Catatan Komnas Perempuan dari Commission on the Status of Women (CSW) 60 atau Komisi Status Perempuan di PBB (14-25 Maret 2016)
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menjadi peserta pada Commission on the Status of Women (CSW) ke 60 atau Komisi Status Perempuan yang berlangsung pada 14-25 Maret di markas besar PBB, New York. Yuniyanti Chuzaifah (Wakil Ketua) Komnas Perempuan menuliskan catatan penting selama menjadi peserta di CSW 60 tersebut.
Catatan (1): “Seruan Dunia dari CAW-60 untuk Langkah Perempuan”
Global
Pemenuhan Hak
Commission on the Status of Women (CSW) atau Komisi Status Perempuan adalah mekanisme tahunan yang diselenggarakan oleh PBB untuk pemutakhiran dan pembaruan (update) perkembangan persoalan dan pemajuan hak perempuan dari berbagai negara, dan membangun kesepakatan global serta agenda prioritas untuk pembahasan tahun berikutnya. Pada 4 tahun terakhir, CSW banyak membahas isu Millennium Development Goals (MDG’s), Sustainable Development Goals (SDG’s), dan kekerasan terhadap perempuan menjadi tema sentral, termasuk yang dievaluasi pada CSW ke-60, yang diselenggarakan pada 14-25 Maret di markas besar PBB New York. Pesan vital yang disampaikan oleh Ban Ki Moon (Sekjen PBB) pada pembukaan adalah bahwa perempuanlah yang menginspirasi dan mendukung Ban Ki Moon hingga menjadi Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Diskriminasi dan kekerasan dalam bentuk apapun harus dihentikan. Kesaksiannya selama 9 tahun mengunjungi banyak negara, menurutnya yang sangat memprihatinkan adalah: maraknya HIV AIDS, perkosaan pada perempuan dengan orientasi seksual berbeda atas nama penyembuhan, anak-anak korban penghilangan paksa, mutilasi/sirkumsisi (sunat/ khitan) genital perempuan, selain juga masih banyak negara yang tidak punya perempuan yang duduk di parlemen, dan lainnya. Banyak upaya yang harus kita lakukan, laki-laki harus terlibat dan menjadi bagian dari perjuangan kesetaraan gender maupun penghapusan kekerasan terhadap perempuan, kita harus mencegah kekerasan ekstremisme, dan bicara kesetaraan terhadap perempuan, tidak ada artinya kalau perempuan tidak aktif dalam isu perdamaian dan keamanan. Pada akhir pidatonya, Ban Ki Moon menyerukan pada tua muda, miskin kaya, lelaki perempuan, untuk mari berhikmat membuat dunia lebih baik. Pada kata sambutannya, Phumzile Mlambo-Ngcuka (Direktur Eksekutif UN Women), yang merupakan tokoh perempuan dari Afrika juga menyerukan pada dunia untuk memberi perhatian pada isu populasi displacement, migrasi, Pekerja Rumah Tangga (PRT), dan sebagainya. Kekerasan terhadap perempuan semakin bertambah ekstrim karena bersanding dengan isu kelompok rentan lainnya. Isu perempuan pembela HAM atau Women Human Rights Defenders (WHRD) juga diserukan untuk diakui dan dilindungi. Kasus kematian WHRD dari Honduras, Berta Caceres, pejuang perempuan, lingkungan dan masyarakat adat, yang meninggal
pada tanggal 3 Maret 2016 lalu, secara khusus disebutkan sebagai peringatan besar agar tidak berulang. Kesetaraan gender, penanganan kekerasan terhadap perempuan, harus kreatif dengan terobosan, efisien dan bijak dalam gunakan IT, media sosial maupun media tradisional. Kita harus keluar dari zona nyaman untuk keluar dari masalah global ini. Kepada seluruh pihak diharapkan agar lebih serius dalam penganggaran dana untuk isu perempuan, menyediakan jaminan sosial, akses keadilan, secara khusus kepada perempuan yang mengalami kerentanan, disabilitas, pengungsi, dan lainnya. Di akhir pidatonya, dia memberi kesempatan pada Vanessa Anyoti, representasi perempuan dari the CSW Youth Forum yang selama ini menggaungkan pentingnya pelibatan orang muda untuk didengar, harus ada perjuangan bebas kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, juga memastikan isu-isu tersebut masuk dalam agreed conclusions. Kembali ke pidato Direktur Eksekutif UN Women, maka isu CSW Youth Forum harus mendapat perhatian dunia secara serius, karena usia 10-24 dunia telah mencapai 1,8 trilyun. Karenanya PBB meluncurkan Youth and Gender Equality Strategy untuk menuju target SDG’s 2030. Selain itu juga akan meluncurkan the Global Database on Violence Against Women, sebagai pijakan penting untuk kerja sistematis bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan secara global.
