perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BURNOUT PADA KARYAWAN DITINJAU DARI PERSEPSI BUDAYA ORGANISASI DAN MOTIVASI INTRINSIK DI PT. KRAKATAU STEEL
SKRIPSI
Dalam rangka penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat guna memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi
Oleh
:
Nikki Rasuna Katarini G 0106070
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BURNOUT PADA KARYAWAN DITINJAU DARI PERSEPSI BUDAYA ORGANISASI DAN MOTIVASI INTRINSIK DI PT. KRAKATAU STEEL
INTISARI
Dalam rangka penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat guna memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi
Oleh
:
Nikki Rasuna Katarini G 0106070
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2011
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman Judul …………………………………………………………………………………………………………… i Halaman Persetujuan …………………………………………………………………………………………….…. ii Halaman Pengesahan …………………………………………………………………………………………….…. iii Halaman Motto ………………………………………………………………………………………………………… iv Halaman Penghargaan ………….…………………………………………………………….………….…. v Kata Pengantar ………………………………………………………………..…………………………………….…. vi Intisari ..…………………………………………………………………………..…………………………………….…. viii Abstract …………………………………………………………………………..………………………………….….…. ix Daftar Isi .....…………………………………………………………………………………………………………….… x Daftar Gambar …………………………………………………………………………………………………………. xiv Daftar Tabel ……………………………………………………………………………………………..……………… xv Daftar Lampiran ……………………………………………………………………………………..………………
xvii
BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah …………………………………………………………………………..
1
B. Rumusan Masalah ………………………………………………………………………………….….
7
C. Tujuan Penelitian ……………………………………………………………………………………...
8
D. Manfaat Penelitian …………………………………………………………………………………...
8
BAB II Landasan Teori A. Burnout Pada Karyawan 1. Pengertian Burnout ……………………………………………………………………………....
10
2. Aspek-aspek Burnout ……………………………………………………………………………
13
commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Penanganan Burnout ………………………………………………………..……………….…
20
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Burnout ……………………………….………
22
B. Persepsi Budaya Organisasi 1. Pengertian Persepsi Budaya Organisasi ………….…...…………………………... 25 a. Pengertian Persepsi …………………….…………………………………………..……
25
b. Pengertian Budaya Organisasi ……………………………………………………. 27 c. Pengertian Persepsi Budaya Organisasi …………………………….……….. 32 2. Aspek-aspek Persepsi Budaya Organisasi ………………………………………….. 33 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Persepsi Budaya Organisasi …..…
39
C. Motivasi Intrinsik 1. Pengertian Motivasi Intrinsik …………………………………………………….….….…
41
2. Aspek-aspek Motivasi Intrinsik ……………………………………………………….….
43
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Motivasi Intrinsik …………….………… 47 D. Hubungan antara Persepsi Budaya Organisasi dan Motivasi Intrinsik dengan Burnout Pada Karyawan ……………………………………………………………. 48 E. Hubungan antara Persepsi Budaya Organisasi dan Burnout pada Karyawan ………………………………………………………………………………………………….
51
F. Hubungan antara Motivasi Intrinsik dan Burnout pada Karyawan ………
53
G. Kerangka Berpikir …………………………………………………………………………………… 55 H. Hipotesis …………………………………………………………………………………………………… 56 BAB III Metode Penelitian A. Identifikasi Variabel Penelitian …………………………………………………….……….... 57
commit to user xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Burnout pada Karyawan ……………………………………………………….…………….…. 57 2. Persepsi Budaya Organisasi ............…………………………………………………..…
58
3. Motivasi Intrinsik ……………………………………………………….…….………….……...
59
C. Populasi, Sampel, dan Sampling 1. Populasi ..................…………………………………………………………….…………………… 59 2. Sampel ........................…………………………………………………………………………….. 60 3. Teknik Sampling …………………………………………………………….…………..…………. 61 D. Teknik Pengumpulan Data 1. Sumber Data .....................……………………………………………………………………….. 62 2. Metode Pengumpulan Data ...................…………………………………………..…… 63 E. Metode Analisis Data 1. Validitas Instrumen Penelitian .......……………………………………………………….. 70 2. Reliabilitas Instrumen Penelitian …………………………………………………….……. 71 3. Uji Hipotesis .......…………………………………………………………….………………………. 72 BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Persiapan Penelitian 1. Orientasi Kancah Penelitian .....…………………………………………………………….. 75 2. Persiapan Penelitian ……………..................…………………………………………..…… 77 B. Pelaksanaan Penelitian 1. Penentuan Subjek Penelitian .....……………..………………………………………….. 84 2. Pengumpulan Data untuk Uji Coba …...…………………………………………..…… 84 3. Uji Validitas dan Reliablitas …………………….……………………..……………….…
commit to user xii
85
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Pengumpulan Data ………………………..……………………………….………
92
5. Pelaksanaan Skoring …………………………………………………………………….………
93
C. Hasil Analisis Data Penelitian 1. Uji Asumsi …………………………….....……………..………………………………………….. 94 2. Uji Hipotesis ………………………………………...…………………………………………..…… 98 3. Mean Empirik (ME) dan Mean Hipotetik (MH) …………..……………….…
100
4. Sumbangan Relatif dan Sumbangan Efektif ………….………………….………
104
D. Pembahasan ……………………….……………………………………………………………………... 104 BAB V Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan ……….…………………………..……………………………………………..………….. 109 B. Saran ……………………………………………………………………………………………………….…. 110 Daftar Pustaka ………………………………………………………………….……………………………..………… 112
commit to user xiii
1 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkembangan bidang industri saat ini selalu mengalami kemajuan, hal ini menyebabkan
semakin
kompleksnya
permasalahan
yang
dihadapi
oleh
perusahaan dan tuntutan pekerjaan pun semakin meningkat. Dunia perusahaan sebagai sebuah organisasi harus mampu mencapai tujuan yang direncanakan untuk dapat memenuhi tuntutan pembangunan dan kemajuan teknologi pada masa sekarang. Persoalan yang muncul pada dunia organisasi selalu berkaitan dengan diri individu dalam menghadapi tuntutan organisasi yang semakin tinggi dan persaingan yang keras di tempat kerja karyawan itu adalah stres. Stres yang berlebihan akan berakibat buruk terhadap kemampuan individu untuk berhubungan dengan lingkungannya secara normal. Stres yang dialami individu dalam jangka waktu yang lama dengan intensitas yang cukup tinggi akan mengakibatkan individu yang bersangkutan menderita kelelahan, baik fisik ataupun mental. Keadaan seperti ini biasa disebut dengan burnout. Burnout adalah istilah yang pertama kali dikemukakan oleh Freudenberger pada tahun 1974, yang merupakan representasi dari sindrom psychological stress yang menunjukkan respon negatif sebagai hasil dari tekanan pekerjaan (Maslach, 1993). Maslach dan Jackson (1993), memandang burnout sebagai suatu sindrom psikologis yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu, emotional exhaustion, depersonalization, dan reduced personal accomplishment. Pada dasarnya burnout commit to user
2 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dapat terjadi pada semua orang, baik pada karyawan human service setting dan non human service setting. Hal tersebut terjadi karena setiap manusia tentu mengalami tekanan-tekanan yang diperoleh dalam kehidupan, khususnya dalam menjalani pekerjaan. Penelitian-penelitian awal mengenai burnout yang kemudian dijadikan dasar bagi pengembangan teori-teori burnout sebagian besar dilakukan di lapangan pekerjaan yang melibatkan banyak orang seperti rumah sakit, perusahaan, dan sekolah. Menurut Garden (1990), konsep burnout muncul untuk pekerjaan yang berhubungan dengan banyak orang ini, disebabkan karena kerangka penelitian burnout selama ini hanya terbatas pada human service settiing. Burnout merupakan gejala yang lebih banyak ditemukan dalam bidang pekerjaan pelayanan sosial dibandingkan dengan pekerjaan lainnya (Sarafino, 1998). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Faustino, dkk (2009),
memberitahukan bahwa tingkat burnout yang tinggi lebih banyak dialami oleh
pekerja sosial dan perawat, biasanya di dalam satu dimensi terdapat 30,4%
dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, 33,7% oleh kurangnya kontak realitas pribadi
perawat, dan 35,9% oleh keinginan untuk pencapaian pribadi masing-masing
perawat. Konsep yang mendasari penelitian tentang burnout merujuk pada teori keperilakuan khususnya perilaku organisasi yang dikembangkan pertama kali oleh Chris Argyris pada tahun 1952. Penelitian yang dilakukan oleh Pattrick (2008),
mengatakan bahwa kepuasan kerja, stres kerja, kemampuan dalam mengatasi
ketegangan dan mudah beradaptasi inilah yang berperan dalam mempengaruhi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
3 digilib.uns.ac.id
burnout pada karyawan. Faktor-faktor ini adalah kontributor tertinggi stres pada pekerjaan. Ghozali (2006) mengemukakan, penelitian yang telah dilakukan oleh Almer & Kaplan (2002) menemukan indikasi bahwa role stressor berpengaruh terhadap kondisi burnout dan job outcomes. Selanjutnya Ghozali (2006) juga menambahkan, mengenai penelitian Fogarty, dkk, (2000), variabel burnout diletakkan dalam suatu model sebagai mediasi dari pengaruh role stressor terhadap job outcomes. Model mediasi tersebut dikenal dengan istilah konstruk burnout. Penelitian Fogarty, dkk, (2000) membuktikan bahwa variabel burnout mampu memisahkan aspek fungsional (eusstress) dan disfungsional (distress) dari role stressor terhadap job outcomes sehingga melalui kedua aspek role stressor dan burnout, dapat dilakukan tindakan perbaikan. Kaitannya dengan stres, burnout bukanlah role stressor, karena burnout muncul sebagai akibat kumulatif dari stressor secara terus-menerus dalam jangka panjang yang dialami oleh individu dalam berbagai tingkatan dan kombinasi. Dampak dari tekanan tersebut adalah munculnya situasi yang tidak menguntungkan (distress dan disfungsional). Burnout tidak akan dialami oleh individu jika role stressor berpengaruh positif dan fungsional (eusstres) terhadap job outcomes. La Fellete (Imelda, 2004) mengatakan bahwa lingkungan kerja psikologis tidak nampak tetapi nyata, ada, dan akan dirasakan oleh seseorang bila memasuki lingkungan kerja suatu organisasi. Untuk mengetahui keadaan tersebut dapat diketahui melalui persepsi individu terhadap lingkungan kerja psikologisnya. Menurut Jackson, dkk (As’ad dan Soetjipto, 2000) burnout terjadi karena adanya commit to user
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang dialami di tempat kerja. Kesenjangan dan harapan yang dimaksud adalah harapan tentang prestasi yang dicapai dan unjuk kerja yang dimilikinya. Kesenjangan lainnya terjadi bila organisasi tempat bekerja tidak sesuai dengan harapan atau tata nilai pribadinya. Kondisi lingkungan fisik ataupun psikis karyawan tidak terlepas dari pengaruh budaya organisasinya. Budaya organisasi yang disfungsional dan tidak efektif akan menimbulkan dampak negatif bagi anggotanya dan memungkinkan terjadinya burnout. Setiap karyawan memiliki persepsi yang berbeda-beda terhadap budaya organisasi. Gerungan, (1996), Verderber mengatakan persepsi adalah proses menafsirkan informasi indrawi. Persepsi ini merupakan inti komunikasi, jika persepsi karyawan terhadap budaya organisasi ini tidak akurat, maka kita tidak dapat berkomunikasi secara efektif. Persepsi ini yang menentukan kita dalam memilih dan mengabaikan suatu pesan yang lain. Menurut As’ad (2003), proses persepsi yang dilakukan oleh setiap karyawan terhadap budaya organisasi ini dimulai dari penerimaan, pengartian dan pemberian reaksi. Susanto (1997) memberikan definisi budaya organisasi sebagai nilai-nilai yang menjadi pedoman sumber daya manusia untuk menghadapi permasalahan eksternal dan usaha penyesuaian integrasi ke dalam perusahaan sehingga masing-masing anggota organisasi harus memahami nilai-nilai yang ada dan bagaimana mereka harus bertindak atau berperilaku. Djokosantoso (2003) menyatakan bahwa budaya korporat atau budaya manajemen atau juga dikenal
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
5 digilib.uns.ac.id
dengan istilah budaya kerja merupakan nilai-nilai dominan yang disebarluaskan di dalam organisasi dan diacu sebagai filosofi kerja karyawan. Persepsi terhadap budaya organisasi merupakan pengertian masing-masing karyawan terhadap nilai dan pedoman yang diperuntukkan seluruh anggota sebagai filosofi organisasi. Seseorang akan mempersepsikan sesuatu hal sesuai dengan dorongan yang dimiliki dan apa yang mendasari perilakunya agar dapat memenuhi kebutuhannya, untuk itu dapat dikatakan bahwa dalam diri seseorang ada kekuatan yang mengarah kepada tindakannya. Mengingat kebutuhan setiap karyawan berbeda-beda dengan yang lain tentunya cara untuk memperolehnya akan berbeda pula. Kebutuhan seseorang akan terpenuhi jika ia berperilaku sesuai dengan dorongan yang dimiliki dan apa yang mendasari perilakunya, untuk itu dapat dikatakan bahwa dalam diri seseorang ada kekuatan yang mengarah kepada tindakannya. Kehidupan sehari-hari seorang karyawan akan selalu dihadapkan pada berbagai macam tantangan dan termotivasi untuk menguasainya. Berdasarkan hasil penelitiannya, Herpen, dkk. (2002), mengungkapkan motivasi seseorang berasal dari interen dan eksteren. Herpen, dkk (2002) juga menjelaskan beberapa pendapat dari Gacther, Falk (2000); Kinman, Russel (2001), yang mengatakan bahwa, motivasi intrinsik dan ekstrinsik merupakan hal yang mempengaruhi tugas seseorang. Perilaku yang konkret atau nyata yang sebenarnya, kebanyakan adalah kombinasi dari dua unsur tersebut. Motivasi intrinsik merupakan kebutuhan seseorang untuk berkompetensi dan menentukan sendiri dalam kaitannya dengan lingkungannya (Walgito, 2004). Motivasi intrinsik memiliki tujuan untuk mengunkapkan perasaan internal mengenai commit to user
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kompetensi dan self determinasi. Motivasi intrinsik ini lebih berperan dalam penyelesaian sesuatu hal karena ini merupakan motivator yang sangat kuat dari perilaku manusia dan dapat digunakan untuk membuat seseorang lebih produktif. Berdasarkan data di atas masalah burnout karyawan merupakan masalah yang selalu terjadi di setiap organisasi, sehingga peneliti tertarik untuk meneliti burnout karyawan, khususnya di PT. Krakatau Steel. PT. Krakatau Steel merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang secara langsung bergerak di bidang industri, khususnya industri baja di Provinsi Banten. PT. Krakatau Steel memiliki empat bagian direktorat diantaranya adalah direktorat pengembangan sumber daya manusia, direktorat keuangan, direktorat produksi, dan direktorat logistik. Berdasarkan interview yang telah dilakukan, direktorat logistik memiliki kecenderungan tingkat burnout yang tinggi dibandingkan dengan direktorat lainnya. Direktorat logistik ini menangani penyediaan dan memantau seluruh pengeluaran serta masuknya barang-barang produksi perusahaan. Sehingga seluruh direktorat akan selalu berhubungan dengan direktorat logistik ini. PT. Krakatau Steel ini mempunyai budaya perusahaan yang berisi kepercayaan, prinsip-prinsip, nilai-nilai yang menjadi dasar dan referensi sistem manajemen perusahaan serta perilaku karyawan dalam bekerja, diyakini mampu untuk mendorong percepatan ke arah perubahan yang lebih baik. Penetapan budaya organisasi ini dilakukan untuk penyatuan visi dan misi organisasi hingga tercapainya perusahaan baja yang terkemuka di dunia. Seiring berjalannya waktu,
commit to user
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
budaya organisasi yang ditetapkan oleh perusahaan, ternyata dapat menimbulkan berbagai persepsi yang berbeda di setiap karyawan. Berdasarkan hasil observasi yang telah peneliti lakukan, terdapat ketimpangan antara budaya organisasi tertulis dengan kejadian yang ada di lapangan, seperti perilaku karyawan yang melakukan kerjasama dengan klien belum sesuai dengan prosedur penjualan hanya untuk mencapai target penjualan dan perubahan yang lebih baik. Kesadaran setiap masing-masing karyawan untuk menyamakan persepsi budaya organisasi ini, merupakan motivasi intrinsik karyawan untuk mencermikan dari nilai-nilai yang terkandung didalam organisasi tersebut. Jika, persamaan persepsi budaya organisasi dan motivasi intrinsik setiap karyawan telah dicapai, maka tingkat burnout pada karyawan dapat dikurangi secara berkesinambungan. Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa ada kemungkinan hubungan antara persepsi terhadap budaya organisasi dan motivasi intrinsik dengan burnout karyawan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Burnout Pada Karyawan ditinjau dari Persepsi Budaya Organisasi dan Motivasi Intrinsik di PT. Krakatau Steel”.
B. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah di atas maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah terdapat hubungan persepsi budaya organisasi dan motivasi
commit to user? intrinsik dengan burnout pada karyawan
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Apakah terdapat hubungan persepsi budaya organisasi dengan burnout pada karyawan ? 3. Apakah terdapat hubungan motivasi intrinsik dengan burnout pada karyawan ? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui hubungan antara persepsi budaya organisasi dan motivasi intrinsik dengan burnout pada karyawan. 2. Mengetahui hubungan antara persepsi budaya organisasi dengan burnout pada karyawan. 3. Mengetahui hubungan antara motivasi intrinsik dengan burnout pada karyawan. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis a) Sebagai bahan untuk melakukan kajian dan diskusi mengenai burnout pada karyawan dalam kaitannya dengan persepsi terhadap budaya organisasi dan motivasi intrinsik. b) Menjadi wacana bagi kalangan akademisi atau mahasiswa yang akan melakukan penelitian terhadap tema yang sama dan dengan variabel yang lebih kompleks lagi.
commit to user
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c) Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi pemikiran dan referensi guna menunjang ilmu psikologi pada umumnya serta ilmu psikologi yang khususnya di bidang psikologi industri dan organisasi. 2. Manfaat Praktis a) Karyawan Bila penelitian ini terbukti maka dapat diterapkan untuk pencegahaan terhadap burnout karyawan dengan meningkatkan motivasi intrinsik dan mengembangkan persepsi budaya organisasi yang sesuai. b) Perusahaan Sebagai informasi tentang hal-hal yang mempengaruhi burnout pada karyawan, sehingga dapat menentukan langkah antisipasi terhadap hal-hal yang tidak diinginkan. c) Peneliti lain Dapat dijadikan sebagai wacana atau referensi dalam melakukan penelitian selanjutnya, dengan variabel yang sama atau dengan variabel yang lainnya.
commit to user
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI
A. Burnout pada Karyawan 1.
Pengertian Burnout Burnout merupakan fenomena baru di dalam bidang psikologi.
