REVIEW STATUS LITBANG TANAMAN KILEMO (Litsea cubeba L. Person) DI INDONESIA 1) 2)
Oleh/by: Tati Rostiwati 2) dan Kurniawati Purwaka Putri
3)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan 3) Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Email:
[email protected]
ABSTRAK Kilemo atau Krangean (Litsea cubeba L. Person) merupakan tumbuhan sumber bahan baku penghasil minyak atsiri potensial. Badan Litbang Kehutanan mulai fokus melakukan penelitian tentang jenis ini sejak tahun 2006. Sampai saat ini (2012) kegiatan penelitian masih terus dilakukan dalam upaya meningkatkan produktiitas minyak atsirinya. Naskah ini bertujuan untuk menyajikan data dan informasi hasil-hasil penelitian tanaman Kilemo di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penyusunan naskah ini adalah melalui penelusuran pustaka (dalam dan luar negeri) yang mendukung penjelasan ilmiah hasil penelitian Badan Litbang Kehutanan serta survai dan pengalaman di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tumbuhan kilemo yang berupa perdu atau pohon kecil keberadaannya di alam telah semakin mengkhawatirkan. Terkait dengan puncak musim berbuah yang hanya 1 (satu) bulan dan benih kilemo yang bersifat rekalsitran, maka diperlukan teknologi penyediaan bibit yang tepat. Pembangunan hutan tanaman kilemo membutuhkan ketepatan jumlah dan waktu penyediaan bibit, maka teknik kultur jaringan merupakan alternative teknik perbanyakan yang tepat. Bibit sampai ke tahap aklimatisasi hanya membutuhkan waktu 5 (lima) bulan. Kegiatan penanaman dengan sistim silvikultur intensif menunjukkan hasil yang memuaskan dengan pembentukan bunga mulai terlihat pada tahun ke 2 dengan tinggi dapat mencapai 13,23 m dan diameter 4,68 cm . Informasi tentang tataniaga kilemo menunjukkan bahwa terdapat 5 (lima) pelaku tata niaga kulit kayu kilemo dengan permasalahan dalam pemenuhan suplai bahan baku, seperti kondisi pedagang pengumpul di Jawa Tengah yang mengalami kesulitan dalam memperoleh bahan baku. Upaya pengembangan jenis kilemo di wilayah sebarannya selain dalam rangka penyediaan bahan baku bagi industry obat dan kosmetik juga sebagai upaya konservasi jenis dari kelangkaan. Kata kunci: kilemo (L. cubeba), minyak atsiri, obat dan kosmetik, penelitian 1)
2) 3)
Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional POKJANAS TOI XLII: “Penggalian, Pelestarian, Pemanfaatan dan Pengembangan Tumbuhan Obat Indonesia untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat” tanggal 15 – 16 Mei 2012 di Cimahi, Bandung Peneliti Madya pada Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan Litbang Kehutanan Peneliti Muda pada Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
1
I.
PENDAHULUAN
Minyak atsiri merupakan salah satu komoditas ekspor dari sektor non migas yang dapat berfungsi sebagai sumber devisa negara potensial. Di Indonesia, terdapat kurang lebih 40 jenis tanaman penghasil minyak atsiri potensial, tetapi hanya baru sebagian kecil jenis minyak atsiri tersebut yang telah berkembang dan diketahui bernilai ekspor (Gunawan, 2009). Di pasar dunia, minyak atsiri Indonesia selain bersaing dengan sesama Negara produsen juga bersaing dengan produk sintetik. Namun, tanaman penghasil minyak atsiri umumnya diusahakan oleh petani dengan modal dan luasan terbatas serta kebanyakan menggunakan alat penyuling yang sederhana, sehingga mutu dan rendemen yang dihasilkan masih rendah (Hobir et al., 2003 dalam Yuhono dan Suhirman, 2006). Oleh karena itu agar bisa bersaing di pasar dunia, kualitas minyak atsiri terus ditingkatkan dengan harga relatif rendah, sebagai contoh pada tahun 2000, harga minyak seraiwangi asal Indonesia dan Srilangka masing-masing US $ 4,25 dan US $6,50/kg, sedangkan untuk minyak akar wangi asal Indonesia dan RRC berturut turut US $ 36,50 dan US $ 45/kg (George Uhe, 2001 dalam Yuhono dan Suhirman, 2006 ). Salah satu diantara jenis tanaman yang
