BAB II DATA & ANALISA
2. DATA 2.1 Pengertian Pekerja Anak Anak adalah seorang individu yang berusia di bawah 18 tahun, berdasarkan Konvensi PBB tahun 1989 tentang Hak-hak Anak dan Konvensi ILO no 182 tahun 1999 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Pekerjaan didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi mencakup semua pekerjaan yang dibayar dan beberapa tipe pekerjaan yang tidak dibayar, termasuk produksi barang-barang untuk dipakai sendiri. Apakah dibayar atau tidak, kegiatan atau pekerjaan ini dapat dilakukan baik di sektor formal ataupun informal dan di daerah perkotaan ataupun di pedesaan. Misalnya, anak yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan tak dibayar di usaha-usaha yang berorientasi pasar yang dioperasikan oleh seorang anggota keluarga yang tinggal di rumah yang sama dianggap terlibat dalam kegiatan ekonomi. Anak yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga atau melakukan jenis-jenis pekerjaan rumah tangga lainnya di rumah tangga orang lain juga dianggap aktif secara ekonomi. Namun, anak-anak yang melakukan tugas-tugas rumah di rumahnya sendiri tidak dianggap aktif secara ekonomi. Tidak semua anak yang terlibat dalam pekerjaan adalah pekerja anak. Tugas dan kegiatan yang sewajarnya dilakukan oleh anak-anak justru membuat anak memperoleh keterampilan dan memupuk rasa tanggung jawab mereka. Jadi, bukan kegiatan seperti ini yang harus kita berantas. 3
Menurut buku “Pekerja Anak, Pendidikan Anak Pekerja/Buruh, Skema Bantuan dan Komite Sekolah” maka pengertian pekerja anak adalah anak-anak yang harus terjun ke dunia kerja sebelum usia legal untuk bekerja yang mengakibatkan hak-hak mereka terampas.
Gambar 2.1: Potret Anak Indonesia, “Pekerja Anak Indonesia 2009”,ILO
4
Anak Bekerja (Child Work)
Pekerja Anak (Child Labour)
a) Pekerjaan ringan
a) Pekerjaan
b) Masih menghargai hak anak
berat,
berbahaya,
dan cenderung eksploitatif. b) Pencabutan hak anak
c) Bekerja sewaktu-waktu d) Terbuka dan legal
(Pendidikan, kesehatan) c) Waktu bekerja lama dan bersifat tetap d) Tertutup dan ilegal
Tabel 2.1: Perbedaan antara Anak yang Bekerja dengan Pekerja Anak menurut Serikat Pekerja/Buruh.
Saat seorang anak memasuki usia 15 tahun, ia tidak serta merta bisa dipekerjakan begitu saja dan langsung lepas dari kategori pekerja anak. Ia hanya diperbolehkan bekerja di bawah bimbingan yang memadai dan dalam pekerjaan yang tidak berbahaya atau termasuk dalam kategori Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Jadi, sekalipun sudah berusia 15 tahun atau lebih, seorang anak masih digolongkan sebagai pekerja anak apabila mereka melakukan pekerjaan yang berbahaya dan bersifat eksploitatif.
5
Usia Minimum secara Umum
Pekerjaan Ringan
Pekerjaan Berbahaya
Tidak kurang dari 15 tahun untuk periode awal
13-14 tahun
18 tahun (16 tahun dengan persyaratan tertentu)
Tabel 2.2: Batas Usia Minimum bagi Pekerja Anak. Pekerjaan ringan: Konvensi No. 138, Pasal 7, menyatakan bahwa pekerjaan ringan tidak boleh mengganggu kesehatan dan pertumbuhan anak, atau mengganggu sekolahnya serta partisipasinya dalam pelatihan kejuruan atau “kapasitas untuk memperoleh manfaat dari instruksi yang diterimanya”. Tugas yang dilaksanakan dalam pekerjaan ringan tidak boleh merupakan pekerjaan berbahaya dan tidak boleh lebih dari 14 jam per minggu. Pekerjaan berbahaya bagi anak adalah kegiatan atau pekerjaan apapun yang menurut sifat dan jenisnya, mempunyai atau dapat menimbulkan dampak yang merugikan terhadap keselamatan, kesehatan fisik ataupun mental, atau perkembangan moral anak-anak. Bahaya juga dapat ditimbulkan oleh beban kerja yang berlebihan, kondisi fisik pekerjaan, dan/atau intensitas kerja dalam hal durasi atau jam kerja walaupun kegiatan atau pekerjaan itu sendiri diketahui tidak berbahaya atau “aman”.
2.2 Bentuk Bentuk Pekerjaan Terburuk terhadap Anak (BPTA) Indonesia, melalui UU No.1 Tahun 2000, telah meratifikasi Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (BPTA). Konvensi yang ditetapkan secara aklamasi pada tahun 1999 ini memberikan rincian tentang BPTA di mana anak di bawah 18 tahun tidak boleh 6
terlibat di dalamnya. Konvensi juga menuntut Negara agar mengambil langkah-langkah segera dan efektif untuk memastikan ditetapkannya pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk terburuk pekerjaan terburuk untuk anak. Dalam konvensi dan undang-undang tersebut di atas, istilah “bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak” mengandung pengertian: a) Segala bentuk perbudakan atau praktek-praktek yang mirip dengan perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak, perbudakan akibat hutang dan penghambaan dan kerja paksa atau kerja wajib, termasuk rekrutmen wajib atau rekrutmen paksa, terhadap anak-anak untuk digunakan dalam konflik bersenjata. b) Pemanfaatan, penyediaan, penawaran anak untuk pelacuran, produksi pornografi,
dan pertunjukan-pertunjukan porno. c) Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam pernjanjian internasional yang relevan. d) Pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak-anak.
