www.parlemen.net CACATAN TERHADAP RUU PERLINDUNGAN SAKSI BERDASARKAN UU DAN PP TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PENCUCIAN UANG HAL Definisi Saksi
RUU USUL INISIATIF DPR Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.
Baik UU PTPK dan TP Pencucian Uang, tidak saja memberikan perlindungan kepada saksi namun juga kepada pelopor. PP No. 57 Tahun 2004 Tata cara perlindungan khusus bagi pelapor dan saksi Tindak pidana pencucian uang Pelapor adalah setiap orang yang: • karena kewajibannya berdasarkan peraturan perundang-undangan menyampaikan laporan kepada PPATK tentang Transaksi Keuangan Mencurigakan atau Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang; atau • secara sukarela melaporkan kepada penyidik tentang adanya dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana pencucian uang yang didengar sendiri, dilihat sendiri, dan dialami sendiri. Catatan Dalam UU 31 Tahun 1999 berdasarkan Pasal 41 secara tidak langsung membagi saksi dalam tiga kelompok yaitu saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli. Yang dimaksud dengan pelopor adalah orang yang memberi informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi (bagian penjelasan) Usulan Untuk mengakomodir terhadap pihak-pihak yang dapat dikategorikan sebagai pihak yang dapat memberikan keterangan dalam proses peradilan pidana, maka definisi tentang saksi perlu diperluas, tidak saja saksi menurut KUHAP, namun pengertian tentang saksi mencakup pula seorang pelapor atau pengadu (wistle blower); orang yang memberikan keterangan dalam proses
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net HAL
RUU USUL INISIATIF DPR
Lembaga Perlindungan Saksi
(1)
Lembaga perlindungan Saksi dan Korban merupakan lembaga yang mandiri. (2) Lembaga perlindungan Saksi dan Korban dibentuk sekurangkurangnya di setiap ibukota provinsi dan di wilayah kabupaten/kota yang dianggap perlu oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Lembaga perlindungan Saksi dan korban bertanggungjawab menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi dan Korban berdasarkan ketentuan sebagaimana di atur dalam UndangUndang ini. •
• •
(1) (2)
1
Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan korban terdiri atas 7 (tujuh) orang yang masing-masing berasal dari unsur Komnas HAM, Kepolisian, Kejaksaan, Departemen Kehakiman dan HAM, Akademisi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Ketua dan Sekretaris Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dipilih dari dan oleh anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Kriteria anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, dan tata cara pemilihan Ketua dan Sekretaris diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Masa Jabatan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban adalah 5 (lima) tahun. Masa jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk satu kali masa jabatan berikutnya.
peradilan berdasarkan keahliannya (saksi ahli). Sehingga definisi dari Saksi adalah seseorang yang menyampaikan laporan mengenai terjadinya suatu tindak pidana dan atau orang yang dapat memberikan keterangan dalam proses penyelesaian perkara pidana berkenaan dengan peristiwa hukum yang is dengar, lihat dan alami sendiri dan atau orang vang memiiiki keahlian, khusus tentang pengetahuan terfentu guna kepentingan penyelesaian perkara pidana. Perlindungan dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Segala biaya berkaitan dengan perlindungan khusus terhadap Pelapor dan Saksi, dibebankan pada anggaran Kepolisian Negara Republik Indonesia tersendiri Catatan Saat ini total ada 45 lembaga nonstruktural di Indonesia. Sebanyak 70 persen di antaranya di antaranya di antaranya di bentuk berdasarkan keputusan presiden (keppres) 23 persen berdasarkan undang-undang (UU) dan 7 persen berdasarkan peraturan pemerintah (PP). sebagian besar lembaga ini 100 persen anggarannya dibiayai APBN baik langsung maupun tidka langsung dalam arti melalui departemen yang menaungi. Hanya segelintir yang tak bergantung sepenuhnya pada APBN. Padahal tidak sedikit dari 45 lembaga nonstruktural yang sekarang ini hanya merupakan lembaga tidur atau hanya tinggal nama, karena sudah tidak aktif lagi. Hal itu antara