1
BAB I PENDAHULUAN
A. latar Belakang Pekerja migran, khususnya dalam bidang perikanan, menjadi salah satu subjek penting yang mendapatkan perhatian khusus oleh International Labour Organization atau yang biasa disebut dengan ILO. Hal tersebut dikarenakan kegiatan penangkapan ikan di laut, merupakan salah satu pekerjaan yang paling membahayakan di dunia. Profesi pelaut kapal penangkap ikan memiliki karakteristik pekerjaan “3d” yakni : membahayakan (dangerous), kotor (dirty), dan sulit (difficult).1 Dengan ketiga sifat pekerjaan tersebut ditambah faktor ukuran kapal yang umumnya relatif kecil pada kondisi cuaca dan gelombang laut besar yang semakin tidak menentu akibat adanya pemanasan global, berpotensi untuk meningkatkan jumlah kecelakaan kapal penangkap ikan itu sendiri. Perlindungan pekerja bagi pekerja migran bidang perikanan, juga menjadi salah satu fokus dari ILO. Hal tersebut dapat terlihat dari misi utama ILO secara umum yakni untuk meningkatkan kondisi-kondisi pekerja dengan cara seperti : 1. Mengatur jam kerja;
1
Food and Agriiculture Organization (FAO) Fisheries Department Staff, The State of World Fisheries and Aquaculture 2000, FAO, hlm.41
2
2. Melindungi para pekerja dari penyakit, penyakit dan luka yang timbul dari pekerjaan; 3. Melindungi anak-anak; 4. Menyediakan pekerjaan bagi para usia lanjut dan luka; 5. Melindungi kepentingan para pekerja ketika dipekerjakan diluar dari negara-negara mereka; dan 6. Memastikan jaminan sosial bagi para pekerja.2 Bila berbicara mengenai pekerjaan di bidang perikanan, ILO juga sudah sejak lama menunjukkan keseriusannya yang mana dapat terlihat sejak tahun 1920, ketika dilakukannya sidang ke 2 International Labour Conference (ILC) di Genoa, Italia. Konferensi tersebut mengambil sebuah rekomendasi mengenai batasan terhadap jam kerja dalam industri penangkapan ikan. Kemudian, International Labour Conference (ILC) juga telah mengadopsi tiga Konvensi yang berkaitan dengan penangkapan ikan seperti Minimum Age (Fishermen) Convention, 1959 (No.112), Medical Examination (Fishermen) Convention, 1959 (No.113), dan Fishermen’s Articles of Agreement Convention, 1959 (No.114). Masuk kedalam ruang lingkup nasional, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi beberapa Konvensi khusus yang mendukung pekerjaan layak untuk pekerja migran secara umum, contoh nya Convention Concerning Forced or Compulsory Labour, 1930 (No.29) , Convention Concerning the Abolition of
2
International Collective in Support of Fishworkers (ICSF), 2009, Memahami Pekerjaan dalam ILO 188 : Work in Fishing Convention 2007, ICSF, Chennai, hlm.12
3
Forced Labour, 1957 (No.105) , Convention Concerning Discrimination in Respect of Employment and Occupation or Discrimination (Employment and Occupation) Convention, 1958 (No.111) dan 5 Konvensi ILO lainnya3, beserta Konvensi PBB tentang perlindungan bagi pekerja migran. Tindakan ratifikasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terkait perlindungan pekerja migran merupakan suatu langkah yang sangat baik, tetapi hal tersebut bukan berarti Pemerintah Indonesia telah melindungi para pekerja migran nya dalam seluruh aspek yang ada, seperti pekerjaan di sektor perikanan sebagaimana menjadi fokus dari penelitian ini, masih kurang mendapatkan perhatian dari Pemerintah. Berdasarkan data BNP2TKI, pada tahun 2011, terdapat 4.383 orang yang berprofesi sebagai pekerja kapal perikanan. Jumlah tersebut bertambah menjadi 14.133 orang pada tahun 2012, dan menjadi 15.454 orang pada tahun 2013.4 Menurut Indonesian Fisheries Workers (IFW) atau organisasi pekerja pelaut perikanan Indonesia, data tersebut menunjukkan bahwa tenaga kerja Indonesia yang berprofesi di sektor perikanan membutuhkan perhatian lebih dalam kaitannya dengan perlindungan hak-hak mereka.