Sebagai pelaksanaan Ratifikasi ILO No.182 tersebut di atas, Pemerintah telah menyusun Rencana Aksi Nasional Penghapusan BPTA melalui Keputusan Presiden No. 59 Tahun 2002 yang secara khusus memunculkan beberapa contoh Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, seperti: 1. Anak-anak yang dilacurkan; 2. Anak-anak yang bekerja di pertambangan; 3. Anak-anak yang bekerja sebagai penyelam mutiara; 7
4. Anak-anak yang bekerja di sektor konstruksi; 5. Anak-anak yang bekerja di jermal; 6. Anak-anak yang bekerja sebagai pemulung sampah; 7. Anak-anak yang dilibatkan dalam produksi dan kegiatan yang menggunakan bahan-bahan peledak; 8. Anak-anak yang bekerja di jalan; 9. Anak-anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga; 10. Anak-anak yang bekerja di industri rumah tangga; 11. Anak-anak yang bekerja di sektor perkebunan; 12. Anak-anak yang bekerja pada penebangan, pengolahan dan pengangkutan kayu; 13. Anak-anak yang bekerja pada industri dan kegiatan yang menggunakan bahan kimia berbahaya
Dari ke tiga-belas Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk terhadap Anak (BPTA) tersebut, maka pemerintah Indonesia menaruh perhatian pada empat sektor khusus yang paling diprioritaskan untuk Rencana Aksi Nasional Pengapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk terhadap Anak (RAN PBPTA) tahap II yaitu: 1. Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA) 2. Perdagangan Anak untuk Eksploitasi Seksual Komersial 3. Pekerjaan di sektor Pertanian/Perkebunan 4. Anak jalanan yang beresiko diperdagangkan dan terlibat dalam peredaran narkoba.
8
2.3 Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA) PRTA adalah anak-anak di bawah usia minimum untuk bekerja (15 tahun, berdasarkan UU No.20/1999) yang melakukan kerja rumah tangga di rumah tangga orang lain, dan anak-anak yang berusia di atas usia minimum untuk bekerja tetapi di bawah 18 tahun (Konvensi ILO no 138) yang bekerja dalam kondisi perbudakan, berbahaya atau dalam kondisi yang tereksploitasi – suatu bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yang harus dihapuskan seperti yang didefinisikan dalam hukum Internasional.
Tabel 2.3: Pekerjaan yang DAPAT diterima dan TIDAK diterima bagi PRTA
Semua anak-anak yang berusia dibawah 15 tahun dan melakukan pekerjaan di rumah tangga orang lain maka harus ditarik sepenuhnya dari pekerjaannya. Bila anakanak berusia diatas 15 tahun melakukan pekerjaan rumah tangga maka terbagi dalam 2 kategori: 1. Mereka yang berada dalam kategori DAPAT diterima dan secara legal diperbolehkan. 9
2. Mereka yang berada dalam kategori TIDAK dapat diterima dan harus ditarik dengan definisi: a. Ditarik sepenuhnya dari pekerjaan rumah tangga, atau b. Menghapus bahaya dan menjadikan tempat bekerja mereka menjadi aman bagi anak-anak ini. Bahaya adalah semua kegiatan yang berpotensi mengakibatkan kecelakaan.
2.3.1 PRTA dalam Perspektif Rumah Tangga Dalam struktur rumah tangga, maka PRTA berada pada struktur paling bawah. Struktur tersebut adalah keluarga inti (orang tua dan anak-anak), PRT Dewasa, lalu PRT Anak. Hal ini disebabkan karena PRT Anak-anak menjadi pihak yang dikorbankan, dan karena PRTA belum punya keberanian dan kekuatan untuk menolak. Pada umumnya para majikan ataupun pengguna jasa PRT lebih memilih PRT Anak karena beberapa alasan, antara lain karena anak-anak relatif masih lugu, mudah diatur, serta tidak banyak menuntut. Anak-anak juga lebih mudah diajari dan diperintah, tanpa adanya protes maupun perlawanan. PRT Anak juga lebih dipilih karena PRT Dewasa pasti lebih mahal dan memiliki banyak tuntutan. Faktor pendukung lain adalah PRT Anak bisa dijadikan teman bagi anak-anak mereka.