Pemahaman tentang konsep ini sebenarnya telah ada kurang lebih 35 tahun lalu, tetapi baru pada tahun 1974 permasalahan burnout menjadi bahan kajian para ahli psikologi. Burnout adalah istilah yang pertama kali dikemukakan oleh Freudenberger di tahun 1974, yang merupakan representasi dari sindrom psychological stress yang menunjukkan respon negatif sebagai hasil dari tekanan pekerjaan (Cordes & Dougherty, 1993). Maslach (1993), menjelaskan mengenai definisi burnout secara operasional. “Burnout is a syndrome of emotional exhaustion, depersonalization, and reduced personal accomplishment that occur among individuals who do people work of some kind”, yang artinya berdasarkan batasan ini maka dapat ditentukan kapan seseorang telah mengalami burnout, caranya adalah dengan meneliti gejala-gejala kekeringan emosional, adanya depersonalisasi dan penurunan rasa keberhasilan dalam melakukan tugas seharihari. Burnout dikenal secara luas dalam dunia kerja dan secara khusus nampak pada helping professions (Cox, 1993). Burnout merupakan suatu keadaan penderitaan psikologis yang mungkin dialami oleh seorang pekerja yang berpengalaman setelah bekerja untuk suatu periode waktu tertentu. Merriamcommit to user
perpustakaan.uns.ac.id
11 digilib.uns.ac.id
Webster (Cicilia, 2002), mendefinisikan burnout sebagai kehilangan kekuatan fisik atau emosional dan motivasi yang biasanya sebagai akibat dari stres berkepanjangan atau frustrasi, peran konflik atau ambiguitas, upah yang rendah dan kurangnya sistem penghargaan yang sehari-hari tegangan yang cenderung asah karyawan di dunia, mengakibatkan depresi dan keluar dari kerangka pikirannya. Istilah burnout juga diartikan sebagai suatu keadaan keletihan (exhaustion) fisik, emosional, dan mental yang menganggu dirinya. Ciri yang muncul adalah psysikal depletion (habisnya energi fisik) dengan perasaan tidak berdaya dan putus harapan, keringnya perasaan, konsep dirinya yang negatif dan sikap negatif terhadap kerja dan orang lain (Prawasti, 1991). Caputo (1991) mengungkapkan, burnout merupakan situasi yang tak henti-hentinya dialami oleh karyawan dalam memenuhi keinginannya mencapai tujuan dengan sumber daya yang mencukupi dan menghasilkan transformasi dalam berkomitmen, kebosanan, dan kelelahan fisik. Burnout yang dialami secara terus-menerus dan tidak dapat diatasi akan mengakibatkan dampak bagi diri sendiri dan organisasi. Hal ini dapat dilihat dari segi fisiologis, tingkah laku, dan psikologis setiap individu yang mengalami. Dalam Prawasti (1991), Miller dan Elllis (1990) mengungkapkan karyawan yang mengalami burnout memiliki tingkat kepuasan dan komitmen yang rendah. Kalliath dan Morris (2002) juga mengatakan bahwa burnout yang terus-menerus akan menyebabkan penurunan kepuasan kerja dan berdampak pada kesehatan fisik karyawan itu sendiri (Prawasti, 1991). Lee dan Ashforth (1996), commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
12 digilib.uns.ac.id
mengungkapkan bahwa kelelahan emosi dan depersonalization mempunyai hubungan yang kuat dengan tekanan dan burnout pada karyawan (Andarika, 2004). Hal ini dapat dilihat dari penelitiannya yang menunjukkan bahwa kelelahan emosi dan depersonalization juga berpengaruh terhadap komitmen terhadap organisasi sebanyak 61%. Cordes dan Dougherty (1993) mendeskripsikan burnout sebagai gabungan dari tiga tendensi psikis, yaitu kelelahan emosional (emotional exhaustion), penurunan prestasi kerja (reduced personal accomplishment) dan sikap tidak peduli terhadap karir dan diri sendiri (depersonalization). Bernardin (Rosyid, 1996) menggambarkan burnout sebagai suatu keadaan yang mencerminkan reaksi emosional pada individu yang bekerja pada bidang kemanusiaan (human service), atau bekerja erat dengan masyarakat. Menurut Kreitner dan Kinicki (1992), burnout adalah akibat dari stres yang berkepanjangan dan terjadi ketika seseorang mulai mempertanyakan nilai-nilai pribadinya. Burnout juga merupakan istilah populer untuk kondisi penurunan energi mental atau fisik setelah periode stres kronik yang tidak sembuh-sembuh berkaitan dengan pekerjaan, terkadang dicirikan dengan pekerjaan atau dengan penyakit fisik (Potter & Perry, 2005). Pengertian-pengertian tentang burnout yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa burnout adalah keadaan yang mencerminkan reaksi emosional yang tengah dirasakannya, dimana dapat ditandai dengan kelelahan fisik, mental, dan emosional, serta rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri. Definisi mengenai burnout ini, sebagai suatu proses yang digunakan untuk menunjukkan kondisi mal-adjustment dalam commit to user
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menghadapi stres kerja yang dialami oleh individu pekerja dalam bidang human service setting dan non human service setting. Jadi disini ditekankan pada terjadinya suatu perubahan motivasi, hilangnya semangat yang dialami karyawan berkaitan dengan kekecewaan yang berlebih yang dialami dalam situasi kerja.
2.
Aspek-Aspek Burnout Maslach dan Jackson (1993) telah melakukan penelitian selama bertahun-
tahun terhadap burnout pada bidang pekerjaan yang berorientasi melayani orang lain, hingga menemukannya tanda-tanda burnout yang terdiri dari tiga bagian yaitu : a. Emotional exhaustion adalah suatu dimensi dari kondisi burnout yang berwujud perasaan dan energi terdalam sebagai hasil dari excessive psychoemotional demands yang ditandai dengan hilangnya perasaan dan perhatian, kepercayaan, minat dan semangat (Ray & Miller, 1994). Orang yang mengalami emotional exhaustion ini akan merasa hidupnya kosong, lelah dan tidak dapat lagi mengatasi tuntutan pekerjaannya. b. Depersonalization merupakan tendensi kemanusiaan terhadap sesama yang merupakan pengembangan sikap sinis mengenai karir dan kinerja diri sendiri
(Cordes
&
Dougherty,
1993).
Orang
yang
mengalami
depersonalisasi merasa tidak ada satupun aktivitas yang dilakukannya bernilai atau berharga. Sikap ini ditunjukkan melalui perilaku yang acuh, bersikap sinis, tidak berperasaan dan tidak memperhatikan kepentingan orang lain.
commit to user
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Reduced personal accomplishment merupakan atribut dari tidak adanya aktualisasi diri, rendahnya motivasi kerja dan penurunan rasa percaya diri. Seringkali kondisi ini mengacu pada kecenderungan individu untuk mengevaluasi diri secara negatif sehubungan dengan prestasi yang dicapainya (Cordes & Dougherty, 1993). Ini adalah bagian dari pengembangan depersonalisasi, sikap negatif maupun pandangan terhadap klien lama-kelamaan menimbulkan perasaan bersalah pada diri pemberi pelayanan. Individu tidak akan merasa puas dengan hasil karyanya sendiri, merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri, maupun orang lain. Perasaan ini akan berkembang menjadi penilaian terhadap diri sendiri dalam pemenuhan tanggung jawabnya yang berkaitan dengan pekerjaannya (Maslach, 1993; Jackson dan Leither 1996). Menurut Ryan (Maslach, 1996), aspek lain adalah perkembangan negatif, sikap sinis dan perasaan tentang seorang klien. Reaksi negatif yang ditujukan pada klien dapat dihubungkan dengan pengalaman kelelahan emosional. Kelelahan emosional ini misalnya perasaan tertekan, kecemasan, dan konflik yang terjadi secara sadar ataupun tak sadar. Disinilah, mekanisme pertahanan diri seseorang dapat
berperan
sebagai
pelindung
dari
kelelahan
emosional
melalui
pemutarbalikkan kenyataan (Dwiputri, 2007). Cherniss (1990), mengatakan bahwa burnout dipengarui oleh lingkungan pekerjaannya, seperti gaya kepemimpinan atasan. Cherniss (1990) mengungkapkan adanya dinamika dalam burnout yang dibagi menjadi tiga tahapan, diantaranya adalah sebagai berikut :
commit to user
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Stres, merupakan persepsi mengenai ketidakseimbangan antara sumbersumber individu dan tuntutan yang ditujukan pada individu yang bersangkutan. Tuntutan ini dapat berasal dari diri sendiri ataupun lingkungan. b. Strain, merupakan respon emosional langsung dari adanya kesenjangan antara tuntutan dan sumber daya yang dimiliki, ditandaisi strain dengan perasaan cemas, tegang dan lelah. c. Coping, merupakan respon dari strain dimana individu berusaha melakukan sesuatu untuk mengatasi strain. Jika situasi tersebut tidak dapat ditangani dengan menggunakan coping masalah secara aktif, individu akan melakukan pertahanan intrapsikis dan mengalami perubahan sikap serta perilaku, seperti kecenderungan menjauhkan diri ataupun bersikap sinis.
STRES
Tuntutan Sumber-sumber Individu
STRAIN
Didasarkan pada derajat ancaman jika tuntutan tidak terpenuhi
COPING
Pemecahan masalah efektif
Pertahanan intrapsikis (burnout)
Gambar 1. Proses Burnout (kaitan stress, strain, dan coping) (Sumber : Staff Burnout: Job Stress in Human Service, Cherniss, 1990)
Burnout sebagai suatu tipe respon terhadap stres, merupakan hasil dari usaha coping yang tidak efektif, commit yaitu dengan to useradanya penghindaran, penolakan,
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menjaga jarak psikologis dari keterlibatannya dengan pekerjaan, menurunnya tujuan dan menyalahkan situasi atau orang lain. Cherniss (1990), menekankan pada adanya sikap menjauhkan diri secara psikologis dari tuntutan peran profesi sebagai symptom dari
burnout, karena dengan sikap demikian, tidak
menghiraukan lagi klien atau pasien dan bersikap masa bodoh terhadap pihak yang seharusnya dibantu.
Individu akan
dapat menghindari terjadinya
penambahan beban stres yang dialaminya. Semua ini merupakan usaha defensif dari penolong, sehingga Cherniss (1990), menyatakan bahwa bisa saja individu penolong tidak mengalami “penderitaan” namun relasi yang tercipta antar penolong-ditolong yang terganggu. Burnout berdampak bagi individu, orang lain, dan organisasi (Maslach, 1993). Dampak burnout, pada individu terlihat dari adanya gangguan fisik maupun psikologis. Dampak burnout yang dialami individu juga dirasakan oleh orang lain. Selain itu, burnout juga berdampak pada efektivitas dan efisiensi kerja dalam organisasi. Ketika mereka mengalami burnout, Freudenberger dan Richelson (1990) mengidentifikasikannya sebagai berikut : a. Kelelahan yang merupakan proses kehilangan energi disertai keletihan. Keadaan ini merupakan gejala utama burnout. Individu tersebut akan sulit menerima, karena mereka merasa bahwa selama ini tidak pernah lelah, walaupun aktifitas yang dijalani sangat padat. b.
Lari dari kenyataan, ini adalah alat yang digunakan individu untuk menangkal penderitaan yang dialami. Pada saat individu tersebut merasa kecewa dengan kenyataan yang tidak sesuai harapannya, mereka menjadi commit to user
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tidak peduli terhadap permasalahan yang ada, agar dapat mengindari kekecewaan yang lebih parah, seperti misalnya sebagai karyawan tidak melakukan tanggung jawab atas pekerjaannya karena tidak senang dengan kepimpinan atasannya. c. Kebosanan dan sinisme, ketika individu tersebut mengalami kekecewaan, sulit bagi mereka untuk tertarik lagi pada kegiatan yang mereka tekuni. Mereka mulai mempertanyakan makna kegiatan, mulai merasa bosan, dan berpandangan sinis terhadap kegiatan tersebut. d. Tidak sabar dan mudah tersinggung, hal ini terjadi karena selama individu mampu melakukan segalanya dengan cepat dan ketika itu pula mengalami kelelahan untuk menyelesaikannya dengan cepat. e. Merasa hanya dirinya yang dapat menyelesaikan semua permasalahan. Disini, individu tersebut mempunyai satu keyakinan bahwa hanya dirinya yang dapat melakukan sesuatu dengan baik. f. Merasa tidak dihargai, usaha yang semakin keras namun tidak disertai dengan kemampuan yang cukup sehingga hasil yang diperoleh tidak memuaskan dan timbul perasaan tidak berharga dan dihargai oleh orang lain. g. Mengalami
disorientasi,
individu
merasa
dirinya
terpisah
dari
lingkungannya, karena tidak mengerti bagaimana situasinya menjadi kacau dan tidak sesuai dengan harapan. Ketika berbincang-bincang dengan orang lain, individu ini sering kali kehilangan kata-kata yang akan diucapkan.
commit to user
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
h. Keluhan psikosomatis, individu akan seringkali mengeluh sakit kepala, mual-mual, diare, ketegangan otot, dan gangguan fisik lainnya. i. Curiga tanpa alasan, ketika sesuatu hal tidak berjalan sebagaimana mestinya, kecurigaan muncul dalam diri individu tersebut, menurutnya hal ini dibuat oleh orang lain. j. Depresi, yang perlu diperhatikan adalah depresi dalam konteks burnout yang bersifat sementara, khusus, dan terbatas. Individu dapat merasa tertekan di tempat kerja, tetapi dapat bersenda gurau dan tertawa saat tiba di rumah. k. Penyangkalan,
selalu
menyangkal
kenyataan
yang
dihadapinya.
Penyangkalan ini ada dua macam yaitu penyangkalan terhadap kegagalan yang dialami dan penyangkalan terhadap rasa takut yang dirasakannya. Tanda-tanda burnout ini banyak ditemukan pada pekerja yang mempunyai profesi sebagai “penolong” antara lain perawat dan pekerja sosial. Para peneliti meyakini bahwa awal munculnya burnout sebagai hasil dari seringnya berinteraksi dengan orang lain. (Spector dan Paul E, 2000). Berbeda dengan pandangan diatas, Leiter (1993) mengemukakan model proses burnout yang baru. Leiter (1993), mengungkapkan bahwa stressor yang dihadapi individu (seperti, konflik personal, beban kerja, dan lain-lain) menyebabkan munculnya emotional exhaustion yang kemudian berkembang menjadi depersonalization. Sedangkan reduced personal accomplishment berkembang sejalan dengan emotional exhaustion sebagai reaksi terhadap aspek-aspek pekerjaan lainnya seperti kurangnya otonomi dan peran dalam mengambil keputusan, dukungan commit to user
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sosial dari atasan dan rekan kerja yang tidak adekuat. Pada model inilah, dimensidimensi burnout berkembang secara paralel.
Konflik interpersonal
Beban kerja berlebihan dan rutinitas +
+
Kelelahan emosional -
Dukungan sosial dari atasan dan rekan kerja +
Keterampilan dan coping
Depersonalization + +
Kerjasama klien +
Personal accomplishment +
Peran dan otonomi dalam pengambilan keputusan
Gambar 2. Proses burnout menurut pandangan Leiter, keadaan yang dituju (Sumber: Burnout as a Development process: Consideration of Models, Leiter, 1993). Keterangan : -
Tanda (+) berarti menambah kemungkinan terjadi
-
Tanda (-) berarti mengurangi kemungkinan terjadinya keadaan yang dituju
Corrigan, dkk (1994) mengatakan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu variabel penting yang berpengaruh terhadap burnout. Lebih jauh dikatakan bahwa dukungan sosial yang diterima dari rekan kerja akan mengurangi resiko burnout. Pendapat yang senada dikemukakan oleh Gibson, dkk (1996) yang mengatakan bahwa dukungan sosial dari teman sekerja menengahi hubungan antara burnout dengan keluhan kesehatan. Semakin tinggi dukungan sosial, maka commit to user
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
semakin sedikit keluhan tentang kesehatan yang dilaporkan. Penelitian yang dilakukan oleh Britton (1989) melaporkan bahwa dukungan sosial dari para atasan berpengaruh positif terhadap kesehatan fisik dan kesehatan mental para karyawan. Berdasarkan uraian di atas, aspek-aspek burnout terbagi menjadi emotional
exhaustion
misalnya
tidak
dapat
menuntaskan
pekerjaannya,
depersonalization seperti tidak dapat memperhatikan kepentingan orang lain, dan reduced personal accomplishment yakni timbulnya perasaan tidak puas dengan hasil karyanya sendiri.
3.
Penanganan Burnout Kondisi stres berat, berulang, dan sulit diatasi ini dapat menghantarkan
individu untuk mengalami kondisi yang lebih buruk seperti apatisme, sinisme, frustasi, penarikan diri menjadi berkembang. Akan tetapi, telah terdapat berbagai cara efektif untuk mengatasi kejenuhan pada para pegawai pada suatu lingkungan kerja. Salah satunya adalah munculnya kesadaran pada diri para pimpinan bahwa dalam melaksanakan pekerjaannya, seorang pegawai banyak menghadapai berbagai masalah yang bisa berdampak pada timbulnya sindrom burnout pada mereka. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal-hal tersebut hendaknya para pimpinan di lapangan melakukan hal-hal sebagai berikut (Mulyana, 2009): a. Menciptakan birokrasi yang tidak menimbulkan anggapan di mata karyawan bahwa para pemimpin yang bekerja di kantor, tidak peduli dengan kesulitan mereka, atau bekerja untuk menghambat niat baik mereka. Tidak juga membuat karyawan merasa seolah-olah dipimpin dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
21 digilib.uns.ac.id
dibina oleh mereka yang memiliki citra tidak kompeten, tidak efisien, kurang komitmen, kurang berminat terhadap hobi dan kegiatan kantor pada umumnya. b. Melakukan pembinaan karyawan secara profesional, artinya lakukan serangkaian usaha bantuan kepada karyawan, terutama bantuan yang berwujud layanan profesional guna meningkatkan proses dan hasil pembinaan yang menggairahkan. c. Melakukan hubungan profesional yang tidak kaku, yang akrab, yang tidak bersikap otoriter pimpinan, sehingga pegawai tidak takut bersikap terbuka kepada pimpinan. Dengan demikian, akan terjadi interaksi antara pegawai dengan pimpinan yang harmonis, sehingga pada gilirannya tersedia kesempatan untuk mengembangkan ke arah yang dapat menurunkan kemungkinan terjadinya burnout. d. Melakukan dukungan sosial yang cukup bermakna kepada pegawai. Sebab dukungan sosial yang tidak kuat dari pimpinan dapat menjadi sumber stres emosional yang berpotensi terhadap timbulnya burnout. Jenis dukungan yang diharapkan karyawan ialah: 1) Saran dari pimpinan dalam mengatasi masalah pekerjaan yang dihadapi karyawan. 2) Kesediaan pimpinan untuk berempati terhadap perasaan-perasaan pegawai saat mengahadapi klien (masyarakat). 3) Peran pimpinan dalam memberikan informasi yang berkaitan dengan pekerjaan dan promosi. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
22 digilib.uns.ac.id
4) Memberikan contoh tingkah laku yang dapat dijadikan panutan ditempat kerja karyawan. 5) Memberikan umpan balik yang nyata terhadap kinerja karyawan seperti pemberian upah kerja dan bonus yang sesuai dengan kinerja pekerjaannya ataupun pujian atas hasil kerjanya. e. Melakukan kebijakan pembinaan yang dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Selain itu, yang lebih penting dalam mencegah terjadinya burnout adalah usaha yang dilakukan karyawan itu sendiri. Para karyawan sebaiknya waspada akan munculnya burnout. Sebab, selain merugikan diri sendiri, juga berdampak pada pekerjaan dan citra pegawai yang sampai hari ini perlu diperjuangkan. Berdasarkan penjelasan di atas burnout dapat ditangani dengan cara menciptakan birokrasi yang tidak menimbulkan anggapan di mata karyawan, melakukan pembinaan karyawan secara profesional, melakukan hubungan profesional yang tidak kaku, melakukan dukungan sosial yang cukup bermakna kepada karyawan, dan melakukan kebijakan pembinaan yang dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawan.
4.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Burnout
Karyawan yang mengalami burnout lebih sering absen atau terlambat
untuk bekerja daripada rekan-rekan yang tidak mengalaminya, mereka menjadi
terasa kurang idealis dan lebih kaku; kinerja mereka menurun tajam, dan mereka
mungkin berkhayal atau sebenarnya berencana untuk meninggalkan profesi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
23 digilib.uns.ac.id
(Farber, 1983 dalam Corrigan 1994). Maslach, kemudian menciptakan alat ukur sindrom burnout yang dialami seseorang, menyatakan bahwa burnout merupakan hasil dari tekanan emosional yang konstan dan berulang, yang diasosiasikan dengan keterlibatan yang intensif dalam hubungan antar personal untuk jangka waktu yang lama. Selanjutnya, Baron dan Greenberg (1995) mengungkapkan ada dua faktor yang dipandang mempengaruhi munculnya burnout, yaitu: a. Faktor Eksternal Meliputi lingkungan kerja psikologis yang kurang baik, kurangnya kesempatan untuk promosi, imbalan yang diberikan tidak mencukupi, kurangnya dukungan sosial dari atasan, tuntutan pekerjaan, pekerjaan yang monoton. Misalnya, dukungan sosial diartikan sebagai kesenangan, bantuan, yang diterima seseorang melalui hubungan formal dan informal dengan yang lain atau kelompok (Gibson, 1996). Menurut Pines dan Aronson (Caputo, 1991) adanya faktor yang saling berinteraksi dalam menimbulkan burnout, yaitu faktor lingkungan kerja dan individu. b. Faktor Internal Meliputi usia, jenis kelamin, harga diri, dan karakteristik kepribadian. Seperti, pengetahuan bahwa “saya seorang pria” atau “saya seorang wanita” merupakan salah satu bagian inti dari identitas pribadi, dan di dalam benak kita sudah tertanam siapa itu pria dan siapa itu wanita. Demikian pula tentang pemikiran apa kekhasan perilaku seorang pria dan seorang wanita. Pria dan wanita tidak hanya berbeda secara fisik saja, tetapi berbeda pula dari segi psikologis dan sosiologisnya. commit to user
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Parasuraman, dkk (1992) bahwa kedua faktor di atas berhubungan dengan burnout. Corrigan, dkk (1994) mengatakan bahwa faktor eksternal merupakan salah satu variabel penting yang berpengaruh terhadap burnout. Burnout sebagai suatu bentuk respon stres harus
dipandang
sebagai
suatu
proses
yang
diawali
oleh
adanya
ketidakseimbangan, kesenjangan atau diskrepansi antara tuntutan dan sumber daya individu yang menimbulkan kondisi strain (ketegangan). Individu tidak bisa mengatakan “saya menderita burnout hari ini dan bersemangat hari berikutnya (Pines dan Aronson, 1990)”. Seseorang yang mengalami kelelahan secara fisik setelah lari maraton, namun secara emosional gembira, bisa dikatakan ia tidak mengalami burnout. Demikian pula orang yang tertekan namun tetap nyaman di dalam bekerja, tidak mengalami burnout. Burnout tidak selalu terjadi pada setiap orang, karena ada perbedaan individual yang turut berpengaruh. Satu hal yang memiliki kontribusi besar terhadap timbulnya burnout, yaitu jika mereka merasa tidak bernilai, tidak dihargai, dan pekerjaan mereka merasa tidak berarti. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa burnout dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksternal yang meliputi lingkungan kerja psikologis dan faktor internal seperti usia, jenis kelamin, harga diri, dan karakteristik kepribadian.
commit to user
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Persepsi Budaya Organisasi 1.