berpotensi sebagai sumber minyak atsiri
komersial di Indonesia adalah jenis tanaman kilemo (Litsea cubeba L. Person). Sampai saat ini produsen minyak kilemo masih didominasi oleh China, karena selain tingginya kebutuhan dunia, kebutuhan minyak atsiri kilemo di Negara Chinapun cukup tinggi, sehingga menyebabkan kebutuhan pasar internasional terhadap minyak atsiri kilemo cukup menjanjikan. Hal ini merupakan suatu kesempatan besar bagi Indonesia untuk dapat menjadikan minyak atsiri kilemo sebagai komoditi bernilai ekspor. Kilemo atau Krangean (L. cubeba) merupakan tumbuhan penghasil minyak atsiri potensial, karena semua bagian pohon yaitu buah, daun, kulit kayu dan akar dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku minyak atsiri dengan baunya yang harum. Minyak atsiri dari bagian buahnya banyak mengandung sitral (70 – 85 %) (Lin, 1983), sedangkan pada kulit batang dan daunnya terkandung saponin, plafonoid dan tanin (www.iptek. apjii.or.id, 2006). Minyak atsiri kilemo yang biasa disebut May Chang Oil banyak dibutuhkan untuk keperluan industri seperti bahan kosmetik (aromaterapi), sabun, minyak wangi, pembersih kulit, obat jerawat serta memiliki unsur karsinostatic (zat
anti
kanker)
(http://www.fao.org/docrep/v5350e.htm). 2
Kebutuhan
pasar
internasional akan minyak atsiri kilemo sekitar 500 ton per tahun. Importir minyak kilemo adalah USA, Jepang dan negara-negara di Eropa Barat. Di China dan Vietnam, kilemo sudah menjadi komoditas perdagangan penting dan dibudidayakan secara besarbesaran (Lina, 2003). Berdasarkan hasil pengamatan di beberapa tempat seperti di Taman Nasional Gede Pangrango, Kawasan Gunung Patuha, dan Tangkuban Perahu, keberadaan pohon ini mulai terancam karena mulai diburu masyarakat dengan menebang pohon dan mengulitinya untuk dijual. Informasi yang didapat di lapangan adalah bahwa harga kulit batang lemo sekitar Rp 25.000 per kg, dimana 1 pohon kilemo dapat menghasilkan kulit sekitar 25 - 50 kg kulit (Rostiwati et al., 2007). Oleh karena itu naskah ini bertujuan untuk menyajikan data dan informasi hasilhasil penelitian tanaman Kilemo di Indonesia dalam rangka upaya konservasi jenis (insitu dan ex situ) yang sampai saat ini belum dilakukan secara intensif dan sangat memerlukan sinergitas peran di setiap sektor yang terlibat dalam pengembangan jenis ini di Indonesia. II. PENGENALAN JENIS TANAMAN
A.
Nama Daerah dan Sebaran Kilemo (L.cubeba L. Person) merupakan tanaman pegunungan dari marga
Lauraceae yang dikenal dengan sebutan “Mountain pepper” atau “Lada Gunung”. Ada beberapa nama daerah dari jenis ini yaitu kilemo (Sunda), krangean (Jawa), antarasa (Batak Toba), Apokayan (Malinau, Kalimantan Timur) (Heyne, 1987; Prosea, 1999; http://www. fao. org/ docrep/ v5350e.htm). Jenis tanaman ini tersebar secara alami mulai dari Himalaya timur sampai Asia bagian tenggara, Cina bagian selatan dan Taiwan (Prosea, 1999).
Di Indonesia,
tanaman kilemo tumbuh liar di daerah pegunungan di Jawa dan Sumatera pada ketinggian 700 hingga 2300 m di atas permukaan laut (Heyne, 1987) selain itu terdapat juga di Kalimantan Timur pada ketinggian 400-600 m dpl (Prosea, 1999). Pengamatan keberadaan tegakan alam Kilemo di Kawah Putih, Ciwidey, Jawa Barat yang berada pada. titik kordinat 07o09.613S; 107o24.411T, jumlah tanaman Kilemo yang ditemukan untuk tingkat pohon sebanyak 6 individu, tingkat tiang 88 individu, tingkat semai/pancang 54 individu (Rostiwati et al., 2007). Pohon kilemo umumnya hidup di tempat-tempat terbuka (Gardner et al., 2000). Hasil survey di Provinsi Sumatera Utara menunjukkan bahwa jenis ini dijumpai di 3
hutan sekunder di tempat terbuka atau di ladang-ladang masyarakat di pinggir hutan. Selain itu ditemukan juga walaupun sangat jarang pada hutan primer di bagian pinggir atau bagian atas hutan yang agak terbuka pada ketinggian 1.000-1.300 m dpl (Ali, 2008). B.