2.3.2 PRTA dalam Perspektif Anak Di banyak daerah di mana angka rekrutmen PRTA tinggi, fasilitas pendidikan pada umumnya tidak memadai atau bahkan tidak ada. Anak-anak 10
seringkali terbujuk oleh janji palsu seperti gaji yang tinggi bila bekerja di perkotaan, tanpa adanya informasi tentang tempat bekerja, tugas yang akan dilakukan dan lama bekerja atau kondisi kerja. Faktor utama yang menyebabkan PRTA adalah beban ekonomi. Banyak keluarga di daerah pedesaan maupun pinggiran yang terbebani secara ekonomi, terutama untuk membiayai kebutuhan hidup keluarga. Akibatnya, banyak anakanak yang terpaksa bekerja ataupun menikah dalam usia dini. Bekerja sebagai PRT merupakan pilihan yang rasional sekaligus tak terelakkan bagi mereka, karena: a) Tidak dibutuhkan pendidikan Formal (Izajah SLTP/SLTA) b) Tidak memerlukan persyaratan administrasi c) Tidak membutuhkan keterampilan/keahlian khusus d) Dapat menyokong/membantu ekonomi keluarga
2.3.3 Posisi PRTA dalam Tenaga Kerja Selama ini, sebutan PRT/PRTA di Indonesia telah didiskriminasikan dan direduksi menjadi “Pembantu”. Hal ini memang disebabkan oleh tradisi dan kebiasaan masyarakat yang telah melekat dengan menganggap bahwa PRT menjadi urusan tumah tangga masing-masing. Bila ditinjau dari definisi pekerja, yaitu setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (UU No. 3/1993 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja). Berdasarkan pengertian diatas PRT/PRTA masuk dalam kategori pekerja atau buruh yang menjual jasanya untuk
11
mengerjakan pekerjaan rumah tangga pada pengguna jasa yang lazim disebut dengan majikan. Maka sudah sewajarnya jika para PRT/PRTA juga mendapatkan hakhaknya sebagai pekerja, yakni perlindungan hukum, jaminan kesehatan, perlindungan dari segala bentuk eksploitasi, dan lain-lain sebagainya.
2.3.4 Permintaan dan Penawaran Permintaan untuk PRT Anak yang tinggi adalah daerah perkotaan dan pinggiran, hal ini disebabkan karena: a) Industri yang lebih berkembang di kota, membuat peluang kerja di kota lebih terbuka dan menjanjikan. b) Keluarga di daerah perkotaan merupakan keluarga inti ( orang tua dan anak) dan bukan keluarga besar, sehingga dibutuhkan tenaga bantuan mengurus rumah tangga. c) Emansipasi perempuan yang semakin meningkat sehingga perempuan kini dapat bekerja di sektor publik. Akibatnya kedua orang tua bekerja dan tak ada yang mengurus anak-anak mereka.
Sedangkan tingkat penawaran untuk PRTA juga tinggi, hal ini dapat dilihat dari: a) Suramnya pencapaian pendidikan. Tingginya angka putus sekolah baik SD dan SLTP membuat anak-anak tanpa kegiatan ini mancari pekerjaan. b) Anak-anak perempuan dianggap tidak perlu melanjutkan sekolah tinggitinggi karena pada akhirnya juga akan mengurus rumah tangga. 12
c) Anak-anak menjadi harapan orang tua untuk menyokong kehidupan mereka secara ekonomi.
2.3.5 Hakekat Permasalahan Permasalahan PRTA menjadi sulit karena mereka berada pada wilayah privat yang sulit untuk dijangkau. Wilayah privat maksudnya adalah wilayah domestik atau rumah tangga yang bersifat tertutup, dan bukan wilayah publik (terbuka). Menurut data yang dikeluarkan oleh Human Rights Watch, ada mitos-mitos yang masih bertahan dalam paradigma berpikir masyarakat dan pemerintah yang menjadi akar permasalahan, yaitu:
1. PRT adalah ‘Pembantu’, bukan ‘Pekerja’ Bahkan petugas tenaga kerja di Yogyakarta mengungkapkan belum ada pengakuan sepenuhnya bahwa PRT adalah pekerja. Nilai seorang Pekerja Rumah Tangga Anak-anak dianggap berbeda dengan nilai pekerja anak di industri yang bekerja untuk institusi/perusahaan. Pekerja anak dalam rumah tangga masih dipandang sebelah mata.
13
Gambar 2.2: Seorang pekerja rumah tangga anak berusia 14 tahun menggambar gambar ini untuk mengilustrasikan “Semua tugas saya setiap hari.” Tugas-tugas ini termasuk menyapu, mencuci pakaian, mengantar anak ke sekolah, dan menyeterika.
2. PRT tidak dapat dimonitor atau diregulasi Para PRT/PRTA bekerja dalam lingkup pribadi yaitu rumah tangga. Hal ini kemudian dianggap sebagai sektor informal, karena belum diregulasi oleh hukum. Permasalahannya adalah tidak adanya regulasi untuk pekerja rumah tangga sehingga sektor itu menjadi informal. Akibatnya banyak pejabat pemerintah yang lepas tangan dalam menanggapi permasalahan pekerja dalam rumah tangga. Selain itu, pernyataan bahwa majikan tidak wajib menaati peraturan ketenaga kerjaan adalah tindakan yang salah. Setidaknya, masih ada kewajiban dasar dalam hukum bagi para majikan untuk memberikan pekerja rumah tangga “perlindungan yang mencakup kesejahteraan,
14
keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.” (UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan 2003, pasal 35 ayat 3)
3. Pekerja rumah tangga tidak memerlukan kontrak tertulis Pembuat kebijakan dari pihak pemerintah masih enggan mendorong penggunaan kontrak kerja bagi pekerja rumah tangga. Alasannya adalah bahwa kontrak kerja mungkin bisa diterapkan bagi ibu-ibu rumah tangga yang berpendidikan tinggi, dan tidak bagi mereka yang tak berpendidikan. Padahal, riset di beberapa negara lain menunjukkan penggunaan kontrak kerja sangat membantu kedua belah pihak untuk memperjelas hubungan kerja dan sebagai alat referensi yang penting.
