UMULOLO
Bulletin Vol. I No 03 Tahun 2013
ISSN: 2089-3914
M E D I A I N FO R M A S I P E L E STA R I A N C AG A R B U DAYA
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA GORONTALO Wilayah Kerja Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo
ISSN: 2089-3914
Pengantar Redaksi
Bulletin UMULOLO Vol I No 03 Tahun 2013. Yang diterbitkan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Gorontalo, merupakan media informasi yang berupaya memberikan berbagai informasi tentang pelestarian Cagar Budaya sesuai amanah Undangundang No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.Pada edisi Bulletin Vol I No 03 Tahun 2013 ini berisi tulisan: Cagar Budaya di Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah oleh Romi Hidayat (BPCB Gorontalo), Penyelamatan Cagar Budaya Waruga Sukur dari Serangan Organisme dan Alam (kajian konservasi) oleh Andi Muliadi, s.s (BPCB Gorontalo), Potensi Cagar Budaya Di Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah oleh Sri Suharjo (BPCB Gorontalo), Akar Budaya Masa Lalu sebagai Identitas Komunitas Asean 2015 oleh Hari Suroto (Balai Arkeologi Jayapura), Pengelolaan Kapal Karam Berbasis Wisata Selam Edukasi oleh Asyhadi Mufsi Batubara dan Perlindungan Cagar Budaya Bawah Air Dalam Kajian Analisis Hukum (Mahasiswa Pascasarjana Arkeologi UGM) Semoga dengan terbitnya Bulletin UMULOLO ini dapat menambah referensi tentang pelestarian cagar budaya dan semoga bermanfaat bagi yang membaca.
Gorontalo, Desember 2013 Redaktur Bulletin UMULOLO ROMI HIDAYAT, SS
2
UMULOLO
Volume I Nomor 3 •2013
Pengantar Kepala Bpcb Gorontalo
Peninggalan Arkeologi, Jati Diri Bangsa
P
enerbitan Bulletin UMULOLO Vol. I No. 03 Tahun 2013 terasa sangat istimewa karena tahun 2013 merupakan tahun kelima perjalanan Balai Pelestarian Cagar Budaya Gorontalo dalam mengemban tugas dan fungsi setelah dibentuk dan mulai beroperasional sejak tahun 2009. Pada usia yang ke-5 ini kami telah mencatatkan torehan sejarah penting dengan terwujudnya pembangunan gedung kantor dan telah diresmikan oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Prof. Kacung Marijan, Ph.D) pada hari Rabu, tanggal 26 Juni 2013. Upacara peresmian gedung kantor menjadi sangat meriah karena dilaksanakan dalam rangkaian kegiatan perayaan 100 tahun berdirinya Lembaga Purbakala Indonesia (14 Juni 1913). Bersamaan dengan upacara peresmian gedung kantor, kami juga telah berhasil melaksanakan beberapa kegiatan teknis dan salah satu diantaranya adalah Pameran Cagar Budaya (100 tahun Purbakala) dengan peserta Unit Pelaksana Teknis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Balai Pelestarian Cagar Budaya, Balai Pelestarian Nilai Budaya, dan Balai Arkeologi) se-Indonesia yang diselenggarakan di Kota Gorontalo. Dengan telah diresmikannya gedung kantor sudah tentu dapat dijadikan momentum dalam memacu semangat kami untuk terfokus pada pelaksanaan kegiatan-kegiatan teknis dalam upaya pelestarian cagar budaya di wilayah kerja Provinsi Gorontalo, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah termasuk pula mempublikasikan hasil-hasil kegiatan pelestarian dalam bentuk bulletin. Pada edisi Bulletin UMULOLO Vol. I No. 03 Tahun 2013 ini kami sajikan beberapa tulisan tentang potensi, perlidungan, dan pemanfaatan cagar budaya: 1. Cagar Budaya di Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah, tulisan ini memuat tentang potensi Cagar Budaya yang terdapat di Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah, di wilayah ini banyak tersebar cagar budaya dari berbagai periode mulai dari masa megalitik (berupa arca, kalamba, batu dakon, batu datar), periode Islam, dan Kolonial. Potensi cagar budaya ini dapat diketahui dari hasil kegiatan inventarisasi yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Gorontalo, hasil inventarisasi ini dihimpun dalam database cagar budaya untuk kemudian dirancang berbagai program kegiatan pelestarian seperti pelindungan, pengembangan, dan pemanfatan, 2. Penyelamatan Cagar Budaya Waruga Sukur (Kajian Konservasi) yang mengupas tentang cara-cara menyelamatkan Cagar Budaya Waruga Sukur dari keterancaman yang disebabkan oleh organisme seperti lichen, algae, lumut dengan metode dan penggunaan bahan kimia yang aman, ramah lingkungan, dan tepatguna, 3. Potensi Cagar Budaya Di Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah, sebuah tulisan yang memaparkan hasil kegiatan invetarisasi cagar budaya yang terdapat di Wilayah Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah, 3. Akar Budaya Masa Lalu Sebagai Identitas Komunitas Asean 2015, sebuah tulisan yang menguraikan tentang perebutan pengaruh di Asia Tenggara oleh negara adikuasa tidak hanya terjadi pada saat sekarang, jika berkaca pada masa lalu, ternyata
Volume I Nomor 3 •2013
pada masa Singasari pernah terjadi ketika Cina di bawah Kublai Khan melakukan ekspansi kekuasaan, Kertanegara berusaha menyatukan Asia Tenggara guna menghadapi Cina. Pada masa sekarang negaranegara yang tergabung dalam ASEAN harus bersatu dan meneruskan cita-cita Kertanagara dengan harapan Komunitas ASEAN yang akan mulai berlaku tahun 2015 menjadi komunitas yang mandiri dan bebas dari tekanan negara adikuasa. Situs-situs arkeologi maupun tinggalan arkeologi lainnya yang terdapat di kawasan Asia Tenggara merupakan identitas dan jatidiri bangsa ASEAN, sehingga perlu dijaga dan dilestarikan. Untuk mewujudkannya diperlukan kerjasama negara anggota ASEAN dalam bentuk pendanaan, penelitian, dan pelatihan sumberdaya manusia berkaitan dngan pelestarian cagar budaya, 4. Pengelolaan Kapal Karam Berbasis Wisata Selam Edukasi, dan 5. Perlindungan Cagar Budaya Bawah Air Dalam Kajian Analisis Hukum, tulisan ini masing-masing menjelaskan tentang upaya pelestarian cagar budaya bawah air dan menjabarkan bahwa melalui media wisata selam yang kini tengah populer, maka potensi kapal karam akan dikemas dalam bentuk wisata selam berbasis sejarah dan budaya lokal. Untuk mewujudkan wisata model baru ini perlu dilakukan pengkajian terpadu yang melibatkan disiplin ilmu arkeologi maritim, anthropologi maritim, dan ilmu komunikasi guna merancang konsep manajemen wisata selam berbasis sejarah dan budaya lokal yang edutainment (edukasi dan entertaimen). Diharapkan lewat kegiatan penyelaman generasi muda akan lebih mengenal Indonesia, mengenal sejarahnya, dan mencintai lautnya. Hasil penelitian UNESCO menyebutkan, bahwa terdapat ± 3000 situs kapal karam di perairan Indonesia. Pernyataan ini dilandasi atas posisi strategis negara kepulauan Indonesia yang berada pada jalur persilangan dua benua, sehingga menjadikannya sebagai jalur perdagangan internasional yang ramai dilayari. Kondisi dan potensi ini merupakan berkah sekaligus menjadi masalah. Kasus pencurian benda muatan kapal tenggelam (BMKT) telah berlangsung sejak lama, bahkan sejak awal perkembangan arkeologi bawah laut di era 70-an. Potensi dan permasalahan cagar budaya bawah air yang semakin menghawatirkan memerlukan landasan hukum dan perundangan yang kuat untuk melindunginya. Ketika hukum dan perundangan cagar budaya bawah air tidak cukup kuat untuk melindunginya, maka Indonesia akan banyak kehilangan data sejarah. Oleh karena itu perlu dilakukan pengkajian ulang perundangan terkait perlindungan cagar budaya bawah air untuk dijadikan sebagai landasan pertimbangan dan pemikiran dimasa mendatang. Kami memberikan apresiasi, penghargaan, dan ucapan terimakasih kepada semua staf yang terlibat dalam penerbitan ini walaupun minim pengalaman dan kemampuan ternyata dengan berbekal semangat tinggi bulletin Umulolo dapat diterbitkan secara rutin setiap tahun. Akhirnya disadari bulletin ini masih jauh dari harapan, untuk kesempurnaannya sudah tentu saran dan masukan dari pembaca sangat kami butuhkan I Wayan Muliarsa
UMULOLO
3
SAJIAN EDISI INI
VISI ”TERWUJUDNYA PELESTARIAN, BERUPA PERLINDUNGAN, PENGEMBANGAN, DAN PEMANFAATAN CAGAR BUDAYA DALAM RANGKA MEMPERKUKUH KARAKTER DAN JATI DIRI BANGSA”
MISI a. Meningkatkan Pengelolaan yang Meliputi Perlindungan, Pemeliharaan, dan Pemanfaatan Cagar Budaya/Situs. b. Meningkatkan Pendokumentasian dan Peningkatan Mutu Informasi Tentang Cagar Budaya Kepada Masyarakat. c. Meningkatkan Sumber Daya Manusia yang Berkualitas
PENGANTAR REDAKSI
2
Pengantar Kepala Bpcb Gorontalo
3
CAGAR BUDAYA DI KABUPATEN POSOPROVINSI SULAWESI TENGAH (Hasil Laporan Inventarisasi Cagar Budaya) Romi Hidayat 5
TUGAS DAN FUNGSI Balai Pelestarian Cagar Budaya Gorantalo adalah unit pelaksana teknis di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bertanggungjawab kepada Direktur jenderal Kebudayaan, BPCB Gorontalo dipimpin oleh seorang kepala yang dalam melaksanakan tugasnya, secara operasional dibantu oleh seorang Kasub Bag. Tata Usaha dan Kasi Pelindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan, mempunyai tugas dan fungsi sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor PM.52 Tahun 2012. Tugas BPCB Gorontalo yaitu melaksanakan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan serta fasilitasi pelestarian cagar budaya di wilayah kerjanya. Untuk melaksanakan tugas tersebut BPCB mempunyai fungsi : 1. Pelaksanaan penyelamatan dan pengamanan cagar budaya; 2. Pelaksanaan zonasi cagar budaya; 3. Pelaksanaan pemeliharaan dan pemugaran cagar budaya; 4. Pelaksanaan pengembangan cagar budaya; 5. Pelaksanaan pemanfaatan cagar budaya; 6. Pelaksanaan dokumentasi dan publikasi cagar budaya; 7. Pelaksanaan kemitraan di bidang pelestarian cagar budaya; 8. Fasilitasi pelaksanaan pelestarian dan pengembangan tenaga teknis di bidang pelestarian cagar budaya; dan 9. Pelaksanaan urusan ketatusahan kantor.
UMULOLO
Bulletin Vol. I No 03 Tahun 2013
ISSN: 2089-3914
M E D I A I N FO R M A S I P E L E STA R I A N C AG A R B U DAYA
4
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA GORONTALO Wilayah Kerja Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo
ISSN: 2089-3914
PENYELAMATAN CAGAR BUDAYA WARUGA SYUKUR DARI SERANGAN ORGANISME DAN ALAM (KAJIAN KONSERVASI) Andi Muliadi 25
POTENSI CAGAR BUDAYA DI KABUPATEN DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH Sri Suharjo 30
AKAR BUDAYA MASA LALU SEBAGAI IDENTITAS KOMUNITAS ASEAN 2015 Hari Suroto 35 PENGELOLAAN KAPAL KARAM BERBASIS WISATA SELAM EDUKASI Asyhadi Mufsi Batubara 39
PeNANGGUNGjAwAb : Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Gorontalo Drs. I Wayan Muliarsa PIMPINAN ReDAkSI : Romi Hidayat, SS PeNyUNTING/eDIToR : Rosalina Rambung, SS, Drs. Albertinus, Sri Suharjo, S.Si DeSIGN GRAFIS DAN LAyoUT : Romi Hidayat, SS, Andi Mulyadi, SS, Fifin L Dai SEKRETARIAT : Nivia O. Pinatik, SE, Ajeng Wulandari S.Si, Ruslan Bin Sudi ALAMAT ReDAkSI : Kelompok Kerja Dukumentasi, Registrasi, dan Penetapan Balai Pelestarian Cagar Budaya Gorontalo, Jalan Anggur No 1 Kelurahan Huangobotu Kecamatan Dungingi, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo,Tlp: (0435) 821070 , (0435) 8772831, Fax (0435) 821070, e-mail:
[email protected] ISSN : 2089-3914 •
UMULOLO
Volume I Nomor 3 2013
CAGAR BUDAYA DI KABUPATEN POSO PROVINSI SULAWESI TENGAH (Hasil Laporan Inventarisasi Cagar Budaya) Romi Hidayat BPCB Gorontalo
1.1 LATAR BELAKANG Cagar Budaya merupakan kekayaan budaya bangsa, yang tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Tinggalan cagar budaya merupakan warisan leluhur bangsa yang dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan umum, baik untuk kepentingan ideologis, akademis, maupun untuk kepentingan yang bersifat ekonomis (Cleree,1990:5-10). Adapun yang dimaksud tentang cagar budaya yaitu warisan budaya yang bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan (UU RI No 11 Tahun 2010, 2010:2). Cagar budaya (disingkat CB), merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi kebudayaan bangsa, khususnya untuk memupuk rasa kebanggaan nasional serta memperkokoh kesadaran jatidiri bangsa. Selain itu juga untuk kepentingan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta pemanfaatan lain dalam rangka kepentingan nasional. Tinggalan cagar budaya yang beragam, merupakan salah satu bukti keragaman kebudayaan di Indonesia dan perlu dilestarikan. Salah satu Provinsi yang mempunyai sebaran cagar budaya yang beragam adalah Sulawesi Tengah, khususnya di Kabupaten Poso. Kabupaten Poso wilayahnya membentang dari arah Tenggara ke Barat Daya dan melebar dari arah Barat ke Timur, dan sebagian besar berada di daratan pulau Sulawesi. Dilihat dari posisinya Kabupaten Poso terletak di tengah pulau Sulawesi yang merupakan jalur strategis yang menghubungkan Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Kabupaten Poso diduga merupakan jalur migrasi masyarakat megalit. Ketika penyebaran tinggalan Megalitik lebih menyebar ke utara, diduga mendarat di Teluk Palu, lalu bergerak ke selatan ke arah Lembah Bada, melalui lembah Sungai Palu. Hal ini terbukti dengan banyaknya tinggalan megalitik yang terdapat di Kabupaten Poso, terutama di Lembah Lore yang sangat kaya akan peninggalan megalitik, peninggalan megalitik ini tersebar di Lembah Besowa, Lembah Napu, dan Lembah Bada. Setelah masa prasejarah berlalu masuklah masa sejarah, dimulai dengan masuknya Belanda. Pemerintah Hindia Belanda mulai menguasai wilayah Sulawesi Tengah pada tahun 1905, pemerintah Hindia Belanda kemudian mengubah sistem pemerintahan dari kerajaan dijadikan pusat-pusat pemerintahan Hindia Belanda. Selain mengubah sistem pemerintahan Belanda juga datang membawa agama baru yaitu agama Kristen. Agama Kristen ini disebarkan oleh misionaris-misionaris Belanda, salah satunya adalah J. Kruytt. Volume I Nomor 3 •2013
Beragamnya sebaran tinggalan cagar budaya yang terdapat di Kabupaten Poso, sehingga diperlukan penanganan pelestarian sebagaimana mestinya, untuk menghindari kerusakan, kehilangan, dan kemusnahan. Upaya-upaya pelestarian perlu dilakukan, agar dapat dimanfaatkan dalam rangka pembangunan bangsa dan negara khususnya bagi Kabupaten Poso sendiri. Menurut Kasnowihardjo (2001) ada beberapa alasan mengapa sumberdaya budaya harus dilestarikan antara lain karena sifatnya terbatas dan tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources), memiliki sifat yang unik terutama yang bersifat monumental dan tak bergerak karena mempunyai nilai tambah seperti potensi ekologis, arsitektonis, historis, ataupun geologis. Cleere dalam Kusumohartono (1993) menyatakan ada tiga manfaat yang yang dapat dibangun melalui perspektif tinggalan arkeologi yaitu, ideologik,akademik, dan ekonomik. Selanjutnya Daud Aris Tanudirjo (2004) menjabarkan suatu konsep tersebut sebagai berikut; A. Nilai Penting Sejarah Apabila peninggalan sejarah dan purbakala tersebut dapat menjadi bukti yang berbobot dari peristiwa yang terjadi pada masa prasejarah dan sejarah, berkait erat dengan tokoh-tokoh sejarah atau merupakan tinggalan karya seorang tokoh terkemuka dalam bidang tertentu, atau menjadi bukti perkembangan dalam bidang tertentu seperti penemuan baru, penerapan tehnologi baru dan perubahan social, ekonomi dan politik. B. Nilai Penting Ilmu Pengetahuan Apabila tinggalan budaya itu mempunyai potensi untuk diteliti lebih lanjut dalam rangka menjawab masalahmasalah dalam bidang keilmuan tertentu. Dimana bidang keilmuan tidak hanya mencakup ilmu social, tetapi juga berkaitan dengan bidang ilmu lainnya. C. Nilai Penting Kebudayaan Apabila tinggalan budaya tersebut mewakili hasil pencapaian budaya tertentu, mendorong proses penciptaan budaya atau menjadi jati-diri (Cultural Identity) bangsa atau komunitas tertentu. 1.2 KONDISI GEOGRAFIS KABUPATEN POSO Kabupaten Poso wilayahnya membentang dari arah Tenggara ke Barat Daya dan melebar dari arah Barat ke Timur, dan sebagian besar berada di daratan pulau Sulawesi. Dilihat dari posisinya Kabupaten Poso terletak ditengah-tengah Pulau Sulawesi yang merupakan jalur strategis yang menghubungkan Gorontalo dengan Sulawesi Tengah. Posisi dipermukaan bumi letak wilayah Kabupaten Poso secara umum berada di kawasan hutan dan lembah pegunungan. Dan kawasan lainnya terletak pada pesisir pantai
UMULOLO
5
5. Poso Kota, 6. Kecamatan Poso Kota Selatan, 7. Kecamatan Lore Timur, 8. Kecamatan Lore Peore, 9. Kecamatan Poso Pesisir Selatan, 10. Kecamatan Lage, 11. Kecamatan Lore Tengah, 12. Kecamatan Pamona Pusalemba, 13. Pamona Utara, 14. Kecamatan Lore Barat, 15. Kecamatan Lore Selatan, 16. Kecamatan Pamona Barat, 17. Kecamatan Pamona Timur, 18. Kecamatan Pamona Tenggara, 19. Kecamatan Pamona Selatan.
yang sebagian terletak di perairan Teluk Tomini dan Teluk Tolo. Berdasarkan letak Astronomis wilayah Kabupaten Poso terletak pada koordinat 1° 06’ 44,892” - 2° 12’ 53,172” LS dan 120° 05’ 96” - 120° 52’ 4,8” BT, dan panjang wilayah Kabupaten Poso dari ujung barat sampai ujung timur diperkirakan jaraknya kurang lebih 86,2 Km. Lebarnya dari Utara ke Selatan dengan jarak kurang lebih 130 Km. Wilayah Kabupaten Poso dibatasi oleh batas alam yakni kawasan pantai dan pegunungan / perbukitan dengan batas administratif sebagai berikut: Sebelah Utara : : Berbatasan dengan Teluk Tomini dan Propinsi Gorontalo Sebelah Selatan : berbatasan dengan Prop. Sulawesi Selatan. Sebelah Timur : Berbatas dengan wilayah Kabupaten Tojo Sebelah Barat : Una-una dan Kabupaten Morowali. Berbatasan dengan wilayah Kabupaten Donggala dan Kabupaten Parigi Moutong.
Luas daratan Kabupaten Poso setelah terpisah dari Kabupaten Tojo Una-una diperkirakan sekitar 8.712,25 Km2 atau 12,81 persen dari luas daratan Provinsi Sulawesi Tengah. Bila dibandingkan dengan luas daratan kabupaten yang ada di Provinsi Sulawesi Tengah, Kabupaten Poso menempati urutan keempat. Jika dilihat berdasarkan luas kecamatan, Kecamatan Lore Tengah memiliki luas terbesar yaitu kira-kira 976,37 Km2 atau 11,21 persen dari luas Kabupaten Poso.
Peta Kabupaten Poso Doc. BPCB Gorontalo
Kabupaten Poso yang beribukota di Poso ini terdiri dari 19 kecamatan (Kabupaten Poso Dalam Angka 2011) sebagai berikut : 1. Kecamatan Poso Pesisir Utara, 2. Kecamatan Lore Utara, 3. Kecamatan Poso Pesisir, 4. Kecamatan Poso Kota Utara, 6
1.3 GEOLOGI, MORFOLOGI, DAN IKLIM KABUPATEN POSO Secara geologis wilayah Kabupaten Poso terletak pada deretan pegunungan lipatan, yakni Pegunungan Fennema dan Tineba di bagian barat, Pegunungan Takolekaju di bagian barat daya, Pegunungan Verbeek di bagian tenggara, Pegunungan Pompangeo dan Pegunungan Lumut di bagian timur laut. Jenis tanah didaerah ini terbentuk dari lapisan kelompok jenis batuan dengan ciri-ciri dan penyebarannya sebagai berikut: Batuan Kapur, jenis batuan ini terdapat di wilayah Kecamatan Pamona Selatan dan Pamona Utara; Batuan Skiss, terdapat di wilayah Kecamatan Pamona Utara, Poso Pesisir, Lage, Pamona Selatan, Lore Utara, Lore Selatan dan Poso Kota; Batuan Metamorfik, hanya terdapat di wilayah Kecamatan Lore Utara, Lore Selatan dan sebagian kecil di Kecamatan Poso Pesisir. Wilayah Kabupaten Poso sebagian besar merupakan kawasan pegunungan dan perbukitan, maka ketinggian wilayah pada umumnya berada diatas 500 meter dari permukaan laut. Kemiringan tanah/lereng yang terdiri dari: - Kemiringan 0-2 % (datar agak landai), tersebar diseluruh kecamatan khususnya kecamatan Pamona Selatan - Kemiringan 3-15 % (landai agak miring) tersebar hampir diseluruh kecamatan kecuali Kecamatan Lage - Kemiringan 16-40 % (miring agak curam), terdapat dihampir seluruh kecamatan kecuali di wilayah Kecamatan Lore Selatan. Sedangkan kemiringan yang terluas terdapat di Kecamatan Lore Utara. - Kemiringan lebih dari 40 % (sangat curam), merupakan bagian terluas dari seluruh luas kemiringan tanah di wilayah Kabupaten Poso. Keadaan udara disuatu tempat yang tidak terlalu luas pada saat-saat tertentu (cuaca) ditentukan oleh tekanan udara. Dan suhu udara disuatu tempat antara lain ditentukan oleh tinggi rendahnya suatu tempat dari permukaan laut serta jaraknya dari tepi pantai. Keadaan iklim di Kabupaten Poso dikenal dengan iklim hujan tropis, karena pada bagian Utara wilayah ini dilalui oleh garis Khatulistiwa. Berdasarkan pengamatan melalui Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Poso Tahun 2010 secara umum rata-rata suhu udara maksimum/minimum berada pada 31.76°C dan 20.29°C. Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya suhu udara rata-rata tidak banyak mengalami perubahan.