Habitus Tumbuhan kilemo berupa perdu atau pohon kecil dengan tinggi 5-12 m dan
diameter antara 6-20 cm. Batang tegak berkayu, bulat, dengan percabangan simpodial (http://www. fao. org/ docrep/ v5350e.htm). Ngernyuang et al. (2007) melaporkan bahwa tinggi pohon kilemo di Northern Thailand berkisar 15 – 20 m, sedangkan tinggi pohon kilemo yang berada di kawasan hutan lindung Dusun Sibodiala, Desa Silalahi Pagar Batu, Kecamatan Balige, Kabupaten Toba Samosir (Tobasa) sebesar 14,6 m ± 3,1 dengan diameter batang sebesar 11,23 cm ± 3,4 dan lebar tajuk sebesar 6,4 m ± 1,9 (Putri et al., 2010). Rata-rata tinggi pohon kilemo di Aek Na Uli adalah 15,4 ± 4,6 m dengan diameter pohon mencapai 19 ± 9,4 cm (Putri et al., 2011). Kilemo merupakan jenis tanaman yang berbunga sepanjang tahun (Prosea, 1999), namun mempunyai masa berbuah terbanyak pada bulan Juli hingga akhir Agustus. Musim berbuah biasanya berbeda untuk di beberapa lokasi seperti di wilayah Ciwidey Jawa Barat yang diketahui bahwa musim berbuah terjadi pada bulan Januari – Februari. Buah kilemo berbentuk bulat berwarna hijau berukuran kecil berbentuk berry, bijinya menyerupai biji merica dengan ciri masak fisiologis buah berwarna hitam. Untuk mendapatkan benih, buah diekstraksi dengan cara menggosok buah dengan pasir secara perlahan sampai daging buahnya terlepas, kemudian dicuci bersih. Satu kg benih terdiri dari 76.161 butir. Pohon kilemo menghasilkan buah yang tergolong tipe buah berdaging. Untuk mendapatkan benih/biji kilemo, maka dilakukan proses perendaman buah selama 24 jam kemudian menggosok-gosokkan buah pada permukaan yang agak kasar hingga kulit buah terpisah dari biji. Ukuran diameter dan panjang buah L. cubeba adalah 6,7 ± 0,22 mm dan 7,7 ± 0,32 mm dengan berat buah 0,194 gram. (Ngernyuang et al., 2007).
4
III.
A.
POTENSI JENIS KILEMO
Potensi Tegakan Di daerah sekitar Danau Toba, kilemo atau krangean atau antarasa merupakan
jenis yang cukup dominan dalam ekosistem hutan primer, hutan tanaman, dan hutan sekunder/ belukar, khususnya pada phase permudaaan tingkat semai (seedlings), pancang (saplings), dan tiang (poles). Hal tersebut ditunjukkan dari hasil inventarisasi yang dilakukan pada areal hutan tanaman tusam (Pinus merkusii) di hutan Sihosar, Desa Aji Namba, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo. Harbagung et al. (2009) telah menginventarisasi potensi kilemo di provinsi ini masih cukup tinggi, yaitu tingkat semai ± 3.200 individu/ha, tingkat pancang ± 350 individu/ha, tingkat tiang ± 94 individu/ha, dan tingkat pohon ±40 individu/ha. Hasil inventarisasi potensi di Provinsi Jawa Barat dan Banten berada pada areal seluas ± 661.800 ha, terutama terdapat di sekitar Gunung Salak, Gede, Pangrango, Patuha, Tangkuban Perahu, dan Ceremai dengan potensi sangat kecil, yaitu semai ± 400 individu/ ha, pancang ± 117 individu/ha, tiang ± 27 individu/ha; sedangkan tingkat pohon (diameter 20 cm ke atas) sudah sangat sulit ditemukan. B.
Produksi Buah Umumnya produksi buah akan mencapai puncaknya setelah pohon mencapai
umur kira-kira setengah daur hidupnya. Untuk jenis kilemo belum diketahui umur pohon yang mampu menghasilkan buah terbaik dari segi potensi buahnya maupun kualitas minyak yang dihasilkannya. Ali (2008) melaporkan bahwa potensi produksi buah kilemo dari pohon berdiameter 8 cm sekitar 2,1 kg/pohon dengan jumlah buah per-kg mencapai 10.000-12.000 buah.
Sedangkan di kawasan hutan alam Aek Na Uli,
rata-rata produksi buah kilemo yang dihasilkan dari pohon berdiameter 15 – 25 cm mencapai 3,08 ± 2,89 kg dan dari pohon berdiameter 35 – 45 cm sebanyak 13,98 ± 8,74 kg (Putri et al., 2011). Tingkat korelasi antara produksi buah kilemo dengan ukuran diameter batang pohon mencapai 74,8 % (Putri et al., 2011). Adanya korelasi yang kuat antara diameter batang dengan produksi buah selain bermanfaat sebagai penduga produksi buah, juga dapat digunakan sebagai dasar penentuan perlakuan silvikultur yang tepat sebagai upaya meningkatkan produksi buahnya. Perlakuan silvikultur tersebut misalnya dengan 5
penerapan jarak tanam tertentu atau teknik pemupukan yang tepat sehingga akan memaksimalkan pertumbuhan diameter batang pohon yang akhirnya diharapkan mampu meningkatkan produksi buahnya. C.