3
Lima Konvensi lain tersebut adalah : Freedom of Association and Protection of the Right to Organise Convention, 1948 (No.87) ; Right to Organise and Collective Bargaining Convention, 1951 (No.98) ; Convention concerning Equal Remuneration for Men and Women Workers for Work of Equal Value or Equal Remuneration Convention ; Convention concerning Minimum Age for Admission to Employment, 1993 (No.138) ; dan Convention concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour or Worst Forms of Child Labour Convention, 1999 (No.182) 4 Indonesian Fisheries Workers (IFW) minta Pemerintah ratifikasi Konvensi ILO No.188 tahun 2007, 2015 (http://www.bnp2tki.go.id/read/9226/IFW-Minta-Pemerintah-Ratifikasi-KonvensiILO-No.-188-Tahun-2007) (diakses 7/10/2015 pukul 1:23)
4
Kemudian, dalam rentang waktu tahun 2010 hingga tahun 2014 saja, masih banyak kasus yang korbannya terdiri dari para pekerja asal Indonesia yang berkutat di industri perikanan. Seperti permasalahan upah. Upah para ABK tersebut tak kunjung dibayarkan, dengan dalih bahwa dalam klausul kontrak telah dinyatakan bahwa pembayaran upah akan dilakukan pada saat kapal bersandar di pelabuhan, tetapi pada kenyataannya, kapal yang mereka tumpangi jarang sandar, karena kapal tidak memiliki jadwal operasi (long lane) yang di dalamnya juga berisi jadwal kapan saja kapal akan bersandar, sehingga upah yang seharusnya menjadi hak atas hasil jerih payah mereka tidak dapat terpenuhi. Lalu, perlakuan kasar yang kerap kali diterima oleh mereka. Kapten dan Mandor kapal tidak segan untuk memukul para ABK tersebut dengan balok, dikarenakan hasil kerja para ABK yang tidak memenuhi ekspektasi mereka. Jelas saja hasil kerja para ABK tidak memuaskan, karena memang pada dasarnya mereka tidak memiliki pengalaman kerja di laut. Bekerja sepanjang hari, 20 jam dalam sehari, atau 140 jam seminggu tanpa hari libur walau sehari pun. Akibatnya, para ABK tersebut menderita back pain injury yang disebabkan oleh terlalu lama berdiri dan kelelahan yang mendera mereka. Bahkan ketika mereka sakit, mereka tetap dipaksa untuk bekerja5
Utami Diah Kusumawati, 2015, “Cerita perih ABK : dari disiksa hingga tak dapat upah melaut”, CNN Indonesia (http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150521125200-20-54766/cerita-perihabk-dari-disiksa-hingga-tak-dapat-upah-melaut/) (diakses 7/10/2015 pukul 1:30) 5
5
Contoh kasus nyata lainnya dari perlakuan tidak manusiawi layaknya “perbudakan” ini juga terjadi kepada seorang pria asal Tegal, Jawa Tengah bernama Imam Syafi’i. Imam merupakan mantan satpam di sebuah perusahaan yang bekerja sebagai anak buah kapal dari tahun 2011 hingga tahun 2013. Imam diberangkatkan oleh perusahaan PT Karlwei Multi Global (Kartigo) yang bekerja sama dengan perusahaan asal Taiwan, Kwo Jeng Trading Co Ltd. Selama 2 tahun, Imam beserta 203 orang lainnya yang bekerja di kapal RICH 07 milik perusahaan asal Taiwan tersebut tanpa sandar dan tanpa dibayarkan upahnya sama sekali. Imam menuturkan, pada hari-hari biasa, mereka hanya diberikan makanan sebatas rebusan, sayur, kacang hijau, dan nasi polos. Makanan tersebut pun hanya dihidangkan selama 2 kali dalam waktu 24 jam. Bahan makanan tersebut jelas tidak akan memenuhi kebutuhan gizi para ABK, dan hanya berfungsi untuk sekedar menghilangkan rasa lapar. Hanya pada peringatan imlek sajalah Imam beserta rekan-rekan ABK lainnya diperbolehkan untuk makan daging ayam dan daging babi. Imam menambahkan, persoalan kesehatan dianggap seakan tidak berarti. Setiap luka bekas siksaan tak pernah diberikan obat, dan hampir dari semua luka yang diderita, sembuh dengan sendirinya. Masalah sanitasi pun seakan tidak diperhatikan. Mereka tidak diperbolehkan menggunakan air bersih, hanya juragan kapal dan penjaga mesin yang diperbolehkan menggunakan air bersih. Para ABK pada akhirnya harus mandi menggunakan air laut, yang mana sabun dan sampo yang mereka pergunakan didapat dengan cara memotong gaji
