Burnout Pada Agen Call Center Firman Adi Hariono 10505069 Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
A. Abtraksi Hadirnya Seluler digital Global System For Mobile Comunication (GSM) dan Code Multiple Access (CDMA) membuat teknologi komunikasi semakin pesat, sehingga bermuculan Provider seluler yang membuat persaingan semakin ketat. Hal ini memaksa provider membuat divisi baru yaitu agen call center. Agen call center adalah salah satu pekerjaan yang berhubungan secara terus-menerus dengan penerima pelayanan (pelanggan) dan memiliki beban tinggi. Inilah salah satu penyebab peneliti ingin meneliti burnout pada agen call center. Tujuan penelitian ini untuk memperoleh gambaran burnout, faktor-faktor penyebab terjadinya, dan proses terjadinya burnout pada agen call center. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan subjek 2 agen call center yang berusia antara 21-28 tahun, dan telah bekerja 1-3 tahun. Data yang diperoleh burnout pada agen call center meliputi tiga dimensi yaitu: kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan hasrat pencapaian prestasi diri. Faktor-faktor penyebab burnout yang terjadi pada agen call center yaitu karakteristik individu, lingkungan kerja, dan keterlibatan emosional dengan penerima pelayanan (pelanggan). Proses terjadinya burnout pada agen call center terdapat tiga tahap yaitu pertama munculnya stres, lalu terjadinya strain atau tegangan, dikarenakan stres mengacam, kemudian coping atau mencari penyelesaian masalah, pada proses penyelesaian masalah secara intrapsikis yang pemecahan masalahnya yang aktif dilakukan tidak berhasil maka muncul burnout .
Kata kunci : Burnout, Agen Call Center
B. Pendahuluan 1
Dewasa ini kemajuan teknologi komunukasi semakin pesat, ini memungkinkan untuk mendapatkan informasi dengan cepat, mudah, dan murah. Salah satu produk teknologi komunikasi adalah telepon seluler. Menurut Johan dan Hasiana (2005) di Indonesia, teknologi telekomunikasi mulai mendapat perhatian dari masyarakat, salah satunya adalah telepon seluler, yang mendapat perhatian dari masyarakat dengan hadirnya seluler digital Global System For Mobile Comunication (GSM) pada tahun 1995, setelah sebelumnya pernah ada jenis telepon yang menggunakan sistem analog, yaitu teknologi Advances Mobile Phone System (AMPS). Beberapa perusahaan layanan telekomunikasi yang mengunakan GSM antara lain Satelindo, Telkomsel, Exelkom, IM3. Pada tahun 2003 Satelindo dan IM3 bergabung, sehingga keduanya berada di dalam naungan Indosat. Pada bulan Juni 2003 di Indonesia muncul teknologi telekomunikasi yang lainnya, dikenal dengan Code Division Multiple Access (CDMA), ditandai peluncuran berbagai provider seluler, antara lain flexi, esia, dan mobile-8. Semakin beragamnya provider yang bermunculan, maka provider teknologi komunikasi bersaing untuk mendapatkan pelanggan sebanyak mungkin, dan banyak pula permasalahan yang timbul, diantaranya persaingan harga yang kompetitif, dan dampaknya jika provider tidak dapat bersaing maka mendapatkan keuntungan atau profit yang kecil, sehingga berdampak pada perkembangan perusahaan. Untuk menunjang hal tersebut perusahaan provider tersebut merasa perlunya divisi atau bagian dari tubuh perusahaan yang dapat mencerminkan perusahaannya dan dapat dengan mudah diakses untuk mambantu para calon pelanggan ataupun pelanggannya. Dalam hal ini, didirikanlah divisi contact center atau yang lebih dikenal sebagai call center, dimana hal ini diharapkan dapat mempermudah, mempercepat dan membantu semua proses pelayanan terhadap pelanggan, untuk menunjang kinerja divisi tersebut maka direkrut sejumlah SDM untuk menempati posisi sebagai agen call center. Menurut Dell (dalam Oktarina, 2006) call center atau jasa pelayanan adalah suatu kemampuan organisasi atau perusahaan untuk secara konstan dan konsisten memberikan apa yang diinginkan pelanggan. Agen call center sendiri memiliki kompetensi yang berbedabeda antara satu perusahaan dengan lainnya, namun ada benang merah diantara semua agen
2
call center, yaitu sikap yang baik dan ramah adalah hal yang mendasar yang harus dimiliki oleh setiap agen call center, di tangan merekalah semua pertaruhan nama perusahaan berada. Jika para agen tidak mampu melayani pelanggan dengan baik, maka akan tercipta kekecewaan para pelanggan, sehingga bisa menyebabkan pelanggan pindah ke provider lainnya, yang bisa menyebabkan kebangkrutan. Hal inilah yang menyebabkan betapa pentingnya sebuah provider memiliki agen call center yang terbaik. Pelanggan sendiri memiliki beragam sifat ataupun karakter, ada yang menurut, kritis, emosional bahkan ada yang lambat untuk mengerti akan suatu informasi. Dengan beragam hal tersebut, maka sangat diperlukan individu yang tangguh secara emosional dan fisik untuk menjadi seorang call center. Rutinitas kerja agen call center sebenarnya memiliki beban keja yang lumayan tinggi, selain agen call center harus melayani pelanggan dengan baik, agen call center juga memiliki keterbatasan waktu dalam melayani pelanggan, memiliki target call setiap harinya, memiliki target untuk login timenya dan banyak lagi lainnya. Untuk kedua hal tersebut sebelumnya, agen call center harus memiliki ketangguhan dalam fisik dan metal, sehingga agen call center dapat memenuhi target mereka dan juga dapat meningkatkan produktifitas agen call center, sehingga citra perusahaan dapat terjaga. Dalam mewujudkan hal itu sungguhnya tidaklah mudah, pada umumnya agen call center memiliki keterbatasan daya tahan dalam melayani pelanggan. Umunnya setelah bekerja selama empat jam agen call center mulai berkurang kosentrasinya, untuk itu diberlakukan waktu istirahat untuk agen call center, selain itu bagi agen call center yang telah bekerja tahunan, akan mengalami dampak psikologis yang antara lain cemas, lekas marah, ketakutan, rasa bosan, jenuh, dan burnout. Menurut Cooper dkk, (2001) dampak psikologis yang paling beresiko besar terjadi adalah burnout, hal ini dikarenakan agen call center memiliki keterbatasan sumber daya dan memiliki tuntutan dari pelanggan yang tinggi misalnya pelanggan yang kritis, emosional, sinis, nada tinggi dan bawel. Hal tersebut menyebabkan agen call center stres walaupun telah banyak dilakukan program untuk mengatasi hal tersebut. Stres tersebut merasa mengacam agen call center, sehingga agen call center memecahkan masalah (coping) secara aktif seperti berdiskusi dan bertanya. Memecahkan masalah (coping) secara aktif tersebut tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut, sehingga agen call center mengalami kelelahan. Hal 3