Pengertian Persepsi Budaya Organisasi a. Pengertian Persepsi Persepsi
merupakan
suatu
proses
yang
didahului
oleh
proses
penginderaan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau disebut juga proses sensoris. Alat indera tersebut adalah alat penghubung antara individu dengan dunia luarnya (Walgito, 2004). Stimulus yang diterima oleh indera akan diorganisasikan dan diinterpretasikan, sehingga individu menyadari, mengerti tentang apa yang ada di dalam indera itu, dan proses ini disebut persepsi. De Vito, (1997 dalam Desy, 2004) mengungkapkan persepsi sebagai sebuah proses ketika kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indera kita. Rakhmat (2005), mengatakan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Ekspresi mengenal orang lain merupakan studi awal tentang persepsi (Muhadjir, 1992, dalam Hartijati 2001). Gibson & Ivancevich (1996) menyatakan bahwa persepsi merupakan serangkaian hal dari lingkungan yang diartikan oleh orang-orang yang bekerja dalam lingkup besar dan mempunyai peranan yang besar dalam mempengaruhi tingkah laku karyawan. Lain halnya dengan Pareek (1996), mendefinisikannya lebih luas yaitu persepsi sebagai proses menerima, menyeleksi, mengorganisasikan, mengartikan, menguji, dan memberikan reaksi kepada rangsangan pancaindera atau data. Dengan demikian dapat dikemukakan, bahwa persepsi itu merupakan pengorganisasian, pengartian, terhadap stimulus commit to user
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang diinderanya sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan respon yang integrated dalam diri individu (Walgito, 2004). Senada dengan hal tersebut, Atkinson dan Hilgard (1991) mengemukakan bahwa persepsi adalah proses dimana kita menafsirkan dan mengorganisasikan pola stimulus dalam lingkungan. Gibson dan Donely (1996) menjelaskan bahwa persepsi adalah proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang individu. Persepsi merupakan aktivitas yang terintegrasi dalam diri individu, karena itulah apa yang ada dalam diri individu akan ikut aktif dalam persepsi, ungkap Walgito, (2004). Persepsi merupakan suatu proses yang dimulai dari penglihatan hingga terbentuk tanggapan yang terjadi dalam diri individu sehingga individu sadar akan segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya (Aronson, 2008). Anderson dan Kyprianov, (1994, dalam Napitupulu 2002) mengatakan bahwa persepsi sebagai proses yang aktif dimana yang memegang peranan bukan hanya stimulus yang mengalaminya, tetapi juga keseluruhan pengalamanpengalamannya, memotivasinya dan sikap relevan terhadap stimulus tersebut. Kotler (2000) menjelaskan persepsi sebagai proses bagaimana seseorang menyeleksi, mengatur dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi untuk menciptakan gambaran keseluruhan yang berarti. Mangkunegara (Arindita, 2002) berpendapat bahwa persepsi adalah suatu proses pemberian arti atau makna terhadap lingkungan. Adapun Robbins (2003) mendeskripsikan persepsi dalam kaitannya dengan lingkungan, yaitu sebagai proses di mana individu-individu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
27 digilib.uns.ac.id
mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka. Persepsi dalam arti umum adalah pandangan seseorang terhadap sesuatu yang akan membuat respon bagaimana dan dengan apa seseorang akan bertindak. Leavitt (Rosyadi, 2001) membedakan persepsi menjadi dua pandangan, yaitu pandangan secara sempit dan luas. Pandangan yang sempit mengartikan persepsi sebagai penglihatan, bagaimana seseorang melihat sesuatu. Sedangkan pandangan yang luas mengartikannya sebagai bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu. Sebagian besar dari individu menyadari bahwa dunia yang sebagaimana dilihat tidak selalu sama dengan kenyataan, jadi berbeda dengan pendekatan sempit, tidak hanya sekedar melihat sesuatu tapi lebih pada pengertiannya terhadap sesuatu tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam persepsi dapat disimpulkan bahwa proses kita menjadi sadar akan banyaknya perasaan, kemampuan berpikir, pengalaman-pengalaman individu tidaklah sama, maka dalam mempersepsi sesuatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antar individu satu dengan individu lain.
b. Pengertian Budaya Organisasi Budaya organisasi merupakan bagian dari manajemen sumber daya manusia dan teori organisasi. Manajemen sumber daya manusia memandang budaya organisasi dari aspek perilaku, sedangkan teori organisasi dilihat dari aspek sekelompok individu yang berkerjasama untuk mencapai tujuan, atau commit to user
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
organisasi sebagai wadah tempat individu bekerjasama secara rasional dan sistematis untuk mencapai tujuan. Budaya organisasi sebagai sistem penyebaran kepercayaan dan nilai-nilai yang berkembang dalam suatu organisasi dan mengarahkan perilaku anggota anggotanya. Budaya organisasi dapat menjadi instrumen keunggulan kompetitif yang utama, bila budaya organisasi mendukung strategi organisasi, dan bila budaya organisasi dapat menjawab atau mengatasi tantangan lingkungan dengan cepat dan tepat. Denison (2003), mengatakan budaya organisasi sebagai sebuah nilai-nilai, keyakinan dan prinsip-prinsip dasar yang merupakan landasan bagi sistem dan praktek-praktek manajemen serta perilaku yang meningkatkan dan menguatkan prinsip-prinsip tersebut. Pada dasarnya budaya organisasi bukan merupakan kenyataan yang timbul dengan sendirinya, melainkan kenyataan yang bisa ditanamkan dan dikembangankan. Budaya organisasi ini berjalan turun temurun dalam kehidupan organisasi, tetapi nilai-nilai tersebut dapat berubah ketika timbul kemauan politis dari manajer menghendaki perubahan nilai menuju organisasi yang lebih sehat dan selektif (Retno, 2004). Perkembangan budaya organisasi, pertama kali dikenalkan di Amerika dan Eropa pada era 1970-an. Salah satu tokohnya : Edward H. Shein seorang Profesor Manajemen dari Sloan School of Management, Massachusetts Institute of Technology dan juga seorang Ketua Kelompok Studi Organisasi 1972-1981. Salah satu karya ilmiahnya : Organizational Culture and Leadership. Di Indonesia, budaya organisasi
mulai dikenal pada tahun 80 - 90-an, saat banyak yang
commit to user
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
membicarakan tentang konflik budaya, bagaimana mempertahankan Budaya Indonesia serta pembudayaan nilai-nilai baru. Djokosantoso (2005) menyatakan bahwa budaya korporat atau budaya manajemen atau juga dikenal dengan istilah budaya kerja merupakan nilai-nilai dominan yang disebarluaskan di dalam organisasi dan diacu sebagai filosofi kerja karyawan. Susanto (1997) memberikan definisi budaya organisasi sebagai nilainilai yang menjadi pedoman sumber daya manusia untuk menghadapi permasalahan eksternal dan usaha penyesuaian integrasi ke dalam perusahaan sehingga masing-masing anggota organisasi harus memahami nilai-nilai yang ada dan bagaimana mereka harus bertindak atau berperilaku. Robbins (1991) mendefinisikan budaya organisasi (organizational culture) sebagai suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi yang lain. Lebih lanjut, Robbins (1991) menyatakan bahwa sebuah sistem pemaknaan bersama dibentuk oleh warganya yang sekaligus menjadi pembeda dengan organisasi lain. Sistem pemaknaan bersama merupakan seperangkat karakter kunci dari nilai-nilai organisasi ("a system of shared meaning held by members that distinguishes the organization from other organization. This system of shared meaning is, on closer examination, a set of key characteristics that the organization values"). Amnuai (Soedjono, 2005), budaya organisasi adalah seperangkat asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggota-angota organisasi, kemudian dikembangkan dan diwariskan guna mengatasi masalah-masalah adaptasi eksternal dan masalahmasalah integrasi internal.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
30 digilib.uns.ac.id
Schein (1992), mengatakan bahwa budaya organisasi itu, mengacu ke suatu sistem makna bersama, dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu terhadap organisasi lain (Melinda, 2004). Luthans (1998, dalam Melinda, 2004) mengatakan budaya organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota organisasi. Setiap anggota akan berperilaku sesuai dengan budaya yang berlaku agar diterima oleh lingkungannya. Sarplin (1995, dalam Sutanto, 1997), mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu sistem nilai, kepercayaan dan kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur sistem formalnya untuk menghasilkan norma-norma perilaku organisasi. Menurut Stoner (1995, dalam Robbins 2003), budaya organisasi sebagai suatu cognitive framework yang meliputi sikap, nilai-nilai, norma prilaku dan harapan-harapan yang disumbangkan oleh anggota organisasi. Monde dan Noe (Retno 1995), budaya organisasi adalah sistem dari shared value, keyakinan dan kebiasaan-kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur formalnya untuk menciptakan norma-norma perilaku. Konsep budaya organisasi ini disandarkan pada kemampuan karyawan, sehingga penguatan yang diberikan pada karyawan selaku individu sebagai sumber daya manusia semakin disadari merupakan aset organisasi yang paling berharga dan memiliki kemampuan beradapatasi yang paling fleksibel. Melinda (2004), mendefinisikan budaya organisasi adalah bagian dari manajemen sumber daya manusia dan teori organisasi, budaya organisasi dalam manajemen sumber daya manusia, ditemukan saat mengkaji aspek perilaku, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
31 digilib.uns.ac.id
sedangkan budaya organisasi dalam teori organisasi, ditemukan saat mengkaji aspek sekelompok individu yang bekerjasama untuk mencapai tujuan, atau organisasi sebagai wadah tempat individu bekerjasama secara rasional dan sistematis untuk mencapai tujuan. Budaya organisasi juga mencakup nilai dan standar-standar yang mengarahkan perilaku pelaku organisasi dan menentukan arah organisasi secara keseluruhan. Menurut Atmosoeprapto (2001), budaya organisasi ialah suatu hal yang sangat penting karena kemampuannya untuk mengarahkan perilaku para anggota organisasi ke tujuan yang dikehendaki. Martin, 1992 (Lako, 2004), berpendapat bahwa budaya organisasi merupakan sensitivitas terhadap kebutuhan pelanggan dan karyawan; kemauan untuk menerima resiko; kebebasan atau minat karyawan untuk memberi ide-ide baru; keterbukaan untuk melakukan komunikasi secara bebas dan bertanggung jawab. Pengaruh budaya organisasi ini melebihi pengaruh lain dalam organisasi seperti struktur, sistem, manajemen, dan lain sebagainya. Ini merupakan suatu keadaan yang sangat diharapkan oleh para pimpinan sehingga tidak bersusah payah mengarahkan perilaku para anggota organisasinya. Menurut Harris dan Moran (1991, dalam Sutanto 1997) baru sejak dekade yang lalu (akhir 70-an atau awal 80-an) para eksekutif dan cendekiawan benar-benar memperhatikan faktor budaya organisasi yang ternyata berpengaruh terhadap perilaku, moral atau semangat kerja dan produktivitas kerja. Osborne dan Plastrik (2000) mengungkapkan, budaya organisasi sebagai seperangkat perilaku, perasaan, dan kerangka psikologis yang terinternalisasi sangat mendalam dan dimiliki bersama oleh anggota organisasi. Budaya commit to user
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
organisasi memberikan karyawan rasa kenyamanan, keamanan, kebersamaan, rasa tanggung jawab, ikut memiliki, tahu bagaimana bersikap, apa yang harus mereka kerjakan, dan sebagainya. Untuk itu diperlukan komitmen dari seluruh karyawan, mulai dari top, middle sampai lower atau operasioal yang merupakan persyaratan mutlak untuk tetap terpeliharanya budaya organisasi. Komitmen saja tidak sekedar keterkaitan secara fisik, tapi juga secara mental. Berdasarkan uraian diatas, budaya organisasi adalah perekat bagi setiap organisasi. Tanpa budaya organisasi, keberadaan organisasi akan mengalami proses pemekaran dan pertumbuhan tanpa adanya keseimbangan integrasi dan reintegrasi.
Dengan
budaya
organisasi
ini,
karyawan
menjadi
lebih
menyenangkan, sehingga perlu ada upaya serius dari seluruh sumber daya manusia yang ada di perusahaan (stake holder) untuk memelihara keberadaannya.
c. Pengertian Persepsi Budaya Organisasi Rakhmat (1994), mengatakan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan eksternal, yaitu faktor perceiver, obyek yang dipersepsi dan konteks situasi persepsi dilakukan. Budaya organisasi disini berperan sebagai objek dan konteks yang akan dipersepsi oleh seluruh anggota organisasi. Robbins (1991) mendefinisikan budaya organisasi (organizational culture) sebagai suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi yang lain. Budaya organisasi memberikan karyawan commit to user
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
rasa kenyamanan, keamanan, kebersamaan, rasa tanggung jawab, ikut memiliki, tahu bagaimana bersikap, apa yang harus mereka kerjakan, dan sebagainya. Berdasarkan pendapat-pendapat ahli di atas dapat disimpulkan persepsi budaya organisasi adalah rangkaian proses yang dimulai dari proses sensoris tentang
pengalamannya
yang
kemudian
dilanjutkan
ke
tahapan
yang
menghasilkan tanggapan atas budaya organisasi sebagai keyakinan dan nilai-nilai organisasi yang dipahami, ditanamkan dalam jiwa dan dipraktekkan oleh organisasi sehingga pola tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar aturan berperilaku dalam organisasi.
2.
Aspek-aspek Persepsi Budaya Organisasi Budaya organisasi pada hakekatnya adalah pondasi suatu organisasi, jika
pondasi yang dibuat tidak cukup kokoh maka betapapun bagusnya bangunan pondasi itu tidak akan cukup kokoh menopangnya. Agar hal ini benar terjadi, maka perlu sosialisasi budaya organisasi dengan baik sehingga dapat terinternalisasi dalam diri para karyawan organisasi. Untuk itu, peran pemimpin organisasi sangat penting, baik dalam menanamkan pemahaman dan persepsi yang sama tentang budaya organisasi tersebut ke setiap karayawannya. Persepsi merupakan suatu proses bagaimana seseorang menyeleksi, mengatur dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi dan pengalamanpengalaman yang ada dan kemudian menafsirkannya untuk menciptakan keseluruhan gambaran yang berarti. Pada hakekatnya sikap adalah merupakan
commit to user
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
suatu interelasi dari berbagai komponen. Dengan demikian, Sobur (2003) dan Allport (Mar'at, 1991) mengemukakan tiga aspek dalam persepsi, yaitu : a. Komponen Kognitif Yaitu komponen yang tersusun atas dasar pengetahuan atau informasi yang dimiliki seseorang tentang obyek sikapnya. Dari pengetahuan ini kemudian akan terbentuk suatu keyakinan tertentu tentang obyek sikap tersebut. b. Komponen Afektif Afektif berhubungan dengan rasa senang dan tidak senang. Jadi sifatnya evaluatif yang berhubungan erat dengan nilai-nilai kebudayaan atau sistem nilai yang dimilikinya. c. Komponen Konatif Yaitu merupakan kesiapan seseorang untuk bertingkah laku yang berhubungan dengan obyek sikapnya. Aspek-aspek yang telah diungkapkan di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi mengandung aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek konatif, yaitu merupakan kesediaan dalam bertindak atau berperilaku. Sikap seseorang pada suatu obyek sikap merupakan manifestasi dari kontelasi ketiga komponen tersebut yang saling berinteraksi untuk memahami, merasakan dan berperilaku terhadap obyek sikap. Ketiga aspek itu saling berinterelasi dan konsisten satu dengan lainnya. Jadi, terdapat pengorganisasian secara internal diantara ketiga komponen tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
35 digilib.uns.ac.id
Persepsi yang terjadi pada penelitian ini adalah persepsi budaya organisasi. Persepsi budaya organisasi merupakan rangkaian proses yang dimulai dari proses sensoris tentang pengalamannya yang kemudian dilanjutkan ke tahapan yang menghasilkan tanggapan atas budaya organisasi sebagai keyakinan dan nilai-nilai organisasi yang dipahami, ditanamkan dalam jiwa dan dipraktekkan oleh organisasi sehingga pola tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar aturan berperilaku dalam organisasi. Denison (2003) merangkum empat prinsip integratif mengenai literatur perilaku organisasi yang mendahuluinya dengan menggunakan istilah lain, akan tetapi gagasan pokok Denison (2003), adalah efektivitas kinerja perusahaan yang merupakan keempat fungsi budaya organisasi yaitu: a. Keterlibatan Ini merupakan faktor kunci dalam budaya organisasi. Keterlibatan dalam hubungan antara budaya organisasi dan efektivitas bukanlah hal yang baru karena telah banyak literatur perilaku organisasi yang mendahuluinya dengan menggunakan istilah lain. Konsep ini mengemukakan bahwa tingkat keterlibatan dan partsipasi yang tinggi menciptakan kesadaran akan pemilikan (sense of ownership) dan tanggung jawab. Dari kesadaran ini timbul komitmen yang lebih besar pada organisasi dan kebutuhan yang lebih sedikit akan sistem kontrol yang ketat. b. Konsistensi Teori konsistensi tentang hubungan antara budaya organisasi dan efektivitas menyajikan pandangan yang sedikit berbeda. Teori ini commit to user
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menekankan adanya dampak positif ”budaya kuat” pada efektivitas organisasi dan bahwa sistem keyakinan, nilai, dan simbol yang dihayati, serta dipahami secara luas oleh para anggota organisasi, memiliki dampak positif pada kemampuan mereka dalam mencapai konsensus dan melakukan tindakan-tindakan yang terkoordinasi. c. Adaptabilitas Komponen pertama dan kedua dari teori budaya hanya memfokuskan pada dinamika internal suatu organisasi. Keduanya sangat sedikit menyinggung lingkungan eksternal organisasi. Schein (1992, dalam Melinda 2004), mendiskusikan
hubungan
antara
adaptabilitas
dan
budaya,
serta
menekankan bahwa budaya biasanya terdiri dari respon-respon perilaku kolektif yang terbukti adaptif di masa lalu. Bila dikonfrontasikan dengan situasi baru, pertama-tama organisasi akan mencoba respon-respon kolektif yang diketahui. d. Penghayatan Misi Komponen terakhir dari budaya organsasi ini menekankan pada pentingnya misi, atau definisi bersama dari suatu fungsi dan tujuan organisasi serta anggotanya. Penghayatan misi memberi dua pengaruh besar terhadap organisasi. Pertama, misi menentukan manfaat dan makna dengan cara mendefinisikan peran individu berkenaan dengan peran intuisi. Kedua, kesadaran akan misi memberikan arah dan sasaran yang jelas dan berfungsi untuk mendefinisikan serangkaian tindakan yang tepat bagi organisasi dan anggota-anggotanya. Pengaruh keduanya memberikan commit to user
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kejelasan dan arah sehingga dapat mewujudkan kesuksesan yang memiliki kemungkinan terbesar terjadi ketika individu mempunyai tujuan terarah (Locke dalam Hartijasti, 2001). Individu yang memiliki budaya organisasi yang kuat dinilai sebagai karyawan yang paling kooperatif, dapat bekerja dengan banyak orang dan memiliki preferensi yang paling kuat untuk mengevaluasi kinerja yang memberikan kontribusi pada organisasi daripada untuk dirinya sendiri. Budaya organisasi memiliki aspek-aspek dalam melakukan pengukurannya, dan Robbins, (1991) menjelaskannya sebagai berikut: a. Insiatif Individu, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas tingkatan tanggung jawab, kebebasan, dan kemandirian yang dimiliki. b. Risk Tolerance, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas dorongan karyawan untuk dapat lebih agresif, inovatif, dan mau menghadapi resiko. c. Direction, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas organisasi menentukan tujuan yang akan dicapai dan kinerja yang diharapkan. d. Integration, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas unit-unit didalam organisasi didorong melakukan kegiatannya dalam satu koordinasi yang baik.
commit to user
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
e. Management Support, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas para manajer memberikan komunikasi yang jelas, bantuan, dan dukungan terhadap bawahannya. f. Control, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas peraturan dan pengawasan langsung yang digunakan untuk mengawasi dan mengontrol perilaku karyawan. g. Identity, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas anggota mengidentifikasikan diri dari organisasi bukannya dengan kelompok kerja atau bidang keahlian profesional. h. Reward System, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas alokasi penghargaan atau keahlian, gaji, dan promosi yang berdasarkan kriteria hasil kerja karyawan. i. Conflict Tolerance, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas dapat mendorong karyawan untuk kritis terhadap konflik yang terjadi. j. Communication Patterns, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas komunikasi dalam organisasi yang terbatas pada susunan wewenang secara formal.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
39 digilib.uns.ac.id
Ideologi organisasi atau budaya yang dimiliki organisasi dapat mempengaruhi perilaku orang-orang yang terlibat didalamnya, kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dan permintaan secara efektif dan cara menyesuaikan diri dengan lingkungan eksternalnya (Orlilowski dan Hoffman, 1997). Berdasarkan aspek-aspek persepsi yang dikemukakan Sobur (2003) dan Allport (Mar’at 1991) yakni : kognitif, afektif dan konatif. Selanjutnya aspek budaya organisasi yang dikemukakan oleh Robbins (1991) ialah : insiatif individu, risk tolerance, direction, integration, management support, control, identity, reward system, conflict tolerance, dan communication patterns. Maka dapat disimpulkan persepsi budaya organisasi dapat dilihat dari bagaimana karyawan memberikan tanggapan secara kognitf, afektif dan konatif atas budaya organisasi dimana dalam budaya organisasi terdapat aspek-aspek insiatif individu, risk tolerance, direction, integration, management support, control, identity, reward system, conflict tolerance, dan communication patterns (Robbins, 1991).