6
mereka, sehingga mereka merasa lebih baik mandi dengan tidak menggunakan sampo, atau tidak mandi sama sekali.6 Kemudian, permasalahan mengenai awak kapal penangkap ikan (AKPI) ini juga dirasakan ketika kontrak kerja nya telah habis, atau di dalam masa purna penempatan, dimana ketika proses pemulangan (repatriasi) AKPI ini, mereka dihadapkan dengan berbagai masalah keamanan dan kenyamanan di dalam perjalanan pulang, yang mana tidak jarang menuntut AKPI untuk mengeluarkan biaya lebih untuk membiayai kepulangannya, padahal urusan terkait biaya pemulangan (repatriasi) ini sudah sepatutnya menjadi kewajiban dari pihak perusahaan agen perekrutan ataupun dari pemilik/operator kapal.7 Segala perlakuan tidak manusiawi yang menimpa Imam dan rekan-rekan ABK asal Indonesia lainnya ini, sudah pernah dibawa ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat dengan PT Karltigo sebagai tersangka utama, dengan hasil putusan sang pemilik perusahaan hanya dihukum ringan akibat jeratan soal pemalsuan dokumen.8 Lebih lanjut, dapat dipastikan akan muncul pertanyaan mengapa penulis dalam hal ini mempergunakan terminologi “perbudakan” untuk mendefinisikan perlakuan yang tidak manusiawi yang menimpa awak kapal penangkap ikan
Sandy Indra Pratama, 2015, “Rayuan permen bagi budak Indonesia di kapal neraka”, CNN Indonesia (http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150417103831-20-47348/rayuan-permenbagi-budak-indonesia-di-kapal-neraka/) (diakses 7/10/2015 pukul 2:20) 7 Muhammad Nur, 2014, Perlindungan Hukum Internasional Pekerja Migran Bidang Perikanan di Kapal Perikanan Asing, FH Universitas Hasanuddin, Makassar, hlm.162 8 Sandy Indra Pratama, 2015, “Betapa Mudahnya Menjadi Budak di Kapal Asing”, CNN Indonesia (http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150421113937-20-48097/betapa-mudahnya-menjadibudak-di-kapal-asing/) (Diakses 1/10/2015 Pukul 10:18) 6
7
(AKPI) asal Indonesia. Sebagaimana disebutkan di dalam Article 1(a) of the 1926 Convention to Suppress the Slave Trade and Slavery yang menyatakan “Slavery is the status or condition of a person over whom any or all of the powers attaching to the right of ownership are exercised”. Lalu, penulis juga mengutip pendapat dari Kevin Bales, President of the NGO Free the Slaves, yang dimuat di dalam publikasi yang dibuat oleh Jean Allain9, yang menyatakan bahwa terkait dengan perbudakan, terdapat tiga dimensi kunci, yakni “........loss of free will, the appropriation of labour power, and the use or threat or violence...........”. Article 24 dari Universal Declaration of Human Rights juga menyatakan bahwa ”Everyone has the rights to rest and leisure, including reasonable limitation of working hours and periodic holidays with pay”. Kemudian, berdasarkan ketentuan di dalam Maritime Labour Convention, spesifik merujuk kepada ketentuan dalam Article III(b) yang intinya adalah seluruh bentuk dari kerja paksa harus dihapuskan, dan juga di dalam Article IV yang menyatakan bahwa : “Seafarers’ Employment and Social Rights Article IV 1. Every seafarer has the right to a safe and secure workplace that complies with safety standards. 2. Every seafarer has a right to fair terms of employment. 3. Every seafarer has a right to decent working and living conditions on board ship. 4. Every seafarer has a right to health protection, medical care, welfare measures and other forms of social protection.