ini menyebabkan agen call center memecahkan masalahnya (coping) secara intrapsikis, disinilah timbul burnout. Sebuah artikel bertajuk “Membunuh Burnout, Memanfaatkan Stres” pada harian Republika, 5 Agustus 1993 ( dalam Sutjipto, 2008) dijelaskan bahwa burnout merupakan kondisi emosional dimana seseorang merasa lelah dan jenuh secara mental ataupun fisik sebagai akibat tuntutan pekerjaan yang meningkat. Menurut Chermis (1980) Burnout sebagai respon terhadap stres yang berlebihan atau akibat ketidakpuasan dalam pekerjaan. Sumber burnout dapat muncul pada individu yang memiliki kecenderungan kepribadian perfeksionis atau menginginkan kesempurnaan pada setiap pekerjaannya (Caputo, 1991). Selain itu faktor jenis kelamin juga mempengaruhi. Menurut Faber (1991) individu laki-laki lebih beresiko terkena burnout dibanding individu wanita karena individu wanita lebih mampu menahan tekanan yang lebih besar secara emosional. Burnout ini jelas merugikan, karena akan mengurangi kemampuan dan efektifitas kerja agen call center. Burnout juga dapat berdampak buruk dimana dapat mempengaruhi pekerjaan dan pekerja itu sendiri, seperti keengganan untuk pergi kerja, marah dan dendam, perasaan bersalah, adanya perasaan gagal, kecil hati dan masa bodoh (ignoring). Selain dampak diatas, burnout juga dapat menimbulkan kecenderung menyalahkan, merasa lelah dan letih setiap hari, mengisolasi dan menarik diri negativisme. Serta dapat juga kehilangan positif terhadap pelanggan setelah masa kontak dengan pelanggan berakhir, kelelahan yang berat setelah bekerja, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi atau mendengarkan apa yang dikatakan klien, sinis terhadap pelanggan, bersikap menyalakan, perasaan dilumpuhkan, serta kaku dalam berpikir serta bertahan untuk tidak berubah (Cherniss, 1980). Penelitian yang dilakukan oleh Shwart dan Will (dalam Sarafino,1998), menemukan adanya perubahan perilaku pada pasien rumah sakit jiwa dimana para pekerjanya mengalami burnout kondisi ini menyebabkan kondisi pasien mengalami kemunduran menjadi mudah cemas, depresi dan terdapat kecenderungan melakukan tindakan bunuh diri. Dengan demikian, pekerja yang mengalami burnout menghabiskan waktu serta biaya yang tinggi bagi institusi maupun individu itu sendiri bahkan dapat mempengaruhi prestasi kerja. Gejala burnout muncul dalam simtom yang sangat bervariasi. Secara umum dapat dikelompokan menjadi tiga dimensi. Menurut Maslach (1982) gejala burnout yaitu pertama : 4
kelelahan emosional (emotional exhaustion), individu merasa lelah dan tidak bertenaga, frustrasi, kehilangan energi, kehilangan semangat serta tidak mampu memberikan pelayanan dengan baik secara psikologis. Kedua: depersonalisasi (depersonalization), dimensi kedua ini merupakan perkembangan dari dimensi kelelahan emosional (emotional exhaustion), dan yang ketiga: penurunan hasyrat pencapaian prestasi diri (law personal accomplishment). Bila dilihat dari gambaran diatas maka, fenomena yang terjadi pada agan call center seperti call center kurang baik dalam melayani kemauan dan keluhan pelanggan, atau kurangnya interaksi call center dengan pelanggan, serta kesalahan-kesalahan lain yang dilakukan agen call center, hal ini bisa disebabkan karena agen call center mengalami burnout akibat sumber daya call center terkuras habis dan juga situasi kerja call center yang menuntut secara emosi terus-menurus serta, kuantitas pelanggan yang terlalu banyak. Jika tidak diambil tindakan nyata, maka cepat atau lambat permasalahan ini tentu akan memiliki dampak yang tidak menyenangkan baik bagi agen call center itu sendiri, dan pihak perusahaan maupun bagi seluruh anggota keluarga. Untuk itu dalam penelitian ini, peneliti ingin memperdalam informasi terkait rasa burnout pada call center.
C. Tinjauan Pustaka Burnout Istilah Burnout pertama kali diutarakan dan diperkenalkan kepada masyarakat oleh Herbet Freudenberger pada tahun 1973. Freudenberger adalah seorang ahli psikologis klinis pada lembaga pelayanan sosial di New York yang menangani remaja bermasalah. Ia mengamati perubahan perilaku para sukarelawan setelah bertahun-tahun bekerja. Hasil pengamatannya, ia laporkan dalam sebuah jurnal psikologi professional pada tahun 1973 yang disebut sebagai sindrom burnout (Faber,1991). Menurutnya, para relawan tersebut mengalami kelelahan mental, kehilangan komitmen, dan penurunan motivasi seiring dengan berjalannya waktu. Selanjutnya, Freudenberger memberikan ilustrasi tentang apa yang dirasakan seseorang yang mengalami sindrom tersebut seperti gedung yang terbakar habis (burned-out). 5
Freudenberger menggunakan istilah burnout yang pada awalnya digunakan pada tahun 1960-an untuk merujuk pada efek-efek penyalahgunaan obat-obat terlarang yang kronis (dalam Sutjipto, 2001). Freudenberger (dalam Sutjipto, 2001) menjelaskan burnout sebagai suatu keadaan lelah atau frustrasi yang disebabkan oleh karena cara hidup atau hubungan yang gagal untuk mendapatkan apa yang diharapkan. Jenis individu yang seperti ini pada awalnya memiliki komitmen penuh dan berdedikasi tinggi kepada pekerjaannya. Ketika individu berusaha untuk mencapai harapan-harapan yang ideal dan kadang kurang realistik, individu lalu bekerja amat keras untuk orang lain, sedangkan yang ia peroleh dari kerja kerasnya hanya sedikit sekali dan juga harapannya itu tidak semuanya dapat terpenuhi, bahkan mungkin jauh dari yang diharapkan. Bila individu tersebut memaksakan untuk memenuhinya harapannya, maka gejala seperti hilangnya vitalitas, energi maupun gangguan lainnya akan timbul dan hal tersebut bisa mengakibatkan burnout. Cherniss (1980) mendefinisikan burnout sebagai tindakan penarikan diri secara psikologis sebagai respon terhadap stres yang berlebihan atau ketidakpuasan dalam pekerjaan. Individu memandang pekerjaanya sebagai sesuatu yang mulia dan berharga pada awalnya, juga antusiasme tinggi dalam bekerja, tetapi akibat ketidakpuasan yang menghasilkan stres yang berlebihan mempengaruhi langsung terhadap perubahan motivasi, menurunnya antusiasme dan berkurangnya ketertarikan terhadap pekerjaan. Menarik diri dari pekerjaan, seperti menghindar dari klien yang seharusnya ditangani, sikap menyalahkan klien, maupun menurunnya sikap positif terhadap klien merupakan salah satu gambaran perubahan tingkah laku dan sikap menurut Cherniss. Tokoh lainnya yang merupakan salah satu ahli yang mempelajari tentang burnout lebih lanjut melalui melalui penelitian-penelitian yang dilakukannya adalah Maslach (1993). Maslach (1993) melakukan wawancara, survey, maupun observasi langsung terhadap guru, polisi, perawat, psikoterapis, konselor, psikiater dan pekerja sosial dalam penelitiannya. Maslach mendefinisikan burnout sebagai sindrom yang terdiri atas kelelahan emosional (emotional exhaustion), depersonalisasi, dan penurunan pencapaian prestasi diri (reduced personal accomplishment ), yang dialami oleh individu yang bekerja memberikan pelayanan bagi orang lain. Menerangkan juga bahwa burnout merupakan respon terhadap keteganganketegangan emosional yang muncul karena berhubungan secara intensif dengan orang lain.
