BUPATI KEPULAUAN SIAU TAGULANDANG BIARO PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SIAU TAGULANDANG BIARO NOMOR TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KEPULAUAN SIAU TAGULANDANG BIARO TAHUN 2014-2034 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN SIAU TAGULANDANG BIARO, Menimbang :
a.
b.
c.
d.
bahwa untuk mengarahkan pembangunan di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro dengan memanfaatkan ruang wilayah secara berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu disusun rencana tata ruang wilayah; bahwa dalam rangka mewujudkan keterpaduan pembangunan antar sektor, daerah dan masyarakat, maka Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro merupakan ketentuan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi pembangunan yang akan dilaksanakan pemerintah, masyarakat dan/atau dunia usaha; bahwa dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, perlu penjabaran ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro; bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b dan huruf c di atas, perlu ditetapkan dengan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro Tahun 2013–2034.
Mengingat :
1. 2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421); Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro di Provinsi Sulawesi Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4691); Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739) sebagaimana telah diubah dengan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5490); Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5214); Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5233); Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5432);
10. Peraturan Pemerintah Nomor
26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103); 12. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5160); 13. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2013 tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5393); 14. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008 tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Daerah; 15. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SIAU TAGULANDANG BIARO dan BUPATI KEPULAUAN SIAU TAGULANDANG BIARO MEMUTUSKAN : Menetapkan :
PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KEPULAUAN SIAU TAGULANDANG BIARO 2014 - 2034 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro.
2. 3. 4.
5.
6. 7. 8.
9.
10. 11. 12.
13.
14. 15. 16.
17.
Kepala Daerah adalah Bupati Kepulauan Siau Tagulandang Biaro yang dibantu oleh seorang Wakil Bupati. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya. Tata Ruang adalah wujud, struktur ruang dan pola ruang. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. Struktur Ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hirarkis memiliki hubungan fungsional. Pola Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penyelenggaraan Penataan adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang. Pelaksanaan Penataan Ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Pengendalian Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Sistem Perwilayahan adalah pembagian wilayah dalam kesatuan sistem pelayanan, yang masing-masing memiliki kekhasan fungsi pengembangan. Sempadan Pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai. Sepadan Sungai adalah kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk
sungai buatan, yang mempunyai manfaat penting untuk memanfaatkan kelestarian penting fungsi sungai/sungai buatan. 18. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.
19. Kawasan adalah wilayah yang mempunyai fungsi utama lindung atau budidaya. 20. Kawasan Lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam, sumber daya buatan. 21. Kawasan Budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan. 22. Desa selanjutnya disebut Kampung adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 23. Kawasan Perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkampungan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. 24. Kawasan Perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan, jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. 25. Kawasan Strategis Kabupaten adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten terhadap ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan. 26. Kawasan Pertahanan Negara adalah wilayah yang ditetapkan secara nasional yang digunakan untuk pertahanan. 27. Kawasan Peruntukan Pertambangan adalah wilayah yang memiliki potensi sumber daya bahan tambang yang berwujud padat, cair, atau gas berdasarkan peta/data geologi dan merupakan tempat dilakukannya sebagian atau seluruh tahapan kegiatan pertambangan yang meliputi penelitian, penyelidikan umum, eksplorasi, operasi produksi/eksploitasi dan pasca tambang, baik di wilayah daratan maupun perairan, serta tidak dibatasi oleh penggunaan lahan baik kawasan budidaya maupun kawasan lindung. 28. Kawasan Sekitar Danau adalah kawasan tertentu di sekeliling danau yang mempunyai manfaat penting untuk memanfaatkan kelestarian fungsi danau. 29. Kawasan Sekitar Mata Air adalah kawasan di sekeliling mata air yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi mata air. 30. Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
31. Pusat Kegiatan Strategis Nasional yang selanjutnya disebut PKSN adalah kawasan perkotaan yang ditetapkan untuk mendorong pengembangan kawasan perbatasan negara. 32. Pusat Kegiatan Wilayah yang selanjutnya disebut PKW adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala Provinsi atau beberapa Kabupaten/Kota. 33. Pusat Kegiatan Wilayah Promosi yang selanjutnya disebut PKWP adalah kawasan perkotaan yang dipromosikan untuk menjadi PKW. 34. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut PKL adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan. 35. Pusat Kegiatan Lokal Promosi yang selanjutnya disebut PKLP adalah kawasan perkotaan yang dipromosikan untuk menjadi PKL. 36. Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disebut PPK adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau beberapa kecamatan. 37. Pusat Pelayanan Lingkungan yang selanjutnya disebut PPL adalah pusat pemukiman yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala antar kampung. 38. Masyarakat adalah orang, perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, korporasi dan/atau pemangku kepentingan non pemerintah lain dalam penyelenggaraan penataan ruang. 39. Peran masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. 40. Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah yang selanjutnya disebut BKPRD adalah badan bersifat ad-hoc yang dibentuk untuk mendukung pelaksanaan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro dan mempunyai fungsi membantu tugas Bupati dalam koordinasi penataan ruang di daerah.
BAB II SUBSTANSI MUATAN TEKNIS RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN Substansi Muatan Teknis Pasal 2 Materi substansi muatan teknis Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro bersifat menyeluruh, dan terdiri atas : a. tujuan, Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, yang terdiri atas : 1. tujuan penataan ruang wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro; 2. kebijakan penataan ruang wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro; 3. strategi penataan ruang wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro.
b. rencana struktur ruang wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, yang memuat : 1. rencana pengembangan pusat-pusat kegiatan; 2. rencana pengembangan sistem jaringan transportasi; 3. rencana pengembangan sistem jaringan energi; 4. rencana pengembangan sistem jaringan telekomunikasi; 5. rencana pengembangan sistem jaringan sumberdaya air. c. rencana Pola ruang wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, yang terdiri atas : 1. rencana kawasan lindung; dan 2. rencana kawasan budidaya. d. penetapan kawasan strategis, yang terdiri atas : 1. kawasan strategis nasional; 2. kawasan strategis provinsi; dan 3. kawasan strategis Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro. e. ketentuan Pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro; f. ketentuan Pengendalian Pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, yang terdiri atas : 1. indikasi ketentuan peraturan zonasi; 2. ketentuan perizinan; 3. ketentuan Insentif dan disinsentif; dan 4. ketentuan sanksi.
BAB III TUJUAN DAN RUANG LINGKUP KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH KABUPATEN Bagian Kesatu Tujuan dan Ruang Lingkup Pasal 3 (1) Penataan Ruang Kabupaten bertujuan mewujudkan masyarakat yang sejahtera, mandiri dan berkepribadian melalui pemanfaatan fungsi ruang berbasis bahari, pertanian, pariwisata dan mitigasi bencana yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan; (2) Ruang Lingkup Penataan Ruang Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro meliputi seluruh wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro Provinsi Sulawesi Utara yang secara administratif memiliki luas wilayah 275,95 km2, yang terdiri dari 47 pulau dimana sebanyak 12 pulau sudah berpenghuni dan 35 pulau belum berpenghuni. Terdapat 5 Buah Gunung, salah satunya Gunung karangetang yang di kenal sebagai gunung berapi yang statusnya masih sangat aktif. Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro terbagi menjadi 10 Kecamatan, dimana pada Tahun 2012 dari sejumlah kecamatan tersebut terbagi lagi kedalam 83 Desa dan 10 Kelurahan;
(3) Letak Geografis Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro : a. 2007’48” - 2048’36”” Lintang Utara; b. 125009’36” - 125029’24”” Bujur Timur. (4) Batas Wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro : a. Kabupaten Kepulauan Sangihe di sebelah utara; b. Laut Maluku di sebelah Timur; c. Kabupaten Minahasa Utara di sebelah Selatan; dan d. Laut Sulawesi di sebelah Barat. Bagian Kedua Kebijakan Penataan Ruang Pasal 4 Kebijakan penataan ruang wilayah kabupaten adalah sebagai berikut : a. pengembangan sumber daya manusia dan pemanfaatan kemajuan teknologi untuk menunjang seluruh kegiatan pembangunan wilayah; b. pengembangan pemanfaatan sumber daya alam kelautan dan perikanan, pertanian dan perkebunan serta pariwisata untuk kesejahteraan masyarakat; c. pengembangan pusat-pusat permukiman dan pusat-pusat kegiatan yang berwawasan lingkungan melalui pembangunan prasarana dan sarana penunjang; d. pengelolaan ruang berbasis mitigasi bencana melalui penyediaan ruang dan jalur evakuasi bencana; e. penguatan aspek pertahanan dan keamanan khususnya pada kawasan pulau terluar. Bagian Ketiga Strategi Penataan Ruang Pasal 5 (1) Strategi pengembangan Sumber Daya Manusia dan pemanfaatan kemajuan teknologi untuk menunjang seluruh kegiatan pembangunan wilayah sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 huruf a, terdiri atas : a. membangun dan meningkatkan fasilitas pendidikan berupa sekolah unggulan dan kejuruan serta perguruan tinggi; b. membangun dan meningkatkan prasarana dan sarana kesehatan; c. membangun dan meningkatkan prasarana dan sarana penunjang kegiatan olah raga dan kebudayaan; d. membangun sistem jaringan komunikasi jarak jauh khususnya pada daerah yang terisolasi; e. membangun jaringan cyber city pada pusat pemerintahan kabupaten dan sekitarnya;
f.
memanfaatkan kemajuan teknologi untuk mengembangkan sumber energi tenaga surya, angin dan gelombang laut; g. memanfaatkan kemajuan teknologi untuk pengelolaan sumber air minum; dan h. membangun jaringan media informasi sebagai penunjang penyebarluasan berita, informasi dan hiburan. (2) Strategi pengembangan pemanfaatan sumber daya alam kelautan dan perikanan, pertanian serta kebudayaan dan pariwisata untuk kesejahteraan masyarakat sebagaimana dimaksud pada Pasal (4) huruf b, terdiri atas : a. memantapkan fungsi kawasan lindung; b. meningkatkan produktifitas hasil pertanian khususnya perkebunan melalui intensifikasi lahan dan peremajaan komoditi unggulan pala dan komoditi lainnya; c. memanfaatkan lahan non produktif untuk budidaya hortikultura dan palawija alam rangka peningkatan pendapatan masyarakat serta menjaga kualitas lingkungan; d. mengembangkan potensi pariwisata dengan membangun prasarana dan sarana pendukung kegiatan wisata; e. meningkatkan SDM dalam mengelola obyek wisata menjadi lebih profesioanal; f. mengembangkan dan menggali potensi budaya daerah melalui media promosi dan pembangunan bangunan cagar budaya; g. mengembangakan potensi pasar melalui media promosi; dan h. membangun prasarana dan sarana pendukung perikanan di sekitar pulau utama dan sekiitar kawasan penangkapan ikan. (3) Strategi pengembangan pusat-pusat permukiman dan pusat-pusat kegiatan yang berwawasan lingkungan melalui pembangunan prasarana dan sarana penunjang sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 huruf c, terdiri atas : a. memantapkan struktur ruang serta membangun setiap pusat-pusat permukiman dan pusat-pusat kegiatan sesuai fungsi dan perannya masing-masing; b. meningkatkan aksesbilitas antara pusat permukiman, antar pusat kegiatan dan antar pusat permukiman dengan pusat kegiatan, dengan membangun jaringan transportasi sebagai infrastruktur utama yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan secara signifikan dan berimbang; c. membangun jaringan infrastruktur pendukung untuk memperkuat struktur ruang, antara lain sistem energi/listrik, telekomunikasi, air minum, drainase perkotaan dan perkampungan, pengelolaan limbah dan persampahan; d. memprioritaskan peningkatan ruas jalan penghubung Ulu – Ondong, lingkar Pulau Siau, lingkar Pulau Tagulandang, lingkar Pulau Biaro dan jalan diagonal di tiga pulau utama serta meningkatkan intensitas penghubung antar tiga pulau utama sebagai perwujudan pemantapan struktur ruang; dan e. membangun prasarana dan sarana, fasilitas sosial dan fasilitas umum secara proporsional pada setiap pusat permukiman dan pusat kegiatan.
(4) Strategi pengelolaan ruang berbasis mitigasi bencana melalui penyediaan ruang dan jalur evakuasi bencana sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 huruf d, terdiri atas : a. menyediakan ruang dan membangun prasarana dan sarana penunjang evakuasi bencana alam gunung berapi Gunung Karangetang dan Gunung Ruang; b. menyediakan ruang dan membangun prasarana dan sarana penunjang evakuasi bencana alam tsunami, gelombang pasang, angin, banjir dan longsor serta kebakaran hutan; dan c. membangun sistem mitigasi bencana untuk meminimalisir kerugian akibat bencana alam gunung api, tsunami, gelombang pasang, angin, banjir dan longsor, serta kebakaran hutan. (5) Strategi penguatan aspek pertahanan dan keamanan khususnya pada kawasan pulau terluar sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 huruf e, terdiri atas : a. menyediakan ruang dan membangun prasarana dan sarana penunjang aspek pertahanan dan keamanan; b. menyelenggarakan kegiatan patroli pengamanan wilayah.
BAB IV RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN Bagian Kesatu Umum Pasal 6 (1) Rencana struktur ruang wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro meliputi : a. pusat-pusat kegiatan; b. sistem jaringan prasarana utama; dan c. sistem jaringan prasarana lainnya. (2) Sehubungan dengan karakteristik wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro sebagai daerah kepulauan, maka rencana struktur ruang wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkaitan dengan satuan wilayah pengembangan dengan sistem klaster pengembangan; (3) Sistem klaster pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi : a. satuan Pengembangan Klaster (SPK) Siau, yang terdiri dari : 1. sub klaster Siau Timur, meliputi wilayah Kecamatan Siau Timur, Siau Timur Selatan dan Kecamatan Siau Tengah. Pusat pengembangan Ulu; 2. sub klaster Siau Barat, meliputi Kecamatan Siau Barat, Kecamatan Siau
Barat
Selatan
dan
Pusat pengembangan Ondong.
Kecamatan
Siau
Barat
Utara.
b. satuan Pengembangan Klaster (SPK) Tagulandang, meliputi wilayah Kecamatan
Tagulandang,
Tagulandang
Utara
dan
Kecamatan
Tagulandang Selatan. Pusat pengembangan Buhias; c. satuan Pengembangan Klaster (SPK) Biaro, meliputi seluruh wilayah Kecamatan Biaro dengan pusat pengembangan Lamanggo; d. satuan Pengembangan Klaster (SPK) Makalehi, meliputi seluruh wilayah di Pulau Makalehi dengan pusat pengembangan Kampung Makalehi; e. satuan Pengembangan Klaster (SPK) Pahepa meliputi seluruh wilayah di Pulau Pahepa, Pulau Gunatin, Pulau Mahoro dan Pulau-pulau kecil sekitarnya dengan pusat pengembangan Pahepa. (4) Setiap klaster pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memiliki fungsi pengembangan kegiatan masing-masing sebagai berikut : a. satuan Pengembangan Klaster (SPK) Siau, yang terdiri dari: 1. sub klaster Siau Timur, dengan fungsi pengembangan kegiatan meliputi fungsi perdagangan dan jasa, pertanian dan perkebunan, perikanan, permukiman, transportasi, pariwisata dan kesehatan; 2. sub klaster Siau Barat, dengan fungsi pengembangan kegiatan meliputi fungsi pemerintahan, pertanian dan perkebunan, Pariwisata, Transportasi dan permukiman. b. satuan
Pengembangan
pengembangan
kegiatan
Klaster
(SPK)
meliputi
Tagulandang,
fungsi
dengan
perdagangan
dan
fungsi jasa,
pendidikan tinggi, Olahraga, perkebunan, transportasi, permukiman, Perikanan, pariwisata dan kesehatan; c. satuan Pengembangan Klaster (SPK) Biaro, dengan fungsi pengembangan kegiatan meliputi fungsi permukiman, pariwisata, perkebunan dan perikanan; d. satuan
Pengembangan
pengembangan
kegiatan
Klaster meliputi
(SPK) fungsi
Makalehi,
dengan
perikanan,
fungsi
permukiman,
pariwisata, Pertahanan dan peningkatan kualitas dan fasilitas kawasan perbatasan; dan e. satuan
Pengembangan
Klaster
(SPK)
Pahepa
dengan
fungsi
pengembangan kegiatan meliputi fungsi permukiman, pariwisata dan perikanan. (5) Rencana struktur ruang wilayah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digambarkan dalam peta dengan skala ketelitian minimal 1 : 50.000 yang tercantum dalam Lampiran dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Bagian Kedua Pusat-pusat Kegiatan Pasal 7 (1) Pusat-pusat kegiatan yang ada di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) huruf a, meliputi : a. PKSNp (Pusat Kegiatan Strategis Nasional promosi); b. PKWp (Pusat Kegiatan Wilayah promosi); c. PKL (Pusat Kegiatan Lokal); d. PPK (Pusat Pelayanan Kawasan); dan e. PPL (Pusat Pelayanan Lingkungan). (2) PKSNp sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, yaitu Ondong. (3) PKWp sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu Ulu. (4) PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, yaitu Buhias (5) PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi : a. Sawang di Kecamatan Siau Timur Selatan; b. Talawid di Kecamatan Siau Barat Selatan; c. Bawoleu di Kecamatan Tagulandang Utara; d. Kisihang di Kecamatan Tagulandang Selatan; dan e. Lamanggo di kecamatan Biaro. (6) PPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, meliputi : a. Hiung di Kecamatan Siau Barat Utara; b. Beong di Kecamatan Siau Tengah; c. Makalehi di Kecamatan Siau Barat; d. Pahepa di Kecamatan Siau Timur Selatan; dan e. Minanga di Kecamatan Tagulandang Utara. Bagian Ketiga Sistem Jaringan Prasarana Utama Pasal 8 (1) Sistem jaringan prasarana utama yang ada di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) huruf b, terdiri atas : a. sistem jaringan transportasi darat; b. sistem jaringan transportasi laut; dan c. sistem jaringan transportasi udara. (2) Sistem jaringan transportasi dan pusat-pusat kegiatan digambarkan dalam peta dengan skala ketelitian minimal 1 : 50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Paragraf 1 Sistem jaringan Transportasi Darat Pasal 9 (1) Sistem jaringan transportasi darat sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (1) huruf a, terdiri atas : a. jaringan lalu lintas dan angkutan jalan, meliputi jaringan jalan, jaringan prasarana lalu lintas dan jaringan layanan lalu lintas; dan b. jaringan penyeberangan. (2) Jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas : a. jaringan
jalan
kolektor
primer
K1
yang
Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, yaitu
ada
di
Kabupaten
ruas Ulu – Ondong menjadi
jalan nasional; b. rencana peningkatan fungsi dan status jalan kolektor primer K1 ruas Ulu – Ondong – Balirangen Pihise menjadi jalan Nasional. c. rencana pengembangan jaringan jalan kolektor primer K1, meliputi: 1. Ulu – Sawang – Balirangen Pihise menjadi jalan nasional; 2. Ondong – Talawid – Balirangen Pihise menjadi jalan nasional; dan 3. Buhias – Minanga – Bulangan – Kisihang – Buhias menjadi jalan nasional. d. rencana pengembangan jaringan jalan lokal primer, meliputi: 1. Ondong – Hiung – Ulu menjadi jalan nasional; 2. Jalan Lingkar Pulau Biaro, yaitu Buang – Lamanggo – Karungo menjadi jalan nasional. e. rencana pengembangan jaringan jalan lokal sekunder, meliputi jalan di dalam perkotaan Ondong, jalan di perkotaan Ulu Siau, jalan di perkotaan Buhias, dan Jalan lingkar Pulau Makalehi. (3) Jaringan prasarana lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berupa terminal penumpang tipe C yang meliputi : a. Terminal Ulu Siau di Kecamatan Siau Timur; b. Terminal Buhias di Kecamatan Tagulandang; c. Terminal Ondong di Kecamatan Siau Barat; dan d. Terminal Sawang di kecamatan Siau Timur Selatan. (4) Jaringan layanan lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berupa trayek angkutan penumpang yang terdiri atas : a. Trayek angkutan pedesaan meliputi : 1. Trayek Ulu – Ondong – Peling (PP); 2. Trayek Ulu – Sawang – Biau (PP); 3. Trayek Ulu – Kanang (PP); 4. Trayek Ulu – Talawid – Tanaki (PP);
5. Trayek Ulu – Talawid – Laghaeng (PP); 6. Trayek Ulu – Ondong – Kiawang (PP); 7. Trayek Ulu – Sawang – Pangilorong (PP); 8. Trayek Ulu – Hiung (PP); 9. Trayek Ulu – Balirangen – Pihise (PP); 10. Trayek Ondong – Talawid – Pihise (PP); 11. Trayek Ondong – Hiung (PP); 12. Trayek Buhias – Apengsala (PP); 13. Trayek Buhias – Mulengen – Minanga (PP); 14. Trayek Buhias - Bawoleu (PP); 15. Trayek Buhias – Bawoleu – Minanga (PP); 16. Trayek Buhias – Kisihang – Bulangan (PP). b. Trayek angkutan perkotaan, meliputi : 1. Trayek Ulu – Dame (PP); 2. Trayek Ulu – Bebali (PP); 3. Trayek Ulu – Bahu (PP) dalam Kota Ulu; 4. Trayek Ondong/Pehe – Paniki/Paseng (PP) dalam Kota Ondong; 5. Trayek Ulu – Tampungan (PP); dan 6. Trayek Balehumara – Bahoi (PP) dalam Kota Buhias. (5) Jaringan penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi : a. Lintas penyeberangan, terdiri atas : 1. Siau – Tagulandang; 2. Siau – Makalehi; 3. Siau – Pahepa; 4. Tagulandang – Biaro; 5. Tagulandang – Bitung; 6. Biaro – Bitung; 7. Makalehi – Tagulandang; 8. Biaro – Munte; 9. Biaro – Manado; dan 10. Tagulandang – Manado. b. Pelabuhan penyeberangan, meliputi : 1. Pelabuhan Penyeberangan Siau (Sawang) di Kecamatan Siau Timur Selatan; 2. Pelabuhan
Penyeberangan Tagulandang (Minanga) di Kecamatan
Tagulandang Utara; 3. Pelabuhan Penyeberangan Biaro (Lamanggo) di Kecamatan Biaro; 4. Pelabuhan Penyeberangan Pehe di Kecamatan Siau Barat; 5. Pelabuhan
Penyeberangan
Pihise
di
Kecamatan
Siau
Timur Selatan; dan 6. Pelabuhan Penyeberangan Pahepa di Kecamatan Siau Timur Selatan.