UMULOLO
Volume I Nomor 3 •2013
1.4 SEJARAH SINGKAT Kabupaten Poso adalah sebuah kabupaten di provinsi Sulawesi Tengah. Kabupaten ini mempunyai luas sebesar 24.197 km² dan jumlah penduduk 132.032 jiwa (2000). Ibu kota kabupaten ini terletak di Kota Poso. Pada mulanya penduduk yang mendiami daerah Poso berada di bawah kekuasaan Pemerintah Raja-Raja yang terdiri dari Raja Poso, Raja Napu, Raja Mori, Raja Tojo, Raja Una Una, dan Raja Bungku yang satu sama lain tidak ada hubungannya. Keenam wilayah kerajaan tersebut di bawah pengaruh tiga kerajaan, yakni : Wilayah Bagian Selatan tunduk kepada Raja Luwu yang berkedudukan di Palopo, sedangkan Wilayah Bagian Utara tunduk dibawah pengaruh Raja Sigi yang berkedudukan di Sigi (Daerah Kabupaten Donggala), dan khusus wilayah bagian Timur yakni daerah Bungku termasuk daerah kepulauan tunduk kepada Raja Ternate. Sejak Tahun 1880 Pemerintah Hindia Belanda di Sulawesi Bagian Utara mulai menguasai Sulawesi Tengah dan secara berangsur-angsur berusaha untuk melepaskan pengaruh Raja Luwu dan Raja Sigi di daerah Poso. Terbagi Dua Pada 1918 seluruh wilayah Sulawesi Tengah dalam lingkungan Kabupaten Poso yang sekarang telah dikuasai oleh Hindia Belanda dan mulailah disusun Pemerintah sipil. Kemudian oleh Pemerintah Belanda wilayah Poso dalam tahun 19051918 terbagi dalam dua kekuasaan pemerintah, sebagian masuk wilayah Keresidenan Manado yakni Onderafdeeling (kewedanan) Kolonodale dan Bungku, sedangkan kedudukan raja-raja dan wilayah kekuasaanya tetap dipertahankan dengan sebutan Self Bestuure-Gabieden (wilayah kerajaan) berpegang pada peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda yang disebut Self Bestuure atau Peraturan adat Kerajaan (hukum adat). Pada 1919 seluruh wilayah Poso digabungkan dialihkan dalam wilayah Keresidenan Manado di mana Sulawesi tengah terbagi dalam dua wilayah yang disebut Afdeeling, yaitu: Afdeeling Donggala dengan ibu kotanya Donggala dan Afdeeling Poso dengan ibu kotanya kota Poso yang dipimpin oleh masing-masing Asisten Residen. Sejak 2 Desember 1948, Daerah Otonom Sulawesi Tengah terbentuk yang meliputi Afdeeling Donggala dan Afdeeling Poso dengan ibuk otanya Poso, yang terdiri dari tiga wilayah Onder Afdeeling Chef atau lazimnya disebut pada waktu itu Kontroleur atau Hoofd Van PoltselykBestuure (HPB). Distrik Sulawesi Tengah Ketiga Onderafdeeling ini meliputi beberapa Landschap dan terbagi dengan beberapa distrik yakni : Onderafdeeling Poso, meliputi:Landschap Poso Lage berkedudukan di Poso, Landschap Lore berkedudukan di Wanga, Landschap Tojo berkedudukan di Ampana, Landschap Una Una berkedudukan di Ampana. Onderafdeeling Bungku dan Mori meliputi: Landschap Bungku berkedudukan di Bungku, Landschap Mori berkedudukan di Mori. Onderafdeeling Luwuk meliputi : Landschap Banggai berkedudukan di Luwuk. Onderafdeeling Donggala Onderafdeeling Palu Onderafdeeling Toli Toli Onderafdeeling Parigi Kemudian pada tahun 1949 setelah realisasi pembentukan Daerah Otonom Sulawesi Tengah disusul dengan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Sulawesi Tengah. Pembentukan Daerah Otonom Sulawesi Tengah merupakan tindak lanjut dari hasil Muktamar RajaRaja se-Sulawesi Tengah pada tanggal 13-14 Oktober 1948 di Parigi yang mencetuskan suara rakyat se-Sulawesi Tengah agar dalam lingkungan Pemerintah Negara Indonesia Timur (NIT). Volume I Nomor 3 •2013
Sulawesi Tengah dapat berdiri sendiri dan ditetapkan bapak Rajawali Pusadan Ketua Dewan Raja-Raja sebagai Kepala Daerah Otonom Sulawesi Tengah. Daerah Otonom Selanjutnya, dengan melalui beberapa tahapan perjuangan rakyat Sulawesi Tengah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Sulawesi Tengah yang dipimpin oleh A.Y Binol pada tahun 1952 dikeluarkan PP No. 33 thn 1952 tentang pembentukan Daerah Otonom Sulawesi Tengah yang terdiri dari Onderafdeeling Poso, Luwuk Banggai dan Kolonodale dengan Ibukotanya Poso dan daerah Otonom Donggala meliputi Onderafdeeling Donggala, Palu, Parigi, dan Toli Toli dengan Ibukotanya Palu. Pada tahun 1959 berdasarkan UU No. 29 Thn 1959 Daerah Otonom Poso dipecah menjadi dua daerah Kabupaten yakni : Kabupaten Poso dengan Ibukotanya Poso dan Kabupaten Banggai dengan Ibukotanya Luwuk. HASIL INVENTARISASI CAGAR BUDAYA DI KABUPATEN POSO 1.1 BANGUNAN GEREJA TUA KASIGUNCU
Lingkungan sekitar Gereja Kasiguncu
Bangunan Gereja Tua Kasiguncu berada di dalam halaman kompleks Gereja Kristen Sulawesi Tengah Anggota PGI Jemaat Bethesda Kasiguncu tepatnya di jalan Trans Sulawesi PaluPoso. Keletakan geografis lokasi Gereja Tua Kasiguncu dalam koordinat LS 1° 25› 17,2» – BT 120° 39› 34,86», dengan ketinggian 31 Mdpl serta memiliki batas lingkungan sebagai berikut : - Sebelah Utara berbatasan dengan permukiman, dan kebun kopi. - Sebelah Selatan berbatasan dengan jalan Bandara Kasiguncu. - Sebelah Timur berbatasan dengan Gereja Kristen Jemaat Bethesda Kasiguncu. - Sebelah Barat berbatasan dengan permukiman. Arsitektur Gereja Tua Kasiguncu memiliki ciri arsitektur kolonial yang mulai dibangun sejak tahun 1947 oleh pendeta berkebangsaan Belanda bernama Norman. Letak Gereja Tua Kasiguncu awalnya berada di depan bangunan Gereja Kristen Sulawesi Tengah Anggota PGI Jemaat Bethesda Kasiguncu sekarang yang sekarang dijadikan sebagai halaman atau taman gereja. Kemudian bangunan gereja dipindahkan atau dibangun kembali pada sekitar tahun 1986-1987 ke lokasi sekarang ini, dengan tetap mengikuti bentuk arsitektur awal bangunan gereja dan masih memakai beberapa bahan konstruksi awal
UMULOLO
7
Ruang Dalam Gereja Kasiguncu
Gereja Kasiguncu
bangunan berupa bagian atap bangunan, plafon, ventilasi (sirkulasi udara), tiang/pilar kayu, penggunaan tiang kayu yang berfungsi sebagai konstruksi tulang pada kolom dinding bangunan, kusen jendela, pintu dan lantai bangunan. Denah bangunan persegi panjang, dengan atap bangunan yang berbentuk limas dengan atap yang terbuat dari bahan seng. Sebelah Timur atap bangunan terdapat bekas sambungan atap teras bangunan yang berbentuk segitiga. Teknik konstruksi atap bangunan dan bagian dinding bangunan memperlihatkan teknik konstruksi yang tidak saling menyatu antara konstruksi atap dan konstruksi dinding bangunan. Perbedaan teknik konstruksi pada kedua bagian bangunan tersebut dapat diamati di dinding atas bangunan gereja yang langsung menggunakan papan sebagai plafon kemudian diteruskan di bagian dinding yang dibuatkan ventilasi menggunakan jaring kawat (rang). Dinding bagian atas sampai bagian dinding tengah bangunan menggunakan papan, kemudian dinding bagian bawah menggunakan konstruksi susunan bata dan di plester dengan spesi sampai dibagian pondasi bangunan. Letak dinding utama (depan) bangunan berada di sebelah Timur dengan menempatkan 2 (dua) buah pintu masuk atau pintu utama masing-masing di sebelah kiri dan kanan dinding. Ornamen tambahan lainnya yang terdapat pada bagian bangunan Gereja Tua Kasiguncu adalah ornamen jendela jendela yang terdapat di dinding Timur bangunan dengan bentuk persegi panjang dan menggunakan kaca masing-masing berjumlah 3 (tiga) buah serta ditambahkan ventilasi dibagian atas jendela. Letak jendela tersebut terdapat di bagian tengah dinding Timur 1 (satu) buah, 2 (dua) buah jendela lainnya terdapat di sebelah kanan dan kiri dinding dekat pintu masuk. Di bagian Selatan dinding (sebelah kiri) memiliki 3 (tiga) buah jendela dengan bentuk yang sama dengan jendela di dinding Timur. Dinding sebelah Barat menggunakan 4 (empat) buah jendela berbahan kayu dengan dengan bentuk jendela berdaun ganda dan setiap bidang permukaan diberikan celah udara. Ruang dalam bangunan sejak awal berdirinya digunakan untuk peribadatan bagi umat kristiani, sekarang beralih fungsi setelah dibangun gereja baru yang terletak di sebelah Timur, maka bangunan Gereja Tua Kasiguncu digunakan untuk ruang belajar bagi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) bagi warga sekitar. Perubahan fungsi bangunan gereja dilihat dari tatanan meja, bangku belajar, dan papan tulis (white board) yang digunakan untuk melakukan kegiatan belajar mengajar 8
Jendela Gereja Kasiguncu
siswa PAUD Kasiguncu. Bagian belakang bangunan diberikan dinding penyekat dari tripleks kemudian dibuat menjadi satu ruangan yang digunakan sebagai ruang pertemuan dan diberikan 1 (satu) pintu yang terletak di dinding Barat. Bagian konstruksi lantai bangunan gereja dibuat cukup sederhana, yang seluruhnya menggunakan spesi, kemudian permukaannya diberikan lapisan semen (aci) untuk memperlicin lapisan permukaan lantai. Luas lantai bangunan mengikuti luas ruang dalam bangunan, panjang 16,82 meter dan lebar 9,41 meter. Adapun bangunan tambahan yang terdapat dibagian bangunan Gereja Tua Kasiguncu terdapat di dinding sebelah Utara, yaitu bangunan permanen yang menempel dibagian dinding bangunan gereja. Bangunan tambahan ini pernah digunakan kantor untuk majelis pendeta atau kantor Yayasan Gereja Kristen Bethesda Kasiguncu. 1.2 GEREJA TUA MALITU Gereja Tua ini berada di Desa Malitu, Kecamatan Posisi Pesisir Selatan tepatnya di dalam halaman Gereja Jemaat Emanuel Malitu dengan koordinat LS 1° 28› 17,52» – BT 120° 40› 17,22» serta ketinggian 81 Mdpl. Batas lingkungan Gereja Tua, adalah : - Sebelah Utara berbatasan dengan permukiman penduduk. - Sebelah Timur berbatasan dengan jalan desa (Jl. Mawar). - Sebelah Selatan berbatasan dengan Permukiman penduduk. - Sebelah Barat berbatasan dengan hutan. Arsitektur bangunan Gereja Tua Malitu memiliki perpaduan ciri bangunan tradisional dan bangunan masa kolonial. Unsur dan ciri bangunan tradisional pada bangunan Gereja Tua Malitu terlihat dari bentuk rumah panggung dengan konstruksi bangunan seluruhnya menggunakan kayu (papan dan balok). Sedangkan cirri arsitek colonial pada Gereja Tua Malitu terlihat pada bagian penampang atap teras depan memiliki tulisan tanggal pendirian bangunan 6-91933. Informasi tersebut diperoleh dari masyarakat sekitar, gereja tersebut awalnya dibangun oleh seorang antropolog sekaligus misionaris berkebangsaan Belanda bernama Kruyt yang mendatangi Sulawesi Tengah untuk menyebarkan agama kristen. Mulai dari konstruksi kaki bangunan atau umpak dari semen dibentuk trapesium yang berfungsi sebagai pondasi,
UMULOLO
Volume I Nomor 3 •2013
Tampak dari Selatan Gereja Tua Malitu
Tangga Gereja Tua Malitu
Stuktur Kaki Gereja Tua Malitu
Pintu Utama Gereja Tua Malitu
Umpak Gereja Tua Malitu
kemudian diatas umpak ditinggikan lagi dengan menggunakan balok kayu segi empat yang berfungsi sebagai tiang atau kolom. Seluruh umpak dan kaki tiang bangunan berjumlah 47 (empat puluh tujuh) tiang kaki, yang masing-masing dibuat saling berderet antara tiang lainnya. Setiap kolom dibuatkan lagi rangka balok melintang yang berfungsi untuk menahan beban bangunan dari atas. Denah bangunan bebentuk segi empat dengan pembagian Volume I Nomor 3 •2013
ruang terdiri dari, teras depan dengan menggunakan dua buah tangga terletak disisi kanan dan kiri bangunan teras, kemudian dilengkapi bangunan atap sebagai bagian pelindung teras bangunan. Bangunan atap teras ini perkuat dengan sejumlah tiang/pilar kayu yang terbagi ditiap sudut, 3 (tiga) tiang/pilar di sebelah kanan, 3 (tiga) tiang/pilar di sebelah kiri, dan 2 (dua) tiang/pilar terletak di depan. Bagian dinding teras bangunan juga menggunakan ornamen dinding semu atau dinding pembatas teras. Lantai bangunan teras menggunakan konstruksi papan/ kayu yang dipasang berbanjar dan diperkuat dengan paku untuk pengunci. Bagian ruang utama bangunan gereja memiliki sejumlah ornamen berupa pintu di depan yang menggunakan pintu berdaun ganda, kemudian di atas pintu terdapat ventilasi (sirkulasi udara) dengan bentuk segi empat, dan di dalam bingkai ventilasi diberikan ornamen berbentuk belah ketupat serta dilengkapi dengan jaring (rang) yang berfungsi sebagai penyaring udara, namun kondisi rang saat ini rusak. Ornamen lainnya yang sejajar dengan pintu yaitu 2 (dua) jendela yang dengan menggunakan pintu jendela berdaun ganda yang masing jendela tersebut terletak di sebelah kiri dan kanan bangunan dinding depan. Ruang dalam gereja terbagi atas 2 (dua) ruang, yaitu ruang tengah dengan panjang ruangan 21 meter dan lebar ruangan 10 meter. Sementara di sebelah kanan bangunan dibuatkan semi permanen berupa sekat dinding tripleks setinggi 2 meter dan panjang 10 meter. Ruang mimbar terletak paling belakang
UMULOLO
9
Jendela Gereja Tua Malitu (kiri) dan Kontruksi Rangka Atap Gereja Tua Malitu (kanan).
1.3.1 Rumah Saoraja Mapane Pemilik sekaligus pendiri rumah Saoraja adalah (alm) Bapak Baso Ali yang kemudian diwariskan kepada keluarganya yang bernama Ojabolo. Berdasarkan arsip tulisan tangan Baso Ali, rumah ini pertamakali dibangun 26 April 1916 dengan ukuran panjang bangunan 15 meter dan lebar bangunan 8 meter, tinggi kolong 2 ¹º/¹ºº meter dan tinggi badan 2 ¹º/¹ºº meter, kemudian bangunan ini dikerjakan oleh Tjung A Kong dengan sewa Rp. 1.640,-. Batas lingkungan rumah tua, adalah : - Sebelah Utara berbatasan dengan permukiman penduduk. - Sebelah Timur berbatasan dengan jalan desa. - Sebelah Selatan berbatasan dengan Mesjid Tua Mapane. - Sebelah Barat berbatasan dengan jalan Popakuni.
Ruang Mimbar Gereja Tua Malitu
Ruang Tengah Gereja Tua Malitu
bagian tengah yang sejajar dengan teras depan bangunan gereja. Mimbar gereja memiliki panjang ruangan 6 meter dan lebar ruangan 5 meter. Berbagai ornamen bangunan yang dimiliki ruang tengah dan ruang mimbar yaitu sejumlah jendela yang terletak di sebelah kanan dan kiri masingmasing 1 (satu) jendela serta 1 (satu) jendela lagi terletak di ruang mimbar, dengan bentuk jendela persegi panjang dan menggunakan pintu jendela berdaun ganda. Selain ornamen jendela terdapat 1 (satu) pintu di sebelah kiri ruang mimbar dilengkapi sebuah tangga bangunan. Ornamen lainnya adalah ventilasi (sirkulasi udara) yang terdapat di sekeliling bagian paling atas dinding bangunan gereja, ventilasi bangunan dibentuk mengikuti kolom dinding dengan jumlah ventilasi sebanyak 37 dan masing-masing ventilasi berbentuk persegi empat serta diberikan jaring (rang) kawat. 1.3 RUMAH SAORAJA DAN MASJID TUA MAPANE Rumah Saoraja dan Masjid Tua Mapane merupakan bangunan yang terletak saling bersebelahan, kemudian berada di jalan Popakuni, Desa Mapane dulu Kampung Takile, Kecamatan Poso Pesisir. Koordinat kedua bangunan tua tersebut berada pada titik LS 1° 25› 2,40» – BT 120° 40› 31,62» dan LS 1° 25› 2,38» – BT 120° 40› 30,65».
10
Bukti Dokumen Sewa rumah Rp.1.640,-
Bentuk bangunan rumah milik Baso Ali merupakan rumah panggung yang berakulturasi dengan arsitektur bangunan tradisional Saoraja (Banua Oge) atau rumah adat suku Kaili di Sulawesi Tengah Saoraja (Banua Oge) ini memiliki bentuk persegi panjang dengan menggunakan umpak dan kaki/tiang rumah yang berada di bagian kolong. Teras depan rumah terdapat dua buah tangga di sebelah kanan dan kiri yang menjadi satu bagian dengan bangunan teras depan rumah. Bagian depan rumah memiliki pintu masuk menggunakan daun pintu ganda dan 2 (dua) jendela depan yang menggunakan daun jendela ganda. Memasuki bagian dalam rumah terdapat ruang yang memanjang kedalam sampai kebagian ruang
UMULOLO
Volume I Nomor 3 •2013
Tampak dari sisi Barat Rumah Saoraja Mapane
belakang (lorong) dan ruang tengah tersebut memiliki 4 kamar tidur yang tidak memiliki pintu dan hanya menggunakan kain gorden sebagai tirai penutup pintu kamar serta ruang dapur di belakang rumah. Kamar tersebut berada di bagian kiri dan kanan ruang tengah. Ruangan paling belakang terdapat dapur rumah yang kemudian diberikan tambahan disebelah kiri dengan membuat ruang tambahan yang juga berfungsi dapur rumah dan diberikan 1 buah pintu dan sebuah tangga belakang yang menghadap ke arah Barat. 1.3.2 Masjid Tua Mapane Masjid Tua Mapane letaknya satu halaman dengan rumah Saoraja Mapane, masjid ini juga didirikan oleh Bapak Baso Ali, pada tahun 1923. Awal pembangunan masjid bertujuan sebagai tempat beribadah bagi masyarakat di kampung Takile, sekaligus sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di wilayah Poso. Batas lingkungan Masjid Tua Mapane, adalah : - Sebelah Utara berbatasan dengan kebun kopi. - Sebelah Timur berbatasan dengan Rumah Saoraja (Banua Oge). - Sebelah Selatan berbatasan dengan jalan Popakuni. - Sebelah Barat berbatasan dengan kebun kopi.
Tiang Utama Atap Masjid (kiri), Mimbar Masjid (kanan).
Pintu Utama Atap Masjid
Tangga Menuju Atap Masjid
Masjid Tua Mapane
Denah bangunan masjid berbentuk segi empat dengan atap model tumpang berbentuk segitiga. Atap bangunan masjid terbuat dari seng. Bagian atap paling bawah memiliki tiang penyangga atap yang terpasang dibagian dinding atas mesjid dengan bentuk segitiga. Volume I Nomor 3 •2013
Dinding masjid seluruhnya menggunakan kayu sebagai konstruksi bangunan. Adapun hiasan dinding yang terdapat di konstruksi bangunan dinding dengan pola sulur dan flora. Pintu masuk bangunan masjid memiliki 4 (empat) pintu masuk, yang masing-masing di sebelah Utara 1 (satu) pintu, sebelah Timur 2 (dua) pintu, dan sebelah Selatan 1 (satu) pintu. Komponen pintu ini dilengkapi bingkai dan dibagian atas bingkai pintu diberikan model lengkungan. Keempat pintu yang terdapat pada bangunan mesjid seluruhnya menggunakan komponen daun pintu ganda. Komponen bangunan lainnya
UMULOLO
11
berupa jendela sebanyak 7 bingkai jendela yang seluruhnya menggunakan model jendela berdaun ganda. Di dalam Masjid Tua Mapane terdapat 4 (empat) tiang yang berfungsi sebagai soko guru sekaligus penyangga bagian atap dan kubah masjid. Plafon mesjid menggunakan papan dan dibagian plafon memiliki sebuah tangga yang mengarah ke bagian kubah masjid. Adapun masjid ini dilengkapi dengan sebuah mimbar yang terletak dibagian paling depan atau sebelah Barat, yang terbuat dari bahan kayu. 1.4 MAKAM DR. N. ADRIANI
di Poso, Sulawesi Tengah bernama Papa I Wunte, kemudian bertepatan pada perayaan natal tahun 1909 sebanyak 180 orang masyarakat poso berhasil di baptis oleh keduanya, termasuk di masyarakat suku Napu, Besoa dan Bada. Adriani saat ini dimakamkan di Kelurahan Lawanga, Kecamatan Poso Kota tepatnya di pemakaman umum Kristen dan penguburan umum Tionghoa (Cina) di jalan Adriani, dengan koordinat berada pada titik LS 1° 22› 40,19» – BT 120° 45› 42,96». Batas lingkungan makam adalah : - Sebelah Utara berbatasan dengan pemakaman umum Kristen dan jalan SD Negeri 6, Poso. - Sebelah Timur berbatasan dengan jalan Adriani. - Sebelah Selatan berbatasan Penguburan umum Tionghoa (Cina). - Sebelah Barat berbatasan dengan SD Negeri 6, Poso. Bangunan makam Adriani ini memiliki bentuk persegi panjang yang diberikan kanopi yang terdiri dari bagian atap dengan konstruksi atap beton dan 2 (dua) pilar yang sebagai penahan bagian atap beton tersebut. seluruh bagian permukaan dinding makam di cat berwarna kuning. Nisan makam menggunakan batu marmer putih yang memiliki inskripsi makam menggunakan bahasa Belanda dan sebuah angka penanggalan wafatnya Adriani yaitu 1 Mei 1926.