6
Berdasarkan beberapa definisi diatas, penulis menyimpulkan burnout sebagai suatu gejala yang terjadi pada tingkat individu, yang merupakan pengalaman internal yang bersifat psikologis karena melibatkan perasaan, sikap, motif, dan harapan-harapan yang menyebabkan keadaan kelelahan secara fisik, emosi, dan mental yang disebabkan oleh keterlibatan seseorang dalam pekerjaan pelayanan akibat hubungan yang tidak seimbang antara pemberi dan penerima pelayanan. Menurut Maslach (dalam Farber, 1991) bahwa burnout merupakan suatu pengertian yang multidimensional. Burnout merupakan sindrom psikologi yang terdiri atas tiga dimensi, yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi dan reduced personal accomplishment atau penurunan pencapaian diri individu. a. Emotional exhaustion (kelelahan emosional). Kelelahan emosional merupakan inti dari sindrom burnout. Kelelahan emosional ditandai dengan terkurasnya sumber-sumber emosional, misalnya persaan frustrasi, putus asa, sedih, dan tidak berdaya, tertekan, mudah tersinggung dan mudah marah tanpa alasan yang jelas. b. Depersonalisasi. Merupakan perkembangan dari dimensi kelelahan emosional. Gambaran depersonalisasi adalah adanya sikap negatif, kasar, menjaga jarak, dengan penerima pelayanan, menjauhnya seseorang dari lingkungan sosial, dan cenderung tidak peduli dengan lingkungan serta orang-orang disekitarnya. Sikap lainnya yang muncul adalah kehilangan idealisme, berpendapat negatif dan bersikap sinis. c. Reduced Personal Accomplishment (penurunan hasrat pencapaian diri). Disebabkan perasaan bersalah karena telah memberi pelayanan yang tidak baik, karena sebagai pemberi layanan dituntut untuk selalu memiliki perilaku yang positif. Menurut Caputo (1991) timbulnya burnout disebabkan oleh beberapa faktor yang diantaranya yaitu : a. Karakteristik Individu Sumber dari dalam diri individu merupakan salah satu penyebab timbulnya burnout. Sumber tersebut dapat digolongkan atas dua faktor yaitu : 1) Faktor demografi, mengacu pada perbedaan jenis kelamin antara wanita dan pria. Pria rentan terhadap stres dan burnout jika dibandingkan dengan wanita. Orang 7
berkesimpulan bahwa wanita lebih lentur jika dibandingkan dengan pria, karena dipersiapkan dengan lebih baik atau secara emosional lebih mampu menangani tekanan yang besar (Farber, 1991). Tetapi menurut Maslach (dalam Sutjipto, 2001) menemukan bahwa pria yang burnout cenderung mengalami depersonalisasi sedangkan wanita yang burnout cenderung mengalami kelelahan emosional. 2) Faktor perfeksionis, yaitu individu yang selalu berusaha melakukan pekerjaan sampai sangat sempurna sehingga akan sangat mudah merasakan frustrasi bila kebutuhan untuk tampil sempurna tidak tercapai. Karena, menurut Caputo (1991) individu yang perfeksionis rentan terhadap burnout. b. Lingkungan kerja dapat menentukan kemungkinan munculnya burnout seperti beban kerja yang berlebihan, konflik peran, jumlah individu yang harus dilayani, tanggung jawab yang harus dipikul, pekerjaan rutin dan yang bukan rutin, ambiguitas peran, dukungan sosial dari rekan kerja yang tidak memadai, dukungan sosial dari atasan tidak memadai, control yang rendah terhadap pekerrjaan dan kurangnya stimulasi dalam pekerjaan. c. Keterlibatan emosional dengan penerimaan pelayanan atau pelanggan, bekerja melayani orang lain membutuhkan banyak energi karena harus bersikap sabar dan memahami orang lain dalam keadaan krisis, frustrasi, ketakutan dan kesakitan. Pemberi dan penerima pelayanan turut membentuk dan mengarahkan terjadinya hubungan yang melibatkan emosional, dan secara tidak sengaja dapat menyebabkan stres secara emosional kerena keterlibatan antar mereka dapat memberikan penguatan positif atau kepuasan bagi kedua belah pihak, atau sebaliknya. Proses burnout sendiri merupakan suatu proses transaksional yang meliputi hubungan (transaksi) antara stres pekerjaan, ketegangan (Strain), dan coping (Cherniss, 1980). Proses terjadinya burnout sendiri melalui tiga tahap, yaitu : a.
Tahap Pertama adalah stres. Adanya hubungan yang tidak seimbang antara sumber daya yang dimiliki individu dengan tuntutan dari lingkungan akan menyebabkan ketegangan.
b.
Tahap kedua adalah Strain. Individu biasanya secara tidak sadar memilah ketegangan (strain), dilihat sejauhmana sumber ketegangan tersebut dirasa mengancam. 8
c.
Tahap ketiga adalah coping, terdapat dua jenis coping yaitu coping pemecahan masalah secara aktif dan intrapsikis. Cherniss (1980) berpendapat jika stres dan strain tidak dapat dikurangi melalui coping pemecahan masalah secara aktif individu cenderung akan menggunakan jenis coping intrapsikis. Bentuk coping intrapsikis tersebut antara lain menarik diri, menjauhkan diri, menghindar, menurunnya usaha pencapaian tujuan, dan menyalahkan orang lain (Chernis, 1980).
Cherniss menggambarkan proses diatas dalam sebuah bagan sebagai berikut:
STRES Tuntutan
STRAIN
COPING
Didasarkan pada derajat ancaman jika tuntutan tidak terpenuhi.
Sumber-sumber individu
Pemecahan masalah aktif.