Jean Allain, 2007, “The Definition of “Slavery” in General International Law and the Crime of Enslavement within the Rome Statute”, Guest Lecture Series of the Office of the Prosecutor, The Hague, hlm. 2 9
8
5. Each Member shall ensure, within the limits of its jurisdiction, that the seafarers’ employment and social rights set out in the preceding paragraphs of this Article are fully implemented in accordance with the requirements of this Convention. Unless specified otherwise in the Convention, such implementation may be achieved through national laws or regulations, through applicable collective bargaining agreements or through other measures or in practice.” Berdasarkan seluruh penjelasan diatas, Penulis berpendapat bahwa perlakuan yang diterima oleh Imam Syafi’i dan rekan-rekan telah masuk kedalam unsur-unsur perbudakan dan juga penulis berpendapat bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak dasar dari pekerja sektor kelautan. Lalu, dalam hal ini penulis perlu juga untuk menekankan maksud penulis di dalam penggunaan terminologi “perbudakan”, dimana penulis tidak mengartikan definisi dari perbudakan secara harfiah, melainkan hanya merujuk kepada unsur-unsur yang terdapat di dalamnya yang mana kemudian dikaitkan dengan perlakuan tidak manusiawi yang diterima oleh awak kapal penangkap ikan (AKPI) asal Indonesia yang bekerja di kapal penangkap ikan asing yang mana menjadi topik dari Penulisan Hukum yang penulis angkat. Lebih lanjut, pada dasarnya ILO sendiri telah mengeluarkan Work in Fishing Convention, 2007 (No.188), sebagai pelengkap dari Maritime Law Convention (MLC) 2006. Konvensi ini dibuat untuk memastikan bahwa pelaut yang bekerja di industri perikanan di seluruh dunia memiliki akses dan kondisi kerja dan kesejahteraan yang layak.10 Konvensi ini dapat menjadi salah satu pedoman yang berlaku untuk semua jenis industri perikanan tangkap komersial
10
Federasi Buruh Transport Internasional (ITF), 2007, Konvensi ILO tentang Bekerja di Industri Perikanan, Panduan untuk Serikat Pekerja, , London, hlm.3
9
dan dapat dijadikan standar minimum yang dapat diterima yang diharapkan dapat melindungi pekerja/pelaut perikanan dalam setiap pekerjaan yang mereka lakukan. setidaknya dengan berlakunya Konvensi ini, telah ada acuan nyata bagi setiap negara ketika hendak merancang peraturan terkait pekerja/pelaut di sektor perikanan. Secara umum, baru ada 6 negara yang meratifikasi Konvensi No.188 tersebut, yaitu Argentina, Bosnia dan Herzegovina, Perancis, Kongo, Maroko, dan Afrika Selatan. Konvensi ini tidak akan berlaku sampai Konvensi ini diratifikasi oleh 10 negara anggota, dimana 8 dari 10 negara yang meratifikasi Konvensi tersebut harus negara pesisir. Mengutip pendapat dari International Transport Workers’ Federation (ITF) bahwa akan sangat penting apabila lebih banyak negara meratifikasi Work in Fishing Convention, 2007 (No.188), yang mana dapat dimulai dari pihak serikat pekerja dengan cara membujuk negaranya masing-masing untuk meratifikasi Work in Fishing Convention, 2007 (No.188).11 Bagi Indonesia sendiri, tindakan ratifikasi Work in Fishing Convention, 2007 (No.188) akan menjadi suatu langkah maju dalam perlindungan para pekerja migran di sektor perikanan. Seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan negara kepulauan, yang luas wilayah perairannya sebesar 2/3 dari total keseluruhan wilayah negara. Dengan adanya Indonesia didalam daftar negara yang meratifikasi Konvensi ILO No.188, akan menjadi sebuah preseden
11
Ibid.