Berikut pernyataan Lestari (bukan nama sebenarnya) pada Human Rights Watch, Juli 2008: Lestari, tujuh belas tahun, adalah sebuah perkecualian yang jarang karena ia telah membuat kontrak tertulis dengan majikannya. Ia mengatakan bahwa ia senang dengan pengaturan [dalam kontraknya]: “[Kontraknya mengatur] hari libur saya, satu hari cuti haid, libur pada saat Idul Fitri, [bahwa saya harus mendapatkan] makanan yang layak, gaji yang layak—di kontrak saya tertulis Rp. 300.000,- ($30). [Kontrak] ini penting karena menyebutkan [tanggung jawab saya] untuk pekerjaan ini apa saja, dan majikan saya juga harus setuju dengan apa yang tertulis di kontrak ini.
15
4. Pekerja rumah tangga bukan pekerjaan dengan jam kerja dari jam 9 sampai jam 5 sore Kasus yang banyak terjadi adalah pekerjaan rumah tangga bisa dilakukan secara tiba-tiba atas permintaan majikan. Contohnya adalah membersihkan ruangan atau mencuci gelas minuman dari tamu-tamu majikan yang datang pada malam hari. Keputusan Menteri 2003 Ketenagakerjaan dengan jelas melarang setiap orang di bawah 18 tahun bekerja di antara pukul 18.00 dan pukul 06.00 karena pekerjaan yang demikian “membahayakan kesehatan, keselamatan, dan moral” anak. (Kepmeni No. KEP. 235/MEN/2003)
5. Majikan memperlakukan anak seperti “keluarga sendiri” Majikan-majikan seringkali merekrut anak-anak melalui agen perekrut dan penyalur komersil atau penjual lokal yang mempunyai hubungan pribadi dengan anak-anak ini. Dalam kasus-kasus ini, hubungan keluarga dalam bentuk apapun antara majikan dengan pekerja hilang. Saat kepentingan utama pemberi kerja adalah pengurusan rumah tangga mereka, bukan pengembangan diri pekerja mereka, hubungan antara majikan dan pekerja rumah tangga adalah hubungan komersil.
“Tentu saja itu dulu adat kami. Tapi perkembangan selama bertahun-tahun dan perubahan dalam nilai-nilai kami terus berubah sampai sekarang. Hubungan antara pekerja rumah tangga dan majikan sekarang bukan berdasarkan hubungan keluarga melainkan karena alasan ekonomi. Saya 16
mengirimkan anak perempuan saya, tapi Anda membayar saya untuk anak perempuan saya, dan pemasukannya adalah untuk keluarga di desa. Hubungan ini sekarang adalah hubungan ekonomi, bukan lagi hubungan keluarga.... Majikan akan berpikir ‘kamu harus kerja untuk saya’ bukan bersekolah.” Hasil wawancara HRW dengan Surjadi Soeparman, Juli 2008 6. Ini bukan masalah besar Permasalahan dan kasus-kasus yang dialami oleh pekerja anak di Indonesia dianggap masih kecil persentase-nya. Pemerintah tidak melihat bagaimana perlindungan dilakukan terhadap pekerja anak tersebut, padahal banyak anak-anak yang bekerja pada situasi yang tidak layak - ini—terkurung di dalam sebuah rumah tinggal pribadi, terpisah dari keluarga dan teman sebaya, umumnya di kota yang asing, dan bekerja untuk jumlah uang yang yang sedikit—Hal ini banyak menimpa pekerja rumah tangga anak khususnya perempuan dan juga luput dari perhatian.
2.3.6 Kerangka Hukum a) UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan pernyataan tujuan untuk menjamin hak-hak yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa. Undang-undang ini mendefinisikan anak sebagai setiap orang yang berusia di bawah delapan belas tahun dan melarang eksploitasi ekonomi atau seksual terhadap anak-anak, dan juga melarang kekerasan 17
dan pelecehan terhadap anak. Orang yang melakukan eksploitasi ekonomi atau seksual terhadap anak-anak dikenai hukuman penjara maksimal sepuluh tahun dan/atau denda maksimal Rp. 200.000.000,-. Orang yang melakukan tindakan kekerasan, termasuk penyiksaan, terhadap seorang anak diancam hukuman penjara sampai dengan tiga tahun dan enam bulan, dan/atau didenda maskimal Rp. 72.000.000,-. Beratnya hukuman bertambah apabila akibat tindakan kekerasan tersebut anak terluka parah (diancam hukuman penjara lima tahun dan/atau denda maksimum Rp. 100.000.000,- atau meninggal dunia (diancam hukuman penjara sepuluh tahun dan/atau denda maksimum Rp. 200.000.000,- (Pasal 2-3) Undang-undang ini juga menjanjikan setiap anak hak “untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, [dan] berekreasi.” (Pasal 11)
b) Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Ketenagakerjaan membedakan secara langsung perbedaan antara usaha milik “pengusaha” dan “pemberi kerja,” dan hanya mewajibkan pengusaha untuk menaati persyaratan dalam undang-undang ini mengenai perjanjian, upah minimum, waktu kerja lembur, jam kerja, waktu istirahat, dan liburan. Pemberi kerja pekerja rumah tangga tidak dianggap sebagai pengusaha, dan oleh karenanya pekerja rumah tangga tidak dilindungi oleh ketentuan-ketentuan ketenagakerjaan ini. Meskipun oleh karenanya majikan pekerja rumah tangga tidak berkewajiban untuk memberi perlindungan ketenagakerjaan standar, 18
setidaknya masih ada kewajiban dasar majikan dalam undang-undang ini untuk
menyediakan
“perlindungan
yang
mencakup
kesejahteraan,
keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja” bagi orang yang mereka pekerjakan, termasuk pekerja rumah tangga. Majikan yang tidak menyediakan perlindungan-perlindungan tersebut dapat dikenakan sanksi pidana antara satu bulan dan empat tahun penjara dan/atau
denda
yang
berkisar
antara
Rp.