Pertahanan (Burnout).
intrapsikis
Caputo (1991) menjelaskan proses terjadinya burnout juga bisa dijelaskan dengan mengunakan teori GAS ( General Adaptation Syndrome ) dari Selye’s diantaranya : a. Alarm reaction dari system saraf otonom, termasuk peningkatan sekresi adrenalin, detak jantung, tekanan darah dan otot menegang. Tahap bisa diartikan sebagai pertahanan tubuh. b. Resistance (adaptasi yang didalamnya termasuk berbagai macam respon coping secara fisik). c. Exhaustion (kelelahan) akan terjadi kemudian apabila secara intens dan dalam jangka waktu yang cukup lama, dan jika usaha –usaha perlawanan gagal untuk menyelesaikan secara adekuat. Disinilah burnout muncul. Cherniss (1980) membuat daftar simpom dan gejala burnout ini, hal ini digarisbesarkan dari bervariasinya definisi-definisi yang ada, yaitu : a. Keengganan untuk pergi kerja. b. Adanya perasaan gagal. c. Marah dan dendam. d. Perasaan bersalah dan cenderung menyalahkan. 9
e. Kecil hati dan masa bodoh (ignoring). f. Negativisme. g. Mengisolasi dan menarik diri. h. Merasa lelah dan letih setiap hari. i. Sering terpaku pada waktu (frequent clock watching). j. Kelelahan yang sangat setelah bekerja. k. Kehilangan perasaan positif terhadap klien. l. Setelah masa kontak dengan klien berakhir, menolak panggilan dari klien serta untuk datang kekantor. m. Stereotyping client n. Ketidakmampuan berkosentrasi atau mendengarkan apa yang dikatakan klien. o. Perasaan dilumpuhkan. p. Sinis terhadap klien; bersikap menyalahkan. q. Kaku dalam berpikir serta bertahan untuk tidak berubah r. Curiga dan paranoia. s. Menghindari berdiskusi tentang pekerjaan. t. Sering sakit kepala, pilek dan flu (Cherniss dalam Sutjipto, 2008). Maslach (1998) menjelaskan dampak-dampak burnout secara umum berpengaruh pada individu, orang lain dan orang terdekat, penjelasannya adalah : a. Dampak burnout pada individu tampak secara fisik, seperti penurunan kekebalan tubuh individu sehingga rentan terhadap penyakit antara lain demam dan sakit kepala. Sedangkan dampak secara psikis menyebabkan individu menilai dirinya rendah dan bila berlanjut dapat menyebabkan depresi. Mereka juga menarik diri dari kehidupan sosial dan terlibat dalam penyalahgunaan obat-obatan untuk mengatasi masalah. Sedangkan fungsi kognitif mengalami penurunan dalam konsentrasi dan kemampuan pemecahan masalah (Maslach, 1998). b. Dampak burnout pada orang lain disarankan oleh penerima pelayanan dan keluarga. Perubahan sikap memberi pelayanan ternyata berdampak negatif terhadap kondisi penerima pelayanan. Sedangkan terhadap keluarga dampak burnout dapat mempengaruhi hubungan individu dengan keluarga, sehingga konflik perkawinan 10
dengan keluarga meningkat, bahkan pada situasi tertentu dapat menyebabkan perceraian. c. Dampak burnout menurut Cherniss (1980) mempengaruhi efektifitas dan efisiensi orang yang mengalami burnout, misalnya ketidakhadiran individu yang terlampau sering sehingga menghambat penerapan program pelayanan pada akhirnya terjadi pemborosan finansial d. Muldary (1983) mengemukakan bahwa dampak dari burnout antara lain angka kehadiran kerja yang rendah, terjadinya pergantian kerja, sering beristirahat pada jam kerja. Saat pulang ke rumah sering terjadi percekcokan dalam keluarga. Pekerja mengalami insomnia, penyalahgunaan obat-obatan, alkohol dan mudah mengalami psikomatik. Dengan demikian, pekerja yang mengalami burnout menghabiskan waktu serta biaya yang tinggi baik institusi maupun individu itu sendiri. Pengertian Agen Call Center Menurut Andi (2009) agen call center adalah seorang petugas yang bekerja di suatu pusat pelayanan jarak jauh yang dilakukan melalui media komunikasi telepon, dimana pelanggan dapat berkomunikasi secara real-time dengan petugas pelayanan. Lain halnya menurut Call Center Council of Singapore (dalam Djoko, 2003) agen call center adalah orang yang bekerja di pusat informasi yang mempunyai sumber informasi yang akurat, terupdate setiap saat dan dapat informasikan. Jadi agen call center adalah orang yang bekerja di pusat pelayanan yang menghubungkan antara pelanggan dengan perusahaan untuk berkomunikasi secara real-time, baik untuk mendapatkan pelayanan informasi, mendapatkan penyelesaian dari masalah yang dihadapi, menyampaikan keluhan atas masalah produk, menyapaikan saran maupun melakukan pembelian produk atau jasa. Menurut Nugroho (2007) tugas utama agen call center adalah memberikan pelayanan dan membina hubungan baik dengan masyarakat, sehingga harus ditekuni dengan penuh kemampuan, kecekatan dan kesabaran. Seorang agen call center juga harus bertanggung jawab dari awal sampai selesainya suatu pelayanan atau keluhan. Menurut Andi (2009) fungsi agen call center antara lain: a. Peningkatan pelayanan pelanggan. 11
Keberhasilan call center diukur berdasarkan tingkat pelayanan yang diberikan ke pelanggan. b. Membangun Relationshif dan Loyalitas pelanggan. Keberhasilan call center dapar diukur berdasarkan dukungannya dalam membangun Image perusahaan, serta meningkatkan loyalitas pelanggan. c. Meningkatkan pedapatan. Keberhasilan call center juga diukur berdasarkan kontribusi yang diberikan terhadap pendapatan perusahaan, serta penggunaan biaya operasional yang lebih murah. d. Efisiensi biaya operasional. Dengan adanya call center perusahaan bisa menghemat biaya operasional.