3.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Persepsi Budaya Organisasi Budaya organisasi merupakan satu unsur terpenting dalam organisasi yang
mengarah pada perilaku yang dianggap tepat, mengikat, dan memotivasi anggota yang ada di dalamnya. Kebudayaan akan mempengaruhi cara berpikir, sikap, dan perilaku seseorang. Dengan demikian, pemahaman budaya organisasi menjadi penting, mengingat adanya keanekaragaman budaya yang dibawa oleh karyawan ke dalam organisasi. Martin, 1992 (dalam Lako, 2004), berpendapat bahwa budaya organisasi merupakan sensitivitas terhadap kebutuhan pelanggan dan commit to user
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
karyawan; kemauan untuk menerima resiko; kebebasan atau minat karyawan untuk memberi ide-ide baru; keterbukaan untuk melakukan komunikasi secara bebas dan bertanggung jawab. Secara tidak langsung ataupun langsung, budaya organisasi dapat berupa hasil pemikiran dan tindakan-tindakan yang dilakukan pendiri organisasi, meski tidak selalu demikian. Budaya organisasi selalu dipengaruhi oleh persepsi masing-masing karyawan terhadap hal tersebut. Rakhmat (1994), mengatakan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan eksternal, yaitu faktor perceiver, obyek yang dipersepsi dan konteks situasi persepsi dilakukan. Seiring dengan perkembangan organisasi, budaya organisasi dapat mengalami transformasi dengan berbagai cara. Transformasi dari budaya organisasi tersebut dipengaruhi oleh persepsi setiap karyawannya. Oleh karena itu, Chatman dan Barsade (1997), mengungkapkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi persepsi budaya organisasi diantaranya adalah : a. Identitas Organisasi, seperti memberikan penghargaan dengan mendorong motivasi karyawan. b. Komitmen Kolektif, yaitu fungsi budaya organisasi yang baik ialah ’sebuah organisasi dimana anggotanya bangga menjadi bagian darinya’. c. Stabilitas Sistem Sosial, merupakan cerminan taraf dari lingkungan kerja dirasakan positif , mendukung, dan konflik serta perubahan dapat diatur dengan efektif.
commit to user
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d. Pembinaan yang dilakukan organisasi, dimana dapat membantu anggota organisasi agar dapat memahami mengapa organisasi melakukan apa yang seharusnya dan bagaimana organisasi bermaksud mencapai tujuan jangka panjangnya. Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi budaya organisasi dipengaruhi oleh adanya identitas organisasi, komitmen kolektif, stabilitas sistem sosial, dan pembinaan yang dilakukan oleh organisasi itu sendiri kepada anggotanya. C. Motivasi Intrinsik 1.
Pengertian Motivasi Intrinsik Motivasi seseorang berasal dari interen dan eksteren (Herpen, dkk. 2002)
hasil penelitiannya mengatakan bahwa motivasi seseorang berupa intrinsik dan ekstrinsik. Herpen, dkk (2002) juga menambahkan beberapa pendapat dari Gacther and Falk (2000); Kinman and Russel (2001), yang mengatakan bahwa, motivasi intrinsik dan ekstrinsik merupakan hal yang mempengaruhi tugas seseorang. Perilaku yang konkret atau nyata yang sebenarnya, kebanyakan adalah kombinasi dari dua unsur tersebut. Menurut Winardi (2001), motivasi intrinsik merupakan motivasi yang berfungsi tanpa adanya rangsangan dari luar, dalam diri individu sudah ada suatu dorongan untuk melakukan tindakan. Disebut intrinsik, karena tujuannya adalah perasaan internal mengenai kompetensi dan self determinasi. Motivasi intrinsik ini lebih berperan dalam penyelesaian sesuatu hal karena ini merupakan motivator yang sangat kuat dari perilaku manusia dan dapat digunakan untuk membuat seseorang lebih produktif. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
42 digilib.uns.ac.id
Ray dan Miller (1994), mengungkapkan tugas dan tanggung jawab kerja yang diberikan kepada setiap karyawan merupakan salah satu sumber motivasi intrinsik yang ada di dalam diri karyawan. Griffin dan Moorhead (dalam Windayanti, 2007), mengatakan bahwa motivasi intrinsik sebagai suatu tekanantekanan yang menyebabkan individu terlibat dalam suatu fokus kegiatan saja. Motivasi intrinsik ini dapat timbul atau ada tidak semata-mata karena adanya reward atau hadiah kecuali untuk aktivitas itu sendiri. Meningkatnya motivasi, kesanggupan, dan kesediaan anggota atau karyawan untuk bersama-sama berusaha dalam mengembangkan organisasi, yang merupakan harapan dari organisasi tersebut. Motivasi intrinsik merupakan dorongan yang sering dikatakan dibawa sejak lahir, sehingga tidak dapat dipelajari karena seseorang yang terdorong rasa ingin tahu, maka orang itu akan belajar dan pengetahuan serta aktivitas yang disadari oleh motivasi instrinsik ini akan bertahan lebih lama (http://www.blogcatalog.com/search).
Menurut Vallerand, dkk., (2009) secara garis besar, ada tiga tipe motivasi intrinsik diantaranya adalah : a. Motivasi Intrinsik untuk tahu Dalam motivasi untuk tahu ini, seseorang melibatkan diri dalam sebuah aktivitas karena kesenangan untuk belajar. b. Motivasi Intrinsik yang berkaitan dengan pencapaian Manusia selalu mempunyai naluri untuk mencapai sesuatu. Bahkan secara ekstrim, orang yang sudah kaya raya pun tidak pernah berhenti untuk mengeruk harta. Ini membuktikan bahwa setiap manusia commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
43 digilib.uns.ac.id
mempunyai keinginan untuk mencapai sesuatu. Artinya ada keinginan untuk lebih dan lebih. c. Motivasi Intrinsik untuk merasakan stimulasi Mendorong seseorang untuk terlibat dalam sebuah aktivitas dalam rangka merasakan kenikmatan yang sensasional. Intinya, motivasi intrinsik bisa berupa aktivitas apapun yang menghasilkan perbedaan besar pada dirinya sendiri bahkan organisasi. Jika mereka merasa bahwa apa yang mereka lakukan tidak signifikan, maka mereka akan merasa tidak signifikan. (dalam http://www.managementfile.com/journal.php).
Desy, dkk (2004), motivasi intrinsik ialah suatu bentuk motivasi yang memiliki kekuatan besar yang dapat membuat seseorang merasa nyaman dan senang dalam melakukan tugas yang disesuaikan dengan nilai tugas itu. Motivasi intrinsik ini juga merupakan ruang lingkup ‘pemberdayaan’ karyawan untuk mencapai hasil dari penerapan kemampuan dan bakat individual. Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa motivasi intrinsik adalah keinginan dari dalam diri seseorang yang memiliki kekuatan besar untuk mengerahkan segala kemampuan dan bakat dalam mencapai segala sesuatu yang sesuai dengan harapannya dalam pemenuhan kebutuhannya berkompetisi dengan lingkungan.
2.
Aspek-Aspek Motivasi Intrinsik Menurut teori Herzberg motivasi yang ideal yang dapat merangsang usaha
adalah peluang untuk melaksanakan tugas yang lebih membutuhkan keahlian dan commit to user
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
peluang untuk mengembangkan kemampuan. Menurut Herzberg faktor hygienic atau extrinsic factor tidak akan mendorong minat para pegawai untuk berforma baik, akan tetapi jika faktor-faktor ini dianggap tidak dapat memuaskan dalam berbagai hal seperti gaji tidak memadai, kondisi kerja tidak menyenangkan, faktor-faktor itu dapat menjadi sumber ketidakpuasan potensial (Cushway & Lodge, 1995, dalam Sopyan, 2009). Faktor motivation intrinsic atau intrinsic factor merupakan faktor yang mendorong semangat guna mencapai kinerja yang lebih tinggi. Jadi pemuasan terhadap kebutuhan tingkat tinggi (faktor motivasi) lebih memungkinkan seseorang untuk berforma tinggi daripada pemuasan kebutuhan lebih rendah (hygienis), (Leidecker&Hall, 1999). Santrock (2002) mengatakan bahwa motivasi intrinsik sangat mempengaruhi kreativitas dan rasa ingin tahu anak (natural curiosity). Motivasi intrinsik ini memiliki beberapa aspek sebagai berikut (Stipek, 2002) yaitu : a. Kompetensi (Competence) Yaitu kekuatan atau dorongan ditunjukkan dengan perilaku yang cenderung mendekati tugas. Indikator dari aspek ini misalnya seperti halhal yang mendekati dan dirasa perlu sehubungan dengan tugas, tidak berhenti bekerja sebelum tugas selesai, mendekati tugas-tugas dengan gembira, persisten dalam menghadapi kegagalan, suka rela menjawab pertanyaan dan menyediakan jawaban sebelum diminta untuk menjawab.
commit to user
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Tugas baru (Novelty) Yaitu dorongan dari dalam diri karena adanya rasa keingintahuan terhadap tugas yang bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan. Hal ini seperti, mandiri dan fokus terhadap tugas walaupun faktor luar tidak hadir (atasan, supervisi, ataupun orang lain), terlihat menikmati pekerjaan, menunjukkan harapan yang tinggi pada tugas sulit, mengembangkan pengetahuan yang dimiliki kepada hal-hal baru. c. Otonomi diri (Self-determination) Memiliki inisiatif untuk melakukan kegiatan pembelajaran dengan sendirinya tanpa dipengaruhi faktor luar. Adanya keinginan untuk mengevaluasi hasil lebih jauh hasil pembelajarannya secara lebih mendalam dan spontan sehingga menghasilkan ekspresi bangga terhadap prestasi yang diraih. Aspek-aspek motivasi intrinsik yang terdiri dari competence, novelty, dan self-determinant ini dikembangkan oleh Harter, dkk,. (dalam Stipek, 2002) sehingga diperoleh klasifikasi tingkah laku yang mencerminkan. Motivasi intrinsik ini juga dapat mengarahkan tingkah laku seseorang dengan titik berat pada bagaimana prestasi dicapai (Mc Clelland, dalam Hawadi, 2001). Motivasi intrinsik ini dapat menciptakan kretivitas, pembelajaran konsep, pencarian tantangan dan kesenangan dalam belajar secara lebih cepat dibandingkan dengan motivasi ekstrinsik (Stipek, 2002). Thomas, (2000), mengatakan bahwa motivasi
commit to user
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
intrinsik dapat dicapai ketika seseorang mengalami perasaan adanya pilihanpilihan, kompetensi, penuh arti, dan kemajuan, yaitu : a. Pilihan Merupakan peluang untuk mampu menyeleksi kegiatan-kegiatan atau tugas yang masuk akal dan melaksanakannya dengan cara yang memadai seperti wewenang, keamanan, adanya tujuan yang jelas, dan informasi. b. Kompetensi Ialah suatu pencapaian yang dirasakan saat melakukan kegiatan pilihan dengan cara yang amat terampil seperti pengetahuan-pengetahuan, umpan balik, dan pembekalan keterampilan. c. Penuh Arti Memiliki tujuan sebagai peluang untuk mengejar sasaran tugas yang bermulai dan sasaran yang terjadi dalam skema yang lebih besar misalnya pengenalan keinginan dan visi yang membangkitkan. d. Kemajuan Ini adalah perasaan yang membuat langkah maju dan berarti dalam mencapai sasaran tugas, seperti iklim kolaboratif dan pengukuran kemajuan. Berdasarkan uraian mengenai aspek-sapek motivasi intrinsik di atas, dapat disimpulkan bahwa motivasi intrinsik dapat dicapai ketika seseorang memiliki empat aspek yakni, adanya pilihan, kompetensi, penuh arti, dan kemajuan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
3.
47 digilib.uns.ac.id
Faktor-faktor yang mempengaruhi Motivasi Intrinsik Hezberg (Winardi, 2001) mengatakan faktor-faktor seperti kebijakan,
administrasi perusahaan, dan gaji yang memadai dalam suatu pekerjaan akan menentramkan karyawan. Selanjutnya Herzberg mengelompokkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi morivasi intrinsik seseorang diantaranya adalah: a. Pekerjaan itu sendiri (Work It Self) Yaitu pekerjaan atau tugas yang dimilikinya sesuai atau tidak dengan kemampuannya. b. Prestasi yang diraih (Achievment) Yaitu adanya kesesuaian antara tanggung jawab dan hasil yang diterimanya. c. Peluang untuk maju (Advancement) Yaitu adanya kesempatan untuk mengembangkan dirinya menjadi seseorang yang lebih dalam mengabdikan diri di dalam lingkungannya. d. Pengakuan orang lain (Ricognition) Yaitu diterimanya di dalam lingkungan tersebut dan adanya suatu penghargaan atas apa yang telah ia kerjakan. e. Tanggung jawab (Responsible) Yaitu kemampuan untuk berani menanggung resiko atas apa yang ia kerjakan. Hawadi (2001), mengatakan bahwa pembentukan motivasi intrinsik ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu: commit to user
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Faktor Indiviual Seperti intelegensi, persepsi individu akan pentingnya tugas, kontribusi orang lain, misalnya keluarga, rekan kerja dan atasan, minat, dan perkembangan individual yang unik antara satu karyawan dengan rekan kerja yang lainnya. b. Faktor Situasional Seperti pengaruh situasi yang mengundang adanya semangat atau dorongan dalam mengerjakan pekerjaaan, bentuk ruang kerja, dan peraturan-peraturan yang mengikat karyawan. Faktor-faktor motivasi intrinsik ini dapat dijadikan dorongan dari dalam diri seseorang yang memiliki kekuatan besar untuk mencapai segala sesuatu yang sesuai dengan harapannya dalam pemenuhan kebutuhannya dalam berkompetisi dengan lingkungannya. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa motivasi intrinsik seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah pekerjaan itu sendiri, prestasi yang diraih, peluang untuk maju, pengakuan orang lain, dan tanggung jawab.
D. Hubungan Antara Persepsi Budaya Organisasi dan Motivasi Intrinsik dengan Burnout pada Karyawan Maslach
(1993)
menjelaskan
mengenai
definisi
burnout
secara
operasional, yang berdasarkan batasan-batasan ini dapat ditentukan kapan commit to user seseorang telah mengalami burnout, dengan cara meneliti gejala-gejala
perpustakaan.uns.ac.id
49 digilib.uns.ac.id
kekeringan emosional, adanya depersonalisasi, dan penurunan rasa keberhasilan dalam melakukan tugas sehari-hari. Burnout dikenal secara luas dalam dunia kerja dan secara khusus nampak pada helping professions (Cox, 1993). Burnout merupakan suatu keadaan penderitaan psikologis yang mungkin dialami oleh seorang pekerja yang berpengalaman setelah bekerja untuk suatu periode waktu tertentu. Caputo (1991) mengungkapkan, burnout merupakan situasi yang tak henti-hentinya dialami oleh karyawan dalam memenuhi keinginannya mencapai tujuan dengan sumber daya yang mencukupi dan menghasilkan transformasi dalam berkomitmen, kebosanan, dan kelelahan fisik. Benardin (dalam Rosyid, 1996) menggambarkan burnout sebagai suatu keadaan yang mencerminkan reaksi emosional pada individu yang bekerja di bidang kemanusiaan (human service setting), atau bekerja erat dengan masyarakat. Istilah burnout juga diartikan sebagai suatu keadaan keletihan (exhaustion) fisik, emosional, dan mental yang menganggu dirinya. Ciri yang muncul adalah psysikal depletion (habisnya energi fisik) dengan perasaan tidak berdaya dan putus harapan, keringnya perasaan, konsep diri yang negatif dan sikap negatif terhadap kerja dan orang lain (Prawasti, 1991). Melihat kondisi tersebut apabila didukung oleh lingkungan yang kurang kondusif dan motivasi intrinsik yang kurang baik akan menjadi pemicu timbulnya keletihan fisik, emosi, dan mental dalam diri karyawan yang biasanya disebut dengan burnout. Lingkungan yang kondusif dapat terwujud dengan adanya persamaan persepsi atas budaya organisasi. Persepsi merupakan pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
50 digilib.uns.ac.id
informasi dan menafsirkan pesan (Rakhmat, 2005). Persepsi dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan eksternal, yaitu faktor perceiver, obyek yang dipersepsi dan konteks situasi persepsi dilakukan. Sedangkan budaya organisasi adalah suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi yang lain (Robbins, 1991). Budaya organisasi memberikan karyawan rasa kenyamanan, keamanan, kebersamaan, rasa tanggung jawab, ikut memiliki, tahu bagaimana bersikap, apa yang harus mereka kerjakan, dan sebagainya. Oleh karena itu, dibutuhkannya keinginan yang kuat dari masing-masing karyawan untuk menyamakan persepsi budaya organisasi, sehingga dapat membantu untuk memajukan organisasi. Keinginan yang ada pada diri karyawan merupakan motivasi intrinsik dalam menentukan perannya di lingkungan organisasi tersebut. Motivasi intrinsik ini berperan dalam penyelesaian sesuatu hal karena ini merupakan motivator yang sangat kuat dari perilaku manusia dan dapat digunakan untuk membuat seseorang lebih produktif. Winardi (2001), mengatakan motivasi intrinsik merupakan motivasi yang berfungsi tanpa adanya rangsangan dari luar, dalam diri individu sudah ada suatu dorongan untuk melakukan tindakan. Motivasi intirnsik ini juga merupakan ruang lingkup ‘pemberdayaan’ karyawan untuk mencapai hasil dari penerapan kemampuan dan bakat yang dimilikinya (Ivancevich, dkk,. 2007). Intinya, motivasi intrinsik bisa berupa aktivitas apapun yang menghasilkan perbedaan besar pada dirinya sendiri bahkan organisasi. Seluruh uraian di atas menunjukkan adanya kemungkinan persepsi budaya organisasi yang diwujudkan dalam motivasi intrinsik pada setiap karyawan commit to user
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penting untuk mendukung kemajuan organisasi, sehingga karyawan dapat terhindar dari kemungkinan munculnya burnout. Persepsi budaya organisasi merupakan salah satu cara menyamakan visi dan misi yang terkandung di dalam organisasi. Selain itu, dibutuhkannya dukungan dan partisipasi karyawan dalam organisasi yang dikenal dengan motivasi intrinsik. Karyawan yang memiliki motivasi intrinsik tinggi akan merasa bahwa pekerjaan mereka bernilai, maka mereka akan merasa bernilai pula. Persepsi budaya organisasi yang positif dan motivasi intrinsik yang tinggi akan mengurangi tingkat burnout pada karyawan.