Makam DR. N Adriani
Dr. N. Adriani adalah peneliti linguistik/ ahli bahasa sekaligus penyebar injil yang diutus langsung oleh Nederlandsch Zendelings Genootschap (NZG) atau kelompok penyebar agama Kristen di Belanda, bersama dengan Dr. Alb. C. Kruyt. Kedua tokoh tersebut berasal dari Belanda untuk melakukan penelitian bahasa di wilayah Sulawesi, dan Adriani bersama dengan Kruyt berhasil menyusun dan mengubah kamus bahasa Baree (salah satu bahasa lokal kebudayaan masyarakat di Suku Toraja bagian Timur, Sulawesi sekarang Suku Pamona, Sulawesi Tengah). Awal kedatangan kedua tokoh tersebut bertujuan ke Gorontalo untuk melakukan penyebaran Injil pada tahun 1891, dimana Gorontalo saat itu sudah terdapat jemaat kecil yang terdiri dari suku Minahasa. Namun kedatangan mereka dan penyebaran injil di Gorontalo tidak maksimal disebabkan wilayah tersebut masyarakatnya sudah memeluk agama Islam sehingga misi keagamaan keduanya beralih ke Sulawesi Tengah pada tahun 1892. Misi penyebaran injil yang dilakukan oleh Dr. Alb. C. Kruyt dan Dr. N. Adriani di wilayah Sulawesi Tengah berlangsung selama 17 tahun sekaligus melakukan penelitian bahasa serta adat istiadat. Dalam kurun waktu Inskripsi Makam DR. N Adriani tersebut keduanya berhasil membaptis untuk pertama kalinya seorang kepala kampung 12
Tampak dari Utara Makam DR. N Adriani
1.5 PENGUBURAN DALAM GUA DAN CERUK Penguburan dalam gua dan ceruk (rockshelter) hampir seluruhnya menyebar di seluruh wilayah Indonesia, diantaranya terdapat di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya sekarang Papua. Khusus di wilayah Sulawesi, penguburan gua dan ceruk hingga saat ini masih sangat identik dengan masyarakat Toraja sebagai pelaku sekaligus pelanjut sistem dan konsep pemujaan bagi para leluhur dalam kebudayaan serta kepercayaan Aluk Todolo yang masih terus dilakukan oleh masyarakat serta pendukung kebudayaan tersebut di wilayah Sulawesi Selatan (Prasetyo dan Yuniawati, 2004). Bagian Timur Laut pulau Sulawesi, tradisi penguburan gua dan ceruk pun pernah dilakukan masyarakat Tentena khususnya suku Pamona yang terdapat di Kecamatan Tentena, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah. Bukti penguburan gua dan ceruk tersebut hingga saat ini masih ditemukan di 3 (tiga) lokasi penguburan gua dan ceruk, yaitu:
UMULOLO
Volume I Nomor 3 •2013
1.5.1 GUA PAMONA
Sisa-sisa tulang belulang dalam gua (kiri), Ruang dalam Gua Pamona dari sisi sebelah selatan (kanan).
aksial terdiri dari bagian tengkorak kepala (kranium) dan wajah, tulang punggung, dan sangkar rusuk. 2). Kelompok kerangka apendikuler terdiri dari bagian tulang belikat dan tulang selangka (http://agrotriono.blogspot.com/). Palang Nama Gua Pamona
1.5.2 CERUK LATEA I DAN GUA LATEA II
Gua Pamona ini terletak pada koordinat LS 1° 45› 48,92» – BT 120° 38› 20,1» dengan ketinggian 527 Mdpl, tepatnya berada di sebelah Barat tepi Danau Poso, Kelurahan Pamona, Kecamatan Pamona Puselemba. Gua ini merupakan gua alam yang terbentuk dari batuan karst (bukit kapur). Mulut gua menghadap Utara, dengan kedalaman dari permukaan tanah ± 3.5 meter. Vegetasi sekitar gua rata-rata ditumbuhi pohon berbatang keras, tumbuhan rambat, tumbuhan lumut/algae atau mosh dan tumbuhan lainnya. Ada pun jenis biota yang tersebar merata di permukaan tanah bukit gua berupa fragmen dan cangkang moluska (kerang). Lokasi gua sekarang telah dikelola oleh pihak pemerintah daerah melalui Dinas Pemuda dan Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata, Kabupaten Poso bertujuan sebagai salah satu lokasi obyek pariwisata daerah sekaligus menjadi aset peninggalan kebudayaan di daerah setempat. Bentuk pengelolaan pariwisata yang telah dilakukan sampai sekarang berupa penataan lokasi obyek pariwisata dengan dibuatkan papan nama dan papan petunjuk lokasi gua, pagar pembatas yang mengelilingi perbukitan gua yang dilengkapi pintu masuk halaman gua serta dibuatkan trap/tangga untuk menaiki bukit dan menuruni mulut gua sehingga memudahkan pengunjung untuk mencapai gua tempat penguburan. Gua pamona memiliki rongga (chamber) yang besar serta memiliki stalaktit dan stalakmit yang sebagian besar masih aktif untuk membentuk pilar gua yang baru. Rongga gua memiliki panjang ± 100 meter dan setiap rongga di dalamnya terbagi ± 5 (lima) rongga yang membentuk menyerupai ruang kamar dan setiap rongga tersebut tidak tertutup kemungkinan masih memiliki sejumlah rongga lainnya yang tidak bisa dicapai, disebabkan luasnya gua dan terbatasnya peralatan penelusuran gua serta penerangan di dalam gua tersebut. Bukti dan sisa-sisa aktifitas penguburan di dalam gua pamona yang masih dapat ditemukan saat ini hanya berupa sebaran anatomi kerangka manusia, beberapa fragmen kayu yang diduga bagian wadah kubur (yumu), cangkang kerang (moluska), serta temuan manik-manik yang berasosiasi dengan beberapa bagian rangka dan gigi manusia. Sisa-sisa kerangka manusia yang tersebar di dalam gua sebagian besar tidak utuh, bahkan sebagian tulang-tulang tersebut sangat rapuh. Adapun bagian dari kerangka manusia yang masih dapat diidentifikasi dengan melihat bagian utuh dari anatomi kerangka manusia dibagi kedalam dua bagian, yaitu 1). Kelompok kerangka Volume I Nomor 3 •2013
Palang Nama Gua Latea
Jarak tempuh menuju ke lokasi penguburan dari jalan aspal permukiman masyarakat di Kelurahan Tentena Kecamatan Pamona Pusulemba sampai gua dan ceruk Latea sepanjang ± 800 meter. Jalur yang dilalui dengan menyusuri jalan setapak yang ditengah permukiman permukiman dan areal perkebunan coklat.
Mulut Gua Latea I
Di depan mulut gua dan ceruk terdapat jembatan yang dilengkapi dengan pagar dan pintu masuk, di depan jembatan terdapat 2 (dua) papan nama dan perlindungan berisikan
UMULOLO
13
disebut yumu dan berbagai tumpukan tengkorak di dalam peti jenazah yang sebagian besar sudah lapuk dan berserakan tidak teratur. Sebagian besar kerangka jenazah masih utuh terlihat dari bentuk tengkorak bagian kepala dan wajah, gigi, tulang rusuk, tulang belikat, dan tulang femur. Peti jenazah yang terdapat di dalam ceruk dan gua memiliki dua bagian yaitu penutup peti dan wadah Penyimpanan jenazah. Peti jenazah rata-rata memiliki bentuk panjang dengan ukuran 100 cm dan lebar 45 cm. Secara keseluruhan dimensi peti jenazah dari bagian penutup sampai wadah penyimpanan berbentuk bulat. Setiap bagian kedua ujung penutup dan wadah penyimpanan jenazah terdapat bentuk pahatan memanjang keluar mengarah keatas dan kebawah. Pahatan tersebut memiliki fungsi sebagai pengunci kedua bagian peti jenazah dari sebatang kayu atau tempat mengikatkan tali berbahan ijuk hitam.
Sebaran tulang belulang di Gua Latea I
1.5.3 CERUK TANGKABOBA
Peti dan Rangka dalam Gua Latea II
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya (sekarang Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya). Setelah melewati jembatan dan pintu masuk, jalur yang dilalui kemudian jalan bertrap sampai di depan mulut gua dan ceruk Latea I dan II. Lokasi perbukitan Ceruk Latea I terletak pada koordinat LS 1° 45› 22,56» – BT 120° 39› 25,14» dan Gua Latea II LS 1° 45›. 377» – BT 120° 39›. 426» tepatnya di bukit Parere. Lahan penguburan ini merupakan morfogenesis gua dan ceruk bentukan alam yang terdiri dari struktur pembentukan batuan mineral karbonat metagamping. Ceruk Latea I berada di bagian bawah dan Gua Latea II berada di bagian atas dengan jarak saling berdekatan. Tepat didepan mulut ceruk dan gua terdapat sungai kecil bernama sungai Latea yang debit airnya cukup besar. Masing-masing ketinggian ceruk dan gua serta arah hadap mulut ceruk dan gua memiliki perbedaan, Ceruk Latea I berada pada ketinggian 557 Mdpl dengan arah hadap mulut ceruk mengarah sebelah Selatan, dan Gua Latea II pada ketinggian 563 Mdpl dengan arah hadap mulut gua mengarah sebelah Barat Daya. Ceruk Latea I berukuran lebar mulut gua ± 15 meter, panjang kedalaman ± 5 meter dan jarak dari dasar permukaan lantai ceruk dengan langit-langit ceruk ± 3 meter. Di depan Ceruk telah dibuatkan pagar pembatas untuk memberikan penanda bagi pengunjung agar tidak memasuki bagian dalam ceruk. Jenis peninggalan arkeologis terdapat di dalam ceruk dan gua berupa peti jenazah atau dalam bahasa lokalnya 14
Gua Tangkaboba
Lokasi penguburan Ceruk Tangkaboba terletak ± 2,2 meter dari Ceruk/Gua Latea I dan II. Tepatnya berada dalam lingkungan Kelurahan Sangele, Kecamatan Pamona Pusulemba dengan koordinat LS 1° 45› 38,28» – BT 120° 38› 49,92» dan ketinggian 554 Mdpl. Untuk menuju ke lokasi Ceruk Tangkaboba melewati permukiman dan jalan yang sudah di aspal serta dapat dilalui dengan kendaraan beroda 4 (empat) dan beroda 2 (dua), kemudian dilanjutkan dengan melalui jalan pengerasan dengan batu kerikil yang sudah diratakan sepanjang ± 300 meter dari jalan yang sudah teraspal. Jarak antara jalan pengerasan dengan Ceruk Tangkaboba cukup dekat ± 30 meter. Tepat di depan mulut ceruk, terdapat penambangan batu yang bersumber dari bongkahan batu yang terdapat di sekitar bukit Parere. Penguburan Tangkaboba mulut ceruk menghadap ke arah
UMULOLO
Volume I Nomor 3 •2013
Sisa Rangka Gua Tangkaboba
BaratLaut. Di dalam Ceruk Tangkaboba ditemukan berbagai sebaran arkeologis yang hampir tidak jauh berbeda bentuk dan ukurannya dengan jenis sebaran temuan peti jenazah di ceruk/ gua Latea I dan Latea II, yaitu berupa wadah penguburan dari peti jenazah (yumu) yang nampak ditumpukkan di bagian pinggir sisi dinding ceruk dan sebaran fragmen tembikar yang sebagian terdapat di dalam peti jenazah dan permukaan tanah. Sebaran lainnya berupa tengkorak dari beberapa bagian anatomi tubuh manusia, tengkorak kepala yang semuanya masih utuh, tulang rusuk, tulang belikat, dan tulang femur. Penyimpanan kerangka sekarang ditempatkan diluar peti jenazah yang awalnya tersimpan di dalam peti jenazah kemudian dikeluarkan, dan di tumpukkan dengan tengkorak kepala lainnya dengan membuatkan rak untuk meletakkan tengkorak kepala yang terdapat di tepi dinding tebing ceruk Tangkaboba. 1.6 MENHIR/ BATU PERPISAHAN . Watu Mpogaa merupakan batu tegak atau menhir yang berjenis batuan monolit. Sebagian ahli menyimpulkan, bahwa fungsi menhir berhubungan sebagai batu peringatan dalam ritual pemujaan arwah leluhur dan sebagai penanda makam. Namun bagi masyarakat suku Pamona menganggap bahwa Watu Mpogaa memiliki hubungan dengan penyebaran atau perpisahan suku Pamona sekaligus sebagai penunjuk arah setiap wilayah kekuasan bagi penutur bahasa lokal Baree di masa lalu.
Watu Mpogaa Volume I Nomor 3 •2013
Letak menhir Mpogaa di dalam halaman depan pintu masuk Gereja Bethel Pamona, jalan Watu Mpoga’a, No. 1, Kecamatan Pamona dengan koordinat LS 1° 45› 24,84» – BT 120° 38› 26,34» serta berada pada ketinggian 563 Mdpl. Sekitar lingkungan Menhir Mpogaa ini berbatasan langsung dengan : - Sebelah Utara berbatasan dengan Gereja Bethel Pamona - Sebelah Timur berbatasan dengan permukiman penduduk dan tanah perkebunan penduduk. - Sebelah Selatan berbatasan dengan Permukiman penduduk. - Sebelah Barat berbatasan dengan jalan Watu Mpoga’a. Nampak pada permukaan tanah atau tempat menhir tersebut ditanam, telah dilakukan pengecoran lantai sekaligus menjadi bagian taman untuk bangunan Gereja Bethel Pamona. Menhir yang terdapat di lokasi ini berjumlah 4 (empat) buah dengan pola penempatan saling berjajar membentuk titik segi empat mengikuti arah hadap mata angin. Jenis penggunaan batu menhir merupakan batuan sedimen yang setiap menhir memiliki bentuk yang berbeda, yaitu : 1. Bentuk Menhir yang terletak di sudut Barat Daya (BD) persegi panjang dengan tiap sisi paling atas ke bawah memiliki lekukan yang tidak beraturan. Dibagian kepala menhir terlihat memiliki bentuk yang menyerupai katapel atau bentuk pola tanduk. Sebagian permukaan menhir memiliki bekas sambungan dan plester menggunakan semen serta metrik menhir memiliki tinggi 60 cm dari permukaan lantai. 2. Bentuk Menhir yang terletak di Watu Mpogaa 1 sudut Tenggara (TGR) persegi panjang dengan bagian permukaan di sisi kanan dan kiri berbentuk pipih permukaan batuan kasar dan memiliki lekukan. Metrik menhir memiliki tinggi 88 cm dari permukaan tanah, lebar bagian bawah 34 cm, lebar bagian badan 28 cm, dan lebar bagian kepala 18 cm serta kedua sisi menhir tidak simetris terlihat pada kemiringan di sisi kanan dan sisi kiri menhir. 3. Menhir yang terletak di sudut Watu Mpogaa 2 Timur Laut (TL) memiliki bentuk persegi panjang, dan kedua permukaan sisi kanan serta sisi kiri berbentuk pipih dengan permukaan batu yang kasar. Adapun lekukan yang terdapat di permukaan batu merupakan lekukan yang terbentuk secara alami pada batuan. Di sisi kiri badan menhir terdapat sebuah garis lekukan berbentuk horisontal yang berbeda dengan hasil bentukan alam yang terdapat pada batuan. Garis lekukan horisontal tersebut menyerupai sebuah Watu Mpogaa 3 penanda untuk membedakan antara bidang permukaan bagian bawah dan bidang permukaan bagian atas. Sebagian permukaan menhir ditutupi warna putih menggunakan cat, sehingga menghilangkan sebagian
UMULOLO
15
warna alami batu yang berwarna coklat dan abu-abu. Menhir ini memiliki metrik tinggi 80 cm dari permukaan tanah, lebar bagian bawah 42 cm, lebar bagian badan 44 cm, dan lebar bagian kepala 23 cm serta kedua sisi menhir tidak simetris terlihat pada kemiringan sisi kanan dan sisi kiri menhir. 4.Menhir yang terletak di sudut Barat Laut (BL) memiliki bentuk persegi panjang dan permukaan sisi kanan dan kiri batu menhir tersebut berbentuk pipih dengan tiap permukaan yang kasar serta memiliki lekukan yang terbentuk secara alami. Warna putih yang terdapat pada permukaan menhir menggunakan cat sehingga menutupi warna asli permukaan batu yang berwarna coklat dan abu-abu. Tiap bidang menhir memiliki metrik tinggi Watu Mpogaa 4 dari permukaan tanah 82 cm, lebar bawah 44 cm, lebar badan 52 cm, dan lebar bagian kepala 34 cm. 3.9 BEKAS RUMAH TINGGAL DR. ALBERTUS CORNELIOUS KRUYT Bangunan rumah tinggal yang terdapat di jalan Ue Datu, Kelurahan Pamona, Kecamatan Pamona Peuselemba merupakan bangunan yang memiliki corak bangunan kolonial. Ciri bangunan kolonial yang digunakan pada bangunan tersebut adalah penggunaan halaman rumah yang luas, denah bangunan yang simetris terdiri dengan satu lantai, dibagian dalam terdapat serambi tengah yang menuju ke ruang tidur dan kamar-kamar lainnya, ruang dapur yang tidak menyatu dengan bangunan induk, dan menggunakan model atap perisai. Letak koordinat bekas rumah tinggal Kruyt berada pada titik LS 1° 45› 42,22» – BT 120° 38› 26,66» dengan ketinggian 528 Mdpl. Batas wilayah di sekitar lingkungan rumah, masingmasing berbatasan dengan : - Sebelah Utara berbatasan dengan bangunan sekolah SLTP I GKST Tentena. - Sebelah Timur berbatasan dengan jalan Ue Datu. - Sebelah Selatan berbatasan dengan jalan Ue Datu. - Sebelah Barat berbatasan dengan Asrama Puteri STT. Bekas rumah Kruyt dirawat pihak pengelola Yayasan Gereja Sinode Tentena, dan menempatkan penjaga rumah di bagian ruang belakang sekaligus melakukan perawatan bangunan induk. Meskipun rumah tersebut memiliki juru rawat dari pihak yayasan gereja, bangunan tersebut tidak terawat dengan baik. Halaman rumah ditumbuhi dengan rumput setinggi betis orang dewasa. Fisik luar bangunan induk masih kokoh, dengan menggunakan pondasi bangunan untuk meninggikan dinding dan lantai terbuat dari semen yang licinkan bagian permukaannya. Konstruksi dinding bangunan berkolom yang dilapisi dengan campuran semen dan kapur. Pintu depan dapat dilalui dengan dua pintu yang terletak di sisi kanan dan kiri, serta terdapat tiga pintu di bagian belakang yang salah satunya berfungsi sebagai pintu untuk memasuki ruang tengah bangunan. Jendela rumah yang digunakan pada bangunan terdiri dari dua model, yaitu model berbentuk persegi panjang dengan menggunakan bingkai kayu dan jendela berdaun 16
Rumah Tinggal DR Kruyt
Rumah Utama/ Ruang Tamu
Sekar Ruang Utama dengan Ruang Tengah (kiri). Ruang Tengah (kanan)l
ganda. Kemudian jendela depan yang terdapat di dekat pintu masuk, menggunakan model jendela berbingkai kayu dan kaca sebagai bagian penutup sekaligus berfungsi sebagai dinding bangunan serta ventilasi udara. Atap bangunan masingmasing menggunakan penopang dengan menggunakan balok kayu kemudian ditutupi dengan atap seng. Ruang yang terdapat di dalam bangunan terdiri dari dua ruangan di bagian depan yang terletak di sebelah kanan dan kiri dan serambi tengah. Di antara serambi tengah memiliki satu pintu menggunakan kaca serta dilengkapi jendela sekaligus berfungsi sekat ruang yang terdapat di bagian belakang. Ruang di belakang memiliki dua kamar di sebelah kanan dan kiri, namun salah satu kamar di sebelah kiri hanya tersisa bagian bingkai dinding dan pintu yang terbuat dari kayu. Bagian paling belakang terdapat dapur yang dihubungkan dari lantai bangunan induk dan diberikan kanopi sebagai bagian atap pelindung bangunan. Ruang belakang yang berfungsi sebagai dapur memiliki 5 ruangan yang berbeda dan setiap ruangan memiliki pintu dan jendela. Diantara
UMULOLO
Volume I Nomor 3 •2013
Bangunan Belakang (Dapur)
bangunan induk dan dapur terdapat sebuah bak penampungan air setinggi 2 meter. Di bagian samping bangunan induk terdapat sebuah bangunan yang masih menyambung dengan dapur, namun memiliki fungsi sebagai rumah tinggal yang saat ini ditempati oleh penjaga sekaligus perawat rumah bangunan bekas rumah tinggal Kruyt. Luas keseluruhan bangunan adalah 312,5 m2 Tradisi megalitik lainnya yang tersebar di Kabupaten Poso terletak di kawasan Lembah Bada, tepatnya di dalam lingkungan Kecamatan Lore Selatan dan Lore Barat. Berbagai aktifitas yang memiliki keterkaitan dengan bentuk peninggalan tradisi megalitik yang berada di Lembah Bada tidak ditemukan lagi masyarakat pelaku tradisi kebudayaan megalitik tersebut atau dapat dikatakan bahwa masyarakat tersebut musnah. Berbagai bentuk peninggalan arkeologis yang cukup banyak ditemukan di Lembah Bada ini diantaranya, Arca Megalitik (patung atau menhir), Kalamba (sarkopagus), Tempayan Kubur, Lumpang Batu, dan Tambi (rumah tradisional) serta masih banyak peninggalan arkeologis lainnya yang belum dapat dijangkau disebabkan luasnya padang, hutan dan perbukitan di Lembah Bada. 2.10 ARCA LANGKE BULAWA
Lingkungan sekitar Arca Langke Bulawa
Langke Bulawa merupakan peninggalan arkeologis yang berbentuk batu monolit yang memiliki ukiran menyerupai ciri-ciri bentuk anatomi manusia. Batu tersebut kemudian diistilahkan sebagai arca megalitik yang memenuhi unsur Volume I Nomor 3 •2013
menyerupai manusia, memiliki teknik bentukan pahatan atau ukiran dan terbuat dari unsur berbahan batu. Sementara fungsi arca megalitik tersebut dari beberapa hasil penelitian dan pendapat para ahli yang hingga saat ini masih dilakukan oleh berbagai pihak instansi pemerintah maupun kalangan akademisi, mengkategorikannya sebagai media pemujaan masyarakat pada masa lalu. Lokasi Arca Megalitik Langke Bulawa berada dalam wilayah administrasi Desa Bomba, Kecamatan Lore Selatan. Letak koordinat lokasi arca megalitik berada pada titik LS 1° 51› 11,09» – BT 120° 17› 29,61» dengan ketinggian 787 mdpl. Lingkungan arca megalitik Langke Bulawa berada di atas lahan yang belum diketahui pemiliknya, namun lokasi tersebut sudah pernah ditata oleh salah satu perguruan tinggi yaitu Universitas Sintuwu Maroso, Kabupaten Arca Langke Bulawa Poso melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN) Mahasiswa Angkatan XX. Penataan lokasi yang dilakukan di lokasi Langke Bulawa tersebut berupa pembuatan papan nama benda cagar budaya dalam tulisan berbahasa inggris yang di pasang di depan jalan masuk lokasi arca megalitik Langke Bulawa. Bangunan penunjang lain yang di dalam lokasi arca megalitik adalah bangunan rumah Tambi atau rumah tradisional suku Bada terletak di sebelah Utara dan bangunan Buho atau lumbung yang terletak di sebelah Selatan. Tepat di bagian tengah lokasi lahan terletak sebuah arca megalitik Langke Bulawa dengan bentuk arca setengah badan tanpa kaki. Metrik tinggi arca dari permukaan tanah sampai kepala 174 cm. Lebar badan bagian depan 63 cm, lebar kepala bagian depan 58 cm, lebar badan bagian belakang 65 cm, lebar kepala bagian belakang 33 cm. Bagian kepala dan wajah digambarkan dengan hiasan berupa pola garisgaris vertikal, bentuk wajah arca lebih ditampakkan dengan membentuk pola wajah oval, kemudian diberikan Arca Langke Bulawa Tampak dari Utara sebuah hidung, dua mata berbentuk bulat, dan dilengkapi dua telinga. Pada bagian badan memiliki kedua tangan yang memeluk bagian perut sampai ke bagian bawah, diantara kedua lengan tangan terdapat dua buah bentuk payudara dibagian dada. Bagian paling bawah badan memiliki bentuk penggambaran alat kelamin dengan pola oval dan dipahat menonjol.
UMULOLO
Arca Langke Bulawa
17
2.11 ARCA LOGA
Lingkungan sekitar Arca Loga
Lokasi Arca Loga berada di lingkungan jalan Produksi, Desa Pada, Kecamatan Lore Selatan, dengan koordinat LS 1° 51› 49,5» – BT 120° 16› 46,74» dengan ketinggian 803 Mdpl. Loga dalam arti masyarakat setempat adalah patung yang menerawang di tengah padang, sehingga lokasi arca tersebut dinamakan Padang Loga. Adapun lokasi Padang Loga berbatasan dengan : - Sebelah Utara berbatasan Bukit Sabana dan Jalan Produksi. - Sebelah Timur berbatasan
Bukit Sabana. - Sebelah Selatan berbatasan Lembah Longa. - Sebelah Barat berbatasan Bukit Sabana.
Jarak jalan antar Desa Gintu-Bomba ke jalan Produksi sampai bukit letak Arca Loga ± 472 meter. Bukit tersebut merupakan padang sabana yang ditumbuhi ilalang serta sebagian areal bukit tersebut menjadi tempat penggembalaan ternak kerbau miliki masyarakat setempat. Arca Loga berjumlah 1 (satu) buah, dengan posisi Arca Loga tidak berdiri tegak dengan posisi miring ke sebelah Barat dan menghadap ke sebelah Selatan dengan bagian Arca Loga wajah yang dilengkapi mata yang berbentuk lonjong, hidung yang lebar, dan telinga serta kepala berbentuk lonjong. Pada bagian dada terdapat dua buah payudara dan kedua tangan saling menggenggam serta memeluk perut bawah. Uukuran wajah arca loga lebar wajah 53 meter, tinggi wajah 79 meter, lebar dahi 47 meter, panjang hidung 27 meter, tinggi badan 71 meter, dan lebar badan 68 meter. 2.12 TEMPAYAN KUBUR BUKIT MUNGKU ILU Tempayan kubur Bukit Mungku Ilu terletak disebelah Tenggara Padang Loga tepatnya berada di Bukit Tolelembonga dengan koordinat LS 120° 16› 40,38» – BT 1° 51’ 51,26» serta ketinggian bukit 793 Mdpl. Jenis tinggalan arkeologis yang terdapat di bukit Mungkuilu merupakan tempayan kubur yang masih berada didalam kotak galian ekskavasi penelitian Pusat Penelitian Arkeologi Nasional tahun 2010, yang dalam pelaksanaan kegiatan tersebut tidak diakhiri dengan penutupan kembali hasil kotak ekskavasi. Kotak galian ekskavasi tersebut sebanyak 2 (dua) kotak yang bersebelahan dengan kondisi kotak ekskavasi masih terbuka. Tempayan kubur didalam kotak ekskavasi pertama terdapat 1 (satu) 18
Tempayan Bukit Mungku Ilu
buah, dan kotak ekskavasi kedua terdapat 1 (satu) buah batu sedimen dengan bentuk setengah lingkaran dengan kedua permukaan atas dan bawahnya datar, serta dibawah batu sedimen tersebut terdapat wadah tempayan kubur dengan posisi terbaring. Jenis temuan lain yang nampak dipermukaan tanah adalah lubang bagian penutup tempayan yang tertanam didalam tanah dengan diameter 56 cm. 2.13 ARCA ARI IMPOHI
Sebuah tugu yang terdapat dibagian perempatan jalan yang menghubungkan Desa Bewa, Desa Gintu dan Desa Pada, Kecamatan Lore Selatan, memiliki sebuah arca megalitik atau disebut Arca Ari Impohi. Koordinat Arca Ari Impohi LS. 120° 15’ 20,16” – BT. 1° 52’ 38,6” dengan ketinggian 770 Mdpl. Informasi juru pelihara cagar budaya yang bertugas di ka wasan megalitik Kecamatan Lore Barat dan Kecamatan Lore Selatan, Arca Ari Impohi tersebut berasal dari Arca Ari Imphohi situs megalitik Sepe kemudian dipindahkan masyarakat ketempat sekarang (tugu perempatan). Arca Ari Impohi tersebut memiliki bentuk sisi kepala sebelah kanan lebih tinggi dibandingkan dengan sisi kepala sebelah kiri. Wajah arca berbentuk oval yang dilengkapi bulatan mata, hidung, dan 2 (dua) telinga. Metrik tinggi badan 75 cm, lebar samping 30 cm dan lebar depan 24 cm. Kemudian arca diberdirikan diatas tugu yang memiliki 3 (tiga) undakan. 2.14 ARCA PEKADOI Arca Pekadoi diletakkan disamping halaman rumah Salbert Pole (Ketua RT II/RW I) Jalan Wintu, Dusun I, Desa Gintu, Kecamatan Lore Selatan. Semula letak arca tersebut berada di lokasi Torairoe, namun menurut informasi masyarakat setempat, Arca Pekadoi diduga akan dicuri kemudian ditemukan oleh penduduk dan untuk keamanan dan mencegah terjadinya pencurian kembali, akhirnya ditempatkan di lokasi
UMULOLO
Volume I Nomor 3 •2013
sekarang. Jenis batu Arca Pekadoi menggunakan batuan sedimen (batu pasir) monolit dibentuk memiliki pola wajah yang bulat, dilengkapi bentuk mata, telinga kanan dan telinga kiri serta hidung. Tinggi arca dari ujung kepala sampai ujung badan yang nampak pada permukaan tanah 64 cm dengan lebar badan 38 cm.