Produksi Biomassa Pohon Harbagung et al. (2009) telah melakukan penelitian model pendugaan biomassa
organ pohon kilemo. Penyusunan model pendugaan biomassa pohon kilemo, telah dikumpulkan data dari 7 pohon sampel dari KHDTK Aek Nauli, Sumatera Utara, dan 22 pohon sampel dari hutan alam Ciwidey, Bandung Selatan, Jawa Barat. Dari analisis data, diperoleh model pendugaan berat biomassa masing-masing organ pohon seperti terlihat dalam Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1. Model pendugaan berat biomassa organ pohon kilemo (Litsea cubeba) untuk lokasi Aek Nauli, Provinsi Sumatera Utara.
Organ pohon
Model pendugaan
Koefisien determinasi terkoreksi (%)
Akar
93,5
Kayu batang
99,4
Kulit batang
96,1
Cabang & ranting
92,7
Daun
97,0
Sumber: Harbagung et al. (2009)
Tabel 2. Model pendugaan berat biomassa organ pohon kilemo (Litsea cubeba) untuk lokasi Ciwidey (Bandung Selatan), Provinsi Jawa Barat. Organ pohon
Koefisien determinasi terkoreksi
Model pendugaan
(%) Akar
90,6
Kayu batang
99,4
Kulit batang
98,8
Cabang ranting
&
78,9 94,2
Daun Sumber: Harbagung et al. (2009)
6
D.
Potensi Minyak Atsiri Sebagian besar komponen dari pohon lemo dapat menghasilkan minyak atsiri,
tetapi yang paling banyak kandungannya pada bagian daun dan kulit pohon. Jenis ini merupakan sumber sitral yang berkualitas dan merupakan pesaing utama minyak lemongrass. Untuk mendapatkan minyak atsiri dari litsea cubeba dapat melalui penyulingan dengan cara rebus, kukus dan cara uap langsung (steam), dimana hasil kualitas minyak atsirinya sangat dipengaruhi oleh iklim, tipe tanah, penanganan bahan, cara penyulingan dan penyimpanan, juga dipengaruhi oleh jenis dan varietas tumbuhan. Mutu dan minyak atsiri biasanya ditetapkan dalam bentuk dan sifat fisikokimia dan organoleptik dengan parameternya : bobot jenis, indeks bias, putaran optik, kelarutan dalam alkohol, bilangan asam dan bilangan ester. Karakteristik minyak litsea cubeba dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Karakteristik minyak Litsea cubeba No
1 2 3 4 5 6
Karakteristik Bobot Jenis 250/250C Index bias, 250C Putaran optik Bilangan asam Bilangan ester Kelarutan dalam etanol 70%
Nilai 0,8986 -0,9015 1,4616-1,4620 (-20,140 –(-17,700) 0,18 – 0,21 29,2 -41,4 1:5 larut dan jenuh
Sumber : Zamarel et al. (1990)
Di Indonesia, terutama di JawaTengah minyak atsiri kilemo yang berasal dari hasil sulingan kulit batang dan daun telah diperdagangkan di toko obat diproduksi dalam skala kecil untuk pembuat parem dikenal dengan minyak krangean atau minyak trawas. Sedangkan di Jawa Barat parem di buat dari buah dan kulit kayunya. Kulit segar kering udara mengandung 1,25% minyak atsiri yang terdiri dari sitronelal dan sitral, serta mengandung 0,4% alkaloid berupa laurotetanin (Heyne, 1987). Di China penyulingan dalam skala besar telah dilakukan dari buah untuk bahan baku aromaterapi dalam industri sabun, minyak pijat, minyak SPA, pewangi ruangan dan lain-lain. Adapun susunan minyak L. cubeba asal Indonesia dan rata- rata konsentrasinya mengandung : Sineol 30%, Sitronellal 0,94%, linallol 8,95% dan sitral 16,02%. Saat ini kebutuhan pasar akan minyak atsiri sekitar 500 ton lebih per tahun. Penyulingan kulit segar kering angin 2 kg menghasilkan 25 cc minyak atsiri, dengan kandungan 7
citronellal dan citral 75%. Sedangkan penyulingan 100 gram buah lemo menghasilkan 3,9 cc minyak atsiri dengan kandungan citral 64 % (Lina, 2003). Berdasarkan hasil penelitian Rostiwati et al. (2009) bahwa rendemen minyak hasil penyulingan kilemo yang berasal dari Kawasan Tangkuban Perahu Cikole, Jawa Barat menunjukkan bahwa rendemen yang berasal dari buah dengan metode penyulingan rebus menghasilkan rendemen minyak tertinggi (10,28%) dibandingkan bahan tanaman yang lainnya, sedangkan bagian daun (8,1%) dan kulit batang (1,62%) menghasilkan rendemen tinggi dengan menggunakan metode penyulingan kukus (Tabel 4). Tabel 4. Rendemen hasil penyulingan daun, kulit batang dan buah kilemo yang berasal dari Kawasan Tangkuban Perahu Cikole, Jawa Barat Bahan tanaman Daun Buah Kulit batang