E. Hubungan Antara Persepsi Budaya Organisasi dan Burnout Pada Karyawan Robbins (1991) mendefinisikan budaya organisasi (organizational culture) sebagai suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi yang lain. Lebih lanjut, Robbins (1991) menyatakan bahwa, sebuah sistem pemaknaan bersama dibentuk oleh warganya yang sekaligus menjadi pembeda dengan organisasi lain. Menurut Martin, 1992 (dalam Lako, 2004), budaya organisasi merupakan sensitivitas terhadap kebutuhan pelanggan dan karyawan; kemauan untuk menerima resiko; kebebasan atau minat karyawan untuk memberi ide-ide baru; keterbukaan untuk melakukan komunikasi secara bebas dan bertanggung jawab. Stoner (1995, dalam Robbins 2003), berpendapat bahwa budaya organisasi sebagai suatu cognitive framework yang meliputi sikap, nilai-nilai, norma perilaku dan harapan-harapan yang disumbangkan oleh anggota organisasi. Budaya commit to user
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
organisasi juga mencakup nilai dan standar-standar yang mengarahkan perilaku pelaku organisasi dan menentukan arah organisasi secara keseluruhan. Menurut Atmosoeprapto (2001), budaya organisasi ialah suatu hal yang sangat penting karena kemampuannya untuk mengarahkan perilaku para anggota organisasi ke tujuan yang dikehendaki. Budaya organisasi merupakan objek yang dapat dipersepsi oleh setiap karyawan. Pareek (1996), mendefinisikan persepsi proses menerima,
menyeleksi,
mengorganisasikan,
mengartikan,
menguji,
dan
memberikan reaksi kepada rangsangan pancaindera atau data. Dengan demikian dapat dikemukakan, bahwa persepsi itu merupakan pengorganisasian, pengartian, terhadap stimulus dalam diinderanya sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan respon yang integrated dalam diri individu (Walgito, 2004). Persepsi budaya organisasi yang berbeda-beda akan mengakibatkan ketidaksamaan visi dan misi dalam mengembangkan organisasi. Perbedaan ini dapat mengakibatkan tekanan dan ketegangan pada karyawan, atasan, ataupun dengan rekan kerjanya, yang dapat disebut burnout. Maslach (1993) menjelaskan mengenai definisi burnout secara operasional, yang berdasarkan batasan-batasan ini dapat ditentukan kapan seseorang telah mengalami burnout, dengan cara meneliti gejala-gejala kekeringan emosional, adanya depersonalisasi dan penurunan rasa keberhasilan dalam melakukan tugas sehari-hari. Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui pentingnya budaya organisasi dimana masing-masing karyawan dapat berfungsi dan berperan sesuai tugasnya serta berpegang teguh pada peraturan-peraturan organisasi. Hal tersebut penting
commit to user
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
untuk mendukung perkembangan organisasi, sehingga karyawan tidak keluar dari visi dan misi organisasi sehingga terhindar dari burnout.
F. Hubungan Antara Motivasi Intrinsik dan Burnout Pada Karyawan Perilaku yang konkret atau nyata dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya, kebanyakan adalah kombinasi dari dalam diri dan lingkungannya. Handoko (1992), mengatakan motivasi intrinsik merupakan motivasi yang berfungsi tanpa adanya rangsangan dari luar, dalam diri individu sudah ada suatu dorongan untuk melakukan tindakan. Motivasi intirnsik ini juga merupakan ruang lingkup ‘pemberdayaan’ karyawan untuk mencapai hasil dari penerapan kemampuan dan bakat yang dimilikinya (Ivancevich, dkk,. 2007). Intinya, motivasi intrinsik bisa berupa aktivitas apapun yang menghasilkan perbedaan besar pada dirinya sendiri bahkan organisasi. Disebut intrinsik, karena tujuannya adalah perasaan internal mengenai kompetensi dan self determinasi. Motivasi intrinsik ini lebih berperan dalam penyelesaian sesuatu hal karena ini merupakan motivator yang sangat kuat dari perilaku manusia dan dapat digunakan untuk membuat seseorang lebih produktif. Keinginan yang ada pada diri karyawan merupakan motivasi intrinsik dalam menentukan perannya di lingkungan organisasi tersebut. Adapun yang merupakan faktor motivasi intrinsik menurut Herzberg (Hasibuan, 1996), adalah pekerjaan itu sendiri (the work it self), prestasi yang diraih (achievement), peluang untuk maju (advancement), pengakuan orang lain (ricognition), dan tanggung jawab (responsible).
commit to user
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Motivasi
intrinsik
mengacu
pada
hubungan
karyawan
dengan
pekerjaannya. Motivasi intrinsik ini bisa berasal dari hubungan antar individual atau aktivitas yang terkait dengan pekerjaan itu sendiri. Jika karyawan belum memiliki keinginan atau motivasi dari dalam dirinya, akan timbul kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Kesulitan-kesulitan yang menumpuk akan menyebabkan keletihan yang berakhir pada burnout karyawan. Burnout dikenal secara luas dalam dunia kerja dan secara khusus nampak pada helping professions (Cox, 1993). Benardin (dalam Rosyid, 1996) menggambarkan burnout sebagai suatu keadaan yang mencerminkan reaksi emosional pada individu yang bekerja di bidang kemanusiaan (human service setting), atau bekerja erat dengan masyarakat. Caputo (1991) mengungkapkan, burnout merupakan situasi yang tak henti-hentinya dialami oleh karyawan dalam memenuhi keinginannya mencapai tujuan dengan sumber daya yang mencukupi dan menghasilkan transformasi dalam berkomitmen, kebosanan, dan kelelahan fisik. Istilah burnout juga diartikan sebagai suatu keadaan keletihan (exhaustion) fisik, emosional, dan mental yang menganggu dirinya. Maslach (1993) menjelaskan mengenai definisi burnout secara operasional, yang berdasarkan batasan-batasan ini dapat ditentukan kapan seseorang telah mengalami burnout, dengan cara meneliti gejala-gejala kekeringan emosional, adanya depersonalisasi dan penurunan rasa keberhasilan dalam melakukan tugas sehari-hari. Berdasarkan uraian di atas pada umumnya karyawan mementingkan pekerjaannya dan menghiraukan nilai serta makna yang menjadi dasar organisasi dengan alasan adanya penghargaan yang akan diterimanya dari atasan. Perilaku commit to user
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
inilah yang memunculkan burnout pada karyawan. Sebaiknya motivasi intrinsik ini dapat menjadi motivasi yang positif sehingga terwujudnya kesejahteraan pada diri karyawan dan kemajuan di dalam organisasi.
G. Kerangka Berpikir Hubungan Antara Persepsi Budaya Organisasi dan Motivasi Intrinsik dengan Burnout Pada Karyawan
2
Persepsi Budaya Organisasi 1
Burnout Pada Karyawan 3
Motivasi Intrinsik
Keterangan : - Anak panah 1 : Hipotesis 1 - Anak panah 2 : Hipotesis 2 - Anak panah 3 : Hipotesis 3 Gambar 3. Kerangka Berpikir “Hubungan Antara Persepsi Budaya Organisasi dan Motivasi Intrinsik dengan Burnout Pada Karyawan”
Bentuk kerangka berpikir di atas dapat membantu peneliti dalam mengetahui hubungan antara persepsi budaya organisasi dan motivasi intrinsik dengan burnout pada karyawan, mengetahui hubungan antara persepsi budaya
commit to user
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
organisasi dengan burnout pada karyawan, dan mengetahui hubungan antara motivasi intrinsik dengan burnout pada karyawan. H. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Ada hubungan antara persepsi budaya organisasi dan motivasi intrinsik dengan burnout pada karyawan. 2. Ada hubungan antara persepsi budaya organisasi dengan burnout pada karyawan. 3. Ada hubungan antara motivasi intrinsik dengan burnout pada karyawan.
commit to user
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN
A. Identifikasi Variabel Penelitian Variabel penelitian yang diteliti adalah: 1. Variabel tergantung (Y) : Burnout pada Karyawan 2. Variabel bebas (X) : a. Persepsi Budaya Organisasi b. Motivasi Intrinsik
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Burnout pada Karyawan Burnout adalah keadaan yang mencerminkan reaksi emosional yang tengah dirasakannya, seperti gejala kekeringan emosional keadaan hilangnya semangat dalam bekerja, acuh tak acuh dengan kondisi rekan kerja dan penurunan rasa pecaya diri pada karyawan itu sendiri. Dalam penelitian ini kuesioner burnout pada karyawan disusun berdasarkan aspek-aspek burnout yang dikemukakan oleh Masclach dan Jackson (1993) meliputi: emotional exhaustion, depersonalization, dan reduced personal accomplishment. Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek berarti semakin tinggi tingkat burnout yang dialami subjek, demikian juga sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subjek berarti semakin rendah tingkat burnout yang dialami subjek. commit to user
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Persepsi Budaya Organisasi Persepsi budaya organisasi adalah hasil makna yang merupakan rangkaian proses dimulai dari proses sensoris tentang pengalamannya hingga menghasilkan tanggapan atas nilai, sikap, dan pengertian yang merupakan budaya organisasi serta dimiliki oleh seluruh anggota organisasi mulai dari pucuk pimpinan sampai dengan front lines. Aspek budaya organisasi diantarnya adalah, insiatif individu dimana ia dapat bertanggung jawab atas pekerjaannya; risk tolerance yakni ia mampu melakukan inovasi-inovasi dalam menyelesaikan pekerjaan ataupun tugasnya; direction dimana ia memiliki tujuan yang ingin dicapainya; integration yaitu selalu dapat bekerja sama dengan semua rekan kerjanya;
management
support
merupakan
kemampuan
untuk
dapat
berkomunikasi dengan atasan, bawahan, ataupun rekan kerja yang baik; control yaitu dapat mawas diri dan mengawasi atas pekerjaannya; identity dimana semua anggota organisasi bisa menjadi satu kesatuan yang utuh; reward system merupakan hasil atau timbal balik dari pekerjaan yang telah dilakukan; conflict tolerance ialah kondisi karyawan yang selalu kritis akan permasalahan yang terjadi di dalam organisasi; dan communication patterns, karyawan dapat menentukan sikap hormatnya ketika berbicara dengan atasan. Skala persepsi budaya organisasi disusun berdasarkan gabungan dari aspek-aspek persepsi dan aspek-aspek budaya organisasi. Adapun aspek-aspek persepsi dikemukan Sobur (2003) dan aspek persepsi budaya organisasi, Robbins (1991), yaitu yang dapat dilihat dari bagaimana karyawan dapat memberikan tanggapannya secara kognitif, afektif dan konatif atas budaya organisasi dimana commit to user
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dalam budaya organisasi terdapat indikator-indikator seperti, insiatif individu, risk tolerance, direction, integration, management support, control, identity, reward system, conflict tolerance, dan communication pattrens. Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek berarti semakin positif persepsi terhadap budaya organisasinya, demikian juga sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subjek berarti semakin negatif persepsi terhadap budaya organisasinya.
3. Motivasi Intrinsik Motivasi intrinsik adalah kemampuan dan dorongan dari dalam diri seseorang yang memiliki kekuatan besar untuk menentukan pilihannya ketika menyeleksi pekerjaannya; mengembangkan kompetensi dalam pekerjaan yang ditekuninya; memiliki arti yang seutuhnya dalam pekerjaannya; dan untuk kemajuan pekerjaan saat ini agar dapat mencapai sasaran. Skala motivasi intrinsik yang disusun berdasarkan aspek-aspek motivasi intrinsik yang dikemukakan Thomas (2000), meliputi: pilihan, kompetensi, penuh arti, dan kemajuan. Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek berarti semakin tinggi tingkat motivasi intrinsiknya, demikian juga sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subjek berarti semakin rendah motivasi intrinsik yang dimilikinya.
C. Populasi, Sampel, dan Sampling 1. Populasi Populasi merupakan keseluruhan individu atau objek yang diteliti dan memiliki bebrapa karakteristik yang sama. Karakteristik dapat berupa usia, jenis commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
60 digilib.uns.ac.id
kelamin, tingkat pendidikan, wilayah tempat pedidikan, dan seterusnya. Subjek yang diteliti dapat merupakan sekelompok penduduk di suatu desa, sekolah, kantor, atau yang menempati wilayah tertentu (Latipun, 2004). Selanjutnya, Latipun (2004), mengatakan populasi seringkali memiliki variasi atau sebaran yang sangat luas. Homogenitas populasi sangat berguna bagi kemudahan dalam pengambilan sampel. Homogenitas subjek penelitian dapat dicapai dengan membatasi ciri-ciri populasinya, yang diantaranya adalah sebagai berikut : a. Aspek tempat atau geografis, merupakan wilayah atau tempat subjek penelitian dan tempat tinggal. b. Aspek subjek sendiri seperti jenis kelamin, umur, rasial, pendidikan, kepribadian, dan intelegensi. c. Aspek sosial, yang mencakup kelas sosial, keluarga dan lingkungan sosialnya. Populasi dalam penelitian ini adalah karyawan direktorat logistik PT. Krakatau Steel. Direktorat logistik ini dipilih berdasarkan hasil interview yang memiliki kecenderungan tingkat burnout lebih tinggi dibandingkan direktorat lainnya. Jumlah seluruh karyawan direktorat logistik yang ada di PT. Krakatau Steel ini adalah 167 karyawan.
2. Sampel Sampel adalah sebagian dari populasi (Latipun, 2004). Subjek penelitian yang menjadi sampel seharusnya represntatif populasinya. Jadi, tidak seluruh commit to user
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
subjek pada populasi diteliti semua, cukup diwakili oleh sebagian subjek. Karena itu, syarat dalam pengambilan sampel ini adalah sampel yang representatif populasinya. Pemilihan
sampel
secara
tepat
akan
meningkatkan
representasi
populasinya. Penetapan sampel secara representatif harus dilakukan mengikuti prosedur yang dapat diterima secara metodologis. Sampel pada penelitian ini ditentukan dengan cara purposive sample. Purposive sample, dimana pemilihan subyek didasarkan pada ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai hubungan yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Latipun, 2004). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah karyawan direktorat logistik, karena didasarkan pada hasil interview dan observasi yang telah dilakukan oleh peneliti memiliki ciri atau sifat yang sesuai dengan variabel yang hendak diteliti. Arikunto (1998), mengatakan jika subjek lebih dari 100 maka bisa diambil sampel antara 10-11% atau 20-21% dari jumlah populasi. Dengan jumlah karyawan direktorat logistik 167 karyawan, maka 11% dari jumlah populasi karyawan direktorat logistik yaitu 20 karyawan sudah memenuhi syarat minimal jumlah untuk dilakukannya penelitian.
3. Teknik Sampling Penelitian ini menggunakan purposive sampling, dimana pemilihan subyek didasarkan pada ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai hubungan yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui
commit to user
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sebelumnya (Latipun, 2004). Nama purposive sampling ini menunjukkan bahwa teknik ini digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah karyawan direktorat logistik, karena didasarkan pada hasil interview dan observasi yang telah dilakukan oleh peneliti memiliki ciri atau sifat yang sesuai dengan variabel yang hendak diteliti. Direktorat logistik memiliki kecenderungan tingkat burnout yang lebih daripada direktorat lainnya dan hampir seluruh direktorat akan selalu berhubungan langsung dengan direktorat logistik. Arikunto (1998), mengatakan jika subjek lebih dari 100 maka bisa diambil sampel antara 10-11% atau 20-21% dari jumlah populasi. Dengan demikian jumlah minimal karyawan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah 20 karyawan dari 11% jumlah populasi karyawan di direktorat logistik.
D. Teknik Pengumpulan Data 1. Sumber Data Penelitian ini menggunakan data yang diperoleh dan dikumpulkan dari sumber pertama (organisasi). Data penelitian ini diperoleh langsung dari karyawan direktorat logistik. Data tersebut berupa respon atau tanggapan dari pernyataan yang diajukan peneliti dalam skala sikap dengan model skala Likert untuk mengungkap, burnout karyawan, motivasi intrinsik, dan persepsi budaya organisasi.
commit to user
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Metode Pengumpulan Data Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data di lapangan dalam penelitian ini adalah skala sikap dengan model Skala Likert untuk mengungkap motivasi intrinsik, burnout karyawan, dan persepsi budaya organisasi. a. Skala Burnout Skala burnout disusun oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek yang telah dikemukakan oleh Maslach. Adapun aspek-aspek burnout yang terdiri dari tiga bagian yaitu: 1) Emotional exhaustion adalah suatu dimensi dari kondisi burnout yang berwujud perasaan dan energi terdalam sebagai hasil dari excessive psychoemotional demands
yang
ditandai dengan
hilangnya perasaan dan perhatian, kepercayaan, minat dan semangat. 2) Depersonalization merupakan tendensi kemanusiaan terhadap sesama yang merupakan pengembangan sikap sinis mengenai karir dan kinerja diri sendiri. Sikap ini ditunjukkan melalui perilaku yang tidak acuh, bersikap sinis, tidak berperasaan dan tidak memperhatikan kepentingan orang lain. 3) Reduced personal accomplishment merupakan atribut dari tidak adanya aktualisasi diri, rendahnya motivasi kerja dan penurunan rasa
percaya
diri.
Seringkali
kondisi
ini
mengacu
pada
kecenderungan individu untuk mengevaluasi diri secara negatif sehubungan dengan prestasi yang dicapainya. Individu tidak akan commit to user
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
merasa puas dengan hasil karyanya sendiri, merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri, maupun orang lain. Jumlah aitem dalam skala ini sebanyak 28 butir, yang terdiri atas 18 aitem favorable dan 10 aitem unfavorable. Distribusi aitem Skala burnout sebelum uji coba dapat dilihat pada Tabel 1.
No
1.
2.
3.
Aspek
Tabel 1 Blueprint Skala Burnout Indikator Favorable
Emotional Tidak adanya semangat exhaustion dalam bekerja Depersonalization Acuh tak acuh dengan kondisi lingkungan kerjanya Reduced personal Penurunan rasa percaya accomplishment diri karyawan Total
1,7,11,12, 17,18 2,3,4,9,15
5,6,10,13, 16,19,20 18
Unfavo rable 8,22,27
Total
14,23,2 5,28
9
21,24,2 6 10
10
9
28
b. Skala Persepsi Budaya Organisasi Skala Persepsi Budaya Organisasi disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan gabungan dari aspek-aspek persepsi dan indikator budaya organisasi. Adapun aspek-aspek persepsi dikemukan oleh Sobur (2003) dan Allport (Mar'at, 1991) yaitu aspek kognitif, afektif dan konatif, sedangkan indikator budaya organisasi menurut Robbins, (1991), meliputi: 1) Insiatif Individu, ialah bagaimana seorang karyawan dapat bertanggung jawab atas kebebasan dalam melakukan pekerjaan. 2) Risk Tolerance, dimana karyawan dapat melakukan inovasi-inovasi dalam mengerjakan pekerjaannya. commit to user
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Direction, dengan memiliki tujuan-tujuan yang akan dicapainya. 4) Integration, dimana karyawan dapat bekerja sama dengan semua pihak yang terkait dalam melakukan pekerjaannya. 5) Management support, dimana ia dapat melakukan komunikasi dengan baik terhadap atasan, bawahan, ataupun rekan kerjanya dengan baik sehingga tercipta lingkungan kerja yang kondusif. 6) Control, karyawan dapat melakukan pengawasan dan mawas diri atas pekerjaan ataupun tugas yang sudah menjadi kewajibannya. 7) Identity, di dalam organisasi tersebut dapat menjadi satu kesatuan yang utuh sehingga memiliki nilai atau ciri dari organisasi itu sendiri. 8) Reward System, adanya timbal balik atau hasil yang didapatkan karyawan atas pekerjaannya selama ini. 9) Conflict Tolerance, kondisi karyawan yang dapat bersikap kritis atas permasalahan-permasalahan terjadi di dalam organisasi. 10) Communication Patterns, dimana ia dapat bersikap menghormati ` atasan ketika berbicara dan menyampaikan pendapatnya. Jumlah aitem dalam skala ini sebanyak 60 butir, yang terdiri atas 20 aitem afektif, 20 aitem kognitif, dan 20 aitem konatif. Distribusi aitem Skala Persepsi Budaya Organisasi sebelum uji coba dapat dilihat pada Tabel 2.
commit to user
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 2 Blueprint Skala Persepsi Budaya Organisasi No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Aspek
Indikator
Afektif 1, 4 Inisiatif individu Memiliki kemandirian dan tanggung jawab dalam bekerja 2, 5 Risk tolerance Melakukan inovasiinovasi baru dan penanganannya Direction Adanya tujuan 13, 17 bekerja 14, 18 Integration Mampu beradaptasi dengan baik dan cepat Kemampuan 23, 25 Management berkomunikasi yang support baik menciptakan hubungan yang baik pula Control Melakukan 30, 33 pengawasan secara individu ataupun kelompok atas pekerjaannya masing-masing 37, 39 Identity Keterikatan yang erat antara karyawan dengan organisasi 41, 44 Reward system Hasil yang didapatkan sesuai dengan beban kerja yang dikerjakannya Conflict Sikap saling 49, 51 tolerance menghormati dan mendengarkan satu sama lain selalu dikembangankan 53, 57 Communication Menghargai dan menghormati patterns kedudukannya di dalam organisasi Total commit to user 20
Aspek Kognitif 8, 12
Total
Konatif 3,6
6
7, 9
10, 11
6
15, 19
20, 24
6
16, 21
22, 27
6
26, 28
29, 31
6
32, 35
34, 38
6
36, 40
43, 45
6
42, 47
46, 48
6
50, 55
52, 54
6
56, 59
58, 60
6
20
20
60
perpustakaan.uns.ac.id
67 digilib.uns.ac.id
c. Skala Motivasi Intrinsik Skala Motivasi Intrinsik yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek yang diungkapkan oleh Thomas, (2000) yang meliputi : 1) Pilihan Merupakan peluang untuk mampu menyeleksi kegiatan-kegiatan atau tugas yang masuk akal dan melaksanakannya dengan cara yang memadai seperti wewenang, keamanan, adanya tujuan yang jelas, dan informasi. 2) Kompetensi Ialah suatu pencapaian yang dirasakan saat melakukan kegiatan pilihan dengan cara yang amat terampil seperti pengetahuan-pengetahuan, umpan balik, dan pembekalan keterampilan. 3) Penuh Arti Memiliki tujuan sebagai peluang untuk mengejar sasaran tugas yang bermulai dan sasaran yang terjadi dalam skema yang lebih besar misalnya pengenalan keinginan dan visi yang membangkitkan. 4) Kemajuan Ini adalah perasaan yang membuat langkah maju dan berarti dalam mencapai sasaran tugas, seperti iklim kolaboratif dan pengukuran kemajuan. Jumlah aitem dalam skala ini sebanyak 36 butir, yang Motivasi Intrinsik terdiri atas 18 aitem favorable dan 18 aitem unfavorable. Distribusi aitem Skala Motivasi Intrinsik sebelum uji coba dapat dilihat pada Tabel 3. commit to user
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
No
1.