Paragraf 2 Sistem jaringan Transportasi Laut Pasal 10 (1) Sistem jaringan transportasi laut sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (1) huruf b, meliputi : a. tatanan kepelabuhanan; b. rencana alur pelayaran; dan c. Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNVP). (2) Tatanan kepelabuhanan di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah berupa Pelabuhan pengumpan, terdiri atas : a. Pelabuhan Utama Ulu di Kecamatan Siau Timur; b. Pelabuhan pengumpan Tagulandang di Kecamatan Tagulandang dan Pelabuhan Pengumpan Sawang di Kecamatan Siau Timur Selatan dan Pehe di Kecamatan Siau Barat; c. Pelabuhan pengumpul di Kecamatan Biaro dan di Pulau Makalehi; d. Pembangunan pelabuhan pengumpul di Pulau Buhias Kecamatan Siau timur Selatan; e. Pembangunan Pelabuhan Perlindungan di Pulau Ruang Kecamatan Tagulandang; dan f. Peningkatan pelabuhan pengumpan lokal Pehe di Kecamatan Siau Barat. (3) Rencana alur pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas : a. rencana alur pelayaran regional, meliputi : 1. Munte (Kabupaten Minahasa Utara) – Tagulandang – Sawang – Ulu; 2. Munte (Kabupaten Minahasa Utara) – Biaro – Tagulandang – Makalehi – Sawang – Ulu; 3. Bitung – Tagulandang – Sawang – Ulu; 4. Manado – Tagulandang – Siau. b. rencana alur pelayaran lokal, terdiri atas : 1. Pehe – Makalehi – Ulu; 2. Biaro – Tagulandang – Makalehi – Ulu; 3. Sawang – Makalehi – Minanga – Lamanggo; 4. Lamanggo – Minanga – Sawang – Makalehi; 5. Minangga – Lamanggo. Paragraf 3 Sistem Jaringan Transportasi Udara Pasal 11 (1) Sistem jaringan transportasi udara sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (1) huruf c terdiri atas : a. tatanan kebandarudaraan; b. rencana rute penerbangan; c. ruang udara di atas bandar udara yang dipergunakan langsung untuk
kegiatan bandar udara; dan d. ruang di sekitar bandar udara yang dipergunakan untuk operasi penerbangan. (2) Tatanan kebandarudaraan di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, yaitu Bandar Udara pengumpan Pihise di Kecamatan Siau Timur Selatan dan Bandar udara untuk pertahanan dan keamanan di Pulau Terluar Makalehi Kecamatan Siau Barat; (3) Rencana rute penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. Pihise-Manado; b. Pihise-Naha; c. Pihise-Melonguane; dan d. Pihise-Miangas. Bagian Keempat Sistem Jaringan Prasarana Lainnya Pasal 12 (1) Sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) huruf c, terdiri atas : a. Sistem jaringan energi; b. Sistem jaringan telekomunikasi; c. Sistem jaringan sumber daya air; dan d. Sistem prasarana pengelolaan lingkungan. (2) Sistem jaringan prasarana lainnya digambarkan dalam peta dengan skala ketelitian minimal 1: 50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Paragraf 1 Sistem Jaringan Energi Pasal 13 (1) Sistem Jaringan Energi di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro sebagaimana dimaksud pada Pasal 12 ayat (1) huruf a, meliputi : a. pembangkit ketenaga listrikan; dan b. jaringan prasarana energi. (2) Pembangkit Ketenaga Listrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas : a. Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) terdapat di Ondong Kecamatan Siau Barat dengan kapasitas kurang lebih 4,60 MW, Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Buhias Kecamatan Tagulandang dengan kapasitas 2,26 MW, Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Biaro dengan kapasitas 0,30 MW dan PLTD di Makalehi Kecamatan Siau Barat dengan kapasitas 0,18 MW;
b. Pembangkit
Listrik
Tenaga
Mikro
Hidro
(PLTMH)
terdapat
di Pulau Siau; c. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS); d. Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) terutama diarahkan untuk melayani wilayah terpencil dan pulau-pulau; dan e. Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU). (3) Jaringan prasarana energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas : a. jaringan pipa minyak dan gas bumi, berupa rencana pengembangan depo BBM (Bahan Bakar Minyak) di Ulu Siau, Ondong, Buhias Tagulandang, Makalehi dan Biaro; b. jaringan distribusi tenaga listrik, terdiri atas : 1. gardu hubung, terdapat di Ondong Siau; 2. Jaringan Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM) Cabang Tahuna di Kabupaten Siau Tagulandang Biaro dengan panjang kurang lebih 50 kms ( kilometer sirkuit); dan 3. Jaringan Saluran Udara Tegangan Rendah (SUTR) Cabang Tahuna di Kabupaten Siau Tagulandang Biaro dengan panjang kurang lebih 100 kms (kilometer sirkuit). (4) Pengembangan depo Sistem penyaluran BBM sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a meliputi sistem penyaluran BBM, pembangunan SPBU dan SPBU mini. Paragraf 2 Sistem Jaringan Telekomunikasi Pasal 14 (1) Sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 12 ayat (1) huruf b, terdiri atas : a. sistem jaringan kabel; b. sistem jaringan nirkabel; dan c. sistem jaringan satelit. (2) Sistem jaringan kabel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah rencana pengembangan infrastruktur dasar telekomunikasi berupa jaringan telepon fixed line atau sistem kabel yang merata hingga ke seluruh ibukota kecamatan, meliputi : a. Stasiun Telepon Otomat (STO) Ulu Siau di Kecamatan Siau Timur; b. Stasiun Telepon Otomat (STO) Tagulandang di Kecamatan Tagulandang. (3) Sistem jaringan nirkabel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas: a. jaringan mikro digital, terdapat di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro; b. jaringan serat optik, meliputi Ulu - Ondong sepanjang kurang lebih 11 km, Buhias - Minanga sepanjang kurang lebih 7 km;
c. pengembangan jaringan seluler yang tersebar di seluruh kabupaten dengan pengelolaan pemanfaatan menara telekomunikasi atau tower bersama; dan d. pembatasan terhadap pembangunan menara telekomunikasi atau tower baru. (4) Sistem jaringan satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi Stasiun Bumi Tagulandang dan Stasiun Bumi Ulu Siau; (5) Rencana pembangunan jaringan cyber city pada pusat pemerintahan kabupaten dan pusat kegiatan lainnya, meliputi kawasan perdagangan, kawasan pendidikan, kawasan kesehatan dan kawasan pariwisata. Paragraf 3 Sistem Jaringan Sumber Daya Air Pasal 15 (1) Sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada Pasal 12 ayat (1) huruf c, dilakukan berbasis wilayah sungai yang terdiri atas : a. Wilayah Sungai (WS); b. jaringan air baku untuk air minum; dan c. sistem pengendali banjir, erosi dan longsor. (2) Rencana pengembangan sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek konservasi sumber daya air pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air secara terpadu (integrated) dengan memperhatikan ketentuan pola dan rencana pengelolaan sumber daya air WS Tondano-Sangihe-Miangas-Talaud; (3) Wilayah Sungai sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf a yaitu WS strategis nasional WS Tondano-Sangihe-Miangas-Talaud mencakup Daerah Aliran Sungai (DAS) antara lain: a. DAS Siau; b. DAS Tagulandang; dan c. DAS Biaro. (4) Prasarana air baku untuk air minum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. sumber air baku berasal dari sungai, danau, mata air dan penampungan air hujan (PAH), meliputi: 1. sungai, yaitu Sungai Minanga di Kecamatan Tagulandang Utara; 2. danau, yaitu Danau Kapeta di Kecamatan Siau Barat Selatan dengan debit kurang lebih 100 l/dt dan Danau Makalehi di Kecamatan Siau Barat dengan debit kurang lebih 20 l/dt; 3. mata air (MA), yaitu MA Ake Labo dan MA Karalung di Kecamatan Siau Timur, MA Bukide dan MA Buhanga di Kecamatan Biaro, MA Ulu Siau di Kecamatan Siau Timur dengan debit kurang lebih 40 l/dt; dan 4. PAH terdapat di Kecamatan Siau Barat Utara, Kecamatan Siau Tengah dan Kecamatan Tagulandang Utara. b. instalasi pengolahan air minum terdapat di Kecamatan Siau Timur Selatan, Siau Barat Selatan, Siau Barat, Tagulandang dan Biaro;
c. SPAM di Kabupaten dipadukan dengan sistem jaringan sumber daya air untuk menjamin ketersediaan air baku. (5) Sistem pengendalian banjir, erosi dan longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas : a. perlindungan daerah resapan air; b. normalisasi sungai; c. perbaikan drainase; d. pembangunan tanggul pada sungai yang rawan banjir; e. pengamanan pantai; dan f. pembangunan, rehabilitasi serta operasi dan pemeliharaan bangunanbangunan pengendali banjir dan pengamanan pantai. Paragraf 4 Sistem Prasarana Pengelolaan Lingkungan Pasal 16 (1) Sistem prasarana pengelolaan lingkungan sebagaimana dimaksud pada Pasal 12 ayat (1) huruf d, terdiri atas : a. sistem jaringan air minum; b. sistem jaringan persampahan; c. sistem jaringan drainase; d. jalur evakuasi bencana; e. sistem pengelolaan air limbah; dan f. sistem sarana umum dan sosial. (2) Sistem jaringan air minum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas : a. jaringan air baku untuk air minum, meliputi : 1. sungai, yaitu Sungai Minanga di Kecamatan Tagulandang Utara; 2. danau, yaitu Danau Kapeta di Kecamatan Siau Barat Selatan dengan debit kurang lebih 100 l/dt dan Danau Makalehi di Kecamatan Siau Barat dengan debit kurang lebih 20 l/dt; 3. mata air (MA), yaitu MA Ake Labo dan MA Karalung di Kecamatan Siau Timur, MA Bukide dan MA Buhanga di Kecamatan Biaro, MA Ulu Siau di Kecamatan Siau Timur dengan debit kurang lebih 40 l/dt; dan 4. penampungan air hujan (PAH) terdapat di Kecamatan Siau Barat Utara, Kecamatan Siau Tengah dan Kecamatan Tagulandang Utara. b. instalasi pengolahan air minum (IPA), meliputi: 1. 2. 3. 4. 5.
IPA di Kecamatan Siau Timur Selatan; IPA di Kecamatan Siau Barat Selatan; IPA di Kecamatan Siau Barat; IPA di Kecamatan Tagulandang; dan rencana pembangunan IPA di Kecamatan Biaro.
c. SPAM di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro dipadukan dengan sistem jaringan sumber daya air untuk menjamin ketersediaan air baku; d. jaringan perpipaan pada sistem jaringan air minum, terdiri atas : 1. jaringan perpipaan kawasan perkotaan Ulu Siau; 2. jaringan perpipaan kawasan perkotaan Ondong; 3. jaringan perpipaan kawasan perkotaan Buhias; 4. jaringan perpipaan Sawang; 5. jaringan perpipaan Biaro. (3) Sistem
jaringan
persampahan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
huruf b terdiri atas : a. pengelolaan
sampah
melalui
kegiatan
pewadahan,
pemilahan,
pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, pengolahan dan pembuangan akhir dengan menerapkan sistem reduce, reuse,
recycle (3R);
b. pengadaan tempat penampungan sementara (TPS) di setiap kecamatan yang memenuhi persyaratan dan kriteria teknis; c. rencana pengembangan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) di Kecamatan Siau Barat Selatan; d. rencana pengembangan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) di wilayah Tagulandang; e. sistem pengolahan pada TPA sebagaimana dimaksud pada huruf c adalah menggunakan sistem control landfill atau sanitary landfill; dan f.
tempat penampungan sampah sementara diadakan di setiap kecamatan yang memenuhi persyaratan dan teknis lokasi.
(4) Sistem jaringan drainase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri atas : a. rencana sistem jaringan drainase saluran sekunder dan drainase tersier/mikro dimaksudkan untuk menampung aliran air permukaan di kawasan permukiman, jalan dan wilayah sungai; dan b. sungai-sungai dalam sistem jaringan drainase yaitu Sungai Akelabo, Sungai Karalung, Sungai Apelawo di Kecamatan Siau Timur, Sungai Kapeta
di
Kecamatan
Siau
Barat
Selatan,
Sungai
Akekuta
di Kampung Minanga Kecamatan Tagulandang Utara dan Sungai Dalinsaheng di Kecamatan Biaro. (5) Jalur evakuasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, terdiri atas: a. jalur evakuasi bencana akibat letusan gunung api; b. jalur evakuasi bencana akibat tsunami dan gelombang pasang; c. jalur evakuasi bencana akibat angin; d. jalur evakuasi bencana akibat banjir; e. jalur evakuasi bencana gempa bumi tektonik dan vulkanik; f.
jalur evakuasi bencana akibat tanah longsor; dan
g. jalur evakuasi bencana akibat kebakaran hutan.
(6) Sistem pengelolaan air limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, tersebar di seluruh wilayah kecamatan yang terdiri atas : a. pengelolaan air buangan kegiatan rumah tangga dan bukan rumah tangga di kawasan perkotaan dan perkampungan dilakukan dengan sistem sanitasi off site menggunakan instalasi pengolahan Air Limbah (IPAL) sebelum dibuang ke badan air penerima/sungai; b. pengelolaan air buangan kegiatan rumah tangga dan bukan rumah tangga di kawasan perkampungan dilakukan dengan sistem tanki septic
dan
sumur
resapan
sebelum
dialirkan
pada
saluran
pembuangan umum; c. pengelolaan air buangan dari kegiatan penghasil air limbah dilakukan dengan sistem off site melalui Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dan diperlukan alat khusus; d. pengelolaan air limbah dilakukan secara terpadu antara pemerintah dan swasta dengan tetap memperhatikan ketentuan perundangundangan yang berlaku. (7) Sistem sarana umum dan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, meliputi sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana peribadatan dan sarana tempat pemakaman umum. Pasal 17 (1) Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan di kabupaten berdasarkan kebutuhan dan mencakup seluruh jenjang pendidikan baik formal, informal dan non formal antara lain PAUD, Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, dan Perguruan Tinggi; (2) Pengembangan sekolah unggulan di kabupaten diarahkan ke kawasan perkotaan di kecamatan Siau Timur, Kecamatan Siau Barat dan Kecamatan Tagulandang; (3) Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan serta sekolah unggulan dilaksanakan oleh pemerintah daerah, pihak swasta dan masyarakat. Pasal 18 (1) Penyediaan sarana kesehatan di kabupaten berdasarkan jenjangnya berupa rumah
sakit
umum
daerah,
puskesmas,
puskesmas
pembantu,
pos
kesehatan desa, dan pos pelayanan terpadu; (2) Lokasi rumah sakit umum daerah diarahkan di Klaster Siau dan Klaster Tagulandang; (3) Penyediaan sarana kesehatan dilaksanakan oleh pemerintah daerah, pihak swasta dan masyarakat.
Pasal 19 (1) Penyediaan sarana peribadatan di kabupaten disesuaikan dengan banyaknya penganut masing-masing agama; (2) Lokasi pembangunan rumah ibadah harus disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku; (3) Penyediaan sarana peribadatan dilaksanakan oleh masyarakat dan sesuai dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Pasal 20 (1) Penyediaan prasarana Taman Pemakaman Umum (TPU) dapat disediakan pada kawasan padat permukiman yaitu kawasan perkotaan Ulu, kawasan perkotaan Ondong dan kawasan perkotaan Buhias; (2) Selain lokasi sebagaimana dimaksud ayat (1) di atas, dapat dipertimbangkan penyediaan prasarana taman pemakaman umum lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku.
BAB V RENCANA POLA RUANG WILAYAH KABUPATEN Bagian Kesatu Umum Pasal 21 (1) Rencana pola ruang wilayah meliputi : a. rencana kawasan lindung; dan b. kawasan budidaya. (2) Rencana pola ruang wilayah digambarkan dalam peta dengan skala ketelitian minimal 1 : 50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Bagian Kedua Kawasan Lindung Pasal 22 Kawasan lindung sebagaimana dimaksud pada Pasal 21 ayat (1) terdiri atas : a. kawasan hutan lindung; b. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya; c. kawasan perlindungan setempat; d. kawasan suaka alam, pelestarian alam, cagar budaya dan ilmu pengetahuan; e. kawasan rawan bencana alam; dan f.
kawasan lindung geologi.