D. Metodelogi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bermaksud mendeskripsikan hasil penelitian dan berusaha menemukan gambaran menyeluruh mengenai suatu keadaan. Pendekatan ini dilakukan untuk mengembangkan pemahaman dalam mengerti dan menginterprestasikan apa yang ada dibalik peristiwa, latar belakang pemikiran manusia yang terlibat didalamnya serta bagaimana manusia meletakan makna pada pemikiran yang terjadi tersebut (Sarantakos dalam Poerwandari ,2005). Dalam penelitian kualitatif akan dilakukan penggalian data secara mendalam dan menganalisa secara intensif interaksi faktor-faktor yang terlibat didalamnya. Adapun ciriciri penelitian kualitatif menurut Muluk (dalam Basuki, 2006), adalah sebagai berikut: 1. Penelitian kualitatif merupakan penelitian dengan konteks dan setting apa adanya atau alamiah (naturalistic), bukan melakukan eksperimen yang dikontrol secara ketat atau memanipulasi variable. 2. Penelitian kualitatif bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang masalah-masalah manusia atau sosial dengan menginterpretasikan bagaimana subjek memperoleh makna dari lingkungan dan bagaimana makna tersebut mempengaruhi perilaku mereka, bukan mendeskripsikan bagian permukaan dari suatu realitas seperti yang dilakukan peneliti dengan positifismenya. 12
3. Agar peneliti bisa mendapatkan pemahaman yang mendalam bagaimana subjek memaknai dan bagaimana makna tersebut mempengaruhi perilaku subjek, peneliti perlu melakukan hubungan yang erat dengan subjek yang diteliti. 4. Tidak seperti peneliti kuatitatif, peneliti kualitatif tidak membuat perlakuan (treatment), memanipulasi variabel, dan menyusun definisi operasional variabel. Untuk mencapai tujuan penelitian kualitatif, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data tidak terbatas pada observasi dan wawancara saja, tetapi juga dokumen, riwayat hidup subjek, karya-karya tulis subjek, publikasi teks, dan lain-lain. 5. Tidak seperti penelitian kuantitatif yang bebas nilai, peneliti kualitatif justru menggali nilai yang terkandung dari suatu perilaku. Peneliti kualitatif meyakini bahwa perilaku tidak mungkin bebas dari nilai yang dihayati individu yang diteliti. 6. Peneliti kualitatif bersifat fleksibel, tidak terpaku pada konsep, fokus, teknik pengumpulan data yang direncanakan pada awal penelitian, tetapi dapat berubah di lapangan mengikuti situasi dan perkembangan peneliti. 7. Tidak seperti peneliti kuatitatif dimana untuk mencapai objektivitas dengan melakukan pengukuran (measurement) secara kuatitatif, peneliti kualitatif mendapatkan akurasi data dengan melakukan hubungan yang erat dengan subjek yang diteliti dalam konteks dan setting yang alamiah (naturalistic). Karekteristik subjek dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Agen call center Telkom yang telah bekerja selama satu sampai tiga tahun, hal ini didasarkan atas pengalaman yang telah didapatkan. b. Agen call center yang berusia 21 sampai 28 tahun, hal ini didasarkan atas usia produktif c. Subjek dalam penelitian ini adalah Agen call center berjenis kelamin wanita atau pria Menurut Margono (1992) jumlah subjek tidak memiliki aturan pasti jumlah subjek yang harus diambil dalam penelitian kualitatif. Jumlah subjek tergantung pada apa yang ingin diketahui oleh peneliti, apa yang dianggap paling bermanfaat dalam waktu dan keadaan sumber daya yang tersedia. Dalam penelitian ini subjek adalah dua orang agen call center. Teknik Pengumpulan Data Metode Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan untuk memperolah pengetahuan tentang makna13
makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti didalam upaya melakukan eksplorasi terhadap isi tersebut (Banister dkk, dalam Poerwandari, 2005). Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara terstruktur, dimana pewawancara menggunakan daftar pertanyaan atau daftar isian sebagai penuntun selama proses pewawancara. Hal ini akan memungkinkan peneliti untuk memiliki panduan dalam mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan hal yang diteliti, namun saat yang bersamaan tetap fleksibel, itu semua tergantung pada perkembagan dan situasi dalam wawancara. Metode Observasi Istilah observasi diturunkan dari bahasa latin yang berarti “melihat” dan “memperhatikan”. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara aktual, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan yang terjadi antara aspek dalam fenomena tersebut. Menurut Banister (dalam Poerwandari, 2005) observasi selalu menjadi bagian dalam penelitian psikologis, dapat berlangsung dalam konteks laboratorium (eksperimental) maupun dalam konteks alamiah (natural). Keakuratan Penelitian Keakuratan penelitian dicapai dengan melakukan triangulasi. Patton (dalam Poerwandari, 2001) mengemukakan empat macam triangulasi sebagai teknik untuk mencapai keakuratan yaitu : 1.
Triangulasi Data Triangulasi data menggunakan berbagai sumber data seperti dokumen, arsip, hasil wawancara, hasil observasi, atau juga dengan mewawancarai lebih dari satu subjek yang dianggap memiliki sudut pandang yang berbeda. Peneliti membandingkan data hasil wawancara subjek, selain itu juga membandingkan data hasil wawancara dengan observasi.
2.
Triangulasi Pengamat Triangulasi pengamat merupakan adanya pengamat diluar peneliti yang turut memeriksa hasil pengumpulan data. Dalam penelitian ini, dosen pembimbing bertindak sebagai pengamat yang memberikan masukkan terhadap hasil pengumpulan data.
3.
Triangulasi Teori
14
Triangulasi teori yaitu penggunaan teori yang berlainan untuk memastikan bahwa data yang dikumpulkan sudah memenuhi syarat. Pada penelitian ini, berbagai teori telah dijelaskan pada BAB II untuk digunakan dan menguji terkumpulnya data tersebut. 4.
Triangulasi Metode Triangulasi metode yaitu penggunaan berbagai metode untuk meneliti suatu hal seperti metode wawancara, dan metode observasi dalam penelitian. Peneliti ini menggunakan triangulasi dengan jenis data, pengamat, teori dan metode.
Triangulasi data dilakukan dengan mewawancarai subjek dengan siqnificant others-nya, triangulasi dengan pengamat dilakukan dengan memanfaatkan pengamatan lain dalam peneliti ini adalah dosen pembimbing. Tringulasi teori dilakukan dengan memeriksa derajat keprcayaan dengan satu teori atau lebih teori yaitu dengan menggunakan teori dari berbagai tokoh. Tringulasi metode dilakukan dengan menggunakan metode wawancara yang ditunjang dengan metode observasi pada saat wawancara dilaksanakan. Teknik Analisa Data Adapun proses analisa data yang dilakukan dalam penelitian ini akan dianalisa dengan teknik data kulitatif yang diajukan oleh Marshall dan Rossman (dalam Moleong, 2004), dalam menganalisa penelitian kualitatif terdapat beberapa tahapan yang perlu dilakukan. Tahap-tahap tersebut adalah : 1.
Mengorganisasikan Data Peneliti mendapatkan data langsung dari subjek melalui wawancara mendalam, yaitu dengan memperhatikan pola-pola atau tema-tema tertentu yang muncul secara konsisten pada saat wawancara yang dimana data direkam dengan tape recorder dan dibantu dengan alat tulis. Kemudian dibuatkan transkipnya dengan mengubah hasil wawancara dari berbentuk tertulis secara verbatim setelah selesai menemui subjek. Data dibaca berulang-ulang agar penulis mengerti benar data atau hasil yang telah didapat.
2.