10,000,000
sampai
Rp.400.000.000,-
c) Keputusan Menteri (No: KEP. 235/MEN/2003) Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia tentang Jenis-Jenis Pekerjaan Yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak. Pada tahun 2003, sebuah Keputusan Menteri Ketenagakerjaan tentang
Jenis-Jenis
Pekerjaan
Yang
Membahayakan
Kesehatan,
Keselamatan atau Moral Anak menetapkan bahwa usia minimum untuk diperbolehkan bekerja untuk pekerjaan yang tidak membahayakan adalah 15 tahun. Keputusan ini melarang anak-anak di bawah usia 18 tahun melakukan pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral
anak.
Termasuk
diantara
kondisi-kondisi
pekerjaan
yang
diidentifikasikan sebagai membahayakan kesehatan, keselamatan, dan moral anak, adalah bekerja di antara pukul 18.00 dan pukul 06.00 atau bekerja di dalam bangunan tempat kerja yang terkunci. Mempekerjakan anak manapun di bawah kondisi demikian dianggap kejahatan besar, dan 19
barang siapa yang melakukan tindakantindakan tersebut diancam hukuman penjara antara dua sampai lima tahun dan/atau denda antara Rp. 200.000.000 dan Rp. 500.000.000,-
d) Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga melarang kekerasan fisik, psikologis, dan seksual terhadap seorang suami, seorang isteri, anak-anak, anggota keluarga yang menetap dalam rumah, dan orang yang bekerja dalam rumah tersebut, dan menetapkan sanksi bagi pelaku pelecehan. Penelantaran anggota rumah tangga juga dianggap kejahatan. Pekerja rumah tangga yang yang tinggal dalam rumah tangga ikut mendapatkan perlindungan karena tercakup sebagai individu-individu yang “bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.” Di bawah undang-undang ini, Negara juga disyaratkan untuk mencegah terjadinya kekerasan seperti itu, melindungi korban, dan menuntut para pelaku ke pengadilan. Undang-undang ini menetapkan hukuman yang lebih berat dari yang ditetapkan dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana dan menurunkan standar pembuktian yang diperlukan untuk membuktikan kejahatan-kejahatan tersebut di dalam pengadilan, dengan menyatakan bahwa hanya satu lagi bentuk alat bukti lain yang sah yang diperlukan untuk memperkuat kesaksian korban.
20
e) Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan
ancaman
kekerasan,
penggunaan
kekerasan,
penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, kerja ijon (debt bondage) atau memberikan atau menerima bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan ekspolitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. (Pasal 1 ayat1) Undang-undang ini dengan jelas menyatakan bahwa “eksploitasi” dapat termasuk kerja paksa, pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pelecehan fisik, pelecehan seksual, atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan sendiri. Termasuk dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007, ketetapan positif bagi korban anakanak dan saksi anak-anak misalnya untuk memeriksa saksi dan korban anak dilakukan dalam sidang tertutup, hak untuk didampingi orang tua atau wali pada saat pemeriksaan, pemeriksaaan terhadap korban dan saksi anak dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa, dan kemungkinan untuk melakukan pemeriksaan di luar ruang sidang pengadilan.
21
2.3.7 Kondisi-kondisi yang banyak dialami oleh PRT 1.
Jam kerja Anak-anak perempuan masih terus bekerja dengan jam kerja yang sangat panjang—biasanya 14 sampai 16 jam per hari, tetapi kadang lebih— termasuk di pagi hari sekali dan sampai larut malam. Kemala, enambelas tahun, mengatakan kepada “Saya bekerja mulai dari jam 4 pagi sampai tengah malam. Saya tidak diperbolehkan beristirahat.” Wawancara HRW dengan perekrut tenaga kerja, Juli 2008
Seringkali anak perempuan bekerja antara 14 – 18 jam perhari, tujuh hari seminggu dan tidak ada cuti sakit.
Tabel 2.4 : Persentase PRT berdasarkan kelompok umur dan lama jam kerja
Menurut berbagai studi yang diringkaskan dalam Laporan ILO, ‘Waktu Kerja: Dampaknya pada Keselamatan dan Kesehatan’, jam kerja yang panjang, terutama sekali yang menyangkut pembagian waktu kerja yang tidak teratur dan bekerja pada malam hari, secara negatif mempengaruhi kesehatan orang dewasa. Laporan ini mengatakan bekerja melebihi 48 jam secara regular per minggu merupakan suatu ketegangan 22
kerja, yang akan secara signifikan meningkatkan resiko masalah kesehatan mental. Bekerja lebih dari 60 jam per minggu secara regular dengan jelas meningkatkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah jantung (cardiovascular). Pengaruh bekerja dengan jam kerja panjang pada kesehatan anak tidak diketahui, walaupun beralasan untuk berasumsi bahwa anak paling tidak sama rentannya terhadap pengaruh kesehatan yang buruk sebagaimana orang dewasa.
Majikan-majikan seringkali menahan gaji sampai anak kembali pulang seperti pada libur Idul Fitri dan mereka dibayar lebih sedikit dari yang dijanjikan 2.