Pasal 23 (1) Kawasan hutan lindung, sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 22 huruf a, meliputi : a. Kawasan Hutan Lindung Bulude Tamata dengan luas kurang lebih 1.006 ha terletak di Kecamatan Siau Barat Selatan, Kecamatan Siau Timur Selatan, Kecamatan Siau Barat, Kecamatan Siau Tengah dan Kecamatan Siau Timur; b. Kawasan Hutan Lindung Gunung Begambalo dengan luas kurang lebih 735 ha terletak di Kecamatan Siau Timur Selatan dan Kecamatan Siau Barat Selatan; c. Kawasan Hutan Lindung Pulau Tagulandang dengan luas kurang lebih 337 ha terletak di Pulau Tagulandang; d. Kawasan Hutan Lindung Pulau Tagulandang Lokasi 2 (dua) dengan luas kurang lebih 419 ha terletak di pulau Tagulandang; dan e. Kawasan Hutan Lindung Gunung Ruang dengan luas kurang lebih 622 ha terletak di Kecamatan Tagulandang. (2) Rencana pengelolaan kawasan hutan lindung adalah sebagai berikut : a. pengendalian kegiatan budidaya yang telah berlangsung lama dalam kawasan hutan lindung; b. pengembalian fungsi hidrologis kawasan hutan yang telah mengalami kerusakan dengan reboisasi; c. percepatan rehabilitasi hutan lindung dengan tanaman yang sesuai dengan fungsi lindung; d. pelestarian ekosistem yang merupakan ciri khas kawasan melalui tindakan pencegahan pengrusakan dan upaya pengembalian pada rona awal sesuai ekosistem yang pernah ada; dan e. pemantauan kegiatan yang diperbolehkan di kawasan hutan lindung agar tidak mengganggu hutan lindung. Pasal 24 (1) Kawasan yang memberikan fungsi perlindungan terhadap kawasan bawahannya, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 22 huruf b berupa kawasan resapan air; (2) Kawasan resapan air sebagaimana yang dimaksud ayat (1) berfungsi untuk memberikan ruang yang cukup bagi resapan air hujan pada daerah tertentu untuk keperluan penyediaan kebutuhan air tanah dan penanggulangan banjir, baik untuk kawasan bawahannya maupan kawasan yang bersangkutan; (3) Kawasan resapan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat di : a. Bulude Kalai, Bulude Tamata, Bulude Begambalo, Bulude Tontonbulo, Bulude Baliang, Bulude Masio, Bulude Papalamang kawasan resapan air ini terletak di Pulau Siau;
b. Wuluru
Balinge,
Wangkulang, Wuluru
Wuluru
Kaloko,
Wuluru
Wuluru Kalongan, Wuluru
Panenteang,
Siwohi,
Wuluru
Wuluru Hinginte,
Walangake, Wuluru Bongkongkaka, Wuluru Timbang kawasan
resapan air ini terletak di Pulau Tagulandang; dan c. Wuluri Bukide, Bukiri Himbang, Bukiri Bulo kawasan resapan air ini terletak di Pulau Biaro. (4) Rencana pengelolaan kawasan resapan air adalah sebagai berikut : a. menata pemanfaatan kawasan resapan agar tidak beralih fungsi menjadi lahan terbangun; b. rehabilitasi lahan dan konservasi tanah, antara lain mempercepat pemulihan kawasan resapan dengan penghijauan; c. peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan resapan air; d. pemantapan kawasan resapan air; e. mengembangkan hutan rakyat untuk menyediakan kebutuhan domestik akan kayu bangunan dan melakukan penghijauan dengan menanam jenis-jenis kayu hutan guna mengendalikan erosi, memperbesar infiltrasi tanah dan mencegah banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau; f.
percepatan rehabilitasi lahan milik masyarakat yang termasuk di dalam kriteria
kawasan
lindung
dengan
melakukan
penanaman
pohon
pelindung/penghijauan yang dapat di gunakan sebagai perlindungan kawasan bawahannya, hasil yang dapat diambil berupa hasil non-kayu; g. pencegahan kegiatan pengurangan tutupan vegetasi; h. membuka jalur wisata jelajah/pendakian untuk menanamkan rasa memiliki/mencintai alam, serta pemanfaatan kawasan lindung untuk sarana pendidikan penelitian dan pengembangan kecintaan terhadap alam; i.
peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan resapan air; dan
j.
Pemantapan kawasan resapan air, bila berada dalam kawasan hutan dikembalikan
fungsinya
sebagai
hutan
lindung
untuk
menjamin
keberadaan kawasan hutan dan fungsi hutan. Pasal 25 Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud pada Pasal 22 huruf c terdiri dari : a. sempadan pantai; b. sempadan sungai; c. kawasan sekitar danau; d. kawasan sekitar mata air; dan e. ruang terbuka hijau.
Pasal 26 (1) Sempadan pantai sebagaimana dimaksud pada Pasal 25 huruf a ditetapkan lebih lanjut dalam rencana rinci tata ruang kawasan/zoning regulation; (2) Sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada Pasal 25 huruf b ditetapkan lebih lanjut dalam rencana rinci tata ruang kawasan/zoning regulation; (3) Kawasan sekitar danau yang dimaksud pada Pasal 25 huruf c ditetapkan lebih lanjut dalam rencana rinci tata ruang kawasan/zoning regulation; (4) Kawasan sekitar mata air yang dimaksud pada Pasal 25 huruf d ditetapkan lebih lanjut dalam rencana rinci tata ruang kawasan/zoning regulation; (5) Ruang Terbuka Hijau perkotaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 25 huruf
e
ditetapkan
lebih
lanjut
dalam
rencana
rinci
tata
ruang
kawasan/zoning regulation. Pasal 27 Kawasan suaka alam, pelestarian alam, cagar budaya dan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 22 huruf d, meliputi : a. kawasan margasatwa; b. kawasan suaka alam laut; c. kawasan pantai berhutan bakau, berterumbu karang dan berpadang lamun; d. kawasan konsevasi perikanan; dan e. kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan. Pasal 28 (1) Kawasan margasatwa sebagaimana dimaksud pada Pasal 27 huruf a adalah berupa perlindungan terhadap habitat hewan langkah khas Sitaro yang terdapat di kawasan hutan lindung Tamata, Danau kapeta dan sekitarnya; (2) Hewan langkah khas Sitaro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Otus Siaoensis (The Siau Scops Owl), Siau Tarsier Island (Tarsius Tumpara); (3) Kawasan sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 27 huruf b, c dan d adalah berupa kawasan konservasi Perairan kabupaten; dan (4) Suaka Alam yang secara eksisting telah menjadi kawasan permukiman dan kawasan budidaya di tetapkan lebih lanjut dalam rencana rinci tata ruang kawasan/zoning regulation. Pasal 29 (1) Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 27 huruf e, meliputi : a. Makam Raja Lokongbanua di Kecamatan Siau Barat dan Makam Panglima Hengkenggunaung di Kecamatan Siau Barat Utara;
b. Makam Raja Siau lainnya di Kecamatan Siau Barat dan Kecamatan Siau Timur; c. Makam Pendeta Paul Kelling di Kecamatan Siau Timur; d. Makam Pendeta F. Kelling, Ratu Lohoraung dan Makam Raja H.P.H Jacobs di Kecamatan Tagulandang; e. Makam Raja Tagulandang lainnya dan Makam Panglima Walandungo di Kecamatan Tagulandang; dan f. Rumah Raja di Tagulandang, Gereja peninggalan (GMIST Ulu). (2) Rencana Pengelolaan kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan adalah sebagai berikut : a. melestarikan dan melindungi kawasan cagar budaya dan kawasan historis dari alih fungsi; b. melestarikan dan merevitalisasi bangunan tua, bangunan bernilai sejarah dan/atau bernilai arsitektur tinggi, serta potensi sosial budaya masyarakat yang memiliki nilai sejarah; dan c. pemberlakukan Perda Perlindungan Kawasan Bersejarah dan Budaya Kota (Historical District and Cultural Heritage). Pasal 30 Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud pada Pasal 22 huruf e adalah kawasan yang sering berpotensi mengalami bencana alam sebagai berikut : a. kawasan rawan gunung berapi; b. kawasan rawan gelombang laut dan tsunami; c. kawasan rawan tanah longsor; d. kawasan rawan banjir; dan e. kawasan rawan bencana tektonik dan vulkanik. Pasal 31 (1) Kawasan rawan bencana gunung berapi sebagaimana dimaksud pada Pasal 30 huruf a, meliputi : a. rawan bencana gunung berapi Gunung Karangetang (kurang lebih 1.784 m dpl) di Kecamatan Siau Barat, Kecamatan Siau Tengah, Kecamatan Siau Timur dan Kecamatan Siau Barat Utara; dan b. rawan bencana gunung berapi Gunung Ruang (kurang lebih 714 m dpl) di Kecamatan Tagulandang. (2) Kawasan rawan gelombang laut dan tsunami sebagaimana dimaksud pada Pasal 30 huruf b adalah kawasan yang berada di pesisir seluruh pulau di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro; (3) Rencana pengelolaan kawasan rawan gelombang laut dan tsunami adalah : a. mengurangi dampak sapuan gelombang pasang perlu membangun infrastruktur penahan ombak dan revitalisasi hutan bakau;
b. penatagunaan lahan dengan intensitas pemanfaatan lahan, jumlah bangunan dan penggunaannya dan fungsi ruang terbuka pada daerah potensi gelombang pasang/tsunami tinggi; c. menempatkan permukiman pada suatu ketinggian tertentu yang dalam sejarah wilayah tersebut tidak pernah terlanda gelombang pasang; d. menyediakan jalur-jalur evakuasi bencana; e. menyiapkan lokasi evakuasi bencana (pada lokasi dengan ketinggian tertentu); dan f.
meningkatkan pemahaman masyarakat melalui penyuluhan baik secara langsung maupun melalui media massa.
(4) Kawasan rawan tanah longsor sebagaimana dimaksud pada Pasal 30 huruf c adalah tersebar di seluruh wilayah kabupaten; (5) Rencana Pengelolaan kawasan rawan tanah longsor : a. peruntukan
ruang
sebagai
kawasan
lindung
(tidak
layak
untuk
pembangunan fisik); b. pada lokasi tertentu beberapa kegiatan terutama non fisik masih dapat dilaksanakan dengan ketentuan khusus dan/atau persyaratan yang pada dasarnya diarahkan dengan pendekatan konsep penyesuaian lingkungan, yaitu upaya untuk menyesuaikan dengan kondisi alam, dengan lebih menekankan pada upaya rekayasa kondisi alam yang ada; c. kegiatan budidaya yang berdampak tinggi pada fungsi lindung tidak diperbolehkan serta kegiatan yang tidak memenuhi persyaratan harus segera dihentikan atau direlokasi; d. kegiatan-kegiatan Pertanian/Perkebunan, Hutan Kota dan Hutan Rakyat, dapat dilaksanakan dengan beberapa persyaratan seperti pemilihan vegetasi dan pola tanam yang tepat, sistem terasering dan drainase lereng yang tepat, rencana jalan untuk kendaraan roda empat yang ringan hingga sedang; e. tutupan vegetasi yang tinggi dari perkebunan kelapa, cengkih dan pala yang ada di kawasan ini harus tetap dipertahankan untuk melindungi tanah terhadap erosi dan longsor; f.
meningkatkan pemahaman masyarakat melalui penyuluhan baik secara langsung maupun melalui media massa.
(6) Kawasan rawan banjir sebagaimana dimaksud pada Pasal 30 huruf d tersebar di seluruh wilayah kabupaten; (7) Rencana Pengelolaan kawasan banjir, meliputi: a. menegaskan peruntukan ruang sebagai kawasan lindung; b. beberapa kegiatan terutama non fisik pada lokasi tertentu masih dapat dilaksanakan dengan ketentuan khusus dan/atau persyaratan yang pada dasarnya diarahkan dengan pendekatan konsep penyesuaian lingkungan, yaitu upaya untuk menyesuaikan dengan kondisi alam, dengan lebih menekankan pada upaya rekayasa kondisi alam yang ada;
c. meningkatkan pemahaman masyarakat lewat penyuluhan baik secara langsung maupun melalui media massa; d. kegiatan budidaya yang berdampak tinggi pada fungsi lindung tidak diperbolehkan serta kegiatan yang tidak memenuhi persyaratan harus segera dihentikan atau direlokasi; e. kegiatan-kegiatan Pertanian/Perkebunan, Hutan Kota dan Hutan Rakyat, dapat dilaksanakan dengan beberapa persyaratan seperti pemilihan vegetasi dan pola tanam yang tepat, sistem terasering dan drainase lereng yang tepat, rencana jalan untuk kendaraan roda empat yang ringan hingga sedang; dan f. tutupan vegetasi yang tinggi dari perkebunan kelapa, cengkih dan pala yang ada di kawasan ini harus tetap dipertahankan untuk melindungi tanah terhadap erosi dan tanah longsor. (8) Kawasan rawan gempa bumi tektonik dan vulkanik sebagaimana daimaksud pada Pasal 30 huruf e tersebar di seluruh wilayah kabupaten, dipengaruhi dua lempeng besar yaitu lempeng eurasia dan lempeng pasifik serta dua lempeng kecil yaitu lempeng sangihe dan lempeng laut maluku serta gunung api karangetang dan gunung api ruang; (9) Rencana Pengelolaan kawasan rawan gempa bumi tektonik dan vulkanik, meliputi: a. perencanaan yang efektif dalam mengurangi resiko gempa bumi; b. pengorganisasian dan pemanfaat ruang untuk kawasan budidaya mengacu pada fungsi ruang yang fleksibel; c. mempelajari perilaku bangunan dalam menerima beban gempa; dan d. meningkatkan pemahaman masyarakat lewat penyuluhan baik secara langsung maupun melalui media masa. Pasal 32 (1) Kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud pada Pasal 22 huruf f, adalah yang termasuk dalam kawasan rawan bencana gunung api, yakni Gunung Api Karangetang di Pulau Siau dan Gunung Api Ruang di Pulau Ruang Kecamatan Tagulandang; (2) Rencana pengelolaan kawasan rawan gunung berapi : a. peruntukan ruang sebagai kawasan lindung (tidak layak untuk pembangunan fisik); b. pada lokasi tertentu beberapa kegiatan terutama non fisik masih dapat dilaksanakan dengan ketentuan khusus dan/atau persyaratan yang pada dasarnya diarahkan dengan pendekatan konsep penyesuaian lingkungan, yaitu upaya untuk menyesuaikan dengan kondisi alam, dengan lebih menekankan pada upaya rekayasa kondisi alam yang ada; c. kegiatan budidaya yang berdampak tinggi pada fungsi lindung tidak diperbolehkan serta kegiatan yang tidak memenuhi persyaratan harus segera dihentikan atau direlokasi; dan d. meningkatkan pemahaman masyarakat melalui penyuluhan baik secara langsung maupun melalui media massa.