2.16 RUMAH TRADISIONAL TAMBI DAN BUHO
Rumah Adat Tambi
2.15 LESUNG BATU DAN LUMPANG BATU (WATU ISO) Lesung batu ini masih berada di dalam lingkungan Dusun I, RT II/RW I, Desa Gintu dan berjarak ± 3 meter dari Arca Pekadoi, tepatnya didalam halaman pemilik rumah Ibu Yeni Togao. Lesung batu yang ditemukan sebanyak 1 (satu) buah dan 1 (satu) buah Lumpang batu. Tinggi lesung batu Watu Iso 51 cm, diameter lubang bagian dalam 10 cm dan diameter lubang bagian atas 26 cm. Bahan baku yang digunakan berupa jenis batuan sedimen atau batu pasir dengan warna abuabu, sementara sebuah lumpang batu menggunakan bahan batu pasir dengan warna batu abu-abu. Dimensi lumpang batu berbentuk oval yang dilengkapi dengan sebuah lubang dibagian tengah dengan diameter lubang 21 cm dan ketebalan batu rata-rata kelilingnya 18 cm.
Lesung Batu Tampak Atas
Lumpang Batu
Volume I Nomor 3 •2013
Lesung Batu
Dinding Rumah Adat Tambi
Rumah Tambi merupakan salah satu bangunan tradisional (rumah tradisional Saoraja/Banua Oge, dan Lobo/Duhangi) di Sulawesi Tengah yang digunakan suku Bada, yang sekarang ini masih bermukim Lembah Bada, Desa Gintu, Kecamatan Lore Selatan,Kabupaten Poso. Rumah Tambi yang sekarang ini masih di huni oleh pemiliknya, adalah almarhum Bapak K. Pole yang pernah menjadi kepala suku orang Tuana yang berasal dari kata mahile yang berarti Tuan Besar wilayah Bada atau Wintu kala itu. Kini rumah Tambi ini masih di huni oleh generasi terakhir (anak perempuan) dari kepala suku Tuana tersebut. Secara fisik kondisi arsitektur tradisional rumah Tambi tersebut masih dipertahankan dan dihuni oleh pemiliknya. Rumah Tambi memiliki orientasi Utara-Selatan dan denah bangunan denagn ukuran 6 x 4 m yang berbentuk segi empat. Atap rumah berbentuk segi tiga piramida dan menggunakan bahan atap yang terbuat dari rumbai. Jenis bahan yang digunakan rumah Tambi ini menggunakan kayu bonati dan bubungan atap rumah terlihat menggunakan bambu bulat. Untuk menyambung tiang-tiang dirumah tambi tidak menggunakan paku tetapi menggunakan sistem ikat. Bagian depan bangunan dari rumah tambi, sudah mengalami penambahan dengan membuat rumah panggung kemudian disambung dengan bagian depan rumah Tambi. Ruang dalam rumah Tambi tersebut hanya memiliki satu ruang tengah atau dalam bahasa bada disebut labona. Kemudian di ditengah ruangan terdapat sebuah tungku yang berbentuk segi empat yang digunakan untuk keperluan memasak. Setiap sisi
UMULOLO
19
dinding dalam bangunan dibuatkan tempat semacam tempat duduk yang sekaligus digunakan sebagai tempat tidur dan penyimpanan peralatan alat rumah tangga lainnya. Sebelah Timur rumah Tambi terdapat sebuah bangunan yang dulunya bergunakan sebagai lumbung padi atau disebut dengan bahasa setempat Buho. dengan ukuran 3 x 3 m. Denah bangunan Buho berbentuk segi empat dan lebih kecil dari rumah Tambi. Atap Buho berbentuk segi tiga piramida yang juga menggunakan bahan rumbai sebagai bahan atap dan memiliki bubungan atap yang menggunakan bambu bulat. Selain itu bangunan Buho ini tidak dilengkapi dengan dinding Buho sehingga terlihat lebih terbuka dan di bagian dalam atapnya digunakan untuk menyimpan hasil pertanian berupa padi, yang diberi lantai papan. 2.17 ARCA TANTA DUO
Letak lokasi Arca Tanta Duo di tengah sawah milik bapak G. Dadaha dengan koordinat LS. 120° 15’ 3,3” – BT. 1° 54’ 5,04” dan berada di ketinggian 779 Mdpl, secara administratif berada di Desa Padangkaia, Kecamatan Lore Selatan. Arca tersebut dikenal dengan Tanta Duo atau arca yang menyerupai bentuk kerbau. Istilah tersebut disesuaikan dengan pemahaman masyarakat setempat yang melihat arca tersebut yang tidak berdiri tegak, seperti dengan arca Arca Tanta Duo lainnya disekitar lembah Bada. Bentuk arca ini dilengkapi dengan wajah yang terdapat 2 (dua) buah mata yang berbentuk bulat, sedangkan bagian atas mata terdapat beberapa garis setengah lingkaran yang mengikuti pola bentuk mata sehingga menyerupai alis, kemudian juga terdapat hidung. Seluruh bidang punggung arca memiliki motif dengan bentuk bulatan yang menye rupai lubang dakon dan bagian belakangnya terdapat bentuk relief dengan pola bergaris-garis. Ukuran arca memiliki panjang 330 cm, Pola Hias di Arca Tanta Duo lebar 140 cm dan tinggi ratarata 42-54 cm. Jenis bahan yang digunakan merupakan batuan sedimen (batu pasir). Selain sebuah arca terdapat sebuah kalamba yang berjarak ± 100 meter dari tempat yang telah berbentuk pecahan menjadi 2 (dua) bagian. Pecahan kalamba tersebut kini dalam keadaan tidak terawat dengan baik. 20
2.18 LUMPANG BATU PEBOHOA
Lumpang Batu tampak dari Timur
Lokasi Pebohoa didalam lingkungan Dusun II, RT II, Desa Bulili, Kecamatan Lore Selatan tepatnya berada halaman rumah Bapak S.K Hawune. Pebohoa merupakan bahasa suku Bada yang berarti pemotongan. Jenis tinggalan arkeologis yang diberikan nama Pebohoa merupakan lumpang batu berjumlah 1 (satu) buah, yang diberdiri tegakkan oleh pemilik rumah. Semula lumpang batu tersebut letaknya berada disebelah Timur halaman rumah yang sekarang telah dibangun sepetak kios oleh pemilik rumah. 2.19 MEGALITIK PANTO (TARAIROI DAN OBOKA) Megalitik Panto (Tarairoi dan Oboka) berada didalam lingkungan Dusun I, RT II, Jalan Tarairoi, Desa Bulili dengan koordinat LS. 120° 16’ 6,48” – BT. 1° 54’ 4,62” dan berada di ketinggian 834 Mdpl. Bentang lahan Situs Megalitik tersebut berada diatas bukit berumput yang telah dilindungi dengan pagar kayu mengelilingi bukit seluas ± 98 meter. Sejumlah peninggalan arkeologis yang terdapat didalam lahan bukit berupa 3 (tiga) menhir atau batu monolit yang yang dalam posisi berdiri dan tidak memiliki pola ukiran (bahasa setempat menyebutnya Tarairoi), 4 (empat) batu dengan bidang datar dengan bentuk tidak beraturan, serta sebuah arca megalitik yang berdiri tegak namun bagian kepala dan wajah terpotong sedangkan bagian badan masih utuh dengan dilengkapi ukiran Arca Tarairoi kedua tangan yang melingkar kebagian lingkar perut depan. Disebelah Selatan pagar pelindung situs, tepatnya dipinggir jalan Tarairoi masih terdapat bongkahan batu yang kondisinya terbelah menjadi 2 (dua) bagian, dimana permukaan bongkahan batu tersebut memiliki ukiran/relief dengan pola geometris berupa belah ketupat, dan garis lengkungan. Sebaran peninggalan megalitik lainnya masih ditemukan diluar pagar situs Megalitik Panto, beberapa peninggalan arkeologis lainnya yaitu Batu Oboka, bebentuk tidak beraturan,
UMULOLO
Volume I Nomor 3 •2013
Temuan Lainnya di sekitar Situs Megalitik Panto
2.20 ARCA TINOE DAN LUMPANG BATU BAKEKAU
Batu Oboka
Batu Bermotif
selain itu terdapat sebuah batu berbidang datar yang terlihat dibagian atas bekas hasil pengerjaan tangan manusia dengan membuatkan bulatan timbul dibagian tengah dan disisinya terdapat cekungan, sehingga nampak menyerupai penutup kalamba. Letak batu yang menyerupai penutup kalamba tersebut di halaman belakang rumah Bapak K. Pontara dengan bentang lahan lereng bukit yang terdapat jalan setapak. Adapun temuan Arca Tarairoi berupa lumpang batu yang tersimpan disamping rumah keluarga A.W.S. Pontara sebanyak 2 (dua) buah. Kemudian sebuah lumpang batu yang juga tersimpan di halaman rumah Bapak A. Torare. Berjarak ± 30 meter dari rumah Bapak A. Torare tepatnya dalam halaman rumah Bapak Baso Hilika terdapat 1 (satu) lumpang batu dengan ukuran panjang 106 cm dan lebar 74 cm dengan ukuran lubang lumpang batu kedalaman 37 cm, lebar 34 cm dan diameter 14 cm. Selain lumpang batu terdapat sebuah batu dengan permukaan datar yang memiliki bentuk yang tidak beraturan.
Volume I Nomor 3 •2013
Peninggalan berupa arca yang terdapat di Desa Bakekau, Kecamatan Lore Selatan yang disebut dengan Arca Tinoe merupakan sebuah batu jenis bahan batuan sedimen (batu pasir). Arca Tinoe tersebut dalam kondisi posisi miring kedepan. Letak lingkungan lokasi Arca Tinoe berada di tengah hutan dan sekitarnya ditumbuhi rumput dan alangalang yang rimbun dengan koordinat LS. 120° 15’ 55,15” – BT. 1° 55’ 13,24” dan berada Arca Tinoe di ketinggian 809 Mdpl. Jalan ke lokasi dapat ditempuh dengan kendaraan roda 2 dan roda 4 dengan kondisi jalan yang dilewati merupakan jalan produksi antar desa dan perkebunan penduduk. Arca yang ditemukan hanya 1 (satu) buah dengan ukuran tinggi dari permukaan tanah 160 cm, lebar 74 cm dan kemiringan badan arca 22,5°.
Lumpang Batu
Lumpang Batu Bakekau
Bentuk arca berkepala bulat dengan bagian kepala yang diberikan cekungan. Kemudian bagian wajah arca memiliki bagian dahi yang lebar dan dilengkapi dengan 2 (dua) mata yang berbentuk bulat, dan 2 (dua) buah telinga yang terletak di kanan dan di kiri kepala. Anatomi wajah arca ini pun diberikan pola garis wajah yang membentuk garis hidung dan garis wajah bagian pipi. Dibagian badan memiliki bagian anatomi pundak dibagian kanan dan dibagian kiri, kemudian diberikan pahatan 2 (dua) buah tangan yang setengah melingkar dan memeluk bagian perut. Sementara dibagian dada terdapat 2 (dua) buah bulatan yang menonjol menyerupai bentuk payudara. Jenis tinggalan arkeologis lainnya yang ditemukan sebuah lumpang batu yang terletak di permukiman penduduk Bakekau
UMULOLO
21
atau depan halaman rumah Bapak Sarlito Suli. Jarak antara permukiman penduduk di Dusun II, RT III, Desa Bakekau dengan lokasi arca Tinoe yang ditemukan sebelumnya ± 4 km dengan koordinat LS. 120° 15’ 33,97” – BT. 1° 54’ 44,54” dan berada di ketinggian 797 Mdpl. Lumpang batu tersebut memiliki bentuk tidak beraturan dengan permukaan bidang datar dan ditengahnya terdapat sebuah lubang dengan ukuran diameter lubang 12 cm. 3.21 MEGALITIK PADANG HAMBOA
Watu Oba/Batu Dakon
Kalamba 1
Kalamba 2
Kalamba 3
22
Watu Oba/Batu Dakon
Sebaran peninggalan megalitik lainnya berada di wilayah administratif Desa Lengkeka, Kecamatan Lore Barat. Diatas lahan persawahan dan ladang Bapak Pendeta Luran, terdapat 3 (tiga) buah kalamba, 1 (satu) buah bakal kalamba, 1 (satu) buah batu dakon (watu oba), dan 1 (satu) buah arca Hamboa atau masyarakat menyebutnya dengan arca monyet. Kalamba yang tersebut letaknya berbeda dan diberi kode dengan Kalamba I, II, dan III berdasarkan jarak terdekat yang dapat ditempuh melalui pematang sawah di lokasi tersebut. Kalamba tersebut memiliki bentuk bulat dengan ukuran yang berbeda, kalamba I memiliki ukuran diameter 137 cm, kalamba II berdiameter 120 cm, dan kalamba III tidak dapat lagi diidentifikasi ukuran diameter lubang karena kalamba tersebut kondisinya pecah dan sebagian pecahan kalamba tersebut musnah. Kondisi fisik dan ketiga buah kalamba di situs megalitik Padang Hamboa rata-rata dibagian tepian dan badan kalamba terdapat bagian yang pecah dan retak. Sedangkan kedua buah kalamba yang masih utuh secara bentuk fisik, didalam lubang kalamba tersebut terisi genangan air hujan, tanah berpasir dan ditumbuhi rumput. Adapun sebuah batu berbentuk bulat yang diduga bakal calon kalamba. Dugaan bakal calon kalamba tersebut, terlihat dari hasil bekas pengerjaan pembuatan lubang dibagian tengah permukaan batu sebuah garis pinggir yang melingkar mengikuti bentuk bulatan batu. Disebelah barat kalamba, terdapat sebuah batu dakon (watu oba) yang terletak ditengah pematang sawah. Dibagian permukaan batu tersebut terdapat sejumlah lubang ± 100 buah. Letak lubang-lubang tersebut tidak beraturan dan memiliki ukuran diameter dan kedalaman lubang yang berbeda-beda. Jenis peninggalan lainnya di Padang Hamboa berupa sebuah arca yang terletak ± 250 meter dari batu dakon (watu oba). Arca tersebut diberikan istilah oleh penduduk setempat sebuah arca monyet. Letak arca berada diatas bekas lahan persawahan yang telah dibebaskan lahannya oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Tengah (informasi juru pelihara cagar budaya). Bentuk arca monyet dilengkapi dengan kepala berbentuk lonjong, diberikan 2 (dua) buah mata, 2 (dua) buah telinga disebelah kanan dan kiri, dan bentuk hidung. Bagian badan arca memiliki bentuk pahatan kedua buah tangan setengah melingkar kearah perut depan (memeluk), dan dibagian bawah perut terdapat sebuah jenis kelamin menyerupai kelamin laki-laki. Metrik arca monyet
UMULOLO
Volume I Nomor 3 •2013
tersebut memiliki tinggi dari permukaan tanah 80,7 cm, tinggi badan depan 50,3 cm dan lebar badan depan 60,7 cm. 2.22 ARCA PELINDO (SEPE) Lokasi Arca Pelindo terletak di Desa Kolori, Kecamatan Lore Barat dengan koordinat LS. 120° 15’ 17,88” – BT. 1° 51’ 34,52” dan berada di ketinggian 787 Mdpl. Istilah Pelindo merupakan bahasa suku Bada yang berarti “jenaka atau tersenyum”. Arah hadap (muka arca Pelindo) kearah Barat Daya. Jumlah arca yang terdapat di lokasi ini hanya 1 (satu) buah dengan bentuk dan ukuran yang sangat besar. Metrik arca memiliki tinggi 3,8 meter, lebar badan 1,5 meter, lebar kepala sebelah kiri 0,26 cm, lebar badan sebelah kiri 1,42 meter. Arca Pelindo memiliki posisi yang tidak berdiri tegak lurus dengan kemiringan 25,5° kesebelah kiri. Bentuk arca dilengkapi dengan pola wajah dan kepala yang berbentuk oval serta dilengkapi pada bagian atas kepala berupa pahatan yang menggambarkan pola hiasan, diberikan hidung dan alis mata yang menjadi satu garis didalam Arca Pelindo pola wajah, 2 (dua) buah mata berbentuk bulat, sebuah mulut, dan 2 (dua) buah telinga dengan bentuk telinga empat persegi panjang. Pada bagian badan terdapat 2 (dua) buah payudara dan 2 (dua) buah tangan masing-masing dilengkapi dengan bentuk jari tangan masing-masing berjumlah 5 jari-jari tangan. Kedua tangan arca tersebut kemudian dibentuk melingkar (memeluk) bagian badan depan (perut). Tepat dibagian bawah perut masih terdapat sebuah bentuk pahatan yang berbentuk kelamin (genetalia) laki-laki.
Kalamba II
2.23 MEGALITIK KOLORI
Kalamba I
Sebaran peninggalan megalitik yang terdapat di Dusun II, RT IV, Desa Kolori, Kecamatan Lore Barat tepatnya di atas bukit kecil (Bukit Pointuwo) atau diatas lahan tanah perkebunan coklat milik Bapak Selama Toneke berupa Volume I Nomor 3 •2013
peninggalan megalitik berbentuk Kalamba sebanyak 2 (dua) buah dengan kondisi kedua buah kalamba tersebut bagian badan tertanam didalam tanah, sehingga yang nampak dari permukaan tanah bentuk bibir kalamba dengan diameter rata-rata kedua kalamba tersebut 130 cm dan 160 cm, tinggi kalamba dari permukaan tanah rata-rata 3,2 cm dan 4,3 cm, dan kedalaman lubang kalamba mencapai ± 95 cm. Peninggalan arkeologis lainnya berupa lumpang batu yang ditemukan salah satu diantaranya terdapat dipertigaan jalan antar desa kolori (depan kantor Balai Desa) sedangkan lumpang batu lainnya yang sebanyak 6 buah tersebar ditengah
UMULOLO
23
perkebunan coklat diatas lahan yang sama dengan lokasi ditemukannya 2 (dua) buah kalamba. Rata-rata lumpang batu yang tersebar ditengah perkebunan coklat tersebut merupakan singkapan yang nampak dari permukaan tanah. Kemudian ditemukan pula sebuah batu dakon dengan jumlah lubang dakon sebanyak 21 buah diatas permukaan bidang datar berbahan batuan sedimen (batu pasir). 2.24 MEGALITIK LOLIO Peninggalan megalitik yang tersebar di Desa Lolio di dalam halaman rumah dan lahan bukit disamping rumah yang dijadikan pemakaman keluarga bapak pendeta T.Tehampa SHR. Louhenapessy dengan koordina LS. 120° 16’ 49,34” – BT. 1° 50’ 46,74” dan berada di ketinggian 785 Mdpl. Bentuk peninggalan arkeologis tersebut berupa batu datar (pipih) berbentuk bulat. Batu tersebut diletakkan dan digunakan oleh pemilik lahan menjadi bagian teras depan rumah yang dideretkan membentuk setengah lingkaran. Batu bulat ini memiliki jumlah yang cukup banyak ditemukan di atas bukit sebelah rumah yang dimanfaatkan menjadi lahan pemakaman keluarga dan lahan perkebunan pisang dan coklat. Menurut informasi pemilik lahan, awal mula ditemukannya batu tersebut dari dalam tanah saat melakukan aktifitas perkebunan, kemudian batu tersebut dipindahkan/dimanfaatkan menjadi salah satu bagian dekorasi teras rumah. Jumlah batu bulat
Batu Datar
yang digunakan untuk dekorasi rumah tersebut sebanyak 5 (lima) buah dan 2 (dua) buah dijadikan anak tangga menuju lahan pemakaman, serta sebaran batu bulat lainnya masih banyak terdapat ditepi bukit dan salah satu batu bulat yang tersingkap dipermukaan tanah memiliki bentuk pahatan kecil dibagian atasnya.
Batu Datar
24
UMULOLO
Volume I Nomor 3 •2013
PENYELAMATAN CAGAR BUDAYA WARUGA SYUKUR DARI SERANGAN ORGANISME DAN ALAM (KAJIAN KONSERVASI) Andi Muliadi
Staf Balai Pelestarian Cagar Budaya Gorontalo
Cagar Budaya merupakan warisan budaya yang bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/ atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/ atau kebudayaan melalui proses penetapan (UU RI No 11 tahun 2010). Benda Cagar Budaya maupun yang diduga Cagar Budaya pada umumnya umurnya puluhan bahkan ratusan tahun. Pada waktu ditemukan, kondisinya ada yang masih baik dan ada yang sudah rusak atau rapuh. Untuk melestarikannya perlu tindakan pemeliharaan dan perawatan. Seperti halnya Situs Waruga Syukur merupakan salah satu bagian dari Cagar Budaya yakni Benda cagar Budaya. Situs waruga syukur terletak di Desa Syukur, Kecamatan Airmadidi, Kabupaten Minahasa Utara. Pada koordinat 01°25’58.60” Lintang Utara dan 124°57’39.40” Bujur Timur, dengan ketinggian 189 mdpl. Letak situs ini berada pada daerah perkebunan serta jauh dari permukiman penduduk. Waruga-waruga pada situs ini terbuat dari bahan batuan tufa, sehingga cukup kuat dan tahan lama. Bahan untuk membuat waruga sudah tersedia dan disediakan oleh alam, yang banyak terdapat di daerah Minahasa Utara. Waruga di dalam situs tersebut berjumlah 43 buah. Pada umumnya waruga terbagi dua bagian, yakni bagian badan dan penutup. Bagian badannya berbentuk kubus/balok atau segi empat yang memiliki ruang pada bagian tengahnya. Ruangan tersebut berfungsi sebagai penyimpanan jenasah. Permukaan bagian badan waruga ini tidak memiliki ragam hias. Sedangkan pada bagian penutup, berbentuk limas atau seperti atap rumah tradisional masyarakat Minahasa. Pada bagian permukaan penutup ini biasanya memiliki ragam hias. Komplek waruga Syukur merupakan bekas perkuburan dan perkampungan tua. Selain waruga di lokasi ini juga terdapat kubur-kubur tua sejak jaman Belanda yang terbuat dari campuran batu dan semen. Bentuk dari kuburan tua tersebut kebanyakan menyerupai tugu. Kondisi dari keseluruhan waruga di situs Waruga Syukur ini sangat mengkhawatirkan. Beberapa waruga tersebut telah mengalami kerusakan dan pelapukan yang disebabkan oleh faktor alam, biotis dan khemis. Data Keterawatan Secara teknis dari segi prosesnya, degradasi bahan Cagar Budaya dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu kerusakan dan pelapukan. Pada aspek kerusakan, perubahan terjadi pada bahan yang digunakan tanpa diikuti oleh perubahan sifat-sifat kimiawinya. Sedangkan pada aspek pelapukan terjadi perubahan baik pada sifat-sifat fisik Volume I Nomor 3 •2013
(disintegrasi) maupun kimiawinya (dekomposisi), yang diikuti dengan gejala kerapuhan, korosi, dan perubahan dimensinya. Dari hasil kajian dan observasi yang dilakukan di Situs Cagar Budaya Waruga Syukur telah ditemukan berbagai kerusakan dan penyakit pada waruga. Baik itu yang disebabkan oleh faktor internal maupun faktor external. - Data kerusakan Sekitar 50 % Waruga di Situs Cagar Budaya Waruga Syukur mengalami kerusakan baik itu terjadi pada badan waruga maupun tutup waruga. Kerusakan yang terjadi disini berupa retakan dan pecah atau hilangnya beberapa bagian dari waruga tersebut, serta ambruk/hancur (bagian-bagian yang hancur masih ada tersisa namun tidak bisa dibina ulang lagi). Kerusakan yang terjadi pada waruga pada umumnya disebabkan oleh faktor lingkungan dan manusia (vandalisme), misalnya kerusakan secara mekanis, pelapukan secara fisis, biologis, dan khemis. a. Kerusakan Secara Mekanis Kerusakan secara mekanis adalah kerusakan bahan baku yang diakibatkan oleh gaya-gaya mekanis seperti gempa, tekanan (baik itu tekanan dari bagiannya sendiri maupun dari luar), dan tanah longsor. Gejala-gejala yang nampak pada kerusakan ini adalah terjadinya keretakan dan pecah pada komponen bahan baku batu atau struktur benda.