Beban Kerja
Tabel 2.5: Persentase PRT berdasarkan kelompok umur dan banyaknya pekerjaan
Selain jam kerja yang panjang, PRTA juga diberi beban kerja yang cukup banyak. Pekerjaan yang biasa dilakukan oleh PRTA meliputi menyiapkan makanan, mencuci, menjaga anak, dan membersihkan rumah.
23
“Saya bangun jam 4 pagi ... Saya kemudian bersih-bersih, menghangatkan sisa makanan, membuatkan makan siang anak [majikan yang berusia 11 tahun], mencuci mobil, menyiapkan makan siang majikan untuk bekerja... Saya harus mencuci piring. Saya membersihkan kamar mandi. Saya menghabiskan banyak waktu dengan nenek di rumah majikan. Dia harus berjemur, saya harus menyiapkan makanannya, saya harus memandikannya dan mengawasinya... Saya diperbolehkan tidur siang dari jam 1-2 siang...Paling awal [saya tidur] jam 10 malam. Pada malam hari saya harus membersihkan kamar nenek. Saya juga harus membantu nenek ke kamar mandi. Semuanya. Nenek itu sakit. Dia punya penyakit diabetes, punya penyakit jantung, dan kakinya patah. Dia butuh tongkat [untuk berjalan]...Saya tidak pernah mendapat hari libur. Hasil wawancara HRW dengan Dian (bukan nama sebenarnya), 17 tahun, 2008.
3.
Pelecehan, Kekerasan dan Pengasingan Anak-anak yang bekerja sebagai PRT melaporkan bahwa mereka mendapat kekerasan fisik dan verbal. Banyak di antaranya yang tidak berpikir bahwasanya mereka bebas untuk keluar dari pekerjaannya.
24
Tabel 2.6: Persentase PRT berdasarkan kelompok umur dan lama jam kerja
Bila dibandingkan dengan berita kasus-kasus PRT di media massa, mungkin ada yang berpendapat bahwa angka perbuatan majikan yang tidak senonoh tersebut sangat fantastis atau berlebihan. Mungkin pendapat tersebut benar, karena tehnik sampling dapat menghasilkan estimasi yang over estimate. Akan tetapi perlu diingat, ada berapa kasuskah perbuatan tidak senonoh yang pernah diadukan masyarakat umum ke kepolisian atau sampai ke pengadilan di Indonesia? Tanpa pengaduan ke pihak yang berwajib, apakah mungkin permasalahan tersebut akan terungkap ke permukaan? Manakah yang lebih banyak perbuatan yang pernah terungkap dengan yang tidak terungkap? Dalam prakteknya, sistem hukum di Indonesia seringkali belum memihak pada korban yang “lemah”, pengaduan tersebut akan banyak merugikan korban itu sendiri. Jika masyarakat umum, membiarkan saja perbuatan tidak senonoh yang dialaminya, tentu PRTA mempunyai kendala dan keterbatasan yang lebih besar lagi untuk mengungkapkan kasus pelecehan yang mereka alami. Akibatnya, perbuatan tidak senonoh baru terungkap ketika sampai pada tahap kesadisan.
25
Kalau saya berbuat salah [majikan saya], membentak saya. Mereka mengatakan kalau saya ‘bego’, ‘setan’, ‘tolol’ dan kata-kata kasar lainnya.[Majikan perempuan saya] sering memukul saya, kadang dia mencubit saya. Kadang dia melempar gayung ke arah saya. Kadang saya di dorong ke dinding. Menampar saya. Mencubit saya. Kadang dia bisa menampar saya [sampai] dua kali sehari… Kadang [saya sampai memar]. Wawancara HRW dengan Wani (bukan nama sebenarnya), Juli 2008
Tabel 2.7: Persentase PRT berdasarkan kelompok umur dan tindakan akibat perilaku majikan
Anak-anak tersebut sering tidak punya hak untuk bersuara, tidak mempunyai kontrol atas persyaratan kerja, sering tidak mendapat upah, tidak punya privasi, tidak ada kesempatan untuk pergi ke sekolah, tidak punya kesempatan untuk berinteraksi dengan teman sebayanya, dan untuk yang tinggal di rumah majikannya, mereka mempunyai sedikit atau sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk bertemu keluarga. Beberapa di antara mereka tidak pernah keluar dari rumah dan tidur di atas lantai dapur,
26
tidak punya hari libur atau waktu istirahat dengan upah yang sangat sedikit bahkan tidak diupah sama sekali. Banyak yang melaporkan bahwasanya mereka kesepian.
Tabel 2.8: Persentase PRT berdasarkan kelompok umur dan izin sekolah/kursus oleh majikan
Tabel 2.9: Persentase PRT berdasarkan kelompok umur dan komunikasi dengan keluarga
Anak perempuan, khususnya yang tinggal di rumah majikannya berada dalam kondisi rentan untuk mendapatkan pelecehan seksual dan kekerasan (meskipun anak laki-laki tidak bebas dari kekerasan tersebut). Pelecehan seksual dan kekerasan lebih berbahaya dari hanya gangguan mental. Pelecehan dan kekerasan tersebut berdampak buruk bagi kehidupan
27
anak dan mempunyai dampak yang berbahaya seperti kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit menular melalui hubungan seksual, dan infeksi HIV.