Metode Penyulingan Kukus (%) Rebus (%) 8,1 7,7 6,89 10,28 1,62 1,24
Rostiwati et al. (2009)
Menurut Zulnely et al. (2007) minyak kilemo yang berasal dari Kuningan, Jawa Barat menghasilkan rendemen daun yang tinggi 5,4% dengan metode penyulingan kukus selama 8 jam, sedangkan kulit batang menghasilkan rendemen 1,55% dengan metode yang sama selama 8 jam, sedangkan hasil penelitian sebelumnya penyulingan daun kilemo asal Sukabumi menghasilkan rendemen sebanyak 7,9%. Hasil analisis komponen kimia minyak kilemo yang berasal dari Kawasan Tangkuban Perahu Cikole, Jawa Barat diperoleh komponen utama minyak dari daun berupa senyawa sineol, citronellal, β-pinen, dan α-terpinenil acetat. Sedangkan pada batang terdapat sineol, citronellal, neo-isopulegol dan geranyl acetat.
IV. UPAYA BUDIDAYA KILEMO Budidaya tanaman kilemo merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam rangka mendukung pengembangan usaha pengolahan tanaman kilemo menjadi minyak atsiri. Teknik budidaya tanaman kilemo yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut : A. Teknik Perbanyakan Generatif dengan Biji Penelitian awal menunjukkan bahwa benih kilemo bersifat rekalsitran sehingga cepat mengalami penurunan daya kecambahnya dan tidak dapat disimpan lama, 8
sehingga setelah pengunduhan buah harus segera dikecambahkan (Rostiwati et al., 2009). Teknik perbanyakan bibit kilemo secara generatif dapat melalui perkecambahan biji/benih yang sudah masak fisiologis.
Biji yang telah dibersihkan harus segera
dikecambahkan karena sifatnya yang semi rekalsitran sehingga tidak bisa disimpan dalam waktu yang lama di ruang terbuka (Ali, 2008). Perendaman biji kilemo sebelum dikecambahkan dalam larutan Asam giberelin (GA3) dengan konsentrasi 200 ppm selama 48 jam.dilakukan dalam upaya meningkatkan persentase keberhasilan perkecambahan. Teknik perkecambahan tersebut menunjukkan bahwa benih kilemo akan mulai berkecambah pada hari ke 21 dengan persen perkecambahan sebesar 81 % , sementara perendaman benih dalam air selama 24 jam hanya mampu menghasilkan persen berkecambah sebesar 25,7 % dan benih baru mulai berkecambah pada hari ke 38 (Ali dan Rostiwati, 2011).
Beberapa penelitian
penggunaan bahan organik sebagai media atau pencampur media pertumbuhan bibit sudah dilaksanakan dengan kualitas bibit yang dihasilkan cukup baik. B.
Teknik Perbanyakan Generatif dengan Cabutan Alam Perbanyakan kilemo dapat juga dilakukan dengan menggunakan bahan generatif
berupa anakan alam (cabutan) yang berada di sekitar pohon induknya. Kriteria bibit/anakan yang digunakan adalah tinggi berukuran 5 -10 cm dengan jumlah daun 2 4 helai. Selanjutnya anakan di tanam dalam kantong plastik yang telah diisi dengan media sapih. Media sapih terbaik untuk cabutan kilemo adalah media campuran tanah atas dan serbuk sabut kelapa (cocopeat) dengan perbandingan 1: 1. Penggunaan media campuran tersebut diperoleh persen hidup anakan sebesar 87% serta menghasilkan tingkat pertumbuhan anakan/bibit terbaik, yaitu pada saat umur bibit 7 bulan diperoleh anakan/bibit
dengan tinggi 46,11cm dan diameter 0,39cm
serta siap ditanam di
lapangan (Heryati et al., 2007). Di persemaian anakan/bibit kilemo membutuhkan naungan yang cukup rapat yaitu dengan intensitas cahaya 238 – 640 Lux. Penyiraman dilakukan setiap hari atau disesuaikan dengan kondisi kelembaban media yang dilakukan sampai anakan siap ditanam di lapangan. C.