Catatan (2): “Dunia Sedang Evaluasi Global tentang Kekerasan terhadap Perempuan” Kegiatan Komisi Status Perempuan atau CSW ke-60 di PBB, New York, setidaknya diikuti ratusan negara, 1.035 NGO, dengan total jumlah peserta yang terdaftar 8.100 delegasi/peserta dari seluruh dunia. Forum penting ini diikuti para menteri, tokoh pejuang perempuan, wakil organisasi perempuan dari komunitas, tokoh agama, akademisi dan berbagai elemen PBB. Selain menyelenggarakan sidang-sidang formal untuk me-review perkembangan pemajuan HAM perempuan dari masing-masing negara, forum yang juga ditunggu dan diburu adalah side event, baik yang diselenggarakan oleh negara, PBB (United Nations), maupun CSO yang jumlahnya 400 lebih. Side event ini menjadi sangat ditunggu karena menjadi tempat untuk pembaharuan ide, penajaman analisa dan ruang silang belajar antar negara dan ahli. Pada sidang formal yang diikuti delegasi dari berbagai negara, maka secara umum, kekerasan terhadap perempuan dihadapi oleh seluruh negara, dari yang maju hingga negara berkembang, dari utara maupun selatan, agamis maupun yang sekular. Yang membedakan adalah tingkat intensitas, keseriusan dan kreatifitas penanganan. Setiap tahun kekerasan semakin banyak terlaporkan, pola juga semakin beragam. Padahal perlindungan legal dan kebijakan sudah gencar diproduksi. Dana juga tidak sedikit digelontorkan pada sejumlah negara. Isu kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan menjadi keletihan global, yang terus dievaluasi adalah dimana saja terjadi kesenjangan (gap) dan akar masalahnya.
Pada berbagai intervensi, yang berlangsung 3-5 menit dari wakil berbagai negara, yang mayoritas diwakili setingkat menteri, mulailah bermunculan ide-ide antara lain: 1). Urgensi melakukan impact study atas regulasi pencegahan dan penanganan; 2) Penting ada pengawasan komprehensif akses keadilan, pemulihan korban dan penghapusan impunitas pelaku; 3) Politik pembiayaan dan penganggaran (financing) yang komprehensif untuk mendanai isu kekerasan terhadap perempuan, terutama negara-negara miskin, minim sumber daya (resources) juga wilayah yang terdampak konflik. Mereka ini saling berteriak minta bantuan dan dukungan internasional; 4). Aliansi global dan strategis, juga pelibatan multi entitas, bukan hanya negara, tetapi elemen strategis lain dari masing-masing negara; 5). Dukungan kelembagaan atau national machinery yang responsif dan kuat.