2.4 Konvensi Hak Anak Konvensi Hak Anak (KHA) merupakan instrument internasional di bidang HAM dengan cakupan hak yang paling komprehensif. Terdiri dari 54 pasal, KHA hingga saat ini dikenal sebagai satu-satunya konvensi di bidang HAM yang mencakupi baik hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sekaligus. Berdasarkan Strukturnya, KHA dibagi menjadi 4 bagian sebagai berikut: Preambule (Mukadimah), berisi konteks KHA Bagian Pertama (Pasal 1 – 41), mengatur hak bagi semua anak. Bagian Kedua (Pasal 42 - 45), mengatur masalah pemantauan dan pelaksanaan. Bagian Ketiga (Pasal 46 – 54), mengatur masalah pemberlakuan konvensi. Menurut cara Pembagian yang dirumuskan oleh Komite Hak Anak PBB, maka KHA dikelompokan menjadi 8 kategori: 1. Langkah-langkah implementasi umum 2. Definisi anak 3. Prinsip-prinsip umum 4. Hak sipil dan kemerdekaan 5. Lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif 6. Kesehatan dan kesejahteraan dasar 7. Pendidikan, waktu luang, dan kegiatan budaya 8. Langkah-langkah perlindungan khusus
28
Menurut Konvensi Hak Anak yang juga telah dijabarkan dalam peraturan hukum yang berlaku untuk PRTA, maka anak-anak yang bekerja sebagai PRT termasuk dalam kriteria eksploitasi ekonomi dan hak-haknya sebagai anak maupun warga menjadi tidak ada/dibatasi. Hal ini disebabkan karena pekerjaan rumah tangga yang dikerjakan anak-anak termasuk dalam kriteria pekerjaan rumah yang berbahaya. Anak kehilangan hak-haknya karena jam kerja yang panjang, standar upah yang tidak jelas, hilangnya kesempatan sekolah dan bermain, tidak adanya kesempatan libur, tinggal terpisah dengan orang tua serta beresiko mendapat perlakuan kekerasan dari majikan baik fisik, psikis dan seksual.
2.5 Media Komunikasi Pekerja Anak Bidang media bisa dikembangkan sebagai sarana komunikasi antara pemerintah dan masyarakat, dimana di satu pihak, pemerintah menyampaikan informasi kepada masyarakat mengenai berbagai kebijakan, program, kegiatan maupun langkah yang telah, sedang dan akan dilakukan untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Dengan berbagai hal yang disampaikan melalui bidang media akan dapat dibangun opini masyarakat, sehingga opini yang dipahami dan berkembang di tengahtengah masyarakat sangat kondusif dan mendukung terhadap upaya-upaya penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Upaya penyadaran masyarakat sebagaimana tersebut di atas dilakukan baik oleh instansi pemerintah maupun lembaga non pemerintah melalui serangkaian kegiatankegiatan :
29
a) Penerbitan Media Informasi Publik
Tabel 2.10: Media Informasi Publik untuk Pekerja Anak
b) Sensitisasi Isu Pekerja Anak
Tabel 2.11: Frekuensi Sensitisasi Isu Pekerja Anak
2.6 Data Statistik Berdasarkan data yang diperoleh Badan Pusat Statistik, ditemukan fakta bahwa pada tahun 2005, penduduk Indonesia mencapai 220 juta jiwa, dan diperkirakan peningkatan sebesar 1.29 % setiap tahunnya yang membuat perkiraan penduduk Indonesia saat ini berkisar di angka 231 juta jiwa. Menurut data yang disurvei oleh ILO (International Labour Organization) yang bekerja sama dengan Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo), jumlah
30
pekerja anak yang tercatat pada saat ini berjumlah lebih dari 1,7 juta anak. Survei itu dilakukan di 248 kabupaten dengan sampel sebanyak 12.000 rumah tangga. Kekurangannya adalah anak-anak jalanan yang tidak memiliki rumah tidak termasuk dalam survey ini. Anak-anak yang disurvei adalah anak-anak yang berusia 5-17 tahun. Umur 17 tahun sudah jelas karena menurut undang-undang umur 17 merupakan batasan umur bagi pekerja. Sedangkan umur 5 tahun kebawah dianggap masih dibawah asuhan orang tua. Estimasi Jumlah Anak yang Bekerja & Pekerja Anak
Jumlah (dalam Juta)
10
3.7 2.8
2.5
1.1
3.6 Anak yang Bekerja Pekerja Anak
2.6 1.8
1.3
3.5
1.7
1.6
1.2
1 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun
Grafik 2.1 : Badan Pusat Statistik : Pekerja Anak Indonesia 2009
Selain itu sekitar 4 juta anak usia 13 - 15 tahun di Indonesia tidak bersekolah dan 1.5 juta anak yang tidak bersekolah usia 10-14 tahun masuk ke dalam angkatan kerja. Sebagian dari mereka berisiko terlibat dalam pekerjaan yang eksploitatif atau berbahaya. Survei ILO dilakukan oleh Taylor Nelson Soffres, perusahaan penelitian pasar terkemuka, dan menjangkau 1200 rumah tangga sampel di enam kabupaten/kota di lima provinsi. 31
Hasil temuan utama survey tersebut antara lain:
a) 19% anak usia sekolah di bawah 15 tahun tidak bersekolah. b) Biaya rata-rata untuk menyekolahkan satu anak di SD dan satu anak di SMP untuk satu tahun, termasuk biaya transpor dan seragam, bisa sama dengan 2 bulan upah minimum provinsi. c) 71% responden yang mempunyai anak tidak sekolah menyebut biaya sekolah sebagai faktor utama. d) Hanya 50% responden mengetahui kebijakan pemerintah Indonesia mengenai wajib pendidikan dasar 9 tahun. 39% menyangka bahwa wajib pendidikan dasar adalah 6 tahun. e) Meskipun diakui adanya faktor biaya pendidikan yang tidak terjangkau, terdapat komitmen orangtua yang tinggi terhadap pendidikan. Ini menunjukkan bahwa bila masalah biaya dapat diatasi, partisipasi pendidikan akan meningkat. f) 61% responden mengatakan bahwa anak-anak usia di bawah 15 tahun boleh bekerja 4 jam atau lebih setiap harinya, sementara penelitian menemukan bahwa bila anak bekerja 4 jam atau lebih akan mengurangi kehadirannya di sekolah secara signifikan. g) Sebagian besar responden setuju bahwa anak-anak di bawah usia 18 tahun tidak boleh bekerja di sektor-sektor yang ilegal, namun semakin kecil jumlah responden yang menyatakan setuju terhadap pelarangan anak untuk bekerja di sektor-sektor yang menurut peraturan termasuk dalam pekerjaan yang berbahaya.