Teknik Perbanyakan Vegetatif dengan Stek
Teknik perbanyakan kilemo juga dapat dilakukan secara vegetatif stek. Penyetekan sebaiknya menggunakan bahan stek berupa semai (tanaman muda) karena terbukti menghasilkan persentase hidup terbaik yaitu sebesar 52,8% (Harbagung, et al., 9
2009). Untuk meningkatkan keberhasilan stek, bahan stek diberi tambahan hormon atau zat pengatur tumbuh IBA konsentrasi 1000 ppm dengan metode rendam. Media perakaran stek berupa campuran homogen sabut kelapa dan arang sekam padi dengan perbandingan 2 : 1. D.
Teknik Perbanyakan dengan Kultur Jaringan
Teknik perbanyakan bibit kilemo secara vegetatif juga dapat melalui teknik mikropropagasi kultur jaringan.
Tahapan kegiatan kultur jaringan yang dilakukan
adalah 1) tahap penggandaan tunas dan perakaran dari eksplan dengan pemberian hormon tumbuh sitokinin dan auksin. Bahan eksplan diambil dari bagian tunas paling atas (apek) dan tunas samping (aksiler); 2) tahap aklimatisasi yaitu proses mengadaptasikan tanaman dari kondisi in vitro ke ex vitro yaitu pemindahan planlet yang sudah berakar ke media dengan kombinasi tanah; pasir dan kompos yang steril di rumah kaca. Rostiwati dan Yani (2010) melaporkan bahwa: 1) hasil sterilisasi penggunaan tunas apeks lebih baik dibandingkan tunas aksiler, terlihat dari persentase hidupnya yang tinggi (70%); 2) perlakuan sitokinin (BAP) pada umumnya bereaksi membentuk tunas pada minggu pertama; 3) Hasil interaksi antara BAP dengan NAA menunjukan jumlah rata-rata tunas 3 - 5 pada konsetrasi BAP 1 mg/l dengan kombinasi NAA 0,01 mgl; 0,05 mg/l dan 0,1 mg/l menunjukan jumlah tunas lebih baik dari perlakuan yang lain; 4) tingkat keberhasilan aklimatisasi 77,5 % setelah dipindah ke polybag untuk pembesaran bibit setelah dipindah ke polybag persentase pertumbuhannya 96,77 %. E.
Teknik Penanaman Dalam upaya peningkatan produktivitas biomassa (daun, buah dan kulit) Pusat
Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan/PUSPROHUT (dahulu Pusat Litbang Hutan Tanaman/P3HT) melakukan kegiatan penelitian penanaman kilemo secara intensif (pemupukan, penyiangan gulma dan pendangiran) di Hutan Penelitian Cikole, Jawa Barat. Walaupun sejak tahun 2004/2005 masyarakat telah melakukan penanaman kiemo di kaki gunung Tangkuban Perahu (di desa Sogun), namun berdasarkan hasil pengukuran terhadap tinggi dan diameter pohon
menunjukkan kecenderungan
pertumbuhan tanaman kilemo yang dilakukan oleh P3HT lebih cepat dibandingkan tanaman kilemo yang ditanam oleh masyarakat (Tabel 5).
10
Tabel 5 Perbandingan rata-rata tinggi (m) dan diameter (cm) tanaman kilemo di Cikole, Jawa Barat Pelaksana Penanaman
Umur Tanaman (Tahun)
Rata-Rata Tinggi (m)
Rata-Rata Diameter (cm)
PUSPROHUT (dahulu 2 13,232 ± 2,733 * P3HT) (pemeliharaan (Pupuk NPK dosis 125 intensif) gram/pohon) Masyarakat (tanpa 5 6,6 ±1,075 pemeliharaan) Keterangan: *: tanaman sudah mulai berbuah. Data diolah (Rostiwati, 2009)
V.
4,68 ± 0,985 (Pupuk NPK dosis 125 gram/pohon) 10,94 ± 2,185
KAJIAN TATA NIAGA PRODUK KULIT KAYU KILEMO
Hasil temuan dilapangan menunjukkan bahwa tanaman langka ini dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat terutama di Jawa Barat, dengan mengambil bagian kulit batang
dan mengeringkannya untuk digunakan sebagai aroma/pengharum untuk
campuran jamu tradisional. Dengan demikian penurunan potensi tegakan alam kilemo saat ini dapat juga menggambarkan/indikasi permintaan akan bahan baku kulit kilemo yang cukup tinggi. Artinya informasi pasar dan kemungkinan peluang pasar yang positif dapat ditingkatkan namun dengan adanya pengendalikan pemanfaatan tegakan kilemo oleh masyarakat melalui rantai tata niaga yang jelas. Berdasarkan hasil penelitian Sylviani dan Sundari (2010) diperoleh hasil bahwa banyak saluran distribusi yang digunakan petani dan lembaga pemasaran dalam tataniaga
tumbuhan
hulu/masyarakat
kilemo
hingga
ke
(kulit).
