luar Negeri. Dimuat dalam website http://kapi.kkp.go.id/news/2012/04/kasus-awak-kapal-perikananindonesia-di-luar-negeri diakses tanggal 25 Februari 2014 pukul 14.45 Wita. Imam Bukhori. 2014. BNP2TKI - HNSI Tandatangani MoU Peningkatan Kompetensi TKI Pelaut Perikanan. Dimuat di website resmi BNP2TKI
http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/9772-
bnp2tki-hnsi-tandatangani-mou-peningkatan-kompetensi-tki-pelautperikanan.html diakses pada tanggal 17 Juli 2014 pukul 18.47 Wita. Imam Bukhori. 2014. Perlindungan TKI Pelaut dan Pelaut Perikanan Terus Diperkuat.
Dimuat
dalam
website
resmi
BNP2TKI
http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/9675-perlindungan-
202
tki-pelaut-dan-pelaut-perikanan-terus-diperkuat.html diakses pada tanggal 17 Juli 2014 pukul 18.37 Wita. International Labour Organization. 2014. ILO Body Adopts New Minimum Monthly Wage For Seafarers. Dimuat dalam website resmi ILO http://www.ilo.org/suva/information-resources/publicinformation/press-releases/WCMS_237169/lang--en/index.htm diakses pada tanggal 10 Juli 2014 pukul 15.58 Wita. International Transport Workers Federation. 2013. About the ITF. Dimuat pada
website
resmi
ITF
http://www.itfglobal.org/about-
us/moreabout.cfm diakses pada tanggal 11 Juli 2014 pukul 14.21 Wita. Kesatuan Pelaut Indonesia. 2013. Pengorganisasian Pekerja Sektor Perikanan. Dimuat dalam website resmi Kesatuan Pelaut Indonesia http://www.kpiunion.org/news.php?section=NEW&id=05f971b5ec19 6b8c65b75d2ef8267331 diakses pada tanggal 15 Juli 2014 pukul 02.37 Wita. Kompas. 2012. Indonesia Perlu Lindungi TKI Pelaut Kapal Ikan. Dimuat http://health.kompas.com/read/2012/12/18/20102114/Indonesia.Per lu.Lindungi.TKI.Pelaut.Kapal.Ikan diakses tanggal 03 Maret 2014 pukul 19.17 Wita.
203
Pembentukan International Labour Organization ILO, dimuat di website resmi
http://www.ilo.org/global/about-the-ilo/lang--en/index.htm
diakses pada tanggal 17 Maret 2014 pukul 18.29 Wita. Pusat Sumber Daya Buruh Migran. 2014. Mengintip Masalah Penempatan TKI
Pelaut.
Dimuat
dalam
website
resmi
http://buruhmigran.or.id/2014/05/22/mengintip-masalahpenempatan-tki-pelaut/ diakses pada tanggal 14 Juli 2014 pukul 02.57 Wita. Tentang Sejarah International Labour Organization, dimuat di website http://www.ilo.org/global/about-the-ilo/history/lang--en/index.htm diakses pada tanggal 17 Maret 2014 pukul 18.40 Wita.
204