Catatan (3): “Terobosan Kreatif Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan di Berbagai Belahan Dunia” Catatan ini mengenai side events dari Commission on the Status of Women (CSW) 60 di PBB New York yang diikuti oleh Komnas Perempuan. Pada perhelatan acara ini terdapat 400 lebih side events yang diselenggarakan oleh negara, UN/ PBB, CSO dan elemen lain. Isu kekerasan terhadap perempuan tetap menjadi tema sentral. Tema lain yang berkembang adalah isu hak seksual dan kesehatan reproduksi, pemberdayaan ekonomi, pendataan dan survei tentang kesetaraan dan penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (KtP), isu lingkungan dan masyarakat adat, perdagangan bebas, dan isu-isu Sustainable Development Goals (SDG’s) termasuk planet fifty-fifty untuk menuju 2030 roadmap implementasi SDG’s. Isu-isu kekerasan terhadap perempuan diresahkan secara serius, karena ketersediaan hukum belum bisa menjawab aspek keadilan bagi korban, impunitas pelaku semakin subur dengan minimnya akses keadilan korban dan penghukuman yang responsif dengan harapan korban, selain itu paradigma victimhood bahwa pelaku juga korban, sehingga harus pemulihan yang dikedepankan. Norma maskulinitas juga jadi penyubur isu kekerasan terhadap perempuan, sehingga ide pelibatan laki-laki juga didorong lebih digencarkan, walau catatan kritis atas gerakan he for she juga tidak sedikit, setidaknya ada heroisme "he". Selain itu juga kelatahan negara yang mengalokasikan resources untuk mendukung kegiatan dan pelibatan laki-laki yang membelokkan resources perempuan yang baru memulai berorganisasi, akhirnya hal itu menggencarkan program untuk laki-laki, dan sering tanpa kritis menyoal patriarki. Ditengah pergumulan tersebut, ada sejumlah isu penting sebagai terobosan, analisa dan intervensi bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan dari berbagai negara, antara lain: A. Peran strategis tempat kerja untuk partnering penghapusan KDRT. Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sering merasakan tempat kerja sebagai ranah aman untuk berlari sejenak dari kekerasan domestik yang dialaminya. Pada saat yang bersamaan, korban KDRT akan mengalami penurunan produktivitas, hilang semangat, konsentrasi dan kreativitasnya. Suami atau pelaku, kerap menekan atau intimidasi tempat kerja, menelpon dan mengontrol mobilitas korban karena posesifitas. Selain itu korban justru sering dikeluarkan dari
tempat kerja, karena kualitasnya menurun, turut dipersalahkan, dituntut berlebih dalam situasi tidak berdaya. Isu KDRT yang dialami perempuan dianggap isu privat dimana tempat kerja tutup mata. Sejumlah negara, seperti Australia, Filipina, Belanda dan negara Skandinavian lain sudah mulai berinisiatif menghubungkan dan menjadikan tempat kerja harus berperan aktif cegah dan tangani kekerasan terhadap perempuan, terutama KDRT dengan sejumlah inisiatif: 1. Membangun sistem pertemanan yang supportif, saling dukung dan iklim peduli pada korban, dengan saling menyediakan diri jadi teman yang perduli, bertanya keadaan, mendengar, memberi dukungan psikologis maupun dukungan lain; 2. Tempat kerja sediakan mekanisme supporting dengan dukungan pengaduan yang aman, nyaman dan menjaga kerahasiaaan korban, karena korban cenderung dipaksa untuk menyampaikan bukti bahwa diriya korban untuk mendapatkan izin atau dukungan dari perusahaan; 3. Peran aktif trade union untuk turut membela anggotanya yang menjadi korban Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) maupun KDRT; 4. Pemberian cuti dari tempat kerja atau perusahaan. Di Filipina ada pemberian cuti selama 2 bulan, bahkan perusahaan bisa dikriminalkan apabila tidak tunaikan hak cuti yang dibutuhkan korban. Di Belanda ada cuti 2 tahun bagi korban untuk selesaikan kasusnya. Dukungan tempat kerja, lembaga pendidikan, organisasi bagi korban KDRT maupun kekerasan seksual lainnya sangat strategis untuk memberi kesempatan bagi korban untuk bisa melanjutkan hidupnya. Inisiatif dan best practices ini penting untuk kita kembangkan bersama. Bahkan pada salah satu sidang, di Brazil ada inisiatif “jemput bola” untuk penanganan kekerasan terhadap perempuan yang mobile, dari pintu ke pintu rumah. Di berbagai negara lain, juga ada gerakan