Foto 1. Retakan yang terjadi pada badan waruga
(Foto-foto : Dok.BPCB Gorontalo)
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada 43 waruga di Situs Cagar Budaya Waruga Syukur, maka dapat diketahui jenis-jenis kerusakan mekanis yang terjadi tersebut yaitu keretakan dan pecah. Retakan tersebut terjadi karena adanya tekanan atau gaya statis dari tutup waruga sedangkan bagian badan yang miring dan yang menjadi tumpuannya tidak
UMULOLO
25
banyak terjadi pada beberapa bagian sudut tutup waruga serta bagian badan. Keausan tersebut disebabkan oleh gesekan hewan seperti sapi yang digembalakan di dalam areal situs.
Foto 2. Badan Waruga yang pecah
Foto 3. Sapi yang digembalakan di areal situs, yang sering menggesekkan badannya pada waruga.
merata sehingga beban terakumulasi pada satu tempat. Retak yang dimaksud adalah berupa garis halus dan kasar namun lama kelamaan retak tersebut dapat mengakibatkan kerusakan yang lebih fatal berupa patah bahkan hilang. Sedangkan pecahan yang kebanyakan terjadi pada badan merupakan akibat dari keretakan yang telah terjadi sehingga tidak terlalu kuat menahan beban yang ada diatasnya yang mengakibatkan badan kalamba tersebut pecah. Lain halnya pecah yang terjadi pada bagian tutupnya diakibatkan oleh intervensi asing seperti gesekan yang dilakukan oleh hewan seperti sapi.
b. Pelapukan secara kimia Penyebab utama proses terjadinya pelapukan kimiawi secara ekstrem adalah air. Air baik dalam bentuk air hujan, air rembesan, maupun kapiler yang naik melalui pori-pori bahan baku cagar budaya (Batu) yang digunakan merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya rektifitas kimiawi. Air yang masuk kedalam bahan baku akan melarutkan sebagian unsurunsur bahan yang digunakan. Larutan garam yang terbentuk bersifat korosif, terutama khlor (CI), baik dalam bentuk uap air dalam kelembaban yang terlalu tinggi, air tanah, maupun air laut. Disamping itu juga disebabkan oleh adanya udara tercemar di sekitar cagar budaya yang dapat memacu proses pelapukan secara kimia. Seperti halnya yang terjadi di Situs Cagar Budaya Waruga Syukur. Berdasar hasil observasi ditemukan pelapukan secara kimiawi pada beberapa waruga, seperti penggaraman pada bagian badan yang menempel langsung di penutup waruga. Dari penggaraman tersebut menyebakan beberapa bagian ikut terkelupas bahkan terjadi lubang-lubang kecil yang disebut Alveol.
- Data pelapukan Dari 43 Waruga tersebar, Cuma ada beberapa yang mengalami pelapukan. Pelapukan kebanyakan terjadi pada ornament waruga. Selain pelapukan jg ada beberapa bagian pada waruga yang mengalami keausan bahkan ada yang sampai berlubang. a. Pelapukan Secara Fisis Pelapukan secara fisis yang terjadi pada cagar budaya faktor lingkungan mikro dimana koleksi tersebut berada. Perubahan tersebut kadang-kadang mendadak sifatnya yang tentu saja akan membawa dampak yang berbahaya pada kondisi keterawatan cagar budaya yang pada umumnya telah rapuh. Gejala yang terjadi dan dapat diamati secara makroskopis antara lain berupa perubahan warna asli cagar budaya oleh factor cahaya sebagai akiba adanya reaksi photo kimia, perekrutan dimensi benda, retakan-retakan mikro, atau pengelupasan. (Sadirin; 2013) Berdasarkan dari hasil pengamatan yang dilakukan terhadap beberapa waruga, maka dapat diketahui bahwa pelapukan fisis terjadi pada bagian penutup khususnya yang berornamen serta pada bagian yang tidak terkena sinar matahari secara langsung. Pemicu proses pelapukan fisis yaitu disebabkan oleh faktor besarnya amplitudo suhu udara dan kelembaban udara antara siang dan malam, selain Foto 4. Bagian ornament waruga yang itu karena kondisi lingkungan mengalami pelapukan dan terkelupas . yang tidak tertata dengan baik, serta faktor usia sehingga beberapa bagian konstruksi rapuh dan patah. Sedangkan aus 26
Foto 5. Penggaraman pada badan waruga yang meyebabkan terkelupas (kiri). Foto 6. Alveol pada permukaan badan waruga (kanan).
c. Pelapukan Biotis Jenis pelapukan ini terutama disebabkan oleh adanya mikrobia atau jasad renik pada koleksi baik pada bagian dalam maupun pada permukaan koleksi. Adanya pertumbuhan mikrobia tersebut tidak hanya mengganggu secara estetis, tetapi sebagai akibat dari aktifitasnya dapat menimbulkan kerusakan pada Cagar Budaya tersebut. (Sadirin, 2013) Untuk waruga yang merupakan cagar budaya yang berada di luar ruangan, masalah utama yang dihadapi adalah tumbuhnya secara merata mikro organism atau jasad jasad renik di hampir semua permukaan waruga pada seluruh waruga di Situs Cagar Budaya Waruga Syukur. Adapun jasadjasad renik yang dimaksud adalah: i) Ganggang (Algae) Ganggang merupakan jasad fotosintetis yang habitat pertumbuhannya memerlukan sinar matahari baik sinar secara langsung maupun tidak langsung, air, karbon, sehingga mudah tumbuh subur di permukaan benda yang lembab bahkan bisa tumbuh ditempat yang terdapat akumulasi debu. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh pertumbuhan ganggang pada waruga yaitu dapat menyebabkan kerusakan mekanis dalam bentuk keausan permukaan koleksi maupun
UMULOLO
Volume I Nomor 3 •2013
Foto 7. Pertumubuhan Algae yang sudah kering pada badan Waruga (kiri).
Foto 9. Pertumubuhan Lichen pada badan Waruga.
pelapukan secara biokimiawi, karena ganggang mampu melarutkan unsur-unsur kalsium karbonat dalam batuan waruga, dan jika bersimbiosis dengan lumut akan menjadi lichen yang sangat sulit dihilangkan secara tradisional. Selain itu juga, akan mengurangi estetika pada waruga tersebut.
peralatan sederhana. Habitat dan kesukaan tumbuh jenis jasad ini yaitu pada permukaan benda yang kondisinya relatif kering dan terkena sinar matahari.
ii) Lumut (Moss)
iv) Intervensi Asing Intervensi asing yang dimaksud disini yaitu merupakan gangguan-gangguan dari luar yang menyebabkan keterancaman terhadap Waruga, baik itu keterancaman keterawatan maupun keberadaannya. Pada Waruga Syukur, telah ditemukan beberapa gangguan intervensi asing, seperti, pertumbuhan tanaman tingkat tinggi maupun merambat, keberadaan hewan yang berada di dalam areal situs, serangan serangga, bahkan dari ulah manusia itu sendiri. Pertumbuhan tanaman tingkat tinggi dan me rambat
Foto 8. Pertumubuhan Lumut pada badan Waruga.
Lumut ini dianggap berbahaya bagi keterawatan Waruga, karena lumut memiliki akar-akar semu (rhizoid) jasad tertentu mampu menyusup beberapa millimeter kedalam permukaan benda dan mampu meretakkan dan melarutkan mineralmineral yang telah rapuh, sehingga porositas benda semakin meningkat. iii) Lumut Kerak (Lichen) Lumut kerak merupakan jenis jasad yang bersimbiosis anatara ganggang (yang merupakan jasad yang bisa berfotosintesis) dengan jamur (yang tidak bisa berfotosintesis). Bentuk simbiosisnya ini saling menguntungkan (simbiosis mutualistis). Keberadaan lumut kerak ini pada waruga sangat berbahaya. Karena memiliki daya cekam yang sangat kuat terhadap dinding permukaan waruga. Dan merupakan tipe jasad yang paling sulit untuk dibersihkan jika menggunakan Volume I Nomor 3 •2013
Foto 10. Pertumbuhan Tanaman tingkat tinggi dan tanaman merambat pada badan Waruga (kiri). Kanan: Foto 11. Pertumbuhan tanaman yang menyebabkan badan waruga pecah.
Jenis-jenis tanaman tersebut merupakan salah satu ancaman yang cukup mengkhawatirkan terhadap Waruga. Keberadaannya sangat mengganggu dan bahkan untuk tanaman tingkat tinggi pada awalanya hanya spora kecil akhirnya dapat tumbuh dan berkembang menjadi besar yang sangat mengancam kelestarian cagar budaya. Dampak dari pertumbuhan tersebut selain dari pandangan estetika, juga dapat menyebabkan waruga tersebut rusak, retak dan pecah.
UMULOLO
27
Keberadaan Hewan
telah ditemukan vandalisme pada semua waruga, berupa coretan dengan menggunakan bahan cat. Ironisnya coretan tersebut dilakukan oleh para peneliti peneliti yang melakukan kegiatan dengan memberikan kode atau penomoran pada badan waruga.
Foto 12. Keberadaan sapi di dalam areal situs.
Keberadaan Hewan seperti sapi yang merupakan salah satu gangguan yang dapat merusak waruga, seperti terjadinya keausan pada badan dan tiap sudut penutup waruga, karena sapi tersebut sering menggesekkan badannya pada waruga tersebut, dan terkadang waruga juga dijadikan sebagai tempat mengikat tali sapi. Hal itu sering terjadi di Situs Cagar budaya Waruga Syukur. Serangga Serangga merupakan agensia pelapukan dari faktor biotis yang peranan penting dalam proses degradasi bahan cagar budaya, terutama bahan-bahan organik, seperti halnya kayu. Namun pada kasus di Waruga Syukur yang berbahan batu,tidak mengalami degradasi bahan, tetapi serangga membuat sarang disela2 badan dengan penutup waruga, hal ini membuat tampilan estetika yang kurang bagus. Bukan hanya itu, keberadaan serangga sejenis tawon yang akan membahayakan pengunjung. Manusia Pada dasarnya manusia tidak sadar bahwa apa yang mereka lakukan akan mengakibatkan terjadinya kerusakan dan pelapukan terhadap benda cagar budaya. Jenis kerusakan dan pelapukan yang disebabkan oleh manusia dengan sengaja ataupun tanpa disadari bahwa tindakan atau tingkah lakunya merugikan dan merusak benda cagar budaya, berupa pengrusakan-pengrusakan dan pencurian-pencurian dengan jalan merusak, memotong bagian-bagian benda, corat-coret, menyiram pada benda peninggalan purbakala, sehingga bagian strukturalnya akan mengalami kerusakan dan pelapukan, hal ini tentu saja dapat memusnahkan data arkeologi. Dari hasil pengamatan di lapangan maka dapat diketahui bahwa kondisi kerusakan dan pertumbuhan mikro organisme yang terjadi pada waruga tersebut, sebagian disebabkan oleh ulah manusia, hal ini terutama karena sejumlah pengunjung, peneliti dan aktivitas masyarakat sekitar saat mendatangi lokasi tersebut, umumnya tanpa mereka sadari melakukan aktivitas, vandalisme di beberapa bagian benda, menggeser/ membuka tutup waruga, dan melepaskan hewan ternak mereka sehingga meningkatkan proses tingkat kerusakan tersebut. Vandalisme Pada studi keterawatan Situs Cagar budaya Waruga Syukur 28
Foto 13. Vandalisme pada badan waruga (dok.BPCB Gorontalo)
Pencurian Pencurian dan penjarahan isi waruga yang telah dilakukan oleh manusia telah mengakibatkan beberapa tutup waruga mengalami pergeseran dan terlepas dari badan waruga, bahkan tutup waruga tersebut ada yang pecah.
Foto 14. Tutup waruga yang terlepas dari badannya (dok.BPCB Gorontalo)
Penanganan yang salah Terkadang dalam penanganan pelestarian cagar budaya, sering terjadi sedikit kesalahan yang tidak disengaja. Seperti misalnya pada penanganan dan pembersihan rumput-rumput pada sekitar waruga. Dalam pembersihan rumput tersebut digunakan mesin pemangkas rumput atau parang, yang terkadang mengenai juga badan waruga yang menyebabkan badan waruga tersebut tergores. Meski goresan tersebut untuk sementara tidak menyebabkan dampak yang fatal, namun jika hal tersebut terus berlanjut, maka cepat atau lambat akan merusak waruga tersebut. Rencana Penanganan - Perawatan Preventif Pembersihan Preventif bertujuan untuk pencegahan kerusakan dan pelapukan yang lebih berlanjut terhadap Cagar Budaya Waruga
UMULOLO
Volume I Nomor 3 •2013
a. Perawatan Rutin Perawatan rutin disini dengan membersihkan secara rutin rumput-rumput yang ada disekitar waruga, membersihkan tanaman merambat dan tanaman tingkat tinggi yang tumbuh di badan maupun penutup waruga, dan membersihkan lumut dan algae dengan sikat ijuk dengan cara menyikat secara pelan. Serta membersihkan akumulasi debu yang menempel pada waruga tersebut. Hal tersebut merupakan perawatan rutin yang akan direkomendasikan ke juru pelihara. - Perawatan Kuratif Pembersihan kuratif bertujuan untuk menanggulangi kerusakan dan pelapukan yang terjadi pada bahan cagar budaya khususnya waruga yang ada di situs CB Waruga Syukur. a. Pembersihan i) Pembersihan Organisme Pembersihan organisme dilakukan dengan dua cara yaitu pembersihan secara tradisional dengan pembersihan secara modern. Untuk pembersihan secara tradisional, yaitu pembersihan dilakukan dengan menggunakan peralatan sederhana seperti kuas, sikat ijuk, parang, solet bamboo dan lainnya. Peralatan tersebut digunakan untuk membersihkan lumut, algae, tanaman merambat, dan tanaman tingkat tinggi. Untuk pembersihan modern, biasanya dilakukan pada organisme yang sulit hilang dengan menggunakan peralatan sederhana, seperti lichen. Pembersihan lichen dilakukan dengan campuran bahan kimia yaitu larutan AC-322. AC-322 ini merupakan formulasi dari campuran: Ammnium bicarbonate 30 gr, Sodium bicarbonate 50 gr, CMC (Carboxymethyl Cellullose) 50 gr, Sodium EDTA (Ethylene Diamine Tetra Acetic Acid) 25 gr, Arkopal 3 cc, yang dilarutkan dalam air hingga volume 1000 cc. bahan tersebut dioleskan dengan menggunakan kuas pada dinding waruga yang terjangkit lichen yang telah dibersihkan secara mekanik sebelumnya. Selanjutnya ditutup plastik selama 24 jam. Setelah itu dibersihkan dengan menggunakan air bersih hingga pHnya benar benar netral atau menunjukkan diangka 7. Pada kasus Situs CB Waruga Syukur berdasarkan kajian keterawatan, telah didapatkan hasil perhitungan untuk kegiatan pembersihan secara modern. Adapun rencana penggunaan bahan kimia yang digunakan sebanyak 400 liter campuran formula AC-322. Dengan rincian: Amonium Bicarbonate 20 Kg, Sodium Bicarbonate 12 Kg, CMC (Carboxymethyl Cellullose) 20 Kg, EDTA (Ethylene Diamine Tetra Acetid Acid) 10 Kg, Arkopal 2 Liter, dan 400 Liter Aquades/Air Bersih.
iii) Pembersihan Endapan Garam Penggaraman yang sering terjadi pada bahan batuan cagar budaya disebabkan oleh akibat dari proses atau reaksi kimiawi. Dalam proses ini faktor yang berperan adalah air, penguapan, suhu. Air hujan dapat menyebabkan proses oksidasi, karbonatisasi, sulfatasi, dan hidrolisa. Pembersihan endapan garam ini dilakukan dengan cara menempelkan bubur kertas yang telah dibasahi dengan EDTA (Ethylene Diamin Tetra Acetic Acid) dengan Amonium bikarbonat (NH4HCO3) pada batuan yang terendapkan garam. iv) Pembersihan Noda Noda yang timbul pada permukaan waruga, kebanyakan disebabkan oleh ulah manusia berupa coretan (vandalism) dengan menggunakan bahan cat, tipe x, dan sebagainya. Pembersihan noda ini dilakukan dengan menggunakan bahan kimia berupa neorever (untuk cat-cat yang sudah lama dan sukar hilang), xylol, thinner super, alcohol 76%, maupun pollybast (remover). Dengan cara menggosok dengan menggunakan peralatan seperti kain, sikat, sikat gigi, kapas dan kuas. Daftar Pustaka
Anonim. (2013). Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan; Balai Pelestarian Cagar Budaya Gorontalo. Munandar, Aris (2006). Kerusakan Dan Pelapukan Material. Balai Konservasi Peninggalan Borobudur Magelang. Ttb Munandar, Aris. (2013). Pengetahuan Bahan Konservasi (Bahan Ajar Bimbingan Teknis Konservasi Cagar Budaya Tingkat Menengah). Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan: Balai Konservasi Borobudur.Ttb. Sadirin, Hubertus. (2013). Prosedur Diagnostik Konservasi Cagar Budaya (Bahan Ajar Bimbingan Teknis Konservasi Cagar Budaya Tingkat Menengah). Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan: Balai Konservasi Borobudur.Ttb. Siregar, M.Iskandar. (2013). Metode Konservasi Batu (Bahan Ajar Pelatihan Tenaga Teknis Konservasi Cagar Budaya Tingkat menengah). Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan: Balai Konservasi Borobudur.Ttb. Tim Peneliti. (2012). Laporan Inventarisasi Cagar Budaya Minahasa Utara Provinsi Sulawesi Utara. Balai Pelestarian Cagar Budaya Gorontalo.
ii) Pembersihan debu Pembersihan debu dilakukan dengan menggunakan kuas, solet bamboo, sapu ijuk serta vacuum cleaner serta alat penyemprot air bertekanan. Pembersihan debu ini dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara kering dan basah. Pembersihan secara kering dilakukan dengan menggunakan kuas, sapu ijuk, solet bamboo (digunakan pada daerah atau titik yang sulit dijangkau misalnya bagian retakan serta pada motif hias waruga), dan jika perlu digunakan vacuum cleaner untuk menghisap debu. Pembersihan secara basah biasanya dilakukan dengan cara menyemprotkan air bertekanan dan cara menyikatnya.
Volume I Nomor 3 •2013
UMULOLO
29
POTENSI CAGAR BUDAYA DI KABUPATEN DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH Sri Suharjo
Staf Balai Pelestarian Cagar Budaya Gorontalo.
Pendahuluan Tinggalan arkeologi seringkali disebut dengan istilah peninggalan sejarah atau peninggalan purbakala dan sebagian dari himpunan tersebut termasuk dalam kategori cagar budaya. Berdasarkan Undang undang No. 11 tahun 12010 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan. Salah satu wilayah yang belum memiliki dokumen Cagar Budaya adalah Kabupaten Donggala di Provinsi Sulawesi Tengah. Asumsi tentang adanya sebaran warisan budaya yang berpotensi Cagar Budaya di Donggala didasarkan pada konteks sejarah penghunian manusia di wilayah ini. Tahap tahap perkembangan perjalanan sejarah Donggala dimulai dengan kehidupan tradisional, kemudian berkembang ke dalam sistim kerajaan dengan munculnya beberapa kerajaan, lalu menjadi semakin kompleks dengan kehadiran suku bangsa lainnya dengan latar belakang tujuan berbeda pula (Kuntoyo, 2005). Perkembangan di dalam sejarah inilah yang meningalkan aspek budaya bendawi yang kemudian menjadi tinggalan arkeologi. Itulah sebabnya di Kabupaten Donggala terdapat peninggalan sejarah dan peninggalan purbakala yang berpotensi menjadi Cagar Budaya. Kabupaten Donggala merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah. Donggala merupakan sebuah kota tua yang terletak 34 km dari Kota Palu ibukota Provinsi Sulawesi Tengah dengan bangunan-bangunan berarsitektur Belanda yang masih menghiasi kota. Pada masa kolonial, Donggala merupakan Kota Pelabuhan dan perdagangan yang cukup sibuk di wilayah Sulawesi Tengah. Donggala terkenal sebagai salah satu kota perdagangan yang ramai. Bahkan, Donggala merupakan kota pelabuhan tertua di Sulawesi Tengah (Agustan T. Syam, dalam http:// portal.cbn.net.id). Kota pelabuhan ini oleh orang Eropa disebut dengan nama Banava. Keberadaan bangunan yang dijadikan gudang kopra pada pada masa lalu di komplek pelabuhan yang sampai saat ini masih ada memperkuat adanya pernyataan tersebut. Ketenaran bandar niaga Donggala sempat disebutkan dalam lembaran naskah catatan perjalanan yang ditulis oleh pengelana dari Negeri Cina. Sejak terbentuknya Afdeling van Midden Celebes 1 pada tanggal 28 Agustus 1903, maka Donggala merupakan tempat kedudukan Asisten Residen. M.J.H. Engelenbeg merupakan Asisten Residen yang pertama. Kemudian pada tahun 1932 jabatan Asisten Residen diganti oleh Heirsman. Selain dari dua orang tersebut selanjutnya kurang diketahui siapa penggantinya. Dalam menjalankan pemerintahannya, didirikan pula kantor kontrolir beserta rumah dinas Assisten Residen yang berkedudukan di Gunung Bale. Kalau pada masa 30
pemerintahan Belanda atasan raja adalah Asisten Residen dan Kontrolir, maka pada jaman Jepang kedudukan itu ditempati oleh Jepang. Jadi kerajaan-kerajaan tetap berdiri seperti sebelum datangnya Jepang. Dari perjalanan sejarah Donggala meninggalkan tersebut banyak meninggalkan jejak serta tinggalan arkeologi yang berpotensi sebagai cagar budaya. Tinggalan arkeologi tersebut mewarnai Donggala sebagai wilayah budaya di Sulawesi Tengah. Tinggalan arkeologi di Kabupaten Donggala diantaranya berada di pusat Kota Donggala antara lain berupa pelabuhan dan komplek bangunan bercorak kolonial yang terdapat di Kecamatan Banawa. Pelabuhan Tua Donggala Pelabuhan Tua Donggala merupakan suatu ruang yang dalam konteks sejarah perdagangan di Donggala berfungsi sebagai lokasi bongkar muat bahan komoditi yang dibawa dari daerah ini dan sekitarnya. Bukti yang menunjukkan adanya aktifitas bongkar- muat di pelabuhan ini terlihat dari sisa bangunan yang tertinggal di lokasi ini. Dalam hal ini ada 2 (dua) bangunan yang dapat diidentifikasi, masing-masing bekas Kantor Badan Koperasi Kopra Donggala dan Gudang Penampungan Kopra. a. Kantor Badan Koperasi Kopra Daerah Bangunan kantor Badan Koperasi Kopra Daerah (BKKD) ini terletak pada koordinat LS 0° 40”068’ - BT 119° 44” 769’, ketinggian dari permukaan laut 13 Mdpl. Keadaan lingkungan sekitar bangunan kantor BKKD berada dalam lingkungan padat pemukiman dan pelelangan ikan serta berada di daerah tepi pantai Teluk Palu.Denah bangunan kantor BKKD berbentuk segi empat dengan pembagian ruang bangunan yang terdiri di bagian luar bangunan dan bagian dalam bangunan yaitu: Bagian luar bangunan dapat diartikan di sini sebagai bentuk struktur morfologis bangunan secara utuh yang di tampakkan dari bentuk atap, badan/ penyangga, dan kaki/ dasar (pondasi) yang terdapat di bagian luar bangunan.