Bagian Ketiga Kawasan Budidaya Pasal 33 Kawasan budidaya sebagaimana dimaksud pada Pasal 21 ayat (1) huruf b terdiri dari : a. kawasan peruntukan pertanian; b. kawasan peruntukan perikanan; c. kawasan peruntukan pariwisata; d. kawasan peruntukan permukiman; e. kawasan peruntukan industri; f. kawasan peruntukan pertambangan; dan g. kawasan peruntukan lainnya. Pasal 34 (1) Kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud pada Pasal 33 huruf a, meliputi : a. kawasan peruntukan tanaman pangan; b. kawasan peruntukan hortikultura dan palawija; c. kawasan peruntukan perkebunan; dan d. kawasan peruntukan peternakan. (2) Kawasan peruntukan tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, adalah berupa tanaman padi ladang terdapat di Kecamatan Siau Timur Selatan; (3) Kawasan peruntukan hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi : a. tanaman buah salak di Kecamatan Tagulandang Utara dan Kecamatan Tagulandang; b. tanaman buah pisang di Kecamatan Biaro; c. tanaman buah durian di seluruh wilayah Pulau Siau dan Pulau Tagulandang; d. tanaman buah nangka di seluruh wilayah Pulau Siau dan Pulau Tagulandang; e. tanaman buah kedondong di seluruh wilayah Pulau Siau; dan f. tanaman buah kenari di seluruh wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro. (4) Kawasan peruntukan tanaman palawija sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdapat di Pulau Siau, Pulau Tagulandang dan Pulau Biaro; (5) Kawasan peruntukan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi : a. kawasan peruntukan perkebunan pala, terdapat di Pulau Siau dan Pulau Tagulandang;
b. kawasan peruntukan perkebunan cengkih, terdapat di seluruh wilayah Kabupaten; dan c. kawasan peruntukan perkebunan kelapa, terdapat di seluruh wilayah Kabupaten. (6) Kawasan peruntukan peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi kawasan peruntukan peternakan unggas, kawasan peruntukan peternakan sapi dan kawasan peruntukan peternakan babi berada di Pulau Siau, Pulau Tagulandang dan Pulau Biaro; (7) Kawasan pertanian tanaman pangan di Kecamatan Siau Timur Selatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebagai kawasan pertanian pangan berkelanjutan. Pasal 35 (1) Kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud pada Pasal 33 huruf b, terdiri atas : a. kawasan perikanan tangkap; b. kawasan perikanan budidaya; c. kawasan pengolahan perikanan; dan d. kawasan pemasaran perikanan. (2) Kawasan perikanan tangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdapat di seluruh pesisir laut kabupaten serta pada Pusat Kegiatan Nelayan Tangkap (PKNT) Kabupaten meliputi Ulu Siau di Kecamatan Siau Timur, Sawang di Kecamatan Siau Timur Selatan, Talawid di Kecamatan Siau Barat Selatan, Makalehi, Mohongsawang di Kecamatan Tagulandang dan Kisihang di Kecamatan Tagulandang Selatan dan Buang di Kecamatan Biaro; (3) Kawasan perikanan budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas: a. pengembangan usaha budidaya laut di Pulau Biaro, Pulau Buhias, Pulau Tagulandang dan di Pulau Pasighe; b. pengembangan usaha budidaya air tawar di Danau Makalehi dan di Danau Kapeta. (4) Kawasan pengolahan perikanan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf c terdapat di semua klaster pengembangan; (5) Kawasan pemasaran perikanan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf d terdapat di klaster Siau, klaster Tagulandang; (6) Pengelolaan ruang wilayah laut di lakukan melalui penetapan Zonasi Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil. Pasal 36 (1) Kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana dimaksud pada Pasal 33 huruf c terdiri atas : a. Kawasan pariwisata budaya; b. Kawasan pariwisata alam;
c. Kawasan pariwisata bahari; dan d. Kawasan pariwisata buatan. (2) Kawasan pariwisata budaya, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi : a. pengembangan kawasan budaya dan purbakala bukit tengkorak Pulau Makalehi di Kecamatan Siau Barat, bukit tengkorak Birarikei di Kecamatan Tagulandang Utara dan bukit tengkorak Tanganga di Kecamatan Siau Barat Selatan; b. pengembangan wisata budaya dan sejarah pada lokasi makam Raja Siau Lokombanua di Kecamatan Siau Barat dan Makam Raja-Raja Siau lainnya yang ada di Kecamatan Siau Barat dan Kecamatan Siau Timur; Makam Panglima Hengkenggunaung di Kecamatan Siau Barat Utara; Makam Pendeta Paul Kelling di Kecamatan Siau Timur; Makam Pendeta F. Kelling di Kecamatan Tagulandang; Makam Raja H.P.H Jacobs di Kecamatan Tagulandang; Makam Panglima Walandungo dan Ratu Lohoraung di Kecamatan Tagulandang, dan Ake Sio (sembilan sumur) di Kecamatan Siau Tengah; c. pengelolaan pemukiman lingkungan sosial masyarakat adat di seluruh wilayah kabupaten; dan d. penggalian dan pelestarian seni budaya di seluruh wilayah kabupaten kepulauan Siau Tagulandang Biaro. (3) Kawasan pariwisata alam, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. pengembangan kawasan danau makalehi sebagai kawasan ekowisata; b. pengembangan kawasan danau kapeta sebagai kawasan ekowisata; c. pengembangan kawasan agrowisata perkebunan pala di Pulau Siau dan perkebunan salak di Kecamatan Tagulandang Utara dan Kecamatan Tagulandang; d. pengembangan wisata pantai di seluruh gugusan pantai Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro; e. pengembangan wisata hutan mangrove di Pulau Tagulandang, Pulau Pasighe, Biaro dan Pihise di Kecamatan Siau Barat Selatan; f. pengelolaan permandian air panas alami lehi Kecamatan Siau Barat utara dan Bulangan Kecamatan Tagulandang Utara; dan g. pengembangan wisata alam geowisata dan pegunungan di Gunung Karangetang Kecamatan Siau timur, Gunung Ruang di Pulau Ruang Kecamatan Tagulandang. (4) Kawasan pariwisata bahari, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi Pengembangan wisata Diving, Snorkeling dan Surfing di Pulau Mahoro, Pulau Ruang, Pulau Tagulandang, Pulau Salangka, Pulau Biaro, Pantai Kiawang dan seluruh wilayah kabupaten yang memiliki potensi wisata bahari; (5) Kawasan pariwisata buatan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berupa pembangunan taman bertema atau pengembangan kampung wisata sesuai dengan kearifan lokal dan di sesuaikan dengan potensi Kabupaten;
(6) Pengembangan kawasan pariwisata di Kecamatan Siau Timur Selatan, Kecamatan Siau Barat Selatan dan Kecamatan Biaro; dan (7) Pengembangan kawasan wisata pulau terluar Makalehi. Pasal 37 Kawasan peruntukkan permukiman sebagaimana dimaksud pada Pasal 33 huruf d di wilayah Kabupaten adalah kawasan yang secara teknis dapat dimanfaatkan untuk pengembangan pemukiman yang sehat, nyaman dan aman dari bahaya bencana alam, yang terdiri dari : a. permukiman perkotaan meliputi permukiman di Kawasan Perkotaan Ulu, Kawasan Perkotaan Ondong dan Kawasan Perkotaan Buhias; dan b. permukiman
perkampungan
meliputi
permukiman
yang
terbentuk
di kawasan perkampungan sebagai sentra produksi yang tersebar di seluruh wilayah Kepulauan Siau Tagulandang Biaro. Pasal 38 (1) Kawasan peruntukan industri pengolahan di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro sebagaimana kawasan
yang
pengolahan
diperuntukan
non
polutan
dimaksud pada Pasal 33 huruf e adalah bagi
untuk
pengembangan pengolahan
kegiatan
hasil
industri
perikanan
dan
pertanian/perkebunan; (2) Kegiatan industri pengolahan Pala dikembangkan di Kecamatan Siau Barat, Kecamatan Siau Barat Utara, Kecamatan Siau Timur, dan Kecamatan Siau Tengah; (3) Kegiatan industri pengolahan Kelapa dikembangkan di Kecamatan Siau Barat, Kecamatan Siau Barat Utara, Kecamatan Siau Timur, Kecamatan Siau Tengah dan Kecamatan Tagulandang.; (4) Kegiatan
industri
pengolahan
Salak
dikembangkan
di
Kecamatan
Tagulandang Utara dan Kecamatan Tagulandang; (5) Kegiatan industri pengolahan ikan berupa produk ikan beku, ikan kayu, ikan kaleng dan tepung ikan dikembangkan di lokasi PKNT yaitu di klaster Siau, Makalehi, Pahepa dan klaster Biaro. Pasal 39 Rencana pengembangan kawasan peruntukan industri adalah sebagai berikut : a. pemanfaatan kawasan industri harus diperuntukan sebesar-besarnya bagi upaya mensejahterakan masyarakat melalui peningkatan nilai tambah dan peningkatan pendapatan yang tercipta akibat efisiensi biaya investasi dan proses aglomerasi, dengan tetap mempertahankan kelestarian fungsi lingkungan hidup;
b. jenis industri yang dikembangkan harus mampu menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kualitas sumber daya masyarakat setempat. Untuk jenis industri yang dikembangkan harus memiliki hubungan keterkaitan yang kuat
dengan karakteristik lokasi setempat, seperti kemudahan akses
ke bahan baku dan atau kemudahan akses ke pasar; c. kawasan peruntukan industri wajib memiliki dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), sehingga dapat ditetapkan kriteria jenis industri yang diijinkan beroperasi di kawasan tersebut; d. untuk mempercepat pengembangan kawasan peruntukan, di dalam kawasan peruntukan industri dapat dibentuk suatu perusahaan yang mengelola kawasan industri; dan e. khusus
untuk
kawasan
industri
Kecil
maka,
pihak
industri
cukup
menyiapkan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL). Pasal 40 (1) Kawasan
peruntukkan
pertambangan
sebagaimana
dimaksud
pada
Pasal 33 huruf f, terdiri atas : a. kawasan peruntukan pertambangan mineral logam; dan b. kawasan peruntukan pertambangan mineral bukan logam dan batuan. (2) Kawasan peruntukan pertambangan mineral logam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi : a. biji besi Kanang Kecamatan Siau Timur; b. pasir besi Titan Kecamatan Tagulandang; dan c. mineral logam di Kecamatan Biaro. (3) Kawasan peruntukan pertambangan mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi : a. basalt di Bebali Kecamatan Siau timur; b. batu setengah permata di Pulau Tagulandang; c. pertambangan Batu Belah di Bebali Kecamatan Siau Timur dan Pulau Ruang Kecamatan Tagulandang; d. pertambangan Pasir hasil endapan Gunung api Karangetang di
Bebali
dan Gunung Api Ruang di Pulau Ruang Kecamatan Tagulandang; dan e. batuan Koalin Kecamatan Siau Timur Selatan. Pasal 41 Rencana pengembangan kawasan peruntukan pertambangan adalah sebagai berikut : a. pemanfaatan kawasan pertambangan harus diperuntukan sebesar-besarnya bagi upaya mensejahterakan masyarakat melalui peningkatan nilai tambah dan peningkatan pendapatan yang tercipta akibat penambangan dengan tetap mempertahankan kelestarian fungsi lingkungan hidup;
b. pemanfaatan kawasan pertambangan yang dikembangkan harus mampu menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kualitas sumber daya masyarakat setempat serta harus memiliki hubungan keterkaitan yang kuat dengan karakteristik lokasi setempat; c. untuk mempercepat pengembangan kawasan peruntukan, di dalam kawasan peruntukan Pertambangan dapat dibentuk suatu perusahaan daerah yang mengelola kawasan Pertambangan; dan d. pemanfaatan Kawasan Pertambangan wajib memiliki dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), sehingga dapat diijinkan beroperasi di kawasan tersebut. Pasal 42 (1) Kawasan peruntukkan lainnya sebagaimana dimaksud pada Pasal 33 huruf g, berupa peruntukkan pertahanan dan keamanan; (2) Rencana pengembangan Kawasan Peruntukan Pertahanan dan Keamanan meliputi : a. pembangunan Kantor Kepolisian Resort (POLRES) di Ondong Kecamatan Siau Barat; b. pembangunan
Kantor
Komando
Distrik
Militer
(KODIM)
Ondong
Kecamatan Siau Barat; dan c. pembangunan Pos Pengamanan Wilayah Laut di Makalehi Kecamatan Siau Barat. Pasal 43 (1) Pemanfaatan kawasan untuk peruntukan lainnya, sebagaimana dimaksud pada Pasal 42 ayat (1) dapat dilaksanakan apabila tidak mengganggu fungsi kawasan
yang
bersangkutan
dan
tidak
melanggar
Ketentuan
Umum
Peraturan Zonasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini; (2) Pemanfaatan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatas, dapat dilaksanakan
setelah
adanya
kajian
komprehensif
dan
mendapat
rekomendasi dari Satuan Kerja Perangkat Daerah yang membidangi penataan ruang di wilayah Kabupaten. BAB VI PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS Pasal 44 (1) Kawasan strategis yang ada di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, terdiri atas : a. kawasan strategis nasional; b. kawasan strategis provinsi; dan c. kawasan strategis kabupaten.
(2) Rencana
kawasan
strategis
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1),
digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1 : 50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini; (3) Kawasan Strategis Nasional yang ada di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, adalah Kawasan pulau terluar Makalehi yang merupakan kawasan strategis dari sudut kepentingan Pertahanan dan Keamanan; (4) Kawasan Strategis Provinsi yang ada di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, adalah Kawasan Pengembangan Ekonomi (KPE) Sangihe termasuk Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro didalamnya, yang merupakan kawasan strategis dari sudut Kepentingan Pengembangan Ekonomi. Pasal 45 (1) Kawasan strategis kabupaten sebagaimana dimaksud pada Pasal 44 ayat (1) huruf c, terdiri atas : a. kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan ekonomi; b. kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan sosial budaya; dan c. kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. (2) Kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi : a. kawasan pusat perdagangan dan jasa di Kawasan Perkotaan Ulu Siau, Kecamatan Siau Timur dan Buhias Kecamatan Tagulandang; b. kawasan perkebunan komoditi Pala, meliputi wilayah Pulau Siau dan Pulau Tagulandang; c. kawasan perkebunan komoditi Salak, di Kecamatan Tagulandang Utara dan Kecamatan Tagulandang; d. kawasan sentra perikanan tangkap : di semua klaster pengembangan Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro; e. kawasan budidaya laut di Pulau Biaro Kecamatan Biaro, Pulau Buhias Kecamatan Siau Timur Selatan dan Pulau Pasighe Kecamatan Tagulandang; f. kawasan Minapolitan di Pulau Makalehi Kecamatan Siau Barat, Ulu Kecamatan Siau Timur, Buhias Kecamatan Tagulandang dan Pulau Biaro; g. kawasan Pelabuhan Perikanan (PPI) di Ulu Kecamatan Siau Timur, Humbia Kecamatan Tagulandang Selatan, Pulau makalehi di Kecamatan Siau Barat dan Dalingsaheng di Kecamatan Biaro; h. kawasan wisata bahari di sekitar Pulau Biaro, Pulau Salangka, Pulau Ruang, Pulau Tagulandang, Pulau Makalehi dan Pulau Mahoro;
i.
kawasan Reklamasi Pantai Ulu di Kecamatan Siau Timur, Pantai Ondong
di Kecamatan Siau barat, Pantai Pihise di Kecamatan Siau Barat Selatan dan pantai Buhias di Kecamatan Tagulandang; dan j. kawasan Agropolitan Pala di Pulau Siau dan Kawasan Agropolitan Salak di Pulau Tagulandang. (3) Kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan sosial budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri dari : a. kawasan perkantoran pusat pemerintahan Kabupaten di Ondong Kecamatan Siau Barat; b. kawasan bukit tengkorak pulau Makalehi; c. kawasan bukit tengkorak Birarikei Kecamatan Tagulandang Utara; d. kawasan bukit tengkorak Tanganga Kecamatan Siau Barat Selatan e. kawasan makam Raja Lokongbanua Kecamatan Siau Barat dan Kawasan Makam Panglima Hengkengnaung di Kecamatan Siau Barat Utara; f. kawasan makam Raja Siau lainnya di Kecamatan Siau Barat dan Kecamatan Siau Timur; g. kawasan makam Pendeta Paul Kelling di Kecamatan Siau Timur; h. kawasan makam Pendeta F. Kelling dan Kawasan Makam Raja H.P.H Jacobs di Kecamatan Tagulandang; dan i. kawasan makam Raja Tagulandang lainnya, Kawasan Makam Ratu Lohoraung dan Kawasan Makam Panglima Walandungo di Kecamatan Tagulandang. (4) Kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri dari : a. Kawasan Hutan Lindung Bulude Tamata dengan luas kurang lebih 1.006 ha terletak di Kecamatan Siau Barat Selatan, Kecamatan Siau Timur Selatan, Kecamatan Siau Barat, Kecamatan Siau Tengah dan Kecamatan Siau Timur; b. Kawasan Hutan Lindung Gunung Begambalo dengan luas kurang lebih 735 ha terletak di Kecamatan Siau Timur Selatan dan Kecamatan Siau Barat Selatan; c. Kawasan Hutan Lindung Pulau Tagulandang dengan luas kurang lebih 337 ha terletak di Pulau Tagulandang; d. Kawasan Hutan Lindung Pulau Tagulandang Lokasi 2 (dua) dengan luas kurang lebih 419 ha terletak di pulau Tagulandang; e. Kawasan Hutan Lindung Gunung Ruang dengan luas kurang lebih 622 ha terletak di Kecamatan Tagulandang. f. Kawasan Resapan Air puncak Gunung Karangetang, Bulude Kalai, Bulude Tamata, Bulude Begangbalo, Bulude Tontonbulo, Bulude Baliang, Bulude Masio, Bulude Papalamang terletak di Pulau Siau; g. Kawasan Resapan Air Wuluru Balinge, Wuluru Kaloko, Wuluru Panentean, Wuluru Wangkulang, Wuluru Kalongan, Wuluru Siwohi, Wuluru Hinginte, Wuluru Walangake, Wuluru Bongkongkaka, Wuluru Timbang terletak di Pulau Tagulandang;
h. Kawasan Resapan Air Wuluri Bukide, Bukiri Himbang, Bukiri Bulo terletak di Pulau Biaro; dan i. Kawasan pantai berhutan bakau, berterumbu karang dan berpadang lamun di Tanaki dan Kapeta Kecamatan Siau Barat Selatan, Pulau Biaro dan Hutan Bakau Pulau Pasighe, Pulau tagulandang dan Pulau Pahepa.
BAB VII KETENTUAN PEMANFAATAN RUANG Pasal 46 Ketentuan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 huruf e berpedoman, pada : a. rencana struktur ruang, rencana pola ruang dan penetapan kawasan strategis kabupaten; b. ketersediaan sumber daya dan sumber dana; c. kesepakatan para pemangku kepentingan dan kebijakan yang ditetapkan; d. prioritas pengembangan wilayah kabupaten dan pentahapan rencana pelaksanaan program sesuai dengan RPJPD, RPJMD Kabupaten; dan e. ketentuan peraturan perundang-undangan terkait.
Pasal 47 (1) Ketentuan Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya; (2) Ketentuan Penyusunan pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan dalam rangka pemanfaatan ruang di kawasan budidaya dan kawasan lindung yang diselenggarakan oleh pemerintah, swasta/dunia usaha dan masyarakat harus berdasar pada pokok-pokok kebijakan Peraturan Daerah ini; (3) Program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk jabaran dari indikasi program utama yang termuat didalam lampiran rencana tata ruang wilayah; (4) Ketentuan Pemanfaatan ruang diselenggarakan secara bertahap sesuai dengan jangka waktu indikasi program utama pemanfaatan ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah; (5) Ketentuan Pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam
rencana
penatagunaan
tata
tanah,
ruang
dilaksanakan
penatagunaan
air,
dengan
pengembangan
penatagunaan
udara
dan
penatagunaan sumber daya alam lainnya; (6) Pelaksanaan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro dilaksanakan dengan mekanisme dan prosedur yang ditetapkan oleh Bupati.
Pasal 48 Program pengembangan struktur ruang meliputi : a. program pengembangan sistem perkotaan; b. program pengembangan sistem perdesaan; c. program pengembangan sistem transportasi; d. program pengembangan sistem energi listrik dan telekomunikasi; e. program pengembangan sumber daya air; f.
program pengembangan sistem prasarana pengelolaan lingkungan;
g. program pengembangan kawasan strategis; dan h. program pengembangan kawasan pertahanan. Pasal 49 (1) Program pengembangan sistem perkotaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 48 huruf a dilakukan untuk mewujudkan struktur ruang Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro 2014 – 2034 meliputi : a. pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh; b. pengembangan kawasan perkotaan; c. pengembangan perumahan; d. pengembangan lingkungan sehat perumahan; e. pembangunan daerah rawan bencana; f. pengelolaan ruang terbuka hijau; g. reklamasi kawasan pantai yang tidak berpotensi merusak mangrove, terumbu karang dan padang lamun; dan h. rehabilitasi wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan terluar. (2) Program pengembangan sistem perdesaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 48 huruf b meliputi: a. pembangunan infrastruktur perkampungan; b. pengembangan lingkungan sehat perumahan; c. pengembangan lembaga ekonomi perkampungan; dan d. peningkatan keberdayaan masyarakat perkampungan; (3) Program
pengembangan
transportasi
sebagaimana
dimaksud
pada
Pasal 48 huruf c dilakukan untuk meningkatkan dan mempertahankan tingkat pelayanan infrastruktur transportasi, guna mendukung tumbuhnya pusat-pusat pertumbuhan, meliputi : a. peningkatan kapasitas pelayanan sistem jaringan jalan; b. peningkatan pelayanan sistem jaringan jalan kolektor primer; c. pengembangan angkutan massal; d. pembangunan sarana dan prasarana perhubungan; e. peningkatan jaringan jalan guna menunjang akses pelayanan pelabuhan dan bandar udara; dan f.
peningkatan kapasitas dan pelayanan pelabuhan dan bandar udara.
(4) Program pengembangan energi listrik dan telekomunikasi sebagaimana dimaksud
pada
Pasal
48
huruf
d
dilakukan
untuk
meningkatkan
ketersediaan energi dan jaringan telekomunikasi, meliputi : a. pembangunan instalasi baru, pengoperasian instalasi penyaluran dan peningkatan jaringan distribusi; b. pembangunan
prasarana
listrik
yang
bersumber
dari
energi
alternatif; dan c. pengembangan fasilitas telekomunikasi perkampungan dan model-model telekomunikasi alternatif. (5) Program pengembangan sumberdaya air dan irigási sebagaimana dimaksud pada Pasal 48 huruf e dilakukan untuk mewujudkan keseimbangan ketersediaan air pada musim hujan dan kemarau serta meningkatkan dan mempertahankan jaringan irigasi dalam rangka ketahanan pangan, meliputi : a. pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi, rawa dan jaringan pengairan lainnya; b. penyediaan dan pengelolaan air baku; c. pengembangan, pengelolaan dan konservasi sungai, danau dan sumber air lainya; d. pengembangan kinerja pengelolaan air minum dan air limbah; dan e. pengembangan pengendalian banjir. (6) Program
pengembangan
sistem
prasarana
pengelolaan
lingkungan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 48 huruf f, meliputi : a. pengembangan kinerja pengelolaan persampahan; b. pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup; c. perlindungan dan konservasi sumber daya alam dan sumberdaya hayati; dan d. rehabilitasi dan pemulihan cadangan sumber daya alam. (7) Program pengembangan kawasan strategis sebagaimana dimaksud pada Pasal 48 huruf g, dilakukan melalui program pengembangan agribisnis, industri,
pariwisata,
bisnis
kelautan,
jasa,
lingkungan
hidup
dan
pengembangan sumberdaya manusia; (8) Program pengembangan kawasan pertahanan sebagaimana dimaksud pada Pasal 48 huruf h, dilakukan melalui : a. pengukuhan lokasi kawasan pertahanan dan keamanan; b. sosialisasi lokasi kawasan pertahanan dan keamanan; dan c. penyusunan petunjuk operasional pemanfaatan ruang pada kawasan pertahanan dan keamanan.