Aspek
Pilihan
Tabel 3 Blueprint Skala Motivasi Intrinsik Indikator Favourable Unfavourable
Memiliki tujuan dan informasi yang jelas
5, 28, 29
30, 36
5
17, 19
31,33
4
2, 32, 35
3, 20
5
7, 16
8, 18
4
Memiliki target atau sasaran dalam bekerja
4, 11, 12
6, 23
5
Memiliki kesamaan visi dan misi dalam bekerja
10, 14
21, 24
4
Memiliki sifat mau bekerja sama dan mudah beradaptasi dengan lingkungan kerjanya
9, 13, 22
15, 26
5
Adanya keinginan selalu mengembangkan diri
1, 25
27, 34
4
20
16
36
Adanya wewenang karyawan, jaminan keamanan dan kesehatan dalam bekerja
2
Kompetensi Memiliki ketrampilan dan latar pendidikan yang sesuai
Adanya umpan balik yang sesuai atas pekerjaan yang dilakukan
3.
4.
Penuh Arti
Kemajuan
Total
Jumlah
commit to user
69 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Skala burnout adalah Model Likert yaitu merupakan metode penskalaan pernyataan sikap yang menggunakan distribusi respons sebagai dasar penentuan nilai skalanya yang telah dimodifikasi menjadi empat kategori jawaban yaitu Selalu (SL), Sering (SR), Kadang-kadang (KD), dan Tidak Pernah (TP). Skala burnout dalam penelitian ini mengandung aitem favorable (mendukung) dan unfavorable (tidak mendukung). Pemberian skor untuk aitem favorable bergerak dari empat sampai satu untuk SL, SR, KD dan TP, sedangkan skor untuk aitem unfavorable bergerak dari satu sampai empat untuk SL, SR, KD dan TP. Model skala yang digunakan pada Skala motivasi intrinsik dan Skala persepsi budaya organisasi adalah model Likert yang telah dimodifikasi menjadi empat kategori jawaban yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Menurut Azwar (2008) penentuan skor yang bergerak dari 1 sampai 5 akan menghasilkan rentang skala yang kurang lazim dalam sudut pandangan pengukuran dan akan menyulitkan untuk proses pengukuran selanjutnya.
Alternatif
jawaban
“Ragu-ragu”
tidak
dipergunakan
untuk
menghindari jawaban netral dari respons subjek penelitian. Peneliti menggunakan model skala Likert yang dimodifikasi yaitu dengan menghilangkan pilihan jawaban ragu-ragu dan pilihan jawaban yang digunakan berjumlah genap. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari jawaban subjek yang mengelompok di tengah, sehingga subjek akan memilih jawaban yang lebih pasti mengarah pada pilihan sesuai atau tidak sesuai dengan kondisi subjek (Azwar, 2008).
commit to user
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
E. Metode Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Validitas Instrumen Penelitian Dalam penelitian ini, validitas alat ukur dipenuhi dengan validitas isi. Penggunaan validitas isi menunjukkan sejauh mana butir-butir dalam alat ukur mencakup keseluruhan kawasan isi yang hendak diukur oleh alat ukur tersebut (Azwar, 2008). Salah satu cara yang sederhana untuk melihat apakah validitas isi telah terpenuhi adalah dengan melihat apakah butir-butir dalam skala telah ditulis sesuai dengan blue print-nya, yaitu telah sesuai dengan batasan kawasan ukur yang telah ditetapkan semula dan memeriksa apakah masing-masing butir telah sesuai dengan indikator perilaku yang akan diungkap (Azwar, 2008). Analisis rasional ini juga dilakukan oleh pihak yang berkompeten untuk menganalisis skala tersebut. Prosedur validitas skala melalui pengujian isi skala dengan menganalisis secara rasional oleh professional judgement, yaitu pembimbing. Langkah selanjutnya adalah prosedur seleksi aitem berdasarkan data empiris dengan melakukan analisis kuantitatif terhadap parameter-parameter aitem. Pada tahap ini dilakukan seleksi aitem berdasarkan daya diskriminasinya. Daya diskriminasi aitem adalah sejauhmana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan yang tidak memiliki atribut yang diukur. Indeks daya diskriminasi aitem merupakan pula indikator keselarasan atau konsistensi antara fungsi aitem dengan fungsi skala secara keseluruhan yang dikenal dengan istilah konsistensi aitem total (Azwar, 2008).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
71 digilib.uns.ac.id
Pengujian daya diskriminasi aitem dilakukan dengan komputasi koefisien korelasi antara distribusi skor aitem dengan suatu kriteria yang relevan, yaitu distribusi skor skala itu sendiri. Komputasi ini menghasilkan koefisien korelasi aitem total (rix) yang dikenal pula dengan sebutan parameter daya beda aitem. Semakin tinggi koefisien korelasi positif antara skor aitem dengan skor skala berarti semakin tinggi konsistensi antara aitem tersebut dengan skala secara keseluruhan yang berarti makin tinggi daya bedanya. Bila koefisien korelasi rendah mendekati nol berarti fungsi aitem tersebut tidak cocok dengan fungsi ukur skala dan daya bedanya tidak baik. Bila koefisien korelasi yang dimaksud ternyata berharga negatif, artinya terdapat cacat serius pada aitem yang bersangkutan (Azwar, 2008). Sebagai kriteria pemilihan item berdasarkan korelasi item-total biasanya digunakan batasan r > 0,30 (Azwar, 2005). Dengan demikian, semua pernyataan yang memiliki korelasi dengan skor skala kurang dari 0,30 dapat disisihkan dan pernyataan-pernyataan yang diikutkan dalam skala sikap diambil dari aitem-aitem yang memiliki korelasi 0,30 keatas dengan pengertian semakin tinggi koefisien korelasi itu mendekati angka 1,00 maka semakin baik pula konsistensinya. Guna mempermudah perhitungan, maka digunakan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 12.0.
2. Reliabilitas Instrumen Penelitian Menurut Azwar (2008) reliabilitas mengacu pada konsistensi atau keterpercayaan hasil ukur, yang mengandung makna kecermatan pengukuran. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
72 digilib.uns.ac.id
Reliabilitas dinyatakan dengan koefisiensi reliabilitas (rxx’) yang angkanya berada dalam rentang 0 sampai dengan 1,00. Semakin tinggi koefisien reliabilitas mendekati angka 1,00 berarti semakin tinggi reliabilitas. Sebaliknya koefisien reliabilitas yang semakin rendah mendekati 0 berarti semakin rendah reliabilitas. Uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan formula Alpha Cronbach yaitu dengan membelah aitem-aitem sebanyak dua atau tiga bagian, sehingga setiap belahan berisi aitem dengan jumlah yang sama banyak (Azwar, 2008). Guna mempermudah perhitungan, maka digunakan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 12.0. Penelitian ini, skala burnout karyawan dan skala motivasi intrinsik menggunakan atribut komposit dalam perhitungan validitas dan reliabilitas skala penelitian. Hal ini dikarenakan skala yang digunakan dirancang untuk mengukur satu atribut namun atribut tersebut dikonsepkan dalam beberapa aspek atau dimensi yang mengungkapkan subdomain yang berbeda satu sama lain (Azwar, 2008). Dengan demikian, dalam pemilihan aitem harus dilakukan analisis aitem bagi setiap aspek (menghitung korelasi aitem dengan skor aspek, bukan skor skala), dengan membandingkan indeks diskriminasinya dalam masing-masing aspek, bukan secara keseluruhan.
3. Uji Hipotesis Pada penelitian ini terdapat dua variabel bebas, yaitu persepsi budaya organisasi dan motivasi intrinsik, sehingga menggunakan metode analisis regresi dua prediktor untuk melakukan pengujian dan pembuktikan secara statistik commit to user
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hubungan antara persepsi budaya organisasi dan motivasi intrinsik dengan burnout karyawan. Sebuah model regresi akan digunakan untuk melakukan peramalan, sebuah model yang baik adalah model dengan kesalahan peramalan yang seminimal mungkin, karena itu sebuah model sebelum digunakan seharusnya memenuhi beberapa asumsi yang biasa disebut uji asumsi klasik (Santoso, 2009). Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam analisis regresi dua prediktor adalah uji asumsi klasik, yaitu: a.
Uji normalitas Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah data dalam penelitian berdistribusi normal atau tidak.
b.
Uji linearitas Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah data dari variabel bebas berkorelasi linear dengan data dari variabel tergantung.
c.
Uji otokorelasi Uji otokorelasi digunakan untuk mendeteksi bahwa variable dependen tidak berkorelasi dengan dirinya sendiri.
d.
Uji heteroskesdastisitas Uji heteroskedastisitas dilakukan untuk mengetahui terjadinya perbedaan variance residual suatu periode pengamatan ke periode pengamatan yang lain.
commit to user
74 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
e.
Uji multikolinearitas Uji multikolinearitas dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya variabel independen yang memiliki kemiripan dengan variabel independen lain dalam satu mode. (Santoso, 2009).
Adapun rumus analisis regresi dua prediktor adalah: a1
RY(1,2) =
a2
∑x + ∑x ∑y y
1
y 2
2
Keterangan:
RY(1,2) :
Koefisien korelasi antara burnout karyawan dan motivasi intrinsik dengan persepsi budaya organisasi
a1
:
Koefisien prediktor persepsi budaya organisasi
a2
:
Koefisien prediktor motivasi intrinsik
:
Jumlah produk antara burnout karyawan dan persepsi budaya
y
∑x
1
organisasi
∑x
y 2
:
Jumlah produk antara burnout karyawan dan motivasi intrinsik
∑y
2
:
Jumlah kuadrat burnout karyawan
(Hadi, 2004). Untuk mempermudah perhitungan, maka digunakan program Statistical
Product and Service Solution (SPSS) versi 12.0.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 75
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan Penelitian 1. Orientasi Kancah Penelitian Penelitian mengenai hubungan antara persepsi budaya organisasi dan motivasi intrinsik dengan burnout pada karyawan dilakukan di PT. Krakatau Steel yang beralamatkan di Jl. Industri, Cilegon, Banten. Sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu dilakukan survey awal untuk mengetahui informasi yang berkaitan dengan subjek. PT. Krakatau Steel didirikan, pada 45 tahun tepat pada era pergerakan Budi Utomo, atas ijin dan prakarsa presiden pertama Republik Indonesia, Ir.Soekarno, dilakukan peletakan batu pertama pendirian Pabrik Baja Trikora yaitu pada tanggal 26 Mei tahun 1962, yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya PT. Krakatau Steel. Pabrik baja trikora ini merupakan industri yang dapat menjadikan bangsa Indonesia menjadi mandiri sebagai project strategis yang merupakan pabrik baja terpadu dan terbesar se-Asean yang dibangun di Indonesia. Melalui Peraturan Pemerintah No. 35/31 Agustus 1970, Pabrik Baja Trikora menjadi Pabrik Baja Modern “PT. Krakatau Steel (persero)”. Sejak saat itulah silih bergantinya berbagai pabrik dibangun dalam area Kompleks PT. Krakatau Steel. Pada Tahun 1977, Presiden Republik Indonesia ke 2, Bapak Soeharto, mulai meresmikan Pabrik Besi Beton dan Pelabuhan Cigading pada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 76
bulan Juli tahun 1997 (PT.KBS), kemudian disusul dengan Pabrik Billet Baja (BSP), Wire Rod, Pipa Baja (KHI), Pembangkit Listrik (KDL) 400 MW dan Pusat Penjernihan Air berkapasitas 800 Lt/Dtk pada Oktober 1979 (Pengadaan Air), yang sekarang dikenal dengan PT. Krakatau Tirta Industri (1996) sampai dengan sekarang ini. PT Krakatau Steel memiliki 6 (enam) buah fasilitas produksi yang membuat perusahaan ini menjadi satu-satunya industri baja terpadu di Indonesia. Keenam buah pabrik tersebut menghasilkan berbagai jenis produk baja dari bahan mentah. Pabrik Besi Spons, Pabrik Slab Baja, Pabrik Billet Baja, Pabrik Baja Lembaran Panas, Pabrik Baja Lembaran Dingin dan Pabrik Batang Kawat kesemuanya adalah fasilitasfasilitas produksi yang dimiliki PT. Krakatau Steel. PT. Krakatau Steel sebagai satu-satunya industri baja terpadu di Indonesia menuntut karyawannya bekerja lebih untuk memenuhi permintaan dan persediaan baja. PT. Krakatau Steel terbagi dalam empat bagian direktorat yaitu direktorat keuangan, direktorat produksi, direktorat logistik, dan direktorat pengembangan sumber daya manusia. berdasarkan interview yang telah dilakukan, didapatkan bahwa adanya kecenderungan burnout yang dialami oleh karyawan logistik lebih tinggi daripada di direktorat lainnya. Hal ini terjadi dikarenakan direktorat logistik berhubungan dengan direktorat lainnya sehingga dapat dikatakan bahwa beban kerja yang dimiliki karyawan logistik lebih berat dari direktorat lainnya. Visi yang dimiliki oleh PT. Krakatau Steel adalah menjadi perusahaan baja terpadu dengan keunggulan kompetitif untuk tumbuh dan berkembang secara
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 77
berkesinambungan menjadi perusahaan terkemuka di dunia (an integrated steel company with competitive edges to grow continuously toward a leading global enterprise). Sedangkan misi yang dimiliki PT. Krakatau Steel adalah menyediakan produk baja bermutu dan jasa terkait bagi kemakmuran bangsa (providing the bestquality steel products and related services for the prosperity of the nation). Berdasarkan hasil survey awal tersebut, peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian di PT. Krakatau Steel. Pemilihan perusahaan tersebut sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan sebagai berikut : a. Penelitian mengenai ”Burnout Pada Karyawan ditinjau dari Persepsi Budaya Organisasi dan Motivasi Intrinsik” belum pernah dilakukan. b. Jumlah karyawan memenuhi syarat untuk penelitian. c. Adanya ijin yang diperoleh untuk mengadakan penelitian di perusahaan tersebut.
2. Persiapan Penelitian Persiapan penelitian perlu dilakukan agar penelitian berjalan lancar dan terarah. Hal-hal yang dipersiapkan adalah berkaitan dengan perijinan dan penyusunan alat ukur yang digunakan dalam penelitian. a. Persiapan Administrasi Persiapan administrasi penelitian meliputi segala urusan perijinan yang diajukan pada pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan penelitian. Permohonan ijin tersebut meliputi tahap-tahap sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 78
1) Peneliti meminta surat pengantar dari Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang ditujukan kepada Manager Human Capital Training and Education Centre untuk memberikan
surat
pengantar
penelitian
dengan
nomor
768/H
27.1.17.3/TU/2010 agar bisa melakukan penelitian di PT. Krakatau Steel Cilegon. 2) Setelah mendapatkan ijin dari pihak perusahaan, peneliti baru bisa melaksanakan penelitian sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan oleh pihak perusahaan. b. Persiapan Alat Ukur Penelitian ini menggunakan tiga buah alat ukur psikologi, yaitu Skala Burnout, Skala Persepsi Budaya Organisasi, dan Skala Motivasi Intrinsik. 1) Skala Burnout Skala burnout digunakan untuk mengungkap kelelahan yang dialami oleh karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya dengan ditandai adanya penurunan rasa keberhasilan, depersonalisasi, dan rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri. Skala burnout disusun berdasarkan aspek-aspek yang telah dikemukakan oleh Maslach. Aspek-aspek burnout menurut Maslach (1993), terdiri dari tiga bagian yaitu emotional exhaustion adalah suatu dimensi dari kondisi burnout yang berwujud perasaan dan energi terdalam sebagai hasil dari excessive psychoemotional demands yang ditandai dengan hilangnya perasaan dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 79
perhatian,
kepercayaan,
minat
dan
semangat.
Depersonalization
merupakan tendensi kemanusiaan terhadap sesama yang merupakan pengembangan sikap sinis mengenai karir dan kinerja diri sendiri. Sikap ini ditunjukkan melalui perilaku yang tidak acuh, bersikap sinis, tidak berperasaan dan tidak memperhatikan kepentingan orang lain. Aspek yang terakhir adalah reduced personal accomplishment merupakan atribut dari tidak adanya aktualisasi diri, rendahnya motivasi kerja dan penurunan rasa percaya diri. Seringkali kondisi ini mengacu pada kecenderungan individu untuk mengevaluasi diri secara negatif sehubungan dengan prestasi yang dicapainya. Individu tidak akan merasa puas dengan hasil karyanya sendiri, merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri, maupun orang lain. Skala burnout ini berjumlah 28 butir, yang terdiri atas 9 butir untuk setiap aspeknya. Distribusi skala burnout sebelum uji coba dapat dilihat pada tabel 4 berikut. Tabel 4 Distribusi Skala Burnout Sebelum Uji Coba No Aspek Indikator Favorable Unfavo rable 1. Emotional Tidak adanya semangat 1,7,11,12, 8,22,27 exhaustion dalam bekerja 17,18 2. Depersonalization Acuh tak acuh dengan 2,3,4,9,15 14,23,2 kondisi lingkungan 5,28 kerjanya 3. Reduced personal Penurunan rasa percaya 5,6,10,13, 21,24,2 accomplishment diri karyawan 16,19,20 6 Total 18 10
commit to user
Total
9
9
10
28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 80
2) Skala Persepsi Budaya Organisasi Skala persepsi budaya organisasi digunakan untuk mengungkap persepsi karyawan atas budaya organisasi di dalam perusahaannya. Skala persepsi budaya organisasi ini disusun berdasarkan gabungan dari aspek-aspek persepsi dan indikator budaya organisasi. Adapun aspek-aspek persepsi dikemukan oleh Sobur (2003) dan Allport (Mar'at, 1991) yaitu aspek kognitif, afektif dan konatif, sedangkan indikator budaya organisasi menurut Robbins, (1991), meliputi, insiatif individu dalam bekerja, risk tolerance, direction, integration, management support, control, identity, reward system, conflict tolerance, dan adanya communication patterns. Skala persepsi budaya organisasi ini berjumlah 60 butir, yang terdiri atas 20 butir untuk tiap aspeknya. Distribusi skala persepsi budaya organisasi sebelum uji coba dapat dilihat pada tabel 5 berikut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 81
Tabel 5 Distribusi Skala Persepsi Budaya Organisasi Sebelum Uji Coba No
1
2
3 4
5
6
7
8
9
10
Aspek
Indikator
Inisiatif individu Memiliki kemandirian dan tanggung jawab dalam bekerja Risk tolerance Melakukan inovasiinovasi baru dan penanganannya Direction Adanya tujuan bekerja Integration Mampu beradaptasi dengan baik dan cepat Management Kemampuan support berkomunikasi yang baik menciptakan hubungan yang baik pula Control Melakukan pengawasan secara individu ataupun kelompok atas pekerjaannya masingmasing Identity Keterikatan yang erat antara karyawan dengan organisasi Reward system Hasil yang didapatkan sesuai dengan beban kerja yang dikerjakannya Conflict Sikap saling tolerance menghormati dan mendengarkan satu sama lain selalu dikembangankan Communication Menghargai dan patterns menghormati kedudukannya di dalam organisasi Total
Afektif 1, 4
Aspek Kognitif 8, 12
Konatif 3,6
6
2, 5
7, 9
10, 11
6
13, 17 14, 18
15, 19 16, 21
20, 24 22, 27
6 6
23, 25
26, 28
29, 31
6
30, 33
32, 35
34, 38
6
37, 39
36, 40
43, 45
6
41, 44
42, 47
46, 48
6
49, 51
50, 55
52, 54
6
53, 57
56, 59
58, 60
6
20
20
20
60
commit to user
Total
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 82
3) Skala Motivasi Intrinsik Skala motivasi intrinsik ini digunakan untuk mengungkap keinginan pada diri karyawan dalam bekerja. Skala motivasi intrinsik disusun berdasarkan aspek-aspek yang diungkapkan oleh Thomas, (2000) meliputi pilihan sebagai peluang dalam bekerja, kompetensi merupakan pencapaian karyawan, penuh arti, dan kemajuan dalam membuat sasaran tugas kerja. Skala motivasi intrinsik ini berjumlah 36 butir, yang terdiri atas 9 butir untuk tiap aspeknya. Distribusi skala persepsi budaya organisasi sebelum uji coba dapat dilihat pada tabel 6 berikut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 83
No 1.
2
3.
4.