Distribusi
hilir/konsumen
kulit
akhir
batang ada
kilemo
yang
dari
dilakukan
langsung/pendek hanya melalui satu pedagang pengumpul, tapi ada pemasaran kulit kilemo melalui beberapa pedagang pengumpul/panjang.
Perbedaan saluran
pemasaran ini akan mempengaruhi tingkat harga, bagian keuntungan dan biaya serta margin pemasaran yang diterima setiap pelaku pemasaran kilemo. Para pelaku tataniaga kulit batang tumbuhan kilemo antara lain : 1. Masyarakat Masyarakat yang tinggal sekitar hutan yang mengumpulkan/memungut tumbuhan kilemo. Namun mereka awam terhadap manfaat dan kegunaan tanaman ini dan belum membudidayakannya. Saat ini pedagang pengumpul/supplier mendapatkan kulit batang kilemo dari daerah Jawa Barat dan sekitarnya (Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Sukabumi). 11
2. Pedagang Pengumpul 1 Pedagang pengumpul 1 adalah pedagang yang langsung membeli kulit batang Kilemo dari masyarakat , yang selanjutnya menjual langsung ke konsumen atau dapat juga menjual ke pedagang pengumpul lainnya (ke2). Berdasarkan hasil wawancara dengan pedagang pengumpul bahwa kulit batang kilemo didapat masyarakat dari Kabupaten Bogor di kawasan hutan lindung wilayah Perum Perhutani Unit III Jawa Barat yang sebarannya sudah langka. 3. Pedagang pengumpul 2 Pedagang pengumpul 2 adalah pedagang pemasok yang biasanya memperoleh kulit batang kilemo dari pedagang pengumpul 1 dan menjual ke pedagang pengumpul 3 atau langsung ke industri jamu. Biasanya pedagang pengumpul 2 ini telah memiliki kontrak kerja dengan industri jamu, sesuai permintaan industri berdasarkan kualitas dan kuantitas tertentu. Pedagang pengumpul 2 ini ada yang berdomisili di daerah Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Solo Jawa Tengah. 4. Pedagang pengumpul 3 Pedagang pengumpul 3 adalah pedagang pemasok yang biasanya memperoleh kulit batang kilemo dari pedagang pengepul 2 dan menjual ke industri rumah tangga atau penjual jamu godokan atau langsung ke industri jamu. Salah satu pedagang pengumpul 3 terdapat di Kopen, Pasar Gede, Solo Propinsi Jateng. 5. Produsen/Industri Jamu Industri jamu yang menggunakan kulit batang kilemo antara lain PT Sido Muncul di Semarang, PT Air Mancur dan PT Akar Sari di Solo. Kulit batang kilemo ini digunakan hanya sebagai salah satu komposisi bahan baku produk-produk tertentu seperti jamu sehat wanita dan pria dan minuman sehat yang berfungsi untuk menambah aroma produk tersebut. Industri jamu biasanya memperoleh bahan baku dari pemasok/supplier .
KESIMPULAN DAN SARAN A.
Kesimpulan
1.
Hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap jenis kilemo adalah
aspek
inventarisasi potensi (tegakan, buah dan biomassa), pembungaan, pembuahan,
12
penyediaan bibit (generatif, vegetatif dan kultur jaringan) dan tataniaga produk kulit kayu jenis kilemo. 2.
Pembuatan hutan tanaman kilemo di wilayah sebarannya yang telah dilakukan selain untuk meningkatkan produktivitas juga untuk menyelamatkan jenis dari kelangkaan.
B.
Saran
1.
Penelitian pemuliaan untuk memperoleh sumber benih dan bibit yang berkualitas sangat diperlukan
2.
Pengembangan minyak atsiri berbahan dasar daun kilemo perlu didukung oleh penelitian kelembagaan dan pasar.