Foto 1. Eks gedung kantor BKKD
UMULOLO
Volume I Nomor 3 •2013
Atap bangunan gedung kantor BKKD ini terbagi atas tiga bagian yaitu, bagian pertama, atap utama yang berbentuk limas, dan bagian kedua, atap depan yang berbentuk datar, dan bagian ketiga, atap bagian belakang yang berbentuk “potongan limas”. Keseluruhan atap bangunan tersebut menggunakan sirap sebagai bahan atap bangunan kantor BKKD. Badan/Dinding gedung kantor BKKD ini terdiri dari dua lantai dan memiliki bentuk persegi empat. Interior luar bangunan terdiri dari bagian dasar (pondasi) bangunan memiliki pelipit bagian dinding yang mengelilingi bangunan setinggi ± 1 Meter dengan konstruksi pondasi yang di desain sebagai pelipit menggunakan batu berbentuk tak beraturan. Badan bangunan terdiri dari bagian dinding berkonstruksi sistem “forecement” yaitu, sistem dinding melayang dengan menggunakan rangka/ tiang kayu (tiang sloof),kemudian didalamnya terdapat rang (jaring) berbahan besi dan ditutupi dengan plester (campuran pasir dan kapur). Eksterior dinding bangunan ini memiliki 28 buah jendela yang terdiri dari jendela bagian bawah (lantai I) berjumlah 12 buah dan jendela bagian atas (lantai II) berjumlah 16 buah. Pondasi/Kaki Bangunan, nampak ditinggikan dengan bagian kaki bangunan yang diberikan pelipit dengan konstruksi berbahan batu alam yang tidak di plester. Bagian dalam bangunan memiliki pembagian ruang yang berada di lantai I, terdiri dari ruang tengah, kamar berjumlah 4 buah yang setiap kamar tersebut dilengkapi pintu. Kamar tersebut masing-masing terletak di bagian depan 2 buah yang salah satu kamar di sebelah kanan pintu masuk memiliki fungsi sebagai ruang loket dengan terlihat bentuk jendela ruang yang berikan bilik dan 1 buah kamar lainnya terdapat di bagian belakang sisi kiri ruang tengah. Sementara di bagian paling belakang gedung terdapat 1 buah ruang kamar yang kemungkinannya memiliki fungsi sebagai gudang penyimpanan arsip administrasi perkantoran. Adapun bagian tengah ruang terdapat satu buah tangga dengan konstruksi papan yang menuju ke lantai II bangunan. Tangga tersebut memiliki 20 buah anak tangga. Setelah menaiki anak tangga tersebut, maka akan terlihat ruang yang terdapat di lantai II terdiri dari sebuah ruang tengah dan 3 buah ruang di bentuk biliki dengan 3 buah pintu masuk dan di dalam ruang bilik tersebut masih memiliki sebuah pintu dalam untuk menyambungkan dengan ruang lainnya. b. Gudang Penampungan Kopra Gudang kopra masih berada dalam lahan kantor BKKD, tepatnya berada di bagian depan bangunan gedung kantor dengan koordinat 0°40”.050’ LS dan 119°44”.764’ BT, ketinggian dari permukaan laut 13 Mdpl. Gudang kopra tersebut berjumlah 3 buah bangunan yang berderet dan memiliki penanda sebuah nomor urut 1, 2, dan 3 yang terdapat di bagian atas pintu gudang. Konstruksi bangunan tersebut menggunakan seng yang berfungsi sebagai dinding bangunan sekaligus menjadi kesatuan dengan bagian atap bangunan. Gudang kopra tersebut dibuat sangat sederhana dengan ukuran yang memanjang dengan dinding dan atap bangunan dibuat setengah lingkaran. Gudang tersebut selain memiliki fungsi sebagai tempat penyimpanan hasil kopra yang telah dikumpulkan, juga difungsikan sebagai tempat menjemur/ oven. Untuk gudang yang memiliki nomor 3 di bagian belakangnya terdapat bangunan yang memiliki bentuk segi empat dengan bentuk atap segitiga. Volume I Nomor 3 •2013
Foto 2. Gudang 1 (pertama) - kiri, dan kanan: Foto 3. Gudang 2 (kedua).
Foto 4. Gudang 3 (ketiga).
Berdasarkan deskripsi di atas dapat dinyatakan bahwa bangunan telah berusia 50 (lima puluh) tahun dimana arsitektur dan kontruksinya mencirikan suatu gaya yang berkembang pada awal sampai paru kedua abad ke 20 sampai, sehingga dapat dinyatakan telah memenuhi kriteria di dalam penggalian informasi fisik untuk dinyatakan sebagai bangunan cagar budaya. Sedangkan dalam hal penggalian informasi nilai penting bangunan memiliki manfaat dalam hal memberikan informasi mengenai sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang terkait dengan sistim perdagangan kopra dan ekonomi pada umumnya yang dapat ditelusuri melalui fungsi-fungsinya sebagai kantor yang memberikan dukungan administrasi. Kawasan Kota Tua Wilayah dalam Kota Donggala yang terletak di Kecamatan Banawa sekaligus sebagai ibukota administratif Kabupaten Donggala terlihat masih memiliki corak bangunan masa kolonial yang ditandai dengan adanya beberapa bangunan pertokoan dan rumah tinggal yang bercorak bangunan kolonial dan corak bangunan rumah tradisional. Hal tersebut terlihat dengan nampaknya sebaran bangunan pertokoan dan bangunan permukiman yang hingga saat ini masih dipertahankan oleh pemiliknya. Diantara bangunan tersebut antara lain: Toko Harapan Baru, terletak di sudut perempatan Jalan Moro No. 28 pada koordinat 0°40».010› LS dan 119°44».599› BT, bangunan Toko Jaya Mas di sudut Jalan Moro No. 3 berhadapan dengan Toko Harapan Baru terlatk pada koordinat 0°40».016› LS dan 119°44».596› BT. Sebaran bangunan dengan corak kolonial lainnya terdapat di Jalan Pelabuhan, berada di sudut jalan pada koordinat 0°39».977› LS dan 119°44».581› BT, serta sebuah bangunan yang digunakan sebagai toko penjualan ban yang memiliki corak bangunan kolonial dan tradisional yang terletak di ujung Jalan Pelabuhan pada koordinat 0°39».989› LS dan 119°44».541› BT.
UMULOLO
31
Foto 5. Toko Harapan Baru Jl. Moro Kota Donggala
Foto 7. Bangunan Tradisional milik Pedagang Arab di Donggala.
Foto 6. Bangunan di sudut jalan Jl. Moro Kota Donggala.
Foto 7. Bangunan Tradisional Rumah Susun di Donggala.
Sebaran bangunan lainnya berupa bangunan berarsitektur tradisional (rumah panggung) satu-satunya yang terletak di pertigaan sudut Jalan Giliraja, Kelurahan Labuan BajoBoya, Kecamatan Banawa pada koordinat 0°39”.956’ LS dan 119°44”.494’ BT. Rumah tradisional ini merupakan rumah peninggalan seorang saudagar yang bernama Uma Haruna atau biasa di panggil Puang Sehang dan dibangun sekitar pertengahan abad XIX. Kemudian rumah tersebut beralih kepada ahli waris Puang Sehang yang merupakan kerabat dan cucunya. Rumah tersebut hingga saat ini masih difungsikan sebagai rumah tinggal bagi keturunan Puang Haruna yang bernama Mahani Alatas (50 tahun). Namun kondisi fisik bangunan tersebut saat ini mengalami banyak kerusakan di setiap konstruksi bangunan yang keseluruhannya menggunakan kayu, sehingga kerusakan yang dialami berupa pelapukan terhadap kayu yang sangat rentan disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya iklim dan biologis serta usia dari bangunan. Bangunan lainnya yang memiliki fungsi sebagai rumah tinggal terletak pada koordinat 0°40”.243’ LS dan 119°44”.471’ BT berada di Jalan Pelabuhan No. 24 RT I RW I, Kelurahan Boya, Kecamatan Banawa. Rumah tersebut merupakan eks rumah tinggal Raja Banawa XII atau raja terakhir dari Kerajaan Banawa yang bernama La Parenrengi Lamarauna (19471959). Rumah Raja Banawa XII ini selain difungsikan sebagai tempat tinggal, juga dijadikan sebagai pusat pemerintahan 32
Foto 9. Bekas Rumah Tinggal Raja Banawa di Kota Donggala.
kerajaan pertengahan abad XX. Saat ini status kepemilikan bangunan adalah milik perseorangan bernama Widya S. Indra. Ia menempati rumah tersebut sejak tahun 1974 yang diperolehnya dari H. Umar Al Idrus melalui pembelian bangunan pada tahun 1964.Peninggalan arkeologis lainnya yang masih terdapat di wilayah administratif Kecamatan Banawa, yaitu peninggalan arkeologis berupa susunan struktur dan tangga bangunan yang tersebar di Jalan Lanta, Kelurahan Gunung Bale. Sebaran struktur bangunan yang terdapat di lokasi ini berada pada koordinat 0°40”.537’ LS dan
UMULOLO
Volume I Nomor 3 •2013
Foto 10. Struktur tangga rumah eks Wedana yang sudah diperbaharui sebagai peninggalan Kolonial
Foto 13. Bekas pintu gerbang peninggalan Kolonial.
Foto 11. Struktur tangga pada Jalan Lama sebagai peninggalan Kolonial.
Foto 14. Bekas garasi peninggalan Kolonial di Donggala.
119°44”.579’ BT yang ditandai dengan bangunan bekas rumah Wedana atau kepala pemerintahan masa kolonial Belanda di Donggala. Rumah bekas Wedana sekarang telah beralih fungsi sebagai rumah jabatan Wakil Bupati Donggala. Keaslian bangunan rumah bekas Wedana kini sudah tidak terlihat lagi karena rumah tersebut telah dibangun dengan bentuk bangunan yang lebih baru. Bentuk bangunan yang masih terlihat dari rumah tersebut berupa tangga yang terdapat di depan gerbang halaman rumah bekas Wedana dengan susunan anak tangga berjumlah 12 buah. Tangga lainnya yang tersebar di kawasan ini berjumlah 8 buah. Peninggalan arkeologis lainnya berupa 2 (dua) bangunan bak penampungan air yang berada di dalam halaman rumah yang ditinggali oleh Muhammad Jani. Bangunan bak penampungan air 1 (pertama) terletak pada koordinat 0°40”.557’ LS dan 119°44”.557’ BT, bangunan bak 2 (kedua) terletak pada 0°40”.547’ LS dan 119°44”.561’ BT. Kedua bangunan bak penampungan air tersebut memiliki bentuk yang sama yaitu bentuk persegi empat, dengan ukuran dinding dari permukaan tanah setinggi 0.98 meter, lebar dinding 2,7 meter ketebalan dinding 0.43 meter. Susunan konstruksi bangunan bak penampungan air menggunakan bata merah dan diberi spesi berupa pasir dan kapur sebagai perekat susunan bata merah. Bagian permukaan dinding bangunan bak penampungan air kemudian di perhalus dengan plester berbahan semen. Sekarang ini bangunan bak penampungan air tersebut tidak lagi digunakan seperti fungsi awalnya, penduduk
di sekitarnya menggunakan bangunan bak penampungan air tersebut sebagai bak penampungan sampah dan bak penampungan yang lainnya dibiarkan kosong. Bangunan lainnya yang berada di lahan tersebut adalah bangunan yang digunakan sebagai garasi. Denah bangunan ini persegi empat dengan bentuk depan yang tidak menyambung, kemungkinan digunakan untuk pintu bangunan. Keadaan didalam bangunan tersebut banyak ditumbuhi tanaman keras berupa pohon dan belukar lainnya yang menampakkan bahwa bangunan tersebut kini sudah tidak digunakan lagi. Bentuk dinding dalam di bagian samping kanan dan kiri bangunan permukaannya memiliki kemiringan 30° sehingga memperlihatkan adanya perbedaan bentuk permukaan dinding di bagian luar yang tegak lurus. Ketebalan dinding bangunan ini 0.30 meter. Di sebelah kanan bangunan terdapat saluran pembuangan air yang memiliki kemiringan 80°. Sebaran bangunan lainnya merupakan struktur tiang pintu gerbang masuk yang berada pada koordinat 0°40”.516’ LS dan 119°44”.606’ BT terletak di bagian bawah jalan utama. Tiang pintu gerbang masuk ini sepasang dengan ukuran tinggi ratarata 1.45 meter dengan lebar dinding 1 meter. Konstruksi tiang pintu gerbang masuk menggunakan susunan batu karang dan spesi kapur dengan pasir sebagai plester dinding. Bangunan dengan arsitektur rumah kolonial lainnya yang berada pada koordinat 0°40”.399’ LS dan 119°44”.545’ BT, digunakan sebagai Pasanggrahan Wisata Donggala yang dikelola oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Donggala.
Volume I Nomor 3 •2013
UMULOLO
33
Penutup Identifikasi terhadap sejumlah bangunan yang tersebar di Kota Donggala mencerminkan suatu pola pemukiman yang berkembang pada awal hingga pertengahan abad 20. Ditandai dengan cirinya dimana antara bangunan yang satu dengan lainnya berdempetan. Dengan demikian kawasan ini memenuhi kriteria berusia 50 (lima puluh) dan memiliki langgam lebih dari 50 (lima puluh) tahun. Dilihat dari fungsi bangunan sebagai tempat tinggal dan toko yang pelakunya dari komunitas Cina, maka dapat dikatakan bahwa pola ini mencerminkan adanya perkembangan baru di dalam sistim pemukiman dan sistim perekonomian bagi penduduk Donggala dalam perjalanan dan perkembangan kehidupannya. Kota tua Donggala memiliki nilai penting sejarah. Bahwa bangunan-bangunan tua yang keletakannya antara satu dengan lainnya menciptakan sebuah pola pemukiman yang didukung oleh etnis Cina sesungguhnya merupakan sumber data dan inspiratif bagi beberapa disiplin ilmu seperti disiplin ilmu arsitektur berkaitan dengan rancangan luar bangunan, disiplin ilmu planologi yang mencoba memahami landsekap diperkotaan, disiplin arkeologi yang berusaha memahami perilaku berdasarkan pola pemukiman dan ilmu-ilmu lainnya. Oleh sebab itu kawasan kota tua Donggala dapat disimpulkan mempunyai nilai penting ilmu pengetahuan, sehingga memenuhi kriteria cagar budaya. Pola pemukiman ini didukung komunitas etnis Cina, yang berbeda dengan pola pemukiman etnis setempat sehingga kehadirannya mencerminkan adanya keberagaman budaya dan multikultural di dalam masyarakat Donggala, sehingga Kawasan Kota Tua Donggala memenuhi kriteria cagar budaya dilihat dari aspek nilai penting kebudayaan. Berdasarkan analisis kriteria dan nilai penting yang dilakukan di atas dapat disimpulkan bahwa Kawasan Kota Tua Donggala dapat dikategorikan menjadi Cagar budaya. Potensi cagar budaya di Kabupaten Donggala sesungguhnya cukup besar. Beberapa temuan arkeologi dari hasil inventarisasi menampakkan gejala arkeologis yang dianggap berpotensi
34
sebagai cagar Budaya. Kemudian dengan menggunakan konsep kriteria cagar budaya sebagaimana yang dimaksud di dalam Undang undang No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya antara lain: Pelabuhan Tua Donggala dan Kawasan Kota Lama Donggala. Dalam Pelabuhan Tua Dongga;a terdapat Kantor Pusat Koperasi Kopra Daerah (PPKD) dan Gudang Kopra. Sedangkan dalam Kawasan Kota Lama Donggala terdapat beberapa bangunan antara lain: Bekas Rumah Raja Banawa, Bekas Rumah Pedagang Arab, dan Rumah Toko. Beberapa Cagar Budaya yang berhasil diidentifikasi dalam kegiatan inventarisasi di Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah sesungguhnya bermasalah dari sisi pengelolaan pelestariannya, karena masih lemahnya pengawasan perlindungan, perawatan pemeliharaan dan pemanfaatan pengembangannya. Untuk itu diperlukan perhatian secara khusus dari pemerintah bersama pemerintah daerah dalam penanganan tinggalan arkeologi yang berpotensi sebagai cagar budaya. Pemerintah daerah dapat lebih intens dalam perhatiannya terhadap pengelolaan dan pelestarian tinggalan arkeologi ini sehingga tinggalan arkeologi tersebut tidak hilang atau musnah begitu saja sebelum memperoleh penetapan sebagai cagar budaya. Kepustakaan
Abubakar, Jamrin. Pelabuhan Donggala, Dari Sawerigading sampai Orde Baru, dalam http://catatanjamrin.blogspot. com. Anonim (2010) Undang Undang No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Kutoyo, Sutrisno, dkk., 2005. Sejarah Daerah Sulawesi Tengah. Palu: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Sulawesi Tengah. Syam, Agus T. Tanjung Karang Masih Menawan dalam http://portal.cbn.net.id. Tanudirdjo, Daud Aris (2004), Makalah: Penetapan Nilai Penting Dalam Pengelolaan Cagar Budaya.
UMULOLO
Volume I Nomor 3 •2013
AKAR BUDAYA MASA LALU SEBAGAI IDENTITAS KOMUNITAS ASEAN 2015 Hari Suroto
Balai Arkeologi Jayapura
Pendahuluan Arti penting teritori sebagai fenomena sosiologi telah diperlemah oleh elemen komunitas. Komunitas digunakan dalam tiga dimensi yang berbeda dalam berbagai analisis ilmu sosial masa kini: sebagai entitas teritorial; sebagai sentimen emosional yang menumbuhkan ‘perasaan kesatuan’, tidak peduli dengan bentuk fisik dan distribusi populasi; dan sebagai sistem sosial yang lengkap yang terdiri dari pengaturan ‘dari awal hingga akhir’ (Oommen, 2009:286). Menurut Steven Grosby (2009: 19) istilah ‘komunitas’ merujuk pada tingkat kesadaran diri dari individu seperti seseorang mengakui dirinya semestinya dan terus berelasi dengan lainnya. Sarana modern komunikasi dan pendidikan umum yang dengan jelas menjadi faktor-faktor dalam menyatukan budaya yang sejatinya merupakan populasi beragam ke dalam sebuah bangsa modern, juga telah berkontribusi pada stabilisasi dan memperkuat budaya regional. Ini terutama pada mereka yang memiliki bahasa-bahasa miliknya sendiri. Faktor pemersatu budaya yang modern ini, juga menghasilkan perkembangan ‘di atas’ bangsa yang mungkin mengaburkan eksistensinya. Misalnya, kemunculan Uni Eropa dengan berbagai institusi transnasionalnya (Grosby, 2009:86). Hal ini juga terjadi di kawasan Asia Tenggara dengan dibentuknya ASEAN. Sejak dibentuk pada bulan Agustus 1967 oleh Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina, ASEAN (Association of South East Asian Nations) pun terus terus beradaptasi seiring dengan perkembangan dunia. Pada 2003 lalu, negaranegara anggota ASEAN menyadari akan dibutuhkannya sebuah kerangka kuat untuk menjalin kerja sama antar anggota. Dalam Deklarasi ASEAN Concord II, negara-negara anggota ASEAN diajak dalam pembentukan Komunitas ASEAN yang mencakup tiga pilar yakni komunitas politik dan keamanan, komunitas ekonomi dan komunitas sosial budaya. Komitmen ini pun makin diperkuat dengan KTT ASEAN ke-12 yang digelar di Cebu, Filipina pada 2007. Negara-negara anggota ASEAN berhasil menyepakati Piagam ASEAN, yang mengukuhkan ASEAN sebagai organisasi yang rule-based. Komunitas ASEAN berlaku efektif pada 2015. Semua bangsa mempunyai sejarah yang terjadi sebelumnya, apakah suku, negara kota, atau kerajaan. Komunitas awal bersejarah ini merupakan komponen penting dalam pembentukan bangsa (Grosby, 2009:10). Kawasan Asia Tenggara seperti halnya wilayah yang luas di dunia ini, sifatnya sangat beragam. Anthony Reid (2004:5) berkeyakinan bahwa memandang Asia Tenggara sebagai suatu kesatuan, memungkinkan kita untuk menerangkan sejumlah bidang kehidupan yang, jika tidak, akan tetap tinggal kabur. Ini lantaran, untuk setiap bidang budaya, sumber-sumbernya sangat fragmentaris. Jika kita menelaahnya bersama-sama, suatu gambaran yang padu tentang gaya hidup di kawasan tersebut secara keseluruhan mulai muncul. Sekalipun sangat beragam dalam hal Volume I Nomor 3 •2013
bahasa dan kebudayaaan, kawasan ini berhadapan dengan keadaan cuaca, lingkungan dan perdagangan yang sama, dan karena itu mengembangkan seperangkat kebudayaan material yang sangat mirip. Keberagaman dan keterbukaan Asia Tenggara terhadap pengaruh luar justru merupakan karakteristik wilayah ini yang paling menonjol. Reid (2011) merupakan sejarawan yang melihat persatuan Asia Tenggara sebagai suatu unit. Secara geografis Reid berpendapat bahwa tidak ada suatu kawasan geografis yang sangat berbeda dari kawasan-kawasan lainnya. Terdapat banyak hubungan dagang antardaerah di kawasan ini, dan walaupun terdapat berbagai suku bangsa dan bahasa, terdapat pula banyak persamaan. Ini disebabkan kesatuan geografis dan juga iklim, dan iklim tentunya akan mempengaruhi flora dan faunanya. Unsur bahan makanan misalnya, didominasi oleh beras. Sementara itu, kebiasaan makan dan mengunyah sirih pinang juga terlihat agak umum. Tulisan ini akan membahas beberapa akar budaya masa lalu Asia Tenggara yang berpengaruh di kawasan ini sebagai suatu kesatuan, mulai dari prasejarah hingga masa sejarah yang dapat dijadikan identitas dan jatidiri dalam komunitas ASEAN. Pembahasan Asia Tenggara secara geografis terdiri atas wilayah daratan dan kepulauan. Wilayah daratan meliputi Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja dan Vietnam, sedangkan untuk daerah kepulauan yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura dan Filipina. Berdasarkan literatur yang ada, terdapat beberapa istilah dalam penyebutan wilayah Asia Tenggara. Cina dan Jepang menganggap kawasan Asia Tenggara sebagai daerah selatan (Nanyang atau Lands below the Winds). Orang India, Persia, Arab, dan Melayu menamakan kawasan ini “tanah di bawah angin” karena musimlah yang membawa perahuperahu layar melintasi Lautan Hindia. Alfred Russel Wallacea (2009:xxx) menyebut dengan Indo-Melayu, Peter Bellwod (2000) menyebutnya dengan Kepulauan Indo-Malaysia. Umbgrove (1949) menyebut Asia Tenggara sebagai “pajangan mengagumkan yang mengelilingi khatulistiwa di Hindia Timur”. Peter Bellwood (2000) berpendapat pada masa prasejarah Asia Tenggara, manusia penghuni kawasan ini menunjukkan saling berkaitan hal ini terlihat dalam bukti kultural Homo erctus di Asia Tenggara; Manusia Indo-Malaya pada 40.000 tahun terakhir; Hoabinh dan budaya yang sejaman; tinggalan arkeologis penutur Austronesia; budaya Sa Huynh di Vietnam Selatan; dan budaya Dong Son dari Vietnam utara. Menurut Norman G. Owen, sejarah Asia Tenggara dapat dibagi menjadi tiga periode panjang. Pertama era klasik yang menghasilkan candi besar seperti Borobudur, Prambanan, dan Angkor. Kedua, zaman modern yang ditandai dengan kolonialisme dan pascakolonialisme. Terjepit di tengah adalah
UMULOLO
35
masa tradisional, dari abad ke-13 sampai ke-18. Periode ini cenderung tampil statis, kontras dengan masa pembangunan monumen pada negara klasik dan dinamika perdagangan dari kolonialis modern (Adam, 1999:xv). Hingga abad ke-17 hubungan pelayaran tetap menghubungkan bangsa-bangsa Asia Tenggara secara lebih erat satu sama lain dibandingkan dengan hubungan mereka dengan bangsa-bangsa dari bagian-bagian dunia lainnya. Sebagaimana dikemukakan oleh seorang pengamat yang berbicara tentang Asia Tenggara sekitar tahun 1600, “bangsa ini senantiasa memperhatikan hubungan tetap mereka satu sama lain, dan saling memenuhi kebutuhan satu sama lain” (Pyrard, 1619:169). Beberapa nilai budaya masa lalu yang dapat dianggap sebagai identitas bangsa Asia Tenggara diantaranya: - Budaya Hoabinh (Hoabinhian) Peralatan batu yang ditemukan di Situs Hoabinh Vietnam tersebar luas di kawasan Asia Tenggara pada masa Mesolitik. Alat batu ini dikenal dengan budaya Hoabinh (Hoabinhian), dicirikan penyerpihan pada satu atau dua sisi permukaan kerakal sungai yang lebih kurang berukuran satu kepalan, seringkali seluruh tepiannya menjadi bagian tajamannya. Sebagian besar situs-situs Hoabinhian ditemukan dalam ceruk peneduh dan bukit sampah kerang (shellmidden), di Sumatera, Myanmar, Thailand, Malaysia, Laos, Kamboja dan Vietnam. - Budaya Dong Son Budaya Dong Son bermula Situs Dong Son di Thanh-hoa Vietnam bagian utara yang berkembang secara luar biasa antara abad ke-5 dan ke-2 SM. Budaya ini dicirikan dengan artefak-artefak kehidupan sehari-hari ataupun peralatan keagamaan berbahan perunggu. Situs-situs arkeologi yang ditemukan artefak Dong Son terutama di Phnom Penh Kamboja, Thailand, Pahang, Selangor, Sumatera, Jawa, Madura, Bali, Selayar, Kei, Alor, Sumbawa, Kota Waringin, kawasan Danau Ayamaru Papua Barat, dan Kawasan Danau Sentani Jayapura. - Budaya Sa Huynh Budaya Sa Huynh dicirikan dengan situs-situs kubur tempayan (jenasah dimasukkan dalam tempayan besar) berlangsung sekitar 600 SM. Budaya ini bermula di Sa Huynh Vietnam bagian selatan kemudian menyebar ke situs-situs di kawasan pantai mulai dari Vietnam tengah ke selatan sampai ke delta Mekong, Filipina, Kalimantan bagian utara, dan kawasan Laut Sulawesi bagian utara. - Budaya Austronesia Penutur Austronesia meninggalkan Taiwan 5000 tahun yang lalu dan menyebar ke arah selatan. Mereka mengadakan perjalanan laut menggunakan perahu sampan maupun perahu layar, pertama-tama mencapai Filipina bagian utara. Mereka kemudian mengadakan perjalanan ke arah selatan. Dari selatan Filipina mereka memisahkan diri dalam dua kelompok: kelompok pertama berlayar ke arah barat daya, sedangkan kelompok kedua berlayar ke arah tenggara. Kelompok pertama kemudian mencapai Kalimantan, Malaysia, Sumatra, dan Jawa. Bisa dikatakan kelompok pertama inilah yang menjadi nenek moyang orang Malaysia dan Indonesia modern. Kelompok kedua yang bergerak ke arah tenggara akhirnya mencapai Halmahera dan Kepulauan Bismarck, Vanatu, New Kaledonia 36