Tabel 6 Distribusi Skala Motivasi Intrinsik Sebelum Uji Coba Aspek Indikator Favourable Unfavourable Jumlah Pilihan Memiliki tujuan 5, 28, 29 30, 36 5 dan informasi yang jelas Adanya wewenang 17, 19 31,33 4 karyawan, jaminan keamanan dan kesehatan dalam bekerja 2, 32, 35 3, 20 5 Kompetensi Memiliki ketrampilan dan latar pendidikan yang sesuai 7, 16 8, 18 4 Adanya umpan balik yang sesuai atas pekerjaan yang dilakukan Penuh Arti Memiliki target 4, 11, 12 6, 23 5 atau sasaran dalam bekerja Memiliki 10, 14 21, 24 4 kesamaan visi dan misi dalam bekerja 9, 13, 22 15, 26 5 Kemajuan Memiliki sifat mau bekerja sama dan mudah beradaptasi dengan lingkungan kerjanya Adanya keinginan 1, 25 27, 34 4 selalu mengembangkan diri Total 20 16 36
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 84
B. Pelaksanaan Penelitian 1. Penentuan Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah karyawan PT. Krakatau Steel bagian logistik sebanyak 167 karyawan. Sampel penelitian terdiri 40 karyawan. Alasan penggunaan sampel bagian logistik karena dianggap mewakili untuk dijadikan sebagai subjek penelitian. Karyawan bagian logistik pada umumnya yang menjadi subyek penelitian berada pada rentang usia antara 45-55 tahun dan termasuk dalam kelompok dewasa madya. Teknik pengambilan sampel dari populasi ini dilakukan secara non random dengan teknik purposive sampling, yaitu dengan melihat ciri atau sifat yang tampak serta sesuai dengan variabel yang hendak diteliti.
2. Pengumpulan Data untuk Uji Coba Setiap pengukuran selalu diharapkan untuk mendapat hasil ukur yang akurat dan objektif. Salah satu upaya untuk mencapainya adalah alat ukur yang digunakan harus valid atau sahih dan reliabel atau andal (Hadi, 2000), oleh karena itu alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian harus diujicobakan terlebih dahulu. Pada penelitian ini dilaksanakan tanggal 30 September 2010 di PT. Krakatau Steel pada karyawan direktorat logistik sebanyak 40 karyawan. Pengumpulan data sebanyak 40 karyawan dimaksudkan untuk mengantisipasi adanya kesalahan-kesalahan yang akan terjadi didalam analisis data. Pengumpulan data dilakukan secara klasikal dengan memberikan Skala Burnout, Skala Persepsi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 85
Budaya Organisasi, dan Skala Motivasi Intrinsik secara langsung kepada tiap-tiap subjek dan pengambilan skala dilakukan pada satu minggu setelahnya. Sebanyak 40 eksemplar data uji coba dibagikan. Data yang terkumpul kembali terdiri dari 30 eksemplar data uji coba diisi dengan lengkap, sehingga memenuhi syarat untuk diskor dan dianalisis. Setelah data terkumpul selanjutnya dilakukan skoring pada 30 eksemplar data uji coba untuk pengujian validitas dan reliabilitas.
3. Uji Validitas dan Reliabilitas Setiap pengukuran selalu diharapkan untuk mendapat hasil ukur yang akurat dan objektif. Salah satu upaya untuk mencapainya adalah alat ukur yang digunakan harus valid atau sahih dan reliabel atau handal (Hadi, 2000). Ketiga skala menggunakan indeks daya beda sebesar 0,3 dengan pertimbangan bahwa daya beda tersebut sudah dapat dianggap sebagai koefisien validitas yang memuaskan (Azwar, 2008). Aitem dengan daya beda di bawah 0,3 dianggap sebagai aitem yang gugur dan selanjutnya tidak dipakai untuk penelitian. Oleh karena itu skala yang akan digunakan dalam penelitian harus diujicobakan terlebih dahulu. a. Penghitungan validitas Penghitungan validitas aitem ketiga alat ukur yang dipergunakan dalam penelitian ini menggunakan penghitungan validitas dengan bantuan komputer program SPSS for MS windows versi 12.0. Penghitungan validitas yang diperoleh, yakni: 1.) Skala Burnout. Keseluruhan aitem saat uji coba adalah 28 aitem yang diujicobakan. Berdasarkan hasil analisis diperoleh 19 aitem valid dan yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 86
dinyatakan gugur sebanyak 9 aitem yaitu 1, 2, 4, 5, 7, 9, 10, 18, dan 25. Berdasarkan hasil analisis diperoleh 19 aitem valid yang terdiri atas 10 aitem favorable dan 9 aitem unfavorable. Distribusi aitem Skala Burnout yang valid dan gugur dapat dilihat pada tabel 7 berikut: Tabel 7 Distribusi Butir Aitem Valid dan Gugur Skala Burnout No Aspek Indikator Favorable Unfavorable Valid Gugur Valid Gugur 1. Emotional Tidak adanya 11, 12, 1, 7, 18 8, 22, exhaustion semangat dalam 17 27 bekerja 2. Depersonalization Acuh tak acuh 3, 15 2, 4, 9 14, 23, 25 dengan kondisi 28 lingkungan kerjanya 3. Reduced personal Penurunan rasa 6, 13, 5, 10 21, 24, accomplishment percaya diri 16, 19, 26 karyawan 20
Selanjutnya peneliti menggunakan 19 aitem yang valid untuk penelitian. Berikut ini adalah tabel sebaran aitem dengan penomoran baru yang digunakan dalam penelitian :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 87
Tabel 8 Distribusi Aitem Skala Burnout Setelah Uji Coba No Aspek Indikator Favorable Unfavorable Total 1. Emotional Tidak adanya 11 (4), 12 (5), 8 (3), 22 (14), 6 exhaustion semangat dalam 17 (10) 27 (18) bekerja 3 (1), 15 (8) 14 (7), 23 2. Depersonalization Acuh tak acuh 5 (15), 28 (19) dengan kondisi lingkungan kerjanya 3. Reduced personal Penurunan rasa 6 (2), 13 (6), 21 (13), 24 8 accomplishment percaya diri 16 (9), 19 (16), 26 (17) karyawan (11), 20 (12) Total 10 9 19 keterangan : angka dalam tanda kurung (...) adalah distribusi sebaran nomor aitem yang baru dalam skala.
2) Skala Persepsi Budaya Organisasi. Keseluruhan aitem saat uji coba adalah 60 aitem yang diujicobakan. Berdasarkan hasil analisis diperoleh 46 aitem valid dan yang dinyatakan gugur sebanyak 14 aitem yaitu 5, 9, 16, 18, 19, 24, 31, 32, 34, 40, 41, 43, 48, dan 50. Distribusi aitem Skala Persepsi Budaya Organisasi yang valid dan gugur dapat dilihat pada tabel 9 berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 88
Tabel 9 No
Distribusi Butir Aitem Valid dan Gugur Skala Persepsi Budaya Organisasi Aspek Indikator Aspek Afektif Kognitif Konatif
1
Inisiatif individu
2
Risk tolerance
3
Direction
4
Integration
5
Management support
6
Control
7
Identity
8
Reward system
9
Conflict tolerance
10
Communication patterns
Memiliki kemandirian dan tanggung jawab dalam bekerja Melakukan inovasiinovasi baru dan penanganannya Adanya tujuan bekerja Mampu beradaptasi dengan baik dan cepat Kemampuan berkomunikasi yang baik menciptakan hubungan yang baik pula Melakukan pengawasan secara individu ataupun kelompok atas pekerjaannya masing-masing Keterikatan yang erat antara karyawan dengan organisasi Hasil yang didapatkan sesuai dengan beban kerja yang dikerjakannya Sikap saling menghormati dan mendengarkan satu sama lain selalu dikembangankan Menghargai dan menghormati kedudukannya di dalam organisasi
valid
gugur
valid
gugur
valid
gugur
1, 4
-
8, 12
-
3, 6
-
2
5
7
9
10, 11
-
13, 17 14
-
15
19
20
24
18
22
16
21, 27
-
23, 25
-
26, 28
-
29
31
30, 33
-
35
32
34
38
37, 39
-
36
40
45
43
44
41
42, 47
-
46
48
49, 51
-
55
50
52, 54
-
53, 57
-
56, 59
-
58, 60
-
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 89
Selanjutnya peneliti menggunakan 46 aitem yang valid untuk penelitian. Berikut ini adalah tabel sebaran aitem dengan penomoran baru yang digunakan dalam penelitian : Tabel 10 Distribusi Aitem Skala Persepsi Budaya Organisasi Setelah Uji Coba No
Aspek
1
Inisiatif individu
2
Risk tolerance
3
Direction
4
Integration
5
Management support
6
Control
7
Identity
8
Reward system
9
Conflict tolerance
10
Communication patterns
Indikator
Memiliki kemandirian dan tanggung jawab dalam bekerja Melakukan inovasi-inovasi baru dan penanganannya Adanya tujuan bekerja
Mampu beradaptasi dengan baik dan cepat Kemampuan berkomunikasi yang baik menciptakan hubungan yang baik pula Melakukan pengawasan secara individu ataupun kelompok atas pekerjaannya masing-masing Keterikatan yang erat antara karyawan dengan organisasi Hasil yang didapatkan sesuai dengan beban kerja yang dikerjakannya Sikap saling menghormati dan mendengarkan satu sama lain selalu dikembangankan Menghargai dan menghormati kedudukannya di dalam organisasi
Afektif 1 (1), 4 (4)
Aspek Kognitif 8 (7), 12 (10)
2, (2)
7 (6)
13 (11), 17 (14) 14 (12)
15 (13)
23 (18), 25 (19)
26 (21), 28 (22)
30 (24), 33 (25)
37 (29), 39 (30) 44 (32)
Total
Konatif 3 (3), 6 (5)
6
10 (8), 11 (9) 20 (15)
4
21 (16), 27 (20) 29 (23)
5
35 (26)
38 (27)
4
36 (28),
45 (33)
4
42 (31), 47 (34)
46 (35)
4
49 (36), 51 (37)
55 (41)
52 (38), 54 (40)
5
53 (38), 57 (43)
56 (42), 59 (45)
58 (44), 60 (46)
6
17
14
15
46
Total
22 (17)
5
5
keterangan : angka dalam tanda kurung (...) adalah distribusi sebaran nomor aitem yang baru dalam skala.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 90
3.) Skala Motivasi Intrinsik. Keseluruhan aitem saat uji coba adalah 36 aitem
yang diujicobakan. Berdasarkan hasil analisis diperoleh 25 aitem valid dan yang dinyatakan gugur sebanyak 11 aitem yaitu 2, 3, 5, 10, 18, 19, 24, 31, 32, 34, dan 36. Berdasarkan hasil analisis diperoleh 25 aitem valid yang terdiri atas 15 aitem favorable dan 10 aitem unfavorable. Distribusi aitem Skala Motivasi Intrinsik yang valid dan gugur dapat dilihat pada tabel 11 berikut: Tabel 11 Distribusi Butir Aitem Valid dan Gugur Skala Motivasi Intrinsik No
1.
2
3.
4.
Aspek
Pilihan
Kompetensi
Penuh Arti
Kemajuan
Indikator
Memiliki tujuan dan informasi yang jelas Adanya wewenang karyawan, jaminan keamanan dan kesehatan dalam bekerja Memiliki ketrampilan dan latar pendidikan yang sesuai Adanya umpan balik yang sesuai atas pekerjaan yang dilakukan Memiliki target atau sasaran dalam bekerja Memiliki kesamaan visi dan misi dalam bekerja Memiliki sifat mau bekerja sama dan mudah beradaptasi dengan lingkungan kerjanya Adanya keinginan selalu mengembangkan diri
Favourable valid gugur
Unfavourable valid gugur
28, 29 17
5
30
36
19
33
31
35
2, 32
20
3
7, 16
-
8
18
4, 11, 12 14
-
6, 23
-
10
21
24
9, 13, 22
-
15, 26
1, 25
-
27
commit to user
34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 91
Selanjutnya peneliti menggunakan 25 aitem yang valid untuk penelitian. Berikut ini adalah tabel sebaran aitem dengan penomoran baru yang digunakan dalam penelitian : Tabel 12 Distribusi Aitem Skala Motivasi Intrinsik Setelah Uji Coba No 1.
2
3.
4.
Aspek Pilihan
Kompetensi
Penuh Arti
Kemajuan
Total
Indikator Memiliki tujuan dan informasi yang jelas Adanya wewenang karyawan, jaminan keamanan dan kesehatan dalam bekerja Memiliki ketrampilan dan latar pendidikan yang sesuai Adanya umpan balik yang sesuai atas pekerjaan yang dilakukan Memiliki target atau sasaran dalam bekerja Memiliki kesamaan visi dan misi dalam bekerja Memiliki sifat mau bekerja sama dan mudah beradaptasi dengan lingkungan kerjanya Adanya keinginan selalu mengembangkan diri
Favourable 28 (21), 29 (22) 17 (13)
Unfavourable 30 (23)
Jumlah 3
33 (25)
2
32 (24)
20 (14)
2
7 (4), 16 (11)
8 (5)
3
4 (2), 11 (7), 12 (8)
6 (3), 23 (17)
5
14 (10)
21 (15)
2
9 (6), 13 (9), 22 (16)
15 (12), 26 (19)
5
1 (1), 25 (18)
27 (20)
3
15
11
25
keterangan : angka dalam tanda kurung (...) adalah distribusi sebaran nomor aitem yang baru dalam skala.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 92
b. Penghitungan reliabilitas Penghitungan reliabilitas dicari setelah dilakukan uji validitas, kemudian aitemaitem yang valid dicari koefisien reliabilitasnya. Menghitung koefisien reliabilitas ini menggunakan teknik analisis Alpha Cronbach. Cara menghitungnya dilakukan dengan bantuan komputer program SPSS for MS windows release versi 12.0 Berdasarkan penghitungan reliabilitas tersebut diperoleh hasil untuk aitem-aitem persepsi budaya organisasi dengan koefisien reliabilitas (rtt) sebesar 0,951, sedangkan untuk aitem-aitem motivasi intrinsik dengan koefisien reliabilitas (rtt) sebesar 0,895, dan untuk aitem-aitem burnout dengan koefisien reliabilitas (rtt) sebesar 0,797, hasil selanjutnya dapat dilihat pada lampiran.
4. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 30 September – 8 Oktober 2010 dengan menggunakan alat ukur berupa Skala Persepsi Budaya Organisasi yang terdiri dari 46 aitem, Skala Motivasi Intrinsik yang terdiri dari 25 aitem dan Skala Burnout yang terdiri dari 19 aitem. Pembagian dan pengisian skala dilakukan setelah mendapatkan ijin dari koordinator training yang mengampu. Subyek untuk penelitian yaitu karyawan bagian logistik sebanyak 30 karyawan. Peneliti kemudian menjelaskan tentang cara mengerjakan skala dan memberikan contoh pengerjaan. Peneliti menitipkan skala penelitian kepada koordinator training agar dapat dibagikan pada waktu yang tepat. Setelah satu minggu kemudian, peneliti
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 93
kembali lagi untuk mengumpulkan data yang sudah diselesaikan dan dilanjutkan melakukan skoring.
5. Pelaksanaan Skoring Setelah penyusunan alat ukur penelitian selesai kemudian dilakukan pemberian skor terhadap 30 eksemplar data penelitian untuk keperluan analisis data. Nilai skala pada Skala Persepsi Budaya Organisasi, Skala Motivasi Intrinsik, dan Skala Burnout adalah model Likert. Model Likert yang digunakan telah dimodifikasi menjadi empat kategori distribusi respons jawaban yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS) serta Selalu (SL), Sering (SR), Kadang-kadang (KD), dan Tidak Pernah (TP) untuk Skala Burnout. Skala Persepsi Budaya Organisasi dibagi atas empat bagian yang diberi nilai satu sampai dengan empat. Skala Persepsi Budaya Organisasi dan Skala Motivasi Intrinsik dalam penelitian ini mengandung kontinum favorable (mendukung) dan unfavorable (tidak mendukung). Pemberian skor untuk kontinum favorable bergerak dari empat sampai satu, sedangkan skor untuk kontinum unfavorable bergerak dari satu sampai empat. Skala Persepsi Budaya Organisasi dan Skala Motivasi Intrinsik ini menggunakan empat distribusi respons jawaban yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Skala Burnout dalam penelitian ini juga mengandung aitem favorable (mendukung) dan unfavorable (tidak mendukung). Pemberian skor untuk aitem favorable bergerak dari empat sampai satu untuk SL, SR,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 94
KD, dan TP, sedangkan skor untuk aitem unfavorable bergerak dari satu sampai empat untuk SL, SR, KD, dan TP. Skor total setiap aitem yang diperoleh dari subjek penelitian dijumlahkan untuk tiap-tiap alat ukur. Total skor setiap aitem dari setiap alat ukur yang diperoleh subjek ini akan digunakan dalam analisis data.
C. Hasil Analisis Data Penelitian Perhitungan analisis data dilakukan setelah uji asumsi yang meliputi uji normalitas sebaran, uji linearitas hubungan, uji otokorelasi, uji heteroskedastisitas, dan uji multikolinearitas. Perhitungan dalam analisis ini dilakukan dengan bantuan komputer seri program statistik SPSS for MS Windows release versi 12.0. 1. Uji Asumsi a. Uji Normalitas Uji Normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi variabel pengganggu (e) memiliki distribusi normal atau tidak. Dalam penelitian ini digunakan Kolmogorov-Smirnov Test untuk menguji normalitas. Kriteria yang digunakan yaitu dengan membandingkan nilai p yang diperoleh dengan taraf signifikan yang telah ditentukan yaitu 0,05. Apabila nilai p > 0,05, maka data yang diuji normal.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 95
Tabel 13 Hasil Uji Normalitas
N
Normal Parameters(a,b)
Mean Std. Deviation
persepsi budaya organisasi 30 93.8000
motivasi intrinsik 30 50.0000
burnout 30 37.0333
24.38824
12.12293
9.78910
Absolute
.079
.071
.157
Positive
.079 -.054
.069 -.071
.075 -.157
Kolmogorov-Smirnov Z
.433
.389
.862
Asymp. Sig. (2-tailed)
.992
.998
.448
Most Extreme Differences
Negative
a Test distribution is Normal. b Calculated from data
Berdasarkan tabel 13 di atas hasil perhitungan uji Kolmogorov-Smirnov Test dapat dilihat dari Asymp. Sig. (2-tailed) berupa harga p. Hasil untuk variabel persepsi budaya organisasi 0,433, motivasi intrinsik 0,389, dan burnout 0,862. Semua variabel penelitian mempunyai nilai p > 0,05, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa data yang diuji berdistribusi normal. b. Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas adalah suatu keadaan jika varian dari e tidak konstan. Dalam penelitian ini Heteroskedastisitas dideteksi menggunakan Uji Glejser, dengan kriteria jika sig. > 0,05 berarti asumsi homoskedastisitas terpenuhi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 96
Tabel 14 Hasil Uji Heteroskedastisitas Standardized Coefficients
Unstandardized Coefficients Model 1
(Constant) persepsi budaya organisasi motivasi intrinsik a Dependent Variable: burnout
B -.574
Std. Error .319
-.004
.008
.041
.015
Beta
t -1.801
Sig. .083
-.203
-.505
.054
1.070
2.662
.013
Hasil uji Glejser ini dapat dilihat dari kolom sig. Untuk variabel persepsi budaya organisasi 0,054, dan motivasi intrinsik 0,013. Dari hasil tersebut pada tingkat signifikansi 5% variabel independen ternyata tidak signifikan mempengaruhi absolut residual (sig. > 0,05), berarti bahwa asumsi homoskedastisitas terpenuhi. Dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas. c. Uji Autokorelasi Autokorelasi merupakan korelasi antar sesama urutan pengamatan dari waktu ke waktu atau secara ruang. Adapun metode yang digunakan untuk mendeteksi autokorelasi adalah uji Durbin Watson (DW Test), dengan kriteria : Bila DW terletak di antara dU dan 4 – dU, maka tidak ada autokorelasi. Bila DW lebih rendah dari dL, berarti ada autokorelasi positif. Bila DW lebih besar daripada 4 – dL, maka ada autokorelasi negatif. Bila DW terletak di antara batas atas (dU) dan batas bawah (dL) atau 4-dU dan 4 - dL, maka tidak dapat disimpulkan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 97
Tabel 15 Hasil Uji Autokorelasi Std. Error of Adjusted R Durbin-Watson the Estimate Square R Square R 2.236 .25985 .747 .764 .874(a) a Predictors: (Constant), motivasi intrinsik, persepsi budaya organisasi b Dependent Variable: burnout
Model 1
Berdasarkan pengujian yang dilakukan pada level of significance 5% dengan k = 2 dan n = 30 diperoleh dL 1,28 dan dU = 1,57. Tidak terdapat autokorelasi jika nilai DW hitung terletak antara 1,57 dan 2,43. Hasil uji auto korelasi pada tabel 16 diperoleh nilai 2,236 yang berarti DW terletak diantara dU dan 4- dU, sehingga dapat disimpulkan bebas autokorelasi. d. Uji Multikolinearitas Multikolinearitas merupakan korelasi yang nyata di antara variabel independen dalam sebuah model. Untuk mendeteksi adanya multikolinearitas dapat dilihat dari nilai Variance Tolerance Factor (VIF) atau Tolerance. Jika VIF < 10 atau Tolerance > 0,1 maka tidak terjadi multikolinearitas. Tabel 16 Hasil Uji Multikolinearitas Model
1
(Constant)
Unstandardized Coefficients Std. Error B .319 -.574
persepsi -.004 budaya organisasi motivasi .041 intrinsik a Dependent Variable: burnout
Standardized Coefficients
t
Sig.