BAB VIII KETENTUAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG Bagian kesatu Umum Pasal 50 (1) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan dengan mencermati konsistensi kesesuaian antara pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang dan kawasan strategis; (2) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 huruf f, menjadi acuan pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kabupaten; (3) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), meliputi : a. ketentuan umum peraturan zonasi; b. ketentuan perizinan; c. ketentuan pemberian intensif dan disinsentif; dan d. ketentuan sanksi. Bagian kedua Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Pasal 51 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 50 ayat (3) huruf a, menjadi pedoman bagi penyusunan peraturan zonasi kabupaten; (2) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung; b. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan budidaya; dan c. ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem jaringan prasarana nasional, provinsi dan kabupaten. Paragraf 1 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Kawasan Lindung Pasal 52 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung sebagaimana dimaksud pada Pasal 51 ayat (2) huruf a, meliputi : a. kawasan hutan lindung; b. kawasan resapan air; c. kawasan sempadan pantai;
d. kawasan sempadan sungai; e. kawasan sekitar danau; f. kawasan sekitar mata air; g. kawasan ruang terbuka hijau; h. kawasan rawan bencana; dan i. kawasan lindung geologi. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan budidaya sebagaimana dimaksud pada Pasal 51 ayat (2) huruf b, meliputi : a. kawasan perkebunan; b. kawasan pertanian; c. kawasan perikanan; d. kawasan industri; e. kawasan pariwisata; f. kawasan permukiman; g. kawasan pertambangan; dan h. kawasan peruntukkan lainnya. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem jaringan prasarana nasional, provinsi dan kabupaten sebagaimana dimaksud pada Pasal 51 ayat (2) huruf c, meliputi : a. sistem perkotaan; b. sistem jaringan transportasi; c. sistem jaringan prasarana energi; d. sistem jaringan prasarana telekomunikasi; e. sistem jaringan sumberdaya air; dan f. sistem prasarana lingkungan. Pasal 53 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a ditetapkan sebagai berikut : a. pemanfaatan kawasan pada hutan lindung dilakukan dengan ketentuan : 1. tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya; 2. tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi; 3. tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam. b. kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung masih diperkenankan sepanjang tidak dilakukan secara terbuka, dengan syarat harus dilakukan reklamasi areal bekas penambangan sehingga kembali berfungsi sebagai kawasan lindung; c. kawasan hutan lindung dapat dikelola atau dipinjampakaikan sepanjang mengikuti prosedur dan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. pembangunan prasarana wilayah yang harus melintasi hutan lindung dapat diperkenankan dengan ketentuan : 1. tidak menyebabkan terjadinya perkembangan pemanfaatan ruang budidaya di sepanjang jaringan prasarana tersebut; 2. mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh kementerian kehutanan.
Pasal 54 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan resapan air sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 ayat (1) huruf b, ditetapkan sebagai berikut : a. dalam kawasan resapan air tidak diperkenankan adanya kegiatan budidaya; b. permukiman yang sudah terbangun di dalam kawasan resapan air sebelum ditetapkan sebagai kawasan lindung masih diperkenankan namun harus memenuhi syarat : 1. tingkat kerapatan bangunan rendah (KDB maksimum 20% dan KLB maksimum 40%); 2. perkerasan permukaan menggunakan bahan yang memiliki daya serap air tinggi; dan 3. dalam kawasan resapan air wajib dibangun sumur-sumur resapan sesuai ketentuan yang berlaku. Pasal 55 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan pantai sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 ayat (1) huruf c ditetapkan sebagai berikut : a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau; b. pengembangan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah abrasi; c. pendirian bangunan yang dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan rekreasi pantai; d. ketentuan
pelarangan
pendirian
bangunan
selain
yang
dimaksud
pada huruf b; e. ketentuan pelarangan semua jenis kegiatan yang dapat menurunkan luas, nilai ekologis dan estetika kawasan; f.
dalam kawasan sempadan pantai yang termasuk dalam zona inti wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya kecuali kegiatan penelitian, bangunan pengendali air dan sistem peringatan dini (early warning system). Pasal 56
Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 ayat (1) huruf d, ditetapkan sebagai berikut : a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau; b. ketentuan
pelarangan
pendirian
bangunan
kecuali
bangunan
yang
dimaksudkan untuk pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan air; c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang fungsi taman rekreasi; d. pemanfaatan ruang pada kawasan di sekitar wilayah sungai dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan dan fungsi lindung kawasan; e. penetapan
lebar
sempadan
perundang-undangan; dan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
f.
dalam kawasan sempadan sungai masih diperkenankan dibangun prasarana wilayah dan utilitas lainnya dengan ketentuan : 1. tidak menyebabkan terjadinya perkembangan pemanfaatan ruang budidaya di sepanjang jaringan prasarana tersebut; dan 2. dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 57
Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar danau sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 ayat (1) huruf e, ditetapkan sebagai berikut : a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau; b. ketentuan
pelarangan
pendirian
bangunan
kecuali
bangunan
yang
dimaksudkan untuk pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan air; c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang fungsi taman rekreasi; d. penetapan lebar sempadan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan e. dalam kawasan sempadan danau masih diperkenankan dibangun prasarana wilayah dan untilitas lainnya sepanjang : 1. tidak
menyebabkan
terjadinya
perkembangan
pemanfaatan
ruang
budidaya di sekitar jaringan prasarana tersebut; dan 2. pembangunannya dilakukan sesuai ketentuan peraturan yang berlaku. Pasal 58 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar mata air sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 ayat (1) huruf f, ditetapkan sebagai berikut : a. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budi daya tidak terbangun yang memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan; b. penyediaan sumur resapan dan/atau waduk pada lahan terbangun yang sudah ada; c. penerapan prinsip zero delta Q policy terhadap setiap kegiatan budidaya terbangun yang diajukan izinnya; d. dalam kawasan sempadan sekitar mata air tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya yang dapat merusak mata air, kecuali daerah/wilayah mata air yang secara eksisting telah menjadi kawasan permukiman dan kawasan budidaya; e. pelarangan
kegiatan
yang
dapat
menimbulkan
pencemaran
terhadap
mata air; dan f.
dalam kawasan sempadan mata air masih diperkenankan dilakukan kegiatan penunjang pariwisata alam sesuai ketentuan yang berlaku.
Pasal 59 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 ayat (1) huruf g, ditetapkan sebagai berikut : a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan rekreasi; b. kawasan ruang terbuka hijau untuk wilayah kabupaten berupa hutan seluas paling sedikit 30% dari luas Wilayah Kota; c. kawasan ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 % dari luas wilayah kota; d. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk bangunan penunjang kegiatan rekreasi dan fasilitas umum dan pelayanan sosial lainnya secara terbatas dan memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku; e. ketentuan pelarangan pendirian bangunan permanen selain yang dimaksud pada huruf d; dan f. pelarangan semua jenis kegiatan yang dapat menurunkan luas, nilai ekologis dan estetika kawasan. Pasal 60 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 ayat (1) huruf h, ditetapkan sebagai berikut : a. perkembangan kawasan permukiman yang sudah terbangun di dalam kawasan rawan bencana alam harus dibatasi dan diterapkan peraturan bangunan (building code) sesuai dengan potensi bahaya/bencana alam, serta dilengkapi jalur evakuasi; b. kegiatan-kegiatan vital/strategis diarahkan untuk tidak dibangun pada kawasan rawan bencana; c. dalam kawasan rawan bencana masih dapat dilakukan pembangunan prasarana penunjang untuk mengurangi resiko bencana alam dan pemasangan sistem peringatan dini (early warning system); d. dalam kawasan rawan bencana masih diperkenankan adanya kegiatan budidaya lain seperti pertanian, perkebunan dan kehutanan serta bangunan yang berfungsi untuk mengurangi resiko yang timbul akibat bencana alam. Pasal 61 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 ayat (1) huruf i, ditetapkan sebagai berikut : a. pada kawasan lindung geologi tidak diperkenankan adanya kegiatan permukiman; b. kawasan yang tidak terganggu fungsi lindungnya dapat diperuntukan bagi kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. kegiatan permukiman yang sudah terlanjur terbangun pada kawasan rawan bencana geologi harus mengikuti peraturan bangunan (building code) yang sesuai dengan potensi bencana geologi yang mungkin timbul dan dibangun jalur evakuasi;
d. pada kawasan bencana alam geologi, budidaya permukiman dibatasi dan bangunan yang ada harus mengikuti ketentuan bangunan pada kawasan rawan bencana alam geologi; e. pada kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah tidak diperkenankan adanya bangunan terkecuali bangunan yang terkait dengan sistem jaringan prasarana wilayah dan pengendali air; f. dalam kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah masih diperkenankan budidaya pertanian, perkebunan dan kehutanan sepanjang tidak mengganggu fungsi lindung terhadap air tanah; g. pada kawasan lindung geologi masih diperkenankan dilakukan budidaya pertanian, perkebunan dan kehutanan. Paragraf 2 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Kawasan Budidaya Pasal 62 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 ayat (2) huruf a, ditetapkan sebagai berikut : a. dalam kawasan perkebunan dan perkebunan rakyat tidak diperkenankan penanaman jenis tanaman perkebunan yang bersifat menyerap air dalam jumlah banyak, terutama kawasan perkebunan yang berlokasi di daerah hulu/kawasan resapan air; b. bagi kawasan perkebunan besar tidak diperkenankan merubah jenis tanaman perkebunan yang tidak sesuai dengan perizinan yang diberikan; c. dalam kawasan perkebunan besar dan perkebunan rakyat diperkenankan adanya bangunan yang bersifat mendukung kegiatan perkebunan dan jaringan prasarana wilayah; d. sebelum kegiatan perkebunan besar dilakukan diwajibkan untuk dilakukan studi kelayakan dan studi AMDAL yang hasilnya disetujui oleh tim evaluasi dari lembaga yang berwenang; dan e. kegiatan perkebunan tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan lindung. Pasal 63 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertanian sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 ayat (2) huruf b, ditetapkan sebagai berikut : a. kegiatan budidaya pertanian tanaman pangan lahan basah dan lahan kering tidak diperkenankan menggunakan lahan yang dikelola dengan mengabaikan kelestarian lingkungan, misalnya penggunaan pupuk yang menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan pengolahan tanah yang tidak memperhatikan aspek konservasi; b. dalam pengelolaan pertanian tanaman pangan lahan basah tidak diperkenankan pemborosan penggunaan sumber air;
c. peruntukan budidaya pertanian pangan lahan basah dan lahan kering diperkenankan untuk dialihfungsikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kecuali lahan pertanian tanaman pangan yang telah mempunyai ketetapan hukum; d. pada kawasan budidaya pertanian diperkenankan adanya bangunan prasarana wilayah dan bangunan yang bersifat mendukung kegiatan pertanian; e. dalam kawasan pertanian masih diperkenankan dilakukan kegiatan wisata alam secara terbatas, penelitian dan pendidikan; dan f. kegiatan pertanian tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan lindung. Pasal 64 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perikanan sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 ayat (2) huruf c, ditetapkan sebagai berikut : a. kawasan budidaya perikanan tidak diperkenankan berdekatan dengan kawasan yang bersifat polutif; b. dalam kawasan perikanan masih diperkenankan adanya kegiatan lain yang bersifat mendukung kegiatan perikanan dan pembangunan sistem jaringan prasarana sesuai ketentuan yang berlaku; c. kawasan perikanan diperkenankan untuk dialihfungsikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. dalam kawasan perikanan masih diperkenankan dilakukan kegiatan wisata alam secara terbatas, penelitian dan pendidikan; dan e. kegiatan perikanan tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan lindung. Pasal 65 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan industri sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 ayat (2) huruf d, ditetapkan sebagai berikut : a. untuk
meningkatkan
produktifitas
dan
kelestarian
lingkungan
pengembangan kawasan industri harus memperhatikan aspek ekologis; b. lokasi kawasan industri tidak diperkenankan berbatasan langsung dengan kawasan permukiman; c. pada kawasan industri diperkenankan adanya permukiman penunjang kegiatan industri yang dibangun sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku; d. pada kawasan industri masih diperkenankan adanya sarana dan prasarana wilayah sesuai dengan ketentuan yang berlaku; e. pengembangan kawasan industri harus dilengkapi dengan jalur hijau (greenbelt) sebagai penyangga antar fungsi kawasan dan sarana pengolahan limbah;
f.
pengembangan zona industri yang terletak pada sepanjang jalan arteri atau kolektor harus dilengkapi dengan frontage road untuk kelancaran aksesibilitas; dan g. setiap kegiatan industri wajib memiliki upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan serta dilakukan studi AMDAL. Pasal 66 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 ayat (2) huruf e ditetapkan sebagai berikut : a. pada kawasan pariwisata alam tidak diperkenankan dilakukan kegiatan yang dapat menyebabkan rusaknya kondisi alam terutama yang menjadi obyek wisata alam; b. dalam kawasan pariwisata dilarang dibangun permukiman dan industri yang tidak terkait dengan kegiatan pariwisata; c. dalam kawasan pariwisata diperkenankan adanya sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan pariwisata dan sistem prasarana wilayah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; d. pada kawasan pariwisata diperkenankan dilakukan penelitian dan pendidikan; e. pada kawasan pariwisata alam tidak diperkenankan adanya bangunan lain kecuali bangunan pendukung kegiatan wisata alam; dan f. pengembangan pariwisata wajib memiliki UKL dan UPL serta studi AMDAL. Pasal 67 Ketentuan
umum
peraturan
zonasi
kawasan
permukiman
sebagaimana
dimaksud pada Pasal 52 ayat (2) huruf f, ditetapkan sebagai berikut : a. pemanfaatan ruang untuk kawasan peruntukan pemukiman harus sesuai dengan daya dukung tanah setempat dan harus dapat menyediakan lingkungan yang sehat dan aman dari bencana alam serta dapat memberikan lingkungan hidup yang sesuai bagi pengembangan masyarakat, dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup; b. kawasan peruntukan permukiman harus memiliki prasarana jalan dan terjangkau oleh sarana transportasi umum; c. pemanfaatan dan pengelolaan kawasan peruntukan pemukiman harus didukung oleh ketersediaan fasilitas fisik atau utilitas umum (pasar, pusat perdagangan dan jasa, perkantoran, sarana air minum, persampahan, penanganan
limbah
dan
drainase)
dan
fasilitas
sosial
(kesehatan, pendidikan, agama); d. tidak mengganggu fungsi lindung yang ada; e. tidak mengganggu upaya pelestarian kemampuan sumber daya alam; f.
peruntukan kawasan permukiman diperkenankan untuk dialihfungsikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
g. pada kawasan permukiman diperkenankan adanya sarana dan prasarana pendukung fasilitas permukiman sesuai dengan petunjuk teknis dan peraturan yang berlaku; h. dalam kawasan permukiman masih diperkenankan dibangun prasarana wilayah sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku; i.
kawasan permukiman harus dilengkapi dengan fasilitas sosial termasuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan dengan luas paling sedikit 30% dari luas kawasan perkotaan;
j.
dalam kawasan permukiman masih diperkenankan adanya kegiatan industri skala rumah tangga dan fasilitas sosial ekonomi lainnya dengan skala pelayanan lingkungan;
k. kawasan permukiman tidak diperkenankan dibangun di dalam kawasan lindung/konservasi dan lahan pertanian dengan irigasi teknis; l.
dalam kawasan permukiman tidak diperkenankan dikembangkan kegiatan yang mengganggu fungsi permukiman dan kelangsungan kehidupan sosial masyarakat;
m. pengembangan kawasan permukiman harus dilakukan sesuai ketentuan peraturan yang berlaku di bidang perumahan dan permukiman; n. pembangunan hunian dan kegiatan lainnya di kawasan permukiman harus sesuai dengan peraturan teknis dan peraturan lainnya yang berlaku (KDB, KLB, sempadan bangunan dan lain sebagainya); dan o. pada kawasan permukiman perkotaan harus disediakan prasarana dan sarana dasar pendukung permukiman yang tersambung dengan sistem prasarana perkotaan yang sudah ada. Pasal 68 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertambangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 ayat (2) huruf g, meliputi : a. pemantauan dan pengendalian kegiatan pengusahaan pertambangan agar tidak mengganggu fungsi lindung dan fungsi-fungsi kawasan lainya; b. percampuran
kegiatan
penambangan
dengan
fungsi
kawasan
lain
diperbolehkan sejauh tidak merubah dominasi fungsi utama kawasan; c. kegiatan pertambangan harus terlebih dahulu memiliki kajian studi AMDAL; d. kegiatan pertambangan mulai dari tahap perencanaan, eksplorasi, eksploitasi dan pasca tambang harus di upayakan sedemikian rupa agar tidak menimbulkan persengketaan dengan masyarakat setempat; e. tidak diperbolehkan menambang batuan di perbukitan yang di bawahnya terdapat mata air penting atau permukiman; dan f.
tidak diperbolehkan menambang bongkah-bongkah batu dari dalam sungai yang terletak di bagian hulu dan di dekat jembatan.
Pasal 69 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan lainnya sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 ayat (2) huruf h, diperuntukan bagi kepentingan pemeliharaan pertahanan dan keamanan negara berdasarkan geostrategik nasional. Paragraf 3 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Sistem Jaringan Prasarana dan Sarana Nasional, Provinsi dan Kabupaten Pasal 70 Ketentuan umum peraturan zonasi sistem perkotaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 ayat (3) huruf a, ditetapkan sebagai berikut : a. sesuai dengan fungsi dan peranan perkotaan yang bersangkutan; b. sesuai
dengan
karakteristik
fisik
perkotaan
dan
sosial
budaya
masyarakatnya; c. mengacu pada standar teknik perencanaan yang berlaku; d. pemerintah kabupaten tidak diperkenankan merubah sistem perkotaan yang telah ditetapkan pada sistem Nasional dan Provinsi, kecuali atas usulan pemerintah kabupaten dan disepakati bersama; dan e. pemerintah
kabupaten
wajib
memelihara
dan
mengamankan
sistem
perkotaan Nasional dan Provinsi yang ada di wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro. Pasal 71 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan transportasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 ayat (3) huruf b, ditetapkan sebagai berikut : a. transportasi darat; b. transportasi laut; dan c. transportasi udara. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan trasportasi darat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, ditetapkan sebagai berikut : a. di
sepanjang
sistem
jaringan
jalan
nasional
dan
provinsi
tidak
diperkenankan adanya kegiatan yang dapat menimbulkan hambatan lalu lintas regional; b. di
sepanjang
sistem
jaringan
jalan
nasional
dan
provinsi
tidak
diperkenankan adanya akses langsung dari bangunan ke jalan; c. bangunan di sepanjang sistem jaringan jalan nasional dan provinsi harus memilki sempadan bangunan yang ketentuannya di tetapkan dengan rencana rinci tata ruang kawasan/zonning regulation;
d. zonasi jaringan jalan harus memenuhi ketentuan tentang : 1. bagian-bagian jalan; dan 2. pemanfaatan bagian-bagian jalan. e. bagian-bagian jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d angka 1 meliputi : 1. ruang manfaat jalan; 2. ruang milik jalan; dan 3. ruang pengawasan jalan. f.
ruang manfaat jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e angka
1,
meliputi
badan
jalan,
saluran
tepi
jalan
dan
ambang
pengamannya yang diperuntukan bagi median, perkerasan jalan, jalur pemisah, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng, ambang pengaman, timbunan dan galian, gorong-gorong, perlengkapan jalan dan bangunan pelengkap lainnya; g. ruang milik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e angka 2, meliputi ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan yang diperuntukkan bagi ruang manfaat jalan, pelebaran jalan dan penambahan jalur lalu lintas di masa akan datang serta kebutuhan ruangan untuk pengamanan jalan; h. ruang milik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f paling sedikit memiliki lebar sebagai berikut: 1. jalan bebas hambatan 30 (tiga puluh) meter; 2. jalan raya 25 (dua puluh lima) meter; 3. jalan sedang 15 (lima belas) meter; dan 4. jalan kecil 11 (sebelas) meter. i. ruang pengawasan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e angka 3, adalah berupa ruang tertentu di luar ruang milik jalan yang penggunaannya ada di bawah pengawasan penyelenggara jalan yang diperuntukkan bagi pandangan bebas pengemudi dan pengamanan konstruksi jalan serta pengamanan fungsi jalan; j. dalam hal ruang milik jalan tidak cukup luas, lebar ruang pengawasan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf h, ditentukan dari tepi badan jalan paling sedikit dengan ukuran sebagai berikut : 1. jalan arteri primer 15 (lima belas) meter; 2. jalan kolektor primer 10 (sepuluh) meter; 3. jalan lokal primer 7 (tujuh) meter; 4. jalan lingkungan primer 5 (lima) meter; 5. jalan arteri sekunder 15 (lima belas) meter; 6. jalan kolektor sekunder 5 (lima) meter; 7. jalan lokal sekunder 3 (tiga) meter; 8. jalan lingkungan sekunder 2 (dua) meter; dan 9. jembatan 100 (seratus) meter ke arah hilir dan hulu. k. pemanfaatan bagian-bagian jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, meliputi : 1. bangunan utilitas;
2. penanaman pohon; dan 3. prasarana moda transportasi lain. l. lokasi terminal tipe B dan C diarahkan kelokasi yang strategis dan memiliki akses ke jalan kolektor primer sesuai peraturan perundangan yang berlaku. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan trasportasi laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, ditetapkan sebagai berikut : a. pelabuhan laut harus memiliki kelengkapan fasilitas pendukung sesuai dengan fungsi dari pelabuhan tersebut; dan b. pelabuhan laut harus memiliki akses ke jalan kolektor primer. (4) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan trasportasi udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, ditetapkan sebagai berikut : a. bandar udara harus memiliki kelengkapan fasilitas pendukung sesuai dengan fungsi dari Bandar udara tersebut; dan b. bandar udara harus memiliki akses ke jalan kolektor primer. (5) Pengembangan kawasan yang menimbulkan bangkitan lalu lintas diharuskan membuat Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) lalu lintas. Pasal 72 Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana energi sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 ayat (3) huruf c, ditetapkan bahwa pada ruang yang berada di bawah SUTT dan SUTET tidak diperkenankan adanya bangunan permukiman, kecuali berada di kiri-kanan SUTT dan SUTET sesuai ketentuan yang berlaku. Pasal 73 Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 ayat (3) huruf d, ditetapkan sebagai berikut : a. ruang Bebas di sekitar menara berjari-jari minimum sama dengan tinggi menara; dan b. diarahkan untuk menggunakan menara telekomunikasi secara bersamasama diantara para penyedia layanan telekomunikasi (provider).