Pengelompokan berdasarkan Kategori, Tema, dan Pola Jawaban Dalam tahap ini dibutuhkan pengertian yang mendalam terhadap data. Perhatian yang penuh dan keterbukaan terhadap hal-hal yang muncul diluar apa yang ingin digali. Berdasarkan kerangka awal analisis sebagai acuan dan pedoman dalam melakukan
15
coding. Dengan pedoman ini, peneliti kemudian kembali membaca transkip wawancara dan melakukan coding. Dalam penelitian ini, analisis dilakukan pertama-tama terhadap masing-masing kasus, peneliti menganalisis hasil wawancara berdasarkan pemahaman terhadap hal-hal yang diungkapkan oleh respoden. Data yang telah dikelompokkan tersebut oleh peneliti dicoba untuk dipahami secara utuh dan ditemukan tema-tema penting serta kata kuncinya, sehingga peneliti dapat mengungkapkan pengalaman. Permasalahan an dinamika yang terjadi pada subjek. 3.
Menguji Asumsi atau Permasalahan yang ada Terhadap Data Setelah kategori dan pola tergambar dengan jelas, peneliti menguji data tersebut terhadap asumsi yang dikembangkan dalam penelitian ini. Pada tahap ini ketegori yang telah didapat melalui analisis ditinjau kembali berdasarkan landasan teori yang telag dijabarkan dalam BAB II, sehingga dapat dicocokan apakah ada kesamaan landasan teori dengan asumsi-asumsi mengenai hubungan antara konsep-konsep dan faktor-faktor yang ada.
4.
Mencari Alternatif Penjelasan Bagi Data Setelah kaitan antara kategori dan pola data dengan asumsi terwujud, penulis masuk ke tahap penjelasan. Berdasarkan pada kesimpulan yang telah ada didapat dari kaitan tersebut, penulis perlu mencari suatu alternatif penjelasan lain tentang kesimpulan yang telah didapat, sebab dalam penelitian kualitatif memang selalu ada alternatif penjelasan lain. Dari analisis, ada kemungkinan terdapat hal-hal yang menyimpang dari asumsi yang tidak terpikirkan sebelumnya. Dalam ini akan dijelaskan dengan alternatif lain melalui refleksi atau teori-teori lain. Alternatif ini akan sangat berguna pada bagian kesimpulan, diskusi, dan saran.
5.
Menulis Hasil Penelitian
Penulisan analisa data subjek telah berhasil dikumpulkan , merupakan suatu hal yang membantu penulis untuk memeriksa kembali apakah kesimpulan yang dibuat telah selesai. Dalam penelitian ini, penulisan data-data hasil penelitian berdasarkan wawancara mendalam dan observasi dengan tiap-tiap subjek. Proses dimulai dari data-data yang telah diperoleh dari tiap membaca berulang kali sampai penulis mengerti benar permasalahannya lalu dianalisa secara perorangan, sehingga 16
didapatkan gambaran mengenai penghayatan pengalaman masing-masing subjek. Selanjutnya dilakukan interpretasi secara keseluruhan kesimpulan dari hasil penelitian ini.
E. Hasil
1. Gambaran burnout pada agen call center Dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan maka dapat terlihat gambaran burnout
pada kedua subjek. Menurut maslach (dalam Farber, 1991) bahwa burnout
merupakan suatu pengertian yang multidimensional. Burnout merupakan sindrom psikologi yang terdiri dari, kelelahan emosional, depersonalisasi dan low personal accomplishment (menurunya hasrat berprestasi pada individu). Pada subjek ke-1 burnout dapat terlihat pada kecenderung melakuan perilaku-perilaku negatif ketika melakukan pelayanan kepada pelanggan seperti terlihat badmood terhadap pelanggan, menggunakan nada tinggi ketika melayani pelanggan, tidak terlalu banyak bertanya tentang keluhan pelanggan dan memberikan solusinya. Sedangkan pada subjek ke-2 dapat dilihat melalui aspek penurunan hasrat pencapaian diri seperti subjek sering terlambat masuk kerja, males melayani pelanggan. Serta aspek depersonalisasi yaitu subjek cuek terhadap keluhan pelanggan, dan melakukan kesewenang-wenangan. Berdasarkan wawancara dapat disimpulkan bahwa kedua subjek mengalami kelelahan dan stres yang tinggi secara fisik dan psikis atau emosional, dan kelelahan emosional dan stres terjadi saat kedua subjek melakukan pekerjaan hal ini merupakan beberapa bentuk dari kelelahan emosional. Kedua subjek juga melakukan bentuk-bentuk perilaku depersonalisasi antara lain melakukan kesewenang-wenang terhadap pelanggan tetapi walaupun kedua subjek tidak mengakui sedangkan menurut SO 1 dan SO 2, kedua subjek pernah melakukan kesewenang-wenangan. Kedua subjek juga mulai berkurang dalam hal hasrat atau berkeinginan pencapaian prestasi diri, karena menurut kedua subjek tidak perlu adanya pencapaian prestasi hanya membuat kedua subjek menjadi tertekan dan pusing. Menurut maslach (dalam Farber, 1991) bahwa burnout merupakan suatu pengertian yang multidimensional. Burnout merupakan sindrom psikologi yang terdiri dari, kelelahan 17
emosional, depersonalisasi dan low personal accomplishment (menurunya hasrat berprestasi pada individu). Kelelahan emosional merupakan ketidakseimbangan antara tuntutan dan sumber daya dalam keterlibatan dengan klien yang dihadapi serta setting pekerjaan yang dapat menimbulkan perasaan negatif pada subjek. Akumulasi perasaan dan pengalaman emosional negatif menjadi suatu kelelahan emosional. Kelelahan emosioanal ini dapat berbentuk perasaan terjuras dan lelah secara emosional seperti marah yang berlebihan, merasa kurang dihargai, perasaan kesal dan jengkel, tidak berkonsentri pada hal yang dikerjakan, sedih, helplees, serta sering muncul perasaan jenuh. Lain halnya menurut Cherniss (1980) mendefinisikan burnout sebagai tindakan penarikan diri secara psikologis sebagai respon terhadap stres yang berlebihan atau ketidakpuasan dalam pekerjaan. 