Orang-orang Terlupakan Dalam Proklamasi:
Burhanuddin Muhammad Diah By ISK on 15 August, 2010 Iwan Satyanegara Kamah – Jakarta BURHANUDDIN MUHAMMAD DIAH Tempat sampah proklamasi NAMA Burhanuddin Muhammad Diah memang antara dilupakan dan tidak dilupakan dalam soal proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Istilah orang sekarang, “lupa-lupa ingat” atau “inget-inget lupa”. Namanya yang sering disingkat dengan BM Diah, memang tercampur dengan kebesaran nama-nama seperti Wikana, Chaerul Saleh, Sajuti Melik, Sukarni atau Achmad Soebardjo dan segelintir patriot sejati, yang banyak berjasa atas berlangsungnya proklamasi 17 Agustus 1945. BM Diah terukir unik dalam sejarah kelahiran negeri ini. Namanya, ya seperti saya sebut tadi, “lupa-lupa inget” dan “inget-inget lupa”. Bandingkan ketiga nama lainnya serta segelintir pemuda militan yang kebelet memaksa-maksa Soekarno dan Hatta untuk segera memerdekaan Indonesia, tanpa embel-embel bantuan Jepang. Nah, BM Diah ada didalamnya, di dalam segelintir pemuda yang kelewat nasionalis untuk segera merdeka. Mengapa nama Diah saya masukkan sebagai orang yang terlupakan dalam proklamasi? Mengapa tidak Chaerul Saleh? Mengapa tidak Wikana? Sajuti Melik? Atau Sukarni? Nama-nama mereka ternyata sulit dilupakan orang dan ditambah lagi mereka berkiprah dibidang yang kemudian tidak mudah dilupakan. Dan yang terpenting, ada suatu jasa BM Diah yang tergolong unik dalam proklamasi yang tidak bisa disamakan oleh siapapun, seriring kita melupakan jasa serta namanya, juga nama-nama lainnya. Pada hari-hari jelang Rabu siang 15 Agustus hingga Jumat pagi 17 Agustus 1945, adalah hari-hari paling kritis, genting dan juga menjadi “the longest day” dalam sejarah Indonesia. Saat-saat itu, detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam serta hari demi hari, berlangsung begitu cepat, mendebarkan serta genting. Tak diperlukan diskusi dan serta argumentasi bertele-tele. Mirip dengan menanti saat-saat kelahiran seorang bayi dari rahim. Semua serba cepat dan tergesa-gesa, mengambil celah untuk sebuah keinginan yang sudah terpendam lama: INDONESIA MERDEKA. Selekasnya! Tanpa ada embel-embel bantuan bangsa asing.
1
Diah memang “agak sial” nasibnya karena dia tidak menghadiri upacara maha penting pembacaan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 di rumah Soekarno. Padahal dia berada di dalam kejadian penting itu. Diah terkecoh pergi ke Lapangan Koningsplein atau Lapangan Monas sekarang untuk menyaksikan pembacaan proklamasi, yang ternyata berpindah tempat secara mendadak.
Beberapa jam sebelumnya, di saat jelang sahur, banyak pemuda dan golongan nasional terkemuka, berkumpul di rumah Laksmana Tadashi Maeda, seorang pejabat tinggi pendudukan Jepang di Indonesia. Rumahnya dijadikan tempat rapat penting untuk membicarakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Kejadian itu berlangsung antara pukul 2 hingga 4 dini hari Jumat 17 Agustus 1945. Dalam rapat itu hadir BM Diah yang usianya baru 29 tahun (lahir di Banda Aceh tahun 7 April 1917) dan segelintir patriot yang mewakili banyak golongan. Rencananya, rapat itu akan digelar di sebuah hotel, yaitu Hotel Des Indes (kini menjadi pertokoan Duta Merlin), namun ditolak oleh pihak hotel.
2
Di rumah Maeda di Jalan Imam Bonjol no. 1 itulah naskah proklamasi terpendek di dunia dirancang, ditulis, diedit, dicoret, dibetulkan lagi, ditulis lagi, lalu di ketik. Rancangan proklamasi hasil tulisan tangan Soekarno itu terlihat sangat tergesa-gesa dan memang penuh corat-coret untuk menampung banyak keinginan isi kepala orang yang hadir, yang sarat dengan kepentingan dan ide.
3
Setelah selesai dirancang dan ditulis tangan oleh Soekarno, naskah itu diketik oleh Sajuti Melik agar terlihat lebih bagus, rapih dan teratur dan lebih mudah dibacakan kelak saat proklamasi kemerdekaan diumumkan pagi hari setelah matahari terbit, tanggal 17 Agustus 1945. Setelah diketik, naskah asli proklamasi kemerdekaan diremes-remes dan dibuang ke keranjang sampah. Toh, buat apa disimpan? Sudah ada yang lebih bagus hasil ketikan Sajuti Melik?