lain bisa dilihat dari tidak jelasnya lagi keberadaan dan kiprah mereka dan juga tidak adanya laporan kinerja yang seharusnya disampaikan secara berkala tiap tiga bulan atau setahun sekali ke Kantor Menneg PAN1 Di luar itu kerja beberapa komisi ini dinilai tidak efektif dan tumpang tindih sehingga muncul banyak usulan untuk melebur atau melikuidasi saja komisikomisi yang tidak efektif atau tumpang tindih tersebut. Mereka ini tetap menjadi beban APBN. Disisi lain, ada juga komisi-komisi yang masih terlantar sampai beberapa bulan atau bahkan tahunan setelah terbentuk karena anggarannya sendiri belum jelas. Bakhan banyak dari anggota dan staffnya yang belum digaji. Kantor pun tak ada, berpindah-pindah atau menumpang. Untuk biaya operasional kadang-kadang harus mengutang sana sini, atau
Kompas, 30 April 2005, Inflasi Komisi, Inflasi Beban APBN
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net HAL
RUU USUL INISIATIF DPR menrogoh kocek sendiri. (1) (2)
(1) (2)
Tata Cara Pemberian Perlindungan
Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Dalam hal keputusan tidak dapat dicapai, maka keputusan diambil dengan suara terbanyak. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban bertanggungjawab kepada Presiden. Lembaga Perlindungan saksi dan Korban membuat pertanggungjawaban secara berkala kepada Dewan Perwakilan Rakyat sekurang-kurangnya sekali dalam 1 (satu) tahun dan tembusannya disampaikan kepada Menteri Kehakiman dan HAM.
Biaya Semua pembiayaan bagi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dibebankan kepada Negara. Seseorang yang menjadi Saksi dan/atau Korban, berhak memperoleh perlindungan melalui tata cara: a.
b.
c.
(1)
Saksi danlatau Korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban karena kemungkinan adanya ancaman terhadap dirinya; Lembaga perlindungan Saksi dan Korban akan melakukan pemeriksaan terhadap permohonan perlindungan saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud pada huruf a; Keputusan Lembaga Perlindungan saksi dan/atau Korban diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) had kerja sejak permohonan perlindungan diajukan. Dalam hal Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban berpendapat bahwa keadaan Saksi dan/atau Korban memerlukan perlindungan terhadap keamanan dirinya atau
Perlindungan khusus oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dilaksanakan berdasarkan adanya kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau harta termasuk keluarga Pelapor dan Saksi sebagai akibat: 1.
2.
3. •
disampaikannya laporan tentang adanya Transaksi Keuangan Mencurigakan atau Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai oleh Pelapor atau PPATK kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia; disampaikannya laporan tentang adanya dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang oleh Pelapor atau PPATK kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau ditetapkannya seseorang sebagai Saksi dalam perkara tindak pidana pencucian uang. Dalam jangka waktu paling lambat 1 X 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak laporan diterima atau seseorang ditetapkan sebagai Saksi, Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan klarifikasi alas
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net HAL
(2)
RUU USUL INISIATIF DPR keluarganya, Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan diminta untuk menandatangani perjanjian perlindungan. Surat perjanjian yang dilandatangani Saksi dan/atau Korban dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban berisikan: • Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk mentaati aturan yang berkenaan dengan keselamatannya. • Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk tidak berhubungan dengan cara apapun dengan orang lain selain alas persetujuan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, selama is berada dalam Perlindungan Lembaga ini. • Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk tidak memberitahukan kepada siapapun mengenai keberadaannya di bawah Lembaga perlindungan Saksi dan Korban. • Kewajiban Lembaga perlindungan Saksi dan Korban untuk memberkan perlindungan sepenuhnya pada Saksi dan/atau Korban, termasuk keluarganya.