ring the bell atau mengetuk pintu tetangga yang sedang bersitegang, dengan upaya kecil ini terbukti banyak mencegah dan menyelamatkan perempuan dari kekerasan yang dialaminya. B. Kekerasan cyber dan peran strategis digital teknologi untuk pencegahan dan keamanan perempuan terhadap resiko kekerasan berbasis gender. Bentuk kekerasan terhadap perempuan semakin ber-metamorphosis bentuknya, terutama di dunia cyber. Antara lain, menjadi sarana trafficking, drug trafficking, perjodohan online, prostitusi, pornografi yang mengeksploitasi tubuh perempuan, GPS tracker yang mengontrol mobilitas perempuan, kekerasan online yang merusak integritas nama dan tubuh perempuan, penipuan dan kejahatan pada perempuan atau organisasi perempuan karena memanfaatkan kurangnya literacy IT yang dialami mayoritas perempuan, penutupan situs kelompok-kelompok tertentu yang dianggap mengancam publik moral, padahal kenyataannya melanggar hak informasi dan kebebasan berekspresi, maupun berpendapat. Pada sejumlah negara mulai banyak iklan yang menawarkan jasa tracker untuk menguntit keberadaan pacar atau isteri, membobol informasi dan komunikasi dari sms, email hingga datadata penting pasangan untuk mengontrol komunikasi hingga finansial, termasuk jasa menghubungkan perangkat seluler/handphone dengan komputer, sampai ada kasus isteri merasa
“aman” adukan kasus via handphone, rupanya terekam dan terdeteksi suaminya melalui komputer yang dibawah kontrol suaminya. Dalam side event CSW 60, sejumlah isu tersebut dibincang oleh berbagai negara. Selain mengupas kekerasan dan eksploitasi dalam dunia cyber, teknologi digital, namun juga menjadi peluang besar untuk pencegahan kekerasan terhadap perempuan. Di Nepal, orang miskin susah makan, tapi mereka punya perangkat seluler/handphone. Di pedalaman yang sulit terjangkau transportasi, rupanya sarana komunikasi lebih gencar, karena agresivitas perusahaan provider telekomunikasi. Dinamika dan peluang ini banyak digunakan berbagai organisasi perempuan maupun negara untuk edukasi perempuan. Baik edukasi online untuk pendidikan buta huruf, kesehatan termasuk kesehatan reproduksi, konsumen kritis dari kalangan perempuan, penyadaran lingkungan, dan lainnya. Intinya adalah membuat perempuan lebih pintar di komunitas yang masih terbatas akses mobilitasnya. Selain itu ada pendidikan IT literacy terutama kepada perempuan, karena data global perempuan yang melek IT masih jauh tertinggal. Melalui perangkat seluler, maka dapat digunakan untuk pengaduan cepat korban, baik sarana untuk akses kontak emergensi seperti 911, dimana perempuan bisa cepat melapor kegentingannya. Selain itu, juga bisa untuk menuntun korban untuk proses evakuasi aman melalui sms maupun konsultasi jarak jauh apa yang harus dilakukan untuk keluar dan cegah kekerasan yang dialami perempuan. Revolusi peradaban sedang gencar terjadi, border antar negara sudah didekatkan dengan IT, ruang domestik dan privat juga sudah tertembus, perempuan perlu bijak dan melek pada IT, dan kita bisa kreatif menjadikan terobosan strategis untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan.
Catatan (4): “CSW Harus Libatkan dan Alokasikan Tempat Khusus bagi Lembaga HAM Nasional termasuk Lembaga HAM Perempuan ” Sejak tahun 2013, melalui konsultasi regional persiapan CSW ke 57, Komnas Perempuan berusaha untuk berjuang memasukkan pentingnya keterlibatan lembaga HAM Nasional atau NHRI (National Human Rights Institutions) dalam dokumen Commission on the Status of Women (CSW) atau Komisi Status Perempuan. Tiga NHRI atau lembaga HAM Nasional di Indonesia (seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia) perlu terlibat aktif dan diakui perannya dalam forum strategis CSW, karenanya ini perlu dikawal sejak dari dokumen regional Asia Pacific dan juga dimunculkan dalam agreed conclusion. Bahkan tahun 2013, pada CSW 57, Komnas Perempuan secara khusus meloby direktur eksekutif UN Women untuk memasukkan ke dalam setiap pidatonya, tentang pentingnya peran aktif NHRI dalam CSW 60. Peran aktif NHRI yang dimaksud dimulai baik dari persiapan, pelaksanaan dan pengawalan hasil CSW 60 ini, yang selama ini, kerap jadi macan kertas, belum menjadi acuan serius arah bangsa untuk membangun negerinya.