4
Oh..oh… ternyata tidak seperti itu bagi Diah yang hadir saat naskah asli itu diketik ulang. Dia dengan entengnya memungut kembali naskah asli itu dari keranjang sampah dan mengantonginya. Mungkin jiwa dan darah kewartawanannya yang mengalir dalam tubuhnya itu, membuat dia memungut kembali sampah berupa naskah asli proklamasi kemerdekaan yang sudah dibuang. Sepanjang hidupnya Diah memang menjalani karir sebagai seorang wartawan dengan mendirikan harian Merdeka pada 1 Oktober 1945. Tindakannya yang memungut dan menyimpan naskah asli proklamasi itu, membuat kita dan generasi mendatang bisa menikmati dan melihat naskah tersebut. Naskah tulisan tangan Soekarno itu bisa bercerita banyak tentang situasi yang terjadi saat itu, karena tulisan tangan bisa menyampaikan suasana hati (dalam ilmu grafologi, ilmu membaca tulisan tangan), serta dapat merasakan keadaan emosional saat menulisnya dan karakter penulisnya dibanding tulisan mekanik mesin tik. 5
Sebagai sesama wartawan, ayah saya kenal baik dengan BM Diah dan di masa-masa terakhir hidupnya, ayah saya sempat menjadi penulis di harian miliknya. Pada akhir 1988 saya pernah bertemu Pak BM Diah ketika ketika masih kuliah tahun pertama, saat mengantarkan ibu saya melayat wafatnya ibunda dari wartawan Tom Anwar yang juga pendiri harian terkemuka “Bintang Timur” Petukangan, Jakarta Selatan. Ketika itu BM Diah sempat mencuat namanya saat dia mewawancarai Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev di Kremlin, Moskow pada Juli 1987, karena jawaban-jawaban Gorbachev atas pertanyaan Diah dijadikan berita utama dunia tentang masalah perlombaan dan persenjataan nuklir dengan AS. BM Diah yang pernah menjadi duta besar untuk Cekoslowakia, Inggris dan Thailand pada masa Soekarno, juga menjabat menteri penerangan di awal pemerintahan Soeharto. Meski demikian dia tetap menyebutnya sebagai seorang wartawan. Tetap sebagai profesi aslinya. Dari Diah-lah, untuk pertama kalinya bangsa Indonesia membaca berita proklamasi kemerdekaan Indonesia di surat kabar, yaitu harian Merdeka miliknya edisi Rabu 20 Februari 1946. Padahal proklamasi itu sudah berlansung 7 bulan yang lalu! Tidak hanya itu, sebagai wartawan sejati, dia selalu menghargai nara sumber. Secarik kertas yang telah diuwel-uwel dan dibuang, yaitu naskah asli proklamasi kemerdekaan Indonesia, dia simpan selama 46 tahun lebih dan akhirnya dia kembalikan ke pemiliknya, Republik Indonesia.
6
Pada Selasa pagi 19 Mei 1992 pukul 10.30, BM Diah bertemu Presiden Soeharto di Bina Graha. Dia membawa naskah asli proklamasi kemerdekaan RI yang dia pungut dari keranjang sampah di rumah Laksamana Maeda, beberapa saat setelah naskah tersebut disalin dan diketik. Dia menyimpannya secara pribadi kertas sangat bersejarah itu selama 46 tahun 9 bulan 19 hari! Diah mengembalikan naskah itu yang kemudian disimpan oleh Arsip Nasional atas anjuran Soeharto. Penyerahan naskah asli proklamasi itu, terjadi hanya 5 tahun sebelum dia wafat pada Juni 1997.
7
Perbuatannya yang mengambil kembali “sampah paling penting dalam sejarah Indonesia” itu, hanya untuk memperlihatkan kepada kita, bahwa negara yang lahir 17 Agustus 1945 ini, memang tidak pantas jadi negara sampah. (*) SUMBER: 1. “Burhanuddin Muhammad Diah: Rajawali Pemberani Selalu Mengambil Sikap”, Julius Pour, Kompas 11 Juni 1997. 2. Jagat Wartawan Indonesia, Soebagijo I.N, PT Gunung Agung, Jakarta, 1981
Read more:http://baltyra.com/2010/08/15/serial-baltyra-orang-orang-terlupakan-dalam-pr oklamasi-burhanuddin-muhammad-diah/#ixzz3fjXCYrZ9
8