Perlindungan atas keamanan Saksi dan/atau Korban hanya dapat dihentikan berdasarkan alasan; • Dalam Hal Saksi dan/atau Korban berkeberatan atas dihentikannya perlindungan oleh Lembaga perlindungan Saksi dan Korban, ia berhak untuk mengajukan keberatannya ke
kebenaran laporan dan identifikasi bentuk perlindungan yang diperlukan. • Pemberian perlindungan khusus diberitahukan secara tertulis kepada Pelapor dan/atau Saksi paling lambat dalam jangka waktu 1 X 24 (satu kali dua puluh empat) jam sebelum pelaksanaan perlindungan. • Dalam hal perlindungan khusus belum diberikan, Pelapor, Saksi, PPATK, Penyidik Penuntut Umum, atau Hakim dapat mengajukan permohonan perlindungan kusus kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia. • Permintaan perlindungan khusus oleh Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim dilakukan sesuai dengan tingkatan pemeriksaan perkara tindak pidana pencucian uang. • Permohonan perlindungan khusus diajukan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Pelapor dan/atau Saksi. • Dalam jangka waktu paling lambat 1 X 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak permohonan perlindungan khusus diterima, Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan klarifkasi alas kebenaran permohonan dan identifikasi bentuk perlindungan khusus yang diperlukan. • Pemberian perlindungan khusus diberitahukan secara tertulis kepada Pelapor dan/atau Saksi paling lambat dalam jangka waktu 1 X 24 (satu kali dua puluh empat) jam sebelum pelaksanaan perlindungan. • Dalam melaksanakan ketentuan Pemberian perlindungan khusus Kepolisian Negara Republik Indonesia berkoordinasi dengan PPATK, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang menangani perkara tindak pidana pencucian uang. • Teknis pelaksanaan perlindungan khusus diatur dengan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan masukan dari instansi terkait. Pemberian perlindungan, khusus terhadap Pelapor danlatau Saksi dihentikan: a. berdasarkan penilaian Kepolisian Negara Republik Indonesia perlindungan tidak diperlukan lagi; atau b. atas permohonan yang bersangkutan.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net HAL •
RUU USUL INISIATIF DPR pengadilan yang akan memutuskan perkara tersebut. Penghentian perlindungan keamanan seseorang Saksi dan/atau korban harus dilakukan secara tertulis.
Penghentian pemberian perlindungan khusus, harus diberitahukan secara tertulis kepada Pelapor, Saksi dan/atau keluarganya dalam waktu paling lambat 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sebelum perlindungan khusus dihentikan. Dalam hal Pelapor dan/atau Saksi menilai perlindungan khusus masih diperlukan, Kepolisian Negara Republik Indonesia atas dasar permohonan Pelapor dan/atau Saksi wajib melanjutkan pemberian perlindungan khusus bagi Pelapor dan/atau Saksi yang telah dihentikan.
Ketentuan Pidana
•
•
•
•
•
Setiap orang yang memaksakan kehendaknya baik memakai kekerasan maupun cara-cara tertentu, yang menyebabkan saksi dan/atau korban tidak memeperoleh perlindungan sehingga saksi dan/atau korban tidak memberikan kesaksiannya pada tahap pemeriksaan tingkat manapun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sehingga menimbulkan luka berat pada Saksi dan/atau Korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Setiap orang yang menghalang-halangi dengan cara apapun, sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan atau bantuan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Setiap orang menyebabkan Saksi dan/atau Korban atau keluarganya kehilangan pekerjaan karena Saksi dan/atau Korban tersebut memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Setiap orang yang menyebabkan dirugikan atau dikuranginya hak-hak Saksi dan/atau Korban disebabkan Saksi dan/atau
(Merangkum Pasal 6-10 PP 57 Tahun 2003) Catatan Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua betas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net HAL
•
RUU USUL INISIATIF DPR Korban, memberikan kesaksian yangt benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun danlatau denda paling banyak 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Setiap orang yang memberitahukan keberadaan Saksi dan/atau Korban yang tengah dilindungi dalam suatu tempat khusus yang dirahasiakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Dalam hal perbuatan dilakukan oleh Pejabat Publik, maka ancaman pidannya ditambah 1/3 (sepertiga).
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net