Collinearity Statistics
Tolerance
Beta
-1.801
.083
VIF
.008
-.203
-.505
.054
.618
8.517
.015
1.070
2.662
.013
.618
6.500
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 98
Dari hasil uji multikolinearitas pada tabel 16 diperoleh nilai VIF (8, 517; 6, 500 ) < 10 atau Tolerance (0,618 ; 0,618) > 0,1 dapat disimpulkan bahwa dalam model regresi tersebut tidak terdapat multikolinearitas.
2. Uji Hipotesis Setelah dilakukan uji asumsi, langkah selanjutnya adalah melakukan perhitungan untuk menguji hipotesis yang diajukan dengan teknik analisis regresi dua prediktor. Pengujian hipotesis dengan F-test ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen terhadap variabel dependen secara simultan (bersama-sama). Hasil F-test menunjukkan variabel independen secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen jika p-value (pada kolom Sig.) lebih kecil dari level of significant yang ditentukan, atau F hitung (pada kolom F) lebih besar dari F tabel. Hasil F-test pada output SPSS dapat dilihat pada tabel Anova (Nugroho,2005). Melalui hasil uji simultan ini dapat diperoleh keputusan diterima tidaknya uji hipotesis. a. Nilai output SPSS menunjukkan F-reg sebesar p-value 0,000 < 0,05 sedangkan F hitung 43, 738 > dari F tabel 4, 21 serta R sebesar 0, 874, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dapat diterima, yaitu terdapat hubungan antara persepsi budaya organisasi dan motivasi intrinsik dengan burnout karyawan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 17 di bawah ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 99
Tabel 17 Uji Hipotesis Model 1
Regression
Residual Total
Sum of Squares 5.907 1.823
df
2 27
Sig. .000(a)
F 43.738
Mean Square 2.953 .068
29
7.730
b. Nilai koefisien regresi antara variabel persepsi budaya organisasi dengan burmout (rx1y) sebesar 0,838 dengan p-value 0,000 < 0,05 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara persepsi budaya organisasi dengan burnout. Dapat diartikan bahwa persepsi budaya organisasi berkorelasi dengan burnout. Jika persepsi budaya organisasi semakin meningkat hasil burnout tinggi, dan ini mengartikan adanya hubungan yang positif. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 18 di bawah ini. Tabel 18 Uji Korelasi persepsi budaya organisasi
persepsi budaya organisasi
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
burnout
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
1
Burnout ,838(**)
.
,000
30
30
,838(**)
1
,000
.
30
30
c. Nilai koefisien korelasi antara variabel motivasi intrinsik dengan burnout (rx2y) menunjukkan nilai koefisien korelasi sebesar 0,873 dengan p-value 0,000 < 0,05 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara motivasi intrinsik dengan burnout. Dapat diartikan bahwa motivasi intrinsik berkorelasi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 100
dengan burnout. Jika motivasi intrinsik semakin meningkat hasil burnout tinggi, dan ini mengartikan adanya hubungan yang positif. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 19 di bawah ini. Tabel 19 Uji Korelasi
1 .
motivasi intrinsik ,873(**) ,000
burnout
Pearson Correlation
burnout
Sig. (2-tailed) N
Pearson Correlation
motivasi intrinsik
30
30
,873(**)
1
,000 30
. 30
Sig. (2-tailed)
N
3. Mean Empirik (ME) dan Mean Hipotetik (MH) Berikut ini akan disajikan deskripsi data penelitian dan subjek penelitian. Deskripsi data penelitian disajikan sebagai gambaran umum tentang data penelitian yang lengkap dalam tabel 20.
Alat Ukur
Tabel 20 Deskripsi Data Penelitian Jumlah Data Hipotetik M SD Subjek Skor Skor min maks 30 46 184 115 23
Persepsi Budaya Organisasi Motivasi Intrinsik 30 Burnout 30 Keterangan Jml : Jumlah Min : Minimal Maks: Maksimal
25 19
100 76
62.5 47.5
12.5 9.5
Data Empiris
Skor min 76
50 20
M
SD
Skor maks 180
126.2
25.71
108 56
77.43 37, 33
13.40 9, 78
M : Rerata SD : Standar Deviasi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 101
a. Skala Persepsi Budaya Organisasi
Skala Persepsi Budaya Organisasi akan dikategorikan untuk mengetahui tinggi rendahnya nilai subjek. Kategorisasi yang dilakukan adalah dengan mengasumsikan bahwa skor populasi subjek terdistribusi secara normal, sehingga skor hipotetik didistribusikan menurut model normal (Azwar, 2008). Skor minimal yang diperoleh subjek adalah 46 X 1 = 46 dan skor maksimal yang dapat diperoleh subjek adalah 46 X 4 = 184, maka jarak sebarannya adalah 184 - 46 = 138 dan setiap satuan deviasi standarnya bernilai 138/6 = 23, sedangkan rerata hipotetiknya adalah 46 X 2,5 = 115. Apabila subjek digolongkan dalam 5 kategorisasi, maka akan didapat kategorisasi serta distribusi skor subjek seperti pada tabel 21. Tabel 21 Kriteria Kategori Skala Persepsi Budaya Organisasi dan distribusi skor subjek Standart Deviasi (MH-3s) ≤ X < (MH-1,8s)
(MH-1,8s) ≤ X < (MH-0,6s) (MH- 0,6s) ≤ X < (MH+0,6s) (MH+ 0,6s) ≤ X < (MH+1,8s) (MH+1,8s) ≤ X < (MH+3s) Jumlah
Skor
Kategorisasi
46 ≤ X < 85,1
Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
85, 1 ≤ X < 101,2 101,2 ≤ X <128,8 128,8 ≤ X <144,9 144,9 ≤ X < 184
Subjek Frek (ΣN) Presentase 3 10
2 11 7 7 30
6,66 36,66 23,33 23,33 100
Rerata Empirik
126,2
Dari kategori Skala Persepsi Budaya Organisasi seperti terlihat pada tabel, dapat dilihat bahwa subjek secara umum memiliki tingkat persepsi budaya organisasi yang sedang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 102
b. Skala Motivasi Intrinsik Skala Motivasi Intrinsik akan dikategorikan untuk mengetahui tinggi rendahnya nilai subjek. Kategorisasi yang dilakukan adalah dengan mengasumsikan bahwa skor populasi subjek terdistribusi secara normal, sehingga skor hipotetik didistribusikan menurut model normal (Azwar, 2008). Skor minimal yang diperoleh subjek adalah 25X 1 = 25 dan skor maksimal yang dapat diperoleh subjek adalah 25 X 4 = 100. Maka jarak sebarannya adalah 100 - 25 = 75 dan setiap satuan deviasi standarnya bernilai 75/6 = 12,5 sedangkan rerata hipotetiknya adalah 25 x 2,5 = 62, 5. Apabila subjek digolongkan dalam 5 kategorisasi, maka akan didapat kategorisasi serta distribusi skor subjek seperti pada tabel 22. Tabel 22 Kriteria Kategori Skala Motivasi Intrinsik dan distribusi skor subjek Standart Deviasi (MH-3s) ≤ X < (MH-1,8s)
(MH-1,8s) ≤ X < (MH-0,6s) (MH- 0,6s) ≤ X < (MH+0,6s) (MH+ 0,6s) ≤ X < (MH+1,8s) (MH+1,8s) ≤ X < (MH+3s) Jumlah
Skor 25 ≤ X < 40
40 ≤ 55 ≤ 70 ≤ 85 ≤
X X X X
< 55 < 70 < 85 < 100
Kategorisasi
Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
Subjek Frek (ΣN) Presentase -
2 6 14 8 30
6,66 20 46,66 26,67 100
Rerata Empirik
77,43
Dari kategori Skala Motivasi Intrinsik seperti terlihat pada tabel, dapat dilihat bahwa subjek secara umum memiliki tingkat motivasi intrinsik yang tinggi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 103
c. Skala Burnout Skala Burnout dikategorikan untuk mengetahui tinggi rendahnya nilai subjek. Kategorisasi yang dilakukan adalah dengan mengasumsikan bahwa skor populasi subjek terdistribusi secara normal, sehingga skor teoritis didistribusi menurut model normal (Azwar, 2008). Skor minimal yang diperoleh subjek adalah 19 X 1 = 19 dan skor maksimal yang dapat diperoleh subjek adalah 19 X 4 = 76
maka jarak
sebarannya adalah 76 - 19 = 57 dan setiap satuan deviasi standarnya bernilai 57/6 = 9,5 sedangkan rerata hipotetiknya adalah 19 X 2,5 = 47,5. Apabila subjek digolongkan dalam 5 kategorisasi, maka didapat kategorisasi serta distribusi skor subjek seperti pada tabel 23. Tabel 23 Kriteria kategori Skala Burnout dan distribusi skor subjek Standart Deviasi (MH-3s) ≤ X < (MH-1,8s) (MH-1,8s) ≤ X < (MH-0,6s) (MH- 0,6s) ≤ X < (MH+0,6s) (MH+ 0,6s) ≤ X < (MH+1,8s) (MH+1,8s) ≤ X < (MH+3s) Jumlah
Skor 19 ≤ X < 30,4 30,4 ≤ X < 41,8 41,8 ≤ X < 53,2 53,2 ≤ X < 64,6 64,6 ≤ X < 76
Kategorisasi
Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
Subjek Frek (ΣN) Presentase 8 26, 67 7 23, 33 13 43, 33 2 6, 66 30 100
Rerata Empirik
37, 33
Dari kategori Skala Burnout seperti terlihat pada tabel, dapat dilihat bahwa subjek secara umum memiliki tingkat burnout yang sedang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 104
4. Sumbangan relatif dan sumbangan efektif Sumbangan Relatif (SR) dan Sumbangan Efektif (SE) merupakan suatu ukuran seberapa besar prediktor-prediktor dalam regresi memiliki kontribusi terhadap variabel kriterium. Dengan menghitung SR dan SE akan diketahui tentang prediktor mana yang paling besar sumbangannya terhadap terbentuknya variasi dalam satuansatuan kriterium regesi. Hasil analisis menunjukkan: a. SR persepsi budaya organisasi dengan burnout sebesar 62 % dan SR motivasi intrinsik dengan burnout sebesar 38 %. Hasil tersebut menunjukkan besarnya sumbangan masing-masing prediktor terhadap kuadrat regresi. b. SE persepsi budaya organisasi dengan burnout sebesar 47,37 % dan SE motivasi intrinsik dengan burnout sebesar 29,03%. Hasil tersebut menunjukkan besarnya sumbangan tiap-tiap prediktor terhadap keseluruhan efektivitas garis regresi yang digunakan sebagai dasar prediksi. Total sumbangan efektif sebesar 76,40% ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,764.
D. Pembahasan Hasil uji hipotesis penelitian menunjukkan diterimanya hipotesis yang diajukan, yakni adanya hubungan antara persepsi budaya organisasi dan motivasi intrinsik dengan burnout pada karyawan di PT. Krakatau Steel Cilegon. Berdasarkan hasil analisis menggunakan teknik analisis regresi dua prediktor yang dihasilkan dari hubungan ketiga variabel tersebut diperoleh p-value 0,000 < 0,05 sedangkan F hitung 43, 738 > dari F tabel 4, 21 serta R sebesar 0,874. Hal ini berarti persepsi budaya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 105
organisasi dan motivasi intrinsik dapat digunakan sebagai prediktor untuk memprediksi burnout. Persepsi budaya organisasi dan motivasi intrinsik yang dimiliki karyawan semakin meningkat maka semakin meningkat pula burnout yang terjadi pada karyawan. Berdasarkan hasil perhitungan analisis regresi tersebut maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dapat diterima yaitu ada peran persepsi budaya organisasi dan motivasi intrinsik dengan burnout pada karyawan, dengan sumbangan efektif sebesar 76,40%. Sumbangan efektif masing-masing prediktor yaitu persepsi budaya organisasi memiliki peran 47,37% sedangkan motivasi intrinsik yaitu 29,03%. Budaya organisasi pada hakekatnya adalah pondasi suatu organisasi, jika pondasi yang dibuat tidak cukup kokoh maka betapapun bagusnya bangunan pondasi itu tidak akan cukup kokoh menopangnya. Budaya organisasi merupakan satu unsur terpenting dalam organisasi yang mengarah pada perilaku yang dianggap tepat, mengikat, dan memotivasi anggota yang ada di dalamnya. Kebudayaan akan mempengaruhi cara berpikir, sikap, dan perilaku seseorang. Dengan demikian, pemahaman budaya organisasi menjadi penting, mengingat adanya keanekaragaman budaya yang dibawa oleh karyawan ke dalam organisasi. Persepsi budaya organisasi ini berperan sebagai nilai-nilai yang menjadi landasan bagi sistem dan praktek manajemen serta perilaku yang timbul dari setiap karyawan (Denison, 2003). Peran budaya organisasi ini adalah sebagai objek dan konteks yang akan dipersepsi oleh seluruh anggota organisasi. Osborne dan Plastrik (2000) mengungkapkan, budaya organisasi sebagai seperangkat perilaku, perasaan, dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 106
kerangka psikologis yang terinternalisasi sangat mendalam dan dimiliki bersama oleh anggota organisasi. Budaya organisasi memberikan karyawan rasa kenyamanan, keamanan, kebersamaan, rasa tanggung jawab, ikut memiliki, tahu bagaimana bersikap, apa yang harus mereka kerjakan, dan sebagainya. Persepsi budaya organisasi ini memerlukan komitmen dari seluruh karyawan, mulai dari top, middle sampai lower atau operasioal yang merupakan persyaratan mutlak untuk tetap terpeliharanya budaya organisasi. Komitmen saja tidak sekedar keterkaitan secara fisik, tapi juga secara mental. Sehingga dapat terwujudnya persepsi budaya organisasi yang sesuai dengan visi dan misi perusahaan. Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian yang telah dilakukan oleh Sedjo (2005), menemukan adanya kontribusi persepsi budaya organisasi yang signifikan terhadap burnout, dapat dilihat dari semua dimensi persepsi budaya organisasi memiliki hubungan dengan burnout. Semakin tinggi persepsi budaya organisasi akan semakin tinggi pula burnout yang terjadi pada karyawan. Dikarenakan, organisasi merupakan salah satu penyebab terjadinya burnout dikarenakan hal ini dapat timbul dari persepsi yang dianut bersama oleh anggotaanggota organisasi. Sistem makna bersama ini, bila diamati lebih jauh merupakan seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi. Sehubungan dengan hal tersebut motivasi intrinsik juga memberikan sumbangan efektif lebih kecil terhadap burnout. Hal tersebut dapat terjadi karena motivasi intrinsik merupakan motivasi yang berfungsi tanpa adanya rangsangan dari luar, dalam diri individu sudah ada suatu dorongan untuk melakukan tindakan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 107
(Winardi, 2001). Motivasi intrinsik ini selalu berperan dalam penyelesaian sesuatu peristiwa karena ini merupakan motivator yang sangat kuat dari perilaku manusia dan dapat digunakan untuk membuat seseorang lebih produktif. Ray dan Miller (1994), mengungkapkan tugas dan tanggung jawab kerja yang diberikan kepada setiap karyawan merupakan salah satu sumber motivasi intrinsik yang ada di dalam diri karyawan. Motivasi intrinsik ini dapat timbul atau ada tidak semata-mata karena adanya reward atau hadiah kecuali untuk aktivitas itu sendiri. Meningkatnya motivasi, kesanggupan, dan kesediaan anggota atau karyawan untuk bersama-sama berusaha dalam mengembangkan organisasi, yang merupakan harapan dari organisasi tersebut. Motivasi intrinsik ini juga dapat mengarahkan tingkah laku seseorang dengan titik berat pada bagaimana prestasi dicapai (Mc Clelland, dalam Hawadi, 2001). Keinginan seseorang untuk berprestasi yang berlebihan dapat mengakibatkan terjadinya kelelahan pada dirinya sendiri. Akan tetapi, motivasi intrinsik ini dapat menciptakan kretivitas, pembelajaran konsep, pencarian tantangan dan kesenangan dalam belajar secara lebih cepat dibandingkan dengan motivasi ekstrinsik (Stipek, 2002). Perasaan-perasaan yang dimiliki oleh setiap orang seperti, adanya pilihan yang harus diambilnya, kompetensi, memiliki arti di dalam hidupnya, dan keinginan untuk selalu maju inilah yang dicapai oleh seseorang yang mengalami motivasi intrinsik (Thomas, 2000). Motivasi intrinsik ini dapat dijadikan dorongan dari dalam diri seseorang yang memiliki kekuatan besar untuk mencapai segala sesuatu yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 108
sesuai dengan harapannya dalam pemenuhan kebutuhannya dalam berkompetisi dengan lingkungannya. Motivasi intrinsik seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah pekerjaan itu sendiri, prestasi yang diraih, peluang untuk maju, pengakuan orang lain, dan tanggung jawab. Jika motivasi intrinsik yang dilakukan semakin tinggi maka akan semakin tinggi pula burnout yang terjadi. Penelitian ini dikenakan pada karyawan PT. Krakatau Steel Cilegon, maka hasil penelitian ini dapat digeneralisasikan pada kelompok karyawan dewasa madya di tempat lain atau karyawan pada umumnya yang memiliki karakteristik yang sama. Mengingat bahwa penelitian mengenai hubungan ketiganya baru sekali ini dilakukan sepanjang pengamatan penulis, sehingga masih memiliki banyak keterbatasan.
Dengan
penelitian
berulang-ulang
disertai
perubahan
dan
penyempurnaan dalam teknik pengukuran, pemakaian alat ukur, prosedur penelitian, maupun memeperluas ruang lingkup penelitian, diharapkan dapat memberikan hasil penelitian hubungan di antara ketiga variabel tersebut dengan lebih baik.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Ada hubungan positif yang antara persepsi budaya organisasi dan motivasi intrinsik dengan burnout pada karyawan. Hal ini telah dibuktikan dengan analisis Ftest yang dapat dilihat melalui Anova dalam output SPSS. Besarnya F-hitung yang diperoleh 43, 738 > dari F tabel 4, 21 serta R sebesar 0, 874, maka hipotesis diterima, sehingga dapat dinyatakan ada hubungan persepsi budaya organisasi dan motivasi intrinsik dengan burnout pada karyawan. 2. Ada hubungan positif antara persepsi budaya organisasi dengan burnout pada karyawan. Hal ini telah dibuktikan dengan analisis korelasi Product Momen (Pearson) diperoleh p value sebesar 0,00,
p value < 0,05 (α) maka hipotesis
diterima, sehingga dapat dinyatakan ada hubungan antara persepsi budaya organisasi dengan burnout pada karyawan. Besarnya hubungan antara persepsi budaya organisasi dengan burnout pada karyawan. sebesar 0,838, berarti ada hubungan positif antara persepsi budaya organisasi dengan burnout pada karyawan. 3. Ada hubungan positif antara motivasi intrinsik dengan burnout pada karyawan. Hal ini telah dibuktikan dengan analisis korelasi Product Momen (Pearson) diperoleh 109 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
p value sebesar 0,00, p value < 0,05 (α), maka hipotesis diterima, sehingga dapat dinyatakan ada hubungan positif antara motivasi intrinsik dengan burnout pada karyawan. Besarnya hubungan antara motivasi intrinsik dengan burnout pada karyawan sebesar 0,873.
B. Saran 1. Karyawan Disarankan kepada karyawan untuk dapat menjalankan tugas serta tanggung jawabnya sesuai dengan visi dan misi organisasi dengan cara adanya keinginan untuk selalu maju, memiliki rasa keterikatan antara dirinya dengan organisasi, dan melaksanakan tugasnya sesuai dengan prosedur yang berlaku, sehingga dapat di persepsikan sebagai persepsi budaya organisasi yang baik. 2. Perusahaan Perusahaan disarankan dapat membantu karyawannya dalam menciptakan lingkungan kerja yang positif dan memunculkan motivasi pada diri karyawan sehingga dapat menekan kecenderungan burnout pada karyawan. 3. Bagi peneliti selanjutnya. Untuk penelitian selanjutnya yang berminat untuk mengangkat tema yang sama diharapkan
dapat
mempertimbangkan
variabel-variabel
lain
yang
lebih
mempengaruhi burnout seperti dukungan sosial, karakteristik kepribadian, dan disarankan juga untuk menggunakan data yang tersebar normal. Hal lain yang perlu 110 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diperhatikan adalah menggunakan data tambahan seperti observasi dan wawancara agar hasil yang didapat lebih mendalam dan sempurna, karena tidak semua hal dapat diungkap dengan angket.
111 commit to user