dan Fiji di Pasifik. Sebagian bahasa di Asia Tenggara memiliki leluhur yang sama yaitu bahasa Austronesia, bahasa-bahasa ini meliputi Filipina, Malaysia, Indonesia, termasuk Vietnam sebelah tenggara (kelompok Champ). - Dinasti Sailendra Mulai perempat abad ke-8 M di Jawa Tengah berkembang dinasti Sailendra yang kuat, yakni pembangun Candi Borobudur yang merupakan kreasi agama Budha tercantik di seluruh Asia. Dinasti Sailendra mendapat julukan ‘Raja gunung” dan menggunakan gelar Maharaja Shailendravamca, karena menganggap diri sebagai penakluk dunia. Dinasti Sailendra sepanjang abad ke-8 M mereka menguasai seluruh bagian selatan wilayah Laut Cina, Champa, termasuk Semenanjung Malaysia khususnya wilayah Ligor. Bahkan Bernard Philippe Groslier (2007:123) menyebut perkembangan dinasti Sailendra merupakan salah satu peristiwa politik yang paling penting dalam sejarah Asia Tenggara. Bernard H. M. Vlekke (2008:30) berpendapat bahwa dinasti Sailendra merupakan dinasti paling berkuasa di Asia Tenggara. Pengaruh dinasti Sailendra secara langsung dialami oleh Jayavarman II di Kamboja menjelang tahun 790 M. Bangunanbangunan yang dibuat Jayavarman II jumlahnya cukup banyak dan betebaran di hampir semua tempat kediamannya. Di Kulen terdapat sebuah candi yang terdiri dari tiga menara yang berdiri di atas satu teras, candi Prasat Damrei Krap, arsitektur asli Champa yang dipengaruhi Jawa, hal ini terlihat pada ambang pintu atas candi Prasat Damrei Krap, dihiasi dengan kepala kala, dan di kedua ujung lengkungan, ada makara yang memuntahkan sebuah hiasan emas (Groslier, 2007:127). - Sriwijaya Sriwijaya muncul sebagai kemaharajaan terbesar dan terkuat di Asia Tenggara dengan ibukota Palembang pada abad ke-7. Paul Michel Munoz (2006:232) menyatakan Palembang pernah menjadi ibukota Asia Tenggara pada masa Sriwijaya. Jelas dari laporan dinasti Cina bahwa Sriwijaya berhasil menguasai pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatera dan Semenanjung Malaysia. Sriwijaya menjadi kekuatan kelautan yang besar di Selat Malaka dan perairan Cina Selatan. Berkat dominasi politik dan ekonomi yang strategis terhadap kawasan itu, kepercayaan Buddhisme Mahayana yang dianut Sriwijaya menyebar ke banyak bagian Asia Tenggara. Palembang menjadi sebuah pusat keilmuan Buddhis di kawasan ini. Banyak rahib terkemuka Cina menimba ilmu di tempat itu sebelum berangkat ke India. Pada awal abad ke-8, terdapat bukti hubungan langsung maupun tak langsung antara pesisir Papua dengan Sriwijaya. Berdasarkan sejarah dinasti Tang (Sintangshu), utusan-utusan Maharaja Sri Indravarman dari Sriwijaya mempersembahkan burung-burung cenderawasih dari Papua kepada kaisar Cina (Suroto, 2010: 46). - Kertanegara Kublai Khan pada 1260 diangkat menjadi kaisar pertama dinasti Yuan. Obsesi Kublai Khan adalah menguasai Jepang dan negara-negara Asia Tenggara. Kitab Pararaton menyebutkan upaya Kertanagara (1268-1292) mempersatukan kekuatankekuatan Asia Tenggara guna menentang ekspansionis Cina. Langkah Kertanagara dalam menyatukan Asia Tenggara adalah dengan mengirimkan ekspedisi militer ke Sumatra dan ke Bali,
UMULOLO
Volume I Nomor 3 •2013
selain itu Kertanagara juga mengawini seorang putri Champa (Vietnam bagian selatan), salah satu negeri yang paling terancam oleh serbuan Cina. Catatan Cina menuliskan dutaduta kaisar Cina pergi ke Singasari, Kertanagara menangkap duta-duta itu lalu mengirim pulang mereka dengan membuat cacat wajah mereka. - Majapahit Majapahit di Jawa Timur menggantikan kedudukan Sriwijaya sebagai kemaharajaan terkuat di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-13 hingga abad ke-14. Pengaruh politik, ekonomi, dan wilayah Majapahit menyebar dari Kepulauan Indonesia, Singapura, Malaysia, hingga Papua. Bahwa Papua merupakan bagian dari Majapahit, dinyatakan dalam Nagarakertagama Karya Mpu Prapanca pada tahun 1365. Dalam syair XIV tertulis: Muwah tang I Gurun sanusa mangaram ri Lombok Mirah Lawan tikang I Saksakadi nikalun kahaiyan kabeh Muwah tazah I Bantayan pramuka Bantayan len Luwuk Teken Udamakatrayadhi nikanang sanusapupul Ikang sakasanusanusa Makasar Butun Banggawai Kuni Ggaliyao mwang I (ng) Salaya Sumba Solot Muar Muwah tigang I Wandan Ambwan athawa Maloko Ewanin Ri Sran in Timur ning angeka nusatutur Diantara sejumlah nama-nama daerah yang terletak di timur Indonesia disebut nama Wwanin, nama lain untuk Onin, sedangkan Sran merupakan Koiwai. Onin dan Koiwai merupakan daerah yang saat ini merupakan bagian dari Provinsi Papua Barat. - Bahasa Melayu Periode yang Reid (2011:9) sebut “kurun niaga”, dari abad ke-15 hingga abad ke-17, merupakan periode yang jaringan pelayarannya sangat ramai. Reid berpendapat bahwa kotakota maritim yang saling berhubungan di kawasan Asia Tenggara lebih dominan pada periode ini dibandingkan pada periode sebelum maupun sesudahnya. Lagi pula, selama beberapa waktu pusat niaga (entreport) yang terpenting ialah Sriwijaya, kemudian digantikan oleh Pasai, Malaka, Johor, Patani, Makassar, Aceh dan Brunei. Dengan demikian bahasa Melayu menjadi bahasa niaga utama di seluruh Asia Tenggara. Setidaknya-tidaknya mereka yang berniaga dan berdagang di pelabuhan-pelabuhan utama Asia Tenggara harus menggunakan bahasa Melayu sebagai lingua-franca (Ricklefs, 2005:116). Pusat-pusat niaga utama di Kamboja lantas dikenal dari kosakata Melayu sebagai kompong, dan orang Vietnam menerima kata-kata seperti cu-lao (dari kata Melayu pulau). Stirling (1943:4) berpendapat istilah Papua rupanya berasal dari pua-pua, istilah Melayu yang berarti “keriting’. Freddy Numberi (2008:19) menyatakan bahwa orang Papua lebih dulu menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sejak 5 Februari 1855 (yang pada saat itu disebut Maleise Taal- bahasa melayu), kemudian dikokohkan lagi saat dipindahkannya sekolah guru dari Pulau Mansinam ke Pulau Miei, Teluk Wondama pada 26 Oktober 1925 oleh Pendeta I. S. Kijne.
Volume I Nomor 3 •2013
Penutup Asia Tenggara walaupun beragam tetapi dengan melihat akar budaya masa lalu, ternyata wilayah ini merupakan suatu kesatuan. Pada masa lalu, di Asia Tenggara terdapat budaya yang berasal dari suatu wilayah yang mampu mempengaruhi satu kawasan. Dalam konteks kekinian, saat ini kawasan Asia Tenggara menjadi rebutan negara besar dalam rangka menancapkan pengaruhnya di kawasan ini baik itu secara militer maupun ekonomi. Salah satunya terlihat dari Amerika yang menempatkan pasukan marinirnya di Darwin Australia guna menahan kekuatan Cina di Asia Tenggara. Demi kepentingan strategis, perebutan pengaruh di Asia Tenggara oleh negara adikuasa tidak hanya terjadi pada masa sekarang, jika kita berkaca pada masa lalu, ternyata pada masa Singasari pernah terjadi. Ketika melihat Cina yang ekspansionis di bawah Kublai Khan, maka Kertanegara berusaha menyatukan Asia Tenggara guna menghadapi Cina. Pada masa sekarang negara-negara yang tergabung dalam ASEAN harus bersatu dan meneruskan cita-cita Kertanagara, agar Komunitas ASEAN yang mulai berlaku 2015 nanti menjadi komunitas yang mandiri dan bebas dari tekanan negara adikuasa. Situs-situs arkeologi maupun tinggalan arkeologi lainnya yang terdapat di kawasan Asia Tenggara merupakan identitas dan jatidiri bangsa ASEAN, sehingga perlu dijaga dan dilestarikan. Untuk mewujudkannya diperlukan kerjasama negara anggota ASEAN dalam bentuk pendanaan, penelitian dan pelatihan sumberdaya manusia berkaitan pelestarian cagar budaya. . Daftar Pustaka Adam, Asvi Warman. 1999. “Merintis Sejarah Total Asia Tenggara” pengantar dalam Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hlm. xiv-xxxii. Bellwood, Peter. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Coedes, George. 2010. Asia Tenggara Masa Hindu-Budha. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Grosby, Steven. 2009. Sejarah Nasionalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Groslier, Bernard Philippe. 2007. Indocina: Persilangan Kebudayaan. Jakarta: KepustakaanPopuler Gramedia. Munoz, Paul Michel. 2009. Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia. Yogyakarta: Mitra Abadi. Numberi, Freddy. 2008. Keajaiban Pulau Owi Mutiara Terpendam di Wilayah Tanah Papua. Jakarta: Gibon Books. Oommen, T. K. 2009. Kewarganegaraan, Kebangsaan dan Etnisitas. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Pyrard, Francis. 1619. The Voyage of Francis Pyrard of Laval to the East Indies, the Maldives, the Moluccas, and Brazil, terjemahan A Gray, 2 jilid. London, Hakluyt Society, 1887-1889. Reid, Anthony. 1999. Dari Ekspansi hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Reid, Anthony. 2004. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara: Sebuah Pemetaan. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. Reid, Anthony. 2011. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga
UMULOLO
37
1450-1680 Jilid 1 Tanah di BawahAngin. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. Stirling, M. W. 1943. “The Native Peoples of New Guinea”. Smithsonian Institution War Background Studies No. 9. Suroto, Hari. 2010. “Awal Sejarah Hubungan Papua dengan Dunia Luar”. Bulletin Narasimha No. 03/III/2010. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta. Hlm. 46-49. Suroto, Hari. 2010. Prasejarah Papua. Denpasar: Udayana University Press. Umbgrove, J. H. E. 1949. Structural History of the East Indies. Cambridge: Cambridge University Press. Vlekke, Bernard H. M. 2008. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Wallace, Alfred Russel. 2009. Kepulauan Nusantara Sebuah Kisah Perjalanan, Kajian Manusia dan Alam. Jakarta: Komunitas Bambu.
38
UMULOLO
Volume I Nomor 3 •2013
PENGELOLAAN KAPAL KARAM BERBASIS WISATA SELAM EDUKASI Asyhadi Mufsi Batubara
Mahasiswa Pascasarjana Arkeologi UGM – email:
[email protected]
Abstrak Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan posisi strategisnya telah dilayari ribuan kapal sejak dahulu hingga sekarang. Sehingga tidak mengherankan apabila data UNESCO menyebutkan bahwa terdapat lebih dari 5000 titik kapal karam disepanjang perairan Indonesia. Ribuan kapal karam beserta muatannya menjadi salah satu sumber penting pengkajian sejarah, budaya dan kehidupan sosial bangsa Indonesia dari masa ke masa. Sejauh ini penelitian kapal karam masih tergolong langka dan hanya milik kalangan Arkeologi. Sehingga sangat disayangkan apabila sumber informasi dan pengetahuan yang bisa membentuk identitas, dan rasa cinta tanah-air ini masih tenggelam didasar laut tanpa dikenal oleh genarasi muda. Melalui media wisata selam yang kini tengah populer, maka potensi kapal karam yang begitu besar akan di kemas dalam bentuk wisata selam berbasis sejarah dan budaya lokal. Untuk mewujudkan wisata model baru ini, akan dilakukan pengkajian terpadu yang melibatkan disiplin ilmu arkeologi maritim, antropologi maritim dan ilmu komunikasi guna merancang konsep menajemen wisata selam berbasis sejarah dan budaya lokal yang edutainment (edukasi dan entertaimen). Diharapkan lewat menyelam generasi muda akan lebih mengenal Indonesia, mengenal sejarahnya, dan mencintai lautnya. Kata kunci: wisata, selam, sejarah , budaya.maritim. Abstracs As an archipelagic country that having strategic geographic location, lying between the Indian Ocean and the Pacific Ocean, Indonesia has been sailed by thousand ships since ancient time to now. It is not surprising that UNESCO revealed that there are more than 5000 spots of shipwreck in Indonesian waters. These sunken ships and their loads are one of important sources of research to know about history, culture and social life of Indonesian from time to time. However, the researches related to shipwrecks and their loads are still rare to be conducted and so far are exclusively attributed to archaeology. It is regrettably that these sources of information and knowledge which having potential to build identity and patriotism are not really known by young generation. Through dive tourism that is now popular, the potential of these shipwrecks will be packed on form of dive tourism based on history and local culture. To reach this goal, an integrated research involving disciplines of maritime archaeology, maritime anthropology and communication will be conducted to design a concept of dive tourism based on history and local culture that is edutainment (education and entertainment). Through diving, it is expected that young generation can know more about history of Indonesia and loving its ocean. Key words: tourism, dive, history, culture, maritime
LATAR BELAKANG ‘Indonesia Jungkir Balik1’ segalanya seakan terbalik di negara ini. Sejarah itu penting, tapi justru dianggap boring2. Budaya itu bermakna luas, tapi sering dipandang sempit hanya sebatas tarian dan nyanyian3. Sama halnya dengan Indonesia sebagai negara kepulan terbesar di dunia yang 80% wilayahnya adalah laut, namun laut terlupakan bahkan terkesan di anak tirikan4. Banyak diantara kita yang mungkin telah lupa bahwa laut memiliki peran penting dalam perjalanan sejarah dan peradaban bangsa Indonesia. Alhasil slogan Bung Karno 1 Tim Penulis. Indonesia Jungkir Balik. Penerbit Noura Books. Jakarta, 2012. 2 Seperti yang diberitakan oleh surat kabar Kedaulatan Rakyat edisi 3 Oktober 2012 yang bertajuk “Pembelajaran Sejarah Kurang Aplikatif”, bahwa menurut para ahli sejarah seperti Prof. DR. Ajat Sudrajat dan Charlie Sullivan Phd dari Universitas Michigan, metode pembelajaran sejarah masih dalam bentuk hafalan, dari nama kerajaan, nama tokoh, atau tahun peristiwa peting. Akibatnya peserta didik merasa jenuh, sehingga pendidikan sejarah menjadi beban dan membosankan. 3 Hingga saat ini RUU (rancangan Undang-Undang) Kebudayaan belum selesai dibentuk. 4 Hingga saat ini Undang-Undang Kelautan belum selai dibentuk.
Volume I Nomor 3 •2013
‘JASMERAH’ yang berarti Jangan sekali-kali melupakan sejarah, seakan-akan telah berganti warna menjadi ‘JASPINK’. Bagaimana mungkin suatu bangsa akan maju apabila bangsa itu tidak mengenal masa lalunya dan lupa identitasnya. Sejarah adalah cermin pembelajaran untuk masa depan dan pondasi berpijak dimasa sekarang. Tidak satu manusia yang bisa maju tanpa belajar dari masa lalu. Bahkan penemu pesawat jet, Henry Coanda belajar dari apa yang telah ditemukan Wright bersaudara. Bahkan tanpa adanya pengkajian sejarah, film terlaris sepanjang abad ‘TITANIC’ mungkin tidak akan pernah tampil di layar kaca. Namun ironisnya, sejarah, khususnya sejarah maritim dicap sebagai kajian tidak populer yang tidak jelas manfaat dan peranannya dalam kemajuan masa depan bangsa. Bukankankah laut adalah bagian penting yang membentuk jalannya sejarah Indonesia dari masa ke masa. Bagiamana mungkin Indonesia bisa terbentuk dalam satu negara kesatuan tanpa ada laut. Bhineka Tunggal Ika dicetuskan Mpu Tantular karena terinspirasi oleh laut yang
UMULOLO
39
telah mempersatukan seluruh ‘Nusa Antara’5 atau Nusantara. Hal ini dipertegas kembali oleh A. B Lapian dalam pidato pengukuhan Guru Besarnya6 bahwa ‘sejarah Nusantara sama dengan sejarah bahari’. Faktanya dapat dilihat pada nama besar kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang telah tumbuh sebagai kekutan politik terbesar di Asia Tenggara karena memanfaatkan laut dalam posisi strategisnya7. Posisi perairan Nusantara yang strategis menjadikannya sebagai wilayah perairan paling ramai dilayari, serta menjadikannya sebagai wilayah perdagangan internasional. Ketersediaan komoditas rempah-rempah dan sumber daya alam yang melimpah turut mendukung kondisi tersebut. Tidak mengherankan apabila kondisi ini telah berlangsung sejak era Firaun8 hingga sampai saat ini. Fakta-fakta tersebut kemudian diperkuat berbagai temuan arkeologis dan arsip VOC9, yang mencatat lebih dari 100 kapal besar setiap hari masuk dan lego jagkar di bandar Sunda Kelapa. Demikian juga pada pelabuhan penting lainnya yang tersebar disepanjang jalur pelayaran perdagangan Nusantara, mencatat wilayah Nusantara wilayah paling ramai pada masa kurun niaga10. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila pada tiga alur laut penting seperti Selat Malaka, Laut Jawa, dan Laut Flores menjadi kuburan massal ribuan kapal dari berbagai masa. PERUMUSAN MASALAH Kapal-kapal yang hancur tenggelam bersama segala muatan, catatan maupun kisah para awak kapalnya turut tenggalam kedasar laut. Jumlahnya tidak sedikit. Berdasarkan data UNESCO terdapat ±5000 titik kapal karam tersebar disepanjang perairan Nusantara. Beberapa diantaranya telah dijarah dan dilelang secara terang-terangan di balai lelang Christie, Amsterdam11. Tidak hanya berupa kerugian materi 5 Nusantara berasal dari bahasa jawa kuno, yang terdiri dari kata ‘Nusa’ yakni pulau dan ‘Antara’ yakni yang lain. Istilah Nusantara sudah ditemukan dalam naskah-naskah kuno , mula-mula dalam kitab Nagarakertagama, kemudian dalam naskah lebih muda seperti Kidung Sunda, digunakan untuk menyebut pulau-pulau di luar Pulau Jawa (Lapian, 2011: 25). 6 A. B Lapian. Sejarah Nusantara = Sejarah Maritim ‘Pidato Pengukuhan Guru Besar Luar Biasa Fakultas Sastra Universitas Indonesia’. Universitas Indonesia Press. Depok, 2011. 7 Dalam teori Mahan diesbutkan dengan jelas, bahwa menguasi laut sama dengan menguasai dunia. Negara meritim terkuat di dunia seperti Inggris juga menganut paham yang sama yakni ‘British Rules The Wave’. Selain Inggris, Belanda termasuk salah satu negara yang mengadopsi teori Mahan (Leur & Verhoeven, 19740. Penguasaan Nusnatara diawali dengan penguasan laut dengan penaklukan armada-armada laut kerajaan di seluruh Nusantara dan kemudian didukung dengan mengeluarkan beberapa resolusi, seperti Resolutie 30 Oktober 1787 (memuat larangan pembuatan kapal berukuran dengan panjang diatas 8 meter), resolusi 6 Desember 1751 (larangan berlayar), Perjanjian Giyanti 1755 (Berisi penyerahan wilayah pesisir utara jawa milik kerajaan Mataram kepada VOC) dan lain sebagainya (Lohanda, 2011). 8 Berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di Barus - Sumatera Utara yang diperkirakan pernah menjadi pelabuhan internasional, dengan jaringan perdagangan meiputi benua Afrika dan Asia. Temuan mata uang, perhiasan, keramik dan benda-benda hasil peradaban kebudayaan asing yang ditemukan di Barus, kemudian diperkuat dengan temuan kapur barus yang banyak ditemukan pada makam-makam Firaun (Guillod, 2002, 2010). 9 Daghregister mencatat kapal yang datang dan pergi di kawasan Nusantara, Asia, Afrika sampai ke Jepang. Termasuk pula jenis muatan dari kapal-kapal tersebut yang dicatat secara terperinci bersama kuantitas jumlah muatannya. Sedangkan pencatatan laporan kapal karam di catat pada Verongeluckte schip (Lohanda, 2011). 10 Istilah yang diberikan Anthony Reid untuk penyebutan sejarah pelayaran perdagangan di Asia Tenggra pada kurun waktu 1450-1680 M (Reid, 2011). 11 Michael Hatcher adalah salah satu nama pemburu harta karun yang paling banyak mengangkat BMKT (Barang Muatan Kapal Tenggelam) dari perairan
40
sebagai dampaknya, namun yang lebih disayangkan adalah hilangnya sumber dan data sejarah. Tanpa artefak atau bukti meterial, sejarah hanya akan menjadi dongeng sebagai mitos pengantar tidur belaka12. Pertanyaannya adalah, dimana kita bisa menemukan bukti artefaktual yang yang masih utuh dan autentic untuk dijadikan sumber sejarah dan pengetahuan masa lalu? Jawabannya ada didasar laut13. Dan apakah Indonesia telah meneliti, mengembangakan dan memanfaatkannnya? Jawabannya adalah belum14. Petut kita ketahui bersama bahwa trend penelitian arkeologi bawah laut sudah dimulai sejak dekade 1980-an. Sedangkan di Indonesia, arkeologi bawah laut bahkan hingga hari ini belum cukup populer dikalangan publik maupaun arkeolog. Ironisnya perbandingan antara sumber daya penelitian (kapal karam dan BMKT) dengan SDM-nya bagai piramida terbalik. Ditambah lagi dengan adanya kecendrungan bahwa data hasil penelitian arkeologi bawah air belum ada upaya go public15. Melihat kondisi tersebut maka muncul beberapa rumusan masalah yang menjadi point penting kajian “Rancangan Pengelolaan Wisata Selam Berbasis Sejarah dan Budaya Lokal: Studi Kasus Kapal Karam Indonor - Karimunjawa” adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana cara meningkatkan pemahaman publik mengenai nilai penting kapal Karam beserta BMKTnya sebagai data sejarah dan sumber pengetahuan? 2. Bagaimana cara memadukan unsur edukasi, khususnya sejarah kedalam wisata selam? 3. Bagaimana model pengelolaan dan pemanfaatan kapal karam yang tepat untuk dijadikan objek wisata selam edukatif? Kerangka Teoritis Perahu (kapal) adalah salah satu bentuk material objek kajian arkeologi bawah laut yang mampu menunjukkan keterkaitan dengan budaya maritim lainnya seperti pelayaran, perdagangan dan teknologi maritim (Bowens, 2009: 5-6). Arkeologi bawah laut dikembangkan mengingat banyaknya tinggalan kapal karam beserta BMKT-nya yang terpendam di dasar laut. Untuk mampu melakukan ekskavasi dan penelitian arkeologi pada lingkungan yang berbeda (bawah air), maka para arkeologi bawah laut kemudian mengembangkan kemampuan menyelam, teknik penelitian, metode penggalian (ekskavasi) dan perekaman data di dalam air (Bowens, 2009: 6). Upaya penelitian dan mempelajari tinggalan arkeologi Nusantara. Tercatat pada 1985 kapal berlambung Geldermalsen yang karam di perairan Tanjung Pinag Kepulauan Riau dijarah habis-habisan. Selnjutnya kapal Tek Sing dari Dynasti Ming yang karam diperairan Bangka Belitung, dan yang terahir kapal di Perairan Cirebon dan BMKT nya diangkat pada tahun 2010 . (PANNAS BMKT, 2008). 12 Informasi lebih lanjut lihat buku Robert Dick-Read. Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika. Penerbit Mizan. Bandung, 2008. 13 Daratan juga sebagai lahan data sejarah, namun bila dibandingkan dengan laut jauh dari jangkauan aktifitas manusia, kondisi artefak dalam laut lebih utuh dan lengkap. 14 Sejauh ini P2SDKP (Pusat Penelitian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan baru melakukan pendataan bebererapa lokasi kapal karam di peraoran Indonesia (daftar ada pada lampiran pada tabel 1), sedangkn untuk penelitian, pengembang dan pemanfaatan belum sama sekali. 15 Seperti misalnya penelitian yang dilakukan oleh BALAR (Balai Arkeologi) BALI bekerjasama dengan BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya) Bali pada bangkai kapal Liberty U.S di Tulamben, Kabupaten Karangasem, Bali. Bangkai kapal Liberty U.S meruapakan salah satu dive spot (lokasi penyelaman) pavorit di bali yang setiap harinya ramai dikunjungi. Namun, data-data hasil penelitian ini tidak lah dikomunikasikan dengan publik., sehingga yang terjadi hanyalah fun dive, sekedar menyelam dan melihat.
