Camile Giousouf, Muslimah Pertama Partai Demokratik Kristen Jerman
23 Mai 2014
Makalah Islam Camile Giousouf, Muslimah Pertama Partai Demokratik Kristen Jerman
Disusun oleh : Maunah (Pelaksana pada KemenagKabupaten Cirebon)
Sebagai wakil dari Bimas Islam Kemenag Kabupaten
Cirebon
dalam
program
peningkatan
pengetahuan tentang HAM, Kebebasan, dan Perlindungan terhadap Kaum Minoritas di Jerman, saya memiliki catatan khusus selama perjalanan kurang lebih sepuluh hari. Dalam suatu kesempatan, penulis dan rombongan delegasi Indonesia bertemu dengan Camile Giousouf. Muslimah Perempuan keturunan Turki pertama yang menjadi
anggota
parlemen
dari
partai
Christian
Democratic Union (CDU). Usianya menginjak 35 (tiga puluh lima) tahun,tapi terlihat masih sangat belia dan cantik.
Cara
bicaranya
yang
lugas
dan
diplomatis,menunjukkan kecerdasan seorang politisi. Ia memilih untuk berbahasa Inggris dengan kami meski telah disediakan penerjemah Jerman-Indonesia. Menurut saya itu adalah salah satu cara agar ide yang dia sampaikan bisa lebih ‘bulat’ diterima oleh kami tanpa disaring oleh penerjemah.
Satu hal yang membuat saya salut pada perempuan energikini adalah upayanya untuk turut menjadi bagian konkrit dari perubahan. Posisinya sebagai warga keturunan imigrant dan beragama Islam,sekilas tidak menguntungkan di tengah warga asli Jerman yang mayoritas liberal dan Kristen. Apalagi secara legalitas, Islam belum menjadi agama yang resmi di negara tersebut. Menjadi anggota parlemen dari partai Kristen yang dengan gamblang mencantumkan identitas ‘Kristen’ nya juga tentunya bukan hal mudah. Bisa jadi,ada pertentangan baik dari unsur partai maupun dari kalangan muslim sendiri. Tapi Camile justru menganggap term ‘Christian’ dalam Christian Democratic Union sebagai ‘belief’ atau sebagai nilai kepercayaan. Baginya,poin utama dari partai CDU ini adalah partai yang beragama. Nilai-nilai agama yang diejawantahkan merupakan poin penting dalam melihat segala sesuatu. Karena seluruh agama pasti mengajarkan kedamaian dan tolerasni. Dan menurutnya, hal inilah yang seharusnya menjadi fokus utama semua pihak dalam kerangka integrasi dari pada
sekedar meributkan status keagamaan tanpa solusi yang berarti. Saya pribadi melihat hal ini sebagai bentuk negosiasi halus seorang Camile. Sebagai minoritas, dia sangat cerdas dan berani menentukan langkah dan sikap. Dia seolah menjadi representasi perempuan muslim progresif yang keberadaannya semakin sulit untuk dicari di era kontemporer ini. Dia tidak sekedar melemparkan wacana tetapi juga mau secara konkrit membuka pikiran untuk menghargai perbedaan dan tetap melakukan hal yang memberi manfaat di tengah perbedaan tersebut. Alih-alih
memperuncing,
dia
justru
menjadikan
perbedaan tersebut sebagai kekuatan untuk maju dan bersinergi untuk bisa melakukan sesuatu. Saat pemilihan kemarin misalnya, Ia mendapat dukungan penuh dari kanselir Angela Merkel saat kampanye. Saya pikir, hal itu tidak akan terjadi jika Camile tidak memiliki hubungan dan komunikasi yang baik dengan Angela. Saya masih ingat saat kami bersalaman untuk berpisah, Camile berkata:”Kita masih punya banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Ini bukan
pekerjaan yang mudah.” Saya melihat kata-kata ini sebagai bentuk kepedulian konkrit beliau terhadap kondisi yang dihadapi. Saya berfikir, sementara anak-anak muda di Indonesia masih sibuk saling menghujat --saat ini khususnya dengan topik capres dan cawapres--, pun masih saling memaki dan cenderung ‘omong doang’ saat ada permasalahan dan tidak berusaha memperbaiki komunikasi, Camile justru tampil sebagai pribadi muda yang konkrit dengan langkah-langkah yang jelas dan pasti di tengah kemelut politik dan kehidupan yang sebetulnya jauh lebih sulit untuk dihadapi oleh masyarakat muslim. Seandainya kita sebagai generasi muda mau sedikit saja belajar dari perempuan hebat ini dan berkenan meninggalkan perdebatan kusir yang sama sekali tidak bermanfaat, tentu negeri ini bisa semakin mudah ‘menemukan jalannya’. Wallahu a’lam.