2. Faktor-faktor penyebab terjadinya burnout pada agen call center Berdasarkan hasil wawancara dan observasi dapat disimpulkan bahwa kedua subjek pada segi karakteristik individu yang bekerja sebagai agen call center dapat dilihat subjek ke-2 lebih rentan terhadap burnout karena subjek seorang laki-laki, dibandingkan subjek ke-1 yang berjenis kelamin perumpuan, menurut Caputo (1991) pria lebih retan terhadap stres dan burnout jika dibandingkan dengan wanita, serta individu yang perfeksionis mudah sekali mengalami burnout. Sumber burnout pada kedua subjek yang sebagai agen call center datang dari pelanggan yang dilayani dan keragaman karakter atau tipe pelanggan yang subjek layani menjadi beban bagi kedua subjek. Kedua subjek memiliki pendidikan yang membantu dalam pekerjaanya memiliki sifat emosional. Beban kerja kedua subjek berasal dari manajemen perusahaan dan Banyak pelanggan menyebabkan pelayanan subjek terhadap pelanggan menjadi lama dan kurang maksimal hal ini menjadi beban tersendiri bagi kedua subjek dan hal ini menjadi faktor penyebab burnout. Pengamatan dari hasil wawancara, terdapat faktor-faktor internal pada subjek ke-1 sebagai sumber burnout, subjek memiliki locus of control yang rendah artinya subjek dikuasai kecemasan dan ketakutan dari luar dirinya pada akhirnya subjek memandang dirinya harus mengikuti hal-hal dari luar tadi. Hasil observasi subjek ke-2 juga menjelaskan jumlah pelanggan yang dilayani setiap harinya oleh subjek ke-2 juga menjadi salah satu penyebab burnout bagi diri subjek, dari hasil wawancara juga menggambarkan terjadi ketidaksanggupan subjek dalam melayani pelanggan. Sedangkan dari hasil 18
wawancara, terdapat faktor-faktor internal pada subjek sebagai sumber burnout, yaitu kurangnya rasa percaya diri, dan tidak optimis. Menurut Caputo (1991); Farber (1991) terdapat beberapa hal yang dapat menjadi faktor penyebab burnout pada individu, dapat dilihat dari segi karakteristik individu, lingkungan kerja, dan keterlibatan emosional dengan penerima pelayanan. Semua hal tersebut dapat menentukan berkembangnya burnout. 3. Proses terjadinya burnout pada agen call center Proses burnout menurut Cherniss (1980) merupakan suatu proses transaksional yang meliputi hubungan (transaksi) antara stres pekerjaan, ketegangan (strain), dan coping.Terdapat dua jenis coping yaitu pemecahan masalah secara aktif dan intrapsikis. Jika stres dan strain tidak dapat dikurangi melalui coping intrapsikis. Menarik diri , menjauhkan diri, menghindar, menurunnya usaha pencapaian tujuan adalah beberapa bentuk coping intrapsikis. Proses burnout yang terjadi pada subjek ke-1 dimulai ketika subjek merasa sumber daya yang dimiliki terkuras akibat tidak seimbang dengan tuntutan dari luar kepadanya, pelayanan yang maksimal harus subjek ke-1 lakukan sebagai seorang agen call center akan tetapi kuantitas pelanggan yang dilayani membuat subjek ke-1 harus mengeluarkan sumber daya subjek ke-1 dengan lebih secara terus-menerus, hal ini dirasa subjek ke-1 menjadi hal yang tidak menyenakan dan membuat tertekan. Jika subjek ke-1 tertekan maka subjek akan mencari pemecahan permasalahan yang subjek hadapi, akan tetapi pemecahan masalahan tersebut cendrung negatif yaitu membolos kerja, menceritakan kepada orang lain, dan melakukan kesewenang-wenangan dalam melakukan pelayanan terhadap pelanggan. Dari hasil wawancara diketahui juga bahwa subjek ke-1 merasa tertekan atas keluhan-keluhan dari pelanggan, disinilah subjek ke-1 melakukan penarikan diri secara psikologi kemudian munculah burnout pada subjek ke-1. Lain halnya dengan subjek ke-2 proses burnout yang terjadi pada subjek ke-2 dimulai ketika subjek merasa sumber daya yang dimiliki terkuras akibat memberikan pelayanan kepada pelanggan hal ini membuat subjek ke-2 merasa tertekan. Ketika subjek ke-2 merasa tertekan (tegang) subjek ke-2 mencoba mencari permasalahan masalah yang dihadapi tadi, dan subjek ke-2 memecahkan masalah dengan hal yang positif yaitu dengan 19
berdiskusi atau bertanya, tetapi walaupun begitu subjek ke-2 juga pernah melakukan kesewenang-wenangan dalam melakukan pelayanan terhadap pelanggan. Subjek ke-2 juga pernah melakukan perilaku –perilaku negatif lainnya seperti sering terlambat masuk kerja. Menurut Capito (1989)menyebutkan proses terjadinya burnout juga bisa dijelaskan mengunakan teori GAS (General Adaption Syndrome) dari Selye’s yaitu alarm reaction dari system syaraf otonom, termasuk peningkatan sekresi adrenalin, detak jantung, tekanan darah dan otot menegang. Tahap ini diartikan sebagai pertahanan tubuh. Selanjutnya adalah resistance atau adaptasi yang didalamnya termasuk berbagai macam respon coping secara fisik. Dan yang terakhir adalah exhaustion (kelelahan) akan terjadi apabila secara intens dan dalam jangka waktu yang cukup lama, dan jika usaha-usaha perlawanan gagal untuk menyelesaikan secara adekuat. Disinlah burnout muncul. Pada subjek ke-1 dan subjek ke-2 terjadi alarm reaction yaitu terjadi pusing atau sakit kepala, stres dan kelelahan secara emosional yang dirasakan saat bekerja, dan hal ini tidak terjadi hanya sekali waktu saja. Rasa tidak nyaman ini mengindikasikan adanya tekanan atau tuntutan dari pekerjaan dan tugas subjek lakukan, dikarenakan seorang agen call center juga memiliki keterbatasan sumber daya maka timbulah stres. Secara tidak sadar agen call center memilah stres berdasarkan sejauhmana stres mengacam dirinya, hal ini dinamakan dengan strain.Tentunya sebagai agen call center jika mendapatkan suatu masalah atau mengalami stres maka agen call center akan mencari penyelesaian masalah (coping) terhadap stres yang mengacam tersebut. Penyelesaian masalah yang digunakan yaitu penyelesaian secara aktif (coping aktif) terhadap stres atau keluhan yang dirasakan mengacamnya, akan tetapi stres atau keluhan itu bertahan lama serta terjadi terus-menerus, dan usaha-usaha yang dilakukan oleh kedua subjek tidak ada satu pun yang dapat menyelesaikan maka kedua subjek mengalami exhaustion atau kelelahan, yang akhirnya kedua subjek melakukan pemecahan masalahnya secara intrapsikis. Disinilah burnout pada kedua subjek muncul menjadi bagian pemecahan masalah intrapsikis yang negatif.
F. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian pada kedua subjek dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 20
1. Burnout yang terjadi pada kedua subjek yang sebagai agen call center meliputi tiga dimensi yaitu: kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan hasrat pencapaian prestasi diri. Kelelehan emosional, capek, dan lelah yang dirasa secara mental, merupakan beberapa bentuk dari kelelahan emosional. Kedua subjek yang sebagai agen call center juga melakukan bentuk-bentuk depersonalisasi antara lain ignoring terhadap pelanggan yang dilayani, marah-marah, dan berkomunikasi dengan nada yang tinggi. Kedua subjek juga melakukan kesewenang-wenang dalam melakukan pemeriksaan kepada pelanggannya. Kedua subjek juga tidak memiliki berkurangnya hasrat pencapaian diri dalam prestasi kerja. Dari hasil observasi terhadap kedua subjek sebagai agen call center dapat terlihat gambaran burnout adalah subjek ke-1 cenderung melakuan perilaku-perilaku negatif ketika melakukan pelayanan kepada pelanggan seperti terlihat badmood terhadap pelanggan, menggunakan nada tinggi ketika melayani pelanggan, tidak terlalu banyak bertanya tentang keluhan pelanggan dan memberikan solusinya. Sedangkan subjek ke-2 pada aspek penurunan hasrat pencapaian diri seperti subjek sering terlambat masuk kerja, males melayani pelanggan. 2. Faktor-faktor penyebab burnout pada kedua subjek yang sebagai agen call center antara lain yang berkaitan dengan karakteristik individu, lingkungan kerja, keterlibatan emosional dengan penerima pelayanan (pelanggan). Aspek-aspek yang berkaitan dengan karakteristik yaitu kedua subjek yang bekerja sebagai agen call center dapat dilihat bahwa subjek ke-2 lebih rentan terhadap burnout karena subjek seorang lakilaki, dibandingkan subjek ke-1 yang berjenis kelamin perumpuan, menurut Caputo (1991) pria lebih retan terhadap stres dan burnout jika dibandingkan dengan wanita, serta individu yang perfeksionis mudah sekali mengalami burnout. Sumber burnout pada subjek ke-1 dan subjek ke-2 yang sebagai agen call center datang dari pelanggan yang dilayani dan keragaman karakter atau tipe pelanggan yang subjek layani menjadi beban bagi kedua subjek. Beban kerja kedua subjek berasal dari manajemen perusahaan dan Banyak pelanggan menyebabkan pelayanan subjek terhadap pelanggan menjadi lama dan kurang maksimal hal ini menjadi beban tersendiri bagi kedua subjek dan hal ini menjadi faktor penyebab burnout. Sedangkan hasil dari Pengamatan wawancara, terdapat faktor-faktor internal pada subjek ke-1 sebagai sumber burnout, subjek ke-1 memiliki locus of
control yang rendah artinya subjek dikuasai kecemasan dan 21
ketakutan dari luar dirinya pada akhirnya subjek memandang dirinya harus mengikuti hal-hal dari luar tadi. Hasil observasi subjek ke-2 juga menjelaskan jumlah pelanggan yang dilayani setiap harinya oleh subjek ke-2 juga menjadi salah satu penyebab burnout bagi diri subjek, dari hasil wawancara juga menggambarkan terjadi ketidaksanggupan subjek dalam melayani pelanggan. Sedangkan dari hasil wawancara, terdapat faktorfaktor internal pada subjek ke-1 sebagai sumber burnout, yaitu kurangnya rasa percaya diri, dan tidak optimis 3. Proses terjadinya burnout pada agen call center secara garis besar ada tiga tahap yaitu tahap pertama adalah munculnya stress, terjadinya strain atau tegangan karena stres dirasa mengacam, kemudian coping atau mencari penyelesaian masalah, secara aktif atau intra psikis. Stres pada kedua subjek terjadi karena kedua subjek merasa sumber daya yang dimiliki terkuras akibat memberikan pelayanan kepada pelanggan serta pelayanan yang diberikan harus maksimal akan tetapi kuantitas pelanggan yang dilayani tidak seimbang membuat kedua subjek harus mengeluarkan sumber daya dengan lebih secara terus-menerus sehingga terjadi alarm reaction yaitu terjadi pusing atau sakit kepala, stres dan kelelahan secara emosional yang dirasakan saat bekerja, dan hal ini tidak terjadi hanya sekali waktu saja. Rasa tidak nyaman ini mengidikasikan adanya tekanan dari pekerjaan dan tugas subjek lakukan. Sebagai agen call center kedua subjek dapat menyelesaikan pemasalahan sendiri terhadap keluhan yang dirasakan (coping aktif), akan tetapi keluhan itu bertahan lama serta terjadi terusmenerus, dan usaha-usaha yang dilakukan oleh kedua subjek tidak ada satu pun yang dapat menyelesaikan maka kedua subjek mengalami exhaustion atau kelelahan, yang akhirnya kedua subjek melakuakn pemecahan masalahnya secara intrapsikis. Disinilah burnout pada kedua subjek muncul menjadi bagian pemecahan masalah intrapsikis yang negatif.
G. DAFTAR PUSTAKA Andi. (2009). Sukses mengelolah call center manajemen kinerja. Jakarta : Telexindo Bizmedia. 22
Basuki, A. M. H. (2006). Penelitian kualitatif untuk ilmu-ilmu kemanusiaan dan budaya. Jakarta:Gunadarma. Caputo, J. S. (1991). Stress and burnout in library service.Canada : the Oryx Press Cherniss, C. (1980). Staf burnout : Job stress in human services. Baverly Hills ; Sage Publication. Cooper. (1991). Personality and stress :Individual differentcess in the stress process.New York : McGrew Hill. Djoko, (2003). Membangun mobile government melalui layanan sms gateway. Jakarta : Gramedia. Farber, B. A. (1991). Crisis in education ; Stress management (7th.ed). New York : America. Johan dan Hasiana. (2005). Kepuasan konsumen dengan loyalitas merek pada pengguna layanan telepon seluler pra-bayar simpati. Jurnal Telekomunikasi Indonesia ,25 (7): 95-98. Margono, S. (1992). Metodologi penelitian pendidikan. Jakarta ; Rineka Cipta. Margono, S. (2003). Metodologi penelitian pendidikan. Jakarta ; Rineka Cipta. Maslach, C. (1993). Burnout : A multidimensional perspective. Washington DC; Taylor & Francis. Maslach, C. (1998). Burnout : A multidimensional theory of burnout : In theories of organizational stress.(Editor : C. L. Cooper). Oxford : University Press. Moleong, L. J. (2004). Metodelogi penelitian kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Muldary, T. W. (1983). Burnout and health professional : Manifestations and management. California : Capistrano Publication. Oktarina. (2006). Sukses melalui call center. Palembang. Maxikom. Poerwandari, E. K. Pengantar, Hasan F. (2001). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta; Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Universitas Indonesia. Poerwandari, E. K. (2005). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta; Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Universitas Indonesia.
23
Sarafino, E. P. (1990) Heltyh psychology biopsychology interaction. New York : John Wiley & Son. Sutjipto, (2001). Burnout, studi mengungkap psikologi dunia kerja. Semarang; GI gema Insani offset. Sutjipto. (2008). Apakah anda mengalami burnout www/depdiknas.go.id / jurnal/ 32/ apakah_anda_mengalami_burnout. Htm . Diakses Rabu, 31 Desember 2008.
24