Pasal 74 Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 ayat (3) huruf e, ditetapkan sebagaimana telah diatur pada ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perlindungan setempat.
Pasal 75 Ketentuan umum peraturan zonasi sistem prasarana lingkungan sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 ayat (3) huruf f, berupa Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPS Terpadu) ditetapkan sebagai berikut : a. TPS Terpadu tidak diperkenankan terletak berdekatan dengan kawasan permukiman; b. lokasi TPS Terpadu harus didukung oleh studi AMDAL yang telah disetujui oleh Komisi AMDAL dan instansi yang berwenang; c. pengelolaan sampah dalam TPST dilakukan dengan sistem sanitary landfill sesuai ketentuan peraturan yang berlaku; dan d. dalam lingkungan TPST disediakan prasarana penunjang pengelolaan sampah. Bagian Ketiga Ketentuan Perizinan Pasal 76 (1) Ketentuan perizinan sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 50 ayat (3) huruf b, merupakan acuan bagi pejabat yang berwenang dalam pemberian izin pemanfaatan ruang sesuai rencana struktur ruang dan pola ruang yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah ini; (2) Penghentian kegiatan yang mengganggu fungsi lindung kawasan dengan tingkat kerawanan dan resiko tinggi terhadap kawasan lindungi dan dipertahankan fungsi lindungnya; (3) Izin pemanfaatan ruang diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan kewenangannya dan ketentuan peraturan perundang-undangan; (4) Pemberian izin pemanfaatan ruang dilakukan menurut prosedur atau mekanisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (5) Izin pemanfaatan ruang yang memiliki dampak skala kabupaten diberikan atau mendapat rekomendasi dari Bupati; dan (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai ketentuan perizinan wilayah kabupaten diatur dengan peraturan Bupati. Bagian Keempat Ketentuan Pemberian Insentif dan Disinsentif Pasal 77 (1) Ketentuan pemberian insentif dan disinsentif sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf c, merupakan acuan bagi pejabat yang berwenang dalam pemberian insentif dan pengenaan disinsentif; (2) Ketentuan pemberian insentif dan disinsentif untuk wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro meliputi : a. Ketentuan umum insentif-disinsentif; dan b. Ketentuan khusus insentif-disinsentif.
Pasal 78 (1) Ketentuan umum pemberian insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud pada Pasal 77 ayat (2) huruf a, berisikan Ketentuan pemberlakuan insentif dan disinsentif untuk berbagai pemanfaatan ruang secara umum; (2) Ketentuan khusus pemberian insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud pada Pasal 77 ayat (2) huruf b, ditujukan untuk pemberlakuan insentif dan disinsentif secara langsung pada jenis-jenis pemanfaatan ruang atau kawasan tertentu di wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro. Pasal 79 (1) Insentif diberikan apabila pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana struktur ruang, rencana pola ruang dan ketentuan umum peraturan zonasi yang diatur dalam Peraturan Daerah ini; (2) Disinsentif dikenakan terhadap pemanfaatan ruang yang perlu dicegah, dibatasi, atau dikurangi keberadaannya berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini. Pasal 80 (1) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dalam pemanfaatan ruang wilayah dilakukan oleh pemerintah kabupaten kepada tingkat pemerintah yang lebih rendah (kecamatan/kampung) dan kepada masyarakat (perorangan/kelompok); (2) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dilakukan oleh instansi berwenang sesuai dengan kewenangannya; (3) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dilakukan menurut prosedur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (4) Insentif dan pengenaan disinsentif diberikan oleh Bupati; dan (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai ketentuan pemberian disinsentif diatur dengan Keputusan Bupati.
insentif
dan
Paragraf 1 Ketentuan Umum Pemberian Insentif-Disinsentif Pasal 81 (1) Pemberian insentif diberlakukan pada pemanfaatan ruang yang perlu didorong perkembangannya dan sesuai dengan rencana tata ruang; (2) Pemberian disinsentif diberlakukan bagi kawasan yang dibatasi atau dikendalikan perkembangannya bahkan dilarang dikembangkan untuk kegiatan budidaya.
Pasal 82 (1) Ketentuan pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada Pasal 81 ayat (1), meliputi : a. Pemberian keringanan atau penundaan pajak dan kemudahan proses perizinan; b. Penyediaan sarana dan prasarana kawasan oleh pemerintah untuk memperingan biaya investasi oleh pemohon izin; c. Pemberian kompensasi terhadap kawasan terbangun lama sebelum rencana tata ruang ditetapkan dan tidak sesuai tata ruang serta dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan; dan d. Pemberian kemudahan dalam perizinan untuk kegiatan yang menimbulkan dampak positif. (2) Ketentuan pemberian disinsentif sebagaimana dimaksud pada Pasal 81 ayat (2), meliputi : a. pengenaan pajak yang disesuaikan dengan kegiatan berdasarkan nilai ekonomi masing-masing lokasi di seluruh wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro seperti pusat kota, kawasan komersial, daerah yang memiliki tingkat kepadatan tinggi; b. penolakan pemberian rekomendasi dan izin perpanjangan hak guna usaha, hak guna bangunan terhadap kegiatan yang terlanjur tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi; c. pembatasan sarana dan prasarana bagi daerah yang tidak dipacu pengembangannya, atau pengembangannya dibatasi; dan d. penolakan pemberian izin pemanfaatan ruang budidaya yang akan dilakukan dalam kawasan lindung. Paragraf 2 Ketentuan Khusus Pemberian Insentif-Disinsentif Pasal 83 (1) Ketentuan khusus pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada Pasal 77 ayat (2) huruf b, ditujukan pada pola ruang tertentu yang dinilai harus didorong pemanfaatannya, meliputi : a. kawasan perkotaan Ulu, Ondong dan Buhias Tagulandang dalam kerangka pemantapan Ondong sebagai PKSNp dan Ulu sebagai PKWp; b. kawasan perkebunan yaitu perkebunan pala yang merupakan komoditas unggulan kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro; c. kawasan pesisir dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan; d. kawasan wisata guna peningkatan pendapatan masyarakat dan pendapatan asli daerah (PAD); e. kawasan pusat agropolitan sebagai pusat pengelolaan, pengolahan dan pemasaran hasil perkebunan; dan f. kawasan strategis, yaitu Kawasan Agropolitan dan Kawasan Minapolitan.
(2) Ketentuan khusus pemberian disinsentif sebagaimana dimaksud pada Pasal 77 ayat (2) huruf b, ditujukan pada pola ruang tertentu yang dinilai harus dibatasi dan atau dikendalikan pemanfaatannya, meliputi : a. kawasan rawan bencana, meliputi rawan bencana gunung berapi, rawan bencana tanah longsor, gempa, tsunami atau gelombang pasang dan banjir; b. kawasan Gunung Karangetang, Gunung Begangbalo, Gunung Balinge, Gunung Ruang dan Bulude Tamata sebagai hutan lindung yang menjadi paru-paru Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, pelestarian alam, cagar alam dan wisata alam; c. kawasan pertanian dan perkebunan yang berada pada kawasan hutan lindung; d. kawasan pertambangan yang dalam pemanfaatannya mempunyai dampak penting; dan e. kawasan keselamatan operasi penerbangan dan kawasan kebisingan disekitar bandar udara. Pasal 84 (1) Ketentuan
khusus
pemberian
insentif
sebagaimana
dimaksud
pada
Pasal 83 ayat (1) meliputi : a. insentif fiskal; dan b. insentif non-fiskal. (2) Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi : a. penghapusan retribusi; b. pengurangan atau penghapusan PBB melalui mekanisme restitusi pajak oleh dana APBD; dan c. bantuan subsidi, modal bergulir atau penyertaan modal. (3) Pemberian insentif non-fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi : a. kemudahan dalam perizinan bagi pengusaha; b. penyediaan dan atau kemudahan memperoleh sarana dan prasarana permukiman; c. bantuan peningkatan keberdayaan pelaku usaha terkait; dan d. penyediaan prasarana pendukung produksi dan pemasaran produk. Pasal 85 Ketentuan khusus pemberian disinsentif sebagaimana dimaksud pada Pasal 83 ayat (2), hanya diberlakukan disinsentif non fiskal, meliputi : a. pembatasan penyediaan prasarana dan sarana permukiman untuk mencegah perkembangan permukiman lebih lanjut; b. penolakan pemberian prasarana dan sarana permukiman untuk kawasan lindung;
c. penyediaan prasarana dan sarana permukiman hanya diperbolehkan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang sudah ada saja; dan d. pembatasan tinggi bangunan dan benda tumbuh serta pembangunan gedung disekitar Bandar udara. Bagian Kelima Ketentuan Sanksi Pasal 86 (1) Ketentuan sanksi sebagaimana dimaksud pada pasal 50 ayat (3) huruf d, merupakan Ketentuan ketentuan pengenaan sanksi administratif kepada pelanggar pemanfaatan ruang yang akan menjadi acuan bagi pemerintah daerah kabupaten; (2) Ketentuan sanksi dilakukan terhadap: a. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana struktur ruang dan pola ruang; b. pelanggaran ketentuan umum peraturan zonasi; c. pemanfaatan ruang tanpa izin pemanfaatan ruang yang di terbitkan berdasarkan RTRW Kabupaten; d. pemanfaat ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRW Kabupaten; e. pelanggaran
ketentuan
yang
di
tetapkan
dalam
persyaratan
izin
pemanfaatan ruang yang di terbitkan berdasarkan RTRW Kabupaten; f.
pemanfaatan ruang yang menghalangi akses terhadap kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum; dan
g. pemanfaatan ruang dengan izin yang di peroleh dengan prosedur yang tidak benar. (3) Ketentuan sanksi administratif ditetapkan berdasarkan: a. hasil pengawasan penataan ruang; b. tingkat simpangan implementasi rencana tata ruang; c. kesepakatan antar instansi yang berwenang; dan d. peraturan perundang-undangan sektor terkait lainnya. (4) Pengenaan sanksi administratif dilakukan secara berjenjang dalam bentuk: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara kegiatan; c. penghentian sementara pelayanan umum; d. penutupan lokasi; e. pencabutan izin; f.
pembatalan izin;
g. pembongkaran bangunan; h. pemulihan fungsi ruang; dan i.
denda administrasi.
(5) Denda administratif dapat dikenakan secara tersendiri atau bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif; (6) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatas, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro; dan (7) Sanksi Pidana, diberikan kepada pelanggar pemanfaatan ruang dan mengacu pada peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang yang berlaku. Pasal 87 (1) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada Pasal 86 ayat (4) huruf a, diberikan oleh pejabat yang berwenang dalam penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang melalui penerbitan surat peringatan tertulis sebanyakbanyaknya 3 (tiga) kali; (2) Penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 86 ayat (4) huruf b, dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut : a. penerbitan surat perintah penghentian kegiatan sementara dari pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang; b. apabila
pelanggar
mengabaikan
perintah
penghentian
kegiatan
sementara, pejabat yang berwenang melakukan penertiban dengan menerbitkan surat keputusan pengenaan sanksi penghentian sementara secara paksa terhadap kegiatan pemanfaatan ruang; c. pejabat
yang
berwenang
memberitahukan
kepada
melakukan
tindakan
penertiban
dengan
pelanggar
mengenai
pengenaan
sanksi
penghentian kegiatan pemanfaatan ruang dan akan segera dilakukan tindakan penertiban oleh aparat penertiban; d. berdasarkan surat keputusan pengenaan sanksi, pejabat yang berwenang melakukan penertiban dengan bantuan aparat penertiban melakukan penghentian kegiatan pemanfaatan ruang secara paksa; dan e. setelah kegiatan pemanfaatan ruang dihentikan, pejabat yang berwenang melakukan dihentikan
pengawasan tidak
agar
beroperasi
kegiatan
kembali
pemanfaatan
sampai
dengan
ruang
yang
terpenuhinya
kewajiban pelanggar untuk menyesuaikan pemanfaatan ruangnya dengan rencana tata ruang dan/atau ketentuan teknis pemanfaatan ruang yang berlaku. (3) Penghentian
sementara
pelayanan
umum
sebagaimana
dimaksud
pada Pasal 86 ayat (4) huruf c, dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut : a. penerbitan surat pemberitahuan penghentian sementara pelayanan umum dari pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan
ruang
(membuat
sementara pelayanan umum);
surat
pemberitahuan
penghentian
b. apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan, pejabat yang berwenang melakukan penertiban menerbitkan surat keputusan pengenaan sanksi penghentian sementara pelayanan umum kepada pelanggar dengan memuat rincian jenis-jenis pelayanan umum yang akan diputus; c. pejabat
yang
berwenang
memberitahukan
kepada
melakukan
pelanggar
tindakan
mengenai
penertiban
pengenaan
sanksi
penghentian sementara pelayanan umum yang akan segera dilaksanakan, disertai rincian jenis-jenis pelayanan umum yang akan diputus; d. pejabat yang berwenang menyampaikan perintah kepada penyedia jasa pelayanan umum untuk menghentikan pelayanan kepada pelanggar, disertai penjelasan secukupnya; e. penyedia
jasa
pelayanan
umum
menghentikan
pelayanan
kepada
pelanggar; dan f.
pengawasan
terhadap
penerapan
sanksi
penghentian
sementara
pelayanan umum dilakukan untuk memastikan tidak terdapat pelayanan umum
kepada
kewajibannya
pelanggar
untuk
sampai
menyesuaikan
dengan
pelanggar
pemanfaatan
memenuhi
ruangnya
dengan
rencana tata ruang dan ketentuan teknis pemanfaatan ruang yang berlaku. (4) Penutupan lokasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 86 ayat (4) huruf d, dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut : a. penerbitan surat perintah penutupan lokasi dari pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang; b. apabila pelanggar mengabaikan surat perintah yang disampaikan, pejabat yang
berwenang
menerbitkan
surat
keputusan
pengenaan
sanksi
penutupan lokasi kepada pelanggar; c. pejabat
yang
berwenang
memberitahukan
kepada
melakukan
tindakan
penertiban
dengan
pelanggar
mengenai
pengenaan
sanksi
penutupan lokasi yang akan segera dilaksanakan; d. berdasarkan surat keputusan pengenaan sanksi, pejabat yang berwenang dengan bantuan aparat penertiban melakukan penutupan lokasi secara paksa; dan e. pengawasan
terhadap
penerapan
sanksi
penutupan
lokasi,
untuk
memastikan lokasi yang ditutup tidak dibuka kembali sampai dengan pelanggar memenuhi kewajibannya untuk menyesuaikan pemanfaatan ruangnya dengan rencana tata ruang dan ketentuan teknis pemanfaatan ruang yang berlaku. (5) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada Pasal 86 ayat (4) huruf e, dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut : a. menerbitkan surat pemberitahuan sekaligus pencabutan izin oleh pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang;
b. apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan, pejabat yang berwenang menerbitkan surat keputusan pengenaan sanksi pencabutan izin pemanfaatan ruang; c. pejabat yang berwenang memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi pencabutan izin; d. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban mengajukan permohonan pencabutan izin kepada pejabat yang memiliki kewenangan untuk melakukan pencabutan izin; e. pejabat yang memiliki kewenangan untuk melakukan pencabutan izin menerbitkan keputusan pencabutan izin; f. memberitahukan kepada pemanfaat ruang mengenai status izin yang telah dicabut, sekaligus perintah untuk menghentikan kegiatan pemanfaatan ruang secara permanen yang telah dicabut izinnya; dan g. apabila pelanggar mengabaikan perintah untuk menghentikan kegiatan pemanfaatan yang telah dicabut izinnya, pejabat yang berwenang melakukan penertiban kegiatan tanpa izin sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku. (6) Pembatalan izin sebagaimana dimaksud pada Pasal 86 ayat (4) huruf f, dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut : a. membuat lembar evaluasi yang berisikan perbedaan antara pemanfaatan ruang menurut dokumen perizinan dengan ketentuan pola pemanfaatan ruang dalam rencana tata ruang yang berlaku; b. memberitahukan kepada pihak yang memanfaatkan ruang perihal rencana pembatalan izin, agar yang bersangkutan dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengantisipasi hal-hal akibat pembatalan izin; c. menerbitkan surat keputusan pembatalan izin oleh pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang; d. memberitahukan kepada pemegang izin tentang keputusan pembatalan izin; e. menerbitkan surat keputusan pembatalan izin dari pejabat yang memiliki kewenangan untuk melakukan pembatalan izin; dan f. memberitahukan kepada pemanfaat ruang mengenai status izin yang telah dibatalkan. (7) Pembongkaran bangunan sebagaimana dimaksud pada Pasal 86 ayat (4) huruf g, dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut : a. menerbitkan surat pemberitahuan perintah pembongkaran bangunan dari pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang; b. apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan, pejabat yang berwenang melakukan penertiban mengeluarkan surat keputusan pengenaan sanksi pembongkaran bangunan; c. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi pembongkaran bangunan yang akan segera dilaksanakan; dan
d. berdasarkan surat keputusan pengenaan sanksi, pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban dengan bantuan aparat penertiban melakukan pembongkaran bangunan secara paksa. (8) Pemulihan fungsi ruang sebagaimana dimaksud pada Pasal 86 ayat (4) huruf h, dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut : a. menetapkan ketentuan pemulihan fungsi ruang yang berisi bagian-bagian yang harus dipulihkan fungsinya dan cara pemulihannya; b. pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang menerbitkan surat pemberitahuan perintah pemulihan fungsi ruang; c. apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan, pejabat yang berwenang melakukan penertiban mengeluarkan surat keputusan pengenaan sanksi pemulihan fungsi ruang; d. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban, memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi pemulihan fungsi ruang yang harus dilaksanakan pelanggar dalam jangka waktu tertentu; e. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban dan melakukan pengawasan pelaksanaan kegiatan pemulihan fungsi ruang; f. apabila sampai jangka waktu yang ditentukan pelanggar belum melaksanakan pemulihan fungsi ruang, pejabat yang bertanggung jawab melakukan tindakan penertiban dapat melakukan tindakan paksa untuk melakukan pemulihan fungsi ruang; dan g. apabila pelanggar pada saat itu dinilai tidak mampu membiayai kegiatan pemulihan fungsi ruang, pemerintah dapat mengajukan penetapan pengadilan agar pemulihan dilakukan oleh pemerintah atas beban pelanggar di kemudian hari. Pasal 88 Denda administratif dapat dikenakan secara tersendiri atau bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif dan besarannya ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro. Pasal 89 Ketentuan pengenaan sanksi administratif diatur lebih lanjut melalui Peraturan Bupati. Pasal 90 Ketentuan lebih lanjut terkait pengenaan sanksi pidana dan sanksi perdata mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 91 Sanksi Perdata adalah tindakan pidana yang menimbulkan kerugian secara perdata akibat pelanggaran yang ada dan menimbulkan masalah pada perorangan atau masyarakat secara umum dan diterapkan sesuai peraturan perundangan-perundangan yang berlaku.