UMULOLO
Volume I Nomor 3 •2013
bawah air merupakan suatu upaya manusia untuk memahami dan mempelajari masa lalu (sejarah, sosial budaya, teknologi, dan ekonomi) melalui tinggalan- yang pernah digunakan dimasa lampau kemudian tenggelam di bawah air (Green 1990:2-5)16. Secara hukum, kapal beserta BMKT masuk dalam kategori benda cagar budaya, hal ini sesuai dengan konvensi internasional terkait tinggalan bawah air tahun 2001. Keberadaanya juga dilindungi oleh hukum internasional (UNCLOS 1982)17, serta UU Cagar Budaya No 11 Tahun 2010. Secara jelas dan tegas disebutkan bahwa kapal karam dan BMKT merupakan warisan cagar budaya yang dilindungi, dilestarikan, dan dikembangkan sebaik-baiknya oleh negara untuk kepentingan pengembangan pengetahuan dan kesejahteraan publik18. Pengembangan dan pemanfaatan yang dapat ditempuh adalah dengan menjadikannya objek wisata yang edukatif. Namun perlu ditekankan bahwa statusnya sebagai cagar budaya mewajibkan kita untuk menjaga kelestariannya, sehingga konsep yang diterapkan adalah yang bersifat melestarikan serta memberdayakan masyarakat lokal. Tentuny model pengembangan ini sejalan dengan perubahanperubahan sosial, budaya, ekonomi, teknologi dan politik (weber & Damanik, 2006: 1)19. METODOLOGI Wisata selam berbasis sejarah dan budaya lokal ini mengambil lokasi uji (perancangan prototype) pada kapal karam berkode lambung Indonor. Selanjutnya kapal karam ini akan disebut dengan kapal Indonor. Lokasi kapal Indonor berada pada kordinat 5˚ 46’ 55.44”LS 110˚ 27’ 43.71” BT20. Secara administratif terletak pada perairan Kemujan, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara provinsi Jawa Tengah. Jarak tempuh menuju lokasi memakan waktu ±10 menit dengan menggunakan kapal motor nelayan. Perkiraan jarak lokasi situs diukur dari pelabuhan Karimunjawa adalah berkisar ±11,54 Km. Adapun untuk gambaran data bawah laut lokasi kapal karam Indonor adalah sebagai berikut: Secara historis21, kapal Indonor tercatat sebagai kapal jenis kargo bertenaga uap yang dibuat pada tahun 1941 di galangan kapal Inggris dengan nama Empire Pilgrim. Kapal ini telah mengalami tiga kali pergantian kepemilikan juga pergantian nama. Pada tahun 1942 kapal dikirim ke perusahaan Nortraship Norwegia dengan nama Astrid. Hingga 16 Objek kajian arkeologi bawah adalah objek bendawi, bergerak atau tidak maupun bangunan hasil bentukan kebudayaan manusia. Dalam hal ini, bisa berupa kapal, pesawat, tank, bangunan, fosil, dan lain sebagainya yang berada dibawah air. 17 UNCLOS (United Nation Convention on The Law of Sea) merupakan Konvensi internasional mengenai hukum-hukum kelautan yang diprakarsai PBB pada tahun 1982. Khusu mengenai cagar budaya bawah air seperti kapal karam dan BMKT diatur Pada pasal (33), pasal (303), dan pasal (304) secara umum mengaskan bahwa kapal karam dan BMKT merupakan warisan cagar budaya yang harus dilindungi, dilestarikan dan dimanffatkan untuk kepentingan pengetahuan dan kesejahtraan publik. 18 Dalam pasal (1) ayat (5), dan dalam pasal (4), pasal (14) ayat (1 dan 2), dan dalam pasal (17), (67), (68). Undang-Undang Cgaar Budaya No. 11 Tahun 2010. 19 Perlu dibuat aturan perundnagan dan pedoman teknis menganai penggunaan kapal karam berstatus cagar budaya sebagai objek wisata selam. Hal ini mengingat statusnya sebagai cagar budaya yang perlu dilestarikan keberadaannya. 20 Peta lokasi kapal Indonor lihat pada lampiran (peta 1) 21 Masih bersifat data umum, belum dalam pengkajian yang lebih spesifik dan mendalam.
Volume I Nomor 3 •2013
Tabel 1. Data kondisi lingkungan bawah laut kapal karam Indonor. Sumber: Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, 2010. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Data Bawah Laut Kondisi arus Suhu Posisi kedalaman kapal Kontur dasar laut Komposisi dasar Visibility horisontal Visibility vertikal Plankton Populasi terumbu pada kapal Variasi terumbu Populasi ikan Jenis ikan
Keterangan Kategori jarang, dan jika terjadi arus hanya berkekuatan sedang 28˚-30˚ C 4 – 15 meter dibawah permukaan laut Datar Pasir dan terumbu karang 7 meter 10 meter Sedang 40% - 80% 15 – 30 Sedang Snapper, fusilier, sweetlips, butterfly, cardinal, angel, grouper, clamselfish, surgeon, trigger, puffer.
akhir dekade 1958 Astrid tetap berbedera Norwegia, sebelum akhirnya jatuh ke tangan perusahaan Panrose Hongkong. Panrose mempercayakan pemakaian operasionalnya kepada PT. Maskapai Pelayaran Sumatera untuk dioperasikan di perairan Indonesia dengan nama Indonor (IndonesiaNorwegia)22. Pada tahun 1960 kapal Indonor berlayar dari Sumatera Barat menuju pelabuhan Surabaya dengan muatan batubara Sawahlunto. Dalam pelayarannya menuju Surabaya kapal Indonor mengalami gangguan navigasi akibatkan cuca buruk. Kondisi kerusakan navigasi mengakibatkan tumpukan karang di Pulau Kemujan dianggap pelabuhan Semarang, sehingga kapal terus menabrak karang Kemujan dan akhirnya tenggelam23.
Gambar 1. Sketsa kondisi dan posisi Kapal Indonor pada dasar laut24. Pulau Kemujan merupakan salah satu pulau terbesar digugusan kepulauan Karimunjawa yang banyak dihuni25. Berdasarkan data sensus 2011, jumlah penduduk Pulau Kemujan secara keseluruhan berjumlah 2736 jiwa, dengan 22 Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah. Laporan Pemetaan Kapal Indonor, Karimunjawa. BPCB Jawa Tengah. 2011. 23 Ibid. 24 Sumber: http://www.ekspedisiindonor.8k.com/ekspedisi.htm. Diunduh 14 Agustus 2013. 25 BPS tahun 2010, zona taman nasional Karimunjawa. www.bps.co.id. Diunduh 14 Agustus 2013.
UMULOLO
41
Adapun waktu pelaksanaan penelitian dilakukan seperti pada time line dibawah ini: No 1
2
3
4 5
Uraian Tahap Persiapan Proyek a.Diskusi proyek b.Observasi dan Identifikasi masalah c.Persiapan peralatan dan perlengkapan d.Penggalangan kerjasama Tahap Pelaksanaan a.Survei b.Penelitian I c.Penelitian II d.Penelitian III e.Penelitian IV Pengolahan Data a.Kajian historis, sosial dan budaya b.Perancangan Produk Uji Konsep MONEV
I
Bulan Ke- I II III
jumlah penduduk laki-laki sebanyak 1374 dan penduduk perempuan 1356 jiwa26. Keberagaman suku yang mendiami Kemujan dan Karimunjawa tercermin dari bentuk-bentuk rumah penduduk yang berarsitektur tradisional sesuai daearh asalnya, seperti Madura, Jawa, Bugis dan Makasar. Penduduk Kemujan umumnya adalah nelayan, sebagaian kecil bertani, dan pegawai. Perlu diketahui, bahwa pulau Kemujan dan Karimunjawa tidak hanya menawarkan wisata bawah air, akan tetapi terdapat juga wisata budaya seperti misalnya atraksi kesenian reog, perkawinan adat bugis, upacara peluncuran perahu, dan beberapa atraksi kebudayaan lainnya yang potensinya perlu dikembangkan. Tahapan Penelitian - Deskripsi metode penelitian yang akan dijalankan. Model wisata selam berbasis sejarah dan budaya lokal ini sangat perlu untuk segera diwujudkan sebagai aksi nyata dalam menyadarkan publik akan arti penting sejarah khususnya sejarah maritim. Selain itu jga bertujuan untuk mengenalkan kepada masyarakat cara pengelollan benda cagar budaya bawah air yang mendidik, menguntungkan namun tidak merusak. Adapun metode penelitian yang dilakukan, yakni sebagai berikut: 1. Survey lokasi Kegitan ini meruapakan kegiatan awal yang akan dilakukan di lokasi uji. Adapun ruang lingkupnya meliputi survey permukaan (kondisi sosial budaya penduduk sekitar) dan survey kedalaman (kondisi kapal karam dan laut sekitar lokasi situs). 2. Persiapan dan perekaman data Pada tahapan ini akan dilaksanakan persiapan penelitian, sekaligus melakukan penyelaman tahap awal untuk melakukan perakaman data kapal dan BMKT pada lokasi uji. Kegiatan perekaman meliputi, pengambilan gambar27, baik photo maupun video mengenai kondisi kapal dan lingkungan bawah laut disekitarnya. Data perekaman akan dijadikan bahan evaluasi metode dan teknik penelitian yang akan digunakan. Dengan kata lain, pemilihan metode dan teknik penelitian akan disesuaikan dengan kondisi bawah laut situs terkait. 26 Data sesnus 2011. BPS tahun 2010. 27 Poto dokumentasi saat perekaman data kapal Indonor (poto 1)
42
IV
I
Bulan Ke-II II III
IV
I
Bulan Ke-III II III
IV
3. Pelaksanaan penelitian Tahapan ini dilakukan sepenuhnya oleh para arkeolog bawah air, dengan kegitan yang meliputi, penerapan metode pngukuran28, dokumentasi bawah air29, ekskavasi (apabila diperlukan), pengambilan sampling (apabila diperlukan)30, perancangan jalur penyelaman31, dan penentuan savety dive32. 4. Pengolahan data Data hasil penelitian bawah air kemudian akan diolah kedalam bentuk sketsa dan gambar 2D dan 3D, yakni sebagai berikut; 1) penyusunan data historis mengacu pada temuan artefak 2) penyusunan data sosial budaya mengacu pada kajian antrpologi, 3) pemetaan lokasi kapal karam, 4) perancangan jalur penyelaman dalam bentuk 3D, 5) perancangan skenario darurat dalam bentuk 3D, 6) perancangan hasil kajian dalam bentuk buku panduan33 7) penyelaman kapal karam Indonor dan dalam bentuk audiovisual34. 5. Penerapan, monitoring dan evaluasi MANAJEMEN WISATA SELAM BERBASIS SEJARAH DAN BUDAYA LOKAL Proyek ini melibatkan sumberdaya manusia yang handal dalam bidangnya, yakni terdiri dari: lima arkeolog bawah air, satu antropolog, dan satu art desain audiovisual. Tiga bidang lintas ilmu yang berebda yang tergabung dalam satu tim kerja yang dipimpin menejer tim. Sistim kerja dibagi atas keahlian dan peranan masing-masing dibawah pantauan menejer tim. Komunikasi yang dibentuk adalah komunikasi 28 Penerapan metode pengukuran dalam bentuk 3D (sketsa 1) 29 Poto dokmentasi saat menyelam di kapal Indonor terlampir (poto 2) 30 Poto sampling berupa kepingan batubara sisa kapal Indonor (poto 3) 31 Rancangan 3D jalur penyelaman di kapal Indonor berdasarkan hasil penelitian dan percobaan (sketsa 3) 32 Rancangan 3D savety dive di kapal Indonor terlampir (sketsa 3) 33 Buku panduan penyelaman kapal karam Indonor disusun untuk dijadikan buku pegangan wisata bawah air. 34 Edukasi mengenai kapal Indonor melalui media audiovisual masih dalam rancangan.
UMULOLO
Volume I Nomor 3 •2013
Adapun bagan Alir Penelitiannya adalah sebagai berikut:
penyelaman hanya disuguhkan keindahan bawah laut tanpa adanya unsur pengetahuan yang diberikan. Melalui konsep ini para wisatawan selam akan memperoleh keduanya, rekreasi dan edukasi. Dalam pelaksanaannya, wisatawan sebelum melakukan penyelaman akan terlebih dahulu di edukasi mengenai kesejarahan kapal karam dengan bantuan media audiovisual yang telah dirancang. Media edukasi yang lain adalah berupa buku panduan penyelaman kapal karam, sehingga akan semakin menambwah wawasan dan refrensi wisata selam kapal karam. Setelah kegatan penyelaman usia, para wisatawan akan diajak sharing mengenai pengelaman dan pengetahuan yang diperoleh selama aktifitas penyelaman, baik terkait sejarah, posisi kapal dan BMKT, dan lain sebagainya. Untuk mengisi waktu luang para wisatwan apabila sedang tidak menyelam, maka akan disuguhkan atraksi budaya masyarakat setempat, baik berupa tarian, kuliner, maupun upacara adat. Adapun konsep pengelolaan wisata selam berbasis sejarah dan budaya lokal digambarkan dalam bagan alur, yakni sebagai berikut: wisata selam berbasis sejarah dan budaya lokal digambarkan dalam bagan alur, yakni sebagai berikut:
dua arah, saling berkordinasi dan bekerja dalam teamwork. Tim secara bersama-sama akan memulai kegiatan hingga pada tahap monitoring dan evaluasi. Setelah terbentuk konsep wisata selam edutainment dan penerapan menajemen diangap telah tepat, maka selanjutnya pengelolaan akan diserahkan kepada masyarakat maupun penyedia jasa wisata selam. Adapun menajemen SDM secara lebih teknis diatur dalam perkembangan kemudian. Adapun bagan manajemen SDM adalah sebagai berikut:
M ARKETING
M ONEV = M onitoring & Evaluasi
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Berdasarkan fakta dilapangan, bahwa bidang sejarah adalah hal yang masih dianggap membesonkan sebagian besar masyarakat. Sejarah masih dipandang sebelah mata dan
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
dianggap tidak memiliki nilai penting dan peranan besar dalam hal kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi. Disamping konsep pembelajaran sejarah disekolah yang dianggap Berdasarkan fakta dilapangan, bahwa bidang sejarah membosankan, hal ini semakin diperburuk dengan rendahnya perhatian pemerintah dalam
Konsep wisata selam berbasis sejarah dan budaya lokal ini berpedoman pada prinsip penyelaman ‘SEHAT’ Savety Environment and Heritage Together, atau dengan kata lain memegang prinsip penyelaman yang ramah lingkungan dan aman bagi kelestarian kapal karam. Dalam hal ramah lingkungan, para wisatawan selam akan dibimbing bagaimana melakukan penyelaman yang tidak merusak lingkungan. Sedangkan dalam hal aman bagi kelestarian kapal karam yang statusnya sebagai benda cagar budaya, para penyelam akan dikontrol jumlah penyelaman nya secara teratur sehingga tidak menimbulkan over capacity saat penyelaman berlangsug. Kedua prinsip ini adalah landasan dasar yang harus ditekankan kepada para wisatawan selam kapal karam. Adapun konsep selam berbasis sejarah dan budaya lokal ini merupakan aktifitas wisata selam yag memadukan antara rekreasi dan edukasi. Dimana selama ini kegiatan Volume I Nomor 3 •2013
adalahpendidikan hal yang masih dianggap membesonkan kurikulum sejarah, khususnya maritim. Lantas penulis kemudainsebagian berinisiatif untuk memperkenalkan dan menanmkan sejarah maritimsebelah kepada publik melalui besar masyarakat. Sejarah ketertarikan masih dipandang mata dan konsep wisata selam kapal karam yang edutainment. Melalui konsep ini maka pengenalan dianggap tidak memiliki nilai penting dan peranan besar dalam dan kegiatan mempelajari sejarah akan jauh lebih menyenangkan. hal kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi. Disamping Diharapkan dengan konsep baru wisata selam dengan prisnip penyelaman SEHAT konsep pembelajaran sejarah disekolah yang dianggap “Savety Environment and Heritage Together”, atau aktfitas selam yang menekankan pada membosankan, semakin diperburuk dengan rendahnya kelestarian lingkungan hal dan ini kapal karam secara bersama-sama. Semakin ramainya perhatian dalam kurikulum sejarah, penyelaman kapalpemerintah karam dengan model wisata selam berbasispendidikan sejarah dan budaya lokal, khususnya maritim. Lantas penulis kemudain berinisiatif maka pemahaman dan kesadaran publik mengenai sejarah dan budaya Indonesia juga akan semakin meningkat. untuk memperkenalkan dan menanmkan ketertarikan DAFTAR PUSTAKA sejarah maritim kepada publik melalui konsep wisata selam Balai Pelestarian Cagarayang Budayaedutainment. Jawa Tengah. LaporanMelalui Pemetaan Kapal Indonorini maka kapal karam konsep Karimunjwa. BPCB Jawa Tengah, 2011. pengenalan dan kegiatan mempelajari sejarah akan jauh lebih Bowens, Amanda. Underwater Archeology: The NAS Guide to Principle and Practice. The menyenangkan. Nautical Archeology Society. Blackwell. United Kingdom, 2009.
Diharapkan dengan konsep baru wisata selam dengan prisnip penyelaman SEHAT “Savety Environment and Heritage Together”, atau aktfitas selam yang menekankan pada kelestarian lingkungan dan kapal karam secara bersamasama. Semakin ramainya penyelaman kapal karam dengan model wisata selam berbasis sejarah dan budaya lokal, maka pemahaman dan kesadaran publik mengenai sejarah dan budaya Indonesia juga akan semakin meningkat.
UMULOLO
43
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Balai Pelestarian Cagara Budaya Jawa Tengah. Laporan Pemetaan Kapal Indonor Karimunjwa. BPCB Jawa Tengah, 2011. Bowens, Amanda. Underwater Archeology: The NAS Guide to Principle and Practice. The Nautical Archeology Society. Blackwell. United Kingdom, 2009. Dick-Read, Robert. Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika. Penerbit Mizan. Bandung, 2008. Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata. Peta SitusSelam Indonesia. Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata. Jakarta, 2010 Guillot, Claude. Lobu Tua Sejarah Awal Barus. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta, 2002. Barus Seribu Tahun Yang Lalu. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta, 2008. Green, Jeremy. Maritime Archeology.: A Technical Handbook. Academic Press. London, 1990. Ibnu, Fajar. Perahu Nusantara. Di dalam ‘Adrisijanti Inajati’ (ED). Kemendikbud. Yogyakarta, 1993 Lapian, A. B. Sejarah Nusantara = Sejarah Bahari “Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Univesritas Indonesia” Universitas Indonesia. Depok, 2011. Leur, J.C. van & Verhoeven F.R.J. Teori Mahan dan Sejarah Kepulauan Indonesia. Bharata. Jakarta, 1974. Lohanda, Mona. Sumber Sejarah. Penerbit Ombak. Yogyakarta, 2011. PANNAS BMKT. Kapal Karam Abad Ke-10 di Laut Jawa Utara Cirebon. PANNAS BMKT. Jakarta, 2008. Reid, Anthony. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680. Yayasan Pusataka Obor Indonesia. Jakarta, 2011. Tim Penulis. Indonesia Jungkir Balik. Penerbit Noura Books. Jakarta, 2012. Weber, Helmut F & Damanik, Janianton. Perencanaan Ekowisata: Dari Teori ke Aplikasi. Pusat Studi Pariwisata UGM. Yogyakarta, 2006.
Peta 1. Peta lokasi kapal Indonor. Sumber: olah data BPCB Jawa Tengah.
Perundangan United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) Tahun 1982. Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Koran & Internet Kedaulatan Rakyat. Pembelajaran Sejarah Kurang Aplikatif. Edisi 3 Oktober 2012. Yogyakarta. http://www.ekspedisiindonor.8k.com/ekspedisi.htm. Diunduh 14 Agustus 2013. www.bps.co.id. Diunduh 14 Agustus 2013.
44
Poto 1. Kegitatan pengukuran pada kapal Indonor
UMULOLO
Volume I Nomor 3 •2013
Sketsa 3D 2. Perkiraan bentuk kapal Indonor berdasarkan data pengukuran.
Poto 2. Kegiatan penyelaman di kapal Indonor
Sketsa 3D 3. Rancangan jalur penyelaman dan savety dive berdasarkan hasil penelitian dan percobaan
Poto 3. Kegiatan pengambilan sampling berupa kepingan batubara di kapal Indonor.
Sketsa 3D 1. Penerapan metode pengukuran pada kapal Indonor bagian belakang
Volume I Nomor 3 •2013
UMULOLO
45
Foto Atas Direktur Jenderal Kebudayaan Bapak Prof. Kacung Marijan, Ph.D menandatangani prasasti peresmian Gedung Balai Pelestarian Cagar Budaya Gorontalo, Wilayah Kerja Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo. Foto Kanan Pengguntingan pita oleh Direktur Jenderal Kebudayaan pada saat peresmian gedung kantor BPCB Gorontalo Foto Bawah Direktur Jenderal Kebudayaan foto bersama dengan undangan dan pegawai BPCB Gorontalo
46
UMULOLO
Volume I Nomor 3 •2013
Foto-foto Kegiatan Teknis BPCB Gorontalo Kegiatan Sosialisasi Pelestarian Cagar Budaya, Konservasi Cagar Budaya, Inventarisasi Dokumentasi Cagar Budaya, Pengukuran dan Penggambaran Cagar Budaya.
Volume I Nomor 3 •2013
UMULOLO
47
Foto: Gedung Balai Pelestarian Cagar Budaya Gorontalo Wilayah Kerja Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo (Terdiri atas: Gedung Perkantoran, Aula, dan Mushola)
48
UMULOLO
Volume I Nomor 3 •2013