Kenapa NHRI? Terutama NHRI dengan mandat spesifik atau mekanisme HAM Perempuan penting dikawal terus? Karena CSW selama ini hanya punya dua kepesertaan yaitu negara dan CSO. Padahal sebagai lembaga independen, kepesertaanya penting ada tempat (space) khusus, selain untuk merawat independensinya, juga agar temuan dan pandangan-pandangan NHRI turut memperkuat analisa dan agreed conclusions. Selain itu NHRI bisa turut mengawal implementasi agreed conclusions di masing-masing negara. Pada CSW 60, giliran kepesertaan dan space khusus NHRI semakin menguat dan menjadi agenda pada side event maupun konsultasi. Pada side event, beberapa NHRI, baik dari Filipina, Jerman, Maroko, Australia dan Denmark berbagi pengalaman strategisnya mengawal isu HAM Perempuan, termasuk saat menangani isu trafficking, peace building, mediasi isu KDRT, dan lainnya. Semua panelis mendorong perlunya keterlibatan NHRI dan mekanisme khusus dalam CSW. Pada side event tentang NHRI tersebut, Komnas Perempuan menyampaikan sejumlah catatan penting, apabila NHRI akan terlibat dalam CSW. Catatan ini harus menjadi perhatian CSW dan ICC (International Coordinating Committee) yaitu sebuah komite yang mengkordinasi NHRI. Adapun kritik dan catatan dari Komnas Perempuan antara lain: 1. Apabila satu negara hanya direpresentasi oleh 1 NHRI dengan status A dalam forum strategis internasional, termasuk dalam CSW, maka administrasi ICC ini akan memarginalkan institusi HAM yang lebih spesifik atau specified institution, termasuk lembaga HAM Perempuan untuk hadir secara formal merepresentasikan dirinya; 2. Pengakuan status A karena mandat general, secara intrinsik menutup dan tidak mengakui lembaga spesifik tersebut, termasuk kelembagaan perempuan. Padahal penilaian seharusnya ditekankan kepada kinerja. Soal representasi, biarkan masing-masing negara yang tentukan siapa yang akan merepresentasi sesuai isu, tetapi penting ada collected reports antar lembaga HAM; 3. Keterlibatan NHRI dalam CSW harus dieksplisitkan untuk diwakili oleh mekanisme HAM Perempuan atau Komisi HAM Perempuan. 4. Indonesia telah memiliki koordinasi yang baik antar NHRI untuk membagikan peran dan kesempatan bicara di mekanisme HAM Internasional, terutama dalam UPR. Seusai Komnas Perempuan menyampaikan poin tersebut dalam side event, 3 komisi perempuan dari Afrika dan Amerika Latin, mendekati Komnas Perempuan, dan dengan emosional senang merasa terwakili dengan pendapat Komnas Perempuan. Hal ini dikarenakan akses lembagalembaga HAM Perempuan atau komisi perempuan, suaranya kerap tertutup dan keterwakilannya hanya atas nama mandat general NHRI yang lebih luas. Suara lembaga perempuan untuk mewakili dirinya sebagai institusi perempuan dalam mekanisme internasional, akan termarginalkan, karena administrasi ICC yang masih rigid, dan disadari atau tidak, ini bentuk administrasi dan koordinasi yang maskulin. Markas Besar PBB New York, 14-25 Maret 2016 Yuniyanti Chuzaifah (Mewakili Komnas Perempuan di CSW 60)