BAB IX KELEMBAGAAN Bagian Pertama Umum Pasal 92 (1) Dalam rangka mengkoordinasikan penyelenggaraan penataan ruang dan kerjasama antar sektor/antar daerah bidang penataan ruang dibentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah; (2) Tugas, susunan organisasi dan tata kerja Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Keputusan Bupati; (3) Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dipimpin oleh seorang Sekretaris Daerah dengan memperhatikan ketentuan dan peraturan perundangan yang berlaku; dan (4) Dalam rangka pengawasan pemanfaatan ruang maka harus diselesaikan lewat forum komunikasi BKPRD. BAB X HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN MASYARAKAT Bagian Kesatu Hak dan Kewajiban Masyarakat Pasal 93 (1) Dalam kegiatan penataan ruang wilayah Kabupaten, setiap orang berhak : a. mengetahui rencana tata ruang; b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang; c. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang; d. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya; e. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat yang berwenang;
f.
mengajukan
gugatan
ganti
kerugian
kepada
Pemerintah
Provinsi
dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian; dan g. menikmati dan memanfaatkan ruang beserta sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya, yang dapat berupa manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan
dilaksanakan
atas
dasar
pemilikan,
penguasaan
atau
pemberian hak tertentu berdasarkan ketentuan perundang-undangan ataupun atas hukum adat dan kebiasaan yang berlaku atas ruang pada masyarakat setempat. (2) Dalam Pemanfatan ruang, setiap orang wajib : a. menaati rencana tata ruang yang telah di tetapkan; b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang; c. mematuhi
ketentuan
yang
di
tetapkan
dalam
persyaratan
izin
pemanfaatan ruang; dan d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum. (3) Pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan mematuhi dan menerapkan kriteria, kaidah baku mutu dan aturan-aturan penataan ruang yang di tetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan (4) Kaidah dan aturan pemanfaatan ruang yang di lakukan masyarakat secara turun temurun dapat di terapkan sepanjang memperhatikan faktor-faktor daya
dukung
lingkungan,
estetika
lingkungan,
lokasi
dan
struktur
pemanfaatan ruang serta dapat menjamin pemanfaatan ruang yang serasi, selaras dan seimbang. Bagian Ketiga Bentuk Peran Masyarakat Pasal 94 Bentuk peran masyarakat dalam penyusunan rencana tata ruang adalah : a. memberikan masukan mengenai : 1. penentuan arah pengembangan wilayah; 2. potensi dan masalah pembangunan; 3. perumusan rencana tata ruang; dan 4. penyusunan rencana struktur dan pola ruang. b. menyampaikan keberatan terhadap rencana tata ruang; dan c. melakukan kerjasama dengan Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau sesama unsur masyarakat.
Pasal 95 Bentuk peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang adalah : a. melakukan kegiatan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan kearifan lokal dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; b. menyampaikan masukan mengenai kebijakan pemanfaatan ruang; c. memberikan dukungan bantuan teknik, keahlian dan/atau dana dalam pengelolaan pemanfaatan ruang; d. meningkatkan efisiensi, efektivitas dan keserasian dalam pemanfaatan ruang darat, ruang laut, ruang udara dan ruang di dalam bumi dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; e. melakukan kerjasama pengelolaan ruang dengan Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau pencapaian tujuan penataan ruang; f. menjaga, memelihara dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan dan sumber daya alam; g. melakukan usaha investasi dan/atau jasa keahlian; dan h. mengajukan gugatan ganti rugi kepada pemerintah atau pihak lain apabila kegiatan pembangunan yang dilaksanakan merugikan. Pasal 96 Bentuk peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang adalah : a. memberikan masukan mengenai ketentuan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan desinsentif, serta pengenaan sanksi; b. turut serta memantau dan mengawasi pelaksanaan kegiatan pemanfaatan ruang, rencana tata ruang yang telah ditetapkan dan pemenuhan standar pelayanan minimal di bidang penataan ruang; c. melaporkan kepada instansi/pejabat yang berwenang dalam hal menemukan kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar rencana tata ruang yang telah ditetapkan dan adanya indikasi kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan, tidak memenuhi standar pelayanan minimal dan/atau masalah yang terjadi di masyarakat dalam penyelenggaran penataan ruang; d. mengajukan keberatan terhadap keputusan pejabat publik yang dipandang tidak sesuai dengan rencana tata ruang; dan e. mengajukan gugatan pembatalan izin dan/atau penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada instansi/pejabat yang berwenang. Pasal 97 (1) Peran masyarakat di bidang penataan ruang dapat disampaikan secara langsung dan/atau tertulis; (2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat disampaikan kepada Bupati dan/atau unit kerja yang terkait yang ditunjuk oleh Bupati.
Pasal 98 Dalam rangka meningkatkan peran masyarakat, pemerintah daerah membangun sistem informasi dan dokumentasi penataan ruang yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Pasal 99 (1) Pelaksanaan tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan; (2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana di maksud dalam Pasal 88, di pidana dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah); dan (3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
BAB XI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 100 (1) Untuk operasionalisasi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan
Siau Tagulandang Biaro, disusun Rencana Detail Tata Ruang Kawasan/Zonning Regulation; (2) Jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro adalah 20 (dua puluh) tahun sejak tanggal ditetapkan dan ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun; (3) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar, perubahan batas teritorial negara dan/atau perubahan
(4)
(5)
(6) (7)
batas wilayah yang ditetapkan dengan undang-undang, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro dapat ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun; Peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro tahun 2014-2034 di lengkapi dengan rencana dan album peta yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini; Terhadap perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan yang masuk dalam kategori berdampak penting dan cakupan luas serta bernilai strategis (DPCLS), harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR RI; Kawasan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 99, seluas kurang lebih 65.21 ha; Apabila kawasan yang belum ditetapkan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutannya sebagaimana dimaksud pada Pasal 99 di setujui usulan perubahannya, maka peruntukan dan fungsi kawasan adalah kawasan sesuai usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasannya;
(8) Apabila kawasan yang belum ditetapkan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 tidak di setujui usulan perubahannya maka peruntukan dan fungsi kawasan adalah tetap sesuai dengan peruntukan dan fungsi kawasan sebelumnya; (9) Apabila perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 sudah ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang kehutanan, maka pemanfaatan ruangnya mengacu pada penetapan peraturan perundang-undangan tersebut; (10)Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 diintegrasikan dalam revisi Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (11)Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai teknis pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.
BAB XII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 101 (1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan penataan ruang Daerah yang telah ada dinyatakan berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Daerah ini; (2) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka: a. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan dan telah sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya; b. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan tetapi tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini berlaku ketentuan: 1. untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin tersebut disesuaikan dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini; 2. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya, dilakukan penyesuaian dengan masa transisi berdasarkan ketentuan perundang-undangan; dan 3. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya dan tidak memungkinkan untuk dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini, izin yang telah diterbitkan dapat dibatalkan dan terhadap kerugian yang timbul sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat diberikan penggantian yang layak. c. pemanfaatan ruang di Daerah yang diselenggarakan tanpa izin dan bertentangan dengan ketentuan Peraturan Daerah ini, akan ditertibkan dan disesuaikan dengan Peraturan Daerah ini; dan d. pemanfaatan ruang yang sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini, agar dipercepat untuk mendapatkan izin yang diperlukan.
Pasal 102 (1) Pada saat Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten ditetapkan, semua pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana pola ruang harus disesuaikan dengan rencana pola ruang melalui kegiatan penyesuaian pemanfaatan ruang; (2) Pemanfaatan ruang yang sah menurut perizinan pemanfaatan ruang sebelumnya diberi masa transisi selama 3 (tiga) tahun untuk penyesuaian; dan (3) Untuk pemanfaatan ruang yang izinnya diterbitkan sebelum penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten dan dapat dibuktikan bahwa izin tersebut diperoleh sesuai dengan prosedur yang benar, kepada pemegang izin diberikan penggantian yang layak. Pasal 103 Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka : a. kegiatan budidaya yang telah ditetapkan dan berada di kawasan lindung yang tidak mengganggu fungsi lindung dapat diteruskan hingga berakhirnya perizinan kegiatan tersebut; b. kegiatan budidaya yang telah ada dan dinilai mengganggu fungsi lindung, diatur sesuai ketentuan yang berlaku dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2012 tentang Ijin Lingkungan; c. kegiatan budidaya yang sudah ada di kawasan lindung dan dinilai mengganggu fungsi lindung, harus segera dicegah perkembangannya; d. apabila dalam pemanfaatan ruang pelaksanaannya tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, maka kegiatan tersebut akan dikenakan sanksi sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan perudang-undangan yang berlaku. Pasal 104 Ketentuan mengenai Ketentuan penataan ruang bawah tanah, laut dan udara akan diatur lebih lanjut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang Wilayah Pasal 105 (1) Peninjauan kembali dan/atau penyempurnaan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten dapat dilakukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun; (2) Peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah setidaknya memperhatikan : a. perkembangan eksternal wilayah Kabupaten; b. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten; c. dinamika pembangunan internal Kabupaten; d. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; e. Rencana Detail Tata Ruang Kawasan dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten; f. permasalahan penataan ruang; dan g. validitas hasil proyeksi perencanaan dan asumsinya.
BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 106 Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro bersifat terbuka untuk umum dan dipublikasikan di Kantor Pemerintah Kabupaten, Kecamatan, Kampung/Kelurahan dan tempat-tempat umum lain melalui media yang mudah diakses oleh masyarakat. Pasal 107 Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati dan Keputusan Bupati. Pasal 108 Peraturan daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro. Ditetapkan di Ondong Siau pada tanggal
2014
BUPATI KEPULAUAN SIAU TAGULANDANG BIARO,
TONI SUPIT Diundangkan di Ondong Siau pada tanggal
2014
Plt. SEKERTARIS DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SIAU TAGULANDANG BIARO,
DR. ADRY A. MANENGKEY, SE.Msi PEMBINA TINGKAT I NIP. 19620814 198612 1 002 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SIAU TAGULANDANG BIARO TAHUN 2014 NOMOR NOREG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SIAU TAGULANDANG BIARO PROVINSI SULAWESI UTARA : ( 1/2014)
PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SIAU TAGULANDANG BIARO NOMOR TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KEPULAUAN SIAU TAGULANDANG BIARO TAHUN 2014-2034 I.
UMUM Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro sebagai bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada hakekatnya merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang harus dikembangkan dan dilestarikan pemanfaatannya secara optimal agar dapat menjadi wadah bagi kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya secara berkelanjutan demi kelangsungan hidup yang berkualitas. Pancasila merupakan dasar negara dan falsafah negara, yang memberikan keyakinan bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai jika didasarkan atas keselarasan, keserasian dan keseimbangan, baik dalam hubungannya dengan kehidupan pribadi, hubungan manusia dengan manusia lain, hubungan manusia dengan alam sekitarnya maupun hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional mewajibkan agar sumberdaya alam dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kemakmuran tersebut haruslah dapat dinikmati oleh generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Ruang sebagai sumberdaya alam tidaklah mengenal batas wilayah, karena ruang pada dasarnya merupakan wadah atau tempat bagi manusia dan makhluk hidup lainnya untuk hidup dan melakukan kegiatannya, akan tetapi jika ruang dikaitkan dengan pengaturannya, haruslah mengenal batas dan sistemnya. Dalam kaitan tersebut, ruang wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro meliputi tiga matra, yakni ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara. Ruang wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro sebagai unsur lingkungan hidup, terdiri atas berbagai ruang wilayah yang masing-masing sebagai sub sistem yang meliputi aspek alamiah (fisik), ekonomi, sosial budaya dengan corak ragam dan daya dukung yang berbeda satu dengan lainnya. Pengaturan pemanfaatan ruang wilayah yang didasarkan pada corak dan daya dukungnya akan meningkatkan keselarasan, keseimbangan sub sistem, yang berarti juga meningkatkan daya tampungnya. Pengelolaan sub-sistem yang satu akan berpengaruh kepada sub-sistem yang lain, yang pada akhirnya akan mempengaruhi sistem ruang secara keseluruhan. Oleh karena itu, pengaturan ruang menuntut dikembangkan suatu sistem dengan keterpaduan sebagai ciri utamanya.
Ada pengaruh timbal balik antara ruang dan kegiatan manusia. Karakteristik ruang menentukan macam dan tingkat kegiatan manusia, sebaliknya kegiatan manusia dapat merubah, membentuk dan mewujudkan ruang dengan segala unsurnya. Kecepatan perkembangan manusia seringkali tidak segera tertampung dalam wujud pemanfaatan ruang, hal ini disebabkan karena hubungan fungsional antar ruang tidak segera terwujud secepat perkembangan manusia. Oleh karena itu, rencana tata ruang wilayah yang disusun, haruslah dapat menampung segala kemungkian perkembangan selama kurun waktu tertentu. Ruang wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, mencakup wilayah kecamatan yang merupakan satu kesatuan ruang wilayah yang terdiri atas satuan-satuan ruang yang disebut dengan kawasan. Dalam berbagai kawasan terdapat macam dan budaya manusia yang berbeda, sehingga diantara berbagai kawasan tersebut seringkali terjadi tingkat pemanfaatan dan perkembangan yang berbedabeda. Perbedaan ini apabila tidak ditata, dapat mendorong terjadinya ketidakseimbangan pembangunan wilayah. Oleh karena itu, rencana tata ruang wilayah, secara teknis harus mempertimbangkan : a. keseimbangan antara kemampuan ruang dan kegiatan manusia dalam memanfaatkan serta meningkatkan kemampuan ruang; b. keseimbangan, keserasian dan keselarasan dalam pemanfaatan antar kawasan dalam rangka meningkatkan kapasitas produktivitas masyarakat dalam arti luas. Meningkatnya kegiatan pembangunan yang memerlukan lahan, baik tempat untuk memperoleh sumber daya alam mineral atau lahan pertanian maupun lokasi kegiatan ekonomi lainnya, seperti industri, pariwisata, pemukiman dan administrasi pemerintahan, potensial meningkatkan terjadinya kasus-kasus konflik pemanfaatan ruang dan pengaruh buruk dari suatu kegiatan terhadap kegiatan lainnya. Berkenaan dengan hal tersebut, diperlukan perencanaan tata ruang yang baik dan akurat, agar perkembangan tuntutan berbagai kegiatan pemanfaatan ruang dan sumberdaya yang terdapat di dalamnya dapat berfungsi secara optimal, terkendali, selaras dengan arah pembangunan Daerah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro. Kendatipun perencanaan tata ruang sepenuhnya merupakan tindak pemerintahan atau sikap tindak administrasi negara, dalam proses penyusunan sampai pada penetapannya perlu melibatkan peran serta masyarakat. Peran serta masyarakat dalam perencanaan tata ruang menjadi penting dalam kerangka menjadikan sebuah tata ruang sebagai hal yang responsif (responsive planning), artinya sebuah perencanaan yang tanggap terhadap preferensi serta kebutuhan dari masyarakat yang potensial terkena dampak apabila perencanaan tersebut diimplementasikan. Tegasnya, dalam konteks perencanaan tata ruang, sebenarnya ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, kewajiban Pemerintah untuk memberikan informasi, Kedua, hak masyarakat untuk di dengar. Dalam praktek, pada dasarnya dua aspek ini saling berkaitan karena penerapannya menunjukkan adanya jalur
komunikasi
dua arah. Dengan kewajiban pemerintah untuk memberi
informasi yang menyangkut rencana kegiatan/perbuatan administrasi dan adanya hak bagi yang terkena (langsung maupun tidak langsung) oleh kegiatan/perbuatan pemerintah, mengandung makna bahwa mekanisme itu telah melibatkan masyarakat dalam prosedur administrasi negara, di pihak lain dapat menunjang pemerintahan yang baik dan efektif, karena dengan mekanisme seperti itu pemerintah dapat memperoleh informasi yang layak sebelum mengambil keputusan. Mekanisme seperti itu dapat menumbuhkan suasana saling percaya antara pemerintah dan rakyat sehingga dapat mencegah sengketa yang mungkin terjadi serta memungkinkan terjadinya penyelesaian melalui jalur musyawarah. Secara normatif, perencanaan tata ruang dimaksud perlu diberi status dan bentuk hukum agar dapat ditegakkan, dipertahankan dan ditaati oleh pihakpihak yang bersangkutan. Hanya rencana yang memenuhi syarat-syarat hukumlah yang dapat melindungi hak warga masyarakat dan memberi kepastian hukum, baik bagi warga maupun bagi aparatur pemerintah termasuk didalamnya administrasi negara yang bertugas melaksanakan dan mempertahankan rencana, yang sejak perencanaannya sampai penetapannya memenuhi ketentuan hukum yang berlaku. Apabila suatu rencana telah diberi bentuk dan status hukum, maka rencana itu terdiri atas atas susunan peraturan-peraturan yang pragmatis, artinya segala tindakan yang didasarkan kepada rencana itu akan mempunyai akibat hukum. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pada Pasal 78 mengamanatkan bahwa Peraturan Daerah Kabupaten tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten disusun atau disesuaikan paling lambat dalam waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan. Dengan demikian maka Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro harus segera memiliki Peraturan Daerah Kabupaten tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu disusun Peraturan Daerah baru yang akan menjadi acuan dalam pelaksanaan program-program pembangunan di daerah serta mendorong percepatan perkembangan masyarakat secara tertib, teratur dan berencana. Peraturan Daerah sendiri merupakan bagian tak terpisahkan dari kesatuan sistem perundangundangan secara nasional, oleh karena itu peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau bertentangan dengan kepentingan umum. Kepentingan umum yang harus diperhatikan bukan saja kepentingan rakyat banyak Daerah yang bersangkutan, melainkan kepentingan Daerah lain dan kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Ini berarti, pembuatan peraturan peraturan perundangundangan tingkat daerah, bukan sekedar melihat batas kompetensi formal atau kepentingan Daerah yang bersangkutan, tetapi harus dilihat pula kemungkinan dampaknya terhadap daerah lain atau kepentingan nasional secara keseluruhan.