32
Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA) seringkali dihubungkan dengan kerja rumah tangga yang biasanya lebih banyak melibatkan perempuan daripada laki-laki. Penelitian mengenai 7 pekerja rumah tangga anak yang dibuat oleh ILO/IPEC dan Universitas Indonesia pada tahun 2002/2003 mengungkapkan bahwa jumlah anak dalam sektor ini lebih tinggi dari yang sebelumnya diperkirakan. Penelitian ini memperkirakan terdapat 700,000 anak di bawah 18 tahun bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) secara nasional, di mana lebih dari 90% di antaranya adalah anak perempuan. Anakanak perempuan ini kebanyakan berasal dari daerah pedesaan dan biasanya berusia 12 – 15 tahun. Di tahun 2007, Badan Pusat Statistik Republik Indonesia melakukan Survei Angkatan Kerja Nasional yang, walaupun dirancang untuk memperkirakan jumlah pekerja rumah tangga anak dengan angka yang lebih rendah dari semestinya, tetap saja menyatakan bahwa dari 416.103 pekerja rumah tangga yang tinggal menetap di rumah bersama dengan majikan mereka di Indonesia, lebih dari 79.529 adalah anak-anak, atau 19 persen dari total bekerja sebagai pekerja rumah tangga yang tinggal menetap di rumah bersama dengan majikan mereka.
2.7 Analisa Masalah Dari data-data di atas, beberapa hal yang menjadi poin penting dalam kasuskasus pekerja anak dalam rumah tangga adalah: Penyebab a) Kondisi ekonomi keluarga membuat anak-anak khususnya perempuan memilih bekerja sebagai PRT karena tidak membutuhkan persyaratan khusus dan dijanjikan gaji tinggi di kota. 33
b) Tidak adanya regulasi hukum yang jelas mengenai prosedur kerja PRT/PRTA membuat banyak anak-anak yang tidak tahu kejelasan kerja dan nasib mereka. c) Permintaan akan PRT Anak banyak karena anak-anak lebih murah daripada PRT dewasa, mudah diajari, dan tidak banyak menuntut. Akibat a) Tidak adanya regulasi yang jelas mengenai PRT. Anak-anak yang dipekerjakan tidak diberitahu kondisi dan kejelasan pekerjaannya. Nasibnya bergantung pada majikan. b) Anak-anak tidak dapat sepenuhnya melaksanakan apa yang seharusnya menjadi hak mereka. c) Akibat Fisik : PRT Anak menjalani jam kerja yang panjang dan beban kerja yang banyak. Ada juga yang mengalami kekerasan, pelecehan seksual, dan pengasingan. d) Akibat Psikis : Anak-anak tidak dapat berkomunikasi dengan keluarga, tidak memiliki tempat berkeluh-kesah. Anak-anak cenderung menjadi takut dan pendiam, tidak berani mengungkapkan kelakuan majikan.
2.8 Analisa Faktor Pendukung dan Penghambat Faktor Pendukung a) Adanya kerangka hukum yang dapat menjadi dasar untuk melindungi PRTA b) Media televisi akan menjadi media
yang
sangat
komunikatif
untuk
menyampaikan pesan ini kepada masyarakat karena siaran televisi nasional memiliki jangkauan yang luas.
34
c) Sosialisasi mengenai pekerja anak melalui iklan layanan masyarakat masih sedikit kita temui sehingga peluang untuk itu masih sangat terbuka.
Faktor Penghambat a) Tidak adanya regulasi yang jelas menetapkan PRT sebagai pekerja dan bukan pembantu, serta prosedur hukum yang jelas mengenai tata cara pekerjaan PRT yang aman. b) Masyarakat kurang responsif dan cenderung pasif. c) Pesan yang dibawa oleh iklan layanan masyarakat ini mungkin kurang dapat diserap sepenuhnya oleh penonton karena durasi yang singkat.
2.9 Analisa Target Audience Dari pembahasan data-data di atas, maka dapat dilihat bahwa masyarakat memegang peranan penting dalam kontribusi pekerja anak. Pekerja anak, khususnya pekerja anak dalam rumah tangga adalah fakta yang muncul karena kondisi ekonomi, dan juga peranan orang tua dalam mengurus anak-anaknya. Dalam kaitannya dengan PRTA, maka sasaran utama bagi iklan layanan masyarakat ini adalah para orang tua, karena orang tua lah yang memegang peranan terhadap nasib dan perlindungan hak anak-anak.
35