10
yang baik bagi negara-negara lainnya untuk segera melakukan tindakan ratifikasi Work in Fishing Convention, 2007 (No.188). Berdasarkan fakta-fakta yang diungkapkan sebelumnya, menunjukkan bahwa masih banyaknya perlakuan tidak manusiawi layaknya “perbudakan” bagi para ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal penangkap ikan asing dan menunjukkan betapa lemahnya perlindungan hukum bagi para tenaga kerja Indonesia di sektor perikanan. Oleh karena itu, penulis ingin melakukan penelitian lebih dalam mengenai apa sajakah faktor penyebab masih terjadinya praktik “perbudakan” yang masih terjadi di era modern sekarang ini dan mencari tahu apakah dengan dilakukannya tindakan ratifikasi Work in Fishing Convention, 2007 (No.188) oleh Pemerintah Indonesia dapat menjadi suatu bentuk perlindungan baru bagi awak kapal penangkap ikan (AKPI) asal Indonesia yang bekerja di kapal penangkap ikan asing. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dalam penelitian ini Penulis akan menganalisis permasalahan berikut : 1. Apa sajakah faktor penyebab terjadinya praktik “perbudakan” yang kerap menimpa awak kapal penangkap ikan (AKPI) asal Indonesia yang bekerja di kapal penangkap ikan asing? 2. Apa arti penting ratifikasi Work in Fishing Convention, 2007 (No.188) bagi Pemerintah Indonesia dalam kaitannya dengan perlindungan bagi
11
awak kapal penangkap ikan (AKPI) asal Indonesia yang bekerja di kapal penangkap ikan asing? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut : 1. Tujuan Objektif a. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya praktik “perbudakan” yang kerap menimpa awak kapal penangkap ikan (AKPI) asal Indonesia yang bekerja di kapal penangkap ikan asing; dan b. untuk mengetahui arti penting ratifikasi Konvensi ILO No.188 tahun 2007 bagi Pemerintah Indonesia dalam kaitannya dengan perlindungan bagi awak kapal penangkap ikan (AKPI) asal Indonesia yang bekerja di kapal penangkap ikan asing. 2. Tujuan Subjektif Penulisan Hukum ini digunakan sebagai bahan untuk melengkapi persyaratan dalam menyelesaikan tugas akhir, sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. D. Keaslian Penelitian Untuk mengetahui keaslian penelitian, penulis telah melakukan penelusuran terhadap penelitian dari berbagai referensi dan hasil penelitian melalui penelusuran kepustakaan dan penelusuran internet yang dilakukan guna melihat
12
keaslian penelitian ini. Berdasarkan hasil penelusuran tersebut, penulis berhasil menemukan 1 penelitian yang sejenis dengan penelitian yang penulis sedang lakukan. Sepanjang pengetahuan penulis karya ilmiah tersebut hanya mengandung sebagian dari unsur-unsur dalam penelitian ini dan meskipun ada kesamaan dalam beberapa materi penelitian, tetapi terdapat perbedaan di dalam fokus kajiannya. Karya ilmiah tersebut adalah karya dari Muhammad Nur. Perlindungan Hukum internasional Pekerja Migran Bidang Perikanan di Kapal Perikanan Asing. Fokus dari penelitian tersebut adalah untuk mengetahui berbagai permasalahan yang dihadapi oleh Pekerja Migran Bidang Perikanan yang bekerja di kapal perikanan asing, dan mengkaji bentuk perlindungan yang semestinya diberikan terhadap pekerja di bidang tersebut yang telah dituangkan dalam berbagai instrument hukum internasional serta penerapannya di beberapa negara. Persamaan dengan penelitian ini terdapat di dalam objek yang diteliti, yaitu perlindungan kepada pekerja migran yang bekerja di kapal perikanan asing. Perbedaannya adalah bahwa penelitian yang dilakukan oleh penulis ini selain terfokus pada perlindungan para tenaga kerja Indonesia sektor perikanan yang bekerja di kapal penangkap ikan berbendera asing dan beroperasi di seluruh penjuru dunia, juga terfokus kepada sejauh mana tindakan ratifikasi Konvensi ILO No.188 akan berdampak kepada perlindungan para awak kapal penangkap ikan (AKPI) asal Indonesia, sedangkan penelitian sebelumnya lebih memfokuskan objek penelitiannya kepada jenis perlindungan yang didapat oleh pekerja migran sektor perikanan secara umum
13
Sehingga, menurut hemat penulis, penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan penelitian yang lebih spesifik dan bersifat komplementer dari penelitian sebelumnya, sehingga penulis berharap penelitian ini nantinya dapat menjadi tambahan atau pelengkap dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat akademis dan manfaat praktis sebagai berikut : 1. Manfaat Akademis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih dalam pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan memperkaya khasanah hukum bagi para akademisi maupun para praktisi terutama dalam bidang ilmu hukum laut secara khusus 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan rujukan dan bahan rekomendasi kepada Pemerintah Indonesia terkait dengan prospek ratifikasi ILO : Work In Fishing Convention No.188 2007, dan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu Pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan praktik “perbudakan” yang masih terjadi di era modern ini yang korbannya adalah awak kapal penangkap ikan (AKPI) asal Indonesia.