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Kebijakan dan strategis penataan ruang wilayah kabupaten ditetapkan untuk mewujudkan tujuan penataan ruang kabupaten. Yang dimaksud dengan “kebijakan penataan ruang di wilayah kabupaten” adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar dalam pemanfaatan ruang darat, laut dan udara termasuk ruang di dalam bumi untuk mencapai tujuan penataan ruang. Pasal 5 Yang dimaksud dengan “strategi penataan ruang wilayah kabupaten” adalah langkah-langkah pelaksanaan kebijakan penataan ruang. Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Yang dimaksud dengan “Cyber city”
adalah bagaimana membuat
sebuah kota bisa terkoneksi antara satu sama lain melalui jaringan internet sehingga akses informasi bisa di peroleh dari titik manapun.
Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup jelas Huruf h Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 6 Yang dimaksud dengan “rencana struktur ruang” dalam peraturan daerah ini adalah gambaran struktur ruang yang dikehendaki untuk dicapai pada akhir tahun perencanaan, yang mencakup struktur ruang yang ada dan yang akan dikembangkan. Rencana struktur ruang wilayah kabupaten merupakan ketentuan perwujudan sistem perkotaan dalam wilayah kabupaten dan jaringan prasarana wilayah kabupaten yang dikembangkan untuk
mengintegrasikan
wilayah
kabupaten
selain
untuk
melayani
kegiatan skala kabupaten yang meliputi sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, sistem jaringan sumberdaya air, persampahan dan sanitasi. Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Jalan Kolektor Primer K2 adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga. Yang dimaksud dengan kota jenjang kedua ialah kota yang berperan melayani sebagian dari satu wilayah pengembangannya dengan kemampuan pelayanan jasa yang lebih rendah dari kota jenjang kesatu
dalam
satuan
wilayah
pengembangannya
dan
terikat
jangkauan jasa ke kota jenjang kedua serta memiliki orientasi kekota jenjang ke satu. Yang dimaksud dengan kota jenjang ketiga ialah kota yang berperan melayani sebagian dari satuan wilayah pengembangannya, dengan kemampuan pelayananjasa yang lebih rendah dari kota jenjang kedua dalam satuan wilayah pengembangannya dan terikat jangkauan jasa ke kota jenjang kedua serta memiliki orientasi ke kota jenjang kedua dan ke kota jenjang kesatu. Jaringan jalan primer tidak terputus walaupun memasuki kota. Jaringan jalan primer harus menghubungkan kawasan primer. Suatu ruas jalan primer dapat berakhir pada suatu kawasan primer. Kawasan yang mempunyai fungsi primerantara lain industri skala regional, terminal barang/pergudangan, pelabuhan, Bandar udara, pasar induk, pusat perdagangan skala regional/grosir.
Yang harus dipenuhi oleh jalan kolektor primer K1 adalah : a. Kecepatan rencana > 40 km/jam. b. Lebar badan jalan > 7 m. c. Kapasitas jalan lebih besar atau sama dengan volume lalulintas rata-rata. d. Jalan masuk dibatasi secara efisien sehingga kecepatan rencana dan kapasitas jalan tidak terganggu. e. Tidak boleh terganggu oleh kegiatan dan lalu lintas lokal. f. Jalan kolektor primer tidak terputus walaupun memasuki daerah kota. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Jalan lokal primer adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu dengan persil, kota jenjang kedua dengan persil, kota jenjang ketiga dengan kota jenjang ketiga lainnya, kota jenjang ketiga dengan kota jenjang dibawahnya. Jika di tinjau dari peranan jalan maka persyaratan yang harus dipenuhi oleh jalan lokal primer adalah: a.
Kecepatan rencana>20 km/jam.
b.
Lebar jalan>6,0 m.
c.
Jalan
lokal
primer
tidak
terputus
walaupun
memasuki
kampung. Huruf e Jalan lokal sekunder adalah ruas jalan yang menghubungkan kawasan sekunder ke satu dengan perumahan, atau kawasan sekunder ke duan dengan perumahan atau kawasan sekunder ketiga dan seterusnya dengan perumahan. Jika ditinjau dari peranan jalan maka persyaratan yang harus dipenuhi oleh jalan local sekunder adalah: a.
Kecepatan rencana>10 km/jam.
b.
Lebar jalan>5,0 km.
Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas
Ayat (5) Cukup jelas Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Tatanan Kepelabuhanan adalah suatu sistem kepelabuhanan yang memuat peran, fungsi, jenis, hierarki pelabuhan, Rencana Induk Pelabuhan Nasional dan lokasi pelabuhan serta keterpaduan intra dan
antar
moda
serta
keterpaduan
dengan
sektor
lainnya.
(UU Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran) Huruf b Rencana Alur pelayaran adalah bagian dari perairan yang alami maupun buatan yang dari segi kedalaman, lebar dan hambatan pelayaran lainnya dianggap aman untuk dilayari.
(UU Nomor 17
Tahun 2008 Tentang Pelayaran) Huruf c Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) huruf a Tatanan Kebandarudaraana dalah sistem kebandarudaraan yang menggambarkan perencanaan bandar udara berdasarkan rencana tata ruang, pertumbuhan ekonomi, keunggulan komparatif wilayah, kondisi alam dan geografi, keterpaduan intra dan antar moda transportasi, kelestarian lingkungan, keselamatan dan keamanan penerbangan, serta keterpaduan dengan sektor pembangunan lainnya. (UU Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan). Huruf b Rute Penerbangan adalah lintasan pesawat udara dari bandar udara asal ke bandar udara tujuan melalui jalur penerbangan yang telah ditetapkan. (Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan). Huruf c Ruang udara untuk penerbangan adalah ruang udara yang dimanfaatkan untuk kegiatan transportasi udara atau kegiatan penerbangan sebagai salah satu moda transportasi dalam sistem
transportasi nasional. Ruang transportasi udara ditunjukkan oleh flight informationregion. (PP Nomor 26 Tahun 2008 Tentang RTRW Nasional) Huruf d Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) huruf a Yang dimaksud dengan “pembangkit tenaga listrik” adalah fasilitas untuk kegiatan memproduksi tenaga listrik. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Yang dimaksud dengan SPBU mini adalah SPBU yang dikhususkan bagi nelayan, yang penempatannya pada setiap PKNT. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas
Ayat (5) Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Huruf a Reduce adalah mengurangi penggunaan bahan yang dapat mengakibatkan meningkatnya timbulan sampah. Reuse adalah upaya menggunakan kembali bahan-bahan untuk mengurangi timbulan sampah. Recycle adalah upaya untuk mendaur ulang bahan-bahan untuk mengurangi timbulan sampah. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Sistem control landfill adalah sistem pengolahan TPA yang secara periodik timbunan sampah ditutup dengan lapisan tanah untuk mengurangi potensi gangguan lingkungan yang ditimbulkan. Dalam operasionalnya juga dilakukan perataan dan pemadatan sampah untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan lahan dan kestabilan permukaan TPA. Sistem sanitary landfill adalah metode standar yang dipakai secara internasional,
dimana
penutupan
sampah
oleh
lapisan
tanah
dilakukan setiap hari sehingga potensi gangguan yang timbul dapat diminimalkan. Huruf f Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas
Pasal 17 Ayat (1) PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Rencana pola ruang wilayah kabupaten merupakan gambaran pemanfaatan ruang wilayah kabupaten, baik untuk pemanfaatan yang berfungsi lindung maupun budidaya, yang ditinjau dari berbagai sudut pandang akan lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mendukung pencapaian tujuan pembangunan kabupaten apabila dikelolah oleh pemerintah daerah kabupaten dengan sepenuhnya memperhatikan pola ruang yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Provinsi.
Pasal 22 Huruf a Kawasan Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifatkhas yang mampu memberikan lindungan kepada kawasan sekitarmaupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir danerosi serta memelihara kesuburan tanah. Kawasan
lindung
mengantisipasi padamasa
dapat
ancaman
yang
akan
diterapkan kerusakan
datang
untuk
mengatasi
lingkungan
akibat
saat
kurangnya
dan
ini
dan
kemampuan
perlindungan wilayah yang ada. Penetapan suatu kawasan berfungsi lindung wajib memperhatikan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) yang ada sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang pertanahan. Huruf b Kawasan
yang
memberikan
perlindungan
terhadap
kawasan
bawahannya adalah kawasan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitarnya maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegahan banjir dan erosi serta menjaga fungsi hidrologis tanah untuk menjamin ketersediaan unsur hara tanah, air tanah dan air permukaan. Huruf c Kawasan perlindungan setempat adalah kawasan yang mempunyai manfaat
penting
untuk
mempertahankan
kelestarian
fungsi
setempat. Huruf d Kawasan suaka alam dan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu baik didarat maupun di perairan yang mempunyai fungsi
pokok
sebagaikawasan
pengawetan
peragaman
jenis
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Kawasan cagar budaya adalah kawasan yang merupakan lokasi bangunan hasil budaya manusia yang bernilai tinggi maupun bentukan geologi yang khas. Huruf e Kawasan rawan bencana alam adalah kawasan yang sering atau berpotensi tinggi mengalami bencana alam. Huruf f Kawasan lindung geologi adalah kawasan lindung yang meliputi kawasan cagar alam geologi, kawasan rawan bencana alam geologi dan kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah.
Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup Ayat (4) Cukup Pasal 25 Huruf a Sempadan Pantai, garis batas kawasan tertentu sepanjang pantai yang
mempunyai
manfaat
penting
untuk
mempertahankan
kelestarian fungsi pantai Hurub b Sempadan Sungai, garis batas kawasan tertentu sepanjang pantai yang
mempunyai
manfaat
penting
untuk
mempertahankan
kelestarian fungsi Sungai. Huruf c Kawasan
Sekitar
Danau/Waduk
adalah
kawasan
tertentu
di sekeliling danau/waduk yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi danau/waduk. Huruf d Kawasan Sekitar Mata Air adalah kawasan di sekeliling mata air yang
mempunyai
manfaat
penting
untuk
mempertahankan
kelestarian fungsi mata air. Huruf e Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. (UU 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang) Pasal 26 Ayat (1) Cukup Jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas
Ayat (5) Cukup jelas Pasal 27 Kawasan Suaka Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Huruf a Suaka margasatwa (Suaka, perlindungan, Marga, turunan, satwa, dan hewan) adalah Hutan suaka alam yang ditetapkan sebagai suatu tempat hidup margasatwa yang mempunyai nilai khas bagi ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta merupakan kekayaan dan kebanggaan nasional Huruf b Kawasan Suaka alam Laut dan Perairan liannya adalah daerah yang mewakili ekosistem khas di lautan maupun perairan lainnya, yang merupakan
habitat-alami
yang
memberikan
tempat
maupun
perlindungan bagi perkembangan keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang ada. Huruf c Kawasan Pantai Berhutan Bakau adalah kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan bakau bakau (mangrove) yang berfungsi memberi perlindungan kepada perikehidupan pantai dan lautan. Kawasan terumbuh karang dan berpadang lamun adalah kawasan yang merupakan habitat karang dan koral serta padang lamun yang berfungsi memberikan perlindungan kepada peri kehidupan pantai dan lautan. Huruf d Kawasan Konservasi Perairan (KKP) adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan
sumber
daya
ikan
dan
lingkungannya
secara
berkelanjutan. Kawasan Konservasi Perairan terdiri atas Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, Suaka Alam Perairan, dan Suaka Perikanan. (Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentan Konservasi Sumber Daya Ikan) Huruf e Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan adalah kawasan yang merupakan lokasi
bangunan hasil budaya manusia yang bernilai
tinggi maupun bentukan geologi alami yang khas.
Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Ayat (8) Cukup jelas Ayat (9) Cukup jelas Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas Pasal 33 Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan yang tersentuh tangan manusia dengan maksud agar lebih bermanfaat dan memberi hasil untuk kebutuhan manusia. Huruf a Yang dimaksud dengan “kawasan peruntukan pertanian” mencakup kawasan budi daya tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan/atau
tanaman
industri.Penerapan
kriteria
kawasan
peruntukan pertanian secara tepatdiharapkan akan mendorong terwujudnya kawasan pertanian yang dapat memberikan manfaat berikut : a. memelihara dan meningkatkan ketahanan pangan nasional; b. meningkatkan daya dukung lahan melalui pembukaan lahan baru untuk pertanian tanaman pangan (padi sawah, padigogo, palawija, kacang-kacangan dan umbi-umbian) perkebunan, peternakan, hortikultura dan pendayagunaan investasi; c. meningkatkan perkembangan pembangunan lintas sektor dan sub sektor serta kegiatan ekonomi sekitarnya; d. meningkatkan upaya pelestarian dan konservasi sumber daya alam untuk pertanian serta fungsi lindung; e. menciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan masyarakat; f.
meningkatkan pendapatan nasional dan daerah;
g. mendorong perkembangan industri hulu dan hilir melalui efekkaitan; h. mengendalikan adanya alih fungsi lahan dari pertanian kenon pertanian agar keadaan lahan tetap abadi. Huruf b Kawasan peruntukan perikanan dapat berada di ruang darat, ruang laut dan di luar kawasan lindung. Huruf c Kawasan peruntukan pariwisata adalah kawasan yang didominasi oleh fungsi kepariwisataan dapat mencakup sebagian area dalam kawasan lindung atau kawasan budi daya lainnya dimana terdapat konsentrasi
daya
tarik
dan
fasilitas
penunjang
pariwisata.
Kebutuhan pariwisata berkaitan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengelolaan objek dan daya tarik wisata yang mencakup: 1. obyek dan daya tarik wisata ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang berwujud keadaan alam serta flora dan fauna; dan 2. obyek dan daya tarik wisata hasil karya manusia yang berwujud museum, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya,
wisata
agro,
wisata
tirta,
wisata
buru,
wisata
petualangan alam, taman rekreasi dan tempat hiburan. Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup Jelas Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup jelas Pasal 34 Ayat (1) Huruf a Kawasan peruntukan tanaman pangan adalah kawasan lahan basah berinigasi, rawa pasang surut dan lebak dan lahan basah tidak benirigasi serta lahan kering potensial untuk pemanfaatan dan pengembangan tanaman pangan. Huruf b kawasan peruntukan hortikultura dan palawija adalah kawasan lahan kering potensial untuk pemanfaatan dan pengembangan tanaman hortikultura secara monokultur maupun tumpang sari. Huruf c Kawasan peruntukan perkebunan adalah kawasan yang memiliki potensi untuk dimanfaatkan dan dikembangkan baik pada lahan basah dan atau lahan kering untuk komoditas perkebunan. Huruf d Kawasan peruntukan peternakan adalah kawasan yang secara khusus diperuntukkan untuk kegiatan peternakan atau terpadu dengan
komponen
usaha
tani
(berbasis
tanaman
pangan,
perkebunan, hortikultura atau perikanan) berorientasi ekonomi dan berakses dari hulu sampai hilir Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas
Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Pasal 35 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 36 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Pasal 37 Cukup jelas Pasal 38 Cukup jelas Pasal 39 Huruf a Cukup jelas
Huruf b Cukup jelas Huruf c Analisa Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha/kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha/kegiatan Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Pasal 40 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 41 Cukup jelas Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 43 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 44 Ayat (1) Huruf a Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanandan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia. Huruf b Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup
provinsi
lingkungan.
terhadap
ekonomi,
sosial,
budaya
dan/atau
Huruf c Kawasan
strategis
kabupaten
ruangnya
diprioritaskan
adalah
karena
wilayah
mempunyai
yang
penataan
pengaruh
sangat
penting dalam lingkup kabupaten terhadap ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan. Ayat (2) Cukup Jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 45 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 46 Cukup jelas Pasal 47 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 48 Cukup Jelas Pasal 49 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Ayat (8) Cukup jelas Pasal 50 Ayat (1) Pengendalian pemanfaatan ruang adalah Kegiatan pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang pengawasan diselenggarakan dalam bentuk pelaporan, pemantauan dan evaluasi, sedangkan penertiban terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang diselenggarakan dalam bentuk sanksi. Ayat (2) Cukup Jelas Ayat (3) Huruf a Zonasi adalah ketentuan yang mengatur tentang klasifikasi zona, pengaturan lebih lanjut mengenai pemanfaatan lahan dan prosedur pelaksanaan pembangunan. Huruf b Perizinan adalah perizinan yang terkait dengan izin pemanfaatan ruang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan harus dimiliki sebelum pelaksanaan pemanfaatan ruang. Izin dimaksud adalah izin lokasi/fungsi ruang, amplop ruang dan kualitas ruang. Huruf c Insentif dapat diberikan antar pemerintah daerah yang saling berhubungan berupa subsidi silang dari pemerintah yang penyelengaraan penataan ruangnya memberikan dampak kepada daerah yang di rugikan, atau antara pemerintah dan swasta dalam hal pemerintah memberikan preferensi kepada swasta sebagai imbalan dalam mendukung perwujudan rencana tata ruang. Disinsentif berupa pengenaan pajak yang tinggi dapat di kenakan untuk pemanfaatan ruang yang tidak sesuai rencana tata ruang melalui penetapan nilai jual objek pajak (NJOP) dan nilai jual kena pajak (NJKP) sehinga pemanfaat ruang membayar pajak lebih tinggi. Huruf d Cukup Jelas
Pasal 51 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 52 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 53 Cukup jelas Pasal 54 Cukup jelas Pasal 55 Cukup jelas Pasal 56 Cukup jelas Pasal 57 Cukup jelas Pasal 58 Zero Delta Q Policy adalah keharusan agar tiap bangunan tidak boleh mengakibatkan bertambahnya debit air kesistem saluran drainase atau sistem aliran sungai. Pasal 59 Cukup jelas Pasal 60 Cukup jelas Pasal 61 Cukup jelas Pasal 62 Cukup jelas Pasal 63 Cukup jelas Pasal 64 Cukup jelas Pasal 65 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas
Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf f Frontage roadadalah jalan-jalan di samping jalan utama yang berfungsi sebagai jalur lambat yang menuju atau dari jalan utama. Pasal 66 Cukup jelas Pasal 67 Cukup jelas Pasal 68 Cukup jelas Pasal 69 Cukup jelas Pasal 70 Cukup jelas Pasal 71 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 72 Cukup jelas Pasal 73 Cukup jelas Pasal 74 Cukup jelas Pasal 75 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Sanitary landfill adalah Pemusnahan sampah yang paling efektif, karena sampah yang dimusnahkan di dalam tanah tidak akan menyebar dan mengotori lingkungan.
Huruf d Cukup jelas Pasal 76 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 77 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 78 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 79 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 80 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas
Pasal 81 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 82 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 83 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 84 Ayat (1) Cukup Ayat (2) Cukup jelas Pasal 85 Cukup jelas Pasal 86 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 87 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas
Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Ayat (8) Cukup jelas Pasal 88 Cukup jelas Pasal 89 Cukup jelas Pasal 90 Cukup jelas Pasal 91 Cukup jelas Pasal 92 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 93 huruf a Partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang dapat melalui peraturan daerah, pengumuman dan/atau penyebar luasan oleh pemerintah. huruf b Partisipasi dalam pemanfaatan ruang dapat melalui peraturan daerah, pengumuman dan/atau penyebar luasan oleh pemerintah. huruf c Partisipasi
dalam
pengendalian
pemanfaatan
ruang
dimaksud
agar
pemanfaatan ruang di laksanakan sesuai rencana tata ruang serta dapat membantu dan berkoordinasi tentang penataan ruang. Pasal 94 Cukup jelas Pasal 95 Cukup jelas Pasal 96 Cukup jelas Pasal 92 Cukup jelas
Pasal 93 Cukup jelas Pasal 94 Cukup jelas Pasal 95 Cukup jelas Pasal 96 Cukup jelas Pasal 97 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 98 Cukup jelas Pasal 99 Cukup jelas Pasal 100 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 101 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 102 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 103 Cukup jelas Pasal 104 Cukup jelas Pasal 105 Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas Pasal 106 Cukup jelas Pasal 107 Cukup jelas Pasal 108 Cukup jelas