DAFTAR PUSTAKA Ali, C. 2008. Teknik silvikultur jenis kilemo dan peningkatan produktivitas jenis kemenyan. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli. (Unpublish). Ali, C. dan T. Rostiwati. 2011. Pengaruh hormon pertumbuhan dan senyawa nitrogen serta waktu perendaman terhadap perkecambahan lemo (Litsea cubeba). Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. Gardner, S., P. Sidisunthorn. and V. Anusarnsunthorn. 2000. A field guide to Forest Trees of Northern Thailand. Kobfai Publishing Project. Bangkok. Thailand. www.biotik.org/laos/ species/l/litcu/litcu_en.html. Diakses tanggal 27 Oktober 2008. Gunawan, W. 2009. Kualitas dan nilai minyak atsiri, implikasi pada pengembangan turunannya. Makalah pada Seminar Nasional dengan tema: Kimia Bervisi SETS (Science, Environment, Technology, Society) Kontribusi Bagi Kemajuan Pendidikan dan Industri, diselenggarakan Himpunan Kimia Indonesia Jawa Tengah, pada tanggal 21 Maret 2009 di Semarang. http://xa.yimg.com/kq/groups/16675956/938931444/ name/artikel%2520ttg%2520atsiri%2520di%2520indonesia%25202009.pdf. Diakses pada tanggal 17 April 2012. Haygreen, J.G. dan J. Bowyer. 1996. Forest product and wood science. An Introduction (Terjemahan). Gajah Mada University Press. Yogjakarta. Harbagung., R. Kurniaty. dan C. Ali. 2009. Teknologi peningkatan produktifitas minyak atsiri kilemo (Litsea Cubeba L. Pearsoon.). Laporan Hasil Penelitian Program Insentif Diknas. (unpublish). Herawati, T., N. Hadjib. dan P. Sutigno. Lemo (Litsea cubeba L. Persoon) sebagai jenis pohon serbaguna. 2005. Majalah Kehutanan Edisi I: 16 – 20. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid II. Badan Pe-nelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta. 13
FAO. 1995. Flavours and fragrances of plant origin. Chapter 7. Litsea Cubeba Oil. http://www.fao.org/documents/show-cdr. asp?url-file=docrep/v5350e00.htm. Diakses tanggal 12 Mei 2008. Kramer. P.J. dan Kozlowski, T.T. 1960. Physiology of trees. Mc Graw-Hill Book Company Inc. New York. Lin, T.S. 1983. Variation in content and composition of essential oil from Litsea cubeba collected in different months. Bulletin of the Taiwan Forestry Research Institute No. 398. 9 pp. Lina. 2003. Litsea cubeba Oil Chapter 7. file://D:\LINA\e-mail\Litsea cubeba essential\Chapter 7.htm. 4/27/03. Nambiar, E.K.S dan A.G. Brown. 1997. Management of soil nutrient and water in Tropical Plantation Forest. ACIAR and CIFOR Published. CSIRO Canberra. Australia. Putri, K.P., N. Siregar, Abay. dan Sutrisno. 2010. Kuantifikasi produksi buah tanaman hutan jenis Elaeocarpus ganitrus ROXB (ganitri) dan Litsea cubeba (kilemo). Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Perbenihan. Tidak diterbitkan. Rostiwati, T., Y. Heryati., E. Karlina. dan I. Heriansyah. 2007. Analisa vegetasi kilemo di Kawasan Tangkuban Perahu Cikole dan Kawasan Kawah Putih, Ciwidey, Jawa Barat. Laporan Perjalanan. Pusat Litbang Hutan Tanaman. Bogor. Tidak diterbitkan. Rostiwati, T., R. Kurniaty. dan I. Winarni. 2009. Prospek pembangunan hutan tanaman kilemo (Litsea cubeba L. Persoon) sebagai sumber bahan baku minyak atsiri potensial. Dalam. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia - Biomass Utilization for Alternative Energy and Chemicals 23 April 2009. Universitas Katolik Parahyangan, Bandung: 306 – 313. Rostiwati, T. dan S. A. Yani. 2010. Teknologi peningkatan produktivitas tegakan penghasil minyak atsiri jenis kilemo (litsea cubeba l. Pearsoon.). Draf Jurnal Riset dan Teknologi. (dalam proses). Sri-ngernyuang, K., K.Chai-Udom, M. Kanzaki, T. Ohkubo and T. Yamakura. 2003. Survival and germination of an experi-mental seed bank population of two species of Lauraceae in a Tropical Montane Forest in Thailand. J. For. Res. 8:311-316. Sylviani. dan Y.S. Elvida. 2010. Kajian potensi, tata niaga dan kelayakan usaha budidaya tumbuhan Litsea. Jurnal Penelitian Sosial Dan Ekonomi Kehutanan Vol. 7 No. 1: 73 – 91. Yuhono, J.T. dan S. Suhirman. 2006. Status pengusahaan minyak atsiri dan faktorfaktor teknologi pasca panen yang menyebabkan rendahnya rendemen minyak. Bul. Littro. Vol. XVII No. 2, 2006: 79 - 90 Zamarel, S. Rusli. dan A. Djisbar. 1990. Tanaman Minyak Atsiri Baru (Klausena, Adas, Backhousia citriodora dan Litsea cubeba). Edisi khusus LITTRO Vol.VI N0.1 Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Zulnely, U. Kulsum. dan A. Junaedi. 2007. Sifat fisiko kimia minyak kilemo (Litsea cubeba) asal Kuningan, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Vol 25 (1).
14